ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEMISKINAN DAN KEBIJAKAN PENGENTASANNYA DI DKI JAKARTA
OLEH BACHTIAR MALLO H14070004
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKOMONI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
12
RINGKASAN
BACHTIAR MALLO, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan dan Kebijakan Pengentasannya di Provinsi DKI Jakarta (dibimbing oleh MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL).
Fokus utama dari pembangunan ekonomi baik di tingkat global maupun di tingkat nasional telah menghadirkan isu penting tentang pertumbuhan ekonomi, ketidakmerataan pendapatan, dan kemiskinan. Analisis tentang ketiga hal yang saling berkaitan tersebut telah menjadi bahan perdebatan yang sangat menarik terutama bagi para penentu kebijakan yang akan melakukan pemilihan strategi kebijakan yang pantas untuk diterapkan. Adanya permasalahan kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga akan menghambat laju pertumbuhan ekomoni itu sendiri. Menurut Galor (2000), hal ini terjadi karena akumulasi kapital sebagai efek positif ketidakmerataan pendapatan akan di offset oleh rendahnya akumulasi human capital sebagai efek negatif adanya kemiskinan. Selain itu, kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga akan memberikan dampak instabilitas sosial, ketidakpastian, dan tragedi kemanusiaan seperti kelaparan, tingkat kesehatan yang rendah dan gizi buruk. Bila keadaan tersebut terus berlanjut pada akhirnya akan mengganggu stabilitas ekonomi makro dan kelangsungan pemerintahan yang ada. Pemerintah DKI Jakarta telah banyak mengeluarkan kebijakan program-program yang bertujuan untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Program-program tersebut antara lain adalah program beras miskin yang memungkinkan bagi penduduk miskin untuk membeli beras dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan harga beras yang ada di pasar. Lalu ada juga program bantuan operasional
13
sekolah (BOS) agar penduduk miskin dapat pemperoleh pendidikan dasar yang layak. Namun, jika dikaji dengan seksama, program-program terbebut cenderung berlaku secara umum dan belum tertuju langsung pada penduduk miskin. Programprogram tersebut diberlakukan tanpa melihat adanya perbedaan masyarakat miskin dan yang terjadi adalah program-program yang berjalan kurang efisien untuk mengurangi kemiskinan. Sehingga perlu adanya integrasi dari faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan yang kemudian perlu dilakukan studi terhadap faktor-faktor tersebut. Penelitian ini akan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemiskinan di DKI Jakarta. Setelah diketahui tentang faktor-faktor tersebut, selanjutnya adalah menentukan program-program dan kebijakan apa saja yang perlu dilakukan untuk mengatasi keniskinan yang terjadi di DKI Jakarta secara lebih efisien. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi kemiskinan di DKI Jakarta. Dari hasil identifikasi tersebut dapat memberikan gambaran tentang program-program dan kebijakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi kemiskinan secara lebih efisien. Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel, maka variable yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta adalah angka melek huruf, laju pertumbuhan ekonomi, PDRB sektor industri, dan tenaga kerja sektor industri. Pemerintah telah menjalankan banyak kebijakan dan program-program dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Tetapi, program-program tersebut belum efektif untuk mengurangi kemiskinan secara signifikan. Program-program yang dijalankan masih berlaku secara umum dan belum mengena langsung pada sumber penyebab kemiskinan. Sehingga yang terjadi adalah masih tingginya angka kemiskinan di DKI Jakarta. Pemerintah perlu menerapkan program-program yang langsung mengena pada sasaran kemiskinan. Program-program tersebut antara lain: (i) pemberantasan buta huruf, dapat dilakukan dengan program Keaksaraan Fungsional yang dilanjutkan dengan Program Kejar Paket A B C, (ii) peningkatan pertumbuhan ekonomi, dapat dilakukan dengan fokus pembangunan pada sektor kunci (leading sector)
14
yang ada di DKI Jakarta yang dilanjutkan dengan pemerataan distribusi pendapatan dengan pengoptimalan pemungutan pajak dan penegakan hukum, dan (iii) penciptaan iklim investasi, dengan memperbaiki sistem birokrasi, manajemen, infrastruktur, pajak serta menciptakan input/sumber daya yang mendukung, high return expectation, dan stabilitas ekonomi politik dalam negeri.
15
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEMISKINAN DAN KEBIJAAN PENGENTASANNYA DI PROVINSI DKI JAKARTA
Oleh
BACHTIAR MALLO H14070004
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
16
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Bachtiar Mallo
Nomor Registrasi Pokok
: H14070004
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Kemiskinan dan Kebijakan Pengentasannya di Provinsi DKI Jakarta
Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Manuntun Parulian Hutagaol, Ph.D NIP. 19570904 198303 1005 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 19641022 198903 1 003 Tanggal Kelulusan:
17
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, 2 Mei 2011
Bachtiar Mallo H14070004
18
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Bachtiar Mallo, lahir pada tanggal 28 Juli 1989 di Tangerang, Banten. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Akir Mallo dan Umi Rochaya. Penulis menamatkan sekolah dasar di SD Negeri 17 Tangerang, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 4 Tangerang, lalu melanjutkan di SMA Negeri 10 Tangerang dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USM IPB) dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM). IPB menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar penulis dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir, sehingga menjadi sumber daya manusia yang tangguh dan berguna bagi pembangunan Indonesia tercinta. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa organisasi kemahasiswaan, diantaranya yaitu Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) dan Center of Entrepreneurship and Development for Youth (CENTURY). Selama menjadi mahasiswa, penulis memperoleh beberapa prestasi diantaranya, Abang None Jakarta Selatan 2010, Finalis Mahasiswa Berprestasi Departemen Ilmu Ekonomi 2009, Finalis FEM Ambassador 2009, Juara 2 Mojang Jajaka Kota Bogor 2008, dan Finalis Remaja Ceria Indonesia 2007.
19
KATA PENGANTAR Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena nikmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Judul skripsi ini adalah “Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kemiskinan Dan Kebijakan Pengentasannya di DKI Jakarta”. Skripsi ini dibuat untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta dan cara menanggulanginya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini terutama kepada: 1.
Allah SWT yang selalu memberikan perlindungan dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2.
Kedua orang tua, Akir Mallo dan Umi Rochaya, dan saudara tersayang,
yang selalu memberikan doa dan dorongan yang tiada hentinya. 3.
Manuntun Parulian Hutagaol, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah
banyak memberi ide dan saran yang sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 4.
Muhammad Firdaus, Ph.D selaku dosen penguji utama yang telah
memberikan saran dan kritiknya demi penyempurnaan skripsi ini. 5.
Sri Mulyatsih, M.Si selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah
memberikan masukan dalam perbaikan tata bahasa dan pedoman penulisan skripsi. 6.
Teman-teman seperjuangan satu pembimbing skripsi: Sari Rina, Ranti
Purnamasari, Risya 7.
Teman-teman sekaligus keluarga IE 44 atas kebersamaan selama empat
tahun ini. 8.
Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu penulis hingga akhir penyelesaian.
20
Segenap usaha maksimal telah penulis lakukan dalam menyelesaikan skripsi ini. Namun demikian, penulis mengakui bahwa penulisan skripsi ini belumlah sempurna, baik dalam segi materi maupun penyusunannya. Semoga skripsi dapat bermanfat bagi kita semua.
Bogor, 2 Mei 2011 Bachtiar Mallo H14070004
21
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ......................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
vi
I. PENDAHULUAN ....................................................................................
1
1.1
Latar Belakang ...............................................................................
1
1.2
Rumusan Masalah ..........................................................................
6
1.3 Tujuan Penelitian ...........................................................................
9
1.4
9
Manfaat Penelitian ........................................................................
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. .....
11
2.1 Kemiskinan .............................................................................. .....
11
2.2
Faktor Penyebab Kemiskinan .................................................. .....
16
2.2.1 Pendidikan ....................................................................... .....
16
2.2.2 Kependudukan dan Ketergantungan ............................... .....
19
2.2.3 Perekonomian.................................................................. .....
20
2.2.4 PDRB Sektoral ............................................................... .....
21
2.3Program Penanggulangan Kemiskinan ............................... .....
23
2.3.1 Perkembangan Program Kemiskinan di Indonesia ......... .....
24
2.3.2 Perkembangan Program Kemiskinan di DKI Jakarta ..... .....
30
2.4Kerangka Pemikiran ........................................................... .....
36
2.5Hipotesis ............................................................................. .....
41
III. METODE PENELITIAN ............................................................... .....
43
3.1
Jenis dan Sumber Data ............................................................. .....
43
3.2
Metode Analisis ....................................................................... .....
43
3.2.1 Analisis Data Panel ........................................................ .....
43
3.2.2 Pemilihan Model dalam Pengolahan Data ..................... .....
50
3.2.3 Evaluasi Model ............................................................... .....
53
Spesifikasi Model .................................................................... .....
55
3.3
22
IV. GAMBARAN UMUM ................................................................... .....
56
4.1
Perkembangan Tingkat Kemiskinan Provinsi DKI Jakarta .... .....
56
4.2
Perkembangan Pendidikan ...................................................... .....
57
4.3
Perkembangan Kependudukan ................................................ .....
58
4.4
Perkembangan Perekonomian ................................................. .....
60
4.5
Perkembangan PDRB Sektoral ............................................... .....
62
4.6
Perkembangan Tenaga Kerja Sektoral ..................................... .....
64
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... .....
67
5.1 Analisis Model Regresi Data Panel.......................................... .....
67
5.2
Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan ................................... .....
69
5.2.1 Angka Melek Huruf ....................................................... .....
70
5.2.2 Perekonomian.................................................................. .....
71
5.2.3 PDRB Sektoral ................................................................ .....
74
5.2.4 Tenaga Kerja Sektoral ..................................................... .....
75
Formulasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan ...................... .....
77
5.3.1 Program Pengentasan Buta Huruf ................................... .....
77
5.3.2 Program Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi ................ .....
79
5.3.3 Program Pengembangan Sektor Industri......................... .....
82
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... .....
86
5.3
6.1
Kesimpulan .............................................................................. .....
86
6.2 Saran......................................................................................... .....
87
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ .....
88
LAMPIRAN ........................................................................................... .....
91
23
DAFTAR TABEL
Nomor 1.1
Halaman Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita DKI Jakarta, 2001 – 2008 ……………………………………..………………………...3
1.2
Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Jenis Kelamin DKI Jakarta, Tahun 1999 – 2008 (dalam persen) ……………………………………….4
2.1
Program dan Alokasi Dana Penanggulangan Kemiskinan di DKI Jakarta Tahun 2004 ……………………………………….……………………...33
3.1
Kerangka Identifikasi Autokorelasi ……………………………………..54
4.1
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi DKI Jakarta 2002 – 2009 ………………………….…………………..…..………..…56
4.2
Angka Melek Huruf Provinsi DKI Jakarta Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut Kabupaten/Kota,2002 - 2009 (Persen) ...............................58
4.3
Kepadatan Penduduk Provinsi DKI Jakarta Menurut Kabupaten /Kota, 2002-2009 (Jiwa/Km2) ………………………...…………….……..……59
4.4
Rasio Ketergantungan Penduduk DKI Jakarta Menurut Kabupaten /Kota 2002-2009 ……………………..…………….…………...……………...60
4.5
Laju pertumbuhan PDRB DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Persen) ………………….……...61
4.6
Pendapatan Perkapita Provinsi DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Juta Rupiah) ……………..62
4.7
PDRB Sektor Industri DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Milyar Rupiah) …………….…..63
4.8
PDRB Sektor Jasa DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Milyar Rupiah) ………………...64
4.9
Jumlah Tenaga Kerja Sektor Industri Provinsi DKI Jakarta Menurut Kabupaten/Kota, 2002 – 2009 (Jiwa) …………………………...……….65
4.10
Jumlah Tenaga Kerja Sektor Jasa Provinsi DKI Jakarta Menurut Kabupaten/Kota, 2002 – 2009 (Jiwa) ………………………...………….66
24
5.1
Hasil Estimasi Koefisien Data Panel Metode Fixed Effect Model (FEM)……………………………………………………………………………..67
5.2
Hasil Estimasi Koefisien Data Panel Metode Fixed Effect Model (FEM) …………………………………….…………………..……….....69
5.3
Sektor Andalan (Leading Sectors) Provinsi DKI Jakarta Berdasarkan Koefisien Penyebaran dan Kepekaan Penyebaran ………………………80
5.4
Pengganda Output, Pendapatan, dan Tenaga Kerja Sektor-Sektor Perekonomian Provinsi DKI Jakarta ……………………………………82
25
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1
Perkembangan Penduduk Miskin DKI Jakarta (Persen) ……..…………..5
2.1
Kerangka Pemikiran ……………………………………..……..….…....40
5.1
Perbandingan Laju PDB Indonesia dan Laju PDRB DKI Jakarta ….….79
26
DAFTAR LAMPIRAN
Hasil Estimasi Pool Least Square ………………………………………………92 Hasil Estimasi Fixed Effect Model …………………………………………….93 Uji Chow ……………………………………………………………………….94 Uji Kenormalan ………………………………………………………………...94 Uji Kehomogenan ……………………………………………………………...95
27
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Fokus utama dari pembangunan ekonomi baik di tingkat global maupun di
tingkat nasional telah menghadirkan isu penting tentang pertumbuhan ekonomi, ketidakmerataan pendapatan, dan kemiskinan. Analisis tentang ketiga hal yang saling berkaitan tersebut telah menjadi bahan perdebatan yang sangat menarik terutama bagi para penentu kebijakan yang akan melakukan pemilihan strategi kebijakan yang pantas untuk diterapkan. Pertama, apakah harus mendahulukan pertumbuhan ekonomi yang dalam hal ini berfokus pada peningkatan pendapatan perkapita dengan mengesampingkan masalah pembagian distribusi pendapatan tersebut. Kedua, apakah harus mengutamakan distribusi pendapatan yang lebih merata tanpa harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukan merupakan trade-off pemerataan pendapatan dalam upaya mengurangi kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan pendapatan harus dilakukan secara stimultan menjadi suatu bagian yang terintegrasi, agar dapat mengurangi kemiskinan dalam jangka panjang dan akan meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan (Adam, 2004). Pembangunan ekonomi dan distribusi pendapatan bukanlah dua hal yang saling bertentangan. Pembangunan ekonomi yang mempunyai dampak negatif seperti kemiskinan, ketidakmerataan pendapatan dan pegangguran harus diatasi dengan skema pembangunan. Skema pembangunan yang terdiri dari rumusan-rumusan kebijakan harus mencangkup semua elemen, termasuk penduduk miskin, untuk
28
ikut serta berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi. Keikutsertaan penduduk miskin bertujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan kualitas sumberdaya, antara lain melalui pendidikan, kesehatan, dan akses informasi. Di sisi lain, adanya permasalahan kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga akan menghambat laju pertumbuhan ekomoni itu sendiri. Menurut Galor (2000), hal ini terjadi karena akumulasi kapital sebagai efek positif ketidakmerataan pendapatan akan di offset oleh rendahnya akumulasi human capital sebagai efek negatif adanya kemiskinan. Selain itu, kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga akan memberikan dampak instabilitas sosial, ketidakpastian, dan tragedi kemanusiaan seperti kelaparan, tingkat kesehatan yang rendah dan gizi buruk. Bila keadaan tersebut terus berlanjut pada akhirnya akan mengganggu stabilitas ekonomi makro dan kelangsungan pemerintahan yang ada. Kemiskinan tidak hanya terjadi di daerah atau pedesaan, tetapi kemiskinan juga banyak terdapat di perkotaan, bahkan kota-kota besar. Kota besar seperti Jakarta mempunyai masalah tersendiri tentang kemiskinan dan pemerataan distribusi yang sampai saat ini belum dapat terpecahkan. Jumlah penduduk di Jakarta yang cenderung bertambah karena adanya arus migrasi masuk ke Jakarta yang lebih besar daripada arus migrasi keluar Jakarta, merupakan salah satu dari sumber masalah yang ada di Jakarta. Para urban yang datang ke Jakarta tidak semuanya mempunyai keahlian dan keterampilan yang khusus dibidangnya yang dapat dijadikan modal, sehingga mereka cenderung tidak mempunyai modal untuk tetap dapat hidup layak.
29
Tabel 1.1 menggambarkan jumlah PDRB perkapita penduduk DKI Jakarta dari tahun 2001-2008. Secara umum terlihat bahwa PDRB perkapita DKI Jakarta mengalami peningkatan secara signifikan setiap tahunnya. Tahun 2001, total PDRB perkapita atas dasar harga berlaku adalah Rp 31.496.643 yang kemudian terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun hingga pada tahun 2008, total PDRB perkapita atas dasar harga berlaku adalah Rp 74.037.731. Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita DKI Jakarta, 2001 – 2008 PDRB Per Kapita Jumlah Penduduk PDRB Per Kapita PDRB Per Kapita Tahun Atas Dasar Harga Pertengahan Tahun Atas Dasar Harga (Jiwa) Konstan 2000 Berlaku (Rupiah) (Rupiah) 31.496.634 2001 35.785.088 2002 38.694.928 2003 42.922.396 2004 48.966.320 2005 55.981.204 2006 62.490.337 2007 74.037.731 2008 Sumber: BPS, 2010
28.506.249 29.863.633 30.511.415 31.832.209 33.324.813 34.901.161 36.733.180 38.638.148
8.372.064 8.382.475 8.640.184 8.749.780 8.860.381 8.963.218 9.064.591 9.149.539
Tabel 1.2 menunjukan persentase pengangguran terbuka menurut jenis kelamin di DKI Jakarta periode 1999 – 2008. Terlihat bahwa terjadi fluktuasi pada tingkat pengangguran di DKI Jakarta. Pada tahun 1999, pengangguran terbuka mencapai 15,66 persen dan turun pada tahun berikutnya, tahun 2000, yaitu 12,50 persen. Tahun 2001, tingkat pengangguran terbuka turun kembali menjadi 11,76 persen, tetapi naik pada tahun berikutnya, tahun 2002, yaitu 15,52 persen. Selanjutnya, tingkat pengangguran terbuka turun pada tahun-tahun berikutnya hingga pada tahun 2008, tingkat pengangguran terbuka menjadi 10,97 persen.
30
Tabel 1.2 Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Jenis Kelamin DKI Jakarta, Tahun 1999 – 2008 (dalam persen) Jenis Kelamin
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Laki-laki
13,39
11,11
10,28
13,31
12,90
12,85
13,00
12,79
12,82
11,38
Perempuan
17,92
13,88
13,24
17,73
18,95
18,40
18,37
17,37
14,08
10,56
Jumlah
15,66
12,50
11,76
15,52
15,93
15,63
15,69
15,08
13,45
10,97
Sumber: BPS, 2010 Jika dibandingkan dengan PDRB perkapita yang mengalami peningkatan yang signifikan, tingkat pengangguran pada tiga tahun terakhir penelitian menunjukan penurunan. Jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Jepang, tingkat pengangguran di DKI Jakarta masih tergolong cukup tinggi untuk sebuah kota yang berkembang sangat pesat. Tingkat pengangguran di Jepang pada bulan Juni 2009 sebesar 5,4 persen (Portal HR, 2009). Hal ini sangat memungkinkan terjadinya masalah ketimpangan yang dikemukakan oleh teori pertumbuhan, dimana 90 persen dari pendapatan suatu daerah dinikmati oleh 20 persen dari total penduduk, sedangkan sisanya yang 10 persen, dinikmati oleh 80 persen dari total penduduk satu daerah. Hal inilah yang selanjutnya akan menjadi dasar dari konsep ketimpangan dan memunculkan masalah baru, yaitu kemiskinan. Gambar 1.1 menunjukan perkembangan penduduk miskin yang ada di DKI Jakarta selama periode 2002-2009. Terlihat pada Gambar 1.1 bahwa keadaan kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta tidak mengalami penurunan yang signifikan, melainkan terjadi fluktuasi. Pada awal tahun 2002, tingkat kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta sebesar 3,51 persen dan mengalami kenaikan menjadi 3,62 persen di tahun 2003. Kenaikan yang tajam terlihat pada tahun 2006 karena akumulasi dati
31
terjadinya krisis energi yang menyebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak, dimana tingkat kemiskinan mencapai angka 4,80 persen. Hingga tahun 2009, tren kemiskinan mengalami penurunan walaupun tidak signifikan, yaitu menjadi 4,75 persen pada tahun 2007, 3,96 persen pada tahun 2008, dan pada tahun 2009 menjadi 3,88 persen.
Sumber: BPS, 2010 Gambar 1.1 Perkembangan Penduduk Miskin DKI Jakarta dalam Persen Kemiskinan di DKI Jakarta memiliki suatu kehususan tersendiri, yaitu urban poverty. Urban Poverty adalah kemiskinan yang terjadi akibat masuknya penduduk yang bermigrasi masuk ke DKI Jakarta tanpa membawa keahlian apapun, sehingga akan menjadi beban ketika mereka hidup di Jakarta. Para kaum urban yang datang tanpa keahlian dan pelatihan serta dengan pendidikan yang rendah, tidak mampu bersaing dalam mencai pekerjaan dengan penduduk lainnya. Selanjutnya, yang terjadi adalah munculnya daerah yang menjadi kantong kemiskinan, seperti banyak ditemukan di DKI Jakarta. 1.2.
Rumusan Masalah
32
Tiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Demikian diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 27 ayat (2). Dalam hal ini, berarti dengan dukungan sumber kekayaan yang melimpah, pemerintah bertanggung jawab terhadap masalah kesejahteraan masyarakat, salah satunya adalah masalah kemiskinan. Upaya pengurangan kemiskinan dapat berjalan dengan maksimal dan lebih cepat bila didukung dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang cepat yang dibarengi dengan pemerataan distribusi pendapatan (Bourguignon, 2004). Pertumbuhan ekonomi tersebut memberikan manfaat yang lebih banyak kepada penduduk miskin dan memberikan kesempatan yang lebih luas bagi mereka untuk memperbaiki keadaan ekonominya atau bersifat pro poor growth. Menurut Bellinger (2007), pengurangan kemiskinan juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi maupun non-ekonomi. Faktor ekonomi dapat berupa produktivitas dari sektor penyokong pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan distribusi
pendapatan.
Besarnya
peranan
produktivitas
sektor
terhadap
pengurangan kemiskinan bergantung pada karakteristik perekonomian dan ketenagakerjaan. Sedangkan faktor non-ekonomi dapat berupa akumulasi modal manusia yang dapat tercermin dari tingkat pendidikan dan kependudukan. Pemerintah telah melaksanakan berbagai program dan kebijakan dalam upaya percepatan pengurangan kemiskinan. Upaya tersebut dilakukan melalui percepatan pertumbuhan ekonomi dan implementasi berbagai program dan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan secara terintegerasi, terarah dan bersinergi antar program. Strategi pembangunan ekonomi bertumpu
33
pada triple track strategy yaitu pro growth, pro job, dan pro poor secara nyata telah diimplementasi sejak tahun 2005. Pemerintah juga terus meningkatkan alokasi anggaran penanggulangan kemiskinan termasuk anggaran PNPM Mandiri sebesar Rp. 23 trilyun (2005), Rp. 42 trilyun (2006), Rp. 51 trilyun (2007), dan Rp. 62 trilyun (2008). Percepatan pertumbuhan ekonomi (pro growth) terutama bertumpu pada perbaikan kinerja investasi dan ekspor, dan ditopang oleh mantapnya pertumbuhan konsumsi penduduk. Untuk perbaikan kinerja investasi dan menjamin keberlangsungan pembangunan ekonomi, pemerintah meluncurkan paket kebijakan secara terintegratif meliputi perbaikan iklim investasi, pembenahan sektor jasa keuangan, percepatan pembangunan infrastruktur, dan kebijakan pemberdayaan UMKM. Sedangkan untuk percepatan pengurangan kemiskinan (pro poor) dilakukan dengan meningkatkan sasaran dan alokasi dana penanggulangan kemiskinan. Program tersebut diantaranya adalah program bantuan dan perlindungan sosial, program berbasis pemberdayaan masyarakat, dan program pemberdayaan usaha mikro dan kecil. Namun, kondisi riil yang terjadi di DKI Jakarta pada tahun 2009, sangat berbeda dengan hasil yang diharapkan dari penerapan kebijakan dan programprogram penanggulangan kemiskinan tersebut. Kebijakan yang ada selama ini hanya mengatasi gejala yang diakibatkan dari kemiskinan, bukan upaya pemberantasan dari sumber kemiskinan itu sendiri. Hal ini terlihat bahwa tren tingkat kemiskinan belum menunjukan penurunan secara signifikan, yaitu masih
34
adanya penduduk miskin di DKI Jakarta yang mencapai 3,88 persen atau sekitar 337200 jiwa. Maka, disimpulkan bahwa kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah belum cukup efektif untuk mengurangi kemiskinan di DKI Jakarta. Program-program dan kebijakan penanggulangan kemiskinan tersebut masih memiliki banyak kelemahan dan kendala dalam penerapannya. Menurut Rancangan Peraturan Daerah DKI Jakarta Tentang Kesejahteraan Daerah Bagian V Tentang Penanggulangan Kemiskinan, dikatakan bahwa penanggulangan kemiskinan merupakan kebijakan, program, dan kegiatan yang dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang tidak mempunyai atau mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan
yang
layak
bagi
kemanusiaan.
Pelaksanaan
penanggulangan
kemiskinan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah daerah dan masyarakat. Penanggulangan kemiskinan ditujukan untuk: a. meningkatkan kapasitas dan mengembangkan kemampuan dasar serta kemampuan berusaha masyarakat miskin; b. memperkuat peran masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghargaan, perlindungan dan pemenuhan hak – hak dasar. c. mewujudkan kondisi dan lingkungan
ekonomi, politik dan sosial yang
memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan seluas luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan ; dan d. memberikan rasa aman bagi kelompok masyarakat miskin dan rentan.
35
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perlu dianalisis tentang kemiskinan yang terjadi di DKI Jakarta, dengan perincian masalah sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kemiskinan di DKI Jakarta? 2. Program-program dan kebijakan apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi kemiskinan yang terjadi di DKI Jakarta?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di DKI Jakarta. 2. Memberikan masukan tentang program dan kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diterima selama perkuliahan 2. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sarana pembelajaran dalam menambah wawasan dan sebagai salah satu sumber informasi dan bahan untuk penelitian selanjutnya. 3. Bagi pembuat kebijakan yang terlibat dalam penanggulangan kemiskinan, penelitian ini diharapkan berguna dalam memberikan informasi serta menjadi
36
bahan masukan untuk merumuskan berbagai kebijakan di masa yang akan datang.
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Kemiskinan Konsep kemiskinan menurut Bellinger (2007) melibatkan multidimensi,
multidefenisi, dan alternatif pengukuran. Kemiskinan merupakan satu dari masalah yang sulit untuk didefinisikan dan dijelaskan. Secara umum, kemiskinan dapat diukur dari dua dimensi yaitu dimensi income atau kekayaan tidak hanya diukur dari rendahnya pendapatan yang diterima karena pendapatan rendah biasanya sifatnya sementara, tetapi diukur juga dengan kepemilikan harta kekayaan seperti lahan bagi petani kecil dan melalui akses jasa pelayanan publik. Sedangkan dari dimensi non-faktor keuangan ditandai dengan adanya keputusasaan atau ketidakberdayaan yang juga dapat menimpa berbagai rumah tangga berpenghasilan rendah.
37
Dalam perkembangannya, kemiskinan dimensi income lebih sering didiskusikan karena lebih mudah diukur. Kemiskinan dimensi income dapat dibedakan menjadi kemiskinan absolute dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolute mengacu pada ketidakcukupan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makanan, rumah, pakaian, transportasi, dan kesehatan dasar. Sedangkan kemiskinan relatif diukur dengan membandingakan pendapatan rumah tangga dengan rata-rata pendapatan nasional. Besarnya kemiskinan menurut Todaro dan Smith (2006) dapat diukur dengan mengacu pada garis kemiskinan (poverty line). Konsep yang mengacu pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolute, sedangkan bila pengukuran tidak berdasarkan garis kemiskinan melainkan rata-rata pendapatan disebut kemiskinan relatif. Kemiskinan absoute adalah derajat kemiskinan dibawah kebutuhan minimum untuk bertahan hidup. Ukuran ini relatif tetap dalam bentuk kebutuhan kalori minimum ditambah komponen bukan makanan yang juga sangat dibutuhkan untuk tetap bertahan. Garis kemiskinan berbeda untuk tiap negara, tetapi yang umum dijadikan standar Bank Dunia untuk membandingkan antar negara adalah pendapatan perkapita sebesar US$ 1 atau US$ 2 per hari. US dolar yang digunakan adalah US $ PPP (Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Sedangkan kemiskinan relatif adalah ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya berkaitan dengan ukuran dibawah tingkat rata-rata distribusi pendapatan nasional. Negara kaya mempunyai garis kemiskinan yang relatif tinggi dibanding negara miskin. Garis kemiskinan tiap
38
negara biasanya dihitung sesuai dengan paritas daya beli penduduknya. Salah satu strategi praktis untuk menentukan garis kemiskinan lokal adalah dengan menetapkan sekelompok makanan yang biasa dibeli oleh rumah tangga yang hampir tidak memenuhi persyaratan nutrisi minimum, ditambahkan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar yang lain, seperti pakaian tempat tinggal, dan pelayanan kesehatan minimum. BPS (2008) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2100 kalori perkapita per hari yang setara dengan beras 320 kg perkapita per tahun di perkotaan. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun yang bukan makanan yang bersifat mendasar seperti pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan pendudukan dasar lainnya, BPS setiap tahun menetapkan besarnya garis kemiskinan berdasarkan hasil Susenas modul konsumsi. Garis kemiskinan berbeda-beda untuk tiap provinsi tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing provinsi. Garis kemskinan yang ditetapkan BPS pada tahun 2008 sebedar Rp. 204,896 untuk daerah perkotaan dan Rp. 161,831 untuk daerah pedesaan. Selain menggunakan ukuran konsumsi kalori perkapita perhari dan garis kemiskinan, BPS juga menjelaskan kemiskinan dengan 14 kriteria untuk mengetahui keluarga/rumah tangga yang tergolong keluarga/rumah tangga miskin, diantaranya: 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang 2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/ bambu / kayu murahan
39
3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu / rumbia / kayu berkualitas rendah / tembok tanpa diplester 4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar / bersama-sama dengan rumah tangga lain 5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik 6. Sumber air minum berasal dari sumur / mata air tidak terlindung / sungai /air hujan 7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar / arang / minyak tanah 8. Hanya mengkonsumsi daging / susu / ayam satu kali dalam seminggu 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun 10. Hanya sanggup makan sebanyak satu / dua kali dalam sehari 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas / poliklinik 12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah : petani dengan luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan 13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah / tidak tamat SD/ hanya SD 14. Tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit / non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. Menurut Sumodiningrat (1999), klasifikasi kemiskinan ada lima kelas, yaitu:
40
1. Kemiskinan Absolut Kemiskinan absolut selain dilihat dari pemenuhan kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang dapat hidup layak, juga ditentukan oleh tingkat pendapatan untuk memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan yang disebut miskin atau sering disebut dengan istilah garis kemiskinan. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, seperti pangan, sandang, kesehatan, papan, dan pendidikan. 2. Kemiskinan Relatif Sekelompok orang dalam masyarakat dikatakan mengalami kemiskinan relatif apabila pendapatannya lebih rendah dibandingkan kelompok lain tanpa memperhatikan apakah mereka masuk dalam kategori miskin absolut atau tidak. Penekanan dalam kemiskinan relatif adalah adanya ketimpangan pendapatan dalam masyarakat antara yang kaya dan yang miskin atau dikenal dengan isltilah ketimpangan distribusi pendapatan. Ketimpangan relatif untuk menunjukan ketimpangan pendapatan berguna untuk mengukur ketimpangan pada suatu wilayah. Kemiskinan relatif juga dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan antar wilayah yang digunakan pada suatu wilayah tertentu. Pengukuran relatif diukur berdasarkan tingkat pendapatan, ketimpangan sumberdaya alam serta sumberdaya manusia berupa kualitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan. 3. Kemiskinan Struktural
41
Kemiskinan struktural mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya yang tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya. Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural meliputi kekurangan fasiltas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya. Kemiskinan struktural juga dapat dihitung dari kurangnya perlindungan dari hukum dan pemerintah sebagai birokrasi atau peraturan resmi yang mencegah seseorang memanfaatkan kesempatan yang ada. 4. Kemiskinan Kronis Kemiskinan kronis disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif, keterbatasan sumberdaya dan keterisoliran, rendahnya derajat pendidikan
dan
perawatan
kesehatan,
terbatasnya
lapangan
kerja
dan
ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. 5. Kemiskinan Sementara Kemiskinan sementara terjadi akibat adanya: 1) perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, 2) perubahan yang bersifat musiman, dan 3) bencana alam atau dampak dari suatu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.
2.2.
Faktor Penyebab Kemiskinan
42
2.2.1. Pendidikan Menurut teori pertumbuhan endogen yang dipelopori Lucas dan Romer, pertumbuhan ekonomi tidak hanya dipengaruhi oleh besarnya modal dan tenaga kerja tetapi juga dipengararuhi oleh akumulasi modal manusia melalui pertumbuhan teknologi. Akumulasi modal manusia merupakan akumulasi dari pendidikan dan pelatihan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan keterampilan penduduk menunjukan semakin tinggi modal manusia. Secara umum, semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas yang lebih tinggi tersebut dikarenakan memiliki keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Jika tingkat pendidikan lebih tinggi, maka akses ke dunia kerja menjadi lebih mudah dan dapat memperoleh posisi yang lebih baik. Sementara itu, unit usaha yang diisi oleh mereka yang memiliki kemampuan lebih baik dalam menyerap teknologi akan menjadi lebih produktif. Tingkat upah pekerja pun akan meningkat yang berarti kesejahteraan rumah tangganya juga meningkat. Oleh karena itu, salah satu tujuan yang ingin dicapai melalui
pendidikan
adalah
mengembangkan
keterampilan
hidup.
Inilah
sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill and broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini (Nurkholis, 2004). Menurut Bank Dunia (2006), tingkat pendidikan penduduk miskin yang rendah akan menimbulkan lingkaran setan kemikinan pada generasi berikutnya.
43
Penduduk miskin yang berpendidikan rendah akan menyebabkan produktivitasnya rendah, produktivitas rendah akan membuat output dan pendapatan yang diterima rendah, sehingga terjadi kemiskinan. Rumah tangga miskin akan kesulitan untuk membiayai anak-anaknya sekolah sehingga melahirkan generasi selanjurnya yang berpendidikan rendah dan menimbulkan kemiskinan baru. Sehingga salah satu upaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan sekaligus memotong lingkaran setan kemiskinan adalah dengan meningkatkan pendidikan penduduk miskin. Peran penting peningkatan sumberdaya manusia melalui pendidikan dalam rangka pengentasan kemiskinan juga dikemukakan Bank Dunia maupun Asian Development Bank (ADB). Bank Dunia (2006) dalam kerangka kerja untuk memerangi kemiskinan menyebutkan salah satu pilar yang harus dilakukan adalah peningkatan kesempatan penduduk miskin. Pilar ini dilaksanakan dengan peningkatan akses penduduk miskin terhadap aset modal fisik dan modal manusia (pendidikan dan kesehatan) serta peningkatan rate of return dari aset-aset tersebut. Menurut ADB (1999), salah satu pilar dari strategi penurunan kemiskinan adalah pengembangan sosial yang terdiri dari pengembangan modal manusia (pendidikan dan kesehatan), modal sosial, perbaikan status perempuan, dan perlindungan sosial. Peran optimal pendidikan dalam pengurangan kemiskinan tergantung pada akses bagi masyarakat miskin dalam menyelesaikan pendidikan yang lebih tinggi, yang nantinya sangat menentukan kemampuan mereka dalam bersaing di pasar kerja. Penduduk miskin sering kesulitan menjangkau fasilitas pendidikan dan kesulitan keuangan untuk membiayai pendidikan anaknya. Motivasi penduduk
44
miskin untuk membiayai sekolah anaknya di negara berkembang sering tidak sejalan dengan ekspetasi manfaat yang diterima di kemudian hari. Biaya yang dikeluarkan sering menjadi penghalang atau tidak sebesar manfaat relatif yang akan diterima di masa depan (Tambunan, 2006). Bila penduduk miskin tidak memperoleh akses yang lebih luas untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi terutama di negara ketiga, justru akan mempertahankan atau bahkan semakin memperlebar jurang kesenjangan pendapatan, yang pada akhirnya akan menghambat upaya pengurangan kemiskinan. Hal ini dikarenakan tingkat penghasilan yang diterima sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Pendapatan penduduk yang telah menyelesaikan sekolah atau universitas 300 persen atau 800 persen lebih besar dari penduduk yang hanya berpendidikan sekolah dasar atau kurang dari itu (Todaro and Smith, 2006). Menurut penelitian Wiraswara (2005), salah satu variabel yang mempengaruhi kemiskinan adalah angka melek huruf. Angka melek huruf memiliki hubungan yang negatif terhadap tingkat kemiskinan, dimana setiap kenaikan pesentase pada angka melek huruf maka akan mengakibatkan penurunan persentase tingkat kemiskinan. 2.2.2. Kependudukan dan Ketergantungan Berdasarkan penelitian Nasir, et all (2006), faktor jumah anggota rumah tangga merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kemiskinan. Jumlah anggota keluarga yang lebih besar akan menjadi beban suatu rumah tangga dan sangat mempengaruhi produktivitas kepala keluarga. Beban kepala rumah tangga
45
juga akan berat jika semakin banyak anggota keluarga yang usianya belum/tidak produktif. Dengan beban yang lebih banyak, maka kemungkinan menjadi miskin akan lebih besar. Beberapa
penelitian
di
negara-negara
yang
sedang
berkembang
menunjukan bahwa terdapat korelasi negatif yang kuat antara besaran rumah tangga dengan konsumsi (pendapatan) per orang. Sering disimpulkan bahwa penduduk yang hidup dengan keluarga besar lebih miskin daripada penduduk yang hidup dengan keluarga yang kecil (Ravallion dan Lanjouw, 1994). Di negara-negara dunia ketiga seringkali anak dijadikan sebagi investasi karena tidak adanya sistem jaminan sosial dari negara. Bagi rumah tangga miskin, keberadaan anak yang banyak diharapkan akan dapat menyokong ekonomi keluarga terutama ketika para orang tua semakin lanjut usianya. Pola pikir masa lalu yang sering diterapkan yaitu “banyak anak banyak rezeki”. Rasio ketergantungan dihitung sebagai rasio jumlah anggota rumah tangga yang tidak berada dalam angkatan kerja (baik tua maupun muda) terhadap mereka yang berada pada angkatan kerja dalam rumah tangga tersebut. Hal ini menunjukan bahwa, suatu rasio ketergantungan yang tinggi akan berkorelasi positif terhadap tingkat kemiskinan rumah tangga. Semakin besar angka rasio ketergantungan maka semakin besar pula kemungkinan untuk meningkatkan kemiskinan (BPS, 2002a).
2.2.3. Perekonomian Kondisi kemiskinan yang terjadi di Indonesia terutama di daerah-daerah tertinggal adalah karena pengaruh dari kondisi perekonomian yang buruk. Kondisi
46
perekonomian yang buruk tidak mempunyai kendali untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut, apalagi untuk daerah sekitarnya. Hal ini akan menyebabkan masyarakat sekitarnya hidup dalam perekonomian yang buruk dan berpotensi besar untuk menjadi penduduk miskin. Dalam proses pembangunan ekonomi, perubahan ketidakmerataan pendapatan
senantiasa
menyertai
pertumbuhan
ekonomi.
Perubahan
ketidakmerataan pendapatan dapat digambarkan dengan perubahan angka Gini ratio. Ketidakmerataan dapat dikelompokan menjadi tiga berdasarkan angka rasio Gini, yaitu: 1. Ketidakmerataan rendah apabila angka rasio Gini lebih kecil dari 0,3 2. Ketidakmerataan sedang apabila angka rasio Gini terletak antara 0,3-0,4 3. Ketidakmerataan tinggi apabila angka rasio Gini lebih besar dari 0,4 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suparno (2010), angka rasio Gini selama periode 2002-2008 menunjukan tingkat ketidakmeratan di Indonesia tergolong sedang karena masih berada pada kisaran 0,3-0,4 walaupun dengan angka yang berfluktuasi. Pada tahun 2002, angka rasio gini tercatat sebesar 0,34 kemudian meningkat menjadi 0,40 pada 2005 dan sedikit menurun pada tahun 2008 menjadi sebesar 0,37. Angka rasio Gini tersebut sedikit berbeda dengan angka yang dipublikasikan BPS, karena data yang dianalisis pada penelitiannya tidak mencangkup provinsi NAD, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat. Pengukuran ketidakmerataan pendapatan dengan menggunakan data pengeluaran perkapita sebagai proxy data pendapatan perkapita memberikan hasil yang bias. Ketidakmerataan yang diperoleh akan lebih rendah dari yang
47
seharusnya. Hal ini dikarenakan pendapatan pengeluaran perkapita hanya relevan untuk
menggambarkan
pendapatan
kelompok
penduduk
dengan
yang
berpenghasilan rendah. Dalam jangka panjang pengeluaran perkapita penduduk berpenghasilan rendah akan mendekati pendapatan perkapitanya. Sedangkan pendapatan perkapita kelompok penduduk berpenghasilan menengah ke atas pada umumnya lebih tinggi daripada pengeluaran perkapitanya. Dengan demikian, ketidakmerataan pendapatan yang terjadi di Indonesia akan lebih tinggi bila dihitung berdasarkan pendapatan perkapitanya. 2.2.4. PDRB Sektoral Peubah PDRB sektoral menggambarkan jumlah output agregat sektor yang dihasilkan suatu daerah. Peningkatan nilai PDRB sektoral menurut harga konstan menunjukan adanya pertumbuhan ekonomi sektoral. Pertumbuhan ekonomi menurut teori ekonomi mengindikasikan semakin banyaknya kesempatan kerja yang tercipta dan semakin banyak orang yang bekerja, sehingga akan mengurangi pengangguran dan kemiskinan. PDRB sektoral per tenaga kerja menurut harga konstan merupakan nilai PDRB sektoral menurut harga konstan tahun 2000 dibagi dengan jumlah tenaga kerja di sektor tersebut. PDRB sektor pertanian, industri dan jasa per tenaga kerja juga digunakan untuk mengetahui secara langsung kesempatan kerja yang terjadi juga menyebar di sektor dimana penduduk miskin berada melalui peningkatan produktivitas. Selain itu, secara tidak langsung digunakan untuk mengetahui efektivitas kebijakan pemerintah dalam proses redistribusi manfaat pertumbuhan yang diperoleh dari sektor pertanian maupun
48
industri dan sektor jasa yang ditengarai memberikan kontribusi terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin (Siregar dan Wahyuniarti, 2007) Pengaruh kegiatan ekonomi menurut sektoral terhadap pengurangan kemiskinan juga dikemukakan oleh Montalvo dan Ravallion (2009) dengan menguji hipotesa pola pertumbuhan sektoral. Kegiatan ekonomi menurut sektor memiliki dampak pengurangan kemiskinan secara keseluruhan yang independen terhadap pertumbuhan ekonomi agregat. Hipotesis tersebut berdasarkan dua alasan. Pertama, kerelevanan ketidakmerataan antar sektor yang cukup besar menyebabkan pola pertumbuhan antar sektor secara sistematis akan merubah distribusi pendapatan dan lebih luas lagi pada tingkat kemiskinan dengan tingkat rata-rata pendapatan tertentu. Secara instuisi, jika pertumbuhan ekonomi sangat intens dalam sektor-sektor tersebut dan tidak memberikan manfaat kepada penduduk miskin maka akan meningkatkan ketidakmerataan, dampaknya akan mengurangi manfaat pertumbuhan secara keseluruhan bagi penduduk miskin. Kedua, komposisi kegiatan ekonomi menurut sektor merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat ketidakmerataan awal. Hal ini akan tetap berlangsung apabila proses pertumbuhan selanjutnya bersifat netral atau semua pendapatan tumbuh dengan sifat yang sama. Secara instuisi, ketika penduduk miskin memiliki share pendapatan yang rendah terhadap total pendapatan, mereka cenderung akan memiliki share manfaat agregat pendapatan yang lebih rendah selama proses pertumbuhan ekonomi. Secara empiris, distribusi pendapatan awal yang telah diketahui mempunyai peran yang sangat penting bagi dampak berikutnya dari pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan.
49
2.3.
Program Penanggulangan Kemiskinan Kemiskinan adalah permasalahan global bukan hanya permasalahan
negara-negara sedang berkembang. Masalah ini mendapat perhatian global termasuk Perserikatan Bangsa Bangsa dimana pada tahun 2000 seluruh anggota PBB membuat Deklarasi Milenium PBB (United Nation Millennium Declaration) yang salah satu isinya adalah menghilangkan kemiskinan. Deklarasi ini kemudian dijabarkan dalam Millennium Development Goals (MDGs) yang berisi delapan tujuan yang harus dicapai pada tahun 2015. Tujuan pertama dari MDGS adalah menghilangkan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim. Target yang ingin dicapai adalah mengurangi setengah dari proporsi penduduk yang hidup dengan pendapatan kurang dari satu dolar perhari dan mengurangi setengah proporsi penduduk yang menderita kelaparan. Millennium Development Goals yang merupakan kesepakatan global dilaksanakan pula oleh Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu ditingkatkan pemahaman mengenai penyebab kemiskinan. Secara makro, penyebab kemiskinan adalah kesempatan kerja yang terbatas, akses yang terbatas pada sumber-sumber finansial dan non-perbankan, dan banyaknya migran dengan keterampilan rendah. Kesempatan kerja yang terbatas sangat erat kaitannya dengan kondisi perekonomian. Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan mampu mendorong terciptanya kesempatan kerja. Namun sering dicurigai bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat berakibat buruk pada kaum miskin karena mereka akan tergilas dan terpinggirkan oleh karena adanya perubahan struktural perekonomian modern (Todaro dan Smith, 2006). Laporan
50
Bank Dunia tahun 1990 yang mengatakan bahwa diskusi mengenai kebijakan yang berkenaan dengan golongan miskin biasanya berfokus kepada trade-off antara pertumbuhan dan kemiskinan. Namun telaah terhadap pengalaman berbagai negara menyimpulkan bahwa kedua hal tersebut bukanlah suatu trade-off yang tidak bisa diatasi. Dengan kebijakan yang tepat, golongan miskin dapat berpatisipasi dan berkontribusi terhadap pertumbuhan, dan jika mereka dapat melaksanakan hal tersebut, bukan tidak mungkin penurunan tingkat kemiskinan akan terjadi begitu cepat dan konsisten dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. 2.3.1. Perkembangan Program Kemiskinan di Indonesia Program penanggulangan kemiskinan mulai dilaksanakan pemerintah sejak Pelita III. Berbagai program sektoral yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan mewarnai program pembangunan di Indonesia. Di bidang pertanian, pemerintah mengenalkan program BIMAS dan INMAS untuk penyuluhan pada petani, perluasan lahan pertanian dan transmigrasi. Kemudian BULOG didirikan untuk menjaga stabilitas harga beras, gula, dan barang kebutuhan pokok lainnya. Di sektor keuangan, pemerintah mulai memperhatikan sektor usaha kecil dan menengah dengan mengenalkan berbagai macam program kredit untuk pengusaha kecil. Program tersebut antara lain berupa Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Usaha Kecil (KUK), Kredit Candak Kulak (KCK), dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP). Pemerintah juga menciptakan berbagai macam program INPRES. Kebijakan itu semua dilakukan dalam rangka memberikan peluang kepada rakyat kecil untuk memulai usaha.
51
Program khusus pengurangan kemiskinan mulai dilaksanakan pemerintah sejak 1988 dengan adanya program Pengembangan Kawasan terpadu (PKT) yang berupa transfer langsung kepada masyarakat. Dalam progam ini pemerintah memberikan bibit pertanian dan peternakan kepada masyarakat miskin di pedesaan. Pada tahun 1993, PKT berkembang dari sekedar pemenuhan kebutuhan akan bibit menjadi pemenuhan akan sarana dan prasarana dasar, seperti jalan, jembatan, saluran irigasi dan sebagainya, terutama bagi daerah tertinggal. Kegiatan tersebut berkembang menjadi program INPRES Desa Tertinggal (IDT). Tahun 1993-1996, program IDT menarik minat berbagai lembaga keuangan internasional untuk ikut membiayai dan berkembang menjadi Program Pengembangan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT) yang pembiayaannya diperoleh dari Bank Dunia dan JBIC. Di samping itu, pemerintah melalui Departemen Sosial, meluncurkan Kredit Usaha Bersama (KUBE) yang diberikan kepada kelompok usaha di desa. Memasuki masa krisis multidimensi pada tahun 1997-1998, pemerintah dalam menjalankan program penanggulangan kemiskinan mulai memperkenalkan Padat Karya I (Oktober-Desember 1997) yang disertai dengan Padat Karya II (Desember 1997-Februari 1998). Akan tetapi, program tersebut belum sepenuhnya berjalan secara efetif dan mulai dirubah dengan program yang menganut pendekatan pelibatan dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu sejak tahun 1998-1999 program penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat mulai diperkenalkan ke berbagai daerah di Indonesia. Diantaranya Program Pengembangan
Kecamatan
(PPK)
di
daerah
pedesaan
dan
Program
52
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) serta Program Pendukung Masyarakat dan Pemerintah Daerah (P2MPD) (Komite, 2009). Di era otonomi daerah, pemerintah mempunyai komitmen untuk mempercepat pemecahan masalah kemiskinann dengan membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan pada tahun 2001. Pada akhir tahun 2003, Komite Penanggulangan Kemiskinan mengeluarkan dan mengesahkan dokumen I-PRSP (Interim Poverty Reduction Strategy Paper) sebagai panduan bagi penyusunan dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemikinan (SNPK). Pada tahun 2004, pemerintah telah menyusun Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan. SNPK merupakan strategi dan rencana aksi untuk mempercepat tujuan dan sasaran penanggulangan kemiskinan. SNPK dituangkan dalam RPJM tahun 20042009 yang memuat kebijakan pembangunan dan rencana kerja pemerintah selama lima tahun. Dengan mengacu RPJM, pemerintah setiap tahun akan menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sebagai penjabaran dan operasionalisasi RPJM. Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pemerintah daerah membentuk Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) dengan mengacu pada SNPK dan menjadi bagian integral dari rencana pembangunan di tingkat pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Pada
tahun
2005,
pemerintah
membentuk
Tim
Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan yang beranggotakan lintas departemen dan diketuai oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Tim tersebut dibentuk dengan tujuan untuk mengintegrasikan dan sinkronasi berbagai program kemiskinan di setiap departemen agar program penanggulangan kemiskinan dapat berjalan lebih
53
terarah, bersinergi satu sama lain dan tidak tumpang tindih. TKPK menetapkan upaya penanggulangan kemiskinan dengan paradigma pola penanganan yang bersifat multisektoral. Sedangkan ditingkat daerah, pemerintah membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) guna mengefektifkan program penanggulangan kemiskinan di tingkat daerah. TKPK mengelompokan program
penanggulangan
kemiskinan
berdasarkan
segmentsi
masyarakat
penerima program sebagai berikut: 1. Program berbasis bantuan dan perlindungan sosial yang terdiri atas program yang bertujuan untuk pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, serta peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin. Program ini berbentuk bantuan raskin, jamkesmas, bantuan fakir miskin, bantuan korban bencana, bantuan langsung tunai, PKH, beasiswa siswa miskin, serta peningkatan kapasitas kelembagaan pengarusutamaan gender (PUG) dan pengarusutamaan anak (PUA). 2. Program berbasis pemberdayaan masyarakat melalui PNPM mandiri. Program ini dilakukan dengan pendekatan partisipatif berdasarkan kebutuhan masyarakat, berupaya menguatkan kapasitas kelembagaan masyarakat, dan kegiatannya dilaksanakan oleh masyarakat secara swakelola dan berkelompok. 3. Program berbasis pemberdayaan usaha kecil dan mikro terdiri atas programprogram yang bertujuan untuk memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil, dalam bentuk bantuan modal, peningkatan kapasitas, dan pemberian kredit usaha rakyat (TKPK, 2009)
54
Program PNPM mandiri diluncurkan oleh presiden pada 30 April 2007. PNPM Mandiri merupakan harmonisasi dan sinkronasi kebijakan dari programprogram pemberdayaan masyarakat dalam hal pemilihan sasaran, prinsip dasar, strategi, pendekatan, mekanisme, dan prosedur yang diperlukan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan mempercepat penciptaan lapangan kerja. Secara bertahap dikonsolidasikan untuk digabung dengan berbagai program-program pemberdayaan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan yang tersebar di kementrian/lembaga seperti PPK, P2KP, Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), dan lain sebagainya. PNPM Mandiri dikategorikan menjadi dua jenis, yakni PNPM Inti dan PNPM Penguatan. PNPM Inti terdiri dari program berbasis kewilayahan seperti PNPM Pedesaan (PPK), PNPM Perkotaan (P2KP), PNPM Daerah Tertinggal (P2DTK), PNPM Infrastruktur Pedesaan (PPIP) dan PNPM Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW). Sedangkan dengan kategori PNPM Penguatan yang terdiri dari program pemberdayaan masyarakat berbasiskan sektoral, kewilayahan serta khusus mendukung penanggulangan kemiskinan seperti Program Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), BLM untuk Keringanan Investasi Pertanian (BLM KIP), PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan, PNPM Mandiri Pariwisata, PNPM Mandiri Perumahan dan Pemukiman serta PNPM Mandiri Generasi (TP PNPM, 2007) Pada November 2007, pemerintah meluncurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR adalah skema kredit yang bertujuan untuk memperkuat pemodalan
55
UMKM dalam rangka penanggulangan kemiskinan, KUR khusus diperuntukan bagi UMKM dan Koperasi yang usahanya layak namun tidak mempunyai agunan yang cukup sesuai persyaratan yang ditetapkan perbankan. Selain itu, KUR memberikan akses kredit kepada kelompok masyarakat yang telah dilatih dan ditingkatan
keberdayaan
serta
kemandiriannya
pada
program
berbasis
pemberdayaan masyarakat PNPM Mandiri, sehingga mampu untuk memanfaatkan skema pendanaan yang berasal dari lembaga keuangan formal seperti Bank, Koperasi, BPR, dan sebagainya. UMKM dapat langsung mengakses KUR di Bank Pelaksana yaitu Bank BRI, Bank Mandri, Bank BNI, Bank BTN, Bank Bukopin, dan Bank Syariah Mandiri atau melalui lembaga keuangan mikro serta melalui kegiatan linkage program lainnya yang bekerja sama dengan bank pelaksana. Sejak bulan Februari 2008, diluncurkan KUR mikro dengan plafon maksimum lima juta rupiah per nasabah usaha mikro yang disalurkan melalui bank pelaksana KUR (TKPK, 2009). 2.3.2. Perkembangan Program Kemiskinan di DKI Jakarta Dalam menanggulangi kemiskinan, berbagai kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta. Batasan kemiskinan mengacu kepada hasil Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial
(World Summit for Social
Development) tahun 1995 dikatakan sebagai wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendidikan, dan sumberdaya yang produktif yang menjamin kehidupan kesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat kesehatan; keterbatasan akses kepada pendidikan; dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tidak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat;
56
kehidupan gelandangan dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman dan diskriminatif serta keterasingan sosial. Dari batasan tersebut dapat dilihat bahwa masalah kemiskinan bukan merupakan masalah satu sektor saja melainkan multi dimensional/multi sektor, sehingga dalam penanggulangannya perlu dikoordinasikan dari berbagai sektor. Menindaklanjuti Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 Tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan melalui Keputusan Gubernur Nomor 1582/2002. Komite yang terdiri dari berbagai instansi terkait ini mempunyai tugas pokok yang salah satunya adalah meningkatkan keberhasilan penanggulangan kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta yang diantara dengan melakukan langkah-langkah nyata untuk mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin. Upaya penanggulangan kemiskinan ini diperkuat pula dengan Keputusan Gubernur Nomor 1791/2004 tentang Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Provindi DKI Jakarta. Strategi induk penanggulangan masalah kemiskinan Provinsi DKI Jakarta adalah mendorong terciptanya lembaga keuangan mikro professional berbasis non-kolateral di tingkat kelurahan sebagai intitusi yang diharapkan dapat mendorong
peningkatan
kemampuan
dasar
masyarakat
miskin
dalam
meningkatkan pendapatan sekaligus akses terhadap sumberdaya ekonomi. Strategi ini dilakukan melalui dua pendekatan yaitu (a) community empowerment dan capacity building dan (b) social protection.
57
Community
empowerment
dan
capacity
building
adalah
upaya
meningkatkan pendapatan melalui produktivitas dengan penguatan kemampuan masyarakat miskin dalam pengelolaan, memperoleh peluang dan perlindungan untuk membentuk hasil yang lebih baik dalam berbagai kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Seangkan social protection adalah upaya untuk mengurangi pengeluaran masyarakat melalui pemberian subsidi dan bantuan untuk mengurangi pengurangan beban kebutuhan dasar seperti akses teradap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang mempermudah mendukung kegiatan sosial ekonomi. Untuk mencapai strategi induk diperlukan strategi penunjang yaitu: 1. Pengembangan basis data dan penetapan indikator penduduk miskin sesuai dengan kondisi faktual DKI Jakarta sehingga diperoleh pemetaan dan identifikasi masalah kemiskinan yang komperhensif sebagai dasar berbagai program intervensi penanggulangan kemiskinan. 2. Pengembangan multi process card penduduk miskin sebagai mekanisme wujud perlindungan sosial yang menjamin ketetapan pemberian subsidi dan bantuan dalam upaya peningkatan akses penduduk miskin kepada layanan kebutuhan dasar yang bersifat langsung seperti pendidikan, kesehatan serta layanan dasar lainnya. 3. Pembentukan jejaring kerja antara pemerintah, legislatif, dunia usaha dan berbagai stakeholder lainnya guna mendukung keterpaduan program penanggulangan kemiskinan.
58
Pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi yang meliputi aspek-aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi, subsidi, fisik lingkungan, tenaga kerja, pemberdayaan masyarakat dan perlindungan sosial. Berbagai program aksi telah dilaksanakan untuk aspek-aspek tersebut. Khusus untuk aspek subsidi, beberapa program yang telah dilaksanakan adalah beras miskin, bantuan beasiswa siswa/mahasiswa kurang mampu, dan bantuan air bersih. Dalam rangka penaggulangan kemiskinan, pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2004 telah mengalokasikan 884 milyar rupiah. Alokasi tertinggi adalah untuk pemberdayaan masyarakat yang di dalamnya termasuk Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK). Selain pemberdayaan masyarakat, sektor yang menjadi fokus penanggulangan kemiskinan adalah bidang pendidikan dan kesehatan. Salah satu cara untuk memutuskan rantai kemiskinan rumah tangga adalah dengan meningkatkan pendidikan anggota rumah tangga sehingga mereka berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Tabel. 2.1 Program dan Alokasi Dana Penanggulangan Kemiskinan di DKI Jakarta Tahun 2004 Bidang yang di berikan Bantuan Besarnya Bantuan (Rp) Usaha Kecil Menengah dan Koperasi 26.002.000.000 Permukiman 4.045.665.000 Perindustrian 310.000.000 Pariwisata 50.000.000 Peternakan dan Perikanan 1.184.000.000 Pendidikan 267.987.835.000 Pemberdayaan Masyarakat 359.550.000.000 Peran Serta dan Rehabilitasi Sosial 3.309.484.000 Ketenagakerjaan 1.337.500.000
59
Pemerintahan Kependudukan dan Keluarga Berencana Pemakaman Kesehatan Total Sumber: Bapeda Pemprov DKI Jakarta, 2005
3.809.663.000 8.141.939.088 752.400.000 207.632.069.100 884.112.555.188
Program Pemberdayaan Mayarakat Kelurahan (PPMK) adalah program yang digulirkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memberdayakan masyarakat yang mencangkup seluruh aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat baik fisik maupun non-fisik melalui lembaga kemasyarakatan yang ada di kelurahan, dengan mengadakan bantuan langsung kepada masyarakat. Pelaksanaan PPMK mengacu pada Pelaksanaan P2KP. Bantuan langsung diberikan dengan pendekatan Tribina, yaitu bina ekonomi adalah sebesar 60 persen berupa dana bergulir, untuk bina fisik dan sosial masing-masing 20 persen. Di samping itu prinsip-prinsip dari pelaksanaan PPMK ini mengacu pula pada prinsip P2KP seperti demokrasi, transparansi, partisipatif, dan akuntabilitas. Program ini digulirkan pada tahun 2001 dengan pemberian dana sebesar dua milyar rupiah pada beberapa kelurahan. Sejak tahun 2002, seluruh kelurahan mendapatkan dana PPMK sebesar 250 juta rupiah. Nilai dana PPMK terus mengalami peningkatan, pada tahun 2003 naik menjadi 500 juta rupiah per kelurahan dan pada tahun 2004 menjadi 700 juta rupiah. Pada tahun 2005 setiap kelurahan memperoleh dana PPMK sebesar satu milyar rupiah. Pemerintah DKI Jakarta sangat memperhatikan masalah pendidikan karena pendidikan berpengaruh sangat nyata kepada kemiskinan. Pendidikan tinggi memberikan peluang untuk mendapatkan kerja yang lebih baik sehingga mereka
60
dapat terus berada di luar lingkaran kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan yang berkaitan dengan masalah pendidikan telah dilakukan baik untuk pendidikan dasar (SD dan SMP) maupun tingkat pendidikan menengah (SMU/K dan PT). Dana yang disalurkan untuk pendidikan hingga tahun 2004 adalah sebesar 268 milyar rupiah. Dana tersebut dialokasikan untuk berbagai kegiatan diantaranya: a. Bantuan biaya pendidikan b. Penyelenggaraan SD Wajar c. Penyelenggaraan program Paket A dan Paket B d. Penyelenggaraan guru kunjung e. Program pemberian makanan tambahan anak murid SD f. Pembinaan keterampilan menjahit anak putus sekolah g. Pembinaan keterampilan tata boga anak putus sekolah Di samping pendidikan, bidang kesehatan menjadi prioritas utama dalam penanggulangan kemiskinan. PRSP Sourcebook Bank Dunia menjelaskan bahwa dampak kondisi kesehatan yang buruk berpengaruh terhadap kemiskinan, yang meliputi dimensi sebagai berikut: 1. Ketidakmampuan untuk mempertahankan pekerjaan 2. Ketidakmampuan untuk memperoleh pendapatan yang memadai 3. Menurunnya kemampan belajar dan berfikir 4. Risiko cidera dan kecelakaan 5. Hasil capaian pendidikan yang buruk
61
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2004 mengalokasikan dana sebesar 207,6 milyar rupiah bagi penanggulangan kemiskinan di bidang kesehatan, diantaranya adalah untuk: a. Pelayanan keluarga miskin b. Imunisasi posyandu c. Intervensi balita gizi buruk d. Pemberian makanan tambahan untuk balita kurang gizi e. Pemberian makanan tambahan untuk ibu hamil Kegiatan-kegiatan ini sebagian besar dilakukan di puskesmas, karena puskesmas adalah tempat pelayanan kesehatan yang paling banyak dikunjungi oleh rumah tangga miskin. Harga yang relatif terjangkau dan lokasi yang relatif dekat dengan tempat tinggal menjadi faktor utama pemilihan puskesmas sebagai tempat berobat rumah tangga miskin. Faktor utama yang menyebabkan rumah tangga terjerat dalam kemiskinan adalah tingkat pendapatan yang rendah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengalokasikan dana sebesar 26 milyar rupiah untuk membantu usaha kecil dan menengah agar mereka mampu untuk meningkatkan pendapatan mereka. Beberapa kegiatan yang dilakukan diantaranya adalah: 1. Bimbingan teknis usaha kecil dan menengah 2. Bimbingan konsultasi usaha kecil dan menengah 3. Pembuatan depo/warung usaha kecil dan menengah 4. Pembuatan desain dan pengadaan produk tanda mata khas DKI Jakarta untuk usaha kecil dan menengah
62
5. Diklat kewirausahaan dan manajemen bagi kelompok usaha kecil dan menengah 6. Pembinaan teknis usaha skala mikro 7. Pasar rakyat 8. Pembentukan usaha kecil dan sejenisnya Bidang kependudukan menjadi perhatian dalam program penanggulangan kemiskinan. Pada tahun 2004, dana yang dialokasikan untuk bidang kependudukan dan keluarga berencana sekitar delapan milyar rupiah. Kegiatan keluarga berencana ditekankan pada pengadaan alat kontrasepsi dan pelayanan KB bagi akseptor KB yang berasal dari keluarga miskin.
2.4.
Kerangka Pemikiran Dalam analisis ekonomi regional, secara implisit seringkali diasumsikan
bahwa daerah atau region yang dianalisis adalah homogen. Padahal secara faktual terdapat perbedaan yang menciptakan suatu hubungan unik antara suatu bagian dengan bagian lainnya dalam wilayah tersebut. Dalam suatu wilayah, ada penduduk atau kegiatan yang terkonsentrasi pada suatu tempat, yang disebut dengan berbagai istilah seperti: kota, pusat perdagangan, pusat industri, pusat pertumbuhan, simpul distribusi, pusat permukiman, atau darah modal. Sebaliknya, daerah di luar pusat konsentrasi dinamakan: daerah pedalaman, wilayah belakang (hinterland), daerah pertanian atau daerah pedesaan (Tarigan, 2004). Proses aglomerasi pada pusat pertumbuhan di Jakarta, menjadikan Jakarta sebagai kota Metropolitan. Namun di lain pihak, pemusatan aktivitas tersebut mendorong peningkatan migrasi ke Jakarta yang ditandai dengan pertumbuhan
63
penduduk yang senantiasa meningkat. Pertumbuhan penduduk yang pesat akan menimbukan berbagai masalah, antara lain masalah penyediaan lapangan kerja, perumahan, infrastruktur, kriminalitas, kependudukan dan lingkungan. Ketika lapangan kerja formal yang tersedia tidak dapat menyerap seluruh angkatan kerja, maka mereka yang tidak terserap akan masuk ke sektor kerja yang informal dan sebagian dari mereka akan menjadi pengangguran. Pendapatan yang diterima di sektor informal jauh lebih rendah dibandingkan yang diperoleh di sektor formal. Dengan pendapatan rendah tersebut, maka mereka sulit untuk mengakses pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, dan tempat tinggal yang layak. Kebijakan-kebijakan pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah DKI Jakarta sering kali berdampak pada timbulnya kemiskinan. Iklim usaha yang tidak baik dapat berdampak pula pada kemiskinan. Penerapan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang dirasakan cukup berat dapat menyebabkan mengurangi jumlah pegawainya. Kebijakan ekonomi dimasa lalu telah menyebabkan krisis ekonomi yang cukup parah di Indonesia. Roda perekonomian yang lumpuh telah menyebabkan banyak perusahaan harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Hal ini berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin. Di samping itu, kebijakan dalam bidang tenaga kerja yang ada belum dapat mengatasi masalah pengangguran, dampaknya adalah jumlah pengangguran yang tinggi. Program-program yang ada sekarang ini, belum secara efektif dapat mengurangi angka kemiskinan. Program-progam terlalu bersifat umum tanpa
64
membedakan karakteristik penyebab kemiskinan pada penduduk miskin itu sendiri. Sehingga, faktor-faktor yang ada tidak terbentuk menjadi integerasi yang utuh dan sulit untuk dikaji untuk membuat kebijakan yang lebih efektif. Program yang bersifat bantuan langsung seperti raskin, BLT, PKH, jamkesmas, dan beasiswa miskin mempunyai kelemahan terutama dalam penetapan sasaran. Penyaluran bantuan tidak tepat sasaran baik karena data yang tidak valid maupun minimnya penerapan prinsip good governance di lembaga penyaluran bantuan. Program-program pemberdayaan masyarakat seperti PPK, P2KP, P4K yang saat ini masih terintegerasi dengan PNPM Mandiri masih menggunakan logika proyek, belum optimal melibatkan penduduk miskin dalam menentukan jenis maupun sosialisasi kegiatan sehingga manfaat yang diperoleh tidak sesuai dengan kebutuhan penduduk miskin. Program PNPM Mandiri juga belum terlaksana di seluruh daerah karena keterbatasan anggaran (Ardaninggar, 2009). Kendala eksternal yang terjadi seperti krisis energi pada tahun 2005 dan krisis global yang mulai terasa dampaknya pada tahun 2008 membawa pengaruh terhadap seluruh sendi perekonomian. Guncangan ini mengakibatkan peningkatan inflasi dan penurunan permintaan dan penawaran agregat sehingga banyak penduduk miskin semakin terpuruk. Penelitian ini akan menduga dari sisi sosial-ekonomi, bahwa pendidikan, kependudukan, perekonomian, pendapatan perkapita, tingkat ketergantungan, dan kesempatan kerja akan memengaruhi tingkat kemiskinan.
65
./
Program-program dan Kebijakan Pengurangan Kemiskinan Pemerintah DKI Jakarta
-P2KP -SNPK -PUAD -PNPM Mandiri -PPMK -KUR -BOS -Keluarga Berencana - UMR / UMP
Analisis Pemerintah Analisis Penelitian Gambar 2.1 Keragka Pemikiran
Tingginya Angka Kemiskinan
Identifikasi Faktor-faktor
Provinsi DKI Jakarta
Penyebab Kemiskinan
Provinsi DKI Jakarta
-AMH -Kepadatan Penduduk -Rasio Ketergantungan -Pendapatan Perkapita -Laju Pertumbuhan PDRB -PDRB Industri -PDBR Jasa -Tk. Sektor Industri -Tk. Sektor Jasa
Program-program dan Kebijakan Efektif Pengurangan Kemiskinan
Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan dan Keadaan Riil DKI Jakarta
Penurunan Angka Kemiskinan
2.5.
Hipotesis Berdasarkan latar belakang, permasalahan dan tinjauan pustaka tersebut di
atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Terdapat faktor yang menyebabkan kemiskinan, diantaranya: a. Angka melek huruf mempengaruhi kemiskinan. Penurunan angka melek huruf akan memperbanyak jumlah penduduk miskin dan sebaliknya. b. Kepadatan
penduduk
mempengaruhi
kemiskinan.
Penurunan
kepadatan penduduk akan menurunkan jumlah penuduk miskin dan sebaliknya c. Tingkat ketergantungan mempengaruhi penduduk miskin. Semakin kecil tingkat ketergantungan maka jumlah penduduk miskin akan semakin berkurang dan sebaliknya. d. Laju pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta mempengaruhi kemiskinan. Peningkatan perekonomian DKI Jakarta akan menurunkan jumlah penduduk miskin dan sebaliknya e. Pendapatan
perkapita
mempengaruhi
kemiskinan.
Peningkatan
pendapatan perkapita akan mengurangi tingkat kemiskinan dan sebaliknya f. PDRB sektor industri mempengaruhi kemiskinan. Semakin besar PDRB sektor industri maka penduduk miskin akan semakin berkurang. g. PDRB sektor jasa mempengaruhi kemiskinan. Semakin besar PDRB sektor jasa maka penduduk miskin akan semakin berkurang.
57
h. Tenaga kerja sektor industri mempengaruhi kemiskinan. Semakin banyak tenaga sektor industri maka penduduk miskin akan semakin berkurang. i. Tenaga kerja sektor jasa mempengaruhi kemiskinan. Semakin banyak tenaga sektor jasa maka penduduk miskin akan semakin berkurang 2. Terdapat program-program yang telah dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta
maupun
pemerintah
nasional
untuk
mengatasi
masalah
kemiskinan. Namun program-program tersebut belum dapat bekerja secara efektif dalam mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Maka, berdasarkan hasil analisis, akan diperoleh program-program dan kebijakan yang lebih efektif untuk mengurangi kemiskinan
58
III.
3.1.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
yang diperlukan meliputi: angka meleh huruf, kepadatan penduduk, tingkat ketergantungan, pendapatan perkapita, laju pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta, PDRB sektor industri, PDRB sektor jasa, tenaga kerja sektor industri, enaga kerja sektor jasa. Sumber data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan publikasi dari beberapa penelitian terdahulu. Periode analisis pada penelitian ini adalah tahun 2002 sampai dengan tahun 2009.
3.2.
Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif dan analisis panel data. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran umum tentang keadaan kemiskinan di DKI Jakarta. Sedangkan analisis panel data digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di DKI Jakarta. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel dan E-Views 6. 3.2.1. Analisis Panel Data Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu. Dalam data panel, jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama, maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya, jika observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel.
59
Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh model cross section dan time series murni. Secara umum, keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis ekonometrik antara lain: 1. Mampu mengontrol heterogenitas individu 2. Memeberikan informasi yang lebih banyak dan beragam, meminimalkan masalah kolinearitas, meningkatkan jumlah derajat bebas dan lebih efisien. 3. Data panel umumnya lebih baik jika digunakan dalam studi dynamics of adjustment. 4. Data panel lebih baik dalam mengukur dan mengidentifikasi efek yang tidak dapat dideteksi apabila menggunakan data cross section dan time series murni. 5. Data panel dapat digunakan untuk mengkonstruksi dan menguji model perilaku yang lebih
kompleks dibandingkan data cros section atau time
series murni Kendati demikian, analisis panel data juga memiliki beberapa kelemahan dan keterbatasan dalam penggunaannya khususnya apabila data panel dikumpulkan atau diperoleh dengan metode survei. Permasalahan tersebut antara lain: 1. Relatif besarnya data panel karena melibatkan komponen cross section dan time series menimbulkan masalah desain survei panel, pengumpulan dan
manajemen data (masalah yang umumnya dihadapi diantaranya:
60
coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat responden, frekuensi dan waktu wawancara) 2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya terjadi karena kegagalan respon (contoh: pertanyaan yang tidak jelas dan ketidaktepatan informasi) 3. Masalah selektivitas, yakni: selfselectivity, nonrespond, attrition (jumlah responden yang terus berkurang pada survey lanjutan) 4. Cross section dependence (contoh: apabila macro panel data dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence maka dapat mengakibatkan kesimpuln yang tidak tepat) Model umum regresi panel data dapat diformulasikan sebagai berikut: yit = α + βit + uit……………………………………………….(3.1) dimana uit ~ HD(0,σ2) dan i = 1, 2, 3, …, N adalah jumlah observasi antar individu sementara t = 1, 2, 3, …, T adalah observasi runtut waktu. Dalam persamaan tersebut, intersep (α) dan slope (β) diasumsikan homogenus antara seluruh N individu dan T runtut waktu. Namun kondisi ini tidak selamanya sesuai dengan kerangka ekonomi yang dianalisis. Ketidaksesuaian ini dimungkinkan atas dua kemungkinan, yaitu: 1. Suatu kondisi dimana intersep dalam model bersifat heterogen (αi≠αj) sementara slopenya homogen (βi=βj) 2. Suatu kondisi dimana intersep dalam model bersifat heterogen (αi≠αj) demikian pula dengan slopenya (βi≠βj)
61
Dari kedua hal tersebut diatas, model estimasi data panel dapat diekspresikan dalam sejumlah bentuk. Jadi terdapat empat macam model estimasi data panel yang dapat digunakan: 1. Apabila diasumsikan bahwa intersep bervariasi antar individu sementara slope bersifat konstan, maka persamaan akan menjadi: yit = αi + βXit + uit……..………………………………(3.2) 2. Apabila diasumsikan bahwa intersep bervariasi antar individu dan antar waktu sementara slope bersifat konstan, maka persamaan akan menjadi: yit = αit + βXit + uit……….……………………………(3.3) 3. Apabila diasumsikan bahwa intersep dan slope bervariasi antar individu tetapi konstan antar waktu, maka persamaan akan menjadi: yit = αi + βiXit + uit……..………………………………(3.4) 4. Apabila diasumsikan bahwa intersep dan slope bervariasi antar individu dan antar waktu, maka persamaan akan menjadi: yit = αit + βitXit + uit……………………………...……(3.5) Berdasarkan keempat model tersebut, koefisien α dan β diasumsikan tertentu. Klasifikasi lainnya adalah ketika diasumsikan bahwa parameterparameter ini random generating dan disebut sebagai random coefficient models. Selain itu, dari keempat model diatas, jika asumsi homogenitas baik pada intersep maupun pada slope ditolak, maka heterogenitas antar individu akan tercermin pada salah satu atau lebih persamaan. Tujuan dari penentuan model yang sesuai adalah untuk menghilangkan bias dari variabel-variabel yang digunakan dalam model. Bias yang diakibatkan pengabaian heterogenitas dari
62
koefisien-koefisien estimasi disebut juga sebagai heterogenity bias. Mengabaikan heterogenitas baik intersep maupun slope dapat mengakibatkan hasil estimasi yang tidak konsisten dan meaningless. Penentuan model analisis data panel dalam rangka menghilangkan heterogenity bias dapat dilakukan dengan plotting variabel dependen terhadap variabel independen. Analisis plotting ini berfungsi sebagai mekanisme identifikasi model yang sesuai dalam analisis data panel. Sementara itu untuk menguji terjadi atau tidaknya heterogenity bias dapat dilakukan uji hipotesis heterogenitas. Uji dilakukan dengan mengestimasi persamaan (3.4) dimana diasumsikan slope bersifat homogen antar individu. Kemudian uji hipotesis dilakukan terhadap: H0 : β1 = β2 = ... = βN = β Ha : βi ≠ βj untuk i ≠ j dimana : i = 1, ..., N j = 1, ..., N Uji hipotesis di atas dapat dilakukan dengan mekanisme Wald-test. Jika pengujian tidak menolak hipotesis nol, maka koefisien individual bersifat random dan identik dengan rata-ratanya. Dalam hal ini, estimasi dilakukan pada model yang mengasumsikan slope bersifat homogen seperti pada persamaan (3.1) sampai (3.2). Terdapat beberapa asumsi dasar yang melandasi penentuan model data panel. Asumsi dasar ini ditentukan oleh conditionality dari variabel bebas (xi,t)
63
yang digunakan dalam model data panel itu sendiri. Asumsi dasar dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Individual-varying time-invariant, dimana nilai variabel (baik kuantitatif maupun kualitatif) yang sama untuk sebuah unit kerat lintang sepanjang waktu namun berbeda antar unit kerat lintang. Contohnya adalah jenis kelamin, latar belakang sosial-ekonomi dan sebagainya. 2. Period-varying individual-invariant, dimana nilai variabel (baik kuantitatif maupun kualitatif) sama unutk semua unit kerat lintang namun berubah menurut runtun waktu. Contohnya adalah tingkat bunga. 3. Individual time-varying variables, dimana nilai variabel (baik kuantitatif maupun kualitatif) bervariasi antar unit kerat lintang dan waktu. Contohnya adalah keuntungan perusahaan, tingkat penjualan. Berdasarkan pemilihan model tersebut di atas kemudian akan menentukan metode estimasi dari model panel-panel yang dipilih. Terdapat tiga metode dalam mengestimasi data panel, yaitu: 1. Pooled Least Square (PLS) Dalam metode ini terdapat (K) regressor dalam (xit), kecuali konstanta. Metode ini juga dikenal sebagai Common Effect Model (CEM). Jika efek individual (αi) konstan sepanjang waktu (t) dan spesifik terhadap setiap unit (i) maka modelnya akan sama dengan model regresi biasa. Jika nilai (αi) sama untuk setiap unitnya, maka OLS akan menghasilkan estimasi yang konsisten dan efisien untuk (α) dan (β). Oleh karena itu, metode ini dapat digunakan dalam mengestimasi persamaan (3.2). Metode ini sederhana namun hasilnya tidak
64
memadai karena setiap observasi diperlakukan seperti observasi yang berdiri sendiri. 2. Fixed Effect Model (FEM) Model ini menggunakan semacam peubah boneka untuk menungkinkan perubahan-perubahan dalam intersep-intersep kerat lintang dan runtut waktu akibat adanya peubah-peubah yang dihilangkan. Intersep hanya bervariasi terhadap individu namun konstan terhdap waktu sedangkan slopenya konstan baik terhadap individu maupu waktu. Jadi αi adalah sebuah grup dari spesifik nilai konstan pada model regresi. Fornulasi umum model ini mengasumsikan bahwa perbedaan antar unit dapat diketahui dari perbedaan nilai konstantanya. Kelemahan model efek tetap adalah penggunaan jumlah derajat kebebasan yang banyak
serta
penggunaan
peubah
boneka
tidak
secara
langsung
mengidentifikasikan apa yang menyebabkan garis regresi bergeser lintas waktu dan lintas individu. Modelnya ditulis sebagai yi = αi + βxi + εi. 3. Random Effects Models (REM) Intersepnya bervariasi terhadap individu dan waktu namun slopenya konstan terhadap individu maupun waktu. Jadi (αi) adalah sebuah grup dari gangguan khusus, mirip seperti (εit) kebuali untuk setiap grup ada nilai khusus yang masuk dalam regresi secara identik untuk setiap periode. Nilai (αi) terdistribusi secara acak pada unit-unit kerat lintang. Metode ini juga dikenal sebagai variance components estimation. Model ini meningkatkan efisiensi proses pendugaan kuadrat terkecil dengan memperhitungkan pengganggu-penggangu kerat lintang dan deret waktu. Model estimasinya yang digunakan adalah yit = αi +
65
β’xit + μ
+
εit dengan (μi) adalah nilai gangguan acak pada observasi (i) dan
konstan sepanjang waktu. Berdasarkan penjabaran metode estimasi di atas dapat dikatakan bahwa FEM digunakan atas asumsi bahwa dampak dari gangguan mempunyai pengaruh yang tetap (dianggap sebagai bagian dari intersep). Sedangkan REM digunakan atas asumsi bahwa gangguan diasumsikan bersifat acak. Penentuan model atas pertimbangan perilaku dari gangguan yang bersifat tetap atau acak pada individu (i) akan berpengaruh terhadap bias dan hasil estimasi. Bias yang terjadi akibat kesalahan menetukan model berdasarkan perilaku gangguannya disebut dengan selectivity bias. 3.2.2. Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan yang efrisien. Chow Test Chow Test (uji F-statistik) adalah pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan Pooled Least Square atau Fixed Effect. Sebagaimana yang diketahui bahwa terkadang asumsi bahwa setiap unit cross section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis mengingat dimungkinkan setiap unit cross section memiliki perilaku yang berbeda. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut: H0 : Model Pooled Least Square H1 : Model Fixed Effect
66
Dasar penolakan terhadap Hipotesa Nol (H0) adalah dengan menggunakan F-statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow:
CHOW = Dimana:
(ESS1 – ESS2) (ESS2)
(N – 1) ..............................................(3.6)
(NT – N – K)
ESS1
= Residual Sum Square hasil pendugaan model pooled least square
ESS2
= Residual Sum Square hasil pendugaan model fixed effect
N
= Jumlah data cross section
T
= Jumlah data time series
K
= Jumlah variabel penjelas Statistik Chow Test mengikuti distribusi F-statistik dengan derajat bebas
(N – 1,NT – N – K) jika nilai CHOW statistics (F-stat) hasil pengujian lebih besar dari F-Tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penerimaan terhadap Hipotesa Nol sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, dan begitu juga sebaliknya. Pengujian ini disebut sebagai Chow Test karena kemiripannya dengan Chow Test yang digunakan untuk menguji stabilitas parameter (stability test). Hausman Test Hausman Test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan kita dalam memilih apakah menggunakan model fixed effect atau model random effect. Seperti yang kita ketahui bahwa penggunaan model fixed effect mengandung suatu unsur trade-off yaitu hilangnya derajat bebas dengan memasukkan variabel dummy. Namun, penggunaan metode random effect juga harus memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat.
67
Hausman Test dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut: H0 : Model Fixed Effect H1 : Model Random Effect Sebagai dasar penolakan Hipotesa Nol maka digunakan Statistik Hausman dan membandingkannya dengan Chi-Square. Statistik Hausman dirumuskan dengan: m = (β – b)(M0 – M1)-1(β - b)
~ χ 2 (K) ……...............…………(3.7)
Dimana β adalah vektor untuk statistik variabel fixed effect, b adalah vektor statistik variabel random effect, M0 adalah matriks kovarians untuk dugaan fixed effect model dam M1 adalah matriks kovarians untuk dugaan random effect model. Jika nilai m hasil pengujian lebih besar dari χ2 – Tabel, atau nilai hausman test lebih besar dari taraf nyata maka cukup bukti untuk melakukan penerimaan terhadap hipotesa nol sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, dan begitu pula sebaliknya. LM Test LM Test atau lengkapnya The Breusch-Pagan LM Test digunkan sebagai pertimbangan statistik dalam memilih model Random Effect atau Pooled Least Square. LM Test dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut: H0 : Model Pooled Least Square H1: Model Random Effect Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan statistik LM yang mengikuti distribusi dari Chi-Square. Statistik LM dihitung dengan menggunakan residual OLS yang diperoleh dari hasil estimasi model Pooled, dimana:
68
NT LM = 2(T – 1)
T 2 Σ εi2 ΣΣ
εit2
2
-1
~ χ2 ……………………..(3.8)
Jika nilai LM hasil perhitungan lebih besar dari χ2 – Tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol, sehingga model yang digunakan adalah model random effect, dan begitu pula sebaliknya. 3.2.3. Evaluasi Model Multikolinearitas Indikasi multikolinearitas tercermin dengan melihat hasil t dan F-statistik hasil regresi. Jika banyak koefisien parameter dari t-statistik diduga tidak signifikan sementara dari hasil F-hitung signifikan, maka patut diduga adanya multikolinearitas. Multikolinearitas dapat diatasi dengan menghilangkan variabel yang tidak signifikan. Autokorelasi Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin-Watson (DW) dalam Eviews. Unutk mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan membanndingkan DW-statistik dengan DW-tabel. Adapun kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel 3.1. Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda, saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola random error dari hasil regresi. Pada analisis seperti yang dilakukan dalam model, jika ditemukan korelasi serial, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Perlakuan untuk pelanggaran ini adalah dengan menambahkan AR (1)
69
atau AR (2) dan seterusnya, tergantung dari banyaknya autokorelasi pada model regresi yang digunakan. Tabel 3.1. Kerangka Identifikasi Autokorelasi Nilai DW Hasil DW < dl Tolak H0, korelasi serial positif dl < DW < du Hasil tidak dapat ditentukan du < DW < 4-du Terima H0, tidak ada korelasi positif atau negatif 4-du < DW < 4-dl Hasil tidak dapat ditentukan DW < 4-dl Tolak H0, korelasi serial negatif Sumber : Nachrowi (2006) Heteroskedastisitas Dalam regresi linear ganda, salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar taksiran parameter dalam model tersebut BLUE adalah Var (ui) = σ
2
(konstan),
semua varian mempunyai variasi yang sama. Pada umunya, heteroskedastisitas diperoleh pada data cross section. Jika pada model dijumpai heteroskedastisitas, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Dengan kata lain, jika regresi tetap dilakukan meskipun ada masalah heteroskedastisitas maka pada hasil regresi akan terjadi ”misleading” (Gujarati, 1995). Untuk menguji adanya pelanggaran asumsi Heteroskedastisitas, digunakan uji White-heteroskedasticity yang diperoleh dalam program Eviews. Dengan uji white, membandingkan Obs* R-Squared dengan χ2 (Chi-Squared) tabel, jika nilai Obs* R-Squared lebih kecil daripada χ2-tabel maka tidak ada heteroskedastisitas pada model. Dalam pengolahan data poanel dalam Eviews 6 yang menggunakan metode General Least Square (Cross Section Weights), maka untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan membandingkan Sum Square Resid pada Weighted Statistics dengan Sum Squared Resid Unweighted Statistics. Jika
70
Sum Square Resid pada Weighted Statistics < Sum Squared Resid Unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas. Perlakuan untuk pelanggaran tersebut adalah dengan mengestimasi GLS dengan White Heteroscedasticity.
3.3. Spesifikasi Model Model
yang
digunakan
untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi tingkat kemiskinan adalah: MISKINit = (β0 + αi + µt) + β1 AMHit + β2 PDDKit + β3 PDRBit + β4 KTGit + β5 PPKPTit + β6 PINDit + β7 PJASAit + β8 TKINDit + β9 TKJASAit + uit dimana: MISKINit
: Jumlah penduduk miskin di kota ke-i pada tahun ke-t
AMHit
:Angka melek huruf berdasarkan usia di atas 10 tahun pada kota ke-i pada tahun ke-t
KTGit
: Tingkat ketergantungan penduduk kota ke-i pada tahun ke-t
PDDKit
: Kepadatan penduduk penduduk kota ke-i pada tahun ke-t
PPKPTit
: Pendapatan perkapita kota ke-i pada tahun ke-t
LAJUit
:
PINDit
: PDRB
PJASAit
: PDRB Sektor Jasa kota ke-i pada tahun ke-t
TKINDit
: Pekerja sektor industri kota ke-i pada tahun ke-t
TKJASAit
: Pekerja sektor jasa kota ke-i pada tahun ke-t
βj
: Parameter yang diestimasi, j = 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6.
αi
: Efek individual kota ke-i
µt
: Efek waktu pada tahun ke-t
uit
: Komponen error
Laju pertumbuhan kota ke-i pada tahun ke-t Sektor Industri kota ke-i pada tahun ke-t
71
IV.
4.1.
GAMBARAN UMUM
Perkembangan Tingkat Kemiskinan Provinsi DKI Jakarta Perkembangan tingkat kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta pada periode
2002 – 2009 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2002, penduduk miskin di DKI Jakarta tercatat sebesar 3,51 persen atau sekitar 286800 jiwa dan mengalami peningkatan menjadi 3,62 persen atau menjadi sekitar 291000 jiwa pada tahun 2003. Pada tahun 2004, terjadi penurunan tingkat kemiskinan yaitu sebesar 3,37 persen atau sekitar 274100 jiwa. Pada dua tahun berikutnya, tingkat kemiskinan mengalami kenaikan yang cukup banyak, pada tahun 2005 naik menjadi 3,74 atau sekitar 312800 jiwa, dan pada tahun 2006 semakin parah menjadi 4,80 persen atau sekitar 403900 jiwa. Tabel 4.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi DKI Jakarta Periode Tahun 2002 – 2009 Tahun Jumlah Penduduk Miskin Persentase Penduduk Miskin 2002 286.800 3,51 2003 291.000 3,62 2004 274.100 3,37 2005 312.800 3,74 2006 403.900 4,80 2007 402.800 4,75 2008 340.000 3,96 2009 337.200 3,88 Sumber: BPS, 2011 (diolah) Pada tiga tahun selanjutnya, tingkat kemiskinan di DKI Jakarta mengalami penurunan walaupun tidak signifikan. Pada tahun 2007, tingkat kemiskinan turun menjadi 4,75 persen atau sekitar 402.800 jiwa, tahun 2008 turun kembali menjadi
72
3,96 persen atau sektitar 340.000 jiwa, dan pada tahun 2009 kembali turun menjadi 3,88 persen atau sekitar 337.200 jiwa.
4.2.
Perkembangan Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi
oleh setiap rumah tangga dan setiap penduduk. Pendidikan yang tinggi akan meningkatkan
produktivitas
masyarakat,
selanjutnya
akan
meningkatkan
pendapatan dan output total, sehingga sekaligus akan menurunkan tingkat kemiskinan dan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Sehingga, penting agar setiap masyarakat dapat mendapatkan pendidikan yang layak. Pada penelitian ini, faktor pendidikan direpresentasikan oleh angka melek huruf. Angka melek huruf di tiap wilayah DKI Jakarta menunjukan nilai yang cukup besar. Nilai yang besar ini diharapkan dapat menggambarkan kehidupan masyarakat yang lebih baik terutama dalam bidang pendidikan dan berpengaruh pula terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Pada tahun 2002, angka melek huruf secara agregat Provinsi DKI Jakarta adalah 98,35 persen dan mengalami peningkatan menjadi 98,51 persen pada tahun 2003. Walaupun pada tahun berikutnya mengalami penurunan, tahun 2004 menjadi 98,46 persen, tetapi setelahnya pada tahun-tahun berikutnya terus mengalami peningkatan, yaitu pada tahun 2005 menjadi 98,51 persen, 98,58 persen pada tahun 2006, dan 98,86 pada tahun 2007. Sempat mengalami penurunan kembali pada tahun 2008 menjadi 97,94 persen, tetapi mengalami perbaikan pada tahun 2009 menjadi 99,03 persen.
73
Tabel 4.2. Angka Melek Huruf DKI Jakarta Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut Kabupaten/Kota, 2002 - 2009 (Persen) KOTA
2002
2003
Jakarta 98,42 98,58 Selatan Jakarta 98,66 98,52 Timur Jakarta 98,23 98,47 Pusat Jakarta 98,11 98,75 Barat Jakarta 98,31 98,25 Utara DKI 98,35 98,51 JAKARTA Sumber: BPS, 2011 (diolah) 4.3.
2004
2005
2006
2007
2008
2009
98,01
98,78
99,67
98,99
98,32
99,12
98,90
98,24
98,17
98,98
98,11
98,98
98,81
98,69
98,76
99,27
98,14
99,36
98,17
98,42
98,12
98,59
97,75
98,84
98,41
98,41
98,18
98,48
97,36
98,86
98,46
98,51
98,58
98,86
97,94
99,03
Perkembangan Kependudukan Keadaan penduduk di Provinsi DKI Jakarta pada penelitian ini
direpresentasikan dengan kepadatan penduduk dan rasio ketergantungan. Pada dasarnya kedua hal tersebut adalah hal yang berbeda, dimana kepadatan penduduk menggambarkan tentang banyaknya penduduk yang tinggal dalam satu lingkup wilayah tertentu, sedangkan rasio ketergantungan menggambarkan banyaknya seseorang yang bukan merupakan angkatan kerja yang harus ditanggung oleh mereka yang merupakan angkatan kerja. Kepadatan penduduk di Provinsi DKI Jakarta secara agregat mengalami kenaikan yang berarti bahwa pada luas lahan yang sama setiap tahunnya, jumlah penduduk yang tinggal di dalamnya menjadi semakin banyak. Semakin padatnya penduduk di Provinsi DKI Jakarta disebabkan pertimbuhan penduduk yang pesat, baik dari tingginya angka kelahiran maupun tingginya migrasi masuk ke Provinsi DKI Jakarta. Pada tahun 2002, kepadatan penduduk DKI Jakarta adalah 12.539
74
jiwa/km2. Pada tahun 2003, kepadatan penduduk DKI Jakarta adalah 12.454 jiwa/km2. Pada tahun 2004, kepadatan penduduk berkurang menjadi 12.439 jiwa/km2. Kepadatan penduduk menunjukan adanya kecenderungan peningkatan, sehingga pada tahun 2009, kepadatan penduduk di DKI Jakarta mencapai 14.849 jiwa/km2. Sedangkan wilayah yang memiliki kepadatan paling tinggi adalah wilayah Kota Jakarta Pusat. Wilayah yang mengalami peningkatan kepadatan tiap tahunnya adalah Kota Jakarta Barat, hal ini bisa disebabkan karena wilayah tersebut merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan daerah lain, sehingga memungkinkan untuk terjadinya pertumbuhan penduduk yang cukup pesat, baik dari migrasi atau non-migrasi. Tabel 4.3. Kepadatan Penduduk Provinsi DKI Jakarta menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Jiwa/Km2) KOTA Jakarta Selatan Jakarta Timur
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
11.634 11.676 11.714 13.691 14.092 14.872 15.161 15.287 11.095 11.157 11.204 12.750 12.858 12.878 12.914 13.032
Jakarta Pusat
19.253 18.746 18.531 17.874 18.618 18.485 18.590 18.745
Jakarta Barat
12.426 12.426 12.411 18.408 16.890 16.774 17.004 17.147
Jakarta Utara DKI JAKARTA
8.285
8.267
8.336 10.197 10.213
9.908
9.951 10.035
12.539 12.454 12.439 14.584 14.534 14.583 14.724 14.849
Sumber: BPS, 2011 (diolah) Selain dari kepadatan penduduk, variabel selanjutnya adalah tingkat ketergantungan. Tingginya tingkat ketergantungan menunjukan bahwa semakin banyak penduduk yang bukan angkatan kerja yang harus ditanggung oleh penduduk yang termasuk angkatan kerja. Begitu pula sebaliknya, ketika tingkat
75
ketergatungan semakin kecil berarti jumlah penduduk bukan angkatan kerja yang harus ditanggung oleh penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah sedikit. Secara agregat, rasio ketergantungan penduduk DKI Jakarta tergolong cukup baik karena nilain yang kurang dari 40 persen. Hal ini menunjukan bahwa jumlah penduduk yang bukan angkatan kerja yang harus ditanggung adalah lebih sedikit. Rasio ketergantungan pada periode penelitian tidak menunjukan nilai perubahan yang cukup berarti. Nilai rasio kertergantungan pada tahun 2002 – 2004 berkisar di angka 35 persen dan naik pada tahun 2005 menjadi 39 persen. Kemudian pada tahun-tahun selanjutnya mengalami penurunan hingga tahun 2009 mencapai angka 37,27 persen. Tabel 4.4. Rasio Ketergantungan Penduduk DKI Jakarta Menurut Kabupaten/Kota Periode 2002-2009 (Persen) KOTA
2002
2003
Jakarta 35,01 35,32 Selatan Jakarta 36,80 36,87 Timur Jakarta 33,35 33,84 Pusat Jakarta 36,43 36,25 Barat Jakarta 34,94 35,24 Utara DKI 35,27 35,54 JAKARTA Sumber: BPS, 2011 (diolah) 4.4.
2004
2005
2006
2007
2008
2009
35,60
39,29
38,76
38,20
37,78
37,28
36,93
39,29
38,78
38,18
37,75
37,26
34,30
39,29
38,74
38,21
37,78
37,29
36,59
39,29
38,76
38,17
37,74
37,25
35,65
39,29
38,76
38,17
37,74
37,25
35,81
39,29
38,76
38,19
37,76
37,27
Perkembangan Perekonomian Perekonomian secara umum dapat dilihat dari PDRB Provinsi DKI
Jakarta. Dalam penelitian ini, perkembangan ekonomi dilihat dari sisi laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita. Laju pertumbuhan ekonomi
76
digunakan untuk melihat perkembangan PDRB DKI Jakarta dari tahun ke tahun, sedangkan
pendapatan
perkapita
digunakan
untuk
melihat
gambaran
kesejahteraan yang diukur dari pendapatan seseorang. Dari sisi laju pertumbuhan ekonomi, laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2002 hingga tahun 2007 selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2002, laju pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta adalah 4,76 persen dan naik menjadi 5,29 persen pada tahun 2003. Pada tahun-tahun berikutnya kembali terjadi penaikan menjadi 5,73 persen pada tahun 2004, 5,98 persen pada tahun 2005, 6,03 persen pada tahun 2006, dan 6,40 persen pada tahun 2007. Pada tahun 2008 terjadi penurunan laju pertumbuhan menjadi 6,05 persen dan pada tahun 2009 turun kembali menjadi 4,88 persen. Tabel 4.5. Laju pertumbuhan PDRB DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Persen) KOTA
2002
2003
Jakarta 4,61 5,58 Selatan Jakarta 4,89 5,26 Timur Jakarta 4,74 5,18 Pusat Jakarta 4,87 5,26 Barat Jakarta 4,75 5,23 Utara DKI 4,76 5,29 JAKARTA Sumber: BPS, 2011 (diolah)
2004
2005
2006
2007
2008
2009
5,59
5,67
6,27
6,41
6,21
5,34
5,75
6,04
5,93
6,35
5,69
4,60
6,00
6,08
6,03
6,50
6,35
5,43
5,48
6,03
5,95
6,33
5,97
4,98
5,75
6,02
5,90
6,36
5,81
4,03
5,73
5,98
6,03
6,40
6,05
4,88
Dilihat dari pendapatan perkapita, perekonomian DKI Jakarta mengalami peningkatan walaupun belum terlalu banyak. Pada tahun 2002, pendapatan perkapita penduduk DKI Jakarta adalah 33,27 juta rupiah lalu mengalami
77
penurunan menjadi 29,96 juta rupiah pada tahun 2003. Pada tahun-tahun berikutnya hingga tahun 2009, pendapatan perkapita DKI Jakarta secara perlahan mengalami peningkatan. Pada tahun 2004, pendapatan perkapita DKI Jakarta adalah 31,38 juta rupiah, mengalami peningkatan pada tahun 2005 menjadi 32,93 juta rupiah. Hingga tahun 2009, pendapatan perkapita penduduk DKI Jakarta mengalami peningkatan yaitu mencapai 39,86 juta rupiah pada tahun 2009. Tabel 4.6. Pendapatan Perkapita Provinsi DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Juta Rupiah) KOTA
2002
2003
Jakarta 32,98 30,53 Selatan Jakarta 20,54 18,75 Timur Jakarta 69,65 75,82 Pusat Jakarta 23,94 19,44 Barat Jakarta 40,13 34,37 Utara DKI 33,27 29,96 JAKARTA Sumber: BPS, 2011(diolah) 4.5.
2004
2005
2006
2007
2008
2009
31,54 32,65 33,97 35,41
36,88
38,53
19,78 20,93 22,12 23,48
24,76
25,69
80,29 85,10 90,15 95,95
10,96
10,61
20,16 21,03 21,91 22,93
23,94
24,92
36,29 38,42 40,62 43,16
45,59
47,03
31,38 32,93 34,58 36,45
38,31
39,86
Perkembangan PDRB Sektoral PDRB sektoral menggambarkan kinerja dari sektor ekonomi yang ada di
DKI Jakarta. Sektor yang dipilih untuk merepresentasikan DKI Jakarta adalah sektor industri dan sektor jasa. Hal ini dilakukan karena sektor industri dan jasa merupakan dua sektor yang mempunyai pengaruh/share yang besar dalam perekonomian. Secara keseluruhan, pada sektor industri, PDRB mengalami peningkatan. Pada tahun 2002, PDRB sektor industri mencapai 44 trilyun rupiah dan naik
78
menjadi 46 trilyun rupiah pada tahun 2003. Pada tahun 2004 PDRB sektor industri mencapai 48,6 trilyun rupiah dan mengalami peningkatan menjadi 51 trilyun rupiah pada tahun 2005. PDRB sektor industri terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2009 mencapai 57,7 trilyun rupiah. Tabel 4.7. PDRB Sektor Industri DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Milyar Rupiah) KOTA Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI JAKARTA
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
973
1.094
1.125
1.182
1.251
1.337
1.416
1.486
16.028
16.646
17.563
18.441
19.186
20.017
20.543
20.587
976
1.087
1.160
1.181
1.200
1.229
1.259
1.303
3.602
3.754
3.943
4.122
4.278
4.481
4.647
4.683
22.505
23.601
24.803
26.045
27.309
28.598
29.781
29.705
44.084
46.182
48.594
50.972
53.224
55.664
57.647
57.766
Sumber: BPS, 2011 (diolah) Hal yang sama ditunjukan oleh sektor jasa. PDRB sektor jasa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sejak tahun 2002 hingga tahun 2009. Pada tahun 2002, PDRB sektor jasa DKI Jakarta adalah 29,4 trilyun rupiah dan meningkat menjadi 30,6 trilyun rupiah pada tahun 2003. Pada tahun 2004, PDRB sektor jasa kembali mengalami peningkatan menjadi 31,9 trilyun rupiah dan pada tahun 2005 menjadi 33,4 trilyun rupiah. Lalu, pada tahun-tahun berikutnya PDRB sektor jasa DKI Jakarta terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2009 mencapai nilai sebesar 41 trilyun rupiah.
79
Tabel 4.8. PDRB Sektor Jasa DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Milyar Rupiah) KOTA
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Jakarta Selatan
6.904
7.202
7.503
7.892
8.308
8.830
9.375
9.895
Jakarta Timur
4.856
4.923
5.036
5.216
5.496
5.739
6.048
6.392
Jakarta Pusat
9.211
9.785
10.204
10.706
11.168
11.851
12.581
13.284
Jakarta Barat
4.843
4.971
5.248
5.506
5.773
6.022
6.311
6.291
Jakarta Utara
3.591
3.741
3.907
4.089
4.305
4.545
4.828
5.149
DKI JAKARTA
29.405
30.622
31.898
33.409
35.050
36.987
39.143
41.011
Sumber: BPS, 2011 (diolah) 4.6.
Perkembangan Tenaga Kerja Sektoral Keadaan tenaga kerja sektoral akan menggambarkan bagaimana
penyeberan tenaga kerja yang bekerja pada sektor perekonomian. Dalam penelitian ini dipilih sektor industri dan sektor jasa karena kedua sektor tersebut merupakan sektor yang memiliki pengaruh/share yang cukup besar terhadap PDRB, sehingga diharapkan hal tersebut sejalan dengan banyaknya tenaga kerja yang terserap dalam sektor tersebut. Pada sektor industri, penyerapan tenaga kerja cukup banyak. Penyerapan tenaga kerja pada sektor ini dari tahun ke tahunnya mengalami fluktuasi yang tidak dapat ditentukan. Pada tahun 2002, sektor ini menyerap 643565 pekerja dan mengalami peningkatan pada tahun 2003 menjadi 661728. Lalu kembali mengalami peningkatan yaitu menyerap 730025 pekerja pada tahun 2004 yang kemudian turun menjadi 705873 pekerja pada tahun 2005. Pada tahun 2006 terjadi
80
penurunan yang cukup pesat yaitu menjadi 556086 pekerja, tetapi naik kembali pada tahun berikutnya pada tahun berikutnya menjadi 708434. Hingga tahun 2009, penyerapan pekerja pada sektor industry mengalami penurunan, yaitu 672652 pekerja pada tahun 2008 kemudian 667589 pada tahun 2009. Tabel 4.9. Jumlah Tenaga Kerja Sektor Industri Provinsi DKI Jakarta Menurut Kabupaten/Kota, 2002 – 2009 (Jiwa) KOTA
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Jakarta Selatan
72.980
80.884
73.572
68.294
63.451
74.745
74.256
80.815
Jakarta Timur
214.896
208.744
202.735
211.142
159.432
178.681
185.740
166.344
Jakarta Pusat
40.656
40.832
41.343
39.325
37.352
32.697
40.686
39.428
Jakarta Barat
161.824
185.000
230.024
249.040
158.603
255.968
226.482
234.987
Jakarta Utara
153.209
146.268
182.351
138.072
137.248
166.343
145.488
146.015
DKI JAKARTA
643.565
661.728
730.025
705.873
556.086
708.434
672.652
667.589
Sumber: BPS, 2011 (diolah) Pada sektor jasa, penyerapan tenaga kerja yang terjadi cenderung lebih banyak daripada penyerapan pada sektor industri. Pada sektor jasa, secara umum dapat dikatakan mengalami peningkatan dalam penyerapannya. Pada tahun 2002, sektor ini menyerap sekitar 770 ribu tenaga kerja. Walaupun menurun pada tahun berikutnya menjadi 760 ribu tenaga kerja, tetapi pada tahun 2004 mengalami peningkatan menjadi 800 ribu tenaga kerja dan berlanjut hingga tahun 2005 menjadi 840 ribu tenaga kerja. Walaupun pada dua tahun setelahnya mengalami penurunan, namun penurunan yang terjadi tidak terlalu drastis. Pada tahun 2008 kembali mengalami peningkatan dan pada tahun 2009 penyerapan tenaga kerja menjadi satu juta tenaga kerja.
81
Table 4.10. Jumlah Tenaga Kerja Sektor Jasa Provinsi DKI Jakarta Menurut Kabupaten/Kota, 2002 – 2009 (Jiwa) KOTA
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Jakarta Selatan
195.444
194.472
219.929
251.248
229.030
232.086
271.853
275.409
Jakarta Timur
222.640
232.800
238.877
220.240
269.019
243.159
281.576
269.682
Jakarta Pusat
92.400
95.480
85.235
80.017
94.638
79.727
102.642
100.249
Jakarta Barat
148.598
142.800
152.858
171.436
112.160
173.576
228.637
213.687
Jakarta Utara
114.380
102.000
108.479
123.752
129.647
104.897
131.359
149.397
DKI JAKARTA
773.462
767.552
805.378
846.693
834.494
833.445
1.016.067
1.008.424
Sumber: BPS, 2011 (diolah)
82
V.
5.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Model Regresi Data Panel Pada penelitian ini, dalam pengolahan data tentang kategori penduduk
miskin definisi yang digunakan adalah definisi menurut BPS dengan perhitungan menggunakan garis kemiskinan. Penggunaan definisi ini dilakukan untuk memudahkan dalam mengkategorikan penduduk miskin dan memperoleh data penduduk miskin itu sendiri. Tabel 5.1. Hasil Estimasi Koefisien Data Panel Metode Fixed Effect Model (FEM) Variabel
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
-38.838290
14.324190
-2.711378
0.0117
AMH
-0.395983
0.153703
2.576286
0.0160
PDDK
0.054507
0.081780
0.666503
0.5110
KTG
0.026701
0.070208
0.380313
0.7068
PPKPT
-0.021133
0.033267
-0.635252
0.5308
PDRB
-0.360355
0.164858
2.185852
0.0380
PIND
-0.124330
0.060861
2.042846
0.0513
PJASA
0.117441
0.236696
0.496167
0.6239
TKIND
-1.005960
0.388419
-2.589885
0.0155
TKJASA
0.067521
0.371022
0.181988
0.8570
Weighted Statistics R-squared
0.8359580
Mean dependent var
8.309058
Adjusted R-squared
0.7539380
S.D. dependent var
3.286603
S.E. of regression
1.1510610
Sum squared resid
34.44848
10.1920300
Durbin-Watson stat
2.235633
F-statistic Prob(F-statistic)
0.0000000 Unweighted Statistics
R-squared
0.859576
Sum squared resid
9.142328
Mean dependent var Durbin-Watson stat
3.95325 1.888106
Persamaan regresi data panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan. Data yang digunakan dalam persamaan regresi adalah data panel yang berasal dari data sekunder BPS yang merupakan data Provinsi DKI Jakarta menurut kabupaten/kota selama periode 2002-2009,
83
tidak termasuk dengan Kabupaten Kepulauan Seribu. Tabel 5.1 menyajikan hasil estimasi koefisien regresi dari model data panel pada persamaan
spesifikasi
model. Dalam model data panel dengan dua metode estimasi tersebut, terlihat bahwa FEM lebih baik daripada PLS. Hal ini tercermin dari nilai statistik uji Chow (10,94) yang signifikan pada taraf uji 10 persen dengan p-value 0,000, artinya cukup bukti untuk menolak hipotesis Ho yang berarti model yang terbaik digunakan adalah FEM. Uji model FEM secara keseluruhan valid dalam taraf signifikan 10 persen yang ditunjukan dengan nilai statisti uji F (10,19) dan pvalue sebesar 0,0000. Model dalam persamaan tersebut dapat digunakan untuk mengalalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,8596 berarti keragaman tingkat kemiskinan yang dapat dijelaskan oleh variabel dalam model sebesar 85,96 persen, sedangkan sisanya (14,04 persen) dipengaruhi oleh faktor lain. Dalam pengolahan data panel, pengujian Hausman test tidak dilakukan, hal ini dikarenakan data cross section yang digunakan dalam paenelitian ini lebih sedikit daripada variabel, sehingga tidak dihasilkan output dari hasil estimasi Random Effect Model (REM). Model FEM dengan mengakomodasi perbedaan karakteristik individu (kabupaten/kota) dan waktu (tahun) menjadi bagian dari intersep. Efek individu dalam model menunjukan adanya perbedaan karakteristik tingkat kemiskinan tiap kabupaten/kota dalam model dan dimasukan sebagai bagian dari intersep dalam menginterpretasikan model untuk tiap kabupaten/kota. Sedangkan efek waktu menunjukan adanya perbedaan karakteristik tingkat kemiskinan tiap tahun dan
84
dimasukan sebagai bagian dari intersep. Namun kedua efek tersebut tidak memberikan pengaruh pada nilai koefisien parameter.
5.2.
Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel, maka variabel yang
memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta adalah angka melek huruf, laju pertumbuhan ekonomi, PDRB sektor industri, dan tenaga kerja sektor industri yang secara umum digambarkan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2. Hasil Estimasi Koefisien Data Panel Metode Fixed Effect Model (FEM) Variabel Koefisien Std. Error Prob. Keterangan AMH -0.395983 0.153703 0.0160 Signifikan* PDDK 0.054507 0.081780 0.5110 Tidak Signifikan KTG 0.026701 0.070208 0.7068 Tidak Signifikan PPKPT -0.021133 0.033267 0.5308 Tidak Signifikan LAJU -0.360355 0.164858 0.0380 Signifikan* PIND -0.124330 0.060861 0.0513 Signifikan** PJASA 0.117441 0.236696 0.6239 Tidak Signifikan TKIND -1.005960 0.388419 0.0155 Signifikan* TKJASA 0.067521 0.371022 0.8570 Tidak Signifikan *Signifikan pada taraf nyata 5% **Signifikan pada taraf nyata 10% Variabel yang bersifat demografi seperti kepadatan penduduk dan tingkat ketergantungan tidak signifikan memengaruhi tingkat kemiskinan di DKI Jakarta. Dari hasil tersebut menunjukan bahwa semakin padatnya penduduk di DKI Jakarta tidak akan menambah angka kemiskinan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa ketika kepadatan semakin tinggi tidak selalu disebabkan karena angka kelahiran yang tinggi, tetapi dapat disebabkan karena arus migrasi masuk ke DKI Jakarta yang semakin tinggi. Para urban yang masuk ke Jakarta akan menjadi sumberdaya manusia yang baru bagi Jakarta itu sendiri, sehingga memungkinkan terjadinya
85
banyak penyerapan tenaga kerja. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 4.9 dan Tabel 4.10 pada Bab Gambaran Umum yang memperlihatkan bahwa terjadi penyerapan tenaga kerja pada setiap tahunnya pada sektor industri dan sektor jasa. 5.2.1. Angka Melek Huruf Pendidikan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan. Dalam model ini ditunjukan oleh angka melek huruf. Berdasarkan tabel estimasi, angka melek huruf mempunyai pengaruh terhadap pengurangan kemiskinan, dengan koefisien -0,396. Hal ini berarti setiap kenaikan satu persen angka melek huruf akan mengurangi kemiskinan sebesar 0,396 persen, dengan asumsi cateris paribus. Hasil estimasi tersebut menunjukan pentingnya peran pendidikan sebagai investasi modal manusia (human capital) dalam upaya pengurangan kemiskinan. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk suatu daerah masih menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tingginya jumlah penduduk miskin daerah tersebut dan dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya lingkaran setan kemiskinan. Menurut Bank Dunia (2006), rendahnya tingkat pendidikan penduduk miskin akan menyebabkan produktivitas rendah, produktivitas yang rendah akan membuat output dan pendapatan rendah, sehingga terjadi kemiskinan. Rumah tangga miskin akan kesulitan untuk membiayai anak-anaknya sekolah sehingga akan melahirkan generasi selanjutnya yang berpendidikan rendah dan menimbulkan kemiskinan baru. Dengan demikian, salah satu upaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan sekaligus memotong rantai kemiskinan adalah dengan meningkatkan pendidikan penduduk miskin.
86
Pengentasan kemiskinan dalam bidang pendidikan pernah dilakukan pemerintah DKI Jakarta dengan memberikan program Bantuan Operasional Sekolah. Tetapi pada kenyataannya, program BOS yang telah dijalankan tidak efektif untuk mengurangi angka kemiskinan, karena program BOS sangat berlaku secara umum. Dana bantuan yang diberikan adalah untuk siswa yang telah ada di bangku sekolah untuk dapat melanjutkan sekolahnya dan mengurangi angka putus sekolah guna keberhasilan program yang lainnya, yaitu program wajib belajar 9 tahun. Namun pada kenyataannya, dana bos yang diberikan, salah satunya dalam bentuk beasiswa, kebanyakan bukan untuk orang miskin dan sering terjadi penyelewengan dalam penggunaan dana BOS. 5.2.2. Perekonomian Faktor lainnya yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta adalah dilihat dari sisi perekonomian yang tercerminkan pada laju pertumbuhan ekonomi. Diharapkan sekali bahwa di Provinsi DKI Jakarta terjadi laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan ekonomi yang besar yang sejalan dengan distribusi pendapatan pada setiap warganya yang merata. Dari hasil analisis pengolahan data panel, terlihat bahwa koefisien laju pertumbuhan ekonomi adalah -0,36. Hal ini berarti bahwa setiap terjadi kenaikan laju pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen, maka akan menurunkan tingkat kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 0,36 persen, dengan asumsi cateris paribus. Hasil yang cukup untuk menjelaskan betapa pentingnya peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dalam upaya pengurangan kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta.
87
Hal ini berarti bahwa peningkatan laju pertumbuhan ekonomi adalah penting untuk membantu usaha pemerintah dalam mengurangi jumlah penduduk miskin. Peningkatan laju pertumbuhan ini diharapkan sejalan dengan pemerataan distribusi pendapatan sehingga penduduk dapat memperoleh pelayanan publik yang meliputi pelayanan akan kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan pangan menjadi lebih mudah karena memiliki akses, dalam hal ini pendapatan, untuk menjangkaunya. Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang sejalan dengan peningkatan distribusi pendapatan akan mendorong pemerintah untuk dapat menyediakan pelayanan kebutuhan dasar yang lebih baik kepada masyarakat, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas masyarakat, yang pada akhirnya akan tercapai peningkatan investasi sumberdaya manusia yang lebih baik lagi. Pada kenyataan beberapa tahun terakhir, fokus pemerintah DKI Jakarta hanyalah pada peningkatan pertumbuhan ekonomi tanpa melihat adanya peningkatan kesejahteraan sosial. Pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai tujuan bukan dipandang sebagai alat, sehingga yang terjadi adalah programprogram yang dijalankan pemerintah hanya memengaruhi perbaikan kondisi makroekonomi tanpa memperhatikan keadaan mikro dan keadaan riil yang terjadi di masyarakat. Contohnya adalah program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Salah satu manfaat positif yang diberikan dari adanya bantuan ini adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi. Hal ini terjadi karena BLT yang diberikan adalah untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang secara agregat akan meningkatkan
88
output dan pendapatan nasional dalah jangka pendek tetapi tidak dapat mempertahankan kestabilan pertumbuhan dalam jangka panjang. Kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dilakukan pemerintah kurang efektif untuk mengurangi kemiskinan. Penyaluran bantuan tidak tepat sasaran baik karena data yang tidak valid maupun kurangnya penerapan prinsip good governance di lembaga penyaluran bantuan. Data BPS (2002-2009) menunjukan bahwa penyaluran BLT ternyata masih diterima oleh penduduk yang memiliki pendapatan di atas pendapatan rata-rata walaupun angkanya masih dibawah 10 persen. Selain itu, dari sisi psikologi, pemberian bantuan langsung ini cenderung menjadikan masyarakat miskin menjadi semakin malas untuk bekerja karena sudah terbiasa menerima bantuan. Lalu, bantuan yang diberikan seringkali tidak digunakan untuk hal investasi dalam melanjutkan kehidupan, tetapi digunakan untuk kebutuhan konsumsi yang akan habis dalam sekali penggunaannya tanpa memberikan hasil apapun dikemudian hari. Pemerintah juga menyadari bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk dan mengurangi kemiskinan, jika masih terjadi banyak ketimpangan terutapa pada pendistribusian pendapatan. Sering kali yang terjadi adalah 90 persen dari pendapatan dinikmati oleh 20 persen dari total penduduk, sedangkan sisanya yang 10 persen, dinikmati oleh 80 persen dari total penduduk satu daerah. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa penerapan pajak progresif untuk mengatasinya. Tetapi pada kenyataannya, penerapan pajak progresif juga belum efektif untuk mengurangi ketimpangan pendapatan. Penetapan pajak progresif yang
89
dilakukan baru menyentuh pada pajak progresif kendaraan, rumah, dan barang mewah lainnya. Penetapan pajak progresif belum dilakukan pada pendapatan. Lalu, penerapan pajak progresif juga menyebabkan trade-off kebijakan yang merugikan bagi pengusaha. Hal ini disebabkan, apabila pajak progresif diterapkan pada pendapatan, maka akan menimbulkan pembengkakkan biaya produksi, karena akan lebih banyak lagi biaya yang dikeluarkan untuk membayar pegawai. Pembengkakan biaya produksi akan membuat pengusaha untuk lebih melakukan penekanan pada inputnya, salah satunya adalah dengan mengurangi tenaga kerja. 5.2.3. PDRB Sektoral Besarnya pengaruh peningkatan PDRB sektoral dapat dilihat dari besarnya nilai koefisien parameter yang juga menunjukan nilai estimasinya. Berdasarkan Tabel 5.3, PDRB sektoral pada sektor industri mempunyai pengaruh yang nyata terhadap pengurangan kemiskinan, dengan pengaruh sebesar -0,124. Hal ini berarti bahwa setiap terjadi kenaikan PDRB sektor industri sebesar 1 trilyun rupiah, maka akan mengurangi 0,124 persen tingkat kemiskinan, dengan asumsi cateris paribus. Peningkatan produktivitas seluruh sektor mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya pengurangan kemiskinan di DKI Jakarta, terutama sektor jasa dan industri. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Suparno (2010) bahwa salah satu yang mempunyai andil besar dalam upaya menurunkan kemiskinan adalah peningkatan di sektor jasa dan sektor industri. Hasil ini sejalan pula dengan temuan Suryahadi (2006) yang menyatakan bahwa
90
pertumbuhan pada sektor jasa di perkotaan memberikan nilai elastisitas kemiskinan yang tinggi di semua sektor. Hal ini terjadi karena di DKI Jakarta sektor yang menjadi sektor unggulan adalah industri sehingga memberikan share yang cukup banyak di seluruh perekonomian di DKI Jakarta. Hasilnya akan menyebar ke seluruh bidang kehidupan termasuk pada penguragan tingkat kemiskinan. Perlu adanya penekanan kembali pada kebijakan pemerintah DKI Jakarta dalam upaya mengurangi kemiskinan yang kaitannya dalam produktivitas sektor ekonomi. Dalam sektor industri, pemerintah berfokus pada perindungan pengusaha dalam negeri. Pemerintah menerapkan kebijakan yang menghalangi masuknya investor dari luar luar. Dalam satu sisi, kebijakan berupa hambatan-hambatan dengan subsidi ekspor dan subtitusi impor dapat melindungi pengusaha dalam negeri, tetapi juga akan menghambat adanya investor yang masuk, yang pada akhirnya berdampak pada kondisi persaingan di pasar. Persaingan yang terjadi tidak membuat pengusaha lokal bergairah untuk lebih melakukan efisiensi pada peningkatan kualitas dan nilai tambah, melainkan persaingan yang terjadi adalah persaingan pada tingkat harga. Kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang terlalu memanjakan pengusaha dan jika berlangsung secara berkelanjutan, maka peningkatan pertumbuhan pada sektor industri tidak akan terjadi dan tidak akan memacu pada pengurangan tingkat penduduk miskin. 5.2.4. Tenaga Kerja Sektoral Tenaga kerja sektoral khususnya sektor industri memengaruhi tingkat kemiskinan di DKI Jakarta. Sektor industri menjadi pilihan masyarakat DKI
91
Jakarta karena adanya peralihan pembangunan ekonomi yang sudah lama terjadi di DKI Jakarta dari sektor pertanian yang sudah lama ditinggalkan ke arah industri. Pengaruh penyerapan tenaga kerja sector industri dapat dilihat dari koefisien tenaga kerja sektor industri yaitu -1,005 yang berarti bahwa setiap terjadi penambahan 100000 tenga kerja akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 1,005 persen. Hubungan negatif antara tenaga kerja sektoral khususnya industri dengan tingkat kemiskinan, seharusnya dapat dijadikan suatu tolak ukur dan pertimbangan pemerintah untuk membuat dan menerapkan kebijakan di DKI Jakarta. Hal ini dikarenakan keterlibatan tenaga kerja pada sektor yang pas dengan sendirinya akan meningkatkan kesejahteraan keluarga para pekerja. Mereka akan lebih mampu untuk mengakses kebutuhan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Penyediaan lapangan kerja pada sektor industri akan memberikan kesempatan pada masyarakat merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah DKI Jakarta untuk menanggulangi kemiskinan. Kebijakan
pemerintah
dengan
mengeluarkan
Upah
Minimum
Provinsi/Regional (UMP) tidak efektif dalam menurunkan angka kemiskinan. Sebaliknya, penerapan UMP tersebut cenderung akan membuat pengusaha untuk lebih mengurangi inputnya, salah satunya adalah tenaga kerja, untuk mengurangi biaya produksinya yang dialokasikan pada peningkatan upah pekerja. Tujuan awal pemerintah menerapkan UMP adalah untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja. Ketika kesejahteraan meningkat, para pekerja mampu membiayai hidupnya dan hidup keluarganya sehingga dapat memperoleh
92
kehidupan yang lebih layak. Kualitas hidup yang lebih baik tersebut diharapkan akan mampu membuat pekerja dan keluarganya mengakses kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, pangan dan perumahan. Tetapi pemerintah melupakan satu hal, yaitu ketika upah pekerja dinaikan, dampak bagi pengusaha adalah
meningkatkan
biaya
input,
maka
pengusaha
akan
mengurangi
pembengkakan pembiayaan jika upah dinaikan, yaitu salah satunya adalah dengan mengurangi tenaga kerja. Selanjutnya yang terjadi adalah peningkatan pengangguran dan memperbesar angka kemiskinan.
5.3.
Formulasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan
5.3.1. Program Pengantasan Buta Huruf Pendidikan menjadi salah satu faktor yang penting bagi pemerintah DKI Jakarta dalam upaya menanggulangi kemiskinan. Dalam penelitian ini, tercermin oleh variabel angka melek huruf. Pemerintah DKI Jakarta harus dapat lebih mengembangkan lagi program-program serta kebijakan untuk memberantas buta huruf. Di DKI Jakarta sendiri, pada tahun 2008 masih terdapat penduduk DKI Jakarta yang buta huruf sebesar 0,82 persen atau sekitar 72.553 penduduk. Salah satu program yang dapat dilakukan adalah dengan lebih menjalankan program Keaksaraan Fungsional. Tujuan utama yang ingin dicapai dari program ini adalah mengurangi jumlah penduduk yang buta huruf. Setelah penduduk mengikuti program Keaksaraan Fungsional, maka selanjutnya akan diberikan Surat Keterangan Melek Aksara (SUKMA) yang nantinya dapat digunakan untung melanjutkan ke program Kejar Paket A, B dan C. Programprogram tersebut diperuntukan untuk membantu penduduk miskin mendapatkan
93
pendidikan dasar. Selain untuk memperoleh sertifikat dan ijazah kesetaraan dengan ijazah SD, SMP, dan SMA, program tersebut juga diharapkan dapat menambah keterampilan yang dapat dijadikan sebagai modal dasar untuk memperbaiki kehidupannya. Hal ini berkaitan dengan peningkatan dan investasi sumberdaya dalam upaya memperoleh sumber daya yang berkualitas dan memiliki produktivitas yang baik. Untuk menjalankan program-program tersebut, yang perlu dilakukan pemerintah adalah perbaikan dalam metode pengumpulan data rumah tangga miskin. Pengumpulan metode tersebut perlu dilakukan dengan melibatkan seluruh pihak yang terkait baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Penentuan rumah tangga miskin perlu dirumuskan lebih komprehensif agar dapat menggambarkan sepenuhnya keadaan riilnya. Setelah itu, pemerintah perlu melakukan sosialisasi kepada penduduk miskin, salah satunya adalah dengan terjun langsung, untuk memberitahukan akan pentingnya pendidikan khususnya keaksaraan bagi setiap orang sehingga dapat memperbaiki kualitas hidupnya. Dalam tatanan implementasi perlu didukung dengan tata kelola yang baik dan dilakukan pendampingan baik dalam penyaluran maupun pemanfaatan bantuan sehingga lebih tepat sasaran. Pemerintah harus mampu menyediakan tim pelaksana program pemberantasan buta aksara. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Banyak LSM yang konsen terhadap masalah pendidikan penduduk miskin akan menolong upaya pemerintah tersebut. Maka, kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat sangatlah penting untuk membantu pemberantasan buta aksara.
94
5.3.2. Program Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Pengentasan kemiskinan akan mudah dilakukan bila dibarengi dengan peningkatan laju pertumbuhan. Laju pertumbuahan DKI Jakarta pada lima tahun terakhir jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan Indonesia tidak mengalami perbedaan yang cukup besar. Pada beberapa tahun seperti pada tahun 2005, 2007 dan 2008, pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta lebih baik dari pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa keadaan perekonomian DKI Jakarta sudah cukup baik. Maka dengan perbaikan laju pertumbuhan ekonomi, diharapakan akan sejalan dengan adanya pengurangan angka kemiskinan di DKI Jakarta.
Sumber: BPS, 2010 Gambar. 5.1. Perbandingan Laju PDB Indonesia dan Laju PDRB DKI Jakarta Perbaikan laju pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta akan lebih efektif jika kita mengetahui hal apa saja yang dapat membuat pertumbuhan ekonomi menjadi lebih baik. Salah satu caranya adalah dengan melihat nilai PDRB pada sembilan sektor ekonomi yang ada di DKI Jakarta. Berdasarkan tabel Input-
95
Output tahun 2006, tiga sektor teratas yang dapat dikatakan sebagai sektor kunci adalah sektor industri pengolahan; sektor listrik, gas, dan air; dan sektor keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah, dan jasa perusahaan. Penerapan kebijakan yang tepat pada ketiga sektor tersebut, tidak hanya akan berdampak pada sektor tersebut saja, tetapi juga akan berdampak pada sektor lainnya. Hal ini karena adanya keterkaitan ke depan dan keterkaitan ke belakang yang disebabkan oleh ketiga sektor tersebut yang mampu mendorong pertumbuhan pada sektor-sektor lainnya. Tabel 5.3. Sektor Andalan (Leading Sectors) Provinsi DKI Jakarta Berdasarkan Koefisien Penyebaran dan Kepekaan Penyebaran Sektor Koefisien Kepekaan Penyebaran Penyebaran Pertanian 0,412545 0,641871 Pertambangan dan Penggalian 0,345008 0,713544 Industri Pengolahan 1,799486 1,383143 Listrik, Gas dan Air Bersih 1,484788 2,431810 Bangunan 0,991675 0,585315 Perdagangan 0,607689 1,239952 Pariwisata 0,949318 0,654630 Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan 1,014974 1,020320 Jasa-jasa 1,394514 0,329412 Sumber: Tabel Input-Output Provinsi DKI Jakarta Tahun 2006, Klasifikasi 9 sektor (diolah)
Pengoptimalan sektor listrik, gas, dan air bersih di DKI Jakarta dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi produksi dan kualitas pada sektor tersebut. Pemilihan input dan sumber daya yang tepat dengan sendirinya akan menekan biaya produksi. Selanjutnya, pelayanan dan perbaikan kualitas harus ditingkatkan, contohnya adalah membuat sektor tersebut dapat menjangkau daerah-daerah yang memiliki sumber ekonomi yang tinggi sehingga dapat mendorong masuknya investasi.
96
Pada sektor keuangan, perbankan, dan jasa perusahaan perlu adanya peningkatan dalam penyediaan output sektor ini. Output dari sektor ini tidak lain adalah jasa dan pelayanan, sehingga kunci utama untuk membangun pesatnya sektor ini adalah kepercayaan dan kepuasan. Maka perlu adanya sumber daya yang terampil dan terlatih untuk bekerja pada sektor ini. Penciptaan sumber daya yang terampil dan terlatih untuk bekerja pada sektor tersebut dapat dilakukan dengan mengembangkan lebih lanjut sekolah-sekolah kejuruan (SMK) dan program keahlian dan profesi (Diploma). SMK dan Diploma dinilai mampu menghasilkan sumber daya yang terampil dan terlatih yang sesuai dibidangnya. Adanya pengembangan program kejuruan dan program keahlian dan profesi tidak hanya menguntungkan bagi pengusaha tetapi juga menguntungkan bagi pencari kerja. Pengusaha tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk pelatihan bagi calon pekerjanya, karena apa yang telah didapat sewaktu di SMK atau di Diploma cukup untuk bekerja. Bagi pekerja, khususnya bagi mereka yang kurang mampu untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, dengan program keahliannya mampu untuk bersaing dalam mencari kerja khususnya persaingan dalam bidangnya. Tujuan lain adalah lulusan SMK dan Diploma, dengan keahliannya mampu menjadi entrepreneur dan menciptakan lapangan kerja baru. Peningkatan
pertumbuhan
ekonomi
akan
efisien
menanggulangi
kemiskinan apabila sejalan dengan pemerataan distribusi pendapatan. Kebijakan yang tepat dalam upaya pemerataan distribusi pendapatan adalah melakukan optimalisasi terhadap mekanisme pemungutan pajak. Hal tersebut dilakukan untuk benar-benar dapat mengumpulkan pajak dari para wajib pajak. Demi kelancaran
97
keberlangsungan penarikan pajak, penegakan hukum tentang masalah perpajakan perlu dilakukan agar para wajib pajak patuh dalam menjalankan kewajibannya membayar pajak. Hasil dari pengumpulan pajak ini nantinya digunakan untuk disalurkan pada pelayanan-pelayanan publik, khususnya diperuntukan bagi penduduk miskin. Pelayanan-pelayanan publik antara lain adalah akses terhadap kesehatan, pendidikan, pangan, dan perumahan. Dengan pelayanan publik tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup para penduduk menjadi lebih baik. 5.3.3. Program Pengembangan Sektor Industri PDRB dan tenaga kerja sektor industri yang signifikan memengaruhi kemiskinan dapat dijadikan arah bagi pemerintah dalam membuat dan menjalankan program-program serta kebijakan dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang lebih efisien. Maka, diperlukan adanya suatu iklim investasi yang lebih baik untuk lebih dapat mengembangkan sektor industri yang ada di DKI Jakarta. Tabel 5.4. Pengganda Output, Pendapatan, dan Tenaga Kerja Sektor-Sektor Perekonomian Provinsi DKI Jakarta NO 1
SEKTOR
OUTPUT
PENDAPATAN
TENAGA KERJA 1,0293249
Pertanian 1,128589 1,1244886 Pertambangan dan 2 1,099663 1,1498176 1,1429873 Penggalian 3 Industri Pengolahan 1,591497 1,7598706 1,9069743 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 1,464596 1,8363422 2,2500729 5 Bangunan 1,311587 1,3095314 1,7940794 6 Perdagangan 1,180853 1,1357401 1,0424447 7 Pariwisata 1,289354 1,2704961 1,2238581 Keuangan, Perbankan dan 1,301216 1,3121272 1,6115280 8 Jasa Perusahaan 9 Jasa-jasa 1,429034 1,2489757 1,2848118 Sumber: Tabel Input-Output Provinsi DKI Jakarta Tahun 2006, Klasifikasi 9 sektor (diolah)
98
Pada tabel Input Output, sektor industri di DKI Jakarta, sektor industri menunjukan efek pengganda yang paling besar dibandingkan dengan sektor lainnya. Hal ini berarti bahwa bila terjadi peningkatan akhir pada sektor industri, akan menghasilkan efek pengganda pada output, pendapatan dan tenaga kerja yang lebih besar jika dibandingkan apabila terjadi kenaikan permintaan akhir pada sektor lainnya. Maka, penting bagi pembuat kebijakan untuk lebih berkonsentrasi pada kebijakan yang mendorong perkembangan sektor industri. Untuk lebih meningkatkan pertumbuhan pada sektor industri, pemerintah harus mampu menciptakan iklim investasi yang baik. Iklim investasi yang baik akan menarik para investor untuk mau berinvestasi di DKI Jakarta. Perbaikan iklim investasi dapat dilakukan diantaranya: memperbaiki dan menyediakan infrastruktur yang lengkap dan menunjang bagi pengusaha; tersedianya input yang berkualitas yang mampu menunjang industri yang akan ditumbuhkan oleh investor; adanya penerapan pajak yang sesuai, yaitu tingkat pajak yang tidak terlalu membaratkan pihak investor; adanya high return expextation yang mampu diberikan oleh DKI Jakarta; managemen dan pelayanan birokrasi yang tidak menghambat investor dan cepat; serta terciptanya stabilitas ekonomi, politik dan keamanan di DKI Jakarta. Ketika iklim investasi di DKI Jakarta telah tercipta, maka akan menarik para investor untuk mau berinvestasi di DKI Jakarta. Bukan hanya investor baru, tetapi juga akan menggairahkan kembali investor yang telah ada, sehingga akan lebih mau melakukan produksi dan meningkatkan produktifitasnya, karena adanya
99
kondisi persaingan pasar yang baru yang terjadi akibat adanya investor baru yang masuk. Investor-investor yang masuk dan investor lama yang semakin berkembang akan berinvestasi di DKI Jakarta dengan modal yang besar. Modal besar ini berarti akan menggunakan input yang besar pula yang nantinya akan menghasilkan output yang besar. Output yang besar akan mendorong pertumbuhan pada sektor industri serta akan mendorong pertumbuhan pada sektor lainnya. Manfaat lain yang terjadi ketika investor-investor adalah penyerapan tenaga kerja. Ketika investor-investor baru masuk, maka akan membuka kesempatan-kesempatan kerja yang baru dan lebih banyak. Selanjutnya yang terjadi adalah penyerapan tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Dalam menyaingi investor-investor yang masuk, investor lama mau tidak mau harus mampu meningkatkan produktifitasnya, salah satunya adalah dengan penambahan tenaga kerja untuk mendorong hasil output sesuai dengan permintaan pasar. Kedua hal tersebut menggambarkan adanya penyerapan tenaga kerja akibat adanya perbaikan dalam iklim investasi. Manfaat lain adalah adanya transfer teknologi yang terjadi akibat adanya investor-investor
baru
yang
masuk.
Transfer
teknologi
perlu
untuk
mengembangkan cara produksi menuju kearah efisiensi. Tetapi, dalam penyerapan transfer teknologi yang harus diperhatikan adalah pemilihan teknologi yang akan diterapkan. Terdapat tiga macam jenis teknologi yang mungkin dapat dipelajari untuk efisiensi produksi. Teknologi bersifat netral, teknologi yang bersifat meningkatkan modal, dan teknologi yang meningkatkan tenaga kerja.
100
Maka, sebagai daerah yang kaya akan sumberdaya manusia, penyerapan teknologi harus berdasarkan penyerapan teknologi yang bersifat meningkatkan tenaga kerja. Peningkatan pertumbuhan sektor industri dan penyerapan tenaga kerja, sesuai penelitian merupakan hal yang dapat mengurangi kemiskinan di DKI Jakarta. Maka konsentrasi pemerintah dalam mengoptimalkan kedua hal tersebut akan mampu memberikan hasil yang nyata terhadap pengurangan tingkat kemiskinan di DKI Jakarta. Kebijakan dan program yang sesuai yang langsung tertuju pada akar masalah akan mempercepat pembangunan ekonomi dan pengurangan kemiskinan.
101
VI.
6.1.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang dipaparkan sebelumnya, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa faktor yang mempengaruhi kemiskinan di DKI Jakarta antara lain adalah: 1. Angka melek huruf mempengaruhi kemiskinan. Semakin tinggi angka melek huruf penduduk DKI Jakarta, maka akan menurunkan angka kemiskinan. 2. Laju pertumbuhan ekonomi mempengaruhi kemiskinan. Semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta, maka akan menurunkan angka kemiskinan. 3. PDRB sektor industri mempengaruhi kemiskinan. Semakin besar PDRB sektor industri DKI Jakarta, maka akan menurunkan angka kemiskinan. 4. Tenaga kerja sektor industri mempengaruhi kemiskinan. Semakin besar penyerapan tenaga kerja pada sektor industri di DKI Jakarta, maka akan menurunkan angka kemiskinan. Pemerintah telah menjalankan banyak kebijakan dan program-program dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Tetapi, program-program tersebut belum efektif untuk mengurangi kemiskinan secara signifikan. Program-program yang dijalankan masih berlaku secara umum dan belum mengena langsung pada sumber penyebab kemiskinan. Hasil yang terjadi adalah masih tingginya angka kemiskinan di DKI Jakarta.
102
5.2.
Saran
1. Pemerintah perlu menerapkan program-program yang langsung mengena pada sasaran kemiskinan. Program-program tersebut antara lain: (i) pemberantasan buta huruf, dapat dilakukan dengan program Keaksaraan Fungsional yang dilanjutkan dengan Program Kejar Paket A B C (ii) peningkatan pertumbuhan ekonomi, dapat dilakukan dengan fokus pembangunan pada sektor kunci (leading sector) yang ada di DKI Jakarta yang dilanjutkan dengan pemerataan distribusi pendapatan dengan pengoptimalan pemungutan pajak dan penegakan hukum (iii) penciptaan iklim investasi, dengan memperbaiki sistem birokrasi, managemen, infrastruktur, pajak serta menciptakan input/sumber daya yang mendukung, high return expectation, dan stabilitas ekonomi politik dalam negeri. 2. Analisis yang dilakukan sifatnya masih belum terperinci pada analisis makro atau analisis mikro, melainkan masih mencampurkan variabel makro dan variable mikro. Perlu dikembangkan lebih lanjut penelitian yang lebih menganalisis pengaruh mikro atau makro dengan menggunakan variabel yang dapat mewakilinya. Hal ini terkait dengan kewenangan pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam membuat kebijakan penanggulangan kemiskinan.
103
DAFTAR PUSTAKA
Adam Jr. dan Richard H. 2004. “Economic Growth, Inequality and Poverty: Estimating The Growth Elasticity of Poverty.” World Development, 32 (12), hal 1989-2014 ADB. 1999. Fighting Poverty in Asia and the Pasific: The Poverty Reduction Strategy of the Asian Development Bank. Manila. Ardaninggar. 2009. Evaluasi Implementasi Program-program Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat di Era Otonomi Daerah. http://ardaninggar.wordpress.com/2011/01/20/evaluasi-implementasiprogram-program-penanggulangan-kemiskinan-dan-pemberdayaanmasyarakat-di-era-otonomi-daerah. Bappenas. 2010. Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2009. RKP 2009. Bappenas. Jakarta. Bappenas. 2009. Penyempurnaan Rancangan Perda Kesejahteraan Sosial. Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta. Bank Dunia. 2006. The Quality of Growth. Oxford University. New York. Bank Dunia. 2006. Poverty. www.worldbank.org./depweb/beyond/beyondbw/beg bw_06.pdf. Bellinger, W. K. 2007. The Ecconomic Analysis of Public Policy. Routledge. Oxon. Bourguignon, F. 2004. The Poverty-Growth-Inequality Triangle. World Bank. Washington, DC. BPS. 2010. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Provinsi DKI Jakarta. BPS. Jakarta. BPS. 2002-2009a. Data Dan Informasi Kemiskinan. BPS. Jakarta BPS. 2002-2009b. Jakarta Dalam Angka. BPS. Jakarta BPS. 2002-2009c. Keadaan Angkatan Kerja dan Penduduk DKI Jakarta. BPS. Jakarta. BPS. 2008. Perkembangan Kesejahteraan dan Keadaan Penduduk Miskin DKI Jakarta. BPS. Jakarta.
104
Galor, O. 2000. Income Distribution and the Process of Development. Europan Economic Review, Vol. 44. pp 706-712 Hasibuan, T.G. 2006. Variabel Utama yang Mempengaruhi Kemiskinan di Provinsi Sumatra Utara. [Tesis]. UI. Jakarta. Hermanto S., dan Dwi W., 2006. Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Penduduk Miskin di Indonesia: Proses Pemerataan dan Pemiskinan. Direktur Kajian Ekonomi. IPB. Bogor. Hudayana, D. 2009. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan di Indonesia. [Skripsi]. IPB. Bogor. Indra. 2009. Analisis Hubungan Intensitas Energi dan Pendapatan Perkapita: Studi Komparatif di Sepuluh Negara Asia Pasific. [Tesis]. IPB. Bogor. Komite. 2009. Percepatan Target Penurunan Angka Kemiskinan. Majalah Komite Agustus 2009. http://catatan-sr.blogspot.com/2009/08/percepatan-targetpenurunan-angka_03.html Monvalto, J.G and M. Ravallion. 2009. The Pattern of Growth and Poverty Reduction in China. Working Paper. World bank. Washington, DC. Nasir, M, M. Saichudin dan Maulizar. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Kemiskinan Rumah Tangga di Kabupaten Purworejo. Eksekutif. Purworejo. Nurhayati, M. 2004. Analisis faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Jawa Barat. [Skripsi]. IPB. Bogor. Nurkholis. 2004. Pendidikan sebagai Innvestasi Jangka Panjang. http://www.perpus.upstegal.ac.id.id/home/easylib/?pilih=news&mod=yes &aksi=lihat&id=22 Priyarsono, D.S. H. Reinhart dan Widyastutik. 2008. Ekonomi Publik: 1-9. Universitas Terbuka. Jakarta. Ravallion, M and Lanjouw. 1994. How Important to India’s Poor is the Sectoral Composition of Growth?, World Bank Economic Review, p. 10. Sekretariat Negara. 2007. UU. No. 17 Tahun 2007. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Jakarta. Siregar, H dan D. Wahyuniarti. 2007. Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. MB-IPB. Bogor.
105
Sumodiningrat, G. 1999. Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan. IMPAC. Jakarta Suparno. 2010. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Penanggulangan Kemiskinan: Studi Pro Poor Growth Policy di Indonesia. [Tesis]. IPB. Bogor. Suryahadi, A, D. Suryadarma dan S. Sumatra. 2006. Economic Growth and Poverty Reduction in Indonesia: The Effect of Location and Sectoral Components of Growth. SMERU Research Institute. Jakarta. Tambunan, T. 2006. Perekonomian Indonesia sejak Orde Lama hingga Pasca Krisis. Pustaka Quantum. Jakarta. TKPK. 2009. Capaian Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan 2005-2009. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. Menko Kesra. Jakarta. Todaro, M. P dan S. C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid 1. Edisi 9. Alih Bahasa. Erlangga. Jakarta. TP PNPM. 2007. Pedoman Umum Program PNPM Mandiri. Menko Kesra. Jakarta. Wiraswara, A. 2005. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Angka kemiskinan di Indonesia. [Skripsi]. IPB. Bogor.
106
107
PLS Dependent Variable: MISKIN01 Method: Panel EGLS (Period weights) Date: 04/17/11 Time: 19:00 Sample: 2002 2009 Periods included: 8 Cross-sections included: 5 Total panel (balanced) observations: 40 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C AMH PDDK KTG PPKPT PDRB PIND PJASA TKIND TKJASA
4.753982 -0.082529 0.141180 0.236745 -0.011845 0.173846 0.085246 -0.216045 -1.088131 -1.070849
27.24933 0.276680 0.071029 0.100640 0.033098 0.261038 0.035174 0.370766 0.353634 0.609944
0.174462 -0.298284 1.987636 2.352391 -0.357881 0.665977 2.423577 -0.582699 -3.076996 -1.755652
0.8627 0.7675 0.0560 0.0254 0.7229 0.5105 0.0216 0.5645 0.0044 0.0894
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.773551 0.705617 0.746304 11.38671 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
4.442007 1.683565 16.70910 1.161842
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.700185 19.51952
Mean dependent var Durbin-Watson stat
3.953250 1.295447
108
FIXED Dependent Variable: MISKIN01 Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 04/17/11 Time: 19:20 Sample: 2002 2009 Periods included: 8 Cross-sections included: 5 Total panel (balanced) observations: 40 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C AMH PDDK KTG PPKPT PDRB PIND PJASA TKIND TKJASA
-38.83829 -0.395983 0.054507 0.026701 -0.021133 -0.360355 -0.124330 0.117441 -1.005960 0.067521
14.32419 0.153703 0.081780 0.070208 0.033267 0.164858 0.060861 0.236696 0.388419 0.371022
-2.711378 2.576286 0.666503 0.380313 -0.635252 2.185852 2.042846 0.496167 -2.589885 0.181988
0.0117 0.0160 0.5110 0.7068 0.5308 0.0380 0.0513 0.6239 0.0155 0.8570
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.835958 0.753938 1.151061 10.19203 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
8.309058 3.286603 34.44848 2.235633
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.859576 9.142328
Mean dependent var Durbin-Watson stat
3.953250 1.888106
109
UJI CHOW H0: PLS H1: FIXED Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects Effects Test
Statistic
Cross-section F
10.939918
d.f.
Prob.
(4,26)
0.0000
UJI KENORMALAN H0: Sisaan menyebar normal H1: Sisaan tidak menyebar normal 6
Series: Standardized Residuals Sample 2002 2009 Observations 40
5
4
3
2
1
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
1.11e-17 -0.021022 2.221805 -1.648919 0.939837 0.264946 2.496182
Jarque-Bera Probability
0.891030 0.640494
0 -1
0
1
2
110
UJI KEHOMOGENAN 3
2
1
0
-1
-2 5
10
15
20
25
30
35
40
Standardized Residuals