KEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA
Abstrak Upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia telah menjadi prioritas di setiap era pemerintahan dengan berbagai program yang digulirkan. Pengalokasian anggaran guna mendukung pengentasan kemiskinan juga tidak tanggung-tanggung. Dalam lima tahun terakhir, rata-rata peningkatan alokasi anggaran kemiskinan cukup spektakuler, yaitu sebesar 70,84%. Anggaran kemiskinan tahun 2009 sebesar Rp79,9 triliun meningkat hingga mencapai Rp136,5 triliun di tahun 2013. Namun di sisi lain penurunan angka kemiskinan tidak signifikan, bahkan dalam tiga tahun terakhir laju penurunan kemiskinan bahkan cenderung melambat, dan tidak mencapai target yang ditetapkan dalam RPJMN 2010-2014. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor, antara lain kesalahan cara pandang yang digunakan dalam mendekati realitas kemiskinan di mana selama ini pengentasan kemiskinan tidak terintegrasi dengan strategi pembangunan nasional. Dengan melihat karakteristik kemiskinan di Indonesia, maka pembangunan sektor pertanian diharapkan dapat menjadi langkah strategis dalam menangani maslah kemiskinan ini. Pendahuluan Konsep kemiskinan mengalami perkembangan, dimana kemiskinan tidak hanya diartikan sebagai masalah ekonomi keuangan namun juga mencakup aspek sosial. Kemiskinan didefinisikan tidak hanya sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, namun juga ketidakmampuan mengakses layanan dasar hidupnya secara memadai. Karakteristik kemiskinan di Indonesia 1. Kemiskinan desa Vs kemiskinan Kota Peningkatan urbanisasi di Indonesia terjadi dengan sangat cepat dan terus menerus. Sejak pertengahan 1990-an jumlah penduduk pedesaan secara absolut mulai menurun, dan hingga saat ini lebih dari setengah penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 93
Grafik 1 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di pedesaan maupun di perkotaan menunjukkan trend yang tidak berbeda, namun jumlah penduduk miskin masih terkonsentrasi di pedesaan. Tingkat kemiskinan pedesaan di Indonesia (persentase penduduk pedesaan hidup di bawah garis kemiskinan pedesaan nasional) sempat turun menjadi sekitar 20 persen pada pertengahan 1990-an, namun kemudian meningkat akibat krisis ekonomi di tahun 1997-1998, menjadi sekitar 26 persen. Pada tahun 2006 tingkat kemiskinan kembali meningkat akibat kenaikan harga BBM di akhir tahun 2005, dan setelah tahun 2006 tingkat kemiskinan di pedesaan kembali mengalami penurunan. Grafik 1. Tingkat Kemiskinan Pedesaan dan Perkotaan
Sumber : Bahan Paparan Dr. hendri saparini dalam diskusi tanggal 10 Juli 2014
2.
Tingkat kemiskinan antar provinsi Adanya pengertian kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif1 menyebabkan adanya perbedaan pemetaan kemiskinan di Indonesia secara geografis. Secara absolut, lebih dari setengah total penduduk miskin di Indonesia bertempat tinggal di Pulau Jawa (sebagaimana diketahui bahwa Indonesia bagian barat lebih
1
Kemiskinan absolut mengacu pada satu konsep standar yang konsisten. Kemiskinan relatif berkaitan dengan konsep relative deprivation atau posisi seseorang relatif terhadap anggota masyarakat lain sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan. Kemiskinan relatif berkaitan erat dengan ketimpangan pendapatan. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 94
padat penduduk). Sedangkan secara relatif, kemiskinan di Indonesia bagian timur jauh lebih tinggi. Tabel 1 menunjukkan provinsi dengan kemiskinan tertinggi secara absolut dan relatif. Tabel 1. Provinsi dengan Kemiskinan Absolut dan Kemiskinan Relatif Kemiskinan Absolut Kemiskinan Relatif Terhadap Total NO Jumlah Provinsi Provinsi populasi (juta jiwa) Provinsi (%) 1 Jawa Timur 4,9 Papua 31,5 2 Jawa Tengah 4,7 Papua Barat 27,1 3 Jawa Barat 4,4 Nusa Tenggara 20,2 Timur 4 Sumatera Utara 1,4 Maluku 19,3 5 Lampung 1,1 Gorontalo 18,3 Sumber : http://www.indonesia-investments.com/id/keuangan/angka-ekonomimakro/kemiskinan/item301 3.
Kedalaman dan keparahan kemiskinan Kedalaman kemiskinan menunjukkan kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. Sedangkan keparahan kemiskinan menunjukkan penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
Tabel 2. Kedalaman Kemiskinan dan Keparahan Kemiskinan Kedalaman Keparahan Tahun Kemiskinan - P1 Kemiskinan-P2 (%) (%) 2007 2.99 0.84 2008 2.77 0.76 2009 2.5 0.68 2010 2.21 0.58 2011 2.08 0.55 2012 1.88 0.47 2013 1.9 0.48 Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 95
Sumber : Badan Pusat Statistik Kedalaman dan keparahan kemiskinan di Indonesia dalam 7 tahun terakhir menunjukkan penurunan. Dengan demikian berarti bahwa jarak antara rata-rata pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan semakin sempit, dan ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin semakin rendah (tabel 2).
Upaya Pengentasan Kemiskinan Secara historis, upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia telah menjadi prioritas di setiap era pemerintahan dengan berbagai program yang digulirkan. Upaya pengentasan kemiskinan pun diharapkan merupakan upaya lintas sektoral dan tidak melulu terfokus pada hal yang sifatnya ekonomi semata. Program pengentasan kemiskinan ditunjukkan dalam tabel 3. Tabel 3. Program Pengentasan Kemiskinan Tiap Periode Pemerintahan No. 1.
Masa pemerintahan Presiden Soeharto
2.
Presiden Habibie
3.
Presiden Abdurrahman Wahid
Program pengentasan kemiskinan Paket kebijakan; Program Inpres Desa Tertinggal, Progam Makanan Tambahan Anak Sekolah pada Desa Tertinggal, Progam Pembangunan prasarana pedesaan desa tertinggal, mengembangkan jaringan klinik bisnis bagi pengusaha kecil dan koperasi, menaikkan UMR mencapai 92,5%, penanggulangan gizi akibat kekurangan yodium dengan menyalurkan tablet gizi bagi 2,6 juta ibu hamil, imunisasi 23,4 juta anak.
B.J Progam Jaring Pengaman Sosial, memperbesar pos subsidi dalam APBN melalui beras bersubsidi untuk masyarakat miskin, menyediakan dana pendidikan untuk anak dari keluarga pra sejahtera dan sejahtera 1, beasiswa mahasiswa pada keluarga miskin sebanyak Rp. 500.000, program padat karya, kenaikan gaji. Penyediaan kebutuhan pokok bagi keluarga miskin melalui penyediaan pelayanan kesehatan dan pendidikan dan perbaikan lingkungan rumah tinggal, pengembangan Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 96
budaya usaha bagi masyarakat miskin, kenaikan gaji, pengadaan air bersih sebagai konpensasi kenaikan BBM pada masyarakat miskin kota, kompensasi di bidang pendidikan, kesehatan, OPK, beras murah, dan pelayanan angkutan umum akibat kenaikan BBM. 4.
Presiden Megawati
Pada tahun 2003 menganggarkan 23,3 trilliun untuk orang miskin, tarip listrik rendah bagi rumah tangga miskin, subsidi bunga murah untuk usaha mikro, memberi bantuan usaha kecil bagi rumah murah, subsidi pupuk agar terjangkau petani, peningkatan pelayanan gizi bagi keluarga miskin, kelompok rentan, pengungsi dan korban bencana.
Dalam 10 tahun terakhir atau dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, program pengentasan kemiskinan diklasifikasi ke dalam 4 klaster, dimana setiap klaster program memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu : (1) Klaster I, kelompok program berbasis bantuan dan perlindungan sosial. Program dalam klaster ini bertujuan mengurangi beban masyarakat miskin. Program yang termasuk dalam klaster ini cenderung bersifat charity dari pemerintah. (2) Klaster II, kelompok program berbasis pemberdayaan masyarakat. Program ini bertujuan meningkatkan kemampuan masyarakat miskin. Program yang termasuk dalam klaster ini adalah PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat ) Mandiri. (3) Klaster III, kelompok program berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil. Program ini bertujuan meningkatkan tabungan dan menjamin keberlanjutan berusaha. (4) Klaster IV, kelompok program murah untuk rakyat. Pemerintah memberikan “sesuatu” kepada rakyat dengan harga murah karena sebagian dibantu pemerintah. Program dalam klaster ini yang telah dilaksanakan di tahun 2011 adalah penyediaan rumah sangat murah, sementara program lain baru mulai dilaksanakan pada tahun 2012. Secara umum, pada periode 10 tahun terakhir, program penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan meningkatkan pendapatan mereka dan pada saat yang sama mengurangi beban pengeluaran mereka terutama dalam memperoleh pelayanan dasar. Pendapatan dapat ditingkatkan melalui pemberian bantuan sosial atau meningkatkan keterlibatan mereka dalam kegiatan ekonomi. Sedangkan beban pengeluaran seperti pendidikan, kesehatan, air bersih serta sanitasi, dapat dikurangi melalui peningkatan akses terhadap pelayanan dasar (TNP2K, 2011). Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 97
Alokasi Anggaran dan Penurunan Angka Kemiskinan Dalam lima tahun terakhir, rata-rata peningkatan alokasi anggaran kemiskinan cukup spektakuler, yaitu sebesar 70,84%. Anggaran kemiskinan tahun 2009 sebesar Rp79,9 triliun meningkat hingga mencapai Rp136,5 triliun di tahun 2013. Namun di sisi lain penurunan angka kemiskinan tidak signifikan bahkan justru terjadi peningkatan kantong-kantong kemiskinan di pedesaan. Dalam tiga tahun terakhir laju penurunan kemiskinan bahkan cenderung melambat. Alasan yang dikemukakan pemerintah atas perlambatan ini adalah adanya perlambatan laju per-tumbuhan pada sektor usaha yang banyak menyerap tenaga kerja dari penduduk miskin, adanya peningkatan garis kemiskinan yang disebabkan oleh meningkatnya inflasi bahan pangan, serta belum optimalnya sinergi antar program penanggulangan kemiskinan. Dalam rentang waktu tiga tahun terakhir ini, jumlah penduduk miskin hanya turun rata-rata sebesar 3,37% atau rata-rata sekitar 0,011% per tahun. Penurunan ini jauh sangat lambat dibandingkan dengan China. China, yang memulai pembangunan ekonomi pada awal 1980, telah berhasil menurunkan angka kemiskinan dengan sangat drastis sehingga pada tahun 2007 menjadi hanya 7 persen dari sekitar 64 persen di tahun 1981, sementara di Indonesia, menurut data ADB pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin dengan pendapatan kurang dari US$ 2 per hari masih sebesar 59 persen. Perkembangan alokasi anggaran kemiskinan dan jumlah penduduk miskin ditunjukkan dalam grafik 1. Dengan kondisi ini, program kemiskinan menjadi suatu program yang cukup mahal, karena membutuhkan biaya yang cukup tinggi untuk mengangkat seseorang dari kemiskinan.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 98
Grafik 2. Alokasi Anggaran dan Kinerja Pengentasan Kemiskinan
Sumber : Bahan Paparan Dr. hendri saparini dalam diskusi tanggal 10 Juli 2014
Penurunan angka kemiskinan yang semakin melambat tersebut juga berdampak pada tidak tercapainya target penurunan angka kemiskinan yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Dalam rentang waktu tersebut, penurunan angka kemiskinan diharapkan mampu mencapai 8-10 persen hingga tahun 2014, namun realisasinya diperkirakan hanya mencapai 11,25 persen (grafik 3). Kondisi ini bukan hanya sekedar tidak tepatnya alokasi anggaran atau pertumbuhan ekonomi yang stagnan sehingga penurunan angka kemiskinan tidak seperti yang diharapkan, namun pilihan kebijakan dalam pengentasan kemiskinan itu sendiri cukup menentukan berhasil atau tidaknya penanggulangan kemiskinan.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 99
Grafik 3. Target Vs Realisasi dalam RPJMN 2010-2014 16 14.15 13.33
14
12.49
11.96
12 12
10
11.5
11.47 11.2
10.5 9.5
8
8
Target Realisasi
6 4 2 0 2009
2010
2011
2012
2013
2014
Sumber : Bahan Paparan Dr. hendri saparini dalam diskusi tanggal 10 Juli 2014 Faktor Keberhasilan Pengentasan Kemiskinan2 Kurang berhasilnya pemerintah dalam mencapai target pengurangan angka kemiskinan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kesalahan cara pandang pemerintah atas upaya pengentasan kemiskinan. Selama ini pengentasan kemiskinan lebih dipahami sebagai “program pengentasan kemiskinan”, bukan “strategi dan kebijakan pengentasan kemiskinan”. Ada perbedaan yang sangat mendasar dari keduanya. Yang pertama adalah seperangkat program yang disiapkan khusus untuk orang miskin. Sedangkan yang kedua adalah satu set strategi dan kebijakan ekonomi yang harus dilakukan agar kebijakan pemerintah tidak kontraproduktif terhadap pembangunan ekonomi dan upaya pengentasan kemiskinan. Kesalahan cara pandang inilah yang mengakibatkan langkah kebijakan pemerintah terfokus pada penyiapan dana untuk berbagai “program bagi orang miskin”, baik dana yang berasal dari APBN dan/atau dana-dana swasta seperti CSR, dll. Dengan paradigma ini, program kemiskinan yang ada justru menjadi kurang terfokus. Semua program pengentasan kemiskinan diguyurkan kepada orang miskin secara bersamaan tanpa adanya pentahapan sehingga sulit untuk menilai efektifitas program pengentasan kemiskinan dari tiap klaster. Selain itu program kemiskinan juga tidak melihat “siapa” si orang miskin, akibatnya orang miskin yang perlu beras akan dibagikan Raskin. Tidak peduli bahwa yang menerima Raskin tersebut adalah orang 2
Disarikan dari diskusi dengan Dr. Hendri Saparini dan http://binadesa.co/salah-arah-pembangunan-salahkaprah-pengentasan-kemiskinan/ Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 100
miskin yang juga petani. Yakni kelompok orang yang sebenarnya justru dapat ikut menyelesaikan masalah dengan meningkatkan produksi. Atau penduduk miskin yang berada dalam usia produktif yang sebenarnya lebih membutuhkan lapangan pekerjaan daripada program yang lebih bersifat charity. Kesalahan dalam cara pandang juga mengakibatkan pengertian “pro poor budget” hanya diartikan secara sempit dengan “budget for the poor” atau berapa banyak APBN mengalokasikan anggaran untuk program bantuan kemiskinan. Dalam paradigma ini, peningkatan alokasi anggaran kemiskinan APBN bahkan dapat dinilai sebagai sebuah keberhasilan dalam pengentasan kemiskinan. Meskipun pada saat yang sama banyak kebijakan pemerintah yang kontraproduktif terhadap pengentasan kemiskinan atau upaya perbaikan kesejahteraan rakyat. Seperti misalnya liberalisasi pangan yang mendorong impor pangan dan akhirnya berdampak pada penurunan pendapatan petani. Pencabutan subsidi BBM dan listrik yang mengakibatkan produk UMKM tidak kompetitif dan menekan daya beli masyarakat bawah. Kedua, kegagalan dalam melakukan pengentasan kemiskinan terjadi karena selama ini pengentasan kemiskinan tidak terintegrasi dengan strategi pembangunan nasional. Seolah strategi pembangunan ekonomi ada pada satu sisi, terpisah dari strategi pengentasan kemiskinan yang ada pada sisi yang lain. Padahal keduanya seharusnya terintegrasi sehingga perencanaan strategi pembangunan ekonomi haruslah merupakan strategi yang sekaligus menghilangkan kemiskinan dan tidak menciptakan kemiskinan baru. Akibat keterpisahan ini, sangat mungkin ekonomi tetap mengalami pertumbuhan relatif tinggi tetapi kemiskinan tetap tidak terselesaikan. Ketiga, kegagalan dalam pengentasan kemiskinan terjadi karena orientasi pengentasan kemiskinan yang dilakukan sekadar upaya “mengentaskan orang miskin dari kubangan di bawah garis kemiskinan”. Bukan memberikan penguatan dan dukungan agar terjadi lompatan dan menjadi warga kelas menegah baru. Keempat, penyebab kegagalan dalam pengentasan kemiskinan karena belum melakukan pembangunan secara komprehensif dan belum menempatkan variabel karakteristik orang miskin serta karakteristik Indonesia sebagai variabel penting dalam mengentaskan kemiskinan dan memajukan ekonomi. Dalam hal ini orang miskin belum disertakan dalam upaya pembangunan dan hanya dijadikan obyek dari pembangunan itu sendiri.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 101
Sektor Pertanian Sebagai Salah Satu Langkah Strategis Pengentasan Kemiskinan Selain keempat hal tersebut diatas, yang perlu menjadi catatan adalah bahwa apa pun kebijakan pengentasan kemiskinan yang diambil tetap harus memperhatikan karakteristik kemiskinan yang ada. Kemiskinan di Indonesia masih terkonsentrasi di pedesaan yang notabene penduduknya sebagian besar bermatapencaharian petani dan memiliki pendidikan yang tidak cukup tinggi. Mengingat hal tersebut, maka akan menjadi suatu langkah tepat jika pembangunan sektor pertanian menjadi langkah yang strategis dalam pengentasan kemiskinan. Pengalaman keberhasilan Cina mengentaskan kemiskinan melalui pembangunan sektor pertanian (disamping manufaktur) setidaknya dapat semakin meyakinkan bahwa jalan yang harus segera ditempuh oleh Indonesia adalah merencanakan pembangunan dengan fokus sektor pertanian dan manufaktur. Tentu banyak strategi dan kebijakan yang dilakukan China untuk mengurangi kemiskinan bahkan menghapus kemiskinan. Namun, salah satu strategi China yang perlu digaris bawahi adalah upaya kerasnya dalam menciptakan lapangan kerja secara masif dan berkelanjutan. China mengawali pembangunan dengan membangun desa khususnya sektor pertanian. Dengan konsentrasi orang miskin di pedesaan maka pembangunan pertanian menjadi solusi tepat karena tidak mensyaratkan SDM dengan pendidikan dan keterampilan yang tinggi. Saat ini 65 persen penduduk miskin Indonesia juga berada di pedesaan dan sebagian besar di pertanian. Perlu diingat bahwa sektor pertanian juga merupakan sektor penyerap tenaga kerja terbesar setelah industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 102
Grafik 4. Penduduk 15 tahun keatas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama, 2004-2013
Sumber : Badan Pusat Statistik
Sektor pertanian juga merupakan sektor ketiga terbesar penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sepanjang tahun 2004-2013, setelah sektor industri pengolahan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Dalam kurun waktu tersebut, secara rata-rata sektor pertanian meyumbang sekitar 13 persen dari total PDB (grafik 5). Grafik 5. Rata-rata Sumbangan Lapangan Usaha terhadap PDB
Sumber : Badan Pusat Statistik Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 103
Dengan pembangunan sektor pertanian sekaligus juga akan mampu mengurangi angka pengangguran. Pemerintah perlu mendorong pertumbuhan sektor ini yang dalam beberapa dekade selalu mencetak tingkat pertumbuhan terendah. Padahal, sebagaian besar masyarakat masih bekerja di sektor ini. Penutup Pengentasan kemiskinan merupakan kerja besar yang memerlukan sinergi dari berbagai pihak. Keterpaduan upaya pengentasan kemiskinan, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, bahan pangan, dan penciptaan lapangan pekerjaan harus menjadi satu kesatuan dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Memang membutuhkan waktu dan upaya yang tidak sedikit, namun perubahan paradigma dengan mengadopsi paradigma yang sesuai dengan konstitusi setidaknya menjadi langkah awal yang baik untuk ditempuh pemerintah. Ning
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 104