AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT DEBITUR TERHADAP KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN
TESIS
Oleh
BELINDA 077011009/MKn
S
C
N
PA
A
S
K O LA
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT DEBITUR TERHADAP KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
BELINDA 077011009/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Judul Tesis
: AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT DEBITUR TERHADAP KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN Nama Mahasiswa : Belinda Nomor Pokok : 077011009 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua
(Notaris Syafnil Gani, SH, MHum) Anggota
(Dr.T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum) Anggota
Ketua Program Studi,
(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN)
Direktur,
(Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, MSc)
Tanggal lulus : 07 September 2009 Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Telah diuji pada Tanggal : 07 September 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
:
Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Anggota
:
1. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum 2. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum 3. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn 4. Dr. Sunarmi, SH., MHum
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
ABSTRAK UUHT menentukan jaminan hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Namun dalam UU Kepailitan, walaupun kreditur pemegang hak tanggungan dapat memperlakukan objek hak tanggungan seolah-olah tidak terjadi kepailitan terhadap debitur, tetapi dalam eksekusi hak tanggungan adanya ketentuan penangguhan karena objek jaminan berstatus boedel pailit. Oleh karena itu menjadi permasalahan tentang ketentuan hukum pelaksanaan kepailitan terhadap debitur, kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan dalam keputusan kepailitan, dan akibat hukum kepailitan debitur terhadap kreditur pemegang hak tanggungan dalam eksekusi hak tanggungan. Penelitian ini bersifat analisis deskriptif yang dilakukan secara pendekatan yuridis normatif yaitu suatu pendekatan terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan akibat hukum putusan pailit debitur terhadap kreditur pemegang hak tanggungan. Sumber data diperoleh melalui studi kepustakaan (data sekunder). Hasil penelitian menunjukkan, pelaksanaan kepailitan kreditur terhadap debitur adalah dengan mengajukan permohonan pailit debitur ke Pengadilan Niaga, dengan persyaratan debitur mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Dengan dikabulkannya permohonan pailit oleh Pengadilan Niaga maka sejak saat itu debitur dinyatakan pailit. Dalam pelaksanaan kepailitan ini masih terdapat kelemahan mengenai ketentuan batasan minimal utang yang tidak ada diatur dalam UU Kepailitan. Kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan dalam putusan kepailitan bukan berkedudukan sebagai kreditur preferen sebagaimana diatur dalam hukum perdata umum yang harus didahulukan pembayaran piutangnya. Akan tetapi, di dalam kepailitan yang dimaksud dengan kreditur preferen hanya kreditur yang menurut undang-undang didahulukan pembayaran piutangnya, seperti pemegang hak privilege, pemegang hak retensi. Sedangkan kreditur pemegang hak tanggungan diklasifikasikan sebagai kreditur separatis. Akibat kepailitan debitur terhadap kreditur pemegang hak tanggungan dalam eksekusi hak tanggungan adalah pelaksanaan hak preferensi dari kreditur pemegang hak tanggungan ini berbeda dengan pelaksanaan hak preferensi kreditur pemegang hak tanggungan ketika tidak dalam kepailitan, yaitu adanya ketentuan mengenai masa tangguh (stay) selama 90 hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit untuk mengeksekusi benda jaminan hak tanggungan yang dipegangnya. Sehingga terjadi ketidakkonsistenan dalam ketentuan undang-undang kepailitan yang disatu sisi menyatakan kreditur pemegang hak tanggungan dapat mengeksekusi hak tanggungan seolah-olah tidak terjadi kepailitan, tetapi di sisi lain adanya ketentuan penangguhan eksekusi hak tanggungan. Oleh karena itu disarankan agar dalam UU Kepailitan ditentukan pembatasan jumlah minimal utang untuk mengajukan permohonan pailit, sehingga tidak semua besaran hutang (relatif kecil) dapat dijadikan dasar untuk mengajukan pailit. Kemudian juga ditinjau kembali penangguhan eksekusi hak tanggungan dalam Pasal 56 karena terjadi ketidak konsistenan dengan Pasal 56. Kata kunci: Akibat Hukum; Kepailitan; Eksekusi Hak Tanggungan.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
ABSTRACT The Regulation of Responsibility Rights decides the guaranty that responsibility rights will provide a preferred position for certain creditor against other creditors. Yet, in the Regulations of Bankruptcy, although the creditor who holds the responsibility rights could treat the object of responsibility rights as if the debtor did not go bankrupt, but in the execution of the responsibility rights hold an adjourn regulation caused by the guaranty object status (boedel pailit). Therefore, a problem arise that concern about the law regulations in conducting bankruptcy to debtor, the position of creditor who hold the responsibility rights in the bankruptcy decision, and the cause which law of debtor bankruptcy brings to creditor who hold the responsibility rights in the execution of responsibility rights. This research is analytic descriptive, which done by normative juridical approach, that is, an approach to laws and regulations that concern the cause of laws on debtor bankrupt decision to creditor who hold responsibility rights. The source of data was acquired from bibliographical study (secondary data). The result of the research shows that the execution of debtor bankruptcy against creditor is applying debtor bankruptcy request to the Commercial Court, on condition that is, an unpaid collectible debt that has past the payment due date and the debtor has at least two creditors. When granted by the Commercial Court, the debtor would be declared bankrupt since then. In the execution of the bankruptcy, there is still a weak point in the Regulations of Bankruptcy that the limitation on the minimal amount of debt that can be used as based in applying bankrupt is not regulated. The position of the creditor who hold the responsibility rights in the decision of bankruptcy is not as a preference creditor whom debt must be paid first as stated in public civil law. Nevertheless, the preference creditor that stated in bankruptcy is a creditor whose debt payment must be prioritize by the means of law, such as privilege rights holder, retention rights holder. While the creditors who hold the responsibility rights are classified as separative creditor. The cause of debtor bankruptcy to creditor who hold the responsibility rights on the execution of the responsibility rights is the execution of preference rights of the creditor who hold the responsibility rights when the debtor is not bankrupt, which is, a regulation on adjournment (stay) until 90 days since the day the bankrupt is decided for execution on the responsibility rights guaranty object that he hold. So there is an inconsistence in bankruptcy regulation, which on one side stated that the creditors who hold the responsibility rights can execute the responsibility rights as if there is no bankruptcy, and the other side stated that there is a regulation that postpones the execution on responsibility rights. Therefore, it is suggested that the Regulations of Bankruptcy determinate the minimal limitation on debt in applying bankrupt, so not all the debt size (which is relative small) can be used as a base in applying bankrupt. Then, a review on the postponement of the responsibility rights execution in Section 56 also needed because there is an inconsistence with Section 55. Keywords: The Cause of Law, Bankruptcy, Responsibility Rights Execution Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
KATA PENGANTAR
Pertama dan terutama dengan segala kerendahan hati terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat dan anugrah-Nya telah menambah keyakinan dan kekuatan penulis dengan segala keterbatasan yang dimiliki telah dapat menyelesaikan penulisan Tesis dengan judul “AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT DEBITUR TERHADAP KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan moril berupa bimbingan dan arahan sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, diucapkan terima kasih kepada dosen komisi pembimbing, yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof.Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN, Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, MHum., dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum, selaku dosen pembimbing, juga kepada dosen penguji Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn dan Ibu Dr. Sunarmi, SH, MHum, atas bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Selanjutnya diucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan para Asisten Direktur serta seluruh Staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
studi pada Program Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta seluruh Staf yang memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum, selaku Sekretaris Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Univesitas Sumatera Utara. 5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan. 6. Kepada sahabat-sahabat penulis selama perkuliahan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara : Intan Harahap, Juni Surbakti, Jagjit Singh, Artha, Juliana Citra, Nur Afni, penulis ucapkan terima kasih atas bantuan serta dorongan semangat yang kalian berikan , tanpa kalian penulis bukanlah apa-apa, begitu juga dengan teman penulis yang benar-benar sangat membantu dalam memberikan semangat dan doa kepada penulis : Erwin Chua, Susan Nyasar, Rudy, Steveni, penulis ucapkan terima kasih atas saran yang positif yang selalu membangun membuat penulis bisa bangkit dan menyelesaikan masalah yang dihadapi. 7. Kepada seseorang (RY), penulis ucapkan terima kasih atas inspirasinya untuk memberikan dorongan dan bantuan selama penulisan tesis ini. 8. Kepada semua rekan-rekan seangkatan mahasiswa Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
yang selalu memberikan
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
semangat, memberikan dorongan, bantuan pikiran serta mengingatkan dikala penulis lupa untuk menyelesaikan penulisan tesis ini. 9. Kepada saudara-saudara penulis vera cc, budi kk, ami, ta ie, yang memberikan dorongan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan studi ini. Teristimewa dengan tulus hati diucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang selalu mengasihi, Papa Piter Zein dan Mama Tho Siauw Tjin yang telah bersusah payah melahirkan, membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran, ketulusan dan kasih sayang, selalu membakar semangat penulis untuk menyelesaikan tesis dan nasihat untuk berbuat sesuatu yang terbaik demi masa depan penulis, demikian juga kepada kakak dan adik penulis tercinta, Velma dan Nila, atas motivasi dan doa kalian telah dapat diselesaikan tesis ini. Akhir kata kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas kebaikan, ketulusan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat rahmat dari Allah, agar selalu diberikan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rejeki yang melimpah kepada kita semua. Amen. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua, terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu Kenotariatan. Medan,
September 2009 Penulis,
Belinda
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
RIWAYAT HIDUP
I.
II.
Identitas Pribadi Nama
:
Belinda
Tempat/ Tgl. Lahir
:
Pematang Siantar, 24 Agustus 1985
Ayah
:
Piter Zein
Ibu
:
Tho Siauw Tjin
1. SD
:
SD Swasta Sultan Agung Tamat 1997
2. SMP
:
SMP Swasta Sultan Agung Tamat 2000
3. SMU
:
SMA Swasta Sultan Agung Tamat 2003
4. S-1
:
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Orang Tua Nama
III. Pendidikan
Medan Tamat 2007 5. S-2
:
SPs USU Program Magister Kenotariatan
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK................................................................................................
i
ABSTRACT...............................................................................................
ii
KATA PENGANTAR .............................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP .................................................................................
vi
DAFTAR ISI ............................................................................................
vii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ..................................................................
1
A. Latar Belakang....................................................................
1
B. Perumusan Masalah ...........................................................
13
C. Tujuan Penelitian ...............................................................
13
D. Manfaat Penelitian .............................................................
13
E. Keaslian Penelitian ............................................................
14
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ............................................
16
1. Kerangka teori .............................................................
16
2. Konsepsi ......................................................................
24
G. Metode Penelitian ..............................................................
28
KETENTUAN PELAKSANAAN KEPAILITAN KREDITUR TERHADAP DEBITUR ...................................
32
A. Pengertian Pailit ..................................................................
32
B. Proses Kepailitan ...............................................................
37
C. Ketentuan Pelaksanaan Kepailitan Kreditur Terhadap Debitur ...............................................................................
42
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
BAB III
KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DALAM PUTUSAN KEPAILITAN .........
50
A. Hak Tanggungan ................................................................
50
B. Kreditur Dalam Kepailitan .................................................
61
C. Kedudukan Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Dalam Kepailitan ..........................................................................
71
AKIBAT HUKUM KEPAILITAN DEBITUR TERHADAP KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DALAM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN ......................
82
A. Kedudukan Harta Debitur Pailit .........................................
82
B. Eksekusi Hak Tanggungan .................................................
84
C. Akibat Kepailitan Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Dalam Eksekusi Objek Hak Tanggungan
98
KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................
104
A. Kesimpulan.........................................................................
104
B. Saran .................................................................................
105
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
107
BAB IV
BAB V
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembangunan di bidang ekonomi, merupakan bagian dari pembangunan nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan tersebut, yang para pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perorangan dan badan hukum, sangat diperlukan dana dalam jumlah yang besar. Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam pengadaan dana tersebut adalah Perbankan. Berbagai lembaga keuangan, terutama bank konvensional, telah membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberikan pinjaman uang antara lain dalam bentuk kredit perbankan. Kredit perbankan merupakan salah satu usaha bank konvensional yang telah banyak dimanfaatkan oleh anggota masyarakat yang memerlukan dana.
1
Pasal 3 dan 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa fungsi utama Perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat yang bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional ke arah peningkatan kesejahteraan
1
Mustafa Siregar, Pengantar Beberapa Pengertian Hukum Perbankan, (Medan: USU Press, 1991), hlm. 34. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
rakyat banyak. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, maka bank melakukan usaha menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Dalam hal ini bank juga menyalurkan dana yang berasal dari masyarakat dengan cara memberikan berbagai macam kredit. Pengertian kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Berdasarkan ketentuan tersebut dalam pembukaan kredit perbankan harus didasarkan pada persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam atau dengan istilah lain harus didahului dengan adanya perjanjian kredit. Perjanjian kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah bukanlah tanpa resiko, karena suatu resiko mungkin saja terjadi. Resiko yang umumnya terjadi adalah resiko kegagalan atau kemacetan dalam
pelunasan. Keadaan tersebut sangatlah
berpengaruh kepada kesehatan bank, karena uang yang dipinjamkan kepada debitur berasal atau bersumber dari masyarakat yang disimpan pada bank itu sehingga resiko tersebut sangat berpengaruh atas kepercayaan masyarakat kepada bank yang sekaligus kepada keamanan dana masyarakat tersebut. 2
2
Pelaksanaan Pemberian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Pada Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat, terakhir diakses dari www.one.indoskripsi.com/node/2715 tanggal 04 April 2009. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Dalam hukum jaminan dikenal dua jenis hak jaminan kredit dalam praktek di masyarakat, yaitu : 3 1. Hak-hak jaminan kredit perorangan (personal guarantly), yaitu jaminan seorang pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur. Termasuk dalam golongan ini antara lain “borg” yaitu pihak ketiga yang menjamin bahwa hutang orang lain pasti dibayar; 2. Hak-hak jaminan kredit kebendaan (persoonlijke en zakelijke zekerheid), yaitu jaminan yang dilakukan oleh kreditur dengan debiturnya, ataupun antara kreditur dengan seseorang pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur. Termasuk dalam golongan ini apabila yang bersangkutan didahulukan terhadap kreditur-kreditur lainnya dalam hal pembagian penjualan hasil harta benda debitur, meliputi : privilege (hak istimewa), gadai dan hipotek. Dahulu sebelum berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan, praktek jaminan yang sering digunakan pada Perbankan Indonesia, adalah jaminan kebendaan yang meliputi : 4 1. Hipotek, yaitu suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan (Pasal 1162 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
3
J.Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 167. 4 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2000), hlm.91. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
2. Credietverband, yaitu suatu jaminan atas tanah berdasarkan Koninklijk Besluit tanggal 6 Juli 1908 No.50 (Stb.1908 No.542); 3. Fiducia (fiduciare eigendomsoverdracht), yaitu pemindahan milik secara kepercayaan; Lembaga jaminan Hak Tanggungan digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan. Dengan berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan Tahun 1996, maka hipotek yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan credietverband yang sebelumnya digunakan untuk mengikat tanah sebagai jaminan hutang, untuk selanjutnya sudah tidak dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengikat tanah. Pengikatan objek jaminan hutang berupa tanah sepenuhnya dilakukan melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan. Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan memberikan definisi “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah”, yang selanjutnya disebut “Hak Tanggungan”, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan sebagai berikut : “Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.” Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Adanya aturan hukum mengenai pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan dalam suatu perjanjian kredit bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak dalam memanfaatkan tanah beserta bendabenda yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan kredit. Apabila didalam hubungan perutangan, debitur tidak memenuhi prestasi secara suka rela, kreditur mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan piutangnya bila hutang tersebut sudah dapat ditagih, yaitu terhadap harta kekayaan debitur yang dipakai sebagai jaminan. Hak pemenuhan dari kreditur itu dilakukan dengan cara menjual benda-benda jaminan dari debitur, yang kemudian hasil dari penjualan tersebut digunakan untuk memenuhi hutang debitur. 5 Untuk dapat melaksanakan pemenuhan haknya terhadap benda-benda tertentu dari debitur yang dijaminkan tersebut yaitu dengan cara melalui eksekusi benda jaminan maka kreditur harus mempunyai alas hak untuk melaksanakan eksekusi melalui penyitaan eksekutorial. Syarat adanya titel eksekutorial ini diadakan demi perlindungan bagi kreditur terhadap perbuatan yang melampaui batas dari debitur. Titel eksekutorial dapat timbul berdasarkan putusan hakim yang dibuat dalam bentuk eksekutorial yang memutuskan bahwa debitur harus membayar sejumlah pembayaran tertentu atau prestasi tertentu, atau dapat juga berdasarkan akta notaris yang sengaja dibuat dalam bentuk eksekutorial, dalam bentuk grosse akta. Menurut ketentuan Undang-Undang, grosse dari akta notaris mempunyai kekuatan eksekutorial. Dimana
5
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia, pokok-pokok hukum jaminan dan jaminan perorangan, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hlm.34. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
didalam akta itu dimuat pernyataan pengakuan hutang sejumlah uang tertentu dari debitur kepada kreditur. Semakin lajunya pertumbuhan kehidupan dunia bisnis dan industri menuntut segala sesuatu yang cepat dan praktis tetapi mempunyai kekuatan hukum yang kuat, termasuk dalam segi hutang-piutang. Oleh karena itu, kesepakatan mengenai hutang piutang tidak hanya cukup dituangkan didalam perjanjian tertulis tetapi perlu dituangkan dalam sebuah grosse akta pengakuan hutang. Maksud dituangkan didalam grosse akta pengakuan hutang adalah supaya apabila debitur wanprestasi maka kreditur hanya tinggal mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi harta kekayaan debitur berdasarkan grosse akta pengakuan hutang kepada Pengadilan Niaga dan bukan mengajukan gugatan untuk memperoleh pemenuhan atas piutangnya tersebut. Biasanya ketika meminjamkan uangnya, kreditur menginginkan adanya jaminan untuk mendapatkan kembali pemenuhan piutangnya. Oleh karena itu, dalam praktek sering diadakan grosse akta pengakuan hutang yang dibuat didepan dan oleh notaris yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan dapat dipergunakan oleh pihak kreditur untuk menagih piutangnya manakala pihak debitur lalai membayar hutangnya. Grosse akta tersebut tidak perlu dibuktikan, sehingga harus dianggap benar apa yang tercantum didalamnya, kecuali ada bukti lawan. 6 Hal tersebut dimungkinkan karena didalam grosse akta pengakuan hutang itu oleh notaris dibuat dengan kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
6
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1986),
hlm.89. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Maha Esa”. Dengan adanya kata-kata tersebut maka grosse akta mempunyai title eksekutorial yang dipersamakan dengan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada tahun 1997 sampai tahun 1998, perkembangan sektor moneter Indonesia 7 diwarnai situasi memprihatinkan yang disebabkan oleh krisis nilai tukar. Memasuki bulan Juli 1997, krisis nilai tukar telah berubah menjadi krisis moneter dan akhirnya menjadi krisis ekonomi yang akut. Setelah langkah pengetatan likuiditas dengan menaikkan suku bunga SBI tidak membuahkan hasil 8, pada tanggal 14 Agustus 1997 Bank Indonesia mengumumkan perubahan sistem nilai tukar dari sistem mengambang terkendali (managed floating rate) menjadi mengambang bebas (floating rate). Alasan pemerintah melepas pita intervensi adalah guna menyesuaikan dengan perkembangan moneter di kawasan Asia Tenggara. Namun, adanya pita intervensi membuat nilai Rupiah menjadi semakin merosot akibat tindak spekulasi para spekulan di pasar uang. Hal ini membuat adanya kepanikan di masyarakat. 9 Menyikapi krisis
yang tidak
juga membaik, Pemerintah kemudian
mencetuskan sepuluh langkah pemulihan ekonomi pada tanggal 3 September 1997 10
7
Selain di Indonesia, krisis perekonomian juga terjadi di Negara Asia lainnya seperti Malaysia, Filipina, Thailand, Cina dan Korea. 8 Didik J. Rachbini, Suwidi Tono, et.al, Bank Indonesia menuju Independensi Bank Sentral, (Jakarta: Mardi Mulyo,2000), hlm 9. 9 Ibid, hlm 87. 10 Langkah ini mencakup langkah di bidang moneter yaitu, pelonggaran likuiditas dengan menurunkan suku bunga SBI, membuka kembali fasilitas Surat Berharga Pasar Uang, mencairkan dana BUMN, menurunkan Giro Wajib Minimum, di bidang perbankan, yaitu membantu bank-bank nasional yang sehat namun mengalami kesulitan likuiditas, sedangkan bank-bank yang kinerjanya buruk disarankan untuk merger dengan bank-bank yang sehat, Ibid, hlm. 11-12. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
dan mendorong Pemerintah untuk meminta bantuan Dana Moneter Internasional (Internasional Monetary Fund/IMF), Bank Dunia (World Bank) dan Asian Development Bank 11 dengan komitmen diambilnya tindakan melikuidasi 16 bank swasta pada tanggal 1 November 1997. Memasuki tahun 1998, situasi moneter makin memburuk. Keadaan makin parah dengan berkurangnya pasokan barang di satu sisi, serta meningkatnya jumlah uang beredar di masyarakat sisi lain. Akibat tidak seimbangnya sisi permintaan dan penawaran tersebut, harga-harga bahan pokok segera meningkat, dan panic buying atas Dolar Amerika Serikat oleh masyarakat, memberi andil cukup signifikan atas melonjaknya inflasi bulan Januari 1998 yang mencapai 6,885 12, dan menekan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat pada titik terendah pada bulan Juni 1998 yaitu sekitar 16.725 per 1 USD. Untuk membantu kondisi perekonomian Indonesia, International Monetary Fund memberikan bantuan pinjaman lunak (soft loans) pada pemerintah Indonesia. John T. Dori menyebutkan bahwa, International Monetary Fund beranggapan kesuksesan pemulihan dan reformasi perekonomian di Indonesia tergantung sepenuhnya pada reformasi sistem hukum. Karena itu International Monetary Fund mensyaratkan adanya reformasi hukum sebagai syarat pemberian pinjamannya yang 11 Ibid., hlm.12. Pinjaman mana diberikan dengan syarat Indonesia harus memperbaiki pranata ekonominya yang dianggap tidak memberi perlindungan yang cukup pada kreditur luar negeri. Kemudian dibentuklah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 4 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan, yaitu perubahan atas Peraturan Kepailitan yang ada sejak zaman kolonial yaitu Faillissementsverordening (Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad 1906 nomor 348), yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang nomor 1 Tahun 1998. 12 Ibid.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
tertuang dalam Memorandum Tambahan (Appendix VII) dalam Letter of Intent tertanggal 15 Januari 1998 yang dengan jelas mencantumkan keinginan International Monetary Fund untuk memberlakukan hukum kepailitan yang baru di Indonesia dalam bentuk Peraturan Pemerintah (Perpu) serta membentuk Pengadilan khusus Niaga. 13 Sehingga pada tahun 1998, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 yang melakukan
perubahan terhadap Faillissement Verordening Stb. Tahun 1905 nomor 217 juncto Tahun 1906 nomor 348. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 1998 yang kemudian disahkan dengan Undang-undang nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Undang-undang Kepailitan tersebut kemudian disempurnakan lagi dengan Undang-Undang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebabkan sarana untuk menyelesaikan utang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 4 tahun 1998 dianggap tidak memenuhi perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Karena dirumuskan dalam waktu yang mendesak, Undang-Undang Kepailitan nomor 4 tahun 1998 sarat akan kelemahan. Misalnya kesimpangsiuran pengertian utang dalam Undang-Undang Kepailitan Nomor 4 tahun 1998 yang kemudian diperbaiki dengan merumuskan pengertian utang yang jelas dalam Undang-Undang Kepailitan nomor 37 tahun 2004. Namun untuk syarat pengajuan permohonan
13
Bismar Nasution dan Sunarmi, Diktat Hukum Kepailitan di Indonesia, (Medan: Universitas Sumatera Utara Sekolah Pasca Sarjana Program Magister Kenotariatan, 2007), hlm. 2-3. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
pernyataan pailit 14 dianggap masih mengandung kelemahan, banyak debitur yang memiliki prospek usaha yang baik, dengan mudahnya dipailitkan oleh krediturnya. Jiwa Undang-Undang Kepailitan pada hakekatnya adalah untuk melakukan tindakan pemberesan terhadap perusahaan yang insolven, yang benar-benar telah tidak mampu dalam membayar utangnya, sehingga jalan kepailitan dimaksudkan sebagai sarana hukum untuk menyelesaikan permasalahan utang-piutang. Namun, ada kalanya debitur yang tidak mampu itu, (karena melonjaknya nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat) masih memiliki prospek atau masa depan usaha yang menjanjikan, yang dikemudian hari dapat pulih kembali, apabila diberikan beberapa keringanan dalam pelunasan utangnya. Undang-Undang Kepailitan pada asasnya tidaklah semata-mata ditujukan untuk mempailitkan debitur yang tidak membayar utangnya. Undang-Undang Kepailitan memberi alternatif lain selain kepailitan yaitu berupa pemberian kesempatan kepada perusahaan-perusahaan yang tidak membayar utangnya tapi masih memiliki prospek usaha yang baik serta kooperatif dengan para kreditur untuk melunasi utang-utangnya, untuk direstrukturisasi utang-utangnya dan disehatkan perusahaannya. Tindakan inilah yang seyogyanya terlebih dahulu ditempuh sebelum diajukan permohonan pailit. Dengan kata lain, kepailitan seyogyanya hanya merupakan Ultimum Remidium. 15
14
Syarat diajukannya permohonan pailit baik oleh kreditur maupun oleh debitur sendiri (voluntary petition) adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, terhadap debitur yang demikian, dapat dinyatakan pailit oleh Putusan Pengadilan. 15 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan memahami Faillissements Verordening juncto Undang-Undang nomor 4 tahun 1998, (Jakarta : Grafiti, 2002), hlm. 59. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Oleh karena putusan pernyataan pailit terhadap seseorang individu atau suatu perusahaan yang tidak membayar utangnya akan menimbulkan dampak merugikan yang sangat luas baik bagi negara maupun bagi masyarakat, yaitu dalam kaitannya dengan lembaga jaminan hak tanggungan yang melibatkan segenap pihak seperti kreditur pemegang hak tanggungan dan pihak-pihak lain yang terkait. Kreditur pemegang hak tanggungan selaku salah satu keditur separatis dalam putusan pailit debitur tentunya akan ikut menanggung akibat dari putusan pailit terhadap debitur. Dalam memberikan pinjamannya, kreditur pemegang hak tanggungan senantiasa menjadi pihak penerima hak tanggungan dari debitur yang berkedudukan selaku pemberi hak tanggungan, apabila debitur yang bersangkutan dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan niaga. Akibat hukum dari pailitnya debitur tersebut akan mempengaruhi kreditur pemegang hak tanggungan dari jaminan atau objek yang dibebani hak tanggungan tersebut. H. Man. S. Sastrawidjaja mengemukakan: 16 Sebenarnya pernyataan pailit seorang debitur tidak terlalu penting bagi Kreditor Separatis karena mereka dapat mengeksekusi benda jaminan seolaholah tidak ada kepailitan. Hal demikian berbeda dengan Kreditor Konkuren yang tidak memiliki benda jaminan sehingga kemungkinan di antara mereka terjadi perebutan harta Debitur. Oleh karena itu, salah satu fungsi kepailitan adalah untuk memenuhi hak Kreditur bersaing atau Kreditur Konkuren secara adil, sehingga tidak terjadi perbuatan-perbuatan yang secara hukum tidak dibenarkan. Salah satu akibat hukum yang paling dominan yang mempengaruhi kreditur pemegang hak tanggungan adalah pada masa penangguhan eksekusi. Pada masa penangguhan eksekusi yang ditetapkan Undang-Undang Kepailitan selama 90 hari, 16
H. Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: PT. Alumni, 2006), hlm.35. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
jaminan debitur yang telah dibebani hak tanggungan untuk kepentingan kreditur berada dalam kondisi tidak boleh diganggu gugat. Hal ini dilakukan agar kurator bisa mengupayakan terjadinya perdamaian. Sehingga pada masa ini sungguhpun kreditur pemegang hak tanggungan sebagai kreditur terpisah yang secara umum memiliki hak istimewa terhadap jaminan yang telah dibebankan hak tanggungan tidak bisa melaksanakan kewenangannya selaku kreditur istimewa. Dengan adanya ketentuan penangguhan eksekusi bukan berarti kreditur pemegang hak tanggungan tidak bisa mengeksekusi jaminan yang telah dibebankan hak tanggungan dan sekaligus berstatus boedel pailit. Segala akibat hukum yang akan berpengaruh terhadap jaminan tersebut dan kreditur separatis akan ditentukan dalam mata acara proses penyelesaian kepailitan dari putusan pailit itu sendiri. Dalam prakteknya, antara ketentuan yang diatur dalam undang-undang dengan pelaksanaan di lapangan bertentangan. Ketentuan hukum jaminan hak tanggungan lebih menekankan pada perlindungan hukum kreditur pemegang hak tanggungan, sedangkan ketentuan yang diatur dalam hukum kepailitan di Indonesia belum sepenuhnya mengakomodir perlindungan hukum terhadap kreditur separatis. Kesenjangan pengaturan kedua lembaga hukum ini menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan kepailitan di Indonesia belum memenuhi konsep teori kesetaraan hukum. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti dan membahas serta mengangkatnya menjadi sebuah tesis yang berjudul “Akibat Hukum Putusan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan”
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini adalah : 1. Bagaimana ketentuan hukum pelaksanaan kepailitan kreditur terhadap debitur? 2. Bagaimana kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan dalam keputusan kepailitan? 3. Bagaimana akibat hukum kepailitan debitur terhadap kreditur pemegang hak tanggungan dalam eksekusi hak tanggungan?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah tersusun, maka tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah: 1. Untuk menjelaskan ketentuan hukum pelaksanaan kepailitan kreditur terhadap debitur. 2. Untuk menjelaskan kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan dalam keputusan kepailitan. 3. Untuk menjelaskan akibat hukum kepailitan debitur terhadap kreditur pemegang hak tanggungan dalam eksekusi hak tanggungan.
D. Manfaat Penelitian Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan merupakan satu rangkaian yang ingin dicapai bersama, dengan demikian, dari penulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
1. Secara akademis-teoritis, penulisan ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya mengenai akibat hukum putusan pernyataan pailit debitur terhadap kreditur pemegang Hak Tanggungan. 2. Secara sosial-praktis, adalah memberikan sumbangan pemikiran terhadap mahasiswa-mahasiswa atau praktisi-praktisi hukum dalam mengetahui tentang kepailitan yang dihubungkan dengan kreditur pemegang Hak Tanggungan yang diketahui mempunyai hak separatis didalam menguasai objek Hak Tanggungan yang dijaminkan oleh pihak debitur.
E. Keaslian Penelitian Setelah melakukan penelusuran kepustakaan, maka diketahui belum ada tulisan yang mengangkat mengenai “Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan”. Penulisan ini dilakukan berdasarkan literatur-literatur yang berkaitan dengan Hukum Kepailitan, Lembaga Hak Tanggungan serta Lembaga-lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah yang juga ditujukan untuk penyelesaian masalah utang piutang. Memang ada penelitian sebelumnya yang dilakukan: 1. Kiki Riahma, NIM: 002111044, Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul ”Fungsi dan Kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam Perjanjian Kredit (Suatu Penelitian di PT. Bank Bukopin Cabang Medan)”, dan permasalahan yang diteliti adalah:
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
a. Apakah fungsi dan kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam perjanjian kredit setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996? b. Bagaimana
hambatan-hambatan
dalam
pelaksanaan
membuat
Akta
Pembebanan Hak Tanggungan sesudah dibuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam praktek Perbankan? c. Bagaimana upaya-upaya yang dilakukan bila terjadi kredit macet sebelum jangka waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan berakhir? 2. Nur Asmalina Siregar, NIM: 017011047, Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul ”Penyelesaian Kredit Macet Melalui Penjualan Di Bawah Tangan Benda Jaminan Yang Diikat Dengan Hak Tanggungan (Studi Kasus Terhadap Praktek Perbankan di Kota Medan)”, dan permasalahan yang diteliti adalah: a. Apakah faktor-faktor dan dasar hukum yang digunakan dalam melaksanakan penjualan di bawah tangan? b. Bagaimana pelaksanaan penjualan di bawah tangan benda jaminan yang diikat dengan hak tanggungan? c. Bagaimana kekuatan hukum hak atas benda jaminan pasca penjualan di bawah tangan bagi pihak ketiga? Jika diperhadapkan permasalahan yang diteliti sebelumnya sebagaimana disebutkan di atas dengan penelitian yang dilakukan ini adalah berbeda. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan sebuah karya asli dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
rasional, objektif dan terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berhubungan yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu.17 Fungsi teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses terjadi. 18 Suatu teori harus diuji untuk menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. 19 Sehingga kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, 20 yang akan dijadikan sebagai landasan pemikiran dalam penulisan tesis ini. Ada tiga jenis unsur-unsur keadilan menurut John Finnis: 1) keterkaitan dengan pihak lain (hubungan antar orang), 2) adanya Kewajiban (duty) pada seseorang untuk memenuhi Hak Pihak lain, dan 3) kesetaraan (equility). 21 Sedangkan
17
J.J.H.Bruggink, “Refleksi Tentang Hukum”, dialihbahasakan oleh Arief Sidharta, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 2. 18 J.J.M.Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, edt.M.Hisyam, (Jakarta: FE UI, 1996), hlm. 203. 19 Ibid, hlm. 16. 20 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm.80. 21 Zainal Arifin Mochtar, “Panorama Teori Hukum dan Keadilan”, http://psp.ugm.ac.id/ kks/materi_kuliah/10-11%20Januari%202009/Panorama%20Teori%20Hukum%20dan%20 Keadilan.ppt. tanggal 14 April 2009, hlm. 1. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
menurut John Rawls ada 3 bentuk konsepsi keadilan menurut teori keadilan (A Theory of Justice), yakni: 22 1. Maksimalisasi Kebebasan (Maximisation of Liberty) Kebebasan hanya tunduk pada pembatasan yang dimaksud untuk melindungi kebebasan itu sendiri. 2. Kesetaraan untuk Semua (Equality for all) Dalam hal kebebasan dalam kehidupan sosial dan dalam distribusi (pembagian) sumber daya sosial (Social Goods), hanya tunduk pada pengecualian bahwa ketidaksetaraan dibolehkan jika hal itu menghasilkan manfaat paling besar bagi mereka yang paling tidak sejahtera dalam masyarakat. 3. Kesetaraan dalam kesempatan dan
penghapusan ketidaksetaraan dalam
kesempatan berdasarkan kekayaan dan kelahiran. Dalam pelaksanaan kebajikan keadilan, maka keadilan itu selalu menjangkau hubungan-hubungan sosial, sebab pada pelaksanaan kebajikan ini harus selalu melibatkan lebih dari dua orang. Tambahan pula relasi pada orang-orang itu harus bersifat memisahkan (afstandelijk). Kebajikan ini justru berkenaan dengan relasi dengan orang lain sebagai yang lain. Dalam relasi-relasi yang lebih pribadi atau intim, kebajikan-kebajikan lain memainkan peranan. Kebajikan dari yang adil adalah menemukan keseimbangan (kesetimbangan), yang dengan itu yang lain itu justru
22
Ibid.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
sebagai yang lain memperoleh apa yang menjadi haknya. 23 Dengan demikian Teori yang digunakan sebagai dasar dalam penelitian ini adalah teori kesetaraan. Dalam dunia usaha, banyak anggota masyarakat yang meminjam uang di Bank untuk melangsungkan kegiatan usaha. Kegiatan pinjam-meminjam itu dituangkan secara tertulis di dalam perjanjian kredit dengan bank sebagai pihak kreditur dan nasabah sebagai pihak debitur. Hal-hal yang dinyatakan dalam perjanjian kredit ini antara lain jangka waktu pembayaran, besar angsuran, bunga yang dikenakan, barang jaminan yang dijadikan jaminan kredit, sanksi yang diberikan apabila debitur wanprestasi, dan lain-lain. Dalam hal ini untuk melindungi kreditur dari kerugian karena wanprestasi debitur, maka ada perjanjian kredit yang dituangkan dalam grosse akta pengakuan hutang sejumlah uang tertentu dari debitur kepada kreditur. Tujuan pembuatan grosse akta pengakuan hutang ini adalah agar apabila debitur melakukan wanprestasi maka kreditur dapat langsung mengeksekusi barang jaminan debitur tanpa harus meminta ketetapan hukum dari pengadilan. Namun dalam prakteknya, kekuatan grosse akta sebagaimana yang tercantum dalam Sertipikat Hak Tanggungan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak murni diaplikasikan. Sebaliknya, kreditur pemegang hak tanggungan dalam melaksanakan eksekusi objek hak tanggungan selalu meminta fiat executie pengadilan. Tujuan dimintanya fiat executie pengadilan ialah untuk mendapatkan penetapan pengadilan dalam hal meletakkan sita terhadap objek hak tanggungan yang 23
Ibid.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
bersangkutan. Dengan adanya letak sita pengadilan terhadap objek tersebut, kreditur pemegang hak tanggungan bisa melaksanakan eksekusi hak tanggungan. Dalam perjanjian kredit pinjam meminjam uang ini, maka pihak debitur akan menjaminkan sertipikat tanah untuk memperoleh dana dari pihak kreditur dengan ketentuan sertipikat tanah tersebut akan dipegang oleh pihak kreditur. Ketika debitur melakukan permohonan kredit biasanya disertai dengan jaminan. Jaminan ini berfungsi sebagai pegangan bagi bank apabila debitur tidak dapat menyelesaikan kreditnya, maka bank berhak untuk menjual barang jaminan yang diberikan oleh debitur sebagai pelunasan hutangnya. Jika hasil penjualan itu melebihi hutang debitur maka sisanya dikembalikan kepada debitur yang bersangkutan. Untuk mendapatkan kredit dari Bank, debitur perlu membuat suatu perjanjian kredit. Sebagai salah satu bentuk perjanjian, hal-hal yang berlaku pada perjanjian pada umumnya berlaku juga pada perjanjian kredit, seperti asas-asas perjanjian, syarat sah perjanjian, wanprestasi dan overmacht, serta hal-hal yang mengakhiri perjanjian. Perjanjian yang dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit wajib disertai dengan suatu jaminan yang merupakan pasangan dari perjanjian kredit. Dasar dari pemberian kredit adalah unsur kepercayaan dari pihak pemberi kepada penerima kredit,
bahwa kredit akan dapat dikembalikan pada jangka waktu yang telah
ditetapkan dan dengan jumlah yang telah diperjanjikan. Dengan adanya jaminan kredit maka semakin kuatlah kepercayaan yang diberikan bank akan kemampuan membayar kembali debiturnya. Selain memuat tentang jaminan kredit, perjanjian
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
kredit memuat pula ketentuan mengenai bunga, sanksi bagi kredit tunggak dan lain-lain. Salah satu benda tetap yang sering dijadikan objek jaminan utang adalah tanah. Dalam perkembangan terbaru, dengan keluarnya Undang-Undang Hak Tanggungan nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah, maka semua benda yang berkaitan dengan jaminan utang atas tanah diatur dalam Undang-undang ini. Setiap orang yang berutang wajib melunasi seluruh hutang-hutangnya. Hutang diberikan oleh kreditur kepada debitur dengan pemberian jaminan dari debitur kepada kreditur untuk menjamin akan pelunasan utang debitur. Dalam hal debitur wanprestasi atau gagal memenuhi kewajibannya, maka akan diadakan eksekusi terhadap aset-aset debitur yang dijadikan sebagai jaminan/agunan. 24 Salah satu asas penting dalam hukum jaminan dapat dilihat dalam Pasal 1131 KUH Perdata, yaitu: “Segala kekayaan Debitur, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan untuk segala perikatan Debitur”. Apabila debitur karena suatu alasan tertentu pada waktunya tidak melunasi utangnya kepada kreditur, maka harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi agunan utangnya yang dapat dijual untuk sumber pelunasan utang itu. 25
24
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 26. 25 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan… , Op. Cit, hlm. 7. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Pasal 1131 KUH Perdata menentukan bahwa semua harta kekayaan debitur menjadi agunan bagi pelaksanaan kewajiban debitur kepada semua krediturnya, dan cara membagi harta kekayaan tersebut kepada krediturnya apabila aset debitur dijual karena tidak mampu membayar utang-utangnya 26, diatur dalam Pasal 1132 KUH Perdata sebagai berikut: Harta kekayaan debitur menjadi agunan bersama-sama bagi semua krediturnya; hasil penjualan harta kekayaan itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yaitu menurut perbandingan besar kecilnya tagihan masingmasing kreditur, kecuali apabila di antara para kreditur itu terdapat alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditur lainnya. Undang-Undang Kepailitan lahir guna mengatur mengenai cara menentukan eksistensi suatu utang debitur kepada kreditur, berapa jumlahnya yang pasti termasuk mengupayakan perdamaian yang dapat ditempuh oleh debitur kepada para krediturnya. 27 Selain itu, Undang-Undang Kepailitan lahir : 1. Untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur; 2. Untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya; 3. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditur atau debitur sendiri. 28
26
Ibid., hlm.8. Ibid., hlm 13. 28 Penjelasan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 27
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Dalam pelaksanaan putusan pailit yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Niaga, semua pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara kepailitan tersebut wajib menjalankan putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Niaga yang telah mempertimbangkan hak-hak dan kepentingan para pihak dengan berdasarkan pada Teori Kesetaraan. Bagi Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, putusan pailit tersebut ada kalanya dianggap tidak memenuhi Teori Kesetaraan sebagaimana mestinya. Kreditur Pemegang Hak Tanggungan selalu merasa dirugikan akibat adanya putusan pailit yang dianggap sudah memenuhi hak-hak dan kepentingan seluruh kreditur yang terkait. Sehingga dalam prakteknya, debitur pailit yang memiliki utang dengan penjaminan objek hak tanggungan selalu mendapatkan kompensasi atau keringanan dari kreditur pemegang hak tanggungan yang besangkutan. Keringanan yang diberikan dapat berupa pembaharuan perjanjian kredit atau novasi yang dalam praktek sering disebut restrukturisasi utang. Perjanjian restrukturisasi utang memungkinkan kreditur yang bersangkutan melakukan penghapusbukuan bunga, denda kredit dan atau utang lainnya yang berkaitan dengan pinjaman pokok. Kreditur pemegang
hak
tanggungan
seringkali
mengakomodir
dibuatnya
perjanjian
restrukturisasi utang guna mengefisiensikan penyelesaian utang-piutang mereka. Adapun alasan lain diupayakannya novasi adalah untuk menghemat biaya dan waktu pelaksanaan eksekusi hak tanggungan yang pada akhir pelaksanaannya belum tentu memberikan hasil yang maksimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan pelaksanaan peradilan yang bisa mewujudkan keseimbangan dan keadilan bagi para Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
pihak, para pihak yang terkait dalam perkara kepailitan harus memperhatikan asasasas yang diadopsi oleh Hukum Kepailitan. Sehingga beberapa asas dalam hukum kepailitan yang penting dalam penulisan tesis ini antara lain: 29 1. Asas Keseimbangan Undang-Undang Kepailitan memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditur dan debitur. Di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya
penyalahgunaan
pranata
dan
dapat
mencegah
terjadinya
penyalahgunaan tersebut oleh kreditur yang beritikad tidak baik. 2. Asas Kelangsungan Usaha Dalam Undang-Undang Kepailitan, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan. Undang-Undang Kepailitan tidak semata-mata bermuara pada kepailitan dan tindakan eksekusi aset debitur, terdapat alternatif lain yaitu berupa pemberian kesempatan kepada perusahaan-perusahaan yang tidak membayar utangnya namun masih memiliki prospek usaha yang baik dan pengurusnya beritikad baik serta kooperatif untuk melunasi utang-utangnya, maka dapat diupayakan restrukturisasi atas utangutangnya dan penyehatan kembali perusahaannya, sehingga kepailitan merupakan ultimum remidium. 30
29
Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan Kepailitan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2006), hlm.22-23. 30 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan…, Op. Cit., hlm. 58-59. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
3. Asas Keadilan Asas ini mecegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak kreditur yang mengusahakan pembayaran atas tagihannya tanpa memperhatikan kepentingan kreditur lainnya dan kepentingan debitur, misalnya dengan penagihan yang sewenang-wenang, bagaimana kelangsungan usaha debitur dan bagaimana pelunasan terhadap kreditur yang lain. 4. Asas putusan yang didasarkan pada persetujuan Kreditur Mayoritas 31 Permohonan pernyataan pailit yang hanya diajukan oleh kreditur minoritas dan tidak disetujui oleh kreditur mayoritas, tidak akan dikabulkan oleh Majelis Hakim. Sebab pengabulannya akan membawa kerugian bagi kreditur mayoritas. Demikian pula rencana perdamaian dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang hanya akan dikabulkan apabila disetujui oleh lebih dari ½ jumlah kreditur konkuren yang haknya diakui yang hadir pada rapat kreditur yang jumlah tagihannya mewakili paling sedikit 2/3 dari seluruh jumlah tagihan dari kreditur yang hadir pada rapat. 2. Konsepsi Konsepsi berasal dari bahasa Latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan. 32 Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi
31
Ibid., hlm.48. Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm.122. 32
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
dan realitas. 33 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional. 34 Pentingnya defenisi adalah untuk menghindarkan pengertian atau penafsiran yang berbeda dari satu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penulisan tesis ini dirumuskan serangkaian defenisi sebagai berikut: Pasal 1 angka 6 UU Kepailitan menyatakan: Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. Penjabaran definisi utang dalam UU Kepailitan ini merupakan perbaikan yang cukup signifikan dari undang-undang kepailitan sebelumnya. Pada undang-undang kepailitan sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 juncto Peraturan Kepailitan tidak dijelaskan mengenai batasan utang tersebut. Sehingga pada mula berlakunya Undang-Undang Kepailitan revisi Tahun 1998 terdapat dua interpretasi baik dari kalangan akademisi maupun praktisi. Satu kelompok menyatakan bahwa utang di sini berarti utang yang timbul dari perjanjian utang piutang yang berupa sejumlah uang. Kelompok ini menginterpretasikan utang dalam arti sempit, sehingga tidak mencakup prestasi yang timbul sebagai akibat adanya perjanjian di luar
33
Masri Singarimbun dan Sifian Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1989),
34
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1998), hlm.3.
hlm. 34.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
perjanjian utang piutang. 35 Sedangkan sebagian kelompok berpendapat bahwa yang dimaksud utang dalam Pasal 1 UU Kepailitan adalah prestasi yang harus dibayar yang timbul sebagai akibat perikatan. Utang di sini dalam arti yang luas. Istilah utang tersebut menunjuk pada hukum kewajiban hukum perdata. Kewajiban atau utang dapat timbul baik dari kontrak atau dari undang-undang (Pasal 1233 KUH Perdata). Prestasi tersebut terdiri dari memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. 36 Sebenarnya dalam KUH Perdata tidak dikenal utang dalam arti sempit maupun utang dalam arti luas sebagaimana yang tersurat antara lain dalam Pasal 1233 KUH Perdata. Namun di dalam praktik dan dalam wacana para ahli berkembang diskursus terminologi tersebut. Dari kedua pendapat tersebut mengenai utang, maka yang tepat adalah kelompok pendapat yang menyatakan bahwa utang dalam arti luas, karena undang-undang kepailitan merupakan penjabaran lebih khusus dari KUH Perdata, maka utang dalam UU Kepailitan adalah prestasi sebagaimana diatur dalam KUH Perdata. 37 Kemudian dalam UU Kepailitan yang dimaksud utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana
35
M. Hadi Shubhan, Op. Cit., hlm. 88-89 Ibid., hlm. 89. 37 Ibid., hlm. 89-90. 36
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. 38 Selanjutnya dapat didefinisikan beberapa pengertian sebagai berikut: a. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. 39 b. Kreditur adalah pihak bank atau lembaga pembiayaan yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang. 40 c. Debitur adalah orang atau badan usaha yang mewakili utang kepada bank atau lembaga pembiayaan lainnya karena perjanjian atau Undang-Undang. 41 d. Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. 42 e. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga di mana dalam masa 38
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 39 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 40 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 41 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 42 Pasal 1 angka 1 UUHT Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
tersebut kepada pihak kreditur dan debitur diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut.43 f. Pengadilan Niaga adalah Pengadilan Niaga yang berada dalam lingkungan Peradilan Umum yang mempunyai wewenang khusus untuk memeriksa dan memutus
permohonan
pernyataan
kepailitan
dan
penundaan
kewajiban
pembayaran utang sebagaimana diatur dalam hukum kepailitan. 44 G. Metode Penelitian Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan45 dengan langkah-langkah sistematis. Metode ilmiah juga merupakan ekspresi mengenal cara bekerja pikiran, sedangkan berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan. 46 1. Spesifikasi Penelitian
43
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik, edisi revisi disesuaikan dengan UU No. 37 Tahun 2004, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 171. 44 Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 45 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm.16. 46 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hlm. 119. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Penelitan yang dilakukan adalah bersifat deskriptif 47 analitis dengan sumber kepustakaan untuk menjawab permasalahan dan menggunakan logika berpikir yang ditempuh melalui penalaran induktif, deduktif dan sistematis dalam penguraiannya. 48 Untuk menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisa permasalahan yang dikemukakan. Penelitian ini akan menggambarkan kemudian mengorganisasikan normanorma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan mengenai akibat hukum putusan pernyataan pailit debitur terhadap kreditur penerima hak tanggungan yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penggambaran tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif.
2. Metode Pendekatan Penulisan tesis ini menggunakan pendekatan yuridis normatif 49 yang diartikan sebagai penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum, yaitu meneliti terhadap bahan pustaka atau bahan sekunder. Penelitian ini meliputi penelitian terhadap asasasas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan perundangan, putusan pengadilan, buku-buku dan literatur lain mengenai Kepailitan yang dikaitkan dengan Hak 47
Deskripsi merupakan penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu. Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm.3. 48 Runtung Sitepu, Diktat Perkuliahan Metodologi Penelitian Hukum, (Medan: Universitas Sumatera Utara Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, 2004), hlm.20. 49 Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif atau yuridis normatif merupakan penelitian yang terdiri dari : a. Penelitian terhadap asas-asas hukum; b. Penelitian terhadap sistematika hukum; c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum; d. Penelitian sejarah hukum dan e. Penelitian perbandingan hukum. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm.45. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Tanggungan, mengkaji aspek hukum yang ada, dan dengan peraturan yang ada, bagaimana pelaksanaannya di masyarakat, apakah peraturan tersebut cukup menaungi fenomena yang ada atau diperlukan suatu peraturan yang lebih kompleks.
3. Sumber Data Oleh karena penelitian ini penelitian normatif, maka data yang akan dikumpulkan berasal dari data sekunder. Bahan utama dari penelitian ini adalah data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa: a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, yaitu : 1) Undang-Undang Dasar 1945 2) HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) 3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. 5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. 6) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. 7) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. 8) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 9) Peraturan perundang-undangan lain yang relevan.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan acuan lainnya yang berisikan informasi tentang bahan primer berupa tulisan/buku berkaitan dengan hukum perdata, hukum kepailitan dan hukum jaminan khususnya hak tanggungan. c. Bahan hukum tertier, yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, berbagai majalah hukum yang berkaitan dengan masalah kepailitan serta lembaga hak tanggungan, kamus hukum, surat kabar dan internet yang berkaitan dengan permasalahan. 4. Teknik pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum normatif, maka metode pengumpulan data adalah menggunakan penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dari bahan hukum primer yaitu peraturan-peraturan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. 5. Alat Pengumpulan Data Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya maka dalam penelitian ini diperoleh melalui studi dokumen/kepustakaan (library research) yang terdiri dari : a. Bahan hukum primer yang meliputi segala jenis peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang diteliti. b. Bahan hukum sekunder yang meliputi pendapat para pakar hukum yang bersumber pada buku-buku berisi teori/pendapat para ahli hukum.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
6. Analisa Data Analisa data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisa akan dilakukan secara kualitatif dan kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
BAB II KETENTUAN PELAKSANAAN KEPAILITAN KREDITUR TERHADAP DEBITUR
A. Pengertian Pailit Menurut M. Hadi Shubhan: 50 Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dan usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitor pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kreditur. Terminologi kepailitan sering dipahami secara tidak tepat oleh kalangan umum. Sebagian dari mereka menganggap kepailitan sebagai vonis yang berbau tindakan kriminal serta merupakan suatu cacat hukum atas subjek hukum, karena itu kepailitan harus dijauhkan serta dihindari sebisa mungkin. Kepailitan secara apriori dianggap sebagai kegagalan yang disebabkan karena kesalahan dari debitur dalam menjalankan usahanya sehingga menyebabkan utang tidak mampu dibayar. Oleh karena itu, kepailitan sering diidentikkan sebagai pengemplangan utang atau penggelapan terhadap hak-hak yang seharusnya dibayarkan kepada kreditur. 51
50
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 1. 51 Ibid., hlm. 2. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Menurut Kartono:52 Kepailitan memang tidak merendahkan martabatnya sebagai manusia, tetapi apabila ia berusaha untuk memperoleh kredit, di sanalah baru terasa baginya apa artinya sudah pernah dinyatakan pailit. Dengan perkataan lain, kepailitan mempengaruhi “credietwaardigheid”-nya dalam arti yang merugikannya, ia tidak akan mudah mendapatkan kredit. Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitur, dimana debitur tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para krediturnya. Sehingga, bila keadaan ketidakmampuan untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut disadari oleh debitur, maka langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya (voluntary petition for self bankruptcy) menjadi suatu langkah yang memungkinkan, atau penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap debitur tersebut bila kemudian ditemukan bukti bahwa debitur tersebut memang telah tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (involuntary petition for bankruptcy). 53 Lembaga kepailitan ini diharapkan berfungsi sebagai lembaga alternatif untuk penyelesaian kewajiban-kewajiban debitur terhadap kreditur secara lebih efektif, efisien, dan proporsional. Kepailitan adalah merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate parte dalam rezim hukum harta kekayaan 52
Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1999),
hlm. 42. 53
Ricardo Simanjuntak, Esensi Pembuktian Sederhana, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hlm. 55-56. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
(vermogensrechts). Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan debitur baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitur dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitur terikat kepada penyelesaian kewajiban debitur. 54 Sedangkan prinsip pari passu prorate parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali apabila antara para kreditur itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya. 55 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) sebagai pranata hukum lembaga kepailitan yang menjadi pedoman bertindak para pihak yang terlibat di dalamnya. UU Kepailitan ini merupakan pengganti dari Peraturan Kepailitan (Faillissement Verordening) Stb. 1905-217 jo. 1906-348, yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 yang selanjutnya diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Pada saat ketentuan Peraturan Kepailitan (Faillissement Verordening) Stb. 1905—217 jo. 1906348 diberlakukan, dalam prakteknya, masih sangat sedikit para pihak yang ada pada saat itu mempergunakan lembaga dan Peraturan Kepailitan untuk menyelesaikan persoalan utang piutangnya. 56
54 Kartini Mulyadi, dalam Rudy A Lontoh, Penyelesaian Utang Putang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hlm. 168. 55 Ibid. 56 Munir Fuady, Hukum Pailit 1998, Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 1.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Perubahan kemudian dilakukan atas ketentuan pranata hukum yang digunakan dalam penyelesaian utang piutang dengan lembaga kepailitan ini. Hal ini disebabkan karena Peraturan Kepailitan sebagai produk hukum kolonial warisan zaman penjajahan Belanda dirasakan sudah tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan para pihak akan mekanisme penyelesaian utang piutang. Dengan dikeluarkannya ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 yang selanjutnya diundangkan menjadi UndangUndang Nomor 4 Tahun 1998, para pihak seperti bersemangat untuk mencoba penyelesaian utang piutang dengan menggunakan lembaga kepailitan, dengan pengertian bahwa lembaga kepailitan ini akan dapat menyelesaikan permasalahan utang piutang mereka dengan prosedur yang serba cepat. 57 Untuk memenuhi kebutuhan para pihak akan lembaga peradilan yang dapat menampung upaya penyelesaian utang piutang melalui lembaga kepailitan, maka pada tahun 1998 dibentuk Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, dan kemudian menyusul Pengadilan Niaga Medan, Semarang, Surabaya dan Makasar pada tahun 1999. Pailit adalah suatu keadaan, dimana seorang debitur tidak mempunyai kemampuan lagi untuk melakukan pembayaran atas utang-utangnya kepada kreditur, dan pernyataan pailit atas debitur tersebut harus dimintakan pada pengadilan. Pengertian kepailitan yang diberikan oleh undang-undang, tercantum dalam ketentuan 57
Ibid.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Pasal 1 UU Kepailitan, yaitu: “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.” Kepailitan mempunyai tujuan: 58 1. Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitur di antara para krediturnya. Tujuan dari kepailitan ini merupakan perwujudan dari asas jaminan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. 59 Menjamin agar pembagian harta debitur kepada para krediturnya sesuai dengan asas pari passu, dibagi secara proporsional. Dengan demikian kepailitan dengan tegas memberikan perlindungan pada kreditur konkuren. 2. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur. Dengan dinyatakan pailit, debitur tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus, memindahtangankan harta kekayaannya yang berubah status hukumnya menjadi harta pailit.
58
Ibid., hlm. 37. Pasal 1131 KUH Perdata berbunyi: Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorangan debitur itu. Selanjutnya Pasal 1132 KUH Perdata berbunyi: Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan. 59
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
B. Proses Kepailitan Proses kepailitan dimulai dengan adanya suatu permohonan pailit terhadap debitur yang memenuhi syarat, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Kepailitan, yang menyatakan bahwa ”Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih dari krediturnya.” Dengan memenuhi syarat yang ditentukan di atas, maka permohonan pailit atas debitur tersebut, dapat diajukan oleh satu atau lebih krediturnya ke pengadilan niaga, yang merupakan badan peradilan yang berwenang untuk memproses, memeriksa dan mengadili perkara kepailitan. Apabila permohonan pailit tersebut dikabulkan maka pengadilan niaga akan mengeluarkan putusan yang menyatakan debitur tersebut dalam keadaan pailit. Berdasarkan ketentuan dalam UU Kepailitan, ditentukan bahwa kreditur yang mengajukan permohonan kepailitan, merupakan pihak yang bertindak selaku pemohon pailit dan merupakan pihak yang mempunyai tagihan kepada debitur yang dimohonkan pailit. Debitur dan kepailitan, dapat berupa perseorangan atau badan hukum maupun institusi. Selain dapat diajukan oleh kreditur, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan, untuk kepentingan umum permohonan kepailitan atas debitur dapat juga diajukan oleh kejaksaan.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Prosedur dan proses kepailitan di pengadilan niaga, dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga (Pasal 6 ayat (1) UU Kepailitan). 2. Panitera Pengganti mendaftarkan permohonan pernyataan pailit (Pasal 6 ayat (2) UU Kepailitan). 3. Paling lambat 2 (dua) hari sejak tanggal pendaftaran, panitera menyampaikan permohonan kepada ketua pengadilan niaga (Pasal 6 ayat (4) UU Kepailitan) 4. Paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal permohonan, pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang (Pasal 6 ayat (5) UU Kepailitan). 5. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan (Pasal 6 ayat (5) UU Kepailitan). 6. Putusan Pengadilan Niaga atas permohonan pernyataan pailit, harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan (Pasal 8 ayat 5 UU Kepailitan). 7. Dalam putusan pernyataan pailit tersebut, harus diangkat kurator dan hakim pengawas (Pasal 15 ayat 1 UU Kepailitan). Dalam mengajukan permohonan pailit, disyaratkan bahwa seorang debitur pailit haruslah mempunyai dua atau lebih kreditur. Syarat mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditur dikenal sebagai concursus creditorium. 60 Kreditur yang mengajukan permohonan pailit bisa saja hanya satu dan beberapa kreditur yang 60
Munir Fuady, Hukum Pailit 1998...., Op.Cit., hlm. 64.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
mempunyai tagihan kepada debitur pailit. Seringkali kreditur dan debitur yang dimohonkan pailit, jumlahnya sangat banyak sehingga Pengadilan Niaga dapat membentuk panitia kreditur dan kemudian menyelenggarakan rapat kreditur yang dipimpin hakim pengawas, untuk memudahkan kurator berhubungan dengan kreditur, atas permintaan para kreditur. Setelah pernyataan pailit diucapkan, dalam putusan pailit atau dengan ketetapan kemudian dibentuk panitia kreditur terdiri atas 3 (tiga) orang yang dipilih dari kreditur yang telah mendaftarkan diri untuk diverifikasi. Panitia kreditur berhak untuk meminta kurator dan kurator wajib memperlihatkan semua buku, surat dan dokumen mengenai kepailitan yang sedang diproses. Rapat kreditur dapat diadakan untuk memberi nasihat pada kurator, walaupun kurator tidak terikat nasihat atau pendapat dari rapat kreditur. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dinyatakan bahwa: ‘Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbuka secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 telah dipenuhi.” Dalam penjelasan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan, bahwa yang dimaksud dengan fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih kreditur dan fakta adanya utang yang telah jatuh tempo dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang, antara yang didalihkan atau yang diajukan oleh pemohon pailit dari termohon pailit, tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Dengan dikabulkannya permohonan pernyataan pailit atas debitur oleh pengadilan niaga, sejak saat itu debitur dinyatakan pailit. Debitur telah atau berada dalam keadaan tidak mampu bayar atau insolven dan dilakukan likuidasi harta kekayaan debitur yang kemudian dibagikan pada para krediturnya. Dengan diputuskannya pailit terhadap debitur, debitur berada dalam keadaan insolven dan dilakukan pembagian harta kekayaan debitur, maka kepailitan kemudian berakhir. Ada beberapa cara berakhirnya suatu kepailitan, yaitu: 61 1. Setelah adanya perdamaian, yang telah disahkan oleh putusan pengadilan niaga dan berkekuatan pasti. Setelah debitur dinyatakan pailit, dan diajukan rencana perdamaian, kemudian rencana perdamaian tersebut disetujui secara sah maka perdamaian tersebut mengikat seluruh kreditur baik yang setuju/tidak dan yang hadir atau tidak dalam rapat kreditur. Perdamaian tersebut kemudian disahkan oleh pengadilan niaga dalam sidang homologasi, setelah putusan diterima dan mempunyai kekuatan pasti, proses kepailitan berakhir. 62 2. Setelah adanya keadaan insolvensi dan kemudian dilakukan pembagian harta kekayaan debitur. Dalam hal ini, kepailitan akan berakhir segera setelah: 63 a. Piutang terhadap kreditur telah dibayar penuh. b. Daftar pembagian harta kekayaan ditutup dan memperoleh kekuatan pasti.
61
Ibid., hlm. 86. Ibid., hlm. 87. 63 Ibid., hlm. 88. 62
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
3. Kepailitan berakhir karena kurator memberikan sarannya, akibat nilai dari harta debitur yang tidak mencukupi untuk dilakukan pembayaran utang. Apabila harta debitur jumlahnya sedikit dan tidak mencukupi bahkan untuk biaya pailit dan termasuk untuk utang harta pailit, maka kurator dapat mengusulkan agar kepailitan dicabut kembali. 64 4. Kepailitan dicabut atas anjuran hakim pengawas. Pengadilan niaga dapat memerintahkan untuk diakhirinya kepailitan, mengingat keadaan debitur, atau atas saran debitur dan saran dari panitia kreditur. 65 5. Kepailitan berakhir jika putusan pailit dibatalkan di tingkat upaya hukum kasasi atau pada peninjauan kembali. Putusan pailit di pengadilan niaga adalah putusan pengadilan pada tingkat pertama. Putusan pailit dan pengadilan niaga walaupun berkekuatan serta merta dapat dilaksanakan (uitvoerbaar bij voorraad), tetap dapat diajukan upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali. Jika dalam upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali, putusan pailit tersebut ditolak, maka kepailitan atas debitur akan berakhir. Sebelum putusan Mahkamah Agung mengenai pembatalan tersebut diterima oleh kurator, segala perbuatan kurator atas harta kekayaan debitur tetap sah adanya. 66
64
Ibid. Ibid. 66 Ibid. 65
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
C. Ketentuan Pelaksanaan Kepailitan Kreditur Terhadap Debitur Sebelum kreditur mengajukan permohonan kepailitan terhadap debitur, syarat materiil yang harus dipenuhi oleh kreditur adalah adanya utang yang telah jatuh tempo yang tidak dibayar yang dapat ditagih dan debitur memiliki setidak-tidaknya dua kreditur. Hal ini secara tegas ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan, yang menyatakan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Jika dianalisis persyaratan materiil untuk mengajukan perkara kepailitan adalah sangat sederhana, yakni adanya utang yang jatuh tempo yang dapat ditagih yang jatuh tempo yang belum dibayar lunas serta memiliki sekurang-kurangnya dua kreditur. Adanya suatu utang akan dibuktikan oleh kreditur bahwa debitur mempunyai utang yang dapat ditagih karena sudah jatuh tempo ataupun karena dimungkinkan oleh perjanjiannya untuk dapat ditagih. Persoalan yuridis mengenai utang dalam proses pembuktian beracara kepailitan adalah utang yang bagaimana yang bisa dikategorikan utang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan tersebut. Dalam Pasal 1 angka 6 UU Kepailitan dijabarkan bahwa yang dimaksud dengan utang dalam hukum kepailitan adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Sebagaimana telah dikemukakan dalam konsepsi, penjabaran definisi utang dalam UU Kepailitan ini merupakan perbaikan yang cukup signifikan dari undangundang kepailitan sebelumnya. Pada undang-undang kepailitan sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 juncto Peraturan Kepailitan tidak dijelaskan mengenai batasan utang tersebut. Sehingga pada mula berlakunya Undang-Undang Kepailitan revisi Tahun 1998 terdapat dua interpretasi baik dari kalangan akademisi maupun praktisi. Satu kelompok menyatakan bahwa utang di sini berarti utang yang timbul dari perjanjian utang piutang yang berupa sejumlah uang. Kelompok ini menginterpretasikan utang dalam arti sempit, sehingga tidak mencakup prestasi yang timbul sebagai akibat adanya perjanjian di luar perjanjian utang piutang. Dalam praktik peradilan kepailitan juga ada sebagian Hakim (Agung) yang menganut penafsiran sempit ini. Dalam kasus PT Jawa Barat Indah (pemborong apartemen) melawan Sumeni Omar Sandjaya dan Widyastuti (pembeli Apartemen), Mahkamah Agung dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor 05 PK/N/1999 berpendapat bahwa menurut Pasal 1 UU Kepailitan dinyatakan bahwa utang tersebut adalah utang pokok dan bunganya sehingga yang dimaksud dengan utang di sini adalah dalam kaitannya dengan hubungan hukum pinjam-meminjam uang atau kewajiban untuk membayar
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
sejumlah uang sebagai salah satu bentuk khusus dan berbagai bentuk perikatan pada umumnya. 67 Sedangkan sebagian kelompok berpendapat bahwa yang dimaksud utang dalam Pasal 1 UU Kepailitan adalah prestasi yang harus dibayar yang timbul sebagai akibat perikatan. Utang di sini dalam arti yang luas. Istilah utang tersebut menunjuk pada hukum kewajiban hukum perdata. Kewajiban atau utang dapat timbul baik dari kontrak atau dari undang-undang (Pasal 1233 KUH Perdata). Prestasi tersebut terdiri dari memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Pendapat ini juga dianut oleh sebagian kalangan Hakim Agung dalam peradilan kepailitan. Dalam perkara PT Suryatata Internusa melawan PT Bank BNI cs Nomor 08 PK/N/1999 diputuskan bahwa biaya/ongkos kerja atas suatu proyek pekerjaan pembangunan yang timbul dari perjanjian pemborongan kerja di mana proyek tersebut telah selesai dikerjakan dengan baik oleh pemborong dan ternyata pihak pemberi borongan kerja (debitur) belum membayar lunas ongkos tersebut kepada pemborong, maka biaya yang belum terbayar tersebut adalah merupakan utang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 UU Kepailitan waktu itu.68 Dalam KUH Perdata tidak dikenal utang dalam arti sempit maupun utang dalam arti luas sebagaimana yang tersurat antara lain dalam Pasal 1233 KUH Perdata. Namun di dalam praktik dan dalam wacana para ahli berkembang diskursus terminologi tersebut. Dari kedua pendapat tersebut mengenai utang, maka yang tepat 67 68
M. Hadi Shubhan, Op. Cit., hlm. 88-89 Ibid., hlm. 89.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
adalah kelompok pendapat yang menyatakan bahwa utang dalam arti luas, karena undang-undang kepailitan merupakan penjabaran lebih khusus dari KUH Perdata, maka utang dalam UU Kepailitan adalah prestasi sebagaimana diatur dalam KUH Perdata. Dan juga berkaitan dengan prinsip debt pooling, di mana kepailitan merupakan sarana untuk melakukan distribusi aset terhadap para kreditornya dan kreditur dalam hal tidak berkaitan khusus dengan perjanjian utang piutang uang saja melainkan dalam konteks perikatan. Utang dalam kaitan dengan perikatan bisa timbul karena perjanjian dan bisa pula timbul karena undang-undang. Utang dalam perikatan yang timbul karena undang-undang bisa timbul dari undang-undang saja dan bisa pula timbul dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang. Perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang bisa berupa perbuatan yang sesuai dengan undang-undang bisa pula perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad).69 Dalam Peraturan Kepailitan (Faillissement Verordening/FV) pun menganut konsep utang dalam arti luas. Siti Soemarti Hartono menyatakan bahwa dalam yurisprudensi ternyata bahwa membayar tidak selalu berarti menyerahkan sejumlah uang. Menurut putusan H.R tanggal 3 Juni 1921, membayar berarti memenuhi suatu perikatan, ini dapat diperuntukkan untuk menyerahkan barang-barang. 70
69
Ibid., hlm. 89-90. Siti Soematri Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1993), hlm. 8. 70
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Di samping prinsip utang menganut konsep utang dalam arti luas, utang yang dijadikan dasar mengajukan kepailitan harus memenuhi unsur sebagai berikut: 1. Utang tersebut telah jatuh tempo; 2. Utang tersebut dapat ditagih; dan 3. Utang tersebut tidak dibayar lunas. Suatu utang dikatakan telah jatuh tempo ketika waktu tersebut telah sesuai dengan jangka waktu yang sudah diperjanjikan; atau terdapat hal-hal lain di mana utang tersebut dapat ditagih sekalipun belum jatuh tempo. Utang yang belum jatuh tempo dapat ditagih dengan menggunakan “acceleration clause atau acceleration provision” atau percepatan jatuh tempo dan default clause. 71 Setiawan
membedakan
Acceleration
clause
dengan
default
clause.
Acceleration clause memberikan hak kepada kreditur untuk mempercepat jangka waktu jatuh tempo dari utang, jika kreditur merasa dirinya tidak aman (deems itself insecure), oleh karena itu acceleration clause lebih luas daripada default clause yang digunakan apabila kreditur memandang bahwa hal tersebut perlu dilakukan meskipun utang belum jatuh tempo. 72 Kreditur dapat mempercepat jatuh tempo utang debitur dalam hal terjadi event of default, artinya telah terjadi sesuatu atau tidak terpenuhinya sesuatu yang diperjanjikan oleh debitur dalam perjanjian kredit Sehingga menyebabkan kreditur
71 72
M. Hadi Shubhan, Op. Cit., hlm. 91. Setiawan, dalam Ibid., hlm. 91.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
mempercepat jatuh tempo. Selanjutnya Setiawan mengatakan bahwa untuk menggunakan acceleration clause harus disertai adanya good faith. Adapun yang dimaksud dengan good faith adalah adanya reasonable evidence, dan bukti tersebut tidak harus berupa putusan pengadilan. 73 Suatu utang dapat ditagih jika utang tersebut bukan utang yang timbul dari perikatan alami (natuurlzjke verbintenis). Perikatan yang pemenuhannya tidak dapat dituntut di muka pengadilan dan yang lazimnya disebut perikatan alami (natuurljke verbintenis) tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk mengajukan permohonan pailit. Fred B.G. Tumbuan menyatakan bahwa yang diartikan sebagai perikatan alami adalah semisal perikatan yang oleh ketentuan perundang-undangan dinyatakan tidak dapat dituntut pemenuhannya baik ab initio (dari semula) semisal dalam hal utang yang terjadi karena perjudian atau pertaruhan (Pasal 1788 KUH Perdata), maupun sesudahnya sebagai akibat telah terjadinya kadaluwarsa (Pasal 1967 KUH Perdata). 74 Sedangkan maksud dari ditegaskannya bahwa utang dalam kepailitan merupakan utang yang tidak dibayar lunas adalah untuk memastikan bahwa utang yang telah dibayar akan tetapi, belum melunasi kewajiban maka utang tersebut bisa dijadikan dasar untuk mengajukan kepailitan. Penegasan ini karena sering terjadi akal-akalan dari debitur, yakni, debitur tetap melakukan pembayaran akan tetapi besarnya angsuran pembayaran tersebut masih jauh dari yang seharusnya. Hal ini juga
73
Ibid. Fred B.G. Tumbuan, dalam Emmy Yuhassarie (ed), Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004), hlm. 20-21. 74
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
berangkat dari pengalaman pelaksanaan peraturan kepailitan lama yakni dalam Faillessement Verordening (FV), di mana dalam FV mensyaratkan bahwa debitur telah berhenti membayar utang, dan jika debitur masih membayar utang walaupun hanya sebagian dan masih jauh dari lunas, maka hal itu tidak dapat dikatakan debitur telah berhenti membayar. 75 Dalam proses acara kepailitan prinsip utang tersebut sangat menentukan, oleh karena tanpa adanya utang tidaklah mungkin perkara kepailitan akan bisa diperiksa. Utang merupakan alasan (reason) dari kepailitan. Namun demikian, walaupun telah ada kepastian mengenai penafsiran utang tersebut dalam revisi Undang-Undang Kepailitan, yakni Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang (UU Kepailitan), di mana utang didefinisikan dalam arti luas yang berarti telah pararel dengan konsep KUH Perdata, akan tetapi perubahan konsep utang ini menjadi terdistorsi ketika dikaitkan dengan hakikat kepailitan
dalam
undang-undang
kepailitan
yang
hanya
bertujuan
untuk
mempermudah mempailitkan subjek hukum, di mana syarat kepailitan hanya memiliki dua variabel, yakni adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kembali serta memiliki setidak-tidaknya dua kreditur. Sehingga kemudahan mempailitkan subjek hukum seakan dipermudah lagi dengan konsep utang dalam arti luas tersebut. Dan kelemahan undang-undang ini sering disalahgunakan, di mana kepailitan bukan sebagai instrumen hukum untuk melakukan distribusi aset debitur
75
M. Hadi Shubhan, Op. Cit., hlm. 92.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
akan tetapi digunakan sebagai alat untuk menagih utang atau bahkan untuk mengancam subjek hukum kendatipun tidak berkaitan dengan utang. 76 Dalam hukum undang-undang kepailitan menganut pninsip utang dalam konsep yang luas, akan tetapi tidak menganut prinsip pembatasan jumlah nilai nominal uang, sehingga hal ini sebagai kekurangan dan bahkan kelemahan aturan hukum kepailitan itu. Dengan tidak dibatasi jumlah minimum utang sebagai dasar pengajuan permohonan kepailitan, maka akan terjadi penyimpangan hakikat kepailitan dari kepailitan sebagai pranata likuidasi yang cepat terhadap kondisi keuangan debitur yang tidak mampu melakukan pembayaran utang-utangnya kepada para krediturnya sehingga untuk mencegah terjadinya unlawful execution dari para krediturnya, menjadi kepailitan sebagai alat tagih semata (debt collection tool). Di samping itu pula, dengan tidak adanya pembatasan jumlah minimum utang tersebut, bisa merugikan kreditur yang memiliki utang yang jauh lebih besar terhadap debitur itu. 77 Pembatasan jumlah minimum utang akan memberikan perlindungan terhadap kreditur yang mempunyai utang mayoritas serta perlindungan hukum terhadap debitur tersebut, karena dengan adanya pembatasan jumlah minimum utang, maka tidak semua besaran utang. misalnya satu juta rupiah bisa dijadikan dasar untuk mempailitkan debitur.
76 77
Ibid., hlm. 93. Ibid., hlm. 92-93.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
BAB III KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DALAM PUTUSAN KEPAILITAN
A. Hak Tanggungan 1. Pengertian Hak Tanggungan Hak tanggungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT), disebutkan bahwa:
78
Hak Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Ada beberapa unsur pokok dari hak tanggungan yang termuat di dalam definisi tersebut, yaitu: (1) Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang. (2) Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA. (3) Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. (4) Hutang yang dijamin harus suatu utang tertentu. (5) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. 78
Pasal 1 angka 1 UUHT
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Dibandingkan dengan definisi hak tanggungan tersebut dengan definisi hypotheek dalam KUH Perdata, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1162 KUH Perdata, bahwa ”hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan. Dalam definisi Hipotik tersebut di atas, disebutkan unsur-unsur Hipotik sebagai berikut: (1) Hipotik adalah suatu hak kebendaan. (2) Objek Hipotik adalah benda-benda tak bergerak. (3) Untuk pelunasan suatu perikatan. Membandingkan antara definisi hak tanggungan dengan definisi hipotik, ternyata pembuat undang-undang dan UUHT lebih baik dalam membuat rumusan definisi Hak Tanggungan dari pada pembuat undang-undang KUH Perdata dalam membuat rumusan definisi Hipotik, sebagaimana dikemukakan Sutan Remy Sjahdeini berikut ini: 79 Dalam rumusan definisi Hipotik banyak unsur-unsur dari Hipotik yang belum dimasukkan, sehingga definisi tersebut masih sangat jauh untuk dapat memberikan gambaran mengenai apa yang dimaksudkan dengan Hipotik. Sekalipun rumusan definisi Hak Tanggungan lebih baik daripada rumusan definisi Hipotik dalam KUH Perdata, tetapi belum semua unsur-unsur yang berkaitan dengan Hak Tanggungan telah dimasukkan dalam rumusan definisinya. Misalnya dalam rumusan definisi Hak Tanggungan itu belum dimasukkan bahwa Hak Tanggungan adalah suatu hak kebendaan. Sebagaimana diketahui, KUH Perdata Indonesia diambil dari Burgerlijk Wetboek (BW) Belanda yang lama. BW Belanda yang lama pada saat ini telah diganti 79
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 12-13. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
dengan BW Belanda yang baru, Nieuw Nederlands Burgelijk Wetboek (NNBW), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1992. Dalam NNBW, hak jaminan untuk pelunasan hutang juga disebut Hypotheek seperti BW yang lama disamping Pand. Definisi dari Hypotheek di dalam NNBW dirumuskan dalam Art. 227 (3.9.1.1) bersama-sama dengan Pand. Definisi Hypotheek dalam Art. 227 (3.9.1.1) NNBW adalah: 80 Hak pand dan hak Hypotheek adalah hak-hak yang terbatas (beperkie rechten) yang dimaksudkan untuk dapat mernperoleh pembayaran dari penjualan benda-benda dengan didahulukan dari kreditur-kreditur lain. Apabila hak itu dibebankan di atas benda-benda yang terdaftar, hak itu adalah hypotheek: sedangkan apabila hak itu dibebankan atas benda-benda lain, hak itu adalah pand. Setelah membaca rumusan definisi Hypotheek dalam NNBW tersebut, ternyata rumusan definisi Hak Tanggungan dalam UUHT masih lebih baik daripada NNBW.
2. Objek Hak Tanggungan Untuk dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak jaminan atas tanah, suatu benda haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 81 1. Dapat dinilai dengan uang, atau bernilai ekonomis. Karena utang yang dijamin berupa uang, maka benda yang menjamin pelunasan utang tersebut haruslah dapat dinilai dengan uang. 2. Mempunyai sifat dipindahtangankan Sifat ini harus melekat pada benda yang dijadikan agunan atau jaminan, karena apabila debitur cedera janji, benda yang dijadikan jaminan tersebut akan dijual untuk pelunasan utang. 80
Ibid., hlm. 13 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya Jilid I Hukum Tanah Nasional, cetakan 7, (Jakarta: Djambatan, 1997), hlm. 386. 81
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
3. Benda yang mempunyai alas hak yang wajib didaftar, menurut ketentuan tentang pendaftaran tanah untuk memenuhi syarat publisitas 4. Penunjukan benda yang dapat dijaminkan tersebut, haruslah dengan penunjukan khusus dengan undang-undang. Di dalam praktik perbankan dan lembaga-lembaga pembiayaan lainnya, tanah dengan Hak Pakai seringkali pula oleh bank dan lembaga-lembaga pembiayaan dijadikan agunan kredit. Bank dan lembaga-lembaga pembiayaan mendasarkan kepada kenyataan bahwa Hak Pakai adalah hak atas tanah yang terdaftar pada daftar umum (pada Kantor Pertanahan) dan dapat dipindahtangankan. Namun, mengingat di dalam UUPA, Hak Pakai tidak disebutkan sebagai hak atas tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan, bank tidak dapat menguasai tanah Hak Pakai itu sebagai agunan dengan membebankan Hipotik atau Credietverband. Cara yang ditempuh oleh bank-bank adalah dengan melakukan pengikatan F.E.O (fiducia) dan/atau dengan meminta surat kuasa menjual dari pemiliknya. 82 Kebutuhan praktik menghendaki agar supaya Hak Pakai dapat dibebani juga dengan Hak Tanggungan. Kebutuhan itu ternyata telah diakomodir oleh UUHT. Akan tetapi, hanya Hak Pakai atas tanah Negara saja yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan, sedangkan Hak Pakai atas tanah Hak Milik masih akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 83 Menurut Sutan Remy Sjahdeini: 84 Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang tidak hanya dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara saja, tetapi juga dari tanah milik orang lain, dengan membuat perjanjian antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Pakai yang bersangkutan. Sedangkan 82
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan…, Op. Cit., hlm. 57. Pasal 4 ayat (3) UUHT. 84 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan…, Op. Cit., hlm. 58-59. 83
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
kedua jenis Hak Pakai itu pada hakikatnya tidak berbeda ruang lingkupnya yang menyangkut hak untuk penggunaannya atau hak untuk memungut hasilnya. Karena itu, wajar bila Hak Pakai atas tanah Hak Milik dapat pula dibebani dengan Hak Tanggungan seperti halnya Hak Pakai atas tanah Negara. Namun, sudah barang tentu bahwa pelaksanaan Hak Tanggungan atas tanah Hak Pakai atas tanah Hak Milik itu baru dapat dilakukan apabila telah dikeluarkan ketentuan bahwa Hak Pakai atas tanah Hak Milik diwajibkan untuk didaftarkan. Mengenai kebutuhan masyarakat agar Hak Pakai dimungkinkan menjadi agunan, yang dalam UUPA tidak ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan oleh UUHT kebutuhan tersebut akhirnya dlitampung dengan menetapkan Hak Pakai juga sebagai objek Hak Tanggungan, sebagaimana pada Penjelasan Umum UUHT sebagai berikut: 85 ”....Hak Pakai dalam Undang-undang Pokok Agraria tidak ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan, karena pada waktu itu tidak termasuk hak-hak atas tanah yang wajib didaftar dan karenanya tidak dapat memenuhi syarat publisitas untuk dapat dijadikan jaminan utang. Dalam perkembangannya Hak Pakai pun harus didaftarkan, yaitu Hak Pakai yang diberikan atas tanah Negara. Sebagian dari Hak Pakai yang didaftar itu, menurut sifat dan kenyataannya dapat dipindahtangankan, yaitu yang diberikan kepada orang perseorangan dan badan-badan hukum perdata. Dalam Undang-undang No.16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Hak Pakai yang dimaksudkan itu dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fiducia. ...Pemyataan bahwa Hak Pakai tersebut dapat dijadikan objek Hak Tanggungan merupakan penyesuaian ketentuan Undang-undang Pokok Agraria dengan perkembangan Hak Pakai itu sendiri serta kebutuhan masyarakat. Selain mewujudkan unifikasi Hukum Tanah Nasional, yang tidak kurang pentingnya adalah, bahwa dengan ditunjuknya Hak Pakai tersebut sebagai objek Hak Tanggungan, bagi para pemegang haknya yang sebagian besar terdiri atas golongan ekonomi lemah yang tidak berkemampuan untuk mempunyai tanah dengan Hak Milik atau Hak Guna Bangunan, menjadi terbuka kernungkinannya untuk memperoleh kredit yang diperlukannya, dengan menggunakan tanah yang dipunyainya sebagai jaminan.
85
Penjelasan Umum angka 5 UUHT
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Dalam Penjelasan Umum UUHT dikemukakan, bahwa terhadap Hak Pakai atas tanah Negara, yang walaupun wajib didaftar, karena sifatnya tidak dapat dipindahtangankan bukan merupakan objek Hak Tanggungan. Hak Pakai yang demikian contoh-contohnya adalah Hak Pakai atas nama Pemerintah, Hak Pakai atas nama Badan Keagamaan dan Sosial, dan Hak Pakai atas nama Perwakilan Negara Asing. Mengenai ditunjuknya hak pakai atas tanah negara sebagai objek Hak Tanggungan oleh UUHT, Mariam Darus Badrulzaman telah mengemukakan ketidaksetujuannya dengan mengemukakan sebagai berikut: 86 a. Menurut UUPA, hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain (Pasal 41). Untuk tanah hak pakai diatas tanah milik negara, untuk setiap peralihannya diperlukan izin dari pejabat negara (Pasal 43). Hak pakai semula tidak termasuk hak atas tanah yang terdaftar. Berarti hak pakai itu bersifat pribadi yang melekat pada orangnya (right personam) dan tidak bendanya (right in rem). Pada tahun 1966 (Permen Agraria No. 1) ditentukan bahwa HPTN (Hak Pakai Atas Tanah Negara) harus didaftarkan. Pendaftaran ini membawa akihat hak pakai dapat dialihkan, Namun, ada satu syarat yang menunjukkan bahwa hak pakai itu tidak dapat melepaskan diri dari “sifat pribadi“, yaitu untuk peralihannya diperlukan izin (Pasal 43 UUPA jo Permen Agraria No. 1 Tahun 1966 Pasal 2). merupakan pertanyaan disini dengan adanya pendaftaran HPTN ini, seyogianya izin itu tidak lagi diperlukan, karena hak pakai itu sudah bersifat hak kebendaan.
86
Mariam Darus Badrulzaman, Posisi Hak Tanggungan Dalam Hukum Jaminan Nasional, Makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional “Kesiapan Dan Persiapan Dalam Rangka Pelaksanaan Undang-undang Hak Tanggungan” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. pada tanggal 27 Mei 1996 di Bandung. dan dalam Seminar Nasional Sehari ‘Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan Di Lingkungan Perbankan” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. pada tanggal 25 Juli 1996 di Medan. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Jika izin masih diperlukan, berarti sifat hak pakai yang didaftar itu mengambang, dualitis, mengikat pribadi dan juga bendanya. Disini tidak ada kepastian hukum yang merupakan asas dalam hukum jaminan. b. Dalam hal debitur ingkar janji, merupakan pertanyaan karena itu apakah untuk eksekusi tersebut diperlukan izin dari pejabat negara. Berhubung dengan pendapat tersebut, maka seyogianya segera dikeluarkan ketentuan perundang-undangan yang mengubah ketentuan Pasal 43 UUPA yang menentukan bahwa untuk setiap peralihan tanah Hak Pakai Di Atas Tanah Milik Negara diperlukan izin dari pejabat negara. Apabila ketentuan itu belum diubah, unsur bagi terpenuhinya syarat untuk dapat menjadikan Hak Pakai Atas Tanah Negara sebagai objek Hak Tanggungan, tidak terpenuhi. Belum diubahnya ketentuan Pasal 43 UUPA itu akan menimbulkan ketidakpastian bagi eksekusi Hak Tanggungan yang dibebankan atas Hak Pakai Atas Tanah Negara. Tidak ada jaminan hukum bahwa pejabat negara yang dimaksudkan dalam Pasal 43 UUPA itu, akan memberikan izin yang diperlukan untuk peralihan Hak Pakai Atas Tanah Negara itu sebagai syarat dapat dilaksanakannya eksekusi Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan yang bersangkutan. 87 Karena ketentuan yang harus diubah itu merupakan ketentuan perundangundangan yang bertingkat undang-undang, perubahannya haruslah dilakukan dengan undang-undang pula atau dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Mengingat pembuatan suatu undang-undang memakan waktu yang lama, sebaiknya dapat ditempuh dengan membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
87
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan…, Op. Cit., hlm. 61-62
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Tanah Hak Milik yang sudah diwakafkan, dan tanah-tanah yang dipergunakan untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, walaupun didaftar, karena menurut sifat dan tujuannya tidak dapat dipindahtangankan, tidak dapat dibebani Hak Tanggungan Dari uraian di atas, maka objek-objek Hak Tanggungan adalah: (a) Hak Milik. (b) Hak Guna Usaha. (c) Hak Guna Bangunan. (d) Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. (e) Hak Pakai atas Hak Milik (masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah).
3. Pendaftaran Hak Tanggungan Pendaftaran objek hak tanggungan berdasarkan ketentuan Pasal 17 UUHT dilakukan di Kantor Pendaftaran Tanah Kota/Kabupaten setempat. Lembaga pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam UUPA jo PP No.10 Tahun 1960 lebih tepat dinamakan sebagai stelsel campuran, yakni antara stelsel negatif dan stelsel positif. 88 Artinya, pendaftaran tanah memberikan perlindungan kepada pemilik yang berhak (stelsel negatif) dan menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku pemilik yang berhak (stelsel positif). Berdasarkan ketentuan Pasal 17
88
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: PT. Citra Adityabakti, 1991), hlm. 11 Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
UUHT, tidaklah berlebihan apabila lembaga pendaftaran tanah menurut UUHT juga menganut stelsel campuran 89 Tanpa pendaftaran, hak tanggungan dianggap tidak pernah ada. Jika pendaftaran belum dilakukan di Kantor Pendaftaran Tanah, menurut Pasal 13 ayat (1) UUPA begitu juga halnya dengan Hipotek menurut Pasal 1179 ayat (2) KUH Perdata, maka hak tanggungan itu belum ada. Semua perikatan hak tanggungan dan hipotek yang sudah dalam proses pemasangan yang belum didaftarkan dianggap belum ada dan tidak dapat dimintakan eksekusi penjualan lelang berdasarkan Pasal 224 HIR. 90 Pemberian hak tanggungan harus didaftarkan 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatangan akta pemberian hak tanggungan. Kemudian, juga bahwa di dalam melakukan eksekusi baik hipotek atau hak tanggungan tata urutan pendaftaran yang menentukan kekuatan yang mengikat dari hipotik dan hak tanggungan itu. Hipotek lahirnya menurut Pasal 1181 KUH Perdata maupun Pasal 13 jo Penjelasan Umum butir 7 UUHT, yang dibuat debitur terhadap beberapa orang kreditur, bukan dilihat dari tanggal pemasangan, tetapi dilihat dari urutan pendaftarannya.
89
Effendy Hasibuan. Dampak Pelaksanaan Eksekusi Hipotek Dan Hak Tanggungan Terhadap Pencairan Kredit Macet Pada Perbankan Di Jakarta, (Jakarta: Laporan Penelitian, 1997), hlm. 38. 90 Ibid. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
4. Sertifikat Hak Tanggungan Sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan yang sudah didaftarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan diterbitkan sertifikat hak tanggungan yang bentuk dan isinya juga ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1) UUHT. Pada akta hipotek terhitung sejak saat didaftarkan sampai dengan dikeluarkannya sertifikat hipotek oleh Kantor Pendaftaran Tanah (PP No.10 Tahun 1961), untuk kepentingan eksekusi dalam praktiknya, terjadi dualisme pendapat, terdapat dualisme titel eksekutorial harus dicantumkan pada grose akta hipotek sementara oleh pejabat BPN dan harus dicantumkan pada sertifikat hipoteknya. Dalam pelaksanaannya grose akta hipotek yang memegang peran utama cksekusi. Sementara sertifikat hipotek hanya sebagai pelengkapnya. Di dalam UUHT dualisme titel eksekutorial tidak lagi terjadi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 ayat (2), bahwa ”Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud ayat (1) memuat kata-kata “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai grose akta hipotek dalam melaksanakan Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
(Reglement lot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura) (Stb. 1927-227) sepanjang mengenai hak tanah. Kalau dilihat bahwa titel eksekutorial terdapat pada sertifikat hak tanggungan, dengan demikian akta pemberian hak tanggungan adalah pelengkap dari sertifikat hak tanggungan.
5. Hapusnya Hak Tanggungan Hapusnya hak tanggungan menurut Pasal 18 ayat (1) UUHT: a. Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan (accessoir), b. Dilepaskan hak tanggungan oleh kreditur pemegangnya, yang dibuktikan dengan pernyataan tertulis, mengenai dilepaskannya hak tanggungan yang bersangkutan kepada pemberi hak tanggungan. c.. Pemberian hak tanggungan yang bersangkutan berdasarkan penetapan peringkat oleh ketua Pengadilan Negeri atas permohonan pembeli tanah yang dijadikan jaminan. d. Hapusnya hak tanah yang dibebani hak tanggungan. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai proses apa yang harus dilakukan setelah pemberi hak tanggungan
menerima
pemberian pernyataan tertulis
sebagaimana disebutkan pada poin 2 tersebut, sehingga menurut Syahdeini:
Sutan Remy
91
Karena pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, dan lahirnya hak tanggungan pada hari tanggal didaftarkannya hak tanggungan itu pada buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan tersebut, serta dengan pendaftaran hak tanggungan itu, setelah 91
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan..., Op. Cit., hlm. 155.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
pemberi hak tanggungan itu berlaku terhadap pihak ketiga, dan setelah pemberian hak tanggungan menerima pemyataan tertulis dari pemegang hak tanggungan sebagimana disebutkan di atas, pemberi hak tanggungan harus segera mengajukan surat permohonan kepada Kantor Pertanahan dengan dilampiri Surat Pernyataan tertulis tersebut agar hak tanggungan tersebut dicatat pada buku tanah hak tanah yang menjadi objek hak tanggungan bahwa hak tanggungan itu telah dilepaskan oleh pemegangnya. Hanya dengan demikian, hak tanggungan itu menjadi hapus dan tidak mengikat lagi bagi pihak ketiga. Menurut Pasal 19 UUHT, diatur tata cara pemberian hak tanggungan jika hasil penjualan objek hak tanggungan ternyata tidak cukup untuk melunasi piutangnya yang dijamin tanpa diadakan pembersihan hak tanggungan yang menjamin piutang tersebut akan tetap membebani objek yang dibeli. Bahwa dalam melakukan “roya partial” hapusnya hak tanggungan pada bagian objek yang bersangkutan dicatat pada buku tanah dan sertifikat hak tanggungan serta pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang telah bebas dari hak tanggungan yang semula membebaninya. 92
B. Kreditur Dalam Kepailitan 1. Pengertian dan Jenis-jenis Kreditur dalam Hukum Kepailitan Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) dijelaskan pengertian kreditur yaitu diatur dalam Pasal 1 angka 2 disebutkan: “Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.”
92
Pasal 22 ayat (9) UUHT.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Keberadaan atau eksistensi dari kreditur adalah syarat mutlak dalam kepailitan dengan alasan sebagai berikut: a. Karena Pasal 2 ayat 1 mensyaratkan adanya concersus creditorium yaitu debitur setidaknya memiliki lebih dari dua kreditur. Dalam hal ini, pemohon pailit harus dapat membuktikan bahwa debitur juga memiliki kreditur lain dengan jumlah minimum dua orang. b. Kehadiran kreditur atau wakilnya yang sah sangat penting untuk menentukan diterima atau tidak rencana perdamaian yang diajukan oleh debitur dalam rapat kreditur. Jika jumlah kreditur yang hadir tidak memenuhi ketentuan maka quorum suara tidak terpenuhi. Istilah kreditur berasal dari bahasa latin “credence” atau “credere” yang artinya dapat dipercaya. Kata credence ini kemudian menjadi kredit dalam bahasa inggris yang memiliki arti yang sama dengan faith, trust (favorable) repute, power based on confidence, acknowledgement of merit, confidence in a buyers ability to pay atau reputation of solvency. Kata benda dari credence adalah creditum atau credit (Inggris) yang artinya sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang (thing entrusted to one). Pasal 1132 KUH Perdata telah menginsyaratkan bahwa setiap kreditur memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditur lainnya, kecuali jika ditentukan lain oleh undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan dari
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
para kreditur-kreditur lainnya. Dengan adanya kalimat dalam Pasal 1132 KUH Perdata yang bunyinya “kecuali apabila diantara para kreditur terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan dari para kreditur lainnya, maka terdapat krediturkreditur tertentu yang oleh undang-undang diberikan kedudukan yang lebih tinggi dari pada kreditur lainnya”. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa terdapat beberapa jenis kreditur, yaitu: a. Kreditur Konkuren Dalam lingkup kepailitan, yang dapat digolongkan sebagai kreditur konkuren (unsecured creditor) adalah kreditur yang piutangnya tidak dijamin dengan hak kebendaan (security right in rem) dan sifat piutangnya tidak dijamin sebagai piutang yang diistimewakan oleh undang-undang. Dengan kata lain kreditur konkuren adalah kreditur yang harus berbagi dengan para kreditur lain secara proporsional, yaitu menurut perbandingan besarnya tagihan masing-masing dari hasil penjualan harta kekayaan debitur yang tidak dibebani dengan hak jaminan. Sedangkan pembayaran terhadap kreditur konkuren adalah ditentukan oleh kurator. 93 b. Kreditur Preferen Kreditur Preferen termasuk dalam golongan secured creditors karena sematamata sifat piutangnya oleh undang-undang diistimewakan untuk didahulukan pembayarannya. Dengan kedudukan istimewa ini, kreditur preferen berada diurutan 93
Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 103. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
atas sebelum kreditur konkuren atau unsecured creditors lainnya. Utang debitur pada kreditur preferen memang tidak diikat dengan jaminan kebendaan, tapi undangundang mendahulukan mereka dalam hal pembayaran. Oleh karena itu jika debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, maka prosedur pembayaran terhadap kreditur preferen sama seperti kreditur konkuren yaitu dengan cara memasukkan tagihannya kepada kurator untuk diverifikasi dan disahkan dalam rapat verifikasi. 94
c. Kreditur Separatis Dalam ketentuan Pasal 1133 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dijelaskan siapa-siapa saja yang memiliki hak untuk didahulukan diantara para kreditur yaitu kreditur yang memiliki hak istimewa (kreditur preferen) dan kreditur pemegang hak jaminan atas kebendaan seperti gadai, hipotik , hak tanggungan dan fidusia. Sehubungan dengan istilah kreditur separatis, ada terdapat perbedaan perbedaan pendapat pemakaian istilah diantara para sarjana. Menurut Munir Fuady bahwa: ”dikatakan separatis yang berkonotasi pemisahan karena kedudukan kreditur tersebut memang dipisahkan dari kreditur lainnya, dalam arti ia dapat menjual sendiri dan mengambil sendiri dari hasil penjualan yang terpisah dengan harta pailit pada umumnya”. 95 Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan bahwa sebagai kreditur pemegang hak jaminan yang memiliki hak preferen dan kedudukannya sebagai kreditur separatis. Dengan demikian, Mariam Darus Badrulzaman membedakan antara hak 94 95
Ibid., hlm. 104. Ibid., hlm. 105.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
dan kedudukan kreditur yang piutangnya dijamin dengan hak atas kebendaan. Haknya disebut sebagai preferen karena ia digolongkan oleh Undang-Undang sebagai kreditur yang diistimewakan pembayarannya. Sedangkan kedudukannya adalah sebagai kreditur separatis karena ia memiliki hak yang terpisah dari kreditur preferen lainnya yaitu piutangnya dijamin dengan hak kebendaan. 96 Dalam hukum kepailitan, kreditur yang dapat digolongkan sebagai kreditur separatis karena piutangnya dijamin dengan security right in rem adalah kreditur pemegang hak yang terdiri dari: 1) Hipotik yang diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan 2) Gadai yang diatur dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 3) Fidusia yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia 4) Kreditur yang memiliki hak retensi atas suatu barang dalam Pasal 65 UndangUndang Kepailitan Menurut Sudargo Gautama, “mereka ini karena sifatnya pemilik suatu hak yang dilindungi secara super preferen dapat mengeksekusi hak mereka seolah-olah tidak terjadi kepailitan. 97 Mereka ini karenanya dianggap separatis (berdiri sendiri).” Sejalan dengan itu menurut Munir Fuady, kedudukan kreditur separatis sangat tinggi, lebih tinggi dari kreditur yang diistimewakan lainnya. 98 96
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hlm. 12. Sudargo Gautama, Komentar atas Peraturan Baru Untuk Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 78. 98 Munir Fuady, Op. Cit., hlm. 105. 97
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Kedudukan kreditur separatis tersebut dipisahkan dari kreditur lainnya, dan objek jaminannya juga dipisahkan dari harta pailit. Adapun arti dari kedudukan kreditur separatis di atas adalah dalam pengeksekusian jaminan utang. Kreditur separatis dapat menjual dan mengambil sendiri hasil dari penjualan objek jaminan. Bahkan jika diperkirakan hasil penjualan atas jaminan utang itu tidak dapat menutupi seluruh utangnya, maka kreditur separatis dapat memintakan agar terhadap kekurangan tersebut dia diperhitungkan sebagai kreditur konkuren. Sebaliknya apabila hasil dari penjualan jaminan utang melebihi utang-utangnya, maka kelebihan itu harus dikembalikan kepada debitur. d. Kreditur Pemegang Hak Istimewa Jenis kreditur yang keempat adalah kreditur pemegang hak istimewa (privilege), yang oleh undang-undang diberi kedudukan didahulukan semata-mata karena sifat piutangnya, baik dari para kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen. Lebih lanjut dalam Pasal 1134 ayat 2 KUH Perdata dinyatakan, hak agunan kebendaan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi terhadap hak istimewa (privilege), kecuali tidak dengan tegas ditentukan lain oleh undang-undang. Artinya dalam mengambil pelunasan dari hasil penjualan benda-benda milik debitur yang diletakkan hak jaminan dan ada kreditur pemegang hak istimewa maupun kreditur konkuren, maka pemegang hak jaminan mengambil terlebih dahulu pelunasanannya, kemudian dilanjutkan oleh pemegang hak istimewa, dan sisanya diambil oleh kreditur konkuren. Sedangkan apabila terhadap suatu hak istimewa (privilege) telah
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
ditentukan dengan tegas harus dilunasi terlebih dahulu dari para kreditur lainnya termasuk para kreditur pemegang hak agunan kebendaan, maka urutan kedudukan para kreditur dalam mengambil pelunasan utangnya adalah : pertama kreditur yang memiliki hak istimewa, kedua kreditur pemegang hak agunan kebendaan dan ketiga kreditur konkuren.
2. Kedudukan Kreditur Separatis dalam Hukum Kepailitan Yang dimaksud kreditur preferen dalam golongan secured creditors sematamata karena sifat piutangnya oleh undang-undang diistimewakan untuk didahulukan pembayarannya. Dengan kedudukan istimewa ini, kreditur preferen berada diurutan atas sebelum kreditur konkuren atau unsecured creditors lainnya. Kedudukan preferen lebih tinggi dari kedudukan kreditur lainnya. Menurut Pasal 1133 KUH Perdata, seorang kreditur merupakan kreditur preferen apabila tagihan kreditur tersebut adalah merupakan: a. Piutang yang berupa hak istimewa b. Piutang yang dijamin dengan Hak Gadai c. Piutang yang dijamin dengan Hipotik Setelah berlaku Undang-Undang Hak Tanggungan dan Undang-Undang Fidusia, maka selain kreditur yang memiliki piutang sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 1133 KUH Perdata, juga kreditur-kreditur yang dijamin dengan hak tanggungan dan hak fidusia termasuk kreditur preferen atau separatis.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Kreditur Separatis adalah kreditur yang memiliki hak agunan kebendaan, seperti hak gadai, hipotik, hak tanggungan dan jaminan fidusia. Kedudukan kreditur separatis dipisahkan dari kreditur lainnya dalam pengeksekusian jaminan utang. Kedudukan kreditur separatis diatur dalam dua tahap yaitu masa pra pailit dan setelah masa kreditur dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga (pasca pailit) baik kepailitan yang timbul karena prosedur kepailitan maupun yang timbul dari Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. a. Kedudukan Kreditur Separatis Pada Periode Pra Pailit Kedudukan para kreditur separatis dengan jelas diatur dalam Pasal 55 UU Kepailitan, yaitu kreditur separatis dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan dalam Pasal 55 ini konsisten dengan ketentuan perundangan lainnya yang mengatur tentang parate executie dari pemegang hak jaminan atas kebendaan seperti hak tanggungan, hipotik, gadai, fidusia, kreditur pemegang ikatan panenan dan kreditur pemegang hak retensi. 99
b. Kedudukan Kreditur Separatis periode Pasca Pernyataan Pailit Kedudukan kreditur separatis pada periode pra pailit dengan pasca pailit pada dasarnya tetap mengacu pada pasal 55 dan 244 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu kreditur separatis ditempatkan diluar dari kepailitan debiturnya karena sifat jaminan piutang yang dimilikinya memberinya 99
Lihat juga Pasal 224 ayat 1 dan 246 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sementara tidak berlaku lagi bagi kreditur separatis dan Pasal 55, pasal 57 dan pasal 58 berlaku mutatis mutandis dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
hak untuk mengeksekusi sendiri barang jaminan guna pelunasan piutangnya. Namun demikian, UU Kepailitan juga mengatur kedudukan kreditur separatis pada periode setelah debitur pailit sebagai berikut: 1) Pasal 56 dan Pasal 246 UU Kepailitan Kedua pasal tersebut dikenal juga sebagai ketentuan yang mengatur tentang automatic stay, yang diberlakukan bagi kreditur separatis setelah debitur dinyatakan pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sementara ditetapkan. Berdasarkan ketentuan penangguhan eksekusi ini kreditur belum dapat mengeksekusi sendiri haknya selama 90 hari. 2) Pasal 60 ayat 3 jo Pasal 189 ayat 5 UU Kepailitan Apabila hasil penjualan barang jaminan piutang kreditur separatis tidak mencukupi untuk memenuhi pembayaran piutangnya, kreditur separatis dapat mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut kepada kurator. Konsekuensinya, kreditur separatis berubah menjadi kreditur konkuren tetapi hanya untuk kekurangan tagihan pembayarannya. Dengan demikian, kekurangan tagihan ini harus diajukan untuk dicocokan dalam rapat verifikasi. 3) Pasal 138 UU Kepailitan Kreditur separatis yang dapat membuktikan bahwa kemungkinan sebagian dari piutangnya tersebut tidak dapat dilunasi dari hasil penjualan barang jaminan dapat menjadi kreditur konkuren atas bagian piutang yang tak dapat dilunasi tersebut. Ketentuan ini dibuat untuk mengantisipasi kemungkinan dari nilai jaminan Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
kebendaan yang dimiliki oleh kreditur separatis kurang dari nilai piutang yang dimilikinya. 4) Pasal 149 ayat 1 jo Pasal 118 ayat 2 UU Kepailitan Kreditur Separatis pada prinsipnya tidak berhak mengeluarkan suara dalam rapat kreditur. Namun jika kreditur separatis telah melepaskan haknya sebagai kreditur separatis (waiver) menjadi kreditur konkuren, ia memiliki hak yang sama dengan kreditur konkuren lainnya, misalnya rencana perdamaian yang diajukan debitur tidak diterima kreditur. Kondisi seperti ini hanya akan terjadi dalam hal hak kreditur separatis untuk didahulukan dibantah dalam rapat verifikasi. Terhadap tagihan kreditur separatis yang dibantah ini, Pasal 118 ayat 2 menegaskan bahwa tagihannya harus dimasukkan dalam daftar piutang yang diakui sementara. 100 Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, jelaslah bahwa kedudukan kreditur separatis tetap dijamin pembayarannya oleh UU Kepailitan baik pada masa pra pailit maupun setelah debitur dinyatakan pailit. Bahkan jika tagihannya dibantah, tagihan tersebut harus diakui secara bersyarat oleh Kurator dalam rapat verifikasi dan dimasukkan dalam daftar piutang yang diakui sementara. Demikian juga jika jaminan yang ada padanya tidak mencukupi untuk memenuhi pembayaran tagihannya, 100
Lihat Pasal 113, pasal 115, pasal 117 dan pasal 126 UU Kepailitan tentang rapat verifikasi dimana semua tagihan diajukan untuk diverifikasi. Hasilnya adalah ada tagihan yang diakui (admitted debt), diakui sementara (provisionally admitted debt) atau dibantah (denied debt) oleh debitur. Hakim Pengawas berperan dalam hal ini karena ia dapat mengakui sementara piutang yang diajukan tapi debitur juga berhak membantah yang diakui sementara oleh Hakim Pengawas tersebut. Selanjutnya, tagihan-tagihan yang diajukan di rapat verifikasi akan dikategorikan sebagai piutang yang diakui (admitted claim), yang diakui sementara (provisionally admitted claim) dan piutang yang dibantah (disputed claim). Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
kreditur separatis dapat menjadi kreditur konkuren untuk kekurangan tagihannya tersebut tanpa kehilangan hak istimewanya untuk mengeksekusi sendiri barang jaminan yang ada padanya. 101
C. Kedudukan Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Dalam Kepailitan Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam undang-undang kepailitan dikenal adanya tiga golongan kreditur, salah satunya adalah kreditur separatas, yaitu kreditur pemegang hak benda jaminan, seperti halnya pemegang hak tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT). Oleh karena itu putusan pernyataan pailit pada debitur tidak mempunyai pengaruh terhadap pemegang hak tanggungan, atau kreditur pemegang hak tanggungan dianggap sebagai kreditur istimewa. Berdasarkan asas yang melekat pada hak tanggungan, maka hak keutamaan sebagai kreditur preferen memberikan kedudukan untuk didahulukan pelunasan utangnya dibandingkan dengan kreditur lain. Hak tanggungan juga memberikan hak separatis kepada pemegang hak tanggungan, dalam arti kreditur dapat menjual sendiri dan mengambil sendiri hasil penjualan benda debitur. Dalam prinsip pari passu prorata parte berarti bahwa harta kekayaan debitur pailit tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus 101
Lihat Pasal 169 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Meskipun tagihan kreditur separatis diakui bersyarat, Kurator tetap berkewajiban menyediakan jaminan dari boedel pailit sejumlah hak tagihan kreditur separatis tersebut. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali jika antara para kreditur itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya. 102 Prinsip ini menekankan pada pembagian harta debitur untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditur secara lebih berkeadilan dengan cara sesuai dengan proporsinya (pond-pond gewijs) dan bukan dengan cara sama rata. Jika dalam prinsip paritas creditorium bertujuan untuk memberikan keadilan kepada semua kreditur tanpa pembedaan kondisinya terhadap harta kekayaan debitur kendatipun harta kekayaan debitur tersebut tidak berkaitan langsung dengan transaksi yang dilakukannya, maka prinsip pari passu prorata parte memberikan keadilan kepada kreditur dengan konsep keadilan proporsional, di mana kreditur yang memiliki piutang yang lebih besar, maka akan mendapatkan porsi pembayaran piutangnya dari debitur lebih besar dari kreditur yang memiliki piutang lebih kecil daripadanya. Seandainya kreditur disamaratakan kedudukannya tanpa melihat besar kecilnya piutang, maka akan menimbulkan suatu ketidakadilan sendiri. Ketidakadilan pembagian secara paritas creditorium dalam kepailitan akan muncul ketika harta kekayaan debitur pailit lebih kecil dari jumlah utang-utang debitur. Seandainya harta kekayaan debitur pailit lebih besar dari jumlah seluruh utang-utang debitur, maka penerapan prinsip pari passu prorata parte menjadi kurang relevan. Demikian pula penggunaan lembaga hukum kepailitan terhadap debitur yang memiliki aset lebih besar dari jumlah seluruh utang-utangnya adalah
102
Kartini Muljadi, Actio Paulina dan Pokok-Pokok tentang Pengadilan Niaga, (Bandung: Alumni, 2001), hlm. 300. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
tidak tepat dan kurang memiliki relevansinya. Sejatinya kepailitan akan terjadi jika aktiva lebih kecil dari pasiva. Kepailitan adalah sarana untuk menghindari perebutan harta debitur setelah debitur tidak lagi memiliki kemampuan untuk membayar utangutangnya. Sejatinya pula kepailitan digunakan untuk melindungi kreditur yang lemah terhadap kreditur yang kuat dalam memperebutkan harta debitur. Sehingga pada hakikinya, prinsip pari passu prorate parte adalah inheren dengan lembaga kepailitan itu sendiri. 103 Penggunaan prinsip paritas creditorium yang dilengkapi dengan prinsip pari passu prorate parte dalam konteks kepailitan juga masih memiliki kelemahan jika antara kreditur tidak sama kedudukannya bukan persoalan besar kecilnya piutang saja tetapi tidak sama kedudukannya karena ada sebagian kreditur yang memegang jaminan kebendaan dan/atau kreditur yang memiliki hak preferensi yang telah diberikan oleh undang-undang.
103 Lihat, M. Hadi Shubhan, Op. Cit., hlm. 30-31 menyatakan, sebagai ilustrasi adanya ketidakadilan jika tidak ada prinsip paritas creditorium adalah sebagai berikut: seorang debitur pailit memiliki kekayaan yang masuk dalam boedel pailit sejumlah 10 miliar rupiah. Debitur pailit memiliki lima kreditur konkuren, yakni A memiliki piutang 20 miliar, B memiliki piutang 15 miliar, C memiliki piutang 10 miliar, D memiliki piutang 3 miliar, dan E memiliki piutang 2 miliar, sehingga total utang debitur pailit adalah 50 miliar. Seandainya tidak ada prinsip pari passu prorata parte, maka kelima debitur tersebut berkedudukan sama terhadap harta kekayaan debitur pailit. Harta pailit yang berjumlah 10 miliar akan dibagi rata terhadap lima debitur yang berarti masing-masing akan mendapatkan dua miliar. Di sinilah letak ketidakadilan jika tidak terdapat prinsip pari passu prorata parte di mana A kreditur yang memiliki piutang 20 miliar akan mendapatkan bagian yang sama dengan E kreditur yang memiliki piutang 2 miliar. Ketidakadilan pembagian tersebut menjadi teratasi dengan adanya prinsip pari passu prorata parte. Sehingga dengan prinsip pari passu prorata parte maka pembagiannya menjadi A yang memiliki piutang 20 miliar akan mendapat bagian 4 miliar (40% dari harta pailit), B yang memiliki piutang 15 miliar akan mendapat bagian 3 miliar (30% dari harta pailit), C yang memiliki piutang 10 miliar akan mendapat bagian 2 miliar (20% dari harta pailit), D yang memiliki piutang 3 miliar akan mendapat bagian 0,6 miliar (6% dari harta pailit), dan E yang memiliki piutang 2 miliar akan mendapat bagian 0,4 miliar (4% dari harta pailit).
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Apabila kreditur yang memegang jaminan kebendaan disamakan dengan kreditur yang tidak memegang jaminan kebendaan adalah bentuk sebuah ketidakadilan. Bukankah maksud adanya lembaga jaminan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang jaminan tersebut. Jika pada akhirnya disamakan kedudukan hukumnya antara kreditur pemegang hak tanggungan dengan kreditur yang tidak memiliki jaminan kebendaan, maka adanya lembaga hukum jaminan menjadi tidak bermakna lagi. Demikian pula dengan kreditur yang oleh undang-undang diberikan keistimewaan yang berupa hak preferensi dalam pelunasan piutangnya jika kedudukannya disamakan dengan kreditur yang tidak diberikan preferensi oleh undang-undang, maka untuk apa undang-undang melakukan pengaturan terhadap kreditur kreditur tententu dapat memiliki kedudukan istimewa dan karenanya memiliki preferensi dalam pembayaran terhadap piutang-piutangnya. Ketidakadilan seperti ini diberikan jalan keluar dengan adanya prinsip structured creditors (ada yang menyebut dengan nama prinsip structured prorata). 104 Adapun prinsip structured creditors adalah prinsip yang mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai macam debitur sesuai dengan kelasnya masingmasing. Dalam kepailitan sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya kreditur diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu: kreditur separatis, kreditur preferen, dan kreditur konkuren.
104
Ibid., hlm. 31.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Pembagian kreditur menjadi tiga klasifikasi tersebut di atas berbeda dengan pembagian kreditur pada hukum perdata umum. Dalam hukum perdata umum pembedaan kreditur hanya dibedakan dari kreditur preferen dengan kreditur konkuren. Kreditur preferen dalam hukum perdata umum dapat mencakup kreditur yang memiliki hak jaminan kebendaan dan kreditur yang menurut undang-undang harus didahulukan pembayaran piutangnya. Akan tetapi, di dalam kepailitan, yang dimaksud dengan kreditur preferen hanya kreditur yang menurut undang-undang harus didahulukan pembayaran piutangnya, seperti pemegang hak privilege, pemegang hak retensi, dan lain sebagainya. Sedangkan kreditur yang memiliki jaminan kebendaan seperti halnya pemegang hak tanggungan, dalam hukum kepailitan, diklasifikasikan dengan sebutan kreditur separatis. Ketiga kreditur tersebut diakui eksistensinya. Dalam UU Kepailitan Belanda tidak terdapat keraguan terhadap hak kreditur separatis dan preferen untuk mengajukan kepailitan (HR 18 Juni 1982, NJ/ Nederland Yurisprudensi 1983, 1). Hal ini juga dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara yang menyitir pendapat Polak bahwa kreditur-kreditur tersebut tidak kehilangan kewenangannya untuk mengajukan permohonan kepailitan atas debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar. 105 Ketiga prinsip tersebut di atas sangat penting baik dari segi hukum perikatan dan hukum jaminan maupun hukum kepailitan. Tidak adanya prinsip ini, maka
105
J. Djohansjah dalam dalarn Emmy Yuhassarie (ed), Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkaijan Hukum, 2004), hlm. 138. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
pranata kepailitan menjadi tidak bermakna karena filosofi kepailitan adalah sebagai pranata untuk melakukan likuidasi terhadap aset debitur yang memiliki banyak debitur di mana tanpa adanya kepailitan maka para debitur akan saling berebut baik yang secara sah maupun yang secara tidak sah sehingga menimbulkan suatu keadaan ketidakadilan baik terhadap debitur itu sendiri maupun terhadap kreditur khususnya kreditur yang masuk belakangan sehingga tidak mendapatkan bagian harta debitur untuk pembayaran utang-utang debitur. Kreditur yang berkepentingan terhadap debitur tidak hanya kreditur konkuren saja melainkan juga kreditur pemegang hak jaminan kebendaan seperti hak tanggungan atau yang sering disebut kreditur separatis dan kreditur yang menurut ketentuan hukum harus didahulukan atau yang dalam hukum kepailitan disebut kreditur preferen. Memang kreditur separatis sudah memegang jaminan hak tanggungan dan dapat mengeksekusi jaminan hak tanggungan yang dipegangnya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, akan tetapi kreditur pemegang hak tanggungan (separatis) tersebut masih memiliki kepentingan yang berupa sisa tagihan yang tidak cukup ditutup dengan eksekusi jaminan serta kepentingan mengenai keberlangsungan usaha debitur. 106 Dengan demikian kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan dalam hukum kepailitan adalah sebagai kreditur separatis, yang di dalam ketentuan Pasal 55 UU Kepailitan mempunyai hak atas jaminan hak tanggungan itu seolah-olah terjadi
106
M. Hadi Shubhan, Op. Cit., hlm. 34.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
kepailitan pada debitur. Selain itu juga sebelum terjadinya kepailitan, maka kreditur pemegang hak tanggungan ini juga berkemampuan untuk melakukan pailit terhadap debitur pemberi hak tanggungan tersebut. Di samping itu secara normatif dalam hal debitur pailit ini juga dikenal adanya lembaga gijzeling (paksa badan). Lembaga paksa badan ini terutama ditujukkan apabila si debitor pailit tidak kooperatif dalam pemberesan kepailitan. Gijzeling merupakan suatu upaya hukum yang disediakan untuk memastikan bahwa debitor pailit, atau direksi dan komisaris dalam hal yang pailit adalah perseroan terbatas, benar-benar membantu tugas-tugas kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit. Namun, dari segi ketentuan normatif yang mengatur mengenai paksa badan tersebut, terdapat problematika yuridis yang berupa terjadinya disinkronisasi antara satu ketentuan dengan ketentuan yang lain yang mengatur mengenai paksa badan. Kendala normatif ini mempunyai implikasi yuridis yang berupa implementasi paksa badan tersebut dalam pelaksanaan putusan kepailitan. 107 Kepala Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pernah menyatakan bahwa paksa badan ini tidak ada hukum acara teknisnya meskipun sudah ada Perma 1 Tahun 2000. Seorang hakim Pengadilan Niaga, menyatakan bahwa dalam praktik di Pengadilan 107
Ibid., hlm. 179. Undang-Undang Kepailitan mengatur tentang lembaga gijzeling ini di dalam Pasal 93 sampai Pasal 96. Sedangkan ketentuan teknis lembaga paksa badan mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan. Di samping itu, lembaga gijzeling ini sebenarnya sudah diatur dalam HIR Pasal 209 sampai 224, akan tetapi sempat dibekukan dengan surat edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964 dan Nomor 4 Tahun 1975 yang menginstruksikan kepada para Ketua Pengadilan dan Hakim untuk tidak menggunakan lagi peraturan-peraturan mengenai gijzeling dalam HIR. Dalam Pasal 2 Perma 1 Tahun 2000 dikatakan bahwa pelaksanaan paksa badan terhadap debitor yang beriktikad tidak baik dijalankan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 sampai Pasal 224 HIR (atau Pasal 242 sampai Pasal 258 RBg). Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Niaga selama ini berdasarkan pengalamannya belum pernah ada permohonan paksa badan yang masuk ke Pengadilan Niaga yang dikabulkan. Ada yang menyatakan tidak dapat diterima dengan alasan tidak/belum memenuhi ketentuan yang tercantum dalam Pasal 86 UU Kepailitan (1998), dalam arti si pemohon tidak dapat memberikan bukti yang cukup sebagaimana dimaksud Pasal 163 HIR jo. Pasal 164 HIR bahwa tindakan debitor telah memenuhi ketentuan Pasal 86 UU Kepailitan (1998). Pasal 163 HIR jo. Pasal 64 HIR diberlakukan dalam memeriksa perkara kepailitan dan PKPU berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (1) UU Kepailitan (1998).108 Padahal seharusnya, meskipun ketentuan yang mengatur mengenai paksa badan ini terjadi ketidaksinkronan antar yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi hal itu tidak membuat pelaksanaan paksa badan dalam kepailitan tidak bisa dijalankan. Jika terjadi konflik norma seperti tersebut atas, maka dikembalikan kepada asas penyelesaian konflik norma terutama pada asas lex superiori derogat legi inferiori dan lex spesialis derogat legi generalis. 109 Selanjutnya, terhadap debitor pailit juga bisa dikenakan ketentuan pidana. Ketentuan pidana mengacu pada KUHP yang tersebar dalam beberapa ketentuan yang berkaitan dengan kepailitan atas perbuatan-perbuatan sebagai berikut: 110 1) Tidak mau hadir atau memberikan/tidak memberikan keterangan yang menyesatkan dalam proses pemberesan pailit (Pasal 226 KUHP); 108
Ibid., hlm. 181. Ibid., Lihat juga, Sudargo Gautama, Himpunan Yurisprudensi Indonesia yang Penting Untuk Praktek Sehari-hari (Landmark Decisions), jilid 16, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 84, menyatakan: Lembaga paksa badan merupakan alat pencegah pada orang yang sengaja mau melakukan “penipuan” (chicanes) dan menurut kehendaknya membuat hutang tanpa memikirkan pelunasannya 110 M. Hadi Shubhan, Op. Cit., hlm. 183-184. 109
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
2) Perbuatan debitor pailit yang merugikan kreditor (Pasal 396 KUHP); 4) Perbuatan debitor yang memindahtangankan harta sehingga merugikan para kreditor dan menyebabkan pailit (Pasal 397 KUHP); 5) Perbuatan direksi atau komisaris perseroan yang menyebabkan kerugian perseroan baik sebelum atau setelah pailit (Pasal 398 dan 399 KUHP); 5) Perbuatan menipu oleh debitor pailit kepada para kreditor (Pasal 400 KUHP); 6) Kesepakatan curang antara debitor pailit dengan kreditor dalam rangka penawaran perdamaian kepailitan (Pasal 401 KUHP); 7) Tindakan debitor pailit yang mengurangi hak-hak kreditor (Pasal 402 KUHP); 8) Perbuatan direksi perseroan terbatas yang bertentangan dengan anggaran dasar (Pasal 403 KUHP). Meskipun dalam Pasal 396, Pasal 397, dan Pasal 403 KUHP di atas, mengatur mengenai penyebab adanya kepailitan dapat dipidana, namun hal itu harus memenuhi kriteria pidananya, yakni dalam hal Pasal 396 KUHP (bangkrut sederhana): 111 1) Pengeluaran-pengeluarannya melewati batas kehidupan sehari-hari/terlalu boros; atau 2) Meminjam uang/modal dengan bunga yang tinggi padahal diketahui bahwa hal itu tidak menolong kepailitannya; atau 3) Tidak dapat memperlihatkan secara utuh tanpa perubahan-perubahan (coretancoretan atau tulisan-tulisan) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 KUHD.
111
Ibid., hlm. 184.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Sedangkan dalam hal kepailitan terjadi karena kecurangan dalam Pasal 397 KUHP, yakni: 112 1) Ada tiga macam perbuatan: a. mengarang perbuatan yang tidak pernah ada; b. tidak membukukan suatu pendapatan; c. menyisihkan atau menarik suatu barang dan budel; 2) Tindakan melepas suatu barang dari budel, secara cuma-cuma atau dengan terangterangan di bawah harga; 3) Tindakan berupa apa saja, menguntungkan salah seorang kreditor; 4) Tindakan berupa penyimpangan dari ketentuan Pasal 6 KUHD. 113 Sedangkan Pasal 403 KUHP mengatur bahwa pengurus atau komisaris perseroan terbatas telah bekerja sama atau memberikan persetujuannya untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan anggaran dasar, yang menyebabkan perseroan tersebut menjadi tidak mampu untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya atau menjadi harus dibubarkan. Hal ini berarti bahwa suatu kepailitan bukanlah sebuah kriminalitas, meskipun nantinya dalam proses kepailitan akan dimungkinkan adanya kejahatan kepailitan. Subjek hukum yang dinyatakan pailit, tidak mutatis mutandis memenuhi unsur tindakan pidana. Misalnya, suatu perseroan terbatas yang dinyatakan pailit tidak
112 113
Ibid., hlm. 185. Denny Kailimang, dalam Ibid.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
mutatis mutandis organ-organ PT tersebut dapat dipidana atas pailitnya PT tersebut. Kepailitan adalah berkaitan dengan proses pemberesan harta kekayaan debitor untuk membayar uatang-utangnya. Dengan demikian, subjek hukum yang telah dinyatakan pailit tidak sama dengan bahwa ia telah melakukan sebuah tindakan kriminal. Untuk dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur dan kriteria sebagaimana yang diatur dalam KUHP tersebut di atas. 114
114
M. Hadi Shubhan, Op. Cit., hlm. 185.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
BAB IV AKIBAT HUKUM KEPAILITAN DEBITUR TERHADAP KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DALAM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
A. Kedudukan Harta Debitur Pailit Sebelum dibahas mengenai akibat kepailitan debitur terhadap kreditur pemegang hak tanggungan dalam mengeksekusi objek jaminan hak tanggungan tersebut, maka di sini terlebih dahulu dikemukakan kedudukan harta debitur pailit tersebut. Harta kekayaan debitur yang masuk harta pailit merupakan sitaan umum (public attachment, gerechtelijk beslag) beserta apa yang diperoleh selama kepailitan. Hal ini sebagaimana didefinisikan dalam undang-undang mengenai arti kepailitan ini. Dalam Pasal 21 UU Kepailitan dikatakan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Hakikat dari sitaan umum terhadap harta kekayaan debitur adalah bahwa maksud adanya kepailitan adalah untuk menghentikan aksi terhadap perebutan harta pailit oleh para krediturnya serta untuk menghentikan lalu lintas transaksi terhadap harta pailit oleh debitur yang kemungkinan akan merugikan para krediturnya. Dengan adanya sitaan umum tersebut, maka harta pailit dalam status dihentikan dan segala
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
macam transaksi dan perbuatan hukum lainnya sampai harta pailit tersebut diurus oleh kurator. 115 Sitaan umum terhadap harta pailit ini tidak memerlukan suatu tindakan khusus untuk melakukan sita tersebut, berbeda dengan sitaan lain dalam hukum perdata yang secara khusus dilakukan dengan suatu tindakan hukum tertentu. Dengan demikian sitaan umum terhadap harta pailit adalah terjadi demi hukum. 116 Sitaan umum ini pula berarti dapat mengangkat sitaan khusus lainnya jika pada saat dinyatakan pailit harta debitur sedang atau sudah dalam penyitaan. UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) mengecualikan beberapa hal yang tidak termasuk dalam harta pailit, yakni: 117 a. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang digunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang digunakan oleh debitur dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi debitur dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu; b. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dan suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas; atau 115
Ibid., hlm. 163-164. Ibid., hlm. 164. 117 Pasal 22 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 116
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
c. Uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang. Ketentuan pengecualian harta yang dimasukkan dalam harta pailit tersebut harus dibaca sepanjang debitur pailitnya adalah orang dan bukan badan hukum. Jika si pailit adalah sebuah perseroan terbatas maka pengecualian harta pailit ini tidak dapat diterapkan, bahkan gaji seorang direktur perseroan terbatas malah menjadi utang harta pailit yang harus dibayar kepada direktur tersebut. 118 Dalam suatu pelaksanaan kepailitan, maka putusan pengadilan niaga sebagai putusan pengadilan tingkat pertama, mempunyai kekuatan uitvoerbaal bij voorraad, yang beratti bahwa sekalipun putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, tetapi terhitung sejak putusan pailit dinyatakan, seketika itu juga putusan tersebut dapat dilaksanakan oleh kurator sekalipun dilakukan ada upaya hukum kasasi. Putusan pernyataan pailit, mengakibatkan harta debitur pailit akan dikeluarkan dari kepemilikan debitur pailit dan kemudian akan dimasukkan ke dalam kewewenangan kurator dan berstatus sebagai harta atau boedel pailit.
B. Eksekusi Hak Tanggungan 1. Eksekusi Melalui Pelelangan Umum Dalam penjelasan umum angka 3 huruf d UUHT disebutkan perlunya segera ditetapkan Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut, yang mengatur lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat dengan ciri antara lain mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. 118
M.Hadi Shubhan, Op.Cit., hlm. 164
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Hak Tanggungan akan dieksekusi hanya apabila debitur cidera janji atau wanprestasi. Terdapat beberapa ketentuan mengenai eksekusi tersebut, yaitu: a. Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak
untuk
menjual
objek
Hak
Tanggungan
atas
kekuasaan
sendiri
melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dan hasil penjualan tersebut; 119 b. Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan: a) hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau b) title eksekutorial yang terdapat dalam Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek Hak Tanggungan
dijual
melalui
pelelangan
umum
menurut
tata
cara
yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lainnya; 120 c. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak; 121 d. Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang 119
Pasal 6 UUHT. Pasal 20 ayat (1) UUHT. 121 Pasal 20 ayat (2) UUHT. 120
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan; 122 e. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) batal demi hukum; 123 f.
Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan pelunasan hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan; 124
g. Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang ini; 125 Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UUHT, dapat diketahui adanya 2 (dua) alasan alternatif yang merupakan landasan dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan (Pasal 6 ayat (2) butir a dan b). Dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan dapat ditempuh dengan melalui 2 (dua) cara, yaitu: dengan melalui pelelangan umum dan penjualan di bawah tangan. Bandingkan dengan hutang-piutang yang tidak dijamin dengan Hak Tanggungan, jika debitur cidera janji eksekusi dilakukan melalui gugatan perdata 122
Pasal 20 ayat (3) UUHT. Pasal 20 ayat (4) UUHT. 124 Pasal 20 ayat (5) 125 Pasal 21 UUHT. 123
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
menurut Hukum Acara Perdata yang berlaku. Penyelesaian hutang-piutang yang bersangkutan melalui acara ini memerlukan waktu, karena pihak yang dikalahkan di tingkat Pengadilan Negeri bisa mengajukan banding, kasasi, bahkan masih terbuka kesempatan untuk minta Peninjauan Kembali. Ciri khas Hak Tanggungan sebagai hak jaminan atas tanah adalah bahwa Hak Tanggungan mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Apa yang disebut dalam Pasal 20 ayat (1) adalah perwujudan ciri tersebut berupa dua kemudahan yang disediakan khusus oleh hukum bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan dalam hal debitur cidera janji. 126 Kemudahan pertama, yaitu hak untuk atas kekuasaan sendiri menjual objek hak tanggungan, yang disebut dalam Pasal 6. Namun hal ini hanya dapat dilaksanakan jika didukung oleh janji yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e, yang dalam bahasa Belanda dikenal sebagai “beding van eigenmachtige verkoop “. Jika debitur cidera janji pemegang Hak Tanggungan dapat langsung minta kepada Kantor Lelang Negara 127 untuk menjual dalam pelelangan umum objek Hak Tanggungan yang bersangkutan, dan mengambil dari hasilnya sebagian atau 126
Boedi Harsono dari Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta, dalam makalahnya berjudul “Segi-Segi Yuridis Undang-Undang Hak Tanggungan” yang disampaikan pada Seminar Nasional Undang-Undang Hak Tanggungan tanggal 10 April 1996 di Hotel Horizon, Jakarta, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Trisakti bekerjasama dengan Kantor Menteri Agraria/Badan Pertanahan Nasional dan BPP Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT). 127 Sebelum diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal di Lingkungan Departemen Keuangan, tempat pelaksanaan lelang dikenal dengan Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) yang merupakan instansi vertikal Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah DJPLN. Kemudian dengan diterbitkan Peraturan Presiden Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2006 di atas terjadi reorganisasi DJPLN menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 135/PMK.01/2006 tanggal 29 Desember 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), maka lelang dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
seluruhnya untuk pelunasan piutangnya, dengan hak mendahulu daripada krediturkreditur yang lain. Ini merupakan tata cara yang paling singkat dan paling mudah. Kemudahan kedua, yaitu kreditur tidak perlu mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan. Tetapi dalam suatu kasus yang sampai pada tingkat pemeriksaan kasasi, oleh Mahkamah Agung
dalam
putusannnya
tanggal 30
Januari 1986
Nomor
3210K/Pdt/1984 digariskan, bahwa pelaksanaan lelang harus didasarkan pada Pasal 224 H.I.R, atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. Tidak diketahui apakah putusan tersebut menggariskan kebijakan umum atau terbatas pada kasus yang diadili. Tetapi bagaimanapun putusan tersebut adalah mengenai pelaksanaan kewenangan kreditur yang hanya didasarkan pada janji pemberi Hypotheek yang disebut dalam Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata Indonesia. Sedang kewenangan untuk menjual lelang objek Hak Tanggungan yang diberikan kepada pemegang Hak Tanggungan didasarkan pada hak yang ada padanya menurut ketentuan Pasal 6. 128 Pengaturan mengenai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri, oleh Sutan Remy Sjahdeini dianggap sebagai suatu yang berlebihan karena berdasarkan Pasal 6 UUHT dianggap sebagai sudah mengikat, artinya baik diperjanjikan maupun tidak
128
Boedi Harsono, Ceramah berjudul “Jaminan Kepastian Hukum di Bidang Pertanahan, diadakan di Hotel Istana, Bandung, 15 Februari 1995, dikutip dari Bahan Pendalaman Menteri Hukum Tinggi Peradilan Umum, Surabaya, tanggal 2 1-25 Februari 1995 Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
diperjanjikan oleh para pihak dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan, wewenang untuk menjual atas kekuasaan sendiri tersebut tetap saja mengikat.129 Kritik Sutan Remy Sjahdeini tersebut diperkuat dan tidak sejalannya antara Pasal 6 UUHT dengan penjelasannya yang menyatakan: hak tersebut berdasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan bahwa apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu terlebih dahulu daripada kreditur-kreditur lain. Dengan demikian menurut Pasal 6 UUHT hak untuk menjual dengan kekuasaan sendiri tersebut timbul demi hukum, tidak harus diperjanjikan terlebih dahulu, sedangkan dalam penjelasannya terdapat indikasi harus diperjanjikan terlebih dahulu. Pengulangan pengaturan mengenai “hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri” dalam UUHT tersebut dalam pelaksanaannya akan menimbulkan adanya ketidakpastian hukum. Karenanya dalam praktek untuk menjamin kepentingan bank sebagai kreditur, maka bank selalu mencantumkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus eksekusi Hak Tanggungan belum ada. Yang ada sekarang adalah peraturan eksekusi “Hypotheek”. Ketentuan khusus mengenai eksekusi “Hypotheek” diatur dalam Pasal 224 H.I.R dan 258 R.Bg. 129
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan... , Op. Cit., hlm. 65.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Peralihan peraturan ini secara tegas dinyatakan, dalam Pasal 26 UUHT, bahwa selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada pada mulai berlakunya UUHT ini, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan. Yang dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada dalam Pasal 26 UUHT itu adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia yang diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941-44) dan Pasal 258 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura, Staatsblad 1927-227). Ketentuan dalam Pasal 14 UUHT yang harus diperhatikan adalah bahwa grosse akta hypotheek yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya hypotheek, dalam hal Hak Tanggungan adalah sertipikat Hak Tanggungan. Adapun yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang belum ada, adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus eksekusi Hak Tanggungan, sebagai pengganti ketentuan khusus mengenai eksekusi hypotheek atas tanah. 130 Ketentuan peralihan dalam Pasal 26 UUHT di atas memberikan ketegasan, bahwa selama masa peralihan tersebut, ketentuan hukum acara di atas berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan, dengan penyerahan sertipikat Hak Tanggungan sebagai dasar pelaksanaannya.
130
Penjelasan Pasal 26 UUHT.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Untuk itu perlu dilihat redaksi Pasal 224 H.I.R, yaitu Grosse Akta Hypotheek dibubuhkan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mempunyai kekuatan yang sama dengan keputusan hakim. Bila tidak dilaksanakan secara sukarela, maka isi akta tersebut dilaksanakan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan. Tata cara khusus mengenai eksekusi tersebut, baik yang didasarkan pada ketentuan Pasal 6 UUHT maupun ketentuan mengenai “parate executie”, hanya dapat digunakan jika adanya dan jumlahnya hutang yang dijamin dapat mudah diketahui dan dihitung secara pasti. Jika tidak permohonan eksekusinya melalui lembaga parate executie akan ditolak oleh Ketua Pengadilan Negeri dan untuk penyelesaian hutang-piutang yang bersangkutan, pihak kreditur akan dipersilahkan mengajukan gugatan perdata. Penolakan tersebut dilakukan dalam rangka melindungi pihak kreditur dan pemberi hak tanggungan secara seimbang. Dalam gugatan perdata bagi debitur tersedia kesempatan lebih luas untuk membuktikan dalil-dalilnya. Selanjutnya Penjelasan Pasal 20 ayat (1), disebutkan: Ketentuan ayat ini merupakan perwujudan dan kemudahan yang disediakan oleh Undang-Undang ini bagi para kreditur pemegang hak tanggungan dalam hal dilakukan eksekusi. Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan dengan melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk objek hak tanggungan.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Menurut Boedi Harsono: 131 Eksekusi berdasarkan Pasal 6 UUHT, pelaksanaannya lebih mudah daripada parate executie, karena tidak diperlukan perintah Ketua Pengadilan untuk melakukan penjualan objek hak tanggungan yang bersangkutan melalui pelelangan umum, kreditur pemegang hak tanggungan dapat langsung mengajukan permintaan kepada Kepala Kantor Lelang Negara (KLN) untuk melakukan penjualan objek hak tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan pemegang hak tanggungan itu adalah yang diberikan oleh Pasal 6, berbeda dengan beding van eigenmachtige verkoop yang sumbernya adalah janji yang diberikan oleh pemberi hipotik menurut Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata. Selanjutnya Munir Fuady menyatakan: 132 Cara eksekusi lainnya adalah menjual di depan umum via Kantor Lelang tanpa ada campur tangan pengadilan, secara teoritis hal ini dapat diberlakukan, tapi sangat disayangkan terdapat keengganan Kantor Lelang untuk melakukan eksekusi tersebut, bahkan dengan adanya Keputusan Mahkamah Agung Nomor 3210K/Pdt/1984, secara tidak masuk akal dilarang bagi KLN untuk melakukan eksekusi tanpa adanya penetapan pengadilan untuk itu. Bahwa Putusan Mahkamah Agung Nomor 3210K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986, menyatakan, berdasarkan Pasal 224 H.I.R (Pasal 258 R.Bg) pelaksanaan pelelangan akibat grosse akta hipotek, seharusnya dilaksanakan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. Bila pelelangan dilaksanakan atas perintah lain, maka pelelangan yang sedemikian adalah bertentangan dengan Pasal 224 H.I.R (Pasal 258 R.Bg) dan adalah tidak sah. Yurisprudensi Mahkamah Agung ini, berlaku untuk grosse akta hipotek, sedangkan mengenai hak tanggungan telah diatur jelas dalam UUHT. 131
Boedi Harsono, Hukum Agraria Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1999), hlm. 443. 132 Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku Kesatu, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 178. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Dengan mengaitkan Pasal 6 dan penjelasannya dengan Pasal 20 UUHT dan penjelasannya, serta mengaitkannya dengan pendapat beberapa akademis di bidang hukum, terlihat bahwa UUHT memungkinkan pelaksanaan lelang objek hak tanggungan langsung oleh Kantor Lelang tanpa fiat pengadilan dengan alasan sebagai berikut: a. Pasal 6 UUHT dengan jelas mengaturnya secara eksplisit. b. Pasal 20 UUHT jelas mengatur adanya eksekusi dengan berdasarkan Pasal 6 dan berdasarkan titel eksekutorial, yang keduanya berakhir dengan penjualan objek hak tanggungan melalui pelelangan umum. Lelang eksekusi hak tanggungan sebagai pelaksanaan Pasal 6 UUHT, dibandingkan dengan pelaksanaan lelang hak tanggungan berdasarkan dengan fiat eksekusi dan pengadilan, maka pelaksanaan lelang hak tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT menjadi sederhana, cepat ringan karena tanah/bangunan objek Hak Tanggungan tidak perlu disita terlebih dahulu.
2. Eksekusi Melalui Penjualan Obyek Hak Tanggungan Secara Dibawah Tangan Penjualan objek hak tanggungan dalam rangka eksekusi pada asasnya wajib dilakukan melalui pelelangan umum, karena dengan cara demikian diharapkan akan diperoleh harga yang tertinggi yang menguntungkan semua pihak, baik pihak kreditur, pemberi hak tanggungan maupun kreditur-kreditur yang lain. Tetapi tidak selalu demikian. Maka dalam hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga yang tertinggi, dengan menyimpang dari asas tersebut, oleh Pasal 20 ayat (2) UUHT dibuka kemungkinan melakukan eksekusi di Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
bawah tangan. Apabila hal tersebut disepakati oleh pemberi dan pemegang hak tanggungan dan syarat yang ditetapkan dalam ayat (3) dipenuhi. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi dengan cara lain dan yang disebut dalam Pasal 20 UUHT dinyatakan batal demi hukum. Untuk menghindarkan pelelangan objek hak tanggungan, pelunasan hutang dapat dilakukan sebelum saat pengumuman lelang dikeluarkan. Sesuai dengan sifat hukum jaminan, yang memberikan perlindungan yang seimbang kepada kreditur, debitur dan pihak ketiga yang mempunyai kepentingan terhadap hutang-piutang yang dipertanggungkan, maka pelaksanaan eksekusi penjualan dibawah-tangan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Mendapatkan tawaran harga yang lebih tinggi; b. Adanya persetujuan dari pemberi dan pemegang hak tanggungan; c. Harus dilakukan pemberitahuan secara tertulis kepada pihak-pihak yang berkepentingan; d. Harus dilakukan pengumuman di dalam dua buah surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan, dan/atau media massa cetak setempat; e. Tidak ada pihak yang keberatan; f.
Pelaksanaan penjualannya baru dapat dilakukan setelah lewat waktu satu bulan setelah diadakan pemberitahuan atau pengumuman tersebut. Penjualan di bawah tangan ini dilakukan dengan adanya kesepakatan antara
debitur dan kreditur, adanya inisiatif dari pemberi dan pemegang hak tanggungan,
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
sehingga penjualan di bawah tangan dapat dikelompokkan sebagai penjualan sukarela. Pasal 19 ayat (1) UUHT menyebutkan dua cara pembelian objek hak tanggungan yakni: a. Pembelian dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri b. Pembelian dalam jual beli sukarela. Dengan demikian sebenarnya penjualan objek hak tanggungan dibawah tangan adalah dapat dikatakan bukan eksekusi objek hak tanggungan. Pembelian dan penjualan yang dilakukan secara sukarela yaitu yang didasarkan atas kesepakatan kehendak dan inisiatif pemberi hak tanggungan tidak terikat kepada penjualan obyek hak tanggungan yang disebutkan dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT. Karenanya terdapat dua jenis eksekusi yaitu yang pertama melalui penjualan objek hak tanggungan secara paksa eksekusi dan yang kedua penjualan melalui dibawah-tangan melalui kesepakatan yang disebut sebagai penjualan sukarela, sebagai hasil pendekatan persuasif dari kreditur kepada debitur. Penjualan sukarela dapat dilakukan baik oleh debitur sendiri atau bantuan kreditur mencarikan pembeli bagi debitur dengan harga limit yang ditentukan oleh debitur, dengan mengesampingkan Pasal 20 ayat (2) dan (3) UUHT yaitu pengumuman dan tenggang waktu yang ditentukan dalam pasal tersebut. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, dengan adanya kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan, jika dengan cara itu akan dapat diperoleh harga
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Demikian ditentukan oleh Pasal 20 ayat (2) UUHT. Karena penjualan dibawah tangan dari objek Hak Tanggungan hanya dapat dilaksanakan bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, bank (kreditur) tidak mungkin melakukan penjualan dibawah tangan terhadap objek Hak Tanggungan atau agunan kredit itu apabila debitur tidak menyetujuinya. Apabila kredit sudah menjadi macet, sering bank menghadapi kesulitan untuk dapat memperoleh persetujuan dari nasabah debitur. 133 Dalam keadaan-keadaan tertentu justru menurut pertimbangan bank lebih baik agunan itu dijual dibawah tangan dari pada dijual di pelelangan umum. Bank sendiri berkepentingan agar hasil penjualan agunan tersebut cukup jumlahnya untuk membayar seluruh jumlah kredit yang terutang. Kesulitan untuk memperoleh persetujuan nasabah tersebut dapat terjadi misalnya karena nasabah debitur yang tidak lagi beritikad baik, tidak bersedia ditemui oleh bank, atau telah tidak diketahui lagi dimana keberadaannya. Oleh karena itu, agar bank kelak setelah kredit diberikan tidak mengalami kesulitan yang demikian, bank pada waktu kredit diberikan mensyaratkan agar di dalam perjanjian kredit diperjanjikan bahwa bank diberi kewenangan untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara dibawah tangan atau meminta kepada debitur untuk memberikan surat kuasa khusus yang memberikan kekuasaan kepada bank untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara dibawah tangan. 134
133 134
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan…, Op. Cit., hlm. 165-166. Ibid., hlm. 166
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Namun demikian, masih ada masalah yang perlu dipecahkan mengenai keabsahan penjualan objek Hak Tanggungan oleh bank, berdasarkan surat kuasa untuk menjual dibawah tangan dari pemberi Hak Tanggungan. Jual beli itu sah saja, tetapi apabila ternyata penjualan itu terjadi dengan harga yang jauh di bawah harga wajar, pemberi Hak Tanggungan dan debitur itu sendiri (dalam hal debitur bukan pemilik objek Hak Tanggungan) dapat mengajukan gugatan terhadap bank. Gugatan itu sendiri bukan diajukan terhadap pelaksanaan penjualannya berdasarkan dalih bahwa penjualan objek Hak Tanggungan harus dilakukan melalui pelelangan umum, tetapi terhadap harga penjualan itu yang dinilai tidak wajar. Dalih yang dapat diajukan oleh penggugat adalah bahwa bank telah melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan kepatutan atau bertentangan dengan keadilan atau bertentangan dengan asas itikad baik. 135 Seyogianya, sesuai dengan asas kepatutan dan itikad baik, bank tidak menentukan sendiri harga jual atas barang-barang agunan dalam rangka penyelesaian kredit macet nasabah debitur. Seyogianya penaksiran harga dilakukan oleh suatu perusahaan penilai (appraisal company) yang independen dan telah mempunyai reputasi baik. 136
135 136
Ibid., hlm. 167-168. Ibid., hlm. 168.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
C. Akibat Kepailitan Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Dalam Eksekusi Objek Hak Tanggungan Para kreditur separatis yang memegang hak jaminan atas kebendaan seperti pemegang hak tanggungan dapat menjalankan hak eksekusinya seakan-akan tidak terjadi kepailitan. 137 Ketentuan ini adalah merupakan implementasi lebih lanjut dari prinsip structured prorata, di mana kreditur dan debitur pailit diklasifikasikan sesuai dengan kondisi masing-masing. Ratio legis dari ketentuan ini adalah bahwa maksud diadakannya lembaga hukum jaminan adalah untuk memberikan preferensi bagi pemegang jaminan dalam pembayaran utang-utang debitur. Pemberian prefensi ini mutatis mutandis juga berlaku dalam kepailitan, karena kepailitan adalah operasionalisasi lebih lanjut dari Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. 138 Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan, segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorangan debitur itu. Selanjutnya Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan, barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya, hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan. Namun demikian pelaksanaan hak preferensi dari kreditur separatis ini ada pengaturan yang berbeda dengan pelaksanaan hak preferensi kreditur pemegang hak tanggungan ketika tidak dalam kepailitan. Ketentuan khusus tersebut adalah 137 138
Pasal 55 ayat (1) UUK M. Hadi Shubhan, Op. Cit., hlm. 172-173.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
ketentuan mengenai masa tangguh (stay) dari eksekusi jaminan hak tanggungan oleh kurator setelah kreditur pemegang jaminan hak tanggungan diberi waktu dua bulan untuk menjual sendiri. Ketentuan hak tangguh (stay) diatur dalam Pasal 56 ayat (2) UU Kepailitan yang menentukan bahwa kreditur pemegang hak tanggungan (separatis) tersebut ditangguhkan haknya selama 90 hari untuk mengeksekusi benda jaminan hak tanggungan yang dipegangnya. Penangguhan eksekusi diberlakukan kepada semua kreditur separatis kecuali terhadap kreditur yang haknya timbul dari perjumpaan utang (set-off) serta terhadap kreditur pemegang piutang yang dijamin dengan uang tunai. Menurut Pasal 57 ayat 2 UU Kepailitan, kreditur dapat mohon agar penangguhan eksekusi diangkat dimana permohonan itu disampaikan kepada kurator. Tujuan penangguhan eksekusi menurut penjelasan Pasal 56 ayat 1 UU Kepailitan adalah untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian, mengoptimalkan harta pailit atau untuk memungkinkan kurator melaksanakan fungsinya secara optimal. Akibat penangguhan eksekusi adalah sebagai berikut: a. Selama penangguhan eksekusi berlangsung debitur tidak dapat dituntut ke pengadilan untuk melunasi utangnya. b. Pihak kreditur separatis maupun pihak ketiga yang berkepentingan dengan harta debitur tidak dibenarkan mengeksekusi atau memohon sita atas barang jaminan tersebut.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
c. Kurator dapat menggunakan atau menjual boedel pailit yang termasuk sebagai barang persediaan (inventory) atau barang-barang bergerak (current asset) meskipun harta tersebut dibebani dengan hak tanggungan. Berdasarkan ketentuan dari Pasal 56 ayat 3 UU Kepailitan maka jelaslah bahwa penangguhan eksekusi dapat mengakibatkan kreditur separatis kehilangan hak atas suatu barang jaminan yang dimilikinya dalam hal terjadi penjualan oleh kurator. Penjelasan dari Pasal 56 ayat 3 UU Kepailitan menyebutkan bahwa dengan dilakukannya pengalihan harta tersebut, maka hak kebendaan tersebut dianggap berakhir demi hukum. Selanjutnya, dalam Pasal 59 UU Kepailitan dinyatakan bahwa kreditur separatis sudah harus melaksanakan haknya dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak dimulainya keadaan insolvensi. Keadaan debitur yang sudah insolven secara teknis dan yuridis ini berakibat hukum bahwa pemberesan atas boedel pailit sudah dapat dimulai dan kreditur separatis sudah dapat melaksanakan sendiri hak eksekusinya atas barang jaminan yang dimilikinya. Namun demikian, Pasal 59 UU Kepailitan membatasi hak kreditur separatis untuk mengeksekusi haknya yaitu hanya selama 2 (dua) bulan terhitung sejak keadaan insolvensi dimulai. Jika kreditur separatis tidak melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu 2 (dua) bulan maka kurator yang akan melaksanakan hak kreditur separatis dengan cara menjual sendiri barang jaminan tersebut tanpa mengurangi hak kreditur separatis untuk memperoleh hasil penjualan agunan tersebut.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Atas tuntutan kurator atau kreditur separatis, kreditur separatis yang telah mengeksekusi kebendaan yang dijaminkan wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan kebendaan tersebut sampai dengan terpenuhinya jumlah tagihan yang diistimewakan tersebut. Selanjutnya jika hasil penjualan jaminan tersebut tidak cukup untuk melunasi piutang yang ada, maka kreditur separatis tersebut dapat mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut dari harta pailit sebagai kreditur konkuren setelah ia mengajukan permintaan pencocokan utang. 139 Dengan demikian dari pembahasan di atas di satu sisi menurut Pasal 55 UU Kepailitan, bahwa setiap kreditur yang memegang hak tanggungan, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Sehingga dapat dikatakan menurut ketentuan hukum berdasarkan ketentuan Pasal 55 UU Kepailitan kredit pemegang hak tanggungan tidak terpengaruh oleh putusan pailit tersebut. Oleh karena itu ketentuan Pasal 55 UU Kepailitan sejalan dengan ketentuan hak separatis pemegang hak jaminan (hak tanggungan) sebagaimana ditentukan oleh KUH Perdata. Akan tetapi ketentuan Pasal 56 UUK dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Hak Tanggungan, karena: a. Pasal 56 menentukan bahwa hak eksekusi kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitur yang pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari terhitung sejak tanggal pailit ditetapkan.
139
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), hlm 61-62. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
b. Pasal 56 justru tidak sejalan dengan hak separatis dari pemegang hak jaminan yang diakui oleh Pasal 55 tersebut. c. Dari penjelasan Pasal 56 tersebut, terlihat bahwa UU Kepailitan tidak taat asas dan tidak konsisten. d. Di satu sisi, Pasal 55 mengakui hak separatis kreditur preferen, tetapi di pihak lain ketentuan Pasal 56 justru mengingkari hak separatis tersebut, karena menentukan bahwa barang yang dibebani hak agunan tersebut merupakan harta pailit. Jadi terlihat adanya ketidakkonsistenan antara Pasal 55 dan Pasal 56 UU Kepailitan dalam kaitan dengan kreditur pemegang hak tanggungan, yang disatu sisi menyatakan tidak terjadi pengaruh terhadap kreditur pemegang hak tanggungan namun di sisi lain adanya ketentuan terhadap kreditur pemegang hak tanggungan untuk penangguhan eksekusi hak tanggungan. Namun demikian, menurut M. Hadi Shubhan, filosofi ketentuan penangguhan ini adalah bahwa dalam praktik sering kali para pemegang hak tanggungan akan menjual benda jaminannya dengan harga jual cepat, di mana harga jual cepat adalah harga yang di bawah harga pasar. Strategi penjualan cepat dengan harga cepat ini adalah hanya demi memenuhi kepentingan kreditur pemegang hak tanggungan saja. Sedangkan jika ditangguhkan selama 90 hari tersebut memberikan kesempatan pada kurator untuk memperoleh harga yang layak dan bahkan harga yang terbaik. Hal ini karena pada dasarnya pemegang hak tanggungan memiliki hak preferensi atas benda jaminan sampai senilai piutangnya terhadap debitur, sehingga jika nilai likuidasi benda jaminan melebihi nilai piutang kreditur, maka sisa nilai likuidasi benda Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
jaminan harus dikembalikan pada debitur. Dalam konteks kepailitan, maka jika terdapat nilai sisa likuidasi benda jaminan tersebut, maka sisa tersebut dimasukkan dalam boedel pailit. Pengaturan yang demikian ini akan memberikan perlindungan hukum baik terhadap debitur pailit maupun kepada para kreditur lainnya, sementara kreditur pemegang hak tanggungan sama sekali tidak dirugikannya. 140 Makna lainnya dari ketentuan hak tangguh ini adalah bahwa kurator berdiri di atas kepentingan semua pihak. Kurator hanya berpihak pada hukum, sehingga jika likuidasi benda jaminan dilakukan oleh kurator, maka diharapkan tidak akan merugikan semua pihak. Ditambah lagi, kurator senantiasa dalam supervisi dari hakim pengawas.
140
Ibid., hlm. 173.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan dan saran sebagai berikut: A. Kesimpulan 1. Pelaksanaan kepailitan kreditur terhadap debitur adalah dengan mengajukan permohonan pailit debitur ke Pengadilan Niaga, dengan persyaratan debitur mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Dengan dikabulkannya permohonan pailit oleh Pengadilan Niaga maka sejak saat itu debitur dinyatakan pailit. Dalam pelaksanaan kepailitan ini masih terdapat kelemahan mengenai ketentuan batasan minimal utang yang tidak ada diatur dalam UU Kepailitan. 2. Kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan dalam putusan kepailitan bukan berkedudukan sebagai kreditur preferen sebagaimana diatur dalam hukum perdata umum yaitu kreditur yang memiliki hak jaminan kebendaan yang harus didahulukan pembayaran piutangnya. Akan tetapi, di dalam kepailitan yang dimaksud dengan kreditur preferen hanya kreditur yang menurut undang-undang didahulukan pembayaran piutangnya, seperti pemegang hak privilege, pemegang hak retensi. Sedangkan kreditur pemegang hak tanggungan diklasifikasikan sebagai kreditur separatis.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
3. Akibat kepailitan terhadap kreditur pemegang hak tanggungan dalam eksekusi hak tanggungan adalah pelaksanaan hak preferensi dari kreditur pemegang hak tanggungan ini berbeda dengan pelaksanaan hak preferensi kreditur pemegang hak tanggungan ketika tidak dalam kepailitan, yaitu adanya ketentuan mengenai masa tangguh (stay) selama 90 hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit untuk mengeksekusi benda jaminan hak tanggungan yang dipegangnya. Sehingga terjadi ketidak-konsistenan dalam ketentuan undang-undang kepailitan yang disatu sisi menyatakan kreditur pemegang hak tanggungan dapat mengeksekusi hak tanggungan seolah-olah tidak terjadi kepailitan, tetapi di sisi lain adanya ketentuan penangguhan eksekusi hak tanggungan.
B. Saran 1. Disarankan perlunya dalam Undang-Undang Kepailitan ditentukan pembatasan jumlah minimal utang yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan pailit baik terhadap orang perorangan maupun terhadap perseroan terbatas, sehingga tidak semua besaran hutang (relatif kecil) dapat dijadikan dasar untuk mengajukan pailit. 2. Kepailitan lebih banyak dimanfaatkan oleh kreditur konkuren yang tidak memiliki hak prioritas apapun terhadap aset debitur, sehingga memerlukan mekanisme kepailitan yang tegas untuk mengamankan kepentingan tagihan-tagihan kreditur konkuren terhadap harta debitur. Walaupun kreditur separatis sudah memegang jaminan hak tanggungan dan dapat mengeksekusi jaminan hak tanggungan yang
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
dipegangnya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, akan tetapi kreditur pemegang hak tanggungan (separatis) masih memiliki kepentingan yang berupa sisa tagihan yang tidak cukup ditutup dengan eksekusi jaminan serta kepentingan mengenai keberlangsungan usaha debitur. 3. Sebaiknya ketentuan penangguhan eksekusi hak tanggungan dalam Pasal 56 UU Kepailitan dapat ditinjau kembali karena terjadi ketidakkonsistenan dengan Pasal 55 yang menyatakan bagi kreditur pemegang hak tanggungan seolah-olah tidak terjadi debitur pailit. Akibat ketidakkonsistenan ini maka eksekusi hak tanggungan dalam hal pailit debitur harus berdasarkan putusan hakim di pengadilan.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002. Badrulzaman, Mariam Darus, Perjanjian Kredit Bank, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991. Bruggink, J.J.H., “Refleksi Tentang Hukum”, dialihbahasakan oleh Arief Sidharta, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999. Fuady, Munir, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku Kesatu, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996. ______, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1998. ______, Hukum Pailit 1998, Dalam Teori dan Praktek, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002. ______, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik, edisi revisi disesuaikan dengan UU No. 37 Tahun 2004, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005. Gautama, Sudargo, Himpunan Yurisprudensi Indonesia yang Penting Untuk Praktek Sehari-hari (Landmark Decisions), jilid 16, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996. ______, Komentar atas Peraturan Baru Untuk Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998. Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya Jilid I Hukum Tanah Nasional, cetakan 7, Jakarta: Djambatan, 1997. ______, Hukum Agraria Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 1999. Hartono, Siti Soematri, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1993. Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Hasibuan. Effendy, Dampak Pelaksanaan Eksekusi Hipotek Dan Hak Tanggungan Terhadap Pencairan Kredit Macet Pada Perbankan Di Jakarta, Jakarta: Laporan Penelitian, 1997. J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, editor M. Hisyam, Jakarta : FE UI, 1996. Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1999. Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1997. Lontoh, Rudy A, Penyelesaian Utang Putang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2001. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994. Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1986. Muljadi, Kartini, Actio Paulina dan Pokok-Pokok tentang Pengadilan Niaga, Bandung: Alumni, 2001. Rachbini, Didik J., Suwidi Tono, et.al, Bank Indonesia menuju Independensi Bank Sentral, Jakarta: Mardi Mulyo, 2000. Sastrawidjaja, H. Man S., Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: PT. Alumni, 2006. Satrio, J., Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991. Sembiring, Sentosa, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan Yang Terkait Dengan Kepailitan, Bandung: Nuansa Aulia, 2006. Shubhan, M. Hadi, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Jakarta: Kencana, 2008. Simanjuntak, Ricardo, Esensi Pembuktian Sederhana, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005. Singarimbun, Masri dan Sifian Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Siregar, Mustafa, Pengantar Beberapa Pengertian Hukum Perbankan, Medan: USU Press, 1991. Sjahdeini, Sutan Remy, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999. ______, Hukum Kepailitan memahami Faillissements Verordening juncto UndangUndang Nomor 4 Tahun 1998, Jakarta : Grafiti, 2002. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986. Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Liberty, 1980. Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001. Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999. Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998. Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Jaminan Fidusia, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2000. ______, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000. Yuhassarie, Emmy (ed), Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004. ______, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004. B. Makalah, Artikel, Karya Ilmiah, dan Internet Badrulzaman, Mariam Darus, Posisi Hak Tanggungan Dalam Hukum Jaminan Nasional, Makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional “Kesiapan Dan Persiapan Dalam Rangka Pelaksanaan Undang-undang Hak Tanggungan” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. pada tanggal 27 Mei 1996 di Bandung, dan dalam Seminar Nasional Sehari ‘Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan Di Lingkungan Perbankan” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. pada tanggal 25 Juli 1996 di Medan.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Boedi Harsono dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta, dalam makalahnya berjudul “Segi-Segi Yuridis Undang-Undang Hak Tanggungan” yang disampaikan pada Seminar Nasional Undang-Undang Hak Tanggungan tanggal 10 April 1996 di Hotel Horizon, Jakarta, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Trisakti bekeijasama dengan Kantor Menteri Agraria/Badan Pertanahan Nasional dan BPP Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT). Harsono, Boedi, Ceramah berjudul “Jaminan Kepaslian Hukum di Bidang Pertanahan, diadakan di Hotel Istana, Bandung, 15 Februari 1995, dikutip dan Bahan Pendalaman Menteri Hukum Tinggi Peradilan Umum, Surabaya, tanggal 2 1-25 Februari 1995 Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Jakarta : Bumi Aksara, 2000. Mochtar, Zainal Arifin, “Panorama Teori Hukum dan Keadilan”, terakhir diakses dari http://psp.ugm.ac.id/kks/materi_kuliah/1011%20Januari%202009/Panorama%20Teori%20 Hukum%20dan%20Keadilan.ppt. tanggal 14 April 2009. Nasution, Bismar dan Sunarmi, Diktat Hukum Kepailitan di Indonesia, Medan: Universitas Sumatera Utara Sekolah Pasca Sarjana Program Magister Kenotariatan, 2007. Pelaksanaan Pemberian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Pada Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat, terakhir diakses dari www.one.indoskripsi.com/node/2715 tanggal 04 April 2009. Sitepu, Runtung, Diktat Perkuliahan Metodologi Penelitian Hukum, Medan: Universitas Sumatera Utara Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, 2004. C. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.
44
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.