1
NASKAH PUBLIKASI
PENGARUH PELATIHAN BERPIKIR POSITIF TERHADAP INFERIORITY FEELING PADA REMAJA
Oleh: MAYA PANGASTUTI 03320125
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2007
2
NASKAH PUBLIKASI
PENGARUH PELATIHAN BERPIKIR POSITIF TERHADAP INFERIORITY FEELING PADA REMAJA
Telah Disetujui Pada Tanggal
___________________
Dosen Pembimbing Utama
(Mira Aliza Rachmawati, S.Psi., M.Psi.)
ii
3
PENGARUH PELATIHAN BERPIKIR POSITIF TERHADAP INFERIORITY FEELING PADA REMAJA
Maya Pangastuti Mira Aliza Rachmawati
INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada perbedaan inferiority feeling pada remaja yang ikut pelatihan berpikir positif dengan remaja yang tidak ikut pelatihan berpikir positif. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah remaja yang ikut pelatihan berpikir positif tingkat inferiority feelingnya lebih rendah dibandingkan remaja yang tidak ikut pelatihan berpikir positif. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki dan perempuan yang berusia antara 13-18 tahun dan masih aktif sebagai siswa di SMK Negeri Badegan, Ponorogo, Jawa Timur. Metode pengambilan data yang digunakan adalah skala inferiority feeling yang diberikan sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Adapun skala inferiority feeling yang digunakan adalah modifikasi dari skala yang dikemukakan Strano dan Dixon (1990) sebanyak 36 aitem. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Mann Withney U Test untuk menguji apakah terdapat perbedaan inferiority feeling pada remaja yang ikut pelatihan berpikir positif dengan remaja yang tidak ikut pelatihan berpikir positif. Uji beda berdasarkan gain skor menunjukkan nilai signifikansi diperoleh nilai p = 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa nilai p<0,05 yang artinya ada perbedaan yang signifikan inferiority feeling antara remaja yang ikut pelatihan berpikir positif dan remaja yang tidak ikut pelatihan berpikir positif, remaja yang ikut pelatihan berpikir positif tingkat inferiority feelingnya lebih rendah dibandingkan remaja yang tidak ikut pelatihan berpikir positif. Jadi hipotesis penelitian ini diterima. Kata Kunci: Inferiority Feeling, Pelatihan Berpikir Positif
PENGARUH PELATIHAN BERPIKIRiiiPOSITIF TERHADAP INFERIORITY FEELING PADA REMAJA
4
Pengantar Perubahan zaman yang semakin pesat dan fenomena ketatnya seleksi alam untuk memilih yang terbaik membawa pergeseran terhadap persepsi orang terhadap llingkungan sekitarnya maupun sebaliknya, yaitu persepsi lingkungan terhadap seseorang. Bagi individu yang mampu beradaptasi dan menunjukkan kemampuannya dengan baik akan tetap eksis di lingkungannya dengan baik. Individu yang tidak mampu beradaptasi dan menunjukkan kemampuannya maka individu akan merasa rendah diri atau inferiority feeling. Inferiority feeling adalah konsep populer dari konsep Adlerian dan menjadi dasar dalam psikologi individu, yaitu istilah dasar dan perbandingan diri sebagai katalisator dalam usaha individu mencapai prestasi dan tujuan hidup, bertindak seperti apa umumnya, normal dan menjadi motivator untuk kehidupan manusia (Strano dan Dixon, 1990). Inferiority feeling merupakan katalisator meraih tujuan hidup akan tetapi tidak semua individu dapat mengaplikasikan perasaannya sebagai motivator. Adler (Admin, 2002) menjelaskan bahwa sebagian orang yang mengalami inferiority feeling ditandai oleh adanya perasaan tidak kompeten atau kekurangmampuan diri. Inferiority feeling muncul tidak setiap saat tetapi pada sebagian orang perasaan itu selalu muncul dalam perilaku kesehariannya. Hal ini dikarenakan seseorang selalu membandingkan dirinya dengan orang lain, dan menganggap dirinya tidak sebanding, atau lebih rendah dari orang lain. Inferiority feeling bisa juga dikarenakan seseorang merasa atau memang betulbetul memiliki kekurangan secara fisik maupun fungsi mentalnya.
1
5
Inferiority feeling semakin menguat ketika dialami oleh remaja. Remaja secara psikologis seharusnya menjadi usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa berada di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, minimal dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat akan membentuk remaja menjadi pribadi yang matang dengan segala proses yang dilaluinya. Masa remaja berada dalam rentang usia 13 sampai 18 tahun dimana salah satu proses yang akan menjadikan remaja sosok yang matang harus mampu melewati masa topan badai (storm and drang) yang mencerminkan kebudayaan modern penuh gejolak akibat pertentangan nilai-nilai (Sarlito, 2006 dan Hurlock, 2003). Masalah inferiority feeling juga menjadi sorotan dibeberapa situs dunia remaja. Sebuah rubrik untuk mengatasi inferiority feeling ditulis karena banyaknya permintaan dari remaja yang bergabung dalam situs dunia remaja (www.karangkaf.com, 2006 dan www.kompas.com, 2006 ). Rubrik dengan judul ”Bicara Kalbu” mengangkat konsultasi seorang pelajar yang menceritakan perasaan rendah diri yang mengganggu aktivitas sosialnya. Pelajar ini merasa kurang yakin dengan kemampuannya sehingga menjadi anak pendiam dan suka menyendiri (bicarakalbu.blogspot.com, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa inferiority feeling menjadi sebuah fenomena yang mewarnai kehidupan remaja saat ini. Inferiority feeling ini muncul ketika seseorang berada dalam lingkungan dan harus berinteraksi dengan orang lain. Salah satu permasalahan yang dialami remaja menurut La Rose (Rahayu, 2005) adalah inferiority feeling sehingga remaja merasa ragu, gagap, murung, malu, tidak berani mengemukakan idenya, berprasangka buruk, menjadi sosok
6
penyendiri, perilaku dan kondisi emosinya tidak sehat, kurang perhatian terhadap aktivitasnya dan menyalahkan orang lain apabila gagal. Hal ini akan menghambat proses perkembangan remaja. Apabila perasaan ini terus bertahan dalam diri individu maka perasaan tidak kompeten ini akan menghambat aktualisasi diri dan proses pencapaian tujuan hidupnya. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan sebelum pelaksanaan pelatihan berpikir positif pada tanggal 21, 24 April 2007 dan 9 Maret 2007, diperoleh data kondisi subjek penelitian. Salah satu subjek menceritakan bahwa subjek mider dan malu dengan bentuk ibu jarinya yang sangat besar dan pendek sehingga subjek lebih suka menyendiri dan menghindari aktivitas yang berhubungan dengan orang banyak. Subjek lain mengatakan bahwa dirinya tidak menarik karena gemuk dan banyak jerawat. Bimbingan Konseling SMK Negeri Badegan, Ponorogo, Jawa Timur juga memberikan gambaran beberapa permasalahan di kelas terkait inferiority feeling pada siswanya diantaranya siswa banyak yang ragu-ragu, takut menyampaikan pendapat, malu dan tidak mau mengerjakan tugas di papan tulis. Hal ini sering menghambat proses belajar mengajar di kelas karena untuk meminta siswa mengerjakan ke depan kelas membutuhkan waktu yang cukup lama. Berdasarkan hasil observasi pada saat try-out dan pre tes kebanyakan subjek merasa bahwa subjek tidak bisa menyelesaikan soal yang diberikan oleh peneliti. Subjek merasa bahwa soal pada alat ukur inferiority feeling berkaitan dengan prestasi akademik. Beberapa subjek mengatakan bahwa subjek malu kalau nilainya kurang bagus. Akhirnya subjek bersedia mengerjakan soal pada skala inferiority feeling setelah dijelaskan bahwa soal yang akan dikerjakan bukanlah materi pelajaran dan dijamin kerahasiannya.
7
Kondisi subjek berdasarkan hasil observasi dan wawancara di atas menjadi salah satu pertimbangan peneliti dalam menentukan subjek penelitian. Perasaan yang muncul pada diri seseorang ternyata tidak lepas dari manifestasi apa yang dipikirkan oleh seseorang. Berpikir secara umum adalah suatu cara penyesuaian individu terhadap lingkungannnya baik internal maupun eksternal. Berpikir terjadi sebagai respon terhadap masalah yang timbul dari dunia luar. Albrecht (Susetyo, 1998) menegaskan bahwa cara berpikir negatif akan mengakibatkan individu cenderung mengkritik diri sendiri, penilaian negatif terhadap dirinya serta menolak tanggung jawabnya. Seseorang menjelaskan suatu peristiwa dengan proses pemikiran yang berbeda. Hal ini memperkuat esensi bahwa proses berpikir seseorang akan mempengaruhi perasaan seseorang. Beck dalam Russel (2003) menyatakan bahwa seluruh suasana hati seseorang dibentuk oleh pikiran atau kognisi. Salah satu proses berpikir yang menentukan pembentukan perasaan iindividu adalah berpikir positif. Seorang yang berpikir positif tidak berarti menolak untuk mengakui adanya segi-segi yang negatif. Hal yang ditolak adalah apabila orang yang bersangkutan menjadikan segi-segi yang negatif sebagai sarana untuk berlindung dari kegagalan. Berpikir positif merupakan suatu kesatuan cara berpikir sehat yang sifatnya menyeluruh. Setiap pemikir positif akan melihat kesulitan dengan cara gamblang dan polos, tidak mudah terpengaruh dan putus asa. Berpikir positif selalu didasarkan pada fakta bahwa setiap masalah pasti ada pemecahannya, suatu pemecahan yang tepat melalui proses intelektual yang sehat (Peale, 1977). Peran proses berpikir tenyata berpengaruh besar terhadap perasaan seseorang, apa yang menjadi tuntutan
8
lingkungan maupun individu terhadap dirinya menuntun pengambilan keputusan terhadap suatu peristiwa yang dihadapinya. Perasaan tidak mampu menunjukkan kemampuan yang dimiliki atau ketidakkompetenan remaja muncul karena interaksinya dengan lingkungan atau kenyataan yang terjadi pada seseorang. Hal ini ternyata banyak dipengaruhi oleh proses berpikirnya. Besarnya peran proses berpikir ini menjadikan sebuah evaluasi untuk mengelolanya menjadi sebuah solusi efektif mengatasi inferiority feeling pada remaja. Bentuk pelatihan berpikir positif sebagai salah satu terapi kognitif diharapkan mampu mengubah persepsi negatif remaja dalam memandang peristiwa yang dialaminya (tentang dirinya sendiri dan dunianya). Remaja diharapkan mampu mengenali pola pikir yang negatif dan mengubahnya untuk menyelesaikan inferiority feeling tentang dirinya dihadapkan pada diri dan lingkungannya. Berpikir positif akan mempengaruhi perasaan seseorang. Efektifitas pelatihan berpikir positif berarti seseorang mampu menempatkan dirinya sebagai sosok yang berkompeten tanpa dibayang-bayangi inferiority feeling yang menghambat aktivitasnya. Hal ini berarti semakin efektif pelatihan berpikir positif maka inferiority feeling pada remaja akan semakin menurun. Evaluasi hubungan negatif ini sebagian berdasarkan opini orang lain dan sebagian
berdasarkan
pengalaman
spesifik.
Lingkungan
berpengaruh terhadap proses pembentukan inferiority khususnya
remaja
yang
mengalami
masa-masa
sosial
feeling
sulit
banyak
seseorang
dalam
proses
perkembangan kehidupannya (Strano dan Dixon, 1990). Beranjak dari hal ini maka muncul pertanyaan apakah ada pengaruh pelatihan berpikir positif terhadap inferiority feeling pada remaja?
9
Metode Penelitian Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah remaja berusia 13-18 tahun. Subjek berasal dari sekolah yang sama untuk pelaksanaan try-out dan pengambilan data. Pada subjek untuk kelompok kontrol dan kelompok eksperimen yang telah ditentukan oleh pihak sekolah merupakan siswa dengan kelas dan jurusan yang sama yaitu kelas 10 dan jurusan tata boga. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan angket, yaitu dengan menyebarkan skala yang berisi pernyataanpernyataan untuk diisi subjek penelitian. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu skala yaitu skala Inferiority feeling. Skala tersebut akan dibagi menjadi dua bagian utama yaitu Family Rating Scale yang menggambarkan penilaian diri individu yang dipengaruhi oleh hubungan individu dan keluarganya (saudara atau orang tuanya) dan Self Rating Scale merupakan gambaran diri individu berdasarkan subjektivitasnya. Skor yang semakin tinggi menunjukkan inferiority feeling yang tinggi dengan skor maksimal 6 dan skor yang rendah menunjukkan tingkat inferiority feeling yang rendah dengan skor minimal 1. Pelatihan
berpikir
positif
digunakan
sebagai
perlakuan
pada
kelompok
eksperimen. Teori pertama yang digunakan adalah konsep yang dikemukakan oleh Ellis; A adalah activatiing experiences, B adalah beliefs, dan C adalah consequence
(Boeree, 2006) dan mengarahkannya ke dalam proses berpikir
10
positif dengan keempat aspeknya yaitu Positif expectation, Self Affirmation, Non Judgement Talking, dan Reality Adaptation. Skala Inferiority Feeling Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil adaptasi dari alat ukur inferiority feeling yang dibuat oleh Strano dan Dixon (1990). Setelah melalui proses pengujian data maka diperoleh aitem sebanyak 36 aitem. Validitas yang digunakan adalah 0,3 dan reliabilitas alfa untuk Family Rating Scale dan Self Rating Scale adalah 0,8385 dan 0,9091. Berikut adalah skala inferiority feeling Tabel 1 Distribusi Aitem Skala Inferiority Feeling No Aitem Favourable Unfavourable
Aspek Inferiority feeling 1. Family Rating Scale B. Fisik C. Sosial
1 ,4 ,10 ,13, 25 2, 5, 8, 11 ,14 ,17 ,23 ,26 ,29 3, 6, 7, 9, 12,20
8 10
16,19,22 21 15, 18 , 24, 27, 28, 30
1 ,4 ,10 ,13, 25 2, 5, 8, 11 ,14 ,17 ,23 ,26 ,29 3, 6, 7, 9, 12,20
8 10
22
38
60
16,19,22 21
D. Tujuan Hidup dan standarnya 2. Self Rating Scale B. Fisik C. Sosial D. Tujuan Hidup dan standarnya
Jumlah
15, 18 , 24, 27, 28, 30
Total
12
12
Skala dalam bentuk distribusi aitem di atas merupakan skala yang digunakan dalam uji coba alat ukur inferiority feeling. Skala yang digunakan dalam pengambilan
data
secara
lebih
lengkap
dapat
dilihat
pada
tabel
2.
11
Tabel 2 : Distribusi Aitem Skala Inferiority Feeling Setelah Pengujian Data Aspek Inferiority feeling 1. Family Rating Scale a. Fisik b. Sosial c. Tujuan Hidup standarnya 2. Self Rating Scale a. Fisik b. Sosial c. Tujuan Hidup standarnya
Unfavourable
Jumlah
1(1), 4(4), 10(10), 13(13) 2(2), 5(5), 8(8), 11(11), 14(14), 15(17), 17(26) dan 3(3), 6(6), 7(7), 9(9), 12(12), 16(20)
4 7
1(1), 4(4), 10(10), 13(13), 18 (25) 2(2), 5(5), 8(8), 11(11), 14(14), 15 (17), 17(23), 19(26) dan 3(3), 6(6), 7(7), 9(9), 12(12), 16(20)
5 8
Total 36 Catatan: dalam kurung adalah nomor aitem dalam pengujian data
6
6 36
Aspek-aspek Inferiority Feeling menurut Strano dan Dixon (1990) yang mendasari aitem diatas adalah: a. Inferiority feeling berkembang sejak awal masa kanak-kanak dan merupakan dasar untuk memunculkan gaya hidup, b. Inferiority feeling merupakan persepsi subjektif dalam diri individu sebagai hasil dari keyakinan mengenai diri dan orang lain dalam lingkungan, terutama sibling. c. Kedua aspek di atas terkait dengan karakteristik fisik, sosial, tujuan hidup dan standar yang ditetapkan oleh masing-masing individu. Proses Pelaksanaan Pelatihan Berpikir Positif Pelaksanaan pelatihan akan dimulai dengan pengenalan terhadap inferiority feeling dengan materi berjudul Inferiority Feeling???. Pada sesi ini subjek diarahkan untuk mengenali dan memahami perasaan inferiority feeling yang
12
ada di dalam dirinya. Sesi kedua dengan judul Kenali Pikiranmu???, akan mengarahkan subjek untuk menganalisa proses berpikir dan keasalahan berpikir yang dialami subjek selama ini. Setelah subjek memahami perasaan dan pemikirannya sesi selanjutnya adalah proses berpikir positif. Pada tema Harapan yang Positif, subjek akan diarahkan untuk memahami pentingnya sebuah harapan dan bagaimana mengarahkan harapannya menjadi sebuah harapan yang positif. Tema selanjutnya adalah Self Affirmation, pada sesi ini subjek diarahkan untuk memahami kemampuan dan kelebihan yang ada di dalam dirinya sehingga subjek dapat menganalisa sejauhmana kekuatan dan kekurangan yang dimiliki mampu mencapai tujuan hidup yang ditetapkan. Sesi selanjutnya adalah Non Judgement Talking , pada sesi ini subjek akan diarahkan menilai sesuatu hal dengan melihat keadaan yang sebenarnya dan mengelola informasi dengan melihat keadaan dan penuh pertimbangan. Pada sesi Reality Adaptation, subjek akan diarahkan untuk memahami pentingnya beradaptasi dengan kenyataan yang ada dan subjek diharapkan dapat beradaptasi dengan kenyataan yang ada. Terakhir akan ditutup dengan sesi refleksi akhir berupa evaluasi terhadap pemahaman subjek terhadap materi, penilaian terhadap proses pelaksanaan pelatihan dan penilaian terhadap trainer. Metode Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis dengan metode statistik. Teknik MannWithney U test untuk mengungkap pengaruh variabel penelitian terhadap penelitian yang lain (Hadi, 2001). Analisanya dilakukan dengan menggunakan SPSS (Statistic Program for Social Science) versi 11,0 for Windows. SPSS
13
digunakan untuk mempermudah penghitungan dan mengurangi kesalahan penghitungan secara manual. Analisis data dilakukan dengan Mann-Withney U test. Alasan penggunaan metode analisis ini adalah data yang tidak homogen dengan melihat sampel yang dianalisis terdiri dari dua sampel yang tidak berhubungan (Santoso, 2002).
Hasil Penelitian Uji hipótesis dilakukan dengan Mann-Withney U test karena keadaan data yang tidak homogen dengan melihat sampel yang dianalisis terdiri dari dua sampel yang tidak berhubungan (Santoso, 2002). Skor yang akan dilihat adalah pada Asymptotic Significance (2-tailed). Pada data menunjukkan p < 0,05 yaitu 0,000. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan namun berdasarkan pengujian data non parametrik maka kelemahan penelitian ini adalah sistematika yang tidak jelas sehingga hasilnya dapat diragukan karena kesederhanaan metodenya. Berdasarkan keterangan di atas maka dapat dikatakan bahwa dalam penelitian ini ada perubahan skor inferiority feeling yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan skor yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen yang mengalami perlakuan berupa pelatihan berpikir positif. Uji analisis tambahan dilakukan terhadap data yang diperoleh selama proses penelitian. Berdasarkan keseluruhan data maka masing-masing data dapat dianalisis lagi. Peneliti ingin mengetahui apakah ada perbedaan pada masingmasing kelompok penelitian. Uji t dilakukan pada masing-masing kelompok
14
penelitian. Hasilnya pada kelompok kontrol menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan dimana t = -1,804 dan p=0,085 (p>0,05) sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan antara pre tes dan pos tes pada kelompok kontrol. Pada kelompok eksperimen menunjukkan hasil yang signifikan dimana t=8,614 dan p=0,000 (p<0,05) hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara pre tes dan pos tes pada kelompok eksperimen setelah diberikan perlakuan. Data ini menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan memberikan perbedaan skor pada subjek kelompok eksperimen. Tabel 3 Hasil Uji t Berdasarkan Selisih Sebelum dan Sesudah pada Masing-Masing Kelompok Kelompok Kontrol Eksperimen
Nilai t -1,804 8,614
Nilai p hitung 0,085 0,000
P >0,05 <0.05
keterangan Tidak signifikan Signifikan
Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara selisih nilai kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Analisis dilakukan dengan Mann-Whitney U test karena hasil uji homogenitas yang tidak signifikan sehingga menunjukkan bahwa subjek antara kedua kelompok tidak homogen. Hal ini disebabkan adanya perbedaan jumlah anggota kelompok dan tidak adanya penyetaraan kondisi antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Sekolah langsung menetapkan kelas mana saja yang boleh digunakan sebagai subjek penelitian dengan melihat padat tidaknya pelajaran yang akan disampaikan kepada siswa pada waktu pelaksanaan eksperimen (Azwar, 2003).
15
Berdasarkan perhitungan menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dengan menggunakan selisih nilai sebelum dan sesudah. Hal ini membuktikan bahwa pelatihan berpikir positif menyebabkan perubahan pada inferiority feeling subjek penelitian. Perubahan yang positif pada kelompok eksperimen dapat dilihat pada selisih skor sebelum dan sesudah yang mengalami kenaikan secara menyeluruh. Hal ini dapat dilihat pada masing-masing total skor sebelum dan sesudah mengalami peningkatan. Pada kategorisasi juga menjelaskan bahwa terjadi penurunan kategori pada kelompok eksperimen sebelum dan sesudah perlakuan. Sementara pada kelompok kontrol penyebarannya tidak merata ada yang naik dan ada yang turun pada masing-masing total skor subjek sebelum dan sesudah. Selain itu pada kategorisasi tidak terjadi perubahan antara kategorisasi sebelum dan sesudah pada kelompok kontrol. Hal ini diperkuat dengan analisis tambahan dimana subjek menunjukkan perbedaan yang signifikan pada kelompok eksperimen setelah diberikan pelatihan berpikir positif p=0,000 atau p<0,05. Subjek mengalami perubahan skor yang meningkat secara signifikan sehingga mengalami penurunan inferiority feeling. Sementara pada kelompok kontrol justru mengalami perubahan yang tidak merata dengan selisih skor yang bervariasi atau ada skor positif dan negatif dan perubahan yang terjadi antara skor pre tes dan pos tes tidak signifikan (tabel 3). Pada hasil evaluasi kelompok eksperimen menunjukkan bahwa subjek menyatakan bahwa mengalami perubahan setelah pelatihan. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa menyatakan bahwa berpikir positif bagi remaja bisa menumbuhkan dan memaksimalkan energi, memberikan keyakinan dalam
16
merespon stimulus dan harapan untuk mencapai tujuan hidupnya (Peale, 2006). Pada pelatihan ini menunjukkan bahwa subjek mengalami perubahan yang lebih positif setelah diberikan pelatihan berpikir positif. Perubahan yang signifikan ini menunjukkan bahwa subjek yang mengalami perlakuan berupa pelatihan berpikir positif mengalami penurunan inferiority feeling yang signifikan (dari analisis tambahan kelompok kontrol). Beck dalam Russel (2003) menyatakan bahwa seluruh suasana hati seseorang dibentuk oleh pikiran atau kognisi. Perubahan pola pikir yang dilakukan dapat mempengaruhi perasaan subjek sehingga menyebabkan perubahan pada inferiority feeling subjek pada kelompok eksperimen. Mckay (2002) menjelaskan bahwa seseorang dapat memilih perasaan dengan pikirannya. Pelatihan ini membuktikan bahwa pikiran yang dikelola dengan kerangka berpikir positif mampu menyebabkan perbedaan pada inferiority feeling yang dialami oleh subjek. Pelatihan berpikir positif secara signifikan mampu menyebabkan perubahan perasaan pada subjek penelitian. Subjek yang memiliki pola pikir yang positif mampu mengelola perasaannya untuk mengurangi inferiority feeeling yang dialaminya. Hasil
penelitian
ini
memperkuat
penelitian
Susetyo
(1998)
yang
membuktikan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara berpikir positif dengan agresi reaktif pada remaja. Meskipun tidak langsung berhubungan dengan inferiority feeling, namun salah satu perilaku inferiority feeling adalah perilaku ageresif (Strano dan Dixon, 1990). Penelitian Susetyo (1998) dan penelitian ini sama-sama mengkaitkan antara emosi dan pikiran. Beck dalam Russell (2003) menegaskan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara emosi,
17
pikiran dan perilaku. Emosi dan perilaku terbentuk oleh suatu peristiwa yang disebabkan oleh pemikiran seseorang terhadap peristiwa yang dialaminya. Hal ini menegaskan bahwa kunci utama dari emosi dan perilaku adalah bagaimana pemikiran individu terhadap peristiwa yang dialami. Melalui perlakuan berupa pelatihan berpikir positif, emosi-emosi negatif dalam inferiority feeling diarahkan ke dalam proses berpikir yang positif sehingga menghasilkan perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dan eksperimen. Subjek dalam kedua kelompok menunjukkan perbedaan yang signifikan. Pelatihan berpikir positif menyebabkan perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok ekasperimen. Subjek yang mengalami pelatihan mengalami penurunan inferiority feeling sementara subjek yang tidak mengalami pelatihan tidak mengalami perubahan inferiority feeling yang signifikan. Kelemahannya adalah penelitian ini hanya mampu mengontrol perubahan perasaan subjek selama proses penelitian berdasarkan hasil perubahan skor dan evaluasi. Kelemahan dalam penelitian ini juga karena waktu penelitian yang hanya satu hari. Hal ini menyebabkan peneliti tidak mampu melakukan kontrol secala kontinyu pada subjek untuk waktu yang lainnya. Perijinan dan waktu yang bertepatan dengan ujian tengah semester siswa menyebabkan waktu dan tempat menjadi
keputusan
penuh
sekolah
setelah
melalui
proses
kesepakatan
sebelumnya. Ketersediaan ruang kelas yang tidak dapat diatur posisinya dan kondisi tempat duduk yang kurang nyaman (lesehan) menyebabkan subjek kurang nyaman. Walaupun begitu, subjek mayoritas meminta waktu tambahan karena ingin mendapatkan kesempatan satu persatu menyampaikan contoh
18
masalah dan mendapatkan penjelasan hasil pengisian modul secara menyeluruh. Terakhir adalah alat ukur inferiority feeling kurang sesuai dengan kondisi subjek.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian pengaruh pelatihan berpikir positif terhadap inferiority feeling pada remaja maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan inferiority feeling yang signifikan pada remaja yang ikut pelatihan berpikir positif dengan remaja yang tidak ikut pelatihan berpikir positif. Jadi, remaja yang ikut pelatihan berpikir positif tingkat inferiority feelingnya lebih rendah dibandingkan remaja yang tidak ikut pelatihan berpikir positif.
Saran 1. Bagi Remaja Kepada
remaja
khususnya
subjek
penelitian,
disarankan
untuk
mengaplikasikan dan mengoptimalkan proses berpikir positif guna mengurangi tingkat inferiority feeling. Misalnya dengan membuat perencanaan yang lebih matang dalam proses pengambilan keputusan. 2. Bagi Pihak Sekolah a. Penelitian ini membuktikan bahwa pelatihan berpikir positif mampu mengurangi tingkat inferiority feeling pada remaja. Pihak sekolah dapat menggunakan pelatihan berpikir positif sebagai sarana untuk mengurangi tingkat inferiority feeling sehingga kemampuan yang dimiliki masing-masing remaja dapat berkembang secara optimal.
19
b. Peran wali kelas dan seluruh staf pengajar secara umum dalam memberikan dukungan dan menciptakan suasana yang menjadikan anak didiknya berkembang lebih optimal sehingga inferiority feeling tidak menjadi kendala untuk mengembangkan kemampuannya. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya a. Subjek dalam penelitian ini tidak memiliki tingkat inferiority feeling yang rendah disarankan untuk penelitian selanjutnya menggunakan subjek dengan tingkat inferiority feeling yang tinggi. b. Penentuan subjek penelitian ini tidak dilakukan dengan random maka untuk penelitian selanjutnya disarankan menggunakan random. c. Kelemahan penelitian adalah kekurangmampuan peneliti dalam mengendalikan pengaturan tempat yang kurang nyaman dan suasana di sekitar tempat pelatihan khususnya kebisingan. d. Peneliti sebaiknya memperhatikan apakah penelitian yang diadakan banyak menyita jam pelajaran sehingga tidak mengganggu aktivitas belajar mengajar di sekolah yang bersangkutan. e. Tidak menggunakan alat ukur skala inferiority feeling yang diadaptasi dari The Comparison Feeling of Inferiority Index (Strano dan Dixon, 1990) pada penelitian ini, jika tetap menggunakan sebaiknya disesuaikan
dengan
kondisi
dan
budaya
pada
subjek
yang
bersangkutan. f.
Melakukan uji coba modul sebelum digunakan untuk pengambilan data.
20
DAFTAR PUSTAKA
Abdinagoro, S. B. 2004. Mengatasi Perasaan Rendah Diri. http://republika.co.id Adler, A. 2004. What Life Should Mean To You. Yogyakarta. Alenia Admin. 2002. Apakah Inferioritas itu?. http://www.psikologi.net/artikel/news.php Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press Rahayu, A. R. 2005. Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Inferiority Feeling pada Remaja. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Azwar, S. 1999. Penyusunan Alat Ukur Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Azwar, S. 2005. Penyusunan Alat Ukur Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bellack, A. S. & Herse, M. Behaviour Modification. 1979. New York: Oxford University Press. Boeree, C. G. 1998. Inferiority in Academia. Journal of Professional Studies Boeree, C. G. 2004. Personality Theories. Jogjakarta: Prismasophie Burns, D. D. 1988. Terapi Kognitif. Jakarta: Erlangga Chapplin, J.P. 2002. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali Pers Echols, J. M. & Shadily, H. 1982. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Frankenberger. 2004. Adolescent Egocentrism, Risk Perceptions,and Sensation Seeking Among Smoking and Nonsmoking Youth. Sage Publications: Journal of Adolescent Research, Vol. 19 No. 5 Hadi, S. 1987. Statistik. Yogyakarta: Andi Offset
21
Hadi, S. 1991. Statistik. Yogyakarta: Andi Offset Hadi, S. 2001. Statistik Jilid 1. Yogyakarta: Andi Offset Hadi, S. 2001. Statistik Jilid 2. Yogyakarta: Andi Offset Hadi, S. 2004. Statistik Jilid 1. Yogyakarta: Andi Offset Hadi, S. 2004. Statistik Jilid 2. Yogyakarta: Andi Offset Hadi, S. 2004. Statistik jilid 3. Yogyakarta: Andi Offset Hall, C. S. & Linzey, G. 1967. Theories of Personality. New York: John Wiley & Sons, Inc. http://www.karakaf.com.my/saluran/duniaremaja/artikel5.asp http://www.telaga.org/transkrip.php?malu dan rendah diri. html http://bicarakalbu.blogspot.com/2005/12/lapan-cara-atasi-sikap-rendah-diri.html Hurlock, E. B. 2003. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga Kartono, K. & Gulo. 2003. Kamus Psikologi. Bandung: Pionir Jaya Lin, T. 1997. Prevention in Children and Relief from It in Adults. Biblical Studies Ministries International, Inc. www.bsmi.org Mckay, G. 2002. How You Feel is Up To You. Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia Monte, C. & Sollod, R. N. 2003. Beneath the Mask An Introduction to Theories of Personality Sevent Edition. United States of America: John Wiley &Sons, Inc Nurandriana, M. 2002. Hubungan antara Inferioritas dengan tingkat Frustasi pada Mahasiswa Tingkat Lanjut. Penelitian JIPTUMM (Tidak Diterbitkan) Malang: Perpustakaan Universitas Muhamadiyah Malang. http://digilib.unikom.ac.id/go.php?id=jiptumm-gdl-s1-2002-mira-5162inferiority
22
Peale, N. V. 1977. The Power of Positive Thinking. Jakarta Barat: Binarupa Aksara Peale, N. V. 1992. The Power of Positive Thinking. Chedargraphics Peale, N. V. 1992. Hidup Positif. Jakarta Barat: Binarupa Aksara Peale, N. V. 1993. Berpikir Positif. Jakarta Barat: Binarupa Aksara Peale, N. V. 2006. Berpikir Positif untuk Remaja. Yogyakarta: Baca! Poerwadarminta, W.J.S. 1966. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Balai Pustaka Rudestam, K. E. 1980 . Method of Self Change. California : A Division of Wadsworth, Inc. Russell, B. 2003. Mind Power. Bandung: Nuansa Saad, H. M. 2003. Perkelahian Pelajar (Potret Siswa SMU di DKI Jakarta). Jakarta: Galang Press. http: //yayat-cipasang.blogspot.com/2004/09/ tawuran Sadarjoen, S. S. 2006. Bagaimana Mengatasi Rendah Diri?. www.kompas.com Salim, P. dan Salim, Y. 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press Santoso, S. 2002. Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Sarwono, S. W. 2006. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Strano, D. A. dan Petrocelli, J. V. 2005. A Preeliminary Examination of the Role of Inferiority Feeling in the Academic Achievement of College Students. The Journal of Individually Psychology: The University of Texas Press. http://search.epnet.com Strano, D. A. dan Dixon, P. N. 1990. The Comparative Feeling of Inferiority Feeling Index. The Journal of Individually Psychology: The University of Texas Press. http://search.epnet.com
23
Suharnan. 2005. Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi Suryabrata, S. 2002. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Susetyo, Y. F. 1998. Hubungan antara Berpikir Positif dan Jenis Kelamin dengan Agresi Reaktif Remaja. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Walgito, B. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Wills, F dan Sanders, D. 1997. Cognitive Therapy. London: Sage Publications Zastrow, C. 1989. Social Work with Groups. Chicago: Nelson Hall Publishers.
24
IDENTITAS PENULIS Nama
: Maya Pangastuti
Alamat
: Jl. Wijayadanu Rt/Rw: 02/02, Miricinde, Purwantoro, Wonogiri, Jawa Tengah
Nomor Telepon
: (0273) 415282