ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA PERJANJIAN MUSYARAKAH YANG DIBUAT NOTARIS STUDI BANK SUMUT SYARIAH MEDAN
TESIS
Oleh
IMELDA 077011029/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA PERJANJIAN MUSYARAKAH YANG DIBUAT NOTARIS STUDI BANK SUMUT SYARIAH MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
IMELDA 077011029/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA PERJANJIAN MUSYARAKAH YANG DIBUAT NOTARIS STUDI BANK SUMUT SYARIAH MEDAN : Imelda : 077011029 : Kenotariatan
Menyetujui komisi pembimbing,
(Prof.H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD) Ketua
(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) Anggota
(Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn) Anggota
Ketua Program Studi,
Direktur,
(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN)
(Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B,MSc)
Tanggal lulus : 13 Agustus 2009
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Telah diuji pada Tanggal
: 13 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
: Prof.H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD
Anggota
: 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn 3. Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA 4. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
ABSTRAK Musyarakah atau Syirkah yang dikenal di dunia perbankan adalah salah satu sistem dasar bagi bank-bank Islam. Sistem ini melahirkan pemikiran eksistensi bank Islam yang bukan hanya menyuplai dana akan tetapi sebagai partner bagi para nasabah. Hubungan yang terjalin antara bank dengan nasabah adalah hubungan berserikat (partnership) bukan hubungan kreditur dan debitur seperti halnya pada bank-bank konvensional. Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figur) yang keterangan-keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberikan jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasehat hukum yang tidak ada cacatnya (onbreukbaar atau unimpearchable). Dalam hal ini Notaris berperan dalam melalukan perjanjian musyarakah. Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna. Kekuatan pembuktian sempurna yang terdapat dalam suatu akta otentik merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan pembuktian dan persyaratan yang terdapat pada akta. Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistimatis mengenai masalah perjanjian pembiayaan musyarakah, bentuk akad, perbedaan bentuk perjanjian dengan bank konvensional. Penelitian ini juga menganalisa data dan fakta yang ditemukan dengan berbagai aspek hukum baik dari segi syariah Islam, hukum perdata maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis empiris dan pendekatan normatif. Pendekatan yuridis empiris yaitu suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum yang kemudian dihubungkan dengan data, prilaku dan kebiasaan yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat. Perjanjian dalam pembiayaan musyarakah pada bank syariah di Indonesia pada preakteknya secara tertulis baik dibuat dihadapan Notaris (akta otentik) dengan tetap memperhatikan nilai-nilai syariah Islam sebagaimana diatur muamalah dalam Islam. Walaupun di dalam Islam telah terjadi ijab dan qabul suatu perjanjian sudah sah tetapi di dalam perbankan Islam yang ada di Indonesia harus ada seseorang yang mencatatnya perjanjian tersebut yaiutu Notaris. Pada hakekatnya kekuatan pembuktian yang melekat pada akta Notaris sebagai akta otentik memiliki kekutan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat yang terdapat pada akta Notaris merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan pembuktian yang terdapat padanya, yaitu kekuatan pembuktian formil dn materiil. Sedangkan didalam bank konvensional tidak dikenal dengan perjanjian perkongsian seperti yang ada di dalam bank syariah. Pembuktian formil artinya apa yang dinyatakan dan dicantumkan dalam akta itu adalah benar merupakan uraian kehendak pihak-pihak. Alasan mengapa jaminan merupakan syarat mutlak dalam
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
perbankan syariah antara lain adalah karena dua hal, pertama, jaminan hanya di fungsikan sebagai alat bukti adanya itikad baik dari nasabah, kedua, karena sifat pembiayaan itu sendiri yang lebih cenderung berfungsi sebagai akad sosial, sehingga jaminan pada hakekatnya bukan merupak syarat mutlak untuk memperoleh pembiayaan dalam perbankan syariah Kata Kunci
: Perjanjian Musyarakah
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
ABSTRACT Musyarakah and Syirkah well know in banking is one of the fundamental system of Islamic banks. The system result in the idea of existence for the customers. The relationship underwent between the banks and the customers includes a partnership rather than that between creditor and debtor as ib conventional banks. Any community needa afigure with the reliable and accurate statements, including the signature and stamp to allow a stronger guarantee and evidence as an impartial expert and legal advisory without impeachment (onbreukbaar or unimpeachable). In the case, notary plays a role in making an musyarakah contract. The authentic decree is a perfect evidence or proof. The capitality and requirements contained in the decree. The present study is a descriptive intended to have an entire, complete and systematic description of the funding contract of musyarakah , shapes of decree, difference between the contract and the conventional one. The study also analyzed the data and facts found in various legal aspects in terms of either Islamic syariah, personal law and other statutory rules. The approach used in the study included juridical empiric and normative methods. The former included a study of statutory rules which are than related to the data, attitude and habit of life and progress in society. The contract in a musyarakah funding of syariah banks in Indonesia in practice is made in Indonesia in practice is made in written in the presence of Notary (authentic decree) by staying considering the Islamic syariah values as stipulated in the Islamic muamalah. Although in Islam, thre have been ijab and qabuk of a legal contract, but in Islamic banking of Indonesia, there might be someone who records the contract, namely a notary . Actually the capability of examination attached to the notary decree is binding and perfect. The perfect and binding capability of examination stipulated in the notary is the combination of several capability of examination found in the notary, formla and materil. Whereas the conventional banks unknown a partnership or join contract as in syariah ones. The formal examination means what is cited or stipulated in the decree is true and it is a description of the willingness of the parties. The reasons why guarantee is a mandatory requirement in syariah banking include, the first, the guarantee is only functioned as an evidence material of goodwill of any customer, and the second, due to the property of such a funding it self that more tend to function as a social decree so that the guarantee is actually not a mandatory requirement to get fund in syariah banking. Keyword
: Musyarakah Contact.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb. Alhamdulilah penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan kepada kita semua kesehatan, Rahmat dan Hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul : ”ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA PERJANJIAN MUSYARAKAH YANG DIBUAT NOTARIS (Studi Bank Sumut Syariah Medan)”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKN), pada program studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam Penulisan tesisi ini penulis telah banyak mendapat bimbingan, pengarahan dan bantuan dari semua pihak maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada seluruh Dosen Pembimbing yaitu kepada Bapak .Prof. H.M. Hasballah Thaib,MA,PhD, Prof. Dr. Muhammad Yamin,SH,CN,MS, Syahril Sofyan, SH, MKn, yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukkan demi kesempurnaan tesis ini. Selanjutnya ucapan terimakasih atas semua bimbingan, bantuan dan dorongan penulis sampaikan kepada :
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
1. Bapak Prof.Dr.Charuddin P. Lubis DTM & H., Sp.A(k)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan meyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Prof.Dr.Ir.T Chairun Nisa B, MSc. Selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas diberikannya penulis kesempatan menjadi mahasisiwi Sekolah Pascasarjana Program Magister Kenotariatan . 3. Ketua dan Staff Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yaitu kepada •
Ibu Dr. T Keizerina Devi Azwar, Sh, M.Hum.,CN. Selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
•
Seluruh Staff Biro Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
4. Bapak – Ibu Guru Besar dan staff pengajar pada program studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis. 5. Terima Kasih sebesar-besar nya kepada Pimpinan dan Staff PT Bank Sumut Syariah Cabang Medan, atas di berikan nya kesempatan saya meneliti di Bank Sumut Syariah.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
6. Secara khusus dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada orang-orang yang saya sayangi Papa H. Erman Yacub dan Ibunda Hj. Ridhawaty, kepada saudara-saudara ku Irma Irfana,drg, Indah Erianti,drg, Indriani, Ismail Yacub,ST, Zulfirman, Antika Putri dan Annisa Shafa Ananda. Yang telah memberikan dorongan dan bantuan moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. 7. Kepada rekan-rekan mahasiswa Program Pascasarjana Angkatan tahun 2007, yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada saya dalam menyelesaikan tesis ini. 8. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan penelitian tesis ini, baik secara langsung maupun tidak lansung. Akhirnya atas segala bantuan semua pihak semoga mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Harapan penulis semoga tesis ini dapat memberikan khazanah baru dan sumbangan pemikiran yang bermanfaat di dunia perbankan syariah dan pendidikan di Indonesia. Medan,
Juli 2009
Wassalam Penulis
Imelda, SH
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. DATA PRIBADI Nama
: Imelda
Tempat/tgl Lahir
: Pematangsiantar, 7 Januari 1984
II. Orang Tua - Ayah
: H. Erman Yacub
- Ibu
: Hj. Ridhawaty
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
: Komplek. Menteng Indah Blok A2 Nomor 4 Medan
III. PENDIDIKAN
Tahun 1996
: Menyelesaikan Pendidikan Sekolah Dasar di SD Muhammadiyah Pematangsiantar
Tahun 1999
: Menyelesaikan Pendidikan Sekolah Menengah lanjut Pertama, SMP Sultan Agung Pematangsiantar
Tahun 2002
: Menyelesaikan Pendidikan Sekolah Menengah Atas, SMA Negeri 4 Pematangsiantar
Tahun 2006
: Menyelesaikan Pendidikan Strata-1 Fakultas Hukum, Universitas Islam Sumatera Utara
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK .............................................................................................................
i
ABSTRACT ........................................................................................................... iii KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... vii DAFTAR ISI .......................................................................................................... viii DAFTAR SINGKATAN ......................................................................................
x
DAFTAR ISTILAH ............................................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN ……………....………………………………………..
1
A. Latar Belakang ……………………………………………………………. 1 B. Perumusan Masalah ………………………………………………………. 10 C. Tujuan Penelitian …………………………………………………………. 10 D. Manfaat Penelitian ………………………………………………………... 11 E. Keaslian Penelitian ……………………………………………………….. 11 F. Kerangka Teori dan Konsepsi …………………………………………….. 12 1. Kerangka Teori ………………………………………………….… 12 2. Konsepsi …………………………………………………………… 21 G. Metode Penelitian ………………………………………………………… 22 1. Spesifikasi Penelitian ……………………………………………… 22 2. Lokasi Penelitian ………………………………………………….. 23 3. Sumber Data ………………………………………………………. 23 4. Alat Pengumpulan Data …………………………………………… 25 5. Analisis Data …………………………………………………….… 25
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
BAB II KEKUATAN PEMBUKTIAN PERJANJIAN MUSYARAKAH YANG DIBUAT NOTARIS .................................................................. 26 A. Pengertian Alat Bukti dan Pembuktian .............................................. 26 B. Maksud dan Tujuan Pembuktian ....................................................... 28 C. Macam-macam Alat Bukti .................................................................
29
D. Pembiayaan Musyarakah ...................................................................
41
E. Prinsip dan Konsep Bank Syariah ...................................................... 46 F. Dasar Hukum dan Landasan Bank Syariah di Indonesia ...................
53
BAB III PERBEDAAN ANTARA PERJANJIAN MUSYARAKAH YANG DI BANK SYARIAH DENGAN PERJANJIAN PERKONGSIAN DI BANK KONVENSIONAL .............................................................
61
A. Selayang Pandang Bank Sumut Syariah, Sejarah, Kegiatan Usaha dan Prinsip Oprasional ...................................................................... 61 B. Perjanjian Musyarakah yang ada di Bank Syariah............................. 67 C. Perjanjian Perkongsian di Bank Konvensional .................................
85
BAB IV. BENTUK JAMINAN DALAM PERJANJIAN MUSYARAKAH..
94
A. Bentuk Jaminan Dalam Perbankan Islam ..........................................
94
B. Bentuk Jaminan Pada Perjanjian Pembiayaan Musyarakah di Bank Sumut Syariah ..................................................................................... 101 C. Jaminan Nasabah Sebagai Pelunasan Hutang Bermasalah ................. 106 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 118 A. Kesimpulan ................................................................................................. 118 B. Saran ........................................................................................................... 119 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 121
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
DAFTAR SINGKATAN
ABISINDO ATM BAMUI BASYARNAS BI BPRS BUK BUS CAR
: : : : : : : : :
DPK DPS DSN FDR
: : : :
FKPPS IFSB KCS KCK L/C LLL (3L) MES MUI NPL PBI PLS US UU UUS
: : : : : : : : : : : : : :
Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia Anjungan Tunai Mandiri Badan Arbitrase Muamalat Indonesia Badan Arbitrase Syariah Nasional Bank Indonesia Badan Perkreditan Rakyat Syariah Bank Umum Konvensional Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah Capital Adequacy Ratio (Rasio Kebutuhan Penyediaan Modal Minimum) Dana Pihak Ketiga Dewan Pengawas Syariah Dewan Syariah Nasional Financing to Deposit Ratio (analog dengan LDR pada bank konvensional) Forum Komunikasi Pengembangan Perbankan Syariah Islamic Financial Services Board Kantor Cabang Syariah Kantor Cabang Konvensional letter of credit Legal Landing Limit Masyarakat Ekonomi Syariah Majelis Ulama Indonesia Non Performing Loan (Kredit bermasalah) Peraturan Bank Indonesia Profit and Loss Sharing (Bagi Hasil) Unit Syariah Undang-Undang Unit Usaha Syariah
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
DAFTAR ISTILAH
Akad
:
Identik atau sama dengan perjanjian karena dilahirkan dari kontrak atau persetujuan.
Bank Syariah/ Bank Islam
:
Mencakup bank umum syariah, BPR Syariah dan Unit Usaha Syariah dari bank umum konvensional
Dual banking system
:
Terselenggaranya dua sistem perbankan (konvensional dan syariah secara berdampingan) yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku
Murabahah
:
Akad jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.
Mudharabah
:
Akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
Mudarib
:
Dalam kontrak mudharabah, salah satu orang atau pihak yang bertindak sebagai pengusaha
Musyarakah
:
Akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan
Mutual investor relationship
:
Pola hubungan kemitraan antara nasabah debitur dengan bank.
Riba
:
Secara harafiah berarti penambahan atas harta pokok pinjaman karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan, hal tersebut dikenal dengan bunga.
Syariah
:
Secara harafiah berarti jalan Allah seperti yang ditunjukkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad. Istilah ini dipakai untuk yang berhubungan dengan hukum Islam.
Unit Usaha Syariah
:
Unit kerja di kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
DAFTRAR LAMPIRAN Lampiran I
: Akad Pembiayaan Musyarakah (akta otentik)
Lampiran II
: Akad Pembiayaan Musyarakah (akta dibawah tangan)
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hukum Islam merupakan bagian dalam tata hukum Indonesia, yang mana bagi setiap muslim, sudah menjadi kehidupan sehari-hari menerapkan aturan yang telah di titahkan oleh Allah, karena agama Islam, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam pembangunan ekonomi dan juga institusi keuangan. Institusi keuangan yang mempunyai peranan penting terhadap perkembangan ekonomi sebuah negara modern khususnya perbankan. Tidak dapat dinafikan, bahwa bank memang menyediakan kebutuhan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Melalui sektor keuangan ini, dana atau potensi yang ada dalam masyarakat dapat dikembangkan kepada kegiatan yang bersifat produktif, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat diwujudkan. Selain itu institusi perbankan juga merupakan elemen penting dari sistim pembayaran. “Karena tanpa sistem perbankan yang baik, kehidupan modern tidak mungkin akan tercipta.” 1 Bank syariah atau bank Islam, dalam dunia perbankan Indonesia saat ini sudah tidak lagi dianggap menjadi barang asing, akan tetapi sudah menjadi bagian dalam sistem perbankan Islam, dengan penerapan dual banking sistem, karena prinsip syariah Islam dalam perbankan telah membuktikan bahwa bukan hanya sekedar
1
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid IV, Dana Bhakti Wakaf, Jakarta, 1992,
hlm.380
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
wacana ilmiah dan teoritis, akan tetapi sudah membuktikan menjadi sebuah praktik yang secara empiris telah memberikan kontribusi dalam sistem perbankan Indonesia. 2 ”Bank Islam dalam melakukan aktivitas usahanya tidak berdasarkan kepada bunga, tetapi berdasarkan prinsip syariah, yaitu dengan sistim pola bagi hasil terhadap keuntungan atau kerugian”. 3 Dengan sistem pola bagi hasil terhadap untung dan rugi, pihak-pihak yang berkaitan mesti melakukan aktivitas yang bertanggung jawab serta bersungguh-sungguh dalam menjalankan amanah yang diberikan. Dan hal tersebut merupakan karakteristik dasar dalam melahirkan suatu sistim hukum ekonomi yang stabil dengan sistem pembahagian hasil yang bebas dari bunga atau riba. ”Musyarakah atau Syirkah yang dikenal di dunia perbankan adalah salah satu sistem dasar bagi Bank-bank Islam”. 4 Sistem ini melahirkan pemikiran eksistensi bank Islam yang bukan hanya menyuplai dana akan tetapi sebagai partner bagi para nasabah. Hubungan yang terjalin antara bank dengan nasabah adalah hubungan berserikat (partnership) bukan hubungan kreditur dan debitur seperti halnya pada bank-bank konvensional. Dari prinsip ini akan terlihat dengan jelas pemikiran berserikatnya bank-bank Islam dengan para nasabah sebagai pelaksana operasional, dalam menanggung usaha-usaha spekulasi yang mungkin mengalami kerugian sementara kapasitas kerja terpenuhi.
2
Achjar Iljas, Sistem Perbankan Syari’ah Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, (Editor Azhari Akmal Tarigan) Ekonomi dan Bank Syariah Pada Millenium Ketiga, IAIN Press, Medan,2002, hlm 8. 3 Agustianto, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Respon Terhadap Persoalan Ekonomi Kontemporer, Cipta Pustaka Media, Bandung, 2002, hlm.105. 4 Hasballah Thaib, Hukum Aqad (kontrak) Dalam Fiqih Islam Dan Praktek Di Bank Sistem Syari’ah, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Medan, 2005, hlm 98
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Kehadiran bank syariah di Indonesia didasari oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Transaksi yang dijalankan dalam bank syariah diharapkan berdasar pada ketentuan-ketentuan yang ada di dalam hukum perjanjian Islam. Secara yuridis mengenai prinsip perbankan syariah berdasarkan syariah Islam dengan peraturan perundang-undangan Indonesia, khususnya dalam pelaksanaan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah pada bank syariah (murabahah, musyarakah dan mudharabah), bentuk perjanjian dalam pembiayaan berdasarkan prinsip syariah di bank syariah, apabila telah memenuhi syarat secara syariah Islam dan peraturan perundang-undangan. Pembuatan perjanjian atau akad pembiayaan didasarkan dan tidak boleh bertentangan dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional yang mengatur tentang pembiayaan musyarakah. Terdapatnya ketentuan peraturan perundangundangan dalam akad pembiayaan berdasarkan prinsip syariah diperbolehkan, dengan syarat tidak bertentangan Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan perkembangan perbankan Syariah di Indonesia tersebut menunjukan adanya upaya mencari suatu sistem keuangan berbeda dari sistem yang berlaku selama ini, dan mampu menjawab dan memberikan solusi permasalahan yang dihadapi
terutama
dalam
perkembangan
dunia
perbankan,
yang
semakin
memperlihatkan rapuhnya sistim perbankan kapitalisme dan sosialisme tersebut. Dalam pencarian sebagaimana juga diprediksi oleh John Naisbit dan Patricia Abudderne dalam Megatrenda 2000 menyatakan “bahwa kehidupan masyarakat abad
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
21 akan kembali memperhatikan pentingnya aspek spiritual.” 5 karena lebih memperhatikan aspek keadilan dan sosial yang tidak terlepas dari pengaruh prinsip dan nilai-nilai agama dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dalam perbankan Islam yang menerapkan sistem syariah tersebut bukan hanya sekedar kebebasan berkontrak dan bagi hasil dari produk-produk yang di dalam hukum positif dinyatakan sebagai prinsip Syariah, akan tetapi penerapan prinsipprinsip dan nilai-nilai Islam yang harus ditanamkan dalam sistem perbankan Islam tersebut secara utuh. Karena bank syariah cenderung dioprasikan dengan kinerja yang menerapkan dengan mempergunakan produk syariah akan tetapi pada prinsip penerapannya sama dengan bank konvensional. Kegiatan pembiayaan bank syariah menawarkan jasa perbankan kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan musyarakah adalah merupakan salah satu produk perbankan syariah yang memerlukan diadakannya perjanjian (aqad) yang mengikat pemberi biaya (bank) dan penerima biaya (nasabah). Musyarakah (syirkah) dari segi bahasa bermakna ikhtilath (pencampuran) yaitu penggabungan dua bagian atau lebih, yang tidak bisa dibedakan lagi antara satu bagian dengan bagian yang lain satu bagian yang lain. Sedangkan menurut syara’
5
M.Ridwan, Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi Dalam Perspektif Ekonomi Islam, (Azhari Akmal Tarigan, (editor)), Ekonomi dan Bank Syariah Pada Milenium Ketiga, IAIN Pres, Medan 2002, hlm.59.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
musyarakah adalah transaksi antara dua orang atau lebih yang dua-duanya sepakat untuk melakukan kerja yang bersifat finansial dengan tujuan mencari keuntungan. 6 Transaksi musyarakah mengharuskan adanya ijab dan qabul selanjutnya juga tergantung kepada sesuatu yang ditransaksikan, yaitu harus sesuatu yang bisa dikelola. Dan sesuatu yang bisa dikelola, atau sesuatu yang ditransaksikan, atau transaksi syirkah ini haruslah sesuatu yang di wakilkan, sehingga sesuatu yang bisa dikelola tersebut sama-sama mengikat mereka. Keberadaan jaminan dalam perbankan konvensional adalah merupakan suatu keharusan dalam penyaluran kredit, sedangkan dalam perbankan syariah khususnya dalam pembiayaan, jaminan boleh dimintakan atau tidak dimintakan dari nasabah karena nasbah dalam hal ini bersetatus sebagai mitra kerja dalam hubungan kemitraan. Perbankan syariah menilai jaminan yang paling utama adalah keyakinan oleh bank syariah atas kemampuan nasabah mengembalikan hutangnya atau kewajibannya, bahkan bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan lansung dengan objek yang dibiayai, walupun bank diperankan meminta jaminan tambahan. Sehingga jaminan lebih cenderung berfungsi sebagai bukti adanya itikad baik dari nasabah untuk melunasi hutangnya atau komitmen dalam memenuhi janji. 7
6
M. Hasballah Thaib, Op.Cit, hlm 98 Amir Nuruddin, 2004. Urgensi Hukum Ekonomi Islam Dalam Menjawab Isu-isu Global, Malakah Seminar Nasional diselenggarakan oleh Program Pascasarjana IAIN-Sumatera Utara, Medan, hlm 12 7
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Alasan pokok mengapa masalah jaminan memiliki karakteristik tersendiri dalam arti bukan merupakan syarat mutlak dalam perbankan syariah antara lain adalah karena dua hal, pertama, jaminan hanya difungsikan sebagai bukti adanya itikad baik dari nasabah, kedua, karena sifat pembiayaan itu sendiri yang lebih cenderung berfungsi sebagai akad social, sehingga jaminan pada hakekatnya bukan merupakan syarat mutlak untuk memperoleh pembiayaan dalam perbankan syariah. Undang-undang Perbankan yang ada sekarang ini, belum mengatur secara rinci masalah jaminan dalam perbankan syariah. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu alasan kuat mengapa perbankan syariah mengalami kesulitan dalam pengembangan produknya adalah masih belum adanya keharmonisan diantara seluruh mazhab hukum yang mengatur tentang perbankan syariah termasuk dalam aspek jaminan. Hal ini tentunya dapat menimbulkan konflik berkepanjangan dalam perjalanan perbankan syariah di Indonesia. Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figur) yang keteranganketerangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberikan jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasihat hukum yang tidak ada cacatnya (onbreukbaar atau unimpearchable). 8 Lembaga Notariat di Indonesia berasal dari negeri Belanda dan dikenal sejak Belanda menjajah Indonesia. Pada mulanya Lembaga Notariat ini terutama diperuntukan bagi bangasa Belanda golongan Eropa lainnya serta golongan Bumi Putra yang karena undang-undang maupun karena sesuatu ketentuan yang dinyatakan 8
Tan Thong Kie, Buku I Studi Notariat-Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hlm 162.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
tunduk kepada hukum yang berlaku untuk golongan Eropa dalam bidang hukum perdata, atau menundukkan diri kepda Burgelijk Wetboek (B.W). atau umumnya di sebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 9 Fungsi dan peran notaris dalam gerak pembangunan nasional yang semakin komplek dewasa ini tentu makin luas dan makin berkembang, sebab kelancaran dan kepastian hukum segenap usaha yang dijalankan oleh segenap pihak makin banyak dan semakin luas, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari pelayanan dan produk hukum yang dihasilkan oleh notaris. Semakin pentingnya akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna, maka kedudukan notaris sebagai Pejabat Umum yang satusatunya berwenang untuk membuat akta otentik juga semakin penting. “Notaris dikatakan Pejabat Umum, dalam hal ini dapat dihubungkan dengan pasal 1868 K.U.H. Perdata yang menyatakan bahwa “Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu.” Pasal ini tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan Pejabat Umum itu. Oleh karena itu di dalam pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris diatur lebih lanjut tentang hal ini, bahwa yang dimaksud dengan Pejabat Umum yang satusatunya berwenang untuk membuat akta otentik itu adalah notaris, sepanjang tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Pejabat umum lainnya yang juga dapat membuat suatu akta otentik adalah Hakim, pegawai Catatan Sipil, dan sebagainya”. 10 Akta mempunyai dua fungsi yaitu fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi alat bukti (probationis causa) 11 . Formalitas causa artinya berrfungsi untuk lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, jadi bukan sahnya perbuatan 9
R.Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Cetakan-2 Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm 1. 10 R.Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm.26 11
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat, Yogyakarta, 1993, hlm 121.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
hukum. Jadi adanya akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum. Probationis causa berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta ini tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari. Untuk dapat membuktikan adanya suatu perbuatan hukum, maka diperlukan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian. Dalam hal ini agar akta sebagai alat bukti tulisan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, maka akta tersebut harus memenuhi syarat otentisitas yang ditentukan oleh undang-undang, salah satunya harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang. Dalam hal harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang inilah profesi Notaris memegang peranan yang sangat penting dalam rangka pemenuhan syarat otentisitas suatu surat atau akta agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna karena berdasarkan pasal 1 Undang-Undang Jabatan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik. Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Akta otentik memberikan diantara para pihak termasuk para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat/ dinyatakan di dalam akta.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Kekuatan pembuktian sempurna yang terdapat dalam suatu akta otentik merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan pembuktian dan persyaratan yang terdapat pada akta. Ketiadaan salah satu kekuatan pembuktian ataupun persyaratan tersebut akan mengakibatkan suatu akta otentik tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat (bindende) sehingga akta akan kehilangan keotentikannya dan tidak lagi menjadi akta otentik. Dalam suatu akta otentik harus memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil 12 . Kekuatan pembuktian lahir Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir berarti kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keaadaan lahir akta itu sendiri, dan sebagai asas berlaku acta publica probant sese ipsa yang berarti suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya 13 . Suatu akta notaris dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna apabila akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil, dan memenuhi syarat otentisitas sebagaimana dipersyaratkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris sehingga akta yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan harus dinilai benar, sebelum dapat dibuktikan ketidak benarannya.
12 13
Ibid ibid
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana kekuatan pembuktian perjanjian pembiayaan musyarakah yang dibuat notaris. 2. Bagaimana perbedaan antara perjanjian musyarakah yang ada di bank syariah dengan perjanjian perkongsian di bank konvensional. 3. Bagaimana bentuk jaminan dalam perjanjian musyarakah
C. Tujuan Penelitian Mengacu kepada judul dan permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan pembuktian aqad perjanjian musyarakah yang dibuat oleh notaris. 2. Untuk mengetahui perbedaan antara perjanjian musyarakah yang ada di bank syariah dengan perjanjian perkongsian yang ada di bank konvensional. 3. untuk mengetahui bentuk jaminan dalam perjanjian musyarakah.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
D. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut : 1. Secara Teoritis Dari segi teoritis kegiatan penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan mengenai dasar hukum baik dari peraturan perundang-undangan, syariah Islam maupun pendapat para ahli mengenai hukum perjanjian pembiayaan musyarakah ini, juga sebagai kajian yang dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan khususnya hukum perbankan syariah di Indonesia. 2. Secara Praktis Dari segi praktis dapat mengetahui secara nyata bentuk, isi serta pelaksanaan dari perjajian musyarakah, dan landasan hukum nya.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penulusuran kepustakaan yang khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, menunjukan bahwa penelitian dengan judul “ANALISIS YURIDIS KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA PERJANJIAN MUSYARAKAH YANG DIBUAT NOTARIS” belum ada yang membahasnya, sehingga tesis ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan keasliannya. Walaupun ada beberapa topik penelitian tentang Bank Syariah namun jelas berbeda. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif, dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
kebenarannya secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah dalam penelitian ini.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori adalah merupakan suatu prinsip satu ajaran pokok yang dianut untuk mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Kamus umum Bahasa Indonesia menyebutkan, bahwa salah satu arti teori ialah : “…. Pendapat, cara-cara dan aturan-aturan untuk melakukan sesuatu”. 14 Dalam sebuah penelitian ilmiah, teori digunakan sebagai landasan berfikir dan mengukur sesuatu berdasarkan variable-variabel yang tersedia. “Teori digunakan sebagai landasan atau alasan mengenai suatu variabel bebas tertentu dimasukan dalam penelitian, karena berdasarkan teori tersebut variable yang bersangkutan memang bisa mempengaruhi variable tak bebas atau merupakan salah satu penyebabnya”. 15 Menurut W.L.N.Neuman, yang pendapatnya dikutip oleh Otje Salman dan Anton F.Susanto, menyebutkan, Bahwa : “Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan 14
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1985,
15
J.Supranto, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm 192-
hlm.155. 193.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berpikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”.16 Otje Salman dan Anton F Susanto akhirnya menyimpulkan pengertian teori menurut pendapat dari berbagai ahli, dengan rumusan sebagai berikut : “Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum”. 17 Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian dan hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta yang luas. 18 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis. 19 Sehingga kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis dari para penulis hukum Islam dan hukum perjanjian, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal dalam penulisan tesis ini. Dalam pembahasan pada tesis ini, kerangka teori yang digunakan adalah berdasarkan teori hukum Islam, hukum pembuktian
dan hukum perikatan yang
mengatur hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat dari perjanjian musyarakah. Jadi kerangka teori yang digunakan adalah berdasarkan asas kesepakatan dalam mengadakan perjanjian. 16
HR. Otje Salaman S dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005,
hlm 22. 17
Ibid, hlm. 23 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hlm 126. 19 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, Tahun 1994, hlm. 80 18
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Sesuai dengan makna dari pada sesuatu kaedah hukum, maka kaedah hukum selalu diartikan sebagai berikut : “Sebagai peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia itu berprilaku, bersikap didalam masyarakat agar kepentingannya dan kepentingan orang lain terlindungi.” 20 Maka dapatlah diketahui maka kaedah hukum yang mengatur tentang pembuktian akta perjanjian musyarakah, adalah merupakan nilai hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 282, yang berbunyi : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah (seperti berjual beli, berhutang piutang, atau sewa menyewa) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagiamana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlaknya (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepda Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya. . jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki diantaramu. Jika tidak ada dua orang lakilaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatnya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguannmu, tulislah mu’amalahmu itu, kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, jika kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah 20
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2007,
hlm 11.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
kepada Allah, Allah mengajarmu dan Allah Maha sesuatu.”
Mengetahui segala
Sebagai salah satu asas yang ada dalam kaedah hukum perjanjian, maka asas kesepakatan dalam mengadakan perjanjian adalah merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Karena dalam setiap perjanjian harus ada kesepakatan atau persetujuan dari kedua belah pihak yang berjanji, sehingga tidak ada perjanjian kalau kesepakatan dan persetujuan tidak ada. Kesepakatan dalam mengadakan perjanjian ini didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa : “Semua Perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Lafal akad, berasal dari lafal arab Al-aqad yang berarti perikatan, perjanjian, dan permufaktan al-ittifaq. 21 Secara terminologi fiqih, akad didiefenisikan dengan “perikatan ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan”. Kehendak syariat maksudnya adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Sedangkan kalimat berpengaruh pada obyek perikatan maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari suatu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak yang lain (yang menyatakan qabul).
21
M. Hasballah Thaib, Op.Cit, hlm 1
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Mustafa ahmad az-zarqa pakar fiqih jordania asal Syiria, menyatakan bahwa tindakan hukum yang dilakukan manusia terdiri atas dua bentuk, yaitu ; 22 1. Tindakan (action) berupa perbuatan. 2. Tindakan berupa perkataan. Tindakan yang berupa perkataan pun terbagi dua, yaitu yang bersifat akad dan yang tidak bersifat akad. Tindakan berupa perkataan yang bersifat akad terdiri atas dua atau beberapa pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian. Sedangkan tindakan berupa perkataan yang tidak bersifat akad terbagi lagi kepada dua macam, yaitu : a.
yang mengandung kehendak pemilik untuk menetapkan/melimpahkan hak, membatalkannya, atau menggugurkannya, seperti wakaf, hibah, dan talak. Akad seperti ini tidak memerlukan qabul, sekalipun tindakan hukum seperti ini, menurut sebagian ulama fiqih termasuk aqad. Ulama hanafiah mengatakan bahwa tindakan hukum seperti ini hanya mengingat pihak yang melakukan ijab.
b.
Yang
tidak
mengandung
kehendak
pihak
yang
menetapkan
atau
menggugurkan suatu pihak, tetapi perkataannya itu memunculkan suatu tindakan hukum, seperti gugatan yang diajukan kepada hukum dan pengakuan seseorang di depan hakim. Tindakan-tindakan seperti ini berakibat timbulnya
22
Ibid hlm 2
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
suatu ikatan secara hukum tetapi sifatnya tidak mengikat. Oleh sebab itu, para ulama fiqih menetapkan bahwa tindakan seperti ini tidak mengikat siapapun. Az-zurqa’ menyatakan bahwa dalam pandangan syara’ suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikat diri. 23
Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang
mengikatkan diri itu sifatnya dalam hati. Oleh sebab itu, untuk menyatakan kehendak masing-masing harus diungkapkan dalam suatu pernyataan. Pernyataan pihak-pihak yang berakad itu disebut ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak, yang mengandung keinginannya secara pasti untuk mengikatkan diri. Sedangkan qabul adalah pernyataan pihak lain setelah ijab yang menunjukan persetujuannya untuk mengikatkan diri. Terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqih dalam menentukan rukun akad terdiri atas : 1. Pernyataan untuk mengikatkan diri (sighat al-‘aqad) 2. Pihak-pihak yang berakad (al-muta’aqidain) 3. Obyek akad (al-ma’qud’alaihi) Dalam kaitan dengan ijab dan qabul, para ulama fiqih mensyaratkan : a. Tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki, kerena akad-akad itu sendiri berbeda dalam sasaran dan hukumnya. 23
Ibid hlm 3.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
b. Antara ijab dan qabul terdapat kesesuaian. c. Pernyataan ijab dan qabul itu mengacu kepada suatu kehendak masing-masing pihak secara pasti, tidak ragu-ragu. Para ulama fiqih menetapkan beberapa syarat umum yang harus dipenuhi oleh suatu akad yaitu : 1. pihak-pihak yang melakukan akad itu telah cakap bertindak hukum (mukallaf) atau obyek akad itu merupakan milik orang yang tidak atau belum cakap bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya. 2. Obyek akad itu diakui syara’. Untuk obyek akad ini disyaratkan pula yaitu berbentuk harta, dimiliki oleh seseorang, dan bernilai harta menurut harta dalam Islam, maka akadnya tidak sah, seperti khamar (minuman keras). 3. Akad itu tidak dilarang oleh nashsh (ayat atau hadis) syara’. Atas dasar ini seorang wali tidak boleh meghibahkan harta anak kecil. Alasannya adalah melakukan suatu akad yang sifatnya menolong semata (tanpa imbalan) terhadap harta anak kecil tidak dibolehkan syara’. Oleh sebab itu apabila wali menghibahkan harta anak kecil yang berada di bawah penganpuannya, maka akad itu batal menurut syara’. 4. Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait dengan itu. Artinya, disamping memenuhi syarat-syarat umum yang harus dipenuhi suatu akad, akad itu juga harus memenuhi syarat-syarat khusus. 5. Akad itu bermanfaat. Oleh sebab itu, jika seseorang melakukan suatu akad dan imbalan yang diambil salah seseorang yang berakad merupakan kewajiban baginya maka akad itu batal. 6. Pernyataan ijab tetap utuh dan sahih sampai terjadinya qabul. Apabila ijab tidak utuh dan sahih lagi ketika qabul. Apabila ijab tidak utuh dan sahih lagi ketika qabul diucapkan, maka akad itu tidak sah. 7. Ijab dan qabul dilakukan dalam suatu majelis, yaitu suatu keadaan yang menggambarkan proses suatu transaksi. 8. Tujuan akad itu harus jelas dan diakui syara’. Tujuan akad ini terkait erat dengan berbagai bentuk akad yang dilakukan 24 . Para ulama fiqih menetapkan bahwa akad menetapkan bahwa akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang melakukan akad. Setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengikatkan diri
24
Ibid hlm 8
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
pada suatu akad dan wajib dipenuhi segala akibat hukum yang ditimbulkan akad itu. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Maidah, 5:1 yang berbunyi : “ Wahai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu”. Para ulama fiqih mengemukakan bahwa akad itu bias diabagi jika dilihat dari berbagi segi. Apabila dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’. Maka akad terbagi dua yaitu : 1. Akad sahih, yaitu akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad sahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad. Akad yang sahih ini dibagi lagi oleh ulama Hanafiyah menjadi dua macam, yaitu: a. akad yang nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya. b. Akad mawquf, yaitu akad dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad itu 2. Akad yang tidak sah yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad.25 Dilihat dari segi penamaannya, para ulama fiqih membagi akad kepada dua macam, yaitu : 1. al-‘uqud al-musammah, akad-akad yang ditentukan namanya oleh syara’ serta dijelaskan hukum-hukumnya, seperti jual beli, sewa menyewa, perserikata. Hibab, al-wakalah, wakaf, al-ji’alah, wasiat, dan perkawinan. 2. al-‘uqud ghair al-musammah, yaitu akad-akad yang penamaannya dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan keperluan mereka disepanjang zaman dan tempat, seperti al-istishna’, bai’ al-wafa’. 26
25 26
ibid, hlm 16 ibid, hlm 19.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Dalam hal penafsiran terhadap prinsip-prinsip yang ada dalam Al-Quran dan Sunnah, dalam melahirkan suatu aturan hukum Islam sebagai mana dikemukakan oleh Muhammad Yusuf Musa memberikan garis-garis besar terhadap karakteristikkarakteristik hukum Islam tersebut kepada enam karakteristik yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Hukum itu dalam prinsip-prinsipnya yang umum berasal dari wahyu Allah Aturan-aturnnya dibuat dengan dorongan agama dan moral Balasannya di dapatkan di dunia dan akhirat Kecenderungannya komunal Dapat berkembang sesuai dengan lingkungan waktu dan tempat Tujuannya adalah mengatur dan memberikan kemudahan kehidupan privat dan publik dan membahagiakan dunia seluruhnya. 27 Untuk itu dalam melahirkan suatu aturan Islam dalam konteks negara
Republik Indonesia, yang berkompeten dalam hal memberikan suatu fatwa atau hasil ijtihad adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), walaupun tetap dibuka setiap individu atau golongan masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad dan memberikan masukan ataupun sebagai wacana, untuk menggali ajaran Islam terutama yang bersifat muamalah, agar Islam tidak hanya dianggap sebatas ritualitas semata. Dan untuk mempunyai kekuatan hukum Islam, apa yang difatwakan oleh MUI tersebut ditindaklanjut dalam bentuk hukum positif, dalam hal ini yang berwenang adalah pembuat undang-undang yaitu pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
27
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya, Gema Risalah Press, Bandung, 1992, hlm 160
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
2. Konsepsi “Konsepsi adalah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang dibuat dengan operasional definition”. 28 Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu : a. Analisis yuridis adalah kajian yang dilaksanakan terhadap hukum guna meneliti struktur hukum tersebut secara mendalam. b. kekuatan pembuktian yaitu di dalam hukum acara perdata alat bukti tertulis (surat) merupakan alat bukti yang utama, karena justru dibuat untuk membuktikan suatu keadaan, atau kejadian yang telah terjadi atau perbuatan hukum yang harus dilakukan oleh seseorang nantinya c. akta adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh UndangUndang, dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu. d. Perjanjian yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
28
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak DanPerlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm 10
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
e. Musyarakah yaitu kerjasama antara kedua belah pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. f. Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapanyang diharuskan oleh suatu perbuatan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semua sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. G. Metode Penelitian 1. Sepesifikasi Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistematis mengenai masalah perjanjian pembiayaan musyarakah, bentuk akad, perbedaan bentuk akta dengan bank konvensional dan penyelesaiannya apabila terjadi problematika mengenai hal tersebut. Penelitian ini juga menganalisa data dan fakta yang ditemukan dengan berbagai aspek hukum baik dari segi syariah Islam, hukum perdata maupun peraturan perundang-undangan lainnya.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan normatif dan yuridis empiris. Pendekatan normatif yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Pendekatan yuridis empiris yaitu suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum yang kemudian dihubungkan dengan data, prilaku dan kebiasaan yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat. Data dalam penelitian ini diperoleh langsung melalui penelitian lapangan (field research) yaitu pada pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan perbutan hukum tertentu dihubungkan dengan perjanjian musyarakah. 2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di PT. Bank Sumut Syariah Cabang Medan yang beralamat di jalan Letjend.S.Parman No. 50-A Medan.. Dengan memeperhatikan kondisi tersebut, diharapkan hasil penelitian dilaksanakan akan dapat mewakili kondisi dan permasalahan perjanjian musyarakah. 3. Sumber Data Jenis data penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan Data Primer dan Data Sekunder. Berdasarkan jenis penelitian dalam penelitian ini dapat dipakai dua sumber data yaitu : 1. Data Primer, merupakan data pokok yang dipeoleh langsung melalui pihakpihak yang terkait yaitu melalui responden dan wawancara.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
2. Data Sekunder, merupakan data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan sebagai penunjang penelitian. Data Sekunder dalam penelitian ini adalah bahan dasar yang diperoleh dari : 1. Bahan hukum primer adalah hukum mengikat yakni norma dasar, kaidah dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. Adapun bahan hukum primer dalam penelitian ini berupa : a. Al-Quran dan Hadist dan Terjemahannya. b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata c. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan d. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris e. Peraturan lain yang terkait (Peraturan Bank Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia) 2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan menegenai bahan hukum primer berupa hasil-hasil penelitian, karya ilmiah dari kalangan hukum serta relevan dengan penulisan ini. 3. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus umum, kamus hukum, majalah, surat kabar dan jurnal-jurnal ilmiah.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
4. Alat Pengumpulan Data Alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah 1. Studi dokumen yaitu dengan cara mempelajari peraturan-peraturan, teori, buku-buku, hasil penelitian, buletin-buletin dan dokumen lain yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. 2. Daftar pertanyaan wawancara yang digunakan untuk responden dengan menggunakan sistem terbuka dan tertutup dan data yang berasal dari narasumber (informan). 5. Analisis Data Setelah semua data primer dan sekunder diperoleh, maka dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui validitasnya, kemudian data itu dikelompokkan atas data yang sejenis. Terhadap data yang sifatnya kualitatif dengan menggunakan metode induktif dan deduktif. Metode induktif maksudnya menarik diri generalisasi-generalisasi yang berkembang dalam praktek perjanjian pembiayaan musyarakah. Metode deduktif maksudnya melihat peraturan-peraturan yang berlaku secara deduksi walaupun tidak pasti mutlak, namun dijadikan dasar hukum dalam pembiayaan musyarakah. Dengan adanya metode induktif dan deduktif ini, maka diperoleh persesuaian tentang bagaimana sebenarnya perjanjian pembiayaan musyarakah menurut hukum yang terjadi di perbankan syariah. Dari hasil pembahasan dan analisis ini diperoleh kesimpulan yang memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
BAB II KEKUATAN PEMBUKTIAN PERJANJIAN MUSYARAKAH YANG DIBUAT NOTARIS
A. Pengertian Alat Bukti dan Pembuktian Pengertian dari alat bukti, tanda bukti, membuktikan, dan pembuktian menurut W.J.S Poerwadarminta adalah sebagai berikut : 29 1. Bukti adalah sesuatu hal (peristiwa atau sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya). 2. Tanda bukti, barang bukti adalah apa-apa yang menjadi tanda sesuatu perbuatan (kejahatan dan sebagainya). 3. Membuktikan, mempunyai pengertian-pengertian : a. Memberi (memperlihatkan) bukti b. Melakukan sesuatu bagi bukti kebenaran, melaksanakan (cita-cita dan sebagainya) c. Menandakan, menyatakan (bahwa sesuatu benar) d. Meyakinkan, menyaksikan 4. Pembuktian adalah perbuatan (hal dan sebagainya) membuktikan Dalam pengertian yuridis tentang bukti dan alat bukti R. Subekti menyatakan bahwa : ”Bukti adalah sesuatu untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian. Alat bukti, alat pembuktian, upaya pembuktian, Bewijs middel (Bid) adalah alat-alat yang dipergunakan untuk dipakai membuktikan dalildalil suatu pihak di muka pengadilan, misalnya bukti-bukti tulisan, kesaksian, persangkaan, sumpah dan lain-lain.” 30 selanjutnya, R. Subekti mengemukan bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka Hakim atau pengadilan, karena pengertian ”membuktikan” menurutnya sebagai berikut :
29
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1984 R. Subekti, dikutip dari Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hlm 2 30
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
”Yang dimaksud membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.” 31 Membuktikan dengan demikian berartimemberi kepastian yang bersifat mutlak dan karenanya berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Majelis Hakim dalam pemeriksaan perkara memerlukan pembuktian yang meyakinkannya agar Hakim dapat menerapkan hukum secara tepat, benar, dan adil. Dalam pembuktian secara yuridis, sering terjadi bahwa pengamatannya sebagai dasar dari pada pembuktian tidak bersifat langsung didasari atas penglihatan, tetapi didasari atas kesaksian oleh orang lain. Selain itu dipisahkan antara para pihak yang mengajukan alat-alat bukti dan pihak yang harus menetapkan bahwa sesuatu telah terbukti. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, Soedikno Mertokusumo mengatakan bahwa : ”pembuktian secara yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran yang diajukan.” 32 pembuktian akan berlaku apabila terjadi suatu perselisihan dimana terdapat hal-hal yang diajukan oleh pihak yang satu tetapi disangkal atau dibantah oleh pihak yang lain. Sebaliknya, hal-hal yang diajukan oleh satu pihak dan diakui oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan karena tidak ada perselisihan. Begitupun tidak usah
31 32
R. Subekti, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hlm 1 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberti, Yogyakarta, 1998,
hlm 128
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
dibuktikan hal-hal yang diajukan oleh satu pihak dan meskipun tidak secara tegas dibenarkan oleh yang lain tetapi tidak disangkal. Ada lagi hal-hal yang tidak memerlukan pembuktian, yaitu segala apa yang kebenarannya dapat dianggap diketahui oleh umum, yang disebut fakta-fakta notoir (notoir feiten, noticeable facts). Setiap orang pasti mengetahuinya, sehingga majelis Hakim harus yakin demikian adanya.
B. Maksud dan Tujuan Pembuktian Pembuktian diperlukan karena ada bantahan atau sangkalan dari pihak lawan mengenai apa yang digugatkan, atau untuk membenarkan suatu pihak. Pada umumnya, yang menjadi sumber sengketa adalah suatu peristiwa atau hubungan hukum yang mendukung adanya hak. Jadi yang perlu dibuktikan adalah mengenai peristiwa atau hubungan hukum, bukan mengenai hukumnya. Abdul Kadir Muhammad mengatakan : ”Kebenaran pristiwa ada hubungan hukum itulah yang wajib dibuktikan. Jika pihak lawan (tergugat) sudah mengakui atau mengiyakan apa yang digugatkan oleh penggugat, maka pembuktian tidak diperlukan lagi.” 33 Adapun maksud dari pembuktian adalah usaha untuk memperoleh kepastian yang layak dengan jalan pemeriksaan dan penalaran dari Hakim mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan tertentu sungguh pernah terjadi. Pembuktiannya terdiri dari penunjukan peristiwa-peristiwa yang dapat diterima oleh panca indera,
33
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm 115
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
pemberian keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi tersebut dan penggunaan pikiran logis. Dalam persengketaan antara pihak yang bersangkutan, masing-masing pihak mengajukan dalil-dalil yang saling bertentangan, maka hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang tidak benar dan dalil-dalil manakah yang dianggap benar berdasarkan ”duduk perkaranya”. Pada prinsipnya setiap pihak yang mengajukan dalil harus dapat membuktikan bahwa dalil yang diajukannya adalah benar.
C. Macam-macam Alat Bukti Alat-alat yang ditentukan oleh undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Pasal 165 HIR, yaitu terdiri dari : a. Alat bukti tulisan/surat Alat bukti tulisan / surat ini di atur dalam Pasal 1867 – 1894 Kitab Undangundang Hukum Perdata, pertama, pada ketentuan Pasal 1867 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa : ”Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.” 34 Selanjutnya Sudikno Mertokusumo mengatakan :
34
R. Subekti, Op.Cit. hlm 475
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
”Alat bukti tulisan / surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan ini hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan digunakan sebagai pembuktian.” 35 Sebaliknya, sepucuk surat yang berisikan curahan hati yang diajukan di muka sidang pengadilan ada kemungkinannya tidak berfungsi sebagai alat bukti tulisan atau surat tetapi sebagi benda untuk meyakinkan saja, karena bukan kebenaran isi atau bunyi surat itu yang harus dibuktikan atau digunakan sebagai alat bukti melainkan eksistensi surat itu sendiri yang menjadi bukti. Namun demikian alat bukti tulisan yang diajukan dalam acara perdata harus dibubuhkan denganmaterai untuk memenuhi Pasal 23 Undang-Undang Bea Materai tahun 1921, sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 13 Maret 1971 No. 589 K/Sip/1970, berpendapat bahwa ”surat bukti yang tidak di beri materai tidak merupakn alat bukti yang sah.” Ketentuan Bea Materai tersebut saat ini diatur lebih lanjut dalam UndangUndang No. 13 tahun 1985 tentang Be Materai. Sanksi apabila tidak diberi matrai atau kurang melunasi bea materai yaitu apabila dokumen yang terutang atau dikenakan Bea Materai yang tidak atau kurang dilunasi sebagimana mestiya dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Matrai yang tidak atau kurang dibayar. Pemegang dokumen atas dokumen yang tidak atau kurang dibayar Bea Matrainya harus melunasi Bea Materai yang terutang berikut dendanya dengan cara pemateraian kemudian.
35
Sudikno Merokusumo, OP.Cit, hlm 140
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Alat-alat bukti tulisan / surat terdiri dari : 1. Akta Otentik Dalam Pasal 165 HIR memuat suatu defenisi tentang akta otentik yaitu : Akta otentik adalah surat yang diperbuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya, mewujudkan bukti bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, yaitu tentang segala hal yang memuat dalam surat itu dan segala hal yang tercantum dalam surat itu sebagai pemeritahuan saja tetapi yang tersebut kemudian itu berhubungan dengan pokok-pokok dalam akta. Menurut beberapa ahli hukum, diantaranya Wiryono Projodikoro, pengertian akta otentik yaitu : ”Surat yang dibuat dengan maksud dijadikan bukti oleh atau dimuka seorang pejabat umum yang berkuasa untuk itu.” 36 Selanjutnya, akta otentik menurut Soepomo, adalah : ”Surat yang dibuat oleh suatu dimuka seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat surat itu, dengan maksud menjadikan surat tersebut sebagai surat bukti.” 37 Dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa : ”Akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan seorang pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat di mana akta dibuatnya.” 38 36
R. Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, 1988, hlm
108 37
Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 2002,
hlm 87 38
R. Subekti, Op.Cit, hlm 475
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang membuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi untuk dapat digolongkan sebagai akta suatu surat harus ada tanda tangannya seperti yang disyaratkan dalam Pasal 1869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan dibawah tangan jika di tanda tangani oleh para pihak. Keharusan adanya tanda tangan tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain, jadi fungsi tanda tangan tidak lain adalah untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta karena identifikasi dapat dilihat dari tanda tangan yang dibubuhkan pada akta tersebut. Dalam Pasal 1888 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekedar salinan-salinan serta ikhtisarikhtisar itu sesuai dengan aslinya yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya. Akta otentik mempunyai kekuatan bukti formil dan materiil. Formilnya yaitu bahwa benar para pihak sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta itu. Materiilnya, bahwa apa yang diterangkan tadi adalah benar.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Kekuatan bukti yang sempurna yang bersifat akta party itu hanya berlaku antara kedua belah pihak atau ahli warisnya dan orang mendapat hak dari mereka. Terhadap pihak ketiga, akta otentik berkekuatan hanya sebagai bukti bebas, artinya penilainnya diserahkan kepada pertimbangan Hakim. 2. Akta di bawah tangan Menurut Sudikno Mertokusumo, menyebutkan bahwa ” akta dibawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara pihak yang berkepentingan.” 39 Alat bukti di bawah tangan berbeda dengan akta otentik, yaitu bahwa akta di bawah tangan tidak dibuat dihadapan pegawai umum, berisi catatan dari suatu perbuatan hukum misalnya : kwitansi, faktur, surat-surat perjanjian tanpa dibubuhi materai. Dari ketentuan Pasal 1878 Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat kekhususan akta dibawah tangan yaitu akta harus seluruhnya ditulis dengan tangan si penanda tangan sendiri. Ketentuan-ketentuan khusus tersebut dalam akta di bawah tangan yaitu mengenai hutang sepihak, untuk membayar sejumlah uang tunai atau menyerahkan suatu benda, dan lain sebagainya. Akta di bawah tangan hanya dapat diterima sebagai permulaan bukti tertulis (Pasal 1871 Kitab undang-undang Hukum Perdata), namun menurut pasal tersebut tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan bukti tulisan itu. Di dalam Pasal 1902 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dikemukakan syarat-syarat bilamana terdapat permulaan bukti tertulis yaitu :
39
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm 125
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
a. Harus ada akta b. Akta itu harus dibuat oleh orang terhadap siapa dilakukan tuntutan atau dari orang yang diwakilinya. c. akta itu harus memungkinkan kebenaran peristiwa yang bersangkutan. Jadi suatu akta di bawah tangan untuk dapat menjadi bukti yang sempurna dan lengkap dari permulaan bukti tertulis itu masih harus dilengkapi dengan alatalat bukti lainnya. 3. Surat bukan akta Untuk kekuatan pembuktian dari surat yang bukan akta di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak ditentukan secara tegas, walaupun surat-surat yang bukan akta ini disengaja dibuat oleh yang bersangkutan, tetapi pada asasnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian dikemudian hari. Oleh karena itu surat-surat yang demikian itu dapat dianggap sebagai petunjuk kearah pembuktian artinya surat-surat itu dapat dianggap sebagai alat bukti tambahan ataupun dapat pula dikesampingkan dan bahkan sama sekali tidak dapat di percaya. Jadi dengan demikian surat bukan akta untuk dapat mempunyai kekuatan pembuktian sepenuhnya bergantung pada penilaian Hakim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1881 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : ”Apabila surat-suratnya itu dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat adalah untuk memprbaiki suatu kekurangan didalam suatu alas hak bagi seseorang untuk keuntungan siapa surat itu menyebutkan suatu perikatan. Dalam segala hal lainnya, Hakim akan mempertimbangkan sebagaimana dianggap perlu.”
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
4. Salinan Bahwa salinan atau kutipan atau fotocopy dapat mempunyai nilai hukum pembuktian sepanjang sesuai dengan aslinya, hal tersebut sesuai dengan Pasal 1888 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan, bahwa : ” Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada kata aslinya apabila akta yang asli itu ada maka salinan-salinan serta ikhitiar-ikhtiar hanyalah dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtiar-ikhtiar itu sesuai dengan aslinya yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya.” Menurut Pitlo mengatakan bahwa : ”Salinan adalah pemberitaan tertulis yang asli yang serupa kata demi kata juga dengan pemberitahuan tanda tangan.” Salinan dan atau kutipan dari suatu akta (alas hak) dapat memperoleh kekuatan pembuktian sama dengan aslinya, apabila aslinya tidak dapat diperlihatkan lagi (karena hilang, peristiwa-peristiwa lain) yaitu, seperti yang ditentukan dalam Pasal 1889 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, antara lain : (a) Salinan-salinan pertama (b) Salinan-salinan yang dibuat karena perintah Hakim dengan disaksikan oleh kedua belah pihak. (c) Salinan-salinan yang dibuat tanpa perintah Hakim atau tanpa persetujuan para pihak, setelah dikeluarkannya salinan pertama, dibuat oleh pegawai umum (Notaris) yang berwenang untuk itu, Sedangkan salinan-salinan lainnya hanya mempunyai kekuatan sebagai permulaan pembuktian saja. Dengan catatan bahwa pihak yang menyatakan bahwa aslinya tidak dapat diperlihatkan harus membuktikannya. Untuk tulisan yang berupa
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
tembusan suatu surat yang dibuat rangkap dengan menggunakan karbon mempunyai kekuatan bukti seperti aslinya, karena tembusan itu sama dengan surat yang ditulis pada halaman pertama dengan mana pensil atau pena itu langsung berhubungan. Dengan demikian alat bukti tertulis itu pada umumnya dipergunakan oleh pihak lain dari pada membuatnya kecuali bahwa Hakim bebas untuk menggunakan pembukuan seseorang guna bukti lagi keuntungan yang membuat. Dalam Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris menyebutkan : (1) Untuk kepentingan proses peradilan penyidik, penuntut unun, atau Hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang : a. mengambil fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. (2) Pengambilan fotokopi minuta akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan. 5. Alat Bukti Saksi Dalam pembuktian dengan saksi lazimnya disebut dengan kesaksian pembuktian dengan kesaksian pada umumnya digunakan apabila alat pembuktian dengan tulisan tidak ada dan atau pembuktian dengan tulisan tersebut tidak cukup.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Tentang diperbolehkannya pembuktian dengan saksi dapat diketahui dalam Pasal 1895 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa pembuktian dengan saksi-saksi dapat dilakukan dalam segala hal. Dalam akta notaris terdapat dua saksi yaitu saksi instrumen adalah saksi yang menyaksikan pembacaan dan penanda tanganan akta dan mereka juga turut menandatangani akta. Selain saksi instrumen ada juga saksi pengenal yaitu saksi yang di bawa oleh penghadap, saksi pengenal harus turut menandatangani akta. Pasal 40 Undang-undang Jabatan Notaris menyatakan : 1. setiap akta yang dibacakan oleh notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain. 2. saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah b. cakap melakukan perbuatan hukum c. mengerti bahasa yang digunakan dalam akta d. dan membubuhkan tanda tangan dan paraf e. tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau kebawah tanpa pembatasan derajat dan garis kesamping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
3. Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikenal oleh Notaris atau di perkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas dan kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap. 4. Pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam akta. 6. Alat Bukti Persangkaan Alat bukti melalui persangkaan dapat ditemukan dalam Pasal 1915 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : ”Persangkaan-persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undangundang atau oleh Hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal.” 40 Begitu pula dalam Pasal 1916 Kitab undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa : ”Persangkaan-persangkaan menurut undang-undang ialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau perbuatan-perbuatan tertentu.” 41 jadi, bila yang menarik kesimpulan itu Hakim maka persangkaan tersebut dinamakan persangkaan Hakim atau persangkaan yang tidak didasarkan undangundang, dan apabila yang menarik kesimpulan itu adalah undang-undang, maka persangkaan tersebut dinamakan persangkaan undang-undang.
40
R. Subekti, Op.Cit, hlm. 484
41
Ibid, hlm 484
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
7. Bukti Pengakuan Pembuktian melalui pengakuan di atur dalam pasal 1923-1928 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Pengertian pengakuan yang bernilai sebagai alat bukti menurut M. Yahya Harahap dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1923 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 174 HIR adalah : ”Pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak lain dalam proses pemeriksaan suatu perkara. Pernyataan atau keterangan itu dilakukan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan. Keterangan itu merupakan pengakuan (bekentenis, confession), bahwa apa yang didalikan atau yang dikemukakan pihak lawan benar untuk keseluruhan atau sebagian.” 42 Apabila kita melihat ketentuan Pasal 1923 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, alat bukti pengakuan dapat di bagi menjadi 2 (dua) yaitu sebagai berikut : 1. Pengakuan di depan sidang Sebagaimana bunyi Pasal 1925 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang pada pokoknya menyatakan bahwa pengakuan yang dilakukan di dalam / di muka Hakim memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang telah melakukan terjadinya suatu persistiwa baik oleh sendiri maupun dengan perantaraan seseorang yang khusus dikuasakan untuk hal itu, maka hal ini berarti Hakim harus menganggap dalil-dalil yang telah diakui itu adalah benar. 2. Pengakuan di luar sidang Pengakuan di luar sidang secara lisan merupakan bukti bebas, sebagaimana bunyi Pasal 1928 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang pada pokoknya menyatakan, bahwa suatu pengakuan di luar sidang tidak dapat dicapai tetapi 42
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar GRafika, Jakarta, 2004, hlm 722
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
diizinkan apabila disertai dengan saksi atau alat bukti lainnya. Jadi, pengakuan di luar sidang bukan merupakan alat bukti yang mengikat akan tetapi merupakan alat bukti bebas, pengaturannya diserahkan kepada pertimbangan Hakim yang mengadili perkara tersebut. 8. Bukti Sumpah Walaupun undang-undang tidak menjelaskan arti sumpah, para ahli hukum memberikan pengertiannya yaitu antara lain Sudikno Mertokusumo menyatakan, bahwa : ”Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat, yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengikat akan sifat Maha Kuasa dari Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberikan keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehNya.” 43 Di dalam hukum acara perdata para pihak yang bersengketa tidak boleh di dengar sebagai saksi, walaupun para pihak tidak dapat di dengar sebagai saksi, namun dimungkinkan untuk memperoleh keterangan dari pihak dengan diteguhkan dengan sumpah yang dimasukkan dalam golongan alat bukti. Alat bukti sumpah diatur dalam HIR Pasal 155-158 dan Pasal 177 jo Pasal 1929-1945 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang mana dalam HIR, menyebutkan tiga macam sumpah sebagai alat bukti yaitu sebagai berikut :
43
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm. 179
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
1. Sumpah Pelengkap (Seppletoir) Sumpah pelengkap merupakan sumpah yang diperintahkan Hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai unsur putusannya. 2. Sumpah pemutus yang bersifat menentukan (Decissoir) Yaitu sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya walaupun tidak ada pembuktian sama sekali, hal ini dilakukan setiap saat selama pemeriksaan di persidangan. 3. Sumpah penaksir (Aestimatoire) Merupakan sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menaksir jumlah uang sebagai ganti kerugian.
D. Pembiayaan Musyarakah Syirkah atau Musyarakah yang dikenal di dunia perbankan adalah salah satu sistem dasar bagi bank-bank Islam. Sistem ini melahirkan pemikiran eksistensi bank Islam yang bukan hanya menyupali dana akan tetapi sebagai partner bagi para nasabah. Hubungan yang terjalin antara bank dengan nasabah adalah hubungan berserikat (partnership) bukan hubungan kreditur dan debitur seperti halnya pada bank-bank konvensional. Dari prinsip ini akan terlihat dengan jelas pemikiran berserikatnya bank-bank Islam dengan nasabah sebagai pelaksana operasional dalam menanggung usaha-usaha spekulasi yang mungkin mengalami kerugian sementara kapasitas kerja terpenuhi. 44 Musyarakah adalah transaksi antara dua orang atau lebih yang dua-duanya sepakat untuk melakukan kerja yang bersifat finansial dengan tujuan mencari keuntungan . transaksi musyarakah tersebut mengharuskan adanya ijab dan qabul 44
M. Hasballah, Op.cit, hlm 98
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
selanjutnya juga tergantung kepada sesuatu yang ditransaksikan, yaitu harus sesuatu yang bisa dikelola. Dan sesuatu yang bisa dikelola, atau sesuatu yang ditransaksikan, atau transaksi musyarakah ini haruslah sesuatu yang diwakilkan, sehingga sesuatu yang bisa dikelola tersebut sama-sama mengikat mereka. Menurut Madzhab Maliki, musyarakah adalah pemberian wewenang kepada pihak-pihak yang bekerja sama. Menurut Madzhab Hanbali, musyarakah adalah pencampuran dalam kepemilikan dan wewenang. Menurut Madzhab Syafi’’ musyarakah adalah ditetapkannya hak kepemilikan bagi dua pihak atau lebih. Menurut Madzhab Hanafi, musyarakah adalah transaksi yang dilakukan dua pihak dalam hal permodalan dan keuntungan. 45 1. Landasan Hukum Musyarakah Aspek musyarakah yang dimaksud dalam prinsip ini adalah tentang landasan hukum yang mengacu kepada asal usul dan diterimanya prinsip musyarakah ini di zaman Rasulullah dan tentunya dapat pula sebagai pedoman dasar beranalogi dengan perbankan. Al-Qur’an surat Shad 38 ayat 24 Artinya : “dan sesungguhnya kebanyakan orang orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan amat sedikitlah mereka ini.” Di dalam As Sunnah, Rasulullah SAW, bersabda Allah SWT, berfirman yang artinya: “aku ini ketiga dari dua orang yang berserikat, selama salah seorang mereka tidak mengkhianati temannya aku keluar dari antara mereka”. (Riwayat Abu Daud dari
45
Ibid hlm 99
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Abu Hurairah). Menurut Abu Daud Allah akan menjaga dan membantu mereka dengan memberikan tambahan pada harta dan melimpahkan berkah pada perdagangan bisnis mereka. Jika ada yang berkhianat maka berkah dan bantuan itu dicabut. 2. Jenis-jenis Musyarakah Syirkah atau musyarakah ada dua macam yaitu : a. Syirkah Amlak Syirkah amlak ialah bahwa lebih dari satu orang memiliki sesuatu jenis barang tanpa akad. 46 Adalakalanya bersifat ikhtiari atau jabari. Yang dimaksud dengan ikhtiari adalah bahwa dua orang dihibahkan atau diwariskan sesuatu, lalu mereka menerima, maka barang yang dihibahkan dan diwasiatkan menjadi milik mereka berdua. Demikian pula halnya jika mereka membeli sesuatu yang mereka bayar berdua, maka barang yang mereka beli itu disebut sebagai syirkah milik. Yang dimaksud dengan jabari adalah sesuatu yang bersetatus sebagai milik lebih dari satu orang, seperti dua orang yang mewarisi sesuatu sehingga dua orang tersebut sama-sama mempunyai hak milik atas warisan tersebut. Hukum syirkah ini bahwa partner tidak berhak bertindak dalam penggunaan milik partner lainnya tanpa izin yang bersangkutan, karena masing-masing mempunyai hak yang sama. Masing-masing seakan-akan orang asing. 47
46
Fikih Sunnah 13, alih bahasa oleh H. Kamaluddin A.Marzuki, hlm 175
47
Ibid
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
b. Syirkah ’Uqud Syirkah ’Uqud yaitu dua orang atau lebih melakukan akad untuk bergabung dalam suatu kepentingan harta dan hasilnya berupa keuntungan. 48 Macam-macam syirkah ’uqud 1. Syirkah ’Inan Syirkah ’Inan adalah persekutuan dalam urusan harta oleh dua orang, bahwa mereka akan memperdagangkan dengan keuntungan dibagi dua. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan samanya jumlah modal, demikian juga wewenang dan keuntungan. Dengan demikian dibolehkan salah satunya mengeluarkan modal lebih banyak dari yang lain. Dan boleh pula salah satu pihak sebagai penanggung jawab, sedang yang lainnya tidak. Dibolehkan dalam syirkah ini keuntungan sama, sebagaimana pula boleh berbeda, sesuai dengan kesepakatan mereka berdua. Jika ternyata usaha mereka mengalami kerugian, maka persentasenya ditinjau dari persentase modal, demikian penanggulangannya. 2. Syirkah Mufawadhah Syirkah mufawadhah adalah bergabungnya dua orang atau lebih untuk melakukan kerjasama dalam suatu urusan. Dengan ketentuan syarat-syarat sebagai berikut : a. Samanya modalnya masing-masing. Seandainya salah satu partner memiliki lebih banyak permodalan, maka syirkah tidak sah. b. Mempunyai wewenang bertindak yang sama. Maka tidak sah syirkah antara anak kecil dengan orang yang sudah baligh. c. Mempunyai agama yang sama. Syirkah muslim dengan non muslim tidak boleh. 48
Ibid hlm 176
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
d. Bahwa masing-masing menjadi penjamin lainnya atas apa yang ia beli dan ia jual. Seperti kalau mereka menjadi wakil. Tidak dibenarkan salah satu diantara mereka mempunyai wewenang lebih dari yang lainnya. 49 Jika pada keseluruhan ini terdapat kesamaan, syirkah dinyatakan sah dan jadilah masing-masing menjadi wakil partnernya dan sebagai penjamin, yang segala akad dan tindakannya akan dimintakan pertanggung jawaban oleh partner lainnya. 3. Syirkah Wujuh Syirkah Wujuh yaitu bahwa dua orang atau lebih membeli sesuatu tanpa permodalan, yang ada hanyalah berpegang kepada nama baik mereka dan kepercayaan para pedagang, terhadap mereka. Dengan catatan bahwa keuntungan untuk mereka. Syirkah ini adalah syirkah tanggung jawab tanpa kerja dan modal. Transaksi syirkah wujuh biasanya pedagang tidak akan menjual secara kredit kecuali kepada orang yang punya nama baik di masyarakat. 4. Syirkah Abdan Syirkah Abdan yaitu bahwa dua orang berpendapat untuk menerima pekerjaan, dengan ketentuan upah yang mereka terima dibagi menurut kesepakatan. Hal-hal seperti ini sering sekali terjadi terhadap tukang-tukang kayu, tukang besi, kuli angkut, tukanh jahit, tukang celup (pewarna) dan lain-lain yang tergolong kerja menjual jasa. Syirkah ini disebut juga syirkah A’mal (syirkah kerja), atau syirkah abdan (syirkah fisik), atau syirkah shana’i (syirkah para tukang), atau syirkah taqabbul (syirkah penerimaan). 49
Ibid hlm 177
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah dan Zaidiyah membolehkan syirkah jenis ini, karena tujuannya adalah menghasilkan keuntungan dan ini bisa dengan melimpahkan mandat. Masyarakat pun telah melakukannya, dan sebuah syirkah itu bisa dengan modal atau dengan kerja. Syafi’iyah, Imamiyah, dan Hanafiyah berpendapat bahwa syirkah jenis ini tidak sah, karena menurut mereka syirkah hanya terbatas pada harta dan bukan pada kerja. (perundang-undangan modren meniadakan syirkah jenis ini karena tidak didasari modal. Jadi modal syirkah tidak boleh berupa kerja masing-masing pihak semata, akan tetapi harus ada yang berbentuk materi). Karena sebuah kerja itu tidak pasti. Jadi di dalamnya terdapat unsur untung-untungan dan ketidakpastian, di mana masing-masing tidak mengetahui apakah partnernya produktif atau tidak.
E. Prinsip dan Konsep Bank Syariah Bank Syariah adalah bank yang melaksankan kegiatan usahanya berdasarkan kegiatan usahanya berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip syariah Islam. Bank umum dapat juga melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatan usahanya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran selain secara konvensional dengan membuka unit usaha syariah (UUS). Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
1. Pengertian Bank dengan Prinsip-Prinsip Syariah Bank menurut bahasa Arab berasal dari kata ”Mashrif”, yang artinya pertukaran (exchange), yaitu penjualan mata uang dengan mata uang yang lain. Kata mashrif sendiri merupakan istilah nama untuk suatu tempat. Namun demikian sama artinya dengan kata bank. 50 Menurut bahasa Eropa (Italia, bank berasal dari kata ”Banco” yang artinya bangku atau counter. Kata tersebut dipopulerkan karena segala aktifitas pertukaran uang orang-orang Italia menggunakan bangku atau counter. Meskipun demikian perkembangan perbankan agak tersendat bahkan sampai zaman Eropean Renalissance. Bank pertama yang sudah berdiri di Italia pada waktu itu adalah kota Venice tahun 1157, kemudian bank yang secara resmi menggunakan deposito adalah di Barcelona 1401. 51 Sebelum masa kenabian Nabi Muhammad SAW, kota Mekah merupakan kota pusat perdagangan dan para pedagang berdatangan dari segala penjuru bahkan dari kota Mekah. Perjalan para saudagar menuju pasar Mekah dilakukan sekaligus ibadah haji (waktu itu masih menyembah berhala) sebagaimana yang digambarkan oleh Allah sebagai perjalanan kaum Quraiys yang aktif berdagang sesuai musim waktu itu, yaitu musim panas dan musim dingin. Karena sifat Muhammad yang jujur, adil dan dapat dipercaya, para penduduk Mekah (kaum Quraisy dan para pedagang) sepakat untuk memberikan penghargaan kepada Muhammad dengan predikat Al-Amin. Pemberian gelar ini belum pernah dialami oleh orang lain, sehingga Muhammad lah orang pertama dan terakhir mendapat gelar Al-Amin. Karena gelar yang diberikan Al-Amin, maka banyak orang menitipkan hartanya yang berharga kepada Nabi Muhammad SAW, dan beliau
50
A. Riawan Amin, Bank Syariah Sebagai Solusi Yang Berkeadilan dan Berkerakyatan, 2003 http://www.dilibrary.net/images/topics/Makalah-Riawan Amin.peraturanbanksyariah 51
Ibid
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
menunjuk Ali untuk mengembalikan seluruh harta yang diterimanya kepada pemilik masing-masing. 52 Dari uraian diatas maka secara tidak langsung menunjukan bahwa penduduk Mekkah (pra Islam) telah mengetahui metode penggunaan harta (uang), yaitu pertama menyerahkan harta kepada orang untuk diniagakan (commendan) dan menetapakan pembagian keuntungan dari hasil peniagaan tersebut. Kedua, memberikan harta tersebut dengan dasar riba (usury). Kemudian setelah Islam datang, maka segala prinsip-prinsip yang berlaku pada saat itu dan bertentangan dengan syariah diubah, dan semenjak itulah para sahabat mulai mengerti pentingnya aturan tersebut. Salah satu contoh adalah AzZubair bin al Awwam, yaitu beliau adalah salah seorang yang dipercaya Rasul sebagai tempat penyimpanan uang, namun Zubair menolak menerima uang simpanan tersebut. Zubair mensyaratkan bahwa dirinya mau menerima uang simpanan apabila uang tersebut bisa digunakan olehnya (diterima sebagai pemberian pembiayaan) bukan hanya sekedar tempat penyimpanan. Kemudian Zubair juga memberikan secure guarantee kepada setiap pemilik modal bahwa uang tersebut akan aman apabila digunakan, begitu pula halnya apabila uang tersebut dijadikan sebagai modal pembiayaan maka dana tersebut dijamin oleh sipeminjam (bukanoleh Zubair). 53 Bank merupakan salah satu lembaga keuangan tempat masyarakat menyimpan dananya yang semata-mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa uangnya akan dapat diperoleh kembali pada waktunya disertai imbalan baik berupa bunga pada bank konvensional ataupun margin keuntungan atau bagi keuntungan dalam bank syariah. Jadi keberadaan suatu bank sangat tergantung kepada kepercayaan masyarakat, semakin tinggi kepercayaan masyarakat maka semakin banyak pula masyarakat yang menyimpan uangnya pada bank tersebut.
52 53
Ibid Ibid
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Ada beberapa hal yang perlu disempurnakan dalam upaya menjadikan bank syariah sebagai perbankan yang mendapat kepercayaan dan keyakinan masyarakat serta terpisah dari bank konvensional antara lain mengenai : a. Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian. b. Stndar akuntansi, audit dan pelaporan. c. Instrumen yang diperlukan untuk pengelolaan likuiditas. d. Instrumen moneter yang sesuai dengan prinsip syariah untuk keperluan pelaksanaan tugas bank sentral, dan lain sebagainya. e. Memberikan kepercayaan kepada perguruan tinggi yang berkompetensi syariah, Universitas Islam Negeri atau Intitut Agama Islam Negeri misalnya. 54
Hal-hal tersebut di atas diperlukan agar bank syariah dapat dipercaya dan menjadi elemen dari sistem moneter yang dapat menjalankan fungsinya secara baik dan mampu berkembang serta bersaing dengan bank konvensional. Dalam perkembangan akhir-akhir ini istilah bank dimaksudkan sebagai suatu jenis usaha finansial yang melaksanakan dan memberikan jasa-jasa keuangan yang bermacam-macam bentuknya seperti tabungan, memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang, sebagai tempat penyimpanan untuk benda-benda berharga dan lain sebagainya. Bank syariah juga merupakan suatu jenis usaha finansial yang mempunyai jasa keuangan yang beragam bentuknya sama dengan bank konvensional namun bedanya semua kegiatan usahanya didasari oleh prinsip syariah. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah antara lain adalah, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual 54
Rachmat Syafe’I, Tinjauan Yuridis terhadap Perbankan Syariah, http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0305/21/0802.htm
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). 55 Ada juga yang mengartikan bank sebagai suatu institusi yang mempunyai peran sangat besar dalam dunia komersil yang mempunyai wewenang menerima deposito, memberikan pinjaman namun secara orosinil fungsi bank adalah hanya menerima deposito berupa uang logam, plate, emas dan lain-lain. 2. Kegiatan Usaha Bank Syariah Kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah dapat juga dilakukan oleh bank umum sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia seperti menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah. Meneurut ketentuan Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 Bab V tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, merincikan bentuk-bentuk kegiatan usahanya antara lain : Pasal 36 Bank wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi : a. Melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi antara lain: 1). giro berdasarkan prinsip wadi’ah. 2). Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah dan/atau mudharabah; atau 3). Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah.
55
Pasal 1 ayat (13) Undang-undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
b. Melakukan penyaluran dana meliputi : 1) prinsip jual beli berdasarkan aqad antara lain : a). murabahah. b). istishna. c). salam. 2) prinsip bagi hasil berdasarkan aqad antara lain : a). mudharabah. b). musyarakah. 3) prinsip sewa menyewa berdasarkan aqad antara lain : a). ijarah. b) ijarah muntahiya bittamlik. 4) Prinsip meminjam berdasarkan aqad qardh; c. melakukan pemberian jasa pelayanan perbankan berdasarkan aqad antara lain: 1). Wakalah. 2). Hawalah. 3). Kafalah. 4). rahn. d. Membeli, menjual, dan/atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying transaction) berdasarkan prinsip syariah. e. Membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh Pemerintah dan/atau Bank Indonesia. f. Menerbitkan surat berharga berdasarkan prinsip syariah. g. Memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah berdasarkan prinsip syariah. h. Menerima pembayaran tagihan atau surat berharga yang diterbitkan dan melakukan penghitungan dengan atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip syariah.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
i. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga berdasarkan prinsip wadi’ah yad amanah. j. Melakukan kegiatan penitipan termasuk penata usahaannya untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah. k. Memberikan fasilitas letter of credit (L/C) berdasarkan prinsip syariah. l. Memberikan fasilitas garansi berdasarkan prinsip syariah. m. Melakukan kegiatan usaha kartu debet, charge card berdasarkan prinsip syariah. n. Melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan aqa wakalah. o. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan bank sepenjang disetujui oleh Bank Indonesia dengan mendapatkan fatwa Dewan Syariah Nasional. Pasal 37 (1) selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud diatas Bank dapat pula : a. melakukan kegiatan dalam valuta asing berdasarkan aqad sharf. b. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank atau perusahaan lain dibidang keuangan berdasarkan prinsip syariah seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan. c. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
d. Bank syariah dalam melakukan fungsi sosial dapat bertindak sebagai penerima dana sosial antara lain dalam bentuk zakat, infaq, shadaqah, waqaf, hibah, dan menyalurkannya sesuai syariah atas nama Bank atau lembaga amil zakat yang ditujuk oleh pemerintah. Semua kegiatan usaha bank syariah diatas tentunya sudah mendapat persetujuan Dewan Syariah Nasional (DSN) ataupun Dwan Pengawas Syariah (DPS) di masing-masing kantor pusat bank syariah tersebut.
F. Dasar Hukum dan Landasan Bank Syariah di Indonesia Hukum yang mengatur masalah perbankan disebut dengan hukum perbankan (banking law) yaitu merupakan seperangkat kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, doktrin dan sumber hukum lainnya. Keseluruhannya mengatur masalah perbankan sebagai lembaga dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank, perilaku petugas-petugasnya, hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab para pihak yang bersangkutan dengan bisnis perbankan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank, eksisitensi perbankan dan lain-lain yang berkenaan dengan dunia perbankan tersebut. 56 Di Indonesia saat ini Undang-undang yang mengatur tentang perbankan secara keseluruhan termasuk bank konvensional dan bank dengan prinsip syariah adalah Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan.
56
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm 14.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Undang-undang No. 10 tahun 1998 mengubah dan mengganti atau menambah beberapa pasal dari Undang-undang No.7 tahun 1992, sehingga yang berlaku sekarang adalah Undang-undang yang lama yaitu terhadap pasal-pasalnya yang belum diubah maupun undang-undang yang baru. Untuk bank syariah sendiri tidak hanya ketentuan perundangan saja yang mengaturnya tetapi juga ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam bermuamalah sesuai syariah Islam. 1. Ketentuan Perundang-Undangan Tentang Bank Syariah di Indonesia. Sejak diberlakukannya Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, maka keberadaan bank syariah telah diakui dan dikenal dalam sistem perbankan di Indonesia. Undang-undang No. 7 Tahun 1992 ini merupakan pintu gerbang dimulainya perbankan syariah di Indonesia. Tahun 1998 dengan diberlakukannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk Peraturan maupun Surat Edaran Gubernur Bank Indonesia baru dianggap peraturan perundangan tersebut telah memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Perundang-undangan tersebut memberikan kesempatan yang lebih luas untuk pengembangan jaringan perbankan syariah antara lain melalui izin pembukaan kantor cabang syariah oleh bank umum atau bank konvensional.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Selain itu Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia juga menjadi landasan hukum positif bank syariah di Indonesia dengan adanya perintah dalam ketentuan Undang-undang tersebut untuk menugaskan Bank Indonesia mempersiapkan
perangkat
peraturan
dan
fasilitas-fasilitas
penunjang
yang
mendukung operasional bank syariah. Menurut Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undangundang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya pada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Bahwa bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah telah diatur dalam Undang-undang perbankan No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang mengakui eksistensinya. Oleh karena itu, Undang-undang ini memberi kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk memberi kesempatan kepada bank umum untuk membuka cabangnya yang khusus melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah. 57
57
Penjelasan Umum Undang-undang No. 10 tahun 1998
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Ketentuan
lain
terdapat
dalam
Peraturan
Bank
Indonesia
Nomor
6/24/PIB/2004. Dimana dalam pasal 36 Peraturan Bank Indonesia menerangkan bahwa bank wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi antara lain penyaluran dana melalui prinsip jual beli berdasarkan aqad antara lain murabahah. Undang-undang yang telah ada sesungguhnya dasar hukum bagi penerapan dual banking system. Dual banking system yang dimaksud adalah terselenggaranya dua sistem perbankan (konvensional dan syariah secara berdampingan) yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga yang terjadi adalah bank syariah tidak berdiri sendiri (mandiri) dalam operasionalisasinya dimana masih menginduk kepada bank konvensional. 58 Bila demikian adanya perbankan syariah hanya menjadi salah satu bagian dari program pengembangan bank konvensional, padahal yang dikehendaki adalah bank syariah yang betul-betul mandiri dengan berbagai perangkatnya sebagai bagian perbankan yang diakui secara nasional. Dengan demikian perlu ada pengembanganpengembangan dual banking system sebagaimana disebutkan pada kutipan diatas. Ada beberapa pertimbangan dikembangkannya ketentuan hukum positif tentang bank syariah di Indonesia sebagaimana yang diinginkan oleh umat Islam di Indonesia yang didasarkan atas berbagai pertimbangan antara lain: 1) Perbankan syariah ditujukan untuk masyarakat yang belum memperoleh pelayanan jasa perbankan karena sistem perbankan konvensional dipandang tidak sesuai dengan prinsip syariah yang diyakini. 2) Krisis perbankan sejak tahun 1998 membuktikan bahwa bank syariah dapat bertahan. Keadaan ini karena karakteristik kegiatan usaha bank syariah yang melarang bunga bank (riba) dan menggunakan nisbah bagi hasil sebagai pengganti (profit/loss sharing contract), serta melarang transaksi keuangan yang bersifat spekulasi (al-gharar).
58
Rachmat Syafe’I, Tinjauan Yuridis terhadap Perbankan Syariah, Op. Cit
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
3) Keberadaan dua sistem perbankan (dual banking system), dengan demikian , pengembangan ketentuan perbankan syariah diharapkan dapat meningkatkan ketahanan sistem perbankan nasional di masa mendatang. 4) Perbankan syariah memiliki karakteristik dibandingkan dengan sistem perbankan konvensional. Moralitas menjadi faktor penting dalam bank syariah. Pembiayaan sistem bagi hasil menciptakan pola hubungan kemitraan (mutual investor relationship) bukan pola hubungan debitur-kreditur yang antagonis. 5) Pengembangan bank syariah diharapak dapat meningkatkan kualitas sistem perbankan yaitu dengan adanya kompetisi yang sehat. 6) Bank syariah yang sehat dapat mendorong aliran modal asing masuk khususnya dari lembaga yang mempersyaratkan pola transaksi dengan prinsip syariah. 7) Kegiatan pembiayaan bank syariah didasarkan investasi riil dan participation system. Dengan prinsip pelarangan kegiatan spekulasi dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi semu (buble economic), yang dapat mengatasi problem inflasi. Dualisme system yang dianut dipandang belum memenuhi harapan. Ini berimplikasi pada tingkat kepercayaan masyarakat dalam hal menggunakan produk-produk bank syariah. Faktor kepercayaan dan keyakinan inilah sesungguhnya yang menjadi penentu bagi keberlangsungan bank syariah. Kompilasi Hukum Muamalat dan Undang-undang lainnya, harus semata-mata ditunjukan sebagai hal yang bukan tidak mungkin dan malah harus dilihat sebagai implementasi dari adanya jaminan serta tidak adanya pertentangan dengan hukum positif perdata yang kita anut sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menganut ”asas kebebasan berkontrak,” dan ini berarti bahwa setiap individu dari setiap anggota masyarakat bebas melakukan ikatan dan perjanjian sesuai kehendak, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat yang lebih banyak. Bahkan pasal tersebut menjamin pula bahwa, ”perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang” yang mengikat bagi mereka yang membuat dan menyepakatinya.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Kebebasan untuk memilih termasuk ”kebebasan untuk berkontarak” bagi setiap individu hak paling asasi merupakan bagian dan pengertian yang lebih luas dari defenisi ”ibadah mu’amalah,” maka dalam hubungan dengan negara, juga mendapat jaminan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 29 yakni, ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dengan demikian jaminan UUD 1945 ini harus dipandang sebagai adanya kebebasan bagi kaum muslimin untuk melakukan aktivitas keperdataan sesuai dengan konsep syariah Islam sebagai keyakinan yang dianutnya. 2. Landasan Syariah Islam Tentang Perbankan Bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah adalah bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan AlQur’an dan Hadist khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam yang berisi kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan. Tata cara beroperasinya mengikuti suruhan dan menjauhi larangan yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadist. Adapun beberapa landasan syariah yang merupakan suruhan dan larangan AlQur’an dan Hadist dalam tata cara bermuamalat antara lain adalah : Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 Artinya : Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Al-Qur’an surat Al-Imran ayat 130 Artinya
: Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertawakallah kamu kepada Allah supaya kamu dapat keberuntungan. Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 161 Artinya : Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih. Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 29 Artinya : Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesama mu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada mu. Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 58 Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengganjaran sebaik-baiknya kepada mu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Hadist Riwayat Ibnu Majah ”Dari Suhaib Ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda : 3 perkara di dalamnya terdapat keberkatan (1) menjual dengan pembayaran secara kredit. (2) muqaradh (nama lain dari mudharabah) (3) mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga dan bukan untuk di jual.” 59 Untuk menjamin operasi bank Islam tidak menyimpang dari tuntunan syariah, maka setiap bank Islam hanya diangkat manager dan pimpinan bank yang sedikit banyak menguasai prinsip muamalat Islam. ”Selain dari pada itu di bank ini dibentuk Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dari sudut syariahnya.” 60 Adapun dasar hukum musyarakah secara khusus tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an dan Hadist, namun musyarakah dan murabahah tidak dilarang oleh Nabi Muhammad SAW.
59
Karnaen Perwataatmadja, Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Dana Bhakti Prima, Yogyakarta 1992, hlm 19 60
Ibid hlm 2
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
BAB III PERBEDAAN ANTARA PERJANJIAN MUSYARAKAH YANG ADA DI BANK SYARIAH DENGAN PERJANJIAN PERKONGSIAN DI BANK KONVENSIONAL A. Selayang Pandang Bank Sumut Syariah, sejarah, Kegiatan Usaha dan Prinsip Operasional Bank SUMUT yang sebelumnya dikenal dengan Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (BPDSU) yang didirikan pada tanggal 4 Nopember 1961. Setelah badan hukumnya menjadi Usaha Milik Negara pada tahun 1965, Bank Sumut ini kembali diubah badan hukumnya menjadi Perseroan Terbatas (PT) pada tanggal 16 April 1999. Sebagai bank membuka visi untuk menjadi bank andalan bagi membantu dan mendorong pertumbuhan perekonomian dan pembangunan daerah desegala bidang serta sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat, Bank Sumut senantiasa berusaha untuk mengikuti perkembangan yang ada, termasuk rencananya untuk mendirikan unit usha Syariah. Gagasan dan wawasan untuk mendirikan unit usaha syariah sebenarnya telah berkembang cukup lama dikalangan stakeholder Bank Sumut khususnya direksi dan komisaris, yaitu sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 yang memberikan kesempatan bagi Bank Konvensional untuk mendirikan unit usaha syariah. Hal ini di dasarkan pada kultur masyarakat Sumatera Utara yang religius, khususnya umat Islam yang semakin sadar akan pentingnya menjalankan ajarannya dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam bidang ekonomi.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Komitmen untuk mendirikan usaha syariah semakin menguat seiring dikeluarkannya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa bunga adalah haram. Tentunya fatwa ini mendorong keinginan masyarakat muslim untuk mendapatkan layanan jasa-jasa perbankan berdasarkan prinsip-prinsp syariah. Dengan demikian, komitmen pendirian unit usaha syariah tersebut sangat sejalan dengan permintaan pasar dan sekaligus mempercepat pencapaian visi Bank Sumut untuk mendorong partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam pembangunan ekonomi. Bentuk logo menggambarkan dua elemen dalam bentuk hutuf ”U” yang saling berkaitan bersinergi membentuk huruf ”S” yang merupakan kata awal ”SUMUT”. Sebuah penggambaran bentuk kerjasama yang sangat erat antara Bank Sumut dengan masyarakat Sumatera Utara sebagaimana visi Bank Sumut ”Menjadi bank andalan bagi membantu dan mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah disegala bidang serta sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat”. Warna orange sebagai simbol atau hasrat untuk terus maju yang dilakukan dengan energik yang dipadu dengan warna bitu yang seportif dan profesional. Sebagai misi Bank Sumut ”Mengelola dana pemerintah dan masyarakat secara profesional yang didasarkan pada prinsip-prinsip compliance”. Warna putih sebagai ungkapan ketulusan hati untuk melayani sebagaimana statemen Bank Sumut ”Memberikan Pelayanan Terbaik”.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Jenis huruf ”Palatino Bold” sederhana dan mudah dibaca. Penulisan Bank dengan huruf kecil dan Sumut dengan huruf kapital guna lebih mengedepankan Sumatera Utara sebagai gambaran keinginan dan dukungan untuk membangun dan membesarkan Sumatera Utara. Adapun visi Bank Sumut adalah menjadi Bank andalan bagi membantu dan mendorong pertumbuhan perekonomian dan pembangunan daerah disegala bidang serta sebagai salah satu sumber pendpatan daerah dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Adapun misi Bank Sumut adalah mengelola dana pemerintah dan masyarakat secara profesional yang didasarkan pada prinsip-prinsip complianse. 1. Prinsip Operasional Bank Sumut Syariah Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah. Bank Sumut Syariah dalam operasionalnya menganut prinsip-prinsip sebagai berikut : a. Prinsip keadilan, prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengembalian margin keuntungan yang disepakati bersama antara Bank dan Nasabah. b. Prinsip Kemitraan, Bank Syariah menempatkan nasabah penyimpanan dana, nasabah pengguna dana, maupun Bank pada kedudukannya yang sama dan sederajat dengan mitra usaha. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban, resiko
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
dan keuntungan yang berimbang di antara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana maupun Bank. Dalam hal ini bank berfungsi sebagai intermediary institution lewat skim-skim pembiayaan yang dimilikinya. c. Prinsip Keterbukaan, melalui laporan keuangan bank yang terbuka secara berkesinambungan, nasabah dapat mengetahui tingkat keamanan dana dan kualitas manajemen bank. d. Universalitas, bank dalam mendukung operasionalnya tidak membedabedakan suku, agama, ras dan golongan agama dalam masyarakat dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil’alamin. 2. Mengenal Produk Pembiayaan Bank Sumut Syarih Bank Sumut Syariah menjalankan berbagai macam aktivitas yang umum dan biasanya dilakukan oleh setiap usaha dibidang perbankan. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan berpedoman kepada prinsip-prinsip syariah, maka sisitem operasional PT. Bank Sumut mempunyai konsep dasar sebagai berikut : 1. Sistem simpanan murni 2. Sistem bagi hasil 3. Siistem jual beli dengan margin keuntungan yang telah disepakati 4. Sistem sewa Adapun kegiatan atau operasional Bank Sumut Syariah adalah sebagai berikut 1. Penghimpunan dana masyarakat Kegiatan penghimpunan dana masyarakat yang dilakukan Bank Sumut Syariah adalah :
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
a. Produk simpanan giro wadi’ah, antara lain : tabungan marwah (martabe wadi’ah) dan giro wadi’ah b. Produk Mudharabah, antara lain : tabungan marhamah dan deposito ibadah. Tabungan marwah dan giro wadi’ah merupakan tabungan yang diterima oleh Bank Sumut Syariah yang dikelolah dengan prinsip wadi’ah yad-dhamanah dimna Bank sebagai pengelola dana titipan nasabah. Keuntungan atas pengelolaan dana nasabah menjadi hak bank dan bila ada kerugian menjadi tanggung jawab Bank. Bank tidak memberikan bagi hasil atas dana titpan. Dapat menjadikan agunan pembiayaan. Sedangkan tabungan marhamah dan deposito ibadah merupakan tabungan yang diterima oleh Bank Sumut Syariah yang dikelola dengan prinsip mudharabah mutlaqah yaitu nasabah sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan Bank sebagai pengelola dana (mudharib). Bank tanpa batasan dapat mengelola dana disektor usaha yang produktif tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Pemilik dana mendapat bagi hasil yang diberikan setiap bulan dan dibukukan secara otomatis ke buku tabungan. Dapat dijadikan agunan sebagai jaminan pembiayaan. 3. Penyaluran dana kepada masyarakat Jenis-jenis pembiayaan atau bentuk fasilitas yang diberikan oleh Bank Sumut Syariah Medan adalah : a. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang Murabahah (pembiayaan modal kerja). Merupakan akad jual beli dimana harga jualnya terdiri dari harga pokok barang ditambah nilai keuntungan yang disepakati.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
b. Transaksi bagi hasil Mudharabah (pembiayaan modal usaha). Produk Mudharabah yang ditawarkan Bank SUMUT Syariah ialah Mudharabah SPK (Surat Perintah Kerja) adalah akad kerja sama dimana pihak bank sebagai pemilik dana (Shahibul Maal) dan nasabah sebagai pengelola dana (Mudharib). a). Ijarah yaitu akad pemindahan hak guna atau manfaat atas barang atau jasa melalui upah sewa tanpa diikuti pemindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri. b). Gadai Emas Syariah yaitu menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas peminjaman yang diterimanya. c). Qaradh yaitu pemberian harta kepada pihak lain yang dapat ditagih atau diminta kembali dengan kata lain meminjankan tanpa mengharap imbalan. Kedua kegiatan diatas adalah fungsi dari perbankan sebagai lembaga intermediasi yaitu penghimpunan dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat. 4. Jasa-jasa Bank Sumut Syariah Pelayanan jasa-jasa Bank Sumut Syariah merupakan perwujudan dari komitmen Bank Sumut Syariah untuk memberikan pelayanan terbaik dalam memenuhi kebutuhan nasabah akan jasa perbankan. Jasa-jasa Bank Sumut Syariah adalah :
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
1. Kiriman Uang (Transfer) Fasilitas BI-RTGS untuk melayani nasabah akan jasa transfer keseluruh Bank di nusantara secara tepat dan aman. 2. Inkaso (Jasa Tagihan) Fasilitas yang diberikan kepada nasabah atas kepastian dan pengurusan penagihan warkat-warkat yang berasal dari kota lain secara cepat dan aman. 3. Bank Garansi Fasilitas yang disediakan oleh Bank kepada nasabah yang membutuhkan peminjam untuk mitra kerja dalam rangka bisnis. 61 Pelayanan jasa-jasa Bank Sumut mempermudah nasabah dalam melakukan aktivitas perbankannya. Bank Sumut berusaha memberikan inovasi-inovasi baru dalam pelayanan nasabah untuk meningkatkan Performance serta memperoleh simpati yang semakin meningkat dari masyarakat, karena Bank Sumut juga bersaing sehat dengan Bank lain dalam memperoleh nasabah. Hal ini didorong oleh komitmen Bank Sumut untuk mewujudkan visi dan misinya.
B. Perjanjian Musyarakah yang ada di Bank Syariah Dalam Perbankan Islam yang dipakai adalah jenis musyarakah ’inan. Makna musyarakah ’inan adalah persekutuan (kerjasama) yang dilakukan oleh dua orang/lembaga atau lebih yang bisa memanfaatkan harta dengan cara mengumpulkan sejumlah harta tertentu dengan pembagian nisbah yang jelas dan diketahui atau saham-saham dalam jumlah tertentu. Kerjasama ini dilakukan untuk perkembangan suatu usaha secara bersama-sama. Keuntungan dari usaha tersebut dibagi berdasarkan besar saham yang ditanam. Begitu pula bila terjadi kerugian.
61
Dokumentasi PT.Bank Sumut Cabang Syariah Medan
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Musyarakah dapat digunakan untuk membiayai proyek atau usaha-usaha yang bersifat kerjasama. Seperti penyediaan modal kerja dan investasi, atau membiayai transaksi ekspor dan impor (jual beli), usaha patungan dalam franchise (waralaba), kerjasama dalam pola kemitraan dan sebagainya. Dana musyarakah bisa berupa uang tunai (cash) atau bisa juga berupa harta benda yang marketable seperti trading asset, property, equipment atau dapat dinilai dengan uang tunai dengan uang, seperti emas, perak, dan intangible asset (seperti hak paten dan goodwill). Semua modal tadi dicampur dan menjadi hak proyek usaha dan bukan milik perseorangan pemilik modal. Pencampuran modal tersebut dan bentuk usaha yang akan dijalankan harus tertulis secara notaril. Dana musyarakah tidak boleh diperlakukan untuk memberi pinjaman kepada pihak lain. Untuk menjalankan proyek musyarakah para pengurus boleh berasal dari pemilik modal sendiri atau beberapa orang diluar mereka (bukan pemilik modal) asalkan para pengurus tersebut menghadapi izin resmi dari seluruh pemilik modal. Biaya aktual dan usaha proyek harus dituangkan dalam aqad dan disetujui bersama, kemudian usaha atau proyek selesai (menghasilkan) juga harus diketahui bersama. Karena bank berpredikat sebagai Shahibul Maal maka memiliki hak untuk turut serta (investasi) dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Para pengurus proyek harus melaporkan perkembangan usahanya kepada pemilik modal. Jika rabbul maal/pemilik modal sepakat untuk menunjuk pihak ketiga sebagai pelaksana (wakil) proyek tersebut, maka ada dua perjanjian yang berlaku yaitu pertama perjanjian musyarakah antara pemilik modal dan kedua perjanjian
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
mudharabah/murabahah yaitu antara pemilik modal dengan wakil (pelaksana proyek). Penunjukan adanya pihak ketiga didasarkan pada surat Al Kahfi (18 : 19) Artinya : ” Maka suruhlah seorang diantara kamu pergi kekota dengan membawa uang perakmu ini..” Distribusi keuntungan dibagikan sesuai porsi kontribusi modal yang telah disepakati, begitu pula distribusi kerugiannya. Salah satu pihak tidak berhak merubah (termasuk mengurangi atau menambahkan) nisbah bagi hasil tanpa adanya kesepakatan bersama. Apabila terjadi perubahan kontribusi modal/dana maka pembagian juga berubah dengan ketentuan porsi nisbah. Berakhirnya akad musyarakah apabila salah satu pihak mengundurkan diri, maka usaha/proyek yang sudah disepakati sebelumnya tidak langsung secara otomatis putus. Salah satu pihak meninggal dunia, salah satu pihak kehilangan kecakapannya bertindak hukum. Modal perserikatan tersebut hilang, atau usaha tersebut hancur total. 1. Pengakuan porsi bank pada modal musyarakah di awal akad Modal
musyarakah
(kas
atau
sejenisnya)
diakui
pada
saat
penyetoran/pembayaran kepada mitra atau seketika disetorkan kepadanya atas rekening musyarakah. Porsi modal bank dinilai berdasarkan sejumlah yang telah dikeluarkan atau disetor kepada nasabah. Apabila bank menyediakan porsinya dalam modal musyarakah berbentuk kas (barang dagangan atau harta bukan berupa uang) maka akan dinilai sebesar nilai wajarnya (nilai yang disetujui antar mitra) dan jika penilaian
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
atas barang menghasilkan perbedaan antara nilai wajar dan nilai buku, maka perbedaan ini akan dibuktikan sebagai kerugian atau pendapatan. Biaya yang timbul akibat aqad musyarakah dibebankan kepada salah satu pihak atau kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan bersama dan bukan merupakan bagian dari modal musyarakah kecuali ada persetujuan kedua belah pihak. 2. Penilaian atas porsi bank pada musyarakah setelah kontrak berakhir pada suatu periode laporan. Porsi bank dalam modal musyarakah yang konstan akan dinilai pada akhir tahun buku sebesar harga perolehannya (sebesar jumlah yang dibayarkan atau sebesar hasil penilaian harta pada saat akad). Porsi bank dalam musyarakah yang menurun akan dinilai pada akhir periode pembukuan sebesar harga perolehan setelah dikurangi porsi harga perolehan yang telah dipindahkan (dijual) kepada mitra. Selisih yang terjadi antara harga perolehan dan nilai wajarkan dibukukan sebagai keuntungan atau kerugian didalam rugi laba. Jika musyarakah yang menurun dilikuidasi sebelum seluruhnya dipindahkan ke mitra yang bersangkutan, jumlah yang diperoleh atas porsi bank akan mengurangi pembiayaan musyarakah dan hasilnya dibukukan kedalam keuntungan atau kerugian. Jika musyarakah dihentikan dan porsi hak bank atas modal musyarakah (mendapatkan untung atau rugi) adalah sisa yang belum dibayar pada saat penyelesaian maka porsi bank tersebut diakui sebagai piutang kepada mitranya.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
3. Pengakuan porsi bank dalam keuntungan atau kerugian Musyarakah Keuntungan atau kerugian untuk porsi bank pada transaksi pembiayaan musyarakah yang timbul dan berakhir selama periode pembukuan harus diakui pada saat penyelesaian/likuidasi. Pada kasus musyarakah konstan berkelanjutan yang lebih dari satu periode pembukuan, maka posi bank atas keuntungan untuk setiap periode, dan hasil penyelesaian sebagian atau seluruhnya antara bank dan mitra akan diakui pada saat periode dimana keuntungan itu dibagikan, porsi bank atas kerugian dan beberapa periode akad diakui pada periode dimana kerugian dari porsi modal musyarakah. Dapat juga diterapkan untuk musyarakah yang menurun berkelanjutan yang lebih dari satu periode pembukuan, setelah mempertimbangkan mengurangnya porsi bank dalam modal musyarakah dan keuntungan atau kerugian. Bilamana mitranya tidak dapat membayarkan porsi bank atas keuntungan setelah dilikuidasi atau penyelesaian dilakukan, maka posisi bank atas keuntungan diakui sebagai piutang kepada mitra. Bilamana kerugian timbul karena kecurangan atau kelalaian mitra, maka mitra akan menanggung porsi kerugian yang dialami 4. Prinsip Syariah Dalam Operasional Perbankan Islam Perbankan yang merupakan salah satu institusi yang sangat dibutuhkan dan pendukung dalam sitem perekonomian suatu bangsa. Keberadaan perbankan sangat menetukan iklim ekonomi suatu bangsa, karena bank adalah mempertemukan anatara pemilik modal dengan pengguna modal, sehingga pembangunan di berbagai bidang, terutama dalam dunia usaha dapat berkembang dunia usaha, yang diperoleh dari
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
perbankan tersebut. Karena sebagaimana menurut undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 1 angka 2 menyatakan : ”Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Sedangkan kegiatan bank yang dalam angka 2 disebutkan dengan perbankan, memberikan defenisi adalah : ”Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya”. Dengan demikian bank dalam operasionalnya dalam menghimpun dana masyarakat baik yang berbentuk simpanan maupun menyalurkan, terkait dengan seluruh kegiatan dalam bank tersebut, untuk itu sebagai institusi, bank dalam operasionalnya mengelolah dana atau modal masyarakat sangat terkait dengan ilmu ekonomi yaitu berkaitan dengan manajemen, marketing, profil personalia, serta pelayanan dalam transaksi perbankan (service delivery), keuangan yang berkaitan dengan produk-produk yang ditawarkan dan penempatan dana, akunting yaitu pencatatan dana dalam bertransaksi dalam bank, dan hukum yaitu yang berkaitan dengan seluruh yang memberikan kepastian hukum dan kegiatan perbankan, seperti perjanjian-perjanjian dan aturan hukum dalam berkaitan ekonomi, keuangan dan akunting. 62 Islam sebagai agama rahmatallilalamin, menawarkan suatu sistem perbankan yang berdasarkan syariah. Konsep ini merupakan bagian dari konsep yang lebih komprehensif dalam sisitem ekonomi Islam dan sistem nilai dan etika Islam kedalam lingkungan ekonomi. Karena prinsip-prinsip etika inilah, maka sistem keuangan dan
62
American Institute of Banking, Dasar-Dasar Operasional Bank, (penerkemah : Hasymi Ali), Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hlm 1.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
perbankan Islam bagi kebanyakan muslim bukan sekedar sistem transaksi komersial semata. Pandangan Islam dalam bertransaksi sesuai dengan syariah tersebut itu dipandang sebagai kewajiban agama. Kemampuan lembaga keuangan Islam menarik investor dengan suskses bukan hanya tergantung pada kemampuan lembaga itu menghasilkan keuntungan, tetapi juga pada persepsi bahwa lembaga tersebut secara sungguh-sungguh memperhatikan aturan-aturan agama yang telah digariskan oleh Allah. 63 Berbeda dengan sistem kapitalisme dan sosialisme, dalam ekonomi Islam nilai-nilai instrumental yang strategis dan sangat berpengaruh pada tingkah laku ekonomi manusia dan masyarakat, karena dalam instrumental pembangunan ekonomi Islam memurut Yusuf Qardawi,
64
dalam bukunya ”Norma dan Etika Ekonomi
Islam” akan menemukan empat prinsip filosofis utama yang saling terkait yaitu ketuhanan, etika, kemanusiaan, dan sikap pertengahan. Sebagaimana juga diungkapkan oleh Muhammad Syafi’i Antonio, 65 dalam kumpulan tulisan ”Ekonomi dan Bank Syariah Pada Millenium Ketiga” mengemukakan penerapan nilai-nilai religius dan etika dalam sektor bisnis yang mutlak harus dijadikan landasan pemikiran tersebut pada empat dasar filosofis utama yang saling berkaitan yaitu :
63
Zainul Arifin, Mekanisme Kerja Perbankan Islam dan Permasalahannya, Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Volume 2, 2000, hlm 44. 64 Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Alih Bahasa oleh Zainal Arifin dan Dahlia Husin), Gema Insani Press, Jakarta, 1997, hlm 29 65 Muhammad Syafi’i Antonio, Prinsip dan Etika Bisnis Dalam Islam, (Editor : Azhari Akmal Tarigan, Gema Insani, Jakarta, 2000, hlm 190-195
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
1. Tauhid Bahwa dalam kehidupan ekonomi Islam tersebut tidak terlepas, bersandarkan dan berdasarkan terhadap keyakinan kepada Allah, bahwa semua apa yang kita peroleh di dunia ini, hanya semata-mata rezki dari Allah dan hanya sebagai penitipan atas kepercayaan semata dan akan kembali kepada Allah, karena pada hakekatnya adalah milik Allah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Mulk : 15 Yang artinya : ”Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah disegalah penjuruhnya dan makanlah sebahagian di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. Surat Ibrahim : 32 Yang artinya : ”Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak_nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagi mu sungai-sungai”. Dari ayat tersebut menunjukkan bahwa keyakinan dengan mentahuidkan Allah merupakan dasar keseluruhan tatanan kehidupan dalam Islam, termasuk dalam tatanan ekonomi, yang tidak terlepas dari keyakinan kepada Allah, kerena tatanan dalam Islam merupakan bagian keyakinan atau akidah dan tugas tatanan adalah melindungi akidah agar tidak menyimpang apa yang jadi tatanan sebagai seorang muslim. 66
66
Yusuf Qardhowi, Op.Cit, hlm 35
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Dari ayat tersebut menunjukkan bahwa keyakinan dengan mentahuidkan Allah merupakan dasar keseluruhan tatanan kehidupan dalam Islam, termasuk dalam tatanan ekonomi, yang tidak terlepas dari keyakinan kepada Allah, karena tatanan dalam Islam merupakan bagian keyakinan atau akidah dan tugas tatanan adalah melindungi akidah agar tidak menyimpang apa yang ajdi tatanan sebagai seorang muslim. 67 2. Keadilan dan Keseimbangan Keadilan dan keseimbangan adalah prinsip yang paling sangat mendasar atau akar dari prinsip, dan perintah adil tersebut berlaku untuk segala sendi kehidupan, sebagaimana firman Allah dalam surat An Nahl : 90 Yang artinya : ”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat adil...” Hal tersebut terlihat perintah untuk berbuat adil diterapkan pada semua ajaran Islam dan peraturan-peraturannya baik akidah, syariah, atau etika. Sehingga mendampingi perintah keadilan dengan perintah shalat, hukum, pedagangan, pemerintahan dan ketakwaan. 68 Dengan demikian keadilan dan keseimbangan terkait dengan seluruh aspek kehidupan, sampai kepada yang paling mendasar sekalipun. Sehingga penerapan dalam sisitem ekonomi syariah secara parsial ditengah dominasi sistem ekonomi
67
Departemen Agama Republik Indonesia, Op.Cit, hlm 415 Dalam firman Allah yang mendampingi perintah berlaku adil dengan perintah shalat adalah Surah Al-A’raaf : 29, perintah berlaku adil dengan hukum dan juga pemerintahan yaitu dalam Surah An-Nisaa’ : 58, perintah berlaku adil dalam perdagangan yaitu Surah Al-An’am : 152, Surah Al-Asraa’ dan perintah berlaku adil dengan ketakwaan yaitu surah Al-Maidah : 8 68
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
konvensional saat ini, tidak akan menghasilan keadilan yang menyeluruh pada para pihak yang melaksanakannya. 69 Dengan konsep yang ditawarkan tersebut yang merujuk pada syariah Islam, yang menekankan pada tidak adanya riba (eksploitasi satu pihak yang lainnya) serta adanya sifat yang adil dalam pelaksanaannya. Karena keadilan tersebut merupakan kunci keberhasilan dalam penerapan dari sistem ekonomi Islam. Berbeda hal dalam sisitem ekonomi kapitalisme karena hanya dilakukannya semata-mata untuk kepentingan pribadi dan keuntungan belaka, tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat dikelilingnya. 3. Kebebasan Dalam kehidupan sistem ekonomi yang ditawarkan oleh Islam, adalah kebebasan yang terbatas, yaitu kebebasan sepanjang hal tersebut itu tidak ada larangan untuk melakukan. Karena dalam sistem ekonomi yang merupakan bagian dari ibadah muamalah yang pengaturan terbatas terhadap prinsipnya saja, yaitu larangan-larangan yang dapat merugikan orang lain, karena kebebasan tanpa batas tersebut hanya berlaku dalam sistem ekonomi kapitalis. Oleh karena itu Islam memelihara keseimbangan antara hal-hal berlawanan yang berlaku dilebih-lebihkan, dan tidak hanya mengakui hak milik tapi juga pemerataan. 70 Sebagaimana dalam firman Allah Surat Al-Baqarah : 29
69
Yusuf Qardhawi, Op-Cit, hlm 222 M. Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (alih bahasa : M. Nastangin), PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1997, hlm 65 70
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Artinya : ” Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”. Tetapi juga dengan menjamin pembagian kekayaan yang seluas-luasnya, sebagaimana lembaga zakat dalam pemerataan, sebagaimana firman Allah dalam Surat Adz Dzaariyat : 19 Artinya : ”Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian”. Dari dua ayat tersebut, memperlihatkan bahwa setiap kebebasan dalam memiliki harta tersebut ada hak orang lain, atau dengan kata lain hak milik yang mempunyai fungsi sosial. Untuk dalam kebebasan bermuamalah tersebut harus memenuhi syarat-syarat yaitu : ”memperhatikan halal dan haram dalam ketentuan hukum Islam, komitmen terhadap kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan syariat Islam, tidak menyerahkan pengelolaan harta kepada orang-orang yang bodoh, gila dan lemah, hak untuk saling memiliki dengan tetangga atau partner kerja, dan tidak dibenarkan mengelola pribadi yang merugikan orang lain”. 71
71
Ali Fikri, Prinsip-Prinsip Dasar Ekonomi Islam, (Editor Mustafa Kamal), Wawasan Islam dan Ekonomi Sebuah Bunga Rampai, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hlm 115-117
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
4. Pertanggung jawaban Bahwa setiap manusia tersebut adalah pemimpin, dari pemimpin suatu negara, pemimpin agama, sampai pemimpin dalam dirinya sendiri, untuk manusia tersebut diatas dunia ini adalah khalifah dan pemimpin, dan sebagai pemimpin akan diminta pertanggung jawaban sekecil apapun yang dilakukannya. Termasuk di dalam kehidupan ekonomi Islam tersebut, akan dipertanggung jawabkan, apakah telah menjalankan sesuai ajaran Islam, atau malahan mengikuti sistem kapitalis, yang jelas bertentangan dengan ajaran Islam, sedangkan Allah telah memberikan peringatan melalui Rasulullah, untuk itu apa yang kita lakukan tersebut akan diminta pertanggung jawaban di akhirat, apakah dalam bermuamalah tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang telah digariskan oleh Allah dalam Al-Quran dan Sunnah, sebagai pertanda keyakinan kepada Allah, yang tidak bisa terlepas dalam setiap kegiatan ekonomi. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al Israa’ Artinya : ” Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya”. Dari keempat prinsip tersebut merupakan suatu prinsip umum dalam sistem ekonomi Islam yang harus menjadi dasar berpijak dan merupakan kesatuan nilai yang tidak dapat dipisahkan. Prinsip-prinsip ini merupakan pangkal bertolak untuk mengungkapkan nilai-nilai instrumental ekonomi Islam, termasuk juga prinsip yang menjadi berpijak dalam setiap yang terkait dengan operasional perbankan.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Di dalam operasional perbankan tersebut, yang tidak bisa terlepas prinsipprinsip instrumental ekonomi tersebut, dapat ditarik prinsip-prinsip yang dapat dijadikan sebagai prinsip utama dalam jaringan kerja perbankan syariah dengan prinsip : 72 1. Perbankan non riba Dengan adanya Fatwa Majlis Ulama Indonesia tanggal 16 Desember 2003, yang menetapkan bahwa riba tersebut haram, sudah sangat jelas terhadap keberadaan bunga, yang mana dalam Fatwa tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba, 73 karena sebagaimana juga diungkapkan oleh M. Abdul Manan, dalam bukunya ”Teori dan Praktek Ekonomi Islam” bahwa riba dalam Al Quran, Sunnah, Ijma dan bunga pada perbankan modren yang merupakan dua sisi dari mata uang yang sama, 74 karena itu Islam mengganggap bahwa bunga bank tersebut sebagai suatu kejahatan ekonomi yang menimbulkan penderitaan masyarakat baik itu secara ekonomi, sosial maupun moral. 75 Dari pernyataan tersebut diatas adalah yang harus menjadi pegangan dalam jaringan perbankan syariah di Indonesia merupakan suatu paling harus dihindari, baik dalam produk-produk yang ditawarkan, maupun setiap yang berkaitan dengan perbankan syariah, seperti penempatan dana bank syariah di pasar uang antar bank
72
Jafril Khalil, Prinsip Syariah Dalam Perbankan, Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Volume 20, Agustus-September 2003, hlm 47-48 73 Reportase, Bisnis Syariah Pasca Fatwa Riba, Modal, PT.Modal Multimedia, Volume 15, Januari 2004, hlm 18 74 M. Abdul Manan, Op-Cit, hlm 121 75 Afzalurr Rahman, Op.Cit, hlm 121
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
yang bagian dari transaksi ribawi. Sebagaimana riba tersebut dapat dibagi kepada empat macam yaitu : 76 a. Riba fadhli yaitu jenis jual beli uang dengan uang atau barang pangan dengan barang pangan dengan tambahan yang dibuat oleh seorang yang berkontrak. b. Riba qardhi yaitu suatu akad dengan syarat ada keuntungan bagi yang memberi utang c. Riba yad yaitu melaksanakan jual beli barang-barang ribawi yang sejenis tanpa ada persyaratan penangguhan pada masa akad, atau penangguhan dari akad sebelum timbang terima. Namun kenyataannya penyerahan barang tersebut dilaksanakan dalam keadaan tertangguh. d. Riba nasa’ yaitu pertambahan bersyarat yang diperoleh orang yang menghutangkan dari orang yang berhutang lantaran penangguhan. Dalam kaitannya dengan perbankan Syariah, implikasi ketentuan tukar menukar antar barang-barang yang termasuk ribawi dapat diuraikan sebagai berikut: a. jual beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah kadar yang sama. Barang tersebut harus diserahkan saat transaksi jual beli. Misalnya, rupiah dengan rupiah hendaklah Rp 5000,- dengan Rp 5000,- dan diserahkan ketika tukar menukar. b. Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat akad jual beli. Misalnya Rp. 5000 dengan 1 dollar Amrerika. c. Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad. Misalnya mata uang (emas, perak dan kertas) dengan pakaian. d. Jual beli antara barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakian dengan barang elektronik. 77 Dari pembagian riba tersebut, untuk lebih jelas terhadap kebersihan harta, jiwa dan untuk memenuhi prinsip-prinsip Syariah dalam jaringan kegiatan perbankan, sehingga tetap menjaga rasa kebersamaan sesama insan dalam berbisnis dalam kaitannya dengan perbankan syariah.
76
Ibrahim Lubis, Ekonomi Islam Suatu Pengantar Jilid 2, Kalam Mulia, Jakrta, 1995, hlm
77
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke praktek, Op.Cit, hlm 42
509.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
2. Perniagaan halal dan tidak haram Kehalalan dalam jaringan perbankan, suatu yang harus diperhatikan, disamping di setiap produk perbankan tersebut halal, akan tetapi dalam setiap penghimpunan dana penyaluran dana, produk jasa maupun dalam bentuk kerja sama adalah suatu yang halal dan tidak haram. Bank sebagai perantara dalam pemodalan, juga harus bertanggung jawab terhadp modal atas kerja sama baik berupa bagi hasil, jual beli, atau fee tersebut. Karena modal yang diperoleh tersebut apakah dipergunakan sesuai dengan prinsip syariah, sebab dalam Islam adalah suatu larangan mencampurkan antara perbuatan yang baik dengan yang jelek dan memberi bantuan terhadap perbuatan yang dilarang oleh Allah sebagai firman dalam Surat Al- Maidah : 2, yang artinya : ”.... Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya”. 3. Keridhaan pihak-pihak dalam berkontak Keridhaan dalam berkontak atau dikenal sebagai kebebasan berkontrak. Kontrak, janji, dan perjanjian yang juga dikenal dalam muamalah Islam adalah akad. 78 Kata akad yang digunakan dalam perbankan Syariah, karena akad umum digunakan dalam muamalah dalam Islam. Kata akad menurut etimologi berarti perjanjian perkataan dan pemufakatan, sedangkan menurut para ahli hukum Islam, 78
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.cit, hlm 15
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
kata akad didefenisikan, akad adalah hubungan antara ijab dan qabul sesuai dengan syariat yang menetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum objek perikatan. 79 Dari rumusan tersebut mengindikasikan pertama bahwa akad tersebut merupakan perbuatan dilakukan suatu yang khusus, karena ada unsur sukarela timbal balik terhadap perikatan tanpa ada unsur paksaan, dan saling menerima akad tersebut, kedua memenuhi syarat sahnya suatu akad sesuai dengan syariah Islam, syarat akad tersebut ialah ”barang dan jasa harus halal, harga barang dan jasa harus jelas, tempat penyerahan harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi, dan barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan” 80 ketiga adanya akibat hukum pada objek perikatan, yaitu terjadinya pemindahan kepemilikan. Dalam perbankan Syariah yang mempunyai karakteristik dasar prinsip bagi hasil, yang membutuhkan suatu akad yang sangat menentukan bagian masing-masing yang berbentuk persentase. Untuk itu syarat sahnya suatu akad dalam sistem ekonomi Islam, syarat-syarat tersebut antara lain : 1. Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya 2. Harus sama ridho (sepakat) dan ada pilihan 3. Harus jelas dan gamblang. 81 Dalam perbankan Syariah harus dijalankan atas suka sama, dan bukan dilakukan dasar paksaan, tipu daya, kezaliman, dan menguntungkan satu pihak di atas
79
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm 247 80
Ibid Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Alih bahasa : Kamaluddin A. Marzuki, PT. AL Ma’arif, 1987, Bandung, hlm 178-179 81
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
kerugian pihak lain dengan mengambil kesempatan dari kelemahan dan kekurangan orang lain dengan adanya pilihan-pilihan, berbeda halnya dengan perbankan konvensional dikenal dengan perjanjian baku yang mana ditentukan sebelah pihak yaitu pihak bank, dan jika hal seseorang tersebut menerima, dikarenakan suatu yang terpaksa, karena tidak ada pilihan lain. Dalam kebebasan berkontrak tersebut ditegaskan oleh Allah dalam Surah An Nisa’ : 29, yang artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu...” Oleh karena itu akad-akad dalam Islam di bangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan penganiayaan sehingga sesuai dengan prinsip-prinsip filosofis dalam ekonomi Islam, sehingga dapat merealisasikan tujuan-tujuan Syariah dalam Ibadah dan Akhlak. 82 4. Pengurusan dana yang amanah, jujur, dan bertanggung jawab Amanah di sini adalah suatu sifat dan sikap pribadi yang setia, tulus dan jujur dalam melaksanakan sesuatu yang dipercayakan kepadanya, berupa harta benda, rahasia maupun tugas kewajiban, yang diberikan kepadanya dalam kegiatan perbankan tersebut, karena ketidak jujuran akan menimbulkan kerugian pada pihak lain, dan juga kepada diri sendiri. 83
82
Ahmad Muhammad Al’Assal dan Fathi Ahmad Abduk Karim, Sisitem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, (Alih bahasa : Imam Saefudin), CV. Pustaka Setia, Bandung, 1999, hlm 197-198 83 Hamzah Ya’qub, Etika Islam, CV. Diponegoro, Bandung, 1988, hlm 98
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Untuk itu nilai-nilai Syariah dalam perspektif mikro menghendaki bahwa semua dana yang diperoleh dalam sistem perbankan Syariah dikelolah dengan integritas tinggi dan sangat hati-hati dengan berdasarkan kepada : a. Shiddiq, memastikan bahwa pengelolaan bank Syariah dilakukan dengan moralitas yang menjunjung tinggi nilai kejujuran. Dengan nilai ini pengelolaan dana masyarakat akan dilakukan dengan mengedepankan caracara yang diperkenankan (halal) serta menjauhi cara-cara yang meragukan (subhat) terlebih lagi yang bersifat dilarang (haram). b. Tabliqh, secara berkesinambungan melakukan sosialisasi dan mengeduksi masyarakat mengenai prinsip-prinsip, produk dan jasa perbankan syariah. Dalam melakukan sosialisasi sebaiknya tidak hanya mengedepankan pemenuhan prinsip syariah semata, tetapi juga harus mampu mengeduksi masyarakat mengenai manfaat bagi penggunaan jasa perbankan Syariah. c. Amanah, menjaga dengan ketat prinsip kehati-hatian dan kejujuran dalam mengelola dana yang diperoleh dari pemilik dana (shahibul maal) sehingga timnul rasa saling percaya antara pihak pemilik dan pihak pengelola dana investasi (mudharib). d. Fathanah, memastikan bahwa pengelolaan bank dilakukan secara profesional dan kompetitif sehingga menghasilkan keuntungan maksimum dalam tingkat risiko yang ditetapkan oleh bank. Termasuk di dalamnya adalah pelayanan yang penuh dengan kecermatan dan kesatunan (ri’yah) serta penuh rasa tanggung jawab (mas’uliyah). 84
Dalam perjanjian musyarakah yang ada di Bank Sumut Syariah telah menerap kan nilai-nilai syariah ini. Dalam jaringan perbankan Syariah nilai-nilai kejujuran dan amanah dalam mengurus dana merupakan modal yang sangat besar, dan kepercayaan diberikan oleh para nasabah atau investor dapat memperbesar dan berkembangnya perbankan Syariah di Indonesia. Karena kejujuran dan amanah akan menimbulkan saling percaya, untuk itu berlaku amanah, jujur dan penuh tanggung jawab, merupakan suatu perintah yang berimplikasih kepada diri sendiri dan kepada 84
Biro Perbankan Syariah-Bank Indonesia, Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Nasional Untuk Periode 2002-2011, http://www.e-Syariah.com
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
semua orang, sehingga berlaku amanah suatu yang diperintahkan oleh Allah, sebagaimana firman Allah dalam Surah An Nisa’ : 58, yang artinya : ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya..” Dengan demikian, kesatupaduan nilai-nilai instrumental prinsip filosofis utama dalam ekonomi Islam dan prinsip dasar dalam jaringan kerja perbankan, akan melahirkan konsep perbankan yang berkarakter religius, humanis dan bermoral, yang mampu menjaga keselamatan seluruh manusia dan alam semesta.
C. Perjanjian Perkongsian di Bank Konvensional Di dalam bank konvensional tidak dikenal perjanjian perkongsian 85 yang seperti di bank syariah. Jenis-jenis kredit yang diberikan oleh bank konvensional kepada masyarakat dapat dilihat dari berbagai sudut, yaitu : 86 1). Kredit dilihat dari sudut tujuannya, kredit ini terdiri atas kredit konsumtif, kredit produktif, kredit perdagangan. 2). Kredit dilihat dari sudut jangka waktunya, kredit ini terdiri atas Kredit Jangka Pendek (Short Term Loan), Kredit Jangka Menengah (Medium Term Loan), dan Kredit Jangka Panjang (Long Term Loan), yaitu kredit yang berjangka waktu lebih dari 5 tahun. 3). Kredit dilihat dari sudut jaminannya terdiri dari kredit tanpa jaminan (Unsecured Loan), kredit dengan agunan (Secured Loan), yaitu agunan yang diberikan untuk suatu kredit. 85
Dalam stbl 1917-129, jis 1919-81, 1924-557 ada disebutkan istilah perkongsian dalam Pasal 3 ayat (1) dengan tidak mengurangi berlakunya beberapa ketentuan yang diadakan bagi perseroan-perseroan terbatas, segala perkumpulan Tiong Hoa terkenal dengan nama kongsi guna melakukan suatu perusahaan di bawah nama kesatuan, harus takluk pada peraturan dalam bagian kedua, bab ke tiga, buku ke satu dari Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, ayat (2) nama kongsi harus dianggap sebagai nama firma. 86 Thomas Suyatno, et al, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hlm 25
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
4). Kredit dilihat dari sudut penggunaannya, terdiri dari Kredit Ekspoitasi, Kredit Investasi. 1. Prosedur Perjanjian dan Jaminan Kredit a. Pengertian dan Syarat-syarat Perjanjian Kredit Perkreditan adalah suatu tindakan dan hanya berkenaan dengan kredit. Tindakan yang dimaksud berupa perjanjian, penjaminan, pembayaran, penunggakan dan penyelesaian kredit. Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pihak kreditur dan debitur, maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis. Ketentuan mengenai perjanjian kredit bank tidak ada pengaturan secara khusus baik dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang perikatan mulai dari Bab V sampai dengan Bab XVIII, maupun dalam Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998. Pada Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan pengertian persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Mariam Darus menyatakan perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena dirumuskan hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Terlalu luas karena dapat
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
mencakup hal-hal mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga. 87 Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa perjanjian adalah sebagai berikut : ”Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan atau kaedah atau hak dan kewajiban, yang mengikat mereka untuk ditaati dan dijalankan. Kesepakatan itu adalah untuk menimbulkan akibat hukum, menimbulkan hak dan kewajiban dan kalau kesepakatan itu dilanggar, maka akibat hukumnya, si pelanggar dapat dikenakan akibat hukum atau sanksi”. 88 Dari pendapat tersebut di atas dikatakan bahwa di dalam suatu perjanjian harus ada kata sepakat (kesepakatan) para pihak untuk melakukan suatu hubungan hukum yang apabila dilanggar akan menimbulkan akibat hukum. Adapun menurut Sutan Remy Sjahdeni mengenai bentuk perjanjian dari rumusan ketentuan Pasal 1 angka (12) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain, yaitu sebagai berikut : a. Membentuk Undang-Undang bermaksud menegaskan bahwa hubungan kredit adalah hubungan kontraktual antara bank dengan nasabah. Dengan demikian, bagi hubungan kredit bank berlaku Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perikatan pada umumnya, dan Bab 13 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang pinjam meminjam. b. Membentuk undang-undang bermaksud mengharuskan hubungan kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian tertulis, hal ini dikuatkan oleh Instruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor 10/Ek/In/II/1967 tanggal 6 februari 1967 87
Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung, 1993, hlm 89. 88 Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1998, hlm 97
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
yang menentukan bahwa pemberian kredit dalam bentuk apapun, bank wajib mempergunakan/membuat akad perjanjian kredit. c. Salinan dari 2 (dua) maksud di atas tersebut, Hasanuddin Rahman menambahkan bahwa lebih penting lagi filosofi perjanjian kredit agar berfungsi sebagai alat bukti harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta otentik atau akta di bawah tangan. 89 Adapun fungsi dari perjanjian kredit antara lain : 90 a. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal, atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan. b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara kredit dan debitur. c. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monotoring kredit. Adapun syarat syahnya suatu perjanjian harus terpenuhi 4 syarat yaitu : 1. 2. 3. 4.
Perjanjian yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan diri. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Suatu hal tertentu yang diperjanjikan. Suatu sebab (oorzaak) yang halal, artinya tidak terlarang (Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). 91 Persyaratan mengenai kata sepakat dan cakap bertindak disebut dengan syarat
subyektif, karena berkaitan langsung dengan diri orang yang membuat perjanjian. Sedangkan persyaratan mengenai suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal disebut dengan syarat objektif, karena berhubungan dengan objek perjanjian. Menurut Subekti, ”Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim, tetapi jika syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal demi hukum.
89
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hlm 300 Gatot Wardoyo, Sekitar Klausul-Klausul Perjanjian Kredit Bank-bank dan Manajemen, Jakarta, 1992, hlm 64. 91 Subekti, Pokok-poko Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985, hlm 134 90
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Berdasarkan uraian tentang perjanjian dan syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut di atas maka jelaslah apa yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian kredit bank yang semuanya harus dipenuhi, kemudian ditambah dengan syarat-syarat atau petunjuk berupa tindakan-tindakan apa yang harus dilakukan oleh nasabah dalam mengajukan permohonan kredit sampai dengan lunasnya suatu kredit yang diberikan oleh suatu bank, terutama bank swasta. Prosedur perkreditan yang dilakukan oleh bank yaitu berkas-berkas permohonan kredit, pengajuan permohonan kredit, pengajuan permohonan kredit, penelitian berkas, analisis kredit, keputusan disetujui atau ditolak, pengikatan jaminan, asuransi jaminan, asuransi kredit, pencairan kredit, pengelolaan dan pengawasan. b. Jaminan Kredit Dalam perkembangan praktik pemberian kredit, ternyata tidak cukup hanya didasarkan pada keyakinan atau kepercayaan kepada pihak debitur, tetapi perlu disertai jaminan berupa barang. Setiap pemberian kredit selalu disertai barang jaminan guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya wanprestasi atau kemacetan dalam pengambilan kredit. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undnag-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ditentukan bahwa dalam memberi kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Secara umum jaminan kredit diartikan sebagai penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu hutang. 92 Sedang menurut Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, yaitu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Sesuai dengan penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan bahwa agunan adalah sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan nasabah debitur mengembalikan hutangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagihan yang dibiayai oleh kredit yang bersangkutan. Bank dalam pemberian kredit harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat, antara lain : 1. Bank tidak diperkenankan memberi kredit tanpa surat perjanjian tertulis 2. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada usaha yang sejak semula telah diperhitungkan kurang sehat dan akan membawa kerugian. 3. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham, dan modal kerja dalam rangka jual beli saham,atau 4. Memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit). 93
92
Warman Djohan, Kredit Bank Alternatif Pembiayaan dan Pengajuannya, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 2000, hlm 99 93 Muhamad Djumhana, Op.Cit, hlm 392-393
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Adapun kegunaan jaminan dalam suatu kredit adalah : 1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut, apabila nasabah melakukan cidera janji, yaitu tidak membayar kembali hutangnya pada waktu yang telah ditetapkan pada perjanjian. 2. Menjamin agar nasabah berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahannya, dapat dicegah atau sekurangkurangnya kemungkinan untuk dapat berbuat demikian diperkecil terjadinya. 3. Memberi dorongan kepada debitur (tertagih) untuk memenuhi perjanjian kredit. Khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui, agar ia tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank. 94 Berdasarkan kenyataan bahwa pada prinsipnya setiap pemberian kredit harus dengan jaminan, maka jaminan kredit dapat dibedakan jaminan berupa benda (jaminan kebendaan), jaminan perorangan, credietverband. Menurut Soebekti, jaminan yang ideal (baik) tersebut terlihat dari : 1. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukannya. 2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si penerima kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya. 3. Memberi kepastian kepada debitur dalam arti bahwa yaitu bila perlu mudah diluangkan untuk melunasi hutangnya si debitur. 95 Jaminan kredit atau kredit garansi adalah bentuk penanggungan dimana seorang penanggung (perorangan) menanggung untuk memenuhi hutang debitur sebesar sebagaimana tercantum dalam perutangan pokok. 96
94
Thomas Suyatno, Op.Cit, hlm 88 Soebekti, Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1986, hlm 29 96 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Jogyakarta, 2001, hlm 105 95
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Meskipun banyak jenis jaminan pembiayaan, namun pada prinsipnya jenis jaminan yang diaplikasikan dalam pembiayaan syariah khususnya musyarakah adalah menyerupai jenis jaminan yang dipergunakan dalam perbankan konvensional, yakni jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Yang berbeda hanyalah dalam sistem penerapan benda yang menjadi jaminan karena prinsip operasional bank Sumut Syariah berbeda dengan bank konvensional. Perbedaan yang signifikan adalah terletak pada jamian kebendaan atas pembiayaan musyarakah. Pada jenis pembiayaan ini, jaminan kebendaan bukan merupakan jaminan pokok, dengan kata lain bukan merupakan keharusan, karena pembiayaan yang diberikan adalah dalam bentuk kerjasama antara Bank dengan nasabah untuk proyek modal kerja dan talangan dana untuk membeli barang kebutuhan debitur, dimana selama barang belum lunas pembayarannya, barang tersebut masih bersetatus sebagai barang jaminan. Sehingga, fungsi jaminan dalam hal ini hanyalah sebagai jaminan kepastian pengembalian biaya atau pinjaman tepat waktu. Dalam perspektif syariah, pengambilan jaminan diperkenankan. Prinsip Rahn, dalam prakteknya biasa dipergunakan baik sebagai perjanjian untuk menggadaikan barang atau sebagai jaminan. Secara tradisional, pengecualian hanya ditentukan atas akad yang bersifat bagi hasil, yakni musyarakah. Artinya untuk
musyarakah,
jaminan bagi pengembalian modal merupakan hal yang tidak sah. Namun perkembangan di dalam praktek perbankan syariah, dan telah masuk ke dalam peraturan
perundangan-undangan,
jaminan
musyarakah
pun
diperkenankan.
Kemudian di Ketentuan nomor 3 huruf a butir 3 Fatwa DSN No. 08/DSN-
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah, menyatakan pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, lembaga keuangan syariah (LKS) dapat meminta jaminan. Begitu pun dalam PBI 7/46/PBI/2005 Pasal 8 huruf o untuk Musyarakah, menetapkan Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad karena kelalaian dan atau kecurangan.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
BAB IV BENTUK JAMINAN DALAM PERJANJIAN MUSYARAKAH
A. Bentuk Jaminan Dalam Perbankan Islam Dalam hukum Islam ada beberapa istilah jaminan selain dari aqad rahn. Diantara hiwalah dan dhoman, yang mana istilah-istilah tersebut mempunyai defenisi dan tujuan tersendiri. ”Jaminan dibolehkan dalam Islam karena berdasarkan Hadist riwayat Abu Daud dan Tarmizi, Nabi bersabda yang maknanya yaitu, bahwa utang itu harus dilunaskan dan orang yang menjamin harus juga membayarnya. Dalam sejarah Nabi pernah menjaminkan baju besi beliau kepada seorang yahudi di Madinah, sewaktu mengutang gandum untuk kebutuhan rumah tangganya, hal ini diceritakan oleh sahabatnya Anas dan kemudian di riwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai dan Ibnu Maja”. 97 ”Meminta jaminan atas hutang pada dasarnya bukanlah sesuatu yang tercela, demikian menurut Al-Qur’an dan Sunnah. Al-Quran memerintahkan ummat Islam untuk menulis tagihan hutang mereka, dan jika perlu meminta jaminan atas hutang itu. Dalam sejumlah kesempatan, Nabi memberikan jaminannya kepada krediturnya atas utang beliau. Jaminan adalah satu cara dan untuk menghindarkan diri dari ”memakan harta orang dengan cara yang batil”. 98
Bentuk jaminan dalam hukum Islam yaitu : 1. Kafalah Khafalah menurut etimologi berarti al-dhamanah, hamalah, dan za’aamah, ketiga istilah tersebut memiliki arti yang sama, yakni menjamin atau menanggung. 99
97
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Sinar Baru Algensindo, 2003, hlm 309-313 Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah, Paramadina, Jakarta, 2004, hlm 136 99 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Beirut Dar al-Fikr, 2002), cet 6, hlm 4141, lihat juga makalah Ah. Azharuddin Latif, M.Ag.MH, Penerapan hukum jaminan dalam 98
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Sedangkan menurut terminologi Khafalah adalah ”Jaminan yang diberikan oleh kafiil (penanggung) kepada pihak ketiga atas kewajiban/prestasi yang harus ditunaikan pihak kedua (tertanggung)”. Kafalah diisyaratkan oleh Allah SWT. Pada Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 72; ” Penyeru itu berseru, Kami kehilanga piala raja dan barang siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya” dan juga hadis Nabi SAW; Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar” (H.R. Abu Daud). Kafalah dinilai sah menurut hukum Islam kalau memenuhi rukun dan syarat, yaitu : 1. Kafil (orang yang menjamin), disyaratkan sudah baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan harta (mahjur) dan dilakukan dengan kehendaknya sendiri. 2. Makful lah (orang yang berpiutang/berhak menerima jaminan), syarat ialah diketahui oleh orang yang menjamin, ridha (menerima), dan ada ketika terjadinya akad menjaminan. 3. Makhful ’anhu (orang yang berutang/ yang dijamin), disyaratkan diketahui oleh yang menjamin, dan masih hidup (belum mati). 4. Madnun bih atau makful bih (hutang/kewajiban yang dijamin), disyaratkan; merupakan hutang/prestasi yang harus dibayar atay dipenuhi, menjadi tanggungannya (makful anhu), dan bisa diserahkan oleh penjamin (kafil). 5. Lafadz ijab qabul, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak digantungkan kepada suatu dan tidak berarti sementara. 100
Kafalah dibagi menjadi dua bagian, yaitu kafalah dengan jiwa (kafalah bi alnafs) dan kafalah dengan harta (kafalah bi al-maal). Kafalah dengan jiwa dikenal pula dengan Kafalah bi al-Wajhi, yaitu adanya kesediaan pihak penjamin (al-Kafil,
Pembiayaan di Perbankan Syariah, disampaikan pada tanggal 26 Agustus 2008. Di fakultas Syariah dan Hukum UIN Sharif Hidayatullah, Jakarta. 100 Ibid, hlm, 4152-4161
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
al-Dhamin atau al-Za’im) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (Makful lah). Kafalah yang kedua ialah kafalah harta, yaitu kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan) berupa harta. Kafalah harta ada tiga macam, yaitu : pertama, kafalah bi al-Dyan, yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi beban orang lain, kedua , kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang ada ditangan orang lain, seperti mengembalikan barang yang di-ghashab dan menyerahkan barang jualan kepada pembeli, ketiga, kafalah dengan ’aib, maksudnya adalah jaminan bahwa jika barang yang dijual ternyata mengandung cacat, karena waktu yang terlalu lama atau karena hal-hal lainnya, maka penjamin (pembawa barang) bersedia memberi jaminan kepada penjual untu memenuhi kepentingan pembeli (mengganti barang yang cacat tersebut). 2. Rahn Secara etimologi, kata ar-rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad ar-rahn dalam istilah hukum positif disebut dengan barang jaminan/agunan. Sedangkan menurut istilah ar-rahn adalah harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifta mengikat. 101 Akad rahn menurut syara’adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang memungkinkan untuk ditarik kembali. Maksud menahan sesuatu adalah barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ yang dijadikan sebagai jaminan hutang, kemudian sopemilik harta tersebut diperbolehkan mengambil 101
Ad-Dardir, Syarh al-Shagir bi Syar ash-Shawi, (Mesir : Dar al-Fikr, 1978), Jilid III, hlm
303
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
utang seharga nilai barangnya atau sebagian. Barang yang termasuk rahn adalah transaksi yang menggunakan surat berharga (sebagai jaminan) dengan barang. 102 Defenisi ini mengandung pengertian bahwa yang boleh dijadikan jaminan (agunan) utang itu hanya bersifat materi, tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan ulama madzhab Maliki. Barang jaminan itu boleh dijual apabila utang tidak dilunasi dalam waktu yang disepakati kedua belah pihak. Para ulama fiqih mengemukakan bhwa akad ar-rahn dibolehkan dalam Islam berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Dalam surta Al-Qur’an Al-Baqarah, 2 : 283 yang artinya ”... dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang”. Sedang dalam Hadist riwayat Ahmad, Bukhari Nasi dan Ibnu Majah diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.
103
Menurut para
ilmuan hukum Islam jaminan yang diberikan Rsulullah tersebut adalah peristiwa pertama tentang jaminan di dalam Islam. Artinya selain diakui dalam Al-Qur’an, Rasul juga memperkrnalkan jaminan ini untuk dijadikan sumber hukum Islam. Rahn dinilai sah menurut hukum Islam, apabila telah memenuhi rukun dan syarat sebagai berikut : a. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum, menurut jumhur ulama adalah orang yang telah baligh dan berakal. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, kedua 102 103
Muamalat Institute, Perbankan Syariah Perspektif Praktisi, 1999 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Yogyakarta: Sinar Baru Algesindo, 2003) hlm 309
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh tetapi cukup berakal saja. Oleh sebab itu menurut mereka anak kecil mumayyiz boleh melakukan akad rahn, sedangkan akad ar-rahn yang dilakukan anak kecil yang sudah mumayyiz ini mendapatkan persetujuan dari walinya. b. Syarat shigat (lafal). Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad itu ar-rahn tidak dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang karena ar-rahn sama dengan akad jual beli. Apabila akad itu dibarengi dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya batal, sedang akadnya sah. Misalnya orang yang berutang mensyaratkan apabila tenggang waktu utang telah habis atau utang belum terbayar, maka ar-rahn itu diperpanjang satu bulan, atau pemberi utang mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu dioperbolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad ar-rahn maka syaratnya batal. Kedua syarat dalam contoh di atas (perpanjangan ar-rahn satu bulan dan agunan boleh dimanfaatkan), termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tabita ar-rahn, karena syarat itu dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan itu, misalnya, untuk sahnya ar-rahn itu, pihak pemberi utang minta agar akad itu disaksikan oleh dua orang saksi. Sedangkan syarat yang batal, misalnya, disyaratkan bahwa agunan itu tidak boleh dijual ketika ar-rahn itu jatuh tempo dan orang yang berutang tidak mampu membayarnya.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
c. Syarat al-marmu bihi (utang) adalah : (1) merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada orang tempat beutang. (2) utang itu boleh dilunasi dengan agunan itu. (3) Utang itu jelas dan tertentu. d. Syarat al-marhun (barang yang dijadikan agunan), menurut para pakar fiqih, adalah : (1) barang jaminan (agunan) itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang, (2) barang jaminan itu bernilai dan dapat dimanfaatkan, (3) barang jaminan itu jelas dan tertentu, (4) agunan itu milik sah orang yang berutang, (5) barang jaminan itu tidak terkait dengan orang lain, (6) barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat, dan (7) barang jaminan iru boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya. 104 Di samping syarat-syarat di atas, para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa ar-rahn itu baru dianggap sempurna apabila barang yang di rahn kan itu secara hukum sudah berada ditangan pemberi utang, dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam utang. Apabila barang jaminan itu berupa benda tidak bergerak seperti rumah dan tanah, cukup surat jaminan tanah atau surat-surat rumah itu yang dipegang oleh pemberi utang. Syarat yang terakhir (kesempurnaan ar-rahn) oleh para ulama tersebut sebagai qabdh al-marhun (barang jaminan dikuasai secara hukum). Syarat ini menjadi penting karena Allah dalam surat Al-Baqarah, 2: 283 menyatakan ” fa rihanun magbudhah” (barang jaminan itu dikuasai secara hukum).
104
Imam al-Kasani, Bada’I al-Shana’I al-shana’I fi Tartib al-Syara’i, (Kairo: t.pn, 1969) Jilid VI, hlm 125
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Artinya barang jaminan itu berada dalam kekusaan orang yang memberikan pembiayaan yaitu dalam hal ini bank. Tentu saja penyerahan barang dari orang yang berhutang kepada bank memberikan pembiayaan itu sesuai dengan barang jaminannya. Oleh karena itu jika jaminan berupa tanah, maka tidak mungkin tanah itu diberikan secara fisik, tetapi dapat juga berupa alat bukti hak (sertipikat). Demikian pula jika jaminan itu berupa mobil atau sepeda motor, maka yang diserahkan dapat berupa alat bukti kepemilikannya (BPKB). Dari uraian tentang kedua konsep jaminan di atas, jelas bahwa eksistensi jaminan di akui dalam hukum Islam. Untuk jaminan yang diberikan oleh pihak lain atas kewajiban/prestasi yang harus dilaksanakan oleh pihak yang dijamin (debitur) kepada pihak yang berhak menerima pemenuhan kewajiban/prestasi (kreditur) disebut dengan kafalah. Sedangkan jaminan yang terkait dengan benda/harta yang harus diberikan debitur (orang yang berhutang) kepada debitur (orang yang berpiutang) disebut rahn. Sebagai perbandingan, dalam sistem yang berlaku di Indonesia jaminan digolongkan menjadi 2 macam, yaitu jaminan materiil (kebendaan), dan jaminan imateriil (perorangan , borgtocht). Jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri kebendaan dalam arti memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti hak mendahului atas benda-benda tertentu,
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seorang lewat orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan. 105
B. Bentuk Jaminan Pada Perjanjian Pembiayaan Musyarakah di Bank Sumut Syariah Meminta jaminan dipandang oleh para pendukung perbankan Islam sebagai suatu penghambat dalam aliran dana bank untuk para pengusaha kecil, bank-bank Islam cenderung mengkritik bank-bank konvensional sebagai terlalu berorientasi jaminan (security oriented). Dalam kalimat Internasional Islamic Bank for investment and development (IIBID), jaminan-jaminan adalah unsur terpenting dalam keputusan memberikan pinjaman bank oleh Bank konvensional. Secara tidak langsung ini menyatakan bahwa bagi bank Islam jaminan bukanlah soal penting dalam keputusan pembiayaan. Kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sehat. Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan apa yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. 106
105
H. Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Press, 2004), cet. 1, hlm 23. 106 Penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitur. Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan nasabah debitur mengembalikan utangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk dan lain-lain yang sejenis, dapat digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung sengan objek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan. 107 Menurut ketentuan Peraturan Bank Indonesia Nomor : 7/46/PIB/2005 Tentang akad Penghimpunan Dana Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Menjelaskan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, pada pasal 6 huruf O menyatakan bahwa Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi resiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad karena kelalaian dan/atau kecurangan. Jaminan untuk pembiayaan banyak macam ragamnya. Namun demikian masih bisa dilakukan klasifikasi jaminan tersebut kepada beberapa klasifikasi bergantung dari kriteria apa yang digunakan, antara lain sebagai berikut : 1. Jaminan Umum dan Jaminan Khusus. Yang dimaksud dengan jaminan umum yaitu jaminan dari pihak debitur, bahwa setiap barang bergerak atau tidak bergerak milik debitur menjadi tanggungan hutangnya kepada kreditur. Jaminan khusus yaitu jaminan yang bersifat 107
Ibid
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
kontraktual, yakni yang terbit dari perjanjian tertentu, baik khusus ditujukan terhadap barang-barang tertentu maupun yang tidak ditujukna terhadap barang tertentu. 2. Jaminan pokok yaitu jaminan untuk mendapatkan pembiayaan, dan jaminan tambahan yakni tambahan atas jaminan pokok berupa jaminan atas barang yang dibiayai dengan kredit atau pembiayaan tersebut. 3. Jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. 4. Jaminan regulative yakni jaminan kredit atau pembiayaan yang kelembagaannya sendiri sudah diatur secara eksplisit dan sudah mendapat pengakuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan jaminan nonregulaitive yakni bentuk-bentuk jaminan yang tidak diatur atau tidak khusus diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, tetapi dikenal dan dilaksanakan dalam praktek. Jaminan nonregulatif ini ada yang berbentuk jaminan benda seperti pengalihan tagihan dagang, pengalihan tagihan asuransi. Akan tetapi ada juga jaminan nonregulative yang semata-mata hanya bersifat kontraktual seperti kuasa menjual. 5. Jaminan eksekutorial khusus yakni jika terjadi kredit macet, maka hukum menyediakan suatu cara tertentu yang khusus jika kreditur ingin melakukan eksekusi jaminan dan jaminan noneksekutorial khusus yakni jaminan kredit yang tidak mempunyai cara-cara khusus dalam eksekusinya, sehingga jika mau dieksekusi tunduk kepada eksekusi yang berlaku umum yaitu lewat pengadilan biasa dengan prosedur biasa.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
6. Jaminan serah benda yakni jaminan kredit yang benda jaminannya sendiri secara fisik disearahkan oleh debitur kedalam kekuasaan kreditur, sementara kepemilikkan tetap ditangan debitur. Biasanya bersama dengan penyerahan benda, ikut pula diserahkan dokumen kepemilikan benda tersebut kepada pihak kreditur seperti gadai atas benda bergerak. Bank Sumut Syariah juga menerapkan jaminan untuk mendapatkan pembiayaan di banknya. Adapun bentuk jaminan pembiayaannya seperti halnya jaminan pada bank-bank konvensional. Bentuk jaminan yang diterapkan pada Bank Sumut Syariah merupakan bentuk yang sama dengan jaminan yang diterapkan bank konvensonal yaitu terdiri atas jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan staf manajemen Bank Sumut Syariah Cabang Medan pada bulan Mei 2009, jenis jaminan yang diterapkan ada 2 yakni : 1) jaminan fisik dan 2) jaminan non fisik. Pada jaminan fisik merupakan jaminan kebendaan, jaminan kebendaan bukan merupakan jaminan pokok, atau merupakan keharusan, karena pembiayaan yang diberikan adalah talangan dana untuk membeli barang atau membuat proyek untuk kebutuhan debitur, dimana selama barang belum lunas pembayarannya, barang tersebut masih bersetatus sebagai barang jaminan. Sehingga, fungsi jaminan dalam hal ini hanyalah sebagai kepastian pengembalian biaya atau pinjaman tepat waktu. Objek jaminan yang bisa diberikan antara lain tanah yang bersertifikat baik hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, kendaraan, mesin-mesin, persediaan atau stock, tagihan yang akan jatuh tempo, dan lain-lain.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Adapun lembaga penjamin yang digunakan sama halnya dengan lembaga penjaminan yang digunakan pada bank konvensional seperti hak tanggungan, fidusia, gadai, cessie, personal guaranty dan lain-lain, hal ini terjadi karena belum ada lembaga penjaminan yang khusus syariah. Pada jaminan non fisik atau disebut juga jaminan kontrak kerja. Jaminan ini merupakan surat perintah kerja (SPK) kepada nasabah dari pihak ke tiga. Ini bisa di jadikan jaminan di Bank Sumut Syariah. Apabila proyek yang di danai telah selesai di kerjakan maka surat kontrak ini dapat dikembalikan lagi kepada nasabah. Fungsi jaminan dalam hal ini hanyalah jaminan kepastian pengembalian biaya atau pinjaman tepat waktu. Dari penelitian ini memang belum ada aturan khusus tentang penjaminan di bank syariah di Indonesia, namun terdapat perbedaan dalam hal penerapan benda yang dijaminkan karena Bank Sumut Syriah dengan bank konvensional berbeda prinsip dalam operasionalnya. Perbedaannya adalah terletak pada jaminan kebendaan atas pembiayaan musyarakah. Pada jenis pembiayaan ini jaminan-jaminan kebendaan bukan merupakan jaminan pokok/utama, karena pembiayaan yang diberikan adalah berupa talangan dana untuk modal kerja debitur, dimana selama barang belum lunas pembayarannya, barang tersebut masih berstatus sebagai barang jaminan. Jadi, jaminan utamanya adalah barang yang menjadi obyek pembiayaan tersebut.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Penerapan jaminan perorangan pada Bank Sumut Syariah sama dengan yang dilakukan oleh Bank Konvensional, bahwa jaminan perorangan dapat diterapkan untuk semua jenis pembiyaan yang dikeluarkan oleh Bank Sumut Syariah.
C. Jaminan Nasabah Sebagai Pelunasan Hutang Bermasalah Sebelum membahas tentang fungsi jaminan dalam pemabayaran macet, ada baiknya dibahas dulu sistem penilaian pembayaran untuk kredit macet yang dilakukan oleh bank syariah termasuk Bank Sumut Syariah. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, Pasal 2 ayat 2) menetapkan kualitas pembiayaan menjadi 5 golongan yakni : 1. Lancar yaitu apabila memenuhi kriteria pembayaran angsuran pokok dan atau bunga tepat waktu, memiliki mutasi rekening yang aktif, bagian dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai (cash collateral) 2. Dalam perhatian khusus yaitu terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari, mutasi rekening relatif aktif, jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan, di dukung oleh pinjaman baru. 3. Kurang lancar yaitu terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang melampaui 90 (sembilan puluh) hari, mutasi rekening relatif
rendah,
terdapat
pelanggaran
terhadap
kontrak
yang
diperjanjikan lebih dari 90 (sembilan puluh ) hari, terdapat likuidasi
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
masalah keuangan yang dihadapi debitur, dokumentasi penjamin lemah. 4. Diragukan dan yaitu terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari, terjadi wanprestasi lebih dari 180 (seratus delapan puluh) hari, terjadi kapitalisasi bunga, dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian kredit maupun peningkatan jaminan. 5. Macet yaitu terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 270 (dua ratus tujuh puluh) hari, kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru, dari segi hukum maupun kondisi pasar jaminan tidak dapat di cair kan pada nilai wajar. Selanjutnya Pasal 9 ayat (3) menegaskan bahwa penilaian terhadap kemampuan membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut : 1. Ketepatan pembayaran pokok dan marjin/bagi hasil/fee 2. Ketersediaan dan keakuran informasi keuangan nasabah 3. Kelengkapan dokumentasi Pembiayaan 4. Kepatuhan terhadap perjanjian Pembiayaan 5. Kesesuaian penggunaan dana 6. Kewajaran sumber pembayaran kewajiban
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Menurut ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/OBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, pembiayaan macet diselesaikan dengan angsuran. 108 Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasrkan Prinsip syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Pasal 11 Tentang batas maksimum pemberian kredit atau pinjaman (1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi Surat Berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan. (2) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan, 108
Pembayaran angusuran pokok Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dapat diangsurkan selama jangka waktu Pembiayaan sesuai dengan kesepakatan antara Bank dan Nasabah. (2) Apabila jangka waktu Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah lebih dari satu tahun, pembayaran angsuran pokok Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diangsur secara berkala sesuai dengan pyoyeksi arus kas masuk (cash inflow) usaha nasabah, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, Pasal 12, ayat (1) dan (2).
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada a). Pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh persen) atau lebih dari modal disetor bank; b) Anggota dewan komisaris; c). Anggota direksi; d). Keluarga dari pihak sebagiamana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, e). Pejabat bank lainnya; dan f). Perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e. (4A) Dalam pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). Dari ketentuan-ketentuan perbankan syariah tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa besarnya pembiayaan tidak terbatas, bergantung kepada kebutuhan dan jaminan yang diberikan nasbah. Dan karena bank syariah dilarang untuk meminta jaminan termasuk dalam pembiayaan besar, maka untuk antisipasi segala bentuk resiko penyimpangan atau ingkar janji, maka bank harus menggunakan peinsip penilaian seperti prinsip kehati-hatian serta studi kelayakan untuk mengetahui kesanggupan bayar nasabah. Dalam hal pengembalian macet, dengan alasan apapun, bank dapat meminta pengganti dana yang dikeluarkannya dengan pencairan jaminan/agunan. Selebihnya berkenaan dengan penjaminan, terutama permasalahan administrasi pendaftaran serta pencatatan (security attachment), adalah sama sebagaimana penjaminan pada umumnya.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Meskipun secara eksplisit, hukum syariah tidak membenarkan meminta jaminan utuk akad yang bertujuan untuk melakukan transaksi berdasarkan kemitraan, namun dalam perbankan syariah, ada akad yang disebut dengan rahn, yang mengandung makna tetap dan tertahan. Artinya, jaminan ini tidak dapat ditarik oleh nasabah sebelum menyelesaikan hutang piutang karena sifatnya tetap dan hanya dicairkan apabila diperlukan untuk mengganti dana yang sudah sempat dikeluarkan oleh bank. Dengan demikian, fungsi jaminan bila terjadi pembayaran macet dalam pembiayaan musyarakah hanyalah sebagai pengganti dana yang sudah semapat dikeluarkan oleh bank kepada nasabah atau debitur. Sebagaimana telah dikemukan bahwa jaminan eksekutorial juga berfungsi khusus jika terjadi kreidt macet, dimana hukum menyediakan suatu cara tertentu yang khusus jika kreditur ingin melakukan eksekusi jaminan dan jaminan non eksekusi khusus yakni jaminan kredit yang tidak mempunyai cara-cara khusus dalam eksekusinya, sehingga jika mau dieksekusi tunduk kepada eksekusi yang berlaku umum, yaitu lewat pengadilan biasa dengan prosedur biasa. Pada prinsipnya pembiayaan macet merupakan salah satu masalah yang dihadapi dalam akad pembiyaan musyarakah yang dapat menimbulkan konflik hukum tetapi pada umumnya kedua belah pihak selalu berusaha untuk menyelesaikannya secara musyawarah menurut ajaran Islam. Namun apabila perselisihan tidak dapat diselesaikan secara musyawarah, Pengadilan Negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara perbankan Islam yang menggunakan prinsip hukum Ekonomi Islam, sedangkan wewenang
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
pengadilan Agama terbatas pada memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menyangkut perkawinan, warisan, wakaf, hibah, dan sedekah walaupun Pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membuka masuknya sengketa dalam bidang ekonomi di pengadilan Agama dengan asas personalitas. Namun karena perangkat yang ada belum siap menerima hal yang selain dari wewenang yang disebutkan diatas. Dalam penanganan kredit macet, ada perbedaan fungsi jaminan dalam bank syariah dan bank konvensional yakni dalam bank syariah, fungsi jaminan adalah untuk memberi jaminan pembayaran kembali kepada Bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria: a). Milik nasabah sendiri, b). Jelas ukuran, sifat dan nilainya, ditentukan berdasarkan nilai riil pasar, c). Dapat dikuasai, tapi tidak boleh dimanfaatkan oleh bank, sedangkan dalam bank konvensional, jaminan dapat dimanfaatkan oleh bank. 109 Dari penjelasan diatas jelas bahwa jaminan tidak boleh dijual oleh bank. Jika terjadi perselisihan antara para pihak, selama ini khususnya selama ini diselesaikan di Pengadilan Umum, atau Badan Arbitrase Syariah, bukan Pengadilan Agama. Artinya, sebelum keluarnya UU NO 3/2006 tentang Pengadilan Agama perkara-perkara yang menyangkut peralihan harta atau kebendaan dan perjanjian yang bersifat bisnis masih menjadi kewenangan Pengadilan Negeri, dikarenakan kewenangan Pengadilan Agama masih sangat terbatas. Pasal 49, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan
109
Honsen,M.N. Buku Saku Perbankan Syariah. Direktur Eksekutif PKES. Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah, Jakarta, Nopember 2005,hlm 12
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Agama hanya menentukan bidang-bidang tertentu saja yang menjadi kewenangan (kompetensi absolut) Pengadilan Agama, yaitu bidang : Perkawinan, Kewarisan (yang meliputi juga wasiat dan hibah) dan Wakaf dan Shadaqah. Karena itulah UU Nomor 7/1989 diamandemen pemerintaf dan DPR dengan Undnag-undang yang baru yakni UU No. 3/2006. Dalam pertimbangan amandemen Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa Peradilan Agama dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat, karena itu perlu dilakukan amandemen. Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syariah. Pengadilan Negeri bisa disebut sebagai Pengadilan Konvensional. Maka sangat aneh, jika masalah syariah diselesaikan secara konvensional, bukan secara syariah. Dalam prakteknya, sebelum amandemen UU No 7/1989 ini, penegakan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu kepada ketentuan KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW), kitab Undang-Undang Hukum Sipil Belanda yang dikonkordansi keberlakuannya di tanah jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854 ini,
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
sehingga konsep perikatan dalam Hukum Islam tidak lagi berfungsi dalam praktik formalitas hukum di masyarakat, tetapi yang berlaku adalah BW. 110 Secara historis, norma-norma yang bersumber dari hukum Islam di bidang perikatan (transaksi) ini telah lama memudar dari perangkat hukum yang ada akibat politik penjajah yang secara sistematis mengikis keberlakuan hukum Islam di tanah jajahannya, Hindia Belanda. Akibatnya, lembaga perbankan maupun di lembagalembaga keuangan lainnya, sangat terbiasa menerapkan ketentuan buku ketiga BW (Burgerlijk Wetboek) yang sudah diterjemahkan. Sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syariah tanpa pedoman teknis yang jelas akan sulit sekali dilakukan. Amandemen ini memang dirasakan sangat penting, mengingat perkembangan lembaga keuangan syariah bergerak cepat, seperti perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, lembaga keuangan mikro syariah (BMT), pergadaian syariah, dan sebagainya. Selama ini, banyak kasus sengketa ditangani oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional (Bayarnas), sesuai dengan akad di lembaga keuangan syariah. Nasabah dan lembaga perbankan secara ”terpaksa” harus memilih lembaga Bayarnas untuk menyelesaikannya. Setiap darf kontrak syariah telah membuat klausul Basyarnas. Selama ini eksekusi keputusan arbitrase dilakukan oleh Pengadilan Negeri, bukan Pengadilan Agama (Syariah). Ketentuan ini sesuai dengan Undang-Undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999. Realita ini seharusnya diubah, pasca keluarnya UU No 3/2006. Dengan kata lain, Undang-Undang Arbitrase harus diamandemen. Lahirnya 110
Ibid, hlm 13-14
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
UU No 3 Tahun 2006 ini juga memebawa implikasi besar bagi seluruh redaksi akad di lembaga perbankan dan keuangan syariah saat ini. Dalam setiap akad di lembaga ekonomi syariah tercantum sebuah klausul yang berbunyi, ” Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajiban atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Dengan amandemen ini maka klausul tersebut seharusnya dihapuskan dan seluruh format transaksi di bank dan lembaga keuangan syariah harus diubah. Klausul tersebut juga terdapat pada Peraturan Bank Indonesia saat ini dan seluruh fatwa DSN MUI. 111 Dalam fatwa DSN MUI dan PIB disebutkan, bahwa penyelesaian sengketa diselesaikan oleh Badan Arbitrase Syariah. Maka dengan amandemen ini, bunyi redaksi DSN MUI dan PIB yang menyebutkan peranan Badan Arbitrase seharusnya dihapus, karena telah ada Pengadilan Agama yang berwenang mengadilinya. Namun demikian, Badan Arbitrase tidak serta merta kehilangan peran, sebab jika para pihak memilih badan ini menyelesaikan kasusunya, maka hal itu dibenarkan. Pencantuman lembaga arbitrase syariah di fatwa DSN dan PBI untuk menyelesaikan sengketa syariah dapat dimaklumi, karena selama ini belum ada Undang-Undang No 3/2006. tetapi setelah Undang-Undang No 3/2006 lahir, maka lembaga yang menyelesaikan kasus sengketa syariah tidak lagi monopoli lembaga arbitrase.
111
Ibid, hlm 14.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Kecuali para pihak sejak awal memang sepakat memilih Lembaga Badan Arbitrase. Klausul keharusan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase adalah sebuah kesalahan fatal. Sama fatalnya, jika setiap transaksi bisnis nonsyariah harus diselesaikan melalui lembaga arbitrase konvensional yang disebut BANI, bukan Pengadilan Umum. Dengan keluarnya UU No 3/2006, ada lima masukan kritis dan evaluatif yang perlu menjadi perhatian. Pertama, jika terjadi sengketa dibidang ekonomi syariah, penyelesaian perkaranya tidak boleh dibatasi hanya oleh lembaga arbitrase syariah (Bayarnas). Sehubungan dengan itu bunyi klausul seluruh akad di lembaga keuangan syariah, bunyi fatwa DSN dan PBI yang mengharuskan penyelesaian sengketa dilakukan oleh badan Arbitrase Syariah nasional, hendaknya dihilangkan. Kedua, seluruh perselisihan di bidang ekonomi syariah menjadi Peradilan Agama, maka seluruh hakim agama yang selama ini hanya memahami hukum-hukum keluarga (al-ahwal asy-syakhsyiah) perlu memahami hukum-hukum tentang perbankan dan lembaga keuangan syariah lainnya. Untuk itu perlu dilaksanakan pelatihan dan workshop ekonomi syariah bagi hakim di lingkungan Peradilan Agama. Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) siap melakukannya bekerjasama dengan Mahkamah Agung untuk melakukan workshop dan training tersebut. Ketiga, dengan disahkannya Undang-undang No.3/2006 ini, maka semua perundang-undangan yang terkait harus menyesuaikannya (diamandemen), walaupun pasal yang diamandemen tersebut antara lain : 1. Undang-Undang Arbitrse, 2. Undang-Undang Pasar Modal, 3. Undang-Undang tentang Asuransi, 4. Undang-Undang tentang Pegadaian, 5. Undang-
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Undang No 17/2000 tentang PPn, dsb. 6. Undang-Undang Resi Gudang, dsb. Keempat, diperlukan perubahan (penambahan) materi Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ada. Selama ini KHI hanya berisi tiga bidang hukum Islam, yaitu perkawinan, warisan dan waqaf. KHI yang menjadi rujukan hukum para hakim agama itu perlu menambah materi hukum ekonomi Islam (muamalah). Dalam hal penyelesaian masalah termasuk pembiayaan macet, Arbitrase Muamalat Indonesia ini memiliki keunggulan-keunggulan, dibandingkan dengan arbitrase lainnya. Keunggulan arbitrse adalah : Pertama, Arbitrase Islam memberikan kepercayaan kepada para pihak, karena penyelesaiannya secara terhormat dan bertanggung jawab. Kedua, proses pengambilan putusannya cepat, dengan tidak melalui prosedur yang berbelit-belit serta dengan biaya yang murah, karena terdapat putusan arbitrase hakikat keputusan itu mengandung janji dan setiap janji itu harus ditepati. Ketiga, di dalam proses arbitrase pada hakikatnya terkandung perdamaian dan musyawarah. Sedangkan musyawarah dan perdamaian merupakan keinginan nurani setiap orang. Keempat khusus kepentingan Muamalat Islam dan transaksi melalui Bank Sumut Syariah dan memberikan peluang bagi berlakunya hukum Islam sebagai pedoman penyelesaian perkara. Dalam menjalankan usahanya, bank menghadapi berbagai resiko, antara lain penerbitan surat berharga yang dipersengketakan, tunduk pada ketentuan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang hukum sebagai penunjang utama dalam pelaksanaannya agar berjalan secara tertib berdasarkan hukum nasional para pihak yang membatasi pilihan hukum, misalnya undang-undang Kepailitan, undang-undang
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
lingkungan hidup, undang-undang Perbankan termasuk kantor cabang bank asing mengikuti ketentuan ini vide Peraturan Bank Indonesia No. 7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-hatian. Sejak didirikan 2003 lalu, sengketa yang diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) terhitung hanya belasan. Basyarnas sebelumnya bernama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI), yang didirikan pertama kali pada 1993. Pendirian BAMUI ini merupakan tindak lanjut rekomendasi Rakernas Majelis Ulama Indonesia (MUI) 1992. Selanjutnya, pada Rakernas 2002 MUI merekomendasikan agar nama BAMUI diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional Indonesia. Pada prinsipnya tidak ada perbedaan dengan lembaga serupa seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia dimana peraturan prosedur yang disusun oleh lembaga ini mulai dari pendaftaran, pemeriksaan, sampai putusan tetap mengacu pada undangundang Arbitrase. Untuk biaya perkara, pihak yang bersengketa akan dikenakan biaya pendaftaran, biaya pemeriksaan, dan honor arbiter. Dan apabila ada pihak yang tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, Basyarnas akan mendaftarkan eksekusi ke Ketua Pengadilan Negeri.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukan dalam bab pendahuluan dan isi tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Kekuatan pembuktian perjanjian musyarakah yang di buat Notaris merupakan kekuatan pembuktian yang sempurna karena di buat oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Walupun di dalam hukum Islam apabila telah terjadi kesepakatan dan telah terucap ijab dan qabul maka perjanjian itu sah. Namun negara Indonesia bukan negara Islam jadi harus tunduk dan patuh pada hukum positif Indonesia yaitu harus ada nya pejabat yang berwenang untuk mensyah kan suatu perjanjian dan menjadi bukti dan pejabat yang berwenang itu adalah Notaris. Pada hakekatnya kekuatan pembuktian yang melekat pada akta Notaris sebagai akta otentik memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat yang terdapat pada akta Notaris merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan pembuktian yang terdapat padanya, yaitu kekuatan pembuktian formil dan materiil. 2.
Perjanjian musyarakah merupakan perjanjian yang ada di bank yang berbentuk syariah. Musyarakah adalah transaksi antara dua orang atau lebih yang dua-duanya sepakat untuk melakukan kerja yang bersifat finansial dari pekerjaan tersebut keuntungan nya di bagi hasil. Sedangkan di dalam bank
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
konvensional tidak mengenal perjanjian perkongsian seperi sebagaimana dengan perjanjian yang ada di bank syariah, bank konvensional mengenal perjanjian kredit antara lain, kredit berdasarkan tujuan penggunaannya, kredit ini dibedakan menjadi 2 jenis yaitu kredit produktif dan kredit konsumtif. Kredit berdasarkan jangka waktu yaitu terdiri dari kredit jangka pendek, kredit jangka menengah dan kredit jangka panjang. Jadi di bank konvensional tidak mengenal kredit perkongsian di mana nasabah dan bank sama-sama mempunyai modal untuk modal kerja. 3. Kedudukan jaminan dalam hukum Islam sebagai jaminan pembayaran hutang Dalam Hukum Islam, ada 2 bentuk jaminan yaitu kafalah/dhoman dan rahn. Untuk jaminan yang ada di Bank Sumut Syariah termasuk dalam kelompok rahn. jaminan dapat berfungsi sebagai alternatif pembiayaan apabila nasabah tidak mampu untuk membayar hutang.
B. Saran 1. Di sarankan kepada nasabah Bank dan Bank Sumut Syariah membuat akta perjanjian baik pembiayaan musyarakah, mudharabah, dan murabahah di Notaris. sebaiknya di perbankan Islam jangan menetapkan adanya jaminan dalam kasus musyarakah karena baik bank ataupun nasabah sama-sama memiliki modal. Berbeda dengan kasus mudharabah dan murabahah yang sumber dana nya berasal dari bank.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
2. Perjanjian musyarakah merupakan perjanjian perkongsian di antara bank dengan nasabah dimana bank memberi modal kepada nasabah dan nasabah juga mempunyai modal dari kerjasma tersebut keuntungan nya bagi hasil bagi kedua belah pihak. Sedangkan di dalam bank konvensional tidak mengenal perjanjian seperti ini. Diharapkan kedepan nya bank konvensional membuat perjanjian seperti ini, karena banyak menolong nasabah yang memiliki modal sedikit bisa membantu memberi modal kepada mereka. 3. Untuk meyakinkan dalam melakukan perjanjian musyarakah harus ada peranan Notaris dalam melakukan perjanjian tersebut. Walaupun di dalam Islam apabila terjadi ijab dan qabul sudah dinyatakan sah, tetapi di dalam hukum positif Indonesia khusus nya mengenai perbankan harus adanya peranan Notaris dalam melakukan perjanjian tersebut. Akta Notaris merupakan alat bukti apabila terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak.
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku Abdul Hay Marhanis, Hukum Prerbankan di Indonesia, Paradnya Paramita, 1985 Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, GemaInsani Press, Tazakia Cendikia, Jakarta 2001. Agustino, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Respon Terhadap Persoalan Ekonomi Kontemporer, Cipta Pustaka Media, Bandung, 2002 Arifin, Zainul, Mekanisme Kerja PerbankanIslam dan Permasalahannya, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Volume 2, 2000 Badrulzaman, Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya, Gema Risalah Press Bandung, 1992 Djazuli, A, dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modren, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999 Iljas, Achjar, Sistem Perbankan Syari’ah Dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Dan Undang-Undang No.23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, (Azhari Akmal Tarigan.Ed) Ekonomi dan Bank Syariah Pada Millenium Ketiga, IAIN Press, Medan, 2002. Kie, Tan Thong, Buku I Studi Notariat Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000 Karim, Adiwarman, Bank Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan), Raja Grafindo Persada, Jakarta 2004 Khalil, Jefri, Prinsip Syariah Dalam Perbankan Islam, Yayasan Pengenbang Hukum Bisinis, Volume 20 Lubis, Ibrahim, Ekonomi Islam Suatu Pengantar Jilid 2, Kalam Mulia, Jakarta, 1995
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Lubis, M,Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994 Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2007 --------------------, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998. Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000 ---------------, Hukum Perusahaan Indonesia, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 2002 -------------, Mengenai Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1998 Manan, Muhammad Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1997 Muamalat Institute, Perbankan Syaraiah Prespektif Praktisi, 1999 Poerwataatmadja, W.J.S, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1985 Projodikoro, R, Wirjono, Hukum Acara Perdta Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1988 Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani, Jakarta, 1997 Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid IV, Dana Bhakti Wakaf, Jakarta, 1992 Ridwan, M, Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi dalam Prespektif Ekonomi Islam (Anshari Akmal Tarigan (editor) Ekonomi dan Bank Syariah Pada MilleniumKetiga) IAIN Press, Medan Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995 Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, Sinar Baru Agensindo, Jakarta, 2003 Soegondo, Notodisoerjo, R, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Cetakan Kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993 Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 2002
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Salman, Otje, HR dan Susanto F Anton, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005 Supranto, J, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakrta, 2003 Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Press, Jakarta 1986 ..........................., Penulisan Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994 Soemitro, Ronny Hanitijo, Methodelogi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia Indonesia, Jakrta, 1988 Subekti, R, Hukum Pembuktian, Paradnya Paramita, Jakarta ---------, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermesa, Jakarta, 1985 ---------, Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1986 Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan dan jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 2001 Suyatno, Thomas, Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999 Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Jilid 12, Alih bahasa : Kamaluddin A. Marzuki, PT. Alma’arif, 1987 Syafi’i, Muhammad Antonio, Prinsip dan Etika Bisnis Dalam Islam, Gema Insani, Jakarta, 2000 Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta 1967 Thaib, M. Hasballah, Hukum Aqad (kontrak) dalam fiqih Islam dan Praktek di Bank Sistem Syariah, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2005. Tobing, GHSL, Peraturan Jabatan Notaris, Penerbit Erlangga, 1999 Waluyo, Bambang, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika Jakarta, 1992 Wardoyo, Gatot, Sekitar Klausul-Klausul Perjanjian Kredit Bank-bank dan Manajemen, Jakarta, 1992
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009
Ya’qub, Hamzah, Etika Islam, CV. Diponegoro, Bandung, 1988
Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
Internet http://notarisby.blogspot.com/2008/07 http://staf.blog.ui.edu/disriani-latifah/2009 Amin, A. Riawan, Bank Syariah Sebagai Solusi Yang Berkeadilan dan Berkerakyatan, 2003 http://www.dilibrary.net/images/topic/MakalahRiawanAmin. Peraturan Bank Syariah. Syafe’i Rachmat. Tinjauan Yuridis Terhadap http://www.pikiran-Rakyat.com/cetak/2005/0305/21/0802.
Perbankan
Syariah,
Imelda : Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Syariah Medan, 2009