NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI DENGAN INFERIORITY FEELING PADA REMAJA
-
Psikologi
Diajukan oleh
Diajukan oleh AWALIA RAMADAYANTI RAHAYU 01 320 247
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
2006
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN INFERIORITY FEELING PADA REMAJA
Telah Disetujui Pada Tanggal … … … … … … … … … … … .
Dosen Pembimbing
Ibu Rina Mulyati, S.Psi., M.Si
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN INFERIORITY FELING PADA REMAJA
Abstraksi
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan inferiority feeling pada remaja. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan inferiority feeling pada remaja. Semakin tinggi kecerdasan emosi remaja, semakin rendah inferiority feelingnya. Sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosi remaja, semakin tinggi inferiority feeling. Subyek dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki dan perempuan yang berusia antara 15-17 tahun dan aktif sebagai nsiswa SMU Budi Luhur Keparakan Kiul Yogyakarta. Teknik pengambilan data yang digunakan adalah menggunakan sksla. Adapun skala yang digunakan adalah skala Kecerdasan Emosi yang berjumlah 20 aitem, mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Goleman (2004) dan skala Inferiority Feeling yang berjumlah 25 aitem mengacu pada karakteristik inferiority feeling yang dikemukakan oleh White dan What (Admin, 2004) dan Kumara (1998). Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS for Window 11.5 untuk menguji apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan inferiority feeling pada remaja. Korelasi Spearman-Rho menunjukkan nilai sebesar rxy = - 0.225 ; p = 0.027 yang artinya ada hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan inferiority feeling pada remaja. Jadi hipotesis penelitian ini diterima.
Kata Kunci : Kecerdasan Emosi, Inferiority Feeling
Pengantar A. Latar Belakang Masa remaja adalah masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan psikisnya. Perubahan fisik, mental serta kehidupan sosial yang mereka alami akan menimbulkan permasalahan bagi remaja dan mereka harus mampu mengatasinya. Jika tidak, akibat yang ditimbulkan akan menjadi besar dan ia akan melakukan tindakan negatif yang akan merugikan diri sendiri maupun orang lain (Hurlock, 2002). Reaksi yang ditampilkan remaja dalam menghadapi frustrasi, bila gagal dalam menyesuaikan dirinya dengan masalah yang dihadapi menjadi mudah cemas, panik, agresif, atau menarik diri dari lingkungan (Suryanto, 2004). Permasalahan yang dialami remaja bermacam-macam dari yang sederhana sampai yang kompleks. Salah satu permasalahan yang sering dialami remaja, menurut Guntoro (2000) adalah masalah minder karena menilai dirinya kurang dan merasa tidak memiliki kelebihan yang bisa dipakai sebagai “modal” dalam bergaul. Perasaan ini kemudian meluas ke hal-hal yang lain, seperti malu berhubungan dengan orang lain atau malas bergaul, tidak percaya diri tampil di muka umum, menarik diri, pendiam atau bahkan menjadi seorang yang pemarah (Guntoro, 2000). Hurlock (2002) mengemukakan bahwa salah satu sebab timbulnya perasaan tidak percaya diri atau minder ini disebabkan karena remaja tidak puas dengan bentuk tubuh yang dimilikinya. Reaksi sosial terhadap bentuk tubuh yang tidak sesuai dengan standar budaya yang berlaku, menyebabkan remaja prihatin dengan pertumbuhan tubuhnya karena masyarakat lebih memilih bentuk tubuh kurus dan tinggi dari pada bentuk tubuh
gemuk dan penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri serta tiap cacat fisik merupakan sumber yang memalukan yang dapat mengakibatkan perasaan rendah diri (Hurlock, 2002). Seorang remaja laki-laki bunuh diri karena merasa badannya terlalu gemuk (Toronto Star, 2003). Ini terjadi karena remaja tersebut tidak puas dengan bentuk tubuhnya. Berbeda dengan kasus seorang remaja putri yang malu untuk berkumpul dengan lingkungannya karena merasa tidak memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk masuk perguruan tinggi yang diinginkannya (www.intisari.com, 2004). Kasus lain yang dialami seorang remaja putri tidak mau bergaul dengan temannya karena minder berasal dari keluarga tidak mampu dan sering menunggak pembayaran SPP, juga pernah tinggal kelas (www.kompas.co.id, 2004). Kondisi-kondisi yang menyebabkan remaja tidak percaya diri disebabkan adanya penolakan dari lingkungannya adalah penampilan yang tidak sesuai dengan standar kelompoknya, adanya kesan pertama yang kurang baik karena penampilan diri yang tidak menarik, tidak dapat bekerja sama, kurang bijaksana, status sosio ekonomi yang lebih rendah dari status sosio ekonomi kelompoknya, tempat tinggal yang jauh dari kelompoknya dan juga ketidakmampuan berpartisipasi dengan kelompoknya (Hurlock, 2002). Jika penyebab remaja tidak percaya diri adalah penilaian terhadap dirinya sendiri, maka kondisi-kondisi yang dialami remaja tersebut sama dengan karakteristik individu yang mengalami inferiority feeling. Inferiority feeling sendiri merupakan
istilah yang dikemukakan oleh Adler
(Sujanto, 1986) yang berarti adanya perasaan kurang berharga pada seseorang yang timbul karena kondisi psikologis maupun situasi sosial atau bisa juga karena keadaan
jasmani yang kurang sempurna. Pengertian tersebut bisa dikenakan pada kondisi atau situasi yang lebih luas yaitu perasaan kurang yang dialami individu yang timbul karena perasaan kurang berharga atau kurang mampu dalam semua aspek kehidupan. Bruno (1989) secara lebih luas menjelaskan bahwa inferiority feeling adalah suatu kondisi untuk menggambarkan serangkaian pikiran dan perasaan dari seseorang yang merasa dirinya kurang mampu menghadapi tantangan hidup, yang muncul dalam bentuk kehilangan kepercayaan diri, sifat takut atau malu, minder atau tidak percaya diri (www.eramoslem, 2004). Remaja yang mengalami inferiority feeling mengalami gejala seperti ragu, gagap, murung, malu, tidak bebas mengemukakan idenya, tidak berani, adanya prasangka buruk, yang memungkinkan remaja menjadi sosok penyendiri, perilaku dan kondisi emosinya tidak sehat, kurang perhatian terhadap pekerjaan dan menyalahkan orang lain apabila dia gagal (La Rose, 1998). Suryanto (2004) menambahkan bahwa remaja yang memiliki inferiority feeling akhirnya menjadi orang yang mudah frustrasi, agresif, murung, bingung dimana dapat dikatakan kemampuan menangkal berbagai masalah hidup tidak efektif. Sifat tersebut dapat menghambat kemajuannya dan akan menggoncangkan pribadinya yang kemudian akan membentuk cara pandang yang negatif terhadap dirinya secara permanen. Karakteristik lain yang dikemukakan oleh Savin dan William (Santrock, 2003) yang mengatakan bahwa seorang remaja yang mengalami inferiority feeling adalah mereka sering menggerakkan tubuh secara dramatis atau tidak sesuai dengan konteks, menghindari kontak fisik, tidak mampu mengekspresikan pandangan atau pendapat terutama jika ditanya, mencari-cari alasan ketika gagal, serta merendahkan diri sendiri.
Remaja yang mengalami inferiority feeling cenderung akan menghindari tantangan daripada menghadapinya. Mereka kurang memiliki pemahaman (insight) dalam menghadapi permasalahan dan cenderung kaku dalam berperilaku yang akhirnya mereka sulit dalam menjalin hubungan interpersonal dan sering merasa bersalah dan tidak bahagia dengan kehidupannya (Goleman, 2004). Penyebab remaja mengalami inferiority feeling adalah kesadaran diri yang rendah yaitu mereka menganggap dirinya tidak mampu untuk berbuat sesuatu yang akhirnya anggapan ini menghipnotisnya (Maltz, 2000). Rini (2004) menambahkan bahwa kesadaran diri negatif ini membuat mereka tidak nyaman berada di tengah-tengah suatu komunitas, sehingga mereka menghindari situasi sosial dan akhirnya mengalami kesulitan dalam membina hubungan dengan orang-orang disekitarnya. Hollowell (www.pmila.com, 2000), menyebutkan faktor lain yang menyebabkan remaja mengalami inferiority feeling adalah kurangnya dukungan orang tua, kurang kasih sayang, tidak adanya kesempatan untuk berusaha, adanya cap atau label buruk dari lingkungan. Hubungan sosial dan komunikasi yang tidak efektif merupakan faktor penyebab lain mengapa remaja mengalami inferiority feeling. Kesulitan dalam menjalin hubungan sosial seperti malu jika berhadapan dengan orang lain, ingin selalu menghindar, gelisah serta perasaan tidak tenang dan nyaman jika bertemu dengan orang lain menjadikannya merasa tidak berharga dan merasa kecil (www.pmila.com, 2000). Kesadaran diri yang negatif dan ketidakmampuan remaja menjalin hubungan sosial secara sehat merupakan sebagian kecil dari tanda bahwa remaja tersebut memiliki kecerdasan emosi yang rendah. Salovey dan Mayer (Goleman, 1999) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta
menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Lebih lanjut Salovey mengatakan bahwa orang yang cerdas secara emosional memiliki kesadaran diri yang baik, mampu mengendalikan emosi, mengendalikan diri, berempati dan memiliki keterampilan sosial yang baik sehingga perilakunya senantiasa terkendali dan dapat menjalin hubungan sosial dengan baik. Sebaliknya orang yang tidak cerdas secara emosional menunjukkan perilaku tidak terkontrol yang cenderung digerakkan oleh emosi dan tidak mampu menjalin hubungan interpersonal dengan baik. Goleman (2004) menambahkan bahwa kecerdasan emosi
merujuk pada
kemampuan mengenali perasaan sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi, serta kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam berhubungan dengan orang lain. Pendapat tersebut diperkuat oleh Mu’tadin (2002) bahwa kecerdasan emosi tampak dalam hal bagaimana remaja mampu mengungkapkan dan mengendalikan emosinya, memberi kesan yang baik pada dirinya dan berusaha mengimbangi dengan lingkungannya agar terjalin interaksi yang lancar dan efektif. Berdasarkan penjelasan tersebut tampak bahwa faktor yang mempengaruhi kecenderungan berperilaku inferiority feeling pada remaja di atas adalah rendahnya aspek-aspek yang terdapat pada kecerdasan emosi. Hal ini menyebabkan remaja mudah terbawa untuk melakukan tindakan bardasarkan emosinya terlebih dahulu tanpa mempertimbangkan akibat yang dapat ditimbulkan oleh tindakan tersebut pada dirinya. Berdasarkan temuan dari penjelasan di atas timbul suatu pertanyaan “apakah ada hubungan antara kecerdasaan emosi dengan inferiority feeling pada remaja”.
B. Hipotesis. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka peneliti memberikan hipotesa yaitu ada hubungan antara kecerdasaan emosi dengan inferiority feeling pada remaja.” C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dengan inferiority feeling pada remaja.
Tinjauan Pustaka A.
Inferiority Complex
1. Pengertian Inferiority complex Inferiority feeling diartikan sebagai perasaan kurang percaya diri, biasanya cenderung pasrah, menerima keadaan apa adanya, menganggap dirinya kurang berarti, rendah diri atau hina diri (Echois dan Shadily, 1992). Senada dengan definisi tersebut Mursal (1976) mengatakan bahwa arti inferiority feeling adalah perasaan yang terdapat pada diri seseorang dimana dia beranggapan bahwa dirinya serba kurang jika dibandingkan dengan orang lain dan perasaan negatif ini menyebabkan individu ingin menjauhkan diri dari orang lain (Jalaludin, 1977). Istilah inferiority feeling secara sederhana oleh Bruno (1998) disamakan dengan konsep diri yang negatif atau harga diri yang rendah. Perasaan harga diri yang kurang ini, merasa lemah atau tidak efisien merupakan kondisi mental yang normal namun sering timbul gejala-gejala keinginan untuk memperoleh pengakuan orang lain (Sudarsono, 1999 : Draver, 1986). Chaplin (2002) mengartikan bahwa inferiority feeling adalah suatu perasaan tidak aman, tidak mantap, tidak tegas, merasa tidak berarti sama sekali dan tidak mampu memenuhi tuntutan-tuntutan hidup. Pendapat lain menyebutkan bahwa inferiority feeling merupakan perasaan rendah diri yang menyerap ke dalam berbagai tingkah laku (Kartono dan Gulo, 1987) dan perasaan menjadi kecil atau tidak sempurna ketika dibandingkan dengan orang lain (www.Devinefeelings.com, 2003) serta tidak ada keinginan untuk membantu, tidak adanya harapan dan tidak adanya motivasi untuk menjadi sempurna (Heffner, 2004). Adler (Bruno, 1989) memberi makna bahwa inferiority feeling adalah serangkaian pikiran dan perasaan dari seseorang yang merasa dirinya kurang mampu
menghadapi tantangan hidup atau rasa rendah diri yang timbul karena perasaan kurang berharga atau kurang mampu dalam berbagai kehidupan (Sumadi, 2003). Kumar (2000) mengartikan bahwa inferiority feeling adalah perasaan kurang yang dikembangkan seseorang atas dirinya dan membandingkannya dengan kenyataan yang ada bahwa orang lain lebih baik dari dirinya dan penilaian ini bersifat subyektif. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pengertian dari inferiority feeling adalah perasaan tidak percaya diri, perasaan rendah diri, perasaan kurang mampu, merasa kecil dan merasa tidak sempurna bila dibandingkan dengan orang lain dan pesimis dalam menghadapi masalah. 2. Karakteristik Remaja dengan Inferiority Feeling Lauster (1978) menyebutkan karakteristik remaja yang memiliki inferiority feeling : a. Individu merasa bahwa tindakan yang dilakukan tidak adekuat. Ia cenderung merasa ridak aman dan tidak bebas bertindak, cenderung ragu-ragu dan membuang waktu dalam pengambilan keputusan, memiliki perasaan rendah diri dan pengecut, kurang bertanggung jawab dan cenderung menyalahkan pihak lain sebagai penyebab masalahnya, serta pesimis dalam menghadapi rintangan. b. Individu merasa tidak diterima oleh kelompoknya atau orang lain. Ia cenderung menghindari situasi komunikasi karena merasa takut disalahkan atau direndahkan, merasa malu jika tampil di hadapan orang.
c. Individu tidak percaya terhadap dirinya dan mudah gugup. Ia merasa cemas dalam mengemukakan gagasannya dan selalu membandingkan keadaan dirinya dengan orang lain. . Kumara (1988) mengemukakan ciri-ciri inferiority feeling yaitu : a
Adanya perasaan tidak aman (rasa takut)
b
Merasa tidak bebas
c
Ragu-ragu
d
Tidak mampu berbicara dihadapan orang
e
Kurang cerdas
f
Kurang berani tampil
g
Membuang-buang waktu dalam mengambil keputusan
h
Pengecut
i
Cenderung untuk menyalahkan suasana luar sebagai penyebab masalahnya.
White dan Watt (Admin, 2003) menambahkan ciri-ciri remaja yang mengalami inferiority feeling : a. Self consciousness atau kesadaran diri yang berlebihan b. Mudah sekali merasa malu dan bingung c. Memiliki perasaan yang sangat sensitif d. Tidak tahan terhadap kritik e. Tidak tahan bila dibandingkan dengan orang lain f. Menderita atas ketidakpuasan hidupnya g. Ragu dalam mengambil keputusan h. Menghindari tanggung jawab
i. Emosinya kurang matang. Berdasarkan uraian karakteristik inferiority feeling diatas maka dapat peneliti simpulkan bahwa aspek inferiority feeling dapat digolongkan menjadi empat yaitu : a. Penilaian yang negatif terhadap dirinya, terkait dengan fisik, pola pikir, sosial, dan kemampuan. b. Tidak adanya minat sosial atau tidak bisa menikmati interaksi sosial (perilaku untuk terlibat dalam aktivitas sosial) yaitu sulit untuk minta bantuan pada orang lain, merasa tidak aman dan tidak bebas. c. Selalu menyalahkan orang lain ataupun dirinya sendiri atas masalah yang dialami (menghindari tanggung jawab, tidak mencari solusi, tidak berani menghadapi kenyataan). d. Tidak tahan terhadap kritik (tidak tahan bila dibandingkan dengan orang lain, cemas dan khawatir atas penilaian orang lain). 3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Inferiority Feeling a. Keluarga Remaja yang mengalami inferiority feeling disebabkan oleh keadaan keluarga dan suasana keluarga. Keluarga dengan suasana penuh penolakan, diktator, terlalu melindungi, disiplin yang tidak konsisten, situasi keluarga yang berantakan, orang tua yang merendahkan dan meremehkan akan membuat perasaan kecil hati dan akan berkembang menjadi inferiority feeling (Kumar, 2000). b. Cacat Fisik Menurut Hill dan Mooks (Monks, Knoers dan Haditono, 2002) remaja sendiri merupakan salah satu penilai yang penting terhadap badannya sendiri. Bila ada
penyimpangan-penyimpangan, maka akan menimbulkan masalah yang berhubungan dengan penilaian diri dan sikap sosialnya. Remaja menjadi tidak percaya diri, tidak memiliki keberanian serta merasa kurang mampu menghadapi kehidupannya (Alwisol, 2004). Mereka sering kali mengganggap dirinya sebagai orang yang gagal dan tidak berguna (Hall dan Linsey, 1993), merasa memiliki kekurangan yang yang fatal dan sulit diperbaiki, dan mengganggap dirinya buruk rupa (Admin, 2003). c. Kesadaran Diri yang Negatif Remaja menganggap dirinya tidak mampu untuk berbuat sesuatu yang akhirnya anggapan ini menghipnotisnya (Maltz, 2000). Darajat (1994) menambahkan bahwa kesadaran diri yang negatif ini membuat mereka tidak nyaman berada di tengah-tengah suatu komunitas, sehingga mereka menghindari situasi sosial dan akhirnya mengalami kesulitan dalam membina hubungan dengan orang-orang disekitarnya. Semua perasaan negatif tersebut menyebabkan remaja menjadi putus asa, dan malu untuk bergaul dengan orang lain (Darajat, 1994) d. Hubungan Sosial dan Komunikasi yang Tidak Efektif Kesulitan dalam menjalin hubungan sosial seperti malu jika berhadapan dengan orang lain, ingin selalu menghindar, gelisah serta perasaan tidak tenang dan nyaman jika bertemu dengan orang lain. Hubungan sosial yang tidak efekti ini menjadikannya merasa tidak berharga dan merasa kecil (Hollowell, 2000). Minat sosial yang tidak berkembang inilah yang menyebabkan remaja memiliki tujuan hidup yang terlalu tinggi dan kemudian menjauhkan dirinya dengan komunitas orang disekelilingnya (Admin, 2004).
Kesadaran diri yang negatif dan ketidakmampuan menjalin hubungan sosial yang tidak sehat inilah yang merupakan sebagian kecil dari tanda bahwa remaja tersebut memiliki kecerdasan emosi yang rendah. 4. Cara Coping Remaja yang Mengalami Inferiority Feeling a. Kompensasi b. Menyerah
B. Kecerdasan Emosi 1. Pengertian Kecerdasan Emosi Kecerdasan emosi pertama kali dikemukakan oleh psikolog Salovey dan Mayer (Shapiro, 1997) untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang penting bagi suatu keberhasilan. Kecerdasan emosi menuntut pemahaman perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan
emosi dalam kehidupan sehari-hari secara selektif. Ditambahkan
Davies (Satiadarma dan Waruwu, 2003), menjelaskan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk memahami emosi dirinya sendiri dan orang lain, membedakan satu emosi dengan lainnya, dan menggunakan informasi tersebut untuk menuntun proses berpikir serta berperilaku seseorang. Patton (1998) menjelaskan bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif untuk membangun hubungan yang produktif, mencapai tujuan serta meraih keberhasilan. Covey (2001) menyebut kecerdasan emosi sebagai kematangan pribadi, yaitu keseimbangan antara keberanian dan tenggang rasa.
Artinya individu dapat mengekspresikan perasaan dan keyakinan dengan keberanian yang diimbangi dengan pertimbangan akan perasaan dan keyakinan orang lain. Menurut Goleman (2004), kecerdasan emosi merupakan kemampuan emosional yang dimiliki individu yang meliputi kemampuan mengontrol diri sendiri, memiliki semangat dan ketekunan, kemampuan memotivasi diri sendiri, ketahanan menghadapi frustrasi, kemampuan mengatur suasana hati dan kemampuan menunjukkan empati, harapan serta optimisme. Individu juga mampu membina hubungan yang baik dengan orang lain, mudah mengenali emosi orang lain dan penuh perhatian. Penulis menyimpulkan bahwa pengertian kecerdasan emosi adalah suatu keadaan individu untuk mengelola dan mengendalikan pikiran, perasaan dalam bertindak dan berbuat, serta untuk membedakan dan menanggapi suasana hati yang akan menuntun tingkah lakunya dalam menjalani kehidupan secara selektif.
2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi Ada beberapa aspek dalam kecerdasan emosi ini menurut Goleman ( 2004 ) a. Kesadaran diri ( mengenali emosi diri ) b. Mengelola emosi c. Memotivasi diri d. Empati ( mengenali emosi orang lain ) e. Keterampilan sosial ( membina hubungan dengan orang lain )
3.Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi Kecerdasan emosi yang dimiliki seorang remaja tidak terlepas dari peranan lingkungan sekitarnya. Goleman (2004) menyebutkan bahwa pola asuh orang tua, sekolah atau pendidikan dan latar belakang budaya adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan emosional remaja.
Metode Penelitian A. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian Berdasarkan hipotesis yang diajukan, varibel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : A. Variabel Tergantung : Inferiority Feeling B. Variabel Bebas
: Kecerdasan Emosi
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Inferiority Feeling Inferiority Feeling adalah suatu keadaan dimana seseorang mengembangkan serangkaian penilaian negatif yang berlebihan tentang dirinya, cenderung menghindari tantangan daripada menghadapinya, yang akhirnya menimbulkan perasaan lebih rendah bila dibandingkan dengan orang lain sehingga dia tidak menikmati hubungan sosial dengan baik. 2. Kecerdasan Emosi Kecerdasan emosi adalah sejauh mana seseorang mampu mmengenali, mengelola dan mengekspresikan emosi secara tepat pada orang lain serta mampu memilahnya untuk membimbing pikiran dan tindakan, agar termotivasi, bertahan dari berbagai macam tekanan, dapat mengatur suasana hati agar mampu berhubungan dengan orang lain secara efektif.
C. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki dan perempuan yang berusia antara 15-17 tahun, dan aktif sebagai siswa SMU BUDI LUHUR Yogyakarta.
D. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode skala. Metode skala ini digunakan mengingat variabel-variabel dalam penelitian ini, yaitu inferiority complex dan kecerdasan emosi lebih mudah diungkap dengan metode skala. Metode skala juga memiliki bentuk langsung yang mendasar pada laporan tentang diri sendiri atau self report, atau setidak-tidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi. Metode skala memiliki ciri khas atau karakteristik sebagai alat ukur psikologis yaitu stimulus berupa pernyataan atau pertanyaan yang tidak langsung mengungkap (dalam bentuk indikator perilaku) atribut yang hendak diukur, indikator-indikator perilakunya diterjemahkan dalam bentuk-bentuk aitem.
Hasil Penelitian A. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk melihat normal atau tidaknya distribusi sebaran jawaban subjek pada suatu variabel yang dianalisis. Uji normalitas sebaran pada penelitian menggunakan teknik analisis One-Sample Kolmogorov Test. Untuk inferiority complex dengan koefisien K-SZ = 0.488 ; p= 0.971). Sedangkan kecerdasan emosi K-SZ = 0.912 ; p= 0.377, maka kedua distribusi responden normal (p > 0.05). B. Uji Linearitas Uji Linearitas dilakukan untuk melihat apakah data-datanya mengikuti garis linier. Uji linearitas dilakukan dengan teknik Bivariation Linear. Syarat dari uji normalitas ini adalah bila p < 0,05. Dari hasil perhitungan tersebut diperoleh hasil F= 1.975; p = 0.164 sehingga korelasi antara kecerdasan emosi dengan Inferiority Feeling tidak linier. C. Hasil Uji Hipotesis Uji hipotesis penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Spearman-Rho karena salah satu uji asumsi tidak terpenuhi. Hasil perhitungan menunjukkan nilai r
xy
= -0.225 ; p = 0.027 hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan
negatif yang signifikan antara kecerdasn emosi dengan inferiority feeling pada remaja dimana p < 0.05. Dengan demikian hipotesis yang diajukan peneliti diterima. Nilai negatif menunjukkan ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan inferiority feeling. .Semakin tinggi kecerdasan emosi semakin rendah inferiority feeling. Sebaliknya
semakin rendah kecerdasan emosi semakin tinggi inferiority feeling. Hasil analisis data ini menunjukkan bahwa hipotesis yang dikemukakan oleh peneliti diterima.
D. Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa subyek memiliki hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan inferiority feeling. Semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin rendah inferiority feeling, sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosi semakin tinggi inferiority feelingnya. Hal ini berarti sesuai dengan hasil penelitian Gottman dan Declaire (1999) menyatakan bahwa anak-anak yang belajar mengenali dan menguasai emosinya menjadi lebih percaya diri sekaligus lebih sehat secara fisik serta akan menjadi remaja yang sehat secara emosional. Remaja yang mengalami inferiority feeling cenderung akan menghindari tantangan daripada menghadapinya. Mereka kurang memiliki pemahaman (insight) dalam menghadapi permasalahan dan cenderung kaku dalam berperilaku yang akhirnya mereka sulit dalam menjalin hubungan interpersonal dan sering merasa bersalah dan tidak bahagia dengan kehidupannya (Goleman, 2004). Penelitian Thurston (Handayani, 1996) menyatakan bahwa remaja yang memiliki kecemasan tinggi cenderung mengalami kesulitan dalam mengamati perilakunya sendiri maupun dalam merumuskan konsep dirinya sesuai dengan kenyataan yang ada, karena mereka mempunyai kepercayaan diri yang cenderung rendah sehingga hanya dapat melihat dirinya lebih rendah dari orang lain. Sementara Penelitian Rahmat (Handayani, 1996) mengemukakan bahwa orang yang kurang percaya diri cenderung dianggap tidak menarik, tidak puas, malas dalam studi sehingga cenderung gagal secara akademik.
Untuk itu perlu adanya kemampuan membina dan memelihara hubungan yang memuaskan dengan saling memberi dan menerima. Keterampilan untuk menjalin hubungan antar pribadi yang positif ini diperoleh dengan kemampuan individu untuk memelihara
kecerdasan
emosinya.
Apabila
setiap
individu
memelihara
dan
mengembangkan kecerdasan emosinya untuk dirinya sendiri maupun orang lain maka hidupnya akan merasa tenang dan nyaman serta memiliki harapan yang positif tentang hidupnya dan hubungannya dengan orang lain sehingga sikap inferiority feeling tidak akan ada dalam benak dan bayangan setiap manusia, khususnya para remaja. Seperti penelitian Setyadi (1998) yang menyatakan bahwa individu yang dapat mengendalikan emosinya akan mendapatkan reaksi positif dari lingkungan sosialnya dan ini dapat meningkatkan kepercayaan diri yang telah dimiliki sebelumnya. Remaja yang mengalami inferiority feeling yaitu kesulitan dalam menjalin hubungan sosial (www.pmila.com, 2000) dan hilangnya kepercayaan diri (Abdullah, 2004) yang mengakibatkan remaja tersebut menjadi rendah diri dan putus asa dalam menjalani kehidupannya. Hal ini berlawanan dengan remaja yang memiliki kecerdasan emosi, dimana menurut Goleman (2004) adalah memiliki motivasi diri, dan mampu membina hubungan sosial dengan orang lain (keterampilan sosial). Sikap pesimis dan negatif thinking harus dibuang jauh dengan cara mengubah dan meluruskan cara berfikir. Karena bayangan pikiran yang dimiliki setiap orang mengenai diri sendiri, juga bayangan pikiran mengenai apa yang akan dilakukan memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan pribadinya ( Abdullah, 2004). Pikiran positif akan menghasilkan pengaruh yang positif pula. Hal ini didukung oleh pendapat Goleman (2004) yang menyatakan bahwa orang yang optimis memiliki
harapan yang besar. Semua hal dalam hidup akan menjadi lebih baik walaupun ada rintangan ataupun kemunduran. Orang yang optimis akan melihat kekurangan atau kegagalan sebagai sesuatu yang bisa diperbaiki atau diatasi sehingga dapat berhasil pada kesempatan yang lain. Orang yang optimis memiliki kepercayaan diri yang tinggi sehingga dia tidak akan memandang dirinya rendah dan tidak berguna. Sikap optimis yang mendatangkan rasa percaya diri ini akan membawa remaja mudah dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Pendapat tersebut didukung oleh Sarlito (2004) yang menyatakan bahwa remaja yang memiliki kecerdasan emosi tinggi juga memiliki kepercayaan diri yang tinggi yang diperolehnya dalam pergaulan sehingga dia mampu menguasai emosinya dan memiliki mental yang sehat serta pandai dalam menempatkan dirinya. Subyek dalam penelitian ini memiliki tingkat inferiority feeling yang sedang. Tingkat inferiority feeling yang sedang ini menunjukkan bahwa secara umum perasaan rendah diri dan ketidakpercayaan diri terdapat pada setiap idividu, namun bagaimana individu tersebut mampu mengatasinya agar terhindar dari perasaan inferior tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Adler (Sujanto, 1986) bahwa rasa rendah diri bukan tanda
ketidaknormalan,
melainkan
sebagai
pendorong
kearah
kemajuan
atau
kesempurnaan hidup. Dengan perasaan diri yang kurang maka remaja akan memperbaiki dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya. Seperti pendapat Huda (2000) yang mengatakan bahwa setiap manusia memiliki kelemahan, namun kelemahan itu dijadikan introspeksi diri untuk diperbaiki dan mengubahnya menjadi potensi yang baik. Data deskriptif menunjukkan bahwa secara umum subjek penelitian memiliki kecerdasan emosi dan inferiority feeling pada kategori sedang. Tingkat inferiority feeling
subjek tergolong sedang ini ternyata merupakan hasil sumbangan dari kecerdasan emosi sebesar 5.1 persen dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini. Kecilnya sumbangan kecerdasan emosi terhadap iniferiority feeling, maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi kurang efektif dalam memprediksi inferiority feeling. Dilihat dari kecilnya angka sumbangan efektif diatas berarti sebagian besar inferiority feeling dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Faktor-faktor yang lain tersebut adalah keadaan dan suasana keluarga, gaya hidup dan cacat fisik (Alwisol, 2004). Keluarga dengan suasana penuh penolakan, diktator, terlalu melindungi, disiplin yang tidak konsisten, situasi keluarga yang berantakan, orang tua yang merendahkan dan meremehkan akan membuat perasaan kecil hati dan akan berkembang menjadi inferiority feeling (Kumar, 2000). Pendapat senada diungkapkan oleh Boulby (Santrock, 2003), bahwa ikatan ibu dan anak dalam keluarga yang tidak memberikan rasa aman, tidak ada cinta dan kasih sayang dalam pengasuhan akan menciptakan set kognitif yang negatif. Hal ini akan mempengaruhi pengalaman pada kehidupan selanjutnya sehingga akan menjadi remaja yang mengarahkan perasaan negatifnya pada diri sendiri yaitu menghukum dirinya sendiri dengan mengurung diri, tidak mau bergaul dengan orang lain (Darajat, 1994). Setiap orang dapat mengembangkan perasaan inferior yang berlebihan, namun remaja yang dilahirkan dengan keadaan fisik yang tidak sempurna mempunyai peluang yang lebih besar. Penyimpangan dari bentuk badan remaja menimbulkan kegusaran batin yang cukup mendalam, karena pada masa ini penampilan menjadi perhatian yang sangat besar bagi remaja. Mereka sering kali mengganggap dirinya sebagai orang yang gagal
dan tidak berguna, merasa memiliki kekurangan yang fatal dan sulit diperbaiki, dan mengganggap dirinya buruk rupa (Admin, 2003). Hal tersebut didukung oleh penelitian Harter (Santrock, 2003) yang menyatakan bahwa penampilan fisik secara konsisten berkorelasi paling kuat dengan rasa percaya diri dan penerimaan sosial remaja. Hal ini membuktikan bahwa keadaan fisik merupakan kontributor yang berpengaruh pada penilaian diri remaja, yang apabila penilaiannya buruk maka akan menghambat perkembangan kepribadian remaja yang sehat (Mooks, Knoers dan Haditono, 2002).
Penutup A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan hasilnya adalah sebagai berikut : 1. Inferiority feeling responden pada penelitian ini secara umum termasuk dalam kategori sedang 2. Kecerdasan emosi responden pada penelitian ini secara umum termasuk dalam kategori sedang 3. Kecerdasan emosi berkorelasi negatif dengan inferiority feeling. Semakin tinggi inferiority feeling responden penelitian maka semakin rendah kecerdasan emosi, sebaliknya semakin rendah inferiority feeling semakin tinggi kecerdasan emosi 4. Kecerdasan emosi menyumbang 5.1 persen untuk tingkat inferiority feeling yang dimiliki responden penelitian.
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini diajukan saran sebagai berikut : 1. Bagi Subyek Penelitian Untuk meningkatkan keyakinan dan kemampuan diri dengan mau berbicara dan mengemukakan pendapat serta berani mengambil keputusan sendiri, selalu optimis yaitu dengan tidak pernah menyerah dan putus asa, menerima kegagalan dan memperbaiki kegagalan tersebut, berpikiran positif dalam memandang sesuatu, menerima diri sebagaimana adanya, memiliki harapan dan cita-cita, mau bergaul dengan teman yang
lain, mengikuti kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti mengikuti organisasi, mengikuti kepanitiaan ataupun kegiatan ekstrakurikuler. 2. Bagi peneliti selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti tema yang sama, di sarankan untuk memperhatikan faktor-faktor lain dari inferiority feeling. Melakukan penyempurnaan alat ukur yang telah digunakan oleh peneliti agar lebih baik. Ini semata agar diperoleh hasil penelitian yang lebih akurat. Subjek penelitian juga bisa lebih diperluas lagi jangkauannya sehingga akan mendapatkan hasil yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, A. F. 2004. Membangun Positive Thinking Secara Islam. Jakarta : Gema Insani. Admin. 2003. Apakah inferioritas itu?.http// www.psikologi.net.13/07/05. Alwisol. 2004. Psikologi kepribadian. Malang : UMM Press. Anthony, R. 1993. Rahasia Membangun Kepercayaan Diri. Jakarta : Bina Rupa Aksara. Azwar, S. 2003. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Berkowitz, L. 2003. Emotional Behaviour. Jakarta : PPM. Bruno, F. J. 1989. Kamus Istilah Kunci Psikologis.Yogyakarta : Kanisisus. Chaplin, J.P. 2002. Kamus Lengkap Psikologi. Penerjemah : Kartini Kartono. Jakarta : PT. Raya Grafindo. Covey, S. 2001. The 7 Habits of Highly Effective Teens. Jakarta : Binarupa Aksara. Darajat, Z. 1994. Remaja Harapan dan Tantangan. Jakarta : CV. Ruhama. Draver, J. 1986. Kamus Psikologi. Jakarta : Bina Aksara.
Echois, J. M & Shadily, H. 1992. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Goleman, D. 1999. Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Prestasi Puncak. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama. Goleman, D. 2004. Emotional Intelligent. Kecerdasan Emosional : Mengapa EI lebih penting daripada EQ. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama. Gottman, J. dan Declaire, J. 1999. Kiat-kiat membesarkan anak yang memiliki kecerdasan emosi ( Terjemahan ). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.. Hadi, S. 2002. Metodologi Research Jilid 2. Yogyakatra : Andi Offset.
Hall, C. S & Linsey, G. 1993. Teori-teori Psikodinamik ( Klinis ). Editor : A. Supratiknya. Yogyakarta : Kanisius.. Handayani, P. K. 1996. Kepercayaan diri dan kecenderungan Neoritis pada Remaja. Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas psikologi UGM. Hawari, D. 1996. Al Quran. Ilmu Keokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta : PT. Dana Bakti Primajasa. Heffner. 2004. Alfred Ader’s Individual Psychology. http://www.allpsych.com. 30/03/05. Hollewell, E. M. Penyakit rendah diri (Minder). http: //www.pmila.com. 17/02/05. Huda, N. 2000. Sukses Dunia Akhirat. Jombang : Lintas Media. Hurlock, E. B. 2002. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga. --------.Inferiority Complex. http://www.eramoslem.com.04/03/05. -------- Inferriority Complex. http://www.evingfeelings.com/inferior.htm.06/04/05 Jalaludin. 1997. Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan. Jakarta : CV Majasari Indah. Kalia.L.H, Singh.H.N.&Singh,R. 2002. Ensclopedia of the World Psychologists.Delhi : tarun Offset Press. Kartono, K. 1981. Gangguan-gangguan Psikis. Bandung : Sinar Baru. Kartono, K&Gulo, D. 1987. Kamus Psikologi. Bandung : CV.Pionir Jaya. Kumar, A. 2000. Encyclopaedia Of Psychology. New Delhi : Mehra Offes Press. Kumara, A. 1988. Studi Pendahuluan tentang validitas dan reliabilitas the test of self cofidence. Lap Penelitian (Tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikilogi UGM. La rose. 1998. Pengembangan Persona Pribadi. Jakarta : Pustaka Kartini. Lauster, P. 1978. The Personality Test. London&Sidney : Pans Book. Lonon, I. H. 2002. The Inferiority Complex and The need For Social Approval. http:// www.discover-your.mind.co.uk.03/04/05. Maltz, M. 2000. Psycho-cybernetics Mutakhir. Batam Centre : Interaksa.
-------- Masa Kecilku Kebahagiaanku. http://www.paap93.8m.com.04/03/05 http: //www.pmila.com. 17/02/05. Mooks, F.J., Knoers, A.M.P& Haditono, S. R. Psikologi Perkembangan. 2002. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Mursal. 1976. Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan. Bandung : PT. Alma’Arif. Mu’tadin, Z. 2002. Mengenal Kecerdasan Emosional Pada Remaja. http: //www.epsikologi.com. 17/01/05. Notosoerdijo, M dan Latipun. 2002. Kesehatan Mental. Malang : UMM. Olivia, R. 2005. Lebih Positif Lebih Semangat. Majalah Citacinta 96-98. Oktasela, D. 1997. Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja. Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas psikologi UGM Peale, N.V. 1992. Berfikir Positif. Jakarta : Bina Rupa Aksara. Ramdhani, N. 1996. Perubahan Perilaku dan Konsep Diri Yang Sulit Bergaul Setelah menjalani pelatihan ketrampilan sosisl. Jurnal Psikologi, 1, 13-20 Santrock, J. W. 2003. Adolecence ( Terjemahan ). Jakarta : Erlangga Sarlito. 2004. Kejarlah EQ Sukses Kau Tangkap. Intisari, 40-46. Satiadrma, M.P dan Waruwu, F.E. 2003. Mendidik Kecerdasan. Pedoman Bagi Orang Tua dan Guru dalam Mendidik Anak Cerdas. Jakarta : Pustaka Populer Obor. Setiadi, A.V.A. 2001. Hubungan antara kecerdasan emosi dengan keberhasilan bermain game. Anima, 17, 42-52. Stein, P.J & Book, M.D., Howard, E. 2002. Ledakan EQ : 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses. Bandung : Kaifa. Stringer, K. 2000. Alfred Adler : Feb 7 1870 – May 28 1937. http:// www. Toddlertime.com.30/03/05. Sudarsono. 1993. Kamus Filsafat dan Psikologi. Jakarta : Pt. Rineka Cipta. Suryabrata, S. 2003. Psikologis Kepribadian. Jakarta : Rajawali Pers. Suryanto, W. 2005. Memupuk www.intisari.com.15/05/06
Percaya
Diri
Sejak
Kecil.
http://
Susanto, A. 2001. Psikologi Kepribadian. Jakarta : PT Bumi Aksara. Susilo, B.J. 1985. Cemas. Majalah Anda. Maret 1985. Yayasan Bina Psikologi. Utamadi, G. 2000. Self Esteem http://www.bkkbn.org.id.04/03/05.
dan
Peer
Pressure
pada
Remaja.
Wahyono. 2001. Tekad. Memahami Kecerdasan Emosi Melalui Kerja Sistem Limbik. Anima, Indonesian Psychological Journal, 17, 36-41.