2. TiNJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebijakan Pemberdayaan Wlasyarakat Nelayan Visi Departemen Kelautan dan Perikanan pada era reformasi usaha perikanan yang memanfaaikan sumberdaya secara efisien da yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan dilakuk usaha perikanan yang maju, peka dan dapat menyesuaikan s mandiri dan benvawasan akuabisnis. Sedangkan misi pemban meliputi:
(1)
pengelolaan
sumberdaya perikanan yang
berkelatijutati, (2)
pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan petani nelayan, (3) peningkaian penyediaan bahan pangan sumber protein hewani dan bahan baku industri di dalam negeri serta ekspor, (4) penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi peran serta masyarakat dalam pengembangan perikanan, (5) penciptaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha yang produktii, (6) pemuiihan potensi sumberdaya ikan dan lingkungan, dan
(7) pen~ngkatan kuaiiias sumberdaya manusia perikanan
(Departemen Kelautan dan Perikanan, 2000).
Pada umumnya masyarakat nelayan menganiungkan hidupnya pada utilisasi dan eksploitasi sumberdaya perairan pesisir serta berada dalam kon~tasidengan kemiskinan. (Gordon, 1954 seperti dikutip oleh Nikijuluw, 2000) kemiskinan nelayan disebabitan karena suatu kesalahan pengelolaan sumberdaya ikan dimana sumberdaya tidak dimiliki oleh siapapun atau dinliliki oleh semua orang sehingga ierlalu banyak free rfders yang membuat tidak ada seorangpun yang' bertanggung jawab dalam memikirkan kebeilanjuian sumberdaya. Semeniara iitu, Johnston
(1992) mengatakan bahwa ketertinggalan neiayan sebagai masyarakat pesisir
adalah karena eksternalitas disekonomi yang dipikul oieh sektor ini
Bila
dibandingkan antara neiayan skaia industri dan skala rumah tangga (kecil), maka lielayan kecil yang menanggung ekstemalitas disekonomi akibat kelebihan pemanfaatan, kesalahan pengelolaan serta deplesi sumberdaya ikan.
Secara terstrukfur, Dahuri (2000) mengajukan alasan kemiskinan nelayan. Intmya, kemiskinan itu disebabkan karena dua ha1 yaitu (1) biaya tinggi yang haius d~bayar dan (2) penerimaan yang rendah dan penjualan ikan hasil tangkapan. Seterusnya, bila diteliii lebih jauh, biaya iinggi disebabkan karena siruktur pasar yang cenderung monposoni yang cenderung merugikan nelayan, sedangkan penerirnaan yang rendah adalah karena volume hasil tangkapan daniatau harga ikan yang rendah. Selanjuinya dikaiakan pula bahwa kemiskinan nelayan dapat dikiasifikasikan ke daiam empat hat, yaitu (1) kerniskinan karena aspek teknis biologis sumberdaya ikan; (2) kemiskinan karena kekurangan prasarana; (3) kemiskinan karena kualias sumberdaya manusia yang rendah; dan (4) kemiskinan karena shuktur ekonomi yang tidak mendukung dan me~nberikaninsenlif usaha.
Berdasaikan atas pandangan-pandangan ini, maka dapat dikemukakan bahwa memberdayakan nelayan sebagai komponen utarna masyarakat pesisir adalah suatu kegiaian multi-aspek, menyangkui banyak variable, melibaikan banyak orang atau pihak, tidak saja dibatasi oieh dimensi ekonomi tetapi juga aspek sosial, budaya dan karakier, dimensi teknis, biologis sumberdaya, serta dimensi prasarana usaha. Menurut (Haque ei a/, 1992 seperti dikutip oleh Nikijuluw, 2000) pengertian dari pemberdayaan adalah pembangunan. Pembangunan itu adalah collecfive action
yang berdampak pada inndiiidu welfare. Dengan kata lain, pembangunan adaiah memberdayakan ndividu dalam masyarakai. Memberdayakan berarti bahwa keseiuiuhan personalitas seseorang diitingkatkan dan sebab t u kesejahteiaan lahir dan bathin masyarakat dingkatkan. Jadi pemberdayaan masyafakat berarti membangun collective personality of a society. Karena iiu maka pemberdayaan mendorong adanya proses partisipast masyarakat (nelayan) yang akhirnya membuat proses pembangunan lebih bernuansa dari bawah (bottomup) dari pada perintah aiau arahan atas (topdown) (Van den Ban dan Hawkins, 1999 seperti dikutip oleh Nikijuluw, 2000).
Perilanan tangkap adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan hewan atau ianaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas (Moninija, 1994). Definisi iersebut secara jeias menunjukkan bahwa kegiatan
penangkapan
ikan
yang
dimaksudkan
adalah
bertujuan
untuk
mendapatkan keuntungan baik secara finansial, maupun untuk memperoleh nilai tambah lainnya, seperti penyeiapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan terhadap protein hew an^, devisa serta pendapatan daerah lainnya. Panjang jaring diduga mempunyai hubungan yang erai dengan jumlah nasil iangkap. Volume yang ierbentuk oleh jaring akan dibatasi oleh panjang jaring yang digunakan (Ayodhyoa, 1981). Selanjutnya dikatakan pula bahwa jumlah hariitrip yang dipakai dalam operasi penangkapan ikan ierganiung besar keciinya ukuran kapai. Dengan ukuran kapal yang lebih besar jumlah hariitrip dapat bertambah. Sedangkan tenaga kerja adaiah salah satu faktor input yang sangat penting dalam keberhasilan operasi penangkapan, kemapuan (skill) ienaga kerja akan memberikan dampak yang pos'f pada keberhasilan operasi penangkapan. Ukuran kapal menrpakan volume kapal
yang dinyatakan dalam gross fonage (GT). Pengukuran gross fona
kapal dapat
dilakukan dengan menggunakan mmus Nomura and Yamazaki (1977 'aib sebagai beriitut: GT=LxBxDxCx0,353 dimana : L = panjang kapal; B = lebar kapal; D = dalam kapal dan
= konstania
yang besarnya 0,55.
2.2 Prosedur Pengembangan Perikanan Tangkap
Piopinsi Riau memiliki dua wilayah perairan laui dengan karaktc
tik berbeda,
yaitu wilayah perairan Selat Mataka yang dipengaruhi ekosistem e
arin (muara
sungai besar) dan wilayah perairan Laut Natuna (wilayah tentoria
li Laut Cina
Kabupaten
Selatan). Pada kedua wilayah perairan laut ini terletak di d a e ~ Bengkalis (yang dimekarkan menjadi Kabupaten Bengkalis, Kabupat
Rokan Hilir,
Kabupaten Siak Sri lndrapura, dan Kota Dumai), Kabupaten Pelalaw
(pemekaran
dafi Kabupaten Kamparj, Kabupaten Indragiri Hilir, dan Kabupaten f
lulauan Riau
(yang kemudian dimekarkan menjadi Kabupaien Karimun, Kabupa
I
Riau, Kabupaten Naiuna, dan Koia Batam). Kondisi wilayah yang luz
Jan semakin
bersinggungnya daerah penangkapan ikan oieh nelayan pada
sing-masing
daerah memerlukan satu pengeelolaan yang terpadu (Bappeda Propinsi
ZU,
Kepulauan
2001).
Pengembangan perikanan tangkap saat ini lebih diarahkan kepa~ pengeloiaan yang bertanggungjawab demi kelangsungan sumberdaya perikanan,
aha maupun
pendapatan yang diterima oleh nelayan. Nasution (1994) pembangl
n perikanan
terus dilanjutkan dan lebih diarahkan pada upaya penrngkatan pendapatan, taraf hidup nelayan dan memajukan kualiias kehidupan desa pantai melalui peningkabn dan diversifikasi produksi ikan guna memenuhi kebutuhan pangan dan gizi serta meningkatkan n~iai ekspor.
Seianjutnya (Syafril, 1993) menyatakan bahwa
pembangunan perikanan berkaiian erai dengan proses pemanfaaian sumberdaya alatn, sumberdaya manusia dan sumberdaya dana yang tersedia. Berdasarkan s~fat sumberdaya alamnya, pengembangan usaha perikanan tangkap sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya perikanan di suatu perairan.
Kegiaian perikanan di Kabupaten Kepulaun Riau. teruiama dari perikanan taut merupakan sektor pembangunan yang cukup pent~ng,mengingal daerah ini mem~liki perairan taut yang cukup iuas, yaitu sekitar 97 %, jika dibandingkan dengan iuas daraiannya. Disamping iiu daerah i n terdiri aias beribu-ribu pulau besar maupun kecil yang tersebar di sekitar perairan selat Maiaka dan Laut Cina Selatan. Dalam pengelolaan sektor perikanan daerah Kabupaten Kepulauan Riau dibagi dalam 2 (dua) wilayah pengembangan, yaitu wilayah pengembangan Kepulauan Riau I, tneliputi perairan yang berada di sekitar perairan selat Malaka, dan wilayah pengembangan Kepuiauan Riau 11, yang meliputi perairan Naiuna dan Laui Cina Selatan (Bappeda Kabupaten Kepulauan Riau, 2000).
Upaya pengembangan keungguian kompetiii daiam pemberdayaan nelayan sudah menjadi prioritas dalam pengernbangan sektor kelautan clan perikanan di daerah ini (Dinas Perikanan Kabupaten Kepulauan Riau, 2000). Mengingat sumberdaya kelautan dan per~kananmampu memberlkan kontribusi yang lebih optimal
dalam
pembangunan daerah.
Dorongan
akan
optimalisasi dalam
pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berdaya saing unggul hendaknya didasari berbagai pertimbangan. Untuk itu perlunya suatu pemik~ran yang diarahkan pada peningkatan mutu kerja dan mental nelayan dari berbagai objek dan subjek industri penkanan melalui intervensi tlmu pengetahuan dan ieknologi (IPTEK).
Dengan demikian upaya peningkatan nilai tarnbah hasil produksi perikanan dan peningkatan pendapatan nelayan akan dapat diupayakan secara lebih efektii. Untuk itu pihak Pernerintah Daerali Kabupaten Kepulauan Riau melalui D ielah melaksanakan program peningkaian produksi hasil iangkapa peningkatan produktivitas alat tangkap meialui pengembangan ala motorisasi armada penangkapan (motor tempel dan kapal motor) d unit penangkapan. Dengan adanya motorisasi iersebut diharap tidak hanya terfokus dalam usaha penangkapan di perairan di se pemukiman mereka yang relatif sempit tapi mengarah ke area p Cina Selatan, Naiuna dan selat Malaka maupun ke perairan Kepulauan Riau lainnya.
Subamo (2002), pendekabn pembangunan selama ini bersifat pasif dan seragam tidak membawa dampak positif bagi masyarakat, karena umumnya desain pembangunan dibuat berdasarkan aspirasi kelompok dominan (mainsiream), dalam kakiiasaan mcu"ai, ;an
akses iaiiiaGap biiokrasi. Sebagai sahr kesatuan sosial,
inauyarakai adat yang berada di kawasan pesisir dan laut (nelayan) 'relatii kurang diuniungkan, karena adanya pembatasan partisipasi masyarakat. Dan seringkali tidak terwakili aspirasinya dalam proses pembangunan atau ~nendapatkeuntungan
14
dari proses yang terjadi. Padahai mereka (neiayan) hams diberi kele iasaan untuk melindungi diri dan budayanya seria menolak perubahan yang berd; mpak negaiif bagi penghidupannya. Konsep penentuan nasib sendiri (seif defenr nation) tetah luas diterima dalam prinsip-prinsip intemasional, memang masih jauh dalam pelaksanaannya di bidang perikanan dan kelauian. Melalui oionomi da mrah memberi pengakuan kelembagaan adat dan lokal dalam kepemilikan dar pengeiolaan sumberdaya perikanan, terutama dalam kegiatan perikanan tangkap.
2.3 Desentraiisasi Pengeloiaan Sumberdaya Perikanan
Dengan adanya reformasi pembangunan dan lahirnya TAI
MPR No.
XVIMPW2998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah, pengaiura , pembagian
dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diikuti dengan lahimya Undang-und; i g No~nor22 tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 telah membc ikan legaiias persentase peluang sumber pendapatan asii bagi daerah sert; masyarakat sekitarnya (nelayan) dari pemanfaaian sumberdaya ketauian.
Implikasi langsung dari UU No. 2211999 adalah pendelegasiar kewenangan dalam penentuan kebijakan pengelolaan dan pengembanganny KabupatenlKota
agar
di daerah
daerah memperoleh manfaat langsung (1 ahuri, 2000).
Harapan-harapan yang timbul dengan adanya otonomi daerah ini anb ,a iain adaiah tewjudnya suasana demokrasi, peningkaian peran serta masyarak 1, teibukanya peluang untuk mengaktualisasikan diri para anggota maupun kelompo masyarakat,
15
adanya kesempatan yang luas untuk mengelola potensi daerah untuk tujuan sosial dan ekonomi, adanya pemeraiaan bagi para anggoia masy; akai dalam kesempatan ekonomi, dan yang terpenting adalah tegaknya keadil n (Pasaribu,
2001).
Berkaitan dengan otonotni daerah, ~naka sektor keiautan c tn perikanan diharapkan dapat memberikan sumbangan yang lebih berarti, t iik terhadap pendapatan daerah, penyediaan komoditi pangan dari laut, se a perluasan iapangan kerja. Oieh karena itu, pembangunan sektor ini harus ditata dengan baik, yakni memperhaiikan kepeniingan peluasan lapangan kerja, peningk tian produksi dan
nilai tambah,
kelestarian sumberdaya,
dan
pemerataan peningkatan
pendapatan {Kusumaatmadja, 2001). Untuk itu perlu dilakukan pen taan kembali kelembagaan pemeriniah daerah, baik dalam beniuk konsep peraturan
perundang-undangan,
sumberdaya
manusia,
sistetn
jerencanaan, adminishasi
pembangunan yang mengacu pada rencana pengelolaan seMor per .anan secara terpadu di Kabupaten Kepulauan Riau khususnya dan propinsi Riau sec; a umum.
Adapun
pengertian otonomi daerah yaiiu merupakan kewc iangan dan
kebebasan daerah Propinsi, KabupateniKota otonom untuk me lbentuk dan melaksanakan kebijakan, sesuai dengan aspirasi masyarakat c
m peraturan
perundangan yang berlaku. Hal ini tercakup dalam pasal 3 dan .I0U dang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang memberikan otonomi
pengelolaar sumberdaya
kelautan yang mencakup kewenangan sampai dengan 12 mil laut dz i garis pantai untuk daerah Propinsi dan seperiiga dari batas iaut daerah Propinsi uniuk daerah Kabupaten dan Kota. Adapun kewenangan tersebut meliputi:
16
1. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengeloiaan
sumberc rya kelautan
sebaias 12 mil 2. Pengaturan kepentingan administrati 3. Pengaturan tala mang
4. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan Peme niah Daerah
atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah Pusat 5. Bantuan penegakan kearnanan dan kelautan negara khususnya di la It
2.4 Rekomondasi Code of Conduct for Responsible Fisherie.
Dalam konteks perdagangan dunia yang penuh persaingan, k e ~iggulan mutu produk perikanan diientukan oleh proses sejak ikan tertangkap hingg: ikan diterima oleh konsumen secara tepat dalam arti iepat mutu dan aman, iepa harga, iepai waktu, tepat lokasi, tepat jumlah, dan tepat ukuran sehingga muncul juatu konsep janiinan rnutu secara menyeluruh sejak awal produksi hingga akhir prc ikfksi (Makmf, 2001).
Melalui dukungan ieknologi dan penguasaannya yang semakin me ingkat, peran masyarakai dalam kegiaian industri perikanan akan semakin kuai. Falam ha1 ini, lembaga-iembaga perikanan ditantang untuk mampu rnemberikan pek fanan optimal agar masyarakat perikanan (neiayan) mampu menghasilkan produb yang unggul melalui industri pengolahan dapat memberi nilai tambah dan per lapaian bagi nelayan. Kemudian dari pengembangan industri perikanan ini, dihari pkan mampu mengembangkan indusiri perikanan baik skala kecil maupun menen' ah, iermasuk
industri di pedesaan atau di pemukiman nelayan, sehingga penyebaran industri perikanan ke daerah semakin meningkai dan pada akhirnya dapat menjadi pusaipusat pertumbuhan ekonomi baru sesuai dengan poiensi sumberdaya alamnya.
2.5 Aplikasi Metode Skoring dan Anaiytical Hierarchy Process.
2.5.1 Aplikasi Metocle Skoring
Pada umumnya, suatu keputusan dibuat dalam rangka uniuk memecahkan permasalahan aiau persoaian (problem solving). Seiiap keputusan y ada tujuan yang ingin dicapai. Menurut Supranto (1998), inti d keputusan adalah terletak pada pernilihan aliernaiii yang tep evaluasi aiau penilaian mengenai efekiivitas dalam menca dikehendaki. Apabila informasi yang cukup dapat dikumpulkan suaiu spesiiikasi yang lengkap dari semua aliemaiii dan ting dalam situasi yang sedang menjadi perhatian, proses pembuatan atau pengambilan keputusan relatif sangatlah mudah. Akan tetapi di dalam prakteknya sangat tidak mungkin untuk mengumpulkan informasi secara lengkap, mengingat terbaiasnya biaya, waktu dan tenaga.
Penentuan berdasarkan cara skoring terhadap unii perikanan tangkap telah diiakukan Nurani (1987); Purbayanto (1991) dan Said (1998). Prinsipnya adalah untuk peniiaian pada kriteria yang mempunyai saiuan berbeda dan penilaiannya dilakukan secara subjektii. Penilaian terhadap semua kriteria secara teipadu dan
kemudian
dilakukan
penstandaran
nilai
dari
kriteria
masing-masing
unit
penangkapan ikan dan skor tersebut dijumlahkan, makin besar jumlah skor berarti lebih baik atau efisien dan sebaliknya (Mangkusubroto dan Trisnadi 1987). Contoh aplikasi metode skoring untuk pemilihan teknologi dapat di lihat pada Tabel 1.
Tabei 1. Niiai skor untuk aspek selektivitas alat tangkap dengan parameter ukuran mata jaring untuk jenis alat penangkapan ikan yang diteliti. Mesh size
II
Selekfivitas
1
Skor
< 1,2 cm
1 Tidak selektif
I
1
1,2-2cm
/I Kurang selektif
i
3
2,l - 2,5 cm
I
5
2,6 - 4 c m
1 Cukup selektif Selekti
7
>4cm
1 Sangat selektif
i
1
1
9
I
Sumber : Nurani, (1987); Purbayanto, (2991); Said, (1998)
Daiam penelitian ini juga dilakukan perhitungan terhadap anaiisis kelayakan finansial pada masing-masing unit perikanan tangkap yang diseleksi. ivlenurui (Gray e t a1 1984 seperti dikutip oleh Said, 1998), kelayakan finansial dapat dihitung berdasarkan a t a s kriteria nilai net present value (NPV), &enefit cost ratio (Net BE), internal rate of return (IRR). ( f ) Net presenf value (NPV)
Penilaian terhadap kriterra nilai NPV iesebut dilakukan dengan melihat hasrl peih'%ungan NPV untuk setiap un&perikanan tangkap '=a
NPV [U I]=
(f,, - c)
C ------, (1 + i),
dimana : b,= benefi (penerimaan) koior pada tahun ke -1 c, = cost (biaya) kotor pada tahun ke-l
I
1
= discount factor
----
(1 + i),
(2) Benefit cost ratio (Net BIC)
Penilaian terhadap kriteria nilai BlC dilakukan dengan tnengacu dari hasil perniiungan Net BIC untuk setiap unit perikanan iangkap
Net B/C =
'='
Usaha penangkapan ikan dapat dilanjutkan apabila nilai Net BIC
>
0,karena usaha
tersebut memberikan keuntungan. (3)lntemal rate of return JlRR)
Peniiaian terhadap kriteria niia~ IRR dilakukan dengan mengacu dan hasil perhitungan IRR untuk setiap unit perikanan tangkap.
= tingkat suku bunga pada NPV posiiii
dimana: i' 'I
"
= tingkat suku bunga pada NPV negatif
NPU' = hasil NPV positi NPV" = hasil NPV negaiii
Standarisasi nilai dilakukan melalui fungsi nilai (ivlangkusubroto dan Trisnadi, 1987), yaitu sebagai berikut:
*=n
V(A) =
~ v ; ( untuk x ) ,i = 1,2,3,
.....n
,=I
Diniana:
V(X)
= fungsi nilai dari variabel X
X
= variabei X
X,
= nilai ierburuk pada kriteria X
x1
= nilai terbaik pada kriteria X
V(A)
= iungsi nilai dari aliernaiif A
Vi(Xi) = fungsi nilai dari alternati pada kriteria ke-i Xi
= kriteria ke-i
Penentuan urutan prioritas unit perikanan tangkap yang akan dikembangkan diteiapkan secara urut dari unit periicanan tangkap yang mempunyai nilai tertinggi ke unit perii~anantangkap dengan fungsi nilai terendah.
2.5.2 Aplikasi Metode Analytical Hierarchy Process {AHP)
AHP merupakan proses
rumrt,
yang
berpikir yang terorganisir untuk permasalahan yang
memungkirlkan adanya
~nteraksi antar
faktor,
namun
ietap
memungkinkan untuk memikirkan faktor-faktor tersebut secara sederhana. Meiode ini yang pertama kali diiembangkan oleh Thomas L. Saa'iy pada 1993, merupakan salah satu metode atau alat yang dapat digunakan oleh pengambil keputusan untuk memahami kondisi suatu sistem dan membantu dalam meiakukan prediksi terhadap suatu keputusan yang akan diambil (Moeiyono, 1996). AHP diiujukan uniuk
21
memodelkan probiema yang tidak terstruktur, baik dalam bidang el iomi, sosial, sains rnanajernen dan sebagainya. Disamping itu baik pula dig akan daiam rnemodelkan perrnasalahan dan pendapat dimana permasalahan y
g ada telah
dinyatakan secara jelas, dievaluasi, dipertimbangkan dan dipriotitask:
untuk dikaji.
Adapun kegunaan dari AHP ini adalah untuk rnemecahkan perm; 3lahan yang komplek dan tidak terstruktur.
Meiode AHP adalah penyempurnaan dari sisiern skoring sehing
I
metode ini
dapat mengetahui interaksi dari berbagai faktor yang berpengaruh ?rhadap unit perikanan iangkap yang akan dikernbangkan. Selanjuinya dikataka
pula bahwa
AHP adalah suatu ieori urnurn tentang pengukuran dan pada dasar
a dirancang
untuk rnenangkap secara rasional persepsi orang yang berhubung:
sangat erat
dengan perrnasalanan ierteniu rnelalui suaiu prosedur yang dirancang niuk sarnpai pada suatu skala preferensi diantara berbagai gugus alternatif. Disan ng itu dapat juga digunakan untuk rnenernukan skala rasio baik dari perbandint n pasangan yan$ diskrei rnaupun kontiniu. Perbandingan-perbandingan ini dapz
diarnbil dari
ukuran aktual atau dari suatu skala dasar yang mencerminkan keku 2n perasaan dan preierensi, pengukuran, dan pada keterganiungan di daiarn
an diantara
kelompok elemen strukturnya. AHP banyak diierapkan pada pengamb n kepulusan untuk banyak krikria, perencanaan (prediksi), alokasi sumberday
penyusunan
rnairik input koefisien, peneniuan prioriias dari siraiegi-siraiegi yang
niliki pernain
I
dalarn situasi konRik dan lain sebagainya (Saaty, 1993).
Pada dasarnya ada 3 (tiga)
prinsip dasar dalarn men1 nikasi AHP
(Poerwowidagdo, 2001) yaitu meliputi: 1) menggatnbarkan dan tnengi tikan secara
hierarki, seperti memecah-mecahkan persoalan menjadi unsur-unsur terpisah, 2) pemberdayaan prioritas dan sintesis atau penetapan pnoritas, seperti penentuan peringkat elemen-elemen menurut relati pentingnya, 3) konsistensi logis, seperti rnenjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisiensi sesuai dengan suaiu kriteria iogis.
Penelitian dengan menggunakan metode AHP ini telah banyak dilakukan, tetapi masih terbatas pada sektor pertanian seeperti Astuti (1987); lndradjaya (1992); Kamil (1994); Suwintoro (1996); Hanafiah (1997); Suryadi dan Ramadhani (1998); Samsi (1399); Fahruddin, (2000); dan Sugiarti et a1 (2000); sedangkan untuk sekior perikanan masih sangat terbatas, diantaranya Tomboelu et af (2000) melakukan penelitian terhadap analisis kebijakan pengelolaan sumberdaya terumbu karang di kawasan Bunaken dan sekitamya, Sulawesi Uiara. Penelitian tersebut bertujuan untuk menganalisis skenario pemanfaatan yang optimal dalam pengeiolaan sumberdaya terumbu karang serta kebijakan dalam mengaiasi pe~masalahan. Harrison (2000) melakukan penelitian terhadap
pengeiolaan sumberdaya hutan
mangrove di kawasail Kapet Batulicin Kotabaru, Kalimantan Selatan. Penelitian iersebut beriujuan uniuk menganalisis skenario pengelolaan sumberdaya mangrove serta kebijakan dalam mengatasi permasalahan.
Saat ini telah tersedia software yang dapat membantu dalam penentuan prioriias dan ratio konsistensi (CR) terhadap data yang diperoleh (Expert choice). Soffware ini dapat dijalankan dengan komputer lBivl PC atau komputer kompatible yang membutuhkan 256 K memory dan satu tiket double sided (Expert Choice inc, 1999). Adapun urutan yang ditempuh dalam mengaflikasikanAHP adalah sebagai berikut:
1. Mendifinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan
2. Membuai struktur yang diawali dengan iujuan, kriteria dan kernungkinan altemaiii
pada tingkatan kriteria yang paling bawah 3. Membuat rnatrik perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh
relaii aiau pengaruh setiap elernen ierhadap masing-masing iujuan yang setingkat di atasnya. Perband~nganberdasarkan judgement dari para pengambil keputusan, dengan meniiai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elernen lainnya. 4. Melakukan perbandingan berpasangan
5. Menghiiung akar ciri, vektor ciri dan menguji konsistensinya, jika tidak konsisten
maka pengambilan data diulangi 6. Menghitung matrik pendapat gabungan
Langkah-langkah untuk menganallsis data dengan pendektan AHP diiakukan dengan mengacu pada petunjuk (Saaty, 1993)
dan telah diierapkan oleh Astuti
(1987); Kamil (1994); Hanafiah (1997); Suryadi dan Ramadhani (1998); Samsi (1999); Fahruddin, (2000); Tomboelu et al (2000); Sugiarti et al (2000); Harrison (2000). Uruiannya adalah sebagai berikui:
1. Mendifinisikan masalah dan solusi yang diinginkan
Pendekatan AHP digunakan untuk memecahkan masalah dan solusi yang diinginkan guna
mendapatkan unit perikanan tangkap yang layak untuk
dikembangkan. Untuk penyusunan suatu analisis yang mengaflikasikan
metode
pendekatan
tersebut,
periu
diketahui
terlebih
dahulu
faktor-faktor
yang
mempengaruhi maniaat dan biaya dalam pengembangan unit perikanan tangkap.
2. Membuat sruktur hierarki
Hierarki pengarnbilan keputusan dalam pemilihan unit perikanan tangkap yang kemungkinan dapat dijadikan sebagai alternatii dalam pengembangan perikanan tangkap di daerah Kabupaten Kepulauan Riau. Struktur hierarki didasari atas tmgkatan, seperti tingkat 1 merupakan fokus terhadap teknologi perikanan tangkap yang potensial untuk dikembangkan, fingkat 2 mewpakan kriteria pilihan yang telah ditetapkan dan tingkat 3 merupakan alterflatif
jenis teknologi perikanan tangkap yang
diteliti.
3. Membuat matrik perbandingan berpasangan dan melakukan perbandingan
(matrik pendapat individu)
Matnk perbandingan
berpasangan mi menggarnbarkan kontribusi relatif atau
pengaruh seiiap elemen tefnadap masing-masing iujuan aiau kriteria yang seiingkat di atasnya. Perband~ngan dilakukan berdasarkan judgement dari pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu eiemen dibandingkan dengan elemen iainnya. Penilaian dilakukan dengan pembobotan untuk masing-masing komponen dengan perbandingan berpasangan yang dimular dari tingkat tertinggi sampai tingkat terendah. Petnbobotan ini dilakukan berdasarkarr judgement para pengambit keputusanlpara pakar (sfakeholdeis) berdasarkan skala komparast yang tercakup dalam AHP yang disarankan oleh Saaly (1993).
Jika A,, Az, A3, ..., An merupakan gugus elemen tingkat keputusa maka kuantifikasi pendapat dari hasil perbandingan berpasang ieihadap elemen yang lainnya akan membentuk mairik A yang Misalnya apabila ai dibandingkan dengan aj, maka a& menrp pendapat hasil perbandingan yang rnencerrninkan nilai tingkat kepentingan a; terhadap aj. Nilai matrik af = ajj = 1, karena perbandingan elemen temadap elemen itu sendiri adalah 1. Formulasi rnatrik A yang berukuran n x n dengan a3, ..., a, uniuk i = j = 1,2,3,
...n, adalah sebagai berikut:
A2
A1
all
a12
a13 ..... a,
AZ
?/al2
azz
a=
A3
?lal3
l l a n as
A = {a,) = .
A3
.....A,
A,
..... azn ..... a3, ..... .
4. Meiakukan perbandingan berpasangan
Jika vektor pembobotan elemen operasi A,, A2, Py, dinyatakan sebagai vektor W, dengan W = (W,, WZ, LV3), maka nilai intensitas kepentingan elernen operasi A, dibandingkan dengan A2 dapat dinyatakan sebagai perbandingan bobot eletnen operasi A, terhadap & yakni WINJZ yang sama dengan alz, sehingga matrik perbandingan yang dlperoleh, seperti yang tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Matrik perbandingan berpasangan (Saaty, 1993)
I
'
I
Keterangan:
C = Sifat yang dibandingkan A,, A2, A3, .... An = Elemen yang akan dibandingkan
W = Intensitas periting (Tabel skala banding berpasangan) Niiai WjW, dengan ij = 1,2,3,...n didapat dari stakeholders yaitu para pengambil kepuiusan yang berkompoten daiam permasalahan yang dianalisis. Bila matrik ini dikalikan dengan vektor kolom W (Wt, WZ W3
),, ...W
maka diperoleh hubungan
seperti pada persamaan:
Jika matrik A diketahui dan ingin memperoleh nilai W, maka dapat diselesaikan melaiui persamaan sebagai berikut :
dimana I = matrik idenlias
5. Menghitung akar ciri, vektor ciri dan menguji konsistensinya a. Menghitung akar ciri nilai eigen matrik)
Uniuk mendapatkan akar ciri (n), maka hams ada kondisi :
Sebagai contoh, dijelaskan dengan menggunakan matrik A, maka :
Dari hasil perhitungan ini akan didapatkan akar ciri (eigen value) n,, n2, n3
b. Menghitung vektor ciri (eigen vekfor)
Nllai vektor ciri mempakan bobot energi setlap elemen. Langkah in1 untuk mensintesls judgemenf dalam penentuan prioritas. Untuk menghiiung vektor ciri (W) maka akar ciri (n) maksimum pada langkah Sa dimasukkan dalam rumus [A-nl] W = 0; dengan menggunakan normalisasi W, + W2 + W3 = I,sehingga didapatkan nilai n
~naksitnum= 2, maka perkaliannya menjadi sebagai berikut:
Selanjutnya akan diperoleh:
Akhir perhikingan akan diperoleh vektor can dari W,, W2, W3. VeMor ciri tersebut memberikan informasr, pilihan skenario yang paling optimal.
Untuk itu dalam
pendekatan AHP menygunakan metoda skala peibandingan kepentingan (Saaty, 1993) yang dimulai dari nilai bobot 1 - 9, seperti yang tertera pada Tabel 3.
Tabet 3. Skala perbandingan kepentingan (Saaty, 1993)
k
-
KEPENTINGAN
L
/
I 3
Sama penting Sedikit lebih penting
I
:-
Jelas lebih penting
5
Sangat lebih penting
7
1,
1
1I
2,4,6,8
/
?/(I-9)
I
1
I
9
I
Mutlak lebih penting
I
Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang be] Kebalikan nilai tingkat keputusan dari skala
3i
c. Perhitungan konsistensi
Perhiiungan
C1
(Consistency
lndexs)
yang
rnenyaiakan
iyimpangan
konsistensi dan CR (Consistency Ratio) menyatakan ukuran tent
1 konsisten
tidaknya suatu penilaian atau pernbobotan perbandingan berpz
ngan yang
dilakukan. Matrik bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secaE
erpasangan
tersebut, hams rnempunyai hubungan kardinal dan ordinal, sebagai beri Hubungan kordinal : a@ . a* = a,k Hubungan ordinal :A1>Aj>Akr maka Ai>Ak
Namun demikian, menurut Mulyono (1996), persyaratan konsisten
3ada rnatrik
Hal ini berhubungan denga
;ifat intransif
fungsi preferensi. Dikatakan bahwa dalam teori kesejahteraan s
a1 (Arrow's
lmpossibilify Theorem seperti dikutip oleh Mulyono, 1996) rneny
kan bahwa
tidaklah menemukan fungsi kesejahteraan sosial yang dirancang untu
nernbimbing
seperti A,
. B,%= C,, tidak perlu bag1 AHP.
30
pejabat perencana dalam memuaskan pilihan masyarakat. AH
menerima
inkonsisiensi semacam itu, yakni pelanggaran terhadap konsisti si manusia tidaklah dianggap sebagai rencana yang logis. Tetapi melalui per unan eigen
vektor, input dalam bentuk penilaian yang tidak konsisten dapat
enghasilkan
uruian yang konsisien.
Mengapa perlu diuji tingkat konsistensi dari pembobotan, karena i Ja keadaan yang sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubun n tersebut, seliingga ~natrik tersebut tidak konsisten sempurna. Hal ini tr
3di karena
ketidakkonsisienan dalam preferensi seseorang. Untuk l u dalarr pernitungan konsistensi ada 3 (tiga) bagian penting yang harus dilakukan, yaitu:
Penyimpangan dari konsistensi dinyatakan dengan lndeks Konsisl si, dengan persamaan : b. lndeks konsistensi(GI) =
Zn7ak.s - t7
dimana : Z maks = akar ciri maksimum n
= ukuran matrik CI IU
c. Ratio konsistensi (CR) = lndeks Konsistensi jC1) adalah matrik random dengan skala per
ian 9 (1-9)
beseria kebalikarrnya sebagai indek Random (RI). Perbandingan ant:
' GI dan
untuk
R).
suatu
matrik
didefinisikan sebagai Ratio Konsistensi
Ri
Matrik
31
perbandingan dapat diterirna, jika nilai CRe0,I (Saaty, 1993). Adapu~
3i
dari rata-
rata konsistensi atau indek random (R1) disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata konsistensi untuk rnatriks (Saaty, 1993)
6. Menghitung matflk pendapat gabungan
Matrik pendapat gabungan (G) rnerupakan susunan rnatrik ban
ng elernell
rnatriknya (gij) berasal dari rata-raia geornetrik elernen rnatrik pendal
idividu (a,,)
yang rasio konsistensinya rnemenuhi persyaratan. Forrnulasi rata-rata geometrik adalah sebagai bedkut:
dirnana: yij
= elernen rnatrik pendapat gabungan pada baris ke-i kolorn ke-j
aij
= elernen rnatrik pendapat individu pada baris ke-i kolorn ke-j
untuk rnabik pendapat individu yang msio konsistensinya (
rnemenuhi
persyaratan ke- k. k
= 1,2,3, ....rn
rn
= jurnlah rnatrik pendapat individu dengan CR yang mernenuhi F
raratan