Pengembangan Islam Kebangsaan: Kontribusi Islam Nusantara dalam Demokrasi Indonesia Oleh: Muh. Khamdan Abstrak: Hubungan antara agama yang diwakili oleh Islam dan negara yang diwakili dengan sistem politik demokrasi masih terus menjadi masalah. Perdebatan ideologi bahwa hukum Islam harus dilaksanakan dan dikawal melalui negara Islam mengalami perlawanan dengan kelompok yang berpandangan bahwa Islam adalah substansi yang sudah sesuai dengan demokrasi. Ideologi keagamaan sering menjadi motivasi untuk membenarkan perjuangan melalui aksi kekerasan yang dilakukan. Penguatan kekerasan atas nama agama dianggap sebagai bentuk perjuangan keyakinan yang sangat mendasar dan wujud beragama secara kaffah. Nasionalisme ulama dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merupakan sikap tengah yang diambil untuk menjaga persatuan Indonesia, sekaligus menjaga keberlangsungan beragama. Relasi agama dan negara oleh ulama-ulama Nahdhatul Ulama (NU) dianggap dalam hubungan akomodatif dengan mempertahankan nasionalisme Indonesia tanpa membedakan agama, suku, dan golongan. Politik sebagai sumber radikalisme diredam oleh ulama NU dengan fatwa penerimaan terhadap Pancasila sebagai dasar negara sesuai dengan semangat Islam Nusantara. Penelitian ini menggunakan pendekatan teori konflik dan teori identitas sosial dalam menganalisis potensi radikalisme di masyarakat. Term Kunci: Demokrasi, Nasionalisme, Pancasila, Ideologi
Pendahuluan Konflik berkepanjangan yang terjadi pasca Arab Spring di beberapa negara kawasan Timur Tengah mengakibatkan diskursus antara Islam dan demokrasi kembali ditinjau ulang. Islam sebagai agama yang bersifat suci seolah tidak dapat disatukan dengan sistem demokrasi sebagai produk budaya manusia. Paradigma pertentangan antara agama dan demokrasi melahirkan semangat reformasi Islam untuk pemurnian dari unsur budaya dan pemikiran di luar Islam. Gerakan yang semula menyatakan Islam klasik sebagai penyebab kemunduran Islam, beralih sasaran untuk merekonstruksi ulang ideologi politik modern. Gerakan tersebut berjalan seiring berkembangnya ideologi jihad kontemporer yang dipengaruhi pemikiran Sayyid Qutb. Pemikiran Qutb sebagaimana dikutip As’ad, membagi masyarakat atas 2 (dua) kelompok, yaitu masyarakat jahiliyah yang melakukan pengingkaran hukum-hukum Allah karena tidak menerapkan hukum Islam dan masyarakat yang menerapkan hukum Allah (alḥakimiyyah lillāh). 1 Kemunduran yang dihadapi umat Islam di berbagai negara, mulai dari 1As’ad
Said Ali, Al-Qaeda: Tinjauan Sosial-Politik, Ideologi dan Sepak Terjang (Jakarta: LP3ES, 2014), 16-17.
kemunduran ekonomi, pemerintahan, dan moralitas masyarakat seakan mendapatkan jawaban karena budaya jahiliyah atau budaya di luar Islam mempengaruhi tidak diterapkannya hukum Allah secara utuh. Salah satu hukum yang dianggap tidak bersesuaian dengan Islam adalah demokrasi. Transformasi pemikiran Qutb menginspirasi berkembangnya diaspora Jama’ah Takfir wal Hijrah di beberapa negara kawasan. Syukri Musthofa mendirikan Jamaah Al-Muslimin di Mesir, Muhammad Abdul Aziz asy-Sayqawi bersama Ismail Thanthawi mendirikan Jamaah Jihad atau Tanzimul Jihad, dan Umar Abdurrahman mendirikan Jamaah Islamiyah. Semua organisasi tersebut bertujuan melakukan aksi konkret menerapkan al-ḥakimiyyah lillāh untuk mengganti hukum kafir jahiliyah. 2 Langkah konkret mengganti pemerintahan kafir merupakan keharusan dan memeranginya menjadi suatu kewajiban sebagaimana pemahaman atas Surat Al-Anfal Ayat 44 untuk memerangi kaum kafir agar tidak terjadi bencana. Perang terhadap pemerintahan kafir mencakup juga mengusir orang-orang kafir dari negeri Islam karena dianggap sebagai penyebab penghancuran agama Islam.3 Pendapat yang dikembangkan oleh Abdullah Azzam, ulama Yordania keturunan Palestina, dipengaruhi pengalaman jihad di Afganistan melawan Uni Soviet dan traumatik atas perang Palestina dengan Israel. Pengalaman perang melandasi pandangan Azzam bahwa Daulah Islamiyah atau khilafah Islamiyah harus dikembalikan setelah kehancurannya pada 1924. Jihad menurut Azzam adalah satu-satunya cara untuk memperjuangkan dan menjadi kewajiban permanen yang bersifat fardhu ‘ain karena Islam tegak dengan pedang. Azzam menekankan bahwa kewajiban jihad lebih utama daripada kewajiban sholat, puasa, atau haji.4 Islam pada dasarnya dapat diinterpretasikan sesuai dengan sistem demokrasi atau kediktatoran, republik atau monarki, dan aristokrasi dengan oligarki. Islam akan memiliki kesesuaian dengan demokrasi karena konsep syura`, ijtihad, dan ijma` yang kesemuanya dipengaruhi pengambilan keputusan berdasarkan kesepakatan bersama. Demokrasi dianggap sebagai penghilangan kedaualatan Tuhan karena sudah digantikan kedaulatan rakyat, sekaligus belum diterimanya persamaan antara muslim dengan non-muslim. Tentu prinsip equality dalam mekanisme demokrasi menjadi penghalang dalam upaya mempertemukan agama dengan demokrasi, sehingga melahirkan pertarungan gagasan bahkan sampai pada konflik bersenjata.
Ideologisasi Islam Politik Ideologi keagamaan yang memandang pemurnian agama mendesak dilakukan sering menjadi motivasi untuk membenarkan perjuangan melalui aksi kekerasan yang dilakukan. Agama seringkali digunakan sebagai faktor legitimasi atau untuk menutupi konflik yang sesungguhnya. 5 Agama dapat mempengaruhi munculnya ekstrimisme karena agama dapat berada dalam dua kutub yang berlawanan, yaitu merasa lebih benar atau lebih berhak untuk 2 Abdul Mun’im al-Hafni, Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai dan Gerakan Islam (Jakarta: Grafindo, 1999), 318. 3Abdullah Azzam, Runtuhnya Khilafah dan Upaya Menegakkannya (Solo: Pustaka Al-Haq, 2002), 158. 4As’ad Said Ali, Al-Qaeda: Tinjauan Sosial-Politik, Ideologi dan Sepak Terjang, 44-46. 5Muh. Khamdan, Bina Damai Terorisme (Kudus: Parist, 2015), 40.
masuk surga serta adanya dendam sejarah dalam setiap perkembangan agama. 6 Al-Jabiri menegaskan bahwa kekerasan ekstrimisme tidak lebih dari fenomena yang muncul dari persoalan sosial politik, kemudian dikemas dengan isu agama. 7 Ekstrimisme sebagai sikap politik beragama awalnya dilakukan pada tatanan akidah dengan slogan pemurnian agama, namun akhirnya berkembang pada bidang politik hukum melalui corak pemahaman yang mengutamakan teks doktrin agama. Sikap politik beragama tanpa merelasikan dengan konteks sosial budaya kemasyarakatan tentu berpengaruh pada model beragama tidak toleran dan tidak menghormati hak asasi manusia. Ekspresi keberagamaan tersebut berkembang seiring dengan adanya muatan-muatan politik pendirian negara Islam sebagai pengaruh gerakan transnasional yang tidak memiliki kesadaran terhadap kearifan lokal dan penolakan konsep negara bangsa. Islam sebagai agama negara merupakan ekspresi membangun masyarakat muslim sesuai gagasan Sayyid Qutb yang membandingkannya dengan masyarakat jahiliyah yang menggunakan aturan selain hukum Tuhan. Seseorang atau kelompok yang melakukan tindakan ekstrim kekerasanatas nama agama tidak memandang aksinya sebagai sebuah kejahatan, tetapi justru muncul rasa kebanggaan karena menjadi pasukan yang memperjuangkan kebenaran yang diyakininya. 8 Kelompok-kelompok ekstrimisme yang kemudian berkembang menjadi gerakan transnasional seringkali menggunakan simbol-simbol militer dalam organisasi gerakannya, 9 seperti Irish of Republican Army (IRA) di Irlandia, Euskadi Ta Askatasuna (ETA) di Spanyol, Hizbullah di Libanon, Harakat al-Muqawwama al-Islamiyyah (Hamas) di Palestina, Front Islamique du Salut (FIS) di Aljazair, Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia (FARC) di Kolombia, The Moro National Liberation Front (MNLF) dan Abu Sayyaf’s Group (ASG) di Filipina, Al-Qaeda dan Taliban di Afghanistan, serta ad-Dawlah al-Islamiyah fil Iraq wa Syam atau dikenal dengan ISIS.10 Ekstremisme merupakan wujud aksi dari radikalisme. Radikalisme sebagai suatu faham tidak selalu ditandai dengan aksi-aksi kekerasan, namun dapat juga sebatas pemikiran dan ideologi yang tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam melaksanakan pemikiran tersebut. Potensi radikalisme yang ditentukan oleh persepsi individu tentu tidak hanya dipengaruhi suatu landasan ideologi tertentu, namun dapat juga dipengaruhi oleh beragam faktor lain dalam isu global, regional, maupun lokalitas. Aksi terorisme yang berlangsung di Indonesia misalnya, diawali adanya fanatisme ideologi sehingga menganggap yang lain salah dan berujung dengan penggunaan senjata atau aksi pengeboman sebagai bentuk pengesahan
6 Mark Jurgensmayer, Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence (California: University of California Press, 2001), 14-15; James M. Lutz dan Brenda J. Luts, Global Terrorism (London: Routledge, 2004), 74-78. 7 Muhammad ‘Abid al-Jābiri, Qadaya al-Fikr al-‘Arābi: al-Mas-alah al-Thaqāfiyyah (Beirut: Markaz Dirȃsah alWahidah al-‘Arābiyyah, 1994), 134-135. 8 Imam Samudra, Aku Melawan Terorisme (Solo: al-Jazera, 2004), 114-115; Asep Adisaputra, Imam Samudra Berjihad, Cet. 1 (Jakarta: Grafika Indah, 2006), 62-69; Wawan H. Purwanto, Terorisme Ancaman Tiada Akhir: Bahaya dan Strategi Pemberantasan di Indonesia, Cet. II (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2004), 53-55. 9 Anisseh Van Engeland dan Rachael M. Rudolph, From Terrorism to Politics (Ethics and Global Politics) (Burlington: Ashgate Publishing Company, 1988). 10 Reno Muhammad, ISIS: Mengungkap Fakta Terorisme Berlabel Islam (Jakarta Selatan: Noura Books, 2014), 32.
segala cara atau ekstrim. Hukum di luar Islam yang dianggap taghut kemudian mengalami perlawanan dengan seruan jihad untuk melakukan perubahan sistem politik kenegaraan. Pemahaman antara jihad dalam Islam dengan tampilan tindak ekstrimisme yang dilakukan oleh beberapa orang Islam membawa kerancuan pemahaman, baik bagi umat Islam itu sendiri maupun bagi umat non-Islam. Hal itu diakibatkan adanya persepsi bagi beberapa muslim yang memahami bahwa jihad adalah perang melawan kaum kafir Amerika Serikat 11 sehingga dalam mengaktualisasikannya justru mengarah pada tindak kekerasan berdasarkan status kewarganegaraan karena simbol kekuatan Yahudi dan Nasrani. Pemahaman non-muslim pada akhirnya menggeneralisir bahwa jihad adalah bagian dari syariat Islam sehingga menganggap Islam sebagai sumber terorisme. 12 Terorisme dapat diidentifikasi dengan 3 (tiga) sandaran, yaitu metode kekerasan, target pemerintah atau sipil, dan tujuan untuk menanamkan ketakutan serta memaksakan perubahan sosial dan politik.13 Pada akhirnya melahirkan kecurigaan bahwa legalitas hukum agama dalam sistem kenegaraan dapat mempengaruhi gerakan radikal atau pemerintahan diktator. Gerakan perlawanan dan perjuangan masyarakat sipil yang berelaborasi dengan motivasi perjuangan jihad sebagai perang suci melawan musuh Allah, menjadikan jihad mengalami keberagaman makna. Gerakan perlawanan terhadap penguasa yang tidak menerapkan hukum Allah berpendapat bahwa seluruh rezim yang berkuasa di negara muslim adalah murtad dan kafir karena membuat hukum sendiri dan tidak berdasarkan syariat Allah termasuk adanya institusi legislatif, eksekutif, dan yudikatif,14 sehingga memeranginya adalah perang suci atau jihad. Pandangan ini biasa disebut gerakan fundamentalisme agama yang ingin menyatukan antara agama, negara, dan dunia didasari keinginan menjadikan sistem politik Islam klasik sebagai bahan rujukan. Gerakan fundamentalisme berkonsentrasi melawan sistem politik modern, khususnya kapitalisme yang menyerbu dunia muslim. Penekanan pemurnian ajaran Islam atau kembali kepada Al-Quran dan Hadits, justru kurang simpatik terhadap fiqīh karena tidak menginginkan adanya tradisi hukum yang disebut sebagai Islam konservatif.15 Pemikiran ini berimplikasi pada penegasian semua yang bukan Allah dan bukan dari Allah sesat, musyrik, kafir, dan zalim. Islam menurut kalangan fundamentalisme adalah kesatuan antara agama, dunia, dan negara (dīn, dunyā, dawlah), sehingga perlu adanya pendirian negara Islam yang dipimpin oleh seorang khālifah untuk dapat berjalannya agama secara murni dan kāffah. 16 11 Imam Samudra, Aku Melawan Teroris (Solo: Jazera, 2004), 108-109; Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom (Jakarta: Republika, 2007), 41-71. Ayat yang dijadikan dasar bahwa jihad sebagai perang adalah QS. At-Taubah ayat 36 (...dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang bertakwa). 12Pandangan Islam sebagai agama teroris menjadi perdebatan di Universitas Oxford di Inggris. Syafiq Basri, “Islam dan Teroris: Debat 13 Menit di Oxford”, http://syafiqb.com/2013/07/22/islam-dan-teroris-debat-13-menit-dioxford/ (diakses 2 Januari 2012). 13Harvey W. Kushner, Encyclopedia of Terrorism (London: Sage Publications, 2003), 359. 14 Abu Mush’ab As-Suri, Perjalanan Gerakan Jihad (1930-2002): Sejarah, Eksperimen, dan Evaluasi (Solo: Jazeera, 2009), 185. 15Ketidakpercayaan terhadap ahli hukum atau pakar fiqih menjadikan kelompok fundamentalisme yang dalam kajian Khaled Abou El Fadl identik dengan gerakan ‘Abdul Wahhȃb, melakukan pembantaian dan menyebut ahli hukum Islam sebagai “para setan” karena tidak ingin mengikuti mazhab fiqih, sebagaimana dikafirkannya Fahruddīn al-Rāzī. Khaled M. Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Terj. Helmi Mustofa (Jakarta: Serambi, 2005), 64. 16Taqiyuddīn an-Nabhānī, Daulah Islam, Terj. Umar Faruq (Jakarta Selatan: HTI Press, 2009), 273.
Gerakan ini dijalankan oleh Hizbut Tahrir yang dimotori Taqiyuddīn an-Nabhānī di Syria, Libanon, serta Yordania pada 1953, dan telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang di negara asalnya berdiri tersebut. Orientasi politik keagamaan yang lebih radikal dan militan dalam upaya untuk mendirikan negara Islam dilakukan oleh kelompok neo-fundamentalisme. Gerakan ini berpandangan bahwa tidak ada pemisahan antara agama dari politik sehingga mendefinisikan Islam sebagai sistem politik atau ideologi yang sama dan sedang berlawanan dengan ideologiideologi besar lainnya. Olivier Roy menyebutnya dengan Islamic political imagination (imajinasi politik Islam) yang lebih sering disebut sebagai Islam konservatif. 17 Dalam gerakannya, kalangan neo-fundamentalisme langsung melakukan tindakan nyata dalam bentuk politik sebagai reaksi atas kasus-kasus tertentu yang dialami sebagian umat Islam sebagai wujud orientasi perjuangan berupa lahirnya masyarakat Islam dan ruang Islami (Islamized space). 18 Perjuangan kelompok ini seperti Jamā’at al-Islāmī di Pakistan yang didirikan oleh Abu al-A’la al-Maududi pada 1943. Gerakan penyatuan agama dan politik yang kemudian mempengaruhi munculnya Islam politik di berbagai negara. Tipe Islam politik (political Islam) sering mengarah pada kategori fundamentalis dan neo-fundamentalis dengan menekankan watak politik dari Islam dan bahkan dapat terlibat dalam kegiatan anti-negara secara langsung. Islam politik membangun cita-cita berdasar kesamaan agama dan perjuangan melalui partai politik dengan asas, nama, tujuan, dan simbol Islam.19 Hal ini sebagaimana terjadi di Pakistan sejak berpisah dari India. Orientasi gerakan Islam dalam merespon sistem politik demokrasi tentu dapat dijadikan sebagai landasan untuk memahami perkembangan gerakan radikal di seluruh dunia, termasuk gerakan radikal di Indonesia. Organisasi gerakan radikal dan anti-demokrasi membangun jaringan internasional yang bersifat transnasional karena kelompok-kelompok tersebut memiliki kepemimpinan bersifat internasional, bekerja secara jaringan lintas negara dan benua, serta mengusung cita-cita yang sama untuk menegakkan kembali kepemimpinan Islam yang ideal dalam bentuk khilafah atau negara Islam. Kemunculan gerakan Islam radikal transnasional dalam berbagai tipe gerakan dapat difahami dari kebangkitan dan semangat juang para pendirinya. Beberapa hal yang melatarbelakangi adalah kenyataan atas penderitaan umat Islam di berbagai negara akibat kolonialisme Barat terhadap negara-negara muslim maupun negara dengan penduduk mayoritas muslim dan tidak diberlakukannya Islam sebagai sistem politik negara.20 Gerakan Islam yang bersifat transnasional memahami Islam secara monolitik dan menolak varianvarian Islam lokal karena dianggap sudah tercemar sehingga perlu dimurnikan kembali.21 17Olivier Roy, The Failure of Political Islam (Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1994), 75; Erich Kolig, Conservative Islam: A Cultural Anthropology (Maryland: Lexington Books, 2012), 277. 18Olivier Roy, The Failure of Political Islam, 75. 19 Masykuri Abdillah, “Islam Struktural dan Islam Politik”, dalam Hamid Basyaib dan Hamid Abidin (Ed), Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu 99 Sampai Pemilihan Presiden (Jakarta: Alvabet, 1999), 14. 20 Kesadaran atas penderitaan imperialisme Barat menjadikan Jamaluddin Al-Afghany membangkitkan patriotisme atas dasar solidaritas agama, disebut Pan Islamisme. Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2013), 251. 21Abdurrahman Wahid (Ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (Jakarta: Gerakan Bhineka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009), 43.
Kekalahan Islam Politik dan Gerakan Anti-Negara Bangsa Faktor utama seseorang dapat melakukan tindak kekerasan bahkan menjadi seorang teroris adalah dorongan konflik politik atau kekuasaan. Persoalan politik setidaknya menyangkut isu ketidakadilan, kesenjangan sosial, serta ketidakmampuan penguasa mempertemukan antara gagasan nasionalisme dengan pemikiran politik Islam. 22 Ketidakpuasan terhadap gagalnya mewujudkan kesejahteraan dalam lingkup lokal, regional, maupun internasional mendorong lahirnya gerakan baru yang radikal untuk merubah sistem politik tertentu. Embrio ketidakpuasan politik yang kemudian menjadi gerakan politik Islam ditandai dengan gagasan Hasan al-Banna dan Sayyid Qutb melalui pendirian organisasi Ikhwanul Muslimin (IM) pada April 1928 di Mesir. 23 Kemunculan IM dilandasi pandangan bahwa Islam adalah sistem pemikiran global dan menyeluruh yang sangat maju dan modern dibandingkan agama-agama lain sehingga harus diwujudkan dalam bentuk negara Islam. 24 Gerakan IM berpandangan bahwa negara tidak cukup hanya diisi orang-orang Islam, tetapi perlu adanya konstitusi berdasarkan syariat Islam25 untuk menjamin masyarakat yang adil dan sejahtera. Perjalanan IM mengalami pasang surut hubungan dengan pemerintahan Mesir. Pada 8 November 1948, Perdana Menteri Mesir Mahmud Fahmi al-Nuqrashi mengeluarkan keputusan pembubaran IM karena terlibat dalam aksi anti pemerintah, sekaligus terbunuhnya kepala polisi Kairo, Jenderal Salim Zaki Pasha, yang kemudian disusul terbunuhnya perdana menteri Nuqrashi itu sendiri. Ketegangan pemerintah Mesir dengan IM semakin memuncak setelah terbunuhnya Hasan al-Banna pada 12 Pebruari 1949, dan Kabinet An-Nuhas memberikan keputusan bahwa perintah pembubaran IM tidak sah pada 1950. IM kemudian menyebarkan pengaruhnya ke semua lapisan masyarakat Mesir, dan bersama para perwira militer Mesir seperti Muhammad Najib melakukan kudeta militer terhadap Kekuasaan Raja Farouk yang dikenal dengan Revolusi Juli 1952. Pada 1954, pemerintah Mesir melakukan penahanan sekaligus hukuman mati terhadap para pimpinan IM, seperti Abdul Qadir ‘Audah, dengan tuduhan melakukan upaya pembunuhan terhadap Abdul Nasser.26 Semenjak pemerintah Mesir melakukan penahanan sekaligus hukuman mati terhadap para pimpinan IM, perpecahan di kalangan IM terjadi dengan mayoritas menghendaki moderasi gerakan di bawah pimpinan Hasan Hudaibi, dan kelompok yang menghendaki penggunaan kekerasan yang dipimpin Sayyid Quthb. Ide-ide Sayyid Qutb yang mengarah pada tindak kekerasan menjadikannya dijatuhi hukuman mati bersama Yusuf Hawasi, dan Abdul Fatah Ismail, sehingga IM beroperasi secara rahasia sampai meninggalnya Presiden Abdul Nasser pada 28 Pebruari 1970. Ide Sayyid Qutb yang menjadi sumber kekerasan 22As’ad
Said Ali, Al-Qaeda: Tinjauan Sosial-Politik, Ideologi dan Sepak Terjang, 50. Nazih Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World, 84-86; Mansoor Moaddel, “Discursive Pluralism and Islamic Modernism in Egypt”, Arab Studies Quarterly, Vol. 24, No. 1 (September-November 2002), 1-29, http://www. jstor.org/stable/41858401 24Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik, Terj. Harimurti dan Qamaruddin SF (Jakarta: Serambi, 1996), 43; 25 Fathi Yakan , “Revolusi” Hasan Al-Banna: Gerakan Ikhwanul Muslimin dari Sayyid Quthb sampai Rasyid AlGhannusyi, terj. Fauzun Jamal dan Alimin (Bandung: Penerbit Harakah, 2002), 12-13. 26Gearge Lenczowski, Timur Tengah di Kancah Dunia, terj. Asghar (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1993), 309310. 23
adalah pandangan bahwa tidak ada hakīmiyah (kedaulatan) selain kedaulatan Allah berdasarkan al-Qur’an, sehingga masyarakat Islam yang belum bergabung dengan ikhwan merupakan kelompok jahiliyyah atau kafir sehingga dibolehkan untuk diperangi.27 Perjuangan IM yang didasari ideologi Sayyid Qutb berkembang ke negara yang belum mampu mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Gerakan-gerakan islamisme yang berjuang di bidang politik pada akhirnya menjadi kelompok oposisi dan berjuang secara gerilya menghadapi penguasa. Hal demikian terjadi sebagai akibat belum mampu mendamaikan hubungan antara agama dan negara atau dalam teori konflik oleh Lewis Alfred Coser, gerakan islamisme menjadi kelompok subordinat dari penguasa. Hal tersebut mendorong antara penguasa dan gerakan islamisme saling melakukan aksi kekerasan untuk membungkam aktivitas ideologi dan politik. 28 Terorisme muncul pada dasarnya sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa maupun perlawanan atas kebijakan terhadap negara.29 Invansi Uni Soviet ke Afganistan pada 1979 mendorong gelombang jihad dari berbagai negara. Seruan jihad ke Afganistan sangat dipengaruhi peranan Abdullah Azzam yang menjadi pengajar kebudayaan Islam di Universitas King Abdul Aziz, Jeddah, Arab Saudi.30 Azzam membangun pusat pelatihan militer sekaligus pusat komando ke kamp-kamp pelatihan militer lain bagi para mujahidin dari berbagai negara di Peshawar. 31 Kaum mujahidin asal Indonesia yang berangkat ke Afghanistan sekitar 3.000 orang terbagi atas tiga faksi, yaitu kamp Gulbuddin Hekmatyar dengan asal ormas dari Darul Islam, kamp Burhanuddin Rabbani dengan asal mujahidin freelance, dan kamp Rasul Sayyaf dengan asal ormas NII Banten serta para anggota binaan Abdullah Sungkar.32 Berakhirnya pendudukan Uni Soviet atas Afganistan menjadikan para mujahidin Indonesia tersebar ke berbagai negara konflik semacam Bosnia dan Checnya, maupun kembali ke tanah air. Pengikut Abdullah Sungkar sebagian melakukan hijrah ke negaraPakistan untuk membantu pejuang Kashmir memisahkan diri dari India sekaligus membangun organisasi baru bernama Jamaah Islamiyah yang berbasis di Johorbaru, Malaysia.33 Masing-masing mencari bentuk identitas sosialnya dalam melanjutkan semangat jihad dan rasa solidaritas umat muslim dengan upaya membangun negara Islam. Perkembangan demokratisasi di Indonesia semakin memudahkan para aktivis Jamaah Islamiyah untuk melakukan aksi terornya, terlebih muncul fatwa dari Usamah bin Laden yang memperbolehkan atau melegalkan serangan kepada warga sipil, terutama warga Amerika Serikat di daerah pendudukan akibat invansi sebagai aksi balasan (retaliation). 34 27 Shireen
T. Hunter, Politik Kebangkitan Islam Keragaman dan Kesatuan, terj. Ajat Sudrajat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 18. 28 Donny Gahral Adian, “Mencegah Lahirnya Terorisme Negara Indonesia Pasca Bom Bali”, Analisis CSIS, Vol. 32, No. 1, 2003, 80-81. 29 Martha Crenshaw, “The Causes of Terrorism”, Comparative Politics, Vol. 13, No. 4 (Juli 1981), 379-399, http://www.jstor.org/stable/421717 (diakses 10 Mei 2014). 30 Hani As-Sibai, Balada Jamaah Jihad: Melacak Kiprah Dr. Aiman Az-Zawahiri (Solo: Jazera, 2005), 47. 31 Oliver Roy, Islam and Resistance in Afghanistan (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 191. 32 As’ad Said Ali, Al-Qaeda: Tinjauan Sosial-Politik, Ideologi dan Sepak Terjang, 72-73. 33 Syed Saleem Shahzad, Inside Al-Qaeda and the Taliban (London: Pluto Press, 2011), 206-207.. 34Christopher M. Blanchard, ‘Al-Qaeda: Statements and Evolving Ideology (Congressional Research Service Report for Congress, 2005), 3.
Hubungan fatwa dengan kegiatan teror terwujud setelah muncul peledakan bom terhadap 15 gereja di beberapa daerah di Indonesia pada malam natal 2000. Setidaknya 20 orang tewas, 35 orang luka berat, dan 48 cedera ringan.35 Operasi teror demikian jelas sangat terencana dan masuk dalam kategori operasi militer oleh jejaring Al-Qaeda dan Jama’ah Islamiyah di Indonesia. Al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah menjadi sumber tumbuhnya terorisme yang memetakan wilayah Asia Tenggara sesuai dengan garapannya masing-masing. Pemetaan wilayah gerakan menjadikan Indonesia sebagai medan jihad, Philipina sebagai pusat pelatihan, sedangkan Malaysia dan Singapura sebagai pusat donasi sekaligus sumber transaksi keuangan.36 Antisipasi terhadap peta gerakan Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara mendorong antara Indonesia, Malaysia, dan Philipina untuk menyepakati perjanjian yang disebut Southeast Asian Trilateral Counter-terrorism pada Mei 2002.37 Pemikiran radikal sebagai bentuk perjuangan menegakkan hukum Islam dan pendirian negara Islam di Indonesia semakin menguat setelah era reformasi. Awal munculnya reformasi, semakin subur organisasi dengan aksi-aksi kekerasannya berdalih atas nama agama, seperti Laskar Jundullah, Front Pembela Islam, Laskar Jihad, maupun Ikhwanul Muslimin Indonesia. Pemetaan terhadap orientasi gerakan Islam terhadap negara dapat dilakukan melalui asessmen resiko dari para aktivis dan muatan informasi yang dilakukan. Praktik demikian akan menimbulkan beberapa karakteristik gerakan organisasi radikal Islam di Indonesia sebagai kelanjutan radikalisme NII berdasarkan atas 5 (lima) karakteristik. Masing-masing adalah kelompok Islam radikal pemikiran, kelompok Islam radikal non-teroris, kelompok radikal milisi, kelompok radikal separatis, dan karakteristik kelompok radikal terorisme melalui kekerasan.
Tabel 1. Karakteristik Gerakan Radikal38 No
Karakteristik
1
Kelompok Islam radikal pemikiran
2
Kelompok Islam radikal gerakan non-teroris Kelompok radikal milisi Kelompok radikal separatis
3 4
Nama Gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad Kelompok Ambon dan Poso Negara Islam Indonesia (NII), Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
35 “Penegakan Hukum: Bom Natal Tahun 2000” http://www.museum.polri.go. id/lantai2_gakkum_bomnatal2000.html (diakses 10 Desember 2013). 36As’ad Said Ali, Al-Qaeda: Tinjauan Sosial Politik, Ideologi, dan Sepak Terjangnya (Jakarta: LP3ES, 2014), 195-240. 37Niklas Swanström, “Conflict Resolution of Terrorists Conflicts in Southeast Asia”, dalam Terrorism and Political Violence, Vol. 16 No. 2 (Musim Gugur, September-Desember, 2004), London: Frank Cass, 328-349 38 BNPT, Perkembangan Terorisme dan Pencegahan Terorisme di Daerah. Hal ini disampaikan juga oleh Direktur Deradikalisasi BNPT, Prof. Irfan, dalam seminar nasional “Radikalisme Agama dalam Perspektif Global dan Nasional” di UIN Syarif Hidayatullah, 11 Juni 2015.
5
Kelompok radikal terorisme
Jamaah Islamiyah
Memahami karakteristik masing-masing gerakan radikal yang berpeluang terlibat melakukan tindakan terorisme, maka strategi program deradikalisasi dipengaruhi atas tahapan seseorang memiliki pemikiran, bergabung dalam kelompok, sampai pada keyakinan melakukan tindak kekerasan.39 Oleh karenanya, masing-masing tahapan partisipasi seseorang membutuhkan tindakan yang berbeda terutama menyangkut respon terhadap sistem politik negara bangsa melalui formalisasi hukum Islam. Kontribusi Islam Nusantara dalam Demokratisasi Islam Nusantara sebagai manifestasi gerakan politik NU memberikan pembelaan terhadap demokrasi dan nasionalisme Indonesia. Organisasi Islam terbesar di Indonesia ini tidak tertarik untuk melakukan formalisasi hukum Islam dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan sebagaimana pemberlakuan hukum Islam dalam ruang publik, tata negara, dan administrasi negara, termasuk hukum privat keluarga seperti perkawinan, waris, dan perbankan. NU sendiri sebelum masa kemerdekaan melalui muktamar ke-11 pada 1936 di Banjarmasin telah mengukuhkan Indonesia sudah sebagai negara Islam karena masyarakatnya mayoritas beragama Islam dan tidak ada larangan menjalankannya kendati dipimpin oleh Kerajaan Protestan Belanda.40 Relasi agama dan negara oleh ulama-ulama NU dianggap sudah selesai dengan mengedepankan nasionalisme Indonesia tanpa membedakan agama, suku, dan golongan dalam bernegara. Politik sebagai sumber radikalisme sebagaimana pendapat Angel Rabasa, diredam oleh ulama NU dengan fatwa penerimaan terhadap Pancasila sebagai dasar negara. Pertarungan nasionalisme dan agama selalu mengarah pada 2 (dua) problem utama, yaitu relasi muslim versus non-muslim dan hukum Tuhan versus hukum manusia. Pondasi yang harus dibangun adalah kesadaran bahwa Islam sebagai agama kemanusiaan. Kategori teologis untuk dilakukan perubahan pemahaman terdiri atas relasi Islam dengan non-Islam, hukum Tuhan dalam agama-agama, Islam rahmatan lil ‘ālamīn, serta paradigma jihad dan perang. Akomodasi Pancasila sebagai dasar negara dianggap ulama-ulama NU sudah memiliki kesesuaian dengan nilai keislaman dan prinsip piagam Madinah yang berdasarkan kebangsaan masyarakat Madinah. Tabel 2. Hubungan Dalil Islam dan Sila Pancasila41 N o 1 2
Sila Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa Kemanusiaan yang adil dan beradab
39
Dalil Islam Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa (QS. Al-Baqarah: 163) Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
Muh. Khamdan, Bina Damai Terorisme (Kudus: Parist, 2015). Oentoro, Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Bisa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), 167. 41 Douglas E. Remagee, Pemahaman Abdurrahman Wahid Tentang Pancasila dan Penerapannya Dalam Era Paska Azaz Tunggal (Yogyakarta: LKiS, 1994). 40Jimmy
3
Persatuan Indonesia
4
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan perwakilan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
5
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS. Al-Maidah: 8) Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu (QS. Al-Hujurat: 10) Bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. (QS. Al-Imran: 159)
Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat (QS. An-Nahl:90)
Istilah kebangsaan merupakan gambaran ciri-ciri terhadap kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, budaya, bahasa, dan akar sejarahnya pada suatu lokasi tertentu. Kesamaan ciri terhadap kelompok manusia sehingga dapat disebut bangsa mulai berkembang pada abad ke-18 di Eropa, dan mengalami transformasi ideologi ke dunia Islam. Penyebaran ideologi kebangsaan tersebut berkembang seiring agresi Napoleon Bonaparte ke Mesir pada Juli 1978 yang mempropaganda diri sebagai muslim yang taat. 42 Strategi membangkitkan kesadaran berdasarkan kesamaan asal dan wilayah membuat sebagian umat Islam merasa bahwa nasionalisme menjadi sebab terpecahnya dunia Islam. Bagi kelompok Islamisme semacam HTI, nasionalisme dianggap sebagai primordialisme dan fanatisme kebangsaan (ashabiyah) yang dihukumi haram. 43 Pendapat itu menjadi pandangan politik mayoritas kelompok Islam radikalis di Indonesia. Kelompok ini berpegang teguh pada prinsip kesatuan umat yang didasarkan atas ikatan aqidah atau ideologi keislaman, bukan ikatan kebangsaan. Hal demikian mengacu pada QS. Al-Hujurat ayat 10, Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara. Strategi yang dilakukan Nabi Muhammad di Madinah memiliki kesamaan dengan kehidupan kebangsaan Indonesia yang tidak menerapkan konstitusi berdasarkan hukum agama tertentu untuk seluruh suku, tetapi menerapkan konstitusi atas dasar kesepakatan bersama yang bermodalkan semangat prinsip-prinsip persamaan. Kebersamaan membela masyarakat berdasarkan aspek kewilayahan menunjukkan adanya bela negara yang dibangun oleh masyarakat Madinah. Ideologi kebangsaan atau nasionalisme jelas memiliki dasar dalam Al-Qur’an dengan adanya inklusivitas untuk saling mengenal identitas satu dengan yang lain. Tentu kebangsaan tersebut akan dijumpai adanya kebhinekaan dalam hal agama, suku, warna kulit, status sosial, dan perbedaan lain dengan dibatasi penghargaan melalui ketaqwaan, yaitu memanusiakan manusia dengan tidak saling melecehkan. Titik temu antara kebangsaan dengan keislaman dapat dilihat pada prinsip yang harus dijunjung. Berbangsa menuntut adanya persatuan 42Shmuel
Moreh (terj), Napoleon in Egypt: Al-Jabarti’s Chronicle of The French Occupation, 1798 (Princeton: Marcus Wiener Publishing, 1993), 24-26. 43 M. Kusman Sadik, “Nasionalisme dan Separatisme Haram!” (31 Maret 2013), http://www.hizbuttahrir.or.id/2013/03/31/nasionalisme-dan-separatisme-haram/ (diakses 10 Pebruari 2014).
masyarakat (al-ummah), perlindungan hak masyarakat (al-adalah), prinsip permusyawaratan (alsyura), dan persamaan perlakuan (al-musawah). Nasionalisme merupakan tampilan konsep yang dibangun oleh Nabi Muhammad untuk memperhatikan kepentingan persatuan masyarakat (al-ummah al-wahidah). Masyarakat muslim di Indonesia sejak perkembangannya sudah mengenal makna persaudaraan bukan sekadar saudara atas dasar agama (ukhuwah Islamiyah), tetapi juga persaudaraan sebangsa (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah basyariyah). Hal demikian dirumuskan oleh para pendiri bangsa dengan ikatan Pancasila. Aksi kekerasan atas nama agama yang masih marak terjadi di Indonesia mengindikasikan bahwa sikap dan perilaku sebagian masyarakat Indonesia tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila. Masyarakat cenderung memilih aksi kekerasan atau adu kuat dalam menghadapi perbedaan. Tindakan demikian menyuburkan intoleransi beragama, pembakaran rumah ibadah, dan frustasi beragama dengan ideologisasi Islam menjadi jaringan terorisme. Masyarakat muslim Indonesia banyak yang tidak memandang bahwa Pancasila adalah prinsip beragama Islam. Dalam epistemologi hukum Islam (ushul fiqih), Pancasila sama halnya dengan al-kulliyat al-khams, yaitu prinsip dasar tujuan pemberlakuan hukum Islam. Panca prinsip hukum Islam tersebut adalah perlindungan agama (hifzh din), perlindungan jiwa (hifzh al-nafs), perlindungan keturunan (hifzh al-nasl), perlindungan akal (hifzh al’aql), perlindungan harta (hifzh mal). Al-kulliyat al-khams dalam konteks Indonesia sudah tercermin pada rumusan Pancasila. Sila-sila dasar negara yang merupakan asli produk budaya bangsa Indonesia, sudah memberikan perlindungan agama pada sila pertama. Perlindungan jiwa dan aspek-aspek kemanusiaan pada sila kedua. Perlindungan keturunan sebagai bentuk hak kewarganegaraan dalam sila ketiga. Perlindungan akal dan kebebasan berserikat berkumpul dalam sila keempat. Sedangkan perlindungan harta serta akses sumber ekonomi tercermin dalam sila kelima. Pancasila merupakan pondasi norma atas hukum-hukum yang berlaku di Indonesia. Hal demikian berimplikasi pada pemberlakuan dan penerapan syariat Islam tidak boleh berlawanan dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, perastuan, permusyawarakatan, dan keadilan. Hukum Islam ditempatkan sebagai sumber pembentukan hukum nasional yang berinteraksi dengan agama-agama lain. Pancasila sebagai mazhab berkebangsaan ditempatkan untuk meneguhkan Islam di Nusantara guna mengembangkan peradaban Indonesia dan peradaban dunia yang damai. Simpulan Relasi antara Islam kebangsaan dalam mendukung perkembangan demokrasi di Indonesia, tentu tidak dapat terpisahkan dari paradigma moderasi Islam Nusantara. Islam yang disinergikan melalui dasar negara Pancasila untuk merangkul keseluruhan komponen bangsa. Pertemuan damai antara nasionalisme dengan agama di Indonesia berwujud dengan keberhasilan rumusan Pancasila. Karakter kebhinekaan mendapatkan posisi penghargaan yang baik guna menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat atau kearifan lokal masyarakat Nusantara. Hal tersebut membentuk sistem sosial yang kemudian memetakan identitas kebangsaan itu sendiri. Formulasi Islam dan negara yang terbentuk menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
NKRI adalah negara yang mendasarkan pola interaksi masyarakatnya menjadi terbuka, ramah, dan bersahabat dengan lingkungan budaya. Oleh karena itu Islam sebagai agama yang bersinergi dengan budaya, mengedepankan sikap jalan tengah atau moderasi (tawasuth). Corak Islam di Indonesia sebagai darussalam melahirkan tegaknya Pancasila dan NKRI sebagai intisari dari ajaran Islam ahlussunnah wal jama’ah. Kolaborasi antara Pancasila dan NKRI menjiwai karakteristik bangsa Indonesia yang damai, membina keberagaman, serta mampu bekerjasama dalam kebhinekaan. Tiga pilar utama yang mendukung keberhasilan identifikasi potensi radikalisme gerakan transnasional dalam menangkal ancaman demokratisasi adalah dengan menggabungkan antara pendekatan agama dengan pendekatan kebangsaan melalui kerjasama lintas sektoral. Hubungan kerjasama mesti didukung dengan pemanfaatan kekuatan struktural, dan otoritas keislaman di negara manapun. Kontribusi penerimaan dasar negara berupa Pancasila oleh para ulama Nusantara menunjukkan bahwa Indonesia telah berhasil menyatukan antara Islam dan demokrasi dalam dimensi kenegaraan.
Daftar Pustaka Abdul Mun’im al-Hafni, Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai dan Gerakan Islam (Jakarta: Grafindo, 1999) Abdullah Azzam, Runtuhnya Khilafah dan Upaya Menegakkannya (Solo: Pustaka Al-Haq, 2002) Abdurrahman Wahid (Ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (Jakarta: Gerakan Bhineka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009) Abu Mush’ab As-Suri, Perjalanan Gerakan Jihad (1930-2002): Sejarah, Eksperimen, dan Evaluasi (Solo: Jazeera, 2009) Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2013) Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom (Jakarta: Republika, 2007) Anisseh Van Engeland dan Rachael M. Rudolph, From Terrorism to Politics (Ethics and Global Politics) (Burlington: Ashgate Publishing Company, 1988). As’ad Said Ali, Al-Qaeda: Tinjauan Sosial-Politik, Ideologi dan Sepak Terjang (Jakarta: LP3ES, 2014) Asep Adisaputra, Imam Samudra Berjihad, Cet. 1 (Jakarta: Grafika Indah, 2006) Douglas E. Remagee, Pemahaman Abdurrahman Wahid Tentang Pancasila dan Penerapannya Dalam Era Paska Azaz Tunggal (Yogyakarta: LKiS, 1994). Erich Kolig, Conservative Islam: A Cultural Anthropology (Maryland: Lexington Books, 2012) Gearge Lenczowski, Timur Tengah di Kancah Dunia, terj. Asghar (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1993) Hamid Basyaib dan Hamid Abidin (Ed), Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu 99 Sampai Pemilihan Presiden (Jakarta: Alvabet, 1999) Hani As-Sibai, Balada Jamaah Jihad: Melacak Kiprah Dr. Aiman Az-Zawahiri (Solo: Jazera, 2005) Harvey W. Kushner, Encyclopedia of Terrorism (London: Sage Publications, 2003) Imam Samudra, Aku Melawan Teroris (Solo: Jazera, 2004)
James M. Lutz dan Brenda J. Luts, Global Terrorism (London: Routledge, 2004) Jimmy Oentoro, Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Bisa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010) Khaled M. Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Terj. Helmi Mustofa (Jakarta: Serambi, 2005) Mark Jurgensmayer, Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence (California: University of California Press, 2001) Muh. Khamdan, Bina Damai Terorisme (Kudus: Parist, 2015) Muhammad ‘Abid al-Jābiri, Qadaya al-Fikr al-‘Arābi: al-Mas-alah al-Thaqāfiyyah (Beirut: Markaz Dirȃsah al-Wahidah al-‘Arābiyyah, 1994) Oliver Roy, Islam and Resistance in Afghanistan (Cambridge: Cambridge University Press, 1990) Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik, Terj. Harimurti dan Qamaruddin SF (Jakarta: Serambi, 1996) Olivier Roy, The Failure of Political Islam (Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1994) Reno Muhammad, ISIS: Mengungkap Fakta Terorisme Berlabel Islam (Jakarta Selatan: Noura Books, 2014) Shireen T. Hunter, Politik Kebangkitan Islam Keragaman dan Kesatuan, terj. Ajat Sudrajat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003) Shmuel Moreh (terj), Napoleon in Egypt: Al-Jabarti’s Chronicle of The French Occupation, 1798 (Princeton: Marcus Wiener Publishing, 1993) Syed Saleem Shahzad, Inside Al-Qaeda and the Taliban (London: Pluto Press, 2011) Wawan H. Purwanto, Terorisme Ancaman Tiada Akhir: Bahaya dan Strategi Pemberantasan di Indonesia, Cet. II (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2004)