KEDUDUKAN, PERAN DAN TANGGUNG JAWAB HUKUM DIREKSI DALAM PENGURUSAN BUMN
TESIS
Oleh DINA KHAIRUNNISA 077011014/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
KEDUDUKAN, PERAN DAN TANGGUNG JAWAB HUKUM DIREKSI DALAM PENGURUSAN BUMN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
DINA KHAIRUNNISA 077011014/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Judul Tesis Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: KEDUDUKAN, PERAN DAN TANGGUNG JAWAB HUKUM DIREKSI DALAM PENGURUSAN BUMN : Dina Khairunnisa : 077011014 : Kenotariatan
Menyetujui komisi pembimbing,
(Prof.Dr. H. Tan Kamello, SH, MS) Ketua
(Prof.Dr.Runtung Sitepu,SH,M.Hum) Anggota
(Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,M.Hum) Anggota
Ketua Program Studi,
Direktur,
(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN)
(Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B,MSc)
Tanggal lulus : 31 Juli 2009
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Telah diuji pada Tanggal
: 31 Juli 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
: Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS
Anggota
: 1. Prof.Dr.Runtung Sitepu, SH, M.Hum 2. Prof.Dr.Budiman Ginting, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
ABSTRAK
Pada akhir-akhir ini pengurusan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) banyak mendapat sorotan dari publik karena dinilai tidak profesional, tidak efisien, dan tidak transparan sehingga menambah beban biaya yang dikeluarkan oleh negara/pemerintah untuk mempertahankan keberadaannya. Penilaian publik atas kinerja direksi, menimbulkan pertanyaan apa sebenarnya yang menjadi akar permasalahan yang menyebabkan tidak efisien dan tidak optimalnya kinerja direksi dalam pengurusan BUMN. Bagaimana kedudukan, peran, dan tanggung jawab hukum direksi dalam pengurusan BUMN? Bagaimana penerapan prinsip business judgement rule sebagai wujud perlindungan direksi dalam pengurusan BUMN? Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan perundangundangan dikarenakan bersifat deskriptif dengan jenis penelitian yuridis normatif. Bahan penelitian yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan melalui penelitian kepustakaan dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa studi dokumen yang kemudian data yang telah dikumpulkan lalu dikelompokkan menurut permasalahan dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif sehingga dapat ditarik kesimpulan dengan menggunakan logika berfikir deduktif. Berdasarkan hasil penelitian dapatlah diketahui bahwa ternyata tidak ada pengaturan yang tegas dalam Undang-Undang BUMN menyangkut kedudukan dan peran dari direksi dalam pengurusan BUMN. Dalam undang-undang tersebut hanya menguraikan mengenai tugas dan kewajiban dari direksi yang nantinya menimbulkan tanggung jawab hukum yang tidak hanya dari segi hukum perdata tetapi juga dari segi hukum pidana apabila terbukti bahwa direksi melakukan perbuatan menyimpang dari kewajiban hukumnya dalam melakukan pengurusan perseroan yang merugikan perseroan. Akan tetapi direksi juga dapat melakukan pembelaan terhadap dirinya melalui prinsip business judgement rule apabila dapat membuktikan bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajibannya tidak menyimpang dari undang-undang dan anggaran dasar perusahaan serta dilaksanakan berdasarkan itikad baik dan jujur sehingga timbulnya kerugian pada perusahaan bukan diakibatkan karena kesalahan maupun kelalaian yang ditimbulkan dari diri direksi itu sendiri. Kata Kunci: Tanggung Jawab, Direksi, Pengurusan BUMN
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
ABSTRACT
In this time, the managements of State Owned Company (BUMN) become the focuses of public attentions, because of they are not professional, efficient, and transparent in thought, so that, they burden the government with many great expenses in defending their existences. The evaluations of public for the works of directors make some questions about what things are really which become the roots of problems that cause the works of directors are not efficient and optimal in managing the BUMNs. How are the positions, roles and responsibilities of directors based on the law in managing them? How are the applications of the principles of business judgement rules as the existences of protections for the directors in managing BUMNs. This research is done by using the method of approaching the law, because it is descriptive with the type of normative jurisdiction. The research materials which are used consist of primary law, secondary law, and tertiary law ones. The technique of collecting data is library research by studying the documents, classifying the problems, analyzing them qualitatively, and taking the conclusions by using the logical thinking deductively. Based on the research result, it can be informed that there is no strictly rule in the regulations of BUMN which refer to the positions, roles and responsibilities of directors in managing the BUMNs. The regulation only explain about the duties and obligations which lead to the law responsibilities of directors either based on civil or criminal law whether they are proved to do the deviations from the standard rules in handling the business which can make the companies suffer the losses. On the other hand, the directors can also make the protections towards themselves based on business judgement rules by proving that in doing their duties and obligations, the directors don’t make the deviations from the regulations and statutes of companies, and every things done by directors are based on good and honest intention. So if the companies suffer the losses, the losses are not caused of the carelessness and faults from directors themselves.
Keywords: Responsibilities, Directors, Managing of State Owned Company
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan tesis ini guna memenuhi salah satu syarat akademik dalam menyelesaikan
program
studi
Magister
Kenotariatan
Sekolah
Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sekaligus penguji yang telah memberikan dukungan, semangat, dan masukan kepada penulis;
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH., CN., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sekaligus penguji yang telah memberikan masukan kepada penulis; 5. Bapak Prof. Dr. H. Tan Kamello, SH., MS., selaku ketua komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian memberi dorongan, bimbingan dan saran serta pinjaman textbook kepada penulis; 6. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum. dan Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku anggota komisi pembimbing yang selalu memberi semangat, arahan serta kritik yang membangun kepada penulis; 7. Seluruh Staf
Pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 8. Seluruh Staf Pegawai Administrasi Ibu Fatima, Kak Sari, Kak Winda, Kak Lisa, Kak Afni, Bang Izal, dan Bang Aldi Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, selaku para pihak yang selalu membantu selama penulis menyelesaikan urusan besar dan urusan kecil yang berhubungan dengan perkuliahan. 9. Papa H. Yuzelfi, SH. dan Mama Hj. Hidayati, selaku orang tua terbaik yang selalu sabar, tulus, ikhlas, dan tabah dalam segala hal dari dulu, sekarang, esok, dan seterusnya menjadi bagian terindah dalam hidup penulis;
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
10. Muhammad Rizqi, SE., selaku adik tunggal yang selalu mengingatkan pada penulis bahwa tua itu pasti tapi dewasa itu pilihan; 11. M.S. Feroni Putra, SH. (lelakiqu), selaku penggemar rahasia dan penjaga hati yang melengkapi hari-hari penulis dengan hal-hal indah selama menjadi bagian hidup penulis; 12. Ibrahim Mangara Laut Batubara, selaku teman terbaik yang terus mengingatkan penulis untuk terus mengejar mimpi, impian, dan cita-cita; 13. Mirvan Samekto, SH., M.Kn, selaku teman terbaik yang membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini; 14. Eva Sartika Siregar, SH., selaku teman seperjuangan yang selalu bersama dari awal hingga akhir dalam penulisan tesis ini; 15. Juni Surbakti, Juliana Citra, Swary Natalia Tarigan dan Eva Sartika Siregar, selaku Komisi Pembanding Kolokium dan Seminar Hasil yang telah bekerja sama dengan penulis demi penyempurnaan penulisan tesis ini; 16. Rekan seprofesi yang tergabung dalam Kwartet Ganas (Emma Titin Purba, Swary Natalia Tarigan dan Melisa Batubara), selaku teman satu profesi selama penulis berjuang mencari penghidupan yang layak; 17. Rekan-rekan sejawat (Bang Edi, Bang Agam, Pak Syukri, Bang Umri, Bang Amir, Bang Mek, Bang Bangun, Kak Nina, Kak Izmi, Kak Myrna, Mbak Ayu, Kak Neva, Kak Lenny, Kak Ana, Kak Eri, Melda, Afni, Mimi, dan Intan), terima kasih pernah menjadi bagian terbaik dalam hidup penulis selama penulis menyelesaikan studi sejak dulu, sekarang, dan selamanya;
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
18. Rekan-rekan satu angkatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dukungan moral maupun material kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini; Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun substansi yang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun demi penyempurnaan penulisan tesis ini. Akhir kata penulis mengharapkan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan juga bagi pembaca pada umumnya.
Medan,
Juli 2009
Penulis,
Dina Khairunnisa
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
RIWAYAT HIDUP I. DATA PRIBADI Nama
: Dina Khairunnisa
Tempat/Tanggal Lahir
: Medan/10 Juni 1983
Alamat
: Jl. T. Cikditiro No. 8-C Medan
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status Perkawinan
: Belum Menikah
II. DATA ORANG TUA Nama Ayah
: H. Yuzelfi, SH
Nama Ibu
: Hj. Hidayati
III. PEKERJAAN Wiraswasta
IV. PENDIDIKAN 1. SD
: SD Swasta Kemala Bhayangkari I, Medan
(Tamat Tahun 1995) 2. SLTP : SLTP Negeri I, Medan (Tamat Tahun 1998) 3. SMU : SMU Swasta Kartika I-1, Medan (Tamat Tahun 2001) 4. S-1
: Fakultas Hukum UISU, Medan
(Tamat Tahun 2006) 5. S-2
: Program Studi Magister Hukum Bisnis UMA, Medan
(Tamat Tahun 2008) 6. S-2
: Program Studi Magister Kenotariatan USU, Medan
(Tamat Tahun 2009)
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
DAFTAR ISI Halaman
ABSTRAK …………………………………………………………………..
i
ABSTRACT …………………………………………………………………
ii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………
iii
RIWAYAT HIDUP …………………………………………………………
vii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………... viii BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................
1
A. Latar Belakang ……………………………………………
1
B. Perumusan Masalah ………………………………………
11
C. Tujuan Penelitian …………………………………………
12
D. Manfaat Penelitian ………………………………………..
12
E. Keaslian Penelitian ………………………………………..
13
F. Kerangka Teori dan Konsepsi …………………………….
14
1. Kerangka Teori ………………………………………..
14
2. Konsepsi ……………………………………………… 21 G. Metode Penelitian ………………………………………… 22 1. Spesifikasi Penelitian ………………………………… 22 2. Bahan Penelitian ……………………………………… 23 3. Teknik Pengumpulan Data …………………………… 24 4. Alat Pengumpulan Data ………………………………. 24 5. Analisis Data ………………………………………….. 24
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
BAB II
KEDUDUKAN DAN PERAN DIREKSI DALAM PENGURUSAN BUMN ……………………………………..
26
A. Kedudukan dan Peran Direksi Menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas ………………………………………… 26 B. Kedudukan dan Peran Direksi Menurut Undang-Undang BUMN …………………………………………………….
35
C. BUMN Persero ……………………………………………
35
1. Pengertian dan Peran BUMN Persero ………………...
34
2. BUMN Persero Merupakan Perseroan Terbatas ………
39
3. Organ BUMN Persero ………………………………....
40
D. Kekayaan Negara dan Modal Persero ……………………..
42
1. Pengertian Kekayaan Negara ………………………….
42
2. Pengertian Keuangan Negara ………………………….
45
3. Penyertaan Modal Negara Pada BUMN Persero ………
52
4. Pemisahan Kekayaan Negara Pada BUMN Persero ……. 56 BAB III
TANGGUNG JAWAB HUKUM DIREKSI DALAM PENGURUSAN BUMN …………………………………….. 68 A. Tanggung Jawab Perdata …………………………………..
68
1. Pengertian Tanggung Jawab Perdata ………………….. 80 2. Prinsip Tanggung Jawab Perdata ………………………
85
B. Tanggung Jawab Pidana …………………………………… 97 1. Pengertian Tanggung Jawab Pidana …………………… 97 2. Unsur Tanggung Jawab Pidana ………………………… 113
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
BAB IV
PENERAPAN PRINSIP BUSINESS JUDGEMENT RULE SEBAGAI WUJUD PERLINDUNGAN TERHADAP DIREKSI DALAM PENGURUSAN BUMN … 121 A. Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgement Rule …………………………………………………………. 121 B. Studi Kasus Bank Mandiri ………………………………….. 129 1. Abstraksi Kasus …………………………………………. 129 2. Analisis Kasus …………………………………………… 132
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………… 145 A. Kesimpulan ………………………………………………….. 145 B. Saran ………………………………………………………… 146
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 148
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi dan mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. 1 Pada negara berkembang seperti Indonesia memiliki beberapa alasan untuk mengadakan BUMN, diantaranya adalah untuk menyeimbangkan atau menggantikan posisi swasta yang lemah. Hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan rasio investasi, alih teknologi, meningkatkan sektor ketenagakerjaan, dan memproduksi barangbarang dengan harga terjangkau. 2 Akan tetapi masih banyak BUMN yang secara ekonomi tidak berjalan efisien. Kondisi yang seperti ini menyebabkan besar kemungkinan bahwa BUMN akan menjadi penyebab persoalan besarnya beban yang ditanggung langsung oleh negara dalam upaya mempertahankan pengelolaannya. 3 Untuk mengoptimalkan peran BUMN, pengurusan dan pengawasannya harus dilakukan secara profesional. 4
1
Konsideran butir a dan b Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70. 2 Bismar Nasution, “Privatisasi: Menjual Atau Menyehatkan”, Jurnal Hukum, Program Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana, Volume 01, Nomor 01, 2005, halaman 20. 3 Ibid. 4 Konsideran butir c Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Pada saat sekarang ini permasalahan yang menyangkut BUMN khususnya yang berbentuk Perseroan Terbatas (Persero) banyak mendapat sorotan dan perhatian publik baik dari para ahli hukum, lembaga swadaya masyarakat maupun dari aparat penegak hukum. Fenomena ini muncul sejak bergulirnya reformasi tahun 1998 yang menuntut dilaksanakannya perubahan secara total dalam segenap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial. Pengaturan tentang Perseroan Terbatas (PT) sebagai suatu badan hukum telah ada dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut UUPT. Di dalam UUPT tersebut terdapat ketentuan mengenai tanggung jawab direksi atas pengurusan perseroan. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 92 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. 5 Disebutkan juga dalam ketentuan Pasal 98 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa direksi mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. 6 Tanggung jawab pengurusan ini mengandung makna bahwa direksi ditugaskan dan berwenang untuk mengatur atau mengelola kegiatan-kegiatan perseroan terbatas; mengurus kekayaan perseroan terbatas; dan mewakili perseroan terbatas di dalam dan di luar pengadilan.
5 6
Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut UU BUMN menyatakan bahwa maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah: a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. b. Mengejar keuntungan. c. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. d. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi. e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat. 7 Berdasarkan hal tersebut berarti bahwa tujuan didirikannya BUMN diarahkan untuk mencapai dua tujuan sekaligus, yaitu tujuan komersial dan sosial. Komersial karena dituntut untuk dapat mengejar keuntungan, dan sosial karena dituntut juga mengemban misi sosial, yaitu memberikan bimbingan dan bantuan kepada ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat. Selanjutnya di dalam Pasal 3 UU BUMN dinyatakan bahwa terhadap BUMN berlaku undang-undang ini, anggaran dasar dan ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. 8 Dalam penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan lainnya adalah ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 termasuk perubahannya jika ada peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundang-undangan sektoral yang mengatur bidang usaha BUMN dan swasta yang dikeluarkan oleh departemen/lembaga non departemen. 7 8
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Pengaturan mengenai pengurusan BUMN diatur dalam UU BUMN yang menyatakan bahwa: 1. Pengurusan BUMN dilakukan oleh direksi. 2. Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN serta mewakili BUMN, baik di dalam maupun di luar pengadilan. 3. Dalam melaksanakan tugasnya, anggota direksi harus mematuhi anggaran dasar BUMN dan peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsipprinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban serta kewajaran. 9 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU BUMN disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. 10 Hal ini lebih dipertegas lagi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2005 Tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara. Pasal 1 angka 2 UU BUMN yang menyatakan bahwa Perusahaan Perseroan untuk selanjutnya disebut Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. 11 Dengan demikian secara sederhana dan ringkas dapat diartikan bahwa BUMN adalah suatu badan usaha yang melakukan kegiatan usaha yang modalnya paling sedikit 51% (lima puluh satu 9
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. 11 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. 10
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
persen) dimiliki oleh negara. Selanjutnya Pasal 2 menyatakan bahwa pendirian, pengurusan, pengawasan dan pembubaran persero dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perseroan terbatas. Artinya bahwa terhadap persero berlaku prinsip-prinsip perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam UUPT. Pasal 11 UU BUMN menyatakan bahwa terhadap persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Di satu sisi menurut ketentuan Pasal 92 ayat (1) UUPT tanggung jawab direksi perseroan adalah melakukan pengurusan perseroan berdasarkan prinsipprinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas, dan di sisi lain untuk direksi BUMN berlaku ketentuan Pasal 5 UU BUMN yang menyatakan “(1) Pengurusan BUMN dilakukan oleh direksi; (2) direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN baik di dalam maupun di luar pengadilan; (3) Dalam melaksanakan tugasnya, anggota direksi harus mematuhi anggaran dasar BUMN dan peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggung jawaban serta kewajaran”. Ketentuan dalam kedua undang-undang tersebut pada prinsipnya tidak berbeda. Hanya dalam hal misi, maksud dan tujuan serta ditegaskannya pelaksanaan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (3) UU BUMN tersebut kepada direksi yang berbeda antara perseroan terbatas swasta dengan BUMN.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Namun yang menjadi pemikiran adalah bahwa berdasarkan prinsip yang berlaku pada perseroan terbatas pada umumnya bahwa suatu perseroan terbatas sebagai badan hukum yang mandiri memiliki harta kekayaan atau asset tersendiri yang terpisah dari harta kekayaan pribadi para pemegang sahamnya. Sehingga apabila suatu perseroan mengalami atau menderita kerugian, para pemegang saham hanya bertanggung jawab terbatas hanya sebesar modal yang ditanamkan dalam perseroan dan tidak sampai menyangkut harta pribadi. Sementara harta kekayaan BUMN Persero tidak jelas statusnya karena dimasukkan sebagai harta kekayaan negara atau keuangan negara. Oleh karena itu dari sisi pengurusan dan pengelolaan perseroan khususnya mengenai pengelolaan asset ada perbedaan. Fenomena akhir-akhir ini dapat dilihat dari munculnya berbagai kasus dan peristiwa terkait dengan BUMN khususnya mengenai pengurusan BUMN (Persero) oleh direksi yang diduga banyak melakukan penyimpangan. Salah satu contoh kasus yaitu kasus korupsi yang menimpa Direktur Utama Bank Mandiri dan kawan-kawan yang diajukan ke peradilan pidana korupsi dalam kasus kredit macet. Masih banyak pandangan yang negatif yang mengarah kepada pembentukan opini tentang ketidakberesan maupun ketidakprofesionalan direksi dalam mengurus dan mengelola perseroan. Dengan perkataan lain banyak pihak-pihak yang mengkritisi pengurusan dan pengelolaan BUMN tanpa didasari pemahaman yang komprehensif sampai sejauhmana kedudukan, peranan dan tanggung jawab direksi dalam pengurusan BUMN dan mengapa kinerja beberapa BUMN tidak seperti yang diharapkan.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Direksi dalam menjalankan pengurusan perseroan wajib tunduk dan mematuhi ketentuan yang diatur dalam undang-undang berikut peraturan pelaksanaannya dan anggaran dasar perseroan itu sendiri. Dalam hal direksi melakukan penyimpangan atas ketentuan dimaksud, komisaris dapat mengusulkan pemberhentian anggota direksi kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) serta melaporkan kepada aparat penegak hukum apabila ternyata ditemukan penyimpangan yang dilakukan oleh direksi. Mengenai hal ini telah diatur dengan jelas dalam Pasal 23 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa anggota direksi sewaktu-waktu dapat diberhentikan bedasarkan RUPS apabila berdasarkan kenyataan, anggota direksi yang bersangkutan: a. tidak dapat memenuhi kewajibannya yang telah disepakati dalam kontrak manajemen; b. tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik; c. tidak melaksanakan ketentuan perundang-undangan dan/atau ketentuan anggaran dasar; d. terlibat dalam tindakan yang merugikan BUMN dan/atau negara; e. dinyatakan bersalah dalam putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; f. mengundurkan diri. 12 Tidak jarang terjadi bahwa walaupun komisaris, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau akuntan publik tidak menemukan adanya penyimpangan yang merugikan keuangan negara atau perseroan dan laporan pertanggung jawaban direksi telah diterima oleh RUPS tidak menjadi jaminan bagi direksi untuk tidak diperiksa oleh aparat penegak hukum. Alasan pemeriksaan sering didasarkan hanya pada adanya 12
Pasal 23 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 Tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran BUMN.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
laporan dan pengaduan masyarakat. Tindakan ini tidak logis dari segi analisis yuridis, karena secara yuridis apabila pertanggung jawaban direksi telah diterima dan disetujui oleh RUPS selaku pihak yang paling berkepentingan melindungi perseroan dari kerugian yang diakibatkan direksi atau selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan maka pihak lain (instansi/lembaga pemerintah atau pihak manapun) tidak berwenang untuk mencampurinya. Hal ini timbul sebagai akibat kurangnya pemahaman hukum perusahaan dan adanya disharmonisasi antara hukum perusahaan dengan hukum keuangan negara. Sehingga aparat penegak hukum selalu mengedepankan peraturan-peraturan atau hukum publik sebagai suatu alat untuk menekan direksi/manajemen atau pekerja BUMN. Kesewenang-wenangan penyelenggara negara atau aparatur hukum telah menimbulkan rasa ketakutan kepada direksi/manajemen atau pekerja BUMN. Intervensi yang mengatasnamakan kepentingan publik atau masyarakat dijadikan dasar atau alasan untuk secara langsung masuk melakukan pemeriksaan terhadap perangkat organisasi atau terhadap pekerja BUMN. Sehingga patut direnungkan kembali konsep hukum pembangunan dalam konteks perkembangan hukum yang menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia. Perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan masyarakat termasuk kedalamnya lembaga-lembaga dan proses-proses yang mewujudkan hukum itu ke dalam kenyataan.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Perangkat kaidah yang dikenal dengan norma-norma (norms) harus memenuhi asas lex certa, yaitu rumusan harus pasti (certainty) dan jelas (concise) serta tidak membingungkan (unambiguous). 13 Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang BUMN yang juga mengakui prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas ternyata tidak didukung dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara sehingga dapat dikatakan bahwa disharmonisasi di antara peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengurusan dan pengelolaan kegiatan BUMN merupakan pemicu terjadinya situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan bagi direksi dapat mengurus dan mengelola kegiatan usaha BUMN secara optimal. Bahkan yang terlihat adalah kekhawatiran dan ketakutan mengambil suatu keputusan atau kebijakan karena takut diperiksa aparat penegak hukum. Sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Pasal 2 huruf g yang berbunyi: Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah. 14
13
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, (Bogor: Kencana, 2003), halaman 23-24. 14 Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Perseroan terbatas sebagai suatu badan hukum yang mandiri adalah suatu badan (entity) yang keberadaannya terjadi karena hukum atau undang-undang. 15 Suatu badan hukum (legal entity) lahir karena diciptakan undang-undang, karena badan ini diperlukan oleh masyarakat dan pemerintah. Badan hukum dianggap sama dengan manusia yaitu sebagai manusia buatan/tiruan atau “artificial person”. Namun secara hukum dapat berfungsi sebagai manusia biasa (natural person atau naturlijke person), dia bisa menggugat atau digugat, bisa membuat keputusan dan bisa mempunyai hak dan kewajiban, utang-piutang, mempunyai harta kekayaan seperti layaknya manusia biasa. Sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU BUMN bahwa Organ Persero adalah RUPS, Direksi dan Komisaris. 16 Ketiga organ perusahaan tersebut, bersama-sama dengan pihak lainnya yang terlibat dengan perusahaan, seperti pihak pekerja, kreditur, pemerintah dan masyarakat disebut sebagai pihak “stakeholders” dari perusahaan tersebut. Ilmu hukum perusahaan mengajarkan bahwa diantara ketiga organ perusahaan tersebut, RUPS merupakan organ dengan kekuasaan tertinggi dalam suatu perseroan terbatas. RUPS dapat melakukan tindakan berupa pemberhentian sementara atau tetap terhadap direksi perseroan apabila ditemukan bukti-bukti penyimpangan yang merugikan perusahaan atau merugikan keuangan negara serta dapat melaporkan direksi kepada aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian atau kejaksaan 15
I.G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Jakarta: Megapoint, 1996),
halaman 6. 16
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
maupun kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diproses secara pidana. Di samping itu pemegang saham dengan hak suara minimal 10% (sepuluh persen) dapat
menggugat
direksi
untuk
mempertanggungjawabkan
perbuatan
atau
tindakannya yang merugikan perseroan. 17 Mekanisme pertanggungjawaban direksi dalam pengurusan BUMN telah diatur dalam UU BUMN. Disamping ketentuan lain yang diatur dalam UUPT. Pertanggungjawaban direksi tidak terbatas hanya pada pertanggungjawaban perdata namun apabila dapat dibuktikan adanya perbuatan pidana seperti penipuan (fraud) maka direksi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. B. Perumusan Masalah Untuk menemukan identifikasi masalah dalam penelitian ini maka perlu dipertanyakan apakah yang menjadi masalah dalam penelitian 18 yang akan dikaji lebih lanjut untuk menemukan suatu pemecahan masalah yang telah di identifikasi tersebut. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kedudukan dan peran direksi dalam pengurusan BUMN. 2. Bagaimana tanggung jawab hukum direksi dalam pengurusan BUMN. 3. Bagaimana penerapan prinsip business judgement rule sebagai wujud perlindungan terhadap direksi dalam pengurusan BUMN. 17
Pasal 97 ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Ronny Kountur, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi Dan Tesis, (Jakarta: PPM, 2003), halaman 35. 18
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah: 1. Untuk mengetahui kedudukan dan peran direksi dalam pengurusan BUMN. 2. Untuk mengetahui tanggung jawab hukum direksi dalam pengurusan BUMN. 3. Untuk mengetahui penerapan prinsip business judgement rule sebagai wujud perlindungan terhadap direksi dalam pengurusan BUMN. D. Manfaat Penelitian Bertitik tolak dari tujuan penulisan yang didasarkan pada tujuan penelitian yaitu “… to discover answers to questions through the application of scientific procedure. The procedures have been developed in order to increase the likehood that the information gathered will be relevant to the question asked and will be reliable and unbiased”. 19 Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum khususnya hukum korporasi dan peran corporate law system dalam mewujudkan tata kelola perusahaan yang baik. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan 19
Calire Seltz et, al: 1977, dalam Soeryono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), halaman 9.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
pranata hukum korporasi dalam penanggulangan praktik mismanagement dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) khususnya di BUMN. 2. Secara Praktis Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan masukan kepada aparat penegak hukum dalam penerapan sistem peradilan pidana terhadap BUMN khususnya dan korporasi umumnya dalam mengambil beberapa tindakan untuk menanggulangi perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sehingga dapat mengantisipasi implikasi tindakan perbuatan melawan hukum di dalam tubuh BUMN. Selanjutnya penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang terkait dengan penanggulangan penyalahgunaan wewenang oleh
direksi/pengurus
dalam
mengambil
beberapa
rangkaian
kebijakan/keputusan oleh komisaris maupun RUPS. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang “KEDUDUKAN, PERAN, DAN TANGGUNG JAWAB HUKUM DIREKSI DALAM PENGURUSAN BUMN” belum pernah dilakukan, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang tanggung jawab direksi namun jelas berbeda. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif, dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah dalam penelitian ini.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Penerapan suatu sistem hukum rasional dalam sistem hukum korporasi tentunya memberikan dampak pada proses penegakan hukum pidana korporasi di Indonesia terutama dalam kebijakan pemberlakuan hukum, seperti efektifitas UU BUMN yang walaupun pada hakekatnya memiliki muatan politis yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang dan masyarakat internasional hal ini sejalan dengan pendapat Antony Allott yang menyatakan bahwa pembuatan hukum yang kilat atau tergesa-gesa akan dapat mengakibatkan hukum menjadi tidak efektif, yang pada gilirannya membuat apa yang diinginkan hukum itu tidak tercapai. 20 Sedangkan Soeryono Soekanto melihat efektifitas suatu kaedah hukum pada tatanan penegakan hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang secara ketat tidak diatur oleh kaedah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada di antara hukum dan moral (etika dalam arti sempit), hal ini sebagaimana pendapat Roscoe Pound. 21 Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum maka bekerjanya sistem hukum korporasi pada umumnya khususnya pidana korporasi menjadi prioritas utama dalam bidang hukum ekonomi. Oleh sebab itu diperlukan keterpaduan antara sub sistem di 20
Antony Allott, The Efectivness of Law Vol.15, (Valparaiso University Law Review, 1981), halaman 233. 21 Soeryono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), halaman 7.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
dalam corporate law system dengan criminal justice system guna menanggulangi kejahatan korporasi (corporate crime) di dalam tubuh BUMN. Tujuan dari pembentukan UUPT adalah untuk mendukung perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat, untuk mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif, untuk memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, dan untuk menggantikan UUPT yang lama karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat. 22 Selanjutnya di dalam konsideran UU BUMN dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya UU BUMN adalah untuk mengoptimalkan peran BUMN. Pengurusan BUMN pada prinsipnya sama dengan perseroan terbatas lainnya perbedaannya hanya dari sisi permodalan. Optimalisasi peran BUMN dalam pembangunan nasional harus didukung oleh suatu hukum yang rasional. Sehubungan dengan penegakan hukum korporasi ini, kiranya perlu diperhatikan kembali pendapat yang dikemukakan Lawrence M. Friedman yang mengkaji dari sistem hukum (legal system) menyatakan bahwa ada tiga komponen yang ikut menentukan berfungsinya suatu hukum (dalam hal ini hukum korporasi), yaitu struktur hukum (structure), substansi hukum (substance), dan budaya hukum (legal culture). Dari ketiga komponen inilah kita dapat melakukan analisis terhadap bekerjanya hukum sebagai suatu sistem. 23
22
Konsideran Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Lawrence M. Friedman, America Law An Introduction, terjemahan Wisnu Basuki, (Jakarta: PT Tanusa, 1984), halaman 6-7. 23
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Dari pendapat yang dikemukakan Lawrence M. Friedman ini terlihat bahwa unsur structure dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai fungsinya dalam rangka bekerjanya sistem hukum tersebut. Salah satu diantara lembaga tersebut adalah pengadilan. Sedangkan komponen substance mencakup segala apa saja yang merupakan hasil dari structure, di dalamnya termasuk norma-norma hukum baik yang berupa peraturanperaturan, keputusan-keputusan, maupun doktrin-doktrin. Lebih jauh Lawrence M. Friedman mengatakan bahwa apabila sedikit direnungkan maka sistem hukum itu bukan hanya terdiri atas structure dan substance. Masih diperlukan adanya unsur ketiga untuk bekerjanya suatu sistem hukum yaitu budaya hukum. Kerangka Teori dalam menelaah tanggung jawab direksi dalam pengurusan BUMN dalam tatanan legal substance dapat dilihat dari rumusan Mochtar Kusumaatmadja, bahwa hukum adalah sarana pembangunan yaitu sebagai alat pembaharuan dan pembangunan masyarakat yang merupakan alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya, sifat hukum pada dasarnya adalah konservatif. Artinya hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah dicapai. Selain itu hukum harus dapat membantu proses perubahan pembangunan masyarakat tersebut. 24
24
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dan Pembangunan, (Bandung: Alumni, 2002), halaman 13 dan 74.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Sebagai
pisau
analisis
dalam
penelitian
ini
menggunakan
teori
pertanggungjawaban perdata dan pidana, yaitu tidak ada tanggung jawab tanpa ada kesalahan sebagai grand teori dan teori Autonomous social field yang dikemukakan oleh Sally Falk Moore25 sebagai middle teori untuk menjelaskan status aturan internal perseroan dalam sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Menurut teori pertanggungjawaban perdata, tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Artinya tidak ada kewajiban mengganti kerugian tanpa ada kesalahan. Menurut teori pertanggungjawaban pidana, “tidak ada pidana tanpa kesalahan”. Pembebanan pertanggungjawaban perdata terhadap direksi harus merujuk kepada hukum perusahaan dan anggaran dasar perseroan itu sendiri. Artinya sepanjang direksi perseroan telah melakukan tugas dan kewenangannya dengan segala kemampuan profesionalitasnya, kehati-hatian dan dengan itikad baik untuk kepentingan perseroan sesuai maksud dan tujuan perseroan, maka direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk mengganti kerugian yang di derita perseroan. Teori berikutnya yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah Theory Semi Autonomous Social Field yang dikemukakan oleh Sally Falk Moore yang mengatakan bahwa “… merupakan suatu fakta bahwa bidang yang kecil 25
Sally Falk Moore, Hukum Dan Perubahan Sosial, Terjemahan Sulistyowati Irianto dkk., dalam T.O. Ihromi (Ed), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), halaman 150.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
dan untuk sebagian otonom itu dapat menghasilkan aturan-aturan dan adat kebiasaan serta simbol-simbol yang berasal dari dalam, tetapi dilain pihak bidang-bidang tersebut juga rentan terhadap aturan-aturan dan keputusan-keputusan dan kekuatankekuatan yang berasal dari dunia luar yang mengelilinginya. Bidang sosial yang semi otonom ini memiliki kapasitas untuk membuat aturan-aturan dan sarana untuk menyebabkan atau memaksa seseorang tunduk pada aturannya, tetapi sekaligus juga berada dalam suatu kerangka acuan sosial yang lebih luas yang terdapat dan memang dalam kenyataannya mempengaruhi dan menguasainya, kadang-kadang karena dorongan dari dalam, kadang-kadang karena kehendaknya sendiri. 26 Dengan menggunakan teori tersebut dapat dikemukakan bahwa BUMN sebagai bagian kecil dari komunitas sosial dapat membuat aturan-aturan sendiri atau internal, kebiasaan-kebiasaan serta simbol-simbol dari dalam BUMN itu sendiri walaupun rentan terhadap keputusan-keputusan dan kekuatan-kekuatan yang berasal dari lingkungan eksternal yang mengelilinginya. Aturan internal BUMN dapat memaksa seseorang pekerja tunduk kepadanya sekaligus juga menjadi acuan bagi pihak-pihak yang berkepentingan secara bisnis dengan BUMN. Pola pengelolaan BUMN dengan diberlakukannya UU BUMN diarahkan pada pola profit center yang berbasis kinerja. Hal ini dapat dilihat dari maksud dan tujuan pendirian persero sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UU BUMN tersebut yang berbunyi sebagai berikut: a. menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat; b. mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan. Berdasarkan maksud dan tujuan pendirian perseroan tersebut maka direksi bertanggung jawab penuh untuk memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat yang 26
Ibid.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
menginginkan tersedianya barang/jasa yang bermutu tinggi dengan harga yang kompetitif dan terjangkau sebagai statutory duty. Selain itu direksi juga dituntut untuk menghasilkan keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan dan meningkatkan kontribusi dalam pendanaan pembangunan nasional. Dalam era persaingan yang semakin tajam BUMN harus mampu berpacu untuk memenangkan persaingan agar BUMN dapat hidup, tumbuh dan berkembang (survival and growth). Tugas dan tanggung jawab ini merupakan suatu tantangan berat bagi direksi. Kriteria Perfomance Excellent menjadi suatu hal yang sangat serius dan penting menjadi perhatian direksi. Untuk mengukur kinerja direksi digunakan Key Performance Indicator (KPI) 27 yang dapat menunjukkan apakah
27
Mengenai Key Performance Indicator (KPI) dimaksud dapat dilihat dalam keputusan Meneg. BUMN Nomor: Kep-59/MBU/2004, tanggal 15 Juni 2004 Tentang Kontrak Manajemen Calon Anggota Direksi Badan Usaha Milik Negara. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan (konsideran): a. bahwa berdasarkan Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (4) UU BUMN, calon anggota direksi telah dinyatakan lulus uji kelayakan dan kepatutan wajib menandatangani kontrak manajemen sebelum ditetapkan pengangkatannya sebagai anggota direksi; b. bahwa dalam rangka penerapan prinsip-prinsip GCG dan peningkatan kinerja perusahaan maka diperlukan komitmen yang jelas dari setiap calon anggota direksi yang akan menduduki jabatannya di perusahaan untuk memenuhi targettarget yang ditetapkan oleh RUPS/Menteri, peraturan perundang-undangan di bidang perseroan terbatas, anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan lainnya. Adapun isi dari keputusan Meneg. BUMN tersebut adalah sebagai berikut: Pertama: Calon anggota direksi BUMN yang telah dinyatakan lulus dari uji kelayakan dan kepatutan wajib menandatangani kontrak manajemen sebelum ditetapkan pengangkatannya sebagai anggota direksi BUMN. Kedua: Konsep kontrak manajemen sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama adalah sebagaimana terlampir. Ketiga: Apabila dipandang perlu, Deputi atas nama Menteri BUMN dapat menyesuaikan indikator kinerja dan sasaran perusahaan sebagaimana terlampir untuk disesuaikan dengan usaha pokok (core business) masing-masing perusahaan. Keempat: Memberi kuasa kepada para Deputi di lingkungan kementerian BUMN untuk dan atas nama Pemegang Saham/Menteri menandatangani kontrak manajemen sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama untuk masing-masing BUMN yang berada dibawah pembinaannya. Kelima: Keputusan ini mulai berlaku terhitung mulai tanggal ditetapkan.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
sasaran dan target yang ditetapkan tercapai. Hal ini dapat dilihat dari tingkat efisiensi yang dapat dicapai dan keuntungan yang berhasil diraih. Berkenaan dengan pengurusan BUMN oleh direksi kiranya relevan dan tepat untuk mengemukakan pendapat yang dikemukakan oleh Adam Smith yang mengatakan bahwa tujuan keadilan adalah untuk melindungi dari kerugian (the end of justice is to secure from injury). 28 Ajaran Smith itu menjadi dasar hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara hukum dan ekonomi. Smith mengatakan pula bahwa antara ekonomi dan politik mempunyai hubungan yang erat, yang pada gilirannya dikenal dengan istilah ekonomi-politik (political economy). Salah satu tujuan ekonomi politik menurut Smith adalah menyediakan sejumlah daya bagi negara atau pemerintah agar mampu menjalankan berbagai tugas dan fungsinya dengan baik, dimana ekonomi politik berusaha untuk merumuskan bagaimana untuk memakmurkan rakyat dan pemerintah sekaligus. 29 Sayangnya, pentingnya hukum dalam pembangunan kurang direspon oleh berbagai negara berkembang, dan menurut pengamatan Gunnar Myrdal 34 tahun lalu, negara-negara sedang berkembang cenderung memodernisasikan masyarakat dengan
28
A. Sonny Keraf, Pasar Bebas Keadilan Dan Peran Pemerintah, (Jakarta: Kanisius, 1996),
halaman 5. 29
Ibid.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
segera, tetapi landasan yang dipakainya adalah perundang-undangan yang main sikat (sweeping legislation). 30 2. Konsepsi Pemaknaan konsep terhadap istilah yang digunakan, terutama dalam judul penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikannya semata-mata kepada pihak lain, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga demi menuntun peneliti sendiri di dalam menangani rangkaian proses penelitian bersangkutan. 31 Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalahnya dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep sebenarnya adalah defenisi secara singkat dari kelompok fakta atau gejala. Maka konsep merupakan defnisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variabel-variabel yang lain menentukan adanya hubungan empiris. 32 Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefenisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi yang diuraikan sebagai berikut dibawah ini.
30
Gunnar Myrdal, The Challenge of World Poverty, (London: Pinguin Books, 1970), halaman
219. 31
Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), halaman 107-108. 32 Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), halaman 21.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
1. Tanggung jawab adalah kewajiban, wewenang dan hak yang melekat pada suatu kedudukan. 33 2. Hukum adalah kebenaran dan keadilan (le droit, c’est le juste et le vrai). 34 Hukum dalam penelitian ini dimaksudkan pada hukum tertulis yang berkaitan dengan pengurusan BUMN. 3. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan. 35 4. Direksi adalah organ BUMN yang bertanggung jawab atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN, serta mewakili BUMN baik di dalam maupun di luar pengadilan. 36 G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Adapun sifat penelitian dari tesis ini adalah deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan memberikan penjelasan tentang kedudukan, peran serta tanggung jawab hukum direksi dalam melakukan pengurusan BUMN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. 33
Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Ilmu, 2001), halaman 619. 34 Salah satu ungkapan yang dikemukakan oleh Victor Hugo, dalam B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), halaman 95. 35 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. 36 Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Penelitian yuridis normatif ini menggunakan metode pendekatan perundangundangan (statute approach) yang melakukan pengkajian peraturan perundangundangan dengan tema sentral penelitian. 2. Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) yaitu sebagai teknik untuk mendapatkan informasi melalui penelusuran peraturan perundang-undangan, bacaan-bacaan buku literatur dan sumber-sumber bacaan lain yang ada relevansinya dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas pada umumnya dan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN pada khususnya, seperti UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang ada kaitannya dengan bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya ilmiah, artikel, opini hukum dari para kalangan ahli hukum, dan jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan topik penelitian. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
3. Teknik Pengumpulan Data Sebagai penelitian yuridis normatif, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) yakni upaya untuk memperoleh data dari penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, majalah/jurnal hukum, koran, artikel online di halaman internet atau sumber lainnya. 4. Alat Pengumpulan Data Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen yakni mengumpulkan data sekunder guna dipelajari kaitannya dengan permasalahan yang diajukan. Data ini diperoleh dengan mempelajari buku-buku, hasil penelitian, dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek telaahan penelitian ini. 5. Analisis Data Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurut data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. 37 Analisis data dilakukan dengan mengumpulkan data, yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian dikelompokkan menurut permasalahan dan selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif. Analisis data secara kualitatif dengan pendekatan 37
Lexy J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), halaman 103.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
yuridis normatif dimaksudkan bahwa analisis tidak tergantung dari jumlah data berdasarkan angka-angka melainkan data yang dianalisis menurut norma-norma hukum tertentu dalam peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dari hasil analisis tersebut ditarik kesimpulan dengan menggunakan logika berpikir deduktif.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
BAB II KEDUDUKAN DAN PERAN DIREKSI DALAM PENGURUSAN BUMN
Mengenai kedudukan dan peran direksi tidak diatur secara tegas dan jelas dalam ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas maupun Undang-Undang BUMN. Tetapi yang jelas sebagai organ yang diberi tugas dan tanggung jawab dalam pengurusan perseroan, maka kedudukan dan peranan direksi dapat dikatakan sangat vital dan penting karena tanpa organ ini, suatu perseroan tidak mungkin menjalankan kegiatan usahanya dengan baik dan teratur. Sama halnya dengan organisasi non komersial seperti yayasan misalnya maka tanpa pengurus, suatu yayasan tidak mungkin dapat mencapai maksud dan tujuannya. Apalagi dalam suatu badan hukum yang mengelola kegiatan usaha tidak akan dapat berjalan tanpa ada organ yang mengendalikan dan mengurusnya. Ibarat mobil yang tidak ada supirnya, tidak mungkin dapat digerakkan sampai ketempat tujuan. Demikian halnya suatu perseroan tanpa keberadaan direksi, suatu perseroan tidak mungkin dapat dikelola dan diurus dengan baik. A. Kedudukan dan Peran Direksi Menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas Pada era sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diganti menjadi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, jelas bahwa hukum Indonesia tidak menganut teori fiduciary duty. Hal ini disebabkan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Indonesia
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
merupakan penjelmaan dari KUHD Belanda, dimana KUHD Belanda diambil dari Perancis setelah Code Napoleon. Sebagaimana diketahui bahwa Code Napoleon tidak mengakui adanya prinsip fiduciary duty atau trustee ini. Hubungan antara direksi dan perseroan yang dipimpinnya dalam sistem hukum Eropa Kontinental adalah hubungan keagenan atau pemberian kuasa. Jadi bukan hubungan fiduciary duty (fiduciary relation) yang menimbulkan fiduciary duty itu. Akan tetapi, setelah berlakunya UUPT, banyak teori maupun doktrin hukum yang semula tidak ada atau berlaku diadopsi dan diberlakukan di Indonesia, termasuk teori fiduciary duty ini yang juga ikut diberlakukan oleh UUPT. Fiduciary duty adalah tugas yang dijalankan oleh direktur dengan penuh tanggung jawab untuk kepentingan (benefit) orang atau pihak lain (perseroan). 38 Jadi disini terdapat confidential relation antara perseroan sebagai badan hukum dengan pengurus sebagai natural person, yang dibebankan tugas dan kewajiban berdasarkan fiduciary, yang dilaksanakan untuk kepentingan dan tujuan perseroan oleh karena itu direksi melakukan tugas dan kewajiban atau tindakan hukum dalam pengurusan perseroan berdasarkan kemampuan serta kehati-hatian (duty of skill and care) yang diperlukan untuk mewujudkan kepentingan dan tujuan perseroan. Dalam hal ini, pada akhirnya fiduciary juga bermanfaat bagi pemegang saham secara keseluruhan karena kepentingan perseroan adalah identik dengan
38
I.G. Rai Widjaya, Op.cit., halaman 64.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
kepentingan pemegang saham dan juga termasuk di dalamnya kepentingan stakeholders. Kewenangan pengurus perseroan diberikan oleh undang-undang kepada direksi untuk melakukan tindakan-tindakan hukum yang diperlukan atau kewenangan pengurusan dipercayakan kepada direksi dengan itikad baik senantiasa bertindak semata-mata demi kepentingan, maksud dan tujuan perseroan (duty of loyalty). Jika RUPS merupakan pembela kepentingan para pemegang saham, maka direksi, sebagai organ perseroan terbatas adalah mewakili kepentingan perseroan selaku subjek hukum mandiri. 39 Hal ini dikarenakan keberadaan perseroan terbatas adalah sebab keberadaannya (raison d’etre) direksi, karena apabila tidak ada perseroan terbatas, direksi juga tidak akan pernah ada. Ini yang menjadi alasan bahwa direksi harus selamanya mengabdi kepada kepentingan perseroan terbatas. Dengan perkataan lain, direksi wajib mengabdi kepada kepentingan semua pemegang saham, tetapi bukan mengabdi kepada kepentingan satu atau beberapa pemegang saham, direksi bukan wakil pemegang saham, tetapi merupakan wakil perseroan terbatas selaku personal standard in yudicio. Dalam hal direksi melakukan kesalahan atau kelalaian dalam mengurus perseroan yang berakibat menimbulkan kerugian bagi perseroan, pemegang saham yang memiliki minimal 10% (sepuluh persen) jumlah saham perseroan dengan hak 39
Direksi adalah organ/badan yang mewakili kepentingan perseroan dengan menjalankan perseroan untuk memimpin dan mengemudikan perseroan dengan kehendak RUPS.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
suara yang sah berhak mengajukan gugatan kepada pengadilan atas tindakan direksi yang merugikan perseroan. 40 Namun demikian, masuknya pengadilan terhadap masalah-masalah perseroan terbatas ada batasan dan kriterianya, yaitu pengadilan hanya boleh mencampuri urusan suatu perseroan terbatas antara lain jika terjadi tindakan yang menyebabkan kerugian secara tidak adil (unfair prejudice) terhadap pemegang saham, dalam hal ini terhadap para pemegang saham minoritas. Bertalian dengan hal ini, teori unfair prejudice ini akan berhadapan dengan doktrin hukum korporat yang dikenal dengan istilah business judgement rule. Menurut doktrin business judgement rule ini, suatu putusan bisnis dari direksi “… will not be challenge or liable for the consequences of their exercise of business judgement, even for the judgement that appeared to have clear mistakes, unless certain exceptions apply”. 41 Dengan demikian, doktrin business judgement rule merupakan salah satu kriteria terhadap pantas tidaknya pihak luar, termasuk pengadilan untuk mencampuri urusan perusahaan, khususnya urusan yang dilakukan oleh direksi. Salah satu variasi dari doktrin business judgement rule adalah apa yang disebut dengan prinsip internal management, yang mengajarkan bahwa pengadilan tidak dapat mencampuri keputusan-keputusan perseroan yang dilakukannya dalam 40
Pasal 97 ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Robert Charles Clark, Corporation Law, (Boston USA: Little Brown and Company), halaman 124, dalam Munir Fuady, Perlindungan Pemegang Saham Minoritas, (Bandung: CV Utomo, 2005), halaman 250. 41
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
ruang lingkup maksud dan tujuan perseroan tersebut, kecuali jika gugatan tersebut diajukan sendiri oleh perseroan. 42 Variasi yang lain adalah apa yang dikenal dengan prinsip irregularitas (irregularity principle), yakni suatu prinsip hukum yang mengajarkan bahwa para pemegang saham tidak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk mempermasalahkan keabsahan suatu keputusan yang telah diambil oleh direksi dengan alasan bahwa keputusan tersebut diambil tidak dengan formalitas yang ditentukan (informality) atau tidak teratur (irregularity), sedangkan maksud dan tujuan dari direksi dalam mengambil keputusan adalah jelas adanya. 43 Berkenaan dengan doktrin seperti yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa kewenangan direksi dalam mengurus dan mengelola kegiatan perseroan tidak dapat diintervensi oleh pihak eksternal termasuk aparat penegak hukum maupun pengadilan, kecuali organ perseroan lainnya (pemegang saham atau RUPS) menyerahkan permasalahan yang ada di dalam perseroan kepada aparat penegak hukum atau pengadilan. Prinsip-prinsip kepengurusan direksi berdasarkan ketentuan baik yang diatur dalam ketentuan UUPT maupun UU BUMN tidaklah berbeda, yaitu: a. Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas kepengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili 42
Stephen W. Mayson, et.al., Company Law, (London: Blackstone Press Limited, 1998), halaman 575, dalam Munir Fuady, Ibid., halaman 251. 43 Ibid.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar (Pasal 92 ayat (1), Pasal 97 ayat (1) dan Pasal 98 ayat (1) UUPT). b. Direksi adalah organ BUMN yang bertanggung jawab penuh atas kepengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN, serta mewakili BUMN baik di dalam maupun di luar pengadilan (Pasal 5 UU BUMN). c. Kewenangan kepengurusan direksi tidak dapat dibagi dengan organ lainnya (komisaris) sehingga setiap tindakan direksi yang dijalankan dengan itikad baik tidak perlu diikat dengan adanya persetujuan komisaris. Hal ini berarti direksi memiliki kekuasaan dan kemandirian dalam menjalankan tugas pengurusan BUMN. Oleh karena itu organ lain (RUPS dan komisaris) dan/atau instansi/lembaga pemerintah tidak boleh campur tangan (intervensi) dalam pengurusan BUMN. Adapun tugas dan wewenang direksi menurut Pasal 92 ayat (1) UUPT, pengurusan perseroan terbatas dipercayakan kepada direksi. 44 Lebih jelasnya Pasal 97 ayat (1) dan Pasal 98 ayat (1) UUPT menyatakan, bahwa direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Atas pengurusan direksi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa direksi ditugaskan dan berwenang untuk hal-hal sebagai berikut: 44
Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
a. Mengatur atau mengelola kegiatan-kegiatan perseroan terbatas. b. Mengurus kekayaan perseroan. c. Mewakili perseroan di dalam dan di luar pengadilan. Pasal 97 UUPT menetapkan bahwa: (1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1); (2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab; (3) Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2); (4) Dalam hal direksi terdiri atas 2 (dua) anggota direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi; (5) Anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut; (6) Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan; (7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota direksi lain dan/atau anggota dewan komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama perseroan. Tugas direksi dalam mengatur atau mengelola kegiatan-kegiatan usaha perseroan dan mengurus perseroan terbatas di atas tidak dapat dipisahkan dalam hal perseroan terbatas karena pengurusan kekayaan perseroan terbatas harus menunjang
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
terlaksananya kegiatan usaha perseroan terbatas. Dengan ini direksi hanya mempunyai 2 (dua) tugas yaitu, pengelolaan dan perwakilan perseroan terbatas. Untuk pelaksanaan kedua tugas direksi itu perlu menjadi perhatian bahwa pengelolaan perseroan terbatas pada hakekatnya adalah tugas dari semua direksi tanpa kecuali (collegiate bestuur verant woordelijkheid). Direksi yang juga disebut sebagai pengurus perseroan adalah alat perlengkapan perseroan yang melakukan semua kegiatan perseroan dan mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dengan demikian bahwa ruang lingkup tugas direksi adalah mengurus perseroan. Menurut teori organisme 45 dari Otto Van Gierke, pengurus adalah organ atau alat perlengkapan dari badan hukum. Sama halnya seperti manusia yang mempunyai organ-organ tubuh misalnya, kaki, tangan dan lain sebagainya itu geraknya diperintah oleh otak manusia demikian pula gerak dari organ badan hukum diperintah oleh badan hukum itu sendiri, sehingga pengurus adalah personifikasi dari badan hukum itu. Di dalam penjelasan Pasal 92 ayat (1) UUPT dikatakan bahwa tugas direksi dalam mengurus perseroan antara lain meliputi pengurusan sehari-hari dari perseroan. Apa yang dimaksud dengan pengurusan sehari-hari tidak ada penjelasan lebih lanjut secara resmi. Oleh karena itu harus dilihat dalam anggaran dasar apa yang dimaksud dengan pengurusan sehari-hari itu, walaupun tidak mungkin disebut secara rinci dalam anggaran dasar perseroan itu. 45
Otto Van Gierke, Teori Organisme, dalam Nindyo Pramono, Sertifikasi Saham PT Go Publik Dan Hukum Pasar Modal Di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), halaman 86.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
B. Kedudukan dan Peran Direksi Menurut Undang-Undang BUMN Mengurus perseroan (BUMN) semata-mata adalah tugas direksi yang tidak dapat dicampuri pihak manapun selain organ BUMN. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 91 UU BUMN yang menyatakan “Selain organ BUMN, pihak lain mana pun dilarang campur tangan dalam pengurusan BUMN. 46 Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU BUMN menyatakan bahwa pengurusan BUMN dilakukan oleh direksi. Demikian pula Pasal 92 ayat (1), Pasal 97 ayat (1) dan Pasal 98 ayat (1) UUPT mengatakan hal yang sama bahwa pengurusan perseroan dilakukan oleh direksi. Pasal 26 ayat (1) dan (2) serta Pasal 27 ayat (1) dan (2) PP Nomor 45 Tahun 2005 yang mengatur lebih lanjut tugas dan wewenang direksi hanya menyatakan sebagai berikut: Pasal 26 menyatakan sebagai berikut: (1) Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN serta mewakili BUMN baik di dalam maupun di luar pengadilan; (2) Dalam melaksanakan tugasnya, direksi wajib mencurahkan perhatian dan pengabdiannya secara penuh pada tugas, kewajiban dan pencapaian tujuan BUMN. 47 Pasal 27 selanjutnya menyatakan: (1) Setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha BUMN; 46
Dalam penjelasan Pasal 91 UU BUMN disebutkan agar supaya direksi dapat melaksanakan tugasnya secara mandiri, pihak-pihak luar manapun, selain organ BUMN tidak diperbolehkan ikut campur terhadap pengurusan BUMN. Termasuk dalam pengertian campur tangan adalah tindakan atau arahan yang secara langsung memberi pengaruh terhadap tindakan pengurusan BUMN atau terhadap pengambilan keputusan oleh direksi. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mempertegas kemandirian BUMN sebagai badan usaha agar dapat dikelola secara profesional sehingga dapat berkembang dengan baik sesuai dengan tujuan usahanya. Hal ini berlaku pula bagi departemen dan instansi pemerintah lainnya karena kebutuhan dana departemen dan instansi pemeritah lainnya telah diatur dan ditetapkan secara tersendiri. Departemen dan instansi pemerintah tidak dibenarkan membebani BUMN dengan segala bentuk pengeluaran dan sebaliknya BUMN tidak dibenarkan membiayai keperluan pengeluaran departemen dan instansi pemerintah dalam pembukuan. 47 Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 Tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran BUMN.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
(2) Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 48 Namun dalam Pasal 30 PP Nomor 45 Tahun 2005 ditegaskan bahwa tugas dan wewenang direksi diatur lebih lanjut dalam anggaran dasar BUMN. 49 Dengan demikian untuk mengetahui lebih lanjut tugas dan wewenang direksi dapat dilihat pengaturannya lebih lanjut dalam anggaran dasar masing-masing BUMN. Pada dasarnya setiap anggaran dasar perseroan (BUMN) mengatur tentang batas wewenang direksi dalam mengurus dan mengelola kegiatan perseroan. Adapun perbuatan direksi yang diatur dalam anggaran dasar masing-masing perseroan disesuaikan dengan bidang usahanya. C. BUMN Persero 1. Pengertian dan Peran BUMN Persero BUMN Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. 50 Dari defenisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa unsur yang menjadikan suatu perusahaan dapat dikategorikan sebagai BUMN Persero, yaitu:
48
Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 Tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran BUMN. 49 Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 Tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran BUMN. 50 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
a. Badan usaha atau perusahaan tersebut berbentuk perseroan terbatas; b. Modal badan usaha tersebut seluruhnya atau sebagian besar dimiliki oleh Negara. Jika modal tersebut tidak seluruhnya dikuasai negara, maka agar tetap dikategorikan sebagai BUMN Persero, negara minimum menguasai 51 % (lima puluh satu persen) modal tersebut; c. Di dalam usaha tersebut, negara melakukan penyertaan secara langsung. Penyertaan modal negara pada BUMN Persero yang berasal dari APBN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; d. Modal penyertaan tersebut berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Kekayaan negara yang dipisahkan disini adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN. Setelah itu pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya pada prinsipprinsip perusahaan yang sehat. Kekayaan negara yang dipisahkan yang diinvestasikan kepada BUMN Persero direksi sebagai organ yang vital untuk melakukan pengurusan bertanggung jawab penuh atas operasional perusahaan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan perusahaan maka direksi wajib mempertanggungjawabkan melalui mekanisme RUPS. Direksi mempunyai kewajiban menyampaikan laporan tahunan yang memuat antara lain neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas dan kegiatan persero lainnya kepada RUPS. Mekanisme pertanggungjawaban melalui RUPS ini
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
adalah resiko bagi pemerintah yang memilih investasinya melakukan kegiatan usaha BUMN Persero oleh karena BUMN Persero adalah merupakan perseroan terbatas. BUMN sebagai salah satu pelaku ekonomi, disamping swasta, memegang peranan yang penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat, 51 khususnya BUMN yang berbentuk persero oleh karena tujuan utamanya adalah mengejar keuntungan. 52 Kedudukan BUMN Persero dilihat dari tahap perkembangan pada awalnya lebih banyak berperan sebagai Agent of Development. Dalam konteks peran BUMN sebagai Agent of Development, negara mendorong berkembangnya sektor-sektor usaha di masyarakat. Di satu sisi, peran ini berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan rakyat banyak, disisi lain peran ini mendorong dan mendampingi masyarakat dan swasta untuk mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhannya.
53
Satu realita lagi yang patut kita cermati dalam
peran BUMN sebagai agen pembangunan adalah tanggung jawab moral BUMN untuk melakukan efisiensi (karena beban tenaga kerja) yang mungkin harus melakukan rasionalisasi. 54 Fase kedua dalam pengembangan BUMN adalah tahap transisi. Dalam tahap ini BUMN harus sudah mulai melepas demi sedikit fungsi agen of development dan mulai mengarah pada orientasi bisnis, tetapi tetap menggendong sebagian tugas-tugas dan kewajiban negara yang dinamakan Public Services Obligation (PSO) atau 51
Pertimbangan latar belakang Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. 53 Pandu Djayanto, Sekilas Tentang Peran, Fungsi, dan Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Newsletter Hukum & Perkembangannya, Nomor 70, September 2007, halaman 12. 54 Ibid., halaman 13. 52
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
pelayanan publik. 55 Sektor-sektor yang masih ada pelayanan publiknya adalah sektorsektor yang tidak popular, tidak mempunyai sifat komersial dan faktor resiko yang tinggi, dan pihak swasta atau warga negara belum berminat untuk mengerjakannya. Jadi sektor-sektor yang mesti harus ada pelayanan publiknya adalah sektor yang merupakan kebutuhan pokok, yang menjadi bagian dari kehidupan warga negara yang belum dilakukan kegiatannya oleh masyarakat/usaha swasta. Setelah masa transisi (bila) dapat dilewati, kemungkinan dapat memperkenalkan konsep bisnis yang membangun pilar-pilar yang dapat meningkatkan value, kini saatnya bagi negara untuk melakukan reposisi BUMN. Saat fase inilah BUMN Persero berkedudukan tampil sebagai pelaku bisnis profesional yang memenuhi amanat undang-undang untuk mengejar kentungan.
Sebagai BUMN Persero yang modal seluruhnya atau sebagian merupakan
penyertaan modal negara maka peranannya tidak terlepas untuk melakukan PSO tersebut dibatasi secara ketat oleh peraturan perundangan dengan memperhatikan sifat usaha BUMN Persero, yaitu untuk mengejar keuntungan. Kewajiban pelayanan umum dilakukan oleh pemerintah sebagai pemegang saham melalui mekanisme RUPS dengan memberikan penugasan khusus kepada BUMN Persero untuk menyelenggarakan
PSO. 56
Sementara
untuk
keperluan
pembinaan
usaha
kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN dapat dilakukan dengan menyisihkan sebagian laba bersih dengan keputusan Menteri. Dalam batas kepatutan 55 56
Ibid. Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
BUMN Persero dapat memberikan donasi untuk amal atau tujuan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sejauh mana operasional di lapangan sangat tergantung pada kemampuan pemerintah dalam mengendalikan BUMN Persero melalui mekanisme RUPS. Bila seluruh saham dimiliki oleh pemerintah maka pemerintah bertindak selaku RUPS (pemegang saham tunggal) dan dapat sepenuhnya mengendalikan BUMN Persero, demikian sebaliknya. 2. BUMN Persero Merupakan Perseroan Terbatas BUMN sebagai subyek hukum (recht person) merupakan suatu entitas bisnis yang mandiri, dapat melakukan aktivitas bisnis jual beli, sewa menyewa, dan aktivitas bisnis lainnya layaknya subyek hukum manusia (naturlijke person). BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. 57 BUMN terdiri dari persero dan perum. 58 Pasal 1 angka 2 UndangUndang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, menyatakan: yang dimaksud dengan perusahaan perseroan, yang selanjutnya disebut persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Persero sebagai suatu badan usaha berbentuk perseroan terbatas dalam gerak 57 58
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
operasionalnya tunduk pada pengaturan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milk Negara, anggaran dasar dan ketentuan peraturan perundangan lainnya. 59 Dalam penjelasan Pasal 3 UU BUMN dikatakan yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan lainnya adalah ketentuan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas termasuk perubahannya jika ada (telah diganti Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas) dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundang-undangan sektoral yang mengatur bidang usaha BUMN dan swasta yang dikeluarkan oleh departemen/lembaga non departemen. 3. Organ BUMN Persero Organ BUMN Persero sama seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, oleh karena BUMN Persero pada hakekatnya adalah Perseroan Terbatas, 60 yaitu meliputi RUPS, Direksi, dan Dewan Komisaris. 61 Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan di dalam maupun di luar 59
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. 61 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. 60
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Sementara itu yang dimaksud dengan Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberikan nasehat kepada direksi.62 Perbedaan antara Organ Perseroan Terbatas dengan Organ BUMN Persero terletak pada pemegang sahamnya. Pada BUMN Persero pemerintah dapat bertindak selaku RUPS apabila seluruh sahamnya dimiliki oleh negara, sementara apabila pemerintah terlibat dalam Penyertaan Modal Negara (PMN) sebagian, maka kedudukan pemerintah adalah sebagai salah satu pemegang saham. Seberapa besar pengaruh pemerintah dalam mengendalikan BUMN Persero tentunya dipengaruhi oleh seberapa besar peran pemerintah dalam PMN (dibuktikan dengan jumlah kepemilikan saham). Semakin besar peran pemerintah dalam PMN maka semakin berperan pula dalam mengendalikan perusahaan. Dalam forum RUPS, pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan segala kegiatan perseroan mulai dari direksi dan/atau dewan komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan perseroan. 63
62
Pasal 1 angka 4, 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas. 63
Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
D. Kekayaan Negara dan Modal Persero 1. Pengertian Kekayaan Negara Cakupan kekayaan negara sebagi suatu aset negara begitu luas ruang lingkupnya yang secara umum meliputi dua hal, yaitu barang yang dikuasai oleh negara (domain publik) dan yang dimiliki oleh negara (domain privat). Barang milik negara sebagai domain publik tersebut bersumber dari Konstitusi Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) amandemen keempat. Untuk domain publik pengaturannya bersumber dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 amandemen keempat, yang menyatakan: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Yang dimaksud dengan barang “dikuasai” negara sebagaimana diatur Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 amandemen keempat tersebut utamanya dalam bentuk kemampuan untuk melakukan kontrol dan pengaturan serta memberikan pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada azas kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengaturan ini berdasarkan anggapan bahwa pemerintah adalah merupakan perpanjangan tangan dari negara sebagai pemegang mandat untuk melaksanakan kehidupan kenegaraan di Indonesia. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2001 Tentang Pengamanan Dan Pengalihan Barang Milik/Kekayaan Negara Dari Pemerintah Pusat Kepada Pemerintah Daerah Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah, menyatakan: Barang Milik/Kekayaan Negara yang selanjutnya disebut BM/KN
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
adalah barang bergerak/barang tidak bergerak yang dimiliki/dikuasai oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruhnya dibeli atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau dengan perolehan lain yang sah, yang tidak termasuk kekayaan negara yang dipisahkan (dikelola Badan Usaha Milik Negara) dan kekayaan Pemerintah Daerah. Pengertian kekayaan negara dalam rumusan Pasal 1 angka 1 PP Nomor 2 Tahun 2001 tersebut tidak membedakan antara barang yang dimiliki dengan yang dikuasai oleh instansi pemerintah, namun cakupannya kemudian dipersempit melalui perolehan (acquisition) yaitu yang sebagian atau seluruhnya dibeli atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau dengan perolehan lain yang sah, yang tidak termasuk kekayaan negara yang dipisahkan (dikelola Badan Usaha Milik Negara). Sedangkan cakupan domain privat adalah yang diluar yang dikuasai oleh negara yang dimiliki oleh negara. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah menyatakan, barang “milik” negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau perolehan lain yang sah. Adapun cakupan barang milik negara/daerah meliputi 64 barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/APBD dan barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah, yang meliputi:
64
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
a. Barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis; b. Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak; c. Barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang; atau d. Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Sementara itu pihak aparat penegak hukum Kejaksaan Agung melalui pernyataan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Hendarman Supanji 65 menjelaskan pengertian kekayaan negara terkait dengan unsur dapat merugikan keuangan negara dan perekonoman negara, Hendarman menegaskan, kekayaan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, baik yang dipisahkan maupun tidak. Termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang berada dalam pengawasan BUMN. Jadi aset-aset BUMN termasuk dalam kekayaan negara yang harus dilindungi dari korupsi.
65
Harian Media Indonesia, tanggal 4 April 2006.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
2. Pengertian Keuangan Negara Dari penelusuran tentang pengertian keuangan negara tidak ditemukan satu pengertian yang dapat diterima bagi semua kalangan. Sebagai pedoman ada beberapa definisi tentang keuangan negara dapat dikelompokkan: 66 a. Definisi ilmiah 1. Menurut M. Ichwan Keuangan negara adalah rencana kegiatan secara kualitatif (dengan angkaangka di antaranya diwujudkan dalam jumlah mata uang), yang akan dijalankan untuk masa mendatang, lazimnya satu tahun mendatang. 2. Menurut Geodhart Keuangan negara merupakan keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara
periodik
yang
memberikan
kekuasaaan
pemerintah
untuk
melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut. Unsurunsur keuangan negara menurut Geodhart meliputi: Periodik; Pemerintah sebagai pelaksana anggaran; Pelaksanaan anggaran mencakup dua wewenang, yaitu wewenang pengeluaran dan wewenang untuk menggali sumber-sumber pembiayaan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran yang bersangkutan; Dan bentuk anggaran negara adalah berupa suatu undang-undang.
66
W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, (Jakarta: Grasindo, 2006), halaman 1.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
3. Menurut Glenn A. Welsch Budget adalah suatu bentuk statement dari rencana dan kebijaksanaan manajemen yang dipakai dalam suatu periode tertentu sebagai petunjuk atau blue print dalam periode itu. 4. Menurut John F. Due Budget adalah suatu rencana keuangan untuk suatu periode waktu tertentu. Government Budget (anggaran belanja pemerintah) adalah suatu pernyataan mengenai pengeluaran atau belanja yang diusulkan dan penerimaan untuk masa mendatang bersama dengan data pengeluaran dan penerimaan yang sebenarnya untuk periode mendatang dan periode yang telah lampau. Unsurunsur definisi John F. Due menyangkut hal-hal berikut: a. Anggaran belanja yang memuat data keuangan mengenai pengeluaran dan penerimaan dari tahun-tahun yang sudah lalu; b. Jumlah yang diusulkan untuk tahun yang akan datang; c. Jumlah taksiran untuk tahun yang sedang berjalan; d. Rencana keuangan tersebut untuk suatu periode tertentu. 5. Menurut Otto Ekstein Anggaran belanja adalah suatu pernyataan rinci tentang pengeluaran dan penerimaan pemerintah untuk waktu satu tahun.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
6. Menurut Van der Kemp Keuangan negara adalah semua hak yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu (baik berupa uang maupun barang) yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan hak-hak tersebut. 7. Seminar ICW tanggal 30 Agustus-September 1970 di Jakarta, antara lain, merekomendasikan pengertian keuangan negara adalah semua hak kewajiban yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu, baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pengertian keuangan Negara sebagai salah satu rekomendasi seminar ICW tersebut dinilai mendekati pengertian keuangan negara menurut Van der Kemp. b. Definisi Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pengertian keuangan negara menurut UUD 1945 dengan melakukan penafsiran dogmatis dan penafsiran restriktif, 67 dengan menghubungkan Pasal 23 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), yang dimaksudkan dengan keuangan negara tidak lain adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
67
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jilid I, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), halaman 39, menyatakan: Penafsiran dogmatis penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undangundang itu maupun dengan undang undang yang lain, Penafsiran restriktif, memberi tafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan itu..
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Untuk dapat memahami keuangan negara Arifin P. Soeria Atmadja 68 memberikan tiga interpertasi terhadap Pasal 23 UUD 1945, yaitu: 1. “…pengertian keuangan negara diartikan secara sempit dan untuk itu dapat disebutkan sebagai keuangan negara yang bersumber pada APBN, sebagai suatu sub-sistem dari suatu sistem keuangan negara dalam arti sempit.” Jika didasarkan pada rumusan tersebut, keuangan negara adalah semua aspek yang tercakup dalam APBN yang diajukan oleh pemerinah kepada DPR setiap tahunnya. Dengan kata lain APBN merupakan deskripsi dari keuangan negara dalam arti sempit, sehingga pengawasan terhadap APBN juga merupakan pengawasan terhadap keuangan negara. 2. Berkaitan dengan metode sistematik dan historis yang menyatakan,” ...keuangan negara dalam arti luas, yang meliputi keuangan negara yang berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakikatnya seluruh harta kekayaan negara, sebagai suatu sistem keuangan negara…”. Makna tersebut mengandung pemahaman keuangan negara dalam arti luas, adalah segala sesuatu kegiatan atau aktivitas yang berkaitan erat dengan uang yang diterima atau dibentuk berdasarkan hak istimewa negara untuk kepentingan publik. Pemahaman tersebut kemudian lebih diarahkan pada dua hal, yaitu hak dan kewajiban negara yang timbul dan makna Keuangan Negara. Adapun yang dimaksud dengan hak tersebut adalah hak menciptakan uang; hak mendatangkan hasil, hak melakukan pungutan, hak meminjam, dan hak memaksa. Adapun kewajiban adalah kewajiban menyelenggarakan tugas negara demi kepentingan masyarakat, dan kewajiban membayar hak-hak tagihan pihak ketiga berdasarkan hubungan hukum atau hubungan hukum khusus. 3. Melalui “pendekatan sistematik dan teologis atau sosiologis terhadap keuangan negara yang dapat memberikan penafsiran yang relatif lebih akurat sesuai dengan tujuannya.” Maksudnya adalah, “Apabila tujuan menafsirkan keuangan negara tersebut dimaksudkan untuk mengetahui sistem pengurusan dan pertanggungjawabannya, maka pengertian keuangan negara apabila pendekatannya dilakukan dengan menggunakan cara penafsiran sistematis dan teologis untuk mengetahui pengertian keuangan negara dalam arti luas, yakni termasuk didalamnya keuangan yang berada dalam APBN, APBD, BUMN/BUMD dan pada hakikatnya seluruh kekayaan negara merupakan objek pemeriksaan dan pengawasan”.
68
Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum Praktik dan Kritik, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), halaman 95.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
c. Definisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Pasal 1 angka 1 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam penjelasan undang-undang tersebut pada pengertian dan ruang lingkup keuangan negara dikemukakan bahwa pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara adalah: 1. Dari sisi objek keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter, dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu, baik berupa uang, maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. 2. Dari sisi subyek keuangan negara meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut diatas yang dimiliki negara dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. 3. Dari sisi proses keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut diatas mulai dari perumusan
kebijakan
dan
pengambilan
keputusan
sampai
dengan
pertanggungjawaban.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
4. Dari sisi tujuan keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek
sebagaimana
tersebut
diatas
dalam
rangka
penyelenggaraan
pemerintahan negara. Terlihat bahwa definisi keuangan negara seperti yang disebutkan dalam UU Keuangan Negara, lebih dekat dengan definisi yang pernah diberikan dalam seminar ICW tanggal 30 Agustus s/d 5 September 1970 di Jakarta. Definisi yang dianut oleh UU Keuangan Negara menggunakan pendekatan luas, dengan tujuan terdapat perumusan definisi keuangan negara secara cermat dan teliti untuk mencegah terjadinya multiinterpretasi dalam segi pelaksanaan anggaran, agar tidak terjadi kerugian negara sebagai akibat kelemahan dalam perumusan perundang-undangan memperjelas proses penegakan hukum apabila terjadi mal administrasi dalam pengelolaan keuangan negara. 69 d. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara Terkait dengan pengertian keuangan negara, Undang-Undang 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 angka 1 menyatakan: Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan yang ditetapkan dalam APBN dan APBD.
69
W. Riawan Tjandra, Op.Cit., halaman 4.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
e. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara, pada Pasal 3 ayat (1) menyatakan: Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, pengertian keuangan negara menjadi sangat luas tidak hanya meliputi APBN, APBD, kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN/BUMD, termasuk juga kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Dari definisi-definisi tersebut diatas dapat ditarik benang merah bahwa pengertian keuangan negara meliputi dua hal yaitu: 1. Pengertian keuangan negara dalam arti sempit hanya meliputi APBN. Dalam konteks penyertaan modal negara pada BUMN Persero, keuangan negara masuk pada pengertian kekayaan negara yang dipisahkan dari mekanisme pelaksanaan APBN, selanjutnya menjadi bagian domain privat pengaturan dan pertangungjawaban selanjutnya didasarkan pada mekanisme hukum korporasi. 2. Pengertian keuangan negara dalam arti luas meliputi kekayaan negara yang dipisahkan sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 Undang-
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. 3. Penyertaan Modal Negara Pada BUMN Persero BUMN Persero merupakan perseroan terbatas 70 oleh karena itu pengaturan tentang modal juga tunduk pada prinsip-prinsip hukum korporasi. Dalam UUPT menyatakan bahwa modal dasar perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham dalam perseroan. 71 Pada BUMN Persero modal yang disertakan oleh pemerintah merupakan dan berasal dari kekayan negara yang dipisahkan. Penyertaan negara dalam rangka pendirian atau penyertaan modal pada BUMN Persero salah satunya bersumber dari APBN, selain dari kapitalisasi cadangan, dan sumber lainnya. 72 Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya. 73 Penyertaan modal negara pada BUMN diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas. Penyertaan Modal Negara adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN atau penetapan cadangan perusahaan, dan dikelola secara korporasi. Sumber penyertaan modal negara pada 70
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. 72 Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. 73 Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. 71
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
BUMN tersebut berasal dari APBN, kapitalisasi cadangan, dan/atau sumber lainnya. Sumber penyertaan modal negara yang berasal dari APBN berupa dana segar, proyek-proyek yang dibiayai dari APBN, piutang negara pada BUMN atau perseroan terbatas serta aset-aset negara lainnya berupa keuntugan revaluasi aset dan/atau agio saham. Setiap penyertaan modal negara atau penambahan penyertaan modal kedalam BUMN atau perseroan terbatas yang berasal dari APBN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 74 Untuk mewujudkan tertib administrasi dan tertib hukum dalam setiap penyertaan modal negara pada BUMN dan perseroan terbatas dilakukan penatausahaan untuk mengetahui posisi modal negara pada BUMN dan perseroan terbatas. Mengingat modal negara pada BUMN dan perseroan terbatas merupakan bagian dari kekayaan negara yang dikenal sebagai kekayaan negara yang dipisahkan, maka penatausahaannya dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku menteri yang mempunyai kewenangan melakukan penatausahaan kekayaan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 75 Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas menyatakan: Setiap penyertaan dan penambahan penyertaan 74
Pasal 2 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas. 75 Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
modal negara yang dananya berasal dari APBN dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang keuangan negara. Mengikuti ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas tersebut terdapat inkonsistensi terhadap pengertian penyertaan modal negara pada BUMN karena pengertian penyertaan modal negara pada BUMN menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan
Negara
dan
Undnag-Undang
Nomor
1
Tahun
2004
Tentang
Perbendaharaan Negara termasuk dalam lingkup pengertian kekayaan negara. 76 Inkonsistensi tersebut diluruskan kembali oleh Peraturan Pelaksana dari Menteri Keuangan yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan Pemanfaatan, Pemindah Tanganan Barang Milik Negara. Dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan penyertaan modal pemerintah pusat adalah pengalihan kepemilikan barang milik negara yang semula merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan negara yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham negara pada BUMN, BUMD, atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara/daerah. Tujuan dilakukannya penyertaan modal pemerintah pusat dalam rangka pendirian, pengembangan, dan peningkatan kinerja BUMN/BUMD atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara/daerah, dengan pertimbangan barang 76
Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
milik negara tersebut akan lebih optimal apabila dikelola oleh BUMN/BUMN atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara/daerah, baik yang sudah ada maupun yang akan dibentuk. Pihak-pihak yang dapat menerima penyertaan modal pemerintah pusat adalah: Badan Usaha Milik Negara (BUMN); Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); dan Badan Hukum lainnya yang dimiliki negara/daerah. Pelaksanaan penyertaan modal pemerintah pusat atas barang milik negara yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk disertakan sebagai penyertaan modal pemerintah pusat, terlebih dahulu harus diaudit oleh aparat pengawas fungsional pemerintah untuk menentukan kewajaran barang milik negara yang akan disertakan sebagai penyertaan modal pemerintah pusat dibandingkan realisasi pelaksanaan kegiatan anggaran. Dalam pelaksanaan penyertaan modal pemerintah pusat, pengelola barang dapat mempersyaratkan adanya pernyataan tidak keberatan dari pemegang saham atau instansi yang dianggap kompeten mewakili pemegang saham. Persyaratan tersebut tidak diperlukan untuk penyertaan modal pemerintah pusat atas barang milik negara yang dari awal pengadaannya telah direncanakan untuk penyertaan modal pemerintah pusat. Setiap penyertaan modal pemerintah pusat atas barang milik negara ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Pengajuan rancangan peraturan pemerintah penetapan penyertaan modal pemerintah pusat kepada Presiden dilakukan oleh pengelola barang. Semua biaya yang timbul dari pelaksanaan penyertaan modal pemerintah pusat dibebankan pada penerima penyertaan modal pemerintah pusat.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
4. Pemisahan Kekayaan Negara Pada BUMN Persero Persepsi bahwa BUMN menjadi bagian dari keuangan negara tidak bisa diabaikan begitu saja, karena persepsi itu sudah merasuk dan menjadi pendapat stakeholder terutama aparat penegak hukum. Dalam yurisprudensi berbagai keputusan-keputusan pengadilan, aparat penegak hukum seperti jaksa dan pemeriksa, mereka sependapat bahwa BUMN merupakan bagian dari keuangan negara. Opini para penegak hukum tersebut bukan tanpa dasar. Erman Rajagukguk 77 menambahkan bahwa dalam kenyataannya sekarang ini tuduhan korupsi juga dikenakan terhadap tindakan direksi BUMN dalam transaksi-transaksi yang didalilkan dapat merugikan negara. Dapat dikatakan telah terjadi salah pengertian dan penerapan apa yang dimaksud dengan keuangan negara. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara menyatakan: Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan mlik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Sementara itu sehubungan dengan ruang lingkup keuangan negara pada Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara yang berbunyi: “kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat 77
Erman Rajagukguk, Nyanyi Sunyi Kemerdekaan Menuju Indonesia Negara Hukum Demokrati, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, 2006), halaman 9.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah”. Dalam penjelasan Undang-Undang Keuangan Negara berkaitan dengan pengertian dan ruang lingkup keuangan negara dijelaskan sebagai berikut: “Pengertian yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut diatas dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut diatas dalam rangka pemerintahan negara. Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan”.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, menyatakan: Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. Pasal 3 ayat (1) UndangUndang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, menyatakan: Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200,000,000.- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1,000,000,000.- (satu milyar rupiah). Sementara itu dalam penjelasan undang-undang tersebut lebih lanjut dijelaskan, bahwa dalam undang-undang ini dimaksud untuk menggantikan UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara khususnya serta masyarakat pada umumnya. Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; b. Berada
dalam
penguasaan,
pengurusan
dan
pertanggungjawaban
BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. Berdasarkan pasal-pasal tersebut aparat penegak hukum Polisi, Jaksa, dan BPK selaku pemeriksa, bertindak memeriksa Direksi BUMN Persero apabila ada dalam transaksi bisnisnya mengalami kerugian karena ini merupakan indikasi awal akan adanya potensi kerugian negara, Dalam konsepsi yang demikian keuangan negara yang dipisahkan sebagai penyertaan modal pada BUMN Persero adalah merupakan bagian dari kekayaan negara. Oleh karena itu apabila Direksi BUMN Persero dalam mengelola perusahannya mengalami kerugian berpotensi merugikan keuangan negara. Persepsi ini masih dijadikan pedoman oleh aparat penegak hukum atas dasar perundang-undangan tersebut diatas.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Namun demikian permasalahan menjadi lain sejak diundangkannya UndangUndang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Dalam Pasal 1 angka 1 UU BUMN dijelaskan yang dimaksud dengan Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. BUMN terdiri Persero dan Perum. 78 Selanjutnya Pasal 1 angka 2 UU BUMN menyatakan: Perusahaan perseroan, yang selanjutnya disebut persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. BUMN Persero sebagai perseroan terbatas merupakan entitas bisnis yang memiliki kedudukan mandiri terlepas dari orang atau badan hukum lain dari orang yang mendirikannya, pengaturannya tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Modal BUMN Persero berasal dari kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN dan selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak didasarkan pada sistem APBN melainkan didasarkan pada mekanisme korporasi melalui prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang sehat. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, menyatakan: 78
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
(1) Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan; (2) Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari: a. Anggaran Pendapatan Belanja Negara; b. Kapitalisasi cadangan; c. Sumber lainnya. Penyertaan atas modal saham itu sendiri menurut Pasal 34 ayat (1) UUPT dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya. Secara yuridis, modal yang disertakan ke dalam perseroan bukan lagi menjadi kekayaan orang menyertakan modal, tetapi menjadi kekayaan perseroan itu sendiri. Di sini terjadi pemisahan kekayaan antara kekayaan pemegang saham dan perseroan. Dengan karakteristik yang demikian, tanggung jawab pemegang saham atas kerugian atau utang perseroan juga terbatas. Utang atau kerugian tersebut semata-mata dibayar secukupnya dari harta kekayaan yang tesedia dalam perseroan. 79 Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU BUMN dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Ayat (2) huruf a: Termasuk dalam APBN yaitu meliputi pula proyek-proyek APBN yang 79
Ridwan Khairandy, Konsepsi Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Dalam Perusahaan Perseroan, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 26-No.1/2007, halaman 35.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
dikelola oleh BUMN dan/atau piutang negara pada BUMN yang dijadikan sebagai penyertaan modal negara. Pemerintah sendiri (dalam hal ini Departemen Keuangan) masih ada kegamangan menyangkut penyertaan modal pemerintah pada BUMN Persero sebagai bagian dari kekayaan negara, terutama dengan adanya piutang-piutang beberapa bank plat merah (antara lain BNI, Bank Mandiri, BRI merupakan BUMN Persero) yang macet tidak dapat ditagih dari para penanggung hutang (debitur). Atas dasar ketentuan Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara, Pasal 8 menyatakan bahwa: “piutang negara atau hutang kepada negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun” dan dalam penjelasannya dikatakan bahwa piutang negara meliputi pula piutang badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik negara, misalnya bank-bank negara, perseroan terbatas negara, perusahaan-perusahaan negara, yayasan perbekalan dan persediaan, yayasan urusan bahan makanan dan sebagainya, serta Pasal 12 ayat (1) undang-undang yang sama mewajibkan instansi-instansi pemerintah dan badan-badan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 untuk menyerahkan piutang-piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Kemudian Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, menyatakan: bahwa
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
penghapusan secara bersyarat dan penghapusan secara mutlak piutang perusahaan negara/daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berikutnya Pasal 20 menyatakan: bahwa tata cara dan penghapusan secara bersyarat dan penghapusan secara mutlak atas piutang perusahaan negara/daerah yang pengurusan piutang diserahkan kepada PUPN diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, peraturan-peraturan tersebut tidak memisahkan antara kekayaan BUMN Persero dan kekayaan negara sebagai pemegang saham, yang kemudian memunculkan polemik apakah piutang-piutang pada penanggung hutang (debitur) masuk pada kekayaan negara ataukah kekayaan BUMN Persero sebagai suatu perseroan terbatas yang merupakan badan hukum yang tunduk pada ranah hukum privat. Pada akhirnya Menteri Keuangan mengajukan surat kepada Mahkamah Agung (MA) untuk meminta fatwa hukum. MA mengeluarkan fatwa
melalui
suratnya
tanggal
16
Agustus
Tahun
2006
Nomor
WKMA/Yud/20/VIII/2006 menyatakan bahwa penyertaan modal pemerintah pada BUMN Persero merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dari pengelolaan dan mekanisme pertanggungjawaban APBN, tetapi selanjutnya didasarkan pada prinsipprinsip pengelolaan perusahaan yang sehat tunduk pada pengaturan UUPT Adanya fatwa MA tersebut, di masyarakat muncul pendapat yang berbeda pro dan kontra. Sebagian kalangan memaknai bahwa fatwa MA tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan dapat menyulitkan upaya pemberantasan korupsi karena aparat penegak hukum tidak dapat lagi memberlakukan ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terhadap pengurus BUMN Persero yang
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
diduga menyalahgunakan kewenangannya. Hal ini terjadi apabila kekayaan negara telah dipisahkan maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk ke dalam ranah hukum publik namun masuk ranah hukum privat. Namun disisi yang lain fatwa MA ini merupakan hal yang positif karena memberikan kepastian hukum dalam pembinaan dan pengelolaan kekayaan negara yang ditempatkan sebagai modal BUMN Persero. Disamping itu dengan adanya fatwa MA tersebut akan memberikan dukungan moril bagi direksi BUMN Persero untuk lebih berani dan tidak ragu-ragu mengambil keputusan bisnis yang strategis dan inovasi pengembangan BUMN Persero, sehingga kekayaan negara yang disertakan sebagai modal BUMN Persero itu dapat diberdayakan semaksimal mungkin untuk meningkatkan keuntungan BUMN Persero, yang pada gilirannya akan memberikan pemasukan yang signifikan bagi penerimaan negara. Keputusan bisnis selalu mengandung resiko, tidak selamanya akan membawa keuntungan, ada kalanya juga mengalami kerugian. Namun yang penting bagi direksi adalah dalam pengelolaan perusahaan yang dipimpinnya setiap keputusan bisnis telah didasarkan pada prinsip kehati-hatian dan tata kelola perusahaan yang sehat yaitu didasarkan pada peraturan perundangan, anggaran dasar dan peraturan internal maupun eksternal perusahaan. Penggunaan fatwa MA oleh hakim sebagai dasar putusan oleh hakim sah-sah saja. Sebab hakim diberi kewenangan diskresi untuk terikat atau tidak terikat pada suatu produk hukum. Pemerintah dalam hal ini yang di representasi oleh aparat penegak hukum dapat tetap melaksanakan tugasnya berdasarkan aturan hukum yang melandasinya, namun harus diingat pula bahwa diujung sana pada tingkat MA
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
sebagai benteng terakhir dalam proses sistem hukum di Indonesia telah memberikan fatwanya yang menyatakan bahwa penyertaan modal negara pada BUMN Persero yang semula berasal dari APBN adalah merupakan kekayaan negara yang dipisahkan tidak lagi tunduk pada sistem pertanggungjawaban APBN tetapi selanjutnya tunduk pada mekanisme hukum korporasi. Pertimbangan hukum yang ada dalam fatwa MA tersebut telah benar, karena pertimbangan hukumnya telah didasarkan pada doktrin asas-asas hukum yang berlaku. Asas hukum adalah merupakan akar hukum positif, merupakan suatu socialized value yang dijadikan landasan hukum dalam pergaulan hidup di masyarakat. Kedudukan asas-asas hukum lebih tinggi dari hukum positif. UU BUMN merupakan undang-undang khusus BUMN (lex specialis) dan lebih baru terbitnya (lex priori). Dengan adanya fatwa MA tersebut, pemerintah melakukan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Dalam Peraturan Pemerintah yang baru ini diatur dengan tegas bahwa piutang negara/daerah pada Bank BUMN Persero bukan merupakan piutang negara/daerah tetapi merupakan piutang dari Bank BUMN Persero. Sedangkan terhadap pengurusan piutang negara/daerah yang telah diserahkan kepada Departemen Keuangan cq Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (sekarang Direktorat Jenderal Kekayaan Negara)
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
tetap dilaksanakan oleh Departemen Keuangan Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 Tentang PUPN dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah beserta peraturan pelaksanaannya. Fatwa hukum MA tersebut sebenarnya menjadi penegasan bahwa semua undang-undang yang menentukan kekayaan negara atau kekayaan daerah yang telah dipisahkan menjadi modal BUMN, persero dan perusahaan daerah yang berbentuk perseroan terbatas, bukan lagi merupakan kekayaan negara atau kekayaan daerah yang berbentuk perseroan terbatas. Fatwa ini juga menegaskan bahwa unsur merugikan keuangan negara sebagai salah satu unsur pidana korupsi, tidak lagi dapat dikenakan pada BUMN serta perusahaan daerah, Implikasi lain dari fatwa ini adalah: pertama, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak lagi mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk memeriksa atau mengaudit keuangan badan-badan hukum tersebut. Sebab, kekuasaan BPK dan BPKP untuk mengaudit badan hukum itu tidak lagi mempunyai kekuatan hukum sejak adanya fatwa MA; kedua, aturan yang memberi kekuasaan kepada lembaga pemerintah, Presiden dan DPR untuk ikut campur atau membatasi kewenangan BUMN atau persero untuk mengurangi jumlah tagihan kepada debitur (haircut), tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Perseroan Terbatas (Persero) dapat menentukan peraturan internal sepenuhnya merupakan hak perseroan terbatas, baik yang persero maupun yang bukan.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Fatwa MA sesuai dengan comunis opinion doctrine dalam teori hukum universal. Maksudnya, suatu kekayaan termasuk keuangan badan hukum, adalah terpisah dari kekayaan pengurus dan pemiliknya atau pemegang saham. Wajib hukumnya bagi MA untuk konsisten dengan fatwanya. MA sebagai laatstetoesteen van het recht atau batu ujian terakhir hukum mempunyai kewajiban untuk menjaga dan menjamin adanya kepastian hukum. Bila MA tidak konsisten dengan fatwanya, sama saja menimbulkan ketidakpastian hukum di Indonesia. Jadi, wajib hukumnya bagi MA untuk konsisten dengan fatwanya. Untuk kedepannya apbila ada masalah hukum terkait dengan kekayaan negara yang dipisahkan ada kasus yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka dapat dijadikan yurisprudensi. Dengan adanya UU BUMN, maka ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, khusus mengenai kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah menjadi tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
BAB III TANGGUNG JAWAB HUKUM DIREKSI DALAM PENGURUSAN BUMN
A. Tanggung Jawab Perdata Pembahasan mengenai tanggung jawab, bagaimanakah tanggung jawab tiaptiap direktur dalam pengurusan perseroan?. Ketentuan Pasal 97 ayat (1) UUPT menyatakan: “Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1)”. Selanjutnya di dalam Pasal 97 ayat (2) UUPT dinyatakan: “Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab”. Kemudian di dalam Pasal 97 ayat (3) UUPT dinyatakan: “Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”. Hal ini berarti bahwa anggota direksi wajib melaksanakan tugasnya dengan itikad baik (in good faith) dan dengan penuh tanggung jawab (and with full sense of responsibility). Selama hal tersebut dijalankan, para anggota direksi tetap mempunyai tanggung jawab yang terbatas yang merupakan ciri utama dari suatu perseroan atau perseroan terbatas. Namun apabila hal tersebut dilanggar, artinya anggota direksi
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya, yang bersangkutan bisa dikenakan tanggung jawab penuh secara pribadi. Demikian juga dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian itu (Pasal 104 ayat (2) UUPT). Sehubungan dengan hal tersebut, kiranya perlu disinggung suatu hal yang cukup penting yang terdapat dalam peradilan Amerika (US judicial review) yaitu yang disebut the business judgement rule, yaitu suatu aturan yang melindungi para direktur dari tanggung jawab pribadi, bilamana mereka: 1. Bertindak berdasarkan itikad baik (in good faith); 2. Telah selayaknya memperoleh informasi yang cukup (well informed); dan 3. Secara masuk akal dapat dipercaya bahwa tindakan yang diambil adalah yang terbaik untuk kepentingan perseroan (the best interest of the corporation). Bila demikian halnya, pengadilan tidak akan ragu-ragu lagi untuk melindungi direktur yang melaksanakan business judgement rule tersebut. Dalam praktek bisa saja masalahnya tidak sesederhana itu, maka untuk itu diperlukan profesionalisme dan wawasan dari para hakim yang mempunyai kewenangan dalam memberikan keputusan pada kasus yang diajukan kepadanya, sehingga benar-benar orang yang tidak bersalah dapat terlindungi. Sebab apabila seorang direktur dapat membuktikan bahwa hal tersebut bukan merupakan kesalahannya, ia bisa dibebaskan dari tanggung jawab pribadi. Hal ini dikarenakan seorang direktur dalam melaksanakan tugasnya
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
tidak hanya terikat pada apa yang secara tegas dicantumkan dalam maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan, tetapi dia juga dapat mengambil prakarsa guna mewujudkan kepentingan perseroan dengan melakukan perbuatan (sekunder) yang menunjang dan mempelancar tugas-tugasnya, namun masih berada dalam batas-batas yang diperkenankan atau masih dalam ruang lingkup tugas dan kewajibannya (masih dalam kewenangan perseroan atau intravires) sehingga dia dapat bertindak asalkan sesuai dengan kebiasaan, kewajaran, dan kepatuhan (dan tidak bersifat ultravires). 80 Secara sederhana, pengertian intravires adalah dalam kewenangan, sedangkan ultravires diartikan sebagai bertindak melebihi kewenangannya. 81 Berkaitan dengan intravires dan ultravires, dikemukakan pendapat lain, yang menyatakan intravires adalah perbuatan yang secara eksplisit atau secara implisit tercakup dalam kecakapan bertindak (termasuk dalam maksud dan tujuan perseroan). Sedangkan ultravires adalah perbuatan yang berada di luar kecakapan bertindak (tidak termasuk dalam maksud dan tujuan perseroan). Ultravires mengandung arti bahwa perbuatan tertentu itu hakikatnya adalah sah (dalam hubungan dengan pihak lain), tetapi ternyata berada diluar kecakapan bertindak perseroan. Sebagaimana diatur dalam anggaran dasar dan atau berada di luar ruang lingkup maksud dan tujuannya. 82
80
Ultra vires, acts beyond the scope of the powers of a corporation. Ranuhandoko, Terminologi Hukum, (Jakarta: Sinar Graphia, 2000), halaman 350 dan 522. 82 Fred B.G. Tumbuan, Tugas Dan Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas, Materi Pendidikan Singkat Hukum Bisnis, (Jakarta: Unika Atmajaya, 2000), halaman 3. 81
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
I.G. Rai Widjaya menyatakan: “disebut ultravires apabila tindakan yang dilakukan berada di luar kapasitas (capacity) perusahaan, yang dinyatakan dalam maksud dan tujuan perusahaan yang tercantum dalam anggaran dasar. Di Inggris, suatu tindakan ultravires adalah hanya bila secara jelas di luar tujuan pokok perusahaan. 83 Prinsip-prinsip ultravires ini sangat penting untuk dapat mengukur suatu perbuatan hukum para pengurus perseroan, apakah perbuatannya sesuai dengan kewenangan bertindak sebagaimana diatur dalam anggaran dasar atau tidak. Jika perbuatan tersebut melampaui kewenangan yang diberikan oleh anggaran dasar, maka pengurus perseroan tersebut harus bertanggung jawab sampai harta pribadinya dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri, baik pidana dan atau perdatanya. Hal yang menarik dalam tindakan direksi yang melampaui kewenangan yang terdapat dalam anggaran dasar tersebut adalah, sejauh mana pelaksanaan perikatan yang dibuat oleh direksi tersebut, yang ternyata direksi tidak berwenang? Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kecakapan bertindak. Jika pelanggaran ultravires dianggap sebagai tindakan yang dilakukan oleh pihak yang tidak cakap karena telah melampaui kewenangannya, maka secara yuridis perbuatan tersebut dapat dibatalkan (canceling). Namun demikian, siapakah yang mempunyai hak untuk melakukan gugatan pembatalan perikatan tersebut? Secara sederhana, jika berdasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata, maka gugatan tersebut dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang dirugikan, baik oleh pihak pemegang saham melalui derivative action maupun pihak lainnya, 83
I.G. Rai Widjaya, Op.cit., halaman 227.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
termasuk stakeholder. Di samping itu, jika pelanggaran tersebut telah memasuki wilayah hukum pidana, maka tindakan tersebut harus dianggap batal demi hukum (null and void). Pelanggaran terhadap ultravires merupakan pengungkapan lebih lanjut dari doktrin piercing the corporate veil. Dalam banyak kasus, tentunya hakim akan dapat memanfaatkan teori ini dalam menangani kasus yang melanggar doktrin ultravires ini, sekalipun dalam banyak hal sulit untuk diterapkan, terutama terhadap kewenangan direksi yang bersifat umum, seperti kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang tidak memerlukan bantuan komisaris dan atau RUPS. Berdasarkan kepada sistem one share one vote tidak berarti dengan sendirinya pupus harapan dari pemegang saham minoritas untuk mempertahankan hak-haknya dalam RUPS. Berdasarkan UUPT, bahwa pengaturan tentang pengambilan keputusan dalam setiap RUPS pada umumnya didasarkan pada sistem musyawarah untuk mufakat. Namun jika musyawarah untuk mufakat tidak tercapai baru dapat dilaksanakan dengan cara voting atau pengambilan suara terbanyak berdasarkan jumlah seluruh saham yang mempunyai hak suara. Pemegang saham minoritas dimungkinkan mengajukan gugatan kedepan pengadilan apabila keputusan direksi, komisaris atau pemegang saham lainnya merugikannya melalui Pasal 61 ayat (1), 84 Pasal 97 ayat (6), 85 dan Pasal 114 ayat (6) 86 UUPT. 87 84
Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, menyatakan: “Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, direksi, dan/atau dewan komisaris”. 85 Pasal 97 ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas , menyatakan: “Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu pesepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan”. 86 Pasal 114 ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, menyatakan: “ Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat menggugat anggota dewan komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan ke pengadilan negeri”. 87 Budiman Ginting, Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritas Dalam Perusahaan Joint Venture: Studi Penanaman Modal Asing Di Sumatera Utara, Disertasi, (Medan: SPs Universitas Sumatera Utara, 2005), halaman 148-149.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Kasus ultravires tidak sesederhana teorinya, Sebab, pembuktian pelanggaran ultravires terkadang agak sulit. Hal ini antara lain disebabkan bahwa dalam anggaran dasar perseroan terdapat tugas direksi yang sangat luas, yakni untuk mengurus perusahaan sesuai maksud dan tujuannya. Permasalahannya adalah, sejauh mana mengurus perusahaan itu sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan? Sepanjang transaksi bisnis dilakukan sesuai maksud dan tujuan perseroan, maka perikatan tersebut sulit untuk dapat dikatakan sebagai pelanggaran ultravires. Berbeda dengan rumusan salah satu anggaran dasar yang menyatakan bahwa direksi untuk melakukan perbuatan hukum tertentu harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari komisaris dan atau RUPS, dalam kasus persetujuan dari komisaris dan atau RUPS ini, dalam praktek terkadang ditemukan kesulitan implementasinya, karena dalam anggaran dasar terdapat klausula yang kurang jelas. Misalnya, ditemukan rumusan yang menyatakan “perbuatan hukum tertentu harus mendapatkan persetujuan dari komisaris dan atau RUPS” tanpa penjelasan. Sehingga, suatu perbuatan hukum tertentu yang tertera dalam anggaran dasar tersebut dapat diinterpretasikan berbeda. Dengan perbedaan interpretasi demikian, dalam praktek dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap doktrin ultravires, karena seharusnya perbuatan hukum tersebut wajib mendapat persetujuan dari komisaris dan atau RUPS, tetapi tidak dilaksanakan karena dianggap perbuatan itu tidak perlu mendaptkan persetujuan dari komisaris dan atau RUPS.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Pada dasarnya pertanggung jawaban pemegang saham, direksi, dan komisaris dalam perseroan yang berbadan hukum adalah tebatas. Akan tetapi, apakah pertanggung jawaban demikian berlaku mutlak? Hal ini timbul terutama jika sebuah badan hukum dijadikan sebagai vehicle untuk maksud-maksud yang menyimpang dari norma hukum. Oleh karena itu, timbul suatu prinsip, yakni piercing the corporate veil, yang secara sederhana dapat dikatakan bahwa tanggung jawab terbatas pemegang saham, direksi dan atau komisaris dalam hal-hal tertentu dapat menjadi tidak terbatas. Berkaitan dengan doktrin piercing the corporate veil ini, dapat dikemukakan pendapat Henry Campbell Black, yang menyatakan: “Piercing corporate veil. Judicial process whereby court will disregard usual immunity of corporate officers or entities from liability for corporate activities: e.g. when incorporation was for sole purpose of perpetrating fraud. The doctrine which holds that the corporate structure with its attendant limited liability of stockholders may be disregarged and personal liability imposed on stockholder, officer and directors in the case of fraud. The court, however, may look beyond the corporate form only for the defeat of fraud or wrong or the remedying of injustice”. Menyingkap tabir perseroan. Proses hukum yang dilaksanakan pengadilan biasanya dengan mengabaikan kekebalan umum pejabat perusahaan atau pihak tertentu perusahaan dari tanggung jawab aktivitas perusahaan: misalnya ketika dalam perusahaan dengan sengaja melakukan kejahatan. Doktrin yang ada berpendapat bahwa struktur perusahaan dengan adanya tanggung jawab terbatas pemegang saham dapat mengabaikan tanggung jawab pemegang saham, pejabat perusahaan dan direktur perusahaan. Pengadilan dalam masalah tersebut akan memandang perusahaan hanya dari sisi kegagalan pembelaan atas tindak kejahatan atau kesalahan atau pemberian sanksi hukuman. 88 Chatamarrasjid menyebutkan antara lain, apabila terbukti bahwa telah terjadi pembauran harta kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan perseroan, sehingga perseroan didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang 88
Henry Chambell Black, Black’s Law Dictionary, Abridged Sixth Edition, (St. Paul Minn: West Publishing Co., 1991), halaman 1033.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
saham untuk memenuhi tujuan pribadinya. 89 Dalam keadaan demikian, maka para pemegang saham, direksi dan komisaris yang telah melakukan perbuatan tersebut, yang bersangkutan berdasarkan prinsip di atas harus bertanggung jawab sampai dengan harta pribadinya dan atau bertanggung jawab pribadinya sendiri, baik pidana maupun perdata. Peralihan tanggung jawab pemegang saham, komisaris, dan direksi perseroan dari semula terbatas menjadi tidak terbatas, antara lain disebabkan oleh doktrin piercing the corporate veil. Dalam hal ini dikemukakan terjadinya piercing the corporate veil atau lifting the veil adalah sebagai berikut: 1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi. 2. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi. 3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan, atau 4. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan. 90 Secara luas dapat diartikan bahwa termasuk pelanggaran doctrine piercing the corporate veil, apabila seperti berikut ini: 1. Direksi tidak melakukan prosedur hukum dalam proses pendirian perseroan sebagaimana ditentukan dalam perundang-undangan, yaitu direksi tidak melakukan permintaan pengesahan/persetujuan/pelaporan pendaftaran dan pengumuman, sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUPT. 2. Pemegang saham bertanggung jawab sampai harta pribadi, jika melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UUPT, juga pelanggaran terhadap Pasal 7 UUPT dan Pasal 14 UUPT. 3. Perolehan saham yang tidak sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 37 ayat (3) yang menyatakan, direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pemegang saham yang beritikad baik, yang timbul akibat 89
Chatamarrasjid, Menyingkap Tabir Perseroan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000),
halaman 4. 90
I.G. Rai Widjaya, Op.cit., halaman 146.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
4.
5. 6.
7.
pembelian kembali yang batal demi hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Dokumen perhitungan tahunan yang disediakan tidak benar (Pasal 69 ayat (3) UUPT), yaitu dalam hal dokumen perhitungan tahunan yang disediakan ternyata tidak benar dan atau menyesatkan, anggota direksi dan anggota dewan komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan. Direksi tidak melaksanakan fiduciary duty yang diberikan oleh perseroan. Dalam hal kepailitan yang diakibatkan kesalahan direksi (Pasal 104 ayat (2) UUPT), yang menyesatkan, dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Komisaris telah melanggar ketentuan Pasal 114 ayat (2) UUPT, yaitu tidak mempunyai itikad baik dalam menjalankan tugasnya dan atau adanya putusan pengadilan yang menyatakan komisaris telah melakukan kesalahan.
Penerapan teori piercing the corporate veil, secara universal dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Perusahaan tidak mengikuti formalitas tertentu Badan-badan hukum yang hanya terpisah secara artifisial. Berdasarkan hubungan kontraktual. Perbuatan melawan hukum atau tindak pidana. Hubungan dengan holding company dan anak perusahaan. 91 Badan hukum yang terpisah secara artifisial dimaksudkan bahwa perusahaan
yang sebenarnya adalah tunggal, tetapi perusahaan tersebut dibagi ke dalam beberapa perseroan yang terpisah. Walaupun secara formal suatu perseroan sebagai badan hukum berdiri sendiri, tetapi hakikatnya beberapa perseroan tersebut menjadi satu kesatuan. Oleh karena itu, tanggung jawabnya menjadi satu kesatuan dan saling terkait.
91
Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law Dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), halaman 10-11.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Disamping itu, dalam melaksanakan tugasnya tersebut, direksi tidak luput dari pengawasan komisaris (Pasal 108 ayat (1) UUPT). Hal ini bertujuan agar direksi dalam menjalankan tugasnya selalu berada pada jalur yang telah ditentukan oleh perseroan, karena pengurusan perseroan dilakukan tiada lain untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Dalam hal pengurusan BUMN dan dalam rangka penerapan prinsip good corporate governance (GCG), direksi suatu perseroan terbatas pada prinsipnya haruslah bertanggung jawab secara pribadi tidak hanya terhadap tindakan yang dia lakukan dalam kapasitasnya sebagai pribadi, tetapi juga dalam hal-hal tertentu, terhadap perbuatan yang dia lakukan dalam kedudukannya sebagai direktur perusahaan. 92 Bahkan dalam kedudukannya sebagai direktur, dalam hal-hal tertentu, dia bertanggung jawab tidak hanya atas tindakan yang dilakukannya sendiri, melainkan juga atas tindakan direktur lainnya, atau bahkan sampai batas-batas tertentu dia bertanggung jawab atas tindakan orang lain yang bukan direktur yang dilakukan untuk dan atas nama perseroan. Pada dasarnya pengurusan perseroan terbatas, baik BUMN maupun swasta adalah tidak berbeda, karena untuk keduanya berlaku ketentuan yang diatur dalam UUPT. Walaupun terhadap BUMN (Persero) juga berlaku UU BUMN, namun keberadaan undang-undang ini hanya melengkapi peraturan yang ada dalam UUPT.
92
Munir Fuady, Op.cit., halaman 80.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Oleh karena pemerintah memiliki kepentingan terhadap pengelolaan modal atau saham sebagai pemegang saham baik sebagian atau seluruhnya dimilikinya. Perbedaan itu hanya dalam hal suatu perseroan dalam keadaan statis atau intern, namun dalam keadaan bergerak baik BUMN maupun perseroan terbatas (PT) swasta tidak ada perbedaan karena baik BUMN maupun PT swasta sama-sama bergerak dalam ruang lingkup hukum perdata atau dalam keadaan bergerak keduaduanya sama-sama tunduk kepada hukum perseroan terbatas. Baik BUMN maupun PT swasta masing-masing memiliki anggaran dasar seperti dipersyaratkan oleh UUPT, sebagai dasar dalam melakukan pengurusan perusahaan sekaligus juga sebagai rambu-rambu yang disepakati dalam pengelolaan kegiatan usaha. Hal ini dikarenakan dalam anggaran dasar tersebut telah ditentukan apa maksud dan tujuan perseroan itu didirikan, bidang usaha apa yang akan dijalankan, apa yang menjadi kewenangan RUPS, direksi dan komisaris telah dituangkan dalam anggaran dasar. Sehingga dapat dikatakan bahwa fungsi anggaran dasar ini adalah sebagai alat kontrol terhadap masing-masing organ yang ada di dalamnya. Tidak ada perseroan yang tidak memiliki anggaran dasar, karena tanpa anggaran dasar maka maksud dan tujuan didirikannya perseroan tidak akan dapat diketahui. Asas publisitas yang berlaku dalam pendirian perseroan sangat penting untuk melindungi kepentingan umum maka setiap perseroan wajib daftar dalam daftar perusahaan sesuai ketentuan perundangundangan yang berlaku. Adapun peraturan perundang-undangan yang dimaksud disini adalah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan. Tujuan dan pentingnya daftar perusahaan dapat
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
dilihat dari konsideran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan. 93 Dalam hal direksi melakukan suatu tindakan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan sepanjang direksi tersebut dapat membuktikan bahwa dia sungguhsungguh telah bertindak untuk dan atas nama perseroan dalam batas-batas kewenangan menurut undang-undang maupun anggaran dasar perseroan maka tidak ada kewajiban bagi direksi untuk mengganti kerugian kepada perusahaan atau dengan kata lain direksi tersebut harus dibebaskan dari kewajiban mengganti kerugian kepada perusahaan. Hal ini sesuai dengan prinsip pertanggung jawaban perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) juncto Pasal 1367 KUH Perdata. Ketentuan Pasal 1365 juncto Pasal 1367 KUH Perdata tersebut mengandung makna bahwa tidak ada tanggung jawab tanpa ada kesalahan. Namun ada tidaknya kesalahan harus dilakukan melalui pembuktian. Kata-kata tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab mengandung arti bahwa secara materil mereka telah berupaya untuk mencegah timbulnya kerugian 93
Konsideran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan menyatakan: a. bahwa kemajuan dan peningkatan pembangunan nasional pada umumnya dan perkembangan kegiatan ekonomi pada khususnya yang menyebabkan pula berkembangnya dunia usaha dan perusahaan, memerlukan adanya daftar perusahaan yang merupakan sumber informasi resmi untuk semua pihak yang berkepentingan mengenai identitas dan hal-hal yang menyangkut dunia usaha dan perusahaan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia; b. bahwa adanya daftar perusahaan itu penting untuk pemerintah guna melakukan pembinaan, pengarahan, pengawasan dan menciptakan iklim dunia usaha yang sehat karena daftar perusahaan mencatat bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar dari setiap kegiatan usaha sehingga dapat lebih menjamin perkembangan kepasian berusaha bagi dunia usaha; c. bahwa sehubungan dengan halhal tersebut di atas perlu adanya Undang-Undang Tentang Wajib Daftar Perusahaan.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
dimaksud dan telah melakukan upaya dengan segala kemampuan dan kehati-hatian, akan tetapi kerugian tersebut tidak dapat dihindari. 1. Pengertian Tanggung Jawab Perdata Lahirnya suatu tanggung jawab hukum berawal dari adanya perikatan yang melahirkan hak dan kewajiban. Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan hak dan kewajiban (perikatan) bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari undang-undang terbagi lagi menjadi perbuatan menurut hukum dan perbuatan melawan hukum. Timbulnya perikatan yang bersumber dari perjanjian membebankan kepada para pihak yang melakukan perjanjian untuk melaksanakan hak dan kewajibannya (prestasi). Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi maka dapat dikategorikan telah melakukan wanprestasi. Secara umum pertanggung jawaban perdata dapat diartikan sebagai konsekuensi hukum atas pelanggaran hak dan kewajiban, baik hak dan kewajiban yang lahir dari perjanjian maupun yang lahir dari undang-undang, yang membawa kerugian kepada orang atau badan lain. Adapun pengertian ganti kerugian adalah penggantian biaya, kerugian, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perjanjian dan pemenuhannya baru diwajibkan apabila debitur dinyatakan lalai (Pasal 1234 KUH Perdata). Dengan demikian, pada dasarnya ganti kerugian adalah ganti kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Unsur-unsur ganti kerugian menurut ketentuan Pasal 1246 KUH Perdata terdiri dari 3 (tiga) unsur, yaitu: a. Biaya, yaitu segala pengeluaran atau ongkos-ongkos yang nyata-nyata telah dikeluarkan. b. Rugi, yaitu kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian debitur. c. Bunga, yaitu keuntungan yang seharusnya diperoleh atau diharapkan oleh kreditur apabila debitur tidak lalai. Pada dasarnya, tidak semua kerugian dapat dimintakan penggantian. Undangundang menentukan bahwa kerugian yang harus dibayar oleh debitur kepada kreditur sebagai akibat dari wanprestasi adalah sebagai berikut: 1. Kerugian yang dapat diduga ketika perjanjian dibuat. Membayar ganti kerugian yang nyata telah atau sedianya harus diduganya sewaktu perjanjian dibuat, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian tersebut disebabkan oleh tipu daya yang dilakukan olehnya. 2. Kerugian sebagai akibat langsung wanprestasi. Menurut ketentuan Pasal 1248 KUH Pedata, jika tidak dipenuhinya perjanjian tersebut disebabkan oleh tipu daya debitur, pembayaran ganti kerugian sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh kreditur dan keuntungan yang hilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya perjanjian. Selain itu, undang-undang juga mengatur mengenai pembelaan debitur yang wanprestasi. Seorang debitur yang dituduh lalai dan dimintakan supaya kepadanya diberikan hukuman atas kelalaiannya, ia dapat membela dirinya dengan mengajukan
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman-hukuman tersebut. Pembelaan tersebut, yaitu (1) menyatakan adanya keadaan memaksa (overmacht); (2) menyatakan bahwa kreditur telah lalai (exception non adempleti contractus); (3) menyatakan bahwa kreditur telah melepaskan haknya (rechtverwerking). Keadaan memaksa (overmacht/force majeur) adalah alasan bagi debitur untuk dibebaskan
dari
kewajiban
membayar
ganti
kerugian.
Keadaan
memaksa
menyebabkan tidak dapat dipenuhinya suatu prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa yang bukan karena kesalahannya, peristiwa tersebut tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. 94 Oleh karena itu, dengan adanya keadaan memaksa debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko, karena debitur tidak dapat menduga peristiwa tersebut pada waktu perjanjian dibuat. Keadaan tersebut terjadi sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut. 95 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, dalam keadaan memaksa debitur tidak dapat dipersalahkan atas tidak terlaksananya perjanjian tersebut, sebab keadaan tersebut timbul di luar kemauan dan kemampuan atau dugaan dari debitur. Oleh karena itu debitur tidak dapat dikenakan sanksi untuk dimintakan ganti kerugian.
94
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1990), halaman 27. 95 R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Bandung: Bina Cipta, 1987), halaman 27.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Unsur-unsur keadaan memaksa tersebut dapat diurutkan sebagai berikut: 1. tidak dipenuhinya prestasi disebabkan oleh peristiwa yang memusnahkan benda yang menjadi objek perikatan; 2. peristiwa tersebut menghalangi perbuatan debitur tersebut untuk berprestasi; 3. peristiwa tersebut tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perjanjian, baik oleh debitur maupun oleh kreditur. 96 Jadi, bukan merupakan kesalahan para pihak. Ketentuan Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata merupakan dasar pembelaan dari debitur untuk dibebaskan dari pembayaran ganti kerugian, jika debitur tidak memenuhi perjanjian tersebut karena adanya keadaan memaksa. Menurut Pasal 1244 KUH Perdata dinyatakan bahwa, “Jika ada alasan untuk itu, debitur harus dihukum membayar ganti kerugian, apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak tepatnya melaksanakan perjanjian itu karena sesuatu hal yang tidak dapat diduga, yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, kecuali jika ada itikad buruk dari debitur”. Menurut Pasal 1245 KUH Perdata dinyatakan bahwa, “Tidak ada ganti kerugian yang harus dibayar, apabila karena keadaan memaksa atau suatu kejadian yang harus dibayar,apabila karena keadaan memaksa atau suatu kejadian yang tidak disengaja, debitur berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”. Dengan adanya keadaan memaksa, maka akan terjadi resiko. Resiko dapat diartikan sebagai kewajiban untuk memikul sesuatu kerugian apabila kerugian tersebut terjadi diluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa objek yang 96
Ibid., halaman 27-28.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
dimaksudkan perjanjian. 97 Dengan demikian, persoalan resiko merupakan akibat dari suatu keadaan memaksa. Pengaturan resiko dalam KUH Perdata Pasal 1237 KUH Perdata yang mengatur mengenai resiko dalam perjanjian sepihak, 98 yang menyatakan bahwa, dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu keadaan tertentu, kebendaan tersebut semenjak perikatan dilahirkan, adalah tanggungan kreditur. Jika kreditur lalai melaksanakan perikatan, maka sejak saat kelalaian tersebut, kebendaan adalah tanggung jawabnya. Menurut Pasal 1460 KUH Perdata, 99 yang menyatakan bahwa, jika kebendaan yang dijual tersebut berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang tersebut sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut harganya. Pasal 1545 KUH Perdata menentukan bahwa, suatu barang tertentu yang telah diperjanjikan untuk ditukar, musnah diluar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian dianggap gugur, dan pihak yang telah memenuhi perjanjian dapat menuntut kembali yang telah diberikan dalam tukar menukar. 100
97
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Internusa, 1998), halaman 144. Pengaturan resiko dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal 1237 KUH Perdata yang mengatur mengenai resiko dalam perjanjian sepihak, seperti perjanjian penghibahan dan perjanjian pinjam pakai. 99 Ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata mengatur mengenai resiko dalam perjanjian jual beli. 100 Pasal 1545 KUH Perdata menentukan bahwa, jika suatu barang tertentu yang telah diperjanjikan untuk ditukar, musnah diluar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian dianggap gugur, dan pihak yang telah memenuhi perjanjian, dapat menuntut kembali barang yang telah diberikan dalam tukar menukar. Ketentuan ini mengatur mengenai resiko dalam perjanjian tukar menukar. 98
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Menurut Pasal 1553 KUH Perdata jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka perjanjian sewa gugur demi hukum. 101 Debitur yang dituntut wanprestasi dimungkinkan untuk membalas dan melakukan perlawanan terhadap kreditur dengan berbalik mengajukan tuntutan berdasarkan prinsip execeptio non adempleti contractus, debitur dapat menangkis bahwa ketiadaan berprestasinya disebabkan oleh kreditur yang telah melakukan wanprestasi terlebih dahulu. Pembelaan yang dapat dilakukan oleh debitur dapat dilakukan pula dengan upaya yang didasarkan rechtverwerking, dengan dalih bahwa sebenarnya kreditur telah melakukan pembebasan utang. Pembebasan dari kreditur ini tidak boleh hanya merupakan dugaan, tetapi harus dinyatakan secara tegas, atau secara simbolik misalnya dengan menyerahkan kwitansi atau tanda bukti perjanjian kepada debitur merupakan suatu pembuktian bahwa kreditur melepaskan hak menuntut prestasi dari debitur. 2. Prinsip Tanggung Jawab Perdata Perikatan yang melahirkan hak dan kewajiban selain bersumber dari perjanjian dapat pula bersumber dari undang-undang (Pasal 1233 KUH Perdata). Perikatan yang lahir dari undang-undang menurut Pasal 1353 KUH Perdata dapat
101
Menurut Pasal 1553 ayat (1) KUH Perdata, jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka perjanjian sewa gugur demi hukum. Ketentuan ini mengatur mengenai resiko dalam perjanjian sewa menyewa.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
timbul akibat dari (1) perikatan yang lahir dari undang-undang saja, 102 dan (2) perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan orang, dapat bersumber dari perbuatan menurut hukum dan perbuatan melawan hukum. Kajian terhadap tanggung jawab direksi selain bersumber dari perjanjian dapat diterapkan pula berdasarkan perbuatan melawan hukum. Istilah perbuatan melawan hukum sebenarnya secara luas dapat diartikan sebagai: a. Perbuatan yang bertentangan dengan hukum. b. Perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas hukum c. Perbuatan yang melanggar hukum d. Tindakan yang melawan hukum e. Penyelewengan perdata. Pengertian tersebut pada dasarnya merupakan hakikat dari ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata. Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan bahwa, “setiap perbuatan melawan hukum, yang menimbulkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian tersebut mengganti kerugian”. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1366 KUH Perdata dinyatakan bahwa, “setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga yang disebabkan karena kelalaian atau kekurang hati-hatiannya”. 102
Perikatan yang lahir dari undang-undang saja adalah perikatan-perikatan yang timbul oleh hubungan kekeluargaan. Misalnya dalam buku KUH Perdata kewajiban seorang anak yang mampu untuk memberikan nafkah kepada orang tuanya yang dalam keadaan kemiskinan.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Selain itu, dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata, “seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri, melainkan juga untuk kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”. Ketentuan ini sejalan dengan prinsip pertanggung jawaban pengganti (vicarious liability). Berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata tersebut, perbuatan melawan hukum baru dapat dituntut ganti kerugiannya apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1. Perbuatan tersebut harus melawan hukum. Suatu perbuatan merupakan perbuatan melawan hukum apabila bertentangan dengan: a. hak orang lain; b. kewajiban hukumnya sendiri; c. kesusilaan yang baik; d. keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan kemasyarakatan mengenai hak orang lain atau benda. 2. Perbuatan tersebut harus menimbulkan kerugian. Kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugian material (dapat dinilai dengan uang) dan kerugian immaterial (tidak dapat dinilai dengan uang). Dengan demikian, kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum tidak hanya terbatas pada kerugian yang ditujukan pada harta benda, tetapi juga terhadap kerugian yang ditujukan pada tubuh, jiwa dan kehormatan manusia. 3. Perbuatan tersebut harus ada unsur kesalahan. Suatu kesalahan dapat berupa kesengajaan dan kelalaian. Kesengajaan berarti seseorang melakukan suatu perbuatan dan perbuatan ini diniatkan untuk menimbulkan suatu akibat, sedangkan kelalaian diartikan tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dilakukan. 4. Dari perbuatan tersebut harus ada hubungan sebab akibat (causa). Hubungan kausal merupakan hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian. Hubungan kausal ini dalam Pasal 1365 KUH Perdata dapat dilihat dalam kalimat “… perbuatan yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian …”. Dengan demikian, kerugian tersebut harus timbul sebagai akibat dari perbuatan (sebab), maka tidak ada kerugian (akibat) tanpa ada sebab (kesalahan). Jadi, dapat disimpulkan bahwa akibat dari suatu perbuatan melawan hukum adalah kerugian. Kerugian sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum tersebut menyebabkan diwajibkannya seseorang yang
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
melakukan kesalahan dan menimbulkan kerugian kepada pihak lain untuk memberikan ganti kerugian, dan di lain pihak diberikan hak untuk menuntut penggantian kerugian orang yang dirugikan. Tugas dan tanggung jawab direksi dalam pengurusan BUMN meliputi: a. Tanggung jawab internal direksi yang meliputi tugas dan tanggung jawab direksi terhadap perseroan dan pemegang saham perseroan; b. Tanggung jawab eksternal direksi, yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab direksi kepada pihak ketiga yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan perseroan. Sebagaimana
halnya
seorang
pemegang
kuasa,
yang
melaksanakan
kewajibannya berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh pemberi kuasa untuk bertindak sesuai dengan perjanjian pemberian kuasa dan peraturan perundangundangan yang berlaku, demikian pula direksi perseroan, sebagai pemegang fiduciary duties dari pemegang saham perseroan bertanggung jawab penuh atas pengurusan dan pengelolaan untuk kepentingan dan tujuan perseroan dan untuk menjalankan tugas dan kewajiban yang diberikan kepadanya dengan itikad baik, sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh anggaran dasar perseroan dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Undang-undang tentang Perseroan Terbatas telah mengadopsi ajaran atau doktrin ultravires. Demikian pula undang-undang tindak pidana diluar Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) telah menerapkan ajaran ultravires yang berlaku dan dianut dalam UUPT.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Menurut pendapat Pennington selain dari tugas-tugas atau kewajibankewajiban yang telah ditentukan oleh undang-undang, yang disebut statutory duties, para angota direksi juga harus melaksanakan tugas-tugas atau kewajiban-kewajiban yang disebut fiduciary duties. Salah satu dari fiduciary duties tersebut ialah bahwa anggota direksi tidak boleh melakukan kegiatan yang berada di luar kewenangannya, atau yang disebut kegiatan yang ultravires. Inilah yang dikenal dalam hukum perseroan (company law atau corporation law) sebagai doktrin ultra vires. Menurut doktrin tersebut, apabila suatu kontrak dibuat oleh perseroan tidak dalam rangka maksud dan tujuan perseroan (beyond the objects of the company), maka kontrak itu disebut ultravires the company, dan kontrak itu batal (void). 103 Kesalahan
atau
kelalaian
dalam
melaksanakan
apa
yang
menjadi
kewajibannya tersebut di atas memberikan hak kepada pemegang saham perseroan untuk: 1. Secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, yang mewakili jumlah sepersepuluh pemegang saham perseroan melakukan gugatan, untuk dan atas nama perseroan, terhadap direksi perseroan, yang atas kesalahan dan kelalaiannya telah menerbitkan kerugian kepada perseroan (derivative suit); 2. Secara sendiri-sendiri melakukan gugatan langsung untuk dan atas nama pribadi pemegang saham terhadap direksi perseroan atas setiap keputusan atau tindakan Direksi perseroan yang merugikan pemegang saham. Tugas dan pertanggung jawaban direksi perseroan terhadap pihak ketiga terwujud dalam kewajiban direksi untuk melakukan keterbukaan (disclosure) terhadap pihak ketiga, atas setiap kegiatan perseroan yang dianggap dapat mempengaruhi kekayaan perseroan. 103
Pennington Robert R., Company Law, Fifth Edition, (London: Butterworth, 1985), halaman 659.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Sebagai kewajiban untuk melakukan keterbukaan, direksi dan/atau komisaris bertanggung jawab penuh atas kebenaran dan keakuratan dari setiap data dan keterangan yang disediakan olehnya kepada publik ataupun pihak ketiga berdasarkan perjanjian. Jika terdapat pemberian data atau keterangan secara tidak benar dan/atau menyesatkan, maka seluruh anggota direksi dan/atau komisaris harus bertanggung jawab secara tanggung renteng atas setiap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga, sebagai akibat dari pemberian data dan/atau keterangan yang tidak benar atau menyesatkan tersebut kecuali dapat dibuktikan bahwa keadaan tersebut terjadi bukan karena kesalahannya. Direksi sebagai salah satu organ yang penting dan menentukan dalam mencapai maksud dan tujuan BUMN mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: a. Melakukan pengurusan BUMN; b. Bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN serta mewakili BUMN baik di dalam maupun di luar pengadilan; c. Mematuhi dan tunduk pada anggaran dasar BUMN dan peraturan perundangundangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggung jawaban, serta kewajaran. Hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU BUMN. Dari ketentuan ini dapat diketahui bahwa mengenai pengurusan BUMN mutlak menjadi tugas dan tanggung jawab direksi. Artinya secara hukum organ maupun instansi lain dilarang campur tangan (intervensi) terhadap pengurusan
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
BUMN. Sepanjang direksi melakukan tugas dan tanggung jawabnya dalam batasbatas sebagaimana ditentukan dalam UU BUMN, UUPT maupun anggaran dasar BUMN yang bersangkutan, maka direksi tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat tindakan tersebut. Oleh karena itu sepanjang direksi melakukan tugasnya telah sesuai dengan kewajiban hukumnya, dan bertindak dalam batas-batas kewenangannya berdasarkan prinsip-prinsip seperti telah dijelaskan di awal, maka secara hukum direksi dibebaskan dari kewajiban untuk mengganti kerugian perseroan atau secara hukum direksi terlindungi. Tanggung jawab renteng direksi berdasarkan UUPT berlaku dalam hal-hal sebagai berikut: 1. Perbuatan hukum atas nama perseroan yang belum memperoleh status badan hukum (Pasal 14 ayat (1) UUPT). 2. Bertanggung jawab terhadap laporan keuangan yang mengandung informasi menyesatkan (Pasal 69 ayat (3) UUPT). 3. Bertanggung jawab secara tanggung renteng apabila memiliki 2 (dua) angota direksi atau lebih atas kerugian perseroan dikarenakan bersalah atau lalai di dalam menjalankan tugas kepengurusannya (Pasal 97 ayat (3) dan (4) UUPT). 4.
Bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kepailitan karena kesalahan dan kelalaian menjalankan tugasnya sebagai direksi (Pasal 104 ayat (2) UUPT).
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Tanggung jawab pribadi direksi berdasarkan UUPT berlaku dalam hal-hal sebagai berikut: 1. Bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan dikarenakan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugas kepengurusannya (Pasal 97 ayat (3) UUPT). 2. Bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan dikarenakan tidak melaporkan kepada perseroan mengenai saham yang dimiliki anggota direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam perseroan dan perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus (Pasal 101 UUPT). Kejelasan otoritas maupun kejelasan pembebanan tanggung jawab antar pelaku dalam perusahaan juga merupakan hal yang penting dalam rangka menjalankan unsur responsibilitas dari prinsip good corporate governance (GCG). Beberapa macam sistem otoritas bagi para pihak dalam suatu perseroan diperkenalkan oleh UUPT. Perbedaan sistem otoritas ini pula yang juga membedakan tanggung jawab diantara masing-masing pihak tersebut. Sistem otoritas dalam UUPT dibedakan sebagai berikut: a. Sistem Majelis Yang dimaksud dengan sistem majelis ini adalah bahwa seseorang tidak dapat bertindak sendiri terlepas satu sama lain dalam hal mewakili sesuatu kelompok melainkan dia haruslah selalu bertindak secara bersama-sama. Sistem otoritas majelis ini tidak berlaku bagi direksi perseroan. Sistem ini hanya berlaku
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
bagi organ komisaris. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 108 ayat (4) UUPT. 104 Dengan demikian, sejauh perbuatan tersebut dilakukan secara majelis, maka tanggung jawab hukum pun ditanggung secara bersama (tanggung renteng). b. Sistem Individual Representatif Dalam sistem ini diperkenalkan semacam otoritas yang memungkinkan seseorang dapat bertindak sendiri untuk mewakili sesuatu kelompok. Sistem otoritas seperti inilah yang pada prinsipnya diberlakukan UUPT terhadap organ direksi dalam hal-hal tertentu. Berlakunya sistem ini bagi seorang direktur muncul dalam dua segi sebagai berikut: 1. Dalam hal kewenangan untuk mewakili perseroan. Mengenai hal ini dengan tegas disebutkan dalam Pasal 98 ayat (2) UUPT bahwa jika direktur lebih dari satu orang, maka yang berwenang mewakili perseroan adalah setiap anggota direksi, kecuali ditentukan lain oleh UUPT itu sendiri, misalnya seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 98 ayat (3) UUPT, anggaran dasar atau keputusan RUPS. 2. Dalam hal ada kesalahan direktur. Dalam hal seseorang anggota direksi melakukan kesalahan (termasuk kelalaian) dalam menjalankan tugasnya, maka dia akan bertanggung jawab penuh secara pribadi (bukan tanggung jawab bersama). Jadi pada prinsipnya anggota direksi yang lain terbebas dari 104
Ketentuan Pasal 108 ayat (4) UUPT menyatakan bahwa dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) orang komisaris, mereka merupakan sebuah majelis. Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut ditegaskan bahwa sebagai majelis, maka komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri untuk mewakili perseroan.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
tanggung jawabnya. Ketentuan ini diatur secara tegas dalam Pasal 97 ayat (3) UUPT. Sistem otoritas individual representatif yang diberlakukan terhadap anggota direksi yang melakukan kesalahan ini sebenarnya adalah sebagai konsekuensi dari berlakunya tugas fiduciary dari direktur, yakni adanya kewajiban dari direksi untuk melakukan tugasnya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Hal ini mirip fiduciary duty seperti halnya yang diberlakukan di negara-negara yang menganut sistem hukum common law. Hal ini disebabkan karena konsep fiduciary duty berasal dari dan sangat berakar di negara-negara yang menganut sistem hukum anglo saxon, sehingga secara umum tidak ditemukan dasar hukum dalam sistem hukum Indonesia yang menganut sistem hukum kontinental. Akan tetapi dengan penyebutan bahwa direktur harus beritikad baik dan penuh tanggung jawab (Pasal 97 ayat (2) UUPT) meskipun berarti direktur tersebut belum berkedudukan sebagai trustee dari perusahaannya, seperti halnya dalam suatu fiduciary relationship, tetapi sudah sangat mirip dengan kedudukan direksi yang memiliki fiduciary duty tersebut. c. Sistem Kolegial Berbeda dengan organ komisaris yang melaksanakan tugas secara majelis, maka organ direksi melaksanakan tugas-tugas perseroan secara kolegial. Hal ini dapat terlihat dalam penjelasan atas Pasal 98 ayat (2) UUPT. Ini berarti bahwa dalam hal lebih dari seorang direktur untuk mewakili perseroan tanpa perlu ikut direktur yang lainnya, tetapi sejauh masih merupakan tindakan perseroan dan
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
tidak melanggar prinsip kehati-hatian sesuai ketentuan Pasal 97 UUPT, maka menurut Pasal 98 UUPT, Direktur yang lainnya yang sebenarnya tidak ikut berbuat, juga ikut bertanggung jawab secara bersama-sama (renteng). Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 14 UUPT. Model pelaksanaan tugas secara kolegial ini juga berlaku terhadap direktur yang melakukan tugas-tugas perseroan setelah anggaran dasarnya disahkan oleh Menteri Kehakiman, tetapi belum didaftarkan dalam daftar perusahaan dan belum diumumkan dalam Berita Negara. Bahkan dalam hal ini, keteledoran dalam pendaftaran mengantarkan direksinya tidak saja bertanggung jawab secara perdata, tetapi juga ikut bertanggung jawab secara pidana berdasarkan ketentuan tentang wajib daftar perusahaan. Pertanggung jawaban pidana ini sesuai dengan ketentuan Pasal 32 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan juncto Pasal 14 UUPT. Berbeda dengan pertanggung jawaban para pendiri yang tanggung jawabnya terhadap tindakannya pada masa sebelum pengesahannya, dimana dapat dikesampingkan oleh tindakan ratifikasi oleh perseroan, tetapi dalam hal tanggung jawab renteng direktur sebelum pendaftaran dan pengumuman suatu perseroan terbatas tetapi telah disahkan
anggaran
dasarnya
oleh
Menteri,
UUPT
tidak
memberikan
kemungkinan tindakan ratifikasi jadi tanggung jawab renteng tersebut bersifat mutlak.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
d. Prinsip Presumsi Kolegial Presumsi kolegial berlaku tidak ubahnya dengan prinsip umum dan tanggung jawab kolegial, yaitu tanggung jawab renteng misalnya diantara para direktur, jika salah seorang direktur menyebabkan kerugian bagi orang lain sejauh hal tersebut dilakukannya tidak dalam hal melanggar anggaran dasar atau melanggar tugas kehati-hatian dari direktur. Hanya saja, terhadap presumsi kolegial ini dibuka
kemungkinan
untuk
mengelak
dari
tanggung
jawab
renteng
pengecualiannya dengan sistem pembuktian terbalik (ompkering van bewijst last). Artinya kepada anggota direktur diberikan kemungkinan untuk mengelak dari tanggung jawab renteng jika dia dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Sistem tanggung jawab renteng juga diberlakukan terhadap direksi yang karena kesalahannya menimbulkan kepailitan terhadap suatu perseroan. Dalam Pasal 104 ayat (4) UUPT ditegaskan bahwa anggota direksi yang bisa membuktikan bahwa kepailitan perseroan tersebut bukan karena kesalahannya (kesengajaan atau kelalaian), maka dia tidak ikut bertanggung jawab secara renteng dengan anggota direktur lainnya. e. Prinsip Tanggung Jawab Individual Non Representatif Seseorang pada prinsipnya harus bertanggung jawab individu atau segala tindakan yang dilakukannya secara individu pula. Inilah yang disebut prinsip tanggung jawab non representatif. Dalam hal ini apakah seorang pekerja dapat dianggap sebagai pemikul beban tanggung jawab individual non representatif?. Jika dia melakukan tugas yang menyimpang dari tugas yang seharusnya
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
dilakukan untuk perusahaannya, maka benar bahwa dia bertanggung jawab secara individu non representatif. Maksudnya dia harus bertanggung jawab secara pribadi. f. Prinsip Tanggung Jawab Representatif Pengganti Apabila seorang pekerja, dalam hal melakukan tugasnya menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka dalam hal ini berlaku prinsip tanggung jawab non representatif sesuai dengan teori vicarious liability. Karena itu pula, jika seorang pekerja dalam melakukan tugasnya ternyata kemudian menimbulkan kerugian kepada pihak lain maka ada kemungkinan atasannya, termasuk Direktur yang membawahinya atau bahkan perusahaannya yang harus menanggung beban tanggung jawab. Dalam hal ini, sudah berlaku prinsip tanggung jawab representatif pengganti. Representatif karena pekerja tersebut bertindak untuk perusahaan (dalam menjalankan tugasnya) dan pengganti karena atasannya atau perusahaannya harus mengambil alih tanggung jawabnya. B. Tanggung Jawab Pidana 1. Pengertian Tanggung Jawab Pidana Pertanggung jawaban pidana tidak bisa dipisahkan dari perbuatan pidana. Artinya jika tidak ada perbuatan pidana maka tidak akan ada pertanggung jawaban pidana. Hal ini sesuai dengan prinsip yang berlaku dalam hukum pidana yang menyatakan tidak ada pidana tanpa kesalahan
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Uraian tentang konsep dasar pidana akan meliputi uraian tentang: a. b. c. d.
Unsur-unsur suatu tindak pidana (element of crimes); Klasifikasi tindak pidana; Pertanggung jawaban pidana (criminal liability); Alasan-alasan pengurangan atau penghapusan pidana (criminal defenses). 105 Dalam sistem common law, setiap orang yang melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a. Tertuduh telah melakukan perbuatan yang dituduhkan atau dikenal dengan istilah actus-reus; dan b. Tertuduh melakukan pelanggaran terhadap undang-undang dengan disertai niat jahat atau dikenal dengan istilah mens-rea. 106 Menurut hukum pidana Inggris, 107 Actus-reus mengandung prinsip bahwa: a. Perbuatan yang dituduhkan harus secara langsung dilakukan tertuduh. Pada prinsipnya seseorang tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatan orang lain, kecuali ia membujuk orang lain untuk melakukan pelanggaran undangundang atau tertuduh memiliki tujuan yang sama dengan pelaku pelanggaran tersebut. b. Perbuatan yang dituduhkan harus dilakukan tertuduh dengan sukarela (tanpa ada paksaan dari pihak lain); atau perbuatan dan akibatnya memang dikehendaki oleh tertuduh. c. Ketidaktahuan akan undang-undang yang berlaku bukan merupakan alasan pemaaf/yang dapat dipertanggung jawabkan. Adagium actus reus facit reum nisi mens sit rea atau tiada pidana tanpa kesalahan, maka konsekuensinya adalah bahwa hanya sesuatu yang memiliki kalbu saja yang dapat dibebani pertanggung jawaban pidana. Oleh karena hanya manusia yang memiliki kalbu sedangkan korporasi tidak memiliki kalbu, maka korporasi tidak 105
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000), halaman 55. 106 Ibid., halaman 56. 107 Ibid.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
mungkin dibebani pertanggung jawaban pidana. Namun demikian, dalam perkembangan hukum pidana, termasuk hukum pidana Indonesia ternyata akhir-akhir ini diterima pendirian bahwa, korporasi sekalipun pada dirinya tidak memiliki kalbu, dapat pula dibebani pertanggung jawaban pidana. Berbagai undang-undang tindak pidana khusus di Indonesia, bahkan sudah sejak tahun 1951 telah menjadikan korporasi sebagai subyek tindak pidana selain manusia, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun 1951 Tentang Penimbunan Barang-barang, dan setelah itu diikuti oleh berbagai undang-undang tindak pidana khusus yang lahir kemudian. Rancangan Undang-Undang KUHP (RUU KUHP) 2004 108 telah mengadopsi pendirian untuk menjadikan korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 44 dan Pasal 161 RUU KUHP tersebut. Disebutkan dalam Pasal 44 RUU KUHP, korporasi merupakan subyek tindak pidana. Sementara itu, Pasal 161 RUU KUHP memberikan definisi atau pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan setiap orang yang digunakan di semua rumusan delik RUU tersebut. Menurut ketentuan Pasal 161 RUU KUHP tersebut, “setiap orang adalah orang perseorangan, termasuk korporasi”. Maksud dari ketentuan itu tidak lain bahwa ke dalam apa yang dimaksudkan setiap orang bukan saja orang-perorangan (manusia), tetapi juga korporasi. 108
Direktorat Jenderal Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,
2004.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Tindak pidana dalam hukum pidana berbeda dengan perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata. Membedakan antara keduanya, yaitu antara tindak pidana dan perbuatan melawan hukum (yang dalam istilah bahasa Belanda disebut onrechtmatige daad dan dalam bahasa Inggris disebut a tort) tidaklah mudah. Baik tindak pidana maupun perbuatan melawan hukum keduanya adalah salah (wrong) dan masing-masing merupakan penyimpangan atau pelanggaran terhadap hukum (commission) dan terhadap kewajiban hukum (omission). Apabila pelanggaran tersebut menimbulkan konsekuensi pidana yang dilekatkan pada pelanggaran itu, maka pelanggaran itu merupakan tindak pidana. Konsekuensi pidana dimaksud adalah berupa tuntutan secara pidana di muka pengadilan pidana dan dijatuhi sanksi pidana jika terbukti bersalah. Dalam sistem hukum Indonesia, suatu perbuatan merupakan tindak pidana atau perilaku melanggar hukum pidana hanyalah apabila suatu ketentuan pidana yang telah ada menentukan bahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana. Hal ini berkenaan dengan asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana Indonesia sebgaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan, “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. 109
109
Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut memberikan jaminan bahwa seseorang tidak dapat dituntut berdasarkan ketentuan undang-undang secara berlaku surut. Semangat Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut telah ditegaskan oleh Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan, “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. 110 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, berlaku di Indonesia berdasarkan asas konkordansi yang memberlakukan wetboek van strafrecht (KUHP Belanda) di wilayah Hindia Belanda (Nederland Indie) pada tahun 1918. KUHP Belanda yang dibuat tahun 1880 berasal dari KUHP Perancis dibawah pemerintahan Napoleon (1801) setelah Napoleon menjajah Belanda dalam upaya menguasai Eropa. KUHP Perancis yang kemudian melahirkan pula KUHP Belanda dan selanjutnya berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di Indonesia, telah dibuat berdasarkan pendirian bahwa hanya manusia yang dapat melakukan tindak pidana (subyek tindak pidana). Hal ini dapat diketahui dari frase hij die yang digunakan dalam rumusan berbagai strafbaar feit (tindak pidana atau delik) dalam wetboek van koophandel (Wvk) atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Frase tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan frase “barang siapa” yang 110
Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
berarti “siapa pun”. Karena dalam bahasa Indonesia kata “siapa” merujuk kepada “manusia”, maka frase “barang siapa” atau “siapa pun” berarti “setiap manusia” atau “setiap orang”. Pada saat ini pembuat undang-undang yang menggunakan istilah “barang siapa” bukan hanya untuk pengertian “setiap manusia” atau “setiap orang”, melainkan juga untuk pengertian baik “setiap orang perorangan (natural person)” maupun “setiap korporasi”. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia tidak mengatur pertanggung jawaban pidana korporasi. Demikian pula UU BUMN maupun UUPT tidak mengatur sanksi pidana terhadap penyimpangan atau pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi atau badan hukum perseroan, direksi atau pengurus perseroan maupun terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh komisaris selaku pengawas perseroan. Menurut sistem KUHP Indonesia yang saat ini masih berlaku, korporasi belum ditentukan sebagai subyek hukum pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 59 KUHP, KUHP Indonesia masih menganut sistem yang umum, bahwa tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia. Walaupun di dalam KUHP terdapat pasal yang menyangkut korporasi sebagai subyek hukum pidana, tetapi yang diancam pidana adalah orang dan bukan korporasi itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 169 KUHP tentang turut serta dalam perkumpulan yang melakukan kejahatan. Korporasi sebagai subyek hukum pidana justru banyak diatur dalam perundangundangan di luar KUHP. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Ketentuan tersebut dibuat karena kebutuhan dalam pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, dan hal inilah yang menjadi embrio aturan atau ketentuan hukum pidana untuk ditetapkan dalam sistem KUHP yang akan datang. Disamping KUHP yang hanya ditujukan kepada manusia sebagai pelaku tindak pidana, di dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, baik yang lama (HIR) maupun yang baru yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sekarang berlaku ternyata juga hanya dijumpai pengaturan untuk melakukan penuntutan terhadap manusia. Dalam KUHAP tidak dijumpai pengaturan untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana selain manusia (yang bukan manusia), misalnya korporasi.111 Dari pengertian, siapa yang dimaksudkan dengan tersangka, terdakwa, rehabilitasi, dan terpidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 KUHAP dapat diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan pelaku tindak pidana hanyalah manusia. 111
Dalam hukum perdata, suatu korporasi berbadan hukum dapat digugat dan di hukum oleh hakim perdata untuk membayar ganti rugi kepada penggugat yang mengalami kerugian akibat perbuatan melawan hukum oleh korporasi yang berbadan hukum itu.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
KUHAP memberikan pengertian terhadap istilah-istilah tersebut sebagai berikut: Tersangka adalah orang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana; Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan; Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini; Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Peraturan perundang-undangan yang mengatur sanksi terhadap tindak pidana masih besifat fragmentaris atau terpisah-pisah belum terpadu. Di satu sisi KUHP sebagai salah satu crimes justice system belum mampu memenuhi tuntutan perkembangan jaman. Walaupun dalam beberapa perundang-undangan di luar KUHP telah diatur mengenai korporasi sebagai pelaku tindak pidana (subjek tindak pidana). Hal ini dapat dijumpai, misalnya dalam Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang memberikan pengertian orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Menyimak ketentuan di atas, di bidang lingkungan hidup dapat dilakukan oleh korporasi. 112 Problem utama tiap masyarakat modern bukan menginginkan perusahaan yang besar, melainkan apa yang dapat diharapkan terhadap perusahaan besar tersebut guna melayani kepentingan masyarakat dalam upaya mewujudkan cita-cita masyarakat sejahtera. 113 Korporasi sebagai subjek hukum tidak hanya menjalankan kegiatannya sesuai dengan prinsip ekonomi (mencari keuntungan yang sebesarbesarnya) tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum di bidang ekonomi yang digunakan pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. 114 Direksi sebagai organ perseroan memiliki tanggung jawab penuh dalam pengurusan dan pengelolaan kegiatan perseroan dan mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Artinya segala tindakan dan perbuatan perseroan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan perseroan menjadi tanggung jawab direksi kecuali ditentukan lain oleh UU BUMN maupun UUPT, anggaran dasar dan keputusan RUPS. 112
Korporasi diartikan sebagai kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan. 113 Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997, halaman 7, menyatakan: Pembangunan yang komprehensif harus memperhatikan hak-hak asasi manusia, keduanya tidak dalam posisi yang berlawanan, dan dengan demikian pembangunan akan mampu menarik partisipasi masyarakat. 114 A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan Dan Relevansinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), halaman 122-123.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Sebagaimana telah diuraikan diatas, KUHP hanya mengenal manusia sebagai pelaku tindak pidana. Direksi yang merupakan personifikasi perseroan, yang mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan, tampaknya memikul tanggung jawab yang sangat berat. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 59 KUHP yang menyatakan: “Dalam hal-hal pelanggaran ditentukan pidananya diancamkan kepada pengurus, anggota-anggota badan pengurus, atau komisariskomisaris, maka tidak dipidana pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tersebut”. 115 Semangat yang ditunjukkan oleh Pasal 59 KUHP tersebut adalah bahwa tindak pidana tidak pernah dilakukan oleh korporasi tetapi dilakukan oleh pengurusnya. Sebagai konsekuensinya, pengurus itu pula yang dibebani pertanggung jawaban pidana sekalipun pengurus melakukan perbuatan itu untuk dan atas nama korporasi, atau untuk kepentingan korporasi, atau bertujuan untuk memberikan manfaat bagi korporasi dan bukan bagi pribadi pengurus. Di dalam KUHP Indonesia, tidak terdapat satu pasal pun yang menentukan pelaku tindak pidana yang bukan manusia. Dengan kata lain, tidak terdapat satu pasal pun dalam KUHP yang menentukan tindak pidana dapat dilakukan oleh suatu korporasi. Dalam KUHP, selain digunakan istilah “barang siapa” manusia sebagai pelaku tindak pidana juga dimunculkan dalam berbagai istilah yang lain, misalnya “setiap orang” (Pasal 2 dan Pasal 4 KUHP), “Warga Negara Indonesia” (Pasal 5 115
Pasal 59 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
KUHP), “pejabat” (Pasal 7 KUHP), “dokter” (Pasal 267 KUHP), “orang dewasa” (Pasal 292 KUHP), “seorang pengusaha, seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau koperasi, yang sengaja mengumumkan daftar atau neraca yang tidak benar, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan” (Pasal 392 KUHP), “seorang pengacara” (Pasal 393 bis. KUHP). Sebagaimana dikatakan oleh Remmelink, bahwa meskipun demikian, pembuat undang-undang dalam merumuskan delik sering terpaksa turut memperhitungkan kenyataan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang dalam hukum keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum administrasi), muncul sebagai satu kesatuan dan karena itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum korporasi. Dalam KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika berhadapan dengan situasi seperti ini. 116 Remmelink memberikan contoh Pasal 342 Sr. (Belanda), sama bunyinya dengan Pasal 398 KUHP (Indonesia), yaitu: seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Inonesia atau pekumpulan korporasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan, diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan jika yang bersangkutan turut membantu atau mengijinkan untuk melakukan perbuatanperbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau sebagian besar dari kerugian diderita oleh perseroan, maskapai atau perkumpulan. 117 Menurut Barda Nawawi Arief, : “Untuk adanya pertanggung jawaban pidana harus jelas lebih dahulu siapa yang dapat dipertanggung jawabkan, artinya harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pelaku suatu tindak pidana tertentu. Masalah ini menyangkut masalah subyek tindak pidana yang pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk pidana yang bersangkutan. 116
Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting Dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), halaman 97, dalam Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Graffiti Pers, 2006), halaman 31. 117 Ibid.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Setelah pelaku ditentukan, selanjutnya bagaimana mengenai pertanggung jawaban pidananya.” 118 Mengenai sifat pertanggung jawaban korporasi (badan hukum) dalam hukum pidana terdapat beberapa cara atau sistem perumusan yang ditempuh oleh pembuat undang-undang, yaitu: a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab; 119 b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab; 120 c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab.121 Pertanggung jawaban pidana badan hukum dalam kasus lingkungan hidup, diatur dalam Pasal 46 UUPLH. Berdasarkan Pasal 46 UUPLH, pertanggung jawaban pidana badan hukum dapat dimintakan kepada badan hukum, pengurus badan hukum atau badan hukum bersama-sama dengan pengurus. Artinya pertanggung jawaban 118
Muladi dan Dwija Prayitno, Pertanggung Jawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Sekolah Tinggi Hukum, 1991), halaman 66-67, dalam Alvi Syahrin, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau Kerusakan Lingkungan Hidup, (Medan: Jurnal Hukum, Magister Ilmu Hukum, PPs USU, 2005), halaman 51. 119 Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat (pelaku) dan penguruslah bertanggung jawab, kepada pengurus dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan tersebut sebenarnya merupakan kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat suatu alasan yang menghapuskan pidana. Dasar pemikirannya yaitu korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggung jawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu penguruslah yang melakukan tindak pidana itu, dan karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana. 120 Dalam hal korporasi sebagai pembuat (pelaku) dan pengurus yang bertanggung jawab, dipandang dilakukan oleh korporasi yaitu apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dan badan hukum tersebut. Sifat dan perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi bertanggung jawab pidana, terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu. 121 Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri. Ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidak cukup karena badan hukum menerima keuntungan dan masyarakat sangat menderita kerugian atas tindak terlarang tersebut. Lihat, Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), halaman 77.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
pidana perseroan bukan hanya tanggung jawab direksi perseroan, tetapi juga merupakan tanggung jawab perseroan. Kapan dimintakannya pertanggung jawaban pidana kepada badan hukum itu sendiri, atau kepada pengurus, ini menjadi permasalahan dalam praktik, 122 karena dalam kasus lingkungan hidup, ada kesulitan untuk membuktikan hubungan kausal antara kesalahan di dalam struktur usaha dan perilaku/perbuatan yang secara konkrit telah dilakukan. Ada beberapa teori pertanggung jawaban pidana korporasi, diantaranya: a. Doktrin pertanggung jawaban pidana langsung (direct liability doctrine) atau teori identifikasi (identification theory) atau disebut juga teori/doktrin alter ego atau teori organ. Perbuatan/kesalahan pejabat senior (senior officer) diidentifikasikan sebagai perbuatan/kesalahan korporasi. b. Doktrin pertanggung jawaban pidana pengganti (vicarious liability). Bertitik tolak dari doktrin respondeat superior. Didasarkan pada employment principle bahwa majikan adalah penanggung jawab utama dari perbuatan buruh/karyawan. c. Doktrin pertanggung jawaban yang ketat menurut undang-undang (strict liability). Pertanggung jawaban korporasi semata-mata berdasarkan undangundang, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau tidak memenuhi kewajiban/kondisi/situasi tertentu yang ditentukan undang-undang. 123 Untuk menghindari kesulitan pembuktian di atas, memang bisa dilakukan dengan meletakkan soal dapat tidaknya dimintakan pertanggung jawaban pidana terhadap badan hukum yaitu dengan cara mengklasifikasikan pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban badan hukum untuk melakukan pengawasan serta tidak dipenuhinya dengan baik fungsi kemasyarakatan yang dimiliki oleh badan hukum. 122
Smith dan Hogan, Criminal Law, (London: Dublin and Edinburg, 1992), halaman 125, menyatakan bahwa korporasi dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana hanya terbatas kepada dewan direksi, komisaris atau pihak yang berwenang lainnya yang mewakili perusahaan. 123 Alvi Syahrin, Op.cit., halaman 52.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Menetapkan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana, dapat dengan berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut. Badan hukum diperlakukan sebagai pelaku jika terbukti tindakan yang dilakukan oleh direksi maupun perangkat organisasi yang ada dibawahnya dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan perseroan. Perseroan sebagai pelaku tindak pidana dapat juga dilihat dari kewenangan yang ada pada badan hukum perseroan tersebut. Badan hukum perseroan secara faktual mempunyai wewenang mengatur/menguasai dan/atau memerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindakan terlarang. Badan hukum perseroan yang dalam kenyataannya kurang/tidak melakukan dan/atau mengupayakan kebijakan atau tindak pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindak terlarang dapat diartikan bahwa badan hukum perseroan itu menerima terjadinya tindakan terlarang tersebut, sehingga perseroan atau korporasi dinyatakan bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Badan hukum misalnya, dalam pengelolaan lingkungan hidup mempunyai kewajiban-kewajiban 124 untuk membuat kebijakan/langkah-langkah yang harus diambilnya, 125 yaitu: 124
Menurut Alvi Syahrin, kewajiban adalah suatu peran yang harus dilaksanakan oleh pemegangnya. Setiap orang dapat dipaksa untuk melaksanakan kewajibannya. Sehubungan dengan pelaksanaan kewajiban tesebut, Hukum Pidana baru berlaku atau diterapkan jika orang tersebut: 1. Sama sekali tidak melakukan kewajibannya; 2. Tidak melaksanakan kewajibannya itu dengan baik sebagaimana mestinya, yang dapat berarti: a. Kurang melaksanakan kewajibannya; b. Terlambat melaksanakan kewajibannya;atau c. Salah dalam melaksanakan kewajibannya, baik secara disengaja maupun tidak disengaja;
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
a. Merumuskan kebijakan di bidang lingkungan. b. Merumuskan rangkaian/struktur organisasi yang layak (pantas) serta menetapkan siapa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan lingkungan tersebut. c. Merumuskan instruksi/aturan-aturan internal bagi pelaksanaan aktivitasaktivitas yang mengganggu lingkungan dimana juga harus diperhatikan bahwa pegawai-pegawai perusahaan mengetahui dan memahami instruksiinstruksi yang diberlakukan peusahaan yang bersangkutan. d. Penyediaan sarana-sarana finansial atau menganggarkan biaya pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup. Menurut Muladi, 126 berkaitan dengan pertanggung jawaban korporasi dan memperhatikan dasar pengalaman pengaturan hukum positif serta pemikiran yang berkembang maupun kecenderungan internasional, maka pertanggung jawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Korporasi mencakup baik badan hukum (legal entity) maupun non badan hukum seperti organisasi dan sebagainya; b. Korporasi dapat bersifat privat (private judicial entity) dan dapat pula bersifat publik (public entity); c. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam bentuk organisasional, maka orang alamiah (managers, agents, employers) dan korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (bipunishment provision); d. Terdapat kesalahan manajemen korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach of statutory or regulatory provision; e. Pertanggung jawaban badan hukum dilakukan terlepas dari apakah orang-orang yang bertanggung jawab di dalam badan hukum tersebut berhasil diidentifikasikan, dituntut, dan dipidana; f. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara. Dalam hal ini perlu dicatat d.
Menyalahgunakan pelaksanaan kewajiban tersebut. Alvi Syahrin, Asas-asas Dan Penegakan Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2002), halaman 62. 126 Muladi, Prinsip-prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, Makalah, Seminar Kajian Dan Sosialisasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, (Semarang: FH UNDIP, 1998), halaman 17-18. 125
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
bahwa di Amerika Serikat mulai dikenal apa yang dinamakan corporate death penalty dan corporate imprisonment yang mengandung pengertian larangan suatu korporasi untuk berusaha di bidang-bidang tertentu dan pembatasanpembatasan lain terhadap langkah-langkah korporasi dalam berusaha; g. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan perorangan; h. Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan korporasi untuk mengendalikan perusahaan melalui kebijakan pengurus atau para pengurus (corporate executive officers) yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan (power of decision) dan keputusan tersebut telah diterima (accepted) oleh korporasi tersebut. Selanjutnya, direksi tidak dapat melepaskan dirinya dari pertanggung jawaban pidana dalam hal perusahaan yang dipimpinnya mencemari dan/atau merusak lingkungan, oleh karena berdasarkan pada Pasal 5 ayat (2) UU BUMN juncto Pasal 92 ayat (1), Pasal 97 ayat (1), Pasal 98 ayat (1), dan Pasal 2 UUPT dan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPLH serta prinsip-prinsip hukum yang terbit dari adanya duty of care. 127 Duty of Care direksi, antara lain: a. Direktur mempunyai kewajiban untuk pengelolaan perusahaan dengan itikad baik (good faith) dimana direktur tersebut harus melakukan upaya yang terbaik dalam pengelolaan perusahaan sesuai dengan kehati-hatian (care) sebagaimana orang biasa yang harus berhati-hati;
127
Katarina Pistor dan Chenggang Xu, Fiduciary Dutyin Transitional Civil Law Jurisditions, (Europe: ECGI, 2002), halaman 245, dikatakan bahwa konsep fiduciary duty dari anglo American tidak mudah untuk diangkat, baik ke dalam sistem civil law atau ke dalam transisi ekonomi. Konsep ini merupakan hal yang penting bagi pengadilan karena menyebabkan pengadilan bersifat reaktif. Implikasi normatif dari analisis ini bahwa usaha perubahan dititikberatkan pada peran pengadilan. Tata cara atau prosedur yang harus diperketat dan peraturan-perauran substantif harus dibuat untuk menggalakkan lembaga litigasi.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
b. Kewajiban atas standar kehati-hatian ditentukan oleh kewajiban seorang direktur sesuai dengan penyelidikan yang rasional. Artinya sebelum direksi mengambil suatu kebijakan atau keputusan dalam rangka pengurusan dan pengelolaan BUMN, direksi wajib mempertimbangkan untung ruginya bagi perusahaan atau harus benar-benar dikaji secara komprehensif dari berbagai aspek terutama dari aspek hukum dan ekonomi, agar tindakan itu tidak sampai menimbulkan kerugian bagi perusahaan. 2. Unsur Tanggung Jawab Pidana Teori pemisahan antara tindak pidana dan pertanggung jawaban pidana membawa beberapa konsekuensi. Hal ini pertama-tama berpengaruh terhadap pengertian tindak pidana itu sendiri. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kesalahan dan pertanggung jawaban pidana masih menyisakan berbagai persoalan dalam hukum pidana. Hal ini bukan hanya dalam lapangan teoritis, tetapi lebih jauh lagi dalam praktik hukum. Kenyataan dalam praktek peradilan di Indonesia menunjukkan belum adanya kesamaan pola menentukan kesalahan dan pertanggung jawaban pembuat tindak pidana. Sebagai contoh, dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 18 September 1991 Nomor 1352 K/Pid/1991, kesalahan terdakwa dipandang terbukti dengan sendirinya ketika seluruh unsur tindak pidana telah dapat dibuktikan. Sementara itu, dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 18 Mei 1992 Nomor 14 K/Pid/1992, Majelis Hakim Agung setelah mempertimbangkan kesengajaan terdakwa dalam menentukan pertanggung jawaban pidananya. Sekalipun dalam rumusan tindak
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
pidana yang didakwakan, tidak terdapat unsur “dengan sengaja”, tetapi hal itu dipertimbangkan majelis hakim. Hal ini dapat dipandang kesalahan terdakwa dipertimbangkan setelah dan di luar dari tindak pidana yang didakwakan. Dengan demikian, dalam kedua putusan Mahkamah Agung tersebut, terdapat cara penentuan kesalahan dan pertanggung jawaban yang sangat berbeda satu sama lain. Kenyataan di atas sepintas lalu dapat dijelaskan dengan pandangan schaffmeister yang menyatakan bahwa, penggunaan kesalahan sebagai dasar pemidanaan bukan keharusan menurut undang-undang yang empiris, tetapi asas normatif. 128 Konsekuensinya, seolah-olah memang tidak ada standar dalam menentukan kesalahan dan pertanggung jawaban pidana. Hal demikian ini berdampak pada tidak adanya pola yang seragam menentukan hal itu dalam setiap putusan pengadilan. Namun demikian, seperti dikatakan Curzon, diyakini pula bahwa untuk dapat mempertanggung jawabkan seseorang dan karenanya mengenakan pidana terhadapnya, tidak boleh ada keraguan sedikitpun pada diri Hakim tentang kesalahan terdakwa. 129
128
Schaffmeister, N. Keijer dan PH. Sitorus, Hukum Pidana, dalam Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggung Jawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Yogyakarta: Liberty, 1995), halaman 82. 129 L.B. Curzon, Criminal Law, (London: M&E Pitman Publishing, 1997), halaman 23, dikatakannya bahwa kesalahan merupakan “the need for proof beyond reasonable doubt”.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Hal ini menyebabkan penentuan kesalahan dan pertanggung jawaban pidana mesti dapat dipolakan. Pertanyaan yuridis berkenaan dengan hal itu, apakah sebenarnya yang menjadi dasar penentuan kesalahan dan pertanggung jawaban pidana terhadap diri terdakwa. Jawaban persoalan di atas tidak dapat begitu saja ditemukan jawabannya dalam peraturan perundang-undangan. Hingga kini masalah kesalahan dan pertanggung jawaban pidana belum mendapat porsi yang cukup dalam peraturan perundang-undangan. Adapun unsur-unsur pertanggung jawaban secara pidana adalah sebagai berikut: a. Bahwa perbuatan yang dilakukan mengandung unsur melawan hukum; b. Bahwa perbuatan itu mengandung unsur kesengajaan; c. Ada penyalahgunaan wewenang berkaitan dengan jabatan yang melekat pada dirinya; d. Bahwa perbuatan itu merugikan keuangan maupun perekonomian negara dan masyarakat. Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang mengandung unsur perbuatan atau tindakan yang dapat dipidana dan unsur pertanggung jawaban pidana kepada pelakunya. Sehingga dalam syarat hukuman pidana terhadap seseorang secara ringkas dapat dikatakan bahwa tidak ada hukuman pidana terhadap seseorang tanpa adanya hal-hal yang secara jelas dapat dianggap memenuhi syarat atas kedua unsur tersebut.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi hukum pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan. Sedangkan sebagai dasar pertanggung jawaban adalah kesalahan yang dapat di pidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuannya itu. Dengan kata lain, hanya dengan hubungan batin inilah maka perbuatan yang dilarang itu dapat dipertanggung jawabkan kepada si pelaku. Dalam kebanyakan rumusan delik pidana, unsur kesengajaan merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila di dalam suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan. Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang
dilakukannya
itu
dilakukan
dengan
sengaja,
terkandung
pengertian
menghendaki dan mengetahui (willens en wetens), yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau harusah menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wetens atau haruslah mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat. Disini dikaitkan
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Van Hippel 130 maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sengaja adalah kehendak membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan itu atau akibat dari perbuatannya itu yang menjadi maksud dari dilakukannya perbuatan itu. Jika unsur kehendak dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan tidak dapat dibuktikan dengan jelas secara materil, karena memang maksud dan kehendak seseorang itu sulit untuk dibuktikan secara materil, maka pembuktian adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga perbuatannya itu dapat dipertanggung jawabkan kepada si pelaku seringkali hanya dikaitkan dengan keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu ia melakukan perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan tersebut. Selain unsur kesengajaan di atas ada pula yang disebut unsur kelalaian atau kealpaan (culpa), yang dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld) dan kealpaan disadari (bewuste schuld). Dimana dalam unsur ini faktor terpentingnya adalah pelaku dapat menduga terjadinya akibat dari perbuatannya itu atau pelaku kurang berhati-hati. Kembali kepada pokok pembahasan dalam materi pertanggung jawaban pidana oleh direksi dalam pengurusan BUMN, sebagai contoh dalam pengurusan Bank. Tindak pidana perbankan hanya meliputi tindak pidana yang secara yuridis normatif diatur dan dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 130
Chairul Huda, Op.cit., halaman 97.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (UU Perbankan), sedangkan tindak pidana di bidang perbankan dapat meliputi semua tindak pidana yang berkaitan dengan dunia perbankan. Bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa pemalsuan uang ke dalam tindak pidana di bidang perbankan. Dengan demikian, tindak pidana di bidang perbankan dapat mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Di dalamnya dapat mencakup tindak pidana berupa pemalsuan sertifikat tanah untuk memperoleh agunan, credit card dan lain-lain. 131 Pasal 48 UU Perbankan menyatakan: (1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5,000,000,000.- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100,000,000,000.- (seratus miliar rupiah); (2) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda sekurang-kurangnya Rp. 1,000,000,000.(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 2,000,000,000.- (dua miliar rupiah). Dalam Pasal 49 UU Perbankan disebutkan: (1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja: a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank; b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun 131
Andi Hamzah, Hukum Pidana Khusus (Economic Crime), Makalah, Penataran Nasional Hukum Pidana Dan Kriminologi, (Semarang, 1998), halaman 20.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank; c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp. 10,000,000,000.- (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200,000,000,000.- (dua ratus miliar rupiah); (2) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja: a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank; b. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangya Rp. 5,000,000,000.- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100,000,000,000.- (seratus miliar rupiah). Dari ketentuan UU Perbankan tersebut jelas terlihat konsekuensi hukum bagi direksi, komisaris maupun pekerja yang melakukan pelanggaran tindak pidana. Disamping rumusan perbuatannya jelas, sanksi pidananya juga jelas hanya saja ancaman pidana minimal seharusnya juga dicantumkan, sehingga pengadilan tidak ragu-ragu atau tidak bisa main-main dalam menentukan hukuman pidananya. Tetapi sayangnya UU BUMN tidak mengatur mengenai tindak pidana dalam pengurusan BUMN. Sehingga harus merujuk pada peraturan perundang-undangan yang mengatur
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
pidana baik yang dimuat di dalam KUHP maupun yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan sektoral lainnya.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
BAB IV PENERAPAN PRINSIP BUSINESS JUDGEMENT RULE SEBAGAI WUJUD PERLINDUNGAN TERHADAP DIREKSI DALAM PENGURUSAN BUMN
A. Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgement Rule The business judgement rules both shields directors form liability when it’s five elements – a business decision, disinterestedness, due care, good faith and abuse of discretion – are present and creates a presumption in favor of the directors that each of these elements has been satisfied.132 Dengan demikian, direksi sebagai eksekutif perseroan terbatas, harus mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance), yaitu mengikuti undang-undang, anggaran dasar perseroan, dan mekanisme pengambilan keputusan. Direksi mempunyai kekuasaan yang besar dalam mengambil keputusan berdasarkan business judgement rule. Direksi tidak dapat diganggu gugat perdata atau dituntut pidana, bila ia mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan bahwa keputusan tersebut adalah sebaik-baiknya untuk kepentingan perseroan, telah sesuai dengan undang-undang, anggaran dasar perseroan, atau mekanisme pengambilan keputusan, serta berdasarkan itikad baik dan tanpa ada pertentangan kepentingan (conflict of interest) dengan dirinya pribadi. 133 Berikut dibawah ini akan membahas lebih lanjut mengenai duty of 132
Dennis J. Block, (et.al), Third Edition, The Business Judgement Rule, Fiduciary Duties of Corporate Directors, (NJ: Prentice Hall Law & Business, 1989), halaman 29.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
care dan standard of care, duty of loyalty serta duty of candor dalam hubungannya dengan business judgement rule. 1. Duty of Care and Standard of Care a. Duty of Care The duty of care requires that the directors, in the performance of their corporate responsibilities, exercise the care that an ordinarily prudent person would exercise under similar circumstances. As summing no other breach of fiduciary duties or violation of applicable law, a director who performs his duties in compliance with the applicable standard of care will be absolved of liability. 134 Perlakuan demikian adalah adil terutama bagi direksi yang telah melaksanakan tugasnya dengan itikad baik, hati-hati, dan jujur semata-mata melaksanakan tugasnya sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan. Direksi dalam menjalankan perusahaan berdasarkan kewenangan yang ada harus selalu waspada dan bertindak dengan perhitungan yang cermat. Dalam kebijakan yang dibuatnya, direksi harus selalu bertindak dengan hati-hati dan mempertimbangkan keadaan, kondisi dan biaya pengelolaan yang besar. 135 Dalam duty of care, direksi dituntut pertanggung jawaban secara hukum dan duty of care ini 133
Erman Rajagukguk, Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara, Makalah, disampaikan pada Peran BUMN Dalam Mempercepat Pertumbuhan Perekonomian Nasional, (Jakarta, 12-13 April 2007), halaman 7. 134 Dennis J. Block, (et.al), Op.cit., halaman 28. 135 Misahardi Wilamarta, Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam Rangka Good Corporate Governance, (Jakarta: PPs Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), halaman 140, dalam Ridwan Khairandy dan Camelia Malik, Good Corporate Governance, Perkembangan Pemikiran Dan Implementasinya Di Indonesia Dalam Perspektif Hukum, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007), halaman 46.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
wajib diterapkan bagi direksi dalam membuat setiap kebijakan perseroan dan dalam mengawasi serta memonitoring kegiatan perseroan. 136 Dengan adanya duty of care maka direksi diharuskan untuk bertindak dengan kehati-hatian dalam membuat segala keputusan dan kebijakan perseroan. Dalam membuat setiap kebijakan direksi harus tetap mempertimbangkan segala informasi-informasi yang ada secara patut dan wajar. 137 Seorang pengurus perseroan dikatakan sudah melanggar duty of care, apabila dia telah melakukan kelalaiannya (negligence) dan mis-management, seperti: 1. Melakukan tindakan tanpa pembenaran yang rasional; 2. Tidak mencurahkan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap perusahaan; 3. Tidak melakukan investigasi yang reasonable terhadap masalah-masalah perseroan; 4. Tidak menghadiri rapat-rapat direksi; 5. Tidak mengawasi bawahannya sehingga tindakan bawahannya tersebut merugikan perseroan; 6. Tidak mencari tahu secara layak tentang masalah-masalah perseroan; 7. Tidak melakukan tindakan-tindakan yang perlu dalam menjalankan tugasnya. 138 b. Standard of Care Standard of care merupakan suatu standar yang mewajibkan seseorang dalam bertindak untuk tetap memperhatikan segala resiko, bahaya dan perangkap yang ada dan berupaya untuk meminimalisir munculnya resiko-resiko tersebut. Sehingga dalam bertindak seorang direksi harus menerapkan prinsip kehati-hatian dan 136
Lymann P.Q. Johnson, The Audit Committee’s Ethical And Legal Responsibilities: The State Law Perspective, (Fall, 2005), halaman 35, dalam Ridwan Khairandy dan Camelia Malik, Ibid. 137 Daniel P. Hann, Emmerging Issues In US Corporate Governance: Are The Recent Reforms Working?, Defence Council Journal, Volume 68, April 2001, halaman 194, dalam Ridwan Khairandy dan Camelia Malik, Ibid. 138 Munir Fuady, Op.cit., halaman 86.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
ketelitian, supaya dapat menghindari segala kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan. 139 Black’s Law Dictionary mendefenisikan standard of care dengan: “In law of negligence, that degree of care which a reasonably prudent person should exercise in same or similar circumstances. If a person’s conduct falls below such standard, he may be liable in damages for injuries or damages resulting form his conduct”. 140 Standar kehati-hatian (standard of care) antara lain: 1. Pengurus perseroan yakni direktur tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan atas beban biaya perseroan, apabila tidak memberikan sama sekali atau memberikan sangat kecil manfaat kepada perseroan bila dibandingkan dengan manfaat pribadi yang diperoleh oleh direktur yang bersangkutan. Namun demikian hal ini dapat dikecualikan, apabila dilakukan atas beban biaya representasi jabatan dari direktur yang bersangkutan berdasarkan keputusan RUPS. 2. Pengurus perseroan yang diwakilkan kepada seorang direktur tidak boleh menjadi pesaing bagi perseroan yang dipimpinnya, misalnya dengan mengambil sendiri kesempatan bisnis yang seharusnya disalurkan kepada dan dilakukan oleh perseroan yang dipimpinnya tetapi kesempatan bisnis itu disalurkan kepada perseroan lain yang didalamnya terdapat kepentingan pribadi direktur tersebut. 3. Pengurus perseroan yang diwakilkan kepada seorang direktur harus menolak untuk mengambil keputusan mengenai suatu hal yang diketahuinya atau sepatutnya diketahuinya akan mengakibatkan perseroan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku sebagai perseroan diancam dikenakan sanksi oleh otoritas yang berwenang, misalnya dicabut izin usahanya atau digugat oleh pihak lain. 4. Pengurus perseroan yang diwakilkan kepada seorang direktur dengan sengaja atau karena kelalaiannya telah melakukan atau tidak cukup melakukan upaya atau tindakan yang perlu diambil untuk mencegah timbulnya kerugian bagi perseroan. 5. Pengurus perseroan yang diwakilkan kepada seorang direktur dengan sengaja atau karena kelalaiannya telah tidak melakukan atau telah tidak cukup
139 140
Ridwan Khairandy dan Camelia Malik, Loc.cit. Henry Chambell Black, Op.cit., halaman 977.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
melakukan upaya atau tindakan yang perlu diambil untuk meningkatkan keuntungan perseroan. 141 Dalam common law system, acuan yang dipakai adalah standard of care atau standar kehati-hatian. Apabila direktur telah bersikap dan bertindak melanggar standard of care, maka direktur tersebut dianggap telah melanggar duty of care, direktur dianggap telah memenuhi kewajiban menjalankan prinsip duty of care apabila telah memenuhi beberapa persyaratan yaitu: 1. Membuat keputusan bisnis yang tidak ada unsur kepentingan pribadi, berdasarkan informasi yang mereka percaya didasari oleh keadaan yang tepat. 2. Secara rasional mempercayai bahwa keputusan bisnis tersebut dibuat untuk kepentingan terbaik bagi perusahaan. 142 Dalam penjelasan tersebut diatas sangat jelas bagi direksi untuk memahami dengan betul bahwa standar kehati-hatian merupakan keharusan dilaksanakan dalam pengelolaan peusahaan yang dipimpinnya. Tidak dilakukannya standar kehati-hatian merupakan pelanggaran terhadap duty of care yang pada akhirnya tidak dapat dilakukan pembelaan direksi melalui mekanisme business judgement rule. 2. Duty of Loyalty Kewajiban lainnya yang menjadi tugas direksi sebagai organ perseroan terikat pada kewajiban untuk loyal (duty of loyalty) dan patuh pada perusahaan. Secara teoritis adanya kewajiban tersebut membuat direksi wajib membayar ganti rugi apabila melanggar kewajibannya. Normalnya, apabila terjadi pelanggaran kewajiban pejabat perusahaan diberi peringatan, mutasi atau diberhentikan. Pada dasarnya
141
Sutan Remy Sjahdeini, Tanggung Jawab Pemegang Saham Perseroan Pailit, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 14, Juli 2001, halaman 100. 142 Bismar Nasution dan Zulkarnain Sitompul, Hukum Perusahaan, (Bandung: BooksTerrace & Library, 2005), halaman 180.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
kedudukan yang dipegang oleh direksi berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh dewan komisaris. The Corporate Director’s Guidenbook, sebuah terbitan yang disusun The Committee Corporate Law of The Section of Corporation, hukum perbankan dan bisnis (kini bagian hukum bisnis) dari Asosiasi Pengacara Amerika, menjelaskan pengertian duty of loyalty sebagai berikut: “By assuming his office, the corporate director commits allegiance to the enterprise and acknowledges that the best interests of the corporation and its shareholders must prevail over any individual interest on his own. The basic principle to be observed is that the director should not use his corporate position to make a personal profit or gain other personal advantage”. 143 Sikap setia yang harus ditunjukkan oleh direksi dalam perusahaan adalah sikap yang didasarkan pada pertimbangan rasional dan profesional. Dalam arti direksi harus mampu bersikap tegas sesuai dengan visi serta anggaran dasar perseroan. Maksud dari kesetiaan adalah direksi harus selalu berpihak pada kepentingan perusahaan yang dipimpinnya. Direksi yang diberikan kepercayaan oleh pemegang saham harus bertindak untuk kepentingan pemegang saham dan stakeholders, bertindak untuk kepentingan dan tujuan perseroan, serta bertindak dengan mengutamakan kepentingan perseroan di atas kepentingan pribadi. 144 Black’s Law Dictionary mendefenisikan duty of loyalty dengan “A person’s duty not to engage in self-dealing or otherwise use his or her position to further personal interest rather than those of the beneficiary”. 145
143
Dennis J. Block, (et.al), Op.cit., halaman 73. Sergei Parijs, Fairness Opinions And Liability, (Kluwer: The Netherlands, 2005), halaman 142-143, dalam Ridwan Khairandy dan Camelia Malik, Op.cit., halaman 49-50. 145 Henry Chambell Black, Op.cit., halaman 545, dalam Ridwan Khairandy dan Camelia Malik, Ibid., halaman 50. 144
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Selanjutnya Ridwan Khairandy dan Camelia Malik mengatakan, dalam hal ini, kepatuhan dan pengabdian kepada perseroan adalah tugas dan kewajiban utama direksi. 146
Direksi
diwajibkan
untuk
menggunakan
seluruh
kemampuan,
pengaruhnya, dan menggunakan seluruh sumber daya yang ada untuk memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Direksi juga dilarang menggunakan posisinya untuk mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan perusahaan yang telah memberinya kepercayaan dan segala perbuatan hukum yang menguntungkan pribadi direksi dan merugikan perseroan merupakan hal yang bertentangan dengan duty of loyalties. Untuk keamanan, direksi seringkali membuat perjanjian kerja untuk suatu jangka waktu tertentu. Meski demikian, perusahaan tetap dapat memberhentikan eksekutifnya sebelum jangka waktu tentu saja dapat menerima ganti rugi sesuai dengan yang diperjanjikan. Jika dalam duty of loyalty, pengurus perseroan bertindak sebagaimana layaknya seorang trust, yang dipercayakan untuk mengelola harta kekayaan perseroan, maka dalam duty of care, pengurus perseroan sebagai organ kepercayaan perseroan diharapkan dapat menjalankan perseroan hingga memberikan keuntungan bagi perseroan. Pengurus perseroan diberikan fleksibilitas dalam bertindak untuk melaksanakan fungsi kegiatan manajemen dengan mengambil resiko dan peluang di masa depan.
146
Ridwan Khairandy dan Camelia Malik, Ibid., halaman 50-51.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Pengurus
perseroan
memiliki
kewajiban
loyal
terhadap
perusahaan
sebagaimana halnya dengan pengurus (director). Duty of loyalty yang diemban pengurus peseroan perusahaan meliputi: pengurusan perusahaan; kesempatan perusahaan (corporate opportunity); kompetisi dengan perusahaan; dan transaksi dengan pemegang saham dan pihak lainnya berdasarkan informasi orang dalam. Selain itu dalam melakukan tugasnya tersebut seorang direktur tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan (duty of loyalty). Pelanggaran duty of loyalty muncul apabila ada kepentingan pribadi yang mungkin terjadi karena: a. seorang direktur melakukan transaksi dengan perusahaannya sendiri; b. dua perusahaan yang mempunyai satu orang direktur yang sama melakukan perjanjian; c. sebuah induk perusahaan melakukan transaksi dengan cabang perusahaannya sendiri. 3. Duty of Candor Seperti yang dibahas dalam konteks duty of loyalty di atas, direksi yang dipercaya melakukan pengurusan perseroan sehari-hari memiliki pengetahuan dan informasi tentang kegiatan perusahaan harus semata-mata ditujukan untuk maksud dan tujuan perseroan, bersikap adil dan layak terhadap para pemegang saham baik pengendali maupun minoritas. Satu aspek dari komponen perlakuan yang adil dari standar kelayakan ini adalah kewajiban keterusterangan/kejujuran (duty of candor) yang dimiliki oleh fiduciary korporasi untuk menyingkapkan seluruh informasi materil yang berkenaan dengan keputusan-keputusan korporasi yang mana dari hal ini mereka bisa mendapatkan keuntungan pribadi (personal). Bismar Nasution
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
menyatakan bahwa hubungan fiduciary duty didasarkan atas kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor). 147 The duty of candor thus prevents insiders form using special knowledge which they may have to their own advantage and to the detriment of the stockholders. Adanya kewajiban keterusterangan/kejujuran yang demikian akan mengarahkan direksi untuk selalu bertindak profesional, fair dan focus pada tujuan kegiatan perseroan dalam mengejar keuntungan. B. Studi Kasus Bank Mandiri 1. Abstraksi Kasus 148 Tiga mantan Direksi Bank Mandiri yaitu mantan Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. “Edward Cornellis William Neloe”, mantan Direktur Risk Management PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. “I Wayan Pugeg”, dan mantan EVP Coordinator Corporate & Government PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. “M. Sholeh Tasripan” ditetapkan sebagai tersangka oleh Jaksa Penuntut Umum dalam penyelewengan kredit yang disalurkan kepada PT Cipta Graha Nusantara (PT CGN) sehingga mengakibatkan kerugian negara. Neloe, Pugeg, dan Tasripan didakwa melakukan perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dalam pemberian kredit Bank Mandiri kepada PT CGN. 147
Bismar Nasution, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, (Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum Program Pascasarjana, 2001), halaman 62-63. 148 Intisari dari Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No: 2068/Pid.B/2005/PN.Jak.Sel. dan Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia No: 1144 K/Pid/2006.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Menurut Jaksa, perbuatan itu merugikan Negara 18,5 juta dollar AS atau setidaknya Rp. 160,000,000,000.- (seratus enam puluh miliar). Neloe, Pugeg, dan Tasripan dituntut pidana 20 (dua puluh) tahun penjara karena melakukan perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri atau orang lain yang mengakibatkan kerugian negara dalam pemberian kredit Rp. 160,000,000,000.- (seratus enam puluh miliar) pada PT CGN yang tidak mengindahkan prinsip kehati-hatian. Kasus ini bermula ketika PT CGN pada tanggal 23 Oktober 2002 mengajukan kredit senilai Rp. 160,000,000,000.- (seratus enam puluh miliar). Menurut Jaksa, para terdakwa dinilai tidak hati-hati pada saat pemberian kredit tersebut. Para terdakwa selaku pemutus kredit, dalam menyetujui pemberian kredit tidak didasarkan kepada penilaian yang jujur, objektif, cermat, dan seksama. Fasilitas kredit yang tertuang dalam Nota Analisa Kredit Bridging Loan No. CGR.CRM/314/2002 tanggal 23 Oktober 2002 atas nama PT CGN, hanya dibuat dalam waktu satu hari, dan menyimpang dari kebiasaan pembuatan nota analisis yang membutuhkan waktu seminggu hingga sebulan. Sehingga, data dan fakta dianalisis secara tidak cermat dan keliru, serta tidak sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Bahwa ketidakcermatan dan kekeliruan tersebut terlihat dari dicantumkannya nama PT Manunggal Wiratama sebagai pemenang lelang asset kredit atas nama PT Tahta Medan, padahal kenyataannya pemenang lelang adalah PT Trimanunggal Mandiri Persada (PT TMMP). Pengajuan kredit dilakukan pada tangal 23 Oktober 2002, dan para terdakwa
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
selaku pemutus kredit menyetujui pemberian kredit pada tanggal 24 Oktober 2002. Dalam perjalanannya menurut Jaksa, kredit tersebut ternyata macet. 149 Dalam pemeriksaan di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan majelis hakim memutuskan para terdakwa tidak bersalah sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primair, subsidiair, lebih subsidiair, lebih subsidiair lagi, serta membebaskan ketiga terdakwa dari kasus korupsi Bank Mandiri yang merugikan Negara Rp. 160,000,000,000.- (seratus enam puluh miliar rupiah). Dalam pertimbangan majelis hakim, para terdakwa tidak terbukti merugikan negara, karena kredit kepada PT CGN jatuh tempo pada tahun 2007. Selain itu, hingga saat ini PT CGN juga masih melakukan pembayaran hutang kepada Bank Mandiri. Atas putusan bebas tersebut Jaksa mendaftarkan kasasi atas putusan bebas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas ketiga terdakwa tersebut. Atas kasasi tersebut majelis kasasi Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum. Putusan hakim kasasi Mahkamah Agung menyatakan E.C.W. Neloe, I Wayan Pugeg, dan M. Sholeh Tasripan, telah tebukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut, menjatuhkan hukuman pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) tahun, dan hukuman denda masing-masing Rp. 500,000,000.- (lima ratus juta rupiah), subsidiair pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.
149
Harian Suara Merdeka, (Online), (http://www.suaramerdekacom/harian/0602/ 01/nas01.htm) , diakses pada tanggal 15 September 2008.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
2. Analisis Kasus Mencermati kasus E.C.W. Neloe dkk pada Bank Mandiri sungguh menarik oleh karena pihak-pihak yang terlibat menangani kasus hukum ini mengajukan berbagai argumentasi hukum untuk memperkuat dalil-dalilnya. Berbagai peraturan perundang-undangan dikemukakan, antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas (sekarang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, belum lagi doktrin-doktrin hukum dari para ahli hukum terkenal sampai dengan ahli filsafat dunia, seperti yang dikemukakan oleh Pengacara/Penasehat Hukum E.C.W. Neloe dkk yakni OC Kaligis & Associates, 150 dalam di awal pembelaannya menulis: … Yves R. Simon, adalah salah seorang ahli filsafat dunia yang banyak menulis buku. Buku-bukunya antara lain berjudul “The Traditional of Natural Law, Practical Knowledge, A Critique of Moral Knowledge”. Buku itu diterbitkan oleh Fordham University Press New York. Berikut Kutipan sang ahli mengenai justice atau keadilan: “One can define justice only if one 150
OC Kaligis, Kumpulan Kasus Menarik I, (Jakarta: OC Kaligis Associates, 2007), halaman
567.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
has judged that to each should be rendered his due”, yang terjemahan bebasnya kirakira sebagai berikut: “Keadilan baru dapat tercapai, apabila setiap pelaku diadili secara benar”. Disini tersirat dengan jelas bahwa Pengacara/Penasehat Hukum E.C.W. Neloe dkk dari sudut pandangnya merasa proses hukum dilakukan tidak dengan benar/tidak pada semestinya. Apakah demikian? Pemahaman tentang pengertian keadilan sangat sulit ditemukan arti keadilan yang dapat diterima oleh semua kalangan, oleh karena adil bagi satu orang belum tentu dirasakan adil oleh yang lain. Namun demikian, proses untuk menemukan keadilan harus ada batas akhirnya untuk menjamin adanya kepastian hukum. Argumen-argumen hukum yang dikemukakan para pihak yang terlibat dalam proses hukum E.C.W. Neloe dkk antara lain diajukan oleh: a. Jaksa Penuntut Umum mendakwa 151 E.C.W. Neloe dkk atas dasar adanya kerugian Negara sebagaimana dirumuskan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak ada yang salah. Perumusan pengertian Keuangan Negara dalam undang-undang tersebut menganut paham pengertian Keuangan Negara yang luas, yaitu bahwa Penyertaan Modal Negara pada Bank Mandiri merupakan kekayaan Negara. Sehingga apabila Bank Mandiri selaku BUMN Persero yang modalnya 151
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Primair: Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP; Subsidiair: Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP; Lebih Subsidiair: Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP; Lebih Subsidiair Lagi: Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
dari Penyertaan Modal Negara yang dipisahkan yang berasal dari APBN mengalami kerugian dalam transaksi bisnisnya, maka disitu patut diduga adanya kerugian Negara. Sepanjang pasal-pasal yang terkait pengertian Keuangan Negara dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum dicabut maka selama itu pula pihak Kejaksaan memiliki dasar hukum. b. Pengacara/Penasehat Hukum E.C.W. Neloe dkk mengajukan pembelaan dengan menitik beratkan pada argumentasi hukum 152 bahwa yang dilakukan oleh E.C.W. Neloe dkk dengan Bank Mandiri sebagai subyek hukum yang mandiri melakukan perbuatan hukum dalam ranah hukum privat yaitu melakukan pengikatan kredit antara kreditur dengan debitur dengan barang jaminan. Apabila dalam transaksi bisnis antara mereka terdapat salah satu pihak wanprestasi maka harus juga diselesaikan dengan mekanisme hukum privat bukan hukum pidana korupsi. Hal ini terlihat jelas dalam pembelaan yang diajukan: 153 … andaikatapun perbuatanperbuatan para terdakwa dianggap sebagai perbuatan-perbuatan yang tidak tunduk pada hukum perdata-qoud non-, maka tidaklah tepat apabila perbuatan para terdakwa masuk dalam area hukum pidana, khususnya dalam kaitan tindak pidana korupsi. Namun demikian pembahasan teori-teori hukum korporasi menyangkut pembelaan direksi melalui prinsip-prinsip business judgement rule tidak 152
Kesimpulan pembelaan Pengacara/Penasehat Hukum E.C.W. Neloe dkk, OC Kaligis & Associates, angka 2: Bahwa perbuatan-perbuatan para terdakwa hanya merupakan sebagian dari proses pemberian kredit kepada PT CGN/PT Tahta Medan, baik dalam pemberian Fasilitas Bridging Loan, maupun pada pemberian fasilitas kredit investasi, novasi sampai dengan rescheduling. 153 OC Kaligis, Op.cit., halaman 617.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
mendapat porsi yang memadai dalam pembelaan yang dilakukan oleh Pengacara/Penasehat Hukum E.C.W. Neloe. Apakah pembelaan yang demikian ini masuk pada strategi pembelaan tidak terungkap dengan jelas. Namun demikian hasilnya dapat diketahui dari putusan majelis hakim tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membebaskan para terdakwa. Meski putusan dicapai melalui dissenting opinion, putusan akhirnya adalah membebaskan para terdakwa dengan pertimbangan
hukum
yang
dominan
seperti
yang
diajukan
oleh
Pengacara/Penasehat Hukum terdakwa E.C.W. Neloe. Atas putusan tersebut pihak Kejaksaan Agung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. c. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Majelis kasasi Mahkamah Agung yang diketuai MA Bagir Manan, dalam Putusan Nomor 1144 K/Pid/2006 mengabulkan permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Majelis menyatakan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Masing-masing dipidana penjara 10 (sepuluh) tahun dan denda Rp. 500 juta subsidiair 6 (enam) bulan kurungan. Dalam konteks putusan MA tersebut, penulis membatasi bahasan terkait putusan MA tersebut dengan tanggung jawab Direksi Bank Mandiri pada pengelolaan perusahaan yang dipimpinnya khususnya selaku pemutus akhir pemberi kredit kepada PT CGN berdasarkan prinsip-prinsip pembelaan Direksi yang berlaku dalam hukum korporasi melalui mekanisme business judgement rule.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Menjadi tugas direksi memimpin operasional perusahaan sehari-hari untuk mengejar keuntungan. Tidak seorang pun dapat memastikan dan menjamin setiap usaha akan selalu mendapatkan keuntungan atau kalau di bidang jasa keuangan perbankan bahwa setiap pemberian kredit kepada si berhutang akan selalu lancar pengembaliannya. Bisnis pada dasarnya adalah resiko, bagaimana jika perusahaan mengalami kerugian dalam transaksi bisnisnya? Apakah direksi harus selalu bertanggung jawab? Adalah tidak adil apabila perusahaan mengalami kerugian dalam transaksi bisnisnya direksi harus selalu bertanggung jawab. Direksi yang telah melaksanakan tugas dengan baik, penuh dengan kehati-hatian, melaksanakan secara profesional dan tanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar perusahaan, aturan perusahaan apabila perusahaan tetap mengalami kerugian, maka direksi harus dilindungi. Memperhatikan hal-hal tersebut menarik untuk menganalisis Keputusan Makamah Agung mengabulkan kasasi Jaksa dan menghukum E.C.W. Neloe, I Wayan Pugeg, M. Sholeh Tasripan selaku Direksi Bank Mandiri, karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi pada Bank Mandiri. E.C.W. Neloe dalam kedudukannya selaku Direktur Utama Bank Mandiri berdasarkan UUPT adalah merupakan subyek hukum yang bertanggung jawab dalam pengurusan Bank Mandiri dan representasi keluar. Bank Mandiri sebagai badan hukum merupakan subyek hukum mandiri (persona standi in judicio), penyandang hak dan kewajiban yang diakui hukum sebagai layaknya manusia sebagai subyek hukum (naturlijk person), dapat melakukan transaksi-transaksi bisnis seperti jual beli, sewa menyewa, dan
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
sebagainya. Berdasarkan teori organ badan hukum ini adalah ciptaan manusia (rechtpersoon), personalitas badan hukum ini diakui oleh negara yang dalam gerak operasionalnya diwakili oleh direksi sebagai organ perseroan. Pertimbangan hukum 154 yang utama dari Hakim Agung yang memeriksa Kasus E.C.W. Neloe dkk menilai, bahwa direksi selaku pemutus kredit tidak bertindak hati-hati, jujur, dan cermat dalam memutus pemberian kredit kepada PT CGN. Kredit diajukan oleh PT CGN cukup besar senilai Rp. 160 miliar. Sesuai dengan standard operational procedure yang ada di Bank Mandiri diperlukan analisis kredit yang mendalam memerlukan waktu sekitar satu bulan, dalam kenyataan direksi selaku pemutus kredit mengambil keputusan dalam waktu yang singkat dua hari. Sementara itu Peraturan Bank Mandiri mengenai penyaluran kredit sebagaimana diatur dalam artikel 520 Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri (KPBM) Tahun 2000, 155 yang mengatur: “Mengingat tanggung jawab pemutus kredit tersebut di atas berkaitan erat dengan kemungkinan suatu debitur menjadi tetap lancar atau menjadi bermasalah, kepada para officer pemutus kredit diminta melaksanakan halhal sebagai berikut: memastikan bahwa setiap kredit yang diberikan telah memenuhi norma-norma umum perbankan dan telah sesuai dengan asas-asas perkreditan yang sehat, yaitu:
154 155
Angka 2 Putusan Kasasi MARI No: 1144 K/Pid/2006, halaman 3. Ibid., halaman 164.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
a. Memastikan bahwa pelaksanaan pemberian kredit telah sesuai dengan ketentuan dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Kredit (PPK); b. Memastikan bahwa pemberian kredit telah didasarkan pada penilaian yang jujur, objektif, cermat dan seksama serta terlepas dari pengaruh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit; c. Meyakini bahwa kredit yang akan diberikan dapat dilunasi pada waktunya dan tidak akan berkembang menjadi kredit bermasalah. Majelis Hakim Kasasi berpendapat 156 berdasarkan ketentuan tersebut, seharusnya para terdakwa selaku pemutus kredit sebelum menyetujui pemberian kredit haruslah mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam untuk memperoleh keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai yang diperjanjikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. E.C.W. Neloe selaku Direksi Bank Mandiri dalam prinsip fiduciary duty merupakan orang yang dipercaya oleh pemegang saham untuk melakukan pengurusan Bank Mandiri dengan itikad baik dan hati-hati serta kejujuran. Selaku Direksi E.C.W. Neloe tidak hanya bertanggung jawab melakukan pengurusan untuk kepentingan dan tujuan Bank Mandiri tetapi juga tugas representasi baik di dalam maupun di luar 156
Ibid., halaman 3.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
pengadilan. Dalam kenyataannya E.C.W. Neloe selaku pemutus kredit tidak melakukan itu. Memutus kredit dalam waktu yang singkat, 157 bertindak sembrono dan tidak hati-hati. Selaku profesional seharusnya sudah mengetahui dan patut harus menduga bahwa perbuatan terdakwa dalam pemberian kredit pada saksi Edyson (PT CGN) harus/wajib memenuhi atau tidak melanggar Undang-Undang Perbankan dan ketentuan khusus PT Bank Mandiri yang dituangkan dalam KPBM. Pada saat terjadinya kasus Bank Mandiri undang-undang korporasi yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas. Prinsip kehati-hatian dalam mengelola perusahaan telah diatur dalam Pasal 85 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas, yang menyatakan: (1) Setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan; (2) Setiap anggota direksi bertanggung jawab secara penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Dalam tugas pengurusan yang dilakukan direksi, Fred B.G. Tumbuan mengatakan: tugas pengurusan perusahaan oleh undang-undang dipercayakan kepada direksi sehingga melahirkan “fiduciary responsibility pada direksi”. 158 Maka tidak salah bilamana dikatakan bahwa antara perseroan dan direksi terdapat hubungan 157
Ibid., halaman 163-166. Fred B.G. Tumbuan, Tugas Dan Wewenang Organ Perseroan Terbatas Menurut UndangUndang Tentang Perseroan Terbatas, Newsletter, Hukum dan Perkembangannya No. 70, September 2007, halaman 16. 158
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
fidusia atau kepercayaan (fiduciary relationship) yang melahirkan “fiduciary duties” bagi direksi yaitu “duty of loyalty and good faith” dan “duty of care, skill and diligence”. Berkaitan dengan tugas pengurusan perseroan yang dipercayakan kepada direksi, perlu diperhatikan bahwa tidak wajar dan tidak adil mengharapkan apabila mewajibkan direksi untuk menjamin bahwa perseroan yang pengurusannya ditugaskan kepada direksi pasti untung. Oleh Karena itu, dan ini pun ditegaskan dalam UUPT, direksi hanya dapat dipertanggung jawabkan atas kerugian perseroan apabila kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian direksi karena tidak menjalankan tugasnya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. 159 Dalam Pasal 92 ayat (2) UUPT menetapkan bahwa “direksi berwenang menjalankan pengurusan perseroan sesuai dengan kebijakan yang dipandangnya tepat, dengan batas yang ditentukan dalam UUPT dan anggaran dasar. Kewenangan ini sama dengan “duty to retain discretion” yang merupakan bagian dari “duties of loyalty and good faith” yang wajib dilaksanakan oleh Board of Directors perseroan semisal di Australia dan Inggris. Sebagai perbandingan akan diuraikan makna business judgement rule sebagaimana di atur dalam Corporation Act 2001 Australia. Dalam Section 180 (2) terdapat aturan hukum tentang business judgement rule sebagai berikut:
159
Pasal 97 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
“A director or other officer of a company who makes a business judgement is taken to have met the requirements of the statutory duty of care and diligence (contain in sec 180 (1) and their equivalent general law duties, in respect of the judgement if they: a. Make the judgement in good faith a proper purpose; and b. Do not have a material personal interest in the subject-matter of the judgement; and c. Inform them selves about the subject-matter of the judgement to the extent they reasonably believe to be appropriate; and d. Rationally believe that he judgement is in te best interest of the company. 160 Dalam pengertian business judgement rule ketentuan serupa yang mirip dengan doktrin tersebut adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 97 ayat (5) huruf b, c, d, sedangkan pada huruf a merupakan ketentuan tambahan dalam UUPT, merupakan ketentuan yang sudah jelas, artinya apabila direksi melakukan kesalahan atau kelalaian dalam pengurusan bisnisnya harus bertanggung jawab secara pribadi atau tanggung renteng. 161 Ketentuan selengkapnya Pasal 97 ayat (5) UUPT menetapkan 4 (empat) kriteria kumulatif sebagai berikut: a. Kerugian perseroan bukan karena kesalahan atau kelalaian anggota direksi yang bersangkutan; b. Anggota direksi yang bersangkutan dengan itikad baik dan kehati-hatian telah melakukan pengurusan untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
160 161
Pamela Hanrahan, (et.al), dalam Fred B.G. Tumbuan Op.cit., halaman 21. Pasal 97 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
c. Anggota direksi yang bersangkutan tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang telah mengakibatkan kerugian; dan d. Anggota direksi yang bersangkutan telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Sungguh ironis dan bahkan akan merugikan perseroan bilamana terjadi keadaan dimana penilaian atas tanggung jawab direksi tidak mengindahkan dan berpedoman pada business judgement rule sehingga berakibat bahwa: “a failure to expressly acknowledge that directors should not be liable for decitions made in good faith and with due care, may lead to failure by the company and its directors to take advantage of opportunities that involves responsible risk taking. 162 Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUH Perdata, direksi (artinya semua anggota direksi) secara pribadi dapat ikut dipertanggung jawabkan atas kerugian yang diderita pihak ketiga karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan. Khusus mengenai arti dan cakupan perbuatan melawan hukum sebaiknya diperhatikan bahwa perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan atau kelalaian (tidak melakukan yang seharusnya dilakukan) yang: a. Melanggar hak orang lain; atau b. Bertentangan dengan kewajiban pelaku; atau bertentangan dengan kesusilaan; atau 162
Fred B.G. Tumbuan, Loc.cit.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
c. Bertentangan dengan kehati-hatian (zorgvuldigheid) yang patut dilaksanakan terhadap keselamatan orang lain atau barang miliknya. 163 Oleh karena itu apabila direksi mengadakan perjanjian atas nama perseroan sedang diketahui bahwa perseroan tidak akan mampu memenuhi kewajibannya berkenaan dengan perjanjian yang dibuat maka perbuatan direksi dimaksud adalah perbuatan melawan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan kepada direksi. Tanggung jawab tersebut juga dapat menimpa dewan komisaris apabila mereka menjabat selaku direksi karena direksi lowong dan dalam kedudukan tersebut melakukan perbuatan atas nama perseroan yang merugikan pihak ketiga, 164 dan bahkan juga pemegang saham yang terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan perseroan. 165 Direksi bertanggung jawab atas pengelolaan perusahaan sehari-hari sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, termasuk dalam lingkup ini adalah formulasi dan eksekusi business plan, anggaran tahunan dan kebijakan, pemantauan dan pengelolaan resiko, pengelolaan aktiva, sumber daya dan reputasi perusahaan, serta rekrutmen sumber daya manusia. Dalam konteks pengucuran kredit dari Bank Mandiri kepada PT CGN, H. Masyhud Ali mengatakan untuk mengendalikan kegiatan perkreditan, bank menggunakan pedoman yang disebut dengan Pedoman
163
Ibid. Pasal 118 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. 165 Pasal 3 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. 164
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Pelaksanaan Kredit dan Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri. 166 Dalam kenyataan sesuai dengan fakta yang terungkap di pengadilan pedoman tersebut tidak dilakukan oleh direksi pemutus akhir kredit. Terkait dengan penerapan GCG di lingkungan BUMN seharusnya E.C.W. Neloe selaku Direksi Bank Mandiri meyakini bahwa melalui prinsip-prinsip GCG dengan melakukan pengurusan persero sesuai dengan undang-undang, anggaran dasar, dan peraturan persero yang ada merupakan hal mendasar untuk mendapatkan dan mempertahankan kepercayaan para investor serta untuk mencapai sasaran perseroan dengan cara yang berintegritas. Dari fakta-fakta yang terungkap di pengadilan hal itu tidak dilakukan. E.C.W. Neloe mantan Direksi Bank selaku pemutus kredit tidak melaksanakan fungsinya sebagai seorang pemegang amanah (trustee) pada prinsip fiduciary duty, dalam hukum korporasi dikenal dengan tidak melakukan standard of care sehingga melanggar duty of care. Pelanggaran terhadap prinsip duty of care direksi harus bertanggung jawab pribadi secara tanggung renteng.
166
H. Masyhud Ali, Manajemen Resiko Strategi Perbankan Dan Dunia Usaha Menghadapi Tantangan Globalisasi Bisnis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), halaman 413.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Tidak ada rumusan yang jelas dan pasti mengenai kedudukan dan peranan direksi
dalam
melakukan
pengurusan
BUMN.
UU
BUMN
hanya
menyebutkan bahwa direksi adalah organ BUMN yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN dan mewakili BUMN baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dari tugas dan tanggung jawab tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa direksi mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dan menentukan berhasil tidaknya BUMN tersebut mencapai tujuannya. Dapatlah dikatakan bahwa direksi merupakan personifikasi dari BUMN itu sendiri, oleh karena itu maju mundurnya BUMN, berhasil atau tidaknya
BUMN
dalam
menjalankan
misinya,
hidup,
timbul
dan
berkembangnya BUMN tergantung dari bagaimana direksi mengurus dan mengelolanya. 2. Tanggung jawab direksi dalam pengurusan BUMN meliputi tanggung jawab pidana dan tanggung jawab perdata. Tanggung jawab perdata timbul dalam hal direksi melakukan kesalahan dan kelalaian yang mengakibatkan kerugian bagi perseroan maupun kerugian bagi pihak ketiga. Tanggung jawab pidana timbul dalam hal direksi telah melakukan tindakan yang menyimpang dari kewajiban hukumnya dalam melakukan pengurusan BUMN, seperti
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
melakukan korupsi yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi perseroan maupun pihak ketiga. 3. Direksi yang telah menjalankan tugasnya melakukan pengurusan BUMN berdasarkan itikad baik, penuh kehati-hatian dan penuh tanggung jawab, apabila mengalami kerugian dalam transaksi bisnisnya dapat dilakukan pembelaan terhadap dirinya melalui doktrin business judgement rule. B. Saran 1.
Kedudukan dan peranan direksi dalam melakukan pengurusan BUMN harus diatur secara tegas dalam UU BUMN, untuk itu UU BUMN harus direvisi agar tidak ada campur tangan dari pihak lain dalam hal direksi menjalankan tugasnya.
2. Setiap anggota direksi hendaknya bisa menjalankan tugasnya sesuai dengan kewajiban dan wewenangnya yang telah diatur dalam undang-undang dan juga anggaran dasar perusahaan. Hal ini bertujuan untuk menghindari penyelewengan jabatan yang bisa merugikan perusahaan yang berdampak pada pertanggungjawaban direksi dalam hal terjadi kerugian. 3. Setiap perusahaan wajib menerapkan prinsip tata kelola perusahaan (GCG) untuk meningkatkan kinerja perusahaan dan mempertahankan kepercayaan masyarakat serta untuk mencapai sasaran perusahaan dengan cara yang berintegritas. Dengan cara ini diharapkan tidak lagi terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh direksi dan direksi menjalankan tugas dan
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan undang-undang, anggaran dasar, dan pengaturan tentang perusahaan yang terkait.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku Ali, H. Masyhud, Manajemen Resiko Strategi Perbankan Dan Dunia Usaha Menghadapi Tantangan Globalisasi Bisnis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. Ali, Muhammad, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Ilmu, 2001. Atmasasmita, Romli, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2000. _____________, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Bogor: Kencana, 2003. Atmadja, Arifin P. Soeria, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum Praktik dan Kritik, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Black, Henry Chambell, Black’s Law Dictionary, Abridged Sixth Edition, St. Paul Minn: West Publishing Co., 1991. Block, Dennis J. (et.al), Third Edition, The Business Judgement Rule, Fiduciary Duties of Corporate Directors, NJ: Prentice Hall Law & Business, 1989. Chatamarrasjid, Menyingkap Tabir Perseroan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000. Clark, Robert Charles, Corporation Law, Boston USA: Little Brown and Company, 1998. Curzon, L.B., Criminal Law, London: M&E Pitman Publishing, 1997. Faisal, Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999. Friedman, Lawrence M., America Law An Introduction, terjemahan Wisnu Basuki, Jakarta: PT Tanusa, 1984. Fuady, Munir, Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law Dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002. __________, Perlindungan Pemegang Saham Minoritas, Bandung: CV Utomo, 2005.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggung Jawaban Pidana Tanpa Kesalahan Yogyakarta: Liberty, 1995. Ihromi, T.O., Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993. Johnson, Lymann P.Q., The Audit Committee’s Ethical And Legal Responsibilities: The State Law Perspective, Fall, 2005. Khairandy, Ridwan, dan Malik, Camelia, Good Corporate Governance, Perkembangan Pemikiran Dan Implementasinya Di Indonesia Dalam Perspektif Hukum, Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007. Kaligis, OC., Kumpulan Kasus Menarik I, Jakarta: OC Kaligis Associates, 2007. Kansil, C.S.T, dan Kansil, Christine S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jilid I, Jakarta: Balai Pustaka, 2000. Keraf, A. Sonny, Etika Bisnis Tuntutan Dan Relevansinya, Yogyakarta: Kanisius, 1998. ___________, Pasar Bebas Keadilan Dan Peran Pemerintah, Jakarta: Kanisius, 1996. Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997. Kountur, Ronny, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi Dan Tesis, Jakarta: PPM, 2003. Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-konsep Hukum Dan Pembangunan, Bandung: Alumni, 2002. Marbun, B.N., Kamus Hukum Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006. Mayson, Stephen W., et.al., Company Law, London: Blackstone Press Limited, 1998. Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perikatan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1990. Muladi dan Prayitno,Dwija, Pertanggung Jawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Sekolah Tinggi Hukum, 1991. Myrdal, Gunnar, The Challenge of World Poverty, London: Pinguin Books, 1970.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Moeleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994. Nasution, Bismar, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum Program Pascasarjana, 2001. _____________, dan Sitompul, Zulkarnaen, Hukum Perusahaan, Bandung: BooksTerrace & Library, 2005. Parijs, Sergei, Fairness Opinions And Liability, Kluwer: The Netherlands, 2005. Pistor, Katarina dan Xu, Chenggang, Fiduciary Dutyin Transitional Civil Law Jurisditions, Europe: ECGI, 2002. Pramono, Nindyo, Sertifikasi Saham PT Go Publik Dan Hukum Pasar Modal Di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997. Rajagukguk, Erman, Nyanyi Sunyi Kemerdekaan Menuju Indonesia Negara Hukum Demokrati, Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, 2006. Ranuhandoko, Terminologi Hukum, Jakarta: Sinar Graphia, 2000. Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Robert R., Pennington, Company Law, Fifth Edition, London: Butterworth, 1985. Setiawan, R., Pokok-pokok Hukum Perdata, Bandung: Bina Cipta, 1987. Syahrin, Alvi, Asas-asas Dan Penegakan Hukum Lingkungan Kepidanaan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2002. Sjahdeini, Sutan Remy, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Graffiti Pers, 2006. Smith dan Hogan, Criminal Law, London: Dublin and Edinburg, 1992. Soekanto, Soeryono, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. _____________, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986. Subekti, R., Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Internusa, 1998.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Tumbuan, Fred B.G., Tugas Dan Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas, Materi Pendidikan Singkat Hukum Bisnis, Jakarta: Unika Atmajaya, 2000. Tjandra, W. Riawan, Hukum Keuangan Negara, Jakarta: Grasindo, 2006. Widjaya, I.G. Rai, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Jakarta: Megapoint, 1996. Wilamarta, Misahardi, Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam Rangka Good Corporate Governance, Jakarta: PPs Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002.
B. Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah menjadi UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 Tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran BUMN.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor: Kep-59/MBU/2004 Tentang Kontrak Manajemen Calon Anggota Direksi Badan Usaha Milik Negara. Direktorat Jenderal Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2004.
C. Jurnal Hukum, Makalah, Seminar, Newsletters Allot, Antony, The Efectivness of Law Vol.15, Valparaiso University Law Review, 1981. Djayanto, Pandu, Sekilas Tentang Peran, Fungsi, dan Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Newsletter Hukum & Perkembangannya, Nomor 70, September 2007. Ginting, Budiman, Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritas Dalam Perusahaan Joint Venture: Studi Penanaman Modal Asing Di Sumatera Utara, Disertasi, Medan: SPs Universitas Sumatera Utara, 2005. Hamzah, Andi, Hukum Pidana Khusus (Economic Crime), Makalah, Penataran Nasional Hukum Pidana Dan Kriminologi, Semarang, 1998. Hann, Daniel P., Emmerging Issues In US Corporate Governance: Are The Recent Reforms Working?, Defence Council Journal, Volume 68, April 2001. Khairandy, Ridwan, Konsepsi Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Dalam Perusahaan Perseroan, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 26-No.1/2007. Muladi, Prinsip-prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, Makalah, Seminar Kajian Dan Sosialisasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, Semarang: FH UNDIP, 1998. Nasution, Bismar, Privatisasi: Menjual atau Menyehatkan, Jurnal Hukum, Volume 01, Nomor 01, 2005. Rajagukguk, Erman, Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara, Makalah, disampaikan pada Peran BUMN Dalam Mempercepat Pertumbuhan Perekonomian Nasional, Jakarta, 12-13 April 2007. _____________-, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Besar dalam Bidang Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997. Syahrin, Alvi, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Jurnal Hukum, 2005. Sjahdeini, Sutan Remy, Tanggung Jawab Pemegang Saham Perseroan Pailit, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 14, Juli 2001. Tumbuan, Fred B.G., Tugas Dan Wewenang Organ Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas, Newsletter, Hukum Dan Perkembangannya No. 70, September 2007. Harian Media Indonesia, tanggal 4 April 2006. D. Artikel Online Harian
Suara Merdeka, (Online), (http://www.Suaramerdeka.com/harian/ 0602/01/nas01.htm), diakses pada tanggal 15 September 2008.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009