Menelusuri Kaitan Persoalan Kemiskinan dan Kekerasan terhadap Perempuan dengan Penghancuran Kedaulatan Perempuan di Masa Lalu 1 Theodora J. Erlijna – Institut Sejarah Sosial Indonesia
Di tengah teriakan protes masyarakat atas kebijakan pemiskinan nasional yang satu dekade terakhir semakin terang-terangan dilakukan, tanpa ampun, dan kerap kali diiringi tindak represif, perempuan-perempuan korban Peristiwa 1965 menuntut pengungkapan kebenaran. Terhadap tuntutan korban, sejumlah pejabat dan mantan pejabat militer maupun sipil, juga sejumlah tokoh masyarakat mengatakan: lupakan masa lalu dan tatap masa depan; jangan kita mewariskan dendam lama kepada generasi baru yang tidak tahu menahu duduk persoalan sebenarnya; lebih baik kita berkonsentrasi menyelesaikan persoalan masa kini. Gubernur Lemhanas, Prof. Dr. Ermaya Suhardinata contohnya. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Panitia Khusus Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RDPU KKR) ia mengingatkan: ”[J]angan sampai kita habis oleh
dendam-dendam politik masa lalu, kita harus ke depan membangun ini, negara yang maju sekarang kan melihatnya ke depan, semua ke depan, sementara kita ini melihatnya ke belakang terus jadi akhirnya krisis pun enggak selesai-selesai” 2. Apakah maksudnya para korban orang-
orang egois – atau lebih parah lagi, dikuasai oleh nafsu balas dendam – yang tidak mau melihat bahwa di depan mata mereka ada persoalan hidup-mati rakyat banyak yang harus lebih diprioritaskan? 10 tahun belakangan pemerintah membuktikan bahwa mereka tidak hendak ’melihat ke belakang’. Pemerintah berkonsentrasi pada perbaikan kondisi perekonomian. Tapi toh harga bensin, misalnya, selama satu dekade belakangan terus naik hingga mencapai 857,14%, yaitu dari Rp 700/liter pada 1998 menjadi Rp 6.000/liter pada tahun ini. Kenaikan harga BBM selalu diikuti dengan makin menjulangnya harga bahan produksi dan kebutuhan pokok. Dan selalu kaum ibu – karena peran tradisional mereka dalam keluarga -- yang paling pertama terpukul olehnya. Televisi setiap kali menampilkan ibu-ibu berwajah lusuh – bahkan beberapa diantaranya pingsan – karena berjam-jam mengantri jatah BLT (Bantuan Langsung Tunai), yang lain berteriak-teriak histeris karena rumah atau kios mereka digusur paksa. Tidak berhenti sampai di situ, meningkatnya angka kemiskinan selalu diikuti dengan meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan seperti ditunjukkan oleh kajian Kalyanamitra 3. Andi Yentriyani 4 juga mengingatkan kita bahwa di tengah proses pemiskinan, pemerintah kembali mengulang taktik lama, yaitu memperketat kontrol terhadap tubuh perempuan melalui perda-perda syariah dan RUU (Rancangan Undang-Undang) Anti-Pornografi. Pertanyaannya: mengapa organisasi-organisasi perempuan – serta organisasi-organisasi sipil lainnya – tidak punya daya tawar di hadapan negara untuk ikut menentukan hajat hidupnya dan keluarganya? Kita tahu bahwa kondisi ekonomi politik yang menekan hidup kaum perempuan 1
Makalah ini merupakan versi revisi dari makalah yang dipresentasikan dalam Seminar “Pusaran Modal Internasional dan Ancaman terhadap Kedaulatan Perempuan”, Konferensi Warisan Otoritarianisme II, “Demokrasi Indonesia dan Tirani Modal”, FISIP UI-Depok, 6 Agustus 2008. 2 Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) RUU KKR, 11 November 2003. 3 Dikutip dari Komnas Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, Laporan Tiga Tahun Pertama 1998-2001 (Oktober 2001), h. 14. 4 Andy Yentriyani, “…”. Makalah dipresentasikan dalam seminar yang sama.
1
dan keluarganya saat ini adalah akibat keputusan penyelenggara negara berpartisipasi dalam eksperimen neoliberalisme IMF. Bagaimana keputusan itu bisa lolos dari campur tangan kaum perempuan? Saya meyakini bahwa lemahnya posisi perempuan di hadapan negara adalah akibat dari operasi militer yang dilancarkan Angkatan Darat (AD) – kemudian dilanjutkan oleh Rezim Orde Baru dan dipertahankan oleh rezim-rezim sesudahnya – untuk merampas ruang negosiasi politik perempuan pada paruh akhir 1960an. Oleh karena itu, memutus kaitan Peristiwa 65 dengan persoalan pemiskinan perempuan dan keluarganya masa kini akan merugikan upaya perempuan untuk menyelamatkan hidupnya dan keluarganya.
Shock Therapy dan Tatanan Masyarakat Baru Ketika gambaran tentang apa yang sesungguhnya dialami para perempuan korban 65 sudah mulai utuh5, kita berhadapan dengan pertanyaan: mengapa? Mengapa Peristiwa 65 terjadi? Mengapa Gerwani dihancurkan? Jika saja Peristiwa 65 hanya mengorbankan Gerwani, kita bisa puas dengan jawaban bahwa Peristiwa 65 adalah sebuah operasi kekerasan untuk menghancurkan kekuatan kiri Indonesia yang sejalan dengan politik perang dingin. Tapi kemudian bagaimana kita menjelaskan fakta bahwa operasi kekerasan telah begitu meluas sehingga mengorbankan banyak perempuan yang bukan anggota Gerwani beserta anak keturunan? Mengapa penghancuran Gerwani saja tidak cukup? Mengapa organisasi-organisasi perempuan lain pun harus dilumpuhkan? Jawabannya terletak pada tujuan akhir yang ingin dicapai Soeharto dan AD: yaitu mengintegrasikan sistem ekonomi politik Indonesia ke dalam sistem kapilitalisme dunia. Soeharto dan AD-nya – dan kemudian dengan Rezim Orde Baru-nya – berkepentingan tidak hanya untuk menghabisi gerakan kiri yang berinisiatif mempercepat penerapan kebijakan reforma agraria (1960) dengan melancarkan aksi sepihak serta menjadi motor penggerak nasionalisasi aset-aset perusahaan asing 6. Lebih dari itu, mereka perlu menciptakan sebuah tatanan baru yang memastikan seluruh masyarakat – termasuk kaum perempuannya – siap untuk mendukung sistem ekonomi politik baru yang ia yakini efektivitasnya. Untuk itu Soeharto dan AD-nya harus menghancurkan secara total seluruh paham ‘lama’ yang dianggap menghalangi. Pola pikir dan pola kehidupan lama yang berbasis kolektivitas dan, oleh karenanya, menekankan pada pemerataan kesejahteraan masuk dalam daftar penghancuran 7. Demikian pula paham kemandirian ekonomi-politik-budaya nasional yang menyebabkan munculnya gerakan anti5
Untuk pembahasan literatur-literatur perempuan korban 65 lihat Th. J. Erlijna, Bibliographical Review of Women’s Literatures on the 1965 Tragedy in Indonesia, dalam jurnal Contemporary Women’s History in Asia, Issue 2 (Association for the Study of Contemporary Asian Women’s History and Gender, 2006), h. 111-122. Selama dua tahun belakangan ada sejumlah publikasi laporan, hasil kajian, maupun memoir baru, diantaranya: Komnas Perempuan, Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965 (2007); Fransisca Ria Susanti, Kembang-Kembang Genjer (Yogyakarta: Jejak, Oktober 2007); Mia Bustam, Dari Kamp ke Kamp (Jakarta: ISAI, Agustus 2008). 6 Nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing diawali dengan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda terjadi pada 1959 -- pasca terbitnya UU No. 78/1958 tentang Penanaman Modal Asing yang mengusung semangat anti penanaman modal asing – dan terakhir pada 1965 terhadap perusahaan-perusahaan milik Amerika Serikat. 7 Prof. Dr. Selo Soemardjan, bapak sosiologi Indonesia, mengatakan bahwa pada 1966/67: “golongan orang yang kaya cuma sedikit dan itu pun tidak begitu mencolok seperti sekarang” (Kompas, 26/2/98).
2
nekolim 8 intinya semua yang tidak sesuai dengan semangat masyarakat baru. Pola pikir ’lama’ itu bukan semata monopoli Gerwani dan organisasi-organisasi kiri. Ia diyakini oleh hampir seluruh lapisan masyarakat pada masa itu, terutama mereka yang mengalami langsung hidup di masa kolonial dan kemudian terlibat dalam usaha membebaskan diri darinya. Oleh karena itu, AD membutuhkan tindakan drastik, sebuah operasi berkekuatan besar yang mampu mengguncang dan membekas dalam ingatan masyarakat. Untuk menjamin keberhasilan operasi, harus jatuh banyak tumbal. Mengutip Naomi Klein, Soeharto dan AD-nya membutuhkan sebuah ’Shock and Awe military force’ 9. Operasi yang dilancarkan AD membuat masyarakat yang mengalami shock itu dengan ’rela’ memutus ikatan dengan -- bahkan menghancurkan sendiri -- ingatan masa lalu mereka. Dari puing-puing ingatan itu, Rezim Orde baru menyusun sebentuk ingatan kolektif baru sesuai kehendak mereka 10. Orde Baru tahu benar bahwa ingatan baru itu tidak solid dan sangat rapuh sehingga perlu terus diperbaharui melalui berbagai cara: pembentukan perangkat hukum dan perundang-undangan, pembangunan monumen Lubang Buaya yang megah, produksi film ”Pengkhianatan G-30-S/PKI” 11 dan buku-buku pelajaran sejarah yang menyesatkan, melalui reproduksi stigma dan diskriminasi, dan – kalau perlu – melalui kekuatan teror dan senjata. Namun masyarakat dengan beragam patologi ingatan itu adalah tenaga kerja siap pakai untuk pembangunan di dalam sistem ekonomi politik yang baru. Mengapa AD memilih Gerwani sebagai tumbal? Setidaknya ada tiga alasan. Dua alasan pertama dipaparkan oleh Brigjen Djuhartono – salah satu pimpinan Sekber Golkar dan tangan kanan Soeharto -- saat diwawancarai Wieringa pada 19 Desember 1983. Pertama adalah kemungkinan radikalisasi gerakan perempuan oleh Gerwani. Yang kedua adalah kerjasama erat Gerwani dengan PKI. Demikian penuturannya: [Gerwani] menonjolkan diri ke depan, sehingga semua [gerakan perempuan] akan mengakui bagaimana aktifnya mereka, karena mereka menginginkan bisa terpilih sebagai sekretaris untuk Sidang Pleno”. Dan, [Gerwani] memang pandai. Mereka bekerja merintis jalan untuk PKI, karena itu tidak pernah mau ikut dengan kegiatan-kegiatan kami [ABRI] 12”.
8
Pada masyarakat 60an, kaum nekolim mewujud pada negara Belanda, Amerika Serikat, dan Inggris. Naomi Klein, The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism, 1st ed. (NY: Metropolitan Books, Hery Holt & Co, 2007), h. 9. 10 Bahwa Peristiwa G-30-S adalah aksi pengkhianatan bangsa dan upaya mengganti Pancasila dengan ajaran komunis; bahwa komunis adalah atheis, penghasut, dan pendukung seks bebas; bahwa anggota-anggota Gerwani menari-nari cabul dan memutilasi para perwira AD yang diculik; bahwa Soeharto dan AD-nya adalah penyelamat; bahwa militer-lah yang paling mampu memimpin negara ini; termasuk me-redefini konsep-konsep sosial-politik. 11 Disutradarai oleh Arifin C. Noer. 12 Saskia E. Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Cet. 1 (Jakarta: Garba Budaya, 1999), h. 210. 9
3
Alasan ketiga yang tidak diungkap oleh Djuhartono namun menurut saya lebih mendasar adalah keterlibatan Gerwani dalam konflik-konflik agraria. Gerwani -- entah disadari atau tidak – selalu berusaha menggabungkan perspektif gender dan kelas dalam menganalisis situasi perempuan 13. Bagi mereka, perempuan mengalami dua jenis subordinasi: sebagai perempuan mereka tersubordinasi di dalam masyarakat feodal yang memegang teguh sistem patriarkhi; sebagai bagian dari komunitas buruh pabrik, buruh perkebunan, buruh tani atau petani miskin mereka tersubordinasi di dalam struktur kelas. Ini yang membedakan Gerwani dengan kebanyakan organisasi perempuan semasanya. Kerja turunan dari analisis itu paling jelas terlihat dalam keterlibatan Gerwani – dalam mendukung BTI bersama-sama organisasi-organisasi kiri lainnya - dalam berbagai aksi mempertahankan tanah garapan rakyat yang dimulai sejak tahun-tahun awal 1950an, berlanjut dengan aksi sepihak dan aksi menuntut bagi hasil yang lebih adil pada paruh pertama 1960an. Aksi-aksi tersebut pada satu masa menempatkan mereka pada posisi berseberangan dengan pemerintah yang berniat mengembalikan tanah garapan rakyat pada perusahaan-perusahaan asing yang pernah menguasainya pada periode pemerintahan kolonial 14. Sejak 1963, sesudah keluarnya UU Pokok Agraria (1960) dan UU Bagi Hasil, mereka berhadaphadapan dengan para tuan tanah beserta pengikutnya. Kapitalisme menempatkan kepemilikan pribadi dan kebebasan individual sebagai hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Oleh karenanya, reforma agraria serta aksi reclaiming tanah yang berasaskan perombakan struktur kepemilikan adalah sebuah momok besar bagi kaum kapitalis di seluruh dunia. Reforma agraria dianggap sebagai ’revolusi merah’ kaum komunis, diperlawankan dengan konsep ’revolusi hijau’ Amerika Serikat – kemudian diadopsi oleh Rezim Orde Baru -- yang mempertahankan struktur kepemilikan yang ada 15. Gerwani, dengan partisipasinya dalam revolusi merah itu, menjadi adalah apa yang disebut Herman dan Chomsky sebagai ”the specter haunting property owners, as it threatens the very root of their class position and superior status.” 16 AD oleh karenanya memiliki segala alasan yang dibutuhkan untuk menghancurkan Gerwani dan menjadikannya sebagai peringatan bagi organisasiorganisasi perempuan yang tersisa. Sebelum Peristiwa 1965 terjadi, gerakan perempuan sedang berjuang memperluas ruang negosiasi mereka di wilayah sosial-politik. Gerakan perempuan mendorong klaim ’tugas dan kewajiban sebagai ibu bangsa’ 17 ke batas-batas terjauh untuk menuntut peningkatan kesejahteraan perempuan dan anak-anak di berbagai bidang, baik melalui aktivitas mereka di dalam maupun di luar proses politik formal. Yang membuat klaim ’ibu bangsa’ ampuh sebagai 13
Saya berterima kasih pada Ayu Ratih (ISSI) untuk analisis ini. Peristiwa Tanjung Morawa-Sumatera Timur (1953), salah satu contoh kasus. Peristiwa ini diawali oleh kebijakan unsur Masyumi dalam pemerintahan yang ingin mengembalikan tanah yang telah digarap rakyat setempat – termasuk tanah di Tanjung Morawa -- pada pemilik asing (kebijakan ini ditentang oleh unsur PNI dalam pemerintahan). Pentraktoran tanah garapan rakyat itu dilawan oleh aksi demonstrasi petani yang didukung oleh organisasi-organisasi kiri – termasuk Gerwani. Militer dikerahkan dan terjadilah penembakan terhadap demonstran. Peristiwa ini menjadi salah satu penyebab jatuhnya kabinet Wilopo. 15 Syamsul Ardiansyah, “Mengenang Soeharto (1921-2008): Soeharto, Petani dan Pangan”, Jurnal INFID No. 13/06/Juni 2008, h. 8-9. 16 Edward S. Herman & Noam Chomsky, Media and Cultural Studies, ?, h. 29. 17 Klaim ‘ibu bangsa’ pertama kali diungkap Kartini dalam surat-suratnya kepada Ny. Abendanon-Mandri. Namun karena konteks politik yang melingkupinya, Kartini hanya mengacu pada bangsa Jawa. Klaim itu mengalami perluasan hingga mencakup Indonesia sejak Kongres Perempuan 1928. 14
4
bahasa politik perempuan adalah karena kegigihan gerakan perempuan sendiri dalam membuktikan nilai penting keikutsertaan mereka dalam gerakan nasionalis serta dalam rekonstruksi dan pembangunan pasca-perang. Selama 15 tahun pertama pasca-perang, berbagai pemerintahan yang terbentuk harus bekerja dengan dana serta sumber daya lain yang sangat minim. Oleh karena itu, mereka sangat membutuhkan dukungan gerakan perempuan – khususnya dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini pada gilirannya membuat daya tawar gerakan perempuan di hadapan negara menguat, seperti ditulis oleh Elizabeth Martyn: [T]he need for women’s organizations to support government programmes enabled women to participate in nation-building. It meant that women’s organizations could lobby for women’s needs to be adddressed within national policy, illustrating women’s commitment to citizenship and nationalism 18. Sejak Kongres Perempuan 1935, gerakan perempuan telah menetapkan peningkatan kemandirian ekonomi perempuan dan perlindungan terhadap buruh perempuan sebagai agenda bersama. Kemerdekaan memberi mereka kesempatan untuk melipatgandakan usahanya secara terkonsolidasi di bawah payung Kongres Wanita Indonesia serta, kerap kali, dengan dukungan dana dan fasilitas lain dari institusi-institusi pemerintahan 19. Karena tradisi gerakan perempuan yang melekat dengan tradisi nasionalis, maka kemandirian ekonomi perempuan harus diletakkan dalam kerangka kedaulatan ekonomi bangsa. Signifikansi partisipasi perempuan dalam proses pembangunan melahirkan kepercayaan diri besar di kalangan gerakan perempuan sehingga Ibu S. Surya-Hadi, misalnya, tidak ragu mengeluarkan nada ancaman di hadapan parlemen saat membela tuntutan perempuan akan undang-undang perkawinan yang lebih adil: Organisasi-organisasi perempuan berteriak dan memohon agar ada undang-undang perkawinan secepat mungkin. Kaum perempuan Indonesia sudah bersabar, Ketua! Kesabarannya sudah begitu melegenda, mereka menunggu dengan tenang dan, tak perlu dikatakan lagi, mereka bekerja dan menderita dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai warga negara; tetapi sudah saatnya bagi mereka mengakhiri kesabarannya. Penyumbat dari gunung berapi itu sudah mulai longgar; lahar dan batu yang membara akan segera mengancam kesejahteraan umum ...Saya meminta hal ini atas nama semua kelompok feminis yang mendukung saya, front perempuan dari semua pihak dan organisasi. 20
18
Elizabeth Martyn, The Women’s Movement in Post-Colonial Indonesia: Gender and Nation in a New Democracy (London & NY: RoutledgeCurzon, 2005), h. 99. 19 Hampir seluruh organisasi perempuan memiliki bagian ekonomi yang menyelenggarakan koperasi, arisan, dan kursus-kursus keterampilan. Di Bandung, Jakarta (didirikan oleh Kongres Wanita Indonesia pada 1953), dan Yogyakarta dibangun tiga bank untuk perempuan. Masih berkait dengan upaya mencapai kemandirian ekonomi, organisasi-organisasi perempuan diantaranya juga bekerja untuk meningkatkan akses pendidikan bagi anak-anak perempuan; memberantas buta huruf; menuntut perluasan dan peningkatan kesempatan kerja bagi perempuan; mendirikan tempat-tempat penitipan anak di pabrik-pabrik dan perkebunan; melakukan penelitian atas kondisi kesejahteraan buruh perempuan yang menghasilkan tuntutan kepada pemerintah untuk melindungi buruh perempuan. 20 S. Surya Hadi (1956) dalam Cora Vreede-de Stuers, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian, Cet. 1 (Depok: Komunitas Bambu, April 2008), h. 217-218. Hingga 1965 perjuangan atas undang-undang perkawinan yang lebih demokratis gagal, diantaranya -- dan mungkin yang terutama – adalah karena keterpecahan
5
Perempuan-perempuan yang terlalu kuat dan mandiri – apalagi dengan kemungkinan makin terradikalisasi oleh Gerwani -- tidak cocok dengan angan-angan Soeharto dan AD-nya tentang tatanan masyarakat baru. Langkah pertama yang mereka lakukan adalah memecahbelah gerakan perempuan dengan merangkul organisasi-organisasi perempuan yang selama itu menjauhkan diri dari wilayah politik dan me-reedukasi mereka. Ini dilakukan sejak 1960/61. Yang kedua adalah mendirikan Sekber Golkar pada 1964 sebagai front anti-komunis dan sebagai wadah untuk mendekati massa perempuan yang sampai saat itu belum terorganisir pada 1964. Dengan pandangan khas militer patriarkh dan urutan sebab-akibat yang kacau, Brigjen Djuhartono kembali menuturkan pada Wieringa: Sekitar 1963 kami [ABRI] mulai dengan rencana aksi. Partai-partai kiri berbuat yang aneh-aneh, sehingga kami merasa harus melakukan sesuatu. Organisasi-organisasi wanita agak kacau 21. Mereka, selain Gerwani tentu saja, melakukan sejumlah kegiatan sosial yang biasa-biasa saja. Semua organisasi yang kecil-kecil itu tidak tahu harus berbuat bagaimana. Mereka memerlukan satu wadah yang mampu mengarahkan mereka. ... Hanya kamilah [ABRI] satu-satunya yang dapat menstabilisasi keadaan, dan melaksanakan persatuan yang sesuai dengan Pancasila. .... Saya harus memimpin kesatuan aksi yang diperlukan untuk melaksanakan politik Front [Nasional]. Saya dapat menentukan organisasi-organisasi mana yang boleh ikut. Ini sangat bagus, karena dengan begitu sekarang semua teman-teman kami segera bisa masuk, sehingga dalam tahun 1964 secara resmi bisa kami bentuk Sekber Golkar. ... Gerwani menentang Sekber Golkar, dan kemudian juga Wanita Demokratnya PNI, karena kami menguasai massa wanita yang mengambang, sedangkan mereka ingin meluaskan pengaruh mereka ke golongan itu juga. Melalui organisasi ini kami menguasai sekitar 40 juta orang, dan Front [Nasional] berhasil kami kuasai sama sekali. Kowani juga masuk kelompok kami, tapi tidak sepenuhnya. Organisasi ini sebenarnya lemah, terpecah-belah. Hanya orang-orang yang non-partai bekerjasama dengan kami. Sudah sejak tahun 1960, 1961 kami mulai mendidik mereka itu. Kami selenggarakan rapat-rapat politik untuk kelompok-kelompok wanita non-partai, membahas situasi politik bersama mereka, dan mengajar mereka politik 22. Persekusi terhadap Gerwani merupakan shock therapy 23 yang dibutuhkan untuk menghancurkan sepenuhnya gerakan perempuan: ”Lihat saja sekarang, bagaimana tenangnya kaum wanita itu”, demikian Djuhartono 24. Dari puing-puing gerakan perempuan yang hancur lebur itu Rezim Orde pendapat di kalangan gerakan perempuan sendiri. Tapi yang lebih menarik adalah mempelajari strategi parlementer dan ekstra-parlementer yang dijalankan gerakan perempuan untuk memperjuangkan undang-undang itu. 21 Sejauh ini saya tidak menemukan bukti-bukti yang mendukung pernyataan Djuhartono bahwa organisasiorganisasi perempuan pada 1960an ‘agak kacau’. Antara organisasi-organisasi anggota Kongres Wanita Indonesia memang ada sejumlah perbedaan pendapat tentang poligami serta keterlibatan perempuan dalam politik yang menimbulkan kecurigaan dan saling tidak suka, namun perbedaan pendapat itu tidak pernah menghalangi dicapainya kesepakatan dalam hal-hal lain. 22 Wieringa, ibid., (1999) h. 210-212. 23 Tentang bagaimana kaum kapitalis mengeksploitasi habis-habisan konsep psikiatris ini untuk membuka jalan bagi invasi modal, silakan baca: Naomi Klein, The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism (NY: Metropolitan Books, 2007). 24 Wieringa, ibid., (1999) h. 212.
6
Baru menyusun ulang konsep keperempuanan, organisasi perempuan, Kowani, dan bahkan Kartini beserta gagasan-gagasannya. Yang paling penting bagi Orde Baru – lagi dituturkan Djuhartono adalah mencabut inisiatif perempuan untuk bergerak dan memisahkan mereka dari basis massanya. Dan sekarang semua organisasi wanita tentu saja di bawah Golkar. Mereka tidak keberatan; semuanya mengikuti kegiatan kami. Barangkali, dalam menghadapi organisasi-organisasi itu, caranya tidak terlalu demokratis. Tapi segala-galanya tokh lebih baik daripada Gerwani. Saudara tentu tahu apa yang mereka lakukan. Tari-tarian gila, cungkil mata dan sebagainya itu. Dan organisasi-organisasi wanita di luar Golkar, semuanya sama sekali tidak efektif dan lemah. Mereka tidak punya cabang di daerahdaerah satu pun. Tidak ada yang bisa mereka lakukan 25. Di saat masyarakat masih terguncang dan hilang akal karena pembantaian dan penangkapan, Soeharto dan AD-nya – dengan menggandeng ekonom-ekonom UI hasil didikan University of California, Berkeley – bergerak cepat untuk mengubah arah kebijakan ekonomi-politik negara. Pada 10-20 Januari 1966, dengan fasilitas dari G-V dan G-VII KOTI, serta dibuka oleh Soeharto sendiri, KAMI FEUI menyelenggarakan ”Pekan Ceramah dan Seminar Ekonomi Keuangan dan Moneter” 26. Bertindak sebagai penasehat panitia dan atau pembicara adalah para ekonom Berkeley, Jenderal Nasution, dan Hamengkubuwono IX. Pekan ceramah diantaranya merekomendasikan penetapan undang-undang penanaman modal asing dengan alasan modal dalam negeri tidak cukup memenuhi kebutuhan pembangunan nasional (Pasal 62) dan pendaftaran kembali Indonesia sebagai anggota IMF dan IBRD (Pasal 65) 27. Pasca Supersemar, Soeharto mengangkat dirinya menjabat Ketua Presidium Kabinet Ampera dan membentuk Tim Ahli Politik yang diketuai oleh Sarbini Sumawinata dan Tim Ahli Ekonomi yang diketuai oleh Widjojo Nitisastro. Maka pada 8 November 1966 keluarlah UU No. 9 Tahun 1966 (kemudian diubah dengan UU No. 2 Tahun 1967) yang menyatakan pulihnya keanggotaan Indonesia dalam IMF dan IBRD dengan konsekuensi mengakui kembali kewajiban pembayaran hutang yang oleh pemerintahan sebelumnya dihapus secara sepihak karena dianggap tidak adil. Namun Rosihan Anwar dalam obituarinya untuk Sarbini Sumawinata mengatakan bahwa sejak sebelumnya IMF sudah terlibat dalam penyusunan arah baru kebijakan ekonomi Indonesia: ”Dengan bantuan IMF, mereka menyusun kebijakan ekonomi yang diumumkan tanggal 3 Oktober 1966” 28. Dua tahun berikutnya, kerjasama Tim Ahli Ekonomi dengan IMF, World Bank, IGGI, CGI melahirkan UU No. 1 Tahun 1967 yang memenuhi Pasal 62 resolusi 29. 25
Wieringa, ibid., (1999) h. 212. Hasil pekan ceramah dan seminar ini diterbitkan pertama kali dengan judul The Leader, the Man and the Gun (Jakarta: Usaha Penerbit Nasional PT. Matoa, 1966), kemudian dicetak ulang di bawah judul Jalur Baru Sesudah Reruntuhan Ekonomi Terpimpin (The Leader, the Man and the Gun), Seminar KAMI (Jakarta: Sinar Harapan, 1984). 27 Pada 23 Agustus 1965, pemerintahan Soekarno menerbitkan UU No. 16 Tahun 1965 yang melikuidasi penanaman modal asing di Indonesia. Pada 14 Februari 1966, pemerintahan Soekarno menerbitkan UU No. 1 Tahun 1966 tentang penarikan keanggotaan Indonesia dari IMF dan IBRD. 28 Rosihan Anwar, “”In Memoriam” Prof Sarbini”, dalam Kompas, 15/3/2007, diakses dari http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/sarbini-sumawinata/index.shtml pada 19/8/08. 29 Dian Kartika Sari, “Arah Politik Ekonomi Soeharto”, Jurnal INFID, No. 13/06/Juni 2008, h. 7. Dian mendaftar sembilan UU lain produk kerjasama Tim Ahli Ekonomi dengan badan-badan keuangan internasional yang telah 26
7
Salah satu butir perubahan arah kebijakan ekonomi politik adalah penerapan revolusi hijau, yaitu mekanisasi dan reorganisasi manajemen pertanian. Buah dari revolusi hijau adalah untuk waktu dua tahun (1984-1986) Indonesia bisa memenuhi kebutuhan berasnya sendiri dengan harga murah. Namun sejak 1988 hingga saat ini Indonesia menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia 30. Biaya yang harus dikeluarkan untuk dua tahun masa keemasan itu diantaranya adalah banyak petani kehilangan tanah karena tidak bisa membayar kredit sarana produksi pertanian dan tersingkirnya perempuan dari lahan-lahan mereka. Dengan pesatnya industrialisasi, lahan-lahan garapan rakyat dikonversi menjadi perkebunan besar, pertambangan, dan pabrik-pabrik. Kombinasi dari kedua faktor itu menghasilkan perempuan-perempuan yang harus bertahan hidup di dalam sistem kapitalistik tanpa memiliki aset cukup selain tubuhnya dan tanpa kemampuan mengorganisir diri untuk melawan. Mereka bekerja di pabrik-pabrik yang sudah tidak dikosongkan dari serikat buruh. Sebagian yang lain menjadi pembantu rumah tangga atau pekerja seks. Sejak 1983, pemerintah mulai mengekspor buruh perempuan ke Arab Saudi dan kemudian ke negara-negara lain 31. Setelah melalui proses penghancuran dan pembentukan kembali kaum perempuan, pada 1986 Rezim Orba akhirnya dengan percaya diri memproklamirkan pada kalangan pemilik modal internasional: tentang nilai tambah yang bisa didapat dari buruh-buruh perempuan Indonesia yang murah, patuh, dan loyal 32. Perempuanperempuan inilah yang harus mempertahankan hidupnya dan keluarganya di dalam eksperimen sistem ekonomi politik neoliberal yang berlaku di Indonesia hari ini 33. Lantas apa yang terjadi pada korban 65 dan keluarganya? Para aktivis Gerwani maupun perempuan-perempuan yang di-gerwani-kan yang beruntung selamat dari pembunuhan massal 65 dan tahun-tahun selanjutnya masuk dalam penjara dan mengalami reedukasi untuk menyesuaikan diri dalam tatanan masyarakat baru versi Rezim Orde Baru. Sementara keluarga mereka bertahan hidup dengan menjual aset-aset yang sesungguhnya dibutuhkan untuk bertahan hidup dalam sistem ekonomi politik baru yang berlaku. Dengan dipertahankannya berbagai undang-undang yang mendiskriminasi korban dan keluarganya hingga saat ini hanya berarti bahwa mereka masih dianggap terlalu berbahaya untuk diintegrasikan dalam tatanan masyarakat baru. Saat krisis ekonomi 1997-1998 terjadi, perempuan korban 65 dan keluarganya mengalami pukulan berganda, sebagai kelompok pesakitan yang makin dimiskinkan. Dalam kasus keluarga korban Tanjung Priok, kemiskinan menyebabkan sebagian dari mereka menerima suap dari para pelaku pelanggaran HAM yang disirami air suci: islah.
disebut di atas. Satu diantara UU itu berkait dengan pembatasan kebebasan pers. Sembilan lainnya mengatur tentang berbagai sektor perekonomian. 30 Syamsul Ardiansyah, op. cit., h. 9. 31 Maria Hartiningsih, “Mengais Remah-remah “Kebertahanan” Ekonomi Perempuan”, dalam Baskara T. Wardaya dkk. (penyunting), Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia, Cet. 1 (Jakarta: ELSAM, 2007), h. 316. 32 Nursyahbani Katjasungkana & Liza Hadiz (t.t.) dalam Maria Hartiningsih, ibid., h. 315. 33 Mengenai persoalan perempuan di berbagai sektor ekonomi dibahas dalam Panel Perlawanan Lokal Perempuan, Konferensi Warisan Otoritarianisme II, “Demokrasi Indonesia dan Tirani Modal”, yang diselenggarakan oleh ELSAM, FISIP UI, JKB, Praxis, dll. di Kampus FISIP UI, Depok, 5-7 Agustus 2008.
8
Adalah sulit untuk meyakini bahwa Peristiwa 65 benar-benar telah menjadi masa lalu bangsa ini ketika setiap kali dalam situasi terdesak – baik ketika krisis ekonomi sedang memuncak, apalagi ketika harus berhadapan dengan aksi perlawanan rakyat -- pemerintah sendiri masih terus mereproduksi ‘hantu komunis’ dan ‘gerwani’. Dalam rangkaian pertemuan yang difasilitasi Komnas Perempuan dua tahun lalu, para perempuan aktivis yang hadir – terutama yang bergerak dalam pengorganisasian basis -- melaporkan bahwa aparat negara masih dengan mudah melekatkan stigmatisasi Gerwani pada mereka. Di tengah maraknya aksi demonstrasi rakyat menuntut perbaikan hidup, para pejabat militer dan sipil di Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Utara, bahkan Nusa Tenggara Barat, berkali-kali mengingatkan bahwa kaum komunis telah kembali memanfaatkan situasi keterdesakan ekonomi saat ini. Komisi A DPRD Sumatera Utara menuduh aksi-aksi demonstrasi rakyat telah mengadopsi taktik komunis yang penuh hasutan, liar, dan anarkis (www.KapanLagi_com Komunis Subur Karena Ketidakadilan dan Ketertindasan.htm, 24/8/06, diakses pada 4/8/08). Dua bulan sebelumnya, Pangdam Jaya, Mayjen Agustadi Sasongko Purnomo, pada Juni 2006 menganjurkan rakyat untuk mewaspadai tidak hanya kader PKI, tapi juga anak-keturunannya, seluruhnya berjumlah 150 orang, yang telah menyusup ke DPR, partai politik, dan berbagai organisasi kemasyarakatan (www.KapanLagi_com Komunis Belum Populer, Walaupun Berkonsolidasi.htm, 13/6/06, diakses pada 4/8/08). Istilah komunis dan Gerwani yang -- meminjam gagasan Budiawan -- telah mengalami proses ‘reduksionisasi atau oversimplifikasi’ menjadi ateisme kemudian menjadi segala bentuk kejahatan 34, memenuhi fungsi sebagai tirai pemisah antara perempuan dan perjalanan sejarah pemiskinan serta pelumpuhannya. Oleh karena itu, menyelesaikan Peristiwa 65 adalah langkah awal untuk menghentikan proses pemiskinan dan pelumpuhan berkelanjutan terhadap kaum perempuan.
Akibat Pendiaman Keputusan negara untuk tidak mengungkap Peristiwa 65 membuat kaum perempuan gagal memahami akar-muasal pemiskinanannya masa kini. Perempuan dibutakan dari kenyataan bahwa apa yang terjadi saat ini merupakan akibat dari tindakan politik yang diambil AD/Rezim Orba di masa lalu. Tanpa memahami masa lalunya, perempuan tidak bisa memahami persoalan kekiniannya dan, tidak bisa tidak, akan selalu diposisikan sebagai korban masa depan yang telah digariskan penyelenggara negara. Saya meyakini bahwa saat ini adalah waktu yang paling tepat untuk belajar dari penghancuran Gerwani dan penundukan terhadap gerakan perempuan yang tersisa, justru ketika gerakan protes sosial sedang mencari jalan untuk bertransformasi menjadi gerakan politik, ketika gerakan perempuan sedang dalam proses -- mengutip Pak Hersri Setiawan dalam pidato kebudayaan yang disampaikannya dalam pembukaan Konferensi 35 – ‘merebut ruang negosiasi’ di berbagai level politik-ekonomi-sosial.
34
Budiawan, “Mengurai Ingatan yang Diawetkan”, Buletin Pusdep, Vol. 2/April 2006, h. 6 Yang saya maksud adalah Konferensi Warisan Otoritarianisme II, “Demokrasi Indonesia dan Tirani Modal”, yang diselenggarakan oleh ELSAM, FISIP UI, JKB, Praxis, dll. di Kampus FISIP UI, Depok, 5-7 Agustus 2008.
35
9