PERSEPSI DAN MOTIVASI PUSTAKAWAN DALAM PROGRAM SERTIFIKASI KOMPETENSI MENGHADAPI IMPLEMENTASI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) DAN ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) 2015 (SURVEY DI KABUPATEN BANYUMAS PROVINSI JAWA TENGAH) OLEH :
BUDI HANDARI SH, MM. PUSTAKAWAN MADYA KANTOR PERPUSTAKAAN DAN ARSIP DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA PROVINSI JAWA TENGAH
Pendahuluan Diberlakukannya ASEAN Economic Community (AEC) dan ASEAN Free Trade Area (AFTA)pada tahun 2015 berpotensi untuk menciptakan peluang maupun tantangan, antara lain di bidang sumberdaya manusia (SDM). AEC dan AFTA membuka peluang bagi warganegara Indonesia untuk keluar masuk ke negara-negara lain di ASEAN secara bebas, guna mendapatkan pekerjaan tanpa adanya hambatan dari negara yang dituju. Di sisi lain harus diakui bahwa kualitas SDM warganegara Indonesia masih “kurang menjual”. Fakta-fakta berikut menguatkan pernyataan tersebut: 1.
Human Development Index 2013 dari UNDP menyebutkan bahwa Indonesia berada di urutan 108 dari 187 negara yang dinilai. Apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia berada di bawah Singapura (9); Brunei Darusalam (30); Malaysia (62); Thailand (89), di atas Filipina (117); Vietnam (121); Timor Leste (128); Laos (139) dan
Myanmar (150)
(en.wikiwedia.org). 2.
Global Competitive Report2013 – 2014 melaporkan bahwa posisi daya saing Indonesia berada di peringkat 38 dari 148 negara. Untuk kawasan ASEAN, Indonesia berada di bawah Singapura (2); Malaysia (24); Brunei Darusalam (26); Thailand (37), di atas Filipina (59); Timor Leste (138) dan Myanmar (139) (www.weforum.org).
1
Kondisi menjadi semakin kurang menguntungkan bagi pencari kerja Indonesia, mengingat AFTA 2015 bukan hanya diberlakukan bagi negara-negara anggota ASEAN saja, melainkan juga negara-negara yang telah menandatangani perjanjian bilateral seperti China, Jepang, Korea Selatan, India, dan Selandia Baru. Dampaknya, kemungkinan membanjirnya tenaga-tenaga kerja dari luar menjadi ancaman lain bagi Indonesia. Dalam AEC Blue Print disebutkan bahwa secara umum tenaga terampil (Skilled Labour) diartikan sebagai pekerja yang mempunyai keterampilan atau keahlian khusus, pengetahuan atau kemampuan di bidangnya yang bisa berasal dari lulusan perguruan tinggi, akademisi, sekolah teknik ataupun dari pengalaman kerja. Kemudian melalui Mutual Recognition Arrangement (MRA) disepakati tentang pengakuan seluruh negara ASEAN untuk saling mengakui atau menerima beberapa atau semua aspek hasil penilaian seperti hasil tes atau sertifikat. Dengan demikian dapat dilihat betapa pentingnya arti sertifikasi bagi tenaga-tenaga kerja yang bekerja di bidang-bidang pekerjaan tertentu yang membutuhkan tingkat profesionalisme yang tinggi, termasuk pustakawan. Program sertifikasi kompetensi pustakawan selain melaksanakan amanah undangundang, juga merupakan kebutuhan yang mendesak, mengingat diberlakukannya AEC dan AFTA pada tahun 2015 mengharuskan Indonesia untuk siap dengan tenaga-tenaga kerja profesional. Apabila tidak, Indonesia dapat menjadi “hunian baru tempat mencari nafkah” bagi tenaga-tenaga kerja profesional dari negara-negara lain. Pada tataran realita, hasil pelaksanaan program sertifikasi kompetensi pustakawan masih “jauh panggang dari api”. Woro Salikin, Deputi Bidang Pemberdayaan Perpustakaan Nasional di acara Peer Learning Meeting, Impact dan Advokasi untuk Pengembangan Perpustakaan Berkelanjutan di Yogyakarta mengungkapkan bahwa dari kurang lebih 3.000 orang pustakawan di Indonesia, baru sekitar 100 orang yang bersertifikasi (3,33%) (Agung Priyo Wicaksono,2014). Demikian juga dengan pustakawan di Kabupaten Banyumas, Provinnsi Jawa Tengah, nampaknya mereka masih “enggan/belum tertarik” untuk ikut dalam program sertifikasi kompetensi dan lebih bersikap “wait and see”. Dari 32 orang pustakawan yang ada, belum satupun yang bersertifikat (0%).
2
Banyak faktor yang diduga dapat mempengaruhi keberhasilan program sertifikasi kompetensi pustakawan, di antaranya adalah motivasi pustakawan. Secara sederhana motivasi dapat dimaknai sebagai dorongan yang dapat menjadi penyebab seseorang berperilaku. Timbulnya motivasi karena adanya motif, yakni faktor internal yang mengarah
ke berbagai jenis perilaku yang bertujuan. Di antara motif yang dapat
mendorong tumbuhnya motivasi adalah motif sosiogenik, yakni motif yang terbentuk karena perkembangan individu dalam tatanan sosialnya dan hubungan antar pribadi, antar kelompok atau nilai-nilai sosial dan pranata-pranata. Dalam menjalani hubunganhubungan tersebut, individu selalu berupaya untuk mengetahui dan menginterpretasikan apa yang ada di balik gejala yang ditangkapnya dengan indra, dan hal tersebut menghasilkan sesuatu yang dikenal sebagai persepsi (Sarlito Wirawan, 1997: 95). Leavit (Ramadhan, 2009: 7) mengatakan bahwa persepsi berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Persepsi menjadi faktor pendorong manakala seseorang memandang sesuatu dengan positif, sebaliknya ketika pandangannya negatif, maka persepsi menjadi faktor penghambat. Faktor-faktor itulah yang diduga mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan program sertifikasi kompetensi pustakawan di Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah. Persepsi, Motivasi Pustakawan dan Program Sertifikasi Kompetensi Undang-Undang Nomor 43 Tahun 3007 Tentang Perpustakaan mewajibkan setiap pustakawan untuk memenuhi kualifikasi sesuai dengan Standar Nasional Perpustakaan. Sementara itu, diberlakukannya AEC dan AFTA tahun 2015 berpotensi menimbulkan efek besar bagi pustakawan, di ataranya kemungkinan tergesernya peran mereka oleh tenaga-tenaga asing yang lebih profesional. Di sisi lain sertifikasi berfungsi sebagai bentuk pengakuan terhadap kompetensi pustakawan, karena itu sertifikasi kompetensi bagi seorang pustakawan adalah conditio sine quanon. Sertifikasi kompetensi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi kerja nasional Indonesia dan/atau internasional. Sertifikasi kompetensi pustakawan sangat penting, mengingat pekerjaan-pekerjaan
3
kepustakawanan memerlukan
profesionalisme yang tinggi. Dikatakan oleh Carson
(Bell, 2012: 5), bahwa sertifikasi diperlukan untuk "melindungi profesi pustakawan” dari kemerosotan posisi, dan menunjukkan kepada dunia bahwa pustakawan profesional adalah satu-satunya petugas yang dapat memberikan bimbingan dan pelayanan yang berkualitas serta memenuhi kebutuhan pemustaka. Senada dengan hal tersebut, Watkins (Bell, 2012: 6)
berpendapat
bahwa
sasaran
sertifikasi pustakawan, antara lain
adalah untuk meningkatkan atau memperbaiki pandangan kepustakawanan sebagai profesi. Dengan demikian, tujuan dari program sertifikasi kompetensi pustakawan antara lain: 1.
Meningkatkan kualitas layanan perpustakaan;
2.
Memotivasi
pustakawan
untuk
memperoleh,
mempertahankan,
serta
mengembangkan keterampilan mereka melalui pendidikan dasar dan berkelanjutan; 3.
Meningkatkan citra pustakawan dan perpustakaan. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 83
Tahun 2012 Tentang Penetapan Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Jasa Kemasyarakatan, Hiburan dan Perorangan Lainnya Bidang Perpustakaan Menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia menegaskan bahwa perpustakaan harus didukung oleh sumberdaya manusia perpustakaan yang profesional, yakni pustakawan yang memiliki kompetensi bidang perpustakaan dengan berpedoman pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia-Perpustakaan (SKKNI-PRP). Menurut peraturan menteri tersebut, kompetensi dimaknai sebagai kemampuan seseorang yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang dapat terobservasi dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas sesuai dengan standar kinerja yang ditetapkan. Menurut SKKNI-PRP, pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja diwujudkan dalam tiga kelompok unit kompetensi, yakni Kelompok Kompetensi Umum, Kelompok Kompetensi Inti dan Kelompok Kompetensi Khusus. Persepsi dapat dimaknai sebagai tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi
guna
memberikan
gambaran
dan
pemahaman
tentang
lingkungan
(en.wikipedia.org, 2014). Dikatakan oleh Sarlito Wirawan (1997: 94), bahwa persepsi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Untuk itu seseorang akan mencari
4
informasi sebanyak-banyaknya guna mengurangi ketidakpastian dan mencari cara yang lebih baik (Goleman, 2001: 45) Desiderato (Y.Kristina, 2011: 9) mengatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Dengan demikian persepsi berkaitan dengan bagaimana seseorang memandang, mengartikan atau memberikan makna terhadap sesuatu. Dikatakan oleh Wenburg dan Wilmot (Y.Kristina, 2011: 10) bahwa persepsi dapat didefenisikan sebagai “cara organisme memberi makna”. Mengacu
kepada berbagai pendapat yang telah diuraikan terdahulu dapat
disimpulkan bahwa persepsi adalah proses menyeleksi dan mengartikan informasiinformasi yang diterima. Dengan demikian persepsi pustakawan terhadap program sertifikasi kompetensi mencakup penafsiran, penerimaan, pengorganisasian informasiinformasi yang berkaitan dengan program tersebut. Setiap tindakan pasti dilandasi oleh suatu daya dari dalam diri seseorang, yang “mendorong” orang tersebut untuk melakukan sesuatu. Daya dorong itu dikenal dengan sebutan “motif”. Menurut Sherif & Sherif (Sarlito Wirawan Sarwono, 1997: 46) motif adalah istilah generik yang meliputi semua faktor internal yang mengarah ke berbagai jenis perilaku yang bertujuan. Abraham Sperling (Mangkunegara, 2004: 93) mengatakan bahwa motif adalah kecenderungan untuk beraktivitas, dimulai dari dorongan dalam diri (drive) dan diakhiri dengan penyesuaian diri. Pengertian lain dari motif disampaikan oleh Guilford (AS Moenir, 2006: 138), motive can be thought of as being composed of two elements. The first is drive which is represented as an internal energizing process goading the organism to action. The second is the reward which is defined as the goal toward which the action is directed; reaching the goal terminates the action (motif terdiri dari dua unsur. Pertama adalah dorongan yang direpresentasikan sebagai proses energi internal yang mendorong organisme untuk bertindak. Ke dua adalah imbalan yang didefinisikan sebagai tujuan ke arah mana tindakan diarahkan; mencapai tujuan akhir tindakan). Pengertian tersebut menunjukkan bahwa dua unsur dari motif menyebabkan seseorang melakukan kegiatan dan sekaligus ingin mendapatkan apa yang dikehendaki melalui kegiatan yang dilakukan tersebut.
5
Berdasarkan teori Konsep Dorongan (Sarlito Wirawan Sarwono, 1997: 48) motif merupakan daya dorong yang muncul dari dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut melakukan tindakan ataupun berperilaku. Daya dorong itulah yang kemudian menimbulkan keinginan ataupun kehendak untuk melakukan kegiatan, yang itu disebut sebagai motivasi. Menurut Mathis dan Jackson (AS. Moenir,2006: 139), motivasi adalah kehendak atau keinginan yang timbul dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut berbuat. Motivasi muncul dari dua dorongan, yakni dorongan dari dalam diri sendiri (internal motivation), dan dorongan dari luar (external motivation) (Mangkunegara,2005: 99). Berdasarkan peran, terdapat dua macam motivasi yakni motivasi positif dan motivasi negatif. Motivasi positif merupakan motivasi yang menimbulkan harapan dan sifatnya menguntungkan atau menggembirakan individu. Sedangkan motivasi negatif adalah motivasi yang menimbulkan perasaan yang kurang menggembirakan dan tidak menguntungkan (AS. Moenir, 2006: 142). Dikatakan oleh Flippo (AS. Moenir, 2006), “positive motivation is a process of attempting to influence others to do your will through he possibility of gain or reward. Negative motivation has as its purpose the same objective of influencing others to do your will, but its basic techniques the force of fear” (motivasi positif adalah proses untuk mempengaruhi orang lain agar mau melakukan kehendak dari yang memberikan motivasi melalui kemungkinan keuntungan atau imbalan yang dapat diperoleh. Motivasi negatif mempunyai maksud yang sama, mempengaruhi orang lain untuk melakukan kehendak dari yang memberikan motivasi, namun dengan teknik yang menumbuhkan rasa takut). Dengan demikian motivasi dapat dimaknai sebagai energi untuk membangkitkan dorongan dalam diri untuk melakukan sesuatu. Dari semua uraian terdahulu dapat disimak bahwa bahwa persepsi pustakawan dapat menjadi motif yang akan mendorong/memotivasi pustakawan untuk menentukan sikap dan tindakan pustakawan terhadap program sertifikasi kompetensi, yang dapat digambarkan sebagai berikut:
6
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DAN MOTIVASI PUSTAKAWAN DENGAN PROGRAM SERTIFIKASI KOMPETENSI PROGRAM SERTIFIKASI KOMPETENSI PUSTAKAWAN - Kompetensi Umum - Kompetensi Inti - Kompetensi Khusus - Kompetensi Kunci
PERSEPSI PUSTAKAWAN
MOTIVASI PUSTAKAWAN
- Persepsi Positif
- Motivasi Positif
- Persepsi Negatif
- Motivasi Negatif
SIKAP dan TIDAKAN PUSTAKAWAN
KEBIJAKAN PROGRAM SERTIFIKASI KOMPETENSI PUSTAKAWAN
Hasil Penelitian dan Pembahasan Kajian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Metode ini selain memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, juga mendeskripsikan hubungan, membuat prediksi dan mendapatkan makna serta implikasi dari masalah yang diteliti (Moh. Nazir, 1999: 63). Populasi dalam penelitian ini adalah 32 orang pustakawan yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil di Universitas Negeri Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto dan Pemerintah Kabupaten Banyumas. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 32, sama dengan jumlah populasi, sehingga kajian ini adalah merupakan penelitian sensus, sebagaimana dikatakan oleh Arikunto (1998: 116), apabila seseseorang ingin meneliti semua elemen yang ada di wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi/studi sensus. Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner dan wawancara dengan menggunakan panduan wawancara (interview guide). Sedangkan untuk menganalisis data, digunakan Metode Frekuensi Distribusi Relatif. Data yang terkumpul dibagi dalam beberapa kelompok untuk dianalisis dan dihitung skornya. Hasilnya kemudian dimasukkan dalam tabel frekuensi dan dihitung tingkat persentasenya. Jumlah
7
persentase menunjukkan derajat variabel yang diteliti. Kelompok yang paling banyak jumlahnya, ditunjukkan oleh nilai persentase yang tertinggi, demikian sebaliknya (Suparmoko, 2007: 87). Untuk memperjelas hubungan antaravariabel penelitian dilakukan Analisis Tabulasi Silang. Dalam penelitian ini antara lain ditemukan adanya persepsi pustakawan di Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah yang kurang baik terhadap program sertifikasi kompetensi. Menguatkan temuan tersebut antara lain dapat dilihat dari jawaban responden yang menunjukkan bahwa responden dengan persepsi kategori rendah dan sedang jumlahnya (53,13%) lebih banyak bila dibandingkan dengan responden yang memiliki persepsi dengan kategori tinggi (46,87%). Proses pembentukan persepsi melalui tahap-tahap selektivitas, penafsiran dan penutupan. Persepsi selektif berkaitan dengan banyaknya informasi yang diterima dan diolah. Seseorang cenderung memilih informasi yang dapat memuaskan dan mengabaikan informasi yang kurang menguntungkan baginya. Tahap penafsiran antara lain dipengaruhi oleh pengalaman dan sistem nilai masing-masing individu, sedangkan tahap penutupan berkaitan dengan kecenderungan individu untuk mendapatkan gambaran lengkap tentang sesuatu (Kast& Rosenzweig, 2002: 395-397). Mengacu kepada pendapat tersebut, maka kurang baiknya persepsi pustakawan di Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah terhadap program sertifikasi kompetensi pustakawan dapat terjadi pada setiap tahapan pembentukan persepsi. Demikian pula halnya dengan motivasi pustakawan. Jawaban responden dengan kategori rendah dan sedang (59,37%) lebih besar daripada jumlah jawaban responden dengan kategori tinggi (40,63%). Data tersebut dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk menunjukkan bahwa pustakawan di Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah kurang termotivasi untuk mengikuti program sertifikasi kompetensi. Motivasi merupakan energi yang dapat membangkitkan dorongan (drive) dalam diri seseorang untuk mencapai tujuan. Menurut Fred Luthans (Miftah Thoha, 2008: 150) saling berinteraksinya berbagai faktor, seperti kebutuhan (need), dorongan (drive) dan tujuan (goals) akan mendorong perilaku seseorang. Senada dengan hal tersebut, Kast & Rosenzweig (2002: 402) mengatakan bahwa sasaran dan nilai-nilai seperti kebutuhan,
8
keinginan, tujuan, insentif atau imbalan adalah merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi seseorang. Mengacu
kepada
pendapat-pendapat
tersebut,
maka
jawaban
responden
menunjukkan bahwa hasil interaksi berbagai faktor yang mempengaruhi motivasi belum optimal, sehingga mengakibatkan motivasi pustakawan di Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah untuk mengikuti program sertifikasi kompetensi belum sesuai dengan yang diharapkan. Hasil analisis tabulasi silang memperlihatkan bahwa persepsi yang kurang baik mengakibatkan kurang termotivasinya pustakawan di Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah untuk mengikuti program program sertifikasi kompetensi. Pola perilaku individual merupakan hasil dari banyak faktor yang kompleks, antara lain persepsi dan motivasi (Kast & Rosenzweig, 2002: 389). Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa persepsi yang kurang baik dan kurang termotivasinya pustakawan di Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah untuk mengikuti program sertifikasi kompetensi, antara lain karena: 1.
Responden “kurang merasakan” adanya keuntungan yang dapat diperoleh jika mereka ikut dalam program sertifikasi kompetensi. Menurut Kast & Rosenzweig (2002: 395), persepsi adalah dasar untuk memahami perilaku, karena ia merupakan alat untuk menafsirkan rangsangan (stimuli) yang dapat mempengaruhi seseorang. Rangsangan yang “tidak dapat dirasakan” mempengaruhi persepsi seseorang dan tidak akan berpengaruh terhadap perilaku. Terbentuknya persepsi yang kemudian mempengaruhi perilaku individual juga dikarenakan oleh kekuatan eksternal, antara lain “sistem imbalan”. Menurut Abraham Maslow perilaku seseorang biasanya ditentukan oleh kebutuhan yang paling kuat (Miftah Thoha, 2008: 221). Mengacu kepada pendapat tersebut nampaknya pustakawan di Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah “belum dapat merasakan imbalan” dari pelaksanaan program sertifikasi kompetensi pustakawan. Hasil wawancara dengan responden menguatkan konklusi tersebut. Hampir semua responden berpendapat bahwa program sertifikasi kompetensi tidak
9
memiliki dampak positif terhadap kesejahteraan pustakawan. Sebagian responden membandingkan dengan “imbalan” yang diterima guru pemegang sertifikat pendidik. Sebagai bahan referensi dapat disebutkan tentang kepastian regulasi yang menyangkut sertifikasi guru. Dalam pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen ditegaskan bahwa guru tetap pemegang sertifikat pendidik berhak mendapatkan tunjangan profesi yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok pada tingkat, masa kerja dan kualifikasi yang sama (Farida Sarimaya, 2008: 37). Sementara itu dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
43 Tahun 2007 Tentang
Perpustakaan tidak diatur tentang “tunjangan” yang didapatkan oleh pustakawan pemegang sertifikat kompetensi. 2.
Kurangnya pengetahuan responden sehingga tidak mendapatkan gambaran yang lengkap tentang program sertifikasi kompetensi pustakawan. Jawaban responden yang menyatakan mereka tidak tahu bahwa program sertifikasi kompetensi dapat mendukung karier dan wajib diikuti oleh pustakawan, membuktikan keterbatasan pengetahuan responden tentang program tersebut. Data itu menunjukkan bahwa responden belum mengetahui diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan, yang antara lain menegaskan bahwa pustakawan harus memiliki sertifikat kompetensi (pasal 35 ayat 1), dan sertifikat kompetensi menjadi dasar pertimbangan untuk peningkatan karier pustakawan (pasal 35 ayat 2). Hasil wawancara dengan responden menguatkan hal tersebut, hampir semuanya mengatakan bahwa mereka belum mengetahui berlakunya peraturan pemerintah tersebut. Dalam kondisi seperti itu, mungkin tidak keliru andai dikatakan bahwa dunia kepustakawanan di Indonesia mengalami sumbatan komunikasi. Menurut
Lasswell (Stillnewbie, 2010: 9) komponen komunikasi
terdiri dari: pengirim/komunikator (sender); pesan (message); saluran/media (channel); penerima/komunikan (receiver); dan umpan balik (feedback). Penyebab terjadinya sumbatan komunikasi, sangat mungkin terjadi di antara faktor-faktor
10
tersebut, dan hasil wawancara dengan responden menguatkan sinyalemen adanya sumbatan komunikasi dimaksud. Temuan lain yang cukup memprihatinkan adalah kekurangtahuan responden terhadap arti penting program sertifikasi kompetensi pustakawan dalam kaitannya dengan implementasi AEC dan AFTA 2015. Hasil wawancara dengan responden menunjukkan ketidakpahaman responden terhadap dampak diberlakukannya AEC dan AFTA 2015. Sebagaimana diketahui apabila Indonesia tidak siap dengan tenaga-tenaga profesional yang bersertifikat, kemungkinan masuknya tenaga-tenaga profesional asing yang bersertifikat yang dapat menggantikan posisi mereka adalah sebuah keniscayaan. Di sisi lain kurangnya pengetahuan responden terhadap program sertifikasi kompetensi menunjukkan tingkat profesionalisme pustakawan masih dalam tataran yang belum menggembirakan. Sinyalemen ini mendasarkan kepada pendapat Himachali (2011: 4), bahwa profesionalitas seseorang antara lain ditengarai dengan tingginya komitmen yang dimiliki untuk selalu memperbaiki dan meningkatkan pengetahuan serta ketrampilannya. Dari keseluruhan hasil pengukuran dapat disimak bahwa alur pikir penelitian ini, yakni persepsi yang kurang baik menumbuhkan motivasi negatif (demotivator), yang mengakibatkan pustakawan di Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah “enggan” untuk mengikuti program sertifikasi kompetensi, terbukti adanya. Rekomendasi Dengan melihat temuan-temuan yang didapatkan dalam penelitian ini, beberapa rekomendasi dapat disampaikan sebagai berikut: 1.
Pemerintah/Perpustakaan Nasional Republik dalam merancang kebijakan, program maupun kegiatan untuk mengembangkan kepustakawanan di Indonesia hendaknya senantiasa berorientasi kepada peningkatan profesionalisme dan pendekatan pemenuhan kebutuhan bukan pemenuhan keinginan;
2.
Mengkaji ulang regulasi yang sudah out of date, tidak adaptif dan tidak aspiratif, diperbaharui dengan regulasi yang aspiratif dan aplikatif, utamanya regulasi yang mengatur tentang sertifikasi kompetensi pustakawan dengan pencantuman secara
11
pasti ketentuan tentang pemberian “tunjangan” bagi pustakawan pemegang sertifikat kompetensi; 3.
Bagi pustakawan yang akan mengikuti sertifikasi kompetensi seyogyanya sebelumnya diberi pembekalan, untuk menyetarakan kesenjangan tingkat kompetensi yang mungkin ada di kalangan peserta;
4.
Dengan mengingat sedikitnya jumlah pustakawan pemegang sertifikat kompetensi dan tingkat urgensi berkaitan dengan implementasi AEC dan AFTA 2015, perlu adanya percepatan dan langkah-langkah terobosan pelaksanaan program sertifikasi kompetensi pustakawan;
5.
Meningkatkan intensitas dan frekuensi sosialisasi program sertifikasi kompetensi pustakawan dengan memanfaatkan pustakawan-pustakawan pemegang sertifikat kompetensi.
6.
Mengembangkan komunikasi yang efisien dan efektif antar pemangku kepentingan kepustakawanan di semua lini, dengan mengoptimalkan fungsi unsur-unsur komunikasi, yakni komunikator, pesan, media, komunikan dan umpan balik;
7.
Kajian ini sangat mungkin untuk dikembangkan melalui penelitian lanjutan, dengan mempertimbangkan variabel-variabel yang ditemukan. DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 2003. Psikologi Umum. Jakarta : Rineka Cipta Ancok, Djamaludin. 1985. Teknik Penyusunan Skala Pengukur. Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta AS, Moenir. 2006. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia.Jakarta : Bumi Aksara Bell, Jonathan Pacheco - 2012. Certification of Librarians: An Unproven Demand. scholarworks.sjsu.edu Dudeja,
Anshul. 2010. Teori Harapan Victor Vroom. worldhealthbokepzz.blogspot.comworldhealth-bokepzz.blogspot.com
Epstein, Robert. 1999. Encylopedia of Creavity. United Kingdom: Academic Press
12
Gibson, Ivancevich, Donnely.1993. Organisasi. Alih bahasa Savitri Soekrisno dan Agus Dharma.Jakarta : Erlangga Goleman, Daniel. 2001. Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi. Terjemahan. Alih bahasa : Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Handari, Budi. 2011. Peran Pustakawan dalam Pengembangan Perpustakaan. Banjarnegara . Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah (KPAD) Kabupaten Banjarnegara Henriques, Gregg. 2013. Perceptions, Motives, and Emotions : A Control Theory Model. www.psychologytoday.com Himachali, Sanjeev. 2011. Apa Profesionalisme? Anda Seorang Profesional?. www.sanjeevhimachali.com Iksan, Khairul. 2012. Konsep Persepsi. khairuliksan.blogspot.com Kast, Fremont E.and Rosenzweig, J.E. 1970. Organization and Management, A System Approach.Tokyo : McGraw – Hill Kogakusha, Ltd. Kast, Fremont E.dan James E. Rosenzweig. 1999. Organisasi & Manajemen I. alih bahasaA.Hasyim Ali. Jakarta : Bumi Aksara Khayatun dan Akhmad Syaikhu HS. 2011. Kajian Tentang Peluang dan Tantangan Program Sertifikasi Pustakawan di Indonesia. Bogor : Institut Pertanian Bogor Kismiyati, Titiek. 2011. Kesiapan Sertifikasi Pustakawan.
[email protected] Lamptey, Richard Bruce, Michael Sakyi Boateng, I K. Antwi. 2013. Motivation and Performance of Librarians in Public Universities in Ghana. digitalcommons.unl.edu Mangkunegara, AA. Anwar Prabu. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Mangkunegara, AA. Anwar Prabu.2005. Perilaku dan Budaya Organisasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Miftah Thoha. 2008. Perilaku Organisasi Konsep dasar dan Aplikasinya. Jakarta : Raja Grafindo Persada Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia
13
Nurgiyantoro, Burhan, Gunawan dan Marzuki. 2000. Statistik Terapan untuk Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada University Press Prahudi, Bagus. 2014. Seputar AFTA (ASEAN Free Trade Area) Tahun 2015. sastrasipilindonesia.wordpress.com Priyo Wicaksono, Agung. 2014. Pustakawan Terakreditasi Hanya 100 Orang. suaramerdeka.com Ramadhan, Ben Fauzi. 2009. Persepsi Siswa/I SMA Terhadap Keselamatan Berkendara Sepeda Motor. Fakultas Kesehatan Massyarakat Universitas Indonesia : Jakarta Robbins, Stephen P. & Mary Coulter. 2007. Manajemen edisi ke delapan/jilid 2. Terjemahan. Alih bahasa : Harry Slamet & Ernawati Lestari. Jakarta : PT Indeks Sarimaya, Farida. 2008. Sertifikasi Guru, Apa, Mengapa dan Bagaimana ?. Bandung : YRAMA WIDYA Sarwono, Sarlito Wirawan. 1997. Psikologi Sosial Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta : PT. Balai Pustaka Sarwono, Sarlito Wirawan. 1982. Pengantar Umum Psikologi. Jakarta : Bulan Bintang Stillnewbie. 2010. Mekanisme Komunikasi Sunyoto, Danang. 2009. Analisis Regresi dan Uji Hipotesis. Yogyakarta : MedPress Sukamto, dkk. 2009. Pengembangan Profesi Guru Secara Berkesinambungan Sebagai Strategi Nasional Pendukung Sertifikasi Guru. Yogyakarta : Fakultas Teknik Universitas negeri Yogyakarta Suparmoko. 2007. Metode Penelitian Praktis (Untuk Ilmu-Ilmu Sosial, Ekonomi dan Bisnis). Edisi 4. Yogyakarta : BPFE Syahyuti. 2010. Definisi, Variabel, Indikator dan Pengukuran dalam Ilmu Sosial. syahyutivariabel.blogspot.com Tan, Melly G. 1985. Masalah Perencanaan Penelitian, dalam Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Koentjaraningrat. Jakarta : Gramedia Utami Munandar. 2002. Kreativitas & Keberbakatan : Strategi Mewujudkan Potensi Kreatifdan Bakat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
14
Yektiningsih, Sri Endang. 2008. Peranan Pustakawan Dalam Mewujudkan Kinerja Perpustakaan Di Perpustakaan Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Seni Dan Budaya Yogyakarta. digilib.uin-suka.ac.id Y. Kristina. 2011. Persepsi Masyarakat Perumahan Bumi Asri Medan Terhadap Acara Reality Show “Tukar Nasib” di SCTV. repository.usu.ac.id Young, Elizabeth M. 2010. Factors that Influence Perception.www.sciences360.com Walgito, Bimo. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : ANDI Wikipedia. 2014. Perception. en.wikipedia.org. ____________. Chambers Essential English Chambers an imprint of Larousse
Dictionary. 1995. Edinburgh :
____________. 2013. Oklahoma Certification Manual For Public Librarians.The Oklahoma Library Association and The Oklahoma Department of Libraries.http://www.odl.state.ok.us/servlibs/certman ____________. 2013. List of Countries by Human Development Index. en.wikipedia.org ____________. 2013. The Global Competitiveness Report 2013-2014. www.weform.org Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2012 Tentang Penetapan Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Jasa Kemasyarakatan, Hiburan dan Perorangan Lainnya Bidang Perpustakaan Menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
15