763
Manajemen pengembangan maggot ... (Melta Rini Fahmi)
MANAJEMEN PENGEMBANGAN MAGGOT MENUJU KAWASAN PAKAN MINA MANDIRI Melta Rini Fahmi Balai Riset Budidaya Ikan Hias Jl. Perikanan No. 13 Pancoran Mas, Depok E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Sebagai sumber protein alternatif maggot telah mampu diproduksi secara massal pada tingkat petani. Kegiatan produksi massal ini dilaksanakan di Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi. Pemilihan lokasi Sarolangun didasarkan pada lokasi pabrik sawit yang terdapat di daerah tersebut. Perlu diperhatikan bahwa produksi massal maggot hanya dapat dilakukan jika bahan baku berupa PKM tersedia dalam jumlah banyak atau produksi dilakukan di sekitar perkebunan untuk memperpendek jarak transportasi. Beberapa pertimbangan dalam membentuk suatu kawasan budidaya adalah suplai benih, ketersediaan pakan, dan pemasaran. Pengembangan maggot dalam satu kawasan budidaya memiliki nilai yang sangat strategis selanjutnya dikenal istilah Kawasan Pakan Mina Mandiri. Beberapa unit kegiatan yang dilakukan untuk mengembangkan maggot dalam kawasan Mina Pakan Mandiri adalah 1) adanya unit produksi maggot, 2) unit pengolahan pakan, dan 3) unit budidaya. Unit produksi maggot memiliki prasyaratan sebagai berikut; lokasi berada pada vegetasi hutan atau perkebunan dan dekat dari pabrik Palm Kerenel Oil (PKO), memiliki bak kultur, memiliki bak untuk restocking, air tersedia dalam jumah yang cukup. Unit pengolah pakan memiliki prasyarat sebagai berikut; mesin pelet, area penjemuran atau alat pengeringan pakan (drying), bahan pakan seperti vitamin dan dedak. Unit budidaya ikan memiliki prasyarat sebagai berikut; kolam budidaya, dan manajemen budidaya yang baik.
KATA KUNCI:
maggot, biokonversi, kawasan mina pakan mandiri, Sarolangun
PENDAHULUAN Makalah ini ditulis untuk memberikan penjelasan mengenai pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit berupa bungkil kelapa sawit/PKM (Palm Kernel Meal) untuk bahan baku pakan ikan melalui proses biokonversi. Sebelum masuk pada topik biokonversi bungkil, akan diulas kembali kondisi perikanan budidaya baik di dunia secara global maupun di Indonesia. Perkembangan akuakultur selama 15 tahun terakhir seiring dengan penurunan produksi perikanan tangkap (FAO). Jika melihat data perikanan Indonesia terjadinya pertumbuhan budidaya ikan yang sangat signifikan yaitu 28,1% sedangkan pertumbuhan produksi melalui penangkapan hanya mencapai angka 2%. Saat ini Indonesia memiliki potensi lahan untuk perikanan budidaya seluas 11.806.392 hektare (ha) dan baru dimanfaatkan 762.320 ha (6,46%). Sehingga masih tersisa lahan 11.044.072 ha (93,64%) yang belum dimanfaatkan. Potensi produksi perikanan Indonesia mencapai 65 juta ton per tahun. Dari potensi tersebut hingga saat ini dimanfaatkan sebesar 9 juta ton. Namun, potensi tersebut sebagian besar berada di perikanan budidaya yang mencapai 57,7 juta ton/tahun dan baru dimanfaatkan 2,08%. Sedangkan potensi perikanan tangkap (laut dan perairan umum) hanya sebesar 7,3 juta ton per tahun dan telah dimanfaatkan sebesar 65,75%. Dengan meningkatnya produksi budidaya ikan secara otomatis akan meningkatkan kebutuhan pakan ikan. Seperti diketahui peningkatan harga tepung ikan disebabkan oleh kelangkaan tepung ikan sebagai akibat dari pengurangan hasil tangkapan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh FAO, produksi tepung ikan mulai mengalami fase stagnan yaitu kurang lebih 6,1 juta ton per tahun semenjak tahun 90-an dan saat ini angka tersebut mengalami penurunan. Kondisi ini tentu menjadi kendala yang cukup besar bagi pertumbuhan budidaya perikanan. Untuk menghadapi masalah kelangkaan tepung ikan maka perlu dilakukan upaya mencari pengganti tepung ikan (fishmeal replacement). Beberapa penelitian telah menemukan pengganti tepung ikan seperti tepung keong, bulu ayam, kedelai, bungkil kelapa sawit (Palm Kernel Meal/PKM) dan lain-lain, namun penyediaan bahan tersebut dalam jumlah banyak dan tersedia secara terus-menerus agak sulit dicapai.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
764
Perjalanan panjang penelitian Fishmeal Replacment (pengganti tepung ikan) memasuki babak baru dengan ditemukannnya maggot sebagai pengganti tepung ikan melalui kegiatan biokonversi. Penelitian ini dimulai dari unit penelitian di bawah Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) yaitu Loka Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar (LRBIHAT) berlokasi di Depok yang bekerja sama dengan lembaga penelitian milik pemerintah Perancis yaitu IRD (Institute de Recherche pour le Devevellompment). Upaya penemuan sumber protein alternatif tentu tidak akan memiliki makna jika tidak bisa diproduksi secara massal. Seperti yang telah dituliskan sebelumnya oleh Fahmi (2007; 2009) bahwa bahan baku maggot merupakan limbah (by product) pabrik kelapa sawit. Inilah yang menjadi poin penting dalam menciptakan sumber protein alternatif yaitu bahan yang akan digunakan tidak dapat digunakan oleh manusia secara langsung, sehingga tidak perlu dikhawatirkan jika manusia akan menjadi pesaing dalam pemanfaatannya, seperti pada kasus tepung ikan dan tepung kedelai. Beberapa kriteria bahan yang dapat menggantikan tepung ikan adalah pertama tersedia dalam jumlah banyak atau dapat diproduksi secara massal. Sebagai negara pertama penghasil kelapa sawit tentunya Indonesia memiliki bungkil kelapa sawit (PKM) dalam jumlah yang berlimpah juga. Lebih dari 2,5 juta ton/tahun PKM di hasilkan di negeri ini. PKM merupakan limbah yang didapatkan dari produksi PKO (Palm Kernel Oil). Jika potensi ini diberdayakan untuk produksi maggot maka tentunya maggot dapat diproduksi secara massal dan ini menjadi potensi yang luar biasa besar. Kedua pengganti tepung ikan memiliki kandungan protein yang tinggi atau mampu mengimbangi protein tepung ikan. Hingga saat ini kandungan protein maggot yang dilaporkan berkisar antara 45%–52%. Di samping memiliki kandungan protein yang tinggi maggot juga memiliki efek yang baik untuk peningkatan daya tahan tubuh ikan (Fahmi, 2009). Sebagai sumber protein altenatif maggot telah mampu diproduksi secara massal pada tingkat petani atau masyarakat. Aplikasi maggot sebagai sumber protein alternatif, juga perlu dikembangkan hingga skala industri. Produksi maggot pada tingkat petani diharapkan dapat mewujudkan kawasan perikanan dengan basis kemandirian penyediaan pakan atau lebih dikenal dengan istilah kawasan perikanan terpadu atau mina pakan madiri. Produksi maggot pada skala industri ditujukan untuk penyediaan pakan ikan yang murah dalam jumlah banyak. Lokasi produksi produksi maggot haruslah berada di daerah yang tidak jauh dari pabrik kelapa sawit (PKO) hal ini dilakukan untuk mengurangi biaya produksi pakan, yang disebabkan oleh transportasi. Kawasan mina pakan mandiri, merupakan kawasan budidaya perikanan dengan sistem penyediaan dan pengolahan pakan dilaksanakan secara mandiri. Bahan baku pakan diutamakan dari bahan baku lokal yang tidak dimanfaatkan manusia secara langsung. Kawasan mina pakan mandiri merupakan salah satu bagian dari kawasan Minapolitan. Pada kawasan minapolitan variabel yang diperhatikan sangat luas meliputi sarana dan prasarana penunjang kegiatan perikanan, seperti pengairan, pemasaran, pasca panen, dan lain-lain. Sedangkan variabel utama dalam penentuan kawasan mina pakan mandiri adalah kemampuan wilayah tersebut menyediakan pakan ikan secara mandiri. Kabupaten Sarolangung, berada pada bagian barat Provinsi Jambi, merupakan kabupaten yang baru mengalami pemekaran dari Kabupaten Bangko. Kegiatan perekonomian penduduk Kabupaten Sarolangun umumnya hidup berasal dari kegiatan perkebunan, pertanian, dan perikanan. Sebagian besar kegiatan perkebunan, pertanian, dan perikanan digerakan oleh masyarakat transmigran. Perkebunan sawit dan karet merupakan dua sektor utama perkebunan yang dikembangkan di Kabupaten Sarolangun. Sedangkan untuk kegiatan perikanan, didominasi oleh budidaya perikanan secara ekstensif. Kegiatan produksi massal maggot dilaksanakan di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Pemilihan lokasi Sarolangun didasarkan pada lokasi pabrik sawit yang terdapat di daerah tersebut. Perlu diperhatikan bahwa produksi massal maggot hanya dapat dilakukan jika bahan baku berupa PKM tersedia dalam jumlah banyak atau produksi dilakukan di sekitar perkebunan untuk mempersingkat transportasi. Idealnya maggot dapat diproduksi di sekitar pabrik sawit, sabagai langkah penghematan energi sehingga yang akan dikeluarkan hanya maggot. Perlu diingat bahwa tingginya harga tepung ikan juga disebabkan oleh energi yang digunakan untuk mendapatkannya sangatlah tinggi, mulai dari penangkapan, pengeringan penepungan transportasi, dan lain-lain. Untuk itu, produksi maggot sebaiknya difokuskan pada wilayah di sekitar pabrik sawit.
765
Manajemen pengembangan maggot ... (Melta Rini Fahmi)
Strategi Pengembangan Maggot di Kawasan Mina Pakan Mandiri Pengembangan maggot di kawasan mina pakan mandiri terdiri atas tiga unit kegiatan yaitu unit produksi maggot, unit pembutan pakan dan unit budidaya ikan. Berikut ini adalah model kegiatan yang dikembangkan pada masing-masing unit.
Unit produksi maggot
Unit pembuatan pakan
Unit budidaya ikan
Gambar 1. Skema pengembangan maggot dikawasan mina pakan mandiri Unit Produksi Maggot Unit produksi maggot dilakukan pada daerah dengan vegetasi hutan atau perkebunan. Kriteria ini sangat penting diperhatikan karena serangga Hermetia illucense hidup pada daerah bervegetasi hutan. Daerah yang perlu dihindari dalam produksi massal maggot adalah kawasan pemukiman penduduk, karena kultur maggot akan terkontaminasi oleh lalat domestik seperti lalat rumah (Musca sp.) dan lalat hijau (Calliphora sp.) di samping alasan estetika. Kriteria lain yang diperhatikan pada kawasan produksi maggot adalah jarak dari pabrik kelapa sawit (Palm kernel Oil). Semakin dekat jarak dengan pabrik, maka kegiatan produksi maggot akan semakin ekomonis dan efisien. Budidaya maggot dapat dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kegiatan budidaya ikan. Prasyarat lain yang harus ada pada unit produksi maggot adalah bahan baku untuk kultur maggot yaitu bungkil kelapa sawit (PKM), dan bak untuk kultur maggot. Pada percobaan (pilot project) produksi massal maggot di Kabupaten Sarolangun bak yang digunakan terbuat dari semen dengan ukuran 3,5 m x 7 m x 0,6 m. Sebanyak 5 kepala keluarga diberikan masing-masing 4 bak kultur maggot (Gambar 2). Kegiatan kultur dan panen maggot dilakukan pada hari-hari yang telah ditetapkan, seperti setiap hari Senin, Selasa, dan seterusnya hingga hari Jum’at. Sebagai contoh adalah keluarga yang beraktivitas pada hari Senin. Setiap hari Senin bak diisi dengan 500 kg PKM dan ditambahkan air dengan perbandingan 2:1. Masing-masing bak diisi setiap hari Senin dan setiap pekan secara berurutan dari bak I, II, dan seterusnya hingga bak IV. Setelah 4 pekan akan dilakukan pemanenan pada bak I, dilanjutkan dengan penebaran kembali bungkil kelapa sawit pada bak tersebut. Secara berurutan akan dilakukan pemanenan dari bak I hingga bak IV dengan rentang waktu satu pekan. Panen maggot dilakukan secara kering yaitu dengan cara mengkondisikan maggot untuk keluar dari media kulturnya (self herverst). Setelah maggot bekumpul pada satu tempat maka panen dapat dilakukan dengan mudah. Jumlah maggot yang dipanen setelah 4 pekan yaitu berkisar antara 150 hingga 200 kg/bak. Media sisa produksi maggot dikeringkkan dengan menggunakan sinar matahari selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Maggot yang didapatkan selanjutnya dijual ke unit pembuatan pakan dengan harga Rp 2.000,-/kg.
766
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
Gambar 2. Bak kultur maggot ukuran 3,5 m x 7 m x 0,6 m Unit Pembuatan Pelet Pengolahan maggot menjadi pelet dilakukan dengan tahapan sebagai berikut; killing (mematikan maggot), drying (pengeringan maggot), dan pelleting. Killing umumnya dilakukan dengan cara hot treatment , hal ini dilakuakn untuk menghindari mobilitas maggot selama proses pelleting, dan mengurangi kandunagn lemak yang ada dalam maggot. Drying dilakukan sebanyak dua kali yaitu setelah killing dan setelah pelleting. Pengeringan maggot hingga kadar air mencapai 25%–30% akan sangat memudahkan proses pelleting. Bahan pakan yang digunakan dalam pembuatan pelet maggot adalah dedak dan vitamin dengan komposisi sebagai berikut:
Tabel 1. Formulasi pelet maggot yang diterapkan di Kabupaten Sarolangun Bahan
Volume (kg)
Harga/kg
Maggot Dedak Vitamin
75 40 1
2.200 2.000 10.000
Jumlah (Rp)
Total
Gambar 3. Proses pengeringan maggot
150.000 88.000 10.000 248.000
767
Manajemen pengembangan maggot ... (Melta Rini Fahmi)
Unit Budidaya Ikan Pemanfaatan maggot sebagai pakan ikan telah diujicobakan pada berbagai jenis ikan konsumsi di antaranya ikan patin, ikan mas, ikan nila, dan ikan lele. Pada pilot project di Kabupaten Sarolangun maggot diaplikasikan sebagai pakan ikan nila dan ikan. Pelet maggot yang telah di produksi pada unit pembuatan pelet akan dibeli oleh pembudidaya ikan dengan harga Rp 3.500,-/kg. Kandungan protein pelet yang diberikan pada ikan adalah 29%. Sinkronisasi setiap unit kegiatan perlu dilakukan dalam satu manajemen kelompok tani. Hal ini sangat penting diperhatikan karena jika salah satu unit tidak menjalankan produksi secara kontinu, maka aktivitas pada unit lain akan terganggu. Oleh karena itu, kajian sosial ekomonis pada setiap unit kegiatan hendaknya dilakukan untuk meminimalkan ketimpangan pendapatan pada masingmasing unit. KESIMPULAN Pengembangan produksi maggot pada level pembudidaya/masyarakat akan mendukung terbentuknya kawasan mina pakan mandiri. Unit produksi maggot hendaknya berada pada daerah vegetasi hutan dan dekat dengan pabrik kelapa sawit. Budidaya maggot dapat dilakukan oleh masyarakat yang tidak memiliki kegiatan budidaya ikan. Unit lain yang dibuhkan adalah unit pembuatan pelet dan budidaya ikan. Masing-masing unit memiliki hubungan yang sangat erat sehingga dibutuhkan manajemen yang baik dalam pengelolaannya. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Saurin Ham, M.Sc., Drs. I Wayan Subamia, M.Si., Ir. Maskur, M.Si., Ir. Supriyadi, M.Si., Ir. Ediwarman, M.Si., dan Wisnu Adianto, S.Pi. atas kerja samanya selama melaksanakan kegiatan pengembangan maggot di Kabupaten Sarolangun. DAFTAR PUSTAKA Fahmi, M.R, Hem, S., & Subamia, I.W. 2007. Potensi Maggot Sebagai Sumber Protein Alternatif. Prosiding Seminar Nasional Perikanan II. UGM, 5 hlm. Fahmi, M.R., Hem, S., & Subamia, I.W. 2009. Potensi Maggot Untuk Peningkatan Pertumbuhan dan Status Kesehatan Ikan. J. Ris. Akuakultur. (in press). FAO. 2004. The State Of World Fisheries And Aquaculture. FAO Fisheries Departement. Rome, 146 pp. Hem, S., Toure, S., Sagbla, C., & Legendre, M. 2008. Bioconversion of palm kernel meal for aquaculture:Experiences from the forest region (Republic of Guinea). African J. of Biotechnology, 7(8): 1,192–1,198. Hem, S., Fahmi, M.R., Chumaidi, Maskur, Hadadi, A., Supriyadi, Ediwarman, Larue, M., & Pouyoud, L. 2008. Valorization of Palm Kernel Meal Via Bioconversion: Indonesia’s initiative to address aquafeeds shortage. Fish for the people, SEAFDEC. Bangkok Thailand, 6(2): 42. IRD. Hem, S. 2004. Prospective work result & plans for feature program of bioconversi prossecing by product from argo industries in Indonesia & the valorization via aquaculture: Application with palm kernel meal. Annual report, 11 pp (unpublished report).