LAPORAN TEKNIS KEGIATAN PENELITIAN T.A 2015
PEMETAAN SOSIAL EKONOMI SUMBERDAYA PESISIR BERBASIS KAWASAN
Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Badan Penelitian Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan 2015
LEMBAR PENGESAHAN
Satuan Kerja (Satker)
:
Judul Kegiatan
:
Status Pagu Anggaran Tahun Anggaran Sumber Anggaran
: : : :
Penanggung Jawab Output
:
Penanggung Jawab Pelaksana Output :
Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Valuasi dan Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Perikanan Baru Rp. 346 845 000 2015 APBN/APBNP DIPA Satker Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2015 Prof.(Ris). Sonny Koeshendrajana NIP. 19600424 198503 1 006 Andrian Ramadhan, M.T NIP. 19810703 200502 1 002 Jakarta, Juli 2015 Penanggung Jawab Pelaksana Output
Penanggung Jawab Output
Prof.(Ris). Sonny Koeshendrajana NIP. 19600424 198503 1 006
Andrian Ramadhan, M.T NIP. 19810703 200502 1 002
Mengetahui/Menyetujui: Kepala Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Ir. Tukul Rameo Adi, MT NIP. 19610210 1990 03 1 001
i
COPY RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN PENELITIAN BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN 1. JUDUL KEGIATAN : Pemetaan Sosial Ekonomi Sumberdaya Pesisir Berbasis Kawasan 2. SUMBER DAN TAHUN ANGGARAN : APBN/ APBNP 2015 3. STATUS PENELITIAN : Baru Lanjutan Jika penelitian lanjutan, maka diuraikan hasil penelitian sebelumnya 4.
PROGRAM a. Komoditas
: :
Penelitian dan Pengembangan KP Perikanan
b. Bidang/Masalah
:
(sasaran pokok pembangunan KP berdasarkan Rancangan RPJMN 2015-2019)
Kedaulatan pangan Pengembangan ekonomi maritim dan kelautan Penguatan jati diri sebagai negara maritime Pemberantasan ikan liar c. Penelitian Pengembangan : Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan d. Manajemen Penelitian : Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan e. Isu Strategis Pembangunan KP 2015-2019 : Pengembangan produk perikanan untuk ketahanan pangan dan gizi nasional Peningkatan daya saing dan nilai tambah produk kelautan dan perikanan Pendayagunaan potensi ekonomi sumber daya KP Pengelolaan sumber daya KP secara berkelanjutan Peningkatan kesejahteraan pelaku usaha kelautan dan perikanan Pengembangan SDM dan IPTEK KP f. Dukungan terhadap Indikator Kinerja BSC Nilai Indeks Kesejahteraan Masyarakat KP Pertumbuhan PDB Perikanan (%) Jumlah WPP yang terpetakan potensi di bidang sumberdaya sosial ekonomi KP untuk pengembangan ekonomi maritim dan kelautan yang berkelanjutan Jumlah rekomendasi kebijakan yang diusulkan untuk dijadikan bahan kebijakan (buah) Jumlah pengguna hasil Iptek litbang di bidang sumberdaya sosial ekonomi KP (kelompok) Jumlah Rekomendasi Kebijakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan Jumlah Data dan Informasi Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Karya Tulis Ilmiah Bidang Penelitian Sosial Ekonomi Jumlah Model Kelembagaan Penyebaran IPTEK dan Pemberdayaan Masyarakat Jumlah Model Kebijakan Sosial Ekonomi Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan 5. JUDUL KEGIATAN : Pemetaan Sosial Ekonomi Sumberdaya Pesisir Berbasis Kawasan 6. LOKASI KEGIATAN : Propinsi Kalimantan Timur, Propinsi Kalimantan Utara, dan Propinsi Sulawesi Utara. 7. PENELITI YANG TERLIBAT : Pendidikan/ Tugas Alokasi No. N a m a Disiplin Ilmu Jabatan Fungsional (Institusi) Waktu ii
1 2
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Prof (Ris) Sonny S3 / Prof Riset Koeshendrajana Andrian Ramadhan, S2/ Peneliti Muda MT Fatriyandi Nur M.Si Drs. Elly Reswati Hikmah, M.Si
P, S2/ Calon Peneliti
Ekonomi Sumberdaya Pembangunan Wilayah Pesisir
Sosiologi Pedesaan S1 / Peneliti Muda Ekonomi S2 / Peneliti Madya Pengelolaan Pesisir Dr. Achmad Zamroni S3/Peneliti Madya Pengelolaan Pesisir Radityo Pramoda, S2 / Peneliti Muda Hukum M.M Riesty Triyanti, S.Si S1 / Peneliti Muda Kimia Rizki Aprilian W, S.Pi S1 / Peneliti Muda Sosial Ekonomi Perikanan Maulana Firdaus, S1 / Peneliti Muda Sosial Ekonomi S.Pi Perikanan Mira, M.T S2 / Peneliti Madya Pembangunan Wilayah Pesisir Subhechanis S, M.Se S2 / Peneliti Muda Ilmu Ekonomi Lindawati, S.Pi S2 / Peneliti Muda Sosial Ekonomi Perikanan Irwan Muliawan S3 / calon peneliti Pengelolaan Pesisir Arifa Desfamita, S1 / Non Kelas Komputer S.Komp PM PM PM
(OB) Penanggung Jawab 3 Output/ BBPSEKP Penanggung Jawab 5 Pelaksana Output / BBPSEKP Anggota/ BBPSEKP 5 Anggota/ BBPSEKP Anggota/ BBPSEKP
5 5
Anggota/ BBPSEKP
5
Anggota/ BBPSEKP
5
Anggota/ BBPSEKP Anggota/ BBPSEKP
5 5
Anggota/ BBPSEKP
5
Anggota/ BBPSEKP
5
Anggota/ BBPSEKP Anggota/ BBPSEKP
5 5
Anggota/ BBPSEKP
5
PUMK / BBPSEKP
5
IPB / PKSPL IPB / PKSPL IPB / PKSPL
Latar Belakang Panjang wilayah pesisir Indonesia mencapai 95.181 km yang didalamnya terkandung keragaman potensi sumberdaya kelautan dan perikanan. Sumberdaya tersebut memiliki arti penting bagi pengembangan sosial-budaya, ekonomi dan lingkungan sehingga penting untuk dilakukan pemetaan agar dapat secara optimal dimanfaatkan. Meski dinilai penting, pemetaan tersebut belum banyak dilakukan dan masih secara parsial dan tersebar diberbagai tempat. Hal ini menyebabkan Indonesia belum memiliki peta sosial ekonomi pada wilayah pesisir sehingga perumusan kebijakan terkait seringkali tidak disertai oleh kondisi eksisting sumberdaya. Dampaknya perencanaan tidak dilakukan secara seimbang dan berkelanjutan. Adrianto (2006), menyebutkan bahwa paradigma pengelolaan sumberdaya selama ini lebih banyak hanya memperhitungkan faktor keuntungan ekonomi dibanding dengan biaya lingkungan terkait dengan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. iii
Wilayah pesisir dan laut adalah salah satu ekosistem yang sangat produktif dan dinamis. Aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam ini seringkali tanpa memperhatikan prinsip kelestarian pengelolaan dan tumpang tindih. Disisi lain data maupun informasi biofisik lingkungan maupun sumber daya alam di wilayah tersebut masih sangat terbatas terutama yang bersifat keruangan (Spasial). Survei dan pemetaan sosial ekonomi sumberdaya pesisir merupakan salah satu upaya untuk mempercepat pengadaan data mengenai wilayah pesisir dan laut. Alat bantu yang dapat digunakan untuk menunjang hal ini biasanya berupa pemanfaatan data citra yang dipadukan dengan hasil lapangan sehingga hasilnya dapat divisualisikan secara baik. Karakteristik Lingkungan Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh Kay dan Alder (1999:2) sebagai daerah dimana daratan dan lautan bertemu. Sedangkan menurut Undang-Undang No.27 tahun 2007 wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Bengen (2004:2) menambahkan bahwa batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air dan tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Oleh karena itu wilayah pesisir memiliki interaksi antar dua ekosistem tersebut yang bersifat saling timbal balik. Pada wilayah pesisir terdapat berbagai ekosistem penting yang masing-masing memiliki karakteristik berbeda. Secara khusus penelitian ini akan berkenaan dengan ekosistem estuaria dan mangrove. Dengan demikian pembahasan akan dibatasi pada kedua jenis ekosistem yang saling terkait tersebut. Ekosistem Estuaria Estuaria secara definisi merupakan wilayah pesisir semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima air tawar dari daratan (Bengen,2004:10). Secara lebih spesifik estuaria dapat dikelompokkan menjadi empat tipe yaitu estuaria daratan pesisir, laguna, Fjords dan estuaria tektonik. Tipe ekosistem estuaria yang terdapat pada lokasi penelitian sendiri merupakan tipe laguna yang terbentuk oleh adanya beting pasir yang terletak sejajar dengan garis pantai. Kondisi tersebut menyebabkan tidak terjadinya interaksi secara langsung dan terbuka dengan perairan laut (Bengen 2004:10). Menurut Bengen (2004:13-14) estuaria secara fisik dan biologis merupakan ekosistem yang produktif dimana disebabkan oleh tiga hal. Pertama, karena estuaria dapat menjebak zat hara yang cepat didaur ulang. Kedua, fotosintesis terjadi sepanjang tahun pada wilayah ini karena tingginya ragam komposisi tumbuhan makro (makrofiton) dan tumbuhan mikro (mikrofiton).
iv
Ketiga, karena terjadinya pengangkutan bahan makanan dan zat hara yang dibutuhkan oleh berbagai organisme estuaria melalui proses pasang-surut. Erlangga (2007) mengidentifikasi berbagai fenomena lingkungan yang terjadi di wilayah estuaria sebagai berikut : 1. Tempat bertemunya arus sungai dengan arus pasang surut, dimana menyebabkan pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri fisika lainnya. 2. Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut. 3. Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang surut mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya 4. Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasang surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lain, serta topografi daerah estuaria tersebut. Fenomena yang disebutkan di atas membuat biota di wilayah estuaria memiliki karakteristik yang khas. Secara umum fauna yang ada di wilayah tersebut dapat dibagi menjadi tiga yaitu fauna laut, fauna air tawar dan fauna air payau (Bengen, 2004:12). Diantara ketiga jenis fauna tersebut yang mendominasi adalah fauna laut khususnya yang termasuk hewan stenohalin atau memiliki tingkat toleransi rendah terhadap perubahan salinitas perairan ( >30 ‰ ) dan eurohalin yang mampu mentolelir perubahan salinitas perairan cukup tinggi atau mampu bertahan sampai tingkat salinitas di bawah 30‰. Sedangkan hewan air payau hidup pada kisaran perubahan salinitas antara 5-30‰ dan hewan air tawar yang hanya dapat mentolelir kadar salinitas di bawah 5‰. Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove merupakan salah satu sumberdaya pesisir yang memiliki fungsi ekologis dan fungsi ekonomis yang penting. Secara ekologis mangrove berfungsi sebagai feeding ground, spawning ground, nursery ground, penahan gelombang dan angin, penahan instrusi air laut dan dapat menurunkan kandungan gas CO2 (Bengen, 2004). Selain itu mangrove memiliki fungsi ekonomis seperti : digunakan sebagai kayu bakar, bahan bangunan, tempat rekreasi, dan obat-obatan. Menurut Lear & Tunner, 1997 dalam Soeroyo (1990) produktivitas primer ekosistem mangrove mencapai sekitar 2500 – 3600 gr/m2/th, merupakan urutan ketiga setelah produktivitas hutan hujan (6000 gr/m2/th) dan produktivitas terumbu karang (4900 gr/m2/th). Tipe ekosistem mangrove yang ada di Indonesia ada tiga tipe yaitu bentuk pantai atau delta, bentuk muara sungai atau laguna dan bentuk pulau (LPP Mangrove, 2008).
v
Tabel 1. Zonasi Vegetasi Mangrove Berdasar Salinitas No 1 2 3 4
5 6
Keterangan Zonasi air payau hingga air laut dengan kisaran salinitas 10-30‰ Area yang terendam air sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam sebulan : Rhizopora mucronata Area yang terendam air 10-19 kali per bulan : Avicennia alba, Avicennia marina, Sonneratia sp dan dominan Rizhopora sp. Area yang terendam kurang dari 9 kali per bulan : Rhizopora sp, Bruguiera sp Area yang hanya terendam beberapa hari dalam setahun : Bruguiera gymnorrhiza dan Rizhopora apiculata Zona air tawar hingga air payau dengan kisaran salinitas 0-10‰ Area yang kurang lebih masih di bawah pengaruh pasang surut : asosiasi Nypa. Area yang terendam secara musiman : Hibiscus dominan
Sumber : De Haan dalam Russel & Yonge, 1968 dalam Bengen, 2004.
Sedangkan Tomlinson (1986) dalam LPP Mangrove (2008) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok, yakni : 1.
Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa.
2.
Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas, contoh : Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera.
3.
Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus, dan lainlain. Umumnya flora mangrove tumbuh di lapangan membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai
sampai pedalaman daratan. Zonasi di hutan mangrove mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap gradasi lingkungan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi) tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan. Ekosistem mangrove merupakan habitat bagi berbagai fauna, baik fauna khas mangrove maupun fauna yang berasosiasi dengan mangrove. Berbagai fauna tersebut menjadikan mangrove sebagai tempat tinggal, tempat mencari makan, bermain atau tempat berkembang biak.
vi
Fauna mangrove hampir mewakili semua phylum, meliputi protozoa sederhana sampai burung, reptilia dan mamalia. Secara garis besar fauna mangrove dapat dibedakan atas fauna darat (terrestrial), fauna air tawar dan fauna laut . Fauna darat, misalnya kera ekor panjang (Macaca spp.), biawak (Varanus salvator), berbagai jenis burung, dan lain-lain. Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae. Golongan Mollusca umunya didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan Crustaceae didominasi oleh Bracyura. Di dalam ekosistem mangrove yang menjadi komponen utama adalah fauna laut.
Gambar 1.
Fauna Perairan yang Hidup Di Ekosistem Mangrove Sumber : Bengen (2004)
Pemanfaatan Wilayah Pesisir Pesisir yang memiliki wilayah daratan dan perairan memang menyimpan potensi sumberdaya yang besar untuk dimanfaatkan. Terlebih bila pada pesisir tersebut terdapat ekosistem yang mendukung kelimpahan sumberdaya perikanan seperti mangrove yang terdapat pada Kawasan Segara Anakan. Menurut Kay dan Alder (1999:25) pemanfaatan wilayah pesisir dapat dibagi ke dalam empat kategori yaitu untuk eksploitasi sumberdaya, infrastruktur, kegiatan turistik dan rekreasi, serta konservasi dan perlindungan biodiversitas. Pada wilayah yang lebih spesifik seperti estuaria, Bengen (2004) menjelaskan bahwa estuaria dimanfaatkan oleh manusia untuk empat kepentingan yakni (1) tempat permukiman; (2) tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan; (3) jalur transportasi dan (4) tempat pelabuhan dan kawasan industri. Tempat Permukiman Wilayah pesisir merupakan salah satu tempat yang dijadikan oleh masyarakat sebagai tempat bermukim semenjak dulu. Alasannya sederhana yaitu karena wilayah ini memiliki potensi ekonomi, sosial dan rekreasi yang lebih menarik bila dibandingkan dengan daerah pedalaman (Kay dan Alder, 1999:21). Hal ini membuat kawasan pesisir cenderung lebih berkembang bila dibandingkan dengan kawasan pedalaman. Studi yang dilakukan Asian Development Bank (1987) vii
dalam Kay dan Alder (1999:23) menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk wilayah pesisir di Indonesia bahkan mencapai dua kali lipat dari rata-rata pertumbuhan penduduk nasional. Perkembangan penduduk yang tinggi di wilayah pesisir memberi pengaruh yang kuat bagi kondisi dan kualitas lingkungan di wilayah ini. Kondisi tersebut tidak terlepas dari elemen-elemen yang ada di dalam sistem permukiman itu sendiri yang mencakup rumah atau tempat tinggal, prasarana dasar, dan aktivitas sosial ekonomi manusia yang tinggal pada kawasan permukiman tersebut (Vancouver Declaration on Human Settlement, 1976 dalam Setiadi 2008). Rumah menurut Rapoport (1969) dalam Mahmudin (2002) lebih dari sekedar proses bermukim karena di dalamnya juga ada kehadiran manusia beserta aktivitas dan pola tingkah lakunya. Santoso (1993) dalam Mahmudin (2002) menambahkan bahwa hakikat rumah bagi kehidupan manusia adalah tempat realisasi kehidupan manusia. Manusia akan mengaktualisasikan potensinya dan mampu membuka jalan dan memberikan saluran bagi kecenderungan, kebutuhan aspirasi, dan keinginan manusia dengan sepenuhnya. Adanya elemen-elemen dalam sistem permukiman tersebut membuat tingginya tingkat pemanfaatan sumberdaya sebagai suatu upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakatnya. Begitu pula dengan banyaknya limbah yang dibuang sebagai sisa dari aktivitas manusia. Konversi lahan yang tinggi baik untuk permukiman atau bangunan pendukung lainnya dimana membuat tekanan terhadap lingkungan semakin tinggi. Akibatnya fungsi-fungsi lingkungan baik fungsi fisik, biologi maupun kimia semakin berkurang. Situasi ini membuat pelayanan yang diberikan lingkungan kepada manusia juga semakin terbatas. Tempat Penangkapan dan Budidaya Sumberdaya Ikan Secara alami ekosistem mangrove yang mengelilingi perairan laguna berfungsi sebagai feeding ground, nursery ground, dan spawning ground yang membuatnya kaya akan sumberdaya perikanan (Bengen, 2004). Pada wilayah mangrove banyak berbagai biota yang hidup pada kolom air dan pada substrat baik keras maupun lunak (Bengen 2004:22). Jenis yang hidup pada kolom air diantaranya adalah berbagai jenis ikan dan udang yang hidupnya berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Sedangkan yang hidup pada substrat khususnya adalah kepiting dan kerang. Kekayaan sumberdaya tersebut di atas, menjadi dasar pemanfaatan wilayah pesisir oleh banyak masyarakat. Berdasarkan UU. No.27 tahun 2007, pemanfaatan wilayah pesisir pada dasarnya dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemanfaatan sumberdaya ikan yang ada di wilayah pesisir dilakukan dengan cara penangkapan dan juga budidaya. Penangkapan berarti mengambil atau mengekstrasi sumberdaya ikan yang ada di alam secara langsung dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap baik yang bersifat aktif mapun pasif. Sedangkan budidaya perikanan merupakan viii
kegiatan pemeliharaan ikan pada satu tempat atau lokasi tertentu dengan tujuan komersil suatu komoditas perikanan tertentu. Daerah di sekitar mangrove umumnya dimanfaatkan untuk tambak bandeng dan udang. Hal tersebut dilakukan karena perairan di sekitar mangrove kaya akan unsur nutrien yang membantu perkembangbiakan jenis yang dibudidayakan. Kegiatan perikanan tangkap bila tidak dikelola secara baik seringkali menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan perairan dan sumberdaya perikanan itu sendiri. Hal ini karena ikan seringkali ditangkap dengan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan melebihi daya pulih ikan. Sutikno dan Maryunani (2006:146) mengatakan bahwa ikan seringkali diambil secara besarbesaran karena dianggap sebagai sumberdaya yang dapat pulih (renewable). Padahal sumberdaya ikan dapat terkuras bila ia dipanen melebihi kapasitasnya memulihkan diri. Fauzy (2004:100) menyebut fenomena ini sebagai tangkap lebih yang disebabkan oleh sifat kepemilikan sumberdaya yang cenderung terbuka. Victor (2002) dalam Sutikno dan Maryunani (2006:150) berpendapat bahwa dalam pengelolaan sumberdaya alam milik umum seperti halnya perikanan terdapat tiga dilema. Dilema pertama adalah eksternalitas dari kegiatan penangkapan ikan yaitu ketika salah satu pihak dapat mengeruk atau menangkap ikan sebanyak-banyaknya, maka nelayan lain akan mengalami kerugian karena stok sumberdaya ikan menjadi menurun. Dilema kedua adalah eksternalitas teknologi yang terjadi karena nelayan cenderung melakukan penangkapan pada lokasi yang sama atau saling berdekatan. Hal ini menyebabkan perlombaan alat tangkap yang menjurus pada perusakan lingkungan. Dilema ketiga adalah masalah penentuan lokasi penangkapan ikan. Hal ini terkait dengan akses sumberdaya yang seringkali menimbulkan ketidakadilan antar nelayan karena ikan biasanya berkonsentrasi pada lokasi tertentu. Hal ini menyebabkan nelayan yang tidak memiliki akses terhadap lokasi tersebut harus menanggung biaya yang ditimbulkan oleh pemegang akses. Kegiatan budidaya juga berpotensi memberi dampak yang buruk terhadap lingkungan bila tidak menerapkan prinsip-prinsip perikanan budidaya yang berkelanjutan. Seperti budidaya udang yang telah lama dianggap merusak mangrove, karena memproduksi sejumlah hara yang secara potensial membahayakan ekosistem mangrove. Selain itu juga terjadi pembuangan limbah ke perairan pada saat panen dan pergantian air tambak secara rutin dimana mengalirkan buangan bahan organik ke hilir, daerah sungai dan ekosistem laut (Baliao dan Tookwinas, 2002). Jalur transportasi Transportasi atau perangkutan dapat diartikan perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan alat pengangkutan, baik yang digerakkan oleh tenaga manusia, hewan (kuda, sapi, kerbau), atau mesin (Sukarto, 2006). Perpindahan terjadi karena adanya kebutuhan ix
yang tidak dapat dipenuhi di tempat asalnya. Menurut (Faulks, 1982 : 27-28), transportasi akan meningkat akibat peningkatan distribusi bahan baku, kemampuan dan tenaga kerja. Hal tersebut untuk mempertemukan antara material atau bahan baku yang diperlukan dengan perusahaan atau industri tempat pengolahan menjadi bahan baku maupun pemasaran untuk konsumsi masyarakat. Transportasi perlu untuk mengatasi kesenjangan jarak dan komunikasi antara tempat asal dan tempat tujuan (Sukarto, 2006). Untuk itu dikembangkan sistem transportasi dan komunikasi, dalam wujud sarana (kendaraan) dan prasarana (jalan). Dari sini timbul jasa angkutan untuk memenuhi kebutuhan perangkutan (transportasi) dari satu tempat ke tempat lain. Secara garis besar moda transportasi terbagi tiga yaitu transportasi darat, air, dan udara (Sukarto, 2006). Sesuai dengan kondisi wilayah di Kawasan Segara Anakan maka yang berkembang dengan baik adalah moda transportasi air seperti kapal, perahu, tongkang dan rakit. Moda transportasi ini menjadi sarana yang menghubungkan berbagai wilayah di dalam Kecamatan Kampung Laut. Selain itu juga menjadi sarana yang menghubungkan Kecamatan Kampung Laut dengan wilayah lain di sekitarnya. Dampak pemanfaatan wilayah pesisir sebagai jalur transportasi terhadap lingkungan cenderung tidak terjadi secara langsung. Adanya jalur dan sarana transportasi akan meningkatkan pergerakan masyarakat baik yang ke dalam dan ke luar.
Secara ekonomi hal ini akan
memudahkan masyarakat untuk memasarkan hasil produksi sumberdaya alam yang ada di dalam suatu wilayah ke luar wilayah tersebut (Sukarto, 2008). Hal ini berarti akan mendorong peningkatan aktivitas ekonomi yang berarti mendorong pula pemanfaatan dan ekstrasi sumberdaya alam. Meningkatnya kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam akan meningkatkan ancaman terhadap lingkungan bila tidak dilakukan secara hati-hati. Infrastruktur, Pelabuhan dan Kawasan Industri Wilayah pesisir sudah semenjak lama dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai kepentingan. Bahkan sebelum berkembang moda transportasi udara, wilayah pesisir telah menjadi pilihan utama sebagai tempat keluar masuknya barang perdagangan. Untuk mendukung kegiatan tersebut maka dibangunlah berbagai infrastruktur pendukungnya. Kay dan Alder (1999:30), menyebutkan bahwa infrastruktur yang umum dibangun pada wilayah pesisir adalah : 1. pelabuhan 2. fasilitas pendukung dan operasional berbagai sistem transportasi 3. Jalan, jembatan, dermaga 4. Instalasi pertahanan Pembangunan berbagai infrastruktur di atas menurut Kay dan Alder (1999:30) akan mempengaruhi perkembangan industri berbasis pelabuhan dimana akan meningkatkan x
pembangunan industri dan pertumbuhan tenaga kerja. Mekanisme umpan balik ini menjadi salah satu faktor pendorong utama bagi berkembangnya wilayah pesisir. Konsep ini sangat sesuai menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi pada perkembangan kota-kota besar di Indonesia dimana kota-kota tersebut sebagian besar berada pada wilayah pesisir. Akibat yang ditimbulkan dari pembangunan berbagai infrastruktur, pelabuhan dan kawasan industri terhadap lingkungan adalah berubahnya lingkungan fisik pada wilayah pesisir yang dapat merubah struktur ekologi komunitas biota laut dan keanekaragaman hayati perairan (Bengen, 2004). Hal ini terjadi karena biota dan keanekaragaman hayati sumberdaya perairan sangat tergantung dari lingkungan fisik atau ekosistem tempat hidupnya. Kegiatan Turistik dan Rekreasi Kegiatan turistik dan rekreasi atau yang biasa disebut sebagai kegiatan wisata pada dasarnya adalah kegiatan yang menawarkan jasa-jasa kenyamanan yang menjadi salah satu fungsi dari wilayah peisir. Jasa wisata merupakan gabungan produk yang terangkum dalam atraksi, transportasi, akomodasi, dan hiburan (Freyer, 1993 dalam Damanik dan Weber, 2006). Sedangkan yang dimaksud dengan produk wisata adalah semua produk yang diperuntukkan atau dikonsumsi seseorang selama melakukan kegiatan wisata. Kegiatan wisata pada dasarnya dilakukan pada suatu tempat yang memiliki potensi wisata. Suatu tempat dikatakan memiliki potensi wisata jika memiliki objek (alam, budaya, buatan) yang memiliki nilai daya tarik bagi wisatawan (Damanik dan Weber, 2006). Objek dan daya tarik wisata adalah suatu bentukan dan atau hubungan aktivitas dan fasilitas yang dapat menarik pengunjung untuk datang ke suatu daerah atau tempat tertentu (Marpaung, 2000). Oleh karena itu daerah tujuan wisata menurut Yoety (1990) harus memiliki tiga syarat berikut : a. Something to see, artinya daerah tersebut harus mempunyai obyek dan daya tarik khusus sebagai hiburan bagi pengunjung. b. Something to do, tersedianya fasilitas sebagai penunjang bagi pengunjung untuk dapat melakukan aktivitas yang beragam dan dapat tinggal lebih lama. c. Something to buy, artinya tersedianya fasilitas untuk berbelanja, seperti kerajinan daerah setempat atau makanan khas sebagai buah tangan. Wilayah estuaria dan ekosistem mangrove pada dasarnya memiliki potensi wisata yang menarik untuk didatangi oleh para wisatawan. Terdapat sejumlah objek alam yang dapat dilihat diantaranya adalah nuansa hutan mangrove dengan vegetasinya yang khas dan beragam fauna yang hidupnya berasosiasi dengan ekosistem tersebut. Selain objek alam terdapat juga objek budaya berupa perkampungan nelayan yang banyak menempati kawasan tersebut. Karakteristik dan kegiatan ekonomi yang khas menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. xi
Pengaruh kegiatan wisata terhadap lingkungan adalah meningkatnya ancaman kerusakan wilayah pesisir bila tidak dilakukan secara hati-hati. Adanya kegiatan wisata selalu menuntut adanya sarana dan prasarana pendukung seperti restoran, tempat penginapan dan sebagainya. Menurut Bengen (2004:56), hal ini berpotensi merubah struktur ekologi komunitas biota laut dan keanekaragaman hayati perairan terlebih bila dibangun di sekitar kawasan konservasi. Namun bila kegiatan wisata yang berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip ekoturisme, justru berpotensi memberi dampak positif terhadap lingkungan karena pengelola setempat akan memiliki dana untuk meningkatkan upaya perbaikan kualitas lingkungan. Konservasi Dan Perlindungan Biodiversitas Menurut Bengen (2004:57), konservasi adalah upaya perlindungan yang dapat dilakukan agar ekosistem pesisir dapat berperan secara optimal dan berkelanjutan. Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa tujuan konservasi adalah melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati dan melindungi proses-proses ekologi. Sedangkan kegiatan konservasi pada wilayah pesisir dan pula-pulau kecil berdasarkan Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Pada laporan mengenai konservasi sumberdaya ikan yang dilakukan oleh DKP dan JICA (2008) disebutkan pula bahwa tujuan dari penyelenggaraan kegiatan konservasi adalah untuk menjaga habitat hidup ikan agar terjaga kelestariannya baik pada daerah asuhan (nursery ground), mencari makan (feeding ground), memijah (spawning ground), dan jalur ruaya migratory route. Di dalam UU. 27 tahun 2007 disebutkan bahwa suatu wilayah atau kawasan pesisir dapat ditetapkan sebagai salah satu kawasan konservasi bila memiliki ciri khas sebagai satu kesatuan ekosistem untuk mewujudkan suatu pengelolaan yang berkelanjutan. Secara lebih spesifik, perlindungan terhadap suatu ekosistem dimaksudkan untuk melindungi hal-hal berikut : a. Sumber daya ikan b. Tempat persinggahan dan/atau alur migrasi biota laut lain; c. Wilayah yang diatur oleh adat tertentu, seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, dan/atau istilah lain adat tertentu; dan d. Ekosistem pesisir yang unik dan/atau rentan terhadap perubahan. Atas dasar kiteria tersebut, maka ekosistem laguna dan mangrove termasuk di dalamnya dimana merupakan daerah yang vital bagi sumberdaya perikanan dan juga ekosistem pesisir yang xii
unik dan/atau rentan terhadap perubahan. Sebagaimana disebutkan pula dalam DKP dan JICA (2008) bahwa ekosistem yang terkait dengan konservasi sumberdaya ikan diantaranya adalah laut, padang lamun, terumbu karang, mangrove, estuaria, pantai, rawa, sungai, danau, waduk, embung dan ekosistem perairan buatan. Penyelenggaraan kawasan konservasi laut secara detail dijelaskan dalam PP. No. 60 tahun 2007. Asas dan prinsipnya sebagaimana tercantum dalam pasal 2 adalah sebagai berikut : 1. Pendekatan kehati-hatian 2. Pertimbangan bukti ilmiah 3. Pertimbangan kearifan lokal 4. Pengelolaan berbasis masyarakat 5. Keterpaduan pengembangan wilayah pesisir 6. Pencegahan tangkap lebih 7. Pengembangan alat tangkap, cara penangkapan ikan,dan pembudidayaan ikan yang ramah lingkungan 8. Pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat 9. Pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan 10. Perlindungan struktur dan fungsi alami ekosistem perairan yang dinamis 11. Perlindungan jenis dan kualitas genetik ikan 12. Pengelolaan adaptif Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir Manusia selalu memiliki keterkaitan dengan lingkungan tempat tinggalnya. Begitupula masyarakat di wilayah pesisir yang kehidupannya sangat terkait dengan kondisi lingkungan di wilayah tersebut. Masyarakat oleh Soekanto (1997:162) diterjemahkan sebagai kelompok besar maupun kecil yang hidup bersama sedemikian rupa sehingga memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang utama. Sedangkan pengertian masyarakat pesisir adalah sekelompok warga yang tinggal bersama di wilayah pesisir dan memenuhi kebutuhan hidupnya dari sumberdaya yang ada di wilayah pesisir (Prianto, ed, 2005). Oleh karena itu tidak heran bahwa sebagian besar masyarakat pesisir berprofesi sebagai nelayan dan pembudidaya ikan dimana kedua kegiatan tersebut sangat berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya di wilayah pesisir. Hal ini sejalan dengan pernyataan Fakhrudin dan Yulianto (2008) yang menyatakan bahwa mata pencaharian masyarakat pesisir didominasi oleh sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resources base) seperti nelayan, petani ikan (budidaya tambak dan laut). Kusumastanto (2002) memberikan gambaran yang lebih jelas dimana karakteristik masyarakat pesisir dapat dijabarkan sebagai berikut : xiii
1. Tergantung pada kondisi lingkungan atau rentan pada kerusakan khususnya pencemaran atau degradasi kualitas lingkungan. Bila kondisi lingkungan mengalami degradasi akan membuat kehidupan nelayan semakin sulit karena terkait langsung dengan aktivitas sosial ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat. Begitupula sebaliknya meski hal ini jarang terjadi. 2. Tergantung pada musim khususnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan. Sebagaimana diketahui bahwa musim akan menentukan banyak sedikitnya ikan yang dapat ditangkap oleh nelayan. Pada saat musim banyak ikan, maka nelayan akan sangat sibuk melaut untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya. Sebaliknya pada musim paceklik banyak masyarakat yang tidak berangkat melaut sehingga tidak ada kegiatan ekonomi yang memberikan penghasilan pada saat tersebut. 3. Pasar yang dapat menyerap hasil produksi perikanan masyarakat mengingat sifat produk perikanan yang mudah rusak. Hal ini membuat nelayan seringkali memiliki daya tawar yang rendah terhadap harga produk perikanan karena keharusan menjual produk dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu seringkali dijumpai masyarakat nelayan hidup dalam keadaan kekurangan karena tidak mendapatkan keuntungan yang memadai. Masyarakat pesisir menurut Dahuri dkk (2001:285) memiliki beberapa masalah umum yang sering dijumpai yaitu pertama, sarana pelayanan dasar termasuk prasarana fisik yang terbatas. Kedua, kondisi lingkungan kurang terpelihara sehingga standar kesehatan relatif rendah. Ketiga, kurangnya sanitasi dan air bersih. Keempat, ketrampilan penduduk yang sebatas pada penangkapan ikan atau dengan kata lain kurang memiliki ketrampilan di bidang lainnya. Kelima, pendapatan penduduk yang relatif rendah. Keenam, pendidikan dan pengetahuan yang umumnya rendah. Sedangkan kegiatan ekonomi masyarakat masih mengandalkan satu sektor saja yaitu perikanan. Aktifitas sosial ekonomi pada wilayah pesisir tercermin dari pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat. Menurut Kay dan Alder (1999:25), pemanfaatan wilayah pesisir dapat dibagi ke dalam empat kategori yaitu untuk eksploitasi sumberdaya, infrastruktur, kegiatan turistik dan rekreasi, serta konservasi dan perlindungan biodiversitas. Secara lebih detail pada wilayah estuari, Bengen (2004) menjelaskan bahwa secara umum kawasan tersebut dimanfaatkan oleh manusia untuk empat kepentingan yakni (1) tempat permukiman; (2) tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan; (3) jalur transportasi dan (4) tempat pelabuhan dan kawasan industri. Sedangkan ekosistem mangrove dimanfaatkan manusia sebagai pemasok larva ikan dan udang alam yang sangat erat kaitannya dengan aktivitas penangkapan dan budidaya perikanan. Selain itu
xiv
banyak juga masyarakat yang memanfaatkan mangrove untuk diambil kayunya untuk berbagai kepentingan. Peta dan Pemetaan Peta merupakan penyajian secara grafis dari kumpulan data yang mentah maupun yang telah dianalisis atau informasi sesuai lokasinya. Dengan kata lain peta adalah bentuk sajian informasi spasial mengenai permukaan bumi untuk dapat dipergunakan dalam pembuatan keputusan. Supaya bermanfaat, suatu peta harus dapat menampilkan informasi secara jelas, mengandung ketelitian yang tinggi, walaupun tidak dihindari harus bersifat selektif, dengan mengalami pengolahan, biasanya terlebih dahulu ditambah dengan ilmu pengetahuan agar lebih dapat dimanfaatkan langsung oleh pengguna. Informasi dapat dipandang sebagai data yang telah ditambah dengan pengetahuan untuk mengekstrak maknanya. Misalnya kita ingin menyajikan data mengenai jumlah penduduk pada suatu kabupaten. Dengan hanya menyajikan data hasil sensus, mungkin maknanya kurang jelas walaupun data tersebut telah disajikan dengan keadaan sebenarnya. Mengolah data tersebut secara statistic, menyajikannya dalam bentuk terkelaskan berdasar kelompok umur, jenis kelamin, dll, akan jauh lebih bermakna. Penyajian langsung adalah poenyajian data, sedangkan penyajian yang terakhir adalah penyajian informasi yang dalam hal ini disebut dengan pemetaan. Jenis peta secara garis besar hanya ada dua. Peta topografi dan peta tematik. Peta topografi bersifat umum sehingga penyajiannya tidak menonjolkan satu aspek, sedang pada peta tematik penyajiannya dengan menonjolkan tema/topik sesuai dengan judul peta itu sendiri. Misalnya, penyajian jenis jalan di peta topografi tidak menonjol antara satu ruas jalan dengan ruas jalan lain yang jenis jalannya berbeda, ruas jalan tersebut di peta topografi juga tidak lebih menonjol dibandingkan dengan –misalnya- pola aliran sungai. Tetapi di peta tematik tentang – misalnya- status jalan, ruas jalan yang statusnya berbeda akan tampak ditonjolkan dibandingkan dengan aspek lainnya. Peta dasar merupakan dasar untuk memetakan informasi spasial sehingga informasiinformasi tersebut, baik secara relatif maupun absolut menempati lokasi geografis yang benar. Peta dasar dapat berupa peta topografi secara lengkap atau sudah dikurangi informasinya agar tidak rancu dengan informasi tematiknya. Peta topografi yang sering digunakan sebagai peta dasar dalam pembuatan peta tematik sudah standar, baik dalam ukuran kertasnya, luas liputannya, maupun penyajian aspek kartografi lainnya. Peta tematik itu sendiri merupakan suatu peta yang menyajikan informasi khusus yang mempunyai satu tema. Peta tematik banyak sekali macamnya, seperti peta sistem lahan, peta penggunaan lahan, peta tanah, peta geologi, peta penyebaran jumlah penduduk, dll. xv
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah 1. Mengidentifikasi karakteristik sumberdaya pesisir pada kawasan terpilih 2. Melakukan identifikasi manfaat barang dan jasa sumberdaya 3. Melakukan penilaian ekonomi terhadap sumberdaya pesisir 4. Melakukan pemetaan sumberdaya pesisir berbasis kawasan 10. Perkiraan Keluaran: Hasil yang diiharapkan pada kegiatan penelitian tahun 2015 yaitu: 1. Diketahuinya karakteristik sumberdaya pesisir pada kawasan terpilih 2. Teridentifikasinya pemanfaatan barang dan jasa dari sumberdaya pesisir 3. Mengetahui nilai ekonomi terhadap sumberdaya pesisir 4. Terpetakannya sumberdaya pesisir berbasis kawasan Perkiraan keluaran dari penelitian ini diantaranya adalah 1 Model Kebijakan, 1 Data dan Informasi dan 5 Karya Tulis Ilmiah. Metodologi Penelitian KerangkaPemikiran Pemetaan sosial ekonomi sumberdaya pesisir diperlukan dalam rangka menyusun kebijakan yang terkait pemanfaatan ruang pesisir sehingga memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat. Langkah yang diperlukan untuk melakukan pemetaan diawali melalui proses identifikasi ekosistem yang terdapat pada suatu wilayah. Hal ini dilakukan karena barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu ekosistem memiliki karakteristik tersediri. Manfaat yang diperoleh kemudian juga ditentukan oleh karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang melakukan pemanfaatan pada wilayah tersebut. Sehingga pada satu jenis ekosistem yang sama bisa memberikan nilai manfaat yang beragam pula. Dengan demikian, pada suatu lokasi tertentu akan terlihat peta karakteristis sosial ekonomi dan nilai yang khas. Menurut cara padangan ilmu ekonomi ekologi, tujuan penilaian ekonomi sumberdaya alam bertujuan untuk menciptakan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi manfaat (Constanza and Folke (1997) dalam Adrianto (2006)). Aspek spasial atau keruangan akan memotret kondisi ini sehingga dapat diketahui dengan cepat oleh para pemangku kepentingan.
xvi
Peta nilai ekonomisumberd aya
Valuasi ekonomi
Identifikasidan jasa ekosistem Spasial sumberdaya pesisir
Fungsi dan dinamikaekosistem
Gambar 2.
Konsep Algoritma Pemetaan Sosial Ekonomi Berbasis Kawasan
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari s/d Desember 2015. Lokasi penelitian dilakukan di Propinsi Kalimantan Timur, Propinsi Kalimantan Utara, dan Propinsi Sulawesi Utara. Data Yang Dikumpulkan Data–data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan primer. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi statistik dan data-data yang terkait dengan potensi sosial ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan. Data primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik sumberdaya berdasarkan tipe ekosistem tertentu yang terkait dengan aspek sosial maupun ekonomi. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan adalah dengan menggunaan teknik survei. Teknik survei ini dilakukan dengan cara melakukan sampling dan wawancara secara langsung dengan responden untuk mengidentifikasi potensi dan kondisi sosial ekonomi terkait pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan. Survei juga digunakan untuk mengetahui nilai total yang terkandung didalam suatu kawasan. MetodeAnalisis Data Penilaian Ekonomi Sumberdaya Analisis data yang digunakan menggunakan teknik valuasi ekonomi untuk menghitung nilai total ekonomi (Total Economic Value/ TEV) dari sumberdaya perikanan perairan pedalaman. Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat di tentukan secara benar dan mengenai sasaran (Nilwan et al, 2003). Secara matematis, nilai total ekonomi dapat ditulis sebagai berikut: xvii
𝑇𝐸𝑉 = 𝑈𝑉 + 𝑂𝑉 + 𝑁𝑈𝑉 = (𝐷𝑈𝑉 + 𝐼𝑈𝑉) + 𝑂𝑉 + (𝐸𝑉 + 𝐵𝑉) … … … … … … 1 Dimana : TEV
= Total Economic Value
IUV
= Indirect Use Value
UV
= Use Values
OV
= Option Value
NUV = Non Use Values
EV
= Existence Value
DUV = Direct Use Value
BV
= Bequest Value
Pada masing – masing nilai, teknik valuasi akan dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan diantaranya yaitu Contingen Valuation Method (CVM), Effect on Production (EoP), Residual Rent (RR), Replacement Cost Method (RCM) dan Travel Cost Method (TCM). Uraian masing-masing teknik valuasi berikut tahapan pelaksanaannya adalah sebagai berikut : 1.
Contingent Valuation Method Data yang telah dikumpulkan kemudian dipilah dan ditabulasi agar memenuhi keperluan
analisis. Analisis data pada Teknik CVM menggunakan perhitungan Total Benefit sebagai analisis dasar untuk menghitung WTP. untuk mendapatkan dugaan hubungan antara WTP (nilai keberadaan sumber daya) dengan karakteristik responden. maka didekati dengan menggunakan formula sebagai berikut: 𝑛
𝑊𝑇𝑃𝐼 = 𝛽0 + ∑ 𝛽𝑖 𝑋𝑖 … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . … .2 𝑖=1
Dimana ; WTPi
= Kemampuan membayar pengguna terhadap suatu sumber daya
Xi
= Parameter penjelas ke – i (seperti Usia, pendidikan, pengalaman, pendapatan), (Grigalunas and Congar, 1995). Persamaan di atas, dinormalisasikan agar menyesuaikan bentuk data yang telah
dikumpulkan. Bentuk data ordinal seperti pengalaman kerja, usia dan tingkat pendidikan kemudian ditransformasi, sehingga mengharuskan digunakan regresi logaritma ganda. Hasil persamaan berdasarkan regresi logaritma berganda dilakukan dengan tingkat kepercayaan 95% (Yaping, 1999). Adapun bentuk persamaannya ditayangkan sebagai berikut: 𝑛
𝑛
𝑛
𝑛
𝑖=1
𝑖=1
𝑖=1
𝑖=1
1 1 1 1 𝐿𝑛𝑊𝑇𝑃 = 𝛼 + 𝑏1 ∑ 𝐿𝑛𝐴 + 𝑏2 ∑ 𝐿𝑛𝐸 + 𝑏3 ∑ 𝐿𝑛𝑋𝑃 + 𝑏4 ∑ 𝐿𝑛𝐼 … … … … … … 3 𝑛 𝑛 𝑛 𝑛 xviii
Dimana: WTP = Willingness To Pay (Nilai Kesediaan Membayar) α
= Konstanta
A
= Usia Responden
E
= Tingkat Pendidikan
XP
= Pengalaman Usaha
I
= Pendapatan per tahun Penggunaan metoda yang digunakan Grigalunas and Congar, (1995) umumnya digunakan
untuk data yang memiliki nilai sebaran yang relatif seragam, dengan interval tidak terlalu besar. Sedangkan untuk memudahkan analisis data untuk data yang memiliki seperti digambarkan tersebut dapat digunakan metoda yang digunakan oleh Yaping, (1999). Tahap terakhir dalam teknik CVM adalah mengagregatkan rataan lelang yang diperoleh pada tahap tiga. Proses ini melibatkan konversi dari data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversi ini adalah dengan mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga di dalam populasi (N). 2.
Effect on Production (EoP) Pendekatan EoP memerlukan sebuah pendekatan yang integratif antara flow ekologi dan
flow ekonomi karena lebih menfokuskan pada perubahan aliran fungsi ekologis yang memberikan dampak pada nilai ekonomi sumber daya alam yang dinilai. Hufschmidt, et al. (1983) dalam adrianto (2006), memberikan beberapa langkah analisis integrasi ekologi-ekonomi dalam konteks metode EoP sebagai berikut: pertama, Mengidentifikasi input seumberdaya, output (produksi sumber daya) dan residual sumber daya dari sebuah kebijakan/kegiatan, kedua, Melakukan kuantifikasi aliran fisik dari sumber daya, ketiga, Melakukan kuantifikasi keterkaitan antar sumber daya alam, keempat, Melakukan kuantifikasi aliran dan perubahan fisik ke dalam terminologi kerugian dan manfaat ekonomi.Salah satu teknik yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan residual rent. Residual Rent didefinisikan sebagai perbedaan antar biaya faktor produksi dan nilai panen dari sumber daya alam. Residual rent dapat dilihat sebagai kontribusi sistem alam atau faktor pendapatan (Factor Income) terhadap nilai ekonomi total: 𝐵 −𝐶
∑𝑡𝑖=1 𝑡 𝑖𝑖 𝑃𝑉 (1+𝑟) 𝑃𝑉 𝑟𝑒𝑠𝑖𝑑𝑢𝑎𝑙 𝑟𝑒𝑛𝑡 𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙 = = ……………………………………………4 ℎ𝑎 𝐿
xix
Dimana; PV
= Present Value
Bt
= Manfaat bersih dari sumber daya kawasan
Ct
= Biaya produksi
T
= Jumlah tahun regresi nilai
R
= Tingkat diskon riil
L
= Luasan kawasan sumber daya
3.
Travel Cost Method (TCM) Tujuan TCM adalah untuk menghitung nilai ekonomi suatu kawasan wisata melalui
estimasi rata-rata permintaan terhadap kunjungan wisata di lokasi tersebut. Pendekatan biaya perjalanan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan biaya transportasi atau biaya perjalanan terutama untuk menilai lingkungan pada objek-objek wisata. Pendekatan ini menganggap bahwa biaya perjalanan serta waktu yang dikorbankan para wisatawan untuk menuju objek wisata tertentu dianggap sebagai nilai lingkungan yang wisatawan bersedia untuk membayar. Fungsi permintaan atas kunjungan wisatawan individual menurut Grigalunas et.al (1998) adalah : 𝑙𝑛𝑉𝑖 = 𝛽0 − 𝛽1 𝑙𝑛 𝑇𝐶𝑖 + 𝛽2 𝐿𝑛𝑌𝑖 + 𝛽3 𝐿𝑛𝑆𝑖 … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . . .5 Keterangan : Vi= trip kunjungan individu ke-i TCi= biaya perjalanan individu ke-i Yi = pendapatan individu ke-i Si= biaya perjalanan ke lokasi wisata subtitusi yang dikeluarkan olehindividu ke-i Dengan teknis regresi sederhana (ordinary least square), maka parameter β0, β1, β2, dapat diestimasi. (catatan paramater TC diharapkan negatif, dan INC diharapkan positif). Kemudian surplus konsumen rata-rata individu kemudian dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan:
𝐶𝑆𝑖 =
− 𝑉𝑖 … … … … … … … … … … . . … … … … … … … … … … . … … … … … … … … . … … . . .6 𝛽𝑖
Dimana: Vi
= tingkat kunjungan individu
β1
= nilai parameter regresi untuk biaya perjalanan xx
Nilai ekonomi lokasi rekreasi (total consumers surplus) kemudian dapat diestimasi dengan mengadakan nilai surplus konsumen rata-rata individu. 𝑇𝐶𝑆 = 𝐶𝑆𝐼 + 𝑉𝑡 … … … … … … … … … . . … … … … … … … … … … … … … … … … … … . … … … .7 Dimana: TCS
= Total Consumers Surplus
CS
= Consumers Surplus
Vt
= total kunjungan pada tahun analisis (tahun ke–t)
4.
Replacement Cost Method (RCM) Nilai ini dapat diestimasi dengan menggunakan pendekatan replacement cost yang
diaplikasikan untuk fungsi ekosistem mangrove sebagai penahan gelombang (buffer zone). Biaya rehabilitasi per hektar mangrove dapat digunakan sebagai proksi bagi replacement cost:
𝐼𝑈𝑉 =
𝐶𝑟 × 𝑀 … … … … … … … … … … . . … … … … … … … … … … … … … … … … … … . … . . . .8 𝑚2
Dimana: IUV
= Inderect Use Values; buffer zone
Cr
= Biaya rehabilitasi mangrove per hektar atau m2
M
= luas hutan mangrove ( ha atau m2 ) Secara ringkas, hubungan nilai suatu sumberdaya dengan teknik valuasi / cara melakukan
penilaiannya dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 2. Hubungan Nilai Dengan Teknik Valuasi Yang Digunakan Nilai (Value)
Teknik Valuasi
A. Use Value
Indirect Use Value
Effect on production (EoP), Residual Rent (RR), Replacement Cost Methods (RCM), Travel Cost Method (TCM) Replacement Cost Methods (RCM), Benefit Transfer Method (BTM)
B. Option Value
Contingent Valuation Method (CVM)
Direct Use Value
C. Non Use Value Existence Value
Contingent Valuation Method (CVM)
Bequest Value
Contingent Valuation Method (CVM)
xxi
Pemetaan Sosial Ekonomi Sumberdaya Database peta digital terdiri dari dua jenis informasi : spasial (geometri/feature) dan deskriptif (atribut). Informasi ini disimpan sebagai rangkaian file pada komputer dan berisi salah satu informasi spasial atau informasi deskriptif mengenai feature peta. Kekuatan SIG terletak pada keterkaitan dua jenis data ini dan pada pemeliharaan hubungan spasial di antara feature peta. Integrasi data ini membuka jalan untuk memahami dan menganalisis data dengan cara yang bermanfaat dan bervariasi. Analisis pada data tabuler tidak hanya bermuara pada table tetapi juga akan dapat disajikan dalam feature-nya, demikian pula sebaliknya. Hasil analisis geometri dapat tercermin pada data atributnya (tabel 3). Tabel 3. Konsep SIG dan Implementasinya di Komputer Konsep SIG
Implementasi di Komputer
Jenis informasi peta : Spasial Deskriptif
Feature titik, arc dan poligon
Penyimpan data spasial : Titik Arc Poligon
Sepasang koordinat x, y
Penyimpan data deskriptif
Record dan item pada data-base tabuler
Penyatuan data spasial dan data deskriptif
Atribut feature karakter atau numeric
Rangkaian pasangan koordinat x, y Rangkaian arc yang tertutup.
Identifier unik yang disimpan pada dua tempat : dengan data spasial dan dengan data deskriptif pada database tabuler
xxii
Rencana Anggaran Belanja (RAB) MA
Rincian KomposisiPembiayaan
521211 522114 522115
Belanja Bahan Belanja Sewa Belanja Jasa Profesi Belanja Barang Non Operasional Lainnya Belanja Perjalanan Lainnya
524119 522119 Jumlah
Jumlah (Rp)
Jumlah (%)
Rencana Penyerapan Anggaran dan Realisasi Fisik (Perbulan dan Perbelanja) Rencana Realisasi Anggaran Kegiatan Tahapan
Bobot (%)
I. Persiapan Studi literatur Pembuatan ROKR Pembuatan Kuesioner Prasurvey II. Pelaksanaan Survey III. Pelaporan
30 10 7 8 5
Rencana Penyerapan realisasi anggaran Bulan Ke- (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 3 4
3 3 4
4 5
60 10
15
15
8
7
5
5 3
5 3
3
1
*: Pembobotan tiap tahap disesuaikan dengan sifat kegiatannya, dapat berbeda antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya
Rencana Realisasi FisikKegiatan Tahapan
Bobot (%)
I. Persiapan Studi literatur Pembuatan ROKR Pembuatan Kuesioner Prasurvey II. Pelaksanaan Survey III. Pelaporan
30 10 7 8 5 60 10
Rencana Penyerapan realisasi Fisik Bulan Ke- (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 3 4
3 3 4
12
4 5 15
15
8
7
5
5 3
5 3
3
1
xxiii
14. DAFTAR PUSTAKA Adrianto, L. 2006. Sinopsis Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. PKSPL-IPB. Bogor Bengen DG.2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor Baliao D dan Tookwinas S, 2002. Manajemen Budidaya Udang yang Baik dan Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove. Petunjuk Pelaksanaan Penyuluhan Akuakultur No.35. Southeast Asian Fisheries Development Center dan Association Of Southeast Asian Nations. Philippnine Dahuri R, Rais J, Ginting S.P, Sitepu, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (cetakan kedua revisi). PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Fauzi. 2003. Persepsi Terhadap Nilai Ekonomi Sumberdaya. USAID-Indonesia Coastal Resource Management Project Koleksi Dokumen Proyek Pesisir 1997-2003 Grigalunas, T.A and R. Congar, 1995. Environmental economics for Integrated Coastal Area Management: Valuluation Methods and Policy Instruments. UNEP Regional Seas Reports and Studies No. 164. UNEP. Kay, R and Alder, J.1999. Coastal Planning and Management. E & FN Spon. London Kusuma, D I. 2005. Economic Valuation Of Natural Resource Management: A Case Study Of The Benuaq Dayak Tribe In Kalimantan, Indonesia (Dissertation). Bogor Institut of Agriculture. Bogor Kusumastanto, 2002. Reposisi “Ocean Policy” dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Otonomi Daerah (Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Perikanan dan Kelatan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor LPP Mangrove. 2008. Ekosistem Mangrove di Indonesia. (Online). Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia Available at: http://www.imred.org/?q=content/ekosistem-mangrove-di-indonesia. Verified : 28 Januari 2009. Mahmudin. 2002. Perubahan Bentuk Rumah dan Tata Lingkungan Pemukiman Nelayan Desa Ujung Alang Segara Anakan di Cilacap (tesis). Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro. Semarang Nilwan, dkk. 2003. Spesifikasi Teknis Penyusunan Neraca Dan Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Pesisir Dan Lautan. Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut Baksurtanal. Bogor Yaping, D. 1999. The Value of Improved Water Quality for Recreation in East Lake, Wuhan China. EEPSEA, Singapore. Yoeti, Oka A. 1985. Pengantar Ilmu Pariwisata. Penerbit Aksara. Bandung Sutikno dan Maryunani. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam. Badan Penerbit Universitas Brawijaya. Malang
xxiv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN........................................................................................................................ i DAFTAR ISI ....................................................................................................................................... xxv DAFTAR TABEL ............................................................................................................................... xxvii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................................ xxx DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................................................... xxxiv I. PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1 II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................... 2 2.1. Karakteristik Lingkungan Wilayah Pesisir ........................................................................... 2 2.2. Ekosistem Estuaria ............................................................................................................. 2 2.3. Ekosistem Mangrove .......................................................................................................... 3 2.4. Pemanfaatan WilayahPesisir .............................................................................................. 5 2.4.1. Tempat Permukiman .................................................................................................. 5 2.4.2. Tempat Penangkapan dan Budidaya Sumberdaya Ikan ............................................. 6 2.1.3. Jalur transportasi ........................................................................................................ 7 2.1.4. Infrastruktur, Pelabuhan dan Kawasan Industri......................................................... 8 2.5. Kegiatan Turistik dan Rekreasi ........................................................................................... 9 2.6. Konservasi Dan Perlindungan Biodiversitas ..................................................................... 10 2.7. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir ............................................................. 11 2.8. Peta dan Pemetaan .......................................................................................................... 13 III. METODOLOGI ....................................................................................................................... 14 3.1. Kerangka Pemikiran.......................................................................................................... 14 3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................................................ 14 3.3. Survey Sosial Ekonomi...................................................................................................... 17 3.3.1. Data Yang Dikumpulkan ........................................................................................... 17 3.3.2. Teknik Pengumpulan Data ....................................................................................... 17 3.3.3. Metode Analisis Data ............................................................................................... 17 3.4. Survey Ekosistem.............................................................................................................. 22 3.4.1. Alat dan Bahan ......................................................................................................... 22 3.4.2. Metode dan Analisis Data ........................................................................................ 23 3.4. Metode Pemetaan Sosial Ekonomi Sumberdaya Pesisir .................................................. 33 3.5.1. Citra satelit format raster ......................................................................................... 34 3.5.2. Karakteristik citra ..................................................................................................... 35 3.5.3. Pengkelasan (terbimbing dan tidak terbimbing) ...................................................... 36 3.5.4 Cek lapangan ............................................................................................................ 36 3.5.5. Pengkelasan kembali ................................................................................................ 37 3.5.6. Tranformasi Data Raster ke bentuk vektor .............................................................. 37 3.5.7. GIS Database Building .............................................................................................. 38 3.5.8. Tematik Map Output ................................................................................................ 39 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................................... 40 4.1. Identifikasi Ekosistem Pesisir dan Laut ............................................................................ 40 4.1.1. Identifikasi Ekosistem Pesisir dan Laut WPP 714 ..................................................... 43 4.1.2. Identifikasi Ekosistem Pesisir dan Laut WPP 716 ..................................................... 68 4.1.3. Identifikasi Sosial Budaya Masyarakat Pesisir WPP 714 .......................................... 96 4.1.4. Identifikasi Sosial Budaya Masyarakat Pesisir WPP 716 ........................................ 111 4.2. Identifikasi Aktifitas Ekonomi Ekosistem Pesisir ............................................................ 119 4.2.1 Identifikasi Aktifitas Ekonomi Ekosistem Pesisir WPP 714 ..................................... 119 4.2.2. Identifikasi Aktifitas Ekonomi Ekosistem Pesisir WPP 716 ..................................... 140 xxv
4.3 Nilai Sumberdaya Pesisir dan Laut ................................................................................. 156 4.3.1. Nilai Sumberdaya Pesisir dan Laut WPP 714 .......................................................... 156 4.3.2. Nilai Sumberdaya Pesisir dan Laut WPP 716 .......................................................... 196 V. IMPLIKASI HASIL PENELITIAN DALAM MENDUKUNG KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KP ..... 250 5.1. KEBIJAKAN NASIONAL .................................................................................................... 250 5.2. KEBIJAKAN PADA TINGKAT REGIONAL/DAERAH ............................................................ 250 VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN .................................................................. 251 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 252
xxvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14. Tabel 15. Tabel 16. Tabel 17. Tabel 18. Tabel 19. Tabel 20. Tabel 21. Tabel 22. Tabel 23. Tabel 24. Tabel 25. Tabel 26. Tabel 27. Tabel 28. Tabel 29. Tabel 30. Tabel 31. Tabel 32. Tabel 33. Tabel 34. Tabel 35. Tabel 36. Tabel 37. Tabel 38.
Zonasi Vegetasi Mangrove Berdasar Salinitas ........................................................... vi Hubungan Nilai Dengan Teknik Valuasi Yang Digunakan ........................................ xxi Konsep SIG dan Implementasinya di Komputer ..................................................... xxii Zonasi Vegetasi Mangrove Berdasar Salinitas .......................................................... 3 Hubungan Nilai Dengan Teknik Valuasi Yang Digunakan ........................................ 22 Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Survey ....................................................... 22 Kriteria penilaian kelimpahan ikan karang berdasarkan Kategori Critc Coremap (2005). ...................................................................................................... 27 Skala Kondisi Padang Lamun Berdasarkan Kerapatan............................................. 30 Standar baku kerusakan hutan mangrove berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 tahun 2004 ................................................................... 33 Hasil AnalisisNitrat dan Fosfat diperairan Wakatobi ............................................... 44 Persen Cover Terumbu Karang ................................................................................ 49 Kondisi Ikan Karang di Perairan DPL Liya, Buranga dan Mantigola ......................... 51 Hasil Pengamatan terhadap Jenis Lamun di Perairan Wakatobi ............................. 54 Persen Cover Kanopi, Kerapatan, INP dan Kriteria ekosistem Mangrove ............... 55 Klasifikasi Ekosistem di Wakatobi Berdasarkan Hasil Analisis Citra ........................ 57 Klasifikasi Ekosistem di Banda Neira Berdasarkan Hasil Analisis Citra .................... 59 Distribusi Ekosistem Lamun di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Tahun 2014 ......................................................................................................................... 64 Kondisi, Persentase Tutupan, Jenis dan Jumlah Spesies Terumbu Karang di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Tahun 2014 ..................................................... 65 Klasifikasi Ekosistem di Saumlaki Berdasarkan Hasil Analisis Citra ......................... 67 Nilai rata-rata kualitas perairan di lokasi penelitian ............................................... 72 Jenis mangrove yang ditemukan di lokasi penelitian .............................................. 80 Perhitungan nilai indeks keanekaragaman mangrove ............................................ 80 Perhitungan Indeks Nilai Penting Mangrove di lokasi penelitian............................ 81 Hasil Sampling dan Rata-Rata Terhadap Jumlah Biomassa dan Karbon yang Tersimpan pada Lokasi Penelitian ........................................................................... 82 Luasan Hutan Mangrove di Taman Nasional Bunaken ............................................ 88 Luas Terumbu karang kawasan Taman Nasional Bunaken ..................................... 89 Klasifikasi Ekosistem di Bunaken Berdasarkan Hasil Analisis Citra.......................... 91 Panjang Garis Pantai Berdasarkan Kecamatan di Kabupaten Gorontalo Utara, 2015 ......................................................................................................................... 92 Luas Hutan Mangrove Berdasarkan Kecamatan di Kabupaten Gorontalo Utara, 2015 .............................................................................................................. 92 Klasifikasi Ekosistem di Gorontalo Utara Berdasarkan Hasil Analisis Citra ............. 96 Kuantifikasi nilai sosial aktifitas pemanfaatan sumber daya di Wakatobi ............ 103 Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Menurut Kecamatan Tahun 2013.......................................................................... 110 Jumlah Rumah Tangga Perikanan dan Jumlah Nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Menurut Kecamatan Tahun 2013 ................................................ 110 Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Tahun 2013 ................................................................................. 111 JumlahPenduduk di Kawasan Taman Nasional Bunaken ...................................... 113 Kondisi armada penangkapan ikan di Wakatobi ................................................... 120 Produksi Perikanan di Kabupaten Wakatobi ......................................................... 120 Potensi Kawasan Wisata di Kabupaten Wakatobi ................................................. 126 xxvii
Tabel 39. Tabel 40. Tabel 41. Tabel 42. Tabel 43. Tabel 44. Tabel 45. Tabel 46. Tabel 47. Tabel 48. Tabel 49. Tabel 50. Tabel 51. Tabel 52. Tabel 53. Tabel 54. Tabel 55. Tabel 56. Tabel 57. Tabel 58. Tabel 59. Tabel 60. Tabel 61. Tabel 62. Tabel 63. Tabel 64. Tabel 65. Tabel 66. Tabel 67. Tabel 68.
Tabel 69. Tabel 70. Tabel 71. Tabel 72. Tabel 73. Tabel 74. Tabel 75. Tabel 76. Tabel 77.
Kategori Industri Yang Ada di Banda Neira............................................................ 126 Kondisi Armada Penangkapan di Bandaneira........................................................ 127 Jumlah RTP 2012 dan 2013 di Banda Neira ........................................................... 128 Fasilitas Akomodasi di Banda Neira ....................................................................... 130 Jumlah dan jenis alat penangkap ikan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Tahun 2013 ............................................................................................................ 131 Produksi dan Nilai Produksi Perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Tahun 2013 ............................................................................................................ 134 Sebaran Luas Budidaya, RTP dan Jumlah Pembudidaya Rumput Laut di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Tahun 2013 ................................................... 136 Objek Pariwisata Bahari di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Tahun 2014........ 138 Produksi Perikanan Kota Tarakan (2009-2013) .................................................... 140 Jumlah Alat Tangkap Tahun 2014.......................................................................... 141 Tangkapan Ikan, Kapal Penangkap Ikan, Nelayan Perikanan Laut ........................ 141 Potensi dan Produksi Perikanan Budidaya Air Payau (Tambak) ............................ 142 Potensi dan Produksi Perikanan Budidaya Air Tawar (Kolam) .............................. 143 Potensi dan Produksi Perikanan Budidaya Rumput Laut ...................................... 144 Jumlah Pengunjung Wisata Pantai Amal dan Mangrove Kota Tarakan 2013 dan 2014 ................................................................................................................ 147 Produksi Perikanan Tangkap Kabupaten Gorontalo Utara Tahun 2013................ 149 Jumlah Nelayan di Kabupaten Gorontalo Utara Tahun 2013 ................................ 150 Jumlah armada perahu di Kabupaten Gorontalo Utara Tahun 2013 .................... 150 Jumlah Alat Tangkapdi Kabupaten Gorontalo Utara Tahun 2013 ......................... 151 Potensi perikanan budidayadi Kabupaten Gorontalo Utara Tahun 2014 ............. 152 Pemanfaatan Perikanan Budidayadi Kabupaten Gorontalo Utara, 2014 .............. 152 Target Produksi Perikanan Budidaya di Kabupaten Gorontalo Utara ................... 153 Produksi Perikanan Budidaya di Kabupaten Gorontalo Utara .............................. 154 Jenis Pemanfaatan Kayu Mangrove dan Nilai Produksi di Wakatobi .................... 166 Nilai Rata-Rata dan Standar Deviasi dari Variabel Penangkapan Ikan pada Ekosistem Terumbu Karang di Wakatobi .............................................................. 169 Nilai Total Ekonomi Sumberdaya Pesisir di Wakatobi ........................................... 174 Nilai Manfaat Langsung Perikanan Tangkap di Banda Naira ................................. 179 Hasil Analisis Regresi Linear Berganda Model Permintaan Wisata di Banda Neira. ..................................................................................................................... 180 Nilai Total Ekonomi Sumberdaya Pesisir di Banda Neira....................................... 181 Nilai pemanfaatan tidak langsung fungsi penahan gelombang dan penyerap karbon oleh ekosistem karang dan mangrove, di Saumlaki, Maluku Tenggara Barat ...................................................................................................................... 182 Nilai sosial kesediaan membayar untuk ekosistem karang dan mangrove di Saumlaki, Maluku Tenggara Barat ......................................................................... 185 Nilai Total Ekonomi Sumberdaya Pesisir di Saumlaki ............................................ 195 Fungsi Kesediaan Masyarakat Membayar Untuk Kelestarian Mangrove.............. 199 Nilai Ekonomi Total Seluruh Ekosistem dan Kawasan Berdasarkan Tipologi Nilai Ekonomi Total di KotaTarakan, 2015 ............................................................ 212 Nilai manfaat tidak langsung fungsi penyerapan karbon dan penahan ombak pada ekosistem pesisir Bunaken, Kota Manado.................................................... 214 Nilai Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Terumbu Karang .................................. 215 Nilai manfaat langsung dari ekosistem mangrove di Bunaken, Kota Manado...... 217 Nilai Ekonomi Total Seluruh Ekosistem dan Kawasan Berdasarkan Tipologi Nilai Ekonomi Total di Bunaken, Kota Manado 2015 ............................................ 224 Nilai Ekonomi Kawasan Budidaya Tambak Sebagai Penyedia Udang Windu, Tahun 2015 ............................................................................................................ 235 xxviii
Tabel 78. Tabel 79.
Nilai Ekonomi Kawasan Mangrove Sebagai Penyedia Genetik, Tahun 2015 ....... 238 Nilai Ekonomi Total Seluruh Ekosistem dan Kawasan Berdasarkan Tipologi Nilai Ekonomi Total di Kabupaten Gorontalo Utara, 2015 .................................... 248
xxix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5.
Fauna Perairan yang Hidup Di Ekosistem Mangrove ............................................... vii Konsep Algoritma Pemetaan Sosial Ekonomi Berbasis Kawasan ........................... xvii Fauna Perairan Yang Hidup Di Ekosistem Mangrove ................................................ 5 Konsep Algoritma Pemetaan Sosial Ekonomi Berbasis Kawasan ............................ 14 Histogram Jumlah Desa/Kelurahan Setiap Kecamatan di Kabupaten Wakatobi Tahun 2013 ............................................................................................. 15 Gambar 6. PetaWilayahKabupatenWakatobi ........................................................................... 16 Gambar 7. Skema cara pencatatan data karang hidup, biota lain dan substrat dasar terumbu karang dengan metode PIT....................................................................... 24 Gambar 8. Ilustrasi pengamatan Ikan Karang ........................................................................... 25 Gambar 9. Skema meletakkan transek untuk pengamatan ikan karang dengan metode UVC .......................................................................................................................... 26 Gambar 10. Model Transek Lamun ............................................................................................ 29 Gambar 11. Posisi pengukuran lingkar batang pohon mangrove pada beberapa tipe batang yang dipengaruhi oleh sistem perakaran dan percabangan (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 201 tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove ............................... 31 Gambar 12. (a) Ilustrasi metode hemisperichal photography untuk mengukur tutupan mangrove (Korhonen et al., 2008; Jenning et al., 1999) (b) hasil pemotretan dengan lensafisheye secara vertikal. ....................................................................... 32 Gambar 13. Tahapan Teknik Pemetaan ...................................................................................... 34 Gambar 14. Derajat Keabuan dan Hubungannya dengan Digital Number (DN) ......................... 35 Gambar 15. Composite dari Beberapa Band Potongan Landat 7 ................................................ 36 Gambar 16. Tahapan Pengkelasan kembali ................................................................................ 37 Gambar 17. Perubahan Bentuk Data Raster Ke Vector ............................................................... 37 Gambar 18. Proses Digitasi Pemetaan ........................................................................................ 38 Gambar 19. Proses Annotasi Pemetaan ...................................................................................... 38 Gambar 20. Proses Overlay Pemetaan ........................................................................................ 39 Gambar 21. Salah Satu Bentuk Query Pemetaan ........................................................................ 39 Gambar 22. Contoh Output Peta Tematik................................................................................... 39 Gambar 23a. Bentuk life form pada persentase tutupan terumbu karang desa Lia 1 .................. 45 Gambar 24a. Bentuk life form pada persentase tutupan terumbu karang desa Lia 2 ................. 46 Gambar 25a. Bentuk life form pada persentase tutupan terumbu karang desa Buranga. .......... 46 Gambar 26. Bentuk life form pada persentase tutupan terumbu karang desa Mantigola......... 47 Gambar 27. Komponen penyusun abiotik pada terumbu karang desa Mantigola ..................... 47 Gambar 28. Grafik Persen Cover Terumbu Karang pada Daerah Pengamatan .......................... 49 Gambar 29. Grafik Kelimpahan Ikan Karang ............................................................................... 53 Gambar 30. Peta Sebaran Ekosistem Pesisir Pada Lokasi Penelitian Di Wakatobi ..................... 58 Gambar 31. Peta Sebaran Ekosistem Pesisir Pada Lokasi Penelitian Di Bandaneira, Maluku Tengah ........................................................................................................ 60 Gambar 32. Peta Distribusi Mangrove di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Tahun 2014 ....... 62 Gambar 33. Peta Sebaran Ekosistem Pesisir Pada Lokasi Penelitian Di Saumlaki, Maluku Tenggara Barat ........................................................................................................ 67 Gambar 34. Titik lokasi pengukuran (merah) dan pengamatan (biru)ekosistem mangrove ...... 69 Gambar 35. Mangrove yang tipis diselingi pemukiman penduduk diKecamatanTarakanTimur ..................................................................................... 70 Gambar 36. Titik sampling kualitas perairan dilokasi penelitian ................................................ 70 Gambar 37. Kondisi Pasang Surut pada Bulan Agustus 2015 ...................................................... 71 xxx
Gambar 38. Gambar 39. Gambar 40. Gambar 41. Gambar 42. Gambar 43. Gambar 44. Gambar 45. Gambar 46. Gambar 47. Gambar 48. Gambar 49. Gambar 50. Gambar 51. Gambar 52. Gambar 53. Gambar 54. Gambar 55. Gambar 56. Gambar 57. Gambar 58. Gambar 59. Gambar 60. Gambar 61. Gambar 62. Gambar 63. Gambar 64. Gambar 65. Gambar 66. Gambar 67. Gambar 68. Gambar 69. Gambar 70. Gambar 71. Gambar 72. Gambar 73. Gambar 74. Gambar 75. Gambar 76. Gambar 77.
Hasil pengukuran Pasang Surut dalam 24 jam di lokasi penelitian ......................... 71 PasangSurutLokasi Penelitian................................................................................. 72 Lokasi padasaat surut dan terjebakdi lumpur saat surut ...................................... 72 Sebaran nilai TSS di titik sampling lokasi penelitian ................................................ 73 Kondisi pasang dan bergelombang saat pengukuran dan pengambilan sedimendi ekosistem mangrove 15TKRM13 ........................................................... 73 Derajat keasaman (pH) perairanPesisir baratpulauTarakan ................................... 75 Salinitas perairan Pesisir barat pulauTarakan ......................................................... 76 Orthofosfat perairanPesisirbarat pulauTarakan ...................................................... 77 Senyawa amonia di perairan Pesisir barat pulau Tarakan....................................... 77 Nitrat di perairan Pesisir barat pulau Tarakan ........................................................ 78 Silikat di perairan Pesisir barat pulau Tarakan ........................................................ 79 Mangrove jenis Sonneratiaalba di titik sampling21 ................................................ 80 Nilai karbonstok padasedimendi lokasi penelitian.................................................. 82 Sebaran mangrove di lokasi penelitian pantai barat Pulau Tarakan ....................... 83 Sebaran mangrove dilokasi penelitian pantai Timur Pulau Tarakan ....................... 84 Jasa ekosistem mangrove pulau Tarakan (modifikasi Ngoc, 2015) ......................... 85 Peta Sebaran Ekosistem Pesisir Pada Lokasi Penelitian Di Kota Tarakan ................ 86 Peta sebaran ekositem pada Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara ............... 91 Kondisi Ekosistem Mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara, 2015 ....................... 93 Kondisi Tutupan Karang di Kabupaten Gorontalo Utara, 2015 ............................... 93 Peta Sebaran Ekosistem pada Pesisir Gorontalo Utara ........................................... 95 Persentase hasil tangkapan ikan di Wakatobi ....................................................... 121 Produksi Perikanan Tangkap dan Budidaya di Kabupaten Wakatobi Tahun 2014. ...................................................................................................................... 121 Persentase alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan di Wakatobi ............................................................................................................... 122 Persentase hasil tangkapan berdasar alat tangkap ............................................... 123 Pendapatan Nelayan di Pulau Banda..................................................................... 127 Kategori Wisata di Pulau Banda ............................................................................ 129 Peta Nilai Manfaat Tidak Langsung fungsi Penyerap Karbon Sumberdaya Pesisir dan Laut di Wakatobi ................................................................................. 157 Peta Nilai Manfaat Tidak Langsung fungsi Break Water sumberdaya Pesisir dan Laut di Wakatobi............................................................................................. 158 Peta Nilai manfaat tidak langsung fungsi produktifitas primer pertumbuhan ikan sumberdaya pesisir dan Laut di wakatobi ..................................................... 159 Kurva CVM Mangrove di Wakatobi ....................................................................... 161 peta nilai sosial budaya sumberdaya pesisir dan lautan di wakatobi ................... 161 Kurva CVM Lamun di Wakatobi ............................................................................. 163 Kurva CVM Terumbu Karang di Wakatobi ............................................................. 164 Grafik Fungsi Permintaan Penangkapan ikan pada Ekosistem Mangrove di Wakatobi ............................................................................................................... 165 Grafik Fungsi Permintaan Penangkapan ikan pada Ekosistem Lamun di Wakatobi ............................................................................................................... 168 Grafik Fungsi Permintaan Penangkapan Ikan pada Ekosistem Terumbu Karang di Wakatobi ............................................................................................... 170 Grafik Fungsi Permintaan Aktivitas Budidaya Rumput Laut pada Ekosistem Terumbu Karang di Wakatobi ................................................................................ 172 Grafik Fungsi Permintaan Penangkapan Ikan pada Ekosistem Pelagis di Wakatobi ............................................................................................................... 174 Peta nilai manfaat langsung berbagai pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan di wakatobi ................................................................................................. 175 xxxi
Gambar 78. Gambar 79. Gambar 80. Gambar 81. Gambar 82. Gambar 83. Gambar 84.
Gambar 85. Gambar 86. Gambar 87. Gambar 88. Gambar 89. Gambar 90, Gambar 91. Gambar 92. Gambar 93. Gambar 94. Gambar 95. Gambar 96. Gambar 97. Gambar 98. Gambar 99. Gambar 100. Gambar 101. Gambar 102. Gambar 103. Gambar 104. Gambar 105. Gambar 106. Gambar 107.
Peta nilai manfaat tidak langsung fungsi water break ekosistem terumbu karang di Bandaneira, Kab. Maluku Tengah .......................................................... 176 Peta nilai manfaat tidak langsung fungsi produktifitas primer pertumbuhan ikan di Bandaneira, Kab. Maluku Tengah .............................................................. 177 Peta nilai Sosial Budaya sumberdaya pesisir dan laut di Bandaneira, Kab Maluku Tengah ...................................................................................................... 178 Surplus Produsen Untuk Travel Cost Method Banda Naira ................................... 180 Peta Nilai Manfaat Langsung berbagai ekosistem di pesisir Bandaneira, Kab. Maluku Tengah ...................................................................................................... 182 Peta nilai manfaat tidak langsung fungsi penyerap Karbon ekosistem Mangrove dan Terumbu Karang di Saumlaki, Kab. Maluku Tenggara Barat ......... 183 Peta nilai manfaat tidak langsung fungsi produktifitas primer pertumbuhan ikan ekosistem Mangrove dan Terumbu Karang di Saumlaki, Kab. Maluku Tenggara Barat ...................................................................................................... 183 Kurva CVM Ekosistem terumbu karang di Saumlaki ............................................. 184 Kurva CVM Ekosistem Mangrove di Saumlaki ....................................................... 185 Peta Nilai Sosial terhadap ekosistem pesisir di Saumlaki, Maluku Tenggara Barat ...................................................................................................................... 186 Grafik Fungsi Permintaan Penangkapan ikan pada Ekosistem Terumbu Karang di Saumlaki ................................................................................................ 188 Grafik Fungsi Permintaan Aktivitas Perikanan Budidaya Rumput Laut pada Ekosistem Terumbu Karang di Saumlaki ............................................................... 190 Grafik Fungsi Permintaan Penangkapan ikan pada Ekosistem Mangrove di Saumlaki ................................................................................................................ 192 Grafik Fungsi Permintaan Penangkapan ikan pada Ekosistem Pelagis di Saumlaki ................................................................................................................ 194 Peta Nilai Manfaat Langsung berbagai ekosistem di pesisir Saumlaki, Kab. Maluku Tenggara Barat ......................................................................................... 196 Peta nilai manfaat tidak langsung fungsi penyerap Karbon ekosistem Mangrove dan Terumbu Karang di Tarakan, Kalimantan Utara ........................... 197 Peta nilai manfaat tidak langsung fungsi produktifitas primer pertumbuhan ikan di Tarakan, Kalimantan Utara ........................................................................ 198 Peta nilai Sosial Budaya sumberdaya pesisir dan laut di Bandaneira, Kab Maluku Tengah ...................................................................................................... 199 Kurva Fungsi Permintaan Sumberdaya ikan Demersal di Kota Tarakan , 2015. .... 201 Kurva Fungsi Permintaan Sumberdaya Terhadap Aktifitas Budidaya Udang di Kota Tarakan, 2015. ............................................................................................... 203 Kurva Permintaan terhadap Sumberdaya Kepiting Soka ...................................... 204 Kurva Permintaan terhadap Sumberdaya Kepiting Bakau .................................... 205 Kurva Permintaan terhadap Komoditas Rumput Laut .......................................... 207 Kurva Permintaan terhadap Pemanfaatan Wisata Mangrove .............................. 209 Kurva Permintaan terhadap Pemanfaatan Wisata Pantai .................................... 211 Peta Nilai Manfaat Langsung berbagai ekosistem di pesisir Tarakan, Kalimantan Utara ................................................................................................... 213 Peta nilai manfaat tidak langsung fungsi produktifitas primer pertumbuhan ikan di Bunaken, Sulawesi Utara ........................................................................... 215 Peta nilai manfaat tidak langsung fungsi penyerap Karbon ekosistem Mangrove dan Terumbu Karang di Bunaken, Manado ......................................... 216 Peta Nilai Manfaat Tidak Langsung Fungsi Water Break Sumberdaya Mangrove dan Terumbu Karang Di Bunaken, Manado ......................................... 217 Grafik Fungsi Permintaan Penangkapan ikan pada Ekosistem Terumbu Karang di Taman Nasional Bunaken ...................................................................... 219 xxxii
Gambar 108. Grafik Fungsi Permintaan Aktivitas Budidaya Rumput Laut di Taman Nasional Rumput Laut. ......................................................................................................... 220 Gambar 109. Grafik Fungsi Permintaan kunjungan pariwisata mancanegara taman Nasional Bunaken. ................................................................................................. 221 Gambar 110. Peta Nilai Manfaat Langsung berbagai ekosistem di pesisir Bunaken, Sulawesi Utara ....................................................................................................... 222 Gambar 111. Peta nilai Sosial Budaya sumberdaya pesisir dan laut di Bunaken, Sulawesi Utara ...................................................................................................................... 223 Gambar 112. Peta Nilai Manfaat Tidak Langsung Fungsi Water Break Sumberdaya Mangrove dan Terumbu Karang Di Gorontalo Utara ............................................ 225 Gambar 113. Peta nilai manfaat tidak langsung fungsi produktifitas primer pertumbuhan ikan di Gorontalo Utara ......................................................................................... 226 Gambar 114. Peta nilai manfaat tidak langsung fungsi penyerap Karbon ekosistem Mangrove dan Terumbu Karang di Gorontalo Utara ............................................ 227 Gambar 115. Peta nilai manfaat tidak langsung fungsi water break ekosistem terumbu karang di Gorontalo Utara ..................................................................................... 229 Gambar 116. Kurva CVM Ekosistem Terumbu Karang di Kabupaten Gorontalo Utara, 2015 ... 231 Gambar 117. Kurva CVM Ekosistem Mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara, 2015............... 233 Gambar 118. Peta nilai Sosial Budaya sumberdaya pesisir dan laut di Gorontalo Utara ........... 234 Gambar 119. Kurva Permintaan terhadap Sumberdaya Kepiting di Kabupaten Gorontalo Utara, 2015 ............................................................................................................ 237 Gambar 120. Fungsi Permintaan Effect On Production (EOP) Aktifitas Penangkapan Ikan Demersal Di Kabupaten Gorontalo Utara.............................................................. 240 Gambar 121. Fungsi Permintaan Effect On Production (EoP) aktivitas perikanan budidaya rumput laut di Kabupaten Gorontalo Utara, 2015 ................................................ 242 Gambar 122. Kurva Permintaan terhadap Sumberdaya Ikan Pelagis di Kabupaten Gorontalo Utara, 2015........................................................................................... 246 Gambar 123. Peta Nilai Manfaat Langsung berbagai ekosistem di pesisir Gorontalo Utara ...... 247
xxxiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Visualisasi Spasial Nilai Pemanfaatan Langsung Sumberdaya Pesisir dan Laut di WPP 714............................................................................................................. 254 Lampiran 2. Visualisasi Spasial Nilai Pemanfaatan Tidak Langsung sumberdaya Pesisir dan Laut di WPP 714..................................................................................................... 255 Lampiran 3. Visualisasi Spasial Nilai Pemanfaatan Tidak Langsung Fungsi Penyerap Karbon Sumberdaya Pesisir di WPP 714 ............................................................... 256 Lampiran 4. Visualisasi Spasial Nilai Manfaat Tidak Langsung Fungsi Produktifitas Primer Pertumbuhan Ikan Di WPP 714 ............................................................................. 257 Lampiran 5. Visualisasi Spasial Nilai Sosial Budaya Sumberdaya Pesisir di WPP 714 ............... 258 Lampiran 6. Visualisasi Spasial Nilai Pemanfaatan Langsung Sumberdaya Pesisir dan Laut Di WPP 716 ............................................................................................................ 259 Lampiran 7. Visualisasi Spasial Nilai Pemanfaatan Tidak Langsung Sumberdaya fungsi Peredam Gelombang Pesisir dan Laut Di WPP 716 ............................................... 260 Lampiran 8. Visualisasi Spasial Nilai Pemanfaatan Tidak Langsung Fungsi Penyerap Karbon Sumberdaya Pesisir di WPP 716 ............................................................... 261 Lampiran 9. Visualisasi Spasial Nilai Manfaat Tidak Langsung Fungsi Produktifitas Primer Pertumbuhan Ikan Di WPP 716 ............................................................................. 262 Lampiran 10. Visualisasi Spasial Nilai Sosial Budaya Sumberdaya Pesisir di WPP 716 ............... 263
xxxiv
I.
PENDAHULUAN
Panjang wilayah pesisir Indonesia mencapai 95.181 km yang didalamnya terkandung keragaman potensi sumberdaya kelautan dan perikanan. Sumberdaya tersebut memiliki arti penting bagi pengembangan sosial-budaya, ekonomi dan lingkungan. Meski dinilai penting, pemetaan sumberdaya tersebut belum banyak dilakukan dan masih secara parsial dan tersebar diberbagai tempat. Hal ini menyebabkan Indonesia belum memiliki peta sosial ekonomi secara utuh pada wilayah pesisir sehingga perumusan kebijakan seringkali tidak disertai oleh kondisi eksisting sumberdaya. Dampaknya perencanaan tidak dilakukan secara seimbang dan berkelanjutan. Adrianto (2006), menyebutkan bahwa paradigma pengelolaan sumberdaya selama ini lebih banyak hanya memperhitungkan faktor keuntungan ekonomi dibanding dengan biaya lingkungan terkait dengan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Wilayah pesisir dan laut adalah salah satu ekosistem yang sangat produktif dan dinamis. Aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam ini seringkali tanpa memperhatikan prinsip kelestarian pengelolaan dan tumpang tindih. Disisi lain data maupun informasi biofisik lingkungan maupun sumber daya alam di wilayah tersebut masih sangat terbatas terutama yang bersifat keruangan (Spasial). Survei dan pemetaan sosial ekonomi sumberdaya pesisir merupakan salah satu upaya untuk mempercepat pengadaan data mengenai wilayah pesisir dan laut. Alat bantu yang dapat digunakan untuk menunjang hal ini biasanya berupa pemanfaatan data citra yang dipadukan dengan hasil lapangan sehingga hasilnya dapat divisualisikan secara baik.
1
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Karakteristik Lingkungan Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh Kay dan Alder (1999:2) sebagai daerah dimana daratan
dan lautan bertemu. Sedangkan menurut Undang-Undang No.27 tahun 2007 wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Bengen (2004:2) menambahkan bahwa batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air dan tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Oleh karena itu wilayah pesisir memiliki interaksi antar dua ekosistem tersebut yang bersifat saling timbal balik. Pada wilayah pesisir terdapat berbagai ekosistem penting yang masing-masing memiliki karakteristik berbeda. Secara khusus penelitian ini akan berkenaan dengan ekosistem estuaria dan mangrove. Dengan demikian pembahasan akan dibatasi pada kedua jenis ekosistem yang saling terkait tersebut. 2.2.
Ekosistem Estuaria Estuaria secara definisi merupakan wilayah pesisir semi tertutup yang mempunyai
hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima air tawar dari daratan (Bengen,2004:10). Secara lebih spesifik estuaria dapat dikelompokkan menjadi empat tipe yaitu estuaria daratan pesisir, laguna, Fjords dan estuaria tektonik. Tipe ekosistem estuaria yang terdapat pada lokasi penelitian sendiri merupakan tipe laguna yang terbentuk oleh adanya beting pasir yang terletak sejajar dengan garis pantai. Kondisi tersebut menyebabkan tidak terjadinya interaksi secara langsung dan terbuka dengan perairan laut (Bengen 2004:10). Menurut Bengen (2004:13-14) estuaria secara fisik dan biologis merupakan ekosistem yang produktif dimana disebabkan oleh tiga hal. Pertama, karena estuaria dapat menjebak zat hara yang cepat didaur ulang. Kedua, fotosintesis terjadi sepanjang tahun pada wilayah ini karena tingginya ragam komposisi tumbuhan makro (makrofiton) dan tumbuhan mikro (mikrofiton). Ketiga, karena terjadinya pengangkutan bahan makanan dan zat hara yang dibutuhkan oleh berbagai organisme estuaria melalui proses pasang-surut. Erlangga (2007) mengidentifikasi berbagai fenomena lingkungan yang terjadi di wilayah estuaria sebagai berikut : 1. Tempat bertemunya arus sungai dengan arus pasang surut, dimana menyebabkan pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri fisika lainnya.
2
2. Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut. 3. Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang surut mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya 4. Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasang surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lain, serta topografi daerah estuaria tersebut. Fenomena yang disebutkan di atas membuat biota di wilayah estuaria memiliki karakteristik yang khas. Secara umum fauna yang ada di wilayah tersebut dapat dibagi menjadi tiga yaitu fauna laut, fauna air tawar dan fauna air payau (Bengen, 2004:12). Diantara ketiga jenis fauna tersebut yang mendominasi adalah fauna laut khususnya yang termasuk hewan stenohalin atau memiliki tingkat toleransi rendah terhadap perubahan salinitas perairan ( >30 ‰ ) dan eurohalin yang mampu mentolelir perubahan salinitas perairan cukup tinggi atau mampu bertahan sampai tingkat salinitas di bawah 30‰. Sedangkan hewan air payau hidup pada kisaran perubahan salinitas antara 5-30‰ dan hewan air tawar yang hanya dapat mentolelir kadar salinitas di bawah 5‰. 2.3.
Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove merupakan salah satu sumberdaya pesisir yang memiliki fungsi
ekologis dan fungsi ekonomis yang penting. Secara ekologis mangrove berfungsi sebagai feeding ground, spawning ground, nursery ground, penahan gelombang dan angin, penahan instrusi air laut dan dapat menurunkan kandungan gas CO2 (Bengen, 2004). Selain itu mangrove memiliki fungsi ekonomis seperti : digunakan sebagai kayu bakar, bahan bangunan, tempat rekreasi, dan obat-obatan. Menurut Lear & Tunner, 1997 dalam Soeroyo (1990) produktivitas primer ekosistem mangrove mencapai sekitar 2500 – 3600 gr/m2/th, merupakan urutan ketiga setelah produktivitas hutan hujan (6000 gr/m2/th) dan produktivitas terumbu karang (4900 gr/m2/th). Tipe ekosistem mangrove yang ada di Indonesia ada tiga tipe yaitu bentuk pantai atau delta, bentuk muara sungai atau laguna dan bentuk pulau (LPP Mangrove, 2008). Tabel 4. Zonasi Vegetasi Mangrove Berdasar Salinitas No 1 2 3 4
Keterangan Zonasi air payau hingga air laut dengan kisaran salinitas 10-30‰ Area yang terendam air sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam sebulan : Rhizopora mucronata Area yang terendam air 10-19 kali per bulan : Avicennia alba, Avicennia marina, Sonneratia sp dan dominan Rizhopora sp. Area yang terendam kurang dari 9 kali per bulan : Rhizopora sp, Bruguiera sp Area yang hanya terendam beberapa hari dalam setahun : Bruguiera gymnorrhiza dan 3
No
5 6
Keterangan Rizhopora apiculata Zona air tawar hingga air payau dengan kisaran salinitas 0-10‰ Area yang kurang lebih masih di bawah pengaruh pasang surut : asosiasi Nypa. Area yang terendam secara musiman : Hibiscus dominan
Sumber : De Haan dalam Russel & Yonge, 1968 dalam Bengen, 2004.
Sedangkan Tomlinson (1986) dalam LPP Mangrove (2008) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok, yakni : 1
Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa.
2
Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas, contoh : Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera.
3
Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus, dan lainlain. Umumnya flora mangrove tumbuh di lapangan membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai
sampai pedalaman daratan. Zonasi di hutan mangrove mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap gradasi lingkungan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi) tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan. Ekosistem mangrove merupakan habitat bagi berbagai fauna, baik fauna khas mangrove maupun fauna yang berasosiasi dengan mangrove. Berbagai fauna tersebut menjadikan mangrove sebagai tempat tinggal, tempat mencari makan, bermain atau tempat berkembang biak. Fauna mangrove hampir mewakili semua phylum, meliputi protozoa sederhana sampai burung, reptilia dan mamalia.Secara garis besar fauna mangrove dapat dibedakan atas fauna darat (terrestrial), fauna air tawar dan fauna laut (Gambar 3). Fauna darat, misalnya kera ekor panjang (Macaca spp.), biawak (Varanus salvator), berbagai jenis burung, dan lain-lain. Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae. Golongan Mollusca umunya didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan Crustaceae didominasi oleh Bracyura.Di dalam ekosistem mangrove yang menjadi komponen utama adalah fauna laut. 4
Gambar 3.
Fauna Perairan Yang Hidup Di Ekosistem Mangrove Sumber : Bengen (2004)
2.4.
Pemanfaatan WilayahPesisir Pesisir yang memiliki wilayah daratan dan perairan memang menyimpan potensi sumberdaya yang besar untuk dimanfaatkan. Terlebih bila pada pesisir tersebut terdapat ekosistem yang mendukung kelimpahan sumberdaya perikanan seperti mangrove yang terdapat pada Kawasan Segara Anakan. Menurut Kay dan Alder (1999:25) pemanfaatan wilayah pesisir dapat dibagi ke dalam empat kategori yaitu untuk eksploitasi sumberdaya, infrastruktur, kegiatan turistik dan rekreasi, serta konservasi dan perlindungan biodiversitas. Pada wilayah yang lebih spesifik seperti estuaria, Bengen (2004) menjelaskan bahwa estuaria dimanfaatkan oleh manusia untuk empat kepentingan yakni (1) tempat permukiman; (2) tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan; (3) jalur transportasi dan (4) tempat pelabuhan dan kawasan industri. 2.4.1. Tempat Permukiman Wilayah pesisir merupakan salah satu tempat yang dijadikan oleh masyarakat sebagai tempat bermukim semenjak dulu. Alasannya sederhana yaitu karena wilayah ini memiliki potensi ekonomi, sosial dan rekreasi yang lebih menarik bila dibandingkan dengan daerah pedalaman (Kay dan Alder, 1999:21). Hal ini membuat kawasan pesisir cenderung lebih berkembang bila dibandingkan dengan kawasan pedalaman. Studi yang dilakukan Asian Development Bank (1987) dalam Kay dan Alder (1999:23) menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk wilayah pesisir di Indonesia bahkan mencapai dua kali lipat dari rata-rata pertumbuhan penduduk nasional. Perkembangan penduduk yang tinggi di wilayah pesisir memberi pengaruh yang kuat bagi kondisi dan kualitas lingkungan di wilayah ini. Kondisi tersebut tidak terlepas dari elemenelemen yang ada di dalam sistem permukiman itu sendiri yang mencakup rumah atau tempat 5
tinggal, prasarana dasar, dan aktivitas sosial ekonomi manusia yang tinggal pada kawasan permukiman tersebut (Vancouver Declaration on Human Settlement, 1976 dalam Setiadi 2008). Rumah menurut Rapoport (1969) dalam Mahmudin (2002) lebih dari sekedar proses bermukim karena di dalamnya juga ada kehadiran manusia beserta aktivitas dan pola tingkah lakunya. Santoso (1993) dalam Mahmudin (2002) menambahkan bahwa hakikat rumah bagi kehidupan manusia adalah tempat realisasi kehidupan manusia. Manusia akan mengaktualisasikan potensinya dan mampu membuka jalan dan memberikan saluran bagi kecenderungan, kebutuhan aspirasi, dan keinginan manusia dengan sepenuhnya. Adanya elemen-elemen dalam sistem permukiman tersebut membuat tingginya tingkat pemanfaatan sumberdaya sebagai suatu upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakatnya. Begitu pula dengan banyaknya limbah yang dibuang sebagai sisa dari aktivitas manusia. Konversi lahan yang tinggi baik untuk permukiman atau bangunan pendukung lainnya dimana membuat tekanan terhadap lingkungan semakin tinggi. Akibatnya fungsi-fungsi lingkungan baik fungsi fisik, biologi maupun kimia semakin berkurang. Situasi ini membuat pelayanan yang diberikan lingkungan kepada manusia juga semakin terbatas. 2.4.2. Tempat Penangkapan dan Budidaya Sumberdaya Ikan Secara alami ekosistem mangrove yang mengelilingi perairan laguna berfungsi sebagai feeding ground, nursery ground, dan spawning ground yang membuatnya kaya akan sumberdaya perikanan (Bengen, 2004). Pada wilayah mangrove banyak berbagai biota yang hidup pada kolom air dan pada substrat baik keras maupun lunak (Bengen 2004:22). Jenis yang hidup pada kolom air diantaranya adalah berbagai jenis ikan dan udang yang hidupnya berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Sedangkan yang hidup pada substrat khususnya adalah kepiting dan kerang. Kekayaan sumberdaya tersebut di atas, menjadi dasar pemanfaatan wilayah pesisir oleh banyak masyarakat. Berdasarkan UU. No.27 tahun 2007, pemanfaatan wilayah pesisir pada dasarnya dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemanfaatan sumberdaya ikan yang ada di wilayah pesisir dilakukan dengan cara penangkapan dan juga budidaya. Penangkapan berarti mengambil atau mengekstrasi sumberdaya ikan yang ada di alam secara langsung dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap baik yang bersifat aktif mapun pasif. Sedangkan budidaya perikanan merupakan kegiatan pemeliharaan ikan pada satu tempat atau lokasi tertentu dengan tujuan komersil suatu komoditas perikanan tertentu. Daerah di sekitar mangrove umumnya dimanfaatkan untuk tambak bandeng dan udang. Hal tersebut dilakukan karena perairan di sekitar mangrove kaya akan unsur nutrien yang membantu perkembangbiakan jenis yang dibudidayakan.
6
Kegiatan perikanan tangkap bila tidak dikelola secara baik seringkali menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan perairan dan sumberdaya perikanan itu sendiri. Hal ini karena ikan seringkali ditangkap dengan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan melebihi daya pulih ikan. Sutikno dan Maryunani (2006:146) mengatakan bahwa ikan seringkali diambil secara besarbesaran karena dianggap sebagai sumberdaya yang dapat pulih (renewable). Padahal sumberdaya ikan dapat terkuras bila ia dipanen melebihi kapasitasnya memulihkan diri. Fauzy (2004:100) menyebut fenomena ini sebagai tangkap lebih yang disebabkan oleh sifat kepemilikan sumberdaya yang cenderung terbuka. Victor (2002) dalam Sutikno dan Maryunani (2006:150) berpendapat bahwa dalam pengelolaan sumberdaya alam milik umum seperti halnya perikanan terdapat tiga dilema. Dilema pertama adalah eksternalitas dari kegiatan penangkapan ikan yaitu ketika salah satu pihak dapat mengeruk atau menangkap ikan sebanyak-banyaknya, maka nelayan lain akan mengalami kerugian karena stok sumberdaya ikan menjadi menurun. Dilema kedua adalah eksternalitas teknologi yang terjadi karena nelayan cenderung melakukan penangkapan pada lokasi yang sama atau saling berdekatan. Hal ini menyebabkan perlombaan alat tangkap yang menjurus pada perusakan lingkungan. Dilema ketiga adalah masalah penentuan lokasi penangkapan ikan. Hal ini terkait dengan akses sumberdaya yang seringkali menimbulkan ketidakadilan antar nelayan karena ikan biasanya berkonsentrasi pada lokasi tertentu. Hal ini menyebabkan nelayan yang tidak memiliki akses terhadap lokasi tersebut harus menanggung biaya yang ditimbulkan oleh pemegang akses. Kegiatan budidaya juga berpotensi memberi dampak yang buruk terhadap lingkungan bila tidak menerapkan prinsip-prinsip perikanan budidaya yang berkelanjutan. Seperti budidaya udang yang telah lama dianggap merusak mangrove, karena memproduksi sejumlah hara yang secara potensial membahayakan ekosistem mangrove. Selain itu juga terjadi pembuangan limbah ke perairan pada saat panen dan pergantian air tambak secara rutin dimana mengalirkan buangan bahan organik ke hilir, daerah sungai dan ekosistem laut (Baliao dan Tookwinas, 2002). 2.1.3. Jalur transportasi Transportasi atau perangkutan dapat diartikan perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan alat pengangkutan, baik yang digerakkan oleh tenaga manusia, hewan (kuda, sapi, kerbau), atau mesin (Sukarto, 2006). Perpindahan terjadi karena adanya kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi di tempat asalnya. Menurut (Faulks, 1982 : 27-28), transportasi akan meningkat akibat peningkatan distribusi bahan baku, kemampuan dan tenaga kerja. Hal tersebut untuk mempertemukan antara material atau bahan baku yang diperlukan dengan perusahaan atau industri tempat pengolahan menjadi bahan baku maupun pemasaran untuk konsumsi 7
masyarakat. Transportasi perlu untuk mengatasi kesenjangan jarak dan komunikasi antara tempat asal dan tempat tujuan (Sukarto, 2006). Untuk itu dikembangkan sistem transportasi dan komunikasi, dalam wujud sarana (kendaraan) dan prasarana (jalan). Dari sini timbul jasa angkutan untuk memenuhi kebutuhan perangkutan (transportasi) dari satu tempat ke tempat lain. Secara garis besar moda transportasi terbagi tiga yaitu transportasi darat, air, dan udara (Sukarto, 2006). Sesuai dengan kondisi wilayah di Kawasan Segara Anakan maka yang berkembang dengan baik adalah moda transportasi air seperti kapal, perahu, tongkang dan rakit. Moda transportasi ini menjadi sarana yang menghubungkan berbagai wilayah di dalam Kecamatan Kampung Laut. Selain itu juga menjadi sarana yang menghubungkan Kecamatan Kampung Laut dengan wilayah lain di sekitarnya. Dampak pemanfaatan wilayah pesisir sebagai jalur transportasi terhadap lingkungan cenderung tidak terjadi secara langsung. Adanya jalur dan sarana transportasi akan meningkatkan pergerakan masyarakat baik yang ke dalam dan ke luar.
Secara ekonomi hal ini akan
memudahkan masyarakat untuk memasarkan hasil produksi sumberdaya alam yang ada di dalam suatu wilayah ke luar wilayah tersebut (Sukarto, 2008). Hal ini berarti akan mendorong peningkatan aktivitas ekonomi yang berarti mendorong pula pemanfaatan dan ekstrasi sumberdaya alam. Meningkatnya kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam akan meningkatkan ancaman terhadap lingkungan bila tidak dilakukan secara hati-hati. 2.1.4. Infrastruktur, Pelabuhan dan Kawasan Industri Wilayah pesisir sudah semenjak lama dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai kepentingan. Bahkan sebelum berkembang moda transportasi udara, wilayah pesisir telah menjadi pilihan utama sebagai tempat keluar masuknya barang perdagangan. Untuk mendukung kegiatan tersebut maka dibangunlah berbagai infrastruktur pendukungnya. Kay dan Alder (1999:30), menyebutkan bahwa infrastruktur yang umum dibangun pada wilayah pesisir adalah : 1. pelabuhan 2. fasilitas pendukung dan operasional berbagai sistem transportasi 3. Jalan, jembatan, dermaga 4. Instalasi pertahanan Pembangunan berbagai infrastruktur di atas menurut Kay dan Alder (1999:30) akan mempengaruhi perkembangan industri berbasis pelabuhan dimana akan meningkatkan pembangunan industri dan pertumbuhan tenaga kerja. Mekanisme umpan balik ini menjadi salah satu faktor pendorong utama bagi berkembangnya wilayah pesisir. Konsep ini sangat sesuai menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi pada perkembangan kota-kota besar di Indonesia dimana kota-kota tersebut sebagian besar berada pada wilayah pesisir. 8
Akibat yang ditimbulkan dari pembangunan berbagai infrastruktur, pelabuhan dan kawasan industri terhadap lingkungan adalah berubahnya lingkungan fisik pada wilayah pesisir yang dapat merubah struktur ekologi komunitas biota laut dan keanekaragaman hayati perairan (Bengen, 2004). Hal ini terjadi karena biota dan keanekaragaman hayati sumberdaya perairan sangat tergantung dari lingkungan fisik atau ekosistem tempat hidupnya. 2.5.
Kegiatan Turistik dan Rekreasi Kegiatan turistik dan rekreasi atau yang biasa disebut sebagai kegiatan wisata pada
dasarnya adalah kegiatan yang menawarkan jasa-jasa kenyamanan yang menjadi salah satu fungsi dari wilayah peisir. Jasa wisata merupakan gabungan produk yang terangkum dalam atraksi, transportasi, akomodasi, dan hiburan (Freyer, 1993 dalam Damanik dan Weber, 2006). Sedangkan yang dimaksud dengan produk wisata adalah semua produk yang diperuntukkan atau dikonsumsi seseorang selama melakukan kegiatan wisata. Kegiatan wisata pada dasarnya dilakukan pada suatu tempat yang memiliki potensi wisata. Suatu tempat dikatakan memiliki potensi wisata jika memiliki objek (alam, budaya, buatan) yang memiliki nilai daya tarik bagi wisatawan (Damanik dan Weber, 2006). Objek dan daya tarik wisata adalah suatu bentukan dan atau hubungan aktivitas dan fasilitas yang dapat menarik pengunjung untuk datang ke suatu daerah atau tempat tertentu (Marpaung, 2000). Oleh karena itu daerah tujuan wisata menurut Yoety (1990) harus memiliki tiga syarat berikut : a. Something to see, artinya daerah tersebut harus mempunyai obyek dan daya tarik khusus sebagai hiburan bagi pengunjung. b. Something to do, tersedianya fasilitas sebagai penunjang bagi pengunjung untuk dapat melakukan aktivitas yang beragam dan dapat tinggal lebih lama. c. Something to buy, artinya tersedianya fasilitas untuk berbelanja, seperti kerajinan daerah setempat atau makanan khas sebagai buah tangan. Wilayah estuaria dan ekosistem mangrove pada dasarnya memiliki potensi wisata yang menarik untuk didatangi oleh para wisatawan. Terdapat sejumlah objek alam yang dapat dilihat diantaranya adalah nuansa hutan mangrove dengan vegetasinya yang khas dan beragam fauna yang hidupnya berasosiasi dengan ekosistem tersebut. Selain objek alam terdapat juga objek budaya berupa perkampungan nelayan yang banyak menempati kawasan tersebut. Karakteristik dan kegiatan ekonomi yang khas menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Pengaruh kegiatan wisata terhadap lingkungan adalah meningkatnya ancaman kerusakan wilayah pesisir bila tidak dilakukan secara hati-hati. Adanya kegiatan wisata selalu menuntut adanya sarana dan prasarana pendukung seperti restoran, tempat penginapan dan sebagainya. Menurut Bengen (2004:56), hal ini berpotensi merubah struktur ekologi komunitas biota laut dan 9
keanekaragaman hayati perairan terlebih bila dibangun di sekitar kawasan konservasi. Namun bila kegiatan wisata yang berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip ekoturisme, justru berpotensi memberi dampak positif terhadap lingkungan karena pengelola setempat akan memiliki dana untuk meningkatkan upaya perbaikan kualitas lingkungan. 2.6.
Konservasi Dan Perlindungan Biodiversitas Menurut Bengen (2004:57), konservasi adalah upaya perlindungan yang dapat dilakukan
agar ekosistem pesisir dapat berperan secara optimal dan berkelanjutan. Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa tujuan konservasi adalah melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati dan melindungi proses-proses ekologi. Sedangkan kegiatan konservasi pada wilayah pesisir dan pula-pulau kecil berdasarkan Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Pada laporan mengenai konservasi sumberdaya ikan yang dilakukan oleh DKP dan JICA (2008) disebutkan pula bahwa tujuan dari penyelenggaraan kegiatan konservasi adalah untuk menjaga habitat hidup ikan agar terjaga kelestariannya baik pada daerah asuhan (nursery ground), mencari makan (feeding ground), memijah (spawning ground), dan jalur ruaya migratory route. Di dalam UU. 27 tahun 2007 disebutkan bahwa suatu wilayah atau kawasan pesisir dapat ditetapkan sebagai salah satu kawasan konservasi bila memiliki ciri khas sebagai satu kesatuan ekosistem untuk mewujudkan suatu pengelolaan yang berkelanjutan. Secara lebih spesifik, perlindungan terhadap suatu ekosistem dimaksudkan untuk melindungi hal-hal berikut : a. Sumber daya ikan b. Tempat persinggahan dan/atau alur migrasi biota laut lain; c. Wilayah yang diatur oleh adat tertentu, seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, dan/atau istilah lain adat tertentu; dan d. Ekosistem pesisir yang unik dan/atau rentan terhadap perubahan. Atas dasar kiteria tersebut, maka ekosistem laguna dan mangrove termasuk di dalamnya dimana merupakan daerah yang vital bagi sumberdaya perikanan dan juga ekosistem pesisir yang unik dan/atau rentan terhadap perubahan. Sebagaimana disebutkan pula dalam DKP dan JICA (2008) bahwa ekosistem yang terkait dengan konservasi sumberdaya ikan diantaranya adalah laut, padang lamun, terumbu karang, mangrove, estuaria, pantai, rawa, sungai, danau, waduk, embung dan ekosistem perairan buatan. 10
Penyelenggaraan kawasan konservasi laut secara detail dijelaskan dalam PP. No. 60 tahun 2007. Asas dan prinsipnya sebagaimana tercantum dalam pasal 2 adalah sebagai berikut : 1. Pendekatan kehati-hatian 2. Pertimbangan bukti ilmiah 3. Pertimbangan kearifan lokal 4. Pengelolaan berbasis masyarakat 5. Keterpaduan pengembangan wilayah pesisir 6. Pencegahan tangkap lebih 7. Pengembangan alat tangkap, cara penangkapan ikan,dan pembudidayaan ikan yang ramah lingkungan 8. Pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat 9. Pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan 10. Perlindungan struktur dan fungsi alami ekosistem perairan yang dinamis 11. Perlindungan jenis dan kualitas genetik ikan 12. Pengelolaan adaptif 2.7.
Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir Manusia selalu memiliki keterkaitan dengan lingkungan tempat tinggalnya. Begitupula
masyarakat di wilayah pesisir yang kehidupannya sangat terkait dengan kondisi lingkungan di wilayah tersebut. Masyarakat oleh Soekanto (1997:162) diterjemahkan sebagai kelompok besar maupun kecil yang hidup bersama sedemikian rupa sehingga memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang utama. Sedangkan pengertian masyarakat pesisir adalah sekelompok warga yang tinggal bersama di wilayah pesisir dan memenuhi kebutuhan hidupnya dari sumberdaya yang ada di wilayah pesisir (Prianto, ed, 2005). Oleh karena itu tidak heran bahwa sebagian besar masyarakat pesisir berprofesi sebagai nelayan dan pembudidaya ikan dimana kedua kegiatan tersebut sangat berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya di wilayah pesisir. Hal ini sejalan dengan pernyataan Fakhrudin dan Yulianto (2008) yang menyatakan bahwa mata pencaharian masyarakat pesisir didominasi oleh sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resources base) seperti nelayan, petani ikan (budidaya tambak dan laut). Kusumastanto (2002) memberikan gambaran yang lebih jelas dimana karakteristik masyarakat pesisir dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Tergantung pada kondisi lingkungan atau rentan pada kerusakan khususnya pencemaran atau degradasi kualitas lingkungan. Bila kondisi lingkungan mengalami degradasi akan membuat kehidupan nelayan semakin sulit karena terkait langsung dengan aktivitas sosial
11
ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat. Begitupula sebaliknya meski hal ini jarang terjadi. 2. Tergantung pada musim khususnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan. Sebagaimana diketahui bahwa musim akan menentukan banyak sedikitnya ikan yang dapat ditangkap oleh nelayan. Pada saat musim banyak ikan, maka nelayan akan sangat sibuk melaut untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya. Sebaliknya pada musim paceklik banyak masyarakat yang tidak berangkat melaut sehingga tidak ada kegiatan ekonomi yang memberikan penghasilan pada saat tersebut. 3. Pasar yang dapat menyerap hasil produksi perikanan masyarakat mengingat sifat produk perikanan yang mudah rusak. Hal ini membuat nelayan seringkali memiliki daya tawar yang rendah terhadap harga produk perikanan karena keharusan menjual produk dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu seringkali dijumpai masyarakat nelayan hidup dalam keadaan kekurangan karena tidak mendapatkan keuntungan yang memadai. Masyarakat pesisir menurut Dahuri dkk (2001:285) memiliki beberapa masalah umum yang sering dijumpai yaitu pertama, sarana pelayanan dasar termasuk prasarana fisik yang terbatas. Kedua, kondisi lingkungan kurang terpelihara sehingga standar kesehatan relatif rendah. Ketiga, kurangnya sanitasi dan air bersih. Keempat, ketrampilan penduduk yang sebatas pada penangkapan ikan atau dengan kata lain kurang memiliki ketrampilan di bidang lainnya. Kelima, pendapatan penduduk yang relatif rendah. Keenam, pendidikan dan pengetahuan yang umumnya rendah. Sedangkan kegiatan ekonomi masyarakat masih mengandalkan satu sektor saja yaitu perikanan. Aktifitas sosial ekonomi pada wilayah pesisir tercermin dari pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat. Menurut Kay dan Alder (1999:25), pemanfaatan wilayah pesisir dapat dibagi ke dalam empat kategori yaitu untuk eksploitasi sumberdaya, infrastruktur, kegiatan turistik dan rekreasi, serta konservasi dan perlindungan biodiversitas. Secara lebih detail pada wilayah estuari, Bengen (2004) menjelaskan bahwa secara umum kawasan tersebut dimanfaatkan oleh manusia untuk empat kepentingan yakni (1) tempat permukiman; (2) tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan; (3) jalur transportasi dan (4) tempat pelabuhan dan kawasan industri. Sedangkan ekosistem mangrove dimanfaatkan manusia sebagai pemasok larva ikan dan udang alam yang sangat erat kaitannya dengan aktivitas penangkapan dan budidaya perikanan. Selain itu banyak juga masyarakat yang memanfaatkan mangrove untuk diambil kayunya untuk berbagai kepentingan.
12
2.8.
Peta dan Pemetaan Peta merupakan penyajian secara grafis dari kumpulan data yang mentah maupun yang
telah dianalisis atau informasi sesuai lokasinya. Dengan kata lain peta adalah bentuk sajian informasi spasial mengenai permukaan bumi untuk dapat dipergunakan dalam pembuatan keputusan. Supaya bermanfaat, suatu peta harus dapat menampilkan informasi secara jelas, mengandung ketelitian yang tinggi, walaupun tidak dihindari harus bersifat selektif, dengan mengalami pengolahan, biasanya terlebih dahulu ditambah dengan ilmu pengetahuan agar lebih dapat dimanfaatkan langsung oleh pengguna. Informasi dapat dipandang sebagai data yang telah ditambah dengan pengetahuan untuk mengekstrak maknanya. Misalnya kita ingin menyajikan data mengenai jumlah penduduk pada suatu kabupaten. Dengan hanya menyajikan data hasil sensus, mungkin maknanya kurang jelas walaupun data tersebut telah disajikan dengan keadaan sebenarnya. Mengolah data tersebut secara statistic, menyajikannya dalam bentuk terkelaskan berdasar kelompok umur, jenis kelamin, dll, akan jauh lebih bermakna. Penyajian langsung adalah poenyajian data, sedangkan penyajian yang terakhir adalah penyajian informasi yang dalam hal ini disebut dengan pemetaan. Jenis peta secara garis besar hanya ada dua. Peta topografi dan peta tematik. Peta topografi bersifat umum sehingga penyajiannya tidak menonjolkan satu aspek, sedang pada peta tematik penyajiannya dengan menonjolkan tema/topik sesuai dengan judul peta itu sendiri. Misalnya, penyajian jenis jalan di peta topografi tidak menonjol antara satu ruas jalan dengan ruas jalan lain yang jenis jalannya berbeda, ruas jalan tersebut di peta topografi juga tidak lebih menonjol dibandingkan dengan –misalnya- pola aliran sungai. Tetapi di peta tematik tentang – misalnya- status jalan, ruas jalan yang statusnya berbeda akan tampak ditonjolkan dibandingkan dengan aspek lainnya. Peta dasar merupakan dasar untuk memetakan informasi spasial sehingga informasiinformasi tersebut, baik secara relatif maupun absolut menempati lokasi geografis yang benar. Peta dasar dapat berupa peta topografi secara lengkap atau sudah dikurangi informasinya agar tidak rancu dengan informasi tematiknya. Peta topografi yang sering digunakan sebagai peta dasar dalam pembuatan peta tematik sudah standar, baik dalam ukuran kertasnya, luas liputannya, maupun penyajian aspek kartografi lainnya. Peta tematik itu sendiri merupakan suatu peta yang menyajikan informasi khusus yang mempunyai satu tema. Peta tematik banyak sekali macamnya, seperti peta sistem lahan, peta penggunaan lahan, peta tanah, peta geologi, peta penyebaran jumlah penduduk, dll.
13
III.
3.1.
METODOLOGI
KerangkaPemikiran Pemetaan sosial ekonomi sumberdaya pesisir diperlukan dalam rangka menyusun kebijakan
yang terkait pemanfaatan ruang pesisir sehingga memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat. Langkah yang diperlukan untuk melakukan pemetaan diawali melalui proses identifikasi ekosistem yang terdapat pada suatu wilayah. Hal ini dilakukan karena barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu ekosistem memiliki karakteristik tersediri. Manfaat yang diperoleh kemudian juga ditentukan oleh karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang melakukan pemanfaatan pada wilayah tersebut. Sehingga pada satu jenis ekosistem yang sama bisa memberikan nilai manfaat yang beragam pula. Dengan demikian, pada suatu lokasi tertentu akan terlihat peta karakteristis sosial ekonomi dan nilai yang khas. Menurut cara padangan ilmu ekonomi ekologi, tujuan penilaian ekonomi sumberdaya alam bertujuan untuk menciptakan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi manfaat (Constanza and Folke (1997) dalam Adrianto (2006)). Aspek spasial atau keruangan akan memotret kondisi ini sehingga dapat diketahui dengan cepat oleh para pemangku kepentingan . Peta nilai ekonomisumberd aya Identifikasidan jasa ekosistem Spasial sumberdaya pesisir
Valuasi ekonomi Fungsi dan dinamikaekosistem
Gambar 4. 3.2.
Konsep Algoritma Pemetaan Sosial Ekonomi Berbasis Kawasan
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari s/d Desember 2015. Lokasi penelitian
dilakukan di Propinsi Kalimantan Timur, Propinsi Kalimantan Utara, dan Propinsi Sulawesi Utara. Secara ringkas gambaran umum lokasi penelitian adalah sebagai berikut 1. Wakatobi Kepulauan Wakatobi secara administratif, awalnya termasuk dalam Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara, namun sejak tahun 2004 terbentuk Kabupaten Wakatobi yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Buton. Berdasarkan data BPS kecamatan dalam
14
angka se Kabupaten Wakatobi tahun 2014, secara admnistrasi Kabuapaten Wakatobi terdiri dari 8kecamatan, yang terdiri dari 100 desa/kelurahan. Pada Kecamatan Wangi-Wangi terdiri dari 21 desa/kelurahan; Wangi-wangi Selatan terdapat 20 desa/kelurahan, Kaledupa 16 desa/kelurahan, Kaledupa Selatan 10 desa/kelurahan, Tomia 10 desa/kelurahan, Tomia Timur 9 desa/kelurahan, dan Binongko serta Togo Binongko masing-masing 9 dan 5 desa/kelurahan. Jumlah desa/kelurahan paling tinggi di Kecamatan Wangi-Wangi, hal ini terjadi karena Wangi-Wangi mempunyai jumlah penduduk dan merupakan ibukota kabupaten.
Jumlah Desa/kelurahan 20
21
16 10
9
9
10
5
Gambar 5.
Histogram Jumlah Desa/Kelurahan Setiap Kecamatan di Kabupaten Wakatobi Tahun 2013
Struktur pemerintahan
ari bupati, camat dan desa/kelurahan yang sudah terbentuk
merupakan modal dasar untuk pengembangan Kabupaten Wakatobi. Jumlah Desa/Kelurahan yang mencapai 100, merupakan struktur kelembagaan yang cukup memadai untuk melakukan pengelolaan program yang berkaitan dengan pengembangan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam di Kabupaten Wakatobi Kabupaten Wakatobi mempunyai empat pulau besar yang ada di kawasan tersebut, yaitu Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Luas masing-masing pulau adalah Pulau Wangi-wangi (156,5 km2), Pulau Kaledupa (64,8 km2), Pulau Tomia (52,4 km2), dan Pulau Binongko (98,7 km2). Wilayah Kabupaten Wakatobi didominasi oleh perairan yang luasnya mencapai 55.113 km2 dan garis pantai ± 251,96 km atau mencapai 98,5% dari keseluruhan total wilayah. Kabupaten Wakatobi memiliki 39 pulau, 3 gosong dan 5 atol. Dari proses pembentukannya, atol yang berada di sekitar kepulauan Wakatobi berbeda dengan atol daerah lain. Terumbu karang yang ada di sekeliling pulau terus tumbuh ke atas sehingga terbentuk atol seperti beberapa atol, antara lain Atol Kaledupa, Atol Kapota, Atol Tomia
15
Luas wilayah Kabupaten Wakatobi adalah sekitar 19.200 km², terdiri dari daratan seluas ± 823 km² atau hanya sebesar 3,00 persen dan luas perairan (laut) ±18.377 km2 atau sebesar 97,00 persen dari luas Kabupaten Wakatobi. Atas dasar kondisi tersebut, maka potensi sektor perikanan dan kelautan serta sektor pariwisata berbasis wisata laut/bahari menjadi sektor andalan daerah Kabupaten Wakatobi. Wilayah Kabupaten Wakatobi diapit oleh perairan laut, yaitu Laut Buton,Laut Banda, dan Laut Flores. Dengan demikian, maka batas-batas administratif daerah Kabupaten Wakatobi berada pada wilayah perairan laut, sebagai berikut: - SebelahUtara berbatasan dengan wilayah perairan laut Kabupaten Buton dan Buton Utara - Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda - Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores - Sebelah Barat berbatasan dengan wilayah perairan laut Kabupaten Buton. Keanekaragaman hayati laut menjadikan Kepulauan Wakatobi ditunjuk sebagai Taman Nasional Laut berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No 393/Kpts- VI/1996 tanggal 30 Juli 1996 dan ditetapkan berdasarkan KeputusanMenteri Kehutanan No 7651/Kpts/II/2002 tanggal 19 Agustus 2002 dengan luasan 1.390.000 Ha.
Gambar 6.
PetaWilayahKabupatenWakatobi
16
3.3.
Survey Sosial Ekonomi
3.3.1. Data Yang Dikumpulkan Data–data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan primer. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi statistik dan data-data yang terkait dengan potensi sosial ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan. Data primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik sumberdaya berdasarkan tipe ekosistem tertentu yang terkait dengan aspek sosial maupun ekonomi. 3.3.2. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan adalah dengan menggunaan teknik survei. Teknik survei ini dilakukan dengan cara melakukan sampling dan wawancara secara langsung dengan responden untuk mengidentifikasi potensi dan kondisi sosial ekonomi terkait pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan. Survei juga digunakan untuk mengetahui nilai total yang terkandung didalam suatu kawasan. 3.3.3. MetodeAnalisis Data Analisis data yang digunakan menggunakan teknik valuasi ekonomi untuk menghitung nilai total ekonomi(Total Economic Value/TEV) dari sumberdaya perikanan perairan pedalaman. Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat di tentukan secara benar dan mengenai sasaran (Nilwan et al, 2003). Secara matematis, nilai total ekonomi dapat ditulis sebagai berikut: 𝑇𝐸𝑉 = 𝑈𝑉 + 𝑂𝑉 + 𝑁𝑈𝑉 = (𝐷𝑈𝑉 + 𝐼𝑈𝑉) + 𝑂𝑉 + (𝐸𝑉 + 𝐵𝑉) … … … … … … 1 Dimana : TEV
= Total Economic Value
IUV
= Indirect Use Value
UV
= Use Values
OV
= Option Value
NUV = Non Use Values
EV
= Existence Value
DUV = Direct Use Value
BV
= Bequest Value
Pada masing – masing nilai, teknik valuasi akan dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan diantaranya yaitu Contingen Valuation Method (CVM), Effect on Production (EoP), Residual Rent (RR), Replacement Cost Method (RCM) dan Travel Cost Method (TCM). Uraian masing-masing teknik valuasi berikut tahapan pelaksanaannya adalah sebagai berikut : 17
Contingent Valuation Method Data yang telah dikumpulkan kemudian dipilah dan ditabulasi agar memenuhi keperluan analisis. Analisis data pada Teknik CVM menggunakan perhitungan Total Benefit sebagai analisis dasar untuk menghitung WTP. untuk mendapatkan dugaan hubungan antara WTP (nilai keberadaan sumber daya) dengan karakteristik responden. maka didekati dengan menggunakan formula sebagai berikut: 𝑛
𝑊𝑇𝑃𝐼 = 𝛽0 + ∑ 𝛽𝑖 𝑋𝑖 … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . … .2 𝑖=1
Dimana ; WTPi
= Kemampuan membayar pengguna terhadap suatu sumber daya
Xi
= Parameter penjelas ke – i (seperti Usia, pendidikan, pengalaman, pendapatan), (Grigalunas and Congar, 1995). Persamaan di atas, dinormalisasikan agar menyesuaikan bentuk data yang telah
dikumpulkan. Bentuk data ordinal seperti pengalaman kerja, usia dan tingkat pendidikan kemudian ditransformasi, sehingga mengharuskan digunakan regresi logaritma ganda. Hasil persamaan berdasarkan regresi logaritma berganda dilakukan dengan tingkat kepercayaan 95% (Yaping, 1999). Adapun bentuk persamaannya ditayangkan sebagai berikut: 𝑛
𝑛
𝑛
𝑛
𝑖=1
𝑖=1
𝑖=1
𝑖=1
1 1 1 1 𝐿𝑛𝑊𝑇𝑃 = 𝛼 + 𝑏1 ∑ 𝐿𝑛𝐴 + 𝑏2 ∑ 𝐿𝑛𝐸 + 𝑏3 ∑ 𝐿𝑛𝑋𝑃 + 𝑏4 ∑ 𝐿𝑛𝐼 … … … … … … 3 𝑛 𝑛 𝑛 𝑛 Dimana: WTP = Willingness To Pay (Nilai Kesediaan Membayar) α
= Konstanta
A
= Usia Responden
E
= Tingkat Pendidikan
XP
= Pengalaman Usaha
I
= Pendapatan per tahun Penggunaan metoda yang digunakan Grigalunas and Congar, (1995) umumnya digunakan
untuk data yang memiliki nilai sebaran yang relatif seragam, dengan interval tidak terlalu besar. Sedangkan untuk memudahkan analisis data untuk data yang memiliki seperti digambarkan tersebut dapat digunakan metoda yang digunakan oleh Yaping, (1999). Tahap terakhir dalam teknik CVM adalah mengagregatkan rataan lelang yang diperoleh pada tahap tiga. Proses ini
18
melibatkan konversi dari data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversi ini adalah dengan mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga di dalam populasi (N). Effect on Production (EoP) Pendekatan EoP memerlukan sebuah pendekatan yang integratif antara flow ekologi dan flow ekonomi karena lebih menfokuskan pada perubahan aliran fungsi ekologis yang memberikan dampak pada nilai ekonomi sumber daya alam yang dinilai. Hufschmidt, et al. (1983) dalam adrianto (2006), memberikan beberapa langkah analisis integrasi ekologi-ekonomi dalam konteks metode EoP sebagai berikut: pertama, Mengidentifikasi input seumberdaya, output (produksi sumber daya) dan residual sumber daya dari sebuah kebijakan/kegiatan, kedua, Melakukan kuantifikasi aliran fisik dari sumber daya, ketiga, Melakukan kuantifikasi keterkaitan antar sumber daya alam, keempat, Melakukan kuantifikasi aliran dan perubahan fisik ke dalam terminologi kerugian dan manfaat ekonomi.Salah satu teknik yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan residual rent. Residual Rent didefinisikan sebagai perbedaan antar biaya faktor produksi dan nilai panen dari sumber daya alam. Residual rent dapat dilihat sebagai kontribusi sistem alam atau faktor pendapatan (Factor Income) terhadap nilai ekonomi total: 𝐵 −𝐶
∑𝑡𝑖=1 𝑡 𝑖𝑖 𝑃𝑉 (1+𝑟) 𝑃𝑉 𝑟𝑒𝑠𝑖𝑑𝑢𝑎𝑙 𝑟𝑒𝑛𝑡 𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙 = = ……………………………………………4 ℎ𝑎 𝐿 Dimana; PV
= Present Value
Bt
= Manfaat bersih dari sumber daya kawasan
Ct
= Biaya produksi
T
= Jumlah tahun regresi nilai
R
= Tingkat diskon riil
L
= Luasan kawasan sumber daya
Travel Cost Method (TCM) Tujuan TCM adalah untuk menghitung nilai ekonomi suatu kawasan wisata melalui estimasi rata-rata permintaan terhadap kunjungan wisata di lokasi tersebut. Pendekatan biaya perjalanan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan biaya transportasi atau biaya perjalanan terutama untuk menilai lingkungan pada objek-objek wisata. Pendekatan ini menganggap bahwa biaya perjalanan serta waktu yang dikorbankan para wisatawan untuk 19
menuju objek wisata tertentu dianggap sebagai nilai lingkungan yang wisatawan bersedia untuk membayar. Fungsi permintaan atas kunjungan wisatawan individual menurut Grigalunas et.al (1998) adalah : 𝑙𝑛𝑉𝑖 = 𝛽0 − 𝛽1 𝑙𝑛 𝑇𝐶𝑖 + 𝛽2 𝐿𝑛𝑌𝑖 + 𝛽3 𝐿𝑛𝑆𝑖 … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . . .5 Keterangan : Vi= trip kunjungan individu ke-i TCi= biaya perjalanan individu ke-i Yi = pendapatan individu ke-i Si= biaya perjalanan ke lokasi wisata subtitusi yang dikeluarkan olehindividu ke-i Dengan teknis regresi sederhana (ordinary least square), maka parameter β0, β1, β2, dapat diestimasi. (catatan paramater TC diharapkan negatif, dan INC diharapkan positif). Kemudian surplus konsumen rata-rata individu kemudian dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan:
𝐶𝑆𝑖 =
− 𝑉𝑖 … … … … … … … … … … . . … … … … … … … … … … . … … … … … … … … . … … . . .6 𝛽𝑖
Dimana: Vi
= tingkat kunjungan individu
β1
= nilai parameter regresi untuk biaya perjalanan Nilai ekonomi lokasi rekreasi (total consumers surplus) kemudian dapat diestimasi dengan
mengadakan nilai surplus konsumen rata-rata individu. 𝑇𝐶𝑆 = 𝐶𝑆𝐼 + 𝑉𝑡 … … … … … … … … … . . … … … … … … … … … … … … … … … … … … . … … … .7 Dimana: TCS
= Total Consumers Surplus
CS
= Consumers Surplus
Vt
= total kunjungan pada tahun analisis (tahun ke–t)
Replacement Cost Method (RCM) Nilai ini dapat diestimasi dengan menggunakan pendekatan Replacement Cost yang diaplikasikan untuk fungsi ekosistem mangrove sebagai penahan gelombang (buffer zone). Biaya rehabilitasi per hektar mangrove dapat digunakan sebagai proksi bagi replacement cost:
20
𝐼𝑈𝑉 =
𝐶𝑟 × 𝑀 … … … … … … … … … … . . … … … … … … … … … … … … … … … … … … . … . . . .8 𝑚2
21
Dimana: IUV
= Inderect Use Values; buffer zone
Cr
= Biaya rehabilitasi mangrove per hektar atau m2
M
= luas hutan mangrove ( ha atau m2) Secara ringkas, hubungan nilai suatu sumberdaya dengan teknik valuasi/cara melakukan
penilaiannya dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 5. Hubungan Nilai Dengan Teknik Valuasi Yang Digunakan Nilai (Value)
Teknik Valuasi
A. Use Value
Indirect Use Value
Effect on production (EoP), Residual Rent (RR), Replacement Cost Methods (RCM), Travel Cost Method (TCM) Replacement Cost Methods (RCM), Benefit Transfer Method (BTM)
B. Option Value
Contingent Valuation Method (CVM)
Direct Use Value
C. Non Use Value Existence Value
Contingent Valuation Method (CVM)
Bequest Value
Contingent Valuation Method (CVM)
3.4.
Survey Ekosistem
3.4.1. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam kegiatan survey ekologi ini disajikan pada tabel berikut : Tabel 6.
Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Survey
Alat dan Bahan SCUBA Set Snorkel set Meteran Rol 50 m Sabak Buku dan alat tulis GPS Kapal Buku Identifikasi Underwater camera Camera Transek kuadrat
Kegunaan Membantu proses pengamatan dalam air Membantu proses pengamatan dalam air Mengukur subjek yang diamati Media untuk menuliskan data dalam air Mencatat hasil pengamatan menentukan posisi stasiun pengamatan Sarana transportasi menuju titik pengamatan Membantu dalam proses identifikasi Mendokumentasikan pengamatan
TK √
L
M
√ √
√ √ √
√
√ √
√ √
√ √
√ √
√
Dokumentasi Membantu/dalam proses pengamatan lamun/menentukan plot sampling
√
√ √
√
√ √ √
22
Alat dan Bahan Tali/nilon
Kegunaan Untuk membuat transek 10 x 10 m dalam pengamatan mangrove
TK
L
M √
Ket : TK (Terumbu Karang), L (Lamun), M (Mangrove)
3.4.2. Metode dan Analisis Data 1) Terumbu Karang dan Ikan Karang Teknik pengumpulan data dalam survey ekologi ini dilaksanakan dengan cara observasi, yakni teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan langsung terhadap objek di lapangan. Metode yang digunakan untuk mengetahui kondisi terumbu karang dalam hal ini luas penutupan karang yakni metode PIT (Point Transect Method). Metode PIT, merupakan salah satu metode yang dikembangkan untuk memantau kondisi karang hidup dan biota pendukung lainnya di suatu lokasi terumbu karang dengan cara yang mudah dan dalam waktu yang cepat (Hill & Wilkinson, 2004). Metode ini dapat digunakan di daerah (Kabupaten) yang ingin mengetahui kondisi terumbu karang di daerahnya untuk tujuan pengelolaan. Suatu daerah yang ingin mengelola terumbu karangnya tentu ingin mengetahui terumbu karangnya yang rusak, dan terumbu karangnya yang masih sehat untuk kepentingan pengelolaannya. Metode ini dapat memperkirakan kondisi terumbu karang di daerah berdasarkan persen tutupan karang batu hidup dengan mudah dan cepat. Secara teknis, metode Point Intercept Transect (PIT) adalah cara menghitung persen tutupan (% cover) substrat dasar secara acak, dengan menggunakan tali bertanda di setiap jarak 0,5 meter atau juga dengan pita berskala (roll meter). Metode PIT digunakan untuk menentukan komunitas bentos sesil (biota yang hidup di dasar atau melekat di dasar perairan) di terumbu karang berdasarkan bentuk pertumbuhan dalam satuan persen, dengan jalan mencatat jumlah biota bentik yang ada pada masing-masing titik di sepanjang garis transek (50m). Metode PIT ditetapkan dan digunakan untuk memonitor kondisi terumbu karang secara detail dengan meletakkan transek permanen di lokasi pengamatan. Indikator kesehatan ekosistem terumbu karang dapat terdiri dari kondisi fisik ekologi terumbu karang (dalam bentuk ”persen tutupan karang batu hidup”/LC) dan biota asosisasi terumbu karang yang mempengaruhi LC, yaitu: Populasi biota asosiasi terumbu karang (megabentos), dan Populasi ikan terumbu karang yang terdiri dari ikan target, ikan Indikator dan ikan major. Kondisi fisik ekosistem terumbu karang (LC) juga dipengaruhi 23
oleh substrat dasar terumbu karang lain seperti DCA (karang mati yang ditumbuhi algae halus), DC (Dead coral, karang baru mati yang berwarna putih), FS (Fleshy Seaweed/makro alga), SC (Soft Coral/karang lunak), R (Rubble yaitu patahan karang bercabang), dan kondisi Abiotik (Sand, Silt dan Rock). Data pengamatan selanjutnya disusun dalam bentuk tabel untuk analisa selanjutnya dengan rumus yang sederhana, sebagai berikut :
% 𝑻𝒖𝒕𝒖𝒑𝒂𝒏 𝑲𝒐𝒎𝒑𝒐𝒏𝒆𝒏 =
Gambar 7.
𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝑻𝒊𝒂𝒑 𝑲𝒐𝒎𝒑𝒐𝒏𝒆𝒏 𝒙 𝟏𝟎𝟎% 𝟓𝟎 (𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑲𝒐𝒎𝒑𝒐𝒏𝒆𝒏)
Skema cara pencatatan data karang hidup, biota lain dan substrat dasar terumbu karang dengan metode PIT
Kondisi ekosistem terumbu karang ditentukan berdasarkan persen tutupan karang batu hidup dengan kriteria CRITC-COREMAP LIPI berdasarkan Gomez & Yap (1988) sebagai berikut:
rusak bila persen tutupan karang hidup antara 0-24,9%.
sedang bila persen tutupan karang hidup antara 25-49,9%
baik bila persen tutupan karang hidup antara 50-74,9%, dan
sangat baik apabila persen tutupan karang batu hidup 75-100%
24
Ikan Karang Data ikan karang diperoleh dengan metode sensus visual dengan menggunakan transek garis (Line Transect Method) sepanjang 25 m yang ditempatkan pada kedalam dan 10 m sejajar dengan garis pantai. Transek yang digunakan untuk mengukur terumbu karang juga sekaligus transek yang digunakan untuk mngukur dan mengamati ikan karang. Pengamatan untuk pengambilan sampel ikan dibatasi 2,5 m kekanan dan 2,5 m kekiri dari transek garis (Bawole, 1998; Syakir, 2000). Ikan-ikan yang diamati adalah ikan-ikan yang tergolong dalam ikan target atau ikan ekonomis penting. Untuk membantu dalam identifikasi dilakukan koleksi dokumentasi ikan-ikan karang. Pengamatan ikan di terumbu karang dilakukan di lokasi transek permanen yang sama dengan pengamatan karang. Metode yang digunakan ialah sensus visual (Under water Fish Visual Census, UVC), pada bidang pengamatan seluas 5 x 25 meter persegi. Peralatan lapangan yang perlu dipersiapkan sama dengan persiapan pada waktu pengamatan karang.
Gambar 8.
Ilustrasi pengamatan Ikan Karang
Dalam pengamatan ikan karang, ikan dikelompokkan kedalam 3 kategori, yakni : Ikan target : ialah kelompok ikan yang menjadi target nelayan,umumnya merupakan ikan pangan dan bemilai ekonomis.Kelimpahannya dihitung secara ekor per ekor (kuantitatif). Untukkegiatan di lokasi DPL, kelompok ikan target utama yangdisensus terdiri dari suku : 25
1. Suku Serranidae (kelompok ikan kerapu) 2. Suku Lutjanidae (kelompok ikan kakap) 3. Suku Lethrinidae (kelompok ikan lencam) dan 4. Suku Haemulidae (kelompok ikan bibir tebal) Sebagai catatan, untuk kelompok ikan target tersebut diatas juga harus dibatasi ukurannya, yaitu yang ber-ukuran > 20 cm. Ikan indikator : ialah kelompok ikan karang yang dijadikan sebagai indikator kesehatan terumbu karang. Dalam survey ini kelompok ikan indikator diwakili oleh suku Chaetodontidae (kelompok ikan kepe-kepe). Kelimpahannya dihitung secara kuantitatif. Ikan major : ialah kelompok ikan karang yang selalu dijumpai di terumbu karang yang tidak termasuk dalam kedua kategoritersebut di atas. Pada umumnya peran utamanya belum diketahui secara pasti selain berperan di dalam rantai makanan. Kelompok ini terdiri dari ikan-ikan kecil < 20 cm yang dimanfaatkan sebagai ikan hias. Kelimpahannya dihitung secara (kuantitatif). Untuk ikan lainnya yang mempunyai sifat bergerombol (schooling), kelimpahan dihitung dengan cara taksiran (semi kuantitatif).
Gambar 9. Skema meletakkan transek untuk pengamatan ikan karang dengan metode UVC Kelimpahan ikan karang adalah jumlah ikan karang yang ditemukan pada suatu stasiun pengamatan persatuan luas transek pengamatan. Kelimpahan ikan karang dapat dihitung dengan rumus (Odum,1971):
𝑋=
Xi n
26
Keterangan : X = Kelimpahan ikan karang (ind.) Xi = Jumlah ikan pada stasiun pengamatan ke-i n = Luas transek pengamatan (50 x 5)m. Kriteria penilaian kelimpahan ikan karang dengan parameter penilaian kondisi Ikan Karang berdasarkan kategori critic Coremap (2005) disajikan pada Tabel 7 berikut: Tabel 7.
Kriteria penilaian kelimpahan ikan karang berdasarkan Kategori Critc Coremap (2005).
Parameter Penilaian
Kategori Coremap Rendah (2)
Sedang (4)
Tinggi (6)
1. Total Kelimpahan Ikan (ekor)
1 – 250
251 – 1000
> 1000
2. Total Jumlah Jenis (spesies)
1 – 15
16 – 60
> 60
3. Famili Chaetodon (ekor)
1 – 10
11 – 30
> 30
4. Famili Chaetodon (jenis)
1–3
4 – 10
> 10
5. Ikan Target (ekor)
1 – 30
31 – 100
> 100
6. Ikan Major (ekor)
1 - 210
211 - 870
> 870
Nilai Kumulatif
1 - 19
20 - 31
> 31
Sumber : Coremap II 2005
Menurut Odum (1971) indeks keanekaragaman digunakan untuk mendapatkan gambaran populasi organisme secara matematis. Hal ini dapat mempermudah analisis informasi jumlah individu masing-masing spesies dalam suatu komunitas ikan karang Keanekaragaman dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: 𝑛
H′ = ∑ Pi 𝑙𝑛 Pi 𝑖=1
Keterangan: H' = Indeks keanekaragaman Pi = Perbandingan jumlah individu spesies ke-i (ni) dengan jumlah individu (N) i = 1, 2, 3, ..., n Kategori penilaian indeks H' menurut Odum (1971) adalah sebagai berikut: a. H’≤1
= Keanekaragaman rendah, penyebaran rendah, kestabilan komunitas rendah;
b. 1≤H’≤3 = Keanekaragaman sedang, penyebaran sedang, kestabilan komunitas sedang; dan c. H’≥3
= Keanekaragaman tinggi, penyebaran tinggi, kestabilan komunitas tinggi. 27
Indeks keseragaman menggambarkan keseimbangan ekosistem, untuk mengetahui indeks keseragaman dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
𝐸=
𝐻′ 𝐻 ′ 𝑚𝑎𝑥
Keterangan: E
= Indeks Keseragaman
H’
= Keseimbangan Spesies
H’max
= Indeks Keanekaragaman maksimum = ln S
S
= Jumlah total spesies
Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0-1 dengan kategori sebagai berikut: a. Jika 0< E ≤ 0,4
= Keseragaman kecil, komunitas tertekan;
b. Jika 0,4 < E ≤ 0,6 = Keseragaman sedang, komunitas labil; c. Jika 0,6 < E ≤ 1,0 = Keseragaman tinggi, komunitas stabil. Nilai indeks keseragaman dan keanekaragaman yang kecil menandakan adanya dominansi yang tinggi suatu spesies terhadap spesies-spesies lainnya. Rumus indeks dominansi sebagai berikut (Odum 1971): 𝑛
H′ = ∑ Pi2 𝑖=1
Keterangan: C
= Indeks Dominansi
pi
= Proporsi jumlah individu pada spesies ikan karang
i
= 1, 2, 3, …, n
Nilai indeks berkisar antara 0-1 dengan kategori sebagai berikut: a. Jika 0 < C < 0,5 = Dominansi rendah; b. Jika 0,5 < C ≤ 0,75 = Dominansi sedang; c. Jika 0,75 < C ≤ 1,0 = Dominansi tinggi. 2) Lamun Metode yang digunakan dalam survey lamun yaitu dengan menggunakan metode transek kuadrta yang ditujukan untuk mengetahui keanekaragaman jenis lamun di daerah tersebut. Transek kuadrat di buat dengan ukuran 1 x 1 meter dan didalam transek dibuat 28
kotak/plot masing-masing berukuran 20 cm. Transek dapat terbuat dari besi atau pipa paralon yang dirakit secara khusus. Pemilihan setiap petak untuk sampling pengamatan dilakukan secara acak, namun dengan estimasi mampu mewakili persentase tutupan lamun atau dapat dikatan mewakili populasi.
20 cm
1m
1m
Gambar 10.
Model Transek Lamun
Pengamatan dilakukan dengan cara snorkeling pada daerah pasang, sedangkan pada saat surut pengamatan dapat langsung dilakukan tanpa menggunakan snorkeling. Selanjutnya jumlah dan jenis masing-masing lamun pada tiap petak dicatat dan dimasukkan dalam kelas kehadiran. Untuk menghitung kerapatan lamun menggunakan rumus :
Ki=
Ni A
dimana: Ki
= Kerapatan Jenis ke-i (ind/m2)
Ni
= Jumlah Individu/Tegakan Jenis ke-i (ind)
A
= Luas Transek/Plot (m2)
29
Tabel 8.
Skala Kondisi Padang Lamun Berdasarkan Kerapatan Skala 5 4 3 2 1
Kerapatan (ind/m2) > 175 125 – 175 75 – 125 25 – 75 < 25
Kondisi Sangat rapat Rapat Agak rapat Jarang Sangat Jarang
Sumber : Amran, 2010
Perhitungan penutupan jenis lamun pada tiap petak digunakan rumus
Keterangan: C
: prosentase penutupan jenis lamun i
Mi
: prosentase titik tengah dari kelas kehadiran jenis lamun i
Fi
: banyaknya subpetak dengan kelas kehadiran jenis lamun i sama. Berdasarkan Keputusan Menteri Negera Lingkungan Hidup Nomor 200 Tahun
2004 menetapkan bahwa:
Tutupan ≥ 60% dinyatakan kaya/sehat
Tutupan 30-59,9% dinyatakan kurang kaya/kurang sehat
Tutupan ≤ 29,9% dinyatakan miskin
3) Mangrove Pengukuran data di lapangan dilakukan dengan cara : a) Dalam setiap plot, 10x10 m2 dilakukan pengukuran diameter batang pohon mangrove (diameter > 4 cm atau keliling batang > 16 cm) (Ashton & McIntosh, 2002) dengan menggunakan meteran pada variasi letak pengukuran berdasarkan English et al. (1997) dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 201 tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove yang ditampilkan pada gambar berikut:
30
Gambar 11.
Posisi pengukuran lingkar batang pohon mangrove pada beberapa tipe batang yang dipengaruhi oleh sistem perakaran dan percabangan (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 201 tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove
b) Pengukuran dilakukan pada seluruh pohon yang berada di setiap plot. c) Identifi kasi jenis dilakukan berdasarkan acuan Tomlinson (1986), Noor et al. (1999), Giesen et al. (2006), dan Kitamura et al. (1999). d) Apabila terjadi keraguan dalam identifi kasi, perlu dilakukan pemotretan bagian tanaman tersebut, yaitu akar, batang, daun, pembungaan dan buah serta lakukan pengambilan sampel untuk diidentifikasi lebih lanjut di laboratorium dengan bantuan literatur atau dengan bantuan pakar identifi kasi mangrove. e) Setiap data yang diperoleh dicatat dalam data sheet yang telah disiapkan pada kertas tahan air. Pencatatan data hasil pengukuran dilakukan berdasarkan data sheet yang telah dibuat 4) Penghitungan persentase tutupan mangrove Persentase tutupan mangrove dihitung dengan menggunakan metode hemisperichal photography. dibutuhkan kamera dengan lensa fish eye dengan sudut pandang 180o pada satu titik pengambilan foto (Jenning et al., 1999; Korhonen et al., 2008). Teknik ini masih cukup baru digunakan di Indonesia pada hutan mangrove, penerapannya mudah dan menghasilkan data yang lebih akurat. Teknis pelaksanaannya adalah sebagai berikut: a. Setiap plot berukuran 10x10 m dibagi menjadi empat plot kecil yang berukuran 5x5 m2.
31
b) Titik pengambilan foto, ditempatkan di sekitar pusat plot kecil; harus berada diantara satu pohon dengan pohon lainnya; serta hindarkan pemotretan tepat disamping batang satu pohon. c) Dalam setiap stratifikasi, minimal dilakukan pengambilan foto sebanyak 12 titik dimana setiap plot 10 x 10m2 diambil 4 titik pemotretan. d) Posisi kamera disejajarkan dengan tinggi dada peneliti/tim pengambil foto, serta tegak lurus/menghadap lurus ke langit. e) Dicatat nomor foto pada form data sheet untuk mempermudah dan mempercepat analisis data. f)
Hindarkan pengambilan foto ganda pada setiap titik untuk mencegah kebingungan dalam analisis data.
a
Gambar 12.
b
(a) Ilustrasi metode hemisperichal photography untuk mengukur tutupan
mangrove (Korhonen et al., 2008; Jenning et al., 1999) (b) hasil pemotretan dengan lensafisheye secara vertikal.
5) Analisis kerapatan pohon mangrove Analisis kerapatan mangrove dihitung untuk setiap jenis sebagai perbandingan dari jumlah individu suatu jenis dengan luas seluruh plot penelitian, kemudian dikonversi menjadi per satuan hektar dengan dikalikan dengan 10.000. Nilai basal area (BA) juga dihitung dan nantinya digunakan sebagai acuan awal untuk melakukan penghitungan persentase tutupan mangrove.
32
Persentase tutupan mangrove merupakan perbandingan dari jumlah pixel yang bernilai 255 (P255) dengan jumlah seluruh pixel (ΣP) dikali kan100%.
% tutupan mangrove = P255/SP x 100%
Hasil analisis menghasilkan nilai kerapatan dalam satuan pohon/ha dan persentase tutupan dalam satuan persen (%). Hasil tersebut dapat digunakan untuk menggambarkan status kondisi hutan mangrove yang dikategorikan menjadi tiga, yaitu jarang, sedang dan padat berdasarkan standar Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 tahun 2004. Tabel 9.
Standar baku kerusakan hutan mangrove berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 tahun 2004
3.4.
Metode Pemetaan Sosial Ekonomi Sumberdaya Pesisir Langkah pemetaan sosial ekonomi sumberdaya pesisir secara umum mengacu pada
kerangka sebagai berikut
33
Ecosystem Feature Pelagic System Citra Satelit (Raster) Mangrove Pengkelasan
Lamun
Terbimbing / tidak terbimbing
Terumbu Karang Cek Lapangan
Ecosistem Services Valuation
Pengkelasan kembali
Transformasi data raster ke bentuk vector (digitasi)
Provisioning Regulating Cultural Supporting
Editing, Annotation, Overlay, Query.
GIS Database Building
Tematik Map Output: (tiap WPP, Site atau area of interest)
Nilai ekonomi sumberdaya Lamun, Karang, Mangrove Provisioning Ecosystem Value Regulating Ecosystem Value Cultural Ecosystem Value Supporting Ecosystem Value etc
Gambar 13.
Area / Luas Perimeter / Keliling Tematik featured: Direct use Indirect use Option value Existence value Bequest value Total Economic Value dll
Tahapan Teknik Pemetaan
3.5.1. Citra satelit format raster Data citra satelit dikirim ke stasiun penerima dalam bentuk format digital mentah merupakan sekumpulan data numerik. Unit terkecil dari data digital adalah bit, yaitu angka biner, 0 atau 1. Kumpulan dari data sejumlah 8 bit data adalah sebuah unit data yang disebut byte, dengan nilai dari 0 – 255. Dalam hal citra digital nilai level energy dituliskan dalam satuan byte. Kumpulan byte ini dengan struktur tertentu bisa dibaca oleh software dan disebut citra digital 8-bit.
34
3.5.2. Karakteristik citra Pixel Pixel(picture element) adalah sebuah titik yang merupakan elemen paling kecil pada citra satelit. Angka numerik (1 byte) dari pixeldisebutdigital number(DN). DN bisa ditampilkan dalam warna kelabu, berkisar antara putih dan hitam (gray scale), tergantung level energi yang terdeteksi. Pixel yang disusun dalam order yang benar akan membentuk sebuah citra. Kebanyakan citra satelit yang belum diproses disimpan dalam bentuk gray scale, yang merupakan skala warna dari hitam ke putih dengan derajat keabuan yang bervariasi. Untuk PJ, skala yang dipakai adalah 256 shade gray scale, dimana nilai 0 menggambarkan hitam, nilai 255 putih. Dua gambar di bawah ini menunjukkan derajat keabuan dan hubungan antara DN dan derajat keabuan yang menyusun sebuah citra.
Gambar 14.
Derajat Keabuan dan Hubungannya dengan Digital Number (DN)
Untuk citra multispectral, masing masing pixel mempunyai beberapa DN, sesuai dengan jumlah band yang dimiliki. Sebagai contoh, untuk Landsat 7, masing-masing pixel mempunyai 7 DN dari 7 band yang dimiliki. Citra bisa ditampilkan untuk masing-masing band dalam bentuk hitam dan putih maupun kombinasi 3 band sekaligus, yang disebut color composites. Gambar di
35
bawah ini menunjukkan composite dari beberapa band dari potongan Landat 7 dan pixel yang menyusunnya.
Gambar 15.
Composite dari Beberapa Band Potongan Landat 7
3.5.3. Pengkelasan (terbimbing dan tidak terbimbing) Klasifikasi multispectraladalah algoritma yang dirancang untuk menurunkan informasi tematik dengan cara mengelompokkan fenomena berdasarkan kriteria tertentu. Pengelompokan kriteria hanya didasarkan pada pantulan spectral dari obyek. (Jensen, 1996) Secara garis besar klasifikasi citra dibagi atas dua yaitu : 1). Klasifikasi supervised dan 2). Klasifiksi unsupervised. Biasanya kedua jenis ini digunakan untuk mengklasifikasi keseluruhan suatu dataset menjadi kelas-kelas. Adapun kelas-kelas secara umum akan dibagi menjadi:
Kelas Lamun
Kelas Mangrove
Kelas Karang dan
Kelas Perairan, ditambah dengan,
Kelas daratan (vegetasi lain, pemukiman dll)
3.5.4
Cek lapangan
Untuk kegiatan ini akan digunakan sampling berdasarkan klasifikasi unsupervised, maka sampling obyek dilakukan dengan mengambil data tentatif dari obyek hasil klasifikasi. Dengan prosedur sebagai berikut : -
hasil klasifikasi unsupervised di print out
-
cek obyek yang mempunyai kesamaan,
-
pilih obyek berdasarkan homogenitas, satu tampilan cukup diwakili oleh sebuah sampling.
-
Catat posisi sampling berdasarkan koordinat pada citra satelit.
-
Selanjutnya siap untuk ground truth
36
3.5.5.
Pengkelasan kembali
Reklasifikasi adalah kegiatan mengklasifikasi ulang citra satelit (peta tentative) setelah dilaksanakan pengamatan/cek lapangan, tetapi tidak semua kegiatan pengolahan citra digital yangnmemerlukan reklasifikasi. Pengolahan citra digital yang perlu mengadakan reklasifikasi adalahnjika hasil uji ketelitian tidak mencapai target yang telah ditentukan, misalnya untuk penutup lahan minmal 85 %. Reklasifikasi dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan data yang disadap dari data citra satelit atau data penginderaan jauh. Hingga data yang dihasilkan valid dan dapat digunakan untuk tahap selanjutnya.
Gambar 16.
Tahapan Pengkelasan kembali
3.5.6. Tranformasi Data Raster ke bentuk vektor Untuk mengabungkan informasi spasial yang ada, seperti: nilai sumberdaya lahan, nilai jasa ekosistem, dengan fitur dasar geospasial (titik, garis dan polygon), dilakukan proses transformasi data raster ke bentuk data vector. Transformasi ini dilakukan dengan mengkonversi fitur-fitur spasial data raster menjadi koordinat x,y. koordinat ini dapat berbentuk single koordinat atau titik, berbentuk kumpulan koordinat yang kedua ujungnya terbuka/tidak bertemu atau garis dan dapat berbentuk kumpulan koordinat yang kedua ujungnya bertemu atau polygon.
Gambar 17.
Perubahan Bentuk Data Raster Ke Vector
37
Gambar 18.
Proses Digitasi Pemetaan
Pada tahap ini akan dihasilkan informasi tutupan lahan berdasarkan kelas-kelas yang telah terbentuk berdasarkan pengolahan data penginderaan jauh (raster) sebelumnya. 3.5.7. GIS Database Building Membangun basis data SIG dalam kegiatan ini adalah mengabungkan informasi terkait valuasi ekonomi seperti Direct use Indirect use Option value Existence value Bequest value atau pun informasi nilai jasa ekosistem yang tergolong dalam Provisioning, Regulating, Cultural, Supporting, dengan kelas-kelas fitur data vector GIS yang telah dibangun. Secara singkat proses membangun database ini dimulai dengan membangun struktur data base untuk tiap jenis data yang akan diinput, menambahkan annotasi pada titik, garis polygon, sesuai masing-masing karakter, kelas dan informasi. Annotasi, Overlay, Serta Query untuk menonjolkan informasi yang diinginkan dari basisdata yang telah dimasukkan.
Gambar 19.
Proses Annotasi Pemetaan
38
Gambar 20.
Gambar 21.
Proses Overlay Pemetaan
Salah Satu Bentuk Query Pemetaan
3.5.8. Tematik Map Output Tahapan ini adalah penanyangan dalam bentuk tema-tema peta yang akan ditampilkan sebagai output kegiatan ini, antara lain: Nilai ekonomi sumberdaya Lamun, Karang, Mangrove, Provisioning Ecosystem, Value, Regulating Ecosystem Value, Cultural Ecosystem Value, Supporting Ecosystem Value, baik dalam skala unit peta Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) ataupun hanya unit peta lokasi yang dicover dalam sampling frame.
Gambar 22.
Contoh Output Peta Tematik
39
IV.
4.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Ekosistem Pesisir dan Laut Wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari berbagai sudut pandang
perencanaan dan pengelolaan. Transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi, nilai wilayah pesisir terus bertambah. Konsekuensi dari tekanan terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan yang timbul karena konflik pemanfaatan yang timbul akibat berbagai kepentingan yang ada di wilayah pesisir. Pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir telah memberikan dampak yang kurang baik bagi keberlanjutan sumberdaya alam di sekitarnya. Perilaku dari masyarakat memaksimumkan utilitas telah memaksa pada pemanfaatan berlebih dan mengakibatkan alokasi sumberdaya dan lingkungan yang tidak efisien secara ekonomi. Dengan demikian campur tangan pemerintah diperlukan untuk mengatur sumberdaya yang langka sehingga penggunaannya lebih efisien dan berkesinambungan, baik secara ekonomi maupun sosial. Usaha-usaha tersebut sering menemui kegagalan karena pelaku ekonomi dan pemerintah memiliki informasi yang terbatas tentang nilai ekonomi dari sumberdaya wilayah pesisir. Kesulitan penilaian ekonomi menjadi lebih nyata karena sumberdaya di wilayah tersebut tidak diperdagangkan di pasar sehinga aplikasi dari penilaian seumberdaya yang tidak dipasarkan (non market valuation) perlu dilakukan, agar trade off antara pembangunan dari barang dan jasa yang disediakan oleh lingkungan dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Sumberdaya alam mempunyai peran penting dalam kelangsungan hidup manusia. Pengelolaan terhadap sumberdaya alam harus sangat bijaksana. Karena diperlukan waktu yang cukup lama untuk bisa memulihkan kembali apabila telah terjadi kerusakan/kepunahan. Pengelolaan secara bijaksana yaitu pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang optimal dan berwawasan lingkungan agar sumberdaya alam yang ada tetap lestari di wilayah pesisir terdapat tiga ekosistem sebagai penyedia barang dan jasa yang dibutuhkan bagi masyarakat yakni ekosisitem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam wilayah pesisir yang mempunyai peranan penting ditinjau dari sudut sosial, ekonomi, dan ekologis. Fungsi utama hutan mangrove adalah sebagai penyeimbang ekosistem dan penyedia berbagai kebutuhan hidup bagi manusia dan mahluk hidup lainnya. Sumberdaya hutan mangrove, selain dikenal memiliki
40
potensi ekonomi sebagai penyedia sumberdaya kayu juga sebagi tempat pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nurseryground), dan juga sebagai daerah untuk mencari makan (feeding ground) bagi ikan dan biota laut lainnya, juga berfungsi untuk menahan gelombang laut dan intrusi air laut kearah darat. Begitu juga dengan ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Padang lamun (Seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang. Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih, dengan sirkulasi air yang baik. Seperti halnya dengan ekosistem mangrove, secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, yaitu : (a) produsen detritus dan zat hara; (b) mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang; (c) sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini; dan (d) sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari. Ke arah laut setelah ekosistem mangrove dan padang lamun, terdapat ekosistem terumbu karang. Secara ekologi, ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai penyangga bagi kehidupan biota pesisir dan lautan, serta sebagai pelindung pantai dari abrasi akibat terpaan arus, angin dan gelombang. Sedangkan secara ekonomi ekosistem terumbu karang itu sendiri adalah salasatu kawasan dengan potensi dan produk ekonomi yang tinggi. Supriharyono, (2007) menyatakan bahwa salah satu manfaat ekosistem terumbu karang adalah sebagai sumber makanan bagi manusia dimana ekosistem ini menyediakan berbagai organisme seperti ikan karang, penyu, udang barong, octopus, kerang, oyster dan rumput laut banyak dimanfaatakan oleh para nelayan, baik untuk dimakan sendiri maupun untuk dijual. Terumbu karang merupakan sistem yang kompleks, terdiri dari banyak mikrohabitat. Secara umum ikan karang benar-benar telah menyatu dengan lingkungannya dan merupakan penghuni terumbu karang yang paling menonjol. Diperkirakan ada 12000 jenis ikan karang yang dijumpai di terumbu karang, mencerminkan secara langsung jumlah yang sangat besar dari habitat yang dapat didukung oleh lingkungan terumbu karang. 75% dari ikan karang yang hidup di daerah terumbu karang merupakan ikan yang bersifat Diurnal (Suharti, 2011). Demikian halnya dengan ekosistem mangrove. Secara biologi fungsi dari pada hutan mangrove antara lain sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi biota yang hidup pada ekosisitem mengrove, fungsi yang lain sebagai daerah mencari makan (feeding ground) karena mangrove merupakan produsen primer yang mampu menghasilkan sejumlah besar detritus dari 41
daun dan dahan pohon mangrove dimana dari sana tersedia banyak makanan bagi biota-biota yang mencari makan pada ekosistem mangrove tersebut, dan fungsi yang ketiga adalah sebagai daerah pemijahan (spawning ground) bagi ikan-ikan tertentu agar terlindungi dari ikan predator, sekaligus mencari lingkungan yang optimal untuk memisah dan membesarkan anaknya. Selain itupun merupakan pemasok larva udang, ikan dan biota lainnya (Claridge dan Burnett,1993) Tingginya tingkat eksploitasi terhadap lingkungan yang tidak jarang berakhir pada degradasi lingkungan yang cukup parah. Sebagai contoh adalah berkurangnya luasan hutan mangrove, lamun dan terumbu karang dari tahun ke tahun. Hal ini tidak terlepas dari ulah manusia yang kurang paham akan pentingnya kelestarian ekosistem tersebut di kemudian hari. Masyarakat hanya menilai ketiga ekosistem tersebut dari segi ekonominya saja, tanpa memperhatikan manfaat-manfaat fisik dan juga biologi yang ditimbulkan. Kabupaten Wakatobi merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Buton yang diresmikan pada tahun 2004. Kabupaten ini merupakan wilayah yang terdiri dari gugusan kepulauan yang terletak di sebelah tenggara Provinsi Sulawesi Tenggara. Kata Wakatobi sendiri diambil dari singkatan nam empat pulau besar (utama) yaitu; Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko.Kepulauan Wakatobi atau di dalam peta dunia lebih dikenal sebagaikepulauan Tukang Besi memiliki karakteristik wilayah yang sangat unik yaitu dikelilingi oleh gugusan pulau-pulau karang yang sangat potensial untuk pengembangan sektor Pariwisata. Di wilayah pesisir selain terdapat ekosistem terumbu karang, dibeberapa tempat juga terdapat ekosistem padang lamun dan ekosistem mangrove. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan 16,45 juta hektar kawasan konservasi perairan dari target 20 juta hektar pada tahun 2020. Kawasan konservasi di Wakatobi memiliki keanekaragaman hayati dengan potensi yang sangat besar sebagai sumberdaya alam dan merupakan aset yang tak ternilai bagi masyarakat setempat dan pemerintah. Tingkat keanekaragaman hayati tersebut memiliki ancaman kpunahan yang sangat tinggi yang disebabkan oleh kegiatan eksploitasi sumberdaya yang kurang ramah lingkungan, pengelolaan limbah pemukiman yang tidak baik dan aktifitas lainnya yang destruktif. Oleh karena itu dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan dibutuhkan penilaian ekonomi sumberdaya dan kawasan sebagai acuan dalam pengelolaan yang berkelanjutan. Konsep valuasi ekonomi memungkinkan para pengambil kebijkan untuk mengelola dan memanfaatkan berbagai potensi sumberdaya alam dan lingkungan pada tingkat yang paling efisien serta mampu untuk mendistribusikan manfaat dan biaya konservasi secaraadil. Mengingat valuasi ekonomi dapat digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antarakonservasi dan pembangunan ekonomi, maka valuasi ekonomi dapat menjadi suatu instrumen penting dalam peningkatan penghargaan masyarakat terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya 42
alam di wilayah pesisir. Nilai manfaat dari sumberdaya di wilayah pesisir yang dikonversi ke dalam nilai moneter sangat berguna sebagai acuan untuk menetapkan ganti rugi, bila sewaktu-waktu terdapat kerusakan pada kawasan konservasi akibat pemanfaatan yang kurang ramah lingkungan. Dengan demikian perlu kiranya dilakukan pengamatan terhadap kondisi ekosistempesisir yang ada di lokasi penelitian. Diharapkan dari hasil survey tersebut akan memberikan gambaran terkini mengenai kondisi ekosistem pada beberapa lokasi penelitian. 4.1.1. Identifikasi Ekosistem Pesisir dan Laut WPP 714 4.1.1.1. Identifikasi Ekosistem Pesisir dan Laut Kabupaten Wakatobi 1. Kualitas Air Kabupaten Wakatobi memiliki empat pulau memiliki karakteristik daerah perairan yang terbuka. Kawasan perairannya merupakan daerah ekosistem terumbu karang. Menurut Romimohtarto (2003), ekosistem terumbu karang merupakan daerah ”nutrien trap” (jebakan nutrien). Dapat dikatakan bahwa unsur hara yang berasal dari daratan dan dari aktivitas manusia dapat masuk ke dalam ekosistem tersebut akan terperangkap didalamnya. Hal ini dapat menyebabkan daerah tersebut memiliki tingkat kesuburan yang tinggi, yang ditandai dengan banyaknya ketersediaan kandungan unsur hara. Ketersediaan unsur hara yang cukup akan mempengaruhi berlangsungnya proses fotosintesis oleh fitoplankton yang notabene merupakan produktifitas primer dalam perairan. Pada saat sebuah perairan mengalami kesuburan, daerah tersebut akan menjadi pilihan daerah penangkapan oleh masyarakat. Namun demikian pada saat perairan mengalami kesuburan yang tinggi, perairan tersebut justru akan menyababkan kematian bagi organisme-organisme yang ada di dalamnya. Hal ini terjadi karena ledakan fitoplankton dalam jumlah yang banyak yang dikenal sebagai red tide. Fosfat yang merupakan salah satu zat hara yang dibutuhkan untuk proses pertumbuhan dan metabolisme fitoplankton dan organisme laut lainnya dalam menentukan kesuburan perairan, kondisinya tidak stabil karena mudah mengalami proses pengikisan, pelapukan dan pengenceran. Zat hara nitrat diperlukan dan berpengaruh terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan hidup fitoplankton dan mikro-organisme lainnya sebagai sumber bahan makanannya. Sumber utama pengkayaan zat hara nitrat diantaranya run-off, erosi, leaching lahan pertanian yang subur, limbah pemukiman, terjadi karena peningkatan aktivitas manusia disekitar wilayah tersebut. Hasil analisis kandungan Nitrat dan Fosfat pada perairan disekitar ekosistem terumbu karang dan Mangrove.
43
Tabel 10.
Hasil AnalisisNitrat dan Fosfat diperairan Wakatobi
Ekosistem Terumbu karang Terumbu karang Terumbu karang Terumbu karang Mangrove Mangrove Mangrove
Stasiun Stasiun 1 (liya1) Stasiun 2 (liya 2) Stasiun 3 (buranga) Stasiun 4 (Mantigola) Stasiun 1 (Balasuna) Stasiun 2 (Langge) Stasiun 3 (Mantigola)
Nitrat (mg/l)
Fosfat (mg/l)
0,0025 0,0022 0,0036 0,0045 0,0030 0,0030 0,0029
0,0633 0,0625 0,0627 0,0627 0,0640 0,0624 0,0017
Sumber : Hasil Analisis
Berdasarkan hasil analisis, diperoleh nilai kandungan nitrat yang masih dalam kisaran normal untuk kelangsungan hidup organisme yang berada dalam ekosistem. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, nilai ambang batas kadar Nitrat adalah 0,008 mg/l. Kadar nitrat yang rendah disebabkan oleh pencampuran masa air laut yang mengadung nitrat yang relatif rendah. Sedangkan kandungan fosfat sedikit lebih tinggi pada semua stasiun pengamatan, kecuali pada stasiun 3 untuk pengamatan ekosistem mangrove di desa Mantigola. Kandungan fosfat yang tinggi dapat disebabkan oleh terjadinya akumulasi kandungan fosfat yang dibawa oleh sirkulasi arus permukaan pada perairan disekitar terumbu karang. Sedangkan pada daerah mangrove tingginya kandungan fosfat dapat disebabkan oleh proses pengadukan pada dasar perairan dan proses sirkulasi dari permukaan. Selain itu tingginya kandungan fosfat disekitar ekosistem mangrove dapat disebabkan oleh tingginya kandungan fosfat dalam substrat lumpur yang terakumulasi dari buangan limbah dari kegiatan masyarakat disekitar desa Langge. Namun demikian kandungan fosfat di perairan Wakatobi masih relatif dapat ditoleransi oleh organisme di dalamnya dibandingkan dengan kandungan fosfat diperairan Karimunjawa, nilai fosfatnya mencapai 1.769-4.030 mg/l. (Handoko, dkk., 2013). Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, nilai ambang batas kadar fosfat untuk biota laut adalah 0,015 mg/l. Kadar fosfat yang lebih tinggi pada waktu tertentu dapat disebabkan oleh meningkatnya limbah yang dibuang ke perairan dan meningkatnya proses pengadukan (turbulance) pada dasar perairan oleh ombak pada musim timur yang juga bersamaan dengan musim hujan sangat berpotensi untuk meningkatkan kandungan fosfat dalam kolom air. Proses pengadukanyang terjadi mengakibatkan terangkatnya kandungan fosfat yang tinggi dari dasar perairan ke lapisan permukaan dan masuknya berbagai limbah dari pemukiman masyarakat.
44
2 . Terumbu Karang dan Ikan Karang Stasiun pengamatan untuk terumbu karang dan ikan karang berada di perairan desa Lia 2 titik Kecamatan Wangi-wangi, Perairan Desa Buranga dan Mantigola Kecamatan Kaledupa. Hasil survey dapat dilihat dijelaskan sebagai berikut : Lia 1
% COVER BIOTIK 2%
17%
13%
Acropora Branching Acropora Encrusting Coral Branching Coral Foliose Coral Massive
4% 14%
12%
Coral Mushrom
Bentuk life
form pada persentase tutupan terumbu karang desa Lia 1
% COVER ABIOTIK 5%
Gambar 23a.
7% Death Coral Death Coral with Alga Ruble
9%
Sand
10%
Gambar 23b. Komponen penyusun abiotik pada terumbu karang desa Lia 1
Beradasarkan hasil pengamatan diatas secara keseluruhan untuk stasiun pengamatan 1 (desa Lia) berada pada kondisi baik dengan persen penutupan 62%. Bentuk pertumbuhan (life form) penyusun tutupan karang tersebut terdiri atas bentuk acropora bercabang (Acropora Branching)13%, acropora mengerak (Acropora Encrusting) 12%, coral bercabang (Coral Branching)14%, karang menyerupai bentuk daun (Coral Foliose) 4%, Coral Massive 17%, dan bentuk pertumbuhan menyerupai jamur (Coral Mushrom) 2%. Sedangkan komponen abiotik yang mempengaruhi persentase tutupan karang adalah ditemukannya terumbu karang yang telah mengalami kematian yang mulai ditumbuhi oleh alga sebesar 10%. Selain itu ditemukan juga adanya patahan karang (ruble) sebesar 9 %.
45
Lia 2
% COVER BIOTIK 1%
8%
Acropora Branching Acropora Encrusting Coral Massive
11%
Gambar 24a.
Bentuk life
form pada persentase tutupan terumbu karang desa
2%
Lia 2
% COVER ABIOTIK 6% Death Coral Death Coral with Alga Sand
20%
Gambar 24b. Komponen penyusun abiotik pada terumbu karang desa Lia 2
Pengamatan pada stasiun 2 (desa Lia) persentase tutupan terumbu karang dalam kondisi rusak yakni 20%. Hal ini terlihat dari besarnya penyusun komponen abiotik yakn terumbu karang yang telah ditumbuhi oleh alga sebesar 20%. Selain itu juga ditemukan adanya terumbu karang yang belum lama mengalami kematian sebesar 6% dan komponen pasir 2%. Life form penyusun tutupan karang ditemukan hanya terdiri dari tiga yakni Acropora Encrusting sebesar 11%, Coral massive sebesar 8% dan Acropora branching 1%. Buranga
% COVER BIOTIK 1%
2% 1%
Acropora Branching Acropora Encrusting Coral Branching Coral Massive
7%
Gambar 25a.
Bentuk life
form pada persentase tutupan terumbu karang desa Buranga. 46
% COVER ABIOTIK 6%
16% Death Coral Ruble Sand
15%
Gambar 25b. Komponen penyusun abiotik pada terumbu karang desa Buranga
Hasil pengamatan pada stasiun pengamatan 3 desa Buranga juga berada dalam kondisi rusak dengan persen tutupan karang hidup hanya 11%. Life form penyusun tutupan karang tersebut terdiri atas Coral Branching 7%, Acropora Encrusting dan coral massive masing-masing hanya 1%, sedangkan Acropora branching 2%. Komponen abiotik yang banyak ditemukan pada stasiun pengamatan ini adalah banyaknya ditemukan adanya patahan karang yakni 15%. Selain itu pada beberapa tempat ditemukan juga banyaknya terumbu karang yang telah mengalami kematian sebesar16%. Mantigola
% COVER BIOTIK 5%
2% 1%
7%
Acropora Branching
4%
Acropora Encrusting Acropora Tabulate
1%
Coral Branching Coral Massive Coral Mushrom Coral SubMasive
20%
Gambar 26.
Bentuk life
form pada persentase tutupan terumbu karang desa Mantigola.
6%
% COVER ABIOTIK 11% Death Coral Death Coral with Alga Ruble
22%
19%
Sand
Gambar 27.
Komponen
penyusun abiotik pada terumbu karang desa Mantigola
Berdasarkan hasil pengamatan di stasiun 4 desa Mantigola di temukan 7 Life formyang terdiri dari Coral Branching 20%, Acropora Branching 7%, Coral Massive 5%, Acropora Encrusting 47
4%, Coral Mushrom 2%, Acropora Tabulate dan coral submassive masing-masing 1%. Walaupun demikian secara keseluruhan persen tutupan karang di perairan desa Mantigola tergolong sedang dengan persentase tutupan karang hidup sebesar 40%. Kondisi tutupan karang demikian dipengaruhi oleh besarnya persentase patahan karang 22%, karang mati 11%, karang yang mati yang telah ditumbuhi alga 19% dan pasir 6% yang ditemukan di lokasi tersebut. Kematian terumbu karang yang ditemukan di semua daerah pengamatan DPL, sebagian besar kemungkinan disebabkan oleh aktifitas manusia yang melakukan destruktif fishing. Selain itu juga ditemukan banyaknya alga yang melekat pada terumbu karang yang telah mati seperti di stasiun pengamatan desa Lia(2 stasiun) dan Desa Mantigola. Pada perairan laut, penyebab kehadiran alga seringkali tidak bisa dinilai apakah disebabkan oleh manusia atau merupakan kejadian alami. Namun pada beberapa tempat kerusakan terumbu karang tampak merupakan hasil aktivitas manusia, seperti ditemukannya patahan karang di stasiun Lia 1, Buranga dan Mantigola. Kematian karang juga dapat terjadi secara alami. Kematian terumbu karang secara alami disebabkan oleh keluarnya atau matinya organisme simbion karang yakni zooxhantelae yang menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching). Kondisi ini secara alami disebabkan oleh proses pemanasan kolom perairan dalam waktu yang lama sehingga meningkatkan suhu yang pada titik tertentu terumbu karang tidak dapat mentoleransi perubahan tersebut. Penyebab lain yakni paparan matahari secara langsung pada terumbu karang dalam periode waktu yang lama saat terjadi surut terendah. Pada beberapa kasus kematian terumbu karang sering di ikuti dengan pertumbuhan alga disekitarnya. Seperti yang teramati pada stasiun 1 (Lia 1), stasiun 2 (lia2) dan stasiun 3 (Mantigola). Ledakan populasi alga dapat dikaitkan dengan kegiatan manusia didaratan seperti kegiatan yang menghasilkan masukan berupa bahan organik maupun anorganik dalam perairan. Hal ini di dukung dengan kandungan fosfat yang tinggi pada stasiun pengamatan tersebut. Masukan bahan organik tersebut dapat berasal dari kegiatan rumah tangga masyarakat disekitarnya. Berdasarkan kondisi di lapangan tidak ditemukan adanya kegiatan pertanian maupun pertambakan di sekitar kawasan tersebut. Pada kondisi lainnya ledakan alga dapat terjadi melalui perubahan musim dan pergerakan arus air laut di kawasan pantai Rendahnya persen tutupan karang hidup pada stasiun pengamatan di Desa Lia 2 dan Desa Mantigola sangat dipengaruhi oleh banyaknya ditemukan jenis karang lunak (soft coral). Dalam panduan pengamatan kondisi terumbu karang kategori soft coral tidak termasuk dalam item penutupan terumbu karang. Life form yang terdiri dari 7 bentuk pertumbuhan di perairan desa Mantigola dapat menjadi gambaran akan keanekaragaman biota yang ada di dalamnya. Secara keseluruhan kondisi terumbu karang berdasarkan hasil pengamatan disajikan pada tabel berikut:
48
Tabel 11.
Persen Cover Terumbu Karang
STASIUN
BIOTIK (%)
ABIOTIK (%)
OTHER (%)
LIA 1
62
31
7
LIA 2
20
28
52
BURANGA MANTIGOLA
11 40
37 58
52 2
Sumber : Survey tanggal 21 – 22 Oktober 2015.
Masyarakat yang berada di wilayah pesisir memiliki ketergantungan yang besar terhadap sumberdaya yang berada di sekitarnya misalnya sumberdaya ikan. Hal ini ditegaskan oleh Sukadana (1987), bahwa kehidupan nelayan memiliki hubungan yang erat dengan lingkungan alam. Keeratan hubungan ini menciptakan ketergantungan nelayan pada lingkungan alam, terutama ketergantungan terhadap sumber daya hayati yang ada di lingkungan alam yang dapat memberikan sumber penghidupan bagi mereka. Terumbu karang merupakan sumber makanan bagi beberapa jenis ikan yang populer di masyarakat seperti ikan kerapu, sunu, dan ikan kakap. Perairan di sekitar Kabupaten Wakatobi memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi sehingga keanekaragaman hayati organisme yang berada di dalamnya dalam hal ini ikan-ikan demersal/ikan karang melimpah. Berbeda dengan perikanan pelagis yang menangkap ikan pada daerah yang luas dengan jenis ikan yang bermacammacam, perikanan demersal terbatas pada daerah-daerah dimana terumbu karang masih cukup baik. Terumbu karang yang terdapat di perairan wakatobi tumbuh baik pada dataran dan di daerah slope, tumbuh mengikuti kontur dasar perairan hingga kurang lebih kedalaman 40 m. Berdasarkan hasil survey persentase penutupan di Daerah Perlindungan Laut kabupaten Wakatobi
Persen Cover (%)
disajikan pada Gambarberikut: 70 60 50 40 30 20 10 0
62 52 31 20 7
58
52 37
28 11
40
2
BIOTIK (%) ABIOTIK (%) OTHER (%)
Stasiun Pengamatan
Gambar 28.
Grafik Persen Cover Terumbu Karang pada Daerah Pengamatan
49
Grafik diatas menunjukan bahwa kondisi terumbu karang masih dalam keadaan baik walaupun pada stasiun pengamatan 2 (lia) dan 3 (buranga) persen cover dikategorikan dalam keadaan rusak. Secara ekologi kondisi terumbu karang ini masih mampu menyediakan ikan-ikan ekonomis penting bagi nelayan. Habitat ekosistem terumbu karang dan ikan-ikan karangnya merupakan sebuah kawasan penting sebagai mata rantai produktivitas perairan laut. Kondisi terumbu karang yang masih baik memperlihatkan variasi struktur pertumbuhan karang yang bermacam-macam sehingga ikan-ikan karang yang merupakan ikan demersal sangat banyak ditemukan didaerah tersebut. Kehadiran sejumlah ikan dalam ekosistem terumbu karang secara ekologi lebih disebabkan oleh terdapatanya makanan dalam ekosistem tersebut. Ikan sunu, kerapu dan ikan kakap merupakan jenis ikan yang banyak ditemukan pada ekosistem terumbu karang. Ketiga jenis ikan tersebut merupakan ikan yang bersifat predator yang memangsa berbagai jenis organisme yang terdapat dalam ekosistem terumbu karang seperti kepiting, udang, krustacea, siput dan lain sebagainya. Terumbu karang secara ekologi merupakan habitat baik bagi ikan-ikan demersal untuk mencari makan, berlindung, tempat pembesaran dan daerah ikan untuk menetaskan telurtelurnya. Selain bernilai ekologi, terumbu karang juga bernilai Sosio-Ekonomi, dimana kegiatan penangkapan ikan didaerah terumbu karang, baik sifatnya tradisional maupun komersial memberikan peluang yang besar terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Dengan demikian kehadiran terumbu karang diwilayah pesisir memberikan peluang bagi masyarakat nelayan khususnya nelayan ikan demersal dalam meningkatkan kesejahteraannya. Dalam mengetahui fungsi ekologi dari terumbu karang, maka dilakukan pengamatan terhadap ikan-ikan demersal yang berasosiasi pada terumbu karang. Ikan demersal dapat dibedakan atas tiga kategori yakni ikan indikator, ikan mayor dan ikan target (ikan ekonomis penting). Ketiga kategori ini menempati habitat ekosistem terumbu karang yang ada diwilayah pesisir. Ikan target merupakan jenis ikan yang menjadi sasaran penangapan nelayan yang memiliki nilai ekonomis penting atau ikan-ikan konsumsi, sehingga dalam pengamatan biasaya jenis ikan ini merupakan target pengamatan yang paling penting. Berdasarkan hasil pengamatan di perairan wakatobi kelimpahan ikan setiap stasiun pengamatan disajikan pada tabelberikut :
50
Tabel 12.
Kondisi Ikan Karang di Perairan DPL Liya, Buranga dan Mantigola
Stasiun DPL Liya I 058 DPL Liya II 059 DPL Buranga 060 DPL Mantigola Keterangan:
Family 20 23 14 19
Jumlah Genus spesies 47 91 50 98 31 46 44 83
Individu 1221 1734 256 922
H'
E
D
3.48 3.48 3.53 3.68
0.77 0.76 0.92 0.96
0.11 0.06 1.22 0.17
(a). Indeks Keanekaragaman (b). Indeks Keseragaman (c). Indeks Dominansi
Berdasarkan hasil pengamatan, pada DPL Liya I jumlah jenis ikan yang teridentifikasi adalah 91 spesies, 20 famili, 47 genus dengan jumlah 1221 individu yang mengindikasikan kelimpahan ikan yang tergolong tinggi. Nilai indeks keanekaragaman jenis (H') diperoleh sebesar 3,48. Nilai ini menunjukan bahwa keanekaragaman, penyebaran dan kestabilan komunitas ikan karang yang terdapat pada DPL Liya I tergolong tinggi dengan nilai 3,48 atau H' > 3. Nilai keseragaman (E) yang diperoleh yaitu 0,77, nilai ini menunjukkan bahwa keseragaman ikan karang terdapat pada DPL Liya I tergolong tinggi dan komunitas stabil. Sedangkan untuk indeks dominansi (D) diperoleh sebesar 0,11. Nilai ini menunjukkan bahwa diperairan DPL Liya 1 tidak terdapat spesies yang mendominasi. Jenis ikan yang teridentifikasi diantaranya adalah jenis ikan target yang tergolong dalam family
Acanthuridae,
Balastidae,
Haemullidae,
Lutjanidae,
Monachantidae,
Mullidae,
Nemipteridae, Serranidae, Scaridae, Serranidae, Caesionidae, Cirrhitidae, Siganidae, Blennidae, dan ikan mayor yang tergolong dalam family Zanclidae, Holocentridae, Labridae, Pomacanthidae, Pomacentridae, serta ikan indikator yang tergolong dalam famili Chaetodontidae. Berdasarkan hasil pengamatan, pada DPL Liya II jumlah jenis ikan yang teridentifikasi adalah 98 spesies, 23 famili, 50 genus dengan jumlah 1734 individu yang mengindikasikan kelimpahan ikan tinggi dengan nilai indeks keanekaragaman jenis sebesar 3,48. Nilai ini menunjukan bahwa keanekaragaman, penyebaran dan kestabilan komunitas ikan karang yang terdapat pada DPL Liya II tergolong tinggi. Nilai keseragaman yang diperoleh yaitu sebesar 0,76. Nilai ini menunjukkan bahwa keseragaman ikan karang terdapat pada DPL Liya II tergolong tinggi dan komunitas stabil. Sedangkan untuk indeks dominansi sebesar 0,06. Nilai ini menunjukkan bahwa tidak adanya spesies yang mendominasi dalam perairan. Jenis ikan yang teridentifikasi diantaranya adalah jenis ikan target yang tergolong dalam family Acanthuridae, Balastidae, Carangidae, Haemullidae, Lutjanidae, Monachantidae, Mullidae, Nemipteridae, Scaridae, Serranidae, Caesionidae, Cirrhitidae, Siganidae, Blennidae, dan ikan mayor yang tergolong dalam family Apogonidae, Ptereleotrididae, Holocentridae Zanclidae,
51
Labridae, Pomacanthidae, Pomacentridae, serta ikan indikator yang tergolong dalam famili Chaetodontidae. DPL Buranga jumlah jenis ikan yang teridentifikasi adalah 46 spesies, 14 famili, 31 genus dengan jumlah 256 individu yang mengindikasikan kelimpahan ikan tergolong sedang dengan nilai indeks keanekaragaman jenis sebesar 3,53. Nilai ini menunjukan bahwa keanekaragaman ikan karang yang terdapat pada DPL Buranga tergolong tinggi. Nilai keseragaman yang diperoleh yaitu 0,92, menunjukkan bahwa keseragaman, pnyebaran dan kestabilan komunitas ikan karang terdapat pada DPL Buranga tergolong tinggi dengan komunitas stabil. Sedangkan untuk indeks dominansi diperoleh nilai sebesar 1,22 yang menunjukkan bahwa adanya spesies yang mendominasi. Jenis ikan yang teridentifikasi diantaranya adalah jenis ikan target yang tergolong dalam family
Acanthuridae,
Balastidae,
Blennidae,
Haemullidae,
Lutjanidae,
Monachantidae,
Nemipteridae, Serranidae, Scaridae, Serranidae, Caesionidae, Cirrhitidae, Siganidae, Blennidae, dan ikan mayor yang tergolong dalam family, Holocentridae, Labridae, Pomacentridae, serta ikan indikator yang tergolong dalam famili Chaetodontidae. Hasil pengamatan di DPL Mantigola jumlah jenis ikan yang teridentifikasi adalah 83 spesies, 19 famili, 44 genus dengan jumlah 922 individu yang mengindikasikan kelimpahan ikan trgolong sedang. Nilai indeks keanekaragaman jenis sebesar 3,68. Nilai ini menunjukan bahwa keanekaragaman, penyebaran dan kestabilan komunitas ikan karang yang terdapat pada DPL Mantigola tergolong tinggi. Nilai keseragaman yang diperoleh yaitu 0,96. Nilai ini menunjukkan bahwa keseragaman ikan karang terdapat pada DPL Mantigola tergolong stabil. Sedangkan untuk indeks dominansi (D) 0.17 menunjukkan bahwa tidak adanya spesies yang mendominasi. Jenis ikan yang teridentifikasi diantaranya adalah jenis ikan target yang tergolong dalam family
Acanthuridae,
Balastidae,
Haemullidae,
Lutjanidae,
Monachantidae,
Mullidae,
Nemipteridae, Scaridae, Serranidae, Caesionidae, Cirrhitidae, Siganidae, Blennidae, dan ikan mayor yang tergolong dalam family, Ptereleotrididae, Holocentridae Zanclidae, Labridae, Pomacanthidae, serta ikan indikator yang tergolong dalam famili Chaetodontidae. Hasil pengamatan terhadap ikan-ikan karang yang berada dalam wilayah DPL, sebagian besar merupakan ikan-ikan target penangkapan nelayan dan ikan ekonomis penting yang secara ekonomi memiliki nilai yang tinggi seperti Ikan Kakap (Lutjanidae), Ikan kurisi (Nemipteridae), ikan kaka tua (Scaridae), ikan kerapu dan sunu (Serranidae), ikan ekor kuning (Caesionidae), Ikan Baronang (Siganidae). Dengan demikian dari faktor kelimpahan ikan, DPL yang menjadi stasiun pengamatan secara ekonomi masih menyediakan sumberdaya ikan yang melimpah dalam upaya masyarakat khsusnya para nelayan untuk meningkatkan kesejahteraannya.
52
KELIMPAHAN IKAN 922
83 44 19
DPL Mantigola
46 31 14
DPL Buranga
DPL Liya II
98 50 23
DPL Liya I
91 47 20
0
256
Individu 1734
1000
Genus family
1221
500
Spesies
1500
2000
jumlah (individu)
Gambar 29.
Grafik Kelimpahan Ikan Karang
Kegiatan menangkap ikan demersal pada dasarnya berbeda dengan penangkapan ikan pelagis, dimana sifat ikan dasar yang menetap (sedentary) memberikan peluang untuk tertangkapnya ikan-ikan tersebut. Pada waktu tertentu ketika ikan-ikan tidak tertangkap biasanya dipengaruhi oleh sifat fisiologi ikan seperti keinginan makan yang kurang, fase kehidupan ikan seperti pada saat memijah, saat terjadi perubahan suhu maupun salinitas perairan secara tibatiba serta perubahan musim. Pada musim timur saat terjadi angin dan gelombang besar, ikan-ikan dasar akan lebih memilih bersembuyi diantara terumbu karang. Selain itu, dukungan efektifitas jenis alat tangkap yang digunakan menjadi sangat penting dalam meningkatkan pendapatan nelayan. Sifat sumberdaya yang perikanan yang merupakan milik bersama (common property) menyebabkan entry terhadap kegiatan penangkapan tidak terbatas.Sifat ekologis ikan seperti kemampuan tumbuh yang lambat, kemampuan memulihkan stok dalam komunitas terbatas, merupakan faktor yang secara ekonomi mempengaruhi rendahnya pendapatan. Semakin besar upaya (effort) terhadap sumberdaya ikan pada masa tertentu akan menyebabkan stok ikan mengalami kekurangan, sehingga berakibat pada pendapatan nelayan yang berkurang. Namun demikian alat tangkap yang digunakan nelayan ikan demersal masih sederhana, sehingga kemampuan stok ikan untuk recovery dalam jumlah tetap terjaga. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya ikan-ikan target yang teramati selama survey. 3. Lamun Pada dasarnya ekosistem lamun memiliki fungsi yang hampir sama dengan ekosistem lain di perairan seperti ekosistem terumbu karang ataupun ekosistem mangrove, seperti sebagai habitat bagi beberapa organisme laut, juga tempat perlindungan dan persembunyian dari predator. 53
Padang lamun adalah ekosistem khas laut dangkal di perairan hangat dengan dasar pasir dan didominasi tumbuhan lamun, sekelompok tumbuhan anggota bangsa Alismatales yang beradaptasi di air asin. Padang lamun hanya dapat terbentuk pada perairan laut dangkal (kurang dari tiga meter) namun dasarnya tidak pernah terbuka dari perairan (selalu tergenang). Padang lamun juga dapat dilihat sebagai ekosistem antara ekosostem mangrove dan terumbu karang. Secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, yaitu : Produsen detritus dan zat hara, mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang. Sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini. Sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari. Hasil pengamatan terhadap ekosistem lamun di perairan Wakatobi disajikan pada Tabel berikut: Tabel 13.
Hasil Pengamatan terhadap Jenis Lamun di Perairan Wakatobi
Stasiun
Jenis
Perairan Lia 1
Enhalus acoroides
Perairan Lia 2
Enhalus acoroides Enhalus acoroides Enhalus acoroides
Buranga
Enhalus acoroides Enhalus acoroides Enhalus acoroides
Halophyla minor Thalassia hemprichii
Plot 1 2 3 Jumlah 1 2 3 Jumlah 1 2 3 Jumlah
Jumlah tegakkan (indv) 22 28 24 26 27 34 20 21 17
Kerapatan (Ind/cm2)
Kerapatan (Ind/m2)
% Cover
0,293
29,333
80
0,373 0,320 0,987 0,347 0,360 0,453 1,160 0,267 0,280 0,227 0,773
37,333 32,000 98,667 34,667 36,000 45,333 116,000 26,667 28,000 22,667 77,333
65
45
Secara keseluruhan hasil identifikasi jenis lamun pada tiga stasiun pengamatan terdapat 3 jenis yakni jenis Enhalus acoroides, Halophyla minor, dan Thalassia hemprichii. Hanya pada stasiun pengamatn disekitar Desa Lia (Stasiun 1) ditemukan 3 jenis, sedangkan pada dua stasiun pengamatan lainnya (Lia 2 dan Buranga) hanya ditemukan 1 jenis lamun saja yakni jenis Enhalus acoroides. Padang lamun di perairan ini, umumnya ditemukan sebagai padang tunggal atau mono spesies dan campuran, dengan hamparan yang luas atau membentuk koloni-koloni lamun yang berdekatan.
54
Berdasarkan perhitungan kerapatan lamun, stasiun pengamatan 1 memiliki nilai kerapatan 98,67 ind/m2 dengan kategori kerapatan agak rapat dengan persen penutupan mencapai 80%. Stasiun pengamatan 2 (lia2) diperoleh nilai kerapatan 116 ind/m2 dengan kategori kerapatan agak rapat dengan persen penutupan mencapai 65%. Sedangkan pada stasiun pengamatan 3 (buranga) nilai kerapatan yang diperoleh 77,33 ind/m2 dengan kategori kerapatan agak rapat dengan persen penutupan mencapai 45% Secara ekologi, manfaat padang lamun sebagai tempat mencari makan dan daerah pembesaran bagi jenis ikan, perairan disekitar DPL pada stasiun pengamatan secara keseluruhan masih dalam keadaan baik. Artinya bahwa ekosistem padang lamun masih sangat produktif dalam menyediakan sumberdaya khsusnya komoditas perikanan. Terkait dengan manfaat fisik lainnya, keberadaan ekosistem padang lamun disekitar DPL masih sangat menunjang dalam mempertahankan kestabilan dasar peraiarn berpasir sehingga pasir-pasir yang berada di wilayah pesisir tidak sampai ke wilayah eksositem terumbu karang yang jika hal ini terjadi akan mengakibatkan kematian pada terumbu karang. 4. Mangrove Pengamatan ekosistem mengrove di lakukan pada daerah-daerah yang dianggap dapat mewakili komunitas. Stasiun pengamatan ditempatkan pada enam titik yakni Desa Balasuna 1 stasiun pengamatan, Desa Ollo 2 stasiun pengamatan, Desa Langge 1 titik pengamatan, dan Desa Mantigola 2 stasiun pengamatan. Pengamatan terhadap eksositem mangrove dilakukan untuk mengetahui persen tutupan kanopi, kerapatan mangrove, Indeks Nilai Penting dan Kriteria ekosistem berdasarkan kerapatan dan persentase tutupan kanopi. Hasil analisis terhadap ekosisitem mangrove dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 14.
Persen Cover Kanopi, Kerapatan, INP dan Kriteria ekosistem Mangrove
NO
Stasiun (Lokasi)
Jum. Jenis (ind.)
1
I (Balasuna)
2
Kanopi
INP
std. Dev. 4,19
kriteria
1
% cover 81,61
Kerapatan (pohon/ha)
Baik
2600
padat
II (Ollo)
4
80,72
4,61
Baik
4000
padat
3
III (Ollo)
2
80,92
5,54
baik
2100
padat
4
IV (Langgee)
1
76,95
3,30
baik
3900
padat
5
V (Mantigola) VI (Mantigola)
4
80,15
4,92
baik
2200
padat
3
80,62
3,93
Baik
2800
padat
6
Kriteria
Min (%)
Max (%) RL = 300
RL = RM = 41,622 128,271 RM = XG = 127,315 172,685 RM = 300 SA = 35,441 RM = 45,327
XG = 153,776 XG = 169,079
55
Berdasarkan hasil identifikasi stasiun 1 (Desa Balasuna) hanya ditemukan 1 jenis mangrove yang termasuk kategori pohon (keliling batang ≥ 16 cm) yakni dari jenis Rhizophora Lamarckii, sedangkan kategori anakan terdapat jenis Rhizophora Stylosa berjumlah 41 pohon. Persentase tutupan kanopi sebesar 81,61 % dengan kariteria dalam keadaan baik. Berdasarkan analisis kerapatan diperoleh nilai sebanyak 2600 pohon/hektar dengan kriteria berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 tahun 2004 dalam kategori padat. Indeks Nilai Penting Rhizophora Lamarckii sebesar 300. Hasil identifikasi stasiun 2 (Desa Ollo) kategori pohon ditemukan 4 jenis yakni Rhizophora mucronata, Xylocarpus granatum, Bruguierra gymnorrhiza dan Rhizophora lamarckii. Sedangkan kategori anakan hanya terdapat 1 jenis yakni Rhizophora mucronata berjumlah 67 pohon. Persentase tutupan kanopi sebesar 80,72 % dengan kriteria dalam keadaan baik. Berdasarkan analisis kerapatan diperoleh nilai sebanyak 4000 pohon/hektar dengan kriteria kerapatan dalam kategori padat. Indeks Nilai Penting Rhizophora Lamarckii sebesar 41,622 dan Rhizophora mucronata 128,271. Identifikasi jenis mangrove pada stasiun 3 (Desa Ollo) ditemukan 2 jenis yang termasuk kategori pohon yakni Rhizophora mucronata dan Xylocarpus granatum,. Sedangkan kategori anakan hanya terdapat 1 jenis yakni Rhizophora mucronata berjumlah 25 pohon. Persentase tutupan kanopi pada stasiun pengamatan ini adalah sebesar 80,92 % dengan kariteria dalam keadaan baik. Hasil analisis kerapatan diperoleh nilai sebanyak 2100 pohon/hektar dengan kriteria kerapatan dalam kategori padat. Indeks Nilai Penting pada stasiun ini yakni jenis Rhizophora mucronata 127,315 dan Xylocarpus granatum 172,685. Identifikasi jenis mangrove pada stasiun 4 (Desa Langee) hanya ditemukan 1 jenis yakni jenis Rhizophora mucronata. Kategori anakan juga dari jenis yang sama ditemukan sebanyak 17 pohon. Persentase tutupan kanopi pada stasiun pengamatan ini adalah sebesar 76,95 % dengan kariteria dalam keadaan baik. Hasil analisis kerapatan diperoleh nilai sebanyak 3900 pohon/hektar dengan kriteria kerapatan dalam kategori padat. Indeks Nilai Penting pada stasiun ini yakni jenis Rhizophora mucronata 300. Kemudian selanjutnya pada stasiun pengamatan 5 (Desa Mantigola) ditemukan 4 jenis mangrove yakni Rhizophora mucronata, Xylocarpus granatum, Bruguierra gymnorrhiza dan Soneratia alba. Sedangkan kategori anakan teridentifikasi 2 jenis yakni Rhizophora mucronata yang berjumlah 13 pohon dan jenis Avicenia marina sebnayak 18 pohon. Persentase tutupan kanopi sebesar 80,15 % dengan kariteria dalam keadaan baik. Berdasarkan analisis kerapatan diperoleh nilai sebanyak 2200 pohon/hektar dengan kriteria dalam kategori padat. Indeks Nilai Penting Sonneratia alba sebesar 35,441 dan Xylocarpus granatum 153,776.
56
Pada stasiun pengamatan terakhir (Desa Mantigola) ditemukan 3 jenis mangrove Xylocarpus granatum, yakni Rhizophora mucronata, dan Rhizophora stylosa. Sedangkan kategori anakan teridentifikasi 2 jenis yakni Rhizophora stylosa berjumlah 4 pohon dan jenis Rhizophora mucronata sebanyak 7 pohon. Persentase tutupan kanopi sebesar 80,62 % dengan kariteria dalam keadaan baik. Berdasarkan analisis kerapatan diperoleh nilai sebanyak 2800 pohon/hektar dengan kriteria kerapatan dalam kategori padat. Indeks Nilai Penting Rhizophora mucronata sebesar 45,327 dan Xylocarpus granatum 169,079. Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis terhadap ekosistem mangrove masih dalam keadaan baik. Keberadaan ekosistem mangrove di wilayah pesisir secara ekologi masih mampu untuk menunjang kebutuhan masyarakat terkait dengan fungsinya dalam menyedian barang dan jasa terutama sumberdaya perikanan seperti kepiting, bivalvia dan organisme lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat serta kesejahteraan masyarakat disekitarnya. 5. Peta Sebaran Ekosistem Berdasarkan klasifikasi citra satelit Landsat 8, Kelasan mangrove di kawasan Wangi-wangi Wakatobi dibagi ke dalam 3 kelasan yaitu: mangrove jarang dengan luasan 60.840 Ha, mangrove sedang seluas 37.620 Ha dan mangrove rapat seluas 1352.790 Ha. Mangrove dengan kategori rapat mendominasi di daerah ini mengindikasikan masih terjaganya hutan mangrove di daerah ini. Selain itu, habitat perairan dangkal di kawasan Wangi-wangi Wakatobi ini didominasi oleh kelas karang mati seluas 3078.541 Ha, kemudian karang hidup seluas 2049.033 Ha, terdapat juga pecahan karang yang bercampur dengan pasir seluas 965.160 Ha dan hamparan alga seluas 1851.931 Ha. Tabel 15.
Klasifikasi Ekosistem di Wakatobi Berdasarkan Hasil Analisis Citra
Habitat Perairan Dangkal Kelas Karang Mati
Luas (Ha)
Mangrove Kelas
Luas (Ha)
3078.541
Mangrove Jarang
60.840
965.160
Mangrove Sedang
37.620
Lamun
1851.931
Mangrove Rapat
Karang Hidup
2049.033
Pasir dan Pecahan Karang
1352.790
57
Gambar 30. 4.1.1.2.
Peta Sebaran Ekosistem Pesisir Pada Lokasi Penelitian Di Wakatobi
Identifikasi Ekosistem Pesisir dan Laut Kabupaten Maluku Tengah/Banda Neira
1. Pelagis Perairan Banda termasuk ke dalam WPP 714 dan kaya akan sumberdaya perikanan. Diperkirakan luas Laut Banda sekitar 500.000 km2. Pada tahun 2014, Banda Naira menyumbang 85 persen dari total produksi perikanan Maluku Tengah yang sebanyak 90.680,8 ton dan jumlah hasil tangkapan pelagis sekitar 82.522,3 ton. Jumlah RTP pada tahun 2014 ada sekitar 1.492 unit dimana jumlah nelayan sebanyak 3.206 orang. Jenis ikan pelagis yang banyak ditangkap oleh nelayan diantaranya adalah tuna, tongkol dan cakalang dengan menggunakan pancing. 2. Terumbu Karang Terumbu karang di Kepulauan Banda tersebar di enam pulau di kepulauan Banda, mulai dari Pulau Run di sebelah barat, sampai Pulau Hatta, serta 50 km ke arah selatannya. Pada umumnya, terumbu karang dalam keadaan baik, namun ditemukan kerusakan yang menyebar dan dalam tingkat kerusakan yang rendah. Pulau Banda menyediakan jalan masuk yang mudah untuk subset yang kuat bagi wilayah keanekaragaman karang pada terumbu karang, yang merupakan contoh dari perkembangan terumbu karang tepi di sebuah lautan.
58
Lebih dari 300 spesies karang keras telah tercatat, yang memiliki standar dunia yang tinggi sehingga diberikan wilayah kecil di Pulau Banda. Pada umumnya terumbu karang yang terdapat di Pulau Banda adalah terumbu karang tepi yang sempit tanpa adanya sebuah terumbu karang intertidal yang rata. Telah teridentifikasi empat jenis komunitas karang yaitu: dua jenis berasal dari tempat landai yang dalam dan dua lainnya dari wilayah perairan yang agak dangkal. Hal yang patut diperhatikan adalah area karang yang terletak pada perairan tersembunyi antara Banda Neira, Banda Besar dan Gunung Api, dengan dasar yang mengagumkan dipenuhi oleh karang yang mudah pecah dan sebuah pencangkupan yang tinggi dari lantai laut yang dangkal. Genus Acropora, yang pada umumnya mendominasi terumbu karang Indo-Pacific sebagai salah satu rangka pembangun utama. Untuk genus Acropoda mendominasi pada sebagian peraian dangkal yang tersembunyi, tapi menjadi kurang penting pada saat ombak menyingkap terumbu karang tepi. Karang muncul untuk tumbuh dengan cepat tapi usianya tidak terlalu tua dalam lingkungan, hanya dengan sedikit pemeriksaan yang telah terjadi selama lebih dari satu abad lamanya. Hal Ini disarankan agar peristiwa pengrusakan dapat membatasi kemungkinan karang untuk mencapai usia tua. Pengrusakan ini dapat mengambil bentuk dari peristiwa letusan gunung berapi yang menjatuhkan debu ke perairan terumbu karang, gempa bumi yang mengeluarkan karang dari terumbu karang menuju kedalaman yang sangat. Beberapa kejadian mungkin sesuai baik untuk struktur karang yang berumur muda maupun ketidakmampuan terumbu karang untuk tumbuh pada tingkatan laut tertentu. Hasil tangkapan ikan demersal banyak dilakukan dengan menggunakan alat tangkap pancing di wilayah terumbu karang. Jumlah hasil tangkapan ikan demersal pada tahun 2014 ada sebanyak 9598,3 ton. Jenis ikan demersal yang banyak terdapat di Banda Naira antara lain kerapu dan kakap. 3. Peta Sebaran Ekosistem Habitat perairan dangkal di kawasan Bandanaira didominasi oleh kelas karang hidup seluas 422.190 ha, kemudian pecahan karang yang bercampur dengan pasir seluas 161.550 ha dan hamparan lamun seluas 161.460 ha. Tabel 16.
Klasifikasi Ekosistem di Banda Neira Berdasarkan Hasil Analisis Citra
Habitat Perairan Dangkal Kelas
Luas (Ha)
Pasir dan Pecahan Karang
161.550
Lamun
161.460
Karang Hidup
422.190
59
Gambar 31.
Peta Sebaran Ekosistem Pesisir Pada Lokasi Penelitian Di Bandaneira, Maluku Tengah
4.1.1.3.
Identifikasi Ekosistem Pesisir dan Laut Kabupaten Maluku Tenggara Barat/ Saumlaki Keanekaragaman ekosistem pesisir dan laut yang terdapat di Kepulauan Tanimbar
merupakan salah satu sumberdaya yang penting untuk dilindungi. Di satu sisi beberapa permasalahan yang muncul pada sebagian wilayah di Kepulauan Tanimbar adalah kegiatan perikanan yang merusak dengan menggunakan bom dan obat bius (sianida) pada tahun 1990-an untuk menangkap ikan napoleon. Kegiatan tersebut diyakini sebagai penyebab utama berkurangnya jenis ikan kerapu dan napoleon di kepulauan Tanimbar. Ada tiga jenis ekosistem yang ada di pesisir dan laut di Kabupaten Maluku Tenggara Barat yaitu ekosistem mangrove, terumbu karang, dan padang lamun. 1. Ekosistem Mangrove Mangrove memiliki peranan peniting dalam melindungi pantai dari gelombang, angin dan badai, bahkan tsunami sekalipun. Mangrove juga terbukti memainkan peran penting dalam melindungi pesisir dan dari gempuran badai, kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut merupakan suatu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan
60
baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat lumpur, pohonnya mengurangi energi gelmbang dan memperlambat arus sedangkan vegetasi seluruhnya dapat merangkap sedimen (Davies and Claridge, 1993 dan othman 1994) satu hal yang penting adalah vegetasi mangrove mempunyai peranan yang besar dalam mempertahankan lahan yang telah dikolonisasinya, terutama dari ombak dan arus laut. Pada pulau-pulau di daerah delta yang berlumpur halus ditumbuhi mangrove, peranan mengrove sangat besar untuk mempertahankan pulau tersebut, sebaliknya pada pulau yang kehilangan mangrovenya, pulau tersebut mudah disapu ombak dan arus musiman (Chambers, 1980). Peranan mangrove dalam menunjang kegiatan perikanan pantai dapat disarikan dalam dua hal. Pertama, mangrove berperan penting dalam siklus hidup berbagai jenis ikan, udang dan moluska, karena lingkungan mangrove menyediakan perlindungan dan makanan berupa bahan-bahan organik yang masuk ke dalam rantai makanan. Kedua, mangrove merupakan pemasok bahan organik, sehingga dapat menyediakan makanan untuk organisme yang hidup pada perairan sekitarnya, produksi serasah mangrove dianggap yang paling produktif di antara ekosistem pesisir(Diven & Claridge, 1993). Hutan mangrove merupakan hutan hujan yang terdapat di sepanjang garis pantai perairan tropis sampai sub-tropis dan mempunyai ciri-ciri tersendiri dengan kekhasan biota yang hidup disana. Ekosistemmangrove merupakan ekosistem yang lebih spesifik jika dibandingkan dengan ekosistem lainnya karena mempunyai vegetasi yang agak seragam, serta mempunyai tajuk yang rata, tidak mempunyai lapisan tajuk dengan bentukan yang khas (Bengen 2004). Bengen (2004) menjelaskan, ekosistem mangrove mempunyai manfaat langsung dan manfaat tidak langsung bagi kehidupan manusia. Manfaat langsung dari ekosistem mangrove adalah untuk kayu bakar, bahan konstruksi bangunan, bahan untuk membuat arang, serta dapat juga dibuat untuk bubur kertas, sedangkan manfaat tidak langsung dari ekosistem mangrove adalah pengembangan kegiatan wisata-mangrove. Oleh karena itu, keberadaan dari ekosistem mangrove pada wilayah pesisir, disamping berfungsi sebagai kawasan penyangga, juga mempunyai nilai ekonomi tinggi. Berdasarkan hasil kajian dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara Barat terlihat bahwa kondisi komunitas mangrove pada pulau yamdena dan sekitarnya pada titik stasiun tertentu masih sangat alami, dengan kerapatan dan keragaman jenis yang cukup tinggi. Namun pada titik stasiun tertentu juga kondisinya sangat memprihatinkan, berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk yang bermukim disekitar titik stasiun terlihat bahwa tingkat pemahaman masyarakat yang bermukim di sekitar daerah tersebut atau mereka yang memiliki hak atas suatu pulau yang terdapat komunitas mangrove tentang pentingnya manfaat mangrove bagi lingkungan sangat minim, sehingga mereka memanfaatkan komunitas mangrove sesuka hati mereka, kebanyakan mereka menebang pohon dan sapihan untuk membuat rumah tinggal (rumah gantung) untuk 61
tempat produksi ruput laut atau dalam istilah masyarakat setempat agar-agar. Selain pemanfaatan secara tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh masyarakat, ada juga pemanfaatan yang dilakukan oleh perusahan budidaya mutiara untuk pembuatan tiang penyangga dermaga, dan rumah tinggal yang hampir semua bahan bangunannya di ambil dari hutan mangrove yang ada, dari hasil pengamatan yang dilakukan jenis mangrove yang dimanfaatkan untuk bahan bangunan dermaga yaitu jenis Kandelia candel, Bruguiera gymnorhiza, Rhysophora dan jenis mangrove lain yang memiliki batang yang lurus dengan diameter > 15-20 cm. Adapun distribusi dari ekosistem mangrove yang terdapat di Kabupaten Maluku Tenggara Barat dapat dilihat pada Gambar berikut ini.
Gambar 32.
Peta Distribusi Mangrove di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Tahun 2014
2. Ekosistem Padang Lamun Jumlah jenis lamun di Indonesia dijumpai ada 12 spesies yang dikelompokan dalam 7 genus (Marga), 2 suku (famili) dan 1 Kelas (Kuo and Mc Comb, 1989). Dari ke- 12 spesies yang ada di perairan Indonesia, ternyata dijumpai ada 7 spesies yang di temukan pada 8 titik lokasi sampling di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, dimana ke tujuh spesies distribusinya secara spasial ditunjukkan dengan variasi distribusi jenis dan persen tutupan dapat dilihat pada tabel berikut: 62
63
Tabel 17.
Distribusi Ekosistem Lamun di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Tahun 2014
Kecamatan
Lokasi Sampling
P. Astubun Tanimbar Selatan P. Matakus Tanimbar Selatan P. Selaru Selaru P. Ngolin Wermaktian P. Watuwawan Wermaktian Wermaktian
P. Sabal P. Watlelon
Wermaktian P. Nusmesa Wermaktian
Jenis (Species)
Enhalus Acoroides Cymodocea Rotundata Halodule Pinifolia Halodule Pinifolia Enhalus Acoroides Thalassodendron Ciliatum Enhalus Acoroides Halodule Pinifolia Cymodocea Rotundata Enhalus Acoroides Thalassia Hemprichi Halophila Ovalis Cymodocea Rotundata Halophila Ovalis Cymodocea Rotundata Enhalus Acoroides Enhalus Acoroides Cymodocea Rotundata Halodule Pinifolia Cymodocea Rotundata Halophila Ovalis Enhalus Acoroides Cymodocea Rotundata Thalassia Hemprichi Enhalus Acoroides
Kerapatan (Jumlah Tegakan/m2) 2,83 ind/m2
2,12 ind/m2
2,24 ind/m2
2,34 ind/m2
1,52 ind/m2 1,3 ind/m2
4,95 ind/m2
2,09 ind/m2
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara Barat, 2014
3. Ekosistem Terumbu Karang Keanekaragaman genera karang di Kepulauan Tanimbar ditemukan cukup tinggi, sebanding dengan beberapa lokasi lain di wilayah Segitiga Terumbu Karang seperti di Pulau Lombok ditemukan 66 genera karang dan 17 famili (Pardede et al., 2014). Penutupan genera karang tertinggi pada transek dalam (kedalaman 6-8 m) didominasi oleh genus Acropora sebesar 38 % dan Porites sebesar 16 %. Sedangkan untuk transek dangkal (kedalaman 2-3 m) juga di dominasi oleh genus Acropora sebesar 47 % dan Porites sebesar 18%, dan secara umum penutupan karang keras di perairan Tanimbar didominasi oleh Acropora dan Porites. Acropora dan Porites merupakan karang yang umum dijumpai di perairan Indonesia, dimana jenis karang ini relatif dominan dibandingkan dengan jenis karang lain (Muttaqin et al., 2014; Pardede et al., 2014). 64
Karang jenis ini umumnya banyak ditemukan pada lokasi-lokasi yang cenderung tenang. Sebagian besar jenis karang batu dapat tumbuh di perairan dengan kecepatan arus permukaan yang relatif kuat sehingga dapat mensuplai bahan-bahan makanan (Panggabean dan Setiadji, 2011), karang dari jenis Acropora memiliki laju pertumbuhan relatif cepat, di satu sisi merupakan jenis karang yang rentan terhadap gangguan, sedangkan karang jenis Porites umumnya relatif kuat terhadap gangguan (McClanahan et al., 2004). Tipe perairan Tanimbar dengan area karang yang dangkal berkisar 0-17 m dengan kontur landai dan substrat dasar pasir serta tipe terumbu karang tepi (fringing reef) merupakan salah satu ciri habitat bagi karang jenis Acropora dan Porites. Berbeda dengan lokasi di utara dimana kontur cenderung terjal hingga memiliki kemiringan 900 dan perairannya cenderung dalam sekitar 40 m dan memiliki kejernihan yang lebih baik karena menghadap laut Banda dimana karang yang dominan berasal dari jenis karang lunak. Jika dilihat dari prosentase karang hidup di 42 (empat puluh dua) lokasi sampling berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 04, Tahun 2001. dapat dikatakan sedang hingga baik sekali. Dimana kondisi yang sedang dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Terumbu karang di Kabupaten Maluku Tenggara Barat didominasi oleh Acropora, Favites, Millepora, Porites, dan Seriatopora. Untuk lebih jelasnya trip plan dan sebaran terumbu karang di Kabupaten Maluku Tenggara Barat dapat dilihat pada Tabel 18 dibawah ini. Tabel 18.
Kondisi, Persentase Tutupan, Jenis dan Jumlah Spesies Terumbu Karang di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Tahun 2014
Lokasi Welmasa Tanjung Pulau Maru Tanjung Adodo Angwarmase Nustabun Asutubun Matakus Farmusan Frinun
Kondisi Terumbu Karang Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati
Persentase Penutupan Terumbu Karang (%) 46.50 53.50 50.17 49.83 35.83 64.17 46.50 53.50 70.67 29.33 63.67 36.33 57.83 42.17 57.17 42.83 71.00 29.00
Jumlah Spesies/Genus 29 41 47 13 35 45 31 34 21
65
Lokasi Klaan Adodo Fordata Wermatan Nukaah Sofianin Meti Rotan Tutun Watidal Welutu Ujung Wuryaru Sabal Sukler Tanjung Nuskei Yayaru Wotuwawan Kore Nuswotap Mitak Labobar Wulmari Tanjung Botanio Tanjung Itain Tenaman Unggar
Kondisi Terumbu Karang Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati Karang Hidup Karang Mati
Persentase Penutupan Terumbu Karang (%) 41.33 58.67 61.33 38.67 66.50 33.50 26.00 74.00 51.50 48.50 34.50 65.50 54.50 45.50 52.67 47.33 59.33 40.67 56.17 43.83 45.50 54.50 59.33 40.67 63.00 37.00 29.00 71.00 64.17 35.83 45.33 54.67 60.00 40.00 48.50 51.50 50.33 49.67 50.50 49.50 57.00 43.00 47.67 52.33 38.17 61.83
Jumlah Spesies/Genus 22 21 20 45 43 21 30 28 33 15 29 33 17 23 26 48 38 49 45 46 41 28 27
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara Barat, 2014
66
4. Peta Sebaran Ekosistem Kelasan mangrove di kawasan Maluku Tengara Barat terdiri dari 3 kelasan yaitu: mangrove jarang dengan luasan 25.020 ha, mangrove sedang seluas 14.130 ha dan mangrove rapat seluas 832.410ha. Mangrove dengan kategori rapat mendominasi di daerah ini mengindikasikan masih terjaganya hutan mangrove di daerah ini. Berdasarkan klasifikasi citra satelit habitat perairan dangkal di kawasan Maluku Tenggara Barat ini didominasi oleh kelas karang hidup seluas 1636.831 ha, kemudian karang mati seluas 1228.682 ha, terdapat juga pecahan karang yang bercampur dengan pasir seluas 300.240 ha dan hamparan alga seluas 959.401 ha. Tabel 19.
Klasifikasi Ekosistem di Saumlaki Berdasarkan Hasil Analisis Citra
Habitat Perairan Dangkal Kelas Luas (Ha) Karang Mati 1228.682 Pasir dan Pecahan Karang 300.240 Alga 959.401 Karang Hidup 1636.831
Gambar 33.
Mangrove Kelas Mangrove Jarang Mangrove Sedang Mangrove Rapat
Luas (Ha) 25.020 14.130 832.410
Peta Sebaran Ekosistem Pesisir Pada Lokasi Penelitian Di Saumlaki, Maluku Tenggara Barat 67
4.1.2. Identifikasi Ekosistem Pesisir dan Laut WPP 716 4.1.2.1.
Identifikasi Ekosistem Pesisir dan Laut Kota Tarakan
1. Kondisi Umum Ekosistem Pesisir Upaya pengelolaan wilayah pesisir dan laut Kota Tarakan terhadap sumber daya ekosistem hayati seperti: mangrove, padang lamun, dan terumbu karang, secara terintegrasi melibatkan partisipasi aktif semua pihak. Kegiatan konservasi dan rehabilitasi terhadap sumber daya mangrove sudah dilaksanakan pada lahan tambak yang sudah tidak produktif. Luasannya wilayah tersebut mencapai ± 900 Ha, yang tersebar di pesisir pantai dengan tingkat kerapatan yang berbeda. Kegiatan ini dilaksanakan oleh pemerintah daerah, karena didasarkan bahwa fungsi ekosistem sangat penting bagi kehidupan (baik dari segi ekonomi dan ekologi). Luas lahan mangrove secara keseluruhan di wilayah Kota Tarakan adalah 1119, 3 Ha. Fungsi ekosistem tersebut seperti: (1) tempat tinggal biota laut; (2) tempat berkembang biak dan mencari makan ikan, hewan, dan tumbuhan laut; (3) laboratorium alam untuk menunjang pendidikan dan pelatihan; (4) pelindung pantai dari erosi/abrasi; (5) menahan gelombang/arus; (6) wisata bahari. Perairan Kota Tarakan memiliki gugusan terumbu karang yang terletak di perairan yang relatif dangkal. Lokasi terumbu karang dan padang lamun banyak ditemukan pada bagian selatan Pulau Tarakan. Rata-rata karang dijumpai pada kedalaman 1,5 meter-10 meter, serta termasuk dalam tipe terumbu karang tepi (fringing reef). Secara umum tutupan rata-rata karang hidup adalah sebesar 25%. Kondisi potensi ekosistem terumbu karang dan padang lamun belum dapat diketahui secara pasti, sehingga perlu identifikasi yang akurat untuk pengelolaan selanjutnya. Penutupan karang pada perairan Tanjung Pasir bervariasi antara 050%. Padang Lamun ditemukan berada di daerah pantai gusung Tanjung Pasir, dengan jenis dominan Halodule sp. Tingkat tutupan lamun yang ditemukan sangat rendah yaitu berkisar 010%. Hal ini diduga karena selain adanya sedimentasi, juga dipengaruhi adanya persaingan jenis alga yang menutupi lamun dan berakibat terganggunya proses fotosintesa lamun (Laporan Tahunan 2014 Kota Tarakan, 2015). Karang dengan tutupan 20%-50% ditemukan berada di wilayah dangkal dengan luasan berkisar ±19,83 Ha. Daerah ini penutupannya lebih tinggi, karena wilayahnya memiliki kedangkalan berkisar 0,5-3,5 meter dan tingkat sedimentasinya rendah dibanding dengan daerah lain. Wilayah karang dengan tutupan 10%-20% diperkirakan seluas 34,96 Ha, sedangkan tutupan karang < 10% diperkirakan seluas 46,67 Ha. Ekosistem terumbu karang dan lamun wilayah perairan selatan Kota Tarakan sekitar perairan Tanjung Pasir, teridentifikasi sebanyak
68
27 jenis karang. Total jenis karang tersebut, terdiri dari 24 jenis karang keras (hard coral) dan 3 jenis karang lunak (soft coral), serta biota lain yang berasosiasi dengan ekosistem ini. Sumber daya lamun yang terdapat di wilayah Kota Tarakan ditemukan hanya 1 jenis, yaitu Halodule sp. Upaya Pemerintah Daerah Kota Tarakan untuk melestarikan dan melindungi terumbu karang dan lamun, adalah melakukan pengkajian dalam menetapkan sebagian perairan Tanjung Pasir sebagai wilayah konservasi laut terumbu karang dan lamun. Kajian yang dilakukan ini nantinya diikuti dengan kegiatan transplantasi karang, melakukan kegiatan monitoring, serta pengawasan terhadap kondisi terumbu karang dan lamun secara rutin. Kegiatan tersebut melibatkan masyarakat dan stakeholder lain yang terkait. 2. Kondisi Eksisting Ekosistem Mangrove Berdasarkan Hasil Survey Lapangan Lokasi penelitian ekosistem mangrove ditentukan berdasarkan analisis citra yang terfokus di bagian barat pulau Tarakan. Penetapan lokasi penelitian ekosistem mangrove direncanakan sebanyak 22 lokasi pengamatan dan pengukuran namun terealisasi sebanyak 7 titik pengukuran dan 15titik pengamatan. Lokasi Penelitian terbagi atas empat lokasi besar yang mewakili Kecamatan Tarakan Timur, Tarakan Barat, Tarakan Utara. Tidak terealisasinya titik sampling sesuai rencana dikarenakan waktu dan kondisi di lapangan yang tidak memungkinkan untuk melakukan pengukuran dan ada lokasi yang terdapat ekosistem mangrove tipis tidak sesuai dengan penampakan pada citra yaitu lokasi 15TKRM16 merupakan pemukiman penduduk .
Gambar 34.
Titik lokasi pengukuran (merah) dan pengamatan (biru)ekosistem mangrove 69
Gambar 35.
Mangrove yang tipis diselingi pemukiman penduduk diKecamatanTarakanTimur
3. KondisiEksisting KualitasPerairan Titik sampling kualitas air direncanakan sesua dengan keberadaan ekosistem mangrove yaitu 22 titik sampling terealisasi sebanyak 19 titik sampling . Pengukuran kualitas perairan selain data primer dari hasil pengukuran sebanyak 7 parameter dilakukan juga pengolahan data sekunder yang dilakukan sebelum ke lapangan yaitu pasang surut.
Gambar 36.
Titik samplingkualitas perairandilokasi penelitian
PasangSurut 70
Pasang surutyang terukur padabulanAgustus2015,terlihatbahwa pasang tertinggi dansurutterendahterjadi pada awal bulan(minggu pertama) danakhir bulan(Gambar 37). Pentingnyapengukuran
prediksi
pasangsurutterkait
dengansurveilapanganyang
dilakukanyang diharapkantargetsurvei dapatdilaksanakansesuai rencana. Pasangmenuju surut terjadi pagi harimenuju kesiang dengan puncaksurut disore hari.
OlehkarenapulauTarakansisi
pengukuranyang
dilakukan
bagianbarat
memilikitopografilandai
melaluilautterkendaladenganlumpur
maka yang
dalamdikarenakansurut sehinggakapal tidakdapatmendekati ekosistemmangrove.Lokasi harus di capai denganberjalan diataslumpur.
Gambar 37.
Gambar 38.
Kondisi Pasang Surut pada Bulan Agustus 2015
Hasil pengukuran Pasang Surut dalam 24 jam di lokasi penelitian
71
Gambar 39.
Gambar 40. Lokasi padasaat surut dan terjebakdi lumpur saat surut
PasangSurutLokasi Penelitian
Kualitas
perairanyangterukurdiekosistemmangroveterdapattujuh
parameter.Parameter
tersebut
dibagi
atasduayaituparameter
fisikayang
terukuradalahtotalpadatanterlarut (total suspendedsolid=TSS)dan parameter kimia meliputi pH, salinitas, silikat, amonia, nitrat dan orthofosfat. Berdasarkanbaku
mutuKMNLHno
perairanyangterukurdiekosistem mutuuntuk
51tahun
2004lampiranIII,rata-ratakualitas
mangrovepulauTarakan
pH,salinitas
bagianbaratsesuai
dan
baku
orthoposfat,sedikit
diatasbakumutuuntukTSSdanamonia,dandiatasbakumutusampai87kalilipatuntuknitrat.Nilai rata-rata kualitasperairandiekosistem mangrove pulauTarakanbagianbaratdisajikandalam Tabel berikut. Tabel 20.
Nilai rata-ratakualitasperairandi lokasi penelitian
BakuParameter TSS(mg/l) pH Salinitas (PSU) Silikat(mg/l) Amonia(mg/l) Nitrat (mg/l)
Minimum 22,000 7,790 21,400 1,820 0,049 0,348
Maksimum 341,000 8,860 40,700 3,505 0,186 0,821
Rata-rata Std.Deviasi 83,105 75,629 8,046 0,240 29,568 5,480 2,686 0,531 0,078 0,039 0,674 0,110
mutu 80 7–8,5 s/d34 0,14* 0,3 0,008
Ortophosfat (mg/l) 0,009 0,013 0,011 0,001 0,015 *Tsunogai,1979
4. Kualitasperairan Fisika
72
Padatan tersuspensi (TotalSuspendedSolid)yangterukur bervariasi antar stasiun. HubunganTSSsangat
eratdengan
kecerahansuatuperairanyang
akanberdampakdengancahayamatahari yangmasuk di kolom air dan fotosintesis. Nilai TSS untuk
ekosistem
mangrovecukuptinggitoleransi
bakumutunyadibandingkan
dengan
ekosistempesisir lainnya ekosistem lamundan terumbukarang20mg/l. Bedasarkan Gambar di bawah ini, 74 % titik sampling memilki nilai TSS di bawah 80 mg/l, hanya 26 % atau 5 titik sampling di atas baku mutu. Nilai tertinggi TSS pada stasiun 15TRKA13 sebesar 341 mg/l, yang merupakan ekosistem mangrove di Kecamatan Tarakan Barat. Tingginya nilai ini lebih disebabkan karena cuaca pada saat penelitian bergelombang tinggidengan kondisi perairan pasang (pagi hari) sehingga perairan keruh, sedimen di dasar perairan teraduk.
Gambar 41.
Gambar 42.
Sebaran nilai TSSdi titik samplinglokasi penelitian
Kondisi pasang dan bergelombang saat pengukuran dan pengambilansedimendi ekosistem mangrove 15TKRM13 73
74
5. Kualitasperairan kimia 1. Derajatkeasaman(pH) Rata-ratapH
permukaandipesisirbaratpulauTarakan
merupakanpHlamidilaut.Derajat
keasaman
adalah8,06yang
ataupHmerupakansalahsatu
parameteryangpentingdalammemantaukestabilanperairan.Perubahannilai suatuperairanakan
pH
mempengaruhikehidupanbiota,karena
di
tiapbiota
memilikibatasantertentuterhadap nilai pH yang bervariasi (Simanjuntak,2012).
Gambar 43.
Derajatkeasaman(pH) perairanPesisir baratpulauTarakan
Gambartersebut TerlihatbahwapH
menunjukkan
pH
perairanpada19titik
padalapisanpermukaan
sampling.
secaraumumtidakterlihat
berfluktuasinyata.NaikturunnyapHterutamadipengaruhiolehmasukan airtawar.Airlaut mempunyai kemampuan menyangga perubahan pH yang sangatbesaruntuk mencegah
perubahanpH.Perairan
alamiyangtidak
adabahantercemardalam
jumlahyangsangatbesardalamperairan
kemampuansikluskarbon,
fosfatdannitrogenakanmampumenstabilkan
nilai
pH
perairantersebutyangberkisarantara7,5–8,4.PerubahanpH sedikitsajadarikisaranpH
alami
dapatmenunjukkanterganggu
siklusbiogeokimiaterutamasikluskarbonat berakibatterganggunyakehidupanbiota
yang
dalamperairantersebutyang lautsepertikematian
ikan,
burayaktelur
danlain-lainsertamengurangi produktifitasprimerperairan. Walaupunbanyak para ahli memprediksi
dengan
diperkirankemampuanlautsebagai
adanyapemanasan buffer
atas
global perubahan
saatini akan 75
bergesersehinggadapatmengakibatkanpenurunanpHlautatau
terjadi
pengasaman
laut(oceanacification).Dimana efekdari pengasasamanlaut ataupenurunan pHini akanterus berlanjutkepada mahluk hidupyangberadadidalamnya. 2. Salinitas Salinitas permukaan di seluruh stasiun pengamatan kecuali stasiun berkisar antara 21,4–40,7 PSU dengan rata-rata 29,57 PSU. Salinitas alami perairan laut di Indonesia adalah 28 - 34 PSU. Salinitas di lokasi penelitian termasuk salinitas alami. (Gambar 39). Hampir semua titik sampling nilai salinitas sesuai baku mutu (90 %), hanya dua titik sampling yang berada di atas baku mutu. Mangrove dapat mentoleransi hidup pada salinitas 38 PSU.
Gambar 44.
SalinitasperairanPesisir baratpulauTarakan
Kaitan salinitas dalam kehidupan biota akuatik tergantung dari kemampuan biota berosmoregulasi yaitu kemampuan biota mengatur keseimbangan perbedaan antara larutan garam dalam tubuh dengan mediumnya. 3. Ortofosfat Nilai ortofosfat permukaan untuk semua stasiun sesuai baku mutu KMNLH No 51 tahun 2004 Lampiran III. Nilai ortofosfat tertinggi pada stasiun 15TRKA16 (0,013 mg/l), yang merupakan ekosistem mangrove yang telah terdegradasi oleh pemukiman dan mangrove yang tipis (15TKRM16). Tingginya nilai ortofosfat di stasiun ini dapat disebabkan oleh banyak hal yang paling memungkinkan adalah tingginya limbah domestik seperti limbah rumah tangga dan pertanian.
76
Gambar 45.
Orthofosfat perairanPesisirbarat pulauTarakan
4. Amonia Kisaran amonia (NH3-N) permukaan perairan Pesisir barat pulauTarakan untuk semua stasiun pengamatan sesuai baku mutu yaitu lebih rendah dari 0,3 mg/l .
Gambar 46.
Senyawaamonia di perairanPesisir barat pulauTarakan
Kisarandannilairata-ratasenyawanitrogen(ammonium,nitratdannitrit)pada tiaplapisanperairan dapatdilihatpadaTabel 20danGambar 47. 5. Nitrat Nitratyangterukurdiseluruhlokasisamplingberadadiatas
bakumutu.Tingginyanilai
nitrat merupakanhasil dekomposisi bahan organiktanamanmangrove punbiotalainnyayang 77
beradadi ekosistem mangrove.Ekosistem mangrovesangat kayaakansumberzatharaatau nutrienyangdieksportkeekosistemdi itutingginyanitratdapatjugadari
depannyasampaikelautlepas.Selain pemupukan
maupunpemberianpakanpada
pertambakanyang terdapatdisepanjang pesisir pulauTarakan.
Gambar 47.
Nitratdi perairanPesisir barat pulau Tarakan
Selainitudibandingkansenyawanitrogenlainnyayang diukur, nilai nitratlebihbesar dibandingkanamonia.Hal inidapat dijelaskan bahwa dalamsiklusnitrogen di perairanlaut jika dalamkeadaanaerob amonia akan teroksidasi berubahmenjadi nitratataunitrit sedangkanpadasampel
yang
oksigennyadilihat
tingginyakonsentrasinitrat.Tetapi
perairanPesisir
dari
barat
diukurterlihat
bahwasampel
air
yangkaya
halinitidak
akan
dapatdikatakan
pulauTarakanterindikasitercemarataumengalami
eutrofikasikarenapengukuranyangdilakukandilaboratoriumadawaktuantara dilapangandengandilaboratoriumdimanaorganisme renikbaikitu planktonmaupunbakteri bisamemakai
oksigenyang
sampelwalaupunsudahdidinginkan.Yangdapat
tersediadalambotol diperhitungkan
dalam
input
nitrogendipemodelanadalahjumlahtotal darisemuasenyawa nitrogenyangterukur. 6. Silika Silika terkait dengan fitoplankton terutama jenis diatom dimana pemanfaatannya sebagai nutrient untuk pertumbuhan selain nitrogen dan fosfat.Kisaran nilai silica di permukaan adalah 1,82 – 3,51 mg/L dengan rata-rata 2,69 mg/L. KMNLH no 51 tahn 2004 lampiran III tidak mengeluarkan baku mutu untuk silikat, namun Tsunogai (1979) dalam
78
Tsunogai dan Watanabe (1983) menyatakan bahwa batas minimum silikat terlarut yang menunjang pertumbuhan dan perkembangan diatom yaituantara 0,14 – 0,28 mg/L.
Gambar 48.
Silikat di perairanPesisir barat pulau Tarakan
Silikatdibutuhkanuntukpertumbuhandan ekstraselulardiatom,sehingga
perkembangan
silikatmerupakan
faktorpembatas
struktur pertumbuhan
diatom(Koikeetal.,2001).Diatommerupakankelompokfitoplanktonyangpaling melimpahdiperairan.
Tingginyakonsentrasisilikatdidugaberasaldarilimpasan
yangberasaldarisungai,sebabmuatanyangterbawaolehsungaimerupakan faktorutamadistribusi silikat di daerahteluk(Damar, 2003). 6. KondisiEksisting EkologiEkosistemMangrove Pengambilan
datamangrovedilapangandilakukanpadaawalbulan
Agustus2015
di7lokasimangroveyangtersebardi pulauTarakan.Awal penentuan titik pengambilan data dilakukan
dengan
mengidentifikasi
lokasi-lokasisebaranmangrovemelaluicitra
satelitLandsat.Semualokasi pengambilansampelberadapadasisi BaratPulau Tarakan. Berdasarkanpengukuranyang terdapat9jenismangrove.IndonesiasendirimenurutSukardjo
dilakukandiseluruhtitiksampling (1996)
terdapat75jenis
mangrove,yangmenjadi wakilpusatgeografibeberapa marga mangrove seperti Rhizophora, Bruguiera,Avicennia, Ceriops, dan Lumnitzera.Jenis mangrove yangditemuan di lokasi penelitian tersaji dalam Tabel 21.
79
Tabel 21.
Jenis mangroveyangditemukan di lokasi penelitian
Jenis Mangrove 2 X X X X
Avicenniaalba Avicenniamarina Bruguieracylindrica Bruguieragymnorhiza Rhizophoraapiculata Rhizophoramucronata Rhizophorastylosa Sonneratiaalba Xylocarpusgranatum
6 X X X -
10 X X X X -
Stasiun 13 X X X -
15 X X -
18 X X X X X -
21 X X X -
X= ada;- =tidakada
Ukuran
mangroveyangditemukanumumnyaberukuranbesardengan
dengan
jenisSonneratiaalba ditemukan disemualokasi(Gambar 49). Berdasarkan kepadatan tanaman mangrove
perluasan
jenis
yang
terpadat
adalahjenisyangditemukandisemualokasipenelitianSonneratiaalbasebesar4.158ind/Hadan terendahXylocarpusgranatumsebesar420
ind/Ha(Tabel
22).
Nilai
indekskeanekaragamanmangrove dilokasipenelitianH’ sebesar 0,75.Nilai iniH’<1dikategorikan keanekaragaman mangrovedilokasipenelitian rendah/miskin.
Gambar 49. Tabel 22.
MangrovejenisSonneratiaalbadi titik sampling21
Perhitungannilai indeks keanekaragamanmangrove
JenisMangrove Avicenniaalba Avicenniamarina Bruguieracylindrica
Ni 800 1,235 500
N 443 443 443
Ni/N Log(Ni/N) 0.15 -0.81 0.11 -0.95 0.02 -1.74
Log(Ni/N) 0.81 0.95 1.74
H 0.12 0.11 0.03 80
JenisMangrove Bruguieragymnorhiza Rhizophoraapiculata Rhizophoramucronata Rhizophorastylosa Sonneratiaalba Xylocarpusgranatum
Ni 600 1,767 4,158 420 800 1,235
N 443 443 443 443 443 443
Ni/N Log(Ni/N) 0.12 -0.93 0.02 -1.69 0.05 -1.27 0.05 -1.32 0.43 -0.37 0.05 -1.32
Log(Ni/N) 0.93 1.69 1.27 1.32 0.37 1.32
H 0.11 0.03 0.07 0.06 0.16 0.06
Kerapatan jenis tertinggi yaitu dari jenis S. alba, diikuti dengan nilai kerapatan relatif tertinggi berasal dari jenis yang sama yaitu sebesar30,07%, diikuti oleh jenis Avicennia marina (15,91%) dan yang terendah jenis Xylocarpus granatum 3,02%. Selain itu, frekuensi relatif dan penutupan relatif S.alba menunjukkan nilai yang paling tinggi, secara berurutan yaitu sebesar 36,99% dan 35,13% (Tabel 23). Secara umum zona terluar atau yang paling dekat laut memang didominasi oleh mangrove jenis S.alba, A.alba dan A.marina. Tabel 23.
Perhitungan Indeks Nilai Penting Mangrove di lokasi penelitian
JenisMangrove Avicenniaalba
Di 2.147
RDi 15.53
Fi 12
Avicenniamarina Bruguieracylindrica Bruguieragymnorhiza Rhizophoraapiculata Rhizophoramucronata Rhizophorastylosa Sonneratiaalba Xylocarpusgranatum
2.200 800 1.235 500 600 1.767 4.158 420
15.91 5.79 8.93 3.62 4.34 12.78 30.07 3.04
7 1 9 3 4 5 27 5
Rfi Ci 16.44 32,625.57
Rci 17.28
9.59 1.37 12.33 4.11 5.48 6.85 36.99 6.85
9.64 35.14 1.87 9.02 19.64 40.90 0.63 8.35 1.39 11.21 1.27 20.90 35.13 102.19 13.15 23.04
18,191.08 3,526.16 37,085.30 1,187.67 2,629.44 2,398.32 66,319.15 24,825.07
INP 49.25
Indeks Nilai Penting masing-masing jenis mangrove berkisar antara 8,35 – 102,19 %. Jenis mangrove dengan Nilai Penting terendah yaitu Rhizophora apiculata (8,35 %) dan yang tertinggi yaitu Sonneratia alba (102,19%). Nilai Penting tersebut menunjukkan peranan suatu jenis mangrove dalam ekosistem mangrove. Hal ini menunjukkan bahwa jenis S.alba memiliki peran yang penting pada ekosistem mangrove di lokasi penelitian. 7. Biomassdan Penyimpanan Karbon Secara umum, kapasitas penyimpanan karbon di bagian atas ekosistem mangrove tarakan berkisar antara 70 – 270 Mg C Ha-1. Jumlah ini hanya meliputi 1 kolam karbon (carbon pool) yaitu biomass bagian atas.
81
Tabel 24. Hasil Sampling dan Rata-Rata Terhadap Jumlah Biomassa dan Karbon yang Tersimpan pada Lokasi Penelitian 15TRKM 15TRKM 15TRKM 15TRKM 15TRKM 15TRKM 15TRKM Rerata 21 18 15 13 10 6 2 -1 Biomass (Mg ha ) Aboveground 90.00 48.74 102.48 66.44 177.33 50.51 156.20 98.95 Belowground 62.92 24.43 78.62 38.99 81.83 54.09 133.99 67.84 Jumlah 153.90 74.17 181.10 105.42 259.16 104.60 290.20 166.79 -1 Carbon (Mg C ha ) Aboveground 45.49 25.73 51.24 255.52 88.66 25.25 78.10 81.43 Belowground 24.54 9.53 30.66 15.20 31.91 21.10 52.26 26.46 Jumlah 70.03 35.26 81.90 270.73 120.58 46.35 130.36 107.89 KarbonSedimen Dataprimersedimenyangterukurpada
empatlokasi
mangrove
disajikanpadaGambar50.Nilaiinimerupakan nilaikarbonyang terkandung dalam sedimen ekosistem mangrove mencapai kedalaman satu meter.
Gambar 50. Nilaikarbonstoktotal bagianbaratadalahsebesar
Nilai karbonstok padasedimendi lokasi penelitian padaekosistemmangrovedipulau 373,77
MgC/Hayang
Tarakan setaradengan
penyerapankarbondioksidasebesar1.370,49MgCO2e/Ha.
82
8. Peta Sebaran Ekosistem Hasilinterpretasicitra
satelitberesolusi
tinggiyaitucitra
quickbird
menunjukkanbahwaPulauTarakanbagianbarat memilikiluashutan mangrove sekitar703,6 Ha(Gambar 51).Mangrovetersebardisepanjangpesisirbarat pulau Tarakan. Mangrove terlihat
tebal
pada
sebagian
daerah
kecamatan
Tarakan
Timurdan
TarakanUtara,sedangkan kecamatan TarakanBaratdan Tengahumumnya tipis.
Gambar 51.
Sebaranmangrove di lokasipenelitianpantai baratPulauTarakan
83
Berdasarkananalisiscitramakakarbonstokekosistemmangrovedi lokasi penelitian sebesar 262.984,57 MgCsetaradengan 964.276,76MgCO2e. Analisis luasan dan sebaran mangrove di bagian
timur
pulauTarakanlebihrendahdibandingkanbaganbarat.Luasmangrovesebesar349,1Hayangtersebardi bagianutarapantaitimurpulauTarakandan sedikit dibagianselatan.
Gambar 52.
SebaranmangrovedilokasipenelitianpantaiTimurPulauTarakan
Berdasarkan analisis citra satelit quickbird yang diakuisisi pada tanggal 22April 2014 dan diperoleh dari Google Earth, luas mangrove di pulau Tarakan seluas 1.052,7 ha dengan karbon 84
stok yang tersimpan di tiga kolam yaitu bagian atas, bagian bawah dan sedimen sebesar 393.467,7 MgC setara dengan 1.442.715 MgCO2e. Secara keseluruhan nilai ekonomi berbasis karbon merupakan nilai tambah bagi ekosistem mangrove terutama terkait sebagai penyerap karbondioksida (perubahan iklim). Nilai yang riil dan bermanfaat langsung terhadap kehidupan masyarakat pesisir adalah dari sektor ikhtiofauna. Diketahui perairan Indonesia, 80 % dari ikan-ikan komersial yang tertangkap di daerah pesisir ternyata berhubungan erat dengan rantai makanan yang terdapat di ekosistem mangrove dan sekitar 70% dari siklus udang dan dan ikan-ikan yang tertangkap di daerah estuari berada di daerah mangrove (Soenoyo, 1989 dalam Arief, 2003). Jika diringkas jasa yang diberikan ekosistem mangrove dan keuntungannya dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 53.
JasaekosistemmangrovepulauTarakan(modifikasiNgoc,2015)
85
Gambar 54.
Peta Sebaran Ekosistem Pesisir Pada Lokasi Penelitian Di Kota Tarakan
4.1.2.1. Identifikasi Ekosistem Pesisir dan Laut Kota Manado/Bunaken Kawasan Taman Nasional Bunaken sebagai salah satu Kawasan Pelestarian Alam terdapat 24 desa, yang terdiri dari 10 desa berada dalam kawasan dan 14 desa berada yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Bunaken Kawasan Taman Nasional Bunaken ditunjuk sebagai Taman Nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.730/Kpts-II/1991 pada tanggal 15 Oktober 1991, dengan luas 89.065 Ha. Adapun wilayah Bunaken meliputi pulau-pulau Bunaken, Menado Tua, Siladen, Mantehage, Nain, pesisir Molas, Meras, Tongkaina, Towoho serta wilayah pesisir Arahan – Wawontulap. Sebagai salah satu dari kawasan pelestarian alam perairan laut di Indonesia, Taman Nasional Bunaken mempunyai fungsi sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan penduduk di dalam kawasan melalui pemanfaatan ekstraktif terbatas, tempat pelestarian jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Taman Nasional Bunaken adalah merupakan wilayah konservasi ikan keanekaragaman hayati, mengembangkan dan memperbaiki kesejahteraan penduduk lokal, serta mendukung pertumbuhan ekonomi regional dan nasional. Secara administratife, Taman Nasional Bunaken mempunyai luas (darat dan laut) 89.065 ha, yang mencakup Kabupaten Minahasa Utara, dan Kotamadya Manado. 86
Adapun wilayah Taman Nasional Bunaken meliputi kawasan pulau-pulau yakni Pulau Bunaken, Menado Tua, Siladen, Mantehage dan Pulau Nain. Juga meliputi kawasan pesisir yaitu pesisir Tongkaina – Tiwoho serta wilayah pesisir Arakan – Wawontulap. Dari luas total tersebut, sekitar 8.000 ha adalah terumbu karang dan 2.693 ha hutan mangrove. Taman Nasional Bunaken memiliki keanekaragaman hayati tinggi, yang terdiri dari 390 genus karang, ikan serta 341 genus moluska. Dalam pengelolaannya Taman Nasional Bunaken di bagi menjadi 2 seksi yaitu: 1.
Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I (Utara), yang meliputi Pulau Bunaken, Pulau Manado Tua, Pulau Siladen, Pulau Mantehage, Pulau Nain Besar, Pulau Nain Kecil dan daerah pesisir Desa Towoho.
2.
Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II (Selatan), yang meliputi pesisir Desa Poopoh, pesisir Desa Teling, pesisir Desa Kumu, pesisir Desa Pinasungkulan, pesisir Desa Arakan, pesisir Desa Sondaken, pesisir Desa Pungkol, pesisir Desa Wawontulap dan pesisir Desa Popareng. Taman Nasional Wilayah I terletak pada pemerintahan Kotamadya Manado yg berbatasan
dengan Pemerintahan Kabupaten Minahasa Utara (antara 10 35’ 41” – 10 32’ 16 N dan 1240 50’ 50” – 1240 49’ 22,6” E). Bagian Selatan adalah Taman Nasional Wilayah II yang berbatasan dengan pemerintahan Kabupaten Minahasa Selatan (10 24’ 0” – 10 16’ 44” – 1240 38’ 48,3” – 1240 32’ 22”). Akses menuju kawasan pulau pulau-pulau bagian utara dapat ditempuh dengan menggunakan perahu dari pelabuhan Manado selama 45 menit – 60 menit. Sedangkan untuk bagian selatan dapat ditempuh dengan menggunakan kendaran roda empat/ kendaraan umum dari Manado dengan jarak kira-kira 1,15 jam perjalanan. Di kawasan Taman Nasional Bunaken terdapat 3(tiga) jenis ekosistim pesisir yang utama yaitu: 1.
Hutan Bakau (Mangrove) Tumbuhan paling umum yang bisa ditemukan di kawasan Taman Nasional Bunaken
adalah bakau. Hutan bakau yang paling terbesar terdapat di pulau Mantehage dengan luas 1.435 Ha, dan diikuti oleh mangrove di pesisir Arakan – Wawontulap seluas 933 Ha. Mangrove disepanjang pesisir Arakan-Wawontulap didominasi oleh jenis lolaro (Rhizopora sp) dan posi-posi (Sonneratia sp) yang tumbuh ekstensif kearah laut.
87
Tabel 25.
Luasan Hutan Mangrove di Taman Nasional Bunaken
Lokasi P Mantehage Pesisir bagian Utara (Molas) Pesisir bagian Arakan-Wawontulap P. Bunaken P. Menado Tua P. Nain Total
Luas (Ha) 1.435,76 192,86 932,94 75,83 7,71 7 2.652
Sumber : Deleneasi peta zonasi TN Bunaken Tahun 2008
2.
Padang Lamun Padang lamun merupakan habitat penting bagi berbagai organism pesisir laut. Padang
lamun merupakan tempat pembesaran anakan ikan karang. Padang lamun juga djadikan makanan utama dari satwa duyung. Di Indonesia ada 12 jenis lamun, sedang di dunia ada 55 jenis lamun ( Nontji, 1987). Dari ke 12 jenis lamun di Indonesia ada 9 jenis lamun dtemukan di Taman Nasional Bunaken dengan total individu sebanyak 64.786 rumpun. Kesembilan jenis lamun tersebut tergolong ke dalam 7 marga. 3.
Terumbu karang Terumbu karang sebagai salah satu ekosistem yang ada di Taman Nasional Bunaken
memberikan peranan tidak sedikit. Masyarakat desa yang berada di dalam dan sekitar, bahkan diluar taman Nasional Bunaken mengantungkan hidupnya pada terumbu karang sebagai tempat menangkap ikan. Selain itu terumbu karang yang ada di Taman Nasional merupakan tempat tujuan wisata, khususnya wisata bahari (menyelam) dan melindungi garis pantai dan abrasi. Kawasan Taman Nasional Bunaken dengan ekosistem utamanya terumbu karang memiliki peran sangat penting dari segi ekologis dan ekonomi. Peranan ekologis yang diberikan antara lain melindungi pantai dari hempasan ombak dan arus kuat, habitat, tempat mencari makanan, tempat asuhan dan tumbuh besar serta tempat pemijahan berbagai biota laut. Peranan ekonomis antara lain sebagai sumber mata pencaharian nelayan, bahan baku industry farmasi, bahan konstruksi dan perhiasan serta sebagai tujuan wisata dan rekreasi yang menarik. Namun demikian, keberadaan ekosistem terumbu karang dewasa ini semakin mengalami tingkat penurunan yang sinifikan. Hal ini disebabkan oleh kerusakan akibat tangan manusia dan juga factor alam. Taman Nasional Bunaken mempunyai luas tutupan terumbu karang mencapai 11.709,88 ha.
88
Jenis terumbu karang utama Taman Nasional Bunaken adalah terumbu tepi. Terumbu tepi adalah terumbu yang tumbuh sepanjang garis pantai atau di sekeliling pulau. Sebagian terumbu di Pulau Mantehage merupakan terumbu penghalang ( barrierreff). Terumbu penghalang terpisah dari garis pantai oleh kolam (laguna). Lebih dari 58 genus dan sub genus karang keras yang telah diidentifikasi yang ada di Nasional Bunaken. Ini tiga kali lebih banyak daripada terumbu karang di daerah Karibia yang terkenal. Sebagian besar karang hidup pada kedalaman hingga 30 m. Semua karang yang bersimbiosis dengan zooxanthellae hanya bisa hidup di tempat yg tembus sinar matahari. Keragaman karang tertinggi biasanya terdapat pada kedalaman 5 meter hingga 15 meter. Juga terdapat karang yang tidak memerlukan sinar matahari untuk hidup, atau dapat hidup ditempat yang gelap. Karang batu, baik yang mati atau yang hidup, merupakan blok pembangun suatu terumbu, dan menyediakan struktur pokok serta habitat (tempat hidup) bagi berbagai jenis mahluk terumbu. Dan polip karang juga menjadi makanan utama bagi beberapa jenis ikan, seperti ikan kupu-kupu dan ikan kakatua. Karang batu terdiri dari polip-polip yang menghasilkan rangka kapur untuk tempat hidupnya. Karang batu merupakan pembangun utama terumbu. Sebagian besar karang membentuk koloni, tetapi ada juga karang soliter (tunggal) seperti karang cendawan. Karang batu memiliki berbagai bentuk pertumbuhan. Karang batu dapat dikelompokan sesuai bentuk pertumbuhannya, yaitu :karang bercabang, karang kerak, karang massif/padat, karang sub-massif, karang blok, karang daun dan karang cendawan. Keindahan tersebut tentunya membuat Taman Nasional Bunaken banyak dikunjungi oleh wisatawan baik lokal maupun asing. Hal ini tentunya berdampak positif bagi perkembangan perekonomian di daerah tersebut. Disisi lain perkembangan Bunaken sebagai obyek pariwisata yang menarik membuat keseimbangan ekosistem di perairan Bunaken menjadi berkurang. Hal ini terutama terjadi pada terumbu karang, yang menjadi wisata utama di Bunaken. Tabel 26.
LuasTerumbu karang kawasan Taman Nasional Bunaken
Daerah/Pulau P. Bunaken P. Manado Tua P. Mantehage P. Nain P. Siladen Pesisir Utara Pesisir Selatan Total Luas
Lereng 26,6 15,0 90,5 107.7 5.4 20,6 134,8 400,6
Luas masing-masing bagian Terumbu Daratan Goba 539,6 3,8 346,09 2.225,58 129,8 2.072,36 375,9 208,27 920,5 4.487,38 10.799,78 509,5
Luas Total(Ha) 570 361,09 2.445,88 2.555,96 213,67 941,1 4.622,18 11.709,88
Sumber: Buku panduan lapangan Taman Nasional Bunaken 89
Dalam rangka perlindungan terumbu karang, selama kurun waktu 10 tahun terakhir telah dilakukan kegiatan pengelolaan kawasan konservasi ekosistim terumbu karang. Kegiatan yang dilakukan antara lain: - Pengamanan kawasan terumbu karang dengan menyediakan atau menyisihkan sebagian kawasan konservasi laut yang luasan memiliki nilai biodiversitas tinggi dengan target luasan 10.000.000 ha. - Meningkatkan jumlah petugas pelaksana di lapangan - Pemanfaatan sumberdaya terumbu karang untuk perikanan antara lain pemanfaatan karang secara langsung sebagai komoditas ekspor walaupun pengawasannya masih perlu ditingkatkan, pelarangan kegiatan ekploitasi pengambilan karang, pasir laut dan biota laut. - Peningkatan kesadaran dan peran masyarakat. Dalam upaya pelestarian ekosistim terumbu karang, Balai taman Nasional Bunaken membuat program rehabilitasi karang dengan membuat karang buatan. Pembuatan terumbu karang buatan merupakan salah satu upaya rehabilitasi lingkungan. Hal ini dlakukan untuk menggantikan fungsi tertentu terumbu karang dan meningkatkan sumber daya ikan. Jenis ikan karang yang terdapat di dalam Kawasan Taman Nasional Bunaken diperkirakan ada 2.000 jenis ikan karang yang hidupnya bergantung pada terumbu karang (Metha, 1999). Selain ikan yang ada disekitar terumbu karang juga terdapat penyu walaupun jumlahnya tidak banyak. Kemudian mamalia laut seperti dugong dan lumba-lumba, dugong merupakan satwa keluarga sapi laut, jenis ini tergolong satwa yang sulit diteliti dan belum pernah diketahui secara umum informasi biologi dan ekologinya. Lumba-lumba dengan berbagai jenis spesies sering muncul menampakan dalam kelompok 100 ekor dengan lebih dari 3 spesies yang berbeda. Di wilayah pesisir selatan TN Bunaken juga di terdapat molusca dengan spesies yang telah teridentifikasi sebanyak 75 spesiesdari 34 famili. 4.
Peta Sebaran Ekosistem Hutan Mangrove di Kawasan Bunaken dikelaskan menjadi 3 kelasan yaitu: mangrove jarang
seluas 41.580 Ha, mangrove sedang seluas 19.440 Ha dan mangrove rapat seluas 1735.830 Ha. Di kawasan ini kelas mangrove rapat masih terjaga kelestariannya. Habitat perairan dangkal di kawasan Bunaken didominasi oleh kelas karang mati seluas 2390.671 Ha, sedangkan karang hidup seluas 981.721 Ha, terdapat juga pecahan karang yang bercampur dengan pasir seluas 1099.980 Ha dan hamparan alga seluas 612.180 Ha.
90
Tabel 27.
Klasifikasi Ekosistem di Bunaken Berdasarkan Hasil Analisis Citra
Habitat Perairan Dangkal Kelas Luas (Ha) Karang Mati 2390.671 Pasir dan Pecahan Karang 1099.980 Alga 612.180 Karang Hidup 981.721
Gambar 55. 4.1.2.2.
Mangrove Kelas Mangrove Jarang Mangrove Sedang Mangrove Rapat
Luas (Ha) 41.580 19.440 1735.830
Peta sebaran ekositem pada Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara Identifikasi Ekosistem Pesisir dan Laut Kabupaten Gorontalo Utara
Kabupaten Gorontalo Utara mempunyai luas wilayah 1.777,02 km2 atau 177,702 Ha dan luas Laut 119.596,57 Ha (4 mil laut) dan 276.745,03 Ha (12 mil laut) serta mempunyai panjang garis pantai 317,39 Km (Tabel 28). Kabapaten Gorontalo Utara memiliki 52 Pulau. Dari 11 kecamatan, semuanya merupakan kecamatan yang berada pada wilayah pesisir (Bappeda Kabupaten Gorut, 2015).
91
Tabel 28. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Panjang Garis Pantai Berdasarkan Kecamatan di Kabupaten Gorontalo Utara, 2015
Kecamatan Antingola Gentuma Raya Tomilito Ponelo Kepulauan Kwandang Anggrek Monalo Sumalata Timur Sumalata Biau Tolingua TOTAL
Panjang Garis Pantai (km) 15,897083 11,623694 37,148347 28,713068 18,12959 68,621126 40,206262 22,220694 52,922092 7,688487 14,227157 317,3976
Sumber : Bappeda Kabupaten Gorontalo Utara, 2015
Sektor perikanan dan kelautan dijadikan sektor unggulan, karena semua wilayah kecamatan di Kabupaten Gorontalo Utara memiliki daerah pesisir yang sangat potensial dikembangkan. Ekosistem utama di Kabupaten Gorontalo Utara adalah ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun. Kondisi ekosisitem mangrove dan padang lamun memiliki tingkat keanekaragam yang rendah, keberadaan spesies hampir merata dan tidak ada dominasi spesies. Luas hutan mangrove dan kondisi hutan mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara disajikan pada Tabel 29 dan Gambar 56. Ekosistem terumbu karang secara keseluruhan memiliki kisaran kondisi buruk/rusak hingga baik, namun rata-rata dalam kondisi sedang/moderat. Luas terumbu karang GORUT mencapai 3.294,72 Ha (Bappeda Kabupaten Gorontalo Utara, 2015). Tabel 29. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Luas Hutan Mangrove Berdasarkan Kecamatan di Kabupaten Gorontalo Utara, 2015
Luas (Ha) 316.78 124.11 99.64 236.01 478.16 70.45 136.03 1,089.30 16.80 20.22 2,587.50
Kecamatan Kec. Monalo Kec. Ponelo Kepulauan Kec. Atingola Kec. Tomilito Kec. Kwandang Kec. Biau Kec. Sumalata Kec. Anggrek Kec. Tolinggula Kec. Sumalata Timur
Sumber : Bappeda Kabupaten Gorontalo Utara, 2015
92
Gambar 56.
Kondisi Ekosistem Mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara, 2015 Sumber : Bappeda Kabupaten Gorontalo Utara, 2015
Ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun mempunyai keterkaitan ekologis (hubungan fungsional), baik dalam nutrisi terlarut, sifat fisik air, partikel organik, maupun migrasi satwa, dan dampak kegitan manusia. Oleh karena itu apabila salah satu ekosistem tersebut terganggu, maka ekosistem yang lain juga ikut terganggu. Interaksi yang harmonis antara ketiga ekosistem ini harus dipertahankan, agar tercipta sinergi keseimbangan lingkungan. Kondisi ekosistem terumbu karang di Kabupaten Gorontalo Utara terdiri dari karang mati dan karang hidup yang berbeda proporsinya di setiap pulau (Gambar 57).
Gambar 57.
Kondisi Tutupan Karang di Kabupaten Gorontalo Utara, 2015 Sumber : Bappeda Kabupaten Gorontalo Utara, 2015
Penebangan hutan mangrove untuk pemukiman, pembukaan lahan pemukiman, perkantoran, pertanian dan pertambakan dapat mengakibatkan erosi sehingga mengeruhkan perairan. Pengaruhnya ini akan berdampak pada ekosistem lamun dan terumbu karang yang ada disekitarnya. Proses fotosintesis akan yang berjalan akan terhambat. Selain pemanfaatan mangrove yang merusak lingkungan, pemanfaatan lamun dengan cara yang sama akan menyebabkan sedimentasi, mengingat bahwa lamun mempunyai rhizoma yang saling menyilang yang berfungsi untuk mengikat sedimen di dasar
93
Wilayah pesisir dan laut Gorontalo utara mempunyai kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiviersity) cukup lengkap, yang tercermin pada keberadaan ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan berjenis-jenis ikan, baik ikan hias maupun ikan konsumsi. Hutan mangrove merupakan ekosistem khas wilayah tropika yang unik dalam lingkungan hidup, yang memiliki formasi perpaduan antara daratan dan lautan. Adanya pengaruh laut dan daratan sehingga terjadi interaksi kompleks antara sifat fisika dan sifat biologi. Mangrove tergantung pada air laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu (sedimentasi) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Proses dekomposisi serasah mangrove yang terjadi mampu menunjang kehidupan mahluk hidup di dalamnya. Hutan mangrove mempunyai manfaat ganda dengan pengaruh yang sangat Iuas apabila ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Konversi dan pemanfaaatan hutan mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara dengan cara menebang hutan dan mengalihkan fungsinya ke penggunaan lain akan membawa dampak yang sangat luas. Pengambilan hasil hutan dan konversi hutan mangrove menjadi daerah pertambakan dapat memberikan hasil kepada pendapatan masyarakat dan kesempatan meningkatkan kerja. Namun di pihak lain, terjadi penyusutan hutan mangrove, dimana pada gilirannya dapat mengganggu ekosistem perairan kawasan sekitarnya seperti perubahan produksi kepiting, produksi ikan dan satwa. Responden petambak yang diambil untuk kepentingan penelitian dilakukan di Desa Motinelo dan Desa Katialada. Seiring dengan meningkatnya aktivitas masyarakat di wilayah pesisir dan kebutuhan yang tinggi menyebabkan hutan mangrove mengalami tekanan yang dapat mengancam keberadaan dan fungsinya. Pada 5 Desa di wilayah pesisir Kwandang ditemukan 16 spesies tumbuhan mangrove. Nilai ekologis hutan mangrove selain bersumber dari vegetasi mangrove juga dapat dilihat dari fauna hutan mangrove. Diketahui bahwa wilayah mangrove merupakan daerah perawatan dan tempat makan bagi sejumlah spesies kepiting, ikan, dan udang. Kehadiran kepiting di daerah mangrove dapat dipengaruhi oleh jumlah tumbuhan mangrove yang terdapat didalamnya. Semakin tinggi jumlah individu dan luas tutupan tumbuhan mangrove, dapat memberikan kontribusi bagi aktivitas kepiting yang hidup dibawah tegakan tersebut.
94
1.
Peta Sebaran Ekosistem Dilihat dari klasifikasi citra satelit Landsat 8, Kelas mangrove di kawasan Gorontalo Utara
dibagi ke dalam 3 kelas yaitu: mangrove jarang seluas 202.230 ha, mangrove sedang seluas 95.400 ha dan mangrove rapat seluas 2708.640 ha. Mangrove dengan kategori rapat mendominasi di daerah ini mengindikasikan masih terjaganya kelestarian hutan mangrove di daerah ini. Daerah ini merupakan kawasan yang terdapat banyak pulau pulau kecil yang menjadi barrier terhadap kawasan pantai di daratan Gorontalo Utara sehingga kawasan mangrove di daratan cukup terlindungi dari gempuran ombak.
Gambar 58.
Peta Sebaran Ekosistem pada Pesisir Gorontalo Utara
Habitat perairan dangkal di kawasan Gorontalo Utara ini didominasi oleh kelas karang mati seluas 1541.971 ha, kemudian karang hidup seluas 1335.782 ha, terdapat juga pecahan karang yang bercampur dengan pasir seluas 613.981 ha dan hamparan alga seluas 891.002 ha. Habitat karang hidup tersebar di beberapa pulau di kawasan Gorontalo Utara ini.
95
Tabel 30.
Klasifikasi Ekosistem di Gorontalo Utara Berdasarkan Hasil Analisis Citra
Habitat Perairan Dangkal Kelas Luas (Ha) Karang Mati 1541.971 Pasir dan Pecahan Karang 613.981 Alga 891.002 Karang Hidup 1335.782 2.
Mangrove Kelas Mangrove Jarang Mangrove Sedang Mangrove Rapat
Luas (Ha) 202.230 95.400 2708.640
Identifikasi Sosial Budaya Masyarakat Pesisir Fenomena sosial yang menjadi fokus penelitian adalah hubungan sosial dan peran
kelembagaan lokal yang ada di masyarakat. Pembatasan focus penelitian pada hubungan sosial dan peran kelembagaan didasarkan pada asumsi bahwa hubungan sosial pada masyarakat nelayan merupakan sebuah collective action yang tercipta secara evolutif sebagai sebuah reaksi atas keberadaan kondisi sumberdaya yang dinamis. Tindakan ini mampu menjadi suatu sistem jaminan ekonomi bagi masyarakat untuk dapat menjaga keberlangsungan penghidupannya. Oleh karenanya, melalui gambaran hubungan tersebut, ternilai fungsi keberadaan sumberdaya terhadap sebuah tatanan hubungan sosial dalam masyarakat dalam rangka menciptakan jaminan ekonomi. Dalam pengaturan hubungan sosial tersebut, pasti berperan sebuah kelembagaan yang menggerakkan berfungsinya sebuah hubungan. Tidak hanya itu, kondisi sebaliknya juga akan berlaku, dimana keberadaan sumberdaya mempunyai peran dalam terbentuknya sebuah kelembagaan masyarakat dalam mengatur perilaku anggotanya. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa keberadaan sumberdaya dapat memberi nilai dalam mengembangkan kelembagaan. Untuk mengetahui hal tersebut, selain mengkaji aturan-aturan yang telah menjadi kesepakatan lokal perlu juga mengidentifikasi budaya-budaya dominan yang terkait dengan kegiatan usaha perikanan. Data ini berfungsi untuk memberikan penjelas bagi terbentuknya nilai-nilai dalam hubungan sosial dan kelembagaan tersebut. 4.1.3. Identifikasi Sosial Budaya Masyarakat Pesisir WPP 714 4.1.3.1 Identifikasi Sosial Budaya Masyarakat Pesisir Kabupaten Wakatobi A.
Struktur Sosial Masyarakat Wakatobi
Sistem Pemerintahan Adat dan Pelapisan Sosial Kondisi sosial budaya masyarakat di wilayah wakatobi dipengaruhi oleh masa kesultanan buton. Oleh karena itu mengenal sejarah kesultanan buton pada wilayah wakatobi penting sebagai benang merah memahami sosial budaya dan adat yang ada dimasyarakat. Terlebih 96
pemerintah daerah memutuskan untuk mengembangkan kembali nilai-nilai adat istiadat yang telah hilang semenjak tahun 1958 setelah dihapus secara perlahan oleh rezim pemerintahan orde lama dan orde baru (FGD Forkani 22 Oktober, 2015). Pada masa lalu masyarakat di tempatkan berdasarkan tiga kelas yaitu kaumu atau kaum bangsawan, walaka atau kaum menengah dan mahardika atau masyarakat awam. Penempatan seseorang dalam strata tersebut merupakan pembagian peran-peran dalam kehidupan bermasyarakat. Kaum bangsawan merupakan kaum yang dapat menjalankan fungsi pemerintahan sehingga jabatan-jabatan strategis pemerintahan harus dipimpin oleh kalangan ini. Pada strata dibawahnya yaitu walaka juga memiliki fungsi didalam pemerintahan dengan peranan yang berbeda. Walaka lebih memainkan peran sebagai pengimbang pemerintah dan masyarakat, penghubung antara kaum bangsawan dengan masyarakat awam. Ia memiliki fungsi eksekutif yang lebih rendah dan sekaligus fungsi legislatif. Terkait dengan peran dan fungsi strata akan dibahas lebih lanjut setelah memahami dahulu mengenai sistem pemerintahan yang ada pada saat tersebut. Hasil Penelitian pada tahun 2013 Masyarakat Wakatobi terdiri dari beberapa etnis yaitu etnis wakatobi sebanyak 91,33%, bajo sebanyak 7,92 % dan etnis lainnya yaitu Bugis, Buton dan Jawa sebanyak 0,75 %. Etnis Buton Wakatobi merupakan penduduk asli wakatobi yang terbagi menjadi berbagai masyarakat adat yaitu : -
Masyarakat adat Wanse, Mandati, liya dan Kapota mendiami wilayah Pulau Wangi-Wangi dan Pulau Kapota.
-
Masyarakat adat Kahedupa, Ollo, Watole, Lewuto, dan Laolua yang mendiami Pulau Kaledupa
-
Masyarakat adat Waha, Tongano dan Timu menghuni pulau Tomia
-
Masyarakat Adat Mbeda-beda dan Cia-Cia menghuni Pulau Binongko Masyarakat adat tersebut berada dalam satu pemerintahan adat yaitu Barata Kahedupa.
Wilayah wakatobi merupakan barata yang menginduk pada kesultanan buton. Barata dipimpin oleh seorang miantu’u yang disebut miantu’u kahedupa. Miantu’u merupakan jabatan yang hanya boleh diduduki oleh kalangan kaumu. Pemilihan Miantu’u dilakukan atas dasar musyawarah Bonto atau pejabat wilayah yang dibagi menjadi wilayah timur (umbosa) dan barat (siofa) yang masing-masing dikepalai oleh bonto tooge yang hanya bisa dijabat oleh kalangan walaka. Dengan demikian kalangan walaka memainkan peran besar dalam pemilihan Miantu’u
meski tidak
memilki hak untuk dipilih. Bontotooge membawahi beberapa limbo yang dikomandoi oleh bontona yang juga dipilih dari kalangan walaka. Namun demikian beberapa limbo yang dinilai strategis dipimpin oleh kaumu sehingga disebut pula miantu’u namun pada skala wilayah yang setara dengan limbo. 97
Meski menginduk pada kesultanan Buton, Barata kahedupa tidak otomatis merupakan sistem yang tergantung dengan kesultanan Buton. Barata Kahedupa tetap merupakan sistem pemerintahan yang independen (FGD Forkani 22 Oktober, 2015). Analogi sistem pemerintahan yang ada saat ini dekat dengan daerah otonom atau negara bagian yang memiliki kebebasan didalam mengatur urusan rumah tangga dalam negeri. Barata Kahedupa memiliki tanggung jawab untuk mengatur pemerintahan secara umum pada seluruh wilayah kahedupa termasuk pada wilayah darat dan laut. Pada wilayah laut, kewenangan barata mencakup perairan dalam yaitu dimulai dari 4 meter semenjak tubir di pesisir pantai. Pada wilayah laut Barata mengurusi masalah keamanan wilayah dan pengelolaan sumberdaya yang ada didalamnya termasuk sistem perpajakan yang harus diberikan oleh Bonto kepada Barata. Pejabat yang bertanggungjawab dalam hal pengurusan laut dinamakan laksamana. Salah satu implementasi pengaturan wilayah laut adalah pengaturan masyarakat bajo. Kedatangan masyarakat Bajo di wilayah Barata Kahedupa pada tahun 1800-an M diberi ijin tinggal dan hanya boleh melakukan penangkapan ikan di wilayah karang terluar dengan syarat juga turut menjaga perairan wilayah tersebut. Selain itu mereka juga harus mengawasi wilayah laut khususnya dari kedatangan pihak asing. Kejadian yang terjadi dimasa kepemimpinan Miantu’u Kahedupa ke 8 ini menunjukkan adanya peran aktif pemerintahan saat itu didalam mengelola laut (FGD Forkani, 2015). Sistem religi dan pandangan hidup masyarakat Wakatobi Masyarakat adat wakatobi merupakan masyarakat tradisional yang terikat dengan sistem religi dan tradisi nenek moyang. Sebagai sebuah wilayah dibawah kesultanan Buton yang bersendikan nilai-nilai Islam, maka pandangan hidup masyarakat wakatobi pun dipengaruhi oleh nilai-nilai agama Islam. Selain agama Islam, tradisi asli masyarakat wakatobi sebelum datangnya Islam pun masih membekas dalam norma-norma kehidupan masyarakat kahedupa. Sebuah falsafah hidup yang cukup berpengaruh terhadap setiap sendi kehidupan masyarakat wakatobi adalah “kahedupa gau satoto”. Gau berarti ucapan dan satoto berari lurus, jadi gau satoto artinya kesamaan antara kata-kata dan perbuatan (......, 2013) atau menyatunya hati, perasaan dan perbuatan (FGD Forkani, 2015). Gau satoto terdiri dari 5 prinsip yaitu tara (keteguhan), turu (kesabaran), toro (komitmen), taha (keberanian) dan toto (kejujuran). Implikasi dari falsah ini, diantaranya adalah apa yang dihasilkan oleh musyawarah itulah yang harus dilaksanakan, dan apa yang diucapkan taruhannya nyawa. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat wakatobi adalah masyarakat yang sangat memegang teguh komitmen. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya laut, hal ini merupakan modal sosial yang sangat bernilai untuk menjalankan sebuah aksi kolektif yang terencana dan terprogram dengan baik. 98
Selain itu, masyarakat wakatobi merupakan masyarakat yang mandiri dan egaliter. Hal ini tercermin dalam filosofi “Kahedupa Tenirabu Teandi-andi Nuwolio” yang artinya
Kahedupa
setingkat dan sederajat dengan Nuwilo atau Kesultanan Buton (meskipun ada dalam pemerintahan Kesultanan Buton), artinya bahwa mereka semua merasa bersaudara dan sederajat, mereka tiak mau dijajah oleh bangsa lain. Hal ini juga akan berimplikasi positif dalam pengelolaan sumberdaya, karena masyarakat wakatobi mempunyai kepercayaan diri yang cukup kuat untuk mampu mengelola sumberdaya tersebut secara mandiri. Yang diperlukan adalah bagaimana membuat konsep pengelolaan yang terencana dan terprogram untuk diberlakukan pada masyarakat wakatobi. Masyarakat wakatobi pun merupakan masyarakat yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi. Bagi mereka, yang mempunyai kekayaan alam itu adalah bumi tempat berpijak. Oleh karenanya, jika seseorang menginginkan hasil bumi yang terdapat di wilayah milik orang lain, maka dia bisa mengambilnya dengan cukup mengatakan “saya ingin ...... (menyebutkan nama hasil bumi yang akan akan diambil) untuk makan”, maka mereka sudah boleh mengambilnya dengan jumlah yanng sewajarnya. B.
Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber daya Selain filosofi hidup diatas, masyarakat wakatobi mempunyai beberapa kearifan terkait
dengan pemanfaatan sumberdaya laut, yaitu: -
Larangan makan komoditas ikan tertentu. Salah satu keturunan-keluarga tidak boleh makan spesies tertentu. Masyarakat kaledupa pada umumnya mempunyai larangan makan ikan tertentu berdasarkan jenis ikan yang dilarang dari keturunan orang tuanya. Jadi satu orang bisa terkena larangan lebih dari dua jenis ikan. Biasanya jenis ikan yang dilarang tersebut adalah dari jenis ikan tertentu diantaranya adalah sunu merah (sulira), barakuda, kakap merah besar, hiu, salla, sori, onuhi, pari bakau, talantala, dan katamba karang. Hal ini merupakan upaya pembatasan penangkapan komoditi tertentu.
-
Pada alat tangkap sero, pemilik harus menyisakan hasil tangkapannya untuk diambil oleh masyarakat yang membutuhkan. Implementasi dari falsafah tak ada yang kelaparan di tanah wakatobi, diantaranya adalah jika seseorang ingin mengambil ikan untuk makan dari sero milik orang lain, maka hal itu diperbolehkan asalkan dia mengambil dengan cara menghadap ke daratan dan meninggalkan jejak berupa apa saja yang disimpan diatas sero.
99
-
Koiyaa, atau pesta panen pertama pada alat tangkap lamba. Panen pertama ini harus dimakan bersama, baru pada panen ke dua boleh dipanen oleh kelompok pemilik lamba tersebut. Lamba adalah alat tangkap tradisional yang digunakan oleh nelayan wakatobi.
-
Wilayah penancapan bubu dan sero merupakan wilayah yang dikuasai oleh pemilik alat tangkap tersebut untuk pertama kalinya. Jika seseorang menancapkan bubu/sero di wilayah orang lain, maka pemilik lahan dapat mengambil hasilnya.
-
Tempat memasang sero tidak boleh terlalu dekat, harus ada jarak untuk jalur perjalanan.
-
Tanaman yang terdapat di daerah aliran sungai dengan jarak kurang dari 4 meter tidak boleh ditebang, karena jika ditebang akan terjadi pendangkalan laut.
-
Laut bagi masyarakat Wakatobi tidak hanya sebagai sebagai sebuah karunia yang diberikan Alloh sebagai sumber kehidupan, namun laut juga dipercaya mempunyai kekuatan sakral yang harus dijaga dan dihormati. Oleh karenanya, di beberapa daerah terdapat beberapa tempat yang dianggap sakral misalnya di wilayah mangrove desa Kaswari terdapat onituladonda (penguasa mangrove) sehingga di wilayah tersebut tidak diperbolehkan kegiatan yang merusak atau berkata kasar.
C.
Nilai Sosial Masyarakat Wakatobi dalam Pengelolaan sumberdaya Nilai sumberdaya terhadap pola hubungan antara pelaku usaha perikanan dalam penelitian
ini terbagi berdasarkan ekosistem yang terdapat di Wakatobi, yaitu ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang. Nilai sosial dalam penelitian ini terbagi menjadi nilai material, nilai vital dan nilai spiritual. Nilai spiritual terbagi lagi menjadi nilai estetika, nilai moral, nilai religius dan nilai logika. a.
Nilai ekosistem mangrove Keberadaan hutan mangrove di wilayah pesisir telah menciptakan keterikatan yang
kuat antara masyarakat dengan ekosistem mangrove tersebut. Masyarakat mengambil manfaat dari hutan mangrove berupa kayu bakar, pencari kepiting dan biota lainnya, sebagai tambatan perahu, penangkal abrasi pantai, dan penahan angin dan gelombang. Salah satu pemanfaat ekosistem mangrove adalah para pencari kepiting di Desa Lampara dan Desa Haruo Kecamatan Kaledupa. Istilah lokal untuk para pencari kepiting ini adalah lahate koniki, dimana konikisu merupakan nama lokal untuk kepiting bakau. Selain manfaat ekonomi yang didapat dari keberadaan hutan mangrove, secara tidak langsung hutan mangrove pun telah menciptakan manfaat-manfaat sosial, diantaranya adalah:
100
1.
Adanya ikatan emosional antar para nelayan kepiting. Ikatan ini ditunjukkan oleh saling membantu dalam melakukan pencarian kepiting, misalnya saling meminjamkan alat penangkapan, saling mengajak, memakai perahu secara bersama-sama. Rasa kebersamaan ini menjadi spirit bagi kaum ibu untuk menangkap kepiting. Am (46 tahun) salah seorang perempuan pencari kepiting menyebutkan bahwa jika bersamasama lebih terasa senang, tapi jika sendiri rasanya ingin cepat pulang. Mereka mencari kepiting di pagi hari, ketika air masih surut yaitu sekitar pukul06:00– 10:00. Dalam satu kali penangkapan bisa mendapatkan 2 – 5 ekor kepiting, dengan nilai Rp. 250.000 - Rp. 500.000 per trip. Dalam satu minggu mereka menangkap 2-3 kali. Kebersamaan ini terutama terlihat pada para wanita pencari kepiting yang memakai alat kai-kai, yaitu besi panjang yang ujungnya dibuat melengkung. Alat yang sering dipakai oleh masyarakat Desa Lampara Kaledupa dalam mencari kepiting ada 3 jenis yaitu bubu, jaring dan kai-kai. Bubu dan jaring lebih sering dipakai oleh lahate koniki laki-laki, sedangkan perempuan menggunakan kai-kai. Rasa kebersamaan yang berawal dari keberadaan kepiting di mangrove ini dapat dikatakan sebagai nilai spirit bagi kaum wanita nelayan untuk mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Kebersamaan ini menjadi bernilai karena memenuhi kebutuhan spiritual para wanita nelayan.
2.
Nelayan dan pedagang pengumpul telah terbentuk hubungan yang mereka sebut “hubungan bapak angkat”, dimana pedagang pengumpul memberikan bantuan berupa uang dengan imbalan adanya jaminan suply kepiting yang akan dia dapat dari nelayan, sementara bagi nelayan dia mendapatkan jaminan pasar dan jaminan sumber pinjaman ketika mereka membutuhkan uang. Uang yang diberikan oleh pengumpul ini bukan semata-mata untuk modal, karena mencari kepiting tidak membutuhkan biaya yang besar, namun digunakan untuk keperluan kehidupan yang lain. Di satu sisi, ikatan ini mejadikan nelayan tidak mempunyai posisi tawar yang baik untuk menentukan harga kepitingnya, namun di sisi lain jaminan pembiayaan dan pasar merupakan manfaat yang mempunyai nilai tersendiri bagi nelayan. Selain itu adanya hubungan ini, relatif telah menekan ketergantungan nelayan dari pelepas uang yang mengenakan bunga yang cukup tinggi.
3.
Keberadaan ekosistem mangrove mempunyai nilai religi tersendiri bagi sebagian masyarakat di Kaledupa. Di daerah Kaswari ada kepercayaan yang disebut onituladonda yaitu penunggu hutan mangrove sehingga di daerah tersebut tidak boleh melakukan kegiatan yang merusak misalnya menebang pohon mangrove, atau pun berkata kasar dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma sosial. Jika 101
melanggar akan akan terkena musibah baik itu ditimpa penyakit atau pun paceklik yang berkepanjangan. Manfaat yang diperoleh dari keyakinan ini adalah terpeliharanya hutan mangrove di kawasan tersebut, sehingga biota yang ada di sekitar hutan mangrove dapat terpelihara dan dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. b.
Nilai sosial ekosistem lamun Salah satu kegiatan yang sering dilakukan di kawasan ini adalah kegiatan budidaya
rumput laut dan nelayan sero. Kegiatan rumput laut banyak dilakukan oleh nelayan di Desa Liya Bahari di Kabupaten Wangi-Wangi Selatan, sedangkan nelayan sero banyak dilakukan oleh nelayan di Desa Peropa Kecamatan Kaledupa. Beberapa manfaat sosial dari keberadaan ekosistem lamun terkait dengan usaha budidaya rumput laut dan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan sero diantaranya adalah: 1.
Berkurangnya arus tenaga kerja ke luar negeri Menurut salah satu informan Azhar (33 th) pada tahun 1990 an masyarakat di Desa Liya masih banyak yang berdagang atau pun bekerja di Malaysia, namun setelah rumput laut mulai berkembang di daerah tersebut dan harganya membaik masyarakat tidak lagi merantau ke malaysia tapi beralih menjadi pembudidaya rumput laut. Hal ini berdampak positif karena suasana desa menjadi ramai dan ikatan keluarga pun semakin membaik.
2.
Munculnya kelompok pembudidaya, dimana tidak saja menyelesaikan permasalahan budidaya tapi telah tumbuh ikatan emosional dan solidaritas antar anggota. Kelompok Laguli I, merupakan kelompok pembudidaya rumput laut yang cukup aktif. Kelompok ini tidak mengandalkan bantuan dalam aktifitasnya. Setiap bulan rapat untuk menyelesaikan permasalahan rumput laut dan permasalahan kemasyarakatan lainnya. Aktifitas lain adalah pengadaan tabungan kelompok, dimana setiap minggunya mereka harus mengumpulkan uang sebesar Rp. 25.000/orang/minggu dengan dana awal Rp. 100.000/orang. Dana tersebut sudah termasuk Rp. 25.000,- untuk tabungan dan Rp. 5000,- untuk konsumsi rapat. Dana tabungan bisa dipinjam lagi oleh anggota untuk keperluan kesehatan dan biaya sekolah anggota keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan rumput laut telah menumbuhkan nilai solidaritas dan kebersamaan.
3.
Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan sero merupakan kegiatan yang tidak bisa dilakukan sendiri. Sero adalah alat tangkap ikan berupa jaring yang dibentuk seperti corong, yang di dalamnya ada kantung berupa jebakan. Ukuran sero barvariasi sektar 10 – 20 meter dengan lebar 7-10 meter. Sero ditancapkan di wilayah yang 102
diperkirakan menjadi tempat migrasinya ikan. Wilayah penancapan sero di wakatobi menjadi hak guna pakai bagi nelayan yang pertama kali menancapkan seronya di sana. Wilayah ini dapat disewakan, diperjualbelikan atau diwariskan.
D.
Nilai Kelembagaan Adat terhadap Sumberdaya Pesisir Peran Miantu’u pada masyarakat adat wakatobi cukup besar dalam hal pengelolaan
sumberdaya. Hal ini ditunjukkan oleh peran miantu’u liya di Kecamatan Wangi-Wangi. Hal yang menarik adalah pengakuan masyarakat yang cukup kuat terhadap Miantu’u liya meskipun Miantu’u Liya sudah tidak aktif dalam kurun waktu setengah abad. Hal ini terbukti dari efektifnya sumpah Miantu’u Liya yang dilakukan. Sumpah ini baru pertama kali dilakukan setelah Tahun 1952. Sumpah tersebut berisi kutukan pada siapa saja yang melakukan perusakan lingkungan baik di darat maupun di laut. Sumpah ini berbunyi : ........ kalau anda tidak taat pada aturan sara dimanapun akan terkena musibah, di laut akan ditelan atau dibinasakan ,ikan besar di darat akan ditelan binatang luas, atau dijatuhi pohon besar. Jika hujan besar jika berlindung di tebing akan dijatuhi tebing disambar petir dan turunan akan terkutuk sela 7 turunan. Apa yang diucapkan disaksikan oleh Alloh SWT. Kalo melanggar jika ada kawinan tidak dihadiri, jika meninggal tidak akan diurusi tradisi adatnya hanya diurusi sesuai syariat agama saja....... Masyarakat percaya bila melanggar sumpah tersebut akan terjadi hal-hal yang buruk bagi kehidupan mereka selama 7 turunan. Sumpah ini sendiri dilatarbelakangi oleh maraknya teknik ekstraksi sumberdaya yang merusak, diantaranya adalah penambangan pasir pantai yang mengancam kelestarian lingkungan. Namun sumpah ini tidak hanya berlaku bagi penambangan pasir, juga berlaku untuk cara ekstraksi sumberdaya yang merusak lainnya seperti penambangan karang, penggunaan potas pada proses penangkapan ikan, dll. Reaksi masyarakat terhadap sumpah ini secara umum disambut baik, meski pada awalnya terdapat beberapa penambang yang protes namun setelah diberikan pengarahan semuanya taat terhadap peraturan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan kelembagaan adat memberikan nilai vital dan nilai spiritual bagi sumberdaya pesisir dan laut di wilayah wakatobi. Begitupun sebaliknya, sumberdaya pun memberikan nilai spirit dan nilai materi bagi keberlangsungan kelembagaan masyarakat adat. Hasil pemantauan WWF, terdapat 72 penambang karang di wilayah Wakatobi1. Tabel 31.
Kuantifikasi nilai sosial aktifitas pemanfaatan sumber daya di Wakatobi
1
Diunduh dari http://sains.kompas.com/read/2011/05/08/08593127/Perusakan.Karang.Masih.Ancam.Wakatobipada 30 Nopember 2015. 103
Jenis Nilai
Keterangan
Kuantifikasi
Nilai material - Yangdiberikan sumberdaya kepada masyarakat
- Ketentuan sara yang menganjurkan setiap nelayan memberikan sebagian hasil tangkapan kepada bontotooge yang bisa dipakai untuk operasional kegiatan kelembagaan adat - Penambangan pasir - Terdapat 13 orang penambang pasir di Desa Liya. - Tiap penambang -+ 100 karung/hari - -+ 30 kg/ karung - Rp 3000/karung
1 nelayan 1/10 dari hasil tangkapan.
Nilai material dari pasir di desa Liya: 13 orang x 100 karung/orang/hari x Rp. 3.000/karung = 3.900.000/hari
Nilai moral
Pelarangan penambangan pasir - Dapat melindungi usaha rumput laut dan penangkapan ikan. - Penambangan pasir menyebabkan pasir halus yang tidak terangkat menempel di rumput laut dan karang, sehingga banyak rumput laut dan karang yang mati. - Pada rumput laut bisa menurunkan produktifitas 30-50% - Pada karang akan menutup karang sehingga untuk jangka waktu panjang jika karangnya sudah mati semua, semua ikan karang akan hilang.
Nilai religi
- Adanya kepercayaan “onituladonda” yang menjadikan hutan mangrove terus terjaga, sehingga biota yang terdapat di hutan tersebut dapat terus dimanfaatkan misalnya kepiting. - Di Desa Haruo dan Lampara terdapat ± 20 orang pencari kepiting. - Produktivitas 2-5 kg/trip - Dalam satu minggu 2 trip - Harga/kg Rp.50.000 – 110.000, tgt ukuran. Ukuran 3 ons – 1kg up per ekor.
- Nilai moral yang diberikan aturan kepada sumberdaya: (50+30)x ½ x Rp 8000 = Rp 320.000/orang/panen -
- Nilai religi bagi pencari kepiting per orang adalah ((2+5)x½) x ((50.000 +110.000)x½)= 280.000/orang/trip.
104
4.1.3.2. Identifikasi Sosial Budaya Masyarakat Pesisir Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Nenek moyang masyarakat Tanimbar telah memiliki pola pengelolaan sumberdaya laut dengan pendekatan kearifan lokal. Sasi merupakan kearifan lokal yang pelaksanaannya menggunakan dua pendekatan kelembagaan, berbasis adat dan juga Gereja. Sasi mengatur pembagian wilayah/lokasi pengambilan sumberdaya laut pada jangka waktu tertentu (Turun meti), dan juga tentang pemanfaatan teripang dan lola dalam jangka waktu tertentu. Pembukaan sasi untuk teripang dan lola dilakukan antara 1,5 – 2 tahun tergantung dari kesepakatan masyarakat dengan ketua adat. Denda dalam bentuk uang diberlakukan bagi masyarakat yang melanggar aturan sasi. Selain dari aturan adat, pengelolaan sumberdaya laut juga diatur oleh peraturan pemerintah desa, seperti aturan tentang pelarangan orang untuk mengambil hasil laut dan aturan kontrak laut. Sebagaimana masyarakat daerah lain di di Provinsi Maluku, masyarakat di Kepulauan Tanimbar memiliki sistem kearifan tradisional yang kuat dalam mengelola sumber daya lautnya. Sistem pengelolaan tradisional ini disebut sasi. Sasi sangat potensial untuk diaplikasikan dalam menyelesaikan banyak permasalahan yang menyangkut praktik-praktik pemanfaatan sumber daya yang tidak ramah lingkungan. Sasi juga mencakup prinsip-prinsip penting yang digunakan dalam pengelolaan perikanan modern dalam suatu sistem yang berbaur dengan adat istiadat yang berlaku dan diterima di seluruh kepulauan ini. Masyarakat adat Tanimbar sudah sejak lama secara turun temurun melakukan pengelolaan sumber daya secara arif dan mengandung nilai-nilai pelestarian dan keberlangsungan. Hal ini diikuti oleh masyarakat Tanimbar dengan kesadaran bahwa sumber daya yang ada adalah merupakan hak dari setiap generasi. Dengan kata lain bahwa didalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya, setiap generasi harus memperhitungkan agar ketersediaan sumber daya laut tetap terjaga sehingga dapat memberikan kehidupan yang layak bagi generasi berikutnya. Di dalam sasi juga terkandung suatu mekanisme fungsi pengamanan atau penegakan hukum dan peraturan yang dapat diterima oleh masyarakat lokal. Dengan memperkuat sistem pengelolaan tradisional ini, adalah mungkin untuk menggabungkan antara sistem pengelolaan yang tradisional dan religius ini dengan pemerintahan daerah menjadi suatu pengelolaan kolaboratif yang mengadopsi prinsip ‘larang-ambil’ yang dapat memperbaiki perlindungan terhadap spesies dan habitat pesisirpenting dengan sangat efektif. Adat Sasi atau di Kepulauan Tanimbar adalah sebuah kesepakatan adat dalam masyarakat suatu desa/petuanan yang mengatur beberapa jenis sumber daya alam, baik yang terdapat di darat maupun di wilayah perairan/pesisir. Untuk sumber daya pesisir, “adat sasi” umumnya 105
dilakukan di wilayah “metti”, yaitu wilayah pasang surut (zona intertidal) dimana wilayah ini di mulai dari batas pasang tertinggi hingga batas surut terendah. Biasanya sasi di wilayah metti berlaku bagi jenis biota teripang, lola dan batu laga. Sasi dalam bahasa Indonesia berarti larangan mengambil/memanfaatkan hasil sumber daya alam tertentu, selama kurun waktu tertentu yang disepakati oleh masyarakat satu petuanan. Sasi dimulai dengan upacara “Tutup Sasi”. Sumber daya dalam suatu wilayah yang sedang berlangsung tutup sasi tidak boleh dimanfaatkan hingga masa “Buka Sasi”. Adat sasi digunakan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya alam dan mengatur harmoni didalam masyarakat. Selama masa tutup sasi tidak boleh seorangpun yang memanfaatkan sumber daya alam/benda tersebut. Selain untuk sumber daya, sasi juga berlaku bagi benda-benda lainnya, mulai dari hasil alam seperti pohon koli (lontar), sayuran, kelapa, dll, lalu sasi rumah sampai sasi manusia. Di masa zaman para datuk menyeberang lautan hanya dengan kulit kerang (bia’), sasi digunakan untuk menjaga alam dari pengrusakan oleh tangantangan tidak bertanggung jawab. Mereka menyegel tanaman dengan doa adat yang melibatkan Sopi (arak yang terbuat dari penyulingan nira kelapa atau nira lontar), Sopi disiram ke tanah, lalu memasang plang pada tanaman yang di sasi. Tanaman yang kena sasi tidak boleh disentuh sama sekali. Orang yang melanggar dengan mengambil bagian tanaman seperti buah, batang atau daun akan terkena semacam kutukan yang membuat orang tersebut mati. Salah satu contoh sasi di darat adalah Sasi kelapa. Setelah melalui prosesi adat, maka orang tidak boleh lagi mengambil buah kelapa dimanapun di area sasi diberlakukan. Jika yang di-Sasi adalah kelapa dalam suatu kebun, maka dalam satu kebun itu tidak boleh dimanfaatkan. Jika yang di-Sasi adalah kelapa dalam satu pulau, maka dalam satu pulau tidak boleh diambil buah kelapanya. Saat ini, terkait dengan perkembangan masyarakat dan budaya masyarakat Tanimbar, setelah Injil masuk ke Maluku Tenggara Barat, prosesi Sasi diambil alih oleh gereja. Pendeta dan para tetua adat yang mendo’akan benda atau hasil alam yang mau disasi, dibawa di altar gereja, lalu Pendeta mulai prosesi dengan doa dan memercikkan air pada benda sebanyak 3 kali. Bagi yang melanggar, akan bebas dari “kutukan” jika datang ke altar gereja untuk didoakan. Jika tidak, maka dosa ditanggung sendiri dan Tuhan yang tahu cara menghukumnya. Sasi di dunia modern dikenal dengan istilah “Time closure” atau “open-close resources management”. Di desa-desa yang dilakukan survei, masa tutup sasi metti (lola, teripang dan batulaga) bervariasi, mulai dari satu (1) tahun di desa-desa di pesisir timur Pulau Yamdena, tiga (3) tahun di wilayah Adodo (MoloMaru) dan Matakus hingga lima (5) tahun di wilayah Pulau Seira. Untuk wilayah perairan, sasi juga bisa diberlakukan di wilayah Sekaru. Sekaru adalah hamparan terumbu karang di tengah laut yang bukan merupakan sebuah pulau dan tidak memiliki pepohonan. Ada Sekaru yang tenggelam saat
106
pasang air laut, ada juga Sekaru yang terekspose bagian pasirnya saat pasang tertinggi, jadi Sekaru bisa berupa patchy reef, maupun atol. Di Sulawesi Sekaru biasa disebut Taka, sedangkan di Aceh disebut sebagai Limbo. Untuk sumber daya di perairan di Kepulauan Tanimbar, selain sasi hasil laut berupa lola, teripang dan batulaga, juga terdapat sasi untuk jenis ikan tembang di Desa Sofyanin dan Desa Awear di Pulau Fordata. Selain itu juga ditemukan aturan sasi ikan kerapu di Desa Matakus. Namun demikian, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap aturan sasi meti ini juga berbeda-beda di masing-masing desa yang dikunjungi. Masyarakat yang memiliki tingkat kepatuhan tertinggi terhadap aturan sasi hasil laut ini dijumpai di Desa Matakus, Adodo-Molo dan Sofyanin. Sementara di Desa Weratan dan desa-desa lainnya di Pulau Seira, masih terjadi pencurian lola, teripang batulaga selama masa tutup sasi, baik itu dilakukan oleh orang luar maupun oleh orang dalam. Sementara itu di desadesa di Pesisir Pulau Yamdena, sasi laut dilakukan menyesuaikan dengan musim angin timur dan penegakan hukum terhadap pelanggar sasi sangat lemah. Di desa Labobar, ada suatu lokasi karang di sebelah selatan desa yang ditutup bagi orang luar untuk memancing ikan dan memanfaatkan sumber daya laut di sana, namun diperbolehkan untuk dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Jika dilihat dari kondisi terumbu karang dan biomasa ikan di lokasi tersebut yang masih cukup baik dibandingkan dengan wilayah lain di sekitarnya, aturan ini nampaknya berdampak positif. Akan tetapi aturan ini diragukan keberadaannya oleh nelayan luar Labobar, mengingat belum pernah ada aturan adat seperti itu diberlakukan di wilayah Kepulauan Tanimbar, mengingat untuk jenis sumber daya ikan umumnya dianggap sebagai common resources di wilayah perairan ini (kecuali untuk jenis ikan kerapu di Desa Matakus dan jenis ikan tembang di Desa Sofyanin dan Awear) dan kalaupun berupa sasi, maka aturan tersebut harus berlaku bagi semua pihak, baik itu orang luar maupun orang dalam. Keterlibatan tokoh-tokoh adat, staf pemerintahan desa dan masyarakat adat dalam pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan pesisir dan laut, sangat kuat. Status anggota masyarakat adat ataupun tua adat (tokoh-tokoh desa yang menjamin keberlanjutan pembangunan desa adat), menjadi dasar dalam mempertahankan aturan-aturan lokal yang berkaitan dengan pembangunan desa. Kuatnya peran pada tingkat masyarakat adat atau tua adat, juga sangat didukung dengan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan adat. Keterlibatan sebagai masyarakat atau tua adat, terkait dengan tanggungjawab mereka dalam pengaturan semua hal menyangkut petuanan darat dan laut, termasuk lingkungan dan sumberdaya. Masyarakat Kepulauan Tanimbar hidup dalam adat istiadat Duan Lolat, yang merupakan suatu hukum adat tertinggi yang lahir dan hidup berdasarkan hak dan tanggung jawab timbalbalik antara keluarga pemberi dan keluarga penerima anak dara dalam berbagai aspek hidup multidimensional masyarakat warga Maluku Tenggara Barat dimana saja berada yang aktual dan 107
konseptual. Sistem kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat Tanimbar berdasarkan hubungan patrilineal. Kesatuan kekerabatan yang ada dalam masyarakat Tanimbar yaitu: keluarga inti, Famili, Das Matan (marga), Suan (soa) dan Desa. Keluarga inti yaitu kesatuan dari bapak dan ibu beserta anak-anak. Kesatuan dalam masyarakat Tanimbar selain bersifat patrilineal, ada kesatuan yang lebih besar yang bersifat bilateral, yaitu famili. Famili merupakan kesatuan kekerabatan disekeliling individu, yang terdiri dari warga-warga yang masih hidup dari mata rumah asli, yaitu semua keturunan dari keempat nenek moyang. Das Matan (marga) yaitu suatu kelompok kekerabatan yng bersifat patrilineal. Marga terbentuk dari keluarga-keluarga yang bergabung menjadi satu kelompok yang memiliki hubungan kedekatan kekeluargaan. Marga merupakan kesatuan dari laki-laki dan perempuan yang belum kawin dan isteri dari laki-laki yang telah kawin. Suan (Soa) merupakan gabungan dari beberapa marga. Marga-marga bergabung menjadi satu kelompok dalam sistem kekerabatan yaitu Suan (Soa). Desa adalah gabungan dari Suan (soa). Suan-suan (soa-soa) sepakat untuk bergabung dan membantuk satu kelompok dan hidup bersama sehingga membentuk desa. Duan berasal dari kata ”Ndrue” yang berarti tuan, raja, pemimpin dan penguasa. Dalam strata sosial masyarakat Tanimbar, Duan selalu memiliki kedudukan lebih tinggi daripada Lolat. Duan Lolat merupakan simbol adat yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Tanimbar. Duan adalah tanah dan Lolat adalah hujan. Lolat disimbolkan dengan hujan yang jatuh ke bumi yang memberikan kesuburan pada tanah. Duan besar adalah Tuhan sedangkan manusia adalah Lolat. Duan dan Lolat memiliki arti lain, Duan dapat berarti pemberi dara sedangkan Lolat berarti penerima dara. Duan dan Lolat dalam arti harafiah dapat dipahami sebagai hubungan antara tuan (duan) dan hambanya (lolat). Duan berarti pemberi anak dara dan Lolat berarti penerima anak dara. Duan dan Lolat merupakan keterikatan adat istiadat yang sangat kental dan erat dalam berbagai aktifitas dalam masyarakat Tanimbar. Hukum Duan Lolat mengandung nilai dan norma yang hidup di kepulauan Tanimbar untuk mengatur hubungan darah dari sebuah perkawinan suami atau lakilaki dan isteri atau perempuan yang berlangsung secara terus menerus dalam kehidupan masyarakat Tanimbar. Hukum adat Duan Lolat mempunyai fungsi untuk mengatur hubungan sosial dan menjelaskan aturan dalam bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari baik itu dalam menyelesaikan masalah, pembagian harta warisan sampai pada penyelesaian kejahatan (Batleyeri, 2012). Persoalan konflik sosial yang ada di masyarakat hanya terbatas permasalahan dalam keluarga. Namun demikian, beberapa hal yang dapat menjadi konflik sosial di dalam masyarakat maupun dengan masyarakat lain di desa sekitar, anatara lain: (1) adanya kegiatan pemanfaatan sumberdaya secara bersama pada beberapa lokasi di dalam maupun di luar petuanan desa; (2) kesepakatan-kesepakatan batas wilayah petuanan desa, dan (3) kegiatan pemanfaatan 108
sumberdaya yang merusak oleh orang-orang yang berasal dari luar. Potensi konflik sosial belum sampai menuju pada masalah yang krusial, namun harus menjadi perhatian penting untuk dapat dikelola secara baik agar tidak mencapai konflik secara riil. Bahasa Terdapat beberapa bahasa lokal dari rumpun Austronesia yang dipakai di Kepulauan Tanimbar, yaitu bahasa Yamdena, Fordata, Selaru, dan Seluwasan (McKinnon, 1983). Bahasa Yamdena memiliki jumlah penutur terbanyak karena dipakai oleh seluruh desa di pesisir timur Pulau Yamdena, dan sebagian orang Adaut dari Pulau Selaru. Bahasa ini terdiri dari dua dialek, yaitu dialek Nus Das di utara dan dialek Nus Bab di selatan (Hughes, 1996). Bahasa Fordata digunakan di Tanimbar sebelah utara, dan barat Kepulauan Tanimbar yang meliputi Pulau Fordata, Larat, Molo, Maru, sepanjang bagian barat laut pantai Yamdena dan pulau Sera. Bahasa ini memiliki empat dialek, yaitu dialek Molo-Maru, Fordata-Larat I, FordataLarat II, dan dialek Sera (McKinnon 1983:20). Bahasa Fordata merupakan bahasa yang lazim dipakai dalam acara-acara ritual atau adat di Tanimbar. Bahasa Selaru dituturkan di Pulau Selaru, serta sebagian penduduk Desa Latdalam, dan penduduk Lingada di Pulau Wotar di bagian barat Pulau Yamdena, dimana penduduk di desa tersebut berasal dari desa Lingat dan Adaut di Pulau Selaru (McKinnon 1983). Bahasa Seluwasan terdapat di wilayah yang relatif kecil, secara tradisional meliputi desa Makatian, Wermatang, Otemer (Batu Putih dan Marantutul) di Pulau Yamdena bagian barat daya, di Kecamatan Wermaktian. Perbedaan dialek memisahkan Makatian dari ketiga desa lainnya; begitu berbedanya dialek itu sehingga diakui sebagai bahasa tersendiri oleh penduduk setempat (McKinnon 1983). Bahasa lain yang digunakan di Kepulauan Tanimbar adalah yang penuturnya berasal dari luar Tanimbar, seperti Jawa, Bugis, Makassar, dan pulau-pulau lain di Maluku (pulau-pulau di Maluku Barat Daya, Kei, Aru, Banda, Ambon, Lease, Seram, dll). Melayu-Ambon atau bahasa Indonesia merupakan bahasa umum yang dipakai dalam komunikasi antar penduduk berbeda etnik. Kependudukan Jumlah penduduk di Kabupaten Maluku Tanggara Barat berdasarkan data tahun 2013 sebesar 108.665 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 11 jiwa/km2. Jumlah penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Tanimbar Selatan sebanyak 32.567 jiwa dengan kepadatan 39 jiwa/km2. Hal ini dikarenakan Kecamatan Tanimbar Selatan merupakan ibukota Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan hampir seluruh aktivitas perekonomian berada disana. Untuk lebih 109
jelasnya jumlah, kepadatan penduduk di Kabupaten Maluku Tenggara Barat dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 32.
Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Menurut Kecamatan Tahun 2013
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kecamatan Tanimbar Selatan Wertamrian Wermaktian Selaru Tanimbar Utara Yaru Wuarlabobar Molu Maru Nirunmas Kormomolin Jumlah
Luas (Km2) 825,69 1.298,45 2.941,16 826,26 1.075,74 79,42 654,74 *) 1.468,30 933,16 10.102,92
Jumlah Penduduk (Jiwa) 32.567 10.015 11.249 12.636 13.644 4.962 7.357 2.862 7.265 6.108 108.665
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) 39 8 4 15 13 63 11 5 7 11
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014
Jumlah rumah tangga perikanan dan nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat sebanyak 2.876 rumah tangga dan 9.378 nelayan dengan jumlah tertinggi berada di Kecamatan Tanimbar Selatan sebanyak 561 rumah tangga nelayan dan 1.746 nelayan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 33.
Jumlah Rumah Tangga Perikanan dan Jumlah Nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Menurut Kecamatan Tahun 2013
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kecamatan Tanimbar Selatan Wertamrian Wermaktian Selaru Tanimbar Utara Yaru Wuarlabobar Molu Maru Nirunmas Kormomolin Jumlah
Rumah Tangga Perikanan 561 176 382 360 293 264 340 174 147 179 2.876
Nelayan 1.746 514 1.314 1.142 1.106 995 1.158 484 352 567 9.378
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014
Mata Pencaharian
110
Mata pencaharian masyarakat di Kepulauan Tanimbar umumnya adalah petani kebun dan sebagian masyarakatnya juga berprofesi sebagai nelayan dan pedagang. Dengan kata lain penduduk di Kepulauan Tanimbar umumnya bekerja di sektor pertanian, dalam hal ini berkebun. Jumlah total angkatan kerja di Kabupaten MTB adalah 45.021 jiwa, penjabaran angkatan kerja berdasarkan bidang pekerjaan ditampilkan pada Tabel x. Tingkat pengangguran terbuka di Kabupaten MTB tahun 2013 mewakili 8,95 % populasi penduduk Kabupaten MTB (BPS MTB, 2014). Tabel 34.
Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Tahun 2013
Bidang Pekerjaan Pertanian (termasuk perikanan) Industri Konstruksi Perdagangan Transportasi, pergudangan, komunikasi Keuangan Jasa Masyarakat PNS Lainnya Total
Jumlah 37.371 682 1.799 3.838 662 69 169 4.226 431 45.021
Sumber : BPS Kabupaten MTB, 2014
4.1.4. Identifikasi Sosial Budaya Masyarakat Pesisir WPP 716 4.1.4.1.
Identifikasi Sosial Budaya Masyarakat Pesisir Kota Tarakan
Sosial Pendidikan formal merupakan suatu proses yang berjenjang dari Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi. Pendidikan formal yang umumnya diselenggarakan di Kota Tarakan tidak hanya dibawahi oleh Kementerian Pendidikan Nasional saja, tetapi ada juga yang dibawahi Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, dll. Jumlah SD/MI pada tahun 2013 sebanyak 63 sekolah (44 sekolah negeri dan 19 sekolah swasta). Jumlah sekolah terbanyak terdapat di Kecamatan Tarakan Tengah, sedangkan jumlah paling sedikit terdapat di Kecamatan Tarakan Utara (BPS Tarakan, 2014). Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) tercatat sebanyak 20 sekolah (11 sekolah negeri dan 9 sekolah swasta). Kecamatan Tarakan Timur memiliki 6 SMP/MTs, Kecamatan Tarakan Tengah 8 sekolah, Kecamatan Tarakan Barat 4 sekolah, dan Kecamatan Tarakan Utara 2 sekolah. Kota Tarakan pada tahun 2013 mempunyai Sekolah Menengah Atas dan sederajat sebanyak 18 sekolah (7 sekolah negeri dan 11 sekolah swasta). Jumlah sekolah 111
terbanyak terdapat di Kecamatan Tarakan Tengah, sedangkan jumlah sekolah paling sedikit terdapat di Kecamatan Tarakan Timur dan Tarakan Utara. Perguruan Tinggi yang ada di Kota Tarakan berjumlah 5 unit (1 universitas, 2 sekolah tinggi, serta 2 akademi) dan yang berstatus perguruan tinggi negeri hanya 1, yaitu Universitas Borneo Tarakan (BPS Tarakan, 2014). Pembangunan kesehatan di Kota Tarakan pada dasarnya bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan secara mudah, murah, dan merata. Salah satu upaya pemerintah dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan kepada masyarakat adalah dengan penyediaan fasilitas Puskesmas dan Puskesmas Pembantu. Pembangunan kedua fasilitas tersebut dipilih, karena dapat menjangkau segala lapisan masyarakat. Pada tahun 2013, Kota Tarakan memiliki 3 unit rumah sakit, Puskesmas 7 unit, dan Puskesmas Pembantu sebanyak 2 unit. Ketiga rumah sakit tersebut adalah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan Rumah Sakit Angkatan Laut Ilyas (semuanya berada di Kecamatan Tarakan Tengah), serta Rumah Sakit Pertamedika yang berada di Kecamatan Tarakan Barat (BPS Tarakan, 2014). Budaya Tarakan dikenal sebagai Bumi Paguntaka dan berada pada sebuah pulau kecil yang terletak di utara Kalimantan Timur.Semboyan dari kota Tarakan adalah Tarakan Kota "BAIS" (Bersih, Aman, Indah, Sehat, dan Sejahtera).Tarakan menurut cerita rakyat berasal dari bahasa tidung “Tarak” (bertemu) dan “Ngakan” (makan). Secara harfiah diartikan sebagai “Tempat para nelayan untuk istirahat makan, bertemu, serta melakukan barter hasil tangkapan dengan nelayan lain. Tarakan juga merupakan tempat pertemuan arus muara Sungai Kayan, Sesayap, dan Malinau.Kerajaan Tidung atau dikenal pula dengan nama Kerajaan Tarakan (Kalkan/Kalka) adalah kerajaan yang memerintah Suku Tidung di utara Kalimantan Timur (terletak diPulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu). Sebelumnya terdapat dua kerajaan di kawasan ini, yaitu Kerajaan Tidung dan Kesultanan Bulungan (terletak di Tanjung Palas) (Kaltimprov, 2015). Berdasarkan silsilah bahwa dipesisir timur Pulau Tarakan (kawasan Dusun Binalatung) sudah ada Kerajaan Tidung Kuno (tahun 1076-1156). Kerajaan ini kemudian pindah ke pesisir selatan Pulau Tarakan di kawasan Tanjung Batu pada tahun 1156-1216, dan bergeser lagi ke wilayah barat yaitu ke kawasan Sungai Bidang (tahun 1216-1394). Terakhir kerajaan tersebut, pindah lagi ke daerah Pimping bagian barat dan kawasan Tanah Kuning, sekitar tahun 13941557. Riwayat yang terdapat dikalangan suku Tidung kerajaan paling tua adalah Menjelutung di Sungai Sesayap (raja terakhir bernama Benayuk). Berakhirnya zaman Kerajaan Menjelutung dikarenakan adanya bencana hujan ribut dan angin topan yang sangat dahsyat. Kondisi ini mengakibatkan seluruh perkampungan runtuh dan tenggelam kedalam air (sungai) berikut
112
warganya. Peristiwa tersebut dikalangan suku Tidung disebut dengan Gasab, yang kemudian menimbulkan berbagai mitos tentang Benayuk dari Menjelutung (Kaltimprov, 2015). Budaya yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan di Kota Tarakan, biasanya melekat pada petambak. Budaya tersebut dicirikan dengan adanya ikatan secara emosional kepada pemodal (juragan). Ikatan ini terjadi apabila petambak ingin membuka lahan baru atau mengupayakan usaha tambaknya menjadi produktif kembali. Besarnya modal yang diberikan tergantung atas kepercayaan dan kemampuan bayar si peminjam modal. Manfaat yang dirasakan oleh petambak sebagai peminjam modal yaitu adanya dana segar pada saat paceklik. Kerugian dengan adanya ikatan kepada juragan adalah harga harga panen tetap sama, namun harga komisi terdapat selisih. Harga yang dibeli juragan biasanya lebih rendah Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 20.000,- dari harga pasaran. Meskipun ada kerugian yang dialami, sampai saat ini petambak di Kota Tarakan merasa diuntungkan dengan keberadaan juragan. 4.1.4.2.
Identifikasi Sosial Budaya Masyarakat Pesisir Kota Manado/Bunaken
Penduduk di kawasan Taman Nasional Bunaken berjumlah 27.289 jiwa dengan kepadatan penduduk cukup bervariasi. Dari 23 Desa/kelurahan, kelurahan Molas memiliki kepadatan penduduk yang tertinggi 5.348 jiwa. Sebagian besar merupakan tamatan Sekolah Dasar Tabel 35. No. 1. 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
JumlahPenduduk di Kawasan Taman Nasional Bunaken Nama Desa
Nain Tangkasi Buhias Tinongko Bango Alungbanua Bunaken Manado Tua I Manado Tua II Tiwoho Tongkeina Meras Molas Poopoh Teling Kumu Pinasungkulan Arakan Rap-rap Sondaken Pungkol
KK 762 91 211 156 135 187 866 398 324 271 507 276 1.300 408 242 229 111 324 250 164 121
Jumlah (Jiwa) Laki-laki Perempuan 1.532 1.160 175 168 358 372 281 288 246 231 360 311 1.413 1.368 569 828 605 664 550 484 921 888 487 431 2.563 2.785 617 564 427 376 420 434 205 200 567 580 540 564 331 326 185 166
Total 2.692 343 730 569 477 671 2.781 1.397 1.269 1.034 1.809 918 5.348 1.181 803 854 405 1.147 1.104 657 351 113
No. 22 23
Nama Desa Wawontulap Popareng Jumlah
KK 195 271 7.522
Jumlah (Jiwa) Laki-laki Perempuan 382 386 557 558 13.749 13.540
Total 768 1.085 27.289
Sumber: data monografii desa/kelurahan di kawasan TN Bunaken tahun 2009
Sebagian besar masyarakat masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain sesuai kondisi social budaya dan tipe ekositem setempat. Mereka umumnya memiliki system pengetahuan dan pengelolaan yang diwariskan dan ditumbuh kembangkan terus menerus. Kearifan tradisional ini misalnya yang terdapat pada komunitas masyarakat adat yang hidup di beberapa wilayah di desa di kawasan TN Bunaken seperti; tradisi menangkap ikan dengan dengan menggunakan laying-layang yang biasanya dilakukan oleh nelayan dari desa Alungbanua, pulau Bunaken, larangan untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang berada di puncak Menado Tua, pemanfatan sumberdaya alam oleh Masyarakat sekitar Kawasan. Keragaman budaya masyarakat dalam kawasan Taman Nasional Bunaken relative tinggi, saat ini terdapat 8 kelompok etnis yaitu suku Sangihe, Siau, Bantik, Minahasa, Gorontalo, Bajo, Bugis dan Buton. Suku yang mendominasi seluruh kawasan adalah suku Sangihe dan Siau. Selanjutnya etnis Bantik yang pada umumnya terkonsentrasi di wilayah pesisir bagian utara kawasan. Etnis yang lain pada umumnya tersebar di wilayah pesisir baik bagian utara maupun bagian selatan. Pada umumnya tingkat sosial maupun ekonomi masyarakat di dalam dan disekitar taman Nasional Bunaken masih tergolong rendah, baik dari segi pendapatan maupun per kapita pertahun. Mata pencaharian sebagian besar adalah nelayan dan petani tradisional. Dengan berkembangnya usaha pariwisata di kawasan TN Bunaken baik oleh pengusaha lokal maupun asing, telah memberdayakan masyarakat sekitar kawasan melalui penyerapan tenaga kerja, namun hanya sebagai tenaga buruh atau harian. Sementara pada posisi strategis misalnya pimpinan masih dikendalikan oleh tenaga dari luar kawasan sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa dari segi pendidikan dan sumberdaya manusia masyarakat masih tergolong rendah. Mata pencaharian tersebut diatas menunjukkan adanya ketergantungan masyarakat terhadap kawasan TN Bunaken yang beragam. Ketergantungan terhadap hasil laut maupun ketergantungan terhadap sumberdaya yang lain seperti pada kawasan mangrove untuk pemenuhan kebutuhan kayu bakar, lahan pada kawasan darat, kayu pertukangan pada kawasan hutan lindung di sekitarnya dan karang untuk bangunan pondasi rumah. Rendahnya tingkat ekonomi masyarakat menyebabkan mereka secara penuh menggantungkan hidupnya pada kawasan disekitarnya tanpa ada upaya untuk menjaga 114
kelestariannya. Prinsipnya bahwa kawasan hutan disekitar mereka adalah public goods yang siapa saja dapat memanfaatkannya, sehingga tidak ada tanggung jawab untuk melestarikannya. Selain itu yang menyebabkan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan cukup tinggi adalah kurangnya ketrampilan masyarakat untk menciptakan lapangan pekerjaan dan terbatasnya kesempatan berusaha. Masyarakat sebagian besar dihuni oleh Masyarakat Suku Sanger. Suku bangsa Sanger merupakan identitas yang diberikan kepada orang yang berasal dari Nusa Utara yaitu Sangihe Talaud- Siao Tagulandang dan Biaro, yang awalnya merupakan satu Kabupaten namun mengalami pemekaran menjadi 3 kabupaten. Suku Bangsa Sanger sering di sebut “Orang Sanger” atau “Orang “Sangir” yang berasal dasri Pulau Sangihe di ujung utara Pulau Sulawesi berbatasan dengan samudra Pasifik. Orang Sanger terkenal sebagai pelaut / nelayan yang ulung dan Karena pekerjaannya itulah mereka menyebar hingga ke pulau-pulau di luar Sangihe.Dahulu mereka berlayar menggunakan perahu layar dan dalam perjalanannya mereka singgah dan beristirahat ke pulau-pulau yang mereka temui. Para tua-tua dari Pulau Sangihe , nelayan, datang ke pulau ini untuk mencari nafkah. Mereka mampir ke pulau ini yang saat itu belum bernama dan kemudian dinamakan Pamamunakeng (dalam bahasa Sanger) yang artinya “ tiba di sini”. Perkampungan yang pertama dibuat adalah Kampung Tanjung Parigi. Pada umumnya tingkat sosial maupun ekonomi masyarakat di dalam dan disekitar taman Nasional Bunaken masih tergolong rendah, baik dari segi pendapatan maupun per kapita pertahun. Mata pencaharian sebagian besar adalah nelayan dan petani tradisional. Dengan berkembangnya usaha pariwisata di kawasan TN Bunaken baik oleh pengusaha lokal maupun asing, telah memberdayakan masyarakat sekitar kawasan melalui penyerapan tenaga kerja, namun hanya sebagai tenaga buruh atau harian. Sementara pada posisi strategis misalnya pimpinan masih dikendalikan oleh tenaga dari luar kawasan sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa dari segi pendidikan dan sumberdaya manusia masyarakat masih tergolong rendah. Mata pencaharian tersebut diatas menunjukkan adanya ketergantungan masyarakat terhadap kawasan TN Bunaken yang beragam. Ketergantungan terhadap hasil laut maupun ketergantungan terhadap sumberdaya yang lain seperti pada kawasan mangrove untuk pemenuhan kebutuhan kayu bakar, lahan pada kawasan darat, kayu pertukangan pada kawasan hutan lindung di sekitarnya dan karang untuk bangunan pondasi rumah. Rendahnya tingkat ekonomi masyarakat menyebabkan mereka secara penuh menggantungkan hidupnya pada kawasan disekitarnya tanpa ada upaya untuk menjaga kelestariannya. Prinsipnya bahwa kawasan hutan disekitar mereka adalah public goods yang siapa saja dapat memanfaatkannya, sehingga tidak ada tanggung jawab untuk melestarikannya. Selain itu yang menyebabkan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan cukup tinggi adalah 115
kurangnya ketrampilan masyarakat untk menciptakan lapangan pekerjaan dan terbatasnya kesempatan berusaha.
116
Sistem religi dan pandangan hidup masyarakat Bunaken Tulude adalah upacara penyambutan tahun baru yang diadakan setiap akhir januari atau awal februari. Pada awalnya merupakan upacara penyembahan kepada roh leluhur. Saat ini istilah Tulude diganti menjadi “kunci taun” yang artinya menutup kegiatan setahun yang telah dilalu yang diasakan antara tanggal 31 Desember- 2 Januari. Pada acara ini disajikan makanan yang memiliki rasa manis, seperti Wajik (Kue Tamoh) dengan harapan hari-hari ke depan nantinya penuh kebahagiaan. Dahulu Pemotongan kue Tamoh ini disertai dengan doa-doa yang mengandung nilai magis. Pemotongan dilakukan menggunakan kapak (tamoko) dan membutuhkan tenaga dalam yng menurut kepercayaan mereka tenaga ini sebagai hasil dari doa yag sudah mereka panjatkan sebelumnya.Penduduk yang beragama Kristen mengenal adanya ritual “Thanksgiving” (pengucapan syukur) yang fungsinya untuk ucapan syukur atas hasil panen, hasil tangkapan ataupun hasil kerja. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber daya Sebagian besar masyarakat masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain sesuai kondisi social budaya dan tipe ekositem setempat. Mereka umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan yang diwariskan dan ditumbuh kembangkan terus menerus. Kearifan tradisional ini misalnya yang terdapat pada komunitas masyarakat adat yang hidup di beberapa wilayah di desa di kawasan TN Bunaken seperti; tradisi menangkap ikan dengan dengan menggunakan layang-layang yang biasanya dilakukan oleh nelayan dari desa AlungBanua, Pulau Bunaken, larangan untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang berada di puncak Menado Tua, pemanfatan sumberdaya alam oleh Masyarakat sekitar Kawasan., 4.1.4.3.
Identifikasi Sosial Budaya Masyarakat Pesisir Kabupaten Gorontalo Utara
Sosial Peningkatan sumber daya manusia saat ini lebih difokuskan kepada pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada penduduk untuk mengenyam pendidikan, terutama penduduk kelompok usia sekolah (umur 7-24 tahun). Ketersediaan fasilitas pendidikan baik sarana maupun prasarana akan sangat menunjang dalam meningkatkan mutu pendidikan. Berdasarkan data yang diperoleh, di Provinsi Gorontalo jumlah Taman Kanak-Kanak yaitu 630 sekolah (21.845 murid dan 1.991 guru), sedangkan Jumlah Sekolah Dasar (SD) sederajat yaitu 969 sekolah (152.418 murid dan 9.816 guru). Jumlah Sekolah Menengah Pertama (SMP) sederajat yaitu 354 sekolah (53.413 murid dan 4.753 guru) dan jumlah Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat yaitu 127 sekolah (41.110 murid dan 3.384 guru) (BPS Provinsi Gorontalo, 2012). 117
Persentase penduduk yang masih sekolah menurut kelompok usia sekolah/angka partisipasi sekolah (APS) sebesar 96,87 persen pada kelompok umur 7-12 tahun, 82,95 persen pada kelompok umur 13-15 tahun dan 57,90 persen pada kelompok umur 16-18 tahun. Seperti APS, angka partisipasi murni (APM) merupakan banyaknya penduduk usia sekolah yang masih sekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan usianya. APM jenjang pendidikan SD sebesar 90,04%, APM SMP/MTs sebesar 59,17% dan APM SMA/MA/SMK sebesar 44,33%. Provinsi Gorontalo memiliki sarana dan prasarana kesehatan berjumlah 10 Rumah Sakit dan 85 Puskesmas. Banyaknya kelahiran yang terdapat di Provinsi Gorontalo pada tahun 2011 sebanyak 20.353 jiwa dan 92,04% kelahiran ditolong oleh tenaga kesehatan (bayi bergizi buruk sebanyak 1.073 jiwa). Ddata Pasangan Usia Subur (PUS) pada tahun 2011 tercatat sebanyak 207.685 pasangan, dimana 178.108 pasangan sudah menjadi peserta KB aktif. Berdasarkan data tahun 2011, 95,63% penduduk Provinsi Gorontalo memeluk agama Islam, sedangkan pemeluk agama Protestan 2,20%, agama Katholik 1,70%, agama Hindu 0,39%, dan sisanya 0,08% pemeluk agama Budha. Sarana dan prasarana peribadatan yang tersedia di Provinsi Gorontalo pada tahun 2011: masjid: 1.923; musholla: 175; gereja protestan: 133; gereja katolik: 14; pura: 32; dan vihara: 2. Budaya Gorontalo Utara adalah daerah yang memiliki keragaman budaya dan tradisi Kondisi ini disebabkanadanya
penduduk yang berdomisili di Gorontalo Utara. Penduduk Kabupaten
Gorontalo Utara memiliki latar belakang daerah yang berbeda, tidakmerusak tatanan tradisi asli. Para pendatang pendatang ini menyatu dengan tradisi dan budaya khas daerah, sehingga mempengaruhikondisi sosial. Budaya yang tercipta adalah terciptanya rasa penuh pengertian dalam berbagai kegiatan serta aktivitas keseharian mereka Masyarakat Kabupaten Gorontalo Utara merupakan masyarakat yang sebagian besar bergantung pada sektor kelautan dan perikanan, serta pariwisata. Secara umum (80%) masyarakat yang bermata pencaharian pada sektor kelautan dan perikanan, sedangkan 20% lainnya bekerja di sektor pariwisata. Pola adat istiadat atau kebiasaan yang masih sering oleh masyarakat di Kabupaten Gorontalo Utara adalah kegiatan gotong royong, setiap ada acara desa maupun pribadi.Budaya kehidupan masyarakat perikanan Gorontalo Utara dikenal dengan sistem demokrasi yang khas yakni “bantayo poboide”. Sistem demokrasi melambangkan konsekuensi dalam melaksanakan demokrasi. Tradisi lainnya yang rutin dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Gorontalo Utara, khususnya di Pulau saronde adalah Festival Saronde. Festival ini biasanya diadakan pada bulan Juli, dengan kegiatan lomba adu cepat ketinting (perahu bermesin diesel) mengelilingi sebauah pulau di sekitar 118
Pulau Saronde. Waktu penyelenggaran adu cepat perahu tradisional ini merupakan salah satu momen keramaian masayarakat. Pada acara itu masyarakat sering menjual jajanan khas Gorontalo dan menyediakan hiburan bagi mereka yang hadir pada festival tersebut (Anonimous, 2015). 4.2.
Identifikasi Aktifitas Ekonomi Ekosistem Pesisir
4.2.1
Identifikasi Aktifitas Ekonomi Ekosistem Pesisir WPP 714
4.2.1.1
Identifikasi Aktifitas Ekonomi Masyarakat Pesisir Kabupaten Wakatobi
Penangkapan Sumberdaya Ikan Wilayah perairan wakatobi dikelilingi oleh gugusan terumbu karang yang cukup luas. Bahkan Wakatobi memiliki dinding karang yang terpanjang ke dua di dunia setelah great barrier reef di Australia. Kabupaten ini secara geografis terletak pada pusat segi tiga Karang Dunia (Coral Tri-angle Center) dan memiliki jumlah keanekaragaman hayati kelautan tertinggi di dunia, yakni 750 jenis karang dari 850 spesies karang dunia, 900 jenis ikan dunia dengan 46 dive sites teridentifikasi (salah satunya Marimabok). Wakatobi memiliki 90.000 ha terumbu karang dan atol Kaledupa (48 Km) yang merupakan atol tunggal terpanjang di dunia (Wallacea, 2006). Kondisi tersebut menyebabkan wilayah perairan Wakatobi kaya akan sumberdaya ikan terumbu karang yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat. Kawasan perikanan tangkap ialah kawasan yang diperuntukkan bagi
penangkapan
ikan/perikanan dengan berbagai jenis ikan bernilai ekonomi tinggi seperti jenis ikan pelagis, ikan dasar, ikan sunu, teripang, dan gurita. Kawasan pengembangan berupa perairan laut. Kawasan perikanan di perairan laut yang menjadi kewenangan dari Pemda Kabupaten Wakatobi adalah 4 (empat) mil dari pantai yang masuk dalam zona pemanfaatan lokal dan pemanfaatan umum: -
Pemanfaatan lokal (khusus masyarakat lokal), dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan kesempatan (nelayan lokal) dalam memanfaatkan sumber potensi kekayaan laut yang ada dengan sarana dan prasarana penunjang kegiatan perikanan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
-
Pemanfaatan umum, bersifat terbuka bagi masyarakat lokal dan luar. Kawasan ini seperti di perairan Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko dengan luasan zona pemanfaatan lokal (ZPL) sekitar 804.000 ha dan zona pemanfaatan umum sekitar 495.700 ha (ZPU). Pengembangan kegiatan perikanan dan kelautan sebagai leading sector daerah, akan
didukung dengan pengembangan infrastruktur perikanan, di antaranya ialah pengembangan Tempat Pendaratan Ikan (TPI), Pelabuhan Perikanan Nusantara, Cold Storage, dan Kampung
119
Nelayan Tempat Pendaratan Ikan direncanakan di Kecamatan Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Pelabuhan Perikanan Nusantara direncanakan di Pulau Binongko. Pemanfaatan sumberdaya perikanan menggunakan berbagai armada penangkapan baik dari kapal bermotor maupun perahu tanpa motor. Secara proporsi, perahu tanpa motor masih cukup tinggi yaitu emncapai 45 %. Kapal bermotor dengan mesin dalam merupakan yang terbanyak selanjutnya dan diikuti terakhir dengan perahu motor tempel. Perahu tanpa motor banyak digunakan hampir pada seluruh wilayah di Wakatobi. Alat bantu gerak pada perahu tanpa motor menggunakan dayung dan layar. Tabel 36.
Motor tempel perahu tanpa motor kapal motor (<5GT) Kapal motor (> 5GT)
Kondisi armada penangkapan ikan di Wakatobi 2013
2012
2011
2010
753 1538
748 789
448 642
626 1159
1095
903
541
848
14
84
80
69
Sumber: BPS Wakatobi, 2014
Penangkapan sumberdaya ikan pada wilayah Wakatobi mencapai lebih dari 7000 ton per tahun (BPS, 2014). Secara distribusi wilayah, kegiatan penangkapan ikan relatif merata di seluruh pulau. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat masih cukup tergantung dengan kegiatan perikanan. Jenis yang banyak tertangkap oleh nelayan adalah jenis ikan pelagis yang mencapai 58% dan jenis ikan dasar yang menyumbang sebesar 39%. Tabel 37. No 1 2 3 4 5 6 7 8
Produksi Perikanan di Kabupaten Wakatobi
Kecamatan Binongko Togo Binongko Tomia TomiaTimur Kaledupa Kaledupa Selatan Wangi-Wangi Wangi-WangiSelatan Total
Produksi (ton) 724,1 597,3 899,5 1084,8 952,3 867,6 1012,9 1513,7 7652,2
Sumber: BPS Wakatobi, 2004
120
1% 2% 2%
37% 58%
Pelagis
Dasar
Teripang
Sunu
Gurita
Gambar 59.Persentase hasil tangkapan ikan di Wakatobi Sumber : Coremap II, 2008
Produksi perikanan tangkap mengalami peningkatan yaitu dari 5.952,5 ton pada tahun 2009 menjadi 6.645,6 ton pada tahun 2010, selanjutnya pada tahun 2012 sebanyak 7.523 ton, dan sedikit menurun pada tahun 2013 yakni menjadi 7.298, 2 ton. Demikian pula yang terjadi pada produksi perikanan budidaya (rumput laut) menurun dari 1.400 ton tahun 2010 menjadi 1.063 ton pada tahun 2012, dan penurunan produksi lebih tinggi terjadi pada tahun 2013 yakni yakni hanya mencapai 354 ton. Hasil perikanan laut, termasuk hasil budidaya rumput laut menurut kecamatan di Kabupaten Wakatobi dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
7.524
8.000 7.000 6.000
7.298
6.646 5.953
5.000 4.000
Perikanan Tangkap
3.000
Perikanan Budidaya
2.000 1.000 2009
Gambar 60.
2010
2012
2013
Produksi Perikanan Tangkap dan Budidaya di Kabupaten Wakatobi Tahun 2014.
Meski penangkapan didominasi oleh jenis-jenis ikan pelagis, penangkapan pada wilayah terumbu karang ternyata lebih banyak dilakukan oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari hasil survey TNC (2009) yang menempatkan pancing dasar sebagai alat tangkap paling dominan digunakan 121
masyarakat (53%). Beberapa alat tangkap lain yang menunjukkan operasi penangkapan pada wilayah terumbu karang adalah bubu (5%) dan jaring dasar (3%). Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan lapangan juga masih ditemukan alat tangkap panah baik dengan maupun tanpa kompresor. Penangkapan sumberdaya ikan karang berdasarkan catatan statistik menyumbang hampir 40% dari total tangkapan nelayan dengan jumlah mencapai 1.557 ton per tahun. Ikan-ikan karang yang dominan diantaranya adalah kakap putih, kuwe, dan kerapu. Meski secara jumlah tidak terlalu besar, akan tetapi komoditas perikanan karang memiliki nilai yang cukup tinggi seperti kerapu dan lobster. Hal ini menjadikan sumberdaya ikan karang merupakan komoditas yang diburu oleh masyarakat.
Gambar 61.
Persentase alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan di Wakatobi Sumber. TNC, 2012
Secara umum masyarakat lokal melakukan penangkapan secara tradisional sehingga tingkat pemanfaatan yang dilakukan tidak terlalu intensif. Penangkapan ikan dilakukan secara harian dengan waktu operasi dari pagi hingga sore hari. Hal ini berbeda dengan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan dari luar dimana penangkapan banyak menggunakan bagan dan pukat cincin. Sebanyak 86% dari sekitar 50 an kapal dari luar Wakatobi merupakan kapal-kapal besar bermesin dalam dengan proporsi alat tangkap bagan sebanyak 28% dan purse sein 17% (TNC, 2012). Meski jumlah kapal-kapal tersebut relatif kecil akan tetapi hasil yang dipeoleh sangat tinggi khususnya dari alat tangkap bagan sebagaimana tersaji dalam gambar berikut.
122
Gambar 62.
Persentase hasil tangkapan berdasar alat tangkap Sumber : TNC, 2012
Banyaknya nelayan-nelayan dari luar wakatobi berkontribusi terhadap jumlah hasil tangkapan ikan-ikan pelagis baik pelagis besar seperti tuna, cakalang, dan tongkol maupun pelagis kecil seperti ikan layang dan kembung. Kondisi ini tidak terlepas dari alat tangkap yang digunakan seperti bagan dan purse sein. Nelayan lokal yang melakukan penangkapan ikan-ikan pelagis ratarata menggunakan pancing. Jenis pancing yang ada diantaranya pancing layang-layang, pancing rawai dan pancing ulur. Hasil yang bisa diperoleh dalam satu armada penangkapan sangat beragam mulai dari 20 kg per trip untuk kapal-kapal beriukuran 2-3 GT sampai dengan 100 kg per trip untuk ukuran kapal diatas 30 GT. Kegiatan penangkapan ikan banyak pula dilakukan di Ekosistem Lamun dengan menggunakan sero, jaring dan tombak. Sero merupakan alat tangkap pasif yang bekerja berdasarkan sistem pasang surut perairan. Sero dipasang melintang pada sepanjang pantai dengan membentuk huruf V pada bagian yang menghadap ke pantai. Jaring yang digunakan berukuran antara 1-2 inci. Pada bagian ujung sero terdapat kantung tempat berkumpulnya ikan-ikan yang masuk kedalam perangkap. Alat tangkap sero banyak ditemukan di sekitar Pulau Kaledupa khususnya pada Desa Peropa. Lokasi penempatan sero bersifat tetap dan cenderung privat karena hanya dapat digunakan oleh orang-orang yang diwarisi oleh pendahulunya. Bahkan orang lain tidak diperbolehkan untuk memasang jaring didepan sero telah dipasang. Penempatan sero pun diatur dengan tidak boleh dilakukan secara berhimpit satu sama lain. Penangkapan ikan dengan alat tangkap sero cukup masif. Dalam satu kali pasang, hasil yang diperoleh dapat mencapai 100-150 Kg. Alat tangkap yang hanya dapat dioperasikan pada saat air surut ini efektif dapat digunakan selama 1-3 kali saja setiap bulannya. Jenis ikan yang banyak
123
tertangkap dengn menggunakan alat tangkap ini adalah kola, kakap putih, baronang, dan ikan lainlain yang sejenis. Jaring merupakan alat tangkap yang lebih umum digunakan dalam melakukan penangkapan ikan di ekosistem lamun. Alat tangkap ini tersebar penggunaannya di seluruh pulau-pulau yang ada. Jaring yang digunakan memiliki panjang beragam mulai dari 30 sampai dengan 200 meter dengan ketinggian 2 meter. mata jaring yang banyak digunakan adalah 1-2 inci sehingga ikan-ikan yang tertangkap relatif berukuran sedang sampai besar. Perikanan Budidaya Kawasan budidaya perikanan merupakan kawasan dengan kegiatan budidaya perikanan berupa keramba dan tambak. Setiap kecamatan di wilayah Kabupaten Wakatobi ialah wilayah potensial untuk pengembangan kegiatan budidaya perikanan. Oleh karena itu, dalam rentang lima tahun (2012-2016), pengembangan budidaya perikanan menjadi program prioritas pemerintah daerah Kabupaten Wakatobi. Secara umum, kawasan pengembangan budidaya perikanan berada disepanjang area pantai pesisir pulau. Wilayah potensial untuk pengembangan kegiatan budidaya perikanan ialah Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Kaledupa, Kaledupa Selatan, Togo Binongko, Tomia dan Tomia Timur. Budidaya perikanan yang sudah berkembang diusahakan oleh masyarakat adalah jenis Rumput Laut. Produksi komoditi jenis Rumput Laut dengan luasan area lahan terbesar terdapat di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Selain itu, pilot project Program Bajo berupa Rumah Budidaya yang dikembangkan oleh COREMAP II di Desa Mola Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Samabahari Kecamatan Kaledupa, dan Lamanggau Kecamatan Tomia, telah berhasil dalam budidaya ikan kerapu, bobara, dan jenis ikan lainnya. Sektor Pariwisata Sektor unggulan wilayah Kabupaten Wakatobi selain perikanan dan kelautan ialah sektor Pariwisata berbasis wisata alam (bahari). Pengembangan kegiatan pariwisata merupakan bagian visi Kabupaten Wakatobi yang berbasis potensi sumberdaya wilayah kepulauan dan karakteristik wilayah. Jenis kegiatan pariwisata yang dapat dikembangkan di Kabupaten Wakatobi adalah pariwisata laut/bahari berupa panorama pantai dan laut, potensi terumbu karang, ombak untuk olah raga air serta dinamika kehidupan nelayan, wisata alam (panorama pegunungan, goa-goa bawah tanah), wisata seni dan budaya dan wisata buatan lainnya.
124
Rencana pengembangan kegiatan pariwisata untuk Wilayah Kabupaten Wakatobi tidak terlepas dari rencana yang saat ini telah disusun dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Kabupaten Wakatobi dan rencana Zonasi Laut Kabupaten Wakatobi. 1. Pariwisata alam di wilayah Kabupaten Wakatobi terbagi atas pariwisata laut/bahari dan pariwisata pegunungan/daratan. Potensi pariwisata pantai dan panorama laut diprioritaskan pengembangannya di Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Untuk pengembangan kegiatan Eco-wisata Terpadu, alokasi ruang pengembangannya di Pulau Tomia. a. Kegiatan pariwisata laut/bahari (panorama laut, bawah laut dan pantai) dikembangkan di Kecamatan Wangi-wangi dan Wangi-wangi Selatan, Kecamatan Kaledupa dan Kaledupa Selatan, Kecamatan Tomia Timur, dan Kecamatan Togo Binongko. b. Kegiatan pariwisata pegunungan/hutan (panorama perbukitan/hutan, goa-goa alam dan hutan bakau) dikembangkan di Kecamatan Wangi-Wangi dan Wangi-Wangi Selatan, Kecamatan Kaledupa dan Kaledupa Selatan, Kecamatan Tomia dan Tomia Timur, Kecamatan Binongko dan Kecamatan Togo Binongko. 2. Pariwisata budaya (seni dan budaya masyarakat Kabupaten Wakatobi) di antaranya atraksi seni budaya tari, upacara adat, situs peninggalan sejarah (benteng, makam, mesjid tua dan objek peninggalan sejarah lainnya), perkampungan tradisional, seni kerajinan. Kegiatan tersebar di wilayah di Kecamatan Wangi-wangi dan Wangi-wangi Selatan, Kecamatan Kaledupa dan Kaledupa Selatan, Kecamatan Tomia Timur, Kecamatan Binongko dan Kecamatan Togo Binongko. 3. Pengembangan kegiatan pariwisata merupakan potensi objek yang dirancang dan dibangun seperti pusat penelitian kelautan, pusat kebudayaan, museum, taman rekreasi, tempat olahraga dan lainnya. Pengembangan kegiatan wisata buatan tersebar di wilayah Kecamatan Wangi-wangi dan Wangi-wangi Selatan, Kecamatan Kaledupa dan Kaledupa Selatan, Kecamatan Tomia dan Kecamatan Tomia Timur, Kecamatan Binongko dan Kecamatan Togo Binongko. Konsep wisata yang dikembangkan adalah wisata bahari dan wisata alam dengan semangat ‘back to nature’ dengan memperkuat visi Kabupaten Wakatobi ”Wakatobi Sebagai Pusat Biodiversitas Bumi”. Dengan demikian, pengelolaan kawasan wisata turut menjaga keseimbangan ekosistem darat dan laut Wakatobi. Menjaga kelestarian lingkungan berbasis wisata akan dapat mendatangkan devisa bagi Kabupaten Wakatobi. Adapun potensi pengembangan obyek wisata dapat dilihat pada tabel di bawah ini .
125
Tabel 38. No 1 2 3 4 5 6
Potensi Kawasan Wisata di Kabupaten Wakatobi
Kawasan Pariwisata Matahora Hoga Peropa Huntete Tolandono Palahidu
Luas (Ha)
Lokasi Kecamatan
3.500 1.000 1.000 1.100 360 2.250
Wangi-wangi dan Wangi-wangi Selatan Kaledupa Kaledupa Selatan Tomia Timur Tomia Binongko dan Togo Binongko
Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Wakatobi, Tahun 2014.
4.2.1.2.
Identifikasi Aktifitas Ekonomi Masyarakat Pesisir Kabupaten Maluku Tengah
Pada sektor industri, menurut Biro Pusat Statistik perusahaan atau usaha industri yang tercatat pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Maluku Tengah selama Tahun 2011 sebanyak 1 unit dengan jumlah tenaga kerja 2 orang. Sedangkan pada tahun 2013 tidak ada industri yang tercatat di Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Tabel 39.
Kategori Industri Yang Ada di Banda Neira
Kecamatan/ District (1) Banda 2013 2012 2011 2010 2009
Jenis Pelayanan/Service Devision Niaga/Trade Industri/ Industries Kecil/Small Besar/Big (6) (7) (8)
Terminal/ Station (9)
47 47 48 48 49 45
-
2 2 2 2 1 2
1 1 1 -
Jumlah/ Total (10) 929 929 820 703 682
Sumber: BPS, 2014
Banda Neira memiliki potensi non ikan meliputi :Lobster, kerang-kerangan dan teripang. Potensi non ikan ini belum menjadi perhatian masyarakat nelayan karena kecenderungannya masih terkosentrasi pada perikanan tangkap. Salah satu usaha masyarakat di bidang perikanan adalah denganmelakukan pembudidayaan seperti budidaya Tiram Mutiara oleh CV. Banda Marine yang merupakan badan usaha pengganti Perusahaan sebelumya yaitu PT. Meney Southern Pearl.
126
Pendapatan Perkapita Nelayan Pertahun 7000000
6166233
6000000 4530528
5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0 2011
Gambar 63.
2012
Pendapatan Nelayan di Pulau Banda Sumber: BPS, 2014
Aktifitas pembudidayaan oleh masyarakat mengarah pada komoditi teripang, kerangkerangan dan rumput laut dalam bentuk melakukan “sasi “ pada areal lokasi potensi komoditi tersebut. Pada sektor perikanan, di perairan Banda ditemui berbagai jenis ikan yang berpotensi untuk penigkatan perekonomian masyarakat nelayan yaitu:
Pelagis besar diantaranya Tuna dan Cakalang
Pelagis Kecil diantaranya layang, selar, tongkol, wakong, marwaji, kawalinya.
Ikan Demersal diantaranya, kerapu, sikuda, samandar, biji nagka/salmaneti dan kakap.
Ikan hias diantaranya tiger fish, bat fish, angel fish, morrish fish, anemone fish dan lain-lain.
Tabel 40.
Kondisi Armada Penangkapan di Bandaneira
Uraian Discription (1) Perahu Tanpa Motor Ship Non Engine Jukung Jukung Kecil Small Sedang Medium Besar Large Motor Tempel Outdor Engine Boat Yamaha Katinting
Tahun Year 2012 (2)
2013 (3)
440
440
403
403
48
48
40
40
271 250
271 250
127
Uraian Discription (1) Perahu/Kapal/Motor (GT) Boat / Ship GT 1 – 10 GT 11 – 19 GT 20 – 30 GT 35 – 50 GT Jumlah Total Sumber: BPS, 2014
Tahun Year 2012 (2)
2013 (3)
104 -
104 -
1 563
1 563
Menurut BPS, 2015 pada tahun 2006 oleh Pemerintah melalui Departemen Pekerjaan Umum telah memprogramkan kegiatan Revitalisasi Kawasan Kota Naira, sehingga hasil akhir yang dihasilkan adalah Dokumen RTBL (Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan) sebagai dasar acuan yang dipakai dalam mengembangkan Kota Naira. Disamping Pemerintah Pusat menetapkan berbagai bentuk Kawasan, maka Pemerintah Provinsi Maluku juga menetapkan wilayah ini sebagai Wilayah Pengembangan Pariwisata I (RIPP I) untuk Maluku dan yang sementara ini sedang dirancang oleh Pemerintah Provinsi Maluku adalah Kawasan Banda dijadikan pula sebagai Kawasan Berikat. Tabel 41.
Jumlah RTP 2012 dan 2013 di Banda Neira
Uraian Discription (1) Rumah Tangga Perikanan Fisheries Household Tangkap Tambak Kolam Budidaya Laut Pengelolaan Ikan Papalele Nelayan / Petani Ikan Fisherman Tangkap Tambak Kolam Budidaya Laut Pengelolaan Ikan Papalele Kelompok Usaha / Anggota Unit / Members 241 Tangkap 965 Tambak -
Tahun Year 2012 (2)
2013 (3)
1 504 34 248 37
1 492 34 248 37
3 206 224 456 37
3 206 50 456 37
227 802 -
227 802 128
Tahun Year 2012 (2) 34 170
Uraian Discription (1) Kolam Budidaya Laut
34 170
Koperasi Cooperation Sumber: BPS, 2014
3
2013 (3) 34 170 3
Pada sektor pariwisata, menurut BPS (2014) Secara keseluruhan di Kecamatan Banda sampai tahun 2013 terdapat 43 objek wisata yang terdiri atas 1 wisata alam, 25 wisata sejarah, 12 wisata bahari, 3 wisata budaya dan 2 minat khusus. Kepulauan Banda merupakan wilayah yang kaya dengan sumber daya alam dan kebudayaannya. Sail Banda 2010 merupakan salah satu pengakuan Indonesia dan Dunia internasional, bahwa Kecamatan Banda memiliki potensi sebagai salah satu daerah kunjungan pariwisata domestik dan mancanegara yang paling diminati. Hal ini mendorong tumbuhnya usaha perhotelan/ penginapan. Dapat dikatakan bahwa seluruh wilayah Kecamatan Banda memiliki potensi wisata bahari karena lingkungan lautnya yang masih terjaga khususnya terumbu-terumbu karang. Salah satu terumbu karang yang diminati wisatawan adalah terumbu karang yang berasal dari batuan lahar Gunung Api Banda . Disamping itu terdapat ± 14 titik penyelaman dasar laut yang menjadi tujuan wisatawan untuk wisata menyelam.
Sejarah 58%
Bahari 28%
Budaya 7% Gambar 64.
Minat Khusus 5%
Alam 2%
Kategori Wisata di Pulau Banda Sumber: BPS, 2014
129
Pada tabel dibawah ini terlihat bahwa fasilitas akomodasi di Pulau Banda Neira cukup lengkap, dimana ada hotel (2 buah), Penginapan (12 buah), dan Homestay (20 buah). Tipe akomodasi yang paling mahal adalah hotel dimana tarifnya sekitar Rp 250.000, selanjutnya untuk tarif yang paling murah adalah tipe home stay dimana harganya sekitar Rp 125.000. Harga fasilitas akomodasi berpengaruh terhadap total biaya yang dikeluarkan pengunjung, dimana total biaya untuk tamu yang menginap di hotel lebih lebih tinggi ketimbang tamu yang menginap di home stay. Perbedaan tersebut tidak hanya ditentukan saja oleh tarif menginap, juga harga makanan, dimana harga sekali makan per oranguntuk hotel berkisar Rp 35.000 (domestic) -55.000 (manca negara). Tabel 42.
Fasilitas Akomodasi di Banda Neira
Keterangan Hotel
Jumlah 2
Tarif Rata-Rata
Fasilitas
250000 AC
Rata-Rata Jumlah Kamar 15
Penginapan
12
150000 AC/Fan
9
Homestay
20
125000 Fan
4
Sumber:Dinas Pariwisata Kabupaten Banda Neira, 2015
4.2.1.3. Identifikasi Aktifitas Ekonomi Masyarakat Pesisir Kabupaten Maluku Tenggara Barat Kepadatan penduduk di Tanimbar cenderung rendah dan masyarakat bergantung pada pertanian subsisten dan perikanan pantai sebagai mata pencaharian utama. Kegiatan perikanan untuk memenuhi kebutuhan hidup umumnya masih bergantung terhadap ekosistem pesisir . Mata pencaharian penduduk di Kepulauan Tanimbar umumnya bertani, melaut, dan melakukan budidaya rumput laut. Cara masyarakat memanfaatkan sumberdaya laut secara umum masih sama dari dulu sampai sekarang, kecuali adanya introduksi budidaya rumput laut di semua desa di tahun 2010 dan cukup banyak masyarakat yang beralih atau menambah mata pencahariannya di bidang budidaya ini. Perikanan Tangkap Karakteristik Nelayan dan Kelompok Nelayan Nelayan di Kepulauan Tanimbar berjumlah 9.378 orang, dan rumah tangga perikanan (RTP) sebanyak 2.875 rumah tangga. Dalam pengembangan usaha perikanan tangkap ini, sejumlah nelayan tergabung dalam kelompok-kelompok nelayan, yang dibentuk terkait dengan adanya program pemberdayaan nelayan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan MTB. Jumlah kelompok nelayan memiliki fokus mata pencaharian pada usaha perikanan tangkap. Dalam
130
konteks kelembagaan, biasanya nelayan atau kelompok-kelompok mengembangkan usaha dengan dukungan kelembagaan ekonomi seperti asosiasi atau koperasi. Teknologi Penangkapan Ikan Aktivitas penangkapan ikan dilakukan oleh nelayan di wilayah ini menggunakan sedikitnya lima jenis alat penangkap ikan utama. Masyarakat di wilayah ini juga menggunakan panah, tombak dan aktifitas penangkapan ikan di pesisir saat air surut (bameti). Distribusi penggunaan jenis dan jumlah alat tangkap per kecamatan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat bervariasi. Gambaran tentang teknologi penangkapan ikan dikemukakan dalam dua komponen utama, yaitu: armada penangkapan ikan dan alat penangkapan ikan. Tabel 43. Jumlah dan jenis alat penangkap ikan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Tahun 2013 Jenis alat penangkapan ikan No 1
Kecamatan
Pukat
Jaring Insang
Tanimbar 5 597 Selatan 2 Wertamrian 234 3 Wermaktian 323 4 Selaru 309 5 Tanimbar 269 Utara 6 Yaru 171 7 Wuarlabobar 169 8 Nirunmas 87 9 Komomolin 80 10 Molu Maru 120 Jumlah 5 2359 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014
Jaring Angkat
Pancing
Perangkap
22
938
162
Alat pengumpul & alat tangkap 752
90 3 13
428 653 691 702
68 146 196 227
182 364 466 411
217 521 513 605
3 88 1 220
640 458 303 257 354 5424
213 65 55 54 69 1255
412 254 181 146 161 3329
499 290 167 100 171 3813
Lainnya 730
Eksistensi armada penangkapan ikan dengan jumlah yang minim, diikuti dengan distribusi alat penangkapan ikan yang tidak terlalu variatif. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut melalui kegiatan perikanan tangkap cenderung alat-alat tangkap utama dan sering digunakan seperti: jaring insang, pancing, gae-gae (pengait) untuk menangkap kepiting, serta kalawai yang digunakan dalam kegiatan Bameti dan Balobe. Sesuai dengan hasil penelusuran data, teridentifikasi 128 jenis alat tangkap. Jumlah alat tangkap ini terkelompok dalam empat kelompok alat tangkap, masing-masing: pukat sebanyak 5 unit, jaring insang sebanyak 2.359 unit, jaring angkat 220 unit, pancing 5.424 unit, perangkap 1.255 unit dan alat tangkap lainnya sebanyak 7.142 unit. Hasil ini membuktikan bahwa perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara Barat termasuk dalam kategori perikanan tradisional. 131
Pada kelompok jaring insang, terdapat jenis jaring halus (jaring insang dengan ukuran mata jaring kecil) yang digunakan khusus dalam penangkapan udang. Di sisi lain, teridentifikasi jaring mata besar (jaring insang dengan ukuran mata jaring besar) yang digunakan untuk penangkapan penyu. Jaring ini hanya dioperasikan oleh tiga nelayan Desa Batu Putih, dan penggunaan jaring ini baru dimulai pada tahun 2012. Alat yang digunakan untuk menangkap ikan alat sederhana seperti jaring, pancing, bagan, panah, kalawai, dengan tangan untuk kegiatan Bameti dan Balobe. Di beberapa desa, praktek penangkapan ikan merusak dengan menggunakan bom dan akar tuba masih dilakukan, meski dilakukan oleh nelayan luar desa. Target perikanan termasuk ikan tenggiri, bubara, kakatua, samandar, sakuda, bulana, piskada, kulit pasir, jengkot, kerapu hidup, cakalang, tuna, selui, balobo, penyu, hiu, udang, cumi, dan kerang-kerangan. Jika dilihat dari sebarannya, seluruh jenis armada tersebar di setiap kecamatan. Hal ini memperlihatkan adanya ketersediaan sarana pendukung perikanan di setiap kecamatan cukup lengkap. Penjelasan armada penangkapan menunjukkan peluang dan akses terhadap pemanfaatan sumberdaya di perairan pesisir dan laut. Hasil penelusuran data menunjukkan bahwa total jumlah armada penangkapan ikan sebanyak 4.631 unit. Jika jumlah ini dibandingkan dengan jumlah nelayan yang ada, maka sekitar 2.885 orang nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan tanpa menggunakan armada. Armada perikanan di Kepulauan Tanimbar didominasi oleh sampan dayung dan ketinting. Untuk kapal motor berukuran di atas 5GT hanya terdapat beberapa buah saja di Kota Saumlaki. Kapal berukuran besar umumnya menggunakan mengoperasikan alat tangkap pukat cincin atau kapal penangkap ikan hiu. Berikut uraian armada penangkapan ikan yang terdapat di Kepulauan Tanimbar: 1.Sampan dayung/layar : dijumpai di semua desa, merupakan sarana penangkapan ikan yang dominan di desa-desa di pesisir timur Pulau Yamdena dan gugus pulau-pulau kecil lainnya di Kepulauan Tanimbar. Berukuran panjang 3 sampai 4,5 meter dengan lebar antara 0,4 sampai 0,6 meter. Umumnya menggunakan cadik. 2. Sampan Ketinting : merupakan sampan kecil berukuran panjang 5-7 meter dengan lebar 0,6-0,8 meter yang dilengkapi dengan mesin inboard 5,5 PK. Sampan jenis ini juga digunakan sebagai sarana transportasi antar pulau selain sebagain sarana penangkapan ikan. 3. Longboat/Speed Boat : Speed boat dan Long boat merupakan sarana penangkapan berupa perahu berbahan fiber dan menggunakan mesin tempel (outboard) bertenaga 15, 25 atau 40 PK. Untuk longboat umumnya merupakan bantuan dari pemerintah MTB. Speedboat banyak di jumpai di Kota Saumlaki dan Kota Larat dengan dimensi ukuran panjang 5-6 132
meter dan lebar 1,5-2 meter. Sedangkan longboat berukuran panjang 9 meter dengan lebar 1 meter. 4. Kapal kayu berukuran lebih dari 5 GT : hanya dapat di jumpai di Kota Saumlaki dan Kota Larat. Hanya sepuluh buah yang merupakan kapal purse seine, sisanya merupakan armada yang menggunakan alat tangkap rawai hiu dan pancing. Aktivitas perikanan tangkap mengalami tren yang relatif meningkat dibandingkan 10 tahun lalu dan menyebabkan ikan semakin sulit ditangkap. Selain itu, juga terjadi perubahan lokasi tangkapan dimana nelayan lokal terpaksa melaut lebih jauh, lebih dari 1 mil laut dari pantai, karena banyaknya kompetitor (nelayan lain yang datang dari desa ataupun pulau lain) yang menangkap ikan di dekat pantai. Sekitar 80% hasil tangkapan dijual di desa, ke pengumpul atau ke Saumlaki, sementara sisanya digunakan untuk konsumsi keluarga. Harga ikan lebih banyak ditentukan oleh harga pasar, dan dipengaruhi oleh ukuran, musim, harga BBM dan proses transaksi. Musim Ikan Kondisi geografis perairan Kepulauan Tanimbar yang agak terlindung sangat memungkinkan para nelayan untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan sepanjang tahun. Puncak aktivitas penangkapan ikan terjadi pada bulan Maret. Namun saat Musim Barat tiba (Desember-Februari), kondisi perairan berombak sehingga aktivitas penangkapan ikan difokuskan pada perairan pesisir yang lebih dekat pantai dan terlindung pulau-pulau kecil. Umumnya penangkapan ikan tidak berbeda antar musim, sementara pada saat gelombang tertinggi, nelayan tidak bisa melaut. Perbedaan pendapat dan pemahaman untuk musim-musim dimana terjadi gelombang yang tertinggi, yaitu Mei – Juni, Januari – Februari, dan Juni – Agustus. Pada saat tidak bisa melaut, masyarakat lebih fokus pada kegiatan perikanan lainnya seperti budidaya rumput laut atau kegiatan pertanian seperti berkebun. Produksi Perikanan Tangkap dan Komposisinya Wilayah Maluku Tenggara Barat ini sebagian besar berupa samudera yang didalamnya terdapat berbagai segala ragam jenis ikan dan kekayaan alamlainnya dengan potensi perikanan disini seperti tuna, cakalang, tongkol, marlin, tengiri dengan sentra penghasil ikan diwilayah ini pada tahun 2014 adalah di Kecamatan Tanimbar selatan sebesar 1.474,92 ton dan Tanimbar Utara sebesar 1.382,76 ton (Tabel 44).
133
Tabel 44. Produksi dan Nilai Produksi Perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Tahun 2013 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kecamatan Tanimbar Selatan Wertamrian Wermaktian Selaru Tanimbar Utara Yaru Wuarlabobar Nirunmas Komomolin Molu Maru Jumlah
Produksi (Ton) Nilai (Milyar Rupiah) 1.474,92 19,38 458,74 5,85 1.287,75 16,89 937,96 12,52 1.382,76 17,88 487,74 6,15 1.169,60 15,66 447,44 5,47 458,68 5,69 464,97 5,93 8.570,56 111,41
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara Barat, 2014
Perikanan Karang/demersal Perikanan karang di Kepulauan Tanimbar didominasi oleh sampan berukuran kecil, baik yangmenggunakan mesin maupun sampan tak bermesin. Umumnya nelayan mencari ikan karang hanya perseorangan saja, kecuali untuk alat tangkap jaring insang, yang biasanya terdiri dari 3-4 orang nelayan/trip. Perikanan karang didominasi nelayan dengan trip harian, dimana dalam satu trip menghabiskan waktu 3-4 jam/perhari. Untuk jenis tangkapan ikan hiu, biasanya digunakan rawai dasar, dengan lokasi penangkapan di timur pulau Nukaha dan di sekaru-sekaru timur Pulau Selaru, serta di perbatasan antara Pulau Selaru dengan Australia. Selain itu, di Kecamatan Tanimbar Selatan dan Selaru, nelayan juga menggunakan bubu untuk menangkap ikan karang. Bubu biasanya dibiarkan selama 3 malam sebelum diangkat. Selain itu, masyarakat di Pesisir Timur Pulau Yamdena dan di gugus Pulau Seira serta Pulau Labobar juga menggunakan alat tangkap panah ikan (Speargun) untuk menangkap ikan-ikan karang seperti ikan bobara (carangidae), ikan kakatua (Scaridae), ikan sekuda (Lethrinidae) dan ikan kulit pasir (Acanthuridae). Sedangkan untuk jenis ikan kerapu (Serranidae) umumnya ditangkap menggunakan alat tangkap kedo-kedo (tonda/trolling), yaitu alat pancing yang dilengkapi dengan kabel (wire) sebagai penguat tasi atau benang pancing, umumnya dengan lama trip satu hari. Perikanan Pelagis Perikanan pelagis di Kepulauan Tanimbar cukup berimbang antara jenis ikan pelagis besar dan pelagis kecil. Jenis-jenis ikan pelagis di kepulauan ini antara lain: Ikan Layang, Tembang, Lemuru, Ikan Terbang, Julung-julung, Ikan layaran, Todak, Ikan Kembung (Lema), Tongkol, Komo, Tengiri, Cakalang, Albakor dan Tuna Sirip Kuning berukuran kecil (baby tuna) yang ditangkap menggunakan alat jaring insang (Gillnet), pukat cincin (Purse Seine) dan pancing. Sedangkan ikan 134
pelagis kecil berupa ikan teri (puri), ditangkap menggunakan bagan Puri (Teri), baik berupa bagan tetap maupun bagan perahu. Kedua jenis alat tangkap bagan ini ditemui di gugus pulau barat, di sekitar Pulau Seira dan Pulau Labobar. Jenis-jenis ikan pelagis umum nya ditangkap pada saat musim barat di Selat Egron dan perairan antara Tanimbar Selatan dan Selaru, serta di pesisir timur pulau Yamdena dan di pesisir barat Pulau Fordata dan Molo. Sedangkan ikan terbang banyak di jumpai di perairan sebelah barat Pulau Labobar hingga ke selatan Pulau Maru dan ke arah timur hingga ke perairan barat Pulau Fordata. Pencari Kepiting Masyarakat di Kabupaten Maluku Tenggara Baratbiasanya menangkap kepiting pada kawasan mangrove yang dekat dengan lokasi penangkapan ikan. Pencari kepiting di Kabupaten Maluku Tenggara Barat sebagian besar dilakukan oleh nelayan kecil yang pergi melaut setiap hari (one day fishing). Pencarian kepiting biasanya dilakukan pada saat para nelayan pergi mencari ikan. Size kepiting yang ditangkap rata-rata berukuran 10-27,5 cm dengan jumlah berkisar 2-25 ekor dalam sekali operasi penangkapan. Harga jual kepiting didasarkan atas besar dan beratnya, semakin besar dan berat kepiting nilainya akan menjadi tinggi. Harga kisaran untuk kepiting besar yang ditangkap oleh nelayan bisa mencapai Rp. 75.000,- per ekornya, sedangkan untuk yang ukuran kecil per ekornya Rp. 8.000,-. Fasilitas yang digunakan masyarakat untuk mencari kepiting meliputi perahu/sampan dan jaring. Perikanan Budidaya Beberapa komoditas yang potensial untuk dikembangkan di Kabupaten MalukuTenggara Barat adalah rumput laut, lobster dan mutiara. Berikut gambaran pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Budidaya Rumput Laut Potensi rumput laut saat ini mencapai luas1.761,07 Ha yang tersebar di seluruh kecamatan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihatpada tabel berikut:
135
Tabel 45.
Sebaran Luas Budidaya, RTP dan Jumlah Pembudidaya Rumput Laut di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Tahun 2013
Kecamatan Tanimbar Selatan Weramrian Wermaktian Selaru Tanimbar Utara Yaru Wuarlabobar Nirunmas Komomolin Molu Maru Jumlah
Luas Lahan (Ha) 583,49 1,08 378,63 159,13 404,20 3,60 134,19 21,99 3,23 71,53 1.761,07
Rumah Tangga Perikanan 257 10 755 1.669 403 16 496 86 5 277 3.974
Pembudidaya 527 16 1.512 3.352 1.070 32 1.022 172 7 578 8.288
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara Barat, 2014
Berdasarkan
hasil
survey
dan
pengamatanlapangan
diperoleh
bahwa
metode
budidayarumput laut jenis Eucheuma di daerah inimenggunakan metode tali gantung denganpanjang bentangan tali sekitar 25-30 meter.Sebagian besar masyarakat di pesisir pantaidaerah ini memiliki areal budidaya rumput laut,umumnya setiap petani rumput laut memilikibentangan berkisar antara 100 hingga 500 bentangan bergantung besar kecilnyamodal yang dimilikinya.Jarak antara ikatan-ikatan bibit pada setiap tali bentangan berkisar 10–15 cm denganjarak antara bentangan sekitar 0,5–1 m. Selama periode pemeliharaan petani rumputlaut mengontrol tanaman rumput lautnya sekali dalam dua hari. Namun jika cuacakurang baik misalnya terjadi ombak atau gelombang besar maka pengontrolandilakukan setiap hari. Hasil panen yang diperoleh dijual ke pedagang pengumpul yangada di Saumlaki. Budidaya Lobster Dalam silsilah, lobster termasuk ke dalam filum Arthropoda, subfilum Crustacea,kelas Malacotraca, ordo Decapoda, famili Nephropidae. Dari keluarga Nephropidaetersebut masih dapat dibagi lagi ke dalam subfamili dan genera Neophoberinae,Thymopinae dan Nephropinae. Lobster hidup di lingkungan berbatu, berpasir atauberlumpur di sepanjang garis pantai hingga ujung continental shelf. Binatang yangsatu ini gemar menyantap makhluk hidup baik, ikan, moluska, crustacean lainnya,ulat atau tanaman hidup.Produksi lobster di Kabupaten Maluku Tenggara Barat baik dalam keadaan hidupmaupun beku mengalami kenaikan dari tahun 2013 hingga 2014, dimana dalam satutahun tersebut mengalami kenaikan sebesar 7.502,56 kg. Jenis lobster yang banyakdikirim antar pulau di Kabupaten Maluku Tenggara Barat maupun pulau-pulau disekitar Kabupaten Maluku Tenggara Barat adalah lobster hidup dengan jumlahproduksi
136
pengiriman pada tahun 2014 sebesar 7.401,86 kg, sedangkan yang dikirim ke luar kabupaten sebesar 2,997.40 kg. Budidaya Mutiara Mutiara adalah suatu benda keras yang diproduksi di dalam jaringan lunak(khususnya mantel) dari moluska hidup. Sama seperti cangkang-nya, mutiara terdiridari kalsium karbonat dalam bentuk kristal yang telah disimpan dalam lapisan-lapisankonsentris.Di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, mutiara banyak di kirim keluar kabupaten.Untuk perusahaan yang memiliki budidaya mutiara bukan berasal dari masyarakatlokal, melainkan dari luar Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Jika dilihat dari dataproduksi pengiriman mutiara mengalami penurunan biji mutiara di tahun 2014tetapi untuk bibit mutiara mengalami kenaikan di tahun 2014. Jumlah produksi bibit mutiara tahun 2014 sebesar 53.000 sedangkan tahun 2013 sebesar 45.000 dan produksi biji mutiara mengalami kenaikan sebesar 31,00 kg. Pariwisata Kata pari dalam bahasa sansekerta memiliki arti berulang-ulang dan wisata memiliki arti perjalanan sehingga bila digabungkan arti pariwisata secara bahasa menjadi perjalanan yang dilakukan berulang-ulang. Sementara bahari dalam kamus besar bahasa Indonesia, berarti sesuatu hal yang berhubungan dengan laut. Oleh karena itu pariwisata bahari dapat definisikan sebagai perjalanan yang ditujukan untuk rekreasi, istirahat, kepentingan keluarga atau bisnis yang berkenaan dengan laut pada satu waktu tertentu. Jenis kegiatan pariwisata yang ada di Kabupaten Maluku Tenggara Barat adalah wisata pantai dan wisata bawah laut. Untuk wisata pantai terdiri dari : 1. Pantai Matakus Lokasi
Pantai
ini
terletakdisebelah
Selatan
Saumlaki.Jarak
tempuh
ke
Pantai
MatakusDiperlukan waktu 20 menitmenggunakan transportasi laut. Kekhasan tempat iniadalah pantai/pasir putih, airlaut yang sangat bening denganterumbu karang yang masihoriginal. Tempat ini memberikan daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang inginmelakukan kunjungan wisata dan rekreasi air seperti snorkeling dan diving. 2. Pantai Weuan Pantai Weluan terletak di Desa Olilit. Lama kira-kira 2 km dari Kota Saumlaki.Pantai ini merupakan wisata bahari,karena pantai ini banyak dikunjungipengunjung dengan penuh keajaibanalam untuk menikmati keindahan ombakyang besar dan angin dari utara yangkencang membuat nyaman pengunjung.Para pengunjung bisa mencapai Pantai ini melalui 2 jalur : - Lewat jalur darat: dengan menggunakan mobil angkutan, mobil taksi, atauojek kira-kira 2 Km.
137
- Lewat jalur laut: menggunakan kapal speed dari Pelabuhan Saumlaki denganmengitari bagian timur pulau Maluku Tenggara Barat (Yamdena) dalamwaktu 1,5 jam. Selain objek wisata di atas, terdapat beberapa objek wisata bahari dan pantai diKabupaten Maluku Tenggara Barat. Tetapi pada umumnya potensi wisata pada tiapgugus pulau belum dikembangkan secara maksimal disebabkan beberapa hal : (1) kesulitan mengakses situs wisata walaupun nilai potensi wisata tinggi, (2) keterbatasansarana dan prasarana wisata, aspek pemasaran yang terbatas, (3) investasi belumoptimal dari pemerintah, (4) aspek kelembagaan pengelola masih terbatas dikalanganmasyarakat lokal, (5) masalah lingkungan fisik seperti abrasi pantai dan sampahmasyarakat yang belum dikelola baik, serta jalur transportasi yang belum memadai.Dengan
demikian
sangat
dibutuhkan
peran
pemerintah
daerah
bersama
masyarakatuntuk mengembangkan potensi wisata di Kabupaten ini. Adapun objek wisata bahari dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 46.
Objek Pariwisata Bahari di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Tahun 2014
No. Lokasi 1. Desa Tumbur: Pantai Weibok dan PantaiTanjung Delapan 2 Desa Adauth
Potensi Wisata Pantai pasir putih yang panjang dan lebar, snorkling, menyelam taman laut
3
Pantai Latdalam
4
Pantai Asutubun
5
6
Pantai Cinta kasih dantanjung Nguswain didesa Wowonda Desa Lermatan
Pantai pasir putih, snorkeling, menyelam Pasir putih, hutan mangrove, memancing, snorkeling, selam Pantai, pancing, panorama alam
7
Desa Arui Das
8
9
Pantai NusmomolinTubun antara Sifnanadan Lauran Pulau Matakus
10
Pulau Nustabun
11
Pulau Anggarmase
Kondisi Saat Ini Sudah dikembangkan tetapi belum optimal Sudah dikembangkantetapi belum optimal Belum dikembangkan Belum dikembangkan
Sudah dikembangkantetapi belum optimal
Pulau dan Taman Laut Nustabun Tanjung Buae Irin, Pantai Cinta Kasih Pasir putih, udara sejuk
Sudah dikembangkantetapi belum optimal Belum dikembangkan
Batu kepala morea, batu mata buta, batu meja, mata air Pasir putih, pantai pecahan karang, pulau karang, danau, singgasana karang, pulau burung, renang Pantai pasir putih, lokasi
Belum dikembangkansecara maksimal
Sudah dikembangkantetapi belum optimal
Belum dikembangkansecara maksimal,abrasi panai
Dikembangkan 138
No.
Lokasi
12
Selaru Selatan
13
Pantai Wermaktian
14
Pantai Nusmomolin diDesa Lauran
15
Taman batu kerbau didesa Lorulun
16
Pantai pasir putihTutun di desa Lorulun Pantai Aruidas Taman laut pulauNusmese
17 18
19
Taman laut Lamprei
20
Pulau Selu, Waturu, danManlusi
21
Pulau Kecil sekitarSeira
22
Lamdesar Timur
23
24
Pulau Fordate : pantaiPantai pasir putihAwear, pantai Rumyaan Pulau Nukaha
25
Pulau Nuswontap
26
Pulau Laibobar
27 28 29 30
Desa Kilmasa Desa Waturu Desa Manglusi Desa Tututkembong
Potensi Wisata diving, renang, snorkeling, tebing karang, goa laut, hutan alam, anggrek 3 warna. Taman Laut Nusa Nitoe, Pantai Ngursituti Taman Laut, pantai Tutun Pasir putih, tebing terjal laut, kejernihan air, panorama pantai,keragamaman spesies ikan dan karang Taman laut, renang,pancing, snorkeling,selam, penelitian,fotografi bawah laut Snorkeling, pancing Pantai cinta klasih Pancing, snorkelng,selam, riset ikan dankarang, fotografi Pancing, snorkeling,selam, mandi matahari,riset ikan dan karang, Taman laut, renang,snorkeling, selam, risetbawah laut, fotografi,layara Snorkeling, selam,pancing, riset danfotografi bawah laut Pantai Lar dawn danLar Keliobar, tamanlaut Renang, snorkeling,selam, santai,panorama sunset,pancing, bangkai kapal Pantai pasir putih,taman laut: renang,snorkeling, selam, risetbawah laut, fotografi, snorkeling, selam, risetbawah laut, fotografi snorkeling, selam, risetbawah laut, fotografi,panjat tebing Taman laut Taman laut Taman laut Taman laut
Kondisi Saat Ini belummaksimal, abrasipantai
Belum dikembangkansecara maksimal Belum dikembangkansecara maksimal Belum dikembangkan
Sudahdikembangkan
Sudah dkembangkan
Sudah dikembangkan
Sudah dikembangkan
Dikembangkan belummaksimal
Belum dikembangkan Dikembangkan belummaksimal Dikembangkan belummaksimal, sampahberserakan, Dikembangkan belummaksimal
Belum dikembangkan Belum dikembangkan Belum dikembangkan Belum dikembangkan Belum dikembangkan Belum dikembangkan
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara Barat, 2014
139
4.2.2. Identifikasi Aktifitas Ekonomi Ekosistem Pesisir WPP 716 4.2.2.1. Identifikasi Aktifitas Ekonomi Masyarakat Pesisir Kota Tarakan Perikanan Tangkap Kehidupan masyarakat Kota Tarakan yang bermukim di pantai dan bermata pencaharian sebagai nelayan sudah agak maju, sehingga tidak ditemukan lagi desa tertinggal. Hampir sebagian daerah pesisir pantai telah memiliki sarana dan prasarana penerangan, jalan, pendidikan, alat transportasi, pasar, dan alat tangkap nelayan, namun untuk sarana dan prasarana air bersih, kesehatan lingkungan terutama perumahan dan pemukiman, serta permodalan masih sangat terbatas. Pembangunan sub sektor perikanan, mempunyai prospek pengembangan yang sangat cerah sebagai sumber pertumbuhan baru bidang perikanan. Potensi dan produksi perikanan Kota Tarakan tahun 2009-2013, dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 47.
Produksi Perikanan Kota Tarakan (2009-2013)
Uraian Penangkapan ikan di laut
Tahun 2013 2012 2011 2010 2009
Produksi (Ton) 4.310,90 4.141,40 4.136,50 4.108,30 3.988,07
Potensi (Ton) 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000
% 86,22 82,83 82,73 82,17 79,76
Sumber: Dinas Kelautan dan perikanan Kota Tarakan dalam BPS Tarakan, 2014
Berdasarkan Tabel tersebut, diketahui bahwa potensi perikanan yang ada di Kota Tarakan baru dikelola sebesar 57,14% (keseluruhan potensi sebesar 8.560 ton per tahun). Produksi perikanan tahun 2014 untuk hasil tangkapannya mencapai 15.022 ton. Jumlah nelayan pada tahun 2014 sebanyak 3.114 orang (berdasarkan kartu nelayan yang di cetak), jumlah Rumah Tangga Perikanan tangkap (RTP) sebanyak 2.575 RTP. Jumlah perahu/kapal penangkap di Kota Tarakan berjumlah 2.620 unit yang terdiri: motor tempel berjumlah 977 unit dan kapal motor berjumlah 1.643 unit. Kegiatan usaha penangkapan oleh nelayan selain di perairan Tarakan, juga dilakukan pada perairan Kabupaten Bulungan, Nunukan, dan Berau. Jumlah alat tangkap yang teridentifikasi pada wilayah Kota Tarakan pada tahun 2014, dapat dilihat pada Tabel berikut.
140
Tabel 48. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Jumlah Alat Tangkap Tahun 2014
Jenis Alat Tangkap Pukat Cincin Pukat Hela Dasar (Pukat Udang) Pukat HelaPertengahan (Pukat Ikan) Alat Penggaruk Berkapal (Penangkap Kerang Jaring Insang Hanyut Jaring Insang Berlapis/Trammel Net Perangkap Bubu Perangkap Ambau Perangkap Jermal Perangkap .Sero Pancing Ulur Pancing Rawai Dasar Pancing Tonda Total
UnitTahun 2014 1 1.045 295 30 528 253 1 160 39 51 7 200 9 2.619
Sumber: Data Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Tarakan2014 dalam Laporan Tahunan 2014 Kota Tarakan (2015)
Berdasarkan Tabel 48 tersebut, diketahui bahwa sebagian usaha perikanan tangkap dilakukan oleh nelayan kecil menggunakan motor tempel atau kapal motor1-5 GT dan 5-10 GT. Konsentrasi wilayah tangkapan nelayan ini di bawah 4 mil. Banyaknya tangkapan ikan, kapal penangkap ikan, dan nelayan perikanan laut tahun 2009-2013 di Kota Tarakan, dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 49.
Tangkapan Ikan, Kapal Penangkap Ikan, Nelayan Perikanan Laut
Uraian Tangkapan ikan (ton) Kapal penangkap ikan (unit) Nelayan (orang)
2009 3.988,07 1.990 2.020
2010 4.108,3 2.005 2.045
2011 4.136,2 2.012 2.065
2012 4.141,4 2.156 2.687
2013 4.310,9 872,4 2.986
Sumber: Dinas Kelautan dan perikanan Kota Tarakan dalam BPS Tarakan, 2014
Perikanan Budidaya Pembudidayaan ikan menurut UU No. 45 tahun 2009, tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, diartikan sebagai suatu kegiatan untuk memelihara, membesarkan dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan/atau mengawetkannya. Dalam rangka mendukung visi Kementerian Kelautan dan Perikanan yaitu menjadikan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar tahun 2015, maka di Kota Tarakan akan dikembangkan 10 komoditas unggulan di sektor budidaya. Komoditas tersebut meliputi:
141
udang windu, bandeng, rumput laut, lele, mas, patin, nila, gurame, kerapu dan penggemukan kepiting/budidaya kepiting soka. Salah satu sarana penunjang budidaya ikan di Kota Tarakan maupun di wilayah utara Kalimatan Timur adalah dengan ditetapkannya Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan Level I+PCR Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Tarakan berdasarkan ketetapan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Nomor: 1912/DPB.4/HK.150.D4/V/2004, tanggal 17 Mei 2004. Menurut Laporan Tahunan 2014 Kota Tarakan (2015), dilihat dari obyeknya kegiatan budidaya ikan di Kota Tarakan dapat digolongkan menjadi: Budidaya air payau (tambak) Pada tahun 2013 luas lahan budidaya air payau/tambak adalah 947,7 Ha, yang meliputi lahan produktif 496,4 Ha dan lahan non produktif 451,3 Ha (BPS Tarakan, 2014). Kegiatan budidaya air payau yang umum terdapat di Kota Tarakan adalah budidaya udang, bandeng, serta penggemukan kepiting bakau dan kepiting soka (soft carapace). Khusus untuk potensi lestari kepiting bakau sebesar ± 6.709,7 ton per tahun (KPPT Kota Tarakan1, 2015). Produk Kepiting Soka mulai berkembang di Kota Tarakan pada tahun 2008, dengan sisitem budidaya tambak. Pemasaran produk Kepiting Soka adalah Surabaya, Balikpapan, Jakarta, dan Makassar, sedangkang pemasaran ekspornya ke negara Australia dan Malaysia. Menurut DKP Kota Tarakan (2012). Produksi penangkapan kepiting untuk dikonsumsi dalam keadaan segar sebesar 112,8 ton. Arah pengembangan budidaya air payau di Kota Tarakan lebih diutamakan pada upaya intensifikasi terhadap lahan yang telah ada. Tambak
lebih diarahkan kepada
pentokolan/penggelondongan dengan masa pemeliharaan benih udang ± 2 minggu untuk memenuhi permintaan pembesaran udang. Menurut Peraturan Daerah Kota Tarakan Nomor 08 Tahun 2003, tentang Penataan Lahan Pertambakan di Wilayah Tarakan, tidak diperbolehkan lagi untuk membuka lahan baru maupun menambah luasan lahan pertambakan yang telah ada. Potensi dan produksi perikanan budidaya air payau (tambak)di Kota Tarakan pada tahun 2009-2013, dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 50. Potensi dan Produksi Perikanan Budidaya Air Payau (Tambak) Uraian Budidaya air payau (tambak)
Tahun 2013 2012 2011 2010 2009
Produksi (Ton) 653,00 726,10 668,50 855,50 830,60
Potensi (Ton) 3.500 3.500 3.500 3.500 3.500
% 18,66 20,75 19,10 24,44 23,73
Sumber: Dinas Kelautan dan perikanan Kota Tarakan dalam BPS Tarakan, 2014 142
Berdasarkan Tabel tersebut., diketahui bahwa produksi perikanan usaha budidaya tambak sampai dengan akhir tahun 2014 adalah sebesar 30,162 ton (dari luas tambak pemeliharaan sebesar 451,30 Ha). Jumlah Pokdakan budidaya air payau di Kota Tarakan sebanyak 8 Pokdakan. Produksi perikanan budidaya laut terutama rumput laut pada tahun 2014 sebanyak 2573 ton dan pada tahun 2014 mengalami kenaikan menjadi 7141 ton. Hal ini dikarenakan jumlah RTP budidaya rumput laut bertambah sekitar 472 RTP pada tahun 2013, sedangkan tahun 2014 menjadi 1.275 RTP. Jumlah Pokdakan air laut (rumput laut) sebanyak 33 Pokdakan. Budidaya air tawar (kolam) Kegiatan budidaya ikan air tawar sampai akhir tahun 2014 perkembangannya cukup baik. Hal tersebut dapat dilihat dari mulai meningkatnya jumlah UPR, jumlah kolam dan luasan kolam. Penyediaan benih ikan Mas, Lele, Nila, Patin, dan Gurame, oleh UPR Kota Tarakan jumlahnya masih terbatas. Potensi dan produksi perikanan budidaya ikan tawar (kolam) di Kota Tarakan pada tahun 2009-2013, dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 51. Potensi dan Produksi Perikanan Budidaya Air Tawar (Kolam) Uraian Budidaya ikan tawar (kolam)
Tahun 2013 2012 2011 2010 2009
Produksi (Ton) 19,20 23,80 21,30 25,30 22,00
Potensi (Ton) 60 60 60 60 60
% 32,00 39,67 35,50 42,27 36,76
Sumber: Dinas Kelautan dan perikanan Kota Tarakan dalam BPS Tarakan, 2014
Berdasarkan Tabel tersebut., diketahui bahwa produksi budidaya kolam pada tahun 2014, mengalami peningkatan 17,53 ton dari jumlah produksi tahun 2013 sebesar 15,23 ton (dengan luas total kolam sebesar28,03 Ha). Peningkatan hasil produksi kolam tahun 2014 tersebut, disebabkan adanya kenaikan jumlah RTP pembudidaya kolam, luas kolam, dan jumlah kolam. Dinas Kelautan dan Perikanan telah memfasilitasi pembentukan kelompok pembudidaya air tawar. Sampai akhir tahun 2014 telah terbentuk 22 kelompok pembudidaya air tawar di Kota Tarakan. Pembentukan kelompok pembudidaya ini dimaksudkan untuk memudahkan pembinaan. Budidaya laut (rumput laut) Potensi dan produksi perikanan budidaya laut (rumput laut) di Kota Tarakan pada tahun 2009-2013, dapat dilihat pada Tabel berikut.
143
Tabel 52.
Potensi dan Produksi Perikanan Budidaya Rumput Laut
Uraian Budidaya rumput laut
Tahun 2013 2012 2011 2010 2009
Produksi (Ton) 1.533,08 1.259,60 -
Potensi (Ton) 1.533,08 1.259,60 -
% 100 35,50 -
Sumber: Dinas Kelautan dan perikanan Kota Tarakan dalam BPS Tarakan, 2014
Berdasarkan Tabel tersebut, diketahui bahwa budidaya rumput laut di Kota Tarakan kurang berkembang. Hal ini dikarenakan harga jual yang tidak begitu baik dan kurang menguntungkan bagi petambak. Selain itu juga, kualitas air yang tidak begitu baik menyebabkan pertumbuhan rumput laut tidak terlalu optimal. Usaha pembenihan udang (hatchery dan pendederan, serta penggelondongan) Kota Tarakan memiliki 25 unit hatchery yang beroperasi dengan kapasitas produksi berkisar dari 1-10 juta ekor/siklus/unit(1,5 bulan), sedangkan penampungan atau pendeder sebanyak 60 unit dengan kapasitas jual antara 1-5 juta ekor benur per bulan/unit. Total produksi benur yang berasal dari hatchery dan penampungan adalah sekitar 220 juta ekor/bulan. Kebutuhan benur di Kota Tarakan dan daerah sekitarnya mencapai 300 juta ekor benur/bulan, sehingga seringkali terjadi kelangkaan benur pada saat musim tebar (Laporan Tahunan 2014 Kota Tarakan, 2015). Usaha pembenihan di Kota Tarakan selain untuk produksi benur lokal, ada juga benur yang didatangkan dari Surabaya oleh para penampung atau pendeder benih udang (benur). Penampung dan pendeder ikan jumlahnya saat ini mencapai sekitar 60 unit usaha penampungan dan pentokolan/penggelondongan sebanyak 23 unit.Jumlah benur yang diperdagangkan hingga akhir tahun 2014 berjumlah 941.240.000 ekor, dimana 790.740.000 ekor berasal dari luar daerah dan 150.500.000 ekor merupakan produksi dari hatchery yang berada di Kota Tarakan. Rendahnya produksi benur lokal diakibatkan oleh kesulitan dalam memperoleh induk terutama induk Lokal, kondisi fisik dan kimiawi air laut yang kualitasnya kurang baik digunakan dalam kegiatan pembenihan, serta adanya serangan penyakit baik Vibrio maupun WSSV. Jumlah benur yang dari luar kota pada tahun 2014, mengalami penurunan karena ada kendala dalam transportasi (penerbangan) pengiriman benur dari pulau Jawa. Berdasarkan estimasi kebutuhan benur mencapai 2.500.000.000 ekorper tahun, sehingga masih terdapat kekurangan sebesar± 62,35% atau sebesar 1.558.760.000 ekor pada tahun 2014. Pembangunan Balai Benih Udang (BBU) yang terletak di Kelurahan Pantai Amal, dimaksudkan untuk menyediakan benih udang yang unggul pada wilayah Kalimantan Utara. Sampai akhir tahun 2014, kegiatan pembangunan BBU tersebut telah selesai tahap pembangunan 144
beberapa unit produksi beserta kelengkapannya (pengadaan perlengkapan kantor, rumah jaga, serta mushola). Kendala yang masih belum ada adalah konektivitas jaringan listrik, yang menyebabkan BBU belum bisa beroperasi. Pada tahun 2015 direncanakan diadakan running test dengan memanfaatkan tenaga genset yang sudah ada. Pada tahun 2015, diharapkan BBU sudah mulai berproduksi menggunakan sistem Backyard Hatchery dengan mengarahkan pembangunan pada unit produksi yang dapat difungsikan segera, sebelum akhirnya dapat ditingkatkan menjadi hatchery lengkap. Pencari Kepiting Masyarakat pencari kepiting di Kota Tarakan adalah mereka yang biasanya bekerja di tambak. Kepiting yang ditangkap biasanya berasal dari perairan kawasan mangrove di luar tambak. Kepiting yang masuk ke tambak secara alami berkembang biak dengan sendirinya, dan ada pula yang sengaja dibudidayakan oleh penjaga tambak (hasilnya tidak besar). Hasil tangkapan yang didapat oleh pencari kepiting kebanyakan untuk konsumsi sendiri dan tidak untuk diperjualbelikan. Adapun kepiting yang dijual biasanya tidak terlalu banyak dan sudah ada pedagang pengumpulnya. Kepiting yang dijual akan diseleksi untuk disortir kualitasnya. Kepiting dengan kualitas super biasanya akan dijual ke Malaysia. Hal ini dikarenakan harga jualnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan harga pasaran lokal. Rata-rata masyarakat perikanan mencari kepiting setiap hari dan ukuran kepiting yang didapat rata-rata 1-3 ekor/kg. Jumlah kepiting yang diperoleh untuk setiap operasi penangkapan adalah 2-20 kg. Harga jual kepiting yang didapat tergantung ukuran yang diperoleh. Kepiting kecil harga jualnya berkisar Rp. 35.000,-/ekor, sedangkan harga untuk keptimg ukuran besar bisa mencapai Rp. 170.000/ekor. Peralatan yang digunakan untuk menangkap kepiting adalah ambau. Pemanfaat Kayu Pemanfaat kayu yang ada di Kota Tarakan, biasanya dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir. Kayu yang dimanfaatkan adalah mangrove yang tumbuh di kawasan tersebut. Kayu mangrove yang dimanfaatkan biasanya digunakan untuk kayu bakar ataupun untuk membuat pagar tambak. Jumlah kayu mangrove yang dimanfaatkan biasanya tidak terlalu banyak dan tidak diperjualbelikan. Masyarakat pemanfaat kayu yang tinggal diwilayah pesisir Kota Tarakan menyadari pentingnya tumbuhan mangrove bagi keberlanjutan sumber daya ikan. Hal ini dikarenakan kebanyakan pemanfaat kayu adalah nelayan dan petambak yang kehidupannya sangat bergantung kepada kelestarian mangrove itu sendiri. Jenis mangrove yang dimanfaatkan adalah Bius dan Bakau. Harga untuk kayua mangrove Bakau dengan panjang 2 meter dengan diamter 20cm, apabila dijual sebesar Rp. 20.000,-. Harga terendah jenis mangrove Bius apabila dijual
145
dengan ukuran 0,3 meter dengan diameter 8 cm adalah Rp. 15.000, sedangkan untuk ukuran panjang 1,5 meter x diameter 40 cm harga terrtingginya Rp. 20.000,-. Berdasarkan hasil kajian dan identifikasi kepada responden, diketahui bahwa satuan kayu mangrove yang paling banyak dimanfaatkan berjumlah 60 batang, sedangkan yang paling sedikit 1 batang. Pencari Kerang Masyarakat yang beraktivitas sebagai pencari kerang di Kota Tarakan, biasanya melakukan kegiatannya setiap hari dan jenis kerang yang ditangkap adalah Kappa. Kerang Kappa ini biasanya dijual di sekitar Kota Tarakan dan menjadi makanan khas yang disajikan di tempat wisata Pantai Amal. Kerang Kappa ini biasanya disajikan melalui proses direbus dan diberi bumbu. Ukuran kerang yang dominan ditangkap berukuran kecil dengan rata-rata jumlah yang diperoleh setiap operasi adalah 2-10 kg. Harga jual untuk kerang jenis ini adalah Rp. 15.000,- per kg. Alat yang digunakan dalam melakukan penangkapan kepiting adalah cangkul. Pembibitan Mangrove Mangrove yang dijadikan benih pembibitan oleh masyarakat di Kota Tarakan, berjenis Avicennia (nama lokal: Api-api), Sonneratia (nama lokal: Bogem), Rhizhophora (nama lokal: Bakau), dan Bruguiera (nama lokal: Tanjang). Harga jual untuk bibit magrove Api-api yaitu Rp. 1.500,sampai dengan Rp. 2.000,-; Bogem Rp. 2.000,-; Bakau Rp. 1.500,- sampai dengan Rp. 2.000,-; dan Tanjang Rp. 2.000,-. Rata-rata produksi bibit mangrove yang diusahakan per periode untuk jenis Api-api berjumlah 2.000-10.000; Bogem 10.000; Bakau 2.000-10.000; dan Tanjang 10.000 bibit. Siklus pembibitan mangrove yang dilakukan dalam satu tahun adalah 3 kali dan seluruh bibit yang diusahakan dijual semuanya. Pendapatan yang diperoleh oleh masyarakat yang melakukan kegiatan pembibitan mangrove berkisar antara Rp. 3.000.000,- sampai dengan Rp. 10.000.000,- per periode. Pariwisata Kota Tarakan yang dulunya dikenal sebagai penghasil minyak, kini telah banyak mengalami perubahan sejak diberlakukannya otonomi daerah. Pesatnya perkembangan Kota Tarakan tak lepas dari letaknya yang sangat strategis, yaitu tepat di beranda depan perbatasan Indonesia dengan Sabah Malaysia dan Filipina Selatan. Kondisi geografis ini sangat menguntungkan terlebih didukung oleh komitmen pemerintah dan masyarakatnya untuk membangun daerah ini sebagai kawasan kota transit, industri, perdagangan, dan jasa. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pemerintah daerah setempat untuk berinvestasi pada sektor pengemabangan wisata (KPPT Kota Tarakan2, 2015).
146
Salah satu tempat wisata di Kota tarakan adalah Pantai Amal. Pantai Amal memiliki kawasan wisata Pantai Amal dengan garis pantai sepanjang 1,7 km dan lebar 200 m. Kunjungan wisatawan ke pantai tersebut, tiap tahun tak kurang dari 46.000 (wisatawan domestik dan internasional). Pantai Amal terletak di Desa Pantai Amal, kecamatan Tarakan Timur. Pantai Amal memiliki dua anakan pantai, yaitu pantai Amal Lama dan pantai Amal Baru (KPPT Kota Tarakan2, 2015). Tujuan wisata lainnya di Kota Tarakan adalah kawasan konservasi hutan mangrove. Luas area kawasan hutan mangrove ini kurang lebih 21 hektar. Keberadaan obyek wisata hutan mangrove, dikarenakan pada awalnya Kota Tarakan dikelilingi oleh hutan mangrove yang lebat. Seiring dengan berkembangnya wilayah kota dan padatnya penduduk, menyebabkan area tersebut sudah banyak menghilang digantikan oleh kawasan pemukiman. Kawasan hutan mangrove selain menjadi obyek wisata, mempunyai fungsi lain sebagai paru-paru Kota Tarakan dan benteng pelindunggi kota dari abrasi air laut. Kawasan wisata mangrove tersebut berfungsi juga sebagai habitat alami pohon bakau dan fauna khas Tarakan. Hutan mangrove ini merupakan laboratorium hidup yang dimanfaatkan oleh peneliti, baik dari dalam maupun luar negeri. Hewan khas penghuni kawasan wisata mangrove di Kota Tarakan adalah Monyet Bekantan. Perbedaan yang paling menonjol dengan monyet pada umumnya, adalah hidungnya yang panjang. Ciri khas hidung panjang inilah yang menyebabkan monyet Bekantan sering dijuluki dengan monyet Belanda. Monyet Bekantan ini merupakan ciri sendiri dan daya tarik yang banyak membuat wisatawan ingin memasuki kawasan obyek wisata ini. Komitmen pemerintah daerah Kota Tarakan dalam mengembangkan obyek wisata diwujudkan dengan merencanakan membuat obyek wisata baru. Obyek wisata baru ini nantinya akan mengangkat salah satu potensi perikanan yang dimiliki, yaitu kepiting. Cetak biru wisata kepiting ini nantinya diperuntukkan untuk menjaga habitat kepiting yang saat ini dilindungi dan memberikan kepuasan bagi pengunjung untuk menikmati masakan kepiting yang dapat diambil sendiri di alamnya (jumlah kepiting yang diambil pengunjung dibatasi). Jumlah pengunjung wisata Pantai Amal dan mangrove di Kota Tarakan dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 53. Jumlah Pengunjung Wisata Pantai Amal dan Mangrove Kota Tarakan 2013 dan 2014 No. 1. 2.
Jenis Wisata Mangrove Pantai Amal
Tahun 2013 64.560 41.553
2014 45.800 28.802
Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga, 2014
147
4.2.2.2. Identifikasi Aktifitas Ekonomi Masyarakat Pesisir Kota Manado/Bunaken Taman Nasional Bunaken merupakan kawasan konservasi yang dikelola dengan sistim zonasi. Setiap zonasi mempunyai aturan spesifik dalam beraktifitas dan pemanfaatannya. Aturan tersebut bertujuan agar pihak pihak yang mempunyai kepentingan dengan Taman Bunaken dapat memperoleh manfaat dari taman Bunaken yang berkelanjutan dan lestari, dengan tidak mengganggu fungsi utama sebagai kawasan pelestarian alam. Masyarakat Bunaken dan Siladen mayoritas mata pencahariannya kerja di pariwisata. Pulau Siladen akan dijadikan bagian dari Bunaken, sedangkan di pulau Main dan mantehage mayoritas merupakan pemanfaat sumberdaya. Ada 10 komunitas yang tinggal di kawasan Taman Nasional Bunaken baik di bagian Utara maupun Selatan kawasan. Komunitas yang berbeda tersebut semuanya menginginkan akses kepada sumber-sumber kelautan dan daratan taman nasional. Komunitas yang dimaksud antara lain adalah nelayan lokal (dari luar maupun dalam kawasan), petani, penduduk sekitar, para pecinta selam, snorkeling, operator selam investor swasta, pemerintah daerah dan para peneliti Berdasarkan daerah operasi penangkapan ikan, nelayan di kawasan TN Bunaken terdiri dari 2 kelompok yaitu Nelayan yang beroperasi di dalam kawasan dan nelayan yang beroperasi di luar kawasan. Mayoritas nelayan yang beroperasi di dalam kawasan Bunaken sebagian besar merupakan Nelayan tradisional. Nelayan yang beroperasi diluar kawasan merupakan nelayan yang relative maju atau nelayan yang bekerja mengoperasikan armada milik orang lain dengan sistim buruh atau sewa. Jenis armada yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis besar biasanya menggunakan armada bermesin seperti katinting atau pelang dengan mesin temple di atas 5 PK maupun kapal besar lainnya (kapal long line), penangkapan dengan katinting atau pelang dilakukan oleh 2-5 orang yang beroperasi di laut lepas tetapi masih dekat dengan kawasan. Untuk jenis kapal besar lainnya, penangkapan dilakukan oleh banyak orang, daerah operasinya jauh di laut lepas dan biasanya armada bukan milik nelayan setempat, tetapi milik orang lain atau asing, dalam hal ini nelayan sebagai pekerja. Untuk nelayan yang menangkap ikan-ikan karang, mengoperasikan armadanya tidak jauh di sekitar terumbu karang, biasanya menggunakan jenis armada londe atau jenis kapal lain yang tanpa mesin, bahkan tanpa perahu. Aktifitas dilakukan pada saat air surut dengan mengail di lereng terumbu atau di laguna. Penangkapan jenis ikan pelagis kecil seperti tude, bobara, sako, dan ikan demersal seperti ikan lolosi, cumi, gacah, gora, kulit pasir dan jenis cardinalfish menggunakan alat tangkap jaring (soma). Misalnya untuk menangkap ikan pelagis kecil yang menggunakan armada penangkapan kapal pajeko alat tangkapnya adalah soma pajeko atau pukat cincin, untuk menangkapan ikan
148
demersal menggunakan alat tangkap soma garape atau gillnet. Untuk alat tangkap lainnya seperti sero, bubu, bagan dan panah ikan dioperasikan tidak menggunakan armada penangkapan. Bulan September – Desember di Taman Nasional Bunaken sedang musim angin barat. Pada musim ini angin, ombak dan arus besar sehingga banyak nelayan yang tidak melaut . Jenis ikan yang ditangkap merupakan jenis ikan pelagis, ikan karang dan jenis ikan lainnya. Jenisikan yang dominan ditangkap antara lain jenis ikan deho, ikan tuna, ikan pelagis lainnya seperti tude, malalugis dan jenis ikan karang seperti krapu, kakatua, cakalang dan jenis ikan lainnya. Pemasaran ikan kerapu pada umumnya untuk mensuply rumah makan sea food, ikantuna mensuplay permintaan ekspor, ikan cakalang mensuply permintaan industry perikanan di kota Bitung. Untuk jenis ikan ikan lainnya umumnya mensuply kebutuhan pasar lokalkota Manado dan kota kota di sekitarnya. 4.2.2.3.
Identifikasi Aktifitas Ekonomi Masyarakat Pesisir Kabupaten Gorontalo Utara
Perikanan Tangkap Kabupaten Gorontalo Utara termasuk pada wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Laut Sulawesi sampai Samudera Pasifik. Potensi perikanan tangkap yang dimiliki Kabupaten Gorontalo Utara sebesar 590.970 ton yang terdiri dari ikan pelagis besar 175.260 ton, ikan pelagis kecil 384.750 ton, dan jenis ikan lainnya sebesar 30.960 ton (DKP Kabupaten Gorontalo Utara (2010) dalam Baruadi dan Remi, 2012 ). Pada tahun 2013 jumlah armada penangkapan ikan terdiri dari perahu tanpa motor 1.118 unit, perahu motor tempel 1.689 unit, dan kapal motor 159 unit (DKP Kabupaten Gorontalo Utara (2010) dalam Baruadi dan Remi, 2012). Pentingnya mengetahui potensi sumber daya ikan adalah untuk mengoptimalkan pengelolaan oleh nelayan, swasta, dan pemerintah (Baruadi dan Remi, 2012). Produksi perikanan tangkap menurut kecamatan di Kabupaten Gorontalo Utara pada tahun 2013, dapat dilihat pada Tabel berikut : Tabel 54.
Produksi Perikanan Tangkap Kabupaten Gorontalo Utara Tahun 2013 Kecamatan
Atinggola Gentuma Raya Kwandang Tomilito Ponelo Kepulauan Anggrek Manano Sumalata
Perikanan Laut (Ton) 875,33 7.659,17 8.096,84 437,67 656,5 437,67 656,5 1.094,17 149
Kecamatan Sumalata Timur Biau Jumlah (Ton)
Perikanan Laut (Ton) 1.094,17 437,67 21.883,35
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Gorontalo Utara dalam BPS Gorontalo Utara, 2014
Berdasarkan Tabel, diketahui bahwa potensi perikanan tangkap di Kabupaten Utara besar dan baru sebagian kecilyang dapat dikelola. Kondisi ini membutuhkan adanya dorongan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk memanfaatkan potensi secara optimal, tanpa menghiraukan
keberlanjutannya.
Pengembangan
kebijakan
dan
teknologi
penangkapan
merupakan upaya-upaya yang dapat dilaksanakan dalam meningkatkan pemberdayaan potensi perikanan yang dilakukan oleh nelayan Kabupaten Gorontalo Utara. Jumlah nelayan menurut kecamatan di Kabupaten Gorontalo Utara tahun 2013, dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 55.
Jumlah Nelayan di Kabupaten Gorontalo Utara Tahun 2013 Kecamatan
Nelayan 199 336 237 296 633 415 248 410 316 221 168 3.515
Atinggola Gentuma Raya Kwandang Tomilito Ponelo Kepulauan Anggrek Manano Sumalata Sumalata Timur Tolinggula Biau Jumlah (Ton)
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Gorontalo Utara dalam BPS Gorontalo Utara, 2014
Tabel tersebut, menunjukkan bahwa perikanan merupakan mata pencaharian yang dapat diandalkan. Hal ini digambarkan dengan banyaknya jumlah nelayan yang memanfaatkan perairan di wilayah Kabupaten Gorontalo Utara. Banyaknya jumlah nelayan tersebut diikuti dengan kuantitas perahu yang digunakan dalam menangkap ikan (Tabel 56). Tabel 56.
Jumlah armada perahu di Kabupaten Gorontalo Utara Tahun 2013
Kecamatan Atinggola Gentuma Raya Kwandang Tomilito Ponelo Kepulauan
Perahu Tanpa Motor 2 31 70 90 13
Perahu Motor Tempel
Kapal Motor
140 92 105 170 273
1 23 44 12 47 150
Perahu Tanpa Motor 81 80 319 158 175 99 1.118
Kecamatan Anggrek Manano Sumalata Sumalata Timur Tolinggula Biau Jumlah
Perahu Motor Tempel
Kapal Motor
300 154 163 165 100 27 1.689
16 9 5 1 1 159
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Gorontalo Utara dalam BPS Gorontalo Utara, 2014
Berdasarkan Tabel 56, diketahui bahwa banyaknyaarmadapenangkapan yang digunakan untuk menangkap ikan mempengatuhi terhadap pendapatan seluruh nelayan. Menurut DKP Provinsi Gorontalo (2014), pendapatan nelayan tangkapan laut Kabupaten Gorontalo Utara tahun 2014 Rp. 165.249.925.000,-, dengan rata-rata pendapatan nelayan per bulannya mencapai Rp. 2.216.000,-.Jumlah alat tangkap menurut kecamatan di Kabupaten Gorontalo Utara tahun 2013, dapat dilihat pada Tabel berikut.
Atinggola 5 1 5 109 1 Gentuma Raya 23 10 7 25 16 1 Kwandang 13 8 17 7 68 5 2 6 12 Tomilito 1 4 26 101 28 5 8 Ponelo 25 2 38 11 92 8 2 4 Kepulauan Anggrek 2 1 38 12 141 18 20 1 2 Manano 5 27 91 7 3 3 Sumalata 2 1 11 7 70 124 Sumalata 1 35 68 100 5 3 3 Timur Tolinggula 1 6 2 64 54 Biau 2 2 39 10 Jumlah 33 45 22 8 57 20 82 91 868 370 15 46 1 21 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Gorontalo Utara dalam BPS Gorontalo Utara, 2014
Perikanan Budidaya Kondisi perairan yang digunakan menjadi kawasanperikanan budidaya di Kabupaten Gororntalo Utara, mempunyai tipologi perairan relatif tenang. Hal ini disebabkan karena terlindungi badai dan gelombang, sehingga sangat cocok untuk kegiatan budidaya. Berdasarkan pengamatan, diketahui bahwa budidaya merupakan kegiatan yang didominasi oleh sebagian besar 151
Panah
Jala Tebar
Gillnet
Sero
Bubu
P. Tegak
P. Ulur
P. Rawai
Lainnya
Bagan Rakit
Bagan Perahu
Tramel Net
P. Pantai
Purse Seine
Kecamatan
Jumlah Alat Tangkapdi Kabupaten Gorontalo Utara Tahun 2013
Payang
Tabel 57.
33 2 35
masyarakat yang ada di Kecamatan Anggrek. Potensi perikanan budidaya di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi: a.
Budidaya laut - Rumput laut
: ± 3.395 Ha
- Budidaya ikan : ± 2.560 Ha (termasuk kerang mutiara) b.
Budidaya air payau
: ± 636 Ha
c.
Budidaya air tawar
: ± 95 Ha
Penyebaran potensi perikanan budidaya per kecamatan di Kabupaten Gorontalodapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 58.
Potensi perikanan budidayadi Kabupaten Gorontalo Utara Tahun 2014
Kecamatan Anggrek Manano Kwandang Ponelo Kepulauan Tomilito Sumalata Sumalata Timur Tolinggula Biawu Atingola Gentuma Raya Jumlah
Rumput Laut 1.070 1.575 700 50 3.395
Air Payau 173 383 20 35 25 636
Air Tawar 10 10 15 5 25 15 15 95
KJA laut 30 25 95 25 20 20 25 240
Sumber: DKP Gorontalo Utara, 2015
Berdasarkan Tabel tersebut, diketahui bahwa rumah tangga perikanan (RTP) budidaya yang ada di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi: - Tambak
: 178
- Rumput laut
: 620
- Air Tawar
: 150
- KJA laut
: 150
- KJA air tawar
: 100
Pemanfaatan perikanan budidaya di Kabupaten Gorontalo Utara per kecamatan, dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 59. Kecamatan Anggrek
Pemanfaatan Perikanan Budidayadi Kabupaten Gorontalo Utara, 2014 Rumput Laut 232
Air Payau 90.5
Air Tawar 5
KJA laut 10 152
Kecamatan Manano Kwandang Ponelo Kepulauan Tomilito Sumalata Sumalata Timur Tolinggula Biawu Atingola Gentuma Raya Jumlah
Rumput Laut 105 52
Air Payau 239 -
Air Tawar 2 5 1
KJA laut 5 15 10
389
330
5 5 5 28
1 10 10 61
Sumber: DKP Gorontalo Utara, 2015
Berdasarkan Tabel tersebut., diketahui bahwa kelembagaan usaha perikanan budidaya (pokdakan) di Kabupaten Gorontalo Utara meliputi: -
Kelompok Budidaya Rumput Laut
: 53
-
Kelompok Kebun Bibit Rumput Laut
:6
-
Kelompok Budidaya Tambak
-
Kelompok Budidaya Air Tawar
: 10
-
Kelompok KJA Laut
:19
-
KJA Tawar
: 10
:10
Target produksi perikanan budidaya di Kabupaten Gorontalo Utara tahun 2010-2014, dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 60.
Target Produksi Perikanan Budidaya di Kabupaten Gorontalo Utara
Komoditas Udang Windu Udang Vaname Rumput Laut Kerapu/Kuwe Bandeng Kakap Nila Patin Mas Gurame Lele Lainnya
2010 75 1 20.000 1.000 3 4 7.5 5.5
2011 80 1.20 32.588 4.66 1.000 16.67 7 6.67 8.33 6.673
Tahun (Ton) 2012 2013 98.72 234 1.48 10 39.105 41.110 5.76 6 1.293 5.340 20.62 30 8.66 4 8.25 50 10.30 10 8.251,36 10.204,34
2014 250 100 43.830 8 6.90 40 5 60 15 12.619,70
Sumber: DKP Gorontalo Utara, 2015
153
Produksi perikanan budidaya per komoditas di Kabupaten Gorontalo Utara tahun 20102014, dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 61.
Produksi Perikanan Budidaya di Kabupaten Gorontalo Utara
Komoditas Udang Windu Udang Vaname Rumput Laut Kerapu Bandeng Kakap Nila Patin Mas Gurame Lele Ikan Hias Kuwe Lobster Lainnya
2010 77 18.821 152 -
2011 19.01 20.262,80 0.51 47.74 4.28 3.3 -
0.1
8.84 0.1
Tahun (Ton) 2012 2013 109 103 105 28.288 36.578 395 2.375 10 46 5 23 6 4 55 13 0.20 1.17 6
2014 6.33 100.6 28.443 18.74 8.45 3.45 0.52 14.06 3 1.50
Sumber: DKP Gorontalo Utara, 2015
Berdasarkan Tabel 61, diketahui bahwa kendala yang dialami oleh pembudidaya rumput laut di Kabupaten Gorontalo Utara adalah:
Adanya perubahan iklim yang mempengaruhi terhambatnya pertumbuhan budidaya rumput laut;
Harga pasaran yang berubah-bubah untukkomoditas rumput laut;
Kurang tersedianya bibit rumput laut. Permasalahan secara umum yang dihadapi oleh para pembudidaya di Kabupaten Gorontalo
Utara yaitu:
Lemahnya kelembagaan pada tingkat pembudidaya dan kurangnya personil petugas perikanan yang ada di lapangan dalam melakukan pembinaan.
Rendahnya manajemen usaha budidaya perikanan, serta kurangnya pengetahuan masyarakat dalam mengelola dan memelihara sumber daya kelautan perikanan.
Kapasitas sumber daya manusia yang rendah (pada umumnya pembudidaya yang tinggal di wilayah pesisir mempunyai pendidikan SD-SMP).
Kelembagaan pengelolaan belum optimal secara hukum.
Belum terdapat pedoman teknis untuk mengatur ruang pengembangan wilayah budidaya. Pencari Kepiting 154
Masyarakat pencari kepting di Kabupaten Gorontalo Utara dilakukan dalam sehari sampai dengan 7 hari sekali.Rata-rata jumlah kepiting yang diperoleh setiap operasi penangkapan adalah 1-25 ekor, dengan ukuran 2-10 ekor/kg. Harga jual untuk kepiting yang diperoleh tergantung dari ukurannya, yaitu berkisar Rp. 20.000,-/kg sampai dengan Rp. 100.000,-/kg. Jenis alat tangkap yang digunakan untuk mencari kepiting adalah jerat dan perangkap. Masyarakat pencari kepiting di Kabupaten Gorontalo tidak menjadikan aktivitasnya ini sebagai mata pencaharian utama maupun sampingan. Jumlah masyarakat yang mencari kepiting ini tidak banyak dan biasanya mereka tinggal di wilayah pesisir yang berdekatan dengan kawasan mangrove. Pencari Satwa Masyarakat yang melakukan aktivitas untuk mencari satwa di Kabupaten Gorontalo Utara, biasanya adalah sekedar hobi saja. Hal ini dilakukan untuk mengisi waktu luang setelah beraktivias melakukan pekerjaan utama mereka. Kegiatan masyarakat untuk mencari satwa ini tidak ada yang dijadikan sebagai pekerjaan sampingan. Satwa yang biasanya mereka buru adalah Kelelawar; Madu Lebah hutan;Ular; Burung; Bia Pakudan Bia Bor. Hasil buruan yang diperoleh mereka ada yang dijual dan ada yang untuk dikonsumsi pribadi. Kegiatan mencari satwa ini dilakukan oleh masyarakat intervalnya 2-7 hari sekali dalam seminggu. Hasil buruan untuk Kelelawar rata-rata sekali berburu mendapatkan 15-25 ekor, dengan harga Rp. 7000 per ekor. Jumlah rata-rata hasil yang didapat untuk ular sekali buruan adalah 15 ekor (harga per ekor Rp. 7000,-), sedangkan Madu Lebah hutan hasil yang didapat dalam sekali berburu 7-8 botol (harga Rp. 100.000,- per botol).Pencari satwa burung di Kabupaten Gorontalo Utara, rata mendapatkan 3-5 ekor sekali berburu dan harga per ekornya mencapai Rp. 50.000,- per ekor. Berdasarkan hasil kajian diketahui bahwa harga burung tergantung jenisnya (bila yg dijual dalam keadaan hidup). Masyarakat yang mencari satwa Bia (kerang laut), hasilnya tidak diperjualbelikan dan hanya untuk konsumsi sendiri. Alat yang dipakai untuk memburu kelelawar ini adalah kayu sepanjang 1,5 meter yang ujungnya dibuat runcing seperti tombak, sedangkan untuk menangkap burung menggunakan perangkap. Untuk mencari Bia biasanya digunakan alat pisau atau martil dan untuk menngambil Madu Lebah hutan, digunakan baju pengaman untuk menghindari sengatan. Pariwisata Kabupaten Gorontalo Utara merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Gorontalo (Induk). Sebagai daerah Otonom baru roda pemerintahannya telah berjalan ± 5 tahun dan masih menata identitas sesuai potensi alam. Upaya yang dilakukan adalah menumbuhkembangkan segala aspek sarana dan prasarana tempat wisata. Pembangunan kepariwisataan diarahkan pada
155
pengembangan sektor andalan dan penghasil devisa yang diperlukan untuk mendorong dan mempercepat laju pembangunan daerah. Tindak lanjut untuk menyikapinya, dilakukan dengan mendayagunakan berbagai potensi kepariwisataan dilakukan daerah dengan tetap memperhatikan kepribadian bangsa, nilai-nilai agama serta kelestrian fungsi dan lingkungan hidup, memperkaya budaya daerah secara terpadu(Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Gorontalo Utara, 2014). Tempat wisata di Kabupaten Gorontalo Utara yang menjadi favorit pengunjung, salah satunya adalah Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan (Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Gorontalo Utara, 2014). Pulau Saronde terkenal dengan pantai pasir putihnya yang indah, dengan aktivitas berenang, berselancar, ski air, menyelam, serta snorkeling. Pulau cantik yang terletak di utara Teluk Kwandang perairannya dikenal bersih dan belum tercemar. Jumlah pengunjung yang tercatat pada tahun 2015 ke Pulau Saronde berjumlah 2.948 wisatawan, baik dari lokal maupun mancanegara. Biaya masuk per orang ke tempat wisata Pulau Saronde sebesar Rp. 10.000,-. Pulau Saronde terletak dberjarak sekitar 65 km dari pusat Kota Gorontalo, dengan waktu tempuh sekitar satu jam. Perjalanan dari pusat Kota Gorontalo ditempuh dengan menggunakan kendaraan darat. Bagi pengunjung yang memilih naik angkot, biaya yang dikeluarkan per orang sekitar Rp. 15.000,- (Anonimous, 2015). Setelah itu perjalana dialnjutkan dengan menggunakan jasa air (taxi wisata) dengan waktu tempuh sekitar 60 menit dan biayanya per orang Rp. 10.000 menuju Pulau Saronde.Kapasitas muatan taxi wisata 20 orang dan jika menyewa kapal akan dikenakan biaya Rp. 500.000,- pulang balik (Gunadi, 2015). Kondisi tempat wisata Pulau Saronde saat ini dirasakan belum maksimal, terutama penginapan dan pemenuhan kebutuhan air bersih.Pembenahan tempat wisata ini, sudah mulai dilakukan dengan memperbaiki sarana pendukung wisata maupun sarana angkutan atau taxi wisata, yang diakomodir oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Gorontalo Utara (Anonimous, 2015). 4.3 Nilai Sumberdaya Pesisir dan Laut 4.3.1. Nilai Sumberdaya Pesisir dan Laut WPP 714 4.3.1.1. Nilai Sumberdaya Pesisir dan Laut Kabupaten Wakatobi Nilai Ekologi a. Mangrove Ekosistem secara tidak langsung memberi manfaat kepada manusia melalui fungsi ekologi yang melekat padanya. Salah satu manfaat tidak langsung ekosistem mangrove adalah sebagai penyimpan karbon. Karbon secara massif tersimpan pada bawah permukaan tanah di sekitar
156
ekosistem mangrove. Selain itu, karbon juga tersimpan pada batang dan daun pohon, akar, dan kayu mati yang ada disekitarnya. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata karbon yang tersimpan adalah sebesar 373 Mg C per Ha. Nilai ini lebih kecil bila dibandingkan dengan penelitian Donatoa et.al (2012) yang menunjukkan rata-rata karbon yang tersimpan untuk mangrove laut adalah 990 Mg C per ha. Sementara itu luasan mangrove di sekitar Wakatobi berdasarkan analisis citra landsat 8 diketahui luasan mangrove mencapai 804,45 Ha. Atas dasar hal tersebut dapat diketahui nilai serapan karbon mangrove mencapai 300.060 Mg C per ha. Simpanan karbon tersebut cukup tinggi yang apabila dinilaikan dengan nilai moneter sebesar 16,5 US$ per metrik ton C sehingga menghasilkan nilai sebesar Rp. 66.838.331.588/ tahun.
Gambar 65.
Peta Nilai Manfaat Tidak Langsung fungsi Penyerap Karbon Sumberdaya Pesisir dan Laut di Wakatobi
Secara fisik mangrove juga memiliki fungsi sebagai peredam gelombang. Penghitungan nilai manfaat ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode biaya pengganti. Sebagai dasar ukuran digunakan standar pembangunan break water oleh Kementerian Pekerjaan Umum dimana kisaran harga per meter kubik berkisar antara Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 600.000. Santoso (2005) mengungkapkan untuk menghitung nilai pengganti ekosistem sebagai fungsi ini hanya sepertiga dari pembangunan break water. Panjang mangrove yang berfungsi sebagai green belt ini
157
diketahui sebesar 85.206 meter. Atas dasar tersebut dapat dihitung kebutuhan pembangunan penahan gelombang sebagai nilai pengganti dengan mengalikan panjang dan dimensi yang dibutuhkan per tiap meter panjang. Berdasarkan pendapat ahli diketahui bahwa dimensi yang dibutuhkan adalah 6 meter dengan asumsi 3 meter sebagai pondasi dan 3 meter lainnya sebagai rentang pasang surut perairan. Dengan demikian kebutuhan biaya pembangunan diperkirakan mencapai 281.181.780.000 sehingga nilai manfaat mangrove sebagai fungsi ini adalah Rp. 93.727.260.000/ tahun. Bila nilai tersebut dibagi dengan luasan mangrove yang ada maka nilai yang terbentuk adalah 116.510.983/ha/tahun.
Gambar 66. Peta Nilai Manfaat Tidak Langsung fungsi Break Water sumberdaya Pesisir dan Laut di Wakatobi b.
Terumbu Karang Terumbu karang berfungsi sebagai proteksi lingkungan pesisir khususnya dari ancaman
erosi akibat gelombang yang besar. Untuk mendapatkan nilai ekonomi dari fungsi ini didekati dengan biaya pengganti sebesar sepertiga dari biaya pembangunan pemecah gelombang. Berdasarkan hasil workshop diketahui bahwa standar biaya yang digunakan untuk setiap meter kubiknya berkisar antara Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 600.000 sehingga diambil nilai tengah sebesar Rp. 550.000 per meter kubik. Kemudian setiap satu meter panjang pemecah gelombang
158
memiliki dimensi sebesar 6 meter kubik dengan asumsi lebar 1 meter dan ketinggian 6 meter. Tinggi 6 meter dibuat dengan catatan pondasi sebesar 3 meter dan 3 meter lebihnya adalah ratarata jarak permukaan tertinggi dengan permukaan terendahair laut. Panjang pantai yang dilindungi oleh karang pada wilayah Wakatobi diperkirakan mencapai 338.371 meter sehingga nilai yang terbentuk adalah Rp. 372.208.100.000atau sebesar Rp. 18.742.929/ ha. Terumbukarang juga merupakan tempat yang sangat produktif dimana menurut hasil penelitian Dahuri (2003) melaporkan bahwa potensi lestari ikan karang konsumsi ditinjau dari Sembilan WPP, tercatat sekitar 1.452.500 ton/tahun. Sehingga dengan total area 50.000 Km2,maka MSY (Maximum Sustainable Yield) ikan karang di Indonesia terdapat sekitar 29,05 ton/km2/tahun atau setara dengan 290 kg per hektar per tahun. Atas dasar tersebut, nilai eksisting terumbu karang sebagai fungsi penyedia sumberdaya ikan dengan asumsi harga ratarata tertimbang ikan sebesar Rp. 25.310 dapat dihitung yaitu sebesar Rp. 400.024.550.000/tahun atau Rp. 7.339.900/ha/tahun.
Gambar 67. Peta Nilai manfaat tidak langsung fungsi produktifitas primer pertumbuhan ikan sumberdaya pesisir dan Laut di wakatobi Nilai Sosial Budaya
159
Nilai sosial budaya dinterpretasikan dengan keinginan membayar terhadap sesuatu yang sifatnya tidak memiliki nilai pasar seperti religi, budaya, keindahan dan sejenisnya. Oleh karena itu ia sering diklasifikasikan pula kedalam nilai bukan manfaat. Nilai bukan manfaat (Non Use Value) Mangrove Nilai bukan kegunaan dari hutan mangrove di Wakatobi dihitung berdasarkan fungsi keberadaan ekosistem tersebut bagi penduduk setempat. Metode penilaian keberadaan kawasan hutan mangrove dilakukan melalui teknik CVM. Berdasarkan hasil wawancara dengan 18 orang penduduk sekitar hutan mangrove di Wakatobi diperoleh persamaan yang menunjukkan hubungan jumlah penduduk yang bersedia membayar untuk kelestarian hutan mangrove dengan faktor yang mempengaruhinya. Hubungan tersebut dapat dilihat pada persamaan regresi linear berikut. Q = 13,8391980 - 0,0000073 WTP + 0,0995064 Pdk + 0,0000001 Pdpt - 0,0674767 Usa0,3259650 Knw + 1,0670113Func - 0,823836Bnft - 0,9411629Qlty - 1,0923959Agrrd + 0,9791292Wlllng + 0,0617962Cntrb. Dimana : Q
= Persentase penduduk yang mempunyai kerelaan membayar pada tingkat WTP tertentu
WTP
= Kerelaan penduduk untukmembayar nilai sumberdaya
Pdk
= tingkat pendidikan penduduk
Pdpt
= Nilai pendapatan penduduk
Usa
= Usia penduduk
Knw
= Pengetahuan penduduk terhadap mangrove
Func
= Tingkat pengetahuan penduduk terhadap fungsi mangrove
Bnft
= Persepsi penduduk terhadap manfaat keberadaan mangrove
Qlty
= Persepsi penduduk terhadap kondisi mangrove
Agrrd = Persepsi penduduk terhadap peniadaan mangrove Wllng = Tingkat kesediaan penduduk untuk menjaga mangrove Cntrb = Tingkat kontribusi untuk mempertahankan keberadaan mangrove Berdasarkan persamaan regresi linier yang terbentuk selanjutnya dapat diperoleh fungsi permintaan dan kurva sebagai berikut. 𝑓(𝑄) = −1,378012635 105 𝑄 + 1,218481464 106
160
Gambar 68.
Kurva CVM Mangrove di Wakatobi
Berdasarkan fungsi permintaan yang terbentuk selanjutnya dapat diketahui nilai WTP rata sebesar Rp.452.918,89 sehingga dengan jumlah penduduk Kab. Wakatobi sebanyak 95.157 jiwa dan luas mangrove sebesar 804,45 hektar maka dapat diperoleh nilai bukan kegunaan mangrove di Wakatobi pada tahun 2015 sebesar Rp.43.098.402.708,58 atau nilai produktivitasnya mencapai Rp.53.574.992,49 per hektar per tahun.
Gambar 69.
peta nilai sosial budaya sumberdaya pesisir dan lautan di wakatobi
161
Nilai Bukan Manfaat (Non Use Value) Lamun Berdasarkan hasil wawancara dengan 14 orang penduduk sekitar kawasan lamun di Wakatobi diperoleh persamaan yang menunjukkan hubungan jumlah penduduk yang bersedia membayar untuk kelestarian lamun dengan faktor yang mempengaruhinya. Hubungan tersebut dapat dilihat pada persamaan regresi linear berikut. Q = 143,5202616 - 0,0000082 WTP + 0,1806481 Pdk - 0,0000001 Pdpt - 0,2191636 Usa 20,4365815 Knw - 2,2798140 Bnft – 8,0352380 Qlty + 10,0789938 Agrrd – 27,7855364 Wlllng + 24,5312205 Cntrb. Dimana : Q
= Persentase penduduk yang mempunyai kerelaan membayar pada tingkat WTP tertentu
WTP
= Kerelaan penduduk untukmembayar nilai sumberdaya
Pdk
= tingkat pendidikan penduduk
Pdpt
= Nilai pendapatan penduduk
Usa
= Usia penduduk
Knw
= Pengetahuan penduduk terhadap lamun
Bnft
= Persepsi penduduk terhadap manfaat keberadaan lamun
Qlty
= Persepsi penduduk terhadap kondisi lamun
Agrrd
= Persepsi penduduk terhadap peniadaan lamun
Wllng
= Tingkat kesediaan penduduk untuk menjaga lamun
Cntrb
= Tingkat kontribusi untuk mempertahankan keberadaan lamun
Berdasarkan persamaan regresi linier yang terbentuk selanjutnya dapat diperoleh fungsi permintaan dan kurva sebagai berikut. 𝑓(𝑄) = −1,223727919 105 𝑄 + 1,676585930 106
162
Gambar 70.
Kurva CVM Lamun di Wakatobi
Berdasarkan fungsi permintaan yang terbentuk selanjutnya dapat diketahui nilai WTP rata sebesar Rp.617.392,86 sehingga dengan jumlah penduduk Kab. Wakatobi sebanyak 95.157 jiwa dan luas lamun sebesar 850,35 hektar maka dapat diperoleh nilai bukan kegunaan lamun di Wakatobi pada tahun 2015 sebesar Rp. 58,749,252,070.15 atau nilai produktivitasnya mencapai Rp.69,088,319.01 per hektar per tahun. Nilai Bukan Manfaat (Non Use Value) Terumbu Karang Nilai bukan kegunaan dari terumbu karang di Wakatobi dihitung berdasarkan fungsi keberadaan ekosistem tersebut bagi penduduk setempat. Metode penilaian keberadaan terumbu karang dilakukan melalui pendekatan teknik CVM. Berdasarkan hasil wawancara dengan 18 orang penduduk sekitar kawasan terumbu karang di Wakatobi diperoleh persamaan yang menunjukkan hubungan jumlah penduduk yang bersedia membayar untuk kelestarian terumbu karang dengan faktor yang mempengaruhinya. Hubungan tersebut dapat dilihat pada persamaan regresi linear berikut. Q = 15,23401432 - 0,00000316 WTP - 0,06466379 Pdk - 0,00000007 Pdpt - 0,07915850 Usa + 0,19877794 Knw + 0,45882903 Func + 006054605 Qlty - 0,25654817 Agrrd + 1,58997392 Wlllng – 2,40013983 Cntrb. Dimana : Q
= Persentase penduduk yang mempunyai kerelaan membayar pada tingkat WTP tertentu
WTP
= Kerelaan penduduk untukmembayar nilai sumberdaya
Pdk
= tingkat pendidikan penduduk 163
Pdpt
= Nilai pendapatan penduduk
Usa
= Usia penduduk
Knw
= Pengetahuan penduduk terhadap terumbu karang
Func
= Tingkat pengetahuan penduduk terhadap fungsi terumbu karang
Qlty
= Persepsi penduduk terhadap kondisi terumbu karang
Agrrd = Persepsi penduduk terhadap peniadaan terumbu karang Wllng = Tingkat kesediaan penduduk untuk menjaga terumbu karang Cntrb = Tingkat kontribusi untuk mempertahankan keberadaan terumbu karang Berdasarkan persamaan regresi linier yang terbentuk selanjutnya dapat diperoleh fungsi permintaan dan kurva sebagai berikut. 𝑓(𝑄) = −3,162877386 105 𝑄 + 2,390721992 106
Gambar 71.
Kurva CVM Terumbu Karang di Wakatobi
Berdasarkan fungsi permintaan yang terbentuk selanjutnya dapat diketahui nilai WTP rata sebesar Rp.530.205,88 sehingga dengan jumlah penduduk Kab. Wakatobi sebanyak 95.157 jiwa dan luas terumbu karang sebesar 675,06 hektar maka dapat diperoleh nilai bukan kegunaan terumbu karang di Wakatobi pada tahun 2015 sebesar Rp.50,452,801,141.33
atau nilai
produktivitasnya mencapai Rp.74,738,247.18/Ha/tahun. Nilai Ekonomi EKOSISTEM MANGROVE a.
Penangkapan Kepiting Keberadaan ekosistem mangrove yang ada di Wakatobi dimanfaatkan oleh masyarakat
sekitar untuk kegiatan penangkapan kepiting dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana. 164
Terkait dengan penilaian ekonomi terhadap aktivitas kegiatan penangkapan kepiting dilakukan dengan menggunakan analisis effect on production (EoP). Dari hasil estimasi diperoleh nilai ekonomi pemanfaatan kepiting total dengan pendekatan surplus produsen adalah Rp. 2.931.715.169/ tahun. Nilai tersebut diperoleh dari total populasi pencari kepiting yang diketahui hanya sebesar 20 orang saja dengan luas mangrove 2.383 Ha, sehingga diketahui produktivitas persatuan luas mangrove adalah Rp. 1.230.262/ha/tahun. Pada Gambar berikut dapat dilihat fungsi permintaan Effect On Production (EOP) aktifitas dari kegiatan penangkapan kepiting pada ekosistem mangrove. 100.000.000 90.000.000 80.000.000 70.000.000 60.000.000 50.000.000 40.000.000 30.000.000 20.000.000 10.000.000 y = 89.095.682,451x-1,192
0 0
Gambar 72.
50
100
150
200
250
300
350
400
450
Grafik Fungsi Permintaan Penangkapan ikan pada Ekosistem Mangrove di Wakatobi Sumber : Data primer diolah, 2015
b.
Pemanfaatan Kayu Mangrove Pemanfaatan kayu mangrove yang ada di Kabupaten Wakatobi banyak digunakan sebagai
bahan bakar rumah tangga. Sebagian besar pemanfaatan tidak dilakukan secara komersil melainkan kebutuhan subsisten atau untuk pemakaian sendiri. Berdasarkan pengakuan masyarakat, kayu mangrove yang digunakan merupakan kayu yang sudah mati dan kering. Namun demikian berdasarkan pengamatan di lapangan dan wawancara dengan responden kunci diketahui bahwa kayu yang dimanfaatkan juga meliputi kayu yang masih hidup. Jenis kayu yang banyak dimanfaatkan diantaranya adalah Rhizopora atau yang dikenal oleh masyarakat sebagai kayu bakau. Masyarakat tidak semua memanfaatkan kayu mangrove untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Bahkan penggunaan kayu mangrove sangat melekat pada idetitas kesukuan 165
tertentu yang mendiami beberapa kawasan di Wakatobi yaitu suku Bajo. Masyarakat suku Bajo di Wakatobi dikenal sebagai salah satu yang terbesar di nusantara. Masyarakat yang terkenal dengan suku laut karena mendirikan pemukiman diatas laut ini masih menggunakan kayu mangrove sebagai bahan bakar rumah tangga. Masyarakat Bajo beralasan bahwa mereka tidak memiliki sumber lain yang dapat digunakan sebagai sumber bahan bakar. Berbeda halnya dengan masyarakat asli yang menguasai lahan sehingga kebutuhan akan kayu dapat diperoleh dari pohon di darat. Pemanfaatan kayu mangrove dilakukan dengan menggunakan sampan atau perahu kecil dengan mesin ketinting berukuran 1,5 pk. Jumlah kayu yang dapat diambil dalam satu kali operasi dengan menggunakan sampan adalah 40 ikat dengan ukuran panjang 1 meter dan diameter 0,025 m atau setara dengan 0,02 m3. Pengoperasian sampan dilakukan setiap hari mengingat jumlah yang dapat diambil terbatas. sementara dengan mesin ketinting dapat mengambil 0,22 m3 dalam sekali operasi untuk kebutuhan selama satu bulan. Rata-rata bahan bakar yang digunakan untuk sekali operasi adalah 2 liter pada setiap kali operasi. Nilai pemanfaatan bersih kayu mangrove berdasarkan hasil analisis diketahui sebesar Rp. 724.079/Ha/tahun. Nilai ini dihitung dengan mempertimbangkan populasi kepala keluarga masyarakat Bajo yang diperkirakan mencapai 2.000 KK dengan 12.000 Jiwa di seluruh Kabupaten Wakatobi. Secara rata-rata manfaat langsung yang diperoleh masyarakat adalah Rp. 307.500 per bulan. Tabel 62. Jenis
Rhizopora
Jenis Pemanfaatan Kayu Mangrove dan Nilai Produksi di Wakatobi Rata-rata Produksi (m3/bulan) 0,43
Harga (Rp/m3) 712.700
Nilai Produksi (Rp/bulan) 307.500
Jumlah Pemanfaat (KK) 2000
Luas Mangrove (Ha) 804,45
Net Benefit (Rp/Ha/Thn) 724.079
Sumber : Data Primer di Olah, 2015
EKOSISTEM LAMUN a. Penangkapan Ikan Pemanfaatan ekosistem lamun di Kabupaten Wakatobi adalah untuk daerah penangkapan ikan. Nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan masih tergolong dalam nelayan skala kecil. Berdasarkan hasi wawancara dengan nelayan, diperoleh informasi bahwa jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan pada eksosistem lamu terdiri dari sero, jaring, pancing, tombak dan panah. Beberapa jenis ikan yang ditangkap adalah jenis-jenis ikan ekonomis penting seperti ikan baronang, katamba, kakap, kerapu dan lain-lain. Daerah operasional kegiatan penangkapan ikan dilakukan di perairan Wakatobi seperti Perairan Peropa, Sampela, Lentea, Hoga, Sombano,
166
Wande-Wande. Musim penangkapan ikan terjadi pada bulan Agustus, September dan Oktober. Pada saat musim banyak, dalam satu trip nelayan dapat memperoleh hasil tangkapan sekitar 1050 kg, sedangkan pada saat musim sedang hasil tangkapan yang diperoleh sekitar 5-20 kg per trip, dan pada saat musim sedikit sekitar 1-5 kg per trip. Dalam satu kali trip BBM yang dihabiskan sekitar 1-10 liter tergantung dari lokasi penangkapannya dengan harga per liter sebesar Rp. 10.000. Dalam satu hari penerimaan yang diperoleh oleh nelayan bervariasi, tergantung dengan jenis dan jumlah tangkapan yang diperoleh. Untuk jenis ikan baronang harganya berkisar Rp. 20.000 – Rp. 30.000 per kg, ikan katamba berkisar Rp. 10.000 – Rp. 25.000, ikan kerapu berkisar antara Rp. 20.000 – Rp. 50.000, ikan kakap berkisar antara Rp. 20.000 – Rp. 35.000, dan untuk jenis cumi/sotong berkisar antara Rp. 20.000 – Rp. 30.000. Untuk menghitung nilai ekonomi kegiatan penangkapan ikan pada ekosistem lamun dilakukan dengan menggunakan analisis EoP dengan fungsi yang dibangun dari jumlah produksi (Kg/tahun), harga (Rp/kg), umur responden (tahun), tingkat pendidikan (tahun), jumlah anggota keluarga (orang), pendapatan (Rp/tahun), dan pengalaman usaha (tahun).Perhitungan dilakukan dengan wawancara terhadap 43 nelayan yang menangkap ikan, dengan rata-rata umur 43 tahun dan rata-rata pengalaman usaha 19 tahun. Rata-rata pendapatan yang diperoleh setiap tahunnya sebesar Rp. 104.598.242. Rata-rata produksi hasil tangkapan per tahun 7.624 kg, dengan harga jual rata-rata untuk seluruh jenis ikan adalah Rp. 29.128 per kg. Hasil analisa regresi menunjukkan bahwa tingkat harga (X1), pendidikan (X3), jumlah anggota keluarga (X4) dan pengalaman usaha (X6) berbanding terbalik dengan fungsi permintaan. Sedangkan faktor harga (X2) dan tingkat pendapatan (X5) berbanding lurus dengan fungsi permintaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa harga, pendidikan, jumlah anggota keluarga dan pengalaman usaha tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap fungsi permintaan. Hasil analisis regresi yang dilakukan menghasilkan persamaan sebagai berikut : 𝐿𝑛𝑌 = 497,597 − 0,068𝑋1 + 39,595𝑋2 + 203,203𝑋3 − 559,594𝑋4 + 6,730𝑋5 + 73,903𝑋6 Keterangan: Y
= Produksi ikan (Kg/tahun)
X1
= Harga (Rp/kg)
X2
= Umur (tahun)
X3
= Pendidikan (tahun)
X4
= Jumlah anggota keluarga (orang)
X5
= Tingkat pendapatan (Rp/tahun)
X6
= Pengalaman usaha (tahun)
167
Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa nilai adjusted R-Sq sebesar 0,80. Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel bebas yang digunakan dalam model yaitu harga, umur, pendidikan, jumlah anggota keluarga, pendidikan dan pengalaman usaha mampu menjelaskan keragaman variabel tidak bebas yaitu produksi hasil tangkapan ikan dalam satu tahun sebesar 80%. Apabila variabel – variabel tersebut meningkat, maka produksi ikan akan meningkat, begitupun dengan sebaliknya. Dari fungsi tersebut kemudian dilakukan estimasi nilai ekonomi sumberdaya ikan dengan menghitung besarnya nilai surplus konsumen (CS). Nilai total kesediaan membayar (U) sebesar Rp. 42.721.615 per pelaku usaha perikanan. Untuk mencari nilai ekonomi total berdasarkan fungsi tersebut,maka digunakan beberapa data diantaranya nilai b0 dan b1 sebesar 9.613 dan 0,068.Berdasarkan nilai – nilai tersebut, maka didapatkan estimasi nilai surplus bagi konsumen (CS)
sebesar
Rp.
425.582.512.Nilai
ekonomi
dari
ekosistem
lamun
sebesar
Rp.
752.429.881.216/tahun dan produktivitas Rp. 10.471.522/Ha/tahun, dengan jumlah populasi 1.768 orang dan luasan 850,35 Ha. Pada Gambar berikut dapat dilihat fungsi permintaan Effect On Production (EOP) aktifitas dari kegiatan penangkapan ikan pada ekosistem lamun.
Gambar 73.
Grafik Fungsi Permintaan Penangkapan ikan pada Ekosistem Lamun di Wakatobi Sumber : Data primer diolah, 2015
EKOSISTEM TERUMBU KARANG a. Penangkapan Ikan Pendekatan yang digunakan dalam menghitung nilai ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya ikan pada ekosistem terumbu karang adalah pendekatan fungsi linear. Fungsi linear mengasumsikan terjadinya hubungan yang tetap antara variabel yang diduga dengan variabel penduga. Pada kasus penghitungan nilai ekonomi terumbu karang, variabel yang perlu diduga
168
adalah kuantitas. Faktor penduga yang digunakan adalah harga, umur, pendidikan, dan jumlah keluarga. Pemilihan faktor penduga didasarkan atas dasar alasan motivasi seseorang untuk melakukan ekstraksi sumberdaya. Tabel 63. Nilai Rata-Rata dan Standar Deviasi dari Variabel Penangkapan Ikan pada Ekosistem Terumbu Karang di Wakatobi Variabel Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7
Keterangan Rata-Rata Produksi (Kg/tahun) Rata-rata Harga (Rp/Kg) Rata-rata Umur (tahun) Rata-rata Pendidikan (Tahun) Rata-rata Jumlah Keluarga (Jiwa) Rata-rata tingkat Pendapatan (Rp/tahun) Rata-rata Pengalaman Usaha (tahun) Rata-rata trip (kali per tahun)
Nilai Rata-rata 6.296 30.950 41 7 5 82.569.166
Standar Deviasi 5076 23481 13,46 3,31 2,22 72.966.259
20 132
13,61 88
Keterangan : N = 67
Berdasarkan hasil pengolahan data diketahui rata-rata produksi tahunan nelayan yang beroperasi di sekitar terumbu karang adalah 6.296 Kg/Tahun. Rata-rata trip pertahun adalah 88 trip sehingga dapat diketahui produksi rata-rata per trip adalah 47,6 Kg. Nelayan karang memiliki waktu operasi pertrip antara 1 sampai dengan 3 hari per trip. Harga rata-rata yang diterima oleh nelayan adalah Rp. 30.950. Kondisi ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pada ekosistem terumbu karang memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Beberapa jenis ikan yang memiliki nilai tinggi diantaranya adalah kerapu khususnya jenis sunu merah. Berdasarkan penghitungan secara langsung diketahui bahwa rata-rata pendapatan nelayan adalah Rp. 82.569.166/tahun atau Rp 6.880.764/bulan. Nilai tersebut cukup tinggi meski harus diimbangi dengan biaya hidup yang relatif lebih tinggi pula. Namun demikian pendekatan yang digunakan untuk menghitung nilai manfaat secara langsung adalah dengan pendekatan surplus konsumen. Surplus konsumen menghtiung total luasan ruang yang terbentuk dibawah kurva permintaan. Rata-rata usia responden diketahui 41 tahun dan telah melakukan usaha penangkapan selama 20 tahun. Informasi ini mengindikasikan bahwa usaha penangkapan banyak dilakukan oleh generasi yang berada dalam usia produktif dimana memulai usaha secara mandiri dimulai dari usia sekitar 21 tahun. Hal ini merupakan potensi sumberdaya manusia yang mendorong terjadinya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya. Fungsi linear yang terbentuk dari hasil regresi terhadap variabel-variabel penduga diatas dapat dituliskan sebagai berikut
169
𝑓(𝑞) ≔ −8.063511246𝑞 + 8179.52829 Formula yang dihasilkan diatas dapat diplot kedalam suatu kurva permintaan seperti tersaji pada gambar.
Gambar 74.
Grafik Fungsi Permintaan Penangkapan Ikan pada Ekosistem Terumbu Karang di Wakatobi Sumber : Data primer diolah, 2015
Nilai ekonomi yang dihasilkan dengan menghitung surplus konsumen adalah Rp. 159.817.245/orang/tahun sehingga diketahui nilai ekonomi berdasarkan populasi Rp. 373.017.285.444/tahun. Produktivitas penangkapan ikan karang bila dibandingkan dengan luasan ekosistem terumbu karang mencapai Rp. 6.844.354/ha/tahun. b.
Rumput Laut Kegiatan budidaya rumput laut di Kabupaten Wakatobi menggunakan sistem long line
(floating method). Menurut Kordi (2011), metode long line memiliki beberapa keuntungan antara lain tanaman cukup menerima sinar matahari, lebih tahan terhadap perubahan kualitas air, terbebas dari hama yang biasanya menyerang dari dasar perairan, pertumbuhannya lebih cepat, cara kerjanya lebih mudah, biayanya lebih murah dan kualitas rumput laut yang dihasilkan baik. Teknik budidaya rumput laut dengan metode ini menggunakan tali sepanjang 50-100 meter yang pada kedua ujungnya diberi jangkar dan pelampung besar, setiap 25 meter diberi pelampung utama yang terbuat dari drum plastik atau styrofoam. Pada setiap jarak 5 meter diberi pelampung berupa potongan styrofoam/karet sandal atau botol aqua bekas 500 ml.Bibit rumput laut diikat pada tali yang panjang selanjutnya dibentangkan di perairan. Jenis rumput laut yang dibudidayakan di Wakatobi sebagian besar didominasi jenis Eucheuma Spinosum, sedangkan sisanya adalah jenis Eucheuma Cottoni. Sebelum bibit rumput
170
laut diikat, terlebih dahulu bibit rumput laut tersebut dibersihkan dari kotoran-kotoran atau organisme penempel. Kondisi rumput laut yang dipilih adalah yang muda, segar, bersih serta bebas dari jenis rumput laut lainnya. Pada saat pemasangan tali utama harus diperhatikan arah arus pada posisi sejajar atau sedikit menyudut untuk menghindari terjadinya belitan tali satu dengan lainnya. Bibit rumput laut sebanyak 50 -100 gram diikatkan pada sepanjang tali dengan jarak antar titik lebih kurang 25 cm. Jangka waktu pemeliharaan rumput laut sekitar 35-60 hari sejak ditanam. Pemanenan dilakukan dengan cara mengangkat seluruh tanaman, sedangkan pelepasan tanaman dari tali ris dilakukan di darat. Penanaman kembali dilakukan dengan memilih bagian ujung tanaman yang masih muda. Untuk proses pengeringan diakukan dengan menjemur di bawah sinar matahari langsung. Penjemuran dilakukan selama 2-4 hari tergangung kondisi panas matahari. Penjemuran dilakukan di atas para-para untuk menghindari tercampurnya rumput laut dari kotoran seperti pasir, kerikil dan lain sebagainya. Setelah kering dan bersih dari segala macam kotoran, maka rumput laut dimasukkan ke dalam karung plastik dan siap untuk di jual. Untuk harga rumput laut kering jenis E. Spinosum berkisar Rp. 2.500 – Rp. 3.500 per kg, sedangkan untuk jenis E.Cottoni berkisar antara Rp. 7.500 – Rp. 8.000 per kg. Nilai ekonomi sumberdaya perikanan budidaya rumput laut di Kabupaten Wakatobi dilakukan dengan menggunakan analisis effect on production (EoP). Berdasarkan hasil analisa EoPterhadap aktivitas perikanan budidaya rumput laut, maka diperoleh fungsi permintaan budidaya rumput laut sebagai berikut: 𝐿𝑛𝑌 = 0,96 − 0,809𝑋1 − 0,261𝑋2 − 0,058𝑋3 − 0,25𝑋4 + 0,867𝑋5 + 0,192𝑋6 + 0,155𝑋7 Keterangan: Y
= Produksi rumput laut (Kg/tahun)
X1
= Harga rata – rata rumput laut (Rp/kg)
X2
= Umur responden (tahun)
X3
= Tingkat pendidikan (tahun)
X4
= Jumlah anggota keluarga (orang)
X5
= Tingkat pendapatan (Rp/tahun)
X6
= Pengalaman Usaha (tahun)
X7
= Jumlah panen dalam satu tahun (kali)
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa nilai adjusted R-Sq sebesar 0,69. Hal tersebut mengindikasikan bahwa variabel bebas yang digunakan dalam model yaitu harga, umur, pendidikan, pendapatan, jumlah keluarga, pengalaman usaha dan jumlah panen dalam satu tahun 171
mampu menjelaskan keragaman variabel tidak bebas yaitu produksi rumput laut dalam satu tahun sebesar 69%. Dari fungsi fungsi EoP tersebut, maka dapat dikatakan bahwa produksi rumput laut berbanding positif terhadap tingkat pendapatan pengalaman usaha dan jumlah panen dalam satu tahun. Dengan kata lain, apabila variabel – variabel tersebut meningkat, maka produksi rumput laut dapat meningkat pula. Sedangkan variabel harga rata-rata rumput laut, umur, pendidikan dan jumlah anggota keluarga pembudidaya berbanding negatif terhadap produksi rumput laut. Berdasarkan fungsi tersebut kemudian dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi sumberdaya rumput laut dengan menghitung besarnya nilai surplus bagi konsumen (CS). Nilai total kesediaan membayar (U) sebesar Rp. 34.658.686 per pelaku usaha perikanan.
Untuk
mencari nilai ekonomi total berdasarkan fungsi tersebut, maka digunakan beberapa data diantaranya rata – rata panen pembudidaya rumput laut dalam satu tahun sebanya 5.226kg/tahun. Selain itu digunakan juga nilai b0 dan b1 sebesar 7.916,522 dan 0,873.Berdasarkan nilai – nilai tersebut, maka didapatkan estimasi nilai surplus konsumen (CS) sebesar Rp. 15.634.919. Nilai ekonomi rumput laut sebesar Rp. 8.160.682.302 per tahun dan produktivitas Rp. 15.397.524/Ha/tahun, dengan jumlah populasi pembudidaya sebanyak 522 orang dan luas 530 Ha. Pada Gambar berikut dapat dilihat fungsi permintaan Effect On Production (EOP) aktifitas dari budidaya rumput laut pada ekosistem terumbu karang.
Gambar 75.
Grafik Fungsi Permintaan Aktivitas Budidaya Rumput Laut pada Ekosistem Terumbu Karang di Wakatobi Sumber : Data primer diolah, 2015
EKOSISTEM PELAGIS a.
Penangkapan Ikan Kegiatan penangkapan ikan pada ekosistem pelagis yang dilakukan oleh masyarakat
dengan menggunakan alat tangkap berupa jaring dan pancing dengan daerah operasional 172
penangkapan ikan (fishing ground) adalah Laut Banda, Perairan Wakatobi, perairan Mantigola, perairan Hoga, Binongko, dan perairan Wanci. Rata-rata jumlah teip dalam sebulan sekitar 9 (sembilan) hari sampai dengan 24 hari. Jenis ikan yang didapat antara lain tuna, tongkol, cakalang, lajang, sarden, tembang, baronang dan pari. Adapun sistem bagi hasil antara pemilik kapal dengan ABK adalah 50%. Biaya operasional yang digunakan untuk kegiatan melaut meliputi bahan bakar (bensin/solar), es balok dan ransum Harga bahan bakar yang digunakan untuk kegiatan melaut berkisar antara Rp. 9.000 – Rp. 10.000. Sedangkan biaya perawatan dalam satu tahun meliputi perbaikan kapal.perahu, mesin dan alat tangkap. Kegiatan penangkapan ikan terdiri dari 3 (tiga) musim, yaitu musim puncak, sedang dan paceklik.Jumlah trip nelayan dalam satu bulan rata-rata 25 kali atau 67 kali dalam satu tahun. Rata-rata hasil produksi yang diperoleh sebesar 6.205 kg dengan nilai produksi sebesar Rp. 170.786.092. Rata-rata penerimaan yang diperoleh nelayan sebesar Rp. 86.913.446. Untuk menghitung nilai ekonomi sumberdaya perikanan pelagis di Kabupaten Wakatobi dilakukan dengan menggunakan analisis effect on production (EoP). Berdasarkan hasil analisa regresi diketahui bahwa tingkat harga (X1) dan jumlah anggota keluarga (X2) berbanding terbalik dengan fungsi permintaan. Sedangkan faktor tingkat pendapatan (X3) dan pengalaman usaha (X4) berbanding lurus dengan fungsi permintaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat harga dan jumlah anggota keluarga tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap fungsi permintaan. Hasil analisis regresi yang dilakukan menghasilkan persamaan sebagai berikut: 𝐿𝑛𝑌 = 5.079,167 − 0,004𝑋1 − 1.002,865𝑋2 + 4,906𝑋3 + 104,685𝑋4 Keterangan: Y
= Produksi (Kg/tahun)
X1 = Harga (Rp/kg) X2 = Jumlah anggota keluarga (orang) X3 = Tingkat pendapatan (Rp/tahun) X4 = Pengalaman usaha (tahun) Dari fungsi tersebut kemudian dilakukan estimasi nilai ekonomi sumberdaya ikan dengan menghitung besarnya nilai surplus konsumen (CS). Nilai total kesediaan membayar (U) sebesar Rp. 23.544.384 per pelaku usaha perikanan. Sedangkan estimasi nilai surplus bagi konsumen (CS) sebesar Rp. 56.582.208.Nilai ekonomi ekosistem pelagis sebesar Rp. 183.439.518.174 per tahun dan produktivitas Rp. 95.541/ Ha/tahun, dengan jumlah populasi nelayan 3.242 orang dan luasan perairan 1.920.000 Ha. Pada Gambar berikut dapat dilihat fungsi permintaan Effect On Production (EOP) aktifitas dari penangkapan ikan pada ekosistem pelagis. 173
Gambar 76.
Grafik Fungsi Permintaan Penangkapan Ikan pada Ekosistem Pelagis di Wakatobi Sumber : Data primer diolah, 2015
Total Nilai Ekonomi Sumberdaya Pesisir di Wakatobi Berdasarkan hasil analisis, diketahui nilai total ekonomi sumberdaya pesisir di Wakatobi mencapai lebih dari 2,4 triliun rupiah. Sebagian besar masih disumbang dari nilai ekonomi yang teah dimanfaatkan. Meskipun demikian, nilai ekosistem secara ekologi juga cukup tinggi dimana 39% atau mendekati 1 triliun rupiah. Fakta ini menunjukkan bahwa kekayaan ekosistem meskipun tidak dimanfaatkan secara langsung telah memberikan manfaat ekonomi yang besar. Sayangnya hal ini seringkali baru disadari ketika sumberdaya sudah mengalami kerusakan akibat pemanfaatan yang tidak berkelanjutan. Tabel 64.
Nilai Total Ekonomi Sumberdaya Pesisir di Wakatobi
Jenis Nilai NILAI EKOLOGI 1. Mangrove a. Penyerapan karbon b. Penahan gelombang 2. Terumbu Karang a. Penahan gelombang b. Pertumbuhan ikan NILAI EKONOMI 1. Mangrove a. Penangkapan Kepiting b.
Kayu Mangrove
2. a.
Lamun Penangkapan Ikan
Produktivitas (Rp/ha/tahun)
Nilai Ekonomi (Rp/tahun) 932.798.241.588
Proporsi (%)
66.838.331.588 93.727.260.000
2,84 3,98
177.399.325.125 116.510.983
372.208.100.000 400.024.550.000 1.320.561.567.657
15,80 16,98 56,07
18.742.929 7.339.900
2.931.715.169
0,12
582.485.352
0,02
1.230.262 724.079
752.429.881.216
31,95
10.471.522
39,61
174
Jenis Nilai 3. Terumbu Karang a. Penangkapan Ikan b. Budidaya Rumput Laut 4. Pelagis a. Penangkapan Ikan NILAI SOSIAL BUDAYA DAN NON PEMANFAATAN 1. Mangrove 2. Lamun NILAI TOTAL EKONOMI
Nilai Ekonomi (Rp/tahun)
Proporsi (%)
Produktivitas (Rp/ha/tahun)
373.017.285.444 8.160.682.302
15,84 0,35
6.844.354 15.397.524
183.439.518.174
7,79
95.541
43.098.402.708 58.749.252.070 2.355.207.464.023
1,83 2,49 100
53.574.992 69,088,319
Sumber : Data Primer Diolah, 2015
Gambar 77.
Peta nilai manfaat langsung berbagai pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan di wakatobi
4.3.1.2. Nilai Sumberdaya Pesisir dan Laut Kabupaten Maluku Tengah A.
Nilai Ekologi Terumbu karang berfungsi sebagai proteksi lingkungan pesisir khususnya dari ancaman erosi
akibat gelombang yang besar. Untuk mendapatkan nilai ekonomi dari fungsi ini didekati dengan biaya pengganti sebesar sepertiga dari biaya pembangunan pemecah gelombang. Berdasarkan 175
hasil workshop internal diketahui bahwa standar biaya yang digunakan untuk setiap meter kubiknya berkisar antara Rp. 500.000 sapai dengan Rp. 600.000 sehingga diambil nilai tengah sebesar Rp. 550.000 per meter kubik. Kemudian setiap satu meter panjang pemecah gelombang memiliki dimensi sebesar 6 meter kubik dengan asumsi lebar 1 meter dan ketinggian 6 meter. Tinggi 6 meter dibuat dengan catatan pondasi sebesar 3 meter dan 3 meter lebihnya adalah ratarata jarak permukaan tertinggi dengan permukaan terendahair laut. Panjang pantai yang dilindungi oleh karang pada wilayah Banda Neira diperkirakan mencapai 10.562 meter sehingga nilai yang terbentuk adalah Rp. 1.936.366.667 atau setara dengan Rp. 4.588.547/ha karang.
Gambar 78.
Peta nilai manfaat tidak langsung fungsi water break ekosistem terumbu karang di Bandaneira, Kab. Maluku Tengah
Terumbukarang juga merupakan tempat yang sangat produktif dimana menurut hasil penelitian Dahuri (2003) melaporkan bahwa potensi lestari ikan karang konsumsi ditinjau dari Sembilan WPP, tercatat sekitar 1.452.500 ton/tahun. Sehingga dengan total area 50.000 Km2,maka MSY (Maximum Sustainable Yield) ikan karang di Indonesia terdapat sekitar 29,05 ton/km2/tahun atau setara dengan 290 kg per hektar per tahun. Atas dasar tersebut, nilai eksisting terumbu karang sebagai fungsi penyedia sumberdaya ikan dengan asumsi harga ratarata tertimbang ikan sebesar Rp. 18.000 dapat dihitung yaitu sebesar Rp. 2.202.840.000/tahun atau Rp. 5.220.00/ha/tahun.
176
Gambar 79.
Peta nilai manfaat tidak langsung fungsi produktifitas primer pertumbuhan ikan di Bandaneira, Kab. Maluku Tengah
B.
Nilai Sosial Budaya Ekosistem terumbu karang di Kepulauan Banda didominasi oleh karang lunak Sarcophyton
dari,Lobophytum dan Sinularia. Variasi komunitas karang ditentukan oleh tingkat eksposurenergi gelombang yang diterima. Di lokasi terkena, terumbu karang didominasi oleh besar danencrusting karang, sedangkan di lokasi semi-tertutup terumbu karang didominasi oleh percabangankarang dari Diploastrea Heliopora dan Acropora palifera. Di lokasi yang terlindungiterumbu karang yangdidominasi oleh tabulasi dan abrorecents Acropora (Suharsono, 2012). Selanjutnya Alik dan Welly (2012), menyatakan Berdasarkan persentase tutupan karang hidup sulit diamati di kedua 3 dan 10m kedalaman, dapat disimpulkanbahwa terumbu karang di Kepulauan Banda yang masih dalam kondisi baik. Namun, beberapa tingkat kerusakantelah terjadi dan ancaman terhadap terumbu yang lazim, terutama dari praktek-praktek penangkapan ikan yang merusak, penggunaanjangkar di karang, pencemaran limbah, dan penambangan karang untuk bahan bangunan. Nilai manfaat keberadaan (existence value) ekosistemterumbu karang di Banda Naira diestimasi dengan menggunakan teknis contingent valuation method. Metode ini digunakan untuk menanyakan tentang nilai atau harga yang diberikan masyarakat akan keberadaan ekosistemterumbu karang agar tetap terpelihara. Jumlah responden sebanyak 119 responden.
177
Karakterik responden yang diwawancarai rata-rata berusia 40 tahun dengan tingkat pendidikan rata-rata SLTP. Sementara dari segi pendapatan responden rata-rata Rp.24.119.658 / tahun. Berdasarkan hasil wawancara rata-rata masyarakat sudah sangat mengenal tentang keberadaan dan fungsi serta manfaat ekosistem terumbu karang
di Banda Naira. Persepsi
masyarakat terhadap keberadaan ekosistemterumbu karang rata-rata menyatakan mau berkontribusi terhadap kelestarian ekosistemterumbu karang. Hanya nilai kesediaan mereka untuk berkontribusi terhadap keberadaan dan kelestarian ekosistemterumbu karang (Willingness to pay) rata-rata sebesar rata-rata Rp.113.162,-/tahun. Jika dikalikan jumlah populasi dibagi luas terumbu karang, maka WTP Rp.2.580.733,-/orang/ha/tahun. Faktor yang berhubungan erat dengan kesediaan masyarakat membayar untuk keberlangsungan eksositemterumbu karang adalah tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, fungsi ekosistemterumbu karang, dan kontribusi kelestarian ekosistem terumbu karang.
Gambar 80.
Peta nilai Sosial Budaya sumberdaya pesisir dan laut di Bandaneira, Kab Maluku Tengah
C.
Nilai Ekonomi
EKOSISTEM TERUMBU KARANG Penangkapan Ikan Responden yang menangkap ikan demersal di daerah Banda Naira berjumlah 58 orang. Rata-rata berusia 42 tahun, dengan pendidikan sebagai besar hanya sampai tamat SMP. Jumlah 178
tanggungan keluarga responden rata-rata berjumlah 5 orang. Penangkapan ikan demersal di Banda Naira pada umumnya menggunakan pancing ulur. Hasil tangkapan responden dapat mencapai rata-rata 11.000 kg/tahun dengan harga rata-rata Rp 18.000/kg. Jenis ikan yang ditangkap antara lain kerapu/goropa (grouper), kuwe (trevally fish) dan kakap merah (red snapper). Usaha penangkapan ikan demersal di Banda Naira membutuhkan investasi untuk pembelian alat pancing seharga Rp 100.000/unit, armada perahu dengan harga Rp 2.000.000,/unit dan mesin seharga Rp 3.000.000,-/unit. Jumlah trip dalam setahun dapat mencapai sekitar 196 trip atau berkisar 16-17 trip tiap bulannya. Pendapatan responden per tahun bersihnya dapat mencapai Rp 118.711.716,- atau sebesar 9 jutaan rupiah per bulannya. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa fungsi permintaan terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di Banda Naira berbanding terbalik dengan harga dan umur. Namun berbanding lurus dengan jumlah trip, besarpnya pendapatan dan jumlah tanggungan keluarga. Faktor harga dan pendapatan responden ternyata memberikan pengaruh yang signifikan terhadap fungsi permintaan. Asumsi yang digunakan dalam membangun fungsi tersebut adalah terjadinya keseimbangan pasar dimana penawaran (supply) sama dengan permintaan (demand), sehingga hubungan antara permintaan dengan harga berbanding terbalik. Q = 5886,433941--0,191364 X1-89,383576 X2 + 23,922360 X3 - 395,941017 X4 + 0,000059 X5 + 886,551076 X6 ................................................ (i) Dari fungsi tersebutkemudian dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi sumberdaya ikan dengan menghitung besarnya nilai surplus bagi konsumen (CS). Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa nilai CS adalah sebesar Rp 323.071.865,- per pelaku usaha perikanan. Tabel 65.
Nilai Manfaat Langsung Perikanan Tangkap di Banda Naira
unit usaha
Nilai Produksi (Rp/tahun)
Biaya Operasiona l(Rp/ Tahun)
Total Keuntungan (Rp/tahun)
Nilai Produksi (Rp/kel/ Tahun)
Pancing Ulur Demersal
197.748.356
79.036.641
118.711.716
153.977.495
Biaya TotalPer Tahun (Rp/Kel/ tahun) 61.542.175
Total Keuntungan (Rp/Kel/ tahun) 92.435.320
Pariwisata Bahari Pada gambar di bawah terlihat nilai surplus produsen sebesar Rp 243.990.384, nilai yang dihasilkan jasa ekosistem untuk sektor pariwisata sebesar 243.990.384. Sedangkan nilai DUV
179
(direct use value) sebesar Rp 482.654.114.1. , artinya jasa ekosistem terumbu karang seluas 825,5 Ha dimanfaakan langsung sejumlah 1.631 turis sebesar Rp 482.654.114.1.
Gambar 81.
Surplus Produsen Untuk Travel Cost Method Banda Naira Sumber:Data diolah, 2015
Pada tabel di atas hubungan biaya perjalanan bertanda negatif, sedangkan pada gambar sebelumnya bertanda positif, hal ini dikarenakan model dimasukin ke fungsi, sehingga tergambar plot yang positif. Jika menggunakan plot pertama yang bertanda negatif maka dihasilkan jasa ekosistem yang sangat rendah, hanya sebesar Rp 3. Setelah dikembalikan ke fungsi maka dihasilkan jasa ekosistem sebesar Rp 243.990.384,6 . Tabel 66.
Hasil Analisis Regresi Linear Berganda Model Permintaan Wisata di Banda Neira.
Model
Standardized Coefficients
Unstandardized Coefficients
B 1
(Constant) Biayaperjalanan Pendapatan Umur Pendidikan Rombongan Jarak Pengalaman
2.036 -2.60E-009 6.41E-009 -.009 .039 .029 -.119 -.365
2.294 .000 .000 .016 .089 .092 .271 .430
-.032 .130 -.110 .075 .063 -.093 -.141
Sumber: Data diolah, 2015
Jika dilihat pengaruh biaya perjalanan terhadap kecenderung wisatawan asing, ada fenomena yang cukup menarik adalah adalah wisatawan asing terutama dari Australia menginap di Yacth yang mereka miliki, tapi untuk makan mereka makan di hotel. Faktor kedekatan jarak dan keekonomisanlah yang membuat turis Australia menggunakan yacht, selain itu menurut mereka 180
dengan menggunakan yacht mereka bisa mengatasi kesulitan aksesibilitas dan mengurangi biaya perjalanan pada beberapa pulau Kecil di Indonesia termasuk pulau-pulau di Banda Neira. Y = 2, 036 – 0, 0000000026 X1 + 0,0000000064 X2 – 0,009 X3 + 0,039X4 + 0,029 X5 – 0,119 X6 – 0,365 X7 Pada persamaan matematika diatas maka jumlah kunjungan wisata berbanding terbalik dengan biaya perjalanan, umur, jarak, dan impresi wisatawan terhadap objek kunjungan. Variabel yang sebanding positif dengan jumlah kunjungan wisatawan adalah pendapatan, pendidikan, dan jumlah rombongan. Nilai Total Ekonomi Sumberdaya Pesisir di Banda Neira Berdasarkan hasil analisis, diketahui nilai total ekonomi sumberdaya pesisir di Banda Neira mencapai lebih dari 17 triliun rupiah. Sebagian besar masih disumbang dari sumberdaya ikan yang telah dimanfaatkan khususnya pelagis. Nilai ekosistem secara ekologi berdasarkan parameterparameter yang diukur hanya menyumbang kurang dari 1% dengan nilai sekitar 4 miliar rupiah per tahun. Tabel 67.
Nilai Total Ekonomi Sumberdaya Pesisir di Banda Neira Jenis Nilai
Nilai ekologi - Terumbu Karang a. Penahan gelombang b. Pertumbuhan ikan Nilai ekonomi - Terumbu Karang a. Penangkapan ikan b. Pariwisata -
Pelagis
Nilai Sosial Budaya dan Non Pemanfaatan Nilai Total Ekonomi
Nilai (Rp. per tahun) 4.139.206.667 1.936.366.667 2.202.840.000
Proporsi (%)
Nilai (Rp. per tahun/ha)
0,02 0,01 0,01
4.588.547 5.220.00
99,96 266.705.095.074
1,51
323.071.865
482.654.114
0,00
584.681
17.375.988.000.000
98,45
88.653
2.130.395.214
0,01
2.580.733
17.649.445.351.069
0,02
Sumber: Data primer diolah, 2015
181
Gambar 82.
Peta Nilai Manfaat Langsung berbagai ekosistem di pesisir Bandaneira, Kab. Maluku Tengah
4.3.1.3.
Nilai Sumberdaya Pesisir dan Laut Kabupaten Maluku Tenggara Barat
Nilai Ekologi Tabel 68.
Nilai pemanfaatan tidak langsung fungsi penahan gelombang dan penyerap karbon oleh ekosistem karang dan mangrove, di Saumlaki, Maluku Tenggara Barat
Ekosistem Terumbu Karang Mangrove
Pemanfaatan Tidak Langsung Karbon Sink Penahan Gelombang Karbon Sink Penahan Gelombang
Luas Areal (Ha)/Panjang Pantai (m) 6022
Nilai Satuan
Satuan
Nilai Ekonomi (Rp)
16.65
metric ton carbon
1,403,728,200.00
2,007.3 871.56
550000 16.65
meter kubik metric ton carbon
6,624,200,000.00 203,160,636.00
290.52
550000
meter kubik
958,716,000.00
Sumber: Data primer diolah, 2015
182
Gambar 83.
Peta nilai manfaat tidak langsung fungsi penyerap Karbon ekosistem Mangrove dan Terumbu Karang di Saumlaki, Kab. Maluku Tenggara Barat
Gambar 84.
Peta nilai manfaat tidak langsung fungsi produktifitas primer pertumbuhan ikan
ekosistem Mangrove dan Terumbu Karang di Saumlaki, Kab. Maluku Tenggara Barat
183
Nilai Sosial Budaya Nilai sosial budaya merupakan tolak ukur jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang atau jasa untuk sesuatu yang tidak memiliki nilai ekonomi seperti nilai-nilai religi, artistik dan pewarisan. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa kerelaan masyarakat untuk membayar (wilingness to pay/WTP) dalam menjaga terumbu karang agar terjaga kelestariannya sebesar Rp. 317.455.- per tahunnya. Nilai sosial budaya terumbu karang di wilayah Teluk Saumlaki pada tahun 2015 sebesar Rp. 5.727.853.-. Nilai tersebut didasarkan atas luas wilayah terumbu karang sebesar 6.022 Ha dan jumlah penduduk sebanyak 108.665 jiwa. Fungsi permintaan terhadap pelestarian ekosistem terumbu karang di Saumlaki dipengaruhi oleh usia. tingkat pendidikan. pendapatan. pengalaman dan jumlah keluarga. Usia. jumlah anggota keluarga dan pengalaman memanfaatkan sumberdaya diketahui berbanding terbalik dengan nilai yang ingin dibayar. Hasil regresi linier berganda menunjukkan beberapa parameter tersebut sehingga membentuk fungsi permintaan sebagai berikut: Hasil analisis fungsi yang telah dilakukan menunjukkan regresi linier berganda membentuk fungsi permintaan terhadap pelestarian ekosistem terumbu karang sebagai berikut:
Gambar 85.
Kurva CVM Ekosistem terumbu karang di Saumlaki
Hasil analisis penelitian menunjukkan. bahwa kerelaan masyarakat untuk membayar (wilingness to pay/WTP) dalam menjaga pengelolaan mangrove agar tetap lestari sebesar Rp. 397.715.- per tahunnya. Menurut Akliyha dan Hilwati (2014). willingness to pay dapat diartikan sebagai berapa besar orang mau membayar untuk memperbaiki lingkungan yang rusak (kesediaan konsumen untuk membayar). Opsi kebijakan untuk membayar ini dapat diukur dalam bentuk kenaikan pendapatan yang menyebabkan seseorang berada dalam posisi indifferent terhadap perubahan eksogenous. Perubahan eksogenous ini bisa terjadi karena perubahan harga (misalnya akibat sumber daya makin langka) atau karena perubahan kualitas sumber daya.
184
Fungsi permintaan terhadap pelestarian ekosistem mangrove di Saumlaki dipengaruhi oleh usia. tingkat pendidikan. pendapatan. pengalaman. dan jumlah keluarga. Usia. jumlah anggota keluarga dan pengalaman memanfaatkan sumberdaya diketahui berbanding terbalik dengan nilai yang ingin dibayar. Hasil regresi linier berganda menunjukkan beberapa parameter tersebut sehingga membentuk fungsi permintaan sebagai berikut: 𝑓(𝑄) ≔ −2.616075259 105 𝑄 + 1.403897892 106 Hasil analisis fungsi yang telah dilakukan menunjukkan regresi linier berganda membentuk fungsi permintaan terhadap pelestarian ekosistem mangrove sebagai berikut:
Gambar 86.
Kurva CVM Ekosistem Mangrove di Saumlaki
Berdasarkan kajian diketahui bahwa nilai ekonomi ekosistem mangrove dilihat dari nilai keberadaannya pada wilayah Kabupaten Maluku Tenggara kususnya di Teluk Saumlaki pada tahun 2015 sebesar Rp. 35.015.260. 96 per Ha. Nilai ekonomi tersebut didasarkan atas jumlah penduduk yang tinggal pada kawasan wilayah Saumlaki sebanyak 108.665 jiwa. Total penduduk ini tersebar pada 10 wilayah desa. Bertambahnya jumlah penduduk mengakibatkan peningkatan kebutuhan ekonomi. sehingga masyarakat dapat saja mengubah peruntukkan ekosistem mangrove untuk dimanfaatkan sebagai penopang kebutuhan sehari-hari maupun sebagai pemukiman. Tabel 69.
Nilai sosial kesediaan membayar untuk ekosistem karang dan mangrove di Saumlaki, Maluku Tenggara Barat
Ekosistem
Non Use Value
Terumbu Karang Mangrove
WTP WTP
Luas Areal (Ha) 6022 871.56
Populasi (Jiwa)
Nilai Ekonomi (Rp/Tahun)
108.665 34,493,132,461 108.665 43,217,711,342
Produktivitas (Rp/ha/Tahun) 5,727,853.28 49,586,616.35 185
Gambar 87.
Peta Nilai Sosial terhadap ekosistem pesisir di Saumlaki, Maluku Tenggara Barat
Nilai Ekonomi a. Nelayan Terumbu Karang Nilai ekonomi sumberdaya pesisir dan laut di Saumlaki dikelompokkan berdasarkan pemanfaatan pada masing-masing jenis ekosistem yang ada di kawasan tersebut. Ada tiga jenis ekosistem yang ada di Saumlaki yaitu terumbu karang, mangrove dan perairan pelagis (pelagic system ). Pada masing-masing ekosistem tersebut terdapat nilai manfaat yang langsung maupun tidak langsung dirasakan oleh masyarakat di sekitar kawasan ekosistem dan juga terdapat nilai bukan manfaat yang menggambarkan besaran nilai yang diberikan oleh masyarakat untuk mempertahankan kelestarian ekosistem tersebut untuk anak-cucunya. Berikut diuraikan nilai manfaat berdasarkan jenis pemanfaatan yang ada pada ekosistem tersebut: EKOSISTEM TERUMBU KARANG b. Penangkapan Ikan Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat pada ekosistem terumbu karang masih tergolong dalam usaha skala kecil dengan alat tangkap yang digunakan mulai dari pancing, jaring dan panah. Penilaian ekosistem terumbu karang berdasarkan fungsinya sebagai penyedia 186
ikan dengan menggunakan teknik effect on production (EoP), yaitu dengan menilai besaran produktivitas ekosistem terumbu karang akan sumberdaya ikan. Perhitungan dilakukan dengan cara wawancara terhadap 50 orang nelayan yang menangkap ikan dengan rata-rata berumur 43 tahun dengan tingkat pendidikan setara SD hingga SLTA. Untuk rata-rata pendapatan yang diperoleh setiap tahunnya yaitu sebesar Rp. 215.135.653,- per tahun. Dengan rata-rata produksi hasil tangkapan per tahun adalah 46.910 kg per tahun dan harga jual rata-rata sebesar Rp.18.709 per kg. Analisis data nilai manfaat langsung pemanfaatan sumberdaya perikanan terumbu karang menggunakan teknik surplus konsumen dengan fungsi yang dibangun dari jumlah produksi (kg/tahun), harga (Rp/kg), umur (tahun), tingkat pendidikan (tahun), jumlah anggota keluarga (orang), tingkat pendapatan (Rp/tahun), pengalaman usaha (tahun) dan jumlah trip per tahun.Berdasarkan hasil analisa EoP terhadap aktivitas perikanan tangkap, maka diperoleh fungsi permintaan sebagai berikut: 𝐿𝑛𝑌 = 4,359 − 1,128 𝑋1 + 0,012 𝑋2 + 0,226 𝑋3 − 0,357 𝑋4 + 0,808 𝑋5 − 0,024 𝑋6 + 0,175 𝑋7
Keterangan: Y
= Produksi (Kg/tahun)
X1
= Harga (Rp/kg)
X2
= Umur responden (tahun)
X3
= Tingkat pendidikan (tahun)
X4
= Jumlah anggota keluarga (orang)
X5
= Tingkat pendapatan (Rp/tahun)
X6
= Pengalaman Usaha (tahun)
X7
= Jumlah trip per tahun (kali)
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa nilai adjusted R-Sq sebesar 0,69. Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel bebas yang digunakan dalam model yaitu harga, umur, pendidikan, pendapatan, jumlah keluarga, pengalaman usaha dan jumlah trip dalam satu tahun mampu menjelaskan keragaman variabel tidak bebas yaitu produksi dari kegiatan penangkapan ikan dalam satu tahun sebesar 69%. Dari fungsi fungsi EoP tersebut, maka dapat dikatakan bahwa produksi dari kegiatan penangkapan ikan berbanding positif terhadap umur responden, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan jumlah trip per tahun. Dengan kata lain, apabila variabel – variabel tersebut meningkat, maka produksi dapat meningkat pula. Sedangkan variabel harga, jumlah anggota keluarga dan pengalaman usaha berbanding negatif terhadap produksi dari kegiatan penangkapan ikan pada ekosistem terumbu karang. 187
Berdasarkan fungsi tersebut kemudian dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi sumberdaya dari nelayan ekosistem terumbu karang dengan menghitung besarnya nilai surplus bagi konsumen (CS). Nilai total kesediaan membayar (U) sebesar Rp. 548.270.995.Untuk mencari nilai ekonomi total berdasarkan fungsi tersebut, digunakan juga nilai b0 dan b1 sebesar 455.849.606 dan -1,128.Berdasarkan nilai – nilai tersebut, maka didapatkan estimasi nilai surplus konsumen (CS) sebesar Rp. 533.824.130. Nilai ekonomi dari nelayan terumbu karang sebesar Rp. 249..360.225,5 per tahun dan produktivitas Rp. 41.408,21/Ha/tahun, dengan jumlah populasi nelayan sebanyak 2.813 jiwa dan luas 6.022 Ha.Pada Gambar berikut dapat dilihat fungsi permintaan Effect On Production (EOP) aktifitas dari nelayan pada ekosistem terumbu karang.
Gambar 88.
Grafik Fungsi Permintaan Penangkapan ikan pada Ekosistem Terumbu Karang di Saumlaki Sumber : Data primer diolah, 2015
c. Rumput Laut Ekosistem terumbu karang yang ada di Saumlaki dapat juga dimanfaatkan sebagai aktivitas budidaya rumput laut. Dimana keberadaan usaha budidaya rumput laut memberikan konstribusi terhadap ekonomi masyarakat dipesisir Saumlaki. Jenis rumput laut yang dibudidayakan ada dua yaitu Eucheuma Spinosum dan eucheuma Cottoni. Metode budidaya rumput laut yang diterapkan adalah metode long line. Wawancara dilakukan terhadap 55 orang pembudidaya, rata-rata produksi dalam setahun sebesar 7.402 kg, dengan harga rata-rata Rp. 6.907 per kg. Rata-rata jumlah keluarga sebesar 5 (lima) orang dengan pengalaman usaha rata-rata 6 (enam) tahun dan tingkat pendapatan rata-rata Rp. 50.757.574 per tahun. Terkait dengan penilaian ekonomi terhadap aktivitas usaha budidaya rumput laut dilakukan dengan menggunakan analisis effect on production (EoP). Fungsi dibangun dari jumlah produksi (kg/tahun), harga (Rp/kg), umur (tahun), tingkat pendidikan (tahun), jumlah anggota keluarga (orang), tingkat pendapatan (Rp/tahun), pengalaman usaha (tahun) dan luas lahan. 188
Berdasarkan hasil analisa EoP terhadap aktivitas budidaya rumput laut diperoleh fungsi sebagai berikut: 𝐿𝑛𝑌 = 0,062 − 1,018 𝑋1 + 0,036 𝑋2 + 0,033 𝑋3 − 0,025 𝑋4 + 0,995 𝑋5 − 0,019 𝑋6 + 0,009 𝑋7
Keterangan: Y
= Produksi rumput laut(Kg/tahun)
X1 = Harga (Rp/kg) X2 = Umur responden (tahun) X3 = Tingkat pendidikan (tahun) X4 = Jumlah anggota keluarga (orang) X5 = Tingkat pendapatan (Rp/tahun) X6 = Pengalaman Usaha (tahun) X7 = Luas lahan Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa nilai adjusted R-Sq sebesar 099. Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel bebas yang digunakan dalam model yaitu harga, umur, pendidikan, pendapatan, jumlah keluarga, pengalaman usaha dan luas lahan dalam satu tahun mampu menjelaskan keragaman variabel tidak bebas yaitu produksi dari kegiatan budidaya rumput laut dalam satu tahun sebesar 99%. Dari fungsi fungsi EoP tersebut, maka dapat dikatakan bahwa produksi dari kegiatan budidaya rumput laut berbanding positif terhadap umur responden, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan luas lahan. Dengan kata lain, apabila variabel – variabel tersebut meningkat, maka produksi dapat meningkat pula. Sedangkan variabel harga, jumlah anggota keluarga dan pengalaman usaha berbanding negatif terhadap produksi dari kegiatan budidaya rumput laut pada ekosistem terumbu karang. Berdasarkan fungsi tersebut kemudian dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi sumberdaya dari nelayan ekosistem terumbu karang dengan menghitung besarnya nilai surplus bagi konsumen (CS). Nilai total kesediaan membayar (U) sebesar Rp. 2.296.378.572. Untuk mencari nilai ekonomi total berdasarkan fungsi tersebut, digunakan juga nilai b0 dan b1 sebesar 60.197.657 dan -1,018.Berdasarkan nilai – nilai tersebut, maka didapatkan estimasi nilai surplus konsumen (CS) sebesar Rp. 2.250.696.594. Nilai ekonomi dari ekosistem terumbu karang untuk budidaya rumput laut sebesar Rp. 10.592.295.234,40 per tahun dan produktivitas Rp. 6.014.692,91/Ha/tahun, dengan jumlah populasi sebanyak 8.288 jiwa dan luas 1.761,07 Ha.Pada Gambar berikut dapat dilihat fungsi permintaan Effect On Production(EOP) aktifitas dari pembudidaya rumput laut pada ekosistem terumbu karang.
189
Gambar 89.
Grafik Fungsi Permintaan Aktivitas Perikanan Budidaya Rumput Laut pada Ekosistem Terumbu Karang di Saumlaki Sumber : Data primer diolah, 2015
EKOSISTEM MANGROVE a. Penangkapan Ikan Keberadaan ekosistem mangrove yang dilakukan oleh masyarakat pesisir adalah untuk kegiatan penangkapan ikan. Jenis komoditas yang tertangkap bervariasi mulai dari udang, ikan garopa, ikan bulana dan ikan bubara. Alat tangkap yang digunakan adalah alat tangkap jaring dan pancing. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden yang berjumlah 32 orang dengan ratarata pengalaman usaha 13 tahun. Rata-rata umur responden masih tergolong dalam usia produktif yaitu 39 tahun dengan tingkat pendidikan mulai dari SD sampai SLTA dan rata-rata jumlah anggota keluarga 6 orang. Rata-rata jumlah trip dalam setahun 223 trip, dengan jumlah produksi rata-rata dalam setahun 9.863 kg dan rata-rata jumlah pendapatan yang diperoleh dalam satu tahun sebesar Rp. 159.605.744. Penilaian aktivitas penangkapan ikan di Saumlaki menggunakan teknik effect on production (EoP), dengan menggunakan fungsi yang dibangun dari jumlah produksi (kg/tahun), harga (Rp/kg), umur (tahun), tingkat pendidikan (tahun), jumlah anggota keluarga (orang), tingkat pendapatan (Rp/tahun), pengalaman usaha (tahun) dan jumlah trip per tahun.Berdasarkan hasil analisa EoPterhadap aktivitas penangkapan ikan pada ekosistem mangrove, maka diperolehfungsi sebagai berikut: 𝐿𝑛𝑌 = 1,739 − 1,008 𝑋1 − 0,124 𝑋2 + 0054 𝑋3 − 0,044 𝑋4 + 0,939 𝑋5 − 0,048 𝑋6 + 0,026 𝑋7
Keterangan: Y
= Produksi (Kg/tahun) 190
X1 = Harga (Rp/kg) X2 = Umur responden (tahun) X3 = Tingkat pendidikan (tahun) X4 = Jumlah anggota keluarga (orang) X5 = Tingkat pendapatan (Rp/tahun) X6 = Pengalaman Usaha (tahun) X7 = Jumlah trip per tahun (kali) Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa nilai adjusted R-Sq sebesar 0,97. Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel bebas yang digunakan dalam model yaitu harga, umur, pendidikan, pendapatan, jumlah keluarga, pengalaman usaha dan jumlah trip dalam satu tahun mampu menjelaskan keragaman variabel tidak bebas yaitu produksi dari kegiatan penangkapan ikan dalam satu tahun sebesar 97%. Dari fungsi fungsi EoP tersebut, maka dapat dikatakan bahwa produksi dari kegiatan penangkapan ikan berbanding positif terhadap tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan jumlah trip per tahun. Dengan kata lain, apabila variabel – variabel tersebut meningkat, maka produksi dapat meningkat pula. Sedangkan variabel harga, umur, jumlah anggota keluarga dan pengalaman usaha berbanding negatif terhadap produksi dari kegiatan penangkapan ikan pada ekosistem terumbu karang. Berdasarkan fungsi tersebut kemudian dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi sumberdaya dari nelayan ekosistem mangrove dengan menghitung besarnya nilai surplus bagi konsumen (CS). Nilai total kesediaan membayar (U) sebesar Rp. 8.372.629.355. Untuk mencari nilai ekonomi total berdasarkan fungsi tersebut, digunakan juga nilai b0 dan b1 sebesar 95.269.544 dan -1,008.Berdasarkan nilai – nilai tersebut, maka didapatkan estimasi nilai surplus konsumen (CS) sebesar Rp. 10.20122.130. Nilai ekonomi dari nelayan pada ekosistem mangrove sebesar Rp. 10.979.087.870 per tahun dan produktivitas Rp. 12.597.053,41/Ha/tahun, dengan jumlah populasi nelayan sebanyak 937 jiwa dan luas 871,56 Ha.Pada Gambar berikut dapat dilihat fungsi permintaan EoP aktivitas dari penangkapan ikan pada ekosistem mangrove.
191
Gambar 90,
Grafik Fungsi Permintaan Penangkapan ikan pada Ekosistem Mangrove di Saumlaki Sumber : Data primer diolah, 2015
b. Pencari Kepiting Berdasarkan wawancara terhadap 7 (tujuh) orang responden pencari kepiting pada ekosistem mangrove diketahu bahwa rata-rata penerimaan per trip pencari kepiting sebesar Rp. 618.000. Dalam setahun biaya yang dikeluarkan rata-rata sebesar Rp. 1.344.286 dan penerimaan yang diperoleh per tahun setelah dipotong dengan biaya rata-rata RP. 30.900.000, sehingga keuntungan yang diperoleh dalam setahun sebesar RP. 29.555.714. Berdasarkan hasil analisis data, nilai ekonomi dari pemanfaat kepiting pada ekosistem mangrove adalah sebesar Rp. 2.778.237.142,86 per tahun dan nilai produktivitas sebesar Rp. 3.187.660,22/Ha/tahun, dengan jumlah populasi sebanyak 94 jiwa dan luas areal 871,56 Ha. c. Pemanfaat Kayu Pemanfaat kayu pada wilayah ekosistem mangrove merupakan salah satu penambah pendapatan masyarakat perikanan yang tinggal di wilayah pesisir. Pemanfaatan kayu mangrove digunakan untuk kayu bakar, bahkan berdasarkan hasil temuan di lapang dan wawancara dengan responden keberadaan mangrove juga dimanfaatkan untuk bahan bangunan rumah maupun pagar halaman. Pemanfaatan kayu pada ekosistem mangrove hanya utuk kebutuhan atau kepentingan pribadi. Penilaian ekonomi pada pemanfaatan kayu pada ekosistem mangrove berdasarkan fungsinya menggunakan tehnik EoP. Teknik EoP yang dianalisis dilakukan dengan menilai produktivitas ekosistem mangrove akan kayu yang dimanfaatkan. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa nilai ekonomi pemanfaat kayu di Saumlaki sebesar Rp.
192
15.744.937,15 per tahun dengan nilai produktivitas sebesar Rp. 18.065,24 per Ha per tahun dengan jumlah populasi sebanyak 109 jiwa dan luas areal 871,56 Ha. EKOSISTEM PELAGIC SYSTEM a.
Penangkapan Ikan Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap 55 orang nelayan pada ekosistem
pelagis dengan menggunakan alat tangkap pancing dan jaring. Rata-rata pendidikan responden mulai dari SD sampai SLTA dengan pengalaman usaha selama 15 tahun. Rata-rata jumlah anggota keluarga yang dimiliki berjumlah 5 (lima) orang dengan umur rata-rata 41 tahun. Dalam setahun jumlah trip yang digunakan untuk kegiatan melaut 211 hari dengan jumlah produksi rata-rata dalam setahun sebesar 29.351 kg dan rata-rata jumlah pendapatan sebesar Rp. 498.293.211 per tahun. Adapun jenis komoditas yang tertangkap mulai dari Kakap, Tenggiri Barakuda, Tongkol dan jenis ikan pelagis lainnya. Adapun penilaian ekosistem pelagis didekati dengan menggunakan teknik effect on production (EoP), yaitu dengan menilai besaran produktivitas ekosistem pelagis akan sumberdaya ikan. Berdasarkan hasil analisa EoP terhadap aktivitas perikanan nelayan pelagis, maka diperoleh fungsi sebagai berikut: 𝐿𝑛𝑌 = 4,395 − 1,067 𝑋1 − 0,444 𝑋2 − 0,004 𝑋3 + 0,027 𝑋4 + 0,902 𝑋5 + 0,109 𝑋6 − 0,412 𝑋7
Keterangan: Y
= Produksi (Kg/tahun)
X1 = Harga (Rp/kg) X2 = Umur responden (tahun) X3 = Tingkat pendidikan (tahun) X4 = Jumlah anggota keluarga (orang) X5 = Tingkat pendapatan (Rp/tahun) X6 = Pengalaman Usaha (tahun) X7 = Jumlah trip per tahun (kali) Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa nilai adjusted R-Sq sebesar 0,94. Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel bebas yang digunakan dalam model yaitu harga, umur, pendidikan, pendapatan, jumlah keluarga, pengalaman usaha dan jumlah trip dalam satu tahun mampu menjelaskan keragaman variabel tidak bebas yaitu produksi dari kegiatan penangkapan ikan dalam satu tahun sebesar 94%. Dari fungsi fungsi EoP tersebut, maka dapat dikatakan bahwa produksi dari kegiatan penangkapan ikan berbanding positif terhadap jumlah anggota keluarga, 193
tingkat pendapatan dan pengalaman usaha. Dengan kata lain, apabila variabel – variabel tersebut meningkat, maka produksi dapat meningkat pula. Sedangkan variabel harga, umur, tingkat pendidikan dan jumlah trip dalam satu tahun berbanding negatif terhadap produksi dari kegiatan penangkapan ikan pada ekosistem pelagis system. Berdasarkan fungsi tersebut kemudian dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi sumberdaya nelayan pelagis dengan menghitung besarnya nilai surplus bagi konsumen (CS). Nilai total kesediaan membayar (U) sebesar Rp. 7.027.414.260. Untuk mencari nilai ekonomi total berdasarkan fungsi tersebut, digunakan juga nilai b0 dan b1 sebesar 1.387.082.464 dan 1,067.Berdasarkan nilai – nilai tersebut, maka didapatkan estimasi nilai surplus konsumen (CS) sebesar Rp. 6.797.659.904. Nilai ekonomi dari nelayan pelagis sebesar Rp. 4.462.663.727 per tahun dan produktivitas Rp. 4.245,16/Ha/tahun, dengan jumlah populasi nelayan sebanyak 6.565 jiwa dan luas 1.051.237 Ha.Pada Gambar berikut dapat dilihat fungsi permintaan EoP aktivitas dari penangkapan ikan pada ekosistem pelagis.
Gambar 91.
Grafik Fungsi Permintaan Penangkapan ikan pada Ekosistem Pelagis di Saumlaki Sumber : Data primer diolah, 2015
Total Nilai Ekonomi Sumberdaya Pesisir di Saumlaki Berdasarkan hasil analisis, diketahui nilai total ekonomi sumberdaya pesisir di Saumlaki mencapai lebih dari 247 milyar rupiah. Nilai total ekonomi tersebut paling besar disumbang dari nilai ekologi yaitu mencapai 188 milyar rupiat atau sekitar 76,42%. Sedangkan dari nilai ekonomi yang telah dimanfaatkan menyumbang sebesar 29 milyar rupiah atau 11,77%. Hal ini menunjukkan bahwa kekayaan ekosistem meskipun tidak dimanfaatkan secara langsung telah memberikan manfaat ekonomi yang besar seperti terlihat pada tabel berikut.
194
Tabel 70.
Nilai Total Ekonomi Sumberdaya Pesisir di Saumlaki
Jenis Nilai NILAI EKOLOGI a. Mangrove 1. Penyerapan Karbon 2. Penahan Gelombang b. Terumbu Karang 1. Penyerapan Karbon 2. Pertumbuhan Ikan NILAI EKONOMI a. Mangrove 1. Penangkapan Ikan 2. Pencari Kepiting 3. Pemanfaat Kayu b. Terumbu Karang 1. Penangkapan Ikan 2. Budidaya Rumput Laut c. Pelagic System 1. Penangkapan Ikan NILAI SOSIAL BUDAYA DAN NON PEMANFAATAN a. Mangrove b. Terumbu Karang NILAI TOTAL EKONOMI
Nilai Ekonomi (Rp/Tahun)
Proporsi (%)
Produktivitas (Rp/ha/Tahun)
188.776.838.436
76,42
203.160.636 47.730.100.000
0,08 19,32
325.092 54.763.986
44.200.877.800 96.642.700.000 29.077.389.137
17,89 39,12 11,77
7.399.900 16.048.273
10.979.087.870 2.778.237.143 15.744.937
4,44 1,12 0,01
12.597.053 3.187.660 18.065
249.360.226 10.592.295.234
0,10 4,29
41.408 6.014.693
4.462.663.727
1,81
4.245
40.743.114
0,02
35.015.261 5.727.853 247.013.102.938
0,01 0,00 100
40.175 317.455
Sumber : Data Primer Diolah, 2015
195
Gambar 92.
Peta Nilai Manfaat Langsung berbagai ekosistem di pesisir Saumlaki, Kab. Maluku Tenggara Barat
4.3.2. Nilai Sumberdaya Pesisir dan Laut WPP 716 4.3.2.1. Nilai Sumberdaya Pesisir dan Laut Kota Tarakan Nilai Ekologi Ekosistem secara tidak langsung memberi manfaat kepada manusia melalui fungsi ekologi yang melekat padanya. Salah satu manfaat tidak langsung ekosistem mangrove adalah sebagai penyimpan karbon. Karbon secara massif tersimpan pada bawah permukaan tanah di sekitar ekosistem mangrove. Selain itu, karbon juga tersimpan pada batang dan daun pohon, akar, dan kayu mati yang ada disekitarnya. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata karbon yang tersimpan adalah sebesar 373 Mg C per Ha. Nilai ini lebih kecil bila dibandingkan dengan penelitian Donatoa et.al (2012) yang menunjukkan rata-rata karbon yang tersimpan untuk mangrove laut adalah 990 Mg C per ha. Sementara itu luasan mangrove di sekitar Wakatobi berdasarkan analisis citra landsat 8 diketahui luasan mangrove mencapai 979,02 Ha. Atas dasar hal tersebut dapat diketahui nilai serapan karbon mangrove mencapai 365.174 Mg C. Simpanan karbon tersebut cukup tinggi yang apabila dinilaikan dengan nilai moneter sebesar 16,5 US$ per metrik ton C sehingga menghasilkan nilai sebesar Rp. 81.342.610.965/tahun. 196
Gambar 93.
Peta nilai manfaat tidak langsung fungsi penyerap Karbon ekosistem Mangrove dan Terumbu Karang di Tarakan, Kalimantan Utara
Secara fisik mangrove juga memiliki fungsi sebagai peredam gelombang. Penghitungan nilai manfaat ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode biaya pengganti. Sebagai dasar ukuran digunakan standar pembangunan break water oleh Kementerian Pekerjaan Umum dimana kisaran harga per meter kubik berkisar antara Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 600.000. Santoso (2005) mengungkapkan untuk menghitung nilai pengganti ekosistem sebagai fungsi ini hanya sepertiga dari pembangunan break water. Panjang mangrove yang berfungsi sebagai green belt ini diketahui sebesar 27.491 meter. Atas dasar tersebut dapat dihitung kebutuhan pembangunan penahan gelombang sebagai nilai pengganti dengan mengalikan panjang dan dimensi yang dibutuhkan per tiap meter panjang. Berdasarkan pendapat ahli diketahui bahwa dimensi yang dibutuhkan adalah 6 meter dengan asumsi 3 meter sebagai pondasi dan 3 meter lainnya sebagai rentang pasang surut perairan. Dengan demikian kebutuhan biaya pembangunan diperkirakan mencapai 281.181.780.000 sehingga nilai manfaat mangrove sebagai fungsi ini adalah Rp. 15.120.050.000/ tahun. Bila nilai tersebut dibagi dengan luasan mangrove yang ada maka nilai yang terbentuk adalah 15.444.067/ha/tahun.
197
Gambar 94.
Peta nilai manfaat tidak langsung fungsi produktifitas primer pertumbuhan ikan di Tarakan, Kalimantan Utara
Nilai Sosial Budaya Nilai manfaat keberadaan (existence value) ekosistem mangrove di Tarakan diestimasi dengan menggunakan teknis contingent valuation method. Metode ini digunakan untuk menanyakan tentang nilai atau harga yang diberikan masyarakat akan keberadaan ekosistem mangrove agar tetap terpelihara. Jumlah responden sebanyak 84 responden. Karakterik responden yang diwawancarai rata-rata berusia 38 tahun dengan tingkat pendidikan rata-rata SLTA. Sementara dari segi pendapatan responden rata-rata Rp. 21.790.476 / tahun. Berdasarkan hasil wawancara rata-rata masyarakat sudah sangat mengenal tentang keberadaan dan fungsi serta manfaat ekosistem mangrove di kota Tarakan. Mereka juga sudah memahami tentang peraturan PERDA tentang larangan menebang dan merusak hutan mangrove. Meskipun masih ada masyarakat lain yang masih menbang mangrove untuk kayu bakar dan tambak udang. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan ekosistem mangrove rata-rata menyatakan mau berkontribusi terhadap kelestarian ekosistem mangrove. Rata-rata nilai Willingness to pay (WTP) respondenuntuk keberadaan dan kelestarian ekosistem mangrove yaitu sebesar rata-rata Rp. 36.369/tahun. WTP populasi Rp. 8.428.199.464/ ha/ tahun.
198
Faktor
yang
berpengaruh
terhadap
kesediaan
masyarakat
membayar
untuk
keberlangsungan eksositem mangrove adalah tingkat pendapatan, pengetahuan tentang mangrove, fungsi ekosistem mangrove, manfaat ekosistem mangrove dan jika mangrove tidak ada. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil regresi berganda terhadap fungsi kesediaan masyarakat membayar untuk kelestarian mangrove pada Tabel71. Tabel 71.
Fungsi Kesediaan Masyarakat Membayar Untuk Kelestarian Mangrove Standard Error
Coefficients
t Stat
P-value
Lower 95%
Upper 95%
Lower 95,0%
Upper 95,0%
Intercept
18792,37461
23314,48548
0,80604
0,422803334
-27662,751
65247,5
-27662,8
65247,50031
Pendidikan Pendapatan (Rp)
-399,3942615
980,546912
-0,4073
0,684950445
-2353,1766
1554,3881
-2353,18
1554,388081
0,001148814
0,000183563
6,25844
0,0007831
0,0015146
0,00078
0,001514571
Usia
303,2741066
344,4845029
0,88037
0,381508709
-383,12624
989,67445
-383,126
989,674452
JAK
-2368,410445
2534,08718
-0,9346
0,353023657
-7417,6893
2680,8684
-7417,69
2680,868408
Penget mang
11903,52318
6153,561044
1,93441
0,056885615
-357,71467
24164,761
-357,715
24164,76102
Fungsi eko
-8203,780203
3520,983519
-2,33
0,022537745
-15219,493
-1188,067
-15219,5
-1188,067498
MANFAAT
-15434,49159
6043,526809
-2,5539
0,012710539
-27476,481
-3392,502
-27476,5
-3392,501741
KONDISI MANGROVE JIKA TIDAK ADA
2624,979129
5426,14305
0,48377
0,629981033
-8186,8468
13436,805
-8186,85
13436,80501
7821,426222
3856,18768
2,02828
0,046131247
137,80466
15505,048
137,805
15505,04779
0,00000002
Sumber: Data diolah, tahun 2015
Gambar 95.
Peta nilai Sosial Budaya sumberdaya pesisir dan laut di Bandaneira, Kab Maluku Tengah 199
Nilai Ekonomi Perikanan Tangkap Kegiatan usaha penangkapan oleh nelayan selain dilakukan di perairan Tarakan juga dilakukan diperairan Kabupaten Bulungan, Nunukan dan Berau dengan menggunakan alat tangkap yang beraneka ragam sesuai dengan jenis ikan sasaran. Jenis alat tangkap yang digunakan antara lain dogol, jaring insang hanyut, jaring gondrong, serok/sodok, pancing, belat, tugu, jaring angkat, dan penangkap lainnya. Sebagian usaha perikanan tangkap dilakukan oleh nelayan kecil dengan menggunakan motor tempel atau juga menggunakan kapal motor 1 – 5 GT dan 5 – 10 GT, sehingga daerah penangkapan terkonsentrasi pada daerah dibawah 4 mil. Penilaian aktifitas penangkapan ikan demersal di Kota Tarakan menggunakan analisis Effect on Production (EoP), yaitu dengan menilai besaran produktvitas ekosistem perairan demersal. Perhitungan dilakukan dengan cara wawancara terhadap 1667 orang nelayan yang menangkap ikan demersal rata-rata berumur 40 tahun dengan tingkat pendidikan setara SD hingga SLTA. Untuk rata-rata pendapatan yang diperoleh setiap tahunnya yaitu sebesar Rp. 246.761.064,-/tahun. Dengan rata-rata produksi hasil tangkapan per tahun adalah 8.241 Kg/tahun dan harga jual ratarata seluruh jenis ikan adalah Rp.38.700,-/Kg. Berdasarkan hasil analisa EoP terhadap aktivitas perikanan tangkap demersal, maka diperoleh fungsi permintaan penangkapan ikan demersal di Kota Tarakan sebagai berikut: Ln Q = 3,74 – 0,93 Ln P – 0,01 Ln A – 0,02 Ln Edu + 0,79 Ln Inc + 0,03 Ln Exp – 0,01 Ln Art + 0,007 Ln GT – 0,05 Ln Inves + 0,16 Ln Trip Keterangan : Q
= Produksi ikan (Rp/tahun)
P
= Harga rata-rata ikan (Rp/kg)
A
= Umur (tahun)
Edu
= Tingkat Pendidikan (tahun)
Inc
= Pendapatan usaha (Rp/tahun)
Exp
= Pengalaman usaha (tahun)
Art
= Jumlah Anggota Rumah Tangga (orang)
GT
= Ukuran kapal (tonase)
Inves
= Nilai investasi usaha (Rp)
Trip
= Jumlah trip penangkapan per tahun
200
Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa fungsi permintaan terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di Kota Tarakan berbanding terbalik dengan harga (P), umur (A),tingkat pendidikan (Edu), jumlah anggota keluarga ln KK, dan investasi. Untuk pengalaman usaha (Exp), pendapatan usaha (Inc), ukuran armada dan banyaknya trip penangkapan berbanding lurus dengan fungsi permintaan. Penilaian ekosistem perairan pelagis di Kabupaten Tarakan menggunakan analisis Effect on Production (EoP), yaitu dengan menilai besaran produktivitas ekosistem perairan sumberdaya ikan pelagis. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa nilai ekonomi perairan pelagis didsasarkan atas keberadaannya pada wilayah Kabupaten Tarakan per hektar sebesar Rp. 497.736.025,- pada tahun 2015. Hal ini didasarkan atas jumlah penduduk yang tinggal pada kawasan tersebut sebanyak 3.114 jiwa, dengan luas lahan perairan 50.000 hektar. Total penduduk ini terbagi dalam otoritas Kota Tarakan, Provinsi Kalimatan Utara. Luasan lahan perairan yang dijadikan saran nelayan Kota Tarakan untuk mencari ikan seluas 50.000 Ha. 600000 500000
Harga (P) Rp
400000 300000
y = 292.469.612x-1
200000 100000 0
-2000,00
0,00
2000,00 4000,00 6000,00 8000,00 10000,00 Produksi (Qd) Kg
Gambar 96.
Kurva Fungsi Permintaan Sumberdaya ikan Demersal di Kota Tarakan , 2015. Sumber : Data Primer diolah, 2015.
Perikanan Budidaya Udang Perikanan budidaya di Kota tarakan termasuk salah satu potensi unggulan di sektor perikanan. Hal ini didasarkan atas karakteristik wilayah yang cocok dengan pengembangan usaha budidaya, khususnya untuk komoditas udang. Potensi besar usaha budidaya udang di Kota Tarakan, juga menguntungkan dalam menjangkau pemasaran untuk ekspor, mengingat posisinya yang dekat dengan Malaysia, Singapore, Brunei, dll. Nilai produksi perikanan budidaya udang didukung dengan kebijakan pemerintah daerah setempat dan lahan yang masih cukup
201
luas. Sinergi petambak, stakeholder, pemerintah, dan pihak terkait lainnya, merupakan modal utama berkembangnya perikan budidaya di Kota Tarakan. Penilaian ekonomi perikanan budidaya udang di Kabupaten Tarakan menggunakan analisis Effect on Production (EoP). Teknik penilaian ini dilakukan dengan menilai besaran produktivitas perikanan budidaya. Berdasarkan hasil kajian diketahui bahwa luas lahan wilayah perikanan budidaya di Kota Tarakan adalah 948 hektar. Mengacu pada hal tersebut, hasil perhitungan EoP terhadap prikanan budidaya (khususnya komoditas udang) berdasarkan keberadaannya di Kota tarakan adalah sebesar Rp. 19.032.200,- per hektar pada tahun 2015. Nilai ini diperhitungakan dengan mengambil populasi jumlah petambak udang sebanyak 211 jiwa. Berdasarkan hasil analisa EoP terhadap aktivitas perikanan tangkap demersal, maka diperoleh fungsi permintaan penangkapan ikan demersal di Kota Tarakan sebagai berikut: LnQ = 3,290 – 1,074 Ln P -0,220 Ln A + 0,019 Ln edu -0,005 Ln Art – 0,991 Ln Panen + 0,858 Ln Inc + 0,045 Ln Exp + 0,079 Ln Benih + 0,048 Ln Luas Keterangan : Q
= Produksi ikan (Rp/tahun)
P
= Harga rata-rata ikan (Rp/kg)
A
= Umur (tahun)
Edu
= Tingkat Pendidikan (tahun)
Art
= Jumlah Anggota Rumah Tangga (orang)
Panen = Jumlah panen per tahun Inc
= Pendapatan usaha (Rp/tahun)
Exp
= Pengalaman usaha (tahun)
Benih` = jumlah benih yang ditebar (ekor) Luas
= luas lahan budidaya (Ha)
Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa fungsi permintaan terhadap pemanfaatan sumberdaya untuk budidaya tambak udang di Kota Tarakan berbanding terbalik dengan harga (P), umur (A),Jumlah anggota keluarga (Art) dan jumlah panen dalam setahun (Panen). Untuk tingkat pendidikan, pendapatan, pengalaman usaha, luas lahan dan jumlah benih berbanding lurus dengan fungsi permintaan.
202
1600000 1400000
Harga (P) Rp
1200000 1000000 800000 600000 400000
y = 11.193.633x-1
200000 0 0,00
50,00
100,00
150,00
200,00
Produksi (Qd) Kg
Gambar 97.
Kurva Fungsi Permintaan Sumberdaya Terhadap Aktifitas Budidaya Udang di Kota Tarakan, 2015.
Budidaya Kepiting Soka Ekosistem mangrove di Kota Tarakan selain memberikan manfaat langsung berupa ekstraksi sumberdaya perikanan juga dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas budidaya berbagai komoditas yang salah satunya adalah kepiting soka. Keberadaan aktivitas budidaya kepiting soka memberikan kontribusi terhadap perkembangan ekonomi masyarakat di sekitar Kota Tarakan. Penilaian ekosistem mangrove berdasarkan fungsinya sebagai sebagai penyedia kepiting (kepiting soka) didekati dengan tehnik EOP yaitu dengan menilai produktivitas ekosistem mangrove akan sumberdaya kepiting soka. Analisis data nilai manfaat langsung pemanfaatan sumberdaya perikanan menggunakan tehnik surplus produsen, dengan fungsi yang dibangun dari jumlah produksi (Kg/Tahun), harga rata-rata hasil tangkapan (Rp/Kg), umur responden (tahun), tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, pendapatan usaha responden (Rp), pengalaman usaha (tahun) dan luas tambak (M2). Wawancara dilakukan terhadap 12 orang petambak kepiting soka dengan rata-rata berumur 39 tahun dengan tingkat pendidikan SMP (11 tahun), jumlah anggota keluarga 4 orang dan pengalaman usaha 3 tahun serta rata-rata pendapatan per tahun sebesar Rp. 5.621.907.500 dan luasan lahan tambak rata-rata 1,3 Ha. Hasil regresi linier berganda menunjukkan beberapa parameter (Lampiran 1), sehingga membentuk fungsi permintaan sebagai berikut : 𝑓(𝑄) ≔ 0.6227987369 𝑄 + 36613.19079 Dari fungsi tersebut dapat diperoleh kurva permintaan terhadap kepiting soka seperti yang terlihat pada Gambar 98sebagai berikut.
203
Gambar 98.
Kurva Permintaan terhadap Sumberdaya Kepiting Soka
Selanjutnya nilai ekonomi-ekologi lingkungan ekosistem mangrove berdasarkan fungsinya sebagai penyedia sumberdaya kepiting soka dapat dihitung dengan mencari besaran surplus produsen sebesar Rp. 3.495.807.091 yang kemudian dikalikan dengan jumlah banyaknya pembudidaya yaitu sebanyak 10 orang kemudian dibagi dengan luas ekosistem mangrove 979,2 Ha sehingga dapat diperoleh nilai manfaat ekonomi mangrove berdasarkan fungsinya sebagai penyedia kepiting sola yang juga merupakan nilai kerugian ekonomi-ekologi mangrove adalah sebesar Rp. 35.707.208 per Ha. Budidaya Kepiting Bakau Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu jenis komoditas perikanan yang potensial. Sebagai salah satu sumberdaya alam yang ekonomis tentu banyak diburu untuk ditangkap dan dijadikan sebagai salah satu produk andalan. Pulau Tarakan yang memiliki hutan mangrove sebagai ekosistem hidup kepiting bakau, dalam tahun terakhir ini telah mengalami penurunan hasil tangkapan. Penurunan kuantitas dan kualitas populasi kepiting bakau di alam, diduga akibat degradasi ekosistem mangrove dan kelebihan tangkap (over fishing). Mengingat pentingnya nilai manfaat yang dimiliki komoditas kepiting bakau, upaya yang dilakukan untuk menangani masalah penurunan produksi adalah dengan melakukan usaha budidaya kepiting bakau (Irama et.al, 2012). Aktivitas usaha budidaya kepiting bakau memberikan kontribusi terhadap ekonomi masyarakat di sekitar Kota Tarakan. Kegiatan budidaya kepiting bakau di Kota tarakan menggunakan teknek silvofishery dimana masyarakat memelihara kepiting bakau ditambak mereka yang sudah ditanami mangrove. Masyarakat pembudidaya kepiting bakau menyadari
204
karena adanya hutan mangrove kelangsungan hidup kepiting bakau dapat berkelanjutan dan tidak punah. Berdasarkan hasil wawacara terhadap 20 orang pembudidaya kepiting bakau di tambak, rata-rata karakteristik masyarakat pembudidaya kepiting bakau di tambak berusia 40 tahun dengan tingkat pendidikan rata-rata SLTA. Rata-rata jumlah anggota keluarga sebanyak 4 orang per kepala kelurga. Hasil produksi budidaya kepting bakau di tambak sebesar 375 kg/tahun. Penilaian manfaat ekosistem mangrove untuk usaha budidaya kepiting mangrove menggunakan pendekatan model surplus konsumen (CS), dimana fungsi yang gunakan untuk membangun model adalah produksi kepting bakau (Kg/thn), harga rata-rata hasil tangkapan (Rp/Kg), umur responden (tahun), tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, pendapatan usaha responden (Rp), pengalaman usaha (tahun) dan Kepemilikan lahan. Berdasarkan hasil model logaritma regresi berganda (ln) diperoleh persamaan fungsi permintaan sebagai berikut: 𝑓(𝑄) ≔ −391.6922083𝑄 + 2.007109214105 Dari fungsi tersebut dapat diperoleh kurva permintaan terhadap kepiting bakau seperti yang terlihat pada Gambar99sebagai berikut.
Gambar 99.
Kurva Permintaan terhadap Sumberdaya Kepiting Bakau
Selanjutnya nilai manfaat ekosistem mangrove sebagai penyedia sumberdaya kepiting bakau di tambak silvovishery dihitung berdasarkan besaran surplus konsumensebesar Rp.35.826.826.899.610.000.000 dikalikan dengan jumlah jumlah pembudidaya yaitu sebanyak 20 orang dibagi dengan luas ekosistem mangrove 1020 Ha, sehingga diperoleh nilai konsumen surplussehingga diperoleh nilai manfaat langsung yang dihasilkan dari pemanfaatan secara 205
langsung dari suatu sumberdaya. Nilai manfaat langsung kepiting bakau yang juga merupakan nilai kerugian ekonomi-ekologi mangrove adalah sebesar Rp.7.024.882.247.100.000 per Ha. Budidaya Rumput Laut Budidaya rumput laut di Kota Tarakan banyak dilakukan di Pantai Amal yang juga merupakan lokasi wisata. Hasil wawancara dengan 40 orang responden menunjukkan bahwa 100% responden melakukan budidaya rumput laut dengan menggunakan metode long line. Kegiatan usaha budidaya rumput laut ini melibatkan seluruh anggota keluarga dari mulai kegiatan penyiapan tali, pengikatan bibit, penanaman, pemanenan dan pengeringan. Rata-rata setiap keluarga memiliki areal budidaya rumput laut antara 100 – 2000 tali dengan panjang masing-masing 15 – 25 meter dengan rata-rata masa pemeliharaan 2 bulan (6 musim tiap tahun). Dari hasil wawancara juga diketahui bahwa rumput laut yang dihasilkan selanjutnya dikeringkan sebelum dijual. Harga yang diterima oleh pembudidaya relatif rendah dibandingkan dengan harga di pasaran. Hal ini disebabkan oleh produksi rumput laut yang dihasilkan masih berkualitas rendah, karena rumput lautnya masih bercampur pasir. Hal ini karena penjemuran masih dilakukan di pasir. Baru sebagian pembudidaya saja yang melakukan penjemuran di parapara. Pemasarannya yang dilakukan bersifat setempat atau dijual kepada agen lokal. Untuk meningkatkan daya saing kegiatan usaha rumput laut di Kota Tarakan sudah dibangun pabrik pengolahan rumput laut menjadi produk setengah jadi alkali treatment carragenan chips (ATCC). Namun pabrik pengolahan rumput laut ini belum berjalan secara optimal karena dihadapkan pada beberapa kendala, yaitu : belum adanya lantai penjemuran, debit air yang tersedia masih kecil, akses jalan masuk masih berupa jalan pengerasan dan legalitas pengelolaan pabriknya sendiri belum jelas. Penilaian manfaat dari pengusahaan budidaya rumput laut dengan menggunakan pendekatan model surplus konsumen (CS), dimana fungsi yang gunakan untuk membangun model adalah produksi rumput laut (Kg/thn), harga rata-rata hasil budidaya (Rp/Kg), umur responden (tahun), tingkat pendidikan (tahun), jumlah anggota keluarga (orang), total biaya usaha (Rp/tahun), luas areal budidaya (ha) dan julah tali (buah). Total biaya mencakup biaya bibit, tali, pengikatan, pemeliharaan dan penjemuran. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Anggadireja et al. (2006), beberapa faktor keberhasilan yang perlu diperhatikan dalam budidaya rumput laut selain bibit yang baik, metode, cara pemeliharaan, perlakuan pemanenan dan pasca panen, serta pemilihan lokasi yang memenuhi persyaratan bagi jenis rumput laut yang dibudidayakan. Berdasarkan hasil model logaritma regresi berganda (ln) diperoleh persamaan fungsi permintaan sebagai berikut: 206
𝑓(𝑄) ∶=
1.064700849106 𝑄 0.5958065770
Dari fungsi tersebut dapat diperoleh kurva permintaan terhadap rumput lautseperti yang terlihat pada Gambar 100sebagai berikut.
Gambar 100.
Kurva Permintaan terhadap Komoditas Rumput Laut
Selanjutnya nilai manfaat ekosistem mangrove sebagai untuk kegiatan budidaya rumput laut dihitung berdasarkan besaran surplus konsumensebesar Rp.88.207.304 dikalikan dengan jumlah pembudidaya yaitu sebanyak40 orang dibagi dengan luas ekosistem mangrove 979,02 Ha, sehingga diperoleh nilai konsumen surplus sehingga diperoleh nilai manfaat langsung yang dihasilkan dari pemanfaatan secara langsung dari suatu sumberdaya. Nilai manfaat langsung budidaya rumput laut yang juga merupakan nilai kerugian ekonomi-ekologi mangrove adalah sebesar Rp. 3.603.902per Ha. Pemanfaat Kayu Pemanfaat kayu pada wilayah ekosistem mangrove di Kota Tarakan merupakan salah satu penambah pendapatan masyarakat perikanan yang tinggal di wilayah pesisir. Pemanfaat kayu mangrove kebanyakan pemanfaatannya digunakan untuk kayu bakar. Pemanfaatan kayu pada ekosistem mangrove hanya utuk kebutuhan atai kepentingan pribadi. Penilaian ekonomi pada pemanfaatan kayu pada ekosistem mangrove berdasarkan fungsinya menggunakan tehnik EOP. Teknik EOP yang dianalisis dilakukan dengan menilai produktivitas ekosistem mangrove akan kayu yang dimanfaatkan. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa nilai ekonomi 207
pemanfaat kayu di Kota Tarakan berdasarkan keberadaannya pada tahun 2015 adalah Rp. 37.457.646 per hektar. Nilai ekonomi disarakan atas populasi jumlah penduduk sebesar 26.336 jiwa, dengan luas lahan 1.119 hektar. Pencari Kerang Kawasan ekosistem mangrove di Kota Tarakan memberikan manfaat bagi pencari kerang. Keberadaan aktivitas pencari kerang memberikan kontribusi terhadap perekonomian masyarakat perikanan Kota Tarakan. Penilaian pada ekosistem mangrove berdasarkan fungsinya sebagai pencari kerang menggunakan tehnik pendekatan Income Aproach atau pendekatan melalui pendapatan. Pendekatan Income dilakukan dengan menilai penerimaan dari pencari kerang dan dikurangi dengan biaya untuk mecari kerang dan diproduktivitas ekosistem mangrove akan sumberdaya kerang. Diketahui bahwa rata-rata penerimaan pencari kerang per tahun per individu yaitu sebesar Rp. 39.534.545,-/tahun, biaya sebesar Rp. 2.722.909,-/Tahun. Luas lahan mangrove tempat mencari kerang yaitu seluas 1119 Ha dan jumlah pencari kerang yaitu sebanyak 3.114 orang. Maka untuk nilai sumberdaya keberadaan kerang yaitu sebesar Rp. 114.631.435.636,-/tahun atau dengan produktivitas senilai Rp. 102.440.961,-/Ha/Tahun. Pariwisata A. Wisata Tracking Mangrove Nilai manfaat langsung merupakan nilai yang diperoleh dari pemanfaatan secara langsung dari ekosistem yang ada di Tarakan. Pemanfaatan untuk kegiatan pariwisata secara langsung terdiri dari wisata mangrove (mangrove tracking) dan wisata pantai. Untuk menganalisis permintaan terhadap kegiatan wisata ini digunakan metode biaya perjalanan (Travel Cost). Metode ini diaplikasikan untuk menganalisis biaya perjalanan yang dikeluarkan individu untuk melakukan kegiatan wisata di kawasan ini.Hasil analisis kemudian digunakan untuk membangun kurva permintaan dan surplus konsumen kegiatan wisata yang kemudian menjadi nilai manfaat pariwisata ekosistem mangrove. Fungsi permintaan kegiatan wisata mangrove di Tarakan diperoleh dengan meregresikan usia, pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, jumlah pendapatan, jumlah rombongan, biaya perjalanan, lama tinggal (hari) dari responden. Analisis regresi yang dilakukan menghasilkan persamaan sebagai berikut : 𝑓(𝑄) ≔ −1 105 𝑄 + 4.932877258 108 Dari fungsi tersebut dapat diperoleh kurva permintaan wisata mangrove seperti yang terlihat pada Gambar 101sebagai berikut.
208
Gambar 101.
Kurva Permintaan terhadap Pemanfaatan Wisata Mangrove
Berdasarkan hasil analisis regresi di atas, diketahui bahwa nilai R –Sq sebesar 0,07657. Hal ini menunjukkan bahwa variabel bebas yang digunakan dalam model yaitu usia, pendidikan, pendapatan, biaya perjalanan, dan lama tinggal responden mampu menjelaskan keragaman variabel tidak bebas yaitu jumlah kunjungan wisata dalam satu tahun sebesar 76,57%. Angka tersebut menyatakan bahwa masih terdapat beberapa variabel yang mempengaruhi permintaan wisata ke kawasan ekosistem mangrove sebesar 23,43 %, variabel tersebut dapat berupa pengetahuan wisatawan tentang ekosistem mangrove. Dari persamaan diatas juga menggambarkan bahwa umumnya responden yang berkunjung tergolong dalam kategori wisatawan lokal karena lokasi KKMB berada ditengah kota sehingga sebagian besar wisatawan adalah masyarakat yang tinggal di Tarakan dan Kota/Kabupaten terdekat. Tujuan wisata di KKMB Tarakan adalah wisata pendidikan karena KKMB merupakan lokasi konservasi dengan keanekaragaman hayati yang tinggi baik flora maupun fauna. Sedangkan wisatawan lainnya yang berasal dari luar Tarakan merupakan wisatawan accidental, artinya wisatawan dating bukan khusus untuk tujuan wisata ke KKMB melainkan sampingan dari kegiatan utamanya seperti pekerjaan, usaha atau kunjungan keluarga. Tingkat pendidikan dan pendapatan menjadi variabel yang dapat mempengaruhi tingkat permintaan kunjungan wisata. Semakin tinggi tingkat pendidikan individu, semakin luas pula pengetahuan yang dimilikinya dan kemampuan untuk mencari informasi mengenai pariwisata terutama melalui browsing internet, salah satunya adalah tentang ekosistem mangrove yang membuat mereka ingin melihat dan berinteraksi langsung dengan ekosistem tersebut, hal ini mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan wisata ke kawasan yang tentu saja memiliki ekosistem mangorve. Selain itu, peningkatan pendapatan individu dapat pula meningkatkan permintaan mereka tehadap berbagai komoditas, termasuk kegiatan wisata. 209
Variabel usia tidak mempengaruhi jumlah kunjungan wisata ke kawasan ekosistem mangrove, hal ini ditunjukkan dengan hubungan yang berlawanan dalam model permintaan kunjungan wisata di atas. Model permintaan di atas juga menunjukan hubungan yang berlawanan antara jumlah kunjungan dan biaya perjalanan. Hal ini sesuai dengan hukum permintaan yang menyatakan bahwa semakin tinggi harga suatu komoditas maka semakin rendah tingkat permintaannya. Untuk perhitungan nilai manfaat langsung pariwisata ini tidak memperhitungkan jarak wisatawan dari tempat asalnya ke KKMB namun tetap diperhitungkan biaya perjalanan wisatawan dari tempat asalnya ke lokasi KKMB. Dari fungsi di atas kemudian dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi pariwisata KKMB dengan menghitung besarnya nilai surplus bagi konsumen (CS) secara individu. Nilai surplus konsumen per individu adalah sebesar Rp. 3.015.817. Dengan jumlah kunjungan wisatawan ke KKMB Tarakan sebanyak 45.800 jiwa per tahun, maka nilai ekonomi wisata mangrove KKMB dapat dihitung sebesar Rp.138.124.418.600 dan dengan total luasan kawasan KKMB Tarakan adalah 21 Ha, maka nilai ekonomi wisata mangrove per hektar mencapai Rp. 6.577.353.266. B. Wisata Pantai Pantai amal adalah objek wisata yang bisa ditemui di Kota Tarakan, Kalimantan Timur. Nama pantai ini diambil dari nama kelurahan dimana pantai tersebut berada, yaitu Kelurahan Amal. Pantai Amal tidak mempunyai pasir putih, seperti yang menjadi ciri khas beberapa pantai di daerah lain. Namun pantai disini mempunyai pasir yang berwarna kecoklatan. Tapi itu tidak mengurangi wisatawan untuk berkunjung ke Pantai Amal. Terutama karena lokasinya yang sangat dekat dengan pusat Kota Tarakan. Pengunjung hanya perlu menembuh jarak sekitar 11 km untuk menuju ke Pantai Amal atau sekitar 30 menit dengan kendaraan bermotor. Daya tarik Pantai Amal bukan hanya berasal dari panorama alamnya. Namun Pantai Amal juga dikenal mempunyai hidangan khas yang disebut dengan Kapah. Kapah adalah kerang yang mempunyai cangkang berwarna putih. Ukurannya lebih besar dari tudai, yaitu jenis kerang lainnya yang sering dijumpai di beberapa pantai lain di Kalimantan. Selain dari ukurannya, kapah dan tudai juga mempunyai perbedaan lain. Daging kapah berwarna putih, sementara tudai mempunyai daging dengan warna agak kehitaman. Kapah bukanlah sekedar kerang yang bisa ditemukan begitu saja disetiap pantai di Kalimantan. Ada yang sengaja datang ke Pantai Amal dengan tujuan utama untuk menikmati kapah. Karena selain rasanya yang khas, anda hanya bisa menemukan kapah di Pantai Amal. Makanan ini tidak bisa ditemukan di warung makan lainnya yang ada di Kota Tarakan. Hal ini menjadikan Pantai Amal mempunyai nilai tabah, ketimbang pantai lainnya.
210
Analisis permintaan terhadap kegiatan wisata pantai ini menggunakan
metode biaya
perjalanan (Travel Cost). Metode ini diaplikasikan untuk menganalisis biaya perjalanan yang dikeluarkan individu untuk melakukan kegiatan wisata di kawasan ini.Hasil analisis kemudian digunakan untuk membangun kurva permintaan dan surplus konsumen kegiatan wisata yang kemudian menjadi nilai manfaat pariwisata ekosistem mangrove. Fungsi permintaan kegiatan wisata mangrove di Tarakan diperoleh dengan meregresikan usia, pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, jumlah pendapatan, jumlah rombongan, biaya perjalanan, lama tinggal (hari) dari responden. Analisis regresi yang dilakukan menghasilkan persamaan sebagai berikut : 𝑓(𝑄) ≔ −2.344539450 105 𝑄 + 9.884214859 105 Dari fungsi tersebut dapat diperoleh kurva permintaan wisata pantai seperti yang terlihat pada Gambar 102sebagai berikut.
Gambar 102.
Kurva Permintaan terhadap Pemanfaatan Wisata Pantai
Berdasarkan hasil analisis regresi di atas, diketahui bahwa nilai R –Sq sebesar 0,26366. Hal ini menunjukkan bahwa variabel bebas yang digunakan dalam model yaitu usia, pendidikan, pendapatan, biaya perjalanan, dan lama tinggal responden mampu menjelaskan keragaman variabel tidak bebas yaitu jumlah kunjungan wisata dalam satu tahun sebesar 26,36%. Angka tersebut menyatakan bahwa masih terdapat beberapa variabel yang mempengaruhi permintaan wisata ke kawasaan ekosistem mangrove sebesar 73,64 %, variabel tersebut dapat berupa pengetahuan wisatawan tentang ekosistem pantai. Dari fungsi di atas kemudian dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi pariwisata Pantai Amal dengan menghitung besarnya nilai surplus bagi konsumen (CS) secara individu. Nilai surplus konsumen per individu adalah sebesar Rp. 1.173.831. Dengan jumlah kunjungan wisatawan ke Pantai Amal sebanyak 28.802 jiwa per tahun, maka nilai ekonomi wisata Pantai Amal dapat 211
dihitung sebesar Rp. 33.808.680.462 dan dengan total luasan panjang Pantai Amal adalah 1,7 Km2, maka nilai ekonomi wisata pantai per Km2 mencapai Rp. 19.887.459.095. Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Pesisir Kota Tarakan Nilai ekonomi sumberdaya pesisir dan laut yang ada di Kota Tarakan
dihitung
berdasarkan pendekatan nilai ekonomi total dari ekosistem yang ada. Pada dasarnya nilai ekonomi total merupakan penjumlahan dari nilai-nilai yang telah dijelaskan sebelumnya. Hasil perhitungan menunjukkan manfaat ekonomi masing-masing ekosistem dan kawasan di sekitar Kota Tarakan. Secara keseluruhan total nilai ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan disekitar Kota Tarakan dapat diestimasi sebesar Rp. 62,198,055,075,875 /tahun. Segenap nilai yang dihitung, baik per ekosistem maupun nilai total ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan di Kota Tarakan merupakan nilai ekonomi pada tahun berjalan, yaitu tahun 2015, sehingga bilamana memungkinkan dapat diupdate maksimal 5 tahun sekali untuk mendapatkan gambaran nilai ekonomi total sumberdaya alam dan lingkungan di masa mendatang. Berdasarkan Tabel 72 terlihat bahwa nilai ekonomi total per masing-masing ekosistem berbeda-beda. Proporsi terbesar dari nilai ekonomi total adalah nilai yang diambil berdasarkan nilai perkawasan (Rp. Per tahun / ha). Dari nilai tersebut diketahui nilai ekologi merupakan variabel dari keseluruhan jasa lingkungan denga nilai ekonomis yang terbesar dengan persentase 80.64%, sedangkan nilai pemanfaaatan ekonomi sendiri hanya sebesar 15.29 %.
Hal ini
menunjukkan bahwa nilai ini merupakan nilai manfaat yang tidak langsung dirasakan oleh masyarakat pesisir yaitu ekosistem terumbu karang untuk melindungi lingkungan pesisir dan menyediakan sumberdaya ikan secara berkelanjutan, sedangkan ekosistem mangrove berfungsi sebagai penyerap dan penyimpan karbon serta peredam gelombang. Potensi penyimpanan karbon pada substrat lumpur mangrove sangatlah besar. Oleh karena itu estimasi penyimpanan karbon pada substrat lumpur mangrove dapat dijadikan acuan dasar dalam penilaian manfaat ekonomis mangrove dalam bentuk komoditi jasa lingkungan C-Sequestration. Pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan cocok untuk penyerapan dan penyimpanan karbon. Selain melindungi daerah pesisir dari abrasi, tanaman mangrove mampu menyerap emisi yang terlepas dari lautan dan udara. Penyerapan emisi gas buang menjadi maksimal karena mangrove memiliki sistem akar napas dan keunikan struktur tumbuhan pantai. Pada ekosistem perairan pelagis, nilai manfaat diperoleh oleh masyarakat pesisir secara langsung melalui penangkapan ikan pelagis, nilai ekonomi 0.23 % dari nilai total ekonomi. Hal tersebut berarti masyarakat pesisir masih menempatkan ekstraksi langsung sumberdaya perairan pelagis untuk kebutuhan hidup utamanya. 212
213
Tabel 72. Nilai Ekonomi Total Seluruh Ekosistem dan Kawasan Berdasarkan Tipologi
Nilai Ekonomi Total di KotaTarakan, 2015 Jenis Nilai A.
Nilai (Rp.per tahun)
Nilai (Rp. per tahun/ha)
Proporsi (%)
Ekosistem Mangrove
Nilai Ekologi a. Penyimpan Karbon
81,342,610,965
177,399,325,125
80.63
b. Peredam Gelombang
15,120,050,000
15,444,067
0.01
34,958,070,776
35,707,208
0.02
35,826,826,899,610
7,024,882,247
3.19
18,042,525,600
19,032,200
0.01
114,631,435,636
102,440,961
0.05
41,915,105,874
37,457,646
0.02
138,124,418,600
6,577,353,266
2.99
33,808,680,462
19,887,459,095
9.04
1,002,955,736,216
8,428,199,464
3.83
24,886,801,250,000
497,736,025
0.23
3,528,292,136
3,603,902
0.002
62,198,055,075,875
220,028,641,206
100
Nilai Ekonomi a. Budidaya Kepiting Soka b. Budidaya Kepiting Bakau c. Budidaya Udang dan Bandeng d. Pencari Kerang f. Pemanfaat kayu g. Pariwisata (Wisata Mangrove) h. Wisata Pantai Nilai Sosial Budidaya a. Nilai Pewarisan B.
Sistem Pelagis
a. Penangkapan ikan b. Budidaya Rumput Laut Nilai Ekonomi Total Sumber : Data primer diolah, 2015
212
Gambar 103.
Peta Nilai Manfaat Langsung berbagai ekosistem di pesisir Tarakan, Kalimantan Utara
4.3.2.2. Nilai Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut Kota Manado/Bunaken Nilai ekonomi sumberdaya pesisir dan laut di Taman Nasional Bunaken dikelompokkan berdasarkan pemanfaatan pada masing-masing jenis ekosistem yang ada di kawasan tersebut. Ada empat jenis ekosistem yang ada di Taman Nasional Bunaken yaitu mangrove, lamun, terumbu karang dan perairan pelagis. Pada masing-masing ekosistem tersebut terdapat nilai manfaat yang langsung maupun tidak langsung dirasakan oleh masyarakat di sekitar kawasan ekosistem dan juga terdapat nilai bukan manfaat yang menggambarkan besaran nilai yang diberikan oleh masyarakat untuk mempertahankan kelestarian ekosistem tersebut untuk anak-cucunya. Berikut diuraikan nilai manfaat (langsung dan tidak langsung) dan nilai bukan berdasarkan jenis pemanfaatan yang ada pada ekosistem tersebut: NILAI EKOLOGI Nilai manfaat tidak langsung Ekosistem Mangrove Salah satu manfaat tidak langsung ekosistem mangrove adalah sebagai penyimpan karbon. Karbon secara massif tersimpan pada bawah permukaan tanah di sekitar ekosistem mangrove. Selain itu, karbon juga tersimpan pada batang dan daun pohon, akar, dan kayu mati yang ada 213
disekitarnya. Selain fungsi sebagai penyimpan karbon, ekosistem mangrove juga mempunyai kemampuan untuk meredam dan menahan ombak. Tabel 73.
Nilai manfaat tidak langsung fungsi penyerapan karbon dan penahan ombak pada ekosistem pesisir Bunaken, Kota Manado
Ekosistem Mangrove
Pemanfaatan tidak langsung Karbon Sink Penahan Gelombang
Luas Areal (Ha) 1796.85 598.95
Nilai Ekonomi (Rp/Tahun) metric ton carbon
Produktivitas (Rp/ha/Tahun) 418,845,735.00
meter kubik
1,976,535,000.00
Nilai manfaat tidak langsung diidentifikasi berdasarkan dua pendekatan nilai manfaat tidak langsung, yaitu : manfaat ekosistem mangrove sebagai penyerap karbon dan manfaat penahan gelombang. Nilai ini secara tidak langsung memberi manfaat bagi lingkungan sekitarnya khususnya bagi masyarakat setempat yang tidak kalah pentingnya. Adapun nilai manfaat tidak langsung dari penyerapan karbon yang dinilai dari tingkat produktifitas penyerapan karbon dari ekosistem mangrove sebesar Rp 418,845,735. Nilai manfaat dari kemampuan ekosistem mangrove untuk meredam dan dan menahan gelombang/ombak adalah sebesar Rp 1,976,535,000. Sehingga total nilai ekonomi manfaat tidak langsung dari ekosistem mangrove yang ada di Taman Laut Bunaken sebesar Rp 2,395,380,735. Nilai Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Terumbu Karang Sebagaimana diketahui, terumbu karang memiliki manfaat lingkungan untuk mendukung kehidupan lainnya seperti, sebagai habitat dari beberapa organisme / biota lainnya. Selain itu, terumbu karang juga memiliki manfaat sebagai penyerap karbon dan penahan gelombang. Olehnya itu dalam kegiatan ini dihitung pula nilai ekonomi dari manfaat tidak langsung ekosistem terumbu karang. Nilai ekonomi ini didekati dengan menggunakan kemampuan ekosistem terumbu karang untuk meredam gelombang dan menyerap karbon.
214
Gambar 104.
Peta nilai manfaat tidak langsung fungsi produktifitas primer pertumbuhan ikan di Bunaken, Sulawesi Utara
Tabel 74.
Ekosistem
Terumbu Karang
Nilai Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Terumbu Karang Pemanfaatan Tidak Langsung
Luas Areal (Ha)/Panjang Pantai (m)
Nilai Satuan
Karbon Sink
5084.55
16.65
Penahan Gelombang
1694.85
550.000
Satuan USD/ metric ton carbon Rp/meter kubik
Nilai Ekonomi (Rp/ha) 1,185,209,189.64 5,593,007,758.94
Sebagaimana diketahui, terumbu karang memiliki manfaat lingkungan untuk mendukung kehidupan lainnya seperti, sebagai habitat dari beberapa organisme/biota lainnya. Selain itu, terumbu karang juga memiliki manfaat sebagai penyerap karbon dan penahan gelombang. Olehnya itu dalam kegiatan ini dihitung pula nilai ekonomi dari manfaat tidak langsung ekosistem terumbu karang. Nilai ekonomi ini didekati dengan menggunakan kemampuan ekosistem terumbu karang untuk meredam gelombang dan menyerap karbon.
215
Gambar 105.
Peta nilai manfaat tidak langsung fungsi penyerap Karbon ekosistem Mangrove dan Terumbu Karang di Bunaken, Manado
Dari pendekatan terhadap kemampuan menyerap karbon, ekosistem terumbu karang dinilai sebesar USD 16,65 per metric ton carbon. Sehingga setelah dihitung nilai manfaat tidak langsung dari terumbu karang untuk menyerap karbon sebesar Rp 1,185,209,189. Dalam penghitungan tersebut, turut dipertimbangkan luas areal terumbu karang yang didapatkan dengan menggunakan penginderaan jauh dan survey ekologi kondisi terumbu karang. Adapun nilai manfaat tidak langsung dari kemampuan terumbu karang untuk menahan ombak didekati dengan nilai pengganti dari satuan bangunan penahan gelombang (wave breaker). Dari satuan ini diketahui rata-rata nilai bangunan penahan gelombang sebesar Rp 550.000 per meter kubik. Sehingga dengan panjang pantai sebesar 1694,85 m, maka nilai ekonomi dari manfaat tidak langsung ekosistem terumbu karang di Taman Nasional Bunaken sebanyak Rp 5.593.007.758.
216
Gambar 106.
Peta Nilai Manfaat Tidak Langsung Fungsi Water Break Sumberdaya Mangrove dan Terumbu Karang Di Bunaken, Manado
Nilai Ekonomi EKOSISTEM MANGROVE Nilai Manfaat Langsung Pemanfaatan langsung dimaksudkan sebagai pemanfaatan ekstraktif, yang didaptkan dari pengambil hasil dari ekosistem yang dinilai. Pada ekosistem mangrove di Taman Nasional Bunaken, dapat diidentifikasi dua jenis pemanfaatan yaitu; pemanfaatan penangkapan ikan dan pencari/penangkap kepiting rajungan. Tabel 75. Ekosistem
Mangrove
Nilai manfaat langsung dari ekosistem mangrove di Bunaken, Kota Manado Pemanfaatan Langsung Penangkapan Ikan Pencari Kepiting Rajungan
Populasi (Jiwa)
Nilai Ekonomi (Rp/Tahun)
Produktivitas (Rp/ha/Tahun)
1000
10,979,087,870.00
6,110,186.09
41
2,778,237,142.86
1,546,170.88
217
Pemanfaatan ekosistem mangrove berdasarkan untuk nilai dari pemanfaatan langsung totalnya mencapai Rp 13.757.325.012. pemanfaatan sumberdaya ekosistem mangrove di oleh masyarakat di sekitar Taman Laut Bunaken ialah untuk sebagai lokasi penangkapan ikan seperti ikan belanak, udang, dan beberapa organisme yang berasosiasi dengan mangrove lainnya. Nilai ekonomi dari pemanfaatan penangkapan ikan ini mencapai nilai yang cukup besar yaitu: Rp 10.979.087.870,- hal ini menandakan besarnya tingkat pemanfaatan dan tingginya harga dan produktifitas pemanfaatan sumberdaya ikan di ekosistem mangrove oleh masyarakat. TERUMBU KARANG Nilai Manfaat Langsung Penangkapan Ikan Pada Ekosistem Terumbu Karang Kegiatan penangkapan ikan pada ekosistem Terumbu Karang di Taman Nasional Bunakennelayan skala kecil. Armada yang digunakan berukuran < 5 hingga 5 – 10 GT.Penilaian ekosistem terumbu karang didekati menggunakan analisis Effect on Production (EoP). Berdasarkan hasil analisa EoP terhadap aktivitas penangkapan ikan pada ekosistem terumbu karang diperoleh fungsi permintaan sebagai berikut: Ln Q = 39.68625164 - 3.114368074 ln P - 0.08931759 ln A +0.012137338 ln Edu - 0.0026199 ln I - 0.103815009 Ln KK Keterangan : Q
= Produksi ikan (Rp/tahun)
P
= Harga rata-rata ikan (Rp/kg)
A
= Umur (tahun)
Edu = Tingkat Pendidikan (tahun) I
= Pendapatan usaha (Rp/tahun)
KK = Jumlah anggota keluarga (orang) Dari fungsi tersebut kemudian dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi sumberdaya ikan dengan menghitung besarnya nilai surplus bagi konsumen (CS). Nilai total kesediaan membayar (U) sebesar Rp171.870.733,60 per tahun, sedangkan untuk nilai yang dibayarkan konsumen (PQ) adalah sebesar Rp 116.684.342,80 dengan demikian dapat diketahui nilai Consumer Surplus (CS) adalah sebesar Rp 55,186,390.80 per pelaku usaha Penangkapan. Total nilai manfaat langsung sumberdaya ikan sebesar Rp758,757,687,109 per Tahun.
218
Gambar 107.
Grafik Fungsi Permintaan Penangkapan ikan pada Ekosistem Terumbu Karang di Taman Nasional Bunaken Sumber : Data primer diolah, 2015
Nilai manfaat langsung budidaya perairan Selain pemanfaatan dengan penangkapan ikan, ekosistem terumbu karang di taman kawasan Taman Nasional Bunaken juga dimanfaatkan untuk aktifitas budidaya rumput laut. Jenis rumput laut yang dibudidayakan oleh pembudidaya adalah Eucheuma cottoni. Budidaya rumput laut ini merupakan usaha yang umumnya dilakukan untuk menambah pendapatan rumah tangga masyarakat setempat selain menangkap ikan. Penilaian ekonomi terhadap aktivitas usaha budidaya rumput laut, dilakukan analisis effect on production (EoP). Berdasarkan hasil analisa EoPterhadap aktivitas perikanan budidaya rumput laut, maka diperoleh fungsi permintaan budidaya rumput laut di Kabupaten Gorontalo Utara sebagai berikut: LnY=6.314294577 - 1.178047793 ln P- 0.021351262 ln A + 0.01952101 ln ED +0.707589558 ln I- 0.018021575 ln KK Keterangan: Y
= Produksi rumput laut (Kg/tahun)
Ln P = Harga rata – rata rumput laut (Rp/kg) Ln A = umur pembudidaya (thn) Ln ED = tingkat pendidikan Ln I
= jumlah anggota rumah tangga
Ln KK = pendapatan per tahun (Rp/tahun) 219
Untuk mencari nilai ekonomi total berdasarkan fungsi tersebut, maka digunakan beberapa data diantaranya jumlah pembudidaya sebanyak 1.532 pembudidaya.
Dari fungsi tersebut
kemudian dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi sumberdaya ikan dengan menghitung besarnya nilai surplus bagi konsumen (CS). Nilai total kesediaan membayar (U) sebesar Rp 48.290.407 per pelaku usaha pembudidaya. Sehingga dengan demikian dapat diketahui bahwa nilai CS adalah sebesar Rp 40.991.891 per pelaku usaha budidaya. Total nilai manfaat langsung dari aktifitas budidaya rumput laut yaitu sebesar Rp 62.799.577.043 per tahun .
Gambar 108.
Grafik Fungsi Permintaan Aktivitas Budidaya Rumput Laut di Taman Nasional Rumput Laut.
Nilai manfaat langsung Pariwisata Taman Nasional Bunaken terkenal dengan aktifitas pariwisata bahari yang terkenal hingga ke mancanegara. Tingkat kunjungan wisata yang tinggi menunjukkan tingginya keinginan untuk melakukan dan berkunjung ke lokasi wisata Taman Nasional Bunaken. Berdasarkan pengunjung, pengunjung mancanegara merupakan pengunjung dengan tingkat kunjungan terbesar. Hal ini berdampak pada tingginya nilai ekonomi dari pariwisata di Taman Nasional Bunaken. Pendekatanyang digunakan dalam menentukan nilai ekonomi dari kegiatan pariwisata dalalah analisis effect on production (EoP). Hasil analisa EoPterhadap aktivitas pariwisata di Taman Nasional Bunaken menurut fungsi permintaan jumlah kunjungan adalah sebagai berikut: LnY=- 4.085881021 - 0.053429921 ln C+ 0.270790373 ln A- 0.871099966 ln ED +0.358071752 ln I Keterangan: Y
= Jumlah Kunjungan (per tahun)
Ln C = Total Biaya Kunjungan (Rp / kunjungan) 220
Ln A = umur Pengunjung (tahun) Ln ED = tingkat pendidikan Ln I
= Pendapatan Pengunjung
Berdasarkan fungsi tersebut kemudian dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi pariwisata dengan menghitung besarnya nilai surplus bagi konsumen (CS). Nilai total kesediaan membayar (U) sebesar Rp 71,266,263 per pengunjung. Sehingga dengan demikian dapat diketahui bahwa nilai CS adalah sebesar Rp 55,154,742 per pengunjung. Berdasarkan data jumlah kunjungan wisawatan mancanegara ke lokasi wisata Taman Nasional Bunaken diketahui sebanyak 250.000 pengunjung per tahun. Sehingga Total nilai manfaat langsung dari aktifitas pariwisata yaitu sebesar Rp 13.788.685.537.500 per tahun.
Gambar 109.
Grafik Fungsi Permintaan kunjungan pariwisata mancanegara taman Nasional Bunaken.
221
Gambar 110.
Peta Nilai Manfaat Langsung berbagai ekosistem di pesisir Bunaken, Sulawesi Utara
Nilai Sosial Nilai Sosial didekati dengan mengambil nilai keseluruhan ekosistem yang ada. Hal ini dilakukan karena sulitnya responden untuk memahami nilai social budaya yang didasarkan pada sumberdaya ekosistem yang ada. Masyarakat setempat umumnya memahami bahwa nilai social ini sangat erat kaitannya dengan keberadaan parisiwata bahari Bunaken yang sudah terkenal. Meski responden merupakan pengguna dari ekosistem mangrove dan lamun, keberadaan nilai social ini selalu dikaitkan dengan keberadaan terumbu karang karena menurut responden, wisatawan yang datang kurang tertarik dengan kondisi mangrove dan lamun. Menurut responden, sumberdaya ekosistem lamun tidak dimanfaatkan baik untuk kegiatan ekonomis maupun kegiatan terkait nilai-nilai social. Sedangkan pemanfaatan sumberdaya ekosistem mangrove hanya dilakukan dengan mengambil manfaat kayu untuk kebutuhan kayu bakar di rumah. Selain itu, ada pelarangan untuk menebang kayu mangrove, sehingga umumnya responden hanya mengambil kayu yang dari dahan dan batang yang sudah kering. Upaya konservasi mangrove di Bukanen cukup berhasil dengan tidak dieksploitasinya ekositem ini secara masif. Hal ini kemungkinan disebabkan karena rendahnya ketergantungan masyarakat setempat terhadap ekosistem mangrove dan lamun. Namun, beberapa responden baik dari pemanfaat ekosistem lamun, karang dan mangrove yang cukup mengerti dan dapat memberikan penilaian
222
terhadap masing-masing ekosistem yang dimanfaatkan, sehingga dalam menilai social di Bunaken terhadap masing-masing ekosistem tidak dibedakan berdasarkan ekosistem yang ada. Kesediaan membayar atau WTP masyarakat disekitar Taman Nasional Bunaken diukur dengan menggunakan pendekatan Contingent Valuation Method (CVM). Berdasarkan data tersebut dihasilkan model pendugaan nilai kesediaan membayar dari masyarakat disekitar Taman Nasional Bunaken diperoleh persamaan sebagai berikut : Ln WTP =4.977 + 0.970 ln I-0.1593 ln ED -2.567 ln A Keterangan: WTP
= Kesediaan membayar (Rp per tahun)
Ln A
= umur Pengunjung (tahun)
Ln ED
= tingkat pendidikan
Ln I
= Pendapatan Pengunjung
Kesediaan membayar atas sumberdaya ekosistem yaang ada di taman nasional bunaken oleh tiap responden sebesar Rp 78,951 per tahun. Nilai keberadaan sumberdaya sebesar Rp 4.005.042.603 per tahun. Implikasi dari model tersebut, diketahui bahwa preferensi masyarakat di sekitar lokasi penelitian terhadap sumberdaya ekosistem cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya pendapatan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut.
Gambar 111.
Peta nilai Sosial Budaya sumberdaya pesisir dan laut di Bunaken, Sulawesi Utara 223
Model tersebut mengindikasikan bahwa faktor pendapatan secara positif lebih dominan dalam memberikan pertambahan nilai terhadap nilai keberadaan sumberdaya ekosistem terumbu karang. Penambahan satu tahun akan mengangkat faktor pendapatan sebesar 0,97 dari nilai WTP sumberdaya dari keseluruhan ekosistem. Namun faktor usia masyarakat dan pendidikan setempat menunjukkan fenomena yang negatif, artinya lama hidup dan lama belajar responden tidak menunjukkan perubahan positif yang linear dengan besaran nilai pilihan sumberdaya ekosistem terumbu karang. Sehingga, nilai WTP sumberdaya ekosistem oleh masyarakat setempat secara efektif dapat ditingkatkan dengan melakukan peningkatan pendapatan bagi masyarakat. Tabel 76. Nilai Ekonomi Total Seluruh Ekosistem dan Kawasan Berdasarkan Tipologi Nilai Ekonomi Total di Bunaken, Kota Manado 2015
Jenis Nilai Nilai ekologi Mangrove a. Penyerap Karbon b. Penahan Gelombang
Nilai (Rp./Tahun) 1,652,912,884,797
Proporsi (%)
Nilai (Rp./Ha/tahun)
37.37
152,236,442,838
83,250,174
7,311,742,851
1,412,933
1,458,097,960,000
281,765,138
35,266,739,108
6,815,000
Terumbu Karang a. Penahan Gelombang a. Pertumbuhan Ikan Nilai Ekonomi
2,765,730,564,415
62.54
Mangrove a. Penangkap kepiting
2,778,237,143
1,519,273
b. penangkapan ikan
10,979,087,870
6,003,891
758,757,687,109
146,623,526
62,799,577,043
12,135,489
1,930,415,975,250
373,036,612
Terumbu Karang a. penangkapan ikan b. Budidaya Rumput Laut c. Pariwisata Nilai Sosial dan Non Pemanfaatan
4,005,042,603
0.09
571,860
4.3.2.3. Nilai Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut Kabupaten Gorontalo Utara Nilai Ekologi Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang memiliki manfaat ekologi yang secara tidak langsung dirasakan oleh masyarakat pesisir khususnya. Ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai proteksi lingkungan pesisir khususnya dari ancaman erosi akibat gelombang yang besar dan sebagai
224
penyedia sumber daya ikan. Nilai ekologi ekosistem terumbu karang sebagai fungsi diatas akan dijelaskan sebagai berikut : a. Proteksi Lingkungan Pesisir Untuk mendapatkan nilai ekonomi dari fungsi ini didekati dengan biaya pengganti sebesar sepertiga dari biaya pembangunan pemecah gelombang. Berdasarkan hasil Workshop pemetaan sumber daya pesisir dan laut(Bogor, 18-19 Desember 2015) diketahui bahwa standar biaya yang digunakan untuk setiap meter kubiknya berkisar antara Rp. 500.000 sapai dengan Rp. 600.000 sehingga diambil nilai tengah sebesar Rp. 550.000 per meter kubik. Kemudian setiap satu meter panjang pemecah gelombang memiliki dimensi sebesar 6 meter kubik dengan asumsi lebar 1 meter dan ketinggian 6 meter. Tinggi 6 meter dibuat dengan catatan pondasi sebesar 3 meter dan 3 meter lebihnya adalah rata-rata jarak permukaan tertinggi dengan permukaan terendah air laut. Panjang pantai yang dilindungi oleh karang (panjang garis pantai pulau) pada wilayah Kabupaten Gorontalo Utara berdasarkan data dari Bappeda Kabupaten Gorontalo utara (2015) diperkirakan mencapai 317.390 meter sehingga nilai yang terbentuk adalah Rp. 349.129.000.000/m2atau sebesar Rp. 17.456.450/ ha.
Gambar 112.
Peta Nilai Manfaat Tidak Langsung Fungsi Water Break Sumberdaya Mangrove dan Terumbu Karang Di Gorontalo Utara
225
b. Penyedia Sumber Daya Ikan Terumbukarang juga merupakan tempat yang sangat produktif dimana menurut hasil penelitian Dahuri (2003) melaporkan bahwa potensi lestari ikan karang konsumsi ditinjau dari Sembilan WPP, tercatat sekitar 1.452.500 ton/tahun. Sehingga dengan total area 50.000 Km2,maka MSY (Maximum Sustainable Yield) ikan karang di Indonesia terdapat sekitar 29,05 ton/km2/tahun atau setara dengan 290 kg per hektar per tahun. Atas dasar tersebut, nilai eksisting terumbu karang sebagai fungsi penyedia sumberdaya ikan dengan asumsi harga ratarata
tertimbang
ikan
sebesar
Rp.
23.500
dapat
dihitung
yaitu
sebesar
Rp.
30.184.121.087/tahun(luas terumbu karang di Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara sebesar 4.429,07 Ha) sehingga nilai ekologi terumbu karang sebagai penyedia sumber daya ikan diperoleh Rp. 6.815.000/ha/tahun.
Gambar 113.
Peta nilai manfaat tidak langsung fungsi produktifitas primer pertumbuhan ikan di Gorontalo Utara
Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove memiliki manfaat ekologi yang secara tidak langsung dirasakan oleh masyarakat pesisir khususnya. Ekosistem mangrove dapat berfungsi sebagai penyimpan karbon
226
(carbon-sink) dan secara fisik memiliki fungsi sebagai peredam gelombang. Nilai ekologi ekosistem mangrove sebagai fungsi diatas akan dijelaskan sebagai berikut : a. Penyimpan Karbon Ekosistem secara tidak langsung memberi manfaat kepada manusia melalui fungsi ekologi yang melekat padanya. Salah satu manfaat tidak langsung ekosistem mangrove adalah sebagai penyimpan karbon. Karbon secara massif tersimpan pada bawah permukaan tanah di sekitar ekosistem mangrove. Selain itu, karbon juga tersimpan pada batang dan daun pohon, akar, dan kayu mati yang ada disekitarnya. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata karbon yang tersimpan adalah sebesar 373 Mg C per Ha. Nilai ini lebih kecil bila dibandingkan dengan penelitian Donatoa et.al (2012) yang menunjukkan rata-rata karbon yang tersimpan untuk mangrove laut adalah 990 Mg C per ha. Sementara itu luasan mangrove di sekitar Gorontalo Utara berdasarkan analisis citra landsat 8 diketahui luasan mangrove mencapai 3.037,99 Ha. Atas dasar hal tersebut dapat diketahui nilai serapan karbon mangrove mencapai 3.007.610,1Mg C per ha. Simpanan karbon tersebut cukup tinggi yang apabila dinilaikan dengan nilai moneter sebesar 16,5 US$ (IDR 13.645) per metrik ton C sehingga menghasilkan nilai sebesar Rp. 23.267.013.846.367/tahun atau Rp. 7.658.694.933/tahun/Ha.
Gambar 114.
Peta nilai manfaat tidak langsung fungsi penyerap Karbon ekosistem Mangrove dan Terumbu Karang di Gorontalo Utara
227
228
b. Peredam Gelombang Ekosistem mangrove secara fisik memiliki fungsi sebagai peredam gelombang. Penghitungan nilai manfaat ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode biaya pengganti. Sebagai dasar ukuran digunakan standar pembangunan break water oleh Kementerian Pekerjaan Umum dimana kisaran harga per meter kubik berkisar antara Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 600.000. Santoso (2005) mengungkapkan untuk menghitung nilai pengganti ekosistem sebagai fungsi ini hanya sepertiga dari pembangunan break water. Panjang mangrove yang berfungsi sebagai green belt ini diketahui sebesar 85.206 meter. Atas dasar tersebut dapat dihitung kebutuhan pembangunan penahan gelombang sebagai nilai pengganti dengan mengalikan panjang dan dimensi yang dibutuhkan per tiap meter panjang. Berdasarkan pendapat ahli diketahui bahwa dimensi yang dibutuhkan adalah 6 meter dengan asumsi 3 meter sebagai pondasi dan 3 meter lainnya sebagai rentang pasang surut perairan. Dengan demikian kebutuhan biaya pembangunan diperkirakan mencapai Rp. 281.179.800.000 sehingga nilai manfaat mangrove sebagai fungsi ini adalah Rp. 93.726.600.000/tahun. Bila nilai tersebut dibagi dengan luasan mangrove yang ada maka nilai yang terbentuk adalah 30.851.517/ha/tahun.
Gambar 115.
Peta nilai manfaat tidak langsung fungsi water break ekosistem terumbu karang di Gorontalo Utara
229
Nilai Sosial Budaya Nilai sosial budaya dapat disebut sebagai nilai bukan manfaat yang menggambarkan besaran nilai yang diberikan oleh masyarakat untuk mempertahankan kelestarian ekosistem tersebut untuk alasan-alasan yang bersifat religi, budaya, artistik, pewarisan dan sejenisnya. Nilai bukan kegunaan dari ekosistem terumbu karang yang dihitung adalah berdasarkan fungsi keberadaan ekosistem tersebut (existence value, EV) di mata masyarakat setempat. Metode penilaian keberadaan kawasan ini dilakukan dengan menggunakan teknik Contingent Valuation Methods (CVM). Ekosistem Terumbu Karang Nilai warisan merupakan konsep penilaian terhadap sesuatu yang sebetulnya berbentuk abstrak. Tidak ada nilai sesungguhnya terbentuk sehingga digolongkan kedalam kelompok nilai bukan manfaat. Penilaian ini ditujukan untuk mengapresiasi upaya-upaya pelestarian yang dalam hal ini didekati dengan konsep nilai yang ingin dibayar. Keinginan untuk membayar dalam hal ini diukur dari kesediaan masyarakat membayar atau berkorban dengan tidak memanfaatkan sesuatu sehingga kelestarian lingkungan dapat tercapai. Kesediaan membayar diilustrasikan dengan membayar iuran yang ditujukan untuk pengawasan kawasan terumbu karang dari aktivitas yang merusak lingkungan. Sementara tidak memanfaatkan sesuatu contohnya adalah tidak memanfaatkan terumbu karang sebagai bahan bangunan. Berdasarkan data yang terkumpul maka persamaan nilai warisan yang terbentuk adalah sebagai berikut: Q = 19,07 + 0,09 A + 1,07 KK – 2,24 I +6,13 K-TK + 10,15 MTK -1,17 Kond-TK – 0,03 DT – 29,39 Eks +18,42 Kont-TK – 9,57 WTP Keterangan : Q
= Jumlah nelayan yang bersedia membayar
TP
= Kesediaan membayar
A
= Umur
I
= Pendapatan
E
= Pendidikan
K-TK
= Mengenal Ekosistem Termbu Karang
M-TK
= Manfaat Ekosistem Terumbu Karang
Kond-TK
= Kondisi Terumbu Karang
DT
= Ekosistem Terumbu Karang ditiadakan
Eks
= Kelestarian
Kont-TK
= Kontribusi Terumbu Karang 230
Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa fungsi keberadaan terhadap pemanfaatan terumbu karang di Kabupaten Gorontalo Utara diduga dipengaruhi umur, tingkat pendidikan, pendapatan, pengalaman mengenal terumbu karang, manfaat terumbu karang, kondisi terumbu karang, pilihan jika terumbu karang ditiadakan, kelestarian terumbu karang dan kontribusi terumbu karang. Pendapatan, kondisi terumbu karang, pilihan jika ekosistem terumbu karang ditiadakan dan kelestarian diketahui berbanding terbalik dengan nilai yang ingin dibayar. Hasil regresi linier berganda menunjukkan beberapa parameter tersebut sehingga membentuk fungsi permintaan sebagai berikut : 𝑓(𝑄) ≔ −1.044473690 105 𝑄 + 1.192788954 106 Dari fungsi di atas dapat diperoleh kurva permintaan terhadap pemanfaatan ekosistem terumbu karang seperti yang terlihat pada Gambar 116sebagai berikut.
Gambar 116.
Kurva CVM Ekosistem Terumbu Karang di Kabupaten Gorontalo Utara, 2015 Sumber : Data primer diolah, 2015
Selanjutnya nilai keinginan membayar yang terbentuk berdasarkan hasil analisis adalah sebesar Rp. 446.721/orang/ tahun. Populasi penduduk di Kabupaten Gorontalo Utara adalah sebesar 108.324 orangdan luas terumbu karang sebesar 3.294,72 Ha sehingga total WTP adalah Rp 48.390.649.782/tahun atau Rp 14.687.333/ha/tahun. Ekosistem Mangrove Nilai bukan kegunaan dari ekosistem mangrove yang dihitung adalah berdasarkan fungsi keberadaan ekosistem tersebut (existence value, EV) di mata masyarakat setempat. Metode penilaian keberadaan kawasan ini dilakukan dengan menggunakan teknik Contingent Valuation Methods (CVM). 231
Nilai warisan merupakan konsep penilaian terhadap sesuatu yang sebetulnya berbentuk abstrak. Tidak ada nilai sesungguhnya terbentuk sehingga digolongkan kedalam kelompok nilai bukan manfaat. Penilaian ini ditujukan untuk mengapresiasi upaya-upaya pelestarian yang dalam hal ini didekati dengan konsep nilai yang ingin dibayar. Keinginan untuk membayar dalam hal ini diukur dari kesediaan masyarakat membayar atau berkorban dengan tidak memanfaatkan sesuatu sehingga kelestarian lingkungan dapat tercapai. Kesediaan membayar diilustrasikan dengan membayar iuran yang ditujukan untuk pengawasan kawasan terumbu karang dari aktivitas yang merusak lingkungan. Sementara tidak memanfaatkan sesuatu contohnya adalah tidak memanfaatkan terumbu karang sebagai bahan bangunan. Setidaknya terdapat tiga ekosistem yang menjadi sasaran untuk dijaga kelestariannya yaitu mangrove, terumbu karang dan lamun. Berdasarkan data yang terkumpul maka persamaan nilai warisan yang terbentuk adalah sebagai berikut: Q = 42,94 – 0,25 A + 0,28 E – 2,36 KK +6,76 I -7,70 M +3,12 KM – 6,51 WTP Keterangan : Q
= Jumlah orang yang mau membayar
A
= Umur
E
= Pendidikan
KK
= Jumlah anggota keluarga
I
= Pendapatan
M
= Pengalaman
KM
= Mempertahankan ekosistem
WTP = Kesediaan membayar Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa fungsi permintaan terhadap pelestarian ekosistem mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara diduga dipengaruhi usia, tingkat pendidikan, pendapatan, pengalaman dan jumlah keluarga. Usia, jumlah anggota keluargadan pengalaman memanfaatkan sumberdaya diketahui berbanding terbalik dengan nilai yang ingin dibayar. Hasil regresi linier berganda menunjukkan beberapa parameter tersebut sehingga membentuk fungsi permintaan sebagai berikut : 𝑓(𝑄) ≔ −1.537134873 105 𝑄 + 1.587860324 106 Dari fungsi di atas dapat diperoleh kurva permintaan terhadap pelestarian ekosistem mangrove seperti yang terlihat pada Gambar 117sebagai berikut.
232
Gambar 117.
Kurva CVM Ekosistem Mangrove di Kabupaten Gorontalo Utara, 2015 Sumber : Data primer diolah, 2015
Nilai warisan pada masyarakat di sekitar lokasi penelitian diduga dipengaruhi usia, tingkat pendidikan, pendapatan, pengalaman dan jumlah keluarga. Usia, jumlah anggota keluargadan pengalaman memanfaatkan sumberdaya diketahui berbanding terbalik dengan nilai yang ingin dibayar. Hal ini dapat dipahami sebagai penurunan produktifitas seseorang seiring dengan bertambahnya usia yang mendorong sikap untuk berhemat dalam melakukan pengeluaran. Pekerjaan masyarakat yang sebagian besar adalah sebagai nelayan merupakan pekerjaan yang syarat dengan pekerjaan fisik yang membutuhkan banyak energi. Faktor jumlah anggota keluarga dan pengalaman memanfaatkan sumberdaya juga memiliki pengaruh yang negatif. Pengalaman seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya membuat seseorang sulit untuk mengurangi eksploitasi yang dilakukan karena bertentangan dengan motif aktivitas ekonominya selama ini.Faktor jumlah keluarga dapat dimaknai sebagai pilihan yang diambil oleh orang tua tidak berupaya untuk memberi manfaat ekonomi kepada generasi penerusnya. Hanya faktor pendidikan dan pendapatan yang berkorelasi positif dengan keinginan untuk membayar.Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan menjamin kesadaran seseorang terhadap kelestarian lingkungan, sedangkan jumlah pendapatan menunjukkan sebagai sifat alami manusia, dimana semakin tinggi masyarakat akan semakin royal termasuk dalam hal memberi sumbangan. Masyarakat yang berpenghasilan rendah cenderung hanya ingin mengeluarkan uang untuk memenuhi kebutuhan pokok saja. Bagi mereka masa depan tidak lebih penting dari bertahan hidup saat ini sehingga orientasi perilaku dan pengeluaran masyarakat cenderung hanya untuk kekinian. Nilai keinginan membayar yang terbentuk berdasarkan hasil analisis adalah sebesar Rp. 489.855/orang/tahun. Populasi penduduk di Kabupaten Gorontalo Utara adalah
233
sebesar 108.324 orangdan lua terumbu karang sebesar 3.294,72 Ha sehingga total WTP adalah Rp 53.066.290.170/tahun atau Rp 20.508.711/ha/tahun.
Gambar 118.
Peta nilai Sosial Budaya sumberdaya pesisir dan laut di Gorontalo Utara
Nilai Ekonomi Nilai ekonomi sumberdaya pesisir dan laut di Kabupaten Gorontalo Utara dikelompokkan berdasarkan pemanfaatan pada masing-masing jenis ekosistem yang ada di kawasan tersebut. Ada tiga jenis ekosistem yang ada di Kabupaten Gorontalo Utara yaitu terumbu karang, perairan pelagis dan mangrove. juga terdapat nilai bukan manfaat yang menggambarkan besaran nilai yang diberikan oleh masyarakat untuk mempertahankan kelestarian ekosistem tersebut untuk anakcucunya. Berikut diuraikan nilai manfaat berdasarkan jenis pemanfaatan yang ada pada ekosistem tersebut: EKOSISTEM MANGROVE Budidaya Tambak Usaha budidaya air payau yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar kawasan mangrove adalah budidaya udang (dan bandeng) dengan teknik budidaya tradisional. Mayoritas luasan lahan minimal berkisar antara 2 hektar sampai dengan 6 hektar. Asal benih udang windu yang digunakan berasal dari BBAP Takalar. Faktor keunggulan benih berdasarkan hasil wawancara 234
merupakan faktor penentu keberhasilan dari usaha budidaya yang dilakukan. Teknik budidaya tradisional lebih mengutamakan ketersediaan pakan alami pada lahan budidaya, atau dengan kata lain para pembudidaya tidak memberikan pakan tambahan atau pakan pabrik. Lamanya pemeliharaan rata-rata mencapai 4 sampai dengan 6 bulan dengan rata-rata jumlah panen per tahun ada yang mencapai satu atau dua kali selama satu tahun. Jumlah bibit udang (benur) yang ditebar dalam ukuran lahan 2 hektare sampai dengan 6 hektare adalah berkisar 60.000 ekor. Banyak sedikitnya jumlah benih yang ditebar lebih cenderung dipengaruhi oleh ketersediaan benih yang ada dan juga kemampuan pembudidaya untuk membeli benih tersebut. Luasan lahan yang dimiliki tidak terlalu mempengaruhi jumlah benih yang akan ditebar. Ada sebagian pembudidaya yang menerapkan budidaya polikultur, yaitu ikan bandeng dan udang windu. Penilaian kawasan areal budidaya tambak didekati dengan menggunakan teknik income approach pada residual rent, yaitu dengan melihat perbedaan antar biaya faktor produksi dan nilai panen dari sumber daya alam. Residual rent dapat dilihat sebagai kontribusi sistem alam atau faktor pendapatan (Factor Income) terhadap nilai ekonomi total. Perhitungan dilakukan dengan cara wawancara terhadap 22 orang pembudidaya udang yang rata-rata berumur 52 tahun dengan tingkat pendidikan hingga kelas 2 SLTA (11) dan besaran keluarga 3 orang dan pengalaman selama 14 tahun serta rata-rata pendapatannya sebesar Rp. 28,00 juta per tahun dengan hasil budidaya rata-rata per tahun sebanyak 300,30 kilogram dan harga rata-rata sebesar Rp 40.000/Kg. Faktor yang berpengaruh dalam perhitungan nilai manfaat kawasan areal budidaya tambak antara lain: manfaat bersih dari sumber daya kawasan (benefit), biaya produksi, dan luasan kawasan sumberdaya. Berdasarkan Tabel xxx nilai ekonomi total areal budidaya tambak sebagai penyedia udang windu per tahun sebesar Rp 37.079.545,- per hektar. Tabel 77.
Nilai Ekonomi Kawasan Budidaya Tambak Sebagai Penyedia Udang Windu, Tahun 2015
Total Keuntungan per Siklus (Rp) 28.000.000
Jumlah Siklus per Tahun 3
Total Total Nilai Luas Nilai Ekonomi Keuntungan Biaya Manfaat Lahan Kawasan per Tahun (Rp) (Rp) (Ha) (Rp/Ha/Tahun) (Rp) 73.818.182 7.937.727 65.880.455 2 37.079.545
Sumber: Data primer, diolah tahun 2015
Pencari Kepiting Masyarakat pencari kepiting di Kabupaten Gorontalo Utara adalah mereka yang biasanya bekerja di tambak, pemilik tambak atau masyarakat yang tinggal disekitar hutan mangrove. Kepiting yang ditangkap biasanya berasal dari perairan kawasan mangrove di luar tambak. 235
Kepiting yang masuk ke tambak secara alami berkembang biak dengan sendirinya, dan ada pula yang sengaja dibudidayakan oleh penjaga tambak (hasilnya tidak besar). Hasil tangkapan yang didapat oleh pencari kepiting kebanyakan untuk konsumsi sendiri dan tidak untuk diperjualbelikan. Adapun kepiting yang dijual biasanya tidak terlalu banyak dan sudah ada pedagang pengumpulnya. Kepiting yang dijual akan diseleksi untuk disortir kualitasnya. Rata-rata masyarakat mencari kepiting setiap hari dan ukuran kepiting yang didapat ratarata 1-3 ekor/kg. Jumlah kepiting yang diperoleh untuk setiap operasi penangkapan adalah 2-20 kg. Harga jual kepiting yang didapat tergantung ukuran yang diperoleh. Kepiting kecil harga jualnya berkisar Rp. 80.000,-/ekor, sedangkan harga untuk keptimg ukuran besar bisa mencapai Rp. 100.000 s/d 120.000/ Kg. Peralatan yang digunakan untuk menangkap kepiting adalah sibusibu, perangkap dan jaring.Para pencari kepiting rata-rata sudah melakukan usaha ini lebih dari 5 tahun dan rata-rata pendapatan yang mereka peroleh dari hasil mencari kepiting mencapai Rp.10.200.000,-/tahun. Penilaian ekosistem mangrove berdasarkan fungsinya sebagai penyedia sumberdaya (kepiting) di Kabupaten Gorontalo menggunakan analisis Effect on Production (EoP), yaitu dengan menilai besaran produktvitas ekosistem mangrove sebagai penyedia kepiting. Perhitungan dilakukan dengan cara wawancara terhadap 14 orang yang mencari kepiting. Dengan rata-rata umur 44 tahun dengan tingkat pendidikan setara SD hingga SLTA. Untuk rata-rata pendapatan yang diperoleh setiap tahunnya yaitu sebesar Rp. 10.0240.000,-/tahun. Dengan rata-rata produksi hasil tangkapan per tahun adalah 2 Kg/hari, harga jual rata-rata adalah Rp.80.000 s.d Rp. 120.000,-/Kg. Berdasarkan hasil analisa EoP terhadap aktivitas pencarian kepiting, maka diperoleh fungsi permintaan sebagai berikut:
Ln Q = -3,433 – 0,759 Ln P + 0,537 Ln A + 0,513 Ln Edu – 0,208 Ln KK + 0,710 Ln Inc Keterangan : Q
= Produksi ikan (Rp/tahun)
P
= Harga rata-rata ikan (Rp/kg)
A
= Umur (tahun)
Edu
= Tingkat Pendidikan (tahun)
KK
= Jumlah anggota keluarga (orang)
Inc
= Pendapatan usaha (Rp/tahun)
236
Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa fungsi permintaan terhadap pemanfaatan kepiting pada ekosistem mangrove di Kabupaten Gorontalo berbanding lurus dengan harga (P) dan Jumlah anggota keluarga ln KK, sedangkan untuk umur, tingkat pendidikam dan pendapatan berbanding terbalik dengan produksi atau fungsi permintaan. Dari fungsi tersebut kemudian dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi sumberdaya ikan dengan menghitung besarnya nilai surplus bagi konsumen (CS). Nilai total kesediaan membayar (U) sebesar Rp. 6.863.438,- per tahun , sedangkan untuk nilai yang dibayarkan konsumen (PQ) adalah sebesar Rp. 62.149,-- dengan demikian dapat diketahui nilai Consumer Surplus (CS) adalah sebesar Rp. 6.352.931,- per pelaku usaha perikanan. Total nilai manfaat langsung sumberdaya ikan sebesar Rp. 1.417.351/Ha/Tahun dengan jumlah populasi pencari kepiting adalah 620 orang. Pada Gambar berikut dapat dilihat fungsi permintaan Effect On Production (EOP) aktifitas pencari kepiting di Kabupaten Gorontalo Utara. 3.500.000 3.000.000
Harga (P) Rp
2.500.000 2.000.000 1.500.000 1.000.000 500.000
y = 62.149x0
-
10.000,00 20.000,00 30.000,00 40.000,00 50.000,00 60.000,00 70.000,00
(500.000) Produksi (Qd) Kg
Gambar 119.
Kurva Permintaan terhadap Sumberdaya Kepiting di Kabupaten Gorontalo Utara, 2015 Sumber : Data primer diolah, 2015
Pencari Satwa Sebagian besar masyarakat di Kabupaten Gorontalo Utara memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, pembudidaya, guru, pegawai desa, pedagang pengumpul maupun pembuat kerajinan kerang. Selain itu, masyarakat juga melakukan aktivitas sebagai pencari satwa, meskipun hal tersebut adalah sebagai hobi bukan pekerjaan utama maupun sampingan namun menambah pendapatan keluarganya. Frekuensi pencarian satwa biasanya berbeda-beda, untuk bia paku dan bia bor dilakukan 3-7 hari sekali, pencarian burung dilakukan tiap seminggu sampai dengan sebulan sekali, pencarian madu dilakukan tiap enam bulan sekali, dan pencarian kelelawar 237
dilakukan tiga hari sekali. Hasil buruan kemudian dijual, namun untuk bia beberapa untuk dikonsumsi pribadi. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa harga burung tergantung jenisnya (bila yg dijual dalam keadaan hidup). Alat yang dipakai untuk memburu kelelawar ini adalah kayu sepanjang 1,5 meter yang ujungnya dibuat runcing seperti tombak, sedangkan untuk menangkap burung menggunakan perangkap. Untuk mencari Bia biasanya digunakan alat pisau atau martil dan untuk mengambil Madu Lebah hutan, digunakan baju pengaman untuk menghindari sengatan. Penilaian kawasan areal mangrove sebagai penyedia sumberdaya genetik didekati dengan menggunakan teknik income approach, yaitu dengan melihat penerimaan usaha dari pencarian satwa. Perhitungan dilakukan dengan cara wawancara terhadap 11 orang pencari satwa yang rata-rata berumur 38 tahun dengan tingkat pendidikan hingga kelas 1 SLTP (8) dan besaran keluarga 4 orang dan pengalaman selama 8 tahun. Hasil buruan untuk Kelelawar rata-rata sekali berburu mendapatkan 15-25 ekor, dengan harga Rp. 7000 per ekor, sedangkan Madu Lebah hutan hasil yang didapat dalam sekali berburu 7-8 botol (harga Rp. 100.000,- per botol). Pencarian satwa jenis burung di Kabupaten Gorontalo Utara rata- rata mendapatkan 3-5 ekor sekali berburu dan harga per ekornya mencapai Rp. 50.000,- per ekor. Faktor yang berpengaruh dalam perhitungan nilai manfaat kawasan areal budidaya tambak antara lain: jumlah produksi, harga, jumlah pencari satwa, dan luasan kawasan sumberdaya. Berdasarkan Tabel 78 nilai ekonomi total areal mangrove sebagai penyedia sumber daya genetik per tahun sebesar Rp 6.358.489,- per hektar. Tabel 78. Jenis Satwa
Kelelawar Burung Madu
Nilai Ekonomi Kawasan Mangrove Sebagai Penyedia Genetik, Tahun 2015 Produksi
Harga
17,5 ekor 7.000 4,7 ekor 105.000 8,6 botol 58.333
Nilai Manfaat per tahun (Rp) 8.330.000 14.861.700 31.193.750
Jumlah pencari satwa (orang) 615 246 246
Luas Lahan (Ha)
Nilai Ekonomi Kawasan (Rp/Ha/Tahun)
2.587,5 2.587,5 2.587,5
1.979.884 1.412.938 2.965.667
Sumber: Data primer diolah, 2015
EKOSISTEM TERUMBU KARANG Perikanan Tangkap Kegiatan penangkapan ikan dengan komoditas ikan jenis demersal di Kabupaten Gorontalo dilakukan oleh nelayan skala kecil. Armada yang digunakan berukuran < 5 GT. Rata-rata pengalaman usaha yaitu 15 tahun. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan cukup beragam, 238
antara lain pancing rawai dasar, jaring dan bubu. Jumlah trip penangkapan untuk satu tahunnya yaitu rata-rata sebanyak 206 trip per tahun. Musim penangkapan ikan demersal di Kabupaten Gorontalo utara lebih besar dipengaruhi oleh kondisi cuaca atau gelombang, Pada saat musim angin barat atau yang menyebabkan gelombang besar sehingga tidak memungkinkan nelayan untuk melakukan penangkapan. Penilaian ekosistem karang pelagis berdasarkan fungsinya sebagai penyedia ikan demersal di Kabupaten Gorontalo menggunakan analisis Effect on Production (EoP), yaitu dengan menilai besaran produktvitas ekosistem perairan pelagis akan sumberdaya ikan pelagis. Perhitungan dilakukan dengan cara wawancara terhadap 28 orang nelayan yang menangkap ikan demersal rata-rata berumur 38 tahun dengan tingkat pendidikan setara SD hingga SLTA. Untuk rata-rata pendapatan yang diperoleh setiap tahunnya yaitu sebesar Rp. 168.985.166,-/tahun. Dengan ratarata produksi hasil tangkapan per tahun adalah 5.161 Kg/tahun dan harga jual rata-rata seluruh jenis ikan adalah Rp.50.800,-/Kg. Berdasarkan hasil analisa EoP terhadap aktivitas perikanan tangkapdemersal, maka diperoleh fungsi permintaan penangkapan ikan demersaldi Kabupaten Gorontalo Utara sebagai berikut: Ln Q = 11,2068 – 1,1998 ln P – 1,0723 ln A –0,0732 ln Edu – 0,1831 ln KK + 0,7299 ln Inc + 0,2528 Exp + 0,1016 ln GT - 0,1051 ln Gear – 0,1428 ln Trip + 0,053 ln inves Keterangan : Q
= Produksi ikan (Rp/tahun)
P
= Harga rata-rata ikan (Rp/kg)
A
= Umur (tahun)
Edu
= Tingkat Pendidikan (tahun)
KK
= Jumlah anggota keluarga (orang)
Inc
= Pendapatan usaha (Rp/tahun)
Exp
= Pengalaman usaha (tahun)
GT
= Ukuran kapal (tonase)
Gea
= Jenis alat tangkap yang digunakan
Trip
= Jumlah trip penangkapan per tahun
Inves
= Nilai investasi usaha (Rp)
Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa fungsi permintaan terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di Kabupaten Gorontalo berbanding terbalik dengan harga (P), umur (A),tingkat pendidikan (Edu), jumlah anggota keluarga ln KK, jenis alat tangkap yang digunakan 239
(Gear) dan jumlah trip (Trip). Untuk pengalaman usaha (Exp), pendapatan usaha (Inc) dan nilai investasi usaha (Inves) berbanding lurus dengan fungsi permintaan. Dari fungsi tersebut kemudian dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi sumberdaya ikan dengan menghitung besarnya nilai surplus bagi konsumen (CS). Nilai total kesediaan membayar (U) sebesar Rp. 152.881.660,- per tahun , sedangkan untuk nilai yang dibayarkan konsumen (PQ) adalah sebesar 8.044.390,- dengan demikian dapat diketahui nilai Consumer Surplus (CS) adalah sebesar Rp. 86.772.102,- per pelaku usaha perikanan. Total nilai manfaat langsung sumberdaya ikan sebesar Rp. 171.288.130/Ha/Tahun dengan jumlah populasi nelayan ikan demersal sebanyak 1.974 orang. Pada Gambar berikut dapat dilihat fungsi permintaan Effect On Production (EOP) aktifitas penangkapan ikan demersal di Kabupaten Gorontalo Utara. 120000000
Harga (P) Rp
100000000 80000000 60000000 40000000
y = 46.547.256x-1
20000000 0 0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
Produksi (Qd) Kg
Gambar 120.
Fungsi Permintaan Effect On Production (EOP) Aktifitas Penangkapan Ikan Demersal Di Kabupaten Gorontalo Utara. Sumber : Data primer diolah, 2015
Budidaya Rumput Laut Ekosistem terumbu karang yang ada disepanjang pantai perairan di Kabupaten Gorontalo Utara, selain memberikan manfaat langsung berupa ekstraksi sumberdaya perikanan, dapat juga dimanfaatkan sebagai aktivitas budidaya rumput laut. Keberadaan aktivitas usaha budidaya rumput laut memberikan kontribusi terhadap ekonomi masyarakat di sekitar pesisir Kabupaten Gorontalo Utara. Masyarakat yang melakukan aktivitas ini, berada di sekitar Desa Langge, Kecamatan Anggrek. Umumnya, kegiatan budidaya rumput laut merupakan usaha sampingan diluar usaha utamanya sebagai nelayan dan petani. Jenis rumput laut yang dibudidayakan oleh pembudidaya adalah Eucheuma cottoni.Aktivitas budidaya rumput laut umumnya dilakukan dalam skala kecil dengan metode budidaya rumput laut yang diterapkan adalah metode rakit apung dan metode long line, yaitu dengan mengikat rumput laut pada tali- tali yang dirangkai dan direntangkan diatas atau diantara terumbu karang.Berdasarkan laporan Statistik Dinas Kelautan 240
dan Perikanan Kabupaten Gorontalo Utara, jumlah pembudidaya rumput laut pada tahun 2015 sebanyak 620 orang dengan luas lahan total yaitu sebesar 389 Ha. Masyarakat di Kecamatan Anggrek tepatnya di Desa Langge yang melakukan kegiatan budidaya rumput laut menjadikan ushaa ini sebagai usaha sampingan selain sebagai nelayan dan petani. Penempatan rakit atau tali apung berada pada sekitar alur yang biasa dilalui kapal sehingga perawatan dan pemeriksaan tanaman bisa dilakukan sesekali pada waktu senggang atau pada saat berangkat ataupun pulang melaut. Jenis rumput laut yang dibudidayakan adalah Eucheuma cottoni. Rumput laut jenis tersebut mengandung karaginan tinggi yang banyak mendukung industri makanan, farmasi, dan kosmetika (Meiyana, et al., 2001). Metode budidaya yang mereka terapkan adalah metode rakit apung dan metode long line, yaitu dengan mengikat rumput laut pada tali yang direntangkan diatas atau diantara taman karang. Budidaya rumput laut di Kabupaten Gorontalo Utara dilakukan 2-3 bulan, dengan siklus panen pertahun dapat mencapai 4 kali panen. Dalam satu lahan budidaya rumput laut, umumnya jumlah bentangan rumput laut sebanyak 10 – 20 bentangan. Dimana satu bentangan rumput laut berukuran sekitar 120 – 150 meter. Jumlah bibit rumput laut yang digunakan dalam satu kali tanam dapat mencapai 50 – 200 Kg bibit dengan harga satuan bibit rumput laut berkisar Rp. 2.500,-/Kg. Dalam satu siklus tanam, panen rumput laut dapat mencapai 30 - 400 Kg dengan harga jual rumput laut kering mencapai Rp. 10.000,-Kg. Harga rumput laut tersebut sangat ditentukan oleh kualitas rumput laut. Tinggi rendahnya kualitas rumput laut sangat dipengaruhi oleh teknik budidaya, umur panen, dan penanganan pasca panen. penanganan pasca panen rumput laut dimulai sejak setelah rumput laut dipanen, yaitu pencucian, pengeringan, sortasi, pengepakan, pengangkutan dan penyimpanan. Terkait dengan penilaian ekonomi terhadap aktivitas usaha budidaya rumput laut, dilakukan analisis Effect On Production(EoP). Berdasarkan hasil analisa EoPterhadap aktivitas perikanan budidaya rumput laut, maka diperoleh fungsi permintaan budidaya rumput laut di Kabupaten Gorontalo Utara sebagai berikut: LnY=0,905-0,971 lnprice - 0,131 ln age + 0,391 ln edu + 0,092 ln fam + 0,894 ln inc – 0,047 ln exp – 0,006 ln lahan + 0,095 ln seed – 1,024 ln panen Keterangan: Y
= Produksi rumput laut (Kg/tahun)
Ln price
= Harga rata – rata rumput laut (Rp/kg)
Ln age
= umur pembudidaya (thn)
Ln edu
= tingkat pendidikan 241
Ln fam
= jumlah anggota rumah tangga
Ln inc
= pendapatan per tahun (Rp/tahun)
Ln exp
= pengalaman usaha (tahun)
Ln lahan
= luas lahan budidaya (Ha)
Ln seed
= jumlah bibit (Kg)
Ln panen = jumlah siklus panen per tahun. Berdasarkan fungsi EoP tersebut, maka dapat dikatakan bahwa produksi rumput laut berbanding positif terhadap pengalaman usaha, jumlah anggota rumah tangga, jumlah pendapatan dan jumlah bibit yang digunakan Dengan kata lain, apabila variabel – variabel tersebut meningkat, maka produksi rumput laut dapat meningkat pula. Sedangkan variabel harga rumput laut, umur, pengalaman usaha, luas lahan tidak berpengaruh terhadap atau berpengaruh negatif terhadap produksi rumput laut. Untuk mencari nilai ekonomi total berdasarkan fungsi tersebut, maka digunakan beberapa data diantaranya jumlah pembudidaya sebanyak 620 pembudidaya, luasan lahan budidaya rumput laut sebesar 389 Ha dan rata – rata panen pembudidaya rumput laut dalam satu tahun sebanya 339 Kg/tahun. Dari fungsi tersebut kemudian dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi sumberdaya ikan dengan menghitung besarnya nilai surplus bagi konsumen (CS). Nilai total kesediaan membayar (U) sebesar Rp 124.486.260,- per pelaku usaha pembudidaya. Sedangkan nilai yang dibayarkan oleh konsumen (PQ) adalah sebesar Rp 7.489,-/tahun. Sehingga dengan demikian dapat diketahui bahwa nilai CS adalah sebesar Rp 121.44.495,- per pelaku usaha budidaya.. Total nilai manfaat langsung dari aktifitas budidaya rumput laut yaitu sebesar Rp.
Harga (P) Rp
194.358.835,- per tahun . 180.000 160.000 140.000 120.000 100.000 80.000 60.000 40.000 20.000 -
y = 3.018.484x-1
0,00
100,00
200,00
300,00
400,00
Produksi (Qd) Kg
Gambar 121.
Fungsi Permintaan Effect On Production (EoP) aktivitas perikanan budidaya rumput laut di Kabupaten Gorontalo Utara, 2015 242
Pariwisata Bahari Nilai manfaat langsung merupakan nilai yang diperoleh dari pemanfaatan secara langsung dari ekosistem yang ada di Kabupaten Gorontalo Utara. Pemanfaatan untuk kegiatan pariwisata secara langsung terdiri dari wisata bahari seperti diving, snorkeling, swimming, canoing, sun bathing, fishing, dan akuarium laut maupun wisata petualangan alam seperti hiking, camping, dan caving. Kegiatan pariwisata yang paling digemari oleh wisatawan adalah Pulau Saronde, dengan luas sebesar 10 Ha. Untuk menganalisis permintaan terhadap kegiatan wisata ini digunakan metode biaya perjalanan (Travel Cost).Metode ini diaplikasikan untuk menganalisis biaya perjalanan yang dikeluarkan individu untuk melakukan kegiatan wisata di kawasan ini.Hasil analisis kemudian digunakan untuk membangun kurva permintaan dan surplus konsumen kegiatan wisata yang kemudian menjadi nilai manfaat pariwisata ekosistem terumbu karang TNKJ. Fungsi permintaan kegiatan wisata kawasan ekosistem terumbu karang TNKJ diperoleh dengan meregresikan usia, pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, jumlah pendapatan, jumlah rombongan, biaya perjalanan, lama tinggal (hari) dari responden. Analisis regresi yang dilakukan menghasilkan persamaan sebagai berikut : Ln V = 2,482 – 0,235 Ln Tc + 0,188 Ln A - ,066 Ln Edu – 0,247 Ln L + 0,196 Ln Inc + 0, 108 Ln Par Keterangan: V
= Jumlah kunjungan dalam satu tahun
Ln Tc
= jumlah biaya yang dikeluarkan (Rp)
Ln A
= umur pengunjung (tahun)
Ln Edu
= tingkat pendidikan
Ln L
= asal wilayah
Ln Inc
= Tingkat pendapatan (Rp)
Ln Par
= Jumlah rombongan (orang)
Berdasarkan hasil analisis regresi di atas, diketahui bahwa nilai R –Sq sebesar 0,288. Hal ini menunjukkan bahwa variabel bebas yang digunakan dalam model yaitu umur, pendidikan, pendapatan, biaya perjalanan, jarak dan lama tinggal responden mampu menjelaskan keragaman variabel tidak bebas yaitu jumlah kunjungan wisata dalam satu tahun sebesar 28,80 %. Angka tersebut menyatakan bahwa masih terdapat beberapa variabel yang mempengaruhi permintaan wisata ke kawasaan ekosistem terumbu karang TNKJ sebesar 71,20 %, variabel tersebut dapat berupa pengetahuan wisatawan tentang ekosistem terumbu karang, keunikan ekosistem terumbu karang, sarana dan prasarana kegiatan wisata, ketertarikan terhadap kegiatan snorkeling dan 243
diving, aksesibilitas, dan promosi kawasan. Dari persamaan diatas juga menggambarkan bahwa umumnya responden yang berkunjung tergolong dalam kategori wisatawan dengan ketertarikan tertentu (special interest) yaitu pada kondisi lokasi wisata. Dari fungsi di atas kemudian dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi pariwisata Pulau Saronde dengan menghitung besarnya nilai surplus bagi konsumen (CS) secara individu. Untuk nilai total kesediaan membayar (U) sebesar Rp. 5,- per pengunjung wisata, sedangkan nilai yang dibayarkan oleh konsumen (PQ) adalah sebesar Rp. 37.284,-. Sehingga dengan demikian dapat diketahui bahwa nilai CS adalah sebesar Rp. 69.320,- per pengunjung wisata. Total nilai manfaat langsung sebesar Rp. 24.518.448,- per tahun dengan jumlah pengunjung selama satu tahun pada 2014 yaitu sebanyak 3.537 orang dengan luas kawasan wisata Pulau Saronde seluas 10 Ha. EKOSISTEM PERAIRAN PELAGIS Perikanan Tangkap Pelagis Kegiatan penangkapan ikan dengan komoditas pelagis dilakukan oleh nelayan di Kabupaten Gorontalo Utara dan termasuk dalam kategori nelayan skala kecil. Rata-rata pengalaman usaha nelayan adalah 18 tahun. Alat tangkap yang digunakan beraneka macam tergantung pada musim penangkapan ikan, antara lain: kedo-kedo, pukat jaring, jaring insang, pancing ulur, gillnet, payang, purse seine, bagan, dan jala. Jenis perahu yang digunakan adalah perahu motor berukuran 5,5 GT dengan mesin penggerak 67,92 % motor tempel dan 32,08 % on board dengan rata-rata kekuatan mesin 40 PK. Jumlah trip yang diperlukan nelayan untuk menangkap ikan adalah one day fishing sehingga pertahunnya sebanyak 8-336 trip. Penangkapan ikan pelagis mengikuti musim ikan itu sendiri diantaranya musim puncak sekitar empat bulan per tahun. Fishing ground disekitar teluk kwandang, pulau raja, perairan monano, pulau saronde, ponelo kepulauan, sumalata, hingga laut sulawesi. Ikan pelagis kecil adalah kelompok besar ikan yang membentuk schooling di dalam kehidupannya dan mempunyai sifat berenang bebas dengan melakukan migrasi secara vertikal maupun horizontal mendekati permukaan dengan ukuran tubuh relatif kecil (Widodo et al. 1994; Fréon et al. 2005). Sumberdaya ikan pelagis kecil diduga merupakan salah satu sumberdaya ikan yang paling melimpah di perairan Indonesia. Hampir seluruh hasil tangkapan ikan pelagis kecil yang didaratkan di Indonesia dikonsumsi lokal karena harganya relatif murah dan rasanya enak, sehingga diduga kontribusinya terhadap pemenuhan kebutuhan protein ikan bagi masyarakat sangatlah nyata. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan ikan pelagis kecil ini, maka kelestariannya perlu dijaga agar dapat dimanfaatkan secara terus menerus dan dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Jenis ikan pelagis kecil yang tertangkap oleh nelayan antara lain
244
ikan deho, bubara/kembung, lajang, kakap, ekor kuning, lolosi, oci, deho, tongkol, sardin dan beberapa ikan pelagis besar yaitu ikan cakalang. Jumlah produksi rata-rata ikan pelagis di Kabupaten Gorontalo Utara sebanyak 180.636 Kg/tahun dengan harga rata-rata Rp 48.591/kg. Penilaian ekosistem perairan pelagis berdasarkan fungsinya sebagai penyedia ikan pelagis di Kabupaten Gorontalo menggunakan analisis Effect on Production (EoP), yaitu dengan menilai besaran produktvitas ekosistem perairan pelagis akan sumberdaya ikan pelagis.Perhitungan dilakukan dengan cara wawancara terhadap 51 orang nelayan yang menangkap ikan pelagis yang rata-rata berumur 39 tahun dengan tingkat pendidikan hingga kelas 3 SLTP (9) dan jumlah anggota keluarga sebanyak 4 orang dan pengalaman usaha selama 18 tahun serta rata-rata pendapatannya sebesar Rp 8.839.884.936 per tahun. Hasil tangkapan rata-rata sebanyak 180.636 Kg/tahun. Berdasarkan hasil analisa EoP terhadap aktivitas perikanan tangkap pelagis, maka diperoleh fungsi permintaan penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Gorontalo Utara sebagai berikut: Ln Q = 7084,31-0.7866 ln P - 539,08 ln A - 8150,20 ln E + 39797,74 ln KK + 0.0000163 ln I2440,48 ln Exp + 17339,24 ln GT - 285,94 ln Trip - 3040,02 ln FG Keterangan : Q
= Produksi ikan (Rp/tahun)
P
= Harga rata-rata ikan (Rp/kg)
A
= Umur (tahun)
E
= Pendidikan (tahun)
KK
= Jumlah anggota keluarga (orang)
I
= Pendapatan usaha (Rp/tahun)
Exp
= Pengalaman usaha (tahun)
GT
= Ukuran kapal (tonase)
Trip = Jumlah trip (kali/tahun) FG
= Jumlah alat tangkap (unit)
Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa fungsi permintaan terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di Kabupaten Gorontalo berbanding terbalik dengan harga (P), umur (A),pendidikan (E), pengalaman usaha (Exp), jumlah trip dan jumlah alat tangkap (FG). Faktor jumlah keluarga (KK), pendapatan usaha (I) ukuran armada (GT) berbanding lurus dengan fungsi permintaan. Hasil regresi linier berganda menunjukkan beberapa parameter tersebut sehingga membentuk fungsi permintaan sebagai berikut :
245
𝑓(𝑄) ≔ −1.271366567𝑄 + 2.782448679 105 Dari fungsi di atas dapat diperoleh kurva permintaan terhadap ikan pelagis seperti yang terlihat pada Gambar122 sebagai berikut.
Gambar 122.
Kurva Permintaan terhadap Sumberdaya Ikan Pelagis di Kabupaten Gorontalo Utara, 2015 Sumber : Data primer diolah, 2015
Selanjutnya nilai ekonomi-ekologi lingkungan ekosistem perairan pelagis dapat dihitungdengan cara mencari besaran surplus konsumen sebesar Rp.25.130.519.980yang kemudian dikalikan dengan jumlah atau banyaknya nelayan di Kabupaten Gorontalo Utara tersebut, yaitu sebanyak 1.158 orang yangkemudian dibagi dengan luas kawasan perairan di Kabupaten Gorontalo Utara sebesar 119.596, 6 hektar sehingga dapat diperoleh nilai manfaat ekonomi perairan pelagis berdasarkanfungsinya sebagai penyedia ikan yang juga merupakan nilai kerugian ekonomiekologi perairan pelagis sebesar Rp.243.327.565 per hektar. Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Pesisir Kabupaten Gorontalo Utara Nilai ekonomi sumberdaya pesisir dan laut yang ada di Kabupaten Gorontalo Utaradihitung berdasarkan pendekatan nilai ekonomi total dari ekosistem yang ada. Pada dasarnya nilai ekonomi total merupakan penjumlahan dari nilai-nilai yang telah dijelaskan sebelumnya. Hasil perhitungan menunjukkan manfaat ekonomi masing-masing ekosistem dan kawasan di sekitar Kabupaten Gorontalo Utara (Tabel 79). Secara keseluruhan total nilai ekonomi sumberdaya alam dan
lingkungan
disekitar
Kabupaten
Gorontalo
Utara
dapat
diestimasi
sebesar
246
Rp.53.208.572.269.793/tahun. Segenap nilai yang dihitung, baik per ekosistem maupun nilai total ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan di Kabupaten Gorontalo Utara merupakan nilai ekonomi pada tahun berjalan, yaitu tahun 2015, sehingga bilamana memungkinkan dapat diupdate maksimal 5 tahun sekali untuk mendapatkan gambaran nilai ekonomi total sumberdaya alam dan lingkungan di masa mendatang.
Gambar 123.
Peta Nilai Manfaat Langsung berbagai ekosistem di pesisir Gorontalo Utara
Berdasarkan Tabel79 terlihat bahwa nilai ekonomi total per masing-masing ekosistem berbeda-beda, nilai terbesar terletak pada ekosistem perairan pelagis sebesar 54,69%, kemudian ekosistem mangrove sebesar 44,04% dan terakhir ekosistem terumbu karang sebesar 1,27 %. Pada ekosistem terumbu karang dan mangrove, nilai terbesar berasal dari nilai ekologi yaitu 0,7129 % dan 43,90 %. Hal ini menunjukkan bahwa nilai ini merupakan nilai manfaat yang tidak langsung dirasakan oleh masyarakat pesisir yaitu ekosistem terumbu karang untuk melindungi lingkungan pesisir dan menyediakan sumberdaya ikan secara berkelanjutan, sedangkan ekosistem mangrove berfungsi sebagai penyerap dan penyimpan karbon serta peredam gelombang. Potensi penyimpanan karbon pada substrat lumpur mangrove sangatlah besar. Oleh karena itu estimasi penyimpanan karbon pada substrat lumpur mangrove dapat dijadikan acuan dasar dalam penilaian manfaat ekonomis mangrove dalam bentuk komoditi jasa lingkungan C-Sequestration. 247
Pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan cocok untuk penyerapan dan penyimpanan karbon. Selain melindungi daerah pesisir dari abrasi, tanaman mangrove mampu menyerap emisi yang terlepas dari lautan dan udara. Penyerapan emisi gas buang menjadi maksimal karena mangrove memiliki sistem akar napas dan keunikan struktur tumbuhan pantai. Pada ekosistem perairan pelagis, nilai manfaat diperoleh oleh masyarakat pesisir secara langsung melalui penangkapan ikan pelagis, nilai ekonomi 54,69 % dari nilai total ekonomi. Hal tersebut berarti masyarakat pesisir masih menempatkan ekstraksi langsung sumberdaya perairan pelagis untuk kebutuhan hidup utamanya. Tabel 79. Nilai Ekonomi Total Seluruh Ekosistem dan Kawasan Berdasarkan Tipologi Nilai Ekonomi Total di Kabupaten Gorontalo Utara, 2015 Jenis Nilai A. Ekosistem Terumbu Karang Nilai Ekologi a. Proteksi Lingkungan Pesisir b. Penyedia Sumber Daya Ikan Nilai Ekonomi a. Penangkapan ikan Demersal b. Budidaya Rumput Laut c. Pariwisata Bahari Nilai Sosial Budaya a. Nilai Pewarisan B. Ekosistem Perairan Pelagis Nilai Ekonomi a. Penangkapan Ikan Pelagis C. Ekosistem Mangrove Nilai Ekologi a. Penyimpan Karbon b. Peredam Gelombang Nilai Ekonomi a. Budidaya Tambak b. Pencari Kepiting c. Pencari Satwa Kelelawar
Nilai (Rp.per tahun)
Nilai (Rp. per tahun/ha)
Proporsi (%)
349.129.000.000
17.456.450
0,6562
30.184.121.087
6.815.000
0,0567
171.288.130.000
171.288.130
0,3219
75.605.590.000
194.358.835
0,1421
245.184.480
24.518.448
0,0005
48.390.649.782
14.687.333
0,0909
29.101.142.140.000
243.327.565
54,6926
23.267.013.846.367 93.726.600.000
7.658.694.933 30.851.517
43,7279 0,1761
1.449.370.000 878.757.620
29.250.656 1.417.351
0,0027 0,0017
5.122.949.850
1.979.884
0,0096 248
Jenis Nilai Burung Lebah (madu) Nilai Sosial Budidaya a. Nilai Pewarisan Nilai Ekonomi Total
3.655.977.075 7.673.663.362
Nilai (Rp. per tahun/ha) 1.412.938 2.965.667
53.066.290.170 53.208.572.269.793
20.508.711 8.419.533.418
Nilai (Rp.per tahun)
Proporsi (%) 0,0069 0,0144 0,0997 100,0000
Sumber : Data primer diolah, 2015
249
V.
5.1.
IMPLIKASI HASIL PENELITIAN DALAM MENDUKUNG KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KP
KEBIJAKAN NASIONAL
1. Perlu adanya kebijakan secara nasional untuk menghtiung nilai ekonomi dan pemetaan sumberdaya pesisir pada seluruh wilayah pengelolaan perikanan untuk mendukung rencana pengelolaan perikanan 2. Meneruskan upaya-upaya konservasi ekosistem pesisir dan laut melalui penetapan status sebagai kawasan konservasi atau daerah perlindungan laut dalam rangka mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan umum. 5.2.
KEBIJAKAN PADA TINGKAT REGIONAL/DAERAH 1. Pada setiap wilayah pengelolaan perikanan perlu mempertimbangkan nilai ekonomi sumberdaya pesisir tidak hanya dari yang bersifat langsung akan tetapi juga yang bersifat tidak langsung dalam pemanfaatan sumberdaya. 2. Peningkatan upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan bisa lebih ditingkatkan pada WPP 714 khususnya sumberdaya perikanan karang dimana produktivisnya masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan pemanfaatan pada WPP 716.
250
VI.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
Sumberdaya pesisir dan laut memiliki nilai yang jauh lebih besar dibandingkan nilai yang diperoleh dari pemanfaatan secara langsung yang umumnya diperoleh hanya dari nilai produksi yang dihasilkan. Ekosistem pesisir seperti mangrove, lamun dan terumbu karang memiliki nilai ekonomi secara tidak langsung dari fungsinya sebagai pengikat karbon yang besar. Hasil penelitian menunjukkan besarnya karbon yang tersimpan mencapai 378 Mg C/ha. Sementara harga pasar karbon yang terjadi dipasar internasional mencapai 16,5 US$ per 1 Mg C sehingga nilai ekonomi yang terkandung mencapai 6.237 US$/ha. Nilai ini belum ditambah dari fungsi fisik ekosistem sebagai penahan abrasi yang nilainya mencapai Rp. 116.510.983/ha/tahun. Nilai Ekonomi Ekosistem Oleh karena itu perlindungan terhadap ekosistem pesisir perlu dilakukan dengan berbagai program konservasi sumberdaya. Upaya konversi lahan pesisir untuk pemanfaatan ekonomi perlu dikendalikan mengingat nilai kerugian yang besar bagi masyarakat secara umum bila hal tersebut terjadi. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut pada WPP 716 secara umum memiliki produktivitas yang lebih besar bila dibandingkan dengan WPP 714. Kondisi ini menunjukkan tingkat pemanfaatan sumberdaya yang belum optimal pada WPP 714. Sebagai contoh Wakatobi yang secara potensi sangat besar mengingat keberadaan terumbu karang yang mencapai 54.500 ha namun pemanfaatan sumberdaya ikan karang baru sebesar Rp. 373.017.285.444/tahun sehingga produktivitas penangkapan ikan di karang sebesar Rp. 6.844.354/ha/tahun. Padahal menurut penelitian diketahui potensi sumberdaya ikan per km2 atau 100 ha dapat mencapai 1030 ton ikan per tahun. Dengan hitungan harga ikan rata-rata sebesar Rp. 20.000 diketahui potensi nilai ekonomi berdasarkan harga pasar saja sebesar Rp. 327.000.000.000/ha/tahun. Oleh karena itu optimalisasi upaya penangkapan masih dapat dilakukan. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian terkait penangkapan sumberdaya ikan disekitar Bunaken yang mencapai Rp. 758.757.687.107 melalui pendekatan surplus konsumen. Luas terumbu karang di Bunaken tercatat hanya sebesar 981 ha sehingga produktivitasnya mencapai Rp. 773.453.300/ha/tahun. 10 – 30 ton/km2/tahun. Meski demikian pemanfaatan sumberdaya harus tetap dilakukan dengan cara-cara yangramah lingkungan sehingga tidak merusak keberadaan ekosistem.
251
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, L. 2006. Sinopsis Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. PKSPL-IPB. Bogor Bengen DG.2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor Baliao D dan Tookwinas S, 2002. Manajemen Budidaya Udang yang Baik dan Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove. Petunjuk Pelaksanaan Penyuluhan Akuakultur No.35. Southeast Asian Fisheries Development Center dan Association Of Southeast Asian Nations. Philippnine Dahuri R, Rais J, Ginting S.P, Sitepu, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (cetakan kedua revisi). PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Fauzi. 2003. Persepsi Terhadap Nilai Ekonomi Sumberdaya. USAID-Indonesia Coastal Resource Management Project Koleksi Dokumen Proyek Pesisir 1997-2003 Grigalunas, T.A and R. Congar, 1995. Environmental economics for Integrated Coastal Area Management: Valuluation Methods and Policy Instruments. UNEP Regional Seas Reports and Studies No. 164. UNEP. Jensen, 1996. Introductry Digital Image Processing- a Remote Sensing Perspective. London. Prentice Hall. Kay, R and Alder, J.1999. Coastal Planning and Management. E & FN Spon. London Kusuma, D I. 2005. Economic Valuation Of Natural Resource Management: A Case Study Of The Benuaq Dayak Tribe In Kalimantan, Indonesia (Dissertation). Bogor Institut of Agriculture. Bogor Kusumastanto, 2002. Reposisi “Ocean Policy” dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Otonomi Daerah (Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Perikanan dan Kelatan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor LPP Mangrove. 2008. Ekosistem Mangrove di Indonesia. (Online). Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia Available at: http://www.imred.org/?q=content/ekosistem-mangrove-di-indonesia. Verified : 28 Januari 2009. Mahmudin. 2002. Perubahan Bentuk Rumah dan Tata Lingkungan Pemukiman Nelayan Desa Ujung Alang Segara Anakan di Cilacap (tesis). Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro. Semarang Nilwan, dkk. 2003. Spesifikasi Teknis Penyusunan Neraca Dan Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Pesisir Dan Lautan. Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut Baksurtanal. Bogor Yaping, D. 1999. The Value of Improved Water Quality for Recreation in East Lake, Wuhan China. EEPSEA, Singapore. Yoeti, Oka A. 1985. Pengantar Ilmu Pariwisata. Penerbit Aksara. Bandung Sutikno dan Maryunani. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam. Badan Penerbit Universitas Brawijaya. Malang
252
LAMPIRAN
253
Lampiran 1.
Visualisasi Spasial Nilai Pemanfaatan Langsung Sumberdaya Pesisir dan Laut di WPP 714
254
Lampiran 2.
Visualisasi Spasial Nilai Pemanfaatan Tidak Langsung sumberdaya Pesisir dan Laut di WPP 714
255
Lampiran 3.
Visualisasi Spasial Nilai Pemanfaatan Tidak Langsung Fungsi Penyerap Karbon Sumberdaya Pesisir di WPP 714
256
Lampiran 4.
Visualisasi Spasial Nilai Manfaat Tidak Langsung Fungsi Produktifitas Primer Pertumbuhan Ikan Di WPP 714
257
Lampiran 5.
Visualisasi Spasial Nilai Sosial Budaya Sumberdaya Pesisir di WPP 714
258
Lampiran 6.
Visualisasi Spasial Nilai Pemanfaatan Langsung Sumberdaya Pesisir dan Laut Di WPP 716
259
Lampiran 7.
Visualisasi Spasial Nilai Pemanfaatan Tidak Langsung Sumberdaya fungsi Peredam Gelombang Pesisir dan Laut Di WPP 716
260
Lampiran 8.
Visualisasi Spasial Nilai Pemanfaatan Tidak Langsung Fungsi Penyerap Karbon Sumberdaya Pesisir di WPP 716
261
Lampiran 9.
Visualisasi Spasial Nilai Manfaat Tidak Langsung Fungsi Produktifitas Primer Pertumbuhan Ikan Di WPP 716
262
Lampiran 10.
Visualisasi Spasial Nilai Sosial Budaya Sumberdaya Pesisir di WPP 716
263