1
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN KEMATANGAN EMOSI DENGAN PERILAKU KEKERASAN PADA ANAK
Disusun Oleh : Mulika Diah Noor Amalia Hepi Wahyuningsih
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2007
2
PENGANTAR Saat ini tindak kekerasan semakin hari semakin sering terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Salah satunya tindak kekerasan yang terjadi pada orangtua terhadap anak dalam kehidupan rumah tangga yang dikenal dengan istilah kekerasan dalam rumah tangga (Domestic Violence) dan tindakan ini menjadi masalah sosial yang serius baik di negara maju maupun negara berkembang. Kekerasan dalam rumah tangga sebagai suatu penganiayaan mental, fisik (pemukulan) dan penganiayaan secara lisan dan ini kebanyakan dialami oleh anakanak. Menurut surat kabar harian Kompas, 23 Mei 2002, Suyanto mengatakan domestic violence atau kekerasan yang terjadi dalam lingkungan keluarga menduduki porsi terbesar dalam kasus kekerasan yang menimpa anak-anak pada rentang usia 3-6 tahun. Sebanyak 80% kekerasan yang menimpa anak-anak dilakukan oleh keluarga mereka, 10% terjadi di lingkungan pendidikan dan sisanya orang tak dikenal. Setiap bulannya terdapat 30 kasus kekerasan yang dilaporkan oleh korbannya kepada lembaga konseling Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia. Sebanyak 60% merupakan korban kekerasan ringan, berupa kekerasan verbal atau caci maki, sedangkan 40% sisanya mengalami kekerasan fisik hingga seksual. Tindak kekerasan pada anak dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Gelles (Olson & DeFrain, 2003) berpendapat bahwa keluarga yang memiliki pendapatan rendah berpotensi terjadi kekerasan dalam keluarganya. Sukamto (2000) juga mengatakan bahwa kemiskinan merupakan stressor kuat memungkinkan terjadinya kekerasan
3
dalam keluarga. Faktor kemiskinan, tekanan hidup yang semakin meningkat, dan ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi menyebabkan orangtua mudah meluapkan emosi pada anak. Kasus-kasus kekerasan pada anak yang terjadi awal tahun 2006 menambah daftar panjang anak yang menjadi korban kekerasan fisik, psikis hingga seksual di negeri ini. Kasus Siti yakni anak yang disetrika ayah kandungnya dan sebelumnya dihujani cubitan oleh ibu kandungnya (Kompas, Januari 2006). Kemudian peristiwa pembakaran 2 orang balita, Indah dan Lintar yang dilakukan oleh sang ibu (
[email protected], 2006). Seorang anak yang menjadi korban kekrasan seksual oleh
pamannya
dan
kemudian
dicekik
hingga
meninggal
oleh
ibunya
(www.pdpersi.co.id, 16 Januari 2006). Banyak faktor yang dapat membuat orangtua melakukan kekerasan pada anak. Menurut Yiming dan Fung (Sukamto, 2000) faktor risiko orangtua melakukan kekerasan terhadap anak adalah (a) pernah mengalami kekerasan pada waktu anak-anak. Menurut Whipple, dkk (Sukamto, 2000), satu hal yang pasti adalah mayoritas pelaku kekerasan juga mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak, sehingga perilaku ini ditiru oleh mereka, (b) memiliki gangguan kepribadian, ketidakmatangan, perasaan tidak mampu dan tergantung, harapan-harapan yang tidak proporsional, dan gangguan-gangguan psikologik, seperti depresi atau kecemasan,
merupakan
pendapat
Azhar,
dkk
(Sukamto,
2000)
(c)
menyalahgunakan alkohol atau zat lain, (d) memiliki kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi, impulsivitas, konsep diri yang buruk, pertahanan diri yang besar, serta adanya proyeksi tentang perasaan orang tua dan persepsi yang negatif
4
terhadap anak. Selain faktor di atas, Starr menambahkan bahwa perlakuan salah terhadap anak dapat dipahami dengan stres sosial pada keluarga dan penerimaan budaya terhadap kekerasaan. Berkaitan dengan faktor-faktor di atas, salah satu faktor penyebab orangtua melakukan tindak kekerasan yaitu ketidakmatangan emosional. Ketidakmatangan emosional orangtua mengakibatkan perlakuan-perlakuan orangtua yang kurang terhadap anak-anak, misalnya sangat menguasai anak secara otokratis dan memperlakukan anak dengan keras (Solihin, 2004). Berbeda dengan orangtua yang memiliki kematangan emosional, mereka yang telah mencapai taraf kedewasaan dan matang secara emosi akan memperlakukan anak-anaknya secara tepat dalam menanggapi persoalan yang muncul antara orangtua dan anak. Kematangan
emosional
orangtua
sangatlah
mempengaruhi
keadaan
perkembangan anak. Coleman (Suryaningsih, 2004) berpendapat, kematangan emosi merupakan suatu keadaan atau kondisi tercapainya tingkat kedewasaan pada perkembangan emosi sehingga individu tidak lagi menampilkan pola-pola emosi seperti anak-anak. Individu yang matang emosinya mampu bertindak dan bersikap dewasa didalam menghadapi segala macam stressor, tidak mudah bingung serta tidak menampakkan perilaku irasional. Keadaan
dan
kematangan
emosional
orangtua
mempengaruhi
serta
menentukan taraf pemuasan kebutuhan-kebutuhan psikologis yang penting pada anak dalam kehidupannya di keluarga. Emosi orangtua yang telah mencapai kedewasaan
yaitu
yang
telah
mencapai
kematangan
akan
menyebabkan
perkembangan yang sehat pada anak-anak mereka. sebaliknya, emosi orangtua
5
yang belum mencapai taraf kedewasaan yang sungguh-sungguh yaitu orang tua yang secara emosional belum stabil akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam usaha anak-anak untuk mendewasakan diri secara emosional atau membebaskan dirinya secara emosional dari orang tua (Solihin, 2004).
METODE PENELITIAN Subjek penelitian yang digunakan adalah orangtua pria atau wanita yang telah mempunyai anak dengan tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah. Penelitian ini dilakukan secara kuantitatif. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data dari penelitian ini adalah menggunakan angket. Disini subjek diminta untuk mengungkap permasalahan yang akan diteliti. Skala disini terdiri dari skala kematangan emosi dan skala perilaku kekerasan. Alat ukur yang digunakan adalah skala kematangan emosi dan skala perilaku kekerasan. Skala kematangan emosi untuk mengungkap tingkat kematangan emosi seseorang. Skala ini disusun berdasarkan karakteristik yang diungkapkan oleh Murray (2006). Sedangkan skala perilaku kekerasan digunakan untuk mengungkap perilaku kekerasan yang terjadi pada anak. Perilaku kekerasan tersebut diungkap berdasarkan bentuk-bentuk kekerasan yang dikemukakan oleh Lawson (Solihin, 2004). Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teknik Korelasi Product Moment. Teknik korelasi Product Moment dilakukan dengan menggunakan Komputer program SPSS 12.0 for windows. Teknik analisis ini digunakan untuk mengetahui secara empiris hubungan antara kematangan emosi dengan perilaku
6
kekerasan pada anak. Jika hasil uji asumsi tidak memenuhi, maka uji hipotesis menggunakan teknik korelasi non parametric Sperman. Penggunaan teknik analisis ini adalah untuk menghindari kesalahan-kesalahan, karena dengan teknik analisis ini akan dapat dikerjakan secara cermat dan teliti.
HASIL PENELITIAN Uji hipotesis ini dilakukan dengan menggunakan teknik spearman, karena salah satu skor variable tidak memiliki hubungan yang linier. Uji hipotesis ini dilakukan melalui prosedur Bivariate Correlation dari program SPSS 12.00 for windows. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, menunjukkan bahwa besarnya koefisien korelasi antara variabel kematangan emosi dengan perilaku kekerasan pada anak adalah sebesar rxy = -0.148 dengan p = 0,135 atau p> 0.05. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kematangan emosi dengan perilaku kekerasan pada anak. Dengan demikian hipotesis yang diajukan peneliti ditolak.
PEMBAHASAN
Beberapa hal yang dapat diidentifikasi sebagai kemungkinan sebab tidak adanya hubungan tersebut adalah pertama, kematangan emosi yang diasumsikan memiliki hubungan dengan perilaku kekerasan pada anak ternyata tidak memiliki hubungan. Hal ini disebabkan salah satunya oleh metode pengumpulan data, yang mana dalam menyebarkan skala peulis tinggal beberapa hari kemudian guna keefektifan waktu. Metode seperti itu sangat efektif dalam penggunaan waktu tetapi dapat merugikan
7
dalam perolehan data. Sebab selain tidak ada pengontrollan jawaban penulis juga tidak tahu apakah jawaban yang diberikan sesuai dengan keadaan dan mengerti yang dimaksudkan dalam pernyataan skala tersebut. Berdasarkan kasus yang ditemui penulis, ada beberapa subyek yang bingung dengan pernyataan karena kurang sesuai dengan kebiasaan sehingga penulis menerjemahkan makna pernyataan tersebut pada subyek. Struktur adat dan budaya yang masih memegang teguh norma masyarakat. Dimana maslah keluarga masih menjadi tabu untuk diketahui orang lain, khususnya dalam hal ini kekerasan dalam rumah tangga sekalipun. Sesuai dengan pernyataan Ridwan (Suryaningrum, 2006) kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga dipahami sebagai masalah pribadi sehingga orang lain tidak diperkenankan untuk ikut campur. Seluruh anggota keluarga harus menutup rapat bila terjadi kekerasan dalam rumah tangga sekalipun anak yang menjadi korbannya. Azhar, dkk (Sukamto 2000) berpendapat bahwa orangtua yang memiliki ketidakmatangan emosi berisiko melakukan kekerasan terhadap anak. Berdasarkan analisis tambahan, kemampuan mengendalikan frrustasi yang menjadi salh satu aspek kematangan emosi berkorelasi positif dengan perilaku kekerasan pada anak yang dilakukan ibu. Didukung oleh penelitian Black, dkk (1999) yang menyatakan bawa ibu yang melakukan kekerasan fisik dilaporkan mempunyai perasaan negative yang lebih besar (seperti marah, depresi, bingung dan jengkel) dibandingkan dengan ibu yang tidak melakukan kekerasan fisik pada anaknya. Dix (sedlar dan Hansen, 2001) menyatakan bahwa respon emosi seseorang memiliki peranan dalam pola asuh, termasuk dalam proses pengasuhan yang
8
maladaptive. Kemarahan yang menjadi implementasi dari frustasi merupakan frekuensi terbesar dan merupakan intensitas ekspresi tertinggi oleh orangtua selama dalam peran pengasuhan. Hal ini diasosiasikan dengan pola asuh yang keras dalam interaksi orangtua dan anak. Petterson dkk (sedlar dan Hansen, 2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa ibu yang mempunyai skor kemarahan tinggi akan diikuti dengan perlakuan kekerasan fisik yang tinggi pula pada anak. Masalah kekerasan anak bukanlah masalah yang berdiri sendiri akan tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan. Seperti yang diungkapkan oleh Bittner dan Newbeger (1982) bahwa kekerasan pada anak merupakan fenomena yang bersifat multifactor. Faktor-faktor tersebut antara lain berasal dari faktor social budaya, faktor anak, faktor keluarga, faktor individu (ayah dan ibu), dan faktor pencetus. Sependapat dengan Belsky (Makalah, 2006) menyatakan bahwa kekerasan pada anak tidak terjadi karena satu atau sejumlah sebab melainkan leig merupakan proses multiple pada berbagai level yang memungkinkan hal itu terjasi pada situasi tertentu. Faktor lain yang mendasari munculnya kekerasan pada anak adalah faktor social budaya. Putra (Andayani, 2001) menyatakan bahwa perilaku kekerasan kepada anak juga perlu ditinjau dari pendekatan sociocultural environmental. Menurutnya berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan orang dewasa kepada anak termasuk dalam kategori child abuse (perlakuan salah kepada anak). Banyak unsure-unsur terjadinya perilaku kekersan pada anak diantaranya, norma atau nilai, adat istiadat, kondisi social ekonomi, stratifikasi social.
9
Ditinjau dari tempat tinggal subyek penelitian dilakukan di daerah Kelurahan Gowongan yang masuk dalam wilayah Yogyakarta. Daerah ini masih memegang nilai-nilai dan
budaya seperti gotong royong, sifat kekeluargaan, saling
menghormati, tolong menolong. Hal ini terlihat pada saat peneliti dating ke loikasi. Warga setempat menyambut baik dan mereka tidak segan menawarkan dirinya membantu peneliti. Kehidupan antar tetangga rukun dan damai. Sikap gotong royong tampak ketika salah satu warga mempunyai acara warga lain membantu kegiatan tersebut. Dengan adanya nilai-nilai positif yang dikembangkan dalam masyarakat hal ini mencegah timbulnya perilaku kekerasan pada anak karena adanya control social yang berkembang cukup baik.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa kematangan emosi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku kekerasan pada anak.
SARAN Penelitian ini tentunya masih terdapat beberapa kekurangan sehingga peneliti merasa perlu adanya saran-saran membangun yang ditujukan pada beberapa pihak supaya manfaat yang diperoleh lebih komprehensif dan aplikatif. Bagi para orang tua agar menghargai dan meningkatkan perhatiannya pada anak. Meskipun anak adalah anggota keluarga yang lemah tetapi ia memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam keluarganya. Khususnya bagi para ibu yang
10
memliki waktu lebih banyak bersama anak-anak, diharapkan menjadi pribadi yang lebih matang agar mampu mengelola emosi dan perilaku kekerasan pada anak menjadi berkurang. Bagi peneliti selanjutnya perlu memperhatikan dalam pembuatan skala, hendaknya disesuaikan dengan konteks budaya, kebiasaan dan latar belakang subjek penelitian. Penelitian tentang kekerasan pada anak ini akan lebih baik jika ada kros cek antara pelaku dan korban. Peneliti selanjutnya bisa melihat variabelvariabel lain seperti pola asuh, budya, kepribadian pelaku untuk dihubungkan dengan fenomena kekerasan yang terjadi pada anak. Peneliti selanjutnya hendaknya melakukan penelitian lebih mendalam dengan metode lain sehingga penelitian menjadi lebih akurat dan pencegahan serta penanganan bisa dilakukan.
11
DAFTAR PUSTAKA
Allyn & Bcon. 1989. Understanding Child Abuse and Neglect. Massachusetts: Tower CC.
Andayani, T. R. 2001 Perlakuan Salah Terhadap Anak dan Tingkat Pendidikan Orangtua. Tesis (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada.
Andri. 2006. Kekerasan Pada Anak. http://www.health lrc.or.id/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=102&mode=thr ead&order=0&thold=0 12 07 06 Anonim. Januari 2006. [Dharmajala] Kekerasan pada Anak. www.kompas.com
Anonim. Januari 2006. Anakmu Bukan Milikmu.
[email protected]
Anonim. 2006. Kasus Tragis Kekerasan Anak di Awal http://www.pdpersi.co.id/pdpersi/news/psejati_dalam.php3.16/01/06
2006.
Anonim. 2006. Kemiskinan Picu Peningkatan Kekerasan Anak. http://www.percikaniman.com/modules.php?name=Berita&op=detail_berhasil&id=1675.13/01/06
Azwar, S. 2004. Penyusunan Alat Ukur Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Berkowitz, L. 2003. Emotional Behavior. Jakarta: PMM.
Berns, R. M. 2004. Child, Family, School, Community Socialization and Support. United State: Irivine Wadsworth Chaplin, J. P. 2004. Kamus Psikologi. Jakarta: PT. Raja Garafindo Persada.
12
Cruz, dkk. 2001. Trust and Power, Child Abuse in The Eyes of The Child and The Parent. United Kingdom: Save The Children-UK United Nations Children’s Fun.
Firda, F. 2006. Hubungan Antara Intensitas Interaksi Sosial Orangtua dengan Kecenderungan Melakukan Kekerasan Pada Anak. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia. Goleman, D. 2005. Emotional Intelligence. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka. Gottman, J. & DeClaire, J. 2004. Mengasuh Anak Dengan Hati. Yogyakarta: Prisma Media
Hidayat, S. 2004. Hubungan Perilaku Kekerasan Fisik Ibu Pada Anaknya Terhadap Munculnya Perilaku Agresif Pada Anak SMP. Jurnal Provitae no. 1.
Hurlock, E.B. 2004. Psikologi Perkembangan suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Krahe, B. 2005. Perilaku Agresif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lazarus, R. 1976. Pattern of Adjustment Third Edition. Tokyo: Mc Graw Hill Kogakusha, LTD. Murray, J. 1997. Are You Growing Up Or Just Getting Older?. http://www.soulwork.net/sw_articles_eng/emotional_maturity.htm. Januari 2006. Newberger. 1982. Child Abuse. Boston: Little Brown and Company.
Nurdibyanandaru, D. 2006. Kekerasan pada Anak: Sebab, Akibat, & Upaya Solusinya (pembahasan atas beberapa bentuk kekerasan pada anak). Makalah Seminar Nasional Kekerasan pada Anak. Surakarta
Olson, D. H & DeFrain. J. 2003. Marriage and Families. Intimacy, Diversity, and Strengths. New York: Mc Graw Hill.
13
Patnani, M. 1999. Kekerasan Fisik Terhadap Anak dan Strategi Coping yang Dikembangkan Anak. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Santrock, J. W. 1998. Life Span Development. Jakarta: Erlangga.
Schneiders, A. A. 1964. Personal Adjustment and Mental Health. New York: RineHart n Wiston. Smith. 1961. Personality Adjustment. New York: McGraw Hill.
Solihin, L. 2004. Jurnal Pendidikan Penabur; Tindakan Kekerasan pada Anak dalam Keluarga.
Sukamto, M.E. 2000. Anima, Indonesian Psychologycal Journal; Perlakuan Salah terhadap Anak. Suryaningrum, D. 2006. Hubungan Cinderella Complex dengan Sikap Terhadap Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Wanita yang Bekerja. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.
Suryaningsih, L.D. 2004. Kematangan Emosi dan Penyesuaian Perkawinan Suami Isteri. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Wangsa Manggala.
Suyanto, B. 2002. Tindak Kekerasan Senantiasa Mengancam Anak-anak. http://www.kompas.com./kompas-cetak/0205/23/jatim/tind35.htm.02/02/06
Thalib, S. B. 2002. Dinamika Sosial Psikologis Perilaku Kekerasan Siswa. Jurnal Ilmiah Psikologi “Arkhe”
Thompson, R. A. dkk. 1999. Parent Attitudes and Dicipline Practices: Profiles and Correlates in a Nationally Representative Sample. Journal Child Maltreatment.
14
Tunnahzila, H. 2000. Hubungan Antara Kematangan Emosi dengan Agresifitas pada Tahanan Remaja di Rumah Tahanan Negara Jakarta Timur. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia.
U.S Department of Health and Human Service. 2006. Child Abuse and Neglect Fatalities: Statistics and Interventions. Child Welfare Information Gateway www.childwelfare.gov.25/03/2007
Qomariyah, S. J. 2001. Hubungan Antara Harga Diri dengan Tindak Kekerasan Fisik Terhadap Anak. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Wolfe, D. A. 1991. Preventing Physical and Emotional Abuse of Children. New York: The Guilford Press.
Yoenanto, N. H. 2006. Kekerasan Pada Anak: Jenis, Gejala, Penyebab dan Upaya Solusinya. Makalah Seminar Nasional Kekerasan pada Anak. Surakarta.