ANALISIS KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI PROVINSI DKI JAKARTA
Oleh:
Kamal Fuadi 105018200722
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011M/1432H
ANALISIS KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI PROVINSI DKI JAKARTA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
Kamal Fuadi 105018200722
Di bawah Bimbingan
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011M/1432H
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta” diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasyah pada hari Jum’at, 11 Maret 2011 di hadapan dewan penguji. Karena itu penulis berhak memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada Jurusan Kependidikan Islam Program Studi Manajemen Pendidikan. Jakarta, 11 Maret 2011 Panitia Ujian Munaqasyah Ketua Panitia (Ketua Jurusan KI) Drs. Rusydy Zakaria, M.Ed., M.Phil. NIP. 19560530 198503 1 002
Tanggal dan Tanda Tangan (………..……..)
(……..…..……)
(………..……..)
(………..……..)
(………..……..)
(………..……..)
(………..……..)
(………..……..)
Ketua Program Studi Manajemen Pendidikan Drs. H. Mu’arif SAM, M.Pd NIP. 19650717 199403 1 003 Penguji I Prof. Dr. H. Armai Arief, MA NIP. 19560119 198603 1 003 Penguji II Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA NIP. 19540802 198503 1 002
Mengetahui Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
LEMBAR PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Kamal Fuadi
Tempat dan Tanggal Lahir
: Tegal, 20 Maret 1986
NIM
: 105018200722
Jurusan
: Kependidikan Islam-Manajemen Pendidikan
Judul Skripsi
: Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta
Pembimbing
: Prof. Dr. Dede Rosyada, MA
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi saya ini merupakan karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, 25 Februari 2011 Penulis
Kamal Fuadi
ABSTRAKSI Kamal Fuadi, 105018200722, Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Pemerintah Indonesia memiliki komitmen untuk menyelenggarakan pendidikan demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa yang diwujudkan dengan menyelenggarakan pendidikan inklusif. Provinsi DKI Jakarta merupakan satu-satunya daerah yang mengeluarkan kebijakan khusus penyelenggaraan pendidikan inklusif yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif masih menyisakan berbagai permasalahan seperti belum adanya pemahaman mengenai kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif, belum tertampungnya anak-anak yang teridentifikasi berkebutuhan khusus dalam sekolah-sekolah inklusif dan belum tersedianya sumber daya pendidik sekolah inklusif yang memadai. Maka dari itu, penulis mengangkat permasalahan tersebut dalam skripsi yang berjudul Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta. Penelitian yang menggunakan metode kualitatif deskriptif ini berusaha untuk mendeskripsikan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif dan implementasi kebijakan tersebut di Provinsi DKI Jakarta. Peneliti melakukan wawancara dengan Kepala Bidang TK, SD, PLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Koordinator Program Opportunity for Vulnerable Children (OVC) Hellen Keller International (HKI), dan Guru Program Pendidikan Inklusif di SMP Negeri 223 Pasar Rebo Jakarta Timur dan SMA Negeri 66 Cilandak Jakarta Selatan. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa, pertama, pendidikan inklusif yang diselenggarakan di Provinsi DKI Jakarta cenderung untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program sekolah. Walaupun peserta didik dengan kecerdasan dan/atau bakat istimewa juga dimasukkan dalam salah satu peserta didik pendidikan inklusif, keberadaan mereka tidak banyak menjadi isu dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Kedua, penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak menggunakan model sebagaimana terdapat dalam literatur dan ketentuan umum pendidikan inklusif. Model hanya merupakan bagian dari strategi yang perlu diketahui dan dilaksanakan guru. Ketiga, belum semua kategori anak berkebutuhan khusus diterima menjadi peserta didik program pendidikan inklusif. Hal tersebut berkaitan dengan belum terpenuhinya sumber daya sekolah yang memadai. Keempat, penunjukkan sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta melebihi ketentuan yang ditetapkan pemerintah pusat. Kelima, Pemerintah Provinsi DKI selalu bekerja sama dengan pihak sekolah dengan memberikan pelatihan bagi guru-guru inklusi, bantuan finansial, bantuan sarana dan prasarana, dan beasiswa bagi sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Kata Kunci: Kebijakan, Pendidikan Inklusif
i
Kata Pengantar Bismillaahirrahmaanirraahiim Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang tak pernah berhenti melimpahkan rahmat dan ridla-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan. Shalawat teriring salam penulis curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, tabi’in, dan para pengikut beliau yang setia menjalankan ajaranajarannya hingga akhir zaman. Penulisan skripsi ini bukan sekadar pemenuhan kewajiban tugas akhir yang harus penulis tunaikan sebagai mahasiswa untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada Program Studi Manajemen Pendidikan Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun lebih jauh penulisan skripsi ini merupakan pembuktian penulis sebagai mahasiswa untuk menulis sebuah karya tulis di akhir masa kuliah. Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis sampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan kepada penulis baik semasa penulis berkuliah maupun semasa penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini. Dengan segala kerendahan dan ketulusan hati, penulis menghaturkan terima kasih kepada: 1.
Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dosen Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukan beliau untuk memberikan arahan selama penulis menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi
2.
Bapak Rusydi Zakaria, M.Ed., M.Phil., Ketua Jurusan Kependidikan Islam, Bapak Drs. Mu’arif SAM, M.Pd, Ketua Program Studi Manajemen Pendidikan, dan Ibu Iffah Zahriyani, S.Pd, Staf Jurusan KI-MP yang telah memberikan layanan akademik dan menjadi teman diskusi selama penulis menempuh perkuliahan
ii
3.
Bapak Drs. Syauki, M.Pd, Dosen Penasehat Akademik yang selalu memberikan saran dalam menjalani perkuliahan
4.
Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Jurusan Kependidikan Islam Program Studi Manajemen Pendidikan yang telah mendidik dan membimbing penulis dengan ketulusan, profesionalisme, dan dedikasi yang tinggi
5.
Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6.
Bapak Dr. Taufik Yudi Mulyanto, M.Pd, Kepala Dinas Pendidikan dan Ibu Drs. Septi Novida, M.Pd, Kepala Bidang TK/SD/PLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta beserta staf dan jajarannya yang telah memfasilitasi penulis untuk mengadakan penelitian di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta
7.
Bapak Drs. Sugiyono, M.Pd, M.Si, Kepala Sekolah SMA Negeri 66 Jakarta dan Bapak Dr. H.A. Otjin Kusnadie, M.Pd, Kepala Sekolah SMP Negeri 223 yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengadakan penelitian dan wawancara
8.
Ibu Fitri selaku Koordinator Program Opportunity for Vulnerable Children (OVC) Hellen Keller International (HKI) yang telah meluangkan waktu beliau untuk penulis
9.
Bapak Drs. Moh. Djazeri (alm) dan Ibu Dra. Umi Azizah, orangtua penulis yang selalu mendidik, membimbing, memberikan nasehat dan dukungan, serta doa dimanapun penulis berada
10. Fikri Ali, SE, Muthmainnah (feat. Muhammad Nidzam Ardiyan) dan Rofik Habibi, kakak-kakak penulis yang tidak pernah lelah memotivasi. Muhammad Auva Ahdi, Charis Luthfi, dan Shovia Afida, adik-adik penulis yang selalu menjadi penyemangat. Kalian yang terbaik yang penulis miliki 11. Bapak Prof. Dr. Ali Mustafa Ya’qub, MA, Khadim Ma’had ‘Aly DARUS SUNNAH, guru dan orang tua penulis, yang telah mengenalkan lebih jauh kepada penulis mengenai arti istiqamah dan totalitas dalam mendalami ilmu.
iii
Semoga Allah selalu memberikan kesehatan dan limpahan rahmat kepada beliau. 12. Sahabat-sahabat DARUS SUNNAH 2005, A. Syarif Hidayatullah, S.Th.I, Lc., Rikza Ahmad, S.Th.I, Lc., Edo Abdullah Faqih, S.Si, Lc., Fathuddin, SH.I, Lc., Agus Gunawan, S.Th.I, Lc., Zainal Muttaqin, S.Th.I, Lc., Abdul Aziz, Lc., Arya ‘Izzudin, Lc., Alvian Iqbal Zahasfan, S.SI, Lc., Ahmad Masy’ari SH.I, Rahmat, Devita Zuliati, S.Pd.I, Lc., Dida Farida, S.SI., Lc., Fajriyati Aljabhati, S.SI, Lc., Fitriyani, S.SI, Lc., dan Maryam Shofa, S.SI, Lc.. Kita adalah sahabat terbaik 13. Sahabat-sahabat AL BARKAH INSTITUTE, Syarif Zakky Azizi, Muhammad Fatkhurrahman, Rohim, Habibullah Siregar, Kurnia Aswaja, Nasihin Aziz Raharjo, dan Ana Mulyana 14. Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Kependidikan IslamManajemen Pendidikan (BEMJ KI-MP) Periode 2007-2008 yang telah bersama-sama mewarnai aktivisme kampus 15. Kawan-kawan Ikatan Mahasiswa Tegal (IMT) Ciputat. Gus Aqib Malik, Abdul Latif, Abraham Firdaus, Iqbal Kaukabuddin, Fatkhul Muin, M. Shobahur Rizqi, Zainal Muttaqin, Hendri Pradiyanto, Alimuddin Tarlay, Atfiyanah, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan di sini. Sungguh kalian menjadi saudara terbaik di perantauan 16. Teman-teman kelas A dan terutama kelas B Jurusan Kependidikan IslamManajemen Pendidikan (KI-MP) angkatan 2005. Maaf saya bukan teman yang baik Penulis menyadari bahwa skripsi sederhana ini sebagai karya tulis sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis selalu mengharapkan kritik dan saran konstruktif. namun dengan kerendahan hati, penulis sangat berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang menggeluti bidang manajemen pendidikan,
iv
minimal bagi diri penulis. Akhirnya hanya kepada Allah jua segala sesuatu penulis kembalikan. Wallaahu A’lamu Bi As Shawab.
Ciputat, 25 Februari 2011
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ................................................................. vi BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah............................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ..................................................................... 8 C. Pembatasan Masalah .................................................................... 9 D. Perumusan Masalah ..................................................................... 9 E. Manfaat Penelitian ....................................................................... 9 BAB II : KAJIAN TEORI ............................................................................ 10 A. Kebijakan .................................................................................... 10 1. Pengertian Kebijakan ............................................................. 10 2. Tahap-Tahap Kebijakan ......................................................... 14 3. Analisis Kebijakan ................................................................. 16 B. Pendidikan Inklusif 1. Pengertian Pendidikan Inklusif ............................................... 20 2. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ..................... 25 3. Model Pendidikan Inklusif ..................................................... 27 4. Komponen Pendidikan Inklusif .............................................. 31 5. Pembelajaran Model Inklusif di Kelas Reguler ....................... 35 BAB III : METODE PENELITIAN ............................................................... 39 A. Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................... 39 B. Tujuan Penelitian ......................................................................... 39 C. Metode Penelitian ........................................................................ 39 D. Sumber Data ................................................................................ 40 E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 41 F. Teknik Analisis Data ................................................................... 42
v
BAB IV : HASIL PENELITIAN .................................................................... 44 A. Gambaran Umum Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ........... 44 1. Visi dan Misi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ............. 44 a. Visi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ....................... 44 b. Misi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ....................... 44 2. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ..................................................................................... 47 a. Tugas Pokok Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta.......... 48 b. Fungsi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ................... 48 3. Tujuan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ....................... 49 4. Sasaran Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ...................... 49 5. Strategi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ...................... 49 6. Arah Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta .......... 50 7. Sasaran Strategik Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta........ 50 8. Kondisi Sekolah, Siswa, dan Guru di Lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ............................................. 51 B. Deskripsi dan Analisis Data ......................................................... 53 1. Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta ............................................................................. 53 2. Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta............................................................ 78 BAB V : PENUTUP ....................................................................................... 102 A. Kesimpulan.................................................................................. 102 B. Saran ........................................................................................... 103 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 105 DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... 109
vi
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL Gambar Gambar 1
Analisis Kebijakan yang Berorientasi pada Masalah …
Gambar 2
Prosedur Identifikasi, Evaluasi, Konfirmasi, dan
Hal. 18
Penempatan Peserta Didik dalam Pendidikan Luar Biasa …………………………………………………..
Hal. 38
Gambar 3
Jumlah Sekolah di Provinsi DKI Jakarta ……………... Hal. 51
Gambar 4
Jumlah Siswa di Provinsi DKI Jakarta ………………..
Hal. 52
Gambar 5
Jumlah Pendidik di Provinsi DKI Jakarta …………….
Hal. 53
Gambar 6
Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta …..
Hal. 62
Tabel Tabel 1
Daftar Nama TK, SD, SMP, SMA/SMK Negeri Penyelenggara Pendidikan Inklusi Provinsi DKI Jakarta ………………………………………………… Hal. 66
Tabel 2
Sebaran Sekolah Inklusif di Provinsi DKI Jakarta ……
Tabel 3
Daftar Sekolah Inklusif Penerima Subsidi Beasiswa Tahun Anggaran 2010 ………………………………...
Tabel 4
Hal. 74
Hal. 82
Daftar Nama Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif Penerima Biaya Operasional Tahun Anggaran 2009 …………………………………………………...
Tabel 5
Hal. 93
Daftar Nama Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif Penerima Dana Pendamping Tahun Anggaran 2009 …………………………………………………...
Hal. 95
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki komitmen tinggi terhadap upaya pencerdasan bangsa. Komitmen ini dibuktikan dengan pencantuman upaya pencerdasan bangsa dalam konstitusi negara sebagai salah satu hal paling mendasar yang perlu dibangun dan dikembangkan pasca kemerdekaan Indonesia. Komitmen ini kemudian dijabarkan dalam pasal UUD 1945 pasal 31 yang menyebutkan: 1. Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran 2. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang1 Realisasi komitmen yang tercantum dalam konstitusi ini diupayakan dengan menyelenggarakan pendidikan yang terdiri dari beberapa jalur, jenjang dan jenis mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Pendidikan ini diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
1
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
1
2
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa2. Dalam sekolah, salah satu komponen yang terpenting yaitu peserta didik, karena merekalah yang dijadikan subjek pembelajaran. Peserta didik memiliki keragaman baik dari segi fisik maupun kemampuan. Keragaman yang dimiliki peserta didik ini mempengaruhi proses pembelajaran sehingga perbedaan fisik dan kemampuan peserta didik membutuhkan penanganan tersendiri oleh tenaga pendidik. Pada umumnya, rata-rata peserta didik di sekolah memiliki kondisi fisik dan kemampuan yang normal. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan pemerintah. Kesulitan terjadi tatkala terdapat peserta didik yang memiliki kelainan atau kecerdasan dan bakat istimewa. Perbedaan yang demikian harus mendapat perhatian dari tenaga pendidik. Perbedaan ini seharusnya tidak menjadikan adanya diskriminasi terhadap peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah. Salah satu upaya pemerintah untuk menghindari atau bahkan menghilangkan diskriminasi dalam pendidikan yaitu dengan menyelenggarakan pendidikan yang tidak membeda-bedakan kelainan dan tingkat kecerdasan yang dimiliki peserta didik. Pendidikan yang demikian disebutkan secara eksplisit dengan istilah Pendidikan Khusus dalam Pasal 15 dan Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 15 disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang
2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
3
diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah3. Dalam Pasal 32 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 juga disebutkan istilah Pendidikan Khusus ini sebagai penjelas Pasal 15 di atas. Dalam Pasal 32 Ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa 4. Dalam kedua pasal di atas disebutkan secara jelas mengenai apa yang disebut dengan istilah Pendidikan Khusus dan siapa saja yang berhak mendapatkan pendidikan ini. Pendidikan Khusus ini memang didesain untuk mengakomodir perbedaan yang terdapat pada peserta didik. Perbedaan ini harus direspon dalam bentuk pelaksanaan pendidikan yang mampu mengelola perbedaan-perbedaan yang dimaksud dalam pasal di atas. Pemerintah Indonesia sudah sejak lama menyelenggarakan pendidikan yang secara khusus disediakan bagi peserta didik yang memiliki kelainan. Bentuk pendidikan bagi peserta didik berkelainan ini secara khusus diatur lewat Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Biasa 5. Peraturan pemerintah ini hanya mengatur pendidikan yang disediakan bagi peserta didik yang memiliki kelainan fisik dan mental. Dalam peraturan ini tidak disebutkan adanya aturan yang mengikutsertakan peserta didik yang memiliki bakat dan kecerdasan luar biasa atau istimewa. Istilah Pendidikan Luar Biasa memang selalu dikaitkan dengan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kelainan fisik dan mental. Pendidikan ini didesain secara khusus dengan membedakan dan sekaligus memisahkan peserta
3
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 5 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Biasa.
4
didik yang memiliki kelainan fisik dan mental dengan peserta didik yang tidak memiliki kelainan fisik dan mental (normal). Di Indonesia pendidikan bagi peserta didik berkelainan selama ini disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda. Sedangkan Pendidikan Terpadu adalah sekolah reguler yang menampung anak berkelainan dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang keberatan menerima anak berkelainan. Pada umumnya, lokasi SLB berada di Ibu Kota Kabupaten. Padahal anak-anak berkelainan tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa), tidak hanya di Ibu Kota Kabupaten. Akibatnya, sebagian anak-anak berkelainan, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan di atas akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar. Untuk mengantisipasi hal di atas, dan dalam rangka menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anakanak berkelainan, baik yang telah memasuki sekolah umum (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun anak-anak berkelainan yang
5
belum sempat mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 dan pasal 32 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak
berkelainan berupa
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Istilah inklusif mulai digunakan untuk menggantikan istilah pendidikan luar biasa6. Di Amerika Serikat misalnya, perubahan model pendidikan anak berkekhususan sudah berlangsung mulai tahun 70-an. Tujuan dari perubahan itu tidak lain adalah peniadaan diskriminasi pendidikan bagi populasi individu berkekhususan. Indonesia juga mengalami perkembangan yang hampir sama. Sampai saat ini terdapat banyak sekolah yang mulai membuka program pendidikan inklusif7. Yang melandasi pelaksanaan pendidikan inklusif ini secara umum adalah semangat egalitarianisme yang berarti terdapat kesempatan yang sama bagi semua anak untuk memperoleh pendidikan. Masing-masing anak harus mendapatkan pengalaman belajar yang berbeda-beda. Pengalaman yang berbeda ini tidak meniscayakan adanya pendidikan yang dipisahkan, namun berangkat dari perbedaan yang terdapat dalam individu anak 8. Menurut data Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Mandikdasmen) Departemen Pendidikan Nasional, jumlah sekolah yang 6
Ronald L. Taylor, Assesment of Exceptional Students; Educational and Psychological Procedures, (New Jersey: Pearson Education Inc., 2009), Cet. Ke-8, h. 4-6. 7 Agnes Tri Harjaningrum, dkk., Peranan Orang Tua dan Praktisi dalam Membantu Tumbuh Kembang Anak Berbakat Melalui Pemahaman Teori dan Tren Pendidikan, (Jakarta: Prenada, 2007), h. 8-9. 8 Louis A. Fliegler, “Curriculum Implementation” dalam Curriculum Planning for The Gifted, (New Jersey: Prentice Hall Inc., 1961), h. 372-373.
6
menyelenggarakan pendidikan Inklusif yaitu sebanyak 814 sekolah dengan jumlah siswa mencapai 15.1819. Secara operasional, aturan mengenai sekolah inklusif ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Selain itu, pemerintah melalui Dirjen Mandikdasmen juga telah mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Mandikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif10. Aturan terbaru yang mengatur pendidikan inklusif yaitu Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Selaras dengan semangat otonomi daerah, pengelolaan pendidikan inklusif didasarkan atas Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Penyelenggaraan pendidikan inklusif di tingkat daerah juga telah memiliki payung hukum tingkat daerah. Sebagai ibukota Indonesia dan memiliki otonomi, Daerah Khusus Ibukota Jakarta memiliki aturan penyelenggaraan pendidikan inklusif lewat Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. Sampai saat ini, Provinsi DKI Jakarta sudah memiliki 164 Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dari mulai tingkat TK, SD, SMP, dan SMA/SMK. Secara terperinci jumlah tersebut terdiri dari TK sebanyak 3, SD sebanyak 120, SMP sebanyak 31, dan SMA/SMK sebanyak 10 11. Jumlah ini bukanlah jumlah ideal sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam Pergub Nomor 116 Tahun 2007. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa setiap kecamatan sekurangkurangnya memiliki 3 (tiga) TK/RA, SD/MI dan 1 (satu) SMP/MTs yang
9
Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Policy Brief, Sekolah Inklusif; Membangun Pendidikan Tanpa Diskriminasi, No. 9. Th.II/2008, Departemen Pendidikan Nasional, h. 5. 10 Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, h. 13. 11 Lampiran Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Nomor 1190/2010 Tentang Penunjukkan Nama-nama TK, SD, SMP, dan SMA/SMK Penyelenggara Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010.
7
menyelenggarakan pendidikan inklusi. Setiap kotamadya sekurang-kurangnya memiliki 3 (tiga) SMA/SMK atau MA/MAK yang menyelenggarakan pendidikan inklusi12. Provinsi DKI Jakarta memiliki 5 kotamadya dan 1 kabupaten dengan 44 kecamatan13. Dengan 5 kotamadya dan kabupaten serta kecamatan sebanyak itu, seharusnya jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, sesuai dengan Pergub Nomor 116 Tahun 2007, di tingkat TK/RA dan SD/MI adalah sebanyak 132 sekolah. Jumlah SMP/MTs sebanyak 44 sekolah dan jumlah SMA/SMK dan MA/MAK sebanyak 15 Sekolah. Selain jumlah yang belum memenuhi kondisi ideal yang seharusnya, penyelenggaraan pendidikan inklusi juga masih menemui berbagai kendala. Dalam salah satu laporan penelitian berjudul Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, disebutkan bahwa efektifitas pendidikan inklusif masih dapat dilihat dinamikanya hanya di tingkat SD, karena di tingkat lanjutan dapat dikatakan tidak ada model pendidikan inklusif, yang ada adalah model pendidikan integrasi (ABK mengikuti semua kegiatan dan aktivitas di sekolah reguler tanpa ada bantuan dan penanganan khusus) 14. Pemerintah sendiri mengakui bahwa sampai saat ini tidak semua sekolah umum mau menerima anak-anak dengan kebutuhan khusus. Alasan yang dikemukakan karena tidak ada guru khusus yang menangani mereka dan tidak ada fasilitas yang memadai. Kengganan untuk mengakomodasi anak berkebutuhan khusus disebabkan tidak adanya kesadaran dan minimnya pemahaman tentang
12
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 116 Tahun 2007. Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, dari http://www.depdagri.go.id/media/filemanager/2010/01/29/1/1/11__dki_jakarta.pdf, 23 Januari 2011 14 Penelitian ini dilakukan dalam skala nasional dengan mengambil sampel di beberapa provinsi penyelenggara pendidikan inklusi. Lihat Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, dari http://puslitjaknov.org/data/file/2008/makalah_undangan/DYAH%20S_Pengkajian%20Pendidikan %20Inklusif.pdf, 14 Januari 2010. 13
8
pendidikan inklusif. Kengganan tersebut juga lebih banyak terjadi di sekolahsekolah di kota besar 15. Sebagai model pendidikan yang baru memang wajar bila masih terdapat beberapa permasalahan terkait pendidikan inklusif. Namun sangat disayangkan bila pemerintah tidak secara serius menggarap penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pendidikan inklusi diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkelainan selama ini. Pemerintah menyatakan ketidakmungkinan membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa karena akan memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama. Selain itu, penyelenggaraan pendidikan inklusif juga akan membantu percepatan pencapaian target program wajib belajar 9 tahun yang telah dicanangkan pemerintah. Mengingat urgensi permasalahan mengenai pendidikan inklusif di atas, penulis tertarik untuk menulis skripsi berjudul ”Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta”.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah mengenai kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif, maka dapat diidentifikasi masalah penelitian sebagai berikut: 1. Analisis kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta belum direncanakan dengan baik 2. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta belum diimplementasikan dengan efektif 3. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusi di provinsi DKI Jakarta belum disosialisasikan secara maksimal 4. Belum adanya pemahaman yang sama mengenai kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta 5. Belum adanya persepsi yang sama mengenai urgensi penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta 15
Perlu Pelatihan Khusus untuk Guru; Sekolah Inklusi Butuh Pengajar, Kompas, Rabu, 3 Maret 2010.
9
6. Kurangnya guru-guru yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta
C. Pembatasan Masalah Mengingat luasnya cakupan permasalahan dalam kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di DKI Jakarta, untuk memfokuskan penelitian dan efisiensi waktu, maka penelitian ini hanya dibatasi pada: 1. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta 2. Implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta
D. Perumusan Masalah Dari pembatasan terhadap masalah-masalah yang muncul, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif dilaksanakan di Provinsi DKI Jakarta?”
E. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini yaitu: 1. Bagi
pemerintah,
sebagai
bahan
tambahan
pertimbangan
dalam
pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif 2. Bagi sekolah, sebagai pengetahuan mengenai kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif 3. Bagi peneliti, sebagai pengetahuan dan pengalaman
BAB II KAJIAN TEORI A. Kebijakan 1. Pengertian Kebijakan Kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy yang berasal dari bahasa Inggris. Kata policy diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan atau pernyataan mengenai tujuan-tujuan, yang diajukan atau diadopsi oleh suatu pemerintahan, partai politik, dan lain-lain. Kebijakan juga diartikan sebagai pernyataanpernyataan mengenai kontrak penjaminan atau pernyataan tertulis 1. Pengertian ini mengandung arti bahwa yang disebut kebijakan adalah mengenai suatu rencana, pernyataan tujuan, kontrak penjaminan dan pernyataan tertulis baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, partai politik, dan lain-lain. Dengan demikian siapapun dapat terkait dalam suatu kebijakan. James E. Anderson memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh
1
AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford: Oxford University Press, 1995), cet. ke-5, h. 893.
10
11
seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu2. Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa kebijakan dapat berasal dari seorang pelaku atau sekelompok pelaku yang berisi serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu. Kebijakan ini diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku dalam rangka memecahkan suatu masalah tertentu. James E. Anderson secara lebih jelas menyatakan bahwa yang dimaksud kebijakan adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabatpejabat pemerintah. Pengertian ini, menurutnya, berimplikasi: (1)bahwa kebijakan selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan, (2)bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah, (3)bahwa kebijakan merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, (4)bahwa kebijakan bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, (5)bahwa kebijakan, dalam arti positif, didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa (otoritatif) 3. Dalam pengertian ini, James E. Anderson menyatakan bahwa kebijakan selalu terkait dengan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Pernyataan bahwa kebijakan terkait dengan pemerintah tidak hanya disampaikan oleh James E. Anderson. George C. Edwards III dan Ira Sharkansky mengemukakan pengertian kebijakan sebagai apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan itu dapat berupa sasaran atau tujuan dari program-program pemerintah. Penetapan kebijakan tersebut dapat secara jelas diwujudkan dalam peraturan-peraturan
2
James E. Anderson, Public Policy Making, (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1984), cet. ke-3, h. 3. 3 James, Public Policy Making, h. 3-5.
12
perundang-undangan atau dalam pidato-pidato pejabat teras pemerintah serta program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah4. Pengertian serupa juga dikemukakan oleh Thomas R. Dye. Ia menyatakan bahwa kebijakan merupakan apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan5. Dalam mendudukkan pengertian kebijakan, James Anderson mencontohkan penggunaan istilah kebijakan seperti dalam kalimat “Kebijakan Ekonomi Amerika”, “Kebijakan Minyak Arab Saudi”, atau “Kebijakan Pertanian Eropa Barat”. Menurutnya, istilah kebijakan dapat juga digunakan untuk istilah yang lebih spesifik dalam arti tidak hanya dilekatkan untuk penggunaan dalam lingkup makro (baca: negara). Contoh yang dikemukakan James E. Anderson seperti pada penggunaan dalam kalimat “Kebijakan Kota Chicago dalam Polusi di Danau Michigan dari Milwaukee, Wisconsin” 6. Pengertian lain mengenai kebijakan dikemukakan oleh M. Irfan Islamy. Ia memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat 7. Kebijakan yang dikemukakan oleh Irfan Islamy ini mencakup tindakantindakan yang ditetapkan pemerintah. Kebijakan ini tidak cukup hanya ditetapkan tetapi dilaksanakan dalam bentuk nyata. Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut juga harus dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu. Terakhir, pengertian Irfan Islamy meniscayakan adanya kepentingan bagi seluruh masyarakat yang harus dipenuhi oleh suatu kebijakan dari pemerintah.
4
George C. Edwards III dan Ira Sharkansky, The Policy Predicament: Making and Implementing Public Policy, (San Francisco: W.H. Freeman and Company, 1978), h.2. 5 Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, (New Jersey: Pearson Education Inc., 2005), h. 1. 6 James E. Anderson, dkk., Public Policy and Politics in America, (California: Brooks/Cole Publishing Company, 1984), cet. ke-2, h. 3. 7 M. Irfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), cet. ke-3, h. 20.
13
James Anderson menyatakan adanya keharusan untuk membedakan antara apa yang ingin dilaksanakan pemerintah dengan apa yang sebenarnya mereka lakukan di lapangan. Hal ini menjadi penting karena kebijakan bukan hanya sebuah keputusan sederhana untuk memutuskan sesuatu dalam suatu momen tertentu, namun kebijakan harus dilihat sebagai sebuah proses 8. Untuk itulah pengertian kebijakan sebagai suatu arah tindakan dapat dipahami secara lebih baik bila konsep ini dirinci menjadi beberapa kategori. Kategori-kategori itu antara lain adalah tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands), keputusankeputusan kebijakan (policy decisions), pernyataan-pernyataan kebijakan (policy statements), hasil-hasil kebijakan (policy outputs), dan dampak-dampak kebijakan (policy outcomes)9. Tuntutan-tuntutan kebijakan adalah tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh aktor-aktor swasta atau pemerintah, ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah dalam suatu sistem politik. Keputusan kebijakan dimengerti sebagai keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah yang mengesahkan atau memberi arah dan substansi kepada tindakan-tindakan kebijakan
publik.
Sedangkan
pernyataan-pernyataan
kebijakan
adalah
pernyataan-pernyataan resmi atau artikulasi-artikulasi kebijakan publik. Hasilhasil kebijakan lebih merujuk pada manifestasi nyata dari kebijakan, yaitu halhal yang sebenarnya dilakukan menurut keputusan-keputusan dan pernyataanpernyataan kebijakan. Adapun dampak-dampak kebijakan lebih merujuk pada akibat-akibatnya bagi masyarakat, baik yang diinginkan atau tidak diinginkan yang berasal dari tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang menjadi keputusan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertujuan untuk memecahkan masalah demi kepentingan masyarakat.
8
James, dkk., Public Policy and Politics in America, h. 3. James E. Anderson, Public Policy Making: An Introduction, (Boston: Houghton Mifflin Company: 1994), cet. ke-II, h. 6-8. Lihat juga Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, (Yogyakarta: Media Presindo, 2007), h. 19-21. 9
14
2. Tahap-tahap Kebijakan Dalam pembuatan kebijakan terdapat tahap-tahap yang harus dilewati agar suatu kebijakan dapat disusun dan dilaksanakan dengan baik. Kebijakan yang dimunculkan sebagai sebuah keputusan terlebih dahulu melewati beberapa tahap penting. Tahap-tahap penting tersebut sangat diperlukan sebagai upaya melahirkan kebijakan yang baik dan dapat diterima sebagai sebuah keputusan. Tahap-tahap dalam kebijakan tersebut yaitu: a. Penyusunan Agenda Sebelum kebijakan ditetapkan dan dilaksanakan, pembuat kebijakan perlu menyusun agenda dengan memasukkan dan memilih masalahmasalah mana saja yang akan dijadikan prioritas untuk dibahas 10. Masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan akan dikumpulkan sebanyak mungkin untuk diseleksi. Pada tahap ini beberapa masalah dimasukkan dalam agenda untuk dipilih. Terdapat masalah yang ditetapkan sebagai fokus pembahasan, masalah yang mungkin ditunda pembahasannya, atau mungkin tidak disentuh sama sekali. Masing-masing masalah yang dimasukkan atau tidak dimasukkan dalam agenda memiliki argumentasi masing-masing11. Pihak-pihak yang terlibat dalam tahap penyusunan agenda harus secara jeli melihat masalah-masalah mana saja yang memiliki tingkat relevansi tinggi dengan masalah kebijakan. Sehingga pemilihan dapat menemukan masalah kebijakan yang tepat. b. Formulasi Kebijakan Masalah yang sudah dimasukkan dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh pembuat kebijakan dalam tahap formulasi kebijakan. Dari berbagai masalah yang ada tersebut ditentukan masalah mana yang merupakan
masalah
yang
benar-benar
layak
dijadikan
fokus
pembahasan12. 10
Robert B. Denhardt dan Janet V. Denhardt, Public Administration: An Action Orientation, (Boston: Wadsworth, 2009), h. 50-52. 11 Winarno, Kebijakan Publik…, h. 33. 12 Winarno, Kebijakan Publik…, h. 34.
15
c. Adopsi Kebijakan Dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan, pada akhirnya akan diadopsi satu alternatif pemecahan yang disepakati untuk digunakan sebagai solusi atas permasalahan tersebut 13. Tahap ini sering disebut juga dengan tahap legitimasi kebijakan (policy legitimation) yaitu kebijakan yang telah mendapatkan legitimasi14. Masalah yang telah dijadikan sebagai fokus pembahasan memperoleh solusi pemecahan berupa kebijakan yang nantinya akan diimplementasikan. d. Implementasi Kebijakan Pada tahap inilah alternatif pemecahan yang telah disepakati tersebut kemudian dilaksanakan. Pada tahap ini, suatu kebijakan seringkali menemukan berbagai kendala. Rumusan-rumusan yang telah ditetapkan secara terencana dapat saja berbeda di lapangan. Hal ini disebabkan berbagai faktor yang sering mempengaruhi pelaksanaan kebijakan. Kebijakan yang telah melewati tahap-tahap pemilihan masalah tidak serta merta berhasil dalam implementasi. Dalam rangka mengupayakan keberhasilan dalam implementasi kebijakan, maka kendala-kendala yang dapat menjadi penghambat harus dapat diatasi sedini mungkin. e. Evaluasi Kebijakan Pada tahap ini, kebijakan yang telah dilaksanakan akan dievaluasi, untuk dilihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah atau tidak. Pada tahap ini, ditentukan kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan telah meraih hasil yang diinginkan15. Pada tahap ini, penilaian tidak hanya menilai implementasi dari kebijakan. Namun lebih jauh, penilaian ini akan menentukan perubahan terhadap kebijakan. Suatu kebijakan dapat tetap seperti semula, diubah atau dihilangkan sama sekali16. 13
Winarno, Kebijakan Publik…, h. 34. Robert, Public Administration…, h. 53. 15 Winarno, Kebijakan Publik…, h. 34. 16 Robert, Public Administration…, h. 55. 14
16
3. Analisis Kebijakan Analisis kebijakan merupakan penelitian sosial terapan yang secara sistematis disusun dalam rangka mengetahui substansi dari kebijakan agar dapat diketahui secara jelas informasi mengenai masalah-masalah yang dijawab oleh kebijakan dan masalah-masalah yang mungkin timbul sebagai akibat dari penerapan kebijakan. Ruang lingkup dan metode analisis kebijakan umumnya bersifat deskriptif dan faktual mengenai sebab-sebab dan akibatakibat suatu kebijakan17. Penelitian kebijakan sedapat mungkin melihat berbagai aspek dari kebijakan agar dapat menghasilkan informasi yang lengkap. Informasi mengenai masalah-masalah yang dijawab oleh kebijakan serta masalah-masalah yang ditimbulkan dari penerapan kebijakan menjadi fokus dari analisis kebijakan. Sudarwan Danim menyatakan bahwa proses penelitian kebijakan pada hakikatnya merupakan penelitian yang dimaksudkan guna melahirkan rekomendasi untuk pembuat kebijakan dalam rangka pemecahan masalah sosial. Kegiatan penelitian ini dilakukan untuk mendukung kebijakan 18. Sudarwan Danim secara jelas menyatakan hasil yang ingin dicapai dari penelitian kebijakan yaitu menghasilkan rekomendasi yang mungkin diperlukan pembuat kebijakan dalam rangka pemberian solusi terhadap masalah-masalah sosial. Selain itu, penelitian kebijakan perlu dipahami sebagai bentuk dukungan kepada kebijakan itu sendiri. Rekomendasi yang dihasilkan dari proses penelitian kebijakan dapat berupa dukungan penuh terhadap kebijakan, kritik dan saran mengenai bagian mana dari kebijakan yang perlu diperbaiki, atau dapat juga berupa rekomendasi agar kebijakan tidak lagi diterapkan. Karakteristik dari penelitian kebijakan secara terperinci dijelaskan oleh Allen D. Putt dan J. Fred Springer. Mereka menyatakan bahwa penelitian
17
William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2000), cet. ke-IV, h. 95-97. 18 Sudarwan Danim, Pengantar Studi Penelitian Kebijakan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), cet. ke-III, h. 20-23.
17
kebijakan dicirikan sebagai penelitian yang terfokus pada manusia, plural, multi-perspektif, sistematis, berhubungan dengan keputusan, dan kreatif 19. Penelitian mengenai kebijakan berkaitan erat dengan manusia dan permasalahannya. Hasil yang ingin dicapai dari penelitian kebijakan yaitu mengenai informasi yang diformulasikan dalam bentuk rekomendasi dalam rangka pemecahan masalah yang terkait dengan kebijakan. Karakteristik plural dari penelitian kebijakan berasal dari hubungan penelitian dengan manusia. Penelitian kebijakan tidak dapat dipisahkan dari konflik nilai dan kepentingan terdapat dari interaksi manusia. Karakteristik yang plural meniscayakan adanya pendekatan penelitian yang juga plural, dalam arti multi-perspektif. Informasi yang diformulasikan dalam bentuk rekomendasi sebagai hasil yang ingin dicapai oleh penelitian kebijakan mengharuskan adanya pendekatan yang menyeluruh sehingga informasi yang dihasilkan juga dapat berupa rekomendasi yang sesuai dengan kondisi yang ada. Sebagai sebuah penelitian, penelitian kebijakan harus secara sistematis disusun berdasarkan prosedur penelitian sebagai upaya untuk memperoleh informasi terkait dengan kebijakan. Penelitian kebijakan selalu terkait dengan keputusan. Keputusan yang dihasilkan berasal dari rekomendasi yang disampaikan. Keputusan dapat berupa keputusan untuk tetap melanjutkan kebijakan, keputusan untuk memperbaiki kebijakan atau keputusan untuk menghapus atau tidak melanjutkan kebijakan. Informasi yang berkaitan dengan kebijakan berupa masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan, dan kinerja kebijakan. Analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia, yaitu: definisi, prediksi, preskripsi, deskripsi dan evaluasi20. Masing-masing dari informasi kebijakan berkaitan dengan prosedur kebijakan. Secara lebih jelas Dunn menggambarkan hubungan 19
Allen D. Putt dan J. Fred Springer, Policy Research; Concepts, Methods, and Application, (New Jersey: Prentice Hall, 1989), h. 19-24. 20 Dunn, Pengantar Analisis, …, h. 17-21.
18
antara lima informasi kebijakan dan lima prosedur kebijakan yang ia formulasikan sebagai analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah dengan gambar di bawah ini:
Kinerja Kebijakan
Evaluasi
Peramalan
Hasil Kebijakan
Masalah Kebijakan
Perumusan Masalah
Perumusan Masalah
Perumusan Masalah
Masa Depan Kebijakan
Perumusan Masalah Pemantauan
Rekomendasi
Aksi Kebijakan
Gambar 1. analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah (William Dunn, 2000: 21)
Kelima informasi yang terkait dengan kebijakan saling berkaitan satu sama lain seperti ditunjukkan dalam gambar 1. Tanda panah yang menghubungkan tiap komponen informasi menggambarkan proses dinamis dimana satu tipe informasi dipindahkan ke informasi lain dengan menggunakan prosedur analisis kebijakan yang tepat. Perumusan masalah (definisi) merupakan upaya untuk mengumpulkan informasi mengenai masalah-masalah yang menimbulkan masalah kebijakan. Melalui prosedur perumusan masalah dapat diidentifikasi mengenai masalah kebijakan yang tepat yang akan dijadikan sebagai fokus. Peramalan (prediksi) berisi informasi mengenai kondisi yang mungkin dapat terjadi pada masa
19
mendatang sebagai konsekuensi dari penerapan kebijakan. Rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi mengenai kegunaan dari dari konsekuensi di masa mendatang dari suatu pemecahan masalah. Pemantauan (deskripsi) menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dari penerapan kebijakan. Evaluasi menyediakan informasi
mengenai kegunaan dari
pemecahan suatu masalah. Analisis kebijakan dapat dilaksanakan dengan beberapa bentuk. Menurut Dunn terdapat tiga bentuk analisis kebijakan, yaitu: a. analisis kebijakan prospektif analisis kebijakan prospektif adalah analisis kebijakan yang mengarahkan kajiannya pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan sebelum suatu kebijakan diterapkan. Model ini dapat disebut sebagai model prediktif. b. analisis kebijakan retrospektif analisis kebijakan retrospektif adalah analisis kebijakan yang dilakukan terhadap akibat-akibat kebijakan setelah suatu kebijakan diimplementasikan. Model ini biasanya disebut sebagai model evaluatif. c. analisis kebijakan integratif analisis kebijakan integratif adalah bentuk perpaduan antara analisis kebijakan prospektif dan analisis kebijakan retrospektif 21. Bentuk analisis kebijakan prospektif memiliki kelemahan karena hanya berkutat
pada analisis kebijakan yang mengarahkan perhatian pada
konsekuensi kebijakan sebelum kebijakan diterapkan. Pun dengan bentuk analisis kebijakan retrospektif yang hanya memfokuskan kajiannya pada konsekuensi kebijakan setelah kebijakan diterapkan. Maka analisis kebijakan seharusnya
menggunakan
bentuk
kebijakan
integratif,
yaitu
dengan
memadukan antara analisis kebijakan prospektif dan analisis kebijakan retrospektif. Pada umumnya, analisis kebijakan memfokuskan kajiannya pada tiga hal. Ketiga fokus tersebut merupakan pijakan yang dipedomani dalam melakukan analisis kebijakan. Tiga fokus tersebut, yaitu: a. Definisi masalah sosial b. Implementasi kebijakan
21
Dunn, Pengantar Analisis…, h. 117-124.
20
c. Akibat-akibat kebijakan22 Dengan memfokuskan kajian pada ketiga hal diatas, proses analisis kebijakan akan berusaha mendefinisikan secara jelas permasalahan yang akan menjadi fokus kajian untuk ditanggulangi oleh kebijakan. Setelah masalah yang menjadi fokus kajian analisis kebijakan ditentukan, analisis kebijakan bertugas menentukan kebijakan yang sesuai dengan masalah sehingga masalah dapat dipecahkan dengan baik. Kebijakan yang telah ditetapkan dan diimplementasikan tentu menghasilkan konsekuensi dalam bentuk akibat-akibat. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa akibat positif dan atau akibat negatif. Untuk itulah, analisis kebijakan mengupayakan upaya prediktif dengan meramalkan akibat yang dapat ditimbulkan sebelum kebijakan diimplementasikan dan atau sesudah kebijakan diimplementasikan. Dengan demikian, analisis kebijakan selalu berkaitan dengan hal-hal sebelum dan sesudah kebijakan ditetapkan dan diimplementasikan. Analisis kebijakan berusaha memberikan definisi yang jelas mengenai kedudukan suatu masalah kebijakan, prediksi yang berkaitan dengan kebijakan, rekomendasi atau preskripsi yang mungkin dapat bermanfaat bagi kebijakan, deskripsi atau pemantauan terhadap kebijakan, dan evaluasi mengenai kebijakan. Semuanya berjalan sebagai proses yang runtut dan sistematis dalam rangka mendukung kebijakan yang bertujuan untuk mengatasi masalah.
B. Pendidikan Inklusif 1. Pengertian Pendidikan Inklusif Istilah inklusif memiliki ukuran universal. Istilah inklusif dapat dikaitkan dengan persamaan, keadilan, dan hak individual dalam pembagian sumbersumber seperti politik, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Menurut Reid, masing-masing dari aspek-aspek tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan
22
Ismail Nawawi, Public Policy; Analisis, Strategi, Advokasi, Teori, dan Praktek, (Surabaya: PMN, 2009), h. 45-46. Lihat juga Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik; Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, (Bandung: CV. Alfabeta, 2005), h. 87.
21
saling berkaitan satu sama lain 23. Reid ingin menyatakan bahwa istilah inklusif berkaitan dengan banyak aspek hidup manusia yang didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu. Dalam ranah pendidikan, istilah inklusif dikaitkan dengan model pendidikan yang tidak membeda-bedakan individu berdasarkan kemampuan dan atau kelainan yang dimiliki individu. Dengan mengacu pada istilah inklusif yang disampaikan Reid di atas, pendidikan inklusif didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu. Istilah pendidikan inklusif digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program sekolah. Konsep inklusi memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah24. MIF. Baihaqi dan M. Sugiarmin menyatakan bahwa hakikat inklusif adalah mengenai hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Para siswa harus diberi kesempatan untuk mencapai potensi mereka. Untuk mencapai potensi tersebut, sistem pendidikan harus dirancang dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi mereka yang memiliki ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan belajar yang luar biasa harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang bermutu tinggi dan tepat25. Baihaqi dan Sugiarmin menekankan bahwa siswa memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan berdasarkan perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Perbedaan yang terdapat dalam diri individu harus disikapi dunia pendidikan dengan mempersiapkan model pendidikan yang disesuaikan dengan 23
Gavin Reid, Dyslexia and Inclusion; Classroom Approaches for Assesment, Teaching and Learning, (London: David Fulton Publisher, 2005), h. 88. 24 J. David Smith, Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2006), h. 45 25 MIF. Baihaqi dan M. Sugiarmin, Memahami dan Membantu Anak ADHD, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 75-76.
22
perbedaan-perbedaan individu tersebut. Perbedaan bukan lantas melahirkan diskriminasi dalam pendidikan, namun pendidikan harus tanggap dalam menghadapi perbedaan. Daniel P. Hallahan mengemukakan pengertian pendidikan inklusif sebagai pendidikan yang menempatkan semua peserta didik berkebutuhan khusus dalam sekolah reguler sepanjang hari. Dalam pendidikan seperti ini, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap peserta didik berkebutuhan khusus tersebut26. Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa pendidikan inklusif menyamakan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya. Untuk itulah, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap proses pelaksanaan pembelajaran di kelas. Dengan demikian guru harus memiliki kemampuan dalam menghadapi banyaknya perbedaan peserta didik. Senada dengan pengertian yang disampaikan Daniel P. Hallahan, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya27. Pengertian pendidikan dalam Permendiknas di atas memberikan penjelasan secara lebih rinci mengenai siapa saja yang dapat dimasukkan dalam pendidikan inklusif. Perincian yang diberikan pemerintah ini dapat dipahami sebagai bentuk kebijakan yang sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia, sehingga pemerintah memandang perlu memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik dari yang normal, memilik kelainan, dan memiliki 26
Daniel P. Hallahan dkk., Exceptional Learners: An Introduction to Special Education, (Boston: Pearson Education Inc., 2009), cet. ke-10, h. 53. 27 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
23
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan. Dengan demikian pemerintah mulai mengubah model pendidikan yang selama ini memisah-misahkan peserta didik normal ke dalam sekolah reguler, peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan bakat istimewa ke dalam sekolah (baca: kelas) akselerasi, dan peserta didik dengan kelainan ke dalam Sekolah Luar Biasa (SLB). Rumusan mengenai pendidikan inklusif yang disusun oleh Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) mengenai pendidikan inklusif menyebutkan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama-sama teman seusianya. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di sekolah yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil28. Dalam ensiklopedi online Wikipedia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusi yaitu pendidikan yang memasukkan peserta didik berkebutuhan khusus untuk bersama-sama dengan peserta didik normal lainnya. Pendidikan inklusif adalah mengenai hak yang sama yang dimiliki setiap anak. Pendidikan inklusif merupakan suatu proses untuk menghilangkan penghalang yang memisahkan peserta didik berkebutuhan khusus dari peserta didik normal agar mereka dapat belajar dan bekerja sama secara efektif dalam satu sekolah29. Pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas secara umum menyatakan hal yang sama mengenai pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif berarti 28
Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, h. 4. Ensiklopedi Online Wikipedia “Inclusion” http://en.wikipedia.org/wiki/Inclusion_%28education%29, 7 Juni 2010. 29
dari
24
pendidikan yang dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan semua peserta didik, baik peserta didik yang normal maupun peserta didik berkebutuhan khusus. Masing-masing dari mereka memperoleh layanan pendidikan yang sama tanpa dibeda-bedakan satu sama lain. Mereka yang berkebutuhan khusus ini dulunya adalah anak-anak yang diberikan label (labelling) sebagai Anak Luar Biasa (ALB). Anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan istilah Anak Luar Biasa (ALB) yang menandakan adanya kelainan khusus. Istilah lain yang juga biasa dipakai untuk menandai anak yang “lain” dari yang lain ini yaitu hendaya (impairment)30, disability dan handicap31. Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Bandi Delphie menyatakan bahwa di Indonesia, anak berkebutuhan khusus yang mempunyai gangguan perkembangan dan telah diberikan layanan antara lain: Anak yang mengalami hendaya (impairment) penglihatan (tunanetra), tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autism (autistic children), hiperaktif (attention deficit disorder with hyperactive), anak dengan kesulitan belajar (learning disability atau spesific learning disability), dan anak dengan hendaya kelainan perkembangan ganda (multihandicapped and developmentally disabled children)32.
30
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Tunagrahita; Suatu Pengantar dalam Pendidikan Inklusi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 1. 31 Beberapa istilah selain ABK, seperti impairment, handicap, dan disability seringkali disamakan dalam penggunaannya. Sebenarnya terdapat perbedaan arti dari ketiga istilah tersebut. Impairment digunakan untuk menunjukkan kemampuan yang tidak sepenuhnya rusak/cacat. Handicap digunakan untuk menunjukkan adanya kesulitan-kesulitan dalam penggunaan organ tubuh. Disability digunakan untuk menunjukkan ketidakmampuan yang ada sejak dilahirkan atau cacat yang sifatnya permanen. Lihat Thomas M. Stephens, dkk., Teaching Mainstreamed Students, (Canada: John Wiley&Sons, 1982), h. 27. Lihat juga Hornby, Oxford Advanced..., h. 327. Disability berarti batasan fungsi yang membatasi kemampuan seseorang. Handicap adalah kondisi yang dinisbahkan kepada seseorang yang menderita ketidakmampuan. Kondisi ini boleh jadi disebabkan oleh masyarakat, lingkungan fisik, atau sikap orang itu sendiri. Dalam hal ini sering muncul ungkapan “jangan sampai disability menjadi handicap”. Lihat John W. Santrock, Educational Psychology, (New York: The McGraw Hill Inc., 2004), h. 175 32 Delphie, Pembelajaran Anak…, h. 1-3.
25
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya juga dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus33. Selain anak-anak berkebutuhan khusus yang telah disebutkan di atas, anak-anak yang memiliki bakat dan/atau kecerdasan luar biasa juga dikategorikan sebagai anak-anak berkebutuhan khusus. Dengan demikian, pendidikan inklusif, sesuai dengan beberapa pengertian diatas, selain menampung anak-anak yang memiliki kelainan juga menampung anak-anak yang memiliki bakat dan/atau kecerdasan luar biasa agar dapat belajar bersama-sama dalam satu kelas. 2. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Landasan yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia yaitu landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan empiris. Secara terperinci, landasan-landasan tersebut dijelaskan sebagai berikut: a. Landasan Filosofis Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 2) Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain ditegaskan bahwa: (a) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi (inklusif) dan bahwa kemuliaan manusia di sisi Allah adalah 33
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
26
ketaqwaannya. Hal tersebut dinyatakan dalam Al Qur‟an sebagai berikut:
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal34.
(b)Allah pernah menegur Nabi Muhammad SAW karena beliau bermuka masam dan berpaling dari orang buta. Al Qur‟an menceritakan kisah tersebut sebagai berikut:
34
QS. Al Hujurat Ayat 13
27
Artinya: (1)Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, (2)karena telah datang seorang buta kepadanya, (3)tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), (4)atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?(5)Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, (6)Maka kamu melayaninya, (7)Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman), (8)dan Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), (9)sedang ia takut kepada (Allah), (10)Maka kamu mengabaikannya, (11)sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan, (12)Maka Barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, (13)di dalam Kitab-Kitab yang dimuliakan, (14)yang ditinggikan lagi disucikan, (15)di tangan Para penulis (malaikat), (16)yang mulia lagi berbakti35.
(c) Allah tidak melihat bentuk (fisik) seorang muslim, namun Allah melihat hati dan perbuatannya. Hal ini dinyatakan dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yaitu:
35
QS. „Abasa Ayat 1-16. Orang buta dalam Surat „Abasa tersebut bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Dia datang kepada Rasulullah SAW meminta ajaran-ajaran tentang Islam; lalu Rasulullah SAW bermuka masam dan berpaling daripadanya, karena beliau sedang menghadapi pembesar Quraisy dengan pengharapan agar pembesar-pembesar tersebut mau masuk Islam. Maka turunlah surat ini sebagi teguran kepada Rasulullah SAW
28
َحدَّثَنَا َع ْمٌرو النَّاقِ ُد َحدَّثَنَا َكثِ ُري بْ ُن ِه َش ٍام َحدَّثَنَا َج ْع َفُر بْ ُن بُْرقَا َن َع ْن ول اللَّ ِه صلى اهلل عليه ُ ال َر ُس َ َال ق َ ََص ِّم َع ْن أَِِب ُهَريَْرَة ق َ يَِز َيد بْ ِن األ ص َوِرُك ْم َوأ َْم َوالِ ُك ْم َولَ ِك ْن يَْنظُُر إِ ََل قُلُوبِ ُك ْم ُ إِ َّن اللَّهَ الَ يَْنظُُر إِ ََل:وسلم َوأ َْع َمالِ ُك ْم Artinya: dari Abu Hurairah RA: Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kalian36.
(d)Tidak ada keutamaan antara satu manusia dengan manusia yang lain. Nabi Muhammad mengajarkan hal tersebut dalam hadis:
ِ حدَّثَنَا إِ ْْس ضَرَة َح َّدثَِِن َم ْن َِْس َع اع ْ يل َحدَّثَنَا َسعِي ٌد ْ َاْلَُريْ ِر ُّي َع ْن أَِِب ن َ ُ َ ِ ِ ال َ صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِِف َو َس ِط أَيَّ ِام التَّ ْش ِر ِيق فَ َق َ ُخطْبَةَ َر ُسول اللَّه ِ اح ٌد وإِ َّن أَبا ُكم و ِ ِ ض َل لِ َعَرِ ٍِّب ْ َاح ٌد أََال َال ف َ ْ َ َ َّاس أََال إ َّن َربَّ ُك ْم َو ُ يَا أَيُّ َها الن َس َوَد ْ َعلَى أ َْع َج ِم ٍّي َوَال لِ َع َج ِم ٍّي َعلَى َعَرِ ٍِّب َوَال ِأل ْ َس َوَد َوَال أ ْ َْحََر َعلَى أ َْحََر إَِّال بِالتَّ ْق َوى ْ َعلَى أ Artinya: Seseorang yang mendengar khutbah Rasulullah SAW di tengah hari Tasyriq bercerita kepadaku bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: Wahai manusia, sungguh Tuhan kalian itu satu, bapak kalian satu, maka sungguh tidak ada keutamaan orang Arab atas 36
Al Imam Abi Husain Muslim bin Al Hajjaj, Shahih Muslim, (Kairo: Daar Ibnu Al Haitam, 2001), h. 655
29
orang ‘Ajam, begitu pula sebaliknya, tidak ada keutamaan yang merah atas yang hitam, begitu pula sebaliknya, kecuali taqwa 37. 3) Pandangan universal hak asasi manusia menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, dan hak pekerjaan. b. Landasan Yuridis Secara yuridis, pendidikan inklusif dilaksanakan berdasarkan atas: 1) UUD 1945 2) UU Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat 3) UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 4) UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 5) UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 6) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan 7) Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif: Menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK. 8) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa Khusus untuk DKI Jakarta, landasan yuridis yang berlaku yaitu: 9) Peraturan
Gubernur
Nomor
116
Tahun
2007
Tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif c. Landasan Empiris Landasan empiris yang dipakai dalam pelaksanaan pendidikan inklusif yaitu: 37
411
Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad Ibnu Hanbal, (Kairo: Muassasah Qurtubah, tt), juz 5, h.
30
1) Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948 (Declaration of Human Rights) 2) Konvensi Hak Anak 1989 (Convention of The Rights of Children) 3) Konferensi Dunia Tentang Pendidikan untuk Semua 1990 (World Conference on Education for All) 4) Resolusi PBB nomor 48/96 Tahun 1993 Tentang Persamaan Kesempatan Bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the equalization of opportunitites for person with dissabilities) 5) Pernyataan Salamanca Tentang Pendidikan Inklusi 1994 (Salamanca Statement on Inclusive Education) 6) Komitmen Dakar mengenai Pendidikan Untuk Semua 2000 (The Dakar Commitment on Education for All) 7) Deklarasi Bandung 2004 dengan komitmen “Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif” 8) Rekomendasi Bukittinggi 2005 mengenai pendidikan yang inklusif dan ramah. 3. Model Pendidikan Inklusif Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana-prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya. Keuntungan dari pendidikan inklusif adalah bahwa anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai dengan potensinya masing-masing. Pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Pandangan mengenai pendidikan yang harus menyesuaikan dengan kondisi peserta didik ini sangat terkait dengan adanya perbedaan yang terdapat dalam diri peserta didik. Pandangan
31
lama yang menyatakan bahwa peserta didiklah yang harus menyesuaikan dengan pendidikan dan proses pembelajaran di kelas lambat laun harus berubah38. Istilah inklusif berimplikasi pada adanya kebutuhan yang harus dipenuhi bagi semua anak dalam sekolah. Hal ini menyebabkan adanya penyesuaianpenyesuaian yang harus dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran 39. Penyesuaian
pendidikan
(adaptive
education)
dilaksanakan
dengan
menyediakan pengalaman-pengalaman belajar guna membantu masing-masing peserta didik dalam meraih tujuan-tujuan pendidikan yang dikehendakinya. Penyesuaian pendidikan dapat berlangsung tatkala lingkungan pembelajaran sekolah dimodifikasi untuk merespon perbedaan-perbedaan peserta didik secara efektif dan mengembangkan kemampuan peserta didik agar dapat bertahan dalam lingkungan tersebut 40. Dengan melihat adanya penyesuaian terhadap kebutuhan peserta didik yang berbeda-beda, maka dalam setting pendidikan inklusif model pendidikan yang dilaksanakan memiliki model yang berbeda dengan model pendidikan yang lazim dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler. Pendidikan inklusif pada dasarnya memiliki dua model. Pertama yaitu model inklusi penuh (full inclusion). Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler. Kedua yaitu model inklusif parsial (partial inclusion). Model parsial ini mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus dalam sebagian pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelaskelas pull out dengan bantuan guru pendamping khusus41. 38
Henry Clay Lindgren, Educational Psychology in the Classroom, (Tokyo: Charles E. Tuttle Company, 1967), cet. ke-III, h. 503-504 39 Reid, Dyslexia and Inclusion…, h. 85 40 George S. Morrison, Early Childhood Education Today, (New Jersey: Pearson Education Inc., 2009), h. 462. Lihat juga http://en.wikipedia.org/wiki/Inclusion_%28education%29 41 Morrison, Early Childhood…, h. 462. Ada yang menyatakan bahwa dalam inklusi tidak terdapat adanya model. Yang perlu ditekankan dalam inklusi adalah filosofi dan semangat yang dimiliki. Dengan demikian, penerapan pendidikan inklusif di masing-masing negara akan berbeda-beda. Lihat misalnya dalam milis (mailing list) Direktorat Pendidikan Luar Biasa Kementrian Pendidikan Nasional. Dalam milis ini Julia Maria van Tiel mengemukakan beberapa contoh pelaksanaan pendidikan inklusif di beberapa negara. Untuk lebih jelas lihat Julia Maria Van Tiel,
32
Model lain misalnya dikemukakan oleh Brent Hardin dan Marie Hardin. Brent dan Maria mengemukakan model pendidikan inklusif yang mereka sebut inklusif terbalik (reverse inclusive). Dalam model ini, peserta didik normal dimasukkan ke dalam kelas yang berisi peserta didik berkebutuhan khusus 42. Model ini berkebalikan dengan model yang pada umumnya memasukkan peserta didik berkebutuhan khusus ke dalam kelas yang berisi peserta didik normal. Model inklusif terbalik agaknya menjadi model yang kurang lazim dilaksanakan. Model ini mengandaikan peserta didik berkebutuhan khusus sebagai peserta didik dengan jumlah yang lebih banyak dari peserta didik normal.
Dengan pengandaian demikian
seolah
sekolah untuk
anak
berkebutuhan khusus secara kuantitas lebih banyak dari sekolah untuk peserta didik normal, atau bisa juga tidak. Model pendidikan inklusif seperti apapun tampaknya tidak menjadi persoalan berarti sepanjang mengacu kepada konsep dasar pendidikan inklusif. Model pendidikan inklusif yang diselenggarakan pemerintah Indonesia yaitu model pendidikan inklusif moderat 43. Pendidikan inklusif moderat yang dimaksud yaitu: a. Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan inklusi penuh b. Model moderat ini dikenal dengan model mainstreaming Model pendidikan mainstreaming merupakan model yang memadukan antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa)
“Pembenahan Pendidikan Inklusif”, dari http://groups.yahoo.com/group/ditplb/message/130, 18 April 2010, lihat juga Barton, Len dan Felicity Armstrong, Policy, Experience, and Change; Cross Cultural Reflection on Inclusive Education, Dordrecht: Springer, 2007. Istilah full inclusion merupakan istilah yang jarang digunakan. Para ahli lebih banyak menggunakan istilah inclusion saja. Di samping itu istilah full inclusion juga lebih berkonotasi negatif dan bagi sebagian orang sulit disepakati. Orang lebih banyak menggunakan istilah optimal inclusion. Pengertian ini dimaksudkan untuk mendorong pendidik agar berusaha menemukan jenis dan tingkat inklusi yang memuaskan tiap individu. Lihat Smith, Inklusi, Sekolah…, h. 46. 42 Brent Hardin dan Maria Hardin, “Into the Mainstream: Practical Strategies for Teaching in Inclusive Environments”, dalam Kathleen M. Cauley (ed.), Educational Psychology, (New York: McGraw-Hill/Dushkin, 2004), h. 46-48. 43 Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, h. 8-9.
33
dengan pendidikan reguler.
Peserta didik berkebutuhan khusus
digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja 44. c. Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti: 1) Bentuk kelas reguler penuh Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama 2) Bentuk kelas reguler dengan cluster Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus 3) Bentuk kelas reguler dengan pull out Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus 4) Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar bersama dengan guru pembimbing khusus 5) Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian Anak berkelainan belajar di kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler 6) Bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler45 Dengan demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi 44
Jane B. Schulz, Mainstreaming Exceptional Students; A Guide for Classroom Teachers, (Boston: Allyn and Bacon, 1991), h. 20-21. Lihat juga Ensiklopedi Online Wikipedia “Mainstreaming” dari http://en.wikipedia.org/wiki/Mainstreaming_%28education%29, 7 Juni 2010. 45 Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 100. Lihat juga Sip Jan Pijl dan Cor J.W.Meijer, Factor In Inclusion: A Framework dalam Sip Jan Pijl (eds.), Inclusive Education; A Global Agenda, (London: Routledge, 1997), h. 12.
34
kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit). 4. Komponen Pendidikan Inklusif Karena terdapat perbedaan dalam konsep dan model pendidikan, maka dalam pendidikan inklusif terdapat beberapa komponen pendidikan yang perlu dikelola dalam sekolah inklusif, yaitu: a. Manajemen Kesiswaan b. Manajemen Kurikulum c. Manajemen Tenaga Kependidikan d. Manajemen Sarana dan Prasarana e. Manajemen Keuangan/Dana f. Manajemen Lingkungan (Hubungan Sekolah dan Masyarakat) g. Manajemen Layanan Khusus46 Manajemen kesiswaan merupakan salah satu komponen pendidikan inklusif yang perlu mendapat perhatian dan pengelolaan lebih. Hal ini dikarenakan kondisi peserta didik pada pendidikan inklusif yang lebih majemuk daripada kondisi peserta didik pada pendidikan reguler. Tujuan dari manajemen kesiswaan ini tidak lain agar kegiatan belajar mengajar di sekolah dapat berjalan lancar, tertib, dan teratur, serta mencapai tujuan yang diinginkan. Pendidikan inklusif masih menggunakan kurikulum standar nasional yang telah ditetapkan pemerintah. Namun dalam pelaksanaan di lapangan, kurikulum pada pendidikan inklusif disesuaikan dengan kemampuan dan karakteristik peserta didik. Pemerintah menyatakan bahwa kurikulum yang dipakai satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif adalah Kurikulum Tingkat Satuan
46
Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Policy Brief, Sekolah Inklusif; Membangun Pendidikan Tanpa Diskriminasi, No. 9. Th.II/2008, Departemen Pendidikan Nasional, h. 6-9.
35
Pendidikan (KTSP) yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai dengan bakat, minat dan potensinya 47. Model kurikulum pendidikan inklusif terdiri dari: a. Model kurikulum reguler b. Model kurikulum reguler dengan modifikasi c. Model kurikulum Program Pembelajaran Individual (PPI)48 Model kurikulum reguler, yaitu kurikulum yang mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti kurikulum reguler sama seperti kawan-kawan lainnya di dalam kelas yang sama. Model kurikulum reguler dengan modifikasi, yaitu kurikulum yang dimodifikasi oleh guru pada strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus. Di dalam model ini bisa terdapat siswa berkebutuhan khusus yang memiliki PPI. Model kurikulum PPI yaitu kurikulum yang dipersiapkan guru program PPI yang dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru pendidikan khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait. Kurikulum PPI atau dalam bahasa Inggris Individualized Education Program (IEP) merupakan karakteristik paling kentara dari pendidikan inklusif. Konsep pendidikan inklusif yang berprinsip adanya persamaan mensyaratkan adanya penyesuaian model pembelajaran yang tanggap terhadap perbedaan individu. Maka PPI atau IEP menjadi hal yang perlu mendapat penekanan lebih. Thomas M. Stephens menyatakan bahwa IEP merupakan pengelolaan yang melayani kebutuhan unik peserta didik dan merupakan layanan yang
47
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, Pasal 7. 48 Direktorat, Pedoman Umum…, h. 19.
36
disediakan dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan serta bagaimana efektivitas program tersebut akan ditentukan49. Tenaga kependidikan merupakan salah satu unsur penting dalam pendidikan inklusif. Tenaga kependidikan dalam pendidikan inklusif mendapat porsi tanggung jawab yang jelas berbeda dengan tenaga kependidikan pada pendidikan noninklusif. Perbedaan yang terdapat pada individu meniscayakan adanya kompetensi yang berbeda dari tenaga kependidikan lainnya. Tenaga kependidikan secara umum memiliki tugas seperti menyelenggarakan kegiatan mengajar,
melatih,
meneliti,
mengembangkan,
mengelola,
dan/atau
memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan. Guru yang terlibat di sekolah inklusi yaitu guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru pembimbing khusus. Manajemen tenaga kependidikan antara lain meliputi:
(1)Inventarisasi
pegawai,
(2)Pengusulan
formasi
pegawai,
(3)Pengusulan pengangkatan, kenaikan tingkat, kenaikan berkala, dan mutasi, (4)Mengatur usaha kesejahteraan, (5)Mengatur pembagian tugas50. Manajemen
sarana-prasarana
mengorganisasikan,
mengarahkan,
sekolah
bertugas
mengkordinasikan,
merencanakan, mengawasi,
dan
mengevaluasi kebutuhan dan penggunaan sarana-prasarana agar dapat memberikan sumbangan secara optimal pada kegiatan belajar mengajar. Pendanaan pendidikan inklusif memerlukan manajemen keuangan atau pendanaan yang baik. Walaupun penyelenggaraan pendidikan inklusif dilaksanakan pada sekolah reguler dengan penyesuaian-penyesuaian, namun tidak serta merta pendanaan penyelenggaraannya dapat diikutkan begitu saja dengan pendanaan sekolah reguler. Maka diperlukan manajemen keuangan atau pendanaan yang mampu memenuhi berbagai kebutuhan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif dan mengatasi berbagai permasalahan terkait dengan pendanaan. Pembiayaan pendidikan inklusif untuk wilayah DKI Jakarta bersumber pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada pos anggaran Dinas Dikdas, 49 50
Thomas, Teaching Mainstreamed…, h. 19. Direktorat, Policy Brief…, h. 8.
37
Dinas Dikmenti dan Kanwil Depag dan sumber lain yang sah. Pembiayaan pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif untuk lembaga pendidikan swasta dibebankan pada anggaran yayasan/lembaga pendidikan swasta yang bersangkutan51. Dalam rangka penyelenggaraan pendidikan inklusi, perlu dialokasikan dana khusus, yang antara lain untuk keperluan: (1)Kegiatan identifikasi input siswa, (2)Modifikasi kurikulum, (3)Insentif bagi tenaga kependidikan yang terlibat, (4)Pengadaan sarana-prasarana, (5)Pemberdayaan peran serta masyarakat, (6)Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar 52. Penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Stake holder pendidikan lain seperti masyarakat hendaknya selalu dilibatkan dalam rangka memajukan pendidikan. Apalagi dalam semangat otonomi daerah dimana pendidikan juga merupakan salah satu bidang yang didesentralisasikan, maka keterlibatan masyarakat merupakan suatu keharusan. Dalam rangka menarik simpati masyarakat agar mereka bersedia berpartisipasi memajukan sekolah, perlu dilakukan berbagai hal, antara lain dengan memberitahu masyarakat mengenai program-program sekolah, baik program yang telah dilaksanakan, yang sedang dilaksanakan, maupun yang akan dilaksanakan sehingga masyarakat mendapat gambaran yang jelas tentang sekolah yang bersangkutan. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif perlu mengelola dengan baik hubungan sekolah dengan masyarakat agar dapat tercipta dan terbina hubungan yang baik dalam rangka upaya memajukan pendidikan di daerah. Dalam pendidikan inklusif terdapat komponen manajemen layanan khusus. Manajemen layanan khusus ini mencakup manajemen kesiswaan, kurikulum, tenaga kependidikan, sarana-prasarana, pendanaan dan lingkungan. Kepala 51
Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi, Pasal 16 dan Pasal 17. Pendanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak ditangani oleh pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Tidak ada satu pasalpun yang menyebutkan bahwa pemerintah pusat terlibat dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan inklusif. 52 Direktorat, Policy Brief…, h. 8.
38
sekolah dapat menunjuk stafnya, terutama yang memahami ke-PLB-an, untuk melaksanakan manajemen layanan khusus ini53. 5. Pembelajaran Model Inklusif di Kelas Reguler
Pelaksanaan pembelajaran dalam kelas inklusif sama dengan pelaksanaan pembelajaran dalam kelas reguler. Namun jika diperlukan, anak berkebutuhan khusus membutuhkan perlakuan tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus diperlukan proses skrining atau assesment yang bertujuan agar pada saat pembelajaran di kelas, bentuk intervensi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus merupakan bentuk intervensi pembelajaran yang sesuai bagi mereka. Assesment yang dimaksud yaitu proses kegiatan untuk mengetahui kemampuan dan kelemahan setiap peserta didik dalam segi perkembangan kognitif dan perkembangan sosial melalui pengamatan yang sensitif 54. Seorang pendidik hendaknya mengetahui program pembelajaran yang sesuai bagi anak berkebutuhan khusus. Pola pembelajaran yang harus disesuaikan dengan anak berkebutuhan khusus biasa disebut dengan Individualized Education Program (IEP) atau Program Pembelajaran Individual (PPI). Perbedaan karakteristik yang dimiliki anak berkebutuhan khusus membuat pendidikan harus memiliki kemampuan khusus. Sebelum Program Pembelajaran Individual dijalankan oleh pendidik, terlebih dahulu pendidik harus melakukan identifikasi terhadap kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus agar diperoleh informasi yang akurat mengenai kebutuhan pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Setelah proses skrining atau assesment dilakukan dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus teridentifikasi, maka Program Pembelajaran Individual (IEP) dapat dijalankan di kelas-kelas reguler. Program Pembelajaran Individual tersebut sebenarnya tidak mutlak diperlukan bagi anak berkebutuhan khusus dalam pembelajaran 53
Direktorat, Policy Brief…, h. 9. Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 1 54
39
model inklusif di kelas reguler. Pada praktiknya ada beberapa anak berkebutuhan khusus yang tidak memerlukan Program Pembelajaran Individual. Mereka dapat belajar bersama dengan anak reguler dengan program yang sama tanpa perlu dibedakan. Program Pembelajaran Individual meliputi enam komponen, yaitu elicitors, behaviors, reinforcers, entering behavior, terminal objective, dan enroute. Secara terperinci, keenam komponen tersebut yaitu: a. Elicitors, yaitu peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan atau menyebabkan perilaku b. Behaviors, merupakan kegiatan peserta didik terhadap sesuatu yang dapat ia lakukan c. Reinforcers, suatu kejadian atau peristiwa yang muncul sebagai akibat dari perilaku dan dapat menguatkan perilaku tertentu yang dianggap baik d. Entering behavior, kesiapan menerima pelajaran e. Terminal objective, sasaran antara dari pencapaian suatu tujuan pembelajaran yang bersifat tahunan f. Enroute, langkah dari entering behavior menujut ke terminal objective55 Model pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus harus memperhatikan prinsip umum dan prinsip khusus. Prinsip umum pembelajaran meliputi motivasi, konteks, keterarahan, hubungan sosial, belajar sambil bekerja, individualisasi, menemukan, dan prinsip memecahkan masalah. Prinsip umum ini dijalankan ketika anak berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan anak reguler dalam satu kelas. Baik anak reguler maupun anak berkebutuhan khusus mendapatkan program pembelajaran yang sama. Prinsip khusus disesuaikan dengan karakteristik masing-masing peserta didik berkebutuhan khusus. Prinsip khusus ini dijalankan ketika peserta didik berkebutuhan khusus membutuhkan pembelajaran individual melalui Program Pembelajaran Individual (IEP)56. Model pembelajaran anak berkebutuhan khusus memerlukan komponenkomponen tertentu yang meliputi:
55 56
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak, h. 150-151. Bandi Delphie, Pembelajaran Anak, h. 154.
40
a. Rasional Layanan pendidikan dan pembelajaran anak berkebutuhan khusus seharusnya sejalan dan tidak lepas dari prinsip, kebijakan, dan praktik dalam pendidikan berkebutuhan khusus. b. Visi dan misi Model pembelajaran anak berkebutuhan khusus mengarah pada visi dan misi sebagai sumber pengertian bagi perumusan tujuan dan sasaran yang harus ditetapkan c. Tujuan pembelajaran Tujuan pembelajaran anak berkebutuhan khusus harus didasarkan pada visi dan misi pembelajaran yang sudah ditetapkan d. Komponen dasar model pembelajaran Berdasarkan pada visi dan misi pembelajaran, komponen-komponen dasar
model
pembelajaran
anak
berkebutuhan
khusus
dapat
dikelompokkan menjadi: 1) Masukan yang berupa masukan mentah yang terdiri dari elicitors, behaviors, dan reinforcers, masukan instrumen yang terdiri dari program, guru kelas, tahapan, dan sarana, dan masukan lingkungan yang berupa norma, tujuan, lingkungan, dan tuntutan 2) Proses yang terdiri dari atas program pembelajaran individual, pelaksanaan intervensi, dan refleksi hasil pembelajaran 3) Keluaran berupa perubahan kompetensi setiap peserta didik yang mempunyai kesulitan atau hambatan perkembangan diri e. Komponen pendukung sistem model pembelajaran Komponen pendukung sistem adalah kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan untuk memantapkan, memelihara, dan meningkatkan program pembelajaran57 Proses identifikasi dalam bentuk skrining atau assesment yang dimaksud di atas dapat digambarkan sebagai berikut: 57
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak, h. 154-157.
41
1. RUJUKAN GURU Catatan-catatan dari pengawas SD, menghubungi orang tua siswa, observasi guru, dan kemudian memberikan rujukan pada kepala sekolah 10 hari 2. SKRINING OLEH TIM PANITIA Dilakukan oleh guru, kepala sekolah, psikolog, perawat, dokter, ahli terapi guna mendapatkan rekomendasi dilanjutkan ke prosedur berikutnya atau dikembalikan ke kelas reguler
STOP
20 hari 3. REKOMENDASI OLEH 5 KOMPONEN - Orang tua yang memberikan evaluasi tentang anaknya mengenai cara berbicara berbahasa, dan daya pendengaran - Assesmen pendidikan - Laporan hasil skrining oleh tim panitia khusus - Rujukan dari guru pengamat - Kepala sekolah Waktu evaluasi 45 hari
5. REKOMENDASI DARI 3 KOMPONEN (Psychological, Sociological, Physical)
4. PANITIA PENGESAHAN Terdiri atas guru, orang tua, para ahli pendidikan, psikolog, pengawas PLB, konselor,dan speech terapist
STOP
20 hari 6. PROGRAM PEMBELAJARAN INDIVIDUAL (IEP)
8. PENEMPATAN SISWA PADA PROGRAM KEGIATAN SEKOLAH YANG COCOK DENGAN KEBERADAANNYA
Gambar 2. Prosedur Identifikasi, Evaluasi, Konfirmasi, dan Penempatan Peserta Didik dalam Pendidikan Luar Biasa (Bandi Delphie, 2006: 8)
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Adapun waktu penelitian terhitung mulai dari bulan April-Desember 2010.
B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui: 1. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta 2. Implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta
C. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode berparadigma deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada secara alamiah maupun rekayasa manusia. Penelitian deskriptif tidak memberikan perlakukan, manipulasi atau pengubahan pada variabel, tetapi menggambarkan suatu kondisi apa adanya 1. Dalam penelitian ini, peneliti hanya 1
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), cet. Ke-4, h. 72-74
42
43
melakukan penelitian terhadap fenomena yang alamiah terkait kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Metode penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian secara holistik dengan cara deskripsi dalam kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah2. Penelitian ini dilaksanakan untuk menggambarkan realitas empiris sesuai dengan fenomena yang terjadi secara rinci dan tuntas serta untuk mengungkapkan gejala secara holistik melalui pengumpulan data dari latar yang alami dengan peneliti sebagai instrumen kunci. Adapun jenis penelitian yang dipilih peneliti yaitu studi kasus dengan menghimpun dan menganalisis data berkenaan dengan kasus pendidikan inklusif. Data-data yang terkait dengan proses analisis kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif akan dihimpun untuk kemudian dianalisis.
D. Sumber Data Sumber data penelitian ini terdiri dari dua macam, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. 1. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sumber data primer dari Kepala Bidang TK, SD, dan PLB Dinas Pendidikan DKI Jakarta, guru satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif, dan LSM Hellen Keller Internasional (HKI). 2. Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau dokumen. Sumber data sekunder dalam penelitian ini berasal dari data tertulis lembaga Dengan sumber data primer dan sekunder di atas, penelitian ini diharapkan dapat memperoleh data-data valid dan holistik yang diperlukan dalam menganalisa permasalahan yang menjadi fokus penelitian. 2
Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), cet. ke-29, h. 6
44
Pada dasarnya, sumber data dalam penelitian dengan menggunakan metode kualitatif berkembang terus (snowball) secara bertujuan (purposive) sampai data yang dikumpulkan dianggap memuaskan3. Dengan demikian, bila dimungkinkan maka sumber data dalam penelitian dapat bertambah dari sumber data yang telah ditentukan jika sumber data yang telah ditentukan tersebut belum dapat memberikan data yang relevan dengan penelitian.
E. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang diperlukan, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: 1. Wawancara Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara penanya atau pewawancara dengan penjawab atau interviewee dengan atau tanpa menggunakan panduan wawancara 4. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview) bebas atau wawancara tidak terstruktur. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui secara mendetail mengenai fokus penelitian dengan menanyakan langsung kepada informan kunci (key informan) sehingga didapatkan data-data yang valid dari narasumber yang terkait dengan fokus penelitian. 2. Dokumentasi Metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk mencari data mengenal hal-hal atau variabel yang berupa catatan-catatan, transkrip, buku, surat kabar, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya. Pada intinya, metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk meneliti data historis5.
3
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008, h. 78. 4 M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 108. 5 Burhan, Penelitian Kualitatif…, h. 121.
45
Dokumentasi dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu dokumen resmi dan dokumen pribadi. Dokumen resmi merupakan dokumen yang berasal dari suatu lembaga atau organisasi. Dokumen resmi terbagi atas dokumen internal (berupa memo, pengumuman, instruksi, aturan suatu lembaga masyarakat tetapi digunakan dikalangan sendiri)dan dokumen eksternal (yang berupa majalah, buletin, penyataan dan berita yang disiarkan kepada media masa). Dokumen pribadi merupakan catatan seseorang secara tertulis tentang tindakan, pengalaman dan kepercayaan. Dokumen pribadi dapat berupa buku harian, surat pribadi dan autobiografi 6. Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa dokumen resmi dalam bentuk dokumen internal yang ada dimiliki Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Selain itu, dokumen internal lain yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dokumen milik sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Peneliti tidak menggunakan dokumen pribadi karena peneliti tidak menemukan data dokumen tersebut.
F. Teknik Analisis Data Teknik analisis data merupakan suatu cara yang digunakan untuk menguraikan keterangan-keterangan atau data-data yang diperoleh agar data-data tersebut dapat dipahami bukan saja oleh orang yang meneliti (peneliti), akan tetapi juga oleh orang lain yang ingin mengetahui hasil penelitian itu. Dalam penelitian kualitatif, analisis data bersifat interaktif, berlangsung dalam lingkaran
yang
menggunakan
saling
pendekatan
tumpang logika
tindih 7. induktif,
Analisis dimana
kualitatif
cenderung
silogisme
dibangun
berdasarkan pada hal-hal yang khusus atau data di lapangan dan bermuara pada kesimpulan-kesimpulan umum8. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data deskriptif kualitatif. Data-data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan 6
Burhan, Penelitian Kualitatif…, h. 122-123. Nana, Metode Penelitian…, h. 114. 8 Burhan, Penelitian Kualitatif…, h. 143. 7
46
dianalisis dengan membuat kategorisasi agar mempermudah dalam penafsiran data. Masing-masing data yang telah dikategorisasi, dikaitkan untuk memperoleh hubungan agar sampai pada kesimpulan. Secara sistematis, dalam menganalisa data penelitian ini, data yang diperoleh dalam penelitian terlebih dahulu dicatat dan diberi kode agar sumber datanya dapat ditelusuri. Setelah proses pencatatan selesai, data-data tersebut dikumpulkan untuk dipilah-pilah dan dikategorikan. Agar kategori tersebut memiliki makna, maka dicari hubungan-hubungan dan pola-pola yang terdapat dalam data untuk dibuat temuan-temuan umum9. Dengan langkah analisis data deskriptif kualitatif demikian dapat diperoleh hasil penelitian yang mencerminkan hasil sebenarnya yang diharapkan.
9
Lexy, Metodologi Penelitian…, h. 248.
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Jakarta adalah kota yang bisa menjanjikan kehidupan yang nyaman dan sejahtera, apabila kita semua, dalam hal ini pemerintah dan masyarakat, dapat menjawab tantangan, menyelesaikan permasalahan dan dapat memanfaatkan potensi dan peluang yang ada. Kita telah ketahui bersama bahwa Jakarta tidak memiliki sumber daya alam sebagaimana di provinsi-provinsi lain, sementara itu Jakarta dihadapkan pada berbagai permasalahan yang cukup kompleks terkait dengan kedudukan dan fungsi Jakarta sebagai Ibukota Negara, baik permasalahan penduduk, masalah ekonomi, maupun terkait dengan permasalahan sosial budaya. Dari sejumlah permasalahan yang dihadapi kota Jakarta, khususnya yang terkait dengan sumber daya manusia diperlukan satu solusi untuk penyelesaiannya antara lain dengan cara meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat Jakarta agar mereka dapat menjadi sumber daya manusia yang memiliki karakter terpuji, rasa nasionalisme yang tinggi dan tangguh, kompetensi, keterampilan,
47
48
serta sehat rohani dan jasmani sehingga akan tangguh menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan yang dihadapi Ibukota dan juga dunia global. Tidak dapat dipungkiri dengan kedudukan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, Pusat Pemerintahan, Kota Jasa, Pintu Gerbang Dari dan Ke Manca Negara, Lokasi Perkantoran dan Perwakilan Duta-Duta Bangsa. Sebagai kota yang tidak memiliki sumber kekayaan alam, maka sumber daya manusia yang ada harus terus dikembangkan agar bisa sejajar dengan kota-kota besar lainnya di dunia. Pengembangan sumber daya manusia dapat dilakukan tidak lain melalui peningkatan mutu pendidikan. Pendidikan memegang peranan penting dan sebagai salah satu kunci keberhasilan pembangunan nasional dan daerah. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di Provinsi DKI Jakarta harus dilandasi dengan kemampuan dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (serta imtak) yang merupakan cerminan keberhasilan bangsa Indonesia dimasa mendatang. Untuk membentuk sumber daya manusia yang memiliki karakter tersebut harus dipersiapkan melalui suatu proses pembelajaran dan pendidikan pada lembaga pendidikan yang memiliki kualitas, baik pada lembaga pendidikan jalur pendidikan formal, non formal, dan informal. Semua anggota masyarakat, bersama dengan seluruh jajaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki tanggungjawab untuk mencari solusi dalam menyelesaikan permasalahan sekaligus mengelola dan memanfaatkan potensi dan peluang yang ada. Untuk itulah diperlukan adanya kebersamaan dalam pelayanan pendidikan di Provinsi DKI Jakarta untuk membangun sumber daya manusia dalam mencapai cita-cita dan menjadikan Provinsi DKI Jakarta menjadi sesuai visi yaitu ”Jakarta yang Nyaman dan Sejahtera untuk Semua”. Dalam penyelenggaraan pendidikan harus berorientasi pada masa depan, karena ke depan tantangan pendidikan akan semakin kompleks seiring dengan persaingan global sehingga pendidikan harus terus-menerus
melakukan
penyesuaian dengan gerak perkembangan ilmu pengetahuan modern dan inovasi.
49
1. Visi dan Misi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta a. Visi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Visi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta yaitu “Mewujudkan Layanan Pendidikan yang Bermutu Tinggi dalam Membangun Insan yang Cerdas dan Kompetitif1” Penjelasan makna atas pernyataan visi dimaksud adalah terciptanya upaya peningkatan pemerataan akses memperoleh pendidikan yang bermutu dan terjangkau bagi masyarakat Jakarta sehingga tercipta rasa nyaman dalam memperoleh layanan pendidikan. Selain itu visi tersebut mengandung maksud adanya peningkatan kualitas lulusan pendidikan formal dan nonformal yang cerdas secara komprehensif yang meliputi cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis. Kompetitif dimaksudkan dalam rangka mengupayakan lulusan pendidikan untuk dapat berdaya saing global dan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi maupun dapat bekerja di mancanegara. b. Misi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Misi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta yaitu: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh masyarakat Jakarta 2. Mewujudkan
pendidikan
yang
kompetitif
untuk
menghadapi
perubahan 3. Meningkatkan standar kualitas layanan pendidikan 4. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan 5. Penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik2 Penjelasan makna atas pernyataan misi dimaksud adalah:
1 2
Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Kebijakan Dinas Pendidikan, h. 1 Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 1
50
1. Melayani masyarakat dalam penyediaan sarana dan prasarana pendidikan
formal
dan
nonformal,
sehingga
dirasakan
oleh
masyarakat luas mudah mendapatkan layanan di segala jenis dan jenjang pendidikan yang bermutu 2. Mengupayakan lulusan pendidikan di DKI Jakarta untuk dapat berdaya saing global dalam rangka menghadapi setiap perubahan 3. Melayani masyarakat dengan prinsip pelayanan prima yakni mengutamakan norma pelayanan pendidikan berdasar pada standar minimal
pelayanan
pendidikan
dengan
selalu
mengupayakan
peningkatan mutu para tenaga kependidikan maupun lulusan pendidikan formal dan nonformal melalui beberapa kegiatan yang dapat berdaya saing global serta membangun sarana dan prasarana pendidikan yang menjamin kenyamanan dengan memperhatikan prinsip pembangunan pendidikan yang berkelanjutan 4. Memberdayakan masyarakat dengan prinsip pemberian otoritas pada masyarakat untuk mengenali permasalahan yang dihadapi dan mengupayakan pemecahan yang terbaik pada tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian penyelenggaraan, dan pengelolaan pendidikan 5. Mengedepankan prinsip bersih, transparan, dan profesional dalam rangka membangun tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pendidikan 2. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Organisasi Perangkat Daerah, terdiri dari Sekretariat dan 7 (tujuh) bidang yakni Bidang Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, dan Pendidikan Luar Biasa, Bidang Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas, Bidang Sekolah Menengah Kejuruan, Bidang Pendidikan Non Formal dan Informal, Bidang Tenaga Pendidikan, Bidang Sarana Prasarana Pendidikan, Bidang Standarisasi dan Pendidikan Tinggi. Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta juga memiliki UPT, yaitu
51
BP3LS, 5 BPPK, UPT Planetarium dan Observatorium, BPTKD. Adapun tugas pokok dan fungsi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai berikut: a. Tugas Pokok Dinas Pendidikan Melaksanakan urusan pendidikan b. Fungsi Dinas Pendidikan 1.
Penyusunan dan pelaksanaan rencana kerja dan anggaran dinas pendidikan
2.
Perumusan kebijakan tenis pelaksanaan urusan pendidikan
3.
Pelaksanaan pendidikan pra sekolah, dasar, menengah, dan luar biasa serta pendidikan nonformal dan informal
4.
Pembinaan pendidikan prasekolah, dasar, menengah, dan luar biasa serta pendidikan nonformal dan informal
5.
Pelayanan pendidikan prasekolah, dasar, menengah, dan luar biasa serta pendidikan nonformal dan informal
6.
Pengkajian dan pengembangan pendidikan prasekolah, dasar, menengah, dan luar biasa serta pendidikan nonformal dan informal
7.
Pengawasan dan pengendalian pendidikan prasekolah, dasar, menengah, dan luar biasa serta pendidikan nonformal dan informal
8.
Pembinaan dan pengembangan tenaga fungsional kependidikan dan tenaga teknis pendidikan
9.
Fasilitasi pengembangan kerjasama antar lembaga pendidikan
10. Pemberian rekomendasi pendirian dan penutupan satuan pendidikan tinggi 11. Pelayanan, pembinaan, dan pengendalian rekomendasi, standarisasi dan/atau perizinan di bidang pendidikan 12. Penegakan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan 13. Pemungutan,
penatausahaan,
penyetoran,
pelaporan,
dan
pertanggungjawaban penerimaan retribusi pendidikan 14. Penyediaan,
penatausahaan,
penggunaan,
perawatan sarana dan prasarana pendidikan
pemeliharaan,
dan
52
15. Pemberian dukungan teknis kepada masyarakat dan perangkat daerah 16. Pengelolaan kepegawaian, keuangan, barang, dan ketatausahaan dinas pendidikan 17. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi 3. Tujuan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta a. Meningkatkan upaya peningkatan kualitas proses pembelajaran pada semua jenjang pendidikan b. Meningkatkan kualitas dan kemandirian pengelolaan pendidikan yang berdaya saing global c. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesionalisme tenaga pendidik dan tenaga kependidikan d. Meningkatkan pembinaan perguruan tinggi sebagai bagian integral dari tata kota e. Mengentaskan masyarakat putus sekolah dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan (kecakapan hidup) warga belajar 3 4. Sasaran Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta a. Peningkatan mutu program dan relevansi pendidikan b. Pengembangan dan peningkatan sarana pendidikan c. Peningkatan mutu manajemen pendidikan d. Peningkatan
materi
pendidikan
agama,
kewarganegaraan
dan
ekstrakurikuler e. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan (kecakapan hidup) serta mutu lulusan f. Peningkatan
pendidikan
nonformal
dan
informal
keterampilan masyarakat g. Pembinaan perguruan tinggi4 5. Strategi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta
3 4
Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 1 Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 2
(PNFI)
dan
53
Mendorong upaya pemerataan kesempatan Pendidikan Anak Usia Dini, pendidikan dasar, pendidikan luar biasa, pendidikan menengah kepada kelompok yang kurang mampu melalui kebijakan yang mendorong terciptanya
pendidikan-pendidikan
alternatif
khususnya
Pendidikan
Nonformal Informal (PNFI), mengurangi angka putus sekolah dengan memperhatikan keterjangkauan biaya, serta meningkatkan peran pendidikan tinggi guna mendukung upaya peningkatan kerjasama antar perguruan tinggi5. 6. Arah Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Berdasarkan rumusan program strategis atas visi dan misi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait dengan pembangunan bidang pendidikan yaitu Peningkatan Akses dan Mutu Pendidikan yang meliputi 9 (sembilan) kebijakan yaitu: Penuntasan Wajib Belajar 12 Tahun, Meminimalkan Jumlah Siswa yang Drop Out, Peningkatan Mutu Lulusan, Peningkatan Standar Kualitas Layanan Pendidikan, Peningkatan Kompetensi Guru (Standar Asia), Peningkatan Kapasitas Manajemen Sekolah, Peningkatan Daya Tampung dan Mutu Lulusan SMK, Bantuan Biaya Pendidikan Bagi Masyarakat Miskin, dan Meningkatkan Jumlah Sarana Tempat Belajar Mengajar 6. 7. Sasaran Strategik Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Sasaran strategik yang akan dicapai Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta yaitu: a. Menurunnya jumlah siswa yang drop out b. Meningkatnya daya tampung c. Menurunnya angka buta aksara d. Meningkatnya pembinaan pendidikan kesetaraan e. Meningkatnya standar kualitas layanan pendidikan f. Meningkatnya mutu lulusan g. Meningkatnya kualifikasi dan sertifikasi guru 5
Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 2 Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Rencana Strategis Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2013, h. 66 6
54
h. Meningkatnya pengembangan ICT dalam KBM i.
Meningkatnya sarana dan prasarana belajar mengajar
j.
Meningkatnya penyelenggaraan akreditasi dan mutu pendidikan
k. Meningkatnya pemberdayaan komite sekolah dan dewan pendidikan l.
Meningkatnya penerapan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah7
8. Kondisi Sekolah, Siswa, dan Guru di Lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Kondisi sekolah, siswa, dan guru di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat dari ilustrasi gambar-gambar di bawah ini. Data pada gambar-gambar tersebut merupakan data pada tahun 2008. Jumlah sekolah, dari mulai tingkat TK hingga tingkat SMA, baik negeri maupun swasta yaitu: Gambar 38 Jumlah Sekolah di Provinsi DKI Jakarta 3002 3000 N 2500
S
JML
2249
2000
1733
1742
1500
937 1000
753 631 512
497 306
500
116
9
574
381 175 62
35
0 TK
7 8
SD
Dinas, Rencana Strategis…, h. 66 Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 2
SMP
SMA
SMK
PKBM
210
55
Gambar di atas menunjukkan bahwa sekolah di Provinsi DKI Jakarta berjumlah 6.962 sekolah yang terdiri dari 2.777 sekolah negeri dan 4.185 sekolah swasta. Adapun jumlah siswa di Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat pada gambar di bawah ini: Gambar 49 Jumlah siswa di Provinsi DKI Jakarta 900000
862882
N
S
JML
800000
670559
700000
600000
500000
363187
400000
300000
227722 192323
200000
92779
177617 135465 91886 85731
93388
199599 157751 41848
100000
609
3933
0
TK
SD
SMP
SMA
SMK
PKBM
Gambar di atas menunjukkan bahwa jumlah total siswa yang ada terdapat di sekolah-sekolah di Provinsi DKI Jakarta yaitu 1.696.673 siswa. Mereka yang menempuh pendidikan di sekolah negeri berjumlah 1.032.624 siswa. Adapun yang menempuh pendidikan di sekolah swasta berjumlah 664.049 siswa. Jumlah pendidik di Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
9
Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 2
56
Gambar 510 Jumlah Pendidik di Provinsi DKI Jakarta 45000
N
S
JML
40176
40000 35000
30918 30000
28802
25000 21095 20000 15849
15917 15000 10000
8938 8995
11374
11242 9853
12696 9144 6773 3153
5000 57 0 TK
SD
SMP
SMA
SMK
PKBM
Jumlah pendidik di Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan gambar di atas, yaitu 102.032 orang yang terdiri dari 50.027 pendidik di sekolah negeri dan 52.005 pendidik di sekolah swasta. B. Deskripsi dan Analisis Data Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan mengenai kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta, penulis menemukan data-data yang terkait dengan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta. Data-data tersebut penulis temukan dengan menggunakan metode dokumentasi dan wawancara. Data-data yang penulis temukan sebagai berikut: 1. Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Penyelenggaraan pendidikan inklusif merupakan masalah yang telah menjadi konsen bersama. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif 10
Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 3
57
merupakan kebijakan yang mengacu kepada beberapa ketetapan yang telah digariskan oleh kesepakatan di tingkat dunia dan ketetapan yang telah digariskan pemerintah Indonesia di tingkat pusat. Pendidikan inklusif yang dimaksud dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pendidikan tersebut secara yuridis dimasukkan ke dalam jenis pendidikan khusus yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah11. Dari sini dapat dipahami bahwa pendidikan inklusif merupakan salah satu pendidikan yang secara khusus diselenggarakan bagi peserta didik yang berkelainan. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa disebutkan bahwa peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa perlu mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan hak asasinya. Layanan pendidikan tersebut dapat diselenggarakan secara inklusif12. Layanan pendidikan yang dimaksud dalam peraturan tersebut merupakan
sistem
penyelenggaraan
pendidikan
yang
memberikan
kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Pada intinya, semua
11
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 15, Pasal 32, dan Penjelasan Pasal 15 12 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa
58
peserta didik, dalam kondisi bagaimana pun, mendapatkan layanan pendidikan yang sama. Pendidikan inklusif juga diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Sistem Pendidikan. Dalam Perda tersebut ditetapkan bahwa warga masyarakat yang memiliki kelainan fisik, mental, emosional, dan mengalami hambatan sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Begitu pula dengan warga masyarakat yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa juga berhak mendapatkan pendidikan khusus. Pendidikan khusus tersebut berfungsi memberikan layanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kendala fisik, emosional, mental, sosial dan/atau peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Pendidikan khusus tersebut diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. Pendidikan khusus formal bagi peserta didik yang memiliki kendala fisik, emosional, mental, sosial berbentuk Sekolah Luar Biasa (SLB) dan/atau kelas inklusif sesuai dengan jenjang masing-masing. Pendidikan khusus nonformal berbentuk lembaga kursus, kelompok belajar, lembaga pelatihan serta satuan pendidikan lain yang sederajat. Pendidikan khusus informal berbentuk pendidikan keluarga dan lingkungan. Jenis pendidikan khusus dapat berupa pendidikan umum, kejuruan, keagamaan, dan khusus 13. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif lewat Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Inklusif. Hal ini sebagaimana dikatakan Ibu Septi Novida, Kepala Bidang TK, SD, PLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, yaitu: “…kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif di DKI Jakarta berdasarkan hasil kebijakan yang juga sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui Direktorat PSLB Kementrian Pendidikan 13
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Sistem Pendidikan
59
Nasional. Kebijakan Direktorat PSLB ini terkait dengan kesepakatan di tingkat dunia dimana anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, khususnya dalam hal fisik dan emosional diberikan kesempatan untuk bersekolah atau mengenyam pendidikan. Sebenarnya dari dulu, anakanak yang memiliki kebutuhan khusus ini sudah diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan di SLB. Namun kenapa tidak jika pendidikan mereka dijadikan satu di sekolah reguler dari mulai tingkat TK, SD, SMP, dan SMA/SMK. Terkait dengan itu, tahun 2007 keluar Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif dimana di dalamnya memuat ketentuan bahwa masing-masing kecamatan di Provinsi DKI Jakarta harus memiliki lembaga yang menampung dan melayani anak-anak berkebutuhan khusus…”14 Pendidikan inklusif yang diselenggarakan di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta adalah pendidikan yang ditujukan bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan dalam hal fisik, mental, dan emosional agar mereka dapat belajar bersama-sama di sekolah reguler bersama-sama anak-anak normal lain. Hal tersebut didukung dengan pernyataan yang diberikan Dra. Septi Novida, M.Pd yaitu: “…anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, khususnya dalam hal fisik dan emosional diberikan kesempatan untuk bersekolah atau mengenyam pendidikan. Sebenarnya dari dulu, anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus ini sudah diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan di SLB. Namun kenapa tidak jika pendidikan mereka dijadikan satu di sekolah reguler dari mulai tingkat TK, SD, SMP, dan SMA/SMK”15. Wawancara yang penulis lakukan dengan guru program inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta juga menunjukkan bahwa pendidikan inklusif yang diselenggarakan di Provinsi DKI Jakarta ditujukan bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan dalam hal fisik, mental, dan emosional. Guru di SMP Negeri 223 Pasar Rebo Jakarta Timur menyatakan: “…Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang tidak membeda-bedakan kemampuan peserta didik. Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang 14
Wawancara dengan Septi Novida, Kepala Bidang TK, SD, PLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta (23 November 2010 Pukul 07.30) di Kantor Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta 15 Wawancara dengan Septi Novida
60
merangkul kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam diri peserta didik…”16 Ibu Fitri dari Hellen Keller Internasional (HKI) menyatakan bahwa pendidikan inklusif yaitu: “…Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang memberi kesempatan kepada peserta didik yang memiliki kekurangan dalam hal fisik, mental, dan emosional untuk dapat belajar bersama di sekolah reguler bersama anak-anak normal lain…”17 Manajer program inklusi di SMA Negeri 66 Cilandak Jakarta Selatan memberikan pemaparan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif yaitu: “…Pendidikan inklusif seringkali salah dipahami oleh sebagian besar masyarakat. Pendidikan inklusif sebenarnya bukan hanya mengakomodir kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam diri peserta didik seperti kekurangan dalam hal fisik, emosional, dan mental saja, namun lebih jauh pendidikan inklusif harus dimaknai lebih luas dimana seharusnya pendidikan merangkul semua kekurangan karena sejatinya setiap orang memiliki kekurangan…”18 Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas, pendidikan inklusif yang diselenggarakan di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ingin memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan hak yang dimiliki setiap peserta didik atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual, sebagaimana dinyatakan MIF Baihaqi dan M. Sugiarmin. Peserta didik yang memiliki ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan belajar yang luar biasa diberikan akses terhadap pendidikan yang bermutu di sekolah-sekolah reguler 19.
16
Wawancara dengan Sukarto, Guru Inklusi SMP Negeri 223 Pasar Rebo (9 Desember 2010, Pukul 13.00) di ruang guru SMP Negeri 223 Pasar Rebo 17 Wawancara dengan Fitri, Hellen Keller Internasional (HKI) (26 Nopember 2010 Pukul 10.00) di ruang pelatihan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta 18 Wawancara dengan Suparno, Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak (17 Desember 2010 Pukul 12.30) di ruang guru SMA Negeri 66 Cilandak 19 MIF. Baihaqi dan M. Sugiarmin, Memahami dan Membantu Anak ADHD, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 75-76.
61
Selain itu, penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, sebagaimana dinyatakan Daniel P. Hallahan, memberikan kesempatan yang sama kepada setiap peserta didik berkebutuhan khusus untuk ditempatkan bersama-sama dengan peserta didik normal lainnya dalam kelas yang sama sepanjang hari 20. Pendidikan inklusif memang berusaha merangkul semua kekurangan yang terdapat dalam diri peserta didik. Sesuai dengan yang dinyatakan Gavin Reid bahwa pendidikan inklusif memang dimaksudkan untuk menghilangkan perbedaan dengan berpijak pada prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu 21. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta dimaksudkan untuk menghilangkan pembedaan yang selama ini terjadi kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Pendidikan segregatif di SLB (Sekolah Luar Biasa) yang selama ini diperuntukkan bagi anak-anak berkebutuhan khusus memisahkan mereka dari kenormalan, sehingga mereka terbiasa dengan ketidaknormalan yang selama ini dilekatkan kepada mereka. Dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif tersebut, diharapkan agar halangan yang selama ini membatasi akses anak-anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan yang layak dapat teratasi. Hanya saja peraturan perundangan seperti Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 dan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 116 Tahun 2006 memberikan batasan mengenai siapa saja yang termasuk dalam kategori peserta didik berkebutuhan khusus. Peserta didik yang dimaksud dalam pendidikan inklusif sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 terdiri atas: a. Tunanetra b. Tunarungu 20
Daniel P. Hallahan dkk., Exceptional Learners: An Introduction to Special Education, (Boston: Pearson Education Inc., 2009), cet. ke-10, h. 53. 21 Gavin Reid, Dyslexia and Inclusion, Classroom Approaches for Assesment, Teaching and Learning, (London: David Fulton Publisher, 2005), h. 88
62
c. Tunawicara d. Tunagrahita e. Tunadaksa f. Tunalaras g. Berkesulitan belajar h. Lamban belajar i. Autis j. Memiliki gangguan motorik k. Menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya l. Memiliki kelainan lainnya m. Tunaganda22 Dalam Pergub Nomor 116 Tahun 2007 disebutkan bahwa peserta didik berkebutuhan khusus yang dimaksud dalam pendidikan inklusif yaitu: a. Siswa dengan gangguan penglihatan b. Siswa dengan gangguan pendengaran c. Siswa dengan gangguan wicara d. Siswa dengan gangguan fisik e. Siswa dengan kesulitan belajar f. Siswa dengan gangguan lambat belajar g. Siswa dengan gangguan pemusatan pemikiran h. Siswa cerdas istimewa, dan i. Siswa yang memiliki kebutuhan khusus secara sosial23 Dengan pembatasan ini, maka tidak semua peserta didik yang memiliki kekurangan dapat menjadi peserta didik pendidikan inklusif. Dalam implementasi di lapangan ditemukan data bahwa tidak semua kelainan yang dikategorikan pemerintah ke dalam jenis kelainan atau kebutuhan khusus dapat ditemukan di sekolah sekolah reguler. Hal ini diakui oleh Kepala 22 23
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007
63
Bidang TK/SD/PLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dimana sebagian besar peserta didik yang kelainan atau berkebutuhan khusus yang masuk ke sekolah inklusif yaitu peserta didik kategori A (tunanetra). Kelainan lain yang banyak ditemukan di sekolah-sekolah inklusif yaitu peserta didik dengan kategori B (tunarungu) dan C (tunagrahita), walaupun keduanya juga jarang ditemukan. Selain itu, peserta didik yang memiliki kelainan fisik dan harus memakai alat bantu seperti kursi roda juga jarang ditemukan. Hingga penelitian skripsi ini dilakukan untuk mengumpulkan data, penulis tidak menemukan data mengenai jumlah dan kategori kelainan peserta didik yang terdapat di sekolah inklusif. Di sekolah inklusif seperti SMP Negeri 223 Pasar Rebo Jakarta Timur dan SMA Negeri 66 Cilandak Jakarta Selatan sebagian besar peserta didik berkebutuhan khusus adalah peserta didik kategori A. Kategori lain yang juga banyak terdapat di sekolah tersebut yaitu anak-anak autis. Pada prinsipnya, sesuai dengan konsep dasar pendidikan inklusif, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memberikan arahan agar semua kelainan atau kebutuhan khusus yang tertera dalam peraturan baik Peraturan Menteri Pendidikan Nasional maupun Peraturan Gubernur untuk diterima sebagai peserta didik di sekolah-sekolah inklusif yang telah ditunjuk. Namun sebagaimana ditemukan dalam penelitian, tidak serta merta semua peserta didik dengan kelainan atau kebutuhan khusus dapat diterima menjadi peserta didik sekolah inklusif. Peserta didik yang ingin mendaftarkan diri di sekolah inklusif harus melalui tahap identifikasi (skrining atau assesment) agar diketahui kondisi dan kebutuhan peserta didik tersebut. Peserta didik dengan kelainan ekstrem tidak dapat diterima menjadi peserta didik di sekolah inklusif karena memang diakui pihak sekolah belum memiliki Sumber Daya Manusia yang memadai untuk menangani kelainan ekstrem tersebut.
64
Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta lewat Kepala Bidang TK/SD/PLB mengakui bahwa sebenarnya pihak Dinas telah menunjuk beberapa guru SLB untuk menjadi Guru Pembimbing Khusus (GPK) untuk membantu proses penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah, namun hingga kini jumlah GPK terus berkurang bahkan keberadaannya tidak jelas. Selain tidak tertampungnya semua kelainan atau kebutuhan khusus peserta didik di sekolah inklusif, peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan/atau bakat istimewa sebagai peserta didik yang diikutsertakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif jarang mendapatkan sorotan. Padahal sebagaimana kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional dan Peraturan Gubernur, peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan/atau baka istimewa merupakan salah satu kategori peserta didik yang diikutsertakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Jarangnya sorotan terhadap peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan/atau bakat istimewa terlihat dari jarangya penyebutan peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan/atau bakat istimewa dalam setiap kesempatan yang berkaitan dengan pendidikan inklusif. Saat wawancara penulis lakukan dengan beberapa narasumber, jarang sekali narasumber menyinggung mengenai peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan/atau bakat istimewa. Begitu pula saat pelatihan untuk guru-guru sekolah inklusif penulis ikuti, jarang sekali pembahasan mengenai peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan/atau bakat istimewa menjadi salah satu fokus. Jika mengacu kepada konsep pendidikan inklusif, peserta didik dengan kecerdasan dan/atau bakat istimewa tidak menjadi salah satu kategori yang perlu dimasukkan dalam pendidikan inklusif, karena istilah pendidikan inklusif, menurut J. David Smith, digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program sekolah. Konsep inklusi memberikan pemahaman mengenai
65
pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah24. Dari dokumen yang penulis dapatkan, kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta digambarkan sebagai berikut: Gambar 625 Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta KEBIJAKAN DINAS PENDIDIKAN
LANDASAN
A. PUSAT 1. UU 2. PP 3. Kebijakan
B. PEMERINTAH DAERAH 1. Perda 2. Pergub 3. Kebijakan 4. Program
C. KEADAAN UMUM, PERMASALAHAN, DAN TANTANGAN
Seluruh kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta didasarkan atas landasan yang ditetapkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta didasarkan atas ketetapan-ketetapan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta yaitu: a. Pusat - Undang-Undang (UU)
24
J. David Smith, Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2006), h.
25
Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 3
45
66
Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif didasarkan atas ketetapan pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. - Peraturan Pemerintah (PP) Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur pelaksanaan pendidikan inklusif yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional. - Peraturan Menteri Peraturan Menteri Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan
dan/atau
Bakat
Istimewa
mengatur
pelaksanaan
pendidikan inklusif. - Kebijakan b. Pemerintah Daerah - Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang didalamnya memuat aturan mengenai pendidikan inklusif. Perda yang dimaksud yaitu Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Sistem Pendidikan. - Peraturan Gubernur (Pergub) Peraturan Gubernur (Pergub) yang mengatur penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta yaitu Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. - Kebijakan - Program
67
Program pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta berada di bawah koordinasi Bidang TK/SD/PLB. Program tersebut dimasukkan ke dalam Program Pendidikan Luar Biasa yang berisi program-program sebagai berikut26: 1. Pengembangan penyelenggaraan pendidikan inklusi 2. Pembinaan dan Pemberdayaan SD/SMP Model Inklusi 3. Pembinaan SLB sebagai Pusat Sumber Pendidikan Inklusi 4. Pembinaan Instruktur, Guru Pendamping dan Pembimbing (Guru SLB) Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi 5. Pembinaan Kepala Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi 6. Pembinaan Pengawas TK/SD dalam Penyelenggaraan Inklusi 7. Biaya Operasional Pokja Inklusi 8. Biaya Operasional Penyelenggara Pendidikan Inklusi TK, SD, dan SMP 9. Operasional Guru Pendamping Khusus untuk Sekolah Inklusi 10. Operasional Guru Pembimbing Khusus Sekolah Inklusi Semua program yang dicanangkan oleh Bidang TK/SD/PLB terkait pendidikan inklusif sudah terlaksana. Kepala Bidang TK/SD/PLB Dra. Septi Novida, M.Pd menyatakan bahwa saat ini Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta sedang berusaha meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan inklusif setelah kuantitas sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif terpenuhi. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta dilaksanakan
dengan
menunjuk
sekolah-sekolah
reguler
untuk
menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Penunjukkan sekolah-sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan inklusif sudah ditetapkan dari pusat. Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Dikdasmen (Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah) No. 26
Dinas, Rencana Strategis.., h. 120
68
380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif, setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya memiliki 4 (empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK27. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota menunjuk paling sedikit 1 (satu) Sekolah Dasar, dan 1 (satu) Sekolah Menengah Pertama pada setiap kecamatan
dan
1
(satu)
satuan
pendidikan
menengah
untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik berkebutuhan khusus28. Sebagai Daerah Khusus Istimewa dan otonom, Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan peraturan khusus berupa Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. Dalam Pergub ini disebutkan bahwa setiap Kecamatan sekurang-kurangnya memiliki 3 (tiga) TK/RA, SD/MI dan 1 (satu) SMP/MTs yang menyelenggarakan
pendidikan
inklusi.
Untuk
tingkat
SMA/SMK,
MA/MAK, setiap Kotamadya sekurang-kurangnya memiliki 3 (tiga) SMA/SMK, MA/MAK29. Pergub inilah yang kemudian dijadikan acuan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta untuk menunjuk sekolah-sekolah reguler dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Berdasarkan Pergub tersebut, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta merealisasikannya dengan menunjuk sekolah-sekolah reguler untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif sejumlah 164 sekolah dari jenjang TK hingga SMA. Penunjukkan sekolah-sekolah tersebut berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1190/2010 Tentang Penunjukkan Nama-nama TK, SD, SMP, 27
Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif 28 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 29 Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007
69
dan SMA/SMK Penyelenggara Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Tahun
201030.
Sekolah-sekolah
yang
menyelenggarakan
program
pendidikan inklusif yaitu sebagai berikut: Tabel 131 DAFTAR NAMA TK, SD, SMP, SMA/SMK NEGERI PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSI PROVINSI DKI JAKARTA No
Nama Sekolah
Alamat
Kecamatan
Taman Kanak-Kanak (TK) 1
TK Negeri Pembina Nasional
Jl. Muchtar Raya
Pesanggrahan
2
TK Negeri Cipete
Jl. Cipete VII No. 70
Cilandak
Jl. Bambu Duri X Pd 3
TK Pembina Tingkat Provinsi
Bambu
Duren Sawit
Sekolah Dasar (SD) 1
SDN Johar Baru 29
Jl. Percetakan Negara II Jl.
2
SDN Bendungan Hilir 01
Danau
Johar Baru
Toba
Pejompongan
Tanah Abang
Jl. Cempaka Putih Barat 3
SDN Cempaka Putih Barat 16
19
Cempaka Putih
4
SDN Kartini 02
Jl. Gotong Royong Gg. E
Sawah Besar
5
SDN Mangga Dua Selatan 01 Pg Jl. Melawai Dalam No. 1
Sawah Besar
6
SDN Pasar Baru 01 Pg
Jl. Pintu Besi I/42
Sawah Besar
7
SDN Petamburan 01 Pg
Jl. Petamburan IV
Tanah Abang
8
SDN Bendungan Hilir 07
Jl. Danau Limboto No. 9
Tanah Abang
9
SDN Kenari 01
Jl. Kramat IV/25
Senen
10
SDN Bungur 01 Pg
Jl. Angsana No. 4
Senen
30
Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1190/2010 Tentang Penunjukkan Nama-nama TK, SD, SMP, dan SMA/SMK Penyelenggara Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010 31 Lampiran Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1190/2010 Tentang Penunjukkan Nama-nama TK, SD, SMP, dan SMA/SMK Penyelenggara Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010 Tanggal 19-08-2010
70
11
SDN Kebon Sirih 01 Pg
Jl. Kebon Sirih No. 29
Menteng
12
SDN Cikini 01 Pg
Jl. Cidurian No. 2 A
Menteng
13
SDN Cempaka Putih Timur 02
Jl. Rawasari Timur IV/2
Cempaka Putih
14
SDN Cempaka Putih Barat 07
Jl. Percetakan Negara
Cempaka Putih
15
SDN Tanah Tinggi 11
Jl. Tanah Tinggi I/2
Johar Baru
Jl. Mardani Raya No. 12 16
SDN Johar Baru 10
A
Johar Baru
17
SDN Cideng 11 Pt
Jl. Cimalaya No. 1
Gambir
18
SDN Petojo Selatan 05
Jl. Petojo Encelek XIV
Gambir
19
SDN Serdang 01 Pt
Jl. Lapangan Poros
Kemayoran
Jl. Sumur Batu Utara No. 20
SDN Sumur Batu 07 Pt
2
Kemayoran
Komplek PT. HI Kelapa 21
SDN Kelapa Gading Timur 04
Gading
Kelapa Gading
Jl. Marundo Pulo Rt. 22
SDN Merunda 02
01/01 Jl.
Komplek
Cilincing Nelayan
23
SDN Pluit 06
Muara Angke Rt. 01/01
Penjaringan
24
SDN Sungai Bambu 02 Pg
Jl. Gadang No. 52
Tanjung Priok
Jl. Baru Gg. II Rt. 011/02 25
SDN Cilincing 05 Pg
No. 2
Cilincing
26
SDN Semper Barat 07 Pg
Jl. Pepaya V No. 20
Cilincing
Jl. Kramat Jaya Gg. 8 27
SDN Tugu Utara 12
Blok R
Koja
28
SDN Rawa Badak Selatan 11 Pg
Jl. Bendungan Selatan
Koja
Jl. Bandengan Utara No. 29
SDN Penjaringan 11
80
Penjaringan
30
SDN Kapuk Muara 03 Pg
Jl. SMP Negeri 122
Penjaringan
31
SDN Sunter Jaya 07 Pg
Jl. Sunter Jaya VI No. 31
Tanjung Priok
32
SDN Sunter Agung 04 Pt
Jl. Agung Jaya No. 15
Tanjung Priok
71
Jl. Kampung Muka Rt. 33
SDN Ancol 03 Pg
09-04
Pademangan
34
SDN Pademangan Barat 08 Pt
Jl. Ampera VII
Pademangan
35
SDN Pegangsaan Dua 03 Pg
Jl. Kepu Pegangsaan Dua
Kelapa Gading
36
SDN Slipi 18 Pg
Jl. KS Tubun III Dalam
Palmerah
37
SDN Sukabumi Selatan 07
Jl. Pos Pengumben
Kebon Jeruk
Jl.
Lapangan
Jabek
38
SDN Meruya Selatan 06 Pg
Komp. Mega
Kembangan
39
SDN Kembangan Utara 05 Pg
Jl. Kampung Rt. 05/03
Kembangan
Jl.
Komplek DKI Rt.
40
SDN Joglo 04 Pg
002/08
Kembangan
41
SDN Duri Kelapa 06 Pg
Jl. Mangga XIV Rt. 06/04 Kebon Jeruk
42
SDN Kelapa Dua 04 Pg
Jl. Inpres Rt. 004/05
Kebon Jeruk
Jl. Seroja No. 16 Rt. 43
SDN Jatipulo 08 Pg
004/01
Palmerah
Jl. Komplek PJKA Pndk. 44
SDN Kota Bambu Selatan 01 Pg
Bandung
Palmerah
Jl. Jembatan Besi IX No. 45
SDN Jembatan Besi 01 Pg
31
Tambora
46
SDN Duri Utara 02 Pg
Jl. Duri Utara I No. 1
Tambora
47
SDN Pinangsia 02 Pg
Jl. Pinangsia I No. 20
Tamansari
Jl. KH. Zaenal Arifin No. 48
SDN Krukut 03 Pg
4
Tamansari
SDN Tanjung Duren Utara 01 Jl. Tanjung Duren Utara 49
Pg
III/3
Grogol
50
SDN Jelambar 03 Pg
Jl. Jelambar Selatan XVI
Grogol
51
SDN Pegadungan 11 Pg
Jl. Peta Utara No. 10
Kalideres
52
SDN Kamal 02 Pg
Jl. Kebon 200 Rt. 03/06
Kalideres
53
SDN Cengkareng Timur 01 Pg
Jl. Daan Mogot Km. 14
Cengkareng
54
SDN Rawa Buaya 03 Pg
Jl. Al Barkah Rt. 001/03
Cengkareng
72
55
SDN Menteng Atas 04
Jl. Dr. Saharjo 121
Setiabudi
56
SDN Cipete Utara 12 Pg
Jl. Kirai Ujung
Kebayoran Baru
57
SDN Lebak Bulus 02 Pg
Jl. Pertanian Raya No. 59
Cilandak
58
SDN Lebak Bulus 03 Pg
Jl. Pertanian III No. 88
Cilandak
59
SDN Lebak Bulus 06 Pg
Jl. Gunung Balong
Cilandak
60
SDN Cipete Selatan 04
Jl. Anggus II
Cilandak Mampang
61
SDN Pela Mampang 01 Pg
Jl. Bangka II Gg. IV
Prapatan
62
SDN Pejaten Timur 15 Pg
Jl. Siaga Dharma VIII
Pasar Minggu
63
SDN Ragunan 11 Pg
Jl. Harsono RM
Pasar Minggu
64
SDN Pondok Labu 01 Pg
Jl. RS Fatmawati
Cilandak
65
SDN Gandaria Selatan 01 Pg
Jl. Teladan No. 3
Cilandak
66
SDN Pesanggrahan 03 Pg
Jl. Kodam
Pesanggrahan
67
SDN Petukangan Selatan 05
Jl. Inpres Rt. 0014/02
Pesanggrahan
68
SDN Grogol Selatan 03
Jl. Raya Kebayoran Lama
Pesanggrahan Kebayoran
69
SDN Grogol Utara 09 Pagi
Jl. Kemandoran I
Lama
70
SDN Pulo 05 Pg
Jl. Jembatan Selatan
Kebayoran Baru
71
SDN Gandaria Utara 11 Pagi
Jl. BRI Radio Dalam
Kebayoran Baru
72
SDN Pancoran 05 Pg
Jl. Pancoran Timur II
Pancoran
73
SDN Pengadegan 08 Pagi
Jl. Pengadegan Barat XIII
Pancoran Mampang
74
SDN Kuningan Barat 03 Pagi
Jl. PLN Kuningan Barat
Prapatan
Jl. Kapten Tendean Gg. Mampang 75
SDN Mampang Prapatan 05 Pg
Kamboja
Prapatan
76
SDN Karet Kuningan 03 Pagi
Jl. Genteng Ijo No. 1
Setiabudi
77
SDN Setiabudi 01
Jl. Setiabudi Barat No. 8
Setiabudi
78
SDN Cipedak 03 Pagi
Jl. Timbul Rt. 007/05
Jagakarsa
79
SDN Lenteng Agung 07 Pagi
Jl. Raya Depok Gg. Subur Jagakarsa
80
SDN Gedong 04
Jl.
Raya
Condet
Rt. Pasar Rebo
73
012/03 81
SDN Kramatjati 24
Jl. Langgar Rt. 008/10
Kramatjati
82
SDN Kebon Pala 03 Pagi
Jl. Raya Condet
Makasar
83
SDN Batu Ampar 04
Jl. Batu Ampar III
Kramatjati
Jl.
Raya
Condet
Gg.
84
SDN Gedong 12
Masjid
Pasar Rebo
85
SDN Gedong 03
Jl. Raya Condet
Pasar Rebo
86
SDN Cipinang Muara 24 Pt
Jl. Cipinang Muara
Jatinegara
87
SDN Cipayung 09 Pt
Jl. SMU 64 Cipayung
Cipayung
88
SDN Cakung Barat 18 Pt
Jl. Raya Bekasi Km. 23
Cakung
89
SDN Jatinegara 05 Pg
Jl. Raya Bekasi Km. 17
Cakung
90
SDN Jatinegara Kaum 03 Pg
Jl. Raya Bekasi Km. 18
Pulo Gadung
91
SDN Pisangan Timur 16 Pt
Jl. Mugeni I
Pulo Gadung
92
SDN Rawabunga 16 Pg
Jl. Jatinegara Timur IV
Jatinegara
93
SDN Bidaracina 04 Pt
Jl. Setia No. 10
Jatinegara
Jl. Jenderal A. Yani No. 94
SDN Pisangan Baru 02 Pg
30
Matraman
95
SDN Pisangan Baru 10 Pt
Jl. Pisangan Baru I
Matraman
96
SDN Pondok Bambu 03 Pg
Jl. Pahlawan Revolusi
Duren Sawit
97
SDN Klender 17 Pt
Jl. Pertanian Utara
Duren Sawit
98
SDN Ciracas 13 Pt
Jl. Kramat Rt. 12/10
Ciracas
99
SDN Susukan 13 Pt
Jl. Makmur IV Rt. 009/02
Ciracas
Jl. Dewi Sartika No. 200
Kramat Jati
100 SDN Cawang 06 Pt
Jl. Raya Pondok Gede Rt. 101 SDN Dukuh 02 Pt
001/01
Kramat Jati
102 SDN Kebon Pala 08 Pt
Jl. Permata Rt. 07/005
Makasar
103 SDN Kebon Pala 15 Pg
Jl. SD Inpres Rt. 003/04
Makasar
Jl. Gongseng Raya Rt. 104 SDN Cijantung 09 Pt
010/01
Pasar Rebo
105 SDN Kalisari 10 Pt
Jl. Kalisari Rt. 006/02
Pasar Rebo
74
106 SDN Ceger 03 Pt
Jl. SMP 222 Rt. 05/02
Cipayung
107 SDN Lubang Buaya 02 Pt
Jl. Yusufiah Rt. 010/01
Cipayung
108 SDN Cijantung 01
Jl. Pertengahan
Pasar Rebo
109 SDN Kramat Jati 01
Jl. Masjid Al Amin
Kramatjati
110 SDN Kramat Jati 16
Jl. Langgar Rt. 008/010
Kramatjati
111 SDN Rambutan 01
Jl. HM. Sabar No. 49
Ciracas
112 SDN Cilangkap 01
Jl. Mabes ABRI
Cipayung
113 SDN Halim Perdanakusuma 01
Jl. Halim Golf
Makasar
Jl. Komp. Perwira TNI 114 SDN Cipayung 02
AD
Cipayung
115 SDN Kebon Pala 01 Pagi
Jl. Cakrawala No 01
Makasar
Jl. Matraman Raya No. 116 SDN Balimester 01
226
Jatinegara
117 SDN Kampung Melayu 02 Pt
Jl. Kebon Pala I No. 34
Jatinegara
118 Pg
Jl. Bekasi Timur IV No. 1
Jatinegara
119 SDN Duren Sawit 01 Pagi
Jl. Kelurahan I
Duren Sawit
120 SDN Klender 03 Pagi
Jl. Raden Inten II Buaran
Duren Sawit
SDN Cipinang Besar Utara 01
Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1
SMPN 118
Jl. Pramuka Sari I
Cempaka Putih
2
SMPN 183
Jl. Cempaka Baru VII/47
Kemayoran
Jl.
Harapan
Mulia
3
SMPN 269
Kemayoran
Cempaka Putih
4
SMPN 4
Jl. Perwira No. 10-11
Sawah Besar
5
SMPN 70
Jl. H. Awaludin IV
Tanah Abang
6
SMPN 42
Jl. Pademangan Timur 3
Pademangan
Jl. Kamal Muara Raya 7
SMPN 120
No. 9
Penjaringan
8
SMPN 122
Jl. SMP 122 Penjaringan
Penjaringan
9
SMPN 114
Jl.
HM.
Darpi
Plum Koja
75
Semper 10
SMPN 266
Jl. Cilincing Batik VI
Cilincing
Jl. Kompi Udin Rt. 01/01 11
SMPN 270
Pgangs Dua
Kelapa Gading
Jl. Barkah I Rt. 001/03 12
SMPN 264
Rawa Buaya
Cengkareng
Jl. Duta Raya 13
SMPN 191
Kebon
Jeruk Jl.
Kebon Jeruk Kamal
Raya
14
SMPN 248
Cengkareng Timur
Cengkareng
15
SMPN 207
Jl. Meruya Utara
Kembangan
16
SMPN 63
Jl. Perniagaan No. 31
Tambora
Jl. Pahlawan Sukabumi 17
SMPN 271
Selatan VI/F1
Kebon Jeruk
18
SMPN 226
Jl. Kayu Kapur No. 2
Pondok Labu
19
SMPN 240
Jl. H. Raya No. 16 B
Gandaria Utara
20
SMPN 235
Jl. Pondok Indah
Pesanggrahan
Jl. Palmerah Barat 59 Kebayoran 21
SMPN 16
Grogol Utara
Lama
22
SMPN 276
Jl. Srengseng Sawah
Jagakarsa
Jl.
Profesor
Supomo
23
SMPN 15
Menteng
Tebet
24
SMPN 223
Jl. Surilang No. 6
Pasar Rebo
25
SMPN 36
Jl. Pedati
Jatinegara
26
SMPN 62
Jl. Jatinegara Timur IV
Jatinegara
27
SMPN 259
Jl. Komplek TMII
Cipayung
28
SMPN 165
Jl. Balai Rakyat III/16
Duren Sawit
29
SMPN 287
Jl. Balai Rakyat III/16
Makasar
Jl. Raya Bekasi Km. 18 30
SMPN 90
Jatinegara
Cakung
76
Jl. Gading Raya No. 16 31
SMPN 232
Pisang Timur
Pulo Gadung
Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 1
SMA Negeri 5
Jl. Raya Sumur Batu
Kemayoran
2
SMK Negeri 27
Jl. Dr. Sutomo No. 1
Senen
Jl. 3
SMA Negeri 40
Budi
Mulia
Raya
Pademangan
Pademangan
Jl. Gading Timur Kelapa 4
SMK Negeri 33
Gading
Kelapa Gading
Jl. Senggrehan Meruya 5
SMA Negeri 112
Utara
Kembangan
6
SMK Negeri 13
Jl. Rawa Belong II E
Palmerah
Jl. Bango III Pondok 7
SMA Negeri 66
Labu
Cilandak
8
SMK Negeri 30
Jl. Pakubuwono 6
Kebayoran Baru
9
SMA Negeri 54
Jl. Jatinegara Timur IV
Jatinegara
Jl. SMIK Bambu Apus 10
SMK Negeri 58
TMII
Cipayung
Sebagai Daerah Khusus Istimewa dan daerah otonom, Provinsi DKI Jakarta telah mengeluarkan peraturan daerah dalam bentuk Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. Secara umum, tidak ada perbedaan antara Pergub tersebut dengan peraturanperaturan di atasnya seperti Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Kedua peraturan tersebut secara teknis memberikan ketentuanketentuan umum mengenai pelaksanaan pendidikan inklusif. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional berlaku secara nasional, sedangkan Peraturan Gubernur berlaku hanya di Provinsi DKI Jakarta. Yang
77
membedakan keduanya yaitu pada penunjukkan sekolah-sekolah reguler yang menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kotamadya menunjuk paling sedikit 1 (satu) Sekolah Dasar dan 1 (satu) Sekolah Menengah Pertama pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik berkebutuhan khusus. Adapun dalam Peraturan Gubernur disebutkan bahwa setiap Kecamatan sekurangkurangnya memiliki 3 (tiga) TK/RA dan SD/MI dan 1 (satu) SMP/MTs yang menyelenggarakan pendidikan inklusi. Untuk tingkatan SMA/SMK atau MA/MAK, setiap kotamadya sekurang-kurangnya memiliki 3 (tiga) SMA/SMK atau MA/MAK yang menyelenggarakan pendidikan inklusif. Di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta telah terdapat sejumlah 164 sekolah yang ditunjuk untuk menyelenggarakan program pendidikan inklusif dari mulai tingkat SD hingga SMA. Jumlah TK penyelenggara program pendidikan inklusif berjumlah 3 sekolah. SD yang menyelenggarakan program pendidikan inklusif berjumlah 120 sekolah. SMP yang menyelenggarakan program pendidikan inklusif berjumlah 31 sekolah. Di tingkat SMA/SMK, jumlah penyelenggara program pendidikan inklusif mencapai 10 sekolah. Secara terperinci, sebaran sekolah-sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif di masing-masing kecamatan se-Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai berikut: Tabel 2 Sebaran Sekolah Inklusif di Provinsi DKI Jakarta
No
Kecamatan
Kotamadya/Kabupaten
Sekolah Inklusif TK
SD
SMP
SMA/SMK
1
Gambir
Jakarta Pusat
-
2
-
-
2
Tanah Abang
Jakarta Pusat
-
3
1
-
3
Menteng
Jakarta Pusat
-
2
-
-
78
4 5
Senen Cempaka Putih
Jakarta Pusat
-
2
-
1
Jakarta Pusat
-
3
2
-
6
Johar Baru
Jakarta Pusat
-
3
-
-
7
Kemayoran
Jakarta Pusat
-
2
1
1
8
Sawah Besar
Jakarta Pusat
-
3
1
-
-
20
5
2
Jumlah 9
Tamansari
Jakarta Barat
-
2
-
-
10
Tambora
Jakarta Barat
-
2
1
-
11
Palmerah
Jakarta Barat
-
3
-
1
Jakarta Barat
-
2
-
-
12
Grogol Petamburan
13
Kebon Jeruk
Jakarta Barat
-
3
2
-
14
Kembangan
Jakarta Barat
-
3
1
1
15
Cengkareng
Jakarta Barat
-
2
2
-
16
Kalideres
Jakarta Barat
-
2
-
-
-
19
6
2
Jakarta Selatan
-
3
1
1
Jakarta Selatan
-
1
1
-
Jumlah 17
18
Kebayoran Baru Kebayoran Lama
19
Pesanggrahan
Jakarta Selatan
1
2
1
-
20
Cilandak
Jakarta Selatan
1
6
1
1
21
Pasar Minggu
Jakarta Selatan
-
2
-
-
22
Jagakarsa
Jakarta Selatan
-
2
1
-
Jakarta Selatan
-
2
-
-
23
Mampang Prapatan
24
Pancoran
Jakarta Selatan
-
2
-
-
25
Tebet
Jakarta Selatan
-
-
1
-
26
Setiabudi
Jakarta Selatan
-
2
-
-
79
Jumlah
2
22
6
2
27
Matraman
Jakarta Timur
-
2
-
-
28
Pulo Gadung
Jakarta Timur
-
2
1
-
29
Jatinegara
Jakarta Timur
-
5
2
1
30
Duren Sawit
Jakarta Timur
1
4
1
-
31
Kramat Jati
Jakarta Timur
-
4
-
-
32
Makasar
Jakarta Timur
-
5
-
-
33
Pasar Rebo
Jakarta Timur
-
6
1
-
34
Ciracas
Jakarta Timur
-
3
-
-
35
Cipayung
Jakarta Timur
-
5
1
1
36
Cakung
Jakarta Timur
-
2
1
-
1
38
7
2
Jumlah 37
Cilincing
Jakarta Utara
-
3
1
-
38
Koja
Jakarta Utara
-
2
1
-
Jakarta Utara
-
2
1
1
39
Kelapa Gading
40
Tanjung Priok
Jakarta Utara
-
3
-
-
41
Pademangan
Jakarta Utara
-
2
1
1
42
Penjaringan
Jakarta Utara
-
3
2
-
-
15
6
2
Kepulauan Seribu
-
-
-
-
Kepulauan Seribu
-
-
-
-
Jumlah
-
-
-
-
Jumlah Total
3
120
31
10
Jumlah 43
44
Kepulauan Seribu Utara Kepulauan Seribu Selatan
80
Provinsi DKI Jakarta memiliki 5 Kotamadya dan 1 Kabupaten yang terdiri dari 44 Kecamatan32. Tabel di atas menunjukkan sebaran sekolah-sekolah yang ditunjuk sebagai penyelenggara program pendidikan inklusif di kecamatan-kecamatan yang terdapat di Provinsi DKI Jakarta. 164 sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif hanya tersebar di 5 Kotamadya di Provinsi DKI Jakarta yaitu Kotamadya Jakarta Pusat, Kotamadya Jakarta Barat, Kotamadya Jakarta Selatan, Kotamadya Jakarta Timur, dan Kotamadya Jakarta Utara. Di 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan tidak terdapat satu sekolah pun yang menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Tidak semua kecamatan memiliki TK penyelenggara program pendidikan inklusif. Jumlah TK yang ditunjuk Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta hanya berjumlah 3 TK yang terdapat di Kecamatan Pesanggrahan dan Kecamatan Cilandak. Kedua Kecamatan tersebut terdapat di Kotamadya Jakarta Selatan. Satu TK lagi terdapat di Kecamatan Duren Sawit Kotamadya Jakarta Timur. Jumlah SD penyelenggara program pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 120 sekolah. Jumlah tersebut tersebar di 41 Kecamatan dari jumlah total 44 Kecamatan yang terdapat di Provinsi DKI Jakarta. 3 Kecamatan yang tidak memiliki SD yaitu Kecamatan Tebet Kotamadya Jakarta Selatan, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kabupaten Kepulauan Seribu, dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Di tingkat SMP, sebaran sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif hampir merata di setiap Kecamatan karena tidak setiap Kecamatan memiliki sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif di tingkat SMP. Di Kotamadya Jakarta Pusat yang memiliki 8 Kecamatan, terdapat 5 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 4 32
Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, dari http://www.depdagri.go.id/media/filemanager/2010/01/29/1/1/11__dki_jakarta.pdf, 23 Januari 2011
81
Kecamatan. Kotamadya Jakarta Barat yang memiliki 8 Kecamatan, terdapat 6 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 4 Kecamatan. Kotamadya Jakarta Selatan yang memiliki 10 Kecamatan, terdapat 6 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 6 Kecamatan. Di Kotamadya Jakarta Timur, SMP penyelenggara program pendidikan inklusif berjumlah 7 sekolah yang tersebar di 6 Kecamatan dari 10 Kecamatan yang terdapat di Kotamadya Jakarta Timur. Adapun di Kotamadya Jakarta Utara yang memiliki 6 Kecamatan terdapat 6 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 5 Kecamatan. Dengan demikian, 120 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif tersebut tersebar di 25 Kecamatan dari total 44 Kecamatan yang terdapat di Provinsi DKI Jakarta. Sehingga terdapat 19 Kecamatan di Provinsi DKI Jakarta yang tidak memiliki SMP penyelenggara program pendidikan inklusif. Di tingkat SMA/SMK terdapat 10 sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif. 10 SMA/SMK tersebut tersebar di 10 Kecamatan di 5 Kotamadya.
Masing-masing
Kotamadya
memiliki
2
SMA/SMK
penyelenggara program pendidikan inklusif. Dengan demikian, terdapat 34 Kecamatan yang tidak memiliki SMA/SMK penyelenggara program pendidikan inklusif. 2. Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Implementasi kebijakan-kebijakan yang terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dapat dikelompokkan menjadi: a. Kesiswaan Kebijakan
yang
terkait
dengan
kesiswan
pendidikan
inklusif
dilaksanakan dengan menerima semua kategori anak-anak berkebutuhan
82
khusus. Dalam implementasi di lapangan, tidak serta semua jenis kebutuhan khusus yang dimiliki peserta didik dapat diterima di sekolah reguler. Proses skrining dan assesment selalu dilakukan sebelum peserta didik berkebutuhan khusus masuk di sekolah reguler. Dra. Septi Novida, M.Pd sendiri menyatakan bahwa: “…Sampai saat ini memang hanya kasus-kasus tertentu yang dapat tertampung di sekolah-sekolah inklusif. Biasanya anak A yang banyak masuk di sekolah-sekolah inklusif, anak B masih jarang ditemukan karena faktor komunikasi yang menyulitkan. Kasus anak C yang lambat belajar juga masih jarang ditemukan. Anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan dalam hal fisik, misalnya anakanak yang memakai kursi roda juga masih jarang ditemukan yang masuk ke sekolah-sekolah inklusif…”33 Pada kenyataan yang terjadi di lapangan, sekolah pada prinsipnya menerima semua jenis kebutuhan khusus yang terdpat dalam diri calon peserta didik. Guru program inklusi SMP Negeri 223 Pasar Rebo memberikan pemaparan bahwa: “…Pada prinsipnya kami menerima semua jenis anak-anak berkebutuhan khusus. Namun memang kami harus melakukan identifikasi agar anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan ekstrem tidak serta merta kami terima sebagai siswa di sini. Kalau anak-anak berkebutuhan khusus tersebut dianggap mampu mengikuti proses pembelajaran, maka mereka kami terima sebagai siswa, namun jika mereka tidak dapat mengikuti proses pembelajaran maka mereka kami arahkan untuk masuk ke SLB dan disitu ada pendidikan secara khusus. Kalau di sekolah reguler seperti ini kan semuanya harus mengikuti pendidikan yang sama, kalaupun anakanak berkebutuhan khusus tersebut harus ditangani secara khusus maka kami sudah menyiapkan program pembelajaran khusus bagi mereka. Selain itu, di sekolah reguler juga tidak banyak terdapat tenaga pendidikan khusus yang dapat menangani pembelajaran khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus...”34 Berkaitan dengan penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus, manajer program inklusi SMA Negeri 66 Cilandak menyatakan bahwa:
33 34
Wawancara dengan Septi Novida Wawancara dengan Sukarto
83
“…Pada dasarnya kami menerima semua jenis kebutuhan khusus yang dimiliki peserta didik. Hanya saja memang tidak serta merta mereka yang berkebutuhan khusus dapat masuk menjadi peserta didik, karena tidak mungkin kami menerima anak-anak berkebutuhan khusus dengan kekurangan-kekurangan yang ekstrem. Kami pun tidak serta merta menerima mereka yang sebelumnya bersekolah di SLB. Pada saat penerimaan pun kami mewajibkan orang tua-orang tua yang anaknya berkebutuhan khusus untuk datang ke sekolah menemui kami untuk kami jelaskan mengenai bagaimana anak-anak mereka kami tangani di sekolah. Kalau para orang tua tersebut menyanggupi agar anak-anak mereka bersekolah di sini, kami menyiapkan perjanjian di atas kertas mengenai apa saja yang harus mereka penuhi ketika anakanak mereka yang berkebutuhan khusus bersekolah di sini…” 35 Pada saat masa Penerimaan Siswa Baru (PSB), jalur penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus tidak sama dengan peserta didik reguler lainnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak: “…Kebijakan lain yaitu mengenai adanya jalur penerimaan yang diperuntukkan secara khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus dimana mereka yang berkebutuhan khusus ketika mendaftarkan diri di sekolah maka penerimaannya tidak disamakan dalam hal ujian masuk dan persyaratan-persyaratan lainnya…”36 Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa penerimaan peserta didik berkelainan dan/atau peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa pada satuan pendidikan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah.
Satuan
pendidikan
penyelenggara
pendidikan
inklusif
mengalokasikan kursi peserta didik yang memiliki kelainan paling sedikit 1 (satu) peserta didik dalam 1 (satu) rombongan belajar yang akan diterima. Apabila dalam waktu yang telah ditentukan, alokasi peserta
35 36
Wawancara dengan Suparno Wawancara dengan Suparno
84
didik tidak terpenuhi, satuan pendidikan dapat menerima peserta didik normal37. Di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, satuan pendidikan penyelenggara program pendidikan inklusif hanya menerima maksimal 2 (dua) peserta didik yang memiliki kelainan atau kebutuhan khusus dalam 1 (satu) rombongan belajar. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Dra. Septi Novida, M.Pd: “…Kami sendiri memiliki kebijakan agar anak-anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas tidak lebih dari 2 orang sehingga guru sendiri tidak kerepotan dalam menangani anak-anak berkebutuhan khusus…”38 Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dengan sekolah-sekolah penyelenggara
pendidikan
inklusif
telah
merencanakan program
identifikasi kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan mereka. Identifikasi dilakukan melalui proses skrining atau assesment yang bertujuan agar pada saat pembelajaran di kelas, bentuk intervensi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus merupakan bentuk intervensi pembelajaran yang sesuai bagi mereka. Assesment yang dimaksud yaitu proses kegiatan untuk mengetahui kemampuan dan kelemahan setiap peserta didik dalam segi
perkembangan
kognitif
dan
perkembangan
sosial
melalui
39
pengamatan yang sensitif . Selain itu, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta juga memberikan subsidi beasiswa bagi peserta didik berkebutuhan khusus yang terdapat pada sekolah-sekolah yang telah ditunjuk untuk menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Daftar sekolah yang menerima subsidi beasiswa sebagai berikut:
37
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009, Pasal 5 Wawancara dengan Septi Novida 39 Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 1 38
85
Tabel 340 Daftar Nama Sekolah Inklusif Penerima Subsidi Beasiswa Tahun Anggaran 2010 Jumlah No
Nama Sekolah
Alamat
Wilayah
Peserta Didik
1
SDN Cempaka Jl. Cempaka Putih Pusat
Beasiswa /1 Tahun
30
3.600.000
23
2.760.000
12
1.440.000
22
2.640.000
23
2.760.000
Utara
26
3.120.000
Marunda Jl. Marunda Pulo Utara
71
8.520.000
57
6.840.000
66
7.920.000
Putih Barat 16 Barat XIX PG 2
SD Johar Baru Jl. 29 PG
3
Percetakan Pusat
Negara II A
SDN Kartini 02 Jl. Petang
4
SDN
Royong Gg. E Bendhil Jl. Danau Toba Pusat
01 PG 5
Gotong Pusat
Pejompongan
SDN
Kelapa Jl. Komplek PT. Utara
Gading
Timur HII
04 PG 6
SDN
Sungai Jl. Gadang No. 52
Bambu 02 PG 7
SDN
02 PAGI
Rt.
003/07
Marunda 8
SDN SLIPI 18 Jl. KS Tubun III Barat PAGI
9
SD
Dalam Negeri Jl.
Lap.
Jabek Barat
Meruya Selatan Komp. Mega
40
Lampiran I Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Nomor 1449/2010 Tanggal 13 Oktober 2010
86
06 Pagi 10
SDN Palmerah Jl. Rawa Belong Barat
50
6.000.000
Pertanian Selatan
14
1.680.000
Gunung Selatan
10
1.200.000
18
2.160.000
32
3.840.000
14
1.680.000
Selatan
32
3.840.000
Lebak Jl. Pertanian Raya Selatan
23
2.760.000
24
2.880.000
50
6.000.000
10
1.200.000
24 Pagi
II E Rt. 06/10 No. 153
11
SDN
Lebak Jl.
Bulus 03 12
III/58
SDN
Lebak Jl.
Bulus 06 Pagi
Balong
Lebak
Bulus 13
SDN
Cipete Jl.
Selatan 08 PT
Anggur
Komplek
II Selatan BRI
Cilandak 14
SDN
Menteng Jl. Dr. Sahardjo Selatan
Atas 04 PG
No. 121 Menteng Atas
15
SDN
Cipete Jl.
Selatan 04
Anggur
Komplek
II Selatan BRI
Cilandak 16
SDN
Cipete Jl. Kirai Ujung
Utara 12 PG 17
SDN
Bulus 02 PAGI
No.
59
Lebak
Bulus 18
SDN
Pela Jl. Bangka II Gg Selatan
Mampang
01 V Rt 10/02
PAGI 19
SDN
Kebon Jl.
Pala 03 20
TK
Jengki
Cip. Timur
Asem Kebon Pala Negeri Jl. Bambu Duri X Timur
Pembina DKI
Pd. Bambu
87
21
SDN
Gedong Jl. Raya Condet Timur
24
2.880.000
35
4.200.000
25
3.000.000
31
3.720.000
40
4.800.000
Rt. Timur
27
3.240.000
SDN Cipayung Jl. SMAN 64 Rt. Timur
26
3.120.000
04 Pagi 22
SDN
Gedong Gedong Jl. Raya Condet Timur
12 Pagi
Gg. Pembangunan II
23
SDN Cijantung Jl. 01 Pagi
Pertengahan Timur
Rt.
06/07
Cijantung 24
SDN
Gedong Jl. Raya Condet Timur
03 Pagi 25
SDN
Gedong Kramat Jl. Kerja Bakti Rt. Timur
Jati 24 Pagi 26
SDN
Kramat Jl.
Jati 16 Pagi 27
003/09 No. 40
09 PTG
Langgar
008/10
005/02
b. Kurikulum Kurikulum yang digunakan dalam proses pembelajaran pendidikan inklusif sama dengan kurikulum yang digunakan dalam proses pembelajaran pendidikan inklusif karena program pendidikan inklusif dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif menggunakan
kurikulum
tingkat
satuan
pendidikan
yang
mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai dengan bakat, minat, dan potensinya 41. Dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 disebutkan bahwa kurikulum yang digunakan dalam 41
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009
88
penyelenggaraan pendidikan inklusi adalah kurikulum yang berlaku yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus masing-masing peserta didik berkebutuhan khusus42. Mengenai kurikulum pada program pendidikan inklusif, Dra. Septi Novida, M.Pd menyatakan bahwa: “…Kebijakan mengenai kurikulum sama dengan kebijakan kurikulum yang diselenggarakan di sekolah reguler atau dengan kata lain kebijakan kurikulum pendidikan inklusif mengikuti kurikulum yang sudah ada. Kurikulum itu bersifat fleksibel. Contoh penyelenggaraan pendidikan inklusif yaitu pendidikan yang terdapat dalam film Laskar Pelangi dimana Harun sebagai anak yang mentally retarded diberikan treatment khusus yang disesuaikan dengan kondisi Harun yang tidak sama dengan anak-anak normal lainnya yang berada di kelas…”43 Berkaitan dengan kurikulum pendidikan inklusif, guru SMP Negeri 223 Pasar Rebo menyatakan: “…Secara umum kurikulum bagi anak-anak berkebutuhan khusus adalah sama dengan anak-anak reguler. kalau ada kasus-kasus tertentu dalam kurikulum maka kami adakan modifikasi pada kurikulum agar dapat memenuhi kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus…”44 Manajer program inklusi SMA Negeri 66 menyatakan bahwa: “…Tidak ada kurikulum khusus yang kami rancang untuk anak-anak berkebutuhan khusus, karena anak-anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di sini rata-rata malah anak-anak yang memiliki prestasi. Namun kami selalu menyiapkan modifikasi agar anak-anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan layanan khusus dapat terbantu…”45 Sebagaimana dikemukakan di atas, kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusif adalah kurikulum yang digunakan di sekolah-sekolah reguler, karena peserta didik berkebutuhan
42
Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Wawancara dengan Septi Novida 44 Wawancara dengan Sukarto 45 Wawancara dengan Suparno 43
89
khusus belajar di ruang kelas yang sama seperti halnya anak-anak reguler yang tidak digolongkan ke dalam peserta didik berkebutuhan khusus. Kurikulum yang digunakan saat ini adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jika memang diperlukan, pihak sekolah melakukan modifikasi terhadap kurikulum sesuai dengan kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus di kelas. c. Pendidik dan Tenaga Kependidikan Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta menyiapkan tenaga pendidik agar dapat memahami konsep dan pelaksanaan pendidikan inklusif yang benar. Penyiapan tenaga pendidikan tersebut dilakukan dengan cara mengadakan pelatihan kepada guru-guru sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif. Pelatihan ini dilaksanakan bekerjasama dengan LSM Hellen Keller Internasional (HKI) yang memiliki konsen, salah satunya, dalam pendidikan inklusif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dra. Septi Novida, yaitu: “…Kebijakan mengenai tenaga pendidik sendiri hingga sekarang kami melakukan pemberdayaan guru-guru di sekolah reguler agar dapat memahami konsep inklusif sehingga mereka dapat melayani anakanak berkebutuhan khusus. Hingga kini memang kami sedang berusaha agar pengetahuan mengenai pendidikan inklusif dapat dipahami dengan baik oleh para pendidik, terutama mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusif. Kami sendiri memiliki kebijakan agar anak-anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas tidak lebih dari 2 orang sehingga guru sendiri tidak kerepotan dalam menangani anak-anak berkebutuhan khusus. Tugas guru GPK nantinya adalah membantu anak-anak berkebutuhan khusus agar dapat mengikuti pembelajaran…Kami sendiri menjalin kerjasama dengan Hellen Keller Internasional (HKI) sejak tahun 2003 dimana kami dengan HKI menyelenggarakan pelatihan untuk guru-guru di sekolah reguler agar dapat melayani dan membimbing anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler penyelenggara program pendidikan inklusif…”46
46
Wawancara dengan Septi Novida
90
Pihak Hellen Keller Internasional (HKI) sendiri menyatakan bahwa: “…Sejak tahun 2003 HKI menjalin kerjasama dengan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Kerjasama yang kami jalin yaitu dalam pendidikan program pendidikan inklusif. Di HKI program ini masuk ke dalam program Opportunities for Vulnerable Children (OVC)… kami juga mengadakan pelatihan untuk guru-guru dengan mengundang guru-guru sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif. Namun pelatihan ini Cuma beberapa kali saja kami adakan. Pelatihan untuk guru lebih banyak kami adakan di sekolah-sekolah model pendidikan inklusif…” 47 Selain mengadakan pelatihan bagi guru-guru sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta juga menunjuk beberapa guru SLB (Sekolah Luar Biasa) di lingkungan Dinas untuk menjadi GPK (Guru Pembimbing Khusus)
yang
mendampingi pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah reguler. Dra. Septi Novida, M.Pd menyatakan: “…kami juga menunjuk beberapa guru di SLB untuk berperan sebagai Guru Pembimbing Khusus (GPK) guna mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif. Memang kondisi GPK sejak 2003 sudah ditunjuk beberapa orang guru untuk bisa membantu sekolah-sekolah reguler dalam menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Namun semakin ke sini jumlah mereka semakin menyusut karena status mereka adalah guru honorer. Kondisi kehidupan yang seperti sekarang ditambah dengan status guru honorer yang mereka sandang, kalau tidak berangkat dari hati nurani maka sulit bagi mereka untuk tetap bertahan, apalagi kebanyakan dari mereka masih memiliki status sebagai mahasiswa yang sekarang sudah sarjana dan akhirnya memutuskan untuk bertugas di tempat lain. Berbeda dengan guru-guru yang berstatus PNS yang sampai sekarang masih bertahan sebagai GPK…”48 Guru SMP Negeri 223 Pasar Rebo menyatakan bahwa: “…Pendidik dan tenaga kependidikan yang menanganai pelaksanaan pendidikan inklusif sama dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang menangani pendidikan reguler. Tidak banyak pendidik dan tenaga pendidikan yang memang secara khusus menangani 47 48
Wawancara dengan Fitri Wawancara dengan Septi Novida
91
pelaksanaan pendidikan inklusif, karena sekolah ini dari awal pelaksanaan program pendidikan inklusif sudah ditunjuk, maka kami pun belajar bagaimana menangani pelaksanaan pendidikan inklusif…”49 Manajer program Inklusi SMA Negeri 66 menyatakan: “…Sampai saat ini masing-masing pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah mengetahui dengan baik mengenai keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus dan bagaimana mereka seharusnya mendapatkan pembelajaran dan pelayanan pendidikan yang baik. Saya selaku manajer program inklusi pun selalu menyampaikan dalam berbagai kesempatan mengenai pentingnya pelayanan bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Ketika ada kesulitan dalam penanganan anakanak berkebutuhan khusus, pendidik-pendidik di sekolah selalu melakukan kerjasama yang sampai saat ini terjalin dengan baik…” 50 Kebijakan yang terkait dengan tenaga pendidik dan kependidikan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif dilaksanakan dengan melakukan sosialisasi kepada guru-guru agar dapat memahami dengan baik konsep pendidikan inklusif sehingga peserta didik berkebutuhan khusus dapat terpenuhi kebutuhannya di sekolah. Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta mengadakan pelatihan-pelatihan yang diperuntukkan bagi guru-guru sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif. Pelatihan tersebut, salah satunya, bekerjasama dengan LSM Hellen Keller Internasional (HKI) yang memiliki program Opportunities for Vulnerable Children (OCV). Salah satu yang program OVC tersebut bergerak untuk membantu anak-anak berkebutuhan khusus agar memperoleh pendidikan yang layak dengan tidak ditempatkan dengan serta merta di SLB. Penunjukkan Guru Pembimbing Khusus ditujukan agar sekolah-sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif mendapatkan pendampingan dan arahan yang tepat sehingga ketika terdapat kesulitan-kesulitan dalam 49 50
Wawancara dengan Sukarto Wawancara dengan Suparno
92
pelaksanaan pendidikan inklusif, sekolah dapat berkonsultasi dengan GPK. Namun memang hingga sekarang keberadaan GPK sendiri tidak jelas, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dra. Septi Novida, M.Pd, sehingga kadang-kadang kesulitan-kesulitan yang terdapat di sekolah dalam pelaksanaan pendidikan inklusif tidak dapat teratasi dengan baik. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus51. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak ditunjuk oleh pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang Guru Pembimbing Khusus. Ketersediaan Guru Pembimbing Khusus dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 dipenuhi oleh sekolah yang menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Dalam hal tidak tersedia Guru Pembimbing Khusus pada sekolah yang bersangkutan, pemerintah daerah dapat menyediakan dengan meminta bantuan kepada SLB atau Pusat Sumber atau lembaga lain. d. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana dalam penyelenggaran pendidikan inklusif menggunakan sarana dan prasarana yang terdapat di sekolah dimana pendidikan inklusif diselenggarakan. Bila memang dibutuhkan, Dinas
51
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 41
93
Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memberikan bantuan kepada sekolah yang mengajukan proposal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dra. Septi Novida: “…Kebijakan sarana prasarana sendiri mempergunakan sarana dan prasarana yang sudah tersedia di sekolah-sekolah reguler. Jika memang dibutuhkan, kami memberikan dana khusus bagi sekolahsekolah penyelenggara pendidikan inklusif agar dapat memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana. Namun tidak semua sekolah kami bantu karena mereka harus mengajukan proposal permohonan bantuan dana. Pada prinsipnya, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah membantu pihak sekolah dengan catatan pihak sekolah mengajukan proposal permohonan bantuan mengenai kebutuhan apa saja yang diperlukan mereka dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Bila memang diperlukan, saya sendiri mengajukan rekomendasi kepada pemerintah pusat agar sekolah tertentu dibantu oleh pemerintah pusat…”52 Guru SMP Negeri 223 Pasar Rebo menyatakan bahwa Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta sangat membantu dalam pengadaan sarana dan prasarana penyelenggaraan pendidikan inklusif. Hal ini sebagaimana penjelasan Sukarto, S.Pd: “…Dinas Pendidikan Provinsi memberikan bantuan sarana dan prasarana agar memudahkan pelaksanaan pendidikan inklusif. Misalnya alat rekam agar siswa berkebutuhan khusus dapat merekam pelajaran untuk diputar ulang di rumah dengan bantuan orang tua…”53 Hal senada juga diungkapkan oleh Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak. Ketika ditanya mengenai pengadaan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, ia menjawab bahwa pihak sekolah sangat terbantu oleh bantuan-bantuan yang diberikan oleh Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Selain dari Dinas Pendidikan Provinsi, SMA Negeri 66 juga mendapatkan bantuan dari Direktorat PSLB Kementerian Pendidikan Nasional. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Suparno, S.Pd: 52 53
Wawancara dengan Septi Novida Wawancara dengan Sukarto
94
“…Sampai saat ini kami sangat terbantu dengan bantuan-bantuan yang diberikan baik oleh Direktorat PSLB maupun oleh Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Orang tua anak-anak berkebutuhan khusus pun ada beberapa yang membantu kami, sehingga sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pun dapat terpenuhi dengan baik. Misalnya ketika kebutuhan untuk laptop bagi peserta didik, kami pun menyediakan laptop khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus agar tidak ada pembedaan antara anak-anak reguler dengan anak-anak berkebutuhan khusus...”54 Dapat dipahami bahwa Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memiliki komitmen tinggi dalam pengadaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan sekolah dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusif. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif berhak memperolah bantuan profesional sesuai dengan kebutuhan dari pemerintah Kabupaten/Kota. Bantuan profesional yang dimaksud dalam peraturan tersebut dapat berupa penyediaan sarana dan prasarana55. Ketentuan mengenai sarana dan prasarana disebutkan dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa sarana dan prasarana yang terdapat pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusi adalah sarana dan prasarana yang telah terdapat pada sekolah/madrasah yang bersangkutan dan ditambah dengan aksesabilitas serta media pembelajaran yang diperlukan bagi peserta didik berkebutuhan khusus56. e. Keuangan/Dana Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007, pembiayaan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif
54
Wawancara dengan Suparno Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 56 Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Pasal 11 55
95
bersumber pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada pos anggaran Dinas Dikdas dan Dinas Dikmenti57. Dalam hal keuangan, Dinas Pendidikan Provinsi DKI menyatakan bahwa Dinas memberikan bantuan finansial bagi sekolah-sekolah yang mengajukan proposal dan proposalnya diterima. Selain itu, dana yang dialokasikan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta diambil dari dana BOP (Bantuan Operasional Pendidikan) dan DOP (Dana Operasional Pendidikan). Hal ini sesuai dengan pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd: “…Kebijakan keuangan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif kami berikan kepada sekolah-sekolah yang mengajukan proposal permohonan bantuan dana. Dana tersebut kami ambil dari dana BOP dan DOP. Di samping itu kami juga mengalokasikan dana dari bidang kami (Bidang TK, SD, dan PLB) untuk diberikan kepada sekolahsekolah penyelenggara program pendidikan inklusif jika dibutuhkan…”58 Dana operasional dari Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta yang diperuntukkan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif sudah diberikan sebanyak 2 (dua) kali yaitu pada tahun 2009 dan tahun 2010. Pada tahun 2009 jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang menerima dana operasional sebanyak 20 sekolah dengan besaran dana sebesar Rp. 20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah) untuk masing-masing sekolah. Alokasi anggaran biaya operasional penyelenggara pendidikan inklusif tersebut berasal dari Dana APBD Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD) Dinas Pendidikan Tahun 200959. Pada tahun 2010, jumlah sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif yang menerima dana pendamping berjumlah 5 (lima) sekolah 57
Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Pasal 16 Wawancara dengan Septi Novida 59 Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 842/2009 Tentang Penunjukkan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi TK, SD, SMP yang Mendapatkan Biaya Operasional Tahun Anggaran 2009 58
96
dengan besaran dana untuk masing-masing sekolah berjumlah Rp. 18.000.000,- (Delapan belas juta rupiah). Daftar sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif yang menerima biaya operasional tahun 2009 dan dana pendamping tahun 2010 sebagai berikut: Tabel 4 Daftar Nama Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif Penerima Biaya Operasional Tahun Anggaran 2009 No Nama Sekolah
Alamat
Kecamatan
Wilayah
1
SDN Johar Baru 29
Jl. Percetakan
Johar Baru
Pusat
Pagi
Negara II A
SDN Cempaka Putih
Jl. Cempaka Putih
Cempaka
Pusat
Barat 16 Pagi
Barat XIX
Putih
SDN Kramat Jati 24
Jl. Kerja Bakti Rt.
Kramat Jati
Timur
Pagi
003/09 No. 40
SDN Sukabumi Selatan
Jl. Raya Pos
Kebon Jeruk
Barat
07 Pagi
Pengumben Rt.
Palmerah
Barat
Senen
Pusat
Pulo Gadung
Timur
Cilandak
Selatan
2
3
4
002/08 Sukabumi Selatan 5
SDN Slipi 18 Pagi
Jl. KS Tubun III Dalam
6
TK Aisyiyah 31
Jl. Salemba Bluntas I/77 Salemba Paseban
7
8
SDN Jatinegara Kaum
Jl. Jatinegara
14 Pagi
Kaum 10/3
SDN Lebak Bulus 06
Jl. Gunung Balong
Pagi
97
9
SDN Marunda 02 Pagi
Jl. Marunda Pulo
Cilincing
Utara
Jl. Pramukasari I
Cempaka
Pusat
No. 19
Putih
SDN Tanah Tinggi 01
Jl. Tanah Tinggi I
Johar Baru
Pusat
Pagi
Gang 2
SDN Rawabadak
Jl. Mundari
Koja
Utara
Selatan 07 Pagi
Bendungan
Penjaringan
Utara
Duren Sawit
Timur
Sawah Besar
Pusat
Rt. 003/07 10
11
12
SMP Negeri 118
Melayu Rawabadak 13
SDN Pluit 06 Petang
Jl. Komp. Nelayan Muara Angke Rt. 001/01
14
TK Negeri Pembina
Jl. Bambu Duri X
DKI Jakarta
Pondok Bambu Duren Sawit
15
SDN Kartini 02 Petang
Jl. Gotong Royong Gang E
16
SMP Negeri 191
Jl. Kepa Duri Raya Kebon Jeruk
Barat
17
SMP Negeri 240
Jl. H. Raya No. 16
Kebayoran
Selatan
B
Baru
Jl. Kamal Muara
Penjaringan
Utara
Pasar Rebo
Timur
Pasar Rebo
Timur
18
SMP Negeri 120
Raya No. 9 19
SDN Gedong 12 Pagi
Jl. Raya Cindet Gg. Masjid
20
SMP Negeri 223
Jl. Surilang No. 6
Tabel 5 Daftar Nama Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif
98
Penerima Dana Pendamping Tahun Anggaran 2010 No
Nama Sekolah
Alamat
Kecamatan
Wilayah
1
SDN Cempaka Putih
Jl. Cempaka Putih
Cempaka
Pusat
Barat 16 Pagi
Barat XIX
Putih
SDN Marunda 02 Pagi
Jl. Marunda Pulo
Cilincing
Utara
Kembangan
Barat
Setiabudi
Selatan
Kramat Jati
Timur
2
Rt. 003/07 3
4
SDN Meruya Selatan
Jl. Lap. Jabek Rt.
06 Pagi
002/001 Mega
SDN Mentas 04
Jl. Dr. Sahardjo No. 121 Menteng
5
SDN Kramat Jati 24
Jl. Kerja Bakti Rt.
Pagi
003/09 No. 40
Dalam hal pendanaan, guru SMP Negeri 223 menyatakan bahwa pendanaan untuk penyelenggaraan program pendidikan inklusif selain berasal dari sekolah sendiri, juga berasal dari Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dan Direktorat PSLB. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Sukarto: “…Pendanaan untuk pelaksanaan pendidikan inklusif berasal dari biaya sekolah, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, dan Direktorat PSLB Pusat…”60 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Suparno selaku Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak. Ia menyatakan: “…Pendanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif diperoleh dari bantuan dari Direktorat PSLB, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, dan dana sekolah yang dialokasikan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif…”61
60 61
Wawancara dengan Sukarto Wawancara dengan Suparno
99
Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memang belum bisa memberikan bantuan finansial kepada semua sekolah yang telah ditunjuk untuk menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Hal ini dikarenakan dana yang dibutuhkan sangat besar jika semua sekolah yang telah ditunjuk tersebut diberikan bantuan finansial. Maka, sebagaimana dijelaskan oleh Dra. Septi Novida, M.Pd, bantuan diberikan hanya kepada sekolah-sekolah yang mengajukan proposal permohonan bantuan dana dan proposal tersebut diterima karena telah dipertimbangkan kelayakannya. Namun demikian, pihak sekolah sendiri pun mengakui bahwa
sekolah
sendiri
sudah
mengalokasikan
dana
untuk
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Dana yang dibutuhkan sekolah pun ada juga yang berasal dari pemerintah pusat yang diberikan lewat Direktorat PSLB. f. Model Pendidikan Inklusif Model inklusif yang dipakai di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta adalah model inklusif moderat, dimana peserta didik berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan peserta didik lainnya di kelas reguler. Pada kesempatan-kesempatan tertentu dimana peserta didik berkebutuhan khusus membutuhkan penanganan khusus maka peserta didik berkebutuhan khusus dipisahkan untuk diberikan treatment khusus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd: “…Pada prinsipnya, baik anak-anak normal dan anak-anak berkebutuhan khusus selalu bersama-sama dalam pembelajaran di sekolah inklusif. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak normal dapat mengetahui dan memahami bahwa di sekitar mereka terdapat anakanak berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan dalam hal fisik maupun emosional. Pun dengan anak-anak berkebutuhan khusus agar mereka dapat merasakan kehidupan normal layaknya anak-anak lainnya. Namun dalam prakteknya, sebagian dari anak-anak berkebutuhan khusus mungkin dapat dipisah ketika memang mereka
100
tidak dapat disatukan. Ini bagian dari strategi pembelajaran yang dapat dipraktikkan oleh guru…”62 Hal senada juga diungkapkan oleh guru inklusi SMP Negeri 223 Pasar Rebo yang menyatakan: “…Dari awal sudah disampaikan bahwa di sekolah ini ada siswa yang berkebutuhan khusus sebelum tahun ajaran baru dimulai. Informasi ini kami sampaikan di kelas-kelas agar guru-guru di sini mengetahui kondisi yang ada di sekolah… Selain itu, ada juga anak-anak berkebutuhan khusus yang diberi catatan oleh psikolog. Hal ini diperlukan karena masing-masing siswa berkebutuhan khusus memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Misalnya siswa tuna netra yang bisa saja duduk di belakang atau duduk di depan kelas. Contoh lain misalnya siswa tuna rungu yang harus duduk di depan. Pada awal proses belajar mengajar, kami menginformasikan kepada wali kelas untuk membuat denah yang disesuaikan dengan kondisi anak-anak berkebutuhan khusus…”63 Manajer program inklusi SMA Negeri 66 Cilandak juga menyatakan hal yang serupa yaitu: “…Proses pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus disamakan dengan anak-anak reguler lainnya…”64 Pada
prinsipnya,
peserta
didik
berkebutuhan
khusus
diberikan
kesempatan yang sama untuk mendapatkan pembelajaran di kelas bersama-sama dengan peserta didik yang tidak digolongkan ke dalam anak-anak berkebutuhan khusus. Pemisahan peserta didik berkebutuhan khusus dari kelas reguler dilakukan hanya pada kesempatan-kesempatan tertentu dimana proses pembelajaran tidak bisa disama ratakan. Dra. Septi Novida, M.Pd sendiri menyatakan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari strategi yang disesuaikan saja dengan kebutuhan. Pihak dinas sendiri tidak memberikan aturan ketat mengenai bagaimana model pendidikan inklusif seharusnya dipraktikkan di sekolah. Sekolahlah yang paling mengetahui kondisi peserta didiknya, sehingga kebutuhan peserta didik harus diidentifikasi sendiri oleh sekolah. 62
Wawancara dengan Septi Novida Wawancara dengan Sukarto 64 Wawancara dengan Suparno 63
101
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta mengacu kepada konsep inklusi penuh (full inclusion) dimana peserta didik berkebutuhan khusus belajar secara penuh di kelas reguler. Dengan demikian model tersebut tidak sesuai dengan model yang ditentukan oleh pemerintah. Pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd sendiri memberikan pemhaman bahwa proses pembelajaran yang diperuntukkan bagi peserta didik berkebutuhan khusus baik penuh maupun parsial hanya merupakan bagian dari strategi yang perlu dipahami dengan baik oleh guru-guru yang menangani pendidikan inklusif. Model pendidikan inklusif moderat seperti yang menjadi ketentuan dari pemerintah pusat secara literatur tidak ditemukan karena sebagaimana dinyatakan Morrison, pendidikan inklusif pada dasarnya memiliki dua model. Pertama yaitu model inklusi penuh (full inclusion) dimana peserta didik berkebutuhan khusus menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler. Kedua yaitu model inklusif parsial (partial inclusion) dimana peserta didik berkebutuhan khusus sebagian mengikuti pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan bantuan guru pendamping khusus65. Model kelas inklusif yang dimodifikasi sesuai dengan ketentuan pemerintah yang terdiri dari kelas reguler penuh, kelas reguler dengan cluster, kelas reguler dengan pull out, kelas reguler dengan cluster dan pull out, kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian, dan kelas khusus penuh di sekolah reguler sebagaimana dinyatakan oleh Sip Jan Pijl dan Cor J.W.Meijer 66, tidak dipakai dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta. Sebagaimana dinyatakan pemerintah 65
George Morrison, Early Childhood Education Today, (New Jersey: Pearson Education Inc., 2009), h. 462. 66 Sip Jan Pijl dan Cor J.W.Meijer, Factor In Inclusion: A Framework dalam Sip Jan Pijl (eds.), Inclusive Education; A Global Agenda, (London: Routledge, 1997), h. 12.
102
pusat lewat Direktorat PSLB, penyelenggaraan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus di Indonesia tetap mengambil semangat dan filosofi inklusif. Implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta selalu dievaluasi oleh Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Dra. Septi Novida, M.Pd: “…Sebenarnya kami tidak mengalokasikan proses khusus untuk penilaian atau peninjauan ulang terhadap kebijakan-kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif yang sudah kami keluarkan, namun kami melakukan proses penilaian saat kami melakukan monitoring di sekolah-sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif dengan cara menanyakan langsung apakah kebijakan-kebijakan penyelenggaraan program pendidikan inklusif sudah berjalan di sekolah atau belum terselenggara…”67 Guru inklusif di SMP Negeri 223 Pasar Rebo mendukung pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa: “…Dinas Pendidikan melakukan monitoring terhadap pelaksanaan pendidikan inklusif di sini. Di samping itu, monitoring juga dilakukan oleh pengawas dan pihak penyelenggara Sekolah Luar Biasa…” 68 Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak menambahkan dukungan atas pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd dengan menyatakan: “…Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta selalu melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif. Kami sebagai penyelenggara pendidikan inklusif merasa sangat terbantu dengan adanya pengawasan yang dilakukan oleh pihak Dinas. Selain dari Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, monitoring juga dilakukan oleh Direktorat PSLB Pusat…”69 Dengan ini Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta melakukan evaluasi terhadap kebijakan karena melihat pentingnya proses evaluasi terhadap kebijakan. Dalam hal ini Budi Winarno menyatakan bahwa evaluasi 67
Wawancara dengan Septi Novida Wawancara dengan Sukarto 69 Wawancara dengan Suparno 68
103
diperlukan untuk melihat sejauh mana kebijakan telah mampu memecahkan masalah atau tidak70. Selain itu, evaluasi tersebut akan menentukan perubahan terhadap kebijakan. Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat tetap seperti semula, diubah, atau dihilangkan sama sekali71. Dari deskripsi dan analisis data di atas, kebijakan penyelenggaraan pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta telah melalui tahap-tahap kebijakan sebagai berikut: a. Penyusunan agenda, dikaitkan dengan dimasukkannya pendidikan peserta didik berkebutuhan dalam bentuk pendidikan inklusif sebagai salah satu masalah yang perlu disusun dalam agenda kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta. b. Formulasi
kebijakan,
dikaitkan
dengan
formulasi
kebijakan
penyelenggaraan pendidikan inklusif yang secara substansi sama dengan kebijakan dari tingkat pusat dengan penyesuaian yang disesuaikan dengan kemampuan sumber daya Provinsi DKI Jakarta c. Adopsi
kebijakan,
dikaitkan
dengan
dilegitimasinya
kebijakan
penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta lewat Peraturan Pemerintah Daerah Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi d. Implementasi
kebijakan,
dikaitkan
dengan
pelaksanaan
kebijakan
penyelenggaraan pendidikan inklusif seperti penunjukkan sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif oleh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, pemberian bantuan kepada sekolah-sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif, pemberian beasiswa bagi peserta didik berkebutuhan khusus, dan lain-lain. 70
Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, (Yogyakarta: Media Presindo, 2007), h.
34 71
Robert B. Denhardt dan Janet V. Denhardt, Public Administration: An Action Orientation, (Boston: Wadsworth, 2009), h. 55
104
e. Evaluasi kebijakan, dikaitkan dengan monitoring terhadap pelaksanaan pendidikan inklusif yang dilakukan oleh Bidang SD/TK/PLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan mengenai kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta, didapati kesimpulan sebagai berikut: 1.
Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta merupakan kebijakan yang akomodatif dan fleksibel. Disebut akomodatif karena kebijakan tersebut memberikan kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus yang memiliki kelainan dalam hal fisik, mental, emosional, dan sosial dan peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan/atau bakat istimewa untuk bersama-bersama belajar di kelas yang sama dengan peserta didik normal lainnya. Disebut fleksibel karena kebijakan tersebut tidak secara rigid diterapkan di lapangan. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
2.
Definisi yang dipakai pemerintah untuk pendidikan inklusif cenderung untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program sekolah. Aturan mengenai pendidikan
105
106
inklusif ingin memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah. Walaupun peserta didik dengan kecerdasan dan/atau bakat istimewa juga dimasukkan dalam salah satu peserta didik pendidikan inklusif, keberadaan mereka tidak banyak menjadi isu dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Dengan demikian pendidikan inklusif yang diselenggarakan di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta berbicara mengenai hak anak berkebutuhan khusus yang memiliki kelainan atau kekurangan dalam hal fisik, mental, dan emosional untuk dapat belajar bersama dengan peserta didik lainnya di sekolah reguler. 3.
Tidak terdapat model pendidikan inklusif yang dijadikan acuan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Model yang terdapat dalam literatur hanya dipandang sebagai bagian dari strategi yang perlu dipahami dan diterapkan oleh guru-guru pendidikan inklusif.
4.
Belum semua kategori peserta didik yang telah ditentukan pemerintah tertampung di sekolah inklusif. Hal ini disebabkan karena keterbatasan sumber daya yang dapat memenuhi kebutuhan pelayanan pendidikan bagi semua kategori peserta didik berkebutuhan khusus. Selain itu, orang tua anak berkebutuhan khusus banyak yang masih enggan memasukkan anak mereka ke sekolah-sekolah inklusif
5.
Penunjukkan sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta melebihi ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta sendiri hingga saat ini belum memenuhi ketentuan yang termuat dalam
Peraturan
Gubernur
Nomor
116
Tahun
2007
Tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. 6.
Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memberikan bantuan dalam bentuk pelatihan bagi guru-guru inklusi, bantuan finansial, bantuan sarana dan
107
prasarana, dan beasiswa bagi sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
B. Saran Beberapa saran yang dapat penulis kemukakan dalam penelitian ini yaitu: 1.
Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta perlu terus melakukan koordinasi internal, terutama dengan Bidang Tenaga Kependidikan, dalam rangka pemenuhan kebutuhan pendidik yang memahami dengan baik konsep dan implementasi pendidikan inklusif sehingga semua kategori peserta didik berkebutuhan khusus dapat tertangani dengan baik
2.
Sebaiknya, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta melakukan pendataan kembali jumlah Guru Pembimbing Khusus (GPK) yang saat ini ada di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta agar peningkatan kualitas pendidikan inklusif, sebagaimana dicanangkan oleh Bidang TK/SD/PLB, dapat berjalan dengan lancar
3.
Sebaiknya, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dan sekolah-sekolah inklusif melakukan pendataan secara berkala mengenai jumlah dan kondisi peserta didik setiap tahun ajaran baru di sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif agar kebutuhan-kebutuhan peserta didik di sekolah dapat dipetakan untuk kemudian dipenuhi
4.
Sebaiknya, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta melakukan peninjauan ulang mengenai keberadaan peserta didik dengan kecerdasan dan/atau bakat istimewa yang dimasukkan ke dalam kategori peserta didik pendidikan inklusif
5.
Sebaiknya, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta terus mengadakan kerjasama dengan pihak luar seperti LSM Hellen Keller Internasional (HKI) dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan inklusif
6.
Agar aspek pemerataan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif tidak diabaikan, maka Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta perlu meninjau kondisi kecamatan-kecamatan yang memiliki sekolah inklusif dalam jumlah yang sedikit atau bahkan belum memiliki sekolah inklusif seperti
108
Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan di Kabupaten Kepulauan Seribu 7.
Agar pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah-sekolah inklusif dapat berjalan dengan baik, maka guru-guru di sekolah reguler, terutama guruguru di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif (yang ditunjuk Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta) perlu terus meningkatkan pemahaman dan kompetensi yang berkaitan dengan konsep pendidikan inklusif
8.
Agar sekolah penyelenggara pendidikan inklusif tidak melaksanakan pendidikan inklusif sendirian, maka orang tua peserta didik berkebutuhan khusus perlu terus aktif untuk berkordinasi dengan pihak sekolah dalam rangka mengetahui kondisi, perkembangan, dan kebutuhan anak-anak mereka di sekolah
DAFTAR PUSTAKA Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009 Anderson, James E., dkk., Public Policy and Politics in America, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1984, cet. ke-2 _________________, Public Policy Making, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1984, cet. ke-3 _________________, Public Policy Making: An Introduction, Boston: Houghton Mifflin Company: 1994, cet. ke-2 Baihaqi, MIF. dan M. Sugiarmin, Memahami dan Membantu Anak ADHD, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006 Barton, Len dan Felicity Armstrong, Policy, Experience, and Change; Cross Cultural Reflection on Inclusive Education, Dordrecht: Springer, 2007 Bungin, M. Burhan, Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana, 2009 Danim, Sudarwan, Pengantar Studi Penelitian Kebijakan, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), cet. ke-3 Delphie, Bandi, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006 _______, Bandi, Pembelajaran Anak Tunagrahita; Suatu Pengantar dalam Pendidikan Inklusi, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006 Denhardt, Robert B. dan Janet V. Denhardt, Public Administration: An Action Orientation, Boston: Wadsworth, 2009 Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Rencana Strategis Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2013
Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Policy Brief, Sekolah Inklusif; Membangun Pendidikan Tanpa Diskriminasi, No. 9. Th.II/2008, Departemen Pendidikan Nasional Dunn, William N., Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2000, cet. ke-4 Dye, Thomas R., Understanding Public Policy, (New Jersey: Pearson Education Inc., 2005) Edwards III, George C. dan Ira Sharkansky, The Policy Predicament: Making and Implementing Public Policy, San Francisco: W.H. Freeman and Company, 1978 Fliegler, Louis A., “Curriculum Implementation” dalam Curriculum Planning for The Gifted, New Jersey: Prentice Hall Inc., 1961 Hallahan, Daniel P. dkk., Exceptional Learners: An Introduction to Special Education, Boston: Pearson Education Inc., 2009, cet. ke-10
Hanbal, Ahmad Ibn, Musnad Ahmad Ibnu Hanbal, (Kairo: Muassasah Qurtubah, tt), juz 5 Hardin, Brent dan Maria Hardin, “Into the Mainstream: Practical Strategies for Teaching in Inclusive Environments”, dalam Kathleen M. Cauley (ed.), Educational Psychology, New York: McGraw-Hill/Dushkin, 2004 Harjaningrum, Agus Tri, dkk., Peranan Orang Tua dan Praktisi dalam Membantu Tumbuh Kembang Anak Berbakat Melalui Pemahaman Teori dan Tren Pendidikan, Jakarta: Prenada, 2007 Hornby, AS, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford: Oxford University Press, 1995), cet. ke-5 http://en.wikipedia.org/wiki/Inclusion_%28education%29 http://en.wikipedia.org/wiki/Mainstreaming_%28education%29 http://groups.yahoo.com/group/ditplb/message/130 http://puslitjaknov.org/data/file/2008/makalah_undangan/DYAH%20S_Pengkajian% 20Pendidikan%20Inklusif.pdf
http://www.depdagri.go.id/media/filemanager/2010/01/29/1/1/11__dki_jakarta.pdf Islamy, M. Irfan, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1988, cet. ke-3 Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 842/2009 Tentang Penunjukkan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi TK, SD, SMP yang Mendapatkan Biaya Operasional Tahun Anggaran 2009 Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1190/2010 Tentang Penunjukkan Nama-nama TK, SD, SMP, dan SMA/SMK Penyelenggara Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010 Lindgren, Henry Clay, Educational Psychology in the Classroom, Tokyo: Charles E. Tuttle Company, 1967, cet. ke-3 Moloeng, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009 Morrison, George S., Early Childhood Education Today, New Jersey: Pearson Education Inc., 2009 Muslim, al Imam Abi Husain bin al Hajjaj, Shahih Muslim, Kairo: Daar Ibnu Al Haitam, 2001 Nawawi, Hadari dan Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995 Nawawi, Ismail, Public Policy; Analisis, Strategi, Advokasi, Teori, dan Praktek, Surabaya: PMN, 2009 Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, 2007 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 116 Tahun 2007 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Biasa Perlu Pelatihan Khusus untuk Guru; Sekolah Inklusi Butuh Pengajar, Kompas, Rabu, 3 Maret 2010 Pijl, Sip Jan (eds), Inclusive Education: A Global Agenda, London: Routledge, 1997 Putt, Allen D. dan J. Fred Springer, Policy Research; Concepts, Methods, and Application, New Jersey: Prentice Hall, 1989 Reid, Gavin, Dyslexia and Inclusion; Classroom Approaches for Assesment, Teaching and Learning, London: David Fulton Publisher, 2005 Santrock, John W., Psikologi Pendidikan, Jakarta: Prenada Media Group, 2008 Schulz, Jane B., Mainstreaming Exceptional Students; A Guide for Classroom Teachers, Boston: Allyn and Bacon, 1991 Smith, J. David, Inklusi: Sekolah Ramah untuk Semua, Bandung: Penerbit Nuansa, 2006 Stephens, Thomas M. dkk., Teaching Mainstreamed Students, Canada: John Wiley&Sons, 1982 Suharto, Edi, Analisis Kebijakan Publik; Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Bandung: CV. Alfabeta, 2005 Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008, cet. ke-4. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif Taylor, Ronald L., Assesment of Exceptional Students; Educational and Psychological Procedures, New Jersey: Pearson Education Inc., 2009, Cet. Ke-8 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008
Winarno, Budi, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, Yogyakarta: Media Presindo, 2007
ANALISIS KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI PROVINSI DKI JAKARTA
Oleh:
Kamal Fuadi 105018200722
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011M/1432H
ANALISIS KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI PROVINSI DKI JAKARTA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
Kamal Fuadi 105018200722
Di bawah Bimbingan
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011M/1432H
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta” diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasyah pada hari Jum‟at, 11 Maret 2011 di hadapan dewan penguji. Karena itu penulis berhak memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada Jurusan Kependidikan Islam Program Studi Manajemen Pendidikan. Jakarta, 11 Maret 2011 Panitia Ujian Munaqasyah Ketua Panitia (Ketua Jurusan KI) Drs. Rusydy Zakaria, M.Ed., M.Phil. NIP. 19560530 198503 1 002
Tanggal dan Tanda Tangan (………..……..)
(……..…..……)
(………..……..)
(………..……..)
(………..……..)
(………..……..)
(………..……..)
(………..……..)
Ketua Program Studi Manajemen Pendidikan Drs. H. Mu‟arif SAM, M.Pd NIP. 19650717 199403 1 003 Penguji I Prof. Dr. H. Armai Arief, MA NIP. 19560119 198603 1 003 Penguji II Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA NIP. 19540802 198503 1 002
Mengetahui Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
ABSTRAKSI Kamal Fuadi, 105018200722, Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Pemerintah Indonesia memiliki komitmen untuk menyelenggarakan pendidikan demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa yang diwujudkan dengan menyelenggarakan pendidikan inklusif. Provinsi DKI Jakarta merupakan satu-satunya daerah yang mengeluarkan kebijakan khusus penyelenggaraan pendidikan inklusif yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif masih menyisakan berbagai permasalahan seperti belum adanya pemahaman mengenai kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif, belum tertampungnya anak-anak yang teridentifikasi berkebutuhan khusus dalam sekolah-sekolah inklusif dan belum tersedianya sumber daya pendidik sekolah inklusif yang memadai. Penelitian yang menggunakan metode kualitatif deskriptif ini berusaha untuk mendeskripsikan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif dan implementasi kebijakan tersebut di Provinsi DKI Jakarta. Peneliti melakukan wawancara dengan Kepala Bidang TK, SD, PLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Koordinator Program Opportunity for Vulnerable Children (OVC) Hellen Keller International (HKI), dan Guru Program Pendidikan Inklusif di SMP Negeri 223 Pasar Rebo Jakarta Timur dan SMA Negeri 66 Cilandak Jakarta Selatan. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa, pertama, pendidikan inklusif yang diselenggarakan di Provinsi DKI Jakarta cenderung untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program sekolah. Keberadaan peserta didik dengan kecerdasan dan/atau bakat istimewa tidak banyak menjadi isu dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Kedua, penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak menggunakan model sebagaimana terdapat dalam literatur dan ketentuan umum pendidikan inklusif. Model hanya merupakan bagian dari strategi yang perlu diketahui dan dilaksanakan guru. Ketiga, belum semua kategori anak berkebutuhan khusus diterima menjadi peserta didik program pendidikan inklusif. Hal tersebut berkaitan dengan belum terpenuhinya sumber daya sekolah yang memadai. Keempat, penunjukkan sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta melebihi ketentuan yang ditetapkan pemerintah pusat. Kelima, Pemerintah Provinsi DKI selalu bekerja sama dengan pihak sekolah dengan memberikan pelatihan bagi guru-guru inklusi, bantuan finansial, bantuan sarana dan prasarana, dan beasiswa bagi sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Kata Kunci: Kebijakan, Pendidikan Inklusif
Kata Pengantar Bismillaahirrahmaanirraahiim Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang tak pernah berhenti melimpahkan rahmat dan ridla-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan. Shalawat teriring salam penulis curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, tabi‟in, dan para pengikut beliau yang setia menjalankan ajaranajarannya hingga akhir zaman. Penulisan skripsi ini bukan sekadar pemenuhan kewajiban tugas akhir yang harus penulis tunaikan sebagai mahasiswa untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada Program Studi Manajemen Pendidikan Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun lebih jauh penulisan skripsi ini merupakan pembuktian penulis sebagai mahasiswa untuk menulis sebuah karya tulis di akhir masa kuliah. Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis sampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan kepada penulis baik semasa penulis berkuliah maupun semasa penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini. Dengan segala kerendahan dan ketulusan hati, penulis menghaturkan terima kasih kepada: 1.
Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dosen Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukan beliau untuk memberikan arahan selama penulis menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi
2.
Bapak Rusydi Zakaria, M.Ed., M.Phil., Ketua Jurusan Kependidikan Islam, Bapak Drs. Mu‟arif SAM, M.Pd, Ketua Program Studi Manajemen Pendidikan, dan Ibu Iffah Zahriyani, S.Pd, Staf Jurusan KI-MP yang telah memberikan layanan akademik dan menjadi teman diskusi selama penulis menempuh perkuliahan
3.
Bapak Drs. Syauki, M.Pd, Dosen Penasehat Akademik yang selalu memberikan saran dalam menjalani perkuliahan
4.
Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Jurusan Kependidikan Islam Program Studi Manajemen Pendidikan yang telah mendidik dan membimbing penulis dengan ketulusan, profesionalisme, dan dedikasi yang tinggi
5.
Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6.
Bapak Dr. Taufik Yudi Mulyanto, M.Pd, Kepala Dinas Pendidikan dan Ibu Drs. Septi Novida, M.Pd, Kepala Bidang TK/SD/PLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta beserta staf dan jajarannya yang telah memfasilitasi penulis untuk mengadakan penelitian di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta
7.
Bapak Drs. Sugiyono, M.Pd, M.Si, Kepala Sekolah SMA Negeri 66 Jakarta dan Bapak Dr. H.A. Otjin Kusnadie, M.Pd, Kepala Sekolah SMP Negeri 223 yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengadakan penelitian dan wawancara
8.
Ibu Fitri selaku Koordinator Program Opportunity for Vulnerable Children (OVC) Hellen Keller International (HKI) yang telah meluangkan waktu beliau untuk penulis
9.
Bapak Drs. Moh. Djazeri (alm) dan Ibu Dra. Umi Azizah, orangtua penulis yang selalu mendidik, membimbing, memberikan nasehat dan dukungan, serta doa dimanapun penulis berada
10. Fikri Ali, SE, Muthmainnah (feat. Muhammad Nidzam Ardiyan) dan Rofik Habibi, kakak-kakak penulis yang tidak pernah lelah memotivasi. Muhammad Auva Ahdi, Charis Luthfi, dan Shovia Afida, adik-adik penulis yang selalu menjadi penyemangat. Kalian yang terbaik yang penulis miliki 11. Bapak Prof. Dr. Ali Mustafa Ya‟qub, MA, Khadim Ma‟had „Aly DARUS SUNNAH, guru dan orang tua penulis, yang telah mengenalkan lebih jauh kepada penulis mengenai arti istiqamah dan totalitas dalam mendalami ilmu.
Semoga Allah selalu memberikan kesehatan dan limpahan rahmat kepada beliau. 12. Sahabat-sahabat DARUS SUNNAH 2005, A. Syarif Hidayatullah, S.Th.I, Lc., Rikza Ahmad, S.Th.I, Lc., Edo Abdullah Faqih, S.Si, Lc., Fathuddin, SH.I, Lc., Agus Gunawan, S.Th.I, Lc., Zainal Muttaqin, S.Th.I, Lc., Abdul Aziz, Lc., Arya „Izzudin, Lc., Alvian Iqbal Zahasfan, S.SI, Lc., Ahmad Masy‟ari SH.I, Rahmat, Devita Zuliati, S.Pd.I, Lc., Dida Farida, S.SI., Lc., Fajriyati Aljabhati, S.SI, Lc., Fitriyani, S.SI, Lc., dan Maryam Shofa, S.SI, Lc.. Kita adalah sahabat terbaik 13. Sahabat-sahabat AL BARKAH INSTITUTE, Syarif Zakky Azizi, Muhammad Fatkhurrahman, Rohim, Habibullah Siregar, Kurnia Aswaja, Nasihin Aziz Raharjo, dan Ana Mulyana 14. Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Kependidikan IslamManajemen Pendidikan (BEMJ KI-MP) Periode 2007-2008 yang telah bersama-sama mewarnai aktivisme kampus 15. Kawan-kawan Ikatan Mahasiswa Tegal (IMT) Ciputat. Gus Aqib Malik, Abdul Latif, Abraham Firdaus, Iqbal Kaukabuddin, Fatkhul Muin, M. Shobahur Rizqi, Zainal Muttaqin, Hendri Pradiyanto, Alimuddin Tarlay, Atfiyanah, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan di sini. Sungguh kalian menjadi saudara terbaik di perantauan 16. Teman-teman kelas A dan terutama kelas B Jurusan Kependidikan IslamManajemen Pendidikan (KI-MP) angkatan 2005. Maaf saya bukan teman yang baik Penulis menyadari bahwa skripsi sederhana ini sebagai karya tulis sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis selalu mengharapkan kritik dan saran konstruktif. namun dengan kerendahan hati, penulis sangat berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang menggeluti bidang manajemen pendidikan,
minimal bagi diri penulis. Akhirnya hanya kepada Allah jua segala sesuatu penulis kembalikan. Wallaahu A’lamu Bi As Shawab.
Ciputat, 25 Februari 2011
Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ....................................................................................... i DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ................................................................. vi BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah............................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ..................................................................... 8 C. Pembatasan Masalah .................................................................... 9 D. Perumusan Masalah ..................................................................... 9 E. Manfaat Penelitian ....................................................................... 9 BAB II : KAJIAN TEORI ............................................................................ 10 A. Kebijakan .................................................................................... 10 1. Pengertian Kebijakan ............................................................. 10 2. Tahap-Tahap Kebijakan ......................................................... 14 3. Analisis Kebijakan ................................................................. 16 B. Pendidikan Inklusif 1. Pengertian Pendidikan Inklusif .............................................. 20 2. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif..................... 25 3. Model Pendidikan Inklusif .................................................... 27 4. Komponen Pendidikan Inklusif ............................................. 31 5. Pembelajaran Model Inklusif di Kelas Reguler ...................... 35 BAB III : METODE PENELITIAN ............................................................... 39 A. Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................... 39 B. Tujuan Penelitian ......................................................................... 39 C. Metode Penelitian ........................................................................ 39
D. Sumber Data ................................................................................ 40 E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 41 F. Teknik Analisis Data ................................................................... 42 BAB IV : HASIL PENELITIAN .................................................................... 44 A. Gambaran Umum Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ........... 44 1. Visi dan Misi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ............. 44 a. Visi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ....................... 44 b. Misi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ....................... 44 2. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ..................................................................................... 47 a. Tugas Pokok Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta.......... 48 b. Fungsi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ................... 48 3. Tujuan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ....................... 49 4. Sasaran Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ...................... 49 5. Strategi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ...................... 49 6. Arah Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta .......... 50 7. Sasaran Strategik Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta........ 50 8. Kondisi Sekolah, Siswa, dan Guru di Lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ............................................. 51 B. Deskripsi dan Analisis Data ......................................................... 53 1. Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta ............................................................................. 53 2. Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta............................................................ 78 BAB V : PENUTUP ....................................................................................... 102 A. Kesimpulan.................................................................................. 102 B. Saran ........................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 105 DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... 109
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL Gambar Gambar 1
Analisis Kebijakan yang Berorientasi pada Masalah …
Gambar 2
Prosedur Identifikasi, Evaluasi, Konfirmasi, dan
Hal. 18
Penempatan Peserta Didik dalam Pendidikan Luar Biasa …………………………………………………..
Hal. 38
Gambar 3
Jumlah Sekolah di Provinsi DKI Jakarta ……………... Hal. 51
Gambar 4
Jumlah Siswa di Provinsi DKI Jakarta ………………..
Hal. 52
Gambar 5
Jumlah Pendidik di Provinsi DKI Jakarta …………….
Hal. 53
Gambar 6
Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta …..
Hal. 62
Tabel Tabel 1
Daftar Nama TK, SD, SMP, SMA/SMK Negeri Penyelenggara Pendidikan Inklusi Provinsi DKI Jakarta ………………………………………………… Hal. 66
Tabel 2
Sebaran Sekolah Inklusif di Provinsi DKI Jakarta ……
Tabel 3
Daftar Sekolah Inklusif Penerima Subsidi Beasiswa Tahun Anggaran 2010 ………………………………...
Tabel 4
Hal. 74
Hal. 82
Daftar Nama Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif Penerima Biaya Operasional Tahun Anggaran 2009 …………………………………………………...
Tabel 5
Hal. 93
Daftar Nama Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif Penerima Dana Pendamping Tahun Anggaran 2009 …………………………………………………...
Hal. 95
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki komitmen tinggi terhadap upaya pencerdasan bangsa. Komitmen ini dibuktikan dengan pencantuman upaya pencerdasan bangsa dalam konstitusi negara sebagai salah satu hal paling mendasar yang perlu dibangun dan dikembangkan pasca kemerdekaan Indonesia. Komitmen ini kemudian dijabarkan dalam pasal UUD 1945 pasal 31 yang menyebutkan: 1. Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran 2. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang1 Realisasi komitmen yang tercantum dalam konstitusi ini diupayakan dengan menyelenggarakan pendidikan yang terdiri dari beberapa jalur, jenjang dan jenis mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi di seluruh Indonesia. 1
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Pendidikan ini diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa 2. Dalam sekolah, salah satu komponen yang terpenting yaitu peserta didik, karena merekalah yang dijadikan subjek pembelajaran. Peserta didik memiliki keragaman baik dari segi fisik maupun kemampuan. Keragaman yang dimiliki peserta didik ini mempengaruhi proses pembelajaran sehingga perbedaan fisik dan kemampuan peserta didik membutuhkan penanganan tersendiri oleh tenaga pendidik. Pada umumnya, rata-rata peserta didik di sekolah memiliki kondisi fisik dan kemampuan yang normal. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan pemerintah. Kesulitan terjadi tatkala terdapat peserta didik yang memiliki kelainan atau kecerdasan dan bakat istimewa. Perbedaan yang demikian harus mendapat perhatian dari tenaga pendidik. Perbedaan ini seharusnya tidak menjadikan adanya diskriminasi terhadap peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah. Salah satu upaya pemerintah untuk menghindari atau bahkan menghilangkan diskriminasi dalam pendidikan yaitu dengan menyelenggarakan pendidikan yang tidak membeda-bedakan kelainan dan tingkat kecerdasan yang dimiliki peserta didik. Pendidikan yang demikian disebutkan secara eksplisit dengan istilah Pendidikan Khusus dalam Pasal 15 dan Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 15 disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara
2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah3. Dalam Pasal 32 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 juga disebutkan istilah Pendidikan Khusus ini sebagai penjelas Pasal 15 di atas. Dalam Pasal 32 Ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa4. Dalam kedua pasal di atas disebutkan secara jelas mengenai apa yang disebut dengan istilah Pendidikan Khusus dan siapa saja yang berhak mendapatkan pendidikan ini. Pendidikan Khusus ini memang didesain untuk mengakomodir perbedaan yang terdapat pada peserta didik. Perbedaan ini harus direspon dalam bentuk pelaksanaan pendidikan yang mampu mengelola perbedaan-perbedaan yang dimaksud dalam pasal di atas. Pemerintah Indonesia sudah sejak lama menyelenggarakan pendidikan yang secara khusus disediakan bagi peserta didik yang memiliki kelainan. Bentuk pendidikan bagi peserta didik berkelainan ini secara khusus diatur lewat Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Biasa 5. Peraturan pemerintah ini hanya mengatur pendidikan yang disediakan bagi peserta didik yang memiliki kelainan fisik dan mental.
Dalam peraturan ini tidak disebutkan adanya
aturan yang
mengikutsertakan peserta didik yang memiliki bakat dan kecerdasan luar biasa atau istimewa. Istilah Pendidikan Luar Biasa memang selalu dikaitkan dengan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kelainan fisik dan mental. Pendidikan ini didesain secara 3
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 5 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Biasa.
khusus dengan membedakan dan sekaligus memisahkan peserta didik yang memiliki kelainan fisik dan mental dengan peserta didik yang tidak memiliki kelainan fisik dan mental (normal). Di Indonesia pendidikan bagi peserta didik berkelainan selama ini disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda. Sedangkan Pendidikan Terpadu adalah sekolah reguler yang menampung anak berkelainan dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang keberatan menerima anak berkelainan. Pada umumnya, lokasi SLB berada di Ibu Kota Kabupaten. Padahal anak-anak berkelainan tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa), tidak hanya di Ibu Kota Kabupaten. Akibatnya, sebagian anak-anak berkelainan, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan di atas akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar.
Untuk mengantisipasi hal di atas, dan dalam rangka menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak-anak berkelainan, baik yang telah memasuki sekolah umum (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun anak-anak berkelainan yang belum sempat mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 dan pasal 32 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Istilah inklusif mulai digunakan untuk menggantikan istilah pendidikan luar biasa 6. Di Amerika Serikat misalnya, perubahan model pendidikan anak berkekhususan sudah berlangsung mulai tahun 70-an. Tujuan dari perubahan itu tidak lain adalah peniadaan diskriminasi pendidikan bagi populasi individu berkekhususan. Indonesia juga mengalami perkembangan yang hampir sama. Sampai saat ini terdapat banyak sekolah yang mulai membuka program pendidikan inklusif7. Yang melandasi pelaksanaan pendidikan inklusif ini secara umum adalah semangat egalitarianisme yang berarti terdapat kesempatan yang sama bagi semua anak untuk memperoleh pendidikan. Masing-masing anak harus mendapatkan pengalaman belajar yang 6
Ronald L. Taylor, Assesment of Exceptional Students; Educational and Psychological Procedures, (New Jersey: Pearson Education Inc., 2009), Cet. Ke-8, h. 4-6. 7 Agnes Tri Harjaningrum, dkk., Peranan Orang Tua dan Praktisi dalam Membantu Tumbuh Kembang Anak Berbakat Melalui Pemahaman Teori dan Tren Pendidikan, (Jakarta: Prenada, 2007), h. 8-9.
berbeda-beda. Pengalaman yang berbeda ini tidak meniscayakan adanya pendidikan yang dipisahkan, namun berangkat dari perbedaan yang terdapat dalam individu anak8. Menurut data Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Mandikdasmen) Departemen Pendidikan Nasional, jumlah sekolah yang menyelenggarakan pendidikan Inklusif yaitu sebanyak 814 sekolah dengan jumlah siswa mencapai 15.1819. Secara operasional, aturan mengenai sekolah inklusif ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Selain itu, pemerintah melalui Dirjen Mandikdasmen juga telah mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Mandikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif 10. Aturan terbaru yang mengatur pendidikan inklusif yaitu Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Selaras dengan semangat otonomi daerah, pengelolaan pendidikan inklusif didasarkan atas Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Penyelenggaraan pendidikan inklusif di tingkat daerah juga telah memiliki payung hukum tingkat daerah. Sebagai ibukota Indonesia dan memiliki otonomi, Daerah Khusus Ibukota Jakarta memiliki aturan penyelenggaraan pendidikan inklusif lewat Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. Sampai saat ini, Provinsi DKI Jakarta sudah memiliki 164 Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dari mulai tingkat TK, SD, SMP, dan SMA/SMK. Secara 8
Louis A. Fliegler, “Curriculum Implementation” dalam Curriculum Planning for The Gifted, (New Jersey: Prentice Hall Inc., 1961), h. 372-373. 9 Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Policy Brief, Sekolah Inklusif; Membangun Pendidikan Tanpa Diskriminasi, No. 9. Th.II/2008, Departemen Pendidikan Nasional, h. 5. 10 Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, h. 13.
terperinci jumlah tersebut terdiri dari TK sebanyak 3, SD sebanyak 120, SMP sebanyak 31, dan SMA/SMK sebanyak 10 11. Jumlah ini bukanlah jumlah ideal sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam Pergub Nomor 116 Tahun 2007. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa setiap kecamatan sekurang-kurangnya memiliki 3 (tiga) TK/RA, SD/MI dan 1 (satu) SMP/MTs yang menyelenggarakan pendidikan inklusi. Setiap kotamadya sekurang-kurangnya memiliki 3 (tiga) SMA/SMK atau MA/MAK yang menyelenggarakan pendidikan inklusi12. Provinsi DKI Jakarta memiliki 5 kotamadya dan 1 kabupaten dengan 44 kecamatan13. Dengan 5 kotamadya dan kabupaten serta kecamatan sebanyak itu, seharusnya jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, sesuai dengan Pergub Nomor 116 Tahun 2007, di tingkat TK/RA dan SD/MI adalah sebanyak 132 sekolah. Jumlah SMP/MTs sebanyak 44 sekolah dan jumlah SMA/SMK dan MA/MAK sebanyak 15 Sekolah. Selain jumlah yang belum memenuhi kondisi ideal yang seharusnya, penyelenggaraan pendidikan inklusi juga masih menemui berbagai kendala. Dalam salah satu laporan penelitian berjudul Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, disebutkan bahwa efektifitas pendidikan inklusif masih dapat dilihat dinamikanya hanya di tingkat SD, karena di tingkat lanjutan dapat dikatakan tidak ada model pendidikan inklusif, yang ada adalah model pendidikan integrasi (ABK mengikuti semua kegiatan dan aktivitas di sekolah reguler tanpa ada bantuan dan penanganan khusus)14.
11
Lampiran Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Nomor 1190/2010 Tentang Penunjukkan Nama-nama TK, SD, SMP, dan SMA/SMK Penyelenggara Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010. 12 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 116 Tahun 2007. 13 Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, dari http://www.depdagri.go.id/media/filemanager/2010/01/29/1/1/11__dki_jakarta.pdf, 23 Januari 2011 14 Penelitian ini dilakukan dalam skala nasional dengan mengambil sampel di beberapa provinsi penyelenggara pendidikan inklusi. Lihat Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi Anak Berkebutuhan
Pemerintah sendiri mengakui bahwa sampai saat ini tidak semua sekolah umum mau menerima anak-anak dengan kebutuhan khusus. Alasan yang dikemukakan karena tidak ada guru khusus yang menangani mereka dan tidak ada fasilitas yang memadai. Kengganan untuk mengakomodasi anak berkebutuhan khusus disebabkan tidak adanya kesadaran dan minimnya pemahaman tentang pendidikan inklusif. Kengganan tersebut juga lebih banyak terjadi di sekolah-sekolah di kota besar15. Sebagai model pendidikan yang baru memang wajar bila masih terdapat beberapa permasalahan terkait pendidikan inklusif. Namun sangat disayangkan bila pemerintah tidak secara serius menggarap penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pendidikan inklusi diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan
bagi
anak
berkelainan
selama
ini.
Pemerintah
menyatakan
ketidakmungkinan membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa karena akan memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama. Selain itu, penyelenggaraan pendidikan inklusif juga akan membantu percepatan pencapaian target program wajib belajar 9 tahun yang telah dicanangkan pemerintah. Mengingat urgensi permasalahan mengenai pendidikan inklusif di atas, penulis tertarik untuk menulis skripsi berjudul ”Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta”.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah mengenai kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif, maka dapat diidentifikasi masalah penelitian sebagai berikut: 1. Analisis kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta belum direncanakan dengan baik Khusus pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, dari http://puslitjaknov.org/data/file/2008/makalah_undangan/DYAH%20S_Pengkajian%20Pendidikan%2 0Inklusif.pdf, 14 Januari 2010. 15 Perlu Pelatihan Khusus untuk Guru; Sekolah Inklusi Butuh Pengajar, Kompas, Rabu, 3 Maret 2010.
2. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta belum diimplementasikan dengan efektif 3. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusi di provinsi DKI Jakarta belum disosialisasikan secara maksimal 4. Belum adanya pemahaman yang sama mengenai kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta 5. Belum adanya persepsi yang sama mengenai urgensi penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta 6. Kurangnya guru-guru yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta
C. Pembatasan Masalah Mengingat luasnya cakupan permasalahan dalam kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di DKI Jakarta, untuk memfokuskan penelitian dan efisiensi waktu, maka penelitian ini hanya dibatasi pada: 1. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta 2. Implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta
D. Perumusan Masalah Dari pembatasan terhadap masalah-masalah yang muncul, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif dilaksanakan di Provinsi DKI Jakarta?”
E. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini yaitu: 1. Bagi pemerintah, sebagai bahan tambahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif
2. Bagi sekolah, sebagai pengetahuan mengenai kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif 3. Bagi peneliti, sebagai pengetahuan dan pengalaman
BAB II KAJIAN TEORI A. Kebijakan 1. Pengertian Kebijakan Kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy yang berasal dari bahasa Inggris. Kata policy diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan atau pernyataan mengenai tujuan-tujuan, yang diajukan atau diadopsi oleh suatu pemerintahan, partai politik, dan lain-lain. Kebijakan juga diartikan sebagai pernyataanpernyataan mengenai kontrak penjaminan atau pernyataan tertulis 16. Pengertian ini mengandung arti bahwa yang disebut kebijakan adalah mengenai suatu rencana, pernyataan tujuan, kontrak penjaminan dan pernyataan tertulis baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, partai politik, dan lain-lain. Dengan demikian siapapun dapat terkait dalam suatu kebijakan.
16
AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford: Oxford University Press, 1995), cet. ke-5, h. 893.
James E. Anderson memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu17. Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa kebijakan dapat berasal dari seorang pelaku atau sekelompok pelaku yang berisi serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu. Kebijakan ini diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku dalam rangka memecahkan suatu masalah tertentu. James E. Anderson secara lebih jelas menyatakan bahwa yang dimaksud kebijakan adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabatpejabat pemerintah. Pengertian ini, menurutnya, berimplikasi: (1)bahwa kebijakan selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan, (2)bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah, (3)bahwa kebijakan merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, (4)bahwa kebijakan bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, (5)bahwa kebijakan, dalam arti positif, didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa (otoritatif) 18. Dalam pengertian ini, James E. Anderson menyatakan bahwa kebijakan selalu terkait dengan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Pernyataan bahwa kebijakan terkait
dengan pemerintah tidak hanya
disampaikan oleh James E. Anderson. George C. Edwards III dan Ira Sharkansky mengemukakan pengertian kebijakan sebagai apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan itu dapat berupa sasaran atau tujuan dari program-program pemerintah. Penetapan kebijakan tersebut dapat 17
James E. Anderson, Public Policy Making, (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1984), cet. ke-3, h. 3. 18 James, Public Policy Making, h. 3-5.
secara jelas diwujudkan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan atau dalam pidato-pidato pejabat teras pemerintah serta program-program dan tindakantindakan yang dilakukan pemerintah19. Pengertian serupa juga dikemukakan oleh Thomas R. Dye. Ia menyatakan bahwa kebijakan merupakan apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan20. Dalam mendudukkan pengertian kebijakan, James Anderson mencontohkan penggunaan istilah kebijakan seperti dalam kalimat “Kebijakan Ekonomi Amerika”, “Kebijakan Minyak Arab Saudi”, atau “Kebijakan Pertanian Eropa Barat”. Menurutnya, istilah kebijakan dapat juga digunakan untuk istilah yang lebih spesifik dalam arti tidak hanya dilekatkan untuk penggunaan dalam lingkup makro (baca: negara). Contoh yang dikemukakan James E. Anderson seperti pada penggunaan dalam kalimat “Kebijakan Kota Chicago dalam Polusi di Danau Michigan dari Milwaukee, Wisconsin” 21. Pengertian lain mengenai kebijakan dikemukakan oleh M. Irfan Islamy. Ia memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat 22. Kebijakan yang dikemukakan oleh Irfan Islamy ini mencakup tindakantindakan yang ditetapkan pemerintah. Kebijakan ini tidak cukup hanya ditetapkan tetapi dilaksanakan dalam bentuk nyata. Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut juga harus dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu. Terakhir, pengertian Irfan Islamy meniscayakan adanya kepentingan bagi seluruh masyarakat yang harus dipenuhi oleh suatu kebijakan dari pemerintah. 19
George C. Edwards III dan Ira Sharkansky, The Policy Predicament: Making and Implementing Public Policy, (San Francisco: W.H. Freeman and Company, 1978), h.2. 20 Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, (New Jersey: Pearson Education Inc., 2005), h. 1. 21 James E. Anderson, dkk., Public Policy and Politics in America, (California: Brooks/Cole Publishing Company, 1984), cet. ke-2, h. 3. 22 M. Irfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), cet. ke-3, h. 20.
James Anderson menyatakan adanya keharusan untuk membedakan antara apa yang ingin dilaksanakan pemerintah dengan apa yang sebenarnya mereka lakukan di lapangan. Hal ini menjadi penting karena kebijakan bukan hanya sebuah keputusan sederhana untuk memutuskan sesuatu dalam suatu momen tertentu, namun kebijakan harus dilihat sebagai sebuah proses23. Untuk itulah pengertian kebijakan sebagai suatu arah tindakan dapat dipahami secara lebih baik bila konsep ini dirinci menjadi beberapa kategori. Kategori-kategori itu antara lain adalah tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands), keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions), pernyataan-pernyataan kebijakan (policy statements), hasil-hasil kebijakan (policy outputs), dan dampak-dampak kebijakan (policy outcomes)24. Tuntutan-tuntutan kebijakan adalah tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh aktoraktor swasta atau pemerintah, ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah dalam suatu sistem politik. Keputusan kebijakan dimengerti sebagai keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah yang mengesahkan atau memberi arah dan substansi kepada tindakan-tindakan kebijakan publik. Sedangkan pernyataan-pernyataan kebijakan adalah pernyataan-pernyataan resmi atau artikulasi-artikulasi kebijakan publik. Hasil-hasil kebijakan lebih merujuk pada manifestasi nyata dari kebijakan, yaitu hal-hal yang sebenarnya dilakukan menurut keputusan-keputusan dan pernyataan-pernyataan kebijakan. Adapun dampakdampak kebijakan lebih merujuk pada akibat-akibatnya bagi masyarakat, baik yang diinginkan atau tidak diinginkan yang berasal dari tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang menjadi keputusan pemerintah untuk
23
James, dkk., Public Policy and Politics in America, h. 3. James E. Anderson, Public Policy Making: An Introduction, (Boston: Houghton Mifflin Company: 1994), cet. ke-II, h. 6-8. Lihat juga Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, (Yogyakarta: Media Presindo, 2007), h. 19-21. 24
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertujuan untuk memecahkan masalah demi kepentingan masyarakat. 2. Tahap-tahap Kebijakan Dalam pembuatan kebijakan terdapat tahap-tahap yang harus dilewati agar suatu kebijakan dapat disusun dan dilaksanakan dengan baik. Kebijakan yang dimunculkan sebagai sebuah keputusan terlebih dahulu melewati beberapa tahap penting. Tahap-tahap penting tersebut sangat diperlukan sebagai upaya melahirkan kebijakan yang baik dan dapat diterima sebagai sebuah keputusan. Tahap-tahap dalam kebijakan tersebut yaitu: a. Penyusunan Agenda Sebelum kebijakan ditetapkan dan dilaksanakan, pembuat kebijakan perlu menyusun agenda dengan memasukkan dan memilih masalah-masalah mana saja yang akan dijadikan prioritas untuk dibahas 25. Masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan akan dikumpulkan sebanyak mungkin untuk diseleksi. Pada tahap ini beberapa masalah dimasukkan dalam agenda untuk dipilih. Terdapat masalah yang ditetapkan sebagai fokus pembahasan, masalah yang mungkin ditunda pembahasannya, atau mungkin tidak disentuh sama sekali. Masing-masing masalah yang dimasukkan atau tidak dimasukkan dalam agenda memiliki argumentasi masing-masing26. Pihak-pihak yang terlibat dalam tahap penyusunan agenda harus secara jeli melihat masalah-masalah mana saja yang memiliki tingkat relevansi tinggi dengan masalah kebijakan. Sehingga pemilihan dapat menemukan masalah kebijakan yang tepat. b. Formulasi Kebijakan Masalah yang sudah dimasukkan dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh pembuat kebijakan dalam tahap formulasi kebijakan. Dari berbagai 25
Robert B. Denhardt dan Janet V. Denhardt, Public Administration: An Action Orientation, (Boston: Wadsworth, 2009), h. 50-52. 26 Winarno, Kebijakan Publik…, h. 33.
masalah yang ada tersebut ditentukan masalah mana yang merupakan masalah yang benar-benar layak dijadikan fokus pembahasan27. c. Adopsi Kebijakan Dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan, pada akhirnya akan diadopsi satu alternatif pemecahan yang disepakati untuk digunakan sebagai solusi atas permasalahan tersebut28. Tahap ini sering disebut juga dengan tahap legitimasi kebijakan (policy legitimation) yaitu kebijakan yang telah mendapatkan legitimasi29. Masalah yang telah dijadikan sebagai fokus pembahasan memperoleh solusi pemecahan berupa kebijakan yang nantinya akan diimplementasikan. d. Implementasi Kebijakan Pada tahap inilah alternatif pemecahan yang telah disepakati tersebut kemudian dilaksanakan. Pada tahap ini, suatu kebijakan seringkali menemukan berbagai kendala. Rumusan-rumusan yang telah ditetapkan secara terencana dapat saja berbeda di lapangan. Hal ini disebabkan berbagai faktor yang sering mempengaruhi pelaksanaan kebijakan. Kebijakan yang telah melewati tahap-tahap pemilihan masalah tidak serta merta berhasil dalam
implementasi.
Dalam
rangka
mengupayakan
keberhasilan dalam implementasi kebijakan, maka kendala-kendala yang dapat menjadi penghambat harus dapat diatasi sedini mungkin. e. Evaluasi Kebijakan Pada tahap ini, kebijakan yang telah dilaksanakan akan dievaluasi, untuk dilihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah atau tidak. Pada tahap ini, ditentukan kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan telah meraih hasil yang diinginkan 30.
27
Winarno, Kebijakan Publik…, h. 34. Winarno, Kebijakan Publik…, h. 34. 29 Robert, Public Administration…, h. 53. 30 Winarno, Kebijakan Publik…, h. 34. 28
Pada tahap ini, penilaian tidak hanya menilai implementasi dari kebijakan. Namun lebih jauh, penilaian ini akan menentukan perubahan terhadap kebijakan. Suatu kebijakan dapat tetap seperti semula, diubah atau dihilangkan sama sekali31. 3. Analisis Kebijakan Analisis kebijakan merupakan penelitian sosial terapan yang secara sistematis disusun dalam rangka mengetahui substansi dari kebijakan agar dapat diketahui secara jelas informasi mengenai masalah-masalah yang dijawab oleh kebijakan dan masalah-masalah yang mungkin timbul sebagai akibat dari penerapan kebijakan. Ruang lingkup dan metode analisis kebijakan umumnya bersifat deskriptif dan faktual mengenai sebab-sebab dan akibat-akibat suatu kebijakan32. Penelitian kebijakan sedapat mungkin melihat berbagai aspek dari kebijakan agar dapat menghasilkan informasi yang lengkap. Informasi mengenai masalahmasalah yang dijawab oleh kebijakan serta masalah-masalah yang ditimbulkan dari penerapan kebijakan menjadi fokus dari analisis kebijakan. Sudarwan Danim menyatakan bahwa proses penelitian kebijakan pada hakikatnya
merupakan
penelitian
yang
dimaksudkan
guna
melahirkan
rekomendasi untuk pembuat kebijakan dalam rangka pemecahan masalah sosial. Kegiatan penelitian ini dilakukan untuk mendukung kebijakan 33. Sudarwan Danim secara jelas menyatakan hasil yang ingin dicapai dari penelitian kebijakan yaitu menghasilkan rekomendasi yang mungkin diperlukan pembuat kebijakan dalam rangka pemberian solusi terhadap masalah-masalah sosial. Selain itu, penelitian kebijakan perlu dipahami sebagai bentuk dukungan kepada kebijakan itu sendiri. Rekomendasi yang dihasilkan dari proses penelitian kebijakan dapat berupa dukungan penuh terhadap kebijakan, kritik dan saran mengenai bagian mana dari 31
Robert, Public Administration…, h. 55. William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2000), cet. ke-IV, h. 95-97. 33 Sudarwan Danim, Pengantar Studi Penelitian Kebijakan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), cet. ke-III, h. 20-23. 32
kebijakan yang perlu diperbaiki, atau dapat juga berupa rekomendasi agar kebijakan tidak lagi diterapkan. Karakteristik dari penelitian kebijakan secara terperinci dijelaskan oleh Allen D. Putt dan J. Fred Springer. Mereka menyatakan bahwa penelitian kebijakan dicirikan sebagai penelitian yang terfokus pada manusia, plural, multi-perspektif, sistematis, berhubungan dengan keputusan, dan kreatif 34. Penelitian
mengenai
kebijakan
berkaitan
erat
dengan
manusia
dan
permasalahannya. Hasil yang ingin dicapai dari penelitian kebijakan yaitu mengenai informasi yang diformulasikan dalam bentuk rekomendasi dalam rangka pemecahan masalah yang terkait dengan kebijakan. Karakteristik plural dari penelitian kebijakan berasal dari hubungan penelitian dengan manusia. Penelitian kebijakan tidak dapat dipisahkan dari konflik nilai dan kepentingan terdapat dari interaksi manusia. Karakteristik yang plural meniscayakan adanya pendekatan penelitian yang juga plural, dalam arti multi-perspektif. Informasi yang diformulasikan dalam bentuk rekomendasi sebagai hasil yang ingin dicapai oleh penelitian kebijakan mengharuskan adanya pendekatan yang menyeluruh sehingga informasi yang dihasilkan juga dapat berupa rekomendasi yang sesuai dengan kondisi yang ada. Sebagai sebuah penelitian, penelitian kebijakan harus secara sistematis disusun berdasarkan prosedur penelitian sebagai upaya untuk memperoleh informasi terkait dengan kebijakan. Penelitian kebijakan selalu terkait dengan keputusan. Keputusan yang dihasilkan berasal dari rekomendasi yang disampaikan. Keputusan dapat berupa keputusan untuk tetap melanjutkan kebijakan, keputusan untuk memperbaiki kebijakan atau keputusan untuk menghapus atau tidak melanjutkan kebijakan. Informasi yang berkaitan dengan kebijakan berupa masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan, dan kinerja kebijakan. Analisis 34
Allen D. Putt dan J. Fred Springer, Policy Research; Concepts, Methods, and Application, (New Jersey: Prentice Hall, 1989), h. 19-24.
kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia, yaitu: definisi, prediksi, preskripsi, deskripsi dan evaluasi35. Masing-masing dari informasi kebijakan berkaitan dengan prosedur kebijakan. Secara lebih jelas Dunn menggambarkan hubungan antara lima informasi kebijakan dan lima prosedur kebijakan yang ia formulasikan sebagai analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah dengan gambar di bawah ini:
Kinerja Kebijakan
Evaluasi
Peramalan
Masalah Kebijakan
Perumusan Masalah
Hasil Kebijakan
Perumusan Masalah
Perumusan Masalah
Masa Depan Kebijakan
Perumusan Masalah Pemantauan
Rekomendasi
Aksi Kebijakan
Gambar 1. analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah (William Dunn, 2000: 21)
Kelima informasi yang terkait dengan kebijakan saling berkaitan satu sama lain seperti ditunjukkan dalam gambar 1. Tanda panah yang menghubungkan tiap komponen informasi menggambarkan proses dinamis dimana satu tipe informasi dipindahkan ke informasi lain dengan menggunakan prosedur analisis kebijakan yang tepat.
35
Dunn, Pengantar Analisis, …, h. 17-21.
Perumusan masalah (definisi) merupakan upaya untuk mengumpulkan informasi mengenai masalah-masalah yang menimbulkan masalah kebijakan. Melalui prosedur perumusan masalah dapat diidentifikasi mengenai masalah kebijakan yang tepat yang akan dijadikan sebagai fokus. Peramalan (prediksi) berisi informasi mengenai kondisi yang mungkin dapat terjadi pada masa mendatang sebagai konsekuensi dari penerapan kebijakan. Rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi mengenai kegunaan dari dari konsekuensi di masa mendatang dari suatu pemecahan masalah. Pemantauan (deskripsi) menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dari penerapan kebijakan. Evaluasi menyediakan informasi mengenai kegunaan dari pemecahan suatu masalah. Analisis kebijakan dapat dilaksanakan dengan beberapa bentuk. Menurut Dunn terdapat tiga bentuk analisis kebijakan, yaitu: a. analisis kebijakan prospektif analisis kebijakan prospektif adalah analisis kebijakan yang mengarahkan kajiannya pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan sebelum suatu kebijakan diterapkan. Model ini dapat disebut sebagai model prediktif. b. analisis kebijakan retrospektif analisis kebijakan retrospektif adalah analisis kebijakan yang dilakukan terhadap akibat-akibat kebijakan setelah suatu kebijakan diimplementasikan. Model ini biasanya disebut sebagai model evaluatif. c. analisis kebijakan integratif analisis kebijakan integratif adalah bentuk perpaduan antara analisis kebijakan prospektif dan analisis kebijakan retrospektif 36. Bentuk analisis kebijakan prospektif memiliki kelemahan karena hanya berkutat pada analisis kebijakan yang mengarahkan perhatian pada konsekuensi kebijakan sebelum kebijakan diterapkan. Pun dengan bentuk analisis kebijakan retrospektif yang hanya memfokuskan kajiannya pada konsekuensi kebijakan setelah kebijakan diterapkan. Maka analisis kebijakan seharusnya menggunakan
36
Dunn, Pengantar Analisis…, h. 117-124.
bentuk kebijakan integratif, yaitu dengan memadukan antara analisis kebijakan prospektif dan analisis kebijakan retrospektif. Pada umumnya, analisis kebijakan memfokuskan kajiannya pada tiga hal. Ketiga fokus tersebut merupakan pijakan yang dipedomani dalam melakukan analisis kebijakan. Tiga fokus tersebut, yaitu: a. Definisi masalah sosial b. Implementasi kebijakan c. Akibat-akibat kebijakan37 Dengan memfokuskan kajian pada ketiga hal diatas, proses analisis kebijakan akan berusaha mendefinisikan secara jelas permasalahan yang akan menjadi fokus kajian untuk ditanggulangi oleh kebijakan. Setelah masalah yang menjadi fokus kajian analisis kebijakan ditentukan, analisis kebijakan bertugas menentukan kebijakan yang sesuai dengan masalah sehingga masalah dapat dipecahkan dengan baik. Kebijakan yang telah ditetapkan dan diimplementasikan tentu menghasilkan konsekuensi dalam bentuk akibat-akibat. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa akibat positif dan atau akibat negatif. Untuk itulah, analisis kebijakan mengupayakan upaya prediktif dengan meramalkan akibat yang dapat ditimbulkan sebelum
kebijakan
diimplementasikan
dan
atau
sesudah
kebijakan
diimplementasikan. Dengan demikian, analisis kebijakan selalu berkaitan dengan hal-hal sebelum dan sesudah kebijakan ditetapkan dan diimplementasikan. Analisis kebijakan berusaha memberikan definisi yang jelas mengenai kedudukan suatu masalah kebijakan, prediksi yang berkaitan dengan kebijakan, rekomendasi atau preskripsi yang mungkin dapat bermanfaat bagi kebijakan, deskripsi atau pemantauan terhadap kebijakan, dan evaluasi mengenai kebijakan. Semuanya berjalan sebagai 37
Ismail Nawawi, Public Policy; Analisis, Strategi, Advokasi, Teori, dan Praktek, (Surabaya: PMN, 2009), h. 45-46. Lihat juga Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik; Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, (Bandung: CV. Alfabeta, 2005), h. 87.
proses yang runtut dan sistematis dalam rangka mendukung kebijakan yang bertujuan untuk mengatasi masalah.
B. Pendidikan Inklusif 1. Pengertian Pendidikan Inklusif Istilah inklusif memiliki ukuran universal. Istilah inklusif dapat dikaitkan dengan persamaan, keadilan, dan hak individual dalam pembagian sumber-sumber seperti politik, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Menurut Reid, masing-masing dari aspek-aspek tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan satu sama lain38. Reid ingin menyatakan bahwa istilah inklusif berkaitan dengan banyak aspek hidup manusia yang didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu. Dalam ranah pendidikan, istilah inklusif dikaitkan dengan model pendidikan yang tidak membeda-bedakan individu berdasarkan kemampuan dan atau kelainan yang dimiliki individu. Dengan mengacu pada istilah inklusif yang disampaikan Reid di atas, pendidikan inklusif didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu. Istilah pendidikan inklusif digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anakanak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program sekolah. Konsep inklusi memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anakanak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah39. MIF. Baihaqi dan M. Sugiarmin menyatakan bahwa hakikat inklusif adalah mengenai hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Para siswa harus diberi kesempatan untuk mencapai potensi mereka. Untuk 38
Gavin Reid, Dyslexia and Inclusion; Classroom Approaches for Assesment, Teaching and Learning, (London: David Fulton Publisher, 2005), h. 88. 39 J. David Smith, Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2006), h. 45
mencapai
potensi
tersebut,
sistem pendidikan
harus
dirancang
dengan
memperhitungkan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi mereka yang memiliki ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan belajar yang luar biasa harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang bermutu tinggi dan tepat40. Baihaqi dan Sugiarmin menekankan bahwa siswa memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan berdasarkan perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Perbedaan yang terdapat dalam diri individu harus disikapi dunia pendidikan dengan mempersiapkan model pendidikan yang disesuaikan dengan perbedaanperbedaan individu tersebut. Perbedaan bukan lantas melahirkan diskriminasi dalam pendidikan, namun pendidikan harus tanggap dalam menghadapi perbedaan. Daniel P. Hallahan mengemukakan pengertian pendidikan inklusif sebagai pendidikan yang menempatkan semua peserta didik berkebutuhan khusus dalam sekolah reguler sepanjang hari. Dalam pendidikan seperti ini, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap peserta didik berkebutuhan khusus tersebut41. Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa pendidikan inklusif menyamakan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya. Untuk itulah, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap proses pelaksanaan pembelajaran di kelas. Dengan demikian guru harus memiliki kemampuan dalam menghadapi banyaknya perbedaan peserta didik. Senada dengan pengertian yang disampaikan Daniel P. Hallahan, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem 40
MIF. Baihaqi dan M. Sugiarmin, Memahami dan Membantu Anak ADHD, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 75-76. 41 Daniel P. Hallahan dkk., Exceptional Learners: An Introduction to Special Education, (Boston: Pearson Education Inc., 2009), cet. ke-10, h. 53.
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya 42. Pengertian pendidikan dalam Permendiknas di atas memberikan penjelasan secara lebih rinci mengenai siapa saja yang dapat dimasukkan dalam pendidikan inklusif. Perincian yang diberikan pemerintah ini dapat dipahami sebagai bentuk kebijakan yang sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia, sehingga pemerintah memandang perlu memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik dari yang normal, memilik kelainan, dan memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan. Dengan demikian pemerintah mulai mengubah model pendidikan yang selama ini memisah-misahkan peserta didik normal ke dalam sekolah reguler, peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan bakat istimewa ke dalam sekolah (baca: kelas) akselerasi, dan peserta didik dengan kelainan ke dalam Sekolah Luar Biasa (SLB). Rumusan mengenai pendidikan inklusif yang disusun oleh Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) mengenai pendidikan inklusif menyebutkan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersamasama teman seusianya. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di sekolah yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang, tetapi disesuaikan dengan
42
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil43. Dalam ensiklopedi online Wikipedia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusi yaitu pendidikan yang memasukkan peserta didik berkebutuhan khusus untuk bersama-sama dengan peserta didik normal lainnya. Pendidikan inklusif adalah mengenai hak yang sama yang dimiliki setiap anak. Pendidikan inklusif merupakan suatu proses untuk menghilangkan penghalang yang memisahkan peserta didik berkebutuhan khusus dari peserta didik normal agar mereka dapat belajar dan bekerja sama secara efektif dalam satu sekolah 44. Pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas secara umum menyatakan hal yang sama mengenai pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif berarti pendidikan yang dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan semua peserta didik, baik peserta didik yang normal maupun peserta didik berkebutuhan khusus. Masingmasing dari mereka memperoleh layanan pendidikan yang sama tanpa dibedabedakan satu sama lain. Mereka yang berkebutuhan khusus ini dulunya adalah anak-anak yang diberikan label (labelling) sebagai Anak Luar Biasa (ALB). Anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan istilah Anak Luar Biasa (ALB) yang menandakan adanya kelainan khusus. Istilah lain yang juga biasa dipakai untuk menandai anak yang “lain” dari yang lain ini yaitu hendaya (impairment)45, disability dan handicap46.
43
Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, h. 4. Ensiklopedi Online Wikipedia “Inclusion” dari http://en.wikipedia.org/wiki/Inclusion_%28education%29, 7 Juni 2010. 45 Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Tunagrahita; Suatu Pengantar dalam Pendidikan Inklusi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 1. 46 Beberapa istilah selain ABK, seperti impairment, handicap, dan disability seringkali disamakan dalam penggunaannya. Sebenarnya terdapat perbedaan arti dari ketiga istilah tersebut. Impairment digunakan untuk menunjukkan kemampuan yang tidak sepenuhnya rusak/cacat. Handicap digunakan untuk menunjukkan adanya kesulitan-kesulitan dalam penggunaan organ tubuh. Disability digunakan 44
Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Bandi Delphie menyatakan bahwa di Indonesia, anak berkebutuhan khusus yang mempunyai gangguan perkembangan dan telah diberikan layanan antara lain: Anak yang mengalami hendaya (impairment) penglihatan (tunanetra), tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autism (autistic children), hiperaktif (attention deficit disorder with hyperactive), anak dengan kesulitan belajar (learning disability atau spesific learning disability), dan anak dengan hendaya kelainan perkembangan ganda (multihandicapped and developmentally disabled children)47. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya juga dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus 48. Selain anak-anak berkebutuhan khusus yang telah disebutkan di atas, anak-anak yang memiliki bakat dan/atau kecerdasan luar biasa juga dikategorikan sebagai anak-anak berkebutuhan khusus. Dengan demikian, pendidikan inklusif, sesuai dengan beberapa pengertian diatas, selain menampung anak-anak yang memiliki kelainan juga menampung anak-anak yang memiliki bakat dan/atau kecerdasan luar biasa agar dapat belajar bersamasama dalam satu kelas. 2. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif untuk menunjukkan ketidakmampuan yang ada sejak dilahirkan atau cacat yang sifatnya permanen. Lihat Thomas M. Stephens, dkk., Teaching Mainstreamed Students, (Canada: John Wiley&Sons, 1982), h. 27. Lihat juga Hornby, Oxford Advanced..., h. 327. Disability berarti batasan fungsi yang membatasi kemampuan seseorang. Handicap adalah kondisi yang dinisbahkan kepada seseorang yang menderita ketidakmampuan. Kondisi ini boleh jadi disebabkan oleh masyarakat, lingkungan fisik, atau sikap orang itu sendiri. Dalam hal ini sering muncul ungkapan “jangan sampai disability menjadi handicap”. Lihat John W. Santrock, Educational Psychology, (New York: The McGraw Hill Inc., 2004), h. 175 47 Delphie, Pembelajaran Anak…, h. 1-3. 48 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
Landasan yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia yaitu landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan empiris. Secara terperinci, landasan-landasan tersebut dijelaskan sebagai berikut: a. Landasan Filosofis Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 2) Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain ditegaskan bahwa: (a) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi (inklusif) dan bahwa kemuliaan manusia di sisi Allah adalah ketaqwaannya. Hal tersebut dinyatakan dalam Al Qur‟an sebagai berikut:
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal49.
49
QS. Al Hujurat Ayat 13
(b)Allah pernah menegur Nabi Muhammad SAW karena beliau bermuka masam dan berpaling dari orang buta. Al Qur‟an menceritakan kisah tersebut sebagai berikut:
Artinya: (1)Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, (2)karena telah datang seorang buta kepadanya, (3)tahukah kamu barangkali ia ingin
membersihkan
dirinya
(dari
dosa),
(4)atau
Dia
(ingin)
mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?(5)Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, (6)Maka kamu melayaninya, (7)Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman), (8)dan Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), (9)sedang ia takut kepada (Allah), (10)Maka kamu mengabaikannya, (11)sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan, (12)Maka Barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, (13)di dalam Kitab-Kitab yang dimuliakan, (14)yang
ditinggikan lagi disucikan, (15)di tangan Para penulis (malaikat), (16)yang mulia lagi berbakti50.
(c) Allah tidak melihat bentuk (fisik) seorang muslim, namun Allah melihat hati dan perbuatannya. Hal ini dinyatakan dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yaitu:
َحدَّثَنَا َع ْمٌرو النَّاقِ ُد َحدَّثَنَا َكثِريُ بْ ُن ِه َش ٍام َحدَّثََنا َج ْع َفُر بْ ُن بُْرقَا َن َع ْن :ول اللَّ ِه صلى اهلل عليه وسلم ُ ال َر ُس َ َال ق َ ََص ِّم َع ْن أَِِب ُهَريَْرَة ق َ يَِز َيد بْ ِن األ ص َوِرُك ْم َوأ َْم َوالِ ُك ْم َولَ ِك ْن يَْنظُُر إِ ََل قُلُوبِ ُك ْم َوأ َْع َمالِ ُك ْم ُ إِ َّن اللَّهَ الَ يَْنظُُر إِ ََل Artinya:
dari
Abu
Hurairah
RA:
Rasulullah
SAW
bersabda:
Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kalian51.
(d)Tidak ada keutamaan antara satu manusia dengan manusia yang lain. Nabi Muhammad mengajarkan hal tersebut dalam hadis:
ِ حدَّثَنَا إِ ْْس ضَرةَ َح َّدثَِِن َم ْن َِْس َع اع ْ يل َحدَّثَنَا َسعِي ٌد ْ َاْلَُريْ ِر ُّي َع ْن أَِِب ن َ ُ َ ِ ِ ال يَا َ صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِِف َو َس ِط أَيَّ ِام التَّ ْش ِر ِيق فَ َق َ ُخطْبَةَ َر ُسول اللَّه 50
QS. „Abasa Ayat 1-16. Orang buta dalam Surat „Abasa tersebut bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Dia datang kepada Rasulullah SAW meminta ajaran-ajaran tentang Islam; lalu Rasulullah SAW bermuka masam dan berpaling daripadanya, karena beliau sedang menghadapi pembesar Quraisy dengan pengharapan agar pembesar-pembesar tersebut mau masuk Islam. Maka turunlah surat ini sebagi teguran kepada Rasulullah SAW 51
Al Imam Abi Husain Muslim bin Al Hajjaj, Shahih Muslim, (Kairo: Daar Ibnu Al Haitam, 2001), h. 655
ِ اح ٌد وإِ َّن أَبا ُكم و ِ أَيُّها النَّاس أََال إِ َّن ربَّ ُكم و ض َل لِ َعَرِ ٍِّب َعلَى ْ َاح ٌد أََال َال ف َ َ َْ َ َْ َ ُ ِ َس َوَد َعلَى ْ ِب َوَال ِأل ٍّ ِأ َْع َج ِم ٍّي َوَال ل َع َج ِم ٍّي َعلَى َعَر ْ َس َوَد َوَال أ ْ َْحََر َعلَى أ َْحََر إَِّال بِالتَّ ْق َوى ْأ Artinya: Seseorang yang mendengar khutbah Rasulullah SAW di tengah hari Tasyriq bercerita kepadaku bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: Wahai manusia, sungguh Tuhan kalian itu satu, bapak kalian satu, maka sungguh tidak ada keutamaan orang Arab atas orang ‘Ajam, begitu pula sebaliknya, tidak ada keutamaan yang merah atas yang hitam, begitu pula sebaliknya, kecuali taqwa 52. 3) Pandangan universal hak asasi manusia menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, dan hak pekerjaan. b. Landasan Yuridis Secara yuridis, pendidikan inklusif dilaksanakan berdasarkan atas: 1) UUD 1945 2) UU Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat 3) UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 4) UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 5) UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 6) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan 7) Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif: Menyelenggarakan dan
52
Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad Ibnu Hanbal, (Kairo: Muassasah Qurtubah, tt), juz 5, h. 411
mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK. 8) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa Khusus untuk DKI Jakarta, landasan yuridis yang berlaku yaitu: 9) Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif c. Landasan Empiris Landasan empiris yang dipakai dalam pelaksanaan pendidikan inklusif yaitu: 1) Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948 (Declaration of Human Rights) 2) Konvensi Hak Anak 1989 (Convention of The Rights of Children) 3) Konferensi Dunia Tentang Pendidikan untuk Semua 1990 (World Conference on Education for All) 4) Resolusi PBB nomor 48/96 Tahun 1993 Tentang Persamaan Kesempatan Bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the equalization of opportunitites for person with dissabilities) 5) Pernyataan Salamanca Tentang Pendidikan Inklusi 1994 (Salamanca Statement on Inclusive Education) 6) Komitmen Dakar mengenai Pendidikan Untuk Semua 2000 (The Dakar Commitment on Education for All) 7) Deklarasi Bandung 2004 dengan komitmen “Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif” 8) Rekomendasi Bukittinggi 2005 mengenai pendidikan yang inklusif dan ramah. 3. Model Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana-prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya. Keuntungan dari pendidikan inklusif adalah bahwa anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai dengan potensinya masing-masing. Pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Pandangan mengenai pendidikan yang harus menyesuaikan dengan kondisi peserta didik ini sangat terkait dengan adanya perbedaan yang terdapat dalam diri peserta didik. Pandangan lama yang menyatakan bahwa peserta didiklah yang harus menyesuaikan dengan pendidikan dan proses pembelajaran di kelas lambat laun harus berubah 53. Istilah inklusif berimplikasi pada adanya kebutuhan yang harus dipenuhi bagi semua anak dalam sekolah. Hal ini menyebabkan adanya penyesuaianpenyesuaian yang harus dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran54. Penyesuaian pendidikan (adaptive education) dilaksanakan dengan menyediakan pengalaman-pengalaman belajar guna membantu masing-masing peserta didik dalam meraih tujuan-tujuan pendidikan yang dikehendakinya. Penyesuaian pendidikan
dapat
berlangsung
tatkala
lingkungan
pembelajaran
sekolah
dimodifikasi untuk merespon perbedaan-perbedaan peserta didik secara efektif dan
53
Henry Clay Lindgren, Educational Psychology in the Classroom, (Tokyo: Charles E. Tuttle Company, 1967), cet. ke-III, h. 503-504 54 Reid, Dyslexia and Inclusion…, h. 85
mengembangkan kemampuan peserta didik agar dapat bertahan dalam lingkungan tersebut55. Dengan melihat adanya penyesuaian terhadap kebutuhan peserta didik yang berbeda-beda, maka dalam setting pendidikan inklusif model pendidikan yang dilaksanakan memiliki model yang berbeda dengan model pendidikan yang lazim dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler. Pendidikan inklusif pada dasarnya memiliki dua model. Pertama yaitu model inklusi penuh (full inclusion). Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler. Kedua yaitu model inklusif parsial (partial inclusion). Model parsial ini mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus dalam sebagian pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan bantuan guru pendamping khusus56. Model lain misalnya dikemukakan oleh Brent Hardin dan Marie Hardin. Brent dan Maria mengemukakan model pendidikan inklusif yang mereka sebut inklusif terbalik (reverse inclusive). Dalam model ini, peserta didik normal dimasukkan ke dalam kelas yang berisi peserta didik berkebutuhan khusus 57. Model ini
55
George S. Morrison, Early Childhood Education Today, (New Jersey: Pearson Education Inc., 2009), h. 462. Lihat juga http://en.wikipedia.org/wiki/Inclusion_%28education%29 56 Morrison, Early Childhood…, h. 462. Ada yang menyatakan bahwa dalam inklusi tidak terdapat adanya model. Yang perlu ditekankan dalam inklusi adalah filosofi dan semangat yang dimiliki. Dengan demikian, penerapan pendidikan inklusif di masing-masing negara akan berbeda-beda. Lihat misalnya dalam milis (mailing list) Direktorat Pendidikan Luar Biasa Kementrian Pendidikan Nasional. Dalam milis ini Julia Maria van Tiel mengemukakan beberapa contoh pelaksanaan pendidikan inklusif di beberapa negara. Untuk lebih jelas lihat Julia Maria Van Tiel, “Pembenahan Pendidikan Inklusif”, dari http://groups.yahoo.com/group/ditplb/message/130, 18 April 2010, lihat juga Barton, Len dan Felicity Armstrong, Policy, Experience, and Change; Cross Cultural Reflection on Inclusive Education, Dordrecht: Springer, 2007. Istilah full inclusion merupakan istilah yang jarang digunakan. Para ahli lebih banyak menggunakan istilah inclusion saja. Di samping itu istilah full inclusion juga lebih berkonotasi negatif dan bagi sebagian orang sulit disepakati. Orang lebih banyak menggunakan istilah optimal inclusion. Pengertian ini dimaksudkan untuk mendorong pendidik agar berusaha menemukan jenis dan tingkat inklusi yang memuaskan tiap individu. Lihat Smith, Inklusi, Sekolah…, h. 46. 57 Brent Hardin dan Maria Hardin, “Into the Mainstream: Practical Strategies for Teaching in Inclusive Environments”, dalam Kathleen M. Cauley (ed.), Educational Psychology, (New York: McGraw-Hill/Dushkin, 2004), h. 46-48.
berkebalikan dengan model yang pada umumnya memasukkan peserta didik berkebutuhan khusus ke dalam kelas yang berisi peserta didik normal. Model inklusif terbalik agaknya menjadi model yang kurang lazim dilaksanakan. Model ini mengandaikan peserta didik berkebutuhan khusus sebagai peserta didik dengan jumlah yang lebih banyak dari peserta didik normal. Dengan pengandaian demikian seolah sekolah untuk anak berkebutuhan khusus secara kuantitas lebih banyak dari sekolah untuk peserta didik normal, atau bisa juga tidak. Model pendidikan inklusif seperti apapun tampaknya tidak menjadi persoalan berarti sepanjang mengacu kepada konsep dasar pendidikan inklusif. Model pendidikan inklusif yang diselenggarakan pemerintah Indonesia yaitu model pendidikan inklusif moderat58. Pendidikan inklusif moderat yang dimaksud yaitu: a. Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan inklusi penuh b. Model moderat ini dikenal dengan model mainstreaming Model pendidikan mainstreaming merupakan model yang memadukan antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa) dengan pendidikan reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja 59. c. Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti: 1) Bentuk kelas reguler penuh Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama 2) Bentuk kelas reguler dengan cluster
58
Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, h. 8-9. Jane B. Schulz, Mainstreaming Exceptional Students; A Guide for Classroom Teachers, (Boston: Allyn and Bacon, 1991), h. 20-21. Lihat juga Ensiklopedi Online Wikipedia “Mainstreaming” dari http://en.wikipedia.org/wiki/Mainstreaming_%28education%29, 7 Juni 2010. 59
3)
4)
5)
6)
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus Bentuk kelas reguler dengan pull out Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar bersama dengan guru pembimbing khusus Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian Anak berkelainan belajar di kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler Bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler60
Dengan demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit). 4. Komponen Pendidikan Inklusif Karena terdapat perbedaan dalam konsep dan model pendidikan, maka dalam pendidikan inklusif terdapat beberapa komponen pendidikan yang perlu dikelola dalam sekolah inklusif, yaitu:
60
Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 100. Lihat juga Sip Jan Pijl dan Cor J.W.Meijer, Factor In Inclusion: A Framework dalam Sip Jan Pijl (eds.), Inclusive Education; A Global Agenda, (London: Routledge, 1997), h. 12.
a. Manajemen Kesiswaan b. Manajemen Kurikulum c. Manajemen Tenaga Kependidikan d. Manajemen Sarana dan Prasarana e. Manajemen Keuangan/Dana f. Manajemen Lingkungan (Hubungan Sekolah dan Masyarakat) g. Manajemen Layanan Khusus61 Manajemen kesiswaan merupakan salah satu komponen pendidikan inklusif yang perlu mendapat perhatian dan pengelolaan lebih. Hal ini dikarenakan kondisi peserta didik pada pendidikan inklusif yang lebih majemuk daripada kondisi peserta didik pada pendidikan reguler. Tujuan dari manajemen kesiswaan ini tidak lain agar kegiatan belajar mengajar di sekolah dapat berjalan lancar, tertib, dan teratur, serta mencapai tujuan yang diinginkan. Pendidikan inklusif masih menggunakan kurikulum standar nasional yang telah ditetapkan pemerintah. Namun dalam pelaksanaan di lapangan, kurikulum pada pendidikan inklusif disesuaikan dengan kemampuan dan karakteristik peserta didik. Pemerintah menyatakan bahwa kurikulum yang dipakai satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai dengan bakat, minat dan potensinya 62. Model kurikulum pendidikan inklusif terdiri dari: a. Model kurikulum reguler b. Model kurikulum reguler dengan modifikasi c. Model kurikulum Program Pembelajaran Individual (PPI)63
61
Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Policy Brief, Sekolah Inklusif; Membangun Pendidikan Tanpa Diskriminasi, No. 9. Th.II/2008, Departemen Pendidikan Nasional, h. 6-9. 62 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, Pasal 7. 63 Direktorat, Pedoman Umum…, h. 19.
Model kurikulum reguler, yaitu kurikulum yang mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti kurikulum reguler sama seperti kawankawan lainnya di dalam kelas yang sama. Model kurikulum reguler
dengan modifikasi,
yaitu kurikulum yang
dimodifikasi oleh guru pada strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus. Di dalam model ini bisa terdapat siswa berkebutuhan khusus yang memiliki PPI. Model kurikulum PPI yaitu kurikulum yang dipersiapkan guru program PPI yang dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru pendidikan khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait. Kurikulum PPI atau dalam bahasa Inggris Individualized Education Program (IEP) merupakan karakteristik paling kentara dari pendidikan inklusif. Konsep pendidikan inklusif yang berprinsip adanya persamaan mensyaratkan adanya penyesuaian model pembelajaran yang tanggap terhadap perbedaan individu. Maka PPI atau IEP menjadi hal yang perlu mendapat penekanan lebih. Thomas M. Stephens menyatakan bahwa IEP merupakan pengelolaan yang melayani kebutuhan unik peserta didik dan merupakan layanan yang disediakan dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan serta bagaimana efektivitas program tersebut akan ditentukan64. Tenaga kependidikan merupakan salah satu unsur penting dalam pendidikan inklusif. Tenaga kependidikan dalam pendidikan inklusif mendapat porsi tanggung jawab yang jelas berbeda dengan tenaga kependidikan pada pendidikan noninklusif. Perbedaan yang terdapat pada individu meniscayakan adanya kompetensi yang berbeda dari tenaga kependidikan lainnya. Tenaga kependidikan secara umum memiliki tugas seperti menyelenggarakan kegiatan mengajar,
64
Thomas, Teaching Mainstreamed…, h. 19.
melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan. Guru yang terlibat di sekolah inklusi yaitu guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru pembimbing khusus. Manajemen tenaga kependidikan antara lain meliputi: (1)Inventarisasi
pegawai,
(2)Pengusulan
formasi
pegawai,
(3)Pengusulan
pengangkatan, kenaikan tingkat, kenaikan berkala, dan mutasi, (4)Mengatur usaha kesejahteraan, (5)Mengatur pembagian tugas65. Manajemen
sarana-prasarana
mengorganisasikan, mengevaluasi
mengarahkan,
kebutuhan
dan
sekolah
bertugas
mengkordinasikan,
penggunaan
merencanakan, mengawasi,
sarana-prasarana
agar
dan dapat
memberikan sumbangan secara optimal pada kegiatan belajar mengajar. Pendanaan pendidikan inklusif memerlukan manajemen keuangan atau pendanaan
yang
baik.
Walaupun
penyelenggaraan
pendidikan
inklusif
dilaksanakan pada sekolah reguler dengan penyesuaian-penyesuaian, namun tidak serta merta pendanaan penyelenggaraannya dapat diikutkan begitu saja dengan pendanaan sekolah reguler. Maka diperlukan manajemen keuangan atau pendanaan yang mampu memenuhi berbagai kebutuhan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif dan mengatasi berbagai permasalahan terkait dengan pendanaan. Pembiayaan pendidikan inklusif untuk wilayah DKI Jakarta bersumber pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada pos anggaran Dinas Dikdas, Dinas Dikmenti dan Kanwil Depag dan sumber lain yang sah. Pembiayaan pelaksanaan penyelenggaraan dibebankan
pada
pendidikan anggaran
inklusif
untuk
yayasan/lembaga
lembaga
pendidikan
pendidikan
swasta
swasta yang
bersangkutan66. 65
Direktorat, Policy Brief…, h. 8. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi, Pasal 16 dan Pasal 17. Pendanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak ditangani oleh pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki 66
Dalam rangka penyelenggaraan pendidikan inklusi, perlu dialokasikan dana khusus, yang antara lain untuk keperluan: (1)Kegiatan identifikasi input siswa, (2)Modifikasi kurikulum, (3)Insentif bagi tenaga kependidikan yang terlibat, (4)Pengadaan sarana-prasarana, (5)Pemberdayaan peran serta
masyarakat,
(6)Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar 67. Penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Stake holder pendidikan lain seperti masyarakat hendaknya selalu dilibatkan dalam rangka memajukan pendidikan. Apalagi dalam semangat otonomi daerah
dimana
pendidikan
juga
merupakan
salah
satu
bidang
yang
didesentralisasikan, maka keterlibatan masyarakat merupakan suatu keharusan. Dalam rangka menarik simpati masyarakat agar mereka bersedia berpartisipasi memajukan sekolah, perlu dilakukan berbagai hal, antara lain dengan memberitahu masyarakat mengenai program-program sekolah, baik program yang telah dilaksanakan, yang sedang dilaksanakan, maupun yang akan
dilaksanakan
sehingga masyarakat mendapat gambaran yang jelas tentang sekolah yang bersangkutan. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif perlu mengelola dengan baik hubungan sekolah dengan masyarakat agar dapat tercipta dan terbina hubungan yang baik dalam rangka upaya memajukan pendidikan di daerah. Dalam pendidikan inklusif terdapat komponen manajemen layanan khusus. Manajemen layanan khusus ini mencakup manajemen kesiswaan, kurikulum, tenaga kependidikan, sarana-prasarana, pendanaan dan lingkungan. Kepala sekolah dapat menunjuk stafnya, terutama yang memahami ke-PLB-an, untuk melaksanakan manajemen layanan khusus ini68. 5. Pembelajaran Model Inklusif di Kelas Reguler
Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Tidak ada satu pasalpun yang menyebutkan bahwa pemerintah pusat terlibat dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan inklusif. 67 Direktorat, Policy Brief…, h. 8. 68 Direktorat, Policy Brief…, h. 9.
Pelaksanaan pembelajaran dalam kelas inklusif sama dengan pelaksanaan pembelajaran dalam kelas reguler. Namun jika diperlukan, anak berkebutuhan khusus membutuhkan perlakuan tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus diperlukan proses skrining atau assesment yang bertujuan agar pada saat pembelajaran di kelas, bentuk intervensi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus merupakan bentuk intervensi pembelajaran yang sesuai bagi mereka. Assesment yang dimaksud yaitu proses kegiatan untuk mengetahui kemampuan dan kelemahan setiap peserta didik dalam segi perkembangan kognitif dan perkembangan sosial melalui pengamatan yang sensitif 69. Seorang pendidik hendaknya mengetahui program pembelajaran yang sesuai bagi anak berkebutuhan khusus. Pola pembelajaran yang harus disesuaikan dengan anak berkebutuhan khusus biasa disebut dengan Individualized Education Program (IEP) atau Program Pembelajaran Individual (PPI). Perbedaan karakteristik yang dimiliki anak berkebutuhan khusus membuat pendidikan harus memiliki kemampuan khusus. Sebelum Program Pembelajaran Individual dijalankan oleh pendidik, terlebih dahulu pendidik harus melakukan identifikasi terhadap kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus agar diperoleh informasi yang akurat mengenai kebutuhan pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Setelah proses skrining atau assesment dilakukan dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus teridentifikasi, maka Program Pembelajaran Individual (IEP) dapat dijalankan di kelas-kelas reguler. Program Pembelajaran Individual tersebut sebenarnya tidak mutlak diperlukan bagi anak berkebutuhan khusus dalam pembelajaran model inklusif di kelas reguler. Pada praktiknya ada beberapa anak berkebutuhan khusus yang tidak 69
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 1
memerlukan Program Pembelajaran Individual. Mereka dapat belajar bersama dengan anak reguler dengan program yang sama tanpa perlu dibedakan. Program Pembelajaran Individual meliputi enam komponen, yaitu elicitors, behaviors, reinforcers, entering behavior, terminal objective, dan enroute. Secara terperinci, keenam komponen tersebut yaitu: a. Elicitors, yaitu peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan atau menyebabkan perilaku b. Behaviors, merupakan kegiatan peserta didik terhadap sesuatu yang dapat ia lakukan c. Reinforcers, suatu kejadian atau peristiwa yang muncul sebagai akibat dari perilaku dan dapat menguatkan perilaku tertentu yang dianggap baik d. Entering behavior, kesiapan menerima pelajaran e. Terminal objective, sasaran antara dari pencapaian suatu tujuan pembelajaran yang bersifat tahunan f. Enroute, langkah dari entering behavior menujut ke terminal objective70 Model pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus harus memperhatikan prinsip umum dan prinsip khusus. Prinsip umum pembelajaran meliputi motivasi, konteks, keterarahan, hubungan sosial, belajar sambil bekerja, individualisasi, menemukan, dan prinsip memecahkan masalah. Prinsip umum ini dijalankan ketika anak berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan anak reguler dalam satu kelas. Baik anak reguler maupun anak berkebutuhan khusus mendapatkan program pembelajaran yang sama. Prinsip khusus disesuaikan dengan karakteristik masing-masing peserta didik berkebutuhan khusus. Prinsip khusus ini dijalankan ketika peserta didik berkebutuhan khusus membutuhkan pembelajaran individual melalui Program Pembelajaran Individual (IEP) 71. Model pembelajaran anak berkebutuhan khusus memerlukan komponenkomponen tertentu yang meliputi: a. Rasional 70 71
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak, h. 150-151. Bandi Delphie, Pembelajaran Anak, h. 154.
Layanan pendidikan dan pembelajaran anak
berkebutuhan khusus
seharusnya sejalan dan tidak lepas dari prinsip, kebijakan, dan praktik dalam pendidikan berkebutuhan khusus. b. Visi dan misi Model pembelajaran anak berkebutuhan khusus mengarah pada visi dan misi sebagai sumber pengertian bagi perumusan tujuan dan sasaran yang harus ditetapkan c. Tujuan pembelajaran Tujuan pembelajaran anak berkebutuhan khusus harus didasarkan pada visi dan misi pembelajaran yang sudah ditetapkan d. Komponen dasar model pembelajaran Berdasarkan pada visi dan misi pembelajaran, komponen-komponen dasar model pembelajaran anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi: 1) Masukan yang berupa masukan mentah yang terdiri dari elicitors, behaviors, dan reinforcers, masukan instrumen yang terdiri dari program, guru kelas, tahapan, dan sarana, dan masukan lingkungan yang berupa norma, tujuan, lingkungan, dan tuntutan 2) Proses yang terdiri dari atas program pembelajaran individual, pelaksanaan intervensi, dan refleksi hasil pembelajaran 3) Keluaran berupa perubahan kompetensi setiap peserta didik yang mempunyai kesulitan atau hambatan perkembangan diri e. Komponen pendukung sistem model pembelajaran Komponen pendukung sistem adalah kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan untuk memantapkan, memelihara, dan meningkatkan program pembelajaran72 Proses skrining atau assesment yang di atas dapat digambarkan sebagai berikut: 72
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak, h. 154-157.
1. RUJUKAN GURU Catatan-catatan dari pengawas SD, menghubungi orang tua siswa, observasi guru, dan kemudian memberikan rujukan pada kepala sekolah 10 hari 2. SKRINING OLEH TIM PANITIA Dilakukan oleh guru, kepala sekolah, psikolog, perawat, dokter, ahli terapi guna mendapatkan rekomendasi dilanjutkan ke prosedur berikutnya atau dikembalikan ke kelas reguler
STOP
20 hari 3. REKOMENDASI OLEH 5 KOMPONEN - Orang tua yang memberikan evaluasi tentang anaknya mengenai cara berbicara berbahasa, dan daya pendengaran - Assesmen pendidikan - Laporan hasil skrining oleh tim panitia khusus - Rujukan dari guru pengamat - Kepala sekolah Waktu evaluasi 45 hari
5. REKOMENDASI DARI 3 KOMPONEN (Psychological, Sociological, Physical)
4. PANITIA PENGESAHAN Terdiri atas guru, orang tua, para ahli pendidikan, psikolog, pengawas PLB, konselor,dan speech terapist
STOP
20 hari 6. PROGRAM PEMBELAJARAN INDIVIDUAL (IEP)
7. PENEMPATAN SISWA PADA PROGRAM KEGIATAN SEKOLAH YANG COCOK DENGAN KEBERADAANNYA
Gambar 2. Prosedur Identifikasi, Evaluasi, Konfirmasi, dan Penempatan Peserta Didik dalam Pendidikan Luar Biasa (Bandi Delphie, 2006: 8)
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Adapun waktu penelitian terhitung mulai dari bulan April-Desember 2010.
B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui: 1. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta 2. Implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta
C. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode berparadigma deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada secara alamiah maupun rekayasa manusia. Penelitian deskriptif tidak memberikan perlakukan, manipulasi atau pengubahan pada variabel, tetapi menggambarkan suatu
kondisi apa adanya73. Dalam penelitian ini, peneliti hanya melakukan penelitian terhadap fenomena yang alamiah terkait kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Metode penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian secara holistik dengan cara deskripsi dalam kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah74. Penelitian ini dilaksanakan untuk menggambarkan realitas empiris sesuai dengan fenomena yang terjadi secara rinci dan tuntas serta untuk mengungkapkan gejala secara holistik melalui pengumpulan data dari latar yang alami dengan penelit i sebagai instrumen kunci. Adapun jenis penelitian yang dipilih peneliti yaitu studi kasus dengan menghimpun dan menganalisis data berkenaan dengan kasus pendidikan inklusif. Data-data yang terkait dengan proses analisis kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif akan dihimpun untuk kemudian dianalisis.
D. Sumber Data Sumber data penelitian ini terdiri dari dua macam, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. 1. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sumber data primer dari Kepala Bidang TK, SD, dan PLB Dinas Pendidikan DKI Jakarta, guru satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif, dan LSM Hellen Keller Internasional (HKI).
73
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), cet. Ke-4, h. 72-74 74 Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), cet. ke-29, h. 6
2. Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau dokumen. Sumber data sekunder dalam penelitian ini berasal dari data tertulis lembaga Dengan sumber data primer dan sekunder di atas, penelitian ini diharapkan dapat memperoleh data-data valid dan holistik yang diperlukan dalam menganalisa permasalahan yang menjadi fokus penelitian. Pada dasarnya, sumber data dalam penelitian dengan menggunakan metode kualitatif berkembang terus (snowball) secara bertujuan (purposive) sampai data yang dikumpulkan dianggap memuaskan75. Dengan demikian, bila dimungkinkan maka sumber data dalam penelitian dapat bertambah dari sumber data yang telah ditentukan jika sumber data yang telah ditentukan tersebut belum dapat memberikan data yang relevan dengan penelitian.
E. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang diperlukan, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: 1. Wawancara Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara penanya atau pewawancara dengan penjawab atau interviewee dengan atau tanpa menggunakan panduan wawancara 76. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview) bebas atau wawancara tidak terstruktur. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui secara mendetail mengenai fokus penelitian dengan menanyakan langsung kepada informan kunci (key 75
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008, h. 78. 76 M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 108.
informan) sehingga didapatkan data-data yang valid dari narasumber yang terkait dengan fokus penelitian. 2. Dokumentasi Metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk mencari data mengenal hal-hal atau variabel yang berupa catatan-catatan, transkrip, buku, surat kabar, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya. Pada intinya, metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk meneliti data historis77. Dokumentasi dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu dokumen resmi dan dokumen pribadi. Dokumen resmi merupakan dokumen yang berasal dari suatu lembaga atau organisasi. Dokumen resmi terbagi atas dokumen internal (berupa memo, pengumuman, instruksi, aturan suatu lembaga masyarakat tetapi digunakan dikalangan sendiri)dan dokumen eksternal (yang berupa majalah, buletin, penyataan dan berita yang disiarkan kepada media masa). Dokumen pribadi merupakan catatan seseorang secara tertulis tentang tindakan, pengalaman dan kepercayaan. Dokumen pribadi dapat berupa buku harian, surat pribadi dan autobiografi78. Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa dokumen resmi dalam bentuk dokumen internal yang ada dimiliki Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Selain itu, dokumen internal lain yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dokumen milik sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Peneliti tidak menggunakan dokumen pribadi karena peneliti tidak menemukan data dokumen tersebut.
F. Teknik Analisis Data Teknik analisis data merupakan suatu cara yang digunakan untuk menguraikan keterangan-keterangan atau data-data yang diperoleh agar data-data tersebut dapat 77 78
Burhan, Penelitian Kualitatif…, h. 121. Burhan, Penelitian Kualitatif…, h. 122-123.
dipahami bukan saja oleh orang yang meneliti (peneliti), akan tetapi juga oleh orang lain yang ingin mengetahui hasil penelitian itu. Dalam penelitian kualitatif, analisis data bersifat interaktif, berlangsung dalam lingkaran yang saling tumpang tindih 79. Analisis kualitatif cenderung menggunakan pendekatan logika induktif, dimana silogisme dibangun berdasarkan pada hal-hal yang khusus atau data di lapangan dan bermuara pada kesimpulan-kesimpulan umum80. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data deskriptif kualitatif. Data-data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan dianalisis dengan membuat kategorisasi agar mempermudah dalam penafsiran data. Masingmasing data yang telah dikategorisasi, dikaitkan untuk memperoleh hubungan agar sampai pada kesimpulan. Secara sistematis, dalam menganalisa data penelitian ini, data yang diperoleh dalam penelitian terlebih dahulu dicatat dan diberi kode agar sumber datanya dapat ditelusuri. Setelah proses pencatatan selesai, data-data tersebut dikumpulkan untuk dipilah-pilah dan dikategorikan. Agar kategori tersebut memiliki makna, maka dicari hubungan-hubungan dan pola-pola yang terdapat dalam data untuk dibuat temuantemuan umum81. Dengan langkah analisis data deskriptif kualitatif demikian dapat diperoleh hasil penelitian yang mencerminkan hasil sebenarnya yang diharapkan.
79
Nana, Metode Penelitian…, h. 114. Burhan, Penelitian Kualitatif…, h. 143. 81 Lexy, Metodologi Penelitian…, h. 248. 80
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Jakarta adalah kota yang bisa menjanjikan kehidupan yang nyaman dan sejahtera, apabila kita semua, dalam hal ini pemerintah dan masyarakat, dapat menjawab tantangan, menyelesaikan permasalahan dan dapat memanfaatkan potensi dan peluang yang ada. Kita telah ketahui bersama bahwa Jakarta tidak memiliki sumber daya alam sebagaimana di provinsi-provinsi lain, sementara itu Jakarta dihadapkan pada berbagai permasalahan yang cukup kompleks terkait dengan kedudukan dan fungsi Jakarta sebagai Ibukota Negara, baik permasalahan penduduk, masalah ekonomi, maupun terkait dengan permasalahan sosial budaya. Dari sejumlah permasalahan yang dihadapi kota Jakarta, khususnya yang terkait dengan sumber daya manusia diperlukan satu solusi untuk penyelesaiannya antara lain dengan cara meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat Jakarta
agar mereka dapat menjadi sumber daya manusia yang memiliki karakter terpuji, rasa nasionalisme yang tinggi dan tangguh, kompetensi, keterampilan, serta sehat rohani dan jasmani sehingga akan tangguh menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan yang dihadapi Ibukota dan juga dunia global. Tidak dapat dipungkiri dengan kedudukan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, Pusat Pemerintahan, Kota Jasa, Pintu Gerbang Dari dan Ke Manca Negara, Lokasi Perkantoran dan Perwakilan Duta-Duta Bangsa. Sebagai kota yang tidak memiliki sumber kekayaan alam, maka sumber daya manusia yang ada harus terus dikembangkan agar bisa sejajar dengan kota-kota besar lainnya di dunia. Pengembangan sumber daya manusia dapat dilakukan tidak lain melalui peningkatan mutu pendidikan. Pendidikan memegang peranan penting dan sebagai salah satu kunci keberhasilan pembangunan nasional dan daerah. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di Provinsi DKI Jakarta harus dilandasi dengan kemampuan dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (serta imtak) yang merupakan cerminan keberhasilan bangsa Indonesia dimasa mendatang. Untuk membentuk sumber daya manusia yang memiliki karakter tersebut harus dipersiapkan melalui suatu proses pembelajaran dan pendidikan pada lembaga pendidikan yang memiliki kualitas, baik pada lembaga pendidikan jalur pendidikan formal, non formal, dan informal. Semua anggota masyarakat, bersama dengan seluruh jajaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki tanggungjawab untuk mencari solusi dalam menyelesaikan permasalahan sekaligus mengelola dan memanfaatkan potensi dan peluang yang ada. Untuk itulah diperlukan adanya kebersamaan dalam pelayanan pendidikan di Provinsi DKI Jakarta untuk membangun sumber daya manusia dalam mencapai cita-cita dan menjadikan Provinsi DKI Jakarta menjadi sesuai visi yaitu ”Jakarta yang Nyaman dan Sejahtera untuk Semua”.
Dalam penyelenggaraan pendidikan harus berorientasi pada masa depan, karena ke depan tantangan pendidikan akan semakin kompleks seiring dengan persaingan global sehingga pendidikan harus terus-menerus melakukan penyesuaian dengan gerak perkembangan ilmu pengetahuan modern dan inovasi. 1. Visi dan Misi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta a. Visi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Visi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta yaitu “Mewujudkan Layanan Pendidikan yang Bermutu Tinggi dalam Membangun Insan yang Cerdas dan Kompetitif82” Penjelasan makna atas pernyataan visi dimaksud adalah terciptanya upaya peningkatan pemerataan akses memperoleh pendidikan yang bermutu dan terjangkau bagi masyarakat Jakarta sehingga tercipta rasa nyaman dalam memperoleh layanan pendidikan. Selain itu visi tersebut mengandung maksud adanya peningkatan kualitas lulusan pendidikan formal dan nonformal yang cerdas secara komprehensif yang meliputi cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis. Kompetitif dimaksudkan dalam rangka mengupayakan lulusan pendidikan untuk dapat berdaya saing global dan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi maupun dapat bekerja di mancanegara. b. Misi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Misi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta yaitu: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh masyarakat Jakarta 2. Mewujudkan pendidikan yang kompetitif untuk menghadapi perubahan 3. Meningkatkan standar kualitas layanan pendidikan 4. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan 82
Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Kebijakan Dinas Pendidikan, h. 1
5. Penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik83 Penjelasan makna atas pernyataan misi dimaksud adalah: 1. Melayani masyarakat dalam penyediaan sarana dan prasarana pendidikan formal dan nonformal, sehingga dirasakan oleh masyarakat luas mudah mendapatkan layanan di segala jenis dan jenjang pendidikan yang bermutu 2. Mengupayakan lulusan pendidikan di DKI Jakarta untuk dapat berdaya saing global dalam rangka menghadapi setiap perubahan 3. Melayani
masyarakat
dengan
prinsip
pelayanan
prima
yakni
mengutamakan norma pelayanan pendidikan berdasar pada standar minimal pelayanan pendidikan dengan selalu mengupayakan peningkatan mutu para tenaga kependidikan maupun lulusan pendidikan formal dan nonformal melalui beberapa kegiatan yang dapat berdaya saing global serta membangun sarana dan prasarana pendidikan yang menjamin kenyamanan dengan memperhatikan prinsip pembangunan pendidikan yang berkelanjutan 4. Memberdayakan masyarakat dengan prinsip pemberian otoritas pada masyarakat
untuk
mengenali
permasalahan
yang
dihadapi
dan
mengupayakan pemecahan yang terbaik pada tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian penyelenggaraan, dan pengelolaan pendidikan 5. Mengedepankan prinsip bersih, transparan, dan profesional dalam rangka membangun tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pendidikan 2. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Organisasi Perangkat Daerah, terdiri dari Sekretariat
83
Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 1
dan 7 (tujuh) bidang yakni Bidang Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, dan Pendidikan Luar Biasa, Bidang Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas, Bidang Sekolah Menengah Kejuruan, Bidang Pendidikan Non Formal dan Informal, Bidang Tenaga Pendidikan, Bidang Sarana Prasarana Pendidikan, Bidang Standarisasi dan Pendidikan Tinggi. Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta juga memiliki UPT, yaitu BP3LS, 5 BPPK, UPT Planetarium dan Observatorium, BPTKD. Adapun tugas pokok dan fungsi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai berikut: a. Tugas Pokok Dinas Pendidikan Melaksanakan urusan pendidikan b. Fungsi Dinas Pendidikan 1.
Penyusunan dan pelaksanaan rencana kerja dan anggaran dinas pendidikan
2.
Perumusan kebijakan tenis pelaksanaan urusan pendidikan
3.
Pelaksanaan pendidikan pra sekolah, dasar, menengah, dan luar biasa serta pendidikan nonformal dan informal
4.
Pembinaan pendidikan prasekolah, dasar, menengah, dan luar biasa serta pendidikan nonformal dan informal
5.
Pelayanan pendidikan prasekolah, dasar, menengah, dan luar biasa serta pendidikan nonformal dan informal
6.
Pengkajian
dan
pengembangan
pendidikan
prasekolah,
dasar,
menengah, dan luar biasa serta pendidikan nonformal dan informal 7.
Pengawasan dan pengendalian pendidikan prasekolah, dasar, menengah, dan luar biasa serta pendidikan nonformal dan informal
8.
Pembinaan dan pengembangan tenaga fungsional kependidikan dan tenaga teknis pendidikan
9.
Fasilitasi pengembangan kerjasama antar lembaga pendidikan
10. Pemberian rekomendasi pendirian dan penutupan satuan pendidikan tinggi
11. Pelayanan, pembinaan, dan pengendalian rekomendasi, standarisasi dan/atau perizinan di bidang pendidikan 12. Penegakan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan 13. Pemungutan,
penatausahaan,
penyetoran,
pelaporan,
dan
pertanggungjawaban penerimaan retribusi pendidikan 14. Penyediaan, penatausahaan, penggunaan, pemeliharaan, dan perawatan sarana dan prasarana pendidikan 15. Pemberian dukungan teknis kepada masyarakat dan perangkat daerah 16. Pengelolaan kepegawaian, keuangan, barang, dan ketatausahaan dinas pendidikan 17. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi 3. Tujuan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta a. Meningkatkan upaya peningkatan kualitas proses pembelajaran pada semua jenjang pendidikan b. Meningkatkan kualitas dan kemandirian pengelolaan pendidikan yang berdaya saing global c. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesionalisme tenaga pendidik dan tenaga kependidikan d. Meningkatkan pembinaan perguruan tinggi sebagai bagian integral dari tata kota e. Mengentaskan masyarakat putus sekolah dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan (kecakapan hidup) warga belajar 84 4. Sasaran Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta a. Peningkatan mutu program dan relevansi pendidikan b. Pengembangan dan peningkatan sarana pendidikan c. Peningkatan mutu manajemen pendidikan d. Peningkatan materi pendidikan agama, kewarganegaraan dan ekstrakurikuler
84
Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 1
e. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan (kecakapan hidup) serta mutu lulusan f. Peningkatan pendidikan nonformal dan informal (PNFI) dan keterampilan masyarakat g. Pembinaan perguruan tinggi85 5. Strategi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Mendorong upaya pemerataan kesempatan Pendidikan Anak Usia Dini, pendidikan dasar, pendidikan luar biasa, pendidikan menengah kepada kelompok yang kurang mampu melalui kebijakan yang mendorong terciptanya pendidikan-pendidikan alternatif khususnya Pendidikan Nonformal Informal (PNFI),
mengurangi
angka
putus
sekolah
dengan
memperhatikan
keterjangkauan biaya, serta meningkatkan peran pendidikan tinggi guna mendukung upaya peningkatan kerjasama antar perguruan tinggi 86. 6. Arah Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Berdasarkan rumusan program strategis atas visi dan misi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait dengan pembangunan bidang pendidikan yaitu Peningkatan Akses dan Mutu Pendidikan yang meliputi 9 (sembilan) kebijakan yaitu: Penuntasan Wajib Belajar 12 Tahun, Meminimalkan Jumlah Siswa yang Drop Out, Peningkatan Mutu Lulusan, Peningkatan Standar Kualitas Layanan Pendidikan, Peningkatan Kompetensi Guru (Standar Asia), Peningkatan Kapasitas Manajemen Sekolah, Peningkatan Daya Tampung dan Mutu Lulusan SMK, Bantuan Biaya Pendidikan Bagi Masyarakat Miskin, dan Meningkatkan Jumlah Sarana Tempat Belajar Mengajar 87. 7. Sasaran Strategik Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Sasaran strategik yang akan dicapai Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta yaitu: 85
Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 2 Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 2 87 Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Rencana Strategis Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2013, h. 66 86
a. Menurunnya jumlah siswa yang drop out b. Meningkatnya daya tampung c. Menurunnya angka buta aksara d. Meningkatnya pembinaan pendidikan kesetaraan e. Meningkatnya standar kualitas layanan pendidikan f. Meningkatnya mutu lulusan g. Meningkatnya kualifikasi dan sertifikasi guru h. Meningkatnya pengembangan ICT dalam KBM i.
Meningkatnya sarana dan prasarana belajar mengajar
j.
Meningkatnya penyelenggaraan akreditasi dan mutu pendidikan
k. Meningkatnya pemberdayaan komite sekolah dan dewan pendidikan l.
Meningkatnya penerapan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah 88
8. Kondisi Sekolah, Siswa, dan Guru di Lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Kondisi sekolah, siswa, dan guru di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat dari ilustrasi gambar-gambar di bawah ini. Data pada gambar-gambar tersebut merupakan data pada tahun 2008. Jumlah sekolah, dari mulai tingkat TK hingga tingkat SMA, baik negeri maupun swasta yaitu: Gambar 389 Jumlah Sekolah di Provinsi DKI Jakarta
88 89
Dinas, Rencana Strategis…, h. 66 Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 2
3002 3000 N 2500
S
JML
2249
2000
1733
1742
1500
937 1000
753 631 512
497 306
500
574
381 175
116
9
62
210
35
0 TK
SD
SMP
SMA
SMK
PKBM
Gambar di atas menunjukkan bahwa sekolah di Provinsi DKI Jakarta berjumlah 6.962 sekolah yang terdiri dari 2.777 sekolah negeri dan 4.185 sekolah swasta. Adapun jumlah siswa di Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat pada gambar di bawah ini: Gambar 490 Jumlah siswa di Provinsi DKI Jakarta 900000
862882
N
S
JML
800000
670559
700000
600000
500000
363187
400000
300000
227722 192323
200000
92779
177617 135465 91886 85731
93388
199599 157751 41848
100000
609
3933
0
TK
90
SD
Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 2
SMP
SMA
SMK
PKBM
Gambar di atas menunjukkan bahwa jumlah total siswa yang ada terdapat di sekolah-sekolah di Provinsi DKI Jakarta yaitu 1.696.673 siswa. Mereka yang menempuh pendidikan di sekolah negeri berjumlah 1.032.624 siswa. Adapun yang menempuh pendidikan di sekolah swasta berjumlah 664.049 siswa. Jumlah pendidik di Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat pada gambar di bawah ini: Gambar 591 Jumlah Pendidik di Provinsi DKI Jakarta 45000
N
S
JML
40176
40000 35000
30918 30000
28802
25000 21095 20000 15849
15917 15000 10000
8938 8995
11374
11242 9853
12696 9144 6773 3153
5000 57 0 TK
SD
SMP
SMA
SMK
PKBM
Jumlah pendidik di Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan gambar di atas, yaitu 102.032 orang yang terdiri dari 50.027 pendidik di sekolah negeri dan 52.005 pendidik di sekolah swasta. B. Deskripsi dan Analisis Data
91
Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 3
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan mengenai kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta, penulis menemukan data-data yang terkait dengan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta. Data-data tersebut penulis temukan dengan menggunakan metode dokumentasi dan wawancara. Data-data yang penulis temukan sebagai berikut: 1. Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Penyelenggaraan pendidikan inklusif merupakan masalah yang telah menjadi konsen bersama. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif merupakan kebijakan yang mengacu kepada beberapa ketetapan yang telah digariskan oleh kesepakatan di tingkat dunia dan ketetapan yang telah digariskan pemerintah Indonesia di tingkat pusat. Pendidikan inklusif yang dimaksud dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pendidikan tersebut secara yuridis dimasukkan ke dalam jenis pendidikan khusus yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah 92. Dari sini dapat dipahami bahwa pendidikan inklusif merupakan salah satu pendidikan yang secara khusus diselenggarakan bagi peserta didik yang berkelainan. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa disebutkan bahwa peserta didik
92
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 15, Pasal 32, dan Penjelasan Pasal 15
yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa perlu mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan hak asasinya. Layanan pendidikan tersebut
dapat
diselenggarakan secara
inklusif 93.
Layanan
pendidikan yang dimaksud dalam peraturan tersebut merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Pada intinya, semua peserta didik, dalam kondisi bagaimana pun, mendapatkan layanan pendidikan yang sama. Pendidikan inklusif juga diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Sistem Pendidikan. Dalam Perda tersebut ditetapkan bahwa warga masyarakat yang memiliki kelainan fisik, mental, emosional, dan mengalami hambatan sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Begitu pula dengan warga masyarakat yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa juga berhak mendapatkan pendidikan khusus. Pendidikan khusus tersebut berfungsi memberikan layanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kendala fisik, emosional, mental, sosial dan/atau peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Pendidikan khusus tersebut diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. Pendidikan khusus formal bagi peserta didik yang memiliki kendala fisik, emosional, mental, sosial berbentuk Sekolah Luar Biasa (SLB) dan/atau kelas inklusif sesuai dengan jenjang masing-masing. Pendidikan khusus nonformal berbentuk lembaga kursus, kelompok belajar, lembaga 93
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa
pelatihan serta satuan pendidikan lain yang sederajat. Pendidikan khusus informal berbentuk pendidikan keluarga dan lingkungan. Jenis pendidikan khusus dapat berupa pendidikan umum, kejuruan, keagamaan, dan khusus 94. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif lewat Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Inklusif. Hal ini sebagaimana dikatakan Ibu Septi Novida, Kepala Bidang TK, SD, PLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, yaitu: “…kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif di DKI Jakarta berdasarkan hasil kebijakan yang juga sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui Direktorat PSLB Kementrian Pendidikan Nasional. Kebijakan Direktorat PSLB ini terkait dengan kesepakatan di tingkat dunia dimana anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, khususnya dalam hal fisik dan emosional diberikan kesempatan untuk bersekolah atau mengenyam pendidikan. Sebenarnya dari dulu, anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus ini sudah diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan di SLB. Namun kenapa tidak jika pendidikan mereka dijadikan satu di sekolah reguler dari mulai tingkat TK, SD, SMP, dan SMA/SMK. Terkait dengan itu, tahun 2007 keluar Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif dimana di dalamnya memuat ketentuan bahwa masing-masing kecamatan di Provinsi DKI Jakarta harus memiliki lembaga yang menampung dan melayani anakanak berkebutuhan khusus…”95 Pendidikan inklusif yang diselenggarakan di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta adalah pendidikan yang ditujukan bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan dalam hal fisik, mental, dan emosional agar mereka dapat belajar bersama-sama di sekolah reguler bersamasama anak-anak normal lain. Hal tersebut didukung dengan pernyataan yang diberikan Dra. Septi Novida, M.Pd yaitu:
94
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Sistem Pendidikan Wawancara dengan Septi Novida, Kepala Bidang TK, SD, PLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta (23 November 2010 Pukul 07.30) di Kantor Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta 95
“…anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, khususnya dalam hal fisik dan emosional diberikan kesempatan untuk bersekolah atau mengenyam pendidikan. Sebenarnya dari dulu, anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus ini sudah diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan di SLB. Namun kenapa tidak jika pendidikan mereka dijadikan satu di sekolah reguler dari mulai tingkat TK, SD, SMP, dan SMA/SMK” 96. Wawancara yang penulis lakukan dengan guru program inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta juga menunjukkan bahwa pendidikan inklusif yang diselenggarakan di Provinsi DKI Jakarta ditujukan bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan dalam hal fisik, mental, dan emosional. Guru di SMP Negeri 223 Pasar Rebo Jakarta Timur menyatakan: “…Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang tidak membeda-bedakan kemampuan peserta didik. Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang merangkul kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam diri peserta didik…”97 Ibu Fitri dari Hellen Keller Internasional (HKI) menyatakan bahwa pendidikan inklusif yaitu: “…Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang memberi kesempatan kepada peserta didik yang memiliki kekurangan dalam hal fisik, mental, dan emosional untuk dapat belajar bersama di sekolah reguler bersama anakanak normal lain…”98 Manajer program inklusi di SMA Negeri 66 Cilandak Jakarta Selatan memberikan pemaparan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif yaitu: “…Pendidikan inklusif seringkali salah dipahami oleh sebagian besar masyarakat. Pendidikan inklusif sebenarnya bukan hanya mengakomodir kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam diri peserta didik seperti kekurangan dalam hal fisik, emosional, dan mental saja, namun lebih jauh 96
Wawancara dengan Septi Novida Wawancara dengan Sukarto, Guru Inklusi SMP Negeri 223 Pasar Rebo (9 Desember 2010, Pukul 13.00) di ruang guru SMP Negeri 223 Pasar Rebo 98 Wawancara dengan Fitri, Hellen Keller Internasional (HKI) (26 Nopember 2010 Pukul 10.00) di ruang pelatihan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta 97
pendidikan inklusif harus dimaknai lebih luas dimana seharusnya pendidikan merangkul semua kekurangan karena sejatinya setiap orang memiliki kekurangan…”99 Berdasarkan
pernyataan-pernyataan
diatas,
pendidikan
inklusif
yang
diselenggarakan di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ingin memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan hak yang dimiliki setiap peserta didik atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual, sebagaimana dinyatakan MIF Baihaqi dan M. Sugiarmin. Peserta didik yang memiliki ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan belajar yang luar biasa diberikan akses terhadap pendidikan yang bermutu di sekolah-sekolah reguler 100. Selain itu, penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, sebagaimana dinyatakan Daniel P. Hallahan, memberikan kesempatan yang sama kepada setiap peserta didik berkebutuhan khusus untuk ditempatkan bersama-sama dengan peserta didik normal lainnya dalam kelas yang sama sepanjang hari101. Pendidikan inklusif memang berusaha merangkul semua kekurangan yang terdapat dalam diri peserta didik. Sesuai dengan yang dinyatakan Gavin Reid bahwa pendidikan inklusif memang dimaksudkan untuk menghilangkan perbedaan dengan berpijak pada prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu 102. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta dimaksudkan untuk menghilangkan pembedaan yang selama ini terjadi kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Pendidikan segregatif di SLB (Sekolah Luar Biasa) yang selama ini diperuntukkan bagi anak-anak berkebutuhan khusus 99
Wawancara dengan Suparno, Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak (17 Desember 2010 Pukul 12.30) di ruang guru SMA Negeri 66 Cilandak 100 MIF. Baihaqi dan M. Sugiarmin, Memahami dan Membantu Anak ADHD, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 75-76. 101 Daniel P. Hallahan dkk., Exceptional Learners: An Introduction to Special Education, (Boston: Pearson Education Inc., 2009), cet. ke-10, h. 53. 102 Gavin Reid, Dyslexia and Inclusion, Classroom Approaches for Assesment, Teaching and Learning, (London: David Fulton Publisher, 2005), h. 88
memisahkan mereka dari kenormalan, sehingga mereka terbiasa dengan ketidaknormalan yang selama ini dilekatkan kepada mereka. Dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif tersebut, diharapkan agar halangan yang selama
ini
membatasi
akses
anak-anak
berkebutuhan khusus
untuk
mendapatkan pendidikan yang layak dapat teratasi. Hanya saja peraturan perundangan seperti Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 dan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 116 Tahun 2006 memberikan batasan mengenai siapa saja yang termasuk dalam kategori peserta didik berkebutuhan khusus. Peserta didik yang dimaksud dalam pendidikan inklusif sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 terdiri atas: a. Tunanetra b. Tunarungu c. Tunawicara d. Tunagrahita e. Tunadaksa f. Tunalaras g. Berkesulitan belajar h. Lamban belajar i. Autis j. Memiliki gangguan motorik k. Menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya l. Memiliki kelainan lainnya m. Tunaganda103
103
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009
Dalam Pergub Nomor 116 Tahun 2007 disebutkan bahwa peserta didik berkebutuhan khusus yang dimaksud dalam pendidikan inklusif yaitu: a. Siswa dengan gangguan penglihatan b. Siswa dengan gangguan pendengaran c. Siswa dengan gangguan wicara d. Siswa dengan gangguan fisik e. Siswa dengan kesulitan belajar f. Siswa dengan gangguan lambat belajar g. Siswa dengan gangguan pemusatan pemikiran h. Siswa cerdas istimewa, dan i. Siswa yang memiliki kebutuhan khusus secara sosial104 Dengan pembatasan ini, maka tidak semua peserta didik yang memiliki kekurangan dapat
menjadi peserta didik pendidikan inklusif. Dalam
implementasi di lapangan ditemukan data bahwa tidak semua kelainan yang dikategorikan pemerintah ke dalam jenis kelainan atau kebutuhan khusus dapat ditemukan di sekolah sekolah reguler. Hal ini diakui oleh Kepala Bidang TK/SD/PLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dimana sebagian besar peserta didik yang kelainan atau berkebutuhan khusus yang masuk ke sekolah inklusif yaitu peserta didik kategori A (tunanetra). Kelainan lain yang banyak ditemukan di sekolah-sekolah inklusif yaitu peserta didik dengan kategori B (tunarungu) dan C (tunagrahita), walaupun keduanya juga jarang ditemukan. Selain itu, peserta didik yang memiliki kelainan fisik dan harus memakai alat bantu seperti kursi roda juga jarang ditemukan. Hingga penelitian skripsi ini dilakukan untuk mengumpulkan data, penulis tidak menemukan data mengenai jumlah dan kategori kelainan peserta didik yang terdapat di sekolah inklusif.
104
Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007
Di sekolah inklusif seperti SMP Negeri 223 Pasar Rebo Jakarta Timur dan SMA Negeri 66 Cilandak Jakarta Selatan sebagian besar peserta didik berkebutuhan khusus adalah peserta didik kategori A. Kategori lain yang juga banyak terdapat di sekolah tersebut yaitu anak-anak autis. Pada prinsipnya, sesuai dengan konsep dasar pendidikan inklusif, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memberikan arahan agar semua kelainan atau kebutuhan khusus yang tertera dalam peraturan baik Peraturan Menteri Pendidikan Nasional maupun Peraturan Gubernur untuk diterima sebagai peserta didik di sekolah-sekolah inklusif yang telah ditunjuk. Namun sebagaimana ditemukan dalam penelitian, tidak serta merta semua peserta didik dengan kelainan atau kebutuhan khusus dapat diterima menjadi peserta didik sekolah inklusif. Peserta didik yang ingin mendaftarkan diri di sekolah inklusif harus melalui tahap identifikasi (skrining atau assesment) agar diketahui kondisi dan kebutuhan peserta didik tersebut. Peserta didik dengan kelainan ekstrem tidak dapat diterima menjadi peserta didik di sekolah inklusif karena memang diakui pihak sekolah belum memiliki Sumber Daya Manusia yang memadai untuk menangani kelainan ekstrem tersebut. Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta lewat Kepala Bidang TK/SD/PLB mengakui bahwa sebenarnya pihak Dinas telah menunjuk beberapa guru SLB untuk menjadi Guru Pembimbing Khusus (GPK) untuk membantu proses penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah, namun hingga kini jumlah GPK terus berkurang bahkan keberadaannya tidak jelas. Selain tidak tertampungnya semua kelainan atau kebutuhan khusus peserta didik di sekolah inklusif, peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan/atau bakat
istimewa
sebagai
peserta
didik
yang
diikutsertakan
dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif jarang mendapatkan sorotan. Padahal sebagaimana kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional dan Peraturan Gubernur, peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan/atau baka istimewa merupakan salah satu kategori peserta didik yang diikutsertakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Jarangnya sorotan terhadap peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan/atau bakat istimewa terlihat dari jarangya penyebutan peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan/atau bakat istimewa dalam setiap kesempatan yang berkaitan dengan pendidikan inklusif. Saat wawancara penulis lakukan dengan beberapa narasumber, jarang sekali narasumber menyinggung mengenai peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan/atau bakat istimewa. Begitu pula saat pelatihan untuk guru-guru sekolah inklusif penulis ikuti, jarang sekali pembahasan mengenai peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan/atau bakat istimewa menjadi salah satu fokus. Jika mengacu kepada konsep pendidikan inklusif, peserta didik dengan kecerdasan dan/atau bakat istimewa tidak menjadi salah satu kategori yang perlu dimasukkan dalam pendidikan inklusif, karena istilah pendidikan inklusif, menurut J. David Smith, digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anakanak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program sekolah. Konsep inklusi memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah105. Dari dokumen yang penulis dapatkan, kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta digambarkan sebagai berikut: Gambar 6106 Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta
105 106
J. David Smith, Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2006), h. 45 Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 3
KEBIJAKAN DINAS PENDIDIKAN
LANDASAN
A. PUSAT 1. UU 2. PP 3. Kebijakan
B. PEMERINTAH DAERAH 1. Perda 2. Pergub 3. Kebijakan 4. Program
C. KEADAAN UMUM, PERMASALAHAN, DAN TANTANGAN
Seluruh kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta didasarkan atas landasan yang ditetapkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta didasarkan atas ketetapan-ketetapan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta yaitu: a. Pusat - Undang-Undang (UU) Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif didasarkan atas ketetapan pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. - Peraturan Pemerintah (PP) Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur pelaksanaan pendidikan inklusif yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional. - Peraturan Menteri
Peraturan Menteri Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa mengatur pelaksanaan pendidikan inklusif. - Kebijakan b. Pemerintah Daerah - Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang didalamnya memuat aturan mengenai pendidikan inklusif. Perda yang dimaksud yaitu Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Sistem Pendidikan. - Peraturan Gubernur (Pergub) Peraturan Gubernur (Pergub) yang mengatur penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta yaitu Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. - Kebijakan - Program Program pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta berada di bawah koordinasi Bidang TK/SD/PLB. Program tersebut dimasukkan ke dalam Program Pendidikan Luar Biasa yang berisi program-program sebagai berikut107: 1. Pengembangan penyelenggaraan pendidikan inklusi 2. Pembinaan dan Pemberdayaan SD/SMP Model Inklusi 3. Pembinaan SLB sebagai Pusat Sumber Pendidikan Inklusi 107
Dinas, Rencana Strategis.., h. 120
4. Pembinaan Instruktur, Guru Pendamping dan Pembimbing (Guru SLB) Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi 5. Pembinaan Kepala Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi 6. Pembinaan Pengawas TK/SD dalam Penyelenggaraan Inklusi 7. Biaya Operasional Pokja Inklusi 8. Biaya Operasional Penyelenggara Pendidikan Inklusi TK, SD, dan SMP 9. Operasional Guru Pendamping Khusus untuk Sekolah Inklusi 10. Operasional Guru Pembimbing Khusus Sekolah Inklusi Semua program yang dicanangkan oleh Bidang TK/SD/PLB terkait pendidikan inklusif sudah terlaksana. Kepala Bidang TK/SD/PLB Dra. Septi Novida, M.Pd menyatakan bahwa saat ini Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta sedang berusaha meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan inklusif setelah kuantitas sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif terpenuhi. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta dilaksanakan
dengan
menunjuk
sekolah-sekolah
reguler
untuk
menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Penunjukkan sekolah-sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan inklusif sudah ditetapkan dari pusat. Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Dikdasmen (Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah) No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif, setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya memiliki 4 (empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK108. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki 108
Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif
Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota menunjuk paling sedikit 1 (satu) Sekolah Dasar, dan 1 (satu) Sekolah Menengah Pertama pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik berkebutuhan khusus 109. Sebagai Daerah Khusus Istimewa dan otonom, Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan peraturan khusus berupa Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. Dalam Pergub ini disebutkan bahwa setiap Kecamatan sekurang-kurangnya memiliki 3 (tiga) TK/RA, SD/MI dan 1 (satu) SMP/MTs yang menyelenggarakan pendidikan inklusi. Untuk tingkat SMA/SMK, MA/MAK, setiap Kotamadya sekurangkurangnya memiliki 3 (tiga) SMA/SMK, MA/MAK110. Pergub inilah yang kemudian dijadikan acuan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta untuk menunjuk sekolah-sekolah reguler dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Berdasarkan Pergub tersebut, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta merealisasikannya
dengan
menunjuk
sekolah-sekolah
reguler
untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusif sejumlah 164 sekolah dari jenjang TK hingga SMA. Penunjukkan sekolah-sekolah tersebut berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1190/2010 Tentang Penunjukkan Nama-nama TK, SD, SMP, dan SMA/SMK Penyelenggara Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010 111. Sekolah-sekolah yang menyelenggarakan program pendidikan inklusif yaitu sebagai berikut:
109
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 111 Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1190/2010 Tentang Penunjukkan Nama-nama TK, SD, SMP, dan SMA/SMK Penyelenggara Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010 110
Tabel 1112 DAFTAR NAMA TK, SD, SMP, SMA/SMK NEGERI PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSI PROVINSI DKI JAKARTA No
Nama Sekolah
Alamat
Kecamatan
Taman Kanak-Kanak (TK) 1
TK Negeri Pembina Nasional
Jl. Muchtar Raya
Pesanggrahan
2
TK Negeri Cipete
Jl. Cipete VII No. 70
Cilandak
Jl. Bambu Duri X Pd 3
TK Pembina Tingkat Provinsi
Bambu
Duren Sawit
Sekolah Dasar (SD) 1
SDN Johar Baru 29
Jl. Percetakan Negara II Jl.
2
SDN Bendungan Hilir 01
Danau
Johar Baru
Toba
Pejompongan
Tanah Abang
Jl. Cempaka Putih Barat 3
SDN Cempaka Putih Barat 16
19
Cempaka Putih
4
SDN Kartini 02
Jl. Gotong Royong Gg. E
Sawah Besar
5
SDN Mangga Dua Selatan 01 Pg Jl. Melawai Dalam No. 1
Sawah Besar
6
SDN Pasar Baru 01 Pg
Jl. Pintu Besi I/42
Sawah Besar
7
SDN Petamburan 01 Pg
Jl. Petamburan IV
Tanah Abang
8
SDN Bendungan Hilir 07
Jl. Danau Limboto No. 9
Tanah Abang
9
SDN Kenari 01
Jl. Kramat IV/25
Senen
10
SDN Bungur 01 Pg
Jl. Angsana No. 4
Senen
11
SDN Kebon Sirih 01 Pg
Jl. Kebon Sirih No. 29
Menteng
12
SDN Cikini 01 Pg
Jl. Cidurian No. 2 A
Menteng
13
SDN Cempaka Putih Timur 02
Jl. Rawasari Timur IV/2
Cempaka Putih
112
Lampiran Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1190/2010 Tentang Penunjukkan Nama-nama TK, SD, SMP, dan SMA/SMK Penyelenggara Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010 Tanggal 19-08-2010
14
SDN Cempaka Putih Barat 07
Jl. Percetakan Negara
Cempaka Putih
15
SDN Tanah Tinggi 11
Jl. Tanah Tinggi I/2
Johar Baru
Jl. Mardani Raya No. 12 16
SDN Johar Baru 10
A
Johar Baru
17
SDN Cideng 11 Pt
Jl. Cimalaya No. 1
Gambir
18
SDN Petojo Selatan 05
Jl. Petojo Encelek XIV
Gambir
19
SDN Serdang 01 Pt
Jl. Lapangan Poros
Kemayoran
Jl. Sumur Batu Utara No. 20
SDN Sumur Batu 07 Pt
2
Kemayoran
Komplek PT. HI Kelapa 21
SDN Kelapa Gading Timur 04
Gading
Kelapa Gading
Jl. Marundo Pulo Rt. 22
SDN Merunda 02
01/01 Jl.
Komplek
Cilincing Nelayan
23
SDN Pluit 06
Muara Angke Rt. 01/01
Penjaringan
24
SDN Sungai Bambu 02 Pg
Jl. Gadang No. 52
Tanjung Priok
Jl. Baru Gg. II Rt. 011/02 25
SDN Cilincing 05 Pg
No. 2
Cilincing
26
SDN Semper Barat 07 Pg
Jl. Pepaya V No. 20
Cilincing
Jl. Kramat Jaya Gg. 8 27
SDN Tugu Utara 12
Blok R
Koja
28
SDN Rawa Badak Selatan 11 Pg
Jl. Bendungan Selatan
Koja
Jl. Bandengan Utara No. 29
SDN Penjaringan 11
80
Penjaringan
30
SDN Kapuk Muara 03 Pg
Jl. SMP Negeri 122
Penjaringan
31
SDN Sunter Jaya 07 Pg
Jl. Sunter Jaya VI No. 31
Tanjung Priok
32
SDN Sunter Agung 04 Pt
Jl. Agung Jaya No. 15
Tanjung Priok
33
SDN Ancol 03 Pg
Jl. Kampung Muka Rt. Pademangan
09-04 34
SDN Pademangan Barat 08 Pt
Jl. Ampera VII
Pademangan
35
SDN Pegangsaan Dua 03 Pg
Jl. Kepu Pegangsaan Dua
Kelapa Gading
36
SDN Slipi 18 Pg
Jl. KS Tubun III Dalam
Palmerah
37
SDN Sukabumi Selatan 07
Jl. Pos Pengumben
Kebon Jeruk
Jl.
Lapangan
Jabek
38
SDN Meruya Selatan 06 Pg
Komp. Mega
Kembangan
39
SDN Kembangan Utara 05 Pg
Jl. Kampung Rt. 05/03
Kembangan
Jl.
Komplek DKI Rt.
40
SDN Joglo 04 Pg
002/08
Kembangan
41
SDN Duri Kelapa 06 Pg
Jl. Mangga XIV Rt. 06/04 Kebon Jeruk
42
SDN Kelapa Dua 04 Pg
Jl. Inpres Rt. 004/05
Kebon Jeruk
Jl. Seroja No. 16 Rt. 43
SDN Jatipulo 08 Pg
004/01
Palmerah
Jl. Komplek PJKA Pndk. 44
SDN Kota Bambu Selatan 01 Pg
Bandung
Palmerah
Jl. Jembatan Besi IX No. 45
SDN Jembatan Besi 01 Pg
31
Tambora
46
SDN Duri Utara 02 Pg
Jl. Duri Utara I No. 1
Tambora
47
SDN Pinangsia 02 Pg
Jl. Pinangsia I No. 20
Tamansari
Jl. KH. Zaenal Arifin No. 48
SDN Krukut 03 Pg
4
Tamansari
SDN Tanjung Duren Utara 01 Jl. Tanjung Duren Utara 49
Pg
III/3
Grogol
50
SDN Jelambar 03 Pg
Jl. Jelambar Selatan XVI
Grogol
51
SDN Pegadungan 11 Pg
Jl. Peta Utara No. 10
Kalideres
52
SDN Kamal 02 Pg
Jl. Kebon 200 Rt. 03/06
Kalideres
53
SDN Cengkareng Timur 01 Pg
Jl. Daan Mogot Km. 14
Cengkareng
54
SDN Rawa Buaya 03 Pg
Jl. Al Barkah Rt. 001/03
Cengkareng
55
SDN Menteng Atas 04
Jl. Dr. Saharjo 121
Setiabudi
56
SDN Cipete Utara 12 Pg
Jl. Kirai Ujung
Kebayoran Baru
57
SDN Lebak Bulus 02 Pg
Jl. Pertanian Raya No. 59
Cilandak
58
SDN Lebak Bulus 03 Pg
Jl. Pertanian III No. 88
Cilandak
59
SDN Lebak Bulus 06 Pg
Jl. Gunung Balong
Cilandak
60
SDN Cipete Selatan 04
Jl. Anggus II
Cilandak Mampang
61
SDN Pela Mampang 01 Pg
Jl. Bangka II Gg. IV
Prapatan
62
SDN Pejaten Timur 15 Pg
Jl. Siaga Dharma VIII
Pasar Minggu
63
SDN Ragunan 11 Pg
Jl. Harsono RM
Pasar Minggu
64
SDN Pondok Labu 01 Pg
Jl. RS Fatmawati
Cilandak
65
SDN Gandaria Selatan 01 Pg
Jl. Teladan No. 3
Cilandak
66
SDN Pesanggrahan 03 Pg
Jl. Kodam
Pesanggrahan
67
SDN Petukangan Selatan 05
Jl. Inpres Rt. 0014/02
Pesanggrahan
68
SDN Grogol Selatan 03
Jl. Raya Kebayoran Lama
Pesanggrahan Kebayoran
69
SDN Grogol Utara 09 Pagi
Jl. Kemandoran I
Lama
70
SDN Pulo 05 Pg
Jl. Jembatan Selatan
Kebayoran Baru
71
SDN Gandaria Utara 11 Pagi
Jl. BRI Radio Dalam
Kebayoran Baru
72
SDN Pancoran 05 Pg
Jl. Pancoran Timur II
Pancoran
73
SDN Pengadegan 08 Pagi
Jl. Pengadegan Barat XIII
Pancoran Mampang
74
SDN Kuningan Barat 03 Pagi
Jl. PLN Kuningan Barat
Prapatan
Jl. Kapten Tendean Gg. Mampang 75
SDN Mampang Prapatan 05 Pg
Kamboja
Prapatan
76
SDN Karet Kuningan 03 Pagi
Jl. Genteng Ijo No. 1
Setiabudi
77
SDN Setiabudi 01
Jl. Setiabudi Barat No. 8
Setiabudi
78
SDN Cipedak 03 Pagi
Jl. Timbul Rt. 007/05
79
SDN Lenteng Agung 07 Pagi
Jl. Raya Depok Gg. Subur Jagakarsa Jl.
Raya
Jagakarsa
Condet
Rt.
80
SDN Gedong 04
012/03
Pasar Rebo
81
SDN Kramatjati 24
Jl. Langgar Rt. 008/10
Kramatjati
82
SDN Kebon Pala 03 Pagi
Jl. Raya Condet
Makasar
83
SDN Batu Ampar 04
Jl. Batu Ampar III
Kramatjati
Jl.
Raya
Condet
Gg.
84
SDN Gedong 12
Masjid
Pasar Rebo
85
SDN Gedong 03
Jl. Raya Condet
Pasar Rebo
86
SDN Cipinang Muara 24 Pt
Jl. Cipinang Muara
Jatinegara
87
SDN Cipayung 09 Pt
Jl. SMU 64 Cipayung
Cipayung
88
SDN Cakung Barat 18 Pt
Jl. Raya Bekasi Km. 23
Cakung
89
SDN Jatinegara 05 Pg
Jl. Raya Bekasi Km. 17
Cakung
90
SDN Jatinegara Kaum 03 Pg
Jl. Raya Bekasi Km. 18
Pulo Gadung
91
SDN Pisangan Timur 16 Pt
Jl. Mugeni I
Pulo Gadung
92
SDN Rawabunga 16 Pg
Jl. Jatinegara Timur IV
Jatinegara
93
SDN Bidaracina 04 Pt
Jl. Setia No. 10
Jatinegara
Jl. Jenderal A. Yani No. 94
SDN Pisangan Baru 02 Pg
30
Matraman
95
SDN Pisangan Baru 10 Pt
Jl. Pisangan Baru I
Matraman
96
SDN Pondok Bambu 03 Pg
Jl. Pahlawan Revolusi
Duren Sawit
97
SDN Klender 17 Pt
Jl. Pertanian Utara
Duren Sawit
98
SDN Ciracas 13 Pt
Jl. Kramat Rt. 12/10
Ciracas
99
SDN Susukan 13 Pt
Jl. Makmur IV Rt. 009/02
Ciracas
Jl. Dewi Sartika No. 200
Kramat Jati
100 SDN Cawang 06 Pt
Jl. Raya Pondok Gede Rt. 101 SDN Dukuh 02 Pt
001/01
Kramat Jati
102 SDN Kebon Pala 08 Pt
Jl. Permata Rt. 07/005
Makasar
103 SDN Kebon Pala 15 Pg
Jl. SD Inpres Rt. 003/04
Makasar
Jl. Gongseng Raya Rt. 104 SDN Cijantung 09 Pt
010/01
Pasar Rebo
105 SDN Kalisari 10 Pt
Jl. Kalisari Rt. 006/02
Pasar Rebo
106 SDN Ceger 03 Pt
Jl. SMP 222 Rt. 05/02
Cipayung
107 SDN Lubang Buaya 02 Pt
Jl. Yusufiah Rt. 010/01
Cipayung
108 SDN Cijantung 01
Jl. Pertengahan
Pasar Rebo
109 SDN Kramat Jati 01
Jl. Masjid Al Amin
Kramatjati
110 SDN Kramat Jati 16
Jl. Langgar Rt. 008/010
Kramatjati
111 SDN Rambutan 01
Jl. HM. Sabar No. 49
Ciracas
112 SDN Cilangkap 01
Jl. Mabes ABRI
Cipayung
113 SDN Halim Perdanakusuma 01
Jl. Halim Golf
Makasar
Jl. Komp. Perwira TNI 114 SDN Cipayung 02
AD
Cipayung
115 SDN Kebon Pala 01 Pagi
Jl. Cakrawala No 01
Makasar
Jl. Matraman Raya No. 116 SDN Balimester 01
226
Jatinegara
117 SDN Kampung Melayu 02 Pt
Jl. Kebon Pala I No. 34
Jatinegara
118 Pg
Jl. Bekasi Timur IV No. 1
Jatinegara
119 SDN Duren Sawit 01 Pagi
Jl. Kelurahan I
Duren Sawit
120 SDN Klender 03 Pagi
Jl. Raden Inten II Buaran
Duren Sawit
SDN Cipinang Besar Utara 01
Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1
SMPN 118
Jl. Pramuka Sari I
Cempaka Putih
2
SMPN 183
Jl. Cempaka Baru VII/47
Kemayoran
Jl. 3
SMPN 269
Harapan
Kemayoran
Mulia Cempaka Putih
4
SMPN 4
Jl. Perwira No. 10-11
Sawah Besar
5
SMPN 70
Jl. H. Awaludin IV
Tanah Abang
6
SMPN 42
Jl. Pademangan Timur 3
Pademangan
Jl. Kamal Muara Raya 7
SMPN 120
No. 9
Penjaringan
8
SMPN 122
Jl. SMP 122 Penjaringan
Penjaringan
Jl.
HM.
Darpi
Plum
9
SMPN 114
Semper
Koja
10
SMPN 266
Jl. Cilincing Batik VI
Cilincing
Jl. Kompi Udin Rt. 01/01 11
SMPN 270
Pgangs Dua
Kelapa Gading
Jl. Barkah I Rt. 001/03 12
SMPN 264
Rawa Buaya
Cengkareng
Jl. Duta Raya 13
SMPN 191
Kebon
Jeruk Jl.
Kebon Jeruk Kamal
Raya
14
SMPN 248
Cengkareng Timur
Cengkareng
15
SMPN 207
Jl. Meruya Utara
Kembangan
16
SMPN 63
Jl. Perniagaan No. 31
Tambora
Jl. Pahlawan Sukabumi 17
SMPN 271
Selatan VI/F1
Kebon Jeruk
18
SMPN 226
Jl. Kayu Kapur No. 2
Pondok Labu
19
SMPN 240
Jl. H. Raya No. 16 B
Gandaria Utara
20
SMPN 235
Jl. Pondok Indah
Pesanggrahan
Jl. Palmerah Barat 59 Kebayoran 21
SMPN 16
Grogol Utara
Lama
22
SMPN 276
Jl. Srengseng Sawah
Jagakarsa
23
SMPN 15
Jl.
Profesor
Supomo Tebet
Menteng 24
SMPN 223
Jl. Surilang No. 6
Pasar Rebo
25
SMPN 36
Jl. Pedati
Jatinegara
26
SMPN 62
Jl. Jatinegara Timur IV
Jatinegara
27
SMPN 259
Jl. Komplek TMII
Cipayung
28
SMPN 165
Jl. Balai Rakyat III/16
Duren Sawit
29
SMPN 287
Jl. Balai Rakyat III/16
Makasar
Jl. Raya Bekasi Km. 18 30
SMPN 90
Jatinegara
Cakung
Jl. Gading Raya No. 16 31
SMPN 232
Pisang Timur
Pulo Gadung
Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 1
SMA Negeri 5
Jl. Raya Sumur Batu
Kemayoran
2
SMK Negeri 27
Jl. Dr. Sutomo No. 1
Senen
Jl. 3
SMA Negeri 40
Budi
Mulia
Raya
Pademangan
Pademangan
Jl. Gading Timur Kelapa 4
SMK Negeri 33
Gading
Kelapa Gading
Jl. Senggrehan Meruya 5
SMA Negeri 112
Utara
Kembangan
6
SMK Negeri 13
Jl. Rawa Belong II E
Palmerah
Jl. Bango III Pondok 7
SMA Negeri 66
Labu
Cilandak
8
SMK Negeri 30
Jl. Pakubuwono 6
Kebayoran Baru
9
SMA Negeri 54
Jl. Jatinegara Timur IV
Jatinegara
Jl. SMIK Bambu Apus 10
SMK Negeri 58
TMII
Cipayung
Sebagai Daerah Khusus Istimewa dan daerah otonom, Provinsi DKI Jakarta telah mengeluarkan peraturan daerah dalam bentuk Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. Secara umum, tidak ada perbedaan antara Pergub tersebut dengan peraturan-peraturan di atasnya seperti Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Kedua peraturan tersebut secara teknis memberikan ketentuan-ketentuan umum mengenai pelaksanaan pendidikan inklusif. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional berlaku secara nasional, sedangkan Peraturan Gubernur berlaku hanya di Provinsi DKI Jakarta. Yang membedakan keduanya
yaitu
pada
penunjukkan
sekolah-sekolah
reguler
yang
menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kotamadya menunjuk paling sedikit 1 (satu) Sekolah Dasar dan 1 (satu) Sekolah Menengah Pertama pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik berkebutuhan khusus. Adapun dalam Peraturan Gubernur disebutkan bahwa setiap Kecamatan sekurang-kurangnya memiliki 3 (tiga) TK/RA dan SD/MI dan 1 (satu) SMP/MTs yang menyelenggarakan pendidikan inklusi. Untuk tingkatan SMA/SMK atau MA/MAK, setiap kotamadya sekurang-kurangnya memiliki 3 (tiga) SMA/SMK atau MA/MAK yang menyelenggarakan pendidikan inklusif. Di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta telah terdapat sejumlah 164 sekolah yang ditunjuk untuk menyelenggarakan program pendidikan inklusif dari mulai tingkat SD hingga SMA. Jumlah TK penyelenggara program pendidikan inklusif berjumlah 3 sekolah. SD yang menyelenggarakan program pendidikan inklusif berjumlah 120 sekolah. SMP yang menyelenggarakan
program pendidikan inklusif berjumlah 31 sekolah. Di tingkat SMA/SMK, jumlah penyelenggara program pendidikan inklusif mencapai 10 sekolah. Secara terperinci, sebaran sekolah-sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif di masing-masing kecamatan se-Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai berikut: Tabel 2 Sebaran Sekolah Inklusif di Provinsi DKI Jakarta
No
Kecamatan
Kotamadya/Kabupaten
Sekolah Inklusif TK
SD
SMP
SMA/SMK
1
Gambir
Jakarta Pusat
-
2
-
-
2
Tanah Abang
Jakarta Pusat
-
3
1
-
3
Menteng
Jakarta Pusat
-
2
-
-
4
Senen
Jakarta Pusat
-
2
-
1
Jakarta Pusat
-
3
2
-
5
Cempaka Putih
6
Johar Baru
Jakarta Pusat
-
3
-
-
7
Kemayoran
Jakarta Pusat
-
2
1
1
8
Sawah Besar
Jakarta Pusat
-
3
1
-
-
20
5
2
Jumlah 9
Tamansari
Jakarta Barat
-
2
-
-
10
Tambora
Jakarta Barat
-
2
1
-
11
Palmerah
Jakarta Barat
-
3
-
1
Jakarta Barat
-
2
-
-
12
Grogol Petamburan
13
Kebon Jeruk
Jakarta Barat
-
3
2
-
14
Kembangan
Jakarta Barat
-
3
1
1
15
Cengkareng
Jakarta Barat
-
2
2
-
16
Kalideres
Jakarta Barat
-
2
-
-
-
19
6
2
Jakarta Selatan
-
3
1
1
Jakarta Selatan
-
1
1
-
Jumlah 17
18
Kebayoran Baru Kebayoran Lama
19
Pesanggrahan
Jakarta Selatan
1
2
1
-
20
Cilandak
Jakarta Selatan
1
6
1
1
21
Pasar Minggu
Jakarta Selatan
-
2
-
-
22
Jagakarsa
Jakarta Selatan
-
2
1
-
Jakarta Selatan
-
2
-
-
23
Mampang Prapatan
24
Pancoran
Jakarta Selatan
-
2
-
-
25
Tebet
Jakarta Selatan
-
-
1
-
26
Setiabudi
Jakarta Selatan
-
2
-
-
2
22
6
2
Jumlah 27
Matraman
Jakarta Timur
-
2
-
-
28
Pulo Gadung
Jakarta Timur
-
2
1
-
29
Jatinegara
Jakarta Timur
-
5
2
1
30
Duren Sawit
Jakarta Timur
1
4
1
-
31
Kramat Jati
Jakarta Timur
-
4
-
-
32
Makasar
Jakarta Timur
-
5
-
-
33
Pasar Rebo
Jakarta Timur
-
6
1
-
34
Ciracas
Jakarta Timur
-
3
-
-
35
Cipayung
Jakarta Timur
-
5
1
1
36
Cakung
Jakarta Timur
-
2
1
-
1
38
7
2
-
3
1
-
Jumlah 37
Cilincing
Jakarta Utara
38 39
Koja Kelapa Gading
Jakarta Utara
-
2
1
-
Jakarta Utara
-
2
1
1
40
Tanjung Priok
Jakarta Utara
-
3
-
-
41
Pademangan
Jakarta Utara
-
2
1
1
42
Penjaringan
Jakarta Utara
-
3
2
-
-
15
6
2
Kepulauan Seribu
-
-
-
-
Kepulauan Seribu
-
-
-
-
Jumlah
-
-
-
-
Jumlah Total
3
120
31
10
Jumlah 43
44
Kepulauan Seribu Utara Kepulauan Seribu Selatan
Provinsi DKI Jakarta memiliki 5 Kotamadya dan 1 Kabupaten yang terdiri dari 44 Kecamatan113. Tabel di atas menunjukkan sebaran sekolah-sekolah yang ditunjuk sebagai penyelenggara program pendidikan inklusif di kecamatankecamatan yang terdapat di Provinsi DKI Jakarta. 164 sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif hanya tersebar di 5 Kotamadya di Provinsi DKI Jakarta yaitu Kotamadya Jakarta Pusat, Kotamadya Jakarta Barat, Kotamadya Jakarta Selatan, Kotamadya Jakarta Timur, dan Kotamadya Jakarta Utara. Di 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan
Seribu
Selatan
tidak
terdapat
satu
sekolah
pun
yang
menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Tidak semua kecamatan memiliki TK penyelenggara program pendidikan inklusif. Jumlah TK yang ditunjuk Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta 113
Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, dari http://www.depdagri.go.id/media/filemanager/2010/01/29/1/1/11__dki_jakarta.pdf, 23 Januari 2011
hanya berjumlah 3 TK yang terdapat di Kecamatan Pesanggrahan dan Kecamatan Cilandak. Kedua Kecamatan tersebut terdapat di Kotamadya Jakarta Selatan. Satu TK lagi terdapat di Kecamatan Duren Sawit Kotamadya Jakarta Timur. Jumlah SD penyelenggara program pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 120 sekolah. Jumlah tersebut tersebar di 41 Kecamatan dari jumlah total 44 Kecamatan yang terdapat di Provinsi DKI Jakarta. 3 Kecamatan yang tidak memiliki SD yaitu Kecamatan Tebet Kotamadya Jakarta Selatan, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kabupaten Kepulauan Seribu, dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Di tingkat SMP, sebaran sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif hampir merata di setiap Kecamatan karena tidak setiap Kecamatan memiliki sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif di tingkat SMP. Di Kotamadya Jakarta Pusat yang memiliki 8 Kecamatan, terdapat 5 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 4 Kecamatan. Kotamadya Jakarta Barat yang memiliki 8 Kecamatan, terdapat 6 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 4 Kecamatan. Kotamadya Jakarta Selatan yang memiliki 10 Kecamatan, terdapat 6 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 6 Kecamatan. Di Kotamadya Jakarta Timur, SMP penyelenggara program pendidikan inklusif berjumlah 7 sekolah yang tersebar di 6 Kecamatan dari 10 Kecamatan yang terdapat di Kotamadya Jakarta Timur. Adapun di Kotamadya Jakarta Utara yang memiliki 6 Kecamatan terdapat 6 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 5 Kecamatan. Dengan demikian, 120 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif tersebut tersebar di 25 Kecamatan dari total 44 Kecamatan yang terdapat di
Provinsi DKI Jakarta. Sehingga terdapat 19 Kecamatan di Provinsi DKI Jakarta yang tidak memiliki SMP penyelenggara program pendidikan inklusif. Di tingkat SMA/SMK terdapat 10 sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif. 10 SMA/SMK tersebut tersebar di 10 Kecamatan di 5 Kotamadya. Masing-masing Kotamadya memiliki 2 SMA/SMK penyelenggara program pendidikan inklusif. Dengan demikian, terdapat 34 Kecamatan yang tidak memiliki SMA/SMK penyelenggara program pendidikan inklusif. 2. Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Implementasi kebijakan-kebijakan yang terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dapat dikelompokkan menjadi: h. Kesiswaan Kebijakan yang terkait dengan kesiswan pendidikan inklusif dilaksanakan dengan menerima semua kategori anak-anak berkebutuhan khusus. Dalam implementasi di lapangan, tidak serta semua jenis kebutuhan khusus yang dimiliki peserta didik dapat diterima di sekolah reguler. Proses skrining dan assesment selalu dilakukan sebelum peserta didik berkebutuhan khusus masuk di sekolah reguler. Dra. Septi Novida, M.Pd sendiri menyatakan bahwa: “…Sampai saat ini memang hanya kasus-kasus tertentu yang dapat tertampung di sekolah-sekolah inklusif. Biasanya anak A yang banyak masuk di sekolah-sekolah inklusif, anak B masih jarang ditemukan karena faktor komunikasi yang menyulitkan. Kasus anak C yang lambat belajar juga masih jarang ditemukan. Anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan dalam hal fisik, misalnya anak-anak yang memakai
kursi roda juga masih jarang ditemukan yang masuk ke sekolah-sekolah inklusif…”114 Pada kenyataan yang terjadi di lapangan, sekolah pada prinsipnya menerima semua jenis kebutuhan khusus yang terdpat dalam diri calon peserta didik. Guru program inklusi SMP Negeri 223 Pasar Rebo memberikan pemaparan bahwa: “…Pada prinsipnya kami menerima semua jenis anak-anak berkebutuhan khusus. Namun memang kami harus melakukan identifikasi agar anakanak berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan ekstrem tidak serta merta kami terima sebagai siswa di sini. Kalau anak-anak berkebutuhan khusus tersebut dianggap mampu mengikuti proses pembelajaran, maka mereka kami terima sebagai siswa, namun jika mereka tidak dapat mengikuti proses pembelajaran maka mereka kami arahkan untuk masuk ke SLB dan disitu ada pendidikan secara khusus. Kalau di sekolah reguler seperti ini kan semuanya harus mengikuti pendidikan yang sama, kalaupun anak-anak berkebutuhan khusus tersebut harus ditangani secara khusus maka kami sudah menyiapkan program pembelajaran khusus bagi mereka. Selain itu, di sekolah reguler juga tidak banyak terdapat tenaga pendidikan khusus yang dapat menangani pembelajaran khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus...”115 Berkaitan dengan penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus, manajer program inklusi SMA Negeri 66 Cilandak menyatakan bahwa: “…Pada dasarnya kami menerima semua jenis kebutuhan khusus yang dimiliki peserta didik. Hanya saja memang tidak serta merta mereka yang berkebutuhan khusus dapat masuk menjadi peserta didik, karena tidak mungkin kami menerima anak-anak berkebutuhan khusus dengan kekurangan-kekurangan yang ekstrem. Kami pun tidak serta merta menerima mereka yang sebelumnya bersekolah di SLB. Pada saat penerimaan pun kami mewajibkan orang tua-orang tua yang anaknya berkebutuhan khusus untuk datang ke sekolah menemui kami untuk kami jelaskan mengenai bagaimana anak-anak mereka kami tangani di sekolah. Kalau para orang tua tersebut menyanggupi agar anak-anak mereka 114 115
Wawancara dengan Septi Novida Wawancara dengan Sukarto
bersekolah di sini, kami menyiapkan perjanjian di atas kertas mengenai apa saja yang harus mereka penuhi ketika anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus bersekolah di sini…” 116 Pada saat masa Penerimaan Siswa Baru (PSB), jalur penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus tidak sama dengan peserta didik reguler lainnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak: “…Kebijakan lain yaitu mengenai adanya jalur penerimaan yang diperuntukkan secara khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus dimana mereka yang berkebutuhan khusus ketika mendaftarkan diri di sekolah maka penerimaannya tidak disamakan dalam hal ujian masuk dan persyaratan-persyaratan lainnya…”117 Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa penerimaan peserta didik berkelainan dan/atau peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa pada satuan pendidikan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah. Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif mengalokasikan kursi peserta didik yang memiliki kelainan paling sedikit 1 (satu) peserta didik dalam 1 (satu) rombongan belajar yang akan diterima. Apabila dalam waktu yang telah ditentukan, alokasi peserta didik tidak terpenuhi, satuan pendidikan dapat menerima peserta didik normal118. Di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, satuan pendidikan penyelenggara program pendidikan inklusif hanya menerima maksimal 2 (dua) peserta didik yang memiliki kelainan atau kebutuhan khusus dalam 1 (satu) rombongan belajar. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Dra. Septi Novida, M.Pd:
116
Wawancara dengan Suparno Wawancara dengan Suparno 118 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009, Pasal 5 117
“…Kami sendiri memiliki kebijakan agar anak-anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas tidak lebih dari 2 orang sehingga guru sendiri tidak kerepotan dalam menangani anak-anak berkebutuhan khusus…”119 Dinas
Pendidikan
Provinsi
DKI
Jakarta
dengan
sekolah-sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif telah merencanakan program identifikasi kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan mereka. Identifikasi dilakukan melalui proses skrining atau assesment yang bertujuan agar pada saat pembelajaran di kelas, bentuk intervensi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus merupakan bentuk intervensi pembelajaran yang sesuai bagi mereka. Assesment yang dimaksud yaitu proses kegiatan untuk mengetahui kemampuan dan kelemahan setiap peserta didik dalam segi perkembangan kognitif dan perkembangan sosial melalui pengamatan yang sensitif120. Selain itu, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta juga memberikan subsidi beasiswa bagi peserta didik berkebutuhan khusus yang terdapat pada sekolah-sekolah yang telah ditunjuk untuk menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Daftar sekolah yang menerima subsidi beasiswa sebagai berikut: Tabel 3121 Daftar Nama Sekolah Inklusif Penerima Subsidi Beasiswa Tahun Anggaran 2010
No
119
Nama Sekolah
Alamat
Wilayah
Jumlah
Beasiswa /1
Peserta
Tahun
Wawancara dengan Septi Novida Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 1 121 Lampiran I Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Nomor 1449/2010 Tanggal 13 Oktober 2010 120
Didik 1
SDN
Cempaka Jl. Cempaka Putih Pusat
30
3.600.000
23
2.760.000
12
1.440.000
Toba Pusat
22
2.640.000
Kelapa Jl. Komplek PT. Utara
23
2.760.000
Utara
26
3.120.000
SDN Marunda 02 Jl. Marunda Pulo Utara
71
8.520.000
57
6.840.000
Jabek Barat
66
7.920.000
Palmerah Jl. Rawa Belong II Barat
50
6.000.000
14
1.680.000
Putih Barat 16 Barat XIX PG 2
SD Johar Baru 29 Jl. PG
3
Negara II A
SDN Kartini 02 Jl. Gotong Royong Pusat Petang
4
Gg. E
SDN Bendhil 01 Jl. PG
5
Percetakan Pusat
Danau
Pejompongan
SDN
Gading Timur 04 HII PG 6
SDN
Sungai Jl. Gadang No. 52
Bambu 02 PG 7
PAGI
Rt.
003/07
Marunda 8
SDN SLIPI 18 Jl. KS Tubun III Barat PAGI
9
Dalam
SD
Negeri Jl.
Lap.
Meruya
Selatan Komp. Mega
06 Pagi 10
SDN 24 Pagi
E Rt. 06/10 No. 153
11
SDN Bulus 03
Lebak Jl. Pertanian III/58
Selatan
12
SDN
Lebak Jl. Gunung Balong Selatan
10
1.200.000
18
2.160.000
32
3.840.000
14
1.680.000
Selatan
32
3.840.000
Lebak Jl. Pertanian Raya Selatan
23
2.760.000
24
2.880.000
50
6.000.000
10
1.200.000
24
2.880.000
35
4.200.000
Bulus 06 Pagi 13
SDN
Lebak Bulus
Cipete Jl.
Selatan 08 PT
Anggur
Komplek
II Selatan BRI
Cilandak 14
SDN
Menteng Jl.
Atas 04 PG
Dr.
Sahardjo Selatan
No. 121 Menteng Atas
15
SDN
Cipete Jl.
Selatan 04
Anggur
Komplek
II Selatan BRI
Cilandak 16
SDN
Cipete Jl. Kirai Ujung
Utara 12 PG 17
SDN
Bulus 02 PAGI
No.
59
Lebak
Bulus 18
SDN
Pela Jl. Bangka II Gg V Selatan
Mampang
01 Rt 10/02
PAGI 19
20
SDN Kebon Pala Jl.
Asem Kebon Pala
TK
Negeri Jl. Bambu Duri X Timur Pd. Bambu
SDN Gedong 04 Jl. Pagi
22
Cip. Timur
03
Pembina DKI 21
Jengki
Gedong
SDN Gedong 12 Jl. Pagi
Raya Condet Timur
Raya Condet Timur
Gg. Pembangunan II
23
SDN
Cijantung Jl. Pertengahan Rt. Timur
25
3.000.000
31
3.720.000
40
4.800.000
Rt. Timur
27
3.240.000
Cipayung Jl. SMAN 64 Rt. Timur
26
3.120.000
01 Pagi 24
06/07 Cijantung
SDN Gedong 03 Jl. Pagi
25
Raya Condet Timur
Gedong
SDN Kramat Jati Jl. Kerja Bakti Rt. Timur 24 Pagi
26
003/09 No. 40
SDN Kramat Jati Jl. 16 Pagi
27
SDN
Langgar
008/10
09 PTG
005/02
i. Kurikulum Kurikulum yang digunakan dalam proses pembelajaran pendidikan inklusif sama dengan kurikulum yang digunakan dalam proses pembelajaran pendidikan inklusif karena program pendidikan inklusif dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai dengan bakat, minat, dan potensinya 122. Dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 disebutkan bahwa kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi adalah kurikulum yang berlaku yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus masing-masing peserta didik berkebutuhan khusus 123.
122 123
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi
Mengenai kurikulum pada program pendidikan inklusif, Dra. Septi Novida, M.Pd menyatakan bahwa: “…Kebijakan mengenai kurikulum sama dengan kebijakan kurikulum yang diselenggarakan di sekolah reguler atau dengan kata lain kebijakan kurikulum pendidikan inklusif mengikuti kurikulum yang sudah ada. Kurikulum itu bersifat fleksibel. Contoh penyelenggaraan pendidikan inklusif yaitu pendidikan yang terdapat dalam film Laskar Pelangi dimana Harun sebagai anak yang mentally retarded diberikan treatment khusus yang disesuaikan dengan kondisi Harun yang tidak sama dengan anakanak normal lainnya yang berada di kelas…” 124 Berkaitan dengan kurikulum pendidikan inklusif, guru SMP Negeri 223 Pasar Rebo menyatakan: “…Secara umum kurikulum bagi anak-anak berkebutuhan khusus adalah sama dengan anak-anak reguler. kalau ada kasus-kasus tertentu dalam kurikulum maka kami adakan modifikasi pada kurikulum agar dapat memenuhi kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus…”125 Manajer program inklusi SMA Negeri 66 menyatakan bahwa: “…Tidak ada kurikulum khusus yang kami rancang untuk anak-anak berkebutuhan khusus, karena anak-anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di sini rata-rata malah anak-anak yang memiliki prestasi. Namun kami selalu menyiapkan modifikasi agar anak-anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan layanan khusus dapat terbantu…”126 Sebagaimana dikemukakan di atas, kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusif adalah kurikulum yang digunakan di sekolah-sekolah reguler, karena peserta didik berkebutuhan khusus belajar di ruang kelas yang sama seperti halnya anak-anak reguler yang tidak digolongkan ke dalam peserta didik berkebutuhan khusus.
124
Wawancara dengan Septi Novida Wawancara dengan Sukarto 126 Wawancara dengan Suparno 125
Kurikulum yang digunakan saat ini adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jika memang diperlukan, pihak sekolah melakukan modifikasi terhadap kurikulum sesuai dengan kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus di kelas. j. Pendidik dan Tenaga Kependidikan Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta menyiapkan tenaga pendidik agar dapat memahami konsep dan pelaksanaan pendidikan inklusif yang benar. Penyiapan tenaga pendidikan tersebut dilakukan dengan cara mengadakan pelatihan kepada guru-guru sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif. Pelatihan ini dilaksanakan bekerjasama dengan LSM Hellen Keller Internasional (HKI) yang memiliki konsen, salah satunya, dalam pendidikan inklusif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dra. Septi Novida, yaitu: “…Kebijakan mengenai tenaga pendidik sendiri hingga sekarang kami melakukan pemberdayaan guru-guru di sekolah reguler agar dapat memahami konsep inklusif sehingga mereka dapat melayani anak-anak berkebutuhan khusus. Hingga kini memang kami sedang berusaha agar pengetahuan mengenai pendidikan inklusif dapat dipahami dengan baik oleh para pendidik, terutama mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusif. Kami sendiri memiliki kebijakan agar anakanak berkebutuhan khusus dalam satu kelas tidak lebih dari 2 orang sehingga guru sendiri tidak kerepotan dalam menangani anak-anak berkebutuhan khusus. Tugas guru GPK nantinya adalah membantu anakanak berkebutuhan khusus agar dapat mengikuti pembelajaran…Kami sendiri menjalin kerjasama dengan Hellen Keller Internasional (HKI) sejak tahun 2003 dimana kami dengan HKI menyelenggarakan pelatihan untuk guru-guru di sekolah reguler agar dapat melayani dan membimbing anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler penyelenggara program pendidikan inklusif…” 127 Pihak Hellen Keller Internasional (HKI) sendiri menyatakan bahwa:
127
Wawancara dengan Septi Novida
“…Sejak tahun 2003 HKI menjalin kerjasama dengan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Kerjasama yang kami jalin yaitu dalam pendidikan program pendidikan inklusif. Di HKI program ini masuk ke dalam program Opportunities for Vulnerable Children (OVC)… kami juga mengadakan pelatihan untuk guru-guru dengan mengundang guru-guru sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif. Namun pelatihan ini Cuma beberapa kali saja kami adakan. Pelatihan untuk guru lebih banyak kami adakan di sekolah-sekolah model pendidikan inklusif…” 128 Selain mengadakan pelatihan bagi guru-guru sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta juga menunjuk beberapa guru SLB (Sekolah Luar Biasa) di lingkungan Dinas untuk menjadi GPK (Guru Pembimbing Khusus) yang mendampingi pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah reguler. Dra. Septi Novida, M.Pd menyatakan: “…kami juga menunjuk beberapa guru di SLB untuk berperan sebagai Guru Pembimbing Khusus (GPK) guna mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif. Memang kondisi GPK sejak 2003 sudah ditunjuk beberapa orang guru untuk bisa membantu sekolah-sekolah reguler dalam menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Namun semakin ke sini jumlah mereka semakin menyusut karena status mereka adalah guru honorer. Kondisi kehidupan yang seperti sekarang ditambah dengan status guru honorer yang mereka sandang, kalau tidak berangkat dari hati nurani maka sulit bagi mereka untuk tetap bertahan, apalagi kebanyakan dari mereka masih memiliki status sebagai mahasiswa yang sekarang sudah sarjana dan akhirnya memutuskan untuk bertugas di tempat lain. Berbeda dengan guru-guru yang berstatus PNS yang sampai sekarang masih bertahan sebagai GPK…” 129 Guru SMP Negeri 223 Pasar Rebo menyatakan bahwa: “…Pendidik dan tenaga kependidikan yang menanganai pelaksanaan pendidikan inklusif sama dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang menangani pendidikan reguler. Tidak banyak pendidik dan tenaga pendidikan yang memang secara khusus menangani pelaksanaan 128 129
Wawancara dengan Fitri Wawancara dengan Septi Novida
pendidikan inklusif, karena sekolah ini dari awal pelaksanaan program pendidikan inklusif sudah ditunjuk, maka kami pun belajar bagaimana menangani pelaksanaan pendidikan inklusif…”130 Manajer program Inklusi SMA Negeri 66 menyatakan: “…Sampai saat ini masing-masing pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah mengetahui dengan baik mengenai keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus dan bagaimana mereka seharusnya mendapatkan pembelajaran dan pelayanan pendidikan yang baik. Saya selaku manajer program inklusi pun selalu menyampaikan dalam berbagai kesempatan mengenai pentingnya pelayanan bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Ketika ada kesulitan dalam penanganan anak-anak berkebutuhan khusus, pendidik-pendidik di sekolah selalu melakukan kerjasama yang sampai saat ini terjalin dengan baik…” 131 Kebijakan yang terkait dengan tenaga pendidik dan kependidikan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif dilaksanakan dengan melakukan sosialisasi kepada guru-guru agar dapat memahami dengan baik konsep pendidikan inklusif sehingga peserta didik berkebutuhan khusus dapat terpenuhi kebutuhannya di sekolah. Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta mengadakan pelatihan-pelatihan yang diperuntukkan bagi guru-guru sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif. Pelatihan tersebut, salah satunya, bekerjasama dengan LSM
Hellen Keller
Internasional (HKI)
yang
memiliki
program
Opportunities for Vulnerable Children (OCV). Salah satu yang program OVC tersebut bergerak untuk membantu anak-anak berkebutuhan khusus agar memperoleh pendidikan yang layak dengan tidak ditempatkan dengan serta merta di SLB. Penunjukkan Guru Pembimbing Khusus ditujukan agar sekolah-sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif mendapatkan pendampingan dan 130 131
Wawancara dengan Sukarto Wawancara dengan Suparno
arahan yang tepat sehingga ketika terdapat kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan pendidikan inklusif, sekolah dapat berkonsultasi dengan GPK. Namun memang hingga sekarang keberadaan GPK sendiri tidak jelas, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dra. Septi Novida, M.Pd, sehingga kadang-kadang kesulitan-kesulitan yang terdapat di sekolah dalam pelaksanaan pendidikan inklusif tidak dapat teratasi dengan baik. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus132. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak ditunjuk oleh pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang Guru Pembimbing Khusus. Ketersediaan Guru Pembimbing Khusus dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 dipenuhi oleh sekolah yang menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Dalam hal tidak tersedia Guru Pembimbing Khusus pada sekolah yang bersangkutan, pemerintah daerah dapat menyediakan dengan meminta bantuan kepada SLB atau Pusat Sumber atau lembaga lain. k. Sarana dan Prasarana
132
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 41
Sarana
dan
prasarana
dalam
penyelenggaran
pendidikan
inklusif
menggunakan sarana dan prasarana yang terdapat di sekolah dimana pendidikan inklusif diselenggarakan. Bila memang dibutuhkan, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memberikan bantuan kepada sekolah yang mengajukan proposal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dra. Septi Novida: “…Kebijakan sarana prasarana sendiri mempergunakan sarana dan prasarana yang sudah tersedia di sekolah-sekolah reguler. Jika memang dibutuhkan, kami memberikan dana khusus bagi sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif agar dapat memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana. Namun tidak semua sekolah kami bantu karena mereka harus mengajukan proposal permohonan bantuan dana. Pada prinsipnya, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah membantu pihak sekolah dengan catatan pihak sekolah mengajukan proposal permohonan bantuan mengenai kebutuhan apa saja yang diperlukan mereka dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Bila memang diperlukan, saya sendiri mengajukan rekomendasi kepada pemerintah pusat agar sekolah tertentu dibantu oleh pemerintah pusat…”133 Guru SMP Negeri 223 Pasar Rebo menyatakan bahwa Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta sangat membantu dalam pengadaan sarana dan prasarana penyelenggaraan pendidikan inklusif. Hal ini sebagaimana penjelasan Sukarto, S.Pd: “…Dinas Pendidikan Provinsi memberikan bantuan sarana dan prasarana agar memudahkan pelaksanaan pendidikan inklusif. Misalnya alat rekam agar siswa berkebutuhan khusus dapat merekam pelajaran untuk diputar ulang di rumah dengan bantuan orang tua…”134 Hal senada juga diungkapkan oleh Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak. Ketika ditanya mengenai pengadaan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, ia menjawab bahwa pihak sekolah sangat terbantu oleh bantuan-bantuan yang diberikan oleh Dinas Pendidikan
133 134
Wawancara dengan Septi Novida Wawancara dengan Sukarto
Provinsi DKI Jakarta. Selain dari Dinas Pendidikan Provinsi, SMA Negeri 66 juga mendapatkan bantuan dari Direktorat PSLB Kementerian Pendidikan Nasional. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Suparno, S.Pd: “…Sampai saat ini kami sangat terbantu dengan bantuan-bantuan yang diberikan baik oleh Direktorat PSLB maupun oleh Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Orang tua anak-anak berkebutuhan khusus pun ada beberapa yang membantu kami, sehingga sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pun dapat terpenuhi dengan baik. Misalnya ketika kebutuhan untuk laptop bagi peserta didik, kami pun menyediakan laptop khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus agar tidak ada pembedaan antara anak-anak reguler dengan anak-anak berkebutuhan khusus...”135 Dapat dipahami bahwa Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memiliki komitmen tinggi dalam pengadaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan sekolah dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusif. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif berhak memperolah bantuan profesional sesuai dengan kebutuhan dari pemerintah Kabupaten/Kota. Bantuan profesional yang dimaksud dalam peraturan tersebut dapat berupa penyediaan sarana dan prasarana 136. Ketentuan mengenai sarana dan prasarana disebutkan dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa sarana dan prasarana yang terdapat pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusi adalah sarana dan prasarana yang telah terdapat pada sekolah/madrasah yang bersangkutan dan ditambah dengan
135 136
Wawancara dengan Suparno Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009
aksesabilitas serta media pembelajaran yang diperlukan bagi peserta didik berkebutuhan khusus137. l. Keuangan/Dana Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007, pembiayaan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif bersumber pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada pos anggaran Dinas Dikdas dan Dinas Dikmenti138. Dalam hal keuangan, Dinas Pendidikan Provinsi DKI menyatakan bahwa Dinas memberikan bantuan finansial bagi sekolah-sekolah yang mengajukan proposal dan proposalnya diterima. Selain itu, dana yang dialokasikan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta diambil dari dana BOP (Bantuan Operasional Pendidikan) dan DOP (Dana Operasional Pendidikan). Hal ini sesuai dengan pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd: “…Kebijakan keuangan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif kami berikan kepada sekolah-sekolah yang mengajukan proposal permohonan bantuan dana. Dana tersebut kami ambil dari dana BOP dan DOP. Di samping itu kami juga mengalokasikan dana dari bidang kami (Bidang TK, SD, dan PLB) untuk diberikan kepada sekolah-sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif jika dibutuhkan…” 139 Dana operasional dari Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta yang diperuntukkan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif sudah diberikan sebanyak 2 (dua) kali yaitu pada tahun 2009 dan tahun 2010. Pada tahun 2009 jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang menerima dana operasional sebanyak 20 sekolah dengan besaran dana sebesar Rp. 20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah) untuk masing-masing sekolah. Alokasi 137
Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Pasal 11 Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Pasal 16 139 Wawancara dengan Septi Novida 138
anggaran biaya operasional penyelenggara pendidikan inklusif tersebut berasal dari Dana APBD Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD) Dinas Pendidikan Tahun 2009 140. Pada tahun 2010, jumlah sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif yang menerima dana pendamping berjumlah 5 (lima) sekolah dengan besaran dana untuk masing-masing sekolah berjumlah Rp. 18.000.000,- (Delapan belas juta rupiah). Daftar sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif yang menerima biaya operasional tahun 2009 dan dana pendamping tahun 2010 sebagai berikut: Tabel 4 Daftar Nama Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif Penerima Biaya Operasional Tahun Anggaran 2009 No Nama Sekolah
Alamat
Kecamatan
Wilayah
1
Jl. Percetakan
Johar Baru
Pusat
SDN Johar Baru 29 Pagi
Negara II A 2
3
SDN Cempaka Putih
Jl. Cempaka Putih
Barat 16 Pagi
Barat XIX
SDN Kramat Jati 24 Pagi
Jl. Kerja Bakti Rt.
Cempaka Putih Pusat
Kramat Jati
Timur
Kebon Jeruk
Barat
003/09 No. 40 4
140
SDN Sukabumi Selatan
Jl. Raya Pos
07 Pagi
Pengumben Rt.
Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 842/2009 Tentang Penunjukkan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi TK, SD, SMP yang Mendapatkan Biaya Operasional Tahun Anggaran 2009
002/08 Sukabumi Selatan 5
SDN Slipi 18 Pagi
Jl. KS Tubun III
Palmerah
Barat
Senen
Pusat
Pulo Gadung
Timur
Dalam 6
TK Aisyiyah 31
Jl. Salemba Bluntas I/77 Salemba Paseban
7
8
SDN Jatinegara Kaum 14
Jl. Jatinegara Kaum
Pagi
10/3
SDN Lebak Bulus 06
Jl. Gunung Balong
Cilandak
Selatan
Jl. Marunda Pulo
Cilincing
Utara
Pagi 9
SDN Marunda 02 Pagi
Rt. 003/07 10
SMP Negeri 118
Jl. Pramukasari I
Cempaka Putih Pusat
No. 19 11
12
SDN Tanah Tinggi 01
Jl. Tanah Tinggi I
Pagi
Gang 2
SDN Rawabadak Selatan
Jl. Mundari
07 Pagi
Bendungan Melayu
Johar Baru
Pusat
Koja
Utara
Penjaringan
Utara
Duren Sawit
Timur
Sawah Besar
Pusat
Rawabadak 13
SDN Pluit 06 Petang
Jl. Komp. Nelayan Muara Angke Rt. 001/01
14
TK Negeri Pembina DKI
Jl. Bambu Duri X
Jakarta
Pondok Bambu Duren Sawit
15
SDN Kartini 02 Petang
Jl. Gotong Royong Gang E
16
SMP Negeri 191
Jl. Kepa Duri Raya
Kebon Jeruk
Barat
17
SMP Negeri 240
Jl. H. Raya No. 16
Kebayoran
Selatan
B
Baru
Jl. Kamal Muara
Penjaringan
Utara
Pasar Rebo
Timur
Pasar Rebo
Timur
18
SMP Negeri 120
Raya No. 9 19
SDN Gedong 12 Pagi
Jl. Raya Cindet Gg. Masjid
20
SMP Negeri 223
Jl. Surilang No. 6
Tabel 5 Daftar Nama Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif Penerima Dana Pendamping Tahun Anggaran 2010 No
Nama Sekolah
Alamat
Kecamatan
1
SDN Cempaka Putih
Jl. Cempaka Putih
Cempaka Putih Pusat
Barat 16 Pagi
Barat XIX
SDN Marunda 02 Pagi
Jl. Marunda Pulo
2
Wilayah
Cilincing
Utara
Kembangan
Barat
Setiabudi
Selatan
Kramat Jati
Timur
Rt. 003/07 3
4
SDN Meruya Selatan 06
Jl. Lap. Jabek Rt.
Pagi
002/001 Mega
SDN Mentas 04
Jl. Dr. Sahardjo No. 121 Menteng
5
SDN Kramat Jati 24 Pagi
Jl. Kerja Bakti Rt. 003/09 No. 40
Dalam hal pendanaan, guru SMP Negeri 223 menyatakan bahwa pendanaan untuk penyelenggaraan program pendidikan inklusif selain berasal dari
sekolah sendiri, juga berasal dari Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dan Direktorat PSLB. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Sukarto: “…Pendanaan untuk pelaksanaan pendidikan inklusif berasal dari biaya sekolah, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, dan Direktorat PSLB Pusat…”141 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Suparno selaku Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak. Ia menyatakan: “…Pendanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif diperoleh dari bantuan dari Direktorat PSLB, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, dan dana sekolah yang dialokasikan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif…”142 Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memang belum bisa memberikan bantuan finansial kepada semua sekolah yang telah ditunjuk untuk menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Hal ini dikarenakan dana yang dibutuhkan sangat besar jika semua sekolah yang telah ditunjuk tersebut diberikan bantuan finansial. Maka, sebagaimana dijelaskan oleh Dra. Septi Novida, M.Pd, bantuan diberikan hanya kepada sekolah-sekolah yang mengajukan proposal permohonan bantuan dana dan proposal tersebut diterima karena telah dipertimbangkan kelayakannya. Namun demikian, pihak sekolah sendiri pun mengakui bahwa sekolah sendiri sudah mengalokasikan dana untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif. Dana yang dibutuhkan sekolah pun ada juga yang berasal dari pemerintah pusat yang diberikan lewat Direktorat PSLB. m. Model Pendidikan Inklusif
141 142
Wawancara dengan Sukarto Wawancara dengan Suparno
Model inklusif yang dipakai di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta adalah model inklusif moderat, dimana peserta didik berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan peserta didik lainnya di kelas reguler. Pada kesempatan-kesempatan tertentu dimana peserta didik berkebutuhan khusus membutuhkan penanganan khusus maka peserta didik berkebutuhan khusus dipisahkan untuk diberikan treatment khusus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd: “…Pada prinsipnya, baik anak-anak normal dan anak-anak berkebutuhan khusus selalu bersama-sama dalam pembelajaran di sekolah inklusif. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak normal dapat mengetahui dan memahami bahwa di sekitar mereka terdapat anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan dalam hal fisik maupun emosional. Pun dengan anak-anak berkebutuhan khusus agar mereka dapat merasakan kehidupan normal layaknya anak-anak lainnya. Namun dalam prakteknya, sebagian dari anak-anak berkebutuhan khusus mungkin dapat dipisah ketika memang mereka tidak dapat disatukan. Ini bagian dari strategi pembelajaran yang dapat dipraktikkan oleh guru…”143 Hal senada juga diungkapkan oleh guru inklusi SMP Negeri 223 Pasar Rebo yang menyatakan: “…Dari awal sudah disampaikan bahwa di sekolah ini ada siswa yang berkebutuhan khusus sebelum tahun ajaran baru dimulai. Informasi ini kami sampaikan di kelas-kelas agar guru-guru di sini mengetahui kondisi yang ada di sekolah… Selain itu, ada juga anak-anak berkebutuhan khusus yang diberi catatan oleh psikolog. Hal ini diperlukan karena masing-masing siswa berkebutuhan khusus memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Misalnya siswa tuna netra yang bisa saja duduk di belakang atau duduk di depan kelas. Contoh lain misalnya siswa tuna rungu yang harus duduk di depan. Pada awal proses belajar mengajar, kami menginformasikan kepada wali kelas untuk membuat denah yang disesuaikan dengan kondisi anak-anak berkebutuhan khusus…”144 Manajer program inklusi SMA Negeri 66 Cilandak juga menyatakan hal yang serupa yaitu: 143 144
Wawancara dengan Septi Novida Wawancara dengan Sukarto
“…Proses pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus disamakan dengan anak-anak reguler lainnya…”145 Pada prinsipnya, peserta didik berkebutuhan khusus diberikan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pembelajaran di kelas bersama-sama dengan peserta didik yang tidak digolongkan ke dalam anak-anak berkebutuhan khusus. Pemisahan peserta didik berkebutuhan khusus dari kelas reguler dilakukan hanya pada kesempatan-kesempatan tertentu dimana proses pembelajaran tidak bisa disama ratakan. Dra. Septi Novida, M.Pd sendiri menyatakan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari strategi yang disesuaikan saja dengan kebutuhan. Pihak dinas sendiri tidak memberikan aturan ketat mengenai bagaimana model pendidikan inklusif seharusnya dipraktikkan di sekolah. Sekolahlah yang paling mengetahui kondisi peserta didiknya, sehingga kebutuhan peserta didik harus diidentifikasi sendiri oleh sekolah. Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta mengacu kepada konsep inklusi penuh (full inclusion) dimana peserta didik berkebutuhan khusus belajar secara penuh di kelas reguler. Dengan demikian model tersebut tidak sesuai dengan model yang ditentukan oleh pemerintah. Pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd sendiri memberikan pemhaman bahwa proses pembelajaran yang diperuntukkan bagi peserta didik berkebutuhan khusus baik penuh maupun parsial hanya merupakan bagian dari strategi yang perlu dipahami dengan baik oleh guru-guru yang menangani pendidikan inklusif. Model pendidikan inklusif moderat seperti yang menjadi ketentuan dari pemerintah pusat secara literatur tidak ditemukan karena sebagaimana dinyatakan Morrison, pendidikan inklusif pada dasarnya memiliki dua 145
Wawancara dengan Suparno
model. Pertama yaitu model inklusi penuh (full inclusion) dimana peserta didik berkebutuhan khusus menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler. Kedua yaitu model inklusif parsial (partial inclusion) dimana peserta didik berkebutuhan khusus sebagian mengikuti pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan bantuan guru pendamping khusus146. Model kelas inklusif yang dimodifikasi sesuai dengan ketentuan pemerintah yang terdiri dari kelas reguler penuh, kelas reguler dengan cluster, kelas reguler dengan pull out, kelas reguler dengan cluster dan pull out, kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian, dan kelas khusus penuh di sekolah reguler sebagaimana dinyatakan oleh Sip Jan Pijl dan Cor J.W.Meijer 147, tidak dipakai dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta. Sebagaimana dinyatakan pemerintah pusat lewat Direktorat PSLB, penyelenggaraan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus di Indonesia tetap mengambil semangat dan filosofi inklusif. Implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta selalu dievaluasi oleh Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Dra. Septi Novida, M.Pd: “…Sebenarnya kami tidak mengalokasikan proses khusus untuk penilaian atau peninjauan ulang terhadap kebijakan-kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif yang sudah kami keluarkan, namun kami melakukan proses penilaian saat kami melakukan monitoring di sekolah-sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif dengan cara menanyakan
146
George Morrison, Early Childhood Education Today, (New Jersey: Pearson Education Inc., 2009), h. 462. 147 Sip Jan Pijl dan Cor J.W.Meijer, Factor In Inclusion: A Framework dalam Sip Jan Pijl (eds.), Inclusive Education; A Global Agenda, (London: Routledge, 1997), h. 12.
langsung apakah kebijakan-kebijakan penyelenggaraan program pendidikan inklusif sudah berjalan di sekolah atau belum terselenggara…” 148 Guru inklusif di SMP Negeri 223 Pasar Rebo mendukung pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa: “…Dinas Pendidikan melakukan monitoring terhadap pelaksanaan pendidikan inklusif di sini. Di samping itu, monitoring juga dilakukan oleh pengawas dan pihak penyelenggara Sekolah Luar Biasa…” 149 Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak menambahkan dukungan atas pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd dengan menyatakan: “…Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta selalu melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif. Kami sebagai penyelenggara pendidikan inklusif merasa sangat terbantu dengan adanya pengawasan yang dilakukan oleh pihak Dinas. Selain dari Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, monitoring juga dilakukan oleh Direktorat PSLB Pusat…”150 Dengan ini Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta melakukan evaluasi terhadap kebijakan karena melihat pentingnya proses evaluasi terhadap kebijakan. Dalam hal ini Budi Winarno menyatakan bahwa evaluasi diperlukan untuk melihat sejauh mana kebijakan telah mampu memecahkan masalah atau tidak151. Selain itu, evaluasi tersebut akan menentukan perubahan terhadap kebijakan. Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat tetap seperti semula, diubah, atau dihilangkan sama sekali152.
148
Wawancara dengan Septi Novida Wawancara dengan Sukarto 150 Wawancara dengan Suparno 151 Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, (Yogyakarta: Media Presindo, 2007), h. 34 152 Robert B. Denhardt dan Janet V. Denhardt, Public Administration: An Action Orientation, (Boston: Wadsworth, 2009), h. 55 149
Dari deskripsi dan analisis data di atas, kebijakan penyelenggaraan pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta telah melalui tahap-tahap kebijakan sebagai berikut: a. Penyusunan agenda, dikaitkan dengan dimasukkannya pendidikan peserta didik berkebutuhan dalam bentuk pendidikan inklusif sebagai salah satu masalah yang perlu disusun dalam agenda kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta. b. Formulasi kebijakan, dikaitkan dengan formulasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif yang secara substansi sama dengan kebijakan dari tingkat pusat dengan penyesuaian yang disesuaikan dengan kemampuan sumber daya Provinsi DKI Jakarta c. Adopsi
kebijakan,
dikaitkan
dengan
dilegitimasinya
kebijakan
penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta lewat Peraturan Pemerintah Daerah Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi d. Implementasi
kebijakan,
dikaitkan
dengan
pelaksanaan
kebijakan
penyelenggaraan pendidikan inklusif seperti penunjukkan sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif oleh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, pemberian bantuan kepada sekolah-sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif, pemberian beasiswa bagi peserta didik berkebutuhan khusus, dan lain-lain. e. Evaluasi kebijakan, dikaitkan dengan monitoring terhadap pelaksanaan pendidikan inklusif yang dilakukan oleh Bidang SD/TK/PLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan mengenai kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta, didapati kesimpulan sebagai berikut: 1.
Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta merupakan kebijakan yang akomodatif dan fleksibel. Disebut akomodatif karena kebijakan tersebut memberikan kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus yang memiliki kelainan dalam hal fisik, mental, emosional, dan sosial dan peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan/atau bakat istimewa untuk bersama-bersama belajar di kelas yang sama dengan peserta didik normal lainnya. Disebut fleksibel karena kebijakan tersebut tidak secara rigid diterapkan di lapangan. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
2.
Definisi yang dipakai pemerintah untuk pendidikan inklusif cenderung untuk mendeskripsikan
penyatuan
anak-anak
berkelainan
(penyandang
hambatan/cacat) ke dalam program sekolah. Aturan mengenai pendidikan inklusif ingin memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah. Walaupun peserta didik dengan kecerdasan dan/atau bakat istimewa juga dimasukkan dalam salah satu peserta didik pendidikan inklusif, keberadaan mereka tidak banyak menjadi isu dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Dengan demikian pendidikan inklusif yang diselenggarakan di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta berbicara mengenai hak anak berkebutuhan khusus yang memiliki kelainan atau kekurangan dalam hal fisik, mental, dan emosional untuk dapat belajar bersama dengan peserta didik lainnya di sekolah reguler. 3.
Tidak terdapat model pendidikan inklusif yang dijadikan acuan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Model yang terdapat dalam literatur hanya dipandang sebagai bagian dari strategi yang perlu dipahami dan diterapkan oleh guru-guru pendidikan inklusif.
4.
Belum semua kategori peserta didik yang telah ditentukan pemerintah tertampung di sekolah inklusif. Hal ini disebabkan karena keterbatasan sumber daya yang dapat memenuhi kebutuhan pelayanan pendidikan bagi semua kategori peserta didik berkebutuhan khusus. Selain itu, orang tua anak berkebutuhan khusus banyak yang masih enggan memasukkan anak mereka ke sekolah-sekolah inklusif
5.
Penunjukkan sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta melebihi ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta sendiri hingga saat ini belum memenuhi ketentuan yang termuat dalam
Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. 6.
Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memberikan bantuan dalam bentuk pelatihan bagi guru-guru inklusi, bantuan finansial, bantuan sarana dan prasarana, dan beasiswa bagi sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
B. Saran Beberapa saran yang dapat penulis kemukakan dalam penelitian ini yaitu: 1.
Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta perlu terus melakukan koordinasi internal, terutama dengan Bidang Tenaga Kependidikan, dalam rangka pemenuhan kebutuhan pendidik yang memahami dengan baik konsep dan implementasi pendidikan inklusif sehingga semua kategori peserta didik berkebutuhan khusus dapat tertangani dengan baik
2.
Sebaiknya, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta melakukan pendataan kembali jumlah Guru Pembimbing Khusus (GPK) yang saat ini ada di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta agar peningkatan kualitas pendidikan inklusif, sebagaimana dicanangkan oleh Bidang TK/SD/PLB, dapat berjalan dengan lancar
3.
Sebaiknya, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dan sekolah-sekolah inklusif melakukan pendataan secara berkala mengenai jumlah dan kondisi peserta didik setiap tahun ajaran baru di sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif agar kebutuhan-kebutuhan peserta didik di sekolah dapat dipetakan untuk kemudian dipenuhi
4.
Sebaiknya, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta melakukan peninjauan ulang mengenai keberadaan peserta didik dengan kecerdasan dan/atau bakat istimewa yang dimasukkan ke dalam kategori peserta didik pendidikan inklusif
5.
Sebaiknya, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta terus mengadakan kerjasama dengan pihak luar seperti LSM Hellen Keller Internasional (HKI) dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan inklusif
6.
Agar aspek pemerataan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif tidak diabaikan, maka Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta perlu meninjau kondisi kecamatan-kecamatan yang memiliki sekolah inklusif dalam jumlah yang sedikit atau bahkan belum memiliki sekolah inklusif seperti Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan di Kabupaten Kepulauan Seribu
7.
Agar pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah-sekolah inklusif dapat berjalan dengan baik, maka guru-guru di sekolah reguler, terutama guru-guru di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif (yang ditunjuk Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta) perlu terus meningkatkan pemahaman dan kompetensi yang berkaitan dengan konsep pendidikan inklusif
8.
Agar sekolah penyelenggara pendidikan inklusif tidak melaksanakan pendidikan inklusif sendirian, maka orang tua peserta didik berkebutuhan khusus perlu terus aktif untuk berkordinasi dengan pihak sekolah dalam rangka mengetahui kondisi, perkembangan, dan kebutuhan anak-anak mereka di sekolah
DAFTAR PUSTAKA Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009 Anderson, James E., dkk., Public Policy and Politics in America, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1984, cet. ke-2 _________________, Public Policy Making, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1984, cet. ke-3 _________________, Public Policy Making: An Introduction, Boston: Houghton Mifflin Company: 1994, cet. ke-2 Baihaqi, MIF. dan M. Sugiarmin, Memahami dan Membantu Anak ADHD, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006 Barton, Len dan Felicity Armstrong, Policy, Experience, and Change; Cross Cultural Reflection on Inclusive Education, Dordrecht: Springer, 2007 Bungin, M. Burhan, Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana, 2009 Danim, Sudarwan, Pengantar Studi Penelitian Kebijakan, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), cet. ke-3 Delphie, Bandi, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006 _______, Bandi, Pembelajaran Anak Tunagrahita; Suatu Pengantar dalam Pendidikan Inklusi, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006 Denhardt, Robert B. dan Janet V. Denhardt, Public Administration: An Action Orientation, Boston: Wadsworth, 2009 Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Rencana Strategis Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2013
Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Policy Brief, Sekolah Inklusif; Membangun Pendidikan Tanpa Diskriminasi, No. 9. Th.II/2008, Departemen Pendidikan Nasional Dunn, William N., Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2000, cet. ke-4 Dye, Thomas R., Understanding Public Policy, (New Jersey: Pearson Education Inc., 2005) Edwards III, George C. dan Ira Sharkansky, The Policy Predicament: Making and Implementing Public Policy, San Francisco: W.H. Freeman and Company, 1978 Fliegler, Louis A., “Curriculum Implementation” dalam Curriculum Planning for The Gifted, New Jersey: Prentice Hall Inc., 1961 Hallahan, Daniel P. dkk., Exceptional Learners: An Introduction to Special Education, Boston: Pearson Education Inc., 2009, cet. ke-10
Hanbal, Ahmad Ibn, Musnad Ahmad Ibnu Hanbal, (Kairo: Muassasah Qurtubah, tt), juz 5 Hardin, Brent dan Maria Hardin, “Into the Mainstream: Practical Strategies for Teaching in Inclusive Environments”, dalam Kathleen M. Cauley (ed.), Educational Psychology, New York: McGraw-Hill/Dushkin, 2004 Harjaningrum, Agus Tri, dkk., Peranan Orang Tua dan Praktisi dalam Membantu Tumbuh Kembang Anak Berbakat Melalui Pemahaman Teori dan Tren Pendidikan, Jakarta: Prenada, 2007 Hornby, AS, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford: Oxford University Press, 1995), cet. ke-5 http://en.wikipedia.org/wiki/Inclusion_%28education%29 http://en.wikipedia.org/wiki/Mainstreaming_%28education%29 http://groups.yahoo.com/group/ditplb/message/130 http://puslitjaknov.org/data/file/2008/makalah_undangan/DYAH%20S_Pengkajian% 20Pendidikan%20Inklusif.pdf
http://www.depdagri.go.id/media/filemanager/2010/01/29/1/1/11__dki_jakarta.pdf Islamy, M. Irfan, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1988, cet. ke-3 Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 842/2009 Tentang Penunjukkan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi TK, SD, SMP yang Mendapatkan Biaya Operasional Tahun Anggaran 2009 Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1190/2010 Tentang Penunjukkan Nama-nama TK, SD, SMP, dan SMA/SMK Penyelenggara Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010 Lindgren, Henry Clay, Educational Psychology in the Classroom, Tokyo: Charles E. Tuttle Company, 1967, cet. ke-3 Moloeng, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009 Morrison, George S., Early Childhood Education Today, New Jersey: Pearson Education Inc., 2009 Muslim, al Imam Abi Husain bin al Hajjaj, Shahih Muslim, Kairo: Daar Ibnu Al Haitam, 2001 Nawawi, Hadari dan Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995 Nawawi, Ismail, Public Policy; Analisis, Strategi, Advokasi, Teori, dan Praktek, Surabaya: PMN, 2009 Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, 2007 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 116 Tahun 2007 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Biasa Perlu Pelatihan Khusus untuk Guru; Sekolah Inklusi Butuh Pengajar, Kompas, Rabu, 3 Maret 2010 Pijl, Sip Jan (eds), Inclusive Education: A Global Agenda, London: Routledge, 1997 Putt, Allen D. dan J. Fred Springer, Policy Research; Concepts, Methods, and Application, New Jersey: Prentice Hall, 1989 Reid, Gavin, Dyslexia and Inclusion; Classroom Approaches for Assesment, Teaching and Learning, London: David Fulton Publisher, 2005 Santrock, John W., Psikologi Pendidikan, Jakarta: Prenada Media Group, 2008 Schulz, Jane B., Mainstreaming Exceptional Students; A Guide for Classroom Teachers, Boston: Allyn and Bacon, 1991 Smith, J. David, Inklusi: Sekolah Ramah untuk Semua, Bandung: Penerbit Nuansa, 2006 Stephens, Thomas M. dkk., Teaching Mainstreamed Students, Canada: John Wiley&Sons, 1982 Suharto, Edi, Analisis Kebijakan Publik; Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Bandung: CV. Alfabeta, 2005 Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008, cet. ke-4. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif Taylor, Ronald L., Assesment of Exceptional Students; Educational and Psychological Procedures, New Jersey: Pearson Education Inc., 2009, Cet. Ke-8 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008
Winarno, Budi, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, Yogyakarta: Media Presindo, 2007