NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN KONSEP DIRI PADA REMAJA
JULI SUSANTI SUKARTI
PRODI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2008
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN KONSEP DIRI PADA REMAJA
Telah Disetujui Pada Tanggal
_________________
Dosen Pembimbing Utama
(Hj. Sukarti, Dr)
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN KONSEP DIRI PADA REMAJA
Juli Susanti Sukarti
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara persepsi terhadap keharmonisan keluarga dengan konsep diri. Asumsi awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara persepsi terhadap keharmonisan keluarga dengan konsep diri. Semakin positif persepsi terhadap keharmonisan keluarga, semakin positif konsep diri. Sebaliknya semakin negatif persepsi terhadap keharmonisan keluarga, semakin negatif konsep diri. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja yang berasal dari Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan serta beragama islam. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan angket dengan metode skala yang terdiri dari dua skala yaitu (1) skala konsep diri yang disusun berdasarkan teori Berzonsky (1981) & Fitts(Burns, 1979), terdiri dari 22 aitem dengan koefisien korelasi aitm total bergerak antara 0,301 hingga 0,590 serta koefisien korelasi Alpha sebesar 0,848; dan (2) skala persepsi keharmonisan keluarga yang disusun berdasar teori Hawari (1999), terdiri dari 34 aitem dengan koefisien korelasi aitem total bergerak antara 0,324 hingga 0,641serta koefisien korelasi Alpha sebesar 0,919 Metode analisis data yang digunakan adalah uji korelasi product moment. Perhitungannya dilakukan dengan program SPSS 15.00 for windows. Hasilnya menunjukkan tidak ada hubungan antara persepsi terhadap keharmonisan keluarga dengan konsep diri pada remaja (r = 0,133 dengan p = 0,084 (p > 0,05)). Persepsi terhadap keharmonisan keluarga menyumbang 1,7% (r² = 0,017) terhadap konsep diri pada remaja.
Kata kunci: konsep diri, persepsi terhadap keharmonisan keluarga
PENGANTAR
A. Latar Belakang Permasalahan atau pergolakan emosi yang terjadi pada remaja muncul akibat adanya tuntutan dan harapan baru, baik dari dalam maupun dari luar diri individu. Permasalahan yang dialami remaja merupakan suatu hal yang harus dihadapi dan dipecahkan karena jika tidak segera diselesaikan akan menimbulkan kecemasan, ketegangan, dan konflik yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kepribadiannya. Salah satu aspek kepribadian yang paling penting bagi remaja adalah konsep diri. Hurlock (1993) menyatakan bahwa konsep diri merupakan inti pola kepribadian yang mempengaruhi bentuk berbagai sifat. Konsep diri yang melekat pada individu itu akan berpengaruh terhadap tingkah laku individu di lingkungannya. Konsep diri terbentuk melalui proses belajar individu sejak masa pertumbuhan dari kecil hingga dewasa. Semakin usia individu bertambah maka semakin stabil pula konsep diri yang dimilikinya. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk. Keluarga memiliki peranan penting dalam pembentukan konsep diri pada remaja. Kasih sayang, perhatian, kehangatan dan keutuhan keluarga sangat dibutuhkan remaja dalam pembentukan konsep diri yang ideal (Wahyuni, 2006). Sumber pokok informasi mengenai konsep diri adalah interaksi dengan orang lain. Calhoun dan Ocella (1995) menambahkan bahwa orang tua merupakan interaksi yang paling awal dan paling kuat dalam pembentukan kerangka dasar
1
2
konsep diri. Saat kanak-kanak, orang-orang yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan konsep dirinya adalah orang yang paling dekat dengan dirinya yang disebut significant others yang terdiri dari orang tua, saudara dan orang yang tinggal satu rumah. Orang-orang terdekat individu yang paling awal dan memberikan pengaruh yang kuat dalam pembentukan konsep diri adalah keluarga. Pada umumnya individu yang memiliki keluarga yang tidak harmonis cenderung memiliki konsep diri yang negatif. Individu
dikatakan memiliki
konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Individu dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan, mudah menyerah sebelum berperang dan jika gagal, akan ada dua pihak yang disalahkan, yaitu menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau menyalahkan orang lain. Data dari The Well Being Canada’s Young Children Government of Canada Report (Chandrarini, 2007) menunjukkan bahwa seorang anak yang tinggal dalam keluarga yang tidak berfungsi dengan baik, 35% memperlihatkan
perilaku-perilaku
yang
bermasalah
seperti
agresi
atau
temperamen yang sulit dibandingkan dengan keluarga yang berfungsi dengan baik. Kondisi keluarga yang harmonis mampu menciptakan konsep diri yang positif pada individu karena individu mendapatkan kasih sayang, perhatian, dukungan dan kehangatan dari keluarganya. Individu yang memiliki konsep diri
3
yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Kegagalan bukan dipandang sebagai kematian, namun lebih menjadikannya sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah ke depan. Orang dengan konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat halhal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang (www.e-psikologi.com). Karakteristik dari keluarga yang berfungsi adalah adanya iklim keluarga yang penuh rasa saling percaya, bebas mengungkapkan perasaan dan pendapat, adanya perhatian, mempunyai rasa empati dan menyatukan perbedaan. Sedangkan karakteristik keluarga yang tidak berfungsi ditunjukkan dari iklim keluarga yang tidak ada rasa saling percaya, adanya kecaman dan saling menyalahkan dengan mencari kambing hitam. Lau dan Kwok (Chandrarini, 2007) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa lingkungan keluarga mempengaruhi konsep diri pada remaja. Hal ini terjadi karena lingkungan keluarga merupakan tempat pembentukan kepribadian
anggota-anggotanya,
maka
kualitas
lingkungan
keluarga
mempengaruhi baik buruknya dalam pembentukan konsep diri.
B. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Diri Chaplin (1981) mendefinisikan konsep diri sebagai evaluasi individu mengenai diri sendiri, penilaian atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan.
4
Secara singkat Burns (1979) menjelaskan bahwa konsep diri sebagai kesan individu terhadap dirinya secara menyeluruh yang meliputi pendapatnya tentang dirinya sendiri maupun gambaran dari orang lain tentang hal-hal yang dapat dicapainya. Burns dkk (Partosuwido, 1993) menambahkan bahwa konsep diri sebagai salah satu unsur kepribadian yang dapat membentuk perilaku. Hal ini sejalan dengan pendapat Hurlock (1993) yang menyatakan bahwa konsep diri merupakan inti pola kepribadian yang mempengaruhi bentuk berbagai sifat. Konsep diri positif ditandai dengan anak mengembangkan sifat-sifat seperti kepercayaan diri, harga diri, kemampuan untuk melihat dirinya secara realistis dan mampu menilai hubungan dengan orang lain secara tepat karena hal ini menimbulkan penyesuaian sosial yang baik. Sebaliknya, bila konsep diri negatif anak mengembangkan perasaan tidak mampu (inferior) dan rendah diri, ragu, kurang percaya diri, penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk (Hurlock, 1993). Meads (Burns, 1979) mengungkapkan konsep diri sebagai objek timbul di dalam interaksi sosial sebagai suatu hasil perkembangan, dari perhatian individu tersebut mengenai bagaimana orang lain bereaksi terhadapnya. Dari hasil ini individu mampu mengantisipasi reaksi orang lain agar mampu bertingkah l;aku yang pantas, menginterpretasikan lingkungan sebagaimana dilakukan orang lain terhadapnya. Konsep diri dapat berperan sebagai perangsang atau respon. Perangsang untuk berperilaku sesuai standar dan tuntutan lingkungan, respon terhadap reaksi orang lain/lingkungan dari perilakunya.
5
Berdasarkan pada berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah kesan individu yang meliputi evaluasi dan penaksiran terhadap dirinya sendiri yang melibatkan pendapat orang lain terhadap dirinya. Berzonsky (1981) juga mengemukakan aspek konsep diri yaitu : a. Aspek diri fisik. Meliputi gambaran individu tentang segala sesuatu yang dimiliki. b. Aspek diri psikologis. Meliputi perasaan, pikiran dan sikap yang dimiliki individu terhadap dirinya sendiri. c. Aspek diri sosial. Meliputi bagaimana perasaan individu dalam lingkup peran sosialnya dan penilaian individu terhadap peran tersebut. d. Aspek diri moral. Meliputi arti dan petunjuk terhadap nilai dan prinsip sebagai pegangan seseorang dalam hidup. Burns (1979) menambahkan faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri antara lain citra tubuh, bahasa, umpan balik dari lingkungan, identifikasi model peranan seks dengan stereotip yang sesuai dan pola asuh orang tua.
2. Persepsi Keharmonisan Keluarga Mar’at (1981) menjelaskan persepsi sebagai suatu proses pengamatan seseorang yang berasal dari suatu kognisi secara terus menerus dan dipengaruhi oleh informasi baru dari lingkungannya. Sementara menurut Rakhmat (1986),
6
persepsi adalah pengalaman terhadap objek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh melalui proses kognitif. Riggio (1990) menambahkan definisi persepsi adalah proses kognitif baik lewat penginderaan, pandangan, penciuman dan perasaan yang kemudian ditafsirkan. Kartono (2004) mendefinisikan keluarga sebagai satu kelompok individu yang terkait oleh ikatan perkawinan atau darah; secara khusus mencakup seorang ayah, ibu dan anak. Keluarga juga merupakan satu kelompok pribadi yang hidup bersama-sama dalam satu rumah tangga. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa keluarga merupakan satu organisasi sosial yang paling penting dalam kelompok sosial dan keluarga merupakan lembaga di dalam masyarakat yang paling utama bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan sosial dan kelestarian biologis anak manusia (Kartono, 2004). Secara terpisah Hurlock (1993) mendefinisikan keluarga sebagai bagian yang paling penting dari “jaringan sosial” anak, sebab anggota keluarga merupakan lingkungan pertama anak dan orang yang paling penting selama tahun formatif awal. Menurut Gunarsa (1983) keharmonisan keluarga merupakan keadaan keluarga yang utuh dan bahagia, yang di dalamnya terdapat suatu ikatan kekeluargaan dan memberikan rasa aman tentram bagi setiap anggotanya. Harmonis dalam keluarga menurut Suardiman (1999) adalah terkumpulnya unsur fisik dan psikis yang berbeda antara jenis pria dan wanita sebagai pasangan suami isteri, tetapi dengan dilandasi oleh berbagai unsur-unsur kesamaan seperti saling menerima dan memberi cinta kasih yang tulus, memiliki nilai-nilai yang serupa,
7
sifat-sifat perangai yang sesuai, tujuan-tujuan perkawinan yang searah, maka mereka dapat hidup bersama dalam perbedaan. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi keharmonisan keluarga adalah persepsi terhadap situasi dan kondisi dalam keluarga dimana didalamnya tercipta kehidupan beragama yang kuat, suasana yang hangat, saling menghargai, saling pengertian, saling terbuka, saling menjaga dan diwarnai kasih sayang dan rasa saling percaya serta memiliki tujuan bersama sehingga memungkinkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara seimbang. Hawari (1999) mengemukakan enam aspek sebagai suatu pegangan hubungan perkawinan yang bahagia. a. Menciptakan kehidupan beragama dalam keluarga. b. Memiliki waktu bersama keluarga. c. Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga. d. Saling menghargai antar sesama anggota keluarga. e. Kualitas dan kuantintas konflik yang minim. Hawari (1999) mengemukakan bahwa proses kebahagiaan dalam rumah tangga sangat ditentukan dari berfungsi tidaknya keenam aspek di atas, untuk menciptakan keluarga harmonis peran dan fungsi orang tua sangat menentukan, keluarga yang tidak bahagia atau tidak harmonis. Maria (2004) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi keharmonisan keluarga, yaitu komunikasi interpersonal, tingkat ekonomi keluarga, sikap orang tua, ukuran keluarga.
8
METODE PENELITIAN
A. Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah remaja akhir yang berusia 18 – 22 tahun (Santrock, 2003). Subjek berjenis kelamin laki-laki dan perempuan dan berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.
B. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini akan dilakukan secara kuantitatif. Pengumpulan data dalam bentuk
angket
(kuisioner)
dengan
menggunakan
metode
skala,
yaitu
menggunakan skala-skala psikologis untuk mengungkap atribut psikologis yang dijadikan variabel dalam penelitian ini. Skala ini terdiri dari dua skala, yakni skala konsep diri dan skala persepsi keharmonisan keluarga. Tanggapan subjek terhadap aitem-aitem dalam skala ini dikelompokkan menjadi empat, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak sesuai (STS). Nilai bergerak antara 1-4, untuk aitem-aitem favourable penilaiannya adalah nilai 4 untuk sangat sesuai (SS), 3 untuk sesuai (S), 2 untuk tidak sesuai (TS) dan 1 untuk sangat tidak sesuai (STS). Sementara untuk aitem-aitem unfavourable, penilaiannya adalah nilai 1 untuk sangat sesuai (SS), 2 untuk sesuai (S), 3 untuk tidak sesuai (TS), dan 4 untuk sangat tidak sesuai (STS).
9
C. Metode Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa analisis statistik dapat memberikan kesimpulan dengan memperhitungkan faktor kesalahan. Selain itu statistik juga bekerja dengan angka-angka yang bersifat objektif dan universal sehingga dapat dipakai pada semua bentuk penelitian (Azwar, 2000). Untuk melihat hubungan persepsi terhadap keharmonisan keluarga dan konsep diri digunakan uji korelasi product moment dengan SPSS versi 15 for windows.
HASIL PENELITIAN
1. Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan data- data yang didapat dari alat pengumpul data (angket), maka diperoleh gambaran umum mengenai subjek seperti yang diperlihatkan pada tabel 1 berikut ini :
10
Tabel 1 Deskripsi Subjek Penelitian No. Deskripsi 1.
2.
3.
4.
Jenis Kelamin: Laki-laki Perempuan Jumlah Subjek Umur: 18 Tahun 19 Tahun 20 Tahun 21 Tahun 22 Tahun Jumlah Subjek Program Studi : Psikologi Ilmu Komunikasi Bahasa Inggris (D3) Jumlah Subjek Status : Tinggal dengan orang tua Tidak tinggal dengan orang tua Jumlah subjek
Jumlah 13 96 109 7 17 31 25 29 109 108 1 0 109 39 70 109
2. Deskripsi Data Penelitian Hasil yang diperoleh dari pengumpulan data adalah konsep diri dan persepsi terhadap keharmonisan keluarga pada remaja. Subjek penelitian digolongkan ke dalam lima kategori diagnosis yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Kategorisasi subjek penelitian itu ditunjukkan oleh tabel 2 berikut :
11
Tabel 2 Rumus Norma Kategorisasi Berdasarkan Model Distribusi Normal No 1 2 3 4 5 Ket :
Kategori Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi µ : Mean Hipotetik
Rumus Norma X < (µ - 1,8 σ) (µ - 1,8 σ) ≤ X ≤ (µ - 0,6 σ) (µ - 0,6 σ) < X ≤ (µ + 0,6 σ) (µ + 0,6 σ) < X ≤ (µ + 1,8 σ) X > (µ + 1,8 σ)
σ : Standar Deviasi X : Skor Total Lebih lanjut deskripsi data penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3 berikut: Tabel 3 Deskripsi Data Penelitian Variabel
Skor Hipotetik
Skor Empirik
Xmin
Xmax
Mean
SD
Xmin
Xmax
Mean
SD
Konsep Diri
22
88
55
11
58
132
97,68
19,988
Persepsi Keharmonisan Keluarga
34
136
85
17
55
87
70,49
5,853
Data konsep diri dari 109 subjek diperoleh nilai maksimum 132 dan nilai minimum 58 dengan mean empirik 97,68 dan standar deviasi 19,988. Hal ini mengindikasikan bahwa subjek termasuk dalam kategori tinggi. Untuk lebih jelasnya dalam melihat kategorisasi pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4 berikut: Tabel 4 Kategori Skor Variabel Konsep Diri Skor Kategori X < 61,70 61,70 ≤ X ≤ 85,69 85,69 < X ≤ 106,67 106,67 < X ≤ 133,66 X > 133,66
Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Frekuensi
Prosentase
2 32 31 44 0 109
1,8% 29,4% 28,4% 40,4% 0% 100%
12
Dari data di atas terlihat bahwa mayoritas subjek (40,4%) berada pada kategori tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa konsep diri subjek bertendesi ke arah positif. Data persepsi terhadap keharmonisan keluarga dari 109 subjek diperoleh nilai maksimum 87 dan nilai minimum 55 dengan mean empirik 70,49 dan standar deviasi 5,853. Hal ini mengindikasikan bahwa subjek termasuk dalam kategori sedang. Untuk lebih jelasnya dalam melihat kategorisasi pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 5 berikut : Tabel 5 Kategori Skor Variabel Persepsi Keharmonisan Keluarga Skor Kategori Frekuensi X < 59,95 59,95 ≤ X ≤ 66,98 66,98 < X ≤ 74,00 74,00 < X ≤ 81,03 X > 81,03
Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
2 27 56 21 3 109
Prosentase 1,8% 24,8% 51,4% 19,2% 2,8% 100%
Dari data di atas terlihat bahwa mayoritas subjek (51,4%) berada pada kategori sedang. Hal ini mengindikasikan bahwa persepsi subjek terhadap keharmonisan keluarga tidak bertendesi ke arah positif maupun negatif. 3. Uji Asumsi Sebelum melakukan uji hipotesa, ada beberapa syarat untuk memastikan bahwa data yang digunakan layak untuk dianalisis, yaitu terpenuhinya asumsiasumsi parametrik. Oleh karena itu dilakukan uji normalitas dan uji linearitas terhadap sebaran data penelitian agar kesimpulan yang ditarik tidak menyimpang dari kebenaran yang seharusnya (Hadi, 2001).
13
a. Uji Normalitas Uji asumsi normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sebaran skor subjek terdistribusi secara normal atau tidak. Sebaran yang normal merupakan gambaran bahwa data yang diperoleh telah mewakili keseluruhan data. Kaidah yang digunakan yaitu jika p>0,05 maka sebaran data normal, sedangkan jika p<0,05 maka sebaran data tidak normal. Berdasarkan hasil pengolahan data konsep diri pada remaja diperoleh nilai K-SZ = 1,695 dengan p = 0,006 (p < 0,05). Selain itu, berdasarkan pengolahan data persepsi terhadap keharmonisan keluarga diperoleh nilai K-SZ = 0,922 dengan p = 0,363 (p > 0,05). Hasil uji normalitas ini menunjukkan bahwa data konsep diri terdistribusi tidak normal dan data persepsi terhadap keharmonisan keluarga terdistribusi atau tersebar dengan normal. b. Uji Linearitas Uji linearitas merupakan pengujian garis regresi antara variabel bebas dengan variabel tergantung yang bertujuan untuk mengetahui apakah hubungan antara variabel persepsi terhadap keharmonisan keluarga dan konsep diri pada remaja mengikuti garis linear atau tidak. Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan program SPSS ((Statistical Programme for Social Science) 15.0 for Windows dengan teknik Compare Means. Kaidah yang digunakan untuk mengetahui linear tidaknya sebaran data adalah apabila p < 0,05 maka hubungan antara kedua variabel dikatakan linear, namun apabila p > 0,05 maka hubungan antara kedua variabel dikatakan tidak linear.
14
Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh nila F = 2,009 dengan p = 0,162 (p > 0,05) berarti tidak linear. Nilai F = 1,120 dengan p = 0,339 (p > 0,05), menunjukkan besarnya penyimpangan yang terjadi.
4. Uji Hipotesis Untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara persepsi terhadap keharmonisan keluarga dengan konsep diri maka digunakan uji korelasi product moment dari Spearman dengan menggunakan program SPSS (Statistic Program For Social Science) 15.00 for Windows. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara persepsi terhadap keharmonisan keluarga dengan konsep diri pada remaja. Semakin positif persepsi terhadap keharmonisan keluarga maka konsep diri pada remaja akan semakin positif. Hasil pengolahan data persepsi terhadap keharmonisan keluarga dan konsep diri pada remaja diperoleh koefisien korelasi r = 0,133 dengan p = 0,084 (p > 0,05). Angka korelasi positif menunjukkan bahwa memang terdapat hubungan positif antara kedua variabel penelitian, tetapi nilai p tidak memenuhi taraf signifikansi 5% sehingga hipotesis yang dikemukakan oleh peneliti ditolak.
15
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data penelitian yang telah dilakukan, maka hipotesis yang telah diajukan, yaitu ada hubungan positif antara persepsi terhadap keharmonisan keluarga dengan konsep diri pada remaja ditolak. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tingginya konsep diri pada subjek penelitian tidak hanya disebabkan oleh persepsi terhadap keharmonisan keluarganya. Akan tetapi ada faktor lain yang lebih dominan mempengaruhi konsep diri seorang individu. Hal ini ditunjukkan oleh hasil analisis koefisien determinasi pada korelasi antara persepsi terhadap keharmonisan keluarga dengan konsep diri pada remaja menunjukkan angka sebesar 0,017 yang berarti persepsi terhadap keharmonisan keluarga memberikan sumbangan sebesar 1,7 % terhadap konsep diri pada remaja. Sebanyak 1,7 % konsep diri pada remaja dipengaruhi oleh persepsi terhadap keharmonisan keluarga, sedangkan sisanya sebanyak 99,3% dipengaruhi variabel lain diluar variabel tersebut. Hurlock (1973) menambahkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsep diri di luar persepsi terhadap keharmonisan keluarga, antara lain kondisi fisik, cacat yang dialami, kondisi psikologis, tingkat inteligensi, status sosial, tingkat aspirasi, lingkungan (sekolah), pola kebudayaan, popularitas dan emosi seseorang. Sementara Burns (1979) melengkapi pendapat Hurlock mengenai faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap konsep diri, yaitu cita fisik, bahasa yang merupakan upaya seorang individu untuk melakukan
16
konseptualisasi dan verbalisasi, umpan balik dari lingkungan dan identifikasi terhadap model dan streotip peran seksual yang tepat.
KESIMPULAN
Berdasarkan rangkaian penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Tidak ada hubungan positif antara persepsi terhadap keharmonisan keluarga dengan konsep diri pada remaja. 2. Secara keseluruhan subjek dalam penelitian ini memiliki konsep diri yang berada pada kategori tinggi. 3. Persepsi terhadap keharmonisan keluarga subjek penelitian secara keseluruhan berada pada kategori sedang. 4. Konsep diri pada subjek disumbang sebesar 1,7% oleh persepsi terhadap keharmonisan keluarga. Sementara 98,3% disebabkan oleh faktor faktor yang lain.
17
SARAN
Berdasarkan hasil yang telah dicapai, maka peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut : a. Bagi Subjek Penelitian Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa subjek penelitian memiliki konsep diri yang positif. Oleh karena itu, remaja dalam penelitian ini agar berusaha mempertahankan konsep diri yang telah terbentuk. b. Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik pada penelitian yang berorientasi pada konsep diri pada remaja, disarankan untuk memperhatikan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi konsep diri pada remaja. Faktor-faktor lain yang dimaksud diantaranya penerimaan atau penolakan teman sebaya, status sosial ekonomi, pola asuh orang tua dan status sosial. Selain itu, peneliti selanjutnya juga diharapkan lebih cermat dalam memilih waktu pengambilan data. Hal ini dilakukan agar para subjek benar-benar dalam kondisi yang siap untuk menjawab atau memberikan respon pada skala penelitian, sehingga tidak akan ada angket yang tidak diisi dan tidak dikembalikan kepada peneliti.
18
DAFTAR PUSTAKA Azwar, S. 2000. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Berzonsky, M. D. 1981. Adolesence Development. New York Mc. Millan Publishing Co. Ltd Burns, R. D. 1979. Self Concept : In Measurement, Development and Behavior. New York : Longman Group Limited Calhoun & Ocella. 1995. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Terjemahan Psychology of Adjustment and Human Relationship. Semarang: IKIP Semarang Press Chandrarini, A. R. 2007. Hubungan Antara Keberfungsian Keluarga dengan Konsep Diri pada Remaja. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Chaplin, J.P. 1981. Kamus Lengkap Psikologi (Terjemahan). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Gunarsa, S. 1983. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta : BPK Gunung Mulia Hadi, S. 2001. Statistik 2. Yogyakarta: Andi Offset Hawari, D. 1999. Al Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Dana Bhakti Prima Yasa Hurlock, E. B. 1993. Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga ___________. 1973. Adolescent Development. Mc. Graw Hill Kogakusha, Ltd : Tokyo Kartono, Kartini. 2004. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada
19
Maria, Ulfah. 2007. Peran Persepsi Keharmonisan Keluarga dan Konsep Diri terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja. Tesis (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM Mar’at. 1981. Sikap Manusia serta Pengukurannya. Jakarta : Ghalia Indonesia Partosuwido, S. R. 1993. Penyesuaian Diri Mahasiswa dalam Kaitannya dengan Konsep Diri, Pusat Kendali dan Status Perguruan Tinggi. Jurnal Psikologi, 20, 32 – 47 Rakhmat, J. 1986. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Karya Riggio, E. 1990. Introduction to Industrial and Organizational Psychology. London : Scoot Forestment & Company Santrock, J. W. 2003. Adolescence (Perkembangan Remaja). Jakarta : Erlangga Suardiman, 1999. Kebahagiaan Hidup Pasangan Suami Istri Ditinjau dari Keharmonisan Keluarga. Laporan Penelitian. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM Wahyuni, 2006. Memahami Konsep Diri Waria. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Universitas Islam Indonesia (http://www.e-psikologi.com/dewasa/160502.htm)