NILAI SEJARAH DALAM NOVEL PULANG KARYA LEILA S. CHUDORI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh
Dio Mohamad Nurdiansah 109013000120
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015
NILAI SEJARAH DALAN{ NOVEL PULANG
KARYA LEILA
S. CHUDORT
DAN IMPLIKASTNYA TBRHADAP PEMBELAJARAN
BAHASA DAN SASTRA TNDONESIA SKR1PSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana pendidikan (S.pd.)
Oleh
Dio l\fohamad Nurdiansah I09013000120
a iBar.vah Bimbingan
embimbing
JURUSAN PENDIDIKAI\ BAHASA DAI\ SASTRA INDONESTA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN IJI\TVERSITAS TSLAM NBGE,RI SYARIF HTDAYATULLAH
JAKARTA 201s
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Nilai Sejarah dalam Novel Pulung karya Leila S. Chudori dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia disusun oleh DIO MOHAMAD NURDIANSAH Nomor Induk Mahasisu,a 109013000120, diajukan kepada Fakultas IImu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ltjian Munaqasah pada tanggalT April2015 di hadapan dervan penguji Karena itu. penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S.pd) dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta, 7 April 2015
Panitia Ujian Munaqasah
Ketua Sidang (Ketua Program Studi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) Dra. Hindun, M.Pd NIP. 19701215 20A9D 2 001
Tanggal
Sekretaris Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Dona Aji Karunia Putra, i\{A NIP 1984040920t101 I 01s
Penguji
\Ll
,4yn
l/uli
I
Dr. Siti Nuri Nurhaidah,
NrtA
NlP. Penguji Il Ahmad Bahtiar, M. Hum NIP 19760118 200912 I 002
tY/01 t5
Mengetahui, Itas Tarbiyah dan Keguruan
Syarif Hidayatullah
ib Raya, M.A) 198203 1 007
LEMBAR PERNYATAAN PENULIS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, nama
:
Dio Mohamad Nurdiansah
tempat, tanggal lahir
:
Jakart4
}JIM
.109013000120
jurusan
: Pendidikan Bahasa dan Sastra Irrdonesia
judul skripsi
: Nilai Sejarah dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori dan Implikasinya terhadap
15
Mei 1990
Pembela_iaran Bahasa dan Sastra Indonesia
dosen pernbimbing
:Drs. Jamal D. Rahman, M.Hum.
Dengan ini menyatakan bahwa:
l. 2. 3.
Skripsi ini merupakan karya saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu (Sl) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlak-u di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku
di
universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Jaka
mtffimzu m.EMPEIL
NIM 109013000120
ABSTRAK
Dio Mohamad Nurdiansah, 109013000120, “Nilai Sejarah dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen Pembimbing: Drs. Jamal D. Rahman, M.Hum. Penelitian ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori? 2. Bagaimana implikasi nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia? Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Memaparkan implikasi nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif untuk mendeskripsikan data berupa unsur-unsur pembangun novel dan nilai sejarah yang terkandung dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik catat karena data-datanya berupa teks. Teknik penelitian yang digunakan adalah analisis dokumen yaitu novel Pulang karya Leila S. Chudori dan studi pustaka untuk mencari dan mengumpulkan literatur yang mendukung penelitian mengenai nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Nilai Sejarah yang diperoleh berupa Tragedi 1965, Masa Pemerintahan Soeharto, dan Tragedi 1998. Penelitian mengenai nilai sejarah dalam novel Pulang ini dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di SMA kelas XI semester 2. Standar Kompetensi yang sesuai yakni aspek mendengarkan dengan memahami pembacaan novel. Kompetensi Dasar yang sesuai yakni menemukan nilai-nilai dalam novel yang dibacakan.
Kata Kunci: Sejarah, Novel, Pulang, Leila S. Chudori
i
ABSTRACT
Dio Mohamad Nurdiansah, 109013000120, "The Value of History in Novel Pulang by Leila S. Chudori and Implications of Learning Indonesian Language and Literature", Language and Literature Education Majors of Indonesia, Faculty of Science Education and Teaching, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Supervisor: Drs. Jamal D. Rahman, M. Hum. This study has a formulation of the problem as follows: 1. How the value of history in the novel Pulang by Leila S. Chudori? 2. What are the implications of historical value in the novel Pulang by Leila S. Chudori towards learning the language and literature Indonesia? Purpose of this study is to explain the elements of the novel builder Pulang by Leila S. Chudori. Explain the value of history in the novel Pulang by Leila S. Chudori. Describe the implications of historical value in the novel Pulang by Leila S. Chudori towards learning Indonesian language and literature. Methods used in this study is a qualitative method for describing data in the form of elements builders novel and historical value contained in the novel Pulang Leila S. Chudori. Data collection techniques used in this study is the technique of note because the data in the form of text. Engineering research is the analysis of a document that is novel Pulang by Leila S. Chudori and literature to find and collect the literature which supports research on the value of history in the novel Pulang by Leila S. Chudori and its implications for learning Indonesian language and literature. Historical value obtained in the form of Tragedy 1965, The Reign of Soeharto, and Tragedy in May 1998. Research on the value of history in the novel can be implied to learning Indonesian Language and Literature in the Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) in the eleventh grade high school semesters 2. Competency Standards corresponding to listen to understand the aspects of reading novels. Basic Competence corresponding if find the values in the novel read.
Keywords: History, Novel, Pulang, Leila S. Chudori
ii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., yang telah memberikan rezeki dan karunia sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi berjudul Nilai Sejarah dalam Novel “Pulang” karya Leila S. Chudori dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Salawat serta salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW., beserta kerabat, keluarga, dan pengikutnya hingga akhir zaman. Proses penulisan skripsi ini tidak luput dari berbagai hambatan, namun dapat dilalui berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A,. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 2. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 3. Dona Aji Kurnia, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 4. Drs. Jamal D. Rahman, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi penulis; 5. Dr. Siti Nuri Nurhaidah, MA., selaku dosen penguji I skripsi penulis; 6. Ahmad Bahtiar, M.Hum., selaku dosen penguji II skripsi penulis; 7. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama perkuliahan;
iii
8. Keluarga penulis yakni Bapak Bambang Eddy Usmanto, Ibu Nurochwati, Geno Mohamad Nurdiansah, dan Amalia Rachmadanty yang senantiasa mendukung dan memotivasi penulis dalam proses penulisan skripsi ini; 9. Mba Ivan dan Mas Hendi yang telah memotivasi dan meminjamkan printernya demi mendukung penulis dalam proses penulisan skripsi ini; 10. Naila Mufidah, M. Ismar Jamal Akbar, Saepul Bahri, Shibgoh, Ahmad Ridho, Maria Ulfah, dan Wiwien Winarti beserta kawan-kawan Permasi yang telah meluangkan waktu untuk membelikan kertas A4, memberikan motivasi, dan tidak berisik disaat penulis sedang mengerjakan skripsi ini; 11. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas partisipasi dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga semua bantuan, bimbingan, ilmu, dan doa yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberi sumbangsih bagi penelitian di bidang sastra serta bagi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Penulis juga berharap adanya saran dan kritik membangun terhadap karya tulis ini. Wassalamualaikum wr.wb. Jakarta, Februari 2015
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................. i ABSTRACT ............................................................................................ ii KATA PENGANTAR ........................................................................... iii DAFTAR ISI .......................................................................................... v
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1 B. Identifikasi Masalah ........................................................ 3 C. Pembatasan Masalah ....................................................... 3 D. Rumusan Masalah ........................................................... 4 E. Tujuan Penelitian ............................................................ 4 F. Manfaat Penelitian .......................................................... 4 G. Metodologi Penelitian ..................................................... 4
BAB II
LANDASAN TEORI........................................................... 8 A. Nilai Sejarah .................................................................... 8 B. Novel ............................................................................... 10 C. Unsur Intrinsik Prosa ...................................................... 11 D. Pendekatan Mimetik........................................................ 14 E. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia .................... 15 F. Penelitian yang Relevan .................................................. 17
BAB III
PENGARANG DAN KARYANYA ................................... 21 A. Biografi Leila S. Chudori ................................................ 21 B. Sinopsis Novel Pulang .................................................... 23
v
BAB IV
NILAI
SEJARAH
DALAM
NOVEL
PULANG
KARYA LEILA S. CHUDORI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN
BAHASA
DAN
SASTRA INDONESIA ....................................................... 25 A. Unsur Intrinsik Prosa ...................................................... 25 1. Tema.......................................................................... 25 2. Tokoh dan Penokohan ............................................... 26 3. Alur ........................................................................... 33 4. Latar .......................................................................... 36 5. Sudut Pandang........................................................... 38 6. Gaya Penceritaan ....................................................... 42 B. Nilai Sejarah dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori............................................................................ 44 1. Indonesia Periode 1965-1966 ................................... 44 2. Indonesia Periode 1966-1998 ................................... 48 C. Implikasi terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ........................................... 59 BAB V
PENUTUP ............................................................................ 63 A. Simpulan ......................................................................... 63 B. Saran ................................................................................ 64
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ vii LAMPIRAN
vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra dan kehidupan tidak dapat dipisahkan. Karya sastra menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan kesungguhan dan kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Sastra sebagai cermin dari kehidupan tersebut tentu saja menawarkan bentuk penyampaian intuitif yang khas. Dengan bahasa yang menjadi alat dalam sastra, aspek sastra tidak terlepas dari teks atau tulisan. Sastra sendiri dibangun dari tiga unsur perwujudan bahasa yakni puisi, prosa, dan drama. Sastra dan sejarah memiliki hubungan yang sangat dekat tapi jauh, jauh tapi dekat. Paradoks ini tak terhindarkan, karena di satu sisi sejarah kerapkali menjadi sumber sastra, dan sastra merupakan salah satu sumber sejarah, terutama ketika sastra dahulu merupakan sumber tertulis utama karena minimnya sumbersumber lain dalam merekonstruksi sejarah. Dalam konteks itulah, hubungan sastra dan sejarah amat dekat. Namun di sisi lain, sejarah tetaplah sejarah dan sastra tetaplah sastra. Sejarah berdasarkan faktualitas sedangkan sastra berdasarkan fiksionalitas yang menjadikan hubungan sejarah dan sastra mengalami ketegangan abadi antara fakta dan fiksi, membuat jarak antara sejarah dan satra amat jauh. Namun demikian, di tengah ketegangan abadi itu, sejarah dan sastra tak pernah benar – benar terpisah. Banyak karya sastra kita hingga sekarang bersumberkan sejarah, atau sejarah ditulis dalam bentuk karya sastra. Semua itu menunjukan bahwa sejarah dan sastra memiliki hubungan penting. Sudah tentu sejarah merupakan salah satu sumber karya sastra dari waktu
1
2
ke waktu, dari satu peristiwa ke lain peristiwa. Jikalau karya satra tidak bisa dijadikan sumber sejarah, ia toh merefleksikan suatu sikap terhadap sejarah.1 Novel dalam ilmu kesusastraan merupakan salah satu bentuk prosa. Novel memiliki kekhasan yakni jalan cerita yang kompleks. Permasalahan yang disampaikan seorang penulis novel dapat terdiri dari berbagai macam hal. Berbagai hal tersebut tentu saja erat kaitannya dengan kehidupan para tokoh yang dimunculkan oleh penulis. Cerita yang dihadirkan dalam novel tak ubahnya sebagai sebuah catatan sejarah dari kehidupan tokoh. Lebih jauh dari itu, dapat pula tokoh memasuki suatu peristiwa penting yang menjadi sejarah. Beberapa karya prosa baik novel maupun cerpen banyak kita temui bukan hanya bernilai hiburan dan estetika semata, melainkan juga berisi kandungan sejarah. Sebut saja beberapa judul seperti novel-novel ‘Tetralogi Buru’ karya Pramoedya Ananta Toer, novel Kubah karya Ahmad Tohari, cerpen Clara karya Seno Gumira Ajidarma. Karya-karya tersebut seolah membantu ingatan kita kembali pada peristiwa-peristiwa penting yang hadir lewat pelataran dalam penceritaan karya-karya tersebut. Salah satu novel yang memuat nilai sejarah yakni karya Leila S. Chudori yang berjudul Pulang. Pada umumnya, pengarang meleburkan fakta dan tema dengan bantuan sarana-sarana sastra seperti konflik, sudut pandang, simbolisme, ironi, dan sebagainya.2 Leila S. Chudori menulis cerita Pulang dengan bantuan sarana-sarana sastra tersebut. Dia menjadikan sejarah sebagai peristiwa kehidupan tokoh-tokohnya dengan penyusunan konflik yang terjadi, sudut pandang dari berbagai tokoh yang seolah memosisikan mereka sebagai narasumber, simbolsimbol pewayangan yang menciptakan nuansa romantisme, dan masih banyak hal lain yang mengesankan bahwa sejarah bukan hanya dapat dibaca dari buku-buku sejarah atau film dokumentasi, melainkan juga mampu disampaikan lewat kandungan nilai sejarah dalam jalinan cerita pada novel Pulangnya tersebut.
1
Jurnal kritik, teori dan kajian sastra. sejarah di hadapan sastra, nomer 3 tahun II, 2012, h. 4 2 Stanton, Robert. Teori Fiksi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 9.
3
Nilai sejarah dalam novel Pulang dapat dipahami dari latar sejarah yang digunakan Leila S. Chudori untuk membangun kisah dalam novelnya. Itulah sebabnya untuk memahami pengalaman yang digambarkan oleh cerita, hendaknya dipahami terlebih dulu fakta-fakta dan tema yang menjadi elemen-elemennya.3 Nilai sejarah dalam novel Pulang menjadikan novel tersebut memiliki sisi lebih dalam mencerminkan peristiwa di dalam masyarakat yang saat ini sudah banyak mengenyampingkan peristiwa-peristiwa bersejarah yang dialami oleh rakyat Indonesia. Oleh karena itulah, karya sastra sangatlah penting untuk membuka pikiran para siswa di Indonesia agar dapat merasakan getirnya perjuangan bangsa yang berliku dan diharapkan dapat menumbuhkan rasa nasionalisme yang begitu besar dan memperjuangkan hingga tetes darah penghabisan dengan terus belajar dan berkembang memajukan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang peneliti paparkan sebelumnya, maka identifikasi masalah penelitian ini adalah: 1. Terdapat novel yang bisa dijadikan salah satu sumber sejarah. 2. Diperlukannya penelitian terhadap nilai sejarah dalam novel. 3. Kurangnya perhatian terhadap pembelajaran nilai sejarah dalam novel beserta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah peneliti, maka pembatasan masalah yaitu Nilai Sejarah dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
3
Ibid., h. 12.
4
D. Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalahnya adalah: 1. Bagaimana nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori? 2. Bagaimana implikasi nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia?
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menjelaskan nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. 2. Memaparkan implikasi nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis. 1.
Manfaat teoretis dimaksudkan bahwa hasil penelitian dapat dijadikan sebagai pengembangan di bidang sastra terutama dalam mengkaji nilai sejarah yang terkandung dalam novel. Selain itu juga diharapkan dapat memberikan sumbangsih penelitian ilmiah terhadap karya prosa.
2.
Manfaat praktis dimaksudkan bahwa hasil penelitian dapat dijadikan sebagai pengembangan di bidang pendidikan baik bagi para pendidik dan mahasiswa kependidikan. Hal tersebut dapat dilihat dari implikasi penelitian ini terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
G. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Metode berasal dari kata methodos, bahasa Latin, sedangkan methodos itu sendiri berasal dari akar kata meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, sedangkan hodos berarti jalan, cara, arah. Dalam pengertian
5
lebih luas, metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah
sistematis
untuk
memecahkan
rangkaian
sebab
akibat
berikutnya. Sebagai alat, sama dengan teori, metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami.4 Metode penelitian yang dipakai peneliti adalah metode kualitatif. Metode kualitatif dilakukan dengan cara memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi.5 Tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah untuk menyajikan penafsiran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diselediki. Lebih jauh, para ahli merumuskan penelitian kualitatif sebagai berikut:
Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersbeut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari sesuatu keutuhan. David Williams menulis bahwa penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada sutu latar alamiah, dengan menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah. Jelas definisi ini memberi gambaran bahwa peneltian kualitatif mengutamakan latar alamiah, metode alamiah, dan dilakuikan oleh orang yang mempunyai perhatian alamiah. Penulis buku penelitian kualitatif lainnya (Denzin dan Lincoln 1987) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian uang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Dari segi pengertian ini, para penulis masih tetap mempersoalkan latar alamiah dengan maksud agar hasilnya dapat digunakan untuk menafsirkan fenomena dan yang dimanfaatkan untuk penelitian kualitatif adalah berbagai macam metode penelitian. Dalam penelitian kualitatif metode
4
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet-3 2007), h. 34. 5 Ibid., h. 46.
6
yang biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen.6 Dari kajian tentang definisi-definisi tersebut dapatlah disintesiskan bahwa penelitian kaulitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.7 Metode penelitian kualitatif yang digunakan penulis yaitu content analysis atau analisis isi. Penelitian ini berusaha menganalisis dokumen untuk diketahui isi dan makna yang terkandung dalam dokumen tersebut. Penelitian ini dengan menggunakan analisis isi mendeskripsikan atau menggambarkan apa yang menjadi masalah, kemudian menganalisis dan menafsirkan data yang ada. Metode analisis isi digunakan untuk menelaah isi dari suatu dokumen. Dalam penelitian ini dokumen yang dimaksud adalah novel Pulang karya Leila S. Chudori. 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen, yaitu berupa novel berjudul Pulang karya Leila S. Chudori. Data tersebut merupakan novel yang diterbitkan pada cetakan kedua, Januari 2013 oleh Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah: 1. Teknik inventarisasi Dalam teknik ini peneliti melakukan inventarisasi terhadap novel yang memiliki nilai sejarah yakni novel Pulang karya Leila S. Chudori. 2. Teknik baca simak 6
Dikutip dalam Prof. Dr. Lexy J. Moleong, M.A., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda Karya, 2011), Cet. 29, h. 4. 7 Prof. Dr. Lexy J. Moleong, M.A., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda Karya, 2011), Cet. 29, h. 6.
7
Dalam teknik ini peneliti membaca, menelaah, memahami, dan mengidentifikasikan nilai sejarah dalam novel tersebut. 3. Teknik pencatatan Dalam teknik ini peneliti mencatat hal-hal penting yang mendukung nilai sejarah dalam novel tersebut.
4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tiga komponen, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. a. Reduksi data Pada langkah ini data yang diperoleh dicatat dalam uraian yang terperinci. Data-data yang dipilih hanya data yang berkaitan dengan masalah yang akan dianalisis, yaitu nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. b. Penyajian data Pada langkah ini, data-data yang sudah ditetapkan kemudian disusun secara teratur dan terperinci agar mudah dipahami. Data-data tersebut kemudian dianalisis sehingga diperoleh deskripsi mengenai nilai sejarah yang terkandung dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. c. Penarikan simpulan Pada tahap ini dibuat kesimpulan mengenai hasil dari data yang diperoleh sejak awal penelitian. Penarikan kesimpulan memuat hasil data berupa nilai sejarah apa saja yang disampaikan penulis lewat novel Pulang karya Leila S. Chudori.
BAB II LANDASAN TEORI
Penelitian terhadap novel Pulang karya Leila S. Chudori tentu saja memerlukan landasan teori. Penjelasan mengenai teori-teori yang berhubungan dengan penelitian sangat penting dilakukan sebelum menyajikan hasil penelitian. Teori-teori yang menjadi landasan dalam penelitian terhadap novel Pulang ini dapat dipaparkan sebagai berikut.
A. Nilai Sejarah Nilai atau value (Inggris) atau valere (Latin) berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, dan kuat. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai, dan dapat menjadi objek kepentingan.1 Filsuf Jerman-Amerika, Hans Jonas menyatakan, nilai adalah the addressee of a yes, ―sesuatu yang ditujukan dengan ‗ya‘‖, karena nilai selalu mempunyai konotasi positif sehingga nilai menjadi sesuatu yang kita benarkan dan kita aminkan.2 Dalam Ensiklopedi Britanica yang dikutip oleh Noor Syam menyebutkan bahwa nilai adalah suatu penetapan atau suatu kualitas sesuatu objek yang menyangkut suatu jenis apresiasi atau minat.3 Sejarah berasal dari kata syajarah yakni dari bahasa Arab yang berarti pohon. Kata ini masuk ke Indonesia sesudah terjadi akulturasi antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan Islam. Dalam kaitan tersebut, hadir bermacammacam pengertian ―sejarah‖ yaitu silsilah, riwayat, babad, tambo atau tarikh.4 Sejarah dalam arti sempit mempelajari manusia masa lampau, sepanjang hal itu dapat diteliti dari keterangan-keterangan tertulis yang berasal dari 1
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak ; Peran Moral Intelektual, Emosional, dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), Cet. 2, h. 29. 2 Bertened, Etika, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), Cet. 11, h. 149. 3 Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), h. 46. 4 Ibid., h. 27.
8
9
zamannya dan kemudian sampai kepada kita. Dalam arti luas sejarah berusaha mengungkapkan manusia masa lalu dalam menjalani riwayatnya sejak dari mula, tidak peduli apakah keterangan yang ditinggalkannya berupa keterangan tertulis atau bukan.5 Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sejarah mengandung tiga pengertian yaitu: asal-usul (keturunan) silsilah; kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau; riwayat; tambo, pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau; ilmu sejarah. Beberapa pengertian dari sejarah salah satunya dipaparkan oleh Louis Gottschalk sebagaimana berikut ini. Sejarah—dalam bahasa Inggris history—berasal dari kata benda Yunani istoria yang berarti ilmu. Dalam penggunaannya oleh filsuf Yunani Aristoteles, istoria berarti suatu penelaahan sistematis mengenai seperangkat gejala alam, entah susunan kronologis merupakan faktor atau tidak di dalam penelaahan; penggunaan itu meskipun jarang, masih tetap hidup di dalam bahasa Inggris yang disebut natural history.6 Pengertian lain mengenai sejarah dapat dilihat dari pemaparan Jan Romein berikut ini. Kata history berarti ―masa lampau umat manusia‖. Bandingkan dengan kata Jerman untuk sejarah, yakni geschichte, yang berasal dari kata geschehen yang berarti terjadi. Geschichte adalah sesuatu yang telah terjadi. Peristiwa dan kejadian itu benar-benar terjadi pada masa lampau.7. Nilai sejarah yaitu pendekatan karya sastra yang melihat satu fenomena atau gejala sejarah. Karya sastra dipahami selalu berkaitan dengan masa lalu karena karya satra terlahir sebagai buah karya seorang pengarang, maka keterkaitan masa lalu itu juga berlaku untuk pengarang, sejarah sastra dengan implikasi para pengarang, karya sastra, dan periode-periode tertentu. 5
Dra. Sugihastuti, M.S., Teori Apresiasi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet ke-2. 2007), h. 161. 6 Dikutip dari Prof. Drs. H. Rustam E. Tamburaka, Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat, dan Iptek. Jakarta: Rineka Cipta. 2002, h. 27. 7 Ibid., h. 27.
10
Nilai sejarah adalah hal-hal yang erat kaitannya dengan sejarah. Waktu yang telah lewat sudahlah lewat, tidak dapat diraih atau dikejar lagi. Begitu juga dengan peristiwa-peristiwa yang hanya sekali terjadi. Oleh karena itu, semua peristiwa yang telah lewat tidak dapat ditemui lagi dan tidak akan terulang kembali. Peristiwa yang telah lewat itu dapat juga sampai kepada manusia karena meninggalkan jejak. Jejak tersebut menjadi komponen penting yang tidak dapat ditinggalkan dalam penulisan sejarah.
B. Novel Dalam bidang sastra, prosa sering dihubungkan dengan kata fiksi. Kita sering mendengar kata prosa fiksi. Kata fiksi berarti khayalan atau tidak berdasarkan kenyataan. Padahal dalam kenyataan, karya sastra yang berwujud prosa diciptakan dengan bahan gabungan antara kenyataan dan khayalan. Banyak karya prosa yang justru idenya berangkat dari kenyataan.8 Istilah prosa fiksi atau cukup disebut karya fiksi, biasa juga diistilahkan dengan prosa cerita, prosa narasi, narasi, atau cerita berplot. Pengertian prosa fiksi tersebut adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar, serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita.9 Karya fiksi lebih lanjut masih dapat dibedakan dalam berbagai macam bentuk, baik itu roman, novel, novelet, maupun cerpen. Perbedaan berbagai macam bentuk dalam karya fiksi itu pada dasarnya hanya terletak pada kadar panjang-pendeknya isi cerita, kompleksitas isi cerita, serta jumlah pelaku yang mendukung cerita itu sendiri.10 Bentuk karya fiksi yang terkenal dewasa ini adalah novel dan cerita pendek (cerpen). Dalam istilah novel tercakup pengertian roman; sebab roman hanyalah istilah novel untuk zaman sebelum perang dunia kedua di Indonesia. Digunakannya istilah roman waktu itu adalah wajar karena sastrawan di Indonesia waktu itu umumnya berorientasi ke Negeri Belanda, yang lazim menamakan bentuk ini dengan roman. Di antara para ahli teori sastra kita memang ada yang membedakan antara novel dan roman, dengan mengatakan bahwa novel mengungkapkan suatu 8
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. (Jakarta: Grassindo. 2008), h. 127. Aminuddin. Pengantar Apresiasi Sastra. (Yogyakarta: Sinar Baru. 1987), h. 66 10 Ibid., h. 66 9
11
konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang, dan pemusatan kehidupan yang tegas: sedangkan roman dikatakan sebagai menggambarkan kronik kehidupan yang lebih luas yang biasanya melukiskan peristiwa dari masa kanakkanak sampai dewasa dan meninggalkan dunia. Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus.11
C. Unsur Intrinsik Prosa Berbicara mengenai anatomi fiksi berarti berbicara tentang struktur fiksi atau unsur-unsur yang membangun fiksi itu. Struktur fiksi itu secara garis besar dibagi atas dua bagian, yaitu : (1) Struktur luar (ekstrinsik) dan (2) struktur dalam (intrinsik). Struktur luar (ekstrinsik) adalah segala macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut, misalnya faktor sosial ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosio-politik, keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat. Struktur dalam (intrinsik) adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut seperti penokohan atau perwatakan tema, alur, pusat pengisahan, latar, dan gaya bahasa.12 1. Penokohan dan perwatakan Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita.13 Tokoh cerita biasanya mengemban suatu perwatakan tertentu yang diberi bentuk dan isi oleh pengarang. Perwatakan (karakteristik) dapat diperoleh dengan memberi gambaran mengenai tindaktunduk, ucapan, atau sejalan tidaknya antara apa apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan.14 Berdasarkan Kamus Istilah Sastra, tokoh adalah orang yang memainkan peran dalam karya sastra. Penokohan adalah proses penampilah tokoh dengan pemberian watak, sifat, atau kebiasaan tokoh pemeran suatu cerita.15 Penokohan dapat dilakukan melalui teknik kisahan dan teknik ragaan. Watak dan sifat tokoh terlihat dalam lakuan fisik (tindakan dan ujaran) dan lakuan rohani (renungan atau pikiran).16
11
Semi, Atar. Anatomi Sastra. (Padang: Angkasa Raya. 1988), h. 32. Atar Semi, op. cit., h. 35. 13 Atar Semi, op. cit., h. 79. 14 Atar Semi, op. cit., h. 37. 15 Atar Semi, op. cit., h. 206. 16 Zaidan, Abd., dkk. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka. 2007. op.cit., h. 206. 12
12
2. Tema Menurut Aminuddin tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan oleh pengarangnya.17 Tema dapat dirumuskan dari berbagai peristiwa, penokohan, dan latar. Tema adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan pengarang dalam karyanya. Oleh sebab itu, tema merupakan hasil konklusi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar.18 Jadi tema tidak lain dari suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tersebut. Yang menjadi unsur gagasan sentral adalah topik atau pokok pembicaraan dan tujuan yang akan dicapai oleh pengarang dengan topiknya. Jadi, secara praktis dapat dikatakan pengertian tema itu tercakup persoalan dan tujuan atau amanat pengarang.19 3. Alur (plot) Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi.20 Berdasarkan Kamus Istilah Sastra alur adalah unsur struktur yang berwujud jalinan peristiwa di dalam karya sastra yang memperlihatkan kepaduan (koherensi) tertentu yang diwujudkan antara lain oleh hubungan sebab akibat, tokoh, tema, atau ketiganya.21 Menurut Abrams, alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapantahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.22 Dengan demikian, alur itu merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita.
17
Siswanto, op. cit., h. 161. Hasanuddin WS, op.cit., h. 103. 19 Atar Semi, op. cit., h. 43. 20 Atar Semi, op. cit., h. 43. 21 Zaidan, Abd., dkk. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka. 2007. h. 26. 22 Siswanto, op. cit., h. 159. 18
13
4. Latar Latar dalam Kamus Istilah Sastra diartikan sebagai waktu dan tempat terjadinya lakuan di dalam karya sastra atau drama.23 Aminuddin memberi batasan latar dalam karya fiksi berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.24 Latar cerita adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk di dalam latar ini adalah, tempat atau ruang, waktu.25 Latar merupakan identitas permasalahan drama sebagai fiksionalitas yang secara samar diperlihatkan penokohan dan alur. Jika permasalahan drama sudah diketahui melalui alur atau penokohan, maka latar dan ruang memperjelas suasana, tempat, serta waktu peristiwa itu berlaku. Latar dan ruang di dalam drama memperjelas pembaca untuk mengidentifikasikan permasalahan drama.26 5. Gaya Penceritaan Menurut Aminuddin, gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.27 6. Titik Pandang/ Sudut Pandang Titik pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, temapt, waktu dengan gayanya sendiri.28 Titik pandang oleh Aminuddin diartikan sebagai cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.29 Harry Shaw menyatakan titik pandang terdiri atas (1) sudut pandang fisik, yaitu posisi dalam
23
Zaidan, op. cit., h. 118. Aminudin, op. cit., h. 149. 25 Atar Semi, op. cit., h. 46. 26 Hasanuddin, op. cit., h. 94. 27 Siswanto, op. cit., h. 159. 28 Siswanto, op. cit. h. 151. 29 Siswanto, op. cit. h. 152. 24
14
waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam pendekatan materi cerita, (2) sudut pandang mental, yaitu perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah dalam cerita, dan (3) sudut pandang pribadi, yaitu hubungan yang dipilih pengarang dalam membawa cerita; sebagai orang pertama, kedua, atau ketiga.30
D. Pendekatan Mimetik Pendekatan
mimetik
merupakan
suatu
pendekatan
yang
setelah
menyelidiki karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, masih merasa perlu dihubung-hubungkan hasil temuan itu dengan realita objektif. Betapapun sebuah karya sastra sebagai otonom tetap masih mempunyai hubungan dengan sumbernya, dan sampai sejauh mana hubungan tersebut perlu diselidiki lebih lanjut. Otonomi sastra tidak berarti menghambat pencaharian hubungan data imajinatif dengan data normatif dan data praktis dalam masyarakat yang menghidupkan dan menyuburkan karya satra tersebut.31 Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai imitasi dari realitas.32 Jadi, pendekatan mimetik adalah kritik yang membahas dan menilai karya sastra dihubungkan dengan realita atau kenyataan. Dalam kritik ini karya sastra dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan. Karya sastra dianggap refleksi, tiruan, ataupun cermin dari realitas. Menurut Abrams, pendekatan mimetik atau mimesis merupakan pendekatan estetis yang paling primitif. Akar sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato dan Aristoteles. Menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman, yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya, melainkan hanya sebagai peniruan. Secara hierarkis dengan demikian karya seni berada dibawah kenyataan. Pandangan ini ditolak oleh Aristoteles dengan argumentasi bahwa karya satra seni berusaha menyucikan jiwa 30
Siswanto, op. cit. h. 152. Hasanuddin, op. cit., h. 108. 32 Siswanto, op. cit., h. 188. 31
15
manusia, sebagai katharsis. Di samping itu juga karya seni berusaha membangun dunianya sendiri.33 Dalam pandangan Lowenthal sastra sebagai cermin nilai dan perasaan, akan meurjuk pada tingkatan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang berbeda dan juga cara individu menyosialisasikan diri melalui struktur sosial. Perubahan dan cara individu bersosialisasi biasanya akan menjadi sorotan pengarang yang tercermin lewat teks. Cermin tersebut, menurut Stendal dapat berupa pantulan langsung segala aktivitas kehidupan sosial. Maksudnya, pengarang secara real memantulkan keadaan masyarakat lewat karyanya, tanpa terlalu banyak diimajinasikan. Karya sastra pada dasarnya merupakan karya ekspresif seorang pengarang, tetapi di dalamnya juga kadang terungkap data yang menyangkut keadaan sosial dari periode tertentu. Keadaan sosial seperti struktur sosial, kelas sosial, dan lembaga-lembaga sosial, bahkan penggambaran keadaan sosial itu cenderung lebih mendekati kenyataan dan tidak dilukiskan semata-mata menurut fantasi atau imajinasi yang bebas.34
E. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Secara umum tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang sastra adalah agar (1) peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; dan (2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.35 Tujuan itu dijabarkan ke dalam kompetensi mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis sastra. Kemampuan mendengarkan sastra meliputi
33
Nyoman, op. cit., h. 70. Dudung Abdurrahman, M.Hum, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 35. 35 Siswanto, op. cit., h. 212. 34
16
kemampuan mendengarkan, memahami, dan mengapresiasi ragam karya sastra (puisi, prosa, drama) baik karya asli maupun saduran/terjemahan sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Kemampuan berbicara sastra meliputi kemampuan membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra di atas sesuai dengan isi dan konteks lingkungan dan budaya. Kemampuan membaca sastra meliputi kemampuan membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya satra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat. Kemampuan menulis sastra meliputi kemampuan mengekspresikan karya sastra yang diminati (puisi, prosa, drama) dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca.36 Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi.37 Pembelajaran Bahasa Indonesia ini bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. 1. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis. 2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
dan
bahasa
negara.
3.
Memahami
bahasa
Indonesia
dan
menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan. 4. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial. 5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra
untuk
memperluas
wawasan,
memperhalus
budi
pekerti,
serta
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. 6. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia kreativitas guru maupun peserta didik justru lebih menentukan isi dan jalannya proses belajar. Materi yang tersaji lebih bersifat sebagai pemandu, maka tetap diperlukan seorang fasilitator maupun motivator. Oleh karena itu,
36
Siswanto, op. cit., h. 212. Euis Sulastri, Dkk, Bahasa dan Sastra Indonesia 2, (Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. iv. 37
17
sangatlah diharapkan guru berperan sebagai fasilitator dan motivator. Proses pembelajaran tetap berada pada aktivitas peserta didik sebagai subjek.38 Pengajaran sastra tidak dapat dipisahkan dari pengajaran bahasa. Namun demikian, pengajaran sastra tidaklah dapat disamakan dengan pengajaran bahasa. Perbedaan hakiki keduanya terletak pada tujuan akhirnya. Pada pengajaran sastra yang dasarnya mengemban misi afektif (memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya lebih tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya) yang memiliki tujuan akhir menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilai –baik dalam konteks individual maupun sosial. Sastra memang tidak bisa dikelompokan ke dalam aspek keterampilan berbahasa karena bukan merupakan bidang yang sejenis tetapi pembelajaran sastra dilaksanakan secara terintegrasi dengan pembelajaran bahasa baik dengan keterampilan menulis, membaca, menyimak, maupun berbicara. Dalam prakteknya, pembelajaran sastra berupa pengembangan kemampuan menulis sastra, membaca sastra, menyimak sastra, dan berbicara sastra.
F. Penelitian yang Relevan Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini yakni penelitian berjudul Novel Pulang Karya Leila S. Chudori: Analisis Struktur Plot Robert Stanton penulis Eko Sulistyo mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2014. Penelitian ini bertujuan mengetahui struktur plot novel Pulang karya Leila S. Chudori. Pengetahuan mengenai struktur plot berguna untuk meningkatkan apresiasi pembaca terhadap novel Pulang. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Metode ini digunakan untuk menganalisis struktur plot novel Pulang dengan cara mendeskripsikan strukturnya terlebih dahulu, kemudian mendeskripsikan aspek estetisnya. Teori yang digunakan adalah teori struktural Robert Stanton. Robert Stanton menekankan pentingnya fungsi dalam struktur sebuah karya sastra. Dalam plot Pulang, deskripsi identitas dan 38
Euis, op. cit., h. iv.
18
karakter tokoh, deskripsi latar, dan konflik-konflik ditampilkan dengan cara sedikit demi sedikit. Penampilan yang sedikit demi sedikit berfungsi untuk menciptakan suspense dan suprise. Plot Pulang bersifat rekat dan plausible. Rekat dan plausible berfungsi untuk membuat Pulang seperti kenyataan. Untuk menguatkan temanya, Pulang menggunakan ironi dramatis (ironi plot). Adapun kesamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah data yang digunakan, sedangkan
perbedaan
penelitian
ini
dengan
penelitian
tersebut
adalah
penelitiannya. Penelitian selanjutnya yang relevan dengan skripsi ini adalah Nilai Historis Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan Karya Pramoedya Ananta Toer dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah karya Nizar Maulana Akbar Shidiq mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2014. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peristiwa sejarah yang ditampakkan pada novel tersebut dan untuk mengetahui implikasi aspek historis novel tersebut dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Dalam meneliti nilai historis novel tersebut penulis menggunakan pendekatan mimetik. Pendekatan mimetik adalah kritik yang membahas dan menilai karya sastra dihubungkan dengan realitas atau kenyataan. Dalam kritik ini karya sastra dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan. Karya sastra dianggap sebagai refleksi, tiruan, ataupun cermin dari realitas. Sehingga dalam pemahamannya karya sastra dilihat dalam hubungannya dengan realitas. Peristiwa sejarah pada tahun 1940-1950-an yang terdapat di Indonesia khususnya Banten, menjadi latar novel tersebut, peristiwa tersebut ada empat, yaitu peristiwa tentang pembuatan jalan pelabuhan Ratu dan tambang mas Cikotok, penjajahan Jepang, penjajahan Belanda, dan Pemberontakan Darul Islam. Dari semua peristiwa tersebut, peristiwa tetang pemberontakan Darul Islam paling banyak, hal ini mendominasi dari keseluruhan novel. Adapun kesamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah penelitian terhadap sejarah dalam novel. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah data yang digunakan. Nizar Maulana Akbar
19
Shidiq menggunakan novel berjudul Sekali Peristiwa di Banten Selatan, sedangkan penelitian ini menggunakan novel Pulang karya Leila S. Chudori. Penelitian selanjutnya yang relevan dengan skripsi ini adalah penelitian yang dilakukan Annisa Rachmawati (NPM: 0702140022), Program Studi Belanda, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 2016, Tinjauan Mengenai Aspek Realis dan Nilai Historis dalam Buku Afke’s Tiental karya Nienke van Hichtum. Cerita fiksi yang mengangkat hal-hal yang berangkat dari realitas kehidupan dikenal sebagai fiksi realistik, yaitu cerita yang menampilkan model kehidupan sehari-hari. Buku Afke’s Tiental karya Nieken Van Hichtum merupakan salah satu contohnya, sebuah buku yang menampilkan gambaran nyata kehidupan keluarga pekerja di Belanda pada akhir abad ke-19. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan aspek realis dan nilai historis yang ada dalam buku Afke’s Tiental dari segi isi dan bentuk untuk mengetahui hal-hal yang diungkapkan dalam buku tersebut dan bagaimana cara mengungkapkannya. Penelitian lainnya yang relevan dengan penelitian ini adalah skripsi berjudul Nasionalisme dan Refleksi Sejarah Indonesia Novel Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya yang ditulis oleh Mulyono (NIM: 2101506012),
Progam
Studi
Pendidikan
Bahasa
Indonesia,
Program
Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang, 2008. Hasil penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, nasionalisme umumnya selalu dipahami sebagai sebuah ideologi yang menyatakan kesetiaan dan pengabdian individu harus diserahkan kepada bangsa untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Namun, lain halnya dengan Mangunwijaya yang melihat nasionalisme tidak terletak dalam keikutsertaannya dalam suatu pihak yang disebut sebagai kebenaran tetapi, lebih pada keberanian untuk memilih. Kedua, ternyata terdapat kaitan antara sastra dan realitas sosial, termasuk di dalamnya sejarah. Di satu sisi penulis membuktikan adanya kesejajaran antara nasionalisme dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam kurun waktu tahun 1934 – 1978 yang terbagi dalam peristiwa-peristiwa selama penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, perang kemerdekaan, dan masa Orde Baru dalam novel Burung-Burung Manyar dengan nasionalisme dan sejarah
20
perjuangan bangsa Indonesia dalam kurun waktu
tersebut, di sisi lain Y.B.
Mangunwijaya menyajikan beberapa fakta yang berbeda. Adapun kesamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah penelitian terhadap sejarah dalam novel, sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah data yang digunakan serta pendekatan yang digunakan. Penelitian lainnya yang relevan dengan penelitian ini adalah skripsi berjudul Kajian Historisisme dalam Novel Keindahan dan Kesedihan karya Yasunari Kawabata yang ditulis oleh Nurul Laili pada tahun 2012, Pascasarjana Universitas Negeri Semarang. Keindahan dan Kesedihan adalah satu roman yang terkenal yang telah mendapakan hadiah nobel yang ditulis oleh Yasunari Kawabata, salah satu roman yang dapat dianalisis dari studi yang berbeda dari teori berkaitan kesusasteraan. Studi psikologi, feminisme, historisisme baru, dan historisisme adalah salah satu contoh suatu teori yang pentas untuk meneliti roman tersebut. Salah satu dari teori yang dapat menganalisis roman tersebut adalah historisisme. Yanusari mendapatkan hadiah dari hasil bekerja dengan pedoman memusatkan atas berbagai poin-poin dari pengarang dan kehidupan masyarakat yang asli Jepang. Ia menulis berdasarkan pada suatu perbandingan riwayat hidup pengarang dan pekerjaannya, pembaca dapat memahami bahwa pengarang bertautan dalam berbagai format pengaturan dan peran di dalam roman tersebut. Studi historisisme di dalam roman Kawabata mempertahankan nilai-nilai Jepang yang tradisional yang mana mempertimbangkan juga hedonisme yang membentang dalam kehidupan modern masyarakat Jepang.
BAB III PENGARANG DAN KARYANYA
A. BIOGRAFI LEILA S. CHUDORI Leila S. Chudori lahir di Jakarta 12 Desember 1962. Karya-karya awal Leila dipublikasikan saat ia berusia 12 tahun di majalah Si Kuncung, Kawanku, dan Hai. Pada usia dini, ia menghasilkan buku kumpulan cerpen berjudul Sebuah Kejutan, Empat Pemuda Kecil, dan Seputih Hati Andara. Leila menempuh pendidikan di Lester B. Pearson College of the Pacific (United World Colleges) di Victoria, Kanada, dan dilanjutkan studi Political Science dan Comparative Development Studies dari Universitas Trent, Kanada. Selama itu ia menulis di majalah Zaman, Horison, Matra, jurnal sastra Solidarity (Filipina), Menagerie (Indonesia), dan Tenggara (Malaysia). Buku kumpulan cerita pendeknya Malam Terakhir (Pustaka Utama Grafiti, 1989; Kepustakaan Populer Gramedia, 2009, 2012) telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman Die Letzte Nacht (Horlemman Verlag). Terakhir Leila menulis sekenario film pendek Drupadi (produksi sinemart dan miles films, sutradara Riri Riza), sebuah tafsir kisah Mahabarata; dan film Kata Maaf Terakhir (Maruli Ara, 2009) yang diproduksi sinemart. Berbicara soal prestasi, Leila terpilih mewakili Indonesia mendapat beasiswa menempuh pendidikan di "Lester B. Pearson College of the Pacific (United World Colleges)" di Victoria, Kanada. Lulus sarjana Political Science dan Comparative Development Studies dari Universitas Trent, Kanada. Nama Leila S. Chudori juga tercantum sebagai salah satu sastrawan Indonesia dalam kamus sastra "Dictionnaire des Creatrices" yang diterbitkan EDITIONS DES FEMMES, Prancis, yang disusun oleh Jacqueline Camus. Kamus sastra ini berisi data dan profil perempuan yang berkecimpung di dunia seni. Pada tahun 2001 Leila menjadi salah satu juri Festival Film asia Pasifik yang diadakan di Jakarta.
21
22
Tahun 2002, Leila menjadi juri Festival Film Independen Indonesia SCTV. Tahun 2010 dan 2011, Leila juga menjadi juri Indonesian Movie Awards, sebuah festival film yang diselenggarakan oleh salah satu stasiun televisi swasta, RCTI. Leila adalah penggagas dan penulis sekenario drama televisi berjudul Dunia Tanpa Koma (produksi sinemart, sutradara Maruli Ara) yang menampilkan Dian Sastro Wardoyo dan ditayangkan di RCTI pada 2006. Drama televisi ini mendapat penghargaan Sinetron Terpuji Festival Film Bandung 2007 dan Leila menerima penghargaan sebagai Penulis Skenario Drama Terpuji pada festival dan tahun yang sama. Selain itu, Leila juga pernah menjadi editor tamu untuk jurnal sastra berbahasa Inggris Menagerie bersama John McGlynnyang diterbitkan Yayasan Lontar. Dan untuk kariernya, sejak tahun 1989 hingga kini, Leila bekerja sebagai wartawan majalah berita Tempo. Bersama Bambang Bujono, Leila juga menjadi editor buku Bahasa! Kumpulan Tulisan di MajalahTempo. Di tahun-tahun awal, Leila dipercayakan meliput masalah internasional terutama Filipina dan berhasil mewawancarai Presiden Cory Aquino pada tahun 1989, 1991 di Istana Malacanang; Fang Lizhi seorang ahli Fisika dan salah satu pemimpin gerakan Tiannamen, Cina, WWC di Cambridge University pada tahun 1992, Presiden Fidel Ramos di Manila pada tahun 1992, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad di Jakarta, pada tahun 1992, Pemimpin PLO Yaseer Arafat pada tahun 1992 dan 2002 di Jakarta, Nelson Mandela pada tahun 1992 di Jakarta, dan Pemimpin Mozambique Robert Mugabe pada tahun 2003, di Jakarta. Kini Leila adalah Redaktur Senior Majalah Tempo, bertanggung-jawab pada rubrik Bahasa dan masih rutin menulis resensi film di majalah tersebut. Pada tahun 2009, Leila S. Chudori meluncurkan buku kumpulan cerpen terbarunya 9 dari Nadira (yang oleh banyak kritikus sastra dianggap sebagai novel) dan penerbitan ulang buku Malam Terakhir oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) yang dilangsir oleh harian Kompas sebagai “kembalinya anak emas sastra Indonesia”. Dengan terbitnya kembali karya baru Leila, maka pada
23
bulan
Desember
2011,
ia
diundang
menghadiri Asia
Pacific
Literary
Symposium di Perth; Winternachten literary Festival yang diadakan Writers Unlimited, Den Haag Belanda bulan Januari 2012, dan Acara Sastra Soirée Leila Chudori yang diselenggarakan Asosiasi Indonesia-Prancis di Paris.1 Leila berdomisili di Jakarta bersama putri tunggalnya, Rain Chudori Soerdjo Atmodjo yang juga menulis cerita pendek dan resensi film.2 Beberapa pengarang dengan karyanya telah memenangi anugrah sastra bergengsi di Indonesia, kusala sastra khatulistiwa, termasuk novel Pulang karya Leila S. Chudori pada tahun 2013. Dalam cerita yang tertuang pada novel Pulang, penulis menarik garis linier antara 3 peristiwa bersejarah: G 30 S/PKI 1965, revolusi Prancis Mei 1968, dan kerusuhan Mei 1998 yang melanda Indonesia yang menandai runtuhnya rezim Orde Baru. Pulang adalah kisah suka duka eksil politik yang melarikan diri ke luar negeri karena sudah diharamkan menginjak tanah airnya sendiri. B. SINOPSIS NOVEL PULANG Ketika gerakan mahasiswa berkecamuk di Paris, 1968, Dimas Suryo, seorang eksil politik dari Indonesia, bertemu Vivienne Deveraux, mahasiswa yang ikut demonstrasi melawan pemerintah Prancis. Pada saat yang sama Dimas menerimma kabar dari Jakarta: Hananto Prawiro, sahabatnya, ditangkap tentara dan dinyatakan tewas. Dimas Suryo, Risjaf, Nugroho Dewantoro, dan Tjai Sin Soe adalah eksil politik Indonesia di Paris. Mereka bertahan meski terbuang jauh di negeri orang, diburu, dan dicabut paspor Indonnesia-nya karena dekat dengan orang-orang Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), yang berafiliasi dengan Partai Komunis Insonesia. Mereka tetap bertahan hidup layak dengan membuka dan mengelola Restoran Tanah Air, sebuah restoran Rue Vaugirard di pinggiran Paris. Di tengah kesibukan mengelola restoran Tanah Air di Paris, Dimas bersama tiga kawannya terus menerus dikejar rasa bersalah karena kawan-kawannya di Indonesia dikejar, 1 2
http://id.wikipedia.org/wiki/Leila_S._Chudori Leila S. Chudori, Pulang, (Jakarta: Gramedia, 2012), Cet. 2, h 459-460
24
ditembak, atau menghilang begitu saja dalam perburuan 30 September. Apalagi dia tidak bisa melupakan Surti Anandari istri Hananto yang bersama ketiga berbulan-bulan diinterogasi tentara. Lintang Utara, puteri Dimas dari perkawinan dengan Vivienne Devraux akhirnya berhasil memperoleh visa masuk Indonesia untuk merekam pengalaman keluarga korban tragedi 30 September sebagai tugas akhir kuliahnya. Apa yang terkuak oleh Lintang bukan sekedar masa lalu Ayahnya dengan Surti Anandari, tetapi juga bagaimana sejarah paling berdarah di negerinya mempunyai kaitan dengan Ayah dan juga kawan-kawan ayahnya. Bersama Segara Alam putera Hananto, Lintang menjadi saksi mata apa yang menjadi kerusuhan terbesar dalam sejarah Indonesia: kerusuhan Mei 1998 dan jatuhnya presiden Indonesia yang sudah berkuasa selama 32 tahun.
BAB IV PEMBAHASAN NILAI SEJARAH DALAM NOVEL PULANG KARYA LEILA S. CHUDORI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
A. Unsur Intrinsik Prosa 1. Tema Leila S. Chudori menjadikan perjuangan untuk memahami arti kehidupan sebagai tema dalam novel Pulang. Hal ini dapat dilihat dari jalan hidup para tokohnya yang ditempa beragam masalah untuk memahami dan menyikapi dengan bijak kehidupan mereka dengan orang-orang terdekat bahkan dengan diri mereka sendiri. Beberapa di antaranya dapat dijabarkan dari jalan hidup dua tokoh utama berikut ini: a.
Dimas Suryo memilih untuk menetap di Prancis saat pemerintahan dan aparat di Indonesia meneror keselamatan dirinya. Selama menetap di Prancis dia menyadari bahwa kerinduannya terhadap tanah air jauh lebih besar dibanding kebencian dan teror yang datang dari orangorang yang berkepentingan di Indonesia. Nasionalismenya selalu menjadi jati dirinya dan ditunjukkannya dengan membangun sebuah restoran bersama teman-temannya. Restoran yang dia bangun bukan hanya berurusan tentang makanan dan pelayanan terhadap para konsumen, melainkan juga tentang menunjukkan rasa cinta terhadap tanah air. Selama menetap di Prancis pula, Dimas Suryo memahami bahwa cinta sejati yang dia miliki hanya untuk kekasih lamanya, Surti Anandari. Meskipun dia juga mencintai Viviene Deveraux, dia menyadari bahwa perjuangannya dahulu merelakan Surti Anandari adalah untuk memahami bahwa mencintai seseorang bukan untuk
25
26
diartikan sebagai kebersamaan, melainkan bagaimana dia mampu untuk melindungi dan mengayomi orang yang dia cintai. b.
Lintang Utara yang terlahir dari dua orang tua yang berbeda kebangsaan dan besar di lingkungan keluarga yang hancur membuat Lintang Utara menjadi seorang wanita yang merasa tidak memiliki jati diri. Masa lalu ayahnya sebagai warga negara Indonesia yang „tidak tinggal‟ di Indonesia untuk alasan yang jelas membuatnya merasa jauh dan tidak mengenal Indonesia. Hingga nasib memilihnya untuk mengenal Indonesia secara langsung dengan datang sendiri ke Indonesia, dia harus menerima kenyataan bahwa Indonesia memang bagian dari dirinya yang hilang. Hanya dengan kedatangannya ke Indonesia itulah dia baru dapat memahami arti Indonesia baginya. Bahkan yang lebih penting dari itu, kedatangannya ke Indonesia memperat hubungannya dengan sang ayah karena Lintang akhirnya memahami betapa ayahnya memendam rasa rindu terhadap Indonesia tercinta.
2. Tokoh dan Penokohan a. Dimas Suryo Dimas Suryo merupakan salah satu tokoh utama dalam novel Pulang ini. Bahkan, judul Pulang merujuk pada cita-citanya untuk bisa pulang ke Indonesia. Dimas Suryo, seorang wartawan Kantor Berita Nusantara terjebak teror pemusnahan orang-orang yang terkait atau diduga terkait gerakan kiri oleh pemerintah saat itu. Demi menjaga keselamatan dirinya dan juga teman-temannya, dia memutuskan untuk hidup terasing di beberapa negara hingga akhirnya menetap di Prancis. Seperti yang dijelaskan dalam kutipan novel di bawah ini: Prancis tak pernah menjadi rumah bagi Dimas. Aku sudah menyadari itu sejak awal kami bertemu mata. Ada sesuatu yang mencegah dia untuk berbahagia. Ada banjir darah di tanah kelahirannya. Ada le chaos politique yang bukan sekadar mengalahkan, tetapi merontokkan, kemanusiaan Dimas dan kawan-kawannya, hingga mereka harus
27
memungut serpihan dirinya dan membangun itu semua kembali agar bisa kembali menjadi sekumpulan manusia yang memiliki harkat yang utuh.1 Mungkin pada saat itulah Vivienne perlahan berhasil menjadikan Paris seperti rumah persinggahan. Bukan rumah. Tetapi rumah persinggahan. Lama-kelamaan matanya yang hijau terasa tulus dan menyediakan perlindungan bagiku, seperti sebatang pohon tanjung rindang yang melindungi seorang anak dengan menyediakan kesejukan bayangbayang.2 Dimas Suryo lalu menikah dengan Vivienne Devaraux, seorang wanita sekaligus aktivis mahasiswa Prancis pada saat itu. Selama menetap di Prancis, Dimas Suryo tidak bisa melupakan kekhawatirannya terhadap orang-orang yang dia cintai di Indonesia. Meskipun hidup jauh dari keluarga dan orang yang dia cintai, Dimas tetap memantau apa yang terjadi pada mereka. Cinta sejatinya, Surti Anandari yang manakala saat itu hidup menjanda karena suaminya, Hananto Prawiro ditangkap dan dieksekusi mati, melewati hari-hari yang keras bersama ketiga anaknya. Dimas Suryo dengan penuh kepedulian menemani Surti Anandari meski lewat surat menyurat. Bentuk perhatiannya tersebut membantu Surti dan ketiga anak-anaknya untuk bisa lebih tegar menghadapi kehidupan yang penuh ancaman. “Sungguh. Kini aku menghormati dan menyayangi Surti seperti saudara. Dia adalah isteri Mas Hananto.”3 Vivienne nampak tak yakin. Aku sendiri tak yakin. Aku tahu, setiap kali aku menyebut nama Surti hatiku masih bergetar dan teriris. Mendengar nama Kenanga, Bulan, dan bahkan Alam, si bungsu yang tak pernah kukenal itu, tetap membuat jantungku berlompatan. Itu adalah nama-nama pemberianku. Aku tak pernah tahu apakah Mas Hananto meyadarinya.4 Di belahan dunia lain, ketegaran dan perjuangan hidupnya bersama temanteman setanah airnya mereka buktikan dengan membuat sebuah restoran khas Indonesia. Restoran Tanah Air, begitu mereka menamainya, telah menjadi wadah
1
Leila S. Chudori, Pulang, (Jakarta: Gramedia, 2012), Cet. 2, h. 203. Ibid., h. 84. 3 Ibid., h. 41. 4 Ibid., h. 41. 2
28
meluapkan kerinduan Dimas dan teman-temannya terhadap Indonesia. Seperti kutipan novel dibawah ini: “Untuk restoran kita.” Kami saling memandang. “Apa ya namanya, Mas Nug?” Risjaf bertanya. Mas Nug melirikku. “Kita tanya pada sang penyair.” Aku menatap kawanku satu per satu. Ada yang hilang di sana. Seharusnya ada lima. “Kita,” aku menghela nafas, “adalah empat pilar dari Restoran Tanah Air.” Kami mendentingkan tiga gelas anggur dan satu gelas wedang jahe. Tanah Air. Nama itu langsung merebut hatiku.5
Pada akhirnya, penantian Dimas selama berpuluh-puluh tahun akhirnya berhenti saat ajalnya memanggil dan dia bisa beristirahat dengan tenang, berpulang di tanah Indonesia yang dia cintai. Hal ini dikisahkan oleh Lintang, putrinya, sebagai berikut: Tetapi di balik semua kisah itu, Ayah juga menyelipkan keinginannya yang hampir berbunyi seperti wasiat. “Seperti Bhisma, aku juga ingin memilih tempatku bersemayam terakhir kali,” katanya setengah menggumam. Semula aku menyangka Ayah ingin dimakamkan di sana, bersama para sastrawan, musikus, dan filsuf pujaannya. Tentu saja itu mustahil. Baru belakangan aku sadar, Ayah sebetulnya mempunyai mimpi untuk bisa dimakamkan di Indonesia. Ketika Ayah memperkenalkan puisi karya penyair Indonesia, Chairil Anwar, barulah aku paham: Ayah ingin dimakamkan di sebuah tanah bernama Karet, yang terdengar begitu puitis di telingaku.6 Akhirnya dia bersatu dengan tanah yang menurut dia “memiliki aroma yang berbeda dengan tanah Cimetiere du Pere Lachause. Tanah Karet. Tanah tujuan dia untuk pulang.7 b. Lintang Utara Lintang Utara merupakan anak semata wayang Dimas Suryo dan Vivienne Deveraux. Hidup sederhana sejak kecil dan dicintai oleh kedua orangtuanya
5
Ibid., h. 104. Ibid., h. 154. 7 Ibid., h. 447. 6
29
memang pernah dialami oleh Lintang. Akan tetapi, asal-usul sang ayahnya yang tidak jelas dan penuh misteri menjadikannya kehilangan identitas. Dia terombangambing dengan rasa nasionalisme apa yang seharusnya ada di dalam dirinya. Sebagai seorang Prancis namun memiliki darah Indonesia yang tidak dia kenal: Aku lahir di sebuah tanah asing. Sebuah negeri bertubuh cantik dan harum bernama Prancis. Tetapi menurut Ayah darahku berasal dari seberang benua Eropa, sebuah tanah yang mengirim aroma cengkih dan kesedihan yang sia-sia. Sebuah tanah yang subur oleh begitu banyak tumbuh-tumbuhan, yang melahirkan aneka warna, bentuk, dan keimanan, tetapi malah menghantam warganya hanya karena perbedaan pemikiran.8 Di dalam tubuhku ini mengalir sebersit darah yang tak kukenal, bernama Indonesia, yang ikut bergabung dengan percikan darah lain bernama Prancis. ... Sudah lama sekali aku melupakan bagian asing di dalam diriku itu.9 Kehidupan Lintang semakin hampa tatkala kedua orangtuanya berpisah. Perceraian kedua orangtuanya membawa dampak pada dirinya untuk bersikap tidak peduli terhadap ayahnya dan segala hal yang berhubungan dengan ayahnya, termasuk Indonesia. Namun, nasib membawanya untuk datang ke Indonesia. Penelitiannya terhadap Indonesia membuka satu per satu masa lalu sang ayah yang selama ini tidak dapat dia pahami. Rasa cintanya terhadap Indonesia perlahan muncul, begitu pula dengan rasa cintanya terhadap sang ayah. Tragedi 1998 menambah pula pemahamannya terhadap Indonesia, tempat yang selalu dicita-citakan oleh sang ayah sebagai tempat untuk pulang. Seperti yang dapat telah dijabarkan oleh Leila S. Chudori dalam novel tersebut: Ayah dan Maman yang saya cintai, Saya tak akan bisa menjawab pertanyaan saya sendiri. Apa yang bisa saya petik dari I.N.D.O.N.E.S.I.A. ...10 Teriakan „reformasi‟ itu menonjok gendang telinga, sementara dari arah lain terdengar sayup-sayup rombongan mahasiswa menyanyikan sebuah lagu balada yang liriknya kukenal betul: “...aku mendengar suara/ jerit makhluk terluka/...orang memanah rembulan...,” 8
Ibid., h. 137. Ibid., h. 137. 10 Ibid., h. 413. 9
30
Aku tersentak. Jantungku berdebar. Kini, aku rasa aku tahu di mana rumahku.11 c. Vivienne Deveraux Vivienne Devaraux merupakan seorang wanita yang cerdas dan pemberani. Dia menjadi salah satu mahasiswa yang aktif melakukan perlawanan terhadap pemerintah Prancis. Keistimewaannya tersebut membuat Dimas Suryo tertarik padanya. Vivienne Devaraux dan Dimas Suryo akhirnya menikah dan berusaha menciptakan kehidupan yang normal bagi keluarga kecil mereka. Akan tetapi, kehidupan masa lalu Dimas yang penuh polemik terutama terkait hubungannya dengan Surti Anandari membuat Vivienne memilih untuk berpisah dengan Dimas meskipun wanita itu sangat mencintai Dimas. Cinta pada pandangan pertama, cinta yang bergelora, keinginan menjelajahi sesuatu yang “baru” dan “asing” dan serba tak diketahui ternyata tak cukup untuk mempertahankan perkawinan. Aku menyadari itu belakangan. Betapapun aku mencintai Dimas dan rela memberikan apa pun yang ada di dalam diriku, hingga kini aku tak pernah tahu apakah Dimas pernah mencintaiku sebesar cintaku padanya. Meskipun, dia menuliskan sebuah puisi sebagai hadiah perkawinan untukku. Kata Dimas, perkawinan cara Indonesia—entah Indonesia bagian yang mana— lazimnya menggunakan mas kawin. Mas kawin Dimas adalah puisi ini: “Benarkah angin tak sedang mencoba/ menyentuh bibirnya yang begitu sempurna...” Menurut dia, itulah yang tercipta saat dia melihatku ketika terjadi gerakan Mei 1968. Tetapi, apakah dia memang mencintaiku seutuhnya? Dan selamanya?12 d. Surti Anandari Tokoh perempuan yang dicintai oleh dua orang pria ini memang tidak seberuntung wanita lain. Dia memilih untuk menikah dengan Hananto Prawiro. Namun kemudian, pria tersebut ditangkap dan tewas dieksekusi mati karena diduga dan masuk dalam daftar orang-orang kiri. Kemalangan Surti tidak berakhir 11 12
Ibid., h. 441. Ibid., h. 203.
31
di situ saja, dia juga harus mendapatkan banyak ancaman kekerasan fisik maupun psikis. Meskipun begitu, Surti sekuat tenaga melindungi dan bertahan hidup demi anak-anaknya. Puluhan tahun kemudian, Surti Anandari ikut memberikan pengalaman berharga yang menjadi titik balik bagi Lintang Utara. Surti Anandari dengan penuh ketegaran menceritakan segala peristiwa pilu yang dialaminya kepada Lintang. Kisah tersebutlah yang membuka hati Lintang untuk memahami arti cinta sang ayah dan juga Indonesia. e. Hananto Prawiro Hananto Prawiro merupakan sahabat sekaligus pesaing Dimas Suryo. Dia merupakan senior Dimas sejak di dunia kampus. Berbekal sikap kritis dan keaktifannya di dunia tulis menulis membawanya menjadi seorang wartawan. Akan tetapi, karena ketertarikannya dengan aktivitas dan diskusi bersama golongan kiri membuatnya harus mengorbankan dirinya sendiri. Dia tewas dieksekusi mati dan meninggalkan istrinya Surti Anandari bersama ketiga orang anaknya yang masih kecil. “Bapak Hananto, saya Lettu Mukidjo.” Dia tersenyum. Dialah yang bersuara sopan dan penuh tata krama tadi. Kini aku bisa melihat matanya yang bercahaya. Dia tersenyum puas. Dari sneyumnya itu sleintas aku menangkap silau gigi emas yang menyeruak melalui bibirnya. Aku tahu, dia puas karena aku adalah butir terakhir rangkaian yang mereka buru. Ratusan teman-temanku sudah mereka tangkap sejak perburuan yang dimulai tiga tahun lalu. “Mari ikut kami...”13 f. Segara Alam Segara Alam merupakan nama yang diberikan Dimas Suryo untuk anaknya kelak bersama Surti Anandari. Meskipun pada akhirnya Surti menikah dengan Hananto Prawiro, nama pemberian Dimas tersebut tetap dipakai olehnya
13
Ibid., h. 5.
32
untuk menamai anaknya. Segara Alam yang sejak kecil hidup dalam ancaman tumbuh dewasa menjadi seorang pemuda yang cerdas, pemberani, dan tanggap. Segara Alam tumbuh dengan rasa ketidakpercayaan pada pemerintah dan bahkan antipati pada sikap pemerintah. Di tengah pemerintahan Orde Baru, Alam dengan berani mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat meskipun dirinya mendapat stigma „anak tapol‟. Keinginan terbesarnya adalah menguak kebenaran sejarah. Saat kuliah, aku bertekad untuk melihat sejarah dengan lebih jernih daripada sekadar menajdi „anak Bapak‟. Literatur yang tersedia sangat terbatas. Sejarah resmi sudah jelas hanya satu pihak. Aku juga tak ingin hanya melihat segalanya dari sisi defensif. Dari perbincangan informal dengan sejarawan yang diam-diam mengakui ada kepentingan Orde Baru untuk mengukuhkan kekuasaan, persoalannya ada pada konflik di kalangan elite. Namun, aku tak tahu apakah posisi Bapak dan kawankawannya itu cukup tinggi untuk mengetahui langkah-langkah kedua pihak. Segala yang gelap tentang 30 September masih ahrus digali, apa yang sesungguhnya terjadi.14 Di sisi lain, kedatangan Lintang Utara ke Indonesia telah memberi arti lain bagi Alam tentang perjuangan mengartikan cinta yang sebenarnya. Kemarahan Alam terhadap masa lalunya membuat dirinya tidak dapat berkomitmen terhadap cinta. Tragedi Mei 1998 membawa hikmah lebih bagi Alam dan Lintang untuk meyakini bahwa mencari kebenaran demi kehidupan dan juga cinta harus diperjuangkan. Cinta terhadap tanah air, keluarga, dan orang yang dikasihi. “Coba,” dia mengambil tanganku dan meletakkannya di atas dadaku. “Apa rasanya setiap kali mereka meneriakkan „reformasi‟?” Degup jantung yang lebih cepat dan darahku berdesir. “Aku selalu merasa kau adalah bagian rumah ini, Lintang.” Ada rasa hangat yang mengalir ke dadaku. “Do you think so?” “Sangat. Kau berakar di sini.” Aku masih terdiam.15
14 15
Ibid., h. 297. Ibid., h. 440.
33
g. Aji Suryo Aji Suryo adalah adik kandung dari Dimas Suryo. Dia berupaya keras melindungi kakaknya meskipun dirinya dan keluarganya sendiri sering mendapat ancaman dari pihak yang mencurigai keberadaan Dimas. Aji Suryo banyak memberikan informasi kepada Dimas terkait kondisi keluarga di Indonesia serta kondisi Surti beserta anak-anaknya. Sebagaimana salah satu kutipan surat dari Aji Suryo kepada Dimas terkait peristiwa-peristiwa keji yang menimpa keluarga orang-orang yang memiliki hubungan dengan PKI berikut ini: Sekali lagi Ibu menekankan sebaiknya Mas Dimas tetap di Eropa saja. Kami sudah merasa lebih tenang di Jakarta. Perburuan semakin mengganas, bukan hanya pada mereka yang dianggap komunis, atau ramah kepada PKI. Kini keluarga atau sanak famili pun kena ciduk. Ada yang dikembalikan, ada yang hilang begitu saja, ada yang dihanyutkan ke sungai. Kebetulan Ibu dan aku hanya sempat dipanggil beberapa kali ke Guntur, tetapi kami diperbolehkan pulang setelah seharian menjawab yang itu-itu saja. kebanyakan pertanyaan mereka berkisar tentang kegiatan Mas Dimas dan apakah kami mengenal Mas Hananto, Mas Nug, Bung Tjai, dan Bung Risjaf. Mereka juga berkali-kali bertanya apa yang dilakukan Mas Dimas di Peking beberapa tahun lalu. Bahkan, entah bagaimana, mereka tahu bahwa seharusnya yang berangkat ke Santiago, Havana, dan Peking adalah Mas Hananto.16
3. Alur Alur yang digunakan penulis dalam novel ini adalah alur maju. Alur tersebut dimulai pada tahun 1968 saat terjadinya peristiwa penangkapan orangorang yang berhubungan dengan PKI. Salah satu orang yang ditangkap yakni Hananto Prawiro. Hananto ditangkap karena dicurigai terlibat dengan PKI. Penulis menjelaskannya melalui kutipan berikut ini. Kami saling memandang. Aku bisa melihat air mata yang mengambang di pelupuk mata Adi. Aku tahu, dia tak berdaya. Aku mengangguk dan mengambil jaketku. Hari ini tanggal 6 April 1968. Kulirik lenganku. Aku baru ingat, arlojiku sudah kuberikan pada Dimas. Kudengar dia, Nug, dan Risjaf sedang bersembunyi di Peking. Titoni 17
16
Ibid., h. 19.
34
Jewels itu mungkin akan membantunya lebih tepat waktu. Aku hanya mengamati warna pergelangan tanganku yang belang.17 Pada tahun yang sama, Dimas Suryo bersama beberapa rekannya yang menjadi orang-orang pelarian baru saja tiba di Prancis. Mereka menunggu situasi di Indonesia kembali aman untuk kemudian bisa pulang ke tanah air. Aku bisa mencium udara bulan Mei yang penuh dengan bau sangit tubuh yang jarang bertemu air. Bau mulut yang tak bertemu odol bercampur dengan aroma alkohol, menguarkan semangat perlawanan yang tak tertandingkan.18 Ia juga menjelaskan pada saat itu di Prancis sedang terjadi pemberontakan mahasiswa terhadap pemerintah Prancis. Dia menjadi saksi bagaimana semangat para mahasiswa tak ubahnya semangat para mahasiswa di Jakarta yang juga mendemonstrasi pemerintahan: Aku iri. Aku cemburu. Pertarungan di Paris saat ini sungguh jelas keinginannya. Jelas siapa yang dituntut dan siapa yang menggugat. Perseteruan ini antara mahasiswa dan buruh melawan pemerintah De Gaulle. Di Indonesia, kami akrab dengan kekisruhan dan kekacauan tetapi tak tahu siapa kawan dan siapa lawan. Kita bahkan tak tahu apa sesungguhnya yang dicita-citakan oelh setiap pihak yang bertikai, kecuali kekuasaan. Betapa porak poranda. Betapa gelap.19 Alur terus maju hingga pada tahun 1993. Pada saat ini, kisahan tengah berpusat pada Segara Alam. Kenangan Alam mengenai bapaknya, pengalamannya sebagai anak dari seorang pria yang dituduh sebagai anggota PKI, dan dampak dari pemusnahan segala yang diduga berbau PKI diceritakan oleh Alam. Pengalaman tersebut menjadi catatan kelam di masa kecilnya sebagaimana yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini: Ini adalah sejarah. Mereka meniupkan kisah yang membuat masa kecilku berantakan, kumuh, dan berisik.20 Segara Alam berkeyakinan kuat bahwa sejarah yang selama ini diwajibkan oleh pemerintah untuk diketahui rakyat barulah dari satu sudut 17
Ibid., h. 4. Ibid., h. 10. 19 Ibid., h. 10. 20 Ibid., h. 286. 18
35
pandang saja. Masih banyak sejarah yang harus dikuak untuk menyampaikan kebenaran. Menurutku, pemilik sejarah adalah para perenggut kekuasaan dan kelas menengah yang haus harta dan tak berkeberatan duduk reriungan mesra bersama penguasa. Aku lebih suka menggunakan kata “perenggut”, karena mereka yang berkuasa selama puluhan tahun sesungguhnya tak berhak memerintah negeri ini. sedangkan kelas menengah yang tercipta selama era Orde Baru ini adalah kelas yang sebetulnya mempunyai pilihan untuk menjadi kritis; yang seharusnya mampu mempertanyakan perangkat Orde Baru yang sudah tak mempunyai logika saking korupnya. Hingga usiaku yang ke-28 ini, saat Orde Baru memperluas Monumen ini menjadi Museum Pengkhianatan PKI, Orde Baru semakin berkibar.21 Lima tahun kemudian tepatnya pada Mei 1998 terjadi peristiwa bersejarah lainnya di Indonesia yakni masa reformasi pemerintahan Presiden Soeharto. Masa reformasi ini diwarnai tragedi huru-hara di antaranya penembakan beberapa orang mahasiswa, peristiwa anarkis dan penjarahan massal, pemerkosaan, dan ketidakstabilan ekonomi. Namun demikian, beberapa pihak terutama mahasiswa akhirnya berhasil menggulingkan rezim Presiden Soeharto. Lautan manusia mengenakan baju hitam memperlihatkan gelombang suasana duka. Meski jenazah mahasiswa sudah diberangkatkan ke rumah masing-masing untuk kemudian dimakamkan, halaman depan Gedung Syarif Thayeb tetap menjadi tempat pelayatan. Aku tak hanya mereka orang-orang yang berkabung dan memberi penghormatan, tetapi juga benda-benda yang berbicara: karangan bunga tanda duka, darah kental Elang Mulia yang masih membekas di ubin, dan kaca tebal yang berlubang akibat tembusan peluru. Mengapa benda mati disebut sesuatu yang mati? Terkadang mereka lebih „hidup‟ dan lebih jujur memberikan saksi.22 Juni 1998 adalah saat Dimas memperoleh impian terbesarnya yakni pulang ke Indonesia. Dia pulang untuk selama-lamanya, bersatu di tanah Karet. Sebelum kematiannya, Dimas menuliskan surat perpisahan untuk anak semata wayangnya, Lintang Utara. Dalam suratnya, Dimas menyatakan kebanggaannya terhadap Lintang. Dia juga menginginkan Lintang untuk berani memilih kehidupan seperti apa yang ingin dijalaninya. 21 22
Ibid., h. 289. Ibid., h. 414.
36
Hal kedua, apa yang akhirnya kau petik dari I.N.D.O.N.E.S.I.A, Lintang? Apa yang kau temui dalam waktu lebih dari sebulan di Jakarta tak cukup menjelaskan seluruh faktor yang membentuk sebuah Indonesia. Tugas akhirmu telah menjelaskan sebagian kecil, sebagian suara dari Indonesia. Meski „kecil‟, Ayah yakin itu menjadi besar dan vokal karena dokumentermu adalah sebuah suara yang lain, the voices from the other side, yang selama 32 tahun tak boleh bersuara. Sesudah pemakaman Ayah nanti, cobalah pikirkan apakah setelah wisuda, kau akan kembali ke Jakarta atau menetap di Paris. Aku tak akan memaksakan pilihanmu. Paris dan Jakarta adalah rumahmu yang kini punya arti tersendiri bagimu. Di mana pun kamu memilih, kamu akan dekat dengan sebagian dari dirimu. Maman di Paris dan Ayah di Karet, Jakarta. ... . Lintang, kau menghidupi hidupku. Dan kalau pun aku sudah mati, kau tetap hidup di dalam diriku.23
4. Latar a. Latar Tempat
Jakarta
Latar dalam novel Pulang ini salah satunya yakni di kota Jakarta di era 60an, saat pemerintah gencar-gencarnya memusnahkan semua yang berhubungan atau diduga berhubungan dengan PKI. Selain itu, Jakarta di era 90-an saat situasi politik di bawah kekuasaan Orde Baru berada di puncak keruntuhan menjadi latar penting lainnya dalam novel Pulang: Malam telah turun. Tanpa gerutu dan tanpa siasat. Aku mengikuti mereka menghampiri dua buah mobil yang diparkir di depan Thahaja Foto: Nissan Patrol dan Toyota kanvas. Lettu Mukidjo, pemilik gigi emas, mempersilakan aku menumpang jip Toyota kanvas. Aku membayangkan wajah Surti, Kenanga, Bulan, dan Alam. Dan entah mengapa, dari sleuruh kawan-kawanku, hanya wajah Dimas Suryo yang terus-menerus mengikutiku. Ketika mesin mobil dinyalakan, aku menebarkan pandangan ke seluruh malam di Jalan Sabang: gerobak kue putu Soehardi, sate Pak Heri, warung bakmi godog, dan terakhir lampu neon Thahaja Foto yang berkelap-kelip. Untuk terakhir kalinya.24
Paris
Kota Paris menjadi latar lainnya dalam novel Pulang. Dimas bersama teman-teman pelariannya menjadikan Paris sebagai rumah kedua untuk 23 24
Ibid., h. 447. Ibid., h. 5.
37
melanjutkan hidup. Di Paris ini sendiri, Dimas menikah dengan Vivienne Devaraux dan memiliki seorang putri bernama Lintang Utara. Awal kedatangan Dimas ke Paris bertepatan dengan peristiwa gerakan mahasiswa dan buruh di sana untuk menggulingkan pemerintahan De Gaulle. Bertahun-tahun kemudian, Paris pula lah yang menjadi saksi bagaimana kerinduan Dimas begitu mendalam terhadap tanah airnya, Indonesia. Seperti yang telah dipaparkan dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori: Sungguh ganjil. Seharusnya malam itu para tentara menjeratku di Jakarta. Tetapi sekarang aku di sini, di tengah ribuan mahasiswa Prancis yang bergelora. Di tengah jeritan mereka, aku mencium bau parit Jakarta bercampur aroma cengkih kretek dna kepulan kopi hitam. Kilatan sinar di mata mahasiswa Prancis ini mengingatkan kawan-kawan di Jakarta. Kilatan mata dan semangat yang berbuih. Suara garang yang penuh tuntutan untuk masyarakat yang lebih adil meski kelak sebagian dari mahasiswa idealis itu akan menjadi bagian dari kekuasaan.25 b. Latar Waktu
1968 Dalam bab “Paris, Mei 1968” menggunakan latar belakang Gerakan Mei 1968 Prancis, yaitu serangkaian gerakan mahasiswa dari berbagai universitas di Paris-di antaranya Universitas Sorbonne dan University of Paris di Nanterre. Setelah beberapa bulan kemudian suasana di Paris 1968 digambarkan melalui Dimas dalam novel Pulang: Selama beberapa bulan kemudian, Vivienne dan aku berlagak seperti para flaneur yang berjalan-jalan karena ingin menikmati langkah kaki dan kota Paris. Revolusi Mei 1968 tiba-tiba seperti tak lagi bersisa...26
1998 Dalam latar waktu yang selanjutnya ialah pada pada tahun 1998, di Jakarta, pada saat itu para mahasiswa, buruh, dan masyarakat miskin kota bersatu padu menuntut agar presiden soeharto turun dari jabatannya. Karena telah terjadi krisis ekonomi, politik, dan kepercayaan terhadap pak harto untuk memimpin 25 26
Ibid., h. 11. Ibid., h. 15.
38
kembali Indonesia. Seperti yang digambarkan oleh Leila pada kutipan di bawah ini: Salemba pasti sudah penuh sesak dengan lautan manusia dan spanduk yang menyelimuti Jakarta Pusat. Saat ini spanduk itu masih mempersoalkan isu ekonomi: menolak kenaikan harga, kenaikan harga listrik, bahan bakar minyak. Kami mendengar bahwa pemerintah percaya diri untuk menaikan harga BBM meski situasi sedang sangat parah. Pasti dia menyangka tahun 1998 sama dengan tahun 1967 dan 1968, ketika dia baru saja berkuasa dan menaikan harga BBM.27
5. Sudut Pandang Sudut pandang yang digunakan penulis dalam novel Pulang ini adalah sudut pandang campuran. Sudut pandang campuran tersebut terbagi sesuai pembagian bab berdasarkan tokoh utama sebagai pelaku utama antara lain pada bab Hananto Prawiro, Dimas Suryo, Vivienne Deveraux, Lintang Utara, dan Segara Alam. Selain sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama, novel ini juga menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. a. Dimas sebagai orang pertama pelaku utama Sudut pandang Dimas banyak dipakai oleh penulis untuk menyampaikan kisahan dalam novel Pulang. Hal ini dapat dilihat dari dominasi penceritaan Dimas Suryo di dalam novel Pulang. Dimas menggambarkan keberadaannya di Prancis hanyalah sebuah persinggahan. Dia berupaya keras untuk kembali ke Indonesia, meskipun sebagian besar teman-temannya telah menganggap Prancis sebagai rumah kedua. Dimas tidak mampu untuk menjadikan Prancis sebagai rumah keduanya karena dia merasa dirinya tidak pantas mendapat perlakukan kejam dari pemerintah Indonesia dan menjadi orang yang terasing dari negerinya sendiri. Dimas hanyalah seorang korban dari kecurigaan pemerintah Indonesia terhadap oknum-oknum PKI.
27
Ibid., h. 299.
39
Aku menepis Mas Nug dan Vivienne yang mencoba menenangkanku. Aku harus pulang. Aku harus pulang! Aku mencoba mencari tiket. Tiket apa saja. pesawat, kapal laut. Apa saja yang penting aku pulang. ... Malam itu, Mas Nug menyampaikan selembar telegram. “Jangan pulang koma situasi belum cukup aman titik doakan ibu tenang koma kami tahlil terus titik”28 Adanya sudut pandang Dimas sebagai orang pertama pelaku utama ini juga banyak digunakan untuk menyampaikan kondisi eks tahanan politik yang berada di luar negeri. Kerinduan Dimas terhadap Indonesia serta perjuangan kerasnya untuk bisa hidup di Prancis manakala dia juga harus berjuang keras untuk bisa pulang ke Indonesia. “Seharusnya sekalian menghirup kopi luwak.” Tiba-tiba saja aku menyebut nama yang berbahaya itu. Merindukan sesuatu yang eksotis di tengah Eropa dalam keadaan miskin, sama saja dengan mengoyak hati. Indonesia dan segala yang berhubungan dengannya seharusnya kututup dan aku kubur meski untuk sementara—agar aku bisa meneruskan hidup.29 Sekali lagi, apa lagi yang harus kukeluhkan jika aku dikelilingi keluarga yang sangat mencintaiku? Mengapa aku tetap merasa ada sepotong diriku yang masih tertinggal di tanah air?30 b. Lintang Utara sebagai orang pertama pelaku utama Sudut pandang Lintang Utara sebagai orang pertama pelaku utama digunakan untuk menegaskan posisinya sebagai seorang anak eks tahanan politik. Lintang yang tak pernah menginjakkan kaki di Indonesia hanya dapat mengenal Indonesia melalui sisi ayahnya yang seorang eks tahanan politik dan penuh misteri. Hal ini membuatnya kebingungan untuk menentukan identitas dirinya sendiri. Di dalam tubuhku ini mengalir sebersit darah yang tak kukenal, bernama Indonesia, yang ikut bergabung dengan percikan darah lain bernama Prancis.
28
Ibid., h. 83. Ibid., h. 28. 30 Ibid., h. 87. 29
40
Desiran darah asing itu senantiasa terasa lebih deras dan mendorong degup jantungku bergegas setiap kali aku mendengar suara gamelan di antara musim dingin yang menggigit; atau ketika aku mendengar kisah wayang dari Ayah tentang Ekalaya yang merasa terusmenerus ditolak kehadirannya atau Bima yang cintanya tak berbalas. Atau jika Maman—dengan bahasa Indonesia yang terbata—membacakan puisi Sitor Situmorang tentang seorang anak yang kembali ke tanah airnya, tetapi tetap merasa asing. Desiran itu selalu terasa asing, nikmat, dan penuh teka-teki. Segala yang berbau Indonesia, tanah yang bagiku hanya sebuah kisah magis, seperti sebuah tempat yang hidup di dalam anganangan; sama seperti setiap kali aku membaca novel sastra yang mengambil lokasi di negara yang belum pernah aku kunjungi. Indonesia, bagiku, adalah sebuah nama di atas peta. Ia hanya konsep. Pengetahuan yang konon mengalir di dalam tubuhku, berbagi kawasan dengan darah Prancis.31 Selain menegaskan tentang pencarian identitas, sudut pandang Lintang sebagai tokoh utama pelaku utama pun digunakan saat terjadinya peristiwa reformasi di tahun 1998. Adanya latar reformasi 1998 ini menjadikan Lintang yang hanya mengenal Indonesia dari sosok ayahnya akhirnya dapat mengetahu sendiri arti Indonesia melalui sudut pandangnya sendiri. c. Hananto Prawiro sebagai orang pertama pelaku utama Sudut pandang Hananto Prawiro sebagai orang pertama pelaku utama hadir salah satunya saat terjadi pembersihan anggota PKI dan atau orang-orang yang terlibat dengan PKI. Sudut pandang Hananto Prawiro menjadikan penarasian mengenai upaya penangkapan pasca G 30 S PKI menjadi sebuah penarasian dari sisi korban. Malam telah turun. Tanpa gerutu dan tanpa siasat. Aku mengikuti mereka menghampiri dua buah mobil yang diparkir di depan Thahaja Foto: Nissan Patrol dan Toyota kanvas. Lettu Mukidjo, pemilik gigi emas, mempersilakan aku menumpang jip Toyota kanvas. Aku membayangkan wajah Surti, Kenanga, Bulan, dan Alam. Dan entah mengapa, dari sleuruh kawan-kawanku, hanya wajah Dimas Suryo yang terus-menerus mengikutiku. Ketika mesin mobil dinyalakan, aku menebarkan pandangan ke seluruh malam di Jalan Sabang: gerobak kue putu Soehardi, sate Pak
31
Ibid., h. 137.
41
Heri, warung bakmi godog, dan terakhir lampu neon Thahaja Foto yang berkelap-kelip. Untuk terakhir kalinya.32 Penulis tidak menceritakan bagaimana peristiwa eksekusi terhadap Hananto Prawiro, namun melalui sudut pandang Hananto sebagai orang pertama pelaku utama ini dapat diketahui bagaimana penangkapan dan penculikan gencar diberlakukan pasca pemberontakan PKI di tahun 1965. Bahkan, banyak orang yang diburu hingga harus menyamar dan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mengamankan diri, salah satunya seperti yang dialami oleh Hananto Prawiro yang terus berpindah tempat. d. Vivienne Deveraux sebagai orang pertama pelaku utama Sudut pandang Vivienne Deveraux sebagai orang pertama pelaku utama lebih banyak digunakan untuk menggambarkan Vivienne Deveraux dalam memandang dan menilai apa yang terjadi pada suaminya, Dimas Suryo, yakni terkait keberadaan Dimas di Prancis dan kisah cintanya yang tidak tuntas karena Dimas, sebagaimana yang dipandang oleh Vivienne, hanya mencintai Surti. Pada saat itulah aku tahu: aku tak pernah dan tak akan bisa memiliki Dimas sepenuhnya. Saat itu pula aku tahu mengapa dia selalu ingin pulang ke tempat yang begitu dia cintai. Di pojok hatinya, dia selalu memiliki Surti dengan segala kenangannya. Yang kemudian dia abadikan di dalam toples itu.33 e. Segara Alam sebagai orang pertama pelaku utama Sudut pandang Segara Alam sebagai orang pertama pelaku utama digunakan untuk menggambarkan cara pandang Alam dalam menyikapi persoalan hidup keluarganya. Sepanjang hidupnya yang dipenuhi dengan ketidakadilan dan teror diceritakannya dengan penuh dendam dan kebencian terhadap pemerintah. Namun demikian, dendam dan kebencian tersebut membuahkan hasil yang positif yakni pembentukan pribadinya yang kuat dan berusaha mencari kebenaran, kritis, dan produktif. Salah satunya dengan pendirian lembaga swadaya masyarakat.
32 33
Ibid., h. 5. Ibid., h. 216.
42
Saat kuliah, aku bertekad untuk melihat sejarah dengan lebih jernih daripada sekadar menajdi „anak Bapak‟. Literatur yang tersedia sangat terbatas. Sejarah resmi sudah jelas hanya satu pihak. Aku juga tak ingin hanya melihat segalanya dari sisi defensif. Dari perbincangan informal dengan sejarawan yang diam-diam mengakui ada kepentingan Orde Baru untuk mengukuhkan kekuasaan, persoalannya ada pada konflik di kalangan elite. Namun, aku tak tahu apakah posisi Bapak dan kawankawannya itu cukup tinggi untuk mengetahui langkah-langkah kedua pihak. Segala yang gelap tentang 30 September masih harus digali, apa yang sesungguhnya terjadi.34 f. Orang ketiga serba tahu Sudut pandang orang ketiga serba tahu digunakan untuk menceritakan peristiwa yang dialami tokoh-tokoh dalam novel baik secara fisik, perasaan, maupun pemikiran tokoh-tokoh tersebut. Pencerita tidak mengambil peran sebagaimana yang dapat ditemukan pada sudut pandang orang pertama pelaku utama dalam novel ini. Pencerita berada di luar cerita dan mengetahui segala hal yang terjadi. Mereka semua terdiam. Baik Aji, Retno, maupun Andini sudah tahu bahwa sejak empat tahun terakhir Rama bekerja sebagai salah satu akuntan terpercaya di BUMN yang bergerak di bidang konstruksi. Mereka juga mahfum bahwa bila Rama bisa lolos litsus masuk BUMN, itu berarti dia pasti tak menggunakan nama Suryo dan berbohong tentang latar belakangnya. Aji tahu betul untuk masuk ke dalam sebuah perusahaan milik negara harus melalui birokrasi yang luar biasa yang memastikan calon pegawainya betulbetul bebas dari „kekotoran‟ hubungan darah dengan tahanan politik atau eksil politik.35 Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa novel Pulang memiliki sudut pandang campuran yang digunakan untuk memperkuat penarasian yang dialami oleh tokoh-tokohnya.
6. Gaya Penceritaan Gaya penceritaan Leila S. Chudori untuk menyampaikan gagasannya dalam novel Pulang menggunakan media bahasa yang indah. Gaya penceritaan
34 35
Ibid., h. 297. Ibid., h. 341.
43
tersebut di antaranya terdiri dari penggunaan gaya bahasa sebagaimana berikut ini: a. Personifikasi Malam sudah turun, tanpa gerutu dan tanpa siasat.36 Seperti jala hitam yang yang mengepung kota.37 Jika lagu “Anggrek Moelai Timboel” itu menembus seluruh Paris yang tengah bersemi, maka kami semua teringat setangkai anggrek bernama Rukmini.38 “Ini bisa berjodoh dengan bawang putih, cabai merah, dan terasi. Tapi apakah ini,” aku mengambil sepotong ikan salmon fillet, “cocok dengan terasi? Saya ragu, saya belum mencobanya. Yang jelas mereka belum saling mengenal dan belum saling berdekatan atau saling bergairah.”39 Dari jendela Metro, aku melihat Paris di musim semi yang murung.40 Negara kelahiran ayahmu sedang bergolak.41 Semakin aku dewasa, semakin banyak pula ceritera tentang tanah air yang jauh itu, yang dalam film-film dokumenter memiliki laut biru dan pohon kelapa yang memanggil-manggil.42 b. Hiperbola Aku melirik tanpa memuntahkan seluruh pertanyaanku.43 Musim panas yang luar biasa gerah dan berhasil mengelupas kulit; musim gugur yang menyebarkan segala serbuk yang membuat kami bersin-bersin; musim dingin yang menggerogit tulang Melayu
36
Ibid., h. 1. Ibid., h. 1. 38 Ibid., h. 51. 39 Ibid., h. 115. 40 Ibid., h. 131. 41 Ibid., h. 134. 42 Ibid., h. 144. 43 Ibid., h. 43. 37
44
kami yang manja; atau musim semi yang kami anggap seperti remaja pancaroba: kadang dingin berangin, kadang hangat.44 c. Perumpamaan Berita itu seperti bunyi denging nyamuk di senja hari di Solo.45 Bola matanya yang berwarna biru itu seperti batu cincin pirus Maman.46 d. Metafora Tikus di depanku ini bukan hanya gemar mencelakakan sahabat sendiri seperti Hananto, tetapi dia memang orang oportunis yang tak layak dianggap ada.47 e. Sarkasme Lalu, kenapa? Bukankah semua negara berkembang selalu saja bergolak karena situasi sosial dan politik yang tak stabil? Negaranegara Amerika Latin, Afrika, dan sebagian Asia ada saja yang memiliki pemimpin diktator yang korup dan militeristik.48 f. Repetisi “Tak inginkah kau menjenguk kembali asal mula dirimu? Tak inginkah kau mengetahui apa yang membawa ayahmu dan kawankawannya terbang ke sini, ke sebuah negara yang nyaris tak memiliki hubungan historis dengan Indonesia?”49
B. Nilai Sejarah dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori 1. Indonesia Periode 1965—1966 Peristiwa 1965-1966 merupakan suatu peristiwa tragedi kemanusiaan yang menjadi lembaran sejarah hitam bangsa Indonesia. Peristiwa tersebut terjadi sebagai akibat dari adanya kebijakan negara pada waktu itu untuk melakukan 44
Ibid., h. 91. Ibid., h. 50. 46 Ibid., h. 133. 47 Ibid., h. 125. 48 Ibid., h. 134. 49 Ibid., h. 134. 45
45
penumpasan terhadap para anggota dan pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap telah melakukan tindakan perlawanan terhadap negara. Peristiwa 30 September 1965 yang lebih dikenal dengan G30S-PKI pada masa Orde Baru adalah masa kelam sejarah Indonesia. Politik Indonesia pada masa itu sangat kompleks. Menjelang tragedi September, konflik Partai Komunis Indonesia dan partai politik lain memanas. PKI, yang merasa di atas angin, menekan penduduk yang tidak sealiran. Ketika keadaan berbalik, luapan pembalasan pembalasan tak terkendali. Pembunuhan direstui oleh sesepuh masyarakat dan tokoh agama. Masa 1965-1966 tentu tak bisa dinilai dengan norma dan nilai-nilai masa kini. Membaca sejarah kelam Indonesia pada masa itu hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan konteks sosial-politik-ekonomi pada masa itu pula.50
a. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia ... Jangankan mendengar nama Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka. Jangan pula menyebut peristiwa berdarah 30 September 1965, ...51 Dalam kutipan novel tersebut disinggung peristiwa Gerakan 30 September, peristiwa tersebut adalah permulaan dari sejarah gelap bangsa Indonesia yang sampai saat ini masih terjadi perdebatan panjang terkait kisah sesungguhnya peristiwa tersebut. Menjelang Peristiwa pemberontakan PKI pada tanggal 30 September 1965, berbagai isu telah berkembang di masyarakat, yang mengindikasikan akan terjadinya peristiwa politik yang besar. Di Surat Kabar Bintang Timur, para seniman Lekra juga telah ikut mengindikasikan akan adanya peristiwa besar.52 Selain itu, dalam Lentera, Surat Kabar Bintang Timur juga dimuat sebuah naskah berjudul Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total, yang ditulis oleh
50
Kurniawan, dkk., Pengakuan Algojo 1965 Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965, (Jakarta: PT Tempo Inti Media, 2014), h. 4. 51 Leila, op. cit., h. 15. 52 Sulastomo, Hari-Hari yang Panjang Transisi Orde Lama ke Orde Baru Sebuah Memoar, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008), h. 97.
46
Pramoedya Ananta Toer (9 Mei 1965).53 Fenomena Pramoedya yang sibuk dengan istilah “membabat” dan senantiasa menggunakan bahasa kasar dan keras kepada musuh-musuh politik PKI di samping berbagai aksi politik PKI yang makin lama makin berani, adalah bagian dari latar belakang yang menjadi dasar pada satu Oktober 1965 untuk tidak terlalu terkejut dengan kejadian dramatis pagi itu.54 Di Santiago, di tengah konferensi itu, kami mendengar dari ketua panitia Jose Ximenez tentang meletusnya peristiwa 30 September. Kami terpana. Sama sekali tidak menduga ada peristiwa sekeji itu. Berkali-kali aku meminta Mas Nug mengulang apa yang dia dengar dari Ximenez. Jenderal-jenderal diculik? Dibunuh?55 Pada kutipan novel di atas, Dimas mencoba meyakinkan dirinya sendiri tentang peristiwa Gerakan 30 September. Sejarah mencatat bahwa “Gerakan 30 September” dipelopori oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon Cakrabirawa, dini hari malam Jumat telah menculik sejumlah jenderal Angkatan Darat.56 Apa yang terjadi pada hari itu sesungguhnya dimulai sejak pagi hari yang masih buta, pengawal pribadi Presiden melaksanakan penculikan atas beberapa perwira tinggi Angkatan Darat, yaitu Jenderal Nasution, Jenderal Achmad Yani, Mayjen Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen Panjaitan, Mayjen Harjono, serta Brigjen Sutojo. Jenderal Nasution, kemudian ternyata berhasil menyelamatkan diri, meskipun seorang putrinya Ade Irma Suryani dan ajudan Pak Nas, Kapten Pierre Tendean akhirnya gugur dalam peristiwa penculikan itu.57
53
Ibid., h. 99. Salim Said, Dari Gestapu ke Reformasi Serangkaian Kesaksian, (Bandung: Mizan Media Utama, 2013), h. 23. 55 Leila, op. cit., h. 69 56 H. Rosihan Anwar, Sukarno, Tentara, PKI, Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 376. 57 Sulastomo, op. cit., h. 129. 54
47
b. Situasi Indonesia Setelah Tragedi September 1965 Kondisi Indonesia pasca G30S dalam kutipan novel di bawah menunjukan beberapa hal yakni penanganan tahanan politik, terjadinya pembunuhan serta diskriminasi terhadap orang-orang yang sesungguhnya tidak tahu-menahu, termasuk anggota partai PKI sekalipun, yang menjadi korban kebijakan pimpinan partainya.58 Suasana di waktu itu sudah sampai pada “dibunuh atau membunuh”, siapapun yang menang. Dapat dilihat pada kutipan novel dibawah ini: Ada dua helai surat itu di saku jaketku. Sudah sejak awal tahun semua yang dianggap terlibat Partai Komunis Indonesia atau keluarga PKI atau rekan-rekan anggota PKI atau bahkan tetangga atau sahabat yang dianggap dekat dengan PKI diburu-buru, ditahan, dan diinterogasi. Dik Aji menceritakan begitu banyak kisah suram. Banyak yang menghilang. Lebih banyak lagi yang mati.59 Kondisi masa itu sangat genting, kabar percobaan kudeta 30 September 1965 menyulut perlawanan serentak hampir di semua daerah. Penangkapan besarbesaran PKI di Jawa Timur dimulai pada pertengahan Oktober 1965. Dua pekan setelah Gestapu, demo dan kerusuhan masih berskala kecil dan sporadis. Gerakan mulai terorganisir pada 16 Oktober 1965. Saat itu, terbentuk Komite Aksi Pengganyangan.60 Enam bulan sebelum Partai Komunis Indonesia dinyatakan sebagai partai terlarang, ratusan ribu orang Indonesia sudah dibunuh dengan tuduhan mendukung komunisme.61 Peristiwa tersebut dapat kita lihat dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori, melalui tokoh Dimas yang menceritakan kejadiankejadian yang terjadi di Indonesia pasca Gerakan 30 September 1965. Sampai akhirnya terjadi peristiwa sejarah yang mengubah kepedihan menjadi semakin kelam bagi orang-orang yang dekat dengan PKI. “Mas Hananto adalah mata rantai terakhir yang akhirnya diringkus. Sebagian besar redaksi Kantor Berita Nusantara disapu habis. Yang tersisa
58
Sulastomo, op. cit., h. 264. Leila, op. cit., h. 11. 60 Kurniawan, dkk., Pengakuan Algojo 1965 Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965, (Jakarta: PT Tempo Inti Media, 2014), h. 24. 61 Ibid., h. 144. 59
48
adalah kelompok Islam atau kelompok sekuler yang dianggap menentang komunis. Juga sudah pasti yang dekat dengan tentara,”62 Dari hari ke hari, bahkan setiap tiga jam, kami mendengar berbagai berita buruk silih berganti. Anggota partai komunis, keluarga partai komunis atau mereka yang dianggap simpatisan komunis diburu habishabisan. Bukan hanya ditangkap, tapi terjadi eksekusi secara besar-besaran di seantero Indonesia. Berita-berita ini muncul seperti sketsa-sketsa yang digambarkan oleh muncratan darah. Secara serentak kami disergap insomnia berkepanjangan. Bahkan Risjaf yang gampang tidur itu kini melotot sepanjang malam.
2. Indonesia Periode 1966-1998 a. Surat Perintah Sebelas Maret Kabar yang kami peroleh selalu saja terlambat sekitar dua sampai tiga minggu. Bahkan bisa sampai sebulan. Misalnya pada awal bulan April 1966, kami mendengar berita yang paling sukar dipercaya. Konon, bulan Maret lalu, tiga orang jenderal mendatangi Bung Karno di Istana Bogor dan memintanya menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret. Aku masih tak paham apa yang terjadi di tanah air. Bagaimana bisa rapat kabinet yang dipimpin Bung Karno itu terinterupsi hingga seorang pimpinan besar revolusi harus diselamatkan ke Istana Bogor? Dan bagaimana bisa tiga orang jenderal di Bogor menyodorkan surat yang begitu penting dan menentukan nasib bangsa ini? Peristiwa ini betul-betul menentukan segalanya. Aku menjadi gerah dengan sirkus politik ini.63 Dalam kutipan novel Pulang di atas disinggung suatu kejadian yang akan mengubah perjalanan Indonesia. Pada tanggal sebelas bulan Maret tahun 1966, enam bulan setelah terjadi pemberontakan PKI, sebuah peristiwa bersejarah yang menandai perubahan kepemimpinan di Indonesia terjadi. Surat Perintah Sebelas Maret atau terkenal dengan singkatan Supersemar menjadi bukti sebagai pemindahtangangan tampuk kepemimpinan di Indonesia. Pada sidang kabinet tanggal 11 Maret 1966 Bung Karno memperoleh laporan, bahwa Istana telah di kepung oleh para demonstran, disertai pasukan yang tidak berseragam. Bung Karno kemudian diterbangkan ke Istana Bogor. Sementara Pak Harto, selaku Menteri Panglima Angkatan Darat yang waktu itu
62 63
Leila, op. cit., h. 37. Leila, op. cit., h. 75.
49
tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit, kemudian mengutus Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M. Yusuf, dan Brigjen Amirmachmud.64 Soekarno menerima kunjungan tersebut, kunjungan tersebut menghasilkan naskah sebuah perintah untuk memberi wewenang kepada Mayjen Soeharto untuk memulihkan keamanan, melaksanakan kebijakan Presiden Soekarno, serta menjaga keamanan pribadi Presiden Soekarno sendiri.65 Surat Perintah 11 Maret itu diserahkan kepada Pak Harto malam hari di Kostrad oleh ketiga jenderal. Langkah pertama Pak Harto setelah menerima Supersemar itu adalah memerintahkan konsep surat keputusan pembubaran PKI.66 PKI dinyatakan terlarang mulai 12 Maret 1966, sehari setelah Soeharto menerima Supersemar. Sehari sebelumnya, PKI masih menjadi partai sah dan terbesar di Indonesia, dan partai komunis terbesar ketiga di dunia. Tapi, pada tanggal itu, ratusan ribu warga negara Indonesia sudah dibunuh dengan tuduhan mendukung PKI.67 MPRS kemudian memutuskan untuk mengambil langkah yang tegas terhadap PKI. Bahkan MPRS juga mengambil keputusan untuk melarang penyebaran Marxisme.68
b. Eks Tahanan Politik Indonesia Penangkapan para korban yang diduga terlibat yang disebut dalam kelompok Gerakan 30 September 1965 (G30S), dimulai sejak bulan Oktober 1965, di Sumatera Selatan, Para Korban ada yang hilang di tengah perjalanan, di penahanan sementara sebelum dikirim ke penahanan akhir yaitu Kamp Penahanan Pulau Kemarau-Palembang pada sekitar bulan Februari 1966 sampai pada tahun 1979. KORAMIL (PUTERPRA), penjara-penjara atau tempat yang dikuasai oleh aparat militer yang didapat dengan pemaksaan. Ditempat-tempat penahanan inilah para korban mulai diperiksa oleh aparat yang terdiri dari unsur tentara, polisi dan 64
Sulastomo, op. cit., h. 223. Kurniawan, dkk., op. cit., h. 156. 66 Sulastomo, op. cit., h. 224. 67 Kurniawan, dkk., op. cit., h. 157. 68 Sulastomo, op. cit., h. 797. 65
50
Jaksa. Selama pemeriksaan inilah para korban mengalami berbagai bentuk kekerasan seperti penganiayaan, perkosaan, bahkan sampai kepada pembunuhan. Selama dalam penahanan ini selain mengalami kekerasan, para korban juga sangat sedikit atau bahkan tidak diberi akses kepada keluarga, dan tidak diberi makanan yang layak bahkan terdapat korban-korban yang sama sekali tidak diberi makanan. Beberapa saksi menerangkan méreka melihat tahanan-tahanan lain meninggal karena kekuarangan makanan. Sebagian kecil tahanan dibawa ke pengadilan untuk menjalani proses pengadilan yang dianggap oleh para korban sebagai pengadilan yang tidak jujur dan fair. Hukuman penjara yang didapat sangat maksimal bahkan beberapa orang mendapat huku- man mati. Sebagian tahanan, pada tahun-tahun berikutnya dipindahkan ketempat-tempat kamp pengasingan seperti pulau Buru dan Nusakambangan.69 Seperti yang diperlihatkan oleh Leila dalam novel Pulang-nya. Ketika aku mengambil segelas es leci, aku mendengar beberapa lelaki yang jelas tengah terlibat dalam debat. “Siapa yang berani-berani bawa dia ke sini?” “Biar sajalah. Kan tidak ada larangan untuk anaknya?” “Sudah pada Bersih Lingkungan?” “Kan itu larangan bagi tapol untuk bekerja jadi PNS. Atau jadi guru atau wartawan. Cuma datang ke pesta, memang kenapa?”70 Ada sesuatu tentang Ayah dan Indonesia yang selalu ingin kupahami. Bukan Cuma soal sejarah yang penuh darah dan persoalan nasib para eksil politik yang harus berkelana mencari negara yang bersedia menerima mereka. ada sesuatu yang membuat Ayah selalu peka terhadap penolakan. Aku mulai memahami sedikit demi sedikit ketika dia begitu obsesif bercerita tentang Ekalaya.71 Dalam kutipan novel di atas mengingatkan kita tentang Intruksi Menteri Dalam Negeri No.32/1981 dan Pedoman Pelaksanaannya yang menjadi dasar pencantuman kode-kode khusus dalam Kartu Tanda Penduduk ex-tapol, yang terkenal dengan ET. Instruksi Mendagri No. 32/1981 tentang Pembinaan dan
69
Roichatul Aswadiah dan Muhammad Nurkhoiron, e-book Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, (Jakarta: KOMNASHAM RI, tanpa tahun) h. 27. 70 Leila, op. cit., h. 161. 71 Leila, op. cit., h. 183.
51
Pengawasan terhadap Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G30S/PKI, para Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G30S/PKI mendapat perlakuan yang sangat diskriminatif. karena peraturan ini, maka diskriminasi ini tak hanya tertuju pada mantan tahanan politik tragedi 1965 tetapi juga anak cucu mereka. Seperti yang diungkapkan Leila S. Chudori melalui kutipan novel Pulang: Tentu saja bukan eksil politik jika tidak ada gangguan sehari-hari. Paspor dicabut, berpindah negara, berpindah kota, berubah pekerjaan, berubah keluarga...segalanya terjadi tanpa rencana. Semua terjadi sembari kami terengah-engah berburu identitas seperti ruh yang mengejar-ngejar tubuhnya sendiri. Gangguan, atau Mas Nug lebih suka menyebutnya „tantangan‟, yang kami hadapai datang bertubi-tubi. Karena itu, setelah keberhasilan malam pembukaan ini membutuhkan antagonis.72 Peraturan yang ditetapkan kepada para eks-tapol, mereka terkena tekanan mental yang luar biasa dengan adanya momok „bersih lingkungan‟, mereka sampai harus membuat surat keterangan tidak terlibat G30S/PKI. Mereka membuat surat keterangan tersebut agar dapat mengurangi beban mental, agar mereka lebih diterima oleh masyarakat pada masa itu. Bahkan untuk sekolah, menjadi PNS, atau bekerja di instansi-instansi pemerintah pada masa tersebut wajib di screening secara mendetail oleh intelejen demi terlaksananya „bersih diri‟ dan „bersih lingkungan‟. Dengan adanya Instruksi Mendagri No. 32/1981 tentang Pembinaan dan Pengawasan terhadap Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G30S/PKI. Pada masa Orde Baru, banyak dari istri dan anak-anak yang terlantar, atau yang dijauhi oleh sanak-saudaranya sendiri. Adik dan kakak atau mertua, yang segan mendekati mereka, karena takut kalau dicap “tidak bersih lingkungan”. Dapat dilihat pada kutipan novel di bawah ini, bagaimana Leila S. Chudori menggambarkan dengan jelas dan tegas ketegangan yang terjadi pada masa tersebut: “Kasian loo, di KTP mereka harus diletakkan tanda ET. Terus, Mas Warman dan Mas Muryanto kalau menulis di media sekarang menggunakan nama samaran. Lha tapi kami semua tahuu kalau Sinar Mentari itu ya nama samaran Warman; kalau Gregorius M ya itu Mas 72
Leila, op. cit., h. 120.
52
Muuuur. Bikin nama samaran kok mudah ditebak. Gimana sih. Terus itu lo, anak-anaknya sekarang ikut-ikut kerja di media. Pake nama samaran juga. Rupanya sedang jadi model menggunakan nama samaran. Ya bapak, ya anak, semuanya samar-menyamar.” Dia terkikik begitu lama dan panjang hingga aku teringat adegan Bima menyobek mulut Sangkuni dalam Bharatayudha. (h. 125) Perlakuan para diplomat KBRI pun selalu tak ramah terhadap para eks tahanan politik. Dikarenkana adanya instruksi tersebut pada masa Orde Baru tentang kebijakan “Bersih Diri” dan “Bersih Lingkungan”.
c. Rezim Presiden Soeharto Masa-masa di sekitar tahun 1970-an adalah saat upaya perubahan struktur politik dimulai. Orde Baru yang telah menghadapi masa kritis transisi Orde Lama ke Orde Baru sudah tentu perlu landasan politik yang lebih kukuh, tidak sematamata untuk mempertahankan Orde Baru, tetapi juga untuk memberikan landasan politik yang lebih sehat.73 Sesuai dengan tekad untuk kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen, acuan berpikir sudah tentu harus ke sana. Dan kenyataan ini harus dihadapi dengan kebesaran jiwa, mendahulukan kepantingan bangsa dan negara daripada kepentingan golongan atau pribadi. Meskipun kekuatan Orde Baru memang berada di mana-mana, tetapi hasil yang dicapai oleh Golongan Karya memang pantas menjadi tolok ukur yang utama. Transisi Orde Lama ke Orde Baru, adalah memang wajar diwarnai pergeseran peranan politik parpol ke Golkar. Dan mampukah Golkar memenangkan Pemilu? Pertanyaan seperti ini wajar, mengingat peranan PNI dan NU yang mungkin masih besar. Tetapi, pada akhirnya memang Pemilu terselenggarakan juga pada tahun 1971. Golkar ternyata dapat memenangkan Pemilu dan sebaliknya PNI mengalami kemundiran yang luar biasa, NU relatif stabil.74 Meski aku mendapat gaji bulanan yang lumayan, sudah jelas aku tak bahagia dengan pekerjaan kantoran seperti di Kementerian Pertanian 73 74
Sulastomo, op. cit., h. 273. Sulastomo, op. cit., h. 274.
53
itu. Aku tetap saja menulis esai, puisi, dan sesekali mendistribusikannya dalam newsletter untuk teman-teman sesama eksil politik di Eropa. Aku mendapat kabar dari rekan-rekan yang bekerja di media di Jakarta tentnag perkembangan terbaru, misalnya pembangunan Taman Mini Indonesia Indah yang didirikan atas prakarsa isteri Presiden Soeharto. Aku juga mendengar, beberapa intelektual seperti sosiolog Arief Budiman mengkritik proyek ini. perkembangan politik yang semakin mengerikan adalah bagaimana partai politik semakin dikuasai eksekutif, dan bagaimana anggota parlemen hanyalah dewan perwakilan boneka belaka. Itu kutulis pada newsletter dan kudistribusikan pada kawan-kawan sejawat di Eropa. Newsletter dengan tenaga gratis itu ternyata cukup populer sehingga jika sumbangan yang masuk sudah cukup banyak, aku bisa mencetaknya dalam bentuk seperti koran, dengan bantuan desain Risjaf.75 Perjalanan bangsa terus berlangsung, Presiden Soeharto selalu berhasil mengemudikan kapal bernama Indonesia melalui badai demi badai yang memang harus dihadapi dan dimenangkan. Namun, tidak demikian yang terjadi ketika badai topan baru bernama “krisis moneter global” menimpa kawasan Asia pada 1997. Kapal besar yang dikemudikan Pak Harto oleng terkena imbasnya, setelah badai krisis moneter itu juga meremukkan perekonomian Thailand. Tapi puluhan tahun berlalu dan Sang Jenderal semakin kuat dan semakin ditakuti. Mungkin gaya pemerintahan Indonesia tidak sama dengan gaya para jenderal di negara-negara Amerika Latin. Tapi Sang Jenderal masih mencengkeram takhtanya dengan kuat.76
d. Tragedi dan Reformasi Mei 1998 Kerusuhan Mei 1998 adalah peristiwa besar dalam sejarah Indonesia. Setiap tahun selalu ada yang memperingatinya. Namun dengan berlalunya waktu, tidak banyak yang mengetahui atau ingat gambaran besarnya, di mana benang merah yang mengaitkan suatu kejadian dengan kejadian lain, dan apa yang ada di balik suatu peristiwa atau rentetan peristiwa. Kerusuhan Mei 1998 telah menyebabkan tragedi besar, dalam, dan berkepanjangan bagi banyak komunitas dan keluarga, tapi juga telah mengangkat ke permukaan segi-segi positif dari rasa kemanusiaan yang masih inheren dalam masyarakat Indonesia.
75 76
Leila, op. cit., h. 86 Leila, op. cit., h. 204
54
Di Jakarta, mahasiswa, kelompok-kelompok peduli masyarakat, dan akademisi mulai menyuarakan tuntutan agar Presiden Soeharto turun dari jabatannya. Namun dalam aksi-aksinya pengunjuk rasa ini menghadapi bahaya fisik serius, karena aparat keamanan langsung dikerahkan untuk “mengamankan” mereka. Kendati demikian, aksi-aksi ini tidak berhenti begitu saja. Tiap hari ada saja sejumlah pendemo yang ditangkapi lalu ditahan.77 Sejak dua hari yang lalu, Alam dan Bimo mengatakan, mimbar bebas mahasiswa—yang sudah berlangsung sejak 1 Mei—pasti akan sangat panas pada puncaknya, tanggal 20 Mei. Informasi ini sudah beredar di kalangan mahasiswa, baik yang tergabung dalam Forkot (kalau tak salah ini singkatan dari Forum Kota, kelompok ekstra-kampus yang terdiri dari belasan perguruan tinggi) maupun mahasiswa, aktivis, dan para wartawan. Saya yakin para lalat—maaf saya sudah mulai tertular menggunakan istilah Alam—yang mendengung juga sudah menyampaikan info ini kepada keamanan, karena di kampus mana pun yang saya kunjungi sejak tanggal 9 Mei lalu penjagaan sangat ketat.78 Kali ini kampus Trisakti bukan hanya penuh oleh mahasiswa dan alumni, tetapi terlihat banyak tokoh yang datang mengahdiri aksi berkabung ini. Aku melihat Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, Emil Salim, Ali Sadikin, dan Adnan Buyung Nasution.79 Di Jakarta, Mahasiswa, kelompok-kelompok peduli masyarakat, dan akademisi mulai menyerukan tuntutan agar Presiden Soeharto turun dari jabatannya. Aksi-aksi rakyat yang semula bermotifkan ekonomi dengan cepat berkembang menjadi aksi politik, yaitu menuntut pengunduran diri Soeharto. Gejolak politik ini terkait juga dengan situasi perekonomian yang semakin buruk akibat krisis moneter yang menghantam sebagian kawasan Asia seperti Thailand, Korea Selatan, dan Filipina, di samping Indonesia. Nilai tukar rupiah terus melorot, kenaikan harga BBM, kenaikan harga bahan-bahan pokok, dan lain-
77
Dewi Anggraeni, Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan, (Jakarta: PT Kompas Media, 2014), h. 21 78 Leila, op. cit., h. 410 79 Leila, op. cit., h. 415
55
lain.80 Suasana pada saat kerusuhan terjadi digambarkan oleh Leila sebagai berikut: “Selama kau tidur tadi, entah sudah berapa mobil dibakar, tokotoko dijarah. Mita sudah diantar Agam ke Bintaro. Kalau sudah begini, baisanya warga pemukiman akan saling koordinasi mencari cara pencegahan agar jangan sampai terjadi apa-apa dengan rumah dan keluarga mereka.” Aku tercengang. “Massa memasuki pemukiman? Lalu apa yang akan mereka lakukan?” “Apa saja. menjarah, merampok, apa saja yang dilakukan orangorang keji yang blingsatan terutama jika sudah bergerak sebagai bagian dari gerombolan. Tapi mudah-mudahan itu tak terjadi,” kata Alam mencoba menenangkan aku, meski aku merasa dia menenangkan dirinya sendiri. “Tapi ada sesuatu yang khas tentang psikologi kelompok di negeri ini. begitu bergerombol, tinggal teriak „maling‟ atau „komunis‟, tanpa tedeng aling-aling, orang atau keluarga yang sedang jadi target itu akan kena hajar.”81 Masyarakat jadi anarkis, mereka menjarah, membakari toko-toko dan pusat perbelanjaan yang rata-rata milik etnis Tionghoa. Gadis-gadis dan wanita Tionghoa diperkosa. Situasi semakin parah dan tidak terkendali, menimbulkan kemarahan, rasa dikhianati, rasa dijadikan korban, dan rasa putus asa yang merebak di kalangan rakyat yang merasa kehilangan pegangan. 82 Demonstrasi terjadi di berbagai tempat, terutama di kampus-kampus dan sekitarnya. Di tengah suhu politik yang memanas itu Pak Harto berangkat menghadiri KTT Non-Blok di Kairo, Mesir. Di Tanah Air, demonstrasi mahasiswa semakin menjadi. Pada 12 Mei 1998 suasana kian chaos akibat ditembaknya empat Mahasiswa Universitas Trisakti yang berdemonstrasi di bawah Jembatan Semanggi: Lautan manusia mengenakan baju hitam memperlihatkan gelombang suasana duka. Meski jenazah mahasiswa sudah diberangkatkan ke rumah masing-masing untuk kemudian dimakamkan, halaman depan Gedung Syarif Thayeb tetap menjadi tempat pelayatan. Aku tak hanya merekam orang-orang yang berkabung dan memberi penghormatan, tetapi 80
Prof. Dr. Tjipta Lesmana, M.A., Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para Penguasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 118. 81 Leila, op. cit., h. 424. 82 Dewi Anggraeni, Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan, (Jakarta: PT Kompas Media, 2014), h. 22.
56
juga benda-benda yang berbicara: karangan bunga tanda duka, darah kental Elang Mulia yang masih membekas di ubin, dan kaca tebal yang berlubang akibat tembusan peluru. Mengapa benda mati disebut sesuatu yang mati? Terkadang mereka lebih „hidup‟ dan lebih jujur memberikan saksi.83 Pada kutipan novel di bawah dipaparkan bahwa ribuan mahasiswa sudah menunggu kepulangan Soeharto dari KTT Non-Blok di Kairo, Mesir. Ribuan mahasiswa menuntut reformasi dilaksanakan. Termasuk meminta Soeharto turun dari kursi presiden. Jakarta, 16 Mei 1998 Ketika terdengar kabar Presdien Soeharto sudah mendarat di Jakarta kemarin, Alam dan kawan-kawannya tampak keranjingan. Bukan karena kehadirannya akan menyelesaikan persoalan, tetapi karena “saatnya Indonesia membuat perhitungan dengannya”. Gaya Gilang dan Alam seperti dua jenderal yang siap mengangkat senjata meski „senjata‟ mereka Cuma sikat gigi yang dibawa kemanamana. Tetapi memang banyak harapan yang agak mengawang. Menurut Gilang, sejak kemarin dia mendengar banyak tokoh yang bertemu di beberapa tempat secara terpisah. Salah satunya dia mendengar dari berbagai sumber bahwa Nurcholis Madjid—yang dipanggil dengan nama Cak Nur oleh Gilang, dan aku lupa bertanya apa arti „cak‟—bertemu dengan beberapa tokoh atas undangan salah seorang petinggi militer di Markas Besar ABRI. Katanya, Nurcholis membaut semacam coret-coretan konsep yang perlu disampaikan kepada Presiden Soeharto. Isinya ada beberapa poin, tapi yang paling menarik dan membuat Gilang dan Alam seperti menang perang adalah Presiden diminta untuk tidak bersedia dipilih lagi dalam pemilihan umum yang akan diselenggarakan dalam waktu secepatnya. 84 Pada kutipan di atas dijelaskan bahwa di Istana Merdeka, 9 tokoh diundang datang. Mereka adalah Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Nurcholish Madjid, Ali Yafie, Malik Fadjar, Cholil Baidowi, Sumarsono, Achmad Bagdja, dan Ma‟aruf Amin. Yusril Ihza Mahendra juga hadir, meski tak diundang,
83 84
Leila, op. cit., h. 414. Leila, op. cit., h. 432
57
karena diajak Nurcholish sebagai ahli tata negara, pikir Nurcholish, Yusril niscaya dibutuhkan.85 Kerusuhan Mei 1998 terjadi dalam bentuk kerusuhan massal yang meliputi berbagai
tindakan
pembunuhan,
penganiayaan,
parusakan,
pembakaran,
penjarahan, penghilangan orang secara paksa dan pemerkosaan. Kerusuhan diyakini terkait erat dengan proses pergeseran elit politik saat itu yang kemudian diikuti mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai momentum kemenangan gerakan reformasi. Ponselku berbunyi, mita. Dia menyuruhku menyusul mereka semua ke gudng DPR. Semua mahasiswa sedang menuju ke sana dan menduduki gedung parlemen itu. Sementara aku meminta supir taksi untuk melarikan kendaraan selekas mungkin, aku bertanya-tanya mengapa lama sekali Alam berpuasa bicara hanya karena Nara menelepon aku. Tiba di gedung DPR, di sana sudah penuh dengan mahasiswa dan tokoh-tokoh yang sama seperti di kampus Trisakti beberapa hari lalu. Mereka berorasi dengan isi yang sama: reformasi dan Presiden Soeharto turun. Aku berjalan dengan perasaan enteng. Aneh sekali, suasana di DPR siang itu terasa agak festive. Rasanya aku tak percaya baru beberapa hari yang lalu telah terjadi kerusuhan dan kekejian di negeri ini.86
e. Etnis Tionghoa Indonesia di Tengah Tragedi Mei 1998 Lalu mengapa harus ada peristiwa kekerasan persis di depan mataku pada saat aku mulai mencintai tempat ini, juga orang-orangnya? Menyerang dan menghajar rumah-rumah orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa? Tahun berapakah ini? 1998? Apakah kita mundur dua abad sembari mengadopsi kedunguan rasialisme? Atau setelah 33 tahun, tak ada yang berubah? Aku harus mengoreksi ucapanku pada Ayah.87 Dalam novel Pulang, Leila menuliskan bagaimana nasib etnis tionghoa pada saat kerusuhan mei 1998 terjadi. Beberapa sumber sejarah mencatat bahwa etnis Tionghoa Indonesia kerap kali menjadi korban saat tragedi berdarah di negeri ini berlangsung. Sejak mulai krisis moneter pada 1997, itu adalah awal 85
Liputan 6, 21 mei 1998: Soeharto Lengser, Sebelumnya Terjadi Apa di Istana?, 21 Mei 2014 at 09.24 WIB. 86 Leila, op. cit., h. 437 87 Leila, op. cit., h. 427.
58
mula dari kerusuhan Mei 1998. Para pejabat menyatakan bahwa krisis ekonomi melanda Indonesia karena orang-orang Tionghoa melarikan uang rakyat ke luar negeri, dan Tionghoa-Tionghoa yang masih berada di Tanah Air, menimbun barang-barang sembako sehingga rakyat sengsara dan kelaparan.88 Mita terdengar menahan sabar dengan kebodohanku, “Keturunan Tionghoa selalu jadi sasaran pertama, Madame Sorbonne. Rumah-rumah diserang, dijarah. Aku belum tahu info selanjutnya. Diskusi dengan Alam saja, aku harus menemani ibuku, dia masih linglung.”89 Tersebar berita bahwa sejumlah kawasan bisnis dan pemukiman yang banyak dihuni warga etnis Tionghoa menjadi kerusuhan hebat. Pembakaran, penjarahan, penganiayaan terjadi tanpa ada aparat keamanan yang datang menolong, meskipun warga mengatakan berkali-kali menelepon dan memanggil mereka.90 Semua dideskripsikan dengan jelas oleh Leila: ...Sepanjang jalan yang kusaksikan adalah mal-mal kecil maupun besar yang hangus tinggal tulang belulang, trotoar, dan pagar yang luluh lantak, tanda dan rambu jalanan yang lepas atau meleleh terbakar, gedunggedung yang biasanya terlihat megah tinggal kerangka hitam yang sia-sia. ATM hancur lebur. Supermarket, bank-bank, dan pertokoan apalagi. Denyut ekonomi dan bisnis negara ini betul-betul disembelih. Kesimpulannya, hingga pagi hari ini, Jakarta di pagi hari betul-betul seperti neraka yang sudah lelah menyiksa.91 Sedangkan Laporan Tim Gabungan Pencarian Fakta (TPGF) membuka latar lebih luas. Benar para pelaku kerusuhan Mei menjadikan etnis Tionghoa sebagai sasaran tembaknya, kalau dilihat dari peta kejadiannya. Namun tidak berarti hanya warga keturunan Tionghoa saja yang menjadi korban. Untuk mencapai tujuannya juga, apakah itu dalam upaya merenggut kekuatan dalam pertikaian politik atau motivasi lain, para pelaku tidak ragu-ragu mengorbankan rakyat kecil yang sengaja mereka iming-imingi dengan kepuasan “membalas
88
Anggraeni, op. cit., h. 68. Leila, op. cit., h. 426. 90 Anggraeni, op. cit., h. 22. 91 Leila, op. cit., h. 433. 89
59
dendam” pada kelompok keturunan Tionghoa yang mereka gambarkan sebagai orang-orang kaya yang layak dirampok.92 Melalui siaran televisi, dengan tega mereka menyiarkan korban yang terbakar. Bertumpuk dan dimasukkan begitu saja ke dalam kantong hitam. Dan aku tak bisa lagi menyebutkan kisah-kisah tentang penyerangan dan perkosaan terhadap perempuan keturunan Tionghoa. Ceritanya begitu simpang siur dan terlalu grotesque sehingga kepalaku terasa digedor-gedor. (433)
C. Implikasi terhadap Indonesia
Pembelajaran
Bahasa
dan
Sastra
Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia merupakan pembelajaran yang dapat menambah wawasan peserta didik terhadap permasalahan kehidupan. Membaca karya sastra seperti novel menjadikan peserta didik lebih peka terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Nilai-nilai yang dapat diperoleh peserta didik dalam membaca karya sastra salah satunya dapat berupa nilai sejarah. Dengan demikian, mengetahui sejarah dapat dilakukan dengan melakukan pembacaan terhadap novel. Novel Pulang karya Leila S. Chudori memiliki banyak nilai sejarah yang dapat menambah pengetahuan siswa mengenai sejarah yang pernah terjadi di Indonesia. Nilai sejarah yang terdapat dalam novel memiliki kelebihan tersendiri yakni penarasian yang dapat mengolah kepekaan siswa terhadap rasa kemanusiaan.
Selain
itu,
siswa
mendapatkan
pengalaman
baru
dalam
membandingkan penyajian sejarah. Di sisi lain, guru juga dapat menjelaskan lebih mendetail mengenai kaitan unsur ekstrinsik yang membangun sebuah karya sastra. Skripsi tentang nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dapat diimplikasikan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia kelas XI SMA semester 2 dengan standar kompetensi mendengarkan, memahami pembacaan novel dan kompetensi dasar menemukan nilai-nilai dalam novel yang
92
Anggraeni, op. cit., h. 144.
60
dibacakan. Berikut ini adalah RPP yang sesuai dengan implikasi nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
SEKOLAH
: SMA/MA .....................
MATA PELAJARAN
: Bahasa Indonesia
KELAS
: XI
SEMESTER
:2
TAHUN PELAJARAN
: ....................
A.
STANDAR KOMPETENSI : Mendengarkan : Memahami pembacaan novel
B.
KOMPETENSI DASAR : Menemukan nilai-nilai dalam novel yang dibacakan
C.
INDIKATOR : No Indikator Pencapaian Kompetensi 1 2
D.
TUJUAN PEMBELAJARAN : Siswa dapat:
E.
Menemukan nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Mendiskusikan nilai-nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori.
Nilau Budaya dan Karakter Bangsa Mandiri Tanggung Jawab Komunikatif Kritis
Menemukan nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Mendiskusikan nilai-nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Churdori.
MATERI PEMBELAJARAN : Novel yang dibacakan yakni novel Pulang karya Leila S. Chudori
61
Nilai-nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori
F.
METODE PEMBELAJARAN : Penugasan Diskusi Tanya Jawab Ceramah
G.
LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN : No Kegiatan Belajar 1 Kegiatan Awal : Guru menjelaskan tujuan pembelajaran hari ini. 2
3
Kegiatan Inti : Eksplorasi Dalam kegiatan eksplorasi, siswa: Membaca novel Pulang karya Leila S. Chudori. Menemukan nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Elaborasi Dalam kegiatan elaborasi, siswa: Mendiskusikan nilai-nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Konfirmasi Dalam kegiatan konfirmasi, siswa: Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum diketahui. Menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui. Kegiatan Akhir: Refleksi Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini. Penugasan
H.
ALOKASI WAKTU : 2 x 40 menit
I.
SUMBER BELAJAR/ALAT/BAHAN : Novel Pulang karya Leila S. Chudori
J.
PENILAIAN :
Jenis Tagihan: tugas individu ulangan Bentuk Instrumen: uraian bebas
Alokasi Waktu 15 menit
60 menit
15 menit
62
pilihan ganda jawaban singkat
Mengetahui,
Bekasi,
Kepala SMA/MA............
Guru Mata Pelajaran,
_________________
___________________
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan pembahasan terhadap novel Pulang karya Leila S. Chudori, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori ini terdiri dari pergerakan Partai Komunis Indonesia dan perkembangannya di sekitar tahun 1960-an, tragedi September 1965 saat terjadinya penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa jenderal Angkatan Darat oleh PKI, situasi pemerintahan setelah tragedi September 1965 yakni banyaknya penculikan dan pengeksekusian terhadap pihak-pihak yang terlibat dengan gerakan Partai Komunis Indonesia, terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret, kondisi eks tahanan politik yang berada di luar negeri yakni sulit untuk mendapatkan akses pulang ke tanah air, masa pemerintahan Presiden Soeharto yakni pembangunan yang dilakukannya serta tindakan KKN yang menjadi catatan hitam dalam pemerintahannya, tragedi Mei 1998 dan runtuhnya rezim Soeharto, etnis Tionghoa yang menjadi korban kerusahan Mei 1998. 2. Penelitian mengenai nilai sejarah dalam novel Pulang ini dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di SMA kelas XI semester 2. Standar Kompetensi yang sesuai yakni aspek mendengarkan dengan memahami pembacaan novel. Kompetensi Dasar yang sesuai yakni menemukan
nilai-nilai
dalam
novel
yang
dibacakan.
Kegiatan
menganalisis nilai sejarah ini di samping menambah pengetahuan terhadap pengkajian novel, juga menambah pengetahuan siswa terhadap sejarah bangsa Indonesia yang pernah terjadi.
63
64
B. Saran Pada bagian akhir penelitian ini penulis ingin menyampaikan beberapa saran sehubungan dengan penelitian yang telah dilakukan. Adapun saran-saran yang ingin penulis sampaikan adalah sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini tidak hanya dapat digunakan dalam pembelajaran sastra, tetapi juga dapat digunakan dalam pembelajaran menulis novel dari kondisi di sekitar siswa. Dikatakan demikian, karena ternyata pengalamanpengalaman yang terdapat dalam novel Pulang Karya Leila S. Chudori mengandung banyak sejarah yang terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut dapat dijadikan alasan untuk memasukan unsurunsur pengalaman sebagai bahan pembelajaran menulis novel. Hal tersebut dilakukan agar siswa tidak mengalami kesulitan dalam menyampaikan ide, gagasan dan pengalamannya dalam bentuk bahasa tulis. 2. Peneliti menyarankan agar para peneliti-peneliti yang lain dapat mengungkapkan berbagai sejarah Indonesia melalui novel-novel yang berkembang seiring dengan perkembangan sejarah itu sendiri. 3. Untuk mengkaji pengalaman-pengalaman dalam karya sastra, khususnya novel dapat dilakukan melalui pengakajian unsur-unsur yang membangun karya sastra tersebut. 4. Guru hendaknya mengkaji pengalaman-pengalaman yang terdapat dalam karya sastra sebagai acuan ketika akan menentukan bahan pembelajaran apresiasi sastra. Sebagian besar pengkajian hanya dilakukan pada struktur dan gaya bahasa suatu karya sastra, tidak mencakup pengalamanpengalaman yang terdapat dalam karya sastra. 5. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia semakin diminati oleh siswa karena memiliki banyak manfaat untuk menambah wawasan sosial, budaya, dan sejarah bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999. Aminuddin. Pengantar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Sinar Baru. 1987 Anggraeni, Dewi. Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan. Jakarta: PT Kompas Media. 2014. Anwar, H. Rosihan. Sukarno, Tentara, PKI, Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2007. Aswadiah, Roichatul. dan Nurkhoiron, Muhammad. e-book Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat. Jakarta: KOMNASHAM RI. Atmazaki, Drs. Ilmu Sastra, Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya. 1990. Cet.Ke-10. Bertened. Etika, Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama. 2011. Cet. 11. Chudori, Leila S. Pulang. Jakarta: Gramedia. 2012. Cet. 2. Erowati, Rosida dan Ahmad Bahtiar. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah. 2011. Jalaludin dan Abdillah Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama. 1997. Kosasih. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya. 2012. Kurniawan,
dkk.,
Pengakuan
Algojo
1965
Investigasi
Tempo
Perihal
Pembantaian 1965. Jakarta: PT Tempo Inti Media. 2014. Lesmana , Tjipta. Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para Penguasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2009 Mahayana, Maman S. Eksintrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2007. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya. Cet. 29, 2011.
Poeze, Harry A. Tan Malaka Pergulatan Menuju Republik I. Jakarta: PT Temprint. 1988. Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. 3 2007. Rosyadi, Khoiron. Pendidikan Prospektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. Cet. 1. Said, Salim. Dari Gestapu ke Reformasi Serangkaian Kesaksian. Bandung: Mizan Media Utama. 2013. Said, A. Umar. Instruksi Mendagri No 32/1981 Perlu Dihapus Segera. http://umarsaid.free.fr. 19.56 WIB. 11 Februari 2015. ______________. Rehabilitasi Hak Sipil Dan Hak Politik Bagi Ex-Tapol. http://umarsaid.free.fr. 20.21 WIB. 11 Februari 2015. Semi, Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya. 1988. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grassindo. 2008. Sjarkawi. Pembentukan Kepribadian Anak ; Peran Moral Intelektual, Emosional, dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008. Cet. 2. Stanton, Robert. Teori Fiksi. 2007 (Yogyakarta, Pustaka Pelajar), h. 9. Sugihastuti. Teori Apresiasi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet ke-2. 2007. Sulastomo. Hari-Hari yang Panjang Transisi Orde Lama ke Orde Baru Sebuah Memoar. Jakarta: Kompas Media Nusantara. 2008. Sulastri, Euis, Dkk. Bahasa dan Sastra Indonesia 2. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Tamburaka, H. Rustam E. Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah. Sejarah Filsafat, dan Iptek. Jakarta: Rineka Cipta. 2002. Zaidan, Abd., dkk. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka. 2007.