DRAFT ARTIKEL ILMIAH
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK ( Analisis Mengenai Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di DIY) Abstraks Pemerintah DIY dalam menangani permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, berupaya melakukan kerjasama melalui kolaborasi antara pemerintah, pihak swasta dan LSM yang kemudian membentuk Forum Stakeholders Penanganan Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak ( FK2PA). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemahaman dan persepsi stakeholders di DIY tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak, mengidentifikasi upaya yang dilakukan oleh pemerintah DIY dan civil society dalam menanggulangi masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak dan mengetahui dukungan kapasitas kelembagaan di DIY dalam membangun jejaring untuk penanganan korban kekerasan terhadap perempuan Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif interpretatif. Sasaran yang dijadikan kajian dalam studi ini adalah anggota forum stakeholeders penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak di DIY . Dari penelitian ini diketahui persepsi dari beberapa stakeholders bahwa melihat realitas kondisi sosial di DIY, tentang kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang menunjukkan semakin kompleks permasalahannya. Adapun program kolaborasi dari stakeholders adalah pengembangan organisasi meliputi koordinasi anggota, administrasi, pembentukan pusat data, dan pengembangan kapasitas organisasi, pelayanan korban meliputi layanan medis dan non medis melalui sistem buka pintu, yaitu : Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak ( P 2 TPA) “ Dyah Rekso Utami” dan melalui masing-masing anggota forum., advokasi kebijakan publik, pendidikan publik ditujukan kepada masyarakat agar mampu melakukan pencegahan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dukungan kapasitas kelembagaan dalam melakukan kolaborasi antar lembaga perlu ada dalam pelaksanaan penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan disadari pula bahwa tujuan mulia kolaborasi ini perlu adanya dukungan dari kapasitas kelembagaan yang dimiliki stakeholders, untuk mewujudkan peran dan tanggungjawab masing-masing.
Kata kunci : Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, Pelayanan Terpadu
1
A. Latar Belakang Masalah Kekerasan terhadap perempuan dan anak perlu dipahami sebagai suatu pelanggaran hak dasar terhadap manusia, yaitu hak untuik menjalani kehidupan secara bermartabat, sehingga kekerasan itu merupakan pelangggran HAM Kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak saja menimbulkan dampak fisik melainkan juga dampak psikologis yang cukup berat dan membutuhkan intervensi dari para profesional baik di bidang kesehatan, psikologi, maupun hukum. Mengingat dampak yang demikian berat tersebut, maka negara dalam hal ini Pemerintah
perlu mengambil langkah kongkret untuk menghentikan serta
melindungi perempuan dan anak sebagai korban kekerasan, maka pemerintah telah mengundangkan Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Menurut catatan Komnas perempuan sepanjang tahun 2006 ada 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan, dan 16.709 ( 76%) kasus merupakan kekerasan dalam rumah tangga dan sebanyak 557 kasus dilakukan oleh pejabat pubik. ( http://www.langitperempuan.com/2008/06/komnas-perempuan-557. Saat ini telah banyak lembaga yang peduli terhadap penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, seperti Rifka Anissa yang merupakan NGO, yang berlokasi di DIY dan bergerak di bidang pelayanan perlindungan terhadap perempuan mencatat pada tahun 2002 telah menangani 415 kasus, tahun 2003 menangani 335 kasus dan tahun 2004 tercatat 349 kasus, serta data terakhir pada tahun 2006 ada 264 kasus. Kasus-kasus yang menonjol adalah kekerasan terhadap Istri, yang membutuhkan shelter banyak, tetapi baru dapat diakomodir sekitar 5 % dari semua kasus yang ditangani. LBH APIK
pada tahun 2004 menangani 75 kasus, sekitar 50 %
membutuhkan shelter. Data empirik tersebut menunjukan adanya keterbatasan (SDM, sarana pendukung – shelter, jaringan dan lain-lain) dari lembaga-lembaga yang selama ini telah melakukan “perlindungan”, “pendampingan”, “advokasi” terhadap
2
korban kekerasan. Masih banyak korban kekerasan terhadap perempuan yang memerlukan perlindungan dan pelayanan, namun belum terjangkau oleh layanan lembaga-lembaga yang ada. Pada tahun 2007 FK2PA telah memberikan pelayanan 774 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 314 kasus kekerasan terhadap anak. Oleh karena itu dalam menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Kompleksnya permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak , maka perlu upaya untuk melihat bagaimana program penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, baik dalam bentuk kegiatan pencegahan, perlindungan maupun tuntutan hukum terhadap pelaku kekerasan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari dua pendekatan, yaitu pendekatan secara legitatif dan nonlegitatif. Pendekatan legitatif dalam konteks ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana keberadaan perangkat hukum, prosedur-prosedur yuridis maupun praktik penerapan hukum yang berlaku di Indonesia dalam penanganan korban kekerasan terhadap perempuan. dan pendekatan non legitatif dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang upaya penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di luar prosedur hukum, termasuk
di
antaranya
penanganan
secara
medis,
psikologis,
advokasi,
pendampingan, dan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan. Upaya Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta ( DIY ) dalam rangka mengurangi permasalahan sosial dari dampak ketimpangan gender khususnya yang berkaitan dengan permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, adalah dengan membentuk Forum “ Stakeholders” Penanganan Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak yang dikoordinasi oleh Kantor Pemberdayaan Perempuan (KPP) Propinsi DIY, dan disahkan dengan SK Gubernur DIY Nomor 199, tahun 2004. Dengan terbentuknya forum tersebut mempunyai tujuan menciptakan dan memelihara komunikasi diantara para penyelenggara pelayanan, mengembangkan sistem rujukan, dan meningkatkan kapasitas para penyelenggara dalam memberikan pelayanan. Selain itu terbentuknya forum tersebut diharapkan dapat menghidupkan
3
kerja jaringan, sehingga dapat berjalan secara sinergis dan efektif dalam penanganan korban kekerasan terhadap perempuan. Kerjasama ini bagi propinsi DIY merupakan suatu langkah maju khususnya dalam penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang belum banyak dimiliki oleh propinsi lain.
Dari latar
belakang diatas penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh apa yang telah dilaksanakan pemda DIY khususnya tentang kolaborasi dalam penanganan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan. Dari latar belakang tersebut dapat yang dikaji dalam penelitian ini adalah : Bagaimana persepsi stakeholders tentang permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak di DIY ?, Bagaimana program kolaborasi dan peran stakeholders dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilakukan melalui Forum Pananganan Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak ? dan bagaimana dukungan kelembagaan dalam membangun jejaring untuk pelayanan terpadu pada program penanganan kekerasan terhadap perempuan dan Anak ?. Sedangkan tujuan : mengetahui pemahaman dan persepsi stakeholders di DIY tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak, mengidentifikasi upaya yang dilakukan oleh pemerintah DIY dan civil society dalam menanggulangi masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan mengetahui dukungan kapasitas kelembagaan di DIY dalam membangun jejaring untuk penanganan korban kekerasan terhadap perempuan.
B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Fenomena Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Kekerasan terhadap perempuan merupakan cara produksi baru menimbulkan pelbagai perubahan dalam hubungan antar jenis kelamin
yang selanjutnya
mempertinggi ketegangan rumah tangga dalam masyarakat di mana laki- laki percaya bahwa sudah menjadi haknya mengontrol mitranya. Kekerasan adalah perilaku atau perbuatan yang terjadi dalam relasi antar manusia baik individu maupun kelompok yang dirasa oleh satu fihak sebagai situasi yang membebani membuat berat, tidak
4
menyenangkan tidak bebas. Situasi yang disebabkan tindak kekeraan ini membuat sakit, baik secara fisik maupun psikis serta rohani (Nunuk.P, 2004; 22). Menurut Mansour Fakih (1999:17), kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assalut) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satunya kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender – related violence. Pada dasarnya kekerasan gender disebabkan oleh ketidak setaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak saja menimbulkan dampak fisik melainkan juga dampak psikologis yang lebih berat penangannya. Bentuk kekerasan yang dialami perempuan, namun dalam pembahasan ini hanya dua bentuk kekerasan saja yang dibahas, yaitu kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual khususnya perkosaan. Sebab dua bentuk kekerasan tersebut yang sangat dominan terjadi dalam masyarakat, dan dapat kita lihat, kita amati melalui media tv, setiap hari hampir pasti ada tindakan kekerasan terhadap perempuan yang menjadi berita. Bentuk-bentuk kekerasan yang paling mendesak perlu diperhatikan adalah : Kekerasan dalam rumah tangga dan Tindak kekerasan seksual, khususnya perkosaan. Oleh karena itu dua bentuk kekerasan tersebut membutuhkan perhatian dari semua fihak, agar permasalahan kekerasan yang paling dominan tersebut dapat diatasi dan diantisipasi untuk tidak semakin berkembang. Untuk itu perlu dipahami lebih dalam lagi tentang pengertian dari kekerasan dalam rumah tangga dan pengertian dari perkosaan, yang dapat diuraikan sebagai berikut : a. Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam Undang- undang No 23 tahun 2004, pada pasal 1. ayat (1) disebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tnagga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau pemelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga,
5
Sudah lama terjadi kasus- kasus kekerasan terhadap istri dan anak dalam rumah tangga, namun tidak terungkap secara terbuka, karena ada anggapan bahwa rumah tangga sebagai institusi yang merupakan wilayah pribadi. Sebagian besar masyarakat berpendapat permasalahan yang terjadi antar suami dan istri, merupakan urusan rumah tangga yang nota-bene merupakan uusan pribadi, yang tidak boleh disentuh atau diketahui oleh orang/ pihak lain. Sehingga korban kekerasan dalam rumah tangga jika mengeluh pada pihak lain, diangap sebagi mencoreng nama keluarga dan dirinya sendiri. Kekerasan terhadap istri ataupun anak dapat mengakibatkan kondisi yang berbahaaya baik secara fisik istri ataupun anak dapat mengakibatkan kondisi yang berbahaya baik secara fisik misalnya bengkak, memar, patah tulang, pendarahan dan lain-lain, istri yang mengalami tindakakan kekerasan dari suaminya yang berulang kali, akan menglami perasan tidak dapat ditolong dan tidak memeiliki satu carapun untuk melindungi diri atau melalaikan diri dari situsi tersebut.
b. Perkosaan Pada pemberitaan dimedia masa tentang perkosaan diharapkan menumbuhkan simpati masyarakat luas bahwa telah terjadi kebiadaban dan penghianatan hak asasi manusia, akan tetapi disini lain dapat juga berakibat imunnya kepekaan dengan menganggap bahwa itu adalah “kejadian biasa”, karena terlalu seringnya berita tentang perkosaan terjadi negeri ini bahkan dapat dikatakan hampir setiap hati ada berita perkosaan terhadap perempuan. Kekerasan seksual terkait dengan bentuk kekerasan lainnya, dalam dua dasawarsa terakhir sikap yang ditunjukkan kepada perkosaan telah sangat berubah, yang dipelopori oleh gerakan perempuan di seluruh dunia. Kalau dulu perkosaan dilihat sebagai kejahatan yang dilakukakan laki-laki tidak normal yang tidak mampu mengontrol nafsu birahinya, kini perkosaan dilihat sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan laki-laki normal terhadap perempuan. Pada dasarnya tindakan ini merupakan mekanisme kontrol dan intimidasi (Julia Cleves: 1996:77)
6
Menarik apabila kita mempelajari tempat terjadinya perkosaan dan oleh siapa data Kalyana Mitra (1995) menunjukan bahwa sekitar 74 % perkosan adalah orang yang dekat dengan korban dan 99 % dari pelaku itu bukan orang berkelainan jiwa tertentu, artinya perempuan justru terancam oleh orang-orang yang sebelumnya familiar, biasa berhubungan dan mungkin malah sebagai pengayom (Myra Diarsi, : 1996).
2. Negara dan Masyarakat sipil ( Civil Society) Hubungan antara negara dan masyarakat sipil sangat menentukan kesuksesan dalam memajukan dan menguatkan demokrasi. Wacana sentral dalam pembicaraan masyarakat sipil (civil society) adalah isu penguatan posisinya terutama ketika berhadapan dengan negara dan proses politik dan pemberdayaan perannya dalam kegiatan kemasyarakatan. Sedangkan relasi pemerintah dan masyarakat dalam proses kebijakan publik harus dilihat tidak hanya dalam kerangka pengambilan keputusan yang bersifat politis tetapi lebih jauh proses kebijakan publik seharusnya dilihat sebagai proses timbal balik antara pemerintah dan masyarakat dan masyarakat daripada state centric , menganggap bahwa pejabat pemerintah adalah wakil rakyat sehingga keputusan yang diambil oleh pejabat pemerintah dinilai telah mewakili kehendak rakyat. Sebaliknya perspektif proses timbal balik antara pemerintah dan masyarakat dalam proses kebijakan publik melihat bahwa proses kebijakan adalah penyerapan maupun artikulasi kepentingan publik (bukan kepentingan pemerintah yang senantiasa dibungkus atau diatasnamakan sebagai kepentingan rakyat
(Santoso, dalam Nuh
Muhammad, 2005 :20) Analisis mengenai perkembangan peran civil society baik pada tingkat teori maupun tingkat praktikal / empirik mengindikasikan bahwa peran civil society dapat diamati dari bentuk partisipasi warga masyarakat (baca masyarakat) dalam proses pengambilan keputusan-keputusan politik ditingkat suprastruktur politik (Fukuyama, 1991;661)
7
Merujuk kepada pengertian masyarakat sipil sebagai aktor atau agen, maka istilah yang biasa digunakan adalah civil society organizations atau organisasi masyarakt sipil. Bagi Diamond (dalam Suharko, 2005: 271) organisasi masyarakat sipil adalah organisasi atau asosiasi yang ada di luar negara, bersifat bebas dan independent. Oraganisasi masyarakat sipil biasanya merupakan organisasi-organisasi yang memiliki karakter sekunder dari pada primer .Organisasi Masyarakat Sipil mencakup serangkaian organisasi baik yang formal maupun informal, yang dapat dikategorikan sebagai berikut : a. Bersifat ekonomis : asosiasi dan jaringan produktif dan komersial; b. Bersifat cultural ; institusi dan asosiasi religius, etnis, komunal dan asosiasiasosiasi lain yang mempertahankan hak-hak, nilai-nilai, keyakinan dan symbol kolektif; c. Bersifat informasional and edukasional: organisasi-organisasi yang memiliki bidang gerak pada produksi dan diseminasi (baik untuk tujuan perolehan profit atau tidak) pengetahuan, ide, berita dan informasi politik; d. Berkaitan dengan kepentingan (interest); kelompok-kelompok yang berupaya memajukan atau mempertahankan kepentingan-kepentingan fungsional atau material bersama untuk para anggotanya, seperti serikat buruh, kelompok professional dll; e. Berkaitan dengan pembangunan (development); organisasi-organisasi yang mengumpulkan sumberdaya dan bakat-bakat individual untuk memperbaiki infrastruktur, kelembagaan dan kualitas kehidupan komunitas; f. Berorientasi isu (issue-oriented); gerakan untuk perlindungan lingkungan, reformasi agrarian, perlindungan konsumen, hak-hak perempuan, etnis minoritas, kelompok adat, kaum difable dan korban-korban lain dari diskriminasi dan penyalahgunaan kekuasaan; g. Berorientasi kewarganeraan (civic); kelompok-kelompok non-partisan yang berupaya memperbaiki system politik dan membuatnya lebih demokratis,
8
seperti kelompok-kelompok yang bekerja untuk HAM, pendidikan dan mobilitasi pemilih, pemantauan pemilu, pengungkapan praktek-praktek korupsi, dll; h. Berhubungan dengan “the ideological marketplace”, aliran informasi dan ideide yang mencakup kelompok-kelompok yang mengevaluasi dan mengkritisi negara, seperti media massa yang independent dan area-area yang lebih luas dari aktivitas kultural dan intelektual yang otonom, seperti universitas, kelompok pemikir (think thanks) , kelompok teater dll. Jika mayarakat sipil merujuk ke suatu arena tempat warga secara bersamasama mengejar kepentingan-kepentingan kolektif mereka, maka modal sosial merujuk ke perekat (the glue) yang mengikat warga masyarakat secara bersama, menjadi kumpulan dari jaringan sosial dan institusi, norma-norma sosial (seperti kerjasama) dan nilai-nilai atau atribut sosial (khususnya trust). Singkatnya modal sosial adalah “a convenient shorthand for what makes societies work” (Edwards, 1999) Tidak seperti modal fisik dan modal manusia, modal sosial dapat meningkat atau sebaliknya menurun. Modal sosial akan meningkat manakala digunakan dan sebaliknya akan menurun tatkala tidak dipergunakan. Demikian pula dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan, peran masyarakat sipil sebagai modal sosial sangat penting.
3. Kolaborasi Antar Stakeholders Dalam Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Kenyataan bahwa perlindungan bagi perempuan dan anak tidak sebatas pada lingkup rumah tangga semata, namun juga didunia kerja, sekolah, aktivitas sosial, serta jaminan hukum yang telah diatur dalam undang- undang. Oleh karena itu dalam penangannya diperlukan kerjasama atau jejaring antar organisasi melalui Tujuan akhir dari seluruh kerja bersama dalam menangani korban kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah semakin tingginya kualitas hidup seluruh masyarakat dan semakin mapannya kesejahteraan seluruh warga bangsa.
9
Berbagai
tuntutan
pentingnya
dilakukan
reorientasi
kebijakan
yang
menekankan formula pengembangan jejaring terus mengemuka seiring dengan berkembangnya governence bodies pada tataran menguatnya democratic governence. Menurut Diyanto (dalam Nuh Muhammad , 2005 : 28) , tuntutan kualitas kebijakan yang semakin tinggi menyadarkan pentingnya melibatkan aktor-aktor yang lebih luas di luar negara dalam proses kebijakan publik. Governence bodies sendiri merupakan fenomena baru yang penting untuk dilihat tidak hanya sebagai kajian keilmuan, tetapi juga peran yang selama ini diabaikan, yaitu di dalam governence bodies juga terjadi otoritas pengambilan kebijakan . Relasi pemerintah dan masyarakat dalam proses kebijakan publik harus dilihat tidak hanya dalam kerangka pengambilan keputusan yang bersifat politis tetapi lebih jauh proses kebijakan publik seharusnya dilihat sebagai proses timbal balik antara pemerintah dan masyarkat daripada state centric. Perbedaan kedua perspektif tersebut berada pada ranah perbedaan sumber legalitas kebijakan. Perspektif state centric, mengangggap bahwa pejabat pemerintah adalah wakil rakyat sehingga keputusan yang diambil oleh pejabat pemerintah dinilai telah mewakili kehendak rakyat. Pada tataran asumsi yang demikian, proses kebijakan adalah proses yang berasal dari pemerintah kearah masyarakat . Sebaliknya perspektif proses timbal balik antara pemerintahan masyarakat dalam proses kebijakan publik melihat bahwa proses kebijakan adalah
penyerapan maupun artikulasi kepentingan publik (bukan
kepentingan pemerintah yang senantiasa dibungkus atau diatasnamakan sebagai kepentingan rakyat. (Santoso, dalam Muhammad Nuh, 2005 : 20 ) Dalam era otonomi daerah yang memberi keleluasaan pada daerah untuk menentukan dan memutuskan prioritas kebijakan yang sesuai dengan permasalahan di daerah pemerintah daerah dapat menjalin jejaring dengan stakeholders lain diluar dirinya dan untuk mendukung konsep good governance. Istilah good governance kelihatannya sangat populer pada pertengahan tahun 1990-an, ketika lembagalembaga donor atau pemberi pinjaman luar negeri (foreign donor agencies) baik bersifat multilateral maupun bilateral . Ketika itu good governance ditempatkan
10
sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh Negara penerima bantuan /pinjaman . Penjelasan konsep good governance lebih mudah apabila diawali dari menggambarkan posisi dan peren stakeholders dalam kegiatan pembangunan masyarakat. Dalam konteks good governance, pemerintah, parlemen, swasta, dan sektor ketiga ( kalangan professional, media massa, dan lembaga swadaya masyarakat). Dalam konteks good governance pemerintah ditempatkan sebagai fasilitator atau katalisator, parlemen ditempatkan sebagai pembuat regulasi, swasta diposisikan sebagai penggerak dunia usaha, dan sektor “ ketiga” diposisikan sebagai elemen yang mengkontrol kinerja pemerintah dan politisi. Dengan kata lain ada kemitraan antara pemerintah, parlemen, swasta, dan sektor “ ketiga” dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sosial.
C. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian : Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif ,
sebagaimana
diketahui bahwa penelitian kualitatif banyak disebut sebagai jenis penelitian dengan pendekatan interpretatif dan konstruktif. Pada intinya jenis penelitian kualitatif dengan serangkaian prosedurnya akan digunakan untuk memperdalam informasi tentang dinamika kolaborasi antar stakeholders dalam penanganan korban kekerasan terhadap perempuan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
2 . Lokasi Penelitian : Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ( DIY) ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak cukup tinggi, selain itu untuk DIY ini merupakan pioner dalam melakukan kolaborasi untuk penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan yang cukup menarik yang berjejaring tersebut adalah lembaga pemerintah dengan organisasi Swasta dan LSM.
11
Hal ini dilakukan karena merupakan implementasi dalam pelaksanaan pembangunan berperspektif gender, yang diprogramkan oleh pemerintah DIY.
3. Teknik Pemilihan Sumber Data Penelitian kualitatif sebenarnya tidak mempersoalkan sampel, namun mengingat anggota forum yang terdiri dari berbagai lembaga/organisasi baik pemerintah maupun non pemerintah cukup banyak, maka peneliti hanya mengambil beberapa lembaga saja sebagai unit analisis, yang dirasa dapat mewakili proses pelayanan bagi perempuan korban kekerasan yang meliputi bidang medis, bidang pendampingan psikologis, dan bidang advokasi seperti yang terangkum dibawah ini : Kantor Pemberdayaan Perempuan DIY, Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak ( P2TPA) “ Rekso Dyah Utami” sebagai informan lembaga ini adalah pimpinan / pengelola. Pusat Palayanan Terpadu Perempuan dan Anak Rekso Dyah Utami ( RDU ) yang berada di Jl.Balirejo No 29, Muja Muju Yogyakarta sebagai shelter masa trauma. Stakeholders yang terlibat dalam jaringan penanganan korban kekerasan terhadap perempuan, banyak lembaga yang terlibat sebagai anggota forum, namun dalam penelitian ini hanya mengambil beberapa lembaga saja sebagai sampel untuk mengetahui relasi dan dinamika serta realitas jejaring. Adapun lembagalembaga anggota forum yang dijadikan obyek penelitian ini adalah : Rifka Annisa , RS. Panti Rapih pada Unit Perawatan Perempuan, yang merupakan unit khusus yang diperuntukan bagi perempuan dan anak korban kekerasan. LBH APIK Yogyakarta , yang merupakan NGO yang selama ini aktif dalam penanganan korban kekerasan terhadap perempuan khususnya yang berperan dalam bidang advokasi. sebagai anggota forum, Unit Ruang Pelayanan Khusus ( RPK ) Polda DIY .
4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini secara garis besar menggunakan teknik sebagai berikut :
12
a. Data sekunder didapat dengan mengumpulkan dokumen pelbagai kebijakan dan program jejaring dalam rangka
kegiatan penanganan korban kekerasan
terhadap perempuan dan anak . b. Wawancara mendalam (depth interview) digunakan untuk memperoleh dan menggali informasi mengenai pengalaman-pengalaman informan dalam menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan, serta dinamika jaringan kerjasama antar instansi dalam menangani korban kekerasaan terhadap perempuan. c. Observasi dilakukan dengan pengamatan dan pencatatan langsung atas segala yang ada kaitannya dengan obyek penelitian, teknik ini sebagai alat untuk melengkapi teknik lainnya. Adapun strategi yang digunakan untuk melakukan observasi adalah mencari tahu
keberadaan lembaga-lembaga yang terkait
dalam program jejaring penangan korban kekerasan terhadap perempuan . Pada tahap awal yang dilakukan adalah observasi di KPP DIY yang merupakan koordinator dan sekretariat dari Forum Penaganan Korbana Kekerasan terhadap Perempuan. D. Analisis Data Dalam pengumpulan data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam akan dianalisa dengan pendekatan induksi yang telah dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992), Menurut Miles dan Heberman, untuk menganalisa data kualitatif harus diperhatikan beberapa dimensi dan mengikuti tahapan - tahapan tertentu yang merupakan suatu siklus Dalam penelitian ini dilakukan melalui dua tahap, yaitu pertama tahap pemetaan lembaga yang langsung atau tidak langsung memiliki kegiatan yang terkait dengan penanganan korban kekerasan terhadap perempuan, dan
melakukan
kebijakan kolaborasi. Tahap pertama ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang lembaga pemerintah maupun non pemerintah yang mempunyai kegiatan yang terkait dengan penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak melakukan
kerjasama
melalui
forum
stakeholders
dalam
mengoptimalkan
pelaksanaan program tersebut. Tahap kedua adalah melakukan kajian komprehenship
13
dan pendalaman tentang dinamika kolaborasi yang menjadi tujuan utama dari penelitian ini yang didasarkan pada informasi dari tahap pertama. Adapun proses selanjutnya analisis dalam penelitian ini dilakukan setelah data berhasil dikumpulkan kemudian direduksi yaitu data yang ada disaring melalui pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan di lapangan sehingga mendapatkan data yang diharapkan. Kemudian dalam analisis penyajian data berupa sajian naratif dari data yang dimiliki dari berbagai informasi tersebut digabungkan agar tersusun dalam bentuk terpadu dan mudah dipahami, kemudian dibuat deskripsi, kemudian dibuat interpretasi, yang selanjutnya hasil interpretasi tersebut apakah sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian, lalu ditempatkan sebagai kesimpulan hasil penelitian program kolaborasi dan dinamikanya dalam penanganan korban kekerasan terhadap perempuan. E. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.
Persepsi
Stakeholders
Tentang
Permasalahan
Kekerasan
Terhadap
Pandangan dari anggota Forum stakeholders tentang persoalan
kekerasan
Perempuan dan Anak di DIY terhadap perempuan dan anak di Daerah Istimewa Yogyakarta, jika dilihat dari jenis kasus tampak bahwa korban kekerasan mempunyai masalah yang sangat kompleks . Kekerasan yang sering dialami oleh perempuan apabila dibiarkan berlangsung dapat menimbulkan dampak buruk, baik fisik, psikologis, maupun sosialnya. Berdasarkan informasi dari beberapa nara sumber, jumlah korban kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak
di DIY cenderung meningkat
dan jenis kekerasannyapun
semakin beragam. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pada tahun 2007 ada 2885 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditangani oleh FP2KPA. Jika dilihat dari jenis kekerasan ada 414 kekerasan fisik, 331 kekerasan psikologis, 145 perkosaan, 133 pencabulan, dan 273 penelantaran. Dengan semakin beragamnya kasus kekerasan juga berdampak semakin kompleksnya dampak kekerasan terhadap perempuan dan anak , dan membutuhkan penanganan yang serius, serta harus
14
dilakukan secara sinergi oleh berbagai lembaga, karena tidak mungkin hanya ditangani oleh satu atau dua lembaga saja. Oleh karena itu perlu adanya kerjasama yang sinergis antar instansi. Persepsi Stakeholders Tentang Permasalahan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di DIY No. 1.
Aktor Kantor Pemberdayaan Perempuan ( KPP )
2.
Trauma Center Panti Sosial Asuhjan Anak Yogyakarta
3.
Rifka Annisa
4.
LBH APIK Yogyakarta
5.
RS.Panti Rapih
6.
POLDA DIY
Alasan Berjejaring Perempuan dan anak sebagai korban kekerasan di DIY jumlahnya cukup tinggi. Sehingga korban kekerasan memerlukan perlindungan dan pelayanan terpadu, maka perlu dilakukan jejaring dalam penanganannya. Korban kekerasan terhadap anak di DIY cukup tinggi dan bervariasi bentuknya. Dampak kekerasan bagi anak mengaibatkan kerugian yang besar bagi perkembangan jiwa anak, oleh karena itu perlu penanganan yang komprehensif. Negara harus bertanggung jawab atas persoalan kekerasan terhadap perempuan, karena salah satu kewajiban negara adalah menjamin penduduknya hidup dalam keadaan yang terhindar dari segala jenis kekerasan. Sehingga pihak lain hanya bertindak sebagai suport system untuk membantu kerja pemerintah. Sudah saatnya pemerintah ikut andil dalam penangaan perempuan korban kekerasan . Dalam hal ini pemerintah daerahlah yang mempunyai kewenangan membuat kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan penanganan kasus kekerasan. Permasalahan kekerasan terhadap perempuan merupakan pekerjaan yang cukup berat dan sangat kompleks permasalahannya, sehingga dibutuhkan kerjasama berjejaring antar lembaga . Berjejaring dengan banyak lembaga yang peduli dengan permasalahan kekerasan terhadap perempuan merupakan hal yang sangat positif, hal ini sesuai dengan visi yang diemban dan menguntungkan semua pihak. Korban segera dapat ditangani dengan baik, bantuan dana dari Bapeljamkesos yang dapat meringankan beban Rumah Sakit Panti Rapih. Untuk menindaklanjuti kesepakatan bersama antara Kapolri, Menteri Pemberdayaan Perempuan RI, Menteri Sosial RI, dan Menteri Kesehatan yang tertuang dalam SK No. Pol.B/3048/X/2002 tentang Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. Selain itu juga dikatakan bahwa tindak kekerasan sebagai suatu pelanggaran hukum, maka polisi wajib ikut ambil bagian dalam penanganannya.
15
Apabila dicermati beberapa kutipan pendapat dari stakeholders tersebut tampaknya bahwa semuanya sangat mendukung kebijakan pemerintah. Semua anggota forum sangat berharap melalui berjejaring ini permasalahan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat tertangani secara optimal. Namun demikian masih banyak yang harus dilakukan oleh forum agar kerjasama semakin baik dan penanganan secara terpadu dapat dilakukan dengan baik, pemerintah perlu memperhatikan pula dalam hal pendanaan, agar pelayanan terhadap korban semakin optimal. Hal tersebut dipaparkan mengingat bahwa menurut berbagai informasi dari program besar berkolaborasi, ternyata kurang didukung dana yang memadai dari pemerintah sebagai penanggung jawab penyelesaian permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat. Dari uaraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa pandangan stakeholders pada permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Yogyakarta sudah sangat kompleks dan membutuhkan penanganan yang serius.
2. Program Kolaborasi dan Peran Stakeholders dalam penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak oleh FPK2PA Program Utama Forum 1.
Pengembangan organisasi meliputi koordinasi anggota, administrasi, pembentukan pusat data, dan pengembangan kapasitas organisasi
2.
Pelayanan korban meliputi layanan medis dan non medis melalui sistem buka pintu, yaitu : a. Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak ( P 2 TPA) “ Dyah Rekso Utami” b. Melalui masing-masing anggota forum.
3.
Advokasi kebijakan publik
4.
Pendidikan publik ditujukan kepada masyarakat agar mampu melakukan pencegahan kasus kekerasan yang berbasis gender.
16
Untuk kebutuhan dana dalam menangani korban kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah dari APBN dan APBD. Pembiayaan terhadap korban kekerasan bagi perempuan dan anak yang tidak mampu untuk perawatan medis dijamin oleh Bapel Jamkesos Provinsi DIY . Komponen pelayanan kesehatan yang dibiayai sesuai Bapel Jamkesos dengan dasar tarif puskesmas atau rumah sakit sesuai ketentuan yang berlaku. Pembiayaan terhadap korban yang membutuhkan rumah aman dan pendampingan khusus di Pusat Pelayanan Terpadu Penganan Korban Kekerasan di rumah aman Rekso Dyah Utami, semua dibebankan pada APBD. Sedangkan dana yang digunakan untuk Rumah Perlindungan dan Trauma Center dari APBN Pembiayaan untuk mengurus penyelesaian secara hukum, hingga saat ini belum terakomodir oleh APBD maupun APBN.
Sedangkan dana bagi operasional
pelayanan khususnya untuk pendampingan korban, yang dilakukan oleh konselor /psikolog, pendampingan hukum /advokasi serta untuk pengurus forum tampaknya masih belum sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan atau dapat dikatakan terlalu rendah. Menurut informasi yang diperoleh honor yang diberikan sekitar dua ratus lima puluh ribu rupiah per bulan , dan hanya diberikan sekitar delapan atau sepuluh bulan pada setiap tahunnya. Namun demikian persoalan dana yang masih kecil tersebut tidak melemahkan kinerja jejaring, mengingat visi dan misi yang diemban .
C . Dukungan Kapasitas Kelembagaan Sudah diuraikan dalam bab sebelumnya tentang adanya beberapa alasan yang menjadi pertimbangan suatu lembaga untuk melakukan kerjasama dengan lembaga lain, dalam penanganan korban
kekerasan terhadap perempuan. Beberapa
stakeholders berpendapat bahwa melihat realitas kondisi sosial di DIY tentang kasus kekerasan yang menunjukkan gejala yang semakin meningkat
baik dari segi
frekuensi, bentuk, dan kualitasnya, serta telah adanya upaya dari masyarakat dan pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan bagi korban kekerasan terhadap perempuan, tetapi upaya tersebut belum dapat memenuhi kebutuhan korban yang bermacam-macam. Selain itu
lembaga yang melakukan
pelayanan belum ada
17
kerjasama yang sinergi, sehingga belum terbentuk sistem rujukan ( referral system) yang efektif dalam penanganan korban kekerasan terhadap perempuan. Disadari pula bahwa masing-masing lembaga mempunyai keterbatasan dalam hal sumberdaya manusia yang dimiliki, baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Dengan melihat kondisi tersebut melahirkan gagasan untuk berjejaring , agar penanganan permasalahan korban kekerasan semakin terpadu dan berkualitas. Kerjasama ini sangat membantu instansi yang tergabung dalam forum ini untuk lebih mengoptimalkan penanganan korban kekerasan terhadap perempuan. LSM Rifka Annisa yang pertama kali di DIY ini, menangani korban kekerasan terhadap perempuan melakukan kerjasama berjejaring dengan Polda DIY dan RS.Panti Rapih merasakan sangat senang dengan adanya jejaring yang lebih luas lagi. Menurut Rifka Annisa semakin banyak lembaga yang peduli terhadap permasalahan kekerasan terhadap perempuan, maka sebagai kekuatan masyarakat sipil yang mengawali dengan sebuah gerakan anti kekerasan terhadap perempuan, adanya jaringan forum ini akan semakin memperkuat gerakan. Alasan lain yang mengemuka adalah adanya kebutuhan yang berbeda dalam menangani korban kekerasan terhadap perempuan, karena begitu kompleksnya dampak dari kekerasan tersebut, sehingga tidak dapat ditangani oleh hanya satu atau dua lembaga saja. Pendapat tersebut disampaikan oleh Kepala Seksi Perlindungan Hak-hak Perempuan KPP DIY bahwa setiap kasus kekerasan terhadap perempuan pasti berdampak tidak hanya pada satu permasalahan saja, beberapa kasus yang ditangani forum, ternyata perempuan yang menjadi korban kekerasan mengalami berbagai dampak yaitu sakit fisik maka diperlukan perawatan medis, trauma maka diperlukan pendampingan psikologis dan membutuhkan tempat yang aman, dan permasalahan psikologis inilah yang paling berat penangannya. Dari pengalaman pendampingan yang dilakukan di forum, korban pada umumnya
mempunyai
ketergantungan secara ekonomi kepada suaminya, sehingga walaupun sebenarnya dari keluarga mampu, karena ketidakberdayaannya bisa saja menjadi tidak mampu secara ekonomi, karena semua aksesnya tertutup. Apabila korban hendak melanjutkan
18
kasusnya ke pengadilan maka diperlukan dukungan dari lembaga advokasi. Jika korban mengalami permasalahan ekonomi setelah selesainya kasus, maka diperlukan bantuan modal kerja, agar korban dapat hidup mandiri. Belum lagi jika korban kemudian melahirkan anak, semua peristiwa tersebut membutuhkan penanganan yang memadai dari berbagai lembaga. Pendapat senada disampaikan oleh pengurus LBH APIK Yogyakarta bahwa kapasitas dukungan kelembagaan yang diberikan dalam penanganan perempuan korban kekerasan adalah dalam advokasi dengan memberikan konsultasi tentang hukum yang sedang dihadapi para klien, menerangkan hak-hak , peraturan-peraturan hukum yang berkaitan dengan permasalahannya, membuatkan berkas-berkas perkara, apabila diperlukan mendampingi klien diluar pengadilan maupun di dalam pengadilan Namun karena pintu masuk korban dapat dilakukan langsung melalui anggota forum, sering kali korban yang datang ke LBH APIK Yogyakarta masih dalam keadaan sakit fisik, dan jiwanya terganggu, maka langkah yang di ambil oleh LBH APIK Yogyakarta adalah merujuk pada lembaga lain anggota forum yang terkait dengan permasalahan klien, untuk dapat segera ditangani agar dapat segera teratasi masalahnya sebelum melangkah ke jalur hukum, yaitu dengan merujuk ke Rumah Sakit anggota forum, kemudian juga membawa ke Pusat Pelayanan Terpadu Rekso Dyah Utami untuk diberikan pendampingan psikologis dalam rangka menghilangkan traumanya. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa LBH APIK Yogyakarta sebagai lembaga yang mengkhususkan pada layanan bantuan hukum bagi perempuan yang mengalami ketidakadilan, merasakan manfaatnya berjejaring dalam forum dalam proses penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Dengan kata lain LBH APIK menyadari bahwa permasalahan kekerasan terhadap perempuan merupakan pekerjaan yang cukup berat sehingga dibutuhkan kerjasama berjejaring antar lembaga /organisasi . Dengan demikian realitas dukungan kelembagaan tidak hanya sekedar ketersediaan komitmen membangun jejaring, tetapi juga tumbuhnya saling percaya antar lembaga yang tergabung dalam forum tersebut.
19
Berdasarkan informasi yang diberikan oleh pengelola Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak “Rekso Dyah Utami “ yang juga mantan Kepala KPP tentang pengalaman lembaga tersebut dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, keberadaan jaringan kerjasama antar stakeholders sangat dibutuhkan, sebab tidak mungkin semua aspek penanganan kasus korban kekerasan terhadap perempuan dapat dilakukan sendirian. Beberapa kasus korban kekerasan terhadap perempuan sulit tercapai kalau tidak ada rujukan dari lembaga lain. Dukungan kapasitas kelembagaan tersebut dalam melakukan kolaborasi antar lembaga perlu ada penegasan bahwa tujuan mulia kerjasama ini akan sulit tercapai apabila tidak didukung oleh kapasitas kelembagaan yang dimiliki stakeholders untuk mewujudkan peran dan tanggungjawab masing-masing. Pembagian tugas
dan
tanggung jawab yang telah disepakati bersama dalam rangka penanganan korban kekerasan terhadap perempuan harus pula dibarengi dengan tersedianya kemampuan masing-masing stakeholders yang menjadi anggota forum. Pemerintah Propinsi DIY misalnya, sebagai lembaga yang mempunyai otoritas membuat sebuah kebijakan harus memiliki kemampuan untuk merespons setiap masukan yang diberikan oleh civil society ( dalam penelitian ini LSM, dan Swasta) dalam rangka proses formulasi maupun implementasi kebijakan khususnya program pembanguan berperspektif gender. Ketersediaan kapasitas kelembagaan akan membantu pemerintah daerah untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan bagi pengembangan program kebijakan selanjutnya, yang akan berpengaruh pula pada proses pembangunan daerah. Demikian pula bagi LSM dan pihak swasta atau masyarakat sipil lainnya di luar negara juga memiliki kapasitas dalam berpartisipasi dalam proses implementasi kebijakan pemerintah. Dengan demikian adanya dukungan kapasitas kelembagaan merupakan hal yang penting dalam melakukan kerjasama berjejaring. Dari uraian tersebut menunjukkan pembagian peran antar anggota forum, dalam pelaksanaan jejaring penanganan korban kekerasan terhadap perempuan menjadi amat penting, agar pendampingan menjadi terpadu. Peran dan tugas serta
20
fungsi masing-masing anggota tergantung dari kemampuan sumberdaya yang ada, namun demikian dalam pelaksanaan berjejaring diperlukan komunikasi yang baik agar dapat terbangun kepercayaan diantara anggota forum. Model kolaborasi dalam penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak
: semua anggota forum kedudukannya adalah setara sehingga hanya
bersifat koordinasi. Telah diuraikan di atas bahwa korban dapat masuk melalui pintu manapun, dan kewajiban para anggota forum untuk memberikan informasi tentang pelayanan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing lembaga. Dengan adanya model jejaring dan prosedur yang luwes tersebut diharapkan dari kasus-kasus korban yang masuk melalui pintu manapun dapat segera tertanngani dengan segera sesuai dengan kebutuhannya. Seperti telah diuraikan di atas bahwa Rifka Annisa merupakan LSM yang menjadi pioner dalam hal kepedulian terhadap perempuan korban kekerasan. Sejak tahun 1999 telah membangun jejaring dengan Polda DIY dan RS Panti Rapih, walaupun kerjasama tersebut merupakan kerjasama informal namun dalam pelaksanaan penanganan korban dapat berjalan dengan baik. Hal tersebut dilakukan pada awalnya memang Rifka telah banyak menawarkan kerjasama dengan berbagai Rumah Sakit yang ada di DIY baik Rumah Sakit Swasta maupun Rumah Sakit Pemerintah. Namun dari berbagai penawaran kerjasama tersebut yang paling siap adalah RS.Panti Rapih, hal ini dikatakan ada kemungkinan tawaran tersebut sesuai dengan visi dan misi RS.Panti Rapih, yaitu bebela rasa dengan yang lemah. RS. Panti Rapih telah mempunyai unit pelayanan Pastoral Sosial Medis, yang merupakan unit pendampingan bagi pasien yang memerlukan pendampingan khusus. Sedangkan alasan membangun jejaring dengan Polda adalah agar penanganan advokasi ditingkat bawah Polres , Polsekta dapat berjalan dengan baik, mengingat birokrasi di lembaga Kepolisaian sangat ketat. Jika di tingkat Polda sudah ada kerjasama, maka tingkat bawah akan mengikuti. Sebagai perekat kerjasama tersebut tampaknya adalah karena adanya kepentingan bersama, untuk melakukan tujuan lembaga yang kebetulan ada kesamaan visi, serta membangun pluralitas dalam masyarakat, bahwa menangani
21
korban tidak perlu memandang dari sisi agama, suku dan lembaga apa, yang lebih dipentingkan adalah melakukan sesuatu untuk memperjuangkan keadilan bagi masyarakat. Rifka Annisa telah lama membangun jejaring dengan berbagai lembaga, selain dengan POLDA DIY dan RS. Panti Rapih, untuk sosialisasi tentang anti kekerasan secara teratur muncul di koran lokal dengan memberikan bmbingan dan penyuluhan. Meskipun demikian dengan adanya forum tersebut, bagi Rifka merupakan hal yang positif perlu didukung karena sebagai sebuah LSM yang telah berkecimpung lama untuk sebuah gerakan, juga untuk mempengaruhi kebijakan publik, maka Rifka Annisa merasa sangat lebih terdukung dengan semakin banyak lembaga yang peduli terhadap perempuan korban kekerasan. Sebenarnya semakin banyak lembaga yang bergabung maka akan semakin baik pelayanan terhadap korban. Namun demikian perlu adanya pembinaan yang berkesinambungan bagi lembaga-lembaga pelayanan, mengingat masih banyak lembaga khususnya lembaga pemerintah yang belum memberikan pelayanan yang baik terhadap korban kekerasan, dengan demikian maka korban dapat terlayani dengan baik.
Kesimpulan Dari penelitian ini diketahui persepsi dari beberapa stakeholders bahwa melihat realitas kondisi sosial di DIY, tentang kasus kekerasan terhadap perempuan yang menunjukkan semakin kompleks permasalahannya. Gejala tersebut tampak dari semakin meningkatnya permasalahan tersebut baik dari segi frekuensi, bentuk, dan kualitasnya. Kompleksitas permasalahan kekerasan terhadap perempuan telah menjadi perhatian dan pemikiran dari stakeholders, kompleksitas permasalahan tersebut meliputi penderitaan fisik, psikis, sosial dan ekonomi. Adapun program kolaborasi dari stakeholders adalah pengembangan organisasi meliputi koordinasi anggota, administrasi, pembentukan pusat data, dan pengembangan kapasitas organisasi, pelayanan korban meliputi layanan medis dan non medis melalui sistem buka pintu, yaitu : Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan
22
dan Anak ( P 2 TPA) “ Dyah Rekso Utami” dan melalui masing-masing anggota forum., advokasi kebijakan publik, pendidikan publik ditujukan kepada masyarakat agar mampu melakukan pencegahan kasus kekerasan yang berbasis gender. Dukungan kapasitas kelembagaan dalam melakukan jejaring antar lembaga perlu ada dalam pelaksanaan penanganan korban kekerasan terhadap perempuan. Setiap lembaga menyadari bahwa tujuan mulia kerjasama ini perlu adanya dukungan dari kapasitas kelembagaan yang dimiliki stakeholders, untuk mewujudkan peran dan tanggungjawab masing-masing. Dengan berkolaborasi masing-masing lembaga anggota forum merasa sangat terbantu dalam proses penanganan korban, dan merasa saling melengkapi sesuai dengan kapasitas kelembagaan. Permasalahan kekerasan terhadap perempuan yang sangat kompleks tidak hanya dilakukan oleh lembaga pemerintah saja, tetapi perlu melibatkan peran civil society seperti pihak swasta dan LSM. Pemerintah dalam menangani korban kekerasan perlu meningkatkan dukungan dananya dan sarana kepada LSM yang melakukan pendampingan terhadap korban. Untuk membangun model berkolaborasi yang lebih baik lagi diperlukan komitmen yang tinggi dari semua anggota forum, mengingat masih banyak lembaga pemerintah yang tercantum sebagai anggota forum, belum sepenuhnya mendukung program berjejaring tersebut.
B . Saran Dengan melihat begitu kompleksnya permasalahan perempuan korban kekerasan, prinsip dasar yang harus dikembangkan adalah memberikan penyadaran terhadap masyarakat melalui program sosialisasi Undang - undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak dan Undang - undang No 23 2004, tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, untuk semua lapisan masyarakat
.
Dengan
demikian upaya penciptaan kesadaran masyarakat, agar masyarakat memahami bahwa masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi tanggung jawab
23
bersama. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, penyuluhan pentingnya penyadaran kesetaraan gender . Dari aspek kerjasama yang sebaiknya dikembangkan di waktu yang akan datang adalah model kolaborasi yang lebih efektif. Bentuk kerjasama yang dibangun merupakan saling melengkapi, yaitu pemerintah memberikan sarana dan dana kepada LSM dan swasta yang melakukan advokasi dan pelayanan lainnya. Disisi lain perlu untuk membangun jejaring yang lebih baik perlu dibuat perencanaan jangka panjang yang lebih terpadu dan terkoordinasi antara pemerintah dengan stakeholders di luar pemerintah. Agar dapat memenuhi tujuan forum penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak membutuhkan strategi baik organisasi maupun program yang menguatkan dan memberdayakan elemen-elemen gerakan, mejalankan sistem pengelolaan yang demokratis, partisipatif, transparan dan bertanggung jawab. Untuk inilah dibutuhkan komunikasi antar lembaga yang lebih efektif.
24
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Arif, 2000, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Cleves Mosse, Julia, 1996, Gender dan Pembangunan Rifka Annisa Pustaka Pelajar, Yogyakarta Fakih, Mansour 1996, Analisis Gender dan Transformasi Social, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Fukuyama, Francis, 1991, Liberal Democracy as a Global Phenomenan, Political Science Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Galtung, Johan, State, 1996, Capital, and the Civil Society: Problem Of Communication, Richard C. Vincent, Icaaclec Noderstreg, Michael traber, Towards Equety in Global Communication, Hampton Press,Inc, Cresskill, New Gersey, Hal 3-63 Handayani Sih, Yos Soetiyoso, 1977, Merekonstruksi Realitas Dengan Perspektif Gender, Sekretaris Bersama Perempuan Yogyakarta (SBPY) kerjasama OXFAM UK/I, Yogyakarta. Handayani, Trisakti, Sugiarti, 2002, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Universitas Muhammadiyah Malang. Huntington, Samuel P, 1995, Gelombang Demokrasi Ketiga, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. ___________, Komnas Perempuan, 2002, Peta Kekerasan Perempuan Indonesia, Pengalaman Perempuan Indonesia, Amepro, Jakarta. Irianto, Sulistyowati & Nurtjahyo, L.I, Perempuan di Persidangan, Pemantauan Peradilan Berperspektif Perempuan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Midgley, James, 2005, Pembangunan Sosial Perspektif Pembangunan Dalam Kesejahteranan Sosial, Diperta Depag RI, Jakarta. Milles, Matthew B, dan A. Michael Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
25
Nuh, Muhammad, 2005, Jejaring Trafficking Strategi Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, Kerjasama Ford Foundation dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Nur Hayati, Elli, 2000, Panduan untuk Pendampingan Perempuan Korban Kekerasan, Konseling Berwawasan Gender, Rifka Annisa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Pemerintah RI, 2002, UU RI No 23 Tahun 2002, Perlindungan Anak, Citra Umara , Bandung . Pemerintah RI, 2004, UU RI No 23 Tahun 2004, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Citra Umara , Bandung . Purwani,Tuti, 2006, Direktori Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak, Propinsi DIY, FPK2PA, Yogyakarta. Poloma, Margaret M, 2004, Sosiologi Kontemporer, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Prasetyo Murniati, A.Nunuk 1996, Pengaruh Ideologi Gender terhadap Relasi Perempuan dan Laki-laki, Makalah lepas. Prasetyo Murniati, A.Nunuk, 2004, Getar Gender, Indonesiatera, Magelang. Saptari, Ratna & Brigitte Holzner, 1977, Perempuan Kerja dan PerubahanSosial, Pustaka Utama Graffiti, Jakarta. Suharko, 2005, Masyarakat Sipil, Modal sosial dan Tata Pemerintahan yang Demokratis, Jurnal Ilmu Sosial Ilmu Politik, Volume 8, No.3, Maret, Fisipol, UGM, Yogyakarta.
26