PERLINDUNGAN HAK TERKAIT LEMBAGA TELEVISI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA
TESIS
Oleh
MUTIA ULFA 077011047/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
PERLINDUNGAN HAK TERKAIT LEMBAGA TELEVISI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
MUTIA ULFA 077011047/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Telah diuji pada Tanggal
:
Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
: Prof.Dr.Runtung Sitepu,SH,MHum
Anggota
: 1. Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,MHum 2. Dr.T.Keizerina Devi A,SH,CN,MHum 3. Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN 4. Syafruddin Hasibuan,SH,MH
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
ABSTRAK
Hasil karya cipta yang dihasilkan oleh pencipta ada yang langsung dapat dinikmati,tetapi tetap saja membutuhkan pihak lain untuk mempertunjukkan karya cipta tersebut. Masalah ini menyangkut perubahan bentuk perlindungan bagi karya rekaman suara, karya siaran dan karya pertunjukan. Sesuai Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta,ketiga jenis ciptaan itu dialihkan perlindungannya kedalam rejim hak terkait yang merupakann perlindungan yang hanya ditujukan pada pelaku, produser rekaman dan badan penyiaran. Salah satu lembaga penyiaran adalah lembaga penyiaran. televisi, sebagai sarana elektronik yang paling digemari dan dicari orang. Adapun permasalahan yang akan dikemukakan dalam tesis ini adalah bagaimanakah bentuk-bentuk hak dari lembaga penyiaran televisi,bagaimanakah perlindungan hak terkait menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan bagaimanakah mekanisme penyelesaian sengketa dalam hal pemberian hak terkait lembaga penyiararan televisi menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptis. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dengan melakukan penelitian pada stasiun Deli TV sebagai lembaga penyiaran. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk-bentuk hak dari lembaga penyiaran televisi adalah pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberi izin atau melarang orang lain membuat, memperbanyak, atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar dari pertunjukannya. Produser rekaman suara memiliki hak eksklusif untuk memeberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, dan/atau menyiarkan ulang karya siarannya melalui transmisi dengan atau tanpa kabel, atau melalui sistem elektromagnetik lain. Perlindungan hak terkait lembaga penyiaran televisi menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta adalah antara lain hak-hak para pelaku artis yang dapat terdiri dari para penyanyi, aktor, musisi, dan sebagainya yang menyampaikan kepada publik suatu pertunjukan hidup, fiksasi dari pertunjukan demikian dan perbanyakan dari pertunjukan-pertunjukannya, juga para produser rekaman suara. Mekanisme penyelesaian sengketa dalam hal pemberian hak terkait lembaga penyiaran televisi menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu: melalui tuntutan pidana, gugatan perdata, dan melalui alternatif penyelesaian sengketa
Kata Kunci: Perlindungan Hak Terkait; Lembaga Televisi; Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
ABSTRACT
work result create that produced by creator there direct can be enjoyed, but permanent want other party to demonstrate work creates. this problem concerns protection transformation for voice recording work, broadcast work and work shows. appropriate number law 19 year 2002 about copyright, third that creation kind is shifted the protection intoes regime related right merupakann protection only is attributed in executant, produser recording and broadcasting body. one of [the] broadcasting institution institution broadcasting. television, as electronic tool most menggemari and looked for person. as to troubleshoot that be proposed in this thesis how does forms belonging of television broadcasting institution, how does related right protection follow number law 19 year 2002 about copyright and how does quarrel completion mechanism in the case of institution related right gift penyiararan television follow number law 19 year 2002 about copyright. this watchfulness belongs watchfulness kind deskriptis. data source in this watchfulness is got with gather primary data and secondary data. primary data is got with do watchfulness in station deli television as broadcasting institution. result from this watchfulness shows that forms belonging of television broadcasting institution has exclusive right to allow or prohibit another person makes, reproduce, or funnel voice recording and/or picture from show it. produser has exclusive right to memeberi permission or prohibit another person without the sanctions makes, reproduce, and/or funnel to repeat the broadcast work passes transmission with or without cable, or pass electromagnetic system other. television broadcasting institution related right protection follow number law 19 year 2002 about copyright between other rights artist executants that can consist of singers, actor, musicians, and as it submit to public a show alive, fiksasi from show such and perbanya from pertunjukan-pertunjukan, also produser voice recording. quarrel completion mechanism in the case of television broadcasting institution related right gift follow number law 19 year 2002 about copyright can be done to pass three manners that is: pass criminal prosecution, civil accusation, and pass alternative quarrel completion
keyword: Related right protection; Television institution; number law 19 year 2002 about copyright
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb. Puji dan syukur Kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan Rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam dihaturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang syafa’atnya diharapkan kelak dikemudian hari Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu syarat dalam mencapai dan memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Kenotariatan. Adapun judul tesis ini adalah : “PERLINDUNGAN HAK TERKAIT LEMBAGA TELEVISI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA” Dalam penulisan tesis ini sudah tentu penulis tidak luput dari kehilapan, kesulitan-kesulitan serta terbatasnya pengetahuan penulis, tetapi atas berkat izin Allah SWT, serta kesungguhan penulis dan bantuan dari berbagai pihak sangat membantu dan bermanfaat bagi penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan pada waktunya. Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada ayah dan bunda beserta keluarga yang telah memberikan dorongan moril dan materiil sehingga diselesaikannya tesis ini. Penulis menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya dalam menyelesaikan tesis ini. Selanjutnya dalam kesempatan ini pula penulis mengucapkan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1.
Prof.Dr.muhammad Yamin,SH,MS,CN,selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
2.
Prof.Dr.Runtung Sitepu,SH,MHum, selaku ketua dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membantu dan membimbing penulis dalam penyelesaian tesis ini
3.
Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,MHum, selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membantu dan membimbing penulis dalam penyelesaian tesis ini
4.
Dr.T.Keizerina Devi A,SH,CN,MHum, selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membantu dan membimbing penulis dalam penyelesaian tesis ini
5.
Ibu Yose Piliang, salaku Executive Produser Deli TV
6.
Ibu Ranggini, SE, selaku Kordinator Bidang Pengelolaan Struktur, Komisi Penyiaran Indonesia¸ Medan.
7.
Bapak Enrico M Naibaho selaku Kepala Wilayah Karya Cipta Indonesia Wilayah Sumatera Utara
8.
Seluruh Staf Pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Sumatera Utara
9.
Yang terhormat dan ananda cintai Ayahanda H.Achmad Amin dan Hj.Nuraida, yang tanpa pamrih membesarkan dan mendidik ananda, serta selalu memberikan doa sehingga ananda selalau dalam rahmat dan lindungan Allah SWT
10. Yang tersayang Abangda Irwansyah Putra, ST, M.T. Dedy Andriansyah, SE,Ak, Belvy Budiansyah, SE,Ak, dan Kakanda Ika Mustika, S.Si, A.pp. dan Nana Lisdiana SE,Ak 11. Sahabat setia dan terbaikku Zuhrina Imatama, SE yang senantiasa membantu dan memberikan nasehat kepada ananda dan selalu menemani ananda dikala senang dan susah. 12. Yang tercinta Rizky Dermawan, S.kom. terimakasih atas kesabaran, motivasi, dan dukungan yang selalu diberikan kepada adinda 13. Sahabat seperjuanganku Ira Novianty, SH. Fadly Aryus,SH. Mahruzar, SH 14. Seluruh rekan-rekan MKN stambuk 2007, group-A, group-B, dan terutama anak-anak group-C ( ketua Abdul muthalip, Ayah Syukri, Bang Amin, Bang Zul,
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Kak Tina, Vina, Natalia, Deborah, Bangun, Cory, Kak Susy, Pak Mahadi, Kak Rita, Mami Nina. Kak Suarni Zebua, Aldy, Sherly, Kak Heriani, Eva, Melda, Dina) 15. Seluruh Staf Pegawai Administrasi ( Ibu Fatimah,Kak Lisa, Kak Winda, Kak Sari, Kak Afni, Bang Ijal. Bang Aldy) 16. Bapak/ibu dosen serta selueuh staf administrasi Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis hingga terselesaikannya studi ini. .
Penulis menyadari bahwa isi tesis ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari
segi isi,tata tulisan,pembahasan maupun analisa yang telah dilakukan. Karena itu dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat positif dan membangun dari seluruh pembaca demi kesempurnaan tesis ini. Akhirnya hanya kepada Allah SWT jugalah berserah diri sembari berdoa semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua terutama bagi penulis sendiri. Hanya kepada allah SWT, saya mohon ampun dan kepada pembaca sekalian saya minta maaf, dan atas perhatiannyaa, saya ucapkan terimakasih.
Medan, Agustus 2009 Penulis,
Mutia Ulfa
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
RIWAYAT HIDUP I. DATA PRIBADI Nama
: Mutia Ulfa
Tempat/tanggal lahir
: Lhokseumawe/16 November 1983
Alamat
: Jln Pahlawan Nomor 14 Medan
Jenis kelamin
: Perempuan
Status Perkawinan
: Belum Menikah
II. ORANG TUA Ayah
: H.Achmad Amin
Ibu
: Hj.Nuraida
III. LATAR BELAKANG PENDIDIDKAN a.Tahun 1996
: menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Taman Siswa Lhokseumawe
b. Tahun 1999
: menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Lanjut Pertama, SMP Taman Siswa Lhokseumawe
c. Tahun 2002
: menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas, SMA Negeri 1 Medan
d. Tahun 2007
: Menyelesaikan Pendidikan Strata-1 Fakultas Hukum,Universitas Syiah Kuala-Banda Aceh
e. Tahun 2009
: Menyelesaikan Pendidikan Strata-2 Magister Kenotariatan Universitas Sumatera UtaraMedan
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ........................................................................................................... i ABSTRACT .........................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR.........................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP .............................................................................................
iv
DAFTAR ISI ......................................................................................................
v
BAB
PENDAHULUAN.............................................................................
1
Latar Belakang ...................................................................................
1
Perumusan Masalah............................................................................
8
Tujuan penelitian ...............................................................................
8
Manfaat Penelitian .............................................................................
8
Keaslian Penelitian .............................................................................
9
Kerangka Teori dan Konseptual.........................................................
9
1. Kerangka Teori.......................................................................
9
2. Konsepsi .................................................................................
25
Metode Penelitian ..............................................................................
27
1. Jenis dan Sifat Penelitian ........................................................
27
2. Metode Pendekatan .................................................................
28
3. Sumber Data............................................................................
28
4. Teknik Pengumpulan Data......................................................
30
5. Analisis Data ...........................................................................
30
I
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
BAB II BENTUK - BENTUK HAK DARI LEMBAGA PENYIARAN TELEVISI …………………………………………………………...
32
A. Pengertian Lembaga Penyiaran Televisi ...................................
32
B. Fungsi Sosial Televisi ...............................................................
41
BAB III CARA LEMBAGA PENYIARAN UNTUK MENDAPATKAN HAK MENGUMUMKAN KARYA CIPTA SESEORANG ……..
46
A. Peran Komisi Penyiaran Indonesia..............................................
46
B. Perlindungan Hukum Atas Hak Terkait Dalam Lembaga Penyiaran Televisi .......................................................................
49
BAB IV BENTUK PERLINDUNGAN HAK TERKAIT LEMBAGA PENYIARAN TELEVISI MENURUT UNDANG - UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA ..................... 55 A. Lembaga Penyiaran Televisi Yang Dilindungi Oleh UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta ...............................................
55
B. Upaya Hukum dalam Penyelesaian Pelanggaran Hak Terkait (Neighbouring Rights) Dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta .....................................................................................
66
C. Perlindungan Hak Tekait Lembaga Penyiaran Televisi Ditinjau Dari UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta............
76
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................
100
A. Kesimpulan ...................................................................................
100
B. Saran .............................................................................................
101
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….
106
BAB V
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Hak terkait (Neighbouring Rights) merupakan hal baru yang hadir di tengahtengah masyarakat Indonesia. Sehingga pemahaman masyarakat terhadap Hak Cipta dan Hak Terkait yang merupakan bagian dari Hak Atas Kekayaan Intelektual masih kurang banyak. Masyarakat yang tidak atau bahkan kurang mengetahui betapa pentingnya Hak Atas Kekayaan Intelektual, bahkan di kalangan pencipta sendiri seperti seniman, desainer, pengarang dan juga penemu dan pemilik merek sendiri pun kurang mengetahui secara tepat bahwa pencipta ternyata memiliki hak yang disebut Hak Atas Kekayaan Intelektual. Pemahaman tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual saja masih kurang, lantas bagaimana pula harus menegakkan atau mempertahankan hak-hak tersebut, sehingga tidak jarang terjadi pelanggaran atau penyalahgunaan hak. Dengan pengalihan itu lantas timbul perbedaan yang signifikan yang menyangkut addressat perlindungan. Bila dalam konsepsi Hak Cipta yang dilindungi adalah karya Ciptanya, yaitu ciptaan yang bersifat kebendaan, sebaliknya dalam konsepsi Hak Terkait yang dilindungi adalah hak orang perorangan, badan hukum atau lembaga. Perbedaan ini tampak jelas pada definisi Hak Terkait yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta adalah sebagai berikut :
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
“Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya; dan bagi lembaga penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya”. Selanjutnya siapa addressat perlindungan itu, dijelaskan dalam pasal yang sama angka 10, 11 dan 12 masing-masing sebagai berikut : 1. Pelaku adalah aktor, penyanyi, pemusik, penari, atau mereka yang menampilkan,
memperagakan,
mempertunjukkan,
menyanyikan,
menyampaikan, mendeklamasikan, atau memainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra, folklor, atau karya seni lainnya. 2. Produser Rekaman Suara adalah orang atau badan hukum yang pertama kali merekam dan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perekaman suara atau perekaman bunyi, baik perekaman dari suatu pertunjukan maupun perekaman suara atau perekaman bunyi lainnya. 3. Lembaga Penyiaran adalah organisasi penyelenggara siaran yang berbentuk badan hukum, yang melakukan penyiaran atas suatu karya siaran dengan menggunakan transmisi dengan atau tanpa kabel atau melalui sistem elektromagnetik Salah satu lembaga yang mendapat perlindungan adalah lembaga penyiaran. Lembaga penyiaran merupakan media komunikasi yang memberikan siaran berupa suara atau gambar kepada publik. Lembaga penyiaran terdiri dari lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
penyiaran berlangganan. 1 Dalam hak atas kekayaan intelektual, lembaga penyiaran berhak untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya. Saat ini, lembaga penyiaran televisi, menjadi satu instrumen penting dalam segenap aspek kehidupan masyarakat. Televisi telah memberi andil besar dalam percepatan demokratisasi bidang politik, ekonomi, pendidikan, hiburan dan aspek lain. Peran yang dilakukan televisi seperti saat ini, sudah tentu tidak terlepas dari pilihan ideologis media yang ditransformasikan ke dalam realitas sehari-hari masyarakat. Televisi dianggap sebagai media yang paling tepat dalam mentransformasikan informasi. Di antara beberapa media yang tersedia, televisi memiliki kelebihankelebihan, antara lain: 1.
2. 3.
Efisiensi biaya Televisi media yang paling efektif (jangkauan dibanding media lain seperti radio, media cetak). Dampak yang kuat Keunggulan kemampuan dilihat dan didengar (audio/visual) Pengaruh yang kuat Televisi sebagai media yang paling kuat di rumah selesai dari kesibukan dan kepenatan meluangkan waktu. 2
Media penyiaran TV memiliki kelebihan dalam hal ini. Yang disampaikan adalah gambar visual yang bergerak (life) bukan gambar diam seperti di media cetak. Media penyiaran TV mampu menyiarkan pesan multimedia yang berupa tex,
1
Memahami Lembaga Penyiaran, http://www.koranpendidikan.com/artikel-1529.html, diakses tanggal 5 Februari 2009. 2 Media Televisi, http://belajardekavetiga.blogspot.com/2005/09/media-televisi.html, diakses tanggal 10 Januari 2009.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
gambar/video dan audio sekaligus. Hal ini sangat menarik bagi pemirsa apalagi setelah karya animasi komputer berkembang, program siaran TV dan film menjadi enak dinikmati. 3 Sebagai salah satu bagian dari media komunikasi, lembaga penyiaran tidak begitu saja dapat menyiarkan program yang akan ditayangkannya kepada khalayak. untuk menggunakan hak siarnya, 4 Pasal 43 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyebutkan setiap mata acara yang disiarkan wajib memiliki hak siar. Dalam menayangkan acara siaran, lembaga penyiaran wajib mencantumkan hak siar. Apabila berbicara tentang persoalan Hak Cipta dan Hak Terkait (Neighbouring Rights), pada umumnya maka secara tidak langsung akan berkenaan juga dengan persoalan uang. Untuk merancang, mewujudkan, memasarkan sedemikian rupa suatu karya cipta, maka dibutuhkan sejumlah uang, apakah dalam bentuk yang besar atau tidak. Pemegang Hak Cipta berhak mendapatkan sejumlah uang sebagai penghargaan atas ciptaannya. Sebagai contoh seorang pencipta lagu yang memberikan Hak Cipta lagu miliknya pada sebuah perusahaan rekaman musik, si pencipta lagu tentu mendapat imbalan (royalti) atas setiap rekaman yang terjual atau setiap pertunjukan atas lagu tersebut. Apabila perusahaan musik itu selanjutnya akan menjual pada sebuah studio 3
Sri Sartono, Teknik Penyiaran Dan Produksi Program Radio, Televisi Dan Film Jilid 1, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta,2008, hlm. 101. 4 Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2002 menyebutkan Yang dimaksud dengan hak siar adalah hak yang dimiliki lembaga penyiaran untuk menyiarkan program atau acara tertentu yang diperoleh secara sah dari pemilik hak cipta atau penciptanya.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
film dan lagu yang diciptakan tersebut digunakan, maka si pencipta akan mendapat imbalan berupa sejumlah bagian tertentu dari keuntungan yang diperoleh oleh film itu berdasarkan jumlah presentase yang disepakati. Suatu karya yang dipromosikan, dipertunjukkan ataupun diperbanyak dapat dinilai dari segi ekonomi. Suatu karya yang dihasilkan itu ternyata masih dibutuhkan individu atau sejumlah individu lain. Individu-individu inilah yang selain pencipta patut diberikan kepada mereka suatu penghargaan yang sama nilainya dengan penghargaan yang diberikan kepada seorang pencipta yaitu suatu hak khusus atau hak eksklusif yang dengan hak eksklusif ini pihak lain tidak dengan sembarangan dapat membuat, memperbanyak, menyiarkan atau menyiarkan ulang, menyewakan dan lain sebagainya selain tanpa adanya izin dari pemegang hak eksklusif tersebut. Hak Cipta dan Hak Terkait (Neighbouring Rights) diatur dalam peraturan yang sama, yaitu dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Namun di antara keduanya terkesan nyaris tidak berbeda satu sama lain. Padahal jika ditelusuri, kedua hak itu berbeda. Hal ini dapat dilihat antara lain dari segi kepada siapa hak itu dapat diberikan. Seperti yang tertera dalam penjelasan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta bahwa para pembuat Undang-undang mengisyaratkan agar bisa menegaskan serta memilah kedudukan Hak Cipta di satu pihak dan Hak Terkait di pihak lain dalam rangka memberikan perlindungan bagi karya intelektual yang bersangkutan secara lebih jelas.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Masih minimnya pemahaman masyarakat akan perbedaan kedua hak tersebut tentu saja hal ini dapat berpengaruh pada penegakan serta perlindungan hukum atas hak-hak tersebut. Kelahiran Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang merupakan Undang-undang terbaru negara Indonesia di bidang Hak Cipta sangat membantu untuk dapat menelusuri lebih jauh tentang Hak Cipta dan Hak Terkait yang terdapat di dalamnya, khususnya terhadap masalah kedudukan Hak Terkait dan Hak Cipta ini serta masalah perlindungannya di Indonesia. Karena Hak terkait (Neighbouring Rights) ini merupakan hal baru yang hadir di tengah-tengah masyarakat Indonesia, masalah penerapan, penegakan serta masalah perlindungannya pun harus lebih dioptimalkan dengan sebaik mungkin agar dalam pelaksanaannya ke depan tidak mengalami hambatan apapun. Dalam hal ini patokanpatokan hukum yang diundangkan memegang peranan yang sangat penting untuk melindungi hasil suatu karya cipta. Di samping itu peranan Hak Cipta sangat penting dalam menghadapi mekanisme pemasaran hasil ciptaan manusia, yang semakin lama semakin
membawa
pada
tingkat
kompleksitasnya,
yang
akhirnya
sering
menimbulkan manipulasi terhadap keanekaragaman ciptaan manusia. Berdasarkan uraian di atas, Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: ”Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta "
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Perumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah bentuk-bentuk hak dari lembaga penyiaran televisi?
2.
Bagaimanakah perlindungan hak terkait lembaga penyiaran televisi menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta?
3.
Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa dalam hal pemberian hak terkait lembaga penyiaran televisi menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta?
Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak di capai dalam penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui bentuk-bentuk hak dari lembaga penyiaran
2.
Untuk
mengetahui
cara
lembaga
penyiaran
untuk
mendapatkan
hak
mengumumkan karya cipta seseorang. 3.
Untuk mengetahui bentuk perlindungan hak terkait lembaga penyiaran televise menurut undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan tesis ini adalah : a.
Secara akademis hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan secara akademis dalam memberikan gambaran hak penyiaran pada stasiun televisi.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
b.
Secara praktis hasil pembahasan dapat dijadikan dasar praktis dalam menghadapi persoalan yang berhubungan langsung dengan perdungan hak lembaga penyiaran.
Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran yang telah dilakukan sebelumnya pada perpustakaan dilingkungan Universitas Sumatera Utara dan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang telah dilakukan sehubungan dengan PERLINDUNGAN HAK TERKAIT LEMBAGA PENYIARAN TELEVISI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA dalam topik dan permasalahan-permasalahan yang sama. Penelitian ini merupakan hal yang baru dan asli sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan terbuka bagi kritikan-kritikan yang sifatnya membangun sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.
Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Pembahasan hak cipta tidak bisa lepas dari hak yang berkaitan atau biasa disebut hak terkait. Di dunia internasional sudah ada konvensi tersendiri tentang hak terkait, yaitu Konvensi Roma, sementara di Indonesia pengaturan hak terkait masih menyatu dalam Undang-undang Hak Cipta.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Hak terkait (neigbouring rights) adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi hal-hal: 5 a.
Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya
b.
Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau meyewakan rekaman suara atau rekaman bunyinya, dan
c.
Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak atau menyiarkan karya siarannya. Salah satu penikmat hak tekait dengan hak cipta adalah lembaga penyiaran.
Tidak sedikit orang sering memiliki kepercayaan dan pandangan yang keliru bahwa kepentingan umum hanya dapat dipenuhi oleh sektor publik dan bahwa sektor swasta harus diperbolehkan memiliki kebebasan penuh. 6 Karena itu menurut Erich Vogt, tidaklah mengherankan kalau kita mendengar begitu banyak kelompok kepentingan dibidang penyiaran yang mengibaratkan lisensi penyiaran/ijin siaran sama seperti lisensi untuk mencetak uang. Ketentuan yang mensyaratkan bahwa penyiaran hendaknya melayani publik dengan baik secara tradisional bertopang pada keyakinan bahwa gelombang udara adalah milik publik. Sebagai milik publik, spektrum frekuensi juga, sebagaimana halnya dengan milik publik lainnya, merupakan sumber daya yang terbatas sehingga
5
Noegroho Amien, “Hak Terkait”, i/HAK%20TERKAIT.ppt, diakses tanggal 10 Mei 2009.
makalah
lemlit.ugm.ac.id/
makalahhk
6
Vogt Erich, Pelayanan Umum Sebagai Salah Satu Bentuk Penyiaran, Friedrich Ebert Stiftung, Jakarta, Tahun 2001, hal. 10
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
membatasi
jumlah
lisensi
yang
dapat
dikeluarkan
kepada
umum
untuk
memanfaatkannya. 7 Adanya perubahan besar di era penyiaran satelit dan digital telah mempengaruhi dan mewarnai sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Dalam pengamatan Anthony Giddens, televisi memainkan peran langsung dalam revolusi 1989, yang dengan tepat disebut sebagai “revolusi televisi” yang pertama. Protes turun ke jalan yang terjadi di satu negara disaksikan oleh para pemirsa televisi di negara lain, dan sebagian besar dari mereka kemudian melakukan hal yang sama di negara mereka sendiri. 8 Tidak ketinggalan dengan penetrasi dari budaya industri (industry culture) yang memasuki alam bawah sadar pemirsa saban hari dan sedikit banyaknya berhasil merubah gaya hidup mereka. Berbeda dengan era sebelumnya, bagaimana tradisi budaya dan moral benarbenar relatif terjaga. Perbedaannya karena sejumlah faktor terkait. Kebanyakan faktor tersebut sangat berhubungan dengan dampak pertumbuhan dan mapannya media. Pertama, produksi budaya hari ini didominasi oleh media sampai ketingkat dimana tidak ada aktivitas budaya atau produksi yang tidak tersentuh oleh media. Kedua, media menampilkan segala sesuatu sebagai hal yang menarik pada dan untuk dirinya; media-media cenderung untuk menghancurkan kemungkinan bahwa sesuatu secara kualitatif lebih baik dari yang lain. Hal ini dikarenakan oleh media, sesuatu bisa menjadi menarik atau menjadi membosankan dan seperti itulah sesuatu itu. Ketiga, 7
Ibid Anthony Giddens, (terj.2001), Runaway World, Penerj. Andri Kristiawan S dan Yustina Koen S, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama terj.2001, hal. 10 8
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
faktor inilah yang menciptakan situasi sekarang begitu dari yang lainnya, yaitu dominasi media dan runtuhnya piranti kritis menjadi sekadar kategori barang-barang yang menarik atau membosankan, dimana bukan nilai budaya saja yang dihancurkan, tetapi nilai moralpun tal luput mengalami kerusakan moral. 9 Dengan kata lain, hiburan merupakan supra-ideologi segala diskursus dalam televisi. Tak peduli apa yang ditayangkan dan melaui sudut pandang mana. Alasannya
adalah
bahwa
semua
itu
ditayangkan
untuk
menghibur
dan
menyenangkan, sebagaimana pendapat Neil Postman. Lebih dari itu, ketika suatu masyarakat telah disibukkan dengan hal yang remeh-temeh, saat itu kehidupan budaya didefinisikan kembali sebagai arus hiburan tanpa henti, bila konversasi serius publik telah menjadi sebentuk ocehan bayi, singkat kalimat, ketika masyarakat menjadi sekelompok pemirsa dan urusan publiknya menjadi sebuah pertunjukan vaudeville, maka sebuah negara akan tiba ditepi jurang kematian kebudayaan. 10
a. Peranan Media Massa Peran media massa dalam kehidupan sosial, terutama dalam masyarakat modern tidak ada yang menyangkal, menurut McQuail yang dikutip dalam Harjono Hafdjani, ada enam perspektif dalam hal melihat peran media. 11
9
Keith Tester, Media, Budaya Dan Moralitas, Penerj. Muhammad Syukri, Yogyakarta: Kerjasama Juxtapose dengan Penerbit Kreasi Wacana.terj.2003, hal. 4 10 Harjono Hafdjani, Dampak Globalisasi Media Terhadap Masyarakat Dan Budaya, Indonesia, bl.ac.id/wp-content/uploads/2007/04/blcom-04-vol2-no2-april20071. 11 Ibid
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Pertama, melihat media massa seabagai window on event and experience. Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak melihat apa yang sedang terjadi di luar sana. Atau media merupakan sarana belajar untuk mengetahui berbagai peristiwa. Kedua, media juga sering dianggap sebagai a mirror of event in society and the world, implying a faithful reflection. Cermin berbagai peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya. Karenanya para pengelola media sering merasa tidak “bersalah” jika isi media penuh dengan kekerasan, konflik, pornografi dan berbagai keburukan lain, karena memang menurut mereka faktanya demikian, media hanya sebagai refleksi fakta, terlepas dari suka atau tidak suka.Padahal sesungguhnya, angle, arah dan framing dari isi yang dianggap sebagai cermin realitas tersebut diputuskan oleh para profesional media, dan khalayak tidak sepenuhnya bebas untuk mengetahui apa yang mereka inginkan. Ketiga, memandang media massa sebagai filter, atau gatekeeper yang menyeleksi berbagai hal unuk diberi perhatian atau tidak. Media senantiasa memilih issue, informasi atau bentuk content yang lain berdasar standar para pengelolanya. Di sini khalayak “dipilihkan” oleh media tentang apa-apa yang layak diketahui dan mendapat perhatian. Keempat, media massa acapkali pula dipandang sebagai guide, penunjuk jalan atau interpreter, yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas berbagai ketidakpastian, atau alternative yang beragam
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Kelima, melihat media massa sebagai forum untuk mempresentasikan berbagai informasi dan ide-ide kepada khalayak, sehingga memungkin terjadinya tanggapan dan umpan balik. Keenam, media massa sebagai interlocutor, yang tidak hanya sekadar tempat berlalu lalangnya informasi, tetapi juga partner komunikasi yang memungkinkan terjadinya komunikasi interaktif. Pendeknya, semua itu ingin menunjukkan, peran media dalam kehidupan sosial bukan sekedar sarana diversion, pelepas ketegangan atau hiburan, tetapi isi dan informasi yang disajikan, mempunyai peran yang signifikan dalam proses sosial. Isi media massa merupakan konsumsi otak bagi khalayaknya, sehingga apa yang ada di media massa akan mempengaruhi realitas subjektif pelaku interaksi sosial. Gambaran tentang realitas yang dibentuk oleh isi media massa inilah yang nantinya mendasari respon dan sikap khalayak terhadap berbagai objek sosial. Informasi yang salah dari media massa akan memunculkan gambaran yang salah pula terhadap objek sosial itu. Karenanya media massa dituntut menyampaikan informasi secara akurat dan berkualitas. Kualitas informasi inilah yang merupakan tuntutan etis dan moral penyajian media massa.
b. Hak Cipta dan Perkembangannya Seiring dengan berkembangnya kehidupan manusia di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya, tentu saja akan berpengaruh pada perkembangan kemampuan berfikir (intelektualitas) manusia. Kemampuan berfikir manusia tersebut
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
tertuang dalam bentuk ide-ide atau gagasan, yang lama kelamaan ide manusia tersebut dapat dijelmakan ke dalam bentuk ciptaan atau penemuan yang dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk membantu kelangsungan hidup manusia. Hak Cipta yang merupakan bagian dari karya intelektual juga mengalami perkembangan yang cukup pesat. Selain Hak Cipta ada hak-hak lain yang dapat dinikmati hasilnya baik oleh pencipta sendiri berupa keuntungan (manfaat ekonomi) ataupun oleh pihak lain berupa hasil ciptaan itu semata. Hasil karya cipta yang dihasilkan oleh pencipta ada yang langsung dapat diminati, tapi tetap saja membutuhkan pihak lain untuk mempertunjukkan karya cipta tersebut. Masalah ini menyangkut perubahan bentuk perlindungan bagi karya rekaman suara, karya siaran dan karya pertunjukan. Sesuai Undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, ketiga jenis ciptaan itu dialihkan perlindungannya kedalam rejim Hak Terkait (Related Right/ Neighbouring Right). Neighbouring Rights merupakan perlindungan Hak Cipta yang lebih khusus jika dibandingkan dengan Hak Cipta pada umumnya, yaitu hanya ditujukan pada pelaku, produser rekaman dan badan penyiaran.. Sejarah perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual khususnya Hak Cipta dimulai di Italia pada awal Zaman Renaisance. Pada masa itu konsep Hak Cipta masih dipahami sebagai satu kesatuan dengan Paten yaitu hak yang diberikan oleh penguasa negara-negara kota kepada pihak-pihak tertentu. Perlindungan Hak Cipta pada masa itu masih bersifat tradisional, yaitu: ”tidak ada pemisahan yang jelas
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
dengan Hak Paten dan perlindungan itu pun diberikan kepada pengusaha percetakan bukan kepada pencipta.” 12 Antara Tahun 1946 dan Tahun 1517 pemerintah negara kota memberi hak istimewa (priveledge) kepada percetakan. Hak istimewa tersebut meliputi hak mencetak buku dalam bahasa sendiri maupun dalam bahasa asing tertentu. Pada tanggal 1 September 1486 Hak Cipta pertama diberikan kepada: ”Marc Antonio Sabellico untuk buku yang berjudul “Decades Return Venetarum“, 13 sehingga ia mempunyai
kewenangan
khusus
untuk
mengontrol
percetakan
maupun
pendistribusian buku tersebut. Di Indonesia Hak Cipta dan konsep perlindungannya dikenal pertama kali pada Tahun 1912 yaitu setelah masuknya Belanda. Maka berdasarkan asas konkordansi tersebut diberlakukanlah Auterswet 1912. Jadi, pada saat itu pengaturan secara formal Hak Cipta di Indonesia ini berdasarkan Auterswet Tahun 1912, sebagaimana dinyatakan dalam Staatsblad Tahun 1912 Nomor 600 dan dinyatakan berlaku mulai tanggal 23 Sepetember 1912. 14 Perkembangan Hak Cipta di Indonesia dapat juga dilihat dari zaman penjajahan Belanda. Seperti telah diketahui bersama bahwa Indonesia pernah mengalami masa penjajahan Belanda selama 3½ abad. Selama masa penjajahan masalah politik, ekonomi, sosial budaya, kedaulatan termasuk dalam hubungan
12
Sanusi Bintang, Hukum Hak Cipta, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.15. Ibid 14 Ibid, hlm. 19. 13
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
internasional, serta masalah hukum dan Hak Cipta seluruhnya dikuasai dan ditentukan oleh Belanda. 15 Hak Cipta di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Hanya saja meski Undang-Undang tersebut secara eksplisit menyebutkan klausul mengenai bagaimana suatu Hak Cipta dapat lahir dan melekat pada diri seseorang, tidak cukup jelas disebutkan di sana apakah dari ketiga jenis dasar penentuan atas timbulnya pengakuan terhadap lahirnya Hak Cipta tersebut (Hak Cipta lahir atau dianggap lahir ketika : diciptakan, diumumkan atau didaftarkan) bersifat alternatif ataukah prioritas. Undang-Undang mengatur bahwa Hak Cipta suatu karya cipta lahir ketika karya cipta tersebut diciptakan. Hak Cipta dapat pula dianggap lahir dengan adanya pengumuman. Secara prinsip kedua hal tersebut juga diakui dalam konvensi-konvensi Intelectual Property Right (Konvensi Berne dan WIPO Copy Right Treaty). Sedangkan mengenai pendaftaran, konvensikonvensi tersebut tidak mengaturnya. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa masing-masing negara peratifikasi konvensi-konvensi internasional tersebut dapat bebas mengatur mengenai pengakuan Hak Cipta berdasarkan pendaftaran. Apakah pendaftaran tersebut bersifat alternatif ataukan bersifat prioritas. Menjadi pemahaman umum bahwa yang berlaku di Indonesia adalah tidak adanya keharusan pendaftaran atas suatu karya cipta. Memang sukar untuk menafikkan bahwa sebagian esensi dari perbincangan Hak Cipta suka tidak suka akan selalu diwarnai dengan pembahasan keuntungan 15
Ramdlon Naning, Perihal Hak Cipta Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 9-10.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
material yang bisa diperoleh atas pengakuan suatu Hak Cipta. Akan tetapi adanya pendapat beberapa pihak yang melihat Hak Cipta lebih pada substansi pengakuan suatu karya cipta sebagai bentuk pada etika moral manusia, lantas menghadapkan kita pada pertanyaan besar selanjutnya manakah diantara
kedua hak ini yang
seyogyanya didahulukan. Oleh karena itu konsep perlindungan Hak Cipta di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh sistem hukum sipil yang dalam perkembangan selanjutnya dipengaruhi juga oleh konvensi-konvensi internasional tentang Hak Cipta. Auterswet 1912 ini selain berlaku pada masa penjajahan Belanda, juga terus berlaku pada saat Indonesia merdeka berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945. Pada saat Belanda menandatangani naskah Konvensi Bern pada tanggal 1 April 1913, Indonesia sebagai negara jajahannya diikutsertakan juga oleh Belanda dalam Konvensi Bern itu, sebagaimana tersebut dalam Staatsblad Tahun 1914 Nomor 797. Selanjutnya Konvensi Bern ditinjau kembali di Roma pada tanggal 2 Juni 1928, yang dinyatakan juga berlaku untuk Indonesia. Konvensi inilah yang kemudian berlaku di Indonesia sebagai negara jajahan Belanda dalam hubungannya dengan dunia internasional khususnya mengenai Hak Cipta. Hak Atas Kekayaan Intelektual dari waktu ke waktu akan terus mengalami perkembangan di tengah-tengah masyarakat. Hal ini disebabkan karena semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang diikuti dengan bahkan perkembangan dunia industri dan kebutuhan manusia akan hasil yang dilahirkan dari bidang-bidang tersebut.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Adanya perkembangan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra maka mempengaruhi pula pada perkembangan Hak Cipta itu sendiri, untuk pertama kali negara Indonesia mempunyai peraturan perundang-undangan tentang Hak Cipta yaitu Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 masih terdapat pengaturan yang sangat sederhana, tentang hak terkait (Neighbouring Rights) yang telah ada sekarang ini dalam Undang-undang Hak Cipta terbaru sama sekali tidak terdapat pengaturannya, begitu juga dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 yang merupakan perubahan dan penyempurnaan atas Undang-undang Hak Cipta setidaknya, para pembuat Undang-undang tidak terpikir untuk menuangkan peraturan tentang Hak Terkait (Neighbouring Rights) ini. Hak Terkait, yaitu hak si Pelaku, Produser Rekaman Suara dan Lembaga Penyiaran. Namun, pada prinsipnya keberadaan Hak Terkait tidak akan pernah terlepas dari hak si Pencipta sebagai pemilik hak dalam bentuk yang originalnya. Sebagai contoh, adalah jika seorang dosen memberi kuliah dan kemudian direkam oleh mahasiswanya. Investasi membeli recorder dan merekam perkuliahan tidak berarti si mahasiswa memiliki Hak Cipta atas perkuliahan tersebut. Yang dimilikinya hanyalah kepemilikan atas rekaman bukan substansi perkuliahan itu sendiri. Demikian pula halnya dengan karya rekam atas lagu, tidaklah mungkin dibuatkan suatu karya rekam atas suatu lagu tanpa seizin si pencipta lagu demikian pula dengan
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
pementasan dan penyiarannya. Jika ia tidak berkenan maka tidak akan pernah ada karya rekam, karya pementasan maupun karya siaran tersebut. 16 Hadirnya Undang-undang Hak Cipta Nomor 12 Tahun 1997 sebagai perkembangan mengatur Hak Terkait (Neighbouring Rights). Hal ini disebabkan negara Indonesia baru meratifikasi konvensi-konvensi internasional yang berkaitan dengan dua bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual. Akibat dari baru ditemukannya istilah Neighbouring Rights, istilah neighbouring rigths tidak begitu meluas di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kasus-kasus yang dihadapi oleh para artis misalnya, kebanyakan kasus yang mencuat adalah masalah pembayaran atau kompensasi yang diterima tidak sesuai dengan apa yang mereka lakukan. Kasus lain dengan mendapat pembayaran hanya sekali pada saat mereka menampilkan kreasinya pertama kali dan justru perusahaan penyiaran yang mendapatkan untung yang berlipat-lipat dari penampilan artis tersebut. Semakin banyaknya ciptaan-ciptaan yang lahir dari buah pikiran manusia itu dirasakan perlu adanya suatu perlindungan hukum, agar setiap ciptaan yang lahir tidak dimanfaatkan oleh pihak lain baik secara moral maupun ekonomi. Perkembangan masyarakat membawa dampak baik dan buruk. Akibat dari kemajuan teknologi, kadangkala dalam beberapa hal dapat mengarah pada persaingan yang tidak sehat untuk mendapatkan keuntungan yang cepat. Dengan melakukan berbagai cara, dengan mengutip di sana-sini misalnya seseorang dapat mencipta suatu ciptaan 16
Edmon Makarim, “Bias Hak Cipta Layanan Ring Back Tone Ponsel”, www.lkht.net/index.php?...88%3Abias-hak-cipta...layanan-rbt., diakses tanggal 11 Juni 2009
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
atau menampilkannya yang tampak seperti suatu ciptaan yang baru, tetapi pada dasarnya merupakan tiruan dari karya yang telah pernah diciptakan atau ditemukan oleh orang lain setidaknya. ”Istilah Hak Cipta mulai dipergunakan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia ke II yang diselenggarakan di Bandung pada bulan Oktober 1951. Setidaknya istilah yang dipergunakan adalah hak pengarang. Dalam bahasa Inggris istilah yang dipakai untuk pengertian tersebut adalah copyright.” 17 Istilah hak pengarang yang dipergunakan setidak diadakannya kongres tersebut selintas memberikan arti yang sangat sempit terhadap hak yang dicakupnya, yaitu hanya mencakup hak pengarang saja, tidak meliputi penciptaan karya-karya yang lain seperti lukisan, komposisi musik, patung dan sebagainya. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka Kongres Kebudayaan Indonesia berhasil melahirkan istilah Hak Cipta untuk menggantikan istilah hak pengarang. Pada akhir abad ke 19 kebutuhan akan perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual khususnya Hak Cipta berkembang pesat baik dalam lingkup internasional maupun dalam lingkup nasional. Dalam lingkup internasional misalnya untuk dipenuhinya kebutuhan dimaksud pada Tahun 1886 dibentuk sebuah konvensi yang mencoba menentukan satu sistem Hak Cipta secara seragam di seluruh dunia yang dikenal dengan Konvensi Bern. Pada Tahun 1955, dengan tujuan yang sama dibentuk pula suatu Universal Convention of Copyright (UCC 1955) dan konvensi-konvensi lainnya. 17
Ramdlon Naning, Op.Cit, hlm. 1.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Adapun yang menjadi dasar pertimbangan adanya perkembangan kehidupan yang berlangsung cepat, terutama di bidang perekonomian di tingkat nasional dan internasional yang menuntut pemberian perlindungan yang lebih efektif. Selain itu dikarenakan Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Mengenai Aspek-Aspek Dagang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs) yang merupakan bagian dari persetujuan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) dengan Undangundang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan WTO. Beberapa hal yang mendapatkan perubahan di dalam Undang-undang Hak Cipta ini adalah: 1. Penyempurnaan Hal-hal yang sudah lebih disempurnakan adalah menyangkut pengaturan mengenai ciptaan yang tidak diketahui penciptanya, pengecualian terhadap pelanggaran Hak Cipta, juga waktu perlindungan suatu ciptaan, hak dan wewenang menggugat, dan ketentuan mengenai Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS). 2. Penambahan Pengaturan baru di dalam Undang-undangHak Cipta ini adalah menyangkut pengaturan penyewaan ciptaan (rental right) atas rekaman video, film dan program komputer, pengaturan hak yang berkaitan dengan Hak Cipta (Neighbouring Rights) untuk pelaku, produser rekaman dan lembaga penyiaran dan pengaturan lisensi Hak Cipta. 18 Mengenai konsep Hak Terkait sebagai bagian dari Hak Cipta (Neighbouring Rights) ternyata sudah banyak dan diterima bahkan dipergunakan di banyak negara, yaitu negara-negara yang telah meratifikasi konvensi-konvensi mengenai Hak Terkait seperti Konvensi Roma Tahun 1961 dan Konvensi Phonogram Tahun 1971.
18
Ibid, hlm. 78.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Undang-undang Hak Cipta di Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan. Pertama kali berlaku Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 (Lembaran Negara 1982 Nomor 15 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3217). Undangundang ini mencabut ketentuan Auterswet 1912 yang pernah berlaku setidaknya dengan maksud untuk mendorong dan melindungi ciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu pengetahuan, seni, dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan bangsa. Pada Tahun 1987, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta disempurnakan dengan Undang-undang baru yakni Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Nomor 3362 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3362). Adapun maksud dari penyempurnaan ini sebagai upaya mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembanganya ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Saat ini pelanggaran terhadap Hak Cipta sudah mulai terlihat bahkan telah sampai pada taraf membahayakan misalnya dalam bentuk tindak pidana pembajakan. Penyempurnaan Undang-undang Hak Cipta pada Tahun 1987 lebih diarahkan pada pengaturan, terutama dalam hal substansi hukumnya. Beberapa hal yang disempurnakan pengaturannya adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan ancaman hukuman. 2. Perubahan dari tindak pidana aduan menjadi tindak pidana biasa. 3. Kemungkinan perampasan hasil pelanggaran Hak Cipta untuk negara guna dimusnahkan.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
4. Adanya hak gugat secara perdata baik bagi pihak yang dirugikan, di samping sekaligus hak negara untuk menuntut secara pidana. 5. Kewenangan hakim untuk memerintahkan penghentian kegiatan pembuatan, perbanyakan, pengedaran, penyiaran dan penjualan ciptaan hasil pelanggaran setidak putusan pengadilan. 6. Penambahan program komputer sebagai ciptaan yang dilindungi dan penghapusan “paleo antropologi”sebagai ciptaan yang dilindungi karena bukan ciptaan manusia. 7. Lisensi wajib berkaitan dengan penerjemahan dan perbanyakan ciptaan yang dibutuhkan atau pelaksanaan sendiri oleh negara. 8. Peningkatan jangka waktu perlindungan Hak Cipta. 19 Kedua produk perUndang-undangan Hak Cipta di atas terlihat bahwa mengenai ketentuan Hak Terkait (Neighbouring Rights) sama sekali tidak ada pengaturannya. Pada Tahun 1997 diadakan kembali penyempurnaan dan penambahan terhadap Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta negara Indonesia dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 29 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3679). Undang-undang Hak Cipta Nomor 12 Tahun 1997 ternyata tidak berlangsung lama, dikarenakan masih terdapatnya beberapa hal yang perlu disempurnakan terutama mengenai perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang Hak Cipta. Sehubungan dengan adanya penyempurnaan di bidang Hak Cipta, selanjutnya sebagai perkembangan baru, pada tahun 2002 dibentuk Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 sebagai penyempurna ketentuan setidaknya. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta ini memuat beberapa ketentuan baru, antara lain mengenai:
19
Muhammad Djumhana dan Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia), Edisi Revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 12.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
1. Database merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi. 2. Penggunaan alat apapun baik melalui kabel maupun tanpa kabel, termasuk media internet, untuk pemutaran produk-produk cakram optik melalui media audio, media audio visual dan/atau sarana telekomunikasi. 3. Penyelesaian sengketa oleh Pengadilan Niaga, Arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. 4. Penetapan Sementara Pengadilan untuk mencegah kerugian lebih besar bagi pemegang hak. 5. Batas waktu proses perkara perdata di bidang Hak Cipta dan Hak Terkait baik di Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung. 6. Pencantuman hak informasi manajemen elektronik dan sarana kontrol teknologi. 7. Pencantuman mekanisme pengawasan dan perlindungan terhadap produkproduk yang menggunakan sarana produksi berteknologi tinggi. 8. Ancaman pidana atas pelanggaran Hak Terkait. 9. Ancaman pidana dan denda minimal. 10. Ancaman pidana terhadap perbanyakan penggunaan program komputer untuk kepentingan komersial secara tidak sah dan melawan hukum. 20 Akibat dari keterbatasan suatu negara terhadap produk hukum Hak Cipta nasional negaranya masing-masing menyebabkan munculnya kebutuhan pengaturan secara internasional. Hal ini memberikan dampak bahwa perlindungan Hak Cipta oleh seseorang di satu negara tidak berarti mendapat perlindungan di negara lain terhadap hasil karyanya, karena hukum nasional hanya berlaku di wilayah negaranya saja. Dengan demikian dirasakan perlunya perluasan pengaturan Hak Cipta ini secara internasional dengan membuat perjanjian atau konvensi internasional khususnya di bidang Hak Cipta. Perjanjian Internasional (konvensi) adalah: ”Suatu perjanjian yang diadakan antar anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu”. 21
20 21
Ibid. Mochtar Kusumatmaja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Jakarta, 1978, hlm. 109
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
2. Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional. 22 Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian. 23 Pentingnya defenisi operasional bertujuan untuk menghindari perbedaan salah pengertian atau penafsiran. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus di buat beberapa defenisi konsep dasar sebagai acuan agar penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan, yaitu: Kerangka konsep yang akan diajukan dalam penelitian tesis ini adalah: 1.
Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.
22
Samadi Surya Barata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun 1998,
hal. 28 23
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, Tahun 1984, hal. 133
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
2.
Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran.
3.
Izin penyelenggaraan penyiaran adalah hak yang diberikan oleh negara kepada lembaga penyiaran untuk menyelenggarakan penyiaran.
4.
Lembaga penyiaran adalah penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan perUndang-undangan yang berlaku.
5.
Hak cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan
tidak
mengurangi
pembatasan-pembatasan
menurut
peraturan
perundangan-undangan yang berlaku. 6.
Neighbouring Right atau Related Right atau Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya; dan bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Metode Penelitian Spesifikasi Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif yakni suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu sistem pemikiran ataupun suatu peristiwa pada masa sekarang dengan tujuan untuk membuat gambaran secara sistimatis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki, 24 selain itu berupaya mendeskripsikan, mencatat, menganalisis, dan menginterpretasikan kondisi-kondisi yang terjadi atau ada saat itu. 25 Penelitian ini menggunakan pendekatan dari gejala-gejala subyek suatu kelompok yang menjadi obyek penelitian atau bersifat fenomenologis, yang berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi tertentu. 26
Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Dimana Pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji berbagai aspek hukum. Pendekatan yuridis normatif dipergunakan dengan
24
Muh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 63
25
Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial-Format-format Kuantitatif dan Kualitatif, Airlangga University Press, Surabaya, Tahun 2001, hal. 143 26
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rakesarasin, Yogyakarta, Tahun 1996,
hal. 94
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
melihat peraturan perundang-perundangan yang mengatur hak penyiaran di stasiun Deli TV. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dengan melakukan penelitian pada Stasiun Deli TV sebagai lembaga penyiaran,Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sumatera Utara dan karya Cipta Indonesia. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan mempelajari : 1. Bahan Hukum Primer Yaitu bahan hukum berupa peraturan perUndang-undangan, dokumen resmi yang mempunyai otoritas yang berkaitan dengan permasalahan, berupa Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas. 2. Bahan Hukum Sekunder yaitu semua bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak resmi meliputi buku-buku, karya ilmiah. 27 3. Bahan Hukum Tertier
27
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, Tahun 2005, hal. 141
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
yaitu bahan yang memberikan maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, jurnal ilmiah, majalah, surat kabar dan internet juga menjadi tambahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian yang akan ditentukan. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga sehingga akan diperoleh apa yang menjadi tujuan penelitian. Untuk memperoleh hasil penelitian yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya maka dalam penelitian akan dipergunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut : a. Studi pustaka Studi pustaka dilakukan dengan cara mempelajari, mendalami, dan mengutip teori-teori atau konsep-konsep dari sejumlah literatur, baik buku, jurnal, majalah, koran, atau karya tulis lainnya yang relevan dengan topik, fokus atau variabel penelitian b. Studi lapangan Studi lapangan dilakukan dengan menggunakan metode wawancara. Wawancara akan dilakukan pada beberapa informan sebagai narasumber yaitu Pimpinan Stasiun Deli TV, Kordinator Bidang Pengelolaan Struktur Komisi Penyiaran Indonesia Derah Sumatera Utara dan Kepala Wilayah Karya Cipta Indonesia Daerah Sumatera Utara sebagai narasumber yang mempunyai informasi
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
yang memberikan keterangan-keterangan demi menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
Analisis Data Dalam menganalisa data dipakai analisis data deskripstif kualitatif, yaitu data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan dianalisis secara kualitatif yaitu dengan langkah-langkah data diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan penelitian, hasilnya disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
BAB II BENTUK-BENTUK HAK DARI LEMBAGA PENYIARAN TELEVISI
A. Pengertian Lembaga Penyiaran Televisi Televisi saat ini adalah sarana elektronik yang paling digemari dan dicari orang. Untuk mendapatkan televisi tidak lagi sesusah zaman dahulu dimana perangkat komunikasi ini adalah barang yang langka dan hanya kalangan tertentu yang sanggup memilikinya. Saat ini televisi telah menjangkau lebih dari 90 persen penduduk di negara berkembang. Televisi yang dulu mungkin hanya menjadi konsumsi kalangan dan umur tertentu saat ini bisa dinikmati dan sangat mudah dijangkau oleh semua kalangan tanpa batasan usia. 28 Dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, pada Pasal 13 ayat 2 ditegaskan bahwa jasa penyiaran diselenggarakan oleh: 1.
Lembaga penyiaran swasta
2.
Lembaga penyiaran publik
3.
Lembaga penyiaran komunitas
4.
Lembaga penyiaran berlangganan. Siaran televisi di Indonesia, mungkin di seluruh dunia, akan menghadapi
kontroversi antara "disukai dan tidak disukai". Di satu sisi siaran tv "disayangi"
28
Dwi Kurnia, “Tugas PTK Televisi”, http://dwikurniakj05.wordpress.com/2008/05/03/tugas-ptk-televisi/, diakses tanggal 10 Juni 2009.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
karena memberi banyak kenikmatan, di sisi lain, "tidak disenangi" karena dianggap mendatangkan banyak perubahan yang sering dikaitkan dengan moral, etika, nilainilai tradisi dan dianggap terlalu "agresif" dalam persaingan antarmedia massa, cetak, elektronik, maupun film. 29 Kita juga tidak cukup memberi perhatian pada perkembangan industri televisi yang kini berjalan bak berprinsip neoliberal, menyerahkan perkembangan industri sepenuhnya kepada pasar bebas. 30 Dalam Kompas 11 Desember 1995 Dirjen Kebudayaan mengatakan, gencarnya serbuan informasi atau program asing melalui siaran televisi merupakan masalah paling umum kini. Pernyataan ini kiranya mewakili pendapat betapa siaran televisi telah membawa banyak masalah dalam kehidupan kebudayaan kita. Apakah semua masalah itu hanya menjadi "beban" penyelenggara siaran semata? Untuk menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita tidak hanya menilai keluarannya (out put) televisi, namun membahas bagaimana sesungguhnya selama ini kita memperlakukan dan mengatur keberadaan televisi di Indonesia demi terciptanya manfaat yang optimal dan bukan sebaliknya. 31 Media
massa
umumnya
memiliki
kebijakan
masing-masing
dalam
menentukan isi atau program, untuk memperoleh kekhasan profil khalayak sasaran yang mereka inginkan. Kebijakan tersebut sekaligus menentukan mutu media massa 29
Kuswandi, Wawan. Komunikasi Massa : Sebuah Analisis Media Televisi, Rineka Eka Cipta, Jakarta, 1996, hal. V. 30 Amir Effendi Siregar, “Industri Televisi Kita,” http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg84522.html, diakses tanggal 20 Juni 2009. 31 William L Rivers, Jay W. Jensen, Theodore Peterson, Media Massa dan Masyarakat Modern (edisi kedua, alih bahasa Aris Munandar & Dudy Priatna), Kencana, Jakarta, Desember 2003
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
yang bersangkutan, termasuk iklan-iklan yang dimuat atau ditayang oleh media massa tersebut. Pengertian televisi itu sendiri dapat diartikan sebagai sebuah alat penangkap siaran bergambar. Kata televisi berasal dari kata tele dan vision, yang mempunyai arti masing-masing jauh (tele) dan tampak (vision). 32 Jadi televisi berarti tampak atau dapat melihat dari jarak jauh. Penemuan televisi itu sendiri dapat disejajarkan dengan penemuan roda, karena penemuan ini dapat merubah peradaban dunia. televisi selalu indentik dengan kata siaran televisi, dimana menurut Surat Keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia Nomor : 54 / B KEP / MENPEN / 1971 Tentang penyelenggaraan Siaran Televisi di Indonesia siaran televisi berarti siaran-siaran dalam bentuk gambar dan suara yang dapat ditangkap ( dilihat dan didengarkan ) oleh umum baik dengan system pamancaran dalam gelombang-gelombang elektromagnetik maupun lewat kabel-kabel. Kritik khalayak tidak hanya terjadi pada segi redaksional (media pers) atau program (media elektronik), tetapi seringkali juga pada iklan-iklan yang dimuat atau ditayangkan media massa tersebut. Adakah upaya media massa selama ini untuk menentukan kebijakan mutu iklan yang dimuat atau ditayangkan oleh mereka? Sebagai "pintu terakhir" untuk menyaring iklan yang melanggar etika, apa upaya media massa untuk turut mewujudkan swakrama?
32
Ruedi Hofmann, Dasar-dasar Apresiasi Program Televisi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1999, hlm. 9.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Ada kesan, bahwa media massa lebih suka menyerahkan tugas penyaringan etika iklan kepada pihak lain, misalnya; perusahaan periklanan, pengiklan atau Lembaga Sensor Film, dan sebagainya. 33 Padahal dalam Tata Krama Periklanan Indonesia jelas-jelas dinyatakan, bahwa Media Periklanan bertanggung jawab atas kesepadanan antara pesan iklan yang disiarkannya dengan nilai-nilai sosial-budaya dari profil khalayak sasarannya. Salah satu lembaga penyiaran yang ada di Indonesia adalah Deli TV. Deli TV (DTV) adalah stasiun televisi lokal pertama di Medan dan Sumatra Utara. Memiliki stasiun pemancar di Sibolangit dan Studio & kantor di jl.wartawan simp.intertip Nomor1 Medan, Indonesia . Diluncurkan tgl 18 Desember 2005. Siaran dimulai jam 10.00 - jam 24.00 , dengan kontent hampir 50% program lokal. Hanya dalam 2 tahun, Delitv telah eksis dengan didukung hampir 70% sponsor atau iklan lokal. 34 Tak diragukan lagi, bahwa sebenarnya tujuan diciptakan televisi memiliki banyak manfaat yang positif. Setidaknya seperti apa yang dikatakan oleh Drs. Wawan Kuswandi dimana dikatakakan bahwa tujuan dari media televisi seharusnya (hal ini dalam konteks luas, tetapi tak tertutup juga dalam konteks keindonesiaan) : 35 1.
Sebagai alat informasi
2.
Hiburan
3.
Kontrol sosial 33 34
Ibid. Hasil wawancara dengan ibu Yose Piliang, Executive Produser Deli TVMedan, tanggal 2
Juni 2009. 35
Iwan Sutiawan, “ Menyibak ‘Budaya’ Latah Tayangan Televisi,” http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0705/02/0805.htm, diakses tanggal 20 Juni 2009.
dalam
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
4.
Penghubung wilayah secara geografis. Mari kita lihat apakah tujuan dari media televisi sudah sesuai dengan apa yang
diharapkan khususnya dengan porsi acara televisi di Indonesia yang disuguhkan oleh beberapa stasiun televisi di Indonesia, khususnya stasiun televisi swasta yang tumbuh menjamur baik coverage nasional maupun lokal. Bila ia sebagai alat informasi tak jarang hanya lebih banyak diisi dengan berita infotainment, berapa banyak berita yang bersifat interaktif dan memperkaya wawasan seseorang justru tidak ditempatkan pada slot acara yang dikategorikan prime time, berarti hal ini secara tidak langsung menjadikan sisi hura-hura (lepas dari hasrat para pemasang iklan) lebih banyak diangkat di televisi dibandingkan dengan sisi yang seharusnya menjadikan rakyat Indonesia lebih merasakan dan sensitif terhadap permasalahan sosial di sekitarnya. Masyarakat lebih suka dan lebih peduli dengan siapa selebritis yang hari ini bercerai dibandingkan dengan kasus mengapa seorang ibu tega membunuh ketiga anaknya. 36 Bila sebagai hiburan, maka tak jauh hiburan yang disuguhkan lebih banyak kepada fokus acara sinetron (sinema elektronik). Adapun sinetron yang ada, sangat tak mewakili seluruh provinsi di Indonesia, yang ada hanya lingkup sentralistik Jakarta dan memukul rata seluruh provinsi di Indonesia. Lihatlah sinetron ‘remaja’ yang muncul belakangan telah menjadikan para remaja menjadi sosok-sosok yang hedonis dan egois. Lihat pula dengan trend ‘terkenal-instan’ yang telah menjadikan masyarakat Indonesia berharap menjadi masyarakat instant pula, lihat juga trend dengan sinetron yang katanya ‘religius’ dan mengingatkan orang akan mati menjadi 36
Dwi Kurnia, Loc.Cit.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
latah di seluruh stasiun televisi swasta membuat sinetron ‘islami’ yang sama, dan sederetan hiburan yang tak jelas nilai pendidikkannya apalagi hubungan sosial yang ada di masyarakat Indonesia. Bila ia sebagai kontrol sosial, rasanya tujuan ini jauh dari harapan. Disebabkan televisi telah menjadikan masyarakat Indonesia individu-individu yang hedonis, kapitalis, bahkan egois. Televisi telah berhasil menempatkan posisinya di hati rakyat Indonesia sebagai guide life yang rasanya ‘kotak ajaib’ itu mesti ada di rumah-rumah keluarga Indonesia, bayangkan dari mulai rumah gedongan sampai bantaran sungai dan kolong jembatan, dari yang bermerek asli sampai imitasi, dari yang bergaransi sampai hasil mencuri, televisi sudah menjadi hajat hidup orang banyak. Lantas bagaimana mau menjadi kontrol sosial, yang ada justru malah menjadikan masyarakat Indonesia para social climber dalam memperlebar stratifikasi sosial dan diferensiasi sosial di masyarakat Indonesia ketika melihat realita bahwa mengikuti televisi sudah menjadi kewajiban tersendiri. Jadi jangan harap televisi menjadi sebuah kontrol sosial, yang ada malah masalah sosial selama tayangan televisi yang ada masih seperti ini. Siaran-siaran televisi akan memanjakan orang-orang pada saat-saat luang seperti saat liburan, sehabis bekerja bahkan dalam suasana sedang bekerjapun orangorang masih menyempatkan diri untuk menonton televisi. Suguhan acara yang variatif dan menarik membuat orang tersanjung untuk meluangkan waktunya duduk di depan televisi. Namun dibalik itu semua dengan dan tanpa disadari televisi telah
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
memberikan banyak pengaruh negatif dalam kehidupan manusia baik anak-anak maupun orang dewasa. Hadirnya teknologi komunikasi telah membawa perubahan yang besar bagi kehidupan. Banyak sisi positif yang dihasilkan dari hadirnya teknologi televisi sekarang ini, namun sisi negatifnya tidak sedikit juga. Televisi yang berfungsi sebagai alat hiburan, penyampai informasi, pengetahuan/pendidikan, membujuk namun juga dapat menyesatkan dan membohongi publik dengan program-program acara tertentu. 37 Komunikasi tanpa batas telah banyak mengakibatkan pergeseran moral. Banyak teyangan televisi saat ini yang sudah kehilangan fungsi. Sebagai lat komunikasi yang seharusnya memberikan manfaat positif, memberikan hiburan yang membangun akhlak namun justru melukai pemirsa baik anak-anak maupun orang dewasa. Di antara media yang ada, televisi dipandang yang paling mempunyai kelebihan, karena mampu memvisualisasikan barang yang ditawarkan secara nyata, membentuk “image”, juga dilengkapi suara. Penyebaranyapun sangat luas, hampir ke seluruh pelosok nusantara. Untuk itu, televisi telah dimanfaatkan oleh kalangan bisnis umumnya untuk promosi atau iklan, dan nonbisnis untuk kepentingan pendidikan, kampanye/propaganda, penyampaian hasil pembangunan serta lainnya. Keampuhan televisi seperti itu, tentu akan bermanfaat dan tidak berdampak negatif., jika kita mampu menyajikan pesan-pesan iklan yang benar dan tidak
37
Ibid
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
tendensius. Namun sebaliknya, jika iklan tersebut hanya menyajikan mimpi , maka hal itu akan berdampak merugikan konsumen. Pada Bab I angka 1 TKTCPI (Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia) dinyatakan tentang definisi periklanan sebagai : “salah satu sarana pemasaran dan sarana penerangan”. Dengan demikian bagi perlindungan konsumen, iklan adalah alat pemasaran produk konsumen dan juga alat penerangan (informasi) produk konsumen yang ditawarkan. Sebagai sarana pemasaran, peran iklan adalah untuk mendorong penciptaan kebutuhan produk konsumen yang diiklankan, memantapkan dan atau meningkatkan pangsa pasar produk tersebut. Mungkin harapannya adalah fungsi televisi sebagai penghubung wilayah geografis, dalam hal ini khususnya Indonesia yang wilayahnya luas dan terbagi menjadi beribu-ribu pulau (sampai banyak pulau yang belum diberi nama dan pulau yang hilang ketika pasirnya digerus negara tetangga). Setidaknya televisi dapat menjadi bermanfaat dengan tayangan breaking news-nya baik ketika gempa dan tsunami di NAD, gempa dan tsunami di Yogyakarta, gempa dan tsunami di Pangandaran. Televisi menjadi sarana yang efektif dalam menayangkan berita tersebut dengan sangat cepat (walaupun untuk mengatakan tepat sangat disangsikan, sebab seringkali informasinya meleset). 38 Termasuk juga dengan adanya beberapa stasiun televisi yang menayangkan program acara petualangan ke daerah-daerah terpencil di Indonesia sehingga dapat memperkaya wawasan dan menjadikan
38
Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial (alih bahasa Tri Wibowo Budi Santoso), Prenada Media, Jakarta, Juli 2005, hlm. 23.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
masyarakat kota berkaca (tapi itu dia kesemua acara tersebut tidak ditaruh pada slot prime time, jadi akhirnya masyarakat kota pun masih bisa berkaca dengan filem barat dan sinetron murahan). Terdapat suatu asumsi bahwa televisi memiliki dampak destruktif yang luar biasa, terlebih pada perusakan sistem budaya. Nilai dan norma budaya masyarakat Indonesia yang telah diwarisi secara turun-temurun dapat berubah 360 derajat dengan kehadiran sebuah ‘kotak ajaib’ di rumah-rumah penduduk Indonesia. 39 Gaya hidup western setidaknya telah memberikan warna tersendiri, atau justru bahkan mungkin lebih westernis dibandingkan dengan orang western yang ketika ada trend baru sangat sayang untuk dilewatkan oleh generasi belakangan. Gaya hidup western dan instant pulalah yang menimbulkan masalah sosial baru dikalangan masyarakat, tumbuhnya generasi hedon baru yang individualistik dan pesimis dalam menatap hidup telah merebak menjadi trend tersendiri di Indonesia. Betapa tidak, hampir seluruh wilayah di Indonesia berubah menjadi Jakarta. Penulis pernah berkesempatan ke suatu wilayah di Jawa Tengah dan mengunjungi sebuah pasar pakaian murah, dan alangkah kagetnya saya ketika melihat beberapa penjualnya telah menjadi ‘orang Jakarta’ yang berdialek Jawa. Gaya pakaian si-mba yang cukup full pressed body, rambut yang disisir ke pinggir di rebonding dan colouring, gaya bicara medoknya ketika mengucapkan lu-gue, hingga interaksi
39
Wirodono, Sunardian., Matikan TV-Mu, Teror Media Televisi Di Indonesia, Yogyakarta: Resist Book, Maret 2006
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
dengan teman yang lain benar-benar Jakarta. Kalau tetap seperti ini mungkin budaya lokal dan tradisi adat yang asli akan pudar dan luntur digerus oleh televisi. B. Fungsi Sosial Televisi Penyiaran selain profit oriented sekaligus berfungsi sosial. Penyiaran secara kelembagaan maupun content-nya, tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan masyarakat tempatnya berada. Sebagai lembaga penyiaran nasional di daerah, sikaplaku etis dan susila adalah kaidah batin dari lembaga penyiaran. Ini adalah refleksi nasionalismenya sebagai perekat sosial dan bangsa, sehingga tidak tabu bila ikut menghormati norma-norma sosial dan nilai-nilai setempat sebagai upaya memajukan local genius. Penghormatan atas keragaman, adalah etika nasional sehingga mampu menjaga Negara-Bangsa Indonesia dalam bingkai multi kultur. Implikasinya cukup luas. Ini dapat dilihat dari perspektif hukum, sosial, dan politik. Alasannya, pertama, dengan sikap apatis tersebut, posisi KPID sebagai produk hukum diabaikan (belum dilecehkan). Kedua, sebagai badan regulasi, dalam logika hukum - seharusnya mampu mengatur lembaga penyiaran - ini mengesankan kurang wibawa. Keadilan yang diinginkan masyarakat sering berseberangan dengan keadilan legalis tersebut. Antara das sein dan das solen, antara hukum normatif dan empiris, interprestasi dan aplikasinya sering mengalami pembiasan. Dalam kasus tersebut, pendekatan sosial dalam penegakan hukum dibutuhkan, sehingga Undang-undang tersebut mampu memberi keadilan distributif (kesebandingan).
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Dalam menjalankan fungsi dan perannya untuk melayani masyarakat, antara KPI dan lembaga penyiaran di daerah ini, ke depan, perlu terus membuka ruang dialog dan berkomunikasi. Upaya menegakan Hukum Penyiaran tetap konsisten dilaksanakan. Ini akan menjamin kepastian hukum bagi masyarakat umum maupun masyarakat penyiaran. Walaupun demikian nilai-nilai etika, budaya, sosial dan agama masih relevan dikedepankan dan dijadikan norma lainnya karena ikut berperan dalam mengatur ketertiban masyarakat. 40 Dari aspek yuridis sudah cukup jelas pada bagian sebelumnya bahwa hal ini adalah amanat yang tersirat dalam perUndang-undangan. Sebutlah Undang-undang 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi maupun Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dalam Undang-undang Penyiaran Pasal 3 disebutkan: “Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.” Amanat yang lebih jelas tertulis pada pasal 36 ayat 1 Undang-undang Penyiaran : “Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untik pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan
40
Hadriani P, “Gaya Hidup, Mengawal Hak Cipta Program Televisi”, http://www. korantempo.com/korantempo/login.html, diakses tanggal 10 Juni 2009.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
budaya” Adalah sebuah pesan konstitusional bagi dunia penyiaran untuk melakukan peranperan konstruktif berupa peran edukasi, menjaga keutuhan negara serta pengamalan nilai-nilai agama dan budaya. Selain peran sebagai media informasi dan hiburan. Eksistensi KPI adalah bagian dari wujud peran serta masyarakat dalam hal penyiaran,
baik
sebagai
wadah
aspirasi
maupun
mewakili
kepentingan
masyarakat.Legitimasi politik bagi posisi KPI dalam kehidupan kenegaraan berikutnya secara tegas diatur oleh Undang-undang Penyiaran sebagai lembaga negara independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Secara konseptual posisi ini mendudukkan KPI sebagai lembaga negara atau dalam istilah lain juga biasa dikenal dengan auxilarry state institution. Dalam rangka menjalankan fungsinya KPI memiliki kewenangan (otoritas) menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat. Pengaturan ini mencakup semua daur proses kegiatan penyiaran, mulai dari tahap pendirian, operasionalisasi, pertanggungjawaban dan evaluasi. Dalam melakukan kesemua ini, KPI berkoordinasi dengan pemerintah dan lembaga negara lainnya, karena spektrum pengaturannya yang saling berkaitan. Ini misalnya terkait dengan kewenangan yudisial dan yustisial karena terjadinya pelanggaran yang oleh Undang-undang Penyiaran dikategorikan sebagai tindak pidana. Selain itu, KPI juga berhubungan dengan masyarakat dalam menampung dan menindaklanjuti segenap bentuk apresiasi masyarakat terhadap lembaga penyiaran maupun terhadap dunia penyiaran pada umumnya.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) khususnya di Kota Medan menghadapi tantangan besar untuk menumbuhkan tanggung jawab publik lembaga penyiaran. Aspek yuridis, sosial, filosifis dan ekonomis adalah peta besar persoalan yang harus menjadi konsen KPID. Melalui perangkat dan kewenangan yang dimiliki, KPID harus mampu mendorong tumbuhnya tanggung jawab publik lembaga penyiaran. 41 Karena lembaga penyiaran menggunakan ranah publik untuk melakukan kegiatan penyiaran, seluruh kegiatannya harus diabdikan kepada kepentingan publik, sesuai dengan tuntutan hukum, peran sosial yang konstruktif, dasar filosofis dan ekonomis yang normative. Lembaga penyiaran sebagai rumpun media massa, jelas mempunyai peran sosial yang besar. Lembaga penyiaran menjadi bagian integral dari kehidupan sosial, sebagai media hiburan, pendidikan dan informasi. Bahkan lebih dari itu, lembaga penyiaran juga memainkan peran sebagai agen perubahan sosial. Sebagai media komunikasi massa, televisi sebagai media yang paling besar menyita perhatian masyarakat, sebagai media yang paling banyak dikonsumsi publik, mempunyai peluang dan tantangan besar untuk memainkan peran konstruktif. Sementara radio yang mempunai karakter intrusif, juga sangat potensial menembus lapisan masyarakat secara luas. Burhan Bungin dalam bukunya Sosiologi Komunikasi menyebut peran media sebagai agent of change adalah paradigma utama. Media harus memainkan peran sebagai institusi pencerahan masyarakat (sebagai media edukasi). Selain itu
41
Hasil wawancara dengan Ibu Ranggini, SE, Kordinator Bidang Pengelolaan Struktur, Komisi Penyiaran Indonesia¸ Medan.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
media juga harus mencetak masyarakat yang kaya informsai (sebagai media informasi). Terakhir, media harus mampu mendorong perkembangan budaya manusia yang bermoral dan masyarakat sakinah. Dengan demikian, media massa juga berperan mencegah berkembangnya budaya-budaya yang justru merusak peradaban manusia.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
BAB III CARA LEMBAGA PENYIARAN UNTUK MENDAPATKAN HAK MENGUMUMKAN KARYA CIPTA SESEORANG
A.
Hak Terkait (Neighbouring Right) Format Program Televisi Format program televisi berasal dari sebuah ide. Semua pertunjukan televisi
dimulai dari sebuah ide yang berasal dari penulis, sutradara, prosedur atau bahkan dari orang biasa. Sebuah ide yang dikomunikasikan dalam proses produksi program televisi agar dapat diimplementasikan ke dalam bentuk program televisi yang siap untuk ditayangkan. Menurut prosedur, program tersebut bisa ditayangkan pihak ketiga setelah mendapat lisensi. Jika tanpa lisensi, besar kemungkinan akan ada gugatan dari pemilik ide tadi. Banyaknya stasiun televisi swasta membuat rentan bajak-membajak ide program televisi seperti ini. Bagi program televisi serial terdapat “ide” yang akan menjadi dasar kerangka setiap eposide program tersebut. Kerangka inilah yang kemudian disebut sebagai format yang akan menjadi pengenal dari program dimaksud sehingga sebuah program akan selalu memiliki ciri-ciri yang sama pada setiap episodenya. Dalam penjelasan yang lebih teknis, format dapat disebut sebagai ide yang secara simultan membingkai setiap episode produksi program televisi. Definisi yang lebih terang dikemukakan oleh Mark Litwark yang dikutip oleh Dedi Kurniadi yang menyatakan bahwa format adalah “kerangka yang menjadi tempat dimana tokohtokoh sentral dari program akan beraksi yang akan selalu diulang pada setiap episode termasuk karakter-karakter detail lainnya, setting, tema dan jalan cerita secara umum
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
dari sebuah serial” 42 . Dalam hal ini Litwak mengemukakan pengertian format lebih terkait dengan cerita serial. Vincent Nelson mengemukakan bahwa: “Format cerita serial secara umum memuat elemen-elemen antara situasi-situasi, tema, ide dan karakter.” 43 Pada umumnya format program televisi juga terdiri dari elemen-elemen. Untuk jenis program televisi lainya seperti game show, sebuah format memiliki elemen-elemen antara lain nama program, cara penyampaian, pembabakan, materi yang berulang (seperti slogan dan gerakan khas) yang berhubungan dengan kejadian, properti dan set yang khas, serta setiap materi yang ditujukan untuk menggambarkan hubungan antara perserta dengan program. Format program televisi merupakan bagian dari karya seni yang harus diberi perlindungan. Dalam hokum hak cipta proses pembuatan suatu program merupakan salah satu hal yang perlu mendapat perhatian. Retno Maruti, salah seorang koreografer kenamaan menyatakan bahwa: Royalti bukanlah satu-satunya cara untuk melakukan perlindungan terhadap karya seni. Pengalaman saya sejauh ini mengajarkan bahwa pendokumentasian (terutama pada tahap proses penciptaan) adalah sangat penting. Apa yang kita lakukan behind the scene itu akan sangat bermanfaat nantinya, bukan saja untuk bukti seandainya terjadi perselisihan dalam soal siapa pemegang hak ciptanya, tapi juga untuk menumbuhkan proses kreatif bagi orang lain, terutama bagi generasi baru. Penghargaan bahwa setiap ciptaan itu lahir dari suatu proses yang kadang teramat penjang. 44
42
Dedy Kurniadi, Op.Cit., hlm. 40. Ibid. Hlm 49 44 Masyarakat Seni Pertunjukan, “Pelik-Pelik Persoalan Perlindungan HaKI Bagi Karya Rekaman, Karya Siaran, dan Karya Pertunjukan,” http://www.mspi.org/index.php? option=com_content&task=view&id=75&Itemid=83, diakses tanggal 13 Maret 2009. 43
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Ivan Curry yang dikutip oleh Deddy Kurniadi membagi format program televisi ke dalam 2 (dua) pembagian utama sesuai dengan praktek produksi program televisi yakni format program yang scripted, dan yang unscripted. 45 Dalam format program yang scripted, sebuah program televisi diproduksi berdasarkan skenario yang menentukan apa-apa saja yang harus diucapkan
oleh si skenario yang
menentukan apa-apa saja yang harus diucapkan oleh si “karakter” dan kapan kalimat tersebut harus diucapkan. Yang termasuk ke dalam kategori program yang scripted ini adalah news, drama (komedi dan tragedi), musik atau variaty programs, performance art/commercial/public service announcement (PSAs). Sementara yang dikategorikan sebagai format program yang unscipted adalah panel show, program demo (memasak, informacial), game show (kuis), live transmissions, sports, dan documentaries. Tantowi Yahya, Pembawa Acara Kuis “Who Want’s to be A Millionaire”, berpendapat mengenai format program game show (kuis). Tantowi mengatakan bahwa dalam membuat sebuah game show (kuis) sama dengan menyusun sebuah pidato, yakni terdiri dari pembukaan, isi (content), penutupan dan kesimpulan. Bagian pembukaan harus dibuat sedemikian rupa sehingga menarik minat penonton dalam waktu singkat sehingga penonton memiliki gambaran tentang program tersebut. Selanjutnya, bagian materi isi sebagai substansi kuis dan bagian penutup yang bersifat sebagai kesimpulan kuis (wrap up) dan bersifat gimmick . Keseluruhan ini adalah format kuis termasuk skenario dan tata laku pembawa acara. Tantowi 45
Ivan Curry dalam Deddy Kurniadi, Op.Cit., hlm. 41.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
mengakui pula bahwa batasan sebuah format tidaklah mutlak tergantung pada kreatifitas kreator format menurut trend yang sedang terjadi. Beliau mengemukakan bahwa pada acara Who Wants to be A Millionaire yang dipandunya terdapat konsep yang kuat dan berbagai elemen termasuk musik, properti, teknologi, pertanyaan, penekanan-penekanan, slogan (cathcphrases) dan hal-hal yang merupakan gimmick. 46 Adanya format yang baik diharapkan dapat meningkatkan minat penonton hal ini dikarenakan banyaknya stasiun televisi swasta yang lain, sehingga masing-masing stasiun berupaya sebaik mungkin membuat acara yang terprogram dengan baik. Beberapa hal yang menjadi kekurangan televisi yang satu terhadap televisi yang lainnya terdiri atas: a. VCR (Video Cassete Recorder). Program ini dapat merekam program yang diinginkan dan menontonnya setiap saat. b. View data dan teletext. Bagi mereka yang mampu membeli alat-alat canggih seperti prestel, oracle, ataupun ceefax, mereka bisa memilih berbagai macam informasi mutakhir dari berbagai sumber yang tersedia melalui komputer. c. Televisi kabel (cable television): televisi kabel makin memperbanyak pilihan program bagi para pemirsa. Pemirsa di Inggris yang kurang menyukai acara BBC dan ITV, mereka sudah bisa memasang kabel saluran televisi kabel. d. Jaringan berita seketika (instant world news). Kini banyak bermunculan perusahaan-perusahaan yang khusus bergerak dalam bidang pencarian berita dan penyajiannya secara cepat. 47 Kenyataan adanya elemen dalam sebuah format program televisi juga dibenarkan oleh Marcel Hartawan, seorang produser program televisi. Marcel berpendapat bahwa elemen-elemen format program televisi game show ataupun 46
Ibid. M. Linggar Anggoro, Teori dan Profesi Kehumasan, Serta Aplikasinya Di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 2000., hlm. 151. 47
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
reality show memiliki kesamaan, unsur yang membedakan adalah warna atau suasana dari program tersebut yang disesuaikan dengan tujuan dan visi acara (khusus reality show), memiliki karakter sesuai dengan kondisi kultur Indonesia. Namun, format program tidak hanya ditentukan oleh elemen-elemen tersebut melainkan juga ditentukan oleh kemasan keseluruhan, misalnya: acara “Ngerjain Orang” Bisa Jadi program komedi tetapi juga bisa jadi program serius. Berbagai alasan dikemukakan untuk membuat sebuah format program televisi. Seperti tayangan misteri beberapa saat yang lalu. Media televisi swasta yang ada berlomba-lomba dengan membuat tayangan misteri dengan berbagai variasi yang tujuannya adalah menarik minat penonton, dan tentu saja untuk mendapatkan nilai rupiah yang tinggi, atau menarik iklan. Ada program “Percaya gak Percaya”, “ Kisah Misteri (Kismis). Secara lebih praktis, Hari De Fretes, seorang pencipta dari program televisi, “Lemong Rumpi” dan “Hari-Hari Mau” mengemukakan bahwa sebuah format program televisi memiliki elemen-elemen yang terdiri dari segementasi (pembabakan), karakter dan hubungan karakter. 48 Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa sebuah format program televisi terdiri dari elemen-elemen yang standar yang penyusunannya merupakan suatu hasil kreasi dari kreatornya. Hal ini lebih dari sekedar “ide” melainkan juga penerapan dari ide-ide tersebut yang kemudian diimplementasikan dalam produksi setiap program yang didasarkan pada format tersebut.
48
Dedy Kurniadi, Op.Cit, hlm. 43, Beliau mengungkapkan bahwa format program televisi “hari hari mau” memiliki empat segemen utama, sebagai anak sekolah, sebagai ayah yang membuka toko bunga dan sebagai dokter. Satu babak lainnya adalah Jakarta punya berita dimana pembaca berita saat itu Becky Tumewu dan Indra Safera menyampaikan berita dengan cara komedi. Format ini bertahan hingga produksi lebih dari 100 episode.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Kehadiran televisi sebagai media masa setidaknya secara intern butuh kode etik untuk menyeimbangkan dua kutub ekstrim, antara ekstrim idealisme dengan ekstrim bisnis. “Sebab ketika kehadiran TV mengabaikan aspek idealisme dengan lebih menekankan aspek bisnis semata, maka televisi akan melahirkan industri yang mencetak uang tetapi tidak peduli terhadap akibat moral-sosio-politik-budaya masyarakat.” 49 Dengan kata lain urusan-urusan yang bersifat moral, ahlak dan budaya menjadi tidak begitu penting untuk sebuah televisi yang berorientasi bisnis semata. Salah satu contoh format program televisi saat ini adalah dengan dasar dakwah. Manajemenqolbu televisi (MQTV) dimulai dari adanya ide untuk mendirikan media penyiaran berisi dakwah yang menghibur (dakwahtaiment) dengan cakupan luas dan pengemasan program secara menarik, sederhana dan universal. Fokus utamanya adalah memberikan tontonan yang berkualitas kepada masyarakat melalui pengkajian acara yang sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas pemirsa. Atas dasar pertimbangan di atas, maka didirikanlah ManajemenQolbu Televisi (MQTV), sebuah perusahaan yang direncanakan bergerak dibidang penyiaran televisi terestrial dengan badan usaha berbentuk perseroan terbatas, dimana 100% saham dimiliki oleh MQ Corporation. Saat ini perusahaan mengawali bisnisnya sebagai rumah produksi (production house) yang diposisikan secara unik, yaitu menjadi spesialis penyedia program televisi (program suplier) bertema dakwah yang dikemas
49
Mira R. Gnagey, “TV Watch Sebuah Kebutuhan Baru”,, http://www.pikiranrakyat.com/cetak/0703/04/0801.htm, diakses tanggal 11 Juni 2009.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
dalam berbagai bentuk, baik dalam format filer, animasi, drama, maupun non drama. 50 Program yang ditayangkan oleh televisi mempunyai dua karakter mendasar, yaitu: “1. Kebijakan politik bernegara yang memusat di satu tempat telah berpengaruh pada pengelolaan industri televisi, terutama dalam programprogramnya. Selama ini, mayoritas pemirsa di tanah air yang lebih dari 200 juta jiwa dari beragam bentuk suku, justru harus mengkonsumsi satu bentuk wacana kebudayaan yang hanya satu saja, khususnya bentukbentuk kebudayaan Jawa.Kebudayaan Jawa dalam wacana televisi begitu dominan. Wacana ini jangan lantas dipahami sekadar Jawa dalam makna ketradisiannya, namun juga nilai-nilai Jawa yang paling modern sekaligus kian terlegitimasi di ruang televisi. Asumsi ini juga bisa lebih dibuktikan dari kuantitas dan kualitas nilai Jawa dalam program televisi yang lebih dominan, jika dibandingkan dengan program dengan nuansa budaya dari daerah lain. 2. Selama ini memang telah terbukti bahwa program televisi juga lebih didominasi oleh tayangan program asing produksi Hollywood, Amerika Latin, ataupun Eropa. Program televisi yang diproduksi dari negara Barat memang lebih dominan secara kuantitas. Bahkan tak jarang, program dari
50
Tim Redaksi, “Profil MQTV”, http://www.cybermq.com/mqtv/list_profil.php?id=1, diakses tanggal 2 Juni 2009.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Barat ini menjadi program paling diminati, dengan skala prioritasnya yang tinggi. Maka, tak heran jika realitas televisi hanya mengedepankan bentuk-bentuk wacana monokultur yang dominan dan hegemonik. Alhasil wacana televisi adalah wacana monokultur, sementara wajah pemirsa televisi adalah multikultur. Banyak keragaman nilai, pemikiran, dan wacana dari suku-suku yang ada di tanah air belum tersentuh sama sekali”. 51 Fakta timpang semacam inilah yang pada akhirnya memunculkan ironi dalam pengemasan visual film televisi. Implementasi dari dominannya wacana monokultur di televisi ini, sungguh telah menyulitkan proses pengembangan program televisi yang lebih mempunyai otoritas dan otonomi bagi kelangsungan serta eksistensi nilai kebudayaan banyak daerah. Sebuah format program televisi bisa jadi adalah suatu hasil dari hasil pengembangan yang dilakukan secara berkelanjutan oleh sebuah rumah produksi. Pada awalnya sebuah ide atau konsep program televisi tidak memiliki nilai sama sekali. Pengembangan program-lah (program development) yang menjalankan sebuah format memiliki nilai dan layak untuk dipasarkan. Sebuah ide atau konsep tentunya perlu diuji coba terlebih dahulu untuk kemudian di sempurnakan dari waktu ke waktu sebelum dieksekusi sebagai sebuah format program televisi. Dalam sebuah format program game show contohnya, dimulai dari konsep dasar dari game tersebut
51
Tonny Trimarsanto, “Televisi Monokultur di Negeri Multikultur,” http://www.republika. co.id/koran_detail.asp?id=50665&kat_id=80&kat_id1=&kat_id2=, diakses tanggal 10 Juni 2009.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
yang kemudian diuji coba dan disempurnakan secara terus menerus untuk kemudian diproduksi pertama sekali untuk memperoleh sebuah produksi contoh atau yang sering disebut sebagai “pilot”. Pada format berita Trans TV misalnya, telah dibuat semacam Prosedur Operasional Standar (SOP) dalam pembuatan berita, untuk menjaga kualitas berita yang dihasilkan oleh Divisi News. Lalu dilakukan tahapan-tahapan mulai dari pengumpulan
materi sampai
menjadi
sebuah
berita.
Satrio
Arismunandar
menyebutkan tahapan-tahapan tersebut adalah: 1.
Produser Program menghimpun gagasan berita yang didapat dari kru melalui “ riset, temuan lapangan, informasi, dan sebagainya, untuk dibahas dalam rapat redaksi.
2.
Agenda berita, rundown, serta penugasan dibahas dalam rapat redaksi. Rapat juga dihadiri oleh reporter, juru kamera, periset, asisten produksi, dan koordinator peliputan.
3.
Hasil rapat redaksi dituangkan dalam notulen. Rapat juga membuat lembar penugasan yang menjadi acuan Produser Program dan Koordinator Peliputan.
4.
Produser Program dapat membuat panduan penugasan reporter, juru kamera, dan periset, serta memberikan panduan tersebut kepada tim yang bertugas.
5.
Jika dibutuhkan grafis untuk mendukung tampilan berita yang ditayangkan, permohonan grafis, foto, dan animasi pendukung berita diajukan oleh Produser Program atau Associate Produser kepada Tim Grafis. Grafis yang dihasilkan oleh tim tersebut lalu dimasukkan ke dalam server.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
6.
Reporter dan juru kamera mengimplementasikan penugasan, dengan melakukan liputan di lapangan. Tim lapangan tersebut juga wajib mengembangkan dan memperkaya informasi.
7.
Periset membantu mengumpulkan data pendukung untuk diberikan kepada reporter.
8.
Dalam perjalanan kembali ke studio, reporter dan juru kamera dapat mendiskusikan hasil liputan dengan Produser yang bersangkutan. Draft naskah dan shot list juga disiapkan.
9.
Juru kamera memindahkan rekaman shot list ke dalam browsing server. Setelah itu –untuk kepentingan bank data-- ia juga wajib membuat log sheet dari semua hasil rekaman gambar yang dibuat. Kaset dan log sheet kemudian diserahkan kepada Perpustakaan.
10. Berdasarkan gambar dan grafis yang sudah tersedia dalam server, Reporter membuat skrip dan first edit. 11. Associate Produser dan Produser Program memeriksa dan memperbaiki first edit. 12. Reporter melakukan dubbing untuk narasi. 13. Dari craft editing server, Editor membuat final edit.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
14. Dari item-item berita yang sudah masuk ke dalam server, Produser Program menyusun rundown akhir untuk keperluan tayang.” 52 Format program televisi telah menjadi objek transaksi sehingga berbagai format program televisi dapat diproduksi ditayangkan di berbagai negara. Dan sering kali ide yang berkembang menjadi format program televisi diperbanyak, disiarkan atau ditiru tanpa persetujuan pencipta program tersebut.. 53
B.
Peran komisi Penyiaran Indonesia Undang-undang Nomor 32 tentang Penyiaran memberikan hak pengawasan
kepada sebuah lembaga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lembaga ini mengontrol baik radio, televisi publik maupun swasta. Ini menjadi perdebatan panjang karena dikhawatirkan
pemerintah
masih
akan
dapat
ikut
campur
tangan
dalam
pengaturannya. Anggotanya dipilih dari kalangan independen oleh DPR dan kemudian diangkat oleh Presiden. Selain di Jakarta KPI juga terdapat di daerahdaerah. Di Inggris juga ada ITC (Independent Television Commission) dan Radio Authority, tapi hanya menjadi lembaga independen pengawas televisi dan radio swasta saja. Contoh lain adalah CSA, Conseil Supirieur d'Audiovisuel di Prancis yang menjadi pengawas bagi kedua jenis lembaga penyiaran, publik dan swasta. Sistem di Prancis ini agak unik karena keanggotaan CSA diatur sedemikian rupa yaitu 3 orang
52
Satrio Arismunandar, Proses Pembuatan Berita Di Stasiun Televisi: Studi Kasus Trans TV, http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2004/08/proses-pembuatan-berita-di-stasiun.html.dikases tanggal 1 53 Dedy Kurniadi, Op.Cit., hlm. 44.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
ditunjuk oleh Presiden, 3 orang oleh Majelis Nasional (DPR) dan 3 orang lagi dipilih oleh Senat. Kesembilan anggota ini bertugas selama 6 tahun yang tidak dapat diperpanjang. Para anggota CSA ini masing-masing menangani televisi publik, produksi dan progam, televisi swasta nasional, televisi regional dan lokal, radio publik, radio swasta, televisi kabel dan satelit Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPIP) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) memikul tanggung jawab dalam menata kehidupan penyiaran. Penataan yang dimaksud adalah menyangkut penataan infrastruktur penyiaran dan content siaran. Infrastruktur penyiaran meliputi persoalan distribusi frekuensi yang digunakan bagi kepentingan penyiaran, sedangkan content siaran menyangkut persoalan isi siaran yang disiarkan lembaga penyiaran (radio dan televisi). Hadirnya KPIP dan KPID sebagai pembuat regulasi di bidang penyiaran diharapkan dapat berdampak pada mutu siaran yang mengudara, dan siaran tersebut peka serta peduli terhadap kepentingan masyarakat. Pendistribusian frekuensi yang dilakukan oleh KPIP dan KPID bagi kepentingan penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 harus melewati prosedur yang jelas dan adil, sehingga dalam pelaksanaan pendistribusiannya tidak terdapat kekecewaan pada sebagian pihak yang tidak mendapatkan jatah frekuensi tersebut. Selain itu, KPIP dan KPID juga dituntut tegas dalam menertibkan radio-radio gelap yang menggunakan frekuensi tanpa prosedur dan izin yang jelas, karena dapat
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
menimbulkan gangguan pada frekuensi lembaga penyiaran resmi, serta dapat menimbulkan interferensi. 54 Pembatasan dan pengaturan frekuensi dilakukan dengan didasari kenyataan bahwa frekuensi merupakan sumber daya alam yang terbatas, yang setiap kelompok ataupun individu di masyarakat berkepentingan menggunakannya. Pengaturan di bidang ini merupakan hal yang lazim di berbagai negara demokrasi, karena tidak mungkin semua individu dan kelompok dapat dengan bebas menggunakannya. Kalau frekuensi dibebaskan penggunaannya tanpa adanya pengaturan, yang terjadi adanya benturan dalam hal penggunaan frekuensi antara lembaga penyiaran yang satu dengan lembaga penyiaran yang lainnya dalam aktivitas siaran yang dilakukan atau yang lazim disebut interferensi. Sedangkan dalam hal content siaran, berdasarkan hasil wawancara disebutkan bahwa KPIP dan KPID diamanatkan oleh Undang-undang penyiaran untuk mengakomodasi sanggahan serta keberatan yang disampaikan masyarakat terkait dengan isi siaran yang disiarkan lembaga penyiaran, yang dianggap merugikan kepentingan konsumen penyiaran. 55 Ini merupakan bentuk akomodasi partisipasi publik dalam upaya membangun kehidupan penyiaran yang demokratis serta memihak pada kepentingan masyarakat. Hal ini harus diletakkan dalam konteks
54
Hasil wawancara dengan Ibu Ranggini, SE, Kordinator Bidang Pengelolaan Struktur, Komisi Penyiaran Indonesia¸ Medan. 55 Hasil wawancara dengan Ibu Ranggini, SE, Kordinator Bidang Pengelolaan Struktur, Komisi Penyiaran Indonesia¸ Medan.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
bahwa masyarakat sebagai konsumen penyiaran punya hak berpartisipasi dalam upaya membangun kehidupan penyiaran yang lebih baik. Lembaga Penyiaran memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak,dan/atau menyiarkan ulang karya siarannya melalui transmisi dengan atau tanpa kabel, atau melalui sistem elektromagnetik lain. Keberadaan komisi penyiaran di sebuah negara demokrasi merupakan hal yang lazim ada. Di Amerika terdapat komisi semacam ini yang bernama Federal Communications Commission pertama kali dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Franklin D. Roosevelt, 11 Juni 1934. Ternyata kehadiran lembaga pengatur penyiaran di negara tersebut tidak lantas menjadikan arus informasi terganggu, bahkan kenyataannya kehidupan penyiaran di sana cenderung "liberal". Di Inggris, komisi semacam ini pun ada bernama Independent Television Commission, komisi ini di Inggris bekerja untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat yang merasa diabaikan negara. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman dibentuknya komisi ini yang muncul sebagai reaksi dan protes masyarakat terhadap media penyiaran yang hanya menampilkan iklan komersial dibanding program yang menguntungkan masyarakat.
C. Perlindungan Hukum Atas Hak Terkait Dalam Lembaga Penyiaran Televisi Hak Terkait (Neighbouring Rights) merupakan bagian dari Hak Atas Kekayaan Intelektual. Banyak karya cipta yang dilahirkan dari individu-individu,
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
seperti dalam bidang musik yaitu dengan semakin berkembangnya dunia rekaman suara yang dalam hal ini melibatkan seorang produser untuk merekam karya suara atau bunyi lainnya, atau seorang pengarang novel yang karyanya dibuat menjadi sebuah drama atau sinetron, yang dalam hal ini melibatkan para aktor untuk menunjang promosi dan daya saing novel tersebut. Contoh ini adalah gambaran keterkaitan antara Hak Cipta dengan Hak Terkait (Neighbouring Rights). Pasal 1 angka (4) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyebutkan bahwa yang dikatakan sebagai Pemegang Hak Cipta adalah: Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta atau orang yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut”. 56 Selanjutnya yang dimaksud dengan ciptaan menurut Abdulkadir Muhammad adalah: “Hasil setiap karya pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra “. 57 Sedangkan yang dimaksud dengan Ciptaan menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta adalah ”Hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra”. Hak Terkait berdasarkan Undang-undang Hak Cipta ini dijelaskan dalam Pasal 1 angka 9 yaitu: “Hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser
56
Sentosa Sembiring, Hak Kekayaan Intelektual dalam Berbagai Peratuiran PerUndangundangan, Yrama Widya, 2006. 57 Abdulkadir Muhammad, Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 112
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya; dan bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya “. Dikategorikan sebagai pelaku menurut Undang-undang ini adalah aktor, penyanyi, pemusik, penari, atau mereka yang menampilkan, memperagakan, mempertunjukkan, menyanyikan, menyampaikan, mendeklamasikan, atau memainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra, floklor atau karya seni lainnya. Produser Rekaman Suara adalah orang atau badan hukum yang pertama kali merekam dan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perekaman suara atau perekaman bunyi, baik perekaman dari suatu pertunjukan maupun perekaman suara atau perekaman bunyi lainnya (Pasal 1 angka (11) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002). Selanjutnya yang dimaksudkan Lembaga Penyiaran adalah organisasi penyelenggara siaran yang berbentuk badan hukum, yang melakukan penyiaran atas suatu karya siaran dengan menggunakan transmisi dengan atau tanpa kabel atau melalui sistem elektromagnetik (Pasal 1 angka (12) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002). Pembayaran royalti adalah merupakan salah satu bentuk implementasi ditegakkannya pengakuan atas Hak Cipta secara umum dan secara khusus penegakan atas Neighbouring Rights di kalangan lembaga penyiaran. Royalti adalah pembayaran berupa imbalan sejumlah uang tertentu yang diterima oleh pemegang Hak Cipta atau
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Pemegang Neighbouring Rights atas digunakan/dimanfaatkan ciptaannya tersebut oleh pihak lain untuk kepentingan yang sifatnya komersial. 58 Keberadaan Neighbouring Rights ini dapat juga dilihat dalam dunia rekaman suara, dalam era globalisasi saat ini pun tidak hanya teknologi yang harus diperhitungkan, keberadaan industri musik sebagai salah satu bentuk dari industri kultural menempati posisi yang cukup diperhitungkan dalam perdagangan nasional dan internasional. Bahkan Amerika Serikat sebagai negara adidaya, juga tetap mengandalkan industri ini sebagai salah satu sumber pendapatan bagi negaranya. 59 Ditinjau dari kaca mata yuridis, perlindungan hak cipta sangat diperlukan dalam industri musik. Perlindungan hak cipta sangat penting artinya bagi para pencipta lagu, juga terhadap orang-orang yang berperan di dalamnya sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi kepada si pencipta. Yang tidak kalah penting adalah para produser rekaman suara yang dapat memberikan manfaat ekonomi kepada si pencipta lagu sendiri, sudah sepantasnya patut diberikan perlindungan serta penghargaan secara hukum. Pemahaman terhadap keberadaan Hak Cipta dan Hak Terkait merupakan dasar pemikiran untuk memahami pola-pola transaksi serta bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi di dalamnya. Pasal 49 Undang-undang Hak Cipta Nasional 2002 ditentukan bahwa yang menjadi ruang lingkup dalam Neighbouring Rights adalah:
58
Pipin Syaripin dan Dedah Jubaedah, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Pustaka Banu Quraisy, Bandung, 2004, hlm. 90. 59
Abdulkadir Muhammad, Loc.Cit
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
1.
Pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberi izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar dari pertunjukannya.
2.
Produser rekaman suara memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya memperbanyak dan atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyi.
3.
Lembaga penyiaran memiliki hak eksklusif untuk memberi izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak dan/atau menyiarkan ulang karya siarannya melalui transmisi dengan atau tanpa kabel, atau melalui sistem elektromagnetik lain. Didasarkan ketiga hak di atas terlihat ada tiga subyek yang menjadi pemegang
Neighbouring Rights yaitu pelaku, produser rekaman dan lembaga penyiaran. Dari ketentuan ini dapat dilihat walaupun ketentuan tentang Neighbouring Rights terdapat dalam pengaturan Hak Cipta namun terdapat sedikit perbedaan antara Hak Cipta dengan Neighbouring Rights, yang hanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja. Perbedaan antara keduanya sangat samar terlihat, misalnya pada sebuah karya pertunjukan musik yang disiarkan oleh lembaga penyiaran misalnya, didalamnya terdapat dua perlindungan hukum terhadap hak ini. Hak Cipta berada di tangan pencipta musik sedangkan Neighbouring Rights berada di tangan lembaga penyiaran, atau pertunjukan karya tari, atau dalam sebuah pagelaran musik. Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa Hak Cipta terdapat pada si
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
pencipta tari (koreografer) sedangkan Neighbouring Rights berada di tangan para penari yang mempertunjukan tariannya di depan umum. 60 Subjek-subjek di atas adakalanya bukan pencipta, tetapi memiliki andil besar dalam mendistribusikan sarana hiburan yang dapat dinikmati dan digunakan oleh masyarakat. Adanya andil dan keterlibatan untuk mendistribusikan karya-karya yang berasal dari Hak Cipta, tentu saja memberikan suatu manfaat tersendiri bagi si pencipta, yaitu berupa nilai ekonomi dari ciptaannya. Maka sudah selayaknya diberikan suatu perhargaan berupa perlindungan hukum dan mendapatkan royalti dari penampilan tersebut manakala penampilan tersebut ditayang ulang. 61 Adapun bentuk perlindungan yang secara tegas diatur dalam Undang-undang Hak Cipta nomor 19 tahun 2002 Tentang Hak Cipta adalah bahwa pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi atas pelanggaran hak ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu. 62
60
Insan Budi Maulana, Undang-undang Haki Indonesia (Indonesian IPR Laws), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 21. 61
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelektual Property Rights), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003. hlm. 136 62
Pasal 56(1) uu nomor 19 tahun 2002
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
BAB IV BENTUK PERLINDUNGAN HAK TERKAIT LEMBAGA PENYIARAN TELEVISI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA
A. Upaya Hukum dalam Penyelesaian Pelanggaran Hak Terkait (Neighbouring Rights) Dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Pada awalnya konvensi yang mendasari tentang Hak Cipta adalah Konvensi Bern 1886, namun sejalan dengan perkembangan kehidupan dirasakan perlunya pengaturan bagi kelompok atau orang-orang tertentu (dalam hal ini adalah orangorang yang dikategorikan dalam pemegang Neighbouring Rights), sehingga dengan beberapa pertimbangan akhirnya disepakatilah Konvensi Roma 1961, konvensi ini selanjutnya dijadikan sebagai pengaturan yang tersendiri. Walaupun telah menjadi pengaturan yang tersendiri namun pada dasarnya konvensi ini lahir karena adanya pengaturan Hak Cipta. Di Indonesia, Neighbouring Rights baru mendapat perhatian khusus pada Tahun 1997, sebagai akibat ditandatanganinya persetujuan TRIPs dalam Putaran Uruguay 1994. Hak Terkait ini baru timbul karena adanya Hak Cipta maka secara pengaturannya pun tentu tidak boleh terlepas dari ketentuan Hak Cipta. Karena itulah dalam perUndang-undangan Nasional pengaturan Neighbouring Rights ini pun merupakan bagian dari pengaturan nasional Hak Cipta. Artinya walaupun Neighbouring Rights ini mendapat tempat yang khusus dalam peraturan perUndangundangan Hak Cipta namun untuk beberapa hal berlaku ketentuan yang sama dengan ketentuan Hak Cipta.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta mengatur ketentuan Neighbouring Rights pada Bab VII tentang Hak Terkait yaitu: 1.
Pasal 49 ayat (1), (2) dan (3) masing-masing mengenai Pemegang Hak Terkait yaitu pelaku, produser rekaman, dan lembaga penyiaran.
2.
Pasal 50 ayat (1) dan (2) mengenai jangka waktu perlindungan Hak Terkait.
3.
Pasal 51 mengenai beberapa ketentuan dalam pasal-pasal dari Undang-undang ini yang berlaku mutatis mutandis terhadap Hak Terkait.
4.
Sekedar sebagai bahan perbandingan tentang pengaturan Hak Terkait, maka diberikan beberapa pasal yang berkaitan dengan Hak Terkait yang termuat dalam Bab VA menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997.
5.
Pasal 43C ayat (1), (2) dan (3) masing-masing mengenai Pemegang Hak Terkait yaitu pelaku, produser rekaman, dan lembaga penyiaran.
6.
Pasal 43 D mengenai jangka waktu perlindungan bagi: a. Pelaku yang menghasilkan karya pertunjukan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak karya tersebut diwujudkan atau dipertunjukkan. b. Produser rekaman suara yang menghasilkan karya rekaman suara berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak karya tersebut selesai direkam. c. Lembaga penyiaran yang menghasikan karya siaran berlaku selama 20 (dua puluh) tahun sejak karya tersebut pertama kali disiarkan.
3. Pasal 43E mengenai beberapa ketentuan dalam pasal-pasal dari Undang-undang ini yang berlaku pula terhadap pemilik hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43C terhadap Hak Terkait.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Selain dalam pasal-pasal tersebut di atas, di dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta ini pun telah ditentukan dan dijabarkan mengenai ketentuan Pidana terhadap pelaku pelanggaran Hak Cipta dan Hak Terkait yang termuat dalam Bab XIII tentang Ketentuan Pidana, dimana ditentukan sanksi pidana bagi pelanggar Hak Cipta dan Pelanggar Hak Terkait adalah sama, sehingga jika ditinjau Hak Terkait dari segi ketentuan pidananya menyebabkan tidak ada perbedaan dengan Hak Cipta, hal ini dapat menggambarkan bahwa jika ditinjau dari segi sanksi pidana antara kedua hak ini adalah sejajar. Hal ini dapat dilihat melalui Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yang menyebutkan bahwa: (1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah orang-orang yang dalam hal ini bukan pemegang hak eksklusif tetapi ia melakukan kegiatan mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan orang lain tanpa izin dari pemegang hak eksklusif (pencipta) atau pemegang Hak Cipta. Sedangkan yang dimaksudkan dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) adalah orang yang dengan sengaja dan tanpa hak membuat, memperbanyak atau menyiarkan
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
rekaman suara dan/atau gambar pertunjukan pihak lain atau memperbanyak dan/atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyi pihak lain. (2) Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (5) Barang siapa dengan sengaja melanggar Pasal 19, Pasal 20 atau Pasal 49 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Yang dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20 adalah melanggar hak cipta atas potret, sedangkan yang dimaksudkan dalam Pasal 49 ayat (3) adalah orang yang dengan sengaja melanggar hak eksklusif lembaga penyiaran. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa antara hak cipta dan hak terkait mempunyai kedudukan yang sama jika ditinjau dari segi sanksi pidana yang dijatuhkan, walaupun pada dasarnya keberadaan Hak Terkait adalah bergantung kepada Hak Cipta dengan pengertian bahwa Hak Terkait tidak mungkin ada jika tidak ada Hak Cipta. Dikatakan Hak Terkait karena ia berkaitan dengan Hak Cipta. Namun persamaan ini kiranya tidak boleh begitu saja diartikan bahwa Hak Terkait sama dengan Hak Cipta. Inilah yang menegaskan perbedaan Hak Terkait dengan Hak Cipta yang nantinya akan berbeda pula dalam perlindungan hukumnya.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Dari pasal ini jelas terlihat bagaimana sebenarnya kedudukan Hak Terkait (Neighbouring Rights) dalam Hak Cipta. Ketentuan mengenai sanksi pidana ini merupakan hal yang baru yang terdapat dalam Undang-undang Hak Cipta Nasional. Sebagai perbandingan dalam Undangundang Hak Cipta Nomor 12 Tahun 1997 mengenai katentuan pidana terhadap pelanggar Hak Terkait sangat samar dijelaskan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 44 Undang-undang Hak Cipta Nomor 12 Tahun 1997 mengenai Ketentuan Pidana: (1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). (2) Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). (3) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 16, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah). (4) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 18, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah).
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Hal ini juga yang memberi kesan akan perlindungan Hak Terkait dalam Undang-undang Hak Cipta yang terdahulu menjadi tidak tegas (dalam hal perlindungan hukumnya), yang menyebabkan penempatan/kedudukan Hak Terkait menjadi tidak jelas juga. Hal inilah yang menjadi konsiderans bagi pembuat Undangundang dalam merumuskan Undang-undang Hak Cipta terbaru sebagai pengganti Undang-undang Hak Cipta 1997 yang termuat dalam penjelasan umum Undangundang Hak Cipta 2002 bahwa perlu kiranya menegaskan dan memilah kedudukan Hak Cipta disatu pihak dan hak terkait dilain pihak dalam rangka memberikan perlindungan bagi karya intelektual yang bersangkutan secara lebih jelas. Pasal 51 Undang-undang Hak Cipta 2002 menyebutkan bahwa Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 14 huruf b dan huruf c, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 74, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77 berlaku mutatis mutandis terhadap Hak Terkait. Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa pengaturan atau pasalpasal yang mengatur tentang Hak Cipta berlaku juga terhadap Neighbouring Rights, namun sebaliknya pengaturan Neighbouring Rights ini tidak berlaku kepada pemegang Hak Cipta sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 karena pemegang
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Neighbouring Rights ditentukan secara khusus yaitu hanya berlaku kepada pelaku (performer), produser rekaman dan lembaga penyiaran (Pasal 49 Undang-undang Hak Cipta 2002). Adanya Pasal 51 maka dapat diketahui bahwa peraturan yang berlaku pada Hak Cipta berlaku juga pada Neighbouring Rights. Salah satunya adalah mengenai sifat Neighbouring Rights dapat disamakan dengan sifat Hak Cipta yaitu dapat dianggap sebagai benda bergerak, serta dapat beralih atau dialihkan dengan cara-cara yang ditentukan oleh peraturan perUndang-undangan. Begitu pula mengenai formalitas-formalitas yang berlaku pada Hak Cipta maka berlaku juga kepada Neighbouring Rights ini, misalnya mengenai tata cara pendaftarannya, sistem yang berlaku pada Hak Terkait juga bersifat deklaratif yaitu tanpa harus didaftarkan pemegang Hak Cipta telah mendapatkan perlindungan secara langsung oleh hukum, berbeda dengan Merek yang menganut sistem pendaftaran yang bersifat konstitutif yang berarti bahwa yang dapat diberikan perlindungan oleh hukum adalah mereka yang telah mendaftarkan mereknya ke Dirjen HAKI. 63 Hak moral juga berlaku bagi pemegang Hak Terkait yaitu bagi pelaku, produser rekaman suara dan lembaga penyiaran, dengan demikian ketentuan Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26 mengenai Hak Moral berlaku terhadap Hak Terkait. Misalnya bagi para pelaku untuk disebutkan namanya dalam menampilkan sebuah lagu di televisi atau penyiar radio wajib menyebutkan nama penyanyi dan penciptanya begitu juga
63
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berada di bawah departemen yang dipimpin oleh menteri.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
musisinya. Mengenai Lisensi yang terdapat dalam Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47 Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002 berlaku juga dalam Neighbouring Rights, dengan demikian para pemegang Hak Terkait yaitu pelaku, produser rekaman suara serta lembaga penyiaran berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal2. Demikian juga terhadap Dewan Hak Cipta (Pasal 48), Dewan Hak Cipta ini juga berlaku terhadap Neihgboring Rights dalam rangka pemberian penyuluhan bimbingan serta pembinaan Hak Cipta, karena Hak Terkait merupakan bagian dari Hak Cipta maka secara otomatis pemberian penyuluhan, bimbingan serta pembinaan ini juga berlaku terhadap Hak Terkait. Pelaksanaan pemegang Hak Terkait mengalami suatu persoalan hukum terhadap haknya karena pihak lain yang menyebabkan ia mengalami kerugian maka pemegang Hak Terkait seperti halnya pemegang Hak Cipta dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran haknya tersebut. Hal ini dibenarkan oleh Undang-undang Hak Cipta (Pasal 56), terhadap Penetapan Sementara Pengadilan berlaku terhadap Hak Terkait, hal ini ditegaskan dengan ketentuan Pasal 67 yang menyatakan bahwa: Atas permintaan pihak yang merasa dirugikan, Pengadilan Niaga dapat menerbitkan surat penetapan dengan segera dan efektif untuk:
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
a. Mencegah berlanjutnya pelanggaran Hak Cipta, khususnya mencegah masuknya barang yang diduga melanggar Hak Cipta dan Hak Terkait ke dalam jalur perdagangan, termasuk tindakan importasi, b. Menyimpan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait tersebut guna menghindari terjadinya penghilangan barang bukti, c. Meminta kepada pihak yang merasa dirugikan, untuk memberikan bukti yang menyatakan bahwa pihak tersebut memang berhak atas Hak Cipta atau Hak Terkait, dan hak Pemohon tersebut memang sedang dilanggar. 64 Selain upaya hukum melalui gugatan perdata dan tuntutan pidana yang dapat ditempuh untuk penyelesaian pelanggaran Hak Cipta dan Hak Terkait, dalam Undang-undang Hak Cipta 2002 juga diakui adanya penyelesaian pelanggaran Hak Cipta dan Hak Terkait melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa yang terdapat dalam Pasal 65 Undang-undang Hak Cipta 2002 yang menyebutkan bahwa: “Selain penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56, para pihak dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.” Alternatif penyelesaian sengketa adalah melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan cara lain yang dapat dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Demikianlah dapat digambarkan mengenai kedudukan Hak Terkait dalam Hak Cipta berdasarkan Undang-undang Hak Cipta 64
Lihat Pasal 67 UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Nomor 19 Tahun 2002. Jelas bahwa antara Hak Terkait dan Hak Cipta mempunyai perbedaan, walaupun dalam beberapa pengaturannya mempunyai persamaan. Hal ini menunjukkan bahwa Hak Terkait yang merupakan bagian dari Hak Cipta mendapat kedudukan yang khusus dalam peraturan PerUndang-undangan Nasional. B. Perlindungan Hak Tekait Lembaga Penyiaran Televisi Ditinjau Dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Perlindungan hukum terhadap Neighbouring Right secara universal terdapat dalam Konvensi Roma 1961, dan Neighbouring Rights baru mendapat perhatian publik internasional pada Tahun 1928 yaitu ketika revisi Konvensi Bern di Roma. Konvensi ini memuat 34 pasal serta menganut prinsip national treatment dengan jangka waktu perlindungan selama 20 tahun. Selain pengaturan melalui Konvensi Roma 1961, bidang distribusi program siaran yang menggunakan jaringan transmisi satelit diatur dalam satu konvensi yaitu Brussel Convention Relative to the Distribution of Programme Carrying Signal Transmitted by Satelite, dan bidang rekaman diatur oleh konvensi tersendiri yaitu Convention for the Protection of Phonogram Againts Unauthorized Duplication of their Phonogram. Konvensi ini ditandatangani di Jenewa pada tanggal 29 Oktober 1971 yang terdiri dari 13 pasal. Ketentuan yang menonjol dari konvensi tersebut adalah mengenai perlunya mencantumkan tanda ”P” dalam lingkaran yang disertai penunjuk tahun pertama direkam serta nama si pemilik Hak Cipta. Secara lengkap ketentuan tersebut berbunyi: “Pada setiap hasil rekaman perlu dicantumkan tanda (P)
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
dalam lingkaran yang disertai penunjuk tahun pertama direkam, dan nama pemilik Hak Cipta atas rekaman tersebut”. 65 Pencantuman tanda di atas merupakan bagian dari perlindungan. Bagi perlindungan terhadap pelaku, produser rekaman dan organisasi penyiaran dapat ditemukan pada Pasal 14 TRIPS sebagai berikut: Mengenai penghayatan atas suatu penampilan pada suatu rekaman suara, para pelaku harus juga mempunyai kemungkinan untuk mencegah tindakan-tindakan tanpa izin mereka. Tindakan-tindakan dimaksud untuk dicegah meliputi: a. Penghayatan atas penampilan yang tidak selesai; b. Reproduksi atas penghayatan tersebut; c. Penyiaran dengan menggunakan peralatan tanpa kabel; d. Penyebaran kepada masyarakat atas penampilan mereka. Produser rekaman suara dapat menikmati hak untuk memberi izin atau melarang reproduksi langsung atau tidak langsung atas rekaman suara mereka. Organisasi penyiaran juga berhak melarang tindakan-tindakan yang dilakukan tanpa izin. Mengenai hal ini bila negara peserta tidak memberikan hak tersebut kepada organisasi penyiaran maka harus memberinya kepada pemilik karya cipta tersebut. Kebebasan kepada negara-negara anggota untuk menentukan kondisi, pengecualian dan pembatasan, pelarangan sampai pada perluasan diberikan kepada Konvensi Roma. Berdasarkan Konvensi Roma 1961 akan diuraikan satu persatu mengenai perlindungan bagi mereka yang tergolong sebagai pemilik Neighbouring Rights. 65
ibid.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
1. Para Pelaku (performers) Pasal 3 huruf a Konvensi Roma 1961 menentukan siapa-siapa yang termasuk sebagai pelaku. Pasal 3 huruf a menentukan: “Performer”means actors, singers, musicians, dancers, and other persons who act, sing, deliver, declaim, play in, or otherwise perform literary or artistic works. Berdasarkan pasal tersebut di atas termasuk sebagai pelaku adalah aktor/aktris, penyanyi, pemusik, penari dan orang lain yang melakukan, menyanyikan, menyampaikan, mendeklamasikan, memainkan ataupun sebaliknya pertunjukan karya sastra dan seni. Perlindungan yang diberikan konvensi kepada para pelaku atas penampilan dalam suatu karya sastra dan seni adalah berupa hak-hak khusus (Exlusive Right). Dalam hal ini konvensi menentukan perlindungan minimum (minimum protection) bagi para pelaku. Perlindungan minimum dimaksud diatur dalam Pasal 7 ayat 1 huruf a, b, dan c sebagai berikut: 1) The protection provided for performers by this Convention shall include the possibility of preventing: a. The broadcasting and the communication to the public, without their consent, of their performance, except where the performance used in the broadcasting or the public communication is its self already a broadcast performance or is made from a fixation. b. The fixation without their consent, of their unfixed performance. c. The reproduction without their consent of a fixation of their performance:
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
•
if the original fixation it self was made without their consent;
•
if the reproduction is made for purpose different from these for which the perfomers gave their consent;
•
if the original fixation was made in accordance with the provisions of Article 15, and the reproduction is made for purpose different from those refrred to in those provisions” 66 .
Menurut Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c di atas, para pelaku mempunyai hak untuk mencegah: 1. Penyiaran dan pengumuman kepada masyarakat umum atas penampilan mereka tanpa izin . 2. Fiksasi tanpa izin. 3. Perbanyakan tanpa izin atas fiksasi penampilan pelaku apabila fiksasi itu sendiri dibuat tanpa izin, fiksasi itu dibuat untuk tujuan yang berbeda dari tujuan untuk mana izin diberikan, fiksasi dibuat menurut ketentuan Pasal 15 dimana perbanyakan itu dibuat untuk maksud yang berbeda dari pada hal yang ditunjuk Pasal 15. Perlindungan tersebut diberikan dalam rangka hubungan para pelaku dengan produser rekaman serta organisasi penyiaran. Para pelaku mendapat perlindungan yang sama di negara-negara peserta Konvensi Roma berdasarkan hukum nasional negara-negara peserta konvensi (National Treatment Principle) bila ditemukan 66
Lihat Pasal 4 Konvensi Roma 1961.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
kondisi-kondisi yang merupakan syarat pemberian perlakuan yang sama atas para pelaku. Pasal 4 Konvensi Roma menentukan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi agar seorang pelaku mendapat perlindungan tersebut. Pasal 4 menentukan: Each contracting state shall grant national treatment to performers of any of the following conditions is met: a. the performance take place in another Contracting State; b. the performance is incorporated in a phonogram which is protected under Article 5 of this Convention; c. the performance not being fixed on a phonogram, is carried by a broadcast which is protected by article 6 of this Convention”. Pasal 4 di atas menyebutkan pelaku yang berasal dari suatu negara, mendapat perlindungan bila pertunjukan itu dilaksanakan di negara yang lain peserta konvensi dan pertunjukan itu digabungkan dalam satu perusahaan rekaman suara yang dilindungi. 2. Para Produser Rekaman Suara (Producers of Phonogram) Berdasarkan Pasal 10 Konvensi Roma, produser rekaman suara mempunyai hak memberi izin atau melarang perbanyakan dari suatu rekaman mereka. Pihak lain kecuali produser tidak boleh melakukan perbanyakan atas rekaman mereka secara langsung maupun tidak langsung. Produser mempunyai hak eksklusif untuk memperbanyak suatu rekaman dari suatu karya cipta dan sastra.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Agar suatu phonogram maupun salinannya mendapat perlindungan harus memenuhi beberapa formalitas yang ditentukan untuk perlindungannya. Pasal 11 Konvensi Roma menentukan: a.
Semua salinan atau tiruan rekaman suara yang dipulikasikan pada kotak atau wadahnya memuat peringatan berupa simbol (P) disertai dengan tahun publikasi pertama yang ditempatkan dengan suatu pola yang dapat memberi alasan atau klaim perlindungan.
b.
Bila salinan maupun kotak atau wadahnya tidak memperkenalkan produser maupun pemegang lisensinya maka peringatan termasuk nama pemilik hak atas nama produser.
c.
Jika tiruan atau salinan maupun kotak atau wadahnya tidak memperkenalkan pelaku-pelaku utama maka peringatan adalah berupa nama orang yang di negaranya fiksasi dilakukan. Apabila ada pihak lain yang mempublikasikan atau memperbanyak rekaman
suara secara komersil yang dapat menimbulkan pemakaian lanjutan (secondary used) langsung atau tidak langsung bagi penyiaran maupun pemberitahuan pada masyarakat luas maka para pelaku atau produser atau kedua-duanya berhak mendapatkan ganti rugi yang pantas harus dibayarkan oleh pengguna. Para produser akan mendapat perlindungan sesuai hukum nasional negara dengan syarat yang ditentukan Pasal 5 ayat (1) dan (2) sebagai berikut: a. Produser adalah waga negara salah satu peserta konvensi. b. Fiksasi atas suara dibuat untuk pertama kali disalah satu negara peserta.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
c. Rekaman untuk pertama kali dipublikasikan oleh salah satu negara peserta. Selanjutnya apabila publikasi pertama kali dilakukan di luar negara peserta konvensi, namun dalam waktu 30 hari dipublikasikan juga disalah satu negara peserta konvensi (symultaneously publication) maka publikasi pertama dianggap dilakukan di salah satu negara peserta. Dengan demikian produser tetap memenuhi syarat untuk mendapatkan perlindungan dari konvensi ini. 3. Organisasi Penyiaran (Broadcasting Organization) Konvensi Roma mengatur beberapa hak minimum bagi organisasi penyiaran. Pengaturan mengenai hak minimum dari organisasi penyiaran diatur dalam Pasal 13 Konvensi Roma dimana menurut ketentuan ini organisasi penyiaran berhak memberi izin atau melarang dilakukannya tindakan-tindakan tertentu antara lain meliputi: a. Penyiaran ulang. b. Perbanyakan. c. Penyebarluasan kepada masyarakat. Organisasi penyiaran mempunyai wewenang memberi izin atau melarang tindakan di atas bila hal itu dilakukan untuk tujuan-tujuan komersil. Jangka waktu perlindungan yang diberikan oleh Konvensi Roma atas hak pelaku, produser, dan organisasi penyiaran yaitu untuk melarang atau memberi izin atas tindakan-tindakan yang disebut di atas terhadap karya pertunjukan, rekaman suara, dan karya siaran adalah 20 tahun. Terhadap hak eksklusif yang diberikan kepada pelaku itu, oleh Konvensi Roma diberikan kewenangan kepada negara-negara peserta untuk mengatur dan
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
menentukan pengecualian atau pembatasan berupa tindakan-tindakan tertentu dimana tindakan itu harus tidak dianggap sebagai pelanggaran atas hak-hak tersebut. Pengaturan yang berisi pembatasan maupun pengecualian dimaksud lebih lanjut diatur dalam hukum nasional negara-negara peserta. Berdasarkan ketentuan Konvensi Roma, maka pengecualian dan pembatasan terhadap perlindungan Neighbouring Rights ditentukan dalam Undang-undang yaitu Pasal 50 Undang-undang Hak Cipta yang menyebutkan mengenai jangka waktu perlindungan dari Neighbouring Rights: a. Terhadap pelaku, jangka waktu perlindungan diberikan selama 50 tahun sejak karya tersebut pertama kali dipertunjukan atau dimasukkan ke dalam media audio atau media audioviual. b. Terhadap prodesur rekaman suara, jangka waktu perlindungan diberikan selama 50 tahun sejak karya tersebut selesai direkam. c. Terhadap lembaga penyiaran, jangka waktu perlindungan diberikan selama 20 tahun sejak karya siaran tersebut pertama kali disiarkan. Perhitungan jangka waktu perlindungan terhadap ketentuan di atas dimulai sejak tangal 1 Januari tahun berikutnya setelah karya pertunjukan selesai dipertunjukan atau dimasukkan ke dalam media audio atau media audioviual, karya rekaman suara selesai direkam, karya siaran selesai disiarkan untuk pertama kali (Pasal 50 ayat (2)).
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Perlindungan Neighbouring Rights ini hanya diberikan kepada orang-orang yang dikategorikan dalam Pasal 49 Undang-undang Hak Cipta 2002 dan mempunyai hak khusus antara lain: 1. Pelaku di bidang pertunjukan berhak melakukan pengawasan terhadap: a. Penampilan yang digelarkan; b. Badan penyiaran yang menyiarkan; c. Perbanyakan/reproduksi penampilan yang berikutnya; d. Penyiaran rekaman pagelaran kepada umum; Pelaku dalam pasal ini tidak terbatas hanya pada apa yang tertera pada Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pelaku juga mencakup seluruh aktivitas manusia yang menunjukkan/menampilkan kebolehannya di depan umum, seperti juga pembawa acara, pembaca berita. Menurut Saidin, yang dikategorikan sebagai pelaku mencakup juga: ”Pemain bola kaki, pesenam, perenang, dan sebagainya dan tidak hanya terbatas pada penampilan yang berlatar belakang kesenian dan kesusastraan.”Sepanjang penayangan kegiatan tersebut dilakukan secara berulang-ulang maka sudah sepantasnya mereka mendapatkan royalti dari penampilan mereka.” 67 2. Pihak yang berkecimpung dalam usaha rekaman atau produser rekaman berhak: a. Merekam ulang; b. Mempertunjukan rekaman kepada umum; c. Menyiarkan rekaman; 67
O. K. Saidin, Op.Cit, hlm. 129.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Produser rekaman suara mendapatkan hak untuk merekam suara dari para penyanyi/musisi atas persetujuan pencipta atau orang yang menerima hak dari pencipta melalui suatu lisensi, barulah setelahnya produser dapat melakukan kegiatan perekaman suara yang selanjutnya diteruskan dengan perbanyakan, dan produser merupakan pihak penerima hak dari pencipta dan ia memegang Hak Terkait. Tanpa keterlibatan produser, lagu/musik tidak dapat diperkenalkan kepada orang lain. Hak produser rekaman suara atas hasil rekaman suara yang diproduksikannya itu dirumuskan sebagai Neighbouring Rights. 3. Badan penyiaran mempunyai hak, diantaranya: a. Menyiarkan dan reproduksi suatu ciptaan; b. Merekam suatu ciptaan; c. Menampilkan kepada umum; Kaitannya dengan perlindungan Neighbouring Rights radio dan televisi adalah dapat menyiarkan hasil rekaman dengan membayar royalti kepada pemegang hak eksklusif. Adapun pemegang hak eksklusif adalah lembaga penyiaran pertama atau untuk pertama kalinya menyiarkan acara tersebut. Pelaku juga mempunyai hak untuk mendapatkan pembayaran yang wajar dari hasil siaran yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penyiaran, karena lembaga penyiaran mendapatkan keuntungan dari produsen-produsen yang ditawarkan dalam bentuk iklan. Lembaga penyiaran juga mendapatkan keuntungan, sehingga merupakan hal wajar untuk membayar kembali kepada pelaku sejumlah uang tertentu dalam bentuk royalti.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Kerugian pemegang format right yang formatnya ditiru telah menjadi pemicu terjadinya sengketa antara pemegang format right dengan pihak yang dianggapnya telah melakukan peniruan. Salah satu sengketa sejenis yang terjadi adalah tuntutan fremantle Media terhadap sebuah perusahaan di Uni Emirat Arab. 68 Fremantle mengajukan tuntutannya berdasarkan pelanggaran Hak Cipta. Sebagaimana kasus tuntutan fremantle di atas, beberapa pemegang hak atas format (format right) yang merasa haknya dilanggar mempergunakan ketentuan Hak Cipta sebagai dasar tuntutan atas pelanggaran dimaksud. Sebaliknya pihak yang dituduh melakukan pelanggaran atas format mendalilkan pendiriannya bahwa format program televisi tidak dilindungi oleh Hak Cipta. Perlindungan Hak Cipta ata format program televisi merupakan pertanyaan yang berkembang seiring dengan perkembangan transaksi format program televisi di seluruh dunia. Sejauh ini belum ditemukan adanya perkara di Pengadilan Indonesia yang mempersengketakan pelanggaran atas format program televisi. Namun di beberapa negara lain terdapat sengketa pelanggaran atas format program televisi. Beberapa sengketa dimaksud mempergunakan perlindungan Hak Cipta sebagai dasar tuntutannya. Pelanggaran terhadap format program televisi tentu dalam bentuknya sebagai tayangan televisi atau yang dikenal dengan sebutan karya sinematografi. Adapun karya sinematografi yang dimaksud oleh Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 adalah media komunikasi massa gambar gerak (moving images) antara lain meliputi : 68
Dalam sengketa ini fremantle Media menggugat perusahaan lokal yang memperoduksi televisi berjudul “CEO” yang di klaim oleh fremantle telah meniru program televisi “The Apprentice” yang menampilkan juta wan Donald Trump dengan slogan (catchphrase) yang dikenal yaitu “You’re Fired!”). Lihat. Mark Hill, “Format Rights Put To The Test, http/www.web13.epnet.com/citation.asp?. diakses tanggal 25 Februari 2009.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
film dokumenter. Film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid , pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, dilayar lebar atau ditayangkan di televisi atau media lainnya. Karya serupa itu dibuat oleh perusahaan pembuat film, stasiun televisi atau perorangan (Penjelasan Pasal 12 huruf k, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002). Berdasarkan ketentuan Pasal 12 Undang-undang Hak Cipta berikut penjelasannya maka dapat diketahui bahwa karya sinematografi merupakan ciptaan yang dilindungi Hak Cipta. Program televisi sebagai karya sinematografi merupakan ciptaan yang dilindungi Hak Cipta. Perlindungan Hak Cipta atas program televisi, sebagaimana juga atas ciptaan lainnya, adalah dalam bentuknya yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan, atau keahlian yang
lahir berdasarkan
kemampuan,
kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat dilihat , dibaca, atau didengar (Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002). Lebih jelas lagi, penjelasan Undang-undang Hak Cipta ini menegaskan bahwa perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada “ide” atau gagasan. Ketentuan ini sejalan dengan doktrin Hak Cipta yang dikenal secara global yaitu doktrin dichotomy idea and expression. Doktrin ini menjelaskan bahwa Hak Cipta hanya melindungi ciptaan dalam bentuk yang diekspresikan dan tidak melindungi “ide” atau gagasannya.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Adapun bentuk perlindungan yang secara tegas diatur dalam Undang-undang Hak Cipta adalah bahwa pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi atas pelanggaran Hak Ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yagn diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu. Secara umum Hak Cipta mengenal terminologi pelanggaran Hak Cipta yaitu infringement. Infringement adalah terminologi yang dipergunakan secara global untuk menjelaskan terjadinya peniruan ditambah dengan penggunaan materi ciptaan orang lain secara melawan hukum. Adapaun bentuk pelanggaran (infringement) yang paling umum terjadi menurut Geofrey Robertson, QC adalah copying atau melakukan reproduksi atau duplikasi langsung atas suatu ciptaan misalnya melalui mesin photocopy, alat perekam atau video perekam. Namun di samping itu terdapat juga pelanggaran hak cipta yang disebut sebagai “non-literal copy” dari suatu ciptaan dengan cara menyusun kembali suatu ciptaan baru berdasarkan bahan-bahan yang berasal dari suatu ciptaan lain. 69 Tindakan melakukan non-literal copy inilah yang menjadi wacana penting dalam penerapan hukum hak cipta. Penerapan hukum hak cipta akan menggambarkan dan merumuskan tindakan non-literal copy yang mana yang dianggap sebagai pelanggaran hak cipta dan yang mana yang tidak. Robert P. Merges, memberikan pedoman untuk keadaan yang membuktikan terjadinya peniruan yaitu adanya akses terhadap suatu ciptaan dan adanya kemiripan (similarity). Setelah uraian ketentuan Hak Cipta di atas, guna mengkaji perlindungan 69
Dedy Kurniadi, Op.Cit., hlm. 50.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 terhadap format program televisi, perlu ditentukan beberapa acuan berdasarkan beberapa pertanyaan sebagai berikut; pertama, apakah format program televisi dikategorikan sebagai “ekspresi” ataukah masih dianggap sebagai bentuk “ide” atau gagasan?. Kedua, apakah sebuah produksi atau “ekspresi” yang meniru format program televisi lain dapat dianggap sebagai telah melanggar Hak Cipta ?. Selanjutnya, Ketiga, apakah terdapat ketentuan hak Cipta yang dapat dipergunakan secara interpretatif untuk melindungi format program televisi ? Format program televisi adalah kerangka yang menjadi tempat dimana tokohtokoh sentral dari program akan beraksi yang akan selalu diulang pada setiap episode termasuk karakter-karakter detail lainnya, setting, tema dan jalan cerita secara umum dari sebuah serial. Format akan menjadi kerangka atau ide dasar untuk produksi suatu program televisi secara berkelanjutan. Berdasarkan pemahaman di atas, maka format program televisi bukanlah suatu “ekspresi” melainkan “ide” yang mendasari produksi program televisi. Lebih detail lagi, format program televisi lebih dari sekedar “ide” melainkan juga penerapan dari ide-ide tersebut yang kemudian diimplementasikan dalam produksi setiap program yang didasarkan pada format tersebut. Sejauh ini tidak ada pendapat yang mengatakan bahwa format program televisi adalah “ekpreso”. Meskipun format program televisi bukanlah sebuah ekspresi melainkan “ide”, namun perlu ditemukan apakah sebuah format program televisi telah ditiru dan apakah peniruan tersebut dapat dikategorikan sebagai Pelanggaran Hak Cipta.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Adanya pemberlakuan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta berlandaskan pada Konvensi dunia yang mengatur mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual, yaitu TRIP’s (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights). TRIP’s merupakan perjanjian yang mengatur penggabungan hukum Hak Kekayaan Intelektual dengan aturan-aturan yang didasarkan pada perdagangan, yang merupakan
bagian perjanjian dari Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade
Organization = WTO). Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi perjanjian TRIP’s, sehingga Indonesia wajib memasukkan aturan-aturan yang ada dalam perjanjian TRIP’s ke dalam Undang-undang tentang Hak Cipta. Pelanggaran hak cipta merupakan suatu perbuatan yang dilakukan khusus untuk melanggar hak khusus dari pencipta atau pemegang hak cipta. Terkait dengan pemidanaan, di dalam RUndangundang Hak Cipta ini diperkenalkan ancaman pidana penjara dan denda minimal bagi pelanggaran pasal-pasal tertentu. Juga, ancaman pidana bagi perbanyakan karya cipta untuk kepentingan komersial secara melawan hukum. Perlindungan hukum merupakan upaya yang diatur oleh Undang-undang guna mencegah terjadi pelanggaran hak cipta oleh orang yang tidak berhak. Jika terjadi pelanggaran, maka pelanggaran tersebut harus diproses secara hukum, dan bila terbukti melakukan pelanggaran , dia akan dijatuhi hukuman sesuai dengan ketentuan Undang-undang bidang hak kekayaan intelektual yang dilanggar itu. Undang-undang bidang hak kekayaan intelektual mengatur jenis perbuatan pelanggaran serta ancaman hukumannya, baik secara perdata maupun secara pidana.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, dimulai suatu sistem peradilan yang menggunakan nama Peradilan Niaga. Pengadilan Niaga merupakan salah satu sistem peradilan yang berada di bawah naungan Pengadilan Negeri dan berwenang untuk menyelesaikan masalah perniagaan. Setelah kasus kepailitan, maka Undang-undang yang mengatur penyelesaian sengketa di pengadilan yang menggunakan Pengadilan Niaga adalah Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang disebutkan dalam Pasal 60 ayat (1) yang berbunyi: “Gugatan atas pelanggaran Hak Cipta diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga”. Pasal ini menunjukkan bahwa Pengadilan Niaga merupakan pengadilan yang berwenang dalam menyelesaikan masalah hak cipta. Dalam hal terjadinya peniruan tentunya dapat diteliti apakah telah terjadi penggunaan materi ciptaan milik orang lain secara melawan hukum. Kemiripan (similarity) dapat menjadi pedoman untuk menentukan apakah telah terjadi peniruan atau tidak. 70 Indonesia sendiri menganggap bahwa hak cipta atas format program televisi merupakan objek baru dalam perkembangan hukum hak cipta. Hal ini dibuktikan dengan belum ditemukannya kasus yang menyangkut tentang hak cipta. pelanggaran format program televisi. “Belum ditemukan adanya kasus peniruan program televisi di Indonesia. Format program televisi mendapat perlindungan dari Undang-undang Hak Cipta Indonesia sepanjang peniruan format program televisi dianggap telah
70
Suryomurcito, Hak Atas Kekayaan Intelektual Dan Lembaga Peradilan, Aktualita HaKI, Januari 2003.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
menyebabkan terjadinya kemiripan antara satu program televisi dengan program televisi lainnya.” 71 Berdasarkan daftar ciptaan yang dilindungi dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 format program televisi bukanlah suatu ciptaan
yang
mendapatkan perlindungan. Hal ini sejalan dengan doktrin yang mendapatkan perlindungan. Hal ini sejalan dengan doktrin yang diikuti oleh Undang-undang Hak Cipta yakni Hak Cipta melindungi “ekspresi” dan tidak melindungi “ide”. Namun apabila diteliti Pasal 12 ayat (1) huruf a, maka akan ditemukan bahwa Undangundang Hak Cipta memberikan perlindungan terhadap perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan. Penjelasan Pasal 12 (1) huruf a menjelaskan “Yang dimaksud dengan perwajahan karya tulis adalah karya cipta yang lazim dikenal dengan “typholographical arrangement”, yaitu aspek seni pada susunan dan bentuk penulisan karya tulis, hal ini mencakup antara lain format, hiasan, warna, dan susunan atau tata letak huruf indah secara keseluruhan menampilkan wujud yang khas.“ Perwajahan (lay out) karya tulis memiliki kemiripan dengan format program televisi. Bahkan kata “format” adalah bahagian yang tidak terpisahkan dari perwajahan (lay out) karya tulis. Diekpresikan. Format program televisi adalah elemen-elemen program televisi yang disusun secara khas yang menjadi wadah program televisi untuk dieksopresikan. Berdasarkan hal tersebut maka terdapat beberapa kesamaan antara format program televisi dengan perwajahan (lay out) karya tulis. Dengan demikian terdapat 71
Dedy Kurniadi.,Op.Cit, hlm. 44.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
kemungkinan untuk dilakukannya interprestasi atas Pasal 12 ayat (1) huruf a Undangundang Nomor 19 Tahun 2002 untuk menyatakan bahwa format program televisi juga mendapat perlindungan Hak Cipta karena memiliki beberapa kesamaan dengan perwajahan (lay out) karya tulis. Untuk kegiatan pembajakan secara khusus dapat dilihat pada Pasal 42 Undang-undang Nomor19 Tahun 2002 yang berbunyi : (1) Pemegang hak cipta berhak untuk mengajukan gugatan ganti rugi ke Pengadilan Negeri atas pelanggaran hak ciptanya dan penyitaan terhadap
benda yang
diumumkan atau hasil terbanyaknya. (2) Dalam hal terdapat gugatan untuk penyerahan benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka hakim dapat memerintahkan bahwa penyerahan itu baru dilaksanakan setelah pemegang hak cipta membayar sejumlah hak cipta membayar sejumlah nilai benda yang diserahkan kepada pihak yang beritikad baik. (3) Pemegang hak cipta juga berhak untuk meminta kepada Pengadilan Negeri agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah dan pertemuan ilmiah lainnya, atau pertunjukan atau pameran karya yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta atau dengan cara melanggar Hak Cipta tersebut. (4) Untuk mencegah kerugian yang lebih besarpada pihak yang haknya dilanggar, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan pembuatan,
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
perbanyak, penyiaran, pengedaran, dan penjualan ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta Pemilik dapat mengajukan gugatan terhadap orang atau badan hukum yang melanggar haknya, berupa permintaan ganti rugi dengan penghentian perbuatan si pelanggar tersebut. Sebelum si pelanggar harus diberi teguran terlebih dahulu artinya diberitahu bahwa ia telah melangar hak orang lain. Gugatan ganti rugi ini dapat pula dilakukan oleh penerima lisensi baik secara sendiri atau bersama-sama dengan lisensor (pemilik asli) yang bersangkutan. Hak untuk mengajukan gugatan ini tidak mengurangi hak negara untuk melakukan tuntutan tindak pidana. Meskipun dalam menentukan dan membuktikan besar kecilnya kerugian akan mengalami kesukaran, namun hakim dapat menentukan: “ex aequo et bono“ (meminta kepada hakim supaya menetapkan sejumlah ganti rugi atau meminta supaya hakim menetapkan ganti kerugian tersebut menurut keadilan) dalam nilai uang. Ancaman pidana bagi pelanggaran hak cipta diberlakukan selama hukuman 7 tahun penjara dan denda uang Rp. 5 Miliar. OK Saidin menganggap ancaman itu sudah cukup efektif untuk tujuan preventif. 72 Gugatan perdata
terhadap pelanggaran hak cipta diajukan ke Pengadilan
Niaga dan sebagaimana juga prosedur gugatan perdata biasa dapat dilanjutkan ke Pengadilan Tinggi apabila diperlukan upaya hukum banding dan ke Mahkamah Agung apabila ingin digunakan upaya hukum Kasasi sebagaimana diatur dalam Hukum acara perdata (HIR/Rbg). 72
H. OK. Saidin, Op.Cit., hal. 115.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Pasal 56 ayat (1) sampai dengan ayat (3) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 menyebutkan: “Pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil Perbanyakan Ciptaan itu. Pemegang Hak Cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, perpertunjukan atau pameran karya, yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.Sebelum menjatuhkan putusan akhir dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan Pengumuman dan/atau Perbanyakan Ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.” Tentang
apa saja
yang dapat dituntut oleh pemegang
hak cipta yang
dirugikan diatur dalam Pasal 56 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 meliputi : a. Ganti rugi b. Penyitaan benda hasil pelanggaran c. Penyerahan penghasilan yang diperoleh dari hasil pelanggaran d. Penghentian kegiatan pembuatan, perbanyakan, penyiaran, pengedaran
dan
penjualan ciptaan hasil pelanggaran Gugatan perdata tidak semata-mata didasarkan pada pelanggaran hak ekonomi pencipta, tetapi juga terdapat pelanggaran hak moral sebagaimana diatur Pasal 41 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002, bahwa pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat seseorang yang tanpa persetujuannya. a. Meniadakan nama pencipta yang tercantum pada ciptaan itu. b. Mencantumkan nama pencipta pada ciptaannya. c. Mengganti atau mengubah judul ciptaan itu, dan atau d. Mengubah isi ciptaan itu.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Gugatan pelanggaran hak moral pencipta itu meliputi tuntutan supaya nama pencipta dicantumkan pada ciptaan, tidak mencantumkan nama pencipta pada ciptaan, tidak mengganti atau mengubah judul ciptaan, dan tidak mengubah isi ciptaan sebagaimana dimaksudkan Pasal 24 Undang-undang Hak Cipta. Di samping itu pencipta dan ahli warisnya juga dapat mengajukan ganti rugi atas pelanggaran itu sebagaimana ditegaskan Pasal 43 Undang-undang Hak Cipta. Selain itu ketentuan pidana juga dikenakan bagi siapa saja yang melakukan hal-hal seperti yang diatur oleh Pasal 72 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yaitu: “1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama tujuh tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5 000 000 000.00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan. mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 3. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu Program Komputer dipidana dengan
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 4. Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 5. Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 19, atau Pasal 49 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). 6. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 24 atau Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). 7. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). 8. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). 9. Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus Juta rupiah).” Adanya ketentuan-ketentuan yang tegas dari Undang-undang di atas diharapkan dapat mengurangi terjadinya pelanggaran di bidang hak cipta, khususnya bidang yang baru seperti format program televisi ini.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Oleh sebab itu hendaknya pencipta program televisi dapat melakukan pendaftaran format program televisi agar format yang telah diatur dengan baik tidak ditiru orang lain, dan jika masih terjadi pembajakan lebih mudah untuk mendapat perlindungan hukum. Pendaftaran ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban untuk mendapatkan hak cipta. Namun demikian pencipta maupun pemegang hak cipta yang mendaftarkan ciptaannya dapat menjadikan surat pendaftaran ciptaan tersebut sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan tersebut.
C. Pelanggaran Hak Terkait (Neighbouring Right) Dalam Format Program Televisi Persaingan yang terjadi antara stasiun televisi untuk menayangkan program televisi yang menarik minat pemirsa, secara sadar telah meningkatkan pula kebutuhan akan berbagai jenis format program televisi. Format program televisi merupakan realitas global yang berkembang dalam bisnis pertelevisian di seluruh dunia. . Kondisi ini pula yang secara langsung atau tidak langsung mendorong terjadinya pelanggaran-pelanggaran format program televisi. Pelanggaran-palanggaran ini dapat diketahui setelah sebuah format program televisi telah diproduksi dam ditayangkan sebagai sebuah program televisi. Kasus antara pihak Dj Riri dan Thomas “GIGI” melawan Gope T. Santani sebagai Direktur PT. Rapi Films terjadi karena lagu ciptaan Dj Riri yang berkolaborasi dengan Thomas “GIGI” yang berjudul “23 Juli” yang semula telah
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
dibeli secara khusus oleh label musik Sony Music Indonesia untuk dipublikasikan, oleh PT. Rapi Films dengan sengaja dan tanpa hak memakai lagu tersebut sebagai sound track sinetron “Inikah Rasanya.” Berdasarkan Pasal 1 huruf 2 Undang- undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dalam kasus antara Thomas dan DJ. Riri melawan PT. Rapi Films, yang disebut sebagai pencipta adalah Thomas dan DJ. Riri karena merekalah orang yang menciptakan secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan kedalam suatu lagu yang berjudul “23 Juli”. Dan karena lagu tersebut telah dijual kepada label musik Sony Music Indonesia maka pemegang hak cipta disini adalah label musik Sony Music Indonesia berdasarkan Pasal 1 huruf 4 Undang- undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Penyelesaian sengketa yang diambil oleh Thomas Cs dengan PT. Rapi Films adalah alternatif penyelesaian sengketa dengan jenis negosiasi. Dimana dalam negosiasi ini pihak Thomas Cs mewakilkan kepada pengacaranya untuk mewakili mereka yang kemudian melakukan kesepakatan dengan pihak PT. Rapi Films yang diwakili oleh Gope T. Santani. Hasil kesepakatan tersebut kemudian didaftarkan di pengadilan paling lama 30 hari sejak penandatanganan agar mempunyai kekuatan ekselutorial berdasarkan Pasal 6 ayat (7) UU No. 30 Tahun 1999. Dan hasil kesepakatan tersebut wajib segera dilaksanakan paling lambat 30 hari sejak didaftarkan di Pengadilan. 73
73
Hasil wawancara dengan Bapak Enrico M Naibaho, Kepala Wilayah Karya Cipta Indonesia Wilayah Sumatera Utara, Medan
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian yang telah dijelaskan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Bentuk-bentuk hak dari lembaga penyiaran televisi a.
Pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberi izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar dari pertunjukannya.
b.
Produser rekaman suara memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya memperbanyak dan atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyi.
c.
Lembaga penyiaran memiliki hak eksklusif untuk memberi izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak dan/atau menyiarkan ulang karya siarannya melalui transmisi dengan atau tanpa kabel, atau melalui sistem elektromagnetik lain
2. Perlindungan hak terkait lembaga penyiaran televisi menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta adalah antara lain hak-hak para pelaku artis (performing artist) yang dapat terdiri dari para penyanyi, aktor, musisi, dan sebagainya yang menyampaikan kepada publik suatu pertunjukan hidup (live
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
performing), fiksasi dari pertunjukan demikian dan perbanyakan (reproduksi) dari pertunjukan-pertunjukannya, juga para produser rekaman suara (producer of sound recording/phonogram), terutama hak-hak mengontrol reproduksi rekaman suara yang dibuat oleh pemegang Hak Cipta. Selanjutnya, lembaga-lembaga penyiaran yang menghasilkan karya-karya suaranya, seperti hak mengontrol siaran ulang, fiksasi dan reproduksi karya siarannya yang dilakukan pemegang Hak Cipta. 3. Mekanisme penyelesaian sengketa dalam hal pemberian hak terkait lembaga penyiaran televisi menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Upaya penyelesaian sengketa atau pelanggaran Hak Cipta dan Hak Terkait dalam Undang-undang Hak Cipta 2002 dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu: a. Melalui tuntutan pidana, b. Melalui gugatan perdata, c. Melalui alternatif penyelesaian sengketa.
B. Saran 1.
Perlu dilakukan sosialisasi tentang perlunya perlindungan hukum terhadap neighbouring right, agar masyarakat dapat mengetahui lebih jelas.
2.
Para penegak hukum diharapkan agar dalam menangani perkara pelanggaran Hak Terkait kiranya mempergunakan wewenang yang diberikan Undangundang, hendaknya hukuman yang diberikan benar-benar setimpal dengan pelanggaran yang dilakukan.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
3.
Perlindungan hukum Hak Terkait dapat terlaksana dengan baik apabila ada tekad dan kerjasama yang baik antara pemerintah dengan masyarakat dan pihak-pihak yang berkecimpung di dalamnya, yaitu dengan cara mensosialisasikan pembuatan kontrak dan perjanjian kerja sama secara notariel. Sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi kedua belah pihak.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU: Abdulkadir Muhammad, 2001, Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Citra Aditya Bakti, Bandung. Anthony Giddens, terj.2001, Runaway World, Penerj. Andri Kristiawan S dan Yustina Koen S, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Bambang Kesowo, GATT, TRIPS dan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), Mahkamah Agung, Jakarta, 1998. Budi Rahardjo, 2002, Memahami Teknologi Informasi:Menyikapi dan Membekali Diri Terhadap Peluang dan Tangtangan Teknologi Informasi, PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Burhan Bungin, 2001, Metode Penelitian Sosial-Format-format Kuantitatif dan Kualitatif, Airlangga University Press, Surabaya. Carlos M Correa, Intellectual Property Rights, the WTO and Developing Countries the TRIPs Agreement and Policy Option, Malaysia: Zed Books Ltd, 2000. Dedy Kurniadi, 2005, Perlindungan Hak Cipta atas Format Program Televisi, Jurist Publishing, Jakarta. Insan Budi Maulana, 2005, Undang-undang Haki Indonesia (Indonesian IPR Laws), Citra Aditya Bakti, Bandung Keith Tester, 2003, Media, Budaya Dan Moralitas, Penerj. Muhammad Syukri, Yogyakarta: Kerjasama Juxtapose dengan Penerbit Kreasi Wacana.terj.2003 Kuswandi, Wawan, 1996, Komunikasi Massa : Sebuah Analisis Media Televisi, Rineka Eka Cipta, Jakarta. M. Linggar Anggoro, 2001, Teori dan Profesi Kehumasan, Serta Aplikasinya Di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta. Mochtar Kusumatmaja, 1978, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Jakarta. Muh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta. Muhammad Djumhana dan Djubaedillah, 2003, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia), Edisi Revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung. Noeng Muhajir, 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rakesarasin, Yogyakarta. OK. Saidin, 2003, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelektual Property Rights), Raja Grafindo Persada, Jakarta. Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta. Pipin Syaripin dan Dedah Jubaedah, 2004, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Pustaka Banu Quraisy, Bandung. Ramdlon Naning,1982, Perihal Hak Cipta Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Ruedi Hofmann, 1999, Dasar-dasar Apresiasi Program Televisi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Samadi Surya Barata, 1998, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Sanusi Bintang, 1997, Hukum Hak Cipta, Citra Aditya Bakti, Bandung. Sentosa Sembiring, 2006, Hak Kekayaan Intelektual dalam Berbagai Peratuiran PerUndang-undangan, Yrama Widya. Sitepu, Runtung, Diktat Kuliah HaKI-I – Hak Cipta, Paten, Merek,Universitas Sumatera Utara Fakultas Hukum Medan, tahun 2003 Soejono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta. Sri Sartono, 2008, Teknik Penyiaran Dan Produksi Program Radio, Televisi Dan Film Jilid 1, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, 1998, Konvensi-konvensi Hak Milik Intelektual Baru Untuk Indonesia (1997), Citra Aditya Bakti, Bandung. Suyud Margono dan Longginus Hadi, 2002, Pembaharuan Perlindungan Merek, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta. Sztompka, Piotr, 2005, Sosiologi Perubahan Sosial (alih bahasa Tri Wibowo Budi Santoso), Prenada Media, Jakarta. Taryaba Soenandar, 1996. Perlindungan Hak Milik Intelektual di Negara-Negara ASEAN,Grafika, Jakarta, 1996. Vogt Erich, Pelayanan Umum Sebagai Salah Satu Bentuk Penyiaran, Friedrich Ebert Stiftung, Jakarta, Tahun 2001. William L Rivers, Jay W. Jensen, Theodore Peterson, 2003, Media Massa dan Masyarakat Modern (edisi kedua, alih bahasa Aris Munandar & Dudy Priatna), Kencana, Jakarta. KARYA ILMIAH DAN SITUS INTERNET: A. Zen Umar Purba, Perlindungan Dan Penegakan Hukum Haki, Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman Dan Ham RI, Makassar, 20 November 2001. Amir Effendi Siregar, “Industri Televisi Kita,” http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg84522.html, diakses tanggal 20 Juni 2009. Dwi Kurnia, “Tugas PTK Televisi”, http://dwikurniakj 05.wordpress. com/ 2008/ 05/03/tugas-ptk-televisi/, diakses tanggal 10 Juni 2009. Edmon Makarim, “Bias Hak Cipta Layanan Ring Back Tone Ponsel”, www.lkht.net/index.php?...88%3Abias-hak-cipta...layanan-rbt. Hadriani P., 2009, “Gaya Hidup, Mengawal Hak Cipta Program Televisi”, http://www. korantempo.com/korantempo/login.html, diakses tanggal 10 Juni 2009.
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009
Harjono Hafdjani, 2007, Dampak Globalisasi Media Terhadap Masyarakat Dan Budaya, Indonesia, bl.ac.id/wp-content/uploads/2007/04/blcom-04-
vol2-no2-april20071 Iwan Sutiawan, 2005, “Menyibak ‘Budaya’ Latah Tayangan Televisi,” dalam http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0705/02/0805.htm, diakses tanggal 20 Juni 2009. Mark Hill, 2006, “Format Rights Put To The Test, http/www.web13.epnet. com/citation.asp?. diakses tanggal 25 Februari 2009. Masyarakat Seni Pertunjukan, 2007, “Pelik-Pelik Persoalan Perlindungan HaKI Bagi Karya Rekaman, Karya Siaran, dan Karya Pertunjukan,” http://www.mspi.org/index.php? option=com_content&task =view&id=75 &Itemid=83, diakses tanggal 13 Maret 2009. Media Televisi, 2009, http://belajardekavetiga.blogspot.com/2005/09/mediatelevisi.html, diakses tanggal 10 Januari 2009. Memahami Lembaga Penyiaran, http://www.koranpendidikan.com/artikel-1529.html, diakses tanggal 5 Februari 2009. Mira R. Gnagey, “TV Watch Sebuah Kebutuhan Baru”,, http://www.pikiranrakyat.com/cetak/0703/04/0801.htm, diakses tanggal 3 Juni 2009. Noegroho , “Hak Terkait”, makalah lemlit.ugm.ac.id/ makalahhk i/HAK%20TERKAIT.ppt, diakses tanggal 10 Mei 2009. Rusdy Nurdiansyah, “Menggapai Bintang Melalui Festival,” http://www.republika.co.id/ oran_detail.asp?id=152622&kat_id=306 &kat_ id1=&kat_id2, diakses tanggal 10Juni 2009. Satrio Arismunandar, Proses Pembuatan Berita Di Stasiun Televisi: Studi Kasus Trans TV, http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2004/08/prosespembuatan-berita-di-stasiun.html.dikases tanggal 1 Suryomurcito, Hak Atas Kekayaan Intelektual Dan Lembaga Peradilan, Aktualita HaKI, Januari 2003. Tim Redaksi, “Profil MQTV”, http://www.cybermq.com/mqtv/list_profil.php?id=1, diakses tanggal 2 Juni 2009. Tonny Trimarsanto, “Televisi Monokultur di Negeri Multikultur,” http://www.republika co.id/koran_detail.asp? id=50665&kat_id=80&kat _id1=& kat_id2=. Wirodono, Sunardian., Matikan TV-Mu, Teror Media Televisi Di Indonesia, Yogyakarta: Resist Book, Maret 2009
PERUNDANG-UNDANGAN: Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran
Mutia Ulfa : Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, 2009