LAPORAN TEKNIS PENELITIAN TA 2012
KAJIAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DAN PENGEMBANGAN POTENSI EKONOMI DI KAWASAN-KAWASAN CORAL TRIANGLE
BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2012
i
LAPORAN TEKNIS PENELITIAN TA 2012
KAJIAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DAN PENGEMBANGAN POTENSI EKONOMI DI KAWASAN-KAWASAN CORAL TRIANGLE
Tim Peneliti: Agus Heri Purnomo Siti Hajar Suryawati Nurlaili Ary Wahyono Triyono Etik Sukesti Nila Mustika Wati Galih Andreanto
BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2012
ii
LEMBAR PENGESAHAN Lembaga Riset
: Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Judul Proposal
: Penelitian Pengembangan Model Pengelolaan Sumbja9i3erdaya Perikanan Berbasis Sistem Sosial Ekologi di Wilayah CTI dalam Rangka Antisipasi Perubahan Iklim
Judul Kegiatan
: Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di KawasanKawasan Coral Triangle
Status
: Baru
Pagu Anggaran (Rp)
: Rp 455.000.000,(Empat ratus lima puluh lima juta rupiah)
Tahun Anggaran
: 2012
Penanggungjawab Proposal/Kegiatan
: Dr. Ir. Agus Heri Purnomo, M.Sc. NIP. 19600831 198603 1 003
Wakil Penanggungjawab
: Dr. Siti Hajar Suryawati, SP, MSi NIP. 19770812 200212 2 002
Jakarta,
Desember 2012
Penanggung Jawab Kegiatan
Wakil Penanggung Jawab
Dr. Ir. Agus Heri Purnomo, M.Sc. NIP. 19600831 198603 1 003
Dr. Siti Hajar Suryawati, SP, MSi NIP. 19770812 200212 2 002
Mengetahui, Kepala Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Dr. Ir. Agus Heri Purnomo, M.Sc. NIP. 19600831 198603 1 003
iii
KATA PENGANTAR Sektor perikanan merupakan salah satu sektor yang terkena dampak negatif dari perubahan iklim yang saat ini telah melanda dunia. Resiko dan ketidakpastian dalam melakukan usaha perikanan terus meningkat. Penekanan penelitian ini adalah fenomena perubahan iklim yang terjadi dan implikasinya pada pengembangan ekonomi masyarakat, khususnya di wilayah CTI. Laporan ini merupakan laporan akhir kegiatan penelitian yang berjudul Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di KawasanKawasan Coral Triangle oleh Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan yang dibiayai oleh APBN DIPA 2012 dan dilaksanakan di 7 kabupaten di 5 propinsi: Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Selayar (Propinsi Sulawesi Selatan), Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Buton (Propinsi Sulawesi Tenggara), Kabupaten Sikka (Propinsi Nusa Tenggara Timur), Kabupaten Raja Ampat (Propinsi Papua Barat) dan Kabupaten Biak (Propinsi Papua). Dimulai dengan pendahuluan pada Bab I dan uraian tentang tinjauan pustaka pada Bab II, Bab III menyajikan metode penelitian.Bab selanjutnya adalah hasil dan pembahasan, yang menjelaskan hasil penelitian sesuai dengan metode penelitian yang dikembangkan (Bab IV). Laporan akhir penelitian ini ditutup dengan Bab V, yang berisi kesimpulan dan implikasi kebijakan terkait dengan pengembangan ekonomi masyarakat sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim. Pada kesempatan ini, kami menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat memberikan informasi dan sumbangan pemikiran sebagai bagian dari masukan untuk perbaikan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan nasional pada waktu yang akan datang.
Jakarta,
Desember 2012 Kepala Balai,
Dr. Ir. Agus Heri Purnomo, M.Sc. NIP. 19600831 198603 1 003
iv
RINGKASAN EKSEKUTIF
PENDAHULUAN Terumbu karang memiliki peranan penting bagi layanan barang dan jasa ekosistem laut tropis dan subtropics. Layanan tersebut diantaranya adalah habitat bagi ikan konsumsi bernilai tinggi, magnet untuk sektor pariwisata, pelindung daerah pesisir dari ombak, penahan intrusi air laut ke daratan dan penahan kerusakan yang diakibatkan oleh badai dan angin topan. Terumbu karang di wilayah perairan Indonesia mengalami degradasi yang diakibatkan baik oleh fenomena alam maupun aktivitas manusia (antropogenik). Isu yang selama ini dianggap sebagai ancaman pada kelestarian terumbu karang antara lain adalah pencemaran, eksploitasi dengan cara yang destruktif, dan penyakit. Kerusakan terumbu karang juga telah dipercepat oleh adanya perubahan iklim. Keberadaan masyarakat yang sangat tergantung pada sumberdaya terumbu karang dan dalam kondisi ekonomi yang buruk dipastikan akan meningkatkan percepatan kerusakan tersebut. Karenanya, apabila perekonomian masyarakat tidak membaik atau diperbaiki, maka kondisi terumbu karang akan memburuk dengan lebih cepat lagi. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengkaji rincian dampak perubahan iklim pada struktur dan kinerja variabel-variabel ekonomi masyarakat perikanan; 2) menganalisis pola adaptasi perilaku ekonomi masyarakat dalam menyikapi perubahan parameter-parameter iklim; 3) mengidentifikasi rencana-rencana di tingkat masyarakat, pemerintah terkait adaptasi dan pengembangan ekonomi di masa yang akan datang; 4) mengkaji dan melakukan pendugaan kinerja terhadap rencana-rencana tersebut berdasar penelitian terdahulu;dan 5) merumuskan strategi intervensi terbaik untuk mendukung realisasi pemikiran dan rencana-rencana tersebut.
METODE PENELITIAN Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas, kerangka pikir dibangun atas pendekatan livelihood system analyses,yang dimodifikasi dalam hal tujuan dan variabelvariabelnya. Dalam kerangka tersebut, pengembangan ekonomi dimodelkan sebagai tergantung pada lima aset utama yang ada di masyarakat dan lingkungannya yaitu aset fisik, aset sosial, aset alam, aset finansial dan aset manusia. Diasumsikan pula bahwa asetaset ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor penting, yaitu dinamika alam (termasuk v
perubahan iklim) dan kebijakan, baik kebijakan mikro, meso maupun makro. Pengaruhpengaruh yang bersifat positif dari faktor-faktor tersebut akan memperkuat kondisi asetaset yang ada sehingga meningkatkan ketahanan (atau mengurangi kerentanan) dan memperbesar peluang untuk pembangunan ekonomi: begitu sebaliknya. Karena itu, dalam penelitian ini strategi pengembangan ekonomi dirumuskan berdasarkan berbagai bentuk kebijakan potensial dan faktor dinamika alam yang ada di masyarakat dan lingkungannya. Penelitian dilaksanakan di 5 Propinsi: 1) Propinsi Sulawesi Selatan; 2) Propinsi Sulawesi Tenggara; 3) Propinsi Nusa Tenggara Timur; 4) Propinsi Papua dan 5) Propinsi Papua Barat. Tujuh kabupaten yang sebelumnya merupakan lokasi Coremap II pada kelima propinsi tersebut secara purposive dipilih sebagai lokasi-lokasi penelitian, yaitu: 1) Kabupaten Pangkep, 2) Kabupaten Selayar, 3) Kabupaten Wakatobi, 4) Kabupaten Buton, 5) Kabupaten Sikka, 6) Kabupaten Biak; dan 7) Kabupaten Raja Ampat.Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik Focus Group Discussion(FGD) yang dilengkapi dengan verifikasi lapang melalui konsultasi dan survey. Data-data primer dari penggalian di lapangan maupun dari sumber-sumber sekunder telah diolah dan dianalisis. Data-data tersebut secara garis besar mencakup: (i) perubahan parameter-parameter perubahan iklim yang diperkirakan berpengaruh terhadap kegiatan perikanan (curah hujan, jumlah hari hujan dan suhu udara, (ii) dampak perubahan paramater iklim terhadap terumbu karang dan perikanan, (iii) struktur dan kinerja ekonomi serta perubahannya akibat perubahan tersebut, (iv) kebijakan-kebijakan mikro, meso dan makro yang telah diwacanakan dan atau direncanakan, dan (v) kondisi asset sosial, alam, finansial, fisik, dan manusia.
HASIL PENELITIAN Berdasarkan pengamatan terhadap data-data terolah, dapat disimpulkan bahwa terdapat peluang-peluang untuk pengembangan ekonomi melalui dua jalur, yaitu melalui pengembangan jenis-jenis penghidupan yang telah ada dan melalui pengembangan penghidupan alternatif. Dari wacana-wacana dan atau perencanaan yang teridentifikasi, pada umumnya penembangan ekonomi tersebut dimungkinkan, sepanjang berbagai kendala yang juga teridentifikasi melalui penelitian ini ditangani. Berdasarkan interpretasi lanjut terhadap hasil-hasil analisis tersebut di atas diperoleh kesimpulan-kesimpulan yang menjawab kelima tujuan penelitian sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
vi
Terkait tujuan penelitian mengenai rincian dampak perubahan iklim pada struktur dan kinerja variabel-variabel ekonomi masyarakat perikanan disimpulkan bahwa perubahan iklim merubah struktur ekonomi masyarakat dalam konteks komposisi pekerjaan, namun hanya sedikit yang terkait dengan alih profesi ke bidang non kelautan / perikanan. Di sejumlah lokasi, prosentase masyarakat perikanan relatif tetap, tetapi sebagian dari nelayan melakukan diversifikasi usaha. Diversifikasi usaha yang dilakukan oleh para nelayan pada umumnya adalah budidaya ikan atau rumput laut sedang di sedikit kasus nelayan mengembangkan usaha pertanian, misalnya perkebunan jeruk lokal. Perubahan struktur dalam konteks lain termasuk struktur pasar tidak terjadi secara signifikan. Terkait pola adaptasi perilaku ekonomi masyarakat dalam menyikapi perubahan parameter-parameter iklim disimpulkan bahwa pada umumnya masyarakat telah melakukan upaya adaptasi maksimal menyikapi dampak perubahan iklim. Bentuk-bentuk adaptasi tersebut adalah di antaranya: peningkatan efektivitas alat produksi, perpindahan lokasi produksi sesuai musim dan diversifikasi usaha. Di sejumlah lokasi, diversivikasi dan alih usaha dilakukan tidak hanya pada jenis usaha yang terkait laut melainkan juga pada usaha-usaha di sektor lain, misalnya sektor pertanian. Untuk alih usaha yang tetap terkait dengan kelautan dalah misalnya alih usaha dari perikanan tangkap ke budidaya, baik budidaya ikan maupun rumput laut. Sementara itu, seperti dicontohkaan pada kasus Mawasangka Tengah (Kabupaten Buton) perpindahan ke sektor lain adalaah misalnya perpindahan dari perikanan tangkap maupun budidaya ke pertanian / perkebunan. Terkait kinerja dari rencana-rencana tersebut disimpulkan bahwa pada umumnya rencana-rencana di tingkat masyarakat tersebut pada umumnya belum menunjukkan hasil maksimal. Berbagai keterbatasan termasuk masalah SDM, teknologi dan finansial. Dalam hal ini, intervensi pemerintah diperlukan terutama untuk meningkatkan kapasitas masyarakat khususnya dalam hal meningkatkan efektivitas dari inisiasi-inisiasi yang telah dilakukan oleh masyarakat tersebut. Namun demikian, sejauh ini intervensi-intervensi berupa kebijakan maupun program-program pemerintah yang diharapkan pada umumnya belum sesuai atau belum mencukupi untuk mendukung inisiasi-inisiasi yang datang dari masyarakat. Sebagai contoh, untuk kasus Pangkep teridentifikasi dukungan intervensi pemerintah yang memadai untuk mendukung program pengistirahatan lahan budidaya; namun demikian, kebijakan yang diterapkan adalah program pemberantasan penyakit. Program tersebut tidak sepenuhnya tidak tepat, tetapi tidak terlalu optimal. Dalam kasuskasus lain bahkan kebijakan pemerintah sama sekali tidak sesuai dengan kebutuhan vii
setempat, misalnya untuk kasus Sikka. Di Sikka, perencanaan lokal di tingkat masyarakat mengagendakan pengembangan budidaya sebagai jawaban untuk mengantisipasi penurunan lebih lanjut pada kinerja perikanan tangkap; namun demikian, sejauh ini tidak teridentifikasi adanya rencana intervensi pemerintah yang mendukung agenda lokal tersebut. Penelitian ini ditutup dengan menampilkan peluang serta strategi yang dapat diupayakan untuk mengatasi berbagai permasalahan dan tantangan tersebut di atas. Berdasarkan data-data yang ada, maka peluang-peluang tersebut terkait dengan intervensiintervensi yang layak dan diperkirakan akan berdampak positif. Intervensi-intervensi tersebut adalah di antaranya:
(1) Penguatan struktur ekonomi masyarakat perikanan
melalui penyelarasan komponen struktur dengan tekanan yang bersumber dari perubahan iklim, (2) Pengendalian faktor antropogenik penyebab kerusakan sumberdaya alam, (3) Peningkatan kapasitas SDM yang diarahkan untuk mendukung penguatan struktur (poin rekomendasi 1) dan pengendalian faktor antropogenik (poin rekomendasi 2), terutama melalui program pembinaan dan penyuluhan terhadap masyarakat maupun aparat terkait, (4) Program khusus penanggulangan dampak jangka pendek dari program penguatan struktur dan pengendalian faktor antropogenik. Untuk merealisasikan peluang-peluang tersebut, sejumlah strategi dipertimbangkan dan diprioritaskan. Strategegi-strategi tersebut adalah: (i) Meningkatkan kualitas SDM melalui koordinasi dengan instansi berwenang dalam hal perbaikan fasilitas pendidikan, infrastruktur, kesehatan, (ii) Diversifikasi mata pencaharian alternatif untuk mengurangi ketergantungan dan upaya eksploitasi berlebihan pada sumberdaya laut sehingga nelayan tidak hanya bergantung pada aktivitas melaut, (iii) Penguatan penguasaan aset produksi nelayan melalui peningkatan kesempatan untuk pemerataan kepemilikan, (iv) Regulasi harga dan buffer stock pasar ikan agar harga ikan stabil, (v) Penguatan peran kelembagaan usaha sehingga mengurangi ketergantungan kepada pemilik modal, (vi) Memperbaiki jalur pemasaran agar lebih mudah dan terjangkau masyarakat, (vii) Sosialisasi peraturan melalui tokoh adat/agama/masyarakat melalui upacara-upacara tradisional/kegiatan keagamaan, (vii) Implementasi peraturan terkait pelestarian sumberdaya alam, (ix) Koordinasi dengan instansi terkait, terutama Polair, (x) Penguatan kelembagaan dan pengaktifan kegiatan Pokmaswas, (xi) Pengawasan dan penindakan tegas terhadap berbagai praktik pengrusakan sumberdaya alam, (xii) Sosialisasi terkait pentingnya keberadaan sumberdaya alam yang lestari dan berkelanjutan, (xiii) Pelatihan dan Pembekalan pengetahuan dan keterampilan masyarakat mengenai penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan sesuai dengan viii
perubahan iklim, (xiv) Pelatihan dan penyuluhan keterampilan terhadap masyarakat terkait pengolahan hasil perikanan, (xv) Pelatihan dan penyuluhan keterampilan terhadap masyarakat terkait mata pencaharian alternatif yang dapat mengadaptasi perubahan iklim, (xvi) Sosialisasi kepada masyarakat mengenai apa itu perubahan iklim dan akibat yang ditimbulkannya, (xvii) Membangun pusat informasi di tingkat desa terkait fenomenafenomena yang ditimbulkan oleh perubahan iklim seperti gelombang besar, badai, dan sebagainya, (xviii) Menyediakan kegiatan ekonomi alternatif pada saat musim-musim masyarakat tidak dapat melakukan aktivitas ekonominya karena gangguan iklim.
ix
DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................................. iii KATA PENGANTAR .......................................................................................................... iv RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................................. v DAFTAR ISI ......................................................................................................................... x DAFTAR TABEL .............................................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................... xvi I.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................................. 5 1.3 Tujuan...................................................................................................................... 6 1.4 Keluaran .................................................................................................................. 6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perubahan Iklim ..................................................................................................... 7 2.2 Kawasan Segitiga Karang ..................................................................................... 11 2.3 Pengembangan Ekonomi Masyarakat dan Dampaknya terhadap Kondisi Ekologi ................................................................................................................. 12 2.4 Dampak Perubahan Iklim ..................................................................................... 14 2.5 Respon dan Strategi Adaptasi Perubahan Iklim ................................................... 16 III. METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran............................................ ....................................... 19 3.2 Pendekatan Penelitian dan Kerangka Pemilihan Contoh ...................................... 22 3.3 Jenis dan Sumber Data .......................................................................................... 25 3.4 Metode Analisis Data ............................................................................................ 25 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perubahan Parameter Iklim ................................................................................... 35 4.1.1 Suhu ........................................................................................................... 35 4.1.2 Curah Hujan ……………………………………………………………..36 4.1.3 Hari Hujan ................................................................................................. 37 4.1.4 Jumlah Bulan Basah dan Bulan Kering ..................................................... 38 4.1.5 Perubahan Awal dan Akhir Musim Kemarau dan Musim Penghujan ...... 40 4.2 Perubahan Kondisi Terumbu Karang .................................................................. .42 4.3 Struktur dan Kinerja Ekonomi Masyarakat Perikanan ........................................ 45 4.3.1 Struktur Ekonomi ....................................................................................... .45 4.3.1.1 Ketergantungan pada Sumberdaya Laut ..................................... 46 A. Kabupaten Pangkep ................................................................ 49 B. Kabupaten Sikka ..................................................................... 51 C. Kabupaten Wakatobi .............................................................. 53 D. Kabupaten Selayar .................................................................. 54 E. Kabupaten Buton .................................................................... 56 F. Kabupaten Raja Ampat ........................................................... 59 G. Kabupaten Biak Numfor......................................................... 64
x
4.4
4.5
4.6
4.7 4.8
4.3.1.2 Keterlibatan Masyarakat pada Pencaharian Lain ......................... 66 A. Kabupaten Pangkep ................................................................ 66 B. Kabupaten Sikka .................................................................... .67 C. Kabupaten Wakatobi .............................................................. 67 D. Kabupaten Selayar .................................................................. 68 E. Kabupaten Buton .................................................................... 69 F. Kabupaten Raja Ampat ........................................................... 70 G. Kabupaten Biak Numfor......................................................... 72 4.3.1.3 Struktur Pasar ............................................................................. 72 4.3.1.4 Kelembagaan Usaha ................................................................... 78 4.3.1.5 Penguasaan Aset ......................................................................... 82 4.3.1.6 Mekanisme Pengambilan Keputusan ......................................... 85 4.3.2 Kinerja Ekonomi ......................................................................................... 88 4.3.2.1 Keuntungan Usaha ..................................................................... 88 4.3.2.2 Produksi Perikanan ................................................................... 108 4.3.2.3 Perkembangan Usaha ............................................................... 118 4.3.2.4 Ekonomi Alternatif yang Dapat Dikembangkan dan Prospeknya ............................................................................... 129 Aset ...................................................................................................................... 140 4.4.1 Kabupaten Pangkep ................................................................................. 140 4.4.2 Kabupaten Sikka ...................................................................................... 227 4.4.3 Kabupaten Wakatobi ............................................................................... 166 4.4.4 Kabupaten Selayar ................................................................................... 177 4.4.5 Kabupaten Buton ..................................................................................... 189 4.4.6 Kabupaten Raja Ampat ............................................................................ 199 4.4.7 Kabupaten Biak Numfor ......................................................................... 211 Perubahan yang Terjadi Akibat Perubahan Iklim dan Adaptasi yang Dilakukan ........................................................................................................... 219 4.5.1 Kabupaten Pangkep ................................................................................ 219 4.5.2 Kabupaten Sikka ...................................................................................... 207 4.5.3 Kabupaten Wakatobi ............................................................................... 237 4.5.4 Kabupaten Selayar ................................................................................... 240 4.5.5 Kabupaten Buton ..................................................................................... 246 4.5.6 Kabupaten Raja Ampat ............................................................................ 253 4.5.7 Kabupaten Biak Numfor.......................................................................... 261 Identifikasi Rencana-Rencana dan Kebijakan Pemerintah Daerah ..................... 269 4.6.1 Kabupaten Pangkep ................................................................................. 269 4.6.2 Kabupaten Sikka ...................................................................................... 270 4.6.3 Kabupaten Wakatobi ............................................................................... 271 4.6.4 Kabupaten Selayar ................................................................................... 272 4.6.5 Kabupaten Buton ..................................................................................... 254 4.6.6 Kabupaten Raja Ampat ............................................................................ 276 4.6.7 Kabupaten Biak Numfor.......................................................................... 278 Potensi Peluang dan Kendala Pengembangan Ekonomi Masyarakat Perikanan ............................................................................................................. 280 Analisis Stakeholder ............................................................................................ 282
V SINTESA HASIL ....................................................................................................... 289 VI KESIMPULAN ......................................................................................................... 294 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 297 xi
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1
Cakupan dan Jumlah Responden Kegiatan Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
24
Tabel 2
Jenis Data dan Metode Pengumpulannya
25
Tabel 3
Matriks Metodologi Kegiatan Riset Pengembangan Model Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Sistem Sosial-Ekologis di Wilayah CTI dalam Rangka Antisipasi Perubahan Iklim pada Tahun 2011 – 2013
26
Tabel 4
Indikator Pengaruh Stakeholder terhadap PembangunanWilayah Pesisir
29
Tabel 5
Tahapan Mendisain CLSA (Diadaptasi dari Emerton, 2001)
30
Tabel 6
Matriks Hubungan Faktor Internal dan Eksternal dalam Penyusunan Strategi Pengembangan Ekonomi
32
Tabel 7
Skor Saaty yang digunakan dalam FGD
33
Tabel 8
Luasan Area Terumbu Karang km2) di Lokasi Penelitian
44
Tabel 9
Ketergantungan pada Sumber Daya Laut
47
Tabel 10
Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Lokasi Penelitian Tahun 2009
48
Tabel 11
Biaya untuk usaha karamba jaring apung di kabupaten Pangkep
51
Tabel 12
Komposisi penduduk desa Bontolebang dan desa Bontosunggu berdasarkan Jenis Pekerjaan Komposisi Penduduk Desa Watorumbe Bata, Desa Gundu-Gundu dan Desa Lakorua Kecamatan Mawasangka Tengah berdasarkan Jenis Pekerjaan
55
Tabel 14
Komposisi Penduduk Kecamatan Siompu berdasarkan Jenis Pekerjaan Utama, 2008
58
Tabel 15
Komposisi Penduduk Kampung Sawinggrai berdasarkan Jenis Kelamin
61
Tabel 16
Komposisi Penduduk Kampung Sawinggrai berdasarkan Jenis Pekerjaan
62
Tabel 17
Jenis Alat Tangkap yang Digunakan Masyarakat Kampung Sawinggrai
63
Tabel 18
Keterlibatan Masyarakat pada Pencaharian Lain
66
Tabel 19
66
Tabel 20
Persentase Pekerja menurut Sektor yang Tidak Tergantung pada Sumberdaya Perikanan di Lokasi Penelitian Struktur Pasar di Lokasi Penelitian
Tabel 21
Kelembagaan Usaha di Lokasi Penelitian
78
Tabel 22
Penguasaan Aset di Lokasi Penelitian
82
Tabel 13.
xii
57
72
Tabel 23
Jumlah Armada Penangkapan Perikanan di Kabupaten Pangkep, 2010
82
Tabel 24
Jumlah Alat Tangkap Perikanan di Kanupaten Pangkep, 2010
83
Tabel 25
Kepemilikan Kapal Nelayan Wuring
83
Tabel 26
Mekanisme Pengambilan Keputusan Di Lokasi Penelitian
85
Tabel 27
Keuntungan Usaha di Lokasi Penelitian
88
Tabel 28
Unit Usaha Produksi Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian
89
Tabel 29
Jumlah Alat Tangkap di Lokasi Penelitian
90
Tabel 30
Struktur Biaya dan Penjualan Usaha Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian
94
Tabel 31
Daftar Pengusaha Perorangan yang melakukan kegiatan pengumpulan hasil perikanan di Kabupaten Sikka Tahun 2010
100
Tabel 32
Daftar Perusahaan yang melakukan kegiatan pengumpulan hasil perikanan Budidaya 2010
104
Tabel 33
Produksi Rumput Laut Kabupaten Buton Tahun 2011
106
Tabel 34
Analisa usaha budidaya kerapu di Kabupaten Raja Ampat
107
Tabel 35
Produksi perikanan utama di Lokasi Penelitian
108
Tabel 36
Perkembangan Jumlah Produksi Perikanan di Lokasi Penelitian
109
Tabel 37
Produksi perikanan utama di Lokasi Penelitian
110
Tabel 38
Produksi Perikanan Tangkap di Kabupaten Selayar, 2001 - 2010
112
Tabel 39
Produksi Perikanan Tangkap menurut Jenis Ikan di Kabupaten Selayar, 2010 Produksi Perikanan Tangkap Kabupaten Buton menurut Komoditi Periode 2006 – 2011 (ton) Produksi Hasil Laut menurut Jenisnya Per Kecamatan, 2008 (ton)
113
Tabel 42
Nilai Produksi Perikanan menurut Jenis Ikan di Kabupaten Wakatobi, 2009 – 2011
116
Tabel 43
Produk Perikanan yang diekspor menurut Jenis Ikan di Kabupaten Wakatobi, 2009 – 2011
116
Tabel 44
Produk Perikanan yang Diantarpulaukan menurut Jenis Ikan di Kabupaten Wakatobi, 2009 – 2011
117
Tabel 45
Perkembangan Usaha di Lokasi Penelitian
118
Tabel 46
Permasalahan yang dihadapi pada usaha perikanan tangkap di lokasi penelitian
118
Tabel 47
Permasalahan dalam Usaha Perikanan Budidaya di Lokasi Penelitian
126
Tabel 48
Ekonomi Alternatif yang Diidentifikasi pada Lokasi Penelitian
130
Tabel 49
Usaha Pengolahan Kepiting
131
Tabel 40 Tabel 41
xiii
114 115
Tabel 50
Usaha Budidaya Karamba Jaring Apung
132
Tabel 51
Usaha Budidaya Rumput Laut
133
Tabel 52
Usaha Pengolahan Ebi
134
Tabel 53
Usaha Pariwisata
135
Tabel 54
Usaha Pembuatan Jaring
136
Tabel 55
Usaha Pengolahan Ikan Asin
137
Tabel 56
Usaha Budidaya Mutiara
138
Tabel 57
Usaha Pertanian
139
Tabel 58
Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
203
Tabel 59
Bentuk perubahan parameter iklim dan pengaruhnya pada struktur ekonomi di Kabupaten Pangkep
219
Tabel 60
Pergeseran Musim di Kabupaten Pangkep
220
Tabel61 m
Elastisitas (%) jumlah trip pertahun terhadap pergeseran awal musim kemarau
222
Tabel 62
Elastisitas jumlah trip terhadap perubahan awal musim penghujan
223
Tabel 63
Bentuk perubahan paramater iklim dan pengaruhnya pada struktur ekonomi di Kabupaten Sikka
227
Tabel 64
Kalender Musim Angin di Wuring
228
Tabel 65
Kalender Musim Angin di Ndete
230
Tabel 66
Kalender Musim penangkapan berdasarkan alat tangkap di Wuring
231
Tabel 67
Kalender Musim Penangkapan di Desa Koroe Onowa
238
Tabel 68
Bentuk perubahan parameter iklim dan pengaruhnya pada struktur ekonomi di Kabupaten Selayar Pergeseran Musim di Kabupaten Selayar
240
Kebutuhan pendorong berdasarkan rangking pada lokasi FGD di Kabupaten Selayar Bentuk perubahan parameter iklim dan pengaruhnya pada struktur ekonomi di Kabupaten Buton Pergeseran Musim di Kabupaten Buton
246
Kebutuhan pendorong berdasarkan rangking pada lokasi FGD di Kabupaten Buton Bentuk perubahan parameter iklim dan pengaruhnya pada struktur ekonomi di Kabupaten Raja Ampat Pergeseran Musim di Kabupaten Raja Ampat
253
261
Tabel 77
Bentuk perubahan parameter iklim dan pengaruhnya pada struktur ekonomi di Kabupaten Biak Numfor Pergeseran Musim Angin di Yenusi Kabupaten Biak Numfor
Tabel 78
Pergeseran Musim Angin di Woniki Kabupaten Biak Numfor
263
Tabel 79
Pergeseran Musim Angin di Bindusi Kabupaten Biak Numfor
264
Tabel 69 Tabel 70 Tabel 71 Tabel 72 Tabel 73 Tabel 74 Tabel 75 Tabel 76
xiv
241
246 248
254 255
262
Tabel 80
269
Tabel 81
Kebutuhan pendorong berdasarkan rangking pada lokasi FGD di Kabupaten Biak Numfor Rencana-rencana di tingkat masyarakat Kabupaten Pangkep
Tabel 82
Kebijakan Pemerintah di Kabupaten Pangkep
270
Tabel 83
Rencana-rencana di tingkat masyarakat Kabupaten Sikka
270
Tabel 84
Kebijakan Pemerintah di Kabupaten Pangkep
271
Tabel 85
Rencana-rencana di tingkat masyarakat Kabupaten Wakatobi
271
Tabel 86
Kebijakan pemerintah di Kabupaten Wakatobi
272
Tabel 87
Rencana-rencana di tingkat masyarakat Kabupaten Selayar
272
Tabel 88
Kebijakan pemerintah di Kabupaten Selayar
273
Tabel 89
Rencana-rencana di tingkat masyarakat Kabupaten Buton
274
Tabel 90
Kebijakan pemerintah di Kabupaten Buton
275
Tabel 91
Rencana-rencana di tingkat masyarakat Kabupaten Raja Ampat
276
Tabel 92
Kebijakan pemerintah di Kabupaten Raja Ampat
277
Tabel 93
Rencana-rencana di tingkat masyarakat Kabupaten Biak Numfor
278
Tabel 94
Kebijakan pemerintah di Kabupaten Biak Numfor
279
Tabel 95
Komponen Faktor Internal Pengembangan Ekonomi Masyarakat Perikanan di Lokasi Penelitian Komponen Faktor Eksternal Pengembangan Ekonomi Masyarakat Perikanan di Lokasi Penelitian Stakeholder Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Terumbu Karang
280
Tabel 96 Tabel 97
xv
269
282 283
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1
Lokasi CTI
4
Gambar 2
Komponen dan Interaksi Sistem Iklim Bumi
7
Gambar 3
Suplai CO2 dari Bumi bagi Gas Rumah Kaca
8
Gambar 4
Variasi Suhu Permukaan Bumi
9
Gambar 5
Hubungan Perubahan Iklim dengan Kelangsungan Hidup Makhluk Hidup
10
Gambar 6
Kerangka Pemikiran Kajian Perubahan Iklim di Wilayah Coral Triangle
21
Gambar 7
Diagram Alir Kegiatan Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
23
Gambar 8
Kategori Stakeholder berdasarkan Tingkat Pengaruh dan Kepentingan (Brown et al, 2001)
29
Gambar 9
Contoh Diagram Analisis SWOT Pengembangan Ekonomi Masyarakat Perikanan
31
Gambar 10
Fluktuasi Suhu Rata-Rata dan Variasinya di Lokasi Penelitian, 1993 2011
36
Gambar 11
Fluktuasi Curah Hujan (mm) dan Variasinya di Lokasi Penelitian, 1993 - 2011
37
Gambar 12
Fluktuasi Jumlah Hari Hujan (hh) dan Variasinya di Lokasi Penelitian, 1993 - 2010
38
Gambar 13
Jumlah Bulan Basah dan Bulan Kering berdasarkan Klasifikasi Iklim Oldeman di Lokasi-Lokasi Penelitian, 1993 – 2011
39
Gambar 14
Perubahan Awal dan Akhir Musim Kemarau dan Musim Penghujan di Lokasi Penelitian, 1996 – 2009
41
Gambar 15
Kondisi Terumbu Karang di Indonesia, 1993 – 2011
42
Gambar 16
Kondisi Terumbu Karang di Indonesia Timur, 1993 – 2011
43
Gambar 17
Persentase Tutupan Karang Hidup (%) di Lokasi Penelitian, 2006 – 2011
45
Gambar 18
Mekanisme Pemasaran Hasil Perikanan di Kabupaten Pangkep
99
Gambar 19
Mekanisme Pemasaran Ikan di Kabupaten Wakatobi
101
Gambar 20
Overlay perubahan awal musim dengan perubahan jumlah trip
221
Gambar 21
Grafik Kepentingan dan Pengaruh dari Stakeholder terkait Pengelolaan 284 Terumbu Karang di Kabupaten Pangkep
Gambar 22
Grafik Kepentingan dan Pengaruh dari Stakeholder terkait Pengelolaan 285 Terumbu Karang di Kabupaten Sikka
xvi
Gambar 23
Grafik Kepentingan dan Pengaruh dari Stakeholder terkait Pengelolaan 285 Terumbu Karang di Kabupaten Selayar
Gambar 24
Grafik Kepentingan dan Pengaruh dari Stakeholder terkait Pengelolaan 286 Terumbu Karang di Kabupaten Wakatobi
Gambar 25
Grafik Kepentingan dan Pengaruh dari Stakeholder terkait Pengelolaan 286 Terumbu Karang di Kabupaten Buton
Gambar 26
Grafik Kepentingan dan Pengaruh dari Stakeholder terkait Pengelolaan 287 Terumbu Karang di Kabupaten Raja Ampat
Gambar 27
Grafik Kepentingan dan Pengaruh dari Stakeholder terkait Pengelolaan 287 Terumbu Karang di Kabupaten Biak Numfor
xvii
Laporan Teknis
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Terumbu karang memiliki peranan penting bagi layanan barang dan jasa ekosistem
laut tropis dan subtropis (Moberg and Folke, 1999). Layanan barang dan jasa tersebut sebagian bermakna dukungan terhadap pengembangan ekonomi, sebagian diperlukan untuk mendukung fungsi-fungsi ekologis, sebagian bahkan memainkan fungsi sosial penting dalam masyarakat pemanfaatnya. Diilustrasikan oleh Burke et al. 2008, misalnya, bahwa terumbu karang diantaranya bermanfaat sebagai habitat bagi ikan konsumsi bernilai tinggi, magnet untuk sektor pariwisata. Keindahan terumbu karang tidak diragukan lagi sebagai daya tarik wisata (Suharsono, 2009). Terumbu karang juga melindungi daerah pesisir dari ombak, mengurangi intrusi air laut ke daratan dan juga mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh badai dan angin topan. Fungsi ekonomis terutama terkait dengan kenyataan bahwa terumbu karang merupakansalah satu ekosistem paling produktif di dunia. Banyak kalangan bahkan membandingkannya dengan produktivitas hutan hujan tropis. Rata-rata produktivitas primer terumbu karang dunia adalah 2.500 gC/m2 per tahun. Dengan produktivitas sangat tinggi tersebut, terumbu karang merupakan salah satu sumber bagi devisa negarapaling potensial, termasuk melalui pengembangan sektor perikanan dan pariwisata. Di samping itu, terumbu karang juga menyediakan bahan baku industri obat-obatan dan kosmetika seperti bahan dasar pembuatan kapsul, tablet, dan sabun, serta memasok berbagai komoditaspendukung ketahanan pangan. Sementara itu, fungsi ekologis terumbu karang yang paling menonjol adalah sehubungan dengan perannya sebagai penopang berlangsungnya siklus kehidupan berbagai organisme. Terumbu karang merupakan tempat bertelur, memijah, pengasuhan dan tempat mencari makan bagi berbagai jenis hewan laut. Terumbu karang juga mempunyai peran ekologis yang terkait dengan sifat fisiknya yangkokoh sehingga memungkinkannya menjadi tempat tinggal yang aman bagi biota laut dan sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan erosi pantai. Sebagian besar wilayah pesisir kepulauan Indonesia berupa perairan dangkal dan jernih. Di daerah tropis, kondisi seperti ini sesuai untuk pertumbuhan ekosistem terumbu karang. Indonesia memiliki sekitar 51.020 km2 terumbu karang, yang merupakan 18% dari terumbu karang dunia (Suharsono, 2003). Akan tetapi Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
1
Laporan Teknis
terumbu karang di wilayah perairan Indonesia mengalami degradasi yang diakibatkan baik oleh fenomena alam maupun aktivitas manusia. Isu yang selama ini dianggap sebagaiancaman pada kelestarian terumbu karang antara lain adalah pencemaran, eksploitasi dengan cara yang destruktif, dan penyakit. Belakangan, berkembang isu baru yaitu perubahan iklim,yang dianggap sebagai ancaman paling serius dan paling sulit untuk dihindari. Perubahan iklim global telah diketahui akan menyebabkan: 1) terjadinya kenaikan suhu air laut, 2) kenaikan keasaman air laut, 3) kenaikan paras muka air laut, 4) perubahan intensitas cahaya, 5) terjadinya banjir, dan 6) meningkatnya frekuensi siklon tropis. Kenaikan suhu air laut menyebabkan terjadinya perubahan komposisi biota yang hidup di laut. Biota laut yang sensitif terhadap kenaikan suhu dapat musnah, sedangkan spesies yang tahan terhadap perubahan suhu akan dapat bertahan bahkan akan dapat mendominasi populasi yang ada. Sebagai contoh karang dari kelompok acroporoid dan pociloporaoid dikenal sebagai karang yang sangat sensitif terhadap kenaikan suhu dan pada saat terjadi bleaching maka kedua kelompok itu mati terlebih dahulu. Sedangkan kelompok poritoid masih tetap dapat hidup. Sensitivitas karang terhadap suhu bervariasi tergantung dari jenisnya (Ultrup et al 2006). Untuk jangka panjang maka akibat kenaikan suhu ini akan merubah komposisi jenis dan struktur komunitas ekosistem terumbu karang. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kerusakan (coral bleaching) yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dalam 50 tahun kedepan bisa mencapai 30%. Hingga saat ini kondisi karang yang masih baik yaitu penutupan karang hidup 50-74%, diperkirakan hanya sekitar 26% (Suharsono, 2003). Kerusakan ekosistem terumbu karang ini merupakan salah satu indikator rendahnya apresiasi masyarakat terhadap layanan barang dan jasa ekosistem tersebut. Pusat keanekaragaman hayati laut dunia, terutama terumbu karang terletak di kawasan segitiga karang. Kawasan ini meliputi Indonesia, Philipina, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea dan Kepulauan Salomon. Jika ditarik garis batas yang melingkupi wilayah terumbu karang di ke-6 negara tersebut maka akan menyerupai segitiga. Itu sebabnya wilayah tersebut disebut sebagai segitiga karang dunia (Coral Triangle). Total luas terumbu karang di Coral Triangle sekitar 75.000 Km2.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
2
Laporan Teknis
Kawasan CT mencakup Zona Ekonomi Esklusif Indonesia Tengah dan Timur, Timor Leste, Filipina, Borneo Malaysia, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon. Meskipun hanya melingkupi 2% dari lautan dunia, kawasan ini merupakan 'kawasan inti/hotspot' biodiversitas global dimana terdapat lebih dari 75% spesies karang, 35% terumbu karang dunia, sekitar 3000 lebih spesies ikan serta area bakau/mangrove terluas di dunia. Kawasan Segitiga Karang juga merupakan nursery ground dan rute migrasi bagi tuna dan billfish, paus, lumba-lumba, pari manta, hiu paus, dugong dan banyak lagi mamalia laut. Kesemuanya merupakan sumberdaya pendukung sosioekonomi bagi 120 juta orang di kawasan tersebut, dimana sebagian besar bergantung sepenuhnya pada biodiversitas sumberdaya tersebut. Kawasan ini juga memiliki nilai ekonomis tinggi bagi negara-negara yang bergantung pada perikanan tuna dan pariwisata berbasis alam, ditambah lagi dengan mangrove dan terumbu karang yang melindungi garis pesisir yang sensitif akan kerusakan akibat tsunami. Total estimasi nilai Terumbu Karang di kawasan ini setiap tahunnya mencapai US$ 2.3 milyar. Oleh karena itu salah satu upaya untuk menjaga dan melindungi kawasan segitiga karang dunia tersebut dibuat inisiatif perlindungan terumbu karang yang disebut Coral Triangle Inisiative (CTI). Keenam negara yang tergabung dalam CTI ini disebut CT6. Salah satu kriteria utama dalam CTI adalah mendukung inisiatif yang berorientasi masyarakat dalam konservasi biodiversitas, pembangunan ramah lingkungan / sustainable development, pengentasan kemiskinan dan kesetaraan pembagian keuntungan (equitable benefit sharing).
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
3
Laporan Teknis
Gambar 1.
Lokasi CTI
Hasil penelitian pada tahun sebelumnya (Purnomo et al, 2011), yang difokuskan pada kajian sistem sosial ekologis, menunjukkan adanya interaksi yang erat antara subsistem ekologis, yaitu terumbu karang dan segenap sumberdaya yang terkandung di dalamnya dengan subsistem sosial yaitu manusia dan segala aktivitas dan dinamikanya. Pada periode-periode silam, keseimbangan dapat terjaga dan subsistem ekologis mampu memberikan layanan maksimal kepada sistem sosial berupa berbagai peluang topangan penghidupan. Di sisi lain, dinamika subsistem sosialmampu menjamin keberlanjutan keberadaan dan kesehatan sistem ekologis karena aktivitas pemanfaatan terukur dan terkendali. Ekonomi masyarakat yang berbasis pada keberadaan terumbu karang telah berlangsung lama dengan kondisi terumbu karang yang tetap terpelihara. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa dalam periode 10-20 tahun berselang berbagai faktor, termasuk perubahan iklim dan sejumlah variabel sosial ekonomi menekan kehidupan manusia, yang kemudian berdampak pada kondisi dan keberlanjutan terumbu karang. Interaksi erat antara subsistem sosial dan subsistem ekologis yang teridentifikasi dalam penelitian tersebut memprediksi bahwa situasi seperti itu akan menggelinding seperti bola salju, yang akan berujung pada kehancuran kedua subsistem. Hal itu benar karena data menunjukkan bahwa perkembangan ekonomi di wilayah coral
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
4
Laporan Teknis
triangle yang menjadi lokasi penelitian itu merupakan variabel yang sangat dipengaruhi dan mempengaruhi keberadaan terumbu karang dan sumberdaya yang terkait dengannya. Dengan latar belakang di atas, disimpulkan adanya urgensi untuk merumuskan dan menerapkan pendekatan optimal yang dapat mendorong kinerja maksimal dari potensi ekonomi dari sumberdaya berbasis terumbu karang di wilayah coral triangle dan kinerja ekologis dari terumbu karang, yang merupakan penopang utamanya. Penelitian pada tahun ini, karenanya, difokuskan pada kajian pengembangan ekonomi masyarakat, dengan maksud bahwa di satu sisi tekanan pada sumberdaya akan semakin berkurang sehingga layanan yang diberikannya menjadi semakin besar karena kondisinya semakin membaik.
1.2
Perumusan Masalah Kerusakan terumbu karang telah dipercepat oleh adanya perubahan iklim.
Keberadaan masyarakat yang sangat tergantung pada sumberdaya terumbu karang dan dalam kondisi ekonomi yang buruk dipastikan akan meningkatkan percepatan kerusakan tersebut. Karenanya, apabila perekonomian masyarakat tidak membaik atau diperbaiki, maka kondisi terumbu karang akan memburuk dengan lebih cepat lagi. Untuk itu perlu diketahui dan dianalisis : 1. Parameter iklim apakah yang menjadi permasalahanpada struktur dan kinerja variabelvariabel ekonomi masyarakat perikanan? 2. Bagaimana pola adaptasi perilaku ekonomi masyarakat dalam menyikapi perubahan parameter-parameter iklim? 3. Bagaimana pola rencana-rencana di tingkat masyarakat, pemerintah terkait adaptasi dan pengembangan ekonomi di masa yang akan datang?
4. Bagaimana kinerja terhadap rencana-rencana tersebut berdasar penelitian terdahulu? 5. Bagaimana strategi intervensi terbaik untuk mendukung realisasi pemikiran dan rencana-rencana tersebut?
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
5
Laporan Teknis
1.3
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengkaji rincian dampak perubahan iklim pada struktur dan kinerja variabel-variabel ekonomi masyarakat perikanan. 2. Menganalisis pola adaptasi perilaku ekonomi masyarakat dalam menyikapi perubahan parameter-parameter iklim. 3. Mengidentifikasi rencana-rencana di tingkat masyarakat, pemerintah terkait adaptasi dan pengembangan ekonomi di masa yang akan datang. 4. Mengkaji dan melakukan pendugaan kinerja terhadap rencana-rencana tersebut berdasar penelitian terdahulu. 5. Merumuskan strategi intervensi terbaik untuk mendukung realisasi pemikiran danrencana-rencana tersebut.
1.4
Keluaran
1. Paket data dan informasi mengenai: a. Dampak perubahan iklim pada variable-variabel ekonomi masyarakat. b. Pola adaptasi perilaku dan kinerja ekonomi masyarakat menyikapi perubahan iklim. c. Intervensi potensial untuk peningkatan kapasitas adaptasi masyarakat. d. Komponen-komponen biaya dan manfaat berbagai pilihan intervensi. 2. Paket model intervensi peningkatan kapasitas adaptasi masyarakat dalam menyikapi perubahan iklim dan pengembangan ekonomi. 3. Paket rekomendasi implementasi model intervensi peningkatan kapasitas adaptif dan pengembangan ekonomi. 4. Minimal 3 (tiga) judul makalah ilmiah diantaranya mencakup topik terkait dampak perubahan iklim pada variable-variabel ekonomi, pola adaptasi perilaku dan kinerja ekonomi masyarakat dan pemilihan intervensi kebijakan untuk pegembangan ekonomi masyarakat di wilayah rentan perubahan iklim di kawasan coral triangle. 5. Laporan teknis penelitian. 6. Minimal 3 (tiga) judul poster yang dikaitkan dengan topik-topik bahan makalah ilmiah.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
6
Laporan Teknis
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Perubahan Iklim Iklim adalah rata-rata kondisi cuaca yang merupakan interaksi yang kompleks
antara proses-proses fisik, kimia, biologi yang mencerminkan interaksi antara geosfer, biosfer yang terjadi pada atmosfer bumi. Karena itu iklim suatu tempat atau wilayah merupakan deskripsi statistik tentang kondisi atmosfer dalam jangka waktu yang panjang sehingga menggambarkan rata-rata berbagai variabel cuaca (Murdiyarso, 1999). Menurut laporan IPCC (2001), sistem iklim merupakan sistem yang saling berinteraksi dari kelima komponen sistem yang terdapat di planet bumi. Sistem ikim yang terjadi di planet bumi merupakan sistem yang komplek yang melibatkan interaksi dari atmosphere dengan dengan berbagai komponen sistem iklim yang lain. Komponen sistem iklim yang lain terdiri dari lima komponen utama yaitu atmosphere, hidrosfer, kriosfer, permukaan tanah dan biosfer (Gambar 2).
Gambar 2.
Komponen dan Interaksi Sistem Iklim Bumi
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
7
Laporan Teknis
Cuaca berubah sepanjang waktu, iklim biasanya akan sama berabad-abad jika tidak diganggu. Tetapi, bumi tidak dibiarkan sendirian. Manusia melakukan aktivitas yang signifikan sehingga merubah bumi dan iklimnya. Perubahan iklim disebabkan oleh efek gas rumah kaca (GRK), yaitu gas-gas hasil emisi yang terakumulasi di stratosfer. Konsepsi perubahan iklim yang digunakan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) merujuk pada “setiap perubahan dalam iklim pada suatu selang waktu tertentu, apakah diakibatkan oleh variasi alamiah atau karena aktivitas manusia” (anthropogenic) (IPCC, 2001). Perubahan iklim global saat ini jelas akibat meningkatnya suhu rata-rata udara dan laut, mencairnya salju dan es, serta meningkatnya permukaan air laut (IPCC, 2007).
Gambar 3.
Suplai CO2 dari Bumi bagi Gas Rumah Kaca
Iklim global dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) tertentu ke atmosfer. CO2 adalah GRK yang berkontribusi signifikan terhadap pemanasan global (IPCC, 1995). Bukti-bukti baru yang kuat menyatakan bahwa mayoritas pemanasan bumi yang diobservasi selama 50 tahun terakhir disebabkan oleh aktivitas manusia (IPCC, 2007). Dalam The Fourth Assessment to IPCC yang dijadwalkan terbit Februari 2007, dasar ilmiah yang menyatakan aktivitas manusia sebagai penyebab semakin kuat (Pachauri, dalam Hanley, 2006).
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
8
Laporan Teknis
Dalam buku Climate Change 2001: The Scientific Basic (IPCC, 2001), IPCC menyatakan hasil-hasil observasi yang semakin jelas memberikan suatu kumpulan gambaran akan adanya pemanasan dunia dan perubahan dalam sistem iklim. Pertama, temperatur permukaan rata-rata (rata-rata temperatur udara dan permukaan air) telah meningkat sejak tahun 1861. Sepanjang abad XX, peningkatan suhu adalah 0,6±0,2 oC, dimana peningkatan terutama terjadi antara 1910 – 1945 dan 1976 – 2000, dimana dekade yang paling panas adalah 1990-2000 dan tahun terpanas adalah 1998 (Gambar 4).
Gambar 4.
Variasi Suhu Permukaan Bumi (Sumber : IPCC, 2001)
Dalam Draft Fourth Assessment dikatakan bahwa 30 tahun terakhir adalah era paling panas dan muka laut meningkat 3 mm/tahun antara 1993 sampai dengan 2003 (Hanley, 2006). Peningkatan suhu bumi telah menyebabkan matinya atau berubahnya banyak spesies hewan dan tanaman yang lebih cepat dari prediksi sehingga membuat ahli biologi dan ekologi “terperangah” (Borenstein, 2006). Pengaruh dan keterpengaruhnya perubahan iklim terhadap kesehatan manusia, ozon, dan LULUCF dapat dilihat pada Gambar 5.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
9
Laporan Teknis
Gambar 5.
Hubungan Perubahan Iklim dengan Kelangsungan Hidup Makhluk Hidup
Perubahan iklim juga menyebabkan pada abad XX terjadi peningkatan curah hujan di wilayah tropis sebesar 0,2-0,3%. Namun sebaliknya, di beberapa wilayah Asia dan Afrika, frekuensi dan intensitas kekeringan terobservasi meningkat pada dekade terakhir. Selanjutnya, episode hangat karena kejadian El Nino-Southern Oscillation (ENSO) telah terjadi lebih sering, tetap, dan lebih intensif sejak pertengahan 1970-an. Perubahan iklim terjadi sebagai akibat dari dua hal, yaitu variasi internal dalam sistem iklim dan variasi eksternal (alamiah maupun anthropogenic). Pengaruh faktorfaktor eksternal pada iklim dapat dibandingkan dengan menggunakan konsep radiative forcing, yang merupakan suatu ukuran dari pengaruh yang dimiliki suatu faktor dalam merubah keseimbangan energi yang masuk dan keluar dalam sistem atmosfir bumi, dan merupakan indeks pentingnya faktor tersebut dalam mekanisme perubahan iklim, yang dinyatakan dalam Watt per meter kuadrat (W m-2). Bila radiative forcing adalah positif maka akan cenderung memanaskan permukaan bumi, sebaliknya bila radiative forcing negatif akan mendinginkan permukaan bumi. Faktor-faktor alamiah seperti perubahan pada solar output atau aktifitas letusan gunung juga akan menyebabkan radiative forcing. Untuk menghindari akibat-akibat yang sangat buruk bagi eksistensi manusia karena pemanasan global maka upaya-upaya penurunan emisi atau pencegahan kenaikannya telah mulai dilakukan. Disadari bahwa upaya-upaya tersebut mahal harganya. Alasan Amerika Serikat untuk menarik diri dari Protokol Kyoto adalah karena alasan ekonomi tersebut. Stern (2004) dalamLovell (2006) menyatakan bahwa upaya menurunkan emisi CO2 saat ini Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
10
Laporan Teknis
pada tingkat sebelum tahun 1990 akan berbiaya sebesar 1% dari total output ekonomi dunia. Namun, penundaan terhadap tindakan tersebut akan membawa konsekuensi sebesar 20% dari total output dunia.
2.2
Kawasan Segitiga Karang Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem yang mengandung sumber daya alam
yang dapat memberi manfaat besar bagi manusia. Dari itu diperlukan kearifan manusia untuk mengelolanya, yang bisa menjadikan sumber daya alam ini menjamin kesejahteraan manusia sepanjang zaman. Tanpa menghiraukan masa depan dan terus-menerus merusak, ekosistem terumbu karang akan menjadi semacam padang gurun tandus di dalam laut yang hanya dipenuhi oleh patahan-patahan karang dan benda mati lainnya. Karena itu pengelolaan sangat diperlukan untuk mengatur aktivitas manusia serta mengurangi dan memantau cara-cara pemanfaatan yang merusak. Pengelolaan terumbu karang harus berbasis pada keterlibatan masyarakat, sebagai pengguna langsung sumber daya laut ini. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya terumbu karang sangat penting mulai dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan sampai pada tahap evaluasi dari suatu cara pengeloaan. Indonesia yang terletak di sepanjang katulistiwa, mempunyai terumbu karang terluas di dunia tersebar mulai dari Aceh sampai Irian Jaya. Dengan jumlah penduduk 200 juta jiwa, yang 60 persennya tinggal di daerah pesisir, maka terumbu karang merupakan tumpuan sumber penghidupan utama. Di samping sebagai sumber perikanan, terumbu karang memberikan penghasilan antara lain industri ikan hias sampai pada tingkat nelayan pengumpul. Terumbu juga merupakan sumber devisa bagi negara, termasuk usaha pariwisata yang dikelolah oleh masyarakat nelayan. Sayangnya terumbu karang di Indonesia semakin memburuk kondisinya, yang secara langsung dapat dibuktikan dari hasil tangkapan ikan oleh nelayan yang semakin menurun. Selain jumlah hasil tangkapan ikan semakin menurun, juga ukuran ikannya semakin kecil disamping itu nelayan memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencari ikan. Peningkatan jumlah penduduk dan pembangunan di daerah pesisir yang semakin meluas, menyebabkan meningkatnya tekanan terhadap ekosistem terumbu karang.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
11
Laporan Teknis
Segitiga Terumbu Karang Dunia, adalah sebuah wilayah yang meliputi negara Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Timor Leste. Berdasarkan laporan World Resources Institute (2011) disebutkan bahwa Kawasan Segitiga Koral (Coral Triangle) yang terletak di wilayah Indo Pasifik terus mengalami kerusakan akibat aktivitas manusia. Penyebabnya tidak lain adalah praktik eksploitasi perikanan, penggunaan racun, dinamit, polusi air laut akibat abrasi, penggunaan pupuk dan pestisida serta pembangunan kawasan pesisir pantai yang tidak ramah lingkungan. Ancaman ini semakin diperparah oleh akibat dampak perubahan iklim dan pemanasan global sehingga tingkat kerusakan terumbu karang di wilayah ini bisa naik hingga lebih dari 90%.
2.3
Pengembangan Ekonomi Masyarakat dan Dampaknya terhadap Kondisi Ekologi Berbagai sektor ekonomi yang ada di suatu kawasan merupakan potensi untuk
dikembangkan, termasuk pada sektor kelautan dan perikanan. Pengembangan sektor ekonomi harus diusahakan secara lokal,tradisional dan belum optimal, belum berkembangnya industri pengolahan sehingga produk sebagian besar dijual dalam bentuk mentah (bahan baku) serta tidak didukung oleh sarana-prasarana yang memadai dan merata. Pengembangan lebih menekankan proses meningkatkan dan memperluas. Dalam pengertian bahwa pengembangan adalah melakukan sesuatu yang tidak dari nol, atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas. Jadi dalam hal pengembangan masyarakat tersirat pengertian bahwa masyarakat yang dikembangkan sebenarnya sudah memiliki kapasitas (bukannya tidak memiliki sama sekali) namun perlu ditingkatkan kapasitasnya (Rustiadi et al. 2005). Pengembangan ekonomi lokal merupakan proses penjalinan kepentingan antara sektor pemerintah, swasta, produsen dan masyarakat,dengan mengoptimalkan sumber daya lokal (manusia, alam dan sosial), di dalam sebuah komunitas, dengan tujuan menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja. Perhatian khusus diberikan pada dampak pertumbuhan ekonomi terhadap rumah tangga miskin dan usaha kecil (Boulle et al., 2002).
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
12
Laporan Teknis
Pengembangan ekonomi lokal adalah sebuah proses yang membentuk kemitraan pelaku (stakeholders) ekonomi, yakni pemerintah daerah, kelompok-kelompok berbasis masyarakat dan sektor swasta dalam mengelola sumber daya yang tersedia untuk menciptakan lapangan kerja dan menggiatkan ekonomi daerah. Pendekatan tersebut menekankan kewenangan lokal, menggunakan potensi sumber daya manusia, sumber daya fisik dan kelembagaan. Kemitraan pengembangan ekonomi lokal mengintegrasikan upaya mobilisasi para pelaku, organisasi dan sumber daya, serta pengembangan kelembagaan baru melalui dialog dan kegiatan-kegiatan strategik (Dendi et al., 2004). Pengembangan
ekonomi
lokal
merupakan
sebuah
pendekatan
yang
menghubungkan daerah pedesaan atau daerah terbelakang dengan sistem ekonomi pasar guna memacu kegiatan ekonomi daerah tersebut. Pengembangan dan integrasi tersebut dicapai dengan berfokus pada klaster yang memberikan kesempatan bagi kaum miskin untuk memainkan peranan penting dalam kegiatan ekonomi itu. Pada gilirannya, implementasi pengembangan ekonomi lokal akan meningkatkan jumlah lapangan pekerjaan dan kesempatan, serta memunculkan strategi untuk menjaga agar sebagian besar kesempatan memperoleh pendapatan bertahan di daerah yang bersangkutan. Daerah akan menerima manfaat berupa peningkatan kegiatan ekonomi sebagai akibat dari peningkatan pendapatan rumah tangga, di samping memperoleh pendapatan langsung (Boulle et al., 2002). Konsep pengembangan ekonomi lokal yang pro-masyarakat miskin mementingkan beberapa prinsip pokok, yakni : 1) investasi pada peningkatan sumber daya manusia dan kapital sosial penduduk miskin; 2) kebijakan dan pelayanan yang menghasilkan tersedianya secara luas dan berkelanjutan kebutuhan dasar masyarakat (akses pangan, air bersih, perumahan, kesehatandan pendidikan); 3) kebijakan dan pelayanan yang mengurangi biaya-biaya transaksi sehingga membuka peluang bagi masyarakat miskin untuk memperoleh pekerjaan dan atau nilai tambah dari usaha sendiri; 4) peningkatan akses masyarakat miskin kepada sumber daya ekonomi (modal, lahan, sarana produksi, informasi pasar dan lain-lain); dan 5) pembangunan yang ramah lingkungan (Dendi et al, 2004). Kerusakan ekologi yang disebabkan oleh berbagai perubahan tentunya akan mempengaruhi kondisi berbagai komponen ekosistem yang turut terganggu akibat perubahan iklim. Menurut Chen (2008) salah satu kerusakan yang terjadi akibat pemanasan
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
13
Laporan Teknis
global adalah pemutihan terumbu karang (coral bleaching). Pemutihan terumbu karang ini tentunya mempengaruhi biota laut lainnya yang hidup dalam ekosistem tersebut. Selama ini telah diketahui bahwa terumbu karang merupakan habitat hidup bermacam-macam jenis ikan. Kerusakan terumbu karang yang terjadi dapat mempengaruhi populasi ikan dan kemudian mempengaruhi aktivitas melaut para nelayan (Satria, 2009).
2.4
Dampak Perubahan Iklim Menurut Sutjahjo dan Susanta (2007), efek pemanasan global yang akan terjadi di
daerah tropis adalah kelembaban yang tinggi yang akan berdampak antara lain sebagai berikut: a) Curah hujan akan meningkat. Kondisi saat ini, curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1% dalam seratus tahun terakhir. Hal ini dikarenakan untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan akan mengakibatkan kenaikan curah hujan sebesar 1%. b) Badai akan menjadi lebih sering terjadi. c) Air tanah akan lebih cepat menguap. d) Beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. e) Angin akan bertiup lebih kencang dengan pola yang berbeda-beda. f) Terjadinya badai topan akan menjadi lebih besar. g) Beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. h) Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim. Pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim akan berpengaruh kepada sektor pertanian dan perikanan Indonesia antara lain menurunkan produktivitas pertanian dan perikanan khususnya pada wilayah pantai akibat naiknya temperatur bumi; terjadinya iklim ekstrim yang meningkat sehingga sektor pertanian dan perikanan akan kehilangan produksi akibat bencana kering dan banjir yang silih berganti; kerawanan pangan akan meningkat di wilayah yang rawan bencana kering dan banjir; dan tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan hama dan penyakit yang lebih beragam dan lebih hebat. Menurut Handoko et al (2008), konsekuensi perubahan iklim bagi Indonesia adalah: 1. Perubahan Musim dan Curah Hujan. Petani di Jawa dan Sumatera telah mengeluhkan kejadian cuaca yang tidak normal dalam beberapa tahun terakhir. Permulaan musim hujan bergeser 10-20 hari lebih lambat dan musim kering sekitar 10-60 hari lebih cepat.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
14
Laporan Teknis
Daerah-daerah Indonesia yang berada di selatan garis khatulistiwa akan mengalami musim kering yang lebih panjang dan musim hujan yang lebih pendek namun lebih intensif. Selain itu cuaca menjadi lebih bervariasi dengan variabilitas curah hujan menjadi lebih tinggi. 2. Kondisi cuaca yang semakin ekstrem. Indonesia akan mengalami potensi bencana kekeringan dan banjir yang lebih sering dengan magnitude yang lebih tinggi karena cuaca yang ekstrim. Curah hujan yang tinggi juga berpotensi mengakibatkan bencana longsor pada berbagai daerah di Indonesia. 3. Kenaikan tinggi muka air laut. Peningkatan suhu global mengakibatkan pencairan salju dan gleicer di kutub utara dan selatan yang menyebabkan kenaikan tinggi muka laut antara 9 hingga 100 cm. Hal ini akan mempercepat erosi pantai, intrusi air laut ke dalam air tanah, merusak lahan-lahan basah di pantai dan menenggelamkan pulaupulau kecil. 4. Suhu Lautan yang menghangat. Air laut yang menghangat dapat menurunkan perkembangan plankton dan membatasi pasokan nutrisi bagi ikan, sehingga ikan akan bermigrasi ke daerah-daerah yang lebih dingin dan memiliki cukup pakan. Air laut yang menghangat juga menyebabkan kerusakan koral (coral). 5. Suhu udara semakin meningkat. Kondisi ini akan mengubah pola vegetasi serta distribusi serangga termasuk nyamuk, sehingga mampu bertahan pada daerah-daerah yang sebelumnya terlalu dingin. Terkait dengan perubahan iklim, dampaknya terhadap sektor perikanan yang dialami oleh masyarakat pesisir, nelayan tangkap, dan pembudidaya diantaranya dalam bentuk: a) Menurunnya kualitas lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil akibat erosi pantai, intrusi air laut, dan pencemaran; b) Berkurangnya produktivitas perikanan karena rusaknya ekosistem mangrove dan terumbu karang akibat kenaikan suhu permukaan air laut dan perubahan rezim air tanah; c) Kerusakan lahan budidaya perikanan akibat penggenangan oleh air laut maupun banjir yang disebabkan kenaikan muka air laut; dan d) Kerusakan rumah dan potensi kehilangan jiwa akibat kejadian ekstrim seperti badai tropis dan gelombang tinggi.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
15
Laporan Teknis
2.5
Respon dan Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Dalam merespon perubahan iklim dikenal 2 (dua) pendekatan, yaitu mitigasi dan
adaptasi. Mitigasi diartikan sebagai intervensi manusia untuk mengurangi dan menyerap sumber gas rumah kaca. Sedangkan adaptasi merupakan penyesuaian secara alamiah maupun oleh sistem manusia dalam merespon stimuli iklim aktual atau yang diperkirakan dan dampaknya menjadi ancaman yang moderat atau memanfaatkan peluang yang menguntungkan. Menurut Bennett (1978) dalam Mulyadi (2005), menyatakan bahwa adaptasi merupakan tingkah laku penyesuain (behavioral adaptation) yang menunjuk pada tindakan. Menurut Vayda dan Rappaport (1968) dalam Mulyadi (2005), adaptasi manusia dapat dilihat secara fungsional dan prosesual. Adaptasi fungsional merupakan respon suatu organisme atau sistem yang bertujuan untuk mempertahankan kondisi stabil. Adaptasi prosesual merupakan sistem tingkah laku yang dibentuk sebagai akibat dari proses penyesuaian manusia terhadap berbagai perubahan lingkungan di sekitarnya. Proses adaptasi merupakan satu bagian dari proses evolusi kebudayaan, yakni proses yang mencakup rangkaian usaha-usaha manusia untuk menyesuaikan diri atau memberi respon terhadap perubahan lingkungan fisik maupun sosial yang terjadi secara temporal. Perubahan lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap sistem adaptasi manusia adalah perubahan lingkungan yang berupa bencana, yaitu kejadian yang mengancam terhadap kelangsungan hidup organisme termasuk manusia. Dalam menghadapi perubahan lingkungan akibat bencana tersebut, manusia mengembangkan pola adaptasi yang berbentuk pola-pola tingkah laku yang salah satunya adalah perubahan strategi mata pencaharian (Mulyadi, 2005). Adaptasi perubahan iklim adalah upaya antisipasi untuk menyesuaikan diri yang harus dilakukan berbagai sektor pembangunan dengan terjadinya perubahan iklim global yang akan menimbulkan berbagai dampak terhadap seluruh aktivitas manusia (Tim Peneliti LPPM-IPB, 2010). Menurut Murdiyarso (2001), adaptasi terhadap dampak perubahan iklim adalah salah satu cara penyesuaian yang dilakukan secara spontan atau terencana untuk memberikan reaksi terhadap perubahan iklim yang diprediksi atau yang sudah terjadi.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
16
Laporan Teknis
Kebijakan adaptasi merupakan kebijakan yang melibatkan dukungan dalam langkah-langkah untuk mengantisipasi dan menanggulangi yang berhubungan dengan perubahan dan variabilitas iklim sebagai berikut: 1) untuk mengurangi dampak nelayan terhadap resiko yang berhubungan dengan iklim; 2) mengurangi ketergantungan mata pencaharian dari sumberdaya yang peka terhadap iklim; dan 3) mendukung kapasitas masyarakat. Adaptasi terhadap perubahan iklim dapat dilakukan dari sisi ekonomi. Carner (1984) dalam Widodo (2009) menyatakan bahwa terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh rumah tangga miskin pedesaan antara lain: 1) Melakukan beraneka ragam pekerjaan meskipun dengan upah yang rendah; 2) Memanfaatkan ikatan kekerabatan serta pertukaran timbal balik dalam pemberian rasa aman dan perlindungan; dan 3) Melakukan migrasi ke daerah lain biasanya migrasi desa-kota sebagai alternatif terakhir apabila sudah tidak terdapat lagi pilihan sumber nafkah di desanya. Menurut Dharmawan (2001) dalam Iqbal (2004) mengklasifikasikan dua jenis strategi nafkah dalam keluarga petani, yaitu: 1) Strategi nafkah normatif, yaitu strategi dalam kategori tindakan positif dengan basis kegiatan sosial-ekonomi, misalnya kegiatan produksi, migrasi, strategi substitusi dan sebagainya. Kategori ini juga disebut ‘peaceful ways’, karena sesuai dengan norma-norma yang berlaku; dan 2) Strategi nafkah ilegal, yaitu strategi dalam kategori negatif, dengan tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Seperi merampok, mencuri, melacur, korupsi dan sebagainya. Kategori ini disebut nonpeaceful ways, karena cara yang ditempuh umumnya dengan melakukan tekanan fisik dan tekanan. Menurut Scoones (1998)dalamIqbal (2004), terdapat 4 (empat) sumber yang dibutuhkan dalam ekonomi rumah tangga, agar strategi nafkah bisa dioperasionalkan, yaitu: 1) Ketersediaan modal alam dalam bentuk sumber-sumber alam; 2) Modal ekonomi atau keuangan; 3) Ketersediaan sumberdaya manusia dalam bentuk pendidikan, keahlian dan pengetahuan; dan 4) Ketersediaan modal sosial (dan politik) dalam bentuk hubungan dan jaringan kerja. Satria (2009) menyebutkan beberapa strategi mata pencaharian yang dapat dilakukan untuk memutus rantai kemiskinan nelayan. Pertama, mengembangkan strategi nafkah ganda. Tujuannya agar nelayan tidak bergantung pada hasil penangkapan saja. Pengembangan dan penguatan strategi ganda ini perlu dilakukan terutama pada nelayan Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
17
Laporan Teknis
lapisan bawah. Salah satu aspek yang diperlukan untuk mendukung strategi ini adalah kebijakan permodalan. Kedua, mendorong ke arah laut lepas. Kendalanya tidak hanya teknologi, tapi juga modal dan budaya. Menangkap ikan di laut lepas sangatlah kompleks, mencakup manajemen usaha, organisasi produksi, perbekalan, ketahanan fisik, pemahaman perilaku ikan, pengoperasian kapal, jaring dan lainnya. Sehingga selain dibutuhkan teknologi, para nelayan ini juga membutuhkan pelatihan (magang) untuk menggali pengalaman dan pengetahuan di usaha penangkapan skala menengah dan besar. Ketiga, mengembangkan diversivikasi alat tangkap untuk mengantisipasi variasi musim. Dengan diversivikasi alat tangkap ini memungkinkan nelayan bisa melaut sepanjang tahun.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
18
Laporan Teknis
III. METODOLOGI 3.1
Kerangka Pemikiran Perubahan iklim merupakan gangguan alam global, yang telah diketahui akan
menyebabkan: 1) terjadinya kenaikan suhu air laut dan udara, 2) kenaikan paras muka air laut, 3) perubahan frekuensi dan intensitas curah hujan, dan 4) terjadinya kekeringan dan banjir di luar normal. Kesemuanya itu kondisi aset kapital, yang merupakan modal utama bagi manusia untuk pengembangan penghidupan secara khusus atau ekonomi secara umum. Dampak yang terjadi akibat perubahan iklim pada aset kapital ini akan terakumulasikan dengan dampak yang disebabkan oleh gangguan non-alam, seperti politik, konflik dan sebagainya. Dengan adanya gangguan-gangguan yang membawa dampak pada aset kapital, kapasitas masyarakat yang dicirikan dengan kondisi kerentanan atau ketahanan dan peluang atau kendala yang dimiliki untuk mengembangkan penghidupan atau ekonominya menjadi terganggu. Upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi gangguan-gangguan atau memperkecil dampaknya adalah melalui penerapan kebijakan yang tepat. Misalnya, terkait gangguan dalam bentuk perubahan iklim dapat disiasati dengan kebijakan mitigasi atau adaptasi. Mitigasi merupakan strategi untuk mengurangi atau memperkecial kekuatan sumber gngguan. Sementara itu, adaptasi merupakan cara untuk menyesuaikan diri terhadap untuk mengurangi dampak negatif dari gangguan tersebut (UNFCC, 1994). Kerangka pikir untuk melaksanakan penelitian ini dibangun atas pemikiran Hasnaels (2008), yang kemudian dikembangkan dengan melakukan berbagai modifikasi, termasuk dalam hal tujuan dan variabel yang dicantumkan dalam kerangka, sesuai dengan tujuan pelaksanaan penelitian ini. Kerangka pemikiran tersebut secara diagramatis diilustrasikan seperti pada Gambar 6. Variabel-variabel di dalam kerangka tersebut mencakup: -
Aset-aset atau kapital yang dimiliki masyarakat untuk pengembangan ekonomi, yaitu aset alam, manusia, fisik, finansial dan sosial.
-
Kerentanan atau ketahanan masyarakat terhadap stres atau tekanan alam (perubahan iklim) dan tekanan lainnya (politik, konflik, dll)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
19
Laporan Teknis
-
Kebijakan, terutama yang menyangkut politik, kelembagaan, proses ataupun organisasi yang berpengaruh pada masyarakat baik secara formal maupun informal pada berbagai tingkatan (mikro, meso dan makro)
-
Dampak yang masyarakat ingin capai yaitu meningkatkan fungsi aset atau kapital, dan meminimalisir kerentanan, dan lain-lain
-
Strategi pengembangan ekonomi, yang dapat diadopsi untuk mencapai dampak yang diinginkan
-
Peluang-peluang, dan kendala serta segenap faktor lain yang harus dipertimbangkan untuk merumuskan strategi.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
20
Laporan Teknis
Makro
Makro
Kebijakan Meso
Meso Mikro
Mikro
Alam
Gangguan lingkungan,(P erubahan Iklim dll)
Aset
Sosial
Manusia
Kapital Fisik
Gangguan lain (Politik, konflik, dll)
Finan sial
Dampak pada kondisi sosial dan ekonomi Kerentanan
Peluang
Ketahanan
Kendala
Strategi pengembangan ekonomi
Implementasi
Outcome Ekonomi
Gambar 6.
Kerangka Pemikiran Kajian Perubahan Iklim di Wilayah Coral Triangle
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
21
Laporan Teknis
3.2
Pendekatan Penelitian dan Kerangka Pemilihan Contoh Penelitian ini merupakan bagian dari rangkaian penelitian yang berlangsung 3
tahun, Tahun 2011 – 2013. Pendekatan yang dipergunakan untuk melaksanakan penelitian tersebut secara umum tidak berbeda untuk masing-masing tahun, tetapi teknik penggalian informasi dan kerangka pemilihan responden disesuaikan dengan tujuan-tujuan spesifik dari penelitian untuk masing-masing tahun. Penelitian dilaksanakan dengan pendekatan survei kualitatif. Mengacu pada Singarimbun dan Effendi (1995) tentang pendekatan tersebut, setiap subyek atau rumah tangga responden (nelayan dan pembudidaya) diobservasi hanya sekali. Pengamatan terhadap subyek dilakukan dengan cara mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat untuk mengumpulkan data. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumah tangga nelayan dan pembudidaya ikan yang bermukim di desa terpilih. Populasi nelayan didefinisikan atas dasar kepemilikan dan pengusahaan alat tangkap dan pembudidaya ikan atas dasar penguasaan dan pengusahaan sumberdaya alam yaitu lahan untuk usaha perikanan. Dengan tujuan untuk melakukan penggalian data-data umum yang dipergunakan untuk analisis sistem sosial ekologis (tujuan 2011) dan informasi awal yang mendasari analisis pengembangan ekonomi (tujuan 2012), pada tahun 2011 penarikan contoh untuk responden rumah tangga nelayan dan pembudidaya ikan dilakukan secara purposive untuk mewakili kelompok masyarakat umum (nelayan dan pembudidaya) dan narasumber kunci. Sejumlah 30 responden masyarakat umum diambil dari setiap kecamatan yang memiliki permasalahan dan progam pengelolaan terumbu karang (wilayah binaan program Coremap). Sementara itu, dari kecamatan-kecamatan yang sama diambil 10 responden yang mewakili narasumber kunci. Untuk tahun 2012, dengan tujuan merumuskan strategi-strategi pengembangan ekonomi, sejumlah responden yang diwawancara pada kegiatan Tahun 2011 diikutsertakan dalam Diskusi Kelompok Fokus (Focus Group Discussion, FGD). Di setiap kabupaten 2-3 FGD dilakukan di tingkat masyarakat dan satu FGD dilakukan di tingkat kabupaten. Pada masing-masing FGD tersebut, peserta maksimal berjumlah 15 orang, yang dipilih secara purposif untuk mewakili kelompok-kelompok responden yang diwawancara pada tahun sebelumnya. Untuk melengkapi hasil FGD, dilakukan verifikasi kepada sejumlah
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
22
Laporan Teknis
narasumber terkait yang jumlahnya juga berkisar antara 10-15 orang. Pemilihan responden untuk verifikasi dilakukan dengan teknik snow balling. Jumlah populasi dan contoh ditentukan berdasarkan hasil survey, namun secara umum untuk memenuhi kaidah statistik dapat dilihat pada Tabel 1 (data responden dan informan kunci yang diwawancarai dapat dilihat pada Lampiran 1). Bilamana terdapat informasi dengan rentang keragaman yang terlalu tinggi, triangulasi juga digunakan untuk mendapatkan angka yang lebih akurat, yaitu dengan melakukan pengecekan terhadap kombinasi sumber data dari pihak-pihak lain yang diangggap berkaitan. Diagram alir penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada Gambar 7. Review hasil 2011
Studi literatur
Penentuan topik dan lokasi FGD
Pelaksanaan FGD Analisis data FGD
Pengumpulan data verifikasi (survey)
Konsultasi dgn narasumber konci
Analisis data dan interpretasi hasil
Penyusunan Rekomendasi kebijakan Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
Gambar 7.
Diagram Alir Kegiatan Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
23
Laporan Teknis
Tabel 1.
Cakupan dan Jumlah Responden di Lokasi-Lokasi Penelitian
Focus Group discussion (FGD) FGD tingkat masyarakat 1
Sikka Dusun Ndete
Pangkep Pulau Salemo
Selayar Desa Bontolebang
Jumlah peserta FGD tingkat masyarakat 2
13 Dusun Wuring
9
11 Desa Maharraya
Jumlah peserta FGD tingkat masyarakat 3
15
Jumlah peserta FGD tingkat kabupaten Jumlah peserta Verifikasi hasil FGD Jumlah
12
Maumere
Pulau Satando
Benteng
4 8 orang 40
4 7 orang 20
15 7 orang 45
Kabupaten Wakatobi Buton Desa Koroe Kecamatan Onowa Mawasangka tengah (Desa Lakorua, Desa Gundu-Gundu, Desa Waturombe Bata) 14 10 Desa Waelumu Kecamatan Siompu (Desa Tongali, Wakinamboro, Biwinapada, Kaimbulawa, Waindawula) 8 10 Desa Mola Kecamatan Pasar Wajo dan Kecamatan Wolowa (Desa Kaombu, Dongkala, Wasaga, Wolowa Baru, Kondowa, Matawia) 5 10 BaoBao
10 orang 37
8 10 orang 48
Raja Ampat Distrik Meos Manswar (Kampung Arborek dan Sawingrai) 13 Distrik Teluk Mayalibit (Kampung Warsambin, Lapintol, danWaiofi) 6
Biak Numfor Desa Yenusi
11 Desa Woniki
11 Desa Bindusi
25 Waisai 7 10 orang 36
4 orang 51
Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
24
Laporan Teknis
3.3
Jenis dan Sumber Data Untuk memperoleh data dan informasi secara komprehensif dan akurat maka
penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari responden/sampel penelitian melalui kegiatan FGD, survey verifikasi dan konsultasi dengan narasumber kunci sebagaimana dijelaskan pada bagian di atas. Respondenresponden tersebut adalah masyarakat perikanan (nelayan dan pembudidaya) dan informan kunci yang terdiri aparat pemerintah daerah (desa, kecamatan, kabupaten), LSM (TNCWWF, CI-Conservasi International), Coremap, Bappeda, dan lain-lain. Sementara itu, data-data sekunder diperoleh dari laporan penelitian, laporan kajian, dan data-data pada berbagai instansi terkait seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Pusat Statistik, BMKG dan lain-lain. Jenis data dan metode pengumpulannya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. No 1
2
Jenis Data Data Primer Identifikasi usaha Bentuk perubahan iklim Kalender musim Kerentanan terhadap perubahan iklim Peta sejarah terkait perubahan iklim Adaptasi perubahan iklim Strategi intervensi Data Sekunder Produksi perikanan Perubahan parameter iklim Program pengembangan ekonomi masyarakat
Keterangan:
3.4
Jenis Data dan Metode Pengumpulannya Metode Pengumpulan Data DP, WB, FGD DP, WB, FGD DP, WB, FGD DP, WB, OB, FGD DP, WB, FGD DP, WB DP, WB DS DS DS
DP= Data primer; DS = Data Sekunder; WC = Wawancara; FGD = Focus Group Discussion; OB = Observasi
Metode Analisis Data Analisis data sesuai dengan konteks permasalahan dan hasil yang akan menjawab
tujuan penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
25
Laporan Teknis
Tabel 3. No
Matriks Metodologi Kegiatan Riset Pengembangan Model Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Sistem Sosial-Ekologis di Wilayah CTI dalam Rangka Antisipasi Perubahan Iklim pada Tahun 2011 – 2013 Tujuan
Data yang diperlukan
Metode Pengumpulan Data
1
Mengkaji dampak perubahan iklim pada ekonomi masyarakat perikanan
Perubahan parameter-parameter iklim (curah hujan, musim, dsb) Perubahan variabel-variabel struktur dan kinerja ekonomi masyarakat: (penguasaan aset, sistem & pola produksi, produksi, produktivitas,dsb)
Primer sampling methods Purposif Survey FGD Observasi Sekunder sampling method
2
Menganalisis pola adaptasi perilaku ekonomi masyarakat dalam menyikapi perubahan iklim
Primer Sampling methods Purposif Indepth interview FGD
3
Mengkaji peluang dan rencanarencana/pemikiran masyarakat, pemerintah & pihak lain terkait adaptasi dan pengembangan ekonomi di masa yang akan datang
4
Mengkaji relevansi penelitian terdahulu terhadap realisasi pemikiran & rencana-rencana tersebut
Catatan antar waktu tentang aktivitasaktivitas eksploitasi, konservasi, pengaturan, dan reorganisasi Informasi/data pendukung tentang catatancatatan antar waktu keempat bentuk aktivitas tersebut. Data primer; Aset-aset sosial, alam, manusia, buatan, keuangan Rencana-rencana/ide penguatan kapasitas adaptif Kepentingan dan akses stakeholder dalam pengambilan keputusan kolektif masyarakat Komponen-komponen biaya dan manfaat terkait dengan berbagai rencana, termasuk sistem insentif Output tujuan 1, 2 dan 3 Paket data penelitian 2011
Pendekatan & Metode Analisis Descriptive analytic (termasuk visual) Descriptive quantitative
Analisis siklus adaptif (panarchy) (Gunderson and Holling, 2002 )
FGD Survey verifikasi
Livelihood System Analyses (Emmerton. 2001) Analisis insentif (Diadaptasi dari Emerton, 2001) Analisis stakeholder (Brown et al, 2001) Cost Effectiveness Analyses (Görlach, 2005)
Literature review
Deskriptif komparatif
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
26
Laporan Teknis
No 5
Tujuan
Data yang diperlukan
Merumuskan strategi intervensi terbaik Output tujuan 1, 2, 3 dan 4 untuk mendukung realisasi pemikiran & rencana-rencana tersebut
Metode Pengumpulan Data Sintesis interpretatif
Pendekatan & Metode Analisis Multicriteria Decision Making Analyses (Gibbon et al. 1996)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
27
Laporan Teknis
Analisis Stakeholder Analisis stakeholder adalah suatu sistem pengumpulan informasi mengenai kelompok atau individu yang terkait, mengkategorikan informasi, dan menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok, dan kondisi yang memungkinkan terjadinya tradeoff (Brown et al., 2001). Proses penentuan stakeholder dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1) mengidentifikasi sendiri berdasarkan pengalaman dalam pembangunan wilayah (berkaitan dengan perencanaan kebijakan pemerintah), dan 2) mengidentifikasi berdasarkan hasil identifikasi dan verifikasi stakeholder lain (teknik snowball). Berdiskusi dengan stakeholder yang teridentifikasi pertama kali dapat mengungkapkan pandangan mereka tentang keberadaan stakeholder penting lain yang berkaitan dengannya. Metode ini juga dapat membantu pengertian yang lebih mendalam terhadap kepentingan dan keterkaitan stakeholder. Untuk memudahkan identifikasi stakeholder, setiap stakeholder dikategorikan ke dalam lima kategori yakni: 1) pemerintah (pengambil kebijakan dan lembaga legislatif), 2) swasta (pengusaha dan lembaga donor), 3) tokoh masyarakat, 4) lembaga swadaya masyarakat dan organisasi sosial lainnya, serta 5) pakar dan profesional. Selanjutnya kategori ini dibagi ke dalam empat tingkatan stakeholder (level of continuum), yakni nasional, regional, local off-site, dan local in-site. Berdasarkan tabel stakeholder tersebut dilakukan analisis kepentingan (importance) dan pengaruh (influence) masing-masing stakeholder dalam kaitan dengan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang. Kepentingan dalam hal ini merujuk pada peran seorang stakeholder di dalam pencapaian output dan tujuan serta menjadi fokus pertimbangan terhadap keputusan yang akan dibuat sedangkan pengaruh merujuk pada kekuatan yang dimiliki seorang stakeholder untuk mengontrol proses dan hasil dari suatu kebijakan (IIED, 2001; Mardle, 2003). Kegiatan ini dilakukan dengan teknik wawancara dan kuesioner terhadap wakil dari semua stakeholder yang teridentifikasi dari hasil identifikasi stakeholder. Indikator yang digunakan dalam menilai tingkat kepentingan adalah: 1) sumberdaya alam, 2) sumberdaya manusia, 3) ekonomi/finansial, 4) informasi dan teknologi, dan 5) kelembagaan; sedangkan indikator dalam menilai pengaruh stakeholder disajikan pada Tabel 4.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
28
Laporan Teknis
Tabel 4. No 1 2 3 4 5
Indikator Pengaruh Stakeholder terhadap Pembangunan Wilayah Pesisir
Organisasi Formal Hirarki resmi (perintah dan pengawasan, pemegang anggaran) Otoritas kepemimpinan (formal dan informal, kharisma, politis, kekeluargaan) Kendali terhadap sumberdaya strategis dalam pembangunan wilayah Penguasaan terhadap pengetahuan/keterampilan khusus Posisi negosiasi (kekuatan mempengaruhi stakeholder lainnya)
Kelompok Informal Status sosial, ekonomi dan politik Tingkat organisasi, konsensus dan kepemimpinan dalam kelompok Tingkat pengendalian terhadap sumberdaya strategis Pengaruh informal melalui hubungan dengan stakeholder lain Tingkat ketergantungan terhadap stakeholder lain
Skor yang diperoleh dari setiap responden dianalisis dengan statistik deskriptif yakni modus (untuk setiap item pertanyaan) dan rata-rata untuk total skor. Hasil dari penentuan kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder terhadap kegiatan akan disajikan dalam bentuk grafik hubungan antara tingkat kepentingan dengan pengaruh yang disebut stakeholder grid. Grafik stakeholder grid menunjukkan posisi stakeholder dalam
Kepentingan
pemanfaatan sumberdaya di lokasi penelitian seperti disajikan pada Gambar 8. Stakeholder primer
Stakeholderse kunder
Stakeholder eksternal
Pengaruh Gambar 8.
Kategori Stakeholder berdasarkan Tingkat Pengaruh dan Kepentingan (Brown et al, 2001)
Kategori stakeholder dari hasil pemetaan tersebut digunakan untuk penentuan stakeholder yang terlibat dalam penentuan kriteria, skenario dan perumusan strategi pembangunan wilayah pesisir. Preferensi stakeholder primer dan sekunder sangat penting karena merupakan stakeholder yang memiliki derajat kepentingan yang relatif tinggi. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
29
Laporan Teknis
Analisis Keberlanjutan Mata Pencaharian Langkah-langkah penentuan mata pencaharian masyarakat berbasis pada sistem insentif dengan mendisain CLSA di lokasi penelitian yang diadopsi dari Emerton (2001) terdiri dari 5 (lima tahap) yang secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini. Tabel 5. Tahapan Step 1
Step 2
Step 3
Step 4
Step 5
Tahapan Mendisain CLSA (Diadaptasi dari Emerton, 2001) Keterangan Mengumpulkan informasi tentang mata pencaharian masyarakat dan kondisi sumberdaya alam. Dalam tahap ini, informasi tentang kondisi kunci sosial ekonomi masyarakat pesisir dan kondisi sumberdaya alam pesisir dan laut merupakan salah satu faktor penting yang harus dikumpulkan dan pada saat yang bersamaan interaksi antara masyarakat pesisir dan sumberdaya alam (ekosistem) diidentifikasi Menganalisis pengaruh masyarakat pesisir terhadap kondisi sumberdaya pesisir dan laut. Pada tahap kedua, identifikasi aktivitas masyarakat pesisir yang secara langsung berkontribusi terhadap kerusakan sumberdaya pesisir dan laut perlu dilakukan. Pada saat yang bersamaan dilakukan pula identifikasi faktor yang mempengaruhi (driven factors) aktivitas tersebut, baik dalam perspektif sosial maupun ekonomi Mengidentifikasi kebutuhan masyarakat pesisir. Ada dua aspek utama yang harus dilakukan pada tahap ini. Pertama adalah identifikasi kebutuhan sistem insentif yang diperlukan oleh masyarakat khususnya dalam kerangka konservasi sumberdaya pesisir dan lautan. Kedua adalah peluang penerapan sistem insentif dalam konservasi sumberdaya pesisir dan lautan Memilih sistem insentif yang tepat untuk pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat. Dalam konteks tahap ini, identifikasi dan pemilihan sistem insentif menjadi faktor penting. Sistem insentif harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat pesisir seperti yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya Implementasi sistem insentif mata pencaharian terpilih
Analisis SWOT Untuk mengkaji potensi, peluang dan kendala pengembangan ekonomi masyarakat perikanan dilakukan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats). Analisis ini adalah suatu alat untuk mengevaluasi kinerja suatu kelembagaan dan lingkungannya dengan mempertimbangkan faktor internal dan eksternal. Data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara semi terstruktur (PRA) dan terstruktur (kuesioner) tentang potensi, peluang dan tantangan dalam memperoleh kesempatan kerja diolah secara tabulasi dan dianalisis dengan menggunakan analisis SWOT (Pearce and Robnson, 1991). SWOT merupakan singkatan dari Strengths= kekuatan, Weaknesses= kelemahan, Opportunities= peluang, and Threats= ancaman. Kekuatan merupakan segi positif dari masyarakat perikanan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha. Kelemahan
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
30
Laporan Teknis
adalah setiap kekurangan di dalam hal keahlian dan sumberdaya masyarakat perikanan. Peluang adalah kondisi lingkungan luar yang mempermudah masyarakat perikanan dalam mencapai tujuan. Dan ancaman adalah bahaya atau masalah yang dapat melemahkan atau mempersulit pencapaian tujuan dari masyarakat perikanan. Dari data primer dan sekunder yang diperoleh ditelaah lebih lanjut untuk menentukan faktor-faktor yang dapat menghambat dan menunjang pengembangan ekonomi masyarakat perikanan. Faktor-faktor tersebut dibedakan ke dalam faktor eksternal dan internal, yang selanjutnya dibagi ke dalam beberapa aspek yang relevan dan dinilai berdasarkan pembobotan dan skoring yang bisa disusun dalam bentuk tabel analisis yang disusun setelah mengetahui kondisi lapangan. Pembobotan pada setiap faktor dibuat berdasarkan tingkat kepentingannya dan skoring didasarkan pada berat ringannya setiap aspek yang dikaji. Selanjutnya digambarkan pemetaan berbagai variabel dari faktor eksternal dan internal seperti disajikan pada Gambar 9. Keluaran yang diharapkan dari analisis SWOT ini adalah strategi pengembangan yang disusun dalam suatu matriks hubungan internal dan eksternal sebagaimana disajikan dalam Tabel 6.
Peluang (+)
Wilayah IV
Wilayah I
Kelemahan (-)
Kekuatan (+)
Wilayah III
Wilayah II
Ancaman (-)
Gambar 9.
Contoh Diagram Analisis SWOT Pengembangan Ekonomi Masyarakat Perikanan
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
31
Laporan Teknis
Tabel 6.
Matriks Hubungan Faktor Internal dan Eksternal dalam Penyusunan Strategi Pengembangan Ekonomi
Variabel Faktor Eksternal
Peluang (O) O1 O2 O3 Ancaman (T) T1 T2 T3
Kekuatan (S) S1 S2 S3 Strategi S – O (Agresif) SO1 SO2 SO3 Strategi S – T (Konsolidatif) ST1 ST2 ST3
Kelemahan (W) W1 W2 W3 Strategi W – O (Diversifikatif) WO1 WO2 WO3 Strategi W – T (Defensif) WT1 WT2 WT3
Analisis Multi Criteria Decision Making (MCDM) Secara umum analisis Multi Criteria Decision Making (MCDM) sama dengan Analisis Hirarki Proses (AHP), dimana struktur AHP adalah bagian dari MCDM, bobot suatu alternatif yang harus diambil didasarkan pada kriteria yang dipertimbangkan, kemudian disusun berdasarkan matrik (Gibbon et al. 1996). Metode MCDM sudah banyak digunakan, dikembangkan dan diakomodasikan untuk menghadapi berbagai kriteria yang ada dalam pengambilan keputusan tanpa melakukan konversi pada unit pengukuran dalam pengambilan keputusan dengan banyak kriteria. Analisis multi kriteria memerlukan sejumlah pendekatan dengan terlebih dahulu menghitung banyak kriteria untuk membentuk struktur dan proses pengambilan keputusan. Untuk mendukung analisis ini ada beberapa teknik yang dapat digunakan yaitu Simple Multi Attribute Rating Technique (SMART), Visual Interactive Sensitivity Analysis (VISA) dan Preference Ratios In Multiattribute Evaluation (PRIME). Bidang analisis multi kriteria memerlukan sejumlah pendekatan untuk menghitung kriteria yang banyak guna membentuk struktur pendukung proses pengambilan keputusan. Penggunaan teknik MCDM pada beberapa bidang ditentukan oleh beberapa faktor, yakni: (a) teknik MCDM mempunyai kemampuan dalam menangani jenis data yang bervariasi (kuantitatif, kualitatif dan campuran) dan pengukuran yang intangibel, (b) teknik MCDM dapat mengakomodasi perbedaan yang diinginkan dalam penentuan kriteria, (c) skema bobot yang bervariasi untuk suatu prioritas atau pandangan dari stakeholders yang berbeda,
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
32
Laporan Teknis
dapat diterapkan dalam MCDM, (d) tidak membutuhkan penentuan nilai ambang seperti pada operasi overlay, sehingga kehilangan informasi yang dihasilkan tidak terjadi akibat penurunan skala dari variabel yang countinue pada skala nominal, dan (e) prosedur analisis atau agregasi dalam teknik MCDM relatif sederhana (Jankowski, 1994; Carter, 1991; Jasen dan Rieveld, 1990 dalam Subandar, 2002). Teknik ini bertujuan mengakomodasi proses seleksi yang melibatkan kriteria (multi objective) dalam mengkalkulasi pemrasaran diantara kriteria konflik yang terjadi. Bidang analisis ini memerlukan sejumlah pendekatan dengan menghitung banyak kriteria untuk membentuk struktur yang mendukung proses pengambilan keputusan. Menurut Jankowski (1995) diacu dalam Subandar (2002), secara umum pelaksanaan teknik MCDM dibagi menjadi tiga, yaitu: (a) penentuan (penetapan) alternatif, (b) penentuan nilai (skor) masing-masing kriteria, dan (c) prioritas pembuatan keputusan (decision making preferences). Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan penentuan prioritas untuk meningkatkan resiliensi masyarakat di lokasi penelitian dilakukan dengan metode scoring atau pembobotan yang merupakan penyatuan dari berbagai parameter terkait. Sementara itu skor yang digunakan untuk penilaian terhadap elemen-elemen yang diteliti, dinyatakan secara numerik (skala 1 hingga 9) dengan mengunakan skala Saaty (1991). Teknik skoring Saaty yang digunakan dalam penelitian ini seperti yang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7.
Skor Saaty yang digunakan dalam FGD Skor
1 3 5 7 9 2, 4, 6, 8
Arti Tidak penting Kurang penting Agak penting Penting Sangat penting Nilai antara kualitatif
Sumber: Saaty (1991)
Alternatif yang ditetapkan merupakan pilihan-pilihan yang relevan, seterusnya dari alternatif yang telah ditetapkan, disusun kriteria-kriteria yang mempengaruhi alternatif pilihan. Masing-masing kriteria yang telah disusun diberi nilai. Nilai dapat berupa kuantitatif, kualitatif maupun campuran. Proses normalisasi nilai dari masing-masing kriteria dapat dilakukan dengan menggunakan prosedur standar linier dan non-linier. Sedangkan prioritas pembuatan keputusan dapat diformulasikan dari kriteria yang diambil, dengan membentuk nilai sendiri Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
33
Laporan Teknis
(maksimum atau minimum) atau sesuai dengan tingkat keinginan. Proses pemberian nilai menggunakan fungsi agregasi tunggal atau ganda yang menghasilkan satu atau beberapa buah solusi (alternatif). Pengelolaan sumberdaya alam, merupakan masalah yang multi kriteria dan multi objektif. Sehingga diperlukan suatu teknik evaluasi yang saling berhubungan untuk mendukung proses pembuatan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Teknik MCDM merupakan suatu teknik yang cukup baik diterapkan karena bertujuan untuk memberikan alternatif terbaik dengan mengakomodasi proses seleksi yang melibatkan beragam kriteria (multi criteria) dalam pemilihan alternatif (Gumbriech, 1996).
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
34
Laporan Teknis
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Perubahan Parameter Iklim Perubahan parameter iklim yang digunakan dalam penelitian ini dilihat dari
perubahan parameter suhu, curah hujan dan jumlah hari hujan di lokasi-lokasi penelitian. Data yang berhasil dikumpulkan berkisar dari tahun 1993 sampai dengan 2011, bervariasi antar lokasi penelitian tergantung kesediaan datanya.
4.1.1 Suhu Dari hasil pengolahan data suhu udara yang tercatat di stasiun-stasiun BMKG terdekat di lokasi-lokasi penelitian (Gambar 10), secara umum disimpulkan adanya kecenderungan peningkatan, kecuali di Pangkep dan Biak. Di Biak dan Pangkep, perubahan tersebut tidak dapat terdeteksi secara signifikan. Selain kecenderungan peningkatan suhu tahunan tersebut, tercatat pula adanya peningkatan senjang suhu rendah dan suhu tinggi antar bulan dalam tahun yang sama. Di Selayar, peningkatan senjang antar bulan bahkan dirasakan terjadi sangat progresif sedangkan di Sikka peningkatannya tidak terlampau tajam. Sementara itu, peningkatan suhu tahunan yang tidak diikuti oleh peningkatan senjang suhu rendah – tinggi teramati pada kasus Wakatobi dan Buton. Di kedua lokasi tersebut, senjang suhu rendah – tinggi antar bulan cenderung tidak berubah dari tahun ke tahun.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
35
Laporan Teknis
0C
0C
%
%
%
29,0
27,0
1,0
28,0
1,0
27,0
1,0
26,0
0,5
27,0
0,5
26,0
0,5
25,0
0,0
26,0
0,0
25,0
0,0
y = -0,01x + 26,865
Pangkep %
0C
1,5
28,0
27,0
1,0
27,0
26,0
0,5
26,0
25,0
0,0
25,0
y = -0,0059x + 27
28,0
y = 0,0298x + 26,566
y = 0,0207x + 26,716
1,5
Buton & Wakatobi
Sikka
28,0
0C
y = 0,0063x + 27,328
1,5
0C
1,5
28,0
% 1,0 0,8 0,6 0,4
0C 28,0
y = -0,01x + 26,865
% 2,0
27,0 1,0 26,0
0,2
Selayar
0,0
Raja Ampat
25,0
0,0
Biak Numfor
Keterangan: o
nilai aktual suhu tahunan ( C) o
tren linear suhu tahunan ( C) variasi suhu (%)
Gambar 10. Fluktuasi Suhu Rata-Rata dan Variasinya di Lokasi Penelitian, 1993 - 2011 (Sumber: data diolah, 2012)
4.1.2 Curah Hujan Pengamatan objektif pada dinamika curah hujan menunjukkan ada peningkatan intensitas hujan di hampir seluruh lokasi dari tahun ke tahun, yang diikuti pula dengan peningkatan variasi intensitas bulanan. Gejala penurunan curah hujan tahunan hanya terjadi secara tidak signifikan di Pangkep dan Selayar. Namun demikian, meskipun terdapat perbedaan dalam hal besarnya intensitas curah hujan tersebut, pengamatan objektif pada paramater ini menunjukkan adanya kenaikan variasi antar bulan, yang terdeteksi meningkat dari tahun ke tahun, kecuali untuk kasus pangkep dan Buton.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
36
Laporan Teknis
% 2.500
220
2.500
1.900
180
1.300
y = -3,8011x + 1582,9
220
2.500
1.900
180
1.900
180
140
1.300
140
1.300
140
700
100
700
100
700
100
100
60
100
60
100
60
y = -11,155x + 1628,7
Pangkep & Selayar
2.500
y = 86,575x + 629,47
220
4.900
3.700
140
3.600 100
180 140
100
100
4.800 220
2.500
700
y = -30,415x + 3139,6
y = 99,926x + 1762,7
140 1.300
220
Wakatobi
Sikka
180
1.900
y = 30,907x + 772,49
60
1.300
20
100
Buton
2.400 60
100 60
Raja Ampat
1.200
-
20
Biak Numfor
Keterangan: Curah hujan (mm) tren linear curah hujan tahunan (mm) variasi curah hujan (%)
Gambar 11. Fluktuasi Curah Hujan (mm) dan Variasinya di Lokasi Penelitian, 1993 2011 (Sumber: data diolah, 2012)
4.1.3 Hari Hujan Apabila dilihat dari catatan jumlah hari hujan, teramati adanya kenaikan jumlah hari hujan dari tahun ke tahun di hampir semua lokasi kecuali Sikka, dimana terjadi kecenderungan sedikit penurunan. Sejalan dengan gejala yang terjadi pada parameter suhu dan curah hujan, pada umumnya variasi bulanan pun cenderung meningkat dari tahun ke tahun untuk parameter jumlah hari hujan.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
37
Laporan Teknis
hh
%
hh 150
%
y = 0,5924x + 80,484
y = -2,9524x + 141,54
240
hh
% y = 3,8x + 125,38
25
250
11
8 20
110
160
6 70
4
30
80
2
-
15
150
10
100
5
50
0
-
%
hh y = 5,0909x + 180,24
8
280 6
210
9
7
5
3
Wakatobi & Buton
Sikka
Pangkep & Selayar
350
200
hh 400
% y = 2,4211x + 205,22
300
6
4
200 140
4
2
100
70
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
2
1999
-
Raja Ampat
0
0
Biak Numfor
Keterangan: nilai aktual hari hujan (hh) tren linear hari hujan (hh) variasi hari hujan (%)
Gambar 12. Fluktuasi Jumlah Hari Hujan (hh) dan Variasinya di Lokasi Penelitian, 1993 2010 (Sumber: data diolah, 2012)
4.1.4 Jumlah Bulan Basah dan Bulan Kering Dengan menggunakan klasifikasi Oldeman et al (1980) dilakukan pengelompokkan bulan basah dan bulan kering di lokasi-lokasi penelitian. Menurut Oldeman suatu bulan dikatakan bulan basah apabila curah hujan bulanan lebih besar dari 200 mm dan dikatakan bulan kering apabila curah hujan bulanan lebih kecil dari 100 mm. Hasil pengolahan data dari semua lokasi menunjukkan bahwa jumlah bulan basah maupun jumlah bulan kering sangaat fluktuatif selama paling tidak 10 tahun terakhir. Dikaitkan dengan perencanaan kegiatan usaha, termasuk usaha-usaha di bidang perikanan, fluktuasi ini dapat diartikan sebagai sumber ketidakpastian dalam penyusunan kalender usaha untuk setiap tahunnya.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
38
10 8
12
Bulan basah Bulan kering
10 8
12
Jumlah bulan
Bulan basah Bulan kering
12
Jumlah bulan
8
6
6
4
4
4
2
2
2
0
0
0
Jumlah bulan
Pangkep
Sikka
12
Bulan basah Bulan kering
10
Wakatobi 12
Bulan basah Bulan kering
10
8
8
6
6
4
4
2
2
0
0
Selayar
Buton Bulan basah Bulan kering
12 10 8
10 8
6
6
4
4
2
Bulan basah Bulan kering
12
Jumlah bulan
Jumlah bulan
Bulan basah Bulan kering
10
6
Jumlah bulan
Jumlah bulan
Laporan Teknis
2
0
0
Raja Ampat
Biak Numfor
Gambar 13. Jumlah Bulan Basah dan Bulan Kering berdasarkan Klasifikasi Iklim Oldeman di Lokasi-Lokasi Penelitian, 1993 – 2011 (Sumber: data diolah, 2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
39
Laporan Teknis
4.1.5 Perubahan Awal dan Akhir Musim Kemarau dan Musim Penghujan Terlepas dari beberapa pengecualian pada dinamika parameter-parameter tersebut di atas, hasil pengamatan objektif pada data-data BMKG tersebut menunjukkan indikasi yang konsisten bahwa di setiap lokasi musim tidak lagi dapat diprediksikan. Di ketujuh lokasi, awal musim kemarau, akhir musim kemarau, awal musim penghujan dan akhir musim penghujan bergeser setiap tahunnya. Gejala ini pula yang secara subjektif teramati oleh masyarakat. Hasil ini sejalan dengan hasil-hasil FGD yang di lakukan di semua lokasi. Hasil-hasil FGD tersebut menunjukkan juga adanya variasi persepsi dari peserta FGD dalam terkait dinamika parameter iklim lain, tetapi di semua lokasi pada setiap FGD masyarakat menyatakan bahwa musim tidak lagi dapat diprediksikan awal maupun berakhirnya. Di sejumlah FGD di lokasi tertentu masyarakat tidak melihat perubahan yang signifikan pada suhu, curah hujan ataupun parameter iklim lain, tetapi terdapat pesan yang umum yaitu bahwa pengetahuan lokal mereka tentang musim tidak lagi relevan karena iklim telah berubah.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
40
Laporan Teknis
Bulan ke 12
12
11
11
10
10
Bulan ke
9
9
biak
biak
8
buton sikka
7
selayar wakatobi
6
buton
8
sikka 7
selayar wakatobi
6
raja ampat 5
pangkep
4
4
3
3
2
2
1
1 1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
raja ampat
5
2010
pangkep
1997
1998
Awal musim kemarau
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Awal musim penghujan
Bulan ke
Bulan ke 12
12
11
biak
11
10
buton
10
9
sikka
9
8
selayar
8
wakatobi
7
biak buton sikka
7
selayar
raja ampat
6
6
wakatobi
pangkep 5
5
4
4
3
3
2
2
1
raja ampat pangkep
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Akhir musim kemarau
1
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Akhir musim penghujan
Gambar 14. Perubahan Awal dan Akhir Musim Kemarau dan Musim Penghujan di Lokasi Penelitian, 1996 – 2009 (Sumber: data diolah, 2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
41
Laporan Teknis
4.2
Perubahan Kondisi Terumbu Karang Terumbu karang di Indonesia merupakan pusat diversitas ekosistem terumbu karang,
mencapai 17% luas total terumbu karang dunia. Selain itu juga merupakan sumberdaya terumbu terpenting di Asia Tenggara karena merupakan eksportir koral terbesar di dunia. Kondisi terumbu di Indonesia bervariasi: – Indonesia Bagian Barat rusak berat (overeksploitasi, sedimentasi, polusi) – Indonesia Bagian Tengah rusak (blast fishing, cyanide fishing, overfishing) – Indonesia Bagian Timur masih bagus (karena populasi rendah), terutama yang areanya sulit aksesnya . Kondisi terumbu karang di Indonesia yang berada dalam kondisi baik sekitar 30%. Secara keseluruhan menunjukkan adanya trend peningkatan meskipun sedikit (Gambar 15). Kondisi terumbu karang di wilayah segitiga karang yang ditunjukkan dengan gambaran kondisi terumbu karang di Indonesia Timur yang dalam kondisi baik menunjukkan adanya trend penurunan, sebaliknya yang dalam kondisi rusak menunjukkan trend peningkatan selama periode tahun 1993 – 2011 (Gambar 16). Penyebab utama kerusakan diantaranya adalah blast fishing, cyanide fishing, eksploitasi untuk eksport, polusi dari darat (sedimentasi, pupuk, limbah), bleaching akibat El Nino (1997-1998). Persen (%) 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Sangat Baik
Baik
Cukup
Kurang
Gambar 15. Kondisi Terumbu Karang di Indonesia, 1993 – 2011 (Sumber: data diolah, 2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
42
Laporan Teknis
% 90 80 70 60 50 40 30 20 10 1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Indonesia Timur Keterangan: Kondisi baik Kondisi kurang
Gambar 16. Kondisi Terumbu Karang di Indonesia Timur, 1993 – 2011 (Sumber: data diolah, 2012) Kelestarian terumbu karang, seperti halnya kelestarian hutan, sangat ditentukan oleh aktivitas manusia. Sejalan dengan peningkatan kebutuhan manusia, biasanya diiringi dengan peningkatan eksploitasi terhadap alam. Eksploitasi secara besar-besaran terhadap alam baik yang berada di darat maupun yang berada di laut mungkin dapat memberikan manfaat yang besar bagi kepentingan manusia akan tetapi dalam jangka panjang, sebenarnya hal tersebut sangat merugikan. Eksploitasi hutan yang tak terkendali misalnya, di samping merusak alam itu sendiri sebenarnya juga mematikan sumber pekerjaan bagi masyarakat yang selama bertahun-tahun hidup dan sangat tergantung kepada hutan. Kondisi yang sama juga dapat ditemukan di laut, eksploitasi secara besar-besaran apalagi tanpa dibarengi dengan teknologi yang memadai akan dapat merusak habitat laut. Berbagai kegiatan manusia di laut seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, racun sianida, alat tangkap bubu, muro ami (sejenis alat tangkap gillnet) serta aktivitas manusia lainnya seperti kegiatan pemanfaatan sumberdaya di kawasan darat, akan sangat mempengaruhi ekosistem terumbu karang (Bengen 2002). Perkiraan perhitungan nilai produksi perikanan dari terumbu karang tergantung pada kondisi terumbu karang dan kualitas pemanfaatan dan pengelolaan oleh masyarakat di sekitarnya. Terumbu karang dalam kondisi yang sangat baik mampu menghasilkan sekitar 18 ton/km2/tahun, terumbu karang dalam kondisi yang baik menghasilkan 13 Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
43
Laporan Teknis
ton/km2/tahun, dan terumbu karang dalam kondisi yang cukup baik mampu menghasilkan 8 ton/km2/tahun produksi perikanan Cesar (1996). Terumbu karang di lokasi penelitian terdiri dari karang tepi (fringing reef), gosong karang (patch reef) dan atol (shoal). Luasan di setiap lokasi penelitian secara rinci disajikan pada Tabel 8 berikut ini. Tabel 8. No 1 2 3 4 5 6 7
Luasan Area Terumbu Karang (km2) di Lokasi Penelitian Lokasi
Biak Numfor Raja Ampat Wakatobi Buton Selayar Pangkajene Kepulauan Sikka
Fringing Reef 190,59 612,72 310,24 227,90 557,21 120,70 110,46
Jenis terumbu karang Patch Reef 16,69 276,87 333,55 4,33 355,55 185,57 26,02
Shoal 56,18 136,18 14,07 82,09 212,58 79,00 0,00
Sumber: Coremap (2007)
Secara umum, ancaman terhadap terumbu karang adalah eksploitasi berlebihan. Pertumbuhan penduduk yang cepat telah meningkatkan tekanan penangkapan dengan pesat, di seluruh wilayah. Karena umumnya para nelayan tidak mempunyai mata pencaharian lain, mereka tidak tergerak untuk meninggalkan industri ini atau mengurangi tekanan penangkapan. Bahkan, keuntungan besar yang diperoleh dari perdagangan ikan konsumsi hidup dan ikan hias telah menyebabkan penangkapan berlebih oleh kapal lokal dan asing dan memicu terjadinya teknik penangkapan ikan yang merusak. Praktek pengeboman dan penggunaan racun, tidak hanya merusak sumberdaya masa depan perikanan, tetapi hal ini juga merusak seluruh ekosistem. Bahkan, tanpa adanya metode penangkapan yang merusak ini, tingkat penangkapan di banyak area sudah berlebihan. Salah satu ancaman yang paling sedikit dipahami adalah pemutihan karang, yang merupakan respon terhadap tekanan yang berhubungan dengan peningkatan suhu permukaan laut dan perubahan iklim global. Dengan beberapa pengukuran, El Niño Southern Oscillation (ENSO) tahun 1997-1998 merupakan yang paling kuat yang pernah tercatat, yang memicu pemutihan karang besar-besaran di seluruh Samudra Pasifik dan Hindia (McPhaden, 1999). Kerugian di dunia akibat peristiwa ini diperkirakan antara 700 juta dolar AS hingga 8 milyar dolar AS dalam kurun waktu 20 tahun (Wilkinson, et al., 1999). Oleh karena itu menjadi penting untuk menyiapkan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim (Jompa, 2012).
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
44
Laporan Teknis
Persentase tutupan karang hidup di lokasi penelitian berdasarkan data yang diperoleh dari CRITC LIPI (2012) ditunjukkan pada Gambar 17. Secara umum hampir di semua lokasi penelitian, persentase tutupan karangnya di bawah 50% pada periode tahun 2006 – 2011. Persentase tutupan karang yang masih tinggi adalah di Kabupaten Wakatobi, dan yang paling rendah di Kabupaten Sikka.
Persen (%) 60 50
Biak Raja Ampat
40
Wakatobi Buton
30
Selayar 20
Pangkep Sikka
10 0 2006
2007
2009
2010
2011
Gambar 17. Persentase Tutupan Karang Hidup (%) di Lokasi Penelitian, 2006 – 2011 (Sumber: data diolah, 2012)
4.3
Struktur dan Kinerja Ekonomi Masyarakat Perikanan
4.3.1 Struktur Ekonomi Struktur ekonomi masyarakat perikanan di lokasi penelitian diidentifikasi berdasarkan pada: (i) ketergantungan pada sumber daya laut, (ii) keterlibatan masyarakat pada pencaharian lain(iii) struktur pasar, (iv) kelembagaan usaha, (v) penguasaan aset, (vi) mekanisme pengambilan keputusan. Dari hasil penelitian secara umum tergambar bahwa pekerjaan sebagai nelayan mendominasi tipe pencaharian masyarakat. Di sebagian lokasi, pekerjaan berbasis perikanan tangkap merupakan satu-satunya pencaharian bagi seluruh warga, sedangkan di lokasi lain, nelayan juga memiliki lahan pertanian dan memanfaatkannya untuk usaha di bidang pertanian.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
45
Laporan Teknis
4.3.1.1 Ketergantungan pada Sumber Daya Laut Ketergantungan pada sumberdaya laut merupakan aspek pertama yang diamati untuk mendeskripsikan struktur ekonomi masyarakat perikanan di lokasi penelitian. Dari hasil survey, diperoleh secara umum gambaran struktur ekonomi masyarakat perikanan di tujuh lokasi penelitian yaitu Pangkep, Sikka, Wakatobi, Selayar, Buton, Raja Ampat dan Biak seperti dapat dilihat pada Tabel 9. Sedangkan komposisi masyarakat berdasar pekerjaannya di lokasi-lokasi penelitian tidak jauh berbeda dengan komposisi pencaharian masyarakat untuk tingkat kabupaten seperti dapat dilihat pada Tabel 10.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
46
Laporan Teknis
Tabel 9.
Ketergantungan pada Sumberdaya Laut
Aspek Ketergantungan pada sumberdaya laut
Usaha pencaharian primer masyarakat
Usaha pencaharian sekunder masyarakat
Sikka Sangat tergantung (99% atau hampir 100% penduduk tergantung pada SD laut) • Nelayan • Pengolah Hasil Perikanan • Pedagang ikan • Penampung ikan
Pangkep Sangat tergantung (99% penduduk tergantung pada SD laut)
• Pedagang kebutuhan sehari-hari
Selayar Sangat tergantung (>80% penduduk tgt pada SD laut)
Kabupaten Wakatobi Sangat tergantung (90% penduduk tergantung pada SD laut)
Buton Sangat tergantung (95% penduduk tergantung pada SD laut)
Raja Ampat Sangat tergantung (99% penduduk tergantung pada SD laut)
Biak Numfor Sangat tergantung (> 60% penduduk tergantung pada SD laut)
• Nelayan • Nelayan • Nelayan • Pembudidaya • Pembudidaya • Pembudidaya (rumput laut, (rumput laut, rumput laut karamba jaring karamba jaring apung) apung) • Pedagang ikan
• Nelayan • Petani • Pembudidaya (ikan dan rumput laut) • Penampung ikan
• • • • •
• Pengupas kepiting • Pengolah ebi
• Petani • Pedagang • Pengrajin tenun • Peternak • Buruh • TKI
• Nelayan • Petani • Pembudidaya (rumput laut, teripang, mutiara) • Pengolah (ikan garam, terasi) • Penampung ikan • Penjual pengecer • Petani • Pengrajin • Pedagang • Peternak • Buruh • Pelayan cottage
• • • •
Pertanian Peternakan Pedagang Pengolahan hasil perikanan
• Petani • Buruh bangunan • Ojek
Nelayan Petani Peternak Pedagang Pembudidaya Rumput laut • Pengolah hasil perikanan
• • • •
Petani Peternak Pedagang Pengolah hasil perikanan • Buruh bangunan
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
47
Laporan Teknis
Tabel 10. Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Lokasi Penelitian Tahun 2009 N 1
2
3
Sub Sektor o Penangkapan ikan Perikanan laut Perairan umum Pembudidaya ikan Budidaya Laut Pembudidaya Tambak Bidang perikanan lain Pengumpul/ kolektor Pengeringan Pengolahan / pengolahan rajungan Pindang Terasi Ebi Pengecer
Pangkepa 2.393 2.386 5.803
Sikkab
Kabupaten Selayard
Waka-tobic
4.585 1.686 10
-
Butone
Raja Ampatf
Biake
5.979
7.611
7.152
5.279
806 555
4.068 -
2.713 -
-
24
12,2%
349
485
-
11
-
-
-
101 7
-
-
9
-
74 -
-
4 1 2 235
-
-
23
-
11
-
Sumber: a. Pangkep dalam Angka (2010) b. Sikka dalam Angka (2011) c. Wakatobi dalam Angka (2010) d. Laporan Statistik Perikanan Dinas Kelautan dana perikanan Selayar (2010) e. Data Potensi Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton (2012) f. Data Potensi Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat (2012) g. Biak Dalam Angka (2010)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
48
Laporan Teknis
A. Kabupaten Pangkep Untuk Kabupaten Pangkep, pengambilan sampel data dilaksanakan di Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara, (Desa Mattiro Bombang), Kecamatan Liukang Tupabbiring (Desa Matirro Baji) dan Kecamatan Labakkang (Desa Maccini Baji). Masyarakat di lokasi ini, berdasarkan pencaharian utamanya sebagaimana disajikan pada Tabel 8, sangat tergantung pada sumberdaya kelautan dan perikanan. Hanya sebagian kecil masyarakat yang menggeluti jenis-jenis mata pencaharian lain. Di Desa Matirro Baji, 193 penduduknya (55,14 %) adalah pekerja di sektor perikanan (menggantungkan hidupnya pada sumberdaya laut) (Dinas Kelautan dan Perikanan Pangkep, 2010). Di Desa Mattiro Bombang 522 dari total 764 pekerja di desa tersebut (68,32 %) bekerja di sektor perikanan atau menggantungkan hidupnya pada sumberdaya laut (Dinas Kelautan dan Perikanan Pangkep, 2010). Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan dilakukan memanfaatkan akses terhadap sumber daya alam menggunakan bebagai alat tangkap, kecuali alat tangkap yang telah ditetapkan sebagai alat tangkap yang tidak diperkenankan, misalnya trawl,yang dilarang dan dikontrol melalui pengawasan oleh polisi air.Penggunaan trawl, yang bagi masyarakat di lokasi penelitian merupakan bentuk adaptasi nelayan terhadap penurunan produksi, pada kenyataannya telah menyebabkan penangkapan berlebih dan merusak sehingga praktek penggunaan alat tersebut kemudian dilarang. Nelayan dengan berbagai alat tangkap di lokasi ini menghabiskan waktu melaut berkisar antara sekitar 2 jam hingga 14 jam. Kegiatan penangkapan yang paling sedikit memakan waktu adalah nelayan jaring ikan gamasi yang hanya waktu 2 jam 30 menit. Kegiatan penangkapan yang paling banyak memakan waktu adalah nelayan mini trawl dan jaring ikan tenggiri, yang memakan waktu sekitar 14 jam. Sebagian besar nelayan melibatkan anak-anaknya dalam kegiatan penangkapan, sedangkan para istri nelayan melibatkan dirinya dalam kegiatan perbaikan alat tangkap yaitu jaring; pengolahan hasil tangkapan (ikan gamasi, kepiting, udang); budidaya rumput laut; pemasaran hasil tangkapan. Laut sangat penting bagi keseluruhan nelayan karena nelayan sangat tergantung pada sumber daya laut. Ada 6 (enam) penyalur di Desa Maccini Baji yang bertransaksi dengan nelayan di TPI. Peran perempuan adalah pencari kerang, pengupas kepiting, memperbaiki alat tangkap. Pengaruh ketiadaan umpan tembang jadi tidak melaut. Ketergantungan pada biaya operasional dipengaruhi oleh angin dan umpan Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
49
Laporan Teknis
dengan hasil tidak menetap. Ada pengasin yang pindah ke Barru tapi membeli bahan bakunya tetap ke Pangkep. Jenis ikan yang dominan ditangkap adalah ikan bete-bete, ikan tembang, dan ikan gamasi. Nelayan juga kadang pindah karena lokasi di Pangkep kurang menguntungkan untuk pengeringan. Pada saat terang bulan nelayan beristirahat selama 7 sampai 10 hari, mengisi waktu dengan perbaiki alat tangkap dan memperbaiki perahu. Pernah ada pebangunan kanal jadi kawasan laut pesisir di timbun, status pemilikan lahan milik pemerintah, masyarakat bayar PBB. Masyarakat sudah banyak yang memiliki sampan sendiri hingga sulit mencari pekerja atau ABK. Kegiatan budidaya rumput laut, tingkat keberhasilannya sangat tergantung dari banyaknya bentangan, jumlah pekerja, dan musim tanam. Pembudidaya di Kabupaten Pangkep rata-rata memiliki 700 – 800 buah bentangan dengan luasan lahan dengan masa tanam 30 – 45hari hingga panen. Jika hasil panen sedang bagus bisa mencapai Rp 10.000.000,- per panen. Hasil ini masih dapat ditingkatkan, pembudidaya bekerja simultan sekaligus melakukan kegiatan penangkapan di laut. Masalah yang dihadapi pembudidaya biasanya angin kencang yang menyebabkan tali bentangan rusak atau bahkan hanyut. Kepemilikan tali bentangan oleh pembudidaya awalnya sebagai pekerja yang pada akhirnya dapat memiliki bentangan sendiri dengan jumlah minimal misalnya 100 buah bentangan. Masyarakat masih bebas mematok luasan bentangan rumput laut, tergantung siapa yang terlebih dahulu menguasai lahan bentangan di laut. Meskipun tanpa surat-surat sah hak penguasaan dan pengelolaan laut. Oleh karena itu akses terhadap sumber daya laut sangat penting bagi pembudidaya rumput laut. Kegiatan budidaya laut dengan menggunakan karamba jaring apung hanya dilakukan oleh sebagian kecil dari nelayan. Di Pulau Salemo hanya ditemui satu pembudidaya yang sekaligus sebagai pengumpul karena termasuk jenis usaha yang memerlukan modal yang cukup besar. Sistem bagi hasil yang dilakukan pada usaha budidaya KJA ini adalah hasil penjualan –biayaoperasional = Net/2. 1 bagian untuk pemilik modal dan 1 bagian untuk pekerja (5 – 10orang). Masa tanam 6 bulan, tingkat kematian 20 %. Dalam 100 KJA memerlukan pekerja 5 – 10orang. Penentuan lokasi KJA tidak dapat dipasang di pulau yang tinggi ombaknya. Input usaha budidaya ikan laut menggunakan KJA disajikan pada Tabel 11 berikut.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
50
Laporan Teknis
Tabel 11. Biaya untuk Usaha Karamba Jaring Apung di Kabupaten Pangkep No Rincian Biaya input 1 Drum plastik 2 Kayu ulin ukuran 10m x 10m 3 Tali, jangkar, jaring trawl 4 Bibit kerapu ukuran 1 cm 5 Bibit kerapu ukuran 10 cm Output setelah 6 bulan 1 Panen ikan kerapu ukuran 0,5kg per ekor
Satuan
Jumlah
Harga (Rp)
Jumlah (Rp)
buah buah
22 1
250.000 3.600.000
5.500.000 3.600.000
paket ekor ekor
1 1.000 100
11.000.000 300 12.000
11.000.000 300.000 1.200.000
ekor
800
80.000
32.000.000
Sumber: data primer diolah (2012)
Kegiatan budidaya tambak dengan komoditas ikan bandeng banyak dilakukan masyarakat di Kabupaten Pangkep. Produksi tambak bandeng di Kabupaten Pangkep 11.428.200 kg (Anonim, 2010), dengan tingkat pertumbuhan bandeng dinilai lambat karena terkendala salinitas air, kenaikan suhu, tingkat kejenuhan tambak. Produksi tambak komoditi bandeng per kecamatan, Labakkang 2.683.900 kg dan Liukang Tupabbiring 131.000 kg (Anonim, 2010). B. Kabupaten Sikka Masyarakat di Kabupaten Sikka masih mengandalkan sektor perikanan tangkap sehingga jumlah rumah tangga nelayan lebih besar yaitu sebanyak 4.585 RTP dibanding jumlah pembudidaya yaitu 1.686 RTP. Namun budidaya saat ini sudah mulai digalakkan di Sikka. Jumlah pengumpul ikan baik papalele atau pedagang pengecer sebanyak 485 RTP. Untuk pengolahan ikan, baru pengeringan ikan asin yang sudah memasyarakat namun untuk jumlah tidak tersedia dalam data statistik. Penelitian di Kabupaten Sikka dilaksanakan di Kecamatan Alok Barat (Dusun Wuring, Kelurahan Wolomarang) dan Kecamatan Magepanda (Dusun Ndete, Kelurahan Reroroja). Komposisi masyarakat berdasarkan pencaharian utamanya sebagaimana disajikan pada Tabel 10 sangat tergantung pada sumberdaya kelautan dan perikanan. Hal ini tercermin dari jenis mata pencaharian utama masyarakatnya. Penduduk kabupaten Sikka 84% berprofesi sebagai nelayan dan petani rumput laut. Masyarakat perikanan di Dusun Wuring terdiri dari 100 KK bekerja di sektor perikanan atau hampir 99 % menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan, sedangkan Dusun Ndete sebanyak 60
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
51
Laporan Teknis
KK bekerja di sektor perikanan. Nelayan di Dusun Wuring dapat dibagi menjadi nelayan lempara, nelayan tuna, pengolah isi perut tuna, pengolah ikan asin, dan penjual ikan, sedang di Dusun Ndete, nelayannya merupakan nelayan pancing. Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya laut merupakan sumberdaya yang sangat diandalkan sebagian besar penduduk. Nelayan secara bebas dapat mengakses dan memanfaatkan sumberdaya laut. Penggunaan alat tangkap yang sifatnya dapat merusak sumberdaya laut tidak diperkenankan, baik oleh masyarakat maupun pengawas sumberdaya yaitu Polair dan PSDKP. Banyaknya curahan waktu nelayan dalam melakukan aktivitas di laut tergantung pada alat tangkap. Alat tangkap yang digunakan nelayan yaitu pursein dan pancing. Pursein disebut lempara, terdiri dari lempara malam dan siang. Fishing trip lempara malam yaitu satu harian atau one day fishing antara 2-16 jam. Fishing trip lempara siang yaitu antara 1-4 minggu, disebut nelayan andon. Alat tangkap pancing juga memiliki fishing trip yang bermacam-macam mulai dari satu hari atau one day fishing hingga 1-3 minggu. Pancing tuna umumnya one day fishing, pancing rawai dan ikan dasar tergantung fishing ground, jika dekat maka waktu melaut 8-14 jam, namun jika jauh mulai 2-3 hari bahkan bisa 1-3 minggu. Keterlibatan kaum perempuan dan anak-anak sangat besar dalam sektor perikanan. Kaum perempuan dan anak-anak di Dusun Wuring memiliki peranan sebagai ABK lempara malam. Tugas mereka dalam aktivitas melaut sama dengan kaum laki-laki, yaitu menarik jaring. Tidak hanya dalam kegiatan penangkapan, kaum perempuan juga berperan dalam kegiatan pasca penangkapan ikan yaitu sebagai pengolah ikan asin dan pedagang pengecer ikan. Sektor perikanan di kabupaten Sikka masih mengandalkan pada perikanan tangkap. Budidaya laut dan tambak belum berkembang dan masih sangat terbatas pada kegiatan penampungan ikan dasar hidup untuk tujuan ekspor dengan jalur pemasaran melalui Denpasar, Makasar dan Surabaya. Budidaya yang sudah ada di Kabupaten Sikka antara lain yaitu budidaya rumput laut, mutiara. dan Keramba Jaring Apung (KJA). Budidaya rumput laut di Sikka sudah berkembang dengan baik yang dilakukan oleh masyarakat nelayan (ibu-ibu nelayan). Budidaya mutiara dilakukan oleh pihak swasta yang berbentuk PMA (Penanaman Modal Asing) oleh PT. Timor Otsuki Mutiara yang berlokasi di Dusun Wairterang Kelurahan Runut Kecamatan Waigete. Untuk Keramba Jaring Apung (KJA) Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
52
Laporan Teknis
komoditi ikan Bandeng, Kerapu Macan, Kerapu Tikus, Kepiting dan Lobster sudah dicoba di Kelurahan Reroja, Kojadoi, dan Parumaan. Namun, untuk di kedua dusun yang diteliti, Wuring dan Ndete, sektor perikanan masih sangat mengandalkan perikanan tangkap sehingga budidaya perikanan tidak terdapat di kedua desa tersebut. Untuk Wuring, pada tahun 2007 pernah dikembangkan budidaya rumput laut namun tidak berhasil karena gelombang laut di wilayah ini cukup besar. Akses terhadap sumber daya laut sangat penting bagi pembudidaya rumput laut namun kembali lagi tergantung pada besarnya gelombang di wilayah tersebut. Jika melihat aspek alam, komoditi budidaya yang bisa dikembangkan di kedua lokasi ini yaitu mutiara. Namun, hingga saat ini budidaya mutiara dan KJA belum dicoba dan dikembangkan di kedua wilayah tersebut.
C. Kabupaten Wakatobi Penelitian di Kabupaten Wakatobi dilaksanakan di Kecamatan Kaledupa (Desa Samabahari), Kecamatan Wangi-Wangi (Desa Waelumu, Desa Koroe Onowa), dan Kecamatan Wangi-Wangi Selatan (Desa Liyamawi, Desa Mola). Komposisi masyarakat berdasarkan pencaharian utamanya sangat tergantung pada sumberdaya kelautan dan perikanan. Hal ini tercermin dari jenis mata pencaharian utama masyarakatnya sebagai nelayan dan pembudidaya rumput laut. Di Kabupaten Wakatobi terdapat 8 desa nelayan, yakni 5 desa di Kecamatan Wangi-Wangi, dan 3 desa di Kecamatan Kaledupa (suku Bajo). Di wilayah tersebut, 90% penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Kegiatan ekonomi masyarakat perikanan Kabupaten Wakatobi adalah sebagai nelayan, pembudidaya rumput laut, pengumpul hasil perikanan, penjual ikan. Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan di Wakatobi memanfaatkan akses sumber daya laut secara bebas. Namun demikian, adanya rumpon yang terpasang di sepanjang pesisir pantai di beberapa desa mengakibatkan nelayan kesulitan mendapatkan ikan, dan nelayan harus pergi melaut dengan jarak yang lebih jauh. Kadang nelayan melaut hingga Pulau Wanci tidak terlihat. Nelayan berangkat melaut dari jam 12 malam hingga pagi. Nelayan melaut selama musim barat, dan hasil tangkapannnya biasanya ikan karang, kerapu, tuna, baby tuna, cakalang. Pancing dibuat sendiri oleh nelayan, dengan jumlah rol pancing tergantung ikan tangkapannya. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
53
Laporan Teknis
Pemasaran hasil ikan biasanya tergantung dari jumlah dan ukuran hasil tangkapan. Jika ikan yang didapat besar dan banyak dijual ke pengumpul, dan harga cenderung turun. Jika ikan yang didapat kecil dan sedikit, nelayan menjualnya langsung ke pasar, dan harga biasanya lebih tinggi.
D. Kabupaten Selayar Penelitian di Kabupeten Selayar, Sulawesi Selatan dilaksanakan di Kecamatan Bontoharu dan Kecamatan Bontomatene. Di kecamatan Bontoharu lokasi penelitian bertempat di desa Bontosunggu dan Bontolebang. Di kecamatan Bontomatene lokasi penelitian bertempat di desa Maharraya dan Bungaiya. Komposisi masyarakat berdasarkan pencaharian utamanya sebagaimana disajikan pada Tabel 10 sangat tergantung pada sumberdaya kelautan dan perikanan. Hal ini tercermin dari jenis mata pencaharian utama masyarakatnya. Menurut laporan statistik perikanan dinas kelautan dan perikanan kabupaten Selayar tahun 2010 terdapat 5.979 rumah tangga perikanan yang terlibat dalam aktivitas penangkapan ikan di laut. 806 rumah tangga perikanan bergelut di sektor budidaya laut, 555 rumah tangga perikanan bergelut di bidang budidaya tambak, serta 24 rumah tangga perikanan bergelut pada aktifitas budidaya karamba. Sedangkan, terdapat 11 unit usaha yang bergerak di bidang pengumpul/kolektor. 2 unit usaha pemasaran dan 9 unit usaha pengolahan. Bidang perikanan lain yaitu pengecer, terdapat 23 unit usaha di Kabupaten Selayar perikanan (Dinas Kelautan dan Perikanan Selayar, 2010). Di 2 desa yaitu desa Bontolebang dan Bontosunggu, mata pencaharian tergolong beragam dengan mayoritas bergantung pada sektor perikanan dan kelautan. Mata pencaharian penduduk desa Bontolebang umumnya berrgerak di bidang perikanan. Kegiatan perikanan yang digeluti diantaranya adalah perikanan tangkap, budidaya, pemasaran dan pengolahan hasil perikanan. Selain itu, beberapa kegiatan lain masyarakat desa Bontolebang adalah bekerja sebagai aparat desa, BPD, tenaga pengajar (guru), berkios dan beberapa masyarakat lainnya sebagai petani. Sementara itu, di Desa Bontosunggu mata pencaharian masyarakat umumnya bergerak di sektor perikanan dan sebagian kecil di sektor pertanian dan perkebunan. Kegiatan perikanan yang digeluti bergerak di bidang perikanan tangkap, budidaya, pemasaran dan pengolahan. Eeberapa orang bekerja sebagai staf desa, BPD, tenaga pengajar, berkios dan beberapa orang bertani. Komposisi penduduk Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
54
Laporan Teknis
desa Bontolebang dan desa Bontosunggu berdasarkan jenis pekerjaan dapat di lihat pada Tabel 12 berikut ini. Tabel 12. Komposisi penduduk desa Bontolebang dan desa Bontosunggu berdasarkan Jenis Pekerjaan No
Mata Pencaharian
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nelayan Berkios / Warung Aparat Desa / BPD Polisi / Tentara Guru Pedagang (Hasil Laut) Petani Tukang Kayu Pengolah Ikan Kering Penjual Kue Pembuat Atap Penjual Sayur Buruh
Desa Bontolebang Jumlah Persentase (Orang) (%) 233 74,20 19 6,05 17 5,41 6 1,91 4 1,27 2 0,64 2 0,64 4 1,27 18 5,73 8 2,55 1 0,32 -
Desa Bontosunggu Jumlah Persentase (Orang) (%) 152 56,72 47 17,54 25 9,33 1 0,37 7 2,61 28 10,45 8 2,99
Sumber : Laporan Bulanan Kegiatan Fasilitator Periode Maret, Coremap, 2011
Berdasarkan Tabel 12 diatas, mata pencaharian utama masyarakat di desa Bontolebang didominasi oleh kegiatan perikanan yaitu sebanyak 233 orang atau 74,20 %. Dalam kegiatan perikanan tersebut, istri nelayan mempunyai peranan yang sangat menonjol dalam membantu suami. Ini terbukti dengan aktifnya mereka dalam membantu melakukan perawatan terhadap alat dan sarana penangkapan dan ikut melakukan kegiatan perikanan seperti memungut kerang untuk dijual dan dikonsumsi sehari-hari. Sementara itu, mata pencaharian utama di Desa Bontosunggu didominasi oleh kegitan perikanan, mulai dari perikanan pelagis sampai perikanan dasar. Adapun kegiatan-kegiatan lain seperti berkios, tani, tukang kayu sebagian besar merupakan kegiatan sampingan bagi nelayan apabila musim paceklik tiba, atau lebih merupakan kegiatan istri-istri nelayan. Peranan istri nelayan dalam mata pencaharian suami sangat menonjol, ini terbukti dengan dengan aktifnya mereka dalam membantu melakukan perawatan terhadap alat dan sarana penangkapan dan ikut aktifnya melakukan kegiatan perikanan seperti memungut kerang untuk dijual dan konsumsi sehari-hari.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
55
Laporan Teknis
Mata pencaharian masyarakat desa Maharayya beraneka ragam, mulai dari nelayan, peternak, pekebun, berdagang hingga pegawai negeri sipil. Kebiasaan melaut yang dilakukan sebagian masyarakat desa masih sangat tergantung pada musim mengingat kapal / sarana yang digunakan masih tradisional. Begitupun juga dengan kegiatan berkebun, masih sangat tergantung pada musim hujan dimana tanaman yang mereka kembangkan merupakan tanaman jangka pendek seperti jagung dan kacang panjang mengingat struktur daratan wilayah tersebut merupakan bebatuan Kegiatan lain seperti berdagang dan kios kebanyakan dilakukan oleh para kaum ibu. Mereka memanfaatkan kelebihan tanah dipekarangan rumah untuk dibangun kios sebagai tempat menjajakan dagangan mereka. Dari hasil penjualan ini, masyarakat mengaku sangat terbantu dalam hal mencukupi kebutuhan sehari-hari bahkan sisanya dapat digunakan untuk menyekolahkan anak. Kegiatan beternak dan bertani rata-rata dilakukan sendiri oleh kaum laki-laki mengingat kegiatanm ini membutuhkan kemampuan fisik yang lebih Pada umumnya mata pencaharian masyarakat desa Bungaiya adalah nelayan dan pekebun, selebihnya adalah kios, dagang, aparat pemerintah dan guru. Kegiatan pemanfaatan hasil laut oleh masyarakat desa Bungaiya adalah dengan menjual langsung ke pasar atau dengan keliling kampung langsung kekonsumen dan sebagian dibawa pulang untuk dikonsumsi Sebagian masyarakat meskipun jumlahnya relatif kecil biasanya memanfaatkan waktu senggang atau ketika tidak melaut karena perahu rusak dan sebagainya melakukan kegiatan dengan menanam jagung, umbi-umbian seperti ubi kayu dan ubi jalar. Untuk kegiatan kios dan berdagang biasanya didominasi oleh kaum perempuan atau ibu-ibu.
E. Kabupaten Buton Penelitian di Kabupaten Buton dilakukan di 4 (empat) kecamatan yang dapat dikategorisasi sebagai wilayah daratan dan kepulauan. Kecamatan yang terletak di wilayah kepulauan yaitu Kecamatan Mawasangka Tengah yang terletak di Pulau Muna dan Kecamatan Siompu yang terdapat di Pulau Siompu. Lokasi kecamatan yang terletak di wilayah daratan yaitu Kecamatan Pasar Wajo dan Kecamatan Wolowa. Desa yang terdapat di Kecamatan Mawasangka Tengah yaitu Desa Lakorua, Gundu Gundu, dan Watorumbe Bata. Desa yang terdapat di kecamatan Siompu yaitu Desa Tongali, Wakinamboro, Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
56
Laporan Teknis
Biwinapada, Kaimbulawa, dan Waindawula. Desa yang terdapat di Kecamatan Pasar Wajo dan Wolowa yaitu Desa Pasar Wajo, Kaombu, Dongkala, Wasaga, Wolowa Baru, Kondowa, dan Matawia. Perikanan tangkap di Kabupaten Buton masih menjadi andalan masyarakat, namun demikian sektor budidaya juga tidak kalah pentingnya dan menjadi tumpuan masyarakat, khususnya budidaya rumput laut. Sebanyak 40,8% dari total penduduk 255.474 jiwa bekerja pada sektor perikanan tangkap, atau 7.611 RTP. Penduduk yang bekerja pada sektor perikanan budidaya sebanyak 28,9 % dengan jumlah rumah tangga perikanan (RTP) yang bergerak di bidang perikanan budidaya yaitu 4.068. Sebagian dari nelayan di Kabupaten Buton juga melakukan budidaya rumput laut, namun masih sedikit yang mengembangkan budidaya keramba jaring apung. Selain bekerja di sektor perikanan, baik nelayan atau pembudidaya juga banyak yang bekerja di sektor non perikanan seperti pertanian, peternakan, berdagang, maupun pekerjaan lainnya seperti buruh bangunan. Demikian juga sebaliknya, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) seperti guru ikut bekerja sebagai nelayan setelah pulang mengajar di sekolah. Untuk pengolahan hasil perikanan, Kabupaten Buton masih terbilang sedikit, seperti pengeringan dan pengasapan ikan. Hal ini salah satu penyebabnya adalah karena masyarakatnya lebih menyenangi ikan segar dibandingkan dengan ikan asin. Tabel 13. Komposisi Penduduk Desa Watorumbe Bata, Desa Gundu-Gundu dan Desa Lakorua Kecamatan Mawasangka Tengah berdasarkan Jenis Pekerjaan No 1 2 3 4 5 6 7
Mata Pencaharian Perikanan Buruh/Swasta Pengrajin Pedagang Peternak PNS Lainnya
Desa Watorumbe Bataa 330 18 56 26 5 1 2
Desa Gundu-Gundub 82 68 8 4 1 1
Desa Lakoruac 75 130 20 15 4 17 -
Sumber: a. Pemerintah Desa Watorumbe Bata (2011) b. Pemerintah Desa Gundu-gundu (2011) c. Pemerintah Desa Lakorua (2011)
Penduduk di Desa Watorumbe Bata berjumlah 1.235 orang dengan jumlah tenaga kerja yaitu 435 orang. Sektor perikanan merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat di Desa Watorumbe Bata baik sebagai nelayan maupun pembudidaya rumput laut, yaitu 330 orang. Penduduk di Desa Gundu-gundu berjumlah
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
57
Laporan Teknis
401 orang, sektor perikanan merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat di Desa Gundu-gundu yaitu 82 orang. Selain bekerja di sektor perikanan, usaha kerajinan tenun juga banyak digeluti oleh sebagian besar masyarakat di Desa Gundugundu, khususnya oleh istri nelayan. Penduduk di Desa Lakorua berjumlah 2.252 orang, sektor perikanan merupakan salah satu pekerjaan yang banyak dilakukan oleh sebagian besar masyarakat selain buruh. Masyarakat di Desa Lakorua banyak yang merantau ke daerah lain, baik ke provinsi lain maupun ke luar negeri. Untuk provinsi lainnya yang paling banyak dijadikan daerah perantauan yaitu Ambon dan Papua, sedang Negara lain yang banyak dijadikan tempat merantau yaitu Malaysia. Nelayan di Mawasangka tengah, 44% merupakan pemilik alat tangkap, 23% masyarakat menjadikan nelayan sebagai mata pencaharian sampingan, dan 33% menjadikan nelayan sebagai mata pencaharian utama. Jumlah penduduk di kecamatan Siompu pada tahun 2008 yaitu sebanyak 9.845 jiwa. Desa yang memiliki penduduk terbanyak yaitu Desa Tongali yaitu 1.831 jiwa (Kecamatan Siompu Dalam Angka, 2009). Tabel 14. Komposisi Penduduk Kecamatan Siompu berdasarkan Jenis Pekerjaan Utama, 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Mata Pencaharian Petani Nelayan Tukang kayu/tukang batu Sopir Pedagang Industri PNS TNI dan Polri Buruh Jasa Perorangan
Jumlah (Orang) 1.880 350 56 32 170 379 125 7 125 10
Sumber : Kecamatan Siompu Dalam Angka, 2009
Nelayan di Siompu, 30% merupakan pemilik alat tangkap, 37% masyarakat menjadikan nelayan sebagai mata pencaharian sampingan, dan 33% menjadikan nelayan sebagai mata pencaharian utama. Berdasarkan hasil FGD (Focus Group Discussion) ketergantungan terhadap sumberdaya laut mencapai 95% atau sangat tergantung pada sumberdaya kelautan dan perikanan. Nelayan di Kabupaten Buton dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu nelayan tradisional yang umumnya menggunakan sarana penangkapan yang masih terbatas, seperti perahu tanpa motor dengan jenis alat tangkap
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
58
Laporan Teknis
yaitu bubu, pancing ulur, dan jaring kecil, serta nelayan modern dengan perahu bermesin, baik mesin tempel maupun mesin dalam dengan alat tangkap jaring lebar, pancing rawai, dan bagang. Nelayan yang menjadi informan dalam penelitian ini pada umumnya merupakan nelayan tradisional dengan ukuran perahu yang sangat kecil atau disebut sampan tanpa menggunakan mesin. Budidaya yang ada di Kabupaten Buton yaitu budidaya rumput laut, budidaya ikan kerapu, tambak udang, dan bandeng. Pembudidaya yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah pembudidaya rumput laut, kerapu, dan sunuk. Baik perikanan tangkap maupun budidaya menunjukkan bahwa sumberdaya laut merupakan sumberdaya yang sangat diandalkan sebagian besar penduduk di kabupaten Buton. Akses yang diperoleh masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya laut sangat besar sebatas mengunakan alat tangkap yang tidak merusak sumberdaya laut. Penggunaan alat tangkap yang sifatnya merusak tidak diperkenankan olehmasyarakat. Besaran curahan waktu nelayan untuk aktivitas melaut pada umumnya sangat kecil. Hal ini disebabkan karena peralatan yang mereka miliki tergolong sangat tradisional, baik perahu maupun alat tangkap. Fishing trip nelayan yaitu satu harian atau one day fishing antara 2-5 jam. Keterlibatan kaum perempuan dan anak-anak dalam sektor perikanan yaitu sebagai pedagang ikan di pasar, pembudidaya dan buruh pada saat panen rumput laut, perbaikan jaring dan sebagai pengolah ikan asap. Namun demikian, khusus di Kecamatan Wolowa khususnya di perkampungan Bajo di Desa Bahari Makmur, kaum perempuan juga ikut terlibat dalam aktivitas melaut. Peranan kaum perempuan tersebut sama dengan kaum lakilaki yaitu memancing atau menarik jaring.
F. Kabupaten Raja Ampat Kabupaten Raja Ampat dengan ibukota Waisai merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Sorong yang terletak di Provinsi Papua Barat. Kabupaten yang dibentuk berdasarkan Undang Undang No.26 Tahun 2002 ini memiliki sumberdaya alam yang melimpah dan potensial, baik darat maupun laut. Kabupaten Raja Ampat terletak di jantung pusat segitiga terumbu karang dunia (coral triangle) dengan keanekaragaman hayati laut tropis terkaya di dunia saat ini (Kabupaten Raja Ampat, 2012). Keunikan dan
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
59
Laporan Teknis
kekayaan spesies jenis ikan yang ditemukan serta hamparan padang lamun, hutan mangrove dan pantai tebing berbatu yang indah ditemukan di Kabupaten Raja Ampat. Secara geografis, Kabupaten Raja Ampat terdiri dari 1.830 pulau baik pulau besar dan kecil. Empat pulau besar yaitu Pulau Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool dengan masing-masing pulau memiliki topografi yang berlainan. Di luar pulau-pulau besar terdapat pulau-pulau berukuran sedang dan kecil. Terdapat pula pulau-pulau kecil yang hanya terdiri dari batu karang sehingga masyarakatnya hanya memiliki pekerjaan sebagai nelayan dan tidak bisa bercocok tanam seperti di penduduk di Distrik Salawati (Kabupaten Raja Ampat, 2012). Sektor perikanan merupakan sektor unggulan di Kabupaten Raja Ampat. Hal ini karena 86% wilayah Kabupaten Raja Ampat terdiri dari laut oleh sebab itu mata pencaharian masyarakat sebagian besar adalah sebagai nelayan disamping bercocok tanam, bahkan di banyak pulau kecil, nelayan sebagai mata pencaharian satu-satunya yang dapat dilakukan oleh penduduk di Kabupaten Raja Ampat. Nelayan di Kabupaten Raja Ampat merupakan nelayan tradisional dengan armada dan alat tangkap yang masih tergolong tradisional sehingga hasil yang diperoleh pun hanya cukup untuk dikonsumsi sendiri dan dijual dalam jumlah kecil untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sampan dayung tanpa mesin masih mendominasi armada penangkapan nelayan, meskipun sudah cukup banyak yang menggunakan kapal ketinting dan longboat. Alat tangkap yang digunakan nelayan yaitu pancing tradisional serta ada di beberapa kampung khususnya di Kawasan Teluk Mayalibit menggunakan serok untuk menangkap Ikan Kembung (Rastrilliger spp) atau biasa disebut oleh masyarakat lokal dengan nama Ikan Lema. Perikanan budidaya, selain perikanan tangkap juga terdapat di beberapa kampung seperti budidaya teripang, kepiting, dan budidaya rumput laut. Sektor perikanan merupakan sektor andalan di kabupaten Raja Ampat dengan jumlah nelayan pada tahun 2011 sebanyak 34.006 orang dengan rincian nelayan tangkap sebanyak 7.152 KK, nelayan budidaya sebanyak 2.713 KK, dan nelayan pengolah sebanyak 74 KK (DKP Raja Ampat, 2012). Sektor perikanan di kabupaten Raja Ampat masih mengandalkan perikanan tangkap. Budidaya laut dan tambak yang ada yaitu budidaya rumput laut, teripang dan mutiara namun belum berkembang secara maksimal. Kondisi kepulauan tersebut memiliki tantangan tersendiri bagi penduduk yang bekerja sebagai nelayan. Nelayan membutuhkan sarana transportasi untuk memasarkan Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
60
Laporan Teknis
hasil tangkapan mereka ke pulau lainnya, terutama ke ibukota kabupaten. Keterbatasan sarana transportasi yang dapat digunakan untuk memasarkan hasil tangkapannya menjadi permasalahan bagi nelayan dalam meningkatkan pendapatan. Penelitian di Kabupaten Raja Ampat dilaksanakan di Kampung Arborek dan Sawingrai yang termasuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Distrik Meos Manswar serta Kampung Warsambin, Lapintol, dan Waiofi yang termasuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Teluk Mayalibit. Komposisi masyarakat berdasarkan pencaharian utamanya sebagaimana disajikan pada Tabel 8 sangat tergantung pada sumberdaya kelautan dan perikanan. Hal ini tercermin dari jenis mata pencaharian utama masyarakatnya. Penduduk kabupaten Raja Ampat 99% berprofesi sebagai nelayan. Masyarakat perikanan di lokasi penelitian baik di Distrik Meos Manswar dan Distrik Teluk Mayalibit 100% bekerja di sektor perikanan atau menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan. Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya laut merupakan sumberdaya yang sangat diandalkan sebagian besar penduduk. Jumlah Kepala Keluarga (KK) dikampung Sawinggrai terdiri dari 37 KK dengan jumlah penduduk 206 jiwa dengan komposisi laki-laki sebanyak 106 jiwa dan perempuan sebanyak 100 jiwa (Tabel 15). Pada umumnya mata pencaharian masyarakat Kampung Sawinggrai adalah nelayan dan selebihnya adalah berdagang/penadah/pengumpul hasil laut, aparat pemerintah kampung, Bamuskam, suster dan tukang bangunan. Tabel 15. Komposisi Penduduk Kampung Sawinggrai berdasarkan Jenis Kelamin No 1 2 3 4 5
Umur 0–5 6 – 12 13 – 18 19 – 55 > 56 Jumlah
Laki-Laki 20 25 13 43 5 106
Perempuan 15 17 16 49 3 100
Total 35 42 29 92 8 206
Sumber: Hasil revisi Alexander irwan susanto (2009)
Kegiatan pemanfaatan hasil laut oleh masyarakat Kampung Sawinggrai dilakukan dalam dua bentuk, pertama sebagai pengolah atau penangkap biota laut (ikan, cumicumi/sotong/gurita dan jenis moluska) dan sebagai pengumpul hasil tangkapan (penampung). Selain itu ada pula yang mengumpulkan produk olahan berupa ikan kering. Kegiatan kios atau warung lebih dominan dikelola oleh kaum perempuan. Isi kios/warung adalah barang-barang kelontongan atau keperluan rumah tangga.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
61
Laporan Teknis
Tabel 16. Komposisi Penduduk Kampung Sawinggrai berdasarkan Jenis Pekerjaan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Pekerjaan
Jumlah 62 2 6 5 1 5 81
Nelayan Berkios/Warung Aparat Pemerintah Kampung Bamuskam Suster Tukang bangunan Total
Persentase (%) 70,01 1,25 7,50 6,25 1,25 13,09 100,00
Sumber: Hasil revisi Alexander irwan susanto (2009)
Alat tangkap yang digunakan oleh masyarakat Kampung Sawinggrai untuk menangkap biota laut cukup beragam, mulai jenis yang lebih ramah lingkungan sampai jenis
yang merusak.
Berdasarkan
hasil
Praticipatory Rural
Appraisal
(PRA)
terindentifikasi jenis-jenis alat tangkap yang pernah dan masih digunakan sampai sekarang, yaitu: (a) jaring, (b) pancing, (c) jala, (d) panah ikan, (e) kalawai. Target tangkapan dari masing-masing alat tangkap bervariasi. Biasanya untuk jenis alat tangkap yang terbuat dari jaring dan bubu target tangkapannya adalah ikan-ikan batu (karang), ikan pada daerah lamun dan kadang-kadang ikan pelagis, sementara untuk pancing target tangkapannya adalah ikan karang utamanya ikan sunu dan ikan pelagis (ikan cakalang, ikan kembung dan lain-lain). Sedangkan yang menggunakan bom target tangkapannya adalah ikan-ikan karang yang hidupnya bergerombol seperti ikan ekor kuning dan ikan merah. Akan tetapi karena penggunaan alat tangkap ini dilarang oleh pemerintah dan masyarakat, maka secara perlahan oknum masyarakat yang menggunakan bom mengurangi bahkan tidak melakukannya lagi. Dalam operasi penangkapan ikan yang dilakukan, mereka menggunakan perahu kecil yang bermesin maupun dayung. Sementara penampung hasil laut menggunakan keramba untuk menampung hasil tangkapan. Jumlah armada perahu relatif masih kecil, perahu dengan mesin katinting sebanyak 15 unit, mesin 15 PK sebanyak 4 unit, mesin 40 PK sebanyak 2 unit dan perahu dayung sebanyak 69 unit dimiliki setiap rumah.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
62
Laporan Teknis
Tabel 17. Jenis Alat Tangkap yang Digunakan Masyarakat Kampung Sawinggrai No. 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis Alat Tangkap Jaring Pancing Jala Panah Ikan Kalawai Total
Jumlah (Unit)
Persentase (%)
13 120 4 3 50 190
6,47 58,82 2,35 2,94 29,41 100 %
Keterangan Dimiliki hampir setiap orang
Sumber: Hasil revisi Alexander irwan susanto (2009)
Di wilayah Kampung Sawinggrai telah ditetapkan daerah-daerah untuk penangkapan tradisional sesuai kesepakatan masyarakat berdasarkan kebiasaan yang sudah berlaku sejak lama. Untuk daerah sekitar kampung yang berjarak 300 – 500 meter dari daratan dijadikan sebagai lokasi penangkapan ikan untuk umpan dan konsumsi khusus untuk masyarakat setempat. Kemampuan nelayan untuk dapat mengakses sumberdaya laut pada dasarnya nelayan memiliki kebebasan dalam mengakses dan memanfaatkan sumberdaya laut. Namun, di kawasan-kawasan tertentu nelayan tidak dapat mengakses sumberdaya laut yaitu di kawasan-kawasan konservasi baik secara hukum formal maupun secara informal dengan penerapan sistem buka tutup sasi baik sasi adat maupun sasi agama. Penggunaan alat tangkap yang sifatnya dapat merusak sumberdaya laut tidak diperkenankan, baik olehmasyarakat maupun pengawas sumberdaya yaitu Polair dan PSDKP.Alat tangkap yang boleh digunakan oleh nelayan hanya alat tangkap pancing, di wilayah Misool ditemukan jaring insang hanyut dan bagan teri. Curahan waktu nelayan dalam melakukan aktivitas di laut tergantung musim dan wilayah penangkapan. Nelayan di kabupaten Raja Ampat memiliki lokasi fishing ground yang tidak jauh dari wilayah pesisir sehingga fishing trip nelayan di sana merupakan one day fishing.Untuk jenis ikan kembung, biasanya nelayan di Kawasan Teluk Mayalibit pergi menangkap ikan mulai pukul 19.00 WIT hingga pukul 24.00 WIT atau berkisar 5 jam. Untuk jenis ikan lainnya, waktu menangkap ikan sejak pagi hingga siang hari, atau sejak pukul 15.00 WIT hingga pukul 17.00 WIT atau fishing trip yaitu satu harian atau one day fishing antara 2-4 jam. Dalam masyarakat terdapat hari pantang melaut yaitu pada hari Minggu karena pada waktu tersebut nelayan diharuskan beribadah di gereja. Jika nelayan pergi melaut maka akan dikenakan sanksi adat. Hal ini tidak berlaku bagi mereka nelayan
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
63
Laporan Teknis
yang beragama Islam. namun demikian, biasanya nelayan yang beragama Islam pada hari Minggu juga ikut libur melaut. Keterlibatan anak-anak dalam aktivitas melaut sangat besar. Seorang bocah sejak berusia 9 tahun sudah dapat mencari ikan sendiri dengan menggunakan sampan dayung dan alat tangkap yang digunakan yaitu pancing tradisional. Demikian juga keterlibatan kaum perempuan pada sektor perikanan khususnya pada pengolahan ikan.
G. Kabupaten Biak Numfor Penelitian di Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua dilaksanakan di Desa Yenusi, Woniki dan Bindusi, Distrik Biak Timur. Komposisi masyarakat sebagaimana yang disajikan pada Tabel 10. Menunjukan bahwa masyarakat sangat tergantung pada sumber daya kelautan dan perikanan. Namun sebagian masyarakat memiliki lebih dari 1 mata pencaharian. Karena faktor musim angin dan potensi sumber daya alam, masyarakat juga beraktivitas sebagai petani dan peternak. Dalam hal perdagangan, rata-rata nelayan berprofesi ganda sebagai pedagang hasil tangkapan. Untuk perempuan nelayan sebagian beraktifitas di bidang kerajinan tangan, pengolahan hasil tangkapan serta perdagangan. Jumlah rumah tangga nelayan pada tahun 2010 mencapai 5.279, dengan Biak Timur dan Biak Kota, sebagai distrik dengan jumlah rumah tangga nelayan terbanyak di Kabupaten Biak Numfor. Di Desa Yenusi, 75% masyarakat bergelut di bidang perikanan tangkap; 0,1% masyarakat bergelut di bidang perikanan budidaya darat; 5 % di bidang perdagangan, sedangkan yang memiliki aktivitas perikanan sekaligus pertanian dan peternakan mencapai 80% masyarakat. Di desa Bindusi 70% masyarakat bergelut di bidang perikanan tangkap; 10% bergelut di bidang pengolahan hasil tangkap, perdagangan 5%; perikanan tangkap sekaligus bertani 70%, perikanan tangkap sekaligus beternak 30%. Di Desa Woniki, Kampung Adorbari, 90% masyarakat bergelut di bidang perikanan tangkap, 100% di bidang perikanan tangkap sekaligus berdagang hasil tangkapan, 70% di bidang perikanan tangkap sekaligus bertani, dan 75% masyarakat memiliki peternakan. Masyarakat di lokasi-lokasi penelitian hamper seluruhnya adalah nelayan tradisional dengan kekuatan perahu tanpa mesin/motor atau masih menggunakan perahu dayung dengan kapasitas satu sampai dua orang, sedangkan alat tangkap yang digunakan adalah pancing dan jaring. Karena keterbatasan sarana dan prasarana kegiatan Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
64
Laporan Teknis
penangkapan maka nelayan hanya mampu menjangkau potensi laut berjarak 1-3 mil dari pesisir pantai dengan waktu melaut kurang dari 1 hari. Potensi budidaya ikan darat dan budidaya di laut baik ikan, teripang maupun rumput laut belum di maksimalkan, padahal potensi sumber daya alam sangat besar dan sudah ada kemauan dari masyarakat Biak. Terkait dengan kondisi sumber daya alam di laut berupa terumbu karang sudah berangsur membaik karena aktivitas pembiusan dan penggunaan bom yang merusak ekosistem laut sudah jauh berkurang. Hal ini karena efektivitas kinerja COREMAP yang mampu memberikan penyadaran bagi masyarakat, ditambah lagi pelarangan bagi penggunaan bius dan bom dari pemerintah daerah dan pol air. Akses terhadap sumber daya laut sangat terbatas walaupun potensi sangat besar. Hal ini dikarenakan minimnya sarana dan prasarana dalam aktifitas penangkapan di laut yang dimiliki oleh nelayan. Potensi sumber daya laut dalam belum dapat diakses masyarakat yang notabene masih tradisional. Jika melihat aspek alam maka komoditi yang bisa dikembangkan adalah budidaya ikan darat, budidaya rumput laut, budidaya ikan dasar dan budidaya teripang. Kesulitan dari pengembangan ekonomi di Kabupaten Biak selain terbentur dengan minimnya sarana dan prasarana, permodalan dan keterampilan adalah kemauan masayarakat untuk mau beralih profesi. Misalnya, masyarakat yang sudah terbiasa menangkap ikan lalu bertani akan sulit merubah kebiasaan dan keterampilan dalam melakukan aktifitas budidaya ikan darat, budidaya ikan laut dan terumbu karang. Namun demikian, masyarakat mengaku siap bila ada program pengembangan ekonomi. Masyarakat di lokasi penelitian hampir sebagian besar melakukan diversifikasi usaha, yaitu melakukan kegiatan penangkapan sekaligus pertanian dan peternakan, hampir setiap nelayan juga sebagai penjual hasil tangkapan. Untuk komoditas hasil budidaya pertanian antara lain: umbi-umbian, singkong, talas, jagung, kacang panjang, sawi, kol, terong, buncis, pinang, merica, kangkung, timun, sagu, tomat, durian, nangka, cempedak. Sedangkan untuk peternakan antara lain: ayam, babi dan sapi.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
65
Laporan Teknis
4.3.1.2 Keterlibatan Masyarakat pada Pencaharian Lain Komponen struktur ekonomi yang diamati, selain ketergantungan sumber daya laut, adalah keterlibatan masyarakat pada pencaharian lain yang tidak bergantung pada sumber daya laut. Tersedia lahan pertanian bagi sebagian masyarakat Wakatobi, Selayar dan Buton. Data hasil penelitian keterlibatan masyarakat pada pencaharian lain secara lengkap di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Keterlibatan Masyarakat pada Pencaharian Lain di Lokasi Penelitian No 1 2 3 4 5
Lokasi Pangkep Sikka Wakatobi Selayar Buton
6
Raja Ampat
7
Biak Numfor
Keterlibatan masyarakat pada pencaharian lain Sebagian masyarakat adalah buruh yang bekerja di sektor jasa Sebagian masyarakat membuka usaha untuk keperluan dasar masyarakat Sebagian masyarakat berusaha di bidang pertanian Sebagian masyarakat berusaha di bidang pertanian dan peternakan Sebagian besar masyarakat memiliki pekerjaan rangkap yaitu di perikanan dan non perikanan. Mereka bertani, berdagang, beternak, buruh, pertambangan dan menenun Sebagian besar masyarakat di pulau-pulau besar memiliki pekerjaan rangkap yaitu di perikanan dan non perikanan. Mereka bertani, beternak dan membuat kerajinan tangan. Selain itu ada juga pekerjaan buruh, pertambangan, jasa untuk pariwisata dan keterampilan tangan Sebagain masyarakat berusaha di bidang pertanian, peternakan, jasa kemasyarakatan dan perdagangan
Sumber: Data primer diolah (2012)
A. Kabupaten Pangkep Pada Kabupaten Pangkep terutama di kedua desa yang menjadi objek penelitian, di Desa Mattiro Baji terdapat 44,81% pekerja yang bekerja di sektor yang tidak bergantung pada sumber daya perikanan. Di desa Mattiro Bombang terdapat 31,34% pekerja yang bekerja di sektor yang tidak bergantung pada sumber daya perikanan. Rincian persentase pekerja menurut sektor yang tidak bergantung pada sumber daya perikanan disajikan pada Tabel 19 berikut ini. Tabel 19. Persentase Pekerja menurut Sektor yang Tidak Tergantung pada Sumberdaya Perikanan di Lokasi Penelitian No 1 2 3 4 5 6 7
Sektor Usaha Industri Listrik Jasa-jasa Bangunan Angkutan Perdagangan Lain-lain
Desa Mattiro Baji 21,42 0,85 1,70 2,00 1,70 12,57 4,57
Desa Mattiro Bombang 9,10 0,30 0,60 0,90 5,40 12,56 2,48
Sumber: Anonim (2010)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
66
Laporan Teknis
B. Kabupaten Sikka Selain matapencaharian yang sangat tergantung pada sumberdaya laut, terdapat mata pencaharian masyarakat yang tidak tergantung pada sumberdaya laut yaitu pertanian, peternakan, perdagangan dan buruh. Dusun Ndete memiliki potensi pertanian dan peternakan yang cukup baik untuk dikembangkan. Mereka memiliki lahan pertanian yang cukup luas dan subur karena letaknya yang berdekatan dengan pegunungan, demikian juga untuk peternakan. Sedangkan Wuring memiliki tanah yang kering sehingga tidak cocok untuk dikembangan pertanian. Sektor perdagangan seperti kios-kios lebih berkembang di Wuring karena letaknya yang strategis dan berdekatan dengan Pusat Kota Maumere dan dekat dari Pelabuhan Wuring dimana merupakan pelabuhan antar pulau. Jumlah pedagang kios yang menjual kebutuhan sembako, peralatan penangkapan dan BBM (Bahan Bakar Minyak) cukup banyak di Wuring.
C. Kabupaten Wakatobi Di Kabupaten Wakatobi selain mata pencaharian yang sangat tergantung pada sumber daya laut, terdapat mata pencaharian masyarakat yang tidak tergantung pada sumber daya laut yaitu sektor pertanian, jasa bangunan, jasa ojek. Meskipun lahan pertanian dalam kondisi kurang subur namun lahan pertanian cukup tersedia bagi masayarakat Wakatobi meskipun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga sendiri. Pengamatan pada lokasi sampel, penduduk di Desa Waha juga masih dominan menjadikan perikanan tangkap sebagai mata pencaharian utama yakni sebesar 64,1%. Jumlah ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2009 dimana banyaknya penduduk yang bekerja di bidang perikanan tangkap hanya mencapai 60,5%. Fenomena ini berbanding terbalik dengan jumlah penduduk yang menggeluti bidang pertanian tanaman pangan yang mengalami peningkatan dimana pada tahun 2008, jumlah penduduk yang menjadikan pertanian tanaman pangan sebagai mata pencaharian utama adalah 15,4% meningkat sebesar 3,2 % menjadi 18,6% di tahun 2009. Selanjutnya fenomena yang terjadi di Desa Mola Selatan sebagai perkampungan Suku Bajo (suku laut), jumlah masyarakat yang menggeluti kegiatan perikanan tangkap sebagai mata pencaharian utama adalah sebanyak 76,3% di tahun 2008 dan turun menjadi 73,2% di tahun 2009. Jumlah inipun juga turun jika dibandingkan pada saat tahun 2006 dimana jumlah masyarakat yang Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
67
Laporan Teknis
menggeluti pekerjaan ini adalah sebanyak 77,0%. Penurunan ini kemungkinan dikarenakan ada nelayan perikanan tangkap yang beralih untuk menggeluti kegiatan pertambangan, dimana besarnya sudah mencapai 22,4% di tahun 2008 dan kembali menunjukan grafik peningkatan di tahun 2009 menjadi 24,4%. Kenyataan ini merupakan imbas dari makin banyaknya kegiatan pembangunan yang dilakukan di Pulau Wangi-Wangi yang tentunya makin meningkatkan permintaan atas material-material seperti batu dan pasir. D. Kabupaten Selayar Di kabupaten Selayar selain mata pencaharian yang tergantung pada sumber daya laut, terdapat mata pencaharian sampingan di sektor pertanian (jagung, kelapa, jeruk, mangga, jati, jambu mete, pala, kopi robusta, jambu mete, kelapa dalam, kakao, vanili, kenari, dan kemiri). Masyarakat memanfaatkan sektor lain seperti pertanian dan peternakan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Di sektor pertanian, masyarakat Selayar terutama di desa Maharraya memiliki lahan sendiri atau sebagai petani penggarap untuk melakukan aktifitas pertaniannya. Menurut masyarakat, sebenarnya masyarakat Selayar berlatar belakang agraris atau bekerja pada sector pertanian. Namun seiring berjalannya waktu masyarakat di desa Maharraya banyak yang menggeluti aktifitas kelautan perikanan sekaligus pertanian serta peternakan. Diversifikasi usaha semacam ini mengurangi ketergangtungan masyarakat akan sumber daya laut. Sehingga ketidak pastian cuaca yang sering dihadapi oleh nelayan terkait pemanfaatan sumnber daya laut bisa dihadapi dengan bekerja pada sektor lain, seperti pertanian dan peternakan. Aktivitas lain selain kegiatan yang tidak tergantung pada sumber daya laut adalah pegawai, bengkel, pedagang dan pengolahan kopra. Untuk peternakan, banyak masyarakat yang selain menekuni kegiatan penangkapan juga menekuni kegiatan peternakan. Peternakan yang terdapat di Selayar adalah sapi, kambing dan ayam. Dan kegiatan sampingan ini mampu membuat nelayan bertahan hidup dan berkecukupan. Hal ini mencerminkan bahwa peluang diversivikasi usaha dapat efektif dalam menanggulangi ketergantungan dan ketidakpastian musim penangkapan ikan di laut.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
68
Laporan Teknis
E. Kabupaten Buton Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi mata pencaharian andalan bagi masyarakat di Kabupaten Buton. Hal ini karena lahan yang luas cukup tersedia. Jenis tanaman yang tumbuh subur di wilayah ini yaitu jambu mete, kelapa, umbiumbian, kopi, cengkeh, asam, jeruk dan tanaman holtikultura lainnya. Jeruk yang cukup terkenal berasal dari Pulau Siompu. Namun, saat ini pertumbuhan tanaman jeruk mengalami kepunahan. Hingga saat ini belum diketahui penyebabnya. Sektor pertanian meskipun tersedia di masyarakat tidak dapat dijadikan andalan bagi pendapatan rumah tangga kecuali tanaman jeruk. Untuk mendapatkan pendapatan dari sektor pertanian membutuhkan waktu yang lama sehingga mereka harus melakukan pekerjaan lainnya untuk dapat bertahan hidup. Hasil pendapatannya pun dinilai hanya dapat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak dapat digunakan untuk pengembangan usaha. Peternakan juga menjadi sumber mata pencaharian lain di kabupaten Buton. Hewan ternak yang biasa dipelihara yaitu sapi, kambing dan ayam. Hasil dari peternakan lainnya yaitu telur ayam yang cukup terkenal. Sektor lainnya yang tidak kalah terkenalnya yaitu pertambangan. Buton memang terkenal dengan aspal yang banyak diekspor keluar wilayah. Selain pertambangan aspal, terdapat juga pertambangan pasir, salah satunya terletak di Kecamatan Pasar Wajo, juga nikel, mangan dan minyak bumi. Mata pencaharian lainnya yang terdapat di kabupaten Buton yaitu industry rumah tangga yang menghasilkan kerajinan tenun dan anyaman. Untuk kain tenun, pada umumnya dikerjakan oleh kaum perempuan walaupun ada juga laki-laki yang mengerjakannya. Mereka mengerjakan tenunan sambil menjaga anak dan menunggu suami pulang dari melaut. kain tenun yang mereka buat terdiri dari dua motif yaitu motif untuk perempuan dan laki-laki. Waktu yang mereka butuhkan untuk menghasilkan satu buah kain tenun yaitu berkisar antara seminggu hingga sepuluh hari. Harga kain tenun tergantung motifnya, biasanya motif perempuan lebih mahal Rp20.000,- dibanding motif laki-laki, harga kain tenun motif laki-laki yaitu Rp80.000,-. Kerajinan lainnya yaitu anyaman yang terbuat dari bambu atau rotan yang dibuat menjadi keranjang, bubu, atau bola. Sektor perdagangan juga cukup berkembang di kabupaten Buton. Rata-rata tiap rumah memiliki pondok-pondok kecil yang digunakan untuk berdagang. Biasanya barang dagangannya yaitu kebutuhan rumah sehari-hari dan makanan kecil. Selain itu, kios-kios kecil juga menjual bensin eceran. Perdagangan ikan juga banyak dilakukan oleh kaum Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
69
Laporan Teknis
perempuan, istri-istri nelayan. Sektor usaha lainnya juga ditemukan di masyarakat Buton seperti buruh, ojek, guru atau PNS lainnya. Merantau juga merupakan salah satu jenis pekerjaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat. Daerah rantauan antara lain di dalam negeri seperti ke Ambon dan Papua, maupun keluar negeri yaitu Malaysia. F. Kabupaten Raja Ampat Di Kabupaten Raja Ampat sumber pendapatan dari kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang diantaranya adalah pendapatan dari kegiatan kenelayanan (perikanan tangkap dan budidaya), perdagangan hasil laut, pariwisata dan kerajinan rumah tangga untuk souvenir para wisatawan. Selain mata pencaharian yang sangat tergantung pada sumberdaya laut, terdapat mata pencaharian masyarakat yang tidak tergantung pada sumberdaya laut yaitu pertanian, peternakan, pertambangan, perdagangan, buruh dan jasa. Pada umumnya pulau-pulau di kabupaten Raja Ampat memiliki sumberdaya hutan dengan potensi pertanian yang besar untuk dikembangkan. Jenis tanaman yang tumbuh di Kabupaten Raja Ampat yaitu padi, jagung, kacang kedelai, kacang tanah, keladi, ubi kayu, dan ubi jalar. Dilihat dari tingkat produksinya pada tahun 2011, ubi jalar merupakan produksi terbesar yang dihasilkan pada sektor pertanian. Pulau yang paling banyak memiliki area pertanian adalah Pulau Waigeo sehingga produksi pertaniannya juga paling besar diantara pulau lainnya. Selain pertanian, Kabupaten Raja Ampat juga memiliki hasil perkebunan yaitu kelapa, kakao, pala, kopi, jambu mete, sagu, pinang, dan pandanus. Jenis tanaman perkebunan yang paling banyak dihasilkan di Kabupaten Raja Ampat yaitu kelapa dengan Pulau Misool Timur sebagai penghasil terbesar kelapa. Untuk jenis tanaman kakao, Pulau Waigeo Utara memiliki luas area yang luas. Pinang banyak ditemukan di Pulau Kofiau, sedang sagu terbanyak di Pulau Misool Selatan. Hasil hutan di Kabupaten Raja Ampat juga cukup terkenal. jenis hutan di Kabupaten Raja Ampat dibagi menurut peruntukannya yaitu hutan produksi, hutan produksi terbatas, hutan produksi konservasi, dan hutan untuk penggunaan lainnya. Kerusakan hutan yang disebabkan oleh illegal logging atau penebangan hutan secara liar menyebabkan luas area hutan produksi yang dikonservasi paling banyak yaitu mencapai 153.698,20 Ha. Pulau yang paling luas wilayah hutan lindungnya ada di Pulau Misool Utara. Produksi terbesar untuk hasil hutan yaitu masih pada jenis kayu bulat. Selain sektor
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
70
Laporan Teknis
pertanian dan perkebunan, sektor peternakan juga banyak diusahakan oleh masyarakat. jenis hewan yang diternak yaitu sapi, kambing, kerbau, babi, dan beberapa jenis unggas yaitu ayam kampung, itik, dan entok. Pulau penghasil ternak sapi terbesar yaitu Pulau Salawati Tengah, sedang untuk unggas penghasil terbanyak ada di kepulauan Waigeo Barat. Sektor pertanian, perkebunan, hutan dan peternakan meskipun tersedia di masyarakat namun hingga saat ini tidak dapat dijadikan andalan bagi pendapatan rumah tangga masyarakat di Kabupaten Raja Ampat. Untuk mendapatkan pendapatan dari sektor pertanian membutuhkan waktu yang lama sehingga mereka harus melakukan pekerjaan lainnya untuk dapat bertahan hidup. Masyarakat masih mengolah lahan pertanian, perkebunan, hutan secara tradisional sehingga hasil pertanian saat ini hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, walaupun dijual hanya dalam jumlah kecil, demikian juga untuk peternakan. Tidak sedikit juga pulau-pulau yang tidak memiliki potensi pertanian karena jenis tanahnya terdiri dari batu karang sehingga tidak cocok untuk dikembangan pertanian. Sektor perdagangan yang ditemukan di masyarakat masih pada skala kecil. Hasil pendapatan di sektor pertanian, perkebunan, hutan, dan peternakan dinilai hanya dapat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak dapat digunakan untuk pengembangan usaha. Sektor lainnya yang ada di masyarakat yaitu sektor pertambangan nikel dan pembuatan batu bata. Mata pencaharian lainnya yang sangat terkait dengan pengembangan pariwisata saat ini selain jasa yang tidak kalah pentingnya yaitu industri rumah tangga yang menghasilkan kerajinan tangan sebagai cinderamata khas Raja Ampat. Untuk kerajinan tangan ini pada umumnya dikerjakan oleh kaum perempuan walaupun ada juga laki-laki yang mengerjakannya. Mereka mengerjakan kerajinan tangan sambil menjaga anak dan menunggu suami pulang dari melaut. Kerajinan tangan yang dihasilkan yaitu hiasan rumah, penjepit rambut, ikat pinggang, tas, topi, tikar dan macam-macam lainnya. Kerajinan tangan ini terbuat dari hasil tanaman antara lain kelapa, pandanus, pinang dan beberapa jenis tanaman lainnya yang ada di sekitar tempat tinggal mereka.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
71
Laporan Teknis
G. Kabupaten Biak Numfor Masyarakat di lokasi penelitian hampir sebagian besar melakukan diversifikasi usaha yaitu, melakukan kegiatan penangkapan sekaligus pertanian dan peternakan, hampir setiap nelayan juga sebagai penjual hasil tangkapan. Untuk komoditas hasil budidaya pertanian antara lain: umbi-umbian, singkong, talas, jagung, kacang panjang, sawi, kol, terong, buncis, pinang, merica, kangkung, timun, sagu, tomat, durian, nangka, cempedak. Sedangkan untuk peternakan antara lain: ayam, babi dan sapi. 4.3.1.3 Struktur Pasar Komponen struktur ekonomi yang diamati selanjutnya adalah struktur pasar. Struktur pasar di Pangkep dan Selayar adalah Oligopsoni. Di Wakatobi dan Biak Numfor cenderung bebas karena pengaruh pedagang pengumpul tidak terlalu dominan. Di Sikka, untuk desa Wuring struktur pasarnya adalah oligopsoni dan di desa Ndete adalah monopsoni. Dan di Raja Ampat struktur pasarnya adalah monopsoni. Data hasil penelitian mengenai struktur pasar secara lengkap di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Struktur Pasar di Lokasi Penelitian No 1 2 3 4 5
Lokasi Pangkep Sikka Wakatobi Selayar Buton
6
Raja Ampat
7
Biak Numfor
Struktur Pasar Oligopsoni Oligopsoni (Wuring) dan Monopsoni (Ndete) Bebas Oligopsoni Monopsoni (pada umumnya disebabkan keterbatasn transportasi ke pulau lain) Monopsoni (pada umumnya disebabkan keterbatan transportasi ke pulau lain) Bebas
Sumber: data primer diolah (2012)
Sebagaimana disajikan pada Tabel 20 diatas, dapat dilihat bahwa struktur pasaruntuk usaha perikanan tangkap di Kabupaten Pangkep dikuasai oleh beberapa orang pengumpul (oligopsoni). Dengan keterikatan dari nelayan untuk menjual kepada masingmasing pengumpul yang telah memberikan pinjaman modal (perahu/alat tangkap/bahan bakar). Hasil tangkapan nelayan dipotong 7-10 per sekali jual oleh pengumpul. Untuk membayar hutang, nelayan mendapat potongan sebesar20 dari nilai jual hasil tangkapan kepada pengumpul. Transaksi dilaksanakan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) kemudian pengumpul menjual ke Makassar. Ciri struktur pasar yang menjadi ciri khas di Kabupaten
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
72
Laporan Teknis
Pangkep yaitu, penyalur/pembeli di TPI yang sedikit namun penjual yaitu nelayan banyak, dan ada keterikatan antara nelayan dengan penyalur. Harga hasil tangkapan ditentukan oleh pengumpul atau penyalur. Ketiadaan harga dasar yang ditetapkan menyebabkan harga hasil tangkapan mudah berfluktuasi. Struktur pasar di dua desa yang diteliti di kabupaten Sikka memiliki perbedaan karakteristik. Wuring memiliki struktur pasar oligopsoni dimana terdapat beberapa jumlah pembeli hasil tangkapan ikan, baik untuk jenis komoditi ikan tuna maupun ikan pelagis. Untuk jenis ikan tuna, nelayan menjual kepada penampung yang tinggal di Wuring. Kurang lebih terdapat 6 orang pembeli atau penampung tuna. Untuk ikan pelagis atau hasil lempara, nelayan langsung menjual di TPI Maumere. Biasanya pembeli sudah menunggu di TPI. Berbeda dengan Wuring, struktur pasar di Ndete tergolong ke dalam kriteria monopsoni dimana hanya ada satu pembeli hasil tangkapan ikan yaitu Pak Syaiful. Pak Syaiful menjadi penampung ikan dan pemberi modal pada saat nelayan akan melaut. Dilihat dari jenis barang yang dijual maka struktur pasar di kedua desa tergolong oligopsoni dan monopsoni. Harga ikan ditentukan oleh pembeli, nelayan dalam hal ini hanya menerima harga yang ditetapkan oleh pembeli. Tidak ada proses tawar menawar dalam proses jual beli. Untuk nelayan lempara, biasanya harga semakin baik jika dijual lebih pagi. Untuk mengetahui informasi harga di TPI, nelayan pemilik lempara berkomunikasi dengan penjual di TPI menggunakan handphone (HP). Informasi mengenai harga bisa diperoleh nelayan dengan mudah. Hambatan terhadap pembeli untuk di Wuring hampir tidak ada karena nelayan dapat memilih kepada siapa mereka menjual hasil tangkapannya. Biasanya nelayan memilih pembeli yang menawarkan harga lebih mahal meskipun selisihnya hanya sedikit. Untuk nelayan tuna jika mereka ingin beralih ke pembeli lain maka harus menutupi hutang yang ada di pembeli atau penampung tuna sebelumnya. Untuk nelayan lempara, biasanya ada penjual atau palele yang menjualkan ikan di TPI. Struktur pasar perikanan di Kabupaten Wakatobi cenderung dikuasai oleh beberapa pengumpul (oligopsoni). Nelayan memiliki kewajiban untuk menjual hasil tangkapannya ke pengumpul, terutama bagi mereka yang memiliki hutang atau pinjaman ke pengumpul tersebut. Sisa ikan dengan ukuran yang kecil dan jumlah yang sedikit dijual langsung ke pasar. Tidak ada potongan hasil tangkapan oleh pengumpul, hanya potongan hutang.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
73
Laporan Teknis
Harga hasil tangkapan juga ditentukan oleh pengumpul tersebut, tidak ada daya nelayan dalam menentukan harga. Struktur Pasar di Kabupaten Selayar dapat dikatakan adalah struktur pasar oligopsoni dimana terdapat beberapa pembeli. Namun yang patut menjadi perhatian untuk mengidentifikasi struktur pasar di Selayar adalah pengaruh komoditas terhadap Struktur pasar. Untuk jenis ikan timbangan, nelayan yang mengantarkan kepada pengumpul namun untuk jenis ikan bukan timbangan pembeli yang mendatangi nelayan. Pengumpul ikan timbangan berasal dari luar desa dan terdapat dominasi pembeli yaitu pengumpul meskipun ada proses tawar menawar. Berbeda dengan hal tersebut, untuk jenis ikan bukan timbangan terdapat dominasi penjual (nelayan). Dalam aktifitas ekonomi pembudidaya rumput laut, terdapat cirri struktur ekonomi monopsoni, seperti yang terdapat di Desa Maharraya hanya ada satu orang pengumpul (pembeli) sehingga daya tawar pembudidaya dalam penentuan harga cenderung rendah. Nelayan juga dapat menjual langsung ke pasar yaitu kepada pengecer, mereka mengakui terdapat pasar untuk lokasi penjualan hasil tangkapan. Jalur pemasaran di Kabupaten Selayar khususnya di desa Maharraya yang menjadi lokasi penelitian menunjukan bahwa jalur pemasaran begitu pendek untuk daerah pemasaran lokal yaitu nelayan sekaligus penjual lalu pengecer lalu konsumen. Atau yang kedua nelayan (penjual) lamgsung ke konsumen di pasar tradisional. Sistem pemasaran hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Buton dipasarkan kepada penampung ikan lokal. Penampung yang akan membeli hasil tangkapan nelayan ada yang berasal dari dalam dan luar kampung nelayan. Pada saat penampung ikan tidak membeli ikan baik karena alasan tertentu atau karena berada di luar kampung maka nelayan akan membawa pulang hasil tangkapannya dan dengan kata lain tidak mendapatkan uang. Hal ini karena untuk menjual hasil tangkapan nelayan kepada pembeli ikan yang berada di pulau lain atau di ibukota kabupaten membutuhkan sarana transportasi. Armada penangkapan nelayan yang masih tergolong tradisional pada umumnya tidak dapat digunakan untuk memasarkan hasil tangkapan karena jarak yang ditempuh cukup jauh dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Hingga saat ini, penampung ikan menjadi solusi utama persoalan transportasi bagi pemasaran ikan. Untuk di Kecamatan Pasar Wajo sistem pemasarannya juga berbeda-beda di tiap desa. Ada ikan yang dijual langsung ke konsumen sebanyak 75, 25 lagi dijual ke papalele. Untuk ikan tuna besar biasanya dijual ke pelelangan di Baubau. Di Desa Watinamboro Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
74
Laporan Teknis
rata-rata nelayannya menjual ikan ke papalele karena tidak ada pasar. Menurut nelayan daripada sulit membawa ikan ke gunung lebih baik dijual ke papalele karena permasalahannya tidak ada pengawetan ikan. Sistem pemasaran hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Buton tergantung komoditas ikan yang diperolehnya, namun pada umumnya sistem pemasaran di Kabupaten Buton dapat dibagi dua, yaitu dapat dijual di pulau atau ke ibukota kabupaten. Berbeda dengan ikan, sistem pemasaran rumput laut dan jenis ikan-ikan tertentu seperti napoleon dan kerapu hanya dapat dijual menunggu pembeli datang dari luar pulau. Hal ini berdampak pada harga jual komoditas tersebut. Sistem pemasaran hasil tangkapan dapat digambarkan sebagai berikut:
Nelayan mendapat hasil tangkapan dijual ke penjual ikan di kampung
Nelayan mendapat hasil tangkapan dijual ke penjual ikan di Baobao Pada prinsipnya nelayan sangat menginginkan jalur pemasaran hasil tangkapan
mereka dijual kepada pembeli di Ibukota Kabupaten karena harga jualnya yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga jual dari penampung di kampung. Namun keterbatasan sarana transportasi antar pulau yang dapat menghubungkan nelayan dengan para pembeli di luar kampung menyebabkan mereka hanya dapat menjual hasil tangkapannya kepada penampung lokal. Harga ikan ditentukan oleh penampung lokal, nelayan tidak berani menetapkan harga sendiri, karena yang menentukanan harga dari pengumpul Bao Bao. Kemungkinan proses tawar menawar dalam proses jual beli sangat kecil. Perjalanan dari pulau ke ibukota kabupaten membutuhkan waktu lama dengan biaya bahan bakar yang tidak sedikit. Terkadang nelayan menumpuk rumput laut hingga berton ton berharap harga naik, tetapi ternyata harga justru turun. Harga rumput laut di Kabupaten Buton pada saat penelitian hanya Rp 5.000/kg. Hal yang menyedihkan lagi, jika sedang banyak ikan maka ikan gratis karena tidak ada yang membeli, sedang sepi ikan maka ikan kecil saja bisa mencapai Rp10.000/ekor. Sistem pemasaran hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Raja Ampat dipasarkan kepada penadah, sebutan untuk penampung ikan lokal. Penadah yang akan membeli hasil tangkapan nelayan ada yang berasal dari dalam dan luar kampung nelayan. Pada saat penadah ikan tidak membeli ikan baik karena alasan tertentu atau karena berada di luar kampung maka nelayan akan membawa pulang hasil tangkapannya dan dengan kata lain tidak mendapatkan uang. Hal ini karena untuk menjual hasil tangkapan nelayan kepada Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
75
Laporan Teknis
pembeli ikan yang berada di pulau lain atau di ibukota kabupaten membutuhkan sarana transportasi. Armada penangkapan nelayan yang masih tergolong tradisional pada umumnya tidak dapat digunakan untuk memasarkan hasil tangkapan karena jarak yang ditempuh cukup jauh dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Hingga saat ini, penadah ikan menjadi solusi utama persoalan transportasi bagi pemasaran ikan. Sistem pemasaran hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Raja Ampat pada umumnya dapat digambarkan sebagai berikut:
Nelayan mendapat hasil tangkapan ikan dibersihkan dijual ke penjual ikan di kampung, sebagian lainnya dibawa pulang
Nelayan mendapat hasil tangkapan ikan dibersihkan dijual ke penadah ikan di kampung, sebagian lainnya dibawa pulang
Nelayan mendapat hasil tangkapan ikan dibersihkan ikan dibawa pulang
Hasil tangkapan ada yang dijual ke kampung tetangga Permasalahan minimnya sarana transportasi memang menjadi masalah utama
dalam sistem pemasaran hasil tangkapan nelayan di wilayah kepulauan, khususnya Kabupaten Raja Ampat yang memiliki banyak pulau, baik pulau besar dan kecil. Jarak dari Ibukota Kabupaten Raja Ampat, Waisai, ke wilayah kabupaten lain pun cukup jauh, yaitu berjarak 36 mil laut (67 km) dari Sorong. Akses untuk mencapainya hanya dapat menggunakan transportasi laut. Pada saat kondisi cuaca bagus waktu yang dibutuhkan dari Waisai ke Sorong yaitu 1,5 jam dengan menggunakan speedboat berkecapatan 30 knot. Pemerintah setempat saat ini sudah menyediakan sarana transportasi ke Sorong dan beberapa daerah lainnya di Raja Ampat, yaitu 2 buah kapal motor untuk kapal angkut barang dan penumpang, yaitu KM. Fajar Nock dan KM. Raja Ampat 2. Namun karena keterbatasan yang ada, rute kedua kapal ini tidak tetap sehingga tidak dapat diandalkan untuk sarana transportasi pemasaran hasil tangkapan nelayan. Kondisi wilayah laut yang lebih luas dari daratan menyebabkan sarana transportasi laut lebih menonjol bila dibandingkan dengan transportasi darat. Selain untuk memasarkan hasil tangkapan nelayan, transportasi laut sangat penting bagi masyarakat Kabupaten Raja Ampat untuk bepergian dari kampung ke kampung, ke ibukota distrik atau ke ibukota kabupaten dan ke Sorong. Namun demikian hingga saat ini alat transportasi laut, baik umum maupun pribadi masih sangat terbatas, baik dalam jumlah maupun frekuensi pelayaran.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
76
Laporan Teknis
Keterbatasan sarana transportasi antar pulau menyebabkan nelayan hingga saat ini lebih mengandalkan penadah yang ada di kampung-kampung mereka untuk memasarkan hasil tangkapannya. Hal ini pada akhirnya berpengaruh pada rendahnya pendapatan yang diterima nelayan. Nelayan tidak memiliki posisi tawar harga ikan yang tinggi dan terpaksa menerima harga yang diberikan oleh penadah. Berdasarkan hasil penelitian, harga ikan dapat dijual lebih tinggi hingga tiga kali lipat jika dijual ke ibukota kabupaten. Sebagai contoh ikan lema atau ikan kembung yang diperoleh nelayan memiliki harga jual per ekor seribu rupiah jika dijual kepada penadah di kampung. Namun jika dijual kepada pembeli ikan di ibukota kabupaten maka harga jual ikan bisa mencapai 20.000 rupiah per tujuh ekor. Demikian juga dengan harga ikan kerapu yang memiliki harga berbeda yaitu jika dijual kepada penadah di kampung harga jual ikannya hanya 50.000 rupiah sedangkan jika dijual kepada pembeli di ibukota kabupaten harga jualnya dapat mencapai 150.000 rupiah per ekor. Demikian juga dengan harga teripang dan beberapa jenis ikan lainnya seperti tengiri, kerapu dan cakalang yang sangat berbeda antara dijual kepada penadah di kampung dengan harga jual yang diberikan oleh pembeli di Ibukota Kabupaten, Waisai atau di Sorong. Pada prinsipnya nelayan sangat mengnginkan jalur pemasaran hasil tangkapan mereka dijual kepada pembeli di Ibukota Kabupaten, Waisai atau di Kabupaten Sorong karena harga jualnya yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga jual dari penadah di kampung. Namun keterbatasan sarana transportasi antar pulau yang dapat menghubungkan nelayan dengan para pembeli di luar kampung menyebabkan mereka hanya dapat menjual hasil tangkapannya kepada penadah di kampung. Terkadang, beberapa nelayan secara kolektif mengeluarkan uang untuk membeli bahan bakar kapal sejenis ketinting atau longboat yang dimiliki salah seorang nelayan untuk menjual hasil tangkapan mereka ke luar kampung. Hal ini pada dasarnya untuk memperbaiki tingkat pendapatan nelayan agar jauh lebih baik dengan harga jual ikan yang lebih tinggi. Dilihat dari jenis barang yang dijual maka struktur pasar yang ditemukan di Kabupaten Raja Ampat tergolong monopsoni. Harga ikan ditentukan oleh pembeli, nelayan dalam hal ini hanya menerima harga yang ditetapkan oleh pembeli. Tidak ada proses tawar menawar dalam proses jual beli. Pada dasarnya hambatan terhadap pembeli untuk di kampung-kampung hampir tidak ada karena nelayan dapat memilih kepada siapa mereka menjual hasil tangkapannya. Biasanya nelayan memilih pembeli yang menawarkan harga Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
77
Laporan Teknis
lebih mahal meskipun selisihnya hanya sedikit.Namun seperti yang sudah diuraikan di atas, hambatan sarana transportasi menjadi permasalahan utama dalam sistem pemasaran di Kabupaten Raja Ampat. Struktur pasar di Kabupaten Biak Numfor adalah bebas, tidak ada dominasi penjual atau pembeli dan ada proses tawar menawar yang berlaku di pasar. Ketiadaan dominasi tidak terlepas dari kepemilikan alat produksi yang dimiliki oleh nelayan dan tidak bergantung pada pengumpul. Terdapat fluktuasi harga yang dipengaruhi oleh ketersediaan pasokan. Ketersediaan pasokan sangat dipengaruhi oleh musim, jika musim sedang buruk yang tidak memungkinkan adanya aktifitas penangkapan maka pasokan hasil laut sedikit dan harga menjadi mahal, begitu pula berlaku sebaliknya. Tujuan pemasaran yaitu sebagian besar ke konsumen domestik dan sebagian kecil pengumpul untuk dipasarkan ke Jayapura. Di Kabupaten Biak Numfor terdapat hari pasar dimana pada hari tersebut aktifitas sebagian besar nelayan adalah menjual ikan di pasar. terdapat 2 pasar ikan yaitu Pasar di Biak Kota dan di Bosnik.
4.3.1.4 Kelembagaan Usaha Komponen struktur ekonomi yang diamati selanjutnya, adalah kelembagaan usaha. Secara umum, pembentukan kelembagaan didasari motivasi sesaat. Data hasil penelitian mengenai kelembagaan usaha secara lengkap di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Kelembagaan Usaha di Lokasi Penelitian No 1 2 3 4
Lokasi Pangkep Sikka Wakatobi Selayar
5
Buton
6
Raja Ampat
7
Biak Numfor
Kelembagaan Usaha Kelompok telah terbentuk, namun aktivitas tidak signifikan Kelompok telah terbentuk, namun aktivitas tidak signifikan Selain kelompok, telah terbentuk koperasi, namun belum berperan efektif Terdapat koperasi dengan keaktifan rendah dan manfaat yang dirasakan rendah dan kelompok usaha bersama yang keaktifannya tinggi dan dirasakan sangat bermanfaat, terdapat kelompok bentukan COREMAP yang keaktifan dan manfaatnya tinggi bagi masyarakat Keberadaan kelompok nelayan sudah ada dengan aktivitas dan manfaat yang cukup tinggi. Hal ini salah satu disebabkan karena program Coremap saat ini masih berjalan di Kabupaten Buton dengan menggunakan APBD Berbagai kelompok dari berbagai macam program pernah dibentuk namun hanya berjalan pada saat program tersebut masih ada, setelah programnya selesai maka kelompok sudah tidak memiliki aktivitas lagi. Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa nelayan hampir lupa kalau mereka memiliki kelompok usaha. Tidak ditemukan adanya kelembagaan usaha, meskipun nelayan mengaku mulai membentuk kelompok untuk mendapat bantuan
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
78
Laporan Teknis
Sebagaimana telah disajikan pada Tabel 21 diatas, di Kabupaten Pangkep, terdapat kelompok usaha bersama namun belum aktif dalam berkegiatan. Sama halnya dengan keberadaan Koperasi yang tidak aktif dalam melaksanakan fungsinya. Motivasi masyarakat dalam pembentukan lembaga masih bermotif objek penerima bantuan. Hal ini menyebabkan rasa kegotong-royongan serta bentuk kerjasama tidak terlahir sebagaimana mestinya. Karena motifasi tersebut maka kegiatan-kegiatan rutin dalam kelompok tidak berjalan. Hal ini mengakibatkan lemahnya masyarakat nelayan untuk saling membantu dan menopang jika ada masyarakat nelayan lain mengalami kesulitan terutama di bidang permodalan. Struktur kelembagaan yang lemah juga turut menjadi faktor besarnya dominasi pengumpul dalam memberikan pinjaman kepada nelayan. Di Kabupaten Sikka lembaga permodalan koperasi nelayan tidak ada di kedua desa. Sehingga banyak nelayan yang terjebak dalam sistem rentenir. Pinjaman yang mereka peroleh dikenakan bunga hingga 20. Pemberi rentenir yaitu orang Maumere. Sehingga banyak yang terjebak dalam lingkaran hutang terus menerus sehingga sulit sekali untuk bisa memiliki simpanan atau tabungan. Alasan mereka menggunakan pinjaman di rentenir karena menurut mereka sangat sulit meminjam uang kepada para pemilik kapal atau juragan. Selain itu, jika mereka ingin meminjam di Bank (BRI) persyaratan dan prosesnya membutuhkan waktu lebih lama. Sudah ada juga tawaran pinjaman dari BRI, perorang bisa hingga 5 juta rupiah, bunga yang dikenakan 1,5. Untuk pemilik kapal mereka meminjam di Bank dengan agunan sertifikat tanah yang mereka pinjam dari orang gunung. Dari pinjaman yang diperoleh mereka memberikan feeuntuk orang gunung sebesar Rp 1.000.000,-. Keberadaan kelompok di kedua desa di Sikka sudah ada, namun pada kenyataannya kelompok nelayan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Keberadaan kelompok di masyarakat telah terdaftar di Dinas Kelautan Perikanan setempat, namun tidak ada aktivitas yang dijalankan. Terbentuknya kelompok tidak lahir dari keinginan masyarakat tetapi diinisiasi akan adanya bantuan. Di Wuring, kelompok nelayan lebih pada alat tangkap yang digunakan. Namun pada kenyataannya kelompok nelayan lempara hanya pemilik lempara yang terlibat, sedang ABK lempara tidak ikut dilibatkan. Hal ini disebabkan karena adanya perasaan curiga antara pemilik dan ABK lempara sehingga hubungan yang terbentuk kurang harmonis dan pada akhirnya mempengaruhi kehidupan berorganisasi. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
79
Laporan Teknis
Di Kabupaten Wakatobi, kelompok usaha bersama sudah ada, dan biasanya terbentuk ketika ada bantuan. Iuran anggota berkisar antara Rp. 100.000 – 200.00 per bulan,
tergantung pada kemampuan maupun jumlah hasil tangkapan nelayan. Iuran
anggota ini digunakan untuk memfasilitasi anggota kelompok yang membutuhkan pinjaman untuk modal usaha, memperbaiki mesin perahu, baling-baling yang rusak, jaring, maupun untuk biaya operasional dalam pertemuan guna membahas aktifitas melaut ataupun membudidaya. Koperasi di beberapa desa sudah ada. Koperasi tersebut dibentuk oleh Dinas Kelautan dan Perikanan setempat, namun keberadaan koperasi tersebut belum banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat perikanan, dan hanya sebagian yang sudah menjadi
anggota koperasi tersebut. Kurangnya peran koperasi di masyarakat nelayan berdampak pada kuatnya peran pengumpul dalam pengadaan pinjaman dan penentuan harga ikan. Di Kabupaten Selayar terdapat kelembagaan usaha seperti koperasi, kelompok usaha bersama. Koperasi yang terdapat di Kbupaten Selayar adalah koperasi penualan sehingga nelayan kurang merasakan manfaatnya sehingga jarang sekali ada nelayan yang berminat bergabung dengan koperasi. Nelayan lebih cenderung minat terhadap kelompok usaha bersama. Kelompok usaha bersama dikategorikan sesuai alat tangkapnya, seperti kelompok jarring; kelompom bagan; kelompok pancing dsb. Para nelayan sangat merasakan manfaat dari bergabung dengan kelompok. Adapun manfaat yang telah mereka rasakan adalah: bantuan permodalan, kerjasama/kegotong-royongan, tukar informasi. Manfaat-manfaat tersebut berimplikasi pada peningkatan pendapatan nelayan termasuk kemudahan mengakses modal. Di dalam kelompok juga terdapat iuran rutin sebanyak Rp. 50.000/bulan dan kelompok sudah mempunyai rekening di Bank. Keberadaan kelompok nelayan di Kabupaten Buton sudah ada dengan aktivitas dan manfaat yang cukup tinggi. Pembentukan kelompok-kelompok nelayan difasilitasi oleh pemerintah setempat. Hal ini salah satu disebabkan karena program Coremap saat ini masih berjalan di Kabupaten Buton dengan menggunakan APBD. Lembaga permodalan nelayansudah ada di lokasi-lokasi penelitian. Meskipun keberadaan kelompok nelayan sudah ada dan memiliki aktivitas cukup tinggi, namun pada dasarnya pembentukan kelompok masih diinisiasi oleh pemerintah atau pihak luar dan masih termotivasi untuk mendapatkan bantuan. Demikian juga dengan lembaga koperasi, peranannya lebih pada kebutuhan simpan pinjam. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
80
Laporan Teknis
Berbagai kelompok dari berbagai macam program pernah dibentuk di kabupaten Raja Ampat. Namun, berbagai kelompok tersebut hanya berjalan pada saat program tersebut masih ada, setelah programnya selesai maka kelompok sudah tidak memiliki aktivitas lagi. Bahkan pada saat penelitian ini berlangsung banyak nelayan hampir lupa kalau mereka pernah dan masih memiliki kelompok usaha. Dalam melakukan berbagai aktivitas, masyarakat mengorganisasikan diri dalam sebuah kelompok yang memiliki orientasi spesifik. Saat ini paling tidak ada 3 (tiga) kelompok, yaitu (a) Kelompok Produktif, (b) Kelompok Konservasi dan (c) Kelompok Perempuan. Di Kampung Sawinggrai terdapat pula beberapa petugas yang mewakili instansinya (Guru dan Paramedis). Pola interaksi antar lembaga ini tidak terlalu harmonis. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman masing-masing pihak tentang keberadaannya di kampung. Sejak dilaksanakannya program PBM-COREMAP di kampung ini telah didorong agar elemen-elemen kelembagaan kampung dapat melakukan hubungan antar pihak secara sinergik. Untuk pengorganisasian masyarakat dan proses-proses pembangunan lainnya di tingkat kampung difasilitasi oleh sebuah Lembaga Pemerintahan Kampung yang terdiri dari Kepala Kampung yang dibantu beberapa aparat kampung. Selain itu terdapat pula lembaga yang fungsinya sebagai perencana dan pengelola serta pengawasan dan pengendalian pembangunan di tingkat kampung yang disebut BAMUSKAM. Akan tetapi saat ini, tidak berfungsi secara optimal. BAMUSKAM diharapkan oleh masyarakat untuk mengambil peran lebih besar, termasuk menjadi mitra Kepala Kampung dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakat. Di Kabupaten Biak Numfor kelembagaan usaha berupa koperasi secara tematik, kelompok tidak terlihat. Menurut pengakuan responden kondisi kelembagaan usaha buruk dan tidak pernah ada kecuali kelembagaan adat dan gereja. Namun kesadaran untuk membentuk kelompok sudah mulai sedikit tumbuh, walaupun motivasinya adalah mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
81
Laporan Teknis
4.3.1.5 Penguasaan Aset Komponen struktur ekonomi yang diamati selanjutnya, adalah penguasaan aset. Sumber modal pada umumnya berasal dari pinjaman ke pengumpul. Data hasil penelitian mengenai penguasaan aset secara lengkap di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Penguasaan Aset di Lokasi Penelitian No 1 2
Lokasi Pangkep Sikka
3
Wakatobi
4
Selayar
5
Buton
6
Raja Ampat
7
Biak Numfor
Penguasaan Aset Kepemilikan aset bersifat pribadi, tetapi terkonsentrasi pada pimpinan usaha Kepemilikan aset bersifat pribadi, tetapi terkonsentrasi pada pimpinan usaha Kepemilikan aset bersifat pribadi, tetapi terkonsentrasi pada pimpinan usaha Aset primer dikuasai pengumpul dan pribadi sedangkan lahan pertanian milik tuan tanah Kepemilikan aset primer baik di sektor perikanan maupun di pertanian bersifat pribadi Kepemilikan aset primer baik di sektor perikanan maupun di pertanian bersifat pribadi Aset Produksi bersifat pribadi/keluarga
Sumber: data primer diolah (2012)
Di Kabupaten Pangkep, penguasaan aset dalam hal perahu, alat tangkap dan bahan bakar dikuasai olehpengumpul. Nelayan meminjam atau berhutang aset kepada pengumpul. Namun sebagian besar nelayan sudah mempunyai aset sendiri, namun dengan beban pinjaman kepada nelayan hingga mencapai Rp 20.000.000. Data dari dinas kelautan dan perikanan menyebutkan bahwa pada tahun 2010 jumlah armada penangkap ikan di Kabupaten Pangkep adalah berjumlah 2,387 unit (Tabel 23). Sedangkan untuk alat tangkapnya secara rinci disajikan pada Tabel 24. Tabel 23. Jumlah Armada Penangkapan Perikanan di Kabupaten Pangkep, 2010 No 1 2 3
Jenis Armada Penangkapan Perahu tanpa motor (kecil) Perahu tempel Kapal Motor Jumlah
Jumlah (unit) 137 745 1.508 2.387
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep (2011)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
82
Laporan Teknis
Tabel 24. Jumlah Alat Tangkap Perikanan di Kabupaten Pangkep, 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jenis Alat Tangkap
Jumlah (unit) 117 8 1.128 58 58 66 631 15 22 37 85 10 82
Pukat cincin Jaring klitik Jaring insan tetap Bagan perahu Bagan tancap Dogol/cantrang Pancing lainnya Jala Serok Sero Pancing Cumi-cumi Jaring insang hanyut Bubu Jumlah
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep (2011)
Di Kabupaten Sikka, untuk lokasi penelitian di Dusun Ndete, kepemilikan armada penangkapan 100% sudah milik sendiri, yaitu sampan dayung dan ketinting dengan alat tangkap pancing. Nelayan di Dusun Wuring, sebagian besar nelayan masih belum memiliki armada dan alat tangkap sendiri, sehingga mereka kebanyakan menjadi buruh nelayan. Penguasaan asset dalam hal perahu, alat tangkap dan bahan bakar masih dikuasai olehpemilik modal.Nelayan ABK hanya menjadi crew pada saat melaut.
Rincian
kepemilikan kapal nelayan Wuring dapat dilihat pada Tabel 25 sebagai berikut. Tabel 25. Kepemilikan Kapal Nelayan Wuring No 1 2
Memiliki kapal Ya Tidak Jumlah
Jumlah responden
Persentase 37 43 80
46,25 53,75 100
Sumber : anonim, ( 2009)
Di Kabupaten Wakatobi, aset produksi terbanyak yang dimiliki oleh penduduk yang bekerja di sektor perikanan yaitu masih tetap peralatan tradisional berupa kail (pancing). Ini karena sifat alat tangkap pancing yang penggunaanya dapat dilakukan sendiri oleh nelayan dan juga harga pancing relatif murah dibanding alat tangkap lainnya. Sedangkan alat tangkap terbanyak kedua yang dimiiliki oleh nelayan Wakatobi adalah jaring, yang mayoritas berupa jaring insang. Jaring merupakan jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan di karang. Selain itu terdapat juga nelayan yang menggunakan alat tangkap pukat tarik, pukat cincin dan bubu namun jumlahnya sangat
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
83
Laporan Teknis
kecil dibandingkan pemakai pancing dan jaring insang yang jamak digunakan oleh nelayan di Wakatobi (Hidayati dkk, 2007). Selanjutnya, dalam hal sarana penangkapan, jenis sarana penangkapan ikan yang paling banyak dimiliki penduduk adalah jukung (lokal: koli-koli) yang merupakan sarana paling sederhana dan harganya cukup murah (Hidayati dkk, 2007). Jukung biasanya hanya digunakan untuk menangkap ikan di laut dangkal karena tidak mampu melampaui ombak besar di laut dalam. Disamping sebagai sarana penangkapan ikan, jukung biasanya digunakan untuk media transportasi dari satu tempat ke tempat lain. Penduduk yang memiliki kapal dan perahu motor masih sedikit, sebab harga sarana produksi ini cukup mahal. Perahu motor dalam dan tempel biasa digunakan oleh penduduk untuk mencari ikan hingga ke laut dalam. Sarana produksi ini biasa digunakan oleh nelayan penangkap ikan tuna dan cakalang yang tetap melakukan kegiatan penangkapan walaupun pada saat musim gelombang kuat. Di Kabupaten Selayar di desa Bontolebang sebagian besar nelayan telah memiliki asset berupa kapal, alat tangkap serta karamba tancap sendiri. Sebagian kecil nelayan bekerja sebagai ABK dengan kepemilikan asset ada di pengumpul. Di desa Maharayya sebagian besar masyarakat memiliki alat tangkap serta kapal sendiri dan tidak bergantung modal pada pengumpul. Masyarakat pertanian juga sebagian besar memiliki lahan sendiri. Di Kabupaten Buton secara keseluruhan kepemilikan armada penangkapan dan alat tangkap 100% sudah milik sendiri, yaitu sampan dayung dan ketinting dengan alat tangkap pancing, jaring dan bahan bakar. Untuk sektor pertanian masyarakat juga memiliki lahan sendiri. Nelayan di Kabupaten Raja Ampat secara keseluruhan kepemilikan armada penangkapan dan alat tangkap 100% sudah milik sendiri, yaitu sampan dayung dan ketinting dengan alat tangkap pancing, jaring dan bahan bakar. Untuk sektor pertanian masyarakat juga memiliki lahan sendiri. Di Kabupaten Biak Numfor, di 3 (tiga) desa yang menjadi lokasi penelitian sebagian besar masyarakat nelayan memiliki alat produksi primer berupa perahu dayung atau sampan dan motor tempel sendiri. Nelayan tidak terikat pada pemilik modal dari pihak lain. Masyarakat nelayan juga memiliki secara mandiri alat produksi sekunder berupa alat tangkap yang modalnya berasal dari modal mandiri/sendiri. Di bidang
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
84
Laporan Teknis
pertanian dan peternakan kondisi kepemilikan aset produksi dimiliki sendiri dan sumber permodalan tidak berasal dari pihak lain.
4.3.1.6 Mekanisme Pengambilan Keputusan Komponen struktur ekonomi yang diamati selanjutnya, adalah mekanisme pengambilan keputusan. Secara umum, pengambilan keputusan cenderung
terkait
kepemilikan modal. Data hasil penelitian mengenai mekanisme pengambilan keputusan secara lengkap di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Mekanisme Pengambilan Keputusan di Lokasi Penelitian No 1 2 3
Lokasi Pangkep Sikka Wakatobi
4
Selayar
5 6 7
Buton Raja Ampat Biak Numfor
Mekanisme Pengambilan Keputusan Didominasi oleh pengumpul Didominasi Individu pemilik kapal dan alat tangkap Relatif terdapat keseimbangan di antara semua pihak dalam pengambilan keputusan Relatif terdapat keseimbangan di antara semua pihak dalam pengambilan keputusan Pengambilan keputusan bergantung pada individu masing-masing Pengambilan keputusan bergantung pada individu masing-masing Relatif terdapat keseimbangan di antara semua pihak dalam pengambilan keputusan
Sumber: data primer diolah (2012)
Di Kabupaten Pangkep, pengambilan keputusan dalam pembagian hasil dan penentuan harga jual hasil tangkapan ada di tangan pengumpul. Besaran nilai bagi hasil ditentukan oleh pengumpul berdasarkan hasil tangkapan nelayan dan jumlah pinjaman kepada pengumpul. Salah satu sistem bagi hasil dalam usaha budidaya karamba jaring apung/perikanan tangkap yaitu, sistem bagi hasil = Hasil penjualan – Biaya operasional = Net/2. 1 bagian untuk pemilik modal dan 1 bagian lain untuk pekerja (5-10 orang, tergantung jumlah pekerja/ABK). Pengambilan keputusan dalam pembagian hasil dan penentuan harga jual hasil tangkapan di Kabupaten Sikka ada di tangan pemilik kapal dan alat tangkap. Nelayan di Dusun Ndete memiliki struktur pengambilan keputusan berdasarkan individu karena sudah memiliki armada dan alat tangkap sendiri, sedangkan di Wuring struktur pengambilan keputusan berdasarkan keputusan pemilik armada dan alat tangkap.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
85
Laporan Teknis
Sistem bagi hasil tergantung pada jenis alat tangkap yang digunakan. Pendapatan nelayan di Dusun Ndete dapat langsung didapatkan dari hasil penjualan ikan kepada pengumpul atau penampung. Nelayan di Wuring memiliki sistem bagi hasil yang beragam karena alat tangkapnya berbeda-beda. Nelayan lempara malam berbeda dengan sistem bagi hasil lempara siang, dan memiliki perbedaan sistem bagi hasil dengan sistem bagi hasil di lokasi lain pada umumnya. Pada prinsipnya, sistem bagi hasil nelayan lempara yaitu pendapatan dikurangi biaya operasional kemudian masih dikurangi biaya lainnya seperti pemasaran (penjual perantara di TPI) dan biaya pungutan di pelabuhan, kemudian dibagi 4 yaitu 1 bagian untuk pemilik kapal, 1 bagian untuk pemilik alat tangkap, 1 bagian untuk pemilik rompong, dan 1 bagian untuk ABK. Sebagai contoh, jika pendapatan Rp1.000.000 bagian
untuk penjual perantara Rp50.000, nelayan pembakar 10 (Rp100.000),
perongkosan atau biaya operasional Rp300.000, warung Rp50.000, sisa Rp500.000 dibagi 2 (1 bagian untuk rompong dan pemilik kapal), 1 bagian lagi dibagi 3 (pemilik kapal 2 bagian (kapal dan alat tangkap), ABK 1 bagian). Saat ini, sistem bagi hasil nelayan lempara malam memang masih menjadi permasalahan yang akan dikaji dan dicarikan solusi oleh pihak dinas kelautan dan perikanan setempat. Nelayan ABK lempara malam selain mendapat sistem bagi hasil juga memperoleh pendapatan sampingan dari ikan cabut. Ikan cabut yaitu ikan yang menempel di pukat dan telah menjadi hak nelayan. Biasanya mereka bisa mendapat satu tas ikan cabut atau senilai Rp150.000 jika harga ikan sedang naik, namun jika sedang turun maka harga satu tas ikan cabut hanya Rp3.500. Menurut pemilik lempara, nelayan ABK lempara tidak bisa disebut ABK seperti di wilayah lainnya, tetapi disebut buruh lepas karena mereka memang tidak mau terikat karena dok kapal diperbaiki dan dicat sendiri oleh pemilik, begitu juga dengan jaring lemparanya. Pemilik lempara pada dasarnya lebih senang jika sistem bagi hasil yang diberlakukan sama dengan sistem bagi hasil yang diberlakukan di daerah lain karena ongkos dibagi bersama dan kapal atau bodi bisa terawat. Sistem bagi hasil lempara siang yaitu pendapatan dikurangi biaya operasional kemudian sisanya dibagi 3 (tiga) bagian yaitu pemilik kapal, pemilik jaring dan ABK. Bagian untuk ABK dibagi banyaknya ABK, biasanya berjumlah 3 orang.Sistem bagi hasil nelayan tuna pendapatan dikurangi biaya operasional dibagi 4 (empat) yaitu kapal, mesin, pemilik kapal, dan ABK.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
86
Laporan Teknis
Keberadaan aset perahu motor di beberapa desa di Wakatobi berasal dari bantuan sejak tahun 2009. Bagi mereka yang tidak memiliki perahu motor, biasanya ikut dengan perahu milik nelayan lain guna mengumpulkan modal untuk membeli mesin motor, dan sedangkan perahu dibuat sendiri. Selain itu, kepemilikan perahu motor juga bisa didapat dari pinjaman kepada pengumpul. Di Kabupaten Selayar mekanisme pengambilan keputusan relatif seimbang di antara semua pihak yang mengambil keputusan. Yaitu terdapat tawar menawar antara penjual dan pembeli, tidak ada ketergantungan kepada pengumpul karena modal tidak tergantung pada pengumpul. Namun fluktuasi harga kerap terjadi karena bergantung pada kondisi pasokan komoditas di pasaran. Jika komoditas langka harga mahal, begitu pula sebaliknya. Untuk nelayan yang menjadi ABK pembagian hasil ditentukan oleh pemilik kapal dengan pendapatan di kurangi biaya operasional lalu dibagi kedalam dua bagian yaitu ABK (biasanya lebih dari 1 orang) dengan pemilik kapal. Nelayan di kabupaten Buton memiliki kebebasan dalam pengambilan keputusan karena memiliki alat tangkap dan armada sendiri. Namun dalam penentuan harga jual hasil tangkapan, nelayan tidak memiliki posisi tawar yang tinggi kepada pengumpul di desa. Sehingga, harga jual ikan dan rumput laut tergantung pada pengumpul. Rendahnya harga jual yang diperoleh nelayan disebabkan karena nelayan sangat bergantung pada pengumpul yang datang ke pulau. Hal ini karena keterbatasan armada pengangkut ikan yang dapat menjual hasil tangkapannya ke ibukota kabupaten selain itu kurangnya informasi harga yang diterima nelayan tentang harga komoditas. Nelayan di kabupaten Raja Ampat sama halnya dengan nelayan di kabupaten Buton memiliki kebebasan dalam pengambilan keputusan terkait sistem bagi hasil karena mereka memiliki alat tangkap dan armada sendiri. Namun dalam penentuan harga jual hasil tangkapan, nelayan tidak memiliki posisi tawar yang tinggi kepada pengumpul di desa. Sehingga, harga jual ikan dan rumput laut tergantung pada pengumpul. Rendahnya harga jual yang diperoleh nelayan disebabkan karena nelayan sangat bergantung pada pengumpul yang datang ke pulau. Hal ini karena keterbatasan armada pengangkut ikan yang dapat menjual hasil tangkapannya ke ibukota kabupaten. Di Kabupaten Biak Numfor mekanisme pengambilan keputusan terkait penentuan harga relatif seimbang antara penjual dengan pembeli. Yaitu terdapat tawar menawar yang Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
87
Laporan Teknis
terjadi di pasar. Tidak ada ketergantungan kepada pengumpul karena modal tidak tergantung pada pengumpul. Namun fluktuasi harga seringkali terjadi karena bergantung pada kondisi pasokan komoditas di pasaran. Jika komoditas langka harga mahal, begitu pula sebaliknya.
4.3.2 Kinerja Ekonomi Kinerja ekonomi masyarakat perikanan di lokasi penelitian diidentifikasi berdasarkan pada: (i) keuntungan usaha, (ii) produksi perikanan, (iii) perkembangan usaha, dan (iv) ekonomi alternatif.
4.3.2.1 Keuntungan Usaha Komponen kinerja ekonomi yang diamati adalah keuntungan usaha. Data hasil penelitian mengenai keuntungan usaha secara lengkap di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Keuntungan Usaha di Lokasi Penelitian No 1 2
Lokasi Pangkep Sikka
3
Wakatobi
4
Selayar
5 6 7
Buton Raja Ampat Biak Numfor
Keuntungan Usaha Keuntungan cukup untuk menutup kebutuhan RT tetapi tidk cukup untuk pengembangan usaha Keuntungan cukup untuk menutup kebutuhan RT tetapi tidk cukup untuk pengembangan usaha Keuntungan memungkinkan untuk pengembangan usaha, tetapi tidak cukup signifikan Keuntungan memungkinkan untuk pengembangan usaha, tetapi tidak cukup signifikan Keuntungan memungkinkan untuk pengembangan usaha Keuntungan memungkinkan untuk pengembangan usaha Keuntungan usaha untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan belum mampu dialokasikan untuk pengembangan usaha
Sumber: Data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
88
Laporan Teknis
a. Perikanan Tangkap Produksi perikanan utama di lokasi penelitian adalah perikanan tangkap. Alat utama yang digunakan adalah kapal atau perahu, ada yang belum menggunakan motor maupun sudah. Jumlah unit produksi dan alat tangkap yang digunakan disajikan pada Tabel 28 dan Tabel 29. Tabel 28. Unit Usaha Produksi Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian Kabupaten No Parameter
Pangkepa Sikkab Wakatobic Selayard Butone
1 Sampan 137 dayung / tanpa motor
2 3 4 6 7
Tanpa perahu Kapal standar Joloro Perahu tempel Kapal motor
1.700
1.159
13 75 770 185
626 917
700
2.923
185 745 1.508
2153 2.856
4.293 601
Raja Biak Ampatf Numfore 120 (untuk 4.845 jenis sampan dayung, dan perahu tempel) 1.257 10 36
Sumber: a. Statistik Perikanan Kabupaten Pangkep (2011) b. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sikka (2012) c. Statistik Perikanan Kabupaten Wakatobi (2011) d. Statistik Perikanan Kabupeten Selayar (2010) e. Buton Dalam Angka (2009) f. Data Potensi Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat (2012) g. Biak Numfor Dalam Angka (2010)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
89
Laporan Teknis
Tabel 29. Jumlah Alat Tangkap di Lokasi Penelitian Kabupaten No Alat tangkap 1 Pukat Cincin 2 Bagan Perahu 3 Jaring Insang Tetap 4 Pancing Lainnya 5 Jaring insang hanyut 6 Jaring Klitik 7 Sero 8 Pancing Cumicumi 9 Jala 10 Dogol/Cantrang 11 Bagan Tancap 12 Serok 13 Bubu 14 Jaring Insang Dasar 15 Rawai Tuna 16 Pancing Tonda 17 Payang 18 Lainya
Pangkepa Sikkab Wakatobic Selayard
Butone
117 58 1.128
111 171 1.253
30 905
14 110 279
39
631 10
9.700 2.296
1.199 -
900 1.422
7.962 4.979
8 37 85
-
-
155
15 66 58 22 82
65 860
-
41
78
Raja Ampatf
Biak Numfore
3.018 5.362
80 unit
267 200
4.942 485
50 304 45 185
313 6.535
15 unit
1.949
Sumber: a. Statistik Perikanan Kabupaten Pangkep (2011) b. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sikka (2012) c. Statistik Perikanan Kabupaten Wakatobi (2011) d. Statistik Perikanan Kabupeten Selayar (2010) e. Buton Dalam Angka (2009) f. Data Potensi Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat (2012) g. Biak Numfor Dalam Angka (2010)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
90
Laporan Teknis
Di Kabupaten Pangkep, sebagian besar nelayan di 3 desa yang diteliti, sudah mempunyai aset perahu/kapal, aset tersebut diperoleh dari pinjaman kepada pengumpul. Namun karena nelayan sulit memprediksi musim dan terimpa cuaca buruk pada saat melaut para nelayan merasa aset kapal dan alat tangkap yang telah dimiliki kurang memadai. Nelayan di Kabupaten Sikka, sebagian besar menggunakan alat tangkap pancing baik jenis pancing ikan dasar maupun ikan pelagis besar. Dusun Ndete, dari 60 KK yang berprofesi sebagai nelayan semuanya menggunakan alat tangkap pancing yaitu pancing rawai dan pancing ikan dasar. Berbeda dengan nelayan Ndete dimana nelayannya memiliki keseragaman alat tangkap, nelayan di Wuring selain menggunakan pancing ikan dasar, pancing tuna (longline) dan cakalang (huhate), mereka juga mengembangkan alat tangkap jaring yang disebut lempara. Alat tangkap lempara dibagi dua yaitu lempara malam dan siang. Pemilik lempara malam yaitu 58 KK, sedang pemilik lempara siang berjumlah 6 KK. Untuk armada penangkapan di Ndete mayoritas menggunakan sampan dayung dan ketinting tanpa motor. Sampan dayung dianggap masih kurang produktif karena menggunakan alat tangkap yang terbatas dengan wilayah penangkapan yang dekat. Mereka dapat melaut jauh jika sampan mereka ditarik oleh bodi atau kapal besar milik bos atau pengumpul. Bodi atau kapal lempara malam, lempara siang, sampan pembakar dimiliki oleh nelayan Wuring. Bodi lempara malam memiliki tonase 5 GT dengan ukuran kapal yaitu panjang 17 m, lebar 3 m, dan panjang lunas 12 m, dengan mesin dompeng 30 PK. Ukuran bodi lempara siang 2-3 kali lebih kecil dari kapal lempara malam, sedang sampan pembakar berukuran panjang 10 m dan lebar 1,25 m, dengan mesin Yandong 26 PK. Selain itu, sampan tonda yang menghubungan bodi lempara dengan sampan pembakar memiliki ukuran panjang 4 m dan lebar 60 cm. Di Kabupaten Wakatobi, alat tangkap yang digunakan antara lain: Pukat cincin, jaring insang tetap dan pancing. Jenis Kapal yang digunakan antara lain: sampan perahu tanpa motor, tanpa perahu dan motor tempel. Pola adaptasi terhadap perubahan iklim dengan parameter cuaca buruk salah satunya adalah dengan mencari daerah tangkapan yang kondisi anginnya lebih tenang.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
91
Laporan Teknis
Di Kabupaten Selayar alat tangkap yang digunakan antara lain: jaringm pancingm sero, bagan, sambak dll. Nelayan di Kabupaten Selayar biasanya melakukan aktifitas penangkapan dengan membawa lebih dari satu alat tangkap yang bertujuan untuk meningkatkan hasil tangkapan. Namun keterbatasan alat tangkap dan kapal seringkali menjadi kendala ketika cuaca buruk sehingga kegiatan penagkapan terhambat. Bangtuan kapal dan alat tangkap sering dilakukan oleh pemerintah, namun karena tidak didahului oleh pelatihan penggunaan kapal dan alat tangkap, nelayan memilih untuk mendiamkan kapal dan alat tangkap yang usdah diberikan. Nelayan di Kabupaten Buton memiliki alat tangkap jaring, pancing, bubu, sero, tombak, panah, dan bagan. Pancing merupakan alat tangkap tradisional yang digunakan hampir oleh seluruh nelayan tradisional di pesisir Kabupaten Buton, kecuali di Desa Lakorua dan Wakambangura dimana mayoritas menggunakan jaring. Nelayan biasanya membawa lebih dari satu alat tangkap untuk memperoleh hasil maksimal. Ikan yang banyak ditangkap oleh nelayan pancing yaitu ikan ketamba kikia (Lethrinus Ornatus). Berat total ikan tersebut adalah 936 kg dengan harga jual sekitar 5000-20.000/kg. Desa Tongali merupakan penghasil Kerapu (Serranidae) dengan menggunakan alat tangkap pancing. Alat tangkap yang dipakai penduduk masih terbatas seperti pancing ulur, bubu, gillnet, panah, pukat cincin dengan tambahan rumpon untuk mengumpulkan ikan. Jenisjenis ikan komersial yang ditangkap adalah ikan kakap, katamba, baronang, layang, tongkol, dan tuna. Adapun ikan karang yang ditangkap nelayan adalah ikan kerapu, sunu, dan lobster, selain ikan diatas juga ditangkap jenis ikan Teri Nasi dan Cakalang. Pusat penangkapan ikan teri nasi di Kecamatan Maswaangka dan ikan Layang di Kecamatan Kadatua. Untuk ikan ekspor (tuna) dikelompokkan menjadi ikan Grade A-D (untuk ikan Grade A dengan berat 30/kg dijual sebesar Rp 45.000/kg) sedangkan sisanya djual gelondongan dengan harga Rp 20.000/kg. Pemasaran ikan tuna tersebut adalah ke Nusa Tenggara Timur, Kota Bau-bau, Kota Kendari dan diekspor ke Negara Korea. Selain itu juga diekspor ikan teri nasi (antamo) yang hasilnya ditampung oleh PT Teriku yang mempunyai fasilitas cold storage dan terletak di Kecamatan Pasar Wajo. Adapun Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Kabupaten Buton berada di Kecamatan Pasar Wajo dan Kamaro.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
92
Laporan Teknis
Pada awal tahun 2011, nelayan khususnya nelayan teri menganggap awal tahun 2011 ini merupakan bulan-bulan musim paceklik, produksi ikan teri menurun sangat drastis. Kondisi ini sangat mempengaruhi pendapatan rumah tangga nelayan terutama rumah tangga yang hanya bersumber dari usaha bagan ikan teri. Penurunan pendapatan nelayan pada tahun 2011 turun sebesar 1,92 dibanding tahun 2008, pendapatan semula Rp.1.243.020 menjadi Rp.1.219.120 (Creel Kabupaten Buton, 2012). Jika musim timur, angin dari laut Banda sangat kencang menggangu nelayan, sehingga nelayan mencari ikan di perairan sebelah barat Pulau Buton. Begitupun sebaliknya, jika musim barat nelayan mencari ikan diperairan sebelah timur Pulau Buton. Jenis ikan yang menjadi target (fish target) pada kedua musim itu sama, yakni ikan tuna dan ikan-ikan karang. Fishing ground nelayan sekarang menjadi jauh karena adanya rumpon yang semakin banyak. Fishing ground nelayan dengan tangkapan ikan pelagis diantaranya di Laut Flores, Laut Banda dan Teluk Bone, sedangkan nelayan dengan tangkapan ikan demersal di daerah terumbu karang. Produksi ikan yang banyak dihasilkan antara lain cakalang, teri, layang, kembung, udang dan lainnya. Hasil laut lainnya yaitu teripang, agar-agar, japing-japing, lola, mutiara dan lainnya. Nelayan di Kabupaten Raja Ampat pada umumnya menggunakan alat tangkap pancing. Alat lain seperti jaring insang hanyut, bagan, dan sero juga ditemukan namun pemakaiannya terbatas di wilayah-wilayah pulau tertentu. Armada yang digunakan oleh nelayan yaitu sampan dayung, ketinting, dan longboat. Bantuan longboat yang diberikan oleh pemerintah, selain digunakan untuk armada penangkapan juga digunakan sebagai alat transportasi antar pulau. Di Kabupaten Biak Numfor, mayoritas nelayan menggunakan sampan/perahu dayung tanpa mesin, sebgian kecil menggunakan kapal motor temple. Kepemilikan kapal dan alat tangkap adalah kepemilikan pribadi tidak tergantung pada pihak lain termasuk pengumpul. Dalam hal alat tangkap yang digunakan masih sangat sederhana yaitu pancing dan jaring. Maka dari itu nelayan di Biak mayoritas adalah nelayan tradisional yang daerah tangkapannya tidak lebih dari 5 mil dari pesisir pantai. Rincian struktur biaya dan penjualan usaha perikanan tangkap di lokasi penelitian dapat dijelaskan pada Tabel 30 dibawah ini.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
93
Laporan Teknis
Tabel 30. Struktur Biaya dan Penjualan Usaha Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian Uraian Frekuensi penjualan per trip Penerimaan Harga ikan per kg: - Kepiting - Cumi-cumi - Udang sito - Udang pink - Udang pama - Udang kecil - Kakap merah - Kakap putih - Tenggiri : Ukuran 3 up Ukuran 6 up 1 – 3 kg - Tenggiri papan - Gamasi - Tinumbu - Ikan pari Ukuran < 10 kg Ukuran 15 – 20 kg Ukuran 20 kg Ukuran 20 – 30 kg - Ikan Tuna - Ikan Cakalang - Ikan Kembung
Pangkep 3—4 bulan sekali
25.000 27.000 100.000 25.000 45.000 7.000 42.000 20.000
Kabupaten Selayar Wakatobi
Sikka Setiap hari
Setiap hari
Setiap hari
-
32.000 42.000 20.000
35.000 50.000 40.000 22.000 35.000 -
200 35.000
-
-
20.000 150.000 200.000 300.000
54.000 25.000 15.000
20.000 10.000 5.000
-
Buton Setiap hari
Raja Ampat Setiap hari
Biak Numfor Setiap hari
35.000 25.000 20.000 8.500 13.000 11.000 7.500 20.000 15.000 9.500
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
94
Laporan Teknis
Uraian -
Ikan Layang Ikan Tongkol Ikan Tongkol Abu-abu Ikan Selar
- Ikan Kerapu Sunuk - Ikan Sunu Garas Kondisi hidup: Super Up Baby Kondisi mati: Super Up Baby - Ikan Sunu Macan Kondisi hidup: Super Up Baby Kondisi mati: Super Up Baby - Ikan Sunu Baan Kondisi hidup: Super
Pangkep
Sikka
Kabupaten Selayar Wakatobi
10.000 22.000
8.000 5.000
10.000
-
Buton
Raja Ampat
Biak Numfor
8.000 13.000 9.000 40.000 -
180.000 190.000 20.000
-
80.000 50.000 15.000
-
40.000 60.000 dikonsumsi
-
30.000 40.000 dikonsumsi
-
-
25.000
-
-
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
95
Laporan Teknis
Uraian Up Kondisi mati: Ikan Kembung Ikan Teri Jumlah hasil tangkapan ikan Biaya investasi Kapal (joloro mesin 5 PK)
Pangkep
Sikka
Kabupaten Selayar Wakatobi
30.000 10.000
10.000.00015.000.000
Kapal lempara malam : Rp75.000.000 150.000 ditambah rompong dekat yaitu Rp 750.000,Kapal lempara siang : Rp40.000.000 ditambah rompong luar Rp25.000.000 Kapal pancing tuna : Rp 30.000.000, alat pancing Rp1.000.000 Sampan dayung Rp10.000.000
-
Buton
Raja Ampat
Biak Numfor
9.500 7.500
4.500.000
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
96
Laporan Teknis
Uraian
Pangkep
Alat tangkap (2 set)
240.000
Alat lainnya (pukat)
10.000.000
Biaya (Cost) - BBM (liter/trip) Dong peng 16 PK Kapal dengan trawl Joloro - sampan - jaring - Ransum: Rokok (Rp Beras/makanan/kopi Biaya lelang Biaya tambat Biaya pengamanan Biaya lainnya Selisih Total biaya operasional Lempara malam
Sikka 600.000 (lempara second), beli di Pekalongan dengan ongkos Rp5.000.000 (pp) Pancing tuna Rp1.000.000
3 30 5
Kabupaten Selayar Wakatobi
Buton
Raja Ampat
Biak Numfor
150.000
-
5 20 5 5 5
7.000 10.000 -
300.000700.000
6.500 15.000 -
20.000 15.000 -
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
97
Laporan Teknis
Uraian Lempara siang Pancing tuna Biaya Pemasaran
Pangkep
Sikka
Kabupaten Selayar Wakatobi
2.000.0005.000.000 300.000500.000 Biaya penjual perantara di TPI bisa mencapai Rp50.000,-
Buton
Raja Ampat
Biak Numfor
-
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
98
Laporan Teknis
Mekanisme pemasaran hasil perikanan di Kabupaten Pangkep, pengumpul sebagai penyalur hasil tangkapan nelayan dengan potongan pada penyalur 6-7 dari hasil jual tangkapan. Jika kapal yang diberi modal oleh pengumpul di potong 10 dan potongan 20 untuk membayar hutang. Pinjaman biasanya hingga Rp 20.000.000.
Mekanisme
pemasaran hasil perikanan di Kabupaten Pangkep dapat dilihat pada Gambar 18 berikut ini. Nelayan
Pengumpul 1 (TPI)
Pengumpul 2 (Barru, Maros)
Pedagang eceran (pasar tradisional)
Gambar 18. Mekanisme pemasaran hasil perikanan di Kabupaten Pangkep Hasil tangkapan kedua desa nelayan di Kabupaten Sikka dipasarkan menurut jenis komoditas hasil tangkapan. Jenis ikan karang dipasarkan di pasar desa dan pasar kabupaten (tergantung hasil tangkapan),
sementara hasil lempara malam dipasarkan di pasar
kabupaten. Hasil lempara malam sebagian ada yang diasinkan terutama jenis-jenis ikan yang tidak “berharga”. Jenis ikan asin ini dibarter dengan hasil bumi penduduk lokal (Orang Maumere), seperti kelapa, sayuran, pisang, dan lain lain. Tukar menukar hasil bumi ini sudah berlangsung lama. Sementara itu, ikan tuna adalah komoditas ekspor ke luar negeri. Sistem pemasaran hasil tangkapan beragam tergantung jenis komoditas yang dihasilkan.
Rantai pemasaran
ikan di Kabupaten Sikka dapat digambarkan sebagai
berikut: 1.
Pasar Desa : nelayan mama lele konsumen
2.
Pasar Kabupaten : nelayan (pemilik lampara) penjual di TPI konsumen
3.
Pasar Luar kabupaten : a.
Nelayan pancing tuna pemodal pedagang/gudang
pengusaha di
Bali/Makassar Luar negeri b.
Nelayan pancing tuna pemodal/desa pedagaang/gudang pengusaha di Bali/Makassar Luar Negeri.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
99
Laporan Teknis
Tabel 31. Daftar Pengusaha Perorangan yang melakukan kegiatan pengumpulan hasil perikanan di Kabupaten Sikka Tahun 2010 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31 32. 33.
Nama Anita Fitri Indarti Michael Ufi Theresia Lilimanak Hasan Basri Suhardi Yoseano Daniel Poin Maskur H. Hatta Agusman Darutin Daaming Usman Subair Erly Novita Diaz Baco M. Idrus H. Manssur Munawi Adnan Mustakim Gabriel Joseph Roma Venansius Prisimus Andi Ridwan Andreas H. Fernandez Jabal Baco La manari La Dato Ira Maya Abdul Wahid Mikael Wagho Fransiskus Ropi Sinde Hyginus Claudius D Herman Candra Suret Bulolo Ferli Adi Irwanto Hadrawi Taher Nur Hamilah M. Getrudis Laban Sitti Hajar
Alamat Komplex LANAL Kel. Kota Uneng Kel. Wairotang Kel. Wolomarang Kel. Kota Baru Kel. Kabor Kel. Wolomarang Kel. Kota Uneng Kel. Wolomarang Kel. Wolomarang Kel. Wairotang Kel. Kota Uneng Kel. Kota Uneng Kec. Kewapante Desa Kojadoi Desa Nangahale Kel. Kota Uneng Kel. Wolomarang Kel. Wairotang Kel, Wolomarang Kel. Kota Uneng Kel. Wolomarang Kel. Wolomarang Kel. Kota Uneng Kel. Wailiti Kel. Wailiti Kel. Waioti Desa waturia Kel. Waioti Desa Nangahale Kel. Kota Uneng Kel. Kota Baru Kel. Beru
Jenis Komoditi Kerapu Tuna / cakalang Kerapu, Ikan dasar, Tuna / cakalang Tuna/Cakalang, Rumput laut Layang, selar, tongkol Layang, selar, tongkol Layang, selar, tongkol Layang, selar, tongkol Tuna, cakalang Ikan dasar, Tuna, Cakalang Ikan dasar, Tuna, Cakalang Kerapu Ikan dasar Rumput laut Rumput laut Layang, selar, tongkol Tuna, cakalang Rumput laut Selar, layang, tongkol Selar, layang, tongkol Selar, layang, tongkol Tuna, cakalang Selar, layang, tongkol Rumput laut Ikan dasar Kepiting Ikan dasar Gurita Tuna, cakalang Kerapu Tuna Tuna
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Sikka (2010)
Di Kabupaten Wakatobi, jika ikan hasil tangkapan berukuran besar dan banyak, ikan dijual ke pengumpul. Disini harga ditentukan oleh pengumpul, dan harga cenderung turun. Tidak ada potongan harga, hanya potongan bagi para nelayan yang berhutang atau mendapat pinjaman dari pengumpul. Jika tangkapan hasil tangkapan berukuran kecil dan sedikit, ikan dijual ke pasar, dan harganya biasanya tinggi. Hasil penjualan ikan maupun rumput laut dari Wakatobi biasanya dijual ke Kendari maupun Bau-Bau.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
100
Laporan Teknis
Ikan besar dan banyak
Pengumpul
Ikan kecil dan sedikit
Pasar
Nelayan
Gambar 19. Mekanisme pemasaran ikan di Kabupaten Wakatobi Mekanisme pemasaran di Kabupaten Selayar berdasarkan komoditas tangkapan, masih didominasi oleh peran pengumpul. Hal ini dapat dilihat dari mekanisme penentuan harga jual yang ditentukan oleh pengumpul. Mekanisme pemasaran juga sangat dipengaruhi faktor jenis komoditas dan kondisi hidup dan mati hasil tangkapan. Untuk ikan bukan timbangan dijual bebas ke siapapun termasuk kepada pengecer atau masyarakat konsumen. Bahkan ada pembeli yang datang unti membeli hasil tangkapan nelayan. Untuk ikan timbangan yang dalam kondisi hidup, dijual kepada pengumpul namun untuk ikan dalam kondisi mati dijual kepada masyarakat melalui pasar. Untuk membeli Ikan hidup dapat dilakuakan dengan membeli langsung di karamba atau ada pengantar yang membawa hasil ikan kepada pengumpul. Untuk pemasaran ke pasar-pasar tradisional, mekanisme penentuan harga ditentukan oleh penjual/nelayan namun ada cara tawar menawar. Kecuali jika hasil tangkapan dijual kepada pengumpul, tentu saja yang menentukan harga adalah pengumpul. Contoh di Desa maharraya dimana mekanisme pemasaran lebih cenderung berorientasi pasar lokal dibandingkan kepada pengumpul. Di desa ini sebagian besar ikan langsung di jual ke pasar, namun ada pula nelayan yang membawakan hasil tangkapan ke pengumpul. Untuk komoditas ikan timbangan lebih diperuntukan untuk pengumpul luar desa, namun jika bukan ikan timbangan diperuntukan bagi pedagang yang datang. 76-100 ikan dijual ke konsumen dan 0-25 ikan dijual ke pengumpul. Nelayan dapat menentukan harga, namun ada proses tawar menawar dengan pengumpul. Harga ditetapkan jika kedua belah pihak telah sama-sama sepakat. Jika ada sisa penjualan, ikan baru dikeringkan. Namun yang harus menjadi perhatian adalah marakmya transaksi ikan di tengah laut tanpa pendaratan terlebih dahulu sehingga keuntungan bagi daerah tidak optimal dari
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
101
Laporan Teknis
sector kelautan dan perikanan, para actor yang bertransaksi di tengah laut adalah pengumpul-pengumpul dari luar daerah Selayar. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam hal pencatatan hasil produksi ikan. Kurangnya investor / pembeli hasil tangkapan nelayan menjadi penyebab maraknya transaksi di tengah laut, hal ini mengakibatkan TPI yang ada tidak berfungsi sebagaimana mestinya atau dengan kata lain tidak ada transaksi di TPI. Selain melakukan pemasaran di tengah laut dan di pasar-pasar, nelayan juga menjual hasil tangkapan dengan berkeliling desa, kegiatan ini diistilahkan dengan sebutan “pagandeng”. Kegiatan ini dilakukan oleh nelayan laki-laki. Dengan kata lain selain melakukan penangkapan ikan, nelayan juga berdagang hasil tangkapan. Mekanisme Pemasaran di Kabupaten Biak Numfor masih mengandalkan pasar lokal atau domestik dan regional (Jayapura). Mekanisme pemasaran berdasarkan komoditas hasil tangkapan, tidak ada dominasi antara penjual dan pembeli. Pusat pemasaran terdapat di dua pasar ikan yaitu pasar ikan di Kota Biak dan Pasar Bosnik. Untuk pemasaran ke daerah lain, terdapat pengumpul yang mengambil peranan untuk mengumpulkan hasil tangkapan nelayan untuk dijual ke Jayapura. Mekanisme pemasaran lebih cenderung berorientasi pasar lokal dibandingkan kepada pengumpul. Di desa ini sebagian besar ikan langsung di jual ke pasar, namun ada pula nelayan yang menjual hasil tangkapan kepada pengumpul. b. Perikanan Budidaya Kegiatan produksi dapat dibedakan berdasarkan jenisnya yaitu rumput laut, karamba jaring apung dan tambak. Di Kabupaten pangkep, sektor budidaya rumput laut belum berkembang, karena nelayan mengandalkan sektor perikanan tangkap. Namun dalam melakukan aktivitas ekonomi pembudidaya rumput laut juga melakukan kegiatan penangkapan (simultan). Musim tanam hingga panen memakan waktu 30-45 hari. Hasil paling tinggi 10.000.000/800 bentangan/panen. Hasil tergantung dari banyaknya bentangan, mempekerjakan pekerja. 700-800 bentangan. Modal Rp 6.000.000 - Rp 20.000.000 Untuk 100-200 bentangan. Faktor
angin kencang dan gelombang tinggi
menyebabkan rusaknya bentangan, kondisi ini menghambat perkembangan ekonomi budidaya rumput laut, faktor pembiusan dan penyakin menjadi kendala bagi pertumbuhan rumput laut, maka dari itu pembudidaya rumput laut sangat mengharapkan peningkatan pengawasan. E. cottonii 8.391.400 kg (2010) dengan nilai Rp 755.226.600. Kegiatan
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
102
Laporan Teknis
produksi karamba jaring apung di Kabupaten Pangkep mempunyai komoditas utama antara lain: ikan kue, Baronang, Kerapu Tikus). Hanya sebagian kecil dari nelayan yang mengusahakan Karamba Jaring Apung (KJA), di Pulau Salemo hanya ditemui satu pembudidaya yang sekaligus sebagai pengumpul. Jenis usaha ini memerlukan modal yang cukup besar. Terkait kegiatan produksi tambak bandeng, produksi tambak bandeng di Kabupaten Pangkep 11.428,200 kg.Selama beberapa tahun terakhir, tingkat pertumbuhan bandeng lambat, karena terkendala salinitas air, kenaikan suhu dan tingkat kejenuhan tambak. Budidaya perikanan di Kabupaten Sikka saat ini sudah mulai digalakkan seperti budidaya rumput laut, mutiara, KJA, dan tambak. Budidaya laut dan tambak untuk saat ini belum berkembang dan masih terbatas pada kegiatan penampungan ikan dasar hidup. Komoditas ikan dasar hidup merupakan komoditas ekspor dengan jalur pemasaran melalui Denpasar, Makasar dan Surabaya. Budidaya rumput laut di Sikka sudah berkembang dengan baik yang dilakukan oleh ibu-ibu nelayan. Pada tahun 2009 produksi rumput laut basah sebesar 6.705,68 ton dan rumput laut kering sebesar 838,21 ton.Untuk Wuring, pada tahun 2007 pernah dikembangkan budidaya rumput laut namun tidak berhasil karena gelombang laut di wilayah ini cukup besar. Selain budidaya rumput laut, di Kabupaten Sikka juga dikembangkan budidaya mutiara namun masih dilakukan oleh pihak swasta yang berbentuk PMA (Penanaman Modal Asing) oleh PT. Timor Otsuki Mutiara yang berlokasi di Dusun Wairterang Kelurahan Runut Kecamatan Waigete. Nelayan di Kabupaten Sikka juga telah mengembangkan budidaya KJA dengan komoditas ikan Bandeng, Kerapu Macan, Kerapu Tikus, Kepiting dan Lobster. Lokasi yang sudah dicoba untuk pengembangan KJA yaitu di Kelurahan Reroja, Kojadoi, dan Parumaan. Tabel 32 akan menyajikan rincian nama-nama perusahaan yang terlibat dalam kegiatan pengumpulan hasil perikanan budidaya di Tahun 2010.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
103
Laporan Teknis
Tabel 32. Daftar Perusahaan yang melakukan kegiatan pengumpulan hasil perikanan Budidaya 2010 No 1. 2. 3. 4.
Nama Perusahaan PT. Kyoko Shinju Indonesia PT. Mutiara Nusa Bunga CV. Mutiara Iwan Abadi UD. Rumput Laut
5.
PT. Timor Otsuki Mutiara
6.
PT. Camar Sentosa
Lokasi Teluk Ndete Kecamatan Magepanda Teluk Pedang Kecamatan Talibura Teluk Kolisia Kecamatan Magepanda Kel, Wolomarang Kec. Alok Barat Desa Egon dan desa Runut Kecamatan Waigete Desa Hoder Kecamatan
Jenis Usaha / komoditi Kerang Mutiara Kerang Mutiara Kerang mutiara Rumput Laut
Keterangan PMA (tidak aktif) Swasta Non Fasilitas (tidak aktif) Swasta Non Fasilitas Swasta
Kerang Mutiara
PMA (Perluasan Usaha)
Kerang Mutiara
Swasta Non Fasilitas (tidak aktif)
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Sikka (2010)
Selain sumberdaya perikanan, sumberdaya laut lain yang terdapat di Wakatobi adalah rumput laut yang dibudidayakan oleh masyarakat setempat. Wilayah ini merupakan salah satu pusat budi daya rumput laut di Provinsi Sulawesi Tenggara. Lokasi budi daya terletak di Pulau Kaledupa, Wanci dan Tomia, lokasi terluas terdapat di Pulau Kaledupa (3.139 ha). Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi mengidentifikasi areal yang cocok untuk lokasi budi daya rumput laut seluas 8.364 hektar, namun yang dikembangkan baru 6000an hektar. Produksi rumput laut masih berkisar 3.000–4.000 ton per tahun. Jenis rumput laut yang dibudidayakan di Gugus Pulau Kaledupa juga mengalami perubahan. Pada awalnya, jenis rumput laut yang dibudidayakan adalah jenis Euchema spp. (lokal = garangga kansee), kemudian pada tahun 1993 berganti ke jenis Euchema cottonii. Saat ini jenis rumput laut yang dibudidayakan selain E. Cottonii, juga dibudidayakan rumput laut dari jenis Gracilaria spp. Selain jumlah pembudidaya dan jenis rumput laut yang mengalami perubahan, metode budi daya rumput laut yang dikembangkan oleh masyarakat setempat juga mengalami beberapa perubahan. Pada periode awal kegiatan budi daya rumput laut, metode yang digunakan adalah metode rakit apung. Kemudian pada tahun 1993, menggunakan metode long line dalam melakukan kegiatan budi daya, terutama dilakukan oleh pembudidaya di Desa Sombano. Pada periode 1999–2000, metode yang digunakan berubah menjadi metode lepas dasar, meskipun beberapa pembudidaya tetap menggunakan
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
104
Laporan Teknis
metode long line. Pada era tahun 2005an, pembudidaya mencoba melakukan kegiatan budi daya dengan metode jaring. Namun metode ini mengalami kegagalan, sehingga hanya dilakukan pada satu kali musim tanam saja. Selanjutnya pembudidaya menggunakan perpaduan metode long line dan metode lepas dasar hingga saat ini, yang dilakukansecara bergiliran dan tergantung pada musim. Kegiatan budidaya rumput laut di Wakatobi tingkat keberhasilannya sangat tergantung dari banyaknya bentangan dan kepadatan. Budidaya rumput laut merupakan salah satu mata pencaharian utama di beberapa daerah di Wakatobi seperti Kaledupa. Di Kaledupa, pembudidaya rumput laut begitu banyak, sehingga lahannya menjadi jenuh. Begitu padatnya lahan rumput laut tersebut mengakibatkan mudahnya penularan penyakit pada rumput laut tersebut. Penyakit yang kerap dihadapi misalnya lumut, busuk, hingga terjatuh. Himbauan agar memperlebar jarak antar tali nampaknya belum sepenuhnya dilaksanakan, mengingat terbatasnya luas bentangan yang dimiliki para pembudidaya. Namun demikian, pengosongan/pengistirahatan lahan dalam upaya membersihkan lahan dari penyakit sudah mendapat sambutan baik dari pembudidaya. Sebagaimana daerah lainnya, masyarakat masih bebas dalam menentukan jumlah luas bentangan yang dapat dimiliki, dengan mematok terlebih dahulu lahan tersebut. Bentangan yang dimiliki pun tidak memiliki sertifikat apapun. Daerah pemasaran hasil rumut laut adalah Bau-Bau dan Kendari. Di Pulau Kaledupa sudah ada pabrik dan mesin pengolahan rumput laut, namun belum termanfaatkan. Hal ini dikarenakan tidak adanya tenaga dan biaya operasional untuk menjalankan mesin dan pabrik tersebut. Di daerah Selayar kegiatan budidaya meliputi budidaya tambak, budidaya karamba tancap, budidaya garam dan budidaya rumput laut. Karena ada indikasi pencemaran maka masyarakat membutuhkan penilitian atau labolatorium untuk mengidentifikasi pencemaran atau salinitas karena ada dugaan aksi pencemaran yang disebabkan oleh aktifitas pembiusan dan pemboman. Untuk budidaya tambak garam dan tambak ikan darat akan direncanakan dibangun kanal di daerah Padang dan Jampea. Hambatan pembudidaya garam adalah faktor cuaca, jika musim hujan maka aktifitas penjemuran garam terhambat dan pasokan terbatas. Pasokan yang terbatas membuat harga garam menjadi Rp.180.000/30 Liter. Pasokan garam melimpah pada musim panas dan harga menjadi turun hingga hanya 60.000/30 liter. Terkait bibit untuk tambak lobster diakui masyarakat masih kurang mencukupi. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
105
Laporan Teknis
Namun terdapat diversifikasi usaha yang dilakukan pembudidaya garam yang sekaligus mengusahakan budidaya bandeng. Aktifitas tersebut dapat di temui di daerah Padang. Di Bungaiya, Bontomatene Selayar, pembudidaya rumput laut mengaku mendapat kiriman sampah di laut ketika bulan 1-3. Hal ini menyebabkan pembudidaya rumput laut menghentikan aktifitasnya. Hambatan pembeli rumput laut yang kurang sehingga harga rumput laut didominasi oleh pembeli. Pada bulan Oktober terdapat penyakit yang menyerang rumput laut, penyakit juga menyerang saat intensitas hujan berkurang. Pada tahun 2011 produksi rumput laut menurun dan hasil panen buruk sehingga pendapatan menurun. Jika ada kelebihan pendapatan maka diperuntukan untuk pengembangan usaha khususnya menambah bentangan rumput laut karena potensi lahan masih luas. Rumput laut merupakan salah satu komoditas budidaya yang banyak dilakukan oleh nelayan di kabupaten Buton. Usaha ini dinilai cukup menjanjikan karena dapat menunjang usaha lain. Penghasilan rumput laut dapat meningkatkan usaha lainnya. Dari 21 kecamatan di kabupaten Buton, 15 kecamatan diantaranya memproduksi rumput laut. Untuk kecamatan Siontapina, Pasarwajo, Wolowa, Wabula, Batu Atas dan Siompu tidak menghasilkan rumput laut. Secara rinci produksi rumput laut di kabupaten Buton dapat dilihat pada Tabel 33 di bawah ini. Tabel 33. Produksi Rumput Laut Kabupaten Buton Tahun 2011 No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Lasalimu Lasalimu Selatan Sampolawa Lapandewa Batauga Siompu Barat Kadatua Kapontori Gu Sangia Wambulu Lakudo Talaga Raya Mawasangka Mawasangka Tengah Mawasangka Timur JUMLAH
15
Jumlah RTP 196 16 68 59 360 35 105 380 425 274 668 116 693 299
Rumput Laut (Dalam Basah) Jumlah Luas Area Produksi Pembudidaya (Ha) (Ton) 685 25,94 955,86 52 1,22 280,41 235 16,60 488,61 186 3,85 616,47 1.251 8,04 1.497,73 126 3,24 274,36 409 12,94 699,40 1.794 43,74 1.945,24 1.689 13,58 2.243,54 1.088 5,62 1.174,08 2.740 38,76 2.550,07 403 11,91 983,49 2.248 59,53 4.442,75 1.153 9,49 2.136,52
Nilai Rp 4.500/Kg 4.301.370.000 1.261.845.000 2.198.745.000 2.774.115.000 6.739.785.000 1.234.620.000 3.147.300.000 8.753.580.000 10.095.930.000 5.283.360.000 11.475.315.000 4.425.705.000 19.992.375.000 9.614.340.000
446
1.772
28,19
1.418,88
6.384.960.000
4.140
15.831
282,65
21.707,41
97.683.345.000
Sumber : DKP Buton (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
106
Laporan Teknis
Salah satu jenis budidaya perikanan di Kabupaten Raja Ampat yang memiliki potensi besar yaitu budidaya kerapu. Namun budidaya ini memang membutuhkan modal yang cukup besar. Analisis usaha budidaya kerapu dapat dilihat pada Tabel 32 di bawah ini. Tabel 34. Analisa usaha budidaya kerapu di Kabupaten Raja Ampat No 1.
2.
Nama Barang
Volume
Bahan Keramba Jaring Apung Kayu Besi 5 x 10 x 400 Papan Kayu Besi 2,5 x 25 x 400 Baut Pengancing 0,25 x 12 Baut Pengancing 0,5 x 25 Paku 7 cm Seng 6 kaki Drum Tali Pelampung 8 ml Tali jangkar 18 ml Jangkar 25 kg Pemberat jaring Jaring keramba
7 7 570 1000 80 80 190 20 20 32 299 40
Kubik Kubik BH BH kg Lbr unit rol rol buah buah unit
Peralatan Keramba Serok/scopnet Timbangan duduk Keranjang Bulat Keranjang segi empat Molen Bak rendaman Genset 5 kva Parang stenlis Mesin tempel yamaha 15 pk Perahu nelayan Airrator Freser
12 4 14 14 8 8 2 6 2 2 6 2
unit unit unit unit unit unit unit unit unit unit unit unit
Potongan PPN 10 Jumlah Anggaran
Harga Satuan (Rp)
Jumlah (Rp)
6.500.000 7.000.000 20.000 30.000 40.000 67.000 650.000 300.000 2.000.000 850.000 20.000 5.000.000
45.500.000 49.000.000 11.400.000 30.000.000 3.200.000 5.360.000 123.500.000 6.000.000 40.000.000 27.200.000 5.980.000 200.000.000
75.000 300.000 75.000 75.000 400.000 750.000 8.000.000 175.000 33.000.000 31.000.000 1.000.000 7.500.000
900.000 1.200.000 1.050.000 1.050.000 3.200.000 6.000.000 16.000.000 1.050.000 66.000.000 62.000.000 6.000.000 15.000.000 726.590.000 72.659.000 799.249.000
Sumber : DKP Raja Ampat (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
107
Laporan Teknis
Di daerah Biak Numfor kegiatan budidaya, khususnya di lokasi penelitian belum berkembang. Masyarakat sebenarnya telah memiliki keinginan untuk mengembangkan budidaya, namun belum mendapat sambutan dari pemerintah. Masyarakat membutuhkan bantuan akses modal dan keterampilan dalam mengembangkan budidaya. Di desa Yenusi hanya ada satu orang yang mengembangkan budidaya ikan darat, sedangkan di desa Bindusi dan Woniki tidak ada sama sekali masyarakat yang mengembangkan budidaya ikan baik di darat maupun laut. Faktor yang mempengaruhi tidak berkembangnya usaha budidaya adalah kemauan dan keterampilan masyarakat yang belum memadai hingga masyarakat lebih cenderung fokus pada usaha-usaha penangkapan tanpa mau mengambil resiko kegagalan jika mengembangkan usahanya ke sektor budidaya, faktor modal dan jaminan pemerintah adalah faktor penghambat pengembangan sektor budidaya ikan darat dan laut berikutnya. Di Kabupaten Biak Numfor terdapat juga budidaya rumput laut, yaitu di daerah kepulauan Padaido yaitu di Pulau Padaido dan Aimando, khusus di wilayah Padaidori masuk dalam peta potensi budidaya teripang dan budidaya rumput laut. Pada tahun 2010 produksi rumput laut mencapai 14.923 Ton dengan harga Rp.6.000/Kg.
4.3.2.2 Produksi Perikanan Komponen kinerja ekonomi yang diamati berikutnya adalah produksi perikanan. Data hasil penelitian mengenai produksi perikanan secara lengkap di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 35. Rincian persentase perkembangan jumlah produksi perikanan di lokasi penelitian dari tahun 2005-2010 disajikan pada Tabel 36 berikut ini. Tabel 35. Produksi Perikanan di Lokasi Penelitian No 1 2 3 4 5 6 7
Lokasi Pangkep Sikka Wakatobi Selayar Buton Raja Ampat Biak Numfor
Produksi Perikanan Fluktuatif, sangat dipengaruhi musim Tren meningkat dari tahun ketahun Menurun karena nelayan dari luar daerah Fluktuatif cenderung Meningkat Tergantung musim, ada kecenderungan menurun Fluktuatif cenderung menurun Tetap cenderung naik
Sumber: Data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
108
Laporan Teknis
Tabel 36. Perkembangan Jumlah Produksi Perikanan di Lokasi Penelitian Satuan : ton Kabupaten No Tahun
Pangkep
Sikka
1 2005 11.454,30 9.702,60 2 2006 10.040,70 9.785,50 3 2007 7.122,40 9.976,70 4 2008 7.211,70 10.951,00 5 2009 7.219,80 11.389,04 6 2010 7.268,70 11.923,00 Sumber: Berbagai Sumber (2011)
Wakatobi
Selayar
Buton
17.985,60 11 021,80 22.977,00 6.879,70
12.506,90 11.041,90 11.697,20 12.198,50 13.973,00 15.696,30
89.842,28 118.202,80 119.825,63 120.229,80 116.260,21 122.820,21
Raja Ampat 725,44 222,36
Biak Numfor 879,08 1.161,62 19.418,17 14.923,00
Dari tabel tersebut dapat dapat terlihat bahwa hasil produksi perikanan di Kabupaten Pangkep, hasil produksi tahun 2010 menurun sebesar 36,54 % dibanding tahun 2005. Di Kabupaten Sikka hasil produksi meningkat antara 0,85 - 8,90% (2005-2010). Di kabupaten Wakatobi hasil produksi tahun 2010 mengalami penurunan sebesar 61,75% dibanding tahun 2005. Produksi perikanan di Kabupaten Selayar tahun 2010 meningkat 25,50% dibanding tahun 2005. Hasil produksi perikanan di kabupaten Buton pada umumnya meningkat namun fluktuatif. Ada kecenderungan menurun pada tahun 2009 dan meningkat pada tahun 2010. Hasil 2010 naik 1,06 dibanding 2009. Hasil perikanan di kabupaten Buton juga sangat tergantung pada musim. Demikian juga dengan hasil produksi perikanan di kabupaten Raja Ampat fluktuatif cenderung menurun. Hasil produksi tahun 2010 menurun >50 % dibanding tahun 2009. Untuk menjelaskan besaran produksi perikanan utama menurut hasil tangkapan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 37 dibawah ini.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
109
Laporan Teknis
Tabel 37. Produksi perikanan utama di Lokasi Penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Jenis Ikan Kepiting/rajungan Baronang Pari Cumi-cumi Udang barong/ kipas Udang dogol Udang lain/ rebon1 Udang putih Udang windu+flower Kakap putih Kerapu Tenggiri Layang/gamasi Kuwe Selar Tembang Ikan campuran Kembung Layur Tuna Cakalang Tongkol Campuran Manyung Cendro Ekor kuning Selar Sunglir Tetengkek Lemuru Teri
Pangkep 1.764.700 55,600 33.000 96.600 3.100 39.900 78.300 190.100 68.700 12.400 43.800 97.800 398.000 206.500 333.200 299.100 168.300 -
Sikka 2.500 380 52.000 55.000 75.000 977.000 10.000 956.000 986.000 1.520.400 1.150.000 35.000 2.150.000 1.805.000 1.700.000 -
Wakatobi 138.878.000
Kabupaten Selayar 122.000 235.800 61.800 155.200
Buton
Raja Ampat
Biak Numfor
4,89 2,01
237.400 12.300 1.410.600 603.000 220.400 208.800 156.300 650.600 1.249.800 482.500
3.057,00 4.750,05
2,56 1,87 3,67 27,20 8,20 28,85 0,2 8,17
38.800
340,13
86.700
152,18 13,09
324.600 306.500 140.300 68.300 48.300 171.000 377.800 821.500
2,83
2,11 0,7
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
110
Laporan Teknis
No
Jenis Ikan
Pangkep
Sikka
Wakatobi
32 Ikan terbang 33 Julung-julung 34 Gerot-gerot 35 Peperek 36 Lancam 37 Kakap merah 38 Belanak 39 Biji nangka 40 Kurisi 41 Cakalang 42 Banyar 43 Cucut 44 Teripang 45 Gurita 46 Bawal hitam 47 Bawal putih 48 Sunglir 49 Tiram 50 Kerang dara Sumber: Dinas Kelautaan dan Perikanan Pangkep, Sikka, Wakatobi (2011), Selayar (2010)
Kabupaten Selayar 303.000 269.100 620.000 579.900 1.227.700 2.227.000 228.400 59.400 45.900 361.500 280.800 85.500 641.800 475.000
Buton
Raja Ampat
Biak Numfor 1,55 10,90
1,28
7,78
6,90 6,73 5,67 4 1,13 0,25 0,67 0,17
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
111
Laporan Teknis
Produksi tangkapan yang paling banyak dihasilkan di Kabupaten Pangkep setiap tahun adalah kepiting/rajungan yaitu mencapai 1.764,7 Ton, kemudian ikan layang atau gamasi mencapai 398 ton. Ditempat ketiga diduduki oleh hasil tangkapan ikan selar yang mencapai 333,2 ton. Produksi jenis ikan yang paling banyak dihasilkan di Kabupaten Sikka setiap tahun adalah ikan tuna sebanyak 2.150 ton, kemudian ikan cakalang dan tongkol sebanyak 1.805 ton dan 1.700 ton, ikan kembung sebanyak 1.150 ton, kemudian ikan tembang sebanyak 986 ton dan ikan layang sebanyak 956 ton. Selain produksi ikan, budidaya rumput laut juga terus digalakkan di Kabupaten Sikka, dengan produksi rumput laut basah sebesar 6.705,68 ton dan rumput laut kering sebesar 838,21 ton. Produksi perikanan tangkap di Kabupaten Selayar selama 10 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 38 berikut ini. Hasil tangkapan terbanyak pada tahun 2010 adalah jenis ikan kakap yaitu kakap merah (2.227 ton) dan kakap putih (1.410,6 ton). Produksi perikanan tangkap menurut jenis ikan di Kabupaten Selayar secara lengkap disajikan pada Tabel 39. Selanjutnya produksi jenis ikan yang paling banyak dihasilkan di Kabupaten Buton pada tahun 2011 yaitu ikan layang sebanayk lebih dari 17.000 ton, kemudian ikan tongkol komo sebanayak lebih dari 14.000 ton, ikan kembung sebanyak lebih dari 9000 ton, dan tuna yellow fin sebanyak lebih dari 6000 ton. Selain produksi ikan, budidaya rumput laut juga terus digalakkan di Kabupaten Buton. Gambaran lengkap besaran produksi perikanan tangkap dan budidaya dapat dilihat pada Tabel 40 di bawah ini. Tabel 38. Produksi Perikanan Tangkap di Kabupaten Selayar, 2001 – 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Jumlah Produksi (Ton) 10.282,90 11.828,90 12.415,90 12.643,50 12.506,90 11.041,90 11.697,20 12.198,50 13.973,00 15.696,30
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Selayar (2010)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
112
Laporan Teknis
Tabel 39. Produksi Perikanan Tangkap menurut Jenis Ikan di Kabupaten Selayar, 2010 No
Jenis Ikan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Manyung Cendro Ekor Kuning Selar Kuwe Layang Sunglir Tetengkek Kakap putih Tembang Lemuru Teri Ikan terbang Julung-julung Gerot-gerot Peperek Lencam Kakap merah Belanak Biji nangka Kurisi Cakalang Kembung Banyar Tenggiri Tenggiri papan Tuna Tongkol abu-abu Kerapu sunu Kerapu macan Kerapu bebek Baronang lingkis Cucut Pari Ikan lainnya Udang putih/jerbung Udang lainnya Kepiting Rajungan Teripang Cumi-cumi Gurita
Kwartal I
66,8 55,8 8,7 8,5 24,1 34,3 4,1 33,6 306,0 127,0 60,8 171,8 59,3 49,0 128,7 131,3 254,2 486,8 38,6 10,8 6,1 34,0 106,9 46,6 19,6 16,1 5,0 12,7 77,4 15,2 15,2 39,3 14,6 11,4 234,6 1,2 54,4 16,2 40,5 152,0 27,1 108,8 3.115,1
Jumlah Produksi (Ton) Kwartal II Kwartal III Kwartal IV
Jumlah Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Selayar (2010)
80,3 79,1 17,0 10,1 29,1 42,0 6,3 37,1 319,8 140,3 70,5 178,9 71,6 63,1 136,7 133,9 282,9 529,1 51,3 12,6 8,1 63,5 114,2 60,5 26,7 21,4 7,2 20,5 96,3 20,8 22,9 55,5 18,9 13,3 305,7 2,4 55,9 17,3 36,6 164,0 29,4 115,6 3.568,4
93,2 90,4 62,5 27,3 55,3 70,4 20,1 52,3 398,3 196,4 126,8 245,9 90,4 81,7 182,9 167,3 361,0 616,2 71,2 20,3 17,5 137,0 136,3 91,8 44,0 32,1 15,2 29,5 139,3 26,1 28,2 75,5 28,9 21,3 370,9 5,3 65,8 20,4 40,3 175,3 54,8 131,2 4.716,6
84,3 81,2 52,1 22,4 47,8 62,1 17,8 48,0 386,5 186,9 119,7 224,9 81,7 75,3 171,7 147,4 329,6 594,9 67,3 15,7 14,2 127,0 125,1 81,9 36,6 23,9 11,4 24,0 120,7 20,0 21,9 65,5 23,1 15,8 338,6 3,4 61,3 16,2 34,5 150,5 43,9 119,4 4.296,2
Total
324,6 306,5 140,3 68,3 156,3 208,8 48,3 171,0 1.410,6 650,6 377,8 821,5 303,0 269,1 620,0 579,9 1.227,7 2.227,0 228,4 59,4 45,9 361,5 482,5 280,5 126,9 93,5 38,8 86,7 433,7 82,1 88,2 235,8 85,5 61,8 1.249,8 12,3 237,4 70,1 151,9 641,8 155,2 475,0 15.696,3
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
113
Laporan Teknis
Tabel 40. Produksi Perikanan Tangkap Kabupaten Buton menurut Komoditi Periode 2006 - 2011 (ton) Jenis Ikan 2006 2007 Ekor Kuning 567,15 567,97 Alu-Alu 8.681,68 8.373,02 Selar 2.222,38 2.288,30 Kuwe 1.036,79 1.010,31 Layang 16.893,31 17.798,95 Kakap Putih 3.855,99 3.849,80 Tembang 4.328,25 4.286,71 Lemuru 1.398,37 1.371,09 Teri 8.016,60 8.000,20 Ikan Terbang 40,00 40,00 Julung-julung 896,20 876,87 Lencam 11.340,78 11.863,63 Bambangan 914,14 908,46 Belanak 27,48 27,00 Biji Nangka Karang 4,26 4,26 Biji Nangka 714,39 706,38 Kurisi 3.058,83 3.064,37 Tongkol Komo 7.264,19 6.937,50 Cakalang 3.696,11 3.469,56 Kembung 12.443,17 13.595,66 Tenggiri 252,89 91,70 Tuna Yellow Fin 1.557,40 1.590,49 Kerapu Karang 1.211,49 1.190,71 Kerapu Sunu 88,66 108,18 Ikan Baronang 7,91 7,52 Cucut 4.532,64 4.503,84 Pari 119,65 97,26 Ikan Lainnya 7.131,66 6.986,98 Udang 0,45 0,45 Kakatua Kepiting 3.810,14 3.810,94 Teripang 2,64 2,28 Cumi-Cumi 399,55 399,20 Baby Tuna 591,04 606,53 Campuran 2.004,22 2.334,89 Peperek 584,68 561,48 Terubuk 269,60 258,00 Tetengkek Ekor Cucut 8.236,96 8.233,76 Sunglir 1,15 1,38 Kapas-Kapas Lamadang Cendro Nener Total 118.202,80 119.825,63 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Buton (2011)
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
2008 1.144,24 6.297,53 3.544,98 2.737,70 15.090,09 1.149,59 3.781,78 1.003,44 7.383,92 237,92 767,26 9.236,67 509,71 552,52 301,01 563,88 786,84 6.645,78 5.150,84 11.707,68 106,20 3.938,71 2.058,79 900,32 2.986,07 4.950,00 0,69 7.994,62 0,12 115,20 10.795,44 2,88 477,77 525,12 962,14 1.157,10 258,40 4,32 2.334,00 2,02 2.036,30 30,24 120.229,83
2009 1.972,10 3.719,45 4.647,00 2.947,04 15.214,22 973,81 4.418,42 1.942,86 8.999,92 724,96 1.251,70 8.806,36 614,07 745,76 674,16 523,61 738,08 12.345,00 5.816,47 9.064,60 1.023,14 6.052,08 2.146,94 1.122,96 3.104,30 4.533,68 1,15 5.711,00 0,12 118,82 567,61 3,12 309,98 424,00 440,45 995,06 277,70 4,32 1.249,52 1,76 1.935,50 30,21 67,20 116.260,21
2010 1.972,10 3.741,05 4.735,00 2.947,04 17.023,82 973,81 4.706,42 2.158,86 9.071,92 724,96 1.251,70 9.068,76 614,07 745,76 674,16 523,61 775,68 14.417,00 6.277,27 9.508,60 1.239,14 6.052,08 2.146,94 1.122,96 3.192,30 4.749,68 1,15 5.867,00 0,12 118,82 567,61 3,12 309,98 424,00 552,45 995,06 277,70 4,32 1.249,52 1,76 1.935,50 30,24 67,20 122.820,21
2011 2.101,11 3.856,03 4.750,05 3.057,00 17.116,51 989,50 4.822,88 2.252,11 9.154,82 951,09 1.360,81 8.911,83 705,61 955,16 935,27 554,67 956,60 14.460,68 6.350,13 9.201,95 1.345,16 6.067,32 2.250,91 1.286,65 3.256,13 4.811,22 2,13 5.934,12 0,15 120,30 554,81 4,11 385,66 355,01 445,55 990,70 286,87 4,32 1.001,90 1,50 2.055,30 30,24 67,20 124.701,07
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
114
Laporan Teknis
Di Kabupaten Wakatobi berdasarkan data yang bersumber dari BPS Kabupaten Wakatobi (2009) menunjukan bahwa produksi hasil laut menurut jenisnya per kecamatan belum menunjukan rincian yang jelas terhadap komoditi setiap jenisnya. Dari Tabel 39 secara umum hanya terlihat produksi perikanan laut, sementara perikanan budidaya seperti data tahun 2007 tidak tercantum. Berdasarkan data tersebut Kecamatan Binongko memberikan kontribusi besar terhadap produksi perikanan laut di Kabupaten Wakatobi yang mencapai 983,2 ton kemudian Kecamatan Wangi-Wangi Selatan 631,9 ton pada tahun 2008. Secara keseluruhan produksi perikanan laut Kabupaten Wakatobi di tahun 2008 mencapai 3.985,7 ton. Kondisi ini memperlihatkan penurunan yang cukup signifikan dengan produksi di tahun 2007 yang mencapai 14.849,77 ton. Namun jelas produksi di tahun 2008 tersebut belum ada data yang tersedia khusus untuk perikanan budidaya. Dan pada tahun 2010 jumlah hasil ikan campuran mencapai 138.878 ton. Tabel 41. Produksi Hasil Laut menurut Jenisnya Per Kecamatan, 2008 (ton) No Kecamatan 1 Binongko 2 Togo Binongko 3 Tomia 4 Tomia Timur 5 Kaledupa 6 Kaledupa Selatan 7 Wangi-Wangi 8 Wangi-Wangi Selatan Jumlah
Perikanan Laut 983,2 0 550,7 484,6 451,5 457,8 426,0 631,9 3.985,7
Sumber: BPS Kabupaten Wakatobi (2009)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
115
Laporan Teknis
Tabel 42. Nilai Produksi Perikanan menurut Jenis Ikan di Kabupaten Wakatobi, 2009 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Jenis Ikan Kulit mutiara Mutiara Daging Mutiara Kerang Virgin Keshi Mother Of Pearls (Kerang Induk) Anakan mutiara Siput Induk Ikan Campuran Ikan Kerapu Ikan Napoleon Ikan Lema Kepiting Ikan Teri Ikan Tenggiri Ikan Tuna Lobster Teripang Ikan Dasar TOTAL
2009 92.450.000 653.199.646 75.000 7.500.000 1.275.016 -
2010 821.134.958 17.346.000 4.800.000 82.165.236 3.097.924 3.400.000
2011 95.033.000 554.828.305 478.000 76.224.443 213.908 39.531.250
1.250.000 2.200.000 12.825.000 210.000 2.400.000 625.000 774.009.662,00
6.250.000 4.500.000 16.900.000 570.000 29.505.500 4.875.000 1.045.000 995.589.618
1.250.000 2.830.000 11.013.750 28.100.000 970.000 250.000 37.627.250 864.000 450.000 150.000 849.813.906
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Wakatobi (2011)
Tabel 43. Produk Perikanan yang Diekspor menurut Jenis Ikan di Kabupaten Wakatobi, 2009 - 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Ikan Kulit Mutiara Cultured Round Pearls Uprocessed Daging Mutiara Mother Of Pearls (Kerang induk) Kerang Virgin Loose Seedless Pearls (Keshie'e) Anakan Mutiara Pearl Reject Siput Induk
2009 75.370 Kg 271.078,18 Gram
2010 34.692 Kg 1.305634 Gram
2011 238.310 Kg 1.043.430 Gram
300 Kg -
893 Kg 5.440 Gram
2.012 Kg 63.250 Kg
3.000 Ekor 6.159,69 Gram
11.170 Gram
11.459 Gram
10.000 Kg -
50.000 ekor -
5.000 ekor 187.732 Gram 566 ekor
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Wakatobi (2011)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
116
Laporan Teknis
Tabel 44. Produk Perikanan yang Diantarpulaukan menurut Jenis Ikan di Kabupaten Wakatobi, 2009 - 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jenis Ikan Ikan Kerapu Ikan Napoleon Kepiting Ikan Dasar Ikan Campuran Teri Lobster Ikan Tuna Teripang Ikan Tenggiri Ikan Lema
2009 25.200 Kg 720 Kg 9.600 Kg 2.500 Kg 20.300 Kg -
2010 33.800 Kg 1.140 Kg 18.000 Kg 118.020 Kg 1.045 Kg 11.170 Kg 2.000 Kg -
2011 32.100 Kg 1.130 Kg 600 Kg 44.055 Kg 96.509 Kg 1.873 Kg 11.170 Kg 900 Kg 17.298 Kg 1.000 Kg
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Wakatobi (2011)
Produksi jenis ikan yang paling banyak dihasilkan di Kabupaten Raja Ampat setiap tahun adalah ikan tuna sebanyak 2.150 ton, kemudian ikan cakalang dan tongkol sebanyak 1.805 ton dan 1.700 ton, ikan kembung sebanyak 1.150 ton, kemudian ikan tembang sebanyak 986 ton dan ikan layang sebanyak 956 ton. Selain produksi ikan, budidaya rumput laut juga terus digalakkan di Kabupaten Sikka, dengan produksi rumput laut basah sebesar 6.705,68 ton dan rumput laut kering sebesar 838,21 ton. Di Kabupaten Biak Numfor hasil tangkapan tertinggi pada tahun 2010 adalah pada jenis ikan tuna, yaitu mencapai 340,13 ton. Kemudian disusul oleh hasil tangkapan ikan tongkol yang mencapai 152,18 ton. Menurut jenis tangkapan menurut habitatnya, antara lain: pelagis besar 10.140,37 ton; pelagis kecil 12.389,93 ton; demersal 3.216,59 ton (Biak Numfor, dalam Angka, 2010)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
117
Laporan Teknis
4.3.2.3 Perkembangan Usaha Komponen kinerja ekonomi yang diamati berikutnya adalah perkembangan usaha. Data hasil penelitian mengenai perkembangan usaha secara lengkap di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 45. Tabel 45. Perkembangan Usaha di Lokasi Penelitian No 1 2
Lokasi Pangkep
3 4
Wakatobi Selayar
5
Buton
6
Raja Ampat
7
Biak Numfor
Sikka
Perkembangan Usaha Beberapa nelayan mulai mencoba budidaya rumput laut Usaha berkembang dari jenis alat tangkap satu ke yang lain (sebelumnya hanya pancing, sekarang beragam) Banyak nelayan yang mulai mengembangkan budidaya Sejak setahun terakhir banyak yang mengembangkan karamba tancap serta budidaya rumput laut Nelayan banyak yang berasal dari petani. Mereka menekuni budidaya rumput laut karena cukup menjanjikan.. Namun, beberapa tahun terakhir budidaya rumput laut semakin tidak menjanjikan karena harganya semakin turun. Perkembangan usaha di sektor perikanan masih pada sektor perikanan tangkap, usaha budidaya ikan, rumput laut dan teripang belum berkembang secara maksimal Diversifikasi usaha ke arah pertanian dan peternakan, pengembangan potensi perikanan dan kelautan belum optimal
Sumber: Data primer diolah (2012)
Permasalahan yang dihadapi saat melakukan pengembangan usaha perikanan oleh masyarakat dapat diliht dari berbagai aspek, yaitu permodalan, keterampilan, pemasaran dan sarana prasarana. Secara ringkas berbagai permasalahan pada usaha perikanan tangkap disajikan pada Tabel 46.
Tabel 46. Permasalahan yang dihadapai pada usaha perikanan tangkap di lokasi penelitian No 1 2
Lokasi I. Permodalan Pangkep Sikka
3
Wakatobi
4 5
Selayar Buton
Permasalahan dalam Usaha Perikanan Tangkap Ketergantungan pada pengumpul dan bunga pinjaman Bank terlalu tinggi Permodalan nelayan di Sikka pada dasarnya berasal dari sumber cukup beragam. Namun nelayan banyak yang terlilit hutang rentenir karena prosesnya yang dianggap lebih mudah dan cepat Ketergantungan pada pengumpul Hutang modal pada pengumpul menimbulkan ketergantungan Modal berasal dari individu namun dalam jumlah yang terbatas. Bantuan dalam bentuk pinjaman juga sudah banyak, namun jumlahnya juga terbatas sehingga untuk pengembangan usaha ke skala lebih besar sangat sulit, terutama untuk pengembangan budidaya keramba yang sangat potensial
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
118
Laporan Teknis
No 6
Lokasi Raja Ampat
7 Biak Numfor II. Keterampilan 1 Pangkep 2 Sikka
3
Wakatobi
4
Selayar
5
Buton
6
Raja Ampat
7
Biak Numfor
III. Pemasaran 1 Pangkep 2
Sikka
3
Wakatobi
4
Selayar
5
Buton
6
Raja Ampat
7
Biak Numfor
Permasalahan dalam Usaha Perikanan Tangkap Modal berasal dari individu namun dalam jumlah yang terbatas. Bantuan dalam bentuk pinjaman juga sudah banyak, namun jumlahnya juga terbatas sehingga untuk pengembangan usaha ke skala lebih besar sangat sulit, terutama untuk pengembangan budidaya keramba yang sangat potensial Modal terbatas dan tidak tergantung pada pihak lain Minim pelatihan Pada dasarnya para nelayan laki-laki dan kaum perempuan memiliki keterampilan, pengetahuan dan kemauan untuk mengembangkan usaha terkait pengolahan hasil perikanan. Hingga saat ini pelatihan yang diberikan hampir tidak ada sehingga usaha pengolahan hasil perikanannya masih sangat sederhana Pengolahan hasil perikanan terbatas pada produk yang itu-itu saja karena keterampilan untuk pembuatan produk olahan baru sangat minim Kurang keterampilan menggunakan teknologi kapal dan alat tangkap, serta minim pelatihan Sumber daya alam yang besar tidak didukung oleh pengetahuan dan keterampilan yang cukup sehingga pemanfaatannya masih kurang optimal, seperti dalam teknik penangkapan tuna dan pengolahan hasil perikanan hingga saat ini belum termanfaatkan secara maksimal Sumber daya alam yang besar tidak didukung oleh pengetahuan dan keterampilan yang cukup sehingga pemanfaatannya masih kurang optimal, seperti pengolahan hasil perikanan hingga saat ini belum termanfaatkan secara maksimal Keterampilan terbatas karena mayoritas masyarakat nelayan di Biak adalah nelayan tradisional Fluktuasi harga jual hasil tangkapan karena ketiadaan harga dasar. Harga ditentukan oleh pengumpul Fluktuasi harga jual hasil tangkapan karena ketiadaan harga dasar. Harga ditentukan oleh pengumpul atau pembeli. Demikian juga dengan jalur pemasaran yang menghubungkan dengan luar pulau masih sangat terbatas sarana dan prasarana transportasi. Hal ini menyebabkan ikan jenis tertentu seperti selar dan layang terbuang percuma manakala musim ikan melimpah Harga ditentukan sepenuhnya oleh pengumpul maupun pasar. Nelayan tidak memiliki kekuatan untuk bargaining harga - Fluktuasi harga jual hasil tangkapan karena harga dasar tidak diatur. Harga ditentukan oleh pengumpul dan sebagian kecil nelayan . - Ketiadaan investor di darat sehingga marak transaksi tengah laut. TPI tidak berfungsi dan pencatatan hasil produksi tidak optimal Sistem pemasaran sangat bergantung pada pengumpul lokal karena terkendala dengan sarana transportasi antarpulau sehingga harga jual ikan sangat rendah Sistem pemasaran sangat bergantung pada pengumpul lokal karena terkendala dengan sarana transportasi antarpulau sehingga harga jual ikan sangat rendah Pemasaran berorientasi kebutuhan lokal kabupaten. Harga ditentukan oleh nelayan sebagai penjual dan terdapat mekanisme tawar-menawar
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
119
Laporan Teknis
No Lokasi Permasalahan dalam Usaha Perikanan Tangkap IV. Sarana dan Prasarana 1 Pangkep - SPBN: Tidak ada - Sarana kapal dan alat tangkap tidak memadai, karena tidak mampu menyesuaikan dengan ombak besar 2 Sikka TPI Maumere tidak diperbolehkan para pedagang pengecer masuk sehingga berpengaruh pada penentuan harga ikan. Sarana dan prasarana pemasaran yaitu transportasi yang dapat mengangkut hasil tangkapan ke luar pulau atau daerah lain. 3 Wakatobi - Bantuan kapal dan alat tangkap dari pemerintah sering tidak sesuai dengan kondisi laut setempat. - Tidak adanya pelabuhan ikan maupun TPI - Belum dioperasikannya pabrik es dekat Desa Waha, karena lokasinya jauh dari tempat nelayan, padahal kebutuhan es oleh nelayan cukup besar 4 Selayar - Pabrik es belum beroperasi - Tidak ada SPBN - TPI tidak berfungsi karena pembeli di darat yang mampu membeli seluruh hasil tangkapan tidak ada, sehingga nelayan lebih memilih bertransaksi di tengah laut 5 Buton - Tempat penyimpanan ikan dan rumput laut tidak tersedia sehingga pada musim panen ikan dan rumput laut harga jual sangat rendah karena terpaksa harus dijual. - TPI dan PPI di lokasi-lokasi penelitian belum berfungsi sehingga harga jual ikan bergantung pada pengumpul lokal. Bufferstock ikan dan rumput laut tidak tersedia sehingga pada saat ikan berlimpah, nelayan membuang ikan karena tidak ada yang menampung - Sarana transportasi antar pulau dalam bidang pemasaran sangat minim - Pabrik es tidak tersedia 6 Raja Ampat - tempat penyimpanan ikan dan rumput laut tidak tersedia sehingga pada musim panen ikan dan rumput laut harga jual sangat rendah karena terpaksa harus dijual. - TPI dan PPI di lokasi-lokasi penelitian belum berfungsi sehingga harga jual ikan bergantung pada pengumpul lokal. Bufferstock ikan dan rumput laut tidak tersedia sehingga pada saat ikan berlimpah, nelayan membuang ikan karena tidak ada yang menampung - Sarana transportasi antar pulau dalam bidang pemasaran sangat minim - Pabrik es tidak tersedia karena keterbatasan listrik yang masih sangat minim pengoperasiannya 7 Biak Numfor - TPI tidak ada - Pabrik Es ada namun belum optimal - SPBN tidak ada - Sarana dan prasarana penangkapan sebagian besar nelayan belum memadai hingga belum dapat menjangkau laut dalam. Nelayan hanya mampu mengakses sumber daya laut > 4-5 Mil. - Sarana dan prasarana penangkapan sangat rawan terkena efek cuaca buruk Sumber: Data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
120
Laporan Teknis
Permasalahan yang paling utama dalam pengembangan usaha-usaha yang dijalankan masyarakat yaitu permasalahan kelembagaan permodalan, kelembagaan sosial (organisasi), ketidakpastian musim dan teknologi yang masih kurang memadai. Di Kabupaten Pangkep, nelayan mendapatkan pelatihan yang minim. Pelatihan yang pernah dilakukan adalah pelatihan pembuatan bakso ikan pada tahun 2011, namun karena tidak ada pendampingan dan bantuan modal serta teknologi alat pengolahan maka program ini belum dapat meningkatkan keterampilan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di Kabupaten Sikka, kelembagaan permodalan di sektor perikanan tangkap menjadi kendala bagi nelayan untuk memiliki perahu dan alat tangkap. Ketiadaan perahu dan alat tangkap menyebabkan nelayan kebanyakan hanya bisa menjadi ABK, sehingga penghasilan yang mereka peroleh tidak mencukupi. Permasalahan modal juga dialami masyarakat yang melakukan aktivitas pengolahan hasil perikanan. Mereka hanya bisa mengolah hasil tangkapan dengan modal yang sedikit yaitu ikan asin. Seharusnya dengan potensi ikan yang besar, nelayan bisa membuat olahan hasil perikanan dengan berbagai macam varian. Hal ini disebabkan karena tidak berfungsinya koperasi nelayan sehingga nelayan tidak dapat mengakses modal dan terlilit hutang pada sistem rentenir. Selain itu pada saat jumlah ikan berlimpah, harga sangat rendah sehingga tidak bisa menutupi biaya operasional yang dikeluarkan. Masalah lainnya yang dihadapi dalam pengembangan usaha yaitu ketiadaan kelembagaan sosial dalam hal ini organisasi nelayan. Organisasi nelayan yang seharusnya berfungsi sebagai sarana nelayan dalam membahas masalah kenelayanan termasuk dalam masalah permodalan, teknologi dan perubahan iklim, saat ini tidak berjalan. Ketiadaan organisasi nelayan memang menjadi masalah yang umum ditemukan di seluruh masyarakat nelayan. Keberadaan organisasi saat ini sudah mulai bermunculan namun hanya sebagai upaya persyaratan pemberian bantuan dari pemerintah. Untuk pengadaan armada dan alat penangkapaan cenderung menggunakan pinjaman dari BRI (Bank Rakyat Indonesia). Namun, akses ini hanya terbatas pada mereka yang merupakan juragan kapal. Untuk nelayan kecil sulit mengakses pinjaman ini. Sehingga nelayan kecil tidak dapat memiliki asset produksi. Persyaratan agunan pinjaman BRI diatasi dengan meminjam sertifikat tanah dari Orang Gunung. Hal ini karena sebagian lahan di Wuring tidak bisa dijadikan agunan karena termasuk zona merah bencana dan merupakan kawasan pesisir yang tidak bisa disertifikatkan. Kemudian, untuk permodalan Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
121
Laporan Teknis
operasional melaut seperti layaknya terjadi di semua komunitas nelayan di Indonesia yaitu berasal dari pengusaha atau penampung ikan atau pemilik warung. Nelayan ABK banyak yang terlibat hutang dengan rentenir dengan tingkat bunga tinggi karena tidak dapat mengakses pinjaman ke lembaga keuangan formil. Demikian pula halnya dengan nelayan di wakatobi, nelayan jarang yang melakukan pinjaman ke koperasi atau bank karena tidak adanya agunan. Peningkatan keterampilan juga tidak pernah ada, masyarakat tidak mendapatkan pelatihan. Mereka banyak belajar sendiri untuk mengembangkan usaha pengolahan ikan, antara lain dari kerabat mereka di luar NTT. Saat ini hampir semua kaum perempuan mengolah ikan asin, bukan hanya untuk konsumsi tetapi untuk dipasarkan. Selain itu, ada beberapa perempuan nelayan yang mengolah bakso ikan untuk dijual serta abon ikan. Pelatihan keterampilan sangat diperlukan agar pada saat harga ikan segar rendah, nelayan dapat mengolahnya sehingga dapat menambah nilai jual dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Permasalahan perubahan iklim dalam bentuk ketidakpastian musim, angin badai, gelombang tinggi juga menjadi kendala yang serius yang dihadapi nelayan. Dampak ekonomi yang muncul dengan adanya perubahan iklim tersebut nelayan sulit untuk melaut, karena cuaca sulit untuk diprediksi dan gelombang besar menyebabkan nelayan tidak berani melaut. Teknologi yang masih jauh dari memadai saat ini juga menjadi kendala nelayan untuk dapat meningkatkan hasil tangkapannya. Teknologi kapal dan alat penangkapan yang tergolong masih tradisional membuat nelayan hanya dapat melaut di wilayah-wilayah yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Mereka tidak berani untuk lebih jauh karena teknologi mereka tidak mampu. Hal ini terutama dialami pada saat cuaca buruk dan intensitas gelombang besar sehingga nelayan tidak berani untuk melaut. Pada kondisi ini teknologi penangkapan yang kurang sesuai dengan kondisi alam yang ada sangat menghambat untuk melaut. Selain masalah di atas, masalah keterbatasan air bersih juga menjadi kendala dalam proses pengolahan hasil perikanan serta masalah penyuluh perikanan yang tidak pernah datang. Untuk di Wuring permasalahan rekrutmen ABK dan sistem bagi hasil nelayan lempara malam juga menjadi kendala dalam melakukan usaha. Selain itu, bantuan untuk kelompok banyak yang bermasalah karena banyak yang salah sasaran. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
122
Laporan Teknis
Di Kabubapen Selayar ditemukan beberapa persoalan terkait permodalan, keterampilan, pemasaran serta sarana dan prasarana yang pengaruhnya cukup signifikan bagi perkembangan kondisi ekonomi masyarakat nelayan di Kabupaten Selayar. Persoalanpersoalan tersebut tentu saja sangat memperngaruhi keberlangsungan hidup serta kondisi ekonomi masyarakat di Kabupaten Selayar. Masyarakat membutuhkan modal yang diperuntukan terkait pengembangan usaha, namun pendapatan nelayan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk meningkatkan akses permodalan, masyarakat nelayan di Kabupaten Selayar membentuk kelompok-kelompok sesuai jenis alat tangkapnya sehingga kekurangan individu bisa ditolong oleh kelompok. Karena di dalam kelompok terdapat iuran rutim Rp 50.000/Oran/Bulan, sehingga dapat membantu anggota yang kekurangan modal dari dana iuran. Masalah keterampilan, dalam kegiatan penangkapan dan budidaya serta pengolahan ikan, masyarakat membutuhkan pengembangan kemampuan dan keterampilan. Masyarakat mengaku membutuhkan peran pemerintah dalam melakukan pelatihan-pelatihan. Misalnya pelatihan penggunaan kapal dan alat tangkap, pelatihan pengolahan hasil tangkapan, pelatihan terkait budidaya rumput laut terutama dalam mengatasi masalah penyakit rumput laut. Hal ini juga telah disadari oleh pemerintah daerah Kabupaten Selayar dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan namun kendala biaya menjadi hambatan pelaksanaan pelatihan untuk masyarakat Selayar. Masalah pemasaran, di Kabupaten Selayar pemerintah daerah dalam hal ini dinas kelautan dan perikanan setempat kesulitan dalam hal pencatatan produksi ikan. Hal ini dikarenakan maraknya transaksi hasil tangkapan di tengah laut. Hal ini diakibatkan oleh minimnya pembeli atau pengumpul yang siap menampung/membeli seluruh hasil tangkapan nelayan di darat. Maraknya transaksi tengah laut tersebut mengakibatkan tidak berfungsinya Tempat Pelelangan Ikan di Kabupaten Selayar. Untuk mensiasati hal ini nelayan ada yang menjual hasil tangkapan langsung ke pengecer dan atau konsumen di pasar tradisional. Masalah sarana dan prasarana, terkait dengan sarana dan prasarana yang dapat meningkatkan taraf ekonomi masyarakat seperti kapal, alat tangkap, tambatan kapal, dermaga, air bersih, listrik, teknologi pengolahan serta pabrik es. Pabrik es sebenarnya
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
123
Laporan Teknis
sudah berdiri namun belum beroperasi karena masalah anggaran operasionalisasi sehingga belum dapat berfungsi secara optimal. Permasalahan di Kabupaten Buton terkait pengembangan usaha antara lain masalah permodalan yang sangat terbatas jumlahnya, keterampilan dan pengetahuan yang minim, pemasaran, dan ketersediaan sarana dan prasarana. Masalah permodalan yang ditemui yaitu modal berasal dari individu namun dalam jumlah yang terbatas. Bantuan dalam bentuk pinjaman juga sudah banyak, namun jumlahnya juga terbatas sehingga untuk pengembangan usaha ke skala lebih besar sangat sulit, terutama untuk pengembangan budidaya keramba yang sangat potensial. Sumber daya alam yang besar tidak didukung oleh pengetahuan dan keterampilan yang cukup sehingga pemanfaatannya masih kurang optimal, seperti dalam teknik penangkapan tuna dan pengolahan hasil perikanan hingga saat ini belum termanfaatkan secara maksimal. Dalam sistem pemasaran, nelayan sangat bergantung pada pengumpul lokal karena terkendala dengan sarana transportasi antarpulau sehingga harga jual ikan sangat rendah.Dalam bidang ketersedian sarana dan prasarana penunjang permasalahan yang ditemukan yaitu tempat penyimpanan ikan dan rumput laut tidak tersedia sehingga pada musim panen ikan dan rumput laut harga jual sangat rendah karena terpaksa harus dijual. Keberadaan TPI dan PPI di lokasi-lokasi penelitian belum berfungsi meskipun secara fisik sudah berdiri dan memiliki bangunan yang cukup bagus, sehingga harga jual ikan bergantung pada pengumpul lokal. Terkait dengan belum berfungsinya TPI dan PPI di lokasi-lokasi yang diteliti menyebabkan bufferstock ikan dan rumput laut tidak tersedia sehingga pada saat ikan berlimpah, nelayan membuang ikan karena tidak ada yang menampung. Sarana transportasi antar pulau yang minim dalam bidang pemasaran juga menjadi kendala utama sehingga nelayan hanya bergantung pada pengumpul lokal saja. Untuk ikan-ikan bernilai ekspor, nelayan sangat bergantung pada kapal pembeli asing yang datang sewaktu-waktu tanpa kepastian. Pabrik es tidak tersedia hal ini berpengaruh pada kesulitan nelayan dalam penyimpanan hasil tangkapan dan rumput laut. Permasalahan di Kabupaten Raja Ampat terkait pengembangan usaha antara lain masalah permodalan yang sangat terbatas jumlahnya, keterampilan dan pengetahuan yang minim, pemasaran, dan ketersediaan sarana dan prasarana. Modal berasal dari individu namun dalam jumlah yang terbatas. Bantuan dalam bentuk pinjaman juga sudah banyak, namun jumlahnya juga terbatas sehingga untuk pengembangan usaha ke skala lebih besar Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
124
Laporan Teknis
sangat sulit, terutama untuk pengembangan budidaya keramba yang sangat potensial. Permasalahan lainnya yaitu sumber daya alam yang besar tidak didukung oleh pengetahuan dan keterampilan yang cukup sehingga pemanfaatannya masih kurang optimal, seperti pengolahan hasil perikanan hingga saat ini belum termanfaatkan secara maksimal. Permasalahan sistem pemasaran juga menjadi masalah utama yang dihadapi oleh nelayan. Sistem pemasaran sangat bergantung pada pengumpul lokal karena terkendala dengan sarana transportasi antarpulau sehingga harga jual ikan sangat rendah. Tempat penyimpanan ikan dan rumput laut tidak tersedia sehingga pada musim panen ikan dan rumput laut harga jual sangat rendah karena terpaksa harus dijual. TPI dan PPI di lokasilokasi penelitian belum berfungsi sehingga harga jual ikan bergantung pada pengumpul lokal. Bufferstock ikan dan rumput laut tidak tersedia sehingga pada saat ikan berlimpah, nelayan membuang ikan karena tidak ada yang menampung. Sarana transportasi antar pulau dalam bidang pemasaran sangat minim. Pabrik es tidak tersedia karena keterbatasan listrik yang masih sangat minim pengoperasiannya. Di Kabupaten Biak Numfor, masalah yang ditemukan di lokasi penelitian pada masyarakat nelayan adalah keterbatasan modal hingga alat produksi berupa perahu dan alat tangkap masih sangat sederhana (tradisional), jangkauan untuk mengakses peluang daerah hasil tangkapan yang lebih jauh sangat sulit mengingat minimnya sarana dan prasarana produksi penangkapan, minimnya keterampilan bimbingan dan pelatihan serta tidak lanjut dari pemerintah setempat. Terkait dengan keberadaan sarana dan prasarana kondisi di Kabupaten Biak Numfor ada 2 pasar ikan yaitu Pasar Bosnik, Pasar Kota. Terdapat pelabuhan dengan fungsi yang berbeda yaitu, pelabuhan laut biak, pelabuhan Fery di Mokmer, pelabuhan Tiptop untuk nelayan. Pabrik es sudah berdiri namun terjkendala pasokan listrik sehingga belum beroperasi secara optimal. SPBN tidak ada. Sarana dan prasarana penangkapan sebagian besar nelayan belum memadai hingga belum dapat menjangkau laut dalam. Nelayan hanya mampu mengakses sumber daya laut > 4-5 mil. Sarana dan prasarana penangkapan sangat rawan terkena efek cuaca buruk. Demikian pula halnya dengan perikanan budidaya juga menghadapi berbagai permasalahan dalam melakukan kegiatan usahanya terutama pada aspek permodalan, keterampilan, alam, pemasaran dan sarana prasarana yang secara rinci disajikan pada Tabel 47. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
125
Laporan Teknis
Tabel 47. Permasalahan dalam Usaha Perikanan Budidaya di Lokasi Penelitian No Lokasi I. Permodalan 1 Pangkep 2 Sikka 3 Wakatobi 4 Selayar 5 Buton 6 Raja Ampat 7 Biak Numfor II. Keterampilan 1 Pangkep 2 Sikka 3 Wakatobi 4 Selayar 5 Buton
6
Raja Ampat
7
Biak Numfor
III. Alam 1 Pangkep 2 Sikka 3 4
Wakatobi Selayar
5
Buton
6
Raja Ampat
7
Biak Numfor
IV. Pemasaran 1 Pangkep 2 Sikka 3
Wakatobi
4
Selayar
Permasalahan dalam Usaha Perikanan Budidaya Terbentur modal besar Terbentur modal besar Modal cukup besar Membutuhkan tambahan modal Untuk pengembangan budidaya keramba terkendala modal besar Untuk pengembangan budidaya keramba terkendala modal besar Membutuhkan tambahan modal Pelatihan terbatas, dan tidak ada pendampingan penguasaan teknologi Keterampilan terbatas Pelatihan tidak kontinyu Pengetahuan terkait penanganana penyakit pada rumput laut Pengetahuan mengenai keterampilan budidaya sangat minim karena karakteristik masyarakatnya lebih memilih pekerjaan yang cepat menghasilkan seperti penangkapan ikan serta belum adanya pelatihan Pengetahuan mengenai keterampilan budidaya sangat minim. Bantuan keramba yang diberikan pada masyarakat nelayan di Waifoi mengakibatkan pertumbuhan teripang tidak sebesar pertumbuhan secara alami karena pemberian bantuan tidak sesuai dengan kebutuhan Pelatihan terbatas, tidak ada pendampingan dan pengetahuan dan kemauan alih profesi masih kecil. Kenaikan suhu berpengaruh terhadap budidaya rumput laut Kondisi alam yang kurang mendukung seperti gelombang besar dan peningkatan suhu Penyakit rutin - Penyakit, Angin kecang merusak bentangan rumput laut - Karamba tancap sangat intensif - Paceklik kesulitan pakan bagi budidaya tambak - Pada saat terjadinya gelombang besar banyak tambak yang rusak. - Masalah penyakit rumput laut yang disebabkan oleh salinitas air menyebabkan masa tanam lebih lama Gelombang besar dan peningkatan suhu menjadi kendala produksi rumput laut Kondisi alam yang kurang mendukung seperti kondisi arus dan gelombang dan pencemaran lingkungan akibat pembiusan dan pemboman Kesinambungan pasar rumput laut dan fluktuasi harga karena harga ditentukan oleh pengumpul dan tidak ada harga dasar Kepastian pembeli hasil budidaya seperti kesinambungan pasar rumput laut dan fluktuasi harga karena harga ditentukan oleh pengumpul dan tidak ada harga dasar Harga ditentukan oleh pengumpul, pembudidaya menuruti saja, dan saat ini harga dirasakan sangat murah oleh pembudidaya Tidak ada harga dasar sehimgga harga sangat fluktuatif. Harga ditentukan oleh pengumpul, pembudidaya menuruti saja, dan saat ini harga dirasakan sangat murah oleh pembudidaya
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
126
Laporan Teknis
5
Buton
Bergantung pada pengumpul lokal sehingga bargaining harga sdari penjual sangat rendah. Begitu juga dengan ikan kerapu yang sangat bergantung pada kapal asing yang datang 6 Raja Ampat Produksi rumput laut yang belum maksimal mengakibatkan para penadah atau investor masih enggan menampung rumput laut 7 Biak Numfor Pasar lokal dan sebagian regional V. Sarana dan Prasarana 1 Pangkep - Ketiadaan sarana untuk penjemuran rumput laut - Penentuan areal lahan rumput laut melalui kesepakatan masyarakat dengan tidak mengganggu jalur kapal 2 - Ketiadaan sarana untuk pemecah ombak dan sarana penjemuran rumput laut. Sikka - Ketiadaan sarana prasarana untuk pengembangan budidaya mutiara. - Sarana dan prasarana transportasi pengangkutan hasil budidaya ke daerah lain khususnya antar pulau 3 Wakatobi - Pabrik es belum berfungsi maksimal - Daya dukung lingkungan sudah jenuh 4 Selayar - Tidak ada lahan penjemuran dan kapal untuk panen rumput laut 5 Buton - Tempat penampungan rumput laut yang tidak tersedia - Pabrik es tidak tersedia - Sarana transportasi antar pulau sebagai sarana pemasaran minim - TPI dan PPI yang belum berfungsi secara maksimal 6 Raja Ampat - Tempat penampungan ikan yang tidak tersedia - Pabrik es tidak tersedia - Sarana transportasi antar pulau sebagai sarana pemasaran minim 7 Biak Numfor - Pabrik es belum beroperasi - Belum berkembangnya potensi budidaya teripang Sumber: Data primer diolah (2012)
Berdasarkan informasi pada Tabel 47, permasalahan yang paling utama dalam pengembangan usaha perikanan budidaya yang dijalankan masyarakat yaitu permasalahan kelembagaan permodalan, kelembagaan sosial (organisasi), ketidakpastian musim dan teknologi yang masih kurang memadai. Hampir tidak ada yang melakukan pinjaman ke bank ataupun koperasi. Pinjaman modal biasanya ke pengumpul atau kelompok, sehingga pembudidaya terikat penjualan hasil rumput lautnya ke pengumpul tersebut. Selain itu kegiatan peningkatan keterampilan juga terbatas, seperti masyarakat di Kabupaten Pangkep pernh mendapatkan pelatihan pembuatan bakso rumput laut dan dodol rumput laut pada tahun 2011 namun karena tidak ada pendampingan dan bantuan modal serta teknologi alat pengolahan maka programini belum dapat meningkatkan keterampilan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.Padahal pembudidaya sangat membutuhkakn pelatihan baik untuk meningkatkan produksi maupun untuk mengolah hasil produksi.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
127
Laporan Teknis
Tantangan lainnya adalah kondisi alam yang tidak sesuai harapan membuat usaha budidaya rumput laut tidak berhasil, seperti hujan yang terus menerus, gelombang tinggi. Minimnya pelatihan keterampilan terkait budidaya KJA sehingga belum pernah dikembangkan. Permasalahan lainnya adalah terkait sarana prasarana, seperti tidak berfungsinya pabrik dan mesin pengolahan rumput laut karena ketiadaan tenaga dan biaya operasional dari pemerintah. Selain itu tidak adanya pengaturan penetapan lahan rumput laut yang dapat dimiliki pembudidaya, sehingga lahan dapat dimiliki secara bebas dengan mematok terlebih dahulu lahan tersebut. Karena lahan rumput laut sangat padat, sehingga penyakit pada rumput laut mudah sekali tertular. Di Kabupaten Selayar masalah-masalah yang terkait dengan perikanan budidaya tidak jauh dari konteks modal, kondisi alam, keterampilan, pemasaran serta sarana dan prasarana. Namun secara spesifik pembudidaya rumput laut membutuhkan modal untuk mengembangkan usahanya karena akses sumber daya alam berupa laut lepas masih bisa dimanfaatkan secara mudah. Untuk budidaya karamba ada potensi untuk membuat atau mengembangkan budidaya nener bandeng di pulau gusung karena kondisi alam berupa rawa. Terkait dengan keterampilan, adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh pembudidaya. Hal ini tentu didasarkan atas keinginan menambah pengetahuan, wawasan, cara, teknik dan keterampilan dalam meningkatkan penghasilan terkait budidaya rumput laut, karamba tancap dan petambak garam. Untuk oembudidaya rumput laut sangat membutuhkan pelatihan penanganan penyakit rumput laut karena sudah sering kali mengganggu produktifitas rumput laut dan sangat merugikan petani rumput laut. Budidaya ikan sunu sering ada penyakit. Untuk Kabupaten Selayar, Pangkep, Buton, Wakatobi dan Raja Ampat, karena memiliki karakteristik wilayah berbentuk kepulauan, permasalahan transportasi antar pulau dan ketersediaan sarana pembuatan es menjadi permasalahan utama. Hal ini berdampak pada sistem pemasaran hasil tangkapan dan budidaya. Permasalahan listrik juga menyebabkan pabrik pembuatan es tidak tersedia, sehingga nelayan tidak dapat menyimpan hasil tangkapan dan budidayanya pada saat musim ikan berlimpah. Hal ini makin diperparah dengan adanya faktor perubahan iklim dimana ada ketidakpastian musim dan intensitas badai yang tinggi menyebabkan wilayah kepulauan ini semakin rentan.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
128
Laporan Teknis
Di Kabupaten Biak Numfor masyarakat nelayan yang ingin mengembangkan usaha budidaya terkendala dalam hal permodalan. Masyarakat mengaku membutuhkan bantuan modal agar dapat membuka dan mengembangkan usahanya. Terkait adanya pelatihan guna menambah keterampilan dan pengetahuan masih terbatas dan belum ada pendampingan bagi masyarakat. Pengembangan usaha budidaya di Kabupaten Biak Numfor terkendala karakteristik masyarakat yang sudah terbiasa dengan pola kegiatan ekonomi perikanan tangkap sehingga sulit untuk mengalihkan pekerjaan ke sektor budidaya. Terkait prospek pengembangan budidaya masih di dominasi oleh faktor Kondisi alam yang kurang mendukung seperti kondisi arus dan gelombang dan pencemaran lingkungan akibat pembiusan dan pemboman. Dalam hal pemasaran harus ada proteksi dan perlindungan serta jaminan pasar di wilayah lokal, regional maupun nasional dengan pengembangan industri perikanan dan kelautan yang sinergis dengan perikanan tangkap dan budidaya.
4.3.2.4 Ekonomi Alternatif yang Dapat Dikembangkan dan Prospeknya Komponen kinerja ekonomi yang diamati berikutnya adalah ekonomi alternatif yang dapat dikembangkan dan prospeknya. Ada di sektor perikanan, pertanian, peternakan, pariwisata dan jasa. Data hasil penelitian mengenai hal tersebut secara lengkap di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 43. Berbagai mata pencaharian alternatif yang berhasil diidentifikasi di lokasi penelitian cukup beragam. Ada yang sudah berlangsung di semua lokasi, ada juga yang masih berlangsung di salah satu lokasi saja. Penjelasan mengenai masing-masing mata pencaharian yang sudah dilakukan oleh masyarakat perikanan disampaikan secara berturut-turut dari Tabel 48 sampai Tabel 56.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
129
Laporan Teknis
Tabel 48. Ekonomi Alternatif yang Diidentifikasi pada Lokasi Penelitian No
1
2 3 4
5
Ekonomi alternatif Sektor perikanan: - Pengolahan kepiting - Karamba jaring apung - Karamba jaring tancap - Budidaya rumput laut - Budidaya kolam - Budidaya teripang - Pengolahan ebi - Pembuatan ikan asin - Budidaya Mutiara - Pengolahan hasil perikanan - Pengolahan rumput laut - Pengolahan mutiara - Pengolahan teripang Sektor pertanian Sektor peternakan Sektor pariwisata: - Tour guide - Cottage - Diving Sektor jasa: - Pembuatan jaring kepiting - Kerajinan tangan
Lokasi Pangkep
Sikka
Wakatobi
Selayar
Buton
Raja Ampat
Biak Numfor
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Sumber: data primer (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
130
Laporan Teknis
Tabel 49. Usaha Pengolahan Kepiting Aspek Alasan sebagai pencaharian alternatif
-
Peluang
Hambatan
Tenaga yang terlibat
Dampak terhadap lingkungan Keberlanjutan dari sisi ekologi Keberlanjutan dari sisi ekonomi Keberlanjutan dari sisi sosial Keberlanjutan dari sisi teknologi
-
Rincian Hasil Tangkapan Tinggi mencapai 1.764.700 kg pada tahun 2010 Prospektif dilihat dari sisi pemanfaatan sumberdaya manusia, peningkatan nilai jual dan pendapatan Permintaan pasar tinggi karena tersedia pabrikasi kepiting kaleng di Makassar sebagai target pemasaran Hasil tangkapan serta ketersediaan sarana dan prasarana alat tangkap Kepiting yang memadai Kemauan dari masyarakat tinggi Dapat mengakses modal dari BANK Ketiadaan modal Minim keterampilan Kelembagaan lemah Pembayaran hasil pengolahan dari pihak perusahaan ke pengolah kepiting seringkali terlambat Ibu-ibu nelayan/Anak nelayan dan tenaga produktif lain yang mau dan mampu Masyarakat Nelayan Dinas Kelautan dan Perikanan Dinas Koperasi dan UMKM Koperasi dan Kelompok Usaha Bersama Penyuluh Pemerintah daerah dan Pemerintah Provinsi Perusahaan pengolahan kepiting kaleng
- Dapat dilakukan secara kolektif melalui penguatan lembaga berupa Kelompok Usaha Bersama dan Koperasi sebagai penguatan aspek sosial masyarakat -
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
131
Laporan Teknis
Tabel 50. Usaha Budidaya Karamba Jaring Apung Aspek Alasan sebagai pencaharian alternatif
Rincian - Prospektif dilihat dari sisi pemanfaatan sumberdaya manusia, mengurangi aktifitas penangkapan dan over fishing - Permintaan pasar tinggi dan berpotensi ekspor
Peluang
- Sebagian kecil pengumpul telah mengusahakan budidaya karamba sehingga bisa dapat menjadi teladan - Nelayan masih mengandalkan pada aktivitas penangkapan - Kemauan dari nelayan rendah - Tidak ada dorongan serta bimbingan dari pemerintah - Modal besar - Akses terhadap sumber daya laut untuk budidaya perlu diatur agar tidak terjadi konflik antar pengguna sumberdaya - Rentan jika ada pencemaran (bom/bius/dll) - Masyarakat nelayan - Ibu-ibu nelayan/Anak nelayan dan tenaga produktif lain yang mau dan mampu - Koperasi - Penyuluh - Pemerintah daerah - Mengurangi over fishing
Hambatan
Tenaga yang terlibat
Dampak terhadap lingkungan Keberlanjutan dari sisi ekologi Keberlanjutan dari sisi ekonomi Keberlanjutan dari sisi sosial Keberlanjutan dari sisi teknologi
- Mendukung kelestarian ekologi karena mengurangi kegiatan penangkapan di laut - Permintaan pasar tinggi dan berpotensi ekspor sehingga mendukung keberlanjutan ekonomi masyarakat - Dapat dilakukan secara kolektif melalui penguatan lembaga berupa Kelompok Usaha Bersama dan Koperasi sebagai penguatan aspek sosial masyarakat - Diperlukan pengembangan teknologi untuk pembibitan dan pembenihan
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
132
Laporan Teknis
Tabel 51. Usaha Budidaya Rumput Laut Aspek Alasan sebagai pencaharian alternatif Peluang
Hambatan
Tenaga yang terlibat
Dampak terhadap lingkungan Keberlanjutan dari sisi ekologi Keberlanjutan dari sisi ekonomi Keberlanjutan dari sisi sosial Keberlanjutan dari sisi teknologi
Rincian - Mengurangi aktifitas penangkapan dan over fishing - Permintaan pasar tinggi - Memanfaatkan potensi panjangnya garis pantai Indonesia - Sebagian kecil pengumpul telah mengusahakan budidaya rumput laut sehingga bisa dapat menjadi teladan - Kemauan dari nelayan rendah - Tidak ada dorongan serta bimbingan dari pemerintah - Modal besar - Akses terhadap sumber daya laut untuk budidaya perlu diatur agar tidak terjadi konflik antar pengguna sumberdaya - Rentan jika ada pencemaran (bom/bius/dll) - Masyarakat nelayan - Ibu-ibu nelayan/Anak nelayan dan tenaga produktif lain yang mau dan mampu - Koperasi - Penyuluh - Pemerintah daerah - Mengurangi over fishing - Berkurangnya jalur pelayaran kapal atau perahu - Mendukung kelestarianekologi karena mengurangi kegiatan penangkapan di laut - Permintaan pasar tinggi dan berpotensi ekspor sehingga mendukung keberlanjutan ekonomi masyarakat - Dapat dilakukan secara kolektif melalui penguatan lembaga berupa Kelompok Usaha Bersama dan Koperasi sebagai penguatan aspek sosial masyarakat - Pengembangan teknologi pengolahan rumput laut agar memiliki nilai tambah
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
133
Laporan Teknis
Tabel 52. Usaha Pengolahan Ebi Aspek Alasan sebagai pencaharian alternatif Peluang Hambatan
Tenaga yang terlibat
Dampak terhadap lingkungan Keberlanjutan dari sisi ekologi Keberlanjutan dari sisi ekonomi Keberlanjutan dari sisi sosial Keberlanjutan dari sisi teknologi
-
Rincian Prospektif dilihat dari sisi pemanfaatan sumberdaya manusia, peningkatan nilai jual dan pendapatan Jumlah permintaan dan harga jual yang cukup tinggi Sarana penangkapan berupa perahu dan alat tangkap cukup memadai Modal besar Bahan baku yang terbatas Tidak ada sarana atau teknologi pengeringan udang (Oven) Tidak ada pelatihan dan bimbingan dari pemerintah Masyarakat Nelayan Ibu-ibu nelayan/Anak nelayan dan tenaga produktif lain yang mau dan mampu Koperasi Penyuluh Pemerintah daerah Mewaspadai penggunaan alat tangkap trawl bagi nelayan penyedia bahan baku
- Meningkatkan kegiatan penangkapan udang - Dapat mengembangkan ekonomi masyarakat dengan menambah produktifitas kerja dan pendapatan - Dapat dilakukan secara kolektif melalui penguatan lembaga berupa Kelompok Usaha Bersama dan Koperasi sebagai penguatan aspek sosial masyarakat - Perlu didukung terkait teknlogi pengeringan (oven)
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
134
Laporan Teknis
Tabel 53. Usaha Pariwisata Aspek Alasan sebagai pencaharian alternatif Peluang
Hambatan
-
Tenaga yang terlibat
Dampak terhadap lingkungan Keberlanjutan dari sisi ekologi Keberlanjutan dari sisi ekonomi
Keberlanjutan dari sisi sosial Keberlanjutan dari sisi teknologi
-
Rincian Dapat mengurangi kegiatan penangkapan di laut Aset keindahan alam yang harus dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat Sasaran kunjungan wisata bagi wisatawan lokal maupun asing yang transit di Makassar Aset alam menjadi daya tarik wisatawan Tidak aktifnya lembaga ekonomi berupa koperasi dan Kelompok usaha bersama sebagai alat untuk merumuskan usaha di bidang pariwisata Belum ada pelatihan terkait pengembangan potensi wisata Kurangnya sosialisasi, promosi dan informasi terkait potensi wisata Sanitasi lingkungan yang masih kurang sehingga lingkungan tidak bersih atau penuh dengan sampah Ibu-ibu nelayan/Anak nelayan dan tenaga produktif lain yang mau dan mampu Pemerintah daerah dan pemerintah provinsi Dinas pariwisata dan ekonomi kreatif Dinas Koperasi dan Usaha kecil menengah Koperasi dan Kelompok Usaha Bersama sebagai pengelola Sinergis dengan upaya konservasi sumber daya alam berupa terumbu karang dsb seiring dengan pengembangan potensi wisata
- Sinergis dengan upaya konservasi sumber daya alam yang mendukung keberlanjutan ekologi seiring dengan pengembangan potensi wisata - Dapat mengembangkan ekonomi masyarakat dengan menambah produktifitas kerja dan pendapatan - Lapangan pekerjaan baru selain kegiatan penangkapan dan pembudidayaan yang bergantung pada aset sumber daya alam berupa laut - Dapat dilakukan secara kolektif melalui penguatan lembaga berupa Kelompok Usaha Bersama dan Koperasi sebagai penguatan aspek sosial masyarakat - Perlu perbaikan infrastruktur, sarana dan prasarana
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
135
Laporan Teknis
Tabel 54. Usaha Pembuatan Jaring Aspek Alasan sebagai pencaharian alternatif
-
Peluang
-
Hambatan
-
Tenaga yang terlibat
-
Dampak terhadap lingkungan Keberlanjutan dari sisi ekologi Keberlanjutan dari sisi ekonomi
Keberlanjutan dari sisi sosial Keberlanjutan dari sisi teknologi
-
Rincian Ada kemauan dan keterampilan dari anak-anak serta para istri nelayan, peluang pemberdayaan sumber daya manusia Memanfaatkan tenaga kerja produktif Menekan harga pemasaran alat tangkap terkait distribusi alat tangkap, karena sudah mampu diproduksi oleh daerah Pangkep sendiri terutama di Pulau Salemo dan Satando Peluang menjadi pusat produksi pembuatan jaring kepiting di kawasan Sulawesi Selatan Modal besar Kurang perhatian, dorongan dan bimbingan dari pemerintah Koperasi dan kelompok usaha bersama tidak aktif belum ada pasokan bahan baku yang mencukupi, teknologi yang kurang memadai, jaminan ketersediaan pasar Ibu-ibu nelayan/Anak nelayan dan tenaga produktif lain yang mau dan mampu Pemerintah daerah dan pemerintah provinsi Dinas Koperasi dan UMKM Koperasi dan Kelompok Usaha Bersama
- Dapat mengembangkan ekonomi masyarakat dengan menambah produktifitas kerja dan pendapatan - Lapangan pekerjaan baru selain kegiatan penangkapan dan pembudidayaan yang bergantung pada aset sumber daya alam berupa laut - Menstimulus kemandirian memproduksi alat tangkap sendiri - Dapat dilakukan secara kolektif melalui penguatan lembaga berupa Kelompok Usaha Bersama dan Koperasi sebagai penguatan aspek sosial masyarakat - Perlu teknologi untuk industrialisasi alat tangkap
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
136
Laporan Teknis
Tabel 55. Usaha Pengolahan Ikan Asin Aspek Alasan sebagai pencaharian alternatif
Peluang Hambatan
Tenaga yang terlibat
Dampak terhadap lingkungan Keberlanjutan dari sisi ekologi Keberlanjutan dari sisi ekonomi Keberlanjutan dari sisi sosial Keberlanjutan dari sisi teknologi
-
Rincian Prospektif dilihat dari sisi pemanfaatan sumberdaya manusia, peningkatan nilai jual dan pendapatan Jumlah permintaan dan harga jual yang cukup tinggi Tersedia bahan baku yang banyak Mencegah ikan segar yang tidak laku dibuang percuma Bahan baku yang tersedia sangat banyak Kondisi alam dengan suhu yang cukup panas Lahan pengeringan yang semakin terbatas Tidak ada sarana atau teknologi pengeringan pada saat musim hujan Jalur pemasaran yang masih terbatas Tidak ada pelatihan dan bimbingan dari pemerintah Masyarakat Nelayan Ibu-ibu nelayan/Anak nelayan dan tenaga produktif lain yang mau dan mampu Koperasi Penyuluh Pemerintah daerah Polusi udara dengan bau ikan asin
- Dapat mengembangkan ekonomi masyarakat dengan menambah produktifitas kerja dan pendapatan - Dapat dilakukan secara kolektif melalui penguatan lembaga berupa Kelompok Usaha Bersama dan Koperasi sebagai penguatan aspek sosial masyarakat - Perlu didukung terkait teknlogi pengeringan (oven)
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
137
Laporan Teknis
Tabel 56. Usaha Budidaya Mutiara Aspek Alasan sebagai pencaharian alternatif
Peluang Hambatan
Tenaga yang terlibat
Dampak terhadap lingkungan Keberlanjutan dari sisi ekologi Keberlanjutan dari sisi ekonomi Keberlanjutan dari sisi sosial Keberlanjutan dari sisi teknologi
-
Rincian Prospektif dilihat dari sisi pemanfaatan sumberdaya manusia, peningkatan pendapatan Jumlah permintaan dan harga jual yang cukup tinggi Tersedia bahan baku yang banyak Kondisi alam yang sesuai Bahan baku yang tersedia sangat banyak Kondisi alam yang sesuai Modal besar Belum pernah ada pelatihan keterampilan Masih dijalankan hanya oleh perusahaan asing Masyarakat Nelayan Istri /anak nelayan dan tenaga produktif lain yang mau dan mampu Koperasi Penyuluh Pemerintah daerah Mengurangi ketergantungan terhadap aktivitas penangkapan ikan
- Mengurangi eksplitasi sumberdaya laut - Dapat mengembangkan ekonomi masyarakat dengan menambah produktifitas kerja dan pendapatan - Dapat dilakukan secara kolektif melalui penguatan lembaga berupa Kelompok Usaha Bersama dan Koperasi sebagai penguatan aspek sosial masyarakat - Perlu didukung terkait teknlogi budidaya mutiara
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
138
Laporan Teknis
Tabel 57. Usaha Pertanian Aspek Alasan sebagai pencaharian alternatif Peluang Hambatan Tenaga yang terlibat Dampak terhadap lingkungan Keberlanjutan dari sisi ekologi Keberlanjutan dari sisi ekonomi Keberlanjutan dari sisi sosial Keberlanjutan dari sisi teknologi
Rincian - Potensi ketersediaan sumber daya alam berupa tanah
- Tanah bukan milik sendiri - Keluarga - Memanfaatkan lahan terlantar
- Sebagai penopang ekonomi ketika tidak melakukan aktifitas melaut - Keadilan - Membutuhkan program penunjang dari pemerintah berupa infrastruktur irigasi, pupuk, pestisida, permodalan
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
139
Laporan Teknis
4.4 Aset 4.4.1 Kabupaten Pangkep 4.4.1.1 Aset Sosial i. Kepercayaan di antara masyarakat Kepercayaan antar masyarakat masih terjaga baik. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan bersama-sama. Kehidupan sosial terlihat harmonis dan minim konflik di antara masyarakat. Kepercayaan juga dapat dilihat dari pengumpul yang memberikan hutang kepada para nelayan meskipun pengembalian pinjaman dari nelayan tersendat-sendat. Potensi konflik nelayan dapat teridentifikasi berdasarkan perbedaan penggunaan alat tangkap, yaitu antara nelayan pengguna mini trawl dengan nelayan yang tidak menggunakan trawl. Kerentanan nilai kepercayaan antar masyarakat dapat dilihat antara pengumpul dan nelayan, hal ini disebabkan oleh nelayan yang tidak mampu membayar hutang sehingga nilai kepercayaan pengumpul terhadap nelayan berkurang. Pengumpul tak segan-segan menarik aset produksi jika nelayan tidak mampu membayar hutang
ii. Kerjasama di antara anggota masyarakat Kerjasama diantara anggota masyarakat dapat dilihat dari kegiatan penangkapan di laut, dimana satu perahu dapat berisi beberapa orang dalam satu kelompok. Begitu pula dalam kegiatan pengolahan kepiting dimana anggota masyarakat bersama-sama mengupas kepiting untuk disalurkan ke pabrik pengolahan kepiting kaleng.
iii. Kelembagaan sosial Dari sisi kelembagaan sosial keberadaan kelompok usaha bersama belum aktif dalam kegiatan berorganisasi sehingga kelembagaan sosial dinilai masih lemah. Motivasi dalam pembentukan kelompok masih berpijak pada iming-iming bantuan atau bantuan kemudahan akses finansial berupa pinjaman. Namun dalam kebiasaan yang hidup di masyarakat seperti pengajian dan hajatan, pola hubungan masyarakat masih berlangsung baik.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
140
Laporan Teknis
iv. Agama dan kepercayaan Mayoritas masyarakat Pangkep memeluk agama Islam. Di Kecamatan Tupabbiring, Desa Mattiro Baji 100 dari 1.333 penduduk beragama islam, dengan bangunan masjid sebanyak 3 buah bangunan. Begitu pula di Kecamatan Tupabbiring utara, Desa Mattiro Bombang 100 dari 2.842 penduduk beragama islam, dengan bangunan masjid sebanyak 4 buah bangunan. Nilai-nilai agama Islam di pegang cukup kuat. Hal ini diperlihatkan oleh bangunan Masjid yang sangat megah di salah satu pulau yaitu pulau Salemo, dan sebagian besar masyarakat telah melaksanakan ibadah Haji. Pada masyarakat pulau Salemo, mempercayai bahwa pulau yang mereka tinggali mendapatkan berkat karena dahulu pulau tersebut dipercaya menjadi tempat kediaman para wali. Hal ini dapat dilihat dari penamaan jalan di pulau tersebut yang memakai nama-nama wali. Ditambah lagi terdapat sumur air tawar yang diyakini sebagai berkat oleh keberadaan batu gunung di pulau tersebut. Tingkat kepasrahan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tinggi, mereka mengimani bahwa setiap persoalan diatur oleh Tuhan.
4.4.1.2 Aset Manusia i.
Kemampuan untuk mengakses peluang yang ada Kemampuan mengakses peluang yang ada masih terkendala pada sektor
permodalan, karena pada dasarnya nelayan sudah menyadari bahwa dengan kepemilikan aset berupa perahu dengan mesin dan alat tangkap yang memadai dapat meningkatkan luas daerah tangkapan dan akan berakibat pada peningkatan hasil tangkapan. Peluang yang potensial untuk dikembangkan oleh masyarakat nelayan adalah budidaya rumput laut, karamba, pengolahan hasil tangkapan serta pengembangan pariwisata. Namun karena terkendala modal dan keterampilan nelayan hanya berfokus pada kegiatan penangkapan, meskipun mengalami kesulitan mengakses modal kecuali meminjam dari pengumpul. Minimnya bantuan serta bimbingan dari pemerintah menyebabkan nelayan tidak mampu mengalihkan kegiatan ekonomi utamannya. Hal ini berdampak pada rendahnya kemampuan nelayan dalam mengakses peluang yang ada.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
141
Laporan Teknis
ii. Pendidikan Kesadaran dan tingkat partisipasi masyarakat nelayan terhadap pendidikan pada umumnya rendah. Sebagian besar masyarakat hanya mengakses pendidikan hingga tingkat SD atau SMP, sebagian kecil meneruskan hingga SMA dan Perguruan Tinggi. Namun untuk pulau Salemo tingkat pendidikan cukup baik, hal ini dapat dilihat dari sebagian besar anak-anak nelayan yang melanjutkan tingkat pendidikan hingga SMA dan perguruan tinggi. Butuh bantuan pendidikan atau subsidi operasional misalnya ongkos transportasi, seragam dan buku. Rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan ditunjukan oleh kecenderungan anak-anak nelayan yang diarahkan oleh para orang tua untuk ikut serta dalam kegiatan penangkapan. Keikutsertaan anak-anak nelayan untuk membantu dalam kegiatan penangkapan adalah salah satu upaya menekan ongkos produksi serta meningkatkan hasil tangkapan Faktor penghambat berikutnya
adalah nelayan merasa keberatan dalam
mengeluarkan biaya operasional berupa ongkos transportasi, buku dan seragam. Walaupun biaya sekolah gratis dan fasilitas sekolah mulai dari SD hingga SMA cukup memadai, namun tidak memberikan dorongan kesadaran akan pentingnya arti pendidikan. Rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya arti pendidikan harus segera ditangani oleh pemerintah setempat agar tingkat pendidikan masyarakat lebih baik. Rendahnya tingkat pendidikan
juga
berimplikasi
pada
rendahnya
keterampilan
berusaha
dalam
mengembangkan potensi ekonomi.
iii. Wawasan Akibat perubahan iklim, wawasan nelayan terkait kondisi dan dinamika alam menemui kesulitan dalam hal memprediksi kalender musim penangkapan. Sehingga untuk menanggulangi hal tersebut nelayan menggunakan teknologi alat tangkap yang disesuaikan dengan musim. Pada musim barat atau penghujan nelayan menyertakan bubu (rakang) untuk hasil tangkapan kepiting. Pada musim pancaroba nelayan menyertakan jaring ikan gamasi untuk hasil tangkapan gamasi. Nelayan menggunakan pancing cumi-cumi pada saat bulan purnama. Namun wawasan terkait dengan pengetahuan formal dapat dikategorikan masih rendah karena tingkat pendidikan nelayan yang juga rendah.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
142
Laporan Teknis
iv. Perasaan (empati-simpati) Perasaan simpati di antara masyarakat khususnya hubungan antara nelayan dan pengumpul kurang berkembang. Hal ini dapat dilihat dari cara dan ketegasan para pengumpul terhadap nelayan yang tidak mampu membayar hutang, dengan cara mengambil perahu dan alat tangkap nelayan. Hal tersebut secara eksplisit diungkapkan oleh bapak Bahar sebagai salah satu pengumpul di pulau Salemo. dari wawancara pendalaman beliau mengungkapkan bahwa “tidak akan segan-segan menarik perahu nelayan jika dalam jangka waktu tertentu tidak dapat membayar hutang”. Namun dalam pola keseharian antar nelayan perasaan simpati dan empati dapat terlihat dari suasana keakraban antar nelayan.
v.
Komitmen Komitmen yang dipegang oleh masyarakat Pangkep dinilai masih kurang, hal ini
dapat dilihat dari masih ada beberapa nelayan di pulau Satando yang masih menggunakan mini trawl. Hal ini dianggap oleh beberapa kalangan masyarakat pangkep melanggar kesepakatan, karena merusak kelestarian lingkungan dan sumber daya laut. Kegiatan pembiusan dan pemboman yang merusak juga menyebabkan nilai komitmen yang dapat dipegang oleh masyarakat rendah karena mengabaikan peraturan. Pengabaian komitmen dengan masih maraknya kegiatan pengeboman, pembiusan dan penggunaan trawl tak dapat dilepaskan dari faktor ekonomi.
vi. Keterampilan Keterampilan nelayan dalam mengembangkan potensi ekonomi alternatif selain kegiatan penangkapan masih kurang. Hal ini mengakibatkan kesulitan nelayan dalam mencari atau menggeluti pekerjaan lain yang sebenarnya memiliki prospek yang cerah, contoh: budidaya karamba, budidaya rumput laut dan pengolahan hasil tangkap. Keterampilan nelayan masih kurang dikarenakan minimnya dorongan, bimbingan serta pelatihan demi peningkatan kemampuan dan keahlian dalam mengembangkan potensi ekonomi yang ada. Potensi keahlian yang sebenarnya dapat dikembangkan adalah pembuatan alat tangkap jaring, karena sebagian besar penduduk di Pulau Satando dan Salemo mampu membuat dan memperbaiki alat tangkap jaring. Tenaga produktif dari segi
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
143
Laporan Teknis
kuantitatif sangat potensial untuk diberdayakan, misalnya tenaga ibu-ibu dan anak-anak nelayan. Hal ini hendaknya mampu dilihat secara jeli oleh pemerintah untuk dapat dijadikan kegiatan ekonomi alternatif yang dapat dikembangkan hingga skala industri.
4.4.1.3 Aset Fisik i.
Sarana dan prasarana transportasi umum Sarana dan prasarana transportasi umum berupa jalan dan dermaga dinilai masih
memadai, namun armada angkutan umum berupa kendaraan bermotor masih kurang jumlahnya terutama dikawasan pesisir. Untuk di daerah kepulauan, transportasi umum berupa perahu cukup memadai ditambah prasarana transportasi berupa dermaga sebagai pendukung.
ii. Sarana dan prasarana keuangan Sarana dan prasarana keuangan berupa bank sebenarnya sudah dapat diakses oleh nelayan, namun karena ketiadaan agunan serta proses administrasi yang cukup merumitkan bagi nelayan, maka nelayan mengurungkan niatnya untuk meminjam uang ke bank. Ditambah lagi bunga pinjaman yang dirasa cukup memberatkan bagi nelayan.
iii. Sarana dan prasarana keenergian Sarana dan prasarana di bidang energi tidak memadai. Ketiadaan SPDN menyebabkan nelayan harus membeli bahan bakar eceran di pengumpul. Jaringan listrik buruk, karena hanya bisa diakses dalam jangka waktu 2-4 jam per hari. Di Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara terdapat 934 rumah tangga yang mendapatkan aliran listrik dari PLN dan 1.505 rumah tangga listrik non PLN (generator).
iv. Sarana dan prasarana relevan lainnya Sarana dan prasarana yang dinili relean dengan kegoatan pengembangan ekonomi masyarakat yang berhasil diidentifikasi dalam penelitian ini diantaranya adalah: a.
Kondisi Tempat Pelelangan Ikan baik
b.
Jaringan Telepon kurang memadai/buruk
c.
Kondisi Rumah Permanen baik
d.
Kondisi Dermaga baik
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
144
Laporan Teknis
e.
Air bersih kurang memadai/buruk
f.
MCK kurang memadai/buruk
4.4.1.4 Aset Produksi i.
Nelayan Perikanan Tangkap Alat tangkap yang teridentifikasi di desa mattiro baji, matiro bombang dan maccini
baji adalah sebagai berikut: pancing, jaring, bubu, pancing, Jaring, trawl 1 ¼ inchi, tombak, Bubu, jaring ikan besar (pukat balelopo), pukat kepiting, jaring gamasi (ikan kecil), pancing cumi-cumi, jaring tenggiri, Pacungkil Kerang, Pancing tonda. Jenis kapal: Sampan, Kapal Standar, kapal joloro, dompeng. Data dari dinas kelautan dan perikanan menyebutkan bahwa pada tahun 2010 jumlah armada penangkap ikan di Kabupaten Pangkep adalah sebagai berikut: Perahu tanpa motor (kecil) 137 Unit, Perahu tempel 745 Unit, Kapal Motor 1.508. Total keseluruhan berjumlah 2,387 unit. Sedangkan untuk alat tangkap: Pukat Cincin 117 unit, Jaring Klitik 8 unit, Jaring Insan Tetap 1.128 unit, Bagan Perahu 58 Unit, Bagan Tancap 58 Unit, Dogol/Cantrang 66 Unit, Pancing Lainnya 631 unit, Jala 15 Unit, Serok 22 Unit, Sero 37 unit, Pancing Cumi-cumi 85 unit, Jaring Insang Hanyut unit 10 unit, Bubu 82 unit Sebagian besar nelayan yang menjadi objek observasi di Kabupaten Pangkep telah memiliki alat sendiri, meskipun pada awalnya meminjam modal terlebih dahulu kepada pengumpul. Begitu pula dengan kapal beserta mesin, sebagian besar nelayan tangkap sudah memiliki sendiri meskipun dengan berhutang pada pengumpul dan menjalankan ketentuan penjualan hasil tangkap dengan pengumpul dengan potongan dengan besaran 610 beserta potongan hutang hingga 20. Menurut pengakuan nelayan, alat tangkap harus mampu menyesuaikan dengan musim tangkapan ikan, dengan cara membawa lebih dari satu alat tangkap mereka beranggapan akan lebih berpeluang mendapatkan hasil yang lebih banyak. Terkait dengan aset berupa perahu dan mesin, nelayan sangat menyadari bahwa sarana kapal dan mesin sangat berpengaruh terhadap daya jelajah dan hasil tangkapan ikan. Mereka paham bahwa semakin besar kapal dan kekuatan mesin serta teknologi alat tangkap yang memadai maka akan meningkatkan hasil tangkapan. Disamping itu nelayan sangat membutuhkan bimbingan terhadap penggunaan alat tangkap dan informasiinformasi penting lain yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi nelayan. Hal ini
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
145
Laporan Teknis
disebabkan banyaknya nelayan yang menjual alat tangkap dan perahu karena tidak memahami penggunaannya.
ii. Pembudidaya Rumput Laut Pada budidaya rumput laut, Aset produksi yang di temukan di lapangan adalah sebagai berikut: bibit, tali dan
pemberat untuk bentangan. Masyarakat pembudidaya
rumput laut pada awalnya memasang 100 bentangan terlebih dahulu, kemudian secara bertahap meningkatkan jumlah bentangan hingga 700-800 bentangan. Dalam hal pengelolaan lahan, pembudidaya mematok luasan lahan untuk bentangan rumput laut berdasarkan siapa yang terlebih dahulu menguasai, dengan kesepakatan tidak mengganggu jalur perlintasan perahu. Pengaturan penguasaan dan pengelolaan lahan rumput laut yang tidak diatur oleh pemerintah dan cenderung timpang antara satu pembudidaya dengan pembudidaya lainnya adalah potensi konflik agraria di laut. Jika hal ini tidak segera ditangani maka akan berdampak pada potensi konflik antar pembudidaya rumput laut atau antara pembudidaya rumput laut dengan nelayan tradisional dan dengan pembudidaya karamba jaring apung di kemudian hari. Mengingat akses terhadap sumber daya laut sangatlah penting dan sebagai faktor produksi utama untuk pembudidaya rumput laut.
iii. Karamba Jaring Apung Hanya sebagian kecil dari nelayan yang mengusahakan Karamba Jaring Apung, di pulau salemo hanya ditemui satu pembudidaya yang sekaligus sebagai pengumpul. Jenis usaha ini memerlukan modal yang cukup besar. Aset produksi terkait usaha karamba jaring apung adalah sebagai berikut: Drum plastik, Kayu ulin 10m x 10m, Tali, jangkar, jaring trawl, Bibit. Kebutuhan akan lokasi lahan di atas laut menyebabkan usaha karamba jaring apung sangat bergantung pada sumber daya laut. Dengan kondisi yang tidak jauh berbeda dengan pembudidaya rumput laut, penentuan lokasi masih berdasarkan siapa yang lebih cepat menguasai lahan. Struktur penguasaan dan akses terhadap sumber daya lahan yang cenderung timpang merupakan potensi konflik antar sesama nelayan pembudidaya atau antara pembudidaya karamba dengan nelayan tradisional dan dengan pembudidaya rumput laut. Penting kiranya, pemerintah segera mengatur struktur pengelolaan dan penguasaan sumber daya laut, agar tercipta keadilan dan meminimalisir potensi konflik di kemudian hari. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
146
Laporan Teknis
4.4.1.5 Aset Alam Analisis tentang sumberdaya alam dikaitkan dengan fungsinya sebagai penyedia daya dukung alamiah yang menghasilkan nilai manfaat bagi penghidupan masyarakat di lokasi penelitian. i.
Sumberdaya perikanan tangkap Sumberdaya perikanan tangkap terkait erat dengan kondisi laut lepas untuk daerah
tangkapan nelayan, kondisi laut lepas pada daerah yang menjadi objek konservasi masih dapat dimanfaatkan dengan baik, namun perbedaan cara dan alat menangkap merupakan suatu masalah yang harus segera diselesaikan secara tegas. Nelayan yang menggunakan trawl, melakukan pemboman serta pembiusan harus ditindak tegas oleh aparat penegak hukum. Cara-cara penangkapan yang tidak memperhatikan kelestarian alam akan berdampak pada kelangkaan hasil tangkapan sehingga akan menambah daerah jelajah penangkapan dan peningkatan biaya operasional nelayan.
ii. Sumberdaya Perikanan Budidaya Sumberdaya perikanan budidaya sangat tergantung dari sumberdaya laut terkait peruntukan lokasi lahan untuk pembudidayaan, khususnya untuk usaha karamba jaring apung. Akses pembudidaya terhadap sumber daya laut yang masih berdasarkan siapa yang lebih cepat untuk menguasi diindikasikan memiliki nilai konflik penguasaan lahan antar pengguna sember daya (nelayan, pembudidaya rumput laut, pembudidaya karamba jaring apung, dsb). Hal ini tentu memerlukan peran pemerintah untuk segera mengatur struktur penguasaan dan pengelolaan sumber daya laut agar tercipta struktur penguasaan yang lebih adil hingga dapat menghindari konflik agraria di pesisir. Dalam hal ketersediaan bibit untuk usaha karamba jaring apung komoditas kerapu dan kuwe, pada daerah observasi dapat diperoleh dari Bali, di samping itu tak potensi perolehan bibit dapat diakses dari sumber daya laut dengan kegiatan penangkapan. Begitu pula dengan pakan, dapat dengan mudah diperoleh dari kegiatan penangkapan.
iii. Sumberdaya Wisata Sumberdaya wisata tentu sangat terkait dengan kondisi dan keindahan alam di Kabupaten Pangkep, secara umum kondisi pantai masih baik dan dapat dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata. Dengan kondisi Terumbu Karang “sedang” dengan Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
147
Laporan Teknis persentase tutupan karang hidup di Liukkang Tupabiring sebesar 37,43 (COREMAP II – LIPI, 2009) merupakan potensi wisata yang bisa dikembangkan dan menjadi potensi ekonomi alternatif yang bisa dikembangkan oleh masyarakat Pangkep.
iv. Sumberdaya Pertanian Sumberdaya Pertanian di Kabupaten Pangkep, khususnya di lokasi penelitian masih terkendala ketersediaan lahan yang terbatas dan ketersediaan air yang terbatas dengan tadah hujan sebagai sumber utama pengairan. Ketersediaan lahan yang terbatas menjadikan peruntukan tanah di beberapa lokasi terutama pulau salemo dan pulau satando hanya sebagai pekarangan dengan tanaman buah-buahan seperti pisang untuk konsumsi rumah tangga.
4.4.1.6 Aset Finansial i.
Sistem keuangan (termasuk kemudahan dan kesulitan akses) Kemudahan dalam hal akses keuangan oleh nelayan masih bergantung pada
pengumpul atau punggawa. Terkait dengan permodalan, nelayan mendapatkan modal pinjaman dari pengumpul. Nelayan menemui kesulitan dalam mengakses keuangan jika pendapatan dari hasil kegiatan perikanan menurun atau rugi. Jika hal ini terus terjadi maka nelayan akan menemui kesulitan dalam mengembalikan pinjaman kepada pengumpul. Kesempatan dalam meminjam modal ke lembaga keuangan formal seperti bank, seringkali terhalang oleh ketiadaan agunan atau jaminan dari nelayan. Selanjutnya, bunga bank dirasa memberatkan nelayan. Faktor lain yang menjadi penghalang nelayan dalam mengakses pinjaman modal dari bank adalah persyaratan administrasi yang menurut nelayan berbelit-belit, rumit dan memakan waktu yang lama. Hal ini dikarenakan nelayan minim mendapat informasi serta rendahnya tingkat pendidikan di kalangan nelayan.
ii. Keuangan rumah tangga (Pendapatan) Pendapatan nelayan tidak menentu karena sesuai dengan hasil tangkapan dan hasil tangkapan sesuai dengan musim. Cuaca yang kurang baik akan menyebabkan produksi perikanan menurun, sehingga secara ekonomi akan menyebabkan peningkatan harga. Dampak secara ekonomi ini terhadap pengguna sumberdaya khususnya nelayan menyebabkan pendapatan rumah tangga berkurang. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
148
Laporan Teknis
Saat cuaca ekstrim nelayan tidak berani melaut. Saat cuaca ekstrim tersebut harga ikan dipasar cukup tinggi namun jumlah tangkapan nelayan menurun (cenderung rendah). Tekanan alam ini menyebabkan menurunnya pendapatan nelayan, meningkatnya biaya operasional dalam melakukan usaha, meningkatnya resiko melaut sampai
kehilangan
nyawa.
iii. Besarnya uang yang dapat diakses Sumber uang yang dapat diakses dengan mudah adalah melalui pinjaman kepada punggawa atau pengumpul Untuk besaran uang tergantung kebutuhan dari nelayan, nelayan biasanya dapat meminjam untuk modal membeli perahu, alat tangkap, bahan bakar hingga kebutuhan sehari-hari. Tidak ada nominal pasti besaran uang yang dapat diakses namun dari segi kemudahan, nelayan dengan mudah dapat mengakses pinjaman dari pengumpul.
iv. Tabungan Nelayan sebagian besar tidak memiliki tabungan baik tabungan di lembaga keuangan formal maupun non-formal. Namun sebagian besar rumah tangga nelayan memiliki simpanan berupa perhiasan.
4.4.2 Kabupaten Sikka 4.4.2.1 Aset Sosial i.
Kepercayaan di antara masyarakat Masalah trust atau kepercayaan diantara anggota masyarakat masih sangat rendah
sehingga butuh pendampingan terus menerus karena jika ada masalah yang dapat menyulut dapat timbul konflik. Permasalahan trust yang rendah menyebabkan kerjasama diantara anggota masyarakat rendah karena rendahnya modal sosial diantara mereka. Saat ini yang terjadi mereka bekerjasama tetapi untuk kepentingan masing-masing individu. Ketiadaan kepercayaan diantara anggota masyarakat berakibat pada proses komunikasi yang tidak berjalan dengan baik diantara kelompok-kelompok masyarakat. Kelompok nelayan kecil mencurigai para juragan kapal tidak mau menolong ABK pada saat kesulitan membutuhkan uang. Demikian juga dengan pemilik modal yaitu pengumpul
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
149
Laporan Teknis
hanya mau memberikan pinjaman kepada mereka yang menjual hasil tangkapannya kepada pengumpul tersebut. Masyarakat juga memiliki rasa tidak percaya terhadap instansi dinas kelautan dan perikanan setempat. Hal ini disebabkan karena masyarakat merasa tidak pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah, baik berupa bantuan alat tangkap maupun pelatihan-pelatihan. Masyarakat merasa dianaktirikan meskipun mereka telah memberikan kontribusi bagi pendapatan kabupaten. Rendahnya kepercayaan diantara anggota masyarakat dan dengan pemerintah menjadi penghambat dalam pembangunan sektor perikanan di Kabupaten Sikka.
ii. Kerjasama di antara Anggota Masyarakat Pada umumnya kerjasama diantara anggota masyarakat untuk kegiatan-kegiatan tertentu sudah baik. Namun, dalam hal matapencaharian kerjasama antarnelayan tergolong rendah. Masing-masing berbuat untuk dirinya sendiri-sendiri. kerjasama antarnelayan terjadi hanya pada saat menarik jaring. Kerjasama dalam hal terbentuknya kelompok di dua dusun yang diteliti masih rendah. Untuk Wuring, kelompok saat ini tidak lagi berjalan. Kelompok yang ada menurut nelayan kecil hanya untuk para pemilik kapal saja sehingga mereka merasa terbentuknya kelompok tidak berfungsi untuk menampung aspirasi nelayan kecil. Rendahnya kerjasama diantara anggota masyarakat karena rasa kepercayaan diantara anggota masyarakat juga rendah. Kerjasama yang terjalin di Dusun Wuring tidak hanya diantara sesama anggota masyarakat setempat tetapi juga antara nelayan dengan orang gunung. Hubungan kerjasama ini sudah terjalin sejak lama. Interaksi yang terjadi masih sebatas hubungan kerjasama ekonomi yaitu dalam rekrutmen ABK lempara malam. Hal ini karena sulitnya mencari ABK dari kalangan nelayan Wuring untuk lempara malam.
Orang Gunung
menjadi ABK pada kapal-kapal lempara malam. Demikian juga hubungan ekonomi pada sistem jual beli dengan sistem barter antara orang gunung dan orang pesisir di Pasar Geliting. Meskipun masih sebatas hubungan ekonomi, hal ini menunjukkan integrasi kea rah yang lebih bagus. Jika dilihat beberapa tahun silam sempat terjadi konflik antara nelayan Wuring yang dianggap sebagai pendatang dan beragama Islam dengan penduduk asli yang beragama Kristen.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
150
Laporan Teknis
iii. Kelembagaan Sosial Meski sudah ada beberapa kelompok nelayan yang terdaftar dalam data kelurahan, pada praktiknya para nelayan banyak yang tidak menjadi anggota kelompok. Kelompok nelayan yang ada juga banyak yang pasif, hanya terlihat aktif manakala akan ada bantuan. Kesadaran berorganisasi nelayan masih sangat rendah. Untuk Wuring pada tahun 2009 sudah terbentuk kelompok, namun lambat laun keberadaan kelompok tersebut hilang. Dari sisi kelembagaan sosial keberadaan kelompok usaha bersama belum aktif dalam kegiatan berorganisasi sehingga kelembagaan sosial dinilai masih lemah. Namun untuk organisasi yang sifatnya sosial seperti dalam hal pengajian dan hajatan, pola kerjasama masyarakat dalam berorganisasi berlangsung baik. Hal ini menjadi modal sosial yang cukup besar untuk menyatukan anggota masyarakatnya tanpa melihat status dan kekayaan.
iv. Sistem Nilai Kolektif Penduduk di kedua dusun nelayan merupakan suku bangsa Bajo. Mereka sudah turun temurun menempati lokasi tinggal mereka sehingga mereka mengkategorikan diri sebagai orang Flores. Namun demikian mereka masih merasa memiliki ikatan kekerabatan dengan Suku bangsa Bajo di Sulawesi karena berasal dari nenek moyang yang sama khususnya Sulawesi Tenggara. Suku Bajo yang tinggal di kedua dusun ini merupakan penduduk yang paling dominan, karena terdapat etnis lain yang tinggal bersama mereka yaitu Bugis dan Buton. Selain itu, telah terjadi proses kawin mawin antara suku Bajodengan di luar Bajo seperti suku bangsa Jawa dan orang Flores, demikian juga dengan Bugis dan Buton. Asal muasal nenek moyang mereka berasal dari suku bangsa di Sulawesi, khususnya Sulawesi Tenggara yaitu Kabaena, Bau Bau, Selayar, dan Boe Pinang. Suku bangsa Bajo merupakan suku bangsa yang segala aktivitas kehidupannya sangat akrab dengan laut. Pada masa lalu mereka tinggal di sampan-sampan mengarungi lautan. Kini mereka tinggal dan membangun rumah di atas laut. Konon, suku bangsa Bajo merasa sangat dekat dengan laut karena memiliki keyakinan bahwa mereka bersaudara dengan laut, pada saat lahir, ari-ari mereka dibuang ke laut. Sebagai penghuni wilayah lautan, mereka memiliki sistem nilai kolektif yang berorientasi ke laut.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
151
Laporan Teknis
v.
Agama dan kepercayaan Mayoritas masyarakat nelayan di kedua dusun yang diteliti beragama Islam. Nilai-
nilai ajaran agama diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan mematuhi perintah agama dan menjauhi larangan agama, meskipun untuk praktik keagamaannya banyak yang lalai melaksanakan ibadah sholat 5 (lima) waktu. Untuk di Wuring dan Ndete tersedia sarana ibadah masjid yang dibangun atas swadaya dana masyarakat. Masyarakat juga banyak yang sudah menunaikan ibadah haji, kebanyakan mereka merupakan pemilik kapal dan alat tangkap. Pada kenyataannya saat ini banyak di kalangan generasi muda yang mulai melanggar aturan agama seperti minum-minuman beralkohol dan berjudi. Mereka kebanyakan meminum ‘moke’ yaitu minuman beralkohol dari hasil fermentasi. Bahkan ada juga di kalangan generasi muda yang terjerumus sebagai pengguna narkoba. Saat ini di dalam masyarakat juga sudah terjadi perkawianan campuran antara masyarakat dengan penduduk lokal yang beragama Kristen, sehingga ada yang berpindah agama atau berprinsip dengan agama masing-masing. Selain keyakinan agama Islam, masyarakat memiliki mitos atau keyakinan tertentu yang terkait dengan kehidupan mereka, antara lain mitos ‘Bersaudara dengan Laut’ dan keyakinan adanya penjaga laut yang selalu menjaga mereka dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan karena suku bangsa Bajo memang sudah turun temurun dekat dengan laut.Kedekatan mereka dengan laut juga karena pada saat mereka lahir, ari-ari mereka dibuang ke laut sehingga merasa bersaudara dengan laut dan terbiasa hidup di laut dengan segala resiko yang akan mereka hadapi. Mereka juga memiliki tingkat kepasrahan yang tinggi terhadap Pencipta alam semesta.
4.4.2.2 Aset Manusia i.
Kemampuan untuk mengakses peluang yang ada Kemampuan mengakses peluang yang ada masih terkendala pada sektor
permodalan dan teknologi. Pada dasarnya nelayan sudah menyadari bahwa dengan kepemilikan asset berupa perahu dengan mesin yang baik dan alat tangkap yang memadai dapat meningkatkan luas daerah tangkapan dan berakibat pada peningkatan hasil tangkapan.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
152
Laporan Teknis
Peluang yang potensial untuk dikembangkan oleh masyarakat nelayan adalah budidaya karamba dan pengolahan hasil tangkapan. Namun karena terkendala modal dan minimnya pelatihan,nelayan hanya berfokus pada kegiatan penangkapan. Minimnya bantuan serta bimbingan dari pemerintah menyebabkan nelayan tidak mampu mengalihkan kegiatan ekonomi utamanya tidak hanya ke perikanan tangkap. Hal ini berdampak pada rendahnya kemampuan nelayan dalam mengakses peluang yang ada. Untuk Ndete, teknologi yang masih tradisional menjadi kendala untuk melaut hingga jauh, kecuali jika sampan ditonda atau ditarik oleh bodi (kapal). Untuk di Wuring, alat pancing tuna pada dasarnya lebih prospektif dibanding lempara,namun lempara tidak mengenal musim dan menghidupi banyak orang. Lempara tiap bulan gelap bisa melaut,dalam satu bulan hanya tujuh hari tidak melaut.Pendapatan tuna tidak menentu karena musim. Ketidakmampuan mengambil peluang yang ada menyebabkan mereka sangat rentan terhadap perubahan iklim. Hal ini disebabkan karena sektor perikanan tangkap sangat dipengaruhi oleh kondisi angin dan gelombang. Manakala teknologi yang ada tidak cukup memadai untuk dapat mengakses peluang-peluang yang ada.
ii.
Pendidikan Pendidikan masyarakat Wuring dan Ndete tergolong rendah. Hal ini antara lain
disebabkan faktor ekonomi. Penghasilan mereka sebagai ABK lempara tidak mencukupi untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka. Sehingga, para orang tua mendorong anak mereka untuk ikut melaut. Faktor Penyebab Rendahnya Pendidikan yaitu pola pikir orang tua Menurut para orang tua, dengan menyekolahkan anak-anak mereka maka mereka memiliki dua kerugian sekaligus. Pertama mereka harus mengeluarkan uang untuk biaya sekolah. Kedua, anak-anak mereka tidak dapat membantu mereka melaut sehingga tidak memperoleh pendapatan tambahan. Kondisi ini menunjukkan kemiskinan yang terjadi pada masyarakat perikanan dimana pendapatan nelayan tidak mencukupi kebutuhan pendidikan mereka. Faktor lainnya yaitu kebiasaan di kalangan anak-anak yang sejak kecil terbiasa diberi uang jajan. Dengan bersekolah mereka tidak memiliki uang, sehingga mereka lebih senang membantu orang tua mereka di laut dengan menjadi ABK. Beberapa tahun ini, memang sudah ada peningkatan taraf pendidikan di Wuring. Beberapa di antara orang tua sudah mulai sadar akan pentingnya pendidikan. Hingga saat ini sudah ada yang lulus kuliah walaupun jumlahnya masih sedikit. Tidak sedikit pula Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
153
Laporan Teknis
mereka yang tamatan SMA dan jika dibandingkan dengan masa lalu rata-rata tingkat pendidikan mereka kini hingga jenjang SMP.
iii. Wawasan Wawasan mengenai kondisi dan dinamika alam cukup baik. Mereka cepat dalam merespon perubahan yang ada baik perubahan alam maupun perubahan permintaan pasar. Hal ini dibuktikan dengan pola adaptasi nelayan berupa penggunaan teknologi alat tangkap yang disesuaikan dengan musim. Namun terkait dengan perubahan iklim yang saat ini mereka yang pada dasarnya merupakan suku yang hidup di laut sudah merasa ‘bodoh’ untuk memperediksi alam. Sehingga mereka harus belajar lagi mengenai iklim dan perubahannya. Wawasan masyarakat tentang hal-hal lainnya seperti kondisi politik, ekonomi, dan sebagainya cukup baik. Rata-rata mereka telah memiliki televisi sehingga mereka mengetahui informasi menganai kondisi politik, ekonomi dan perubahannya, tidak hanya di tingkat lokal tetapi juga global. Wawasan mengenai berbagai hal mereka peroleh juga dari teman-teman nelayan atau sesama anggota masyarakat melalui aktivitas berbincangbincang atau bersenda gurau di antara mereka.
iv. Perasaan (empati-simpati) Perasaan simpati di antara masyarakat khususnya hubungan antara nelayan ABK dan pemilik lempara di Wuring kurang baik. Diantara mereka tumbuh rasa curiga. ABK merasa pemilik lempara tidak adil dalam pembagian hasil tangkapan dan terkesan memeras tenaga mereka. Demikian juga dengan pemilik lempara yang merasa curiga jika nelayan ABK mencuri ikan mereka di jaring dan mengatasnamakan ‘ikan cabut’. Timbul rasa curiga atau gap dalam berinteraksi antara pemilik lempara dengan ABK. Demikian juga perasaan curiga diantara masyarakat terkait dengan adanya bantuanbantuan. Nelayan ABK atau nelayan kecil merasa pemberian bantuan diberikan hanya kepada mereka yang sudah memiliki kemampuan seperti yang sudah memiliki alat tangkap. Pemberian bantuan atau pinjaman juga diberikan oleh pengumpul kepada nelayan yang menjual ikan kepadanya saja.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
154
Laporan Teknis
Namun, dalam kehidupan keseharian masyarakat nelayan masih memiliki perasaan simpati manakala ada tetangga mereka yang sedang tertimpa bencana atau mengadakan pesta, baik pesta pernikahan atau syukuran haji. Masyarakat secara sukarela datang dan ikut membantu dalam menyiapkan kegiatan tersebut.
v.
Komitmen Pada umumnya, komitmen masyarakat, baik di Wuring maupun di Ndete, dalam
menjalankan hasil keputusan musyawarah bersama cukup baik. Hal ini mereka lakukan karena pada saat musyawarah biasanya mereka bersama-sama mengeluarkan pendapat, sehingga keputusan yang sudah dibuat mereka anggap sebagai keputusan bersama. Jika ada pihak atau anggota masyarakat yang melanggar kesepakatan yang ada biasanya dikucilkan oleh anggota masyarakat lainnya. Hal ini dapat dilihat salah satunya pada saat mereka bersama-sama memutuskan untuk tidak melakukan aktivitas pengeboman. Mereka yang semula merupakan nelayan pengebom karena sudah ada kesepakatan bersama maka mereka kini tidak lagi melakukan pengeboman dan beralih menggunakan alat tangkap lainnya.
vi. Keterampilan Keterampilan nelayan dalam mengembangkan potensi ekonomi alternatif selain kegiatan penangkapan sudah cukup baik. Mereka sudah dapat mengolah hasil tangkapan menjadi ikan asin, bakso ikan, dan abon meskipun tidak ada pelatihan yang mereka terima. Hal ini memiliki prospek yang cerah karena bahan baku yang dibutuhkan tergolong cukup memadai. Keterampilan nelayan akan lebih baik apabila didorong, dibimbing serta pelatihan demi peningkatan kemampuan dan keahlian dalam mengembangkan potensi ekonomi yang ada. Pada dasarnya masyarakat memiliki kemauan untuk mengembangkan keterampilan yang mereka miliki mengingat sumberdaya bahan baku yang sangat besar. Keterampilan yang ada saat ini masih sebatas dikelola secara tradisional dan turun temurun sehingga belum dapat mengembangkan usaha pengolahan hasil perikanan secara maksimal.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
155
Laporan Teknis
4.4.2.3 Aset Fisik i.
Sarana dan prasarana transportasi umum Sarana dan prasarana transportasi umum di Wuring dan Ndete sudah memadai.
Untuk Wuring angkutan umum dan ojek sudah sangat banyak jumlahnya sedang di Ndete karena lebih jauh dengan pusat kota angkutan umum masih terbatas, yaitu dengan bus dan travel. Jika menggunakan ojek maka dapat ditempuh dengan lama perjalanan selama 30 menit. Kondisi jalan di Wuring sudah baik namun untuk di Ndete saat ini sedang ada pelebaran jalan. Namun, pada umumnya sudah baik karena pada dasarnya kondisi jalan yang ada saat ini diperuntukan bagi kepentingan pariwisata yang memang mulai gencar digalakkan di Sikka. Untuk sarana dermaga di Wuring sudah memadai karena terdapat Pelabuhan Wuring yang merupakan pelabuhan penyeberangan antar pulau, sedang untuk Ndete saat ini belum ada dermaga. Hal ini karena letak Ndete yang lebih jauh dari pusat kota Maumere. Untuk sarana dan prasarana transportasi pengangkutan hasil perikanan hingga saat ini dirasakan masyarakat masih terbatas. Pesawat atau kapal yang dapat mengangkut hasil perikanan ke luar pulau masih minim dan tergolong mahal, sehingga untuk menjual atau memasarkan hasil perikanan masih terkendala. Bandara yang ada masih merupakan bandara kecil sehingga tidak dapat disinggahi oleh semua pesawat terbang.
ii. Sarana dan prasarana keuangan Sarana dan prasarana keuangan berupa bank baik di Wuring dan Ndete sudah memadai dan sudah dapat diakses oleh nelayan, namun karena ketiadaan agunan serta proses administrasi yang cukup merumitkan bagi nelayan, maka nelayan mengurungkan niatnya untuk meminjam uang ke bank. Ditambah lagi bunga pinjaman yang dirasa cukup memberatkan bagi nelayan. Untuk koperasi nelayan di kedua desa tidak ditemukan. Keberadaan lembaga keuangan juga belum mampu menarik masyarakat untuk membiasakan diri menabung atau menyimpan uang di bank. Keberadaan bank saat ini masih dimanfaatkan oleh sedikit anggota masyarakat dan biasanya mereka yang meminjam uang sebagai modal untuk membeli kapal dan alat tangkap.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
156
Laporan Teknis
iii. Sarana dan prasarana pengairan Masalah air bersih baik di Wuring maupun di Ndete masih menjadi persoalan utama. Masyarakat merasa kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Mereka harus mengeluarkan uang hingga ratusan ribu untuk mendapatkan air bersih untuk ukuran dua hingga tiga hari. Masyarakat di Wuring dan Ndete membeli air bersih kepada penjual air keliling, namun untuk Wuring biasanya penjual air bersihnya menggunakan mobil yang besar sedangkan di Ndete menggunakan gerobak sebagai alat angkutnya. Bagi mereka yang tidak memiliki uang biasanya mengambil air di daerah lain yang memiliki sumber air tawar. Mereka menggunakan sampan tanpa motor untuk pergi mengambil air bersih. Biasanya kaum perempuan yang melakukan hal ini. Sumber air bersih berupa bak-bak penampungan sebenarnya sudah terdapat di dekat lokasi tinggal masyarakat Wuring, namun tidak berjalan. Menurut nelayan Wuring, masalah tersebut sudah diadukan kepada pemerintah setempat namun hingga saat ini belum ada tindak lanjut dari laporan tersebut. Masyarakat mencurigai, tidak berjalannya bak-bak penampungan air bersih disengaja karena menguntungkan pihak-pihak tertentu dalam hal ini pengusaha penjual air bersih karena nilai omset dari penjualan air bersih sangat besar. Masalah air bersih merupakan kendala baik untuk kebutuhan kehidupan sehari-hari maupun untuk pengembangan usaha yaitu pengolahan hasil perikanan.
iv. Sarana dan prasarana keenergian Sarana dan prasarana di bidang energi cukup memadai untuk di kedua lokasi. Untuk keperluan bahan bakar di Wuring khususnya untuk melaut, nelayan sudah merasa lebih mudah
dengan adanya SPDN, sedang nelayan di Ndete tidak terlalu
mempermasalahkan bahan bakar karena perahu yang mereka miliki merupakan perahu tanpa motor sehingga tidak membutuhkan bahan bakar. Untuk masalah listrik, sistem pemadaman bergilir saat ini sudah tidak terjadi di Wuring. Hal ini berbeda pada tiga tahun sebelumnya dimana pemadaman bergilir terjadi tiap dua hari sekali. Sumber energi listrik yang ada berasal dari diesel. Berbeda dengan Wuring, masalah listrik di Ndete masih dirasakan. Listrik masih terbatas dirasakan oleh masyarakat Ndete. Sumber listrik yang ada juga bersumber dari sumber energi diesel.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
157
Laporan Teknis
v. Sarana dan prasarana relevan lainnya Sarana dan prasarana yang terkait dengan pengembangan usaha nelayan sudah cukup memadai baik di Wuring maupun di Ndete. Dilihat dari posisi lokasinya yang lebih berdekatan dengan pusat Kota Maumere maka Wuring memiliki sarana dan prasarana yang lebih lengkap dibanding Ndete. Sarana dan prasarana yang terdapat di Wuring antara lain warung, jumlahnyacukup banyak yaitu lebih dari sepuluh buah. warung disini berarti tempat penjualan kebutuhan sehari-hari. Selain warung kebutuhan sehari-hari, terdapat warung-warung lainnya atau kios seperti warung es batu, kios pengisian ulang air minum, kios pengisian pulsa. Sarana prasarana lainnya yaitu tempat penggilingan padi, pabrik kayu besar, bengkel kayu, warung makan, penginapan, satu buah masjid, satu buah SPBN, satu buah klinik, satu buah sekolah dasar Islam, satu buah Bank BRI, satu syahbandar yaitu kantor perhubungan laut, bengkel, satu buah tempat hiburan arena billyard, kios BBM eceran, serta koperasi pelayaran rakyat. Selain itu, setiap sore juga terdapat pasar Wuring yang menjual berbagai aneka macam sayuran, ikan, buah-buahan dan makanan. Dermaga, selain digunakan untuk keperluan pelayaran bagi masyarakat Wuring juga digunakan sebagai tempat untuk sarana rekreasi. Pada malam minggu banyak pemuda yang pergi ke dermaga hanya sebatas kumpul dengan teman-teman mereka. Terkadang juga diadakan lomba joget dangdut. Selain dermaga, sarana rekreasi masyarakat Wuring lainnya yaitu pasar malam yang tersedia mainan seperti kincir angin. Namun hiburan ini hanya ada sekitar dua tahun sekali karena harus didatangkan dari luar Maumere. Berbeda dengan Wuring ,sarana dan prasarana di Ndete lebih sederhana. Hal ini karena lokasinya yang lebih jauh dari pusat Kota Maumere.Sarana dan prasarana yang ada di dusun tersebut yaitu warung, kios pulsa, satu buah masjid, serta kios BBM eceran.
4.4.2.4 Aset Produksi Aset produksi di Wuring dapat dilihat dari tiga wilayah yaitu Wuring Lekok, Wuring Tengah, dan Wuring Laut karena matapencaharian nelayan dapat dilihat berdasarkan pola tempat tinggal. Nelayan di Wuring Lekok pada umumnya merupakan nelayan pengolah dan penjual ikan asin. Nelayan Wuring Tengah berprofesi sebagai pemancing tuna dan pengolah isi perut ikan tuna, sedangkan nelayan Wuring Laut berprofesi sebagai ABK lempara. Lain halnya dengan nelayan di Ndete yang memiliki Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
158
Laporan Teknis
keseragaman alat tangkap. Mereka semuanya merupakan pemilik perahu dan alat tangkap. Perahu yang mereka miliki tergolong kecil dan tidak menggunakan mesin yaitu sampan dengan alat tangkap pancing ikan dasar. Jumlah nelayan di Ndete 60 orang, 4-5 orang memiliki ketinting sedang 55 orang memiliki sampan tanpa BBM. Mereka menggunakan alat tangkap pancing ikan dasar dengan wilayah penangkapan dan waktu melaut yaitu 1.
Dekat Teluk Ndete ; berangkat jam 3 subuh, kembali jam 11 siang. Pada saat bulan terang yaitu tanggal 13-27 penanggalan bulan, berangkat pukul 16.00 dan kembali pukul 06.00, sedang pada saat bulan gelap berangkat pukul 16.00 kembali pukul 18.00.
2.
Jauh Kaburea, Batubara dan Embae. Untuk lokasi penangkapan Embae, nelayan harus dibawa bos, dimana sampan ditarik (ditonda) oleh bodi. Satu bodi menarik 1020 sampan, BBM ditanggung bos, 2-3 hari menjemput tangkapan. Ransum yang dibutuhkan yaitu Rp 500.000, Rp 200.000 untuk orang rumah dan Rp 300.000 untuk perongkosan (peralatan pancing dan ransum (beras, gula dan rokok) dengan waktu melaut 1-3 minggu. Nelayan di Wuring memiliki alat tangkap yang beragam yaitu lempara dan pancing
tuna. Lempara terbagi dua yaitu lempara malam dan lempara siang. Lempara siang disebut juga dengan pursein kecil. Jumlah pemilik lempara siang di Wuring berjumlah 6 (enam) orang. Pada umumnya, saat melaut nelayan lempara siang membawa lempara sebanyak 40 piece dengan ukuran panjang 400 m dan kedalaman 15 m. Nelayan lempara siang tergolong nelayan andon karena mereka menginap di kapal dan lokasi melautnya yang berpindah tempat dengan waktu melaut 1 (satu)hingga 3 (tiga) minggu. Nelayan lempara siang berangkat melaut pada pukul 06.00 pagi. Jenis hasil tangkapannya yaitu ikan sori (julung-julung), nebe, tongkol, dan ikan terbang. Lempara siang dapat digunakan sepanjang bulan. Lempara siang menggunakan rompon luar. Modal rompon luar sebesar Rp25.000.000. Harga kapal lempara siang dengan ukuran 2-3 kali lebih kecil dari kapal lempara malam, lengkap dengan mesin mencapai Rp40.000.000. Biasanya sumber permodalan para nelayan berasal dari pinjaman Bank BRI dengan agunan sertifikat tanah. Sertifikat yang dijadikan agunan merupakan sertifikat yang dipinjamkan oleh penduduk non nelayan yaitu dengan sebutan ‘orang gunung’. Dari hasil pinjaman, ‘orang gunung’ mendapatkan fee Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
159
Laporan Teknis
atau bonus dari nelayan sebesar Rp 1.000.000,-. Peminjaman sertifikat tanah disebabkan karena pasca gempa nilai asset tanah para nelayan sangat kecil bahkan tidak dapat dijadikan agunan. Biaya operasional yang dibutuhkan tiap kali melaut pada awalnya sebesar Rp 2.000.000,-. Jumlah tersebut digunakan untuk bahan bakar dan ransum selama melaut. Pada saat akan melaut, ABK lempara siang juga dipinjami uang oleh pemilik lempara untuk memenuhi biaya kebutuhan hidup keluarganya selama ditinggal melaut. Jika biaya operasional sudah habis, nelayan bisa meminjam uang di bos atau sebutan untuk penampung di lokasi penangkapan. Biaya operasional yang dibutuhkan selama satu minggu biasanya mencapai Rp5.000.000. Nelayan kembali ke rumah jika pendapatan melaut dinilai bisa menutupi biaya operasional. Lama melaut terkadang bisa mencapai satu bulan karena pendapatan dianggap belum bisa menutupi biaya operasional. Alat tangkap lempara malam memiliki ukuran jaring lebih besar dibanding lempara siang dengan ukuran panjang 500 m dan kedalaman 30 m. Jumlah pemilik lempara malam di Wuring berjumlah 58 orang. Jumlah ABK dalam satu kapal mencapai 10-20 orang. Waktu melaut dapat dibagi dua, pertama jika di taka (jenis perahu) maka berangkat pukul 19.00 sampai pukul 21.00. Kedua, jika menangkap di rompong maka sampan pembakar berangkat terlebih dahulu yaitu pukul 15.00 atau pukul 16.00, sedang bodi (kapal lempara) berangkat pukul 3.00 dini hari dan kembali pukul 07.00. Jenis hasil tangkapan yaitu layang, selar, kombong (kembung), tongkol, tembang. Lempara malam tidak dapat beroperasi pada 13-19 bulan terang dalam satu bulan. Lempara malam menggunakan rompong dekat. Modal rompong dekat yaitu Rp 750.000,Harga kapal dengan ukuran tonase 5 GT, Panjang 17 m, lebar 3m, dan panjang lunas 12 m, lengkap dengan mesin dompeng 30 PK mencapai Rp75.000.000-Rp 80.000.000, bahkan ada yang mencapai hingga Rp 150.000.000. Modal untuk sampan pembakar dengan panjang 10 m dan lebar 1,25 m serta mesin Yandong 26 PK sebesar Rp 15.000.000, untuk lampu petromak 3-4 buah harga per buah Rp 250.000,-. Sampan tonda dengan ukuran panjang 4 m dan lebar 60 cm seharga Rp 1.500.000,-Sampan tonda ini menggunakan dayung dan berfungsi untuk mengantar ABK ke kapal serta membuka tali di rompong. Sama halnya dengan lempara siang, sumber permodalan yaitu berasal dari pinjaman Bank BRI dengan agunan sertifikat tanah.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
160
Laporan Teknis
Biaya operasional untuk satu kali melaut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu untuk fishing ground yang dekat yaitu sekitar Wuring, sebesar Rp 300.000,-. Untuk lokasi penangkapan yang jauh yaitu 1 mil dari pantai, biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 700.000,-. Biaya operasional seperti solar, minyak tanah, peralatan lampu, dan rokok ini biasanya bisa hutang terlebih dahulu di kios. Alat tangkap pancing tuna membutuhkan modal kapal seharga Rp30.000.000, pancing Rp1.000.000,-, menggunakan layang-layang dan umpan kayu. Biaya operasional bergantung pada wilayah fishing ground-nya. Jika di belakang Pulau Pemana maka biaya operasionalnya sebesar Rp300.000,-. Jika di Palue maka biaya operasionalnya Rp500.000,,sedangkan jika wilayah fishing ground-nya di Sulawesi selatan maka biaya operasionalnya mencapai Rp.2.000.000,-. Operasi satu kapal terdiri dari 3 orang. Kategori tuna yaitu up : daging merah, C : kurang bagus, A dan B : bagus, D : tidak bagus. Dua ekor ikan tuna yang bisa mencapai ukuran 40 kg, harga bisa mencapai Rp47.000.000. Untuk ekspor satu ekor tuna harus mencapai ukuran berat 23 kg, jika masih 20 kg maka hitungannya glondongan.
4.4.2.5 Aset Alam i.
Sumberdaya perikanan tangkap Perekonomian nelayan di dusun Wuring dan Ndete berbeda. Di Dusun Ndete
sangat mengandalkan alat pancing ikan dasar atau ikan karang, sedangkan di Wuring lebih mengandalkan purseine atau lempara yang lebih memfokuskan pada berbagai jenis ikan permukaan atau pelajik, sepeti ikan selar, ikan terbang, dan sebagainya. Di desa Wuring juga berkembang pancing tuna. Selain alat tangkap itu, dikembangkan berbagai jenias alat tangkap seperti jaring gillnet, pancing cumi dan gurita. sumberdaya perikanan tangkap menjadi sumber perekonomian yang diandalkan oleh seluruh masyarakat. Potensi perikanan yang sangat besar dengan berbagai macam jenis ikan menjadikan wilayah Kabupaten Sikka sebagai sumber perikanan tangkap yang diandalkan oleh Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jika melihat lebih jauh maka nelayan Wuring yang memberikan kontribusi terbesar untuk wilayah kabupaten Sikka. Sehingga dapat dikatakan bahwa nelayan Wuring merupakan nelayan yang sangat diandalkan dalam sektor perikanan tangkap di Nusa Tenggara Timur.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
161
Laporan Teknis
Jika dilihat dari sudut fishing trip, pengoperasian sehari (one day fishing) menjadi karakteristik nelayan di kedua desa tersebut. Hampir semua alat tangkap dioperasikan dibawah 12 jam dengan fishing ground di sekitar teluk Wuring. Walaupun demikian, terdapat sebuah alat tangkap yang dioperasikan sampai berminggu-minggu bahkan lebih dari sebulan, yaitu lempara siang. Alat tangkap ini dioperasikan diperairan di luar kabupaten Sikka.
ii.
Sumberdaya Perikanan Budidaya Di kedua dusun yang diteliti sektor perikanan mengandalkan perikanan tangkap,
tidak ada pengembangan perikanan budidaya. Tahun 2007 pernah dikembangkan budidaya rumput laut di Wuring namun tidak berhasil karena faktor alam yaitu gelombang besar, sehingga tidak berhasil. Peluang investasi untuk budidaya ikan laut pada dasarnya masih sangat cerah dan berpeluang serta didukung oleh persediaan lokasi yang berpotensi di beberapa wilayah kepulauan dan pesisir termasuk wilayah gugus pulau teluk Maumere. Komoditi ikan yang dibudidaya seperti ikan Bandeng, Kerapu Macan, Kerapu Tikus, Kepiting dan Lobster dengan sistem Keramba Jaring Apung (KJA). Budidaya ini sudah dicoba di Desa Kojadoi, Permaan. Jika dilihat dari kondisi alamnya, budidaya yang cocok untuk dikembangkan yaitu budidaya mutiara, namun hingga saat ini budidaya tersebut belum pernah dikembangkan. Secara potensial, kondisi alam dianggap sesuai karena gelombang yang besar. Selain itu, budidaya keramba jaring apung juga dapat dikembangkan melihat potensi ikan yang ada sangat bernilai ekonomis tinggi.
iii. Sumberdaya Wisata Pada umumnya sektor pariwisata sedang digalakkan di Sikka. Pariwisata yang digalakkan lebih besar mengarah pada aspek wisata bahari, sehingga pengembangan potensi laut dan pesisir menjadi penting. Untuk Wuring dengan permukiman Bajo dan keunikannya yang mayoritas berumah di atas laut dinilai sangat potensial untuk menjadi objek wisata budaya (sumber : Bapeda Kabupaten Sikka).Namun rencana pengembangan potensi wisata budaya tersebut terkendala oleh faktor rendahnya sanitasi lingkungan. Menurut nelayan, sarana pembuangan sampah hingga saat ini tidak difasilitasi oleh pemerintah sehingga masyarakat membuang sampah ke laut. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
162
Laporan Teknis
Banyak turis asing yang datang untuk melihat kehidupan suku bangsa Bajo. Namun mereka tidak betah berlama-lama karena menurut mereka lingkungannya sangat kotor (sumber : Every Frances). Sehingga rencana yang sudah ada di tingkat kabupaten hingga saat ini belum dapat diwujudkan. Sarana prasarana pariwisata pada dasarnya sudah diupayakan salah satunya sudah banyak didirikan penginapan atau cottage, namun kebanyakan pemiliknya masih merupakan WNA (Warga Negara Asing). Sehingga belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat secara langsung. Keindahan alam berupa pulau-pulaumemang menjadi daya tarik turis mancanegara dari berbagai benua untuk berkunjung, baik di Wuring maupun di Ndete. Hal yang dibutuhkan untuk pengembangan sektor pariwisata adalah investasi dan regulasi untuk pengembangan wisata serta sarana prasarana seperti listrik, air bersih, kebersihan lingkungan dan sarana pembuangan sampah. Hal ini menjadi perlu karena wilayah kabupaten Sikka memiliki potensi sumberdaya alam yang kaya dan indah untuk dikembangkan sebagai sektor pariwisata.
iv. Sumberdaya Pertanian Sektor pertanian cukup prospektif sebagai mata pencaharian alternatif di Ndete.Hal ini karena letak Ndete yang dekat dengan pegunungan.Pertanian yang berkembang yaitu sawah. Lahan persawahan masih cukup luas di wilayah Ndete. Saat ini sektor pertanian mengalami kendala rob, peningkatan suhu dan kekeringan. Beberapa tahun terakhir banyak sawah yang gagal panen karena terkena rob. Kendala lainnya yaitu kekeringan yang menyebabkan petani tidak dapat memulai masa tanam karena belum memiliki sistem pengairan yang baik dan masih tergantung pada air hujan. Berbeda dengan Ndete, sektor pertanian tidak dapat dikembangkan di wilayah Wuring. Hal ini disebabkan karena
kondisi tanah yang kering sehingga tidak dapat
digunakan untuk pertanian serta ketiadaan lahan kosong. Wilayah Wuring tergolong wilayah yang tandus sehingga hampir tidak ditemukan pepohonan. Hanya beberapa pohon yang nampak di tepi pantai seperti bakau. Hal ini memang karena wilayah tempat tinggal mereka merupakan wilayah lautan yang diperluas menjadi daratan.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
163
Laporan Teknis
4.4.2.6 Aset Finansial i.
Sistem keuangan Pada dasarnya, masyarakat memiliki akses untuk mendapatkan pinjaman dari Bank,
namun masih terkendala dengan proses. Proses untuk mendapatkan pinjaman dari Bank dianggap relatif lebih sulit dan membutuhkan waktu lebih lama dibanding dengan peminjam perorangan sehingga banyak nelayan terlilit hutang sistem rentenir. Sistem keuangan di masyarakat tidak ditopang oleh lembaga keuangan yang dianggap dapat membantu usaha kenelayanan. Sistem keuangan yang ada lebih pada pemusatan keuangan oleh pemilik-pemilik modal. Hal ini mengakibatkan nelayan kecil yang tidak memiliki uang kesulitan dalam mengembangkan usaha mereka. Demikian juga dengan keinginan nelayan untuk mengembangkan usaha lainnya seperti pengolahan hasil perikanan dan budidaya sangat terkendala dengan ketiadaan lembaga keuangan yang dapat membantu permodalan nelayan.
ii. Keuangan rumah tangga Manajemen keuangan nelayan baik di Wuring maupun di Ndete masih tergolong tradisional. Pola hidup konsumtif atau boros membuat nelayan sulit untuk memiliki tabungan. Permasalahan tidak hemat atau konsumtif menyebabkan mereka hanya bisa menjadi nelayan kecil dan ABK dan tetap tidak dapat memiliki alat tangkap. Menurut nelayan di Wuring, mereka yang bisa berlaku hemat dan bisa menabung, maka dalam waktu 3 tahun nelayan yang semula hanya menjadi ABK bisa menjadi pemilik lempara. Hal ini berdasarkan pengalaman salah satu nelayan pemilik lempara yang dahulunya merupakan ABK lempara. Kini nelayan tersebut memiliki pursein 60 piece. Bodi lempara yang dimiliki nelayan tersebut menurutnya hasil memperbaiki bodi rusak. Ketidakpastian pendapatan juga menjadi salah satu faktor pengaturan manajemen keuangan yang masih tradisional. Pengelolaan keuangan rumah tangga diperuntukan hanya untuk hari ini saja, tidak menata kehidupan hari esok.
iii. Besarnya uang yang dapat diakses Sumber uang yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat di Wuring dapat dibagi dua (2) : pertama untuk kebutuhan hidup sehari-hari; kedua untuk kebutuhan operasional. Kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan, sekolah dan kebutuhan lainnya, Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
164
Laporan Teknis
nelayan biasanya memanfaatkan jasa peminjaman perorangan atau yang disebut dengan ‘Koperasi Harian’.
Proses peminjaman yang diberlakukan oleh ‘Koperasi Harian’
dianggap relatif lebih mudah dan cepat, “Hari ini pinjam, besok langsung dapat uangnya”. Bunga yang dikenakan cukup besar yaitu sebesar 20 dengan waktu pengembalian selama 30 hari. Selain bunga, pinjaman yang diterima dikenakan biaya administrasi sebesar 5. Contoh, jika nelayan meminjam uang sebesar Rp 1.000.000,- maka jumlah yang diterima sebesar Rp 950.000,-. Besar uang yang harus dikembalikan yaitu Rp 1.200.000,-. Waktu pengembalian selama 30 hari, sehingga per harinya nelayan harus membayar cicilan sebesar Rp 40.000,-. Batas maksimal uang yang bisa dipinjam nelayan dari ‘Koperasi Harian’ biasanya sebesar Rp 2.000.000,-. Fenomena menarik yang terjadi yaitu hubungan peminjam dan yang memberi pinjaman berlangsung terus menerus, meskipun terkadang nelayan tidak lancar membayar cicilan. Jika nelayan tidak membayar sehari, penagih hutang biasanya mencaci maki nelayan dengan kata-kata yang sangat menyakitkan. Pada saat mendengar cacian tersebut biasanya nelayan merasa jera dan tidak mau meminjam uang lagi, namun karena kebutuhan akhirnya nelayan terus meminjam uang kepada ‘Koperasi Harian’. Hal lainnya yang dilakukan nelayan jika tidak dapat membayar dan tidak ingin mendengar cacian biasanya mereka bersembunyi, baik di rumah mereka atau di rumah tetangganya. Untuk kebutuhan biaya operasional, nelayan meminjam uang kepada penampung atau pengumpul. Jumlah pengumpul di Wuring relatif banyak, tergantung pada jenis komoditinya, ada penampung tuna, tongkol, dan ikan hasil lempara lainnya. Bentuk pinjaman yaitu kebutuhan melaut seperti solar, oli, beras, rokok, kopi, teh, gula,susu, air minum, makanan ringan dan perlengkapan alat penangkapan. Selain kebutuhan melaut, penampung juga biasanya meminjamkan uang untuk kebutuhan keluarga nelayan. Besarnya pinjaman tergantung pada lamanya waktu melaut, bisa mencapai 4-5 juta rupiah untuk lama melaut 4 minggu. Untuk masyarakat nelayan Ndete, sumber uang yang dapat diakses dengan mudah berasal dari satu orang pengumpul. Biasanya nelayan meminjam uang untuk kebutuhan melaut dan kebutuhan hidup sehari-hari. Kebutuhan operasional melaut biasanya hanya untuk membeli peralatan pancing, rokok dan kopi. Hal ini karena nelayan Ndete menggunakan sampan sehingga tidak membutuhkan solar atau bensin.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
165
Laporan Teknis
iv.Tabungan Nelayan di kedua lokasi penelitian di kabupaten Sikka sebagian besar tidak memiliki tabungan baik tabungan di lembaga keuangan formal maupun non-formal. Mereka tidak terbiasa menyimpan uang di bank meskipun di tempat tinggal mereka sudah terdapat Bank BRI. Salah satu alasan mereka tidak memiliki tabungan yaitu karena pendapatan yang mereka peroleh tidak pasti jumlahnya dan biasanya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tanggga saja. Selain itu, mereka kebanyakan memiliki pola hidup konsumtif, dimana pendapatan hari ini langsung habis untuk konsumsi kebutuhan sehari-hari dan mereka terdorong untuk membelanjakan uang mereka hingga habis. Untuk nelayan laki-laki yang masih muda yaitu sekira belasan hingga 30 tahun ada kecenderungan untuk menghabiskan penghasilan mereka untuk mabuk-mabukan dan judi. Hal ini hampir ditemukan di kalangan nelayan muda di Wuring. Baik nelayan di Wuring maupun di Ndete memiliki permasalahan hutang di rentenir. Pada saat mereka memiliki pendapatan berlebih mereka harus membayar hutang mereka. Sistem tabungan yang terdapat di masyarakat di Wuring maupun Ndete yaitu dengan menyimpan perhiasan emas. Menurut mereka dengan menyimpan emas akan lebih mudah menjualnya jika mereka membutuhkan uang. Kebiasaan menyimpan uang tunai di bank atau di lembaga keuangan lainnya memang tidak dimiliki nelayan di Sikka, namun sebagian besar rumah tangga nelayan memiliki kebiasaan mempunai simpanan berupa perhiasan. Perhiasan yang dimiliki nelayan biasanya mereka gunakan sebagai aksesoris diri, seperti kalung, gelang atau cincin.
4.4.3 Kabupaten Wakatobi 4.4.3.1 Aset Sosial i.
Kepercayaan di antara masyarakat Kepercayaan diantara masyarakat nelayan Wakatobi terutama terlihat dari
hubungan antara nelayan dengan pengumpul atau pemberi modal. Pengumpul memberi pinjaman kepada nelayan yang membutuhkan pinjaman, dan nelayan menjual hasil tangkapannya kepada pengumpul tersebut. Tidak ada potongan harga atas hasil tangkapannya.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
166
Laporan Teknis
ii. Kerjasama di antara anggota masyarakat Salah satu karakteristik masyarakat nelayan di Wakatobi adalah adanya kecenderungan melaut sendiri-sendiri, jarang ada yang melaut bersama-sama, kecuali bagi mereka yang belum memiliki perahu. Dengan demikian, hasil tangkapan pun dinikmati sendiri. Hal tersebut membawa dampak positif, dimana mereka lebih terhindar dari resiko terjadinya konflik antar nelayan. Kerjasama antara nelayan dan pengumpul biasanya dari segi permodalan. Nelayan mendapatkan modal atau pinjaman dari pengumpul. Saat nelayan menjual ikan ke pengumpul tidak ada potongan bunga atas pinjaman tesebut, yang ada hanya potongan pinjaman dalam pembelian ikan oleh pengumpul. Jika ada baling-baling perahu yang rusak, nelayan juga mengambil pinjaman di pengumpul.
iii. Kelembagaan sosial Kelembagaan sosial yang ada di masyarakat Wakatobi umumnya berupa kelompok usaha. Kelompok yang ada biasanya
terbentuk secara spontanitas, dimana kelompok
tersebut terbentuk ketika ada bantuan dari pemerintah. Salah satu kelompok yang ada di Kabupaten Wakatobi adalah Kelompok Lagundi 1. Kelompok tersebut berada di Desa Liya Mawi dengan jumlah anggota 28 orang. Anggota kelompok tersebut merupakan pembudidaya rumput laut. Umumnya, manfaat utama dari keikutsertaan mereka dalam kelompok adalah adanya akses pinjaman. Sumber dana kelompok tersebut berasal dari iuran anggota yang besarnya tergantung kemampuan dan hasil produksi dari masingmasing anggota. Kelompok-kelompok di daerah coremap juga terbentuk dalam rangka menyambut dana pinjaman. Kelompok ibu-ibu yang ada terbentuk apabila ada pelatihan ataupun suntikan dana. Pelatihan-pelatihan yang ada biasanya merupakan pelatihan pengolahan produk yang berbahan baku perikanan. Antusiasme warga saat pelatihan sangat bagus, namun produknya hanya terbatas pada yang diminati dan sudah biasa ada di wilayah mereka, dan belum mencoba produk olahan baru. Mereka cenderung membuat olahan yang mudah saja, dan mereka menganggap mencoba produk baru itu sulit, apalagi jika produk baru tersebut ternyata tidak laku di pasaran, sehingga mereka tidak akan membuatnya lagi. Namun demikian, produk hasil perikanan ini masih terserap pasar, misalnya ikan pindang yang berbahan baku ikan layang.Namun demikian, jumlah kelompok di kabupaten Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
167
Laporan Teknis
Wakatobi tergolong sedikit. Hal ini dikarenakan para nelayan atau pembudidaya cenderung bekerja atau melaut secara sendiri-sendiri.
iv. Agama dan kepercayaan Sebagai bagian dari kesultanan Buton dimasa lampau, agama yang dianut masyarakat Kabupaten Wakatobi adalah agama Islam. Hingga tahun 2008, seluruh penduduk Wakatobi yang menetap menganut agama Islam, sedangkan agama lainnya biasanya dianut oleh para pendatang. Berdasarkan data pada tahun 2010 dari Kementerian Agama Kabupaten Wakatobi, mesjid yang ada berjumlah 136, dan Mushalla/Langgar berjumlah 10.
4.4.3.2 Aset Manusia i.
Kemampuan untuk mengakses peluang yang ada Kemampuan mengakses peluang yang ada masih terkendala pada sektor
permodalan, karena pada dasarnya nelayan sudah menyadari bahwa dengan kepemilikan aset berupa perahu dengan mesin dan alat tangkap yang memadai dapat meningkatkan luas daerah tangkapan dan akan berakibat pada peningkatan hasil tangkapan. Peluang yang potensial untuk dikembangkan oleh masyarakat nelayan adalah budidaya rumput laut, karamba, pengolahan hasil tangkapan serta pengembangan pariwisata. Namun karena terkendala modal dan keterampilan nelayan hanya berfokus pada kegiatan penangkapan, meskipun mengalami kesulitan mengakses modal kecuali meminjam dari pengumpul. Minimnya bantuan serta bimbingan dari pemerintah menyebabkan nelayan tidak mampu mengalihkan kegiatan ekonomi utamannya. Hal ini berdampak pada rendahnya kemampuan nelayan dalam mengakses peluang yang ada. Peluang alternatif pada masyarakat perikanan di Kabupaten Wakatobi pada umumnya selalu terbuka, terutama ketika pendapatan nelayan sedang turun karena tidak ada aktifitas melaut yang disebabkan cuaca buruk, ataupun gagal panen yang dialami pembudidaya rumput laut. Kemampuan masyarakat untuk mengakses peluang itu juga cukup terutama di Kaledupa dan Wangi-Wangi. Banyaknya lahan perkebunan semakin membuka akses terhadap peluang tersebut, apalagi komoditas perkebunan di Kaledupa cukup tinggi. Lahan perkebunan yang ada pun biasanya merupakan tanah warisan, sehingga para pembudidaya dengan mudah dapat masuk ke potensi alternatif tersebut. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
168
Laporan Teknis
Namun demikian, akses terhadap peluang di sektor lain terkendala pada keterbatasan keterampilan, teknologi, sarana dan prasarana. Adanya peluang untuk membuat produk olahan baru terkendala pada keterbatasan keterampilan. Hal ini dikarenakan adanya sikap pesimis masyarakat dalam memasarkan produk baru yang belum tentu laku di pasaran, sehingga produk olahannya hanya itu-itu saja. Selain itu, adanya peluang pengolahan rumput laut terkendala pada keterbatasan sarana dan prasarana seperti pabrik dan mesin pengolahan rumput laut. Pabrik dan mesin tersebut sudah ada namun belum difungsikan karena ketiadaan tenaga dan biaya operasional. Namun demikian, kemampuan mengakses peluang yang ada tidak hanya berhenti pada keterbatasan keterampilan ataupun modal, mereka yang tidak memiliki keterampilan pun bekerja sebagai buruh bangunan di daerah setempat.
ii. Pendidikan Kesadaran dan tingkat partisipasi masyarakat nelayan terhadap pendidikan pada umumnya rendah. Sebagian besar masyarakat hanya mengakses pendidikan hingga tingkat SD atau SMP, sebagian kecil meneruskan hingga SMA dan Perguruan Tinggi. Namun untuk pulau Salemo tingkat pendidikan cukup baik, hal ini dapat dilihat dari sebagian besar anak-anak nelayan yang melanjutkan tingkat pendidikan hingga SMA dan perguruan tinggi. Butuh bantuan pendidikan atau subsidi operasional misalnya ongkos transportasi, seragam dan buku. Rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan ditunjukan oleh kecenderungan anak-anak nelayan yang diarahkan oleh para orang tua untuk ikut serta dalam kegiatan penangkapan. Keikutsertaan anak-anak nelayan untuk membantu dalam kegiatan penangkapan adalah salah satu upaya menekan ongkos produksi serta meningkatkan hasil tangkapan Faktor penghambat berikutnya
adalah nelayan merasa keberatan dalam
mengeluarkan biaya operasional berupa ongkos transportasi, buku dan seragam. Walaupun biaya sekolah gratis dan fasilitas sekolah mulai dari SD hingga SMA cukup memadai, namun tidak memberikan dorongan kesadaran akan pentingnya arti pendidikan. Rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya arti pendidikan harus segera ditangani oleh pemerintah setempat agar tingkat pendidikan masyarakat lebih baik. Rendahnya tingkat
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
169
Laporan Teknis
pendidikan
juga
berimplikasi
pada
rendahnya
keterampilan
berusaha
dalam
mengembangkan potensi ekonomi. Tingkat pendidikan masyarakat perikanan di Kabupaten Wakatobi khususnya pada perikanan tangkap masih rendah. Sebagian besar nelayan merupakan lulusan Sekolah Dasar (SD). Hal ini dikarenakan para nelayan sudah diajak dan diarahkan untuk melakukan kegiatan menangkap ikan sejak kecil. Nelayan atau pembudidaya yang cukup sukses biasanya memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, yakni SMP atau SMA, dan mereka memiliki keinginan dan kemampuan untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi dari orang tuanya, bahkan hingga ke perguruan tinggi. Biasanya mereka menyekolahkan anak-anaknya ke luar daerah atau pulau.
iii. Wawasan Wawasan masyarakat wakatobi terkhususnya pada pembudidaya rumput lautcukup baik, hal ini dapat dilihat pada saat wawancara di Desa Liya Mawi Kecamatan Wangiwangi selatan dimana wawasan pembudidaya bertambah karena kegiatan kelompok. Wawasan masih terbatas karena minimnya pelatihan terutama untuk mengatasi penyakit pada rumput laut. Hal serupa juga dialami oleh pembudidaya rumput laut di desa Tanjung Kecamatan Kaledupa Selatan dimana mereka mengalami keterbatasan wawasan karena minimnya pelatihan, namun dari segi kelembagaan/kelompok mereka masih dapat bertukar informasi dan ide. Terkait dengan aktifitas penangkapan oleh nelayan, dalam hal wawasan termasuk baik. Hal ini dapat dilihat pada saat FGD di desa Mola Selatan, Kecamatan Wangi-wangi selatan dimana nelayan secara berkelompok mampu berdiskusi dan memaparkannya di depan forum dengan topik bahasan: bagaimana menjaga kualitas tangkapan, solusi ikan tuna yang berkelanjutan dsb. Dalam hal pendidikan di masyarakat Wakatobi, kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan sudah baik. Hal ini ditunjukan oleh anak-anak yang melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
170
Laporan Teknis
iv. Perasaan (empati-simpati) Perasaan empati dan simpati di antara masyarakat tergolong baik, karena didorong oleh kebiasaan/tradisi ditambah lagi jika aktif dalam kelompok usaha. Kegiatan berkelompok membuat empati dan simpati di antara masyarakat menjadi hidup. Contohnya adalah ketika kekurangan modal atau uang, dapat ditolong oleh dana iuran kelompok. Contoh selanjutnya adalah ketika anggota kelompok ada yang sakit maka tetangga menjenguk.
v.
Komitmen Komitmen yang dipegang oleh masyarakat Wakatobi tergolong baik, karena juga
didorong oleh tradisi. Tradisi pembagian zona penangkapan antar desa masih dipegang baik. Komitnen untuk tidak menangkap di wilayah-wilayah yang dianggap sakral/keramat juga masih kuat dipegang, khususnya di desa Koroe Onowa Kecamatan Wangi-Wangi.
vi. Keterampilan Sebagian besar penduduk Wakatobi memiliki keterampilan dalam hal perikanan, baik perikanan tangkap dan budidaya rumput laut. Tidak hanya para nelayan, para isteri dan anak nelayan umumnya memiliki keterampilan di bidang yang sama, misalnya dalam membetulkan jaring yang rusak. Di Kaledupa, pembuatan tali dan pemasangan bibit rumput laut biasanya dikerjakan oleh anak-anak kampung seusai jam sekolah. Mereka mendapat upah Rp. 5000 tiap 3 tali. Pengerjaan pengikatan tali dan pemasangan bibit ini tidak hanya dilakukan oleh anak-anak, namun siapa saja yang mau. Selain keterampilan dalam hal perikanan dan budidaya rumput laut, penduduk Wakatobi
memiliki
beberapa
alternatif
keterampilan
yang
mendukung
potensi
perekonominya. Misalnya penduduk Binongko memiliki keterampilan pandai besi, sehingga parang merupakan salah satu ciri khas daerah Binongko. Bahan baku besi didapat dari Buton atau Bau-bau. Selain itu, berkebun juga menjadi keterampilan alternatif penduduk Wakatobi. Lahan kebun biasanya merupakan tanah warisan. Berkebun bisa dikerjakan oleh para nelayan disaat sedang tidak melaut, dan bisa dikerjakan juga oleh para isteri nelayan sebagai penghasilan tambahan. Para nelayan yang tidak memiliki keterampilan khusus biasanya pergi merantau, dengan daerah tujuan seperti Malaysia,
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
171
Laporan Teknis
Papua, Maluku. Bahkan ada yang membawa keluarganya hingga menetap di daerah perantauan.
4.4.3.3 Aset Fisik i.
Sarana dan prasarana transportasi umum Pembangunan jalan di Kabupaten Wakatobi khususnya diarahkan pada akses dari
tempat produksi ke daerah pemasaran, maupun jalan yang menghubungkan antara bandara dan pusat kota. Akses darat dari bandara ke pusat kota sedang dalam perbaikan dan pelebaran jalan. Sebagian dari jalan tersebut sudah ada yang diaspal, namun juga masih ada yang belum diaspal. Di sepanjang jalan tersebut banyak terdapat tanah kapur. Untuk jalan di pusat kota rata-rata sudah banyak yang diaspal, baik di Wangi-Wangi maupun di Kaledupa. Sarana dan prasarana transportasi umum di Kabupaten Wakatobi secara umum juga cukup memadai, walaupun belum maksimal. Di Kecamatan Wangi-Wangi, transportasi darat biasanya menggunakan ojek, dengan biaya sekitar Rp. 5.000 – 10.000 untuk jarak dekat. Penyewaan mobil juga sudah cukup banyak dengan harga sewa Rp. 400.000 per 12 jam termasuk supir dan BBM. Transportasi antar pulau di Wakatobi sudah tersedia, yakni mengunakan kapal fiber cepat dengan pelabuhan penyeberangannya terletak di Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi. Pelabuhan tersebut tidak hanya sebagai pelabuhan bagi penumpang, namun juga pelabuhan untuk perdagangan dan penampungan ikan. Dari Wangi-Wangi ke Kaledupa dapat menggunakan kapal cepat kapasitas 60 orang seharga Rp. 50.000 dengan waktu tempuh 2 jam. Kapal menuju Pulau Tomia juga tersedia tiap hari dengan waktu tempuh sekitar 3 jam.
ii. Sarana dan prasarana keuangan Sarana dan prasarana keuangan di Kabupaten Wakatobi seperti bank sudah tersedia di Wangi-Wangi, yakni Bank Danamon, BRI, BNI, BPD. Namun demikian, sebagian besar masyarakat nelayan enggan dan tidak terbiasa menggunakan jasa perbankan dalam masalah keuangan. Para nelayan cenderung memilih menyimpan uang di rumah, dan
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
172
Laporan Teknis
meminjam uang biasanya kepada pengumpul. Koperasi sudah ada namun hanya sebagian yang menjadi anggota dan memanfaatkan koperasi tersebut.
iii. Sarana dan prasarana keenergian Sarana dan prasarana di bidang energi tidak memadai. Ketiadaan SPDN menyebabkan nelayan harus membeli bahan bakar eceran di pengumpul. Jaringan listrik buruk, karena hanya bisa diakses dalam jangka waktu 2-4 jam perhari Di Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara terdapat 934 rumah tangga yang mendapatkan aliran listrik dari PLN dan 1.505 rumah tangga listrik non PLN (generator) Di Wakatobi, bahan bakar biasanya dibeli secara eceran juga, karena tidak ada SPDN. Penggunaan energi listrik di Wakatobi pada umumnya sudah cukup, namun tidak demikian halnya di pemukiman Suku Bajo. Sebagian besar pemukiman masyarakat Bajo tidak teraliri listrik. Aliran listrik yang ada pun terbatas untuk beberapa jam saja, mulai sekitar 18.00 s.d 06.00. Bagi beberapa warga, listrik diambil dari tetangga mereka. Keinginan untuk mendapatkan listrik juga hampir tidak ada, hal ini dikarenakan sifat suku Bajo yang tinggal berpindah-pindah berdasarkan keberadaan ikan laut, sehingga keberadaan rumah bagi suku Bajo pun tidak dianggap penting.
iv. Sarana dan prasarana relevan lainnya Sarana dan prasarana lain yang tersedia di lokasi penelitian berikut kondisinya diantaranya adalah: a.
Kondisi Tempat Pelelangan Ikan, kondisi baik
b.
Jaringan Telepon, kondisi kurang memadai/buruk
c.
Kondisi Rumah Permanen, kondisi baik
d.
Kondisi Dermaga, kondisi baik
e.
Air bersih, kondisi baik
f.
MCK, kondisi baik
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
173
Laporan Teknis
4.4.3.4 Aset Produksi i.
Nelayan Perikanan Tangkap Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi menyebutkan bahwa
jumlah sarana penangkap ikan di Wakatobi sebagai berikut : motor tempel 626 unit, perahu tanpa motor 1.159 unit, kapal motor < 5 GT 848 unit, kapal motor ≥ 5GT 69 unit. Keberadaan sarana penangkap ikan tersebut biasanya berasal dari bantuan. Namun demikian, nelayan merasa bantuan berupa kapal penangkap ikan tersebut tidak sesuai dengan kondisi perairan di Wakatobi. Kondisi perairan yang sering berombak, angin kencang, dan jarak melaut yang jauh membutuhkan kapal penangkap ikan diatas 100 GT, sedangkan kapal bantuan pemerintah hanya 5 GT.
ii. Pembudidaya Rumput Laut Pada budidaya rumput laut, Aset produksi yang di temukan di lapangan adalah sebagai berikut: bibit, tali dan
pemberat untuk bentangan. Masyarakat pembudidaya
rumput laut pada awalnya memasang 100 bentangan terlebih dahulu, kemudian secara bertahap meningkatkan jumlah bentangan hingga 700-800 bentangan. Dalam hal pengelolaan lahan, pembudidaya mematok luasan lahan untuk bentangan rumput laut berdasarkan siapa yang terlebih dahulu menguasai, dengan kesepakatan tidak mengganggu jalur perlintasan perahu. Pengaturan penguasaan dan pengelolaan lahan rumput laut yang tidak diatur oleh pemerintah dan cenderung timpang antara satu pembudidaya dengan pembudidaya lainnya adalah potensi konflik agraria di laut. Jika hal ini tidak segera ditangani maka akan berdampak pada potensi konflik antar pembudidaya rumput laut atau antara pembudidaya rumput laut dengan nelayan tradisional dan dengan pembudidaya karamba jaring apung di kemudian hari. Mengingat akses terhadap sumber daya laut sangatlah penting dan sebagai faktor produksi utama untuk pembudidaya rumput laut. 4.4.3.5 Aset Alam i.
Sumberdaya Perikanan Tangkap Sumberdaya perikanan tangkap terkait erat dengan kondisi laut lepas untuk daerah
tangkapan nelayan, kondisi laut lepas pada daerah yang menjadi objek konservasi masih dapat dimanfaatkan dengan baik, namun perbedaan cara dan alat menangkap merupakan suatu masalah yang harus segera diselesaikan secara tegas. Nelayan yang menggunakan
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
174
Laporan Teknis
trawl, melakukan pemboman serta pembiusan harus ditindak tegas oleh aparat penegak hukum. Cara-cara penangkapan yang tidak memperhatikan kelestarian alam akan berdampak pada kelangkaan hasil tangkapan sehingga akan menambah daerah jelajah penangkapan dan peningkatan biaya operasional nelayan.
ii. Sumberdaya Budidaya Rumput Laut Sumberdaya budidaya rumput laut sangat tergantung dari sumberdaya laut terkait peruntukan lokasi lahan untuk pembudidayaan. Akses pembudidaya terhadap sumber daya laut yang masih berdasarkan siapa yang lebih cepat untuk menguasi diindikasi memiliki nilai konflik penguasaan lahan antar pengguna sember daya (nelayan, pembudidaya rumput laut, pembudidaya karamba jaring apung, dsb). Hal ini tentu memerlukan peran pemerintah untuk segera mengatur struktur penguasaan dan pengelolaan sumber daya laut agar tercipta struktur penguasaan yang lebih adil hingga dapat menghindari konflik agraria di pesisir.
iii. Sumberdaya Wisata Sumberdaya wisata tentu sangat terkait dengan kondisi dan keindahan alam Kabupaten Wakatobi erat kaitannya dengan potensi daerah kepulauan. Beberapa lokasi merupakan lokasi yang favorit dilakukan diving, snorkeling dan wisata ilmiah bagi para mahasiswa maupun peneliti baik dalam dan luar negeri.
iv. Sumberdaya Pertanian Sumberdaya Pertanian di Kabupaten Pangkep, khususnya di lokasi penelitian masih terkendala ketersediaan lahan yang terbatas dan ketersediaan air yang terbatas dengan tadah hujan sebagai sumber utama pengairan. Ketersediaan lahan yang terbatas menjadikan peruntukan tanah di beberapa lokasi terutama pulau salemo dan pulau satando hanya sebagai pekarangan dengan tanaman buah-buahan seperti pisang untuk konsumsi rumah tangga.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
175
Laporan Teknis
4.4.3.6 Aset Finansial i.
Sistem keuangan (termasuk kemudahan dan kesulitan akses) Kemudahan dalam hal akses keuangan oleh masyarakat tergantung dari hasil
aktifitas ekonomi dan harga jual hasil di pasaran/pengumpul. Kesulitan dalam hal pendapatan biasanya terjadi ketika harga ikan atau rumput laut menurun sehingga pendapatan rendah. Ditambah lagi ketika cuaca buruk atau aktifitas pencurian ikan dari nelayan wilayah lain merajalela, sementara terdapat kebutuhan untuk pendidikan (ajaran baru) dan hari raya. Hal ini membuat keuangan rumah tangga menjadi rawan. Akses keuangan mudah didapat jika meminjam dari Bank atau pengumpul.
ii. Keuangan rumah tangga (Pendapatan) Pendapatan masyarakat nelayan masih tergantung pada hasil tangkapan atau panen budidaya rumput laut, faktor yang dominan adalah harga jual di pengumpul atau pasar. Jika harga ikan atau rumput laut turun maka keuangan rumah tangga akan turun begitu juga sebaliknya. Maka dari itu perlu adanya penetapan harga dasar hasil tangkapan dan bdan stabilitator harga. Pendapatan nelayan juga tidak menentu karena sesuai dengan hasil tangkapan dan hasil tangkapan sesuai dengan musim. Cuaca yang kurang baik akan menyebabkan produksi perikanan menurun, sehingga secara ekonomi akan menyebabkan peningkatan harga. Dampak secara ekonomi ini terhadap pengguna sumberdaya khususnya nelayan menyebabkan pendapatan rumah tangga berkurang. Saat cuaca ekstrim nelayan tidak berani melaut. Saat cuaca ekstrim tersebut harga ikan dipasar cukup tinggi namun jumlah tangkapan nelayan menurun (cenderung rendah). Tekanan alam ini menyebabkan menurunnya pendapatan nelayan, meningkatnya biaya operasional dalam melakukan usaha, meningkatnya resiko melaut sampai
kehilangan
nyawa.
iii. Besarnya uang yang dapat diakses Besarnya uang yangdapat diakses berasal dari kegiatan ekonomi masyarakat. Namun besarnya uang masih fluktuatif dikarenakan harga jual hasil tangkapan yang tidak menentu dutambah cuaca buruk sehingga tidak bisa beraktifitas di laut. Sumber uang yang dapat diakses dengan mudah adalah melalui pinjaman kepada atau pengumpul. Untuk Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
176
Laporan Teknis
besaran uang tergantung kebutuhan dari nelayan, nelayan biasanya dapat meminjam untuk modal membeli perahu, alat tangkap, bahan bakar hingga kebutuhan sehari-hari. Namun karena kebanyakan sudah memiliki alat produksi sendiri maka jarang nelayan meminjam uang ke nelayan.
iv. Tabungan Nelayan sebagian besar tidak memiliki tabungan baik tabungan di lembaga keuangan formal maupun non-formal. Beberapa responden mengungkapkan bahwa nelayan tidak punya kelebihan uang untuk ditabung.
4.4.4
Kabupaten Selayar
4.4.4.1 Aset Sosial i.
Kepercayaan di antara masyarakat Kepercayaan antar masyarakat masih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kerjasama-
kerjasama antar individu dalam masyarakat. Sebagai contoh saling menjaga sero warga jika ada yang merusak, saling membantu dan menolong jika ada bagan yang macet atau rusak di laut. Jika ada kesulitan di laut mereka saling bantu-membantu. Begitu juga jika ada warga yang sakit, warga akan menjenguk dan membantu berobat bahkan sebagian kecil meminjamkan atau memberikan uang. Di dalam masyarakat masih mempertahankan budaya gotong royong yaitu dengan kerja bakti di desa. Kepercayaan antar anggota masyarakat masih baik.
ii. Kerjasama di antara anggota masyarakat Kerjasama diantara anggota masyarakat dapat dilihat dari kegiatan kerja bakti, kegiatan kelompok usaha bersama serta keakraban satu sama lain. Dapat juga dilihat dari sharing informasi yang berjalan dengan baik sehingga dapat mengembangkan usaha masyarakat misalnya karamba tancap. Nelayan sudah biasa berkumpul di pinggir pantai untuk saking bertukar informasi. Tak jarang para nelayan membentuk arisan. Kerja sama di antara anggota masyarakat tinggi.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
177
Laporan Teknis
iii. Kelembagaan sosial Dari sisi kelembagaan sosial keberadaan kelompok usaha bersama cukup aktif dalam kegiatan berorganisasi sehingga kelembagaan sosial dinilai cukup baik dan kuat. Kelembagaan social juga diwujudkan dalam bentuk kegiatan berupa arisan sebagai ajang berkumpul dan menguatkan akses finansial (menabung). Keberadaan koperasi diakui oleh masyarakat namun peranan dan manfaatnya belum dirasakan oleh masyarakat sehingga nelayan lebih memilih bergabung dalam kelompok usaha bersama.
iv. Agama dan kepercayaan Agama dan kepercayaan masih berlangsung baik. Bagi pemeluk agama islam, mereka membentuk pengajian-pengajian meskipun sebagian besar peserta adalah ibu-ibu. Sebagian besar penduduk selayar beraga islam. Perkembangan pembangunan di bidang spiritual dapat dilihat dari besarnya sarana peribadatan masing-masing agama. Tempat peribadatan umat Islam berupa mesjid dan mushalla pada tahun 2008 masing-masing berjumlah 346 buah dan 43 buah. Tempat peribadatan kristen berupa gereja ada 1 buah. Tempat peribadatan untuk umat budha dan Hindu tidak ada (Selayar dalam Angka, 2009)
4.4.4.2 Aset Manusia i. Kemampuan untuk mengakses peluang yang ada Akses peluang yang bisa dimanfaatkan sebenarnya masih banyak namun belum seluruhnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sumber daya alam laut yang bebas dimanfaatkan adalah peluang positif bagi masyarakat nelayan baik di sector perikanan tangkap maupun pembudidaya rumput laut dan karamba, namun kendala modal dan teknologi menjadi faktor pembatas pemanfaatan peluang-peluang tersebut. Di samping permasalahan permodalan, karena minimnya pelatihan penggunaan alat tangkap dan kapal serta keterampilan nelayan dalam menambah kemampuan mengakses peluang, maka nelayan tidak dapat memanfaatkan peluang. Begitu pula di sektor budidaya rumput laut, keterbatasan modal dan lemahnya daya tawar terhadap harga jual menjadikan nelayan kekurangan pendapatan untuk menambah akses usaha. Masyarakat kabupaten Selayar tidak semua bergantung pada sumber daya laut, mereka mendiversivikasikan jenis usahanya ke bidang pertanian dan peternakan. Hal ini lah yang menyebabkan mereka dapat mandiri pangan secara rumah tangga. Kemampuan Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
178
Laporan Teknis
mengakses peluang terkait pemanfaatan laha pertanian masih terbatas pada menggarap lahan orang lain dengan bagi hasil sesuai kesepakatan bersama, namun sebagian nelayan telah memiliki lahan pertanian sendiri sehingga hasil pertanian dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga tanpa bergantung pada ketersediaan pangan di pasaran.
ii. Pendidikan Kesadaran dan tingkat partisipasi masyarakat nelayan terhadap pendidikan pada umumnya tinggi. Sebagian besar masyarakat Kabupaten Selayar telah menyadari arti penting pendidikan meskipun hanya sebagian kecil yang mampu menyekolahkan hingga perguruan tinggi. Namun masyarakat mengakui mempunyai niatan kuat untuk menyekolahkan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi. Di desa bontolebang kecamatan Bontoharu, tercatat dalam profil desa yaitu dalam hal angkatan kerja usia 18-56 tahun tidak tamat SD sebanyak 193 orang, usia 18-56 tahun tamat SD sebanyak 201 orang, usia 18-56 tahun tamat SLTP sebanyak 48 orang, usia 18-56 tahun tamat SMA sebanyak 44 Orang, sedangkan usia 18-56 tahun tamat perguruan tinggi hanya 7 orang. Data tersebut menunjukan bahwa tingkat pendidikan masyarakat masih rendah. Di desa Maharraya Kecamatan Bontomatene dari hasil Forum Group Disscusion (FGD) masyarakat mengungkapkan bahwa sebagian besar masyarakat desa tersebut telah lulus SMA. Sebagian kecil putus sekolah dikarenakan malas. Mereka mengungkapkan alas an sebagian masyarakat putus sekolah bukanlah karena factor biaya namun karena kesadaran dan kemalasan untuk mengenyam pendidikan. Pada hakikatnya pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembangunan di bidang pendidikan berperan penting dalam pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai pelaku aktif dari seluruh kegiatan ekonomi dan sosial. Pada tahun 2008 di Kabupaten Kepulauan Selayar jumlah Sekolah Dasar (SD) sebanyak 139 buah dengan jumlah guru sebanyak 1.678 orang termasuk guru honor serta murid sebanyak 14.370 orang. Jumlah SMP sebanyak 28 buah dengan jumlah guru sebanyak 395 orang dan murid sebanyak 4.094 orang. Jumlah SMU 8 buah dengan jumlah guru 155 orang dan murid 1.850 orang. Berdasarkan hasil Susenas 2008, Angka Partsipasi Sekolah di Kabupaten Kepulauan Selayar sebesar 81,36. Dengan kata lain dari 100 orang penduduk usia 7-18 tahun, hanya 81 orang yang mengenyam pendidikan (Selayar dalam Angka, 2009) Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
179
Laporan Teknis
iii. Wawasan Akibat perubahan iklim, wawasan nelayan terkait kondisi dan dinamika alam menemui kesulitan dalam hal memprediksi kalender musim penangkapan. Sehingga untuk menanggulangi hal tersebut nelayan membawa lebih dari satu alat tangkap untuk melaut. Nelayan sudah tidak mampu lagi menilai musim yang sedang terjadi. Wawasan yang didapat nelayan terkait informasi didapat dari media elektronik seperti televisi. Namun hal ini hanya bisa dinikmati oleh daerah yang sudah mumpuni sarana energy listriknya.
iv. Perasaan (empati-simpati) Perasaan empati dan simpati di antara anggota masyarakat masih tinggi. Dibuktikan dengan kerjasama antar nelayan dan saling peduli antar masyarakat. Kegiatan kemasyarakatan seperti arisan, pengajian dan kerja bakti juga masih berlangsung baik. Hal ini yang patut untuk diapresiasi untuk dipertahankan terus, karena perasaan empati dan simpati dapat memperkuat solidaritas antar masyarakat. Dalm pola keseharian nelayan sering berkumpul di pinggir pantai untuk saling bertukar informasi seputar kegiatan ekonomi khususnya perikanan dan kelautan, hal ini mendorong peningkatan keterampilan dan wawasan sehingga dapat juga meningkatkan penghasilan nelayan dalam aktifitasnya di bidang penangkapan.
v. Komitmen Komitmen yang dipegang oleh masyarakat Selayar dinilai sedang, hal ini dapat dilihat dari komitmen masyarakat dalam membayar pinjaman. Sebagian masyarakat masih komitmen dalam melunasi dan mematuhi perjanjian dengan pemberi pinjaman namun sebagian yang lain mengingkari perjanjian dan kesepakatan dengan pemberi pinjaman. Namun dalam hal kesepakatan antar anggota masyarakat nelayan untuk tidak lagi menggunakan bius dan bom, sudah terlihat komitmen yang kuat dari masyarakat untuk mematuhi kesepakatan tersebut.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
180
Laporan Teknis
vi. Keterampilan Kondisi keterampilan masyarakat di Kabupaten Selayar dapat dilihat di Pulau Gusung Kecamatan Bontoharu Desa Bontolebang, dimana menjadi lokasi penelitian ini. Masyarakat di tempat ini sudah cukup baik mengembangkan usaha budidaya karamba tancap sehingga kondisi ekonomi masyarakat membaik. Namun akhir-akhir ini jarang diadakan pelatihan oleh pemerintah daerah, padahal kemauan masyarakat akan peningkatan kemampuan keterampilan cukup tinggi. Pada saat FGD tingkat Kabupaten ketika bahasan diskusi membicarakan perihal pengembangan Sumber daya manusia, pemerintah daerah mengakui masih kurangnya pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan nelayan baik untuk perikanan tangkap maupun budidaya. Rencana ke depan adalah mengganti tambak-tambak yang kurang produktif menjadi tambak nener udang yang dapat bermanfaat bagi pakan karamba tancap serta umpan pancing. Pemerintah daerah juga mengakui kebutuhan akan pelatihan bagi masyarakat nelayan Kabupaten Selayar yang mendesak untuk dilaksanakan, misalnya sebelum bantuan kapal atau alat tangkap, masyarakat idealnya diberikan pelatihan terlebih dahulu agar dapat memahami teknik penggunaan kapal dalam hal ini jenis “long line” dan penggunaan alat tangkap serta teknologi lain yang diperuntukan untuk peningkatan kinerja masyarakat nelayan dalam melakukan kegiatan ekonomi. Dalam hal keterampilan memperbaiki alat tangkap, para nelayan mampu melakukannya sendiri ini membuktikan keterampilan mulai membaik. Ditambah lagi dengan peningkatan aktifitas dan pemulihan ekonomi bagi pembudidaya karamba karena diawali oleh pengetahuan dan keterampilan dalam pembudidayaan karamba tancap.
4.4.4.3 Aset Fisik i. Sarana dan prasarana transportasi umum Sarana dan prasarana transportasi umum di desa Bontolebang kecamatan Bontoharu tepatnya di pulau gusung dinilai masyarakat buruk, hal ini karena terbatasnya sarana dan prasarana berupa angkutan regular ke ibu kota kecamatan yang berjumlah hanya 2 buah, sedangkan jumlah dermaga pendek hanya satu. Namun secara umum kondisi sarana dan prasarana transportasi umum dapat dikategorikan dalam kondisi baik terutama di ibu kota kabupaten yaitu di Kecamatan Benteng dimana angkutan darat regular masih
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
181
Laporan Teknis
baik dan jalan raya dalam kondisi baik. Untuk sarana transportasi antar kota via laut tersedia ferry yang berlayar setiap hari, namun untuk transportasi antar pulau dalam satu kabupaten masih terbatas dan tidak dapat ditentukan setiap hari. Jalan merupakan prasarana angkutan darat yang penting untuk memperlancar kegiatan perekonomian. Usaha pembangunan yang makin meningkat menuntut adanya transportasi, untuk menunjang mobilitas pen duduk dan kelancaran distribusi barang dari dan ke daerah. Selain jalur darat yang baik untuk Kabupaten Kepulauan Selayar di perlukan pula kondisi pelabuhan dan kapal penyebrangan mengingat Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan daerah kepulauan. Panjang jalan Kabupaten Kepulauan Selayar pada tahun 2008 sepanjang 789,99 kilometer, yang diaspal sepanjang 458,97 kilometer dan dalam kondisi baik sepanjang 374,97 kilometer. Jumlah kunjungan kapal yang melalui pelabuhan Jampea, Bonerate, dan Benteng meningkat di tahun 2008 dengan jumlah kunjungan kapal sebanyak 2.054. Selain itu , di tahun yang sama jumlah dermaga/pelabuhan dan tambatan perahu meningkat menjadi 10 pelabuhan dan 43 tambatan perahu. Jumlah kendaraan bermotor wajib uji di Kabupaten Kepulauan Selayar pada tahun 2008 adalah sebanyak 222 kendaraan dengan rincian mobil bus 23, mobil penumpang sebanyak 81 kendaraan dan mobil barang sebanyak 118 kendaraan (Selayar dalam Angka, 2009). Berdasarkan delapan kelompok data tahun 2008, kondisi jalan baik mencapai 346,34 km meningkat dari tahun 2007 yang masih mencapai 327,54 km. Kondisi jalan yang sedang tahun 2008 mencapai 132,05 km meningkat dari tahun 2007 yang masih mencapai 112,15 km (RKPD Tahun 2010 Kabupaten Kepulauan Selayar)
ii. Sarana dan prasarana keuangan Sarana dan prasarana keuangan di Kabupaten Selayar dapat dikategorikan baik, hal ini karena terdapat berbagai lembaga keuangan seperti Bank, lembaga keuangan mikro, pegadaian dan koperasi hingga pengumpul yang dapat meminjamkan uang kepada masyarakat. Namun dari informasi yang diberikan masyarakat, mereka lebih cenderung memanfaatkan kelompok usaha bersama untuk dapat mengakses uang.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
182
Laporan Teknis
iii. Sarana dan prasarana keenergian Sarana dan prasarana keenergian di Kabupaten Selayar terutama di desa Maharraya dapat dikategorikan baik. Hal ini dikarenakan akses listrik dari PLN yang dapat dimanfaatkan 24 jam penuh oleh masyarakat. Namun untuk desa Bontolebang di Pulau Gusung, akses listrik masih terbatas pada diesel yang menyala hanya dari pukul 18.00 sampai 22.00. secara keseluruhan karena belum semua desa mendapat pasokan listrik dari PLN, pemerintah daerah dalam kesempatan FGD tingkat kabupaten mengaku sedang mengembangkan Pembangkit listrik tenaga surya untuk akses listrik di Kabupaten Selayar, Sarana keenergian lain adalah Bahan Bakar Minyak (BBM). Ketiadaan SPBN menyebabkan nelayan harus membeli bahan bakar di penjual bahan bakar eceran.
iv. Sarana dan prasarana relevan lainnya Pembangunan sarana komunikasi diarahkan untuk meningkatkan kelan-caran arus informasi dari suatu daerah ke daerah lainnya. Kelancaran arus informasi dapat memperlancar aftivitas perekonomian di suatu wilayah Bila dilihat dari data kantor pos, pada tahun 2008, secara keseluruhan surat diterima sebanyak 47.601 surat dalam negeri sedang surat dikirimkan sebanyak 7.758 surat dalam negeri. Adapun banyaknya sambungan induk telepon pada tahun 2008 sebanyak 2.113 dengan rincian 329 bisnis, 1.784 residensial, sosial dan lainnya tidak ada (Selayar dalam Angka, 2009). Tempat pelelangan ikan belum berfungsi karena tidak ada pengusaha/pengumpul ikan yang mampu membeli semua hasil tangkapan nelayan serta menetap di Kabupaten Selayar. Kondisi pabrik es juga belum beroperasi karena membutuhkan biaya operasionalisasi untuk dapat menjalankan fungsinya. Kondisi air bersih, didapat warga dari mata air meskipun ketersediaannya sangat terbatas, bahkan di beberapa pulau sangat sulit mendapatkan air. Kondisi Rumah Permanen cukup baik, kondisi dermaga dan tambatan kapal cukup baik, kondisi pelabuhan baik
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
183
Laporan Teknis
4.4.4.4 Aset Produksi i.
Nelayan Perikanan Tangkap Aset produksi terkait alat tangkap di Kabupaten Selayar untuk kegiatan ekonomi
perikanan tangkap antara lain pancing, jaring, sero, sambak, Pukat cincin, bagan perahu, jaring insang tetap, jaring insang hanyut, jala, bagan tancap, bubu, jaring insang dasar, rawai tuna, pancing tonda, payang. Untuk jenis-jenis kapal yang digunakan untuk kegiatan penangkapan di Kabupaten Selayar antara lain, perahu tanpa motor (jukung dan sampan/papan), motor temple, kapal motor Alat tangkap yang teridentifikasi di desa mattiro baji, matiro bombang dan maccini baji adalah sebagai berikut: pancing, jaring, bubu, pancing, Jaring, trawl 1 ¼ inchi, tombak, Bubu, jaring ikan besar (pukat balelopo), pukat kepiting, jaring gamasi (ikan kecil), pancing cumi-cumi, jaring tenggiri, Pacungkil Kerang, Pancing tonda. Jenis kapal: Sampan, Kapal Standar, kapal joloro, dompeng. Sebagian besar nelayan yang menjadi objek observasi di Kabupaten Sekayar telah memiliki alat tangkap dan kapal sendiri, meskipun pada awalnya meminjam modal terlebih dahulu kepada kelompok atau ikut menjadi ABK terlebih dahulu. Menurut pengakuan nelayan, alat tangkap harus mampu menyesuaikan dengan musim tangkapan ikan, dengan cara membawa lebih dari satu alat tangkap mereka beranggapan akan lebih berpeluang mendapatkan hasil yang lebih banyak. Terkait dengan aset berupa perahu dan mesin, nelayan sangat menyadari bahwa sarana kapal dan mesin sangat berpengaruh terhadap daya jelajah dan hasil tangkapan ikan. Mereka paham bahwa semakin besar kapal dan kekuatan mesin serta teknologi alat tangkap yang memadai maka akan meningkatkan hasil tangkapan. Disamping itu nelayan sangat membutuhkan bimbingan terhadap penggunaan alat tangkap dan informasi-informasi penting lain yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi nelayan. Hal ini disebabkan banyaknya nelayan yang menjual alat tangkap dan perahu karena tidak memahami penggunaannya.
ii.Pembudidaya Rumput Laut Aset Produksi terkait kegiatan ekonomi pembudidaya rumput laut di Kabupaten Selayar yaitu berupa
berupa bibit, tali, pemberat untuk bentangan. kekurangan asset
produksi berupa kapal atau sampan untuk panen, lahan penjemuran serta obat untuk penyakit rumput laut. Lahan tersedia masih cukup luas, meskipun niatan untuk menambah Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
184
Laporan Teknis
jumlah bentangan kuat, namun belum ada kemampuan modal dan alat produksi untuk mengembangkan usaha budidaya rumput laut.
4.4.4.5 Aset Alam Analisis tentang sumberdaya alam dikaitkan dengan fungsinya sebagai penyedia daya dukung alamiah yang menghasilkan nilai manfaat bagi penghidupan masyarakat di lokasi penelitian.
i. Sumberdaya perikanan tangkap Sumber daya perikanan tangkap dinilai masyarakat masih baik. Namun bertambahnya jumlah nelayan dan cuaca buruk menyebabkan hasil tangkapan nelayan berkurang, meskipun kondisi sumber daya laut berupa ikan masih berlimpah. Minimnya pelaku pemboman dan pembiusan membuat sumber daya laut menjadi lestari dan tidak lagi menghambat produksi tangkapan ikan, budidaya karamba dan budidaya rumput laut. Sumberdaya perikanan tangkap terkait erat dengan kondisi laut lepas untuk daerah tangkapan nelayan, kondisi laut lepas pada daerah yang menjadi objek konservasi masih dapat dimanfaatkan dengan baik. Namun pencurian ikan oleh nelayan dari luar wilayah Selayar harus menjadi perhatian pemerintah daerah beserta polair karena dapat mengganggu produksi tangkapan nelayan Kabupaten Selayar.
ii. Sumberdaya Perikanan Budidaya Kondisi Sumber daya perikanan budidaya baik karamba tancap, apung maupun tambak dapat dikategorikan baik. Nelayan mengaku semenjak mengembangkan usaha budidaya karamba pendapatan mereka bertambah dan tidak lagi tergantung pada hasil tangkapan di laut yang serba tidak pasti karena cuaca buruk dan pergeseran musim. Namun untuk buidaya karamba dengan komoditas ikan sunu sering kali terkena penyakit bisul pada bulan 6 (enam). Hal ini cukup menyulitkan para pembudidaya karena tidak dapat mengetahui cara penanggulangannya. Untuk bibit ikan karamba tancap, nelayan dapat memperolehnya dari kegiatan penangkapan di laut, hasil tangkapan ikan yang masih kecil di budidayakan di karamba tancap.adapun jenis komoditas budidaya karamba tancap antara lain: kerapu, sunuk, kuwe, baronang dan udang (lobster)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
185
Laporan Teknis
iii. Sumber daya budidaya rumput laut Pembudidayaan rumput laut seringkali gagal karena penyakit karena pembiusan di luar wilayah budidaya. Hambatan yang tidak kalah merepotkan adalah musim barat yang berlangsung dari bula 1 hingga 4 yang merusak bentangan hingga pembudidaya tidak dapat melakukan aktifitas budidaya sepanjang bulan tersebut.
iv. Sumberdaya Wisata Sumberdaya wisata tentu sangat terkait dengan kondisi dan keindahan alam di Kabupaten Selayar, secara umum kondisi pantai masih baik dan dapat dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata. Taman nasional Takabonerate, menjadi objek wisata yang menarik untuk dikunjungi wisatawan asing dan domestik. Di Bontolebang sering banyak ada turis serta wisata bahari seperti diving, snorkeling dan wisata memancing. Hal ini potensial untuk dikembangkan karena keindahan alam kabupaten selayar sangat baik.
v.
Sumberdaya Pertanian Ketersediaan lahan terbatas namun dapat digunakan sebagai lahan pertanian
subsisten yang dapat mencukupi kebutuhan hidup serta membuat keluarga mandiri secara pangan, namun kondisi tanah yang kurang subur serta kepemilikan tanah menjadi persoalan ketika ingin membangun sektor pertanian di Kabupaten Selayar. Untuk luas areal persawahan di Kabupaten Selayar terdapat di 2 kecamatan, yaitu Pasimasunggu dan Pasimasunggu timur dengan luasan 1.515 ha dan 1.507 ha dengan jenis pengairan di 2 kecamatan tersebut irigasi sederhana desa dan tadah hujan. Untuk luasan panen dan produksi padi mencapai 3.793 ha yang meliputi wilayah kecamatan Pasimarannu (186 ha dengan hasil pada tahun 2008 mencapai 660,3 ton), Pasimasunggu (1.586 ha dengan hasil pada tahun 2008 mencapai 7.191,47 ton), Takabonerate (40 ha dengan hasil pada tahun 2008 mencapai142 ton), Pasimasunggu Timur (1,761 ha dengan hasil pada tahun 2008 mencapai 8.695 ton), Bontosikuyu (162 ha dengan hasil pada tahun 2008 mencapai 575,1 ton), Bontoharu (58 ha dengan hasil pada tahun 2008 mencapai 205,9) (Profil kepulauan Selayar, 2009). Produksi tanaman pangan yang ada di Kabupaten Kepulauan Selayar adalah padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar dan kacang-kacangan. Khusus padi sebagai makanan pokok mengalami peningkatan 20,38 persen dibanding tahun sebelumnya. Produksi padi tahun Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
186
Laporan Teknis
2008 sebesar 17.469,77 ton yang dipanen dari areal seluas 3.793 hektar atau rata-rata 4,6 ton per hektar. Produksi jagung pada tahun 2008 sebesar 6.289,9 ton dengan luas panen 1.817 hektar atau rata-rata 3,5 ton per hektar. Pada tahun 2008, produksi ubi kayu 613,30 ton, kacang tanah 1.506,4 ton, kedelai 390 ton, dan kacang hijau 436,19 ton. Hasil produksi tanaman perkebunan yang paling dominan di Kabupaten Kepulauan Selayar adalah tanaman kelapa, terutama kelapa dalam. Disamping tanaman tersebut masih ada tanaman yang produksinya cukup besar yaitu tanaman kemiri. Produksi tanaman kelapa dalam pada tahun 2008 adalah sebesar 27.096,95 ton dari Luas tanaman 19.952 hektar. Produksi kemiri 2.830,37 ton dari luas panen sebesar 2.016 hektar. Untuk produksi kelapa dalam mengalami peningkatan sebesar 0,15 persen. Luas kawasan hutan di Kabupaten Kepulauan Selayar sebesar 13.701,1 hektar yang terdiri atas 6.538,4 hektar hutan lindung, 5.662,7 hektar hutan produksi dan 1.500 hektar Hutan Cadangan. Hutan suaka alam tidak ada. Populasi ternak besar di Kabupaten Kepulauan Selayar adalah sapi, kerbau dan kuda. Pada tahun 2008, populasi ternak besar mengalami perubahan yaitu sapi bertambah menjadi 9.086 ekor, kerbau berkurang menjadi 524 ekor dan kuda berkurang menjadi 3.240 ekor. Sedangkan populasi ternak besar pada tahun 2007 adalah sapi sebanyak 8.287 ekor, kerbau sebanyak 772 ekor dan kuda sebanyak 3.317 ekor. Populasi ternak kecil dan unggas pada tahun 2008 mengalami perubahan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Populasi ternak kecil di Kabupaten Kepulauan Selayar seperti kambing dan domba. Populasi ternak kecil pada tahun 2008 adalah sebanyak 78.387 ekor kambing dan 367 ekor domba. Populasi unggas yang terdiri dari ayam buras, ayam ras dan itik masing-masing tercatat 217.090 ekor, 9.605 ekor dan 1.890 ekor. Produksi daging pada tahun 2008 terdiri atas 56.203 kg daging sapi, 31.947 kg daging kerbau, 10.968 kg daging kuda, 36.244 kg daging kambing, 874 kg daging domba, 1.791 kg daging ayam ras, 134.390 kg daging ayam buras dan 768 kg daging itik. Produksi telur yang dihasilkan oleh unggas seperti ayam ras, ayam buras dan itik masingmasing tercatat 1.037.372 butir, 2.605.086 butir dan 136.072 butir.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
187
Laporan Teknis
4.4.4.6 Aset Finansial i. Sistem keuangan (termasuk kemudahan dan kesulitan akses) Sistem keuangan terkait kemudahan dan kesulitan akses terhadap keuangan di Kabupaten Selatar tergolong baik. Hal ini dapat dilihat dari ketidak bergantungan warga terhadap pinjaman yang berasal dari Bank, pengumpul dan lembaga keuangan lain. Sebagain besar masyarakat telah mampu memenuhi permodalan sendiri tanpa meminjam kepada pengumpul atau penjual bahan bakar. Hanya sebagian kecil masyarakat saja yang masih meminjam modal kepada pengumpul dan bahan bakar untuk operasional pada penjual bahan bakar. Jika nelayan meminjam kepada pengumpul maka hasil tangkapan harus dijual kepada pengumpul, dengan harga ditentukan oleh pengumpul. Masyarakat nelayan di Kabupaten Selayar menemui kesulitan dalam mengakses keuangan jika pendapatan dari hasil kegiatan perikanan menurun atau rugi. Namun karena beberapa warga masyarakat mempunyai pekerjaan sampingan yaitu petani, beternak, pedagang, tukang batu maka kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi. Nelayan masih terbiasa hidup boros, hal ini jika musim ikan mahal dan pendapatan naik. Meskipun beberapa sudah ada yang memiliki kesadaran untuk menabung dan memanajemen uang. Dalam hal mengakses pinjaman, cukup mudah dan banyak kesempatan yang bisa didapat baik dari lembaga keuangan formal maupun informal.
ii. Keuangan rumah tangga (Pendapatan) Pendapatan nelayan tidak menentu karena sesuai dengan hasil tangkapan dan hasil tangkapan sesuai dengan musim. Cuaca yang kurang baik akan menyebabkan produksi perikanan menurun, Dampak secara ekonomi ini terhadap nelayan menyebabkan pendapatan rumah tangga berkurang. Saat cuaca ekstrim nelayan tidak berani melaut. Saat cuaca ekstrim tersebut harga ikan dipasar cukup tinggi namun jumlah tangkapan nelayan menurun (cenderung rendah). Tekanan alam ini menyebabkan menurunnya pendapatan nelayan, meningkatnya biaya operasional dalam melakukan usaha, meningkatnya resiko melaut sampai
kehilangan
nyawa. Keuangan rumah tangga dapat tertolong karena terbantu oleh pemanfaatan sumber daya yang tidak tergantung dari laut, misalnya pertanian, karamba, peternakan dsb.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
188
Laporan Teknis
iii. Besarnya uang yang dapat diakses besarnya uang yang dapat diakses oleh masyarakat Kabupaten Selayar sangat tergantung dari kegiatan aktivitas ekonomi di bidang perikanan tangkap, budidaya karamba jaring apung, karamba tancap, budidaya rumput laut, pertanian, peternakan dan perdagangan. Diversifikasi usaha yang dilakukan masyarakat Selayar memudahkan besarnya uang yang dapat diakses. Hal ini dikarenakan kurangnya ketergantungan pada satu jenis usaha saja sehingga usaha lain dapat menjadi andalan ketika usaha perikanan terkena masalah semisal cuaca buruk. Secara garis besar besarnya uang yag dapat diakses dalam kondisi sedang atau cukup.
iv. Tabungan Kondisi tabungan masyarakat Kabupaten Selayar dikategorikan dalam kondisi sedang. Sebagian kecil masyarakat masih bisa menabung dari hasil kegiatan ekonomi, meskipun sebagian besar hasil kegiatan ekonomi diperuntukan untuk kebutuhan hidup sehari-hari.sebagian kecil masyarakat di Kabupaten Selayar menggunakan ajang arisan sebagai sarana untuk menabung.
4.4.5 Kabupaten Buton 4.4.5.1 Aset Sosial i.
Kepercayaan di antara masyarakat Masalah trust atau kepercayaan diantara anggota masyarakat cukup baik. Hal ini
dapat digunakan dalam membangun masyarakat terutama dalam kondisi perubahan iklim dalam bentuk ketidakpastian musim, badai dan sebagainya yang membawa dampak negatif terhadap aktivitas ekonomi. Kepercayaan atau trust yang terdapat di masyarakat juga dapat dibuktikan pada saat nelayan lain membutuhkan pinjaman uang ke lembaga simpan pinjam, nelayan tersebut boleh memakai nama nelayan lain yang memang sedang tidak membutuhkan uang. Menurut nelayan hal seperti ini sangat dibutuhkan karena satu sama lain saling membutuhkan pertolongan.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
189
Laporan Teknis
ii. Kerjasama di antara Anggota Masyarakat Pola kerjasama di masyarakat sudah cukup baik dan dapat berfungsi untuk kegiatan usaha nelayan. Mereka saling membantu jika ada nelayan lain yang membutuhkan pertolongan. Mereka juga bekerjasama dalam hal perbaikan sarana prasarana desa serta dalam pengawasan wilayah konservasi.
iii. Kelembagaan Sosial Kelompok nelayan sebagai bentuk kelembagaan sosial di masyarakat sudah terbentuk dan berfungsi di masyarakat. Meskipun pada mulanya kelompok terbentuk atas inisiasi pemerintah namun masyarakat pada akhirnya merasakan pentingnya sebuah kelompok. Kelompok yang ada pada mulanya dibentuk untuk menerima bantuan saja, namun masyarakat memanfaatkannya sebagai wadah organisasi yang dirasakan perlu untuk membahas berbagai persoalan dalam usaha. Dari sisi kelembagaan sosial keberadaan kelompok usaha bersama sudah aktif dalam kegiatan berorganisasi. Demikian juga organisasi yang sifatnya sosial seperti dalam hal pengajian dan hajatan, polakerjasama masyarakat dalam berorganisasi berlangsung baik. Hal ini menjadi modal sosial yang cukup besar untuk menyatukan anggota masyarakatnya tanpa melihat status dan kekayaan, meskipun dalam masyarakat masih memandang status bangsawan dan non bangsawan.
iv. Sistem Nilai Kolektif Kabupaten Buton dilihat dari sejarah merupakan Kesultanan Buton yang terletak di Pulau Buton Provinsi Sulawesi tenggara. Pada masa lalu memiliki kerajaan sendiri yang bernama Kerajaan
Buton
dan
berubah
menjadi
bentuk
kesultanan.
Nama
Pulau Buton dikenal sejak masa pemerintahan Majapahit, Patih Gajah Mada menyebut nama Pulau Buton dalam Sumpah Palapa. Demikian juga Mpu Prapanca menyebut nama Pulau Buton dalam bukunya Negara Kartagama. Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton. Nelayan Buton memang sangat terkenal sebagai pelaut ulung, mereka memiliki sistem nilai kolektif yang berorientasi ke laut baik untuk melakukan aktivitas perikanan Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
190
Laporan Teknis
maupun untuk berdagang. Pengaruh kondisi geografis Pulau Buton berpengaruh pada karakteristik masyarakatnya yaitu keras. untuk bidang politik orang Buton terkenal kuat. Pada prinsipnya nelayan di Kabupaten Buton memiliki sistem nilai kolektif yang dipegang teguh secara bersama-sama. Adat dan tradisi masih dijalankan secara bersamaan diselaraskan dengan hukum formil. Sistem nilai kolektif ini dipatuhi secara bersama-sama, seperti dalam penerapan kawasan konservasi dan pelarangan penggunaan alat tangkap yang merusak.
v.
Agama dan kepercayaan Mayoritas masyarakat Buton beragama Islam, selebihnya ada yang beragama
Kristen. Berdasarkan sejarah, Kerajaan Buton secara resmi menjadi sebuah Kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, yaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo,diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman alFathani yang datang dariJohor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Kemudian beliau sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu Atas yang termasuk dalam pemerintahan Buton. Nilai-nilai Islam dan kepercayaan terhadap adanya mitos-mitos yang berlaku di masyarakat terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, walaupun aktivitas keagamaan saat ini masih rendah. berdasarkan hasil FGD, para nelayan lebih terobsesi untuk melakukan aktivitas perekonomian dibandingkan aktivitas keagamaan. Dalam pelaksanaan sholat lima waktu, nelayan banyak yang meninggalkan dan melalaikannya. Ditemukan banyak masjid yang terlihat bagus namun jamaahnya sedikit. Tradisi adanya kepercayaan bahwa masyarakat harus melakukan ritual bersih desa yang bertujuan untuk membuang segala kesialan yang ada di desa hingga saat ini masih terus dijalankan. Hal ini juga dilakukan untuk mencegah segala perbuatan yang tidak diperbolehkan baik oleh agama maupun adat.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
191
Laporan Teknis
4.4.5.2 Aset Manusia i.
Kemampuan untuk mengakses peluang yang ada Kemampuan mengakses peluang yang ada masih terkendala dengan pengetahuan
dan keterampilan yang dimiliki.Selain itu, keterbatasan permodalan dan teknologi juga menjadi hambatan untuk mengakses peluang yang ada.Untuk pemanfaatan sumberdaya laut, teknologi armada yang digunakan tidak dapat menjangkau lokasi yang jauh serta pada saat gelombang besar mereka tidak dapat melaut. Dengan teknologi yang memadai dapat meningkatkan luas daerah tangkapan dan berakibat pada peningkatan hasil tangkapan. Peluang yang potensial untuk dikembangkan oleh masyarakat nelayan adalah budidaya karamba dan pengolahan hasil tangkapan. Namun karena terkendala modal dan minimnya pelatihan, nelayan hanya berfokus pada kegiatan penangkapan. Minimnya bantuan serta bimbingan dari pemerintah menyebabkan nelayan tidak mampu mengalihkan kegiatan ekonomi utamanya tidak hanya ke perikanan tangkap. Hal ini berdampak pada rendahnya kemampuan nelayan dalam mengakses peluang yang ada. Ketidakmampuan mengambil peluang yang ada menyebabkan mereka sangat rentan terhadap perubahan iklim. Hal ini disebabkan karena sektor perikanan tangkap sangat dipengaruhi oleh kondisi angin dan gelombang. Manakala teknologi yang ada tidak cukup memadai untuk dapat mengakses peluang-peluang yang ada.
ii.
Pendidikan Pendidikan masyarakat di Kabupaten Buton sudah cukup baik. Hal ini ditopang
oleh ketersediaan fasilitas sekolah hingga ke pulau-pulau. Mereka banyak yang sudah melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Para orang tua sudah mulai sadar akan pentingnya pendidikan. Hingga saat ini sudah ada yang lulus kuliah dan jumlahnya cukup banyak. Tidak sedikit pula mereka yang tamatan SMA dan jika dibandingkan dengan masa lalu rata-rata tingkat pendidikan mereka kini hingga jenjang SMP.
iii. Wawasan Wawasan mengenai kondisi dan dinamika alam cukup baik. Mereka juga mengetahui tentang perubahan iklim yang terjadi melalui televisi.Namun terkait dengan perubahan iklim yang saat ini mereka merasa tidak lagi dapat memperediksi alam terutama musim. Sehingga mereka harus belajar lagi mengenai iklim dan perubahannya. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
192
Laporan Teknis
Wawasan masyarakat tentang hal-hal lainnya seperti kondisi politik, ekonomi, dan sebagainya cukup baik. Rata-rata mereka telah memiliki televisi sehingga mereka mengetahui informasi menganai kondisi politik, ekonomi dan perubahannya, tidak hanya di tingkat lokal tetapi juga global. Wawasan mengenai berbagai hal mereka peroleh juga dari teman-teman nelayan atau sesama anggota masyarakat melalui aktivitas berbincangbincang atau bersenda gurau di antara mereka.
iv. Perasaan (empati-simpati) Perasaan simpati di antara anggota masyarakat sudah cukup baik. dalam keseharian masyarakat nelayan masih memiliki perasaan simpati manakala ada tetangga mereka yang sedang tertimpa bencana atau mengadakan pesta, baik pesta pernikahan atau syukuran. Masyarakat secara sukarela datang dan ikut membantu dalam menyiapkan kegiatan tersebut.
v.
Komitmen Pada umumnya, komitmen masyarakat di Kabupaten Buton sangat baik terutama
dalam hal memelihara ekosistem. Setiap keputusan dan kesepakatan yang sudah dibuat dilaksanakan dengan baik. Hal ini juga dalam mematuhi aturan-aturan yang ada, baik aturan adat, agama dan hukum formil. Jika ada pihak atau anggota masyarakat yang melanggar kesepakatan yang ada biasanya dikucilkan oleh anggota masyarakat lainnya. Hal ini dapat dilihat salah satunya pada saat mereka bersama-sama memutuskan untuk menjaga wilayah konservasi di laut. Mereka semua menjaga dan ikut terlibat dalam pengawasan. Pada saat pemerintah melarang penggunaan alat tangkap bom, masyarakat secara serentak mematuhi aturan tersebut dan bersama-sama meninggalkan alat tangkap tersebut walaupun hingga saat ini masih ada nelayan yang melakukan pengeboman di luar wilayah mereka.
vi. Keterampilan Keterampilan nelayan dalam mengembangkan potensi ekonomi alternatif masih membutuhkan pelatihan dan pendampingan. Selain kegiatan penangkapan ikan, mereka dapat melakukan pengolahan hasil perikanan, pertanian, dan keterampilan membuat
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
193
Laporan Teknis
kerajinan tangan seperti kain tenun.Saat ini mereka hanya mengolah ikan yang tidak terjual menjadi ikan garam atau ikan asin saja. Pengolahan hasil perikanan memiliki prospek yang cerah karena bahan baku cukup tersedia. Keterampilan nelayan akan lebih baik apabila didorong, dibimbing serta pelatihan demi peningkatan kemampuan dan keahlian dalam mengembangkan potensi ekonomi yang ada. Pada dasarnya masyarakat memiliki kemauan untuk mengembangkan keterampilan yang mereka miliki mengingat sumberdaya bahan baku yang sangat besar. Keterampilan yang ada saat ini masih sebatas dikelola secara tradisional dan turun temurun sehingga belum dapat mengembangkan usaha pengolahan hasil perikanan secara maksimal.
4.4.5.3 Aset Fisik i.
Sarana dan prasarana transportasi umum Sarana dan prasarana transportasi umum di Kabupaten Buton sudah cukup
memadai. Untuk di wilayah pesisir dan daratan ketersediaan sarana seperti ojek sepeda motor, taksi dang angkutan umum sudah cukup memadai. Demikian juga kapal angkutan penumpang antar pulau sudah memadai, walaupun masih terbatas pada pulau-pulau tertentu. Jika tidak ada kapal regular biasanya menggunakan speedboat atau dengan perahu nelayan yang memang khusus disewakan untuk antar pulau. Kondisi jalan masih membutuhkan perbaikan untuk menghubungkan wilayah-wilayah di daratan agar dapat ditempuh dalam waktu lebih cepat. Kondisi jalan banyak yang mengalami kerusakan. Hal ini menjadi ironis karena Buton terkenal sebagai penghasil aspal. Untuk sarana dan prasarana transportasi pengangkutan hasil perikanan hingga saat ini dirasakan masyarakat masih terbatas. Pesawat atau kapal yang dapat mengangkut hasil perikanan ke luar pulau masih minim dan tergolong mahal, sehingga untuk menjual atau memasarkan hasil perikanan masih terkendala. Bandara yang ada masih merupakan bandara kecil sehingga tidak dapat disinggahi oleh semua pesawat terbang.
ii. Sarana dan prasarana keuangan Sarana dan prasarana keuangan berupa bank baik di peisir maupun di pulau sudah ada lembaga keuangan formal seperti bank. Hal ini memberikan kemudahan akses untuk menabung atau melakukan transaksi lain berkaitan dengan keuangan.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
194
Laporan Teknis
iii. Sarana dan prasarana pengairan Masalah air bersih masih menjadi masalah khususnya di wilayah-wilayah tertentu. Air bersih biasanya diperoleh dari pegunungan yang disalurkan melalui pipa-pipa. Sumber air bersih berupa bak-bak penampungan sudah terdapat di desa-desa. Masalah pengairan juga menjadi kendala pada saat musim kemarau. Masalah kekeringan dapat mengganggu aktivitas pertanian.
iv. Sarana dan prasarana keenergian Sarana dan prasarana di bidang energi masih belum memadai. Bahan bakar terkadang menjadi masalah. Untuk di kepulauan harga bahan bakar bisa dua kali lipat dari harga sebenarnya. Demikian juga keterbatasan listrik khususnya di pulau-pulau masih menjadi masalah. Walaupun untuk pulau-pulau tertentu listrik sudah dapat beroperasi selama 24 jam. namun untuk penerangan jalan masih sangat terbatas.
v.
Sarana dan prasarana relevan lainnya Sarana dan prasarana yang terkait dengan pengembangan usaha nelayan masih
belum memadai. Pengoperasionalan TPI dan PPI masih menghambat sistem pemasaran nelayan. Demikian juga keberadaan penyimpanan ikan dan rumput laut serta pabrik pembuatan es masih belum memadai. Untuk sarana dan prasarana lainnya seperti pasar dan kios-kios cukup memadai.
4.4.5.4 Aset Produksi Aset produksi di Kabupaten Buton beranekaragam, baik dari segi armada penangkapan maupun alat tangkap yang digunakan. Untuk armada penangkapan terdiri dari sampan dayung tanpa mesin, perahu ketinting dengan motor tempel, serta kapal dengan ukuran hingga 30 GT. Namun, pada umumnya nelayan di Kabupaten Buton menggunakan sampan dayung tanpa motor tempel. Alat tangkap yang banyak digunakan yaitu pancing ikan dasar, jaring hanyut, bubu, tombak. Kepemilikan aset produksi pada umumnya sudah milik sendiri, sehingga dalam pembagian hasil tidak tergantung pada orang lain.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
195
Laporan Teknis
4.4.5.5 Aset Alam i.
Sumberdaya perikanan tangkap Sumberdaya perikanan tangkap di kabupaten Buton dapat dikatakan masih sangat
tersedia. Berbagai komoditas jenis ikan dan hasil laut lainnya masih sangat berlimpah. Hal ini menyebabkan nelayan di kabupaten Buton masih mengandalkan sektor perikanan tangkap. Mereka menggunakan alat tangkap yang sangat beragam mulai dari pancing, jaring, bubu, tombak, dan bagan. Alat tangkap yang beranekaragam itu untuk berbagai jenis ikan yang beragam pula, mulai dari tuna, cakalang, kerapu, kembung, cumi, teri, kepiting, lobster, teripang. Sumberdaya perikanan tangkap menjadi sumber perekonomian yang diandalkan oleh seluruh nelayan. Kabupaten Buton memang terkenal dengan berbagai macam jenis ikian baik ikan konsumsi maupun ikan hias. Jika dilihat dari sudut fishing trip, pengoperasian sehari (one day fishing) menjadi karakteristik nelayan di Kabupaten Buton. Hampir semua alat tangkap dioperasikan dibawah 12 jam dengan fishing ground di sekitar pulau tempat mereka tinggal.
ii.
Sumberdaya Perikanan Budidaya Sektor perikanan budidaya belum berkembang pesat. Salah satu budidaya yang
sudah sangat menghasilkan nelayan yaitu budidaya rumput laut. Mereka yang menjadi petani rumput laut semula merupakan para petani yang tinggal di pegunungan. Selain menjadi petani rumput laut mereka juga menjadi nelayan tangkap. Menurut nelayan hasil yang diberikan dari buidaya rumput laut sangat merubah kehidupan mereka. Pada saat mereka hanya menjadi petani di pegunungan, kehidupan mereka sangat sulit, bahkan untuk mendapatkan beras sebagai makanan mereka. Saat ini dengan menjadi petani rumput laut mereka sudah dapat membeli beras karungan. Walaupun sejak tahun 2000 hasil rumput laut tidak dapat lagi diandalkan, namun sektor budidaya masih banyak dilakukan oleh nelayan. Selain budidaya rumput laut, budidaya kerapu juga memiliki potensi yang sangat besar. Hal ini menjadi sangat potensial jika dibekali dengan pelatihan dan pembekalan pengetahuan dalam melakukan budidaya. Selain pengetahuan dan keterampilan, bantuan modal dan teknologi juga dapat mempercepat pengembangan sektor budidaya ikan yang bernilai ekspor ini.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
196
Laporan Teknis
iii. Sumberdaya Wisata Kabupaten Buton merupakan kabupaten yang memiliki sumberdaya alam khususnya laut yang indah. Sumberdaya laut di Kabupaten Buton memiliki banyak spesies ikan dan ekosistem lainnya. Keindahan bawah lautnya juga menjadi daya tarik bagi turis lokal dan asing untuk berkunjung dan menyelam. Sektor pariwisata saat ini merupakan sektor yang sedang digalakkan di Kabupaten Buton. Pariwisata yang digalakkan lebih besar mengarah pada aspek wisata bahari, sehingga pengembangan potensi laut dan pesisir menjadi penting.
iv. Sumberdaya Pertanian Secara umum, kondisi geografis Pulau Buton berbatu sehingga sebutannya bukan tanah tumbuh batu tapi batu tumbuh tanah. Tanaman yang tumbuh yaitu jenis tanaman kering seperti ketela (ubi kayu), mente.
4.4.5.6 Aset Finansial i.
Sistem keuangan Sistem keuangan pada masyarakat di Buton sudah memiliki penataan yang baik.
Masyarakat memiliki akses untuk mendapatkan pinjaman dari Bank dan lembaga keuangan simpan pinjam, namun masih terkendala dengan jumlah uang yang dapat diakses. Sistem keuangan di masyarakat sudah ditopang oleh lembaga keuangan yang dianggap dapat membantu usaha kenelayanan. Besarnya jumlah uang yang dapat diakses menyulitkan nelayan untuk mengembangkan usaha lainnya seperti pengolahan hasil perikanan dan budidaya sangat terkendala dengan ketiadaan lembaga keuangan yang dapat membantu permodalan nelayan.
ii. Keuangan rumah tangga Manajemen keuangan nelayan di kabupaten Sikka masih tergolong tradisional, namun sudah ada kecenderungan modern karena rata-rata sudah dapat mengembangkan usahanya di sektor perikanan. Mereka yang dulu hanya sebagai nelayan sudah banyak yang beralih menjadi pengumpul.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
197
Laporan Teknis
iii. Besarnya uang yang dapat diakses Pada prinsipnya di dalam masyarakat Buton ada kecenderungan masyarakatnya untuk tidak meminjam uang. Mereka berusaha untuk dapat berdiri sendiri. Namun, pada saat ada kebutuhan mendesak atau untuk pengembangan usaha ada dua sumber mengakses uang yaitu pengumpul ikan dan lembaga simpan pinjam. Sumber uang yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat di Kabupaten Buton yaitu dengan meminjam uang kepada penampung atau pengumpul. Jumlah pengumpul di masing-masing desa tidak terlalu banyak. satu desa hanya empat penampung. Mereka meminjam uang untuk kemudian hasil tangkapannya dijual kepada penampung. Nelayan biasanya meminjam uang untuk kebutuhan melaut dan kebutuhan hidup sehari-hari. Kebutuhan operasional melaut biasanya hanya untuk membeli bahan bakar, memperbaiki peralatan pancing, rokok dan kopi. Selain itu, nelayan biasanya meminjam modal untuk pengembangan usaha kepada lembaga simpan pinjam yang berada di desa setempat. Namun besarnya uang yang dapat dipinjam tidak begitu besar. Pengembangan usaha di dalam masyarakat Buton biasanya diperoleh dari usaha budidaya rumput laut. Mereka yang dulu hanya sebagai nelayan bisa menjadi pengumpul karena usaha budidaya rumput lautnya berhasil. Namun saat ini budidaya rumput laut sangat sulit diandalkan untuk pengembangan usaha.
iv. Tabungan Kebiasaan menabung dalam nelayan Buton sudah ada, meskipun di beberapa lokasi yang menjadi lokasi penelitian tradisi menabung masih belum ditemukan. Menabung di lembaga keuangan formal seperti Bank sudah banyak dilakukan oleh masyarakat nelayan di kabupaten Buton. Ketersediaan Bank di pulau menjadi pendorong masyarakat untuk menabung. Bahkan, berdasarkan hasil FGD dengan nelayan, mereka yang tinggal jauh dengan keberadaan Bank sudah memiliki kebiasaan menabung, meskipun nelayan tersebut harus mengeluarkan uang sebesar 60.000 rupiah untuk ojek sepeda motor sekali menabung. Peningkatan sarana lembaga keuangan formal di kabupaten Bank memang sudah terlihat, hal ini juga menjadi pendorong untuk meningkatkan tradisi atau kebiasaan menabung di dalam masyarakat nelayan.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
198
Laporan Teknis
4.4.6 Kabupaten Raja Ampat 4.4.6.1 Aset Sosial i.
Kepercayaan di antara masyarakat Masalah trust atau kepercayaan diantara anggota masyarakat pada dasarnya sudah
cukup baik. Hal ini menjadi modal yang baik bagi kehidupan bermasyarakat terutama dalam pelaksanaan kegiatan. Namun terkadang rasa saling curiga muncul jika ada bantuan datang. Anggota masyarakat saling curiga perihal siapa saja yang mendapat bantuan. Sehingga pemberian bantuan semestinya harus memperhatikan cara-cara yang tepat agar tidak menimbulkan potensi konflik di masyarakat. Masyarakat lokal juga memiliki rasa percaya yang rendah terhadap para pendatang. Menurut mereka, nelayan pendatang yang tinggal di pulau-pulau tertentu menjadi agen dalam memberikan sosialisasi alat tangkap yang ramah lingkungan. Penggunaan alat tangkap yang diizinkan hanya pancing, jaring dengan ukuran mata jaring berapapun sebenarnya tidak diizinkan Karen sifatnya merusak. Di pulau tertentu, masyarakat memiliki rasa tidak percaya terhadap instansi pemerintah setempat. Hal ini disebabkan karena masyarakat merasa tidak pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah, pemberian bantuan tidak berdasarkan kebutuhan masyarakat sehingga tidak tepat guna. Masyarakat merasa pemerintah tidak pernah memperhatikan masyarakat yang tinggal di pulau-pulau. Rendahnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah menjadi penghambat dalam pembangunan sektor perikanan di Kabupaten Raja Ampat.
ii. Kerjasama di antara Anggota Masyarakat Pada umumnya kerjasama diantara anggota masyarakat untuk berbagai kegiatan sudah baik. Dalam hal menjaga sumberdaya laut masyarakat memiliki kerjasama yang sangat baik. Jika anggota masyarakat ada yang melihat pelaku pengrusakan baik di darat maupunn di laut maka anggota masyarakat tersebut bersama-sama menegur pelaku pengrusakan tersebut. Biasanya nelayan yang melakukan penangkapan dengan alat tangkap yang merusak merupakan nelayan dari luar Raja Ampat.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
199
Laporan Teknis
iii. Kelembagaan Sosial Kelembagaan sosial dalam bentuk kelompok-kelompok di masyarakat pada dasarnya sudah ada. Meski sudah ada beberapa kelompok nelayan yang terdaftar dalam data dinas, pada praktiknya kelompok-kelompok tersebut tidak berjalan. Kelompok nelayan hanya berjalan pada saat program masih berlangsung sehingga kelompok yang sudah terbentuk banyak yang pasif, hanya terlihat aktif manakala akan ada bantuan. Kesadaran berorganisasi nelayan juga masih sangat rendah. Kesalahan selama ini yang terjadi di masyarakat yaitu kelompok-kelompok yang ada yang sudah dibentuk oleh satu instansi, tidak diberdayakan pada saat ada program baru dari instansi lain. Program yang ada membentuk kelompok baru yang berbeda dari kelompok yang sudah terbentuk sebelumnya. Dari sisi kelembagaan sosial keberadaan kelompok usaha bersama belum aktif dalam kegiatan berorganisasi sehingga kelembagaan sosial dinilai masih lemah. Namun untuk organisasi yang sifatnya keagamaan pola kerjasama masyarakat dalam berorganisasi berlangsung baik. Hal ini menjadi modal sosial yang cukup besar untuk menyatukan anggota masyarakatnya tanpa melihat status dan kekayaan.
iv. Sistem Nilai Kolektif Kabupaten Raja Ampat merupakan suatu wilayah yang sangat unik dengan rangkaian pulau-pulau baik besar maupun kecil, yang sangat mempengaruhi budaya dan sistem nilainya. Selain itu, kawasan ini merupakan daerah perbatasan antara kelompokkelompok bahasa dan budaya di sebelah barat, yaitu kelompok bahasa dan budaya di Kepulauan Maluku dan kelompok-kelompok bahasa dan budaya di Papua. Dengan kondisi geografis, yang merupakan wilayah kepulauan dan wilayah paling barat dari rangkaian kepulauan pulau besar New Guinea, Kepulauan Raja Ampat menjadi daerah yang secara antropologis dan linguistis merupakan daerah yang mendapat sebutan keragaman (an area of diversity) (Kabupaten Raja Ampat, 2012). Secara keseluruhan, sebagai penghuni wilayah lautan, mereka memiliki sistem nilai kolektif yang berorientasi ke laut. berbagai aktivitas berorientasi pada keberlanjutan sumberdaya laut. Sistem nilai kolektif ini melahirkan adanya sistem pengelolaan sumberdaya dengan sistem Sasi, dimana Sasi digunakan untuk menjaga keberlangsungan dan kelestarian sumberdaya. Sasi ini juga berlaku untuk sumberdaya daratan seperti hutan. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
200
Laporan Teknis
Wilayah sumberdaya laut dan darat yang disasi tidak boleh dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitarnya. Pemanfaatan wilayah tersebut dibolehkan pada saat sasi dibuka pada waktuwaktu yang sudah ditentukan. Sasi yang ada di masyarakat dapat dibagi dua yaitu sasi adat dan sasi agama. Sehingga dalam menutup dan membuka sasi harus melibatkan tokoh adat dan agama pada masyarakat setempat. Selain sasi adat dan agama, sistem nilai lain yang dianut oleh masyarakat yaitu pengaturan konservasi yang ditetapkan secara formal. Wilayah-wilayah yang ditetapkan sebagai wilayah konservasi tidak boleh dimanfaatkan. Wilayah konservasi dianggap sebagai bank ikan untuk generasi mendatang. Penetapan konservasi secara formal juga melibatkan tokoh-tokoh masyarakat baik tokoh adat maupun agama setempat. Mereka juga mengenal pantangan melaut pada hari minggu karena dianggap waktu beribadah. Hal ini meskipun tidak berlaku bagi nelayan yang beragama Islam, namun mereka pada umumnya ikut meliburkan diri pada hari tersebut.
v.
Agama dan kepercayaan Mayoritas masyarakat nelayan di Kabupaten Raja Ampat beragama Kristen
protestan yang disebarkan oleh para misionaris Kristen dari Belanda. Selain Kristen protestan, masyarakat juga beragama Islam. Karakteristik masyarakat berdasarkan agama memiliki perbedaan antar satu pulau dengan pulau lainnya. Ada pulau yang terdiri dari salah satu agama saja seperti Islam atau Kristen saja, namun ada juga yang terdiri dari dua agama. Kerukunan cukup terjaga bagi masyarakat yang tinggal di pulau dengan dua agama. Mereka yang muslim biasanya ikut libur melaut pada hari minggu meskipun mereka tidak mengikuti kebaktian. Masyarakat yang beragama Islam biasanya berasal dari luar pulau dan menikah dengan penduduk setempat, sehingga keturunannya juga memeluk agama Islam. Pendatang dari luar biasanya berasal dari Buton dan kepulauan lainnya. Mayoritas penduduk kampung Sawinggrai beragama Kristen Protestan yang sisanya beragama muslim. Masyarakat yang beragama islam biasanya berasal dari luar daerah yng kemudian kawin dengan masyarakat setempat. Sehingga anaknya ikut memeluk agama islam. Nilai-nilai ajaran agama masing-masing diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan mematuhi perintah agama dan menjauhi larangan agama. Mereka yang beragama Kristen mematuhi untuk tidak melaut pada hari Minggu. Mereka yang melanggar akan dikenakan sanksi, namun hingga saat ini tidak ada nelayan yang Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
201
Laporan Teknis
melaut pada hari minggu. Selain keyakinan agama, nelayan juga meyakini tradisi Sasi yang diberlakukan harus dipatuhi. Jika melanggar maka orang yang melanggar akan terkena kutukan dari Sang Maha Pencipta yaitu kematian atau penyakit.
4.4.6.2 Aset Manusia i.
Kemampuan untuk mengakses peluang yang ada Kemampuan mengakses peluang yang ada masih terkendala pada sektor
permodalan dan teknologi.Untuk pemanfaatan sumberdaya laut, teknologi armada yang digunakan tidak dapat menjangkau lokasi yang jauh serta pada saat gelombang besar mereka tidak dapat melaut. Dengan teknologi yang memadai dapat meningkatkan luas daerah tangkapan dan berakibat pada peningkatan hasil tangkapan. Peluang yang potensial untuk dikembangkan oleh masyarakat nelayan adalah budidaya karamba dan pengolahan hasil tangkapan. Namun karena terkendala modal dan minimnya pelatihan, nelayan hanya berfokus pada kegiatan penangkapan. Minimnya bantuan serta bimbingan dari pemerintah menyebabkan nelayan tidak mampu mengalihkan kegiatan ekonomi utamanya tidak hanya ke perikanan tangkap. Hal ini berdampak pada rendahnya kemampuan nelayan dalam mengakses peluang yang ada. Ketidakmampuan mengambil peluang yang ada menyebabkan mereka sangat rentan terhadap perubahan iklim. Hal ini disebabkan karena sektor perikanan tangkap sangat dipengaruhi oleh kondisi angin dan gelombang. Manakala teknologi yang ada tidak cukup memadai untuk dapat mengakses peluang-peluang yang ada.
ii.
Pendidikan Pendidikan masyarakat di Raja Ampat masih tergolong rendah. Hal ini antara lain
disebabkan minimnya keberadaan sekolah di wilayah-wilayah kepulauan. Demikian juga dengan tenaga pengajar yang masih sangat terbatas. Faktor lainnya yang membuat tingkat pendidikan di Raja Ampat tergolong rendah karena tradisi putus sekolah di dalam masyarakatnya. Anak-anak usia sekolah lebih senang bermain dengan teman-temanny, dan faktor banyaknya mereka yang putus sekolah karena harus menikah. Banyak anak sekolah juga yang lebih senang ikut melaut untuk membantu ekonomi orang tua mereka.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
202
Laporan Teknis
Beberapa tahun ini, memang sudah ada peningkatan taraf pendidikan di Raja Ampat. Beberapa di antara orang tua sudah mulai sadar akan pentingnya pendidikan. Hingga saat ini sudah ada yang lulus kuliah walaupun jumlahnya masih sedikit. Tidak sedikit pula mereka yang tamatan SMA dan jika dibandingkan dengan masa lalu rata-rata tingkat pendidikan mereka kini hingga jenjang SMP. Secara umum masyarakat kampung Sawinggrai memiliki tingkat pendidikan Sekolah dasar atau sederajat. Tabel 58. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan No Tingkat Pendidikan 1 Tamat / tidak tamat SD 2 SD 3 SMP 4 SLTA 5 Perguruan Tinggi (Akademik/Sarjana) Total
Jumlah (orang) 86 76 12 16 5 195
Prosentase () 44,79 38,02 6,25 9,37 1,56 100,00
(sumber: Susanto, 2009)
iii. Wawasan Wawasan mengenai kondisi dan dinamika alam cukup baik. Mereka juga mengetahui tentang perubahan iklim yang terjadi melalui televisi.Namun terkait dengan perubahan iklim yang saat ini mereka merasa tidak lagi dapat memperediksi alam terutama musim. Sehingga mereka harus belajar lagi mengenai iklim dan perubahannya. Wawasan masyarakat tentang hal-hal lainnya seperti kondisi politik, ekonomi, dan sebagainya cukup baik. Rata-rata mereka telah memiliki televisi sehingga mereka mengetahui informasi menganai kondisi politik, ekonomi dan perubahannya, tidak hanya di tingkat lokal tetapi juga global. Wawasan mengenai berbagai hal mereka peroleh juga dari teman-teman nelayan atau sesama anggota masyarakat melalui aktivitas berbincangbincang atau bersenda gurau di antara mereka.
iv. Perasaan (empati-simpati) Perasaan simpati di antara anggota masyarakat sudah cukup baik. dalam keseharian masyarakat nelayan masih memiliki perasaan simpati manakala ada tetangga mereka yang sedang tertimpa bencana atau mengadakan pesta, baik pesta pernikahan atau syukuran. Masyarakat secara sukarela datang dan ikut membantu dalam menyiapkan kegiatan tersebut.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
203
Laporan Teknis
v.
Komitmen Pada umumnya, komitmen masyarakat di Raja Ampat sangat baik terutama dalam
hal memelihara ekosistem. Setiap keputusan dan kesepakatan yang sudah dibuat dilaksanakan dengan baik. Hal ini juga dalam mematuhi aturan-aturan yang ada, baik aturan adat, agama dan hukum formil. Jika ada pihak atau anggota masyarakat yang melanggar kesepakatan yang ada biasanya dikucilkan oleh anggota masyarakat lainnya. Hal ini dapat dilihat salah satunya pada saat mereka bersama-sama memutuskan untuk menjaga wilayah konservasi di laut. Mereka semua menjaga dan ikut terlibat dalam pengawasan. Pada saat pemerintah melarang penggunaan alat tangkap jaring, masyarakat secara serentak mematuhi aturan tersebut dan bersama-sama menggunakan alat tangkap pancing seperti yang telah mereka gunakan berdasarkan tradisi nenek moyang mereka.
vi. Keterampilan Keterampilan nelayan dalam mengembangkan potensi ekonomi alternatif masih membutuhkan pelatihan dan pendampingan. Selain kegiatan penangkapan ikan, mereka dapat melakukan pengolahan hasil perikanan, pertanian, dan keterampilan membuat kerajinan tangan.Saat ini mereka hanya mengolah ikan yang tidak terjual menjadi ikan garam atau ikan asin saja. Pengolahan hasil perikanan memiliki prospek yang cerah karena bahan baku cukup tersedia. Keterampilan nelayan akan lebih baik apabila didorong, dibimbing serta pelatihan demi peningkatan kemampuan dan keahlian dalam mengembangkan potensi ekonomi yang ada. Pada dasarnya masyarakat memiliki kemauan untuk mengembangkan keterampilan yang mereka miliki mengingat sumberdaya bahan baku yang sangat besar. Keterampilan yang ada saat ini masih sebatas dikelola secara tradisional dan turun temurun sehingga belum dapat mengembangkan usaha pengolahan hasil perikanan secara maksimal.
4.4.6.3 Aset Fisik i.
Sarana dan prasarana transportasi umum Sarana dan prasarana transportasi umum dari dan menuju pulau pada dasarnya
sudah ada berupa longboat atau ketinting yang diberikan oleh pihak Dinas perikanan setempat. Jumlah yang tersedia masih sangat terbatas, serta permasalahan keterbatasan bahan bakar. Untuk transportasi di ibukota kabupaten masih mengandalkan ojek sepeda Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
204
Laporan Teknis
motor dan taksi sewaan. Selain itu, ada juga taksi umum dari ibukota kabupaten menuju Teluk Mayalibit satu kali pada pagi hari dan sore hari. Kondisi jalan di ibukota kabupaten saat ini masih pada tahap pembuatan jalan beton dan masih terbatas. Untuk lokasi-lokasi yang jauh dari ibukota kabupaten kondisi jalan masih tanah berbatu sehingga licin dan membutuhkan waktu lama untuk dapat menjangkau lokasi tersebut. Untuk sarana dermaga di Raja Ampat sudah cukup memadai namun masih membutuhkan perbaikan peningkatan sarana dan prasarana. Untuk sarana dan prasarana transportasi pengangkutan hasil perikanan hingga saat ini dirasakan masyarakat masih terbatas. Kapal yang dapat mengangkut hasil perikanan ke luar pulau masih minim dan tergolong mahal, sehingga untuk menjual atau memasarkan hasil perikanan masih terkendala. Bandara yang ada belum berfungsi.
ii. Sarana dan prasarana keuangan Sarana dan prasarana keuangan berupa bank belum memadai di pulau-pulau. Keberadaan Bank hanya ada di ibukota kabupaten. Hal ini membuat nelayan sulit untuk mengakses lembaga keuangan formal. Lembaga peminjaman uang yang dibentuk oleh Coremap saat ini masih berjalan namun karena program coremap sudah selesai maka pengolahannya sangat minim, karena masyarakat masih belum dapat mengolah kelembagaan keuangan yang lebih modern. Keberadaan lembaga simpan pinjam di masyarakat saat ini masih dimanfaatkan oleh nelayan namun besarnya uang yang dapat diakses sangat terbatas dan tidak dapat digunakan untuk pengembangan usaha ke skala lebih besar.
iii. Sarana dan prasarana pengairan Masalah air bersih masih menjadi persoalan utama. Masyarakat merasa kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama pada musim kemarau. Mereka saat ini masih menggunakan air payau pada wilayah-wilayah pulau. Sumber air bersih berupa bak-bak penampungan sebenarnya sudah terdapat di dekat lokasi-lokasi penelitian dan penyaluran ke rumah-rumah menggunakan pipa. Sumber air bersih di pulau-pulau tertentu berasal dari pegunungan yang dialirkan melalui pipa-pipa.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
205
Laporan Teknis
iv. Sarana dan prasarana keenergian Sarana dan prasarana di bidang energi masih membutuhkan peningkatan. Untuk keperluan bahan bakar khususnya untuk melaut, nelayan masih kesulitan karena terkadang di ibukota kabupaten sendiri masih sering terjadi kelangkaan bahan bakar. Hal ini semakin sulit dirasakan bagi nelayan yang hidup di pulau-pulau, meskipun nelayan di Raja Ampat banyak yang tidak bergantung pada bahan bakar minyak karena menggunakan sampan dayung tanpa mesin. Permasalahan energi lainnya yaitu permasalahan listrik yang masih sangat minim pengoperasiannya. Tidak hanya untuk wilayah pulau-pulau, di wilayah ibukota kabupaten, masalah listrik juga masih cukup dirasakan, pemadaman bergilir masih sering terjadi, bahkan terkadang hampir setiap hari meskipun sudah 24 jam pengoperasiannya. Untuk wilayah pulau-pulau, pengoperasian listrik hanya 6 jam yaitu mulai jam 18.00 WIT hingga pukul 24.00 WIT. Sumber listrik yang ada juga bersumber dari sumber energi diesel.
v.
Sarana dan prasarana relevan lainnya Sarana dan prasarana yang terkait dengan pengembangan usaha nelayan masih
belum memadai. Dilihat dari posisi wilayah kepulauan, masih sangat jauh dari memadai seperti listrik, SPDN atau SPBU, sarana transportasi antarpulau, TPI atau PPI,pasar dan sarana prasarana lainnya seperti pemancar telekomunikasi. Masih banyak pulau-pulau yang tidak dapat terjangkau dengan sarana prasarana komunikasi sehingga sulit untuk berhubungan dengan masyarakat luar pulau secara cepat, terutama dalam segi pemasaran.
4.4.6.4 Aset Produksi Aset produksi di Raja Ampat memiliki keseragaman alat tangkap. Mereka semuanya merupakan pemilik perahu dan alat tangkap sendiri. Perahu yang mereka miliki tergolong kecil dan tidak menggunakan mesin yaitu sampan dengan alat tangkap pancing ikan dasar dan ikan karang. Biaya operasional yang dibutuhkan tiap kali melaut tidak besar, biasanya bahan bakar yang dibutuhkan hanya satu hingga tiga liter. harga per liternya sebesar 10.000 rupiah. Nelayan tidak lupa membawa rokok sebanyak satu bungkus. Harga rokok per satu bungkus yaitu 15.000 rupiah. Untuk kebutuhan ransum biasanya nelayan membawa biscuit untuk kudapan pada saat melaut. Besarnya uang untuk
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
206
Laporan Teknis
ransum tersebut biasanya 5000 rupiah. Air putih juga dibawa sebanyak satu botol ukuran 600 liter.
4.4.6.5 Aset Alam i.
Sumberdaya perikanan tangkap Perekonomian nelayan di seluruh pulau di Raja Ampat mengandalkan alat tangkap
pancing ikan dasar atau ikan karang. Sumberdaya perikanan tangkap menjadi sumber perekonomian yang diandalkan oleh seluruh masyarakat. Potensi perikanan yang sangat besar dengan berbagai macam jenis ikan menjadikan wilayah Kabupaten Raja Ampat sebagai sumber perikanan tangkap yang diandalkan. Jika dilihat dari fishing trip, pengoperasian sehari (one day fishing) menjadi karakteristik nelayan di seluruh lokasi di Kabupaten Raja Ampat. Nelayan biasanya melaut dari jam 06.00 pagi sampai jam 10.00 WIT, kemudian istirahat dan kembali melaut pada sore hari yaitu pukul 15.00 hingga 17.00 WIT. Fishing ground nelayan di sekitar pulau saja sehingga tidak memerlukan bahan bakar yang besar.
ii.
Sumberdaya Perikanan Budidaya Di lokasi-lokasi yang diteliti masih mengandalkan pada sektor perikanan tangkap,
pengembangan perikanan budidaya masih sangat sedikit. Budidaya rumput laut dan ikan yang bernilai ekspor masih terkendala pengetahuan dan keterampilan serta keterbatasan modal. Pada prinsipnya untuk rumput laut banyak investor yang masih meragukan keberlanjutan produksi.\Peluang investasi untuk budidaya ikan laut pada dasarnya sangat cerah dan berpeluang serta didukung oleh persediaan lokasi yang berpotensi di wilayah kepulauan dan pesisir pada umumnya. Komoditi ikan yang dibudidaya seperti ikan kerapu, Lobster, teripang, Napoleon dengan sistem Keramba Jaring Apung (KJA). Selain itu, budidaya mutiara juga cocok untuk dikembangkan secara potensial, kondisi alam dianggap sesuai karena gelombang yang besar. Selain itu, budidaya keramba jaring apung juga dapat dikembangkan melihat potensi ikan yang ada sangat bernilai ekonomis tinggi.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
207
Laporan Teknis
iii. Sumberdaya Wisata Kabupaten Raja Ampat merupakan kabupaten yang memiliki sumberdaya alam yang sangat eksotik. Keindahan alamnya membuat wilayah ini diajukan sebagai salah satu wilayah di dunia yang memiliki keunggulan. Sumberdaya laut di Kabupaten Raja Ampat sebagai pulau yang terletak di pusat jantung terumbu karang dunia dengan spesies ikan dan ekosistem lainnyasaat ini terbanyak di dunia (Kabupaten Raja Ampat, 2012). Keindahan bawah laut menjadi daya tarik bagi turis lokal dan asing untuk datang berkunjung dan menyelam untuk melihat spesies-spesies langka yang sangat indah. Sektor pariwisata saat ini sedang digalakkan di Raja Ampat dengan penentuan kampung wisata yang saat ini berjumlah 11 kampung (Dinas Pariwisata, 2012). Beberapa kampung wisata yang sudah ditentukan tersebut diberikan bantuan modal untuk membangun sarana dan prasarana seperti cottage atau penginapan. Di luar kampung wisata tersebut juga banyak ditemukan penginapan-penginapan yang pada umumnya dimiliki oleh wisatawan asing. Transaksi bagi wisatawan yang menggunakan jasa penginapan tersebut pada umumnya menggunakan dollar Amerika atau mata uang Euro. Pariwisata yang digalakkan lebih besar mengarah pada aspek wisata bahari, sehingga pengembangan potensi laut dan pesisir menjadi penting. Sektor pariwisata yang dikembangkan juga berbasis kebudayaan masyarakat setempat yang dinilai masih sangat kental dan masih dipegang kuat oleh anggota masyarakatnya. Tradisi Sasi yaitu pengaturan pemanfaatan sumberdaya yang diterapkan juga menjadi objek wisata yang menarik. Objek wisata pemberian makanan untuk burung cendrawasih dan ikan yang terdapat di Pulau Sawinggrai juga menjadi daya tarik wisatawan lokal dan asing. Pengembangan potensi wisata budaya tersebut terkendala oleh faktor transportasi antar pulau yang masih minim menjangkau lokasi-lokasi tersebut. Untuk menjangkau lokasi-lokasi tersebut membutuhkan speedboat dengan biaya sewa yang cukup tinggi. Demikian juga dengan keterbatasan bahan bakar sehingga menyulitkan untuk menjangkau wilayah-wilayah wisata tersebut.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
208
Laporan Teknis
iv. Sumberdaya Pertanian Sektor pertanian cukup prospektif sebagai mata pencaharian alternatif di Kabupaten Raja Ampat. Hal ini berlaku bagi pulau-pulau besar, sedangkan untuk pulau-pulau kecil dengan topografi wilayah batu maka pertanian tidak dapat dikembangkan. Pertanian yang berkembang yaitu sawah, kebun dan hutan. Untuk pulau-pulau tertentu memiliki luas areal pertanian yang luas dan sangat potensial, seperti di Pulau Misool dan Waigeo. Namun, saat ini sektor pertanian rentan terhadap perubahan iklim seperti peningkatan suhu dan kekeringan sehingga hasil produksinya cenderung tetap. Beberapa tahun terakhir banyak sawah yang gagal panen karena terkena kekeringan yang menyebabkan petani tidak dapat memulai masa tanam karena belum memiliki sistem pengairan yang baik dan masih tergantung pada air hujan.
4.4.6.6 Aset Finansial i.
Sistem keuangan Pada dasarnya, masyarakat memiliki akses untuk mendapatkan pinjaman baik dari
lembaga simpan pinjam, namun masih terkendala dengan jumlahnya yang masih terbatas. Peminjaman ke lembaga keuangan seperti Bank sangat sulit karena untuk mengakses bank yang ada di ibukota kabupaten membutuhkan waktu dan BBM yang besar. Selain itu, proses untuk mendapatkan pinjaman dari Bank dianggap relatif lebih sulit dan membutuhkan waktu lebih lama dibanding dengan peminjam perorangan. Sistem keuangan di masyarakat tidak ditopang oleh lembaga keuangan yang dianggap dapat membantu usaha kenelayanan. Sistem keuangan yang ada lebih pada pemusatan keuangan oleh pemilik-pemilik modal. Hal ini mengakibatkan nelayan kecil yang tidak memiliki uang kesulitan dalam mengembangkan usaha mereka. Demikian juga dengan keinginan nelayan untuk mengembangkan usaha lainnya seperti pengolahan hasil perikanan dan budidaya sangat terkendala dengan ketiadaan lembaga keuangan yang dapat membantu permodalan nelayan. Untuk Kabupaten Raja Ampat bantuan-bantuan permodalan sifatnya hanya sekedar program saja. Pada saat program berhenti maka nelayan tidak lagi memiliki kelembagaan keuangan yang dapat terus menopang usaha kenelayanan dan usaha lainnya secara umum. Pada dasarnya bantuan permodalan kepada masyarakat dinilai sudah lebih dari cukup, namun sifatnya hanya sesaat sebatas program saja. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
209
Laporan Teknis
ii. Keuangan rumah tangga Manajemen keuangan nelayan di kabupaten Raja Ampat secara keseluruhan sama dengan nelayan di lokasi lain yaitu masih tergolong tradisional. Pola hidup konsumtif atau boros terutama untuk rokok dan pinang membuat nelayan sulit untuk memiliki tabungan. Permasalahan konsumtif menjadi salah satu faktor masyarakat sulit untuk mengembangkan usaha menjadi usaha skala besar. Ketidakpastian pendapatan juga menjadi salah satu faktor pengaturan manajemen keuangan yang masih tradisional. Pengelolaan keuangan rumah tangga diperuntukan hanya untuk hari ini saja, tidak untuk menata kehidupan hari esok.
iii. Besarnya uang yang dapat diakses Sumber uang yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat di Kabupaten Raja Ampat yaitu dengan meminjam dari sanak saudara karena pada umumnya satu pulau didiami oleh mereka yang masih terdapat hubungan kekerabatan. Selain dengan kerabat, nelayan juga dapat meminjam uang kepada penadah lokal di kampung, setelah ikan terjual mereka biasanya langsung membayar hutang. Nelayan juga biasanya memanfaatkan jasa peminjaman lembaga simpan pinjam. Besarnya pinjaman biasanya tidak besar, hanya untuk keperluan rumah tangga sehari-hari atau untuk biaya operasional melaut. Untuk kebutuhan operasional melaut pun tidak besar karena kebutuhan BBM hanya sedikit karena wilayah penangkapannya tidak jauh dari pantai,dan pada umumnya nelayan menggunakan sampan dayung.
iv. Tabungan Nelayan di lokasi penelitian di Kabupaten Raja Ampat sudah memiliki kesadaran untuk menabung, namun masih menyimpan di rumah masing-masing belum menabung di lembaga keuangan formal maupun non-formal. Hal ini salah satu faktor disebabkan karena wilayahnya merupakan kepulauan sehingga terkendala sarana transportasi antar pulau. Untuk menjangkau lembaga keuangan formal seperti bank membutuhkan waktu dan BBM yang cukup besar.Jika memiliki uang lebih biasanya mereka menyimpan di orang tua atau istri, sehingga jika membutuhkan uang akan lebih mudah mendapatkannya. Nelayan di kabupaten Raja Ampat juga tidak mengenal sistem tabungan dalam bentuk perhiasan.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
210
Laporan Teknis
4.4.7 Kabupaten Biak Numfor 4.4.7.1 Aset Sosial i. Kepercayaan Di Antara Masyarakat Kepercayaan antar masyarakat masih terjaga baik. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan bersama-sama. Kehidupan sosial terlihat harmonis dan minim konflik di antara masyarakat. Di Desa Bindusi terdapat kecemburuan akan bantuan yang diterima desa atau daerah lain. Penggunaan sarana dan prasarana poenangkapan yang relative seragam mengurangi potensi konflik antar nelayan di perairan, karena hampir seluruh masayrakat nelayan masih tradisional dan belum menggunakan kapal dan alat tangkap yang modern. Akses peluang untuk menjangkau perairan yang lebih dari 5 mil juga belum dapat diakses oleh masyarakat. Padahal potensi penagkapan ikan di laut dalam dengan komoditas tuna masih belum tergarap masyarakat Biak Numfor.
ii. Kerjasama Di Antara Anggota Masyarakat Kerjasama diantara anggota masyarakat dapat dilihat dari kegiatan penangkapan di laut, dimana satu perahu dapat berisi beberapa orang dalam satu kelompok. Aktifitas kegiatan antar masyarakat yang mencerminkan kerjasama yang baik adalah saling meminjamkan sampan dan alat tangkap. Kegiatan gotong royong lain adalah pada saat kerja bakti di desa.
iii. Kelembagaan Sosial Dari sisi kelembagaan sosial keberadaan kelompok usaha bersama belum aktif dalam kegiatan berorganisasi sehingga kelembagaan sosial dinilai masih buruk. Motivasi dalam pembentukan kelompok masih berpijak pada bantuan atau bantuan kemudahan akses finansial berupa pinjaman. Namun dalam kebiasaan yang hidup di masyarakat seperti kegiatan adat dan gereja , pola hubungan masyarakat masih berlangsung baik. Perlu adanya peran pemerintah dalam memfasilitasi terbentuknya kelompok dan koperasi di tingkat masyarakat nelayan.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
211
Laporan Teknis
iv. Agama Dan Kepercayaan Mayoritas adalah pemeluk agama Kristen Seluruh desa di lokasi penelitian dalam kondisi baik. Masyarakat memegang teguh kehidupan agamanya masing-masing dan terdapat sikap toleransi yang baik antar pemeluk agama. Agama-agama yang terdapat di Kabupaten Biak Numfor antara lain: Kristen Protestan, Islam, Katolik, Hindu dan Budha.
4.4.7.2. Aset Manusia i.
Kemampuan Untuk Mengakses Peluang Yang Ada Kemampuan mengakses peluang yang ada masih terkendala pada sektor
permodalan serta sarana dan prasarana. karena pada dasarnya nelayan sudah menyadari bahwa dengan kepemilikan aset berupa perahu dengan mesin dan alat tangkap yang memadai dapat meningkatkan luas daerah tangkapan dan akan berakibat pada peningkatan hasil tangkapan. Peluang yang potensial untuk dikembangkan oleh masyarakat nelayan adalah perikanan tangkap, budidaya rumput laut, karamba, pengolahan hasil tangkapan serta pengembangan pariwisata. Namun karena terkendala modal dan keterampilan nelayan hanya berfokus pada kegiatan penangkapan. Minimnya bantuan serta bimbingan dari pemerintah menyebabkan nelayan tidak mampu mengalihkan kegiatan ekonomi utamannya. Hal ini berdampak pada rendahnya kemampuan nelayan dalam mengakses peluang yang ada.
ii. Pendidikan Kesadaran dan tingkat partisipasi masyarakat nelayan di Kabupaten Biak Numfor terhadap pendidikan pada umumnya dalam
kondisi baik. Sebagian besar masyarakat
mampu mengakses pendidikan hingga tingkat SMA dan Perguruan Tinggi. Hal ini tak lepas dari meningkatnya kesadaran masyarakat nelayan akan pentingnya pendidikan
iii. Wawasan Akibat perubahan iklim, wawasan nelayan terkait kondisi dan dinamika alam menemui kesulitan dalam hal memprediksi kalender musim penangkapan. Pola adaptasi masyarakat cenderung kea rah difersifikasi usaha dengan mengalihkan posisi aktifitas (geografi) antara di darat dengan di laut. Kondisi wawasan terkait dengan pengetahuan formal dapat dikategorikan masih baik karena arus informasi yang mudah diakses. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
212
Laporan Teknis
iv. Perasaan (empati-simpati) Perasaan simpati dan empati di antara masyrakat dalam kondisi baik, hal tersebut tercermin dalam pola keakraban dalam kehidupan sehari-hari antar nelayan. Perasaan simpati dan empati juga ditunjukan lewat solidaritas jika ada warga yang sakit, kesulitan ekonomi yang mendorong masyarakat untuk saling tolong-menolong, hal ini tak lepas dari pengaruh ajaran ke-agamaan terkhususnya Kristen dalam meningkatkan rasa empati dan simpati antar sesame manusia.
v.
Komitmen Komitmen yang dipegang oleh masyarakat Biak Numfor dinilai dalam kondisi
baik, hal ini dapat dilihat dari kegiatan masyarakat yang seringkali meminjamkan sampan kepada warga masyarakat yang lain. Hal ini menunjukan bahwa kepercayaan dan komitmen antar anggota masyarakat terjalin dengan baik. Kegiatan pembiusan dan pemboman yang sudah jauh berkurang merupakan cerminan anggota masyarakat yang menepati komitmen dengan menjaga kelestarian sumber daya laut.
vi. Keterampilan Keterampilan nelayan dalam mengembangkan potensi ekonomi alternatif selain kegiatan penangkapan masih kurang, kecuali di sektor pertanian dan peternakan. Hal tersebut dapat ditemui di Desa Bindusi, Biak Timur. Hal tersebut dikarenakan kurangnya sentuhan dan dorongan pemerirtah dalam hal bantuan dan bimbingan. Terkait dengan pengembangan keterampilan yang mengarah pada pengembangan portensi ekonomi dinilai masih belum optimal. Hal tersebut tak lepas dari keinginan masyarakat untuk mau mengembangkan keahlian dan tenaganya untuk mengembangkan potensi lain, seperti: budidaya ikan darat, budidaya teripang, budidaya rumput laut, usaha pariwisata, pengolahan hasil tangkapan serta jasa kemasyarakatan.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
213
Laporan Teknis
4.4.7.3 Aset Fisik i. Sarana dan Prasarana Transportasi Umum Sarana dan prasarana transportasi umum berupa jalan dan dermaga dinilai masih memadai, armada angkutan umum berupa kendaraan bermotor sudah cukup baik. Untuk di daerah kepulauan, transportasi umum berupa perahu kurang memadai karena intensitas transportasi masih rendah. Sarana transportasi umum laut masih dapat dikategorikan sedang karena intensitas transportasi antar pulau masih tergolong rendah. Sarana transportasi umum udara sudah dapat dikategorikan baik, karena keberadaan Bandara Frans Kaisiepo.
ii. Sarana Dan Prasarana Keuangan Sarana dan prasarana keuangan berupa bank sebenarnya sudah dapat diakses oleh nelayan, namun karena ketiadaan agunan serta proses administrasi yang cukup merumitkan bagi nelayan, maka nelayan mengurungkan niatnya untuk meminjam uang ke bank. Ditambah lagi bunga pinjaman yang dirasa cukup memberatkan bagi nelayan. Namun sarana dan prasarana keuangan dalam kondisi sedang. Sarana dan prasarana keuangan yang tersedia antara lain: Bank, Kantor Pos, Koperasi simpan pinjam (keliling).
iii. Sarana Dan Prasarana Keenergian Sarana dan prasarana di bidang energi dinilai masyarakat sudah cukup memadai. Pasokan listrik di lokasi penelitian sudah 24 Jam sedangkan untuk di Pulau-pulau menggunakan tenaga diesel. Karena mayoritas masyarakat nelayan menggunakan perahu sampan maka ketiadaan SPBN belum signifikan mempengaruhi aktifitas penangkapan di laut.
iv. Sarana Dan Prasarana Relevan Lainnya Sarana dan prasarana yang dinili relean dengan kegiatan pengembangan ekonomi masyarakat yang berhasil diidentifikasi dalam penelitian ini diantaranya adalah: a. Kondisi Pasar Ikan baik b. Jaringan Telepon kurang sedang c. Kondisi Rumah Permanen buruk d. Kondisi Dermaga sedang
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
214
Laporan Teknis
e. Air bersih baik f.
MCK baik
4.4.7.4 Aset Produksi i.
Nelayan Perikanan Tangkap Alat tangkap yang teridentifikasi di lokasi penelitian di Desa Yenusi, Woniki dan
Bindusi adalah pancing, jaring insang (Gill Net) dan alat tangkap lainnya. Jenis kapal yang beroperasi antara lain: perahu dayung tanpa mesin (sampan), motor temple dan kapal motor. Alat tangkap didominasi oleh Pancing yaitu sebanyak 5.362 unit, Jaring Insang (Gill Net), dan alat tangkap lainnya 1.949 unit. Perahu tanpa motor 4.845, Motor tempel 1.257 dan kapal motor hanya 36 buah (Biak Numfor Dalam Angka 2010). Sebagian besar nelayan yang menjadi objek observasi di Kabupaten Biak Numfor telah memiliki alat sendiri, dengan modal berasal dari milik sendiri (mandiri). Karena keterbatasan modal maka aset produksi yang digunakan sebagain besar nelayan masih tradisional yaitu didominasi oleh sampan dengan alat tangkap yang sederhana yaitu pancing dan jaring.
ii. Pembudidaya Rumput Laut Di bidang budidaya rumput laut, di lokasi penelitian belum berkembang karena faktor kondisi alam yang tidak mendukung, namun menurut informasi di Kabupaten Biak Numfor budidaya rumput laut dikembangkan di Distrik Padaido dan Aimando.
iii. Karamba Jaring Apung Di lokasi penelitian tidak terdapat karamba jaring apung. Namun menurut informasi di daerah pulau lain dikembangkan budidaya teripang yaitu di distrik Padaido dan Aimando serta ikan kerapu. Hal ini disebabkan belum terbukanya pola pikir masyarakat tentang pengembangan usaha karamba jaring apung. Faktor dominan yang tidak kalah penting adalah dorongan dan bimbingan dari pemerintah terkait pengembangan usaha karamba jaring apung. Kondisi budidaya karamba jaring apung belum terlihat sehingga dapat dikategorikan dalam kondisi buruk.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
215
Laporan Teknis
4.4.7.5
Aset Alam Analisis tentang sumberdaya alam dikaitkan dengan fungsinya sebagai penyedia
daya dukung alamiah yang menghasilkan nilai manfaat bagi penghidupan masyarakat di lokasi penelitian.
i. Sumberdaya perikanan tangkap Kondisi sumber daya perikanan tangkap di lokasi penelitian masih dalam kondisi yang baik. Hal ini tak lepas dari tidak adanya lagi aktifitas penangkapan dengan menggunakan bom dan bius. Kondisi terumbu karang yang membaik mendorong aset sumber daya alam laut menjadi meningkat. Hal ini membuat sumber daya perikanan tangkap di Kabupaten Biak Numfor cukup potensial. Ditambah lagi dengan penggunaan perahu dan alat tangkap yang masih tradisional yang meminimalisir adanya over fishing.
ii. Sumberdaya Perikanan Budidaya Kondisi sumberdaya perikanan budidaya di lokasi penelitian belum berkembang secara optimal. Hanya sebagia kecil masyarakat nelayan yang mengembangkan budidaya perikanan. Hal ini tak lepas dari kemauan dan tekad masyarakat, dorongan dan bimbingan pemerintah, akses modal dan kondisi potensi sumber daya alam.
iii. Sumberdaya Wisata Sumberdaya wisata di Kabupeten Biak Numfor dikategorikan menjadi tiga potensi wisata, yaitu wisata alam, budaya dan sejarah. Wisata alam meliputi: Pantai Wari, Pantai Korem, Pantai Adoki, Pantai Yenindori dan Imfendi, Pantai Parai, Pantai Segara Indah, Pantai Bosnik, Pantai Marauw, Pantai Anggaduber, Wisata Bawah Laut Padaido Bawah, Wisata Bawah Laut Padaido Atas, Air Terjun Wapsdori dan Teluk Wardo, Taman Anggrek dan Burung Adennis. Wisata budaya antara lain:Museum Cendrawasih, sanggar seni ukir tradisional,
Wisata Sejarah: Situs Goa Binsari, Water Basis, Tugu Perang Dunia II,
Markas Besar Pac Artur. Sumberdaya wisata di Kabupaten Biak Numfor sangat potensial untuk dikembangkan terutama di daerah kepulauan Padaido. Hal ini sejalan dengan visi Kabupaten Biak Numfor yang erat kaitannya dengan pengembangan sektor jasa pariwisata. Perlu adanya promosi dan pengembangan sarana dan prasarana pariwisata termasuk transportasi dari luar daerah Biak Numfor agar memudahkan para wisatawan. Namun Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
216
Laporan Teknis
menurut pengakuan masyarakat kondisi sumberdaya wisata buruk karena tidak dikelola dengan baik.
iv. Sumberdaya Pertanian Sumberdaya Pertanian di Kabupaten Biak Numfor, khususnya di lokasi penelitian didukung oleh ketersediaan lahan yang cukup luas. Kendala yang ditemui adalah ketersediaan air yang terbatas dengan tadah hujan sebagai sumber utama pengairan. Komoditas pertanian di Biak Numfor antara lain: umbi-umbian, singkong, talas, jagung, kacang panjang, sawi, kol, terong, buncis, pinang, merica, kangkung, timun, sagu, tomat, durian, nangka, cempedak. Sektor Pertanian adalah sektor vital yang mendukung aktifitas ekonomi masyarakat. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat Biak Numfor melakukan diversifikasi usaha yaitu kegiatan penagkapan di laut, budidaya pertanian dan peternakan. Namun hasil pendapatan terbesar dari masyarakat adalah di bidang perikanan tangkap, sektor pertanian dan peternakan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga masyarakat (subsisten).
4.4.7.6
Aset Finansial
i. Sistem keuangan (termasuk kemudahan dan kesulitan akses) Kondisi aset finansial masyarakat nelayan Kabupaten Biak Numfor khususnya dalam hal kemudahan dan kesulitan akses keuangan dapat dikategorikan sedang. Hal ini tak lepas dari fluktuasi hasil tangkapan ikan di laut yang mampu ditopang oleh pendapatan masyarakat yang berasal dari kegiatan budidaya pertanian dan peternakan. Diversifikasi usaha tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga. Sisa keuntungan diversifikasi rumah tangga sebagian besar terserap di pengeluaran kebutuhan rumah tangga, belum sampai pada tahap pengembangan usaha karena keuntungan yang terbatas. Terkait dengan permodalan, sebagian besar nelayan tidak bergantung pada pihak lain. Masyarakat telah mandiri dalam mengakses alat produksi berupa sampan, perahu, alat tangkap dan tanah pertanian. Masyarakat nelayan di lokasi-lokasi penelitian sudah menyadari akan kehadiran lembaga keuangan formal. Lembaga keuangan formal yang ada antara lain bank, kantor Pos, dan koperasi simpan pinjam keliling. namun hanya sebagian masyarakat saja yang dapat mengakses fasilitas pinjaman lembaga keungan tersebut. Hal
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
217
Laporan Teknis
ini tidak lepas dari informasi yang terbatas, kesulitan penyediaan agunan dan syarat pinjaman dan bunga pinjaman yang dirasa masih memberatkan nelayan.
ii. Keuangan rumah tangga (pendapatan) Pendapatan nelayan yang tidak menentu karena sesuai dengan hasil tangkapan dan hasil tangkapan sangat dipengaruhi oleh musim. Cuaca yang kurang baik akan menyebabkan produksi perikanan menurun, sehingga secara ekonomi akan menyebabkan peningkatan harga. Dampak secara ekonomi ini terhadap pengguna sumberdaya khususnya nelayan menyebabkan pendapatan rumah tangga berkurang. Saat cuaca ekstrim nelayan tidak berani melaut. Saat cuaca ekstrim tersebut harga ikan dipasar cukup tinggi namun jumlah tangkapan nelayan menurun (cenderung rendah). Tekanan alam ini menyebabkan menurunnya pendapatan nelayan, meningkatnya biaya operasional dalam melakukan usaha. Diversifikasi usaha yang dilakukan masyarakat nelayan mampu menopang kondisi keuangan rumah tangga masyarakat. Ketika cuaca tidak memungkinkan untuk melakukan aktifitas di laut maka masyarakat beralih ke darat dengan melakukan kegiatan pertanian dan peternakan. Hal ini cukup membantu kondisi keuangan masyarakat dan mendukung ketahanan pangan rumah tangga.
iii. Besarnya uang yang dapat diakses Besarnya uang yang dapat diakses menurut masyarakat, masih dirasa sedang dan cukup. Hal ini tercermin dari tidak terikatnya masyarakat nelayan pada modal dari pihak lain. Faktor utama yang mempengaruhi adalah pola diversifikasi usaha yang dilakukan masyarakat dengan tidak bergantung pada satu jenis usaha. Tidak ada nominal pasti besaran uang yang dapat diakses, namun sebagian masyarakat nelayan mengaku masih dapat hidup cukup.
iv. Tabungan Nelayan sebagian besar memiliki tabungan baik tabungan di lembaga keuangan formal maupun non-formal. Namun pola konsumtif dapat menghalangi masyarakat untuk dapat menabung.kondisi tabungan masyarakat nelayan di loksi penelitian dalam kondisi sedang.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
218
Laporan Teknis
4.5. Perubahan yang Terjadi Akibat Perubahan Iklim dan Adaptasi yang Dilakukan 4.5.1 Kabupaten Pangkep 4.5.1.1 Kejadian terkait perubahan iklim yang mempengaruhi struktur ekonomi Kejadian terkait perubahan iklim dengan melihat besaran frekuensi, derajat bencana dan dampaknya serta tingkat kemampuan adaptasi yang mempengaruhi struktur ekonomi di Kabupaten Pangkep ditampilkan pada Tabel 59. Tabel 59. Bentuk perubahan parameter iklim dan pengaruhnya pada struktur ekonomi Perubahan parameter iklim
Peningkatan suhu Peningkatan curah hujan Kekeringan Intrusi air laut Banjir Coral bleaching Gempa bumi Rob Abrasi Pergeseran musim
Apakah terjadi beberapa tahun terakhir
Frekuensi
Derajat bencana
Dampaknya
Kemampuan adaptasi
1
-
1
2
x
-
-
-
-
1 1
1 1
1 1
1 1
X X
-
-
-
-
X
1 3 3
1 2 3
1 2 3
2 2 1
Total kerentanan
0
2 2
1 5 8
= ada; x = tidak ada 3 = tinggi; 2 = sedang; 1 = rendah Sumber : data primer diolah (2012)
Keterangan:
Bentuk perubahan ikllim yang sangat dirasakan oleh nelayan di Kabupaten Pangkep adalah ketidakmampuan memprediksi musim karena menurut pengakuan mereka, musim telah bergeser dan mempersulit dalam memperkirakan musim yang akan datang. Permasalahan ini sudah terjadi semenjak 3 tahun yang lalu. Hal ini berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi, terutama kegiatan penangkapan di laut. Mereka harus berupaya keras untuk menentukan kapan hari melaut. Ketika berada di tengah laut, tak jarang kegiatan melaut mereka terhalang oleh ombak dan angin kencang, yang menyebabkan mereka harus menghentikan sementara kegiatan penangkapan dengan mengevakuasi diri ke pulau terdekat. Produktivitas nelayan berkurang akibat tidak melaut akibat hambatan cuaca.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
219
Laporan Teknis
Tabel 60. Pergeseran Musim di Kabupaten Pangkep Musim Angin Musim Barat - Dulu - Sekarang Musim Timur - Dulu - Sekarang Pancaroba - Dulu - Sekarang
1 X X
2
X
3
4
5
8
9
10
11
12
X
X
X
X X
X
X
X X
X
Bulan 6 7
X
X
X
X X
X
X X
X
X
X
Sumber : Data Primer diolah (2012)
Perubahan iklim berdampak pada kesulitan nelayan dalam memprediksi musim berdasarkan arah angin sehingga sulit pula mengetahui kalender musim penangkapan ikan. pengaruh yang paling besar adalah berkurangnya waktu dalam kegiatan penangkapan di laut karena angin kencang atau ombak besar sehingga mengakibatkan berkurangnya hasil tangkapan. Dampak lain dari perubahan iklim adalah peningkatan suhu yang juga mempengaruhi tingkat salinitas yang berdampak pada pertumbuhan rumput laut dan tambak budidaya hingga menyebabkan gagal panen. Ombak besar turut menjadi hambatan karena dapat merusak aset produksi berupa kapal, alat tangkap, karamba jaring apung dan bentangan rumput laut. Oleh karena permasalahan tersebut nelayan membutuhkan biaya perbaikan hingga kembali memberikan alasan bagi nelayan untuk meminjam uang kepada pengumpul. Perubahan terhadap akses terhadap sumber keuangan juga terjadi. Hal ini dikarenakan hasil tangkapan berkurang karena jam melaut yang berkurang, maka nelayan tidak mampu membayar hutang pada pengumpul. Hal ini berdampak pada kesulitan pengumpul mengembalikan pinjaman dan melakukan pinjaman kembali ke Bank. Pengembalian pinjaman kepada pengumpul yang sering terlambat sangat memberatkan pengumpul, karena modal pengumpul juga berasal dari pinjaman ke Bank. Jika nelayan kesulitan mengakses sumber keuangan dari pengumpul, maka biasanya nelayan akan mencari sumber keuangan dari pengumpul yang lain.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
220
Laporan Teknis
Selayar
500.000
12
8
-
Buton
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 12
2500000
Pergeseran awal kemarau Pangkep Pergeseran awal penghujan Pangkep Trip / tahun Pangkep Linear (Trip / tahun Pangkep)
Wakatobi
12 8
4
1250000
Raja Ampat
800.000
0
Pergeseran awal kemarau Buton Pergeseran awal penghujan Buton Trip / tahun Buton Linear (Trip / tahun Buton)
0
4
0
0
Pergeseran awal kemarau Ampat Pergeseran awal penghujan Ampat Trip / tahun Raja Ampat Linear (Trip / tahun Raja Ampat)
Pergeseran awal kemarau Wakatobi Pergeseran awal penghujan Wakatobi Trip / tahun Wakatobi Linear (Trip / tahun Wakatobi)
Biak
2.000.000
12 8
400.000
4
0
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
-
0
Pergeseran awal kemarau Selayar Pergeseran awal penghujan Selayar Trip / tahun Selayar Linear (Trip / tahun Selayar)
8
2.500.000
4
-
0
Pergeseran awal kemarau Sikka Pergeseran awal penghujan Sikka Trip / tahun Sikka Linear (Trip / tahun Sikka) 5.000.000
8
200.000
4
2009
2007
2005
2003
2001
1999
1997
1995
0
1993
-
12
8
250.000
4
Pangkep
400.000
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
12
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Sikka
5.000.000
6 4
1.000.000 2 -
0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Pergeseran awal kemarau Biak Trip / tahun Biak Sebelum 2003 Linear (Trip / tahun Biak Sebelum 2003)
Pergeseran awal penghujan Biak Trip / tahun Biak Sesudah 2003 Linear (Trip / tahun Biak Sesudah 2003)
Gambar 20. Overlay perubahan awal musim dengan perubahan jumlah trip
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
221
Laporan Teknis
Berdasarkan hasil olahan data objektif dan subjektif berbagai parameter iklim di berbagai lokasi, disimpulkan bahwa gejala perubahan iklim yang paling signifikan berpengaruh terhadap kegiatan perikanan adalah pergeseran pola musim. Seperti terlihat pada Gambar 20, awal musim kemarau maupun awal musim penghujan mengalami pergeseran di semua lokasi, terutama setelah Tahun 2007. Dengan sedikit perkecualian, pergeseran musim tersebut menyebabkan kecenderungan penurunan jumlah trip dari tahun ke tahun. Perkecualian terjadi pada kasus Buton, dimana data yang ada menunjukkan jumlah trip yang cenderung meningkat. Untuk kasus Biak, jumlah trip cenderung meningkat sampai Tahun 2003; kecenderungan menurun terjadi setelah Tahun 2003, sejalan dengan terus berlangsungnya pergeseran awal musim, baik kemarau maupun penghujan. Secara kuatitatif, pengaruh dari perubahan awal musim terhadap jumlah trip cukup signifikan. Tabel 61 dan Tabel 62 menunjukkan angka-angka elastisitas jumlah trip terhadap pergeseran-pergeseran musim tersebut. Elastisitas negatif, yang menunjukkan adanya dampak berupa penurunan jumlah trip akibat pergeseran musim terjadi pada sejumlah tahun berurutan di semua lokasi. Namun demikian, pada tahun-tahun tertentu tersebut angka-angka elastisitas bernilai positif, meskipun tidak besar. Penjelasan logis yang dapat diberikan untuk gelaja ini adalah bahwa setelah mengalami dampak selama beberapa tahun, nelayan melakukan berbagai adaptasi sehingga jumlah trip kembali meningkat untuk tahun-tahun berikutnya. Namun demikian, setelah beberapa tahun selanjutnya, perubahan yang terus terjadi menyebabkan nelayan kembali terpaksa mengurangi aktivitasnya, yaitu melalui penurunan jumlah trip. Tabel 61. Elastisitas (%) jumlah trip pertahun terhadap pergeseran awal musim kemarau Kabupaten Sikka Selayar Pangkep
Tahun 1999
2000
2001
-
-1200
0,904
-0,001
-
-
-16,561 -183,433
2002
2003
2004
2005
2006
2008
2009
-
-600
-121,868
-0,001
-0,001
268,382
-
-
-
-
-0,006
-
-
-1200
-
22,694
41,261
576,406
-
-
Buton
-
0,008
-
0,066
-
-0,01407
-
-
-
Wakatobi
-
64,619
21,380
-123,864
126,519
-2,755
-
-
Raja Ampat
-0,041
-0,023
-
-0,011
0
-
-
-
- -0,012
Biak <2003
-
-
-
-
-
-712,276
-
-
-
600
Biak >2003
-
-
-
-
-
-
0,001
0,001
-
0,000
-1200
-
Sumber: data diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
222
Laporan Teknis
Tabel 62. Elastisitas jumlah trip terhadap perubahan awal musim penghujan Tahun
Kabupaten Sikka Selayar Pangkep
1999 -
2000 -
2001 -2,712
2002
2003 600,000
2004 -243,736
2005 -134,191
2006 -
2008 -
2009 -
-0,001
-
0,509
0,003
-0,001
0,000
0,002
0,000
-
-
-33,123 -366,867 -242,851
-18,912
123,786
-
-
-
-109,091
-
-
-0,067
-
-
-
-0,014
-
88,475 -632,599
11,022
-
-
-600,000
-
Buton
-
0,009
-0,003
Wakatobi
-
96,929
-12,828
Raja Ampat
-0,042
-0,023
-
-0,012
0,000
0,000
-0,005
-
-
-0,012
Biak <2003
-
-
-
-
-
-
514,360
-
-
1200,000
Biak >2003
-
-
-
-
0,000
0,000
0,000
-
-
0,000
Sumber: data diolah (2012)
4.5.1.2 Adaptasi yang Dilakukan untuk Menyikapi Perubahan Struktur Ekonomi Adaptasi yang dilakukan oleh nelayan untuk menyikapi perubahan struktur ekonomi yaitu dengan penggunaan trawl untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak tanpa memperhatikan kelestarian ekosistem. Pola adaptasi berikutnya berupa penggunaan teknologi alat tangkap yang disesuaikan dengan musim. Akibat cuaca buruk aktifitas nelayan dalam kegiatan penangkapan akan berkurang. hal ini berakibat pada upaya nelayan untuk meningkatkan hasil tangkap pada saat cuaca cerah dengan mengikutsertakan anak-anak nelayan dalam aktifitas penangkapan. Adaptasi yang dilakukan oleh pembudidaya rumput laut adalah dengan mengistirahatkan lahannya untuk menghindari gagal panen akibat musim kering yang berdampak salinitas yang tinggi.Hal tersebut juga sebagai upaya dalam perbaikan kondisi lingkungan untuk menghindari penyakit pada rumput laut. Penyesuaian alat tangkap menjadi pilihan nelayan yaitu dengan membawa beberapa alat tangkap sekaligus dalam satu trip kegiatan penangkapan. Penggunaan alat tangkap trawl, pembiusan dan pemboman oleh beberapa nelayan adalah juga bagian dari adaptasi yang bertujuan meningkatkan hasil tangkapan. Namun cara menangkap tersebut merusak kelestarian sumberdaya laut dan menimbulkan potensi konflik di masyarakat.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
223
Laporan Teknis
4.5.1.3 Perubahan pada aset i.
Aset Sosial Aset sosial yang berubah akibat perubahan iklim antara lain: kepercayaan diantara
anggota masyarakat yang menurun, hal ini disebabkan karena kurangnya hasil tangkapan sehingga nelayan tidak mampu membayar hutang kepada pengumpul. Implikasi lebih lanjut adalah hilangnya tingkat kepercayaan pengumpul kepada nelayan hingga pengumpul menarik aset produksi nelayan. Perubahan aset produksi berupa penggunaan trawl adalah salah satu bentuk sikap adaptif akibat hasil tangkapan yang menurun akibat perubahan iklim, namun hal tersebut justru menimbulkan potensi konflik antara nelayan pengguna mini trawl dengan nelayan yang tidak menggunakan trawl. Kelestarian sumber daya laut terancam akibat penggunaan alat tangkap trawl.
ii. Aset Manusia Aset manusia berupa pendidikan mengalami perubahan akibat perubahan iklim. Waktu melaut yang berkurang menyebabkan hasil tangkapan dan pendapatan berkurang. demi menekan ongkos produksi serta meningkatkan hasil tangkapan ketika cuaca cerah, nelayan mendayagunakan anak-anak mereka untuk kegiatan penangkapan di laut. Hal ini menyebabkan anak-anak nelayan tidak melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Akibat rendahnya tingkat pendidikan juga berimplikasi pada rendahnya keterampilan berusaha dalam mengembangkan potensi ekonomi. Perubahan iklim mengakibatkan berkurangnya pendapatan nelayan karena berkurangnya waktu melaut serta hasil tangkapan yang rendah. Jika hal ini terus terjadi, nelayan yang masih mempunyai hutang kepada pengumpul tidak mampu membayar hutang hingga aset produksi berupa perahu dan alat tangkap diambil oleh pengumpul
iii. Aset Fisik Perubahan iklim mengakibatkan ketidakmampuan nelayan dalam memprediksi musim. Hal ini mendorong perubahan aset produksi yaitu alat tangkap yang digunakan oleh nelayan. Perubahan pada aset produksi dapat ditemui ketika nelayan menggunakan teknologi alat tangkap yang disesuaikan dengan musim. Pada musim barat atau penghujan
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
224
Laporan Teknis
nelayan menyertakan bubu (rakang) untuk hasil tangkapan kepiting. Pada musim pancaroba nelayan menyertakan jaring ikan gamasi untuk hasil tangkapan gamasi. Nelayan menggunakan pancing cumi-cumi pada saat bulan purnama. Namun wawasan terkait dengan pengetahuan formal dapat dikategorikan masih rendah karena tingkat pendidikan nelayan yang juga rendah. Terkait dampak perubahan iklim untuk budidaya rumput laut adalah rusaknya aset produksi berupa bentangan rumput laut sehingga nelayan mengalami gagal panen. Kerusakan aset fisik berupa perumahan nelayan pernah dialami ketika terjadi bencana angin puting beliung, pergeseran musim menyebabkan datangnya bencana puting beliung tidak dapat diprediksi, angin puting beliung terjadi terakhir kali pada akhir 2011.
iv. Aset Alam Aset alam yang berubah adalah aset yang berkaitan dengan sumber daya laut yaitu berubahnya musim atau terjadi pergeseran musim dengan diiringi datangnya angin atau ombak dan peningkatan suhu. Indikator-indikator peubahan iklim tersebut membawa dampak berupa terganggunya aktifitas ekonomi masyarakat yang bergantung kepada sumberdata laut, diantaranya adalah nelayan, pembudidaya rumput laut dan karamba. Nelayan mengalami kesulitan dalam melakukan aktifitas ekonominya dikarenakan sulitnya memprediksi musim serta musim tangkapan, kedua, nelayan berkurang waktu tangkapnya, kalaupun memaksakan diri melaut ketika cuaca buruk, hasil tangkapan sangat rendah. Angin kencang dan ombak yang tinggi juga merusak aset produksi nelayan berupa kapal dan alat tangkap. Aktivitas pembudidayaan rumput laut adalah salah satu aktifitas yang terkena dampak oleh karena perubahan iklim, angin yang kencang serta ombak yang tinggi merusak bentangan budidaya hingga menyebabkan kegagalan panen. Pembudidaya rumput laut juga mengalami kesulitan memprediksi musim hingga sulit menghindari datangnya ombak tinggi yang merusak aset produksi mereka. Pada musim kering sangat dirasakan kenaikan suhu hingga berpengaruh pada salinitas serta mengganggu pertumbuhan dan kualitas rumput laut, tak jarang pembudidaya kembali mendapat rugi karena masalah tersebut.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
225
Laporan Teknis
v.
Aset finansial Perubahan terhadap akses terhadap sumber keuangan juga terjadi. Hal ini
dikarenakan hasil tangkapan berkurang karena jam melaut yang berkurang, maka nelayan tidak mampu membayar hutang pada pengumpul. Hal ini berdampak pada kesulitan pengumpul mengembalikan pinjaman dan melakukan pinjaman kembali ke Bank. Pengembalian pinjaman kepada pengumpul yang sering terlambat sangat memberatkan pengumpul, karena modal pengumpul juga berasal dari pinjaman ke Bank. Jika nelayan kesulitan mengakses sumber keuangan dari pengumpul, maka biasanya nelayan akan mencari sumber keuangan dari pengumpul yang lain.
4.5.1.4 Adaptasi yang dilakukan untuk menyikapi perubahan pada aset i.
Penguatan Lembaga Penguatan kelembagaan berupa pembentukan kelompok usaha bersama oleh
nelayan sudah dilakukan. Pada dasarnya pilihan tersebut adalah respon alami dari masyarakat untuk meningkatkan kapasitas dibidang modal yang berasal dari bantuan. Bantuan yang diberikan bisa berupa kapal, mesin atau alat tangkap. Tidak dapat dipungkiri bahwa nelayan membutuhkan aset produksi tersebut untuk dapat melakukan aktifitas penangkapan meskipun dalam kondisi tidak mampu memprediksi musim dan cuaca buruk.
ii. Wawasan Akibat perubahan iklim, wawasan nelayan terkait kondisi dan dinamika alam menemui kesulitan dalam hal memprediksi kalender musim penangkapan. Sehingga untuk menanggulangi hal tersebut nelayan menggunakan teknologi alat tangkap yang disesuaikan dengan musim. Pada musim barat atau penghujan nelayan menyertakan bubu (rakang) untuk hasil tangkapan kepiting. Pada musim pancaroba nelayan menyertakan jaring ikan gamasi untuk hasil tangkapan gamasi. Nelayan menggunakan pancing cumi-cumi pada saat bulan purnama.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
226
Laporan Teknis
iii. Penyesuaian Aset Produksi Perubahan iklim mengakibatkan ketidakmampuan nelayan dalam memprediksi musim. Hal ini mendorong perubahan aset produksi yaitu alat tangkap yang digunakan oleh nelayan. Perubahan pada aset produksi dapat ditemui ketika nelayan menggunakan teknologi alat tangkap yang disesuaikan dengan musim. Pada musim barat atau penghujan nelayan menyertakan bubu (rakang) untuk hasil tangkapan kepiting. Pada musim pancaroba nelayan menyertakan jaring ikan gamasi untuk hasil tangkapan gamasi. Nelayan menggunakan pancing cumi-cumi pada saat bulan purnama. Untuk pembudidaya rumput laut biasanya dengan mengistirahatkan lahannya untuk menghindari salinitas pada saat suhu naik dan rusaknya bentangan pada saat angin atau ombak besar.
4.5.2 Kabupaten Sikka 4.5.2.1 Kejadian terkait perubahan iklim yang mempengaruhi struktur ekonomi Kejadian terkait perubahan iklim dengan melihat besaran frekuensi, derajat bencana dan dampaknya serta tingkat kemampuan adaptasi yang mempengaruhi struktur ekonomi di Kabupaten Sikka ditampilkan pada Tabel 63. Tabel 63. Bentuk perubahan parameter iklim dan pengaruhnya pada struktur ekonomi di Kabupaten Sikka Perubahan parameter iklim
Peningkatan suhu Peningkatan curah hujan Kekeringan Intrusi air laut Banjir Coral bleaching Gempa bumi Rob Abrasi Pergeseran musim
Apakah terjadi beberapa tahun terakhir
Frekuensi
Derajat bencana
Dampaknya
Kemampuan adaptasi
Total kerentanan
3
3
3
1
8
2
2
2
1
5
x
3 1 1
3 1 1
3 1 1
1 1 1
8 2 2
x
1 3 3 -
3 3 3 -
3 3 3 -
1 1 2 -
6 8 7 -
= ada; x = tidak ada 3 = tinggi; 2 = sedang; 1 = rendah Sumber : data primer (diolah) Keterangan:
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
227
Laporan Teknis
Terdapat perubahan pada struktur ekonomi dalam hal akses terhadap sumber daya yang diakibatkan oleh perubahan iklim, pengaruh yang paling besar adalah berkurangnya waktu dalam kegiatan penangkapan di laut karena angin kencang atau ombak besar sehingga mengakibatkan berkurangnya hasil tangkapan. Bentuk perubahan iklim yang dirasakan oleh nelayan di kedua dusun yang diteliti yaitu terjadinya ketidakpastian musim, berkurangnya jumlah tangkapan ikan, peningkatan suhu dan rob.
4.5.2.2 Perubahan Parameter Iklim dan Dampaknya i.
Ketidakpastian atau Pergeseran Musim Bentuk perubahan iklim yang sangat dirasakan oleh nelayan di kabupaten Sikka
dan paling mudah diukur yaitu terjadinya ketidakpastian musim atau pergeseran musim. Pergeseran dan ketidakpastian musim ini berpengaruh pada kesulitan nelayan memprediksi tingginya gelombang dan angin. Gambaran bentuk ketidakpastian atau pergeseran musim dapat dilihat pada Tabel 64 di bawah ini. Gambaran yang ditampilkan ini pada prinsipnya juga tidak dapat dijadikan patokan karena pada saat nelayan menentukan kapan musim barat dan kapan musim timur mereka sangat kesulitan menentukannya. Dalam waktu selang satu tahun menurut mereka terdapat perbedaan kapan datang musim barat dan kapan musim timur. Musim yang ada digolongkan berdasarkan arah angin. Gambaran musim yang digambarkan nelayan untuk masa sekarang yaitu gambaran musim yang terjadi pada tahun 2011, sedang kategori dulu yaitu gambaran musim yang terjadi sebelum tahun 1990an. Tabel 64. Kalender Musim Angin di Wuring Musim Angin Musim Barat - Dulu - Sekarang Musim Timur - Dulu - Sekarang Pancaroba - Dulu - Sekarang
1
2
3
4
5
X X
X X
X X
X
X X
Bulan 6 7
8
9
10
11
12
X X X
X X
X X
X X
X X X X
X
Sumber : data primer diolah, 2012
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
228
Laporan Teknis
Berdasarkan Tabel 64 dapat dilihat bahwa sebelum tahun 1990-an musim barat terjadi pada bulan 1, 2 dan 3. Musim barat pada masa dulu hanya terjadi selama 3 bulan dengan puncaknya pada bulan 2. Pada masa lalu kondisi angin kencang di teluk Pedang maupun teluk Maumere ditemui pada bulan 1 dan 2 atau disebut musim barat, dengan kecepatan angin rata-rata mencapai 15 knot dan bulan 6 dan 8 dengan kecepatan rata-rata 10 knot. Pada musim barat angin secara konsisten bertiup dari barat, baratdaya, atau baratlaut. Jika angin bertiup dari barat arus laut (gelombang) akan kuat (besar). Saat ini terdapat pergeseran musim dimana pada masa sekarang atau pasca tsunami 1992 musim barat sudah mengalami pergeseran yaitu terjadi sejak bulan 12, 1, 2, 3, 4, dan 5. Musim barat menurut nelayan lebih lama dirasakan yaitu 6 bulan dengan puncaknya pada bulan 3. Berbeda dengan musim barat, musim timur saat ini dirasakan lebih sebentar. Pada masa lalu musim timur terjadi sejak bulan 5 hingga bulan 10 atau selama 6 bulan. saat ini musim timur hanya terjadi selama 5 bulan, yaitu sejak bulan 6 hingga bulan 10. Pada musim timur angin secara konsisten bertiup dari arah timur, timurlaut, atau tenggara. Musim pancaroba juga dirasakan nelayan mengalami pergeseran. Pergeseran pancaroba lebih dirasakan karena musim tiba-tiba bisa mengalami perubahan secara ekstrem yaitu pada musim timur tiba-tiba datang musim barat atau sebaliknya. Pada musim peralihan atau pancarobapertama pada masa lalu yaitu bulan 3 atau 4 maupun musim peralihan kedua yaitu bulan 9 atau 10, arah angin lebih beragam dan kecepatan rata-ratanya lebih rendah antara 5.0-7.5 knot. Ketidakpastian atau pergeseran musim ini menurut nelayan berdampak pada pengetahuan nelayan tentang alam. Jika sejak dulu mereka yang merupakan suku laut memiliki pengetahuan yang hebat mengenai alam saat ini mereka merasa tidak lagi dapat memprediksi alam. Perubahan pengetahuan nelayan Bajo tentang alam khususnya tentang musim berpengaruh pada aktivitas melaut mereka karena mereka sangat bergantung pada alam. Mereka harus berupaya keras untuk menentukan kapan hari melaut. Pada saat mereka melihat kondisi awan cerah dan angin tenang dan memutuskan untuk melaut, tidak jarang tiba-tiba mereka harus membatalkan karena awan gelap dan angin berhembus kencang. Untuk di Ndete pergeseran musim terjadi yaitu pada bulan 6 dahulu merupakan musim tenggara, kini musim angin tenggara datang sejak bulan 4. Pengaruhnya terhadap perekonomian yaitu pendapatan menurun karena di laut hanya bisa 1 jam, waktu melaut sempit, dahulu normal melaut selama 3 jam. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
229
Laporan Teknis
Tabel 65. Kalender Musim Angin di Ndete Musim Angin Musim Barat - Dulu - Sekarang Musim Teduh (tenang) - Dulu - Sekarang Musim Tidak menentu (tenggara, timur, selatan) - Dulu - Sekarang Musim utara timur laut - Dulu - Sekarang
1
2
3
X X
X X
X X
4
5
Bulan 6 7
8
9
10
11
12
X
X
X Tidak ada
X
X X
X X
X X
X X X X
X X
Sumber : data primer diolah, 2012
ii. Berkurangnya Jumlah Tangkapan Ikan Menurut nelayan hasil tangkapan ikan saat ini berkurang dalam hal jumlah. Berkurangnya jumlah ikan saat ini mencapai hingga 50 dari jumlah sebelumnya. Berkurangnya jumlah ikan menurut nelayan dirasakan sejak pasca tsunami tahun 1992. Selain jumlah hasil tangkapan saat ini nelayan lebih banyak yang mencari ikan dengan lokasi penangkapan yang lebih jauh dibandingkan dahulu. Makin jauhnya lokasi melaut juga dirasakan pasca tsunami 1992. Pada masa lalu, biasanya jumlah ikan sedikit pada musim kemarau yaitu bulan 59/10. Pada saat ini jumlah ikan yang ditangkap biasanya hanya 10 tas dengan lokasi rompon di dalam wilayah Wuring. Pada musim kemarau ini biasanya lempara malam operasi keluar dengan menggunakan rompon rakit yaitu di belakang pulau Pemana. Pendapatan di lokasi ini bisa mencapai 6 ton dengan jenis ikan yaitu ikan layang.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
230
Laporan Teknis
Tabel 66. Kalender Musim penangkapan berdasarkan alat tangkap di Wuring Musim Angin Lempara Siang - Dulu - Sekarang Lempara Malam - Dulu - Sekarang Pancing Tuna - Dulu - Sekarang
1
2
3
4
5
Bulan 6 7
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
8
9
10
11
12
Sumber : data primer diolah, 2012
Perubahan iklim yang dirasakan nelayan berdampak pada berkurangnya jenis ikan tongkol. Hal ini dirasakan sejak tahun 2010, juga untuk jenis ikan layang.Biasanya setelah musim barat ikan tongkol banyak ditangkap, namun sudah 2 tahun ini tidak ada lagi. Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa alat tangkap lempara siang dan lempara malam merupakan alat tangkap yang dapat digunakan sepanjang bulan, namun jumlah pendapatan ikan tergantung musim. Sedang untuk alat tangkap pancing tuna masih tergantung pada musim-musim tertentu.
iii. Peningkatan Suhu Kabupaten Sikka beriklim tropis kering type D yang terdiri dari 2 (dua) musim yaitu
musim
kemarau
berlangsung
antara
bulan
Mei/Juni
sampai
dengan
September/Nopember. Musim hujan berlangsung antara Desember/Januari sampai dengan Maret/April.Suhu berkisar antara 22ºC-33ºC, suhu maksimum rata-rata 31,7ºC dan suhu minimum rata-rata 24,5ºC atau rata-rata 27,6ºC. Kelembaban udara rata-rata 77 per tahun, kelembaban nisbi 74-86. Kecepatan angin 2-26 knots dengan rata-rata 20 knots. Curah hujan per tahun berkisar antara 1000 mm-1500 mm, dengan jumlah hujan sebesar 1-21 hari per tahun. Peningkatan suhu yang sangat dirasakan nelayan saat ini terjadi pada bulan September dan Oktober. Menurut nelayan suhu yang dirasakan saat ini melebihi suhu ratarata pada masa sebelumnya, bahkan menurut mereka bisa mencapai 360C. Dampak peningkatan suhu yang terjadi dirasakan pada aspek kesehatan karena biasanya banyak nelayan yang sampai jatuh sakit karena tidak kuat dengan suhu panas yang mereka alami. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
231
Laporan Teknis
Untuk di Ndete, kenaikan suhu yang paling panas terjadi pada bulan 6,7,8, dan 9. Fenomena ini dirasakan sejak 3-4 tahun lalu. Akibat yang ditimbulkan yaitu masyarakat rentan terhadap penyakit. Untuk pertanian pada tahun 2011 tidak bisa tanam.
iv. Pasang Air Laut atau Rob dan Badai Perubahan lingkungan lainnya yang dirasakan masyarakat nelayan di Wuring dan Ndeteyaitu terjadinya kenaikan pasang air laut (rob). Kenaikan pasang air laut ini terjadi setiap bulan terang dan musim angin barat. Hal ini terjadi tiap tanggal 15-17 bulan purnama. Tinggi air pasang bisa mencapai hingga ke jalan pada pukul 13.00-15.00/16.00. Pada tahun 2011, rob yang dialami masyarakat semakin tinggi dan diperparah pada saat musim rob dimana gelombang besar membawa air laut naik hinggake daratan. Fenomena rob yang cukup tinggi terjadi pada tahun 2012 tepatnya bulan Januari. Menurut nelayan, rob setinggi 50 cm tiba-tiba menerjang ke permukiman penduduk. Hal ini dirasakan sangat mengganggu masyarakat terutama bagi mereka dengan tipe rumah non panggung. Dampak rob yang dirasakan nelayan bukan hanya pada aspek perumahan tetapi pada aspek lain antara lain transportasi, pelayanan publik, infrastruktur, kesehatan dan perikanan. Aktivitas pendidikan terganggu karena air pasang masuk hingga ke sekolah yang berada di desa Wuring. Berbagai aktivitas lainnya juga cukup terganggu dengan makin tingginya pasang air laut yang mencapai ke daratan, yaitu tempat istirahat nelayan tiap bulan purnama terendam < 1 m, lebih parah lagi pada musim barat (bisa sampai 1 m). Untuk pertanian, rob juga sangat mengganggu karena menyebabkan gagal panen. Untuk di Ndete, selain rob, abrasi juga terjadi dan menyebabkan permukiman hilang. Perubahan iklim yang juga dirasakan dan paling berdampak menurut nelayan di kabupaten Sikka yaitu adanya badai atau angin kencang yang menyebabkan rumah runtuh sehinggga tidak ada tempat untuk berteduh, terutama rumah yang menjorok ke laut. Angin kencang itu dikenal dengan angin puting beliung. Angin puting beliung mulai dialami oleh nelayan sejak tahun 2007 tepatnya terjadi pada bulan Maret. Pada bulan Maret tahun 2007, badai angin puting beliung terjadi selama 3 hari. Puncak angin terjadi pada hari ke-3 dan mengakibatkan rumah rusak yaitu atap rumah berterbangan bahkan ada beberapa rumah yang ambruk dan terbawa gelombang laut. Fenomena angin puting beliung juga terjadi pada tahun 2011 dan 2012 dan hanya menyebabkan atap rumah berterbangan. Menurut
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
232
Laporan Teknis
nelayan, sejak tinggal di Wuring, fenomena badai angin puting beliung baru mereka alami sejak tahun 2007. Hal ini sangat membawa dampak pada aspek perumahan.
4.5.2.3 Adaptasi yang Dilakukan untuk Menyikapi Perubahan Struktur Ekonomi Adaptasi yang dilakukan oleh nelayan untuk menyikapi perubahan struktur ekonomi yaitu dengan penyesuaian pengetahuan atau wawasan tentang alam dan penyesuaian teknologi penangkapan.
4.5.2.4 Perubahan pada asset i.
Aset Sosial Aset sosial yang berubah akibat perubahan iklim antara lain kepercayaan diantara
anggota masyarakat menurun terutama antara nelayan kecil dan nelayan pemilik kapal. Nelayan kecil yaitu ABK semakin tidak puas dengan pendapatan yang mereka terima. Mereka menilai bagi hasil yang mereka peroleh semakin kecil dan menganggap juragan mengeksploitasi tenaga mereka. Nelayan yang tidak puas dengan bagi hasil yang mereka peroleh biasanya tidak mau ikut kembali menjadi ABK di kapal tersebut. Terdapatnya rasa curiga diantara nelayan kecil dengan nelayan pemilik mengakibatkan sulitnya mempersatukan nelayan ke dalam sebuah kelembagaan sosial yaitu kelompok nelayan. Mereka pada akhirnya berjuang sendiri-sendiri dan sulit untuk bersatu. Tanpa adanya kelompok maka nelayan akan sulit untuk mendapatkan bantuan baik dalam bentuk program pelatihan atau bantuan peralatan.
ii. Aset Manusia Aset manusia mengalami perubahan dalam hal pengetahuan. Pengetahuan mereka tentang kondisi alam dan musim yang telah terbentuk sejak bertahun-tahun lamanya kini tidak bisa digunakan lagi untuk membaca alam dan musim. Masyarakat nelayan di dua dusun yang diteliti kini merasa ‘bodoh’ karena tidak dapat memprediksi musim dan alam. Mereka yang dahulu terkenal dengan sebutan pelaut ulung kini merasa sebutan tersebut sudah tidak relevan karena pergeseran musim yang terjadi. Adaptasi yang mereka lakukan yaitu kini mulai belajar sedikit demi sedikit lagi tentang fenomena alam dan pergeseran musim yang terjadi. Mereka mengkonstruksi kembali pengetahuan mereka tentang alam.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
233
Laporan Teknis
iii. Aset Fisik Perubahan iklim mengakibatkan perubahan pada aset fisik yang mereka miliki. Fenomena badai angin puting beliung, rob, abrasi, peningkatan suhu dan bencana gempa bumi telah berpengaruh pada aset fisik yaitu perumahan atau tempat tinggal dan lahan pertanian. Kerugian yang ditimbulkan antara lain rusaknya tempat tinggal nelayan karena tersapu gelombang dan badai. Rob menyebabkan tempat nelayan beristirahat terendam air sehingga tidak dapat digunakan. Demikian juga untuk lahan pertanian yang terendam air mengalami gagal panen, serta peningkatan suhu yang menyebabkan kekeringan juga mengganggu produktivitas pertanian. Upaya yang sudah dilakukan oleh internal kelompok nelayan di Ndete yaitu sudah dilakukan 3-4 tahun lalu dengan membuat selokan untuk mengatasi rob, namun upaya ini tidak berhasil. Upaya dengan cara melapor ke pemda juga sudah dilakukan namun belum juga membuahkan hasil. Untuk nelayan Wuring, dalam rangka mengatasi rob, rumah mereka yang bukan rumah panggung diberi penahan air berupa tembok.
iv. Aset Alam Aset alam yang berubah adalah aset yang berkaitan dengan sumber daya laut yaitu berubahnya musim atau terjadi pergeseran musim dengan diiringi datangnya angin atau ombak dan peningkatan suhu. Indikator-indikator peubahan iklim tersebut membawa dampak berupa terganggunya aktifitas ekonomi masyarakat yang bergantung kepada sumberdaya laut. Nelayan mengalami kesulitan dalam melakukan aktifitas ekonominya dikarenakan sulitnya memprediksi musim serta musim tangkapan, kedua, nelayan berkurang waktu tangkapnya, kalaupun memaksakan diri melaut ketika cuaca buruk, hasil tangkapan sangat rendah. Angin kencang dan ombak yang tinggi juga merusak aset produksi nelayan berupa kapal dan alat tangkap. Aset alam yang juga mengalami perubahan yaitu pada berkurangnya hasil tangkapan karena ekosistem mengalami kerusakan. Adaptasi yang dilakukan oleh nelayan dengan adanya perubahan tersebut yaitu dengan menggunakan alat tangkap yang sesuai dengan kondisi alam yang ada. Untuk Wuring, alat tangkap lempara dianggap dapat digunakan untuk mengantisipasi perubahan musim dan ekosistem.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
234
Laporan Teknis
v.
Aset finansial Perubahan terhadap akses finansial yaitu makin tidak pastinya pendapatan nelayan
sehingga menurunkan tingkat kesejahteraan nelayan. Hal ini dikarenakan hasil tangkapan ikan berkurang karena jam melaut yang berkurang, maka nelayan makin sulit dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka makin terdorong untuk meminjam kepada pengumpul ikan ataupun kepada rentenir. Ikatan antara nelayan dan pemberi hutang dalam hal ini pengumpul yang tidak pernah putus berakibat pada makin sulitnya nelayan untuk menjual ikan dengan harga lebih tinggi karena ketergantungan kepada pengumpul. Ketidakmampuan nelayan dalam membayar hutang pada pengumpul mengharuskan nelayan menjual kepada pengumpul tersebut.
4.5.2.5 Adaptasi yang dilakukan untuk menyikapi perubahan pada aset i.
Aspek Pengetahuan Pada dasarnya perubahan iklim yang dirasakan oleh nelayan di dua dusun yang
diteliti telah berdampak pada perubahan pengetahuan yang akhirnya berdampak pada bagaimana mereka merespon perubahan yang ada. Pergeseran musim atau ketidakpastian musim telah mengubah pengetahuan mereka tentang alam. Sebelumnya sebagai orang laut, nelayan Bajo merasa sebagai kelompok yang ulung atau mahir dalam mengarungi lautan termasuk mahir dalam memprediksi bagaimana kondisi alam, musim dan arah angin, serta arus dan gelombang. Perubahan iklim yang terjadi telah mengubah budaya komunitas lokal dalam hal ini sistem pengetahuan. Pengetahuan nelayan yang telah teradaptasi pada kondisi alam di masa lalu dianggap tidak lagi dapat menyesuaikan dengan perubahan iklim. Menurut Winarto pola-pola pemanfaatan, pelestarian, dan pengelolaan sumber daya alam yang telah terbudayakan ratusan tahun tidak lagi dapat dipertahankan akibat perubahan iklim (Crate dan Nuttal (2009)). Oleh karena itu pengetahuan nelayan tentang cuaca dan iklim serta implikasinya pada strategi pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan mengalami perubahan. Saat ini nelayan di Wuring dan Ndete menganggap diri mereka sudah tidak bisa memprediksi kondisi alam lagi atau dengan kata lain mereka menyebut dirinya “bodoh”. Adanya perubahan alam telah memaksa para nelayan untuk mengkonstruksi kembali pengetahuan mereka tentang kondisi alam. Perubahan iklim yang dialami nelayan di Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
235
Laporan Teknis
Wuring dan Ndete telah menuntut mereka untuk melakukan suatu bentuk strategi adaptasi pada aspek pengetahuan dalam menghadapi perubahan iklim. Konstruksi pengetahuan yang baru diimplemetasikan ke dalam bentuk teknologi.
ii. Aspek Teknologi Strategi adaptasi yang dilakukan nelayan di Wuring dan Ndete dalam menghadapi perubahan iklim yaitu dengan mengembangkan teknologi alat penangkapan ikan. Mereka mengembangkan teknologi yang mereka anggap dapat sesuai dengan kondisi alam yang ada. Untuk nelayan Wuring, alat tangkap lempara merupakan alat tangkap yang dapat diandalkan oleh nelayan Wuring dimana alat tangkap tersebut lebih memfokuskan pada berbagai jenis ikan pelagis seperti ikan selar, ikan terbang, dan sebagainya, sehingga mereka tidak tergantung pada jenis ikan dasar lagi. Lempara juga dapat digunakan sepanjang tahun sehingga nelayan tetap dapat melaut walaupun dengan kondisi alam yang tidak pasti. Lempara pertama kali digunakan oleh nelayan Bajo di Wuring sejak tahun 1967. Lempara dikembangkan untuk merespon penurunan jumlah tangkapan ikan. Pada mulanya nelayan Bajo merupakan nelayan yang sangat mengandalkan alat tangkap pancing ikan dasar. Akan tetapi terumbu karang di wilayah perairan Indonesia mengalami degradasi yang diakibatkan baik oleh fenomena alam maupun aktivitas manusia. Alat tangkap lempara yang digunakan oleh nelayan Bajo didapatkan dari wilayah Pekalongan, Jawa Tengah. Sampai saat ini, nelayan lempara harus pergi ke Pekalongan untuk mendapatkan jaring bekas. Lempara menurut nelayan saat ini merupakan alat tangkap yang dapat diandalkan dalam kondisi alam yang mengalami ketidakpastian musim. Lempara dapat digunakan sepanjang tahun karena dapat menjaring berbagai jenis sehingga tidak tergantung pada musim ikan tertentu. Penggunaan lempara dibantu dengan teknologi rompon. Penggunaan sistem rompon sebagai alat bantu lempara dianggap sangat membantu peningkatan hasil pendapatan ikan nelayan. rompon yaitu sejenis pelampung yang dilapisi daun kelapa dan memiliki tujuan sebagai rumah ikan sehingga ikan berkumpul di tempat tersebut. Letakpenempatan romponada yang dekat dan jauh. Lokasi rompon dikatakan dekat yaitu sekitar Laut Maumere, sedang yang jauh terletak di luar wilayah Laut Maumere.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
236
Laporan Teknis
4.5.3 Kabupaten Wakatobi 4.5.3.1 Adaptasi yang Dilakukan untuk Menyikapi Perubahan Struktur Ekonomi Adaptasi yang dilakukan ketika sulit mencari ikan adalah melakukan aktifitas lain di darat yaitu budidaya, pertanian, kuli bangunan dan tukang ojek.
4.5.3.2 Perubahan pada aset i. Aset Manusia Rendahnya tingkat pengetahuan dan wawasan dan kesadaran akan keberlanjutan sosial-ekologis. Hal ini karena masyarakat masih ada yang menggunakan bom dan bius demi mendapatkan hasil tangkapan.
ii. Aset Alam Aset alam yang terpengaruh perubahan iklim antara lain produksi hasil tangkapan yang pada tahun 2010 Menurun 61,75
dibanding 2005. Penurunan tersebut juga
diakibatkan oleh maraknya aksi pencurian ikan dari nelayan luar daerah yang menggunakan alat tangkap dan kapal yang lebih canggih dan modern.
iii. Aset finansial Aset finansial yang berubah adalah pendapatan nelayan, namun faktor dominannya adalah keterbatasan alat tangkap dan kapal sehingga jangkauan tangkapan menjadi terbatas perubahan asset
iv. Aset Fisik Aset fisik yang megalami perubahan adalah rusaknya sarana dan prasarana produksi yaitu kapal dan alat tangkap nelayan. Saat angin kencang atau ombak tinggi dan nelayan nekat melaut maka kerusakan kapal menjadi konsekensi bagi nelayan.
4.5.3.3 Adaptasi yang dilakukan untuk menyikapi perubahan pada aset Sarana dan prasarana penangkapan menjadi kebutuhan yang utama bagi masyarakat nelayan, hal ini berdasar pada kemampuan jangkauan alat tangkap dan kapal yang selama ini digunakan sangat terbatas. Masyarakat nelayan yang resah terhadap aksi pencurian ikan
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
237
Laporan Teknis
dari luar daerah masih mempercayakan kebutuhan akan adanya aturan atauregulasi yang dapat menindak tegas bagi para pencuri ikan dari luar daerah. Kejadian terkait perubahan iklim dengan melihat besaran frekuensi, derajat bencana dan dampaknya serta tingkat kemampuan adaptasi yang mempengaruhi struktur ekonomi di Kabupaten Wakatobi ditampilkan pada Tabel 67. Tabel 67. Kalender Musim Penangkapan di Desa Koroe Onowa Musim Angin Musim Barat - Dulu - Sekarang Musim Timur - Dulu - Sekarang Pancaroba - Dulu - Sekarang
1
2
3
X X
X X
X X
4
X X
5
X X
Bulan 6 7
X X
X X
8
X X
9
10
11
12
X X
X X
X X X X
Sumber : data primer diolah, 2012
Kawasan Wakatobi telah menjadi wilayah tangkap nelayan setempat dan nelayan yang datang dari luar daerah. Masyarakat telah melakukan aktivitas sosial ekonomi sejak lama, bahkan sebelum penetapan kawasan ini menjadi Taman Nasional Laut. Karena itu tidak mudah untuk merubah kebiasaan masyarakat tersebut. Teknik penangkapan ikan di wilayah ini cukup kompleks, dan areal menangkap ikan sangat tergantung pada musim. Terdapat sekitar 15 jenis alat tangkap yang biasa digunakan oleh nelayan setempat. Penggunaan alat tangkap ini selain tergantung musim, tergantung pula pada keadaan pasang surut air laut. Jenis-jenis alat tangkap yang digunakan di wilayah GPK antara lain: bubu (lokal=polo), sero (lokal=bala), gill net atau jaring insang (lokal=rambisi), seine net (lokal=jare lamba), gleaning (lokal=hengahengaro atau surabi), pancing tangan (line fishing), panah ikan (spear gun), pancing tonda (lokal=hekatonda) dan beberapa bentuk penangkapan ikan komersil yang masih dilakukan secara tradisional seperti: mancing gurita, ikan kerapu, lobster, teripang dan beberapa jenis invetebrata lainnya (lokal=meti-meti).
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
238
Laporan Teknis
Banyak hal yang menjadi penyebab ketidakberlanjutan pemanfaatan sumberdaya laut, khususnya untuk kegiatan perikanan tangkap. Dari hasil observasi dan penelitian di lapangan, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Penyebab pertama adalah adanya penggunaan alat yang tidak efisien: dimana jumlah alat tangkap yang digunakan banyak, akan tetapi ikan hasil tangkapan nelayan jumlahnya sedikit dan berukuran kecil. Jika hal ini dibiarkan terus terjadi, maka akan menurunkan jumlah populasi ikan (stok) yang ada di wilayah Wakatobi karena ikan tersebut tidak berkembang sampai masa reproduksinya. Bahkan ditemukan penggunaan rumpon yang berlebihan, terutama yang datang dari luar Wakatobi. Pemasangan rumpon ini atau oleh masyarakat setempat dikenal dengan sebutan kapal pelingkar sudah sangat meresahkan. 2) Kedua, adanya cara-cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bom dan sianida serta merusak karang. Hal ini turut memberi andil bagi kerusakan sumberdaya laut di wilayah Wakatobi. Namun setelah mendapat penyuluhan tentang kerusakan yang ditimbulkan akibat kegiatan yang tidak ramah lingkungan, kegiatan ini mulai ditingggalkan oleh masyarakat setempat. Namun yang menjadi kendala juga, nelayan pendatang justru semakin sering menggunakan cara penangkapan yang dilarang ini. 3) Penyebab ketiga adalah keterbatasan sarana penangkapan yang digunakan oleh nelayan. Sebagian besar nelayan di Kabupaten Wakatobi adalah nelayan tradisional, yang menggunakan sarana penangkapan yang memiliki kemampuan terbatas, sehingga mereka lebih banyak terfokus untuk menangkap ikan di wilayah pesisir dan laut dangkal. Sementara masih ada potensi perikanan di laut dalam yang sulit diakses oleh nelayan tradisional. Hal ini akan menurunkan populasi ikan, khususnya di wilayah pesisir dan laut dangkal. 4) Keempat, faktor yang ikut memberi kontribusi terhadap pengelolaan sumberdaya laut untuk kegiatan perikanan tangkap di wilayah Wakatobi adalah peningkatan jumlah nelayan yang semakin banyak, terutama nelayan dari luar yang ikut menangkap ikan di wilayah ini. Keberadaan nelayan dari Sinjai (Sulawesi Selatan), Menui, Sulawesi Selatan dan juga Kendari, turut memberi kontribusi terhadap pengurangan stok ikan di wilayah ini.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
239
Laporan Teknis
4.5.4 Kabupaten Selayar 4.5.4.1 Kejadian terkait perubahan iklim yang mempengaruhi struktur ekonomi Kejadian terkait perubahan iklim dengan melihat besaran frekuensi, derajat bencana dan dampaknya serta tingkat kemampuan adaptasi yang mempengaruhi struktur ekonomi di Kabupaten Selayar ditampilkan pada Tabel 68. Tabel 68. Bentuk perubahan parameter iklim dan pengaruhnya pada struktur ekonomi Perubahan parameter iklim
Peningkatan suhu Peningkatan curah hujan Kekeringan Intrusi air laut Banjir Coral bleaching Gempa bumi Rob Abrasi Pergeseran musim Badai Keterangan:
Apakah terjadi beberapa tahun terakhir
Frekuensi
Derajat bencana
Dampaknya
Kemampuan adaptasi
x
-
-
-
-
-
x
-
-
-
-
-
x x
-
-
-
-
-
x x
-
-
-
-
-
x
1 3 3
1 2 3
1 2 3
2 2 1
1 5 8
3
3
3
1
8
Total kerentanan
= ada; x = tidak ada 3 = tinggi; 2 = sedang; 1 = rendah
(Sumber : data primerdiolah, 2012)
Bentuk perubahan iklim yang sangat dirasakan oleh nelayan di Kabupaten Selayar adalah ketidakmampuan memprediksi musim karena menurut pengakuan mereka, musim telah bergeser dan mempersulit dalam memperkirakan musim yang akan datang. Permasalahan ini sudah terjadi semenjak 2-3 tahun yang lalu. Hal ini berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi, terutama kegiatan penangkapan di laut. Mereka harus berupaya keras untuk menentukan kapan hari melaut. Ketika berada di tengah laut, tak jarang kegiatan melaut mereka terhalang oleh ombak dan angin kencang, yang menyebabkan mereka harus menghentikan sementara kegiatan penangkapan dengan mengevakuasi diri ke pulau terdekat. Produktifitas nelayan berkurang akibat tidak melaut akibat hambatan cuaca.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
240
Laporan Teknis
Masyarakat taidak mampu lagi mengidentifikasi musim yang sedang berlangsung, karena tidak menentunya cuaca. Tabel 69. Pergeseran Musim di Kabupaten Selayar Musim Angin Musim Barat - Dulu - Sekarang (tidak dapat diidentifikasi oleh masyarakat) Musim Timur - Dulu - Sekarang (tidak dapat diidentifikasi oleh masyarakat) Pancaroba - Dulu - Sekarang (tidak dapat diidentifikasi oleh masyarakat)
1
2
3
4
Bulan 5 6 7 8
9 10 11 12
X X X X
X X
X X X X X X
X X
X X
Sumber : Data Primer diolah (2012)
Perubahan Iklim berdampak pada kesulitan nelayan dalam memprediksi musim berdasarkan arah angin sehingga sulit pula mengetahui kalender musim penangkapan ikan. pengaruh yang paling besar adalah berkurangnya waktu dalam kegiatan penangkapan di laut karena angin kencang atau ombak besar sehingga mengakibatkan berkurangnya hasil tangkapan. Dampak lain dari perubahan iklim selain pergeseran musim adalah Rob, Abrasi dan Badai. Hal ini menyebabkan terganggunya aktifitas ekonomi masyarakat nelayan di Kabupaten Selayar terutama di sector perikanan tangkap. Ombak besar turut menjadi hambatan karena dapat merusak aset produksi berupa kapal, alat tangkap, karamba jaring apung dan bentangan rumput laut. Jika sedang musim angin keras atau terhjadi badai nelayan mengalihkan pekerjaannya ke sector pertanian. Namun jika musim kering sektor pertanian kesulitan air karena memanfaatkan tadah hujan sebagai sumber pengairan. Perubahan aktivitas ekonomi tak lepas dari berkembangnya cara kerja masyarakat dalam beradaptasi mengatasi dampak perubahan iklim. Meskipun sector lain diluar sector perikanan hanya mampu memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga saja (subsisten), namun perkembangan ini menunjukan bahwa masyarakat Kabupaten Selayar telah mampu mendiversifikasikan usaha hingga dapat lepas dari ketergantungan sumber daya kelautan dan perikanan.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
241
Laporan Teknis
4.5.4.2 Adaptasi yang Dilakukan untuk Menyikapi Perubahan Struktur Ekonomi Adaptasi yang dilakukan masyarakat Kabupaten Selayar dalam sector perikanan dan kelautan adalah dengan meningkatkan efektifitas alat produksi yaitu dengan membawa lebih dari 1 alat tangkap. Menurut masyarakat desa Maharraya lebih dari 20 nelayan melakukan hal demikian untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Masyarakat juga menanggulangi perubahan iklim dengan perbaikan sarana ekonomi seperti perbaikan kapal dan alat tangkap yang rusak akibat badai. Terkait dengan kebutuhan masyarakat yaitu tambatan perahu belum terealisasi. Masyarakat Kabupaten Selayar mengaku sangat membutuhkan keterampilan dan pengetahuan untuk mengembangkan usaha yang sedang mereka geluti, niat dan motivasi nelayan cukup kuat karena pengetahuan adalah kebutuhan yang mendesak di tengah ketidak pastian cuaca. Pelatihan dan keterampilan dalam mengembangkan jenis usaha lain seperti pertanian (pengolahan kopra) dan peternakan dapat menjadi jenis usaha alternatif. Menurut masyarakat desa Maharraya yang menjadi salah satu lokasi penelitian. 0-5 masyarakat menambah pekerjaan jika tidak sedang melakukan aktivitas di laut, memindahkan lokasi usaha dan menambah waktu produksi.
4.5.4.3 Perubahan pada Aset i. Aset Manusia Aset manusia mengalami perubahan dalam hal pengetahuan. Pengetahuan mereka tentang kondisi alam dan musim yang telah terbentuk sejak bertahun-tahun lamanya kini tidak bisa digunakan lagi untuk membaca alam dan musim. Masyarakat nelayan di dua desa yang diteliti kini merasa tidak mampu memprediksi musim dan alam.. Adaptasi yang mereka lakukan yaitu kini mulai belajar sedikit demi sedikit lagi tentang fenomena alam dan pergeseran musim yang terjadi. Mereka mengkonstruksi kembali pengetahuan mereka tentang alam.
ii. Aset Alam Aset alam yang berubah adalah aset yang berkaitan dengan sumber daya laut yaitu berubahnya musim atau terjadi pergeseran musim dengan diiringi datangnya angin atau ombak. suhu. Indikator-indikator peubahan iklim tersebut membawa dampak berupa terganggunya aktifitas ekonomi masyarakat yang bergantung kepada sumberdaya laut.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
242
Laporan Teknis
Nelayan mengalami kesulitan dalam melakukan aktifitas ekonominya dikarenakan sulitnya memprediksi musim serta musim tangkapan, kedua, nelayan berkurang waktu tangkapnya, kalaupun memaksakan diri melaut ketika cuaca buruk, hasil tangkapan sangat rendah. Angin kencang dan ombak yang tinggi juga merusak aset produksi nelayan berupa kapal dan alat tangkap. Asset alam yang paling terasa dampaknya bagi nelayan adalah sumber daya perikanan dimana hasil tangkapan berkurang seiring kesulitan memprediksi musim. Begitu pula di sector pertanian dimana kesulitan hujan akan mempengaruhi pengairan yang bergantung pada tadah hujan. Pada sector kesehatan, pada Tahun 2010 terjadi kasus kejadian luar biasa Malaria hal ini menurut warga juga bagian dari akibat perubahan iklim di Kabupaten Selayar yang menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem.
iii. Aset finansial Perubahan terhadap akses terhadap sumber keuangan juga terjadi. Hal ini dikarenakan hasil tangkapan berkurang karena jam melaut yang berkurang, maka nelayan berkurang pendatannya. Namun dapat ditopang oleh aktifitas usaha lain seperti pertanian, peternakan dan budidaya perikanan. Jika terjadi badai nelayan tidak dapat menjual ikan di Benteng dan akan mempengaruhi pendapatan nelayan
iv. Aset Fisik Perubahan iklim menyebabkan ombak besar dan pasang. Di Pulau Gusung, Desa Bontolebang, Kecamatan Bontoharu tanggul pernah roboh akibat kejadian tersebut. Jika ombak besar dan badai datang nelayan juga kesulitan dalam hal transportasi antar pulau, karena rawan terhadap kerusakan perahu dan membahayakan. Namun dari segi transportasi darat tidak terpengaruh perubahan iklim.
4.5.4.4 Adaptasi yang dilakukan untuk menyikapi perubahan pada aset i.
Meningkatkan Efektivitas Alat Produksi Masyarakat selayar melakukan adaptasi dalam menyikapi perubahan iklim dengan
mengefektifkan penggunaan alat tangkap. Lebih dari 20 nelayan perikanan tangkap menyesuaikan penggunaan alat tangkap sesuai waktu. Pada waktu terang bulan, ikan sulit di tangkap, nelayan menggunakan
jaring dan pancing. Pada waktu ini ikan mahal
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
243
Laporan Teknis
harganya. Nelayan juga membawa lebih dari satu alat tangkap serta menambah jam kerja pada saat cuaca mendukung. Sebagian kecil nelayan menambah waktu usahanya, biasanya nelayan seperti ini nekat melaut meski cuaca buruk.
ii. Memindahkan Lokasi Usaha Dalam hal memindahkan lokasi usaha sangat terkait dengan jenis usahanya. Pemindahan lokasi usaha sangat bergantung pada diversivikasi jenis usaha, jika masyarakat memiliki jenis pekerjaan/usaha lain maka jika cuaca buruk nelayan beralih ke lokasi pekerjaan lain seperti pertanian, peternakan atau karamba jaring apung. Kegiatan seperti ini biasanya dilakukan secara simultan. Namun jika dalam kondisi cuaca buruk lokasi aktivitas ekonomi beralih ke daratan. Lebih dari 20 nelayan melakukan pemindahan lokasi usaha. Untuk usaha karamba tidak berpindah tempat kecuali untuk karamba jaring apung telah diberi sertifikat oleh kepala desa.
iii. Meningkatkan Pengetahuan Dan Keterampilan Sebagian besar masyarakat nelayan di Kabupaten Selayar mengaku sangat membutuhkan keterampilan dan pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan usaha demi meningkatkan pendapatan nelayan. Niat dan kemauan nelayan dalam meningkatkan keterampilan sangat besar namun belum mendapat sambutan dari pemerintah daerah. Peningkatan keterampilan juga harus ditunjang oleh program tambahan seperti modal, akses teknologi dan jaminan pemasaran oleh pemerintah daerah dan pusat. Jika hanya diberikan pelaithan saja tanpa program tambahan maka seperti pengalaman yang lalu, tidak akan mampu berkembang. Karena pengetahuan saja tidak cukup tanpa didukung oleh aspek permodalan, teknologi, jaminan pemasaran dan bimbingan intensif dari pemerintah.
iv. Penganekaragaman Usaha Dalam hal penganekaragaman jenis usaha di Kabupaten Selayar. Sebagian besar masyarakat khususnya di pulau-pulau besar yang memiliki potensi sumber daya alam yang menunjang sector pertanian dan peternakan dapat mendiversifikasikan jenis usahanya. Penganekaragaman jenis usaha ke bidang pertanian dengan komoditas: jagung, kelapa, jeruk, mangga, jati, jambu mete, pala, kopi robusta, jambumete, kelapa dalam, kakao, vanili, kenari, dan kemiri dapat dijadikan sebagai potensi pengembangan ekonomi Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
244
Laporan Teknis
alternative masyarakat Kabupaten Selayar.
Di Kabupaten Selayar sebagian besar
masyarakat juga terlibat dalam usaha sampingan di bidang pembuatan kopra. Sisi menarik dari masyarakat di Pulau Gusung adalah jika musim barat tiba ada usaha sampingan yaitu mencari plastik yang berasal dari banjir kiriman yang terjadi di pulau tersebut. plastikdapat dijual ke Benteng dengan harga Rp. 500/kg. Diversifikasi usaha juga dapat ditemukan pada beberapa masyarakat di Pulau gusung dengan melakukan kegiatan perikanan tangkap sekaligus perikanan budidaya baik karamba jaring apung maupun karamba tancap. Hal ini juga dapat bermanfaat dari sisi kelestarian dimana ikan-ikan kecil yang tidak memiliki nilai jual tinggi dari hasil tangkapan, dipelihara terlebih dahulu di dalam karamba. Dengan pengembangan usaha karamba, nelayan juga dapat memiliki posisi tawar yang tinggi di mata pembeli/pengumpul karena harga tidak ditentukan sepenuhnya oleh pembeli, sebab kondisi ikan masih hidup (dalam karamba). Dalam hal alih pekerjaan hanya sebagia kecil saja nelayan yang melakukan hal demikian. Sebagian nelayan adalah nelayan musiman yaitu bertani dengan melaut, pada saat musim barat nelayan tidak melakukan aktivitas melaut melainkan mengembangkan usaha pertanian atau peternakannya. Namun pada saat musim timur nelayan kembali melakukan aktivitas perikanan dan kelautan dengan tidak meninggalkan usaha pertanian yang telah dikembangkan (biasanya menunggu panen). Kondisi ini banyak dilakukan juga oleh masyarakat pedalaman yang berprofesi sebagai nelayan musiman, bertani dan beternak.
v.
Memperbaiki prasarana ekonomi Adaptasi yang juga dilakukan delayan adalah memperbaiki prasarana ekonomi
seperti Pernah mengusulkan di PNPM untuk pembangunan tambatan perahu, tetapi belum terealisasi hingga sekarang.
vi. Kebutuhan pendorong berdasarkan rangking Kebutuhan pendorong berdasarkan rangking pada lokasi dilakukan FGD dapat dilihat pada Tabel 70 berikut ini.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
245
Laporan Teknis
Tabel 70. Kebutuhan Pendorong berdasarkan Rangking pada Lokasi FGD di Kabupaten Selayar 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pulau gusung desa bontolebang kecamatan Bontoharu Pengembangan akses permodalan Pengembangan sarana dan prasarana Pengembangan teknologi Pengembangan pengetahuan dan keterampilan Peraturan/regulasi Pengembangan organisasi
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Desa maharraya kecamatan Bontomatene Pengembangan organisasi Pengembangan akses permodalan Pengembangan teknologi Pengembangan sarana dan prasarana Pengembangan pengetahuan dan keterampilan Peraturan/regulasi
Sumber: data diolah (2012)
4.5.5 Kabupaten Buton 4.5.5.1 Kejadian terkait perubahan iklim yang mempengaruhi struktur ekonomi Kejadian terkait perubahan iklim dengan melihat besaran frekuensi, derajat bencana dan dampaknya serta tingkat kemampuan adaptasi yang mempengaruhi struktur ekonomi di Kabupaten Buton ditampilkan pada Tabel 71. Tabel 71. Bentuk Perubahan Parameter Iklim dan Pengaruhnya pada Struktur Ekonomi Perubahan parameter iklim
Peningkatan suhu Peningkatan curah hujan Kekeringan Intrusi air laut Banjir Coral bleaching Gempa bumi Rob Abrasi Pergeseran musim Badai Keterangan:
Apakah terjadi beberapa tahun terakhir
Frekuensi
Derajat bencana
Dampaknya
Kemampuan adaptasi
√
3
3
3
1
8
X
-
-
-
-
-
X X
3 2
3 2
3 2
3 1
6 5
X X
-
-
-
-
-
X X
2 3 3
2 3 3
2 3 3
1 2 1
5 7 8
3
3
3
1
8
Total kerentanan
= ada; x = tidak ada 3 = tinggi; 2 = sedang; 1 = rendah
(Sumber : data primer diolah, 2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
246
Laporan Teknis
Masyarakat sangat merasakan bentuk-bentuk perubahan iklim yaitu pergeseran musim yang sulit untuk diprediksi, abrasi, kenaikan suhu, badai seperti puting beliung. Fenomena perubahan iklim dan dampak ekonomi yang dirasakan oleh nelayan berbeda karena memiliki karakteristik yang berbeda dari segi alat tangkap yang digunakan. Namun, pada umumnya nelayan di ketiga kecamatan saat ini merasa kesulitan untuk memprediksi musim, berkurangnya hasil tangkapan, dan daerah tangkapan lebih jauh dari tahun-tahun sebelumnya. Adaptasi yang dilakukan oleh nelayan di ketiga desa juga memiliki perbedaan. Namun, pada dasarnya adaptasi yang mereka lakukan lebih pada bentuk trial and error atau uji coba. Pada tahun 1998 dan 1999 pergeseran musim kemarau dan penghujan sangat terasa ekstrim dimana bulan-bulan yang seharusnya masuk ke dalam musim kemarau namun tibatiba berubah menjadi musim penghujan dan sebaliknya. Demikian juga pada tahun 2010 musim kemarau hanya satu bulan, selama 11 bulan merupakan musim penghujan. Hal ini berdasarkan data BMKG tentang badai disebabkan adanya La nina yang terjadi pada tahun 2010 tersebut. Hal yang belum pernah terjadi dan pertama kali dialami oleh masyarakat yaitu kejadian yang menghebohkan di Pulau Siompu dan sekitarnya yaitu kematian ikan secara masal selama 3 (tiga) bulan lebih. Menurut nelayan pada saat itu terjadi angin kencang disertai hujan sedikit, lalu air laut berwarna merah dan kuning dari arah timur menuju ke barat, kemudian keesokan harinya masyarakat tidak bisa makan ikan dan menyebabkan kematian masal ikan. Untuk peristiwa ini sudah dilakukan penelitian namun belum dipastikan penyebab dari kematian masal ikan tersebut. Hal ini sangat berpengaruh pada pelarangan makan ikan oleh Bupati Buton karena ada korban jiwa setelah makan ikan. kemudian lebih lanjut kejadian seperti ini berdampak pada mata pencaharian nelayan. Perubahan iklim yang juga dialami yaitu adanya pergeseran musim yang sulit untuk diprediksi. Hal ini sangat mempengaruhi mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar sangat bergantung pada sumberdaya laut. Pergeseran musim ini berdampak pada kepastian waktu melaut nelayan. Menurut nelayan dengan adanya pergeseran musim yang sulit untuk diprediksi membuat nelayan tidak dapat menentukan kapan mereka melaut dan tidak melaut. Saat ini nelayan sering mengalami pada hari-hari tertentu yang seharusnya mereka dapat melaut namun mereka tidak dapat melaut karena cuaca yang tidak memungkinkan. Hal ini disebabkan karena armada penangkapan yang dimiliki nelayan Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
247
Laporan Teknis
pada umumnya merupakan armada tradisional yang pada umumnya tidak dapat digunakan pada saat angin kencang dan gelombang besar. Musim yang terdapat di Kabupaten Buton seperti di daerah lainnya yaitu terdapat dua musim yaitu musim hujan dan kemarau. Musim hujan terjadi diantara bulan Desember sampai dengan bulan April. Musim kemarau terjadi diantara bulan Juli dan September. Khusus pada bulan April dan Mei, arah angin tidak menentu, demikian pula dengan curah hujan, sehingga pada bulan-bulan ini dikenal dengan musim pancaroba. Pergeseran musim yang terjadi yaitu terkadang jumlah musim hujannya lebih banyak atau sebaliknya. Tabel 72. Pergeseran Musim di Kabupaten Buton Musim Angin Musim Barat - Dulu - Sekarang Musim Timur
1
2
3
4
X X
X X
X X
X
- Dulu - Sekarang Pancaroba - Dulu - Sekarang
5
X
X X
X X
X X
Bulan 6 7
X X
X X
8
X X
9
10
11
12
X
X X
X
X
X X
Sumber : Data Primer diolah (2012)
4.5.5.2 Adaptasi yang Dilakukan untuk Menyikapi Perubahan Struktur Ekonomi Adaptasi yang dilakukan oleh nelayan di ketiga desa juga memiliki perbedaan. Namun, pada dasarnya adaptasi yang mereka lakukan lebih pada bentuk ‘trial and error’ atau uji coba. Upaya pengembangan ekonomi lokal yang dapat dilakukan yaitu dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan nelayan mengenai pengolahan hasil perikanan agar memiliki nilai tambah dan mengatasi rendahnya harga pada saat musim ikan. Selain itu, memperbaiki jalur pemasaran untuk meningkatkan harga jual dan melepaskan ketergantungan terhadap penampung. Upaya penguatan kelembagaan keuangan sangat dibutuhkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap pemberi modal atau bos. Upaya pengembangan ekonomi lokal lainnya yang dapat dilakukan yaitu dengan pengembangan sektor pariwisata, sehingga sektor jasa dapat menjadi mata pencaharian alternatif penduduk dalam mengatasi ketidakpastian musim dan bentuk perubahan iklim
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
248
Laporan Teknis
lainnya. Bentuk perubahan iklim yang sangat dirasakan oleh nelayan di Kabupaten Buton adalah ketidakmampuan memprediksi musim karena menurut pengakuan mereka, musim telah bergeser dan mempersulit dalam memperkirakan musim yang akan datang. Permasalahan ini sudah terjadi semenjak 2-3 tahun yang lalu. Hal ini berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi, terutama kegiatan penangkapan di laut. Mereka harus berupaya keras untuk menentukan kapan hari melaut. Ketika berada di tengah laut, tak jarang kegiatan melaut mereka terhalang oleh ombak dan angin kencang, yang menyebabkan mereka harus menghentikan sementara kegiatan penangkapan dengan mengevakuasi diri ke pulau terdekat. Produktivitas nelayan berkurang akibat tidak melaut akibat hambatan cuaca. Masyarakat taidak mampu lagi mengidentifikasi musim yang sedang berlangsung, karena tidak menentunya cuaca.
4.5.5.3 Perubahan pada asset i. Aset Manusia Aset manusia merupakan aspek yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Perubahan iklim telah memberikan pengaruh yang sangat besar terkait kemampuan dan pengetahuan sumberdaya manusianya terkait memprediksi musim. Pergeseran musim telah membuat manusia dalam hal ini nelayan tidak dapat lagi membaca alam dan memprediksi iklim. Pengetahuan lokal mereka tentang kondisi alam dan musim yang sudah mereka miliki sejak nenek moyang kini tidak bisa digunakan lagi untuk membaca alam dan musim. Adaptasi yang dilakukan oleh nelayan yaitu dengan mulai belajar sedikit demi sedikit lagi tentang fenomena alam dan pergeseran musim yang terjadi. Mereka mengkonstruksi kembali pengetahuan mereka tentang alam. Perubahan ini juga diadaptasi dengan banyak bertukar informasi dengan sesama nelayan, serta mencari informasi tentang prakiraan cuaca yang salah satunya dari BMKG melalui dinas perikanan setempat, atau melalui pesan singkat atau radio komunitas.
ii. Aset Alam Aset alam yang berubah akibat perubahan iklim yaitu berkurangnya atau menurunnya kualitas ekosistem sumberdaya laut. Hal ini berdampak pada menurunnya produksinya ikan, walaupun untuk di beberapa tempat penurunan produksi ikan tidak terjadi. Perubahan pada aset alam yang lain seperti berubahnya musim atau terjadi Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
249
Laporan Teknis
pergeseran musim dengan diiringi datangnya angin atau ombak, peningkatan
suhu,
kekeringan dan abrasi. Hal ini sangat berpengaruh pada nelayan karena aktivitas ekonominya sangat bergantung pada alam. Demikian juga dengan sektor pertanian yang bergantung pada alam.
iii. Aset finansial Aset finansial terpengaruh oleh perubahan iklim, baik pada sektor perikanan maupun pertanian. Pada sektor perikanan meskipun nelayan belum merasakan penurunan yang sangat signifikan namun berdasarkan data produksi perikanan terjadi penurunan produksi. Demikian juga dengan sektor pertanian, perubahan iklim telah berdampak pada penurunan produksi yang sangat signifikan seperti berkurangnya produksi jeruk di Siompu dan kecenderungan punahnya jenis jeruk tersebut. Hal ini sangat mempengaruhi pendapatan dan keuangan masyarakat karena jeruk siompu pernah menjadi sumber pendapatan yang besar di Siompu.
iv. Aset Fisik Perubahan iklim dalam bentuk abrasi berpengaruh pada kerusakan wilayahn pantai dan tambak rumput laut yang ada di tepi pantai. Abrasi juga telah berpengaruh pada makin berkurangnya wilayah daratan. Hal ini menyebabkan rumah yang terdapat di wilayah pinggir pantai harus mengungsi dan berpindah tempat, sehingga mereka harus mengeluarkan biaya untuk membuat rumah baru. Abrasi juga telah membuat dermaga yang terbuat dari kayu rusak.
4.5.5.4 Adaptasi yang dilakukan untuk menyikapi perubahakaren terkena pada aset i.
Meningkatkan Efektifitas Alat Produksi Adaptasi terhadap perubahan iklim yang dilakukan oleh masyarakat Buton terkait
dengan mata pencaharian yaitu dengan mengefektifkan penggunaan alat tangkap. Nelayan perikanan tangkap menyesuaikan penggunaan alat tangkap sesuai waktu atau musim. Pada saat musim tuna nelayan menggunakan pancing tuna, pada waktu lainnya nelayan menggunakan jaring. Namun saat ini nelayan juga banyak yang membawa lebih dari satu alat tangkap yaitu pancing dan jaring. Nelayan juga menambah jumlah jaring yang dibawa pada saat melaut, seperti yang semula 2 piece menjadi 5 piece. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
250
Laporan Teknis
Untuk memaksimalkan hasil tangkapan nelayan saat ini banyak yang juga melakukan penangkapan di sekitar rompon. Rompon yang dijadikan tempat penangkapan biasanya milik orang lain. Namun jika meminta izin kepada pemiliknya maka nelayan tersebut boleh menangkap di sekitar rompon tersebut. Pada tahun 1980-an, nelayan di Buton banyak yang memiliki rompon namun setelah tahun 1990-an banyak rompon mereka yang rusak dan tidak dapat lagi membiayai perbaikan rompon sehingga mereka kini tidak memiliki rompon. Modal untuk membuat rompon tradisional saat ini berkisar Rp5.000.000 – 10.000.000,-, modal pembuatan rompon pada masa lalu berkisar Rp 750.000,-.
ii. Memindahkan Lokasi Usaha Adaptasi yang dilakukan nelayan dalam menghadapi perubahan iklim yaitu dengan memindah lokasi penangkapan. Hal ini dilakukan oleh nelayan di Siompu merubah lokasi penangkapan ikan tergantung besarnya ombak. Pada saat ombak besar di barat Siompu para nelayan melakukan penangkapan di sebelah timur, dan sebaliknya. Nelayan juga menambah jam kerja pada saat melaut untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak. Sebagian kecil nelayan ada yang tetap melaut pada saat cuaca buruk. Menurut nelayan hal ini dilakukan karena tuntutan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Nelayan juga beralih melakukan pekerjaan di darat pada saat tidak dapat melaut. Mereka melakukan pekerjaan seperti bertani, beternak, tukang ojek, buruh bangunan dan sebagainya. Mereka juga berdagang di sela-sela usaha lainnya yang mereka lakukan. Jika kita berkunjung ke Buton maka akan banyak pondok-pondok kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari baik makanan maupun lainnya. Budidaya keramba juga mulai banyak dilakukan oleh masyarakat untuk mengantisipasi berkurangnya pendapatan dari perikanan tangkap.
iii. Meningkatkan Pengetahuan Dan Keterampilan Sebagian besar masyarakat nelayan di Kabupaten Buton mengaku sangat membutuhkan keterampilan dan pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan usaha demi meningkatkan pendapatan nelayan. Pengetahuan dan keterampilan hyang dibutuhkan yaitu tentang penggunaan alat tangkap yang modern namun tetap ramah lingkungan. Selama ini nelayan banyak yang belum mengoptimalkan cara-cara penangkapan. Mereka biasanya berusaha belajar dari nelayan-nelayan luar yang berasal dari Selayar dan Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
251
Laporan Teknis
Bulukumba. Peningkatan keterampilan juga seharusnya ditunjang oleh program tambahan seperti modal, akses teknologi dan jaminan pemasaran oleh pemerintah daerah dan pusat.
iv. Penganekaragaman Usaha Adaptasi yang dilakukan dalam menghadapi perubahan iklim yaitu dengan melakukan penganekaragaman usaha. Penganekaragaman usaha juga dilakukan oleh nelayan untuk mengisi waktu-waktu kosong dimana mereka tidak melaut. Para nelayan banyak yang melakukan mata pencaharian rangkap. Seorang nelayan juga menjadi pembudidaya rumput laut, buruh bangunan, tukang ojek, petani, peternak, dan pedagang. Hal ini cukup dimengerti karena pada umumnya nelayan di Mawasangka Tengah dan Siompu pada masa lalu merupakan petani yang beralih pekerjaan menjadi nelayan dan pembudidaya rumput laut, sehingga mereka bisa melakukan pekerjaan lainnya. Kondisi alam yang dimiliki masyarakat Buton mendukung penganekaragaman jenis usaha. Sebagian besar masyarakat khususnya di pulau-pulau besar yang memiliki potensi sumber
daya
alam
yang
menunjang
sector
pertanian
dan
peternakan
dapat
mendiversifikasikan jenis usahanya. Potensi pertanian berupa jambu mete juga cukup dikembangkan di daerah tersebut. Masyarakat juga mengembangkan peternakan ayam. Selain itu, masyarakat juga banyak yang membuat usaha kerajinan tenun dan anyaman yang dapat dijadikan cinderamata dari Kabupaten Buton. Jenis usaha lainnya yang dikembangkan di masyarakat yaitu usaha jasa pariwisata dimana pulau-pulau di Kabupaten Buton memiliki keindahan alam dengan sumberdaya terumbu karang yang indah.
v.
Memperbaiki prasarana ekonomi Adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat Buton terkait sumber mata air yaitu
masyarakat saat ini sudah menyiapkan tempat-tempat air pada saat musim hujan sehingga pada saat musim kemarau berkepanjangan, mereka masih dapat menggunakan persediaan air untuk pertanian. Adaptasi yang juga dilakukan nelayan adalah memperbaiki prasarana ekonomi yaitu dengan memperbaiki dermaga yang rusak maupun jalan sebagai akses utama pemasaran hasil tangkapan.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
252
Laporan Teknis
vi. Kebutuhan Pendorong Berdasarkan Ranking Penelitian di Kabupaten Buton dapat digolongkan menjadi dua yaitu wilayah pulau dan pesisir. Hasil identifikasi pada saat FGD terhadap kebutuhan pendorong yang diperlukan berdasarkan urutan rangking disampaikan pada Tabel 73 berikut: Tabel 73. Kebutuhan Pendorong berdasarkan Rangking pada Lokasi FGD di Kabupaten Buton Kecamatan Mawasangka Tengah 1. Pengembangan akses permodalan 2. Pengembangan pengetahuan dan keterampilan 3. Pengembangan sarana dan prasarana 4. Peraturan/regulasi 5. Pengembangan organisasi 6. Pengembangan teknologi
Kecamatan Siompu
Kecamatan Pasarwajo
1. Pelaksanaan regulasi 2. Pengembangan pengetahuan dan keterampilan 3. Pengembangan akses permodalan 4. Pengembangan sarana dan prasarana 5. Pengembangan teknologi 6. Peraturan/regulasi 7. Pengembangan organisasi
1. Pengembangan akses permodalan 2. Pengembangan pengetahuan dan keterampilan 3. Pengembangan sarana dan prasarana 4. Pengembangan teknologi 5. Pengembangan organisasi 6. Peraturan/regulasi 7. Pelaksanaan regulasi
Sumber: data primer diolah (2012)
4.5.6 Kabupaten Raja Ampat 4.5.6.1 Kejadian terkait perubahan iklim yang mempengaruhi struktur ekonomi Kejadian terkait perubahan iklim dengan melihat besaran frekuensi, derajat bencana dan dampaknya serta tingkat kemampuan adaptasi yang mempengaruhi struktur ekonomi di Kabupaten Raja Ampat ditampilkan pada Tabel 74.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
253
Laporan Teknis
Tabel 74. Bentuk perubahan parameter iklim dan pengaruhnya pada struktur ekonomi Perubahan parameter iklim
Peningkatan suhu Peningkatan curah hujan Kekeringan Intrusi air laut Banjir Coral bleaching Gempa bumi Rob Abrasi Pergeseran musim Badai Keterangan:
Apakah terjadi beberapa tahun terakhir
Frekuensi
Derajat bencana
Dampaknya
Kemampuan adaptasi
√
3
3
2
1
6
x
-
-
-
-
-
√ x
3 -
3 -
3 -
1 -
8 -
x x
-
-
-
-
-
x x
3 3
3 3
3 3
1 1
8 8
x
-
-
-
-
-
Total kerentanan
= ada; x = tidak ada 3 = tinggi; 2 = sedang; 1 = rendah
(Sumber : data primerdiolah, 2012)
Bentuk perubahan iklim yang sangat dirasakan oleh nelayan di Kabupaten Raja Ampat yaitu peningkatan suhu, kekeringan, abrasi dan pergeseran musim. Menurut nelayan, dari keempat bentuk perubahan iklim tersebut memiliki frekuensi, derajat bencana, dan dampak yang sama. Namun, bentuk perubahan iklim yang paling dirasakan dan sangat berpengaruh dalam aktivitas melaut yaitu pergeseran musim. Nelayan merasa kesulitan dalam memprediksi musim. Hal ini terutama berpengaruh pada kegiatan penangkapan di laut. Mereka harus berupaya keras untuk menentukan kapan hari melaut. Ketika berada di tengah laut, tak jarang kegiatan melaut mereka terhalang oleh ombak dan angin kencang, yang menyebabkan mereka harus menghentikan sementara kegiatan penangkapan dengan menepi ke pesisir pulau terdekat atau kembali dan membatalkan rencana untuk melaut.Produktifitas nelayan berkurang akibat tidak melaut akibat hambatan cuaca. Masyarakat tidak mampu lagi mengidentifikasi musim karena cuaca yang tidak menentu.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
254
Laporan Teknis
Tabel 75. Pergeseran Musim di Kabupaten Raja Ampat Musim Angin Musim Barat - Dulu - Sekarang (tidak dapat diidentifikasi oleh masyarakat) Musim Timur - Dulu - Sekarang (tidak dapat diidentifikasi oleh masyarakat) Pancaroba - Dulu - Sekarang (tidak dapat diidentifikasi oleh masyarakat)
1
2
3
4
Bulan 5 6 7 8
9 10 11 12
X X X X
X X
X X X X X X X
X
X X X X X X X X X X X
X X
X
X
Sumber : Data Primer diolah (2012)
Perubahan iklim berdampak pada kesulitan nelayan dalam memprediksi musim berdasarkan arah angin sehingga sulit pula mengetahui kalender musim penangkapan ikan. Pengaruh yang paling besar adalah berkurangnya waktu dalam kegiatan penangkapan di laut karena angin kencang atau ombak besar sehingga mengakibatkan berkurangnya hasil tangkapan. Dampak lain dari perubahan iklim selain pergeseran musim yaitu peningkatan suhu, kekeringan, abrasi. Kekeringan berpengaruh pada aktivitas pertanian, dimana tanah menjadi kekurangan air sehingga tanaman tidak tumbuh. Hal ini menyebabkan kegagalan panen atau panen yang dihasilkan tidak maksimal. Abrasi berpengaruh pada makin berkurangnya wilayah pesisir, sehingga luas daratan semakin berkurang. Hal ini sangat berpengaruh terhadap tempat tinggal nelayan karena topografi wilayah Kabupaten Raja Ampat sebagai wilayah kepulauan dimana pesisir langsung berbatasan dengan pegunungan, sehingga dengan adanya abrasi wilayah untuk tempat tinggal semakin berkurang.
4.5.6.2 Adaptasi yang Dilakukan untuk Menyikapi Perubahan Struktur Ekonomi Adaptasi yang dilakukan masyarakat perikanan di Kabupaten Raja Ampat dalam menghadapi perubahan iklim sebagian besar dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta menambah waktu produksi. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan yaitu pengetahuan dan keterampilan tentang pengolahan hasil perikanan.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
255
Laporan Teknis
Hal ini untuk mengatasi permasalahan pemasaran yang sering terkendala dengan masalah transportasi antar pulau. Selain itu, nelayan juga menginginkan pengetahuan dan keterampilan tentang sistem pemasaran yang baik agar harga jual ikan lebih tinggi. Nelayan juga membutuhkan pengetahuan dan keterampilan terkait pengembangan ekonomi alternatif yang dapat dilakukan pada saat mereka tidak melaut. Pengembangan ekonomi alternatif yang sangat potensial dilakukan yaitu sektor pariwisata. Peluang sebagai guide atau pemandu wisatawan yang datang berkunjung ke pulau mereka, termasuk guide untuk menyelam. Hal ini sangat memungkinkan karena Kabupaten Raja Ampat terkenal dengan sumberdaya bawah laut yang sangat indah. Selain jasa, ekonomi alternatif lainnya terkait sektor pariwisata yaitu pembuatan keterampilan dan kerajinan tangan yang dibuat dari bagian-bagian tanaman yang ada di sekitar masyarakat. Adaptasi yang dilakukan nelayan dalam menghadapi dampak perubahan iklim yaitu dengan menambah waktu produksi, yaitu menambah waktu nelayan pergi melaut dua sampai empat jam lebih lama dibanding waktu-waktu sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk menambah penghasilan ikan nelayan, karena menurut nelayan perubahan iklim telah berpengaruh pada usaha mereka yaitu lebih sulit menangkap ikan. Masyarakat juga menanggulangi perubahan iklim dengan perbaikan sarana dan prasarana ekonomi seperti perbaikan dermaga yang rusak akibat abrasi.
4.5.6.3 Perubahan pada asset i. Aset Manusia Aset manusia merupakan aspek yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Perubahan iklim telah memberikan pengaruh yang sangat besar terkait kemampuan dan pengetahuan sumberdaya manusianya terkait musim. Pergeseran musim telah membuat manusia dalam hal ini nelayan tidak dapat lagi membaca alam dan memprediksi iklim. Pengetahuan lokal mereka tentang kondisi alam dan musim yang sudah mereka miliki sejak nenek moyang kini tidak bisa digunakan lagi untuk membaca alam dan musim. Adaptasi yang dilakukan oleh nelayan yaitu dengan mulai belajar sedikit demi sedikit lagi tentang fenomena alam dan pergeseran musim yang terjadi. Mereka mengkonstruksi kembali pengetahuan mereka tentang alam. Perubahan ini juga diadaptasi dengan banyak bertukar informasi dengan sesama nelayan, serta mencari informasi tentang prakiraan
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
256
Laporan Teknis
cuaca yang salah satunya dari BMKG melalui dinas perikanan setempat, atau melalui pesan singkat atau radio komunitas.
ii.Aset Alam Aset alam yang berubah akibat perubahan iklim yaitu berkurangnya atau menurunnya kualitas ekosistem sumberdaya laut. Hal ini berdampak pada dengan adanya perubahan iklim produksinya menurun, walaupun untuk di beberapa tempat penurunan produksi ikan tidak terjadi. Sebagai contoh produksi ikan lema yang ada di Distrik Teluk Mayalibit, dimana terjadi penurunan produksi yang cukup signifikan. Menurut nelayan sudah satu tahun ini produksi ikan lema berkurang hingga sepersepuluh. Nelayan yang biasanya dapat memperoleh ikan sebanyak 1000 ekor kini hanya dapat 100 ekor saja Perubahan pada aset alam yang lain seperti berubahnya musim atau terjadi pergeseran musim dengan diiringi datangnya angin atau ombak, peningkatan
suhu,
kekeringan dan abrasi.Hal ini sangat berpengaruh pada nelayan karena aktivitas ekonominya sangat bergantung pada alam. Demikian juga dengan sektor pertanian yang bergantung pada alam. Bahkan sektor pariwisata pun sangat bergantung pada alam Karena ketidakpastian musim dapat mengurangi jumlah kunjungan wisatawan. Perubahan lingkungan juga berakibat meningkatnya jenis penyakit tertentu seperti malaria, demam berdarah dan TBC. Untuk saat ini, endemic penyakit kaki gajah juga mulai ditemukan di Kabupaten Raja Ampat.
iii.
Aset finansial Aset finansial meskipun belum sangat dirasakan pengaruh dari perubahan iklim,
namun untuk sektor pertanian mulai sangat dirasakan yaitu dengan berkurangnya produksi pertanian. Nelayan juga merasakan penurunan pendapatan dengan berkurangnya produksi ikan, sehingga aset keuangan nelayan pun terganggu karen hasil tangkapannya berkurang yang disebabkan penurunan produksi dan berkurangnya jam melaut nelayan.
iv.
Aset Fisik Perubahan iklim dalam bentuk abrasi telah berpengaruh pada makin berkurangnya
wilayah daratan. Hal ini menyebabkan rumah yang terdapat di wilayah pinggir pantai harus mengungsi dan berpindah tempat. Abrasi sangat dirasakan nelayan di Sawinggrai. Jarak Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
257
Laporan Teknis
pergeseran atau berkurangnya wilayah daratan mencapai 30 meter. Hal ini sangat meresahkan masyarakat mengingat topografi wilayah kepulauan di Raja Ampat yang memiliki wilayah daratan pesisirnya tidak begitu luas dan wilayah pesisir langsung berbatasan dengan gunung. Rumah yang terletak di pinggir pantai rusak terbawa ombak, sehingga mereka harus berpindah tempat dan membutuhkan biaya untuk membuat rumah baru.
4.5.6.4 Adaptasi yang dilakukan untuk menyikapi perubahan pada aset i.
Meningkatkan Efektifitas Alat Produksi Nelayandi Kabupaten Raja Ampat secara keseluruhan menggunakan alat tangkap
pancing tradisional.Masyarakat melakukan adaptasi dalam menyikapi perubahan iklim dengan mengefektifkan penggunaan alat tangkap, menambah jam kerja pada saat cuaca mendukung dan melakukan penangkapan ke lokasi yang lebih jauh dari sebelumnya. Hanya sebagian kecil nelayan yang tetap melaut pada saat cuaca buruk.
ii. Memindahkan Lokasi Usaha Secara keseluruhan lokasi usaha masyarakat di Kabupaten Raja Ampat berlangsung di laut dan darat. Jenis usaha di sektor perikanan sangat mengandalkan sumberdaya laut, baik perikanan tangkap maupun budidaya. Namun, jika nelayan tidak melaut biasanya jenis usaha yang mereka lakukan antara lain penjemuran ikan dan pembuatan kerajinan tangan. Jenis usaha pembuatan kerajinan tangan umumnya dilakukan oleh kaum perempuan yaitu istri nelayan. Lokasi usaha dilakukan di rumah masing-masing atau di tepi pantai baik perorangan maupun secara kolektif atau bersama-sama. Selain perikanan, jenis usaha lainnya yang dilakukan masyarakat yaitu pertanian dan perladangan. Jenis usaha pertanian dan perkebunan mengandalkan sumberdaya hutan yang ada di darat. Pada saat nelayan tidak melaut maka mereka bertani, baik dilakukan di pulau yang sama atau di pulau seberang. Namun, untuk nelayan yang tinggal di pualupulau kecil dengan jenis tanah berbatuan jenis usaha bertani tidak ditemukan. Biasanya nelayan yang tinggal di pulau pulau kecil selain melaut juga mengolah hasil perikanan.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
258
Laporan Teknis
iii. Meningkatkan Pengetahuan dan Keterampilan Kondisi geografi Raja Ampat yang terdiri dari pulau-pulau memiliki konsekuensi pada permasalahan pemasaran yaitu sarana transportasi antar pulau. Kondisi ini menyebabkan nelayan sangat bergantung pada penadah ikan yang berada di kampung mereka, sehingga pada saat penadah ikan di kampung tidak membeli hasil tangkapan mereka maka ikan dibawa pulang ke rumah mereka. Ikan yang tidak terjual diolah menjadi ikan asin atau yang biasa disebut dengan ikan garam. Pembuatan ikan garam menurut nelayan bertujuan agar ikan tetap laku terjual. Menurut nelayan, pada dasarnya mereka lebih senang menjual ikan segar, karena nilai jualnya lebih tinggi. Kondisi tersebut membuat masyarakat merasa sangat membutuhkan pengetahuan dan keterampilan terkait pengolahan hasil perikanan sehingga tetap memiliki nilai jual tinggi. Selain pemberian pengetahuan dan keterampilan, masyarakat juga sangat membutuhkan pendampingan serta bantuan teknologi pengolahan hasil perikanan. Berdasarkan pengalaman yang ada di masyarakat, berbagai program pelatihan yang ada tidak berlanjut pada tahap implementasi. Pelatihan –pelatihan yang ada berakhir pada saat program tersebut berakhir. Hal ini disebabkan oleh masyarakat pada umumnya tidak dapat hanya diberikan pelatihan saja yang pada umumnya hanya berlangsung dalam waktu singkat. Mereka sangat membutuhkan pendampingan dari pelatihan pengetahuan dan keterampilan yang ada. Selain itu, masyarakat juga membutuhkan bantuan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam hal ini pengolahan hasil perikanan, sehingga mereka dapat mengimplementasikan program pelatihan dan keterampilan yang diberikan.
iv. Penganekaragaman Usaha Penganekaragaman jenis usaha ditemukan di Kabupaten Raja Ampat khususnya di pulau-pulau besar dan sedang. Untuk pulau-pulau kecil, penganekaragaman jenis usaha tidak ditemukan karena sumberdaya yang dapat diakses hanya sumberdaya laut sehingga jenis usahanya hanya pada sektor perikanan dan kelautan. Penganekaragaman usaha dilakukan untuk mengantisipasi berkurangnya enganekaragaman jenis usaha yang ditemukan di Kabupaten Raja Ampat bersumber pada perkebunan, peternakan, kehutanan dan industri. Selain sumberdaya laut, Kabupaten Raja Ampat juga terkenal dengan sumberdaya hutannya. Hampir sebagian besar masyarakat di pulau-pulau besar dan sedang memiliki Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
259
Laporan Teknis
jenis usaha dari hasil hutan dan kebun seperti tanaman sagu, kelapa, pinang, dan sayur mayur. Namun, sebagian besar hasil pertaniannya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan dijual hanya dalam jumlah kecil. Tanaman pandanus yang banyak tumbuh di tanah Raja Ampat juga menjadi potensi ekonomi alternatif bagi masyarakatnya yaitu sebagai bahan baku kerajinan tangan untuk cinderamata. Saat ini penganekaragaman jenis usaha juga bersumber dari pariwisata. Hal ini karena secara keseluruhan sumberdaya laut kabupaten Raja Ampat memang terkenal dengan sumberdaya alam yang sangat kaya khususnya sumberdaya laut karena terletak di jantung segitiga terumbu karang (Kabupaten Raja Ampat, 2012). Keindahan laut Raja Ampat memberikan peluang jenis usaha di bidang jasa pariwisata seperti pengurus dan pelayan cottage atau penginapan dan jasa pemandu wisata terutama untuk jasa diving dan snorkeling. Berdasarkan hasil penelitian hingga saat ini masih sangat sedikit pemandu jasa wisata yang berasal dari masyarakat lokal.
v.
Memperbaiki prasarana ekonomi Perubahan iklim yang dirasakan para nelayan di Kabupaten Raja Ampat secara
keseluruhan yaitu terjadi pergeseran musim yang tidak dapat diprediksi. Pada saat seharusnya sudah masuk musim kemarau tetapi masih terjadi musim penghujan dan sebaliknya sehingga nelayan tidak dapat lagi memprediksi tinggi gelombang dan arah angin. Perubahan iklim yang juga dirasakan masyarakat yaitu terjadinya abrasi di wilayah Kampung Sawingrai. Hal ini berakibat pada makin berkurangnya wilayah pesisir sehingga wilayah darat semakin berkurang dan berakibat pada makin berkurangnya tempat tinggal masyarakat. Selain itu, sarana dermaga yang terbuat dari kayu juga rusak. Perbaikan yang dilakukan oleh masyarakat akibat pergeseran musim dan abrasi dilakukan secara swadaya, seperti untuk memperbaiki dermaga, masyarakat secara bersama-sama bergotong royong baik dari segi finansial maupun sumber daya manusianya. Hal ini dilakukan karena dermaga merupakan salah satu prasarana ekonomi yang penting sebagai tempat keluar masuk nelayan dan tempat menambatkan perahu mereka.
vi. Kebutuhan Pendorong Berdasarkan Ranking Hasil FGD yang dilakukan di Kampung Arborek menunjukkan kebutuhan pendorong pembangunan yang dapat diurutkan berdasarkan prioritas yaitu : Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
260
Laporan Teknis
1.
Pengembangan pengetahuan dan keterampilan
2.
Pengembangan sarana dan prasarana
3.
Peraturan/regulasi
4.
Pengembangan teknologi
5.
Pengembangan akses permodalan
6.
Pengembangan organisasi
4.5.7 Kabupaten Biak Numfor 4.5.7.1 Kejadian Terkait Perubahan Iklim yang Mempengaruhi Struktur Ekonomi Kejadian terkait perubahan iklim dengan melihat besaran frekuensi, derajat bencana dan dampaknya serta tingkat kemampuan adaptasi yang mempengaruhi struktur ekonomi di Kabupaten Biak Numfor ditampilkan pada Tabel 76. Tabel 76. Bentuk perubahan parameter iklim dan pengaruhnya pada struktur ekonomi Perubahan parameter iklim
Peningkatan suhu Peningkatan curah hujan Kekeringan Intrusi air laut Banjir Coral bleaching Gempa bumi Rob Abrasi Pergeseran musim Badai Keterangan:
Apakah terjadi beberapa tahun terakhir
Frekuensi
Derajat bencana
Dampaknya
Kemampuan adaptasi
Total kerentanan
1
1
3
1
4
x
-
-
-
-
-
x
2
2
3
1
6
x x
-
-
-
-
-
x
3 2 3
3 2 3
3 3 3
2 2 1
7 5 8
3
3
3
1
8
= ada; x = tidak ada 3 = tinggi; 2 = sedang; 1 = rendah
Sumber : data primer (diolah)
Bentuk perubahan iklim yang sangat dirasakan masyarakat
Kabupaten Biak
Numfor adalah ketidakmampuan memprediksi musim akibat pergeseran musim yang dirasakan, permasalahan ini terjadi sejak kiasaran Tahun 1996 dan 2000. Hal ini sangat
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
261
Laporan Teknis
berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi masyarakat nelayan terutama di bidang perikanan tangkap. Karena cuaca buruk dan angin yang datang tiba-tiba maka aktifitas melaut mereka terhambat dan waktu produksi berkurang. Masyarakat tidak mampu lagi mengidentifikasi musim angin yang sedang berlangsung, karena tidak menentunya cuaca. Perubahan Iklim berdampak pada kesulitan nelayan dalam memprediksi musim berdasarkan arah angin sehingga sulit pula mengetahui kalender musim penangkapan ikan. pengaruh yang paling besar adalah berkurangnya waktu dalam kegiatan penangkapan di laut karena angin kencang atau ombak besar sehingga mengakibatkan berkurangnya hasil tangkapan. Dampak lain dari perubahan iklim selain pergeseran musim adalah Rob, Abrasi dan Badai. Hal ini menyebabkan terganggunya aktifitas ekonomi masyarakat nelayan di Kabupaten Biak Numfor terutama di sektor perikanan tangkap. Ombak besar turut menjadi hambatan karena dapat merusak aset produksi berupa sampan dan alat tangkap.Jika sedang musim angin keras atau terjadi badai nelayan mengalihkan pekerjaannya ke sektor pertanian. Namun jika musim kering sektor pertanian kesulitan air karena memanfaatkan tadah hujan sebagai sumber pengairan. Perubahan aktivitas ekonomi tak lepas dari berkembangnya cara kerja masyarakat dalam beradaptasi mengatasi dampak perubahan iklim. Meskipun sektor lain diluar sektor perikanan hanya mampu memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga saja (subsisten), namun perkembangan ini menunjukan bahwa masyarakat Kabupaten Biak Numfor telah mampu mendiversifikasikan usaha hingga dapat lepas dari ketergantungan sumber daya kelautan dan perikanan. Tabel 77. Pergeseran Musim Angin di Yenusi Kabupaten Biak Numfor Musim Angin Musim Barat - Dulu (1996) - Sekarang (tidak bisa diprediksi) Musim Timur - Dulu (1996) - Sekarang (tidak bisa diprediksi) Pancaroba - Dulu - Sekarang
1
2
3
X
X
X
4
X
X
5
X
Bulan 6 7
X
8
9
10
11
12
X
X
X
X
X
X
X
Sumber : Data Primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
262
Laporan Teknis
Berdasarkan Tabel 77 di atas dapat dilihat bahwa sebelum tahun 1996 musim barat berlangsung pada bulan 8, 9, 10, 11, 12, 1, 2 dan 3. Musim timur pada sebelum 1996 berlangsung dari bulan 4 hingga bulan 7. Di Desa Yenusi, Distrik Biak Timur kondisi yang memungkinkan untuk nelayan tradisional melakukan aktifitas penangkapan adalah pada saat musim timur atau dalam kondisi teduh. Sedangkan pada musim barat angin dan ombak besar terjadi di perairan sekitar Biak Timur sehingga kebanyakan nelayan melakukan aktifitas lain di darat seperti bertani dan beternak. Pada era sekarang atau sejak 1996, masyarakat nelayan tidak mampu lagi mengidentifikasi dan memprediksi musim yang sedang berlangsung sekarang dan akan datang. Hal ini mengakibatkan pendapatan nelayan di bidang perikanan tangkap tidak menentu. Faktor keterbatasan sarana dan prasarana penangkapan menyebabkan nelayan kesulitan dalam melakukan kegiatan penangkapan saat cuaca sedang buruk. Musim paceklik juga tidak mampu diprediksi sedangkan hasil produksi yang bagus terjadi pada bulan Mei. Tabel 78. Pergeseran Musim Angin di Woniki Kabupaten Biak Numfor Musim Angin Musim Barat - Dulu (1996) - Sekarang (tidak bisa diprediksi) Musim Timur - Dulu (1996) - Sekarang (tidak bisa diprediksi) Pancaroba - Dulu - Sekarang (tidak bisa diprediksi)
1
2
3
4
X
X
X
X
5
X
Bulan 6 7
X
8
9
10
11
12
X
X
X
X
X
X
Sumber : Data Primer diolah (2012)
Berdasarkan tabel 78 di atas dapat dilihat bahwa sebelum tahun 1996 musim barat berlangsung pada bulan 10,11 dan 12. Musim timur pada sebelum 1996 berlangsung dari bulan 4 hingga bulan 7. Di Desa Woniki, Distrik Biak Timur kondisi yang memungkinkan untuk nelayan tradisional melakukan aktifitas penangkapan adalah pada saat musim timur atau dalam kondisi teduh. Sedangkan pada musim barat angin dan ombak besar terjadi di perairan sekitar Biak Timur sehingga kebanyakan nelayan melakukan aktifitas lain di darat seperti bertani dan beternak. Pada era sekarang atau sejak 1996, masyarakat nelayan tidak mampu lagi mengidentifikasi dan memprediksi musim yang sedang berlangsung sekarang
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
263
Laporan Teknis
dan akan datang. Hal ini mengakibatkan pendapatan nelayan di bidang perikanan tangkap tidak menentu. Faktor keterbatasan sarana dan prasarana penangkapan menyebabkan nelayan kesulitan dalam melakukan kegiatan penangkapan saat cuaca sedang buruk. Musim paceklik terjadi pada bulan 6,7,8,9 dan 12 namun faktor alat tangkap sangat mempengaruhi, sedangkan hasil produksi yang bagus terjadi pada bulan Januari hingga Mei. Tabel 79. Pergeseran Musim Angin di Bindusi Kabupaten Biak Numfor Musim Angin Musim Barat - Dulu (1996) - Sekarang Musim Timur - Dulu (1996) - Sekarang Pancaroba - Dulu - Sekarang
1
X
2
X X
3
4
5
Bulan 6 7
X
X
X
X X
X X
X X
X X
X X
X X
X X
X
X
8
9
10
11
12
X
X
X
X
Sumber : Data Primer diolah (2012)
Berdasarkan Tabel 79 di atas dapat dilihat bahwa sebelum tahun 1996 musim barat berlangsung pada bulan 6, 7, 8, 9, 10, 11 dan 12. Musim timur pada sebelum 1996 berlangsung dari bulan 1 hingga bulan 6. Di Desa Bindusi, Distrik Biak Timur kondisi yang memungkinkan untuk nelayan tradisional melakukan aktifitas penangkapan adalah pada saat musim timur atau dalam kondisi teduh. Sedangkan pada musim barat angin dan ombak besar terjadi di perairan sekitar Biak Timur sehingga kebanyakan nelayan melakukan aktifitas lain di darat seperti bertani dan beternak. Pada era sekarang atau sejak 1996, musim telah bergeser. Musim barat sekarang berlangsung pada bulan 3 hingga 8, sedangkan musim timur berlangsung pada bulan 2 hingga 8. Tumpang tindih musim ini diperkirakan karena keterbatasan masyarakat dalam mengidentifikasi jenis musim angin yang berlangsung. Hal ini dikarenakan musim yang memang tidak menentu..
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
264
Laporan Teknis
4.5.7.2 Adaptasi yang Dilakukan untuk Menyikapi Perubahan Struktur Ekonomi Adaptasi yang dilakukan sebagian besar masyarakat Biak Numfor adalah dengan mendisifersivikasikan jenis usaha ekonomi. Mengurangi waktu produksi di laut dan membangun sarana dan prasarana berupa tanggul. Menurut informasi yang didapat masyarakat yang berada di pulau merasakan dampak akibat abrasi yang mencemaskan, namun bentuk adaptasi belum terlihat signifikan. Difersivikasi usaha tak lepas dari potensi alam yang teredia dan aset pendukungnya. Masyarakat biak timur diuntungkan dengan adanya potensi sumber daya lahan, hingga dapat melakukan kegiatan budidaya pertanian dan peternakan. Masyarakat Kabupaten Biak Numfor sangat membutuhkan pengembangan akses permodalan, pengembangan sarana dan prasarana dan
pengembangan keterampilan.
Kebutuhan pendorong lainnya adalah pengembangan teknologi, organisasi dan peraturan yang dapat mensejahterakan masyarakat nelayan..
4.5.7.3 Perubahan pada Aset i.
Aset Sosial Aset sosial yang berubah akibat perubahan iklim antara lain adalah kecemburuan
sosial antar desa yang mendapatkan bantuan atau program dari pemerintah. Di desa Bindusi, masyarakat setempat mengaku ingin seperti desa lain yang mendapat bantuan dan sentuhan perhatian dari pemerintah. Mereka mengaku bahwa dampak pergeseran musim dan keterbatasan sarana dan prasarana penangkapan menghambat perolehan pendapatan. Namun di Desa Yenusi dan Woniki, Distrik Biak Timur gejala perubahan aset sosial tidak terlihat, aset sosial yaitu kepercayaan, kerjasama, lembaga sosial dan agama dalam kondisi baik dan tidak terpengaruh oleh perubahan iklim.
ii. Aset Manusia Aset manusia mengalami perubahan dalam hal pengetahuan. Pengetahuan mereka tentang kondisi alam dan musim yang telah terbentuk sejak bertahun-tahun lamanya kini tidak bisa digunakan lagi untuk membaca alam dan musim. Masyarakat nelayan di tiga desa yang diteliti kini merasa tidak mampu memprediksi musim.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
265
Laporan Teknis
iii. Aset Fisik Aset fisik yang terkena dampak perubahan iklim dan mengalami perubahan antara lain adalah sarana dan prasara penangkapan milik nelayan, dermaga dan tanggul. Perahu sebagai alat produksi yang vital bagi nelayan jika mengalami kerusakan akan menyulitkan dan menghambat aktifitas masyarakat nelayan. Jika sampan tidak bisa digunakan lagi maka nelayan dapat membuat sendiri sampannya dengan bahan baku kayu dari ladang/kebun. Untuk dermaga dan tanggul masyarakat menunggu pembangunan dari pemerintah dan kerusakan tersebut sudah diidentifikasi oleh pemerintah daerah setempat.
iv. Aset Alam Aset alam yang mengalami perubahan adalah mengenai persoalan musim angin. Perubahan asset alam yang lain tidak ditemui. Hal ini disebabkan oleh karena berkurangnya aktifitas pembiusan dan pemboman. Faktor kedua adalah faktor tutupan terumbu karang yang mulai membaik dan massif sebagai habitat ikan. Faktor lain adalah tidak adanya gejala over fishing karena sebagian besar masyarakat nelayan masih menggunakan perahu dan alat tangkap yang sederhana. Hal tersebut membuat kelestarian sumber daya laut tetap terjaga, meskipun gejala perubahan iklim menghambat aktifitas penangkapan masyarakat nelayan. Jika cuaca kurang memungkinkan untuk melakukan aktifitas penangkapan maka masyarakat nelayan beralih ke pekerjaan budidaya pertanian dan peternakan. Jika cuaca cerah untuk melaut maka nelayan akan pergi melaut dan meninggalkan lahan pertaniannya.
v.
Aset finansial Perubahan terhadap aset finansial yaitu makin tidak pastinya pendapatan yang
berasal dari sumber daya laut. Sehingga berpotensi mengurangi tingkat kesejahteraan nelayan. Hal ini dikarenakan hasil tangkapan ikan berkurang karena jam melaut yang berkurang, maka nelayan makin sulit dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Maka dari itu sebagai bentuk adaptasi, masyarakat nelayan melakukan diversifikasi usaha antara perikanan kelautan, pertanian dan peternakan. Hal ini untuk menghindari ketergantungan terhadap salah satu sumber daya yang rawan terkena dampak perubahan iklim.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
266
Laporan Teknis
4.5.7.4 Adaptasi yang Dilakukan untuk Menyikapi Perubahan pada Aset i.
Meningkatkan Efektifitas Alat Produksi Masyarakat Biak melakukan adaptasi dalam menyikapi perubahan iklim dengan
mengefektifkan penggunaan alat tangkap. Lebih dari 20 masyarakat nelayan tangkap di desa Yenusi dan 10 masyarakat nelayan tangkap di Desa Bindusi melakukan peningkatan efektifitas alat tangkap yaitu dengan membawa lebih banyak alat tangkap serta menambah waktu penangkapan jika cuaca memungkinkan. Di Desa Woniki belum ada yang melakukan peningkatan efektifitas alat produksi karena terkendala modal. Nelayan juga mengaku lebih meningkatkan waktu penangkapan menjadi siang dan malam hari demi peningkatan hasil tangkapan dan pendapatan rumah tangga.
ii. Memindahkan Lokasi Usaha Dalam hal memindahkan lokasi usaha sangat terkait dengan jenis usahanya. Masyrakat nelayang di Desa Yenusi dan Bindusi lebih dari 20 memindahkan lokasi usahanya. Hal ini terkait dengan perubahan angin yang sering ditemui saat di laut sehingga mengharuskan nelayan perikanan tangkap mencari hasil tangkapan di lokasi lain yang lebih tenang. Pemindahan lokasi usaha juga terkait dengan keberadaan potensi sumber daya alam dan sumber pendapatan berbasis jasa. Maka dari itu nelayan banyak yang mempunyai sampingan aktifitas ekonomi berupa budidaya pertanian, peternakan dan perdagangan. Di Desa Woniki belum ada yang mampu memindahkan lokasi usaha karena terkendala modal.
iii. Meningkatkan Pengetahuan dan Keterampilan Dalam hal meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat nelayan, Sebagian besar masyarakat nelayan di Kabupaten Biak Numfor terkhususnya di Kabupaten Woniki sudah melakukannya dengan melibatkan diri pada pelatihan yang dibuat pemerintah daerah, namun tindak lanjut tidak ada. Di Desa Yenusi dan Bindusi hanya 5 masyarakat nelayan yang tengah dan ingin melakukan peningkatan keterampilan dan pengetahuan. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan sangat dibutuhkan masyarakat, namun peningkatan keterampilan juga harus ditunjang oleh program tambahan seperti modal, akses teknologi dan jaminan pemasaran oleh pemerintah daerah dan pusat. Jika hanya diberikan pelaithan saja tanpa program tambahan maka seperti pengalaman yang Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
267
Laporan Teknis
lalu, tidak akan mampu berkembang. Karena pengetahuan saja tidak cukup tanpa didukung oleh aspek permodalan, teknologi, jaminan pemasaran dan bimbingan intensif dari pemerintah.
iv. Penganekaragaman Usaha Dalam hal penganekaragaman jenis usaha di Kabupaten Biak Numfor. Sebagian besar masyarakat khususnya di pulau-pulau besar yang memiliki potensi sumber daya alam yang
menunjang
sektor
pertanian
dan
peternakan.
Maka
masyarakat
dapat
mendiversifikasikan jenis usahanya. Penganekaragaman jenis usaha ke bidang pertanian dengan komoditas: : umbi-umbian, singkong, talas, jagung, kacang panjang, sawi, kol, terong, buncis, pinang, merica, kangkung, timun, sagu, tomat, durian, nangka, cempedak. Sedangkan untuk peternakan antara lain: ayam, babi dan sapi. Hampir setiap nelayan juga sebagai penjual hasil tangkapan di pasar ikan lokal yaitu di Bosnik dan Pasar Ikan Kota Biak. Di tiga desa yang menjadi objek penelitian yaitu di Desa Yenusi, Woniki dan Bindusi sebagaian besar atau lebih dari 20 masyarakat mempunyai lebih dari 1 jenis mata pencaharian.
v.
Memperbaiki Prasarana Ekonomi Adaptasi yang juga dilakukan adalah memperbaiki prasarana ekonomi seperti pembangunan dermaga, tanggul, jalan raya serta pemerintah daerah berencana membangun tambatan perahu serta perbaikan dermaga. Perbaikan prasarana ekonomi yang dilakukan masyarakat nelayan sendiri adalah dengan memperbaiki sampan atau perahu dan apabila sampan sudah rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi maka nelayan dapat membuat sampan dengan bahan baku kayu yang berasal dari ladang. Perbaikan alat tangkap juga dilakukan sendiri dan apabila sudah tidak dapat diperbaiki maka nelayan membeli alat tangkap yang baru.lebih dari 20 masyarakat desa Yenusi, Woniki dan Bindusi tengah memperbaiki dan ingin mengupayakan perbaikan prasarana ekonomi. Kendala yang seringkali dihadapi dalam upaya memperbaiki prasarana ekonomi adalah minimnya modal.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
268
Laporan Teknis
vi.
Alih Pekerjaan Alih pekerjaan dilakukan oleh masyarakat nelayan di Yenusi dan Bindusi tak lebih
dari 5 dari jumlah warga. Alih pekerjaan biasanya dari masyarakat nelayan perikanan tangkap ke arah bidang jasa seperti kuli bangunan, ojek atau bekerja di kota.
vii. Kebutuhan Pendorong Berdasarkan Rangking Kebutuhan pendorong di masyarakat berdasarkan hasil FGD di beberapa lokasi berdasarkan rangking ditampilkan pada Tabel 80 berikut ini. Tabel 80. Kebutuhan Pendorong berdasarkan Rangking pada Lokasi FGD di Kabupaten Biak Numfor Desa Yenusi 1. Pengembangan sarana dan prasarana 2. Pengembangan pengetahuan dan keterampilan 3. Pengembangan teknologi 4. Pengembangan akses permodalan 5. Pengembangan organisasi 6. Peraturan/regulasi
Desa Woniki 1. Pengembangan sarana dan prasarana 2. Pengembangan pengetahuan dan keterampilan 3. Pengembangan teknologi 4. Pengembangan akses permodalan 5. Pengembangan organisasi 6. Peraturan/regulasi
Desa Bindusi 1. Pengembangan akses permodalan 2. Pengembangan sarana dan prasarana 3. Pengembangan pengetahuan dan keterampilan 4. Peraturan/regulasi 5. Pengembangan teknologi 6. Pengembangan organisasi
Sumber: data primer diolah (2012)
4.6 Identifikasi Rencana-Rencana dan Kebijakan Pemerintah Daerah 4.6.1 Rencana-rencana Masyarakat dan Kebijakan Pemerintah Kabupaten Pangkep Rencana-rencana masyarakat dan kebijakan yang mendukung adaptasi terhadap perubahan iklim dan pengembangan ekonomi di Kabupaten Pangkep disajikan pada Tabel 81 dan 82. Tabel 81. Rencana-rencana di tingkat masyarakat Kabupaten Pangkep Rencana Alih profesi Pindah tempat tinggal Perbaikan kondisi lingkungan
Rincian deskripsi • Tidak ada • Tidak ada • Peningkatan efektivitas pengawasan swadaya terhadap penggunaan alat tangkap yang dianggap dapat merusak
Pengembangan jenis ekonomi baru
• Introduksi budidaya menggunakan keramba jaring apung (KJA) • Penganekaragaman usaha pengolahan hasil perikanan
Aktor dan partisipan
• Nelayan individu • Pokmaswas • PSDKP • Nelayan, terutama ibuibu rumah tangga
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
269
Laporan Teknis
Tabel 82. Kebijakan Pemerintah di Kabupaten Pangkep Kebijakan yang ada
Rincian deskripsi
Aktor dan partisipan
• Pengembangan pusat budidaya dan industri rumput laut • Pengembangan sentra transplantasi karang • Pengaktifan SPBN
• • • • • • • Bantuan kapal katingting, mesin 5- • 6,5pk beserta alat tangkap misalnya: • pancing, bubu (rakang) rumpon •
Kebijakan terkait pengembangan infrastruktur
Kebijakan terkait pengembangan SDM
• Swakelola kapal dari dinas • Pemberian hibah joloro beserta mesin 32 PK • Pengembangan teknologi dan pemberantasan penyakit pada rumput laut • Penindakan tegas bagi pelaku pemboman dan pembiusan • Pengawasan dari polair
Kebijakan terkait pengembangan industri
Dinas KP Kabupaten Pembudidaya Investor CORE MAP PERTAMINA, Dinas KP Kabupaten KKP Pusat Dinas KP Kabupaten Nelayan
• Direktorat Jenderal Budidaya • Polair • PSDKP • TNI AL
Sumber: data primer diolah (2012)
4.6.2 Kabupaten Sikka Rencana-rencana masyarakat dan kebijakan yang mendukung adaptasi terhadap perubahan iklim dan pengembangan ekonomi di Kabupaten Sikka disajikan pada Tabel 83 dan 84. Tabel 83. Rencana-rencana di tingkat masyarakat Kabupaten Sikka Rencana Alih profesi Pindah tempat tinggal Perbaikan kondisi lingkungan Pengembangan jenis ekonomi baru
• • • • •
Rincian deskripsi Tidak ada Tidak ada Peningkatan efektivitas pengawasan swadaya terhadap penggunaan alat tangkap yang dianggap dapat merusak Introduksi budidaya menggunakan keramba jaring apung (KJA) Penganekaragaman usaha pengolahan hasil perikanan
Aktor dan partisipan
• • • •
Nelayan individu Pokmaswas PSDKP Nelayan, terutama ibu-ibu rumah tangga
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
270
Laporan Teknis
Tabel 84. Kebijakan pemerintah di Kabupaten Pangkep Kebijakan yang ada Kebijakan terkait pengembangan infrastruktur Kebijakan terkait pengembangan SDM
Kebijakan terkait pengembangan industri
Rincian deskripsi Aktor dan partisipan • Pengembangan sarana pemasaran baik • KKP, Kemperindag, di dalam maupun di luar wilayah KUKM, investor (transportasi, conectivitas, jaringan pemasaran) • Peningkatan program-program • KKP, KUKM penyuluhan terkait pengembangan • Nelayan laki-laki,kaum keterampilan masyarakat perempuan (istri nelayan • Merangsang tumbuhnya investasi melalui penggalakan sosialisasi • Pemberian bantuan teknologi dan modal, investasi, sarana transportasi untuk pemasaran
• Kemperindag, KKP, investor • Dinas KP Kabupaten • Dinas Perhubungan Kabupaten • Pengusaha, Nelayan laki-laki,kaum perempuan (istri nelayan)
Sumber: data primer diolah (2012)
4.6.3 Kabupaten Wakatobi Rencana-rencana masyarakat dan kebijakan yang mendukung adaptasi terhadap perubahan iklim dan pengembangan ekonomi di Kabupaten Wakatobi disajikan pada Tabel 85 dan 86. Tabel 85. Rencana-rencana di tingkat masyarakat Kabupaten Wakatobi Rencana Alih profesi Pindah tempat tinggal Perbaikan kondisi lingkungan
Pengembangan jenis ekonomi baru
• • •
• • •
Rincian deskripsi Tidak ada Tidak ada Peningkatan efektivitas pengawasan swadaya masyarakat terhadap penggunaan alat tangkap yang dianggap dapat merusak Pengembangan Budidaya Karamba Jaring Apung Penganekaragaman pengolahan hasil perikanan Pengembangan pariwisata bahari
• • • • • • • • •
Aktor dan partisipan Tidak ada Tidak ada Nelayan individu Pokmaswas PSDKP Polair Nelayan Ibu-ibu istri nelayan Pemerintah (KKP dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif)
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
271
Laporan Teknis
Tabel 86. Kebijakan pemerintah di Kabupaten Wakatobi Kebijakan yang ada Kebijakan terkait pengembangan infrastruktur
Kebijakan terkait pengembangan SDM
Kebijakan terkait pengembangan industri
Rincian deskripsi
Aktor dan partisipan
• Pengembangan Sarana pemasaran hasil perikanan antar pulau ke wilayah lain (transportasi, conectivitas, jaringan pemasaran • Pengembangan infrastruktur pendukung pariwisata (jalan, listrik, transportasi) • Peningkatan pengetahuan dan keterampilan SDM melalui penyuluhan dan pelatihan-pelatihan • Bantuan teknologi pengolahan hasil perikanan
• • • •
• Pengembangan teknologi budidaya dan pengolahan • Pengembangan sarana transportasi pemasaran • Merangsang tumbuhnya investasi melalui sosialisasi • Penindakan tegas bagi pelaku pengrusakan terumbu karang
• Direktorat Jenderal Budidaya dan P2HP • KUKM
KKP Perhubungan Investor Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
• KKP (BPSDM) • KUKM • Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif • Nelayan laki-laki dan perempuan
• Polair • PSDKP • TNI AL
Sumber: data primer diolah (2012)
4.6.4. Kabupaten Selayar Rencana-rencana masyarakat dan kebijakan yang mendukung adaptasi terhadap perubahan iklim dan pengembangan ekonomi di Kabupaten Selayar disajikan pada Tabel 87 dan 88. Tabel 87. Rencana-rencana di tingkat masyarakat Kabupaten Selayar Rencana Alih profesi
•
Pindah tempat tinggal Perbaikan kondisi lingkungan
• •
Pengembangan jenis ekonomi baru
• • • • • • •
Rincian deskripsi Tidak ada, namun terdapat diversifikasi usaha ke sektor pertanian dan perdagangan Tidak ada Pengawasan tegas swadaya masyarakat terhadap penggunaan alat tangkap merusak dari luar daerah (paregreg / mini trawl) Budidaya Karamba Jaring Apung Budidaya Karamba Jaring Tancap Tambak Nener Bandeng Industri Kopra Pertanian Perdagangan Pariwisata
Aktor dan partisipan • Nelayan individu • Tidak ada • Nelayan individu • Pokmaswas • Nelayan • Ibu-ibu istri nelayan • KKP, KUKM, Kementerian Pertanian, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
272
Laporan Teknis
Tabel 88. Kebijakan pemerintah di Kabupaten Selayar Kebijakan yang ada Kebijakan terkait pengembangan infrastruktur
Kebijakan terkait pengembangan SDM
Kebijakan terkait pengembangan industri
Rincian deskripsi
Aktor dan partisipan
• Pengemb. sarana pemasaran hasil perikanan antar pulau ke wilayah lain (transportasi, konektivitas, jaringan pemasaran • Pembangunan TPI dan Pasar • Pembangunan Dermaga (tempat tambat kapal) • Pembangunan Pabrik es • Pengembangan sarana listrik • Peningkatan jumlah kapal penumpang Selayar-Tanjung Bira • Pembangunan destilasi air laut sebagai sarana penyedia air bersih • Pembangunan pos pengawasan khususnya di pulau-pulau kecil • Peningkatan pengetahuan dan keterampilan SDM melalui penyuluhan dan pelatihan-pelatihan • Bantuan teknologi alat tangkap, budidaya dan pengolahan hasil perikanan
• • • •
• Pengembangan teknologi budidaya rumput laut , budidaya ikan karang dan karamba serta pengolahan • Pengembangan sarana transportasi pemasaran • Penguatan kelembagaan pasar di darat • Zonasi wilayah penangkapan • Konversi tambak yang kurang produktif • Penindakan tegas bagi pelaku pengrusakan sumberdaya • Penambahan jumlah armada pengawasan patroli di wilayah perairan Selayar • Sinergi peraturan melalui Koordinasi lintas sektor
•
• •
• • • •
• • • •
KKP Perhubungan Investor Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif PLN PU
KKP (BPSDM) KUKM Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nelayan laki-laki dan perempuan Direktorat Jenderal Budidaya dan P2HP KUKM PSDKP TNI AL Polair
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
273
Laporan Teknis
4.6.5 Kabupaten Buton Rencana-rencana masyarakat dan kebijakan yang mendukung adaptasi terhadap perubahan iklim dan pengembangan ekonomi di Kabupaten Buton disajikan pada Tabel 89 dan 90. Tabel 89. Rencana-rencana di tingkat masyarakat Kabupaten Buton Rencana Alih profesi Pindah tempat tinggal Perbaikan kondisi lingkungan
Pengembangan jenis ekonomi baru
Rincian deskripsi • Ada, pada umumnya nelayan ingin menjadi pedagang • Tidak ada • Pengawasan tegas swadaya masyarakat terhadap penggunaan alat tangkap yang umumnya dilakukan oleh nelayan pendatang dari luar desa atau pulau • Penetapan kawasan konservasi secara hukum formil, yang didukung pula oleh hukum adat. • Budidaya Karamba Jaring Apung • Budidaya Karamba Jaring Tancap • Perdagangan • Industri rumah tangga berupa kerajinan tenun dan anyaman • Pariwisata
Aktor dan partisipan • Nelayan individu • • • • •
Tidak ada Nelayan individu Pokmaswas Lembaga Adat Coremap
• Nelayan • Ibu-ibu istri nelayan • KKP, KUKM, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kemenperindag
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
274
Laporan Teknis
Tabel 90. Kebijakan Pemerintah di Kabupaten Buton Kebijakan yang ada Kebijakan terkait pengembangan infrastruktur
Kebijakan terkait pengembangan SDM
Kebijakan terkait pengembangan industri
Rincian deskripsi • Pengemb. sarana pemasaran hasil perikanan antar pulau ke wilayah lain (transportasi, konektivitas, jaringan pemasaran • Pembangunan TPI dan Pasar • Pembangunan Dermaga (Tempat tambat kapal) • Pembangunan Pabrik es • Pembangunan pabrik rumput laut • Pengembangan sarana listrik • Pembangunan jalan • Pengembangan armada transportasi penumpang • Sarana penginapan bagi wisatawan • Peningkatan pengetahuan dan keterampilan SDM melalui penyuluhan dan pelatihan terkait cara penagkapan ikan yang baik dan ramah lingkungan serta modern, budidaya, pengolahan hasil perikanan, keterampilan, dan pengembangan ekonomi alternatif • Bantuan teknologi alat tangkap, budidaya dan pengolahan hasil perikanan • Pengembangan teknologi budidaya rumput laut , budidaya ikan karang dan karamba serta pengolahan hasil perikanan dan rumput laut • Pengembangan sarana transportasi pemasaran dan wisata • Penguatan kelembagaan pasar dan TPI untuk menghilangkan dominasi pengumpul • Zonasi wilayah penangkapan • Penindakan tegas bagi pelaku pengrusakan sumberdaya • Penambahan jumlah armada pengawasan patroli • Merangsang investasi melalui sosialisasi
Aktor dan partisipan • • • •
KKP Perhubungan Investor Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif • PLN • PU
• KKP (BPSDM) • KUKM • Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif • Nelayan laki-laki dan perempuan
• Direktorat Jenderal Budidaya dan P2HP • KUKM • PSDKP • TNI AL • Polair
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
275
Laporan Teknis
4.6.6 Kabupaten Raja Ampat Rencana-rencana masyarakat dan kebijakan yang mendukung adaptasi terhadap perubahan iklim dan pengembangan ekonomi di Kabupaten Raja Ampat disajikan pada Tabel 91 dan 92. Tabel 91. Rencana-rencana di tingkat masyarakat Kabupaten Raja Ampat Rencana Alih profesi
Pindah tempat tinggal Perbaikan kondisi lingkungan
Pengembngan jenis ekonomi baru
Rincian deskripsi Aktor dan partisipan • Tidak ada, namun ada diversifikasi usaha • Nelayan ke sektor pariwisata • Ibu-ibu istri nelayan • Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif • Tidak ada • Tidak ada • Pengawasan tegas swadaya masyarakat • Nelayan individu terhadap penggunaan alat tangkap yang • Pokmaswas merusak oleh nelayan pendatang dari luar • Lembaga Adat kabupaten • Lembaga Keagamaan • Penguatan tradisi sasi adat dan agama, • Lembaga Swadaya baik di darat maupun di laut untuk Masyarakat (NGO) baik menjaga keberlangsungan sumberdaya lokal maupun asing (adat buka tutup dimana waktu • PSDKP penangkapan ditentukan bersama oleh • Polair masyarakat) • Penetapan kawasan konservasi secara hukum formil juga dikuatkan oleh hukum adat. • Pengembangan budidaya (rumput laut, • Nelayan karamba jaring apung, karamba jaring • Ibu-ibu istri nelayan tancap, teripang) • KKP • Pengolahan hasil perikanan (terasi) • KUKM • Pengolahan hasil perkebunan • Kementerian Pariwisata • Pengolahan hasil hutan dan Ekonomi Kreatif • Pariwisata (Jasa pemandu dan • Kemenperindag penginapan) • Industri rumah tangga (kerajinan tenun dan anyaman)
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
276
Laporan Teknis
Tabel 92. Kebijakan pemerintah di Kabupaten Raja Ampat Kebijakan yang ada Kebijakan terkait pengembangan infrastruktur
Kebijakan terkait pengembangan SDM
Kebijakan terkait pengembangan industri
Rincian deskripsi • Sarana pemasaran hasil perikanan antar pulau • Pembangunan TPI dan Pasar • Pembangunan Dermaga (Tempat tambat kapal) • Pengembangan sarana listrik • Pengembangan armada transportasi penumpang • Sarana penginapan bagi wisatawan • Peningkatan pengetahuan dan keterampilan SDM melalui penyuluhan dan pelatihan terkait budidaya, pengolahan hasil perikanan, kerajinan tangan dan jasa pemandu wisata • Penguatan kelembagaan kelompok nelayan melalui pendampingan yang simultan dan terkoordinasi antar instansi atau antar program • Bantuan teknologi budidaya dan pengolahan hasil perikanan • Pengembangan teknologi budidaya rumput laut , budidaya ikan karang dan karamba serta pengolahan • Pengembangan sarana transportasi pemasaran dan wisata • Penguatan kelembagaan pasar dan TPI untuk menghilangkan dominasi pengumpul • Sosialisasi Wilayah Konservasi • Penindakan tegas bagi pelaku pengrusakan sumberdaya • Penambahan jumlah armada pengawasan patroli • Merangsang investasi melalui sosialisasi
Aktor dan partisipan KKP Perhubungan Investor Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif • PLN • PU • • • •
• KKP (BPSDM) • KUKM • Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif • Nelayan laki-laki dan perempuan
• Direktorat Jenderal Budidaya dan P2HP • KUKM • PSDKP • TNI AL • Polair
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
277
Laporan Teknis
4.6.7 Kabupaten Biak Numfor Rencana-rencana masyarakat dan kebijakan yang mendukung adaptasi terhadap perubahan iklim dan pengembangan ekonomi di Kabupaten Biak Numfor disajikan pada Tabel 93 dan 94.
Tabel 93. Rencana-rencana di tingkat masyarakat Kabupaten Biak Numfor Rencana Alih profesi
•
Pindah tempat tinggal Perbaikan kondisi lingkungan
• •
Pengembangan jenis ekonomi baru
• • • • • • • •
Rincian deskripsi Tidak ada, namun terdapat upaya2 diversifikasi usaha ke sektor pertanian, peternakan, industri, perdagangan dan jasa pariwisata Tidak ada Pengawasan tegas swadaya masyarakat terhadap penggunaan alat tangkap yang merusak Budidaya Karamba Jaring Apung Budidaya Karamba Jaring Tancap Budidaya teripang Budidaya ikan darat Pertanian Peternakan Perdagangan Pariwisata
Aktor dan partisipan • Nelayan individu
• Tidak ada • Nelayan individu • Pokmaswas • Nelayan • Ibu-ibu istri nelayan • KKP, KUKM, Kementerian Pertanian, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
278
Laporan Teknis
Tabel 94. Kebijakan pemerintah di Kabupaten Biak Numfor Kebijakan yang ada • Kebijakan terkait pengembangan infrastruktur
• Kebijakan terkait pengembangan SDM
• Kebijakan terkait pengembangan industri
Rincian deskripsi • Pembangunan SPBN • Sarana pemasaran hasil perikanan antar pulau • Pembangunan Dermaga (Tempat tambat kapal) di wilayah Pasar ikan • Pengembangan infrastuktur kota jasa dengan jasa pariwisata dan konsep MICE (Meeting Incentive Converence Exhbition) • Pembangunan Pusat pengelolaan ecoregion yang berpusat di Biak Numfor untuk Wilayah Papua • Pembangunan ruang terbuka hijau untuk menanggulangi dampak perubahan iklim • Peningkatan pengetahuan dan keterampilan SDM melalui penyuluhan dan pelatihan terkait cara budidaya rumput l;aut, budidaya ikan, pembuatan pakan ikan dan pengolahan hasil perikanan (abon ikan) • Peningkatan pengetahuan SDM tentang kelestarian lingkungan melalui kurikulum sekolah • Bantuan teknologi budidaya dan pengolahan hasil perikanan • Pengembangan teknologi budidaya rumput laut , budidaya ikan karang dan karamba serta pengolahan • Bantuan perahu katinting • Pengembangan sarana transportasi pemasaran dan wisata • Bantuan rumpon • Penambahan jumlah lahan konvensional untuk mencegah sistem peladangan berpindah
• • • • • • • •
Aktor dan partisipan KKP Perhubungan Investor KKementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif PLN PU Kementerian ESDM KLH
• KKP (BPSDM) • KUKM • Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif • Nelayan laki-laki dan perempuan
• Direktorat Jenderal Budidaya dan P2HP • Direktorat Perikanan Tangkap • Kementerian Pertanian • KLH • Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
279
Laporan Teknis
4.7 Potensi Peluang dan Kendala Pengembangan Ekonomi Masyarakat Perikanan Rumah tangga masyarakat perikanan dalam kajian ini bisa dianggap sebagai unit kelembagaan usaha yang menghasilkan pendapatan. Pendapatan keluarga nelayan dan pembudidaya tidak terbatas di bidang perikanan saja tetapi juga dari usaha pada bidang bukan perikanan. Analisis SWOT digunakan untuk mengidentifikasi faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) terhadap unit usaha rumah tangga masyarakat perikanan. Setiap faktor internal dan eksternal masing-masing ditentukan pembobotannya berdasarkan kepentingannya sehingga jumlah bobot menjadi + 1,0 untuk kekuatan dan peluang, serta – 1,0 untuk kelemahan dan ancaman. Selanjutnya setiap faktor diberi skoring berdasarkan frekuensi kejadiannya dan perkaliannya dengan bobot yang sudah ditentukan menghasilkan nilai untuk faktor internal dan eksternal. Faktor internal dan eksternal pengembangan ekonomi masyarakat perikanan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 95 dan Tabel 96. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor internal terdiri dari aspek sumberdaya manusia, aset sumberdaya alam, akses dan kelembagaan. Adapun faktor eksternal lebih mengarah pada kebijakan pemerintah, sarana prasarana dan kondisi sosial ekonomi.
Tabel 95. Komponen Faktor Internal Pengembangan Ekonomi Masyarakat Perikanan di Lokasi Penelitian No Faktor Internal Keterangan Kekuatan (+) 1 Sumberdaya manusia Pendidikan dan pengetahuan yang cukup Jumlah angkatan kerja yang memadai Motivasi untuk perbaikan masa depan 2 Aset yang dimiliki Kepemilikan perahu/kapal dan alat penangkapan ikan
3
Fasilitas rumah tangga yang memadai
Akses yang mudah Kredit dari perbankan
Kesadaran akan pentingnya pendidikan dan pengetahuan serta pemahaman teknologi tinggi Kegiatan terkait sektor perikanan merupakan pencaharian utama di lokasi penelitian Masyarakat perikanan menginginkan masa depan yang lebih baik meskipun bekerja sebagai nelayan Kapal/perahu untuk menangkap ikan sudah dimiliki oleh nelayan tanpa keterikatan dengan pengumpul Fasilitas yang dimiliki rumah tangga sudah memadai, bahkan pada sebagian nelayan yang merupakan suku Bajo, kondisi rumah sudah permanen Perbankan mau memberikan pinjaman kredit kepada nelayan dengan mengagunkan kapal motor milik
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
280
Laporan Teknis
No
Faktor Internal
4
5
Informasi dan teknologi Pasar cukup
Sumberdaya alam Hasil tangkapan atau hasil budidaya banyak Kelembagaan Kelompok nelayan atau pembudidaya aktif Lembaga sosial aktif
Kelemahan (-) 1 Sumberdaya manusia Penguasaan teknologi kurang
2
3
Penyalahgunaan pengetahuan
Jiwa kewirausahaan kurang
Aset yang dimiliki Kepemilikan perahu/kapal dan alat penangkapan ikan Fasilitas rumah tangga yang kurang Akses yang sulit Kredit dari perbankan perlu agunan
4
Fasilitas pendukung terbatas Sumberdaya alam Perubahan/pergeseran musim Hujan yang terus menerus
5
Pasar terbatas
Hama penyakit yang berulang
Kelembagaan Koperasi belum efektif
Lembaga usaha belum ada
Keterangan Informasi mengenai teknologi Kondisi pasar yang cenderung oligopsoni, karena pengaruh jumlah pedagang pengumpul Jumlah hasil tangkapan dan produksi budidaya dapat dimaksimalkan dengan pemahaman mengenai teknologi Nelayan dan pembudidaya berkelompok dan aktif melakukan kegiatan Lembaga non profit berperan serta dalam mendampingki kegiatan kelompok
Penguasaan teknologi pada sebagian nelayan terbatas karena tidak mendapatkan pelatihan dan pendampingan yang kontinyu Pengetahuan mengenai penggunaan alat tangkap digunakan tidak dengan sebaik-baiknya Masyarakat terbatas motivasinya dengan tetap melakukan usaha perikanan yang sama meskipun mengalami kegagalan Pada sebagian nelayan adanya keterikatan dengan pemilik modal membuat penentuan harga menjadi lemah Fasilitas di rumah tangga terbatas Sebagian nelayan dan pembudidaya masih kesulitan mendapatkan permodalan dari bank Pemasaran produk ikan hanya dijual secara manual Pemenuhan kebutuhan tidak maksimal Kondisi musim sulit untuk diprediksi Kondisi hujan yang berlangsung dua tahun berturut-turut membuat produksi menurun Hama atau penyakit pada usaha rumput laut selalu ditemukan setiap tahunnya Koperasi bagi nelayan belum berjalan secara efektif Lembaga usaha yang khusus menampung hasil produksi nelayan atau pembudidaya belum ada
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
281
Laporan Teknis
Tabel 96. Komponen Faktor Eksternal Pengembangan Ekonomi Masyarakat Perikanan di Lokasi Penelitian No Faktor Internal Keterangan Kekuatan (+) 1 Kebijakan pemerintah Perijinan usaha yang mudah
2
Kinerja dinas terkait baik
Dukungan LSM baik
Sarana prasarana Pasar cukup
3
Transportasi cukup
Sosial ekonomi Permintaan pasar banyak
Dukungan sosial budaya cukup
Kelemahan (-) 1 Kebijakan pemerintah Belum ada pencatatan produksi yang tepat Penyuluhan kurang efektif Kebijakan pasar belum ada 2
3
Penunjang usaha Perubahan iklim/musim
Sosial ekonomi Kemitraan usaha belum ada
Biaya produksi tinggi
Tingginya persaingan usaha
Izin usaha diberikan oleh pemerintah selama memenuhi syarat dan tidak merusak lingkungan Dinas melaksanakan tugas fungsinya yang sesuai, misalnya melakukan tindakan tegas bagi pelaku pemboman serta pembiusan, pencurian sumber daya laut, dsb Ada pendampingan pada kelompok nelayan dan pembudidaya dari organisasi non pemerintah Lokasi penjualan tersedia cukup, jumlah dan kapasitasnya Fasilitas transportasi tersedia dan mempermudah kegiatan pemasaran Hasil tangkapan nelayan dan produksi rumput laut pembudidaya habis diserap oleh pasar Ada kegiatan dari nelayan dan pembudidaya yang mendukung kelestarian sumberdaya
Pencatatan produksi perikanan masih dilakukan dengan pendekatan estimasi Penyuluh bidang perikanan sangat terbatas Kebijakan mengenai penentuan harga dasar menurut jenis ikan belum ditetapkan Kondisi iklim dan musim yang tidak menentu membuat nelayan sulit memprediksi kegiatan yang akan dilakukan Pelaku usaha pada umumnya berusaha secara soliter Biaya operasional dalam melakukan kegiatan penangkapan tinggi Semakin banyak jumlah nelayan
Sumber: data primer diolah (2012)
4.8 Analisis Stakeholder Dalam analisis stakeholder ini, representasi stakeholder yang ditentukan melalui teknik snowball, diwawancara untuk mengidentifikasi
pengaruh dan kepentingannya
terhadap kawasan terumbu karang. Stakeholder yang teridentifikasi dikategorikan pada beberapa tingkatan, yaitu lokal, regional dan nasional. Stakeholder tingkat lokal mencakup
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
282
Laporan Teknis
pemerintahan dan lembaga di tingkat kecamatan dan desa, serta pelaku usaha atau kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan dan sumberdaya pesisir dan terumbu karang yang terdiri dari: Pemerintah daerah (Camat, Kepala desa, Kepala dusun), nelayan, petani, petambak, pedagang, buruh, pedagang, pengumpul, masyarakat lokal, LSM lokal, Organisasi sosial, dan Wisatawan. Stakeholder tingkat regional dan nasional adalah lembaga pemerintahan baik pada tingkat regional dalam hal ini kabupaten dan propinsi serta tingkat nasional untuk pemerintahan pusat yang berwenang dalam pengaturan dan kebijakan terhadap pengelolaan kawasan terumbu karang. Hasil identifikasi dapat dilihat pada Tabel 97 berikut ini. Tabel 97. Stakeholder Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Terumbu Karang No 1
Lokal
Tingkat
2
Regional
3
Nasional
Stakeholder Camat Kepala desa Kepala dusun Nelayan Petani Petambak Pedagang besar Pengumpul lokal Masyarakat lokal LSM lokal Organisasi sosial Wisatawan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Coremap Taman Nasional Dinas Kehutanan Kabupaten Bappeda Kabupaten BPLHD Kabupaten DPRD Kabupaten Bappeda Propinsi KKP KLH Kemenhut NGO Perguruan tinggi
Sumber: data primer diolah (2012)
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
283
Laporan Teknis
Setiap stakeholder diidentifikasi derajat pengaruh dan kepentingannya dalam pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang di setiap lokasi penelitian. Hasil identifikasi tujuan dan kepentingan tersebut di atas secara grafis dapat diilustrasikan dalam peta stakeholder. Pemetaan stakeholder ini dilakukan dengan menghitung skor kepentingan dan pengaruh stakeholder. Dalam pemetaan ini, stakeholder dikelompokkan menurut kategori primer, sekunder dan eksternal yang dianalisis berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya. Sebaran posisi setiap stakeholder sehubungan dengan tingkat kepentingan dan pengaruhnya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan terumbu karang dapat dilihat pada Gambar 21 sampai dengan Gambar 27 berikut.
Gambar 21. Grafik Kepentingan dan Pengaruh dari Stakeholder terkait Pengelolaan Terumbu Karang di Kabupaten Pangkep
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
284
Laporan Teknis
Gambar 22. Grafik Kepentingan dan Pengaruh dari Stakeholder terkait Pengelolaan Terumbu Karang di Kabupaten Sikka
Gambar 23. Grafik Kepentingan dan Pengaruh dari Stakeholder terkait Pengelolaan Terumbu Karang di Kabupaten Selayar Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
285
Laporan Teknis
Gambar 24. Grafik Kepentingan dan Pengaruh dari Stakeholder terkait Pengelolaan Terumbu Karang di Kabupaten Wakatobi
Gambar 25. Grafik Kepentingan dan Pengaruh dari Stakeholder terkait Pengelolaan Terumbu Karang di Kabupaten Buton
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
286
Laporan Teknis
7,5
5,0
Nelayan; 5,00
Kepala dusun
Kepentingan .
Wisatawan
Petambak 2,5
Taman Nasional
Pengumpul lokal
Dinas Kehutanan Masyarakat KLH; 3,00 lokal; 3,00 KKP Kabupaten; 3,00
Kepala Pedagang desa; besar; 3,003,00
BPLHD Kabupaten LSM local Petani; Bappeda DPRD Kabupaten; 2,00 Propinsi ; 2,00 Bappeda Kabupaten
Camat
Organisasi sosial
0,0 0,0
2,5 Pengaruh
5,0
Gambar 26. Grafik Kepentingan dan Pengaruh dari Stakeholder terkait Pengelolaan Terumbu Karang di Kabupaten Raja Ampat
7,5
5,0
Kepentingan .
Nelayan; 5,00
Petambak 2,5
Wisatawan
Kepala dusun
Taman Nasional Masyarakat Pengumpul lokal lokal; 3,00
Kepala Pedagang desa; besar; 3,003,00
BPLHD Kabupaten Dinas Kehutanan LSM local Petani; Bappeda KLH; DPRD 2,00 Kabupaten; 2,00 Propinsi ; 2,00 Kabupaten; Bappeda Kabupaten2,00 KKP
Camat
Organisasi sosial
0,0 0,0
2,5 Pengaruh
5,0
Gambar 27. Grafik Kepentingan dan Pengaruh dari Stakeholder terkait Pengelolaan Terumbu Karang di Kabupaten Biak Numfor
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
287
Laporan Teknis
Secara umum di semua lokasi penelitian teridentifikasi setiap kelompok stakeholder baik primer, sekunder maupun tersier. Stakeholder primer memiliki tingkat kepentingan yang relatif tinggi terhadap sumberdaya baik pesisir maupun terumbu karang tetapi memiliki pengaruh yang relatif rendah dalam pengambilan keputusan dan hubungan dengan stakeholder lain. Stakeholder sekunder pada umumnya adalah instansi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan pelaku usaha atau industri. Stakeholder eksternal adalah stakeholder yang memiliki pengaruh yang relatif tinggi tetapi tingkat kepentingannya rendah.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
288
Laporan Teknis
V. SINTESA HASIL Hasil pengolahan dan analisis data-data tentang parameter iklim di setiap lokasi penelitian menunjukkan ada kesesuaian antara persepsi masyarakat dengan perubahan objektif terkait iklim yang terjadi di lokasi-lokasi tersebut. Meskipun terdapat beberapa penyimpangan, padaa umumnya masyarakat mempersepsikan dengan baik semua perubahan yang terjadi pada parameter iklim dari tahun ke tahun. Pengamatan pada dinamika suhu udara yang terdata pada stasiun-stasiun BMKG terdekat secara umum menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan, kecuali di Pangkep dan Biak. Selain kecenderungan peningkatan suhu tahunan tersebut, tercatat pula adanya peningkatan senjang suhu rendah dan suhu tinggi antar bulan dalam tahun yang sama. Di Selayar, peningkatan senjang antar bulan bahkan dirasakan terjadi sangat progresif sedangkan di Sikka peningkatannya tidak terlampau tajam. Sementara itu, peningkatan suhu tahunan yang tidak diikuti oleh peningkatan senjang suhu rendah – tinggi teramati pada kasus Wakatobi dan Buton. Di kedua lokasi tersebut, senjang suhu rendah – tinggi antar bulan cenderung tidak berubah dari tahun ke tahun. Pengamatan objektif pada dinamika curah hujan menunjukkan ada peningkatan intensitas hujan di hampir seluruh lokasi dari tahun ke tahun, yang diikuti pula dengan peningkatan variasi intensitas bulanan. Gejala penurununan curah hujan tahunan hanya terjadi secara tidak signifikan di Pangkep dan Selayar. Namun demikian, meskipun terdapat perbedaan dalam hal besarnya intensitas curah hujan tersebut, pengamatan objektif pada paramater ini menunjukkan adanya kenaikan variasi antar bulan, yang terdeteksi meningkat dari tahun ke tahun, kecuali untuk kasus pangkep dan Buton. Selanjutnya, apabila dilihat dari catatan jumlah hari hujan, teramati adanya kenaikan jumlah hari hujan dari tahun ke tahun di hampir semua lokasi kecuali Sikka, dimana terjadi kecenderungan sedikit penurunan. Sejalan dengan gejala yang terjadi pada parameter suhu dan curah hujan, pada umumnya variasi bulanan pun cenderung meningkat dari tahun ke tahun untuk parameter jumlah hari hujan. Terlepas dari beberapa pengecualian pada dinamika parameter-parameter tersebut di atas, hasil pengamatan objektif pada data-data BMKG tersebut menunjukkan indikasi yang pasti bahwa di setiap lokasi musim tidak lagi dapat diprediksikan. Di ketujuh lokasi, awal musim kemarau, akhir musim kemarau, awal musim penghujan dan akhir musim Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
289
Laporan Teknis
penghujan bergeser setiap tahunnya. Gejala ini pula yang secara subjektif teramati oleh masyarakat. Dari kegiatan-kegiatan FGD yang di lakukan di semua lokasi, terdapat variasi persepsi dari peserta FGD dalam terkait dinamika parameter iklim lain, tetapi di semua lokasi pada setiap FGD masyarakat menyatakan bahwa musim tidak lagi dapat diprediksikan awal maupun berakhirnya. Di sejumlah FGD di lokasi tertentu masyarakat tidak melihat perubahan yang signifikan pada suhu, curah hujan ataupun parameter iklim lain, tetapi terdapat pesan yang umum yaitu bahwa pengetahuan lokal mereka tentang musim tidak lagi relevan karena iklim telah berubah. Dikaitkan dengan perubahan yang terjadi dengan kondisi sumberdaya maupun sosial masyarakat, perubahan-perubahan parameter iklim tersebut terdeteksi telah membawa dampak negatif. Data yang diperoleh dari kegiatan desk work berupa penelusuran hasil-hasil penelitian terdahulu pada penelitian ini menunjukkan bahwa terumbu karang telah terjadi kerusakan yang terutama diakibatkan oleh perubahan iklim, yang diperparah oleh aktivitas merusak oleh manusia. Sementara itu, meningkatnya aktivitas juga dipicu oleh degradasi lingkungan dimana mereka menyandarkan hidup sehari-harinya, sehingga kondisi sosial dan ekonomi dirasakan semakin sulit dari waktu ke waktu. Hasil pengamatan di lokasi-lokasi yang menjadi fokus dari penelitian ini menunjukkan bahwa struktur ekonomi masyarakat, yang pada umumnya adalah masyarakat perikanan, pada wilayah-wilayah segitiga terumbu karang dicirikan dengan ketergantungan sangat tinggi masyarakat pada sumberdaya laut dan yang sangat dipengaruhi dan berpengaruh pada keberadaan dan kondisi terumbu karang, sedangkan produksi dari laut yang diperoleh cenderung menurun Usaha-usaha di bidang perikanan pada umumnya merupakan pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk, namun ketimpangan kekuatan pasar di antara kelompokkelompok pelaku menyebabkan tekanan terhadap sumberdaya. Ragam pencaharian cenderung tidak berkembang dari waktu ke waktu, sehingga tekanan terhadap sumberdaya tidak dapat terdistribusikan dengan baik. Kualitas sumberdaya manusia masih rendah sehingga berimplikasi pada pemanfaatan sumberdaya yang belum optimal tanpa memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Sebagian besar masyarakat masih dililit kemiskinan sehingga karena keterpaksaan (ketiadaan alternatif mata pencaharian) harus mengekplotasi sumberdaya pesisir dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan. Masyarakat masih banyak yang melakukan praktek ilegal (pengeboman, pembiusan, Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
290
Laporan Teknis
penggunaan alat tangkap terlarang) yang mempercepat kerusakan terumbu karang. Domisili masyarakat pada umumnya dekat dengan sumberdaya, namun berjarak relatif jauh dari jangkauan pengawasan. Keterampilan masyarakat dalam untuk alih usaha dan penganekaragaman pencaharian pada umumnya rendah. Penguatan struktur ekonomi dan upaya-upaya pengembangan ekonomi alternatif diperkirakan baru akan membawa hasil dalam beberapa tahun setelahnya sedangkan dampak perubahan iklim terhadap kehidupan nelayan terus berlangsung karena usaha-usaha masyarakat pada umumnya sangat rentan terhadap kondisi / dinamika alam. Perubahan iklim telah menurunkan beberapa aset pengembangan ekonomi, terutama aset alam dan aset manusia, dimana produktivitas perikanan cenderung menurun dari waktu ke waktu. Menyikapi tekanan alam dan sosial ekonomi yang makin meningkat, berbagai upaya penyesuaian (adaptasi) dilakukan oleh masyarakat. Bentuk-bentuk adaptasi tersebut adalah di antaranya: peningkatan efektivitas alat produksi, perpindahan lokasi produksi sesuai musim dan diversifikasi usaha. Di sejumlah lokasi, diversivikasi dan alih usaha dilakukan tidak hanya pada jenis usaha yang terkait laut melainkan juga pada usaha-usaha di sektor lain, misalnya sektor pertanian. Untuk alih usaha yang tetap terkait dengan kelautan dalah misalnya alih usaha dari perikanan tangkap ke budidaya, baik budidaya ikan maupun rumput laut. Sementara itu, seperti dicontohkaan pada kasus Mawasangka Tengah (Kabupaten Buton) perpindahan ke sektor lain adalaah misalnya perpindahan dari perikanan tangkap maupun budidaya ke pertanian / perkebunan. Hasil selanjutnya dari penelitian ini menunjukkan bahwa selain terdapat upayaupaya yang dilakukan oleh masyarakat secara individu seperti disebutkan di atas, terdapat pula inisiatif-inisiatif masyarakat secara kolektif, yang dilakukan untuk membangun ekonomi mereka secara bersama-sama, terutama dalam menyikapi dampak perubahan iklim. Inisiatif-inisiatif tersebut adalah di antaranya perbaikan lingkungan dan pengembangan ekonomi alternatif. Salah satu contoh perbaikan lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat di salah satu lokasi penelitian adalah pemberlakuan waktu istirahat bagi lahan usaha oleh masyarakat Pangkep (dalam hal ini contohnya adalah lahan budidaya rumput laut), yang dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada lahan tersebut mengembalikan
kapasitas/daya
dukung
produksinya.
Sementara
itu,
inisiatif
pengembangan ekonomi alternatif yang dapat diobservasi pada umumnya berkisar pada upaya-upaya penumbuhan aktivitas produksi yang masih terkait kelautan namun tdak Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
291
Laporan Teknis
terbatas pada jenis-jenis yang selama ini dilakukan oleh masyarakat. Ekonomi berbasis budidaya dan pengolahan hasil adalah contoh-contoh yang banyak ditemukan di lokasi. Terlepas dari upaya-upaya masyarakat, baik secara individu maupun secara bersama, berbagai inisiatif adaptasi dan pengembangan ekonomi tersebut terkendala oleh berbagai hal. Intervensi-intervensi berupa kebijakan maupun program-program pemerintah yang diharapkan pada umumnya belum sesuai atau belum mencukupi untuk mendukung inisiasi-inisiasi yang datang dari masyarakat. Sebagai contoh, untuk kasus Pangkep teridentifikasi dukungan intervensi pemerintah yang memadai untuk mendukung program pengistirahatan lahan budidaya; namun demikian, kebijakan yang diterapkan adalah program pemberantasan penyakit. Program tersebut tidak sepenuhnya tidak tepat, tetapi tidak terlalu optimal. Dalam kasus-kasus lain bahkan kebijakan pemerintah sama sekali tidak sesuai dengan kebutuhan setempat, misalnya untuk kasus Sikka. Di Sikka, perencanaan lokal di tingkat masyarakat mengagendakan pengembangan budidaya sebagai jawaban untuk mengantisipasi penurunan lebih lanjut pada kinerja perikanan tangkap; namun demikian, sejauh ini tidak teridentifikasi adanya rencana intervensi pemerintah yang mendukung agenda lokal tersebut. Di kalangan masyarakat sendiri, kemampuan untuk mengembangkan ekonomi mereka (ekonomi lokal) pada saat ini terbatasi oleh menurunnya kondisi aset yang mereka miliki. Aset-aset sosial dan fisik pada umumnya tidak mengalami perubahan yang signifikan, namun aset-aset manusia dan keuangan teramati terkena dampak negatif dari perubahan iklim pada masyarakat-masyarakat di lokasi penelitian ini. Bagi masyarakatmasayakat di lokasi penelitian, aset manusia merupakan faktor pelemah dalam upaya pengembangan ekonomi dan keberlanjutan ekologi. Bagian lain dari penelitian ini menunjukkan berbagai peluang yang dapat diupayakan untuk mengatasi berbagai permasalahan dan tantangan tersebut di atas. Berdasarkan data-data yang ada, maka peluang-peluang tersebut terkait dengan intervensiintervensi yang layak dan diperkirakan akan berdampak positif. Intervensi-intervensi tersebut adalah di antaranya:
(1) Penguatan struktur ekonomi masyarakat perikanan
melalui penyelarasan komponen struktur dengan tekanan yang bersumber dari perubahan iklim, (2) Pengendalian faktor antropogenik penyebab kerusakan sumberdaya alam, (3) Peningkatan kapasitas SDM yang diarahkan untuk mendukung penguatan struktur (poin rekomendasi 1) dan pengendalian faktor antropogenik (poin rekomendasi 2), terutama Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
292
Laporan Teknis
melalui program pembinaan dan penyuluhan terhadap masyarakat maupun aparat terkait, (4) Program khusus penanggulangan dampak jangka pendek dari program penguatan struktur dan pengendalian faktor antropogenik. Berdasarkan pada data-data yang ada pula, penelitian menghasilkan beberapa strategi untuk mengimplementasikan intervensi-intervensi tersebut di atas. Strategi-strategi tersebut adalah: (i) Meningkatkan kualitas SDM melalui koordinasi dengan instansi berwenang dalam hal perbaikan fasilitas pendidikan, infrastruktur, kesehatan, (ii) Diversifikasi mata pencaharian alternatif untuk mengurangi ketergantungan dan upaya eksploitasi berlebihan pada sumberdaya laut sehingga nelayan tidak hanya bergantung pada aktivitas melaut,
(iii) Penguatan penguasaan aset produksi nelayan melalui
peningkatan kesempatan untuk pemerataan kepemilikan, (iv) Regulasi harga dan buffer stock pasar ikan agar harga ikan stabil, (v) Penguatan peran kelembagaan usaha sehingga mengurangi ketergantungan kepada pemilik modal, (vi) Memperbaiki jalur pemasaran agar lebih mudah dan terjangkau masyarakat, (vii) Sosialisasi peraturan melalui tokoh adat/agama/masyarakat melalui upacara-upacara tradisional/kegiatan keagamaan, (vii) Implementasi peraturan terkait pelestarian sumberdaya alam, (ix) Koordinasi dengan instansi terkait, terutama Polair, (x) Penguatan kelembagaan dan pengaktifan kegiatan Pokmaswas, (xi) Pengawasan dan penindakan tegas terhadap berbagai praktik pengrusakan sumberdaya alam, (xii) Sosialisasi terkait pentingnya keberadaan sumberdaya alam yang lestari dan berkelanjutan, (xiii) Pelatihan dan Pembekalan pengetahuan dan keterampilan masyarakat mengenai penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan sesuai dengan perubahan iklim, (xiv) Pelatihan dan penyuluhan keterampilan terhadap masyarakat terkait pengolahan hasil perikanan, (xv) Pelatihan dan penyuluhan keterampilan terhadap masyarakat terkait mata pencaharian alternatif yang dapat mengadaptasi perubahan iklim, (xvi) Sosialisasi kepada masyarakat mengenai apa itu perubahan iklim dan akibat yang ditimbulkannya, (xvii) Membangun pusat informasi di tingkat desa terkait fenomenafenomena yang ditimbulkan oleh perubahan iklim seperti gelombang besar, badai, dan sebagainya, (xviii) Menyediakan kegiatan ekonomi alternatif pada saat musim-musim masyarakat tidak dapat melakukan aktivitas ekonominya karena gangguan iklim.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
293
Laporan Teknis
VI. KESIMPULAN
1.
Struktur ekonomi masyarakat di lokasi penelitian dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: a.
Ketergantungan masyarakat pada pencaharian berbasis laut
b. Aset-aset produksi pada umumnya adalah milik sendiri, sedangkan sebagian lain merupakan pinjaman dari pemilik modal c.
Struktur pasar pada umumnya bersifat oligopsoni
d. Kelembagaan usaha ditandai oleh keberadaan sejumlah kelompok, yang sebagian aktif namun sebagian lainnya tidak berfungsi e.
Pengambilan keputusan pasar didominasi oleh pengumpul
2. Kinerja ekonomi: a.
Usaha-usaha di bidang perikanan pada umumnya dapat diandalkan sebagai pencaharian utama, namun tidak mampu mengangkat tingjat kesejahteraan di atas subsisten
b. Ragam pencaharian cenderung tidak berkembang dari waktu ke waktu c.
Usaha-usaha masyarakat sangat rentan terhadap kondisi / dinamika alam
3. Kondisi asset: di antara kelima asset, sosial, alam, finansial, fisik, dan manusia, asset alam pada umumnya merupakan asset penguat sedangkan asset manusia dan asset financial merupakan asset pelemah dalam upaya pengembangan ekonomi. 4. Perubahannya akibat perubahan iklim: a.
Menurunkan kemampuan masyarakat untuk memprediksi musim produksi terbaik, sedang dan terendah
b. Menurunkan beberapa asset pengembangan ekonomi, terutama asset alam, dimana produktivitas perikanan cenderung menurun dari waktu ke waktu 5. Kebijakan-kebijakan mikro, meso dan makro: tidak ada yang secara spesifik mengarah pada penanganan dampak perubahan iklim, padahal dampak perubahan iklim pada ekonomi dan pengembangan ekonomi telah terdeteksi cukup signifikan 6. Teridentifikasi peluang-peluang untuk pengembangan ekonomi melalui dua jalur: (i) melalui pengembangan jenis-jenis penghidupan yang telah ada dan (ii) melalui pengembangan penghidupan alternatif.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
294
Laporan Teknis
7.
Dalam jangka panjang beberapa alternatif kebijakan dapat ditempuh dalam upaya menjaga kelestarian sumberdaya di wilayah Coral Triangle sebagai strategi adaptasi menghadapi perubahan iklim terkait pengembangan ekonomi lokal antara lain: (1) Penguatan struktur ekonomi masyarakat perikanan melalui penyelarasan komponen struktur dengan tekanan yang bersumber dari perubahan iklim, (2) Pengendalian faktor antropogenik penyebab kerusakan sumberdaya alam, (3) Peningkatan kapasitas SDM yang diarahkan untuk mendukung penguatan struktur ekonomi dan pengendalian faktor antropogenik, terutama melalui program pembinaan dan penyuluhan terhadap masyarakat maupun aparat terkait, (4) Program khusus penanggulangan dampak jangka pendek dari program penguatan struktur dan pengendalian faktor antropogenik.
8.
Sejumlah strategi potensial untuk memfasilitasi pengembangan ekonomi telah teridentifikasi, strategi-strategi ini akan dianalisis lebih lanjut pada proses berikut dalam pelaksanaan penelitian ini. a.
Strategi-strategi tersebut adalah:
Penguatan struktur ekonomi masyarakat perikanan melalui pengembangan komponen struktur diselaraskan dengan tekanan perubahan iklim: -
Meningkatkan kualitas SDM melalui koordinasi dengan instansi berwenang dalam hal perbaikan fasilitas pendidikan, infrastruktur, kesehatan.
-
Diversifikasi mata pencaharian alternatif untuk mengurangi ketergantungan dan upaya eksploitasi berlebihan pada sumberdaya laut sehingga nelayan tidak hanya bergantung pada aktivitas melaut.
-
Penguatan
penguasaan
aset
produksi
nelayan
melalui
peningkatan
kesempatan untuk pemerataan kepemilikan. -
Regulasi harga dan buffer stock pasar ikan agar harga ikan stabil.
-
Penguatan peran kelembagaan usaha sehingga mengurangi ketergantungan kepada pemilik modal.
-
Memperbaiki jalur pemasaran agar lebih mudah dan terjangkau masyarakat.
b. Pengendalian faktor antropogenik penyebab kerusakan sumberdaya alam: -
Sosialisasi peraturan melalui tokoh adat/agama/masyarakat melalui upacaraupacara tradisional/kegiatan keagamaan.
-
Implementasi peraturan terkait pelestarian sumberdaya alam.
-
Koordinasi dengan instansi terkait, terutama Polair.
-
Penguatan kelembagaan dan pengaktifan kegiatan Pokmaswas.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
295
Laporan Teknis
-
Pengawasan dan penindakan tegas terhadap berbagai praktik perusakan sumberdaya alam.
c. Peningkatan kapasitas SDM yang diarahkan untuk mendukung penguatan struktur ekonomi dan pengendalian faktor antropogenik, terutama melalui program pembinaan dan penyuluhan terhadap masyarakat maupun aparat terkait: -
Sosialisasi terkait pentingnya keberadaan sumberdaya alam yang lestari dan berkelanjutan.
-
Pelatihan dan pembekalan pengetahuan dan keterampilan masyarakat mengenai penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan.
-
Pelatihan dan penyuluhan keterampilan terkait pengolahan hasil perikanan.
-
Pelatihan dan penyuluhan keterampilan terkait mata pencaharian alternatif.
d. Program khusus penanggulangan dampak jangka pendek program penguatan struktur dan pengendalian faktor antropogenik: -
Sosialisasi kepada masyarakat mengenai perubahan iklim dan akibat yang ditimbulkannya.
-
Membangun pusat informasi di tingkat desa terkait fenomena-fenomena yang ditimbulkan oleh perubahan iklim seperti gelombang besar, badai, dan sebagainya.
-
Menyediakan kegiatan ekonomi alternatif pada saat musim-musim nelayan tidak dapat melaut.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
296
Laporan Teknis
DAFTAR PUSTAKA
Anderies JM, MA Janssen and E Ostrom. 2004. A Framework to Analyze The Robustness of Social-Ecological Systems from An Institutional Perspective. Ecology and Society 9 (1), 18 [online] URL http:// www.ecologyandsociety.org/vol9/iss1/art18/ Anonim. 2010. Analisis Dampak Perubahan Iklim Terhadap Perekonomian Masyarakat Pesisir di Kecamatan Kadang Haur Kabupaten Cirebon.Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) IPB. Bogor. Anonim. 2012. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Raja Ampat Tahun 2011-2015. Pemerintah Kabupaten Raja Ampat. Raja Ampat-Papua Barat Anonim. 2012. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Daerah Kabupaten Raja Ampat 2011-2030. Pemerintah Kabupaten Raja Ampat. Raja Ampat-Papua Barat Anonim. 2012. Raja Ampat Dalam Angka 2012. Bapeda dan BPS Kabupaten Raja Ampat. Raja Ampat-Papua Barat Anonim. 2012. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Raja Ampat Menurut Lapangan Usaha 2011. Bapeda dan BPS Kabupaten Raja Ampat. Raja Ampat-Papua Barat Anonimous. 2011. Kebijakan dan Strategi Terumbu Karang Nasional, CRITC Coremap LIPI. www.coremap.or.id/policy-strategy/strategy/ diakses tanggal 13 Desember 2011. Bappeda. 2008. Profil Kabupaten Sikka Tahun 2008. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Sikka. Sikka. Barange, M.; Perry, R.I.2009. Physical and ecological impacts of climate change relevant to marine and inland capture fisheries and aquaculture. In K. Cochrane, C. De Young, D. Soto and T. Bahri (eds). Climate Change Implications for Fisheries and Aquaculture: Overview of Current Scientific Knowledge. FAO Fisheries and AquacultureTechnical Paper. No. 530. Rome, FAO. pp. 7–106. Bengen, D.G. 2002. Ekosistem dan Sumber Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Sinopsis PKSPL. FPIK IPB. Bogor.
Berkes, F, J. Colding and C. Folke. 2003. Navigating Social–Ecological Systems: Building Resilience for Complexity and Change. Cambridge University Press, Cambridge, UK. BMG. 1993. Data Iklim di Indonesia 1993. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. BMG. 1994. Data Iklim di Indonesia 1994. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. BMG. 1995. Data Iklim di Indonesia 1995. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. BMG. 1996. Data Iklim di Indonesia 1996. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. BMG. 1997. Data Iklim di Indonesia 1997. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. BMG. 1998. Data Iklim di Indonesia 1998. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
297
Laporan Teknis
BMG. 1999. Data Iklim di Indonesia 1999. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. BMG. 2000. Data Iklim di Indonesia 2000. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. BMG. 2001. Data Iklim di Indonesia 2001. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. BMG. 2002. Data Iklim di Indonesia 2002. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. BMG. 2003. Data Iklim di Indonesia 2003. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. BMKG. 2004. Data Iklim di Indonesia 2004. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta. BMKG. 2005. Data Iklim di Indonesia 2005. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta. BMKG. 2006. Data Iklim di Indonesia 2006. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta. BMKG. 2007. Data Iklim di Indonesia 2007. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta. BMKG. 2008. Data Iklim di Indonesia 2008. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta. BMKG. 2009. Data Iklim di Indonesia 2009. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta. BMKG. 2010. Data Iklim di Indonesia 2010. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta. BPS. 2000. Biak Numfor dalam Angka Tahun 2000. Badan Pusat Statistik Kabupaten Biak Numfor. Biak Numfor. BPS. 2000. Raja Ampat dalam Angka Tahun 2000. Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat. Raja Ampat. BPS. 2000. Sikka dalam Angka Tahun 2000. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sikka. Sikka. BPS. 2001. Biak Numfor dalam Angka Tahun 2001. Badan Pusat Statistik Kabupaten Biak Numfor. Biak Numfor. BPS. 2001. Buton dalam Angka Tahun 2001. Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton. Buton. BPS. 2001. Sikka dalam Angka Tahun 2001. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sikka. Sikka. BPS. 2001. Raja Ampat dalam Angka Tahun 2001. Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat. Raja Ampat. BPS. 2002. Biak Numfor dalam Angka Tahun 2002. Badan Pusat Statistik Kabupaten Biak Numfor. Biak Numfor. BPS. 2002. Buton dalam Angka Tahun 2002. Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton. Buton.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
298
Laporan Teknis
BPS. 2002. Pangkep dalam Angka Tahun 2002. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pangkep. Pangkep. BPS. 2002. Raja Ampat dalam Angka Tahun 2002. Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat. Raja Ampat. BPS. 2002. Sikka dalam Angka Tahun 2002. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sikka. Sikka. BPS. 2003. Biak Numfor dalam Angka Tahun 2003. Badan Pusat Statistik Kabupaten Biak Numfor. Biak Numfor. BPS. 2003. Buton dalam Angka Tahun 2003. Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton. Buton. BPS. 2003. Pangkep dalam Angka Tahun 2003. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pangkep. Pangkep. BPS. 2003. Raja Ampat dalam Angka Tahun 2003. Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat. Raja Ampat. BPS. 2003. Sikka dalam Angka Tahun 2003. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sikka. Sikka. BPS. 2004. Biak Numfor dalam Angka Tahun 2004. Badan Pusat Statistik Kabupaten Biak Numfor. Biak Numfor. BPS. 2004. Raja Ampat dalam Angka Tahun 2004. Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat. Raja Ampat. BPS. 2004. Sikka dalam Angka Tahun 2004. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sikka. Sikka. BPS. 2005. Biak Numfor dalam Angka Tahun 2005. Badan Pusat Statistik Kabupaten Biak Numfor. Biak Numfor. BPS. 2005. Raja Ampat dalam Angka Tahun 2005. Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat. Raja Ampat. BPS. 2005. Sikka dalam Angka Tahun 2005. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sikka. Sikka. BPS. 2006. Biak Numfor dalam Angka Tahun 2006. Badan Pusat Statistik Kabupaten Biak Numfor. Biak Numfor. BPS. 2006. Raja Ampat dalam Angka Tahun 2006. Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat. Raja Ampat. BPS. 2006. Sikka dalam Angka Tahun 2006. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sikka. Sikka. BPS. 2007. Biak Numfor dalam Angka Tahun 2007. Badan Pusat Statistik Kabupaten Biak Numfor. Biak Numfor. BPS. 2007. Raja Ampat dalam Angka Tahun 2007. Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat. Raja Ampat.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
299
Laporan Teknis
BPS. 2007. Sikka dalam Angka Tahun 2007. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sikka. Sikka. BPS. 2008. Biak Numfor dalam Angka Tahun 2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Biak Numfor. Biak Numfor. BPS. 2008. Pangkep dalam Angka Tahun 2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pangkep. Pangkep. BPS. 2008. Raja Ampat dalam Angka Tahun 2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat. Raja Ampat. BPS. 2008. Sikka dalam Angka Tahun 2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sikka. Sikka. BPS. 2008. Wakatobi Dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi. Wakatobi. BPS. 2009. Biak Numfor dalam Angka Tahun 2009. Badan Pusat Statistik Kabupaten Biak Numfor. Biak Numfor. BPS. 2009. Pangkep dalam Angka Tahun 2009. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pangkep. Pangkep. BPS. 2009. Sikka dalam Angka Tahun 2009. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sikka. Sikka. BPS. 2009. Raja Ampat dalam Angka Tahun 2009. Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat. Raja Ampat. BPS. 2010. Biak Numfor dalam Angka Tahun 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Biak Numfor. Biak Numfor. BPS. 2010. Pangkep dalam Angka Tahun 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pangkep. Pangkep. BPS. 2010. Raja Ampat dalam Angka Tahun 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat. Raja Ampat. BPS. 2010. Sikka dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sikka. Sikka – Nusa Tenggara Timur. Sikka. BPS. 2010. Wakatobi Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi. Wakatobi. BPS. 2010. Kecamatan Tupabbiring Utara Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pangkep. Pangkep. BPS. 2011. Biak Numfor dalam Angka Tahun 2011. Badan Pusat Statistik Kabupaten Biak Numfor. Biak Numfor. BPS. 2011. Pangkep dalam Angka Tahun 2011. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pangkep. Pangkep. BPS. 2011. Selayar dalam Angka Tahun 2011. Badan Pusat Statistik Kabupaten Selayar. Selayar.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
300
Laporan Teknis
BPS. 2011. Wakatobi Dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi. Wakatobi. Brown, K., E. Tompkins, and W.N. Adger. 2001. Trade-off Analysis for Partcicipatory Coastal Zone Decision-Making. Overseas Development Group. University of East Anglia, Norwich UK. Cesar H. 1996. Economic Analisys of Indonesian Coral Reefs. The World Bank. 23 hlm.
Chen, CTA. 2008. “Effects of Climate Change on Marine Ecosystem,” Fisheries for Global Welfare and Environment: 5th World Fisheries Congress (K. Tsukamoto, T. Kawamura, T. Takeuchi, T. D. Beard, Jr. and M. J. Kaiser, Eds.). Tokyo: TERRAPUB. COREMAP. 2008. Laporan Akhir Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi Kabupaten Wakatobi Tahun 2008. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi. COREMAP. 2008. Laporan Akhir Pemantauan Terumbu Karang Kabupaten Sikka Tahun 2008. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sikka. COREMAP. 2009. Buku Peta Kondisi Terumbu Karang di Lokasi Daerah Perlindungan laut (DPL) Kabupaten Wakatobi. Program Coremap II, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi. COREMAP. 2009. Laporan Akhir Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi Kabupaten Wakatobi Tahun 2009. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi. COREMAP. 2010. Laporan Akhir Monitoring Ekologi Kondisi Terumbu Karang Berbasis Masyarakat. COREMAP Phase II Kabupaten Pangkep. Daw, T.; Adger, W.N.; Brown, K.; Badjeck, M.-C. 2009. Climate change and capture fisheries: potential impacts, adaptation and mitigation. In K. Cochrane, C. De Young, D. Soto and T. Bahri (eds). Climate Change Implications for Fisheries and Aquaculture: Overview of Current Scientific Knowledge. FAO Fisheries and Aquaculture TechnicalPaper. No. 530. Rome, FAO. pp.107-150. Departemen Pertanian. 1991. Statistik Perikanan Indonesia Tahun 1989. Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian Jakarta. Departemen Pertanian. 1995. Statistik Perikanan Indonesia Tahun 1993. Direktorat Jenderal Perikanan Jakarta Departemen Pertanian. Departemen Pertanian. 1999. Statistik Perikanan Indonesia Tahun 1997. Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian Jakarta. Departemen Pertanian. 1989. Statistik Perikanan Indonesia Tahun 1987. Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian Jakarta. DFID. 2001. Sustainable Livelihoods Guidance Sheets. London, Department for International Development. Diposaptono, S., Budiman, dan F. Agung. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Bogor: PT. Sarana Komunikasi Utama. DKP. 1988. Laporan Statistik Perikanan Sulawesi Selatan 1987. Dinas Perikanan Provinsi Daerah Tingkat 1 Sulawasi Selatan.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
301
Laporan Teknis
DKP. 1989. Laporan Tahunan Perikanan Sulawesi Selatan Tahun 1988. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat 1 Sulawesi Selatan. DKP. 1989. Laporan Statistik Perikanan Sulawesi Selatan 1988. Dinas Perikanan Provinsi Daerah Tingkat 1 Sulawasi Selatan. DKP. 1991. Laporan Tahunan Perikanan Sulawesi Selatan 1990. Dinas Perikanan Provinsi Daerah Tingkat 1 Sulawesi Selatan. DKP. 1991. Laporan Tahunan Statistik Perikanan Sulawesi Tenggara Tahun 1990. Dinas Perikanan Propinsi DATI 1 Sulawesi Tenggara. DKP. 1992. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tahun 1991. Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat 1 Irian Jaya. Dinas Perikanan Daerah. DKP. 1992. Laporan Tahunan Statistik Perikanan Tahun 1991. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat 1 Nusa Tenggara Timur. DKP. 1992. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tahun 1991. Dinas Perikanan Daerah. Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat 1 Irian Jaya. DKP. 1993. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tahun 1992. Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat 1 Irian Jaya. Dinas Perikanan Daerah. DKP. 1993. Laporan Tahunan Perikanan Sulawesi Selatan 1992. Dinas Perikanan Provinsi Daerah Tingkat 1 Sulawesi Selatan. DKP. 1994. Laporan Statistik Perikanan Sulawesi Selatan 1993. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat 1 Sulawesi Selatan. DKP. 1994. Laporan Tahunan Statistic Perikanan Tahun 1993. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat 1 Nusa Tenggara Timur. DKP. 1994. Laporan Tahunan 1993. Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat 1 Sulawesi Tenggara. Dinas Perikanan Provinsi Daerah Tingkat 1 Sulawesi Tenggara Kendari 1994. DKP. 1995. Laporan Tahunan Statistik Perikanan Tahun 1994. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat 1 Nusa Tenggara Timur. DKP. 1995. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tahun 1994. Dinas Perikanan Daerah.Pemerintahan Provinsi Tingkat 1 Irian Jaya. DKP. 1995. Laporan Tahunan 1994. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat 1 Sulawesi Tenggara. DKP. 1996. Laporan Tahunan Statistik Perikanan Tahun 1995. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat 1 Nusa Tenggara Timur. DKP. 1997. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tahun 1996. Pemerintah Daerah Tingkat 1 Irian Jaya Dinas Perikanan Daerah Jayapura. DKP. 1998. Laporan Statistik Perikanan Sulawesi Selatan 1997. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat 1 Sulawesi Selatan. DKP. 1999. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tahun 1998. Pemerintah Provinsi Irian Jaya Dinas Perikanan Propinsi Irian Jaya.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
302
Laporan Teknis
DKP. 2001. Laporan Statistik Perikanan Sulawesi Selatan Tahun 2000. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan. DKP. 2001. Buku Tahunan Statistik Perikanan Dan Kelautan Tahun 2000. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Irian Jaya. DKP. 2002. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tangkap Tahun 2001. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Papua. DKP. 2002. Statistik Perikanan Tangkap Sulawesi Selatan 2001. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan. DKP. 2002. Statistik Perikanan Tangkap Sulawesi Selatan Tahun 2001. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan. DKP. 2002. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Tahun 2001. Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2003. DKP. 2003. Laporan Statistik Perikanan Sulawesi Selatan 2002. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan DKP. 2003. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tangkap Tahun 2002. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Papua. DKP. 2004. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Tahun 2002. Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. DKP. 2004. Laporan Tahunan Statistik Perikanan Tangkap Tahun 2003. Dinas Perikanan Dan Kelautan Propinsi Nusa Tenggara Timur. DKP. 2005. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Tahun 2003. Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. DKP. 2005. Laporan Tahunan Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2004. Dinas Kelautan Dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara. DKP. 2005. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tangkap Tahun 2004. Pemerintah Provinsi Papua. Dinas Perikanan dan Kelautan. DKP. 2006. Laporan Tahunan Statistik Perikanan Tangkap Tahun 2005. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Nusa Tenggara Timur. DKP. 2008. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Tahun 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. DKP. 2009. Laporan Statistik Perikanan Sulawesi Selatan 2008. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan 2009. DKP. 2010. Laporan Tahunan Statistik Perikanan Tangkap Tahun 2009. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara. DKP. 2011. Laporan Tahunan Statistik Perikanan Tangkap Tahun 2010. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur. DKP. 2011. Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Papua Barat 2010. Dinas Kelautan dan Perikanan Pemerintah Provinsi Papua Barat.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
303
Laporan Teknis
DKP. 2011. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sikka Tahun Anggaran 2010. Sikka : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sikka. DKP. 2011. Laporan Statistik Perikanan Tahun 2010. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Selayar. Benteng – Sulawesi Selatan. DKP. 2011. Laporan Statistik Perikanan Tangkap Sulawesi Selatan, tahun 2010. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan. DKP. 2012. Statistik Perikanan Kabupaten Pangkep 2011. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep. Pangkep – Sulawesi Selatan. DKP. 2012. Statistik Perikanan Kabupaten Sikka 2011. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sikka. Sikka – Nusa Tenggara Timur. DKP. 2012. Statistik Perikanan Kabupaten Wakatobi 2011. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi. Wakatobi – Sulawesi Tenggara. DKP. 2012. Potensi Perikanan Kabupaten Buton 2011. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton 2011. Buton-Sulawesi Tenggara. DKP. 2012. Potensi Perikanan Kabupaten Raja Ampat 2011. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat. Raja Ampat-Papua Barat. Emmerton, L. 2001. Community-Based Incentives for Nature Conservation. IUCN. Folke, C. et al (and 24 others). 2002. Resilience and Sustainable Development: Building Adaptive Capacity in A World of Transformations. Report for the Swedish Environmental Advisory Council 2002:1. Stockholm: Ministry of The Environment. www.mvb.gov.se and also ICSU Series on Science for Sustainable Development No. 3, 2002. Paris: International Council for Science. Folke C., T. Hahn, P. Olsson and J. Norberg. 2005. Adaptive Governance of Social– Ecological Systems. Annual Review of Environment and Resources 30, 441–473. Gibbon, J. et al. 1996. Criterium Decision Plus, The Complete Formulation, Analysis, and Presentation for Windows Version 2.0 Trialware User’s Guide and Tutorial. Bellevue WA: Copyright 1995-1996 Info Harvest Inc. Gumbriech, T. 1996. Application Management. (46) p 17-30.
of
GIS
in
Training
for
Environment
Gunderson LH, Holling CS, and Light SS. 1995. Barriers and Bridges to The Renewal of Ecosystems and Institutions. Columbia University Press, New York. Halsnaes, K.et al. 2008. Sustainable Development and Climate Change: Lessons from Country Studies. Climate Policy8: 202-219. Holling, C.S. 1973. Resilience and Stability of Ecological Systems. Annual Review of Ecology and Systematics. 4050. 1-23. Holling, C.S. 1986. The Resilience of Terrestrial Ecosystems: Local Surprise and Global Change. In: ClarkWC, Munn RE (eds) Sustainable development of the biosphere. Cambridge University Press, Cambridge.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
304
Laporan Teknis
Holling, C.S and S Sanderson. 1996. Dynamics of (Dis)Harmony in Ecological and Social Systems. In: Hanna SS, C Folke and K.-G Ma¨ ler. Rights to Nature: Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for The Environment. Island Press,Washington DC, pp. 57–85. Holling, C.S. 2001. Understanding The Complexity of Economic, Ecological, and Social Systems. Ecosystems 4, 390–405. IPCC [Intergovermental Panel Climate Change]. 2000. Emission Scenarios. Cambridge University Press. Cambridge. IPCC.2007. Summary for Policymakers. In M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. v. d. Linden & Hanson, C.E, eds. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of working group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, pp. 7–22. Cambridge, UK, Cambridge University Press. Iqbal, M. 2004. Strstegi Nafkah Rumahtangga Nelayan (Studi Kasus di Dua Desa Nelayan Tangkap Kabupaten Lamongan, Jawa Timur). Tesis Magister Sains yang tidak dipublikasikan. Program Studi Sosiologi Pedesaan. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Jankowski, P. 1995. Integrating Geographical Information Systems and Multiple Criteria Decision Making Methods. International Journal Geo. Inform. Sys. 9(3), 251-273, 1995. KKP. 2011. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Tahun 2010. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan. McPhaden, M. 1999. Genesis and Evolution of the 1997-1998 El Niño. Science 283: 95054. Mulyadi, S. 2005. Ekonomi Kelautan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Murdiyarso, D. 2003. Protokol Kyoto Implikasinya Bagi Negara Berkembang. Kompas. Jakarta. Nasution, Z, A.H. Purnomo, A. Zulham, B. Wardono, M. Yulisti, S.H. Suryawati, Nurlaili, C. Yuliaty, R.A. Wijaya, T. Kurniawan, B.V.I. yanti, E.S. Luhur, H.M. Putri, dan Suhana. 2009. Laporan Teknis Analisis Kebijakan Strategi Adaptasi Masyarakat Perikanan terhadap Perubahan Iklim pada Berbagai Tipologi Perikanan. Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. BRKP. Jakarta. Nurlaili. 2012. Strategi Adaptasi Nelayan Bajo Menghadapi Perubahan Iklim. Cibinong : Seminar Pusbindiklat LIPI. Nurlaili. 2011. Peran Perempuan Bajo dalam Rumah Tangga Perikanan : Studi Kasus Kabupaten Sikka, NTT. Jakarta. Purnomo, A.H., S.H. Suryawati, R.A. Wijaya, E.S. Luhur, Nurlaili, A. Wahyono, L. Adrianto, Triyono, F. Nurhabni dan R. Triyanti. 2011. Pengembangan Model Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Sistem Sosial-Ekologi di Wilayah CTI dalam Antisipasi terhadap Perubahan iklim. Laporan Teknis. Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
305
Laporan Teknis
Rustiadi, et al.. 2005. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bahan Kuliah Tata Ruang. Program Studi Perencanaan Wilayah Pedesaan. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Saaty, T.L. 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin: Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. Seri Manajemen No. 134 (Terjemahan). Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Satria, A. 2009. Pesisir dan Laut Untuk Rakyat. IPB Press. Bogor. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Yogyakarta: LP3S. Subandar, A. 2002. Multi Criteria Decision Making Techniques. Materi Kuliah PS-SPL. Bogor: Tidak diterbitkan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 22 hal. Suharsono. 2009. Terumbu Karang dan Perubahan Iklim. Workshop: Laut Sebagai Pengendali Perubahan Iklim, Peran Laut Indonesia dalam Mereduksi Percepatan Proses Pemanasan Global. Hotel Salak The Heritage–Bogor, 4 Agustus 2009. Supono. dkk. 2011. CRITC LIPI dan Kabupaten Buton. COREMAP II-LIPI. Jakarta Sutjahjo, H. dan G. Susanta. 2007. Akankah Indonesia Akan Tenggelam Akibat Pemanasan Global ?. Penerbit Penebar Plus. Jakarta. Turner B.L. II, R.E. Kasperson, P.A. Matson et al. 2003.A Framework for Vulnerability Analysis in Sustainability Science. Proc Nat Acad Sci USA 100:8074–8079. Ulstrup K.L.,R.Berkelmens, P.J. Ralp and M.H.J.Van Oppen. 2006. Variation in Bleaching Sensitivity of Two Coral Species with Constrating Bleaching Threshold Across A Latitudinal Gradient in The GBR. Mar. Ecol. Prog.Ser. 314. 135-148. Walker, B., C.S. Holling, S.R. Carpenter, and A. Kinzig. 2004. Resilience, Adaptability and Transformability in Social–Ecological Systems. Ecology and Society 9(2): 5. [online] URL: http://www.ecologyandsociety.org/ vol9/iss2/art5/. Widodo, S. 2009. Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir. Tesis Magister Sains yang tidak dipublikasikan. Program Studi Sosiologi Pedesaan. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Wilkinson, C. et al. 1999. Ecological and Socioeconomic Impacts of 1998 Coral Mortality in the Indian Ocean: An ENSO Impact and a Warning of Future Change?. Ambio 28, 2: 194-95.
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pengembangan Potensi Ekonomi di Kawasan-Kawasan Coral Triangle
306