NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MENGENAI KEKERASAN PSIKOLOGIS DALAM KELUARGA DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU AGRESIF REMAJA
Oleh: INDAH PERJUANGAN IRWAN NURYANA K
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2006
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MENGENAI KEKERASAN PSIKOLOGIS DALAM KELUARGA DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU AGRESIF REMAJA
Telah Disetujui Pada Tanggal
Dosen Pembimbing Utama
(Irwan Nuryana K S.psi, M.psi)
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MENGENAI KEKERASAN PSIKOLOGIS DALAM KELUARGA DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU AGRESIF REMAJA Indah Perjuangan Irwan Nuryana K
INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan positif antara persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga dengan kecenderungan perilaku agresif remaja. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga dengan kecenderungan perilaku agresif remaja. Semakin tinggi persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga, semakin tinggi kecenderungan perilaku agresif remaja. Sebaliknya semakin rendah persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga, semakin rendah pula kecenderungan perilaku agresif remaja. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja SMU, usia umur 15-18 tahun, dan belum menikah. Adapun skala yang digunakan adalah hasil dari skala yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan teori-teori yang telah ada. Skala kecenderungan perilaku agresif berdasarkan teori dari Feldman (1997) dan Dodge (Ong, 2005). Skala ini tersusun atas 14 aitem yang terdiri dari aitem favorable dan untuk skala persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga berdasarkan teori dari Kelly (2004), Straus (2003), dan Hart (1988). Skala ini tersusun atas 27 aitem. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi metode Stepwise. Sebelum dilakukan analisis regresi terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang mencakup uji normalitas dan uji linearitas. Proses analisis data ini dipercepat dan dipermudah dengan adanya perangkat lunak SPSS for Windows versi 12.0. Berdasarkan hasil analisis penelitian maka hipotesis dari penelitian ini terbukti, dapat dilihat dari nilai Sig. uji F sebesar 0,001 (< 0.05) yang artinya ada korelasi atau hubungan yang signifikan antara persepsi mengenai kekerasan ibu dengan kecenderungan perilaku agresif. Jadi hipotesis dari penelitian ini diterima yaitu ada hubungan yang positif antara persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga dengan kecenderungan perilaku agresif remaja. Kata kunci : Persepsi Mengenai Kekerasan Psikologis Dalam Keluarga, Kecenderungan Perilaku Agresif Remaja.
Pengantar
Remaja merupakan generasi penerus bangsa. Di pundak remajalah suatu bangsa menaruh harapannya untuk membangun bangsanya agar lebih maju dan berkembang lagi. Menurut Csikszentimihalyi & Larson (Sarwono, 2002) remaja adalah “restrukturisasi kesadaran”. Jadi masa remaja diartikan sebagai masa dimana seorang remaja harus membangun kembali kesadarannya yang masih berada pada tahap pertengahan antara kanak-kanak menuju dewasa, dimana masa remaja memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada masa kanak-kanak yang baru saja ditinggalkannya tersebut. Oleh karena itu remaja haruslah menjadi generasi yang memiliki kepribadian dan perilaku yang baik untuk dapat menjalankan tanggung jawab tersebut. Tapi di masa remaja juga sering rentan terhadap masalah yang timbul pada masa remaja akibat dari proses pencarian jati diri dari remaja itu sendiri. Remaja diharapkan memperoleh perkembangan emosi secara matang yang akan terlihat dari adanya adekuasi emosi: cinta kasih, simpati, senang menolong orang lain, sikap hormat atau menghargai orang lain dan ramah, mengendalikan emosi: tidak mudah tersinggung, tidak agresif, bersikap optimis, dan tidak pesimis (putus asa), dan dapat menghadapi situasi frustasi secara wajar. Mencapai perkembangan emosional merupakan tugas perkembangan yang sangat sulit bagi remaja. Proses pencapaiannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-emosional lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya. Apabila lingkungan tersebut diwarnai oleh hubungan yang harmonis, saling mempercayai, saling menghargai, dan tanggung jawab, maka remaja cenderung dapat mencapai kematangan emosionalnya. Sebaliknya, apabila kurang dipersiapkan untuk memahami peran-perannya dan kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orangtua atau pengakuan dari
teman sebaya, mereka cenderung akan mengalami kecemasan, perasaan tertekan, atau ketidaknyamanan emosional (Yusuf, 2002). Menghadapi ketidaknyamanan emosional tersebut, tidak sedikit remaja yang mereaksinya secara defensif, sebagai upaya untuk melindungi kelemahan dirinya. Reaksi itu tampil dalam tingkah laku yang maladjustment, seperti: agresif; melawan, keras kepala, bertengkar, berkelahi, dan senang mengganggu, dan melarikan diri dari kenyataan; melamun, pendiam, senang menyendiri, dan minum-minuman keras atau obat-obatan terlarang. Salah satu akibat dari tidak matangnya perkembangan emosi remaja adalah perilaku agresif. Perilaku agresif itu sendiri menurut Sears, dkk (1991) merupakan perilaku yang melukai orang lain. Manifestasi dari perilaku agresif remaja itu dapat dilihat dari banyaknya kenakalan remaja akhir-akhir ini. Banyak remaja yang melakukan perilaku agresif, seperti yang ditayangkan di Indosiar dalam acara Patroli, Sabtu 12 Maret 2005 yaitu remaja yang melakukan tindak kekerasan terhadap sesama temannya, dalam jejak kasus, Sabtu 12 Maret 2005 di Bogor, dimana siswa SMU tewas dipukul kakak kelasnya karena tidak memberikan uang yang diminta dari kakak kelasnya itu, dan di Jepang remaja berusia 16 tahun membakar rumahnya sendiri karena kesal tidak lulus ujian (Detik.com), hal yang lebih mengkhawatirkan lagi yaitu karena dimarahi oleh ayahnya, seorang remaja laki-laki di Padang nekad bunuh diri (Patroli Indosiar, Sabtu 12 Maret 2005). Dari penelitian yang ada, terdapat fakta bahwa remaja yang mengalami perilaku agresif tersebut berasal dari keluarga yang memakai kekerasan (family violence). Hal ini berdasarkan penelitian dari Straus dan Gelles (Olson&Defrain, 2003), dimana telah mewawancarai 3206 orang tua dari remaja yang berumur di bawah 17 tahun yang tinggal di rumah. Wawancara tersebut berisi tentang masalah yang remaja alami
berkaitan dengan penggunaan kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya di tahun sebelumnya. Masalah yang remaja alami adalah tidak bisa menjalin hubungan pertemanan, mengamuk, masalah disiplin, tidak naik kelas, perilaku menyimpang, dan tidak patuh di rumah, perkelahian fisik dengan remaja lain, perkelahian fisik dengan orang dewasa, menghancurkan barang-barang, mencuri uang atau barang, minum-minuman, menggunakan obat, dan ditangkap. Penelitian yang lainnya yaitu penelitian dari Vissing, dkk (Black, 2001) didapatkan data dari 3346 keluarga yang menjadi sampel bahwa agresi anak (perkelahian fisik dengan temannya), kenakalan (suka mencoret-coret di sembarang tempat) dan masalah dalam berhubungan dengan orang lain (membuat ulah dengan teman-temannya) disebabkan karena anak-anak tersebut mengalami kekerasan psikologis. Kekerasan dalam keluarga dapat berupa kekerasan terhadap pasangan, baik itu suami terhadap istri maupun istri terhadap suami. Kekerasan terhadap pasangan ini dapat memunculkan bentuk kekerasan dalam keluarga yang lainnya yaitu kekerasan orangtua terhadap anak, baik ibu terhadap anak atau ayah terhadap anak. Jouriles, dkk (Olson&Defrain, 2003) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap pasangan dan kekerasan terhadap anak saling berhubungan. 70 % laki-laki dewasa yang melakukan kekerasan terhadap pasangannya juga akan malakukan kekerasan terhadap anaknya. Gelles juga mengatakan bahwa orangtua yang melakukan kekerasan terhadap pasangannya akan melakukan kekerasan terhadap anaknya juga (Olson&Defrain, 2003). Gelles, dkk mengemukakan teori sistem keluarga yaitu adanya kecenderungan melalui kekerasan dalam keluarga, baik orang dewasa yang tumbuh di keluarga yang memakai kekerasan, anak juga akan belajar untuk menjadi pelaku kekerasan sama seperti pelaku yang sesungguhnya. Anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan
akan belajar untuk menjadi pelaku kekerasan. Anak-anak tersebut mengembangkan perilaku melalui kekerasan yaitu: ketika kecil dipukul kemudian ketika besar mengulang apa yang dipelajari tersebut. Anak perempuan yang belajar kekerasan di keluarganya akan menjadi pelaku kekerasan juga ketika menikah (Olson&Defrain, 2003). Resiko bagi remaja yang tumbuh dalam keluarga yang memakai kekerasan hampir sama dengan dua kali resiko remaja yang tinggal dalam keluarga yang secara bebas menggunakan kekerasan. Lebih dari 40 % remaja dari keluarga yang memakai kekerasan memiliki masalah di sekolah, dimana remaja menjadi agresif dan mempunyai masalah dalam hal penggunaan obat dan alkohol. 23 % remaja yang tumbuh dalam keluarga yang tidak memakai kekerasan memiliki pengalaman atas masalah yang sama. Remaja yang tinggal dalam keluarga yang memakai kekerasan berkemungkinan tiga atau empat kali melanggar hukum dan ditangkap. Remaja yang tumbuh dalam keluarga yang memakai kekerasan cenderung menjadi bagian dari lingkaran kekerasan (Olson&Defrain, 2003). Untuk itulah peneliti mencoba meneliti faktor kekerasan psikologis dalam keluarga sebagai sebab utama yang menyebabkan remaja berperilaku agresif. Kekerasan dalam keluarga dapat mempengaruhi remaja untuk berperilaku agresif karena remaja akan mempelajari dan mengobservasi apapun yang ada di sekitarnya melalui proses persepsi, karena remaja adalah generasi yang kritis terhadap hal apapun. Remaja yang mengalami kekerasan dalam keluarga khususnya kekerasan psikologis akan mempelajari, mengobservasi, dan mempersepsi kekerasan tersebut sehingga remaja mempunyai suatu persepsi tertentu terhadap kekerasan yang dialaminya. Hal tersebut akan mempengaruhi remaja dalam menghadapi situasi yang dapat memancing emosinya untuk berperilaku agresif. Apabila lingkungan
mengajarkan dan menanamkan pada remaja untuk berperilaku agresif maka remaja akan menghadapi suatu situasi tertentu dengan sikap yang agresif pula. Hal ini terjadi secara tidak langsung melalui proses observasi oleh pancaindera dan kemudian mempengaruhi remaja secara emosional dan akan tertanam dalam diri remaja, kemudian akan teraktualisasi dari perilaku remaja tersebut sehari-hari. Rumusan masalah di atas mendorong peneliti untuk meneliti keterkaitan antara persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga dengan kecenderungan perilaku agresif pada remaja. Penelitian serupa yang pernah dilakukan adalah Hubungan antara minat terhadap film kekerasan dengan perilaku agresif pada remaja di SMU Negeri 1 Kudus. Hasil penelitiannya adalah bahwa minat terhadap film kekerasan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku agresif, karena tidak semua remaja menyukai film kekerasan (Fitrianingsih, 2004). Penelitian lain yaitu Hubungan antara persepsi penerimaan orang tua dan identitas diri dengan agresivitas pada remaja. Kesimpulan penelitiannya yaitu ada hubungan yang sangat signifikan antara persepsi penerimaan orang tua dengan agresivitas, ada hubungan yang yang signifikan antara identitas diri dengan agresivitas, dan kedua variabel independent berpengaruh terhadap agresivitas (Nisrina, 2004), dan juga penelitian lain dari Straus (2003) yang berjudul kekerasan psikologis oleh orang tua di Amerika.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga dengan kecenderungan perilaku agresif remaja. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini secara teoritis yaitu untuk memberikan sumbangan bagi psikologi perkembangan dan psikologi sosial. Penelitian ini memberikan sumbangan bagi psikologi perkembangan karena dapat mengetahui perkembangan remaja secara emosional tersebut dapat juga dipengaruhi oleh kekerasan yang terjadi di keluarga atau keluarga. Sedangkan bagi psikologi sosial adalah untuk memberikan pengetahuan bahwa remaja dalam berperilaku dengan lingkungannya juga dipengaruhi oleh apa yang telah tertanam dalam dirinya yaitu lewat lingkungannya. Dimana
lingkungannya
menanamkan
sesuatu
dalam
dirinya
yang
akan
mempengaruhi remaja dalam berperilaku dan bertindak terhadap suatu situasi tertentu. Manfaat praktis dari penelitian ini dapat berguna bagi orang tua atau keluarga yang menanamkan kekerasan dalam keluarganya untuk tidak memakai kekerasan dalam keluarganya dalam menyelesaikan masalah yang terjadi. Agar remaja tidak meniru kekerasan yang mereka lihat di keluarganya untuk digunakan dalam berperilaku sehari-hari. Remaja diharapkan untuk tidak meniru kekerasan tersebut yang akan merugikan orang lain dan juga dirinya sendiri. Remaja akan memandang kekerasan yang terjadi di keluarganya tersebut sebagai cambuk bagi dirinya untuk memperbaiki diri agar tidak mengulangi hal yang sama pada anaknya di kemudain hari nanti. Maka remaja akan lebih berpikir positif dan dapat menyelesaikan setiap masalah dengan emosi yang stabil dan tidak berperilaku agresif.
Kecenderungan Perilaku Agresif Remaja Menurut Poerwadarminta dalam kamus umum bahasa Indonesia (1976), kecenderungan diartikan sebagai kecondongan (hati); kesudian; keinginan (kesukaan) akan. Jadi apabila dikaitkan dengan kecenderungan perilaku agresif, pengertian
kecenderungan disini diartikan sebagai kecondongan atau keinginan untuk melakukan perilaku agresif. Kecenderungan ini dinilai sebagai sejauh mana seseorang mempunyai kemungkinan atau keinginan untuk melakukan perilaku agresif dalam situasi tertentu. Menurut Sears, dkk (1991) pendekatan belajar atau pendekatan perilaku (behavioristik) mengemukakan bahwa agresi merupakan perilaku yang melukai orang lain. Myers (1990) dan Wiggins, dkk (1994) mengungkapkan agresi sebagai perilaku yang dilakukan dengan sengaja untuk menyakiti atau melukai orang lain. Rifai (1984) mengungkapkan bahwa remaja adalah pemuda-pemudi yang berada pada masa perkembangan yang disebut masa “adolesensi” (masa remaja masa menuju kedewasaan). Berdasarkan
uraian
diatas,
peneliti
menyimpulkan
pengertian
dari
kecenderungan perilaku agresif remaja adalah kecondongan atau keinginan untuk melakukan perilaku yang berupa verbal dan fisik yang dilakukan dengan sengaja yang berisi perasaan-perasaan marah atau permusuhan yang dilakukan oleh pemudapemudi yang berada pada masa perkembangan ke masa remaja atau masa menuju kedewasaan yang bertujuan untuk melukai orang lain. Aspek-aspek kecenderungan perilaku agresif yang dipakai dalam penelitian ini adalah agresi fisik, agresi verbal, dan agresi emosional Persepsi Mengenai Kekerasan Psikologis Dalam Keluarga Menurut Walgito (2002) persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui indera. Menurut Matsumoto (2004) persepsi biasanya dimengerti sebagai bagaimana informasi yang berasal dari organ yang terstimulasi diproses, termasuk bagaimana informasi tersebut diseleksi, ditata, dan ditafsirkan. Berdasarkan kedua
pengertian tersebut terdapat kesamaan pengertian bahwa persepsi adalah proses pengorganisasian informasi yang telah diterima melalui indera dan juga merupakan proses interpretasi atau penafsiran stimulus atau informasi yang diterima tersebut. O’Hagan (Straus, 2003) mengartikan kekerasan psikologis sebagai perilaku yang dilakukan orang tua yang berupa penolakan dan penurunan nilai yang menghasilkan luka pada anak. Kekerasan ini dapat juga berupa perlakuan kejam yang merupakan perilaku yang tidak sesuai dan merusak yang akan menurunkan fungsi dan proses mental dari anak. Kekerasan psikologis ini dilakukan oleh orang tua terhadap anak dengan cara melukai anak dan dapat menimbulkan dan meninggalkan luka fisik dan turunnya mental anak sehingga hal tersebut akan memperngaruhi perilaku dan mental anak. Shull (1999) mengungkapkan pengertian kekerasan psikologis sebagai penderitaan yang berulang-ulang, perilaku yang tidak sesuai yang merusak atau merugikan, atau mengurangi perkembangan potensial dan kreatif dari kemampuan mental yang sangat penting dan juga mengganggu proses mental anak, meliputi; kecerdasan, memori, persepsi, perhatian, bahasa, dan perkembangan moral. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1995) keluarga adalah ibu bapak dengan anak-anaknya; seisi rumah. Berdasarkan uraian diatas, peneliti menyimpulkan pengertian dari persepsi mengenai kekerasan psikologis adalah proses diterimanya stimulus yang berupa perilaku yang dilakukan oleh orang tua yang berupa penolakan dan penurunan nilai, penderitaan yang berulang-ulang, perilaku yang tidak sesuai yang merusak atau merugikan dan menghasilkan luka pada anak yang diperoleh melalui indera, dan anak mengerti dan menyadari bahwa hal tersebut merupakan kekerasan yang berupa perlakuan kejam, perilaku yang tidak sesuai dan merusak yang akan menurunkan
fungsi dan proses mental anak, meliputi; kecerdasan, memori, persepsi, perhatian, bahasa, dan perkembangan moral. Aspek-aspek persepsi mengenai kekerasan psikologis yang dipakai dalam penelitian ini adalah dominance / dominasi, emotional (emosional), verbal (Dengan bahasa verbal), rejection / penolakan, terrorizing / menakut-nakuti, isolating / mengisolasi, dan exploiting / eksploitasi. Hubungan Antara Kekerasan Psikologis Dalam Keluarga Dengan Perilaku Agresif Remaja Menurut Berkowitz (1995) kepribadian yang sangat agresif biasanya merupakan hasil pengaruh negatif yang terus-menerus. Pengaruh negatif yang terus-menerus ini berasal dari lingkungan keluarga, dimana seorang remaja tumbuh dan berkembang dari lahir sampai dengan dewasa. Analisis Patterson (Berkowitz, 1995) mengatakan bahwa bahwa banyak anak pada dasarnya terlatih untuk bertindak agresif melalui interaksi dengan para anggota keluarga yang lain, baik interaksi dengan orang tuanya maupun saudaranya yang lain. Dengan kata lain kekerasan psikologis yang terjadi di dalam keluarga yang berupa kekerasan dengan bahasa verbal dan perbuatan yang menakut-nakuti tersebut baik itu dilakukan orang tua terhadap anak maupun antar pasangan suami istri dapat mengajarkan remaja untuk bertindak agresif dalam kehidupan sehari-harinya, baik itu di lingkungan keluarganya maupun interksi dengan teman-temannya. Hal ini berdasarkan teori belajar sosial yang menjelaskan bahwa remaja akan mengobservasi dan meniru kekerasan yang terdapat di lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan keluarga. Ketika remaja menjadi korban dari kekerasan atau melihat kekerasan dalam keluarganya maka remaja akan cenderung meniru kekerasan tersebut, sehingga ketika berhadapan dengan situasi yang membuat remaja stress atau tertekan remaja akan
mengadopsi strategi untuk menghadapi situasi tersebut berdasarkan observasinya di lingkungan keluarganya yang penuh dengan kekerasan dan remaja akan memakai kekerasan juga dalam menghadapi situasi yang menekan tersebut dengan cara berperilaku agresif (Anooshian, 2005). Hal ini terjadi karena ketika remaja menjadi korban dari kekerasan atau melihat kekerasan itu sendiri, remaja akan membawa kekerasan dan agresi tersebut dalam hubungan sosialnya, dalam hal ini adalah interaksinya dengan teman-temannya (Anooshian, 2005). Apabila remaja secara terus-menerus dari kecil sampai dengan remaja diperlakukan kasar oleh orang tuanya maka akan mendorong remaja untuk berperilaku agresif karena menurut Berkowitz (1995) kehidupan masa kecil sangat menentukan seberapa mudah dan seringnya seseorang melakukan penyerangan ketika merasa ditantang atau terancam. Sebagai contohnya adalah seorang remaja walaupun hanya menyaksikan orang dewasa yang tidak dikenalnya marah satu sama lainpun bisa mendorong remaja tersebut untuk saling memukul, menendang, dan mendorong, sehingga apabila remaja melihat pertengkaran orang tuanya atau merasakan sendiri kekerasan tersebut akan membuat remaja lebih terganggu dan menjadi lebih agresif (Berkowitz, 1995). Kemudian remaja akan mempersepsikan bahwa kekerasan yang dilihat dan dirasakannya tersebut adalah sebagai cara untuk melindungi diri dari bahaya atau situasi / lingkungan yang membuatnya stres, sehingga remaja akan berperilaku agresif untuk menghadapi situasi yang mengancam dirinya (Anooshian, 2005). Berdasarkan penelitian dari Vissing, dkk (Black, 2001) didapatkan data dari 3346 keluarga yang menjadi sampel bahwa agresi anak (perkelahian fisik dengan temannya), kenakalan (suka mencoret-coret di sembarang tempat) dan masalah dalam berhubungan dengan orang lain (membuat ulah dengan teman-temannya) disebabkan karena anak-anak tersebut mengalami kekerasan psikologis.
Hipotesis Berdasarkan penjelasan di atas maka hipotesis penelititan ini adalah ada hubungan yang positif antara persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga dengan kecenderungan perilaku agresif remaja. Semakin tinggi persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga maka akan semakin tinggi pula kecenderungan perilaku agresif remaja, maksudnya yaitu semakin positif persepsi remaja mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga; remaja mengakui bahwa dalam keluarganya ada kekerasan psikologis, begitu pula sebaliknya semakin rendah persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga maka akan semakin rendah pula kecenderungan perilaku agresif remaja, maksudnya yaitu semakin negatif persepsi remaja mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga; bahwa dalam keluarganya tidak ada kekerasan psikologis Metode Penelitian Identifikasi Variabel Penelitian -
Variabel tergantung
: Kecenderungan perilaku agresif.
-
Variabel bebas
: Persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga. Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah remaja putri dan putra, yang berpendidikan SMU, umur 15-18 tahun, dan belum menikah. Subjek penelitian ini diambil di SMU Negeri 6 Palembang. Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengungkapan kecenderungan perilaku dan metode pengungkapan persepsi. Skala yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala yang dibuat sendiri oleh peneliti, terdiri dari
dua skala yaitu skala kecenderungan perilaku agresif dan skala persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga; dibagi menjadi dua skala yaitu skala persepsi mengenai kekerasan psikologis yang dilakukan oleh ayah dan yang dilakukan oleh ibu. Skala kecenderungan perilaku agresif dibuat berdasarkan teori dari Feldman (1997) dan Dodge (Ong, 2005). Skala ini tersusun atas 46 aitem yang terdiri dari aitem favorable. Setelah melalui uji analisis faktor didapatkan aitem yang valid sebanyak 31 aitem. Skala persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga dibuat berdasarkan teori dari Kelly (2004), Straus (2003), dan Hart (1988). Skala ini tersusun atas 68 aitem yang terdiri dari aitem favorable. Setelah melalui uji analisis faktor didapatkan aitem yang valid sebanyak 58 aitem. Skala persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga ini dibagi menjadi dua yaitu kekerasan psikologis yang dilakukan oleh ayah dan yang dilakukan oleh ibu. Ketiga skala tersebut harus direspon oleh subjek dengan empat alternatif jawaban yang menunjukkan frekuensi kejadian, yaitu : selalu (SL), sering (SR), kadang-kadang (KD), dan tidak pernah (TP). Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi metode Stepwise. Sebelum dilakukan analisis regresi terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang mencakup uji normalitas dan uji linearitas. Proses analisis data ini dipercepat dan dipermudah dengan adanya perangkat lunak SPSS for Windows versi 12.0. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian diperoleh subjek sebanyak 114 orang, dan subjek yang tidak dapat diolah datanya ada 10 orang subjek, hal ini dikarenakan adanya aitem yang terlewati untuk diisi oleh subjek tersebut. Sehingga subjek dalam
penelitian ini berjumlah 104 orang, subjek perempuan berjumlah 64 orang dan subjek laki-laki sebanyak 40 orang.
Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Total
Tabel 1 Deskripsi subjek penelitian Jumlah 64 orang 40 orang 104 orang
Persentase 38,46 % 61, 54 % 100
Gambaran data hasil penelitian secara umum dapat dilihat pada tabel deskripsi hasil penelitian dibawah ini : Tabel 2 Deskripsi hasil penelitian Hipotetik Variabel X.min X.max Mean SD Agresif 0 42 21 7 Kekerasan Ayah 0 81 40,5 13,5 Kekerasan Ibu 0 81 40,5 13,5
Empirik X.min X.max Mean SD 2 39 12,6442 7,12158 0 27 4,8269 5,52214 0 37 7,4038 7,96048
Berdasarkan data yang diperoleh, peneliti menggolongkan subjek kedalam lima kategori yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Berdasarkan kategori skor skala kecenderungan perilaku agresif, maka dapat disimpulkan bahwa subjek penelitian yang mempunyai mean sebesar 12,6442 termasuk dalam kategori rendah, sedangkan dari kategori skor skala persepsi mengenai kekerasan psikologis yang dilakukan Ayah, maka dapat disimpulkan bahwa subjek penelitian yang mempunyai mean sebesar 4,8269 termasuk dalam kategori sangat rendah. Berdasarkan kategori skor skala persepsi mengenai kekerasan psikologis yang dilakukan Ibu, maka dapat disimpulkan bahwa subjek penelitian yang mempunyai mean sebesar 7,4038 termasuk dalam kategori sangat rendah.
Uji Hipotesis
Tabel 3 Correlations Agresi Pearson Correlation agresi 1,000 kekerasanAyah 0,181 kekerasanIbu 0,322 Sig. (1-tailed)
N
agresi kekerasanAyah 0,033 kekerasanIbu 0,000 agresi 104 kekerasanAyah 104 kekerasanIbu 104
kekerasanAyah 0,181 1,000 0,612
kekerasanIbu 0,322 0,612 1,000
0,033
0,000
0,000 104 104 104
104 104 104
Berdasarkan Tabel di atas didapatkan hasil yaitu : a.
Hipotesis penelitian ini diterima yaitu ada hubungan antara persepsi mengenai
kekerasan psikologis dalam keluarga dengan kecenderungan perilaku agresif remaja. b.
Hipotesis yang kedua yaitu ada hubungan yang signifikan antara persepsi
mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga yang dilakukan oleh ibu dengan kecenderungan perilaku agresif remaja, dimana persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga yang dilakukan oleh ibu merupakan prediktor terjadinya kecenderungan perilaku agresif remaja. c.
Persepsi mengenai kekerasan psikologis yang dilakukan ayah juga berhubungan
dengan kecenderungan perilaku agresif tapi persepsi mengenai kekerasan psikologis yang dilakukan ayah tidak dapat dijadikan prediktor karena belum tentu menyebabkan terjadinya kecenderungan perilaku agresif. Dengan analisis regresi, peneliti juga mengetahui salah satu aspek dari skala persepsi mengenai kekerasan psikologis yang dilakukan ibu, dimana aspek tersebut merupakan aspek yang menyebabkan terjadinya kecenderungan perilaku agresif. Dari
hasil analisis didapatkan kesimpulan bahwa aspek yang menyebabkan terjadinya kecenderungan perilaku agresif adalah aspek keempat yaitu aspek verbal, pada level 0,05 dengan rx1y = 0,328 ; p = 0.001. Aspek-aspek yang lain yaitu aspek emosional, penolakan, isolasi, terrorizing, dan dominasi juga memiliki hubungan dengan kecenderungan perilaku agresif, sedangkan aspek eksploitasi tidak memiliki hubungan dengan kecenderungan perilaku agresif. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek verbal merupakan prediktor / penyebab terjadinya kecenderungan perilaku agresif karena memiliki hubungan yang paling kuat dengan kecenderungan perilaku agresif, oleh karena itu aspek verbal memerlukan intervensi agar dapat dikurangi sehingga dapat menurunkan atau mengurangi kecenderungan perilaku agresif remaja. Analisis tambahan dengan menggunakan T-test, untuk mengetahui apakah ada perbedaan persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga baik yang dilakukan ayah dan ibu pada remaja laki-laki dan perempuan. Dari hasil analisis didapatkan kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga baik yang dilakukan ayah dan ibu pada remaja laki-laki dan perempuan, pada level 0,05 dengan p = 0,448; nilai t = 0,762 untuk persepsi mengenai kekerasan psikologis yang dilakukan ayah dan p = 0,543 ; nilai t = - 0,610 untuk persepsi mengenai kekerasan psikologis yang dilakukan ibu.
Pembahasan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga dengan kecenderungan perilaku agresif remaja. Berdasarkan analisis data yang ada didapatkan kesimpulan bahwa hipotesis dari penelitian ini diterima yaitu ada hubungan yang positif antara persepsi
mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga dengan kecenderungan perilaku agresif remaja. Dalam penelitian ini peneliti membuat dua skala kekerasan psikologis yaitu skala kekerasan psikologis yang dilakukan ayah dan yang dilakukan ibu, tetapi setiap aitemnya sama. Berdasarkan analisis regresi yang dilakukan didapatkan hasil bahwa yang mempunyai korelasi atau hubungan yang signifikan dengan kecenderungan perilaku agresif adalah kekerasan psikologis yang dilakukan oleh ibu. Sedangkan kekerasan psikologis yang dilakukan oleh ayah juga memiliki korelasi atau hubungan terhadap kecenderungan perilaku agresif tapi tidak sekuat hubungan antara kekerasan psikologis yang dilakukan oleh ibu dengan kecenderungan perilaku agresif. Hasil penelitian dalam Tabel 8 menunjukkan subjek penelitian memiliki kecenderungan perilaku agresif yang rendah.
Selain itu beberapa aitem juga
memperlihatkan kecenderungan perilaku agresif yang rendah yaitu sebanyak 55,8 % subjek menjawab tidak pernah (TP) untuk aitem 4 yang berbunyi “Ingin rasanya saya merusak barang milik orang yang membuat saya kesal”, sebanyak 57,7 % subjek menjawab tidak pernah (TP) untuk aitem 5 yang berbunyi “Jika ada orang yang mengganggu saya, maka saya ingin mengajaknya berkelahi”, sebanyak 61,5 % subjek menjawab tidak pernah (TP) untuk aitem 7 yang berbunyi “Apabila ada teman yang membuat saya kesal maka saya ingin memakinya di depan teman-teman yang lain”, dan sebanyak 55,8 % subjek menjawab tidak pernah (TP) untuk aitem 10 yang berbunyi “Saya ingin memanggil teman saya dengan sebutan bodoh karena menurut saya dia memang bodoh”. Berdasarkan Tabel 9 subjek penelitian menunjukkan persepsi mengenai kekerasan psikologis yang dilakukan Ayah dengan kategori sangat rendah. Selain itu beberapa aitem juga memperlihatkan persepsi mengenai kekerasan psikologis yang
dilakukan ayah dengan kategori sangat rendah yaitu sebanyak 96,2 % subjek menjawab tidak pernah (TP) untuk aitem 7 yang berbunyi “Apabila ayah kesal terhadap ibu maka ayah akan berteriak-teriak kepada saya untuk melampiaskan kekesalannya”, sebanyak 96,2 % subjek menjawab tidak pernah (TP) untuk aitem 10 yang berbunyi “Jika ayah marah kepada saya maka saya akan dikurung di dalam kamar lebih dari satu jam”, sebanyak 94,2 % subjek menjawab tidak pernah (TP) untuk aitem 12 yang berbunyi “Ayah akan melempari saya dengan barang-barang apabila sedang kesal”, dan sebanyak 97,1 % subjek menjawab tidak pernah (TP) untuk aitem 15 yang berbunyi “Ayah berkata akan menendang saya untuk pergi dari rumah jika ayah sedang kesal terhadap saya”. Berdasarkan Tabel 10 subjek penelitian menunjukkan persepsi mengenai kekerasan psikologis yang dilakukan ibu dengan kategori sangat rendah. Selain itu beberapa aitem juga memperlihatkan persepsi mengenai kekerasan psikologis yang dilakukan Ibu dengan kategori sangat rendah yaitu sebanyak 98,1 % subjek menjawab tidak pernah (TP) untuk aitem 10 yang berbunyi “Jika Ibu marah kepada saya maka saya akan dikurung di dalam kamar lebih dari satu jam”, sebanyak 94,2 % subjek menjawab tidak pernah (TP) untuk aitem 12 yang berbunyi “Ibu akan melempari saya dengan barang-barang apabila sedang kesal”, sebanyak 96,2 % subjek menjawab tidak pernah (TP) untuk aitem 15 yang berbunyi “Ibu berkata akan menendang saya untuk pergi dari rumah jika Ibu sedang kesal terhadap saya”, sebanyak 96,2 % subjek menjawab tidak pernah (TP) untuk aitem 20 yang berbunyi “Ibu akan menendang saya apabila sedang kesal”, dan sebanyak 96,2 % subjek menjawab tidak pernah (TP) untuk aitem 23 yang berbunyi “Ibu akan mengurung saya di dalam kamar mandi apabila saya tidak menuruti perintahnya”.
Subjek penelitian sudah dapat mengontrol kecenderungan untuk berperilaku agresif karena terbukti bahwa kecenderungan perilaku agresifnya rendah, hal ini dikarenakan faktor lingkungan di SMU Negeri 6 Palembang yang bernuansa islami dan banyaknya kegiatan ekstrakulikuler yang menyalurkan kecenderungan tersebut sehingga tidak muncul dan mucul dalam kegiatan yang bermanfaat. Kegiatan ekstrakulikuler yang diadakan oleh SMU Negeri 6 Palembang yaitu eskul nasyid, pembacaan al-quran setiap pagi sebelum belajar dilanjutkan dengan pengajian / kultum selama tujuh menit, dan pengajian setiap hari minggu di sebuah masjid. Kekerasan psikologis yang dilakukan oleh ibu lebih memberikan pengaruh daripada kekerasan yang dilakukan ayah dikarenakan ibu merupakan orang tua yang lebih sering berada di rumah dan lebih banyak waktunya untuk mendidik dan mengasuh anak-anaknya. Ibu juga lebih sering melakukan kekerasan psikologis daripada ayah; kekerasan psikologis tersebut misalnya berteriak-teriak, berkata dengan suara keras, memaki, menjerit ketika memanggil anaknya, dan juga melampiaskan kekesalan kepada anak atau suami dengan cara mengomel dan mengucapkan perkataan yang kasar kepada anaknya. Kekerasan psikologis tersebut jarang remaja dapatkan dari ayahnya, karena ayah lebih sering melakukan kekerasan fisik daripada kekerasan psikologis, seperti; memukul, menampar, mengancam akan memukul, dan juga mengatur anaknya sesuai dengan keinginnya walaupun anaknya belum tentu setuju dengan keputusannya tersebut. Dikarenakan ibu lebih sering berada di rumah daripada ayah, jika ibu sering melakukan kekerasan psikologis terhadap remaja maka remaja akan meniru kekerasan psikologis yang dilihat dan dirasakannya tersebut, kemudian secara tidak langsung akan terinternalisasi dalam dirinya. Pada saat remaja mengalami situasi
yang tidak menyenangkan atau situasi yang membuat anak kesal atau marah maka anak akan mengalami kecenderungan untuk berperilaku agresif. Apabila kecenderungan ini terus terjadi dalam diri remaja tersebut maka lamakelamaan remaja akan melakukan perilaku agresif itu juga secara tidak disengaja, karena dorongan untuk berperilaku agresif tersebut telah terinternalisasi secara tidak sadar dalam diri remaja tersebut. Hal ini dikarenakan remaja sering melihat dan mengalami kekerasan psikologis dalam keluarganya dimana ada remaja yang bereaksi secara langsung terhadap kekerasan tersebut dengan cara melawannya secara langsung atau menolak kekerasan tersebut dan ada juga yang menekan atau meredam kekerasan tersebut dalam dirinya sehingga dorongan untuk bertindak agresif itu akan berada di alam bawah sadarnya. Ketika remaja berhadapan dengan situasi yang membuatnya kesal atau marah dorongan tersebut akan muncul dengan sendirinya, tanpa disadari oleh remaja tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Berkowitz (1995) yang mengatakan bahwa kepribadian yang sangat agresif biasanya merupakan hasil pengaruh negatif yang terus-menerus. Pengaruh negatif yang terus-menerus ini berasal dari lingkungan keluarga dimana seorang remaja tumbuh dan berkembang dari lahir sampai dengan dewasa. Analisis Patterson (Berkowitz, 1995) mengatakan bahwa bahwa banyak anak pada dasarnya terlatih untuk bertindak agresif melalui interaksi dengan para anggota keluarga yang lain, baik interaksi dengan orang tuanya maupun saudaranya yang lain. Kecenderungan untuk berperilaku agresif ini akan remaja lakukan pada interaksi dengan teman-temannya karena menurut Anooshian (2005) ketika remaja menjadi korban dari kekerasan atau melihat kekerasan itu sendiri, remaja akan membawa kekerasan dan agresi tersebut dalam hubungan sosialnya, dalam hal ini adalah interaksinya dengan teman-temannya.
Apabila remaja secara terus-menerus dari kecil sampai dengan remaja diperlakukan kasar oleh orang tuanya maka akan mendorong kecenderungan perilaku agresif dalam dirinya untuk keluar menjadi perilaku agresif karena menurut Berkowitz (1995) kehidupan masa kecil sangat menentukan seberapa mudah dan seringnya seseorang melakukan penyerangan ketika merasa ditantang atau terancam. Hasil dari penelitian ini yang mendapatkan kesimpulan bahwa ada hubungan antara persepsi mengenai kekerasan psikologis yang dilakukan oleh ibu terhadap kecenderungan perilaku agresif remaja. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dari Straus dan Gelles (Olson, 2003), dimana telah mewawancarai 3206 orang tua dari remaja yang berumur di bawah 17 tahun yang tinggal di rumah. Dari penelitian tersebut terdapat fakta bahwa remaja yang mengalami perilaku agresif berasal dari keluarga yang memakai kekerasan (family violence). Masalah yang remaja alami tersebut adalah tidak bisa menjalin hubungan pertemanan, mengamuk, masalah disiplin, tidak naik kelas, perilaku menyimpang, dan tidak patuh di rumah, perkelahian fisik dengan remaja lain, perkelahian fisik dengan orang dewasa, menghancurkan barang-barang, mencuri uang atau barang, minum-minuman, menggunakan obat, dan ditangkap. Kekerasan psikologis juga berkaitan dengan salah satu aspeknya yaitu penolakan terhadap anak, hal ini dijelaskan berdasarkan penelitian dari Hale (2005), dimana didapatkan fakta bahwa orang tua yang menolak anaknya akan menyebabkan anak memiliki perilaku agresif dan perilaku menarik diri dari lingkungannya. Kelemahan dalam penelitian ini adalah ketika peneliti menyebar angket penelitian, peneliti hanya menjelaskan bahwa angket persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga yang dilakukan ayah dan ibu itu berbeda isinya tapi tidak menjelaskan tujuan mengapa angket tersebut dibedakan walaupun bunyi aitemnya
sama dan yang membedakan hanyalah pelaku kekerasan tersebut. Hal ini mengakibatkan beberapa subjek penelitian memberikan jawaban yang sama untuk kedua angket tersebut, sehingga peneliti tidak mendapatkan perbedaan antara persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga antara yang dilakukan oleh ayah dan yang dilakukan oleh ibu. Hasil penelitian ini juga mendapatkan kesimpulan bahwa persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga masuk dalam kategori sangat rendah, hal ini bertolak belakang dengan hasil pengamatan peneliti di tempat tinggal subjek bahwa terdapat kekerasan psikologis dalam lingkungan keluarga subjek penelitian. Oleh karena itu untuk mengatasi kelemahan ini peneliti seharusnya menggunakan metode penelitian yang bermacam-macam, sehingga dapat mendukung data yang didapat di lapangan, misalnya dengan observasi dan juga wawancara.
Kesimpulan 1.
Hipotesis atau asumsi awal penelitian ini diterima yaitu ada hubungan yang
positif antara persepsi mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga terhadap kecenderungan perilaku agresif remaja. 2.
Hasil dari penelitian ini adalah ada hubungan yang signifikan antara persepsi
mengenai kekerasan psikologis dalam keluarga terhadap kecenderungan perilaku agresif remaja, dimana persepsi mengenai kekerasan psikologis yang memiliki pengaruh terhadap kecenderungan perilaku agresif remaja adalah persepsi mengenai kekerasan psikologis yang dilakukan oleh ibu. Saran 1.
Bagi subjek penelitian. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan fakta bahwa subjek penelitian ini
memiliki kecenderungan perilaku agresif walaupun hanya termasuk dalam kategori rendah, tetapi subjek diharapkan dapat mengontrol dirinya agar kecenderungan tersebut tidak muncul dalam bentuk perilaku agresif. Subjek dapat membentengi dirinya dengan kestabilan emosi yang baik dengan cara belajar bagaimana mengontrol emosi dengan baik dan benar, baik berdasarkan ajaran agamanya dan juga dengan cara bertukar pendapat dengan orang tua, teman, guru konseling, dan juga psikolog. Subjek penelitian sudah dapat mengontrol kecenderungan untuk berperilaku agresif karena terbukti bahwa kecenderungan perilaku agresifnya rendah, hal ini dikarenakan faktor lingkungan di SMU Negeri 6 Palembang yang bernuansa islami dan banyaknya kegiatan ekstrakulikuler yang menyalurkan kecenderungan tersebut sehingga tidak muncul. Oleh karena itu bagi remaja yang memiliki kecenderungan untuk berperilaku agresif hendaknya mengisi hari-harinya dengan
kegiatan yang positif agar kecenderungan tersebut dapat terwujud dalam bentuk kegiatan yang bermanfaat. 2.
Bagi orang tua. Hasil penelitian ini juga mendapatkan fakta bahwa kekerasan psikologis yang
dilakukan ibu memberikan pengaruh terhadap kecenderungan perilaku agresif remaja, oleh karena itu orang tua, khususnya ibu diharapkan dapat mengontrol dirinya agar tidak lagi melakukan kekerasan psikologis kepada remaja di kemudian hari. Orang tua juga diharapkan agar tidak lagi melakukan kekerasan psikologis dalam bentuk kekerasan verbal, dikarenakan dari hasil penelitian didapatkan fakta bahwa kekerasan verbal memberikan pengaruh yang paling besar terhadap kecenderungan perilaku agresif remaja. Orang tua sebagai panutan remaja seharusnya mengajarkan remaja untuk berperilaku yang baik dan benar sehingga remaja menjadi seseorang yang memiliki perilaku yang baik dalam berhubungan dengan orang lain. 3.
Bagi peneliti selanjutnya. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat lebih memfokuskan dalam hal
kekerasan psikologis yang dilakukan oleh ibu, karena telah didapatkan fakta bahwa kekerasan psikologis lebih banyak dilakukan oleh ibu. Peneliti selanjutnya dapat meneliti mengenai sebab-sebab terjadinya kekerasan psikologis yang dilakukan oleh orang tua atau khususnya oleh ibu sehingga akan didapatkan pemecahan tentang bagaimana mengatasi dan mengurangi kekerasan psikologis yang dilakukan oleh orang tua, khususnya oleh ibu. Peneliti selanjutnya juga harus menggunakan beberapa metode penelitian untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih baik lagi, misalnya menggunakan observasi dan wawancara.
DAFTAR PUSTAKA
Anooshian, L. J. 2005. Violence and Agression In The Lives Of Homeless Children: A Review. Journal of Aggression And Violent Behavior 10: 129-152. Department of Psychology, USA: Boise State University. Black, A.D, Smith Slep, A.M, Heyman, R.E. 2001. Risk Factor For Child Psychological Abuse. Aggression And Violent Behavior 6: 189-201. Department of Psychology, USA: State University Of New York. Berkowitz, L. 1995. Agresi 1, Sebab dan Akibatnya. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. Feldman, R.S. 1997. Social Psychology, Second Edition. Prentice Hall, New Jersey: Upper Saddle River. Fitrianingsih, A. 2004. Hubungan Antara Minat Terhadap Film Kekerasan Dengan Perilaku Agresif Pada Remaja Di SMU N 1 Kudus. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia. Hale, WW. 2005. Does Perceived Parental Rejection Make Adolescents Sad and Mad?. The Association Of Perceived Parental Rejection With Adolescents Depression and Agression. Journal of Adolescent Health 36: 466-474. Netherlands: Utrecht University. Hart, S.N. 1988. Psychological Maltreatment: Emphasis on Prevention. Journal Vol. 9, 243-255. USA: Indiana University. http://www.detik.com Kelly, V. A. 2004. Psychological Abuse of Women: A Review Of the Literature. The Family Journal, Vol. 12, No. 4. Fairfield University: Connecticut.
Knoers, FJ.M, Myers, D.G. 1990. Social Psychology Third Edition. USA: McGraw Hill. Matsumoto, D. 2004. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Nisrina, R. 2004. Hubungan Antara Persepsi Penerimaan Orang Tua Dan Identitas Diri Dengan Agresivitas Pada Remaja. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Islam Inndonesia. Olson, D.H, DeFrain, J. 2003. Marriages And Families. New York: McGraw-Hill.
Ong, P.L, Sim, T.N. 2005. Parent Physical Punishment And Child Aggression In A Singapore Chinese Preschool Sample. Journal of Marriage & Family 67: 85-99. National University of Singapore. Poerwadarminta, WJS. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN. Balai Pustaka. Rifai, M.S.S. 1984. Psikologi Perkembangan Remaja, Dari Segi Kehidupan Social. Bandung: Bina Aksara. Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. ____________. 2002. Psikologi Sosial. Individu Dan Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Sears, D.O, Freedman, J.L, Peplau, L.A. 1991. Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. Shull, J.R. 1999. Emotional and Psychological Child Abuse: Notes on Discourse, History, and Change. Stanford Law Review, Vol. 51, No. 6, 1665-1701: University of Virginia. Straus, M.A, Field, C.J. 2003. Psychological Agression By American Parents: National Data on Prevalence, Chronicity, Severity. Journal of Marriage and Family 65: 795-808. Durham: University of New Hampshire Walgito, B. 2002. Pengantar Psikologi Umum. Jogjakarta:Penerbit Andi Offset. Wiggins, J.A, Wiggins, B.B, Zanden, J.V. 1994. Social Psychology Fifth Edition. USA: McGraw Hill Inc. Yusuf, S. 2002. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Identitas penulis
Nama
: Indah Perjuangan
Alamat
: Jalan Kaliurang Km 14,5 Gang Abiyasa No 27 Jogjakarta (55584)
No Telpon : 0274-896126