PERANAN KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG (KPKNL) DALAM PENANGANAN PIUTANG NEGARA MACET SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 33 TAHUN 2006 (PENELITIAN DI KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG MEDAN)
TESIS
Oleh
NEVAYANTI 077011052/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Nevayanti : Peranan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang (KPKNL) Dalam Penanganan Piutang Negara Macet Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 (Penelitian Di Kantor Pelayanan Kekayaannegara Dan Lelang Medan), 2009.
PERANAN KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG (KPKNL) DALAM PENANGANAN PIUTANG NEGARA MACET SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 33 TAHUN 2006 (PENELITIAN DI KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG MEDAN)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
NEVAYANTI 077011052/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Nevayanti : Peranan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang (KPKNL) Dalam Penanganan Piutang Negara Macet Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 (Penelitian Di Kantor Pelayanan Kekayaannegara Dan Lelang Medan), 2009.
Judul Tesis
: PERANAN KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG (KPKNL) DALAM PENANGANAN PIUTANG NEGARA MACET SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 33 TAHUN 2006 (PENELITIAN DI KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG MEDAN) Nama Mahasiswa : Nevayanti Nomor Pokok : 077011052 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Muhammad Abduh, SH) Ketua
(Prof.Dr.Budiman Ginting, SH,MHum) Anggota
Ketua Program Studi,
(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN)
(Dr.Pendastaren Tarigan, SH,MS) Anggota
Direktur,
(Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, MSc)
Tanggal lulus : 13 Agustus 2009 Nevayanti : Peranan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang (KPKNL) Dalam Penanganan Piutang Negara Macet Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 (Penelitian Di Kantor Pelayanan Kekayaannegara Dan Lelang Medan), 2009.
Telah diuji pada Tanggal : 13 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof. Muhammad Abduh, SH
Anggota
: 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum 2. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn
1
2
ABSTRAK Berlakunya Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara merupakan dasar bagi Pengurusan Piutang Negara yang berasal dari kredit macet Bank Pemerintah. Lembaga PUPN ini diadakan untuk melakukan penarikan kembali dana-dana pemerintah yang macet dalam pengembaliannya secara efektif dan efisien dan waktu yang singkat tanpa melalui proses pengadilan. Meningkatnya jumlah kredit bermasalah mengakibatkan pemerintah merasa perlu diadakan revisi dalam tata cara penghapusan piutang negara/ daerah yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2006, yang merupakan konsistensi dari Undang-Undang No.49 Prp Tahun 1960 sehingga dapat meringankan pengusaha kecil dan menengah dalam hal pengembalian utangnya pada negara. Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan serta menganalisa data yang diperoleh secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai peran Kantor Pelayanan Keuangan Negara dan Lelang (KPKNL) dalam penanganan kredit macet sebelum dan sesudah berlakunya Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2006. Untuk itu jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris yaitu didasarkan kenyataan yang terjadi di lapangan lalu dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sedangkan alat penelitian yang digunakan adalah studi dokumen, dan pedoman wawancara. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan metode induktif. Berdasarkan hasil penelitian, KPKNL sebagai instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah sejak terbitnya Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2006 perannya dalam penanganan kredit macet Bank BUMN sudah semakin berkurang. Pengurusan piutang diserahkan pada masing-masing BUMN yang dikelola berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat yang diatur Undang-Undang tentang BUMN dan Undang-Undang Perseroan Terbatas. Namun dalam penerapannya dirasakan sangat sulit menyatukan persepsi terhadap PP ini karena masih ada peraturan yang lebih tinggi menganjal penerapan PP tersebut sehingga menimbulkan kerancuan, yang dalam ini adalah terjadinya ketidakpastian hukum. Namun dengan sosialisasi yang merata dari pihak terkait (Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan aparat penegak hukum) dan adanya niat baik dari para bankir dalam mengimplementasikan Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2006 ini serta adanya aturan normatif yang mampu menjamin kepastian hukum, diharapkan pengembalian asset negara lebih terjamin dan peran KPKNL lebih terfokus pada pengelolaan aset pemerintah yang ada di lingkungan Departemen Keuangan. Kata kunci : Pelayanan, kekayaan, piutang macet, lelang
3
ABSTRACT
The enactment of Law No.49 Prp of 1960 regarding Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), the Committee of National Receivable Terms is constitute base for handling the national receivable originally emerged on a bad credit owned by government banks. This PUPN institute is established primary to got refund any government fund as congestion, for repayment due to is not effective and efficient, to tackle it in a short time without got any court process. Rising the amount of stagnant credit resulting in the authority is urged to produce a revision in finding a properly way to write off the state receivable as it is cast in a government regulations No.33 of 2006, as it is a consistency to the Law No.49 Prp Regulations of 1960 for it may relieve especially those small and middle scale enterprises in repaying their debts to state. This study is completed descriptively aimed to describe and analyze the data which is obtained systematically, factual, and accurately regarding the role of Kantor Pelayanan Keuangan Negara and Lelang (KPKNL)- the State Auction Office in handling the bad credit before and after taking effective the Government Regulations No.33 of 2006. The research to this study adopting an empirical juridical method based on a fact occurred in field, then to relate it to the regulations rule as effective, whereas the research tool adopted is document study, and the interview guidance. The analysis to the data made qualitatively by using an inductive method. The result of study showed that KPKNL as a vertical authority for the Direktorat Jenderal Kekayaan Negara function under and responsible directly to the Head Office of Regional since thence issuing the Government Regulations No.33 of 2006 its role in handling a bad credit on State Banks got run to minimal. Later, the receivable matter is surrendered to each State Banks as managed based on a healthy principles corporation in managed as ruled according to the Regulations on BUMN and the Law on Limited Corporations. Accordingly, in applied it seemly difficulty to unite perception on this Regulations since found a high rank regulations to barrier it and it cause a confusion, in this case existing uncertainly in law enforcement. It is fortunately, by socialization uniformly valid conducted by the Finance Department, Bank Indonesia and the authority and under a good will by those bankers in implementing the government regulations of No.33 of 2006 even existed a normative rules capable to assure the law enforcement, it is hopefully the restitution the state assets shall be more securely and the role of KPKNL shall be more focused on managing the government assets available on the scope of Finances Department.
Keywords : Service, asset, bad receivable, auction
4
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat hidayah-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul “PERANAN KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG (KPKNL) DALAM PENANGANAN PIUTANG NEGARA MACET SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 33 TAHUN 2006 (PENELITIAN DI KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG MEDAN)”. Pada penulisan tesis ini, penulis telah memperoleh banyak bantuan, dukungan, dorongan secara moril, masukan dan saran sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Oleh karena itulah dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih khususnya kepada yang terhormat komisi pembimbing Prof. Muhammad Abduh, SH, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum dan Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS atas kesediaannya dalam membantu dan memberikan bimbingan serta arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn yang telah banyak memberikan masukan-masukan terhadap penyempurnaan tesis ini.
5
Pada kesempatan ini dengan kerendahan hati, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada : 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Prof. Dr. Ir.T.Chairun Nisa B., MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4. Kepada yang tercinta Papa Prof. dr. H. Nazar Moesbar, SpB, SpOT.K dan Mama Hj. Marlinawati yang selalu memberikan dukungan, kasih sayang dan doa kepada penulis untuk selalu berbuat yang terbaik. 5. Kepada Almarhum Papa Mertua Ir. H. Aboebakar Ayub dan Mama Mertua Hj. Siti Hamidah yang telah mendorong penulis dalam melanjutkan pendidikan. 6. Kepada keluarga kecil penulis, suamiku Ir. Bob Erwin, anak-anakku M. Faishal Erwin, Fathia Qanita Erwin & M. Fadhil Fachriza yang telah rela kehilangan sebagian waktu bersama ketika penulis menjalani pendidikan hingga selesai. 7. Kepada Kakak dan adik-adik penulis : Nivia Nazar, SE, Rico Darmawan SE, MBA, dr.Poppy Sartika Sp.THT, Syiril Erwin ST.MT. Achmad Arryanto SE.MT.Arch, Yusriani S.Kom, dr.Heru Rahmadhani SpB. Dr.Gendis Desy Maulidia yang selalu memberi semangat kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan.
6
8. Teman-teman mahasiswa Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Angkatan 2007, khususnya Kelas A yang selalu memotivasi dan memberikan semangat dalam menyelesaikan tesis ini. Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan perhatiannya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini. Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Medan,
Agustus 2009 Penulis,
NEVAYANTI
7
RIWAYAT HIDUP I. Identitas Pribadi Nama
: Nevayanti
Tempat/Tanggal Lahir
: Medan, 15 April 1972
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status
: Menikah
Agama
: Islam
Alamat
: Komp.Taman Setia Budi Indah Blok B 52-D Medan
II. Keluarga Nama suami
: Ir.Bob Erwin
Nama ayah
: Prof. dr. H. Nazar Moesbar, SpB, SpOT.K
Nama ibu
: Hj. Marlinawaty
Nama anak
: 1. M. Faishal Erwin 2. Fathia Qanita 3. M. Fadhil Fachriza
III. Pendidikan 1. SDN Sei Petani Medan, Tahun 1984 2. SMPN 37 Jakarta, Tahun 1987 3. SMAN 66 Jakarta, Tahun 1990 4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Tahun 1995 5. S-2 Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tahun 2009
Medan,
Agustus 2009 Penulis,
Nevayanti
8
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK..................................................................................................
i
ABSTRACT.................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ...............................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................
vi
DAFTAR ISI ..............................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .....................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xi
BAB I
: PENDAHULUAN ....................................................................
1
A. Latar Belakang ....................................................................
1
B. Perumusan Masalah .............................................................
10
C. Tujuan Penelitian .................................................................
10
D. Manfaat Penelitian ...............................................................
11
E. Keaslian Penelitian ...............................................................
11
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ..............................................
12
1. Kerangka Teori ..............................................................
12
2. Konsepsi ........................................................................
21
G. Metode Penelitian ...............................................................
27
1. Sifat Penelitian...............................................................
28
2. Metode Pendekatan ........................................................
28
9
3. Lokasi Penelitian ...........................................................
28
4. Teknik Pengumpulan Data ............................................
29
5. Alat Pengumpulan Data ................................................
30
6. Analisis Data ................................................................
30
BAB II : PERANAN KANTOR PELAYANAN KEUANGAN NEGARA DAN LELANG (KPKNL) SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 33 TAHUN 2006 ...........................
32
A. Gambaran Umum KPKNL Medan .......................................
32
1. Tugas, Fungsi dan Wewenang KPKNL Medan ...............
32
2. Struktur Organisasi KPKNL Medan ................................
35
3. Susunan Organisasi KPKNL ...........................................
36
B. Peranan Kantor Pelayanan Keuangan Negara dan Lelang (KPKNL) Dalam Penanganan Piutang Negara Macet Sebelum dan Sesudah Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 .........................................................
38
1. Peran KPKNL Sebelum Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 ................................
38
2. Prosedur dan Pelaksanaan Penanganan Kredit Macet yang Berasal Dari Bank BUMN oleh KP2LN Medan .....
41
3. Prosedur Pelaksanaan Sistem Lelang Negara .................
68
4. Peran KPKNL Sesudah Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006.................................
76
BAB III : PROSES PENANGANAN PIUTANG MACET DARI PERBANKAN NASIONAL SEJAK BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 33 TAHUN 2006 ..
80
A. Pengertian Piutang Negara ...................................................
80
B. Pengertian Piutang Negara Macet .........................................
82
10
C. Dasar Hukum Pengurusan Piutang Negara Macet .................
86
D. Pelaksanaan Sistim Pengurusan Piutang Negara Macet Setelah Berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 ..........................................................................
94
BAB IV : PENGARUH BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 33 TAHUN 2006 TERHADAP PENERIMAAN NEGARA DARI LELANG PERBANKAN NASIONAL ..............................................................................
109
A. Efektifitas Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 Dalam Meningkatkan Penerimaan Negara Dari Lelang Perbankan .............................................................................
109
B. Perbedaan Persepsi Dalam Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor. 33 Tahun 2006 .........................................................
110
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN.................................................
113
A. Kesimpulan ..........................................................................
113
B. Saran ....................................................................................
114
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
116
11
DAFTAR TABEL
Nomor 1
2
Judul
Halaman
Barang Jaminan Yang Telah Selesai Pengurusannya Secara Lelang Pada KP2LN Medan Tahun 2004 s/d 2006 ..................
71
Beberapa Kasus Yang Jaminan Hutang Kebendaannya Telah Diselesaikan Melalui Lelang Pada KP2LN Medan Tahun 2004 S/D 2006 .............................................................
72
12
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
1
2
Judul
Halaman
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 .......................................................................
120
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2006 .......................................................................
129
13
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pada era pembangunan dewasa ini, peranan kredit sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan sangatlah penting untuk menunjang, merangsang dan menumbuhkan motivasi masyarakat untuk meningkatkan produktifitas di bidang usahanya. Meningkatnya pembangunan mengakibatkan meningkatnya kebutuhan dana pembangunan. Dana pembangunan yang tersedia antara lain disalurkan melalui lembaga perbankan. Dana milik negara yang juga merupakan milik masyarakat yang perlu dilindungi agar dapat secara berkelanjutan menunjang pembangunan. Dana yang dipinjam dengan suatu kewajiban harus dikembalikan, jika tidak dapat dikembalikan maka akan menimbulkan gangguan dalam pembangunan karena dana yang seharusnya dapat terus bergulir harus terhenti. Kegiatan utama perbankan pada umumnya adalah bagaimana menarik dana masyarakat dalam bentuk tabungan dan menyalurkan kredit guna menjadi pinjaman yang produktif, sehingga bank dapat menikmati hasil yang diperoleh (return) berupa bunga pinjaman untuk membiayai operasionalnya yang tumbuh dan berkembang. Namun penyaluran kredit pada masyarakat tidak selamanya berjalan lancar seringkali mengandung resiko dalam pengembaliannya. Oleh karena itu pihak perbankan dalam penyaluran kredit harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
14
1. Pemberian kredit harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian. 2. Bank harus mempunyai keyakinan terhadap kemampuan dan kesanggupan debitur melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. 3. Wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank atau masyarakat yang mempercayakan dana nya pada masyarakat. 4. Harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat Pengucuran kredit oleh bank mengandung resiko dalam hal pengembaliannya, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat, yaitu : 1. Bank tidak diperbolehkan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis. 2. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada usaha yang sejak semula dipertimbangkan kurang sehat. 3. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham. 4. Memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit (Legal Lending Limit).1 Perbankan dalam mengantisipasi agar tidak
terjadi masalah dalam
pengembalian kredit menempuh langkah-langkah, yaitu pengamanan preventif dan pengamanan represif. Pengamanan preventif adalah pengamanan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kemacetan kredit, keyakinan ini diperoleh setelah melakukan penilaian mengenai watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha debitur, sedangkan pengamanan represif adalah pengamanan yang dilakukan untuk menyelesaikan kredit-kredit yang telah mengalami ketidaklancaran atau kemacetan (dubius). 1
hlm. 393.
Muh.Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 2003),
15
Bank dalam penyaluran kredit kepada debitur memerlukan suatu jaminan untuk sewaktu-waktu apabila debitur cidera janji/wanprestasi dapat dijual. Kewajiban memberikan jaminan dari debitur kepada bank (kreditur) dilakukan dengan perjanjian penjaminan. Perjanjian jaminan ini merupakan perjanjian yang bersifat accesoir dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit. Benda yang lazim digunakan sebagai jaminan dalam perjanjian kredit adalah tanah dan bangunan. Tanah dan bangunan dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai barang jaminan yang relatif aman, karena disamping tidak mudah hilang dan rusak, harga tanah dapat terus meningkat, terlebih jika lokasi tanah yang dijadikan agunan berada di daerah perkotaan, yang strategis. Semakin banyak kebutuhan dan permintaan akan tanah, semakin tinggi harga tanah. 2 Luas tanah tidak akan bertambah sedangkan kebutuhan akan tanah meningkat terus, seirama dengan pertumbuhan dan perkembangan dalam masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria telah mengatur tentang Jaminan Hak Tanggungan Atas Tanah. Berdasarkan Pasal 51 UUPA diatur bahwa : “Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan tersebut adalah Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan undangundang”. 2
John Salindeho, Tanah Sebagai Jaminan Kredit, (Jakarta, Sinar Grafika, 1994), hlm. 39
16
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang mulai berlaku efektif tanggal 9 April 1996 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42 serta Penjelasannya dalam Lembaran Negara Nomor 3632, Hak Tanggungan menggunakan ketentuan hyphoteek yang disebut dengan hipotik dan Hak Tanggungan yang menggunakan ketentuan Credietverband yang disebut dengan Creditverband. 3 Dengan berlakunya UUHT, Hipotik dan Credietverband hanya disebut dengan Hak Tanggungan yang diatur dengan undang-undang tersendiri tidak lagi menggunakan ketentuan yang terdapat dalam Buku II KUHPerdata dan ketentuan tentang Credietverband yang diatur dalam Staatblad 1908 – 542 sebagaimana telah diubah dengan Staatblad 1937 – 190. Hak tanggungan yang dibebankan kepada benda yang menjadi agunan memberikan jaminan kepada pihak kreditur/bank yang telah memberikan pinjaman. Hal ini jika debitur tidak dapat melunasi hutangnya maka benda yang telah dibebani hak tanggungan akan dapat dijual oleh kreditur. Kreditur pemegang hak tanggungan mempunyai hak istimewa berupa : 1. Droit de preferent, yaitu memberikan kedudukan yang diutamakan, atau mendahulukan kepada pemegangnya. 2. Droit de suite, yaitu selalu mengikuti obyek hak tanggungan yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada. 3. Benda yang dibebani hak tanggungan berada di luar boedel kepailitan. 4. Hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi. 5. Kemudahan dan kepastian dalam eksekusi 6. Kepastian tanggal kelahiran hak tanggungan. 4 3
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta, Djambatan, 2003), hlm.
4
Ibid. hlm. 155
148.
17
Perlindungan yang diberikan oleh undang-undang kepada kreditur sebagai pemegang hak tanggungan adalah perlindungan yang maksimal, tetapi dalam pelaksanaannya pengaturan kredit tidak terlepas dari masalah karena pihak debitur tidak dapat melunasi hutangnya dengan berbagai alasan yang mendasarinya. Dalam hal pengaturan kredit yang diberikan oleh bank pemerintah kepada debitur, jika dihadapkan pada permasalahan debitur tidak dapat melunasi kreditnya berdasarkan perjanjian kredit yang telah disepakati, dan bank telah menempuh upayaupaya agar debitur dapat melunasi pembayaran kreditnya, maka kredit bermasalah (macet) tersebut sebagai piutang negara yang tidak tertagih. Untuk pengurusan piutang negara karena kredit macet yang berasal dari bank pemerintah sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, diserahkan pihak bank pada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Lembaga ini (PUPN) khusus diadakan untuk mengurus kepentingan keuangan negara, hutang kepada negara atau badan-badan baik yang langsung maupun yang tidak langsung dikuasai oleh negara. 5 Dasar hukum berlakunya lembaga Panitia Urusan Piutang Negara adalah Undang-undang Nomor 49/Prp Tahun 1960 yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 156 Tahun 1960 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2104.
5
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung, Alumni, 1980), hlm. 151.
18
Adapun alasan dibentuknya lembaga Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) adalah : 1. Sengketa itu menyangkut piutang negara. 2. Lembaga pengadilan masih belum mampu menyelesaikan sengketa dengan cepat. 3. Untuk mencegah supaya keuangan negara tidak dirugikan. 6 Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) yang berada di pusat ibukota negara merupakan suatu panitia, untuk mengefektifkan pelaksanaan penyelenggaraan wewenang dan tugas, maka dibentuk suatu lembaga yang bernama BUPN (Badan Urusan Piutang Negara) yang berganti nama menjadi BUPLN (Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara) yang saat ini telah berganti menjadi DJPLN (Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara). Badan ini berada langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan untuk operasional di daerah-daerah kota dan daerah Kabupaten dibentuk Kantor Pengurusan Piutang dan Lelang Negara (untuk selanjutnya disebut KP2LN) yang sekarang berganti nama menjadi Kantor Pelayanan Kekayaan
Negara
dan
Lelang
(untuk
selanjutnya
disebut
KPKNL).
Penyerahan piutang macet bank pemerintah kepada Panitia Urusan Piutang negara (PUPN) sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2006, tugas dan kewenangannya dijalankan oleh KP2LN kota atau kabupaten. Hal ini didasarkan atas : 1. Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tanggal 14 Desember 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. 6
Ibid. hlm. 173
19
2. Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 1976 tanggal 20 Maret 1976 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara. 3. Keputusan Presiden RI Nomor 21 Tahun 1991 tanggal 4 Juni 1991 tentang Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara. 4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002 tentang Panitia Urusan Piutang Negara KP2LN mempunyai kewenangan karena undang-undang dan diberikan kewenangan oleh pihak bank/kreditur untuk dapat menyelesaikan kredit macet dengan berdasarkan pada perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan. KP2LN menempuh upaya-upaya dalam melakukan penagihan kepada debitur dan upaya terakhir yang akan ditempuh KP2LN adalah dengan menjual lelang benda yang menjadi jaminan kredit. Dalam hal ini mengenai barang yang dikuasai pemerintah secara tidak langsung, yang berada disektor perbankan khususnya barang jaminan dari bank pemerintah, yang ketika terjadi kredit macet diserahkan ke PUPN, telah mengalami pergeseran menjadi kewenangan hukum publik. Berdasarkan atas pertimbangan hukum dari Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara yang menyatakan hutang kepada negara atau badan-badan yang langsung maupun tidak langsung dikuasai negara perlu segera diurus, bahwa oleh keadaan memaksa, masalah tersebut harus diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 memberikan sifat publik kepada kredit macet yang berasal dari sektor
20
perbankan pemerintah. 7 Memburuknya keadaan perekonomian pasca kenaikan harga BBM dan segala implikasinya menyebabkan terjadinya lonjakan kredit macet yang signifikan. Hal ini disebabkan tingginya tingkat inflasi dan merosotnya daya beli masyarakat. Oleh karena itu untuk mengurangi jumlah kredit macet pada pembukuan di bank BUMN (Badan Usaha Milik Negara), dan memberi kesempatan pada pada debitur yang telah dinyatakan finish oleh bank untuk berusaha kembali baik dengan cara restrukturisasi maupun pemotongan jumlah utang,maka pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 dalam penjelasan pasalnya menyatakan seiring dengan perjalanan waktu disadari bahwa dalam upaya memberikan keleluasaan bagi perusahaan negara/daerah (sekarang BUMN/BUMD) dalam mengoptimalkan pengelolaan/pengurusan piutang yang ada pada BUMN/BUMD yang bersangkutan, dipandang perlu untuk meninjau kembali pengaturan mengenai penghapusan piutang perusahan negara/daerah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005, dilandaskan pada pemikiran bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara sebagai hukum positif yang mengatur BUMN, secara tegas dalam Pasal 4 menyatakan bahwa kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. 8 Pada Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tersebut juga ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘dipisahkan’ adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Dengan pemisahan kekayaan negara tersebut, seharusnya
7
Menurut Bismar Nasution, perbedaan perlakuan dihadapan hukum terhadap hutang yang dibuat di sektor perbankan pada bank swasta pengurusannya terus melalui pengadilan dengan kewenangan hukum perdata, sedangkan hutang yang dibuat di bank pemerintah pengurusannya oleh PUPN, berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 menjadi kewenangan hukum publik, tidak dapat dibenarkan secara hukum, karena keduanya berasal dari perjanjian kredit perbankan, keduanya harus memperoleh perlakuan yang sama di hadapan hukum sesuai asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel), Bismar Nasution dalam Seminar Hasil Penelitian dari Peneliti di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 5 April 2007 8 Lihat Pasal 4 Undang-Undang No 19 Tahun 2003 Tentang Perbankan.
21
piutang yang terdapat pada BUMN sebagai akibat perjanjian yang dilaksanakan oleh BUMN selaku entitas perusahaan tidak lagi dipandang sebagai piutang negara. Sejalan dengan itu pengelolaan termasuk pengurusan atas piutang BUMN tidak dilakukan dalam koridor pengurusan piutang negara melainkan diserahkan kepada mekanisme pengelolaan berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat dan peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
Dalam
hal
mengoptimalkan
pengelolaan, pengurusan atau penyelesaian piutang yang ada pada BUMN tersebut, kecuali atas berkas piutang macet yang telah diserahkan kepada PUPN/KPKNL sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006, akan tetap menjadi piutang negara yang diselesaikan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 ini membatasi ruang lingkup pengertian keuangan negara, menjadi tidak mencakup kekayaan negara yang telah dipisahkan yang berada pada BUMN/BUMD. 9 Pemahaman ini mengakibatkan suatu prioritas penyelesaian kredit macet melalui penyelesaian prinsip-prinsip perusahaan yang sehat dan memperkecil kemungkinan penyelesaian berdasarkan eksekusi melalui lelang, kecuali penyelesaian kredit macet berdasarkan hak-hak kebendaan yang harus dieksekusi. Dengan demikian lelang yang berasal dari jaminan bank pemerintah bukan lagi lelang atas kekayaan negara. 9
Sejalan pendapat Arifin P.Soeria Atmadja, yang menyatakan implikasi hukum arti keuangan negara terhadap piutang BUMN, bahwa penyelesaian piutang bank-bank persero yang disebabkan oleh kredit macet tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian keuangan negara, sehingga kredit macet itu dapat dihapusbukukan maupun hapus tagih melalui strategy financial engineering sesuai kondisi dan situasi yang terjadi dalam perusahaan. Kajian Hukum dan Perundangan Untuk Menekan NPL, Majalah Mandiri, Edisi 181, Tahun VII, 3 April 2006.
22
B. Perumusan Masalah Dengan bertitik tolak dari uraian latar belakang masalah tersebut diatas maka rumusan masalah dalam rangka penelitian ini yang adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana peran Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dalam penanganan piutang negara macet sebelum dan
sesudah berlakunya
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 ? 2. Bagaimana proses penanganan piutang negara macet dari perbankan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 ? 3. Bagaimana pengaruh berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 terhadap penerimaan negara dari lelang perbankan nasional ?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam permasalahan, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 3. Untuk mengetahui sejauhmana peran Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dalam penanganan piutang negara macet sebelum dan sesudah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006. 4. Untuk mengetahui bagaimana proses penanganan piutang negara macet yang berasal dari perbankan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006.
23
5. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tersebut terhadap penerimaan negara dari lelang perbankan. D. Manfaat Penelitian 1.
Secara teoritis dapat menambah kepustakaan bagi akademisi tentang peran KPKNL dalam penanganan piutang negara macet sebelum dan sesudah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006.
2.
Secara praktis, sebagai bahan masukan bagi kalangan praktisi dan masyarakat (pelaku usaha) mengenai penanganan piutang negara macet sebelum dan sesudah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006.
3.
Untuk dapat mengetahui sejauh mana pengaruh berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 terhadap penerimaan negara dari lelang perbankan.
E. Keaslian Penelitian Sepanjang yang diketahui berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Sekolah Pascasarjana, Magister Kenotariatan dan Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, bahwa belum ada penelitian sebelumnya dengan judul : “Peranan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang (KPKNL)) Dalam Penanganan Piutang Negara Macet Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 (Studi Penelitian Kantor KPKNL Medan)”. Hasil penelitian yang telah ada adalah hasil penelitian Nurliana, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan dengan judul “Kajian
24
Yuridis Terhadap Pelaksanaan Lelang (Penelitian pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Medan)”. Permasalahan yang diajukan adalah tentang proses penyelesaian lelang pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) di Kota Medan. Penelitian lain dilakukan oleh Leonardo, Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan dengan judul “Penundaan Pelaksanaan Eksekusi Lelang Terhadap Barang Jaminan Hutang Milik Nasabah Debitur (Penelitian Pada KPKNL Medan)”. Oleh karena itu ulasan masing-masing peneliti dalam penelitiannya berbeda, maka penelitian ini betul-betul asli, baik pada permasalahan materi maupun lokasi penelitian sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena belum ada peneliti lain yang melakukannya.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori “Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui”. 10 Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. “Kontinuitas perkembangan 10
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung, Mandar Maju, 1994), hlm. 80
25
ilmu hukum, selain tergantung pada metodologi aktivitas penelitian dan imajinitas sosial sangat ditentukan oleh teori”. 11 Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian dan hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta yang luas. 12 Sedangkan kerangka teori pada penelitian Hukum Sosiologis atau Empiris yaitu kerangka teoritis yang berdasarkan pada kerangka acuan hukum, tanpa acuan hukumnya maka penelitian tersebut hanya berguna bagi sosiologis dan kurang relevan bagi ilmu hukum. 13 Dalam teori system yang dikemukakan Maryam Darus Badrulzaman, bahwa system adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu yang merupakan landasan di atas mana dibangun tertib hukum. 14 Hal yang sama juga dikemukakan oleh Sunaryati Hartono, bahwa sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas. 15 Dengan demikian, pembentukan hukum dalam bentuk hukum positif harus berorientasi pada asas-asas hukum sebagai jantung peraturan hukum tersebut.16
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, UI Press, 1986), hlm. 6 Ibid , hlm. 126 13 Ibid , hlm. 127 14 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 15. Bandingkan, Mahadi, Falsafat Hukum Suatu Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hlm.119, menjelaskan bahwa asas adalah sesuatu yang dapat dijadikan alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak dijelaskan. 15 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hlm. 56 16 Lihat, Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 15, menyatakan bahwa disebut demikian karena dua hal yakni, pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, artinya peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kedua, sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum. 12
26
Dalam penelitian ini cenderung adanya peraturan yang bersifat khusus mengenyampingkan peraturan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis). Aturan hukum yang memuat azas lex specialis derogat lex generalis dilihat menurut teori Sistem Hukum dari Hart, termasuk kategori Rule of Recognition, mengingat asas ini mengatur aturan hukum mana yang diakui absah sebagai suatu aturan yang berlaku. Dengan demikian asas ini merupakan salah satu secondary rules, yang sifatnya bukan mengatur perilaku sebagaimana primary rules, tetapi mengatur (pembatasan) penggunaan kewenangan (aparat negara) dalam mengadakan suatu represi terhadap pelanggaran atas aturan tentang perilaku yang dalam penelitian ini peran KPKNL harus didukung oleh tindakan aparat negara dalam penanganan piutang negara macet agar dapat dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku. 17 Secara sederhana bank diartikan sebagai lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya. 18 Pengertian lembaga keuangan adalah setiap perusahaan yang bergerak di bidang keuangan dimana kegiatannya apakah hanya menghimpun dana atau hanya menyalurkan dana atau kedua-duanya. 19
17
http://hukum_online_blogspot.com/2008/03/tinjauan_yuridis.asas.lex.htm diakses 29 Juni
2009 18 19
Kasmir, Dasar-dasar Perbankan, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 2 Ibid , hlm. 3
27
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 angka 2 : Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Yang dimaksud dengan “demokrasi ekonomi” adalah demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 (Pasal 2 Undang-Undang Perbankan 1992). Fungsi utama Perbankan Indonesia Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yaitu sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Sejalan dengan fungsi utama dimaksud, tujuan Perbankan Indonesia sebagaimana Pasal 4 Undang-Undang Perbankan 1992 adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Setelah keluar Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 dan ditegaskan lagi dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 maka jenis perbankan berdasarkan fungsinya terdiri dari : a. Bank Umum b. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
28
Bank ditinjau dari segi kepemilikan dapat dilihat dari akte pendirian dan penguasaan lahan yang dimiliki bank yang bersangkutan adalah : a. Bank Milik Pemerintah Merupakan bank yang akte pendirian maupun modal baik sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, seperti : BRI, BNI 46, Bank Mandiri dan BTN. Kemudian Bank Pemerintah Daerah (BPD) terdapat di Daerah Tingkat I, dan Tingkat II masing-masing propinsi. Modal BPD sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah masing-masing tingkatan. b. Bank Milik Swasta Nasional Bank atau seluruh atau sebagian besar lahannya dimiliki oleh swasta nasional. c. Bank Milik Koperasi d. Bank Milik Asing e. Bank Milik Campuran Pada praktek perbankan yang mempunyai fungsi utama sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, khususnya Bank Milik Pemerintah yang menyalurkan dana pada masyarakat dalam bentuk kredit bila terjadi kredit macet maka pihak bank akan menyerahkan pengurusan kredit macet tersebut pada PUPN/DJPLN karena dana milik bank pemerintah tersebut merupakan piutang negara. Dalam hal pengurusan kredit macet pada bank swasta maka dapat ditempuh dengan jalan mengajukan permohonan penetapan ke pengadilan negeri agar dapat benda jaminan dilelang.
29
Kredit berasal dari bahasa Romawi “credere” yang berarti percaya. 20 Sedangkan menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 : Kredit adalah penyediaan uang/tagihan yang dapat dipergunakan dengan itu, berdasarkan persetujuan/kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Sehingga menurut pasal tersebut, unsur-unsur kredit adalah : a. Adanya kesepakatan atau perjanjian antara pihak kreditur dengan debitur, yang disebut dengan perjanjian kredit b. Adanya para pihak, yaitu pihak kreditur sebagai pihak yang memberikan pinjaman, seperti bank dan pihak debitur, yang merupakan pihak yang membutuhkan uang pinjaman/barang atau jasa. c. Adanya unsur kepercayaan dari kreditur bahwa para pihak debitur mau dan mampu membayar/mencicil kreditnya. d. Adanya kesanggupan dan janji membayar hutang dari pihak kreditur. e. Adanya pemberian sejumlah uang/barang/jasa oleh pihak kreditur kepada pihak debitur. f. Adanya pembayaran kembali sejumlah uang/barang/jasa oleh pihak debiur kepada kreditur, disertai dengan pemberian imbalan/bunga atau pembagian keuntungan. g. Adanya perbedaan waktu antara pemberian kredit oleh kreditur dengan pengembalian kredit oleh debitur h. Adanya resiko tertentu yang diakibatkan oleh adanya perbedaan waktu tadi. 21 Kredit memiliki suatu fungsi yang sangat luas. Fungsi kredit secara luas tersebut adalah : a. Meningkatkan daya guna modal atau uang Maksudnya, jika uang hanya disimpan saja di rumah menghasilkan sesuatu yang berguna. Dengan diberikannya tersebut menjadi berguna untuk menghasilkan barang atau penerima kredit. Kemungkinan juga dapat memberikan tambahan kepada pemilik dana. 20
tidak akan kredit uang jasa oleh si penghasilan
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung, Alumni, 1994), hlm. 21 S.Mantay Borbir, SH.MH., dkk., Pengurusan Piutang Negara, Maret pada PUPN/BUPLN, Jakarta, 2001, hlm. 8
30
b. Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang Dalam hal ini uang yang diberikan atau disalurkan akan beredar dari satu wilayah ke wilayah lainnya sehingga suatu daerah yang kekurangan uang dengan memperoleh kredit maka daerah tersebut akan memperoleh tambahan uang dari daerah lainnya. c. Meningkatkan daya guna barang Kredit yang diberikan oleh bank akan dapat dipergunakan oleh si debitur untuk mengolah barang yang semula tidak berguna menjadi berguna atau bermanfaat. Sebagai contoh seorang pengusaha memperoleh bantuan dana dari salah satu bank untuk mengolah limbah plastik yang sudah tidak dipakai menjadi barang-barang rumah tangga. Biaya pengolahan barang tersebut diperoleh dari bank. Dengan demikian fungsi kredit dapat meningkatkan daya guna barang dari barang yang tidak berguna menjadi barang yang berguna. d. Meningkatkan peredaran uang Kredit dapat juga menambah atau memperlancar arus barang dari satu wilayah ke wilayah lainnya, sehingga jumlah barang yang beredar tersebut bertambah atau kredit dapat pula meningkatkan jumlah barang yang beredar yang biasanya untuk kredit atau kredit ekspor impor. e. Sebagai alat stabilitas ekonomi Pemberian kredit dapat dikatakan sebagai alat stabilitas ekonomi, karena dengan adanya kredit yang diberikan akan menambah jumlah barang yang diperlukan oleh masyarakat. f. Meningkatkan kegairahan pengembangan usaha Bagi si penerima kredit tentu akan dapat meningkatkan kegairahan berusaha apalagi bagi si nasabah yang memang modalnya pas-pasan. Perolehan kredit nasabah akan bergairah untuk dapat memperbesar atau memperluas usahanya. g. Meningkatkan pemerataan pendapatan Semakin banyak kredit yang disalurkan maka akan semakin baik terutama dalam hal meningkatkan pendapatan. Jika suatu kredit diberikan untuk membangun pabrik maka pabrik tersebut tentu membutuhkan tenaga kerja, sehingga dapat pula mengurangi pengangguran. Disamping itu bagi masyarakat sekitar pabrik dapat juga akan dapat memperoleh pendapatan seperti gaji bagi karyawan yang bekerja di pabrik tersebut. h. Meningkatkan hubungan internasional Pinjaman internasional akan dapat meningkatkan saling membutuhkan antara si penerima kredit dengan si pemberi kredit. Pemberian kredit oleh negara lain akan meningkatkan kerjasama di bidang lainnya, sehingga dapat pula tercipta perdamaian dunia. 22 22
Muhammad Djumhana, Op.Cit, hlm. 372
31
Pemberian kredit kepada debitur mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya, bank harus memperhatikan prinsip-prinsip perkreditan : 23 1. Prinsip kepercayaan 2. Prinsip 5C 3. Prinsip kehati-hatian Adalah singkatan dari unsur-unsur : a. Character (kepribadian) b. Capacity (kemampuan) c. Capital (modal) d. Condition of Economy (kondisi ekonomi) e. Collateral (agunan) 4. Prinsip 5P Adalah singkatan dari unsur-unsur : a. Party (para pihak) b. Purpose (tujuan) c. Payment (pembayaran) d. Profitability (perolehan laba) e. Protection (perlindungan) 5. Prinsip 3R Adalah singkatan dari unsur-unsur : a. Return (hasil yang diperoleh) b. Repayment (pembayaran kembali) c. Risk Bearing Ability (kemampuan menanggung resiko) Selain daripada itu bank juga harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat, yaitu : 1. Tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis 2. Tidak diperkenankan memberikan kredit kepada usaha yang sejak semula telah diperhitungkan kurang sehat, dan membawa kerugian. 3. Tidak diperkenankan memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit) 4. Tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham, dan modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli. 24
23
Moh.Tjoekam, Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersial, (Yogyakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 94-100. 24 Muhammad Djumhana, Op.Cit, hlm. 246
32
Menurut Pasal 1 Vendu Reglement (VR) disebutkan bahwa penjualan umum atau lelang adalah penjualan barang
yang dilaksanakan secara umum (dimuka
umum), dengan penawaran secara lisan dan atau tertulis, dengan melakukan usaha mengumpulkan para peserta peminat lelang dan penjualan umum dan lelang tersebut harus dilaksanakan oleh dan di hadapan Pejabat Lelang atau dulu disebut dengan Juru Lelang. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menentukan bahwa pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud di atas harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan. Piutang negara yang diurus oleh PUPN/KPKNL adalah piutang negara yang tidak dilunasi oleh penerima kredit, untuk menentukan piutang itu macet/dubius ialah sejak tidak ditepatinya/dipenuhinya piutang ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam perjanjian kredit. 25 Menurut Mariam Darus Badrulzaman piutang macet itu dibagi dalam dua phase, yaitu : a. Piutang yang karena adanya ketentuan intern dari instansi itu sendiri masih mungkin untuk diselesaikan dalam tahap intern.
25
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hlm. 154
33
b. Piutang macet sama sekali yang setelah ketentuan-ketentuan intern dilaluinya masih juga tidak terselesaikan sebagian maupun seluruhnya. 26 Piutang negara yang telah macet, harus segera diserahkan urusan penyelesaiannya kepada PUPN/KPKNL, jika tidak maka PUPN berhak mengambil alih persoalannya. Hal ini berdasarkan pada ketentuan Pasal 4 ayat (3) UndangUndang Nomor 49/Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, kemudian juga berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara, selanjutnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.01/2002 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. 2. Konsepsi Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Jika masalah dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian. “Konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari kelompok fakta atau gejala. Maka konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, menentukan antara variabel-variabel yang lain, menentukan adanya hubungan empiris”. 27 Pengertian Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sesuai dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 adalah sebagai berikut : a. Bank Umum Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan ata u berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa
26
Ibid. Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 21. 27
34
dalam lalu lintas pembayaran. Sifat jasa yang diberikan adalah umum, dalam arti dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada. b. Bank Perkreditan Rakyat Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. BPR tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Pengertian lembaga keuangan adalah setiap perusahaan yang bergerak di bidang keuangan dimana kegiatannya apakah hanya menghimpun dana atau hanya menyalurkan dana atau kedua-duanya. 28 Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dibentuk berdasarkan UndangUndang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tanggal 14 Desember 1960, kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976, tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara, dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.01/2002 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. PUPN adalah panitia yang bersifat inter departemental yang mengurus piutang negara yang berasal dari instansi pemerintah atau badan-badan yang dikuasai negara. Selanjutnya dalam Pasal 8 jo Pasal 12 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 mengatur tentang Instansi-instansi pemerintah dan badan-badan negara yang langsung atau tidak langsung dikuasai negara wajib/diharuskan menyerahkan piutang-piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum kepada PUPN.
28
Ibid , hlm. 3
35
Untuk memperoleh kepastian penyelesaian piutang negara oleh penanggung hutang maka PUPN mengadakan suatu Pernyataan Bersama (PB) dengan penanggung hutang/debitur, yang memuat pengakuan hutang kepada negara dan syarat-syarat penyelesaiannya. Pernyataan Bersama ini mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti suatu putusan Hakim dalam memutus suatu perkara perdata yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960. Berdasarkan Pasal 41A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, bahwa : (1) Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada BUPLN/ PUPN, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada Pejabat BUPLN/PUPN untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah debitur. (2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala BUPLN/PUPN. Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi, yaitu sebagai berikut : a. Kredit Penyediaan uang/tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan/kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 29
29
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
36
b. Perjanjian kredit bank Perjanjian dimana pihak kreditor (bank) memberikan kepada nasabah (debitor) sebagai pinjaman sejumlah uang atau barang yang habis dipakai (dana) dengan syarat bahwa debitor harus mengembalikan dana yang sama jumlahnya berikut bunganya sesuai yang diperjanjikan. Perjanjian kredit bank dapat dilakukan setelah adanya suatu keputusan permohonan atas kredit yang dilakukan oleh pejabat bank yang berwenang memutuskan untuk menyetujui atau mengabulkan permohonan kredit calon debitor.30 c. Pencairan fasilitas kredit Pencairan fasilitas kredit maksudnya yaitu setiap transaksi dengan menggunakan kredit yang telah disetujui oleh bank. Realisasi kredit diberikan setelah penandatanganan surat-surat yang diperlukan dengan membuka rekening giro atau tabungan di bank yang bersangkutan, dengan demikian debitor dapat secara langsung mengadakan penarikan-penarikan kredit sesuai dengan rencana yang telah disetujui oleh bank dalam rangka realisasi pemberian kredit kepada debitor.31 d. Pelunasan fasilitas kredit Pelunasan fasilitas kredit adalah dipenuhinya semua kewajiban hutang debitor baik hutang pokok maupun bunganya terhadap bank hingga berakhirnya perjanjian kredit. 32
30
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan 32 Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan 31
37
e. Wanprestasi Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “Wanprestatie”, artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. 33 f. Jaminan Jaminan adalah tanggungan atas segala perikatan dari seseorang seperti yang ditentukan dalam Pasal 1131 KUH Perdata maupun tanggungan atas perikatan tertentu dari seseorang seperti yang diatur dalam Pasal 1139-1149 (piutang yang diistimewakan). 34 g. Hak tanggungan Hak tanggungan adalah security (jaminan) hutang dengan tanah sebagai agunan. 35 h. Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) Badan yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991 yang tujuannya adalah melaksanakan atau menyelenggarakan pengurusan piutang negara dan pelayanan lelang berdasarkan pelaksanaan tugas PUPN maupun pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. 36
33
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1990), hlm. 20 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan 35 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 2006. 36 S.Mantay Borbir, dkk., Ibid, hlm. 55 34
38
i.
Piutang Negara Jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun. 37
j.
Pernyataan Bersama (PB) Pengakuan atas sejumlah hutang yang wajib dibayar oleh penanggung hutang kepada
negara
dengan
syarat-syarat
penyelesaiannya
berdasarkan
hasil
perundangan dan kesepakatan antara PUPN dengan penanggung hutang/debitur. 38 k. Penyitaan Penyitaan adalah tindakan perampasan harta kekayaan milik penanggung hutang/penjamin hutang yang tersimpan pada bank dalam bentuk rekening, simpanan, giro, deposito berjangka, sertifikat berjangka, tanggungan dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu, dalam rangka untuk penyelesaian atau pelunasan hutang penanggung hutang. 39 l.
Lelang Lelang adalah penjualan barang yang dilakukan di muka umum yang dipimpin oleh Pejabat Lelang cara penawaran lisan dan naik-naik untuk memperoleh harga yang semakin meningkat atau semakin menurun, dan atau dengan penawaran
37
Pasal 8 Penjelasan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Pejabat Lelang Pasal 1 angka 13 38 Ibid, hlm. 57 39 Pasal 11 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara.
39
tertutup/tertulis yang didahului dengan pengumuman lelang sebagai usaha mengumpulkan para calon peminat/pembeli. 40 m. Pejabat Lelang Pejabat fungsional yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Keuangan serta diharuskan untuk mengangkat sumpah sebelum melaksanakan tugasnya. 41 n. Eksekusi Eksekusi adalah sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan atau tata cara lanjutan proses pemeriksaan perkara. 42 o. Parate Eksekusi Suatu keputusan yang mempunyai kekuatan tetap atau daya laku eksekutorial tanpa keterlibatan penetapan pengadilan (hakim) dalam perkara perdata. 43 G. Metode Penelitian Untuk keberhasilan suatu penelitian baik dalam memberikan gambaran dan jawaban terhadap permasalahan
yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian
sangat ditentukan oleh metode yang dipergunakan dalam penelitian. Sebagai suatu penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian dinilai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah sebagai berikut : 40
Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Lelang Pasal 1 angka 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Lelang 42 Pasal 11 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang 41
Negara. 43
Negara.
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang
40
1. Sifat Penelitian Dilihat dari sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu untuk menggambarkan semua gejala dan fakta dan menganalisa permasalahan yang ada sekarang 44 berkaitan dengan peranan KPKNL dalam hal penagihan piutang negara dari perbankan yang macet dianalisis dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006. Bersifat deskriptif analitis dalam penelitian ini akan menggambarkan asasasas atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan tujuan penelitian. 2. Metode Pendekatan Dilihat dari pendekatannya, penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris, yang didasarkan pada pertimbangan bahwa penelitian ini bertitik tolak dari permasalahan
dengan
melihat
kenyataan
yang
terjadi
di
lapangan
dan
mengkaitkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di samping hal tersebut di atas penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauhmana peranan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dalam hal penanganan piutang negara macet yang berasal dari perbankan sebelum dan sesudah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006. 3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jl. P.Diponegoro Nomor 30 A Medan dan PT.Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Jl. Putri Hijau Medan. 44
Winarto Surakhmad, Dasar dan Teknik Research, (Bandung, Tarsito, 1978), hlm. 132
41
4. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu : a. Penelitian Lapangan (Field Research) untuk mendapatkan data primer berkaitan dengan masalah pelaksanaan penagihan piutang negara yang berasal dari perbankan hingga pelaksanaan lelang eksekusi yang diperoleh dengan melakukan wawancara kepada para informan sebagai berikut : 1) Kepala Seksi Hukum dan Informasi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Medan 2) Kepala Seksi Pelayanan dan Lelang KPKNL Medan 3) Kepala Bagian Bisnis Retail, Kredit Program dan Kredit Konsumer di Kanwil PT (Persero) Bank Rakyat Indonesia Tbk. Medan b. Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. 45 Berupa peraturan-peraturan dasar, Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960, Vendu Reglement Stbl Tahun 1908 Nomor 189 dan Vendu Instructie Stbl 1908 Nomor 190, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, peraturan perundang-undangan Nomor 304/KMK.01/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan 45
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, 996), hlm.14
42
Piutang Negara/Daerah, Buku-Buku, Artikel dan lain-lain dalam bentuk tulisan yang terkait dengan permasalahan penagihan piutang hingga pelaksanaan lelang eksekusi. 5. Alat Pengumpulan Data Dalam penelitian hukum dikenal 3 (tiga) alat pengumpulan data atau alat penelitian (research instrument), yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara atau interview. Ketiga alat pengumpul data tersebut dapat dipergunakan masing-masing maupun secara bergabung. 46 Dalam penelitian ini menggunakan alat pengumpulan data, yaitu : a. Studi dokumen, dipakai terhadap kajian buku-buku, artikel dan naskah resmi yang berkaitan dengan masalah penelitian. b. Pedoman wawancara, yang dimaksudkan dilakukan kepada informan yang ditetapkan dengan memilih model wawancara langsung (tatap muka). Tujuannya agar mendapatkan data yang mendalam dan lebih lengkap. 6. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan komplek. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman). 47
46
Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal.66 Burhan Bungi, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Model Aplikasi, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.53 47
43
Analisa data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. 48 Sedangkan metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. 49 Data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library Research) dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (Field Research) kemudian disusun secara urut dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan dengan mempergunakan metode berfikir induktif yaitu cara berfikir yang dimulai dari hal yang khusus untuk selanjutnya menarik ke hal-hal yang umum sebagai kesimpulan dan selanjutnya dipresentasikan dalam bentuk deskriptif.
48 49
Lexy J Moleong, Metodologi Kualitatif, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004), hlm.103 Ibid, hlm.3
BAB II PERANAN KANTOR PELAYANAN KEUANGAN NEGARA DAN LELANG (KPKNL) SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 33 TAHUN 2006
A. Gambaran Umum KPKNL Medan 1. Tugas, Fungsi dan Wewenang KPKNL Medan Berdasarkan Pasal 30 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.02/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal di Lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, tugas pokok KPKNL adalah melaksanakan pelayanan di bidang kekayaan negara, penilaian, piutang negara dan lelang. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, KPKNL menyelenggarakan fungsi : a. Inventarisasi, pengadministrasian, pendayagunaan, pengamanan kekayaan negara. b. Retribusi, verifikasi dan analisa pertimbangan permohonan pengalihan serta penghapusan kekayaan negara. c. Registrasi penerimaan berkas, penetapan, penagihan, pengelolaan barang jaminan, eksekusi, pemeriksaan harta kekayaan milik penanggung hutang/ penjamin hutang. d. Penyiapan bahan pertimbangan atas permohonan keringanan jangka waktu dan/atau jumlah hutang, usul pencegahan dan penyanderaan penanggung hutang dan/atau penjamin hutang, serta penyiapan data usul penghapusan piutang negara;
44
45
e. Pelaksanaan pelayanan penilaian f. Pelaksanaan pelayanan lelang g. Penyajian informasi di bidang kekayaan negara, penilaian, piuang negara dan lelang h. Pelaksanaan penetapan dan penagihan piutang negara serta pemeriksaan kemampuan penanggung hutang atau penjamin hutang dan eksekusi barang jaminan i.
Pelaksanaan pemeriksaan barang jaminan milik penanggung hutang atau penjamin hutang serta harta kekayaan lain
j.
Pelaksanaan bimbingan kepada pejabat lelang
k. Inventarisasi, pengamanan, dan pendayagunaan barang jaminan l.
Pelaksanaan pemberian pertimbangan dan bantuan hukum pengurusan piutang negara dan lelang
m. Verifikasi dan pembukuan penerimaan pembayaran piutang negara dan hasil lelang n. Pelaksanaan administrasi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Untuk mewujudkan pertanggung jawaban atas penyelenggaraan tugas dan fungsi KPKNL, sebagai pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 disusun laporan akuntabilitas kinerja KPKNL Medan untuk setiap tahun anggaran. Dengan tersusunnya laporan akuntabilitas KPKNL Medan diharapkan para pelaksana tugas KPKNL Medan dapat semakin terdorong dan termotivasi untuk
46
meningkatkan kinerja dengan demikian sasaran dan tujuan sebagaimana digariskan dalam visi dan misi dapat tercapai. Selain itu, diharapkan pula berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan akan dapat dievaluasi, sehingga untuk pelaksanaan selanjutnya dapat berjalan dengan lebih baik lagi. Kantor Pelayanan Keuangan dan Lelang Negara Medan mempunyai daerah wewenang sebagai berikut : a. Medan b. Binjai (saat ini belum dibuka) c. Pematang Siantar d. Kisaran e. Padang Sidempuan KPKNL Medan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) yang bertanggung jawab langsung kepada Kantor Wilayah II DJKN Medan.
2. Struktur Organisasi KPKNL Medan KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG
SUB BAGIAN UMUM
SEKSI PENGELOLAAN KEKAYAAN NEGARA
SEKSI PELAYANAN PENILAIAN
SEKSI PIUTANG NEGARA
SEKSI PELAYANAN LELANG
SEKSI HUKUM DAN INFORMASI
KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL Sumber :
Lampiran III-2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal di Lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Bagan 1. Bagan Organisasi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang
47
36
3. Susunan Organisasi KPKNL Susunan organisasi pada KPKNL sebagaimana diatur dalam Pasal 32 PMK.102/PMK.01/2008 adalah sebagai berikut : a. Sub Bagian Umum Mempunyai tugas melakukan urusan kepegawaian, keuangan, tata usaha, rumah tangga, dan pengkoordinasian penyelesaian temuan hasil pemeriksaan aparat pengawasan fungsional, penyiapan bahan penyusunan rencana strategik dan laporan akuntabilitas, serta penatausahaan, pengamanan, pengawasan barang milik negara di lingkungan KPKNL. b. Seksi Pengelolaan Kekayaan Negara Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan penetapan status penggunaan, pemanfaatan,
pengamanan
dan
pemeliharaan,
penghapusan,
pemindahtanganan, bimbingan teknis, pengawasan dan pengendalian, penatausahaan dan penyusunan daftar barang milik negara/kekayaan negara. c. Seksi Pelayanan Penilaian Mempunyai
tugas
melakukan
penilaian
yang
meliputi
identifikasi
permasalahan, survei pendahuluan, pengumpulan dan analisa data, penerapan metode penilaian, rekonsiliasi nilai serta kesimpulan nilai dan laporan penilaian untuk kepentingan penilaian kekayaan negara, sumber daya alam, real properti, properti khusus dan usaha serta penilaian atas permintaan badan hukum pemerintah dan penilaian terhadap obyek-obyek penilaian yang diamanatkan oleh Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah.
37
d. Seksi Piutang Negara Mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan penetapan dan penagihan piutang negara serta pemeriksaan kemampuan penanggung hutang dan/atau penjamin hutang, pemblokiran, eksekusi barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain, pemberian pertimbangan keringanan hutang, pengusulan pencegahan keluar wilayah Republik Indonesia, pengusulan dan pelaksanaan paksa badan, penyiapan pertimbangan penyelesaian atau penghapusan piutang negara, inventarisasi piutang negara, pemeriksaan barang jaminan milik penanggungan
hutang,
serta
inventarisasi,
registrasi,
pengamanan,
pendayagunaan, dan pemasaran barang jaminan. e. Seksi Pelayanan Lelang mempunyai tugas melakukan pemeriksaan dokumen persyaratan lelang dan dokumen obyek lelang, penyiapan dan pelaksanaan lelang, pembuatan salinan, petikan dan grosse risalah lelang, pelaksanaan superintendesi Pejabat Lelang serta pengawasan Balai Lelang dan pengawasan lelang pada Perum Pegadaian dan lelang kayu kecil oleh PT. Perhutani (Persero). f. Seksi Hukum Dan Informasi Mempunyai tugas melakukan registrasi dan penatausahaan berkas kasus piutang negaara, pencatatan surat permohonan lelang, penyajian informasi, pemberian pertimbangan dan bantuan hukum kekayaan negara, penilaian, pengurusan piutang
negara dan lelang, serta verifikasi penerimaan
pembayaran piutang negara dan hasil lelang.
38
g. Kelompok Jabatan Fungsional Kelompok jabatan Fungsional mempunyai tugas melakukan kegiatan sesuai dengan jabatan fungsional masing-masing berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.
B. Peranan Kantor Pelayanan Keuangan Negara dan Lelang (KPKNL) Dalam Penanganan Piutang Negara Macet Sebelum dan Sesudah Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 1. Peran KPKNL Sebelum Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 Berdasarkan Pasal 22 Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 445/ KMK.01/2001 tugas pokok KP2LN adalah melaksanakan pelayanan pengurusan piutang negara dan lelang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam Pasal 23 disebutkan bahwa KP2LN menyelenggarakan fungsi : Pelaksanaan penetapan dan penagihan piutang serta pemeriksaan kemampuan penanggung hutang atau penjamin hutang dan eksekusi barang jaminan. PUPN dalam melaksanakan pengurusan piutang negara macet dapat menerbitkan Surat Paksa (SP), Pelaksanaan Surat Paksa (PSP), Surat Perintah Penyitaan (SPP), pelaksanaan penyitaan dan Surat Perintah Penyitaan (SPP), pelaksanaan penyitaan dan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan (SPPBS) dalam hal eksekusi lelang. 50 Pasal-pasal eksekusi dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 ini merupakan sumber hukum yang mengatur 50
Ibid , hlm. 69
39
kewenangan “Parate Eksekusi” (parate executie) yang dilimpahkan undangundang kepada institusi Panitia Urusan Piutang Negara. 51 Parate eksekusi adalah suatu keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau daya laku eksekutorial tanpa keterlibatan dan penetapan/fiat pengadilan (hakim) dalam memutus suatu perkara perdata, dalam arti PUPN dapat melakukan eksekusi secara langsung. Bahkan pengadilan pun tidak dapat membatalkannya. 52 Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa “untuk kepentingan agar terjamin haknya sekiranya gugatan dikabulkan nantinya, maka undangundang menyediakan upaya untuk menjamin hak tersebut dengan “penyitaan arrest beslag”. 53 Jadi upaya yang dapat ditempuh salah satunya adalah melakukan tindakan penyitaan atas barang jaminan hutang milik nasabah debitur, bila ketentuan dalam Surat Paksa (SP) dan Pernyataan Bersama (PB) tidak dapat dipenuhi oleh nasabah debitur/penjamin hutang. Setelah dirundingkan oleh panitia dengan nasabah debitur/penanggung hutang, dan diperoleh kata sepakat tentang jumlah hutangnya yang masih harus dibayar, termasuk perhitungan bunga dan uang, denda yang tidak bersifat pidana, serta biaya-biaya yang bersangkutan dengan piutang ini, maka 51
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta : Gramedia, 1988), hlm. 4. 52 Soetarawao Soemowijoyo, Eksekusi oleh PUPN, Proyek Pendidikan dan Latihan BPLK Departemen Keuangan RI., Jakarta, 1996, hlm. 13. 53 Ibid , hlm. 161.
40
oleh Ketua Panitia dan nasabah debitur/penanggung hutang dapat dibuat suatu Pernyataan Bersama (PB) yang memuat jumlah tersebut dan memuat kewajiban nasabah debitur/penanggung hutang untuk membayar dan melunasinya. a. Pernyataan Bersama (PB) ini mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti suatu putusan hakim dalam perkara perdata yang berkekuatan pasti, untuk mana Pernyataan Bersama (PB) itu berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” b. Pelaksanaan dilakukan oleh Ketua Panitia dalam pengurusan piutang negara lebih lanjut dengan mengeluarkan surat paksa, yang dapat dijalankan secara penyitaan, pelelangan atas barang-barang harta kekayaan nasabah debitur/penanggung hutang dan secara penyanderaan terhadap nasabah debitur/penanggung hutang Berdasarkan Pasal 197 HIR kewenangan yang dimiliki PUPN adalah berdiri sendiri dalam melaksanakan executorial verkoop, seperti halnya kewenangan yang dimiliki Pengadilan Negeri. Kewenangan executorial verkoop yang dimiliki PUPN bersifat parate eksekusi. PUPN dalam melaksanakan tugas dan fungsi yustisial telah diberi kewenangan oleh undang-undang yang bersifat lex specialis dalam pengurusan piutang negara dapat mengeluarkan putusan yang bersifat final
41
(parate eksekusi) dan tidak perlu banding, kasasi dan peninjauan kembali pada hakim atasan, sehingga lembaga lain tidak berwenang menguji dan menilai putusan PUPN tersebut. Tindakan pelaksanaannya
pemerintah dalam
(Diskresi)
sistem
senantiasa
pemerintahan
dapat
modern.
dijumpai Perbedaan
pelaksanaannya antara negara modern disebabkan perbedaan landasan ideal maupun landasan konstitusional dari negara-negara itu sendiri. 54 2. Prosedur dan Pelaksanaan Penanganan Kredit Macet yang Berasal Dari Bank BUMN oleh KP2LN Medan Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, dalam melakukan penagihan kredit macet, bank memberikan peringatan-peringatan kepada debitur bahkan dilakukan restrukturisasi kredit agar dapat memberikan keringanan kepada debitur dalam membayar utangnya. 55 Apabila bank telah melakukan berbagai usaha-usaha untuk menyelesaikan kredit macet tetapi tidak berhasil yang disebabkan karena tidak ada kesediaan debitur dan debitur nakal maka bank melakukan langkah-langkah sebagai berikut : 56
54
Muhammad Abduh, Profil Hukum Administrasi Negara Indonesia (HANI) Dikaitkan Dengan Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Peraturan), (Medan : FH-USU, 1988), hlm. 23. 55 Wawancara dengan Bapak Tri Feriandi, Kepala Sub Bagian Umum KPKNL Medan tanggal 26 Juni 2009 56 Wawancara dengan Bapak Tri Feriandi, Kepala Sub Bagian Umum KPKNL Medan tanggal 25 Mei 2009
42
a. Penyerahan piutang Bank/kreditur wajib menyerahkan kredit macet kepada DJPLN dalam hal ini kepada Panitera Pengurus Piutang Negara Cabang melalui Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) di daerah masing-masing sesuai wilayah kerjanya. Penyerahan dilakukan secara tertulis disertai dengan resume yang memuat berbagai informasi dan dokumen-dokumen perjanjian kredit dan jaminan. Besarnya kredit macet yang dapat diserahkan pengurusannya kepada Panitia Cabang (KP2LN) paling sedikit Rp.2.000.000,- (dua juta rupiah). Namun batas dua juta rupiah ini tidak berlaku bagi piutang Pemerintah dan Lembaga Negara baik tingkat pusat maupun daerah. Resume berkas penyerahan kredit macet memuat informasi : 57 1) Identitas kreditur/penyerah piutang 2) Identitas debitur dan atau penjamin hutang (borgtocht) 3) Bidang usaha debitur, antara lain industri manufaktur, perdagangan, pertanian, perkebunan, atau bidang usaha lainnya. 4) Keadaan usaha debitur pada saat diserahkan 5) Dasar hukum terjadinya hutang, antara lain perjanjian kredit, akta pengakuan hutang, peraturan atau dasar hukum lainnya. 6) Jenis piutang negara antara lain kredit investasi, kredit modal kerja, kredit umum, dana reboisasi, jasa pelabuhan, atau jenis piutang negara lainnya. 7) Penjamin kredit oleh pihak ketiga antara lain PT.Askrindo, PT.ASEI, Perum PKK, atau lembaga penjamin lainnya. 8) Sebab-sebab kredit/piutang dinyatakan macet seperti kesalahan manajemen, debitur nakal, bencana alam, kerusuhan sosial, atau sebab-sebab lainnya. 9) Tanggal realisasi kredit dan tanggal-tanggal kreditur/penyerah piutang mengkategorikan kredit sesuai peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia dalam hal piutang negara berasal dari perbankan, atau tanggal debitur/penanggung hutang dinyatakan wanprestasi sesuai dengan perjanjian, peraturan, surat keputusan pejabat berwenang sebab apapun dalam hal piutang negara berasal dari non perbankan. 10) Rincian hutang yang terdiri dari saldo hutang pokok, bunga, denda dan ongkos/beban lainnya. 11) Daftar barang jaminan, yang memuat uraian barang, pengikatan, kondisi dan nilai barang jaminan pada saat penyerahan, dalam hal penyerahan didukung oleh barang jaminan.
57
Ibid.
43
12) Daftar harta kekayaan lainnya. 13) Penjelasan singkat upaya-upaya penyelesaian hutang yang telah dilakukan oleh kreditur/penyerah piutang, dan 14) Informasi lainnya yang dianggap perlu disampaikan oleh penyerah piutang antara lain debitur/penanggung hutang dan atau penjamin hutang sudah tidak diketahui tempat tinggalnya, ada kasus gugatan di pengadilan, atau barang jaminan telah disita pengadilan negeri untuk kepentingan pihak lain. Dokumen-dokumen yang dilampirkan dalam penyerahan pengurusan piutang negara sebagai berikut : 58 a) Perjanjian kredit, akta pengakuan hutang, perubahan perjanjian dan lain-lain. b) Rekening koran, prima nota, faktur, dokumen sejenis yang membuktikan besarnya hutang c) Dokumen barang jaminan serta pengikatannya dan surat-surat lainnya yang mendukung barang jaminan tersebut. d) Surat menyurat antara kreditur/penyerah piutang dengan debitur/ penanggung hutang dan atau penjamin hutang yang berkaitan dengan upaya penyelesaian hutang. Apabila KP2LN menilai informasi yang disampaikan dalam resume masih belum lengkap dan membutuhkan penjelasan maka KP2LN dapat meminta kreditur/penyerah piutang untuk melengkapi data-data dan kalau perlu dapat memberikan penjelasan/ekspose serta melakukan penelitian lapangan. Dalam kasus-kasus tertentu untuk menyelesaikan piutang negara/ kredit macet, ketua PUPN dapat bertindak tanpa menunggu penyerahan penyelesaian kredit macet kepada KP2LN. Hal ini dilakukan jika kreditkredit macet dipergunakan tidak sesuai dengan permohonan, tujuan dan syarat-syarat pemberian kredit. Untuk mengetahui bahwa debitur telah
58
Ibid.
44
menyalahgunakan pemakaian kredit yang diterimanya ketua PUPN harus terlebih dahulu memiliki bukti-bukti yang kuat dan dapat dipertanggung jawabkan bahwa debitur menyalahgunakan penggunaan kredit sehingga pengembalian kredit menjadi macet. Untuk pembuktian lebih lanjut Ketua PUPN juga memerlukan keterangan dari kreditur/bank. 59 b. Penelitian Terhadap penyerahan pengurusan piutang dari kreditur tersebut di atas, KP2LN mengadaka penelitian dan hasil penelitian dituangkan dalam Resume Hasil Penelitian Kasus. Berdasarkan resume dan dokumen penyerahan, KP2LN menghitung besarnya piutang negara dengan memperhatikan hutang negara yang berasal dari perbankan atau non perbankan yaitu : 1) Piutang negara perbankan dihitung terdiri dari hutang pokok, bunga, denda, dan ongkos-ongkos. Besarnya bunga, denda dan ongkosongkos ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan setelah kredit digolongkan macet berdasarkan peraturan kolektibilitas kredit menurut Bank Indonesia. Bank Indonesia melalui Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 menetapkan bahwa kredit digolongkan macet jika terdapat tunggakan pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari (9 bulan lebih). Jadi perhitungan 6 bulan setelah kredit digolongkan macet berarti bunga denda dan ongkos dihitung selama 15 bulan tunggakan. 2) Biaya-biaya lain yang dikeluarkan oleh bank seperti biaya asuransi, biaya pengikatan jaminan seperti hak tanggungan/hipotik, fiducia dan biaya perpanjangan hak atas tanah, biaya pengukuhan hak atas tanah dan biaya lain sebagainya tetap dihitung dan ditambahkan sebagai piutang negara yang harus ditagihkan kepada debitur. Sebaliknya pembayaran angsuran yang dilakukan debitur setelah piutang dinyatakan macet dihitung sebagai pengurangan dari piutang negara. 3) Piutang negara non perbankan dihitung berdasarkan perhitungan pada saat piutang jatuh tempo. Jika terdapat pembebanan bunga, denda dan/atau beban lainnya, besarnya bunga, denda dan atau beban lainnya ditetapkan paling lama 6 bulan setelah jatuh tempo, kecuali ditetapkan tersendiri berdaasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
59
Ibid.
45
c. Surat Penerimaan Bila Panitia Cabang (Ketua PUPN Cabang) menetapkan bahwa berkas penyerahan kreditur tersebut dinyatakan memenuhi persyaratan dan dapat dibuktikan adanya dan besarnya piutang negara, Panitia Cabang menerima penyerahan pengurusan piutang negara dengan menerbitkan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N). Tetapi jika panitia cabang menyatakan penyerahan pengurusan piutang negara tidak memenuhi syarat karena tidak dapat dibuktikan adanya dan besarnya piutang negara maka Panitia Cabang menolak penyerahan pengurusan piutang negara dengan menerbitkan Surat Penolakan Pengurusan Piutang Negara. Jika yang menjadi debitur itu BUMN, BUMD, instansi Pemerintah atau lembaga negara, tidak diterbitkan SP3N tetapi Surat Tanda Terima Penyerahan yang ditandatangani oleh Kepala Kantor Pelayanan. SP3N sekurang-kurangnya memuat : 1) Nomor dan tanggal surat penyerahan pengurusan piutang negara 2) Identitas kreditur/penyerah piutang dan debitur 3) Pernyataan menerima pengurusan piutang negara 4) Rincian dan jumlah piutang negara yang telah diperhitungkan sesuai dengan ketentuan perhitungan piutang negara perbankan atau non perbankan. 5) Tanda tangan panitia cabang Dengan diterbitkannya SP3N, pengurusan piutang negara beralih dari kreditur kepada Panitia Cabang dan penyelenggaraannya dilakukan oleh KP2LN, dengan beralihnya pengurusan piutang negara ini kreditur wajib menyerahkan dokumen-dokumen asli barang jaminan.
46
d. Panggilan 1 dan 2 Setelah Panitia Cabang menerbitkan SP3N sebagai bukti berkas penyerahan telah memenuhi persyaratan maka KP2LN melakukan tindakan-tindakan yang dapat dilakukan secara bersamaan, yaitu : 1) Melakukan pemanggilan secara tertulis kepada debitur agar datang di KP2LN untuk dimintai keterangan/penjelasan/wawancara dalam rangka penyelesaian hutang. Apabila debitur dipanggil tidak datang maka paling lambat dalam waktu 7 hari kerja setelah tanggal menghadap yang ditetapkan dalam panggilan pertama, KP2LN melakukan pemanggilan kedua yang merupakan panggilan terakhir yang disampaikan oleh kurir atau menggunakan jasa pos. apabila debitur tidak diketahui lagi tempat kediamannya maka KP2LN melakukan pengumuman panggilan melalui surat kabar harian atau media elektronik atau media massa lainnya atau melalui papan pengumuman di KP2LN. Pengumuman pemanggilan memuat identitas debitur dan keharusan debitur untuk menyelesaikan hutangnya kepada negara. Untuk memenuhi panggilan debitur dapat mewakilkan kepada orang lain, dengan menunjukkan surat kuasa khusus yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris atau surat kuasa yang dilegalisir Notaris (legalisasi). Jika di wilayah debitur tidak ada Notaris Surat Kuasa dibuat di atas materai cukup yang diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat.
47
2) Melakukan pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan debitur, penjamin hutang atau pemegang saham, kemampuan debitur, harta kekayaan lain dan pemeriksaan fisik barang jaminan. Pemeriksaan dilakukan oleh pemeriksa (pegawai di lingkungan DJPLN) guna memperoleh informasi dan atau bukti-bukti dalam rangka penyelesaian piutang negara. Pemeriksaan debitur untuk memastikan orang atau badan hukum yang berhutang berdasarkan perjanjian kredit atau berdasarkan peraturan
perundang-undangan
atau
berdasar
sebab
apapun
mempunyai hutang kepada negara. Pemeriksaan penjamin hutang untuk memastikan orang sebagai penjamin (borgtocht/personal guarantee) atau badan (corporate guarantee) atau avalist sebagai penjamin pembayaran wesel. Pemeriksaan pemegang saham adalah untuk memastikan bahwa orang atau badan adalah sebagai pemegang saham sesuai undang-undang perseroan. Pemeriksaan terhadap kemampuan debitur untuk mengetahui penghasilan debitur dan atau hasil usaha dari barang jaminan dan atau harta kekayaan lain milik debitur. Pemeriksaan terhadap harta kekayaan lain adalah untuk mengetahui harta kekayaan debitur yang tidak dijaminkan yang meliputi harta bergerak dan tidak bergerak dan benda berwujud dan benda tidak berwujud. Contohnya tanah, bangunan, kendaraan
48
bermotor, perhiasan, peralatan elektronik, furniture, surat berharga seperti saham, obligasi, hak cipta, hak merek, hak paten dan uang atau harta kekayaan lainnya. Pemeriksaan fisik barang jaminan untuk memastikan apakah ada permasalahan hukum atau ada yang hilang dan lain-lain. 3) Pemblokiran barang jaminan/harta kekayaan lain milik debitur atau milik penjamin hutang Pemblokiran barang jaminan atau harta kekayaan lain dilakukan untuk mencegah agar debitur atau penjamin hutang tidak mengalihkan atau menghilangkan barang jaminan itu. Pemblokiran barang jaminan dan atau harta kekayaan lain dilakukan dengan menerbitkan Surat Pemblokiran yang ditandatangani Kepala KP2LN yang ditujukan kepada instansi yang berwenang. Pemblokiran terhadap harta kekayaan yang tersimpan di bank dilaksanakan setelah memperoleh izin tertulis dari Bank Indonesia. Pemblokiran terhadap surat berharga yang diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan setelah memperoleh izin tertulis dari Ketua Badan Pengawasan Pasar Modal. 4) Pencegahan terhadap debitur dan penjamin hutang Pencegahan dilakukan agar debitur dan penjamin hutang tidak keluar dari wilayah Republik Indonesia yang bersifat sementara. Pencegahan dilakukan karena debitur beritikad tidak baik dan barang jaminan diperkirakan tidak bisa menutupi sisa hutang. Dengan kondisi ini debitur atau penjamin hutang akan menghindar dan tidak
49
bertanggung jawab lagi untuk menyelesaikan piutang negara. Adanya pencegahan mempermudah bagi KP2LN menghubungi debitur untuk meminta penyelesaian piutang negara. Jangka waktu pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing selama 6 (enam) bulan. Pencegahan berakhir demi hukum jika jangka waktu pencegahan pertama berakhir dan tidak ada perpanjangan atau jangka waktu perpanjangan pencegahan kedua berakhir. e. Pernyataan Bersama (PB) Setelah debitur dipanggil secara tertulis kemudian datang memenuhi panggilan atau datang atas kemauan sendiri, KP2LN mengadakan wawancara dengan debitur tersebut tentang kebenaran adanya dan besar piutang negara serta cara-cara penyelesaiannya. Jika wawancara dengan debitur menunjukkan sikap kooperatif dan positif akan menyelesaikan hutangnya maka hasil interview atau wawancara dituangkan dalam Berita Acara tanya jawab yang ditandatangani debitur, Kepala KP2LN atau pejabat yang ditunjuk dan disaksikan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang cukup menurut hukum. Berdasarkan Berita Acara tanya jawab tersebut maka dibuatlah Pernyataan Bersama (PB) yang ditandatangani oleh Ketua PUPN Cabang, debitur dan dua orang saksi yang cukup menurut hukum. Pernyataan Bersama (PB) merupakan kesepakatan bersama antara ketua PUPN dengan debitur yang memuat pengakuan
50
jumlah hutang yang harus dibayar debitur termasuk bunga, denda dan biaya-biaya dan memuat kewajiban/kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya. Karena Pernyataan Bersama ini memuat pengakuan jumlah hutang yang harus dibayar dan kewajiban/kesanggupan debitur untuk melunasi hutang tersebut yang oleh Undang-Undang diberikan kekuatan yang sama seperti keputusan pengadilan yang tetap dalam perkara perdata maka Pernyataan Bersama ini secara yuridis dapat dinilai sebagai Grosse Akta Pengakuan Hutang seperti dimaksud Pasal 224 HIR yang oleh Undang-Undang juga mempunyai kekuatan sama dengan putusan pengadilan tetap, sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (Volledig) dan kekuatan memaksa (Dwingend bewijs). Pembuktian yang sempurna artinya bukti yang dianggap benar yang membuktikan adanya dan besarnya hutang debitur karena sama dengan putusan Hakim yang pasti. Kekuatan memaksa artinya kalau debitur tidak melaksanakan pembayaran hutang seperti ditetapkan dalam Pernyataan Bersama tersebut maka Pernyataan Bersama tersebut dapat digunakan sebagai dasar hukum melakukan eksekusi atas barang jaminan dan atau harta kekayaan lain milik debitur yang tidak dijaminkan. Namun dalam sistim pengurusan piutang negara melalui PUPN ini, Pernyataan Bersama (yang memiliki kekuatan hukum sama dengan putusan pengadilan yang pasti/tetap) tidak digunakan sebagai dasar hukum mengeksekusi jaminan bila debitur tidak melaksanakan isi kesepakatan yang tertuang dalam Pernyataan Bersama, tetapi pelaksanaan eksekusi barang jaminan
51
dijalankan dengan pengeluaran Surat Paksa seperti dalam hal memuat pajak. Pemakaian sistim Surat Paksa seperti dalam hak pajak dapat dipertanggung jawabkan oleh karena negara merupakan pihak yang berpiutang (memiliki tagihan). Oleh Undang-Undang Surat Paksa diberikan kekuatan hukum yang sama seperti grosse dari putusan Hakim yang tetap/pasti dalam perkara perdata yang tidak dapat dimintai banding atau kasasi. Pernyataan Bersama (PB) intinya memuat pengakuan jumlah hutang yang masih harus dibayar debitur dan kewajiban/kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam Pernyataan Bersama. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.02/ 2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Pengurusan Piutang Negara menegaskan bahwa Pernyataan Bersama memuat sekurang-kurangnya : 1) Irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” 2) Identitas debitur/penanggung hutang 3) Identitas kreditur/penyerah piutang 4) Besarnya piutang negara dengan rincian terdiri dari hutang pokok, bunga, denda dan ongkos/beban lainnya. 5) Besarnya biaya administrasi Pengurusan Piutang Negara 6) Pengakuan hutang oleh debitur 7) Kesanggupan
debitur
untuk
menyelesaikan
hutang
penyelesaiannya. 8) Sanksi jika tidak memenuhi cara penyelesaian hutang
dan
cara
52
9) Tanggal penandatanganan Pernyataan Bersama 10) Tanda tangan Ketua Panitia Cabang, tanda tangan debitur atau kuasanya jika debitur mewakilkan atau ahli waris jika debitur meninggal dunia diatas materai cukup dan tanda tangan para saksi. Debitur yang mengakui jumlah hutang namun tidak sanggup menyelesaikan hutangnya dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, Pernyataan Bersama tetap dibuat yang memuat pengakuan hutang dan pernyataan debitur tidak sanggup menyelesaikan hutang dalam jangka waktu yang ditetapkan. Jangka waktu penyelesaian hutang yang ditetapkan dalam Pernyataan Bersama paling lama 12 (dua belas) bulan sejak Pernyataan Bersama ditandatangani kecuali KP2LN memberikan keringanan hutang. Dengan adanya keringanan hutang jangka waktu penyelesaian hutang yang ditetapkan dalam Pernyataan Bersama bisa kurang atau bisa lebih dari 12 (dua belas) bulan. Pembayaran Piutang Negara yang ditetapkan dalam Pernyataan Bersama dapat dilakukan secara tunai atau dengan angsuran dalam jangka waktu seperti yang disepakati dengan jangka waktu 12 (dua belas) bulan, kecuali ada keringanan hutang. Bila pembayaran dilakukan dengan sistim angsuran maka jangka waktu pembayaran secara angsuran tidak boleh melebihi triwulan. Dengan ditetapkan jangka waktu pembayaran jumlah hutang paling lama 12 (dua belas) bulan atau lebih/kurang jika ada keringanan hutang dan pembayaran dapat dilakukan
53
dengan tunai atau angsuran menunjukkan bahwa pengurusan kredit macet melalui PUPN didahului dengan restrukturisasi kredit. Restrukturisasi kredit terjadi karena KP2LN menetapkan jangka waktu pembayaran pelunasan hutang dilakukan penjadwalan kembali dalam waktu 12 (dua belas) bulan bahkan KP2LN dapat memberikan keringanan hutang. KP2LN dalam melakukan pengurusan piutang negara yang didahului dengan melakukan restrukturisasi kredit macet menurut pendapat penulis memperlambat penyelesaian kredit macet dan bertentangan dengan keinginan kreditur/bank karena sebelum kredit macet diserahkan pengurusannya
kepada
PUPN/KP2LN,
kreditur
telah
melakukan
restrukturisasi dengan memperpanjang jangka waktu penyelesaian dan sekaligus memberikan keringanan dengan penghapusan bunga, denda dan ongkos-ongkos 100% tetapi tetap saja debitur tidak mampu melaksanakan ketentuan dan syarat restrukturisasi yaitu menyelesaikan hutangnya. Kalau KP2LN melakukan restrukturisasi dengan memperpanjang jangka waktu penyelesaian hutang dan memberikan keringanan bunga, denda dan ongkos lainnya maka kebijakan itu mengulangi kembali restrukturisasi yang dilakukan kreditur/bank sehingga penyelesaian piutang negara khususnya
kredit
macet
oleh
KP2LN
yang
didahului
dengan
restrukturisasi menjadi tidak efektif dan tidak mempersingkat dan ini bertentangan dengan konsideran Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 yang memberikan pertimbangan bahwa untuk mempersingkat dan
54
mempercepat penyelesaian piutang negara dibentuklah lembaga khusus yaitu PUPN. Penyelesaian piutang negara melalui lembaga PUPN yang bermaksud mempercepat dan mempersingkat tersebut tidak menggunakan HIR dinilai tidak akan berhasil. Keinginan kreditur menyerahkan kredit macet kepada PUPN/KP2LN terutama diharapkan agar KP2LN segera melakukan penjualan/eksekusi barang-barang jaminan bukan melakukan restrukturisasi kembali dengan memberikan jangka waktu pembayaran paling lama 12 bulan dan keringanan. f. Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN) Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN) dibuat karena Pernyataan Bersama (PB) tidak dapat dibuat karena : Debitur tidak memenuhi panggilan dan atau pengumuman panggilan Debitur tidak mengakui jumlah hutang tetapi tidak dapat memberikan bukti-bukti. Debitur mengakui jumlah hutang tetapi menolak menandatangani Pernyataan Bersama. Jadi PJPN ini dibuat untuk mengatasi keinginan debitur yang dengan alasan-alasan tersebut di atas tidak bersedia membuat dan menandatangani Pernyataan Bersama. Jadi PJPN adalah sebagai pengganti Pernyataan Bersama. PJPN dibuat secara sepihak oleh Panitia Cabang sehingga hanya ditandatangani Panitia Cabang yang memuat sekurang-kurangnya :
55
1) Berkepala “Keputusan Panitia Urusan Piutang Negara” tentang Penetapan Jumlah Piutang Negara. 2) Pertimbangan diterbitkannya Penetapan Jumlah Piutang Negara 3) Dasar hukum diterbitkannya Penetapan Jumlah Piutang Negara 4) Besarnya piutang negara dengan rincian hutang pokok, bunga, denda, ongkos/beban lainnya dan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara yang wajib dilunasi debitur. 5) Tanggal penerbitan Penetapan Jumlah Piutang Negara dan tanda tangan Panitia Cabang g. Surat Paksa Debitur yang telah menandatangani Pernyataan Bersama tetapi tidak menyelesaikan pembayaran piutang negara seperti ditetapkan dalam Pernyataan Bersama atau Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN) telah diterbitkan maka tindakan yang dilakukan KP2LN adalah mengeluarkan Surat Paksa yang ditandatangani oleh Ketua Panitia Cabang kepada debitur untuk membayar sekaligus seluruh hutangnya dalam jangka waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal diberitahukan. Surat Paksa memuat sekurang-kurangnya : 1) Irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” 2) Identitas kreditur/penyerah piutang serta nomor dan tanggal surat penyerahan Pengurusan Piutang Negara 3) Identitas debitur/penanggung hutang
56
4) Sisa hutang yang harus diselesaikan termasuk biaya administrasi Pengurusan Piutang Negara 5) Alasan yang menjadi dasar penagihan 6) Dasar hukum penerbitan Surat Paksa 7) Perintah kepada debitur untuk melunasi seluruh hutangnya dalam jangka waktu 1 x 24 jam terhitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa. 8) Tempat dan tanggal penetapan dan tanda tangan Ketua Panitia Cabang. Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Piutang Negara kepada debitur dengan
membacakan
dan
menyerahkan
salinan
Surat
Paksa.
Pemberitahuan Surat Paksa kepada debitur dituangkan dalam Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa yang memuat sekurang-kurangnya : 1) Hari, tanggal dan jam pemberitahuan Surat Paksa 2) Identitas Jurusita Piutang Negara, penerima Surat Paksa dan saksisaksi dan tempat pemberitahuan Surat Paksa. 3) Berita Acara ditandatangani oleh Jurusita Piutang Negara, saksi dan debitur atau penerima Surat Paksa. Surat Paksa yang isinya memenuhi syarat tersebut di atas mempunyai kekuatan yang sama seperti putusan Hakim dalam perkara perdata yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Surat Paksa yang mempunyai kekuatan hukum sama seperti putusan Hakim yang tetap/pasti dapat dijalankan secara penyitaan dan pelelangan atau eksekusi barang jaminan
57
atau harta kekayaan lain dan penyanderaan (paksa badan), jika debitur dan atau penjamin hutang tidak melunasi hutangnya dalam waktu 1 x 24 jam sejak Surat Paksa diberitahukan. h. Penyitaan Ketua Cabang menerbitkan Surat Perintah Penyitaan jika setelah lewat waktu 1 x 24 jam sejak Surat Paksa diberitahukan, debitur tidak melunasi hutangnya. Penyitaan dilaksanakan terhadap barang jaminan milik debitur dan atau milik Penjamin Hutang. Bila barang jaminan tidak ada atau ada tetapi nilainya diperkirakan tidak melunasi sisa hutang, penyitaan dapat dilakukan terhadap harta kekayaan lain. Penyitaan barang jaminan dan harta kekayaan ini dilakukan oleh Jurusita Piutang Negara berdasarkan Surat Perintah Penyitaan dan disaksikan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. Jurusita dalam melakukan penyitaan akan memberitahukan kepada debitur dan atau penjamin hutang sebagai pemilik barang/harta yang disita. Pelaksanaan penyitaan oleh Jurusita dituangkan dalam Berita Acara penyitaan yang ditandatangani Jurusita, saksi-saksi dan debitur dan atau penjamin hutang. Bila debitur atau penjamin hutang menolak menandatangani Berita Acara Penyitaan maka Berita Acara Penyitaan tetap mempunyai kekuatan mengikat. Penyitaan yang telah dilaksanakan didaftarkan kepada instansi yang berwenang agar barang yang disita tidak dialihkan atau dijual karena tujuan sita adalah untuk mencegah debitur
58
atau Penjamin Hutang mengalihkan atau menyembunyikan barang yang disita. Misalnya tanah dan bangunan yang sudah disita maka penyitaan tersebut perlu didaftarkan/diberitahukan kepada Kantor Pertanahan setempat agar Kantor Pertanahan menjadi tahu sehingga tidak melakukan balik nama sertifikat hak atas nama. Penyitaan terhadap uang yang terdapat di rekening di bank maka perlu diberitahukan kepada bank yang bersangkutan agar bank tidak mengizinkan penarikan uang yang tersimpan di bank tersebut. i.
Pelelangan Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan Lain Jika barang jaminan atau harta kekayaan lain telah dilakukan penyitaan namun debitur dan atau Penjamin Hutang tidak menyelesaikan hutangnya maka Panitia Cabang menerbitkan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan, yang memuat sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut : 1) Pertimbangan hukum diterbitkannya Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan 2) Dasar hukum penerbitan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan 3) Perintah kepada Kepala Kantor Pelayanan untuk melaksanakan lelang 4) Uraian barang sitaan yang akan dilelang 5) Tempat dan tanggal penerbitan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan 6) Tanda Tangan Panitia Cabang
59
Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan diberitahukan secara tertulis kepada debitur atau penjamin hutang. Dengan diterbitkannya Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan ini Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) akan melakukan penjualan barang sitaan tersebut. Penjualan Barang Sitaan dilakukan sebagai upaya terakhir Pengurusan Piutang Negara. Penjualan barang jaminan dan atau harta kekayaan dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara : 1) Melalui pelelangan yaitu penjualan barang jaminan atau harta kekayaan milik debitur atau milik penjamin hutang yang dilakukan dimuka umum dihadapan pejabat lelang Barang jaminan dan atau harta kekayaan yang akan dijual melalui lelang harus dilakukan penilaian oleh Tim Penilai Internal KP2LN atau penilai eksternal asal ada usul dan dibiayai kreditur/ penyerah piutang. Untuk obyek penilaian bersifat khusus dan atau barang tidak berwujud penilaian dilakukan oleh penilai eksternal. Obyek penilaian yang bersifat khusus antara lain kilang minyak, pembangkit tenaga listrik, instalasi dermaga, sekolah/kampus, rumah sakit/tempat pelayanan kesehatan, tempat rekreasi, tempat ibadah, atau obyek dengan konstruksi, tata letak, ukuran dan atau spesifikasi khusus. Obyek penilaian yang tidak bersifat khusus antara lain bangunan rumah, toko, kantor, pabrik, dan mesin-mesin, gudang atau pompa bensin.
60
Hasil penilaian dituangkan dalam laporan penilaian yang ditandatangani oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) anggota Tim Penilai. Laporan penilaian berlaku selama 6 (enam) bulan sejak tanggal penilaian. Kepala Kantor Pelayanan dapat memperpanjang masa berlaku laporan penilaian paling lama 6 (enam) bulan atau memperpendek kurang dari 6 (enam) bulan bila ada perubahan yang bersifat signifikan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi nilai. Kreditur dapat menyampaikan laporan penilaian kepada kantor pelayanan yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam menetapkan nilai pencairan asal laporan penilaian dilakukan oleh penilai independen yang memiliki izin usaha kegiatan penilaian (appraisal). Penilaian barang tersebut digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penjualan barang melalui lelang agar barang tersebut tidak dijual dengan harga murah. Penjualan barang melalui lelang bertujuan untuk mendapatkan harga penjualan lelang yang tinggi/optimal. Oleh karena itu barang yang akan dijual melalui lelang harus ditentukan nilai limitnya. Nilai limit adalah nilai pelepasan barang terendah dalam lelang. Nilai limit barang yang dilelang ditetapkan oleh panitia cabang berdasarkan laporan penilaian yang masih berlaku dan nilai limit disampaikan oleh kepala kantor kepada pejabat penjual. Nilai limit dapat diberitahukan kepada masyarakat umum dengan cara :
61
a) Melalui pengumuman lelang b) Pada saat penjelasan (aanwijzing) dan atau c) Pada saat lelang berlangsung Nilai limit terhadap barang yang akan dijual melalui lelang pada saat ini sangat terbuka karena dapat diketahui masyarakat umum. Kantor pelayanan dapat mengumumkan nilai limit bersamaan dengan pengumuman lelang sehingga menarik minat masyarakat luas untuk membeli barang yang akan dilelang. Pada masa lalu nilai limit ini sangat rahasia sehingga tidak setiap orang mengetahui nilai limit barang yang akan dilelang. Dengan terbukanya nilai limit ini membukt ikan bahwa kantor pelayanan bergerak ke arah transparansi dalam menjual barang melalui pelelangan. Penjualan barang melalui lelang diumumkan melalui surat kabar harian dan diberitahukan secara tertulis kepada debitur dan atau penjamin hutang paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum lelang dilaksanakan. 2) Penjualan tidak melalui lelang Penjualan tidak melalui lelang adalah pencairan barang jaminan dan harta kekayaan milik debitur yang dilakukan oleh debitur dalam rangka penyelesaian hutang. Penjualan barang jaminan yang dilakukan oleh debitur sendiri akan lebih menguntungkan karena akan diperoleh harga yang tinggi dan dari kantor pelayanan akan
62
menghemat
biaya
karena
tidak
perlu
mengeluarkan
biaya
pengumuman lelang melalui surat kabar. Untuk dapat menjual sendiri barang jaminan, debitur harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada kantor pelayanan yang isinya : a) Uraian barang yang akan dijual b) Nilai penjualan c) Identitas calon pembeli dan d) Cara pembayaran Permohonan penjualan tidak melalui lelang dapat diajukan oleh debitur kepada kantor pelayanan pada semua tingkat pengurusan dan syarat permohonan diterima kantor pelayanan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sebelum pelaksanaan lelang. Persetujuan penjualan tidak
melalui
lelang
ditetapkan oleh Panitia Cabang dengan
ketentuan : a) Berpedoman pada laporan penilaian yang masih berlaku b) Nilai persetujuan paling sedikit dengan nilai pasar c) Nilai pasar paling sedikit sama dengan nilai pengikatan yaitu nilai yang tercantum dalam hak tanggungan/akta hipotik dan fidusia Apabila nilai pasar nilainya di bawah nilai pengikatan maka kantor pelayanan harus meminta persetujuan dari kreditur. Kreditur harus memberikan jawaban setuju atau menolak atas permintaan persetujuan dari kantor pelayanan dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari sejak surat permintaan persetujuan diterima kreditur. Jika kreditur
63
berkeberatan/menolak maka penolakan/keberatan tersebut disertai alasan penolakan. Kalau kreditur tidak memberikan tanggapan permintaan persetujuan dari kantor pelayanan dianggap menyetujui maka penjualan tidak melalui lelang dapat dilaksanakan. Jika kreditur menyetujui, menyatakan tidak keberatan atau menyerahkan keputusan penjualan kepada panitia cabang kantor pelelangan, maka penjualan tidak melalui lelang dapat dilaksanakan. Pembayaran melalui lelang dapat dilakukan secara tunai maupun dengan angsuran. Apabila pembeli wanprestasi terhadap syarat pembayaran maka persetujuan penjualan tidak melalui lelang menjadi batal dan pembayaran yang sudah dilakukan diperhitungkan sebagai pengurangan jumlah hutang. j.
Penebusan Penebusan adalah pencairan barang jaminan yang dilakukan oleh penjamin hutang dalam rangka penyelesaian hutang. Dari pengertian ini, yang dapat melakukan penebusan barang jaminan adalah penjamin hutang. Penjamin hutang disini adalah pihak ketiga yang memiliki barang atau harta kekayaan yang menjaminkan barangnya untuk menjamin pelunasan hutang debitur/penanggung hutang. Untuk menebus barang jaminan penjamin hutang harus mengajukan permohonan secara tertulis yang bermaksud menebus barang jaminan miliknya dengan nilai paling sedikit sama dengan nilai pengikatan.
64
Permohonan penebusan sebesar nilai pengikatan dapat diajukan pada semua tingkat pengurusan. Sedangkan permohonan penebusan yang nilainya dibawah pengikatan diajukan pada semua tingkat pengurusan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pelaksanaan lelang. Surat permohonan memuat sekurang-kurangnya : 1) Uraian barang yang akan ditebus 2) Nilai penebusan 3) Cara pembayaran Penebusan barang jaminan di bawah nilai pengikatan dapat disetujui dengan syarat : 1) Nilai pasar barang yang akan ditebus berdasarkan laporan penilaian yang masih berlaku di bawah nilai pengikatan. 2) Kreditur/penyerah piutang menyetujui, menyatakan tidak keberatan atau
menyerahkan
keputusan
penebusan
kepada
Panitia
Cabang/Kantor Pelayanan. Kreditur harus memberikan tanggapan yang menolak atau menyetujui permintaan persetujuan dari kantor pelayanan dalam waktu selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak kreditur menerima surat dari Kantor Pelayanan. Bila dalam waktu 15 (lima belas) hari kreditur tidak memberikan tanggapan maka penebusan dapat dilaksanakan. Jika kreditur menolak memberikan persetujuan maka penolakan tersebut harus disertai alasan-alasan keberatan. 3) Mendapat persetujuan dari debitur
65
Tiga cara persetujuan barang jaminan dan atau harta kekayaan lain dalam rangka penyelesaian hutang disebut pencairan barang jaminan. Dari 3 (tiga) cara tersebut penjualan tidak melalui lelang dan penebusan barang jaminan lebih menguntungkan kreditur dan debitur karena : 1) Pemilik barang jaminan dapat menentukan sendiri harga jual sehingga bisa diperoleh harga yang tinggi 2) Penjualan Barang Jaminan dan Harta Kekayaan lain diluar lelang/ tidak melalui lelang dapat menjaga reputasi dan nama baik pemilik barang karena penjualan diluar lelang atau penebusan tidak perlu diumumkan secara luas melalui surat kabar. 3) Penjualan barang jaminan tidak melalui lelang dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemilik barang jaminan dengan pembeli sehingga di kemudian hari tidak akan menimbulkan permasalahan. Penjualan diluar lelang atau penebusan dapat menghemat waktu, biaya dan tenaga Dalam melakukan pencairan barang jaminan dan atau harta kekayaan lain apakah melalui lelang, tidak melalui lelang atau penebusan kemungkinan yang terjadi adalah : 1) Hasil pencairan melebihi sisa hutangnya Kalau hasil pencairan jaminan melalui lelang setelah diperhitungkan dengan pelunasan hutang debitur, masih terdapat kelebihan maka kelebihan hasil lelang diserahkan kepada :
66
a) Debitur b) Penjamin hutang dalam hal barang yang dilelang milik pihak ketiga/penjamin. c) Ahli waris jika debitur dan atau penjamin hutang telah meninggal dunia. d) Balai harta peninggalan dalam hal debitur dan atau penjamin hutang telah meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris. e) Likuidator, dalam hal debitor adalah badan hukum yang telah dibubarkan. f) Pengadilan niaga atau kurator dalam hal debitur dinyatakan pailit (2) Hasil
pencairan
melebihi
nilai
pengikatan
(nilai
hipotik/hak
tanggungan/fiducia) Jika hasil pencairan/lelang barang jaminan milik Pihak Ketiga/ Penjamin Hutang melebihi nilai pengikatan maka hasil lelang yang digunakan untuk pembayaran hutang sebesar nilai pengikatan ditambah biaya administrasi pengurusan piutang negara. Ketentuan tersebut menjadi persoalan bagi kreditur jika sebesar nilai pengikatan yang digunakan untuk pembayaran hutang belum mampu melunasi seluruh hutangnya padahal masih terdapat kelebihan dari hasil lelang yang melebihi nilai pengikatan. Menurut penulis hasil lelang yang melebihi nilai pengikatan tetap harus digunakan untuk melunasi sisa hutang yang belum terbayar. Hanya saja posisi kreditur atas kelebihan hasil lelang diatas nilai pengikatan bersifat konkuren atas kelebihan itu.
67
(3) Hasil pencairan dibawah sisa hutang Sering terjadi pencairan barang jaminan khususnya melalui penjualan lelang hasilnya dibawah sisa hutang sehingga tidak bisa melunasi sisa hutang. Hal ini terjadi karena barang jaminan mempunyai nilai jual yang rendah atau sama sekali tidak mempunyai nilai jual (tidak marketable). Kalau hasil penjualan barang jaminan tidak mencukupi untuk membayar sisa hutang maka Panitia Cabang akan mengeluarkan surat keterangan tentang Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih (PNSBDT). Surat keterangan ini diberitahukan kepada kreditur/penyerah piutang. PNSBDT ini dapat digunakan sebagai dasar bagi kreditur untuk mengusulkan hapus buku piutang dari pembukuan kreditur. Sisa hutang yang belum dilunasi tetap menjadi kewajiban Panitia Cabang untuk menagih kepada debitur. Panitia Cabang melakukan penyelidikan/investigasi apakah debitur masih memiliki harta atau tidak. Bila dalam perkembangannya debitur dinilai memiliki kemampuan dan memiliki harta kekayaan maka Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih dilanjutkan pengurusannya.
68
3. Prosedur Pelaksanaan Sistem Lelang Negara a. Penyetoran uang jaminan Dalam setiap pelaksanaan lelang dapat disyaratkan kepada calon peminat atau pembeli untuk menyetor uang jaminan. Besarnya uang jaminan ditentukan oleh penjual/pemohon lelang dengan memperhatikan saran dari Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara. Tenggang waktu antara penyetoran uang jaminan dengan tanggal pelaksanaan lelang tidak boleh terlalu lama, karena bertentangan dengan ketentuan umum lelang. Maksud ditentukan uang jaminan lelang adalah : 1) Merupakan salah satu cara untuk mengetahui calon peminat/ pembeli lelang, yang bersangkutan benar-benar berminat untuk mengikuti lelang. 2) Merupakan suatu tindakan hukum dalam menjamin agar harga lelang akan dapat dibayar oleh pembeli tepat pada waktunya setelah selesai pelaksanaan lelang. Uang jaminan dan besarnya dapat disetorkan langsung oleh para calon peminat/pembeli ke rekening penampungan KPKNL atau kepada Pejabat Lelang Kelas II yang bersangkutan. Uang jaminan ini akan diperhitungkan dengan harga lelang, jika calon pembeli/peminat ditunjuk sebagai pemenang lelang, sedangkan bagi para calon peminat yang tidak ditunjuk sebagai pemenang lelang, maka uang jaminan akan dikembalikan seluruhnya kepada calon peminat yang bersangkutan tanpa adanya pemotongan apapun.
69
Dalam hal calon peminat yang ditunjuk sebagai pembeli lelang, namun wanprestasi dan tidak melakukan pelunasan terhadap pembayaran harga lelang, maka uang jaminan tersebut akan disetorkan kepada Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara, dan kepadanya dapat dikenakan sanksi serta
tidak
dibenarkan
lagi
untuk
mengikuti
lelang
sebagai
peminat/pembeli lelang di seluruh wilayah Indonesia dalam jangka waktu 6 (enam) bulan. Jaminan hutang yang diperkirakan nilainya cukup besar, maka seyogyanya ditetapkan uang jaminan yang cukup besar pula, untuk menghindari kemungkinan pembeli lelang yang beritikad tidak baik tidak dapat melunasi pembayaran atas harga pokok lelang. Misalnya jika harga barang yang bernilai milyaran rupiah dieksekusi lelang dengan uang jaminan hanya sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) maka besar kemungkinan pihak-pihak yang menginginkan tidak terjualnya barang tersebut dapat masuk dalam pelaksanaan eksekusi lelang, sebagai calon pembeli. Dalam pelaksanaan lelang, pihak yang beritikad tidak baik tersebut akan mengajukan penawaran tertinggi, dan kemudian setelah ditunjuk sebagai pemenang lelang, maka yang bersangkutan tidak menyelesaikan pelunasan atas harga pokok lelang. Walaupun uang jaminan yang relatif kecil tersebut dinyatakan hangus dalam artian uang jaminan tersebut dapat
70
disetorkan oleh KPKNL ke Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara, akan tetapi jaminan hutang tersebut tidak laku terjual dalam pelaksanaan eksekusi lelang tersebut.60 b. Penyerahan Nilai Limit Setiap pelaksanaan lelang harus ada harga limit terhadap barang yang dijual. Harga limit ditentukan oleh pemohon lelang/penjual dan diserahkan kepada Pejabat Lelang selambat-lambatnya pada saat akan dimulainya pelaksanaan lelang. Harga limit merupakan harga dasar terendah yang dibuat oleh pemohon/penjual lelang dan dijadikan sebagai dasar dalam pelaksanaan lelang. 61 Harga limit
merupakan pedoman bagi pejabat
lelang untuk
menetapkan peminat lelang yang mengajukan penawaran tertinggi dan dianggap telah mencapai atau melampaui harga limit, maka peminat/ penawar tersebut, dapat dinyatakan sebagai pembeli. Pembeli yang telah ditunjuk dan ditetapkan oleh pejabat lelang sebagai pemenang harus melunasi kewajiban pembayaran selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja setelah pelaksanaan lelang. 62
60
S.Mantayborbir dan V.J. Mantayborbir, Hukum Perbankan dan Sistem hukum Piutang dan Lelang Negara. Pustaka Bangsa Press, Medan, 2006, hlm. 143 61 Djamhuri, Op.Cit, hlm. 72 62 Ibid, hlm 72.
71
c. Pelaksanaan penawaran Pelaksanaan sistem penawaran dapat dilakukan secara terbuka, lisan naik-naik atau menurun dan atau dalam bentuk tertulis dan tertutup untuk mencapai/memperoleh harga yang optimal. Apabila penawaran harga yang diajukan oleh calon peminat/pembeli tidak mencapai harga limit, maka lelang dinyatakan ditahan dan kepada pemohon/penjual lelang dikenakan biaya penahanan lelang. d. Penunjukan pemenang lelang dan pembayaran hasil lelang Terhadap calon peminat/pembeli yang penawarannya telah mencapai dan atau melebihi harga limit, maka ditunjuk dan ditetapkan sebagai pemenang lelang, dan pemenang lelang yang bersangkutan diwajibkan untuk membayar harga lelang. Tabel 1. Barang Jaminan Yang Telah Selesai Pengurusannya Secara Lelang Pada KP2LN Medan Tahun 2004 s/d 2006 No
Tahun
Jumlah Kasus
Telah Dilelang
%
1
2004
1195
457
38,24%
2
2005
1137
484
42,57%
3
2006
916
520
56,77%
Sumber : Data Sekunder Diolah dari KP2LN Medan Tahun 2006 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa barang jaminan yang telah selesai pengurusannya secara lelang, yakni : pada tahun 2004 dari 1195 kasus telah diselesaikan sebanyak 457 kasus atau 38,24%, pada tahun
72
2005 dari 1137 kasus telah diselesaikan sebanyak 484 kasus atau 42,57%, dan pada tahun 2006 dari 916 kasus dapat diselesaikan sebanyak 520 kasus atau 56,77%. Sebagai contoh kasus debitur yang barang jaminannya telah diselesaikan secara lelang pada tahun 2004 s/d 2006 tersebut, diambil sebanyak masing-masing 5 debitur dari setiap tahunnya, sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2. Beberapa Kasus Yang Jaminan Hutang Kebendaannya Telah Diselesaikan Melalui Lelang Pada KP2LN Medan Tahun 2004 S/D 2006
No Tahun
Jumlah Kasus
Barang Jaminan Bergerak Barang-barang bergerak berupa mesin-mesin industri untuk membuat suku cadang kendaraan bermotor roda dua
Tidak Bergerak
1
2004
6
2
2005
3
3 (tiga) bidang tanah berikut bangunan yang ada diatasnya.
3
2006
5
5 (lima) bidang tanah berikut bangunan yang ada diatasnya.
Sumber : KP2LN Medan Tahun 2006
5 (lima) bidang tanah berikut bangunan yang ada diatasnya.
73
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah jaminan yang dilelang pada tahun 2004 ada 6 (enam) kasus yang jaminan hutang kebendaan yang bergerak terdiri dari 5 (lima) kasus berupa sebidang tanah dan berikut segala sesuatu diatasnya, dan 1 (satu) kasus barang tidak bergerak yang berupa mesin-mesin industri untuk membuat suku cadang kendaraan bermotor roda dua. Pada tahun 2005 jumlah jaminan kebendaan yang dilelang adalah sebanyak 5 (lima) jaminan kebendaan yang tidak bergerak yaitu berupa sebidang tanah dan berikut segala sesuatu diatasnya, tetapi pada tahun 2005 jaminan hutang kebendaan yang tidak bergerak adalah tidak ada atau nol. Pada tahun 2006 jumlah jaminan kebendaan yang dilelang adalah sebanyak 5 (lima) jaminan kebendaan yang tidak bergerak yaitu berupa sebidang tanah dan berikut segala sesuatu diatasnya, tetapi pada tahun 2006 jaminan hutang kebendaan yang tidak bergerak adalah tidak ada atau nol. Selain daripada penyelesaian secara lelang, pencairan barang jaminan hutang juga ada telah dilakukan penebusan, yaitu pencairan barang jaminan yang dilakukan oleh penjamin hutang dalam rangka penyelesaian hutang di KP2LN Medan. Adapun tahap-tahap penebusan adalah sebagai berikut :
74
(1) Persyaratan permohonan a) Penjamin hutang dapat mengajukan permohonan untuk menebus barang jaminan miliknya secara tertulis. b) Permohonan penebusan paling sedikit
sama dengan nilai
pengikatan. c) Penanggung hutang atau penjamin hutang yang menjamin seluruh hutang penanggung hutang tidak boleh mengajukan permohonan penebusan. d) Surat
permohonan penebusan
memuat sekurang-kurangnya :
uraian barang yang akan ditebus, nilai penebusan, dan cara pembayaran. e) Dalam hal penjamin hutang telah meninggal dunia, permohonan penebusan dapat diajukan oleh ahli warisnya, dengan dilengkapi dengan fotokopi Surat Kematian Penjamin Hutang Fatwa Waris/Surat Keterangan Waris dari Desa/ Kelurahan yang diketahui oleh Camat, Kuasa dari para ahli waris apabila ahli waris lebih dari 1 (satu) dan para ahli waris menunjuk kuasa. f) Apabila permohonan belum lengkap, KPKNL akan menerbitkan surat permintaan kelengkapan
75
(2) Putusan Atas Permohonan a) Putusan atas permohonan penebusan dapat disetujui atau ditolak dengan berpedoman pada nilai pasar dan nilai pengikatan barang yang akan ditebus. b) Putusan penebusan dapat ditetapkan di bawah nilai pengikatan, apabila nilai pasar barang jaminan dibawah nilai pengikatan. Namun putusan dimaksud memerlukan persetujuan dari penyerah piutang dan penanggung hutang. (3) Lama waktu putusan Putusan atas permohonan penjualan tidak melalui lelang ditetapkan paling lama 7 (tujuh) hari sejak surat permohonan diterima secara lengkap oleh KPKNL;
atau 2 (dua) bulan sejak surat
permohonan diterima secara lengkap oleh KPKNL, namun pemberian putusan
memerlukan
persetujuan
dari
penyerah
piutang
dan
penanggung hutang. (4) Pembayaran a) Nilai penebusan yang ditetapkan ditambah biaya administrasi Pengurusan Piutang Negara b) Pembayaran atas persetujuan penebusan dapat dilakukan secar tunai maupun angsuran. Dalam hal nilai penebusan kurang dari atau sama dengan Rp.1 Milyar, pembayaran dilakukan secara tunai paling lama 2 bulan sejak tanggal surat persetujuan. Dalam hal
76
nilai penebusan lebih dari Rp.1 Milyar rupiah, pembayaran dapat dilakukan secara angsuran prorata paling lama 6 bulan sejak tanggal surat persetujuan. Dalam hal pembeli tidak memenuhi pembayaran sesuai yang ditetapkan dalam persetujuan penebusan, persetujuan penebusan dibatalkan dan pembayaran yang telah dilakukan diperhitungkan sebagai angsuran hutang. 4. Peran KPKNL Sesudah Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 a. Dalam Penanganan Piutang Negara Macet Dari Perbankan Nasional Sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 yang mulai berlaku sejak Agustus 2006 peran KPKNL dalam penanganan piutang negara macet dari perbankan sangat minim. Hal ini disebabkan karena Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 ini membatasi ruang lingkup pengertian keuangan menjadi tidak mencakup kekayaan negara yang telah dipisahkan, yang berada pada BUMN/BUMD sehingga kredit yang ada di Bank-bank BUMN tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian keuangan negara. Pemahaman ini mengakibatkan suatu prioritas penyelesaian kredit melalui penyelesaian prinsip-prinsip
perusahaan
yang
sehat
dan
memperkecil kemungkinan penyelesaian berdasarkan eksekusi melalui
77
lelang, kecuali penyelesaian kredit macet berdasarkan hak-hak kebendaan yang harus dieksekusi. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 merupakan inisiatif dari Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono dalam membantu pengusaha kecil dan menengah yang kesulitan menjalankan usahanya karena melonjaknya harga BBM pada saat itu, sehingga menyebabkan meningkatnya jumlah kredit bermasalah (non performing loan). Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengambil kebijaksanaan dengan menghapuskan Pasal 19 dan Pasal 20 dari Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 yang menyebutkan bahwa : “Tata cara penghapusan secara bersyarat dan penghapusan secara mutlak atas piutang perusahaan negara/daerah pengurusannya diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara”. Pengurusan piutang negara yang didasarkan pada manajemen perusahaan yang sehat menuntut kehati-hatian Direksi dalam menentukan kemampuan debitur dalam pengembalian hutangnya pada bank. Dengan kata lain Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas segala kerugian yang ditimbulkan akibat kelalaian Direksi dalam menjalankan tugasnya sebagaimana diatur dalam Pasal 97 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
78
b. Dalam Pelaksanaan Lelang Sebagai Pejabat Lelang Kelas I Dalam pengurusan piutang negara macet yang sudah tidak dapat diselesaikan secara persuasif maka akan ditempuh cara kedua yaitu pelaksanaan eksekusi lelang terhadap barang jaminan hutang atau yang dikenal dengan lelang Hak Tanggungan. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) sebagai instansi yang berada di bawah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Republik Indonesia berperan sebagai pejabat lelang kelas I atau mendampingi kreditur dalam pelaksanaan lelang. Sedangkan transaksi serah terima dari hasil lelang tetap dilakukan oleh pihak bank yang bersangkutan. 63 Namun seiring berjalannya waktu pemerintah melakukan liberalisasi terhadap pelelangan aset negara dengan melibatkan swasta. Langkah tersebut diawali dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.07/2005 tentang Balai Lelang tanggal 30 Nopember 2005 yang mengatur antara lain : “Perizinan, kegiatan usaha, pelaksanaan lelang, hak dan kewajiban serta larangan dan sanksi”. Balai lelang merupakan Perseroan Terbatas (PT) yang didirikan oleh swasta nasional, patungan BUMN/BUMD dengan swasta nasional/asing yang secara khusus didirikan untuk melakukan kegiatan usaha balai lelang. 64
63
Wawancara dengan Ka.Bag Umum KPKNL Medan Bapak Tri Feriandi tanggal 25 Juni
64
Pasal 2 PMK Nomor 118/PMK.07/2005 tentang Balai Lelang
2009
79
Langkah kedua yang diambil pemerintah yaitu menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.07/2005 tentang Pejabat Lelang Kelas II yaitu Pejabat Lelang Kelas II adalah orang yang secara khusus diberi wewenang oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan penjualan lelang atas permohonan balai lelang selaku kuasa dari pemilik barang yang berkedudukan di Kantor Pejabat Lelang Kelas II. 65 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini ditegaskan bahwa otoritas Pejabat Lelang Kelas II terbatas pada lelang non-eksekusi sukarela, lelang aset Badan Usaha Milik Negara/Daerah, dan lelang aset bank dalam likuiditas. 66 Lelang non-eksekusi sukarela adalah lelang atas barang milik swasta perorangan, kelompok masyarakat atau badan secara sukarela termasuk BUMN/D berbentuk persero. 67
65
Pasal 1 angka (1) PMK Nomor 119/PMK.07/2005 tentang Pejabat Lelang Kelas II. Pasal 9 ayat (2) PMK Nomor 119/PMK.07/2005 tentang Pejabat Lelang Kelas II 67 Pasal 1 angka (1) PMK Nomor 119/PMK.07/2005 tentang Pejabat Lelang Kelas II 66
BAB III PROSES PENANGANAN PIUTANG MACET DARI PERBANKAN NASIONAL SEJAK BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 33 TAHUN 2006
A. Pengertian Piutang Negara Istilah piutang negara ini timbul karena adanya perjanjian utang piutang diantara dua orang atau lebih subjek hukum. Subjek hukum itu adalah baik pribadi (perseorangan) maupun badan hukum. Jadi perjanjian utang piutang ini boleh saja dilakukan oleh satu orang atau lebih dengan satu orang atau lebih lainnya, atau satu orang atau lebih dengan satu badan hukum atau lebih, atau satu badan hukum dengan satu badan hukum lainnya. Jika subjek hukum ini telah mengadakan suatu perjanjian utang piutang maka timbullah hak dan kewajiban diantara keduanya. Dalam ilmu hukum, subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. 68 Dengan kata lain timbullah hubungan hukum. Hubungan hukum adalah hubungan yang terhadapnya hukum melekatkan “hak” pada satu pihak dan melakukan kewajiban pada pihak lainnya. 69 Piutang adalah “hak untuk menerima pembayaran”. Sedangkan utang adalah “kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang …” 70
68
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung, Alumni, 1997), hlm. 35. 69 Mariam Darus Badrulzaman, et.al., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 1 70 Ibid, hlm. 40
80
81
Kalau melihat defenisi piutang tersebut di atas, maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa piutang negara berarti hak negara untuk menerima pembayaran. Dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960, yang dimaksud dengan Panitia Urusan Piutang Negara atau hutang kepada negara adalah “jumlah uang yang dibayar kepada negara atau badan-badan baik yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara berdasarkan peraturan, perjanjian atau sebab apapun. Dari bunyi pasal tersebut di atas tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan piutang negara. Namun dalam penjelasan Pasal 8 dari undang-undang tersebut dijelaskan apa yang dimaksud dengan piutang negara. Berhubungan dengan piutang negara, maka yang dimaksud dengan hutang adalah : 71 a. Langsung terhutang kepada negara dan oleh karena itu harus dibayar kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. b. Terhutang kepada badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik negara, misalnya bank-bank, perseroan terbatas-perseroan terbatas negara, perusahaan-perusahaan negara, yayasan perbekalan dan persediaan, yayasan urusan bahan makanan dan sebagainya. Dari bunyi Pasal 8 dan Penjelasan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang PUPN tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa piutang negara dapat dikelompokkan atas dua jenis yaitu Piutang Negara Perbankan dan Piutang Negara Non Perbankan.
71
Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
82
Piutang Negara Perbankan yaitu kredit macet bank-bank pemerintah seperti Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI) maupun Bank Pemerintah Daerah misalnya Bank Sumut. Piutang Negara Non Perbankan berupa tagihan dari lembaga atau instansi atau badan pemerintah selain bank seperti tagihan macet Perusahaan Listrik Negara, Telkom, tuntutan ganti rugi dan lain-lain. Selain dari kedua jenis piutang tersebut di atas, ada juga piutang negara yang berasal dari pajak masyarakat. Namun hutang pajak masyarakat ini diselesaikan bukan melalui PUPN melainkan melalui Undang-Undang Penagihan Pajak Negara. Hal ini dapat dilihat dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 bahwa “hutang pajak tetap merupakan piutang negara, akan tetapi diselesaikan tersendiri dengan Undang-Undang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa”.
B. Pengertian Piutang Negara Macet Piutang negara macet adalah piutang yang bersumber dari dana pemerintah dan dana masyarakat yang dikelola oleh Bank-bank Pemerintah. Kemudian termasuk juga piutang yang berasal dari non bank, seperti tunggakan Telkomsel, tunggakan listrik, tunggakan telepon, perumahan, dan sebagainya yang sifatnya bukan berupa kredit uang. 72
72
S.Mantayborbir, Kompilasi Sistem Hukum Pengurusan Piutang dan Lelang Negara, (Jakarta, Pustaka Bangsa Press, 2004), hlm. 18
83
Dengan demikian dikatakan istilah piutang negara macet karena termasuk kredit dari kreditur/bank pemerintah maupun bukan berupa kredit atau disebut piutang non bank, contohnya pembayaran jasa telepon, listrik, jasa pelabuhan, tunggakan handphone (HP) dan iuran perumahan yang macet. Namun berikut ini dibahas kredit macet yang lebih dominan. Pengertian kredit macet ialah kredit yang telah jatuh tempo, namun belum dilunasi, dan tunggakan angsuran lebih dari 180 hari. 73 Kemudian dapat dikatakan kredit macet ialah nasabah debitur tidak mampu lagi untuk mengangsur hutang pokok dan bunganya dari hasil usaha yang dimodali/dibiayai dari fasilitas kredit. Sebaliknya suatu kredit dinyatakan sebagai kredit macet karena nasabah debitur wanprestasi atau ingkar janji atau cedera janji atau tidak menyelesaikan kewajibannya sesuai dengan perjanjian baik jumlah maupun waktu, misalnya pembayaran atas perhitungan bunga maupun hutang pokok. Dengan perkataan lain yang dimaksud dengan kredit macet adalah nasabah debitur tidak dapat melunasi hutangnya kepada kreditur sebagaimana mestinya sesuai dengan perjanjian, peraturan atau sebab apapun yang menimbulkan piutang atau tagihan tersebut sehingga untuk penyelesaiannya lebih lanjut diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN)/(KP2LN). 74 Berdasarkan uraian di atas, maka setiap kredit yang macet, sudah barang tentu ada penyebabnya. Faktor-faktor yang menyebabkan kredit itu macet adalah sebagai berikut : 1. Penyalahgunaan fasilitas kredit oleh nasabah debitur 2. Kurangnya pengawasan dan bimbingan dari pihak kreditur kepada nasabah debitur.
73
Peraturan Bank Indonesia 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Kualitas Aktiva
Produktif. 74
S.Mantayborbir, Sistem Hukum Pengurusan Piutang Negara, Op.Cit, hlm. 18.
84
3. Gagalnya usaha nasabah debitur atau bangkrut yang diakibatkan persaingan yang tajam, profesionalisme yang kurang dan akibat diluar kemampuan manusia. 4. Keadaan ekonomi yang tidak menguntungkan dunia usaha 5. Itikad yang kurang baik dari nasabah debitur. 6. Memang kegiatan usaha nasabah tidak mampu lagi untuk membayar angsuran pokok, angsuran bunga maupun pelunasannya. 7. Terjadinya krisis moneter yang menyebabkan kegiatan usaha nasabah debitur tidak dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. 8. Perangkat hukum atau peraturan tidak mendukung pelaku ekonomi 9. Lingkungan yang tidak aman untuk berusaha 10. Kebijakan moneter dan fiskal 11. Nasabah debitur tidak mampu untuk mengelola kredit yang diterimanya atau kemampuan manajemen nasabah debitur kurang (lemah). 75 Dengan demikian faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kredit macet, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka penyebabnya sangat multi faktor baik dari faktor intern maupun faktor ekstern yang terjadi. Dilihat dari faktor kealpaan pihak kreditur/bank memang ada sebab kreditur/bank tidak hati-hati atau kurang selektif dalam memberikan kredit dan nilai/harga barang jaminan terlalu rendah bila dibandingkan dengan jumlah kredit yang diberikan. Kemudian pihak kreditur/bank maupun nasabah debitur kadang-kadang secara sengaja menimbulkan kredit macet dan hal ini sangat erat kaitannya dengan kolusi pada saat proses kredit. 76 Selain daripada itu ditambah lagi dengan nasabah debitur yang nakal, maksudnya nasabah debitur tidak mempunyai itikad yang baik untuk menyelesaikan hutangnya. Hal ini banyak terjadi dan terbukti dengan dieksekusi lelang barang jaminan hutang, ternyata nasabah debitur tidak mampu untuk melunasi hutangnya. Selanjutnya penyebab terjadinya kredit macet dan bila dibandingkan dengan krisis moneter dengan kejahatan nasabah debitur, maka lebih banyak disebabkan dari
75 76
Ibid , hlm. 18-19 Ibid , hlm. 19
85
krisis moneter itu sendiri. Krisis moneter sebetulnya lebih banyak disebabkan oleh kreditur itu sendiri, karena sering memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit Legal Landing Limit (3L) kepada kelompok pengusaha tertentu, disamping itu nasabah debitur tidak mampu mengelola kredit yang diterimanya dan jumlahnya cukup besar. Kriteria untuk menentukan suatu kredit itu macet, sebenarnya telah diatur di dalam peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia tentang kolektibilitas kredit, yaitu lancar dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan dan macet. Hal ini baru terjadi apabila nasabah debitur tidak melakukan pembayaran pokok dan angsuran bunga atau kewajiban lainnya selama lebih kurang 9 bulan. Namun dapat juga dilihat dari segi cara pembayaran hutangnya, demi kelancaran usaha yang dibiayai dengan kredit itu, dan demi niat/kejujuran dari pihak nasabah debitur. Namun demikian, apabila nasabah debitur tidak memenuhi ketentuan yang telah dibuat dalam perjanjian kredit atau nasabah debitur telah melalaikan janji (cedera janji), atau dengan kata lain nasabah debitur tidak melakukan pembayaran angsuran atas jumlah hutang pokok dan bunga dalam jangka waktu tertentu. Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 Nopember 1998, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/6/PBI/2002 tentang Kualitas Aktiva Produktif. Kriteria untuk menentukan kredit itu macet adalah terdapat tunggakan pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari (9 bulan), dokumentasi kredit dan atau pengikatan agunan tidak sempurna.
86
Dengan demikian ukuran untuk menentukan kredit macet adalah berdasarkan perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak antara nasabah debitur dan kreditur/bank. Karena kesepakatan kedua belah pihak merupakan undang-undang bagi mereka yang membuat perjanjian dimaksud sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Sedangkan menurut sudut pandang PUPN adalah berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960, Undang-Undang Perbankan yang dijabarkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Perjanjian Kredit.
C. Dasar Hukum Pengurusan Piutang Negara Macet Landasan hukum PUPN dan BUPLN/DJPLN dalam sistem pengurusan piutang negara adalah Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara, Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991 tentang Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara, Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tugas Departemen Keuangan, Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Instansi Vertikal di Lingkungan Departemen Keuangan, Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960, menyebutkan bahwa PUPN bertugas mengurus piutang negara yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi nasabah/penanggung hutang tidak melunasi hutangnya sebagaimana mestinya.
87
Di dalam Pasal 8 jo Pasal 12 Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 yang mengatur tentang Instansi-instansi Pemerintah dan Badan-badan Negara yang langsung dikuasai oleh negara diwajibkan/diharuskan untuk menyerahkan piutangpiutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Untuk menciptakan kepastian hukum di dalam pengurusan piutang negara macet terhadap nasabah debitur/penanggung hutang maka PUPN mengadakan suatu Pernyataan Bersama (PB) dengan nasabah debitur/penanggung hutang, yang memuat pengakuan hutang kepada negara
dan syarat-syarat penyelesaiannya. Pernyataan
Bersama ini mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti suatu putusan hakim dalam memutus suatu perkara perdata yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960. Jika debitur tidak memenuhi panggilan ataupun nasabah debitur/penanggung hutang menolak menandatangani Pernyataan Bersama (PB), tanpa alasan yang sah, atau menghilang maka PUPN mengambil tindakan yang tegas dengan menerbitkan Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN), kemudian penagihan sekaligus dengan Surat Paksa dan landasan tugas operasional dilengkapi dengan hukum acara sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 yang juga memberlakukan ketentuan Pasal 1, 3, dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa dengan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan tugasnya.
88
Jurusita membawa surat paksa untuk diberitahukan kepada nasabah debitur/penanggung hutang/penjamin hutang di tempat tinggalnya atau tempat kediamannya dan dalam hal nasabah debitur yang bersangkutan tidak mempunyai tempat tinggal atau tempat kediaman di Indonesia atau yang bersangkutan telah menghilang dan tidak diketahui domisilinya, maka surat paksa akan diberitahukan dengan menempelkan salinan surat paksa tersebut pada pintu utama Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN), atau surat paksa tersebut akan disampaikan melalui aparat pemerintah setempat (Lurah, Camat dan sebagainya). Untuk kelancaran sistem pengurusan piutang negara macet maka terhadap nasabah debitur/penanggung hutang/penjamin hutang dilakukan pencegahan untuk tidak berpergian keluar negeri sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (dicekal). Pencekalan pada akhir-akhir ini sering dilakukan terhadap nasabah debitur/penanggung hutang untuk tidak berpergian keluar negeri apabila jumlah hutangnya diatas Rp.250.000.000,- dan barang jaminan hutang diperkirakan tidak akan menutupi jumlah hutang dan diduga nasabah debitur/penanggung hutang akan menghilang. Penyitaan terhadap barang jaminan hutang atau harta kekayaan lainnya milik nasabah debitur/penanggung hutang/penjamin hutang akan dilakukan, apabila ketentuan dalam Surat Paksa tidak dipenuhi yang kemudian akan ditindaklanjuti dengan eksekusi lelang barang jaminan hutang. Sebelum pelaksanaan eksekusi lelang terlebih dahulu dapat diumumkan 2 (dua) kali berselang 15 (lima belas) hari. Pengumuman eksekusi lelang pertama bisa dilakukan melalui pengumuman selebaran dan pengumuman melalui surat kabar harian. Sedangkan pengumuman eksekusi lelang kedua diharuskan untuk melalui surat kabar harian. Barang jaminan hutang yang akan dieksekusi lelang, ditetapkan harga limit oleh Ketua PUPN Cabang dengan
89
berpedoman pada harga taksasi yang dibuat dan dirumuskan oleh Tim Taksasi KP2LN, dan terhadap barang jaminan hutang yang akan dilelang tersebut, apabila mempunyai nilai spesifik seperti mesin, pabrik dan bangunan yang memerlukan keahlian khusus dalam penilaiannya, maka harga limit ditetapkan oleh Ketua PUPN Cabang berdasarkan harga taksasi yang ditetapkan berdasarkan hasil penilaian dari perusahaan jasa penilai appraisal. 77 Jika barang jaminan hutang sitaan PUPN setelah 2 (dua) kali dieksekusi lelang, namun tidak mencapai harga limit yang telah ditetapkan atau sama sekali tidak ada peminat lelang, maka harga limit yang sudah ditetapkan ditinjau ulang dan sesuaikan dengan kondisi barang jaminan hutang dan situasi yang bersangkutan saat itu, atau KPKNL mengusulkan kepada penyerah piutang/kreditur (bank) untuk membeli barang jaminan hutang tersebut. KPKNL dapat juga mengusulkan kepada nasabah debitur/penanggung hutang/penjamin hutang untuk mencari pembeli. Nasabah debitur/penanggung hutang yang mempunyai jumlah hutang kepada negara sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) atau lebih dan berdasarkan hasil pemeriksaan KPKNL, nasabah debitur/penanggung hutang sebenarnya berkemampuan untuk menyelesaikan hutangnya, namun ia tidak memperlihatkan itikad baiknya, maka ketua PUPN Cabang dapat memerintahkan kepada KPKNL agar terhadap nasabah debitur/penanggung hutang yang bersangkutan dapat disandera atau dipaksa badan. Surat Perintah Penyanderaan atau Paksa Badan ini, harus disetujui terlebih dahulu oleh Ketua PUPN Pusat. 78 Sistem pengurusan piutang negara macet merupakan bagian dari pengelolaan keuangan negara, dan merupakan bagian sangat penting dan strategis baik dilihat secara mikro yaitu dari segi Penyerah Piutang (PP) maupun secara makro yaitu dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan. Bagi Penyerah
77
S.Mantayborbir, Imam Jauhari, Agus Hari Widodo, Hukum Piutang dan Lelang Negara di Indonesia, (Jakarta, Pustaka Bangsa Press, 2002), hlm. 38. 78 Ibid , hlm. 39.
90
Piutang (PP) khususnya kreditur/bank pemerintah tersedianya likuiditas yang cukup adalah merupakan suatu hal yang sangat penting agar ia dapat melaksanakan fungsi dan tugas pokoknya dengan baik. Kreditur/bank pemerintah sebagai pelaksana/penyelenggara sumber dana bagi pembiayaan pembangunan, maka likuiditas perbankan perlu mendapat prioritas dari pemerintah untuk menyelesaikan piutang negara macet dimaksud tidak terlepas dari upaya pemerintah untuk terus meningkatkan pengelolaan keuangan negara yang berdaya guna dan berhasil guna. Sistem pengurusan piutang negara diberikan kepada KPKNL ini adalah sebagai alat bantu pemantauan terhadap pelaksanaan dan permasalahan pengurusan piutang negara pada KPKNL, oleh karena itu sub sistem ini diperuntukkan bagi manajemen dan ketua PUPN Cabang. Dengan demikian tugas dan wewenang untuk menarik semua piutang negara macet oleh pemerintah telah diserahkan kepada satu lembaga/badan yaitu PUPN dan DJPLN/KPKNL. Berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 instansiinstansi
pemerintah
dan
badan-badan
negara
diharuskan/diwajibkan
untuk
menyerahkan pengurusan piutang negara kepada PUPN yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum, akan tetapi nasabah debitur/penanggung hutang tidak melunasi hutangnya sebagaimana mestinya. Adapun sistem yang dilakukan untuk menentukan piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum, khususnya bagi kreditur/bank pemerintah adalah :
91
1. Sebelum menyerahkan pengurusan piutang negara macet kepada PUPN dan KPKNL, kreditur/bank yang bersangkutan sudah harus mengadakan penelitian atas piutangnya tersebut; 2. Penelitian dimaksud didasarkan pada perjanjian hutang piutang yang dibuat antara bank dan nasabah debitur/penanggung hutang; 3. Perhitungan mengenai jumlah piutang yang diserahkan kepada PUPN harus memenuhi kriteria piutang atau kredit macet seperti diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor : 31/147/KEP/DIR tanggal 12 Nopember 1998 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/6/PBI/2002, tanggal 6 September 2002 jo Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/ PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Kualitas Aktiva Produktif. 79 PUPN di dalam menerima penyerahan piutang negara macet maka kepada kreditur untuk menyerahkan dokumen yang ada kaitannya dengan penyerahan piutang negara macet gunanya untuk membuktikan secara hukum kepastian adanya dan besarnya piutang negara tersebut. Jika dokumen yang berkaitan dengan penyerahan piutang negara macet tidak lengkap seperti rekening koran, data/ dokumen, sehingga hal ini mengakibatkan PUPN mengalami kesulitan untuk membuktikan adanya dan besarnya piutang yang pasti menurut hukum atau dari hasil penelitian PUPN ternyata piutang negara macet masih dalam keadaan sengketa atau piutang negar belum dikategorikan sebagai piutang macet, maka PUPN dapat menolak untuk menerima penyerahan pengurusan piutang negara dimaksud. Sistem pengurusan piutang negara dimaksud dilakukan dengan membuat surat pernyataan bersama antara PUPN dan nasabah debitur untuk menyelesaikannya.
79
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960
92
PUPN sebagai lembaga yang menyelesaikan piutang negara macet, dibentuk oleh pemerintah dengan alasan : 1. Sengketa itu merupakan piutang negara 2. Lembaga peradilan masih belum mampu menyelesaikan piutang negara macet dengan cepat. 3. Untuk mencegah supaya keuangan negara tidak dirugikan. 80 Piutang negara atau hutang kepada negara dimaksudkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 ialah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung, dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 dinyatakan bahwa pada prinsipnya piutang negara macet pada tingkat pertama diupayakan secara intern untuk diselesaikan oleh instansi-instansi dan badan yang bersangkutan dan jika tidak berhasil terutama tidak beritikad baik maka instansi tersebut dapat menyelesaikan dan menyerahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara. Dalam Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2001 disebutkan tugas untuk menyelesaikan pengurusan piutang negara dan pelayanan lelang yang berasal dari penyelenggaraan tugas PUPN maupun pelaksanaan kebijaksanaan yang ditetapkan 80
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hlm. 171
93
oleh menteri keuangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dilaksanakan oleh DJPLN. KPKNL sebagai salah satu unit kantor operasional DJPLN dalam menjalankan tugas pengurusan piutang negara mengacu kepada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 333/KMK.01/2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 505/KMK.01/2000 Jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 dan Surat Keputusan Kepala BUPLN Nomor 38/PN/2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktor Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor : Kep.25/PL/2002. Pengurusan piutang negara yang berasal dari instansi-instansi dan badan perbankan berperilaku pada ketentuan peraturan instansi/badan yang bersangkutan. Ketentuan
yang diberlakukan terhadap pengurusan piutang negara macet juga
merujuk pada beberapa peraturan diantaranya HIR/RBg, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan-peraturan lain yang terkait. Prinsip sistem pengurusan piutang negara pada PUPN paling lama 1 tahun, jangka waktu lebih dari 1 tahun hanya dapat dipertimbangkan bilamana usaha debitur/penanggung hutang masih memiliki prospek usaha yang baik dalam menyelesaikan piutang negara. Pertimbangan yang dapat diberikan sehubungan dengan adanya kesempatan bagi nasabah debitur/penanggung hutang mempunyai prospek usaha yang baik untuk menyelesaikan hutang dimaksud perlu mendapat
94
persetujuan dari Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara selaku Ketua PUPN Pusat. Dalam hal Pernyataan Bersama (PB) mengenai besarnya piutang negara tidak dapat dibuat, PUPN menetapkan jumlah piutang negara yang wajib dilunasi oleh penanggung hutang/penjamin hutang dimaksud. 81 Jadi sebenarnya prinsipnya dalam sistem pengurusan piutang negara macet, PUPN menempuh dua cara, yaitu pertama secara non eksekusi, maksudnya penanganan terhadap nasabah debitur/penjamin hutang dapat dilakukan secara persuasif dengan melihat apa segi usahanya apakah nasabah debitur/penanggung hutang masih mempunyai prospek yang baik, sehingga dapat diharapkan untuk membayar piutang negara. Apabila cara dimaksud tidak dapat dilaksanakan dengan baik, maka ditempuh cara kedua yaitu pelaksanaan eksekusi lelang terhadap barang jaminan hutang. D. Pelaksanaan Sistim Pengurusan Piutang Negara Macet Setelah Berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 merupakan revisi dari Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, karena Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 dinilai menghambat penyelesaian piutang di BUMN.
81
Bambang Setijoprodjo, Penyelesaian Kredit Bank Pemerintah Dalam Kaitannya Dengan Rahasia Bank, Pustaka Peradilan Jilid 1, Prospek Pembinaan Teknis Yustisial Mahkamah Agung RI., Jakarta, 1994, hlm. 172
95
Revisi atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 ini dikeluarkan setelah muncul fatwa Mahkamah Agung (MA) merespon Surat Menteri Keuangan yang terkait dengan Dispute atau perbedaan penafsiran soal defenisi “kekayaan negara”. Karena piutang negara/daerah juga termasuk dalam definisi kekayaan negara sehingga harus ditafsirkan secara benar sebagai referensi Pemerintah dan BUMN/ Badan Usaha Milik Daerah. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 mengatakan “Ketentuan Pasal 19 dan Pasal 20 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah Dihapus”. Kemudian dalam Pasal II dikatakan “Pengurusan piutang perusahaan negara/daerah untuk selanjutnya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku di bidang PT dan BUMN beserta peraturan pelaksanaannya. Pelayanan permohonan keringanan utang pada KPKNL, sebagai berikut :
96
a. Bagan Arus SOP Pelayanan Permohonan Keringanan Utang Pemohon
Kepala KPKNL
Mulai (permohonan)
Kepala Seksi KPKNL
Menerima, Menerima, meneliti dan meneliti dan mendisposisikan mendisposisikan kepada Kepala kepada pelaksana Seksi
Pelaksana
SOP Penilaian
Dokumen lengkap/tidak
Meneliti barang jaminan ada/ tidak
Memeriksa dan menandatangan i surat persetujuan/ penolakan pemberian keringanan utang
Surat persetujuan/ penolakan keringanan utang
Surat persetujuan/ penolakan keringanan utang
Meneliti dan mengoreksi analisis dan menandatan gani nota dinas dan memaraf konsep surat persetujuan/ penolakan keringanan utang Nota dinas
Seksi Pelayanan Penilaian
Membuat analisa berdasarkan data BKPN dari hasil penelitian serta membuat konsep nota dinas dan konsep surat persetujuan/ penolakan keringanan utang
Selesai Sumber : Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), Tahun 2008. Bagan 2. Pelayanan Permohonan Keringanan Utang
Hasil penelitian
97
b. Mekanisme Pelayanan 1) Jangka waktu penyelesaian : 13 hari kerja sejak persyaratan diterima lengkap 2) Biaya/jasa pelayanan : Tidak ada biaya 3) Persyaratan administrasi a) Pokok kredit s/d 1 milyar b) Laporan hasil penelitian barang jaminan (dilakukan oleh seksi pelayanan penilaian/KNPKNL) c) Hasil due delligent apabila usaha debitur masih berjalan d) Buat persetujuan dari penyerah piutang (tidak wajib) e) Laporan hasil penelitian lapangan apabila usaha debitur masih berjalan f) Laporan keuangan dan business plan penanggung hutang apabila usaha debitur masih berjalan. g) Dokumen lain yang relevan
c. Alternatif Penyelesaian Kredit Macet yang Dilakukan pada PT.Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Medan Berdasarkan hasil penelitian pada PT.Bank BRI (Persero) Tbk. Medan terhadap kredit bermasalah akan dilakukan beberapa alternatif penyelesaian meliputi : 82
82
Wawancara dengan Bapak Mahadi, Kepala Bagian Bisnis Retail, Kredit Program dan Kredit Konsumer di Kanwil BRI Medan. Wawancara tanggal 10 April 2009.
98
1) Restrukturisasi kredit 83 a) Perubahan/penurunan tingkat suku bunga kredit Yaitu penurunan tingkat suku bunga kredit menjadi lebih kecil dari suku bunga yang berlaku saat ini sedang berlaku. Perubahan tingkat suku bunga tersebut adalah untuk perhitungan bunga yang akan datang (setelah restrukturisasi). b) Pengurangan tunggakan bunga dan atau denda/penalty Yaitu keringanan tunggakan bunga dan atau denda maksimum sebatas tunggakan bunga dan atau denda yang belum dibayar oleh debitur. c) Pengurangan tunggakan pokok kredit Yaitu berupa pengurnagan tunggakan pokok kredit yang mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai pengelolaan kredit ekstra countable dan hapus tagih. d) Perpanjangan jangka waktu kredit/panjadwalan kembali Yaitu diberikannya tambahan jangka waktu kredit, termasuk perubahan jadwal dan besarnya angsuran pembayaran pokok dan atau bunga/denda. Perpanjangan jangka waktu dalam restrukturisasi ini hanya untuk menyehatkan usaha debitur.
83
Surat Keputusan Direksi BRI Nomor Kep : S.94-DIR/ADK/12/2005, Tanggal 30 Desember 2005, tentang Restrukturisasi
99
e) Penambahan fasilitas kredit/suplesi kredit Yaitu dengan cara memberikan tambahan fasilitas kredit baik direct maupun contingent agar perusahaan/usaha debitur dapat beroperasi kembali dan atau perusahaan dapat meningkatkan kapasitas produksinya sehingga dapat memenuhi kewajiban kepada bank. Penambahan fasilitas kredit tidak diperkenankan untuk melunasi tunggakan pokok dan atau bunga/denda dan ditatakerjakan dalam rekening yang terpisah. f) Pengambil-alihan asset debitur sesuai ketentuan yang berlaku Yaitu asset perusahaan debitur, baik yang dijaminkan maupun yang tidak dijaminkan atau yang dijaminkan kepada pihak ketiga. Pengambil-alihan ini baik secara aktif maupun pasif (pengawasan). g) Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara bank pada perusahaan debitur. Penyertaan modal sementara wajib ditarik kembali apabila : (1) Telah melampaui jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun atau (2) Perusahaan debitur tempat penyertaan telah memperoleh laba kumulatif. h) Pembayaran sejumlah kewajiban bunga yang dilakukan kemudian. Yaitu menangguhkan sementara sebagian atau seluruh beban bunga yang seharusnya dibayar oleh debitur yang diakumulasikan selama jangka
100
waktu tertentu (tanpa dikenakan bunga berbunga) dan harus dibayar oleh debitur kemudian hari sesuai jadwal pembayaran yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. i) Penjualan agunan Yaitu
penjualan aset debitur dan atau agunan tidak produktif yang
diserahkan secara sukarela maupun dibawah tangan kepada Bank dalam rangka penyelamatan. j) Kombinasi dari berbagai alternatif tersebut di atas Yaitu kombinasi dari berbagai alternatif restrukturisasi tersebut di atas dan kombinasi tersebut dapat saja terdiri dari dua atau lebih alternatif yang ada. Kombinasi jenis tindakan yang tidak boleh dilakukan adalah penambahan bunga/denda dan penyertaan modal sementara bank.
2) Penyelesaian Kredit 84 a) Penyeleaian kredit secara damai Yaitu penyelesaian atau pelunasan kredit secara bertahap (angsuran) atau lunas sekaligus, berdasarkan kesepakatan bersama antara debitur dan kreditur (bank).
84
Surat Edaran Direksi BRI Nomor Kep : S.14-DIR/ADK/05/2007, Tanggal 8 Mei 2007, tentang Penyelesaian Kredit Bermasalah.
101
Penyelesaian kredit secara damai dapat berupa tanpa insentif (keringanan) apapun bagi debitur atau disertai dengan salah satu atau beberapa alternatif berikut : (1) Pemberian keringanan tingkat suku bunga Yaitu perubahan/penurunan tingkat suku bunga menjadi lebih kecil dibanding dengan suku bunga sedang berlaku saat ini. Perubahan tingkat suku bunga tersebut adalah untuk perhitungan bunga yang penyelesaian kreditnya dengan pola angsuran dimana debitur dikenakan bunga berjalan dengan tingkat suku bunga disesuaikan dengan kemampuan debitur dan pembayaran dapat dilakukan setiap bulan atau dibayar/dijadwalkan di belakang (deferred). Apabila berdasarkan hasil analisa cash flow bahwa debitur tidak mampu membayar bunga berjalan maka kepada debitur tersebut dapat dibebaskan bunga berjalan dengan syarat bahwa pembebasan bunga berjalan tersebut merupakan alternatif yang menguntungkan jika dibandingkan dengan alternatif penyelesaian kredit melalui penjualan agunan. (2) Pemberian keringanan tunggakan bunga dan atau denda Yaitu pemberian keringanan tunggakan bunga dan atau denda maksimum sebesar tunggakan bunga dan atau denda yang belum dibayar oleh debitur baik pembayaran sisa kewajibannya dengan pola angsuran ataupun pelunasan sekaligus.
102
Untuk melakukan penyelesaian dengan cara ini Pejabat Kredit Lini (PKL) telah melakukan pemilihan alternatif perhitungan yang menguntungkan bagi BRI. Perhitungannya berdasarkan implikasi finansial, misalnya menggunakan Net Present Value (NPV) angsuran atau alternatif penjualan agunan yang tertuang di dalam format Memorandum Analisa Kredit (MAK) penyelesaian. (3) Penjualan Agunan Merupakan penjualan sebagian atau seluruh agunan debitur yang dilakukan secara dibawah tangan. Penjualan tersebut meliputi penjualan kepada pihak ketiga atau penebusan oleh pemilik agunan. Ketentuan dalam hal penjualan agunan adalah sebagai berikut : (1) PKL harus melakukan penilaian terhadap seluruh agunan dan apabila penilaian sebelumnya masih dalam kurun waktu kurang dari satu tahun maka PKL tidak perlu melakukan penilaian ulang. (2) Hasil penilaian ulang dapat digunakan sebagai dasar penjualan barang agunan. (3) Apabila dalam hal penilaian ulang ternyata nilai likuidasi lebih rendah dari nilai penilaian sebelumnya maka PKL wajib menyebutkan alasan penurunan nilai agunan tersebut dan dilampiri dengan foto terbaru agunan tersebut. (4) Penjualan agunan dibawah tangan minimal sebesar nilai likuidasi (NL) penilaian terakhir.
103
(5) Penjualan agunan secara di bawah tangan harus berdasarkan kesepakatan para pihak (bank dengan pemilik agunan). (6) Penyerahan bukti kepemilikan/hak atas agunan diserahkan oleh Kanca setelah hasil penjualan agunan diterima dan dibuku ke rekening pinjaman tersebut. (7) Agunan yang telah dibebani Hak Tanggungan atau fidusia, harus memenuhi syarat sebagai berikut : i.
Dilakukan atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan
untuk
memperoleh
harga
tertinggi
yang
menguntungkan semua pihak. ii.
Harus diberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak yang berkepentingan (misalnya pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga dan kreditur lain dari pemberi Hak Tanggungan).
iii. Diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa (misalnya radio atau televisi) setempat. Jangkauan dari surat kabar dan media massa lainnya harus meliputi tempat objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. iv. Dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak pemberitahuan terdapat
tertulis
dan/atau
pengumuman.
Apabila
perbedaan tanggal antara pemberitahuan dan
pengumuman, jangka waktu 1 (satu) bulan dihitung sejak tanggal paling akhir di antara kedua tanggal tersebut.
104
(4) Pemberian keringanan tunggakan pokok pinjaman Ketentuan mengenai pengurangan tunggakan pokok kredit sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2006, berpedoman pada Anggaran Dasar PT.Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk peraturan perundang-undangan di bidang Perseroan Terbatas dan Badan Usaha Milik Negara.
b) Penyelesaian kredit melalui saluran hukum atau mekanisme hukum Yaitu segala tindakan bank yang dimaksudkan untuk mengeksekusi agunan atau kekayaan debitur dan penjamin melalui bantuan lembaga atau melalui perantaraan instrumen hukum tertentu berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Penyelesaian kredit melalui saluran hukum atau mekanisme hukum, meliputi : 1) Penyelesaian kredit, apabila barang agunan telah diikat secara sempurna, dapat dilakukan melalui : (a) Penjualan agunan dengan kekuasaan sendiri (Parate Executie) ke Kantor Lelang Negara (b) Eksekusi titel eksekutorial pengikatan agunan (Fiat Eksekusi Pengadilan Negeri)
105
2) Penyelesaian pinjaman, apabila barang agunan belum diikat secara sempurna atau yang penguasaannya kurang kuat, dapat dilakukan melalui : (a) Somasi kepada debitur oleh juru sita pengadilan negeri Merupakan
teguran
atau
peringatan
secara
tertulis
yang
disampaikan BRI sebagai kreditur kepada debitur secara langsung atau melalui pengadilan negeri. (b) Gugatan melalui Pengadilan Negeri kepada debitur atau penjamin Merupakan pengaduan perkara atau gugatan secara perdata yang dilakukan oleh BRI sebagai kreditur kepada debitur dan atau penjamin melalui Pengadilan Negeri. (c) Gugatan pailit melalui Pengadilan Niaga kepada debitur atau penjamin Merupakan gugatan pailit atas usaha debitur yang dilakukan oleh BRI sebagai kreditur melalui Pengadilan Niaga. (d) Penjualan agunan berdasarkan Surat Kuasa Jual (SKJ) Penjualan
agunan dilakukan khusus pada agunan yang tidak
dibebani atau diikat baik dengan Hak Tanggungan, fiducia atau gadai secara sempurna dengan menggunakan “formulir SKJ”. c) Penyelesaian kredit melalui upaya penagihan Yaitu segala tindakan yang dilakukan oleh pihak internal bank sendiri atau dengan bantuan lembaga atau pihak ketiga yang dimaksudkan untuk
106
memperoleh pembayaran atau pelunasan dari debitur atau penjamin yang meliputi : 1) Tenaga penagih internal 2) Jasa penagihan dari pihak ketiga d) Penyelesaian kredit melalui Lembaga Penjamin Kredit (LPK) Merupakan upaya penyelesaian kredit dilakukan oleh bank dengan jalan mengajukan klaim kepada lembaga penjamin kredit atau perusahaan asuransi. e) Penyelesaian kredit dengan meminta bantuan pihak Kejaksaan Merupakan upaya penyelesaian dengan bantuan pihak Kejaksaan f) Penyelesaian kredit melalui penjualan atau pengalihan kredit Merupakan upaya penyelesaian kredit dilakukan oleh bank dengan jalan melakukan penjualan kredit kepada investor atau Special Purpose Vehicle (SPV) g) Penyelesaian kredit melalui konversi pinjaman jadi penyertaan Merupakan upaya penyelesaian kredit yang dilakukan oleh bank dengan jalan melakukan konversi pinjaman menjadi penyertaan bank terhadap usaha debitur h) Penyelesaian kredit melalui Balai Lelang Merupakan upaya penyelesaian kredit yang dilakukan oleh bank bekerjasama dengan Balai Lelang dalam rangka lelang sukarela dan pra lelang.
107
d. Penghapusan Piutang Negara Macet85 Mengenai Piutang negara Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT) adalah piutang negara yang tidak didukung lagi dengan barang jaminan hutang atau barang jaminan hutang sudah habis dicairkan, kemampuan debitur sudah tidak diharapkan lagi, susah, debitur/penanggung jawab hutang menghilang dan tidak diketahui lagi domisili baru yang ditujui, sedangkan informasi mengenai harta kekayaan lain milik debitur belum diketahui, namun demikian apabila ada informasi yang berkembang di masa mendatang tentang harta kekayaan lain milik debitur, maka akan dilakukan pemeriksaan terhadap harta kekayaan milik debitur yang bersangkutan. Surat Penetapan PSBDT dapat dipergunakan sebagai dasar bagi Penyerah Piutang (PP) untuk mengusulkan penghapusbukuan piutang. Sedangkan Penghapusan Piutang Negara Non Perbankan terdiri atas : 1) Piutang yang berasal dari BUMN/BUMD Non Perbankan Surat Penetapan PSBDT dapat dipergunakan sebagai dasar bagi BUMN/BUMD Non Perbankan untuk mengusulkan penghapusbukuan piutang. 2) Piutang yang berasal dari Instansi Pemerintah a) Penghapusan Piutang Negara yang tidak menghilangkan hak tagih negara, dapat dilakukan dalam hal Piutang Negara telah dinyatakan sebagai PSBDT, dan adanya rekomendasi dari BPK-RI (khusus untuk jenis piutang Tuntutan Perbendaharaan), dan adanya hasil pengusutan terhadap 85
Wawancara dengan Bapak Mahadi, Kepala Bagian Bisnis Retail, Kredit Program dan Kredit Konsumer di Kanwil BRI Medan. Wawancara tanggal 10 Mei 2009.
108
piutang yang jumlahnya cukup material, dan adanya pertimbangan dari Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada Menteri Keuangan. b) Penghapusan Piutang Negara yang membebaskan hak tagih negara, dapat dilakukan dalam hal berdasarkan bukti-bukti nyata Penanggung Hutang (PH) tidak mempunyai unsur kelalaian kesengajaan atas kerugian negara, dan adanya rekomendasi dari BPK-RI, dan adanya pertimbangan dari Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada Menteri Keuangan. Dengan demikian, seharusnya piutang yang terdapat pada BUMN sebagai akibat perjanjian yang dilaksanakan oleh BUMN selaku entitas perusahaan tidak lagi dipandang sebagai piutang negara dan pengelolaannya diserahkan pada mekanisme pengelolaan berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pemikiran itu, maka BUMN memiliki kewenangan dalam mengoptimalkan pengelolaan/pengurusan/penyelesaian piutang yang ada pada BUMN yang bersangkutan, sehingga pengaturan penghapusan piutang perusahaan negara/daerah yang ada pada Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tidak diperlukan lagi. Oleh karena itu peran KPKNL dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 menjadi lebih terfokus pada penilaian dan pengamanan aset-aset negara secara fisik, administrasi dan hukum sebagaimana yang tertuang dalam misi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
BAB IV PENGARUH BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 33 TAHUN 2006 TERHADAP PENERIMAAN NEGARA DARI LELANG PERBANKAN NASIONAL
A. Efektifitas Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun Meningkatkan Penerimaan Negara Dari Lelang Perbankan
2006
Dalam
Sejak Juli 2007 KP2LN berubah nama menjadi Kantor Pelayanan Kekayaan dan Lelang Negara (KPKNL) tugas lembaga ini untuk melelang aset milik perbankan, instansi pemerintah maupun persero semakin minim. Tapi justru tugas baru bertambah yakni melakukan penilaian aset-aset di lingkungan Departemen Keuangan di Medan. Target penerimaan lelang tahun 2007 sebesar Rp.80 Milyar sedangkan realisasi perolehan lelang hingga Oktober 2007 mencapai Rp.48 milyar atau 60 persen dari target tersebut. Perolehan lelang terbesar yakni berasal dari lelang hak tanggungan sebesar Rp.23,6 miliar. Selebihnya berasal dari lelang aset-aset debitur. 86 Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2006 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah diterbitkan untuk memberi kewenangan bank BUMN memotong (haircut)/menghapusbukukan hutang dengan tidak menyerahkan masalah kredit tersebut kepada Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dalam penyelesaian kredit bermasalah (Non Performing Loan). Meskipun sangat diperlukan namun beberapa bankir BUMN masih diliputi keraguan dalam melakukan haircut karena adanya cara pandang yang berbeda oleh penegak hukum. Pihak Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung menyatakan tidak semua kasus kredit macet pada bank BUMN akan dipersoalkan oleh jaksa 87
86
Mual Pasaribu, Ka.Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Medan, http://www.sib.com/sib/cetak/0709/27/htm. tanggal 16 Mei 2009 87 Bambang Hendarso Danuri, Ka.Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian, Diskusi Panel Ahli Pusat Studi Hukum dan Pembangunan (PSHP), Jakarta, Diakses terakhir tanggal tanggal 16 Mei 2009 http://www.hukum_online.com/htm. tanggal 16 Mei 2009
109
110
Seperti kita ketahui memburuknya perekonomian makro pasca kenaikan harga BBM Oktober 2005, terjadi lonjakan NPL yang signifikan, terutama NPL untuk kredit investasi. Hal ini didorong oleh banyaknya debitur skala menengah ke atas yang terpukul dengan kenaikan BBM
dan segala implikasi ekonominya seperti
melonjaknya inflasi dan merosotnya daya beli masyarakat. Oleh karena itu jika kredit macet terjadi karena memburuknya perekonomian atau persaingan, tentu akan semata menjadi resiko bisnis. Dari begitu banyak ketentuan perundang-undangan yang mengatur bank persero, ternyata ada beberapa undang-undang yang dinilai mengganjal upaya bank persero dalam merestrukturisasi NPL, misalnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Maka dengan diterbitkan peraturan pemerintah ini yang merupakan revisi atas Pasal 19 dan 20 dari Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005, BUMN memiliki kewenangan/ keleluasaan dalam mengoptimalkan pengelolaan.
B. Perbedaan Persepsi Dalam Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 Pada kasus Neloe Cs divonis bersalah karena tidak menjalankan prinsip kehati-hatian dalam mengucurkan kredit sebesar Rp. 160 Milliar kepada PT. Cipta Graha Nusantara (CGN). Langkah Neloe itu oleh hakim dianggap telah merugikan
111
keuangan negara. Hal inilah yang membuat para Bankir mempertanyakan efektifitas Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 ini, dikarenakan masih banyak perbedaan pendapat atau persepsi diantara Departemen Keuangan (DepKeu), Bank Indonesia (BI), Kejaksaan dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai masalah haircut ini. Departemen Keuangan dan BI menganggap haircut adalah aksi korporasi yang wajar dalam dunia bisnis perbankan, sementara Kejaksaan dan BPK menilai hal itu bisa merugikan keuangan negara. Selain itu Kejaksaan dan BPK masih berpatokan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UndangUndang Nomor 49 Prp/1960. Alasannya kedudukan kedua undang-undang ini lebih tinggi dari peraturan pemerintah. Dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 disebutkan kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah. Maka jika masalahnya terletak disitu maka diusulkan agar kedua peraturan pemerintah tersebut segera diamandemen. Meskipun sudah ada aturan hukum yang memberi keleluasaan bagi Bank BUMN untuk merestrukturisasi kredit macetnya, namun kelihatannya para Bankir masih berpikir dua kali dalam menyelesaikan kredit macet. Pasalnya vonis 10 tahun penjara yang dijatuhkan Mahkamah Agung (MA) kepada tiga mantan Direksi PT. Bank Mandiri Tbk telah membuat para bankir ragu dalam menyelesaikan kredit bermasalah di banknya yang mengakibatkan tingkat NPL di Bank BUMN dari tahun ke tahun masih terus meningkat. Per Juli 2006, posisi NPL Bank BUMN mencapai Rp. 42,48 Trilyun, atau 70,4% dari total NPL bank umum. 88 88
Agus Marto Wandojo, Direktur Utama Bank Mandiri, Harian Kompas.Com.Diakses pada tanggal 16 Mei 2009
112
Namun
perbedaan
cara
pandang
mengenai
implementasi
Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2006 ini akan dapat diatasi dengan mengadakan sinkronisasi melalui pembuatan prosedur operasi yang disepakati bersama. 89
89
Bambang Hendarso Danuri, Ka.Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian, Diskusi Panel Ahli Pusat Studi Hukum dan Pembangunan (PSHP), Jakarta, Diakses terakhir tanggal tanggal 16 Mei 2009 http://www.hukum_online.com/htm. tanggal 16 Mei 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Peran Kantor Pelayanan Keuangan dan Lelang Negara (KPKNL) yang sebelumnya dinamakan Kantor Pengurusan Piutang Negara Lelang (KP2LN) dalam menangani kredit macet dari Bank BUMN sudah sangat dibatasi hanya pada kasus yang diterima pada dan sebelum tahun 2006 saja. Setelah terbentuknya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 yang merupakan revisi dari Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah tugas KPKNL lebih dititikberatkan pada penilaian atas aset-aset milik pemerintah agar dapat dilaksanakan optimal, efisien dan efektif. 2. Piutang macet yang berasal dari Perbankan Nasional dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 bukan lagi menjadi piutang negara karena kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Oleh karena piutang BUMN tidak lagi dipandang sebagai piutang negara maka pengelolaan termasuk
pengurusan
piutang
tersebut
diserahkan
pada
mekanisme
pengelolaan berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Walaupun dalam kenyataannya belum sepenuhnya bisa diterapkan. Namun dengan adanya Peraturan Menteri
113
114
Keuangan Nomor 87 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyelesaian Utang Bermasalah yang merupakan petunjuk pelaksana bagi Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 dapat memperkuat kedudukan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 berpengaruh pada tugas KPKNL menjadi semakin berkurang dan juga penerimaan negara dari lelang perbankan nasional yang bersumber dari lelang perbankan/lelang Hak Tanggungan. Perolehan lelang terbesar sebelumnya adalah yang berasal dari lelang Hak Tanggungan selebihnya berasal dari lelang aset debitur. Jadi untuk lelang eksekusi yang ditangani saat ini hanyalah merupakan pengurusan lama yang masuk dibawah tahun 2006, karena sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 Bank BUMN diberi kewenangan/keleluasaan untuk menangani kredit macet dengan memberi potongan (haircut), penghapusan (write off) atau merestrukturisasi kredit macet tersebut.
B. Saran 1. Sebagai instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah, maka KPKNL sudah saatnya mampu mewujudkan optimalisasi penerimaan, efisiensi pengeluaran dan efektivitas pengelolaan kekayaan negara.
115
a. Mengamankan kekayaan negara melalui pembangunan database serta penyajian jumlah dan nilai eksisting kekayaan negara yang wajar dan dapat dijadikan sebagai acuan dalam berbagai keperluan. b. Melaksanakan pengurusan piutang negara yang efisien, efektif, transparan dan akuntabel. c. Mewujudkan
lelang
sebagai
pedoman
jual
beli
yang
mampu
mengakomodasikan kepentingan masyarakat 2. Perlu adanya aturan normatif yang mampu menjamin kepastian hukum mengenai kewenangan BUMN/BUMD dalam merestrukturisasi kredit macetnya karena sangat berpengaruh positif bagi pertumbuhan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang juga langsung terkait dengan pertumbuhan korporasi skala yang lebih besar. Untuk itu diperlukan adanya pertanggung jawaban Direksi dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. 3. Untuk lebih meningkatkan kinerja sebagai wujud pertanggung jawaban atas penyelenggaraan tugas dan fungsi KPKNL perlu adanya keseragaman/ persamaan persepsi antara Departemen Keuangan dan Bank Indonesia dengan pihak aparat hukum dan BPK dalam menafsirkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1990. ____________________, Hukum perusahaan Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002. Asikin, Zainal, Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, 2002. Ashshofa, Burhan, Metodologis Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 2001. Bungi Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Model Aplikasi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003. Darus Badrulzaman, Mariam, Aneka Hukum Bisnis, Bandung, Alumni, 1994. ________________, Perjanjian Kredit Bank, Bandung, Alumni, 1980. ________________, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Bandung, Alumni, 1997. Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003. Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-undang Tahun 1998, Buku Kesatu, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999. ____________, Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002. Gautama, Sudargo, Komentar Atas Undang-undang Hak Tanggungan Baru Tahun 1996 Nomor 4, Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 1996. Hanitijo, S, Ronny, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1988. Harahap, Yahya, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta, Gramedia, 1991. Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, 2002.
116
117
Hartono, C.F.G. Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991 Ibrahim, Johannes, Cross Default dan Cross Collateral sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, Bandung, Refika Aditama, 2004. Kasmir, Dasar-dasar Perbankan, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2002. Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1997. Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1985. Moleong, Lexy J, Metodologi Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004. Patrik, Purwahid, Dasar-dasar Perikatan, Bandung, Mandar Maju, 1994. _____________, Hukum Jaminan Edisi Revisi dengan UUHT, Semarang, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2002. Ridwan Widyadharma, Ignatius, Hukum Sekitar Perjanjian Kredit, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997. Salindeho, John, Tanah Sebagai Jaminan Kredit, Jakarta, Sinar Grafika, 1994. Satrio, J. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku I, Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 1997. Sjahdeini, Sutan Remy, Hak Tanggungan, Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah-masalah Yang Dihadapi oleh Perbankan, Surabaya, Airlangga University Press, 1996. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universtias Indonesia, 1986. Soemitro, Rochmat, Peraturan dan Instruksi Lelang, Bandung, Eresco, 1987. _______, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Internusa, 1983. _______, Aneka Perjanjian, Jakarta, Citra Aditya Bakti, 1995.
118
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003. Supramono, Gatot, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta, Djambatan, 1997. Surakhmad Winarto, Dasar dan Teknik Research, Bandung, Tarsito, 1978. Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Bandung, Alfabeta, 2003. Sutojo, Siswanto, Menangani Kredit Bermasalah, Jakarta, Pustaka Binaman Pressindo, 1997. Tjiptoadinugroho, R. Perbankan Masalah Perkreditan, Jakarta, Pradnya Paramita, 1994. Tunggal, Arif Djohan, Aspek Hukum Perkreditan Berwawasan Lingkungan di Bidang Perbankan, Jakarta, Harvarindo, 2003. Waluyo Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, 1996.
Peraturan-peraturan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Surat Edaran Direksi BRI Nomor Kep : S.14-DIR/ADK/05/2007, Tanggal 8 Mei 2007, tentang Penyelesaian Kredit Bermasalah. Surat Keputusan Direksi BRI Nomor Kep : S.94-DIR/ADK/12/2005, Tanggal 30 Desember 2005, tentang Restrukturisasi Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tugas Departemen Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 445/KMK.01/2001 tentang Organisasi Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara.
119
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 304/KMK.01/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.07/2005 tentang Balai Lelang Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.07/2005 tentang Pejabat Lelang Kelas II
Artikel, Majalah, Seminar Soeria Atmadja, Arifin P. “Kajian Hukum dan Perundangan Untuk Menekan NPL”. Majalah Mandiri Edisi 181, 3 April 2006. Tahun VII, Nasution Bismar dalam Seminar Hasil Penelitian dari Peneliti di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 5 April 2007
Internet http://www.hukum_online.com/htm. tanggal 16 Mei 2009 http://hukum_online_blogspot.com/2008/03/tinjauan_yuridis.asas.lex.htm diakses 29 Juni 2009 Tony
Prasetiantoro, Chief Economist PT.Bank Negara Indonesia http://www.Hukum_Online. Diakses terakhir tanggal 23 Mei 2009
Tbk,
Lampiran 1. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 37 ayat (5) UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah; Mengingat
: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2104; 3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA PENGHAPUSAN PIUTANG NEGARA/DAERAH.
CARA
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1. Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.
120
121
2. Piutang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Daerah dan/atau hak Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah. 3. Kementerian Negara/Lembaga adalah kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian negara/lembaga negara yang merupakan perangkat Pemerintah Pusat. 4. Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan kementerian negara/lembaga yang bersangkutan. 5. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 6. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah adalah kepala badan/dinas/biro keuangan/bagian keuangan yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagai Bendahara Umum Daerah. 7. Panitia Urusan Piutang Negara, yang untuk selanjutnya disebut PUPN, adalah Panitia yang bersifat interdepartemental dan bertugas mengurus Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960. 8. Penanggung Utang Kepada Negara/Daerah, yang untuk selanjutnya disebut Penanggung Utang adalah Badan atau orang yang berutang kepada Negara/Daerah menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun. 9. PSBDT adalah Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih. 10. Perusahaan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat. 11. Perusahaan Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Pasal 2 (1) Piutang Negara/Daerah dapat dihapuskan secara bersyarat atau mutlak dari pembukuan Pemerintah Pusat/Daerah, kecuali mengenai Piutang Negara/Daerah yang cara penyelesaiannya diatur tersendiri dalam UndangUndang. (2) Penghapusan Secara Bersyarat dilakukan dengan menghapuskan Piutang Negara/Daerah dari pembukuan Pemerintah Pusat/Daerah tanpa menghapuskan hak tagih Negara/Daerah. (3) Penghapusan Secara Mutlak dilakukan dengan menghapuskan hak tagih Negara/Daerah. Pasal 3 (1) Penghapusan Secara Bersyarat dan Penghapusan Secara Mutlak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, hanya dapat dilakukan setelah Piutang Negara/Daerah diurus secara optimal oleh PUPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengurusan Piutang Negara.
122
(2) Pengurusan Piutang Negara/Daerah dinyatakan telah optimal, dalam hal telah dinyatakan sebagai PSBDT oleh PUPN. (3) PSBDT sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan dalam hal masih terdapat sisa utang, namun : a. Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikannya; dan b. Barang jaminan tidak ada, telah dicairkan, tidak lagi mempunyai nilai ekonomis, atau bermasalah yang sulit diselesaikan. BAB II PENGHAPUSAN SECARA BERSYARAT Bagian Pertama Kewenangan Pasal 4 (1) Penghapusan Secara Bersyarat, sepanjang menyangkut Piutang Negara, ditetapkan oleh : a. Menteri Keuangan untuk jumlah sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); b. Presiden untuk jumlah lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); dan c. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk jumlah lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (2) Dalam hal Piutang Negara dalam satuan mata uang asing, nilai piutang yang dihapuskan secara bersyarat adalah nilai yang setara dengan nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada 3 (tiga) hari sebelum tanggal surat pengajuan usul penghapusan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. Pasal 5 (1) Penghapusan Secara Bersyarat, sepanjang menyangkut Piutang Daerah ditetapkan oleh : a. Gubernur/Bupati/Walikota untuk jumlah sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan b. Gubernur/Bupati/Walikota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk jumlah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal Piutang Daerah dalam satuan mata uang asing, nilai piutang yang dihapuskan secara bersyarat adalah nilai yang setara dengan nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada 3 (tiga) hari sebelum tanggal surat pengajuan usul penghapusan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah.
123
Bagian Kedua Pengajuan Usul Pasal 6 (1) Piutang Negara yang akan dihapuskan secara bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, diusulkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang berpiutang kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara. (2) Piutang Negara yang akan dihapuskan secara bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dan huruf c, diusulkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang berpiutang kepada Presiden Republik Indonesia melalui Menteri Keuangan. Pasal 7 Piutang Daerah yang akan dihapuskan secara bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), diusulkan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang berpiutang kepada Gubernur/Walikota/Bupati setelah mendapat pertimbangan dari Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara yang wilayah kerjanya meliputi wilayah kerja Gubernur/Walikota/Bupati yang bersangkutan. Bagian Ketiga Persyaratan Pasal 8 Penghapusan Secara Bersyarat atas Piutang Negara/Daerah dari pembukuan dilaksanakan dengan ketentuan : a. dalam hal piutang adalah berupa Tuntutan Ganti Rugi, setelah piutang ditetapkan sebagai PSBDT dan terbitnya rekomendasi penghapusan secara bersyarat dari Badan Pemeriksa Keuangan; atau b. dalam hal piutang adalah selain piutang Tuntutan Ganti Rugi, setelah piutang ditetapkan sebagai PSBDT. BAB III PENGHAPUSAN SECARA MUTLAK Bagian Pertama Kewenangan Pasal 9 (1) Penghapusan Secara Mutlak, sepanjang menyangkut Piutang Negara, ditetapkan oleh : a. Menteri Keuangan untuk jumlah sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
124
b. Presiden untuk jumlah lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); dan c. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk jumlah lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (2) Dalam hal Piutang Negara dalam satuan mata uang asing, nilai piutang yang dihapuskan secara mutlak adalah nilai yang setara dengan nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada 3 (tiga) hari sebelum tanggal surat pengajuan usul penghapusan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. Pasal 10 (1) Penghapusan Secara Mutlak, sepanjang menyangkut Piutang Daerah, ditetapkan oleh : a. Gubernur/Bupati/Walikota untuk jumlah sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan b. Gubernur/Bupati/Walikota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk jumlah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal Piutang Daerah dalam satuan mata uang asing, nilai piutang yang dihapuskan adalah nilai yang setara dengan nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada 3 (tiga) hari sebelum tanggal surat pengajuan usul penghapusan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah. Bagian Kedua Pengajuan Usul Pasal 11 (1) Piutang Negara yang akan dihapuskan secara mutlak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, diusulkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang berpiutang kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara. (2) Piutang Negara yang akan dihapuskan secara mutlak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b dan huruf c, diusulkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang berpiutang kepada Presiden Republik Indonesia melalui Menteri Keuangan. Pasal 12 Piutang Daerah yang akan dihapuskan secara mutlak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diusulkan Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang berpiutang kepada Gubernur/Walikota/Bupati setelah mendapat pertimbangan dari Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara yang wilayah kerjanya meliputi wilayah kerja Gubernur/Walikota/Bupati yang bersangkutan.
125
Bagian Ketiga Persyaratan Pasal 13 Penghapusan Secara Mutlak atas Piutang Negara/Daerah dari pembukuan dilaksanakan dengan ketentuan : a. diajukan setelah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penetapan Penghapusan Secara Bersyarat piutang dimaksud; dan b. Penanggung Utang tetap tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan sisa kewajibannya, yang dibuktikan dengan keterangan dari Aparat/Pejabat yang berwenang.
BAB IV PIUTANG NEGARA YANG BERSUMBER DARI PENERUSAN PINJAMAN LUAR NEGERI/REKENING DANA INVESTASI/ REKENING PEMBANGUNAN DAERAH Bagian Pertama Persyaratan Pasal 14 Piutang Negara yang bersumber dari penerusan Pinjaman Luar Negeri/Rekening Dana Investasi/Rekening Pembangunan Daerah, dapat dilakukan penghapusan secara bersyarat atau mutlak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 15 (1) Penghapusan Secara Bersyarat atas Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dilaksanakan setelah terbitnya Surat Menteri Keuangan mengenai persetujuan pemberian program optimalisasi penyelesaian Piutang Negara kepada Penanggung Utang. (2) Penghapusan Secara Mutlak atas Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dilaksanakan : a. setelah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penetapan Penghapusan Secara Bersyarat piutang dimaksud; dan b. setelah Penanggung Utang menyelesaikan program optimalisasi penyelesaian Piutang Negara sebagaimana yang ditetapkan dalam Surat Menteri Keuangan mengenai persetujuan pemberian program optimalisasi penyelesaian Piutang Negara kepada Penanggung Utang.
126
Bagian Kedua Optimalisasi Penyelesaian Piutang Negara
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 16 Dalam hal Piutang Negara yang berasal dari penerusan Pinjaman Luar Negeri/Rekening Dana Investasi/Rekening Pembangunan Daerah akan dilakukan penghapusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Menteri Keuangan terlebih dahulu melakukan upaya optimalisasi tingkat penyelesaian Piutang Negara dimaksud. Upaya optimalisasi Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan terhadap penanggung utang yang: a. kegiatan usahanya melaksanakan pelayanan umum di sektor yang berhubungan dengan kebutuhan dasar masyarakat; b. melaksanakan pelayanan yang mempunyai keterkaitan dengan kepentingan Daerah; dan c. mengalami kesulitan keuangan di dalam memenuhi kewajiban pinjaman sehingga mempengaruhi kelangsungan usahanya. Optimalisasi tingkat penyelesaian Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan cara restrukturisasi utang, antara lain : a. penjadwalan kembali pembayaran utang pokok, bunga, denda, dan/atau ongkos-ongkos lainnya; b. perubahan persyaratan utang; dan/atau c. penghapusan. Penetapan penanggung utang yang telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk diberikan restrukturisasi utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pasal 17 (1) Dalam rangka upaya optimalisasi Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Penanggung Utang wajib menyampaikan permohonan penyelesaian utang kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Perbendaharaan dengan dilampiri rencana usaha sebagai dasar dalam rangka optimalisasi tingkat penyelesaian Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) dan/atau Penghapusan Secara Bersyarat atau Penghapusan Secara Mutlak. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara optimalisasi penyelesaian Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
127
Pasal 18 Dalam hal Penanggung Utang atas Piutang Negara yang bersumber dari penerusan Pinjaman Luar Negeri/Rekening Dana Investasi/Rekening Pembangunan Daerah selain Penanggung Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), tata cara optimalisasi penyelesaian Piutang Negara dimaksud diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.
BAB V PENGHAPUSAN PIUTANG PERUSAHAAN NEGARA/DAERAH Pasal 19 Penghapusan Secara Bersyarat dan Penghapusan Secara Mutlak atas piutang Perusahaan Negara/Daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 20 Tata cara Penghapusan Secara Bersyarat dan Penghapusan Secara Mutlak atas piutang Perusahaan Negara/Daerah yang pengurusan piutangnya diserahkan kepada PUPN, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. BAB VI PENUTUP Pasal 21 Tata cara pengajuan usul, penelitian, dan penetapan penghapusan Piutang Negara/Daerah, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 22 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
128
Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 21 Maret 2005 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. Dr. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 Maret 2005 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd. Dr. HAMID AWALUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 31 Salinan sesuai dengan aslinya, Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan
Lambock V. Nahattands
129
Lampiran 2. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah sebagai bagian dari proses pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah; b. bahwa untuk lebih mengoptimalkan pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah dipandang perlu untuk melakukan peninjauan kembali pengaturan mengenai penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah; Mengingat 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587); 3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297); 5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4488);
129
130
MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG NEGARA/DAERAH. Pasal I Ketentuan Pasal 19 dan Pasal 20 dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, dihapus. Pasal II 1. Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku: a. Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah untuk selanjutnya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas dan Badan Usaha Milik Negara beserta peraturan pelaksanaannya. b. Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah yang telah diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara c.q. Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan usul penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah yang telah diajukan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara tetap dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah beserta peraturan pelaksanaannya. 2. Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 Oktober 2006 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Oktober 2006 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd
131
HAMID AWALUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 83 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG NEGARA/DAERAH
I. UMUM Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara secara tegas ditetapkan pengertian/batasan Piutang Negara maupun Piutang Daerah yang meliputi jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah danj atau hak Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah. Pengertian Piutang Negara/Daerah sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara tersebut juga menjadi landasan dalam pengaturan penghapusan Piutang Negara/Daerah yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Dalam kerangka penyelesaian Piutang Perusahaan Negara yang juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, seiring dengan perjalanan waktu disadari bahwa dalam upaya memberikan keleluasaan bagi Perusahaan Negara/Daerah (sekarang BUMN/BUMD) dalam mengoptimalkan pengelolaan/pengurusan piutang yang ada pacta BUMN/BUMD yang bersangkutan dipandang perlu untuk meninjau kembali pengaturan mengenai penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005. Pertimbangan untuk meninjau kembali pengaturan penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 dilandaskan pada pemikiran bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara sebagai hukum positif yang mengatur BUMN, secara tegas dalam Pasal 4 menyatakan bahwa kekayaan negara yang dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tersebut juga ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan
132
"dipisahkan" adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsipprinsip perusahaan yang sehat. Dengan pemisahan kekayaan negara tersebut, seharusnya piutang yang terdapat pada BUMN sebagai akibat perjanjian yang dilaksanakan oleh BUMN selaku entitas perusahaan tidak lagi dipandang sebagai Piutang Negara. Sejalan dengan itu, pengelolaan termasuk pengurusan atas Piutang BUMN tersebut tidak dilakukan dalam koridor pengurusan Piutang Negara melainkan diserahkan kepada mekanisme pengelolaan berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka BUMN memiliki kewenangan/keleluasaan dalam mengoptimalkan pengelolaanjpengurusan/penyelesaian piutang yang ada pada BUMN yang bersangkutan, sehingga pengaturan penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah yang ada pada Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 saat ini menjadi tidak diperlukan lagi. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Cukup jelas. Pasal II Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4652