No. 21, Tahun II, Tgl. 15 Juli - 14 Agustus 2009
Diplomasi TABLOID
Media Komunikasi dan Interaksi
Menlu RI :
Mengenang Seratus Tahun Mohammad Roem
Kontribusi Islam Dan Demokrasi Dalam Membangun Indonesia Da’i Bachtiar :
Menyelesaikan Persoalan TKI di Malaysia Dengan Kepala Dingin Kebudayaan, Fondasi Untuk Memperkuat Hubungan RI - Suriname
Nia Zulkarnaen :
“KING”
Film Bertema Bulutangkis Pertama di Dunia Email:
[email protected]
ISSN 1978-9173
Email:
[email protected]
9
771978 917386 Departemen Luar Negeri Republik Indonesia
Diplomasi TABLOID
Media Komunikasi dan Interaksi
Daftar Isi
>4 >6 >8 > 11 > 14
> 14
Sorotan
Fokus
> 15
Kilas
Lensa
> 16
Kilas
Lensa
> 18
Bingkai
> 22
Fokus Mengenang Seratus Tahun Mohammad Roem
Kontribusi Islam Dan Demokrasi Dalam Membangun Indonesia
Mempersoalkan Islam dan Demokrasi Sudah Tidak Relevan UIN Terinspirasi Spirit, Nilai-Nilai Dan Visi Pak Roem Deplu Raih Predikat Stand Terbaik pada International Public Service Expo 2009 “KING”, Film Bertema Bulutangkis Pertama di Dunia
Pasar Industri Kreatif di Suriname Masih Terbuka
Penandatanganan Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia Dan Republik Rakyat China
Interaksi Anggota BDF Sangat Penting
Kilas
Menyelesaikan Persoalan TKI di Malaysia Dengan Kepala Dingin
Sorotan
Kebudayaan, Fondasi Untuk Memperkuat Hubungan RI - Suriname
8
Mengenang Pak Roem Pejuang Diplomasi Sudah Selayaknya Mendapat Penghargaan
20
Lima Puluh Pejabat Senior NegaraNegara di Kawasan Asia Diundang Untuk Menyaksikan Pemilu Presiden RI
Diplomasi
Teras Diplomasi Pada tanggal 8 Juli 2009, bangsa Indonesia kembali melaksanakan pesta demokrasi untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung untuk yang kedua kalinya, yaitu memilih pemimpin yang akan memegang kendali kemana dan bagaimana bangsa ini akan dibawa dalam kurun waktu lima tahun kedepan. Terkait dengan penyelenggaraan pilpres tersebut, Departemen Luar Negeri RI bekerjasama dengan Institute for Peace and Democracy dan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi, mengundang 56 visitor dari 26 negara untuk melihat dan merasakan proses pemilu di Indonesia. Mereka adalah para pejabat tinggi negara yang terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum di negaranya masing-masing. Dan ternyata pemilu tersebut dapat dilaksanakan dengan baik tanpa diwarnai kekerasan, hal ini kembali membuktikan bahwa rakyat Indonesia telah memiliki kedewasaan politik dan bahwa demokrasi telah menyatu dengan kehidupan rakyat Indonesia. Bahkan para visitor yang kita undang tersebut mencatat beberapa hal yang menonjol dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia dan itu yang membedakan pemilu di Indonesia dengan di negara-negara demokratis lainnya. Salah satunya adalah bagaimana pemilu menjadi sebuah community base activity, dimana masyarakat terlibat secara aktif atas inisiatif mereka sendiri. Bagaimana masyarakat juga bisa beramai-ramai dan berkumpul melakukan pemungutan suara dengan santainya, tanpa kelihatan tegang ataupun bersitegang. Menurut pandangan mereka ini menunjukkan bahwa Islam dan demokrasi dapat berjalan seiring di Indonesia. Karena dunia mengenal Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, dengan jumlah penduduk kurang lebih 240 juta jiwa dan 87% diantaranya beragama Islam, lebih besar dari total jumlah Muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara dan lebih besar dari populasi Muslim di negara-negara Asia Selatan
dan Tengah, tetapi di Indonesia tidak ada kontradiksi antara Islam dan demokrasi. Kerukunan antar umat beragama di Indonesia merupakan salah satu karakter toleransi bangsa Indonesia yang patut dibanggakan dan bahkan mengundang kekaguman dari dunia internasional. Sikap toleransi yang tinggi inilah yang kemudian memudahkan bangsa Indonesia untuk mampu menyerap nilai-nilai demokrasi. Demokrasi di Indonesia disamping mendapat pengaruh stimulasi dari pembelajaran di Barat, ternyata juga mempunyai akar didalam masyarakat Indonesia. Demokrasi Indonesia itu mempunyai akar teologis dari Islam itu sendiri. Jadi kalau di AS, demokrasi sangat erat kaitannya dengan tradisi etika Protestan, di India dengan tradisi kultur antropologinya, maka di Indonesia adalah dengan Islamnya. Kita ingat bahwa para tokoh pejuang demokrasi di Indonesia pada masa awal berdirinya negeri ini adalah para tokoh dari partai Islam, dimana salah satunya adalah Mr. Mohammad Roem. Oleh karena itu pada penyelenggaraan Annual Lecture di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta yang mengangkat tema ’Islam dan Demokrasi dalam Pembangunan Indonesia’ ditampilkan sosok Mohammad Roem. Beliau adalah seorang negarawan, diplomat ulung dan kampiun Muslim moderat yang sikap dan perilaku politiknya sangat demokratis, dan bahkan mengusulkan diselenggarakannya pemilu pada tahun pertama kemerdekaan RI. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah model dimana Islam dan demokrasi bisa berjalan seiring dengan harmonis. Indonesia adalah tempat dimana berbagai macam ragam budaya, etnik dan agama bisa tumbuh subur dan berkembang bersama dengan demokrasi. Ini yang tidak dimiliki oleh negara-negara lainnya di dunia, dan itu merupakan asset bagi diplomasi kita.[]
Diplomasi TABLOID
Media Komunikasi dan Interaksi
Umum / Pemimpin Redaksi Khariri Ma’mun Redaktur Pelaksana Kholid M. Staf Redaksi Cahyono Saiful Amin Arif Hidayat Tata Letak dan Artistik Tsabit Latief Distribusi Mardhiana S.D. Kontributor Daniel Ximenes Alamat Redaksi Jl. Kalibata Timur I No. 19 Pancoran, Jakarta Selatan 12740 Telp. 021-68663162, Fax : 021-86860256, Tabloid Diplomasi dapat di Download di http://www.deplu.go.id Email :
[email protected] Cover : Nia Zulkarnaen Diterbitkan oleh Direktorat Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri R.I bekerjasama dengan Pilar Indo Meditama
Bagi anda yang ingin mengirim tulisan atau menyampaikan tanggapan, informasi, kritik dan saran, silahkan kirim email:
[email protected]
Wartawan Tabloid Diplomasi tidak diperkenankan menerima dana atau meminta imbalan dalam bentuk apapun dari narasumber, wartawan Tabloid Diplomasi dilengkapi kartu pengenal atau surat keterangan tugas. Apabila ada pihak mencurigakan sehubungan dengan aktivitas kewartawanan Tabloid Diplomasi, segera hubungi redaksi.
Diplomasi
4
F
o
k
u
s
Menlu RI
Mengenang Seratus Tahun Mohammad Roem
Kontribusi Islam Dan Demokrasi Dalam Membangun Indonesia
Kemerdekaan kita harus diperjuangkan secara fisik melawan penjajah yang ingin kembali menguasai dan menduduki Indonesia. Tetapi perjuangan diplomasi juga tidak kalah pentingnya, termasuk perjuangan memperoleh pengakuan (recognition) atas Republik Indonesia. Karena itu perjuangan fisik dan diplomasi seperti dua sisi dari satu mata uang. Namun, dalam sejarah kita sisi diplomasi kurang mendapat tempat. Banyak monumen
No. 21, Tahun II
didirikan untuk mengenang perjuangan fisik, namun peran para tokoh pejuang diplomasi kurang dikenal dan diakui. Diplomasi bahkan sering dikontraskan dengan perjuangan fisik dimana diplomasi pada masa awal Republik terkadang dipandang sebagai kapitulasi. Mohammad Roem selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk menegakkan kemerdekaan Indonesia melalui jalur diplomasi. Mohammad Roem adalah anggota delegasi RI dalam perundingan Linggarjati pada
Dalam perundingan Roem-Rooyen, Mohammad Roem memikul tanggung jawab berat, karena beliau harus mempertahankan wilayah RI agar tidak lebih sempit lagi.
tahun 1947 dan perundingan Renville pada Januari 1948. Selanjutnya Mohammad Roem bertindak sebagai ketua delegasi RI dalam perundingan RoemRooyen pada tanggal 7 Mei 1949. perundingan Roem-Rooyen tersebut telah membuka jalan bagi diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar dan selanjutnya pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada Desember 1949. Dalam perundingan RoemRooyen, Mohammad Roem memikul tanggung jawab berat, karena beliau harus mempertahankan wilayah RI agar tidak lebih sempit lagi. Terdapat perbedaan pendapat mengenai Pemerintah Federal Sementara, karena Belanda berpendapat bahwa pemerintah harus dipimpin oleh pejabat-pejabat dari Kerajaan Belanda. Sedangkan RI berpendirian bahwa Pemerintah Federal Sementara harus bersifat nasional, sehingga harus terdiri dari orang-orang Indonesia saja. Mohammad Roem juga memperjuangkan hak-hak Indonesia untuk mempertahankan hubungan luar negeri RI dengan negara-negara lain. Hubungan luar negeri inilah yang sangat diperlukan Indonesia dalam menggalang dukungan dari berbagai negara terhadap kemerdekaan Indonesia. Memang benar bahwa dengan proklamasi kemerdekaan, maka Indonesia sebagai negara merdeka telah memenuhi syarat adanya wilayah, pemerintahan dan rakyat. Namun tidak kalah pentingnya adalah syarat kemampuan melakukan hubungan dengan negara-negara lain, yang tentunya menuntut adanya pengakuan dari negaranegara lain.
15 JULI - 14 AGUSTUS 2009
Diplomasi F Dengan kata lain, persyaratan lahirnya sebuah negara telah kita penuhi, kecuali masalah pengakuan (recognition) yang memang harus kita perjuangkan. Ini adalah misi diplomasi pada masa awal kemerdekaan, yaitu periode 1945-1950. Lima tahun pertama yang saya sebut sebagai the formative years atau masa pembentukan karakter politik luar negeri bebas aktif. Tugas itu sangat tidak mudah, sebab menurut hukum internasional yang berlaku pada waktu itu, kemerdekaan hanya mungkin apabila ada kesepakatan atau by agreement dari negara penjajahnya. Oleh karena itu yang kita hadapi sebenarnya bukan hanya Belanda, tetapi juga hukum internasional yang memang tidak memberikan peluang bagi bangsa yang terjajah untuk merdeka. Dalam konteks itu, maka di dalam negeri upaya diplomasi menjadi sangat kontroversial karena diartikan sebagai kapitulasi, dalam arti menyerah pada tekanan Belanda untuk menerima Republik dalam batasan wilayah yang ditentukan yang dalam rancangan UUD 1945 dimaksudkan seluruh wilayah Hindia Belanda. Tetapi kalau kita melihat proses diplomasi secara utuh, apa yang dilakukan Mohammad Roem dengan menandatangani perjanjian Roem-Rooyen adalah sebagai taktik untuk memperjuangkan pengakuan internasional terhadap Republik beserta wilayah yang kita kenal sekarang ini. Mohammad Roem juga gigih memperjuangkan kembalinya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dari pengasingan ke Yogyakarta, dengan maksud agar kembalinya pemerintah RI yang dapat mengontrol wilayah RI yang secara de facto tertera dalam Persetujuan Linggarjati. Dengan demikian, meskipun wilayahnya hanya meliputi sebagian dari Republik Indonesia, pemerintah sudah dapat membuat paspor yang berlaku internasional. Paspor Republik itu menjadi penting
15 JULI - 14 AGUSTUS 2009
karena memudahkan perjalanan para pejuang Republik kita untuk melakukan lobi dengan negara lain. Oleh karena itu, kegigihan Mohammad Roem dalam mempertahankan hakhak Indonesia untuk dapat berhubungan dengan luar negeri patut kita hargai dan teladani. Mohammad Roem sebagai tokoh Islam tidak mengurangi nasionalisme beliau dan dikenal sebagai sosok yang toleran. Sebagai pribadi Muslim sejati, Mohammad Roem menjalin persahabatan dengan berbagai golongan, antara lain dengan Ignatius Josef Kasimo dan
Hal ini terjadi ketika saya bertugas sebagai diplomat junior saat penugasan pertama saya di Kairo, Mesir. Beliau saat itu mengunjungi anak menantu beliau yang tengah bertugas disana. Menantu Pak Roem itu adalah kolega dan kawan baik saya, yaitu ayah dari Mas Dimas Meidyatama. Dari interaksi dengan Pak Roem waktu itu, setidaknya ada dua hal yang sangat berkesan bagi saya, yaitu pertama, kerendahan hati beliau. Hal ini terbukti pada kesempatan saya dan Sdr. Eddi Suryodiningrat bersama keluarga melakukan perjalanan darat ke Port Said, suatu daerah bebas
Petrus Kanisius Ojong yang beragama Katolik, dengan TB Simatupang dan Leimena dari agama Protestan, selain itu juga dengan Syahrir, Anak Agung, serta Soebadio yang mendalami nilainilai sosialis. Saya sendiri merasa beruntung karena sempat berkenalan dan bertukar fikiran dengan Pak Roem.
bea (custom free zone). Ketika saya dan Sdr. Eddi sedang menyelesaikan surat pembebasan bea, Bapak Mohammad Roem yang sedang menunggu diluar, didatangi seorang polisi Mesir yang menanyakan banyak hal, seperti dari mana asal beliau, apakah beliau Muslim atau bukan, dan diminta membuktikan bahwa
o
k
u
s
5
beliau memang benar seorang Muslim. Bisa kita bayangkan seorang Mohammad Roem, yang merupakan tokoh nasional dan pemimpin Masyumi dengan rendah hati melayani pertanyaanpertanyaan tersebut dengan sabar. Yang kedua adalah bahwa beliau memiliki kebesaran hati. Saya sendiri pernah menanyakan kepada beliau apakah belaiu merasa sakit hati saat dipenjarakan oleh Presiden Soekarno. Jawaban beliau waktu itu adalah bahwa di dalam politik, menang atau kalah merupakan hal yang biasa. Dan saat itu, Presiden Soekarno menjadi pemenang dan Mohammad Roem sebagai pihak yang kalah, dan bersama Syahrir dijebloskan ke penjara. Beliau mengatakan bahwa dengan besar hati beliau menerima resiko tersebut dan sama sekali tidak mendendam kepada Soekarno. Saya mengagumi kebesaran hati para pemimpin Indonesia pada waktu itu : mereka boleh berbeda pandangan politik, yang bisa jadi sangat tajam, tetapi tidak mencegah mereka memelihara hubungan antar pribadi yang tetap baik. Pak Roem bahkan memelihara hubungan yang sangat baik dengan lawan negosiasinya, Van Rooyen, pada waktu dan sesudah perundingan perjanjian KMB. Saya kira, kita semua merindukan sosok pemimpin Indonesia yang memiliki kedua karakter tersebut, kerendahan hati sekaligus kebesaran hati. Hari ini, tepat 101 tahun dan satu bulan yang lalu Mohammad Roem lahir di bumi Indonesia. Semasa hidupnya banyak pemikiran dan langkah beliau yang patut diketahui oleh generasi muda. Annual Lecture ini terkait dengan betapa Mohammad Roem menjunjung tinggi persamaan derajat antara semua kalangan. Nilai-nilai inilah yang harus kita gali dalam tema Annual Lecture kali ini, yaitu ”Islam dan Demokrasi dalam Membangun Indonesia”.[]
No. 21, Tahun II
Diplomasi
6
F
o
k
u
s
Mempersoalkan Islam dan Demokrasi Sudah Tidak Relevan
Prof. Dr. Bachtiar Effendi
No. 21, Tahun II
Mohammad Roem merupakan salah satu tokoh demokrasi di Indonesia yang sekaligus juga sebagai kampiun Islam moderat. Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945, para pendiri RI, termasuk Mohammad memiliki sikap dan perilaku politik yang demokratis. Sehingga pada tahun 1946, para tokoh nasional saat itu telah bersepakat untuk menjadwalkan pemilihan umum, yang merupakan pertanda dari demokrasi. Walaupun pelaksanaan pemilu itu tertunda-tunda dan baru bisa diselenggarakan pada tahun 1955. Pemilu itu sendiri terselenggara pada masa pemerintahan yang di pimpin oleh orang-orang Masyumi, yaitu di era Burhanudin Harahap. Kalau dibandingkan dengan partai-partai lainnya, Masyumi adalah partai yang paling memperjuangkan demokrasi, bukan PNI. Masyumi memperjuangkan pemilihan secara langsung sebagaimana pemilu yang kita laksanakan sekarang. Dan orang-orang Islam ketika itu, terutama para pemimpin Masyumi, NU, Muhammadiyah dan lainnya, tidak pernah mempersoalkan secara teologis apakah Islam sesuai dengan demokrasi atau tidak. Jadi kalau sekarang ditanyakan apakah Islam itu sesuai atau tidak dengan demokrasi, itu sudah ketinggalan jaman. Karena pada tahun 40-an awal dan tahun 50an, ketika undang-undang pemilu dibicarakan kembali dan selesai pada tahun 1954, kemudian diselenggarakan pemilu pada tahun 1955, tidak pernah ada pertanyaan dari kaum muslim, apakah demokrasi ini sesuai dengan Islam atau tidak. Saat itu tidak ada pertanyaan sedikitpun secara teologis mengenai demokrasi, jadi kalau sekarang ada pertanyaan tentang
apakah Islam sesuai tidak dengan demokrasi, itu memang agak ketinggalan. Walaupun saya tidak tahu persis apakah para tokoh Masyumi memang sungguhsungguh menerima demokrasi. Karena jika dikalkulasi, pada saat itu partai Islam akan menang kalau pemilu dilakukan secara demokratis. Jadi demokrasi dianggap sebagai sebuah cara yang menguntungkan bagi pemimpinpemimpin partai Islam. Hal ini seperti yang diramalkan oleh Sutan Syahrir, dimana beliau mengatakan bahwa kalau pemilu jadi dilaksanakan pada 1946, maka yang menjadi pemenangnya adalah Masyumi, karena pada waktu itu partai-partai Islam belum terpecah. Dan saya tidak bisa membayangkan Masyumi akan menjadi partai demokratis, kalau disitu tidak ada orang-orang seperti Mohammad Roem, M. Natsir, Syafrudin Prawiranegara, dan lainnya, walaupun disisi lain
juga ada M.Asaad. Jadi memang bermacam-macam, tetapi warna dasarnya adalah sangat demokratis. Jadi sebetulnya bagi saya sendiri tidak terlalu relevan untuk mencari-cari akar sandaran-sandaran teologis dari Islam, apakah sesuai dengan demokrasi atau tidak, walaupun pada tahun-tahun terakhir ini sering muncul pertanyaan yang mencoba mengaitkan antara Islam dan demokrasi, hal ini muncul, mungkin karena kenyataan sejarah. Sebenarnya tidak penting mempersoalkan Islam itu sesuai atau tidak sesuai dengan demokrasi, karena sebenarnya Islam dan demokrasi itu sangat kompatibel, bahkan dasar-dasar pluralisme, toleransi, dan sebagainya itu sudah dikembangkan sejak periode Madinah. Tetapi ada satu penelitian dari Freedom House pada 2002 yang mengatakan bahwa hampir
15 JULI - 14 AGUSTUS 2009
Diplomasi LEN semua negara Islam di dunia tidak ada yang demokratis, yang tentunya berdasarkan ukuranukuran demokrasi sebagaimana yang kita baca dalam teksbookteksbook, dimana yang paling utama adalah diselenggarakannya pemilu secara jujur, adil, terbuka, dan sebagainya. Saya sendiri meragukan hasil dari penelitian itu, karena dia mengatakan bahwa negara seperti Korea Utara itu mempunyai kesempatan 3 kali lebih besar daripada negaranegara Islam di Timur tengah. Saya meragukan apakah hal itu benar, dan saya tidak tahu metodologi penelitian yang digunakan sehingga muncul narasi seperti itu. Tetapi memang harus kita akui, bahwa kalau kita berbicara mengenai Saudi Arabia, Mesir, Tunisia, Aljazair, Yaman, Maroko atau Libanon, memang tidak satupun yang bisa kita jadikan sebagai model dari kehidupan yang demokratis. Mungkin dengan pengecualian
Libanon, yang pada tahun 70-an mulai mempraktekkan apa yang disebut demokrasi membagibagi kekuasaan, dimana kalau presidennya dari Katolik, maka perdana menterinya dari Islam, dan ketua parlemennya dari Drust. Jika sekarang masih ada yang mencari relevansi Islam dalam demokrasi, sebetulnya Islam telah mempengaruhi dan membentuk perilaku umatnya, pertama-tama dalam melakukan hubungan dengan orang lain didalam menyikapi perbedaan dan sebagainya, tetapi tidak dilihat dari akar-akar teologinya. Karena sebetulnya kalau dicari akar-akar teologisnya, itu hanyalah prinsip-prinsip mengenai keadilan, musyawarah, persamaan, dan kemerdekaan. Prinsip-prinsip itulah yang kiranya bersesuaian dengan demokrasi, dan saya yakin Islam tidak hanya terdiri dari prinsip-prinsip itu, tetapi juga prinsip-prinsip lainnya yang menurut orang Muslim yang tidak
Demokrasi akan bisa lebih kokoh dan berkembang di Indonesia karena dia juga diletakkan didalam konteks budaya dan tradisi Indonesia. Ini sebenarnya sebagaimana yang disampaikan oleh Abdurahman Wahid, bahwa Islam dapat berkembang di Indonesia karena mengalami proses pribumisasi. Jadi bukan masalah syariah, sholat, dan zakatnya yang diperdulikan, tetapi adalah bagaimana pemahamannya dalam konteks tradisi dan budaya Indonesia.
15 JULI - 14 AGUSTUS 2009
moderat, terjemahannya bisa menjadi berbeda. Jadi saya cenderung melihat ini dari dimensi penguatan modal-modal sosial budaya dan umat Islam daripada melihat kesesuaian Islam dengan demokrasi itu sendiri. Karena dalam prakteknya, Saudi Arabia tidak menunjukkan praktek-praktek kehidupan yang demokratis, demikian juga dengan negara-negara Islam yang lain. Tetapi justru Indonesia yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia, sejak awal kemerdekaanya bersedia mempraktekkan demokrasi tanpa bertanya dan mempersoalkan apa-apa. Pertimbangan dan kalkulasinya memang sangat politis dan tidak ada pertimbangan-pertimbangan keagamaan. Bahwa kemudian didalam perjalanan sejarah ada penolakan-penolakan terhadap demokrasi, saya kira itu tidak tepat kalau dikaitkan dengan Islam. Karena penolakanpenolakan terhadap demokrasi yang ditandai dengan the breakdown democracy rezim pada tahun 70-an di Amerika Latin, negara-negara baru di Afrika dan Asia, hampir tidak satupun yang menggunakan pertimbanganpertimbangan keagamaan. Apalagi di Amerika Latin, tidak pernah digunakan pertimbangan-pertimbangan apakah demokrasi itu bisa bekerja ditengah-tengah sistem keagamaan dan kepercayaan yang berbeda-beda. Pertimbangannya sangat logis, yaitu apakah demokrasi mampu mewujudkan dua tujuan utamanya, stabilitas politik, stabilitas keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Jadi kalau Hillary Clinton mengatakan bahwa kalau anda mau melihat persesuaian antara Islam dengan demokrasi datanglah ke Indonesia, saya kira itu bukanlah pernyataan yang mengada-ada atau ingin menyenangkan Indonesia, itu memang kenyataan, yang tumbuh dari pengalaman dan praktek dari pemerintahan sekian tahun.
S
A
7
Saya kira Obama akan kesulitan mencari negara lain yang penduduknya mayoritas beragama Islam tetapi demokrasi bisa berjalan, hampir tidak ada kecuali Indonesia. Jadi sepertinya kita sia-sia mencari pembenaran bahwa Islam dan demokrasi itu cocok, karena sepertinya orang-orang AS tidak melihat Islam disini, dan lebih condong melihat Islam disana. Di Indonesia saya bisa memperoleh kehidupan yang relatif nyaman, dimana Islam, agama lainnya dan demokrasi bisa berjalan, dan bisa saya katakan bahwa ini tidak ada duanya. Inilah kiranya yang dilihat oleh Deplu, yaitu sebagai modal yang bisa dijual sebagai agenda diplomasi kita. Ini memang penting untuk memberikan pengetahuan dan penyadaran kepada dunia luar bahwa ketika orang membicarakan orientasi Islam, mereka tidak hanya mengarah pada negara-negara di Timur tengah sana, karena ada Islam yang lain, yang bahkan dianut oleh 240 juta orang yang berada disini. Kita harus akui bahwa demokrasi memang bukan berasal dari kita, apalagi demokrasi modern. Tetapi modalnya mungkin kita punya, modal sosial dan nilai-nilai kehidupan demokrasi mungkin kita ada, apalagi modal sosial budaya yang tumbuh dan berkembang, seperti misalnya di Jawa yang memiliki budaya ’tidak enakan’ yang mungkin cocok dengan demokrasi. Demokrasi akan bisa lebih kokoh dan berkembang di Indonesia karena dia juga diletakkan didalam konteks budaya dan tradisi Indonesia. Ini sebenarnya sebagaimana yang disampaikan oleh Abdurahman Wahid, bahwa Islam dapat berkembang di Indonesia karena mengalami proses pribumisasi. Jadi bukan masalah syariah, sholat, dan zakatnya yang diperdulikan, tetapi adalah bagaimana pemahamannya dalam konteks tradisi dan budaya Indonesia.[]
No. 21, Tahun II
Diplomasi
8
LEN
S
Komarudin Hidayat Rektor UIN Jakarta
Dalam pandangan internasional, Indonesia semakin nampak dikenal sebagai the largest Muslim country event the most democratic Muslim country. Hal itu kami rasakan betul ketika kami berada di forum-forum internasional. Dan dengan naiknya Obama, itu juga merupakan public relation bagi Indonesia, karena dalam biografi Obama dan dimanapun dia bicara dalam konteks hubungan internasional juga sangat positif. Kunjungan pertama Hillary Clinton ke Indonesia, juga memperkuat bahwa Indonesia dikenal sebagai the largest Muslim country. Perlu kami sampaikan, bahwa beberapa diplomat asing yang datang ke Indonesia, mereka mengatakan bahwa kalau berkunjung ke Indonesia, maka ada tiga mitra dialog yang harus mereka kunjungi disamping Deplu, yaitu Muhammadiyah, NU dan UIN Jakarta. Karena UIN Jakarta juga merupakan mitra Deplu untuk memperkenalkan dan mendialogkan bagaimana Islam di Indonesia. Dan sekarang ini kita semua terlibat ikut berpartisipasi membangun tradisi demokrasi Indonesia. Demokrasi di Indonesia itu disamping mendapat pengaruh stimulasi dari pembelajaran di Barat, tetapi juga mempunyai akar didalam masyarakat Indonesia. Demokrasi mempunyai akar teologis dari Islam itu sendiri. Jadi kalau di AS, demokrasi sangat erat kaitannya dengan tradisi etika Protestan, kalau di India dengan tradisi kultur antropologi India dan Hindunya, dan di Indonesia adalah dengan Islamnya. Di dalam konteks global, Indonesia mempunyai posisi yang luar biasa unik. Tetapi lagi-lagi dalam hal keunikan kekayaan ini kadang-kadang kita lemah melakukan public relation. Dan
No. 21, Tahun II
A
UIN Terinspirasi Spirit, NilaiNilai Dan Visi Muhammad Roem Karena Indonesia sebagai Muslim country, maka UIN sah-sah saja untuk menampilkan keIslaman dan sekaligus Indonesia, disamping juga sebagai universitas kami commited untuk mengembangkan keilmuan dan peradaban. Jadi kami ingin UIN ini sebagai miniatur peradaban Indonesia dimasa depan, yang mempertemukan ke Indonesiaan dan keIslaman dan juga kosmopolitanisme. oleh karena itu kami salut, bahwa akhir-akhir ini Deplu sangat aktif untuk lebih mengenalkan Indonesia, dimana didalamnya adalah Islam. Kami gembira bahwa UIN Jakarta merupakan bagian yang juga dilibatkan dalam upaya tersebut, dimana salah satunya adalah melalui penyelenggaraan Annual Lecure
Mohammad Roem. Mohammad Roem merupakan sebuah contoh ideal bagaimana seorang Muslim, negarawan, diplomat, dan putra Indonesia. Oleh karena itu saya harapkan kawan-kawan mahasiswa, terutama dari jurusan HI, betulbetul bisa menangkap pesan makna yang disampaikan untuk
menumbuhkan disiplin dan juga pemikiran persuasi kita dalam konteks hubungan luar negeri untuk memperkenalkan Islam Indonesia. Sosok Mohammad Roem adalah tokoh yang sangat menarik, yang mempertemukan semangat juang seorang nasionalis sejati, seorang santri, dan sekaligus kosmopolit, didalam dirinya. Jadi walaupun kiprahnya mendunia tetapi beliau juga mempunyai akar tokoh pejuang. Dalam hal ini UIN harus terinspirasi, spirit, nilainilai dan visi pak Roem ini harus dikembangkan. Spirit visinya UIN saya kira salah satunya adalah seperti pak Roem itu, yaitu pandangan yang mengglobal, kosmopolit, santun, intelek, punya integritas, inklusif, dan memiliki kawan-kawan dari lintas agama. Beliau sangat menghargai persahabatan dan agama, dimana yang namanya persahabatan itu dijunjung tinggi walaupun berbeda agama. Sekarang tinggal bagaimana nilai-nilai itu tumbuh di lingkungan UIN. Karena Indonesia sebagai Muslim country, maka UIN sahsah saja untuk menampilkan keIslaman dan sekaligus Indonesia, disamping juga sebagai universitas kami commited untuk mengembangkan keilmuan dan peradaban. Jadi kami ingin UIN ini sebagai miniatur peradaban Indonesia dimasa depan, yang mempertemukan ke Indonesiaan dan keIslaman dan juga kosmopolitanisme. Kami punya HI, kedokteran, ekonomi dan lain-lainnya, jadi pak Roem menjadi inspirasi juga dalam bidang yang lain dan tidak khusus hanya untuk diplomat, kita jangan mempertentangkan antara being Muslim, being Indonesian, being intelectual dan being citizen of the world.[]
15 JULI - 14 AGUSTUS 2009
Diplomasi LEN
S
A
9
Mengenang Mohammad Roem pihak yang kalah. Mungkin si sopir taksi benar, bahwa van Roijen telah dikalahkan oleh Roem. Kalangan konservatif Belanda menganggap bahwa Roem telah menang dalam perundingan yang menegangkan dengan van
Taufik Abdullah
..........................................................
Ketika Mohammad Roem mengikuti Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda tahun 1949, saat itu ia menjabat sebagai Wakil Ketua Delegasi RI. Ada kejadian menarik ketika untuk sesuatu keperluan, pak Roem naik taksi. Oleh karena pak Roem adalah seorang yang ramah, maka terjadilah percakapan santai dengan sopir taksi. Ketika sopir taksi itu mengetahui nama pak Roem, seketika itu juga si sopir menyapanya dengan ”Excellency Roem”. Tentu saja perubahan sapaan ini mengherankan pak Roem, dan beliau menanyakan kepada si sopir kenapa dia tiba-tiba mendapat sapaan kehormatan, dan si sopir mengatakan bahwa dikalangan sopir Belanda telah muncul sebuah pandangan bersama yang mengatakan ”Die Roem is pinter. Hij heeft van Roijen klein gekregen”. Dia telah mengalahkan van Roijen. Tetapi pak Roem tidak memperlihatkan rasa gembiranya, dan mengatakan bahwa di Yogya ceritanya berbeda, disana dia dikatakan ”Die is de beroemde van Roijen endeze is de berooideRoem”. Inilah Roem yang telah kena kibul. Apakah yang terjadi, sehingga masing-masing pihak merasa bahwa negara mereka adalah
15 JULI - 14 AGUSTUS 2009
RI, dan para pemimpin RI harus dibebaskan, sementara jalan ke arah diadakannya KMB pun telah terbuka lebar. Jadi yang terjadi bukan sekedar kembali ke situasi sebelum agresi dilancarkan, tetapi juga keharusan dari pengakhiran
Republik, bersama-sama dengan Perdana Menteri NIT (antara lain didukung oleh Perdana Menteri Negara Pasundan), berhasil mengungguli kelompok pimpinan Sultan Hamid II yang pro rencana Dr.Beel. Sayap BFO
Pejuang Diplomasi Sudah Selayaknya Mendapat Penghargaan Roijen. Bagaimana pembalikan situasi ini bisa terjadi, padahal ketika pertemuan Roem-Roijen dilaksanakan, Yogyakarta dan kota-kota RI yang lain telah diduduki Belanda. Dan sebagian besar para pemimpin RI, mulai dari Presiden dan Wakil Presiden yang merangkap sebagai Perdana Menteri, beberapa menteri, bahkan termasuk Roem sendiri, telah berada dalam tahanan Belanda. Agresi kedua Belanda yang dilancarkan pada tanggal 19 Desember 1948, disebut sebagai “aksi polisionil”, yaitu penamaan yang seakan-akan mengatakan bahwa RI hanya terdiri atas kumpulan para pemberontak saja. Keberhasilan Belanda melancarkan serangan di saat pertukaran nota antara RI dan Belanda di bawah pengawasan United Nations Committe on Indonesia masih berlangsung, memang bisa memberi kesan bahwa umur RI telah berakhir. Konon Jenderal Spoor, panglima pasukan Belanda, sempat berbangga dan mengatakan bahwa RI sudah tidak ada lagi. Tetapi ketika perundingan Roem-Roijen selesai, kesan bahwa Belanda telah dirugikan memang tidak terelakkan. Yogya harus ’kembali’ ke pangkuan
konflik telah pula dipastikan. Masalahnya, sebelum perundingan Roem-Roijen itu berlangsung, berbagai rencana telah disusun secara matang oleh Dr. Beel, mantan Perdana Menteri Belanda yang diangkat sebagai Wakil Tertinggi Ratu Belanda, setelah van Mook meletakkan jabatan. Dia telah membayangkan ketika pelaksanaan resolusi PBB yang menghendaki penghentian permusuhan dilaksanakan dengan baik, Republik Indonesia Serikat (RIS) bisa didirikan tanpa keikutsertaan RI. Berbagai usaha telah dilakukan Beel untuk menyingkirkan RI dari masa depan Indonesia. RI yang berpusat di Yogya ini akan dibiarkan menggapai-gapai dalam ketidakpastian masa depan dengan daerah yang telah terpenggal-penggal. Waktu itu Sumatera, Jawa dan Madura yang sempat diakui sebagai wilayah de facto, telah pula terpecah-pecah. Bayangkan bagaimana jadinya dengan RI yang mungkin hanya akan terdiri dari Aceh, Sumatera Tengah, dan Yogyakarta saja. Rencana Dr. Beel gagal total sebelum bisa dipaksakan, karena sayap BFO (Permusyawaratan Negara-negara Federal ciptaan Belanda) yang dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung, yang pro
dan kawan-kawannya sama sekali tidak menginginkan perpecahan Indonesia, karena bagi mereka masa depan adalah menjadi milik keseluruhan wilayah yang dulu disebut sebagai Hindia Belanda dalam kesadaran kebangsaan yang dinamakan kepulauan Indonesia. Sikap tersebut sejalan dengan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menghendaki penghentian permusuhan, pengembalian Yogyakarta dan pembebasan para pejabat RI, serta diselenggarakannya KMB sebagai sarana ke arah pengakuan kedaulatan Indonesia tanpa masa transisi. Jadi terlepas dari suasana internasional yang mendukung posisi RI, golongan konservatif Belanda dan juga pandangan umum masyarakat awam Belanda, menganggap bahwa Roijen telah kalah. Tetapi Roem sama sekali tidak bangga, dan dengan jujur mengatakan hal yang sebenarnya, yaitu bahwa dia sendiri juga diejek di Yogyakarta. Masalahnya bukan sekedar terletak pada tidak adanya apa yang disebut sebagai ‘persetujuan’ atau agreement setelah sebuah perundingan berakhir, dan juga bukan pada isi pernyataan masing-masing ketua delegasi, melainkan pada
No. 21, Tahun II
Diplomasi
10
LEN
S
perdebatan di kalangan RI sendiri, yaitu apakah Roem, yang diangkat oleh Soekarno-Hatta, berhak secara konstitusional melakukan perundingan. Sejak perundingan Linggarjati sampai Belanda melancarkan agresi keduanya, Roem bisa dikatakan sebagai ’pemain abadi’ dalam upaya diplomasi. Sejak awal ia bukan saja harus beradu argumen dengan kekuatan asing, tetapi juga terlibat dalam perdebatan tentang strategi menghadapi kekuatan asing tersebut. Inilah salah satu kekuatan pak Roem, ia menghadapi musuh dan sekaligus harus meyakinkan kawan tentang langkah-langkah yang harus ditempuh dalam usaha mencapai kemerdekaan 100%. ’Kemenangan awal’ yang secara formal dipatrikan oleh Roem kemudian berlanjut, karena sesudah itu dilakukan Konferensi Inter Indonesia sebanyak dua kali yang dihadiri oleh wakil RI dan BFO sebagai upaya menempatkan posisi untuk berada satu front dalam menghadapi Belanda di KMB. Rasa persatuan Indonesia dikokohkan kembali, walau apapun nanti corak konstelasi dan dinamika politik yang akan dijalani dalam negara yang telah berdaulat. Pada tanggal 27 Desember 1949 di Amsterdam Ratu Juliana secara resmi ‘menyerahkan’ kedaulatan Indonesia kepada Perdana Menteri RIS, Mohammad Hatta. Saat itu secara resmi Belanda mengakhiri kekuasaannya di Indonesia, kecuali Irian Barat yang masih disengketakan, dan Indonesia telah menjadi tuan rumah di negeri sendiri tanpa ada satu negara lainpun yang bisa menggugat legitimasinya. Tetapi peristiwa ini biasa dilupakan saja, dan Roem kemudian berkomentar ”kiranya tidak semua yang penting perlu dirayakan, dan tidak semua yang dirayakan mesti penting”. Ketika pengalaman masa lalu diceritakan, maka bukan saja renungan atas semuanya yang bisa dilakukan, melainkan
No. 21, Tahun II
A
Muhammad Roem
juga penilaian subyektif atas peristiwa dan aktor yang bermain didalamnya. Kalau melihat sejarah diplomasi di masa perang kemerdekaan dan revolusi nasional, maka harus kita akui peran penting yang pernah dijalankan ’tiga diplomat utama’. Syahrir yang memulai semuanya, Hatta yang meletakkan dasar orthodoksi politik luar negeri ’bebas dan aktif’, dan Roem yang senantiasa memainkan peran penting ketika konflik disalurkan lewat diplomasi. Disamping mereka bertiga, tentu juga bisa disebut Haji Agus Salim yang berhasil mendatangkan simpati negara-negara Arab pada RI. Tetapi gambaran yang didapatkan di era Orde Baru, Roem hanya diingat sebagai tokoh Masyumi, Syahrir sebagai ’pahlawan’ setelah teraniaya, dan Hatta sebagai ’hati nurani bangsa’ yang tetap dibiarkan dalam kesendirian. Sedangkan Haji Agus Salim hanya disebut ketika
peristiwa yang dilakoninya sempat teringat. Perjuangan bersenjata adalah pengabdian untuk mendapatkan penyelesaian dendam masa lalu dan ketidakadilan masa kini, sedangkan diplomasi adalah usaha untuk merintis masa depan yang dicita-citakan. Hanya dalam situasi diplomasi, kesetaraan harkat diri masing-masing bisa dijadikan sebagai landasan utama. Tanpa adanya suasana ini, diplomasi telah berakhir sebelum dimulai. Karena itu semestinya negara memberi penghargaan yang setimpal bagi para pejuang di bidang diplomasi, yaitu mereka yang berjuang mendapatkan hak dalam suasana yang menghargai kesetaraan harkat negara masingmasing.[]
Kalau melihat sejarah diplomasi di masa perang kemerdekaan dan revolusi nasional, maka harus kita akui peran penting yang pernah dijalankan ’tiga diplomat utama’. Syahrir yang memulai semuanya, Hatta yang meletakkan dasar orthodoksi politik luar negeri ’bebas dan aktif’, dan Roem yang senantiasa memainkan peran penting ketika konflik disalurkan lewat diplomasi. Disamping mereka bertiga, tentu juga bisa disebut Haji Agus Salim yang berhasil mendatangkan simpati negara-negara Arab pada RI.
15 JULI - 14 AGUSTUS 2009
Diplomasi LEN
S
A
11
Deplu Raih Predikat Stand Terbaik pada International Public Service Expo 2009 “Keikut-sertaan Deplu dalam pameran tersebut merupakan kegiatan positif yang telah menciptakan adanya interaksi langsung antara Deplu dengan public, meningkatkan jejaring kerja dengan instansi-instansi terkait di dalam negeri, dan sebagai wahana untuk meningkatkan pemahaman yang lebih luas bagi staf Deplu sendiri mengenai “Benah Diri” serta upayaupaya yang telah dicapai Deplu selama kurun waktu 9 tahun terakhir.” Departemen Luar Negeri RI menerima piala stand terbaik dan piagam serta plakat penampilan stand terbaik dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Taufiq Effendi, saat menutup International Public Service Expo 2009 yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) pada tanggal 23 hingga 25 Juni 2009. Bertempat di Kartika Expo, Balai Kartini, Jakarta, penghargaan tersebut diterima oleh Plt. Direktur Diplomasi Publik, Umar Hadi, mewakili Departemen Luar Negeri. Predikat stand terbaik bagi Deplu tersebut, didasarkan pada berbagai kriteria antara lain, daya tarik dari lay-out, bentuk dan penyajian, konsep dan pesan yang jelas, dan petugas-petugas stand yang benar-benar memahami pesan yang ingin disampaikan kepada pengunjung. Kegiatan pameran ini merupakan yang pertama kalinya diselenggarakan oleh Kantor Menpan dan sebagai bentuk partisipasi Indonesia dalam peringatan Hari Pelayanan Publik yang dicanangkan oleh PBB untuk diperingati setiap tanggal 23 Juni. Tahun ini, pameran menampilkan stand yang diikuti
15 JULI - 14 AGUSTUS 2009
oleh 70 instansi pemerintah baik pusat maupun daerah serta beberapa institusi perguruan tinggi di Indonesia dan dihadiri oleh lebih kurang 12.000 pengunjung. Menlu RI, Dr. N. Hassan Wirajuda juga telah hadir dan meninjau stand Deplu saat peresmian acara yang dibuka oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Aburizal Bakrie, Selasa (23/06). Dalam pameran tersebut, Deplu menempati stand seluas 108 m2 yang didesain menyerupai bangunan Gedung Pancasila. Di dalamnya terdapat enam stand yang mengusung tema “9 tahun Benah Diri” Deplu dan diwujudkan dalam bentuk audio visual dan foto, yang menyajikan Stand Pelayanan Khusus, menampilkan kinerja Biro Kepegawaian dalam proses rekrutmen pegawai dan Direktorat Protokol dalam pelayanan keprotokolan, Stand Pelayanan Informasi, menampilkan kinerja Direktorat Informasi dan Media serta Direktorat Diplomasi Publik dalam hal diseminasi informasi berbagai capaian Deplu dalam upaya “Benah Diri”, Stand Pelayanan Perlindungan Warga, menampilkan capaian-capaian Direktorat Perlindungan WNI
dan BHI dalam memberikan perlindungan bagi warga negara dan badan hukum Indonesia baik di dalam maupun di luar negeri, Stand Pelayanan Kekonsuleran, menampilkan kinerja Direktorat Konsuler dan Direktorat Fasilitas Diplomasi Publik dalam hal pemberian bantuan kekonsuleran kepada seluruh pegawai instansi pemerintah maupun perwakilan negara-negara asing di Indonesia. Dalam kesempatan tersebut ditampilkan pula dua stand masing-masing dari KBRI Kuala Lumpur dan KBRI Singapura yang menampilkan capaian kinerja kedua perwakilan tersebut dalam pelayanan kepada WNI di negara akreditasi. Video Benah Diri Deplu yang berdurasi 7 menit 4 detik diputar non-stop selama pameran berlangsung mulai pukul 09.00 hingga 18.00 dan berbagai jenis publikasi dibagikan kepada para pengunjung. Ditampilkan pula berbagai piala dan piagam penghargaan seperti Piala Citra Pelayanan Prima bagi KBRI Kuala Lumpur dan KBRI Singapura, Piagam Penghargaan Citra Pelayanan Prima bagi Direktorat Perlindungan WNI dan BHI, dan Sertifikat ISO 9001:2008 bagi Biro Kepegawaian, KBRI Kuala
Lumpur dan KBRI Singapura serta Piagam Penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) bagi Deplu. Dalam kesempatan tersebut ditugaskan pula 30 diplomat muda lulusan Sekdilu angkatan 30, 31, 32 dan 33 untuk menyampaikan capaian 9 tahun Benah Diri Deplu kepada seluruh pengunjung pameran. Di sela-sela kegiatan pameran, Deplu juga turut berpartisipasi dalam kegiatan side events dengan menampilkan sebuah acara Talk Show dengan tema “Kisah Perantau di Negeri Orang” yang menghadirkan pembicara yaitu Dubes RI Kuala Lumpur, Tan Sri Da’i Bachtiar; Dubes RI Singapura, Drs. Wardana; Ketua Migrant Care, Anis Hidayah; Mantan TKI di Singapura, Binti Salbiah; mantan TKI di Kuala Lumpur, Karmila Umar; dan mantan reporter Metro TV yang pernah mengalami penyanderaan di Irak, Meutya Hafid. Bertindak selaku pembicara sekaligus moderator pada acara tersebut adalah Direktur Perlindungan WNI dan BHI, Teguh Wardoyo. Acara yang berlangsung selama dua jam pada tanggal 23 Juni 2009 tersebut, juga dihadiri oleh Wakil Menteri Luar Negeri, Triyono Wibowo, SH dan sekitar 175 orang peserta. Keikut-sertaan Deplu dalam pameran tersebut merupakan kegiatan positif yang telah menciptakan adanya interaksi langsung antara Deplu dengan publik, meningkatkan jejaring kerja dengan instansi-instansi terkait di dalam negeri, dan sebagai wahana untuk meningkatkan pemahaman yang lebih luas bagi staf Deplu sendiri mengenai “Benah Diri” serta upaya-upaya yang telah dicapai Deplu selama kurun waktu 9 tahun terakhir. [] (Sumber: Dit. Diplomasi Publik)
No. 21, Tahun II
Diplomasi
12
BING K AI
“KING”,
Film Bertema Bulutangkis Pertama Di Dunia Nia Zulkarnaen dan suaminya, Ari Sihasale mengangkat tema King dan Bulutangkis ke layar lebar. Meski banyak figur pebulutangkis nasional yang tak kalah hebat dengan Liem Swie King, namun Karisma sang legendaris yang dikenal memiliki smash “King” yang mematikan seolah tak lapuk oleh zaman. Justru karisma “King” semakin mamancar. Ini terbukti dengan di usungnya cerita King dan olah raga bulu tangkis ke layar lebar. Menurut Nia, film berjudul ”King” yang mengambil tema olahraga bulutangkis, bertujuan untuk lebih memasyarakatkan kembali olah raga bulutangkis di Indonesia. Kita merasa bahwa bulutangkis adalah salah satu cabang olahraga kebanggaan Indonesia yang sering mengharumkan nama bangsa di kancah internasional, dimana bagi Indonesia tradisi emas di Olimpiade itu masih dihasilkan dari cabang olahraga bulutangkis. Film ini juga dimaksudkan untuk memperkenalkan keindahan Indonesia kepada dunia internasional. Itulah sebabnya kita melakukan shooting di daerah-daerah, seperti di Kawah Ijen, Wonosobo, Bondowoso dan Situbondo, karena ini adalah sebuah film tentang olahraga bulutangkis tetapi settingnya adalah daerah, apalagi memang sebuah pertandingan bulutangkis itu tidak harus selalu dilakukan didalam ruangan. Terinspirasi piala Thomas dan Uber Ide untuk memproduksi film ini muncul saat kita menonton pertandingan piala Thomas dan Uber. Saat itu kita tergerak, karena selama ini film-film kita yang bertema olah raga hanya bercerita tentang sepak bola atau tinju, belum pernah ada film Indonesia yang berlatar belakang cerita tentang olah raga bulutangkis, baik ketika masa kejayaan kita dahulu yang pernah menjadi macan Asia dan dunia, hingga akhirnya kita sering kalah sekarang ini. Film ”King” ini bukan merupakan otobiografi dari seorang Liem Swie King, melainkan sebuah inspirasi dari figur, semangat, dan kesuksesan Liem Swie King di masa kejayaannya dahulu. Dia adalah seorang pemain bulutangkis yang sangat mengidolakan dan mencintai bulutangkis, disamping juga sebagai seorang ayah yang sangat dekat dengan anak-anaknya. Dan dia berkeinginan agar anak-anaknya juga bisa berhasil menjadi kebanggaan Indonesia. Didalam memproduksi sebuah film, kita tetap berpegang pada visi untuk selalu menyajikan film-film yang baik dari segi cerita dan penggarapannya, yaitu film yang tidak hanya menghibur, tetapi juga bermanfaat untuk masyarakat dan bangsa Idonesia. Jadi bisa dibilang bahwa film ini adalah film edutainment. Karena pendidikan itu bisa dilakukan tidak hanya disekolah formal saja, artinya dunia hiburan juga bisa menjadi sarana pendidikan, yaitu
No. 21, Tahun II
15 JULI - 14 AGUSTUS 2009
Diplomasi BING K AI
melalui penyampaian informasi yang positif. Dan pesan yang ingin disampaikan dalam film ini adalah mengenai cinta kasih, persahabatan, kebersamaan dan semangat. Untuk promosi dan pendistribusian film ”King” , kebetulan karena kita cukup lama di PBSI dan membantu sebagai Humas di Badminton Asia Confederation (BAC), maka kalau misalnya nanti ada meeting BAC, kita akan coba bawa film ”King” ini untuk kita tawarkan, paling tidak kepada negara-negara yang menyukai bulutangkis, seperti Korea, Jepang, China, India, Malaysia, Hongkong, Denmark, Swedia, Inggris dan sebagainya. ”King” ini adalah film bertema bulutangkis yang pertama di dunia, itu artinya Indonesia boleh berbangga hati dalam hal ini, dan dengan demikian semoga saja IBF tergerak untuk membantu mempromosikan film ini. KING adalah film ketiga dari Alenia Picture dan karya perdana
15 JULI - 14 AGUSTUS 2009
sutradara Ari Sihasale yang juga mebuahkan film lain diantaranya Denias dan Liburan Seru. Lokasi pembuatan film selama 38 hari di tiga tempat, yaitu di Kudus, kawasan Kawah Ijen, dan Banyuwangi. Proses Pembuatan Hambatan utama dalam pembuatan film ”King” ini adalah medannya yang cukup berat, karena kita membuatnya di lerenglereng gunung, apalagi dalam cuaca yang sedang musim hujan, dimana kita harus berjalan kaki selama dua jam untuk sampai ke lokasi shooting, tetapi lokasinya memang sangat indah. Kita memang sengaja tidak melakukan shooting di perkotaan atau di Jakarta, karena kita pikir sudah banyak yang tahu Jakarta dan mungkin hingga ke luar negeri. Karena itu lebih baik kita mempromosikan daerahdaerah Indonesia lainnya yang jarang tereksplor di luar, supaya lebih banyak lagi wisatawan
lokal dan mancanegara yang datang ke Kawah Ijen, Wonosobo, Bondowoso dan Situbondo. Dari segi biaya, film ini termasuk kategori lumayan mahal, karena kita menggunakan Camera 35 mm yang menggunakan film seluloid dan juga transportasi ekstra untuk mencapai lokasi shooting, itulah yang mungkin menyebabkan biayanya menjadi lebih besar dibandingkan dengan film yang menggunakan camera digital, tetapi saya rasa itu masih standar. Memang sudah pasti film itu ada segi bisnisnya, dimana akhirnya harus ada keuntungan untuk kita gunakan sebagai modal untuk membuat film-film berikutnya. Tetapi jangan lupa bahwa film itu adalah sebuah karya seni yang juga bisa kita gunakan sebagai public relation bangsa kita kepada masyarakat internasional. Jadi walaupun memang bagus, public relation itu jangan hanya melalui taritarian, lagu, wayang, atau lukisan saja, tetapi juga melalui film. Karena film merupakan bahasa gambar yang lebih universal dan lebih mudah dimengerti, apalagi teknologinya juga memang sudah cukup canggih, sehingga dengan demikian masyarakat Indonesia dan juga internasional bisa terbuka matanya untuk melihat Indonesia secara lebih utuh. Apalagi belakangan ini banyak image jelek yang kita dengar diluar, dimana mungkin orangorang diluar hanya sekedar melihat potongan-potongan berita di TV. Karena itu dengan mereka menonton film-film kita yang bagus, yang juga menampilkan tentang budaya dan keindahan alam kita, mereka bisa mengetahui bahwa ternyata Indonesia itu indah, Indonesia tidak cuma Bali atau Lombok tetapi juga ada Papua dan sebagainya, bahwa ternyata orang Indonesia itu ramah dan baik. Sebagai pekerja seni, kami percaya bahwa banyak pesan-pesan positif yang bisa disampaikan melalui film tanpa terkesan menggurui. Anak-anak
13
Kita memang sengaja tidak melakukan shooting di perkotaan atau di Jakarta, karena kita pikir sudah banyak yang tahu Jakarta dan mungkin hingga ke luar negeri. Karena itu lebih baik kita mempromosikan daerah-daerah Indonesia lainnya yang jarang tereksplor di luar, supaya lebih banyak lagi wisatawan lokal dan mancanegara yang datang ke Kawah Ijen, Wonosobo, Bondowoso dan Situbondo. kita sekarang sudah maju dan tidak senang kalau hanya dituntut tidak boleh begini dan begitu tanpa alasan yang kuat dan tepat, jadi tidak cukup kalau hanya melalui kegiatan seminar dan sejenisnya. Melalui film, mereka seperti sedang menonton hiburan, padahal disitu kita juga sedang menyampaikan pesan bahwa kalau ingin sukses, mereka harus punya cita-cita, sekolah dengan sungguh-sungguh dan kerjakeras. Sebagai cineas kita juga sering diundang oleh kedutaan-kedutaan untuk pemberian beasiswa S2, dimana sudah ada 5 orang cineas dari Indonesia yang mendapatkan beasiswa tersebut. Kita juga menyelenggarakan pekan film Indonesia di KBRI-KBRI, dimana ada peserta yang mengira bahwa film-film kita itu lokasi shootingnya di Afrika dan New Zealand, padahal itu di Papua, di Indonesia. Jadi kita perlu memberikan penjelasan kepada mereka, bahwa keindahan alam Indonesia itu tidak kalah dengan negaranegara lain, Indonesia memiliki banyak sekali daerah-daerah dengan pemandangan yang indah luar biasa.[]
No. 21, Tahun II
Diplomasi
14
S OROTAN
R. Prayono Atiyanto Direktur Amselkar
Pasar Industri Kreatif di Suriname Masih Terbuka
Kerjasama antara IndonesiaSuriname bukan hanya dibidang kebudayaan, tetapi juga pendidikan dan bahkan ada aspek olahraganya. Forum kerjasama kebudayaan Indonesa-Suriname ini dilakukan, meskipun jarak kedua negara sangat jauh, alasannya adalah selain karena faktor hubungan kesejarahan, disisi lain tentunya kita juga melihat ini sebagai peluang, kita melihat industri seni dan budayanya untuk kita coba kembangkan. sehingga telah muncul ide agar kita membuat bioskop di Suriname untuk meningkatkan peredaran filmfilm Indonesia disana. Tentunya film yang kita edarkan tersebut adalah ’film yang bagus dan berbobot’. Peluangnya cukup besar, karena memang pasarnya ada, yaitu orang-orang keturunan Jawa yang mencapai 20% dari total populasi penduduk disana. Disamping itu Suriname ini juga bisa kita jadikan sebagai pintu gerbang untuk menuju kawasan Karibia. Melalaui kerjasama kebudayaan kita berharap industri kreatif akan berkembang dan menembus pasar suriname. Yaitu dengan memasukkan film-film kita kesana, tentunya ini ada nilai ekonomisnya. Demikian juga dengan film animasi, karena kita mempunyai sekolah animasi. Kita juga memiliki peluang untuk bisa masuk ke pasar mereka dan melakukan joint training
No. 21, Tahun II
programm. Biasanya setiap tahun, pada bulan September, kita menyelenggarakan pameran dagang ’Indo Fair’ di Suriname selama dua minggu. Pameran dagang ini ternyata tidak hanya menarik perhatian warga Suriname keturunan Jawa, melainkan juga warga Suriname yang non Jawa. Dalam trade promotion tersebut, tentunya kita juga menampilkan pertunjukan-pertunjukan kesenian, dimana selama ini yang ditampilkan biasanya adalah kesenian Kuda Lumping, padahal kita memiliki banyak sekali aneka ragam budaya dan kesenian. Inilah salah satu faktor yang mendorong dilaksanakannya Forum Kerjasama Kebudayaan IndonesiaSuriname, yaitu untuk menunjukkan bahwa sebenarnya Indonesia masih memiliki banyak sekali seni dan budaya yang lainnya. Kita berharap melalui kerjasama ini, generasi muda asal Jawa di Suriname
ini tidak berpandangan bahwa kesenian Indonesia itu hanya Kuda Lumping. Tentunya dengan demikian kita memberikan gambaran yang lebih nyata tentang Indonesia. Karena itu kita coba dorong seni dan budaya yang mencerminkan apa dan bagaimana Indonesia itu. Tentunya kita juga mengharapkan adanya kreatifitas dari para pelaku industri seni dan budaya Indonesia. Kalau dari sisi pemerintah, semua orang sudah tahu bahwa dari segi anggaran, kemampuan kita sangat terbatas, tetapi paling tidak kita akan memfasilitasi. Yang penting adalah adanya kesamaan visi dan misi serta persepsi diantara para pihak yang terkait dalam bidang pengembangan seni dan budaya, ini yang kita perlukan. Oleh karena itu dalam forum ini kita juga mengundang para pelaku industri seni dan budaya, seperti dari production house, institusi kesenian dan budaya, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Pemda Yogyakarta, LSM dan lain-lainnya.
Deplu sendiri hanya memprakarsai dan mencoba menggandeng semua pihak terkait, untuk menyampaikan bahwa ada peluang seperti ini di Suriname yang dapat kita garap lebih lanjut. Intinya, kita jangan hanya puas dengan hubungan yang telah ada selama ini, karena potensi yang ada masih bisa kita maksimalkan. Melalui forum ini kita akan menarik feedback dari para pelaku industri seni dan budaya tersebut. Kita akan terus menjalin hubungan komunikasi dengan mereka untuk menyerap ide-ide atau gagasan yang muncul, karena kalau ternyata itu bisa dilaksanakan, kita bisa ikut untuk memfasilitasinya. Dalam konteks G to G, kita akan menyelenggerakan pertemuan Komisi Bersama, yang direncanakan di Solo pada bulan September 2009 mendatang. Disitu kita akan membahas semua aspek kerjasama, baik itu ekonomi, perdagangan ataupun kerjasama teknis. Jadi sifatnya lebih interdept, dimana kemungkinan akan menghasilkan gagasan-gagasan baru lagi. Karena itu saya mencoba mendorong Dubes Suriname untuk paling tidak kita menghasilkan kesepakatan mengenai kerjasama lebih lanjut ke depan.[]
15 JULI - 14 AGUSTUS 2009
Diplomasi K
Penandatanganan Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia Dan Republik Rakyat China Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Dr. N. Hassan Wirajuda, dan Menteri Luar Negeri Republik Rakyat China (RRC), Yang Jiechi, telah menandatangani Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat China pada 1 Juli 2009 di Gedung Diaoyutai State Guest House, Beijing. Acara penandatanganan perjanjian didahului dengan pertemuan konsultasi antara kedua Menteri Luar Negeri dengan pokok bahasan hal-hal yang terkait dengan upaya peningkatan hubungan bilateral dan isu-isu regional dan internasional yang menjadi perhatian bersama. Berbeda dengan Perjanjian Ekstradisi dengan negara-negara lainnya, dalam Perjanjian Ekstradisi dengan RRC ini tidak disebutkan secara spesifik jenis-jenis tindak kejahatan yang pelakunya dapat diekstradisikan. Ekstradisi dapat dimintakan terhadap pelaku perbuatan yang berdasarkan hukum kedua belah pihak merupakan tindak pidana dan memenuhi salah satu dari persyaratan berikut :
(a) apabila permintaan ekstradisi bertujuan untuk pelaksanaan proses peradilan, tindak pidananya dapat dihukum berdasarkan hukum kedua belah pihak dengan ancaman pidana penjara lebih dari satu tahun, atau ancaman pidana yang lebih berat; (b) apabila permintaan ekstradisi bertujuan untuk melaksanakan hukuman yang telah dijatuhkan, masa hukuman yang masih harus dijalani oleh orang yang dicari adalah sekurang-kurangnya enam bulan sejak permintaan ekstradisi dibuat. Dengan demikian Perjanjian Ekstradisi dengan RRC ini mencakup tindak kejahatan yang lebih luas. Proses perundingan naskah Perjanjian Ekstradisi dengan pihak RRC yang hanya berlangsung tiga putaran menunjukkan komitmen kuat kedua belah pihak untuk
ILA
S
15
meningkatkan kerjasama di bidang hukum yang merupakan salah satu elemen utama kerjasama yang dirujuk dalam Deklarasi Bersama antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat China mengenai Kemitraan Strategis, yang telah ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Hu Jintao di Jakarta pada tanggal 25 April 2005. Perjanjian Ekstradisi ini semakin melengkapi bangunan kerjasama hukum antar kedua negara yang telah ada yakni Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters) yang telah diratifikasi menjadi UU No. 8 tahun 2006. Dengan ditandatanganinya Perjanjian Ekstradisi dengan RRC ini, maka saat ini Indonesia telah menandatangani Perjanjian Ekstradisi dengan 7 negara.[] (Sumber: KBRI Beijing)
PUBLIC SPEAKING CONTEST DENGAN TEMA ASEAN AS ONE COMMUNITY UNTUK MAHASISWA PERGURUAN TINGGI SE-JABODETABEK TAHUN 2009 Dalam rangka memperingati ASEAN Day ke-42 tahun 2009, Sekretariat Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional menyelenggarakan lomba Public Speaking untuk mahasiswa perguruan tinggi se-Jabodetabek pada tanggal 24-25 Juni 2009. Lomba dimaksud diselenggarakan untuk meningkatkan awareness di kalangan masyarakat khususnya generasi muda
15 JULI - 14 AGUSTUS 2009
tentang keberadaan ASEAN dan perkembangan kerjasama ASEAN. Saat ini kerjasama ASEAN diarahkan untuk membentuk suatu komunitas ASEAN tahun 2015. Untuk dapat mewujudkan komunitas ASEAN tersebut, perlu dibangun kesadaran seluruh stakeholder (pemangku kepentingan) untuk mendukung tercapainya integrasi masyarakat ASEAN pada tahun 2015. Lomba public speaking ini mendapatkan antusiasme yang tinggi dari mahasiswa perguruan tinggi se-Jabodetabek. Sampai hari penutupan, panitia
menerima 145 aplikasi dan setelah dilakukan seleksi administrasi terdapat 96 peserta yang dapat maju ke babak penyisihan. Lomba ini akan menjaring 6 pemenang yang diharapkan dapat membantu Ditjen Kerjasama ASEAN dalam mensosialisasikan perkembangan kerjasama ASEAN ke masyarakat luas. Juri yang akan terlibat dalam lomba tersebut terdiri dari ahli public speaking contest dari perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia, serta beberapa pejabat Departemen
Luar Negeri. Penyerahan hadiah akan dilaksanakan pada tanggal 10 Agustus 2009 berdekatan dengan hari ulang tahun ASEAN yang jatuh pada tanggal 8 Agustus 2009 dan akan dihadiri oleh Pejabat Eselon I dan II Departemen Luar Negeri. Selain mendapatkan thropy dan piagam, para pemenang juga akan mendapatkan dana pembinaan serta kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan kepemudaan ASEAN.[]
No. 21, Tahun II
Diplomasi
16
K
ILA
S
Interaksi Anggota BDF Sangat Penting
I Ketut Putra Erawan Direktur Eksekutif IPD Terkait dengan pelaksanaan Indonesian Election Visitor Program (EVP) tanggal 6-9 Juli 2009, ada beberapa hal yang dapat dielaborasikan, yaitu mengenai kelanjutan dari kegiatan yang telah dilakukan sebelumnya. Pertama, adalah kata ’visitor’ , dimana yang kita undang adalah 56 orang pejabat-pejabat tinggi dari 26 negara. Sebagai visitor mereka kita ajak untuk merasakan proses pemilu di Indonesia, dan kemudian mereka juga kita ajak berfikir tentang bagaimana lingkungan dan dinamika politik yang ada. Mereka tidak dikatakan sebagai observer, karena waktu kehadiran mereka terbatas hanya sekitar satu minggu dengan fokus aktivitas yang lebih kepada mengenal dinamika politik di Indonesia sambil mencari dan menarik pelajaran yang dapat mereka ambil disamping juga memberikan masukan kepada kita untuk memperbaiki pemilu yang kita lakukan. Fokus pengamatan mereka adalah pada proses sebelum pemilu, yaitu dengan mendengar paparan dari para pakar politik dan akademisi maupun dari IPD. Kemudian mereka juga diundang ke daerah untuk mendengar elaborasi tentang dinamika politik di daerah. Mereka dibagi dalam enam kelompok, yang kemudian mengunjungi daerah-daerah yang berbeda. Daerah yang dikunjungi adalah Makasar, Denpasar, Malang, Yogyakarta, Musi Banyuasin dan Tangerang.
No. 21, Tahun II
Kita berharap masing-masing daerah tersebut memberikan mereka pengalaman yag berbeda tentang dinamika pemilu yang ada. Selain itu kita harapkan juga mereka melihat apakah proses itu memenuhi standar mereka sebagai seorang visitor. Apakah mereka merasakan yang namanya freedom ketika proses itu berlangsung, apakah itu dilakukan dengan fair, dan apakah secara administratif itu cukup bisa berjalan dengan efektif dan efisien. Masukan-masukan mereka sudah kita dengar, terutama tentang sense of community yaitu bahwa pemilu itu ternyata bukan hanya menjadi milik pemerintah dan KPU, tetapi juga menjadi milik masyarakat, baik dalam penyelenggaraannya maupun dalam proses pemilu itu sendiri. Masyarakat ternyata terlibat secara aktif dan melakukan pemungutan suara dengan antusiasme yang tinggi. Dalam beberapa hal mereka juga membandingkan dengan pengalaman mereka di negaranya masing-masing, dan mereka melihat bahwa penyelenggaraan pemilu di Indonesia ini sangat positif. Mereka juga memberikan masukan terhadap beberapa hal yang menurut mereka bisa memperbaiki proses pemilu di Indonesia. Ada tiga hal yang saya catat, pertama adalah perlunya proses pengecekan tangan sebelum mencontreng. Kedua usulan tentang perlunya disiapkan orang yang bisa ditanya di masing-masing TPS. Orang ini harus mengerti benar tentang proses pemilu itu sendiri, jadi kalau terjadi sesuatu maka dialah yang akan menjadi reserver. Kemudian yang ketiga mereka menyarankan tentang kemungkinan dilakukannya voting secara elektronik di beberapa tempat. Suatu saat mungkin kita membutuhkan voting secara elektronik ini, tetapi sekarang ini kita merasakan sendiri
bahwa perubahan dari coblos ke contreng saja ternyata sudah problematik. Tentang data DPT, hampir semua pembicara yang kita undang sangat kritis tentang hal ini. Mereka menceritakan apa yang terjadi dan ingin melihat apa yang akan terjadi dengan situasi seperti itu. Respon mereka sangat positif ketika mendengar ada keputusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengijinkan penggunaan KTP dan paspor, meskipun dikatakan bahwa keputusan itu sangat terlambat. Tentang imparsialitas KPU, itu masih kontroversial karena beberapa bukti seperti misalnya contoh pencontrengan yang berada di tengah, walaupun tidak ada nomor dan nama kontestan, itu sudah diganti oleh KPU. Hal-hal lainnya yang juga menandakan ketidak profesionalan KPU dan segala macamnya, itu sudah mereka dengar dari awal karena semua pembicara dan komentarkomentar perdebatan yang muncul, menyinggung tentang banyaknya masalah dalam proses persiapan pemilu. Itulah yang menjadi salah satu fokus pengamatan mereka. Di Bali mereka diajak datang ke TPS lebih awal untuk mengecek bilik-bilik TPS, dan melihat apakah poster-poster selama kampanye sudah diturunkan semua. Mereka kemudian juga mencatat segala problema yang muncul selama pelaksanaan pemungutan suara seperti misalnya adanya contrengan dua kali dan lainnya. Menurut mereka secara umum dari TPS-TPS yang mereka lihat, pemilu pilpres ini relatif aman dan tertib. Yang menarik bagi mereka, bahwasanya mereka merasakan aktivitas pemungutan suara di Indonesia adalah seperti aktivitas masyarakat pada umumnya dan tidak terkesan sebagai sebuah peristiwa politik, jadi biasa-biasa saja. Dalam kunjungan tersebut mereka telah berinteraksi panjang
diantara mereka sendiri, misalnya ketika menemukan sesuatu yang menurut mereka menarik, kemudian mereka berdiskusi panjang menyangkut pengalaman negara masing-masing. Jadi melalui kunjungan ini mereka bisa memberikan apa pelajaran penting yang bisa mereka kasih untuk kita dan untuk mereka sendiri. Sebagian dari mereka menginspirasi temannya yang lain untuk melakukan perubahan sesuai dengan pengalaman negara tersebut. Jadi karena BDF itu sendiri adalah sebuah forum, maka interaksi antar anggotanya itulah yang menjadi tujuan kita. Sehingga interaksi masing-masing negara peserta memiliki nilai pengalaman atau berdasarkan pengalaman. Seperti misalnya ketika team visitors yang dikirim ke Palembang bertemu dengan team yang dikirim ke Bali, maka perdebatannya menjadi agak berbeda. Di Banjar, Bali, semua orang yang memberikan suaranya berikut panitianya, semua berpakaian adat Bali dan seluruh keperluan pelaksanaan pemilihan ditangani oleh desa adat. Kemudian kalau di Palembang, TPS dibuat di halaman rumah penduduk. Jadi mereka berdialog satu dengan lainnya, apa kira-kira yang relevan untuk mereka, itu adalah pelajarannya yang mereka dapat, yaitu pembelajaran antar pelaku demokrasi itu sendiri. Ada yang melihat bahwa kehadiran saksi dari partai ataupun kontestan itu positif, karena dinegaranya saksi antar partai itu biasanya selalu konflik dan tidak mau duduk bareng apalagi senyum sapa seperti disini. Itu positif dalam hal menjamin fairness dari sebuah pemilu. Kemudian juga ada yang melihat bahwa di Indonesia ini Islam dan demokrasi bisa saling bergandeng tangan dan bahkan saling melengkapi. Pengalaman itu dilihat di Makasar, karena yang hadir dan menyambut kehadiran mereka disana adalah tokoh-tokoh dari Muhammadiyah dan NU disamping dari KPU. Beberapa peserta juga mencatat bahwa bagaimana media Indonesia, baik cetak
15 JULI - 14 AGUSTUS 2009
Diplomasi K maupun elektronik, sangat informatif, karena dinamika yang ada dilapangan itu tersampaikan dengan baik, walaupun banyak dari mereka yang tidak menangkap apa yang sebenarnya membuat media Indonesia itu sangat gempita dalam memberitakan pemilu, Mengenai transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan pilpres ini, itu tidak sampai sejauh itu karena mereka hanya visitor. Jadi walaupun sebagian dari mereka adalah policy maker di negaranya masing-masing, seperti pejabat sekretaris atau ketua KPU di negaranya, mereka belum bisa melakukan evaluasi dan memang kita harapkan seperti itu. Evaluasi itu membutuhkan pengetahuan tentang kultur dan dinamika politik dari suatu negara, karena itu kita belum sampai kesana. Mengenai pemilihan enam daerah kunjungan, itu sebenarnya tidak ada pertimbangan yang bersifat akademik. Oleh karena pelaksanaan penyelenggaraan kunjungan itu kita bekerjasama dengan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID), dimana mereka memiliki empat wilayah yang menjadi basis aktivitas sekolah demokrasi mereka, yaitu Musi Banyuasin, Makasar, Malang dan Tangerang. Sedangkan dua daerah lainnya, yaitu Yogyakarta dan Bali, itu kita anggap sebagai tempat dengan barometer yang berbeda. Jadi ini tidak ada hubungannya dengan legal representative atau tidak, tetapi lebih kepada convenient nya, kita berupaya untuk mengenalkan berbagai pengalaman yang berbeda. Didalam pertemuan kita sudah mendiskusikan tentang beberapa kemungkinan, seperti misalnya inisiatif untuk sama-sama belajar membuat instrumen atau alat ukur, yaitu bagaimana mengevaluasi sebuah pemilu dinyatakan berkualitas atau tidak. Apakah fearness, freedom, dan administratinya berjalan bagus atau tidak. Kalau dalam pilpres ini tampaknya yang bermasalah adalah administrasinya, sedangkan yang lain akan kita perdebatkan dulu standar serta ukuranukurannya. Jadi hal positif yang kita
15 JULI - 14 AGUSTUS 2009
dapat adalah, pertama, kita bicara tentang kemungkinan instrumen-instrumen yang dapat mengevaluasi sebuah demokrasi dapat dibuat, dan apakah kemudian itu bisa dipakai untuk mengevaluasi proses pemilu di negara-negara Asia. Kedua, ide untuk melakukan training kepada
Pertemuan Trilateral tindaklanjut KTM NAASP untuk Capacity Building for Palestine antara Indonesia, Afrika Selatan dan Palestina diselenggarakan di Amman, Yordania, 27-28 Juni 2009. Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika, Departemen Luar Negeri, Dubes T.M. Hamzah Thayeb memimpin delegasi RI. Delegasi Afrika Selatan dipimpin oleh Dubes Johannes Spies, Director of Economic Affairs and Regional Organizations, Kementerian Luar Negeri Afrika Selatan dan delegasi Palestina dipimpin oleh Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Fariz Mehdawi. Pertemuan bertujuan meninjau kemajuan perkembangan implementasi komitmen negaranegara NAASP untuk Capacity Building bagi Palestina sejak Pertemuan Tingkat Menteri (Ministerial Conference on Capacity Building for Palestine) di Jakarta, 14 Juli 2008. Di samping itu, pertemuan juga membahas berbagai kendala yang dihadapi dan merumuskan langkahlangkah konkret pemecahannya serta mulai mempersiapkan laporan Coordinating Unit yang akan disampaikan dalam NAASP SOM yang direncanakan tentatif berlangsung pada Oktober 2009 di Jakarta. Disamping itu, juga dilakukan kunjungan ke fasilitas Asia-Middle East Dialogue Regional Vocational Training Center di Amman, Yordania, yang didirikan oleh Singapura dan Yordania, Oktober 2007. Kunjungan dimaksudkan untuk menjajaki kemungkinan pemanfaatan fasilitas untuk pelaksanaan sejumlah program Capacity Building bagi Palestina oleh Indonesia dan juga oleh negara-negara NAASP lainnya di masa mendatang. Di sela-sela pertemuan, seluruh delegasi mendapat kehormatan diterima oleh Presiden Palestina,
berbagai negara yang berminat untuk melaksanakan misi awal guna dimungkinkannya sebuah evaluasi dilakukan. Selanjutnya adalah membentuk shorterm observer sekitar 3 bulan untuk mengerti apa yang terjadi. Setelah itu longterm minimal 6 bulan, dengan prasyarat mereka harus
ILA
S
17
mengerti bagaimana kultur politiknya dan sebagainya, agar tidak salah didalam menilai proses yang ada. Dan inisiatif untuk membentuk ini baru sampai pada tingkat wacana dan belum sampai kepada suatu perdebatan yang serius.[]
Presiden Palestina Berterimakasih Atas Program Capacity Building NAASP yang Diprakarsai Indonesia Mahmoud Abbas, di Amman, pada 27 Juni sore. Disampaikan oleh Indonesia dan Afrika Selatan bahwa salah satu tujuan penting dari diadakannya program Capacity Building for Palestine oleh Asia-Afrika di bawah NAASP adalah untuk melengkapi proses politik dan bantuan keuangan bagi Palestina yang telah difasilitasi oleh Amerika Serikat dan negaranegara Eropa selama ini dalam persiapan menuju terbentuknya Negara Palestina suatu saat nanti. Sejak Konferensi Capacity Building for Palestine di Jakarta, 14 Juli 2008, terdapat 24 negara dari 56 peserta konferensi yang telah melaksanakan program pengembangan kapasitas bagi warga Palestina. Khusus yang dilaksanakan Indonesia, program tersebut telah melibatkan hampir 100 warga Palestina hingga saat ini yang mencakup berbagai bidang antara lain pelatihan diplomatik, bisnis/ UKM, perdagangan, perindustrian, pekerjaan umum, pemberdayaan perempuan, pendidikan, pertanian, hingga kepemudaan. Dalam tanggapannya, Presiden Mahmoud Abbas menyampaikan ucapan terima kasih kepada negaranegara Asia-Afrika atas dukungan dan bantuannya kepada rakyat dan pemerintah Palestina selama ini, dan khususnya atas program pengembangan kapasitas bagi Palestina. Presiden Abbas juga menyampaikan perlunya negaranegara membantu rekonstruksi di Gaza karena 50 persen bangunan dan infrastruktur di Gaza mengalami kerusakan parah sehingga masyarakat Gaza dirugikan dan kegiatan sehari-hari serta pelayanan terhadap warga Palestina sangat
terganggu. Terkait perkembangan proses perdamaian Palestina – Israel, Presiden Mahmoud Abbas menyatakan bahwa upaya Presiden Obama menghidupkan kembali proses perdamaian untuk mencapai solusi 2 negara yang telah didukung banyak negara ditolak oleh pemerintah baru Israel di bawah pimpinan PM Benyamin Netanyahu. Disamping itu, PM Israel juga tidak mengindahkan tekanan Presiden Obama mengenai penghentian pembangunan pemukiman di Jerusalem di wilayah Palestina. Dalam hal ini Palestina tidak dapat menerima alasan apapun yang disampaikan oleh Israel atas kelanjutan pembangunan di wilayah Palestina sehingga proses perundingan tidak akan dilanjutkan oleh Palestina. Terkait dengan situasi politik dalam negeri, secara prinsip pemerintah Otoritas Nasional Palestina sangat ingin mengajak faksi Hamas dalam pemerintahan persatuan nasional guna secara bersama berjuang mencapai Negara Palestina yang merdeka dan berdaulat karena memang Hamas merupakan bagian dari masyarakat Palestina yang menang dalam pemilu 2006. Pertemuan dengan Presiden Mahmoud Abbas tersebut merupakan prakarsa Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Fariz Mehdawi, serta merefleksikan pentingnya NAASP Capacity Building for Palestine Programs yang diprakarsai Indonesia, di mata Palestina.[] (Sumber: Ditjen Aspasaf).
No. 21, Tahun II
Diplomasi
18
K
ILA
S
Perlakuan kekerasan yang dilakukan oleh para majikan di Malaysia terhadap para TKI dan kemudian muncul ke permukaan seperti kasus Maria Bonat dan Siti Hajar, itu memang benar-benar terjadi, tetapi mungkin angkanya tidak banyak. Jumlah TKI di Malaysia yang khusus bekerja sebagai petugas tatalaksana rumah tangga (PLRT) saja tercatat sekitar 300.000 orang, belum lagi yang tidak tercatat. Karena masih banyak ditemukan TKI yang datang dengan calling visa, dan itu dilakukan oleh agen-agen di Malaysia. Ada juga yang datang langsung sendiri, atau melalui calo-calo dengan menggunakan paspor pelancong, tetapi setelah satu bulan calo-calo itu menghilang dan PLRT yang bersangkutan tidak tahu kalau dirinya sudah berubah statusnya menjadi pekerja illegal. Belum lagi korban kasus traficking, yang dibawa dengan alasan akan dipekerjakan di restoran dan sebagainya, tapi pada akhirnya dijadikan PSK, itu masih banyak ditemukan di Malaysia. Jadi memang tugas Perwakilan di negara-negara tertentu, terutama seperti di Malaysia, yang lebih menonjol adalah tugas perlindungan dan pelayanan pada WNI. Dan walaupun pelayanan KBRI Kuala Lumpur sudah mendapat pengakuan dari Presiden dengan diraihnya Piala Citra Pelayanan Prima yang kemudian juga disusul dengan diraihnya sertifikasi ISO 9001: 2008, namun itu masih belum cukup, sehingga upayaupaya perbaikan tetap terus kami lakukan. Pengakuan itu kami jadikan sebagai motivasi atau pendorong untuk memperbaiki banyak hal, karena memang belum seluruhnya bisa kami jangkau. Apalagi karena Malaysia itu sangat dekat, bisa dijangkau dengan menggunakan perahu atau melalui jalan darat di perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, sehingga para pekerja itu terus mengalir ke Malaysia. Namun hal itu kemudian
No. 21, Tahun II
Menyelesaikan Persoalan TKI di Malaysia Dengan Kepala Dingin menimbulkan permasalahan munculnya tenaga kerja illegal. Pada saat melakukan razia, aparat Malaysia berjanji bahwa mereka hanya akan merazia orang Fillipina, tetapi nyatanya orang Indonesia digaruk juga. Saya katakan kenapa itu terjadi, dan saya tekankan kalau mereka ingin melakukan penangkapan terhadap tenaga kerja illegal,
sleepway terhadap anak-anak pekerja di perkebunan kelapa sawit, karena tidak memiliki akses pendidikan dan sudah dipekerjakan sejak usia anakanak. Ternyata di perkebunan itu kita mendapatkan sebanyak 230 orang tenaga kerja illegal yang telah bekerja selama puluhan tahun disana dengan bayaran
”Ternyata di perkebunan itu kita mendapatkan sebanyak 230 orang tenaga kerja illegal yang telah bekerja selama puluhan tahun disana dengan bayaran seenaknya. Sebab kalau para pekerja ini menuntut bayaran tinggi sedikit saja, mereka diancam akan dijebloskan ke penjara, karena status illegal nya itu.” Da’i Bachtiar
Duta Besar Indonesia Untuk Malaysia
silahkan masuk ke ladang-ladang kelapa sawit. Tegas saya katakan, hentikan penangkapan atau masuk ke ladang sawit. Silahkan usir mereka semua, dan kalau mereka itu WNI saya akan bawa pulang semua. Tetapi ternyata yang protes adalah pengusaha kelapa sawitnya, dia angkat tangan dan meminta agar para pekerjanya jangan dipulangkan. Karena itu dalam rangka melindungi WNI, saya mendesak untuk dilakukan pemutihan, walaupun hal itu tidak dikenal di Malaysia. Akhirnya mereka bersedia, karena disamping itu juga ada ancaman dari Migrant Care yang menemukan fakta bahwa pemerintah Malaysia telah membiarkan terjadinya modern
seenaknya. Sebab kalau para pekerja ini menuntut bayaran tinggi sedikit saja, mereka diancam akan dijebloskan ke penjara, karena status illegal nya itu. Belum lagi mereka yang bekerja di bidang konstruksi, kami juga menuntut kalau mereka yang di Sabah itu dilegalkan melalui pemutihan, maka mereka yang bekerja di bidang konstruksi juga harus dilegalkan. Kita harus menekan Malaysia, karena tidak ada pilihan lain bagi Malaysia jika ingin program pembangunan disana berjalan dengan baik, tidak bisa tidak dia harus merekrut TKI. Kalau Malaysia tidak mau melakukan pemutihan, maka kita persilahkan untuk memulangkan mereka. Jadi kalau kemudian kita
melihat kasus-kasus TKI yang dianiaya, kita akan melakukan perlindungan, sebagaimana kasus terakhir, yaitu Siti Hajar dan kemudian juga Manohara. Semuanya kita berikan perlindungan sepanjang itu kita ketahui. Kita siap memberikan pelayanan 24 jam, dan bahkan sekarang KBRI Kuala Lumpur sudah melengkapi dengan tim yang siap berangkat kapan saja dan kemanapun selama 24 jam, untuk mendatangi TKI atau WNI yang membutuhkan perlindungan. Kalau melihat kasus-kasus yang terjadi, memang itu bisa memancing emosi, tetapi kalau kita berada disana dan tahu persoalannya, tentunya kita tidak akan bersikap demikian. Ini sifatnya hanyalah kasus, jadi tidak bisa digeneralisasi bahwa kondisi PLRT kita disana seperti itu semuanya. Memang permasalahan yang paling banyak dihadapi di Perwakilan adalah permasalahan tenaga kerja. Tetapi permasalahan yang timbul itu sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh persoalan di hulunya. Indonesia adalah negara besar dengan penduduk sekitar 240 juta, bandingkan dengan Malaysia yang hanya berpenduduk 27 juta. Jadi selain memiliki potensi sebagai pasar, Indonesia juga sangat potensial di bidang sumberdaya manusia. Katakanlah kalau kita mempunyai sebanyak 30% saja sumberdaya manusia dengan kemampuan yang lebih, maka itu sudah sangat berlebih dibandingkan dengan penduduk Malaysia yang hanya 27 juta. Karena itu, yang penting adalah bagaimana kita menghadapi persoalan-persoalan yang ada didalam hubungan antara kedua negara ini dengan lebih rasional. Emosi boleh-boleh saja, tetapi kita tetap pada pemikiran yang rasional.[]
15 JULI - 14 AGUSTUS 2009
Diplomasi K Untuk meningkatkan ASEAN Awareness dan membangun ASEAN Identity di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda, sejak awal tahun 2008, Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri telah menyelenggarakan kegiatan yang diberi nama “ASEAN Goes to School” (AGtS), yaitu kegiatan kunjungan ke sekolah-sekolah menengah di Indonesia dalam rangka sosialisasi kerjasama ASEAN, khususnya pembentukan Komunitas ASEAN 2015. Sepanjang tahun 2008, AGtS telah dilakukan di sebanyak 25 kota yang tersebar di 16 (enam belas) provinsi, baik di Pulau Jawa dan luar Jawa, dengan total peserta lebih dari 8330 pelajar. Animo positif masyarakat atas kegiatan ini mendorong Ditjen Kerjasama ASEAN untuk terus melanjutkan kegiatan serupa di tahun 2009, dengan prioritas wilayah yang hendak dikunjungi daerah-daerah di Kabupaten dan provinsi-provinsi di luar Pulau Jawa. Sampai dengan pertengahan Juni 2009, AGtS yang diselenggarakan dengan melibatkan Pemerintah Daerah maupun Dinas Pendidikan setempat dan sekolah-sekolah terkait telah dilaksanakan
S
19
Mendekatkan ASEAN Kepada Generasi Muda Melalui “ ASEAN
GOES TO SCHOOL”
sebanyak 21 (dua puluh satu) kali di dua belas provinsi dengan peserta lebih dari 5000 siswa setingkat SMP dan SMU. Dalam penyelenggaraan kegiatan AGtS ini, Ditjen Kerjasama ASEAN juga berupaya untuk menjangkau seluas mungkin segmen masyarakat, dengan mengunjungi atau mengundang berbagai macam sekolah, baik yang terdapat di kota maupun di desa, favorit maupun tidak favorit, sekolah umum maupun sekolah khusus seperti sekolah kejuruan (SMK) ataupun sekolah keagamaan (madrasah dan pesantren). Sasaran kegiatan ASEAN Goes to School adalah para pelajar sekolah, khususnya setingkat sekolah menengah pertama (SMP dan yang sederajat) dan sekolah menengah atas (SMA dan yang sederajat). Kegiatan sosialisasi AGtS ini dikemas secara khusus disesuaikan dengan audiensnya agar menarik dan pesan yang hendak disampaikan dapat diterima dan dipahami dengan
baik oleh para siswa peserta. Setiap kegiatan AGtS berdurasi rata-rata satu setengah hingga dua jam. Selama kurun waktu tersebut, peserta diajak untuk menyelami ASEAN secara mendalam melalui berbagai kegiatan yang dilaksanakan secara interaktif. Selain pemaparan mengenai kerjasama ASEAN oleh Tim Sosialisasi, peserta juga diajak terlibat dalam diskusi, permainan dan kuis seputar ASEAN yang dilakukan di awal, tengah ataupun akhir acara. Disamping itu, pada setiap awal presentasi, peserta juga disuguhi video singkat yang kocak mengenai Komunitas ASEAN 2015. Melalui metode sosialisasi yang menekankan interaksi, para pelajar tidak sekedar menjadi peserta pasif yang hanya disuruh menerima materi presentasi secara satu arah, namun juga diajak aktif berpikir secara mandiri dan mengembangkan ide-idenya seputar kerjasama ASEAN melalui kegiatan tukar pikiran. Metode demikian terbukti efektif untuk meningkatkan antusiasme peserta dan menghidupkan atmosfer acara, karena masingmasing peserta ditantang untuk menunjukkan kemampuan dan wawasan terkait ASEAN yang dimilikinya. Pengetahuan ASEAN peserta Hampir seluruh peserta AGtS telah mengenal ASEAN melalui pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang didapat di bangku SD, SMP maupun
15 JULI - 14 AGUSTUS 2009
ILA
SMA. Namun demikian, rata-rata pengetahuan yang dimiliki peserta masih sebatas pada pengetahuan dasar mengenai ASEAN yang tidak up-to-date. Begitupun pemahaman peserta mengenai ASEAN, pentingnya ASEAN bagi Indonesia dan dunia, khususnya negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya, serta peranserta Indonesia dalam pengembangan kerjasama ASEAN masih belum cukup mendalam. Banyak peserta mengaku belum pernah mendengar dan menerima informasi mengenai Piagam ASEAN ataupun pembentukan Komunitas ASEAN 2015. Oleh sebab itulah, dalam presentasinya, Tim Sosialisasi berupaya untuk memberikan pemahaman mendasar mengenai ASEAN kepada para peserta, disamping menyampaikan informasi-informasi terkini ASEAN yang siginifikan dan relevan dengan harapan akan terbangun diskusi dasar mengenai isuisu seputar ASEAN di kalangan pelajar. Terobosan-terobosan kegiatan semacam ASEAN Goes to School dimana Departemen Luar Negeri sebagai pelaku aktif dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri terjun langsung ke masyarakat diharapkan akan mendorong masyarakat lebih mengenal dan paham, dan pada gilirannya mau terlibat aktif mengembangkan dan sekaligus memetik secara nyata manfaat dari kerjasama ASEAN. Pemahaman mengenai ASEAN yang selaras di tingkat pemerintah dan masyarakat dalam hal ini diperlukan guna mendukung pengembangan kerjasama ASEAN yang akan semakin pesat pascaberlakunya Piagam ASEAN dan disepakatinya pembentukan Komunitas ASEAN di tahun 2015.[]
No. 21, Tahun II
Diplomasi
20
S OROTAN
Lima Puluh Pejabat Senior NegaraNegara di Kawasan Asia Diundang Untuk Menyaksikan Pemilu Presiden RI Lima puluh pejabat senior dari 27 negara telah mengikuti kegiatan Indonesia Election Visitor Program (EVP) atas undangan Pemerintah Indonesia. Kegiatan ini dilaksanakan atas kerjasama antara Departemen Luar Negeri dengan Institute for Peace and Democracy (IPD) dan berlangsung di Hotel Sheraton Bandara, dari tanggal 6 – 9 Juli 2009. Kegiatan EVP tersebut dibuka secara resmi oleh Menteri Luar Negeri RI, Dr. N. Hassan Wirajuda, pada 6 Juli 2009 di Hotel Sheraton Bandara. Selama kegiatan, para peserta mengikuti workshop dengan thema “Indonesian Presidential Election: A Democratic
Assessment”. Workshop tersebut membahas tentang reformasi dan pembangunan politik Indonesia, tentang peraturan-peraturan PEMILU Indonesia, serta tentang dinamika politik lokal di Indonesia. Para pembicara dalam workshop tersebut adalah Dr. Rizal Sukma, Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar, Prof Dr. Bahtiar Effendy, Denny Indrayana PhD, Ramlan Surbakti, Saiful Mujani, Riza Primahendra (KID), I Ketut Putra Erawan PhD (IPD) dan Paul Rowland (NDI). Selain itu, bekerjasama dengan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID), peserta EVP juga akan melihat pelaksanaan PEMILU Presiden
secara langsung di beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) di wilayah Tangerang, Yogyakarta, Malang, Denpasar, Ujung Pandang, dan Banyu Asin – Palembang. Kegiatan EVP tersebut merupakan salah satu tindak lanjut dari rekomendasi pertemuan Bali Democracy Forum (BDF) yang dilaksanakan pada tanggal 10 – 11 Desember 2008 yang lalu. BDF telah merekomendasikan agar pembangunan dan modernisasi politik di kawasan Asia kiranya perlu untuk disebarluaskan dan dibagi melalui pertukaran pengalaman diantara negara-negara di kawasan Asia. Indonesia berada dalam posisi yang baik untuk berbagi
pengalaman dengan negaranegara di kawasan, sekaligus juga memperoleh pengalaman dari negara-negara lain. Oleh karenanya, proses PEMILU Presiden RI tanggal 8 Juli 2009 merupakan wahana yang tepat untuk berbagi pengalaman tersebut. Negara-negara peserta EVP adalah Afghanistan, Australia, Bangladesh, Brunei Darussalam, RR China, Filipina, Indonesia, Irak, Jepang, Kamboja, Kazakhstan, Republik Korea, Kuwait, Laos, Maladewa, Myanmar, Pakistan, Papua Niugini, Qatar, Selandia Baru, Singapura, Sri Lanka, Thailand, Timor-Leste, UAE, Uzbekistan, dan Vietnam.[] (Sumber: Dit. Diplomasi Publik)
Indonesian Election Visitor Program (EVP)
Pelaksanaan Pilpres Mendapat Apresiasi dari Berbagai Negara Indonesian Election Visitor Program (EVP) yang kita selenggarakan pada tanggal 6-9 Juli 2009 mempunyai misi yang berbeda dari misi observasi ataupun monitoring. Kegiatan ini dilaksanakan atas kerjasama antara Departemen Luar Negeri dengan Institute for Peace and Democracy (IPD) dan berlangsung di Hotel Sheraton Bandara. Program ini memang tidak
No. 21, Tahun II
untuk memberikan penilaian terhadap penyelenggaraan pilpres di Indonesia, tetapi justeru pemilu itulah yang kita jadikan sebagai case dimana kita melihatnya berdasarkan pengalaman masingmasing. Itu sebenarnya yang dimaksudkan dalam program ini, karena sebagaimana diketahui BDF adalah sebuah forum inklusif, dimana antar pemerintah
di Asia bisa saling belajar dan berdiskusi berdasarkan apa yang dimiliki. Oleh karena itu tentang bagaimana bentuk laporannya dan seperti apa, kita tidak terlalu concern untuk itu. Karena mereka datang kesini bukan dengan mandat untuk menilai apakah pilpres di Indonesia itu transparan dan akuntabel, tidak seperti itu. Kita hanya mempersilahkan mereka
Umar Hadi Direktur Diplomasi Publik
15 JULI - 14 AGUSTUS 2009
Diplomasi K untuk datang dan melihat proses pelaksanaan dan semua organisasi pelaksana pemilu disini. Program-program yang dijalankan oleh Institute for Peace and Democracy (IPD), sebagai lembaga yang dimaksudkan untuk menjalankan atau mengimplementasikan hasil-hasil dari BDF, semuanya memang tidak ada yang bersifat menilai melainkan bersifat sharing. Karena itulah kita optimis dan percaya, bahwa banyak negara yang merasa comfortable untuk ikut bersama-sama dalam kegiatan-kegiatan kita. Desainnya memang begitu, dimana kita akan bergerak dengan sangat hati-hati dan berdasarkan pada kebersamaan dan integrity intelektual yang cukup. Karena itu pada hari pertama penyelenggaraan program ini kita mengadakan workshop dimana para pembicara yang kita tampilkan semuanya adalah intelektual yang mempunyai kebebasan berfikir. Sehingga ada beberapa peserta yang bingung kenapa para pembicaranya sangat kritikal. Kita memang sengaja mengundang pembicara bukan dari kalangan pemerintah ataupun KPU, melainkan para intelektual yang mencermati demokrasi di Indonesia secara dekat. Kita lihat bagaimana Prof. Dr. Bachtiar Effendy yang justru berbicara tentang beyond procedural democracy ataupun Prof. Ramlan Surbakti yang sangat kritis terhadap proses pelaksanaan pemilu di Indonesia, dan kemudian dilanjutkan dengan kegiatan kunjungan untuk melihat sendiri secara langsung di lapangan bagaimana proses pemilu itu dilaksanakan. Berbagi Pengalaman dan Apresiasi Kalau dilihat dari kesimpulankesimpulan yang mereka dapatkan dan sharing yang kita lakukan, sepertinya pesan
15 JULI - 14 AGUSTUS 2009
yang ingin kita sampaikan itu telah tercapai. Mulai dari legal infrastructure nya, proses pemilihannya, proses organisasi logistiknya dan sebagainya, saya yakin ini akan bermanfaat buat mereka. Sebagaimana misalnya delegasi dari Srilanka yang mengatakan, bahwa model pemilihan disana itu kalau orang tidak masuk dalam daftar pemilih, maka sudah selesai, tidak ada peluang baginya untuk ikut memilih. Tetapi dengan adanya keputusan MK, maka itu berarti komunitas setempat bisa memberikan penilaian kepada seseorang apakah dia bisa atau tidak untuk memilih disitu, berdasarkan dokumen seperti KTP, KK, Paspor dan sebagainya. Sedangkan delegasi dari Irak mengatakan, bahwa yang paling berkesan bagi dia adalah suasana pemilihan yang terlihat sebagai aktifitas biasa masyarakat. Mereka bertanya bagaimana caranya kita meng created suasana sehingga bisa seperti itu, dimana masyarakat itu datang dengan sangat rileks tanpa kelihatan stres. Di negara-negara lain belum tentu bisa seperti itu, dan karena itu mereka ingin tahu lebih banyak bagaimana caranya masyarakat bisa secara bersama-sama aktif mulai dari membangun TPS dan melaksanakan kegiatan-kegiatan lainnya. Dari Selandia Baru merasa aneh ada TPS yang ditempatkan dan dibuat dihalaman rumah penduduk, apalagi kemudian si pemilik rumah juga menyediakan kudapan dan minuman untuk orang-orang yang bekerja membuat TPS tersebut. Di Indonesia hal itu dilakukan atas inisiatif masyarakat bersama di masing-masing TPS. Semua proses penyelenggaraan program election visitor ini nantinya akan kita bukukan dan hasilnya kita kembalikan ke mereka. Jadi kalau dipertanyakan mengenai hasilnya, kita sudah memperoleh hasilnya,
yaitu dengan adanya diskusi. Dari diskusi itu kita menjadi tahu bagaimana pelaksanaan pemilu di Irak dan negara-negara lainnya. Jadi buat mereka itu sudah ada hasilnya dan demikian juga buat kita. Jadi ini bukan tempat bagi kita untuk memamerkan pemilu di Indonesia, pemilu itu hanya sebagai alat saja, karena yang terjadi adalah bahwa ini merupakan forum diskusi mengenai pelaksanaan pemilu dimana case study nya adalah pilpres di Indonesia. Dan karena yang datang kesini ini bukan akademisi, melainkan pejabatpejabat pemerintah ataupun KPU, maka mereka sendirilah yang masing-masing akan menentukan policy dan kebijakan kepada lembaganya masing-masing. Itulah efek yang kita harapkan dan kegiatan-kegiatan IPD itu memang kita harapkan seperti itu, yaitu sebagai tempat dimana para pejabat pemerintah bisa saling belajar. Dan menurut kita itu lebih efektif dari pada menceramahi atau melakukan impushing. Dalam penyelenggaraan program ini saya menangkap beberapa hal yang menonjol. Pertama mengenai community base activity, dimana memang sejak tahun 2004, waktu itu saya menemani ketua team observer dari Uni Eropa, mereka melihat bahwa ada sesuatu yang lain dengan pemilu di Indonesia, karena yang menyiapkan TPS adalah masyarakat masingmasing, dan saya kira tidak banyak negara lainnya yang mempunyai itu. Pada saat hari H pelaksanaan pemungutan suara, masyarakat juga bisa tetap beramai-ramai dan berkumpul dengan santainya, meskipun sebelumnya pada saat kampanye mereka saling berseberangan. Hal ini dalam pengamatan mereka sangat menarik, karena bagaimana bisa orang-orang dengan sedemikian santainya tanpa kelihatan tegang,
ILA
S
21
stress free, trouble free tidak ada yang bersitegang disitu, meskipun beberapa hari sebelumnya sangat ramai isu mengenai penggunaan KTP dan sebagainya. Itulah gunanya kenapa program ini kita buat, yaitu suatu community base activity, how to developed election bukan sebagai political event tetapi sebagai community activity. Kedua, yaitu mengenai legal dan managerial bases. Ternyata yang namanya DPT itu memang problem bagi banyak negara, karena memerlukan investasi yang sangat besar. Apalagi bagi negara-negara maju yang umumnya sangat rendah tingkat pertisipasinya, seperti misalnya Australia yang sampai sekarang mereka masih terus investasi untuk itu. Jadi mereka semuanya menyadari bahwa masalah DPT itu bukan suatu urusan yang mudah, apalagi disitu juga menyangkut berbagai aturan tentang bagaimana orang yang sedang melakukan traveling atau berada di luar negeri. Di beberapa negara kalau ada warga negara yang pergi keluar negeri, maka hak pilihnya dicabut karena azas kerahasiannya tidak terjamin. Tetapi di kita mereka masih punya hak untuk memilih dan kita berusaha untuk menjamin kerahasia-an itu, jadi adalah bagaimana kita memanage legalnya. Ketiga adalah education, yaitu pendidikan politik untuk masyarakat yang saya kira juga cukup menonjol. Dalam hal ini Dubes dari Irak sampai membawa buku yang diterbitkan KPU mengenai tata cara memilih dan arti pentingnya memilih, dia bermaksud menterjemahkan buku itu di Irak. Jadi saya kira banyak hal yang kita peroleh dalam penyelenggaraan program ini, paling tidak untuk tiga hal tersebut, itu yang paling penting.[]
No. 21, Tahun II
Diplomasi
22
S OROTAN
Kebudayaan, Fondasi Untuk Memperkuat Hubungan RI - Suriname
Angelic Caroline Alihusain-del Castilho Duta Besar Suriname untuk RI Kerjasama kebudayaan adalah kunci terjalinnya hubungan antar negara, yaitu sejak adanya pengertian yang mendalam mengenai karakter, sejarah dan budaya bangsa lain. Oleh karena itu Suriname dan Indonesia yang sama-sama memiliki keinginan untuk lebih mengenal kebudayaan masingmasing, menandatangani perjanjian kerjasama dibidang kebudayaan pada tahun 1997, dimana kerjasama tersebut juga mencakup bidang olahraga dan informasi. Sebagain besar dari kita disini tentunya memahami, bahwa Suriname dan Indonesia memiliki pertalian yang erat mengenai sejarah, karakter dan budaya. Sekitar 20% dari total penduduk Suriname adalah keturunan orang Jawa yang dibawa oleh Belanda pertamakali pada tahun 1890. Tahun depan, yaitu tahun 2010, kami akan menyelenggarakan perayaan 120 tahun bermigrasinya orang-orang Jawa ke Suriname. Terkait dengan hal tersebut, maka ini merupakan titik awal bagi Suriname dan Indonesia untuk menjalin hubungan yang benarbenar berbeda dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Dari tahun ke tahun kami melihat banyak sekali bentuk-
No. 21, Tahun II
bentuk implementasi yang dilakukan dari kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya antara Suriname dan Indonesia, baik itu melalui inisiatif pribadi ataupun publik. Cukup banyak inisiatif-inisiatif penting yang dilakukan, seperti misalnya pelaksanaan program beasiswa, dimana setiap tahunnya ada beberapa mahasiswa dari Suriname yang belajar di berbagai bidang studi di Indonesia. Disamping itu, kami juga menyaksikan pertunjukan dari team kesenian Indonesia yang datang ke Suriname atas inisiatif dan undangan dari LSM-LSM di Suriname, yang bergerak di bidang pengembangan kebudayaan. Semua ini merupakan inisiatif yang baik dari berbagai pihak, yang tentunya tidak bisa saya sebutkan semuanya satu-persatu. Tetapi yang jelas adalah, bahwa fondasi hubungan yang baik antara Suriname dan Indonesia, kebanyakan inisiatifnya diambil dan dilakukan oleh komunitas Jawa yang ada di Indonesia dan Suriname. Ini tentunya merupakan dasar yang kuat bagi hubungan persahabatan dan saling pengertian diantara kedua negara. Namun demikian, sekian banyak aktifitas yang telah dilakukan itu hanya merupakan tahapan untuk menuju kepada hubungan yang lebih baik, yang akan mengantarkan kita kepada kerjasama pengembangan kekayaan warisan budaya yang dimiliki oleh kedua negara. Ketika saya datang kesini sebagai duta besar dua tahun yang lalu, dalam waktu yang cukup singkat tersebut, saya telah mempelajari cukup banyak mengenai hubungan SurinameIndonesia, termasuk bagaimana mengimplementasikannya, oleh karena itu kami telah menandatangani kesepakatankesepakatan baru mengenai kerjasama di bidang-bidang lainnya. Saya datang kesini untuk melihat apa saja yang bisa kita lakukan, karena memang masih banyak pekerjaan yang harus
dilakukan. Saya percaya bahwa kita telah sampai pada tahapan berikutnya, dimana kita harus tetap menjaga tahapan perjalanan kerjasama yang telah dilalui sebagai dasar yang baik, untuk kemudian mengembangkan kerjasama yang baru di berbagai bidang kekayaan budaya. Suriname adalah negara dengan komunitas penduduk yang multi-etnik dan multi-religius, kami mempunyai orang-orang yang berasal dari seluruh penjuru dunia, dan saya selalu mengatakan bahwa kami adalah miniatur dunia. Indonesia juga merupakan bangsa yang kaya akan budaya, yang tersebar diseluruh kepulauan Indonesia. Oleh karena itu Surinamese dan Indonesia dapat menarik manfaat dari pengalaman masing-masing dalam mengelola keanekaragaman yang dimiliki. Keduanya dapat berbagi pengalaman tentang bagaimana masyarakat di kedua negara dalam menyikapi keaneka-ragaman, dimana hal inilah yang membuat kedua bangsa menjadi kuat dan lebih bijaksana. Semua itu merupakan manfaat yang bisa diraih didalam peningkatan hubungan yang lebih kuat diantara kedua negara. Orangorang di Suriname dapat melihat bahwa mereka dapat bertukar pengalaman dan mempelajari kebudayaan tidak hanya dengan orang-orang di pulau Jawa saja, tetapi juga dengan orang-orang yang berada di semua pulau yang ada di Indonesia. Apalagi karena Indonesia memiliki pengalaman yang sama dengan Suriname, maka ini dapat mendorong peningkatan kerjasama kebudayaan yang lebih jauh diantara kedua negara. Ada banyak sekali peluang bagi Indonesia dan Suriname untuk melakukan kerjasama, dimana keduanya sama-sama memiliki kekayaan sejarah dan budaya, disamping juga bagian-bagian lainnya yang dapat dilakukan secara lebih intensif, guna memperluas dan memperdalam kerjasama yang ada. Posisi saya tidak pada sebagai
pengambil keputusan dalam kerjasama kebudayaan ini, dan saya menyesalkan karena Direktur untuk Urusan Kebudayaan Suriname tidak dapat hadir dalam pertemuan ini, sebab sebetulnya dialah yang mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan terkait kerjasama kebudayaan ini. Tetapi saya akan pastikan bahwa dalam pelaksanaan Sidang Komisi Bersama ke-empat antara Suriname dan Indonesia tahun ini, beliau akan datang ke Indonesia. Forum ini merupakan hal yang baik bagi percampuran keanekaragaman, dan kita bisa menyelenggarakan ini di Bali, Kalimantan atau Sumatera, untuk mendapatkan beberapa masukan. Ada beberapa pemikiran dari saya yang mungkin bisa dijadikan masukan didalam pengembangan kerjasama kebudayaan ini lebih jauh : yaitu menyadari bahwa persoalan terbesar bagi kedua negara adalah masalah jarak, dimana kita bisa berasosiasi dalam hal biaya perjalanan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti : • Memotivasi institusiinstitusi kebudayaan dengan memberikan kepada mereka berbagai informasi yang diperlukan dan juga kontakkontak untuk melakukan hubungan dengan berbagai pihak melalui pertukaran bukubuku, program-program radio dan televisi, musik, serta film. • Di Suriname tidak semua orang keturunan Jawa bisa berbicara dalam bahasa Indonesia, karena itu untuk memperluas hubungan, kami harus menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh semua orang disana, dan dalam hal ini kami menggunakan bahasa Inggris. • Tahun 2010, saat diselenggarakannya perayaan 120 tahun migrasi orang-orang Jawa ke Suriname, dapat kita jadikan sebagai moment untuk pengembangan kerjasama kebudayaan Suriname-Indonesia
15 JULI - 14 AGUSTUS 2009
Diplomasi
apa kata
O
P
INI
23
mereka
cukup bagus, tetapi sayangnya kita melihat bahwa Indonesia hanya bersikap NATO (not action talk only). Kerjasama dan integrasi ASEAN tampaknya juga masih sebatas government to government, sementara dalam konteks people to people hal itu masih kurang
terasa bagi masyarakat. Padahal situasi kekuatan dunia saat ini telah berkembang dan mulai bergeser dari bipolar ke multipolar, dimana untuk itu kita jelas harus memperkuat identitas kita di kawasan. Identitas Indonesia sebagai negara dengan penduduk
Pendekatan Diplomasi RI Nurhaliza Mahasiswi UIN
Mengenai isu luar negeri yang sedang hangat sekarang ini, yaitu masalah perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia, menurut saya sebaiknya pemerintah dan bangsa Indonesia harus tetap mempertahankan cara diplomasi. Walaupun banyak tanggapan dari masyarakat yang meminta pemerintah untuk melakukan aksi militer, tetapi saya kira hal tersebut jangan dilakukan. Bagaimanapun, perang adalah jalan diplomasi terakhir. Kalau ternyata masih bisa diselesaikan dengan cara diplomasi, sebaiknya kita lakukan cara itu dengan tegas. Apalagi masalah internasional yang kita hadapi itu cukup banyak, seperti misalnya di ASEAN, Indonesia memang cukup vokal didalam penanganan masalah seperti people smugling dan traficking. Menurut saya hal itu lebih jauh kedepan, yaitu melalui partisipasi yang lebih besar dari para artis dan seniman dari seluruh Indonesia didalam berbagai aktifitas pertunjukan seni dan budaya sepanjang tahun di Suriname. • Upaya pengembangan program pertukaran generasi muda Suriname dan Indonesia.
15 JULI - 14 AGUSTUS 2009
Power Diplomasi Kurang Muhammad Ali Akbar Mahasiswa UIN
Selama isu terorisme masih muncul di dunia internasional, maka saya rasa pembahasan mengenai Islam dan demokrasi ini masih relevan. Posisi Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam moderat terbesar didunia harus diterapkan
• Pertukaran film-film kita yang baik, yang menggambarkan kehidupan masyarakat kita melalui festival-festival film. Pelaksanaannya mungkin bisa dikombinasikan dengan kegiatan yang telah ada, seperti Indofair. • Jika bioskop-bioskop di Belanda melakukan subtitles kedalam
mayoritas Muslim moderat terbesar di dunia, itu masih belum kuat. Kita masih dituntut untuk membuktikan hal tersebut kepada masyarakat internasional, seperti misalnya bagaimana peran Indonesia didalam membantu penyelesaian masalah Palestina.[]
didalam bargaining position di dunia internasional. Saya kira penegasan Islam moderat Indonesia ini skupnya adalah global, dan kalau itu dikaitkan dengan spesifikasi regional seperti Asia Timur saya rasa saat ini masih belum efektif, karena Asia Timur yang di motori oleh China ini pastinya akan lebih mengarah kepada permasalahan ekonomi. Jadi kalau kita berbicara tentang Islam moderat di kawasan ini, maka ini menjadi tidak relevan dan tidak efektif. Mereka pasti mempertanyakan konteks Islam moderat di kawasan itu apa, karena sebenarnya mereka tidak memahami apa substansi dari Islam moderat itu. Oleh karena itu pendekatan yang dilakukan Deplu harus dimulai melalui peran diplomasi publik, yang akan sangat efektif dalam upaya pengembangan Islam moderat dalam konteks global. Artinya disini ada prioritas khusus sebagai upaya pengembangan Islam moderat dalam konteks global dengan tetap memperhatikan perkembangan kawasan ASEAN, Asia Timur, dan bahkan Eropa. Peran dari Diplomasi Publik harus lebih cermat dan efektif lagi dalam mengembangkan isu-isu lainnya yang terkait dengan Islam moderat. Dalam peta politik internasional, diplomasi kita masih belum mempunyai taring jika dibandingkan dengan masamasa sebelumnya, yaitu masa-masa seperti era Sutan Syahrir, Mohammad Roem dan lain-lainnya, karena nampaknya kita masih terikat kepada idiom-idiom global yang diterapkan oleh AS. Sehingga dalam menjalankan politik luar negeri terkesan belum mandiri sepenuhnya. Kalau dulu diplomasi yang dilakukan oleh para diplomat kita lebih garang dan mandiri, tidak terpengaruh oleh adanya intervensi.[]
bahasa Inggris, maka kami pastikan untuk melakukan hal yang sama. Kerjasama kebudayaan ini merupakan bagian penting dari hubungan bilateral kedua negara yang patut dipelihara dan diupayakan pengembangannya. Oleh karena itu saya sangat
menghargai inisiatif dari Direktorat Jenderal Amerika dan Eropa Departemen Luar Negeri RI untuk menyelenggarakan forum ini. Saya harap agar kontribusi saya dan juga kontribusi dari semua pihak dapat dipergunakan dengan baik untuk melapangkan jalan kerjasama kebudayaan antara Suriname dan Indonesia.[]
No. 21, Tahun II
Diplomasi No. 21, Tahun II, Tgl. 15 Juli - 14 Agustus 2009
http://www.diplomasionline.net
TABLOID
Media Komunikasi dan Interaksi
Selandia Baru Berkomitmen untuk Meningkatkan Kapasitas Bali Democracy Forum Selandia Baru akan memberikan kontribusi sebesar NZ$ 400 ribu (sekitar US$ 257.599,2) untuk mendukung program yang dilaksanakan dalam kerangka Bali Democracy Forum (BDF). Komitmen ini disampaikan oleh Menlu Selandia Baru Hon. Murray McCully saat pertemuan bilateral dengan Menlu RI, Dr. N Hassan Wirajuda di Gedung Pancasila, Jakarta, 25 Juni 2009. Pertemuan bilateral kedua Menlu merupakan bagian dari program kunjungan resmi Menlu McCully ke Indonesia dari tanggal 24 -26 Juni 2009. Di samping membahas mengenai BDF, pertemuan bilateral juga membicarakan mengenai langkahlangkah peningkatan hubungan bilateral kedua negara di berbagai bidang khususnya keamanan dan pertahanan antara lain kerjasama antara kedua kepolisian dalam menangani masalah terorisme. Selain itu kedua pihak juga membahas mengenai kerjasama pendidikan, interfaith dialogue, dan peningkatan people-to-people contact. Kedua Menlu menggarisbawahi perkembangan positif pada bidang kerjasama ekonomi, investasi dan perdagangan kedua
negara. Volume perdagangan Indonesia dan Selandia Baru terus meningkat setiap tahunnya, pada tahun 2008 total nilai perdagangan kedua negara mencapai US$ 1,25 milyar, meningkat cukup tinggi dari US$ 865,7 juta di tahun 2007 ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA) yang ditandatangani pada Februari 2009 diharapkan akan meningkatkan arus perdagangan dan investasi. Disepakati bahwa pemerintah kedua negara akan mendorong partisipasi kalangan bisnis dan pengusaha guna mendukung pelaksanaan AANZFTA tersebut. Dalam kerangka meningkatkan hubungan bilateral, kedua Menlu sepakat untuk memaksimalkan mekanisme konsultasi bilateral melalui Joint Ministerial Commission (JMC). JMC I telah diselenggarakan di Jakarta tanggal 7 – 8 Mei 2007 dan JMC II direncanakan akan dilaksanakan di Selandia Baru dalam waktu yang akan disepakati bersama. Menlu RI secara khusus menyampaikan penghargaan Indonesia atas peran aktif Selandia Baru pada pertemuan ke-3 Bali Regional Ministerial Conference on People Smuggling,
Tabloid Diplomasi dapat diakses melalui:
http://www.deplu.go.id
Bagi Anda yang berminat menyampaikan tulisan, opini, saran dan kritik silahkan kirim ke:
[email protected]
Trafficking in Person and Related Transnational Crime (BRMC) yang diselenggarakan di Bali bulan April lalu. Selain isu bilateral, kedua pihak juga bertukar pikiran mengenai isu-isu regional dan internasional seperti arsitektur regional dalam kerangka
ASEAN dan EAS, Myanmar dan Semenanjung Korea. Selandia Baru memandang penting engagement dengan negaranegara di kawasan Asia dan sangat menghargai peran aktif yang telah dimainkan oleh Indonesia di kawasan. (Sumber: Dit. Astimpas).
Menlu Selandia Baru, Murray McCully dan Menlu RI, N Hassan Wirajuda saat melakukan konferensi pers di Gedung Pancasila, Departemen Luar Negeri. (25/6/2009)
Direktorat Diplomasi Publik Jalan Taman Pejambon No. 6 Jakarta 10110 Telepon : 021-3813480 Faksimili : 021-3513094