PENGANTAR REDAKSI Om Swastyastu Seiring dengan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan di Indonesia, maka berlangsung pula berbagai perubahan dalam aspek penyelenggaraan pendidikan terutama pada perguruan tinggi, mulai dari paradigma pendidikan, substansi pendidikan, proses pembelajaran, evaluasi pendidikan, sampai pengawasan pengelolaan perguruan tinggi. Sistem Penjaminan Mutu Internal di suatu perguruan tinggi merupakan kegiatan wajib dari perguruan tinggi yang bersangkutan, sehingga proses tersebut dirancang, dijalankan, dan dikendalikan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan memperhatikan peraturan dari Pemerintah. Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar sebagai salah satu Perguruan Tinggi Negeri, wajib memiliki sistem penjaminan mutu internal, seperti yang di amanatkan oleh UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan PP No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Penjaminan mutu dimaksudkan sebagai akuntabilitas IHDN Denpasar terhadap pemangku kepentingan baik internal maupun eksternal. Beranjak dari paradigma di atas, maka Lembaga Penjaminan Mutu IHDN Denpasar mulai bulan Pebruari tahun 2015 ini menerbitkan Jurnal Penjaminan Mutu yang bertujuan mengawal pelaksanaan sistem penjaminan mutu di IHDN Denpasar. Adapun tulisan yang akan dimuat dalam edisi perdana Jurnal Penjaminan Mutu ini adalah sebagai berikut: Peningkatan Mutu Pendidikan Luar Sekolah dalam Upaya Pembangunan Sumber Daya Manusia oleh: I Ketut Sudarsana, Peningkatan Mutu dan Kualitas Pendidikan Dengan Membangkitkan Tiga Potensi Dasar Alamiah (Bayu, Sabda, Idep) oleh: I Putu Gede Parmajaya, Pengembangan IHDN Denpasar Menjadi Universitas Hindu Negeri Modern Melalui Peningkatan Kompetensi Profesional Dosen oleh: I Ketut Gunarta, Standar Mutu Pengabdian Pada Masyarakat dan Profesionalisme Dosen oleh: Ni Made Anggreni, Kontribusi Sarana Pendidikan Terhadap Kualitas Pendidikan di Sekolah oleh: I Made Ariasa Giri, Peranan Sentral Guru Agama Hindu dalam Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional di Indonesia dan Pembangunan Karakter Bangsa Yang Berakhlak Mulia, Jujur, Terampil, Berhati Suci dan Bersih Lahir Batin oleh: Ni Nengah Selasih, Teori - Teori dalam Dunia Pendidikan Modern oleh: I Nyoman Temon Astawa, Penanaman Ajaran Agama Hindu Berbasis Budaya Dalam Membentuk Karakter Peserta Didik oleh: Made Mardika, Implikasi Gadget Terhadap Masyarakat Hindu di Bali oleh: Ni Nyoman Sri Widiasih, dan Etika Sebagai Dasar Pengendalian Diri Manusia oleh: I Nyoman Subagia. Semoga tulisan-tulisan di atas mampu memperkaya wawasan dan pengetahuan segenap civitas akademika baik di IHDN Denpasar maupun perguruan tinggi lain bahkan masyarakat secara keseluruhan. Sebagai terbitan perdana, pemuatan tulisan dalam jurnal ini tentu masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan. Terakhir kami ucapkan terimakasih kepada seluruh penulis yang telah berkenan memberikan buah pemikirannya, dan mohon maaf jika terdapat hal yang kurang berkenan. Om Santih, Santih, Santih Om.
Dewan Redaksi
ii
JURNAL PENJAMINAN MUTU LEMBAGA PENJAMINAN MUTU INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
PEMBINA : Prof. Dr. Drs. I Nengah Duija, M.Si. PENANGGUNG JAWAB : Dr. I Ketut Sudarsana, S.Ag., M.Pd.H. REDAKTUR : I Ketut Gunarta, S.Ag., M.Ag. I Nyoman Kiriana, S.Ag., M.A. ANGGOTA DEWAN REDAKSI : Dr. Imam Taufiq, M.Ag. (UIN Walisongo Semarang) Dr. Ni Nengah Selasih, M.Pd. (IHDN Denpasar) Dr. Laila, M.Pd. ( Universitas Negeri Medan) Dr. Isnarto (Universitas Negeri Semarang) Dr. Ruhaliah, M.Hum. (Universitas Pendidikan Indonesia) PENYUNTING BAHASA : Dr. Made Iwan Indrawan Jendra, S.S., M.Hum. DESAIN GRAFIS : Drs. I Wayan Nerta, M.FOr. SEKRETARIAT : Ni Ketut Sukarini, S.Ag. REDAKSI : Jl. Ratna No. 51 Tatasan Kaja Denpasar 80239 Tel. +62361 226656 Fax. +62361 226656 Email :
[email protected]
i
DAFTAR ISI Dari Redaksi ......................................................................................................................................... Daftar Isi ..............................................................................................................................................
i iii
PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH DALAM UPAYA PEMBANGUNAN SUMBER DAYA MANUSIA Oleh: I Ketut Sudarsana .......................................................................................................................
1
PENINGKATAN MUTU DAN KUALITAS PENDIDIKAN DENGAN MEMBANGKITKAN TIGA POTENSI DASAR ALAMIAH (BAYU, SABDA, IDEP) Oleh: I Putu Gede Parmajaya ...............................................................................................................
15
PENGEMBANGAN IHDN DENPASAR MENJADI UNIVERSITAS HINDU NEGERI MODERN MELALUI PENINGKATAN KOMPETENSI PROFESIONAL DOSEN Oleh: I Ketut Gunarta ...........................................................................................................................
23
STANDAR MUTU PENGABDIAN PADA MASYARAKAT DAN PROFESIONALISME DOSEN Oleh: Ni Made Anggreni ......................................................................................................................
34
KONTRIBUSI SARANA PENDIDIKAN TERHADAP KUALITAS PENDIDIKAN DI SEKOLAH Oleh: I Made Ariasa Giri .......................................................................................................................
46
PERANAN SENTRAL GURU AGAMA HINDU DALAM PENCAPAIAN TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL DI INDONESIA DAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA YANG BERAKHLAK MULIA, JUJUR, TERAMPIL, BERHATI SUCI DAN BERSIH LAHIR BATIN Oleh: Ni Nengah Selasih ......................................................................................................................
54
TEORI-TEORI DALAM DUNIA PENDIDIKAN MODERN Oleh: I Nyoman Temon Astawa ...........................................................................................................
67
PENANAMAN AJARAN AGAMA HINDU BERBASIS BUDAYA DALAM MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK Oleh: Made Mardika ............................................................................................................................
73
IMPLIKASI GADGET TERHADAP MASYARAKAT HINDU DI BALI Oleh: Ni Nyoman Sri Widiasih .............................................................................................................
82
ETIKA SEBAGAI DASAR PENGENDALIAN DIRI MANUSIA Oleh: I Nyoman Subagia .....................................................................................................................
89
iii
PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH DALAM UPAYA PEMBANGUNAN SUMBER DAYA MANUSIA Oleh I Ketut Sudarsana Dosen pada Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar Abstract The major challenge for the Indonesian nation these days and in the coming is how to improve the quality of the people. Regarding that it is interesting to study the present quality of the education and to know what can be done to it so that it improves and produces better human resources that are productive, efficient, confident, and competetive in the global context. Key Words: Extra School Eduction and Human Resources
I. PENDAHULUAN Pendidikan sesungguhnya memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan merupakan suatu faktor kebutuhan dasar untuk setiap manusia, karena melalui pendidikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan. Pendidikan mempengaruhi secara penuh pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hal ini bukan saja karena pendidikan akan berpengaruh terhadap produktivitas, tetapi juga akan berpengaruh pada kemampuan masyarakat. Pendidikan dapat menjadikan sumber daya manusia lebih cepat mengerti dan siap dalam menghadapi perubahan dan pembangunan suatu negara. Pendidikan tidak hanya berperan besar dalam kemajuan bangsa, melainkan juga berkaitan dengan pasar bebas yang semakin kompetitif, pendidikan hendaknya dipandang dapat mengakomodir masyarakat agar suatu negara memiliki manusiamanusia yang berkualitas. Melalui pendidikan dapat menciptakan tenaga kerja yang tidak hanya kaya akan pengetahuan teoritis melainkan juga praktis, penguasaan teknologi, dan memiliki keahlian khusus. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar evaluasi dan peningkatan pendidikan di setiap negara secara berkesinambungan. Di era persaingan dunia yang semakin tajam, bangsa Indonesia dituntut untuk dapat mencapai keunggulan menuju tingkat produktivitas nasional yang tinggi. Agar dapat memenangkan persaingan tersebut setiap masyarakat harus menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan, teknologi (Iptek) dan keterampilan serta keahlian professional yang dibutuhkan untuk memacu peningkatan nilai tambah berbagai sektor industri dan pemerataan ekonomi
secara berkelanjutan. Penekanan yang amat kuat terhadap pengembangan sumber daya manusia, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 yakni pendidikan berorientasi pada upaya mencerdaskan kehidupan bangsa menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mempunyai komitmen yang sangat besar untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa lain di dunia. Sesungguhnya di Indonesia, secara konseptual pembangunan pendidikan tampaknya ditautkan secara erat dengan pembangunan ekonomi. Di dalam Undang-undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, pembangunan pendidikan tidak hanya dikaitkan secara erat dengan pembangunan ekonomi, melainkan juga dengan tantangan globalisasi. Disebutkan disini bahwa pada awal abad XXI, dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Pertama, sebagai akibat krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk mengantisipasi era globalisasi, dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumberdaya manusia yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, sistem pendidikan nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang demokratis, memperhatikan keberagaman kebutuhan/keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat. Sejarah menunjukkan bahwa faktor yang paling menentukan keberhasilan suatu bangsa bukan kekayaan alam yang dimilikinya, melainkan kualitas sumber daya manusianya. Negara-negara yang kuat dalam kualitas sumber daya manusianya muncul sebagai negara unggul meskipun mungkin hanya
Peningkatan Mutu Pendidikan Luar Sekolah Dalam Upaya Pembangunan Sumber Daya Manusia | I Ketut Sudarsana
1
memiliki sumberdaya alam yang sangat terbatas. Melihat sedemikian penting peranan pendidikan, kemunculan pendidikan luar sekolah dapat dipandang sebagai salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Konsep awal dari Pendidikan luar sekolah ini muncul sekitar akhir tahun 60-an hingga awal tahun 70-an dalam bukunya Philip Coombs dan Manzoor A., P.H. (1985) The World Crisis In Education. Menurut Coombs (1974) pendidikan luar sekolah adalah: Any organized, systematic educational activity outside the framework of the formal (school) system (designed) to provide selective type of learning particular sub-groups in the population adult, as well as children. Kehadiran pendidikan luar sekolah marak di awal-awal tahun 1970-an terutama disebabkan oleh adanya kebutuhan akan pendidikan yang begitu luas terutama di negara-negara berkembang. Meluasnya kebutuhan akan pendidikan tidak terimbangi dengan ketersediaan akses pendidikan yang layak, hal ini disebabkan adanya kegagalan pendidikan formal. Sebagaimana diungkapkan oleh Paulston dan Le Roy (1972: 338) bahwa pendidikan formal mengalami kegagalan logistik dan fungsi sehingga untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang begitu besar dan cepat maka munculah sistem pendidikan alternatif di luar pendidikan formal. Kehadiran pendidikan luar sekolah adalah untuk menjawab tantangan kehidupan yang bertambah kompleks, dimana dituntut pengembangan kualitas sumber daya manusia yang mampu mandiri. Pendidkan luar sekolah sebagai sebuah bagian dari sistem pendidkan memiliki peran yang sangat penting dalam rangka pelayanan pendidikan sepanjang hayat, yang sangat dibutuhkan saat ini dan ke depan. Pendidikan luar sekolah dianggap sebagai pendidikan yang mampu memberikan jalan serta pemecahan bagi persoalan-persoalan layanan pendidikan masyarakat, terutama masyarakat yang tidak terlayani oleh pendidikan formal. Ahmed (Wahyudi Ruwiyanto, 1994: 40) menjelaskan bahwa dalam konteks sosio-ekonomi bagi individu dari suatu program pendidikan (termasuk pendidikan luar sekolah) adalah memberikan kebermanfaatan atau perbaikan dari segi penghasilan, produktivitas, kesehatan dan partisipasi. Pada banyak hal pendidikan luar sekolah dirasakan sebagai sebuah formula yang sangat ideal serta lebih memihak masyarakat dibandingkan dengan pendidikan formal. Namun demikian pendidikan luar sekolah merupakan bagian dari sistem pendidikan yang keberadaannya tidak bisa 2
dipisahkan dengan pendidikan formal apalagi dalam konteks pendidikan sepanjang hayat. Tantangan dunia pendidikan (termasuk pendidikan luar sekolah) antara lain perlu meningkatkan nilai tambah. Suasana ketidakpastian dalam ekonomi dunia dewasa ini yang ditandai dengan resesi dunia yang berkepanjangan, menuntut kemampuan bangsa Indonesia tidak bisa menyandarkan lagi terhadap sumber daya alam, tetapi pilihan satu-satunya ialah meningkatkan nilai tambah produk-produk industri dengan mendayagunakan keterampilan dan keahlian dalam berbagai bidang. Berdasarkan hal tersebut, maka tantangan bagi bangsa Indonesia ialah meningkatkan nilai tambah dalam rangka meningkatkan produktivitas nasional dan pertumbuhan ekonomi sebagai upaya memelihara dan meningkatkan pembangunan berkelanjutan. Orientasi nilai tambah yang akan meningkatkan keunggulan kompetitif bangsa Indonesia hanya dapat dicapai dengan keunggulan kualitas sumber daya manusia dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang tepat guna. Oleh karena itu, makalah ini mencoba membahas tentang pendidkan luar sekolah dan kontribusinya dalam membangun budaya produktivitas menuju pemberdayaan masyarakat. II. PEMBAHASAN 2.1 Teori Fungsionalisme Struktural dan Teori Pemberdayaan dalam Pendidikan Luar Sekolah 1) Teori Fungsionalisme Struktural Menurut teori fungsionalisme Talcot Parson, masyarakat merupakan sebuah sistem yang berstruktur dan terintegrasi secara fungsional.Artinya, dalam suatu sistem sosial terdapat unsur-unsur atau subsistem-subsistem yang membangun sebuah sistem sosial. Unsur-unsur dalam sistem sosial tersebut diasumsikan (dianggap) bekerja (berfungsi) saling mendukung sehingga menciptakan suatu kestabilan dan keharmonisan dalam sistem tersebut. Apabila terjadi ketegangan, disfungsi, penyimpangan dan diferensiasi dalam sistem, akan terganggu untuk sementara waktu, namun selanjutnya diasumsikan sistem akan kembali mencapai suatu titik keseimbangan. Menurut Nasikun (2003: 9-10), teori strukturalisme fungsional menganggap bahwa masyarakat, pada dasarnya, terintegrasi di atas dasar kata sepakat para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu, suatu general agreements yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan JURNAL PENJAMINAN MUTU
pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat. Ia memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium. Oleh karena sifatnya yang demikian, maka aliran pemikiran tersebut disebut sebagai integration approach,order approach, equilibrium approach, atau lebih populer disebut sebagai structural-functional approach, selanjutnya disebut pendekatan fungsional struktural atau fungsionalisme struktural. Teori-teori yang mendasrkan diri pada sudut pendekatan tersebut, biasa dikenal pula sebagai integration theories,order theories, equilibrium theories, atau lebih dikenal sebagai teori-teori fungsional struktural. Faktor paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus diantara para anggota masyarakat melalui nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Sistem nilai tersebut tidak saja merupakan sumber yang menyebabkan berkembangnya integrasi sosial, akan tetapi sekalgus juga merupakan unsur yang menstabilkan sistem sosial budaya. Sistem sosial mungkin merupakan model konseptual yang paling umum,diakui dan dipakai oleh para sosiolog di dalam mempelajari organisasi sosial. Model ini dimaksudkan sebagai pembantu untuk menjelaskan tentang kelompok-kelompok manusia. Model tersebut berangkat dari pandangan bahwa kelompok-kelompok manusia merupakan suatu sistem. Sebagai suatu sistem, ia mempunyai bagianbagian yang saling ketergantungan antara satu dengan lainnya di dalam satu kesatuan. Kesemuanya saling kait mengait satu sama lain dalam hubungan yang saling menguntungkan. Dalam suatu sistem sosial, paling tidak harus terdapat; (1) dua orang atau lebih, (2) terjadi interaksi antara mereka, (3) bertujuan, (4) memiliki struktur, simbul dan harapanharapan bersama yang dipedomaninya. Hubungan antar orang di dalam suatu sistem biasanya berlangsung lama. Tapi ada kalanya berlangsung singkat (Bertrand, 1980:29). Dengan demikian sistem sosial dapat dipandang sebagai unit dasar dari masyarakat. Model sistem sosial seperti yang dikemukanan di dalam tulisan ini termasuk suatu tradisi dari aliran strukturalfungsionalis di dalam khasanah sosialogi. Dipilihnya model ini karena dua alasan, yaitu; (1) sudah lazim dipakai, dan (2) mudah untuk menjelaskan permasalahan sosiologi itu sendiri. Setiap sistem sosial mempunyai unsur keyakinan-keyakinan (belief) tertentu yang dipeluk dan ditaati oleh para anggota-anggotanya. Mungkin juga terdapat saneka ragam keyakinan di luar keyakinan umum yang
dipeluk di dalam sesuatu sistem sosial. Akan tetapi hal itu tidaklah begitu penting. Yang penting, keyakinan itu dianggap benar atau tepat oleh warga yang hidup di dalam sistem sosial bersangkutan. Kehidupan manusia tidak terpikirkan di luar masyarakat. Individu-individu tak bisa hidup dalam keterpencilan sama sekali selama-lamanya. Manusia membutuhkan satu sama lain untuk bertahan hidup dan hidup sebagai manusia. Kesaling ketergantungan ini menghasilkan bentuk kerja sama tertentu yang bersifat ajek, dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu, sebuah keniscayan. Manusia adalah mahluk sosial. Itu hampir tidak dapat diragukan (Campbell,1994:3). Pendekatan struktural fungsional sebagaimana yang dikembangkan oleh Talcot Parson didasarkan pada pendekatan integrasi dan dapat dilihat dari anggapan dasar yang dikemukakannya. Pertama, masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem dari pada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Kedua, hubungan saling mempengaruhi diantara bagian tersebut bersifat ganda dan timbal balik. Ketiga, sekalipun interaksi sosial tidak akan pernah tercapai dengan sempurna, namun secara fundamental bergerak kearah equilibrium yang bersifat dinamis. Keempat, sekalipun disfungsi, ketegangan, dan penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi juga, akan tetapi pada jangka panjang, akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi. Kelima, perubahan-perubahan dalam sistem sosial pada umumnya akan terjadi secara gradual, melalui penyesuaian dan tidak terjadi secara revolusioner. Keenam, perubahan-perubahan yang terjadi melalui tiga macam kemungkinan, yaitu penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut terhadap perubahanperubahan yang datang dari luar, perubahan melalui diferensiasi struktur fungsional, serta penemuan baru oleh masyarakat. Ketujuh, faktor terpenting yang memiliki daya mengintegrasi suatu sistem sosial adalah konsensus diantara anggota-anggotanya mengenai nilai kemasyarakatan tertentu (Nasikun, 2003: 11-12). Pelaksanaan pendidikan luar sekolah dalam prosesnya harus memperhatikan bahwa setiap orang menganut dan mengikuti pengertian-pengertian yang sama mengenai situasi-situasi tertentu dalam bentuk norma-norma sosial, maka tingkah laku mereka kemudian terjalin sedemikian rupa ke dalam bentuk suatu struktur sosial. Program pendidikan luar sekolah yang tidak sejalan dengan nilai dan struktur masyarakat akan gagal diterima.
Peningkatan Mutu Pendidikan Luar Sekolah Dalam Upaya Pembangunan Sumber Daya Manusia | I Ketut Sudarsana
3
2) Teori Pemberdayaan Terkait dengan pendidikan luar sekolah, maka teori pemberdayaan, dalam hal ini adalah sebuah proses dan tujuan. Menurut Suharto (2005:58), pemberdayaan menunjuk pola kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memilikikebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusankeputusan yang mempengaruhi mereka. Lebih lanjut menurut Suharto (2005: 59-60) sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami maslah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan seagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses. Menurut Ife (Suharto,2005:59), pemberdayaan menurut dua pengertian kunci, yaitu kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan “klien” atas: a) Pilihan-pilihan personal dan kesempatankesempatan hidup: kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup,tempat tinggal,pekerjaan. b) Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannnya. c) Ide suatu gagasan: kemampuan mengekspesikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan.
4
d) Lembaga-lembaga kemampuan menjang-kau, menggunakan dan mempengaruhi pranatapranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan, dan kesehatan. e) Sumber-sumber: kemampuan memobi-lisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan. f) Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi, dan pertukaran barang serta jasa. g) Reproduksi: kemampuan dalam kuitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak,pendidikan dan sosialisasi. Pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan di atas, menurut Suharto (2005: 67), dapat dicapai melalui penerapan pendekatan pemberdayaan yang dapat disingkat menjadi 5 P, yaitu Peningkatan, Penguatan, Perlindungan, Penyokongan, dan Pemeliharaan: a) Pemungkinan: Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebas-kan masyarakat dari sekat-sekat kultural dan struktur yang menghambat. b) Penguatan: memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuh-kembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandiri mereka. c) Perlindungan: melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan lemah, dan mencegah terjadinya ekploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada pengehapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil. d) Penyokongan : memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan.
JURNAL PENJAMINAN MUTU
e) Pemeliharaan: memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha. Lebih lanjut Mudjiarto (2005: 1) berpendapat bahwa untuk mencapai tujuan pemberdayaan, terdapat 3 (tiga) jalur kegiatan yang harus dilaksanakan, yaitu: a) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia (individu) dan masyarakat mampu mengenali potensi (daya) yang dapat dikembangkan. b) Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memberikan motivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. c) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowermwent). Untuk itudalam rangka penguatan tersebut diperlukan langkah-langkah nyata, penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang membuat masyarakat makin berdaya dalam memanfaatkan peluang. Memberdayakan masyarakat mengandung pula arti melindungi, dan memberikan pengakuan keberadaan sehingga dalam proses pemberdayaa harus dicegah adanya perbedaan antara yang kuat dan yang lemah. Bagi semuanya berlaku setara yang diartikan semua memiliki hak dan kewajiban masingmasing sesuai potensi yang pada dirinya. Sebagaimana dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 26 ayat 1 dijelaskan bahwa pendidikan luar sekolah diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah dan atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pemberdayaan masyarakat. Banyaknya lembaga pendidikan luar sekolah yang berkembang saat ini, ternyata tidak diikuti oleh pengakuan pemerintah dan masyarakat. Pemerintah masih menempatkan pendidikan luar sekolah sebagai pelengkap pendidikan formal. Hal ini tentu juga mempengaruhi pandangan masyarakat yang menilai lulusan pendidikan luar sekolah tidak sederajat dengan pendidikan formal. Padahal pendidikan luar sekolah ini mestinya dianggap setara karena mampu menyediakan aktivitas pendidikan yang memenuhi kebutuhan dan kepentingan kerja yang tidak dapat
dipenuhi oleh sekolah formal untuk dapat memenuhi tuntutan global di dunia kerja yang kemudian berakibat pada bergeraknya roda ekonomi. 2.2 Pendidikan Luar Sekolah (Pendidikan Dan Pelatihan) untuk Mengembangkan Sumber Daya Manusia Pendidikan pada hakikatnya tidak semata-mata memindahkan ilmu pengetahuan pada peserta didik agar menjadi orang pandai, melainkan harus membantu peserta didik untuk membangun dirinya agar memiliki kemampuan mengelola hidup dengan baik dalam mewujudkan kehidupan yang bahagia. Pendidikan dewasa ini lebih banyak mengajarkan peserta didik dalam ranah kognitif saja, jarang yang menggugah peserta didik memiliki kemampuan untuk mengelola hidupnya secara benar dan baik. Pendidikan hendaknya melakukan tiga hal yaitu: memberikan ilmu pengetahuan secara jujur, memberikan penerangan jiwa dan pendidikan harus memperhatikan perkembanan setiap peseta didik. Tiga sasaran pendidikan ini tidaklah cukup kalau diberikan dalam jalur pendidikan formal di sekolah. Pendidikan tentang pengembangan wawasan kehidupan itu menyangkut kehidupan individual, sosial dan spiritual. Dalam aktivitas kehidupan berbagai keterampilan bisa ditranformasikan oleh generasi tua ke generasi muda. Demikian juga berbagai wawasan baik yang menyangkut masalah kehidupan secara umum maupun yang lebih khusus juga akan didapatkan oleh generasi penerus dari generasi sebelumnya. Cuma dewasa ini karena berbagai kesibukan perlu pendidikan luar sekolah dan keluarga itu lebih dikembangkan terutama manajemen dan isinya agar dapat berbobot sesuai dengan kebutuhan hidup generasi sekarang dalam menatap masa depannya. Keterampilan atau keahlian yang menjadi fokus pendidikan luar sekolah tersebut, akan sangat berguna bagi masyarakat dalam mencari nafkah untuk membiayai berbagai kegiatan hidupnya. Ketika semua masyarakat mampu menggerakkan ekonomi keluarga yang berakibat pada pemenuhan kebutuhan, mungkin pemerintah tidak harus lagi pusing memikirkan adanya pengangguran dan kemiskinan di republik ini. Manusia yang berkualitas secara kognitif, afektif, psikomotor, emosi dan spirit insaniah adalah modal utama ketika peradaban makin modern. Terdapat bukti-bukti dalam sejarah bahwa suatu bangsa yang tidak didukung sumber daya alam secara memadai tetap bisa eksis, bahkan mampu menjadi ‘raja bangsa-bangsa’ pada tataran internasional seperti Jepang, Singapura, dan Korea selatan. Terkait konsep penanaman modal dalam bentuk sumber daya manusia (human investment) bermakna bahwa manusia berinvestasi pada dirinya sendiri
Peningkatan Mutu Pendidikan Luar Sekolah Dalam Upaya Pembangunan Sumber Daya Manusia | I Ketut Sudarsana
5
dalam bentuk pendidikan, pelatihan atau kegiatan lain yang dapat meningkatkan perolehannya di masa mendatang dan menambah penghasilan sepanjang kehidupan. Sudarwan Danim (2004: 58) menjelaskan ‘investasi pendidikan’ atau ‘investasi sumberdaya manusia’, karena merujuk pada pembiayaan atas asset yang memberi pendapatan di masa depan. Investasi itulah asset yang akan mendatangkan pendapatan pada masa datang yang disebut modal. Hal ini berbeda dengan biaya konsumsi, yang bersifat menghasilkan manfaat atau kepuasan sesaat, tetapi tidak mendatangkan pendapatan atau melahirkan keuntungan di masa yang akan datang. Modal dalam bentuk sumberdaya manusia yang dimaksud disini adalah sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan professional dan keterampilan teknikal tertentu. Sumberdaya manusia yang kompeten dan professional dalam bidangnya dan berada pada semua lini pekerjaan akan melahirkan banyak keuntungan. David H. Maister (Sudarman Danim, 2004: 58) mengemukakan manfaat yang dapat diperoleh dengan sumberdaya manusia yang professional, yaitu: a) Staf termotivasi untuk bekerja secara produktif b) Produk kerja dengan kualitas tinggi c) Staf lebih terampil dan lebih terbimbing dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya d) Berkurangnya pemborosan waktu e) Kemampuan lebih besar untuk mendelegasikan tugas pokok dan fungsi karena staf akan lebih terbimbing f) Adanya waktu yang bagi mitra untuk mengarahkan focus pada kegiatan-kegiatan dengan nilai tambah tinggi g) Klien-klien akan memperhatikan pelayanan yang lebih baik, kerja tim lebih besar, dan motivasi yang lebih besar. Tuntutan sumber daya manusia yang professional seperti disebutkan di atas, jiwanya dapat ditransfer ke dalam situasi pendidikan (termasuk pendidikan luar sekolah). Tenaga professional di dalam konteks kegiatan pendidikan luar sekolah, karenanya merupakan bagian dari percepatan tercapainya tujuan pendidikan yang efektif, efisien dan akuntabel. Dengan kemampuan profesionalnya, fasilitator akan mendorong warga belajar untuk termotivasi melakukan pembelajaran sehingga menghasilakn nilai tambah yang merupakan kunci produktivitas dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Program belajar yang dikembangkan untuk mengembangkan sumber daya manusia merupakan
6
komponen penting dalam sub-sistem pendidikan luar sekolah. Manheim (Wahyudi Ruwiyanto, 1994: 1) menyatakan pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal) dapat digunakan dengan lebih efisien dan efektif untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, untuk segala strata ekonomi, strata social dan strata pendidikan, disamping dapat pula untuk ikut memecahkan masalah-masalah kemanusiaan yang mendesak. Ditinjau dari kaitannya dengan pendidikan persekolahan, maka pendidikan luar sekolah bisa berfungsi sebagai suplemen, komplemen dan substitusi. Menurut Kamil (2009: 1) peran pendidkan luar sekolah dalam kaitan dengan pemenuhan kebutuhan belajar sepanjang hayat (selama masyarakat masih ada) dapat sebagai suplemen berarti ‘penambahan’ terhadap pendidikan persekolahan. Ditilik dari sasaran didik dalam hal ini adalah anak-anak, pemuda dan orang dewasa yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan persekolahan tertentu. Mengapa perlu pengetahuan dan keterampilan tambahan? Alasannya adalah proses belajar itu berlangsung seumur hidup. Jadi walaupun seseorang telah menamatkan sesuatu jenjang pendidikan, baginya belajar masih perlu terus dilakukan sepanjang membutuhkannya. Alasan selanjutnya, pada umumnya pendidikan persekolahan belum berhasil sepenuhnya menyiapkan lulusan yang siap terjun ke dunia kerja. Untuk memiliki kompetensi suatu tugas pekerjaan tertentu, sebelumnya harus menempuh pelatihan atau magang. Alasan lainnya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlangsung sangat cepat, sehingga kurikulum sekolah sering ketinggalan dari perkembangan iptek tersebut. Jenis-jenis kegiatan pendidkan luar sekolah dalam pengembangan sumberdaya manusia sebagai suplemen dari pendidikan persekolahan sangat bervariasi, seperti pelatihan kejuruan, kursus, magang dalam bidang pertanian, industry, pertukangan, pengetahuan kerumahtanggaan. Peran pendidikan luar sekolah sebagai komplemen pendidikan persekolahan berarti pelengkap. Jadi pendidkan luar sekolah sebagai komplemen adalah melengkapi apa-apa yang diajarkan dalam pendidikan persekolahan. Mengapa harus ada pelengkap? Alasannya, karena tidak semua hal yang dibutuhkan oleh peserta didik dalam menempuh perkembangan fisik dan psikisnya dapat diajarkan dalam kurikulum sekolah. Dengan demikian peran pendidkan luar sekolah merupakan saluran yang tepat untuk menampung kebutuhan peserta didik tersebut.
JURNAL PENJAMINAN MUTU
Peran pendidikan luar sekolah sebagai substitusi atau pengganti pendidikan persekolahan. Warga belajar dari kegiatan pendidkan luar sekolah sebagai substitusi adalah anak, pemuda ataupun orang dewasa, yang oleh karena berbagai hal tidak memiliki kesempatan bersekolah. Mereka adalah yang tuna aksara dan angka dan atau yang tidak sempat menamatkan pendidikan sekolah. 2.3 Pendidikan Luar Sekolah Berorientasi Budaya Produktivitas Menurut Boediono (1997:113), pendidikan dilihat dari dimensi waktu dapat dibedakan dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Pendidikan dalam jangka pendek merupakan gejala pendidikan itu sendiri di mana peningkatan pengetahuan dan pembentukan watak peserta didik merupakan tujuannya. Pendidikan dalam jangka menengah merupakan gejala ekonomi yang mempersoalkan keterkaitan antara hasil pendidikan dengan kebutuhan angkatan kerja, sehingga pemilikan pengetahuan dan keterampilan merupakan hal yang paling utama. Sedangkan pendidikan dalam dimensi waktu panjang merupakan gejala kebudayaan di mana penerusan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya merupakan tujuan pokoknya. Pembedaan pendidikan dalam dimensi waktu ini tidak dapat dilihat secara fisik dalam proses pendidikan, karena proses pendidikan berlangsung secara simultan dalam ke tiga dimensi waktu tersebut. Pendidikan dalam arti luas dapat dipandang dari dua sisi, yaitu sebagai proses pendewasaan peserta didik untuk menapaki kehidupan (demokrasi) dan sebagai proses penyiapannya untuk memasuki sektor ekonomi produktif. John Dewey mengatakan bahwa tidak pada tempatnya mengaitkan tatanan perilaku kelembagaan pendidkan dengan kebutuhan pasar kerja, mengingat pendidikan bertujuan meneruskan cita-cita demokrasi. Menurut Dewey, fungsi pendidikan adalah membentuk komunitaskomunitas social ideal sebagai bagian dari proses transformasi pendewasaan anak. Pendidikan disini dipandang sebagai proses penanaman modal dalam bentuk “human” karena kehadirannya merupakan proses mempersiapkan manusia untuk terjun disektor produktif. Melalui pendidikan akan lahir manusia sebagai “human capital”, yang daya produksinya secara residual tidak kalah dengan factor-faktor produksi, seperti tanah, modal fisik dan teknologi. Menurut Psacharopoulos (Sudirman Damin, 2004:61) pekerjaan-pekerjaan yang menuntut intensitas dan rutinitas berskala tinggi dan rumit, pekerja tidak berhubungan langsung dengan produksi dan produk yang dihasilkan mempunyai nilai tambah yang tinggi
secara ekonomi, hanya mungkin dihasilkan oleh “human capital” yang sekaligus berfungsi sebagai “human factors”. Teknologi adalah produk pendidikan, kebudayaan, buah dari kreativitas dan sistem manajemen. Sehingga kita merumuskan arti produktivitas sebagai suatu ‘kemampuan jiwa’ hasil pendidikan dan pembudayaan, yang menumbuhkan kecakapan mengorganisasikan pada diri manusia. Dalam pengertian yang luas, pendidikan (termasuk pendidkan luar sekolah) mencakup seluruh proses belajar manusia, melalui pendidikan dan ‘pendewasaan’ di dalam lingkungan keluarga, dimasyarakat, melalui perbuatan, belajar dari pengalaman dan melalui berbagai pengaruh social, budaya serta lingkungan hidup. Sayangnya, hampir diberbagai tempat, keempat lingkungan pendidikan tersebut, tidak terkoordinasi dengan baik dan ditujukan kearah peningkatan kualitas penduduk keseluruhan, dan pengembangan budaya produktivitas. Perbedaan keefektifan proses pendidikan ini, sangat menentukan taraf pembangunan sosial ekonomi dan peningkatan produktivitas. Jadi strategi yang paling efektif untuk meningkatkan produktivitas adalah pengembangan sumber manusia dan mempertinggi kualitas seluruh sektor tenaga kerja. Faktor kunci yang mempengaruhi tinggi rendahnya produktivitas adalah sikap orang-orang yang bekerjasama. Yang sangat jelas ialah bahwa sikap “setengah hati” dari tenaga kerja merupakan hambatan yang paling serius terhadap peningkatan produktivitas. Sikap itu sendiri adalah cerminan dari interaksi banyak faktor-faktor jangka panjang dan jangka pendek termasuk motivasi, kebudayaan, sistem manajemen, sifat pekerjaan dan hal-hal khusus serta manusiawi seperti sistem nilai, falsafah hidup dan lain-lain. Sikap pada dasarnya dibentuk oleh sistem nilai seseorang atau sekumpulan orang, biasa disebut dengan istilah norma sosial. Mengubah budaya organisasi dapat dipandang sebagai suatu proses pendidikan yang penting dan diarahkan untuk memecahkan tujuan-tujuan khusus. Yang jadi masalah pokok dalam mengubah budaya ialah, dimana rencana-rencana dibuat dan bagaimana dilaksanakan. Jadi nilai yang menjadi kunci dalam mengadakan perubahan ialah dengan memperkenalkan perencanaan bersama antara karyawan dengan pimpinan. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa orang akan lebih bersungguhsungguh untuk mencapai tujuan apabila ikut serta dalam merumuskannya. Organisasi pada akhirnya adalah system manusia yang komponen-komponen materialnya sekedar mekanisme pendukung atau alat
Peningkatan Mutu Pendidikan Luar Sekolah Dalam Upaya Pembangunan Sumber Daya Manusia | I Ketut Sudarsana
7
pembantu berfungsinya manusia tersebut. Oleh karena penekanan pada perilaku manusianya, maka upaya mengadakan perubahan melalui pengembangan organisasi mau tidak mau harus dilakukan melalui proses belajar dari pengalaman ketimbang sekedar pelajaran teori semata. Orang belajar paling baik dengan melakukan sendiri dan budaya organisasi, dimana perusahaan sebaikknya dikembangkan melalui latihan guna memecahkan masalah-masalah konkrit daripada membahas konsep-konsep yang abstrak. Pendekatan partisipatif merupakan aspek penting dalam menciptakan iklim dan sikap kerja bagi peningkatan produktivitas, yaitu keikutsertaan secara aktif dari seluruh karyawan dalam proses perubahan yang diupayakan. Partisipasi bukan saja membantu mengembangkan organisasi, tetapi sekaligus memberikan dampak pendidikan yang nyata. 2.4 Pendidikan, Pelatihan dan Pertumbuhan Ekonomi Sejumlah penelitian telah mengungkapkan banyaknya korelasi positif antara pendidikan dengan produktivitas. Bahkan dengan membandingkan pertumbuhan ekonomi antara berbagai Negara, dapat ditunjukkan bahwa hasil-hasil terbaik dari segi tingkat produktivitas dan kecepatan pertumbuhan ekonomi terdapat dinegara-negara yang tenaga kerjanya mempunyai tingkat pendidikan yang lebih baik. Analisis terhadap empat buah karakteristik dari tenaga kerja, sikap, pengetahuan, keterampilan dan peluang keorganisasian menunjukkan dengan jelas peranan pendidikan dalam arti yang luas (termasuk pendidkan luar sekolah) terhadap pengembangan karakteristik tersebut. Untuk memastikan bahwa komponen-komponen utama dari sistem pendidkan seimbang dan terkoordinasi dengan baik, perlu dijelaskan hal-hal berikut: a) Apakah sistem tersebut benar-benar mencakup semua komponen yang diperlukan untuk mengembangkan sumber manusiawi? b) Jika ya, apakah komponen-komponen tersebut serta pengembangannya diseimbangkan secara optimal dalam system pendidikan? c) Adakah mekanisme perencanaan dan koordinasi yang baik dengan umpan balik ke tingkat nasional untuk mengembangkan dan mempertahankan mutu pendidikan yang diperlukan guna mengembangkan tingkat perekonomian negara khususnya tingkat produktivitas?
8
d) Apakah terdapat cukup hubungan yang saling mendukung antara jenis pendidikan nonformal, informal dan formal yang diarahkan pada peningkatan produktivitas? e) Apakah metode dan proses pendidikan yang digunakan serasi dengan kebutuhan kehidupan budaya serta organisasi khusus? f) Strategi pilihan untuk mengembangkan mekanisme pendidikan sebagai sarana peningkatan kesadaran dan budaya produktivitas, hendaknya direncanakan dan dilaksanakan dengan baik. Akhir-akhir ini, pembanguan infrastruktur pendidikan (termasuk pendidkan luar sekolah) makin memperluas masyarakat untuk dapat mengakses pendidikan. Hal ini sangat nyata efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi negara, jika Jepang dan Korea Selatan dijadikan sebagai kasus. Pendidikan dalam makna luas akan mengubah manusia menjadi tidak hanya sebagai “human factors” tetapi juga sebagai “human capital”, yang di dalamnya termuat unsur manusia secara fisik, keterampilan-keterampilan, kemampuan kognitif, keuletan, ketakwaan, motivasi, kepribadian dan loyalitas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa pakar ekonomi pendidikan seperti Komarov, Schultz, Bouman, Harbison dan Myer dipuluhan negara didunia, menunjukkan bahwa tingginya rata-rata pendidikan penduduk berkorelasi secara linier dengan pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi yang luar biasa di Cina, Taiwan, Korea Selatan, Singapura dan Jepang tidak lepas dari keberhasilan mereka membangun pendidikan, jika komposisi tenaga kerja terdidik dijadikan parameter. Kenyataan ini membuktikan bahwa pembangunan pendidikan merupakan salah satu kunci utama bagi percepatan dan pertumbuhan ekonomi negara pada umumnya dan kesejahteraan pada khususnya. Pertumbuhan ekonomi Jepang, termasuk beberapa Negara industri baru (New Industrializing Countries, NICs) seperti Korea Selatan pasca Perang Dunia II, yang antara lain ditandai oleh tingginya pendapatan per kapita diakui secara internasional banyak dipicu oleh majunya pendidikan dinegara-negara itu berikut segala infrastrukturnya. Telaah diatas seyogyanya menjadi cambuk untuk menata pendidikan dan menyiapkan sumber daya manusia yang mumpuni harus diakui jauh lebih penting daripada membeli teknologi atau penanaman modal fisik. Dalam rumusan sangat sederhana, Murdik dan Ross (Sudirman Danim (2004: 62) mengatakan, jika separuh tenaga manusia
JURNAL PENJAMINAN MUTU
dioptimalkan untuk berproduksi dan menggerakkan sector produksi, hal ini akan lebih baik daripada penambahan modal fisik dari teknologi itu,, melainkan juga apresiasi kita terhadap prestasi bangsa. Pembangunan pendidikan dalam arti luas meniscayakan pertumbuhan ekonomi yang memadai dari suatu negara sebagai akseleratornya. Sisi lain, jika institusi pendidikan mampu melahirkan out-put yang bermutu, pembangunan ekonomi akan dapat dipacu. Karena itu, pertumbuhan ekonomi merupakan dasar atau sumber utama dari kemajuan sector pembangunan, terutama pendidikan pendidkan luar sekolah. Karena itu, jika pendidikan mampu melahirkan out-put yang berkualitas, banyak dimensi ekonomi dan produksi yang dapat dikreasi oleh manusia berpendidikan atau manusia pembelajar. Kemajuan ekonomi suatu negara berarti terjadinya penyediaan lahan pekerjaan dan sumber utama pendapatan rakyat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi berarti makin mempercepat penambahan kebutuhan tenaga kerja dan juga menaikkan pendapatan negara. Hal ini akan mempermudah rakyat untuk memperoleh pendidikan. Secara ekonomi, negara-negara maju mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang tinggi dan karenanya taraf pendapatan penduduknya juga tinggi. Perkembangan ekonomi merupakan salah satu alat untuk memenuhi permintaan masyarakat terhadap pendidikan, karena pendidikan memerlukan biaya. Kemajuan bidang teknik membutuhkan pekerjapekerja yang berpendidikan tinggi dan memiliki keterampilan yang diperoleh melalui pelatihanpelatihan kejuruan, juga pekerja yang berkualifikasi tinggi dalam berbagai sector produksi. Pada proses produksi modern, diperlukan personal yang berpendidkan tinggi dan berpengalaman serta cakap yang selalu ditingkatkan kompetensinya secara terus menerus (belajar sepanjang hayat). Artinya, pengenalan pembelajaran sepanjang hayat secara universal bagi manusia, pekerja merupakan faktor langsung dalam pertumbuhan sektor produksi umumnya dan ekonomi khususnya. Pada pembahasan di atas telah dijelaskan bahwa pendidikan atau pelatihan dan dibangunnya budaya produktivitas dalam masyarakat secara signifikan dapat meningkatkan produktivitas kerja. Ini berarti bahwa program dan materi pendidikan dan pelatihan dapat meningkatkan produktivitas kerja pekerja melalui pengetahuan dan keterampilan yang diterima selama, menjalani proses pendidikan dan pelatihan tersebut. Hipotesis ini kemudian ditentang oleh sejumlah kritikus yang berpendapat bahwa perolehann yang lebih tinggi dari pekerja lebih
mencerminkan kemampuan utama yang bersumber dari dimensi internal mereka ketimbang pengetahuan dan keterampilan tertentu yang diperoleh selama proses pendidikan. Kritik yang lain muncul dengan alasan bahwa pekerja berpendidikan tinggi umumnya berasal dari kelompok kelas sosial yang lebih tinggi dimasyarakat. Disamping, yang disebutkan terakhir lebih sering bekerja didaerah perkotaan yang memberikan upah atau gaji yang lebih tinggi daripada dipedesaan yang umumnya memberikan upah atau gaji lebih rendah. Ada dua tujuan pendidkan pra-kerja: untuk menumbuhkan kesadaran tentang produktivitas dan mempersiapkan para pemuda sebagai warga belajar untuk kerja produktif dengan memberinya pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan. Disini sering dilihat ketimpangan antara kedua tujuan tersebut, yaitu terlalu banyak perhatian dicurahkan kepada pemberian pengetahuan formal dan sangat kurang terhadap kecakapan bagaimana melakukan suatu pekerjaan. Dikalangan para industrialis di Inggris misalnya, telah lama dicetuskan keluhan tentang mutu pendidikan bisnis atau manajemen yang diselenggarakan di negeri itu, karena terlalu berorientasi pada pelajaran tentang bagaimana berniaga, bagaimana membuat sesuatu dan bagaimana memutar modal daripada menciptakan nilai tambah dan menambahkan nilai baru. Beberapa lembaga pendidikan terlalu menitikberatkan nilai-nilai akademis murni daripada mengajar orang begaimana mengelola pabrik dan proses produksi dibengkel kerja. Terlalu banyak upaya diletakkan pada kegiatan mengelola ilmu pengetahuan dan penelitian ketimbang mempersiapkan wiraswastawan yang kreatif dengan kemampuan melakukan inovasi dan mengelola kerja. Peningkatan nyata dari budaya produktif dapat dicapai dengan mengubah tekanan dari sistem pendidikan yang berorientasi ilmu pengetahuan atau akademis semata-mata, kepada sistem yang berdasarkan pemecahan masalah dan bertujuan memberikan kecakapan konkrit untuk melaksanakan tugas pekerjaaan. Dengan investasi modal dalam bentuk pengembangan sumberdaya manusia dimaksudkan untuk dapat mendongkrak produktivitas ketika dia bekerja. Konsep modal dalam bentuk sumber daya manusia adalah suatu pemikiran bahwa orang-orang membekali dirinya dengan caracara yang berbeda, tidak untuk kesenangan sesaat, melainkan juga untuk kepentingan perolehan pendapatan non-uang. Menurut M.Kubr (1986:26) negara-negara dimana pendidikan dalam keluarga, masyarakat
Peningkatan Mutu Pendidikan Luar Sekolah Dalam Upaya Pembangunan Sumber Daya Manusia | I Ketut Sudarsana
9
maupun sekolah menekankan kreativitas, berhasil mendidik anak muda bersikap analitis, lebih terbuka terhadap nilai-nilai modern, gaya manajemen progresif dan budaya keorganisasiaan yang maju. Jadi pengembangan pendidikan informal, nonformal dan formal yang terorganisir dan terkoordinasi dengan baik bagi calon tenaga kerja dikemudian hari, merupakan faktor penting dalam mengubah budaya produktivitas dan keorganisasiaan modern dimasa datang. Itulah sebabnya, beberapa negara telah mulai memprakarsai upaya yang terencana dan terkoordinasi ditingkat nasional dalam menumbuhkan kesadaran akan produktivitas pada usia sedini mungkin. Ditingkat yang lebih luas (nasional), konsep budaya dan sikap kerja yang sesuai, perlu dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, lembaga kursus dan pelatihan dan perguruan tinggi. Gagasan ini dapat disebarluaskan melalui media massa, sehingga memperkuat proses pendidikan nonformal dan informal dalam menumbuhkan budaya produktivitas dan sikap positif terhadap kerja. Sumber daya manusia yang bermutu makin dibutuhkan sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang makin masif akhir-akhir ini. Masivitas kemajuan iptek itu antara lain ditandai oleh terjadinya pergeseran dimensi sosial, politik, ekonomi, teknologi, kultural dari era agraris ke era industri dan informasi. Pada sektor industri, perubahan terjadi dari industrialisasi berbasis sumber daya alam dengan mengandalkan tenaga kerja kurang terampil, ke industrialisasi berbasis teknologi tinggi dengan sumber daya manusia yang bermutu. Kecenderungan ini berimplikasi pada perlunya aktualitas wacana pengembangan sumber daya manusia dalam keragaman bentuk investasi. 2.5 Pengaruh Pendidikan Luar Sekolah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Isu mengenai sumber daya manusia (human capital) sebagai input pembangunan ekonomi sebenarnya telah dimunculkan oleh Adam Smith pada tahun 1776, yang mencoba menjelaskan penyebab kesejahteraan suatu negara, dengan mengisolasi dua faktor, yaitu; 1) pentingnya skala ekonomi; dan 2) pembentukan keahlian dan kualitas manusia. Faktor yang kedua inilah yang sampai saat ini telah menjadi isu utama tentang pentingnya pendidikan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Lebih lanjut Solow (1958) juga telah melakukan analisa dari temuannya tentang residual dalam penjelasan mengenai pertumbuhan ekonomi. Kemudian Romer (1986), Krugman (1987), dan Gupta (1999) juga menjelaskan bahwa residual itu 10
menujukkan tingkat pendidikan (educational rate) dan sumber daya mansusia. Hubungan sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi tersebut menunjukkan suatu keharusan bahwa kebijakan publik memperhatikan pengembangan pendidikan, promosi keahlian, dan pelayanan kesehatan. Hal ini dikatakan juga oleh Lim (1996) bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Jepang dan Korea Selatan besar kemungkinan disebabkan oleh sumber daya manusia yang berkualitas, hal ini terlihat dari tingkat melek huruf (literacy rate) yang tinggi, sehingga tenaga kerja mudah menyerap dan beradaptasi dengan perubahan teknologi dan ekonomi yang terjadi. Kasus lain seperti yang dikemukkan oleh AlSamarai dan Zaman (2002) di Malawi, dalam rangka peningkatan sumber daya manusia, pemerintah telah melakukan beberapa program antara lain dengan menghapuskan biaya untuk Sekolah Dasar dan memperbesar pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan. Dampak dari program ini adalah meningkatnya tingkat enrollment rate ratio pendidikan dasar. Namun demikian masalah yang harus diperhatikan lebih lanjut oleh pemerintah adalah distribusi pendidikan yang tidak merata. Hubungan investasi sumber daya manusia (pendidikan) dengan pertumbuhan ekonomi merupakan dua mata rantai. Namun demikian, pertumbuhan tidak akan bisa tumbuh dengan baik walaupun peningkatan mutu pendidikan atau mutu sumber daya manusia dilakukan, jika tidak ada program yang jelas tentang peningkatan mutu pendidikan dan program ekonomi yang jelas. Studi yang dilakukan ekonom dari Harvard Dale Jorgenson et al. (1987) pada ekonomi Amerika Serikat dengan rentang waktu 1948-79 misalnya menunjukkan bahwa 46 persen pertumbuhan ekonomi adalah disebabkan pembentukan modal (capital formation), 31 persen disebabkan pertumbuhan tenaga kerja dan modal manusia serta 24 persen disebabkan kemajuan teknologi.Selanjutnya, Suryadi (2001) menegaskan dari hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai kesadaran sosial politik dan budaya, serta memacu penguasaan dan pendayagunaan teknologi untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan sosial. Meski modal manusia memegang peranan penting dalam pertumbuhan penduduk, para ahli mulai dari ekonomi, politik, sosiologi bahkan engineering lebih menaruh prioritas pada faktor modal fisik dan kemajuan teknologi. Ini beralasan karena melihat data AS misalnya, total kombinasi kedua faktor ini menyumbang sekitar 65 persen JURNAL PENJAMINAN MUTU
pertumbuhan ekonomi AS pada periode 1948-79. Namun, sesungguhnya faktor teknologi dan modal fisik tidak independen dari faktor manusia. Suatu bangsa dapat mewujudkan kemajuan teknologi, termasuk ilmu pengetahuan dan manajemen, serta modal fisik seperti bangunan dan peralatan mesinmesin hanya jika negara tersebut memiliki modal manusia yang kuat dan berkualitas. Apabila demikian, secara tidak langsung kontribusi faktor modal manusia dalam pertumbuhan penduduk seharusnya lebih tinggi dari angka 31 persen. Perhatian terhadap faktor manusia menjadi sentral akhir-akhir ini berkaitan dengan perkembangan dalam ilmu ekonomi pembangunan dan sosiologi. Para ahli di kedua bidang tersebut umumnya sepakat pada satu hal yakni modal manusia berperan secara signifikan, bahkan lebih penting daripada faktor teknologi, dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Modal manusia tersebut tidak hanya menyangkut kuantitas, tetapi yang jauh lebih penting adalah dari segi kualitas. Buku terakhir William Schweke, Smart Money: Education and Economic Development (2004), sekali lagi memberi afirmasi atas tesis ilmiah para scholars terdahulu, bahwa pendidikan bukan saja akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi. Karena itu, investasi di bidang pendidikan tidak saja berfaedah bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakat umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah. Dari berbagai studi tersebut sangat jelas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi melalui berkembangnya kesempatan untuk meningkatkan kesehatan, pengetahuan, dan ketarmpilan, keahlian, serta wawasan mereka agar mampu lebih bekerja secara produktif, baik secara perorangan maupun kelompok. Implikasinya, semakin tinggi pendidikan, hidup manusia akan semakin berkualitas. Dalam kaitannya dengan perekonomian secara umum (nasional), semakin tinggi kualitas hidup suatu bangsa, semakin tinggi tingkat pertumbuhan dan kesejahteraan bangsa tersebut. Dalam segi ekonomi, struktur kesempatan, hingga pertumbuhan ekonomi, harus dibuka atau sedikit dapat dibuka dengan berbagai pengaruh atau dampak pengangguran dan pendapatan. Sekurangkurangnya tersedianya beberapa kesempatan kerja lebih banyak ditawarkan daripada masuk ke dalam posisi pada level tertentu. Kesempatan perlu dihadirkan, dan ada dua area yang menjadi perhatian. Pertama adalah pertumbuhan masalah pengangguran diantara generasi muda, yang telah dikalkulasikan sebanyak dua kali dalam taraf nasional. Sejarah tentang perubahan generasi muda di dalam negara, dikombinasikan dengan perhatian utama dalam pembentukan generasi baru yang akan memimpin negara. Perhatian tersebut hingga mengkobinasikan pendidikan formal dan program pendidikan luar sekolah yang merupakan dua area yang potensial untuk dikombinasikan. Kombinasi tersebut secara langsung berkaitan dengan ekonomi informal dimana lebih membutuhkan analisis kompetensi dan programprogram yang harus berkelanjutan. Analisis ilmu ekonomi menunjukkan bahwa objek ilmu ekonomi adalah tindak ekonomis. Tindak ekonomis adalah memilih secara bijaksana sehubungan dengan keadaan alam, modal, tenaga kerja, organisasi dan waktu yang terbatas dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia yang terbatas. Analisis unsur-unsur tentang tindak ekonomi bermanfaat untuk memahami hubungan antara sistem ekonomis dan sistem pendidikan. Perbedaannya dapat dilihat dari tabel dibawah ini :
Perbandingan Antara Tindak Ekonomis Dan Tindak Pendidikan KOMPONEN
TINDAK EKONOMIS
TINDAK PENDIDIKAN
a. Tujuan Tindakan
Memperoleh keuntungan material atau saling menguntungkan Orang dewasa yang menanggung biaya hidup (sesuai aturan dalam masyarakat)
Menumbuhkan kebangkitan individu sebagai pribadi yang self help. Orang dewasa dan anak atau orang dewasa dan orang yang belum dewasa yang berfungsi sebagai pendidik atau anak didik.
b. Pelaku Tindakan
Peningkatan Mutu Pendidikan Luar Sekolah Dalam Upaya Pembangunan Sumber Daya Manusia | I Ketut Sudarsana
11
KOMPONEN c. Dasar Tindakan d. Orientasi
e. Waktu Kegiatan f. Nilai-Nilai
g. Hasil Tindakan
h. Harga Satuan
TINDAK EKONOMIS Kaidah ekonomi non susila (non etis) Untung rugi ekonomis dan efisiensi Terbatas, dalam rangka perhitungan keuntungan ekonomis Nilai ekonomis dalam sistem ekonomi yg berlaku, umumnya dihitung dengan uang Barang berupa jasa, atau uang
Jumlah penghasilan dibagi jumlah penduduk setiap tahun
‘Non formal education’ diperkenalkan pada akhir 1960-an untuk menandakan adanya kebutuhan untuk membuat tanggung jawab pendidikan di luar sekolah atas permintaan pendidikan yang baru dan berbeda. Selama tahun 1970-an, bagi kebanyakan negara dunia ketiga, pendidikan luar sekolah memiliki frekuensi alternatif program untuk remaja dan dewasa yang tidak terpuaskan atau sedikit tepuaskan pendidikannya oleh sekolah, atau bagi yang membutuhkan tambahan disamping schooling yang telah mereka terima. Karakteristik dari pendidikan luar sekolah adalah bahwa aktivitasnya harus dipisahkan dari state-sanctioned schooling dan direncanakan secara sistematik dan mengantarkan kelompok tertentu pada tujuan spesifik. Pendidikan luar sekolah tidak seperti pendidikan formal yang memiliki standar terhadap eksistensinya. Namun, pada beberapa situasi, mengejar pendidikan tidak hanya formal melainkan juga non-formal dapat menjadi tradisi untuk mobilitas karir. Pendidikan luar sekolah berkontribusi untuk perubahan tingkah laku inividual bagi perubahan sosial. Atau dengan kata lain, jika individual memerlukan basic skills dan masyarakat dilihat sebagai sistem yang memerlukan adaptasi, maka pendidikan luar sekolah harus dilihat sebagai kontributor. Pendidikan luar sekolah digunakan melewati batas sosio-ekonomi atau kelompok etnik untuk memfasilitasi perubahan yang lebih radikal melibatkan akses kepada sumber daya politik dan ekonomi, dimana hasilnya seringkali gagal. Pendidikan luar sekolah lebih impotent dibandingkan pendidikan formal karena harus berhadapan dengan pemisahan antara politik dan ekonomi. Untuk itulah 12
TINDAK PENDIDIKAN Kesusilaan sesuai martabat manusia Terbentuknya keutuhan martabat manusia sebagai pribadi Sepanjang hayat dengan perhitungan usia produktif Nilai paedagogis dalam kaitan nilai sosial budaya Berupa orang terpelajar, tenaga terampil yg diharapkan menjadi tenaga kerja Jumlah biaya pendidikan dibagi lulusan setiap tahun.
perencanaan program pendidikan luar sekolah harus disesuaikan dengan kelas sosial dan etnik berdasarkan goal yang spesifik. Pendidikan luar sekolah seharusnya dilihat sebagai alternatif bagi pembentukan karakter melalui ketergantungan, ketertarikan dan ketidaksinambungan, dan sangat sulit untuk melihatnya membuat kontribusi besar bagi perlawanan sosial untuk perubahan individual, mengingat akses untuk kesempatan terikat kuat pada schooling. III. PENUTUP 1. Perbaikan mutu proses dan produk pendidikan luar sekolah dan pembelajaran masyarakat serta pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan merupakan factor penting dalam proses kemajuan umat manusia. 2. Konsep budaya dan sikap kerja hendaklah dimasukkan ke dalam berbagai kurikulum pelatihan, kurus-kursus, pendidikan luar sekolah. Gagasan ini dapat didesiminasikan melalui media massa, jadi memperkuat proses pembelajaran masyarakat untuk membantu mengembangkan budaya produktivitas dan sikap positif terhadap pekerjaan. 3. Upaya pendidikan kearah produktivitas harus selalu menekankan orang sebagai subjek. Program pendidikan dan latihan secara sistematis dapat meningkatkan pengertian dan kesadaran produktivitas serta kebutuhan untuk meningkatkannya. 4. Pembangunan pendidikan luar sekolah mempunyai kaitan erat dengan pertumbuhan JURNAL PENJAMINAN MUTU
5.
6.
7.
8.
ekonomi. Dana-dana pendidikan dalam jumlah yang cukup hanya mungkin dapat disediakan oleh pemerintah dan masyarakat, jika perekonomian suatu Negara tumbuh secara baik dan kondisi kehidupan masyarakat tidak berada dalam kemiskinan. Karena itu perkembaangan ekonomi merupakan salah satu alat untuk memenuhi permintaan pendidikan. Antara pembangunan pendidikan dan pembangunan ekonomi terdapat hubungan yang saling terkait atau “reciprocal relationship”. Makin tinggi tingkat pendidikan rata-rata pendudk, makin tinggi pula tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara. Adanya keberhasilan negara dalam meningkatkan pertumbuhan ekonominya memungkinkan negara tersebut membangun pendidikan. Pendidikan dan pelatihan memberi manfaat sosio-ekonomi bagi individu berupa perbaikan dalam hal penghasilan dan produktivitas. Tingginya rata-rata penghasilan seseorang dalam bekerja merupakan cerminan dan tingginya tingkat produksi dan hal itu menjadi indicator pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Meningkatnya pendapatan secara perorangan atau kelompok dan meningkatnya hasil produksi pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk tujuan itu, pembangunan pendidikan dan pelatihan merupakan fungsi dari pertumbuhan ekonomi suatu negara. Untuk membangun pendidikan dan pelatihan secara baik, dalam arti sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja, diperlukan pendanaan yang mencukupi. Pemerintah sebaiknya mendorong dialog terbuka dan teratur antara industri dengan sistem pendidikan maupun antara berbagai jenis pendidikan itu sendiri, termasuk media. Suatu upaya nyata yang dilakukan bersamasama dan terkoordinir dengan baik dari seluruh unsur pemerintah maupun swasta yang bergerak dibidang pendidikan dan pemberdayaan masyarakat pada semua tingkat masyarakat dan sektor ekonomi, diperlukan untuk mencapai tujuan ini.
DAFTAR PUSTAKA Andrianus, Ferry. 2003. Analisis Pengeluaran Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia (1970 – 2000). Jurnal Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi “KOMPETISI”. Vol. 1, No. 2, Mei 2003. hal 124-140 Alhumami, Amich, “Tiga Isu Kritis Pendidikan”, Artikel, Kompas, Jum’at, 2 Juli 2004 Bertrand, Alvin L. 1980. Sosiologi. Surabaya: Bina Ilmu. Boediono, (1997), Pendidikan dan Perubahan Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial. Yogyakarta: Kanisius Danim, Sudarwan, (2003), Ekonomi Sumberdaya Manusia. Bandung: Pustaka Setia Engle, G and C.W.J. Granger.1987. Cointegration and Error Corection: Representation and Testing. Econometrica. Vol. 100: 818-834. Fattah, Nanang, “Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan”, Rosda Karya, Bandung, 2002 Green, William H.,”Econometric Analysis”, 2nd ed. (New York: Macmilan Publishing Co, 1993. Gupta, K. 1999. Public Expenditure on Education and Literacy Lavels: A Comparative Study. State University at Stony Book. Kamil, Mustofa, (2009), Pendidkan Nonformal. Bandung: Alfabeta Khusaini. 2004. Analisis Disparitas Pendapatan Antar Daerah Kabupaten/Kota dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional Provinsi Banten. JIPIS. Vol. 2, No. 2. Tahun 2005 Kuber.M. (1986). Pendidikan kearah Budaya Produktivitas Tinggi. Jakarta: Prisma No.11. LP3ES Levin, Henry M and Schultz G. Hans, “Finacing Recurrent Education Strategic the Increasing Employment, Job Opportuniyies and Productivity”, Sage Publications, New Delhi, 1983 Lim, D. 1996. Explaining Economic Growth: A New Aanlitical Framework. Vermont: Edwar Elgar Publish. Co. Lin, T.C. 2003. Education, Technical Progres, and Economic Growth: The Case of Taiwan. Economics of Education Review 22: 213-220.
Peningkatan Mutu Pendidikan Luar Sekolah Dalam Upaya Pembangunan Sumber Daya Manusia | I Ketut Sudarsana
13
Marsuki. 2005. Analisis Perekonomian Sulawesi Selatan dan Kawasan Timur Indonesia. Mitra Wacana Media. Jakarta Mudjiarto. 2005. Prinsip Dasar Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Sinergi. Nasikun, 2003, Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Richardson, Harry W., “Dasar-Dasar Ilmu Ekonomi Regional (terjemahan)”, LP-FEUI (Edisi Revisi), Jakarta, 2001 Ruwiyanto, Wahyudi, (1994), Peranan Pendidikan dalam Pengentasan Masyarakat Miskin. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada Schultz, T. W. 1963. The Economic Value of Education. New York. Columbia University. Suhaenah Soeparno, Ana, “Pendidikan dalam Perspektif Otonomi Daerah”, dalam “Mengurai Benang Kusut Pendidikan”, Transformasi-UNJ, Jakarta, 2003 Supriadi, Dedi, “Satuan Biaya Pendidikan: Dasar dan Menengah”, Rosda Karya, Bandung, 2003 Suryadi, Ace dan Tilaar, H. A.R., “Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar”, Rosda Karya Bandung, 1994 Suryadi, Ace. (2002), Pendidikan, Investasi Sumberdaya Manusia dan Pembangunan. Jakarta: Balai Pustaka Susanti, Hera, Moh Ikhsan, dan Widyanti, “Indikator-Indikator Makro Ekonomi”, edisi kedua LPFEUI, Jakarta, 1995 Sudjana, D. (2001). Pendidikan Luar Sekolah. Wawasan, Sejarah Perkembangan,
14
Falasafah, Teori Pendukung, Asas. Bandung: Penerbit Falah Production. Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: PT Refika Aditama. Simanjuntak.J.Payaman. (1985), Pengantar Ekonomi Sumberdaya Manusia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Tilaar.H.A.R. (1997), Pengembangan Sumberdaya Manusia dalam Era Globalisasi. Jakarta: Gramedia Trisnamansyah, Sutaryat. (2003). “Materi Pokok Perkuliahan Filsafat, Teori, dan Konsep Dasar PLS”. Bandung: Makalah tidak diterbitkan. Thomas, J. A., “The Productive School: A System Analysis Approach to Educational Administration”, John Wiley & Sons, New York, 1971 Triaswati, N. et al, “Pendanaan Pendidikan di Indonesia”, dalam Jalal, F. Supriadi, D. eds, “Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah”, Adicita Karya Nusa, Yogjakarta, 2001 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Windham, D. M., “Improving the Efficiency of Educational Systems: Indicators of Educational Effectiveness and Efficiency”, U.S. Agency for International Development, Woshinton D.C., 1988
JURNAL PENJAMINAN MUTU
PENINGKATAN MUTU DAN KUALITAS PENDIDIKAN DENGAN MEMBANGKITKAN TIGA POTENSI DASAR ALAMIAH (BAYU, SABDA, IDEP) Oleh I Putu Gede Parmajaya Dosen pada Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar Abstract The low quality and the quality of education in Indonesia is not a secret anymore. Even among ASEAN countries alone, the quality of education in Indonesia arriving under Singapore, Thailand, Vietnam and even Filiphine. Issue low quality of education in Indonesia has often been a hot topic in various scientific forums, discussion will be the condition of education in Indonesia. Many efforts have been taken by the government with the enactment of Law No. 20 of 2003 on the National Education System, but it has not been able to resolve the problem of the quality of education in Indonesia. Today the efforts to improve the quality of education being conducted by various parties. These efforts based on an awareness of the importance of the role of education in the development of human resources and the development of national character (Nation Character Building) for the betterment of society and the nation. Dignity of a nation is determined by the quality of education. The way is to raise three potential natural base (word, wind, eyelash) humans. Key Word: Quality of Education I. PENDAHULUAN Rendahnya kualitas dan mutu pendidikan di Indonesia sudah bukan rahasia umum lagi. Bahkan di antara Negara-negara ASEAN saja, mutu pendidikan di Indonesia berda di bawah Singapura, Thailand, Filiphine bahkan Vietnam. Issue rendahnya mutu pendidikan di Indonesia sudah bahkan sering menjadi topik hangat diberbagai forum ilmiah, diskusi akan kondisi pendidikan di Indonesia. Berbagai upaya terus dilakukan pemerintah dengan diterbitkannya Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, namun hal tersebut belum mampu menyelesaikan permasalahan tentang mutu pendidikan di Indonesia. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, tanggung jawab pemerintah pusat sebagian besar diserahkan kepada pemerintah daerah, hanya beberapa fungsi saja yang tetap ditangani oleh pemerintah pusat, sehingga menghasilkan perubahan dari sistem sentralisasi ke desentralisasi, namun membawa konsekuensi logis yang jauh di dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Disatu sisi tantangan telah menghadang dalam menghadapi persaingan bebas abad 21. Dewasa ini upaya peningkatan mutu pendidikan terus dilakukan oleh berbagai pihak dan pendekatan. Upaya-upaya tersebut dilandasi suatu kesadaran betapa pentingnya peranan pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan watak bangsa (Nation Character
Building) untuk kemajuan masyarakat dan bangsa. Harkat dan martabat suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Dalam konteks bangsa Indonesia, peningkatan mutu pendidikan merupakan sasaran pembangunan di bidang pendidikan nasional dan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara menyeluruh (Mulyasa, 2005:31). Pemerintah dalam hal ini melalui kementerian pendidikan nasional telah berupaya mencari jalan keluar melalui Di sisi lain, tantangan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam menghadapi persaingan bebas abad ke-21 telah diupayakan dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta pentingnya tenaga guru dan dosen sebagai ujung tombak dari reformasi pendidikan nasional. Bahkan pemerintah telah memberikan motivasi kepada guru dan dosen melalui sertfikasi guru dan dosen, tetapi kenyataannya kualitas dan mutu pendidikan di Indonesia belum mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini tentu merupakan dilemma bagi dunia pendidikan di Indonesia. Dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 yang mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional sebenarnya pemerintah telah mencanangkan dan bahkan telah menetapkan indikator-indikator keberhasilan dan kegagalan pendidikan melalui Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar visi dan misi pendidikan
Peningkatan Mutu dan Kualitas Pendidikan dengan Membangkitkan Tiga Potensi Dasar Alamiah (Bayu, Sabda, Idep) | I Putu Gede Parmajaya
15
untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Realita yang terjadi dapat diasumsikan bahwa hingga detik ini, apa yang dituangkan di dalam Permen No. 19 Tahun 2005 belum mencapai hasil yang maksimal. Jika dikaitkan dengan eksistensi kualitas dan mutu sumber daya manusia (SDM) Hindu, maka apa yang tersurat dalam UU No. 20 Tahun 2003 juga belum bisa tercapai secara maksimal, terlebih lagi dengan filosofis orang Hindu (Bali) yaitu Eda Ngaden Awak Bisa Depang Aanake Ngadanin yang selama ini disandangnya. Orang Hindu pada umumnya tidak mau berkomentar, tidak mau menonjolkan diri, tidak mau disanjung, tidak mau dipuji, jika diajak untuk berdiskusi pada forum-forum ilmiah di tingkat regional dan nasional apalagi pada forum internasional, diasumsikan orang Hindu tidak mau tampil di depan dan identitas lainnya yang disandang orang Hindu. Jika hal ini memang benar terjadi, maka diasumsikan faktor penyebabnya adalah belum dibangkitkannya tiga potensi dasar alamiah (sabda, bayu, idep) yang dimiliki orang Hindu. II. PEMBAHASAN Mencermati perubahan dan penyempur-naan sistem pendidikan Nasional terutama dengan terbitnya Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta pentingnya tenaga guru dan dosen sebagai ujung tombak dari reformasi pendidikan nasional ternyata belum mampu meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan di Indonesia. Salah satu faktornya adalah kualitas SDM tenaga kependidikan (Guru dan Dosen) yang belum berkualitas dan bermutu. Jika dicermati,maka Menurut KBBI, bahwa mutu adalah baik buruk suatu benda; kadar; taraf atau derajat misalnya kepandaian, kecerdasan dan sebagainya (Depdiknas,2001:768). Jika dikaitkan dengan masalah kependidikan, maka mutu pendidikan dapat meliputi mutu input, proses, output, dan outcome. Input pendidikan dinyatakan bermutu jika siap berproses. Proses pendidikan bermutu apabila mampu menciptakan suasana yang PAKEM (Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Output dinyatakan bermutu apabila hasil belajar akademik dan nonakademik mahasiswa tinggi. Outcome dinyatakan bermutu apabila lulusan cepat terserap di dunia kerja, gaji wajar, semua pihak mengakui kehebatannya lulusannya dan merasa puas (Usman, 2006 : 410). 2.2. Standar Pendidikan Bermutu. Jika diperhatikan, maka di dalam PP. No. 19 Tahun 2005 disebutkan bahwa Standar nasional pendidikan mencakup beberapa hal untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, yaitu:
16
(a) Standar isi, adalah ruang lingkup materi dan (tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. (b) Standar proses, adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. (c) Standar pendidik dan tenaga kependidikan, adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. (d) Standar sarana dan prasarana, adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. (e) Standar pengelolaan, adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan penga-wasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional, agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. (f) Standar pembiayaan, adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selam satu tahun. (g) Standar penilaian pendidikan, adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Output dinyatakan bermutu apabila hasil belajar akademik dan non akademik siswa tinggi. Outcome dinyatakan bermutu apabila lulusan cepat terserap di dunia kerja, gaji wajar, semua pihak mengakui kehebatan lulusannya dan merasa puas (Usman, 2006:410). Mutu dalam konteks manajemen mutu terpadu atau Total Quality Management (TQM) bukan hanya merupakan suatu gagasan, melainkan suatu filosofi dan metodologi dalam membantu lembaga untuk mengelola perubahan secara totalitas dan sistematik, melalui perubahan nilai, visi, misi,
JURNAL PENJAMINAN MUTU
dan tujuan. Karena dalam dunia pendidikan mutu lulusan suatu sekolah dinilai berdasarkan kesesuaian kemampuan yang dimilikinya dengan tujuan yang ditetapkan dalam kurikulum. Menurut Sudradjad (2005:17) pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan atau kompotensi, baik kompetensi akademik maupun kompetensi kejuruan, yang dilandasi oleh kompetensi personal dan sosial, serta nilai-nilai akhlak mulia, yang keseluruhannya merupakan kecakapan hidup (life skill), lebih lanjut Sudradjat megemukakan pendidikan bermutu adalah pendidikan yang mampu
Keterangan: 1. Kompetensi Paedagogik 1. Menguassai karakteristik peserta didik 2. Menguasai teori-teori belajar dan prinsip pembelajaran 3. Pengembangan kurikulum
menghasilkan manusia seutuhnya (manusia paripurna) atau manusia dengan pribadi yang integral (integrated personality) yaitu mereka yang mampu mengintegralkan iman (sradha bhakti), ilmu, dan amal. Dalam kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan, maka dalam tulisan ini lebih banyak menekankan kepada aspek ketiga dari .PP. No. 19 Tahun 2005, yaitu tentang standar pendidik atau tenaga kependidikan. Pendidik atau tenaga kependidikan dalam hal ini menyangkut kompetensi dosen dan guru.
4. 5. 6. 7.
Melaksanakan kegioatan pembelajaran dan mendidik (metode) Pengembangan potensi peserta didik Komunikasi dg peserta didik Mampu memberi penilaian/evaluasi
Peningkatan Mutu dan Kualitas Pendidikan dengan Membangkitkan Tiga Potensi Dasar Alamiah (Bayu, Sabda, Idep) | I Putu Gede Parmajaya
17
Kompetensi paedagogik dalam hal ini dimaksudkan bahwa secara reflektif menunjuk tanggung-jawab pokok pembentukan moral maupun intelektual dalam sekolah/kampus terletak pada para guru/dosen. Melalui peran para guru/dosen hubungan personal autentik untuk penanaman nilainilai bagi para siswa/mahasiswa berlangsung (Suparno, dkk, 2002:61-62). Untuk itu guru/dosen yang profesional dalam kerangka pengembangan profesionalisme perlu memiliki kompetensi antara lain kompetensi kepribadian (integritas, moral, etika dan etos kerja), kompetensi akademik (sertifikasi kependidikan, menguasai bidang tugasnya dan belajar belajar) dan kompetensi kinerja (terampil dalam pengelolaan pembelajaran). Pemberdayaan dan akuntabilitas para guru/dosen adalah syarat penting dalam pengembangan profesionalisme. Menurut Cheng (1996) peran para guru adalah sebagai rekan kerja, pengambil keputusan, dan pengimplementasi program pengajaran (Nurkolis, 2003:123). 2. Kompetensi Sosial Kompetensi sosial adalah bentuk atau dimensi evaluasi diri (Self Evaluation) keefektifan dalam berinteraksi, merespon orang lain dengan perasaan positif, serta tertarik untuk berteman. Banyak guru/ dosen tidak mampu berinteraksi dengan orang lainkarena keterbatasan kemampuan berkomunikasi, sehingga dalam berinteraksi baik dengan teman sejawat,siswa/mahasiswa, atasan, orang tua siswa/ mahasiswa, dan masyarakat, sehingga guru/dosen yang seperti ini akan sulit berkembang, karena tidak mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Jika hal ini terjadi,maka seseorang akan sulit untuk mengevaluasi dirinya. Jangankan merespon orang lain, menerima pandangan atau pendapat orang lain atau bahkan berteman dengan orang lain. Kompetensi sosialini bisa dimiliki oleh seseorang jikaseseorang berupaya untuk membangkitkan tiga potensi dasar alamiah yang dimiliki, terutama dengan melatih diri untuk berpikir yang positif, belajar berinteraksi atau berkomunikasi, belajar bergaul untuk dapat menjalin hubungan baik biologis dan psikologis dengan orang lain melalui gerak dan perilaku. 3. Kompetensi Profesional Sesuai PP no.18 Tahun 2007, bahwa guru/dosen harus menguasai materi pembelajaran, teori pembelajaran, metode pembelajaran, dan menguasai kurikulum Hal ini sesuai dengan pendapat Santrock, (2007:7) bahwa guru yang efektif menguasai materi pelajaran dan keakhlian atau keterampilan mengajar 18
yang baik, Guru yang efektif memiliki strategi pengajaran, dan manajemen kelas.Guru harus tahu bagaimana memotivasi, berkomunikasi, dan berhubungan secara efektif dengan murid-murid dari berbagai latar belakang cultural. Guru juga harus memahami cara menggunakan teknologi yang tepat guna di dalam kelas. 4. Kompetensi Keperibadian Keperibadian adalah sesuatu yang abstrak, bisa ditampilkan melalui perilaku seperti mampu menjadi tokoh panutan, idola bagi siswa/mahasiswa teman sejawat dan bahkan pimpinan, serta mampu menjadi model yang baik dalam proses pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas. Dalam kaitannya dengan kepemilikan kompetensi keperibadian ini, kadangkala guru/dosen diera global seperti sekarang ini sangat sulit untuk dikembangkan. Hal ini disebabkan bahwa di dalam dunia global seperti sekarang, di mana tuntutan kehidupan manusia semakin kompleks, menyebabkan manusia bersikap semakin individual untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kadangkala di dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia menhalalkan segala cara, sehingga tidak sedikit orang-orang yang menjadi tokoh panutan berperilaku menyimpang seperti korupsi, memeras,dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai manusia, para guru/dosen,para pebelajar/para siswa/mahasiswa memiliki tiga potensi dasar alamiah, yaitu bayu (tenaga), sabda (suara) dan idep (akal budhi). Ketiga potensi dasaralamiah tersebuti dikenal dengan sebutan tri premana. Dengan tri premana makhluk hidup dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu tumbuhan, binatang dan manusia. Tumbuhan merupakan makhluk hidup dengan satu potensi dasar yaitu (eka premana), yaitu energi. Binatang merupakan makhluk hidup yang berkembang dengan dua potensi dasar (dwi premana), berupa tenaga dan suara, dan manusia adalah makhluk hidup yang berkembang dengan tiga potensi dasar (tri premana) yaitu, tenaga , suara dan akal budhi. Dengan ketiga potensi dasar alamiah yang dimilikioleh manusia, maka manusia menjadi makhluk yang paling adaptif dan fleksibel. Dengan akal budhi yang dimilikinya, manusia bisa membedakan perbuatan baik dan perbuatan buruk, antara yang benar dan yang salah, dan yang paling utama adalah bahwa manusia mampu menghindarkan diri dari hal-hal yang tidak baik atau salah, serta berusaha melatih diri untuk melakukan atau menerima hal-hal yang baik dan benar. JURNAL PENJAMINAN MUTU
Dalam perkembangan selanjutnya tri premana selain dikenal sebagai tiga potensi dasar alamiah, juga dikenal dengan tiga cara untuk mencari kebenaran (ilmu pengetahuan). Pada mulanya tri premana dipergunakan untuk mencari kebenaran tentang hakikat Tuhan Yang Maha Esa/Ida Hyang Widhi Wasa dengan berdasarkan logika (PHDI, 1996; Nala dan Wiratmadja, 1986). Dengan memperhatikan hal di atas, fungsi tri premana diperluas menjadi cara untuk memperoleh atau mengembangkan ilmu pengetahuan secara umum, khususnya dalam pembelajaran pendidikan agama Hindu di sekolah. Subagia, (2003:6) menyatakan bahwa premana sebagai cara untuk mencari pengetahuan pada awalnya dipaparkan dalam satu cabang filsafat Hindu (Saddharsana ), yaitu Nyayadharsana. Cabang filsafat ini dikembangkan oleh Rsi Gautama. Pengembangan filsafat ini dilakukan didorong oleh keinginan untuk menemukan kebenaran arti slokasloka yang terdapat dalam Weda Sruti untuk dipergunakan dalam pelaksanaan berbagai upacara. Tujuan utama filsafat tersebut adalah menemukan Prameswara (Tuhan Yang Maha Esa/Ida Hyang Widhi Wasa), pencipta alam semesta yang dilakukan melalui diskusi atau debat-debat ilmiah. Menurut filsafat Nyaya kebenaran Tuhan Yang Maha Esa dapat dipahami melalui penyimpulan yang didasarkan pada fakta-fakta. Oleh karena itu Nyayadharsana dipandang sebagai pustaka utama yang dapat digunakan untuk memahami objek-objek melalui penyimpulan hasil diskusi. Jika dikaitkan dengan konsep ajaran Hindu, terutama konsep Tri Premana (Sabda, Bayu dan Idep), maka kompetensi guru seperti digambarkan di atas, sangat relevan dengan konsep tiga potensi dasar alamiah yang dimiliki oleh setiap manusia yang disebut sabda, bayu, idep. Ketiga potensi dasar alamiah tersebut harus selalu dikembangkan, terutama dalam kaitannya dengan kemampuan berpikir (idep), kemampuan berbicara (sabda) dan kemampuan olah pisik dan keterampilan tubuh (bayu). Dalam proses pembelajaran, signifikansi implementasi konsep tri premana dapat dilihat pada perkembangan proses pembelajaran dan perkembangan praktek mengajar. Tri premana pada dasarnya dapat diartikan sebagai tiga potensi dasar yang dimiliki manusia secara alamiah dan tiga cara untuk mencari ilmu pengetahuan atau kebenaran ilmu pengetahuan (dharma ). Dalam proses pembelajaran, hubungan kedua pengertian tersebut di atas dapat dilihat sebagai berikut : (1) Potensi tenaga (bayu) merupakan potensi yang dimiliki oleh pebelajar yang dapat digunakan untuk melakukan gerakan-gerakan
fisik, seperti melakukan observasi, menulis laporan, dan mengerjakan tugas-tugas. Dengan potensi tersebut, para pebelajar dapat melakukan aktivitas belajar dengan melibatkan kelima inderanya, yaitu mata, telinga, hidung, mulut dan kulit (tangan). (2) Potensi sabda (suara) merupakan potensi yang dapat digunakan pebelajar untuk melakukan komunikasi baik secara tertulis maupun lisan. Menurut Alberti&Emmons, 1995; Evertson, Emmer&Worsham, 2003.(dalam Santrock,2007:9) bahwa keakhlian komunikasi yang diperlukan dalam mengajar adalah mendengar, mengatasi hambatan komunikasi verbal dan non verbal dari murid, mampu memecahkan konflik secara konstruktif. Keakhlian berkomunikasi tidak hanya penting untuk mengajar, tetapi juga berinteraksi dengan orang tua murid. Guru yang efektif menggunakan kemampuan berkomunikasi yang baik saat berbicara dengan murid, orangtua, administrator, tidak terlalu banyak mengkritik, serta memiliki gaya komunikasi yang asertif bukan agresif, manipulatif atau pasif. Guru yang efektif juga bekerja untuk meningkatkan keakhlian komunikasi para murid. (3) Potensi idep (akal budhi) merupakan potensi yang dapat digunakan pebelajar untuk melakukan pertimbangan-pertimbangan rasional dalam membuat suatu keputusan. Dengan akal budhi pebelajar dapat mencerna berbagai informasi baik yang diperoleh secara langsung maupun yang diperoleh melalui pengantar. Jika dikaitkan dengan tugas guru dan dosen dalam pembelajaran di kelas, maka potensi idep ini relevan dengan keterampilan menguasai materi pembelajaran oleh guru dan dosen, seperti dinyatakan olah Santrock, (2007:8) bahwa selama decade terakhir ini, murid-murid sekolah menengah lebih memilih guru yang menguasai mata pelajaran (NASSP, 1997). Guru yang efektif harus berpengetahuan, fleksibel dan memahami materi. Tentu saja materi bukan hanya mencakup fakta, istilah dan konsep umum. uga membutuhkan pengetahuan tentang dasar-dasar umum pengorganisasian materi, mengaitkan berbagai gagasan, cara berpiukir dan berargumen, pola perubahan dalam suatu mata pelajaran, kepercayaan tentang mata pelajaran dan kemampuan untuk mengaitkan satu gagasan dari satu disiplin ilmu ke disiplin ilmu yang lain ke disiplin ilmu yang lainnya.
Peningkatan Mutu dan Kualitas Pendidikan dengan Membangkitkan Tiga Potensi Dasar Alamiah (Bayu, Sabda, Idep) | I Putu Gede Parmajaya
19
Dalam sistem pembelajaran modern dewasa ini, penggunaan tenaga (bayu) menjadi prioritas utama. Belajar dengan cara itu disebut dengan belajar melalui pengalaman langsung yang dikenal dengan handon expriences atau learning by exprience. Esler, 1996; Lawson, 1995 ; Newman, 1993 ; Miller dan Boud 1996 (dalam Subagia, 2003:4). Pembelajaran melalui cara ini umumnya dilakukan dengan pendekatan induktif. Melalui pendekatan induktif, konsepkonsep umum ilmu pengetahuan diperoleh setelah melakukan pengamatan langsung terhadap suatu fenomena alam atau percobaan yang dimanipulasi di laboratorium. Dalam proses pembelajaran ketiga potensi dasar alamiah (sabda, bayu, idep) berfungsi sebagai cara untuk memperoleh atau mengembangkan pengetahuan. Dengan demikian ini berarti bahwa pengetahuan dapat diperoleh atau dikembangkan melalui mengerjakan langsung (bayu) dan membaca dokumen, serta dengan merenungkan secara mendalam informasi yang diperoleh (idep) mendiskusikan atau sharing, diskusi (sabda). Menyimak apa yang telah dipaparkan di atas, maka selama ini tampak para guru dan bahkan sebagian dose nada yang belum mampu membangkitkan ketiga potensi dasar alamiah yang ada pada dirinya. Banyak guru/dosen yang masih GATEK (gagap teknologi), banyak dosen yang belum mampu memanfaatkan kemajuan IPTEK, banyak guru dan dosen yang tidak mau mengembangkan kemampuan membaca, menulis dan terutama mengembangkan diri, sehingga ada issue dosen dikalahkan oleh mahasiswa dalam hal kemampuan keilmuan di kelas. Jika hal ini terus terjadi, maka wibawa guru/dosen, terutama kualitas dan mutu pendidikan kita tidak akan pernah menunjukkan kemajuan. Oleh sebab itu, maka sudah seharusnya, dan wajib hukumnya bagi guru/dosen untuk mengembangkan ketiga potensi dasar alamiah yang ada pada dirinya (sabda, bayu dan idep) sebelum berupaya membangkitkan ketiga potensi dasar alamiah para peserta didik/mahasiswa di dalam kelas pada saat proses pembelajaran, karena hal ini bisa menjadi bumerang bagi guru dan dosen di dalam kelas pada saat dosen/guru tidak mampu mengatasi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peserta didik. Oleh sebab itu guru/dosen harus ada upaya untuk membangkitkan ketiga potensi dasar alamiah (sabda, bayu, idep) dalam dirinyaq, sebelum berupaya untuk membangkitkan ketiga potensi dasar alamiah para mahasiswa/siswa, karena hal ini juga
20
terkait dengan upaya-upaya meningkatkan mutu pendidikan. Adapun upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk lebih meningkatkan mutu atau kualitas pendidikan dapat dilakukan berbagai upaya sebagai berikut : a. Peningkatan Mutu Guru/Dosen Guru/dosen merupakan ujung tombak dalam pencapaian tujuan pendidikan. Guru/dosen atau pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Karena itu mutu guru harus selalu ditingkatkan melalui : 1) Mengikuti Diklat/Workshop/Seminar, loka karya, symposium untuk menambah pengetahuan, keterampilan serta wawasan sehingga dapat meningkatkan kompetensi guru/dosen dan meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja. 2) Mengikuti kursus-kursus untuk meningkatkan kemampuan yang bersifat pragmatis, misalnya kursusdan menguasai computer, bahasa Inggris, mengakses internet, membuat web/blog, dan sebagainya. 3) Mengikuti berbagai lomba peningkatan kompetensi guru/dosen, seperti Lomba Menulis Artikel, Membuat PTK, Lomba Kreativitas Membuat Media Pembelajaran, Seleksi Guru/dosen Berprestasi dan sebagainya. 4) Memperbanyak membaca buku atau referensi pembelajaran dan bidang lainnya, baik yang serumpun dengan bidang yang diampu atau yang tidak serumpun untuk bisa mengembangkan materi pembelajaran pada saat mengajar di kelas. 5) Mengikuti kegiatan study banding ke sekolah/Perguruan Tinggi lain yang lebih bermutu, dan lebih maju pengembangan dan manajemen sekolahnya. 6) Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi bagi dosen, terutama dalam upaya meningkatkan kemampuan dibidang pendidikan dan pengajaran, penelitian dalam upaya meningkatkan kemampuan menulisa dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), pengabdian kepada masyarakat dalam rangka menjalin hubungan sosial dengan masyarakat serta mengamlkan ilmu yang dimiliki kepada masyarakat.
JURNAL PENJAMINAN MUTU
b. Peningkatan Mutu dan Kualitas Peserta Didik Peserta didik, siswa/mahasiswa adalah individu yang datang dari berbagai kultur, serta dididikdalam satu kelompok belajar (system klasikal) sehingga guru/dosen harus berhadapan dengan peribadiperibadi yang unik, yang membawa masing-masing kultur dan kebiasaan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, maka guru/ dosen harus memiliki kemampuan untuk selalu dapat meningkatkan mutu dan kualitas peserta didiknya, sesuatui dengan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Peserta didik adalah manusia berpotensi yang membutuhkan pendidikan . Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat (Cushner, 2003; Johnson, 2002; Johnson & Johnson, 2002; Spring, 2002) menegaskan bahwa di dunia yang berhubungan secara kultural, guru harus mengetahui dan memahami peserta didik dengan latar belakang cultural yang berbeda-beda, dan sensitif terhadap kebutuhan mereka. Di sekolah/kampus, guru/dosenlah yang berkewajiban untuk mendidiknya. Di ruang kelas guru/dosen akan berhadapan dengan sejumlah peserta didik dengan latar belakang kehidupan yang berbeda. Status sosial mereka juga bermacam-macam. Demikian juga halnya mengenai jenis kelamin mereka, ada berjenis kelamin laki-laki dan ada yang berjenis kelamin perempuan. Postur tubuh mereka ada yang tinggi, sedang dan ada pula yang rendah. Pendek kata, dari aspek fisik ini selalu ada perbedaan dan persaman pada setiap anak didik. Jika pada aspek biologis di atas ada persamaan dan perbedaan, maka pada aspek intelektual juga ada perbedaan. Para akhli sepakat bahwa secara intelektual, peserta didik selalu menunjukkan perbedaan. Hal ini terlihat dari cepatnya tanggapan anak didik terhadap rangsangan yang diberikan dalam kegiatn pembelajaran, dan lambatnya tanggapan anak didik terhadap rangsangan yang diberikan oleh guru. Tinggi atau rendahnya kreatifitas anak didik dalam mengolah kesan dari bahan pelajaran yang baru diterima bisa dijadikan tolok ukur dari kecerdasan seorang anak. Kecerdasan seorang anak terlihat seiring dengan meningkatnya kematangan usia peserta didik. Daya pikir peserta didik bergerak dari cara berpikir kongkret ke arah cara berpikir abstrak. Anak-anak usia SD lebih cenderung berpikir konkret. Sedangkan anak-anak SLTP atau SLTA sudah mulai dapat berpikir abstrak. Berdasarkan IQ anak, ditentukanlah klasifikasi kecerdasan seseoarang dengan perhitungan tertentu. Dari IQ ini pula diketahui persamaan dan perbedaan kecerdasan seseorang. Dari aspek psikologis sudah diakui ada juga perbedaan. Di sekolah, perilaku anak didik selalu menunjukkan perbedaan, ada yang pendim, ada yang kreatif, ada yang suka bicara, ada yang tertutup
(introver), ada yang terbuka (ekstrover), ada yang pemurung, ada yang periang, dan sebagainya. Semua perilaku peserta didik tersebut mewarnai suasana kelas. Dinamika kelas terlihat dengan banyaknya jumlah peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Kegaduhan semakin terasa jika jumlah peserta didik sangat banyak di dalam kelas. Semakin banyak jumlah anak didikd di kelas, semakin mudah terjadi konflik dan cenderung sukar dikelola. Perbedaan individual peserta didik pada aspek biologis, intelektual, dan psikologis sebagaimana disebutkan di atas, mempengaruhi pemilihan dan penentuan metode yang mana sebaiknya guru ambil untuk menciptakan lingkungan belajar yang kreatif dalam sekon relatif lama demi tercapainya tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan secara operasional. Dengan demikian jelas, kematangan peserta didik yang bervariasi mempengaruhi pemilihan dan penentuan metode pembelajaran. Oleh sebab itu, maka guru/dosen harus mampu menjadi: 1. Orang tua penuh kasih sayang 2. Teman tempat mengadu, dan mengutaraka perasaan 3. Fasilitator (selalu memberikan kemudahan, serta melayani sesuai minat, kemampuan dan bakat para peserta didiknya) 4. Memberi sumbangan pemikiran kepada.orang tua siswa untuk mengetahui permasalahan yang dialami siswa 5. Memupuk rasa percaya diri berani bertanggung jawab 6. Membiasakan siswa selalu berinteraksi dengan orang lain 7. Mengembangkan proses sosialisasi antara siswa, orang.lain dan lingkungan 8. Mengembangkan Kreativitas para peserta didik 9. Menjadi pembantu ketika diperlukan c. Peningkatan Mutu dan Kualitas Pembelajaran Mutu dan kualitas pembelajaran guru sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pembelajaran, kualitas out put dan kualitas guru/ dosen itu sendiri. Salah satu cara meningkatkan kualitas pembelajaran antara lain dengan menerapkan strategi pembelajaran yang inovatif dan kreatif. Dengan menggunakan media internet misalnya, pembelajaran akan terasa lebih mudah, cepat, dan menyenangkan. Dalam pembelajaran pendidikan agama Hindu misalnya para siswa dibuatkan wadah untuk menampilkan karya-karya kreatifnya blog. Materi pembelajaran lebih dikembangkan seperti membuat cerita (babad), mengamati epos Mahabharata di film, analisis cerita yang ada di tayangan TV, membuat laporan tentang siaran
Peningkatan Mutu dan Kualitas Pendidikan dengan Membangkitkan Tiga Potensi Dasar Alamiah (Bayu, Sabda, Idep) | I Putu Gede Parmajaya
21
Dharmawacana di Bali TV, pengalaman pribadi atau menulis laporan perjalanan (Dharma Yatra/Tirta yatra) siswa ke suatu tempat, sehingga membuat siswa tertantang untuk mengerjakan tugas lebih cepat dan lebih lengkap serta lebih baik. III. PENUTUP Berdasarkan uraian di atas, maka demikian penting ketiga potensi dasar alamiah (sabda, bayu, idep) yang dimiliki oleh manusia untuk dikembangkan, dalam kaitannya dengan peningkatan dan kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk bisa melahirkan manusia-manusia Hindu yang bermutu dan berkualitas. Oleh sebab itu, maka sudah seharusnya menjadi tanggung jawab guru/dosen untuk mampu dan berupaya membangkitkan ketiga potensi dasar alamiah yang dimiliki oleh peserta didik, agar dimasa yang akan datang akan terlahir generasi muda Hindu yang kreatif, serta mampu tampil di depan dengan mengabaikan filosofis “Eda Ngaden Awak Bisa, Depang Anake Ngadanin”. DAFTAR PUSTAKA Abu-Duhou Abtisam, 2003, School-Based Management (Manajemen Berbasis Sekolah), Cushner, K.H. 2003. Human Deversity in Action, Boston:McGraw-Hill. Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah Konsep Dasar, Jakarta : Ditjend Pendidikan Dasar dan Menengah, Ditjen SLTP. _____, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Djamarah, Syaiful. 1996. Prestasi Belajar dan Kompetesi Guru. Surabaya : Usaha Nasional Edward dan Sallis, 2004, Manajemen Kualitas Total Dalam Pendidikan (Total Quality Management in Education) penerjemah : Kambey Daniel C., Manado : Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Manado Johnson, D.W. & Johnson, R.T.2002, Multicultural Education and Human Relations, Boston, Allyn&Bacon. Kambey Daniel C., Landasan Teori Administrasi/ Manajemen (Sebuah Intisari), Manado :Yayasan Tri Ganesha Nusantara. Kartini Kartono, 1997, Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Pradnya Paramita.
22
Mulyasa E., Menjadi Kepala Sekolah Profesional, dalam Menyukseskan MBS dan KBK, Bandung : PT Remaja Rosdakarya. _____, 2005, Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi, dan Implementasi, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Nurkolis, 2003, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi, Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia. Pidarta Made, 2004, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta : PT. Rineka Cipta.Rochaety Eti, Rahayuningsi Prima Gusti Yanti, 2005, Sistem Informasi Manajemen Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara. Santrock, John.W. 2007.Psikologi Pendidikan Edisi Kedua, Dallas:University Of Texas. Senduk, J.E., 2006, Isu dan Kebijakan Pendidikan, Konsep dan Aplikasinya, Manado :Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Manado.17 Suderadjat, Hari, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Implementasi KBK, Bandung : Cipta Lekas Garafika, 2005 Soebagio Admodiwirio, 2000, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta: Ardadizyajaya. Spring,J.2002, The Intersection Education (10 th. Ed), New York:McGraw-Hill. Suparno Paul, dkk, 2002, Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi, Yogyakarta :Kanisius. Suryosubroto B., 2004, Manajemen Pendidikan di Sekolah, Jakarta : PT. Rineka Cipta. Tim Redaksi Fokusmedia, 2003, Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKDAS (sistem Pendidikan Nasional) 2003, Bandung: Fokusmedia. Tilaar, H.A.R., 2004, Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan Masa Depan,Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Tisnawati E. Sulle dan Saefullah Kurniawan, 2005, Pengantar Manajemen, Jakarta :Prenada Media. UNESCO, Penerjemah : Noryamin Aini, Suparto, Penyunting ; Achmad Syahid, Abas Al-Jauhari, Jakarta : Logos. Usman, Husaini, Manajemen Teori, Praktek Dan Riset Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 2006.
JURNAL PENJAMINAN MUTU
PENGEMBANGAN IHDN DENPASAR MENJADI UNIVERSITAS HINDU NEGERI MODERN MELALUI PENINGKATAN KOMPETENSI PROFESIONAL DOSEN Oleh I Ketut Gunarta Dosen pada Fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar
Abstract Developing IHDN Denpasar to be the State Hindu University has been the aspiration of the Hindu people in Indonesia. The development should be realized through developing the quality of the professionalism of the lecturer.. It plays significant role in improving the quality of the education. A lecturer is required to have a pedagogic competence, which is the skill of teaching, a personality, which includes character and maturity, a professional skill, which refers to the mastery of content and methods of teaching, and social skill, which is the ability in making interaction with students and people. Key words : developing IHDN Denpasar, lecturer competence, professional I. PENDAHULUAN Pengembangan IHDN Denpasar meningkatkan statusnya menjadi Universitas Hindu Negeri yang Modern muncul saat ini merupakan keinginan adanya perguruan tinggi Hindu yang menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar atau perkembangan kehidupan sosial ekonomi nasional maupun global. Pengembangan IHDN Denpasar tidaklah berhenti, melainkan terus berusaha untuk mengembangkan diri. Pengembangan diri ini dilakukan dengan pembukaan program studi baru, pembukaan jurusan dan fakultas baru, serta membuka kesempatan seluas-luasya bagi berkembangnya berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan namun tetap berlandaskan agama Hindu. Pengembangan IHDN Denpasar menjadi Universitas Hindu Negeri yang modern tentunya didukung oleh banyak faktor, baik faktor dalam dan faktor luar. Seperti tenaga pengajar/dosen yang kualified, tenaga administrasi yang cakap dan tanggap, fasilitas gedung yang memadai, fasilitas perpustakaan yang lengkap, pelayanan akademik dan kemahasiswaan yang tertib dan yang lainnya. Faktor tenaga pengajar/dosen yang memiliki kompetensi profesional merupakan salah satu faktor pendukung dalam pengembangan IHDN Denpasar. Oleh karenanya, peningkatan kompetensi profesional dosen merupakan hal yang menarik dalam kaitan dengan dinamika pendidikan dan kependidikan hubungannya dengan pengambangan kualitas perguruan tinggi agama Hindu yakni pengembangan IHDN Denpasar menjadi Universitas Hindu Negeri yang Modern.
Berkenaan dengan topik bahasan ini, maka ada baiknya dijelaskan mengenai apa itu peningkatan, kompetensi, profesional, dosen, kualitas, dan pendidikan tinggi. Peningkatan adalah proses, perbuatan, cara meningkatkan, (usaha, kegiatan, dsb.) (Tim Penyusun, 1994:1060). Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan (UU Guru dan Dosen, 2005:4). Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (UU Guru dan Dosen, 2005:3). Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (UU Guru dan Dosen, 2005:3). Kata kualitas maksudnya adalah 1. tingkat baik buruknya sesuatu; kadar; 2. derajat atau taraf (kepandaian, kecakapan, dan sebagainya), mutu (Tim Penyusun, 1994:533). Kemudian dalam UU Sisdiknas 20/2003 pasal 19 (Anonim, 2004:12-13) dijelaskan tentang “pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi”. Peningkatan kompetensi profesional dosen dalam hal ini adalah kaitannya
Pengembangan IHDN Denpasar Menjadi Universitas Hindu Negeri Modern Melalui Peningkatan Kompotensi Profesional Dosen | I Ketut Gunarta
23
dengan potensi manusia Hindu yang mampu menjadi pengembang mutu insan-insan atau generasi muda Hindu yang handal dan bertanggung jawab melalui jalur pendidikan tinggi agama Hindu. Jadi dapat ditegaskan bahwa maksud topik ini adalah bagaimana usaha untuk meningkatkan mutu profesi/ pekerjaan atau keterampilan dosen dalam pengembangan perguruan tinggi agama Hindu untuk dapat terwujudnya mutu sumber daya manusia Hindu. II. PEMBAHASAN 2.1 Sekilas Perjalanan IHDN Denpasar menuju Universitas Hindu Negeri Modern Pelaksanaan pendidikan agama Hindu pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi pada awalnya masih tegolong terbatas sekali, dengan adanya berbagai kendala seperti pengakuan sahnya agama Hindu oleh pemerintah RI, sekolah agama Hindu belum ada, tenaga pengajar agama Hindu secara formal belum ada, dan masih banyak lagi kendala yang dihadapi umat Hindu dalam melaksanakan pendidikan agama Hindu di sekolahsekolah di Bali khususnya dan di beberapa wilayah lainnya di Indonesia umumnya. Awalnya bahwa pendidikan agama Hindu baru terlaksana berkat partisipasi para tokoh/pemuka agama Hindu melalui lembaga swadaya masyarakat di beberapa daerah di Bali. Baru setelah tahun 1953 adanya rintisan oleh Yayasan Dwijendra untuk membidani sekolah yang bernafaskan pendidikan agama Hindu bernama SMP Dwijendra, juga pada tahun 1959 dirintis sekolah Pendidikan Guru Agama Atas Hindu Bali Dwijendra. Khusus untuk perencanaan tentang pelaksanaan pendidikan agama Hindu di sekolah-sekolah, terutama di SD, SMP, dan SMA telah direncanakan secara matang dalam rapat tertanggal 22 Juni 1959 bertempat di Yayasan Dwijendra Denpasar, saat itu rapat dipimpin oleh Bapak I Putu Serangan selaku Kepala Dinas Agama Otonom Daerah Bali. Selanjutnya didirikan pula perguruan tinggi agama Hindu yang bernama Institut Hindu Dharma sekitar tahun 1962. Baru sekitar tahun 1967 ada penegerian PGAAHB menjadi PGAHN Denpasar. Untuk di Bali utara ada PGAHN Singaraja dan di Lombok ada PGAHN Mataram. Partisipasi masyarakat terhadap pentingnya pendidikan agama Hindu bagi umat Hindu di Indonesia ditandai dengan berdirinya beberapa sekolah guru agama Hindu, seperti : PGA Hindu Sila Dharma Penatahan-Penebel, PGA Hindu Darsana Tabanan, PGA Hindu Saraswati Bajera, PGA Hindu Amlapura, PGA Hindu Klaten, PGA Hindu Lampung, PGA Hindu Saraswati Tolai-Parigi, Sulawesi Tengah, 24
PGA Hindu Blitar, dan PGA Hindu Tampung Penyang Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Dengan hadirnya UU Pendidikan no. 2 tahun 1989, akhirnya PGAHN Denpasar lenyap dari eksistensinya, karena seorang guru agama Hindu tidak lagi berbasis ijazah setara PGAHN, tetapi minimal berijazah Dilpoma dua (D2), atau diploma 3 (D3). Dengan alasan itu maka tahun 1993 berdirilah Akademi Pendidikan Guru Agama Hindu Negeri (APGAHN) Denpasar, sesuai SK Menag RI No. 58 B/1993, tanggal 27 Februari 1993, yang diresmikan oleh Menag RI dr. H. Tarmizi Taher, pada hari Selasa, 25 Mei 1993. Program yang dibuka di APGAHN Denpasar adalah jurusan Pendidikan Agama Hindu diploma dua (D2) dan diploma tiga (D3). Kehadiran APGAHN Denpasar tidak memberikan kontribusi yang sempurna bagi dinamika pendidikan agama Hindu di Indonesia, oleh karena kebutuhan guru agama Hindu di SMP, SMA dan dosen Hindu di berbagai perguruan tinggi agama dan umum baik negeri dan swasta belum ada yang memiliki kualifikasi untuk persyaratan setidaknya adalah yang berkualifisikasi sarjana (S1) dari tamatan perguruan tinggi agama Hindu negeri. Dengan berbekal tekad yang bulat oleh para tokoh Hindu dan segenap umat Hindu Indonesia, maka perjuangan mewujudkan perguruan tinggi agama Hindu negeri tetap dilanjutkan. Akhirnya pada tahun 1999 membuahkan hasil yakni dengan meningkatknya status APGAHN Denpasar menjadi Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Denpasar dengan Kepres No. 20/1999, tertanggal 3 Maret 1999, dan SK Menag RI No. 65 dan 66/1999, tertanggal 16 Maret 1999, yang diresmikan oleh Menag RI Prof. Drs. H.A. Malik Fadjar,M.Sc. hari Sabtu, 10 April 1999. Kehadiran STAHN Denpasar dengan membuka jurusan Pendidikan Agama Hindu jenjang D2, D3, dan S1. Juga dibuka jurusan Hukum Agama Hindu jenjang S1 dan jurusan filsafat Hindu jenjang S1. Kemudian untuk memenuhi kebutuhan kualifikasi dosen agama Hindu di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta, maka STAHN Denpasar sejak tahun 2001 membuka Program Pascasarjana terutama Program Studi Magister (S2) Ilmu Agama Brahma Widya dan pada tahun 2004 membuka Program Studi Magister (S2) Ilmu Pendidikan Agama Hindu. Kehadiran STAHN Denpasar dirasakan telah memberikan kontribusi yang memadai dalam dinamika pendidikan agama Hindu Indonesia, namun demikian dinamika ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni saat ini dan di masa depan perlu diimbangi lagi dengan institusi pendidikan agama Hindu negeri yang mampu bersaing dalam dunia pendidikan di Indonesia dan JURNAL PENJAMINAN MUTU
di internasional. Dengan alasan itu, maka tahun 2004 lahir Penpres No. 1 tahun 2004, tertanggal 8 Nopember 2004, tentang Peningkatan Status STAHN Denpasar menjadi Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, yang diresmikan oleh Menag RI Muhammad M.Basyuni, pada hari Rabu, 23 Maret 2005, di kampus pusat Jalan Nusantara-Kubu-Bangli. Program studi yang dibuka di IHDN Denpasar adalah Prodi Pendidikan Agama Hindu dan Prodi Pendidikan Bahasa Bali pada Fakultas Dharma Acarya. Prodi Hukum Hindu, Prodi Penerangan Hindu dan Prodi Pemandu Wisata pada Fakultas Dharma Duta. Prodi Filsafat Hindu, Prodi Teologi Hindu, dan Prodi Manggala Upacara pada Fakultas Brahma Widya. Sedangkan Prodi Magister Ilmu Agama (Brahma Widya) dan Prodi Magister Ilmu Pendidikan Agama Hindu pada Program Pascasarjana. Seiring berjalannya waktu kini IHDN Denpasar bersiap untuk meningkatkan statusnya menjadi Universitas Hindu Negeri Modern dan bersaing secara global dengan membuka program studi baru, jurusan dan fakultas baru. 2.2 Kompetensi Profesional Dosen Perkembangan pendidikan di Indonesia sejalan dengan dinamika tuntutan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Demikian pula mengenai pelaksanaan pendidikan pada berbagai jenjang juga mengalami kemajuan yang searah dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Salah satu kebijakan yang paling anyar adalah dengan diundangkannya tentang undang-undang guru dan dosen nomor 14 tahun 2005, sejak tanggal 6 Desember 2005 lalu. Itu berarti bahwa kesiapan dan kemampuan para tenaga pengajar (dosen) juga terus dikembangkan, baik secara kemandirian maupun secara melembaga. Berkenaan dengan hal itu, salah satunya adalah agar para dosen memiliki keterampilan yang memadai dalam tugasnya. Dalam paparan ini akan dijelaskan mengenai beberapa kompetensi profesional dosen, antara lain : pertama, keterampilan administrasi pendidikan, kedua, keterampilan menggunakan media pendidikan, ketiga, keterampilan metodik dan didaktik, keempat, keterampilan mengelola kelas, kelima, keterampilan evaluasi pendidikan, keenam, keterampilan memberikan penguatan, dan ketujuh, keterampilan membimbing peserta didik. Ada tujuh keterampilan yang perlu dimiliki oleh seorang dosen untuk meningkatkan keprofesionalannya dalam menjalankan tugasnya. Sekilas uraian tersebut seperti berikut ini.
1. Keterampilan Administrasi Pendidikan Pengajar dituntut untuk memahami dan terampil dalam administrasi pendidikan. Pengajar tidak hanya dituntut terampil dalam mendidik, membimbing, melatih, mengarahkan , dan mengajar peserta didik, tetapi juga dapat mengaktualisasikan keharmonisan dalam pengelolaan pendidikan melalui penguasaan keterampilan di bidang administrasi pendidikan. Oleh karena administrasi pendidikan menyangkut tentang pembaruan pendidikan, formulasi umum tentang administrasi pedidikan. Juga tentang tugas kewajiban administratif yang menyangkut program pendidikan, murid/peserta didik, personil, perkantoran/tata usaha sekolah/kampus, keuangan/ belanja pendidikan, pelayanan, dan hubungan masyarakat. Kemudian mengenai proses administratif yang dimulai dari membuat putusan, perencanaan, mengorganisasikan, mengkomunikasikan, mengkoordinasikan, mengawasi, menilai atau monitoring dan evaluasi (monev). Masih terkait dengan administrasi bahwa supervisi, kepemimpinan, dan administrasi sebagai proses sosial pendidikan merupakan bagian yang tak bisa diabaikan. Sebagai administrator juga dituntut pengajar menjadi profesional dalam administrasi, juga dalam peranan teoritis dan praktis administrasi, serta tetap tenaga fungsional yang paham administrasi dalam era pembaharuan pendidikan. Sebagai pelaku administrasi (admi-nistrator) maka ada beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan yaitu prinsip efisiensi, pengelolaan, pengutamaan tugas pengelolaan, kepemimpinan yang efektif, dan prinsip kerjasama. Selain itu juga berorientasi pada prinsip felksibelitas, efisien dan efektivitas, berorientasi pada tujuan kontinuitas, serta prinsip pendidikan seumur hidup. Lingkup administrasi pendidikan/sekolah menurut Daryanto (1998:26-27) meliputi : administrasi program pengajaran, administrasi murid/siswa, administrasi kepegawaian, administrasi keuangan, administrasi perlengkapan, administrasi surat menyurat, administrasi perpustakaan, administrasi pembinaan kesiswaan, dan administrasi hubungan sekolah dengan masyarakat. Bila administrasi itu diterapkan di dalam dunia pendidikan tinggi tentunya pendapat di atas dapat dirujuk dengan menyesuaikan pada kondisi pelaksanaan administrasi pendidikan pada tingkat pendidikan tinggi. Berbeda dengan pendapat Subroto (1984) bahwa komponen administrasi pendidikan mencakup administrasi kurikulum, personil, murid, tata usaha, sarana pendidikan, dan hubungan sekolah dengan
Pengembangan IHDN Denpasar Menjadi Universitas Hindu Negeri Modern Melalui Peningkatan Kompotensi Profesional Dosen | I Ketut Gunarta
25
masyarakat. Ada penekanan bahwa tenaga pengajar juga sebagai pelaku administrasi pendidikan yang dinamai administrator. Dalam hal ini sebagai administyrator yang terampil dan andal. Kemudian ada pemimpin (leader) sebagai pengendali, pengarah, penanggung jawab, pelaku adminsitarasi pendidikan dalam peran sebagai administrator, sekaligus juga pemimpin sebagai pengawas (supervisor). Maka dari itu dalam dunia pendidikan tinggi bahwa pengajar itu memerankan dua fungsi yakni profesional dalam administrasi (adminsitrator) serta profesional dalam mengelola dan memerankan pengawasan yang profesional juga (supervisor). Cepat atau lambat jika kedua peran itu telah digeluti sebagai tugas dengan profesional maka tiba gilirannya sebagai orang top dalam pengelolaan adminsitrasi pendidikan tinggi yakni sebagai pemimpin (leader). 2. Keterampilan Menggunakan Media Pendidikan Menurut Oemar Hamalik (1989:5-6) bahwa pengetahuan dan pemahaman tentang media pendidikan serta keterampilan memilih dan menggunakan media pendidikan dinyatakan yakni a) media sebagai alat komunikasi guna lebih mengefektifkan proses belajar mengajar, b)fungsi media dalam rangka mencapai tujuan pendidikan, c) tentang proses-proses belajar, d) hubungan atara metode mengajar dan media pendidikan, e) nilai atau manfaat media pendidikan dalam pengajaran, f) memilih dan menggunakan media pendidikan, g) berbagai jenis alat dan teknik media pendidikan, h) media pendidikan dalam setiap mata pelajaran, i) usaha inovasi dalam media pendidikan, dan lain-lain. Dalam pemilihan media pendidikan kriterianya yakni : a) tujuan mengajar, b) bahan pelajaran, c) metode mengajar, d) tersedianya alat yang dibutuhkan, e) jalan pelajaran, f) penilaian hasil belajar, g) pribadi guru, h) minat dan kemampuan siswa, i) situasi pengajaran yang sedang berlangsung. Kemudian keterampilan membuat media pendidikan (Oemar Hamalik, 1989:7) syaratnya adalah 1) rasional, sesuai dengan akal dan mampu dipikirkan oleh kita, 2) ilmiah, sesuai dengan perkembangan akal dan mampu dipikirkan oleh kita, 3) ekonomis, sesuai dengan kemampuan pembiayaan yang ada, dan 4) praktis, dapat digunakan dalam kondisi praktek di sekolah dan bersifat sederhana. Jadi dengan pendapat di atas bahwa penggunaan, pemilihan, serta bagaimana membuat media pendidikan itu sudah jelas ketentuannya. Tinggal sekarang bagi pengajar (dosen) dapat menyesuaikan dengan kondisi dan situasi pada masing-masing tempat pembelajaran dan pengajaran. Apapaun kriteria 26
mengenai media itu pada umumnya selalu ada alasan klasik yakni terbatasnya dana dan kurangnya kemampuan pengajar dalam memanfaatkan media yang ada. Pandangan Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (2002:1) bahwa metode mengajar dan media pengajaran sebagai alat bantu mengajar. Sedangkan penilaian adalah alat untuk mengukur atau menentukan taraf tercapai tidaknya tujuan pengajaran. Media pengajaran meliputi media grafis, gambar fotografi, media proyeksi, media audio, media tiga dimensi (sesuai dengan bahan, materi, dan pemanfaatan media secara variasi lebiah dari satu media), dan lingkungan sebagai media pengajaran (menggunakan lingkungan sebagai media murah dan bermanfaat, seperti lapangan, museum, pura, lingkungan desa, dan sebagainya). Dinyatakan bahwa media grafis terdiri atas a) bagan, b) diagram, c) grafik, d) poster, e) kartun, dan f) komik Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (2002:27). Media proyeksi seperti overhead proyector, slide dan filmstrip. Media audio meliputi media perekaman suara dan yang sejenis seperti tape recorder, radio, TV, da sebagainya. Menurut Sadiman dkk. (1986:209-210) bahwa peralatan media pendidikan terdiri atas peralatan proyeksi (optik) seperti overhead proyector (OHP), microform reader, proyektor film rangkai (film strip projector), proyektor film bingkai (slide projector), proyektor film gelang (film loop projector), proyektor film (motion ficture projector), dan peralatan elektronik seperti radio perekam kaset audio (radio cassette recorder), penalaradio (tuner) perekam pita audio (open reel tape recorder), perekam kaset audio (cassette recorder), amplifier, loudspeaker, perekam kaset audio sinkron (cassette synchrocorder), perekam pita video(video tape recorder), perekam kaset video (video cassette recorder), piringan video (video disc), sambang video (video cartridge), video monito, dan proyektor video. Jadi media pendidikan juga sangat menentukan terhadap keberhasilan peserta didik dan pengajar dalam proses pembelajaran dan pengajaran. Maka dari itu bagi pengajar yang baik perlu memilih dan memanfaatkan media pendidikan yang murah, tepat, dan efektif. 3. Keterampilan Metodik dan Didaktik Keterampilan metodik dan didaktik bagi dosen adalah sangat penting, oleh karena keterampilan ini sangat menentukan keberhasilannya dalam melaksanakan tugas pengajaran atau dalam memberikan kuliah. Terkait dengan metodik bahwa pengajar harus tahu dimana posisinya di kelas, bagaimana sikap dan gayanya, serta metode apa yang tepat digunakan dalam memberikan kuliah. Ada JURNAL PENJAMINAN MUTU
beberapa metode mengajar, antara lain : metode ceramah, tanya jawab, diskusi, pemberian tugas, resitasi (perpaduan metode pemberian tugas dengan pelaporan hasil tugas), demonstrasi, eksperimen, sisodrama dan bermain peran, bekerja dalam kelompok, metode proyek, problem solving, karyawisata, film-strips, dan metode manusia sumber/ resource people( Roestiyah, 1986:67). Metode mengajar mana yang digunakan itu tergantung materi dan keterampilan dari dosen itu sendiri. Sedangkan keterampilan didaktik adalah keterampilan pengajar untuk dapat mengenali peserta didik secara baik dan penuh interaktif. Berkenaan dengan sikap dan gaya pengajar menurut Roestiyah NK (1992:41-43) antara lain : 1) suasana penggambaran temperamen, 2) mengadakan kontak dengan murid berupa cerita, pertanyaan, diskusi, dsbnya, 3) cara menarik perhatian, 4) bersikap antusias terhadap materi perlajaran yang diberikan di kelas, 5) menghargai dirinya, 6) bicaranya jelas, 7) memperhatikan sifat-sifat khas peserta didik, 8) berpengetahuan dan memberikan perlindungan, 9) menghindari kekasaran dan suka menghina, 10) kerja sama yang baik, 11) saling berkorelasi dengan vak lain, 12) tidak pilih kasih, dan 13) jauhi ketidaktelitian dan kemalasan. Adapun keterampilan didaktik adalah keterampilan yang terkait dengan sociometry yakni bagaimana mengenali peserta didik secara mendalam, memperhatikan, melakukan hubungan atau berteman secara simpati terhadap peserta didik. Untuk bisa mengenali karakter peserta didik adalah menjadi kewajiban penting bagi pengajar, tidak saja dapat menyusun tes yang baik, bergaul secara simpati, menerapkan tata tertib atau siasat, tetapi yang utama juga adalah adanya usaha-usaha pengajar melakukan keteladanan setiap hari, melakukan hal yang menyenangkan peserta didik, serta menghindari perilaku yang tidak menyenangkan peserta didik. Kapan pantas diberikan ganjaran dan kapan saatnya diberikan hukuman yang pantas dengan pertimbangan yang matang tanpa adanya sikap emosional. 4. Keterampilan Mengelola Kelas Keterampilan mengelola kelas ada dipaparkan oleh EC Wragg dengan judul ‘Pengelolaan Kelas’, oleh Michael Marland dengan judul ‘Seni Mengelola Kelas, Tugas dan Penampilan Seorang Pendidik’, serta oleh Hadari Nawawi berjudul ‘Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas’. Pengajar memang dituntut memiliki beragam keterampilan. Tidak saja menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga termasuk paham, cermat, arif, serta terampil
dalam mengelola kelas. Ada apa dibalik perlunya pengajar memiliki keterampilan mengelola kelas tersebut. Jawabannya adalah agar tujuan pendidikan tersebut mencapai hasil yang maksimal yakni terwujudnya peserta didik yang cerdas, cekatan, terampil, berwawasan luas, bermoral, bertanggung jawab, serta menjadi kader bangsa Indonesia yang siap menjadi penerus generasi tuanya. Berkenaan dengan pengelolaan kelas bahwa ada dua prinsip yang perlu diperhatikan, yakni : 1) pengelolaan kelas adalah segala sesuatu yang dilakukan guru agar anak-anak berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar mengajar, bagaimanapun caranya dan bentuknya; 2) ada berbagai cara untuk menciptakan keadaan dimana anak-anak berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar (EC Wragg, 1996:8). Pendapat ini menggugah para pengajar/ dosen untuk dapat membangkitkan aktivitas dan kreativitas peserta didik dalam mengikuti pembelajaran di kelas. Tidak ada alasan bagi pengajar untuk tidak mengaktifkan peserta didiknya pada saat memberikan kuliah. Atau jangan sampai hanya pengajar yang aktif sendiri, sedang peserta didik tinggal diam atau lain-lain tanpa ada peran sedikitpun. Jika hal itu terjadi, maka otomatis suasana kelas menjadi pasif dan dapat dikatakan suasananya mati. Oleh karena itu peran kedua pihak (mahasiswa dan pengajar) harus terjadi dan berinteraksi satu sama lain. Menurut Michael Marland (1990:8) bahwa keberhasilan seorang guru di dalam mendidik muridnya, bukan hanya bergantung pada kepribadiannya yang menawan dan pengajaran yang impresif. Mata pelajaran apa saja yang diberikan, dengan menggnakan metode manapun, seorang guru tidak bekerja seorang diri. Dia adalah bagian dari suatu tim. Pengelolaan tim tersebut di suatu sekolah lanjutan agar bermanfaat bagi murid-muridnya, mempunyai seni yang tersendiri. Tiap guru wajib menguasai seni tersebut. Dan hal yang paling melegakan, ialah seni itu dapat dipelajari, dipraktekkan serta dikembangkan. Seni mengelola kelas bukan bakat alamiah. Dan kalau berhasil dalam melaksanakannya, guru dan murid akan lebih menikmati saat-saat mereka berada di sekolah. Pendapat di atas perlu dicamkan dengan baik bahwa mengelola kelas adalah seni bagi pengajar. Juga mengelola kelas itu bukan bakat alamiah. Mengelola kelas itu bisa dipelajari dan dipraktekkan agar antara mahasiswa dan pengajar menjadi betah di kelas serta berhasil dalam pembelajaran dan pengajaran. Maka dari itu seni mengelola kelas adalah hal yang penting untuk dipelajari sehingga bisa menjadi terampil dalam mengelola kelas. Misalnya
Pengembangan IHDN Denpasar Menjadi Universitas Hindu Negeri Modern Melalui Peningkatan Kompotensi Profesional Dosen | I Ketut Gunarta
27
memberikan perhatian yang sama kepada para mahasiswa jika di kelas, menggunakan media tepat waktu, melakukan komunikasi dua arah, melakukan kebiasaan yang baik di kelas, mengaktifkan peserta didik, tidak terlalu melucu, penyajian yang menarik dan menyasar, dan yang lainnya guna menumbuhkan suasana kelas yang hidup, aktif, serta bergairah. 5. Keterampilan Evaluasi Pendidikan Keterampilan evaluasi pendidikan adalah satu keterampilan bagi pengajar atau dosen untuk dapat melakukan tes atau penilaian terhadap keberhasilan peserta didik dalam mengikuti perkuliahan selama kurun waktu selama satu semester atau sesuai jadwal yang telah ditentukan. Keterampilan ini merupakan keahlian prinsip bagi dosen. Oleh karena materi sajian dalam perkuliahan tersebut harus diketahui hasilnya. Apakah sudah dapat dipahami dan diterapkan atau belum? Dengan pelaksanaan evaluasi pendidikan tersebut, maka dapat diukur tingkat keberhasilan peserta didik maupun pengajar selama kurun waktu yang telah ditentukan. Paling tidak ada ujian tengah semester (UTS) atau mid test dan ujian akhir semester (UAS) atau final test. Mengenai jenis tes dan bentuk tes hasil belajar menurut Mudjijo (1995:29-30) yakni 1) tes lisan (oral test), 2) tes tertulis (written test), 3) tes tindakan atau perbuatan (performance test). Dalam tes tertulis dapat digunakan beberapa bentuk butir soal, yaitu : 1) tes bentuk uraian (essay test) yang terdiri atas tes uraian bebas dan terikat, 2) tes bentuk obyektif (obyektive test) yang terdiri atas butir soal benar salah (true false), pilihan berganda (multiple choise), isian (completion), jawaban singkat (short answer), dan menjodohkan (matching). Penggunaan jenis dan bentuk tes disesuaikan dengan kawasan (domain) perilaku peserta didik yang hendak diukur. Kawasan yang diukur seperti ranah kognitif mencakup : pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Ranah afektif mencakup : penerimaan, partisipasi, penilaian/penentuan sikap, organisasi, dan pembentukan pola hidup. Sedangkap ranah psikomotorik mencakup : persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan, dan kreativitas. Kemudian yang perlu diperhatikan adalah bagaimana melakukan tes atau evaluasi pendidikan dengan ciri-ciri suatu tes hasil belajar yang baik. Menurut Gronlund NE dalam Mudjijo (1995:40) bahwa sebuah program pengevaluasian harus memiliki beberapa karakteristik umum tertentu. Karakteristik-karakteristik yang paling penting dapat dikelompokkan di bawah judul validity (validitas), reliability (keterandalan), dan usability (pemakaian). 28
6. Keterampilan Memberikan Penguatan Keterampilan ini tergolong langka diterapkan di kelas. Hal ini disebabkan oleh karena adanya keterampilan yang kurang dipahami dari pengajar itu sendiri. Mengapa pengutan itu penting dilakukan oleh pengajar.Oleh karena keterampilan memberikan penguatan merupakan cara yang positif untuk menggugah semangat belajar peserta didik. Selain itu untuk dapat meyakinkan kepada para peserta didik bahwa suatu materi perkuliahan wajib diikuti secara utuh, komprehensif, tekun, rajin, sempurna, dan penuh tanggung jawab. Bilamana hal itu terjadi dalam kelas, sangat wajar dan pantas pengajar itu memberikan penguatan secara spontan kepada peserta didiknya. Misalnya dengan sikap ramah, penampilan yang riang gembira, memberikan pujian, memberikan nuilai yang bagus, memberikan salam serta hal lainnya yang mendorong semangat belajar peserta didik tersebut. Sebaliknya jika kondisi belajar peserta didik nampak loyo, kurang bergairah, tidak ada perhatian kepada pengajarnya, maka dalam hal ini perlu ada perhatian dan penguatan yang lebih intensif, lebih seirus, serta lebih spontan lagi oleh pengajar. Jika hal ini dibiarkan, maka suasana kelas menjadi adem ayem, pasif, dan tidak bersemangat. Pengajar perlu membuat selingan dan memberikan penguatan yang bersifat konstruktif, persuasif, dan dengan pendekatan variatif, yakni antara penyajian materi kuliah dan pemberian penguatan harus diseimbangkan. Yang terpenting ada gairah belajar menjadi lebih baik. Materi kuliah bisa nyambung dan penguatan turutsebagai pembangkit semangat belajar. Disinilah pentingnya keterampilan memberikan penguatan itu perlu ditampilkan oleh pengajar. 7. Keterampilan Membimbing Peserta Didik Membimbing peserta didik merupakan bagian penting sebagai keterampilan bagi pengajar. Membimbing peserta didik adalah tugas yang tidak gampang. Sama halnya dengan mengelola kelas itu perlu seni. Dalam membimbingpun perlu seni. Bila peserta didik yang dibimbing terlalu banyak, maka dirasakan ada kesulitan bagi pengajar. Atau sebaliknya jika yang dibimbing terlalu sedikit, jangan menganggap bahwa membimbing itu sebagai tugas yang enteng. Membimbing perlu keuletan, kesinambungan, ketekunan, serta tugas yang tegolong rutin. Selanjutnya pengembangan profesi dosen meliputi empat kompetensi, yaitu: 1. Kompetensi pedagogis atau kemampuan dosen mengelola pembelajaran JURNAL PENJAMINAN MUTU
2. Kompetensi kepribadian atau standar kewibawaan, kedewasaan, dan keteladanan 3. Kompetensi profesional atau kemampuan dosen untuk menguasai content dan metodologi pembelajaran 4. Kompetensi sosial atau kemampuan dosen untuk melakukan komunikasi sosial, baik dengan mahasiswa maupun masyarakat luas. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat dirumuskan setidaknya tujuh bidang kompetensi berikut strategi pengembangannya melalui programprogram tertentu yang mendukung peningkatan bidang-bidang kompetensi tersebut. Tujuh bidang kompetensi yang dimaksud adalah: 1. Pengembangan Kompetensi Pedagogis Kompetensi pedagogis atau kemampuan dosen mengelola pembelajaran merupakan tulang punggung keberhasilan proses pendidikan di perguruan tinggi. Kompetensi pedagogis ini terkait dengan cara mengajar yang baik dan tepat, sehingga proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar dan efektif. Seorang dosen, selain harus memiliki kepakaran di bidang keilmuannya, juga harus menguasai teori-teori dan teknik pengajaran serta aplikasinya dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Sebab itu, peningkatan kemampuan di bidang ini merupakan hal utama dalam pengembangan profesionalisme dosen. Untuk meningkatkan kemampuan pedagogis ini, para tenaga dosen perlu diberikan pelatihan yang terkait dengan metode pengajaran di perguruan tinggi yang meliputi: a. Metode Diskusi (Discussion Method). Metode ini lebih efektif dari metode ceramah, karena diskusi menuntut mental dan pikiran serta tukar menukar pendapat. Selain itu, diskusi juga lebih komunikatif, mampu menjelaskan hal-hal yang masih semu, dan mampu mengungkap tingkat keaktifan setiap mahasiswa. b. Metode Studi Kasus (The Case Method). Metode ini relevan terutama untuk program studi yang menekankan penerapan suatu hukum terhadap suatu kasus, misalnya di fakultas hukum atau fakultas pertanian, dan lain-lain. Suatu kasus dijadikan bahan untuk diskusi mahasiswa di bawah bimbingan dosen. c. Metode Tutorial (Tutorial Method). Metode ini berupa penugasan kepada beberapa mahasiswa tentang suatu objek tertentu, lalu mereka mendiskusikannya dengan pakar di
bidangnya untuk memastikan validitas pemahaman mereka tentang objek tersebut. d. Metode Tim Pengajar (Team Teaching Method). Salah satu bentuk dari metode ini adalah sekurang-kurangnya dua orang dosen mengajar satu materi kuliah yang sama dalam waktu yang sama pula, namun dengan pokok bahasan yang saling melengkapi. e. Metode Ceramah. Metode ini muncul paling awal dan banyak digunakan terutama jika mahasiswa dalam satu kelas sangat banyak. 2. Pengembangan Kompetensi Teknik Informasi Perkembangan teknologi informasi yang demikian cepat merupakan tantangan baru bagi para praktisi pendidikan, termasuk dosen. Para pakar pendidikan memandang bahwa penguasaan para dosen terhadap teknologi informasi sangat berpengaruh terhadap kesuksesannya dalam mengelola pembelajaran di perguruan tinggi. Sebab itu, para dosen perlu diberikan pelatihan penggunaan berbagai macam teknologi informasi yang tersedia saat ini, mulai dari komputer, televisi, telepon, video conference, hingga dunia internet. Pengembangan kemampuan memanfaatkan teknologi informasi ini dibutuhkan dalam perencanaan pendidikan, terutama yang terkait dengan analisis, desain, implementasi, manajemen, hingga evaluasi instruksional pendidikan. Untuk pengembangan kemampuan teknologi informasi ini dibutuhkan beberapa hal berikut: a. Ketersediaan fasilitas teknologi berikut perlengkapannya, baik berupa komputer, video, proyektor, perlengkapan internet, dan sebagainya. b. Ketersediaan isi serta bahan-bahan terkait metode penggunaan teknologi informasi tersebut untuk mendukung metode pengajaran dan pelaksanaan kurikulum pendidikan. c. Penyelenggaraan pelatihan bagi para dosen tentang cara penggunaan alat-alat teknologi informasi tersebut, sehingga pada saatnya mereka dapat mengajarkannya juga kepada para mahasiswa. Dengan demikian, proses pembelajaran akan berlangsung lebih efektif dan produktif. 3. Pengembangan Kompetensi Manajemen/ Administrasi Sistem manajemen perguruan tinggi berbeda dengan manajemen di lembaga-lembaga lainnya. Di lingkungan perguruan tinggi terdapat komunitas berbeda yang saling terkait, yaitu mahasiswa, dosen,
Pengembangan IHDN Denpasar Menjadi Universitas Hindu Negeri Modern Melalui Peningkatan Kompotensi Profesional Dosen | I Ketut Gunarta
29
pegawai, dan para pekerja. Mereka semua diatur oleh pimpinan. Demikian pula model manajemen yang diterapkan di sebuah perguruan tinggi mengalami perubahan berdasarkan perkembangan perguruan tinggi tersebut. Manajemen di perguruan tinggi yang baru didirikan berbeda dengan manajemen di perguruan tinggi yang sudah maju. Dengan asumsi ini, para dosen sebagai bagian utama dari perguruan tinggi, sesungguhnya dibutuhkan untuk terlibat secara langsung dalam mengelola perguruan tinggi, baik pada level pimpinan universitas, fakultas, jurusan, program studi, maupun tim-tim yang dibentuk khusus untuk tujuan tertentu. Sebab itu, pengembangan kemampuan manajemen sangat penting bagi para dosen. Jika mereka diharapkan untuk memberikan kontribusi signifikan dalam pengelolaan perguruan tinggi, maka kemampuan administrasi dan manajemen mereka perlu terus ditingkatkan. Untuk menunjang kemampuan manajemen para dosen, perlu diberikan pelatihan intensif dan berkesinambungan mengenai manajemen/ administrasi umum, administrasi/manajemen perguruan tinggi, perumusan strategi pendidikan, dasar-dasar perencanaan pendidikan, manajemen kurikulum, pengambilan keputusan, administrasi/ manajemen kepegawaian, manajemen sumber daya manusia, manajemen konflik, penyusunan program berikut pelaksanaannya, hubungan masyarakat, dan sebagainya. 4. Pengembangan Kompetensi Kurikulum Kurikulum merupakan fundamen yang sangat penting untuk mencetak mahasiswa yang berkualitas tinggi. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang kandungannya memperhatikan kemampuan peserta didik serta mampu mendorong kemampuan mereka menjadi daya kreatif dan inovatif. Di sinilah salah satu peran penting para dosen. Mereka adalah kunci pembuka pengembangan kurikulum, karena merekalah yang paling menguasai secara mendalam masing-masing disiplin keilmuan. Namun penguasaan terhadap suatu disiplin ilmu bukanlah satu-satunya ukuran kesuksesan profesi seorang dosen. Mereka juga dituntut mampu merumuskan kurikulum yang dapat menciptakan para sarjana dengan prestasi akademik yang tinggi, berperilaku terhormat, serta berbudi baik. Karena itu, para dosen perlu diberikan kesempatan untuk mengikuti perkembangan terbaru bidang ilmu yang digelutinya agar mereka dapat merumuskan kurikulum juga berdasarkan perkembangan terbaru. Mereka juga perlu didukung secara moral dan dana untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang bertujuan menciptakan kurikulum terbaik. Untuk 30
meningkatkan kemampuan tenaga dosen dalam merumuskan kurikulum, perlu diselenggarakan kegiatan berupa: a. Pertemuan, baik seminar, lokakarya, maupun lainnya, yang tujuannya memperbarui pengetahuan para dosen tentang perkembangan terbaru di bidang disiplin ilmu tertentu. Pengetahuan itu akan menjadi bekal mereka dalam merumuskan kurikulum yang baik. b. Pelatihan cara menyusun rencana materi pengajaran. Tugas ini terbilang sulit terutama bagi para dosen baru. Tetapi ia sangat penting karena dapat membantu dosen mengatur kisikisi pengajarannya, seperti tujuan, isi, model, strategi, evaluasi dan referensi pengajaran. c. Pelatihan cara merancang rencana materi pengajaran berdasarkan tujuan dan target dari masing-masing materi pelajaran, serta unsurunsur rencana pengajaran. d. Pertemuan, baik seminar, lokakarya, maupun lainnya, yang diadakan setelah pembaruan kurikulum dengan maksud menyatukan persepsi di antara para dosen tentang metode dan cara yang efektif untuk menjalankan kurikulum tersebut agar berhasil seperti yang diharapkan. Dengan pertemuan tersebut akan terjadi harmoni antara kurikulum baru dengan perkembangan pengetahuan para dosen. 5. Pengembangan Kompetensi Ilmiah (Riset dan Publikasi) Salah satu tugas pokok perguruan tinggi adalah mengembangkan ilmu pengetahuan. Tugas tersebut direalisasikan melalui pengkajian dan riset-riset ilmiah yang dilakukan oleh komunitas akademik yang terdapat di dalamnya, terutama para dosen. Dengan demikian tugas para dosen tidak terbatas pada kegiatan mengajar saja. Mereka juga dituntut terus melakukan riset-riset ilmiah secara serius dalam bidang yang digelutinya agar dapat menyumbang dan memperkaya ilmu pengetahuan. Program yang perlu dilaksanakan untuk mengembangkan produktivitas ilmiah para dosen adalah: a. Pelatihan metodologi dan etika penelitian ilmiah dengan segala aspeknya terutama yang terkait dengan disiplin ilmu masingmasing kelompok dosen. b. Penyediaan sarana dan fasilitas yang dibutuhkan untuk penelitian, seperti komputer, laboratorium, perpustakaan yang lengkap, dan sebagainya c. Pengaturan beban jam mengajar para dosen agar mereka mempunyai kesempatan untuk menulis buku, menghadiri seminar, atau melakukan semua proses penelitian JURNAL PENJAMINAN MUTU
d. Mendukung dana atau membantu menghubungkan dengan lembaga yang dapat membiayai proyek penelitian mereka. 6. Pengembangan Kompetensi Evaluasi Perguruan tinggi adalah salah satu lembaga pendidikan yang menjadikan evaluasi sebagai salah satu cara mengembangakan kualitasnya. Hal itu karena evaluasi yang benar merupakan salah satu cara terbaik untuk mengembangkan proses pembelajaran. Dengan evaluasi yang benar akan diketahui secara objektif kelebihan dan kekurangan sebuah sistem pembelajaran sehingga program pengembangan ataupun perbaikan dapat dirumuskan dengan tepat. Begitu pula, melalui evaluasi akan diketahui sejauh mana sebuah perguruan tinggi dapat mewujudkan tujuan dan target yang telah dicetuskan saat pendiriannya. Sebab itu, untuk mengembangkan mutu perguruan tinggi, dibutuhkan evaluasi yang benar dan akurat terhadap dosen, kurikulum, sistem manajemen, mahasiswa, dan elemen-elemen pokok lainnya Dalam proses evaluasi pendidikan di perguruan tinggi ini, para tenaga dosen memiliki peran yang sangat penting, karena merekalah yang berhak menilai dan menimbang kualitas pembelajaran yang mereka berikan atau yang berlaku di universitas tempat mereka mengabdikan diri. Selain sebagai pihak yang mengevaluasi, para dosen juga merupakan objek evaluasi. Kinerja mereka sebagai tenaga pengajar juga dinilai untuk diperbaiki atau diberi penghargaan berupa kenaikan pangkat. Karena itu, untuk mengembangkan kemampuan dosen dalam melakukan evaluasi pendidikan, perlu diadakan: a. Pelatihan tentang filosofi dan teori-teori evaluasi modern dalam bidang pendidikan agar dosen menyadari bahwa evaluasi merupakan bagian yang inheren dan penting dalam proses pendidikan. Selain itu agar mereka memahami mekanisme evaluasi pendidikan yang benar. b. Pelatihan tentang teknik-teknik dan modelmodel evaluasi untuk kemudian menentukan metode evaluasi yang kuratif demi perbaikan dan pengembangan program-program akademis selanjutnya c. Pelatihan tentang cara menyusun rencana evaluasi dan mekanisme implementasinya, baik untuk menilai kinerja dosen sendiri maupun tingkat capaian mahasiswa secara objektif, menetapkan standar dan kriteria, serta melakukan pengujian-pengujian terhadap pelaksanaan program-program akademis di perguruan tinggi.
7. Pengembangan Kompetensi Personal Di era globalisasi seperti sekarang ini, di mana dunia berubah begitu cepat, perguruan tinggi dihadapkan pada tantangan yang lebih kompleks. Berkat kemajuan sains dan teknologi, metodologi pendidikan juga melaju pesat dengan bertumpu pada metode serta teknologi mutakhir. Di tengah situasi ini, tidak ada jalan lain bagi perguruan tinggi kecuali memulai merumuskan program pengembangan komprehensif, termasuk peningkatan profesionalisme para dosennya. Sebagai salah satu pilar utama perguruan tinggi, tingkat kemampuan dan integritas personal para dosen menjadi salah satu faktor yang menentukan optimalisasi proses pendidikan dan pengajaran di perguruan tinggi. Jika para dosen tidak mampu beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta perubahan metode atau teknologi pendidikan yang berubah cepat, maka yang terancam bukan hanya masa depan para lulusannya, tetapi juga eksistensi dan masa depan perguruan tinggi tersebut. Karena itu, dosen dituntut untuk terus meningkatkan kemampuan ilmiah dan kepribadiannya melalui berbagai upaya yang mungkin dilakukannya. Sebenarnya tidak ada program khusus untuk mengembangkan integritas personal para dosen. Setiap dosen berhak menentukan program apa yang dibutuhkan untuk mengembangkan profesionalismenya. Semua program pengembangan yang telah dijelaskan sebelum ini misalnya, pada dasarnya merupakan program-program yang mengacu pada pengembangan integritas personal dosen. Seorang dosen dapat memilih salah satunya atau menambahkan program lain yang dipandangnya relevan untuk dirinya. Meski demikian, beberapa pakar pendidikan mengemukakan program-program yang perlu dilakukan para dosen dalam rangka melejitkan potensi dan kemampuan dirinya. Program-program ini mendorong para dosen untuk: a. Sesering mungkin berpartisipasi dalam seminar atau konferensi yang terkait displin keilmuannya, baik di tingkat nasional maupun internasional. b. Melakukan studi komparatif ke perguruan tinggi atau lembaga pendidikan lainnya di dalam dan luar negeri untuk mengetahui serta belajar dari pengalaman lembaga-lembaga pendidikan lain tersebut c. Berusaha membentuk semacam asosiasi para pakar atau organisasi profesi di bidang keilmuannya untuk kemudian menggelar kegiatan-kegiatan ilmiah serta menerbitkan jurnal-jurnal ilmiah
Pengembangan IHDN Denpasar Menjadi Universitas Hindu Negeri Modern Melalui Peningkatan Kompotensi Profesional Dosen | I Ketut Gunarta
31
d. Menyusun program-program pelatihan dan proyek-proyek penelitian berskala nasional dan internasional bekerjasama dengan lembaga-lembaga ilmiah di dalam atau di luar negeri. e. Memanfaatkan kerjasama yang sudah terjalin dengan lembaga-lembaga nasional maupun internasional dalam rangka internasionalisasi perguruan tinggi dan pengabdian terhadap kemanusiaan secara umum. f. Terkait dengan etika pribadi, seorang dosen dituntut untuk mencintai kebenaran dan selalu berusaha menemukan kebenaran-kebenaran baru, toleran terhadap perbedaan pendapat, adil, jujur serta bertanggung jawab. Program-program tersebut lebih banyak menekankan pada upaya pribadi dosen, karena sejatinya program pengembangan integritas personal dosen tidak harus selalu mengacu pada program yang disiapkan perguruan tinggi, tapi juga membutuhkan inisiatif internal dan usaha keras dari dalam diri masing-masing dosen. III. PENUTUP Perkembangan dalam dunia pendidikan, termasuk juga kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era global menuntut perhatian pemerintah RI untuk terus berbuat banyak dalam menata dinamika pendidikan tersebut. Salah satu produk tentang pendidikan di Indonesia yang paling anyar adalah dengan dikeluarkannya UU tentang Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005. Produk hukum tersebut mengisyaratkan kepada pengelola lembaga pendidikan dari tingkat pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, termasuk juga pendidikan tinggi agama Hindu untuk mempersiapkan tenaga dan sarana prasarana pendidikan yang berkualitas. Mengelola pendidikan tinggi agama Hindu sesuai aturan dari pemerintah terutama Peraturan Presiden Nomor 1 tahun 2004, memberikan kesempatan emas kepada umat Hindu Indonesia untuk menimba pengetahuan agama Hindu pada lembaga pendidikan tinggi agama Hindu negeri. Lembaga pendidikan tinggi agama Hindu negeri ini sebagai harapan mulia umat Hindu Indonesia. Selain itu, diharapkan pula agar adanya kualitas tenaga pengelolanya (baik dosen dan pegawai), yang pada akhirnya melahirkan tamatan yang bermutu demi kemajuan pembinaan umat Hindu Indonesia ke depan. Salah satu cita-cita Umat Hindu di Indonesia adalah memiliki perguruan tinggi bertaraf nasional dan internasional (world class university). Cita-cita 32
ini membutuhkan kerja keras dari seluruh elemen perguruan tinggi untuk memperbaiki dan mengembangkan kualitas pembelajarannya. Salah satu program pengembangan yang seharusnya mendapat prioritas adalah pengembangan profesionalisme dosen sebagai elemen pokok perguruan tinggi. Pengembangan profesionalisme dosen ini sangat penting untuk meningkatkan mutu perguruan tinggi di Indonesia. Program-program pengembangan profesi dosen sebagaimana telah diuraikan sebelum ini sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari program pengembangan perguruan tinggi secara umum dan pengembangan IHDN Denpasar menjadi Universitas Hindu Negeri pada khususnya, karena keberhasilan dari program tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas perguruan tinggi itu sendiri. Sebab itu, program-program tersebut perlu diimplementasikan secara teratur dan berkesinambungan agar betulbetul tercipta para dosen yang berkualitas tinggi dan mampu mendorong kemajuan perguruan tinggi. Pada tingkat praktik, sarana yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan program-program pengembangan tersebut adalah: 1. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan yang bertujuan menambah wawasan dan pengetahuan para dosen, baik yang terkait dengan disiplin ilmu yang ditekuninya maupun keahlian pedagogi dan kependidikan secara umum. 2. Pendirian lembaga atau pusat-pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan profesi akademis, termasuk profesi dosen, yang prioritas kegiatannya terkait dengan pelaksanaan riset-riset ilmiah dan pelatihan peningkatan kompetensi akademis. 3. Kerjasama ilmiah dengan perguruan tinggi lain, baik berupa pertukaran dosen, riset bersama (join research), maupun program double degree. Kerjasama ilmiah ini juga bisa dilakukan antara perguruan tinggi dengan pusat-pusat penelitian, atau perusahaanperusahaan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Dengan usaha yang sungguh-sungguh dari perguruan tinggi Hindu untuk mengembangkan profesionalisme para dosennya, diharapkan akan tercipta para dosen yang mampu menjalankan tugasnya secara profesional, yaitu mencetak para ilmuwan dan tenaga ahli di berbagai bidang, mencerdaskan kehidupan bangsa dalam arti yang seluas-luasnya, serta mengembangkan pribadipribadi manusia Indonesia seutuhnya. JURNAL PENJAMINAN MUTU
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2004. Undang-Undang Tentang Sisdiknas dan Peraturan Pelaksanaannya 2000-2004. Jakarta: CV:Tamita Utama. Anonim, 2005. Strandar Nasional Pendidikan. Jakarta:Cemerlang. Anonim, 2006. Undang-Undang Republik Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Bandung:Citra Umbara. Daryanto, 1998. Adminstrasi Pendidikan. Jakarta:Rineka Cipta. Marland, 1990. Seni Mengelola Kelas, Tugas dan Penampilan Seorang Pendidik. Semarang:Dahara Prize. Mudjijo, 1995. Tes Hasil Belajar. Jakarta:Bumi Aksara. Nawawi, 1995. Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas. Jakarta PT Gunung Agung.
Roestiyah, 1986. Metodik Didaktik. Jakarta:PT Bina Aksara. Sadiman, dkk. 1986. Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta:CV Rajawali. Subroto, 1984. Dimensi-Dimensi Administrasi Pendidikan di Sekolah Yogyakarta:Bina Aksara. Sudjana, Nana dan Ahmad Rivai, 2002. Media Pengajaran. Bandung:Sinar Baru Algensindo. Sutisna, 1987. Administrasi Pedidikan Dasar Teoritis Untuk Praktek Prefesional. Bandung:Angkasa. Tim Penyusun, 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Depdikbud dan Balai Pustaka Jakarta. Wragg, EC. 1996. Pengelolaaan Kelas. Jakarta:PT Gramedia.
Pengembangan IHDN Denpasar Menjadi Universitas Hindu Negeri Modern Melalui Peningkatan Kompotensi Profesional Dosen | I Ketut Gunarta
33
STANDAR MUTU PENGABDIAN PADA MASYARAKAT DAN PROFESIONALISME DOSEN Oleh Ni Made Anggreni Dosen pada Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar
Abstract Higher education institutions should adapt the development of science and technology in order to meet the society demand along the ages. They are expected to produce human resources with academic and leadership capability and ethics who are also adaptive to the technological development. In order to achieve that, the instituations are required to carry out quality research and social service programs that can improve the societies. The programs should be based on science and the implementation of the education and research with clear targets. However, in practice, the social service programs are often irrelevant to the society needs as well as to the fields of the lecturers and students involved in the programs. This proves the gap between the ideal and the real condition of the Indonesian higher education quality. The situation is influenced by several factors, including the poor management, economics, and social realities. In order to overcome them, a comprehensive program for developing the profesionalism of the lecturers is needed in which the government, the instituation, and the society are all involved. The Minister of Education and Culture Affair Regulation No 49/2014 regulates the standard for the social service, which is an important part of the Tri Dharma Perguruan Tinggi. According to it, the program should be organized by the Social Service Board with its principles for institutionalism, education, cooperation, sustainability, social empowerment, and regional development. Key words: quality standard, social service, lecturer professionalism I. PENDAHULUAN Kehidupan dan perkembangan akademik di Perguruan Tinggi tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi serta tuntutan masyarakat seirama dengan meningkatnya kualitas kehidupan. Dengan pendidikan tinggi, diharapkan muncul sumber daya manusia yang mempunyai kemampuan akademis, profesional, etis dan kepemimpinan, serta tanggap terhadap kebutuhan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu program penelitian yang dilakukan di perguruan tinggi dituntut untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan bermanfaat. Sedangkan program pengabdian pada masyarakat diarahkan kepada penerapan hasil penelitian maupun hasil pendidikan di perguruan tinggi bagi kesejahteraan dan kemajuan masyarakat. Dengan demikian kegiatan pengabdian pada masyarakat tidak hanya sekedar kegiatan tanpa basis sain, tetapi merupakan satu forum penerapan hasil penelitian dan pendidikan dengan sasaran yang jelas.
34
Akan tetapi pada kenyatannya banyak terjadi kekeliruan dalam prakteknya. Pengabdian pada masyrakat sering kali kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat maupun bidang keilmuan yang ditekuni oleh dosen maupun mahasiswa yang melakukan pengabdian. Karena pengabdian yang dilakukan terkadang hanya demi persyaratan tertentu, seperti BKD maupun kenaikan pangkat serta persyaratan akademis lainnya. Pada hal pemerintah telah menetapkan dua puluh empat setandar pendidikan tinggi yang diimplementasikan dalam tri dharma perguruan tinggi yaitu delapan setandar pendidikan dan pengajaran, delapan setandar penelitian, dan delapan setandar pengabdian yang meliputi setandar isi, setandar hasil, standar biaya, setandar tenaga, standar pengelolaan, standar sarana dan prarana, standar proses, dan standar evaluasi. Jika syarat atau delapan setandar ini telah terpenuhi maka secara tidak langsung akan mampu meningkatkan profesionalisme dosen. Karena para dosen akan melaksanakan pngabdian sesuai dengan
JURNAL PENJAMINAN MUTU
bidang keahliannya sehingga dengan demikian hasil pengabdiannya akan mendukung materi atau bahan ajar. Dosen dikatakan sebagai “jantung” perguruan tinggi,sehingga dosen sangat menentukan mutu pendidikan dan lulusan yang dilahirkan perguruan tinggi tersebut, di samping secara umum kualitas perguruan tinggi itu sendiri. Jika para dosennya bermutu tinggi, maka kualitas perguruan tinggi tersebut juga akan tinggi, demikian pula sebaliknya. Sebaik apapun program pendidikan yang dicanangkan, bila tidak didukung oleh para dosen bermutu tinggi, maka akan berakhir pada hasil yang tidak memuaskan. Hal itu karena untuk menjalankan program pendidikan yang baik diperlukan para dosen yang juga bermutu baik. Dengan memiliki dosendosen yang baik dan bermutu tinggi, perguruan tinggi dapat merumuskan program serta kurikulum termodern untuk menjamin lahirnya lulusan-lulusan yang berprestasi dan berkualitas istimewa (Sudiro,2010). Di Indonesia, program pengembangan mutu dosen telah dikenal sejak tahun 70-an. Beberapa perguruan tinggi telah menyelenggarakan kegiatan yang termasuk dalam kategori pembinaan dosen, seperti penataran khusus untuk semua dosen baru. Bahkan universitas-universitas tertentu mendirikan pusat pelatihan staf dosen dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pembinaan dosen dalam level regional maupun nasional (Nur Syam,2014). Namun, kendati telah berlangsung hampir empat dekade, program pengembangan profesionalisme dosen di Indonesia belum menampakkan hasil yang menggembirakan. Beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia memang sudah masuk dalam daftar perguruan tinggi terbaik di dunia, meskipun masih di urutan ke sekian. Demikian halnya dengan swasta, terdapat sejumlah perguruan tinggi swasta (PTS) yang kualitasnya bisa diandalkan dan setara dengan perguruan tinggi di luar negeri. Tetapi data yang dimiliki Litbang Depdiknas menunjukkan, dari 120.000 dosen tetap PTS dan PTN di Indonesia, masih ada 50,65 persen atau sekitar 60.000 di antaranya belum berpendidikan S2 atau baru S1. Menurut Suara Pembaruan (2008), jumlah seluruh dosen di PTN sebanyak 240.000 orang, 50% di antaranya belum memiliki kualifikasi pendidikan setara S2. Di antara jumlah tersebut, baru 15% dosen yang bergelar doktor. Jika dibandingkan dengan perguruan tinggi di Malaysia, Singapura dan Filipina yang jumlah doktornya sudah mencapai angka 60% lebih, maka tampak bahwa dosen di perguruan tinggi Indonesia masih jauh ketinggalan.
Padahal, Undang-undang (UU) No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mensyaratkan dosen perguruan tinggi minimal S2. Dalam UU itu disebutkan, para pendidik jenjang pendidikan dasar dan menengah persyaratannya adalah minimal bergelar S1. Sementara, untuk mendidik di jenjang pendidikan akademis S1, maka sekurang-kurangnya bergelar strata dua (S2), sedangkan bagi program pascasarjana adalah doktor (S3) dan profesor. Kenyataan ini ironis mengingat salah satu citacita besar perguruan tinggi di Indonesia adalah menjadi universitas bertaraf internasional (world class university). Dengan 50% dosen yang masih berkualifikasi S1, sulit dalam waktu dekat menggapai cita-cita tersebut. Apalagi di tengah kondisi demikian, tidak tampak upaya signifikan dari para dosen untuk meningkatkan profesionalisme mereka sebagai elemen pokok perguruan tinggi. Sebagian mereka bahkan kurang menyadari bahwa profesi dosen, sebagaimana profesi lainnya, juga terkait dengan dimensi pengetahuan, keahlian, dan etika yang perlu terus dikembangkan. Sayangnya, dimensi-dimensi tersebut tidak banyak diperhatikan oleh para dosen, sehingga tidak heran jika sorotan dan kritik terus dialamatkan kepada mereka. Di antara kritik yang sering dilontarkan terkait kualitas dosen perguruan tinggi di Indonesia adalah: Pertama, sekarang ini minat sebagian dosen untuk terus membaca dan melakukan riset ilmiah di bidang keilmuannya sudah menurun. Mereka tampak sudah merasa puas dengan gelar doktor atau Ph.D yang diraihnya. Mereka sudah tidak lagi sibuk dengan penelitian ilmiah yang menjadi tugas pokok mereka untuk menyumbangkan hal-hal baru dalam bidang keilmuannya. Kalaupun mereka melakukan sebuah penelitian, biasanya itu tidak dimaksudkan untuk menemukan hal baru atau menyumbang sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat, tetapi untuk meraih kenaikan pangkat atau mencapai posisi guru besar belaka. Kedua, tidak sedikit para dosen yang beranggapan bahwa tugas utamanya hanya menyampaikan pengetahuan atau menugaskan penelitian ilmiah kepada para mahasiswa. Mereka sering alpa bahwa mereka adalah pendidik dalam pengertian seluas-luasnya. Di pundak mereka terpikul tanggung jawab yang melampaui tembok kampus, yaitu untuk mendidik mahasiswa, baik dari sisi keilmuan, mental, cara berpikir, perilaku, dan sebagainya. Ketiga, banyak dosen yang menghindarkan diri dari tugas utamanya sebagai pendidik dengan berbagai cara untuk menutupi kekurangannya.
Standar Mutu Pengabdian Pada Masyarakat dan Profesionalisme Dosen | Ni Made Anggreni
35
Misalnya dengan menerapkan “despotisme ilmiah” karena tidak mampu mengatasi dialog kritis dengan mahasiswa, lari dari topik utama perkuliahan untuk menghabiskan waktu karena tidak menguasai materi, atau memberi penugasan kemudian membiarkan para mahasiswa berdebat sendiri dengan alasan melatih mereka berdiskusi, dan sebagainya. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih ada jurang yang lebar antara cita-cita ideal dengan kondisi riil para dosen perguruan tinggi di Indonesia saat ini. Kondisi tersebut tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti manajemen pendidikan, ekonomi, realitas sosial, dan lain-lain. Karena itu, untuk membenahinya juga diperlukan sebuah program pengembangan profesionalisme dosen yang komprehensif serta melibatkan berbagai pihak, mulai dari perguruan tinggi, pemerintah, hingga masyarakat. Berdasarkan hal tersebut dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : a. Bagaimana standar pengabdian masyarakat berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 Tahun 2014? b. Bagaimana implementasi pengabdian masyarakat yang dilakukan perguruan tinggi? c. Bagaimana program pengembangan profesionalisme dosen? II. PEMBAHASAN 2.1 Standar Pengabdian Masyarakat Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 Tahun 2014 Dalam standar pengabdian masyarakat berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 Tahun 2014, pasal 53 adalah ruang lingkup Standar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat terdiri atas: 1) Standar hasil pengabdian kepada masyarakat; 2) Standar isi pengabdian kepada masyarakat; 3) Standar proses pengabdian kepada masyarakat; 4) Standar penilaian pengabdian kepada masyarakat; 5) Standar pelaksana pengabdian kepada masyarakat; 6) Standar sarana dan prasarana pengabdian kepada masyarakat; 7) Standar pengelolaan pengabdian kepada masyarakat; dan 8) Standar pendanaan dan pembiayaan pengabdian kepada masyarakat. Pada pasal 54 menyatakan tentang Standar Hasil Pengabdian kepada Masyarakat, yang terdiri dari: 1) Standar hasil pengabdian kepada masyarakat merupakan kriteria minimal hasil pengabdian
36
kepada masyarakat dalam menerapkan, mengamalkan, dan membudayakan ilmu pengetahuan dan teknologi guna memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. 2) Hasil pengabdian kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a) penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat dengan memanfaatkan keahlian sivitas akademik yang relevan; b) pemanfaatan teknologi tepat guna; c) bahan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; atau d) bahan ajar atau modul pelatihan untuk pengayaan sumber belajar. Pada pasal 55 berisi tentang Standar Isi Pengabdian Kepada Masyarakat yang terdiri dari: 1) Standar isi pengabdian kepada masyarakat merupakan kriteria minimal tentang kedalaman dan keluasan materi pengabdian kepada masyarakat. 2) Kedalaman dan keluasan materi pengabdian kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada standar hasil pengabdian kepada masyarakat. 3) Kedalaman dan keluasan materi pengabdian kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari hasil penelitian atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 4) Hasil penelitian atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi: a) hasil penelitian yang dapat diterapkan langsung dan dibutuhkan oleh masyarakat pengguna; b) pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka memberdayakan masyarakat; c) teknologi tepat guna yang dapat dimanfaatkan dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat; d) model pemecahan masalah, rekayasa sosial, dan/atau rekomedasi kebijakan yang dapat diterapkan langsung oleh masyarakat, dunia usaha, industri, dan/ atau Pemerintah; atau e) hak kekayaan intelektual (HKI) yang dapat diterapkan langsung oleh masyarakat, dunia usaha, dan/atau industri. Dalam pasal 56 berbunyi: Standar Proses Pengabdian kepada Masyarakat yang terdiri dari:
JURNAL PENJAMINAN MUTU
1) Standar proses pengabdian kepada masyarakat merupakan kriteria minimal tentang kegiatan pengabdian kepada masyarakat, yang terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan kegiatan. 2) Kegiatan pengabdian kepada masyarakat dapat berupa: a) pelayanan kepada masyarakat; b) penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan bidang keahliannya; c) peningkatan kapasitas masyarakat; atau d) pemberdayaan masyarakat. 3) Kegiatan pengabdian kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mempertimbangkan standar mutu, menjamin keselamatan kerja, kesehatan, kenyamanan, serta keamanan pelaksana, masyarakat, dan lingkungan. 4) Kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai salah satu dari bentuk pembelajaran harus mengarah pada terpenuhinya capaian pembelajaran lulusan serta memenuhi ketentuan dan peraturan di perguruan tinggi. 5) Kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh mahasiswa dinyatakan dalam besaran satuan kredit semester sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) 6) Kegiatan pengabdian kepada masyarakat harus diselenggarakan secara terarah, terukur, dan terprogram. Pada pasal 57 menyatakan tentang Standar Penilaian Pengabdian kepada Masyarakat yang terdiri dari: 1) Standar penilaian pengabdian kepada masyarakat merupakan kriteria minimal tentang penilaian terhadap proses dan hasil pengabdian kepada masyarakat. 2) Penilaian proses dan hasil pengabdian kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terintegrasi dengan prinsip penilaian paling sedikit: a) edukatif, yang merupakan penilaian untuk memotivasi pelaksana agar terus meningkatkan mutu pengabdian kepada masyarakat; b) objektif, yang merupakan penilaian berdasarkan kriteria penilaian dan bebas dari pengaruh subjektivitas; c) akuntabel, yang merupakan penilaian yang dilaksanakan dengan kriteria dan prosedur yang jelas dan dipahami oleh
pelaksana pengabdian kepada masyarakat; dan d) transparan, yang merupakan penilaian yang prosedur dan hasil penilaiannya dapat diakses oleh semua pemangku kepentingan. 3) Penilaian proses dan hasil pengabdian kepada masyarakat selain memenuhi prinsip penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus memperhatikan kesesuaian dengan standar hasil, standar isi, dan standar proses pengabdian kepada masyarakat. 4) Kriteria minimal penilaian hasil pengabdian kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a) tingkat kepuasan masyarakat; b) terjadinya perubahan sikap, pengetahuan, dan keterampilan pada masyarakat sesuai dengan sasaran program; c) dapat dimanfaatkannya ilmu pengetahuan dan teknologi di masyarakat secara berkelanjutan; d) terciptanya pengayaan sumber belajar dan/atau pembelajaran serta pematangan sivitas akademika sebagai hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; atau e) teratasinya masalah sosial dan rekomendasi kebijakan yang dapat dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan. 5) Penilaian pengabdian kepada masyarakat dapat dilakukan dengan menggunakan metode dan instrumen yang relevan, akuntabel, dan dapat mewakili ukuran ketercapaian kinerja proses dan pencapaian kinerja hasil pengabdian kepada masyarakat. Dalam Pasal 58 menyatakan tentang Standar Pelaksana Pengabdian kepada Masyarakat yang terdiri dari: 1) Standar pelaksana pengabdian kepada masyarakat merupakan kriteria minimal kemampuan pelaksana untuk melaksanakan pengabdian kepada masyarakat. 2) Pelaksana pengabdian kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki penguasaan metodologi penerapan keilmuan yang sesuai dengan bidang keahlian, jenis kegiatan, serta tingkat kerumitan dan kedalaman sasaran kegiatan. 3) Kemampuan pelaksana pengabdian kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan: a) Kualifikasi akademik;
Standar Mutu Pengabdian Pada Masyarakat dan Profesionalisme Dosen | Ni Made Anggreni
37
b) Hasil pengabdian kepada masyarakat. 4) Kemampuan pelaksana pengabdian kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menentukan kewenangan melaksanakan pengabdian kepada masyarakat. 5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan melaksanakan pengabdian kepada masyarakat diatur dalam pedoman rinci yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal. Pada pasal 59 menyatakan tentang Standar Sarana dan Prasarana Pengabdian kepada Masyarakat yang terdiri dari: 1) Standar sarana dan prasarana pengabdian kepada masyarakat merupakan kriteria minimal tentang sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menunjang proses pengabdian kepada masyarakat dalam rangka memenuhi hasil pengabdian kepada masyarakat 2) Sarana dan prasarana pengabdian kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan fasilitas perguruan tinggi yang digunakan untuk memfasilitasi pengabdian kepada masyarakat paling sedikit yang terkait dengan penerapan bidang ilmu dari program studi yang dikelola perguruan tinggi dan area sasaran kegiatan. 3) Sarana dan prasarana pengabdian kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan fasilitas perguruan tinggi yang dimanfaatkan juga untuk proses pembelajaran dan kegiatan penelitian. 4) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi standar mutu, keselamatan kerja, kesehatan, kenyamanan, dan keamanan. Pada pasal 60 menyatakan tentang Standar Pengelolaan Pengabdian kepada Masyarakat yang terdiri dari: 1) Standar pengelolaan pengabdian kepada masyarakat merupakan kriteria minimal tentang perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemantauan dan evaluasi, serta pelaporan kegiatan pengabdian kepada masyarakat. 2) Pengelolaan pengabdian kepada masyarkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh unit kerja dalam bentuk kelembagaan yang bertugas untuk mengelola pengabdian kepada masyarakat. 3) Kelembagaan pengelola pengabdian kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
38
(2) adalah lembaga pengabdian kepada masyarakat, lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, atau bentuk lainnya yang sejenis sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan perguruan tinggi. Dalam pasal 61 menyatakan tentang: 1) Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib: a) menyusun dan mengembangkan rencana program pengabdian kepada masyarakat sesuai dengan rencana strategis pengabdian kepada masyarakat perguruan tinggi; b) menyusun dan mengembangkan peraturan, panduan, dan sistem penjaminan mutu internal kegiatan pengabdian kepada masyarakat; c) memfasilitasi pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat; d) melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat; e) melakukan diseminasi hasil pengabdian kepada masyarakat; f) memfasilitasi kegiatan peningkatan kemampuan pelaksana pengabdian kepada masyarakat; g) memberikan penghargaan kepada pelaksana pengabdian kepada masyarakat yang berprestasi; h) mendayagunakan sarana dan prasarana pengabdian kepada masyarakat pada lembaga lain melalui kerja sama; dan i) melakukan analisis kebutuhan yang menyangkut jumlah, jenis, dan spesifikasi sarana dan prasarana pengabdian kepada masyarakat. j) menyusun laporan kegiatan pengabdian pada masyarakat yang dikelolanya. 2) Perguruan tinggi wajib: a) memiliki rencana strategis pengabdian kepada masyarakat yang merupakan bagian dari rencana strategis perguruan tinggi; b) menyusun kriteria dan prosedur penilaian pengabdian kepada masyarakat paling sedikit menyangkut aspek hasil pengabdian kepada masyarakat dalam menerapkan, mengamalkan, dan membudayakan ilmu pengetahuan dan teknologi guna memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa; JURNAL PENJAMINAN MUTU
c) menjaga dan meningkatkan mutu pengelolaan lembaga atau fungsi pengabdian kepada masyarakat dalam menjalankan program pengabdian kepada masyarakat secara berkelanjutan; d) melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap lembaga atau fungsi pengabdian kepada masyarakat dalam melaksanakan program pengabdian kepada masyarakat; e) memiliki panduan tentang kriteria pelaksana pengabdian kepada masyarakat dengan mengacu pada standar hasil, standar isi, dan standar proses pengabdian kepada masyarakat; f) mendayagunakan sarana dan prasarana pada lembaga lain melalui kerja sama pengabdian kepada masyarakat; g) melakukan analisis kebutuhan yang menyangkut jumlah, jenis, dan spesifikasi sarana dan prasarana pengabdian kepada masyarakat; dan h) menyampaikan laporan kinerja lembaga atau fungsi pengabdian kepada masyarakat dalam menyeleng-garakan program pengabdian kepada masyarakat paling sedikit melalui pangkalan data pendidikan tinggi. Pasal 62 menyatakan tentang Standar Pendanaan dan Pembiayaan Pengabdian kepada Masyarakat terdiri dari: 1) Standar pendanaan dan pembiayaan pengabdian kepada masyarakat merupakan kriteria minimal sumber dan mekanisme pendanaan dan pembiayaan pengabdian kepada masyarakat. 2) Perguruan tinggi wajib menyediakan dana internal untuk pengabdian kepada masyarakat. 3) Selain dari dana internal perguruan tinggi, pendanaan pengabdian kepada masyarakat dapat bersumber dari pemerintah, kerja sama dengan lembaga lain, baik di dalam maupun di luar negeri, atau dana dari masyarakat. 4) Pendanaan pengabdian kepada masyarakat bagi dosen atau instruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk membiayai: a. perencanaan pengabdian kepada masyarakat;
b. pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat; c. pengendalian pengabdian kepada masyarakat; d. pemantauan dan evaluasi pengabdian kepada masyarakat; e. pelaporan pengabdian kepada masyarakat; dan f. diseminasi hasil pengabdian kepada masyarakat. 5) Mekanisme pendanaan dan pembiayaan pengabdian kepada masyarakat diatur berdasarkan ketentuan di perguruan tinggi. Pada pasal 63 menyatakan tentang: 1) Perguruan tinggi wajib menyediakan dana pengelolaan pengabdian kepada masyarakat. 2) Dana pengelolaan pengabdian kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk membiayai: a) manajemen pengabdian kepada masyarakat yang terdiri atas seleksi proposal, pemantauan dan evaluasi, pelaporan, dan diseminasi hasil pengabdian kepada masyarakat; serta b) peningkatan kapasitas pelaksana. 2.2. Implementasi Pengabdian Masyarakat Yang Dilakukan Perguruan Tinggi Kegiatan Program Pengabdian kepada Masyarakat (PPM) merupakan kegiatan penting bagi suatu pendidikan tinggi. Oleh karena itu, kegiatan ini tercantum sebagai salah satu unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Implementasi dan pelaksanaan kegiatan ini dilakukan oleh dosen di bawah koordinasi Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat. bahwa sebagai salah satu unsur Tri Dharma, kegiatan pengabdian masyarakat mesti dilaksanakan secara terintegrasi dan tidak terlepas dari unsur unsur Tri Dharma lainnya, yaitu pendidikan dan penelitian. Gambaran keterkaitan antara ketiga unsur tersebut adalah seperti pada gambar 1 Disamping itu mengingat fungsi perguruan tinggi sebagai salah satu komponen penting dalam pembangunan bangsa, maka pelaksanaannya kegiatan pengabdian masyarakat harus menganut asas kelembagaan, kerjasama, kesinambungan, edukasi, pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan daerah. Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, Direktorat Jenderal Pendidikan
Standar Mutu Pengabdian Pada Masyarakat dan Profesionalisme Dosen | Ni Made Anggreni
39
Gambar. 1. Bagan Keterkaitan Yang Harus Terjadi Dalam Pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi Tinggi, mengidentifikasi perlunya perubahan paradigma dalam pelaksanaan kegiatan pengabdian
masyarakat oleh peguruan tinggi yang diantaranya adalah sebagai berikut:
Pardigma Lama • Hanya fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat berpenghasilan rendah • Layanan mengerahkan seluruh sumberdaya PT. • Kegiatan dilaksanakan tanpa ada konstribusi dari masyarakat • Didominasi kegiatan penyuluhan, pelatihan, pendidikan, dan kegiatan sosial. • Pendanan kecil, terbatas, dan tidak untuk investasi· Insentif kum/kredit untuk kenaikan pangkat/jabatan sangat kecil • Sedikit ruang bagi publikasi jurnal ilmiah • Dibedakan secara jelas dari kegiatan bisnis/ proyek. • Dibedakan secara jelas antara kegiatan PPM dosen dan mahasiswa.
Paradigma Baru: • Terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat yang memerlukan • Layanan berupa semua kepakaran entitas PT. • Dapat berupa kegiatan sosial, investasi, ataupun income generating bagi PT • Berbagai kegiatan yg konstruktif, terukur dg indikator yg jelasdan progresif • Melibatkan/mendasarkan pada produk hasil riset dan membentuk siklus transfer teknologi antara PT dan masyarakat • Membangun sinergisme kepakaran • Membuka peluang publikasi dalam jurnal ilmiah. • Memberikan kontribusi bagi peningkatan mutu pendidikan dan pengajaran secara berkelanjutan • Mengintegrasikan kegiatan PPM dosen dan mahasiswa secara terstruktur (Tim, 2014).
2.3. Program Pengembangan Profesio-nalisme Dosen Profesi dosen sesungguhnya menunjuk pada upaya-upaya yang dilakukan oleh tenaga pengajar sebagai pendidik dan pembelajar realisasi dari peran selaku di perguruan tinggi (Anan,2012). Dengan demikian, pengembangan profesionalisme dosen dapat diartikan usaha yang luas untuk meningkatkan kompetensi, kualitas pembelajaran dan peran akademis tenaga pengajar di perguruan tinggi. Para pakar pendidikan mengemukakan berbagai pendapat tentang program pengembangan profesi dosen ini. Menurut J.G. Gaff dan Doughty, sebagaimana dikutip Miarso, terdapat tiga usaha
yang saling berkaitan, yaitu pengembangan instruksional (instructional development = ID), pengembangan organisasi (organization development = OD), dan pengembangan profesional (professional development = PD). Bergquist dan Philips dalam Anan, 2012 berpendapat bahwa pengembangan tenaga dosen merupakan bagian inti dari pengembangan kelembagaan (institutional development), dan meliputi sebagian dari pengembangan personal, pengembangan profesional, pengembangan organisasi, dan pengembangan masyarakat (Anan,2012). Sementara Nur Syam mengemukakan, pengembangan profesi dosen meliputi empat kompetensi, yaitu:
40
JURNAL PENJAMINAN MUTU
a) Kompetensi pedagogis atau kemampuan dosen mengelola pembelajaran b) Kompetensi kepribadian atau standar kewibawaan, kedewasaan, dan keteladanan c) Kompetensi profesional atau kemampuan dosen untuk menguasai content dan metodologi pembelajaran d) Kompetensi sosial atau kemampuan dosen untuk melakukan komunikasi sosial, baik dengan mahasiswa maupun masyarakat luas (Nur Syam,2014). Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat dirumuskan setidaknya tujuh bidang kompetensi berikut strategi pengembangannya melalui programprogram tertentu yang mendukung peningkatan bidang-bidang kompetensi tersebut. Tujuh bidang kompetensi yang dimaksud adalah: a) Pengembangan kompetensi pedagogis b) Pengembangan kompetensi teknik informasi c) Pengembangan kompetensi manajemen/ administrasi d) Pengembangan kompetensi kurikulum e) Pengembangan kompetensi ilmiah (riset dan publikasi) f) Pengembangan kompetensi evaluasi g) Pengembangan kompetensi personal. 1. Pengembangan Kompetensi Pedagogis Kompetensi pedagogis atau kemampuan dosen mengelola pembelajaran merupakan tulang punggung keberhasilan proses pendidikan di perguruan tinggi. Kompetensi pedagogis ini terkait dengan cara mengajar yang baik dan tepat, sehingga proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar dan efektif. Seorang dosen, selain harus memiliki kepakaran di bidang keilmuannya, juga harus menguasai teori-teori dan teknik pengajaran serta aplikasinya dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Sebab itu, peningkatan kemampuan di bidang ini merupakan hal utama dalam pengembangan profesionalisme dosen . Beberapa perguruan tinggi di Amerika Serikat mengukur kualitas sebuah fakultas melalui kemampuan para dosennya dalam mengelola proses pembelajaran. Demikian pula mata kuliah yang diberikan kepada mahasiswa juga disesuaikan dengan kemampuan pedagogis para dosennya. Dosen tidak hanya dinilai dari penguasaan terhadap bidang studinya atau pengembangan teori-teori ilmiahnya, namun juga pada kemampuannya mengajar serta mengelola pembelajaran di dalam kelas yang mencakup pendekatan, strategi, metode, dan seni mengajarnya. Untuk meningkatkan kemampuan pedagogis ini, para tenaga dosen perlu diberikan pelatihan yang
terkait dengan metode pengajaran di perguruan tinggi yang meliputi: a. Metode Diskusi (Discussion Method). Metode ini lebih efektif dari metode ceramah, karena diskusi menuntut mental dan pikiran serta tukar menukar pendapat. Selain itu, diskusi juga lebih komunikatif, mampu menjelaskan hal-hal yang masih semu, dan mampu mengungkap tingkat keaktifan setiap mahasiswa. b. Metode Studi Kasus (The Case Method). Metode ini relevan terutama untuk program studi yang menekankan penerapan suatu hukum terhadap suatu kasus, misalnya di fakultas hukum atau fakultas pertanian, dan lain-lain. Suatu kasus dijadikan bahan untuk diskusi mahasiswa di bawah bimbingan dosen. c. Metode Tutorial (Tutorial Method). Metode ini berupa penugasan kepada beberapa mahasiswa tentang suatu objek tertentu, lalu mereka mendiskusikannya dengan pakar di bidangnya untuk memastikan validitas pemahaman mereka tentang objek tersebut. d. Metode Tim Pengajar (Team Teaching Method). Salah satu bentuk dari metode ini adalah sekurang-kurangnya dua orang dosen mengajar satu materi kuliah yang sama dalam waktu yang sama pula, namun dengan pokok bahasan yang saling melengkapi. e. Metode Ceramah. Metode ini muncul paling awal dan banyak digunakan terutama jika mahasiswa dalam satu kelas sangat banyak (Ibid,160-163). 2. Pengembangan Kompetensi Teknik Informasi Zaman ini disebut dengan zaman teknologi informasi. Perkembangan teknologi informasi yang demikian cepat merupakan tantangan baru bagi para praktisi pendidikan, termasuk dosen. Para pakar pendidikan memandang bahwa penguasaan para dosen terhadap teknologi informasi sangat berpengaruh terhadap kesuksesannya dalam mengelola pembelajaran di perguruan tinggi. Sebab itu, para dosen perlu diberikan pelatihan penggunaan berbagai macam teknologi informasi yang tersedia saat ini, mulai dari komputer, televisi, telepon, video conference, hingga dunia internet. Pengembangan kemampuan memanfaatkan teknologi informasi ini dibutuhkan dalam perencanaan pendidikan, terutama yang terkait dengan analisis, desain, implementasi, manajemen, hingga evaluasi instruksional pendidikan. Untuk pengembangan kemampuan
Standar Mutu Pengabdian Pada Masyarakat dan Profesionalisme Dosen | Ni Made Anggreni
41
teknologi informasi ini dibutuhkan beberapa hal berikut: a. Ketersediaan fasilitas teknologi berikut perleng-kapannya, baik berupa komputer, video, pro-yektor, perlengkapan internet, dan sebagainya. b. Ketersediaan isi serta bahan-bahan terkait metode penggunaan teknologi informasi tersebut untuk mendukung metode pengajaran dan pelaksanaan kurikulum pendidikan. c. Penyelenggaraan pelatihan bagi para dosen tentang cara penggunaan alat-alat teknologi informasi tersebut, sehingga pada saatnya mereka dapat mengajarkannya juga kepada para mahasiswa. Dengan demikian, proses pembelajaran akan berlangsung lebih efektif dan produktif. 3. Pengembangan Kompetensi Manajemen/ Administrasi Sistem manajemen perguruan tinggi berbeda dengan manajemen di lembaga-lembaga lainnya. Di lingkungan perguruan tinggi terdapat komunitas berbeda yang saling terkait, yaitu mahasiswa, dosen, pegawai, dan para pekerja. Mereka semua diatur oleh pimpinan. Demikian pula model manajemen yang diterapkan di sebuah perguruan tinggi mengalami perubahan berdasarkan perkembangan perguruan tinggi tersebut. Manajemen di perguruan tinggi yang baru didirikan berbeda dengan manajemen di perguruan tinggi yang sudah maju. Dengan asumsi ini, para dosen sebagai bagian utama dari perguruan tinggi, sesungguhnya dibutuhkan untuk terlibat secara langsung dalam mengelola perguruan tinggi, baik pada level pimpinan universitas, fakultas, jurusan, program studi, maupun tim-tim yang dibentuk khusus untuk tujuan tertentu. Sebab itu, pengembangan kemampuan manajemen sangat penting bagi para dosen. Jika mereka diharapkan untuk memberikan kontribusi signifikan dalam pengelolaan perguruan tinggi, maka kemampuan administrasi dan manajemen mereka perlu terus ditingkatkan. Untuk menunjang kemampuan manajemen para dosen, perlu diberikan pelatihan intensif dan berkesinambungan mengenai manajemen/ administrasi umum, administrasi/manajemen perguruan tinggi, perumusan strategi pendidikan, dasar-dasar perencanaan pendidikan, manajemen kurikulum, pengambilan keputusan, administrasi/ manajemen kepegawaian, manajemen sumber daya manusia, manajemen konflik, penyusunan program berikut pelaksanaannya, hubungan masyarakat, dan sebagainya. 42
4. Pengembangan Kompetensi Kurikulum Kurikulum merupakan fundamen yang sangat penting untuk mencetak mahasiswa yang berkualitas tinggi. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang kandungannya memperhatikan kemampuan peserta didik serta mampu mendorong kemampuan mereka menjadi daya kreatif dan inovatif. Di sinilah salah satu peran penting para dosen. Mereka adalah kunci pembuka pengembangan kurikulum, karena merekalah yang paling menguasai secara mendalam masing-masing disiplin keilmuan. Namun penguasaan terhadap suatu disiplin ilmu bukanlah satu-satunya ukuran kesuksesan profesi seorang dosen. Mereka juga dituntut mampu merumuskan kurikulum yang dapat menciptakan para sarjana dengan prestasi akademik yang tinggi, berperilaku terhormat, serta berbudi baik. Karena itu, para dosen perlu diberikan kesempatan untuk mengikuti perkembangan terbaru bidang ilmu yang digelutinya agar mereka dapat merumuskan kurikulum juga berdasarkan perkembangan terbaru. Mereka juga perlu didukung secara moral dan dana untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang bertujuan menciptakan kurikulum terbaik. Untuk meningkatkan kemampuan tenaga dosen dalam merumuskan kurikulum, perlu diselenggarakan kegiatan berupa: a. Pertemuan, baik seminar, lokakarya, maupun lainnya, yang tujuannya memperbarui pengetahuan para dosen tentang perkembangan terbaru di bidang disiplin ilmu tertentu. Pengetahuan itu akan menjadi bekal mereka dalam merumuskan kurikulum yang baik. b. Pelatihan cara menyusun rencana materi pengajaran. Tugas ini terbilang sulit terutama bagi para dosen baru. Tetapi ia sangat penting karena dapat membantu dosen mengatur kisikisi pengajarannya, seperti tujuan, isi, model, strategi, evaluasi dan referensi pengajaran. c. Pelatihan cara merancang rencana materi pengajaran berdasarkan tujuan dan target dari masing-masing materi pelajaran, serta unsurunsur rencana pengajaran. d. Pertemuan, baik seminar, lokakarya, maupun lainnya, yang diadakan setelah pembaruan kurikulum dengan maksud menyatukan persepsi di antara para dosen tentang metode dan cara yang efektif untuk menjalankan kurikulum tersebut agar berhasil seperti yang diharapkan. Dengan pertemuan tersebut akan terjadi harmoni antara kurikulum baru dengan perkembangan pengetahuan para dosen.
JURNAL PENJAMINAN MUTU
5. Pengembangan Kompetensi Ilmiah (Riset dan Publikasi) Salah satu tugas pokok perguruan tinggi adalah mengembangkan ilmu pengetahuan. Tugas tersebut direalisasikan melalui pengkajian dan riset-riset ilmiah yang dilakukan oleh komunitas akademik yang terdapat di dalamnya, terutama para dosen. Dengan demikian tugas para dosen tidak terbatas pada kegiatan mengajar saja. Mereka juga dituntut terus melakukan riset-riset ilmiah secara serius dalam bidang yang digelutinya agar dapat menyumbang dan memperkaya ilmu pengetahuan. Di negara maju seperti Amerika Serikat, para dosen diharuskan untuk terus melakukan penelitian dan menerbitkan karya-karya mereka melalui jurnaljurnal ilmiah atau buku. Seorang dosen yang tidak lagi meneliti dan menerbitkan karya ilmiahnya akan diberhentikan oleh universitas meskipun dia telah bekerja dalam waktu yang lama. Slogan yang jamak didengar di perguruan tinggi Amerika tentang hal ini adalah: “ terbitkan karya atau karir binasa (publish or perish)” (http://en.wikipedia.org/wiki/ Publish_or_perish). Beberapa indikator yang umumnya dipakai untuk menilai produktivitas ilmiah seorang dosen adalah jumlah dan kualitas publikasi ilmiahnya, penghargaan dan pengakuan atas karya maupun integritas ilmiahnya, serta tingkat aktivitas ilmiahnya, seperti keanggotaannya di lembaga-lembaga ilmiah dan partisipasinya dalam seminar, lokakarya dan kegiatan ilmiah lainnya. Di antara program yang perlu dilaksanakan untuk mengembangkan produktivitas ilmiah para dosen adalah: a. Pelatihan metodologi dan etika penelitian ilmiah dengan segala aspeknya terutama yang terkait dengan disiplin ilmu masingmasing kelompok dosen. b. Penyediaan sarana dan fasilitas yang dibutuhkan untuk penelitian, seperti komputer, laboratorium, perpustakaan yang lengkap, dan sebagainya c. Pengaturan beban jam mengajar para dosen agar mereka mempunyai kesempatan untuk menulis buku, menghadiri seminar, atau melakukan semua proses penelitian d. Mendukung dana atau membantu menghubungkan dengan lembaga yang dapat membiayai proyek penelitian mereka. 6. Pengembangan Kompetensi Evaluasi Perguruan tinggi adalah salah satu lembaga pendidikan yang menjadikan evaluasi sebagai salah satu cara mengembangakan kualitasnya. Hal itu karena evaluasi yang benar merupakan salah satu
cara terbaik untuk mengembangkan proses pembelajaran. Dengan evaluasi yang benar akan diketahui secara objektif kelebihan dan kekurangan sebuah sistem pembelajaran sehingga program pengembangan ataupun perbaikan dapat dirumuskan dengan tepat. Begitu pula, melalui evaluasi akan diketahui sejauh mana sebuah perguruan tinggi dapat mewujudkan tujuan dan target yang telah dicetuskan saat pendiriannya. Sebab itu, untuk mengembangkan mutu perguruan tinggi, dibutuhkan evaluasi yang benar dan akurat terhadap dosen, kurikulum, sistem manajemen, mahasiswa, dan elemen-elemen pokok lainnya. Dalam proses evaluasi pendidikan di perguruan tinggi ini, para tenaga dosen memiliki peran yang sangat penting, karena merekalah yang berhak menilai dan menimbang kualitas pembelajaran yang mereka berikan atau yang berlaku di universitas tempat mereka mengabdikan diri. Selain sebagai pihak yang mengevaluasi, para dosen juga merupakan objek evaluasi. Kinerja mereka sebagai tenaga pengajar juga dinilai untuk diperbaiki atau diberi penghargaan berupa kenaikan pangkat. Karena itu, untuk mengembangkan kemampuan dosen dalam melakukan evaluasi pendidikan, perlu diadakan: a. Pelatihan tentang filosofi dan teori-teori evaluasi modern dalam bidang pendidikan agar dosen menyadari bahwa evaluasi merupakan bagian yang inheren dan penting dalam proses pendidikan. Selain itu agar mereka memahami mekanisme evaluasi pendidikan yang benar. b. Pelatihan tentang teknik-teknik dan modelmodel evaluasi untuk kemudian menentukan metode evaluasi yang kuratif demi perbaikan dan pengembangan program-program akademis selanjutnya c. Pelatihan tentang cara menyusun rencana evaluasi dan mekanisme implementasinya, baik untuk menilai kinerja dosen sendiri maupun tingkat capaian mahasiswa secara objektif, menetapkan standar dan kriteria, serta melakukan pengujian-pengujian terhadap pelaksanaan program-program akademis di perguruan tinggi. 7. Pengembangan Kompetensi Personal Di era globalisasi seperti sekarang ini, di mana dunia berubah begitu cepat, perguruan tinggi dihadapkan pada tantangan yang lebih kompleks. Berkat kemajuan sains dan teknologi, metodologi pendidikan juga melaju pesat dengan bertumpu pada metode serta teknologi mutakhir. Di tengah situasi ini, tidak ada jalan lain bagi perguruan tinggi kecuali
Standar Mutu Pengabdian Pada Masyarakat dan Profesionalisme Dosen | Ni Made Anggreni
43
memulai merumuskan program pengembangan komprehensif, termasuk peningkatan profesionalisme para dosennya. Sebagai salah satu pilar utama perguruan tinggi, tingkat kemampuan dan integritas personal para dosen menjadi salah satu faktor yang menentukan optimalisasi proses pendidikan dan pengajaran di perguruan tinggi. Jika para dosen tidak mampu beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta perubahan metode atau teknologi pendidikan yang berubah cepat, maka yang terancam bukan hanya masa depan para lulusannya, tetapi juga eksistensi dan masa depan perguruan tinggi tersebut. Karena itu, dosen dituntut untuk terus meningkatkan kemampuan ilmiah dan kepribadiannya melalui berbagai upaya yang mungkin dilakukannya. Sebenarnya tidak ada program khusus untuk mengembangkan integritas personal para dosen. Setiap dosen berhak menentukan program apa yang dibutuhkan untuk mengembangkan profesionalismenya. Semua program pengembangan yang telah dijelaskan sebelum ini misalnya, pada dasarnya merupakan program-program yang mengacu pada pengembangan integritas personal dosen. Seorang dosen dapat memilih salah satunya atau menambahkan program lain yang dipandangnya relevan untuk dirinya. Meski demikian, beberapa pakar pendidikan mengemukakan program-program yang perlu dilakukan para dosen dalam rangka melejitkan potensi dan kemampuan dirinya. Program-program ini mendorong para dosen untuk: a. Sesering mungkin berpartisipasi dalam seminar atau konferensi yang terkait displin keilmuannya, baik di tingkat nasional maupun internasional. b. Melakukan studi komparatif ke perguruan tinggi atau lembaga pendidikan lainnya di dalam dan luar negeri untuk mengetahui serta belajar dari pengalaman lembaga-lembaga pendidikan lain tersebut c. Berusaha membentuk semacam asosiasi para pakar atau organisasi profesi di bidang keilmuannya untuk kemudian menggelar kegiatan-kegiatan ilmiah serta menerbitkan jurnal-jurnal ilmiah d. Menyusun program-program pelatihan dan proyek-proyek penelitian berskala nasional dan internasional bekerjasama dengan lembaga-lembaga ilmiah di dalam atau di luar negeri. e. Memanfaatkan kerjasama yang sudah terjalin dengan lembaga-lembaga nasional maupun 44
internasional dalam rangka internasionalisasi perguruan tinggi dan pengabdian terhadap kemanusiaan secara umum. f. Terkait dengan etika pribadi, seorang dosen dituntut untuk mencintai kebenaran dan selalu berusaha menemukan kebenaran-kebenaran baru, toleran terhadap perbedaan pendapat, adil, jujur serta bertanggung jawab. Program-program tersebut lebih banyak menekankan pada upaya pribadi dosen, karena sejatinya program pengembangan integritas personal dosen tidak harus selalu mengacu pada program yang disiapkan perguruan tinggi, tapi juga membutuhkan inisiatif internal dan usaha keras dari dalam diri masing-masing dosen. Sering terjadi penyimpangan yang dikarenakan oleh kebijakan yang bersifat subjektif III. PENUTUP Berdasarkan paparan uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 Tahun 2014 menyatakan tentang pasal pasal 53 yang mengatur ruang lingkup Standar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat; pasal 54 yang mengatur Standar Hasil Pengabdian kepada Masyarakat; pasal 55 berisi tentang Standar Isi Pengabdian Kepada Masyarakat; pasal 56 mengatur Standar Proses Pengabdian kepada Masyarakat; pasal 57 menyatakan tentang Standar Penilaian Pengabdian kepada Masyarakat; pasal 58 menyatakan tentang Standar Pelaksana Pengabdian kepada Masyarakat; pasal 59 menyatakan tentang Standar Sarana dan Prasarana Pengabdian kepada Masyarakat; pasal 61 mengatur Kelembagaan dan perguruan tinggi dalam melaksanaan Pengabdian kepada Masyarakat; Pasal 62 menyatakan tentang Standar Pendanaan dan Pembiayaan Pengabdian kepada Masyarakat; serta pasal 63 mengatur tentang Perguruan tinggi wajib menyediakan dana pengelolaan pengabdian kepada masyarakat. Kegiatan Program Pengabdian kepada Masyarakat (PPM) merupakan kegiatan penting bagi suatu pendidikan tinggi. Oleh karena itu, kegiatan ini tercantum sebagai salah satu unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Implementasi dan pelaksanaan kegiatan ini dilakukan oleh dosen di bawah koordinasi Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat. Pengabdian masyarakat yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi harus menganut asas kelembagaan, kerjasama, kesinambungan, edukasi, pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan daerah. JURNAL PENJAMINAN MUTU
Pengembangan profesionalisme dosen dapat diartikan usaha yang luas untuk meningkatkan kompetensi, kualitas pembelajaran dan peran akademis tenaga pengajar di perguruan tinggi. Tujuh bidang kompetensi berikut strategi pengembangannya melalui program-program tertentu yang mendukung peningkatan bidangbidang kompetensi tersebut. Tujuh bidang kompetensi yang dimaksud adalah: a) Pengembangan kompetensi pedagogis merupakan kemampuan dosen mengelola proses pembelajaran pendidikan di perguruan tinggi; b) Pengembangan kompetensi teknik informasi ialah penguasaan para dosen terhadap teknologi informasi sangat berpengaruh terhadap kesuksesannya dalam mengelola pembelajaran di perguruan tinggi; c) Pengembangan kompetensi manajemen/administrasi; d) Pengembangan kompetensi kurikulum; e) Pengembangan kompetensi ilmiah (riset dan publikasi); f) Pengembangan kompetensi evaluasi; dan g) Pengembangan kompetensi personal. DAFTAR PUSTAKA http://anan-nur.blogspot.com/2012/01/evaluasiprogram-pendidikan-prof-dr.html (diakses tanggal: 27 Januai 2015).
http://p2m.sttrcepu.ac.id/download/J8.pdf.html (diakses tanggal: 27 Januai 2015) Ibid. Online. (http://www.Fumpalembang. net%2 Flpmump%2Ffiles%2FSM0311penelnpengabdian.pdf , diakses 20 Pebruari 2015). Nur Syam.9 juli 2014.”Standardisasi Dosen Perguruan Tinggi” (Online), (http://nursyam.sunanampel.ac, diakses 3 Maret 2015). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 Tahun 2014. (Online) . (www.upbatam.ac.id/.../ Manual_M_Pengabdian_oke, diakses 27 Pebruari 2015). Suara Pembaharuan. 8 September 2008.(Online). (http://www.suara pembaruan.com, diakses 3 Maret 2015) Sudiro. Maret 2010. (Online). (https:// rumahpendidikan.files.wordpress.com// makalah-profesionalisme-dosen.pdf , diakses 27 Pebruari 2015). Tim Penyusun. 2014. Panduan Pedoman IHDN Denpasar. Denpasar: IHDN.
http://en.wikipedia.org/wiki/Publish_or_perish (diakses 22 Pebruari 2015).
Standar Mutu Pengabdian Pada Masyarakat dan Profesionalisme Dosen | Ni Made Anggreni
45
KONTRIBUSI SARANA PENDIDIKAN TERHADAP KUALITAS PENDIDIKAN DI SEKOLAH Oleh I Made Ariasa Giri Dosen pada Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar Abstract Facilities in education are not merely those that are used in the classrooms, such as the classbooks, boards, rulers, and other learning aids, but also the ones that indirectly support the education manajemen, such as the land and building. At least such facilities should be provided in accordance with the need and function of the school (Depdiknas, 2003). Fullfilment of the need for such supporting facilities will contribute to the quality of the educational service. There are three things that presumably can support directly the learning and achievement of the students, namely the availability of enough resources, educational aids,such as lab and workshop, and teaching medium. The absence of them will result in mere verbal teaching that cause the learning process to be less powerful. Students will only lean on the memoy for only learn to memorize things. It produces unauthentic learning pocess and situation and develop less learning experience. As the result the students acievement is low in all of its aspects, including the cognitive, attitude, skill, self-confidence, commitment, and competence. Key Words: Education facilities, quality I. PENDAHULUAN Upaya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia bukanlah usaha yang mudah. Hal ini mengingat kesenjangan atau disparitas mutu pendidikan antar lembaga pendidikan di Indonesia, antara sekolah di desa dan di kota, misalnya, sangatlah senjang. Hal ini dapat diketahui, saat ini ada sekolah bahkan yang telah mampu berkembang menjadi lembaga pendidikan berstandar internasional dengan menjadi sekolah nasional berstandar internasional, ada sekolah yang berstandar nasional, tetapi ada juga sekolah yang bahkan belum memenuhi standar lokal.. Dengan begitu, sejalan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan tersebut, dengan mempertimbangkan disparitas kondisi antar sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan yang ada, baik pengambil kebijakan maupun pelaksana atau praktisi pendidikan di lapangan, dari pusat sampai ke daerahdaerah, tentu membutuhkan acuan bagi upaya pengembangan standar pendidikan yang dapat dijadikan pegangan oleh semua pihak dalam pelaksanaan program-program pendidikan nantinya maupun dalam mengevaluasi atau mengukur keberhasilan program pendidikan dalam peningkatan mutu kinerjanya. Dengan dasar pemikiran tersebutlah Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional antara lain menegaskan perlunya pengembangan standar nasional 46
pendidikan, yang antara lain mencakup: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu unsur masukan pendidikan yang penting dan merupakan kebutuhan vital bagi terselenggaranya proses pendidikan yang berkualitas. Tanpa ditunjang oleh sarana dan prasarana yang memadai sulit diharapkan proses dan hasil pendidikan yang bermutu tinggi. Rendahnya kualitas proses dan hasil pendidikan di Indonesia saat ini, sebagian diduga disebabkan oleh minimnya sarana pendidikan yang disediakan oleh pemerintah maupun yang mampu disediakan oleh masyarakat. Sementara itu, minimnya ketersediaan sarana prasarana pendidikan tidak saja disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat atau pemerintah, tetapi juga tidak teridentifikasinya jenis sarana pendidikan yang paling esensial dibutuhkan agar suatu proses pendidikan berlangsung secara optimal. Dengan kata lain, pemerintah belum memiliki standar yang jelas tentang sarana pendidikan yang diperlukan untuk terwujudnya proses dan hasil pendidikan bermutu dan memiliki daya saing tinggi. Ketiadaan sarana pendidikan dalam belajar cenderung akan membuat peserta didik akan belajar secara verbalisme belaka dan ini adalah salah satu JURNAL PENJAMINAN MUTU
bentuk penindasan intelek. Dalam hal penguasaan dan pengembangan teknologi, penggunaan sarana pendidikan yang dapat dikatakan sebagai teknologi pendidikan dalam proses belajar teknologi dapat memfasilitasi pebelajar untuk berinteraksi langsung dengan dunia teknologi yang memudahkan pemahaman mereka dan menghindari verbalisme. Kebutuhan sarana pendidikan tidaklah cukup hanya yang berkaitan langsung dengan kegiatan belajar dan pembelajaran di kelas saja seperti buku sumber, peralatan, perabot, dan media pendidikan saja. Pendidikan di sekolah juga membutuhkan sarana pendidikan yang secara tidak langsung mendukung terlaksananya kegiatan belajar dan pembelajaran di kelas seperti kebutuhan lahan, bangunan atau ruang, serta peralatan dan perabot untuk terselenggaranya manajemen sekolah secara bermutu. Kebutuhan sarana pendidikan seperti ini secara minimal tentu disesuaikan dengan tingkat kebutuhan, jenis, dan fungsinya (Depdiknas, 2003). Kebutuhan sarana pendukung ini diperlukan untuk memberikan pelayanan yang optimal bagi berlangsungnya proses pendidikan yang bermutu. Standar Nasional Pendidikan merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lingkup Standar Nasional Pendidikan ini meliputi: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian seperti yang telah disebutkan di atas. Berkaitan dengan standar sarana pendidikan dinyatakan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan, seperti keperluan gedung dan lahan (Depdiknas, 2003). Peraturan pemeritah ini belum menjabarkan lebih jauh apa jenis dan spesifikasi sarana pendidikan yang esensial dan seberapa besar kebutuhan minimal oleh masing-masing sekolah pada setiap jenjang dan jenis program pendidikan. Demikian pula rincian mengenai kebutuhan sarana esensial dan minimal untuk setiap jenis kegiatan manajemen pendidikan, proses belajar mengajar, dan proses evaluasi program. Keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah pusat maupun daerah mengisyaratkan pemerintah daerah agar memiliki data base yang jelas tentang jenis dan tingkat kebutuhan minimal sarana pendidikan pada setiap jenjang pendidikan, bahkan untuk setiap jenis kegiatan penyelenggaraan Kontribusi Sarana Pendidikan terhadap Kualitas Pendidikan di Sekolah | I Made Ariasa Giri
pendidikan. Kemampuan masyarakat dalam menyediakan sarana pendidikan di daerahnya sesuai dengan kondisi sosial ekonominya juga perlu diidentifikasi.. Selanjutnya perlu dikaji secara ilmiah pengembangan sarana pendidikan bagi sekolahsekolah di setiap jenjang untuk meningkatkan daya saing pendidikan di tingkat lokal, nasional, dan international. Tersediannya sarana pendidikan sekolah yang memadai juga diduga memiliki korelasi yang kuat dengan peningkatan kualitas proses dan hasil belajar program pendidikan di sekolah (Depdiknas, 2005a, 2005b). Dalam hal ini, sarana pendidikan, terutama yang menyangkut fasilitas pembelajaran, sumber belajar, dan media pembelajaran (Depdiknas, 2005b) diduga mempunyai pengaruh yang kuat terhadap peningkatan hasil belajar yang diharapkan. Sarana pembelajaran yang tepat di samping dapat menjadi media pendidikan (belajar) yang akan membantu mempermudah proses berpikir anak melalui konkritisasi objek-objek abstrak, juga dapat menjadi objek belajar itu sendiri yang akan membantu peserta didik memahami fenomenafenomena alam, sosial, budaya, dan teknologi secara langsung. Dengan kata lain, memanfaatkan sarana belajar dan pembelajaran yang memadai memungkinkan peserta didik tidak saja akan belajar how to know tetapi juga belajar how to do, how to be, dan how to live together. Pelibatan proses belajar secara utuh, komprehensif, dan powerful seperti ini jelas membantu peserta didik mewujudkan potensi belajarnya secara optimal (Santiyasa, 1999; Sukadi, 2004; Wahab, 2002). II. PEMBAHASAN 2.1 Penetapan Kebutuhan Esensial Sarana Pendidikan Pembangunan Nasional bidang pendidikan dilaksanakan berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Tujuannya adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan betakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, dan bertanggung jawab (UU RI No.20 Tahun 2003). Dalam konteks ini pemerintah, telah membangun dan mengembangkan satu sistem pendidikan nasional yang di dalammnya termasuk subsistem pendidikan dasar dan menengah. Pendidikan dasar dan menengah diarahkan untuk meletakkan dasar-dasar, nilai-nilai pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang bermanfaat untuk menghadapi hidup pada masa mendatang (Propenas 2000-2004). Telah disadari bahwa tingkat keberhasilan berbagai jenis dan jenjang pendidikan dipengaruhi oleh banyak komponen, di antaranya dipengaruhi 47
oleh kualitas dan kuantitas komponen: 1) program pendidikan (termasuk di dalamnya kurikulum, silabus, bahan ajar, metode/media, alat peraga, dan alokasi waktu), 2) sarana dan prasarana (gedung, alat, perabot, bahan, buku, dll), 3) pendidik (guru, instruktur, pamong belajar, fasilitator, konselor, tutor, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya) dan tenaga kependidikan yang mendukungnya, 4) partisipasi masyarakat/ stakeholders, dan 5) daya dukung lingkungan internal dan eksternal (Dirjen Dikdasmen, 2003). Sarana pendidikan merupakan komponen integral dari penyelenggaraan pendidikan pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Tanpa ditunjang oleh sarana yang memadai sulit diharapkan penyelenggaraan pendidikan yang menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Sumber daya manusia yang berkualitas itu, antara lain dicirikan oleh penguasaan iptek yang tinggi, penguasaan keterampilan di bidangnya, memiliki komitmen, nilai-nilai dan sikap yang positif terhadap kemajuan, bertanggung jawab atas seluruh bidang kerja yang digelutinya, mempunyai kecakapan sosial yang memadai, dan memiliki kepribadian serta keimanan yang mantap (Sukadi, 2005). Salah satu faktor yang ditengarai sebagai penyebab rendahnya mutu penyelenggaraan pendidikan di Indonesia selama ini adalah kurangnya sarana prasarana pendidikan yang dapat disediakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Menyadari hal ini, Depatemen Pendidikan Nasional dalam Rencana Strategis tahun 2005-2009 telah mencanangkan program penyediaan sarana pendidikan yakni sarana belajar untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Sarana pendidikan menurut PP No.19 Tahun 2003 meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Sarana pendidikan menurut pengertian ini tidak secara tegas dan jelas memasukkan unsur kebutuhan lahan dan ruang bangunan menjadi bagian dari sarana pendidikan. Depdiknas (2003), selanjutnya, dalam Pedoman Analisis Kebutuhan Sarana Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan telah menetapkan bagian dari kebutuhan sarana pendidikan itu meliputi kebutuhan ruang bangunan, peralatan, perabot, dan kebutuhan lahan. Bertolak dari UU RI. No.20 Tahun 2003 ini, pemerintah daerah berkewajiban untuk memenuhi sarana pendidikan untuk semua satuan dan jenjang 48
pendidikan di wilayahnya yang menjadi tanggung jawab daerah. Pemerintah perlu mengidentifikasi bagaimana kualitas dan kuantitas sarana prasarana pendidikan yang ada saat ini di setiap jenjang pendidikan? Apakah keberadaan sarana dan prasarana ini telah memenuhi standar yang dipersyaratkan? Sejauh mana pemanfaatan saranaprasarana yang sudah ada dan kontribusinya terhadap peningkatan mutu dan relevansi pendidikan. 2.2. Standar Minimal Sarana Pendidikan Dalam PP No.19 Tahun 2005 dijelaskan bahwa Standar Nasional Pendidikan meliputi: (1) Standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, (8) standar penilaian pendidikan. Standar nasional pendidikan ini berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidik nasional yang bermutu. Tujuan dari standar nasional pendidikan ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Dalam bab VII, PP No.19 Tahun 2003, secara khusus ditegaskan mengenai standar sarana dan prasarana. Dalam pasal 12 bab ini dinyatakan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Selanjutnya pada pasl 43 diatur sebagai berikut: Standar keragaman jenis peralatan laboratorium ilmu pengetahuan alam (IPA), laboratorium bahasa, laboratorium komputer, dan peralatan pembelajaran lain pada satuan pendidikan dinyatakan dalam daftar yang berisi jenis minimal peralatan yang harus tersedia (ayat 1). Standar jumlah peralatan dinyatakan dalam rasio minimal jumlah peralatan per peserta didik (ayat 2). Standar buku dinyatakan dalam jumlah judul dan jenis buku di perpustakaan satuan pendidikan (ayat 3). Standar jumlah buku teks pelajaran di perpustakaan dinyatakan dalam rasio minimal jumlah buku teks pelajaran untuk masing-masing mata pelajaran di perpustakaan satuan pendidikan untuk setiap peserta didik (ayat 4). Standar sumber belajar lainnya untuk setiap satuan pendidikan dinyatakan dalam ratio jumlah sumber belajar terhadap peserta didik sesuai dengan jenis sumber belajar terhadap peserta didik sesuai dengan jenis sumber belajar dan JURNAL PENJAMINAN MUTU
karakteristik satuan pendidikan (ayat 6). Setiap satuan pendidikan, pemerintah daerah, maupun masyarakat dalam menyediakan sarana pendidikan harus mengacu pada ketentuan yang diatur dalam PP ini. Sesuai dengan pedoman ini, aktivitas pembelajaran sebagai aktivitas pokok pendidikan yang bertujuan memberdayakan dan mengembangkan kompetensi peserta didik haruslah menjadi dasar utama dalam penentuan kebutuhan sarana pendidikan di sekolah. Aktivitas pembelajaran ini secara empiris memiliki implikasi utama dalam menentukan kebutuhan sarana pendidikan baik secara langsung maupun tidak lansung agar pembelajaran itu sendiri berlangsung secara memadai, efektif, dan efisien dalam menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat, tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan dunia kerja. Dengan begitu aktivitas pembelajaran dapat dianalisis implikasinya terhadap kebutuhan ruang dan dengan begitu memerlukan jumlah lahan tertentu untuk ruang bangunan, terhadap kebutuhan peralatan, perabot, sumber belajar, media pendidikan/ pembelajaran, alat tulis kantor dan bahan habis, serta sarana pendukung lainnya. Dari analisis implikasi seperti itu akan dihasilkan kebutuhan sarana pendidikan dalam jenis dan jumlahnya sesuai dengan tuntutan pengembangan kompetensi serta sesuai pula dengan fungsi atau kegunaan masing-masing jenis sarana dalam menunjang keberhasilan aktivitas pembelajaran berbasis kompetensi (Depdiknas, 2003). 1) Kebutuhan Ruang/Bangunan Pada dasarnya penetapan kebutuhan ruang untuk program pendidikan pada tiap jenjang pendidikan dilakukan dengan pendekatan empirik dan studi referensi berdasarkan pengalaman masa lalu untuk melihat kebutuhan masa ini dan masa depan bagi peserta didik (Depdiknas, 2003). Karena itu perencanaan kebutuhan ruang disusun berdasarkan fungsi dan kegunaan ruang itu dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Fungsi dan kegunaan ruang umumnya berkaitan dengan pihak-pihak yang menggunakan dan jenis kegiatan dari pihak-pihak pemakai. Dalam hal ini fungsi ruang umumnya diklasifikasi menjadi tiga bagian, yaitu: kelompok ruang pembelajaran, perkantoran, dan ruang penunjang pembelajaran. Dari segi pemakainya, kebutuhan ruang/bangunan dapat difungsikan untuk ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang pegawai tata usaha, ruang aktivitas pembelajaran siswa, ruang tamu dan pihak luar (termasuk komite sekolah
Kontribusi Sarana Pendidikan terhadap Kualitas Pendidikan di Sekolah | I Made Ariasa Giri
2) Kebutuhan Lahan Kebutuhan lahan untuk tiap-tiap jenjang dan jenis sekolah umumnya ditentukan atas kebutuhan minimal luas bangunan sesuai dengan fungsi dan kegunaanya ditambah dengan keperluan infrastruktur penunjang yang pokok diperlukan yang menurut pedoman standar minimal dari Depdiknas (2003) minimal mencapai 20% dari luas lahan untuk keperluan bangunan. Karena itu perlu diidentifikasi jenis-jenis dan luas bangunan yang esensial dan minimal yang diperlukan untuk tiap-tiap sekolah dan selanjutnya dapat ditambahkan minimal 20% 3) Kebutuhan Peralatan Pendidikan Kebutuhan peralatan pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan empiris di sekolah yang disesuaikan dengan tuntutan aktivitas utama pembelajaran berdasarkan kurikulum yang berlaku serta kebutuhan peralatan penunjang lainnya dalam keseluruhan aktivitas pendidikan di sekolah. Berdasarkan kebutuhan seperti itu maka kebutuhan jenis peralatan pendidikan yang diperlukan di sekolah dapat dikelompokkan, antara lain: peralatan /media pembelajaran, peralatan praktik laboratorium, peralatan administrasi perkantoran, dan peralatan penunjang terutama yang terkait dengan peralatan pemeliharaan dan perawatan (Depdiknas, 2003). 4) Kebutuhan Perabot Pendidikan Perabot, oleh Depdiknas (2003) disamakan dengan mebeler yang terdiri dari mebeler yang dapat dipindahkan/disusun sesuai kebutuhan suatu waktu, seperti meja dan kursi tamu; dan mebeler yang tetap/ tidak dipindahkan dalam jangka waktu yang lama, seperti lemari besi tempat penyimpanan uang. Kebutuhan perabot di sekolah ditentukan oleh jenis kegiatan yang dilakukan di sekolah, kelompok pemakai, ruang penempatan perabot, serta jumlah pemakainya. Karena itu, komponen-komponen ini perlu dianalisis terlebih dahulu sebelum menentukan jenis dan jumlah perabot yang dibutuhkan di sekolah. 5) Kebutuhan Sumber Belajar Sarana sumber belajar di sekolah adalah segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai sarana untuk memperoleh informasi belajar, antara lain berupa buku paket, buku penunjang, LKS, jurnal atau majalah, majalah mingguan, surat kabar harian, komputer dengan media internet, televisi pendidikan, radio, laporan penelitian, dan sejenisnya. Kebutuhan masing-masing jenis sumber belajar tersebut akan sangat tergantung pada tingkat urgensi sumber belajar tersebut, fungsi dan kegunaan sumber 49
belajar tersebut dalam menunjang pencapaian tujuan pengembangan kompetensi sesuai dengan tuntutan standar kurikulum, pemakainya, dan jumlah pemakai. Untuk buku paket/ajar pegangan guru dan siswa, LKS, dan buku-buku penunjang utama umumnya adalah sumber belajar yang paling vital dibutuhkan baik oleh guru maupun siswa. Karena itu, kebutuhannya haruslah dipenuhi secara individual dan akan sangat tergantung pada jumlah guru dan siswa. Untuk kebutuhan buku-buku pendukung baik yang bersifat ilmiah, populer, maupun buku fiksi serta jurnal urgensinya jelas tidak seutama buku-buku ajar, LKS, dan buku-buku penunjang buku ajar utama. Karena itu, kebutuhannya tentu akan sangat tergantung pada urgensi sumber-sumber tersebut baik bagi guru maupun siswa serta berdasarkan data penggunaan sebelumnya. Buku-buku pendukung yang keberadaannya sangat dibutuhkan dan sering digunakan kebutuhannya tentu lebih banyak dari pada buku-buku pendukung yang kurang kebutuhannya dan jarang digunakan sebelumnya. Begitu pula dengan sumber-sumber belajar yang berupa laporan penelitian. 2.3 Peran Pemerintah Daerah dan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan Sejak diundangkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan diberikan kepada daerah dalam wujud otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. Kewenangan daerah kabupaten dan kota, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 11, mencakup semua bidang pemerintahan, yakni pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi serta tenaga kerja. Jelaslah bahwa kebijakan pendidikan berada di bawah kewenangan daerah kabupaten dan kota. Konsekwensi dari keluarnya undang-undang pemerintahan daerah tersebut adalah terjadinya perubahan dalam berbagai bidang penyelenggaraan kehidupan pemerintahan, salah satunya adalah penyelenggaraan pendidikan. Jika sebelumnya manajemen pendidikan merupakan wewenang pusat, dengan berlakunya undang-undang tersebut manajemen pendidikan menjadi wewenang pemerintah kabupaten dan kota. Selain dalam undang-undang pemerintah daerah, kewenangan dan tanggung jawab pemerintah 50
daerah dalam penyelenggaraan dan pembiayaan pendidikan juga diatur dalam UU RI No.20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sesuai dengan UU RI No. 20 Tahun 2003 tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah bersangkutan sangat esensial. Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 10 undangundang ini, bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah daerah bersama-sama pemerintah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu tinggi bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah daerah juga berkewajiban menyediakan dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun. Secara lebih tegas mengenai pembiayaan pendidikan dinyatakan bahwa pemerintah daerah harus mengalokasikan dana pendidikan sebesar 20 % dari Aggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). 2.4 Kontribusi Sarana Pendidikan terhadap Kualitas Pendidikan Semangat otonomi daerah telah mengilhami munculnya pemikiran ke arah pengelolaan pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara luas. Pemikiran ini dalam perjalanannya disebut manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) (Mulyasa, 2002). Tujuan utama MPMBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dam pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partipasi masyarakat, dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai kontrol, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan suasana kondusif. Pemerataan pendidikan tampak dari tumbuhnya partisipasi masyarakat terutama yang mampu dan peduli, sementara yang kurang mampu akan menjadi tanggung jawab negara. Secara umum mutu adalah gambaran dan karakteritik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkann kemampuannya dalam memuaskan pelanggan yang diharapkan atau tersirat. Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses dan output pendidikan (Depdiknas, 2002:7). Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia unuk berlangsungnya proses JURNAL PENJAMINAN MUTU
pendidikan. Input pendidikan dapat berupa sumber daya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu berlangsungnya proses. Input sumber daya meliputi sumber daya manusia dan sumber daya selebihnya termasuk sarana prasarana pendidikan. Tinggi rendahnya mutu input dapat diukur dari tingkat kesiapan input. Proses pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input, sedangkan hasil dari proses pendidikan disebut output pendidikan. Dalam pendidikan berskala mikro (sekolah) yang dimaksud dengan proses adalah pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi. Proses pendidikan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta pemanduan input sekolah dilakukan secara harmonis, mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benarbenar mampu memberdayakan peserta didik. Output pendidikan merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/prilaku sekolah. Prilaku sekolah dapat dukur kualitasnya, efektifitasnya, produktivtasnya, efisiensi, inovasi, kualitas kehidupan kerjanya, dan moral kerjanya. Output sekolah dikatakan berkualitas tinggi apabila prestasi sekolah khususnya prestasi belajar siswa menunjukkan pencapaian yang tinggi. Prestasi belajar siswa dapat berupa prestasi akademik dan nonakademik. Prestasi akademik berupa nilai ulangan umum, ujian sekolah, ujian nasional, kualitas karya ilmiah, dan lomba-lomba akademik; sedangkan prestasi non-akademik berupa ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kejujuran, kesopanan, kecakapan olah raga, kemampuan berkesenian, keterampilan dan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Khusus dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar, ketersediaan sarana pendidikan (khususnya material pembelajaran) yang memadai dan dengan jenis yang beragam serta dengan pengelolaan dan penggunaan yang tetapt akan meningkatkan kualitas pembelajaran, karena akan memberikan kesempatan pada pebelajar untuk belajar melalui pengalaman (first hand experiences) secara individu maupun kelompok (Trowbridge & Bybee, 1990; Collette & Ciappetta, 1994; Peter & Gega, 2002). Dalam kaitan ini, Klausner (1996) menyatakan bahwa untuk dapat belajar sains melalui inkuiri, siswa harus disediakan sarana/fasilitas belajar selengkap mungkin, untuk memberikan kesempatan menggunakan sesering mungkin peralatan, buku Kontribusi Sarana Pendidikan terhadap Kualitas Pendidikan di Sekolah | I Made Ariasa Giri
sumber, dan sumber belajar lainnya untuk melakukan eksperimen dan pengamatan langsung terhadap penomena alam. Penganut paham konstruktivisme dengan pembelajaran kontekstualnya menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual haruslah melibatkan aktivitas inkuiri dan penggunaan model dalam belajar. Aktivitas inkuiri dan pemodelan tentu tidak akan dapat dilakukan dengan baik tanpa adanya alat bantu dan media pembelajaran serta sumber-sumber belajar yang memadai. Itu artinya pembelajaran kontekstual yang akan memberikan pengalaman belajar yang lebih autentik dan powerful kepada siswa jika tidak disertai dukungan sarana belajar dan pembelajaran yang memadai tentu akan memberikan hasil yang kurang memadai pula (Sukadi, 2005). Keterbatasan sarana pendidikan (peralatan laboratorium IPA, IPS, Bahasa; buku sumber; media pembelajaran, dll) yang tersedia selama ini cenderung mendorong proses pembelajaran tidak sesuai dengan hakikat subject matter dan kompetensi yang dituntut dalam kurikulm, sehingga pembelajaran menjadi kurang efektif dan membosankan serta bersifat verbalisme belaka. Pembelajaran yang mestinya dilakukan lewat pengalaman (learning by experience) dan belajar melalui partisipasi (learning by doing), terpaksa dilakukan dengan ceramah. Keadaan ini terjadi pada hampir semua disiplin ilmu (IPA dan IPS), dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Jadi di samping komponen lainnya, sarana pendidikan juga memberikan kontribusi yang signifikan pada kualitas proses dan hasil pendidikan. Ada tiga jenis sarana pendidikan yang diduga secara langsung akan mempengaruhi kualitas proses pembelajaran dan pada gilirannya akan mempengaruhi prestasi belajar siswa. Ketiga jenis sarana pendidikan itu adalah dukungan penggunaan sumber-sumber belajar yang memadai, dukungan peralatan pendidikan dan pembelajaran termasuk peralatan laboratorium dan bengkel kerja, serta dukungan penggunaan media pembelajaran. Ketiga jenis sarana pendidikan ini memang mempunyai hubungan langsung dengan kepentingan proses belajar siswa. Dapat diduga bahwa proses belajar dan pembelajaran yang kurang menggunakan dukungan ketiga jenis sarana ini akan mengakibatkan proses belajar siswa menjadi verbalisme belaka dan hasil belajarnya akan menjadi kurang bermakna dan powerful. Bersifat verbalisme karena pembelajaran hanya akan dilakukan melalui penguasaan bahasa verbal dan hanya melibatkan proses mengingat atau proses memori kerja belaka. Kurang bermakna, selanjutnya, karena belajar menjadi kurang autentik dan kurang berhubungan dengan pengembangan pengalaman belajar siswa yang nyata dan kurang 51
berhubungan dengan lingkungan belajar yang lebih autentik. Belajar yang kurang bermakna dan kurang powerful akan bermuara pada prestasi belajar yang rendah baik dari domain kognisi, nilai-nilai dan sikap, keterampilan, penumbuhan rasa percaya diri (selfconfidence), pembinaan komitmen, maupun pengembangan kompetensinya (NCSS, 2000; Sukadi, 2005). III. PENUTUP Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapatlah disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1. Kebutuhan esensial sarana pendidikan bagi jenjang pendidikan dapat dikategorikan menjadi kebutuhan ruang/bangunan, kebutuhan perabot, kebutuhan peralatan/ media pendidikan, kebutuhan sumber belajar, dan kebutuhan lahan. Seluruh penentuan kebutuhan sarana pendidikan ini didasarkan pendekatan empiris dengan mempertimbangkan faktor utama jumlah siswa, sifat, fungsi, dan kegunaan sarana pendidikan, serta pemakai yang terlibat dalam proses pendidikan di sekolah. 2. Dengan asumsi-asumsi rasio jumlah siswa yang ditetapkan dengan pendekatan empiris dan studi perbandingan, pada jenjang pendidikan sekolah pemenuhan kebutuhan minimal sarana pendidikan ternyata masih relatif sangat rendah baik pada kebutuhan ruang/bangunan, perabot, peralatan / media pendidikan, sumber belajar, maupun kebutuhan lahan. Karena itu masih dirasakan banyak kekurangan untuk memenuhi standar minimal kebutuhan sarana pendidikan. Untuk kekurangan tersebut pihak sekolah terutama mengharapkan bantuan pihak pemerintah baik daerah kabupaten, propinsi, maupun pusat dalam alokasi APBD dan APBN terutama dalam memenuhi beberapa kekurangan sarana pendidikan yang menyangkut kebutuhan ruang bangunan, kebutuhan perabot utama, peraralatan dan media pendidikan, serta sumber-sumber belajar penunjang untuk pengayaan. 3. Berdasarkan hasil studi korelasi ditemukan bahwa seluruh faktor sarana pendidikan mempunyai kontribusi yang signifikan dalam menjelaskan variabilitas prestasi belajar siswa baik prestasi dalam ujian nasional maupun ujian sekolah. Secara sendiri-sendiri keberadaan faktor perabot, peralatan, dan sumber belajar ternyata merupakan faktor yang paling signifikan. 52
DAFTAR PUSTAKA Bafadal, I. (2004). Manajemen Perlengkapan Sekolah, Teori dan Aplikasinya. Jakarta: Bumi Aksara. Collette, A.T & Chiappetta, E.L. 1994). Science Instruction in The Middle and Secondary School. Trhird Edition. Sydney: Maxwell Macillan. Depdiknas. (2005a). Praktek Baik dalamPenjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Buku V: Prasarana dan Sarana. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. (2005b). Draft 2 Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. (2002). Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Buku 1. Konsep dasar. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. (2003a). Kurikulum 2004. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sains. Sekolah menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas. _____(2003b). Pedoman Analisis Kebutuhan Sarana Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK): Program Keahlian Teknik Elektronika Komunikasi. Jakarta: Depdiknas. _____(2006). Petunjuk Pelaksanaan Program Subsidi Imbal Swadaya Pembangunan RKB, Perpustakaan dan Laboratorium IPA Sekolah Menengah Pertama dengan Mekanisme Partisipasi Masyarakat. Jakarta: Depdiknas. Dirjen Dikdasmen. (2003). Kebijakan Pengembangan Kurikulum, Manaje-men Suplai dan Kebutuhan Guru Pendidikan Dasar dan Menengah Pada Era Otonomi dan Implemen-tasinya Untuk Pengembangan LPTK Masa Depan. Makalah. Disampaikan Dalam Rapat Kerja Pimpinan LPTK di Lingkungan Depdiknas. Di Jakarta Tanggal 10-12 Oktober 2003. Kertiasa, Nyoman, dkk (1979) Petunjuk Pengelolaan Laboratorium IPA SMA 1. Jakarta: Departemen Pendidkan dan Kebudayaan. Klausner, R (Chairman). (1996). National Science Education Standards. Washington DC: National Academy Press.
JURNAL PENJAMINAN MUTU
Mulyasa, E. (2002). Manajemen Berbasis Sekolah. Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Peters, J.M & Gega, Peter C. (2002). Science in Elementary Education. 9th Edition. Ohio: Merril Prenice Hall. Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2002). Kurikulum dan Hasil Belajar. Jakarta: Depdiknas. Anonim, (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 19 Tahun 2005. Tentang Standar Nasional Pendidikan. Santiyasa, I W. (1999). Pembelajaran Modul dengan Metode Demonstrasi dan Analogi sebagai Strategi Pengubah Konsepsi Mahasiswa Jurusan Pendidikan MIPA STKIP Singaraja. Laporan Penelitian. Singaraja: STKIP Singaraja. Sevilla, C.G, dkk. (1983). Pengantar Metodologi Penelitian. Terjemahan. Jakarta: UI Press. Sukadi. (2005). Penyusunan Standar Minimal Laboratorium Jurusan Pendidikan NonMIPA di Lingkungan IKIP Negeri Singaraja dalam Upaya Meningkatkan Standar Kompetensi Lulusan. Makalah. Disampiakan pada seminar P3AI menentukan standar minimal laboratorium, tgl 19 Nopember 2005.
Kontribusi Sarana Pendidikan terhadap Kualitas Pendidikan di Sekolah | I Made Ariasa Giri
Sukadi. (2004). Pembelajaran Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran Menggunakan Modeling Dosen Berbasis Konstruktivisme Pada Mahasiswa Semester III Jurusan PPKN IKIP Negeri Singaraja Tahun 2005/2006. Laporan Penelitian. Singaraja: IKIP Negeri Singaraja. Tim Redaksi Fokusmedia. (2003). Himpunan Perundang-Undangan. Undang-Undang RI No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dilengkapi dengan Undang_undang No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Fokusmedia. Trowbridge, L.W. & Bybee, R.W. (1990). Becoming A Secondary School Science Teacher. Fifth Edition. London. Merril Publishing Company. Tim Redaksi Sinar Grafika. (1999). Undang-Undang Otonomi Daerah 1999. Jakarta: Sinar Grafika. Wahab, A. A. (2002). Guru Profesional dan PIPS yang Kuat Prasyarat bagi Keberhasilan Implementasi Kurikulum Sekolah Berbasis Kompetensi. Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional Sehari IPS, FPIPS IKIP Negeri Singaraja, Tanggal 10 Agustus 2002.
53
PERANAN SENTRAL GURU AGAMA HINDU DALAM PENCAPAIAN TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL DI INDONESIA DAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA YANG BERAKHLAK MULIA, JUJUR, TERAMPIL, BERHATI SUCI, DAN BERSIH LAHIR BATIN Oleh Ni Nengah Selasih Dosen pada Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar Abstract The teachers of Hindu religion classes play central role in the effort to reach the goal of the national education as well as to build the characters that include honesty, skillfullness, clean and good-heartedness, as described in the national standard of education regulation No 20/2003 in which it states that the curriculum has to provide religious education (Pasal 37 UU Sisdiknas). The government attention to the education is implemented too by the issue of the Regulation on Teachers and Lecturers which states that teachers are professional educators with main duty to educate, teach, guide, train, and evaluate the students in the formal elementary, secondary, and high schools (UU RI No. 14/2005) Purwanto (2004:10).Education is the intentional enlightening from the adult to the younger ones in relation to their development in order to make them useful for themselves and in the society” The Indonesian national education systemas stated in UU No.2/1989 Bab, II, pasal 4, states that the goal of the education is to develop a complete Indonesia people who are religious, good in their characters, have good knowledge and skills, healthy physically and mentally, independent, responsible for the society and nation. In line with that, the Hindu teachers should refer to the Vedic teachings and consider the physical, psychological, and social environments of study, the life as students (Sisya/Brahmacari), their roles (Acarya), the curriculum, the mteaching methods, as well as the goal of the education. These all should be centered on • teaching with the emphasis on directing and motivating to reach the character building • facilitating that through learning experience • helping to develop attitudes, values, and self adaptation At schools teachers should commit themselves to be 1) role models, 2) inspirators, 3) motivators, 4) regulator, 5) evaluator besides having good vision. Without these all, the goal of education will fail. Key Words :
central role pf hindu teacher, national goal of education, character building, honest, skilled, pure
I. PENDAHULUAN Guna mewujudkan tujuan pendidikan nasional, guru memiliki peranan sentral dan tanggung jawab sebagai pelaksana sistem pendidikan. Sekolah sebagai institusi yang kompleks tidak akan menjadi baik dengan sendirinya, tetapi melalui proses peningkatan tertentu. Dalam rangka proses peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah diperlukan guru, baik secara individual maupun kolaboratif untuk melakukan sesuatu, mengubah agar pendidikan dan pembelajaran menjadi lebih berkualitas. Ma’arif (2011:31) menjelaskan bahwa semua agenda yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme guru yang sesungguhnya adalah berawal dari keinginan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Pemerintah 54
sadar, guru memiliki peranan sentral dan tanggung jawab sebagai pelaksana sistem pendidikan. Sekolah sebagai institusi yang kompleks tidak akan menjadi baik dengan sendirinya, tetapi melalui proses peningkatan tertentu. Sebab, dengan meningkatkan profesionalisme, secara otomatis setiap guru akan sadar apa yang seharusnya menjadi tugas dan fungsinya. Undang-Undang No. 20, Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang JURNAL PENJAMINAN MUTU
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Danim (2009:12) menyatakan bahwa peningkatan mutu pendidikan sangat besar ditentukan oleh kemampuan kepala sekolah dalam memberdayakan staf pengajar dan anggota komunitasnya secara keseluruhan. Peran utama kepala sekolah adalah mengembangkan agar sekolah menjadi lembaga pendidikan yang baik dan mampu mencapai tujuan pendidikan. Kepala sekolah bertanggung jawab menjaga dan memotivasi guru, peserta didik, dan staf administrasi sekolah agar mau dan mampu melaksanakan ketentuan dan peraturan yang berlaku di sekolah. Terlepas dari upaya pembangunan pendidikan, terutama pendidikan dasar yang merupakan cikal bakal terbentuknya sumber daya manusia yang berkualitas, maka diperlukan teknikteknik atau metode dalam pembelajaran. Pendekatan atau metode apa pun yang dipakai dalam pendidikan oleh suatu negara yang cocok dengan kondisi sosial dan budayanya menunjukkan bahwa peranan negara masih sangat relevan dalam upaya untuk mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan rakyat, bangsa dan negara. Dengan demikian, diharapkan akan mampu menghadapi tantangan dan dampak globalisasi yang semakin memengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia ialah melalui penyelenggaraan pendidikan dengan mengembangkan berbagai bidang keilmuan. Peran lembaga pendidikan tidak dapat diragukan lagi terutama dalam fungsinya untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang terdidik, profesional, arif, bijaksana, dan bermoral. Hal ini berarti bahwa lembaga pendidikan bertanggung jawab secara akademis untuk menciptakan produk berupa sumber daya manusia yang tidak saja memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, tetapi juga bertanggung jawab dalam menciptakan manusiamanusia yang bermoral dan berbudi pekerti luhur serta menjujung tinggi norma dan nilai masyarakat. Guru harus bertanggung jawab dan melaksanakan tugas serta melakukan penyempurnaan dan berperan aktif untuk meninjau dan memperbaiki pembelajaran secara berkelanjutan di sekolah masing-masing. Oleh sebab itu, keberhasilan program layanan pendidikan pada tingkat instruksional tergantung pada kualitas layanan guru dalam pembelajaran. Tanpa guru pendidikan hanya akan menjadi slogan muluk karena segala bentuk kebijakan program pada akhirnya ditentukan oleh kinerja pihak yang berada di garis terdepan, yaitu guru. Seperti ditegaskan Surya (2002:34) bahwa No teacher no education, no education no economic and social development.
Menurut Depdiknas (2003:2), pembelajaran dirancang bercorak verbalistik dan tidak mengaitkan dengan masalah kehidupan di sekitar siswa. Strategi, pendekatan, dan metode pembelajaran yang dipilih oleh kebanyakan guru berupa strategi yang dianggap paling mudah dalam penyiapan dan pelaksanaannya. Hal ini teridentifikasi sebagai penyumbang terbesar lahirnya sumber daya manusia yang pintar dan kaya teori, tetapi miskin dalam penerapan ilmu yang diperoleh dalam kehidupan nyata. Isu ini tidak bisa dimungkiri dan memang ada indikasi yang mengarah pada fenomena itu. Guru kurang responsif dalam menyambut pembaruan di bidang pendidikan yang secara yuridis formal telah menjadi kebijakan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Optimalisasi pemberian layanan terhadap siswa dalam pembelajaran masih belum memenuhi harapan ideal masyarakat sebagai pelanggan pendidikan. Terlepas dari upaya pembangunan pendidikan, terutama pendidikan dasar yang merupakan cikal bakal terbentuknya sumber daya manusia yang berkualitas, maka diperlukan guru sebagai sosok pejabat fungsional. Guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat berat, yaitu sebagai ujung tombak yang melaksanakan pembinaan terhadap siswa agar kelak mereka menjadi manusia Indonesia yang memiliki kualitas sradha dan bhakti yang tinggi serta memiliki akhlak mulia dalam kehidupan sehari hari, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Secara administratif, guru-guru Sekolah Dasar dihadapkan pada beban kerja yang cukup berat dan kompleks, baik menyangkut beban akademik maupun nonakademik yang kadangkadang di luar kemampuan guru, yang sangat potensial memengaruhi kinerja guru. Dalam UU RI No. 14, Tahun 2005 tentang guru dan dosen menunjuk macam-macam kompetensi keguruan yang menunjuk acuan kerja serta tuntutan mutu guru yang bersifat profesional. Salah satu dari sejumlah kompetensi yang harus dimiliki oleh guru, yaitu guru memahami prinsip-prinsip penelitian pendidikan dan mampu menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan pengajaran. Guru profesional adalah guru yang mampu melaksanakan kinerja, mengelola dirinya sendiri dalam melaksanakan tugas-tugasnya sehari-hari. Peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah mempersyaratkan adanya guru-guru yang memiliki pengetahuan yang luas, kematangan, dan mampu menggerakkan dirinya sendiri dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
Peranan Sentral Guru Agama Hindu dalam Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional di Indonesia dan Pembangunan Karakteris Bangsa ..... | Ni Nengah Selasih
55
II. PEMBAHASAN 2.1. Peranan Sentral Guru Agama Hindu Dalam Pencapaian Tujuan Nasional Pencapaian Tujuan Nasional di Indonesia Terkait dengan fenomena yang muncul dalam pendidikan terutama mengenai isu tentang merosotnya mutu pendidikan, sering kali pendidikan menjadi “kambing hitam”. Pada hal aspek lain seperti masalah keterbatasan anggaran, rendahnya perhatian terhadap guru, pengawasan kurikulum, regulasi pendidikan dan lain-lain dapat menyebabkan rendahnya mutu pendidikan. Sangat ironis bahwa wecana tentang perbaikan dan pembaharuan dalam bidang pendidikan dan pengajaran sering diperdengarkan, namun tidak dibarengi dengan perbuatan perencanaan yang matang dan sistematis bahkan konsep-konsep pemecahan masalah perbaikan pendidikan dan pengajaran belum terwujud. Sementara itu, rendahnya mutu pendidikan juga terkait dengan masalah yang dihadapi oleh guru, baik masalah pribadi maupun jabatan, sehingga perlu pemecahan. Menurut (Anwar, 1994:14) Para guru membutuhkan bantuan agar dapat mengerti tujuan pendidikan, pemahaman kurikulum, dan sistem pembelajaran secara operasional. Maka dari itu, pengawas sebagai pembina pendidikan di sekolah memiliki salah satu tugas yaitu membantu menciptakan situasi belajar mengajar sedemikian rupa, sehingga guru-guru dapat mengajar, dan siswa dapat belajar dengan baik. Guru Pendidikan Agama Hindu merupakan sosok pejabat fungsional yang mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat berat, yaitu sebagai ujung tombak yang melaksanakan pembinaan terhadap siswa agar kelak mereka menjadi manusia Indonesia yang memiliki kwalitas Bhakti dan Sradha yang tinggi serta memiliki akhlak mulia dalam kehidupan sehari hari, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Kegiatan yang dilaksanakan oleh setiap guru dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu intra dan Ekstra kurikuler, dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan konseptual, pendekatan operasional dan pendekatan kerjasama. Agar semua kegiatan yang dilaksankan oleh guru pendidikan Agama Hindu berjalan lancar, menarik (merangsang minat siswa) dan berhasil dengan sebaik- baiknya, maka setiap guru dituntut untuk memiliki wawasan yang luas dan kemampuan profesional yang tinggi. Untuk memperoleh dua hal tersebut, setiap guru hendaknya memiliki kemampuan sungguh-sungguh untuk belajar, baik melalui jalur-jalur pembinaan yang telah diprogramkan oleh pejabat/instansi berwenang 56
maupun jalur pembinaan yang dikembangkan sendiri oleh guru bersangkutan dalam wadah KKG (Kelompok Kerja Guru). Meningkatkan kwalitas diri merupakan salah satu alternatif yang harus ditempuh setiap Guru Agama Hindu bila ingin keberadaanya tetap menjadi penentu keberhasilan pendidikan Agama Hindu di sekolah, dan mampu bersaing dalam era trasformasi global. Disadari bahwa mutu pendidikan perlu diupayakan peningkatan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Jika dicermati sudut political will pemerintah, gagasan untuk itu telah diwujudkan melalui kebijakan pemerintah pada sektor pendidikan melalui pembenahan kurikulum 2004 yang penekanannya pada dasar-dasar kompotensi atau dengan kata lain kurikulum berbasis kompetensi “Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan Nasional” (UU Sisdiknas No. 20/2003). Lebih jauh disebutkan “Kurikulum pendidikan salah satunya wajib memuat Pendidikan Agama” (Pasal 37 UU Sisdiknas). Sehubungan dengan itu, guru selalu mendapat perhatian dari Pemerintah sebagai faktor penting untuk berlangsungnya pendidikan. Hal ini ditindak lanjuti dengan diundangkan Undang-undang Guru dan Dosen, ditegaskan pula bahwa “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, melatih dan menilai, atau mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah” (UU RI No. 14 Tahun 2005). Lebih jelas lagi disebutkan oleh Purwanto (2004:10) “Pendidikan ialah bimbingan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakat. Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia sebagaimana tertuang dalam undang-undang No.2/ 1989. Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas merumuskan tujuannya pada Bab, II, pasal 4, yaitu mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Maksud manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Di samping itu, juga memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Sebenarnya tujuan yang terdapat dalam sistem pendidikan Nasional sudah sangat lengkap untuk membentuk anak didik menjadi pribadi utuh yang dilandasi Sraddha dan budhi pekerti yang luhur, sejalan dengan tuntutan perkembangan JURNAL PENJAMINAN MUTU
dunia pendidikan yang telah dituangkan dalam undang-undang Guru dan Dosen, lebih-lebih bagi Guru yang mengajarkan pendidikan Agama. Jelaslah bagi guru khususnya guru Agama Hindu bahwa ajaran suci Veda hendaknya dapat dijadikan pedoman dalam hidup dan kehidupan ini. Terkait dengan pendidikan Agama Hindu yaitu pendidikan menurut Veda, ada enam aspek yang perlu diperhatikan, diantaranya, “pengaruh lingkungan (fisik, psikologis dan sosial), kehidupan sebagai siswa (Sisya/ Brahmacari), peranan guru (Acarya), Kurikulum, metode pengajaran dan tujuan obyek pendidikan” ( hasil Seminar Nasional Agama Hindu, Tgl 10 – 32004 di STAHN Denpasar). Jadi jelaslah bahwa pendidikan yang berdasarkan susastra Veda sejalan dengan perkembangan pendidikan dewasa ini yang memberikan penekanan terhadap Guru dalam upaya mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran. Pendidikan pada hakekatnya adalah sebuah transformasi yang mengubah input menjadi output. Untuk menjadi output, dalam transformasi tersebut diperlukan proses yang berlangsung secara benar, terjadi sesuai dengan yang telah ditetapkan. Menurut Paraba (1999:9), di samping pembenahan proses pembelajaran Agama Hindu guru hendaknya memahami tugasnya sendiri. Ada empat tugas pokok guru agama Hindu yaitu (a) tugas profesi, (b) tugas keagamaan, (c) tugas kemanusiaan, dan (d) tugas kemasyarakatan. Tugas profesi guru adalah perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Terkait dengan pelaksanaan tugas pokok guru agama Hindu, maka sangat penting adanya peningkatan kemampuan profesional guru Sekolah Dasar. Peningkatan kemampuan profesional guru agama Hindu dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang, yaitu (1) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pendidikan; (2) kepuasan dan moral kerja; (3) keselamatan kerja, dan (4) dalam rangka manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah di Sekolah Dasar. Salah satu ciri implementasi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah adalah kemandirian dari seluruh stakeholder Sekolah Dasar. Salah satu di antaranya guru. Kemandirian guru akan tumbuh bilamana ada peningkatan kemampuan profesional kepada dirinya. Perencanaan Pembelajaran merupakan salah satu kompetensi pedagogis yang harus dimiliki guru, yang akan bermuara pada pelaksanaan pembelajaran. Menurut Mulyasa (2008:100) “ Perencanaan pembelajaran sedikitnya mencakup tiga kegiatan, yaitu (a) Identifikasi kebutuhan, (b) perumusan kompetensi dasar, (c) dan penyusunan program pembelajaran. Asumsi-asumsi yang melandasi program
pendidikan sering kali tidak sejalan dengan hakaket belajar, hakekat orang yang belajar dan hakekat orang yang mengajar. Dunia pendidikan, lebih khusus lagi dunia belajar didekati dengan paradigma yang tidak mampu menggambarkan hakekat belajar dan pembelajaran secara konprehensif. Praktek-praktek pendidikan dan pembelajaran sangat diwarnai oleh landasan teoretik dan konseptual yang tidak kredibel. Pendidikan dan pembelajaran selama ini hanya mengagungkan pada pembentukan prilaku keseragaman dengan harapan akan menghasilkan sebuah keteraturan, ketertiban, ketaatan dan kepastian. Pembentukan ini dilakukan dengan kebijakan penyeragaman pada berbagai hal di sekolah. Pada hal paradigma pendidikan yang mengagungkan keseragaman ternyata berakibat membelajarnya anak-anak untuk mengabaikan keragaman atau perbedaan. Oleh karena itu, diperlukan reformasi, redefinisi dan reorientasi, bahkan mungkin revolusi terhadap landasan teoritik dan konseptual belajar dan pembelajaran agar lebih mampu menumbuhkembangkan peserta didik untuk lebih menghargai keragaman, mempunyai kompetensi berpikir Kreatif, kompeten dalam mengambil sebuah keputusan dan memecahkan masalah serta bagaimana belajar berkolaborasi dan pengelolaan diri. Fenomena dalam Guru melakukan penilaian terhadap proses pembelajaran, pada umumnya mengabaikan tugasnya dalam melakukan penilaian proses belajar, sehingga guru kurang melakukan penilaian terhadap pembelajaran siswa, dan guru hanya melakukan penilaian pada akhir proses belajar mengajar. Yang hanya berorientasi pada penilain kognitif, sehingga pre tes yang seharusnya dilakukan sebelum pelajaran di mulai yang sering disebut dengan apersepsi jarang dilakukan oleh guru Agama Hindu, pada hal pre tes atau apersepsi sangat bermanfaat untuk menilai kesiapan siswa apakah siap atau tidak untuk menerima atau melanjutkan pelajaran baru. Pada saat pembelajaran berlangsung guru Agama Hindu pada umumnya jarang melakukan penilaian terhadap suasana belajar siswa, dimana guru sibuk menjelaskan materi, sedangkan siswa sibuk juga bermain-main atau melukis dibukunya, hal ini menyebabkan tidak adanya Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Berdasarkan peranan dan tugas guru agama Hindu, maka salah satu kompetensi pedagogis yang harus dimiliki guru adalah perencanaan pembelejaran yang akan bermuara pada pelaksanaan pembelajaran. Menurut Mulyasa (2008:100) “ Perencanaan
Peranan Sentral Guru Agama Hindu dalam Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional di Indonesia dan Pembangunan Karakteris Bangsa ..... | Ni Nengah Selasih
57
pembelajaran sedikitnya mencakup tiga kegiatan, yaitu (a) Identifikasi kebutuhan, (b) perumusan kompetensi dasar, (c) dan penyusunan program pembelajaran. a. Perencanaan Pembelajaran Perencanaan atau rencana (planning) dewasa ini telah dikenal hampir tiap orang. Kita mengenal pembangunan, perencanaan pendidikan, perencanaan produksi suatu prabrik dalam bentuk target-target produksi. Bahkan keluarga yang pada waktu dulu yang dipandang sebagai suatu yang berjalan menurut “alam” sekarang direncanakan juga yangn dikenal dengan sebutan keluarga berencana (family planning). Dalam lingkungan yang lebih luas perkembangan kebudayaan suatu masyarakat itu harus direncanakan, yang dikenal dengan sebutan perencanaan (planning) kebudayaan. Definisi mengenai perencanaan memang diperlukan agar dalam uraian selanjutnya tidak terjadi kesimpangsiuran. Definisi pada umumnya merupakan suatu pintu gerbang untuk memasuki pengertianpengertian yang ada kaitannya dengan istilah yang dipakai (Harjanto,2006:3) dalam hal ini perencanaan pendidikan dipergunakan secara luas baik di kalangan pendidikan maupun di luar lingkungan pendidikan, namun belum pernah ditetapkan satu definisi secara resmi. Hingga kini perencanaan itu sendiri belum merupakan suatu disiplin ilmu tersendiri. Supaya diperoleh suatu komitmen atau kesepakatan, sehingga kesimpangsiuran atau kesalahpahaman dapat dihindarkan, langkah awal yang ditempuh adalah mengemukakan pengertian perencanaan pengajaran atau pembelajaran. Dengan demikian, Perencanaan berkaitan dengan penentuan apa akan dilakukan, perencanaan mendahului pelaksanaan, mengingat perencanaan merupakan suatu proses untuk menentukan kemana harus pergi dan mengidentifikasikan persyaratan yang diperlukan dengan cara yang paling efektif dan efesien. Harjanto, (2006:5) menjelaskan tentang dimensi perencanaan pengajaran yakni berkaitan dengan cakupan dan sifat-sifat dari beberapa karekteristik yang ditemukan dalam perencanaan pengajaran, pertimbangan terhadap dimensi-dimensi itu memungkinkan diadakan perencanaan yang komprehensif yang menalar dan efesien yakni (1) signifikansi, tingkat signifikansi tergantung pada penggunaan sosial dari tujuan pendidikan yang diajukan; (2) feasibilitas, maksudnya perlu dipertimbangkan feasibilitas perencanaan pengajaran. Salah satu faktor penentu adalah otoritas politikal yang memadai, sebab dengan itu 58
feasibilitas teknik dan estimansi biaya serta aspekaspek lainya dapat dibuat dalam pertimbangan yang realitis; (3) Relevansi. Konsep ini berkaitan dengan jaminan bahwa perencanaan pengajaran, memungkinkan penyelesaian persoalan secara lebih spesifik pada waktu yang tepat agar dapat dicapai tujuan spesifik secara oftimal; (4) Kepastian atau difinitivinees. Diakui bahwa tidak semua hal yang sifatnya kebetulan dapat dimaksukan dalam perencanaan pengajaran; (5) Ketelitian atau parsimoniusness. Prinsip utama yang perlu diperhatikan ialah agar perencanaan pengajaran disusun dalam bentuk yang sederhana; (6) adaptabilitas. Diakui bahwa perencanaan pengajaran bersifat dinamik, sehingga perlu senantiasa mencari informasi sebagai umpan balik atau balikan. Yang artinya penggunaaan berbagai proses memungkinkan perencanaan pengajaran yang fleksibel atau adaptabel dapat dirancang untuk menghindari hal-hal yang tidak diharapkan. (7) Waktu, Faktor-faktor yang berkaitan dengan waktu cukup banyak, selain keterlibatan perencanaan dalam memprediksi masa depan serta kapan untuk menilai kebutuhan kependidikan masa kini dalam kaitanya dengan masa depan; (8) Monitoring atau pemantauan. Termasuk didalamnya adalah mengembangkan kreteria untuk menjamin bahwa berbagai komponen bekerja secara efektif. Nurhadi, (2003:44) perencanaan pembelajaran adalah apa yang akan dikerjakan guru dan anak didik di dalam kelas dan di luar kelas. 1. Perencanaan pembelajaran adalah memproyeksikan tindakan apa yang akan dilaksanakan dalam suatu pembelajaran (PBM), dengan mengkoordinasikan (mengatur dan menetapkan) komponenkomponen pengajaran, sehingga arah kegiatan (tujuan), isi kegiatan (materi), cara pencapian kegiatan (metode dan teknik) serta bagaimana mengukurnya (evaluasi) menjadi jelas dan sistematis. 2. Secara garis besar perencanaan penga-jaran mencakup kegiatan merumuskan tujuan apa yang akan dicapai oleh suatu kegiatan pengajaran 3. Gambaran aktivitas siswa yan terlihat pada rencana kegiatan atau dalam rumusan Kegitan Belajar Mengajar (KBM) yang terdapat dalam perencanaan Pengajaran. Guru Agama Hindu dalam melaksanakan tugas dan fungsinya selaku pendidik terlebih dahulu harus membuat program/perencanaan seperti (1) Program tahunan (2) Program semester, (3) Silabus, (4) JURNAL PENJAMINAN MUTU
Rencana Pelaksanaan Pemebelajaran, (5) LKS (Penilaian) (Kep Mentri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84 Th 1993). b. Pelaksanaan Pembalajaran. Mulyasa, (2008:103) kegagalan pelaksanaan pembelajaran sebagian besar disebabkan oleh penerapan metode pendidikan konvensional, anti dialog, proses penjinakan, pewarisan pengetahuan, dan tidak bersumber pada rialita masyarakat. Sehubungan dengan itu salah satu kompetensi pedagogik yang harus dimiliki guru seperti dirumuskan dalam SNP berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran. Hal tersebut ditegaskan kembali dalam Rencana Peraturan Pemerintah tentang Guru, bahwa guru harus memiliki kompetensi untuk melaksanakan pembelajaran yang mendidik dan dialogis. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan pembelajaran harus berangkat dari proses dialogis antar sesama subyek pembelajaran, sehingga melahirkan pemikiran kritis dan komunikasi. Tanpa komunikasi tidak ada pendidikan sejati. Dalam pelaksanakan pembelajaran tugas guru yang paling utama adalah menkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan prilaku dan pembentukan kompetensi peserta didik. Dalam mencapai tujuan yang telah dirumuskan pada rencana pembelajaran oleh guru Agama Hindu, maka proses selanjutnya adalah pelaksanaan dari program pengajaran yang telah disusun secara sistematis oleh Guru Agama Hindu. Langkah-langkah yang dilakukan oleh guru Agama Hindu dalam proses pembelajaran sesuai dengan RPP mengikuti alur Mulyasa, (2008:104) 1) Kegiatan awal yaitu (1) mengucapkan salam umat bersama, Om Swastyastu. (2) mengadakan absensin terhadap kehadiran Siswa, (3) mengadakan apersepsi dengan menghubungkan pelajaran yang lalu dengan sekarang. Pelaksanaan pembelajaran biasanya dimualai dengan pre tes, untuk menjajagi proses pembelajaran yang akan dilaksanakan. Karena itu pre tes memegang peranan yang cukup penting dalam proses pembelajaran yang berfungsi antara lain sebagai berikut: a. Untuk menyiapkan peserta didik dalam proses belajar, karena dengan pre tes pemikiran mereka akan terfokus. b. Untuk mengetahui tingkat kemajuan peserta didik sehubungan dengan proses pembelajaran yang dilakukan dengan cara membandingkan hasil pre tes dan post tes. c. Untuk memngetahui kemampuan awal
yang telah dimiliki peserta didik mengenai kompetensi dasar yang akan dijadikan topik dalam proses pembelajaran. d. Untuk mengetahui dari mana seharusnya proses pembelajaran dimulai, kompetensi dasar mana yang telah dimiliki peserta didik dan tujuan-tujuan mana yang perlu mendapat penekanan dan perhatian khusus. 2). Kegiatan inti. Setelah kegiatan awal sebagai pembukaan pada proses pembelajaran dilakukan oleh guru, maka proses selanjutrnya adalah kegiatan inti pembelajaran. Dimana pada kegiatan ini, supaya materi yang disampaikan guru Agama Hindu dapat cepat dipahami dan dimengerti oleh siswa ada beberapa model pembelajaran yang diterapkan oleh guru Agama Hindu: Sejak keluarnya Undang-Undang Pendidikan Nomor 4 Tahun 1950 hingga saat ini, tampaknya masih merupakan sub sistem pendidikan umum, artinya pendidikan agama sepenuhnya masih mengadopsi sistem maupun pola pembelajaran yang berlaku pada pendidikan umum, seperti penggunaan metode mengajar, media pengajaran, dan evaluasi pengajaran. Dalam konteks ini, Ahmadi (2001:22) mengatakan bahwa pola pembelajaran pendidikan agama di sekolah dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yakni (a) pola pembelajaran agama jenjang pendidikan dasar (termasuk jenjang ini menurut Undang-undang Nomor, 20 Tahun 2003) adalah Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah Pertama, (b) Pola pembeljaran Sekolah Menengah Atas (SMA/ SMK) dan (c) Pola pembelajaran agama perguruan tinggi. Bertitik tolak dari pendapat tersebut, selanjutnya akan dibahas pola pembelajaran di Sekolah Dasar sesuai dengan tuntutan masyarakat dan kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran agama. Dalam model pembelajaran agama pada jenjang pendidikan dasar telah disampaikan bahwa penekanan pendidikan disini lebih ditekankan pada pembiasaan. Pembiasaan adalah alat pendidikan (Djamarah, 2002:1). Bagi anak yang masih kecil, pembiasaan ini sangat penting. Karena dengan pembiasaan itulah akhirnya suatu aktivitas akan menjadi milik anak di kemudian hari. Pembiasaan yang baik akan membentuk sosok manusia yang berkepribadian yang baik pula. Sebaliknya, pembiasaan yang buruk akan membentuk sosok manusia yang berkepribadian yang buruk pula. Begitulah biasanya yang terlihat dan yang terjadi pada diri seseorang. Karenanya, di dalam kehidupan
Peranan Sentral Guru Agama Hindu dalam Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional di Indonesia dan Pembangunan Karakteris Bangsa ..... | Ni Nengah Selasih
59
masyarakat, kedua kepribadian yang bertentangan ini selalu ada dan tidak jarang terjadi konflik diantara mereka. Purwanto, (1991:224) Anak- anak kecil tidak seperti orang dewasa yang dapat berpikir abstrak. Anak kecil hanya dapat berpikir konkrit. Kata-kata seperti kebijaksanaan, keadilan, dan perumpamaan, adalah contoh kata benda abstrak yang sukar dipikirkan oleh anak. Anak kecil belum kuat ingatanya, ia lekas melupakan apa yang sudah dan baru terjadi. Perhatian mereka lekas dan mudah beralih kepada hal-hal baru, yang lain, yang disukainya. Anak kecil memang belum memiliki kewajiban, tetapi dia sudah mempunyai hak, seperti hak dipelihara, hak dilindungi, hak diberi makanan yang bergizi, dan hak mendapatkan pendidikan. Salah satu cara untuk memberikan haknya di bidang pendidikan adalah dengan cara memberikan kebiasaan yang baik dalam kehidupan mereka. Berdasarkan pembiasaan itulah anak terbiasa menurut dan taat kepada peraturan-peraturan yang berlaku di masyarakat, setalah mendapatkan pendidikan kebaiasaan yang baik di rumah, pengaruhnya juga terbawa ke sokolah. Menanamkan kebiasaan yang baik memang tidak mudah, dan kadang-kadang makan waktu yang lama. Tetapi sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sukar pula untuk mengubahnya. Maka sangat penting, pada awal kehidupan anak, menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik saja dan jangan sekali-kali mendidik anak berdusta, tidak disiplin, suka berkelahi, dan sebagainya. Tetapi tanamkanlah kebiasaan seperti ikhlas melakukan puasa, gemar menolong orang yang dalam kesulitan, suka membantu fakir miskin, gemar melakukan Tri Sandya tiga kali dalam sehari, aktif berpartisipasi dalam kegiatan yang baik-baik, dan sebagainya. Maka dari itu pengaruh lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat tidak bisa dielakan dalam hal ini. Watson (1991:291) berpendapat bahwa reaksireaksi kodrati yang dibawa sejak lahir itu sedikit sekali. Kebiasaan-kebiasaan itu terbentuk dalam perkembangan, karena latihan dan belajar. Jadi dalam masalah kebiasaan ini, aliaran Behaviorisme dari Watson dan aliran Emperisme dari John Locke lebih dominan dari pada aliran Nativisme dari Shcopenhour. Bertolak dari pendidikan kebiasaan itulah yang menyebabkan kebiasaan dijadikan sebagai pendekatan pembiasaan. Pendidikan Agama Hindu sangat penting dalam hal ini, karena dengan pendidikan agama kebiasaan itu diharapkan siswa senantiasa mengamalkan ajaran agamanya. Maka pendekatan pembiasaan dimaksudkan disini, yaitu 60
dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk senantiasa mengamalkan ajaran agamanya. Dengan pendekatan ini siswa dibiasakan mengamalkan ajaran agama, baik secara individu maupun secara kelompok dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu maka metode mengajar yang perlu dipertimbangkan, antara lain adalah metode latihan (drill), pelaksanaan tugas, demontrasi dan pengamalan langsung dilapangan. Model pembelajaran agama pada jenjang pendidikan dasar memerlukan perhatian serta tanggung jawab bersama antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Hal ini disebabkan bahwa, anak-anak pada usia dini membutuhkan kasih sayang tidak terhingga, yang oleh anak-anak aktifitas keagamaan itu ditunjukan dengan prilaku nyata. Kenyataan keagamaan yang ditunjukan dengan prilaku nyata seperti itu, diyakini akan mampu membangkitkan emosi keagamaan pada setiap peserta didik. Oleh Ramayulis (2001:21) dikatakan bahwa, prilaku anakanak pada usia Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama memilki bentuk prilaku meniru, sehingga apa yang dilihat oleh anak selanjutnya diimplimentasikan secara langsung dalam aktivitas keagamaan. Keterlibatan tenaga pendidik pada jenjang pendidikan dasar sesungguhnya lebih ditekankan pada pemberian sikap dan prilaku nyata kepada anak didik yang ditunjukan secara langsung. Contoh: seorang anak didik lebih mempercayai saran atau nasehat gurunya di sekolah dibandingkan dengan nasehat orang tuanya di rumah, kendati orang tua memilki latar belakang pendidikan sama dengan gurunya di sekolah. Oleh karena tenaga pendidik pada jenjang pendidikan dasar memilki kontribusi cukup besar di dalam membentuk prilaku peserta didik. Masalahnya pembentukan prilaku pada anakanak usia sekolah dasar tidak nyambung dengan pembentukan prilaku pada jenjang pendidikan berikutnya. Tilaar (2002:7) dalam bukunya berjudul membenahi Sistem Pendidikan Nasional mengatakan bahwa, pendidikan dasar adalah basis dari pembentukan prilaku manusia (peserta didik). Oleh karena itu, pendidikan dasar dalam pengelolaanya merupakan satu system yang utuh artinya proses penyelenggaraan pendidikan dalam rangka pembentukan prilaku peserta didik di masing-masing jenjang pendidikan memiliki hubungan kausalitas yakni masing-masing lembaga sama-sama berperan dan memilki hubungan timbal balik di antara lembaga penyelenggara pendidikan agama. Keberadaan tenaga pendidik pada jenjang ini diharapkan mampu memberikan pendidikan dan pengajaran, sebagai berikut:
JURNAL PENJAMINAN MUTU
1). Sebagai korektor artinya pendidik harus mampu membedakan prilaku baik dan buruk yang akan di transper kepada peserta didik, sehingga prilaku pendidikan merupakan duplikat yang melekat pada setiap prilaku peserta didik. 2). Sebagai Inspirator, yakni pendidik harus mampu memberikan wahyu atau insting positif kepada peserta didik demi kemajuan prestasi belajarnya. 3). Sebagai informatory, yakni pendidik harus mampu memberikan informasi tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara benar kepada peserta didik. 4). Sebagai organisator, yakni pendidik harus mampu mengorganisir kegiatan akademik dan non akademik kepada setiap peserta didik terutama menyangkut kompetensi (kemampuan) yang dimilikinya. 5) Sebagai motivator, yakni pendidik harus mampu memberikan motivasi obyektif tentang kemajuan peserta didik terutama dalam bentuk buku raport kepada orang tuanya. Proses pembelajaran pada satuan pendidikan formal pada umumnya menerapkan system klasikal yang menggunakan pendekatan kelompok besar, kelompok kecil, dan individu di dalam kelas maupun di luar kelas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain intensitas interaksi antara peserta didik dengan pendidik, antara peserta didik dengan sumber belajar, serta ruang gerak peserta didik, sarana prasarana untuk olahraga dan kreatifitas, dan kemampuan pendidik dalam materi ajar, membimbing dan mengelola kegiatan belajar dan pembelajaran. Untuk mewujudkan proses pembelajaran yang efektif dan efesien serta berpusat pada peserta didik, pelaksanaan proses pembelajaran harus memenuhi sejumlah prinsip, persyaratan, dan mekanisme tertentu. PAKEM singkatan dari Partisipatif, Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa, sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Belajar memang merupakan suasana proses aktif dari si pembelajar dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif yang hanya menerima kucuran ceramah guru tentang pengetahuan. Belajar bisa berlangsung dalam situasi apa pun, kapan pun, dimana pun, terhadap siapa pun, ( any time, any where, any how, any one ) Agar proses pembiasaan ini betul-betul bisa dicapai/ dilakukan oleh peserta didik perlu dirancang pola pembelajaran yang menarik sesuai dengan
tingkat perkembangan usia anak. Dengan dasar pemikiran seperti inilah maka peneliti mencoba mengetangahkan/mengembangkan pola pembelajaran agama dengan disertai permainan. Dalam pengajaran materi Agama Hindu, guru seharusnya sering memberikan contoh-contoh perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh siswa. Dalam mengerjakan LKS bisa secara perorangan, berpasangan, maupun kelompok dengan jumlah maksimal 4 orang. Model pengajaran langsung adalah salah satu pendekatan mengajar yang dirancang khusu untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan bertahap selangkah demi selangkah (Trianto, 2007:29). Langkah-langkah pembelajaran model pengajaran langsung: Langkah-langkah pembelajaran model pengajaran langsung pada dasarnya mengikuti pola-pola pembelajaran secara umum menurut Kardi dan Nur (dalam Trianto, 2007:35) langkah pembelajaran langsung meliputi tahapan sebagai berikut: (a) menyampaikan tujuan, (b) Menyiapkan siswa, (c) Presentasi, (d) Mencapai kejelasan, (e) Melakukan Demontarsi (f) Mencapai pemahaman dan penguasaan, (g) berlatih, (h) Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik. Dari uraian yang telah penulis paparkan diatas, maka metode pembelajaran langsung dengan segala keunggulan dan kekurangannya masih dapat digunakan oleh para pendidik dalam menyampaikan dan mentranspormasikan ilmu pengetahuan sebab tidak ada satu modelpun yang tidak memilki keunggulan dan kekurangan. Tetapi tidak bisa seorang pendidikan hanya menggunakan satu metode dalam menyampaikan pembelajaran di kelas. Oleh karena itu, diperlukan kombinasi dan kolaborasi dari semua model-model pembelajaran. Abduraman dan Bintoro (2000:78) menyatakan bahwa “Pembelajaran kooperatif” adalah pembelajaran yang secara sadar mengembangkan interaksi yang saling asah, asih dan asuh antara sesama siswa sebagai latihan hidup dalam masyarakat nyata. Model pembelajaran kooperatif adalah suatu bentuk pembelajarn yang berdasarkan bahan kontruktif yang memanfaatkan siswa dalam kelompok-kelompok kecil dengan tingkat kemampuan yang berbeda. Model pembelajaran kooperatif ini dikembangkan berdasarkan teori belajar kognitif konstruktivisme. Hal ini terlihat pada salah satu teori Vigotsky yaitu tentang penekanan pada hakekat
Peranan Sentral Guru Agama Hindu dalam Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional di Indonesia dan Pembangunan Karakteris Bangsa ..... | Ni Nengah Selasih
61
sosio-kultural dari pembelajaran. Vigotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan atau kerjasama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu diserap ke dalam individu tersebut. Implikasi dari Teori Vigotsky ini adalah dikehendakinya susunan kelas yang berbentuk kooperatif. Penerapan model pembelajaran kooperatif juga sesuai dengan prinsifprinsif CTL (Contekctual Teaching and Learning) yaitu tentang Learning Community. Tujuan pembelajaran Kooperatif adalah untuk membangkitkan interaksi yang efektif diantara anggota kelompok melalui diskusi.Dalam hal ini Sebagian besar aktivitas pembelajaran terpusat pada siswa, yakni mempelajari materi pelajaran dan berdiskusi untuk memecahkan masalah. Dengan interaksi yang efektif dimungkinkan semua kelompok dapat menguasai materi pada tingkat yang relatif sejajar. Dari pendapat-pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Siswa belajar dalam kelompok, produktif mendengar, mengemukakan pendapat dan membuat keputusan secara bersama. 2. Kelompok siswa terdiri dari siswa yang mempunyai kemampuan tinggi sedang dan rendah. 3. Jika dalam kelas terdapat siswa-siswa yang tediri dari berbagai ras, suku, agama, budaya dan jenis kelamin yang berbeda, maka diupayakan agar dalam setiap kelompok terdapat ras suku agama, budaya, dan jenis kelamin yang berbeda pula. 4. Penghargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok dari pada kerja perorangan. Menurut Roger dan David Johnson, Anita Lie, (dalam Buhri,2007:17), dalam pembelajaran Kooperatif ada lima unsur penting yang perlu diketahui dan diperhatikan untuk mencapai keberhasilan yang maksimal, antara lain: a. Saling ketergantungan positif, artinya kebarhasilan kelompok sangat tergantung pada usaha setiap anggotanya, dan untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa, sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain bisa mencapai tujuan mereka. b. Tanggung jawab perorangan, artinya setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melaksanakan tugasnya yang terbaik sebagai akibat langsung dari saling ketergantungan yang positif. 62
c. Tatap muka, artinya setiap kelompok diberi kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi. Inti dari unsur ini adalah supaya mereka saling menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan dan mengisi kekurangan masing-masing. d. Komunikasi antar anggota, artinya guru membekali cara-cara berkomunikasi pada kelompok, karena tidak setiap siswa mempunyai keahlian untuk mendengarkan dan berbicara. e. Evaluasi proses kelompok, artinya guru menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama agar selanjutnya mereka dapat bekerja sama dengan lebih efektif. c. Penilaian Pembelajaran Menurut Masyhuri, (2006:5) Penilaian adalah suatu proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran hasil belajar baik yang menggunakan instrumen tes maupun non tes. Penilaian dalam hasil belajar disamakan dengan evaluasi. Setiap kegiatan apapun namanya, tentu mempunyai suatu nilai (value), apabila demikian, maka bagaimanapun sulitnya variabel yang akan dinilai atau dievaluasi tentu akan dapat dilaksanakan. Penilaian juga merupakan kegiatan untuk mengetahui pertimbangan, kemajuan, atau hasil belajar siswa selama program pendidikan. Penilaian belajar merupakan proses pengumpulan dan penggunaan informasi dan hasil belajar siswa oleh gurunya untuk menetapkan tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Gurulah yang harus merancang, menyusun, memilih, soal, melaksanakan, mengolah hsil penilaiannya. Penilaian dalam pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan harus mengacu pada kompetensi (rangkian kemampuan yang berkaitan), bukan kepada penguasaan materi atau pengetahuan seperti dalam pelaksanaan Kurikulum berbasis materi. Berbagai hasil belajar siswa yang terpisah-pisah itu hendaknya diusahakan agar bermuara ke dalam tiga sasaran hasil belajar siswa yang amat penting yaitu: karya, unjuk kerja, dan prilaku. Unjuk kerja adalah penampilan (performance), tindakan (action), atau perbuatan yang menjadi sasaran kemampuan yang dikembangkan dalam diri. Contohnya: membuat kwangen, membuat kelakat, sembahyang trisandya, dan memimpin doa. Prilaku adalah kebiasaan sehari-hari, ciri atau sifat yang JURNAL PENJAMINAN MUTU
mencerminkan sikap dan nilai yang dianut dan dijujung tinggi oleh seseorang, Contohnya: senang bertanya, senang bekerja sama dengan orang lain, berani mengemukakan pendapat dan toleran kepada orang lain. Dalam pelaksanaan Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP), fokus penilaian adalah kompetensi atau kemampuan siswa. Kompetensi cendrung merupakan perpaduan antara berbagai hasil belajar siswa dalam kognitif, efektif dan psikomotor. Pengetahuan ketrampilan, pengalaman, sikap, nilai, dan cara mengerjakan berbagai hasil belajar yang terpisah dapat dipadukan ke dalam karya, unjuk kerja, dan prilaku siswa. Dengan demikian, jika penilaian difokoskan kepada aktivitas menilai karya, unjuk kerja, dan prilaku, penilaian domain kognitif, domain efektif dan domain psikomotor diintegrasikan, tidak lagi ditangani secara terpisah pisah. Apabila materi agama sudah dipelajari, sudah dilatihkan, dan sudah dirangkum/disimpulkan secara bersama-sama, maka guru hendaknya menilai kemampuan siswa secara perorangan, dengan memberikan soal-soal. Perbedaan antara kegiatan latihan dan evaluasi adalah dalam tahap latihan, siswa masih bisa mendapat bentuan dari pihak lain kalau mengalami hambatan dalam belajar, bantuan bisa berasal dari guru (tutor sebaya), mapun dari buku pelajaran. Saat evaluasi siswa sama sekali tidak boleh dibantu, karena guru ingin mengetahui daya serap siswa dan tingkat ketuntasan siswa dalam belajar. Kegunaan hasil penilaian dapat dilihat dari segi tujuan dan fungsinya dari segi kepentingan siswa dan kepentingan sekolah. Dalam aturan yang disebutkan tujuan dan fungsi penilaian adalah: a) Penilaian hasil belajar secara sitematis dan berkelanjutan bertujuan untuk: - Menilai hasil belajar siswa di sekolah. - Mempertanggung jawabkan penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat. - Mengetahui mutu pendidikan sekolah. b) Penilaian hasil belajar berfungsi sebagai berikut: - Alat penjamin, pengawasan dan pengendalian mutu pendidikan - Bahan pertimbangan dalam penentuan kenaikan kelas, kelulusan dan tamat belajar siswa pada sekolah. - Bahan pertimbangan masuk jejang pendidikan yang lebih tinggi. - Umpan balik dalam perbaikan pro-gram pembelajaran pada sekolah. - Alat pendorong dalam meningkatkan kemampuan siswa.
-
Bahan pertimbangan dalam penentuan kenaikan kelas. Umpan balik dalam perbaikan program pengajaran pada sekolah Alat pendorong dalam meningkatkan kemampuan siswa, dan Siswa melakukan evaluasi terhadap kinerjanya serta bercermin diri (introspeksi)
Guru hendaknya selalu mengingatkan prinsipprinsip penilaian kelas jika akan melaksanakan penilaian, sebagai berikut. a). Validitas atau kesahihan. Hasil penilaian kelas mencerminkan secara nyata, tepat dan akurat penguasaan materi yang dipelajari siswa sehingga dapat menjamin tercapainya tujuan pembelajaran yang ditetapkan dalam kurikulum. Misalnya kompetensi lulusan, kompetensi dasar kompetensi minimum yang harus dicapai siswa. b). Edukatif. Penilaian dilakukan untuk membantu siswa dalam mencapai tingkat kompetensi dasar, kompetensi minimum, dan kompetensi lulusan yang ditetapkan dalam kurikulum. c). Adil, Artinya semua siswa mendapat hak dan kesempatan yang sama untuk dinilai dan mendapatkan hasil penelaian tanpa membedakan latar belakang tertentu seperti sosial budaya, sosial ekonomi, gender, suku dan bahasa ibu. d). Terbuka atau transparan. Kreteria penilaian dan dasar yang dipakai dalam pengambilan keputusan tentang hasil belajar siswa hendaknya dapat diperiksa oleh pihak stakheolder untuk membuktikan kebenaran keputusan yang diambil. e). B e r k e s i n a m b u n g a n / b e r k e l a n j u t a n . Pelaksanaan penilaian hendaknya dilkukan secara terencana, bertahap dan terus menerus untuk meperoleh gambaran tentang kemajuan dan pencapaian kompetensi selama siswa mengikuti program pendidikan sekolah. f). Menyeluruh, artinya bahwa untuk memperoleh gambaran utuh tentang hasil belajar atau pencapian kompetensi, perlu dilakukan dengan menggunakan berbagai cara dan prosedur penilaian agar informasi dan data tentang kinerja siswa yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dapat diperoleh secara lengkap dan utuh/ komprehensif.
Peranan Sentral Guru Agama Hindu dalam Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional di Indonesia dan Pembangunan Karakteris Bangsa ..... | Ni Nengah Selasih
63
g). Bermakna. Hasil penilaian hendaknya dapat dengan mudah dibaca, dipahami, bermanfaat atau mempunyai arti penting sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan, baik bagi guru, kepala sekolah, dan orang tua siswa maupun siswa. 2.2. Peranan Sentral Guru Agama Hindu Dalam Pembangunan Karakter Bangsa yang Berakhlak Mulia, Jujur, Terampil, Berhati Suci dan Bersih Lahir Batin”. 2.2.1 Peran Guru Agama Hindu dalam Pelaksanaan Pendidikan Karakter di Sekolah Kata peran diartikan sebagai perangkat tingkah atau sikap yang diharapkan dimiliki oleh orang berkedudukan di masyarakat. Dalam UU Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 disebutkan bahwa guru adalah pendidika profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Jadi, yang dimaksud peran guru dalam hal ini adalah seperangkat sikap yang dimiliki oleh guru meliputi mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik di sekolah dalam rangka membentuk karakter siswa. Menurut Ma’mur Asmani (2011:203) bahwa Guru memegang peranan yang sangat strategis terutama dalam membentuk karakter serta mengembangkan potensi siswa. Keberadaan guru di tengah masyarakat bisa dijadikan teladan dan rujukan masyarakat sekitar. Bisa dikiaskan, guru adalah penebar cahaya kebenaran dan keagungan nilai. Hal inilah yang menjadikan guru untuk selalu on the right track, pada jalan yang benar, tidak menyimpang dan berbelok, sesuai dengan ajaran agama yang suci, adat istiadat yang baik dan aturan pemerintah. Posisi strategis seorang guru tidak hanya bermakna pasif, justru harus bermakna aktif progresif. Dalam arti, guru harus bergerak memberdayakan masyarakat menuju kualitas hidup yang baik dan perfect di segala aspek kehidupan, khususnya pengetahuan morallitas, sosial, budaya, dan ekonomi kerakyatan. Kehadiran guru juga tidak tergantikan oleh unsur lain, lebih-lebih dalam masyarakat kita yang multikultural dan multidimensional, di mana peranan teknologi untuk menggantikan tugas-tugas guru sangat minim. Guru memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Guru yang profesional diharapkan menghasilkan
64
lulusan yang berkualitas. Profesionalisme guru sebagai ujung tombak di dalam implementasi kurikulum di kelas sangat perlu mendapat perhatian. Kunandar (2007:37) menjelaskan bahwa dalam proses pembelajaran, guru mempunyai tugas untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi serta memberi fasilitas belajar bagi siswa untuk mencapai tujuan pendidikan karakter. Guru mempunyai tanggungjawab untuk melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kelas untuk membantu proses perkembangan siswa. Penyampaian materi pelajaran merupakan salah satu kegiatan belajar sebagai suatu proses yang dinamis dalam segala fase dan proses perkembangan siswa. Tentunya masih banyak peran lain guru seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Melalui sentuhan guru, diharapkan mampu menghasilkan peserta didik yang bukan hanya cerdas secara intelektual, melainkan juga cerdas secara emosional dan spiritual serta memiliki kecakapan hidup. Hal tersebut dapat dicapai ketika guru mempunyai komitmen yang kuat dalam pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah. Guru memengaruhi berbagai aspek kehidupan, baik sosial, budaya, maupun ekonomi. Dalam keseluruhan proses pendidikan, guru merupakan faktor utama (sentral) yang bertugas sebagai pendidik. Guru harus bertanggungjawab atas hasil kegiatan belajar anak melalui interkasi belajar mengajar. Guru merupakan faktor yang memengaruhi berhasil tidaknya proses belajar. Oleh karenanya, guru harus menguasai prinsip-prinsip belajar di sampping materi yang disampaikan. Dengan kata lain, guru harus menciptakan suatu kondisi belajar yang sebaik-baiknya bagi peserta didik, inilah yang tergolong kategori peran guru sebagai pengajar. Guru berperan sebagai pembimbing, artinya memberikan bantuan kepada setiap individu untuk mencapai pemahaman dan penyesuaian diri secara maksimal terhadap sekolah. Peran guru sebagai pengajar dan pembimbing memiliki keterkaitan yang erat dan keduanya dilaksanakan secara berkesinam-bungan serta merupakan keterpaduan. Jadi, peran guru dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah berpusat pada: 1. Mendidik dengan titik berat memberikan arah dan motivasi pencapaian tujuan pendidikan karakter baik jangka pendek maupun jangka panjang. 2. Memberi fasilitas pencapaian tujuan pendidikan karakter melalui pengalaman belajar yang memadai. 3. Membantu perkembangan aspek-aspek
JURNAL PENJAMINAN MUTU
pribadi seperti sikap, nila-nilai, dan penyesuaian diri. Dengan demikian, tugas guru dalam pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah antara lain, 1) keteladanan, 2) inspirator, 3) motivator, 4) dinamisator, 5) evaluator. 2.2.2 Wujud Komitmen Guru Agama Hindu dalam Pelaksanaan Pendidikan Karakter di Sekolah Amanah dan memenuhi janji merupakan dua hak yang tidak dapat dipisahkan. Orang yang amanah berarti orang jujur dan dapat menepati janjinya. Orang yang selalu menepati janji karena dorongan dari dalam diri orang itu, maka ia orang yang konsisten memegang janji. Orang memenuhi janji berarti orang yang memiliki komitmen. Guru yang memiliki komitmen yang kuat, ia juga memiliki visi ke depan dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan karakter di sekolah. Komitmen merupakan ucapan yang mengikat seseorang untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian, komitmen guru dapat didefinisikan sebagai suatu tekad yang mengikat seseorang guru untuk melakukan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pendidik. Hidayatulloh, (tt:58) menjelaskan bahwa seorang guru harus memiliki komitmen yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya. Tanpa komitmen yang kuat, suatu tujuan tidak akan tercapai secara optimal bahkan dapat menemui suatu kegagalan. III. PENUTUP Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Peranan Sentral Guru Agama Hindu Dalam Pencapaian Tujuan Nasional di Indonesia dan Pembangunan Karakter Bangsa yang Berakhlak Mulia, Jujur, Terampil, Berhati Suci dan Bersih Lahir Batin” dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional” (UU Sisdiknas No. 20/2003). Lebih jauh disebutkan “Kurikulum pendidikan salah satunya wajib memuat Pendidikan Agama” (Pasal 37 UU Sisdiknas). Sehubungan dengan itu, guru selalu mendapat perhatian dari Pemerintah sebagai faktor penting untuk berlangsungnya pendidikan. Hal ini ditindak lanjuti dengan diundangkan Undangundang Guru dan Dosen, ditegaskan pula bahwa “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, melatih dan menilai, atau mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah” (UU RI No. 14 Tahun 2005). Purwanto (2004:10) “Pendidikan ialah bimbingan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam
pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakat. Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia sebagaimana tertuang dalam undang-undang No.2/ 1989. Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas merumuskan tujuannya pada Bab, II, pasal 4, yaitu mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Maksud manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan untuk membentuk anak didik menjadi pribadi utuh yang dilandasi Sraddha dan budhi pekerti yang luhur. Sejalan dengan tuntutan perkembangan dunia pendidikan yang telah dituangkan dalam undang-undang Guru dan Dosen, lebih-lebih bagi Guru yang mengajarkan pendidikan Agama. Jelaslah bagi guru khususnya guru Agama Hindu bahwa ajaran suci Veda hendaknya dapat dijadikan pedoman dalam hidup dan kehidupan ini. Terkait dengan pendidikan Agama Hindu yaitu pendidikan menurut Veda, ada enam aspek yang perlu diperhatikan, diantaranya, “pengaruh lingkungan (fisik, psikologis dan sosial), kehidupan sebagai siswa (Sisya/Brahmacari), peranan guru (Acarya), Kurikulum, metode pengajaran dan tujuan obyek pendidikan”. Peranan Sentral Guru Agama Hindu Dalam Pembangunan Karakter Bangsa yang Berakhlak Mulia, Jujur, Terampil, Berhati Suci dan Bersih Lahir Batin”, melalui Pelaksanaan Pendidikan Karakter di Sekolah berpusat pada: Mendidik dengan titik berat memberikan arah dan motivasi pencapaian tujuan pendidikan karakter baik jangka pendek maupun jangka panjang. Memberi fasilitas pencapaian tujuan pendidikan karakter melalui pengalaman belajar yang memadai. Membantu perkembangan aspek-aspek pribadi seperti sikap, nila-nilai, dan penyesuaian diri. Dengan demikian, tugas guru dalam pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah antara lain, 1) keteladanan, 2) inspirator, 3) motivator, 4) dinamisator, 5) evaluator. Wujud Komitmen Guru Agama Hindu dalam Pelaksanaan Pendidikan Karakter di Sekolah adalah Orang memenuhi janji berarti orang yang memiliki komitmen. Guru yang memiliki komitmen yang kuat, ia juga memiliki visi ke depan dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan karakter di sekolah. Komitmen merupakan ucapan yang mengikat seseorang untuk melakukan sesuatu.
Peranan Sentral Guru Agama Hindu dalam Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional di Indonesia dan Pembangunan Karakteris Bangsa ..... | Ni Nengah Selasih
65
Dengan demikian, komitmen guru dapat didefinisikan sebagai suatu tekad yang mengikat seseorang guru untuk melakukan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pendidik. Seorang guru harus memiliki komitmen yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya. Tanpa komitmen yang kuat, suatu tujuan tidak akan tercapai secara optimal bahkan dapat menemui suatu kegagalan. DAFTAR PUSTAKA Abdurahman dan Bintoro, 2000. Pembelajaran Kooporatif (Cooperatif Learning) Jakarta: Rineka Cipta Anwar Mohc Idochi. 1994. Kepemimpinan dalam Proses Belajar mengajar. Bandung: Angkasa. Buhri, 2007. Model Pembelajaran. Departemen Agama Republik Indonesia, Balai Diklat Keagamaan Denpasar.
Ma’mur Asmani, Jamal, 2011. Tips Menjadi Guru Inspiratif, Kreatif, dan Inovatif. Yogyakarta: Diva Press. Mar’arif, Syamsul, M.Ag. 2011. Guru Profesional Harapan dan Kenyataan. Semarang: Walisongo. Mulyasa, 2008. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nurhadi Et El, 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapan dalam KBK. Malang Universitas Negeri malang. Paraba, Hadirja. 1999. Wawasan Tenaga Guru dan Pembinaan Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Friska Agung Insani. Pudja, G. 2003. Bhagawad Gita (Pancama Veda). Surabaya: Paramita
Djamarah, Syaiful Basri, 2002. Psikologi Belajar. Malang: Universitas Negeri Malang.
Surya, H. Mohammad. 2002. Organisasi profesi, kode etik dan Dewan Kehormatan Guru. Jakarta: Aneka Ilmu.
Depdiknas. 2003. Manajemen Peningkatan Mutu Bebasis Sekolah. Depdiknas, Dirjen Dikdasmen
Trianto, 2007. Model Pembelajaran Inovatif. Prestasi: Jakarta.
Hidayatulloh, M. Furqon, tt. Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas. Surakarta: Yuma Pustaka.
Tiaar, 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Harjanto , 2006. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Kunandar, 2007. Guru Profesional: Implementasi Kurikuluma Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
66
Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 20 Tahun 2003 Beserta Penjelasannya. Yogyakarta: Media Abadi. Undang – Undang RI. No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Yogyakarta: Pustaka Yustisia UU SISDIKNAS, NO 20 Tahun 2003, Jakarta, Sihar Grafika 2003
JURNAL PENJAMINAN MUTU
TEORI-TEORI DALAM DUNIA PENDIDIKAN MODERN Oleh I Nyoman Temon Astawa Dosen pada Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar Abstract The theories in education are reflections of both the Renaissance and modern era. In the history of science the discrepancy between the epistemology of the Rationalism, Empiricism, Positivism, and Saintism have become the major interest. The first theory of modern education is the Humanismand the post classical ones which include Behaviorism, Cognitivism, Humanismand Cybernetics. Key Words: Modern Education I. PENDAHULUAN Berbicara masalah teori-teori pendidikan modern erat sekali hubungan dengan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan ada periodisasi perkembangan ilmu yang dimulai dari peradaban Yunani dan diakhiri pada zaman kontemporer. Surajiyo (2008) mengatakan periodisasi tersebut adalah Zaman Pra Yunani, Zaman Yunani Kuno, Zaman Abad Pertengahan, Zaman Renaissance, Zaman Modern, dan Zaman Kontemporer. Penomena-penomena suatu zaman, akan mempengaruhi secara langsung konsepsi pendidikan atau dapat dikatakan teori-teori pendidikan adalah pencerminan suatu zaman. Teoriteori pendidikan modern dimulai dari gerakan Zaman Renaissance. Zaman Modern yang diawali dengan teori pendidikan pertama yakni: Humanisme, behaviorisme, kognitivisme dan sibernetik. Berkenaan dengan itu dalam teori-teori pendidikan modern ini akan diungkapkan suatu bahasan berkisar periodisasi zaman terkait, paradigama-paradigma pendidikan modern dan teori-teori pendidikan modern. II. PEMBAHASAN 2.1 Pendidikan Pencerminan Suatu Zaman Teori pendidikan modern dimulai dengan gerakan yang dikenal dengan Renaisance karena pendidikan selalu dikaitkan dengan pencerminan suatu zaman maka dapat dikatakan pendidikan modern dimulai pada zaman Renaissance serta dasardasar berbagai teori modern pendidikan telah diletakan pada zaman kuno dan zaman pertengahan, perubahan-perubahan dalam bidang sosial politik ekonomi dan kebudayaan di Eropa Barat telah terjadi pada abad XIV dan XV, perubahan-perubahan itu mengkristal kemudian menjadi teori-teori pendidikan modern. Teori pendidikan modern pertama adalah teori Humanisme. Pendidikan Humanisme adalah pertumbuhan tersendiri dari Renaissance.
Renaissance adalah salah satu vase dari suatu kebangunan di Eropa. Wells dalam Sudirdjo (1975) mengatakan Renaissance adalah kehidupan kembali dari kuburnya kesenian dan pelajaran klasik. Itu adalah salah satu faktor dalam kebangunan kembali kemampuan dan kekuatan Eropa yang lebih besar dan rumit. Faktor-faktor penyebab kebangkitan kembali itu akan secara langsung memperngaruhi konsepsi/teori-teori pendidikan. Zaman Renaissance ditandai sebagai era kebangkitan kembali pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama. Renaissance adalah zaman peralihan ketika kebudayaan abad pertengahan mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern. Surajiyo (2008) mengatakan manusia pada zaman ini adalah manusia yang merindukan pemikiran yang bebas, manusia ingin mencapai kemajuan atas usaha sendiri tidak didasarkan campur tangan Illahi. Penemuan ilmu pengetahuan modern sudah mulai dirintis pada zaman Renaissance, ilmu pengetahuan berkembang maju terutama bidang astronomi. Tokoh-tokoh yang terkenal pada masa ini , yakni: Roger Bacon, Copernicus, Johaness Keppler, Galilio, Galilei Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan pengetahuan ilmiah, perkembangan pengetahuan pada zaman modern sudah dirintis pada zaman Renaissance. Rizal Mustansyir dalam Surajiyo (2008) mengatakan tokoh-tokoh yang terkenal sebagai filsafat modern yaitu Rene Descrates seorang ahli ilmu pasti yang menemukan sumbu X dan sumbu Y. Tokoh yang lainnya adalah Isaac Newton menemukan teori gravitasi, Charles Darwin menemukan teori Struggle for life (perjuangan untuk hidup), JJ Thompson menemukan teori electron. Jurgen Habermas dalam Karim (2009), mengatakan istilah modern adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu era baru yang berfungsi untuk membedakan dengan masa lalu (the ancient), artinya modern itu tidak semata-mata ditandai dengan zaman Renaissance, di Prancis hal ini menyempitkan makna dari modern itu sendiri
Teori-teori Dalam Dunia Pendidikan Modern | I Nyoman Temon Astawa
67
tetapi dalam modern ada suatu era baru. Bertrand Russel mengungkapkan ada dua hal yang terpenting yang menandai sejarah modern, yakni runtuhnya otoritas Gereja dan menguatnya otoritas saint. Pada abad ke 16 dan 17 ketika era Renaissance agama sebagai institusi yang sangat dominan dan terjadi hegemonis di Eropa. Saat itu terjadi perubahan yang radikal agama sebagai pemegang otoritas penuh terhadap segala bentuk kebenaran dan terlepasnya sains dari otoritas agama. Disisi lain perkembangan pengetahuan sekuler dan skeptisme adalah menjadi landasan pengetahuan ilmu pengetahuan, wacana filsafat menjadi tofik utama pada zaman modern khususnya pada abad ke 17 muncul persoalan epistemology, yakni sumber pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan itu, untuk menjawab masalah epistemology tersebut pada abad ke 17 munculah filsafat yang memberi jawaban yang berbeda dan bertentangan, yakni: aliran emperisme dan aliran rasionalisme. Karim (2009) mengatakan Rasionalisme, Emperisme, Positivisme, dan Saintisme telah menjadi paradigma primadona dalam pendidikan modern. 2.2 Paradigma Pendidikan Modern Berbicara masalah teori-teori pendidikan modern hendaknya memahami paradigma-paradigma pendidikan modern. Untuk itu akan dijelaskan masingmasing paradigama pendidikan modern sebagai berikut. 1) Rasionalisme Rene Deskrates (1596-1650) telah dianggap sebagai Bapak Rasionalisme modern barat yang sampai saat ini masih dijadikan landasan pembangunan peradaban. Beliau adalah seorang filsuf yang disinyalir sebagai pembuka gerbang modern. Sekilas pemikiran/jargon Beliau adalah “Cogito Ergo Sum”, kata Cogito yang bermakna kesadaran, kata Ergo Sum berarti saya ada, (Karim, 2009:31). Jadi Cogito Ergo Sum artinya aku berpikir maka aku ada. Jargon ini diistilahkan dengan metode kesangsian yang digunakan untuk menemukan sebuah kepastian. Untuk menemukan titik kepastian Rene Descrates memulai dengan sebuah kesangsian atas segala sesuatunya, semakin kita dapat menyangsikan segala sesuatu termasuk menyangsikan diri kita berarti kita semakin mengada (eksis), jadi kesangsianlah yang membuktikan bahwa kita nyata. Lebih lanjut dikatakan cogito sebagai bawaan sejak lahir memiliki tiga substansi/tiga ide bawaan, yakni ide pemikiran, ide keluasan tubuh/jasmani dan ide Tuhan sebagai ide tentang yang sempurna. Descrates menyangsikan dunia di luar dirinya sebagai satu-satunya jalan untuk menerima dunia 68
luar dengan mengakui adanya Tuhan yang tidak mungkin menipu kita. Walaupun disatu sisi rasionalisme membawa semangat individu untuk berkreaktivitas namun disisi lain masih muncul sekulerisme yang berdampak pada penyelenggaraan pendidikan yang dibandingkan dengan agama dan kepercayaan umat manusia. 2) Emperisme Tokoh aliran Emperisme adalah John Locke (1632-1704). John Locke lahir tahun 1632 anak seorang ahli hukum, beliau belajar ilmu kedokteran di universitas Oxford. Beliau mempelajari ilmu alam dan ilmu filsafat. John Locke adalah seorang yang Rasionalis, aliran ini tidak mau menerima pengetahuan yang ditetapkan terlebih dahulu tanpa melalui penginderaan, pemikiran deduktif ditinggalkan diganti dengan pemikiran/penyelidikan induktif. Tidak ada pengetahuan tanpa melalui penginderaan dan pengalaman. Rasio/pikiran adalah hakim dan pemimpin tertinggi yang bekerja bebas. Tahun 1960 ia menulis “Essay Concerning Human Understanding” penyelidikan tentang pikir manusia, buku ini berisi falsafah dan pandangan hidupnya, yakni: “tak ada sesuatu dalam jiwa yang sebelumnya tidak ada dalam indera, dengan kata lain tak ada sesuatu dalam jiwa, tanpa melalui indera” (Soejono 1978:19). Lebih lanjut dikatakan pengetahuan yang dibentuk oleh gagasan/ide berasal dari “sensation” penginderaan dunia luar, dan reflexion, yakni: pengalaman dari dalam jiwa. jadi tidak ada sesuatu dalam jiwa sejak lahir. Sokardjo (2009) mengatakan Emperisme dikenal juga dengan environmentalisme, pendidikan memegang peranan yang sangat penting sebab pendidikan menyediakan lingkungan yang sangat ideal kepada anak-anak. Lingkungan ini diterima sebagai sejumlah pengalaman, semua pengalaman ini telah disesuaikan dengan tujuan pendidikan. Dalam dunia pendidikan/pandangannya dalam pendidikan dalam bukunya tahun 1693 “Some thoughts concerning education of children” beberapa pemikiran tentang pendidikan kanak-kanak, dengan teorinya tabula rasa, yang mengatakan bahwa anak baru lahir jiwanya kosong seperti kertas putih (tabula rasa) (meja berlapis lilin) yang menunggu isinya berupa pengalaman/pendidikan, jadi pendidikan mempunyai peranan yang mutlak/maha kuasa sesuai dengan aliran optimisme dalam pendidikan. Karim (2009), mengatakan David Hume (17111776) adalah filsuf berkebangsaan Inggris yang mengembangkan filsafat emperis J Locke, ditangannya emperisme menjadi radikal dengan metode skeptismenya.
JURNAL PENJAMINAN MUTU
Standarisasi pengetahuan akhirnya membuat status quo, dalam pengetahuan itu /idiologi kemudian terjadi adanya dogmatisasi ajaran sehingga terkesan rasio manusia hanya menjalankan sistem ilmiah yang telah dibuat sebelumnya yang dalam istilah Khant disebut” rasio perkakas.” Comte juga mengklasifikasikan pengetahuan mulai dari pure procedure, fix procedure hingga objektif. Kesemuanya itu berakibat jatuhnya positivisme pada pendekatan instrumetalis dan ideologis dalam memahami pengetahuan. Substansi adalah kumpulan persepsi belaka karena pikiran artificial atas ciri dan gejala setelah mengamati sehingga seolah-olah substansi itu ada, misalnya hitam padat dan kasar, pikiran menyimpulkan itu batu. Hume menawarkan sketifisme (menyangsikan kenyataan) terhadap semua gejala, dengan rincian api menyebabkan kertas terbakar (propterhoc) kepercayaan naïf, karena yang diketahui kertas terbakar sesudah api menyentuhnya (posthoc) gejala yang satu menyusul gejala yang lain. Dengan munculnya semangat emperisme setelah rasionalisme telah melengkapi sejarah pengetahuan Eropa yang kemudian lebih mengukuhkan Eropa sebagai sentral peradaban yang harus ditiru keadaan ini diperkuat oleh Comte yang disinyalir menggabungkan semangat pengetahuan emperisme dan rasionalisme dengan paradigma positivismenya. 3) Positivisme Positivisme lahir dengan pengujian rasional dan emperis. Aguste Comte (1789-1857) adalah tokoh yang refresentatif membicarakan positivisme. Karim (2009), mengatakan positivisme dapat diartikan sebagai penyusunan fakta-fakta yang teramati, dengan kata lain positivisme sama dengan faktual, positivisme menegaskan bahwa pengetahuan hendaknya jangan melampoi fakta-fakta. Perjalanan tingkat kesadaran menurut Comte (dalam Karim 2009), yakni taraf teologis/fiksi, metafisis/abstraksi, dan positif/observasi. Pada tahap pertama yaitu tahap teologis manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa kodrati (Tuhan/Dewa) yang mengatur fungsi dan gerak setiap gejala. Pada tahap kedua tahap metafisis, kekuatan manusiawi sekarang diubah menjadi abstraksi-abstraksi metafisis, pada tahap ketiga positif, manusia tidak lagi menjelaskan sebab-sebab diluar fakta yang teramati.pikiran memusatkan diri pada yang faktual. Melalui positivisme corak peradaban yang dibangun akhirnya membentuk standarisasi segala hal yang dianggap ilmiah (pureprocedure) dan tidak ilmiah (fix procedure) sehingga ada semacam sistem yang harus dilalui untuk sebuah karya yang ilmiah.
4) Saintisme Saintisme lahir dari pengujian rasionalisme dan emperisme dalam perjalanan filafat dan ilmu-ilmu sosial berujug pada rasio teknologis instrumental atau rasio perkakas. Munculnya teknologi dan instrumentalisasi telah menjadi belenggu kebebasan manusia, menjadi kesulitan bersikap otonom dan mandiri, manusia telah menggantungkan diri dan masa depannya kepada teknologi. Pada awal dua dasa warsa abad dua puluh Capra (dalam Karim, 2009) menemukan berbagai krisis global yang serius, kompleks dan multi dimensional yang menyentuh segala aspek kehidupan. Lebih lanjut Capra mengatakan penomena ini akan mengancam kehidupan ras manusia karena ketidakmampuan kaum intelektual mencari jalan keluar dan mengatasinya. Pada Nopember 1978 pada waktu Amerika Serikat dan Uni Soviet sedang menyelesaikan babak kedua pembicaraan pembatasan senjata nuklir, saat itu terjadi pembelian senjata besar-besaran dan banyak anak-anak yang mati kelaparan dan kekurangan gizi. Yang menyebabkan kehancuran. Capra (dalam Karim, 2009) mengatakan penyebab kehancuran tersebut adalah terjadi kekeliruan pemikiran/paradigma dalam membangun peradaban kebudayaan barat, yakni karena dibangun dengan menggunakan satu paradigma yaitu sains. Warisan dari Descartes dan Newton, paradigma ini belum mampu melihat alam semesta secara menyeluruh, paradigma ini melihat sebagian dari alam yakni alam emperis saja. 2.3 Teori - Teori Pendidikan Modern 1) Teori Humanisme Sodirdjo (1980), mengatakan teori pendidikan modern pertama adalah teori Humanisme, untuk itu akan dibahas tentang bagaimana munculnya humanisme dan tujuan pendidikan humanisme. Kemajuan Ilmu pengatahuan dan teknologi bagaikan pisau bermata dua, dalam arti kemajuan teknologi memiliki nilai positif dan dampak yang negatif. Kemajuan ilmu pengtahuan dan teknologi terutama dalam bidang informatika dalam batas-batas tertentu dapat mempermudah kehidupan manusia, jarak-jarak
Teori-teori Dalam Dunia Pendidikan Modern | I Nyoman Temon Astawa
69
menjadi terasa dekat waktu dan masa menjadi memadat oleh kesibukan-kesibukan manusia dalam menggarap dan memanfaatkan iptek tersebut. Namun disisi lain hati nurani kemnusiaannya mengeluh karena beradaptasi dengan iptek yang tidak lagi Human Centric melainkan Tekno Centric. Baharuddin (2007) mengatakan manusia tidak lagi secara otonom dikontrol oleh nurani pribadinya melainkan dikontrol oleh faktor eksternal yaitu iptek, manusia secara makro benar-benar telah menyandarkan segala harapannya kepada hasil iptek. Lebih lanjut dikatakan musuh utama manusia bukan lagi binatang buas di hutan tetapi dirinya sendiri dan rekan sesamanya. Dalam batas-batas tertentu dampak destruktif iptek telah menundukkan manusia, manusia sangat tergantung padanya, dan manusia tidak lagi mampu mengendalikan hasil perbuatannya tetapi seakan didikte oleh hasil produknya sendiri, manusia menjadi robot dari mahluk raksasa yang bernama iptek. Dari perspektif humanisasi iptek yang demikian sejalan dengan proses dehumanisasi agar tidak terjadi demikian. Hal ini perlu dilakukan terapi melalui pendidikan karena sains dan teknologi berkembang melalui pendidikan. Maka lahirlah pendidikan humanistic. Pendidikan humanistik yang meletakan manusia sebagai titik tolak dan sebagai titik tujuan, menurut Bahariddin (2007), mengatakan: paradigma pendidikan humanistik terdapat dua harapan besar yakni: nilainilai pragmatis iptek tidak akan mematikan kepentingan-kepentingan kemanusiaan, dan akan dapat terhindar dari tirani teknologi dan dapat hidup sejahtera dan kondusif. Tujuan pendidikan humanistik yaitu membentuk manusia yang memiliki komitmen humaniter sejati, yakni manusia yang memiliki kesadaran, kebebasan dan tanggung jawab sebagai mahluk individual maupun sebagai mahluk sosial (Baharuddin, 2007). Sudirdyo (1998), mengatakan tujuan pertama humanisme Italia adalah “cita-cita Yunani mengenai pendidikan liberal, yaitu perkembangan harmonis dari akal, jasmani dan moral. Perkembangan ideal bagi para humanist Italia adalah pribadi yang mempunyai perkembangan bulat dan lengkap dalam semua aspek kehidupan manusia. Isi atau jenis pendidikan humanistic adalah pendidikan jasmani, kesusasteraan, kesenian, musik, drama, keindahan, perilaku dan kesehatan. Peendidikan keindahan memegang peranan penting karena sempat diabaikan pada abad pertenganhan. Proses belajar dalam humanisme, adalah belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Dibandingkan dengan teori lain, teori humanistik yang paling abstrak dan paling mendekati dunia filsafat dari pada dunia pendidikan. Meskipun teori ini sangat mementingkan pentingnya isi dari pada proses, dalam kenyataan teori ini lebih banyak 70
berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya, seperti apa yang biasa kita amati dalam dunia keseharian. Wajar teori ini sangat bersifat eklektik. Kenyataannya teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk memanusiakan manusia (mencapai aktualisasi diri). Tokoh teori ini Bloom dan Krathwohl, Kolh, Honey, Mumford dan Harbermas. Bloom dan Krathwohl menekankan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa, yang mencakup tiga kawasan yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Taksonomi Bloom berhasil memberi inspirasi kepada pakar lain untuk mengembangkan teori-teori belajar dan pembelajaran (teori ini menjadi amat terkenal) Pada tingkatan yang lebih praktis, Taksonomi Bloom telah banyak membantu praktisi pendidikan untuk memformulasikan tujuan-tujuan belajar dalam bahasa yang mudah dipahami, operasional dan dapat diukur. Dari beberapa taksonomi belajar, Taksonomi Bloom ini yang paling terkenal dan populer (setidaknya di Indonesia). Taksonomi Bloom banyak dijadikan pedoman untuk menyusun butir-butir soal ujian, termasuk orang-orang pendidikan yang sering mengkritik Taksonomi Bloom. Sedangkan Kolh membagi tahapan belajar menjadi: 1) Pengalaman konkrit, 2) Pengamatan aktif dan reflektif, 3) Konseptualisasi, dan 4) Eksperimentasi aktif. Honey dan Mumford berdasarkan teori Kolh, membagi tipe siswa yaitu aktivis, refektor, teoris dan pragmatis. Tipe siswa yang aktivis adalah tipe siswa suka melibatkan diri pada pengalaman – pengalaman baru. Siswa cendrung berpikiran terbuka dan mudah diajak berdialog (identik dengan sifat mudah dipercaya) Tipe siswa reflektor adalah sebaliknya, cendrung sangat berhati-hati mengambil langkah, suka menimbang baik-buruk suatu keputusan..Tipe siswa teoris, biasanya sangat kritis, senang menganalisis, dan tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subyektif, curiga dan tidak menyukai halhal yang bersifat spekulatif. Tipe siswa pragmatis adalah menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari segala hal. Belahar menurut Harbernes sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun sesama manusia. Habermas membagi tipe belajar adalah belajar teknis, belajar praktis dan belajar emansipatoris. Dalam perkembangan selanjutnya selain teori Humanisme sebagai teori modern pertama, teori-teori pendidikan modern yang lain adalah teori–teori pendidikan yang tergolong kedalam pendidikan pasca klasik. Teori-teori pendidikan klasik adalah behaviorisme (yang fokus pada proses dan hasil belajar), teori kognitivisme (yang fokus pada proses belajar), humanistik (fokus pada isi/apa yang dipelajari) dan teori sibernetik (yang fokus pada sistem informasi yang dipelajari). JURNAL PENJAMINAN MUTU
2) Teori Bahaviorisme Belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat darri interaksi antara stimulus dan respon. Penganut teori ini setuju premis dasar perubahan tingkah laku, namun mereka berbeda pendapat dalam beberapa hal penting. 1) Thorndike : Belajar adalah proses interaksi antara stimulus (mungkin berupa pikiran, perasaan atau gerakan) dan respon (yang juga bisa berbentuk pikiran, perasaan atau gerakan). Perubahan tingkah laku berwujud suatu yang konkrit (dapat diamati) atau non konkrit (tak teramati). Thorndike tak menyebutkan cara mengukur tingkah laku, sehingga menjadi obsesi ahli behavior selanjutnya, Teori ini disebut juga Koneksionisme. 2) Watson : Stimulus dan respon tersebut harus berbentuk tingkah laku yang bisa diamati (observable), perubahan mental diabaikan; faktor tersebut tidak dapat menjelaskan apakah proses belajar telah terjadi atau belum. Hanya mementingkan perubahan tingkah laku yang bisa diukur (pengukuran hanya tingkah laku nyata) meskipun mengakui semua hal penting. 3) Clark Hull (Neo Behaviorisme/aliran tingkah laku baru) : Sangat terpengaruh oleh teori Charles Darwin/evolusi. Semua tingkah laku bermanfaat untuk menjaga kelangsungan hidup. Untuk itu kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis menempati posisi sentral. Stimulus/rangsangan hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, meskipun respon berbeda bentuknya. Setelah Skinner, teori ini tidak banyak dipakai dalam dunia praktis, kecuali dalam eksperimen di lab. 4) Edwin Guthrie : Stimulus tidak harus berbentuk kebutuhan biologis, yang penting hubungan stimulus dan respon bersifat sementara. Diperlukan pemberian stimulus yang sering agar hubungan menjadi lebih langgeng. Respon akan lebih kuat (menjadi kebiasaan) bila berhubungan dengan berbagai stimulus (banyak rangsangan agar tingkah laku berubah ke arah positif) 5) Skinner : Hubungan stimulus dan respon dalam perubahan perilaku, tidak sederhana; tapi stimulus yang diberikan berinteraksi satu sama lainnya, dan interaksi tersebut mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan juga menghasilkan berbagai konsekuensi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkah laku siswa. 3) Teori Kognitivisme Ciri khas kognitivisme lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar. Belajar tidak
sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, belajar melibatkan proses berpikir yang sangat komplek (erat hubungannya dengan teori Sibernetik). Teori ini mencoba menjelaskan bagaimana siswa mengolah stimulus dan bagaimana siswa sampai pada respon tertentu (pengaruh teori behavior masih tampak), lambat laun perhatian mulai bergeser, perhatian teori ini terpusat pada proses bagaimana suatu ilmu yang baru berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya telah dikuasai oleh siswa. Teori Kognitif menekankan pada ilmu pengetahuan dibangun dalam diri siswa melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungannya. Proses belajar tidak berjalan terpisah-pisah, tapi melalui proses yang mengalir, berkesinambungan dan menyeluruh sebagai satu kesatuan yang utuh masuk dalam pikiran dan perasaan siswa. Seperti membaca buku, bukan alfabet yang terpisah yang diserap oleh pikiran, tapi kata, kalimat, paragraf yang semuanya menjadi satu, mengalir, menyerbu secara total bersamaan. Dalam praktek teori ini berwujud : 1) Tahap-tahap perkembangan (Jean Piaget). 2) Belajar bermakna atau Meaningful learning (Ausubel) 3) Belajar penemuan secara bebas (Jerome Bruner) . Menurut Piaget proses belajar terdiri dari tiga tahap yaitu Asimilasi, Akomodasi, dan Equilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi yaitu proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Akomodasi yaitu penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Equilibrasi yaitu penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Proses belajar siswa harus disesuaikan dengan perkembangan kognitif siswa, yakni : tahap sensorimotor (1,5 – 2 tahun), tahap praoperasional (2/3 – 7/8 tahun), tahap operasional konkret (7/8 – 12/14 tahun), dan tahap operasional formal (14 tahun ke atas). Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika bahan ajar dan informasi lainnya mencakup semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa. Manfaat bahan ajar dan informasi yang lengkap di sampaikan kepada siswa yaitu : 1) dapat menyediakan kerangka konseptual untuk bahan ajar yang akan dipelajari siswa, 2) dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan bahan ajar yang dipelajari saat ini dengan yang akan datang, 3) dapat membantu siswa memahami bahan ajar secara lebih mudah. Bruner, mengatakan proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif, jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi, dsb) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya (free discovery learning), dengan pola berpikir “Induktif” (apreori = sebelum) teori. Siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebenaran umum. Untuk
Teori-teori Dalam Dunia Pendidikan Modern | I Nyoman Temon Astawa
71
memahami konsep “kejujuran” siswa tidak dimulai dengan menghapal definisinya, tetapi mempelajari contoh-contoh konkret tentang kejujuran. Dari contoh tersebut siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata “kejujuran”. Lawannya dari teori ini adalah belajar ekspositori (belajar dengan cara menjelaskan) dengan pola berpikir “deduktif” (sesudah teori). Siswa diberi bahan ajar yang berbentuk “definisi kejujuran” dari definisi tersebut siswa diminta untuk mencari contoh konkret tentang kejujuran. 4) Teori Sibernetik Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu informasi. Menurut teori ini belajar adalah pengolahan informasi. Teori ini mempunyai kesamaan dengan teori kognitif yang mementingkan proses. Proses memang penting dalam teori sibernetik, namun yang lebih penting lagi adalah sistem informasi yang diproses itu, informasi tersebut yang akan menentukan proses. Asumsi lain teori sibernetik adalah tidak ada satu proses belajarpun yang ideal dengan segala situasi yang cocok untuk semua siswa. Informasi akan dipelajari oleh siswa dengan satu macam proses belajar, informasi yang sama itu akan dipelajari oleh siswa lain melalui proses belajar yang berbeda hal ini disebabkan oleh (perbedaan tipe siswa yang belajar, perbedaan seni guru mengajar). Dalam bentuk yang lebih praktis, teori sibernetik telah dikembangkan oleh : Landa (pendekatan algoritmik dan heuristik) dan Pask dan Scott (pendekatan menyeluruh/wholist dan bagian/serialis) Ada dua macam proses berpikir yaitu proses berpikir algoritmik dan heuristic. Algoritmik adalah proses berpikir linier, konvergen, logis, lurus menuju kesuatu target tertentu. Heuristik yaitu proses berpikir divergen, tidak linier, tidak lurus, tidak logis, kreatif menuju kebeberapa target sekaligus. Proses belajar akan berjalan dengan baik, jika apa yang hendak dipelajari itu, merupakan masalah yang hendak dipecahkan, sistem informasi yang hendak dipelajari diketahui ciri – cirinya, suatu yang lebih tepat disajikan dalam urutan yang teratur, linier, substansial, suatu hal yang lebih tepat disajikan dalam bentuk terbuka dan memberi keleluasaan siswa untuk berimajinasi dan berpikir. Agar siswa mampu memahami sebuah rumus matematika, akan lebih efektif jika presentasi informasi tentang rumus matematika disajikan secara algoritmik. Pendekatan serialis (Pask dan Scott) sama dengan algoritmik, namun Wholist tidak sama dengan Heuristik. Cara berpikir menyeluruh adalah berpikir yang cendrung melompat ke depan lansung ke gambaran lengkap sebuah sistem informasi, seperti melihat sebuah lukisan, bukan detil-detil yang diamati lebih dahulu, tetapi keseluruhan lukisan itu sekaligus, baru sesudah itu ke bagian-bagian yang
72
lebih kecil. Pendekatan yang beroreintasi pada pengolahan informasi menekankan pada ingatan jangka pendek dan ingatan jangka panjang yang berkaitan dengan apa yang terjadi di otak dalam proses pengolahan informasi. Proses belajar dapat berjalan dengan optimal, bukan hanya cara kerja otak yang perlu dipahami, tetapi lingkungan yang mempengaruhi mekanisme itupun perlu diketahui. III. PENUTUP Teori-teori pendidikan modern, sudah dirintis dari kebangkitan Renaissance yang ditandai sebagai era kebangkitan kembali pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama. Renaissance adalah zaman peralihan ketika kebudayaan abad pertengahan mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern. Manusia pada zaman ini adalah manusia yang merindukan pemikiran yang bebas, manusia ingin mencapai kemajuan atas usaha sendiri tidak didasarkan campur tangan illah Tokoh-tokoh yang terkenal pada masa ini yakni: Roger Bacon, Copernicus, Johaness Keppler, Galilio, Galilei. Modern adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu era baru (new age) yang berfungsi untuk membedakan dengan masa lalu (the ancient), artinya modern itu tidak semata-mata ditandai dengan zaman Renaissance di Prancis hal ini menyempitkan makna dari modern itu sendiri tetapi dalam modern ada suatu era baru. DAFTAR PUSTAKA Baharuddin, H. Pendidikan Humanistik, (Konsep Teori dan Aplikasi Praksis alam Dunia Pendidikan). Karim, Muhammad. Pendidikan Kritis Transformatif, Jogjakarta: Ar. Ruzz Media,2009. Sukardjo. M. dan Komarudin Ukim, Landasan Pendidikan Konsep dan plikasinya, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2009. Tirtarahardja, Umar. dan Sulo, S.L.La. Pengantar Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005. Sudarsono, Sididjo. Teori-Teori Pendidikan Modern, IKIP Malang, 1990. Soejono. Aliran - aliran baru Dalam Pendidikan Bagian 1, Bandung: CV Ilmu, 2000. Dahar. Ratna Wilis, Teori - Teori Belajar, 1996. Soekamto. Toeti dan Winataputra, Udin Saripudin. Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran, Dirjen Depdikbud. 1999. Maba. Wayan, Materi Pembelajaran Program Pascasarjana S3, 2009 Surajiyo, Filsafat Ilmu Perkembangan di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
JURNAL PENJAMINAN MUTU
PENANAMAN AJARAN AGAMA HINDU BERBASIS BUDAYA DALAM MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK Oleh Made Mardika Guru Pendidikan Agama Hindu di SD Saraswati 6 Denpasar Abstract The rapid development of science and technology these days have influenced the characters of the children, who are faced with heavy challenges. Teaching children should be then directed towards strenghtening their morals. Regarding that, it needs a neotraditional norm that is based on the traditional origins. The Hindu education could become the normative agent that builds any modern Indonesian characters through their local wisdoms that are motivative to the children. On the instrumental level, the primary values to be taught are autonomy, dignity, creativity, morality, pride, and sense of aesthetics, and democracy awareness. They should preserve the local cultural heritage, including the languages and the arts, while adapting the global trend. As the educators, the teachers at schools as well as the parents at homes must be the role models whose responsibilities and disciplines are followed. Key words: Hindu Teachings, characters, students I. PENDAHULUAN Kemajuan suatu bangsa dan negara sangat ditentukan oleh mutu sumber daya manusia (SDM). Mutu SDM tidak hanya dilihat dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, melainkan juga karakter atau perilakunya. Untuk memenuhi SDM yang memiliki kompetensi dan karakter diperlukan sistem pendidikan yang baik. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peradaban manusia, memaksa kita sebagai bagian masyarakat dunia, turut mengejar dan mengembangkan diri agar tidak tertinggal jauh dibelakang. Dalam rangka mengejar ketertinggalan ini sebagai bangsa harus terus menerus meningkatkan diri dalam segala aspek bidang kehidupan baik ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, hukum, dan teknologi melalui pembangunan. Pembangunan bidang pendidikan yang merupakan salah satu pembangunan aspek sosial dan budaya merupakan bagian yang sangat penting dan tidak dapat ditawar lagi dan menjadi suatu keharusan dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan sumber daya Penanaman Ajaran Agama Hindu Berbasis Budaya Dalam Membantuk Karakter Peserta Didik | Made Mardika
manusia yang memiliki kemampuan/ketrampilan yang tinggi, moral dan budi pekerti yang luhur serta cerdas dan kreatif. Hal ini dimaksudkan agar mutu sumber daya manusia Indonesia dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dunia pendidikan di Indonesia yang saat ini masih belum menunjukkan wajah yang sesungguhnya, sangat wajar kalau output yang dihasilkan dari proses yang berlangsung di dalamnya tidak begitu menggembirakan. Kalangan pemerintah termasuk masyarakat nampaknya sudah terseret dalam pola pikir bahwa pendidikan semata-mata merupakan proses makanis yang berorientasi pada pola pikir yang mengedepankan pragmatisme. Pendidikan di Indonesia belum dipandang sebagai sebuah proses kultural yang lebih menekankan pada pembentukan cara berpikir yang holistik. Yang tercipta kemudian adalah generasi-generasi yang mudah berada dalam kebimbangan dalam pesatnya kemajuan perkembangan modernitas Capra (2000). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memasuki era globalisasi dan era informasi menuntut semua bidang kehidupan untuk mengaktualisasikan diri dengan kebutuhan agar tidak ketinggalan zaman. Penyesuaian-penyesuain yang dilakukan dalam bidang pendidikan demi meningkatkan kualitas pendidikan diantaranya memberlakukan kurilulum tingkat satuan pendidikan, sertifikasi tenaga pendidikan, mengadakan evaluasi hasil belajar secara nasional, mengadakan pelatihan-pelatihan kepada para pendidik (Elmubarok, 2009). Konsekwensi logis dari era globalisasi & era informasi yang meniadakan batas-batas lokal, regional dan international, adalah 73
mempercepat pengaruh budaya, pola hidup serta perilaku yang tidak sesuai dengan budaya nasional. Fakta menunjukan di masyarakat telah terjadi dekadensi moral, penyalah gunaan narkoba, penurunan iman dan takwa, disharmonisasi antar warga masyarakat, kriminal serta meningkatnya korupsi dan perilaku sex yang menyimpang. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi dunia pendidikan khususnya pendidikan agama. Memperhatikan hal tersebut di atas mengenai dilemanya proses pendidikan, mengenai kontribusi pendidikan agama termasuk pendidikan agama dalam menopang perilaku menyimpang peserta didik. Pembentukan kembali karakter peserta didik merupakan sebuah hal yang cukup sulit namun penting untuk dirilis kembali. Sebab dewasa ini pendidikan agama Hindu dihadapkan pada persimpangan jaman globalisasi yang cukup membuat resah masyarakat. Oleh karena demikian tuntutan akan pendekatan multidisiplin dalam pembelajaran agama Hindu penting digerakan kembali demi kepentingan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. II. PEMBAHASAN 2.1 Pembenahan Mutu Pendidikan Agama Hindu yang Menyimpang Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat seperti dewasa ini mempengaruhi pola kehidupan anak terutama perkembangan sikap dan kepribadiannya, karena kehidupan pada abad ini anak dihadapkan pada tantangan-tantangan yang berat. Kenyataan seperti adanya kenakalan pada anak, kesulitan para orang tua untuk mengatur anaknya, kurangnya minat belajar anak dan yang lainnya. Membina seorang anak hendaknya ditekankan pada pembentukan nilai moralnya, agar kualitas anak lebih berharga, mampu menghadapi tekanan serta rongrongan dari luar dan dalam dirinya, seseorang tidak cukup membina anak dengan kecukupan materi, apalagi kalau hal itu dilakukan berlebih-lebihan dan berakibat merusak jiwa anak (Muharyono, 2008). Sebab ilmu dan pengetahuan yang tidak dibarengi dengan tingkat keimanan dan moralitas yang tinggi menyebabkan pendidikan kehilangan esensinya sebagai wahana memanusiakan manusia. Dengan hasil sain dan teknologi berbagai temuan didapatkan, jarak waktu dapat diperpendek, berbagai macam penyakit bisa ditanggulangi, teknologi informasi berkembang pesat dan lain sebagainya, menyebabkan hidup manusia makin meningkat. Kemudahan yang didapatkan tersebut tidak akan berarti apa-apa, apabila tidak didasari oleh nilai, etika dan moral yang kokoh dalam penggunaannya. Hal tersebut bisa akan menjadi bumerang pada manusia itu sendiri. Banyak orang 74
memiliki kecerdasan yang luar biasa dan prestasi yang gemilang secara akademik namun tidak memberikan manfaat yang berarti dalam lingkungan masyarakatnya, bahkan menjadi racun yang sangat membahayakan bagi eksistensi budaya dan nilai-nilai kemanusiaan karena iman dan moralitasnya rendah. Tidak sedikit kasus amoral terjadi yang dilakukan oleh anak-anak usia sekolah maupun oleh para ilmuwan, baik melalui layar televisi maupun media masa. Pendidikan agama merupakan salah satu aspek penting dalam upaya pembentukan perilaku peserta didik. Karena itu, setiap wacana pendidikan agama selalu menarik perhatian publik. Melalui pendidikan agama, kepribadian peserta didik dibentuk dan diarahkan sehingga dapat mencapai derajat kemanusiaan sebagai makhluk berbudaya. Untuk itu, idealnya pendidikan agama tidak hanya sekedar sebagai transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan (transfer of knowledge and skill) tetapi lebih dari itu adalah transfer perilaku (transfer of attitude). Di sekolah upaya pembentukan kepribadian peserta didik secara lebih intens dilakukan melalui pendidikan agama. Diharapkan, pendidikan agama mampu membentengi peserta didik dari berbagai pengaruh negatif lingkungan, sekaligus dapat menjadi agen sosial (social agent) menuju masyarakat yang lebih berperadaban (civil society). Namun demikian, belakangan masyarakat mulai mempertanyakan efektivitas penyelenggaraan pendidikan agama dalam konteks pembentukan perilaku peserta didik. Fenomena dalam masyarakat memperlihatkan bahwa secara umum hasil pembelajaran pendidikan agama Hindu (PAH) di sekolah dewasa ini belum memuaskan banyak pihak, dan bahkan dinilai gagal. Pelajaran agama serta pesan-pesan moral yang disampaikan oleh guru di depan kelas, tidak mampu menjiwai setiap gerak langkah peserta didik dalam kehidupan masyarakatnya. Hal ini tentunya, disebabkan oleh keringnya pembelajaran yang dirasakan peserta didik, materi-materi pelajaran agama masih berorientasi pada pengajaran agama yang bersifat kognitif dan sebagai pelajaran tambahan yang harus dihapal. Disamping itu kurang keintegrasian pendidikan agama Hindu dengan mata pelajaran lain, sehingga nilai moral tidak dapat meresap dalam kepribadian peserta didik secara utuh (Tanu, 2008:207). Diantara indikator yang sering dikemukakan, bahwa dalam kehidupan masyarakat, masih dijumpai banyak kasus tindakan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran agama. Adanya kekerasan dan keberingasan yang dilakukan di kalangan pemuda, pelajar dan mahapeserta didik, masih marak diberitakan dalam media massa. JURNAL PENJAMINAN MUTU
Demikian juga perilaku maksiat, kasus kehamilan di luar nikah di kalangan peserta didik-peserta didik sekolah serta banyaknya para peserta didik sekolah terlibat dalam penggunaan narkoba, memperlihatkan adanya penghayatan peserta didik belum memadai terhadap nilai-nilai ajaran agama. Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat. Menyadari bahwa peran agama amat penting bagi kehidupan umat manusia maka internalisasi agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan, yang ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Pendidikan Agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang maha Esa dan berakhlak mulia serta peningkatan potensi spiritualnya. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan Agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan. Pendidikan Agama Hindu adalah usaha yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memperteguh sradha dan bhakti terhadap Tuhan Yang Maha Esa/ Sang Hyang Widhi Wasa sesuai dengan ajaran Weda, dengan tetap memperhatikan penghormatan terhadap agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional. Perubahan yang diperoleh individu setelah melalui suatu proses belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Pendidikan agama Hindu diharapkan dapat dipahami dengan baik oleh peserta didik, agar dengan pemahaman ini peserta didik dapat mengaktualisasikan nilai-nilai agama yang diperoleh dalam praktek kehidupannya. Guru diharapkan dapat menyampaikan materi secara komunikatif, edukatif dan persuasif sehingga tujuan yang diharapkan dapat terpenuhi. Berdasarkan uraian diatas, maka Pendidikan agama Hindu memiliki peran dalam penanggulangan perilaku yang kurang baik melalui interaksi edukatif yang dilakukan antara guru dan peserta didik. Pengembangan pendidikan lebih berorientasi pada kompetensi peserta didik, dan difokuskan pada kemampuan life skill peserta didik. Kompetensi dasar Penanaman Ajaran Agama Hindu Berbasis Budaya Dalam Membantuk Karakter Peserta Didik | Made Mardika
pendidikan agama Hindu adalah; peserta didik memiliki sradha dan bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, berakhlak mulia (berbudi pekerti luhur) yang tercermin dalam perilaku sehari-hari dalam hubungannya sebagai mahkluk ciptaan Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitar mampu membaca dan memahami kitab suci Weda, serta mampu menjaga kerukunan intern dan antar umat beragama. Pendidikan agama Hindu juga diarahkan untuk membangun kualitas mental pribadi peserta didik yang cerdas, terampil dan memiliki sikap keberagamaan, peka terhadap perubahan perilaku di masyarakat, komitmen terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup secara harmonis dan kreatif dalam masyarakat yang pluralistk, kepedulian terhadap lingkungan dan berkarya sesuai dengan swadarmanya (Tanu, 2008 : 27). Pendidikan Agama Hindu merupakan salah satu mata pelajaran yang ikut menentukan laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), oleh karena itu penyelenggaraan kegiatan pendidikan tidak bisa lepas dari peranan pendidikan agama Hindu. Hal ini dikarenakan proses pendidikan agama Hindu dijadikan sebagai sebuah media dalam mengembangkan nilai spiritual dan etika terhadap peserta didik yang telah mengalami kemerosotan. Dengan demikian peserta didik diharapkan mampu membangun segenap potensi dalam dirinya yaitu menghayati dan merefleksikan pengetahuan yang dimiliki ke dalam cara berpikir, ucapan dan tindakan sehari-hari dalam lingkungan sekolah sebagai lingkungan terkecil dalam menggali pengetahuan. Krisis moral dan etika, harus diakui telah mengkondisikan kesenjangan di masyarakat. Masyarakat mulai mempertanyakan efektivitas pendidikan agama di lembaga pendidikan. Ditengarai ada permasalahan mendasar yang layak dipecahkan guna optimalisasi pencapaian sasaran pendidikan. Keberadaan kurikulum pendidikan agamapun mulai ditimang-timang. Ternyata, terbatasnya alokasi waktu hanya tiga jam dalam seminggu dinilai oleh berbagai kalangan sebagai salah satu penyebabnya. Pemuatan materi pelajaran yang tidak sesuai dengan perkembangan peserta didik, pengetahuan yang disampaikan sangat teoritis, telah membuat membiasnya pencapaian sasaran. Fenomena tersebut terjadi karena kesenjangan antara penanaman nilai agama dengan pengetahuan. Hal tersebut mengingat bahwa ilmu dan agama pernah memiliki hubungan yang tidak harmonis di masa lalu, ketika golongan rohaniawan mendominasi seluruh aspek kehidupan manusia, tidaklah dapat dipungkiri. Karena itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami hambatan. Tetapi, di jaman modern ini, sejak jaman pencerahan Enstein menyatakan bahwa ilmu tanpa agama buta, 75
agama tanpa ilmu lumpuh (Suriasumantri, 1985). Mencermati suatu fenomena mengenai rendahnya sikap disiplin peserta didik yang sangat berimbas kepada keberadaan materi agama Hindu. Dewasa ini banyak sekali ditemukan sikap peserta didik yang sangat arogan dalam dunia pendidikan sekolah. Moral dan sikap displin peserta didik di sekolah sangat rendah yang dibuktikan oleh berbagai bukti pelanggaran peserta didik seperti: (1) Peserta didik tidak menyapa guru dengan salam yang seyogyanya; (2) cara berpakaian dan tutur kata peserta didik jauh dari kode etik seorang pelajar; (3) sering membuat kerusuhan bila ada jam kosong dan bahkan terjadi pertengkaran antar peserta didik; (4) sering membolos, terlambat dan bahkan tidak masuk sekolah tanpa alasan yang pasti. Kenyataan tersebut bila dicermati dari hakikat tujuan pendidikan sangatlah pahit, namun guru agama yang membawa misi dan pesan moral tidaklah dapat bekerja sendiri. Mengenai contoh sebuah isu menurun moral peserta didik di sekolah disebabkan oleh beberapa hal yang semestinya tidak boleh terjadi. Adapun faktor yang menyebabkan hal tersebut, yaitu : (1) kurang kesinergian dan peran aktif semua guru di lingkungan sekolah untuk peduli dalam membentuk karakter peserta didik; (2) analisis latar belakang peserta didik banyak sekali yang menjadikan sekolah tersebut sebagai sebuah pelarian; (3) tes penerimaan peserta didik tidak memperhatikan psikologis anak sehingga setelah mulai bersekolah peserta didik memiliki sifat sekehendak hati; (4) pendidikan agama sebagai modal pembentukan nilai dan karakter peserta didik, mendapatkan posisi yang terbelakang dalam artian materi pelajaran agama lain lebih penting. Kenyataan seperti hal tersebut yang menghambat proses pembelajaran, yang akhirnya menyebakan suatu dekadensi moral peserta didik. Terjadinya dekadensi moral yang sangat mengkhawatirkan menjadi indikasi betapa pendidikan formal sesungguhnya bisa divonis gagal membangun sebuah peradaban yang lebih baik. Ketika kesadaran mulai merasuki relung-relung pemikiran mereka yang memiliki kepedulian terhadap nasib generasi penerus, segera melirik pendidikan yang menekankan ajaranajaran agama sebagai solusi alternatif. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 tentang pendidikan menyebutkan antara lain pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Pendidikan agama memiliki kedudukan sangat penting dalam membentuk akhlak mulia dan moral peserta didik. Hal tersebut disebabkan oleh pendidikan agama termasuk pendidikan agama Hindu merupakan bagian integral dalam membentuk perilaku peserta didik secara nyata 76
(Tanu, 2008:13). Pendidikan Agama Hindu sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional harus memiliki kontribusi dalam rangka mengentaskan dekadensi moral dan efek negatif lainnya yang memang merupakan ranah garapan dari bidang ini sejajar dengan pendidikan agama lainnya di Indonesia, pendidikan moral dan pendidikan seni, sosial dan budaya. Gejala merosotnya moral peserta didik disebabkan oleh kurangnya pemahaman nilai normatif agama dalam kepribadian peserta didik. Selain itu, peserta didik belum siap melakukan aktivitas keagamaan secara rutinitas sebagaimana diamanatkan dalam kitab suci weda, yakni proses pembelajaran belum dipandang sebagai kewajiban moral oleh peserta didik (Tanu, 2008:192). Sehubungan dengan hal tersebut penting sekali dilakukan penggalian nilai-nilai baru dalam penyelenggaraan agama, disamping diadakan kesenergian dalam bebagai dengan pelajaran budaya dan budi pekerti dalam kehidupan peserta didik (Tanu, 2011). Hal tersebut mengingat problem seperti dekadensi moral yang muncul dalam pembelajaran agama di sekolah disebabkan adanya pemisahan peserta didik dalam proses pembelajaran agama. Fenomena tersebut dapat menimbulkan sikap berlebihan terhadap ajaran agama yang dianut oleh peserta didik (Listia, 2007). Mencermati tentang problematik pembelajaran termasuk pembelajaran agama Hindu harus mampu dikaji secara bersama-sama oleh komponen pendidikan. Moral peserta didik mengalami dilematis ditengah persimpangan jaman yang membuatnya menentukan pilihan dalam melangkah. Proses salah langkah tersebut yang menyebabkan interprestasi prilaku peserta didik menjadi buram dan merusak tatanan ranah dan nilai pendidikan yang ada. Dengan demikian penting sekali diadakan rekonstruksi mengenai nilai pendidikan bangsa melalui pembentukan karakter budaya peserta didik. 2.2 Pendidikan Agama Hindu dan Pembentukan Karakter Peserta Didik Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olah hati, olah pikir, olah rasa dan olah raga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global. Peningkatan relevansi pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi sumber daya alam Indonesia. Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan pembaharuan pengelolaan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Pendidikan yang idealnya dapat meningkatkan JURNAL PENJAMINAN MUTU
kualitas hidup dan kesejahteraan serta berupaya merekonstruksi suatu peradaban adalah salah satu kebutuhan asasi yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Hal ini juga merupakan pekerjaan wajib yang harus diemban oleh negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras dengan tugasnya serta mampu mengembangkan kehidupannya menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa. Kesemuanya itu tidak luput dari peran ilmu agama sebagai pembentuk karakteristik dan mental peserta didik yang berbudi luhur. Sehingga, penguasaan terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, aspek-aspek materi (hasil-hasil teknologi) dan kemajuan-kemajuan lainnya merupakan sesuatu yang harus disadari oleh peserta didik sebagai kebutuhan dan kewajiban yang harus selalu dilaksanakan dalam menjaga keharmonisan kehidupan. Pendidikan agama Hindu pada dasarnya memiliki prinsip yang sama dengan pendidikan lain, hanya saja tanggung jawab moral yang dipikul para pendidik agama termasuk agama Hindu lebih berat dalam memanusiakan manusia. Serangkaian uasaha membangun moral peserta didik dibutuhkan sebuah suasana baru dalam pendidikan yaitu suasana kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap peserta didik, tidak ada pendidikan tanpa dasar cinta kasih. Dengan demikian pendidikan agama Hindu yang diselenggarakan hendaknya dapat membantu peserta didik untuk berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, serta menjadi anggota masyarakat yang berguna (Pandit, 2005). Manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiannya dan mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap peserta didik. Revitalisasi sejarah pendidikan bangsa memang mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Beranjak dari fenomena dan kenyataan seperti itu maka penting sekali dilakukan penataan kembali mengenai penanaman ajaran agama Hindu yang utuh kepada peserta didik dalam dunia pembelajaran yang mikro. Menata proses pendidikan termasuk dalam ranah pembelajaran agama Hindu adalah hal yang sangat mendesak untuk dilakukan, walaupun kenyataannya diketahui sulit. Pada hakikatnya proses penataan kembali proses pembelajaran agama Hindu termasuk pelajaran yang membangun prilaku peserta didik yang lain diperlukan karena hadirnya sejumlah perubahan dalam dimensi pendidikan, yang beberapa diantaranya sangat fundamental dan tidak pernah diramalkan sebelumnya. Dunia bergerak ke masa depan dengan dinamis, dan dalam proses itu banyak nilai masa lalu yang tidak tepat lagi dengan konteks perkembangan jaman begitu pula dengan nilai normatif dalam pembelajaran Penanaman Ajaran Agama Hindu Berbasis Budaya Dalam Membantuk Karakter Peserta Didik | Made Mardika
agama Hindu. Hal tersebut disebabkan karena memang perubahan perkembangan pola pemikiran di era milinium ini mempengaruhi struktur kehidupan masnusia termasuk para peserta didik. Hal ini dapat menyebabkan sebagian peserta didik mengalami disorientasi nilai. Dalam tingkat tertentu hal tersebut juga mempengaruhi dunia pendidikan termasuk pendidikan agama Hindu, yang saat ini dirasakan betul tentang merosotnya moral peserta didik, ketidak seimbangan kecerdasan emosional peserta didik dengan kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual yang dimilikinya. Terkait dengan perubahan jaman tersebut, untuk bisa membangun paragidma pendidikan dalam lingkungan dunia baru (global) ini, diperlukan hadirnya neotradisional norm yaitu nilai-nilai baru yang berakar pada nilai-nilai tradisional (asli) dan dalam perkembangan dan perubahan nilai dapat disebut dengan dynamic integrated norm yaitu suatu perubahan nilai yang dilakukan dalam kehidupan tetapi masih bersumber dan terintegrasi dengan nilai aslinya. Sehubungan dengan dunia pendidikan, maka peranan pendidikan agama Hindu dituntut menjadi agen pembentuk karakter bangsa yang dimulai dari karakter peserta ddiknya, melalui membentuk nilainilai modern yang tetap bercirikan Indonesia dengan berbagai kearifan lokalnya (Atdmaja, 2011). Untuk itulah pengaruh pendidikan moral dan etika yang diberikan kepada peserta didik penting untuk diintegrasikan dengan pelajaran agama Hindu. Maka dari itu diperlukan pendidik agama Hindu yang berkemampuan mempersonafikasikan nilai-nilai etik kemanusiaan dan keagamaan dalam pembelajaran. Meskipun tidak berarti bahwa seorang pendidik adalah seorang malaikat, namun dinamika kehidupannya menunjukkan wajah ketulusan untuk membantu peserta didik. Terkait dengan tugas yang dipikul oleh para pendidik yang di dalam termasuk pendidik agama Hindu diperlukan serangkaian prinsip untuk dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi prinsip pendidikan agama Hindu. Salah satu prinsip yang masti dibahwa oleh para pendidik yaitu mampu melakukan proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, di mana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Budaya keteladanan, dan kedisiplinan dari para pendidik baik pendidik di sekolah maupun orang tua peserta didik harus terus dikembangkan dan memiliki tanggung jawab untuk memajukan sekolah dalam membina disiplin peserta didik (Sulhan, 2010). Rendahnya moral pendidikan kita saat ini disebabkan oleh lemahnya komitmen warga sekolah dalam 77
mewujudkan budaya sekolah. Harapan yang sekarang harus terpenuhi dalam menatata moralitas pendidikan adalah membudayakan nilai-nilai agama sesuai dengan budaya peserta didik. Pembentukan karakter peserta didik memberikan sebuah pengertian untuk menentukan apakah hubungan pembelajaran dengan pencapaian tujuan pendidikan agama Hindu, memberikan makna, untuk memfokuskan perencanaan pembelajaran dan menuju keadaan yang tepat atau cocok dengan sosio-kultural dan sosio religius yang merupakan pilar-pilar penting terwujudnya idealitas pembelajaran pendidikan agama Hindu. Dalam penanganan kendala perilaku peserta didik, guru perlu mengetahui sebab–sebab peserta didik berperilaku yang tidak sesuai dengan tujuan kurikulum pendidikan agama Hindu. Guna terwujudnya karakter peserta didik yang sesuai dengan tujuan pendidikan agama Hindu, maka pendidik harus berupaya melakukan berbagai pendektan seperti : Pertama, pendekatan kesadaran yaitu bersifat menggugah hati nurani, suara hati menjadi pengawas dirinya sendiri penerapannya melalui pengajaran sopan santun dan penanaman nilai-nilai agama Hindu. Kedua, pendekatan bersifat ajakan yaitu suatu pendekatan untuk memantapakan keyakinan dan menumbuhkembangkan serta mening-katkan motivasi dalam mencapai tujuan pendidikan agama Hindu. Ketiga, pendekatan etika melalui pendektan ini peserta didik diajarkan untuk memahami tentang perbuatan baik dan buruk (subha,asubha karma) dan penanaman perilaku dalam kehidupan seharihari yang berlandaskan dharma. Keempat, pendekatan sosial keagamaan, pendekatan ini adalah upaya meningkatkan perilaku peserta didik yang berlandaskan nilai-nilai pendidikan agama Hindu melalui kegiatan sosial keagamaan yang mencakup tiga hal yaitu dama (pengendalian diri), dana (mewajibkan pemberian dengan didasari hati yang ikhlas/lascarya), karuna (kasih sayang atau welas asih terhadap sesama). Peserta didik diajarkan berderma dengan sradha dan rasa simpati yang tinggi (mudita). Amal kedermawanan adalah sifat yang jauh lebih besar artinya dari harta kekayaan. Jika tidak dipergunakan untuk berdana punia, maka secara sepiritual tidak kekayaan materi tidak ada nilainya. Pengembangan nilai-nilai sathya (kesetiaan/ kejujuran), dharma (kebajikan), shanti (kedamaian), dan ahimsa (tanpa kekerasan). Seperti yang diajarkan dalam Bhagawadgita “advesta sava bhutanam”, jangalah membenci siapapun dan apapaun dalam ciptaan, karena Tuhan ada pada setiap nama adan wujud. Bila setiap peserta didik memiliki rasa cinta kasih yang memenuhi dirinya, maka Tuhan akan sangat mengasihinya. Antara pendidik dengan peserta didik 78
semestinya ada hubungan yang harmonis dan penuh kasih, bukan hanya sekedar hubungan yang formal dalam lembaga pendidikan. Seorang peserta didik harus dengan tulus menghormati gurunya, mentaatinya tanpa merasa terpaksa melainkan menjalani kewajiban itu dengan tulus dan ikhlas. Taitriya Upanisad mengajarkan: Matru deva bhavo, pitru devo bhavo, acharya devo bhavo, atiti devo bhavo.Hormatilah ibumu, hormatilah ayahmu, hormatilah gurumu, hormatilah tamu sebagai perwujudan Tuhan di muka bumi ini. Proses pembentukan karakter peserta didik yang berorientasi pada pemahaman ajaran agama Hindu selain yang telah diuraikan di atas, ada empat cara yang bisa dijadikan pedoman, yaitu melalui jalan Bhakti Yoga, Karma Yoga, Jnana Yoga, dan Raja Yoga. Dari keempat jalan tersebut yang paling mendektai diaplikasikan dalam proses pembentukan perilaku peserta didik dapat dilakukan melalui Karma Yoga, dan Bhakti Yoga. Melalui Karma yoga peserta didik dapat memahami ajaran agama dari perbuatan yang nyata. Lewat pola ini, peserta didik diajarkan atau diberikan pendidikan agama dengan jalan memberikan contoh-contoh yang nyata berdasarkan atas Weda, sebab agama Hindu tidak harus melalui teori semata namun bisa juga dilakukan dengan tindakan-tindakan nyata yang mencerminkan nilainilai keagamaan. Berikutnya melalaui Bhakti Yoga pada tahap ini, peserta didik diberikan tata krama bersikap sesuai ajaran agama, seperti hormat dan bhkati kepada ajaran guru yaitu guru rupaka adalah bhkati kepada orang tua di rumah, guru pengajian hormat dan bhkati kepada bapak/ibu guru yang memberikan pendidikan di sekolah, guru wisesa hormat dan bhakti kepada pemerintah dan yang paling utama adalah hormat dan bhakti kepada guru sejati yaitu guru swadyaya (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). 2.3 Pendidikan Agama Hindu sebagai Penanaman Nilai Budaya Agama Hindu sebagai suatu sistem keyakinan dapat menjadi bagian dari suatu sistem nilai yang ada dalam kebudayaan peserta didik, menjadi pendorong sekaligus pengendali bagi tindakantindakan para peserta didik tersebut agar tetap sesuai dengan nilai-nilai agama dan kebudayaannya (Sukadi, 2001:2). Dalam pengertian seperti ini maka wilayah peran dan fungsi pendidikan agama Hindu dalam proses pendidikan yang kongkret-historis adalah membudayakan prilaku peserta didik yang bernilai budaya. Pendidikan agama Hindu adalah jiwa dari proses pendidikan umatnya dalam mendukung muncul prilaku normatif yang mendukung proses pemberdayaan dan pembudayaan Sehingga pendidikan agama begitu pula dengan pendidikan agama Hindu dalam kebudayaan dapat berfungsi sebagai (1) sebagai sistem yang mengatur tindakan JURNAL PENJAMINAN MUTU
peserta didik yang berbudaya moral, (2) memantapkan, meresapkan perasaan-perasaan, motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh dan bertahan lama dalam diri peserta didik, (3) memformulasikan sekumpulan tata tertib dalam diri peserta didik (Geertz, 1977). Beranjak akan keberadaan pendidikan agama Hindu sebagai sistem nilai budaya menjadi tuntunan normatif tetapi juga nyata memberikan dorongan atau motivasi bagi kehidupan peserta didik, bagaimana setiap peserta didi memiliki sifat dan prilaku yang megandung nilai-nilai luhur. Dalam kondisi seperti itu tentu tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan agama Hindu tidaklah steril mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keseluruhan sistem budaya dalam proses pendidikan. Satu masalah yang penting kemudian muncul dari interelasi pendidikan agama Hindu dengan unsur budaya pembelajaran adalah pendidikan agama Hindu tidaklah steril dari aspek perubahan, karena tidak ada pendidikan dan kebudayaan yang tidak mengalami perubahan. Pendidikan agama Hindu harus memiliki acuan nilai kultural dalam penataan aspek legal. Tata nilai itu sendiri bersifat kompleks dan berjenjang mulai dari jenjang nilai ideal, nilai instrumental, sampai pada nilai operasional. Pada tingkat ideal, acuan pendidikan agama Hindu adalah pemberdayaan untuk kemandirian dan keunggulan. Pada tingkat instrumental, nilai-nilai yang penting perlu dikembangkan melalui pendidikan agama Hindu adalah otonomi, kecakapan, kesadaran berdemokrasi, kreativitas, daya saing, estetika, kearifan, moral, harkat, martabat dan kebanggaan. Pada tingkat operasional, pendidikan agama Hindu harus menanamkan pentingnya kerja keras, sportifitas, kesiapan bersaing, dan sekaligus bekerjasama dan disiplin diri (Geriya, 1991). Sekolah sebagai salah satu tempat menyelenggarakan pendidikan agama Hindu harus dapat melestarikan budaya lokal dengan tetap mengikuti tren budaya global yang berkembang, misalnya bahasa daerah, gamelan, dan tarian tradisional perlu dilestarikan sebagai warisan budaya bangsa. Tetapi tidak dapat kita pungkiri pula bahwa penguasaan bahasa asing, band, dan modern dance harus juga dipelajari sebagai budaya global yang disukai remaja saat ini. Karena itu, nuansa religius di sekolah dengan pelaksanaan sembahyang/ Tri Sandhya sebelum pembelajaran yang dilaksanakan harus dijadikan aktivitas rutin. Membudayakan salam dan saling menegur dengan bahasa yang ramah harus menjadi fenomena yang biasa. 2.4 Pendekatan Multikultur dalam Pendidikan Nasional Pendidikan multikultural mengandung arti bahwa proses pendidikan yang diimplementasikan pada kegiatan pembelajaran di satuan pendidikan Penanaman Ajaran Agama Hindu Berbasis Budaya Dalam Membantuk Karakter Peserta Didik | Made Mardika
selalu mengutamakan unsur perbedaan sebagai hal yang biasa, sebagai implikasinya pendidikan multikultural membawa peserta didik untuk terbiasa dan tidak mempermasalahkan adanya perbedaan secara prinsip untuk bergaul dan berteman dengan siapa saja tanpa membedakan latar belakang budaya, suku bangsa, agama, ras, maupun adat istiadat yang ada. Pendidikan multikultural sebenarnya sudah tertuang dalam filsafat pendidikan Indonesia yaitu filsafat Pancasila yang mengakui keberagaman bangsa dalam satu wadah. Multikulturalisme merupakan suatu perkembangan yang relatif paling baru dalam khazanah ilmu pengetahuan sosial dan budaya (humaniora), terutama pasca pemikiran liberalisme dalam bidang ilmu politik. Multikulturalisme terus berkembang sesuai dengan derasnya perubahan sosial-budaya yang dihadapi oleh umat manusia khususnya di dalam era dunia terbuka dan era demokratisasi kehidupan. Menurut Fay (dalam Parsudi Suparlan, 2003:1) multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Oleh karena itu, multikulturalisme seharusnya tidak dipahami semata-mata sebagai sekumpulan perbedaan belaka yang dapat dijumlahkan dan disatu-satukan secara kuantitatif, tetapi sebaliknya multikulturalisme adalah sebuah kualitas dan bukan entitas, yang secara mutlak mensyaratkan adanya, empati, solidaritas dan keadilan sosial (Budiman, 2003:2). Pada dasarnya multikulturalisme bukan sekadar wacana tetapi ideologi yang harus diperjuangkan sebagai landasan pendidikan yang mengakui dan mau membina keanekaragama dalam kehidupan. Akan tetapi sebagai sebuah ideologi multikulturalisme tidak dapat berdiri terpisah dari ideologi-ideologi lainnya; sebaliknya, multikulturalisme justru membutuhkan seperangkat bangunan konsep-konsep untuk memahaminya. Berbagai konsep yang berkaitan dengan multikulturalisme antara lain: demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos kerja, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa dan kesukubangsaan, kebudayaan etnik, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan (Fay dalam Suparlan, 2003: 4). Hal ini terkait dengan adanya paling tidak tiga faktor yang mendorong berkembangluasnya wacana pemikiran multikulturalisme, yaitu: HAM (Universal Declaration of Human Rights yang diprakarsai oleh PBB pada tahun 1948), globalisme, dan proses demokratisasi. Model pendidikan yang kiranya dapat diterapkan di Indonesia, dalam mengembangkan pendidikan multikultural, di samping melalui 79
penyempurnaan kurikulum dan bahan ajar, termasuk juga penataran guru atau dosen dan hal ini dapat dilaksanakan oleh guru dosen pemegang mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan atau Pendidikan Moral Pancasila, di samping sudah tentu para guru agama, guru bimbingan dan penyuluhan (BP) dan sangat ideal bilamana pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan peda semua mata pelajaran dan oleh karena itu semua guru di sekolah hendaknya terlibat dalam proses belajar mengajar (PBM) pendidikan multikultural ini. Tidak kalah pentingnya adalah orang tua peserta didik/ mahapeserta didik yang menumbuhkembangkannya di rumah (dalam keluarga) dan para tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam mengambil peranan, menjadi teladan dalam memajukan pendidikan multikultural ini. Media massa, khususnya TV sangat berperanan dalam menunjang pendidikan multikultural ini. Halhal yang perlu ditekankan dalam pendidikan multikultural ini antara lain: 1) Cinta dan bhakti kepada tanah air, tumpah darah tempat dilahirkan, jangan membenci atau merugikan tanah air sendiri dan tanah air orang lain. Menumbuhkan apresiasi terhadap berbagai agama dan budaya dengan mengembangkan sikap toleransi yang sejati. 2) Hormati semua agama dengan rasa hormat yang sama, setiap agama adalah jalan menuju Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula memberikan apresiasi dan penghormatan yang sama terhadap berbagai budaya, utamanya budaya daerah di Nusantara. 3) Cintai semua orang tanpa membeda-bedakan latar belakang etnis, suku, agama dan profesi orang, karena semua manusia apa pun latar belakangnya adalah satu komunitas yang tunggal.Pelihara kebersihan dan ketentraman rumah tangga dan lingkungan sosial, maka kesehatan dan kebahagiaan masyarakat akan dapat diwujudnyatakan. 4) Jadilah dermawan, jangan buat sesuatu yang menjadikan seseorang menjadi pengemis. Bantulah orang yang memerlukan sesuai kebutuhan dan menjadikan mereka mandiri. 5) Jangan menggoda seseorang dengan menawarkan/memberi hadiah atau merendahkan diri dengan menerima suap. 6) Jangan membenci, dengki, irihati dengan alasan apa pun kepada siapa pun juga. 7) Jangan bergantung pada siapapun, usahakan untuk melaksanakan sendiri sebanyak mungkin, walaupun seseorang kaya raya dan memiliki banyak pembantu, tetapi pelayanan masyarakat (seva) agar dilaksanakan langsung sendiri. Jadilah pelayan bagi diri
80
sendiri dan orang lain. 8) Jangan sekali-kali melanggar hukum yang berlaku di negara kita. Patuhilah peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadilah warga negara teladan. 9) Cintailah Tuhan Yang Maha Esa, dan segenap ciptaan-Nya dan jauhilah dosa dan perbuatan buruk. Dengan demikian, pendidikan multikultural sangat relevan dilaksanakan dalam mendukung proses demokratisasi, dimana pada pendidikan multikultural terdapat beberapa hal terkait mengenai, pengakuan hak asasi manusia, tidak adanya diskriminasi dan diupayakannya keadilan sosial. Selain itu, dengan pendidikan multikultural ini dimungkinkan seseorang dapat hidup dengan tenang di lingkungan kebudayaan yang berbeda dengan yang dimilikinya. Bila semua komponen bangsa Indonesia terpanggil untuk membangun pendidikan multikultural ini, maka pada saatnya bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang benar-benar dikenal sebagai bangsa yang sangat ramah, jujur, dermawan dan mendapatkan penghargaan, sejajar dengan bangsa-bangsa yang telah jauh lebih maju dari bangsa kita. Will Kymlicka (2003:134) mengutip pendapat Margalit dan Raz (1990: 447-9) menyatakan: “Apabila suatu kebudayaan secara umum tidak dihormati, maka martabat dan rasa harga diri para anggotanya akan juga terancam”. Pendapat Margalit dan Raz ini dapat saja terjadi di Indonesia, bila bangsa ini tidak segera mengantisipasinya dan satu cara di antaranya adalah dengan mengembangkan pendidikan multikultural, menegakkan nilai-nilai etika dan moralitas dalam membangun masa depan bangsa Indonesia. Ke depan pendidikan etika dan moralitas, disamping plularisme beragama dan multikulituralisme, serta patriotisme dan nasionalisme hendaknya lebih mendapatkan perhatian dari pemerintah. III. PENUTUP Pemikiran manusia membuat arus perkembangan zaman semakin kian menonjol, sebuah sebuah bukti timbul teknologi dalam system kehidupan. Namun di balik hal tersebut terdapat sisi gelap dari proses global yang melanda kehidupan. Sebagai sebuah subsistem yang sangat kecil yaitu dalam dunia pembelajaran sangat dirasakan sekali modernisasi diwarnai dan dimaknai tidak dengan semestinya sehingga melahirkan berbagai penyimpangan prilaku dan merosotnya moral peserta didik. Pendidikan agama Hindu sebagai sebuah subsistem pendidikan nilai dihadapakan pada dilematis di tengah persimpangan jaman, yang
JURNAL PENJAMINAN MUTU
akhirnya menuntut keras campur tangan bersama dalam membentuk moral peserta didik. Proses kesinergian pendidikan agama Hindu dengan pelajaran lain merupakan sebuah strategi dalam membentuk karakter pendidikan bangsa Indoneisa, dengan mengacu pada nilai budaya kehidupan peserta didik. Melalui pendidikan agama, kepribadian peserta didik dibentuk dan diarahkan sehingga dapat mencapai derajat kemanusiaan sebagai makhluk berbudaya. Pendidikan agama Hindu mendorong peserta didik untuk dapat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari, dan menjadikan agama sebagai landasan etika dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara mengingat suksesnya anak-anak dalam mengikuti pelajaran agama tidak bisa diukur dari perolehan angka semata melainkan juga bisa dilihat dari sikap dan perilakunya. Oleh karena itu jika semua pihak konsekuen dengan tujuan pendidikan nasional bahwa selain mencerdaskan kehidupan bangsa, juga membetuk mental spiritual seharusnya pendidikan agama mendapat porsi yang sewajarnya. DAFTAR PUSTAKA Atmajda, I N Bawa. 2001. Pendidikan Karakter Bangsa. Singaraja: Undhiksa. Budiman, Manneke. 2003. ‘Jatidiri Budaya dalam Masyarakat Multikultural’. Makalah dalam Seminar Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Budaya, diselenggarakan Dep. Kebudyaan dan Pariwisata, Bogor: tanggal 18—20 Desember 2003. Capra, F. 2000. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Elmubarok, Z. 2009. Membumikan Pendidikan Nilai, Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang Putus, dan Menyatukan yang tercerai. Bandung: Alfabeta. Geerts, C. 1977. Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia ( S. Supomo: Penterjemah). Jakarta:
Penanaman Ajaran Agama Hindu Berbasis Budaya Dalam Membantuk Karakter Peserta Didik | Made Mardika
Gramedia. Geriya, I.W. 1991. Peranan Agama Hindu dalam Transformasi Budaya. Denpasar: Institut Hindu Dharma. Hasibuan, S.P. Malayu. 1996. Manajemen Pengertian dan Masalah Dasar. Jakarta: Gunung Agung. Kymlicka, Willy, 2003. Kewargaan Multikultural. Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia. Listia, dkk. 2007. Problematik Pendidikan Agama di Sekolah. Yagyakarta: Institut Dian. Maharyono, HS, SB. 2008. Pendidikan Karakter Bangsa Indoneisa. Educare, nomor 7/5 Oktoer 2008. Halaman 22-17-21. Pandit, B. 2005. Pemikiran Hindu Pokok-Pokok Pemikiran Agama Hindu dan Filsafatnya. Surabaya: Paramita. Sukadi. 2011. Paran Ilmu Sosial dan Humaniora dalam Pembelajaran Agama. Makalah seminar di Pascasarjana IHD Negeri Denpasar. Tidak diterbitkan. Sulhan, N. 2010. Pendidikan Berbasis Karakter Sinergi antara Sekolah dan Rumah dalam Membentuk Karakter Anak. Surabaya: Jaringpena. Suparlan, Parsudi. 2003. ‘Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural’. Makalah dalam Seminar Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Budaya, diselenggarakan Departemen Kebudyaan dan Pariwisata, Bogor, tagl. 18—20 Desember 2003. Susriasumantri, J.S. 1985. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan. Tanu, I Ketut. 2008. Isu-isu Kontemporer Pendidikan Agama Hindu di Sekolah Dasar (perspektif kritis cultur studies). Denpasar: Sari Khayangan Indonesia. Titib, I Made. 2003. Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
81
IMPLIKASI GADGET TERHADAP MASYARAKAT HINDU DI BALI Oleh Ni Nyoman Sri Widiasih Dosen pada Fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar Abstrack Gadget is one of the successful communication technology products is booming in this millennium century. Gedget allows humans to interact or communicate with another human being without a limited time, place and space. Progress society characterized by the development of science and technology. Science and technology major effect on human life and activity. Positive implications that science and technology can facilitate human in Survival. With the science and technology, human creativity challenged to continue and develop ideas berkualitasnya to be something useful for humans, and the natural surroundings. While the negative implication is that he has now increasingly rely on technology to run his life, so he became a creature lazy, spoiled and less willing to work hard. In reality, not all the problems facing humanity can be solved by technology. The function of religion as a human guide in these conditions is very important. Hinduism is not anti to the technology, it Hindu suggest the importance of building a strong civilization. Hinduism has given life provision and guidelines long before humans evolved in advanced age as it is today. The concept of Tri Pramana and Wiweka should remain aware and understood in Survival. Keywords: Gadgets, Science, Religion Hindu I. PENDAHULUAN Globalisasi didefenisikan sebagai semua proses yang merujuk kepada penyatuan seluruh warga dunia menjadi sebuah kelompok masyarakat global (Sunarso dkk, 2006;134). Globalisasi disebabkan kemajuan teknologi dalam bidang komunikasi, informasi serta perekembangan transportasi. Kemajuan masyarakat yang ditandai dengan berkembangnya ilmu dan teknologi membuat umat manusia semakin mudah melangsungkan kehidupan. Contohnya, dengan ditemukannya transportasi, orang dapat dengan mudah berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Setelah ditemukannya media televisi, orang dapat melihat kejadian di belahan dunia lain dalam hitungan detik. Kecanggihan internet dan telepon seluler/ handphone, memungkikan orang dapat berkomunikasi tanpa batas waktu, tempat dan ruang. Disisi lain ada beberapa hal yang nampaknya kini sudah diabaikan karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), hal-hal tersebut diantaranya akibat dari kemudahan yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi kini manusia menjadi makhluk yang manja, hidup dengan ketergantungan pada teknologi, tidak mau lagi bekerja keras dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupannya, sehingga ketika suatu keadaan mengharuskannya untuk tidak menggunakan teknologi, manusia seperti orang yang kehilangan 82
arah dan tidak tahu harus berbuat apa. Hal inilah yang membuat manusia dapat terjebak pada pola hidup hanya untuk mengejar kenikamatan indriawi semata (http//puspadevianti.wordpress.com/2011/ 03/15/IPTEK-dalam-pandangan-hindu) Agama memberi tuntunan agar manusia bisa memanfaatkan hasil penemuan IPTEK untuk kesejahteraan bersama. Dalam Hindu ilmu pengetahuan adalah suatu hal yang sangat diagungkan sebagai suatu anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang didasari dharma, sehingga ketika seseorang memanfaatkan pengetahuan itu diharapkan selalu mengingat Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai suatu bentuk pengalaman dari berkarma berdasarkan dharma dan kemudahan serta kenikmatan yang dapat diberikan oleh hasil pengembangan IPTEK itu tentunya patut disyukuri sebagai anugerah Tuhan. Dengan pengembangan IPTEK yang tepat dan akurat, berbagai hal dapat dilakukan dengan cepat praktis dan dapat memberi kemudahan dalam menjalankan kehidupan ini tetapi tetap berdasarkan dharma sehingga keseimbangan antara hal-hal tersebut dapat tercapai sekaligus tujuan hidup manusia untuk kebebasan di dunia dan moksa dengan berdasarkan dharma. Salah satu hasil dari pengembangan IPTEK yaitu gadget. Akhir-akhir ini konsumsi gadget manejadi trend di masyarakat, bahkan dijadikan sebagai gaya hidup. Kementrian Komunikasi dan JURNAL PENJAMINAN MUTU
Informatika mencatat jumlah gadget di Indonesia sebanyak 240 juta unit, sedangkan jumlah penduduk Indonesia kurang lebih sebanyak 230 juta jiwa. Data ini menunjukan jumlah gadget lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk Indonesia, hal ini memberikan gambaran bahwa satu oang memiliki dua gadget atau lebih. Tidak heran jika Indonesia masuk lima besar sebagai negara dengan pengguna gadget terbesar di dunia, karena masyarakat Indonesia per individu bisa memiliki dua atau bahkan lebih gadget dari berbagai merk dan tipe. Banyak alasan konsumen yang akhirnya menjadikan gadget sebagai gaya hidup, disamping karena mendapatkan prestise tinggi, gadget juga memberikan kemudahan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Dengan hadirnya gadget, dunia menjadi transparan dan terasa seperti selembar daun kelor. Hubungan antarmanusia menjadi sangat mudah dan dekat, jarak waktu seakan tidak terasa dan seakan pula tanpa batas. Dengan hadirnya gadget pula, memberi peluang dan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan kejahatan. Walaupun sudah diberikan tuntunan dan masyarakat telah menciptakan hukum positif, penyalahgunaan teknologi masih selalu terjadi. Kejahatan dengan media komunikasi elektronik, seperti telepon seluler dan internet juga terjadi. Mulai bergosip, melecehkan orang lain, memfitnah, melakukan pembajakan, dan aksi terorisme yang dapat membuat masyarakat ketakutan. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, permasalahan yang diangkat yaitu Implikasi Gadget terhadap masyarakat Hindu di Bali. II. PEMBAHASAN 2.1 Sejarah Gadget Menurut Wikipedia, gadget adalah sebuah istilah yang berasal dari bahasa Inggris, yang artinya perangkat elektronik kecil yang memiliki fungsi khusus. Dalam bahasa Indonesia, gadget disebut sebagai “acang”. Salah satu hal yang membedakan gadget dengan perangkat elektronik lainnya adalah unsur kebaruan. Artinya, dari hari ke hari gadget selalu muncul dengan menyajikan teknologi terbaru yang membuat hidup manusia menjadi lebih praktis (http://en.wikipedia.org/wiki/Gadget). Beberapa sumber lain mengatakan konon gadget berasal dari lelucon di abad 19. Istilah ini digunakan sebagai istilah pengganti untuk menyebut sebuah benda yang digunakan oleh seseorang dengan daya ingat rendah. Bukti anekdot penggunaan kata gadget ada di Kamus Inggris Oxford yaitu gadget sebagai nama tempat untuk menyimpan item teknis yang mana orang tidak dapat mengingat nama sebenarnya, hal ini berlangsung sejak tahun 1850-an. Contoh, pada buku Robert Brown, Spunyarn and Spindrift pada tahun 1886
menyebutkan seorang pelaut pulang dengan membawa clipper the Cina yang pertama kali dibuat dan digunakan lalu menyebutnya gadget. Secara etimologi kata gadget ini juga berarti sengketa. Konon asal usul kata gadget tercipta ketika tiga orang sedang melakukan pembangunan besar, yakni Patung Liberty di Amerika pada 1886. Tiga orang itu berasal dari Perancis bernama Gaget, Gauthier, dan Cie. Mereka bersengketa tentang miniature patung. (http://www.anneahira.com/gadget.htm). Sementara itu, Michael Quinion, penulis Inggris penyumbamg tulisan dalam edisi kedua kata baru untuk kamus Oxford menulis asal usul istilah gadget. Menurutnya gadget identik dengan beberapa alat mekanis kecil, terkadang bentuknya tidak jelas, tapi alat ini pasti cerdik dan baru (Error! Hyperlink reference not valid.). Pendapat lain yang lebih masuk akal, istilah gadget berasal dari bahasa Perancis gchette yang dalam bahasa Indonesia berarti mencetuskan atau melahirkan sebuah gagasan baru. Hingga 1956, istilah gadget ini terus diperbincangkan. Sebuah esai yang ditulis oleh seorang kritikus arsitektur bernama Reyner Banham berjudul “The Great Gizno”, mendifinisikan gadget sebagai benda dengan karakteristik unik, memiliki unit dengan kinerja tinggi dan berhubungan dengan ukuran serta biaya. Fungsi gadget adalah untuk mengubah sesuatu menjadi hal yang dibutuhkan manusia. Dalam industri software, gadget mengacu pada program computer yang menyediakan layanan tanpa memerlukan sebuah aplikasi independen yang akan diluncurkan secara terpisah, melainkan berjalan di lingkungan yang mengelola beberapa gadget. Berdasarkan asal usul itu, maka tidak mengherankan bila handphone, laptop, tablet, dikatagorikan sebagai gadget. Berdasarkan fungsinya, tiga alat itu kini paling akrab, dan paling dibutuhkan oleh manusia dalam menjalani aktifitasnya sehari-hari. Contohcontoh dari gadget diantaranya telepon pintar (smartphone) seperti iphone dan blackberry, serta netbook (perpaduan antara computer portable seperti notebook dan internet) 2.2 Pandangan Agama Hindu terhadap Perkembangan IPTEK Focus tugas ini yaitu melihat implikasi gadget pada masyarakat Hindu di Bali, bedasarkan fokus tersebut, maka diuaraikan terlebih dulu mengenai pandangan Agama Hindu terhadap kemajuan teknologi. Dalam Hindu, ilmu pengetahuan adalah suatu hal yang sangat diagungkan sebagai suatu anugrah Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang didasari dharma, sehingga katika seseorang memanfaatkan pengetahuan itu diharapkan selalu mengingat Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai suatu bentuk
Implikasi Dadget terhadap Masyarakat Hindu di Bali | Ni Nyoman Sri Widiasih
83
pengamalan dari berkarma berdasarkan dharma, dan kemudahan serta kenikmatan yang dapat diberikan oleh hasil pengembangan IPTEK itu tentunya patut disyukuri sebagai anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan pengembangan IPTEK yang tepat dan akurat, berbagai hal dapat dilakukan dengan cepat praktis dan dapat memberikan kemudahan dalam menjalankan kehidupan ini, tetapi berdasarkan dharma, sehingga keseimbangan antara hal-hal tersebut dapat tercapai sekaligus tujuan hidup manusia untuk kebebasan di dunia dan moksa dengan berdasarkan dharma. Dengan demikian adapat dikatakan bahwa dalam Hindu IPTEK adalah suatu hal yang memang merupakan suatu hal yang sangat penting. Karena Hindu mengagungkan ilmu pengetahuan sebagai suatu anugerah Tuhan untuk dapat didayagunakan dengan baik oleh manusia sehingga dapat mempermudah manusia dalam kehidupannya, tetapi kembali lagi kepada azas tunggal yang tidak dapat diabaikan, bahwa setiap hal harus dilakukan berdasarkan dharma, sehingga keseimbangan hidup dapat dicapai untuk menuju pada tercapainya tujuan hidup dalam agama Hindu yaitu Mokshartam Jagadhita Ya Ca iti Dharma (http:// puspadevianti.wordpress.com/2011/03/15/iptekdalam-pandangan-hindu). Tujuan agama Hindu adalah Moksa dan Jagat Hita yaitu kesejahteraan sekala niskala, maka dalam mengejar kesejahteraan sekala niskala ini, mau tidak mau dihadapkan pada , karena mengikuti perekembangan dari zaman globalisai ini. Agama Hindu akan menerima perkembangan teknologi secara selektif, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama Hindu. Dalam Agama Hindu teknologi itu hanya sebagai sarana penopang/ penunjang untuk mencapai hakekat daripada tujuan hidup beragama di dalam pelaksanaan upacara/ upakara agama. Di dalam kehidupan sebagai manusia beragama, teknologi berpengaruh di dalam mencapai kesejahteraan hidup dan kehidupan. Ajaran dari agama Hindu yang digunakan sebagai tolak ukur dalam menerima/menolak perkembangan teknologi itu, yaitu : 1. Konsep Tri Semaya Konsep Tri Semaya yakni persepsi orang Hindu Bali terhadap waktu. Menurut orang Hindu Bali konsep Tri Semaya dibagi menjadi tiga yaitu penyesuaian dengan masa lampau (athita), penyesuaian dengan masa yang akan datang (anaghata) dan penyesuaian dengan masa sekarang (warthamana). Tri Semaya merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini 84
ditentukan oleh hasil perbuatan masa lalu dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Kemajuan IPTEK memiliki implikasi yang sangat penting sekali dalam mempercepat, memperluas jangkauan penyebaran ajaran Weda yang merupakan kitab suci umat Hindu dan memuat pengetahuanpengetahuan Agama Hindu yang berasal dari masa lalu ke masa sekarang dan mendatang, dan konsekuensinya akan sekaligus mendobrak ajaran ajewera. Ajewera yang merupakan peringatan kepada semua orang untuk selalu hati-hati dalam mempelajari Weda. Ajewera berkaitan berbagai hal antara lain, Away sira pwang anglem druwya (tidak boleh tidak iklas); Arwya wak purusa (tidak boleh berkata kotor); Away sira angawu-ngawu (tidak boleh mengotori); Away angurang-ngurangi (tidak boleh mengurangi); Ujar menak pwa sira warahan (berkatalah yang baik mesti dalam ucapan). Semua itu mengandung maksud bahwa Weda mengandung pengetahuan rohani yang sangat rahasia dank arena itu perlu kehati-hatian dalam mempelajarinya dan menambahkan dengan komentar ajewer. Prinsip kehati-hatian dalam memepelajasi Weda sudah disyaratkan oleh Bhagawa Wyasa di dalam Bhagawad Gita sebagai berikut, “pengetahuan ini jangan pernah dijelaskan kepada orang yang tidak melakukan tapasya, tidak setia, tidak menekuni cinta bhakti atau yang iri kepadaKu” (BG 18.67) “Siapa pun yang menjelaskan rahasia paling utama ini, akan mencapai bhakti yang murni dan akhirnya akan kembali kepada-Ku. Tidak ada orang di dunia ini yang lebih kucintai daripada dia” (BG.18.68-69) Jadi demikian cara Weda diajarkan, bahwa siapapun yang bersedia menjadi dharmaduta Weda, itulah jaminannya. Namun harus memiliki kualifikasi yang sesuai terlebih dulu sehingga umat yang diajarkan akan menjadi umat-umat yang suci lahir batin dan bukan hanya sekedar menjadi anggota atau pengikut. Selain itu juga bukan sekadar menghafal semua sloka yang akhirnya berpikir bahwa dirinyalah yang paling berpengetahuan dan sukses. Ketika seseorang ingin mempelajari sebuah kitab suci berhati-hatilah senantiasa agar sikap perilaku mencerminkan sikap dan tingkah laku dari orang0orang suci yang dimuliakan (http:// www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/3/19/s1.htm) Konsep pendakian kesempurnaan Weda harus melalui sistem pewartaan Itihasa dan Purana, seperti dinyatakan dalam kitab Vayu Purana I.20 yang berbahasa sansekerta :Hendaknya Weda ditawarkan melalui Itihasa dan Puarana. Weda takut kalau orang bodoh membacanya. Weda berpikir bahwa orang JURNAL PENJAMINAN MUTU
bodoh itu akan melawan ajaran Weda. Sejalan dengan sloka Vayu Purana itu adalah Sarasamuscaya 39 dalam penjelasan bahasa Jawa Kunonya persis seperti isi Vayu Purana tersebut. Ini artinya artinya masyarakat yang tidak memiliki kemampuan atau kesempatan mendalami mantrammantram Weda Sruti dan sloka-sloka Weda Smrti dengan memahami isi Itihasa dan Purana sudah berarti mendalami isi Weda. Mendalami isi Weda bukan untuk dihafal. Yang paling utama adalah pemahaman akan isi Weda itu dapat menimbulkan perubahan diri menuju perubahan diri yang semakin dekat dengan Tuhan ( Dewa Abhimana), semakin dekat dengan kebenaran (Dharma Abhimana) dan semakin dekat dengan pengabdian pada tanah kelahiran (Desa Abhimana). Melalui Itihasa dan Purana nilai-nilai Weda yang universal itu ditanamkan ke dalam sanubari umat. Dengan demikian nilai-nilai Weda tersebut menjadi bagian yang integral ke dalam diri setiap umat. Inilah yang lebih penting daripada menghapalkan syairsyair suci Weda (http://balipost.co.id/BALIPOST CETAK/2005/4/19/02.htm). 2. Konsep Tri Pramana Konsep Tri Pramana mempunyai arti tiga cara umat Hindu meyakini adanya Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Cara-cara tersebut adalah Pratyaksa Pramana (berdasarkan penglihatan langsung), Anumana Pramana (berdasarkan kesimpulan yang logis) dan Agama Pramana (berdasarkan kebenaran yang sesuai dengan ajaran kitab suci agama Hindu). 3. Rasa, Utsaha, dan Lokika (akal) Tri Semaya, Tri Pramana, Rasa, Utsaha dan Lokika, semua hal itu harus disesuaikan dengan Desa (penyesuaian dengan tempat), Kala (penyesuaian dengan waktu) dan Patra (penyesuaian dengan keadaan) daerah setempat karena di Bali mempunyai desa, kala, patra yang berbeda-beda. Maka dari itulah perkembangan IPTEK harus disesuaikan dengan desa, kala, patra yang juga didukung dengan nilai-nilai dari ajaran agama. Jadi, gadget tetap saja memiliki keterbatasan dalam hal-hal yang bersifat khusus desa, kala, patra. 2.3 Implikasi Gadget terhadap masyarakat Hindu di Bali Berikut diuraiakn Implikasi Gadget terhadap masyarakat Hindu di Bali berdasarkan teori tujuh unsur kebudayaan oleh Koentjaraningrat: a. Peralatan dan Perlengakapan Hidup Manusia Pergeseran masyarakat Hindu tradisional menuju masyarakat modern membawa dampak positif yang sangat signifikan yaitu masyarakat yang dulunya hidup tradisional, kini dapat
beraktivitas jauh lebih mudah. Contoh: pada masyarakat tradisional untuk menjalin komunikasi dengan orang lain yang berada di suatu tempat yang jauh biasanya menggunakan tulisan tangan dalam bentuk surat, sekarang sudah bisa melalui gadget dengan fasilitas telepon, Short Messages Sevice (SMS) dan electronic mail (e-mail). Komunikasi dalam masyarakat Hindu di Bali menjadi cepat dan mudah dilaksanakan dengan hadirnya gadget, tanpa perlu membeli kertas, tinta, amplop dan perangko, serta tak perlu jauh-jauh ke kantor pos. Seseorang dengan mudahnya berkomunikasi atau melakukan percakapan melalui gadget, sehingga dapat menambah keakraban serta mempercepat persatuan bagi para umat seagama maupun berbeda agama, karena intensitas kemunikasi menjadi semakin murah, mudah, praktis, dan cepat, serta tidak terbatas ruang dan waktu. Dampak positif lainnya yaitu dengan berkembangnya gadget pada masyarakat Hindu di Bali komunikasi tidak hanya dilakukan dengan alat komunikasi tradisional masyarakat Hindu Bali yaitu Kulkul, tetapi juga dilakukan dengan bantuan gadget. Kulkul yang terdapat di banjar atau yang biasa disebut kulkul banjar, masyarakat Hindu Bali memiliki spirit kebersamaan yang tinggi, karena setiap mendengar bunyi kulkul ditabuh, warga akan berbondong-bondong datang ke banjar untuk melakukan aktivitas gotong-royong, menandakan adanya warga yang meninggal dunia (kematian), menandakan adanya marabahaya, misalnya: banjir, kebakaran, pembunuhan, perampokan. Dengan hadirnya gadget, komunikasi yang dilakukan dapat sampai walaupun warga banjar berada di tempat atau lokasi yang jauh yang tidak tejangkau oleh suara kulkul. Di samping dampak positif, terdapat juga dampak negatif dari hadirnya gadget. Dapat dilihat saat ini penggunaan kulkul pada masyarakat Hindu Bali sudah tidak seefektif dulu bahkan di beberapa banjar terutama di daerah perkotaan seperti Denpasar dan sekitarnya, kulkul sudah tidak digunakan lagi sebagai alat komunikasi. Selain itu dampak negatif pada hilangnya tradisi mengirim kartu ucapan yang sudah turun-temurun, serta kerapkali ucapan yang dikirim melalui gadget diambil atau di copy dari ucapan atau kata-kata milik orang lain yang telah terlebih dahulu mengirimkan ucapan. Bahkan tak jarang pula ucapan yang dikirim cukup ditulis hanya satu, kemudian dalam satu klik, semua orang yang
Implikasi Dadget terhadap Masyarakat Hindu di Bali | Ni Nyoman Sri Widiasih
85
masuk daftar penerima akan menerima ucapan yang sama. Hal ini tentunya berakibat ucapan yang dikirim terasa kurang sopan dan kurang berkesan. b.
86
Mata Pencaharian Hidup dan Sistem Ekonomi Dampak positif gadget dilihat dari mata pencaharian dan sistem ekonomi yaitu cukup banyak masyarakat Hindu di Bali yang bekerja atau menjadi pemilik perusahaan atau toko-toko penjual gadget, penjual kelengkapan gadget seperti pulsa, accessories gadget maupun pelayanan jasa perbaikan gadget. Dengan kata lain, hadirnya gadget membawa dampak positif bagi masyarakat Hindu di Bali yaitu dapat mengurangi pengangguran dan meningkatkan taraf hidup. Gadget sebagai alat komunikasi juga berdampak positif yaitu sangat membantu masyarakat Hindu di Bali dalam bekerja. Bagi pengusaha gadget bisa digunakan sebagai alat kontrol dalam berbisnis misalnya dalam menjalin hubungan dengan karyawan atau rekan bisnis. Bagi masyarakat Hindu di Bali yang berprofesi sebagai petani maupun pedagang hadirnya gadget sangat membantu disaat petani maupun pedagang ingin menjual hasil panen atau barang dagangannya. Petani maupun pedagang menjalin hubungan dengan pembeli. Kemampuan pelayanan internet yang dimiliki gadget juga dapat mempermudah dalam sistem jual beli diantara penjual dan pembeli ditambah lagi transaksi yang kini dapat dilakukan secara mobile dengan bantuan gadget. Gadget menawarkan fitur browsing dengan tampilan yang cukup untuk melihat barang dan melakukan transaksi. Sebagai contoh, begitu halnya dengan masyarakat Hindu Bali yang menjual peralatan maupun perlengkapan sembahyang melalui situs online seperti menjual kebaya, kain, udeng. Berbagai alternative promosi yang praktis dan murah saat menjual juga dapat dilakukan melalui gadget. Gadget memberikan kemudahan memilih promosi alternatif untuk mensosialisasikan bisnis pada masyarakat baik melalui iklan baru, SMS atau e-mail maupun melalui media sosial seperti facebook dan twitter. Dampak negatif hadirnya gadget yaitu seringkali masyarakat tertipu oleh pedagangpedagang nakal yang menawarkan atau mempromosikan barang dagangannya memiliki gadget. Penipuan yang terjadi misalnya ketika uang sudah ditransfer oleh pihak pembeli, barang tidak dikirim oleh pihak penjual atau
kondisi barang tidak sesuai dengan yang ada di foto atau rincian detail barang. c.
Sistem Kemasyarakatan Dampak positif hadirnya gadget menyebabkan dunia menjadi transparan, terasa seperti sehelai daun kelor yang segalanya seakan mudah untuk dijangkau dalam genggaman tangan, karena hubungan menjadi sangat mudah dan dekat, jarak dan waktu seakan tidak terasa dan seakan pula tanpa batas. Di sisi lain kehadiran gadget juga membawa dampak negatif yaitu menciptakan kesenjangan sosial dalam masyarakat Hindu di Bali. Kesenjangan sosial yang tercipta seperti jarak antara si kaya dan si miskin dan hal ini bisa merusak nilai-nilai dan juga akan memicu prasangka sosial maupun persaingan dalam kehidupan. Mempunyai penghasilan besar mungkin bisa menjadikan alasan seseorang memiliki lebih dari satu gadget. Ketika konsumsi gadget bukan lagi sebuah kebutuhan tetapi menjadi sebuah keinginan, maka akan mudah berganti gadget ketika harga gadget turun, atau ketika ada gadget tipe baru yang dikeluarkan. Inilah yang menyebabkan gadget menjadi alat sebagai gaya hidup yang dipandang di masyarakat sebagai ukuran kekayaan. Hadirnya gadget juga menyebabkan masyarakat Hindu di Bali menjadi individualistis. Masyarakat merasa sangat dimudahkan dengan gadget dan membuat merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam aktivitasnya. Kadang-kadang masyarakat lupa akan dirinya sebagai makhluk sosial dan cenderung untuk hidup sendiri-sendiri tanpa memperhatikan orang lain, rasa gotong royong, ramah tamah dan sopan santun mulai memudar. Nilai-nilai yang telah dijunjung sesuai budaya leluhur masyarakat Bali mulai ditinggalkan. Akibat dari memudarnya nilai-nilai budaya lokal akan menimbulkan sikap individualistis. Penggunaan gadget dengan fasilitas internet juga menimbulkan efek negatif yang merugikan masyarakat sendiri. Tak jarang terjadi perselisihan akibat kesalahpahaman maksud dan tujuan ataupun karena salah memajang status atau memberikan komentar suatu status facebook dan jejaring sosial lainnya, yang akhirnya justru menambah renggangnya hubungan di masyarakat. Konflik yang terjadi akibat kesalahan di dunia maya memamng sangat mungkin terjadi, karena kata-kata yang diucapkan lewat facebook mungkin sering menimbulkan salah paham. Adakalanya
JURNAL PENJAMINAN MUTU
bisa menyesatkan tanpa bimbingan seorang guru yang berkualifikasi di bidang spiritual Weda. Di dalam kitab Sarassamuccaya, juga dalam Visnu Purana, disebutkan bahwa Weda tidak boleh dipelajari oleh orang awam. Untuk dapat dibolehkan mempelajari Weda, salah satu syaratnya harus mempelajari Itihasa dan Purana, Ramayana dan Mahabarata tergolong ke dalam Itihasa (http:/edukasi. kompasiana. com/2013/08/23/salah-kaprah-tentangmahabarata-585925.html). Dalam kaitan ajaran agama Hindu keberadaan IPTEK memiliki implikasi yang sangat penting sekali dalam mempercepat, memperluas jangkauan penyebaran ajaran Weda yang berasal dari masa lalu ke masa sekarang dan mendatang, dan konsenkuensinya akan sekaligus mendobrak ajaran ajewera. Masalahnya apabila ajaran ajewera dilabrak, maka kebebasan ini bisa menjadi boomerang bagi kebenaran yang sepatutnya ingin disampaikan oleh kitab suci, diakibatkan oleh keterbatasan dan kebodohan dalam menafsiran oleh orang-orang yang belum memiliki kualifikasi sebagai duta dharma.
pertengkaran itu dilanjutkan di dunia nyata yang berakhir dengan perkelahian. Bahkan tidak sedikit kasus perselingkuhan dalam rumah tangga terjadi lewat akun facebook. Awalnya mungkin karena iseng-iseng mengisi waktu, mencari teman curhat, terus menjadi keasyikan dan akhirnya berlanjut pada tahap yang serius cenderung negatif. Kalau sudah demikian, maka jangan heran jika berakibat pada pertengakaran antar pasangan dan lebih parah lagi bisa memicu perceraian. d.
e.
Bahasa (Lisan, Tulisan) Salam dalam masyarakat Hindu Bali atau biasa disebut panganjali adalah Om Swastyastu yang artinya yaitu Semoga Selamat. Akhir-akhir ini dengan hadirnya gadget, maka salam itu pun mengalami perkembangan dalam penulisan yang disingkat dalam mengirim SMS seperti diketik kata OSA, yang seakan singkatan dari Om Swastyastu, OSSSO yang diartikan sebagai kepanjangan dari Om Shanti, Shanti, Shanti, Om. Namun di dalam surat menyurat resmi antar instansi Hindu tetap saja penulisan salam pembuka dan penutup dengan kata yang lengkap, yaitu Om Swastyastu dan Om Shanti, Shanti, Shanti, Om yang artinya semoga selamat dan semoga damai di hati damai di bumi damai selalu. Sistem Pengetahuan Gadget dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak melihat sesuatu yang sedang terjadi di luar sana atau merupakan sarana belajar untuk mengetahui berbagai peristiwa. Dengan kata lain gadget membawa dampak positif yaitu bisa membentuk sumber daya manusia yang intensif karena umat secara tidak langsung memperoleh pengetahuan agama melalui penggunaan gadget. Penyebaran ajaran-ajaran agama Hindu juga bisa dilakukan dengan mudah melalui gadget. Tetapi tetap saja memiliki keterbatasan dibanding dengan sistem pendidikan langsung di pasraman, karena sangat terkait dengan pendalaman psikologi peserta didik oleh para guru spiritual. Dampak negatif gadget dari segi pengetahuan yaitu pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh memalui gadget tidak bisa dipastikan kebenarannya, misalnya penafsiranpenafisiran agama Hindu yang tidak sesuai (salah penafsiran). Walau sangat canggih, maka tetap saja teknologi informasi memiliki keterbatasan dalam menyampaikan ajaran agama, terutama dalam hal penglihatan langsung dan penarikan kesimpulan logis yang
f.
Religi (Sistem Kepercayaan) Dampak positif hadirnya gadget yaitu dapat mebantu masyarakat Hindu Bali dalam beribadah karena gadget memiliki banyak aplikasi Agama Hindu misalnya aplikasi kalender berguna untuk memberikan informasi mengenai jadwal berbagai upacara keagamaan di beberapa pura besar di Bali, terutama Pura Besakih. Pustaka Hindu memuat kumpulan doadoa keseharian, juga kitab suci Bhagavad Gita dan Sarasamuscaya. Kehadiran gadget dalam masyarakat Hindu Bali mampu mempercepat dan memperluas penyebaran pengetahuan umum agama Hindu, untuk memenuhi kebutuhan umat yang kini semakin haus akan ajaran Hindu. Seperti kata pepatah mengatakan “jika tak kenal, maka tak sayang” dan “semakin kenal, maka semakin sayang”. Dengan bantuan gadget ini umat Hindu menjadi semakin kenal dan sayang akan ajaran agamanya sendiri, terbukti kebangkitan umat untuk bertirtha yatra setiap hari penting Hindu semakin meningkat terutama di kalangan kawula mudanya. Hal ini sejalan dengan konsep Tri Pramana yaitu agar para umat yang beragama Hindu mengaplikasikan nilai-nilai agamanya pada teknologi meningkatkan atau memperdalam keimanan kepada Tuhan. Penggunaan gadget bila digunakan untuk memperdalam pengetahuan dan keimanan itu baik. Tetapi sebaliknya dan ini sebuah
Implikasi Dadget terhadap Masyarakat Hindu di Bali | Ni Nyoman Sri Widiasih
87
g.
kenyataan bahwa gadget membawa dampak negatif jika digunakan untuk mengakses video porno atau yang bertentangan dengan normanorma agama Hindu . Selain itu apresiasi terhadap nilai budaya lokalpun pudar serta nilai keagamaan akan mengalami kemunduran. Dapat dilihat pergeseran nilai yaitu beralih ke budaya barat dan budaya lainnya. Seringkali ditemui juga bahwa seseorang melupakan atau menunda kegiatan ibadah karena terlanjur asyik dengan fitur gadget yang menarik seperti game, akses, social media. Melalui gadget dengan mudahnya seseorang terangsang pola hidup konsumerisme yang berlebihan hingga terjerumus ke pola hidup hedonism, yakni hidup dengan memikirkan kepuasan dan kenikmatan semata-mata.
menggunakan akal budhi dan pikirannya untuk bisa melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Selain ittu, manusia juga memiliki Wiweka yaitu kemampuan untuk membedakan serta meilah-milah baik dan buruk, benar dan salah dan sebagainya. Sesungguhnya jika wiweka manusia tersebut benarbenar difungsikan atau digunakan dengan baik, maka hal-hal negatif di dunia maya maupun di dunia nyata tentu akan dapat dihindarkan.
Kesenian Musik Hindu atau yang dikenal dengan istilah kidung jarang diminati oleh masyarakat Hindu Bali terutama kalangan remaja. Seiring hadirnya gadget, masyarakat Hindu Bali terutama remaja dapat dengan mudah mengakses maupun menyebar Kidung Bali. Tak jarang pula yang bahkan menjadikan Kidung Bali sebagai nada dering atau ringtone pada gadget miliknya. Dengan kata lain haidirnya gadget menyebabkan Kidung Bali menjadi lebih dikenal dan mendorong seniman-seniman Hindu Bali untuk semakin berkarya.
Studi Internet :
III. PENUTUP Pada era globalisasi telah terjadi perubaahanperubahan yang berlangsung sangat cepat. Dunia menjadi transparan, terasa sempit, hubungan menjadi sangat mudah dan dekat. Jarak waktu seakan tidak terasa dan seakan pula tanpa batas dengan hadirnya gadget. Agama Hindu tidak pernah melarang umatnya untuk memenuhi kebutuhan/ keinginan hidupnya, namun ada batasan-batasan yang harus diperhatikan. Jika ditimbang-timbang, dampak negatif yang timbul akibat gadget sesungguhnya bersumber dari penggunanya (user) itu sendiri. Pengguna, dalam ini manusia tentunya merupakan kunci utama atau pengendali agar jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Menurut ajaran Hindu, manusia dibekali dengan Tri Pramana yaitu Bayu (Tenaga), sabda (Perkataan), dan Idep (Pikiran). Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya yaitu hewan dan tumbuhan. Hewan memiliki bayu dan sabda, sehingga dapat beregerak dan bersuara. Sedangkan tumbuhan hanya memiliki bayu/tenaga untuk tumbuh dan berkembangbiak. Dengan segala keunggulan yang dimiliki itulah semestinya manusia dapat benar-benar menjadi makhluk yang utama. Manusia seharusnya dapat
88
DAFTAR PUSTAKA Kontjaraningrat.200. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Radar Jaya Offset. Sunarso, dkk.2006. Pendidikan Kewargane-garaan. Yogyakarta. UNY-Press. Adnyani, Ni Made.2012. Rsi Vyasa Sang Pangeran Penemu Teknologi Vidio Call. (serial online). Available from; URL: http:/tamandharma. blogspot.com/2012/08/rsi-vyasa-sang-penemu-teknologi-vidio.html. diakses 30 september 2014. Devianti, puspa.2011. IPTEK Dalam Pandangan Hindu. (serial online). Available From. URL: http://puspadevanti.wordpress.com/2011/03/ 15/IPTEK-dalam-pandangan-hindu/.Diakses 30 September 2014. Gobyah.2003. Intisari Tradisi Hindu adalah Weda. (serial online).Available from: URL:http:// www.balipost.co.id/BALI POSTCETAK/ 2003/3/19bd4.htm. Diakses 30 September 2014. Indri. 2009. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam Agama Hindu. (serial online).Available From: URL: http:// indrimyutz. wordpress.com./2009/10/30/ pemanfaatan-teknologi-si-dankomunikasidalam-agama-hindu/. Diakses 30 September 2014 Mupu, Merta.2013. Salah Kaprah Tentang Mahabharata. (serial online). Available from:URL; http://edukasi.kompasiana. com/ 2013/08/23/salah-kaprah-tentangmahabharata-585925.html. Diakses 30 September 2014. Wikipedia.2014.Gadget. (serial online). Available from: URL:http:// en.wikipiedia.org/wiki/ Gadget.Diakses 30 September 2014
JURNAL PENJAMINAN MUTU
ETIKA SEBAGAI DASAR PENGENDALIAN DIRI MANUSIA Oleh I Nyoman Subagia Dosen pada Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar Abstract Men are full of desires that need to be satisfied through functioning the senses, which are part of the mind used for reasoning, feeling, and acting. From the senses happiness or sadness may come. When the senses are connected to the out world the selves within may see problems even calamities if the desires are uncontrolled. In Hindu there are several teachings that can be refered to as the ethics for controlling the self. Trikaya Parisudha teaches that life should be directed to reach happiness by thinking, speaking, and doing good. The Sad Ripu teaches the six enemies within self that are to fight, namely desires, greediness, anger, disorientation, drunkness, and envy. Sapta Timira teaches seven things that can blind the mind, namely beauty, rich, intellectuality, family line, youth, alchoholic beverage, braveness. Beisdes all of them, the inclination of being good or bad that are latent within the self should be also realized as Hindus. Key Words: Ethics, Self-Control I. PENDAHULUAN Manusia adalah homo sosius makhluk berteman.Ia tidak dapat hidup sendirian, ia selalu bersama sama dengan orang lain. Manusia hanya dapat hidup dengan sebaik- baiknya dan manusia hanya akan mempunyai arti, apabila ia hidup bersamasama dengan manusia lainnya di dalam masyarakat. Tidak dapat dibayangkan adanya manusia yang hidup menyendiri tampa berhubungan dan tampa bergaul dengan sesama manusia lainnya. Hanya dalam hidup bersama manusia akan dapat berkembang dengan wajar. Hal ini ternyata bahwa sejak lahir sampai meninggal manusia memerlukan bantuan orang lain, untuk kesempurnaan hidupnya. Bantuan ini tidak hanya bantuan untuk memenuhi kebutuhan jasmani tetapi juga untuk kebutuhan rohani. Manusia sangat memerlukan pengertian, kasih sayang, harga diri, pengakuan,dan tanggapantanggapan emosional yang sangat penting artinya bagi pergaulan dan kelangsungan hidup yang sehat. Semua kebutuhan ini merupakan kebutuhan rohani hanya dapat ia peroleh dalam hubungannya dengan manusia lain dalam masyarakat. Inilah kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Tidak ada seorangpun yang dapat mengingkari hal ini karena ternyata bahwa manusia baru dapat disebut manusia dalam hubungananya dengan orang lain, bukan dalam kesendiriannya. Dalam kehidupan bersama ini orang harus mengatur dirinya dalam bertingkah laku. Tak ada seorangpun boleh berbuat sekehendak hatinya. Ia harus menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan, tunduk kepada aturan bertingkah laku yang berlaku. Dengan demikian maka orang hanya bebas berbuat dalam ikatan haturan tingkah laku yang baik. Peraturan untuk bertingkah laku yang baik disebut orang tata susila. Nama lainnya adalah etika. Bila etikad beretika masih dalam angan disebut orang budi yang baik dan bila diwujudkan dalam tindakan disebut budi pakerti yang baik. Dalam tujuan etika ini maka orang dinilai dari tingkah laku, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat. II. PEMBAHASAN 2.1 Pengendalian diri Agar manusia tidak dikuasi oleh kecendrungankecendrungan yang rendah ia harus mengendalikan diri dari guncangan-guncangan hati yang tidak baik. Guncangan- guncangan itu semula ada dalam angan dalam bentuk keinginan. Dengan kemampuan berwiweka maka manusia dapat memilih yang baik yang benar dan menghindarkan diri dari yang buruk dan salah dalam memenuhi segala keinginannya. Setiap keinginan menuntut kepuasan pada obyeknya. Indria merupakan alat untuk memenuhi keinginan itu. Indrialah yang mengubungkan manusia dengan alam ini. Sentuhan indria dengan alam ini menimbulkan guncangan-guncangan pribadi manusia. Bahkan tidak jarang manusia mendapatkan celaka kerena terlalu memenhi keinginan indrianya. Karena itu orang harus dapat mengendalikan indria pada hal-hal yang membawa pada kerahayuan. Kitab Sarasamuscaya sloka 71 mengatakan demikian :
Etika Sebagai Dasar Pengendalian Diri Manusia | I Nyoman Subagia
89
Indriyâòyayeva tat sarvam yat Svarga narakâvubhau, Nigºhîtanisºººtâni svargaya narakâca ya. Terjemahannya: Inilah yang patut saya ajarkan lagi, Inrialah yang dianggap penyebab sorga dan naraka , bila orang sanggup mengendalikannya, itu semata-mata sorga namanya, tetapi bila tidak sanggup mengendalikannya benar-benar narakalah ia. ( Kajeng,1999:60). Kitab katha Upanisad I . 3 menyebutkan demikian: Âtmanah rathinam viddhi , Úarîram ratham eva tu, Buddhim tu sarathim viddhi. Manah pragraham eva ca. Terjemahannya : Katahuilah bahva sang pribadi adalah Tuanya kereta, badan adalah kereta Ketahuilah bahwa kebijaksanaan itu adalah kusir dan pikiran adalah tali kekangnya. (Sura, 1991 ;36). Indria adalah kuda, sasaran indria adalah jalan sang atma dihubungkan dengan badan, indria dan pikiran adalah menikmati. Dia yang memiliki kesadaran, yang pikirannya selalu terkendali, yang indrianya dapat diawasi semua itu laksana kuda yang bagus bagi si kusir. Tetapi ia yang tidak memiliki kesadaran, yang tidak kuasa atas pikirannya yang tidak suci, ia tidak akan sampai pada tujuan hidupnya bahkan akan kembali pada kesengsaraan. Ia yang memiliki kesadaran yang kuasa atas pikirannya yang senantiasa suci bersih, akan mencapai tujuan hidupnya dan karena itu tidak akan dilahirkan ke dunia ini lagi. Ia yang memiliki kesadaran akan kusir kereta itu dan dapat mengendalikan tali kekang pikirannya, ia akan mencapai akhir dari perjalannya itu yaitu alam tertinggi alamnya ia mencapai segalanya. 2.2 Pengertian Etika Etika adalah pengetahuan tentang kesusilaan. Kesusilaan berbentuk kaidah -kaidah yqng berisi larangan-larangan atau suruhan - suruhan untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian dalam etika, kita akan dapati ajaran tentang perbuatan yang baik dan perbuatan yanag buruk. Perbuatan yang baik itulah supaya dilaksanakan dan perbuatan yang buruk itu harus dihindari. Tiap-tiap perbuatan itu berdasarkan atas kehendak atau budhi. Jadi apa yang diperbuatan orang itu bermula dari kehendak. Oleh karena manusia 90
dihadapkan kepada dua pilihan yaitu pilihan kepada yang baik dan yang buruk maka ia harus mempunyai kehendak bebas untuk memilih. Tampa kebebasan itu orang tidak dapat memilih yang baik.Namun bebaskah manusia sebebas-bebasnya mrmilih menurut kehendaknya ? Dalam hubungan ini manusia mempunyai kebebasan yang terbatas juga. Yang membatasinya itu adalah aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku. Pada mulanya norma berarti penyiku, suatu perkakas yang digunakan oleh tukang kayu untuk mengetahui apakah suatu sudut memang benarbenar siku-siku. Bahkan pembuat perabot rumah tidak akan secara untung-untungan menggergaji sebilah papan , sebelum ia menggambarkan sebuah sudutsiku-siku pada papan tersebut. Dengan demikian norma berarti sebuah ukuran yang kemudian dalam hubungan dengan etika berarti pedoman, ukuran atau haluan untuk bertingkah laku. Norma ini timbul karena kita berada bersama orang lain dan lingkungan hidup dan alam. Etika dalam agaama Hindu adalah tentu norma agama Hindu yang dijadikan titik tolak berpikir. Demikian pula pola-pola kepercayaan , paham-paham filsafat agama Hindu mempunyai kedudukan yang amat penting dalam etika Hindu. Kepercayaan agama Hindu berpangkal dari kepercayaan kepada hyang Widhi yang berada di mana-mana, yang mengetahui segalanya. Beliau adalah saksi agung yang menjadi saksi segala perbuatan manusia. Karena itu manusia tidak dapat menyembunyikan segala perbuatannya terhadap Hyang Widhi baik perbuatan itu perbuatan yang baik maupun yang buruk. Dalam Atharva Veda 11.16. 2. disebutkan sebagai berikut : Yas tiûþhati carati yaœca vañcati yo nilâyam carati yah pratañkam dvau sanniûadya yamantrayete râjâ tad veda varuóas tåtiyah. Terjemahannya: Siapapun berdiri , berjalan ,bergerak dengan senbunyi-sembunyi , siapaun yang membaringkan diri atau bangun, ataupun dua orang yang duduk bersama bisikan satu dengan yang lainnya , semua itu Tuhan, Sang Raja mengetahui, Ia adalah yang ketiga hadir disana.(Sura,1991;33). Selanjutnya dalam Adiparwa I.36 disebutkan sebagai berikut : Aditya Sanhyang Sûrya Candra Sanghyang Wulan, Anilânala Sanghyang Angin muang apuy. Tumût ta Sanghyang Âkaúa Prçthiwi muang Toya, muwah Sanghyang Âtma, Sanghyang Yama tamolah ring rât kabeh. JURNAL PENJAMINAN MUTU
Nâhan tang rahina wçngi muang sandhyâ, lawan Sanghyang Dharma sira, sang dewata mangkana tiga wçlas kwehnira, sira ta mengaweruhi ulahning wwang ring jagat Tan kçna byâpâra nireng rât. Terjemahannya: Matahari, Bulan, Angin dan Api.Bumi dan Air, Hyang Âtma, Hyang Yama yang berada di seluruh dunia. Demikian pula siang, malam dan sandhyakala dengan Hyang Dharma. Para Dewa itu tiga belas banyaknya . Semua itu tahu akan tingkah laku orang di seluruh dunia. Tidak dapat diklabui Dewa itu memenuhi dunia.(Sura,1991; 34) Disamping keyakinan bahwa Hyang Widhi mengetahui semua perbuatan orang, umat Hindu amat meyakini adanya hukum karma yang menyatakan bahwa setiap perbuatan itu ada akibatnya. Bila seseorang berbuat baik maka ia akan memetik buah yang baik dan bila seseorang berbuat buruk maka ia akan memetik buah yang buruk.Seperti disebutkan oleh kutipan pustaka di bawah ini : Syapa kari tan temuñ hayu masâdhana sarvva hayu, Niyata katçmwaniñ hala masâdhana sarvva hala, Tewasalisuh manañsaya purâkrta tâpa tinût, Sakaharepan kasiddha maka darœana Pandhusuta. Terjemahannya : Siapapun akan mendapatkan kebahagiaan apabila melakukan perbuatan yang baik, pasti penderitaan yang akan dijumpai, apabila melakukan berbuatan yang buruk, mendapatkan keburukan orang yang tidak percaya hasil perbuatan dahulu, supaya segala tujuan bisa tercapai sebagai contoh Sang Arjuna. (Kakawin Arjuna Wiwaha, 1988;42). Selanjutnya dalam Sarasamuccaya sloka 21 menyebutkan sebagai berikut : Surûpa tâm âtma gumam ca vistaram Kulânvayam dºvya smºddisañcayam Naro hi sarvam labhate yathâkºtam Sadâúubhenâtmakºtenakarmanâ. Terjemahannya : Maka orang yang melakukan perbuatan baik, kelahirnan nya dari sorga kelak menjadi orang yang rupawan,gunawan, muliawan, hartawanm dan berkekuasaan, buah hasil perbuatan yang baik, didapat olehnya. (Kajeng,1999;20 ). Keyakinan akan adanya Hyang Widhi yang mengetahui segala dan adanya hukum karma
menyusup sampai ke lubuk hati umat Hindu sehingga mereka berusaha menghindari perbuatan-perbuatan jahat yang amat tercela itu. Oleh karena etika agama Hindu bertolak dari norma agama maka ia tidak sekedar etika penampilan luar ebagai etiket saja namun ia menuntun orang untuk berbudi pekerti yang luhur. Persoalan-persoalan yang diajarkannya pun juga tentang perbuatan baik dan buruk, salah dan benar. Untuk dapat memilih yang baik , yang benar orang menggunakan wiwekanya yaitu kemampuannya untuk membeda-bedakan , memilih dua hal yang berbeda yang kemampuannya itu merupakan pembawaan lahir. 2.3 Indriya Indriya adalah merupakan bagian dari alam pikiran kita untuk mengenal, merasakan dan melaksanakan sesuatu. Dari indriya inilah timbulnya keinginan-keinginan dan melalui indriya pula kita mendapatkan kepuasan, kesenangan atau kesusahan. Dalam diri manusia ada sebelas indriya yang disebut sebagai ekadasendriya. Pikiran adalah raja dari indriya (rajendriya) dan sisanya dasendriya adalah sepuluh indriya yang ada pada diri kita. Sepuluh indriya tersebut dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu : panca buddhindriya dan panca karmendriya. Panca Buddhindriya ialah : lima indriya penyebab yang menyebabkan orang dapat mengetahui dan merasakan sesuatu, kelima indriya tersebut ialah : 1. Cakswindriya, ialah indriya yang menyebabkan orang dapat melihat, terletak di mata. 2. Crotendriya, ialah indriya yang menyebabkan orang dapat mendengar melaui telinga. 3. Granendriya, ialah indriya yang menyebabkan orang dapat membau melaui hidung. 4. Jihwendriya, ialah indriya yang menyebabkan orang yang dapat mengecap sesuatu melaui lidah. 5. Twakindriya, ialah indriya yang menyebabkan orang dapat merasakan rasa sentuhan, panas, dingin, melaui kulit. Selanjutnya Panca Karmendriya, ialah lima indriya gerak/pekerja : 1. Panindriya, ialah indriya pekerja dengan tangan. 2. Padendriya, ialah indriya pekerja dengan kaki. 3. Garbhendriya, ialah indriya pekerja dengan perut. 4. Paywindriya, ialah indriya pekerja dengan pelepasan. 5. Upasthendriya, ialah indriya pekerja dengan kelamin laki-laki.
Etika Sebagai Dasar Pengendalian Diri Manusia | I Nyoman Subagia
91
Bhagendriya, ialah indriya pekerja dengan kelamin wanita. Berhubung keinginan itu timbul dari indriya, maka indriya tersebut patut dikendalikan baik-baik sebab ia akan mengantarkan kita kepada kebahagiaan atau kesengsaraan, tetapi bukan bertarti kita harus mengekang segala apa yang timbul dari indriya tersebut. Kita patut mempertimbangkan keinginan indriya tersebut baik-baik agar supaya kita mendapatkan keselamatan di dalam hidup kita ini. Janganlah sampai kita diperbudak oleh indriya kita, tetapi kitalah harus memperbudaknya. Mahakala kita sampai diperbudak, payahlah keadaan diri kita dan kesengsaraanlah yang akan kita jumpai. Tetapi hendaklah disadari bahwa membunuh keinginankeinginan indriya itu sama sekali tidaklah benar, karena tuhan memberikan kita indriya adalah untuk kesempurnaan hidup kita. Hanya saja kita harus tahu mempergunakan dan tahu mengendalikannya agar supaya kita mendapatkan keselamatan. Dalam Sarasamuccaya sloka 71 disebutkan sebagai berikut ini. Indriyàóyeva tat sarvam yat svarganarakàvubhau, nirgåhitanisûåûtàni svargaya narakàya ca. Nyang pajara waneh, indriya ikang sinanggah swarga naraka, kramanya, yan kawaûa kahåtanya, ya ika sàkûàt swarga ngaranya, yapwan tan kawaûa kahåtanya, sàkûàt naraka ika. Terjemahannya : Inilah yang patut (saya) ajarkan lagi, indriyalah yang dianggap sorga neraka, penjelasannya, bila sanggup mengendalikannya, itu sematamata sorgalah namanya, tetapi bila tidak sanggup mengendalikannya, benar-benar nerakalah ia itu (Kajeng,1999:60) 2.4 Tri Kàyaparisudha Trikaya parisudha artinya tiga prilaku yang harus disucikan, yang meliputi: (1) Kayika: perilaku yang berhubungan dengan badan atau perbuatan; (2) Wacika : perilaku yang berhubungan dengan kata-kata; dan (3) Manacika : perilaku yang berhubungan dengan pikiran. Dalam gaguritan pupuh sinom disebutkan sebagai berikut ini : Tri kaya-parisudha, tingkahe tatelu jati, wetu saking budi satwa, wasanane ngawe becik, kayika laksana luwih, wacika bebawos sadhu, Manacika kanirmalan, kayun suci jati ening, nyandang tuju, angen ngemban Sang Hyang Âtma 92
Terjemahannya : Tri kayaparisudha, adalah tiga prilaku yang utama, yang keluar dari budhi pekerti yang luhur, yang menyebabkan menjadi berperilaku yang baik, kayika parisudha adalah perbuatan yang baik, wacika parisudha adalah perkataan yang baik, manacika parisudha adalah pikiran yang suci tanpa noda, pikiran yang jernih dan suci, patut itu menjadi tujuan, dipakai untuk mengemban dan menyucikan Jiwa kita (Surada,2006:223). 1)
Kayika Pariúudha Kayika ialah segala prilaku yang berhubungan dengan badan. Bilamana perbuatan itu perbuatanyang benar dan baik maka disebut orang perbuatan itu kayika paricuddha. Setiap orang, selama hayat dikandung badan, selama itu ia harus berbuat sesuatu. Hidup adalah untuk berbuat. Tanpa berbuat sesuatu hidup didunia ini akan sia-sia belaka. Dengan berbuat, kita akan membuat suatu karma, yang akan menentukan kehidupan kita pada masamasa yang akan dating , haruslah pada waktu sekarang ini kita berbuat yang baik dan benar, sebab hanya perbuatan yang demikianlah akan mengantar kita kepada keselamatan masa dating. Banyaklah ada tindakan-tindakan yang berhubungan dengan badan yang patut kita cegah adanya. Kitab Saramuccaya sloka 76 menyebutkan sebagai berikut ini: Pràóàtipatam stainyam ca, paradàrànathàpi và trini pàpàni kàyena, sarvatah parivarjavet. Nihan yang tan ulahakena, syamàti màti, mangahal –ahal, si paradara, nahan tang telu tan ulahakena ring asing ring paribhàsa, ring àpatkàla, ring pangipyan tuwi singgahana juga. Terjemahan : Inilah yan gtidak patut dilaksanakan /dilakukan: membunuh, mencuri, berbuat zina; ketiganya itu janganlqah hendaknya dilakukan terhadap siapapun, baik secar berolok-olok, dalam keadaan dirundung malang, dalam khayalan sekalipun, hendaklah dihindari semuanya itu (Kajeng, 1999:63). Itulah perbuatan yang patut diindari, tentu saja tidak hanya yang disebut diatas itu saja yang harus tidak dikerjakan, tetapi banyak lagi macamnya. Menyebut satu persatu tentu tidak mungkin. 2)
Wacika Pariúudha Wacika ialah segala prilaku yang berhubungan dengan kata-kata. Wacika paricuddha berarti berkata JURNAL PENJAMINAN MUTU
yang benar dan baik. Perkataan itu merupakan alan yang amat penting bagi kita, guna menyampaikan isi hati kita kepada orang lain. Dari kata-kata itu kita dapat menduga dan mengetahui isi hati seseorang, pun pula dengan kata-kata kita mendapatkan bermacam-macam pengetahuan. Dengan kata-kata orang memberikan orang lain hiburan, namun karena kata-kata pula orang dapat menyusahkan dirinya sendiri dan orang lain. Katakata itu memegang peranan penting dalam menentukan selamat dan celakanya kehidupan orang. Dalam Niti Úàûtra disebutkan sebagai berikut ini. Wasita nimittanta manemu laksmi, wasita nimittanta pati kapangguh, wasita nimittanta manemu duhka, wasita nimittanta manemu mitra. Terjemahan : Karena perkataan engkau akan mendapatkan bahagia, karena perkataan engkau akan menemui ajal, karena perkataan engkau akan mendapat kesusahan , karena perkataan engkau akan mendapat sahabat. Demikian pentingnya perkataan itu dalam kehidupan kita, maka kita harus mengendalikan diri pada waktu berkata-kata agar supaya kata-kata kita itu adalah kata-kata yang benar dan berguna untuk kehidupan kita. Seringkali orang-orang tidak sadar akan dirinya, sehingga terhamburlah dari mulutnya kata-kata yang tidak patut diucapkan yang membawa kerugian kepada dirinyasendiri dan kepada orang lain. Oleh karena itu kesadaran akan diri dan ketenangan hati adalah factor yang penting benar pada waktu kita berbicara, lebih-lebih pula dalam membicarakan hal-hal yang penting-penting. Hendaknya orang sadar, bahwa kata-kata itu mempunyai kekuatan yang luar biasa hebatnya yang dapat mempengaruhi, merusak meresap kedalam hati sanubari orang. Kata-kata itu dapat merupakan tirtha amerta yang sejuk nyaman, namun ia dapat pula merupakan racun yang menghancurkan, merusak jiwa dan raga manusia. Dalam Sarasamuccaya sloka 120 disebutkan sebagai berikut ini. Vàkûàyakà vadanànniûpatanti yairàhatah ûocati ratryahàni, parasya và marmasu te patanti tasmàddhiro nàvasåjet pareûu. Ikang ujar ahala – tan pahi lawan hru, songkabnya sakatempuhan denya juga alara, rêsêp ri hati, tatan keneng pangan turu ring
rahina wengi ikang wang denya, matangnyan tan inujaraken ika de sang dhira purusa, sang ahning maneb manah nira. Terjemahan : Perkataan yang mengandung maksud jahat tiada beda dengan anak panah, yang dilepaskan; setiap orang ditempuhnya merasa sakit; perkataan itu meresap kedalam hati, sehingga menyebabkan tidak bisa makan dan tidur pada siang dan malam hari, oleh sebab itu tidak diucapkan perkataan itu oleh orang yang budiman dan wira-perkasa, pun oleh orang tetap suci hatinya (Kajeng, 1999:100). 3)
Manacika Pariúudha Manacika artinya : segala prilaku yang berhubungan dengan pikiran. Manacika pariccudha ialah : berpikir yang benar dan suci. Di antara tri kayaparicuddha itu pikiranlah yang memegang peranan yang terpenting. Apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan orang, semuanya berasal dari pikirannya. Pikiran menjadi sumber segala apa yang dilakukan orang dan oleh kerena itu apabila pikirannya itu baik maka segala perbuatannya akan baik pula. Ajaran agama senantiasa memberikan nasehat agar supaya kita dapat mngendalikan pikiran kita. Lebih-lebih ajaran yoga amat mengutamakan pengendalian pikiran itu. Namun mngendalikan pikiran itu tidaklah mudah, sebab ia amat lincah, suka bertamasya kesana kemari, dan amat cepat pula perginya. Dalam Sarasamuccaya sloka 81 disebutkan sebagai berikut ini. Dùagam bahudhàgmi pràrthanàsamcayàtmakam, manah suniyatam yasya sa sukhi pretya veha ca. Nihan ta kramanikang manah, bharanta lungha swabhàwanya, akweh inangênangênya, dadi pràrthana, dadi sangcaya, pinakawaknya, hana pwa wang ikang wenang humrt manah, sira tika manggêh amanggih sukha, mangke ring paraloka waneh. Terjemahan : Keadaan pikiran itu demikianlah : tidak berketentuan jalannya, banyak yang dicitacitakan, terhadang berkeinginan terkadang penuh kesangsian; demikianlah kenyataannya; jika ada orang yang dapat mengendalikan pikiran pasti orang itu memperoleh kebahagiaan, baik sekarang maupun didunia lain (Kajeng, 1999:67).
Etika Sebagai Dasar Pengendalian Diri Manusia | I Nyoman Subagia
93
Dengan kemauan yang tetap dan usaha yang terus dan teratur besar benar kemungkinannya kita akan dapat mengendalikan pikiran kita. Demikianlah juga mengendalikan indriya, bersumber pada pengendalian pikiran, karena alam pikiranlah asalnya indriya itu. Dalam Sarasamuccaya sloka 80 disebutkan sebagai berikut ini. Mano hi mùlan sarvesàmindrayànam pravartate, chubhàúubhasvavasthàsu Kàryam tat suvyavasthitam. Apan ikang manah ngaranya, ya ika witning indriya, maprawrtti ta ya ring cubhacubhakarma, matangnyan ikang manah juga prihen kahrtanya sakareng. Terjemahan : Sebab yang disebut pikiran itu, adalah sumbernya nafsu, ialah yang mengerakkan perbuatan baik ataupun yang buruk; oleh karena itu, pikiranlah yang segera patut diusahakan pengekangannya/pengendaliannya (Kajeng, 1999:66-67).
1)
Kàma Kama itu merupakan musuh didalam diri kita, selama ia itu tidak dikendalikan. Bila ia dapat dikendalikan ia akan menjadi sahabat kita yang baik. Karena adanya kama hidup kita ini kita rasakan penuh arti. Orang yang sudah bebas dari pengaruh kama adalah orang yang sudah banyak memenuhi tuntutan hidup ini. Ia sudah tahu gerak-gerik kama itu, karena ia sudah berkecimpung didalamnya. Dengan demikian orang yang dapat mengatasi kama itu ialah orang yang sudah lulus dalam banyak hal didalam hidup. Beberapa tahap-tahap kehidupan telah dilewatinya. Karena demikian perangilah kama itu, usahakanlah mengendalikannya.
2)
Lobha Lobha itu menyebabkan orang tidak puas akan sesuatu. Orang yang lobha itu selalu ingin memiliki lebih dari apa yang telah dimilikinya. Bila ia sudah memiliki apa yang ia ingini, inginlah ia menambah lagi. Untuk ia berpikir dan bekerja lebih keras lagi. Akibatnya orang yang demikian itu gelisah saja hatinya karena tergoda oleh kelobaannya. Ia tidak memiliki ketenangan hati, padahal setiap orang mengingini ketenangan hati, padahal setiap orang. Lobha itu adalah sifat semua orang. Lobha mendorong orang untuk berusaha, yang membawa kemajuan. Selama lobha itu didasari atas wiweka dan tri pramana ia adalah baik. Diluar itu akan membawa kehancuran. Ia adalah musuh yang harus selalu diawasi.
3)
Krodha Krodha atau marah tergolong soal perasaan. Orang yang suka marah itu tidak baik. Tidak ada seseorang yang senang dimarahi. Orang yang mendapat marah itu, akan marah pula, sehingga akan terjadilah hubungan yang buruk antara yang marah dengan yang dimarahi. Orang yang senang marah tidak disenangi oleh kawan-kawannya. Ia akan banyak mempunyai musuh. Bukankah kita ingin mempunyai sahabat sebanyak-banyaknya? Makin banyak mempunyai sahabat makin baik. Orang pemarah tidak banyak mempunyai sahabat. Dalam gaguritan pupuh Sinom disebutkan sebagai berikut : Pidabdab sang kodag krodha, rikala ipun mamunyi,
Supaya kita bisa berpikir yang benar dan suci maka : jangan iri akan milik dan keberuntungan orang lain, jangan marah atau benci kepada semua mahluk dan tidak mengingkari akan kebenaran hukum karmaphala. Demikian ajaran kitab Saramusccaya tentang ajaran Trikàya pariúudha sebagai ajaran untuk mengendalikan indriya. 2.5 Sad Ripu Sad Ripu artinya enam musuh. Enam musuh iu ialah (1) Kama artinya hawa nafsu; (2) Lobha artinya loba; (3) Krodha artinya kemarahan; (4) Moha artinya kebingungan; (5) Mada artinya kemabukan; (6) Matsarya artinya iri hati. Sad ripu terdapat pada setiap orang, hanya saja dalam ukuran yang berbedabeda. Oleh karena ia itu musuh maka perlulah ia dikuasai/ditaklukan agar supaya ia tidak menganggu lagi. Dalam Kakawin Ràmàyana sargah 1 disebutkan sebagai berikut ini : Ragàdi musuh maparö, rihati ya tonggwanya tan madoh ring awak, yeka tan hana ri sira, prawira wihikan sireng niti. Terjemahannya : Kesukaan, kegemaran dan lain-lain adalah musuh yang dekat, di hatilah tempatnya tidak jauh dari badan, yaitu tak ada pada beliau raja (Daúaratha), perwiran bijaksana dan pandai Beliau akan ilmu politik ( Poerbatjaraka,1982:3)
94
JURNAL PENJAMINAN MUTU
nenten ngetang salah beneh, tan ngetang larangan malih, adharmane tan kimpasin, tur nyidayang ipun muwus, sane tan sandang bawosang, bhuta krodhane nyusupin, dewek ipun, awinan mengawag-awag. Terjemahannya: Perilaku orang yang pemarah, ketika ia berkata tidak memperhatikan kata yang baik dan kata yang buruk, perbuatan yang adharma tidak dihindari, selalu ia berkata yang kasar, yang tidak boleh diucapkan, karena disusupi oleh kemarahan, pada dirinya oleh karena ia selalu berbuat jahat (Surada, 2006:237) 4)
Moha Moha atau kebingungan menyebabkan pikiranb itu gelap. Orang yang berada dalam kebingungan tidak dapat berpikir dengan baik dan tidak dapat pula bekerja sebagaimana mestinya. Karena pikiran itu bingung maka kesehatan badanpun akan menurun. Akibatnya tugas-tugaspun akan terbengkalai. Banyak hal yang menyebabkan orang menjadi bingung. Pada umunnya sebab-sebab itu ialah karena orang ditimpa kesusahan, yang hebat atau kehilangan sesuatu yang dicintainya. Dan tidak menemui jalan untuk mengatasinya. Agar supaya tidak ditimpa kebingungankebingungan yang hebat, maka kita perlulah setiap kita mengahadapi sesuatu diawali dengan pikiran yang tenang dan dapat mengirakan akibat pekerjaan itu. Dengan demikiankita sudah menyiapakan diri tidak akan bersedih sekali bila tidak berhasil dan tidak akan bergembira yang berlebih-lebihan bila tidak berhasil.
5)
Mada Banyak orang mabuk karena minuman keras, minuman yang mengandung alcohol. Minuman yang demikian misalnya : arak, bier, tuak, berem, dll. Selama minuman itu diminum dalam batas-batas tertentu tidak akan membawa akibat yang buruk. Alkohol memberikan tenaga tetapi kalau ia berlebihan akan merusak tubuh. Ia melumpuhkan pencernaan dan merusak saraf. Karena orang itu yang saleh, yang mementingkan kesucian rohani tidak mau minum-minuman keras tab. Tetapi orang itu mabuk tidak hanya karena minuman keras .
Orang yang dapat pula mabuk, lupa diri, karena kekuasaan, kepandaian, atau kekayaan. Mabuk yang demikian lebih tercela daripada mabuk minuman. Ia tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi ikut merugikan orang lain, misalnya menyakiti hati orang lain, melanggar peri kemanusiaan dsb. Bila demikian halnya mabuk itu menjadi musuh. Tidak ada orang yang senang dengan yang mabuk-mabuk. Maka itu ia patut dijauhi. 6)
Matsarya Iri hati ialah perasaan tidak senang karena melihat orang lain lebih bahagia, lebih beruntung dsb. Daripada dirinya sendiri. Orang yang mempunyai rasa demikian itu merasa dirinya malang, miskin, buruk, dsb. Akibatnya akan timbullah perasaan-perasaan yang tidak baik terhadap orang yang beruntung itu, yang dapat menimbulkan pertengkaran, permusuhan, dsb.Hendaknya rasa iri hatiitu menggugah hati kita guna berusaha mengisi kekurangankekurangan diri sendiri sehingga hidup kita ini lebih sempurna. Dalam gaguritan pupuh Semarandana disebut sebagai berikut ini. Janma sane irihati, maring gelah anak liyan, doleg maring kasukhane, janmane kadi punika, mangdoh pacang manggih suka, sekantun ipun idup, inggian maring para loka. Terjemahannya: Orang yang selalu memiliki pikiran irihati, kepada kepunyaan orang lain, dengki terhadap kebahagiaanya, orang yang seperti itu, pasti tidak mendapatkan kesenangan, selagi masih hidunya, demikian juga pada kehidupannya di akhirat nanti (Surada, 2006:268) Iri terhadap orang lain tidaklah patut. Perasaan ini harus ditekan agar hubungan kita terhadap sesama kita baik, baik di Alam ini mapun di Akhirat nanti.
2.6 Sapta Timira Sapta Timira artinya tujuh kegelapan. Yang dimaksud tujuh kegelapan ialah : tujuh hal yang sering menyebabkan pikiran orang menjadi gelap.Bila pikiran orang menjadi gelap, maka tingkah lakunya pun akan menyimpang dari tingkah laku yang dipandang orang benar dan baik. Sapta timira itu ialah : (1) Surupa; (2) Dhana; (3) Guna; (4) Kulina; (5) Yowana; (6)
Etika Sebagai Dasar Pengendalian Diri Manusia | I Nyoman Subagia
95
Sura; dan (7) Kacuran. Dalam gaguritan dengan pupuh Ginanti disebutkan sebagai berikut ini. 1. Sapta-timira kawuwus, Bacakan manahe paling, Netan nyandang laksanayang, Magawe duhkita sai, Wetuning irajah-tamah, Bacakannya siki-siki. 2. Kasuguhan ne pamucuk, Kapradnyanan kaping kalih, Kayohanan kaping tiga, Ping pat kawangsa ne luwih, Ping lima kalistuayuan, Ping nem kasaktian jati. 3. Kawiryan kaping pitu, Momon idep ngawe paling, Ne sai nyandang tetehang, Bubhi satwa nggen nasarin, Kasucian ne mautama, Pang sida mamangguh becik. Terjemahannya : 1. Yang disebut Sapta Timira adalah pikiran yang bingung, tidak patut diikuti yang akan menyebabkan penderitaan, yang keluar dari pikiran yang agresip dan kemalasan, di uraikan satu persatu. 2. Kekayaan yang pertama, kepinteran yang kedua, keremajaan atau masa remaja yang ketiga, kalahiran yang keempat, kecantikan dan kebagusan yang kelima, kekuatan yang keenam. 3. Kewibawaan yang ketujuh, pikiran yang loba menyebabkan bingung, selalu patut dikendalikan, dilandasi oleh budhi yang lihur, yang paling utama adalah kesucian, supaya menjumpai kebaikan (Surada,2006:243) 1)
2)
96
Surupa Surupa artinya kecantikan atau kebagusan. Kecantikan atau kebagusan adalah anugrah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Orang yang memilikinya boleh merasa beruntung atas anugrah itu. Orang tidak boleh tekebur karena kecantikan atau kebagusannya karena sifatnya tidak kekal. Ketampanan jasmani haruslah disertai dengan keluhuran budi. Ketampanan jasmani yang tidak disertai dengan keluhuran budi tidak akan ada nilainya. Janganlah hendaknya surupa itu mengantar seseorang menuju kehancuran. Dhana Dhana artinya kekayaan. Kekayaan itu besar gunanya, namun besar pula godaannya. Setiap orang boleh mencari kekayaan, baik
berupa kesenangan, asal tidak didapat dan diperguganakan untuk hal-hal yang tidak benar. Karena pengaruh kekayaan, orang sering jadi tekabur, menjadi sombong dan mengumbar hawa nafsunya, yang semuanya itu bertentangan dengan ajaran agama. Kekayaan itu lebih dihargainya daripada jiwanya sendiri. Untuk menghindari pengaruh yang demikian itu, setiap orang patut memiliki jalan pikiran yang sehat, yang tergoyahkan oleh pengaruhpengaruh yang buruk. Agama Hindu mewajibkan pemeluk-pemeliknya mempergunakan kekayaan itu untuk kesejahtraan hidup bersama. Patut pula setiap orang menginsapi bahwa kekayaan itu tidak kekal adanya. Orang akan tidak dikenang karena kekayaannya namun orang akan dikenang karena sifat baik atau buruknya yang akan mengantarkannya ke alam akhirat. 3)
Guna Guna artinya kepandaian. Setiap orang berusaha mencari kepandaian karena ia ingin menjadi orang yang pandai. Dengan kepandaian itu kita dapat memperingan hidup kita dan karena itu amat penting untuk hidup ini. Tetapi kepandaian itu berbahaya pula, bila tidak tahu mempergunakannya. Seringkali kepandaian itu dipergunakan orang untuk tujuan-tujuan yang buruk, misalnya untuk menipu, menghina, memperolok-olok orang lain, memperalat orang lemah dsb. Ada pula orang menjadi sombong, angkuh dsb. Karena memiliki suatu kepandaian dan mengira orang lain tidak tahu apa-apa. Demikianlah kepandaian itu akan membawa keburukan bilamana ia dimiliki oleh orang-orang yang berada dalam kegelapan rohani, orangorang yang batinnya tidak kuat/ tinggi. Kepandaian itu haruslah dipergunakan untuk keselamatan dan kebahagiaan bersama, kebahagiaan dan keselamatan diri sendiri dan orang lain.
4)
Kulina Kulina artinya kebangsawanan. Kebangsawanan itu diperoleh orang karena keturunan. Barangkali orang tuanya atau leluhurnya dahulu pernah berbuat jasa, sehingga ia di angkat menjadi bangasawan.Kebangsawanan lahir hendaknya disertai kebangsawanan budi. Ia tidak akan berharga bila orang itu tidak tahu membawa diri di dalam masyarakat, apalagi di orang
JURNAL PENJAMINAN MUTU
jahat.Barang kali ada orang bangsawan menganggap orang – orang lain lebih hina, lebih rendah derajatnya, kurang berharga dan dapat diperlakukan lebih kasar daripada sesamanya. Tentu saja hal ini tidak benar, Karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan. Kita adalah makhluk Tuhan yang dilahirkan sama dan mengharapkan perlakuan yang wajar dari orang lain. Betapa mengkalnya prasaan orang bila rasa harga dirinya tidak diperhatikan. Hendaklah orang tidak memperlakukan orang lain dengan perlakuan yang ia sendiri tidak senang bila diperlakukan demikian. Orang tidak boleh lupa diri sebagai makhluk social karena kebangsawanannya, ia memerlukan penghargaan dari orang lain dan karena itu ia harus menghargai dan memperhatikan orang lain seperti ia menghargai dirinya sendiri. 5)
Yowana Yowana artinya masa muda. Masa muda adalah masa gemilang, masa yang penuh masa kegairahan, masa banyak harapan. Orang muda badannya kuat, pikirannya cerdas. Ia adalah harapan masa depan orang tua, harapan nusa dan bangsa. Tetapi masa muda itu seringkalilah pula masa bimbang, karena tidak tahu akan kemanakah arah hidupnya kelak. Kadangkadang masa muda masa jiwa goyah, tidak ada keseimbangan. Maka untuk mencari keseimbangan itu, berbuatlah ia bermacammacam laku, yang seringkali hanya sekedar mengharap perhatian dan penghargaan orang lain. Dalam pada itu bermacam-macamlah tingkahnya yang seringkali melanggar kesopanan dan aturan – aturan kesusilaan sehingga merugikan orang lain.Janganlah hendaknya masa muda itu di sia – siakan demikian rupa; ia harus diisi dengan hal – hal yang baik, seperti menuntut ilmu, bekerja, rekreasi yang sehat dll.Guna bekal untuk berikutnya. Orang tidak boleh angkuh karena badan kuat. Kekuatan badan lama – lamaakan menurun. Maka itu budi baiklah hendaknya dipupuk. Dalam gaguritan pupuh Ginanti disebutkan sebagai berikut ini. Kayohanan gede bayu, makejang anake ndogin, tahu teken dewek bajang, anake tua cacadin, tuara tau teken awak, masih lakar tua buin.
Terjemahannya: Menjadi remaja dengan pisik yang kuat, semua orang yang mau dilawan, karena tahu dengan diri yang remaja dan kuat, senang mengejek orang tua, karena tidak tahu dengan diri, bahwa suatu saat akan menjadi tua dengan pisik yang lemah (Surada,2006:244) 6)
7)
Sura Sura artinya minuman keras. Minuman ini misalnya : tuak,arak, bier, dll.Semuanya memabukkan bila tak tahu meminumnya. Ini berarti merusakkan jasmani yang di susul oleh kerusakan rohani. Sekarang ada pula sejenis barang perangsang yang ajaib yang membawa akibat sejenis minuman keras ini, namun jauh lebih hebat dan lebih jahat. Barang perangsng ini ialah : candu, gajah, heroin, dsb. Siapa yang pernah mencoba meminumnya, ketagihanlah ia untuk selanjutnya. Kemudian lumpuhlah sarafnya dan jiwanya menjadi rusak. Janganlah mencoba – coba minum benda – benda ini, minumlah apa-apa yang menyehatkan tubuh. Kasuran Kacuran artinya keberanian. Keberanian itu perlu dimiliki oleh setiap orang, seperti keberanian berjuang, keberanian mempertahankan kebenaran dll. Tidak semua orang memiliki keberanian yang cukup, banyak yang pengecut. Tidaklah boleh orang mabuk keberanian, karena keberanian bukan semata – mata untuk bermabuk – mbukan. Keberanian adalah untuk membela yang patut dibela. Dalam Nitisara. sargah IV. 19 disebutkan sebagai berikut ini. Lwirning manadadi madaning jana surupa dhana kula-kulina yowana, Lawan tang sura lan kacuran agawe wereh di manah ikang sarat kabeh, Yan wanten sira sang dhanecwara surupa guna dhana kulina yowana, Yan tan mada mahardhikeka pangaranya sira putusi sang pinandita. Terjemahannya : Yang bisa membikin mabuk, ialah keindahan, harta benda, darah bangsawan dan umur muda. Juga minuman keras dan keberanian bisa membikin mabuk hati manusia. Jika ada orang kaya,indah rupanya, pandai,banyak harta bendanya, berdarah bangsawan lagi muda umurnya,
Etika Sebagai Dasar Pengendalian Diri Manusia | I Nyoman Subagia
97
dan karena semua itu ia tidak mabuk, ia adalah orang yang utama, bijaksana tak ada bandingnya. 2.7 Daivi Sampat dan Asuri Sampat Dalam Bhagavadgita kecendrungankecendrungan sifat manusia dibedakan menjadi dua bagian yaitu : (1) Daivi Sampat, yaitu kecendrungan kedewataan. Kecendrungan kedewataan adalah kecendrungan – kecendrungan yang mulia yang menyebabkan manusia berbudi luhur yang mengantarkan orang untuk mendapatkan kerahayuan; (2) Asuri Sampat, yaitu kecendrungan keraksasaan. Kecendrungan ini adalah kecendrungan yang rendah yang menyebabkan manusia dapat jatuh kejurang naraka. Kedua kecendrungan itu ada pada diri semua orang hanya dalam ukuran yang berbeda-beda . Ini berarti bahwa dalam diri manusia terdapat sifat baik dan sifat buruk. Sarasamuscaya menyebutkan bahwa hanya manusialah yang mengenal perbuatan yang salah dan benar baik dan buruk. Dan dapat menjadikan yang tidak baik itu menjadi baik. Itulah salah satu kemampuan manusia yang diberikan oleh Sang Hyang Widhi. III. PENUTUP Apabila kita berbicara tentang pengendalian diri yang terwujud dalam bentuk etika, maka kita harus memperhatikan faktor-faktor lain yang menunjang demi dapatnya orang mengendalikan dirinya itu. Biarpun bagaimanapun bagusnya teori pengendalian diri itu dan kuatnya pribadi seseorang, bila faktor-faktor penunjang untuk itu lemah, sulit juga orang dapat mengendalikan diri dalam bentuk etika dengan baik. Seseorang yang ingin mengendalikan pikirannya dan beretika, mengabaikan aspek-aspek kemanusiaan lainnya, maka ia tidak akan mendapatkan hasil yang diharapkan. Sebagaimana halnya seorang guru yang mengajarkan ajaran pengendalian diri dan etika yang hanya memandang manusia dari segi etika saja , ia juga tidak mendapatkan hasil. Manusia terdiri dari dua unsur yaitu unsur jasmani dan rohani . Antara jasmani dan rohani terdapat hubungan yang sangat erat. Perubahan pada jasmani berpengaruh pada kejiwaan seseorang , demikian pula sebaliknya. Dari uraian tersebut di atas, ternyata bahwa
98
aspek-aspek kehidupan manusia itu meliputi aspek kerohanian dan aspek kejasmanian. Dari integrasinya dalam kehidupan bersama ini menjadi tidak bebas, karena harus tunduk pada norma-norma dan aturanaturan yang berlaku dalam masyarakat sebagai makhluk sosial. Dalam pada itu iapun harus menghadapi dirinya sendiri, sebagai individu yang harus dapat dikuasainya. Dengan demikian ia harus berjuang dalam mempertahankan eksistensi hidupnya . Ia harus berjuang terhadap lingkunagnnya sendiri dan dengan dirinya sendiri. Karena itu hidup ini adalah suatu persoalan yang harusselalu dihadapi dan diselesaikan setiap hari. Ajaran Agama Hindu selalu memberi saran agar orang selalu mengarahkan hidupnya dengan berbagai persoalannya itu menuju kebahagiaan melelui jalan yang baik dan benar. Untuk itu ia harus dapat menguasai dirinya sendiri sehingga dalam penempilannya dengan orang lain merupakan penempilan yang baik dan membahagiakan semua orang. Beberapat ajaran tersebut adalah: ajaran Trikaya Parisudha, ajaran Sad Ripu, ajaran Sapta Timira dan dua kecendrungan pada diri manusia yaitu kecendrungan yang baik dan kecendrungan yang buruk yang selalu bergulat dalam dirinya. DAFTAR PUSTAKA Cudamani, 1987. Pengantar Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta : Yayasan Wisma Karma. Kajeng, 1999. Sarasamuscaya. Surabaya: Paramita. Pudja, 1999. Bhagavagita. Surabaya : Paramita. Purbatjaraka, 1982. “Arti Ràmàyana” Denpasar: Institut Hindu Dharma Denpasar. Sura,1985. Pengendalian Diri dan Etika Dalam Ajaran Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti. ——— 1991. Agama Hindu Sebuah Pengantar. Denpasar : CV Kayumas Agung. ——— 1999. “Siwatattwa”. Denpasar: Pemerintah Daerah Tingkat I Bali PPPPKB. Surada, 2006. Dharmagita Kidung Pañca Yajña, Beberapa Wirama, Úloka, Phalawakya dan Macepat. Surabaya: Paramita
JURNAL PENJAMINAN MUTU