d f
Kata Pengantar
Om Swastyastu
P
ADA awalnya disebut Ashram Manikgeni, dirintis sejak tahun 1994. Belakangan setelah diperkenalkan istilah Pasraman -- sesuatu agar berbau Indonesia -- maka sebutannya pun menjadi Pasraman Dharmasastra Manikgeni. Penambahan kata Dharmasastra karena dibentuknya yayasan sebagai pengelola pasraman yang diberi nama Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Yayasan ini punya berbagai kegiatan sosial, antara lain, menerbitkan Majalah Hindu Raditya. Setelah berdiri dengan bangunan yang sederhana dengan aula sebagai awal, kegiatan sosial yang dilakukan adalah memberikan pelajaran tambahan agama Hindu untuk murid-murid usia Sekolah Dasar. Para pengajarnya terdiri dari tokoh masyarakat setempat dan guru-guru agama yang ada di sekolah di sekitar Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, di mana pasraman itu berlokasi. Sarana pembangunan terus ditambah dengan membangun rumah induk, bale dawuh, bale bengong dan sebagainya. Bersamaan dengan itu pencetus pasraman, Putu Setia, juga meningkatkan jenjang spiritualnya untuk persiapan menjadi Sulinggih -- pendeta Hindu. Maka ketika Putu Setia didiksa (dilantik) menjadi sulinggih dengan abhiseka (nama baru yang berupa gelar) Ida Pandita
d f
Mpu Jaya Prema Ananda pada 21 Agustus 2009, Pasraman Dharmasastra Manikgeni menjadi lebih lengkap sarananya dan juga makin beragam kegiatannya. Di sini sering terjadi diskusi keagamaan yang melibatkan berbagai tokoh di Bali. Juga ada penataran pemangku, misalnya. Di bidang kesenian, pasraman memiliki gong kebyar yang baru dibeli, sementara angklung kebyar warisan para tetua di masa lalu, ikut disimpan dan dijadikan sarana ritual di sini. Di pasraman juga ada sekehe topeng yang lebih sering untuk yadnya. Diskusi atau hanya sekadar obrolan ringan sering terjadi di pasraman. Buku ini adalah sebagian dari obrolan yang dipilih itu. Materinya ada yang sudah dipublikasikan di Majalah Raditya, tetapi lebih banyak yang tidak. Nah, selamat membaca lentera kehidupan dari lereng Batukaru ini yang napasnya tentu saja kebijakan dalam ranah Hinduisme. Om Shanti, Shanti, Shanti, Om Akhir November 2013 Pasraman Dharmasastra Manikgeni Banjar Taman Sari, Desa Pujungan Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan Bali 82163
d f
Belajar Weda Dari Mana Mulai
B
EBERAPA prajuru (staf) Desa Pekraman da-tang ke pasraman. Tadinya saya menduga hanya ngobrol-ngobrol santai, suatu kebiasaan menjelang puja Trisandhya di sore hari. Ternyata mereka membicarakan bagaimana membangun pasraman di Desa Pekraman sebagaimana yang diminta oleh Pemerintah Daerah Bali. “Uangnya sudah diserahkan oleh Gubernur di Pura Besakih, besarnya Rp 40 juta, namun untuk pasraman dianggarkan Rp 15 juta,” kata seorang prajuru. Saya mengatakan, itu sangat bagus dan uang itu sangat cukup. Karena di Desa Pekraman ini sudah ada pasraman yang saya kelola, meski ini bukan milik desa adat. Pakai saja fasilititasnya, ada ruangan, ada perpustakaan, bahkan sebentar lagi akan datang seperangkat gamelan gong kebyar untuk wawasan berkesenian. Dana dari Gubernur dipakai untuk yang perlu-perlu saja, misalnya, membayar penceramah dari luar desa. “Apa perlu mendatangkan pengajar dari luar, Nak Lingsir?” tanya seseorang. “Perlu sekali, supaya ada perbandingan dan ada tambahan wawasan untuk anak-anak kita. Nanti saya yang mendatangkan, mungkin tidak perlu diberi honor, cukup uang jalan saja, kan mereka teman-teman saya semuanya, pasti bersedia.”
d f
“Kalau teknis pelajaran agamanya, dari mana memulainya, Nak Lingsir? Soalnya masyarakat juga bingung, dari mana kita belajar agama Hindu. Yang mana pangkal dan yang mana ujung.” “Ya, kita mulai dari pangkalnya saja, yakni tentang Weda itu sendiri. Kalau belajar agama tetapi sumbernya tidak kita kuasai, ibarat bangunan bisa roboh kalau dasarnya tidak kokoh. Jangankan anak-anak, warga desa yang dewasa saja tidak banyak yang tahu soal Weda, bagaimana kitab suci itu turun, siapa yang menerima dan sebagainya. Makanya, nanti anak-anak belajar di kelas, orangtua yang mengantarkan ikut mendengarkan lewat pengeras suara. “Weda itu penting untuk diketahui asal-usulnya. Jangan salah mengerti bahwa Weda itu hanya satu kitab, sebagaimana kitab suci agama lain. Weda itu adalah kitab suci yang Anadi dan Ananta, tidak berawal dan tidak berakhir. Ini dimuat dalam Rg Veda 1.164.45 dan banyak mantram lainnya. Di situ ditegaskan bahwa Weda adalah pengetahuan suci kekal abadi yang keluar dari ‘Mulut’ Tuhan YME. Karena itu Weda dinamakan Paravak, yakni Sabda Brahman, Sabda Spiritual Maha Agung, Sabda Hyang Widhi. Oleh karena Weda keluarnya tidak dari ‘mulut’ manusia, maka Weda juga dinamakan Apaurusheya. Ini asal katanya dari Purusha yang berarti manusia. Kata ‘A’ di depannya berarti kebalikannya, atau tidak. Maka Apurusha berarti tidak manusia. Lalu tatabahasa Sansekerta mengubah Apurusha menjadi Apaurusheya. “Jadi, jangan mau terhasut oleh sindiran tokoh-tokoh agama lain yang menyebutkan Hindu itu agama bumi karena kitab sucinya buatan manusia. Itu fitnah dan melecehkan. Kitab Suci Weda merupakan ajaran dari Maha Agung bukan buatan manusia, tetapi langsung dari Tuhan. Nah, siapa yang menerima ajaran ini? Merekalah para Maharesi yang suci, ada tujuh banyaknya. Para Maharesi itu sudah banyak dihafal anak-anak. “Para orang suci yang telah bergelar Maharesi itu merupakan
d f
orang suci yang sangat tangguh di dalam berbagai tapa brata dan kesucian. Dalam Kitab Manu Smriti ditegaskan, beliau-beliau itu mendapat gelar Maharesi setelah melewati berbagai pertapaan maha dahsyat sampai akhirnya bisa ‘melihat’ langsung mantrammantram Weda. Di Bali ada istilah ‘betel tingal’, lebih dari itulah kemampuan para Maharesi itu. “Karena Weda adalah Sabda Brahman atau Sabda Hyang Widhi, maka di situlah kekekalannya. Weda relevan untuk seluruh zaman. Apa yang ada dalam kitab suci lainnya, sudah ada dalam Weda, sedangkan apa yang ada di dalam Weda, belum tentu ada dalam kitab suci yang lain. Nah, dasar-dasar ini yang harus diberikan pertamakali kepada seluruh umat Hindu agar mereka bangga dengan Weda, yang akhirnya bangga menjadi Hindu.” Staf Desa Pekraman manggut-manggut dan saya membekali mereka dengan buku Pokok-Pokok Ajaran Agama Hindu.
Tujuh Maharsi Penerima Wahyu Weda 1. Rsi Grtsamada 2. Rsi Wasista 3. Rsi Wamadewa 4. Rsi Atri 5. Rsi Baradwaja 6. Rsi Wiswamitra 7. Rsi Kanwa
d f
Bersyukurlah Selalu istan bhogan hi vo deva -- disyante yajna bhavitah -- tair dattan apradayaibho -- yo bhunkte stena eva sah “Karena yadnya (pengorbanan) yang telah kau persembahkan, para Dewa telah memberkahimu. Namun, begitu kamu menerima banyak berkah, tetapi tidak lagi mempersembahkan yadnya (pengorbanan) maka kamu adalah pencuri.” (Terjemahan bebas dari Bagawad Gita III.12).
I
NTI ajaran ini adalah mari bersyukur selalu terhadap apapun yang telah dianugrahkan Tuhan, Hyang Widhi. Bersyukur dan sujud lewat hati yang paling dalam adalah persembahan yang utama. Banyak orang yang tak bisa bersyukur. Mereka diberi kesehatan, tetapi tidak bersyukur. Mereka diberi kekayaan, juga tidak bersyukur. Malah me-reka mabuk dengan kekayaan itu, pamer ke banyak orang. Punya mobil baru pamer, punya pakaian dan perhiasan mahal pamer. Padahal kekayaan itu belum tentu didapat dengan cara-cara yang satwika, cara-cara di jalan yang benar. Boleh jadi karena hasil korupsi, mamanfaatkan jabatannya. Kelihatannya memang tidak ada “hukuman” dari Tuhan Yang Maha Agung, tetapi sebenarnya itu hanyalah soal waktu. Kehidupan, seperti yang sering dikatakan para leluhur kita le-
d f
wat tembang, ibarat roda pedati. Sekarang berada di atas, lain kali berada di bawah. Sekarang bisa bermewah-mewah, hidup dengan limpahan harta, apa pun keinginan bisa dipenuhi, lain kali semuanya bisa terpuruk. Diperiksa berjam-jam oleh Jaksa karena terlibat korupsi. Masuk penjara. Dan kalau itu yang terjadi, maka tak ada lagi nama baik yang tersisa. Bersyukurlah selalu dengan apa yang sudah diperoleh. Jika bisa membeli mobil, bersyukurlah dan jangan pamer karena banyak orang hanya bisa membeli motor. Bersyukur jugalah jika hanya bisa membeli motor, jangan punya keinginan yang tak terjangkau untuk punya mobil, karena banyak orang hanya bisa membeli sepeda. Namun hanya punya sepeda pun wajib bersyukur karena banyak orang hanya bisa berjalan kaki ke mana-mana. Dan tetaplah bersyukur kepada Hyang Widhi karena bisa jalan kaki. Ada orang yang tidak punya kaki lagi karena kecelakaan atau sakit lumpuh dan sebagai-nya. Bagi mereka yang tak punya kaki atau kakinya tak berfungsi, itu adalah ujian dan cobaan. Mari syukuri hidup ini karena kita lahir sebagai manusia, makluk utama ciptaan Tuhan, bukan lahir sebagai hewan. Kitab Sarasamusccaya menyebutkan: “di antara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk; leburlah ke dalam perbuatan baik segala perbuatan yang buruk itu, demikianlah gunanya menjadi manusia.” Sloka di atas juga menyebutkan, jika berkah sudah banyak diterima tetapi tidak lagi mempersembahkan yadnya maka itu adalah mencuri. Yadnya tak hanya ritual, tetapi juga menolong sesama, menolong orang miskin, menolong orang sakit, menolong anak pintar tapi tak mampu sekolah. Untuk apa kita menyelenggarakan ritual dengan biaya mahal, membuat banten besar, kalau tetangga kita di mana kita bermukim masih banyak yang miskin? Lebih baik kita menyumbang untuk mengentaskan kemiskinan itu, menyumbang ke panti asuhan. Saat ini banyak
d f
anak-anak orang Hindu yang justru ditampung di panti asuhan milik agama lain. Kita harus malu karena seharusnya itu kewajiban kita. Mari kita memberi dana punia sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada Yang Maha Pencipta, tanpa mengharapkan balasan apa pun, karena kelak balasan yang kita terima jauh lebih besar untuk memperbaiki kehidupan kita di dunia sana. Karma baik akan membawa kita kepada keabadian, sementara kekayaan materi tak ada yang bisa kita bawa dalam kematian. Jadilah orang yang penuh syukur.
Kitab Suci Weda
Setelah wahyu Weda diterima 7 Maharsi, maka Maharsi Wyasa melakukan pengelompokan, Beliau dibantu oleh: * Maharsi Paila dan muncullah Rg Weda, terdiri dari 10.552 mantra. * Maharsi Waisampayana dan muncullah Yayur Weda, terdiri dari 1.975 mantra. * MaharsiJaimini dan muncullah Sama Weda, terdiri dari 1.875 mantra. * Maharsi Sumantu dan muncullah Atharwa Weda, terdiri dari 5.987 mantra.
d f
Bersedekah tanpa Imbalan datavyam ini yad danam -- diyate nupakarine -- dese kale ca patre ca -- tad danam sattvikam smrtam “Sedekah (pemberian, dana punia, santunan) yang diberikan tanpa mengharap kembali dan didorong oleh keyakinan akan kewajiban, diberikan pada tempat, waktu dan penerima yang berhak, itulah pemberian sattwika”. (Terjemahan bebas Bhagawad Gita XVII.20).
S
ATTWIKA (sattvik) artinya bersih atau suci. Yadnya itu tak hanya ritual, tetapi juga menolong sesama, menolong orang miskin, menolong anak pintar tapi tak mampu sekolah, menolong anak yatim piatu dan sebagainya. Untuk apa kita memamerkan yadnya yang besar, kalau tetangga kita kelaparan? Tapi bersedekah atau memberi dana punia jangan mengharap ada “kembaliannya”, itu namanya pamerih. Misalnya, menyokong calon bupati ratusan juta rupiah dengan pamrih, kalau terpilih akan dapat proyek. Ini tak suci, apalagi jelas itu bukan keyakinan akan kewajiban, tetapi nafsu berjudi politik. Orang itu menghitung untung rugi, padahal bersedekah di jalan dharma tak mengenal untung rugi. Dalam kitab Sarasamuccaya ada 58 sloka tentang sedekah (dana punia) ini, yaitu dari sloka 166 sampai sloka 233. Ini berarti lebih dari 10 persen isi Sarasamuccaya tentang dana punia,
d 10 f
karena kitab ini memiliki 511 sloka. Disebutkan di sana, kita harus bersedekah kepada orang yang berhak dan tepat waktu. Jangan bersedekah kepada orang yang lagi bersenang-senang, apalagi sedang mabuk-mabuk-an. Bersedekahlah pada orang yang sedang sakit. Jangan pula bersedekah kepada peminta-minta yang badannya kekar, ototnya besar, karena ini membuat mereka manja dan tak mau bekerja. Bersedekahlah kepada pengemis yang memang karena tak mampu bekerja dan mereka sedang kelaparan. Sloka 172 Sarasamuccaya memang menyebutkan, orang kadang sulit untuk memberikan dana punia (sedekah) karena harta yang diperolehnya itu hasil dari usaha keras. Tentu dirasa percuma menyumbangkan harta hasil keringat itu untuk orang yang dia pikir bermalas-malasan. Namun di sloka yang sama itu juga disebutkan, sesulit apapun mendapatkan harta, tetap jangan melupakan sedekah. Karena harta ini adalah “titipan Tuhan”. Karena itu sedekah tidak harus besar. Besar atau kecil sepanjang itu diberikan dengan tulus dan dalam senyuman, pahalanya menjadi tinggi. Sloka 174 Sarasamusccaya menyebut harta itu adalah rahmat Tuhan yang harus dibagikan kepada sesama tanpa perlu digembar-gemborkan. Memberikan sedekah (dana punia) sesungguhnya memberikan piutang kepada Tuhan karena kita yakin Tuhan suatu saat akan membayar utang itu berikut “bunga”-nya yang berupa pahala. Maka semakin banyak Tuhan berutang kepada kita, semakin banyak rahmat Tuhan yang akan kita terima. Kekayaan seseorang akan menjadi lebih panjang usianya kalau mereka semakin lama melakukan sedekah dengan hati yang tulus. “Maka dari itu, orang kaya yang tidak melakukan sedekah, sesungguhnya ia telah mati dalam hidupnya, hanya lantaran masih bernafas saja ia dikatakan hidup,” demikian terjemahan bebas sloka 179 Sarasamuccaya. Apakah sedekah itu harus berupa materi atau barang? Tidak.
d 11 f
Jika tidak memiliki kekayaan materi, ciptakanlah rasa aman bagi sesama dan makhluk hidup lainnya. Jadi, bagi aparat keamanan, termasuk pecalang, misalnya, jika mereka telah melaksanakan tugasnya dengan baik, menjaga keamanan penduduk, mengatur lalu lintas pada saat ada ritual bersama, itu juga termasuk sedekah. Tugas dan kewajiban yang dijalankan sesuai dengan dharma adalah bentuk sedekah yang lain. Pesan yang ingin disampaikan dalam sloka-sloka suci ini, baik dari wejangan Bhagawad Gita maupun Sarasamuccaya intilah adalah hidup saling membantu sesama manusia. Sebuah pesan yang perlu diingatkan terus-menerus karena belakangan ini semangat saling jegal-menjegal dan saling menjatuhkan lebih dominan. Kalau ada orang sukses ramai-ramai diserang supaya jatuh, bukannya kita ikut senang.
Anak-anak usia SD mendapatkan pelajaran tambahan Agama Hindu secara santai di Pasraman.
d 12 f
Supaya Tuhan Punya Utang
S
UATU ketika, selesai saya bersembahyang di sebuah pura, saya memasukkan dana punia di kotak yang telah disediakan. Keponakan saya bertanya: “Untuk siapa dana punia itu? Kan tidak ada orang yang menjaga kotak itu?” Saya jawab: “Kotak itu dijaga oleh Tuhan. Uang saya pun juga untuk Tuhan, supaya Tuhan punya utang sama saya.” Entah anak ini mengerti atau tidak, ia tak lagi bertanya. Beberapa bulan kemudian, saya bersama dia datang ke Pura Dalem Puri di Besakih saat piodalan. Di sini, banyak umat memberikan dana punia. Ada panitia yang mencatat dan kemudian diumumkan namanya. Konon ada kebanggaan nama itu disebut dan didengar oleh banyak orang. Saya juga memberikan dana punia, dan dicatat oleh panitia. Keponakan saya seperti orang bengong karena perhatiannya tertuju pada pengeras suara. Sampai akhir pembacaan namanama penyumbang pada sesi itu, ia tak mendengar nama saya disebut. “Kok sumbangan Nak Lingsir tidak diumumkan?” Saya jawab: “Sudah diumumkan, kan saya memakai nama Hamba Tuhan. Orang tak perlu tahu nama saya, tapi Tuhan sudah pasti tahu. Yang penting sekarang Tuhan punya utang sama saya.” Keponakan saya masih penasaran. “Kalau begitu, sudah
d 13 f
berapa banyak Tuhan berutang pada Paman?” “Utang-utang Tuhan yang dulu semuanya sudah dibayar lunas, bahkan pakai bunga segala. Utang Tuhan sekarang ini, ya, sebesar yang saya puniakan.” Karena keponakan saya diam, saya jelaskan panjang lebar. Setiap saya memberikan dana punia, ada saja karunia Tuhan yang saya dapatkan. Rejeki saya tak pernah seret dan itu selalu saya syukuri betapa pun kecilnya. Orang sering bimbang, bagaimana berdana punia kalau tak ada uang, beri dulu dong rejeki. Orangorang semacam ini, meski pun diberi rejeki berlimpah, tetap akan pelit berdana punia. Dia bisa berkata, “gaji saya hanya sejuta, bagaimana bisa menyumbang?” Ketika bulan depannya gaji naik lima juta, dia tetap berkata: “baru lima juta, kebutuhan saya kan banyak”. Bahkan ketika dia dapat rejeki tambahan di luar gaji, tetap tidak melaksanakan dana punia, padahal ini jelas “ujian Tuhan”. Nah, kok Tuhan diajak main-main. Konsep dana punia dalam Hindu adalah menyerahkan sebagian kekayaan yang ada untuk makhluk Tuhan. Karena makhluk ciptaan Tuhan itu banyak sekali, ada manusia, binatang, tumbuhtumbuhan, biarkanlah Tuhan yang mengaturnya, kepada siapa diberikan. Tuhan tentu menciptakan “alat” di dunia ini, boleh jadi berwujud panitia piodalan, sehingga hasil dana punia dipakai untuk piodalan atau memperbaiki pura. Mungkin saja “alat” itu bernama Lembaga Panti Asuhan, Lembaga Jompo, bahkan “alat” yang diciptakan Tuhan itu bernama Badan Dharma Dana Nasional. Lembaga ini tak akan berdiri tanpa campur tangan Tuhan. Nah, dana punia disalurkan oleh “alat-alat” yang diciptakan Tuhan itu. Apa perlu dana punia dicatat? Perlu, dalam arti sebatas untuk bahan pertanggungan-jawab panitia atau lembaga atau “alat” ciptaan Tuhan itu. Meski perlu dicatat, tidaklah harus pemberi dana punia mencatatkan namanya, apalagi dimaksudkan untuk diumumkan atau dipamer-pamerkan. Memberi dana punia
d 14 f
bukan untuk tujuan pamer. Kalau dipublikasikan tanpa niat pamer (supaya Istri tahu kemana uangnya Bapak), bolehlah. Ada seorang tokoh memberi dana punia kepada Panitia Pembangunan Pura dengan mengundang televisi swasta untuk peliputan. Biaya yang dihabiskan untuk peliputan Rp 3 juta, padahal dana punia yang disumbangkan itu hanya semen yang nilainya tak lebih dari Rp 2 juta. Kenapa saya memberikan dana punia? Karena saya merasa kaya. Lo, mobilnya bekas, bajunya murah, kok mengaku kaya? Karena ada orang yang hanya punya motor bekas, bajunya robek, jadi saya lebih kaya. Lalu, pada saat yang punya motor bekas itu memberi dana punia, meskipun hanya seribu rupiah di pura (jangan menghitung besarnya dana punia, hitunglah ketulusannya), itu pasti karena dia juga mengaku kaya. Karena ada orang yang tak punya motor, jalan kaki ke mana-mana tanpa baju. RgWeda X 117.5 menyebutkan: “Orang yang punya kekayaan harus bermurah hati untuk memberikan sebagian kekayaannya kepada orang miskin. Dia harus melihat jalan kebajikan yang menguntungkan ini.” Ukuran “kaya” dan “miskin” hendaknya tidak dilihat dari jumlah harta. Ada orang yang hartanya berlimpah-limpah, tetapi dia selalu merasa “miskin” dan jarang memberikan dana punia. Orang ini pasti gelisah dengan kakayaanya, karena tidak tahu ada “jalan kebajikan” itu. Bahkan orang itu tak ubahnya sebagai “mayat hidup”. Ini kalau kita percaya pada ajaran Hindu. Kitab Sarasamuscaya sloka 179 menyebutkan: Yasya pradanavandhyani dhananyayanti yanti ca, sa lohakarabhastreva evasannapi na jivati. Saya menerjemahkan sloka itu dengan puitis: “Mereka yang punya kekayaan tetapi tidak berdana punia, mereka ibarat orang mati. Hanya karena mereka masih bernapaslah yang membedakannya dengan mayat.” Mari berdana punia sebelum jadi mayat.
d 15 f
Tujuan Hidup Manusia
Manusyam durlabham prapya vidyullasitacancalam bhavaksaye matih karya bhavopakaranesu ca Kelahiran sebagai manusia sangat pendek dan cepat, bagaikan pijaran cahaya petir. Kesempatan seperti ini sungguh sulit didapatkan. Oleh karena itu pergunakanlah kesempatan ini sebaik-baiknya, lakukanlah perbuatan-perbuatan yang bijak dan benar, yang nantinya akan memutus lingkaran dan putaran kesengsaraan lahir dan mati, di mana kebebasan abadi itu bisa di peroleh. (Terjemahan bebas Sarasamuccaya Sloka 8)
K
ALI ini kembali saya mengajak membahas kitab Sarasamuccaya sebagai selingan dalam membahas Bhagawad Gita dan kitab suci lainnya. Kita tahu Sarasamuccaya yang ditulis Bhagawan Wararuci merupakan himpunan dari pelajaran etika dan moral yang dijadikan pedoman umat Hindu. Kitab ini diawali dengan tujuan hidup sebagai manusia yang dilahirkan ke bumi. Ada 11 sloka dalam kelompok ini. Saya hanya mengutip sloka 8 karena di sana seperti sudah ada kesimpulannya. Kesimpulan itu adalah kelahiran sebagai manusia (yang dimaksudkan adalah kehidupan itu sendiri) sangatlah pendek. Pohon
d 16 f
beringin bisa berusia ratusan tahun, ada binatang yang berusia lebih dari seratus tahun, tapi usia manusia selalu berkurang seiring dengan kemajuan zaman. Kini usia hidup manusia di bawah 100 tahun, bahkan rata-rata pada angka 70-80 tahun. Penyakit semakin bertambah dan itu juga karena ulah manusia sendiri termasuk dampak dari kemajuan teknologi. Lalu apa yang harus dilakukan? Jalan hidup haruslah berdasarkan dharma, melaksanakan ajaran agama. Tujuan hidup manusia dalam Hindu adalah moksa. Kebebasan yang abadi. Keabadian itu hanya bisa dicapai jika hidup kita dilandasi dengan kebijakan dan kebenaran yang sejati. Jika itu belum kita wujudkan di dunia ini, maka kita belum bisa memutuskan lingkaran hidup dan mati. Adapun lingkaran hidup dan mati itu sudah seringkali dikatakan oleh para leluhur kita sebagai “bekal kelahiran”, yaitu suka duka lara pati. Sekali waktu kita menemui banyak kesenangan, tapi lain waktu tak bisa menghindari kedukaan, begitu pula bisa sakit dan akhirnya mati tak bisa dicegah. Tak ada orang yang bisa tahu kapan saatnya meninggal dunia. Sakit yang berat tak selalu berujung dengan kematian, sementara kesenangan yang didapat belum tentu bebas dari intaian maut. Betapa banyak orang meninggal dunia secara mendadak, sehabis main bola, sehabis seminar di hotel mewah, atau mengalami kecelakaan. Sementara orang yang sakit berbulan-bulan, tak juga dijemput maut. Karena sulit ditebak kapan kematian datang, idealnya seorang manusia tak perlu menunda berbuat baik dan berlaku bijak. Janganlah sesumbar: “Ah masih muda, kita berfoya-foya, nanti setelah tua baru tobat dan rajin sembahyang.” Apalagi kalau sesumbar begini: “Mumpung ada kesempatan kita menumpuk kekayaan yang banyak, korupsi tak apa-apa, nanti pada usia tua dengan kekayaan yang melimpah, baru kita membantu masyarakat, menyumbang pembangunan pura ...” Ya, kalau usia kita bisa sampai tua, kalau tiba-tiba maut menjemput pada saat kita
d 17 f
Di Pasraman Dharmasastra Manikgeni, selain ritual pokok dengan budaya tradisi Bali, juga sering digelar Agni Hotra menampilkan berbagai aliran.
melakukan foya-foya apalagi korupsi itu, kematian akan diiringi oleh perbuatan adharma. Karma buruklah yang mengantar kita ke dunia akhirat. Ini bukan saja jauh dari tujuan keabadian itu, tetapi kita akan menerima siklus kelahiran yang lebih buruk di saat lain. Ya, kalau lahir tetap sebagai manusia yang pasti “mutu”nya lebih rendah, bagaimana kalau lahir sebagai binatang? Karena itu mumpung lahir sebagai manusia, mari perbaiki kadar karma kita, dan itu pesan awal dari Sarasamuccaya.
d 18 f
Manusia Diciptakan Beda
S
EBUAH senja yang indah. Pukul 18.00 Wita di Pasraman Dharmasastra Manikgeni, matahari menuju ke peraduanya di ufuk barat. Sinarnya memerah membuat persawahan menjadi begitu menarik dengan padi yang sedang tumbuh mekar. Orang-orang duduk menikmati senja di balai bengong. “Tuhan begitu adil, tahu kita miskin-miskin diberi hiburan dengan pemandangan yang indah dan udara yang sejuk. Orang kaya di kota harus keluar uang untuk menikmati suasana seperti ini,” ujar seorang tukang bangunan. Ia berpendidikan SLTA. Seseorang menimpali: “Ah, di mana keadilan Tuhan jika masih ada orang kaya dan orang miskin? Tuhan semestinya mencip takan manusia itu sama.” Saya pun ikut nimbrung pembicaraan itu. “Tak mungkin Tuhan menciptakan makhluk yang sama. Kalau itu terjadi akan berarti Tuhan tidak lagi Maha Kuasa. Tuhan menciptakan isi dunia ini berbeda-beda agar ada saling ketergantungan dan ada aliran kehidupan. Ini yang membuat peradaban. Manusia dibuat berbeda agar dengan perbedaan itu terjadi komunikasi, saling mengenal, saling membantu. “Kalau semua orang sama rupanya, lalu sama pula namanya, lantas bagaimana membedakan satu dengan lainnya? Kalau
d 19 f
semua orang menjadi kaya, lalu siapa yang disebut miskin? Orang bisa disebut kaya justru karena ada orang yang tidak kaya, yang kita sebut miskin. Orang-orang kaya justru harus berterimakasih kepada orang miskin, karena dengan adanya orang miskin itu predikat kaya menjadi ada. Orang kaya pun harus bersyukur karena ada orang miskin, karena dengan cara itulah orang kaya bisa melaksanakan yadnyanya. Bentuk terimakasih dan yadnya itu bisa diwujudkan dalam dana punia, memberikan sedekah, memberikan lapangan pekerjaan. “Kekayaan yang tidak dipakai untuk bersedekah adalah sesuatu yang sia-sia dan menyalahi kodrat kehidupan yang diciptakan Hyang Widhi. Karena dengan datangnya siklus kehidupan terakhir yakni kematian, orang kembali kepada asalnya yang sama: Panca Maha Butha. Tak ada orang meninggal dunia dengan membawa kekayaannya ke alam sana, karena di alam sana tidak ada orang kaya dan orang miskin. Karena itu semasih kita punya harta yang membuat kita diberi predikat kaya, lakukanlah yadnya atau bersedekah kepada sesama orang. Sesungguhnya semua harta yang ada adalah milik Tuhan yang dititipkan kepada kita.” Matahari tenggelam dan hari makin gelap.
Sarasamuccaya Kitab ini dtulis Bhagawan Wararuci terdiri dari 511 sloka. Ini adalah himpunan intisari ajaran etika yang ada dalam Astadasaprawa, bagian dari ephos Mahabharata. Tidak dijelaskan siapa Bhagawan Wararuci dan kapan kitab ini ditulis.
d 20 f
Makanlah Prasadam
Yajna sistamrta bhujo – yanti brahma sanatanam – nayam loko sty ayajnasya – kuto nyah kuru-sattama Mereka yang memakan sisa makanan suci yang tersisa dari suatu persembahan (atau pengorbanan) akan mencapai Brahman Yang Abadi (Tuhan). Dunia ini bukan untuk orang yang tak mau mempersembahkan suatu pengorbanan (yadnya), apa lagi dunia yang lainnya, oh Arjuna. (Terjemahan bebas Bhagawad Gita IV-31)
S
LOKA ini sangat penting diingatkan terus-menerus kepada umat Hindu, khususnya di Bali, karena seringkali ada penyimpangan akibat pemahaman yang kurang atau perubahan situasi. Sudah capek-capek membawa sesajen yang penuh dengan buah, jajan, dan sebagainya untuk maturan ke Pura, tapi selesai sembahyang bukan buah atau jajan di sesajen itu yang dimakan. Umat malah menyerbu warung sate kambing yang banyak di sekitar pura. Prasadam (lungsuran, sesajen) itu malah tak dimakan. Kurusattama adalah nama lain dari Arjuna. Di sini Krishna sebagai perwujudan Tuhan Yang Esa memberikan pesan bagaimana kita mencapai Brahman. Salah satunya adalah melakukan
d 21 f
persembahan atau pengorbanan berupa makanan, dan setelah persembahan itu dihaturkan, “sisa”-nya harus dimakan. Tuhan, yang tak berwujud dan tak terbayangkan, tentulah tak akan “memakan” persembahan itu, dan jika pun di sini ada istilah “sisa makanan” maka itu tak lain artinya “makanan yang sudah diberkahi”. Itulah makanan yang utama. Leluhur orang Bali di masa lalu sudah mengingatkan, kalau kita melakukan tirtayatra ke Pura yang tempatnya jauh, jangan lupa menghaturkan ketupat kelan (isi 6 buah ketupat) disamping daksina sebagai lambang dari stana Hyang Widhi. Daksina plus ketupat kelan dan beserta beberapa jajanan lagi, itu kemudian disebut Pejati. Apa tujuannya? Selain untuk “menyerahkan diri” ke hadapan Tuhan (mepejatian), sisa persembahan itu yang disebut lungsuran (bahasa Bali) atau prasadam (istilah diambil dari Sansekerta) dijadikan makanan utama yang suci. Sekarang, ketupat kelan yang mendampingi daksina dibuat asal-asalan, karena yakin itu tak akan dimakan sebagai lungsuran. Bahkan umat sudah tak memerlukan lagi lungsuran, karena dagang sate kambing, sate ayam, be guling berjajar-jajar di jaba pura. Pura saat odalan sudah menjadi pasar, belum lagi dagang VCD dan mainan anak-anak. Begitu banyak godaan yang ada pada umat, dan umat pun memang tergoda. Syukur sudah ada beberapa pengempon pura yang melarang penjual makanan ini merangsek sampai jaba pura. Lewat sloka ini pula kita bisa belajar, bahwa semua makanan sebelum kita makan, haruslah dipersembahkan dulu kepada Tuhan. Memang ada sloka khusus tentang ini. Kita bisa saksikan pada umat Hindu di Bali ada tradisi ngejot setelah selesai memasak. Maksudnya tiada lain, persembahkan dulu semua yang dimasak hari itu kepada Tuhan, “sisanya” baru kita makan. Namun, yang sering rancu di Bali adalah antara ngejot dan mesegeh, karena sarananya hampir sama. Bagaimana kalau kita makan di luar rumah, sedang bepergian
d 22 f
lalu makan di restoran, misalnya? Kita tentu tak yakin, apakah pemilik restoran ini tadinya sudah ngejot atau belum. Bertanya soal itu pun malu. Apalagi jika pemilik rumah makan itu orang yang tidak beragama Hindu. Caranya adalah, sisihkan sejumput kecil nasi dan lauknya, letakkan di pinggir piring (kalau ada daun buat tempat khusus lebih baik), lalu ucapkan doa pendek: Om anugraha amertha di sanjiwani ya namah swaha. Mari kita persembahkan makanan dan mari kita makan “sisa makanan” itu sebagai makanan yang suci, karena dunia ini diciptakan Tuhan untuk orang-orang yang mau melakukan pengorbanan (persembahan).
Bhagawadgita Kitab Bhagawadgita atau Nyanyian Dewata sering disebut sebagai Weda Kelima atau Pancamo Veda. Kitab ini disebut juga intisari dari Weda. Terdiri dari 18 bab, uraiannya berupa dialog antara guru dan murid (sisya) yakni Sri Krishna dan Arjuna di Padang Kurusetra pada saat Bharata Yudha, perang antara wangsa Bharata. Dialog agung yang sarat ajaran kerohanian ini ada dalam ephos Mahabharata yakni pada bagian Bhisma Parwa. Dialog diawali dengan kegundahan Arjuna yang harus berperang melawan orang-orang yang sangat dihormatinya, bahkan ada yang pernah menjadi gurunya. Bhagawadgita sudah diterjemahkan oleh puluhan orang dalam bahasa Indonesia.
d 23 f
Busana Sembahyang
B
AGAIMANAKAH tata cara berpakaian untuk bersembahyang di dalam ajaran Hindu? Pertanyaan ini sering diajukan oleh para pengunjung pasraman. Mungkin karena mereka melihat kehidupan di pasraman yang sangat sederhana, padahal ada pura yang tergolong besar. Saya belum menemukan rujukan itu di dalam kitab Weda. Berpakaian hanya dikaitkan dengan etika dan tata krama. Etika itulah yang kemudian dicarikan rujukan dalam ajaran agama yang disesuaikan dengan budaya masing-masing. Bersembahyang adalah menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena Hyang Widhi begitu suci, maka badan kasar dan pikiran kita juga harus suci, supaya nyambung. Maka pakailah pakaian yang bersih. Pikiran hanya tertuju kepada Hyang Widhi, maka perlu dikekang agar pikiran tidak mengembara ke mana-mana. Leluhur kita di Bali menciptakan simbol pengekangan itu berupa destar atau udeng. Destar pun dibagi antara destar untuk orang kebanyakan yang belum ekajati (masih walaka) dan destar yang dipakai ekajati (pemangku). Destar walaka terbuka di bagian atas, destar pemangku tertutup penuh sebagai pertanda bahwa pengekangan pikiran itu haruslah lebih sempurna. Kalau meningkat menjadi pemangku gede atau jero gede, rambut digelung
d 24 f
ke belakang dan diikat genitri. Dan jika sudah menjadi sulinggih, gelungan berada di atas, juga diikat genitri. Artinya, dalam keseharian pun seorang sulinggih harus tetap suci, meski tidak menjalankan ritual yadnya. Bagaimana yang perempuan? Rambut diikat berbentuk sanggul atau di Bali disebut mepusungan. Leluhur kita di Bali bahkan menciptakan budaya mepusungan yang berbeda antara dahasari (gadis), wanita dewasa dan untuk sulinggih. Pengekangan pikiran ini bagian dari ajaran Trikaya Parisudha. Karena itu perkataan pun dikekang. Simbolnya adalah kalung di leher. Sekarang banyak yang memakai kalung genitri. Dulu, saya masih ingat di masa kanak-kanak, sebelum odalan di pura, orang tua membuatkan banten untuk mengenakan “kalung pis bolong” (terbuat dari benang yang diisi uang kepeng). Bagaimana simbol mengekang perbuatan? Ada gelang di tangan. Ini bisa berfungsi sebagai perhiasan, tetapi bisa pula hanya sebatas simbol, misalnya, gelang benang. Apalagi benang tridatu (tiga warna). Sedangkan di pinggang melilit anteng (disebut juga selempod). Itulah simbol-simbol pengekangan pikiran, perkataan dan perbuatan dalam bentuk busana saat persembahyangan. Perubahan terjadi seiring dengan pemahaman yang makin baik dan pengaruh kebudayaan global. Jika dulu terbatas pada pakaian yang bersih, sekarang mulai ke masalah warna. Putih dan kuning dianggap simbul-simbul suci. Dulu, destar kebanyakan dari kain batik dan baju pun warna-warni. Hanya pemangku yang memakai destar putih. Sekarang anak kecil pun memakai destar putih. Begitu pula baju, banyak yang ke pura memakai baju putih. Modelnya pun safari. Model safari ini pengaruh kebudayaan global dan fungsional. Kantongnya banyak untuk menaruh dompet, kunci mobil, handphone, dan sebagainya. Dulu tidak ada kebutuhan seperti itu. Akibatnya, anteng (selempod) ada di dalam baju safari. Ada
d 25 f
beberapa orangtua di kampung saya yang sampai sekarang kalaupun memakai berbaju safari tetap anteng di luar. Alasannya, mengekang prilaku itu tak bisa setengah-setengah. Nah, ini semata cara pandang, tak usah dipersoalkan. Yang perlu dipersoalkan adalah bahan busana yang keblablasan mengikuti mode. Banyak ibu-ibu yang memakai kebaya tembus pandang alias memakai kain brokat, termasuk belahan dada yang lebar. Busana para artis ini diadopsi oleh wanita Bali untuk pakaian persembahyangan. Uniknya, para ibu-ibu pedesaan pun ikutan “demam brokat” tanpa peduli bagaimana bentuk tubuhnya, bahkan tanpa peduli bagaimana kutang yang dipakainya. Yang ditiru hanya brokat yang tembus pandang saja, tak peduli mode di dalamnya, padahal para artis mengenakan pakaian tembus pandang itu justru untuk memamerkan mode pakaian yang di dalam. Belum lagi yang memakai perhiasan emas yang mahal untuk kalung dan gelang. Mari kita berpakaian dengan mematuhi etika dan tata krama. Kalau kita menghadiri resepsi perkawinan, upacara potong gigi, dan sebagainya, bolehlah pakai perhiasan mahal-mahal. Tetapi jika ke pura, untuk apa memamerkan bentuk tubuh dan emas berlian di hadapan Tuhan Yang Maha Kaya? Sembahyang itu bukan pamer busana.
d 26 f
Memuja Tuhan itu Mudah Yo devanam namadha eka eva Tuhan adalah satu dan Dia dinamakan dengan nama yang berbeda-beda. (Yajurweda XVII.27) Yad ekam jyotir bahudha vibhati Ada satu Tuhan yang agung bercahaya. Dia bersinar dalam bentuk yang berbeda-beda. (Atharvaweda XIII.3.7)
S
AYA mengutip dua sloka suci dari dua kitab Weda yang berbeda di atas untuk menjelaskan tentang “sifat Tuhan” di dalam agama Hindu. Bahwa Tuhan itu adalah esa, tiada duanya, semua orang maklum. Tetapi memang banyak sindiran yang ditujukan kepada Hindu, seolah-olah Hindu itu memuja banyak Tuhan. Selain itu, ada pula umat kita yang memang tidak paham karena rancu dengan banyaknya ada dewa dan dewi dalam sastra Hindu. Mereka mengira dewa dewi yang banyak itu adalah pribadi-pribadi yang lain yang sama kedudukannya dengan Tuhan. Padahal dewa dan dewi itu adalah sinar sucinya Tuhan itu sendiri. Masalah ini sudah banyak dibahas dan kita sudah pada memaklumi kedudukan antara Tuhan atau Brahman atau Hyang Widhi dengan para dewa dewi atau Ista Dewata. Yang mau disampaikan pada renungan kali ini adalah siapa Tuhan itu dan
d 27 f
di mana kita memuja Tuhan. Tuhan adalah nama dalam bahasa Indonesia. Dalam kitab Weda tak ada ditemukan kata Tuhan. Yang ada Brahman. Misalnya sloka ini: Ekam evadvityam Brahman, arti bebasnya: Hanya ada satu Tuhan, yakni Brahman. Kata Hyang Widhi yang digunakan untuk penyebutan Tuhan di Bali berasal dari kata Vidhi. Vidhi artinya pencipta. Hyang Widhi berarti Dia Sang Pencipta. Tuhan tidak berwujud, tidak berjenis kelamin, memenuhi seluruh alam semesta. Tuhan ada di mana-mana, tak ada satu tempat pun di bawah kolong langit ini yang tidak dihuni oleh Tuhan. Mantram Gayatri yang merupakan “ibu segala mantram” (mantram ini dijadikan awal dari Puja Trisandhya) diawali dengan Om bhur bhwah swah. Artinya: Tuhan yang memenuhi alam bawah atau jagat raya ini (bhur), yang memenuhi alam tengah (bhwah) , dan memenuhi alam atas atau angkasa (swah). Nah, kalau kita tahu Tuhan ada di mana-mana dan ada di setiap saat, lalu kita bisa memuja Tuhan kapan saja, tak peduli apakah hari itu rerahinan atau tidak, purnama atau tilem, Senin atau Kamis, tentunya kita bisa memuja Tuhan di sembarang waktu dan tempat. Bisa memuja Tuhan di kamar tidur, di ruang tamu, di kantor. Kita bisa melakukan Trisandya di manapun kita mau, sepanjang tempat itu memberikan pada kita suatu keheningan untuk mendapatkan konsentrasi pikiran. Artinya, tentu tak bisa serta merta duduk dan sembahyang di tengah keramaian pasar atau di tengah lalu lintas yang padat. Begitu pula dengan sarana. Memuja Tuhan tak harus dengan sarana, harus ada banten, harus ada dupa dan seterusnya. Memuja agak berbeda dengan melakukan persembahan atau persembahyangan. Yang membedakannya adalah yang satu lebih pada mengingat kemaha-besaran Tuhan dan “menyerahkan” pikiran yang tulus dan rasa syukur yang dalam, yang satu lagi “mempersembahkan” pengorbanan atau yadnya. Yang terakhir
d 28 f
Agni Hotra di halaman Pasraman
ini pun Tuhan tidak meminta yang banyak, ada sloka dalam Bagawad Gita yang menyebutkan cukup dengan mempersembahkan sekuntum bunga, sebiji buah, setangkai daun. Sekarang coba kita perhatikan di masyarakat. Setiap pagi (pukul enam), siang hari (pukul 12) dan sore (pukul enam) lantunan Puja Trisandhya berkumandang dari pengeras suara. Radio dan televisi di Bali pun selalu menyiarkan puja ini, mengajak umat Hindu untuk memuja Tuhan. Seberapa banyak orang tertarik dan melakukan itu? Bagi mereka yang sedang di rumah, apakah langsung menuju kamar suci atau merajan keluarga dan duduk bersila atau bersimpuh memuja Tuhan? Bagi yang sedang di kantor apakah istirahat sejenak dari kerja (dan ngobrol) lalu memuja Tuhan? Tak banyak yang melakukan hal itu, padahal hanya membutuhkan waktu lima menit saja. Jadi yang paling rajin memuja Tuhan sehari tiga kali adalah pengeras suara. Mari kita mulat sarira (instrospeksi) dan memperbaiki cara kita berhubungan dengan Tuhan bahwa memuja Tuhan itu mudah sekali. Nah, pertanyaannya, kalau begitu mudah memuja Tuhan, untuk apa kita membangun pura yang megah?
d 29 f
Pura Tempat Memuja Tuhan
T
UHAN ada di mana-mana bahkan ada di dalam diri. Demikian kata orang-orang bijak. Meski begitu, toh kita masih memerlukan membangun pura untuk memuja Beliau. Tapi tidak semua pura untuk memuja Tuhan. Ada pura untuk memuja leluhur, yaitu orang-orang suci di masa lalu yang sudah moksa. Yang di Bali sudah dijadikan sebutan Bethara. Lalu ada pura yang khusus untuk memuja sinar-sinar suci Tuhan yang disebut Istadewata atau para dewa. Pura yang khusus memuja Tuhan cirinya adalah bangunan suci yang berbentuk Padmasana dengan segala tingkatannya. Pura seperti ini bisa disebut pura umum karena siapa pun bisa bersembahyang di sini tanpa dibedakan oleh status sosial dan keturunan. Yang kecil-kecil misalnya pura di kantoran atau sekolah, sedang yang besar adalah Pura Jagatnatha di kota-kota. Di luar Bali model Pura Jagatnatha sangat disenangi dan banyak dibangun. Yang berstana di sini adalahTuhan itu sendiri, bukan Bethara atau Istadewata. Lalu untuk apa lagi Tuhan distanakan, bukankah Dia mengisi seluruh jagatraya? Salah satu fungsi pura adalah untuk tempat berkonsentrasi dalam memujaNya. Bahkan tak cukup di situ, masih juga diperlukan sarana penguatan konsentrasi lainnya,
d 30 f
seperti pratima, baik pratima berupa patung atau bentuk lain yang disakralkan. Jadi kita tidak menyembah patung (dan sering oleh orang lain yang tak senang Hindu disebut menyembah berhala), karena semuanya itu adalah alat atau sarana saja. Fungsi pura yang lain adalah sarana untuk sosialisasi umat, tempat umat saling bergaul dan saling berkenalan, tempat umat mendapatkan pencerahan. Yang menjadi masalah kemudian adalah memujaTuhan dirasakan oleh sebagian umat sebagai sesuatu yang sangat luas atau sangat umum. Padahal umat membutuhkan hal yang lebih spesifik, misalnya, ingin memuja Tuhan hanya sebatas untuk memohon perlindungan, ingin memuja Tuhan sebatas untuk memuliakan ilmu pengetahuan. Memuja Tuhan yang menguasai kehidupan di samudra, dan banyak lagi contohnya. Nah, semua itu dalam konsep Hindu terwadahi dengan adanya Dewa-dewa atau dalam istilah Weda disebut Istadewata. Seperti sudah disebut, dewa yang berasal dari kata div yang berarti sinar, adalah sinar sucinya Tuhan, sinar kekuatan sakti dari Tuhan Yang Maha Esa. Kalau kita ibaratkan Tuhan sebagai matahari, maka sinar matahari yang beragam fungsi itu adalah para dewa. Kita mencari sinar ultra fiolet dengan cara berjemur mencari vitamin D, intinya tak lain adalah mencari matahari itu sendiri. Sinar itu timbul karena ada (kekuatan) matahari. Kalau matahari tak ada, sinar itu pun tak ada. Artinya, memuja dewa adalah juga memuja Tuhan, tetapi memuja Tuhan belum tentu fokus memuja dewa seperti yang kita inginkan di dalam permohonan. Di Bali, Istadewata itu dikelompokkan untuk memudahkan umat menghayatiNya. Misalnya adaTri Murti, terdiri dari Dewa Brahma sebagai pencipta dan pura yang dibangun disebut Baleagung atau Pura Desa. Dewa Wisnu sebagai pemelihara dan pura yang khusus untuk Beliau disebut Pura Puseh. Dewa Siwa sebagai pemralina – mengembalikan ke asal-usul – dan pura tempat
d 31 f
memujaNya disebut Pura Dalem. Di luar kelompok Trimurti ini masih banyak ada dewa, misalnya Dewa Baruna dan untuk itu dibangun Pura Segara. Di luar Bali mandir-mandir umat Hindu etnis India lebih spesifik lagi, memuja Durga, memuja Dewi Sri dan seterusnya. Adapun pura yang dibangun untuk memuja leluhur, lokasinya ada di tempat di mana leluhur itu dulu menetap atau membuat “sejarah”. Misalnya, Pura Silayukti adalah tempat Mpu Kuturan dulu melakukan yoga semadi, Pura Lempuyang Madya adalah tempat Mpu Gni Jaya tinggal, Pura Uluwatu, Pura Tanah Lot dan sebagainya adalah tempat-tempat “bersejarah” yang diwariskan Danghyang Nirartha. Demikianlah pura menjadi tempat yang sangat baik untuk dikunjungi sebagai sarana untuk memuja Tuhan, tetapi di dalam cara memujaNya kita bisa dalam perantaraan leluhur atau Istadewata. Toh pada akhirnya yang kita puja adalah Tuhan yang satu, sebagaimana yang dimuat dalam sloka Atharwaweda XIII.4.20 yang berbunyi: Sa esa eka ekavrd eka eva. Artinya, Tuhan YME adalah satu dan hanya tunggal (Esa).
d 32 f
Persembahkan Sekuntum Bunga Patram puspam phalam toyam – yo me bhaktya prayacehati – tat aham bhakty upahrtam – asnami prayatatmana. Siapapun yang dengan sujud bhakti mempersembahkan kepadaKu sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, setetes air, Aku terima persembahan itu dengan penuh kasih dari orang yang berhati suci. (Terjemahan bebas Bhagawad Gita IX. 26)
S
LOKA (ayat suci) ini sangat populer dan seringkali didiskusikan. Di sloka ini kita tahu betapa besar kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, namun begitu sederhana apa yang Beliau minta. Tuhan Yang Maha Esa tak pernah menuntut apapun dari kita secara berlebihan, yang penting persembahan itu dari hati yang suci, bukan hati yang kotor, bukan pula hati dan pikiran yang dipenuhi dengan pamerih. Kesederhanaan yang Beliau tunjukkan adalah merujuk sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah, setetes air, bukan harta benda yang mewah dan berlimpah. Jika kita renungkan lebih dalam, semuanya itu ada di bumi pertiwi ini, maka hormati Ibu Pertiwi yang telah menghasilkan segala hal yang bisa kita
d 33 f
persembahkan kepada Tuhan. Di mana kita menjaga Ibu Pertiwi, di tempat mana pun kita menumpang hidup pada Ibu Pertiwi, di sanalah kita memetik hasil Ibu Pertiwi itu untuk kita persembahkan. Kalau kita tinggal di Bali, misalnya, persembahkanlah daun, bunga, buah dan air dari Ibu Pertiwi Bali. Janganlah kita sok mewah dengan membeli apel Washington atau peer Cina atau apel Australia di pasar swalayan untuk persembahan itu. Yang penting adalah persembahan bhakti yang tulus, tanpa ada beban yang memberatkan. Kesederhanaan persembahan itu juga berarti kita wajib mempersembahkan yang “lebih besar” kepada makhluk ciptaan Tuhan lain yang memerlukan “persembahan” kita. Misalnya, membantu orang miskin, mereka yang sedang kesusahan. Inilah yadnya (pengorbanan suci) yang lebih utama. Dengan perhatian berlebih terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan, maka setiap saat kita sudah berbakti untuk Tuhan tanpa pamrih. Lalu, ada pertanyaan lain. Kalau begitu sederhananya persembahan kita kepada Tuhan, kenapa umat Hindu di Bali repot-repot membuat banten, kenapa umat Hindu di Jawa juga repot membuat sesajen, atau umat Hindu di India atau etnis India di Indonesia, repot mencari wadah yang bagus untuk buah dan bunga yang dipersembahkannya? Ini terpulang pada rasa, dan rasa ini melahirkan budaya. Budaya setiap etnis tidak sama, dan sudah dalam “skenario” Tuhan menciptakan manusia dengan budayanya yang tidak sama, sehingga terjadi interaksi saling mengenal dan mungkin juga saling berbagi. Dengan munculnya rasa itu, ada semacam “perasaan’ dalam diri kita, betapa sederhana dan gampangnya mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan. Kita kemudian butuh waktu untuk melakukan sesuatu agar pikiran kita terkonsentrasi memuja Tuhan. Waktu yang dibutuhkan tidak sama antar kita. Ada proses yang berbeda. Nah, orang Bali lalu menyiasati daun, bunga, buah dan sejen-
d 34 f
isnya itu sehingga menjadi “suatu benda” yang membuat “rasa” itu jadi indah, sejuk dan membahagiakan. Dan tentu di dalam proses menyiasati itu terjadi proses konsentrasi secara alami. Maka jadilah “suatu benda” itu bernama banten. Maka, sesungguhnya, proses pembuatan banten itu adalah sebuah proses alami menuju konsentrasi persembahan kepada Tuhan. Karena itu leluhur kita di masa lalu sudah memberikan syarat-syarat bagaimana perilaku kita pada saat membuat banten: jangan marah-marah, jangan dalam keadaan cuntaka (bagi perempuan tak boleh saat datang bulan), jangan duduk sembarangan, jangan berkata yang jorok-jorok, dan banyak lagi. Intinya adalah persiapan ke arah konsentrasi pikiran kepada-Nya. Apakah “suatu benda” yang kemudian disebut banten itu, asal-asalan atau ditata hanya mengikuti keindahan saja? Tidak, ada simbol-simbol yang diambil dari kitab-kitab suci. Misalnya, para Istadewata (dewa-dewi) dikenal memiliki senjata yang berbeda-beda, maka senjata itu dibuatkan “replikanya” melalui daun kelapa muda, jadilah Lis Gede. Setiap Istadewata punya warna khas, maka itu disimbolkan dalam bentuk tumpeng (atau nasi segehan) warna-warni. Stana Tuhan dibuatkan simbol-sim-
d 35 f
bol, bumi pertiwi memakai simbol kelapa yang dikelupas, bintang disimbolkan dengan telur, dan berbagai simbol lagi, maka jadilah “suatu benda” yang disebut daksina. Ini hanya contoh kecil dan semua banten yang digunakan oleh umat Hindu etnis Bali itu adalah simbol belaka. Padahal inti utamanya adalah: sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah. Bagaimana umat Hindu etnis Jawa menyiasati persembahan sederhana itu sehingga menghasilkan rasa yang lebih indah dan ada ruang di mana mereka bisa melakukan proses konsentrasi sebelum sampai pada puncak pemujaan pada Tuhan? Buah ditata dengan baik, daun dicari yang bisa dimasak, bunga yang harumharum, mereka lantas membuat sesajen, apakah itu bernama tumpeng (atau tumpengan), gunungan dan sebagainya. Selesai persembahan itu, mereka pun ramai-ramai menyantap apa yang telah dipersembahkan, dan santapan inilah yang disebut prasadam (di Bali bisa dikatakan lungsuran). Karena ada sloka (ayat suci) lain yang menyebutkan, apapun yang kau makan haruslah dipersembahkan dulu kepada Tuhan. Jadi, kerepotan dalam menata “persembahan Tuhan yang sederhana itu” karena adanya rasa ingin berbuat yang lebih indah sehingga muncul rasa keindahan dalam diri kita. Selain itu kita juga membutuhkan proses konsentrasi – sepanjang hal itu memungkinkan. Namun perlu dipahami, dalam keadaan situasi yang memaksa, jangan kita alpa memuja Tuhan dengan alasan tak ada sarana yang bisa kita persembahkan. Betapa pun buruknya keadaan, tak mungkin di tempat itu tak ada sekuntum bunga. Dan jika itu memang betul tak ada, apakah tak ada pula sehelai daun? Ya, persembahkan apa adanya, kalau pun masih memerlukan proses konsentrasi, lakukan japa (mengulang-ulang penyebutan nama Tuhan). Yang penting kita tulus melaksanakannya dan hati kita suci. Rahayu semuanya, Om Tat Sat.
d 36 f
Pura Keramat, Seperti Apa
B
ARANGKALI tidak banyak yang tahu di mana Pura Turus Gunung. Maklumlah, ini bukan pura yang enak untuk dikunjungi. Pura ini berada di tengah hutan, lereng barat Gunung Batukaru. Untuk menuju ke sana, jalan terdekat adalah dari Desa Sanda, Kecamatan Pupuan. Piodalan di pura ini masih dengan cara-cara kuno. Pemedek tidak boleh memakai alas kaki, tidak boleh membawa sesajen yang dibungkus plastik, semuanya harus tradisional — begitulah orang menyebutnya. Jadi pakai buah-buahan khas Bali dan jajan Bali yang dibungkus daun. Yang terasa paling unik adalah suasana piodalan itu yang dilangsungkan malam hari. Tidak boleh ada penerangan yang memakai “alat-alat moderen”, misalnya, lampu petromak, apalagi listrik. Pura ini hanyalah seonggok tanah tinggi dan berbatu. Orang menyebutnya bebaturan. Dan itu letaknya persis di tengah areal pura. Jadi, kalau piodalan berlangsung dan orang membakar kayu sebagai bahan penerangan kesannya seperti melakukan Agnihotra di sebuah hutan yang sunyi. Suara burung masih merdu didengar. Umat Hindu yang berkunjung ke pura itu, sudah tahu “tata tertib tak tertulis” itu. Siapa yang melanggar konon kena bahaya.
d 37 f
Tetapi siapa yang mematuhinya, akan mendapatkan pahala. Ini pura yang sangat keramat, kata para pemedek. Ternyata kata keramat adalah sesuatu yang sangat ampuh untuk menegakkan tradisi. Keramat yang diikuti kata sakral, sangat ampuh untuk mempertahankan kebiasaan kuno yang berlangsung di masyarakat. Kalau kedua kata itu tak ada, tradisi bisa berubah, baik berubah perlahan-lahan sesuai tingkat pemahaman masyarakat, maupun berubah secara keblablasan. Tapi, apa semua tradisi harus dipertahankan? Dulu, pura-pura yang ada di desa saya hampir semuanya ditumbuhi pohon besar, bangunan pelinggihnya lumutan, semak tumbuh di mana-mana, arealnya becek. Hanya saat piodalan saja dibersihkan dan itu pun masih menyisakan kesan kotor dan semerawut. Orang-orang tua menyebutkan, pura harus seperti itu supaya keramat dan angker. Pemahaman umat bertambah maju dari tahun ke tahun. Kalau pura Turus Gunung di tengah hutan mungkin perlu “dikeramatkan” agar lingkungan tidak rusak. Tapi kalau pura Tri Kahyangan di tengah pemukiman, dikeramatkan dengan cara dibiarkan kotor dan semerawut, akan merusak pemandangan. Pura tidak lagi menjadi tempat sosialisasi umat yang menyenangkan. Pada Pesamuan Agung Parisada di Kendari, Sulawesi Tenggara, tercetus ide untuk memfungsikan pura lebih baik. Misalnya, di jaba tengah (madya mandala) bisa dibangun perpustakaan dan umat kemudian menjadikan pura itu sebagai tempat belajar agama. Di jaba luar (nista mandala) bisa dipakai untuk upacara Manusia Yadnya seperti upacara potong gigi, resepsi perkawinan dan sebagainya. Itu membutuhkan lingkungan pura yang bersih, tak bisa pura yang kotor penuh rumput. Di luar Bali hal seperti ini sudah biasa, misalnya, di Jakarta. Semua pura berfungsi untuk itu: pembelajaran Weda, tempat diskusi, pergelaran kesenian, juga untuk resepsi perkawinan. Nah, di Bali, kenapa tak bisa seperti itu? Mungkin tempat
d 38 f
Manusa Yadnya tak perlu di jaba pura karena banyak tempat yang tersedia, tetapi mempelajari kitab suci, kenapa tak dilakukan di madya mandala pura? Apalagi pura di kota banyak yang terpelihara bersih. Sayang kalau pura hanya dikunjungi pada saat piodalan saja, bukan setiap hari.
d 39 f
Jangan Mudah Terombang-Ambing
I
NI sebuah cerita yang seringkali dituturkan. Tentang persahabatan dan hubungan antara guru dan murid yang abadi: Sri Krishna dan Arjuna. Pada suatu hari, Krishna dan Arjuna berjalan-jalan di ladang. Banyak ada burung di sana. Seekor burung hinggap di sebuah dahan sendirian. Sangat jelas bentuk burung itu, tak ada seorang pemburu pun yang tak tahu nama burung itu. Namun, Krishna bertanya pada Arjuna: “Wahai Arjuna, lihat burung itu. Apakah itu seekor merpati?” Arjuna menjawab,” Ya Guru Suci, itu seekor merpati.” Krishna bertanya lagi: “Apakah itu betul merpati? Janganjangan bukan merpati, itu seekor elang.” Arjuna tanpa lagi menatap burung itu, langsung menjawab: “Ya, betul Guru, itu seekor burung elang, bukan merpati.” Krishna menggelengkan kepala: “Ah, bukan Arjuna, tampaknya seperti gagak. Ya, itu seekor gagak.” Arjuna menatap burung itu lagi dan kemudian menjawab, “Maaf Guru, dari tadi mata saya salah melihatnya. Itu memang gagak, tidak dapat disangsikan lagi, itu burung gagak. Bukan merpati dan bukan pula elang.” Kini Krishna tertawa dan mengajak Arjuna duduk di atas
d 40 f
dahan pohon yang tumbang. Ia menasehati Arjuna agar tidak menjadi manusia yang mudah terombang-ambing oleh pikiran orang lain, dan begitu saja menyetujui pendapat orang lain. Manusia harus punya pendirian yang tegas dan tahu yang benar dan salah. Nasehat Krishna ini penting untuk dicamkan. Pendirian yang tegas dan konsisten membuat manusia memiliki integritas. Setiap orang harus memiliki integritas yang tinggi, apalagi dia seorang pemimpin. Sekarang ini orang mudah terombang-ambing oleh opini yang menyesatkan, hanya karena opini itu datang dari orang yang kedudukan sosialnya lebih tinggi. Orang banyak ikut arus, padahal belum tentu arus itu mengalir dalam kebenaran. Jika ada seorang tokoh yang bilang A, ikut-ikutan bilang A, padahal tokoh itu bisa jadi punya kepentingan tertentu. Tetapi, adakah Arjuna sosok seorang kesatria Pandawa, benar-benar orang yang mudah terombang-ambing? Tentu tidak. Dan ini alasan Arjuna kenapa ia mudah goyah. “Yang aku hadapi bukanlah manusia biasa, tapi Awatara Wisnu, Tuhan itu sendiri. Bagiku kata-kata-Mu jauh lebih berbobot daripada apa yang terlihat oleh mataku. Engkau dapat menjadikan burung itu seekor gagak, merpati, atau elang. Jika engkau menyebut burung itu seekor gagak, menjadilah burung itu gagak. Engkau pencipta semua yang ada di bumi ini, dan aku tak boleh bimbang memuja Sang Pencipta.” Pesan dari kisah ini adalah, manusia harus punya pendirian yang kukuh dalam kehidupannya, jangan mau diombang-ambingkan oleh tokoh lain sebelum mengecek pendapat itu. Tetapi jangan sekali-kali mempertanyakan kemaha-kuasaan Tuhan, Sang Pencipta Agung. Keberadaan dan kemahakuasaan Tuhan sama sekali bukan bahan yang perlu dipertanyakan, karena itulah yang disebut keyakinan.
d 41 f
Jadilah Pelayan
S
AYA masih ingin bercerita tentang Sri Krishna. Kali ini saatsaat terakhir kehidupan Awatara Wisnu itu yang saya petik dari Bhagawata Purana. Krishna sedang ditemani oleh pembantunya yang setia, dan terjadilah percakapan ini: “Para sahabatku, sudah dekat saatnya Aku harus kembali, Aku harus meninggalkan kalian semua.” “Jangan tinggalkan kami Bhagawan, kami adalah orang-orang yang masih bodoh. Kami hanya mengikuti apa kata Bhagawan. Kalau Bhagawan sudah tidak ada, ke mana kami harus berguru?” jawab seorang pembantu yang juga muridnya. “Jangan khawatir, sahabat. Kalau kita mau membuka diri, sebenamya banyak guru di sekeliling kita. Kita bisa belajar dari tanah, angin, matahari, dan seluruh alam semesta ini.” “Apa yang Bhagawan maksudkan?” Sri Krishna menjelaskan: “Coba lihat tanah dan pelajari sifatnya. Diinjak, dikencingi, dikotori, tanah tidak pemah protes. Lalu rasakan angin, bertiup dari suatu tempat ke tempat lain, menerbangkan bau busuk maupun wangi, bau itu hilang dan angin terus bertiup. Angin tidak terpengaruh oleh bau-bauan. Lalu pandang matahari, menyinari seluruh semesta tidak pandang bulu, taman yang indah ia sinari, kubangan yang kotor juga ia sinari. Air laut menguap karena sinarnya dan jadilah hujan. Bukan karena harus bikin hujan maka matahari bersinar, tapi
d 42 f
karena sifatnya matahari memang demikian.” “Bhagawan,” kata para murid. “Perumpamaan itu masih sulit. Adakah jalan yang termudah agar kami bisa mengikuti jejak Bhagawan, mengingat kami semuanya bodoh-bodoh?” Sri Krishna menjawab: “Ada, yaitu layani setiap mahluk seperti melayani Aku, dan lihatlah Aku dalam setiap mahluk. Inilah jalan yang paling mudah dan dijamin akan sampai kepada-Ku.” Nah, dari cerita ini kita bisa menjadi pengabdi yang setia kepada Tuhan hanya dengan cara yang begitu mudah: menjadi pelayan. Yang sulit adalah, apakah kita bisa menundukkan ego kita untuk menjadi pelayan atau kita masih ingin dilayani terusmenerus? Belajar kepada alam adalah satu cara, tetapi jika itupun kita tak mampu menangkap rahasia tersembunyi dari alam, menjadilah pelayan yang setia. Pelayan untuk semua ciptaannya, pelayan dengan dasar kasih.
Anak-anak pasraman di tahun 1998
d 43 f
Si Buta di Arca Krishna
A
NAK-ANAK di pasraman kembali meminta saya untuk mendongeng, tetapi saya tidak siap. Padahal saya sudah berjanji. “Kalau masih senang dengan dongeng-dongeng binatang, baca saja buku Panca Tantra. Buku ini sudah diterbitkan dengan edisi lengkap, dari Tanta Pertama sampai Tantra Kelima dijadikan satu buku. Supaya kalian juga mulai gemar membaca, jangan hanya gemar mendengar,” kata saya. Anak-anak nampak kecewa. “Tapi oke, saya akan cerita ten tang sebuah kisah nyata di India. Dengarkan baik-baik,” kata saya melanjutkan. Anak-anak pun mulai nampak ceria. Adalah sebuah tempat persembahyangan yang sangat ramai dikunjungi setiap hari di India, di sebuah desa kecil yang bernama Vrindawan. Ratusan ribu orang datang setiap hari di sana. Arca yang dipuja di sana adalah arca Shri Krishna. Arca ini tidak ada penjelasan siapa pembuatnya, dan orang pun menyebutkan “bukan buatan manusia”. Arca itu muncul begitu saja dari dalam tanah sekitar 400 tahun lalu, tidak jauh dari kuil yang sekarang berdiri. Kawasan di mana arca itu muncul adalah sebuah taman yang dipenuhi oleh tumbuhan Mukti Lata, sejenis tumbuhan melata yang daunnya rimbun, tetapi cabang-cabang atau rantingnya
d 44 f
merunduk menyentuh tanah. Menurut keyakinan setempat, tumbuhan tersebut adalah penjelmaan roh-roh agung yang merunduk menyembah tanah suci tempat munculnya arca Shri Krishna itu. Kuil yang memuja arca Shri Krishna tersebut bernama Banka Bihari, diambil dari nama patung itu yaitu Banka Bihari. Banyak kisah menarik dari kejadian sehari-hari di tempat pemujaan ini. Tersebutlah seorang lelaki setengah baya yang setiap pagi dan sore hari datang teratur menghadap ke arca Krishna. Setelah beberapa waktu berlalu, seorang pendeta mulai menaruh perhatian pada lelaki tersebut. Ternyata ia seorang lelaki buta. Sedangkan orang-orang yang datang berkunjung ke tempat sembahyang itu tu-juan utamanya adalah dapat melihat arca walau hanya sesaat. Lalu apa tujuan lelaki buta itu ke sana, bukankah dia tak bisa melihat? Pendeta tersebut penasaran dengan pertanyaannya sendiri. Suatu hari pendeta mendekati orang buta itu dan bertanya terus terang. “Maaf, Anda kan tidak bisa melihat, tetapi Anda datang setiap hari ke tempat persembahyangan ini. Boleh saya mengetahui alasan Anda untuk datang ke sini?” Lelaki buta itu menjawab dengan kalem: “Saya memang tidak bisa melihat, tetapi Shri Krishna kan bisa melihat saya?” Sang Pendeta terkejut mendengar jawaban itu. Apa yang bisa kalian tangkap dari kisah sederhana yang adalah kisah nyata ini? Orang seringkali datang ke tempat-tempat suci dengan pamer. Pamer bu-sana, pamer perhiasan, pamer sesajen, lalu pamer tingkah laku. Seolah-olah semua yang telah dipamerkan itu memberikan rasa bahagia kepadanya. Dan seolah-olah Tuhan pun senang dengan pameran itu. Orang-orang miskin, orang-orang cacat, seperti tak berhak akan tempat suci. Lihatlah kenyataannya, mana ada tempat suci di Indonesia, apalagi di Bali, yang memberikan kesempatan kepada para penyandang cacat untuk bisa bersembahyang dengan
d 45 f
Penyandang cacat ikut metatah masal.
aman. Jika pun mereka datang, mereka harus dituntun dengan ketat. Mereka betul-betul orang pesakitan, bahkan bisa jadi dilirik dengan aneh, padahal Tuhan Yang Maha Esa tak melihat mereka sebagai orang sakit. Tuhan melihat bhakta yang tulus, bukan melihat dari sudut kemewahan. Marilah kita perlakukan orang cacat sama dengan orang normal di hadapan Tuhan.
d 46 f
Kosongkan Gelas Itu
H
UJAN lebat dan petir terdengar berkali-kali. Saya sedang terjebak di aula pasraman yang sedang direnovasi. Tukang berteduh dan beberapa orang juga ikut berteduh. “Kalau hujan tidak reda kita tak bisa mengikuti dharmawacana di balai desa,” ujar seseorang. Orang lain menyeletuk: “Saya sulit mengikuti dharmawacana. Apa yang disampaikan sepertinya sudah saya tahu. Tapi, apa benar saya sudah tahu? Tidak pasti juga.” Saya hanya diam memperhatikan hujan yang makin lebat. “Nak Lingsir, bagaimanakah sesungguhnya belajar agama yang benar dari seorang guru atau mendengarkan dharmawacana? Apa yang harus dipersiapkan?” tanya seseorang. Mau tak mau saya berpaling kepada mereka. Saya mengambil gelas bekas minuman para tukang. Saya isi air sampai penuh. “Coba perhatikan gelas yang penuh air ini. Bagaimana mengisi air lagi? Setiap di isi air, pastilah selalu tumpah, berceceran dan tidak ada manfaatnya. Apa yang diterima tidak bisa masuk ke dalam gelas.” Saya melanjutkan: “Buanglah isi gelas ini lebih dulu. Buanglah segala keangkuhan palsu, ego yang tinggi, jika ingin mendapatkan wejangan suci dari seorang guru yang memberikan dharma wacana atau ajaran keagamaan. Kalian harus siap menempatkan diri sebagai orang yang haus ilmu dan memposisikan diri berada di bawah Sang Guru. Apa yang telah kalian miliki, yang
d 47 f
memenuhi gelas-gelas ini, mungkin kekeruhan pikiran, kesangsian akan sesuatu mengenai kebenaran. Yakinlah lebih dulu bahwa yang akan kalian hadapi adalah guru yang benar, yang akan bisa mengisi air-air suci untuk meningkatkan spiritualitas kalian. Hanya ada dua cara yang harus kalian tempuh. Pertama, menyerahkan diri sepenuhnya untuk mendapatkan ilmu (sisyas te’ham) dan yang kedua menyediakan diri untuk diberikan ajaran yang benar (tvam prapannam). Hanya dengan cara itulah kalian akan mendapatkan pencerahan batin yang lebih baik dan menimba ilmu dengan ketulusan hati.” Seseorang menyela: “Nak Lingsir, bagaimana kalau yang saya hadapi itu bukannya memberikan ajaran-ajaran suci, tetapi kepalsuan dan kebohongan?” “Lebih baik tidak mengikuti dharmawacana itu, karena sudah ragu terhadap seorang guru. Menyerahkan diri kepada Sang Guru adalah syarat utama untuk belajar dan meningkatkan spiritualitas.”
Latihan Yoga di aula pasraman
d 48 f
Yadnya Horisontal
M
ISALKAN kita dalam perjalanan menuju pura yang jauh dan naik mobil pribadi. Kita membawa sesajen yang berisi ketupat, pisang, dan kue. Lalu di perempatan jalan mobil berhenti karena ada lampu merah. Seorang pengemis dengan muka pucat mengetuk kaca mobil. Ia memberi tanda dirinya haus dan lapar. Apa sikap kita? Pemahkah kita mengambil kue atau buah di sesajen itu untuk diberikan kepada pengemis yang kelaparan? Mungkin tidak. Dan mungkin pula, terpikirpun tidak. Malah kita akan menutup kaca mobil rapat-rapat. Maaf, ini pengamatan selintas. Mungkin ada orang yang ikhlas merelakan sesajennya untuk pengemis. Saya termasuk orang yang pelit memberi sesuatu kepada pengemis, kalau pengemis itu masih sehat dan kekar. Tetapi terhadap gelandangan yang betul-betul memerlukan bantuan mendesak, saya sering tersentuh. Saya pernah memberikan sesisir pisang kepada gelandangan yang menggedong anak kecil yang saya lihat sangat lapar, padahal pisang itu sudah dirangkai dalam bentuk sesajen. Sebelum sampai ke pura, saya membeli pisang di pasar sebagai pengganti. Saya merasa lebih plong bersembahyang, tidak diusik oleh wajah anak kecil yang kelaparan itu.
d 49 f
Dalam kisah kehidupan para sanyasin, banyak ditemukan teladan bagaimana menolong sesama manusia. Ada kisah sanyasin, kalau tak salah ingat, namanya Rahji. Suatu ketika keluarga ini mau menghaturkan sesajen di pura (mandir) di atas bukit. Di perjalanan ia menemukan gelandangan yang hampir sekarat karena haus dan lapar. Istri Rahji berkata: “Kita teruskan saja perjalanan ke bukit. Sepulang dari bersembahyang, baru kita berikan kepada gelandangan ini.” Rahji mula-mula sepakat, bukankah dalam ajaran Hindu kita wajib mempersembahkan semua makanan kepada Tuhan dan kita hanya menerima prasadam (bahasa Bali lungsuran). Dalam tradisi di Bali ada istilah ngejot atau mesaiban setelah kita makan, dan bagi umat Hindu yang lebih modern (karena tahu ada mantramnya) berdoa sebelum makan, sehingga yang kita makan semuanya adalah prasadam. Tapi, Rahji berubah pendapat. Ia mengambil makanan dalam sesajen itu dan memberikan kepada gelandangan. Alasannya: “Kalau kita menunggu perjalanan ke atas bukit baru memberikan makanan dalam bentuk prasadam, jangan-jangan gelandangan keburu meninggal dunia. Kita harus selamatkan mereka.” Dan keluarga Rahji memberikan makanan kepada gelandangan yang sekarat. Gelandangan menjadi segar dan Rahji pun meneruskan ke bukit melakukan persembahyangan. Bhagawad Gita menyebutkan, dalam keadaan yang sangat sederhana Tuhan bisa dipuja dengan hanya sekuntum bunga, setangkai daun, sebiji buah dan air sekedamya: puspam, patram, phalam, toyam Saya kira semua ajaran agama menempatkan hubungan horisontal sesama manusia sebagai hal yang utama, melebihi hubungan vertikal antara manusia dengan Hyang Widhi. Kalau begitu, kenapa banyak anak-anak terlantar dari keluarga miskin di Bali diasuh oleh Panti Asuhan non-Hindu? Kemana orangorang Bali yang Hindu yang hidup berkecukupan?
d 50 f
Ada Tiga Karma Phala
D
I MEDIA maya belakangan ini (Facebook dan Twitter) banyak orang mendiskusikan soal Karma Phala atau kalau di-indonesia-kan menjadi Hukum Karma. Mereka yang berdiskusi itu bukan saja dari pemeluk Hindu, juga pemeluk agama lain. Mereka adalah para budayawan. Apakah Hukum Karma produk budaya? Tergantung sudut pandang seseorang. Namun bagi umat Hindu, Karma Phala itu sebuah ajaran agama, yang harus diyakini sepenuhnya. Karma Phala adalah satu dari lima dasar ajaran Hindu yang disebut Panca Srada. Yakni, (1) Percaya adanya Brahman (Tuhan Yang Maha Esa), (2) Percaya adanya Atman (jiwa/roh), (3) Percaya adanya Karma Phala (hasil dari perbuatan), (4) Percaya adanya Phunarbawa (reinkarni atau kelahiran berulang-ulang), (5) Percaya adanya Moksa (bersatunya Brahman dan Atman atau kedamaian yang abadi). Jika berbicara soal Karma Phala, bagaimana mungkin seseorang akan meyakini hal itu, jika dia tidak yakin adanya Phunarbawa? Kelima dasar ajaran itu tak bisa dipisahkan. Hukum Karma berkaitan dengan reinkarnasi, karena karma itu melekat pada jiwa atau roh seseorang yang selalu dibawa dalam kehidupannya yang berulang. Apa itu karma? Segala gerak atau aktivitas yang dilakukan, disengaja atau tidak, baik atau buruk, benar atau salah, dis-
d 51 f
adari atau di luar kesadaran, kesemuanya disebut karma. Kata karma berasal dari kata “kr” (bahasa Sansekerta), yang artinya bergerak atau berbuat. Menurut “Hukum Sebab Akibat”, segala sebab pasti akan membuat akibat. Demikianlah sebab dari suatu gerak atau perbuatan akan menimbulkan akibat, buah, hasil, atau pahala. Hukum sebab akibat inilah yang disebut dengan Karma Phala. Di dalam Kitab Suci Weda disebutkan: “Karma phala ika palaing gawe hala ayu”, artinya karma phala adalah akibat dari baik buruk suatu perbuatan atau karma (Clokantra 68). Hukum karma ini sangat berpengaruh terhadap baik buruknya segala mahluk sesuai dengan perbuatan baik dan perbuatan buruknya yang dilakukan semasa hidup. Hukum karma dapat menentukan seseorang itu hidup bahagia atau menderita lahir bathin. Jika orang berbuat baik, pasti akan menerima hasil dari perbuatan baiknya itu. Demikian pula sebaliknya, setiap yang berbuat buruk, maka keburukan itu sendiri tidak bisa terelakkan. Memang, phala atau hasil dari perbuatan itu tidak selalu langsung dapat dirasakan. Ada yang dirasakan seketika, ada yang di kemudian hari, ada yang jauh lagi yakni dalam kehidupan yang akan datang. Bahkan karma kita di masa kehidupan yang lalu, bisa pula pahalanya diterima dalam kehidupan di masa kini. Jadi harus percaya adanya reinkarnasi. Ada tiga katagori Karma Phala. Pertama, Sancita Karma Phala: hasil perbuatan orang dalam kehidupan terdahulu yang belum habis pahalanya dinikmati dan masih merupakan sisa yang menentukan kehidupan sekarang. Contoh, di kehidupan yang lalu, mungkin orang itu korupsi milyaran rupiah, namun karena sedang berkuasa atau pinter berkelit, pahalanya belum sempat dinikmati. Sekaranglah orang itu mendapatkan buahnya, misalnya, hidup jadi sengsara, atau menjadi perampok sehingga dihukum penjara. Kedua, Prarabda Karma Phala: hasil perbuatan pada kehidu-
d 52 f
Penataran Pemangku se Kec Pupuan di Pasraman
pan sekarang yang pahalanya diterima habis dalam kehidupan sekarang juga. Sekarang korupsi, kemudian tertangkap, diadili dan dihukum bertahun-tahun. Antara perbuatan dan akibatnya, lunas dalam satu kehidupan. Yang ketiga, Kriyamana Karma Phala: hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang. Misalnya, dalam kehidupan sekarang seseorang korupsi, tapi entah bagaimana tak berhasil dibuktikan karena kelicikan orang itu, lalu dia meninggal dunia. Dalam kehidupan yang akan datang pahalanya baru diterima. Orang itu lahir sengsara. Sebaliknya, dalam kehidupan sekarang seseorang berbuat baik, saleh, santun, suka menolong dan sebagainya, namun saat meninggal dunia orang itu tetap dalam kesederhanaan. Dalam kehidupan yang akan datang, dia dilahirkan menjadi orang yang bahagia, atau dilahirkan di keluarga orang terhormat dan kaya, di mana tak ada penderitaan yang dialami. Jadi, cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala hasil perbuatan itu pasti akan diterima, karena hal itu sudah merupakan hukum perbuatan.
d 53 f
Karma Tak Bisa Diwariskan
T
ELAH diuraikan, cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala hasil perbuatan itu pasti akan diterima, karena hal itu sudah merupakan hukum perbuatan. Di dalam Kitab Wrhaspati Tatwa 3, disebutkan – dengan terjemahan bebas: “Wasana artinya bahwa semua perbuatan yang telah dilakukan di dunia ini. Orang akan mengecap akibat perbuatannya di alam lain, pada kelahiran nanti; apakah akibat itu akibat yang baik atau yang buruk. Apa saja perbuatan yang dilakukannya, pada akhirnya kesemuanya itu akan menghasilkan buah. Hal ini adalah seperti periuk yang diisikan kemenyan, walaupun kemenyannya sudah habis dan periuknya dicuci bersih-bersih namun tetap saja masih ada bau, bau kemenyan yang melekat pada periuk itu. Inilah yang disebut wasana. Seperti juga halnya dengan karma wasana. Ia ada pada Atman. Ia melekat pada-Nya. Ia mewarnai Atman.” Jelasnya, seseorang tidak perlu sedih karena mengalami penderitaan dan tidak perlu sombong karena mengalami kebahagiaan, karena hal itu adalah hasil karma. Satu hal yang perlu diingat, bahwa karma phala itu tidak terlepas dari kekuasaan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Hyang Widhi yang me-
d 54 f
nentukan phala dari karma seseorang. Beliaulah yang memberi ganjaran sesuai dengan Hukum Karma. “Asing sagawenya dadi manusa, ya ta mingetaken de Bhetara Widhi, apan sira pinaka paracaya Bhatara ring cubhacubha karmaning janma”. (Wrhaspati Tattwa 22) Terjemahannya: Segala (apa) yang diperbuat di dalam penjelmaan menjadi manusia, (semua) itulah yang dicatat oleh Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), karena Dia sebagai saksi (dari) baik buruk (amal-dosa) perbuatan manusia. “Bhatara Dharma ngaran ira Bhatara Yama, sang kumayatnaken cubhacubha prawrti sekala janma”. (Agastya Parwa 355.15) Terjemahannya: Bhatara Dharma (juga) bergelar Bhatara Yama (sebagai Dewa Keadilan), adalah pelindung keadilan yang mengamat-amati (mengadili) baik buruk perbuatan manusia. Baik buruk dari (karma) itu akan memberi akibat yang besar terhadap kebahagiaan atau penderitaan hidup manusia. Jadi segala baik dan buruk suatu perbuatan akan membawa akibat tidak saja di dalam hidup sekarang ini, tetapi juga setelah di akhirat kelak, yakni setelah Atma dengan suksma sarira (alam pikiran) terpisah dari badan (tubuh) dan akan membawa akibat pula dalam penjelmaan yang akan datang, yaitu setelah atman dengan suksma sarira memasuki badan atau wadah yang baru. Hyang Widhi (Tuhan) akan menghukum atman (roh) yang berbuat dosa dan merahmati atman (roh) seseorang yang berbuat kebajikan. Hukuman dan rahmat yang dijatuhkan oleh Hyang Widhi ini bersendikan pada keadilan. Pengaruh hukum ini pulalah yang menentukan corak serta nilai dari pada watak manusia. Hal ini menimbulkan adanya bermacam-macam ragam watak manusia di dunia ini. Terlebihlebih hukuman kepada atman (roh) yang selalu melakukan dosa semasa penelmaannya, maka derajatnya akan semakin bertambah merosot. Sebuah sloka dari Kitab Clokantara berbunyi:
d 55 f
“Dewanam narakam janturjantunam narakam pacuh, Pucunam narakam nrgo mrganam narakam khagah, Paksinam narakam vyalo vyanam narakam damstri, Damstrinam narakam visi visinam naramarane.” (Clokantara 40.13-14) Artinya: Dewa neraka (menjelma) menjadi manusia. Manusia neraka (menjelma) menjadi ternak. Ternak menjadi binatang buas, binatang buas neraka menjadi burung, burung neraka menjadi ular, dan ular neraka menjadi taring, (serta taring) yang jahat menjadi bisa (yakni) bisa yang dapat membahayakan manusia. Demikianlah kenerakaan yang dialami oleh Atman (roh) yang selalu berbuat jahat (dosa) semasa penjelmaannya di dunia. Jika penjelmaan itu telah sampai pada limit yang terhina akibat dosanya, maka ia tetap akan menjadi dasar terbawah dari kawah neraka. Apakah karma bisa diwariskan atau diturunkan dari orang tua ke anak? Apakah orang tua yang jahat lantas phalanya diterima oleh anaknya, padahal anaknya tidak jahat? Jawabnya jelas: tidak. Karma tak bisa diwariskan. Karma adalah bawaan individu, yang melekat seterusnya. Memperbaiki karma harus dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Kalau sadar berkarma buruk, perbaikilah agar menjadi baik, kalau pun kebaikan itu tak bisa diterima dalam kehidupan ini, dalam kehidupan yang akan datang pasti tiba. Kesimpulannya, ajaran karma phala sejatinya ajaran untuk memperbaiki kehidupan yang terus-menerus berulang. Karena itu dalam kitab Sarasamuccaya disebutkan, berbahagialah hidup sebagai manusia, mahkluk paling mulia ciptaan Tuhan, karena dengan menjadi manusia kita bisa memperbaiki derajat kehidupan ini.
d 56 f
Beragama Individu dan Bermasyarakat
R
UMAH utama di komplek pasraman ada relief Saraswati dari bahan batu alam Gunung Kidul. Banyak yang bertanya, kenapa Saraswati itu dipajang di tembok beranda rumah. Apakah itu sakral atau sekedar hiasan saja? Apakah nanti akan diberi banten dan dijadikan tempat pemujaan? Saya jawab, itu hanya hiasan belaka. Berbeda dengan patung Ganesha yang berada di halaman yang disakralkan sebagai salah satu tempat pemujaan. Orang bebas meletakkan patung-patung atau gambar Istadewata dan bebas pula untuk memfungsikan apakah patung itu sebagai media pemujaan atau sekedar hiasan. Kalau sebagai media pemujaan, kesuciannya harus dijaga. Kalau sebagai hiasan belaka, tak perlu terlalu suci tetapi mungkin cukup bersih saja, supaya indah dipandang. Namun persamaan dari keduanya adalah bagaimana patung atau relief itu memberikan inspirasi spiritual buat kita untuk kedamaian. Dibandingkan memasang lukisan telanjang meski itu karya pelukis ternama, yang muncul adalah pikiran yang menerawang ke mana-mana. Atau memasang relief dewa-dewa yang berwajah angker, yang hanya memberikan energi buruk pada kita karena belum apaapa sudah menangkap kesan serem dan akhirnya yang muncul adalah ketakutan. Pencitraan ini mempengaruhi pikiran, maka
d 57 f
saya sangat senang kalau relief atau patung yang dipasang sejenis Saraswati, Ganesha, Laksmi, Gayatri dan sebagainya. “Tapi bagaimana kalau Nak Lingsir datang ke Pura Dalem, bukankah di sana dipajang patung Durga yang serem? Apakah Nak Lingsir tak mau datang bersembahyang di sana? Bagaimana pula kalau Nak Lingsir bersembahyang ke pura yang banyak patung raksasanya, bukankah itu patung yang Nak Lingsir tidak sukai?” tanya Putu Bagus. “Yang pertama harus saya jawab adalah soal suka patung dewa-dewi atau tepatnya Istadewata tertentu. Dan itu sah-sah saja. Banyak orang hanya memuja satu Istadewata dan sangat fanatik pada Istadewata itu. Bisa jadi orang itu mengikuti guruparampara, yaitu mengikuti guru kerohanian karena orang itu adalah muridnya. Ada yang memuja Rama saja, ada yang memuja Durga saja, ada yang memuja Siwa saja. Semuanya sah saja. Nak Lingsir memuja semuanya, atau lebih dari satu. “Yang perlu dipahami adalah kita bisa beragama secara individu dan bisa melaksanakan ritual agama secara bermasyarakat: Ketika kita melaksanakan ritual secara individu kita sah-sah saja mau memuja siapa, apakah Rama, Durga, Siwa, Wisnu, Ganesha, Saraswati atau lainnya lagi. Kita bisa fanatik pada satu Istadewata tertentu, namun jangan memaksakan kehendak kita itu pada orang lain. Nah, pada saat kita melaksanakan ritual agama bermasyarakat, kita menjadi bagian kecil dari masyarakat yang luas, dan kita harus mengikuti aturan yang menjadi kesepakatan masyarakat setempat. Kalau di sana didirikan patung Istadewata yang kita anggap tidak pada tempatnya, tetapi masyarakat menyepakati begitu, kitalah yang mengalah. Demikian pula aturanaturan lainnya, kalau ada perbedaan dengan konsep yang kita punya, kita harus mengalah kepada kesepakatan masyarakat setempat dan kita sama sekali tak bisa memaksakan pendapat pribadi kita. Namun, jika itu berada di wilayah pribadi kita, di rumah atau di pasraman ini, Nak Lingsir bisa melakukan apa yang
d 58 f
saya maui dan memasang Istadewata yang Nak Lingsir inginkan. Karena ini wilayah beragama secara individu.” “Ada contoh yang lebih nyata?” tanya Putu Bagus lagi. “Misalnya di Pura Dalem dipasang patung Durga yang serem, seperti model-model rangda di Bali, karena pemahaman masyarakat luas seperti itu, Nak Lingsir tak bisa bersikap lain kecuali menerima dan tetap bersembahyang di sana. Tak mungkin Nak Lingsir meminta agar patung serem itu diganti Dewi Durga yang cantik seperti di India. Contoh lain, kalau bersembahyang bersama di pura, pemangku mengucapkan mantram Panca Sembah yang ditambah-tambah sampai panjang, ya, kita harus ikuti karena pemangku itulah yang memimpin persembahyangan.” Jadi kita bisa bersikukuh dengan pendirian jika kita seorang diri, tetapi marilah kita bertenggang-rasa jika menjadi bagian dari orang banyak.
d 59 f
Kapongor, Dimarahi Bethara
S
UATU hari ada orang yang bertanya pada saya, apakah benar menanam pohon kelapa di depan rumah bisa kapongor. Apa itu kapongor? Tanya saya memancing, “Dimarahi Ida Bethara, dimarahi leluhur,” katanya. Saya katakan, Bethara tak pernah marah, tetapi bahaya itu bisa saja datang. Nanti kalau kelapanya berbuah, lalu jatuh dan menimpa anak-anak yang masih kecil, kan berbahaya. Nanti dikatakan karena Ida Bethara atau kawitan marah. Di hari yang lain, seseorang bertanya, apa berani menebang pohon kepuh di setra (kuburan). Pohon itu sudah tua, kalau dahannya rontok berbahaya buat orang yang ada di bawahnya. Lagi pula di setra akan dibangun balai panjang untuk “mesayuban” (berteduh) dari terik matahari atau hujan. Saya jawab: “Potong saja.” Lalu saya ditanya lagi, apa tidak kapongor? Saya katakan; “Tidak”. Dan betul setelah bertahuntahun tak ada yang berani menebang pohon kepuh yang dibilang keramat itu sekarang sudah lenyap. Setra jadi asri dan ada bale “mesayuban”. Ada lagi yang unik. Seseorang yang baru menjadi nenek konsultasi ke saya, dia mau ke balian (dukun). Dia ingin bertanya,
d 60 f
siapa nama cucunya yang baik agar anak itu tidak sakit-sakitan. Saya tanya, apa bapak dan ibunya sudah memberi nama pada anaknya itu? Sudah, katanya. Nama pemberian orang tuanya cukup panjang: Ni Putu Juniwati Putri Dewi. Nenek itu khawatir nama panjang itu akan membuat keluarga itu kapongor, karena nama-nama leluhurnya hanyalah Wayan Sobret, Ketut Manyong, Nengah Keplug dan sebagainya. Saya katakan kepada nenek itu: “Jangan sekali-sekali menanyakan nama ke balian, nanti nama itu diganti. Ini nama bagus sekali, anak itu akan cerdas. Ada kata Juni karena lahirnya di bulan Juni. Ada Putri karena wanita dan Dewi supaya sifatnya seperti dewi.” Ketika sang nenek diam, saya katakan lagi; “Kalau tanya ke balian paling disebutkan anak itu keberatan nama, lalu akibatnya sakit-sakitan. Supaya sehat namanya diganti menjadi Putu Lenjog, malah nanti anak itu jadi malu.” Kisah-kisah seperti ini banyak terjadi di pedesaan. malah ada yang sampai bentrok dalam kekeluargaan. Misalnya soal kawitan, dan ini cerita nyata. Sebuah keluarga ada anaknya yang sakit gatal-gatal, lama tak sembuh. Ditanyakan ke balian, eh, ternyata disebut salah kawitan. Selama ini keluarga besarnya itu termasuk soroh Pasek Bendesa. Menurut balian, seharusnya Pasek Kayu Selem. Keluarga itu mantap pindah kawitan, namun keluarganya yang lain tak mau. Alasannya juga sudah menanyakan ke balian yang lain. Apa yang terjadi? Karena takut kapongor terus-menerus -- yang ditandai dengan sakit gatal itu -- keluarga yang anaknya sakit itu pindah kawitan. Ya, akhirnya pecah dadia, pecah panti dan seterusnya. Saya mengenal keluarga besar itu dan saya tentu tak mau mencampuri urusan soroh berdasarkan omongan balian. Apalagi seumur-umur saya tak pernah bersinggungan dengan balian. Tapi saya siap menolong keluarga itu. Pertolongan yang saya lakukan, bukan soal kemana mencari soroh yang benar. Tetapi mengajak anak yang sakit gatal itu ke
d 61 f
dokter kulit di Denpasar. Ternyata anak itu mengidap penyakit kulit akibat virus yang memang harus diobati secara benar dan terus-menerus dalam jangka waktu tertentu. Akhirnya sakitnya sembuh. Setelah anak itu sehat, kepada keluarga besar itu saya minta mempelajari silsilah kawitan berdasarkan babad yang ada. Nah, terserah mereka untuk memilih, mau ke mana. Yang jelas, tak ada urusan kapongor, yang ada urusan virus yang menyerang kulit yang tak bisa disembuhkan oleh obat dari Puskesmas atau loloh dari balian. Masyarakat Bali -- meskipun tidak begitu banyak lagi seperti dulu -- masih percaya pada balian jenis ini. Maksudnya balian untuk meluasang, balian baas pipis, balian dasaran, atau sebutan lainnya. Yakni balian yang entah dengan teknik atau ilmu apa, dipercaya bisa menjadi perantara dari roh orang yang sudah tiada. Atau kalau tidak “kemasukan roh” seolah-olah tahu dan bisa menebak segala sumber yang jadi pangkal masalah “pasiennya”. Dari sinilah kemudian muncul istilah kapongor karena berbagai hal. Kapongor salah upacara, kapongor salah banten, kapongor salah memberi nama dan sebagainya. Anehnya, jarang sekali balian berkata: “Kamu kapongor oleh Ida Bethara karena suka minum arak, suka berjudi, suka metajen, suka selingkuh, suka narkoba, suka memirat.” Kalau ada balian seperti itu, mungkin baik juga, masyarakat Bali bisa lebih sejahtera.
d 62 f
Sutasoma Karya Mpu Tantular
K
ARYA sastra Sutasoma begitu populer di tanah air, termasuk di Bali. Kalau kita telusuri siapa yang paling berjasa mempopulerkan lakon Sutasoma buah karya Mpu Tantular di masa Majapahit ini, tak lain adalah seniman sastra almarhum I Gusti Bagus Sugriwa. Dari tangan beliaulah Kekawin Sutasoma menyebar di Bali. Kepopuleran Sutasoma kemudian menyebar melewati batas sastra. Ia muncul dalam lakon wayang kulit, sendratari, lukisan di atas kanvas, lukisan yang menghias Bale Kambang di Klungkung, dan pergelaran tari. Mpu Tantular bisa dikatakan sebagai leluhur orang Bali. Ayahnya adalah Mpu Bahula, putra Mpu Baradah. Ibu Mpu Tantular adalah Ratna Manggali putri tunggal Mpu Kuturan. Mpu Tantular menurunkan Danghyang Siddhimantra, Danghyang Panawasikan, Danghyang Kepakisan, dan Danghyang Smaranatha. Danghyang Smaranatha menurunkan Danghyang Nirarta dan Danghyang Angsoka. Peninggalan para Mpu di atas bertebaran di Bali, terutama peninggalan Mpu Kuturan dan Danghyang Nirarta. Kenapa hanya keduanya yang populer? Itu disebabkan karena kedua leluhur ini meninggalkan tempat suci dan jasa yang langsung
d 63 f
bersentuhan dengan agama Hindu, agama mayoritas orang Bali. Mpu Kuturan, misalnya, dikenal sebagai perintis adanya desa pekraman dengan konsep Tri Kahyangan, yang tujuan awalnya menyatukan berbagai sekte yang ada di Bali. Dahyang Nirarta yang datang lebih dari seratus tahun kemudian memperkenalkan konsep Padmasana sebagai pemujaan kepada Tuhan yang tidak membuat umat Hindu tersekat dalam Desa Pekraman. Pura peninggalan Mpu Kuturan seperti Pura Silayukti dan pura peninggalan Danghyang Nirarta seperti Pura Uluwatu menjadi pura penting di Bali. Tetapi kenapa Mpu Tantular tidak sepopuler kakeknya, atau tidak sepopuler cucunya di Bali? Pernah ada ide untuk mendirikan perguruan tinggi swasta di Bali dengan nama Mpu Tantular, tetapi tidak jadi. Yang berdiri justru Universitas Mpu Tantular di Jakarta. Museum Mpu Tantular ada di Kota Surabaya, berdiri di atas gedung di Jalan Taman Mayangkara 6, Surabaya. Meski museum itu merana dan sepi pengunjung, tetapi di situ tersimpan peninggalan Mpu Tantular dalam bentuk karya sastra. Orang Bali lebih tahu tentang “karya” dibandingkan “sang pencipta”. Mpu Tantular kurang dikenal, tetapi Sutasoma begitu populernya. Tari oleg Tamulilingan begitu populer, tetapi Ketut Mario yang menciptakannya tidak dikenal orang. Lukisan wayang Kamasan juga populer, tetapi siapa yang melukisnya tidak dikenal. Pernahkah orang Bali merenung sejenak, siapa yang menciptakan dramatari arja, gambuh, topeng dan sebagainya? Sesanti Bhineka Tunggal Ika sudah menjadi lambang dari persatuan Indonesia. Sesanti itu tertulis di antara dua kaki Burung Garuda yang menjadi lambang negara. Dengan demikian, Bhineka Tunggal Ika sudah otomatis menjadi simbol negara. Jika ada burung garuda tanpa ada tulisan itu, tak ada gunanya dipajang di kantor-kantor resmi, karena ia tidak lagi menjadi simbol negara. Ketika membicarakan Bhineka Tunggal Ika orang baru ingat
d 64 f
akan Mpu Tantular. Namun, biasanya hanya sekedar ingat begitu saja, bagaimana sampai sesanti (slogan) itu lahir, tidak banyak pula generasi kini yang mengetahuinya. Jawabnya hanya ada pada Kekawin Sutasoma. Kekawin Sutasoma itu menceritakan petualangan spiritual Sutasoma sebelum dan sesudah menjadi Raja Hastina. Bagian yang paling menarik memang saat munculnya sesanti Bhineka Tunggal Ika. Prabu Sutasoma siap untuk dijadikan korban santapan Bethara Kala sebagai pengganti dari 100 raja yang sudah ditangkap oleh raja raksasa Porusada. Raja Porusada ini memang membayar kaul mengorbankan 100 raja kepada Bethara Kala jika kakinya sembuh dari penyakit yang aneh. Apa permintaan Prabu Sutasoma untuk keikhlasannya berkorban itu? “Nanging ana pamintaku, uripana sahananing ratu kabeh.” (Tapi ada permohonanku, hidupkanlah para raja itu semuanya). Begitu kata Sutasoma kepada raksasa Porusada. Pengorbanan diri Sutasoma ini menyentuh hati Bethara Siwa yang menitis pada Porusada. Siwa kemudian meninggalkan tubuh Porusada dan kembali ke kahyangan. Sutasoma gagal menjadi santapan Porusada, sementara 100 raja yang sudah ditangkap itu pun dilepaskan untuk kembali ke kerajaannya, mengembangkan gaya kepemimpinan yang berbeda, memimpin masyarakat yang juga berbeda-beda, bahkan masing-masing raja menganut keyakinan (aliran atau sekte) yang berbeda. Mpu Tantular, Sang Mahakawya Yogiswara, menulisnya dengan: Mangka Jinatwa lawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa. Kata Bhineka Tunggal Ika ini mengusik hati Muhammad Yamin. Ia lalu mengusulkan kepada Bung Karno agar kata ini dijadikan lambang persatuan Indonesia. Soekarno lalu meminta Dalang Granyam dari Sukawati untuk mementaskan “wayang Sutasoma” agar lebih jelas menangkap makna dari sesanti ini. Dan sejarah pun mengukir, sesanti itu akhirnya menjadi simbol
d 65 f
Mpu Kuturan di Silayukti
P
UJAWALI di Pura Silayukti, Padangbai, Karangasem berlangsung meriah. Umat datang dari segala penjuru Bali. Lalu lintas macet. Saya bertanya kepada anak saya, kenapa pujawali yang sekarang ini begitu ramai? Dengan serius anak saya menjawab: “Umat Hindu sekarang ini sedang bergairah melakukan tirthayatra, di mana-mana piodalan pasti ramai.” Saya katakan jawaban itu klise. Yang benar, umat Hindu memberi penghormatan yang tinggi kepada leluhurnya yang sangat berjasa, yakni Mpu Kuturan yang membangun Pura Silayukti ini. Pujawali kali ini adalah peringatan 1000 tahun kedatangan Mpu Kuturan di Bali. (Percakapan itu terjadi pada tahun 2001) Setelah diam sejenak, anak saya berkata: “Perasaan nggak ada yang peduli apakah ini 1000 tahun Mpu Kuturan ke Bali atau tidak.” Keponakan saya lainnya malah dengan enteng menimpali: “Nak Lingsir, siapa itu Mpu Kuturan? Dia membangun pura ini? Jadi, kita ke sini bersembahyang ke Hyang Widhi atau ke Mpu Kuturan?” Tiba-tiba saja saya sudah memberi dharma wacana (pencerahan) kepada anak-anak muda Hindu — anak dan keponakankeponakan saya di dalam mobil yang jalannya tersendat. Tema
d 66 f
dharma wacana dadakan itu adalah siapa yang disembah ketika kita berada di sebuah pura peninggalan para leluhur, apakah Hyang Widhi atau roh suci leluhur yang kita muliakan yang berstana di pura itu? Kalau kita ke Pura Silayukti, kita menyembah Hyang Widhi atau kita menyembah roh Mpu Kuturan? Kalau kita ke Pura Lempuyang Madya, setelah capek menaiki undag-undag di bukit itu, kita menyembah Hyang Widhi atau menyembah roh Mpu Genijaya? Kalau kita berdesak-desakan dan antre tiga tahap saat pujawali di Pura Dasar Gelgel, siapakah yang kita sembah, Hyang Widhi ataukan Mpu Gana? Tentu menyembah leluhur selain menyembah Hyang Widhi. Namun, anak saya benar, umat yang datang ke Pura Silayukti tak peduli apakah hari ini 1000 tahun Mpu Kuturan menginjakkan tanah Bali atau tidak. Bahkan banyak yang tidak tahu, kenapa Mpu Kuturan memberikan nama Silayukti untuk tempat yang kelak dibangun pura ini. Kalau memakai bahasa sekarang, Silayukti itu berarti “dasar-dasar kebenaran”. Nama ini dipakai setelah Mpu dari Jawa ini berkelana di Bali dan menemukan begitu banyak sekte yang ada di Bali. Beliau ingin menyatukan sekte-sekte itu dan memberikan konsep serta pemikiran baru, bagaimana melakukan persembahyangan bersama untuk meminimalkan “ciri khas” dari sekte yang ada. MPU Kuturan datang ke Bali tahun 1001. Ketika itu di Bali berkuasa Prabu Udayana (989-1010). Oleh Raja Udayana, Mpu Kuturan dinobatkan sebagai penasehat kerajaan, utamanya dalam urusan rohani. Mpu Kuturan cemas melihat begitu banyaknya aliran (sekte) yang ada di Bali, seribu tahun yang lalu. Mpu Kuturan mendatangi pemimpin-pemimpin sekte, mempelajari apa yang menjadi ciri khas dari sekte itu, dan kemudian mencari solusi bagaimana agar terjadi persembahyangan lintas sekte tanpa menimbulkan keributan. Sekte atau aliran yang ada saat itu antara lain, Pasupatiya, Budha Bairawa, Waisnawa, Sogatha, Brahma, Pertapa, Sora, Ganapatya, Siwa Sidantha, Budha Ma-
d 67 f
hayana. Aliran Budha Mahayana ini adalah aliran di mana Mpu Kuturan menjadi salah seorang tokohnya. Nah, meskipun Mpu yang datang dari Kediri, Jawa Timur, ini sudah menganut aliran Budha Mahayana, beliau tidak mementingkan alirannya. Setelah mempelajari semua aliran yang ada, Mpu Kuturan menyimpulkan semua aliran itu sesungguhnya tetap memuja Hyang Widhi, hanya penekanannya kepada Istadewata yang tiga, yakni Brahma, Wisnu dan Ciwa. Mpu Kuturan lantas memperkenalkan konsep Tri Murti yang mencakup ketiga Istadewata itu. Masyarakat Bali menerimanya dengan sangat bersemangat, lalu dibangunlah apa yang kini dikenal dengan sebutan Tri Kahyangan, Pura Desa untuk memuja Brahma, Pura Puseh untuk memuja Wisnu, Pura Dalem untuk memuja Siwa. Beratus-ratus tahun kemudian, Tri Kahyangan ini justru dijadikan ciri dari desa pekraman (belakangan disebut desa adat), bahwa sebuah desa adat baru dinyatakan sah jika sudah mempunyai Tri Kahyangan. Demikian besar jasa Mpu Kuturan sehingga fanatisme sempit soal sekte tidak mencuat ke permukaan. Namun, cara-cara umat Hindu menjalankan ritual agamanya terus berkembang, mengikuti kemajuan peradaban dan mengadopsi pemikiran baru. Inilah cermin dari ajaran Weda yang tidak lekang oleh zaman.
d 68 f
Ikatan Soroh
J
ALAN Hasanuddin Denpasar, macet di siang itu. Ada upacara agama, begitu tertulis di sebuah peringatan kecil di jalan. Agama apa? Tentu saja agama Hindu. Tapi apakah upacara ngaben, piodalan, perkawinan, saya tak tahu. Supir saya mencaricari informasi ke beberapa orang yang lalu lalang. “Ada upacara pediksan Nak Lingsir, dari warga Bujangga,” kata supir saya kemudian. “Wah, telat kita tiba di kampung, padahal ada latihan mekidung di pasraman.” (Pediksan upacara dwijati untuk melahirkan seorang sulinggih). “Tenang saja,” jawab saja. “Ini upacara penting, kalau pediksan artinya akan lahir Rsi Bujangga yang baru, entah yang ke berapa, sudah puluhan ada Rsi Bujangga. Ini membanggakan kita sebagai orang Hindu.” Supir saya bertanya; “Apa itu Rsi Bujangga?” Saya jawab: “Kalau di warga kita, warga Pasek, itu namanya Pandita Mpu. Kalau di warga lain namanya ada Bhagawan, Peranda, Dukuh, Ida Rsi dan lainnya lagi. Semua itu adalah pendeta kalau dalam bahasa Indonesia, atau sulinggih dalam bahasa Bali.” Lalu lintas kembali normal, mobil bisa melaju lebih cepat. Tapi supir saya masih melanjutkan pertanyaannya soal sulinggih itu. Ia menanyakan, kenapa nama-nama sulinggih di Bali berbedabeda, kenapa tidak diseragamkan saja seperti di Buddha atau Kristen, misalnya.
d 69 f
Saya jawab, ini karena masalah soroh atau klan atau juga disebut warga oleh orang Bali. Tidak apa-apa sebutan itu berbeda, yang penting fungsinya sama, statusnya sama, derajatnya sama. Tak ada yang lebih rendah dan lebih tinggi. Ini menyangkut kebanggaan ikatan soroh juga. Kan belakangan ini muncul berbagai organisasi soroh atau yang lazim disebut presentana yang intinya adalah memuja leluhur atau kawitan yang sama. Namun, ada yang takut dengan organisasi ini, dengan alasan Hindu akan terpecah-belah. Apakah saya juga takut? Tidak. Saya sama sekali tidak takut dengan tumbuhnya organisasi warga atau ikatan soroh di kalangan umat Hindu di Bali. Bahkan saya setuju adanya “ikatan” itu, karena banyak manfaatnya. Setidak-tidaknya ada sebuah himpunan besar yang memelihara peninggalan para leluhur itu, baik yang berupa Pura Sad Kahyangan maupun Pura Pedharman yang bisa saja berstatus sebagai Kahyangan Jagat. Kemudian, anggota ikatan soroh itu berusaha meneladani sifat-sifat terpuji dari leluhur itu yang diwariskan dalam berbagai prasasti. Lalu, keluarga besar soroh itu bisa mencetak sulinggih masingmasing karena pada hakekatnya semua manusia berkedudukan sama dan semuanya berhak untuk menjadi sulinggih, sesuai swa-dharma yang mau dijalaninya. Sebelum eksisnya himpunan warga ini, tugas-tugas kebrahmanaan seolah-olah hanya diwarisi satu kelompok saja, dan seolah-olah itu hanya berdasarkan keturunan. Di mana-mana di muka bumi ini tidak ada swadharma manusia berdasarkan keturunan. Anak guru harus menjadi guru, anak petani singkong harus menjadi petani singkong, tidak ada itu. Tetapi memang seringkali terjadi bahwa anak seorang petani kopi akan menjadi petani kopi karena lingkungan dan wawasan yang sempit itu. Anak tentara menjadi tentara karena sejak kecil ada di komplek tentara. Bukankah sekarang zaman global yang memungkinkan anak lebih leluasa bergaul dan menambah wawasan? Yang perlu dicermati dari kumpulan warga ini adalah jangan
d 70 f
menjadi organisasi yang eksklusif, terutama cara pandang terhadap ajaran Hindu sebagai sebuah agama yang universal. Biarkan kelonggaran itu terjadi dalam hal urusan beragama, namun biarkan yang sempit itu ada jika terbatas pada urusan kawitan. Orang Bali Hindu yang melupakan kawitan adalah orang yang tidak baik. Ia seperti melupakan jasa besar leluhur yang telah mengasuhnya sejak dulu. Nah, untuk menghindari hal-hal eksklusif itulah saya kira perlu forum bersama antar-warga. Komunikasi harus dibangun sejak dini, sehingga sekat-sekat yang ada bukan jadi penghambat, tetapi justru untuk memperkokoh bangunan yang lebih besar. Apakah bangunan yang lebih besar itu? Tak lain adalah Agama Hindu. Forum bersama ini sesungguhnya yang tepat adalah Parisada, namun Parisada lebih berurusan dengan Hindu yang sangat luas, sementara ikatan soroh hanya ada pada umat Hindu di Bali. Kalau forum itu diambil alih oleh majelis desa pekraman, juga kurang tepat, karena urusan majelis desa pekraman pada masalah adat. Namun, yang jauh lebih penting lagi adalah kita bisa menempatkan diri, pada saat mana kita mencintai soroh dan pada saat mana kita mati-matian membela Hindu. Itu sebabnya, jika orang bertanya pada saya, di mana saya menempatkan diri dalam kaitan dengan agama dan soroh ini, saya akan menjawab: “Saya orang Hindu, saya bangga menjadi orang Hindu. Saya akan membela semua keyakinan itu, apakah itu pengikut Hare Krishna, Sai Baba, Waisnawa, Shiwa Sidantha, Hindu Kaharingan, Hindu Batak, Hindu Jawa, dan sebagainya. Tapi, saya warga Bali, saya pun bangga menjadi orang Bali. Kebetulan saya adalah keturunan Sang Sapta Rsi, karena itu orang-orang menyebut saya warga Pasek. Dan setelah saya mediksa, saya bergelar Ida Pandita Mpu. Tak ada yang istimewa.”
d 71 f
Kafir dan Tuduhan tak Beragama
W
AYAN Sudarma paling senang menonton sinetron di televisi. Apapun judulnya dia sukai, dari cerita anak-anak muda, drama rumah tangga, silat, sampai cerita horor. “Tak ada hiburan yang lain Nak Lingsir, supaya cepat mengantuk dan tidur,” katanya suatu kali. Nah, dari cerita-cerita di sinetron itu tiba-tiba Wayan bertanya tentang arti kata kafir. “Soalnya seringkali diucapkan oleh tokoh yang disebut Kiai. Kayaknya kata kafir itu artinya jelek. Bagaimana arti sebenamya Nak Lingsir?” begitu pertanyaannya. Karena Wayan Sudarma hanya lulusan SMP dan tidak banyak membaca buku-buku, apalagi buku agama lain, saya tak banyak mengulas kata yang ditanyakan itu. Saya hanya menyebutkan, istilah kafir adalah milik saudara kita umat Islam. Kata kafir itu ditujukan kepada mereka yang tidak sejalan dengan ajaran Islam, apalagi yang menentangnya. Bisa pula diartikan sebagai orang yang tidak beragama. Tapi itu semuanya dilihat dari sudut agama Islam. Kita tidak usah terlalu mencampurinya. Kalau pun kata itu ditujukan kepada kita, sebaiknya kita tertawa saja, karena kalau dari sudut mereka melihat kita tidak beragama, bisa juga kita balas dari sudut kita mereka tidak beragama. Jadi sama saja. Yang mengagetkan saya, Wayan Sudarma mengembangkan pertanyaan yang aneh. Yaitu, bagaimana dengan orang-orang
d 72 f
Bali yang tentu saja agamanya Hindu tetapi jarang ke pura, jarang sembahyang, tidak tahu mantram dan doa-doa apapun. Apa mereka bisa disebut beragama atau tidak? “Bagaimana contohnya?” pancing saya. Wayan pun bercerita. Ada banyak orang di desanya yang prilaku kesehariannya begitu polos, hidupnya sederhana dan cenderung disebut miskin, tetapi mereka tak sampai kekurangan pangan. Lantas ia menyebut satu nama. Pan Kacung, ini nama sehari-hari, bukan nama asli Di rumah Pan Kacung tidak ada buku, apalagi buku-buku agama. Anak-anak mereka sudah bekeluarga dan tinggal jauh di desa lain. Sehari-hari lelaki itu berada di kebun. Istrinya jarang membuat sesajen tatkala rainan, paling hanya canang sari. Tidak sempat, dan tidak punya uang membeli janur, katanya. Sanggah kemulan di rumahnya yang terbuat dari pohon dadap (turus lumbung) ditumbuhi rumput tinggi, pertanda memang jarang dibersihkan. Keluarga ini mengaku baru membuat sesajen jika ada piodalan di pura panti, itu pun sederhana. Mereka datang ke pura memakai baju seadanya, bukan baju putih potongan safari. Destarnya juga dari batik yang lusuh, karena tak punya yang lebih baik. Ketika pemedek melantunkan Trisandhya, dia diam saja karena tidak bisa. “Apakah dia sering mencuri? Atau suka bikin ribut?” tanya saya. Wayan Sudarma mengatakan tidak pernah, malah Pan Kacung disebutnya sangat jujur. Lagi pula suka menolong orang. Malah tetangga dekatnya yang aktif di pesantian dipergoki berselingkuh. Tetangganya yang lain sangat aktif dalam kegiatan agama, sore hari memutar kaset Tri Sandhya dari rumahnya. Kalau ada rapat di banjar atau dharmatula, dia paling rajin bersuara, kutipan sloka-sloka suci meluncur dari mulutnya. Tapi ia terlibat korupsi koperasi milik petani. Rumah tangganya juga
d 73 f
hancur, konon satu anaknya juga terjerat narkoba. “Kalau begitu yang menjalankan ajaran agama dengan baik adalah Pan Kacung, sedangkan tetangga-tetangganya yang lain beragama di kulit saja. Sekarang Pan Kacung tinggal diarahkan untuk beragama yang benar, misalnya, rajin sembahyang Tapi soal sembahyang dan sebagainya kan masalah ada kendala, soal kemiskinan, misalnya. Tapi saya yakin Pan Kacung pastilah selalu mengucapkan syukur ke hadapan Hyang Widhi, terbukti prilakunya baik sekali. Hanya orang yang selalu bersyukur ke hadapan Hyang Widhi yang bisa mengendalikan dirinya, yang mana tindakan itu benar dan yang mana salah. Mengucapkan syukur meskipun itu tidak memakai sarana banten adalah wujud dari doa yang sesungguhnya. Suatu ketika, jika Pan Kacung punya waktu dan uang lebih, pasti ia akan bersyukur lewat banten atau sesajen. Jadi, jangan suka menuduh orang lain tidak beragama.”
Anak-anak latihan gong di pasraman
d 74 f
Ciri Sang Pemimpin
Hyang indra yama surya candra anila, kuera baruna agni nahan wwalu, sira ta maka angga sang bhupati, matang nira inisti astabrata. Terjemahan bebasnya: Dewa Indra, Yama, Surya, Candra, Anila, Kuera, Baruna dan Agni, delapan dewa yang patut ditiru yang disebut Astabrata, seharusnya dihayati oleh seorang pemimpin agar meresap dalam jiwa raganya.
S
LOKA di atas dari Kekawin Ramayana XXIV.52 sebagai petikan dari nasehat Sri Rama kepada Wibhisana yang diangkat menjadi Raja Alengka setelah tewasnya Rahwana. Sesekali kita mengupas kekawin, sastra lama yang mulai asing di kalangan anak-anak muda, untuk mencari contoh bagaimana seharusnya seorang pemimpin bersikap. Kebetulan saat ini kita krisis pemimpin, banyak pemimpin yang sudah kehilangan sifat-sifat kepemimpinan yang jauh dari ajaran Astabrata. Berlaku sebagai Dewa Indra berarti pemimpin meningkatkan kesejahtraan masyarakat yang dipimpinnya. Pemimpin tak bisa mementingkan dirinya sendiri, korupsi memperkaya diri, misalnya. Berperilaku sebagai Dewa Yama yang adil dalam melayani
d 75 f
masyarakat, bukan hanya melayani kelompok atau golongannya saja. Berperilaku sebagai Dewa Surya yang memberikan penerangan kepada seluruh rakyat yang dipimpinnya, mencerdaskan kehidupan masyarakat dari kegelapan pengetahuan. Pemimpin harus meneladani Dewa Chandra, memberikan sinar kesejukan dan ketentraman pada masyarakat. Juga seperti Dewa Anila, dewanya angin, memberikan dorongan untuk memajukan masyarakat. Pada akhirnya pemimpin itu berfungsi sebagai Dewa Kuera yang memberikan “kekayaan” dalam arti kesejahtraan kepada rakyatnya. Tapi sebaliknya, pemimpin harus berani dan mampu menghukum siapa-siapa yang berbuat jahat meniru Dewa Baruna yang siap menggulung segala angkara. Puncaknya adalah berprilaku sebagai Dewa Agni yang mampu melihat ke masa depan namun menjauhkan masyarakatnya dari mara bahaya yang terjadi. Apakah kita sudah memiliki pemimpin seperti ajaran Astabrata itu? Pemimpin yang jujur, adil, dan tidak membeda-bedakan siapa kita, apa warna kulit kita, apa pekerjaan kita, dan di mana kita tinggal. Mari kita bercermin pada alam, dan kita mencari teladan pada alam itu sendiri. Sinar bulan menerangi seluruh isi bumi tanpa kecuali. Sinarnya ada di kota-kota, baur dengan sinar kemerlap lampu listrik. Namun, keangkuhan masyarakat kota yang dimanjakan penerangan berteknologi modern seperti listrik, bisa membuat mereka buta akan keindahan bulan. Tetapi bulan tetap menyinarinya, tanpa peduli apakah yang disinari itu merasakan manfaatnya atau tidak. Sinar bulan, apalagi tatkala purnama yang indah, juga menyinari tempat-tempat becek, di kampung yang kumuh, bahkan di hamparan tanah yang luas tanpa ada orang di sana. Untuk apa sinar bulan yang indah itu memancar di tempat-tempat di ma¬na tak ada orang? Karena bulan, chandra, memberikan keadilan seadil-adilnya. Kalau ada orang yang mengaku tidak mendapat-
d 76 f
Ketika pasraman dikunjungi Wakil Bupati Tabanan, Komang Senjaya
kan kenikmatan yang adil, itu karena kesalahannya sendiri tidak memberi tempat untuk masuknya sinar purnama. Mungkin ditutupi oleh ego yang tinggi atau keangkuhan dan kesombongan yang besar. Artinya, kalau ada orang yang selalu mencemoh dan menyalahkan pemimpin padahal pemimpin itu sudah berbuat adil, maka orang itulah yang egonya tertutup oleh nafsu buruk, entah karena dendam tertentu atau karena memang tak suka kepada pemimpin itu tanpa alasan yang jelas. Astabrata adalah ajaran yang mulia, bagaimana seorang pemimpin yang mencari padanan dari keajaiban alam. Tetapi sebaliknya, warga masyarakat pun wajib patuh kepada pemimpin yang sudah berprilaku baik. Dalam salah satu sloka Weda (Yajur Weda IX. 40) disebutkan: asmai visah esa vo ami raja. Arti bebasnya: warga masyarakat patuh kepada pemimpinnya dan kewajiban pemimpin melindungi warganya. Mari kita menjaga kewibawaan pemimpin dengan menghormati tugas yang diembannya, yang pada akhirnya akan membawa kewibawaan pada seluruh masyarakat.
d 77 f
Hati-Hati Memilih Guru
S
UDAH cukup lama saya meninggalkan pasraman dan berkelana ke luar daerah. Ya, perjalanan biasa saja, ingin mencari suasana baru, mencari perbandingan, dan juga belajar kepada alam dan seluruh isinya. Tiba-tiba pasraman menjadi lebih bersih dan lebih rapi. “Om Swastyastu. Saya dengar Nak Lingsir mengunjungi guru-guru suci di berbagai daerah. Apa oleh-olehnya Nak Lingsir?” tanya Putu Bagus, yang menjaga kebersihan pasraman. Saya tak ingin bercerita, masih ada rasa capeknya. Saya hanya ingin mengulang kisah-kisah lama yang sudah sering disampaikan oleh banyak orang tentang Guru Suci. Siapakah dia? Karena Putu Bagus dan beberapa temannya sudah siap mendengar “oleh-oleh” dan saya, maka saya pun memulainya. Tersebutlah seorang guru, sudah agak tua, matanya sudah rabun. Pada suatu hari, beliau berteriak dan memanggil-manggil muridnya yang sedang ada di kamar. “Hai... kemari, lihat ada ular di dekat pintu, cepat kau bunuh ular itu.” Seorang murid segera mengambil tongkat hendak membunuh ular itu. Tetapi tiba-tiba gurunya berkata, “Hai... ternyata bukan ular. Itu hanya tali, aku salah lihat.” Mendengar ucapan guru itu, murid pun urung mengayunkan tongkatnya.
d 78 f
Selang beberapa lama, guru itu kembali berkata, “Hai, muridmuridku, temyata itu betul-betui ular. Ya, itu ular, cepat kalian bunuh...” Beberapa murid kembali mengambil tongkat, dan seseorang siap memukul ular yang melingkar di depan pintu itu. Namun, lagi-lagi Sang Guru berteriak: “Bukan, itu hanya tali yang melingkar-lingkar...” Murid-murid yang sudah siap dengan tongkalnya kembali lagi kecewa dan malah ada yang melemparkan tongkat itu. Berkali-kali hal itu terulang. Berkali-kali Sang Guru bolak balik bilang ular dan tali. Anehnya, berkali-kali pula para muridnya mengikuti apa kehendak Sang Guru. Disebut ular, muridnya siap membunuh, disebut tali muridnya siap untuk tidak membuangbuang tenaga. Untuk apa membunuh tali? Seorang murid memang harus taat dan patuh kepada gurunya. Tetapi, di zaman Kali (Kali Yuga) ini, banyak ada guru-guru palsu. Guru yang belum banyak mempelajari Weda, guru yang jarang membaca kitab-kitab seperti Yodadarshana, Vedanta Sara dan lain-lainnya yang banyak memberikan contoh bagaimana kita keliru atau bingung melihat sesuatu. Murid yang tidak waspada dan menerima guru yang belum semestinya, hanya akan terombang-ambing. “Jadi, bagaimana memilih guru dan siapa guru sejati itu?” tanya Putu Bagus dengan beraninya memotong kisah saya tadi. Saya hanya menjawab ringkas saja: “Pilihiah guru yang benarbenar telah melakukan dhiksa di hadapan Guru Nabe yang berkualitas, yang disaksikan oleh masyarakat banyak. Hati-hati memilih guru yang tidak jelas di mana dia melakukan dhiksa. Akan halnya Guru Sejati, itu hanyalah Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa. Hanya Beliau satu-satunya Guru Sejati.” Om Gurave Narnah Om Parama-Gurave Namah.
d 79 f
Tumpek Uduh dan Buah Bali
A
DA seorang pejabat dari Dinas Peternakan Bali yang meminjam aula pasraman untuk memberi penyuluhan kepada penduduk tentang berbagai usaha peternakan yang “pasti laku” di Bali. Ia menyebutkan, misalnya, beternak ikan air tawar, beternak itik dan ayam kampung. Pejabat itu memberi ilustrasi bagaimana sebuah restoran di Renon, Denpasar, yang setiap hari mendatangkan ribuan ikan mujahir dari Jawa. Bahkan disebutkan ayam betutu Men Tempeh yang pusatnya di Gilimanuk dan kini sudah punya cabang di berbagai tempat setiap hari mendatangkan ribuan ayam kampung dari Jawa Timur. Kenapa Bali tak menggarap sektor ini? Contoh itu pun diperpanjang sampai di luar urusan peternakan, meski pun tetap dalam lingkungan pertanian. Misalnya disebutkan janur setiap hari didatangkan dari Situbondo. Bahkan hampir semua sarana persembahyangan di Bali bahan bakunya datang dari Jawa. Di Pasar Badung bunga dari Jawa mengalir ke Bali, dan di Pasar Batu Kandik, Padangsambian Denpasar, puluhan truck dari Jawa datang membawa pisang. Bali sangat tergantung pasokan bahan-bahan upacara dari Jawa.
d 80 f
Kenyataan ini ternyata menarik dibicarakan di malam harinya oleh orang-orang yang suka ke pasraman. Soalnya, hari itu bertepatan dengan rahinan Tumpek Uduh atau disebut juga Tumpek Pengatag atau Tumpek Wariga. Tumpek ini bisa disebutkan sebagai awal dari rangkaian panjang Hari Raya Galungan-Kuningan, hari kemenangan dharma yang diperingati dengan meriah oleh umat Hindu etnis Bali. Di hari Tumpek Uduh itu orang-orang Bali menghaturkan sesajen ke kebun-kebun, tempat di mana pohon-pohon yang sedang berbuah. Upacara ritual ini masih tetap berlangsung di desa saya dengan menyebutkan “ngerasakin”. Pohon pisang, pohon mangga, jeruk, durian, sotong, dan semua pohon berbuah diberikan sesajen atau setidaknya sesajen dihaturkan di sebuah tempat di mana berjenis-jenis pohon itu berada. Dalam tradisi para tetua di masa lalu, pohon-pohon itu malah dipeluk sambil diajak berdialog seolah-olah pohon itu bisa mendengar: “Kaki-kaki enggalang nasak buahne, Galungan buin selae lemeng”. (Ini bahasa Bali madya yang artinya: Kaki-kaki cepat matang buahnya, Galungan lagi 25 hari.) Artinya, orang Bali di masa dulu sudah menyiapkan rangkaian Galungan dengan berharap bahwa buah yang akan dipersembahkan itu adalah buah dari kebunnya sendiri, buah yang sudah “diperciki tirta suci” saat Tumpek Uduh. Sampai sekarang ritual “ngerasakin” berlangsung, meski pun pohon yang berbuah itu sudah mulai jarang ada, atau masih ada satu dua. Nah, ironisnya apa yang terjadi pada saat Galungan, bahkan pada saat orang-orang Bali menghaturkan sesajen tatkala ada hari raya keagamaan? Buah dibeli di pasar swalayan. Ada buah peer dari Cina, apel dari Amerika atau New Zeland, jeruk dari Bangkok. Kalau pun bukan buah impor semuanya buah dari luar Bali, jeruk Pontianak, apel Malang, pisang dari Jember dan sebagainya. Dengan alasan lebih mudah dengan cara membeli dan bentuknya lebih indah, maka buah lokal menjadi dikesampingkan. Kalau begitu halnya, untuk apa ada Tumpek Uduh
d 81 f
atau Tumpek Pengatag, untuk apa lagi pohon-pohon buah di Bali diberikan sesajen? Bukankah berarti sesajen itu lebih tepat kalau “dihaturkan” di pasar swalayan? Saya pun meminta untuk introspeksi atau istilah Bali mulat sarira. Ada yang salah dalam menerapkan ajaran agama yang prakteknya sudah diwariskan para leluhur kita di masa lalu. Leluhur kita sejak menanam pohon, tumbuh besar, berbuah, semuanya dalam rangkaian ritual. Sejak menanam itu yadnya sudah mulai dipersembahkan. Di dalam berbagai ajaran Hindu ada disebutkan, persembahkanlah hasil tanaman dari bumi di mana tanah itu dipijak, di mana keringat membasahi ibu pertiwi. Sekarang kita sudah menyia-nyiakan buah dari “ibu pertiwi Bali” hanya karena disebut kurang indah dilihat. Kita tak lagi menghaturkan nenas, sotong, juwet tetapi buah-buah dari pasar swalayan, bahkan yang masih terbungkus plastik pula – jangan-jangan masih ada label harganya. Lalu kalau ditambah dengan janur dari Sitobondo atau janur Sulawesi dan bunga dari Banyuwangi, ayam atau itiknya dari Probolinggo maka lengkaplah sudah yang dipersembahkan itu datang dari “bumi yang bukan kita pijak”. Apalagi pada hari Galungan, babi yang disembelih pun sudah “babi putih” hasil peternakan di Jawa, padahal ada hari Tumpek Kandang di mana hewan di Bali pun diberikan sesajen. Sebaiknya kita menyadari kesalahan ini dengan berangsurangsur memenuhi kebutuhan dari dalam Bali sendiri terutama dalam kaitan dengan yadnya. Pikiranpun jadi hening dan tidak was-was karena yakin buah dan bunga yang kita pakai persembahan itu tumbuh di tempat suci, bukan di tempat yang kotor. Maka ajakan pejabat tadi untuk kembali menanam pohon buah, kembali beternak ikan dan hewan lain, adalah ajakan yang layak diikuti. Setiap halaman yang kosong sebaiknya ditanami pohon, kalau tak memungkinkan pohon berbuah, tanamilah dengan bunga.
d 82 f
Kita sudah kehilangan ritual “ngelinggihang Hyang Nini” karena padi di sawah sudah menjadi gabah dan tak bisa diangkut ke lumbung, lagi pula lumbung itu sudah tidak ada. Apakah suatu saat kita akan kehilangan ritual Tumpek Uduh karena tidak ada lagi pohon berbuah yang dijadikan persembahan yadnya? Saya ikut mengajak para petani termasuk pegiat lingkungan ikut mengambil peran dalam hal ini, karena persoalannya bukan saja dalam kaitan yadnya, tetapi nilai ekonomisnya pun tinggi karena kebutuhan itu ada. Mari ajak warga untuk menanam pohon, entah itu pohon yang menyangga lingkungan dalam pengertian melestarikan alam, maupun pohon berbuah dan berbunga yang dibutuhkan untuk ritual yadnya. Masak untuk maturan ke pura saja kita cari bahannya di luar Bali, apakah di Bali tak ada tanah subur?
d 83 f
Lengeh Celenge
A
DA beberapa orang ngobrol di taman. Ada yang berbicara sedikit keras. Tiba-tiba seseorang setengah berteriak menuding seseorang sambil berkata: lengeh celenge.... Saya kaget dan mendekati orang-orang yang lagi ngobrol itu, kenapa sampai berbicara yang kasar dan menuduh temannya sebagai celeng (babi) yang lengeh (mabuk). Ketika saya tanyakan kata yang kasar itu, semuanya justru tertawa. “Nak Lingsir, ini hanya kata kiasan, bukan kata kasar. Ini boleh disebut kata slank dalam bahasa Bali yang dipopulerkan oleh pelawak Dolar dan Petruk. Maksudnya untuk seseorang yang lagi bingung atau sejenisnya. Jadi yang lengeh bukan dia, celeng yang lengeh...” “O, begitu. Tapi, kalau kita terbiasa mempopulerkan kata kiasan dan lama-lama menjadi tradisi, sulit sekali mengembalikan ke permasalahan awalnya. Apalagi sejarah dari munculnya kata-kata itu sudah tidak diingat lagi oleh penggunanya. Bisa saja kan nanti anak cucu kita tidak tahu awal kisah kata-kata itu, tiba-tiba dia menunjuk ke seseorang: lengeh celenge. Jangan-jangan orang yang dituding itu marah karena disamakan dengan celeng. “Coba saja perhatikan istilah nampah celeng (menyembelih babi). Umat Hindu di Bali ramai-ramai nampah celeng sehari se-
d 84 f
belum Galungan, karena memang hari itu disebut Penampahan Galungan. Orang tidak lagi berpikir bagaimana para leluhur kita di masa lalu mengeluarkan istilah nampah celeng. Kata nampah celeng itu yang dimaksudkan adalah membunuh hewan. Apakah hewan beneran atau celeng beneran? Tidak. Ini kata kiasan juga. Yang dimaksudkan pada awalnya adalah membunuh sifat-sifat hewani yang ada di dalam diri manusia, agar bisa melaksanakan yadnya dan bhakti di Hari Raya Galungan. Sang Kala Tiga Galungan yang merasuk ke diri setiap manusia harus dilawan sebelum kita memasuki Hari Raya Galungan. “Celeng sering dijadikan simbul, karena binatang ini sangat malas: kalau lapar teriak-teriak, kalau kenyang tidur. Sifat malas dalam diri manusia itu juga harus dibunuh, selain musuh yang lainnya seperti Sadripu, Sapta Timira dan sejenisnya. Jadi, marilah kita mulai mengupas makna kata-kata kiasan yang tersembunyi di balik ritual agama, agar kita bisa menjalankan kewajiban agama dengan benar, sesuai ajaran Hindu yang luhur.”
Anak-anak pasraman latihan menari
d 85 f
Bagaimana Merayakan Galungan
K
ARENA terlanjur membicarakan banyak salah kaprah dalam merayakan Galungan, sebuah obrolan santai berlangsung di balai bengong dekat kolam di pasraman. Saya diminta menjelaskan asal-usul yang agak rinci tentang hari raya Galungan yang dirayakan umat Hindu etnis Bali setiap enam bulan Wariga Bali atau 210 hari yang jatuh pada setiap Rabu Kliwon Wuku Dungulan. Saya katakan, tidak jelas kapan istilah Galungan muncul, kapan perayaan Galungan dimulai, dan leluhur kita yang mana memperkenalkan rangkaian perayaan Galungan. Tak ada bahan otentik yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis. Dalam pustaka-pustaka kita hanya tahu kalau di abad ke 11 hari raya Galungan sudah dirayakan di zaman Kerajaan Jenggala. Ini dimuat dalam Kidung Panji Amalat Rasmi. Begitu pula kalau kita menyimak Pararaton, disebutkan pada akhir Kerajaan Majapahit, Galungan sudah dirayakan dengan besar-besaran. Apakah perayaan itu sama dengan di Bali tak ada bahan pembanding, karena di Bali sendiri perayaan Galungan pernah ada dan tiada. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan di Bali pada tahun 804 Saka, persis saat itu adalah
d 86 f
Purnama Kapat. Tapi perayaan ini berhenti pada tahun 1103 Saka. Tidak diketahui kenapa setelah tiga abad Galungan dirayakan tiba-tiba berhenti begitu saja. Baru di tahun 1126 Saka, perayaan Galungan diadakan kembali, yakni pada pemerintahan Raja Sri Jaya Kesunu. Untung absennya tidak begitu lama. Tapi, apa yang terjadi selama 23 tahun Galungan tidak dirayakan? Apakah ada perubahan tafsir dalam menentukan perayaan kemenangan dharma itu atau hanya masalah “politik kerajaan” terkait dengan perselihan di antara raja-raja? Tak ada yang bisa menjawabnya. Yang bisa diperkirakan adalah perayaan Galungan mengalami perubahan yang disesuaikan dengan zaman dan situasi sosial masyarakat. Kearifan lokal leluhur orang Bali dikenal sangat tinggi dan adaptasi agama dengan budaya demikian kentalnya. Perayaan Galungan sebagai wujud dari perayaan kemenangan dharma melawan adharma, inti awalnya adalah “pembersihan diri” dan “menegakkan kembali jati diri”. Ini disimbolkan dengan datangnya Sang Kala (Bhuta) Tiga yang terdiri Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat. Tiga bhuta ini adalah simbol-simbol kejahatan. Bhuta Galungan muncul pada Minggu (Redite) Wuku Dungulan, Bhuta Dungulan pada Senin (Soma) esok harinya, sedangkan Bhuta Amangkurat muncul pada Selasa Wuku Dungulan, esok harinya lagi, sehari sebelum Galungan. Jadi ketiga bhuta (simbol kejahatan) ini datang tiga hari berturut-turut menjelang Galungan dan itu yang harus kita kalahkan sehingga pada Rabu Wuku Dungulan kita merayakan kemenangan. Pada hari Rabu itu jasmani kita sudah bersih oleh nafsu-nafsu jahat dan menemukan kembali jati diri kita sebagai manusia yang suci. Pada perkembangan kemudian dengan diserapnya budaya lokal, Galungan menjadi “otonan gumi” dan di situlah berbagai sesajen diperkenalkan termasuk pemujaan kepada leluhur. Galungan sebagai kemenangan dharma mendapat tambahan
d 87 f
sebagai hari raya untuk berterimakasih dan bersyukur (angayubagia) kepada Hyang Widhi atas terwujudnya bumi yang makmur subur (gemah ripah loh jinawi). Kita bisa lihat saat ini berbagai ornamen sesajen memunculkan lambang kemakmuran, seperti penjor yang dihiasi hasil alam dari padi, jagung, kelapa, buah-buahan dan berbagai jajan. Begitu pula persembahyangan ke pura. Kemungkinan dari sini leluhur kita menciptakan rentetan perayaan Galungan begitu panjang, dimulai dari Tumpek Pengarah, 25 hari sebelum Galungan. Nama Tumpek (Sabtu Kliwon) ini beragam, ada yang menyebutnya Tumpek Uudh, Tumpek Pengatag dan juga Tumpek Wariga, sesuai nama wukunya. Di sini umat memuja Sang Hyang Sangkara, dewa tumbuh-tumbuhan. Orang datang ke kebun memberi sesajen kepada segala pohon yang berbuah, dari pisang, kelapa, pepaya, durian, nangka, jambu, dan sebagainya. Inilah bentuk adaptasi ajaran agama dan budaya Bali yang dipengaruhi oleh budaya agraris. Umat datang dengan doa-doa yang intinya, kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah: “Hai pohon-pohon, berbuahlah segera, 25 hari lagi Galungan, kami mempersembahkan semua hasil alam untuk kesejahtraan bumi”. Pertanyaan besar sekarang, ketika masyarakat Bali mulai berpaling dari budaya agraris ke budaya industri, sejauh mana Galungan dimaknai? Lihatlah kenyataan saat ini. Orang Bali pada Tumpek Uduh masih membawa sesajen ke kebun, semua pohon buah diberi sesajen. Tetapi ketika Galungan tiba, mana ada buah Bali yang dijadikan sesajen? Mana ada buah pepaya, nangka, durian, jambu, nanas dan sebagainya untuk sesajen? Orang Bali sudah membeli apel, peer, jeruk yang datang dari luar negeri di pasar swalayan. Ini sudah saya jelaskan sebelumnya (lihat Tumpek Uduh dan Buah Bali, halaman 93) Konsep merayakan Galungan sudah salah kaprah sekarang. Awal-awalnya, konsep itu adalah “berperang” melawan Sang
d 88 f
Kala (Bhuta) Tiga. Memerangi nafsu hewani ini disimbolkan dengan ungkapan “nampah celeng” (menyembelih babi). Sekarang betul-betul menyembelih babi, bukan “menyembelih nafsu hewani” dengan melakukan pengendalian diri atau meditasi, misalnya. Yang terjadi pesta pora dengan makanan berlimpah dan bau arak, Justru ini adalah “sahabatnya” para bhuta. Mari introspeksi diri, bagaimana mengembalikan esensi perayaan Galungan sesuai konsep para leluhur. Yakni melakukan pengendalian diri dengan membunuh nafsu-nafsu buruk bak nafsu hewani sehingga kita merayakan Galungan dengan kemenangan dharma melawan adharma.
d 89 f
Galungan Kemenangan Dharma
M
ASIH saja orang-orang bertanya tentang Galungan. “Belum puas Nak Lingsir, masih banyak yang tidak tahu, hari raya Galungan sebagai kemenangan dharma itu bagaimana persisnya,” tanya Putu Bagus, yang mengaku mewakili temantemannya. Sebenarnya saya bosan, tetapi saya minta mereka berkumpul di aula, dan saya member dharmawacana singkat. Galungan artinya kemenangan. Dungulan sebagai nama wuku, juga berarti kemenangan. Umat Hindu memiliki ajaran yang luhur untuk merayakan kemenangan. Menang di mana dan menang melawan apa? Apakah menang di meja judi? Tidak sembarang kemenangan. Yang dirayakan adalah kemenangan dharma. Dharma kalau disederhanakan artinya kebenaran. Jadi, menangnya kebenaran itulah yang dirayakan oleh umat Hindu. Sepintas seperti aneh, bukankah kebenaran itu semestinya selalu menang? Kalau kita hidup di zaman Satya Yuga atau Treta Yuga, barangkali betul. Tetapi ini era Kali Yuga, zaman penuh kegelapan, yang menang itu belum tentu yang benar. Para “penentu kebenaran” sudah direcoki oleh virus-virus angkara murka, kelobaan, kedengkian, iri hati, dan sifat buruk lainnya yang bertentangan dengan dharma. Itulah sifat-sifat adharma. Wasit bisa memihak, hakim dan jaksa bisa disuap.
d 90 f
Adharma bercokol dalam diri kita sendiri, besar dan kecilnya bervariasi. Nah, sifat adharma itulah yang harus kita kalahkan. Kita awali dengan niat yang suci, melakukan pembersihan diri, baik dengan tapa, japa, brata yang dalam bahasa sekarang bisa kita sebut “tekad untuk berbuat suci”. Umat Hindu di Bali menyediakan hari yang disebut Sugian Jawa dan Sugian Bali, itulah hakekat pensucian diri. Sugian Jawa dilaksanakan pada Kamis, enam hari sebelum Galungan. Tujuannya untuk membersihkan alam (bhuwana agung), sesuatu yang kasat mata seperti sanggah, merajan dan sebagainya. Esoknya, Jumat, Sugihan Bali, yang artinya wali (kembali) melakukan pembersihan. Yang dibersihkan adalah diri kita sendiri (bhuwana alit). Ketika segala yang kotor itu sudah bersih, mari kita belenggu keingingan jahat (adharma) kita. Leluhur kita di Bali mengenal Hari Penyekeban (Sabtu) dilanjutkan Hari Penyajaan (Minggu). Lalu dilanjutkan Pengejukan (Senin), itulah saatnya kita membelenggu nafsu jahat kita. Pada akhirnya segala yang jahat dan kotor kita musnahkan, kita “sembelih” sifat-sifat hewani buruk yang ada pada diri kita. Itu disebut Hari Penampahan (Selasa). Jika semua tahap itu bisa kita lakoni dengan baik, pada Rabu Keliwon Wuku Dungulan, semuanya itu kita syukuri sebagai kemenangan dharma. Inilah Galungan. Kita selalu memaknai Galungan tanpa pernah mencari apa arti di balik simbol-simbol yang diciptakan oleh leluhur kita ini. Kita sudah letih “jalan di tempat” dan tak pernah maju-maju dari jebakan ritual. Ritual memang perlu, tetapi bukan berhenti di sana. Ribuan babi disembelih orang Bali pada saat Penampahan Galungan, ribuan penjor berdiri di pinggir jalan, ratusan pura dikunjungi dan dihaturkan sesajen saat Galungan, tetapi apakah dharma sudah menang, apakah sifat-sifat adharma sudah berkurang? Lihat di sekeliling kita, umat Hindu bertengkar soal kuburan, berbeda partai saling bacok. Lalu apa arti merayakan
d 91 f
Galungan kalau adharma tak pernah berkurang? Suksesnya perayaan Galungan seharusnya bisa dilihat dari masyarakat yang lebih tentram dan damai. Galungan memang tak ada dalam kitab suci Weda. Namun, merayakan kemenangan dharma melawan adharma, yang pada hakekatnya adalah ajaran untuk selalu berbuat yang “benar”, menghiasai banyak sloka-sloka suci Weda. Karena Hindu menyebar di dunia dengan memberi keleluasaan untuk menyerap budaya lokal, maka “perayaan dharma” ini berbeda bentuknya. Perayaan itu pun kemudian dicarikan simbol-simbol lokal untuk lebih membumi, sehingga masyarakat yang awam mudah untuk menghayatinya. Di India, kemenangan dharma itu dirayakan dua kali setahun. Di bulan April (Waisaka) dirayakan dengan sebutan Wijaya Dasami. Simbol yang diambil adalah kemenangan Dewi Parwati mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura. Hari raya ini juga disebut Durga Nawa Ratri. Kemudian di bulan Oktober (Kartika) simbol yang diambil adalah kisah kemenangan Rama atas Rahwana. Perayaan ini disebut Rama Nawa Ratri. Inti dari kedua perayaan itu sama, bersyukur dan bersukaria atas kalahnya adharma. Umat Hindu di Jawa sebaiknya juga merayakan Galungan. Dalam Kidung Panji Amalat Rasmi dan Kidung Pararaton, disebutkan pernah ada perayaan kemenangan dharma di zaman Majapahit pada wuku Dungulan. Wariga yang ada di Bali sumbernya adalah di Jawa. Masalahnya mungkin – ini perlu dikaji—leluhur kita di Bali mengkaitkan perayaan Galungan itu dengan mitos Mayadenawa. Sampai saat ini, masyarakat Bali terjebak pada mitos itu. Padahal tak ada prasasti apapun tentang Mayadenawa yang dikaitkan dengan Galungan, kecuali karya sastra yang sifatnya fiksi. Mungkin itu sebabnya umat Hindu nonBali melihat Galungan itu terlalu lokal Bali.
d 92 f
Rangkaian Upacara Hari Raya Galungan 1. Sugian Jawa, Kamis, diselenggarakan upacara pembersihan bhuwana agung (sanggah, merajan). 2. Sugian Bali, Jumat, lima hari sebelum Galungan. Diadakan selamatan pada bhuwana alit. 3. Hari penyekeban, Minggu. Mulai menyimpan semua buah-buahan ditempat penyekeban, agar matang tepat hari Galungan. Pengertian rohani mulai mempersiapkan diri menyambut hari suci dengan melaksanakan pengendalian diri. 4. Hari Penyajaan, Senin. Disebut juga Hari Pengejukan. Secara nyata mulai membuat jajan untuk dipersembahkan ke hadapan leluhur. Mulai menangkap hewan (babi atau ayam) untuk dijadikan korban. Secara rohani, mulai melakukan pengekangan diri dan membelenggunya lebih mantap. 5. Hari Penampahan, Selasa. Mulai menyembelih hewan untuk persembahan. Secara rohani membunuh sifat-sifat hewani atau adharma yang ada di dalam diri. 6. Hari Raya Galungan, Rabu, hari kemenangan dharma. Menghaturkan sesajen kepada para leluhur, dan Hyang Widhi dengan penuh syukur. 7. Umanis Galungan, Kamis. Berkunjung ke keluarga yang jauh, saling mendoakan kebaikan.
d 93 f
Merayakan Hari Kuningan
S
UDAH saya duga, selesai memberi penjelasan tentang Galungan, anak-anak pasraman minta diteruskan dengan pemaparan tentang Hari Raya Kuningan. “Soalnya setiap bicara Galungan selalu disertai Kuningan. Kan ucapan selamatnya begitu Nak Lingsir, Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan,” kata Putu Bagus. Maka, saya pun kembali member wejangan singkat. Merayakan Kuningan bagi umat Hindu di Bali lebih banyak ditujukan kepada leluhur. Karena itu yang dominan di sini adalah tumpeng. Bahwa tumpeng itu warnanya kuning, tidak jelas sumber sastranya. Mungkin juga leluhur kita di masa lalu tak begitu jelimet harus mengacu kepada sastra agama, tetapi lebih pada kebiasaan masyarakat setempat bahwa tumpeng kuning itu enak dipandang dan enak dimakan. Kebiasaan membuat tumpeng kuning sudah ada sejak lama sebelum Hindu masuk di Indonesia. Namun, Hari Raya Kuningan tidak spesifik diatur dalam Kitab Weda. Sebagaimana halnya hari raya lain, semuanya mengacu kepada tradisi lokal, hanya jiwanya saja ada dalam ajaran agama. Misalnya, umat Hindu dianjurkan untuk merayakan hari
d 94 f
kemenangan dharma setelah simbo-simbol adharma ditumbangkan. Umat Hindu di India memakai mitologi kemenangan Rama atas Rahwana, umat Hindu di Bali memakai mitologi Mayadanawa. Jadi, nama hari raya bisa beda dan kapan dirayakan serta bagaimana cara merayakannya juga berbeda-beda. Tapi, ada aturannya yang bersifat lokal. Sayangnya, aturan merayakan Kuningan hanya sedikit dan itu dimuat dalam lontar Sundarigama. Disebutkan di situ, hendaknya umat menghaturkan sesaji pada pagi hari dan jangan menghaturkan sesaji setelah lewat tengah hari. Kenapa begitu? Karena yang dihaturkan sesaji berupa tumpeng berwarna kuning itu adalah Dewa Pitara alias leluhur kita sendiri. Para leluhur ini akan “kembali ke sorga” pada tengah hari. Umat Hindu menyembah (dalam hal ini lebih baik digunakan istilah memuliakan) leluhur dan menyembah Hyang Widhi. Dalam ajaran Hindu juga disebutkan roh para leluhur menyatu dalam sinar suci Hyang Widhi, bukan “berada di sisi-Nya” sebagaimana keyakinan umat beragama lain. Karena itu, kalau pada pagi hari kita tidak sempat menyembah leluhur, bersembahyanglah sore atau malam hari ke hadapan Hyang Widhi, toh para leluhur kita sudah “menyatu dalam sinar suci” Hyang Widhi. Hanya, tentu saja sarana persembahyangan kepada Hyang Widhi berbeda bentuknya dengan sarana persembahyangan kepada leluhur. Beberapa pura besar melangsungkan piodalan pada saat Hari Raya Kuningan, seperti Pura Sakenan di Pulau Serangan, Pura Pekendungan di Tabanan, dan banyak lagi pura kawitan. Tradisi merayakan Kuningan juga disertai dengan adanya simbol “tamiang”. Ini adalah alat untuk menangkis serangan musuh, semacam perisai untuk membentengi diri. Siapa yang dibentengi? Bisa leluhur yang sedang menikmati “suguhan tumpeng” sehingga dalam perjalanannya selamat kembali ke sorga (mur mwah maring swarga), bisa pula simbol untuk diri kita sendiri agar selalu bisa selamat dari serangan musuh. Kita baru
d 95 f
saja mengalahkan adharma dan merayakan kemenangan dharma pada Hari Raya Galungan. Sepuluh hari larut dalam kemenangan dharma dengan melakulan silakrama (silaturahmi) dan tirtayatra (menghaturkan bhakti ke pura-pura), maka kini saatnya kita membentengi diri kita dari musuh-musuh yang baru. “Tamiang” harus selalu berada dalam kehidupan kita sehari-hari. Sekarang, bagaimana kita menerjemahkan penghormatan kepada leluhur itu serta membentengi diri dari musuh-musuh yang baru? Menghormati leluhur adalah mewarisi dan menjaga peninggalan beliau. Peninggalan itu banyak sekali, dari harta benda yang diwariskan kepada keturunannya langsung maupun peninggalan berupa pura, kitab sastra, dan sebagainya. Warisan ini yang seringkali luput dijaga oleh umat Hindu di Bali, sehingga banyak sekali tanah-tanah di Bali berpindah tangan ke orang luar Bali. Di sinilah lemahnya orang Bali yang tidak bisa membentengi dirinya dengan “tamiang”, sehingga mudah sekali diserang. Serangan yang paling berbahaya adalah serangan berupa konsumerisme, mengejar materi untuk kenikmatan duniawi yang sifatnya terbatas. Mereka hanya mengejar kesenangan sesaat. Beli sepeda motor atau mobil dengan menjual warisan orangtua, misalnya. Atau menjual warisan dengan alasan untuk biaya ngaben leluhurnya, padahal biaya itu tidak begitu besar. Pada hari Tumpek Kuningan ini, marilah kita membentengi diri lebih kuat lagi, dan membentengi Bali dengan “tamiang niskala” yang tangguh dan suci.
d 96 f
Siwa Ratri, tak Asal Begadang
M
ALAM tanpa sinar bulan di pasraman. Maklum, saat itu tilem (bulan mati), tapi beberapa orang masih berkumpul karena mempersiapkan upacara ritual untuk esok hari. “Kalau listrik mati, ini akan jadi malam paling gelap,” kata seseorang memecah kesunyian. “Ah, tidak. Malam tergelap itu kan saat Siwa Ratri,” celetuk yang lain. “Betul kan Nak Lingsir? Siwa Ratri itu malam tergelap?” kata orang yang nyeletuk itu. “Betul, karena malam itu adalah pemujaan Siwa,” kata saya. Tak saya duga kelanjutannya, kerumunan orang itu minta diberi pencerahan tentang apa itu “malam Siwa” atau Siwa Ratri. Saya ceritakan, malam Siwa Ratri itu berlangsung setiap tahun Saka yang jatuh pada purwani Tilem Sasih Kepitu. Purwani ini adalah sehari sebelum Tilem, kalau dalam istilah tahun Saka disebut pengelong 14. Dalam tahun Masehi jatuhnya di bulan Januari. Perayaan Siwa Ratri di Nusantara ini mengacu kepada Kekawin Siwaratri Kalpa yang berbahasa Kawi yang digubah oleh Mpu Tanakung. Sejatinya, sumber perayaan Malam Siwa itu banyak dalam susastra Hindu, inti ceritanya sama saja, yakni kesadaran seorang pemburu di malam Siwa untuk menemukan jati dirinya. Cerita
d 97 f
berbeda-beda, tetapi tokoh cerita itu semuanya bernama Lubdaka. Mpu Tanakung pun memakai nama itu, mungkin karena dalam bahasa Sansekerta kata lubdhaka berarti pemburu. Nah, dalam versi Tanakung, Lubdaka sang pemburu itu tersesat di tengah hutan di malam buta. Ia takut dengan binatang buas, lalu naik pohon bila (ada yang menyebut pohon maja). Supaya ia tidak mengantuk, karena kalau mengantuk takut jatuh dan jadi mangsa binatang buas, ia memetik daun bila dan dilemparnya ke bawah. Eh, dibawah pohon itu ternyata ada kolam, lingga pemujaan Siwa. Pada lemparan daun bila yang ke 108, Dewa Siwa muncul dan memberi anugrah kepada Lubdaka, karena dianggap tekun memuja. Anugrah itu, kelak jika Lubdaka mati, ia langsung masuk sorga. “Jadi, karena begadang semalaman, langsung masuk sorga, Nak Lingsir?” tanya seseorang. Saya tertawa: “Nah, betul itu yang disebut-sebut sekarang ini, untuk masuk sorga cukup begadang pada malam Siwa Ratri,” kata saya. “Itu semua salah, karena kisah ini adalah simbolik, hanya kiasan.” Dalam perayaan Siwa Ratri, umat Hindu wajib melakukan tapa brata dan berpantang untuk berbicara (monabrata), makan minum (upawasa) dan bergadang (jagra). Sesungguhnya arti jagra ini adalah “kesadaran”. Hanya orang yang melaksanakan jagra yang terhindar dari perbuatan dosa, artinya orang itu memelihara kesadarannya untuk tidak berbuat jelek. Lalu, siapa pemburu itu? Tak mesti pemburu hewan. Ada pemburu harta, pemburu ilmu, pemburu cinta, dan sebagainya. Semua “pemburu” pada suatu saat harus ada jeda, harus istirahat dan introspeksi membuka kesadarannya. Pada setiap purwani Tilem (panglong 14, sehari sebelum bulan mati) itulah semua “pemburu” harus jagra dan memuja Siwa. Inilah disebut Siwa Ratri. Dan Siwa Ratri yang tergelap dari yang tergelap tiap bulan adalah panglong 14 Tilem Sasih Kepitu (bulan ketujuh). Ini disebut Maha Siwa Ratri. Tapi di Indonesia yang dirayakan
d 98 f
hanya “malam tergelap selama setahun” itu dengan sebutan Siwa Ratri. Di India, baik Siwa Ratri setiap bulan maupun Maha Siwa Ratri setiap tahun, semua dirayakan. Pujalah Dewa Siwa malam itu dengan menyebut nama Beliau (namaskara) minimal 108 dan kalau berlanjut setiap kelipatannya. Itu disimbolkan oleh Lubdaka saat memetik daun bila dan melemparkannya ke bawah. Kenapa 108? Angka itu kalau dijumlahkan menjadi 9, bilangan tertinggi dalam filsafat Hindu. Itu sebabnya tasbih (japamala) di Hindu berbutir 108. Jadi malam Siwa Ratri bukan sekedar bergadang. Tetapi membuka kesadaran dan memuja Siwa untuk memohon agar terhindar dari dosa. Siapa Mpu Tanakung? Tak ada kesepakatan para ahli, yang jelas beliau sangat paham bahasa Sansekerta. Sejarawan Purbacaraka menyebut Tanakung hidup di zaman Ken Arok. Ia menulis Siwa Ratri Kalpa untuk mengambil hati Ken Arok. Seperti ditulis dalam sejarah, Ken Arok adalah seorang perampok dan pembunuh Tunggul Ametung. Mpu Tanakung “cari muka” dengan menyebutkan bahwa dosa bisa dihapus dengan menulis Siwa Ratri Kalpa ini. Namun, Zoetmulder dan A Teuw beda pendapat. Kedua ahli ini berpendapat, Tanakung hidup pada zaman Majapahit akhir (1466-1478). Mpu Tanakung memang berniat menyebarkan ajaran “kesadaran” dengan memuja Siwa berdasar Purana yang aslinya datang dari India. Maklum, Hindu yang datang ke Indonesia adalah aliran Siwa Sidhanta yang mayoritas dan Tanakung pun menulis kekawin dengan adaptasi budaya lokal. Menurut kedua ahli itu, Mpu Tanakung sebagai pendeta (suci) tak mungkinlah “cari muka” untuk gubahan kekawinnya (sastra bertembang). “Yang penting sekarang adalah mari kita merayakan Siwa Ratri dengan benar dan melakukan monabrata, upawasa dan jagra dengan kesadaran penuh untuk memuja Siwa,” kata saya.
d 99 f
Merayakan Siwa Ratri
K
EMBALI saya harus menjelaskan tentang Siwa Ratri menjelang datangnya hari raya itu. Saya tekankan bahwa Siwa Ratri itu adalah malam tergelap sepanjang tahun dalam kepercayaan Hindu, jatuh pada pangelong 14 Sasih Kepitu. Malam Siwa, karena hari itu umat Hindu wajib melakukan puasa total yang meliputi upawasa, monabrata, dan jagra. Malam penebusan dosa, demikian seringkali disebutkan dengan gampang, karena dengan melakukan jagra semalam suntuk, seolah-olah dosa yang kita lakukan berhari-hari dan berbulanbulan menjadi lenyap. Padahal sejatinya, dosa tak bisa dihapus, ia hanya bisa diperkecil dengan memperbaiki karma. Tetapi karena salah kaprah sebagai malam penebusan dosa, pada saat Siwa Ratri itu orang mencoba untuk tidak tidur. Pura didatangi, mekemit (begadang) semalam suntuk. Anak-anak muda di kota datang ke Pura Jagatnatha, lalu begadang sampai pagi. Apa yang dilakukan? Ya, ngobrol, atau mondar-mandir, atau pacaran. Harus dicari terobosan baru, bagaimana merayakan Siwa Ratri dengan benar. Bagaimana bisa melakukan upawasa (puasa) kalau kita datang ke pura dengan membawa sesajen berisi makanan? Tentu akan ada sikap mendua. Kalau kita tidak nikmati makanan itu sebagai prasadam, akan mubazir, karena prasadam wajib untuk diambil berkahnya. Kalau kita makan, artinya kita batal
d 100 f
melaksanakan brata upawasa. Kemudian, bagaimana mungkin kita bisa melakukan monabrata (tidak berbicara) kalau acaranya adalah diset untuk ngobrol? Yang paling mudah dari ketiga brata saat Siwa Ratri ini adalah jagra, namun dengan catatan jagra diikuti dengan pendalaman spiritual. Artinya jangan asal begadang, tetapi membaca kitabkitab suci. Jangan ngobrol tentang sesuatu yang jorok, atau malah bermain judi. Yang terakhir ini justru menambah dosa, bukannya melebur dosa. Siwa Ratri sesungguhnya datang setiap bulan. Setiap pengelong 14 (sehari sebelum Tilem) adalah malamnya Siwa. Itu saat-saat terbaik untuk melakukan puasa. Sedangkan pengelong 14 Sasih Kepitu adalah malam tergelap setiap tahun, dan ini sebenarnya disebut Maha Siwa Ratri. Kata “maha” sudah menunjukkan bahwa ini Siwa Ratri yang lebih khusus. Umat Hindu di Nusantara, tentunya termasuk di Bali, hanya merayakan Siwa Ratri yang “maha” ini. Namun, kita tak bisa menyalahkan anak-anak muda Hindu yang mondar-mandir di jalan selesai melakukan persembahyangan, karena niat mereka itu sebenarnya bagus, bagaimana melewatkan malam Siwa dengan jagra. Hanya karena tidak tahu caranya, tidak ada yang mengarahkan, maka mereka keluyuran begitu saja. Hal ini terjadi di kota-kota besar seperti Denpasar. Selesai bersembahyang di Pura Jagatnatha, remaja Hindu itu keluyuran dengan sepeda motor. Bagi yang tidak membawa motor, mereka bergerombol duduk di lapangan Puputan Badung. Tak ada, misalnya, institusi atau lembaga atau organisasi yang mengambil inisiatif untuk merancang kegiatan yang mengisi pencerahan. Katakanlah misalnya meditasi massal, atau agni hotra sederhana, atau pembacaan ayat-ayat suci Weda. Atau mungkin dharmatula (diskusi keagamaan) dalam lingkaranlingkaran kecil — agar tidak ngobrol hal-hal yang bertentangan dengan agama — sementara pada jam-jam tertentu (katakanlah
d 101 f
tengah malam) berhenti sejenak untuk melantunkan mantra suci ke hadapan Siwa. Kita bisa melakukan ini, kenapa tidak? Anak-anak muda Hindu itu sesungguhnya mudah untuk digiring sepanjang ada yang mengkordinir dengan baik. Dengan format yang lebih ideal “merayakan” Siwa Ratri kita tak akan dibelenggu oleh legenda Lubdhaka yang selama ini selalu menjadi mitos dalam Siwa Ratri. Bahwa kisah Lubdhaka dijadikan acuan dalam perayaan Siwa Ratri di Indonesia, memang bagus dan kita tak usah mencari-cari acuan yang lainnya. Namun yang perlu kita ketahui, Lubdhaka itu hanyalah simbol. Simbol-simbol ini harus dikupas artinya, tak bisa “dihafalkan” sebagai sebuah cerita biasa. Kita di Bali agak malas mengupas simbol-simbol yang sudah diberikan leluhur kita di masa lalu. Orang dengan mudahnya menyebutkan, dosa yang kita lakukan berhari-hari akan ditebus dengan jagra (tidak tidur) pada Malam Siwa, bukankah Lubdhaka yang kerjanya berburu saja bisa mendapatkan sorga hanya dengan begadang satu malam? Kalau begitu, mudah sekali orang memperoleh sorga, pegawai percetakan di koran, satpam yang kerjanya malam-malam, semua masuk sorga. Lubdhaka harus dicerna sebagai simbol orang yang gemar berburu dalam arti kias, bisa berburu materi yang tak ada puasnya, berburu pangkat yang tak kunjung diraih, berburu kesenangan yang tak ada ujung, berburu ilmu yang tak kunjung dibagi. Para pemburu ini pada suatu hari pasti akan tersesat “di rimba yang menakutkan” dan dia tak akan bisa keluar dari “ketakutan” itu jika ia tidak melakukan perenungan. Ia harus membebaskan dirinya dari “nafsu berburu” untuk mencapai kesadaran. Simbol-simbol ini yang harus dikupas. Makanya, mari kita coba dari sekarang, bagaimana menjadi Lubdhaka yang sadar bahwa ada suatu saat di mana kita harus membebaskan diri kita dari nafsu berburu itu.
d 102 f
Bacalah Weda di Hari Saraswati Om Saraswati namastu bhayam, warade kama rupini, sidharambhan kari syami, siddhir bhawantu me sada.
D
ENGAN memuja Dewi Saraswati mari kita membaca kitab Weda. Di Hari Raya Saraswati kesempatan kita memuja Sang Dewi yang cantik itu. Tentu kita membaca kitab-kitab itu setelah melakukan persembahyangan kepada Dewi Ilmu Pengetahuan ini. Di masa lalu ada kebiasaan yang salah di Bali. Anak-anak justru dilarang membaca buku pelajaran, termasuk buku agama di Hari Saraswati. Itu kebiasaan yang salah. Yang benar adalah mari kita hormati semua kitab (buku pelajaran, buku sastra, buku agama, lontar dan sejenisnya) di Hari Saraswati dengan memberikan persembahan sesajen dan tirta lalu kita baca dalam keadaan yang suci agar meresap. Di malam hari sangat baik untuk menyelenggarakan “malam sastra” sesuai dengan lingkungan kita. Di pedesaan umumnya ada acara pesantian. Kalau tak salah, di Pura Jagatnatha Denpasar setiap malam Saraswati ada diskusi sastra. Akan halnya di Jakarta, perayaan Saraswati disatukan dengan odalan di Pura Rawamangun Jakarta dan biasanya ada malam sastra di sana.
d 103 f
Dewi Saraswati adalah “sakti” dari Dewa Brahma sang pencipta. “Sakti” dalam bahasa yang populer di Bali sering disebutkan sebagai “istri”. Ini adalah simbol bahwa apapun yang tercipta (Dewa Brahma adalah dewa pencipta) pada dasarnya terjadi karena adanya ilmu pengetahuan. Maka umat dianjurkan untuk menuntut ilmu yang diturunkan oleh Sang Dewi. Dewi Saraswati bertangan empat. Ada yang memegang kecapi, ada yang memegang aksamala atau tasbih istilah nonHindu (banyak orang salah kaprah dengan menyebutnya genitri, padahal belum tentu dari buah genitri). Ada tangan yang memegang damaru atau semacam kendang di Bali, dan tangan satu lagi memegang buku. Ada merak dan angsa di sampingnya. Semua itu simbol-simbol tentang ilmu yang tak habis-habisnya dipelajari dengan cara mencintainya. Ilmu yang akan memperindah budi. Kenapa ada angsa? Angsa adalah hewan yang sangat bijaksana. Angsa bisa mencari makanan di lumpur, tetapi tak pernah ada lumpur yang masuk ke tubuhnya. Makanan itu disaring, lumpurnya dibuang, makanan masuk ke perut untuk sumber kehidupan. Begitulah sebaiknya ilmu itu diamalkan. Ilmu yang membuat kerusuhan haruslah dibuang, ilmu yang membuat kesejahtraan yang terus dipelihara. Hanya orang yang berilmu yang bisa merakit bom, tak mungkin petani yang bodoh bisa merakit bom. Tetapi apa gunanya bom jika itu dipakai untuk membunuh orang-orang yang tak berdosa? Di Bali, Dewi Saraswati dipuja dengan sesajen (banten) khusus, tapi sudah banyak dijual di pasar-pasar. Harganya pun tak sampai Rp 10 ribu. Lihatlah di banten itu, ada ciri khasnya, yakni ada jajan serupa cecak. Kenapa cecak? Ini adalah simbul keheningan. Hanya suara cecak yang terdengar dalam keadaan yang hening. Tetua kita sering mengingatkan, jika kita dalam keadaan semadi atau sembahyang sendiri, dan ada suara cecak maka itu pertanda baik. Benar atau tidak, tergantung keyakinan
d 104 f
kita. Tapi yang jelas, ini juga simbol agar ilmu itu dipakai untuk keheningan dan kedamaian manusia, supaya orang rukun jauh dari kekerasan. Di kalangan pendeta Hindu, Saraswati juga disimbulkan sebagai tempat air suci, karena memang dulu ada sungai Saraswati di India, yang kini sudah mati. Meski begitu, ketika pendeta Hindu memuja air suci nama-nama sungai seperti Saraswati tetap disebut, bersanding dengan sungai Yamuna, Sindhu, dan terutama Gangga. Dari tradisi pemujaan air suci ini lalu ada keyakinan, melukat atau mebayuh atau mewinten di hari Saraswati ini adalah baik. Bahkan di Bali kemudian terkenal dengan istilah “mewinten saraswati”. Namun yang utama pada hari Saraswati ini adalah turunnya ilmu pengetahuan, dan karena itu mari kita membaca kitab Weda hari ini, apakah itu Sruti, Smerti, Ithiasa, Purana atau tafsir-tafsir yang sudah dibuatkan dalam bentuk kekawin dan tembang alit oleh para leluhur kita. Om Saraswati ya namah swaha.
Keseharian bersama cucu-cucu.
d 105 f
Tumpek Landep Bukan Otonan Motor
S
ETIAP datang Tumpek Landep banyak anak-anak muda pulang kampung. Niatnya bukan untuk bersembahyang di pura, tetapi mengadakan upacara otonan untuk sepeda motornya. Istilah ini tentu saja salah kaprah. Otonan itu sebenarnya hanya bagi manusia, karena berarti peringatan untuk suatu kelahiran. Namun, otonan motor sudah menjadi sebutan yang lumrah saat ini. Kenapa harus pulang ke desa? Kalau niatnya cuma otonan motor, di Pasar Badung banten ini sudah bisa dibeli secara lengkap, meskipun ada kurang-kurangnya kalau kita tahu soal banten. Toh, orang lebih sreg untuk pulang ke kampungnya. Motor dicuci bersih, kemudian diselimuti kain, diberi gegantungan, lalu diupacarai. Mobil juga diupacarai seperti itu, kita bisa lihat di pinggir-pinggir jalan pada Tumpek Landep. Lalu, berapa banyakkah orang yang tahu, bagaimana menghaturkan puja ketika mengupacarai motor atau mobil itu? Tidak banyak. Itu yang membuat banyak anak-anak muda pulang ke kampungnya, karena tidak tahu harus berbuat apa untuk sepeda motornya. Jika ia tak sempat pulang, justru ia bingung: “Wah, Tumpek Landep, tak bisa pulang, beli banten bisa, tapi Dewa apa yang ada di motor itu, ya?”
d 106 f
Asal-usul kenapa motor dan mobil sampai punya otonan, tentu berawal dari adanya komponen besi di dalamnya. Tumpek Landep selalu dikaitkan dengan mengupacarai segala benda yang terbuat dari besi. Padahal yang dimaksudkan besi itu terbatas pada persenjataan, dan itu pun yang dianggap bertuah dan keramat. Misalnya, keris, tombak, pedang, dan segala logam yang berfungsi sebagai pratima (benda suci) di pura. Belakangan, segala perabotan dari besi ikut diupacarai, seperti pahat, pisau, gergaji dan sebagainya. Di banyak tempat, para pengukir tak mau bekerja pada Tumpek Landep, karena peralatan kerjanya masih diupacarai. Konsep ini yang kemudian berkembang. Sepeda motor, mobil, lalu menyusul peralatan kerja yang mengandung logam besi seperti alat-alat percetakan, komputer, dan sebagainya, ikut diberi sesajen. Bahkan banyak perusahaan yang bergerak di bidang percetakan melakukan piodalan pada saat Tumpek Landep ini. Jika awalnya yang diupacara benda sakral, tentu tak ada yang salah kaprah. Tetapi kesalah-kaprahan itu berkembang karena semua unsur logam besi seperti harus diupacarai, termasuk televisi, mesin cuci dan sebagainya. Padahal sejatinya, hari ini yang dipuja adalah Hyang Pasupati yang menajamkan kecerdasan berpikir kita setelah menerima ilmu pada Hari Saraswati dan sudah membentengi ilmu itu pada hari Pagerwesi. Pada Tumpek Landep inilah ilmu yang sudah diasah itu di-“pasupati”. Urutannya begini. Hari Saraswati memuja Dewa Brahma memohon agar Dewi Saraswati (sakti Beliau) menurunkan ilmunya ke dunia. Keesokan harinya, kita melakukan pembersihan rohani agar kita bisa menyerap ilmu itu dengan baik, yang disebut banyu pinaruh. Kitab Weda menyiratkan, dalam menimba ilmu harus dilakukan penyucian diri dengan asuci laksana. Bila badan dan pikiran suci, maka ilmu itu akan mampu merasuk ke dalam hati dengan baik. Esoknya, Somaribek, adalah proses pembelajaran. Esoknya
d 107 f
lagi, hari Sabuhmas adalah hari untuk menghimpun (menabung) semua ilmu yang diperoleh. Kalau ilmu pengetahuan sudah cukup dihimpun, maka resapi ilmu itu untuk benteng kehidupan pada hari Pagerwesi. Nah, hari-hari selanjutnya selama sepuluh hari adalah memproses ilmu yang diperoleh, dan pada saatnya kemudian, yakni pada Tumpek Landep, orang yang telah memperoleh ilmu melakukan pewintenan, alias wisuda untuk bahasa moderennya. Kita memohon kepada Hyang Pasupati, supaya kita punya ketajaman pikiran bagaikan keris dan tombak. Jadi, keris, tombak dan sebagainya adalah simbol yang sekaligus peralatan kerja. Begitu juga mobil, televisi, komputer dan semua peralatan dari besi lainnya. Salahkah jika itu diberi sesajen? Tidak salah memang, namun diri kita sendirilah yang lebih dulu “diupacarai”, bukan mobilnya.
d 108 f
Nyepi Kendalikan Dirimu
B
EBERAPA remaja berkumpul di balai bengong pasraman. Ketika saya datang ke sana dan menanyakan sedang ada apa, salah seorang menjawab: “Om Swastyastu Nak Lingsir, tak ada apa-apa. Nyepi sekarang kan tanpa ogoh-ogoh, biasanya hari-hari seperti ini kita sudah sibuk membuat ogoh-ogoh.” Saya belum sempat menjawab, yang lain langsung menyam bung: “Apa seterusnya ogoh-ogoh dilarang, Nak Lingsir?” Saya ikut duduk di bale bengong itu. Lalu saya menjawab: “Soal ogoh-ogoh, ini boleh ada dan boleh tidak. Cuma, kalau ada untuk apa, kalau dilarang, kenapa? Saya jawab dulu kenapa dilarang. Karena berdekatan dengan pemilihan umum, jadi ogoh-ogoh dilarang. Bisa disalah-gunakan untuk tujuan politik di mana wajah ogoh-ogoh sebagai sarana kampanye. Lagi pula belakangan ini ogoh-ogoh salah digunakan. Semestinya untuk natab caru, malah diarak selesai tawur kesanga. Ini kan sama saja dengan simbol menghidupkan bhuta, padahal bhuta sudah somya (dikembalikan) menjadi dewa. Bagaimana Nyepi bisa hening kalau bhutanya dihidupkan kembali?” “Tapi Nak Lingsir, kalau ogoh-ogoh diarak sebelum tawur, boleh membuat kan?” “Itu boleh dan itulah yang benar, tapi asal tidak ada kegiatan politi yang mengerahkan masa seperti pemilihan umum ini. Na-
d 109 f
mun, boleh dan benar harus juga dilihat dari sudut perjalanan pemahaman kita beragama. Berpuluh-puluh tahun umat Hindu di Bali melaksanakan ritual agama dengan simbul-simbul. Sulinggih menghaturkan sesajen untuk nyomya bhuta menjadi dewa dengan mantram Weda. Sesajen itu sendiri adalah simbol dan mantram menyempurnakannya. Kenapa bhuta harus dibuatkan simbol lagi, kalau tanpa simbol, apakah kurang mantap? Kalau kurang mantap, belajarlah menjadi mantap dengan ikut kon sentrasi pada saat pemujaan tawur itu. Jangan ngobrol tatkala Sulinggih memuja, kalau tak bisa berdoa, kidungkan lagu suci. “Begitu pula saat Nyepi. Listrik dimatikan dari gardu, jalanan dijaga pecalang. Sampai kapan umat Hindu melaksanakan brata penyepian dengan dikontrol orang lain, seolah-olah yang mengontrol itu wakil dari Yang Di Atas? Biarkan listrik hidup, banyak peralatan yang perlu dijaga dengan listrik, tetapi kita bisa mengekang diri untuk tidak menonton televisi karena ada brata amati lelangunan. Kita melakukan samadi, japa, yoga, atau sekedar merenungi perjalanan hidup kita, dengan begitu kita melaksanakan brata amati karya. Kita puasa, tak perlu memasak atau merokok, kita melakukan amati geni. Kita tak perlu menyusahkan orang lain untuk mengontrol diri kita sendiri. Kalau masih ada pecalang yang menjaga jalanan, kita harus sedih dan prihatin. Sedih dan prihatin karena umat yang jadi pecalang itu tak bisa melaksanakan amati lelungan dengan baik. Tugas yang sia-sia, padahal Nyepi hanya sehari dalam setahun.” Umat non-Hindu ikut mengalami keterbatasan selama Nyepi, tak boleh juga keluar rumah. Ini toleransi yang bagus. Karena umat Hindu ikut menghormati cara kita mengendalikan diri, maka manfaatkan Nyepi itu betul-betul untuk perenungan diri. Jangan malah main judi. Ah, kasihan dong, umat lain toleransi, kita sendiri malah merusaknya dengan main judi yang jelas dilarang agama Hindu.
d 110 f
Fenomena Ogoh-Ogoh
S
EBUAH ogoh-ogoh yang belum selesai berada di balai desa. Bentuknya kurus, posisinya membungkuk, mukanya tidak menggambarkan seorang raksasa atau makhluk yang menakutkan. Yang unik, di depan ogoh-ogoh ini, ada lagi ogoh-ogoh kecil (atau sebut saja patung) seorang lelaki yang memegang mike lengkap dengan kabelnya. Saya tertarik untuk menanyakan, apa yang digambarkan lewat ogoh-ogoh ini. “Ah, biasa-biasa saja, Pak. Kita lagi senang Sheila On 7, jadi ogoh-ogohnya begini,” kata seorang anak muda yang ada di situ. Sudah banyak ogoh-ogoh yang “menyimpang”, jika kita memakai ukuran yang sering dikatakan para tokoh agama, yakni menggambarkan bhuta kala. Cobalah berjalan-jalan ke berbagai desa, akan banyak ditemukan ogoh-ogoh yang sama sekali tidak menggambarkan keraksasaan pada hari pengerupukan. Bagaimana kita menyikapi fenomena ini? Ada beberapa hal yang perlu kita renungkan. Pertama adalah apakah semua ogoh-ogoh itu ritual keagamaan ataukah hanya sebuah kesenian yang lahir dari budaya agama? Banyak orang berkata, ogoh-ogoh itu adalah ritual karena keberadaannya mengiringi (atau mengakhiri) sebuah Tawur Kesanga, sehari menjelang Hari Raya Nyepi. Ogoh-ogoh adalah lambang bhuta
d 111 f
kala dan nafsu-nafsu buruk yang harus kita musnahkan (pralina) dan pada akhir upacara memang ogoh-ogoh ini dibakar. Tapi, apakah semua ogoh-ogoh yang dibuat muda-mudi sekarang ini berfungsi sebagai pelengkap upacara ritual? Saya bisa mengatakan lebih dari separohnya tidak mengiringi upacara tawur. Ogoh-ogoh itu lepas begitu saja, lalu diusung mengelilingi desa. Kalau kenyataannya ada ogoh-ogoh yang tidak ritual, tetapi semata-mata suatu bentuk kesenian massal yang profan, kenapa harus ogoh-ogoh ini memegang pakem tentang bhuta kala? Apalagi, pada akhir pawai ogoh-ogoh ini tidak dirusak, malah dipajang di depan balai desa untuk hiasan, bahkan di beberapa tempat ogoh-ogoh bekas itu laku dijual. Masalah kedua, jika memang ditetapkan ogoh-ogoh itu melambangkan bhuta kala, melambangkan keraksasaan, siapakah yang berhak menentukan lambang bhuta kala dan raksasa itu? Siapa pernah melihat bhuta kala dan siapa yang pernah melihat raksasa? Imajinasi kita tentang mahkluk-mahkluk itu hanyalah gambaran seniman lukis di masa lalu: seram, bertaring, menakutkan dan sebagainya. Sifat-sifat seperti angkara, suka marah, main hakim sendiri selalu digambarkan dengan wajah yang buruk. Sifat loba, dengki, seenaknya sendiri, digambarkan dengan mulut bertaring. Padahal zaman sudah berubah, orang yang dengki, loba, suka memeras rakyat, korupsi, main hakim sendiri, banyak dilakukan oleh orang-orang yang tampan, berpakaian necis, naik mobil mewah, dan orang kantoran. Kalau begitu apa salahnya Sekehe Teruna Teruni melukiskan ogoh-ogoh yang bukan “menyeramkan”? Tapi, perbincangan ini terlalu serius. Sama seriusnya dengan orang-orang yang suka mengadakan kalkulasi untung rugi adanya pesta ogoh-ogoh. Jika di Bali ada seribu ogoh-ogoh dengan pukul rata biayanya Rp 2.000.000 per buah, akan ada dua milyar rupiah uang yang dibakar percuma untuk memenuhi hasrat berhura-hura itu. Dua milyar itu, kata sekelompok orang, bisa
d 112 f
digunakan untuk tujuan yang lebih mulia yaitu membuat Panti Asuhan Hindu atau menerjemahkan kitab suci Weda. Ya, ini kalkulasi kelewat serius, bahkan sangat “di atas kertas”. Bukankah pemerintah sudah memberikan anggaran lebih dari dua milyar rupiah untuk menerjemahkan dan menerbitkan kitab suci Weda, mana hasilnya? Jangan-jangan ada bhuta kala dengan wajah tampan menilep uang itu. Banyak orang menuduh ritual umat Hindu di Bali terlalu memboroskan dengan pola banten dan sesajennya. Bahkan dikalkulasi pula sejumput nasi yang dipakai mesaidan (jotan) dan segehan oleh setiap rumah tangga. Kalau itu dikumpulkan akan ditemukan berbakul-bakul nasi yang bisa disumbangkan pada fakir miskin. Atau kalau kebiasaan itu dihentikan akan ada penghematan menanak nasi. Kenyataannya, apakah penduduk Bali pernah krisis karena ritual ini? Jadi, seperti halnya contoh-contoh tadi, menyikapi ogoh-ogoh janganlah terlalu serius, hanya dari sisi uang yang dihabiskan. Saya mengamati, dari sedikit kegiatan yang bisa mempersatukan muda-mudi di banjar, salah satunya adalah membuat ogoh-ogoh. Mereka larut dan bersatu sejak mengumpulkan sumbangan, membuat kerangka ogoh-ogoh, memberi sentuhan akhir, mempersiapkan baleganjur, lalu mengusungnya ke jalanan. Kelompok muda-mudi ini bagaikan “kerauhan” menyiapkan ogoh-ogoh. Ada tokoh spiritual yang melukiskan begini: “Muda-mudi desa kalau membuat ogoh-ogoh mereka seperti melakukan meditasi berkepanjangan”. Barangkali yang dimaksudkan “meditasi” ini adalah mereka lupa pada kesibukan lain. Itu ada benarnya. Teori-teori di atas kertas menyarankan muda-mudi desa sebaiknya berhemat untuk ogoh-ogoh dan menyalurkan dana itu untuk kepentingan lain, misalnya, olahraga. Teori yang bagus. Anak saya sering absen kalau harus pulang ke kampung bermain sepakbola mewakili muda-mudi, ada saja alasannya. Tetapi begitu membuat ogoh-ogoh, yang namanya
d 113 f
Ogoh-Ogoh “cewek kafe naik motor”, apa ini simbol bhuta?
kuliah dan tugas-tugas kampus, ditinggalkan. Dia pulang ke kampung, larut dengan ogoh-ogoh, dari merancang bentuk sampai menyablon kaos seragam untuk dipakai saat mengarak ogoh-ogoh. Dari mana “sihir” itu datangnya? Misteri apa yang ada di balik ogoh-ogoh ini sehingga muda-mudi larut dalam “semedinya”? Biarkan pesta ogoh-ogoh tetap ada, pestanya muda-mudi Bali yang sejenak melupakan status sosialnya (karena ada mahasiswa, tukang ukir, pedagang, petani dan sebagainya). Tugas kita sebagai orangtua adalah mengarahkan agar ekses negatifnya mereda, misalnya, tidak lagi mabuk-mabukan. Lalu, kalau mungkin unsur keseniannya lebih ditonjolkan dan dikembangkan terus.
d 114 f
Sekuntum Bunga yang Suci
Patram puspam phalam toyam, yo me bhaktya prayacchati, tad aham bhaktya upahrtam, asnami prayatatmanah. (Siapapun yang dengan sujud bhakti kepadaKu mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah, seteguk air, Aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci.)
S
LOKA Bhagawad Gita IX.26 ini begitu populer yang mengajarkan cara persembahan yang “paling minim” namun tidak mengurangi arti yadnya itu sendiri, sepanjang dilakukan dengan tulus. Tapi kita tak membahas masalah persembahan ini. Yang kita bahas adalah bunga yang bagaimana layak dipersembahkan? Lalu, bagaimana dengan sarana persembahyangan yang asal-usulnya dari bunga, tetapi bunga itu didapatkan dari tempat yang tidak suci? Secara umum sudah ditegaskan dalam berbagai lontar bahwa bunga yang bisa dipersembahkan adalah bunga yang tumbuh di tempat yang baik. Adapun tempat yang kurang baik adalah tempat membuang kotoran. Istilah di Bali teba. Kemudian bunga yang tumbuh di kuburan. Ada pun phisik bunga, tak boleh layu
d 115 f
di pohon, tak ada gigitan ulat, jatuh di tanah dan sudah diinjak orang. Sekarang ini ada dupa yang bahannya dari bunga jepun (kamboja) yang kering. Dupa ini banyak diproduksi di Bali dan sesungguhnya inilah dupa yang sehat karena bahan bakunya dari bunga yang tumbuh di alam. Bahkan dalam produksinya dupa ini betul-betul herbal, sementara dupa lain banyak yang memakai zat kimia yang berbahaya untuk kesehatan. Persoalan sekarang, kebutuhan akan bunga kamboja ini tak cukup dipenuhi oleh Bali. Bunga itu pun datang dari Jawa, terutama dari Kabupaten Probolinggo, Situbondo dan sekitarnya. Dari mana bunga itu dipetik? Umumnya di luar Bali bunga kamboja tumbuh di kuburan, meski pun tidak semuanya demikian. Dan kita memang tak tahu di mana bunga kamboja itu dipetik, apakah bunga kuburan atau bunga pekarangan. Bagaimana jika itu bunga kuburan? Apakah kemudian dupa yang dibuat dari bunga itu dianggap tak suci? Pertanyaan ini muncul di masyarakat. Yang harus dipahami adalah bunga yang tidak boleh dipakai sembahyang adalah bunga yang kita petik langsung di kuburan atau langsung dipetik di tempat sampah (teba). Karena kita tahu riwayat bunga itu sendiri. Namun, kalau kita membelinya di pasar, tak ada ketentuan bahwa bunga itu tak boleh dipakai. Transaksi di pasar dengan proses jual-beli dapat dikatagorikan mensucikan bunga itu. Para tetua kita menyebutkan: uang telah meleburnya menjadi suci. Bukankah pada saat kita membeli bunga tak pernah menanyakan kepada pedagang, di mana bunga itu diperoleh, di kuburan atau tidak? Yang juga harus diperhatikan adalah para pemangku atau sulinggih sebelum menghaturkan pemujaan, selalu menyucikan semua peralatan upacara, termasuk banten. Dengan begitu asalusul bunga sudah tak diperlukan. Bahkan kalau kita sembahyang sendiri di rumah, misalnya, mau melaksanakan Tri Sandya den-
d 116 f
gan sarana bunga, dupa dan air, semuanya harus disucikan terlebih dahulu dengan mantram yang pendek. Om puspa dantha ya namah swaha, adalah mantram pendek penyucian bunga. Kalau demikian maka dupa yang bahan bakunya dari bunga kamboja yang didatangkan dari luar Bali, tak usah dipersoalkan lagi di mana bunga itu tumbuh. Apalagi bunga itu melalui berbagai proses. Dijemur supaya kering, lalu dibungkus dan diangkut ke Bali. Apakah selama proses penjemuran dan pengangkutan itu tidak ada yang menginjak atau melangkahi, belum tentu. Tapi untuk apa dipersoalkan karena produk yang kita pakai nanti sudah berbeda wujudnya? Jadi tak usah resah dengan isu ada dupa tertentu yang dianggap tak suci karena bahan bakunya diambil dari bunga jepun di kuburan Jawa. Justru dupa herbal seperti ini yang lebih baik kita pakai karena asapnya tak mengandung kimia yang bisa merusak paru-paru. Adapun hikmah baik yang kita petik dari produksi dupa herbal ini adalah mari kita menanam bunga kamboja dengan baik di pekarangan. Tanam dengan baik berarti memelihara bunga itu agar tidak terlalu tinggi yang sulit kita petik. Kita lihat di pinggir jalan, banyak sekali pohon kamboja yang bunganya begitu lebat, tetapi karena tinggi dibiarkan begitu saja. Padahal bunga kamboja yang kering sekilonya laku di atas Rp 100 ribu. Mari menanam bunga. Dengan begitu ketergantungan bunga dari Jawa bisa dikurangi, selain kita bisa sembahyang langsung dengan bunga suci dari tanaman kita sendiri.
d 117 f
Makna Uang Kepeng
D
UA remaja Hindu berlainan etnis berdiskusi sambil bercanda di wantilan Pura Kepasekan, Karanganyar, Jawa Tengah. Yang satu etnis Bali, mahasiswi UNS Solo. Teman berdebatnya etnis Jawa, dari Masaran, Sragen. Keduanya samasama membawa teman. “Kalau di Bali kamu bawa kuangen berisi uang logam lima ratusan begini, nggak bakalan diterima. Kuangen itu harus berisi uang kepeng, orang Bali menyebutnya pis bolong,” kata si cewek Bali sambil menunjuk kuangen yang dibawa lelaki di sebelahnya. Pemuda Jawa itu tak mau kalah. “Itu kan bikin rumit, uang kepeng itu hanya laku ketika zaman Majapahit. Sekarang sudah langka, kenapa harus susah-susah mencari uang Majapahit hanya untuk bersembahyang?” jawab sang pemuda. “Kalau nggak mau susah cari uang kepeng jangan bawa kuangen, pakai saja kembang,” sahut lagi si cewek. “Memangnya uang kepeng harus ada? Memangnya uang kepeng itu simbol apa, ayo?” tanya sang pemuda. Si cewek diam sejenak, lalu balik bertanya: “Memangnya logam lima ratusan di kuangenmu simbol apa?” Sang pemuda Jawa langsung nyerocos. “Ini disebut unsur panca datu. Terbuat dari logam dan berbentuk bundar, lambang
d 118 f
windu. Jadi bukan uang kepengnya yang penting, tetapi ada unsur logam yang bebentuk bundar itu.” Satu nol, komentar teman-teman mereka. Soalnya, si cewek Bali mengaku tidak mengerti simbol apa uang kepeng yang ada di kuangen itu. Ia hanya menyebutkan, kebiasaan di Bali seperti itu, isi kuangen untuk bersembahyang adalah uang kepeng, bukan uang logam biasa. Saya tak tahu apa ada diskusi lanjutan, karena saya meninggalkan wantilan. Di Pura Jagatnatha Denpasar kalau ada persembahyangan bulan Purnama, pedagang banten berderet-deret di jaba pura. Kalau kita membeli canangsari di sana, pedagang banten biasanya menanyakan: “Pakai kuangen dan dupa?” Kalau kita bilang, ya, pakai kuangen, cobalah periksa apakah ada uang kepeng atau uang logam di sana? Tidak ada. Jadi berkuranglah salah satu simbol yang ada pada sarana persembahyangan itu. “Lalu, uang kepeng itu simbol apa?” tanya Putu Bagus setelah saya menceritakan oleh-oleh dari Pura Kepasekan itu. “Tergantung di mana uang kepeng itu ditaruh,” kata saya. Ya, saya pun menjelaskan lebih rinci. Uang kepeng di kuangen dengan uang kepeng di canangsari berbeda simbol dan maknanya, dan berbeda pula jika uang kepeng itu diikat dalam jumlah tertentu yang biasa disebut benang pipis (karena uang kepengnya diikat benang). Sangat berbeda pula artinya kalau uang kepeng itu dijadikan kalung atau gelang. Lalu ada uang kepeng yang dimasukkan keranjang kecil yang biasa disebut pis pocongan, dan maknanya pun beda. Padahal bendanya sama saja. Seperti umumnya uang, uang kepeng punya arti sebagai sebuah nilai tukar yang dalam ilmu ekonomi disebut alat transaksi. Arti seperti itulah yang muncul ketika uang kepeng ditaruh di canang sari. Ia menjadi “sarin banten”, yang dipersembahkan secara tulus ikhlas oleh seseorang dan uang itu bisa diambil oleh “pemuput karya” atau oleh petugas upacara untuk dikum-
d 119 f
pulkan. Karena itu uang kepeng sebagai “sarin banten” sudah lazim diganti dengan uang logam atau uang kertas yang berlaku sebagai alat transaksi masa kini. Uang kepeng di daksina, kuangen, dan pada beberapa banten khusus, tidak dicari maknanya dari nilai tukar sebagaimana lazimnya uang, tetapi dimaknai dari bentuknya yang bulat dan terbuat dari logam. Untuk membuat simbol adegan saat Pitra Yadnya, misalnya, unsur mata disimbolkan dari uang kepeng. Karena itu uang kepeng tak bisa digantikan oleh uang kertas. Apakah bisa digantikan oleh uang logam masa kini? Menurut logika kalau kita bicara masalah simbol, saya cenderung sependapat, seperti yang dikatakan pemuda Hindu dari Sragen itu. Karena unsur yang dicari sebagai simbol itu adalah bulat dan logamnya. Masalahnya adalah apakah uang logam buatan Bank Indonesia itu memenuhi unsur-unsur panca datu. Sekarang, sudah ada yang memproduksi uang kepeng untuk memenuhi keperluan ritual umat Hindu di Bali. Ada yang betulbetul memenuhi unsur logam panca datu dan ada yang logam asal-asalan. Harganya berbeda. Di kalangan pedagang ini disebut pis bolong asli dan pis bolong palsu, padahal sejatinya kalau mengacu kepada uang kepeng di masa lalu, keduanya juga palsu. Yang jelas kita harus tahu, mana uang kepeng yang berfungsi sebagai simbol dan mana uang kepeng yang berfungsi sebagai nilai tukar ekonomi dalam sebuah banten. Maklumlah, leluhur kita di masa lalu begitu praktisnya memakai uang yang berlaku saat itu untuk kedua-duanya, karena memang saat itu belum ada uang kertas. Kini ketika uang kertas sudah umum, maka sesari tentu lebih tepat memakai uang kertas, karena sesari diambil oleh pemangku dan pemangku tak bisa berbelanja memakai uang kepeng.
d 120 f
Gotong Royong
A
DA sekelompok mahasiswa yang datang ke pasraman pada hari Minggu yang tengah gerimis. Jumlahnya sekitar 21 orang. Mereka mengaku akan membentuk sebuah perkumpulan yang anggotanya terdiri dari lintas agama dan lintas etnis dengan tujuan ikut menyumbangkan pemikiran untuk membangun Indonesia Baru yang dicita-citakan. Indonesia Baru? Ya, Indonesia yang damai, Indonesia yang tidak bercerai-berai, Indonesia yang tetap utuh berdasarkan Pancasila dan mempertahankan sesanti Bhineka TunggalIka. “Kami ingin mendapatkan pencerahan, apakah ada budaya Bali yang bisa dijadikan semangat dalam membangun Indonesia Baru itu? Kalau ada, apa saja?” kata salah seorang dari mereka. “Banyak sekali budaya luhur Bali yang bisa diadopsi untuk itu. Cuma masalahnya, di Bali sendiri budaya itu juga sedang mengalami kemerosotan total. Tapi karena bicara semangat, tak ada salahnya budaya ini coba dikembangkan lagi, disesuaikan dengan zaman, harus ada elemen-elemen yang diperbarui,” kata saya. “Apa misalnya? Mungkin satu saja dulu, agar mudah kita diskusikan,” kata seorang mahasiswa.
d 121 f
“Apa ya? Kalau satu dulu, ya, budaya gotong royong.” “Gotong royong? Bukankah itu budaya Indonesia, bukan hanya milik orang Bali, tetapi di banyak daerah juga ada budaya gotong royong?” “Betul, tetapi di Bali budaya gotong royong mendapatkan nilai plus karena ada faktor lain yang mempengaruhi, misalnya. agama, adat, ikatan sosial menyama braya orang Bali. Dan banyak lagi. Di masa lalu, ketika masyarakat Bali masih bertumpu pada sektor agraris, semua pekerjaan dilakukan dengan gotong royong. Orang bertani bergotong-royong, mulai dari mengolah tanah, menanam benih, menanam padi, membersihkan rumput, menuai padi, dan mengangkut padi ke lumbung. Begitu pula berkebun, merabas rumput di bawah pohon kopi juga bergotongroyong. Sekarang di kebun Si Anu, besoknya di kebun Si Dia. Tak ada orang yang diupah. “Nampak remeh, memang. Tapi sebenamya inilah inti hubungan antar manusia. Orang bergotong royong karena punya kepentingan bersama. Orang bergotong royong karena saling percaya antar sesama, dan bahkan saling mengenal. Konsep menyama-braya orang Bali pada dasarnya disemangati oleh jiwa gotong royong ini. Kebersamaan yang harus dipupuk terus. “Indonesia Baru harus membangun kebersamaan itu. Sekarang ini kebersamaan itu ditinggalkan atau malah dipreteli. Yang dilakukan sekarang ini justru memperbesar perbedaan dan menciptakan sekat-sekat kecil. Ada ‘Warung Muslim’ di manamana, lalu diciptakan ‘Warung Krama Bali’, ada ‘Bakso Jawa’ lalu muncul ‘Bakso Semeton Bali’. Kita menjadi terpecah-pecah kembali, muncul rasa saling curiga. Bagaimana bergotong-royong membangun peradaban baru Indonesia, kalau kita sudah saling curiga? Mari kita ikat kebhinekaaan itu lagi menjadi tunggal ika.”
d 122 f
Menyiasati Ngayah Adat
G
ARA-GARA menjelaskan masalah gotong royong dalam masyarakat Bali, saya dicecar pertanyaan yang lebih serius. Apakah ngayah yang dikenal dalam masyarakat adat di Bali itu termasuk gotong royong atau kewajiban yang mengikat? Wah, agak rumit menjelaskannya. Sepintas seperti gotong royong, tetapi bisa pula sebuah kewajiban warga adat. Istilah ngayah itu paling tepat adalah kerja bakti untuk berbagai keperluan, apakah urusan ritual keagamaan atau pun masalah sosial kemasyarakatan. Kalau sudah disebut sebagai ngayah maka siapa pun yang terlibat tidak mendapatkan upah. Ini betul-betul kerja bakti yang gratis. Namun, itu menjadi kewajiban untuk warga adat. Menjadi warga adat, kalau tidak ikut ngayah akan kena sanksi berupa denda. Besarnya denda tidak seragam di masing-masing banjar adat. Juga tergantung jenis ngayah itu, apakah memperbaiki lingkungan, bekerja menyiapkan sarana upacara, menjenguk dan mengantar ke kuburan saat ada kematian dan sebagainya. Yang lebih unik lagi, warga adat bukannya takut membayar denda, tetapi takut akan ”berapa kali kena denda”. Bukan ter-
d 123 f
gantung nilai uangnya, tapi tergantung pada berapa kali absen ngayah. Jika dianggap keterlaluan absennya, meski pun semua denda dibayar, warga adat itu bisa dikucilkan dari krama banjar. Pengucilan pada tingkat yang paling sadis disebut kesepekang. Kalau itu terjadi, berbahaya sekali, jika suatu saat ada keluarganya yang meninggal dunia tak bisa dikuburkan, setidaknya dipersulit. Karena kuburan yang ada di desa bukan ”kuburan umum” atau ”kuburan milik agama”, sebagaimana di luar Bali. Kuburan di Bali adalah milik adat. Beratnya beban adat ini sangat dirasakan oleh warga yang kerja ke luar desa atau merantau sementara. Bayangkanlah, kalau ngayah itu seringkali dilakukan, warga adat yang mencari nafkah di rantau akan kelabakan. Dia harus memilih, mau pulang ke desanya untuk ngayah atau absen ngayah. Absen ngayah bisa kena denda dan bisa kena sanksi sosial, rajin ngayah bisa kena damprat di tempat kerja karena berarti bolos. Ketika penduduk Bali masih hidup dalam budaya agraris, urusan adat seperti ini tak jadi masalah, karena pekerjaannya sama, yaitu petani. Piodalan di pura atau ngayah memperbaiki lingkungan selalu dikaitkan dengan musim tanam atau tidak. Jadi ada waktu longgar untuk ngayah. Ketika dunia moderen datang, budaya agraris mulai diganti budaya industri, aturan adat jadi masalah. Bagaimana bisa seorang manager hotel harus ngayah ke pura membuat tusukan sate, sementara dia harus menggelar rapat setiap saat? Bagaimana bisa eksekutif di bank, harus pulang ke desa adat untuk ngayah mengantar warga yang meninggal dunia? Ini salah satu sebab para eksekutif Bali kalah bersaing merebut jabatan menengah ke atas. Untunglah, banyak desa yang sudah punya aturan adat yang bagus. Persoalan ngayah ini disikapi dengan cara-cara moderen. Prinsipnya adalah budaya agraris sudah ditinggalkan maka aturan adat yang mengacu kepada budaya agraris harus pula diting-
d 124 f
galkan. Banyak cara untuk menyikapi masalah ini. Di Denpasar, beberapa banjar adat menerapkan sistem ngayah dengan menyiasati waktu. Kalau ada warga yang meninggal, misalnya, warga adat ngayah mulai pukul lima pagi untuk membuat perlengkapan upacara. Sekitar pukul tujuh semuanya sudah selesai. Jadi warga adat bisa bekerja di kantoran. Ada pun mengantar ke kuburan, tidak dikenakan absensi, jadi bebas mau ikut mengantar atau tidak. Ini tidak mengurangi sisi kekerabatan, karena kalau tidak ikut mengantar, malamnya datang ke rumah duka, menyampaikan ucapan bela sungkawa sambil membawa ”bingkisan duka”. Di beberapa desa, hal ini juga sudah dilakukan. Bahkan mulai ada kemajuan dalam hal menyiapkan sarana upacara keagamaan. Dulu warga ngayah membuat tusukan sate, dan alat-alat lainnya. Ibu-ibu juga begitu, ngayah ke pura untuk membuat banten. Sekarang disiasati dengan masing-masing warga dibebani alatalat upacara. Misalnya, seseorang harus membawa 100 tusuk sate, begitu juga banten dibagi. Barang itu harus diserahkan tepat waktu, tak penting bagaimana mereka mendapatkannya. Apakah membuat sendiri malam-malam di rumah, atau memesan kepada orang lain, atau membeli. Bukankah alat-alat seperti ini sudah banyak yang menjualnya? Lihatlah di sepanjang Desa Kapal, perlengkapan upacara apapun ada yang menjual. Tusukan sate bahkan dijual di supermarket. Ada sebuah desa adat yang sama sekali warganya tak pernah ngayah untuk membersihkan pura, tetapi puranya malah tambah bersih dari sebelumnya. Bagaimana menyiasati? Warga urunan untuk biaya pemeliharaan pura. Lalu dicari warga setempat yang bisa bertanggungjawab atas kebersihan pura itu dengan mendapatkan gaji bulanan. Cara moderen seperti ini ternyata membuat pura tetap bersih sepanjang saat dan warga pun tidak ngayah. Lagi pula ada anggapan, ngayah untuk membersihkan pura terlalu mubazir karena pekerjaan hanya sekejap, ngobrol-
d 125 f
nya yang lama. Padahal untuk ngayah itu mengorbankan waktu produktif untuk bekerja. Bukan saja yang bekerja di kantoran, juga warga yang bekerja sebagai pedagang, tukang ojek dan sebagainya. “Terobosan seperti ini harus selalu digulirkan. Tidak usah takut kekerabatan sosial jadi kendor karena ada cara lain untuk tetap menyamabraya,” begitu saya menyimpukan. Jika kita terus menerapkan aturan ngayah adat seperti masa lalu, lambat laun Bali ini akan dikuasai oleh para pendatang, yang sama sekali tak terikat oleh ngayah adat.
d 126 f
Sanksi Adat Kesepekang
D
ISKUSI tentang adat ternyata menjadi menarik setelah beberapa tamu yang menginap di pasraman nimbrung soal itu. Karena dalam kontek ngayah adat ada disebut-sebut kesepekang, saya pun dicecar dengan pertanyaan soal itu. Padahal ini harus dijelaskan panjang lebar dan perlu hati-hati. Sanksi kesepekang itu adalah mereka dikucilkan dari banjar atau desa adat. Atau dikeluarkan dari desa adat untuk kasus yang lebih keras. Batas waktunya sampai “sang terhukum” membayar kewajiban denda adat. Ada sebuah desa yang memperlakukan hukum adat kesepekang secara sangat keras, warga desa adat itu dilarang berbicara kepada orang yang sedang kesepekang. Pokoknya sang terhukum ibarat orang “sakit gede” (penyebar penyakit menular yang dasyat). Warga adat tak boleh bicara dengannya, tak boleh menolong orang itu, dan orang yang sedang menjalani sanksi kesepekang tidak mendapatkan pelayanan apapun dari adat. Pokoknya hubungan putus tuntas. Kalau orang luar Bali mendengar berita ini, akan langsung berkomentar: “kejam betul orang Bali”. Bahkan komentar serupa sering muncul di kalangan orang Bali yang sedang merantau, kenapa ada hukum seperti itu? Tapi, nanti dulu. Orang Bali tidak kejam, kok. Buktinya, mer-
d 127 f
eka toleran benar kepada tamu dan pendatang. Apalagi kalau pendatang itu bukan orang Hindu, wah, halus sekali orang Bali. Mana ada pedagang sate dari Madura yang tinggal di desa adat tertentu mengalami kasus kesepekang? Mana ada pedagang pecel lele dari Jawa Timur yang berjualan di desa adat tertentu kena kesepekang? Orang Bali itu baik sekali kepada orang “nonBali”. Hukum ini hanya untuk orang Bali sendiri, bahkan hanya berlaku terbatas di wilayah desa adat bersangkutan. Dulu di desa adat saya ada tiga keluarga pedagang sate ayam asal Madura. Mereka ikut kegiatan desa, apapun bentuknya, kecuali urusan bersembahyang ke pura. Suatu kali orang Madura itu tak ikut kerja bhakti di jalan karena berdagang di kampung tetangga yang sedang ada upacara. Artinya, ia tak bisa kerja bhakti (ngayah) karena mencari peluang untuk mendapatkan rejeki, mumpung ada keramaian. Masyarakat maklum saja, seolah-olah itu tak ada masalah, pekerjaannya memang berdagang, mau bagaimana lagi? Lalu, di suatu hari, seorang warga adat yang asli Bali dan beragama Hindu tidak ikut ngayah memperbaiki selokan, alasannya mendadak diminta lembur oleh perusahaannya karena order meningkat. Warga desa banyak yang marah-marah dan ada yang usul agar orang itu kena sanksi kesepekang. Ia harus dihukum, tak berlaku alasan: “pekerjaannya memang di pabrik”. Untung kepala adat punya wawasan dengan menyebutkan setiap orang punya masalah dengan pekerjaannya dan apa yang disebut ngayah dalam konsep desa adat tak sama dengan “kerja paksa”. Ngayah itu harus dilihat pula dari unsur tulus dan ikhlas. Menyama-braya (persaudaraan) dalam lingkup desa adat adalah memahami masalah-masalah yang dihadapi warga desa dan kemudian menerapkan konsep saling asah, saling asih dan saling asuh. Di desa saya memang tidak ada sanksi kesepekang, apapun kasusnya. Tentu saja terasa aneh bin ajaib sesama warga desa
d 128 f
yang turun-temurun tinggal di desa saling menghukum, sementara dengan pendatang kita begitu tolerannya. Saya tak mengatakan harus mengurangi toleransi dengan pendatang, tetapi saya ingin mengatakan janganlah sesama orang Bali, apalagi satu agama, saling bertengkar dan mau diadu. Banyak orang bertanya, kalau pun sekarang ini masih ada desa yang menerapkan kesepekang, kok hal itu dianggap berat? Keluar saja dari desa adat itu dan mendaftarkan diri di desa adat yang lain. Atau tak usah ikut-ikut desa adat. Gampang kan? Ternyata tidak segampang itu. Karena di Bali adat itu lebih mencengkeram dibandingkan agama. Adat punya sarana yang mengatur hidup mati orang Bali yang beragama Hindu. Soal hidup kaitannya dengan persembahyangan, pura Tri Kahyangan terkait dengan adat. Soat mati menyangkut kuburan, yang punya kuburan itu adalah desa adat. Kalau tidak ikut dalam suatu desa adat tertentu, kita tak diizinkan menguburkan jenazah di sana. Apa mau kita hidup dan mati gentayangan? Apa tak ada jalan keluar? Pasti ada, lembaga adat jangan kaku dan harus mengikuti kemajuan zaman. Ini sudah banyak terjadi di Bali, bahkan awig-awig sudah dibuat moderen. Namun, jika lembaga adat tetap kaku, lembaga agamalah yang harus mendobraknya. Dirikan Pura Jagatnatha minimal di setiap kota kabupaten, sehingga orang hidup bisa sembahyang tanpa sekat adat. Buatlah kuburan Hindu apakah dalam bentuk krematorium atau tanah biasa, agar orang mati segera bisa diupacarai. Umat Hindu di luar Bali (termasuk yang etnis Bali) sudah menggunakan sarana ini, karena itu mereka tak kenal istilah kesepekang.
d 129 f
Wanita Bali
K
ENAPA wanita Hindu tidak banyak yang menonjol dan menjadi pemimpin? Apakah ada ajaran yang menghambatnya? Ini pertanyaan Putu Bagus yang sering sekali saya dengar di pasraman. Saya sudah mengatakan kepada Putu Bagus, persoalannya bukan pada Hindu. Kalau kita berbicara soal wanita dikaitkan dengan Hindu, ada beragam kitab suci Hindu menyebutkan bahwa seorang wanita itu begitu terhormat dan bisa menjadi pemimpin. Dalam Itihasa banyak sekali contoh-contoh wanita menjadi pemimpin, bahkan pemimpin perang seperti Srikandi. Dalam dunia moderen sekarang ini, di India sudah lama muncul wanita sebagai pemimpin. Indira Gandhi adalah contoh bagaimana kuat dan besamya dukungan pada politisi wanita ini memimpin India sampai suatu ketika ia dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Belakangan, Sonia Gandhi kembali dimunculkan sebagai pemimpin. Mereka adalah orang-orang Hindu yang taat. Jadi tak benar dalam ajaran agama Hindu, wanita dipinggirkan apalagi diremehkan. Nah, persoalannya adalah kita selalu melihat Hindu di Nusantara ini dengan kiblat Hindu di Bali. Padahal kalau kita selidiki masalahnya, persoalan wanita di Bali bukan masalah agama, tetapi masalah adat. Ini yang berkali-kali saya
d 130 f
katakan kepada Putu Bagus. Kenapa wanita Bali jarang yang menjadi pemimpin dan bahkan sangat terpuruk martabatnya? Tak ada lain, karena adat dan tradisi yang sangat membelenggu mereka. Anak wanita di Bali boleh disebutkan sebagai “kelas dua” setelah lelaki. Kalau biaya pendidikan kurang, anak wanita yang berhenti sekolah atau tidak disekolahkan. Untuk apa sekolah kalau sudah besar diambil orang lain. Dengan alasan bahwa mereka akan kawin keluar, dianggap tak punya beban untuk meneruskan kawitan atau leluhumya sendiri, karena ia ikut kawitan atau leluhur suaminya. Dengan demikian wanita Bali tidak menerima warisan apapun. Lembaga adat tidak memberi tempat pada wanita Bali. Anggota adat adalah para lelaki, yaitu pemimpin keluarga. Tak ada wanita yang jadi pemimpin keluarga. Kalau keluarga itu tak punya ayah lagi, yang jadi tetua keluarga adalah si ibu, ibu ini dianggap “balu” (janda), jadi tak dikenakan beban adat. Resikonya tak
d 131 f
pernah suaranya didengar adat karena yang rapat-rapat adat itu selalu pimpinan keluarga yang laki-laki. Di Bali ada istilah kawin nyentana. Yakni, wanita sebagai purusa (sebagai pengambil hak lelaki) dan pengantin lelaki yang ikut kawitan atau leluhur sang istri. Jadi yang berkuasa adalah sang wanita dan anak-anak ini nanti akan meneruskan keturunan sang istri. Meski begitu dalam rapat-rapat adat, tetap saja yang lelaki yang disertakan, tak ada yang wanita. Jadi, sistem adat di Bali memang tak memungkinkan melahirkan calon pemimpin wanita. Dalam hal spiritual juga begitu. Meski wanita Bali pintar membuat sesajen, namun untuk menjadi pemangku (ekajati) dan sulinggih (dwijati) tertutup jalannya. Wanita Bali hanya bisa menjadi pemangku atau sulinggih jika mengikuti suaminya, statusnya sebagai pendamping. Nah, kalau ini dirasakan membelenggu, kenapa kita tidak mereformasi adat Bali ini sehingga wanita Bali bisa tampil sebagai pemimpin? Jadi hambatannya adat, bukan agama.
d 132 f
Ilmu, Amal, dan Iman
S
ELESAI pelantikan pengurus warga Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi di pasraman dan para undangan sudah pulang, beberapa orang mengusulkan pada saya, agar diputarkan wayang kulit Cenk Blonk. Karena yang meminta banyak, dan sesekali menghibur orang, saya pun membolehkan. Mumpung semua peralatan masih terpasang, tinggal memutar VCD saja. Saya ambilkan kaset Cenk Blonk berjudul Kumbakarna Lina. Orang-orang asyik menonton dan beberapa orang tertawa dengan keras mendengar lelucon dalang yang penuh dengan sindiran. Tiba-tiba: jrett…. Listrik padam. Penonton kaget. “Sampai di mana leluconnya tadi?” tanya saya, karena sedari tadi saya antara tidur dan jaga, maklum lelah mengikuti acara sejak sore hari. “Sangut berceloteh tentang perlunya pemimpin menerapkan ilmu, amal dan iman,” jawab seseorang. “Bagaimana kalau Nak Lingsir saja meneruskan sindiran Sangut? Mumpung masih gelap.” “Saya sudah bosan dengan sindiran ini. Tapi, hal ini perlu terus dikatakan, karena memang tepat untuk situasi sekarang. Orang-orang saat ini, apakah itu pemimpin, tokoh atau orang biasa, tak bisa sinkron menerapkan tiga hal tadi: ilmu, amal
d 133 f
dan iman. Sesungguhnya istilah ini sudah lebih dari dua puluh tahun lalu digunakan dan yang mempopulerkan istilah itu adalah Habibie, mantan presiden. Ketika itu BJ Habibie menjabat Menristek dan Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Da-lam sebuah program kerjasama antara ICMI dengan organisasi cendekiawan yang bernapaskan agama, termasuk Forum Cendekiawan Hindu Indonesia (FCHI), Habibie mengangkat ilmu, amal dan iman itu sebagai tema besar kerjasama. Itu sekitar tahun 1994. “Penguasaan ilmu sangat penting. Namun, setelah ilmu dikuasai, amalkan ilmu itu. Janganlah ilmu itu dipendam sendiri. Dalam kitab-kitab Weda, berkali-kali disebutkan, sebarkan apa yang kau tahu meskipun itu hanya sekelumit pengetahuan. Amalkan apa yang kau pelajari, meskipun pelajaran itu belum sempurna. Jangan takut gagal. Bahkan terhadap orang saleh pun kitab Weda memberikan anjuran serupa. Misalnya dengan menyebut: ‘Menjadi orang sa-leh dan mengurung diri di dalam kamar, tidaklah istimewa di hadapan Tuhan, karena Tuhan berbangga melihat insan ciptaanNYA mengalami berbagai luka dan jatuh bangun di dalam kelemahannya sebagai seorang manusia biasa, namun tetap mantap di dalam melayani sesama.’ Jadi, kita tidak perlu takut mengamalkan ilmu itu. Ilmu tanpa diamalkan sama saja dengan bohong. Setiap malam melakukan pesantian, mencari ilmu dari Purana dan Itihasa, hendaknya di siang hari ilmu itu diamalkan, jauhi judi, minuman keras dan sebagainya. Jangan sampai malamnya ikut pesantian, siangnya masih menggoda istri orang. Bertahun-tahun mempelajari pencangkokan tanaman di laboratorium, sekarang amalkan di lapangan untuk kesejahtraan petani. Berbulan-bulan belajar agama dan menghafal mantra, sesekali praktekkan ketika ada piodalan di pura. Kepandaian yang hanya di simpan untuk diri sendiri tak ada manfaatnya. Itu inti dari ilmu.
d 134 f
Ruang Perpustakaan di Pasraman
“Namun, dalam pengamalan ilmu, jangan lupa pada iman. Kalau kita yang beragama Hindu, iman ini lebih pada dasar-dasar agama, jangan sampai mengamalkan ilmu ini menyimpang dari ajaran agama. Kita tahu ilmu merakit bom, tetapi dalam pengamalannya melanggar ajaran agama, bom diledakkan di restoran, puluhan orang tewas. Ini kan salah besar. Contoh lainnya, kita tahu dari ilmu geologi bahwa di Bedugul tersimpan sumber panas bumi. Kita mau amalkan, kita bor bukit Bedugul itu. Ini salah besar karena menyimpang dari agama, karena kepercayaan Hindu memuliakan gunung, lebih-lebih kawasan gunung Batukaru yang dikelilingi tempat-tempat suci. Kita tahu ilmu ekonomi, minuman keras disukai turis yang berkunjung ke Bali. Lalu kita amalkan, kita buat pabrik minuman keras. Ini salah besar karena agama Hindu melarang minuman keras, apalagi pabriknya di tengah-tengah pemukiman masyarakat. Ini contoh-contoh bagaimana ilmu, amal, dan iman harus selaras. Pemimpin yang baik harus menyelaraskan ketika dasar-dasar itu. Nah, adalah kita mempunyai pemimpin seperti itu? Ini yang jarang.” Listrik ternyata tetap padam.
d 135 f
Jangan Takuti Kematian
B
ARU saja saya melayat keluarga yang berduka. Kematian yang tragis karena kecelakaan. Ada dua yang tewas, salah satunya sahabat baik anak saya, lelaki yang masih muda dengan dua anak yang masih kecil-kecil. Anak terkecil malah belum setahun. Istri yang ditinggalkan menangis begitu melihat saya datang. “Nak Lingsir, kenapa Bli yang meninggal dunia. Dalam mobil itu ada sembilan belas penumpang, kenapa yang tewas Bli saya. Dia masih muda, menanggung anak, kariernya sedang bagus. Dia jujur, hidup kami sederhana, tak pernah korupsi. Setiap harta yang diperolehnya selalu disyukuri. Tuhan tidak adil. Mungkin di mobil itu ada koruptor, ada orang yang tak pernah bersyukur, atau ada orang yang tidak punya lagi tanggungan, siapa tahu pula di mobil itu ada pencuri, perampok, kenapa tidak dia yang meninggal, kenapa Bli saya yang meninggal.... duh...” Saya mengambil segelas air. Saya berdoa sejenak sambil memegang gelas itu, lalu saya sodorkan gelas ke ibu muda ini. “Minumlah Nak, semoga ada kejernihan pikiran dan kelapangan hati menerima musibah ini,” kata saya. Perempuan itu menurut. “Kematian adalah sebuah misteri, kita tidak tahu kapan datangnya. Tuhan punya skenario sendiri yang tidak bisa kita
d 136 f
baca bagaimana drama kehidupan itu dipentaskan. Orang lahir membawa karmanya sendiri, sebuah perjalanan dari karma hidupnya di masa lalu yang harus dia pertanggungjawabkan kembali. Kelahiran adalah kesempatan untuk menebus karmakarma masa lalu, sehingga manusia terbebas dari keterikatan dan kelahiran berulang-ulang. “Kematian bukan sesuatu yang menakutkan, karena ia akan datang, tak seorang pun sanggup mencegahnya. Tugas kita adalah selalu siap menghadapi kematian. Kita berdoa setiap hari, kita mengekang pikiran jahat setiap saat, kita menjaga agar lidah tidak bicara kotor sepanjang waktu, kita selalu berusaha berbuat yang terbaik. Jalankan Tri Kaya Parisudha tanpa beban, tetapi karena ketulusan. Dan ketika ajal datang, kita tidak punya utang apapun, karena kita selalu siap. Orang yang tidak siap menghadapi kematian adalah orang yang jauh dari jalan dharma. Suamimu sudah tenang sekarang, mari kita panjatkan doa di depan jenazahnya, saya akan menuntunnya.” Perempuan itu mengikuti saya.
Doa Melayat Orang Meninggal Dunia Om swargantu, moksantu, sùnyantu, murcantu. Om ksàma sampurnàya namah swàha. (Ya Tuhan Yang Maha Kuasa, semogalah arwah yang meninggal mendapat sorga, menunggal denganMu, mencapai keheningan tanpa derita. Ya Tuhan, ampunilah segala dosanya, semoga ia mencapai kesempurnaan atas kekuasaan dan pengetahuan serta pengampunanMu.)
d 137 f
Dongeng Seekor Tikus
A
NAK-ANAK usia Sekolah Dasar sudah berkumpul di aula pasraman. Sore ini saya mendapat giliran mendongeng. “Nak Lingsir akan mendongeng tentang tikus. Dongeng ini Nak Lingsir dapatkan dari ngobrol santai tanpa ujung pangkal dengan Prabu Darmayasa, sahabat Nak Lingsir yang minggu lalu ke pasraman. Coba ambil inti sarinya,” kata saya mengawali. Anak-anak pun diam. Tersebutlah seekor tikus. Ia sendirian, tidak punya teman, dan miskin. Pada suatu hari, ia dikejutkan oleh suara “ngeoongg.....” Seekor kucing telah berdiri di depannya, siap menerkamnya. Tikus itu ketakutan. Tetapi ia masih sempat melarikan diri. Dalam pelariannya itu ia melihat seorang Maharsi duduk bertapa. Si tikus bersujud, menunduk, dan menyembah dengan sangat tulus. Ia menyerahkan diri menjadi murid Maharsi. “Ma haresi, jiwa saya sedang terancam. Saya menderita sekali. Saya tidak mengerti apa yang harus saya lakukan untuk menyelamatkan diri. Maharsi adalah pendeta sakti, kini menjadi guru saya. Mohon selamatkan saya dari mara bahaya,” kata tikus setelah berhari-hari bersujud. Maharsi bertanya, “Apa yang aku dapat lakukan untukmu?” Tikus pun menjawab, “Maharesi, hidup saya terancam dari
d 138 f
kejaran kucing. Mohon berkenan menjadikan hamba seekor kucing.” Maharesi memandang si tikus, “Jadilah kau kucing.” Ajaib, detik itu pula ia berubah menjadi kucing. Ia tidak lagi mempunyai rasa takut. Ia berjalan dengan gagah membuka dada lebar-lebar dan langkahnya sengaja dipertegap, agar hewan lain mengetahui bahwa yang lewat adalah seekor kucing, bukan lagi tikus. Suatu hari, lewatlah ia di satu tempat. Ketika ia menengadah, ia melihat air liur menetes yang keluar dari lidah seekor anjing. Anjing itu siap memangsa si kucing. Kucing itu pun gemetar ketakutan. Tapi si kucing bisa menyelamatkan diri dan berlari menuju pertapaan Maharsi. Padahal sejak ia menjadi kucing dan menyombongkan diri di tengah-tengah para kucing, ia tak pernah ingat Maharsi. “Maharesi, jiwa saya terancam. Ada anjing yang gagah perkasa siap memakan hamba. Agar hamba tidak diganggu oleh anjing sialan itu, jadikan hamba seekor anjing yang gagah,” katanya di hadapan Maharsi. Sang Maharesi pun menjadikan si kucing sebagai anjing yang gagah. Anjing itu pun keluar dari pertapaan Maharsi dengan pongahnya, melolong tinggi dan panjang. Ia melangkah dengan tegap dan angkuh. Ketika melewati pedesaan dan melihat para tikus ia menghentakkan kakinya, dan tikus pun berlarian ke sana ke mari. Ketika melihat kucing, ia seolah menerkam, kucing berlarian pula. Anjing itu sudah lupa kalau dirinya dulu adalah tikus dan kucing juga. Ia lupa akan “kawitannya”, lupa “leluhurnya”. Ketika anjing itu melewati pinggiran hutan, tiba-tiba seekor harimau datang dengan jalannya yang tegap, gagah dan menakutkan. Si anjing yang biasanya membuat tikus dan kucing ketakutan, kini justru ketakutan. Namun ia beruntung, berdasarkan pengalaman sebelumnya, ia sempat menggunakan otaknya dan segera kabur menyelamatkan diri. Ia pun menuju pertapaan Maharsi. Lama ia terdiam, sedikit bersandiwara di hadapan
d 139 f
Maharesi untuk menarik perhatian dan belas kasihnya. Ia tibatiba menjadi anjing yang sangat saleh. Maharesi bertanya, “Sekarang, apa yang dapat aku lakukan untukmu, muridku?” Anjing dengan tersipu-sipu menjawab pelan, “Maharesi, mohon agar paduka memberikan belas kasih pada hamba yang malang ini sekali lagi. Hanya sekali lagi. Hamba minta dijadikan harimau, hamba tidak bisa hidup tenang kalau belum mencapai tingkat harimau, mohon guru berkenan untuk itu, bukankah saya murid yang sangat setia?” Maharesi segera menatapnya, mengangkat tangan dan bersabda, “Jadilah engkau harimau.” Dan ajaib, dalam hitungan detik, anjing tersebut telah berubah rupa menjadi seekor harimau gagah, duduk tegak di hadapan Maharesi. Namun, begitu keluar dari pertapaan, si tikus yang telah mencapai tingkat harimau atas bantuan Maharesi, berpikir buruk: “Ya, saya sekarang harimau. Tetapi, orang yang tahu sejarah saya menjadi harimau hanya orang ini, Maharsi yang sakti. Sekarang aku maharaja di hutan, manusia pun bisa aku mangsa. Kalau suatu saat Maharesi yang tahu sejarahku ini menceritakan kepada orang lain bahwa aku berasal dari tikus, betapa malunya aku. Agar aku bisa selamat dari sejarah kelam masa lalu, dan orang mengira leluhurku juga harimau, maka Maharsi ini harus kubunuh. Bukankah aku sekarang raja di hutan ini?” Si harimau pun pelan-pelan mendekat ke arah Maharesi dengan niat membunuh. Maharesi mengetahui niat tersembunyi itu, lalu harimau dipandangnya dengan kasih dan beliau memercikkan air ke arah sang harimau dan berkata, “Kembalilah engkau menjadi tikus.” Benar, harimau berubah menjadi tikus. Dan si tikus berguling-guling di tanah menyesali diri. “Anak-anak, siapa yang menangkap intisari dongeng ini?” tanya saya kemudian. Anak-anak mengacungkan tangannya. “Menurut saya, seorang guru tak layak dihina, apalagi mau dicelakakan. Guru harus senantiasa dihormati.”
d 140 f
“Kenaikan tingkat spiritual tak bisa untuk menyombongkan diri, justru harusnya semakin arif. Benar kan begitu Nak Lingsir?” “Keinginan seseorang tak ada batasnya, apalagi nafsu untuk berkuasa. Seharusnya nafsu dikendalikan.” “Baik, baik, semua benar,” kata saya. “Banyak lagi pelajaran yang bisa dipetik dari dongeng itu. Salah satunya adalah jangan lupa asal-usul kita. Kalau sekarang kita jadi orang besar, apakah itu pejabat atau Sulinggih, jangan malu mengaku di masa lalu hanyalah seorang petani miskin. Orang menghormati kita bukan karena keturunan, tetapi karena status kita pada saat ini.” Anak-anak diam, dan saya berjanji mendongeng lagi lain hari.
Remaja-remaja pasraman
d 141 f
Mantram Trisandhyà Om bhùr bhvah svah tat savitur varenyam bhargo devasya dhimahi dhiyo yo nah pracodayàt Om Nàràyana evedam sarvam yad bhùtam yac ca bhavyam niskalanko nirañjano nirvikalpo niràkhyàtah suddo deva eko Nàràyano na dvitìyo’sti kascit Om tvam sivah tvam mahàdevah ìsvarah paramesvarah brahmà visnusca rudrasca purusah parikìrtitah Om pàpo’ham pàpakarmàham pàpàtmà pàpasambhavah tràhi màm pundarìkàksa sabàhyàbhyàntarah sucih Om ksamasva màm mahàdeva sarvapràni hitankara màm moca sarva pàpebyah pàlayasva sadà siva Om ksàntavyah kàyiko dosah ksàntavyo vàciko mama ksàntavyo mànaso dosah tat pramàdàt ksamasva màm Om sàntih, sàntih, sàntih, Om
d 142 f
I
da Pandita Mpu Jaya Prema Ananda melaksanakan diksa dwijati pada 21 Agustus 2009, dengan Guru Nabe, Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda dari Griya Nataran, Kayumas Kelod, Denpasar. Semasa walaka bernama Putu Setia, lebih dari 30 tahun tinggal di luar Bali (Yogyakarta dan Jakarta). Kini menetap di Bali, lebih banyak di Pasraman namun sesekali berada di Denpasar. Kontak selengkapnya: Pasraman Dharmasastra Manikgeni Banjar Taman Sari, Desa Pujungan Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan 82163 Telepon (0362) 71116 Griya Alit Manikgeni Jalan Pulau Belitung Gg. II/3 - Desa Pedungan Denpasar 80222. Telepon (0361) 723765 Email:
[email protected] Web: http://www.mpujayaprema.com Facebook: Mpu Jaya Prema Ananda Twitter: @mpujayaprema
d 143 f