KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
Â
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM
PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA
Â
Oleh:
Romi
(Dosen Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Kampus Universitas Andalas Limau Manis Padang, email:
[email protected] )
dan
Delfina Gusman
1 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
(Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Kampus Universitas Andalas Limau Manis Padang, email:
[email protected] )
Â
Â
Â
ABSTRACT
Basically, absolute tax regressive requires existence of accomplishment of justice principle either in its regulation formulation or when its realization. Neglecting of justice principle in tax regressive in practical exactly will become counter productive for continuity of the country like incidence of revolution or rebellion. The problem is that concept of justice is a matter of abstract and very subjective, then parameter what is used to measure justice in tax regressive. Problems then continue to ill defined its realization of justice principle in execution of tax regressive in Indonesia, especially in Income tax.
Â
Research is conducted by using judicial formality-normative approach by bibliography research. Data that obtained then analysed in judicial formality qualitative and and demonstrate in descriptive judicial formality.
Â
The results of this research shows that parameter already implementation of justice principle in
2 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
tax regressive is existence of protection guarantee for citizen from action without considering power in compilation of taxation code and and generalization accomodation and treatment in common in tax regressive. Meanwhile, justice principle already in tax regressive in our country, but its realization in formula Tax Defined Regulation and Incoming Tax Regulation uncommitted in totally, as a consequence both regulation have judicial formality weakness.
Keyword: tax regressive, justice and judicial formality weakness
3 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Permasalahan
Pajak memiliki sejarah yang sangat panjang sejalan dengan perkembangan manusia. Menurut Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti (2004:8), sebagai gejala sosial pajak sudah ada sejak adanya masyarakat. Sehingga adalah sesuatu yang lazim apabila ada yang mengatakan “ada masyarakat, ada pajak†( ubi societas, ibi aerarium ).
Dari kajian terhadap sejarah dapat diketahui bahwa semula pajak merupakan pungutan sukarela yang diserahkan oleh masyarakat kepada raja (Bohari, 2006:13). Diserahkannya pajak terhadap raja karena pada masa tersebut (khususnya hingga masa abad pertengahan) belum dilakukan pemisahan antara kas negara dan kas raja (Sindian Isa Djajadiningrat, 1968:1),. Pemisahan antara kas raja dengan kas negara terjadi setelah terbentuknya negara-negara nasional diakhir abad pertengahan (Bohari, 2006:2).
Dalam perkembangannya, pajak menjadi permanen setelah di setiap kota diwajibkan untuk memenuhi jumlah atau target pajak tertentu (Sindian Isa Djajadiningrat, 1968:13). Pemungutan pajak secara permanen ini pertama kali berkembang di Eropa karena tingginya tingkat pendidikan, perekonomian dan pembentukan tentara permanen di Kerajaan Perancis pada tahun 1544 dan Kerajaan Prusia pada tahun 1626 (C. Goedhart, 1973:82). Menurut Iwa Kusuma Sumantri (terpetik dalam Y. Sri Pudyatmoko,2006: 71)
“Meskipun di Inggris tidak ada keterkaitannya dengan pembentukan tentara, penetapan pajak secara permanen pemungutan pajaknya harus dilakukan melalui persetujuan Parlemen. Hal tersebut terlihat pada disetujuinya Bill of Right pada abad ke-17 yang pasal 2 – nya berbunyi: ‘ tidak seorangpun boleh dituntut karena menolak membayar pajak yang tidak disetujui parlemen’… â€
4 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
Â
Di Indonesia sendiri, pengenaan pajak secara sistematis dan permanen dimulai dengan pengenaan pajak terhadap tanah. Menurut Y. Sri Pudyatmoko (2006: 71) hal ini dimulai sejak C ontingenten dan Verplichte Leverantieen atau Tanam Paksa pada masa H.William Daendels dan Landrent pada masa penjajahan Inggris. Sementara itu, pengenaan Pajak Penghasilan secara permanen dimulai dengan adanya tenement tax ( huistaks ) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan ( id.wikipedia.org diakses tanggal 27 Januari 2008)
Meskipun demikian, pada masa itu pemungutan pajak masih mengalami kendala berupa adanya penyalahgunaan dan beban pajak yang tidak terbagi secara merata. Permasalahan ini muncul karena adanya pemberian hak istimewa kepada orang-orang tertentu yang dinilai telah berjasa kepada negara atau raja (R. Santoso Brotodihardjo, 1981:23). Di Perancis, kelas-kelas yang memiliki hak istimewa ini dibebaskan dari kewajiban pembayaran pajak, mereka ini misalnya adalah para pemuka agama dan para penguasa, sedangkan rakyat jelata pada waktu itu dikenakan berbagai macam pungutan yang memberatkan (Bohari, 2006:3). Bagi para penduduk yang tidak mampu membayar pajak maka diwajibkan melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan umum untuk beberapa hari lamanya dalam satu tahun (Rochmat Soemitro , 1977:1).
Sementara itu, di Indonesia adanya penyalahgunaan dan beban pajak yang tidak terbagi secara merata, dapat dilihat dari fakta di bawah ini:
“…sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan orang Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty ".
5 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
Sebaliknya business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 sampai tahun 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanahâ€. ( id.wikipedia.org diakses tanggal 27 Januari 2008)
Â
Akibat keadaan yang dikemukakan di atas, maka timbullah resistensi masyarakat terhadap pemungutan pajak pada masa itu (Y. Sri Pudyatmoko, 2006: 29). Resistensi tersebut di negara kita terwujud dari pecahnya pemberontakan Pangeran Diponegoro terhadap Sultan ke-2 Yogyakarta yang salah satu alasannya dikarenakan sultan membebankan pajak yang tinggi terhadap rakyatnya. Pada pemberontakan yang terjadi pada Tahun 1825 – 1830 tersebut sasaran pertama dan utama Pangeran Diponegoro adalah pembumihangusan pos-pos bea-cukai (toll gatest) kerajaan (Bohari, 2006:2).
Di luar negeri, resistensi terhadap pemungutan pajak tersebut di atas dapat terlihat pada Revolusi Perancis. Menurut Santoso Brotodihardjo (1981:23), salah satu penyebab terjadinya revolusi Perancis yang banyak memakan korban jiwa adalah adanya pemungutan pajak yang diskriminatif.
Dari beberapa fakta pemungutan pajak di atas dapat diketahui bahwa pemungutan pajak pada mulanya mensyaratkan adanya kemutlakan pengaturan di dalam perundang-undangan (baca: harus diatur dahulu di dalam undang-undang), karena dalam negara modern sekiranya pajak tidak didasarkan pada undang-undang atau peraturan, maka hal yang demikian tentu saja tidak sah dan dianggap sebagai perampasan hak (Bohari, 2006:25). Mengingat pentingnya pengaturan legitimasi ini, di Indonesia, pemungutan pajak diatur secara khusus di dalam Undang-Undang Dasar baik sebelum maupun setelah perubahan.
Di samping itu, pemungutan pajak juga mensyaratkan adanya pemenuhan prinsip keadilan. Alasannya karena eksistensi hukum belum atau tidak mutlak menggaransi adanya keadilan dalam pemungutan pajak tersebut, keadaan di Kerajaan Perancis maupun di tanah air seperti
6 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
pada masa Kerajaan Mataram di atas memperkuat asumsi ini. Dalam tataran praktis, pengabaian akomodasi dan realisasi prinsip keadilan dalam pemungutan pajak dalam praktik justru akan menjadi kontra produktif bagi kelangsungan hidup bernegara seperti timbulnya revolusi atau pemberontakan yang dipaparkan sebelumnya. Dengan demikian keberadaan prinsip keadilan dalam pemungutan pajak di mana dan pada saat apapun juga merupakan suatu aksioma dan keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri.
karena berkenaan dengan cara akomodasi prinsip keadilan dalam perundang-undangan dan pelaksanaan pemungutan pajak di Indonesia. Banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. Keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya.( http://www.kibar.or.id diakses tanggal 22 Mei 2009)
adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh Negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.( http:/ /id.wikipedia.org diakses 22 Mei 2009)
Begitu pula halnya definisi yang dikemukakan oleh Adolf Wagner, keadilan yaitu pungutan pajak berlaku secara umum/universal tanpa diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula, dengan kata lain adanya kesamaan beban.( http://id.wikipedia.org diakses 22 Mei 2009). Permasalahan kemudian berlanjut terhadap tidak jelasnya realisasi prinsip keadilan dalam pelaksanaan pemungutan pajak di Indonesia, terutama dalam Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut PPh).
Fakta yang dapat dikemukakan di sini umpamanya adalah pemberian tunjangan sebesar Rp 7,5 Milyar yang berasal dari APBD Propinsi Sumatera Utara Tahun 2007 pada awal tahun 2008 oleh DPRD Sumut kepada 195 dari 230 guru besar dari berbagai perguruan tinggi di Medan (Harian Kompas, Tanggal 7 Januari 2008). Tunjangan yang berjumlah Rp 39,5 juta untuk masing-masing guru besar tersebut ternyata pelaksanaannya dibebaskan dari pengenaan Pph (Harian Kompas, Tanggal 8 Januari 2008). Di samping karena kekeliruan realisasi alokasi bukan pada tahun yang bersangkutan, sisi keadilan jelas-jelas tidak diindahkan pada alokasi tunjangan bagi para guru besar tersebut. Pernyataan ini akan terlihat melalui pertanyaan mengapa tidak hanya semua guru besar yang berjumlah 230 orang menerima tunjangan tersebut? Kemudian mereka yang berkualifikasi Doktor, Magister atau Sarjana yang mengajar di perguruan tinggi mengapa tidak menerimanya? Bukankah alokasi dana tersebut bagi para pengajar honorer baik ditingkat pendidikan dasar maupun menengah
7 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
atau bagi mereka yang berada di daerah bencana atau terisolir lebih bermanfaat dan lebih adil?
Bertitik tolak pada beberapa permasalahan yang dikemukakan di atas, maka kajian mengenai bagaimanakah menentukan parameter prinsip keadilan serta realisasi prinsip keadilan dalam pelaksanaan pemungutan pajak di Indonesia merupakan hal yang menarik untuk dikaji dari perspektif keilmuan, terutama dari aspek ilmu hukum. Guna memfokuskan penulisan, pengkajian dibatasi dalam lingkup ketentuan umum perpajakan (KUP) dan PPh saja.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka yang dijadikan permasalahan di dalam karya tulis ini, antara lain adalah: 1. Bagaimanakah pemungutan pajak di Indonesia? 2. Apakah parameter yang digunakan dalam menentukan prinsip keadilan dalam pemungutan pajak? 3. Bagaimanakah realisasi prinsip keadilan dalam pemungutan pajak di Indonesia?
II. METODOLOGI
Penelitian ini mempergunakan pendekatan yang bersifat yuridis-normatif yang dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Dalam rangka memperoleh data yang
8 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
akurat, maka alat penelitian yang dipergunakan adalah studi dokumen terhadap bahan-bahan kepustakaan. Selanjutnya data-data yang telah diperoleh dianalisis secara yuridis kualitatif untuk kemudian dipaparkan secara deskriptif yuridis.
III. PEMBAHASAN
Pemungutan Pajak di Indonesia
Pemungutan pajak yang dimaksud penulis dalam artikel ini adalah sistem pemungutan pajak dan tata cara pemungutan pajak. Keduanya memiliki perbedaan, meskipun sistem sering disebut dengan metode atau cara.
Sistem pemungutan pajak di Indonesia baik pajak pusat maupun pajak daerah menganut beberapa sistem, yaitu: (http//tutorialkuliah.blogspot.com diakses 22 Mei 2009)
1. Official Assesment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah ( fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Fiskus
b. Wajib pajak bersifat pasif
9 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak Oleh Fiskus
2. Self Assesment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang dan bila menemui kesulitan, wajib pajak dapat bertanya kepada petugas pajak. Ciri-cirinya:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri
b. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang
c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi
3. Withholding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga( bukan fiskus dan bukan wajib pajak) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Dalam sistem ini Undang-undang menunjuk satu pihak yang biasanya merupakan sumber penghasilan untuk memotong atau memungut pajak penghasilan kepada pihak lain yang menerima penghasilan. Sistem ini diterapkan agar wajib pajak langsung membayar pajak penghasilan begitu menerima penghasilan tersebut “pay as you earnâ€
Sama halnya dengan sistem pemungutan pajak, tata cara pemungutan pajak di Indonesia juga ada 3, yaitu:(http//sundari.staff.gunadarma.ac.id diakses 22 mei 2009)
1. Stelsel Nyata (Riel)
10 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
Yaitu pemungutan pajak yang dilakukan di akhir tahun.
2. Stelsel Anggapan ( fictieve)
Yaitu pemungutan pajak yang dilakukan di awal tahun dengan berdasar nilai pajak tahun sebelumnya.
3. Stelsel Campuran
Yaitu pemungutan pajak yang dilakukan di awal tahun dan disesuaikan kembali di akhir tahun.
3.2 Konsep Prinsip Keadilan Sebagai Salah Satu Tujuan Hukum
Dalam fungsinya sebagai pelindung bagi kepentingan manusia, hukum memiliki beberapa tujuan (Soedikno Mertokusumo, 2003:77). Gustav Radbruch (terpetik dalam Satjipto Rahardjo, 2007:80-81) berpendapat, bahwa hukum itu bertumpu pada tiga tujuan, yaitu keadilan (gerechtigkeit ), k emanfaatan (zweckmassigkeit ) dan kepastian hukum (rechtssicherheit ). Ketiganya merupakan tujuan akhir yang hendak dicapai oleh hukum secara bersamaan (terpetik dalam Achmad Ali, 2002:84).
Namun didalam praktik akan jamak terlihat adanya pertentangan antara satu tujuan dengan tujuan lainnya (Soedikno Mertokusumo dan Pitlo, 1993:2). Menyikapi hal yang demikian, Radbruchmengemukakan bahwa sebagai salah satu tujuan hukum, posisi keadilan sangat
11 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
dominan jika dibandingkan dengan tujuan hukum lainnya. Dominasi asas keadilan dibanding asas lainnya ini dikemukakannya dalam asas prioritas baku di mana yang dijadikan prioritas nomor satu selalu keadilan, kemudian kemanfaatan, dan terakhir barulah kepastian hukum (Achmad Ali, 2002:84).
Terlepas dari kritik yang disampaikan terhadap asas prioritas baku yang dikemukakan oleh Radbruch di atas, setidaknya perlu kita garisbawahi bahwa asas atau prinsip keadilan merupakan elemen yang sangat urgent sebagai dasar bagi dan tujuan dari hukum.
Apakah yang dimaksud dengan keadilan?Ada banyak sekali definisi yang dikemukakan para pakar tentang keadilan ini, misalnya apa yang dikemukakan oleh N.E Algra(terpetik dalam Achmad Ali, 2002:84), menurutnya:
“Apakah sesuatu itu adil (rechtvaardig, lebih banyak tergantung pada “rechmatigheid†(kesesuaian dengan hukum) pandangan pribadi seorang penilai. Kiranya lebih tidak baik mengatakan “itu adilâ€, tetapi itu mengatakan “hal itu saya anggap adilâ€. Memandang sesuatu itu adil, terutama merupakan suatu pendapat mengenai nilai secara pribadiâ€
Â
( http://www.pemantauperadilan.com diakses tanggal 2 Januari 2008)
Lantas kenapa keadilan harus menjadi dasar dari suatu hukum? Alasannya adalah karena hukum itu tidak identik dengan keadilan (Soedikno Mertokusumo dan Pitlo, 1993:2). Sebagai hasil dari suatu karsa munusia, seperti penciptanya hukum tidak terlepas dari sifat insaniah yang melekat pada diri manusia tersebut yaitu mengandung kekhilafan di sana-sini. Sejarah ketidakadilan dalam hukum ini dapat dikemukakan pada fakta yang dikemukakan oleh Marten Sinaga( http://www.pemantauperadilan.com diakses tanggal 2 Januari 2008), menurutnya sejarah telah mencatat bahwa dalam era negara hukum formal, kegiatan buruh untuk membentuk serikat pekerja dalam dunia usaha merupakan hal yang dilarang, sementara bagi para industriawan kegiatan berserikat seperi membentuk persekutuan dagang merupakan
12 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
sesuatu yang lazim, bahkan mendapatkan perlindungan penuh dari negara seperti VOC (
3.3 Parameter Yang Digunakan Dalam Menentukan Prinsip Keadilan Dalam Pemungutan Pajak
Sebagaimana yang dituturkan sebelumnya, keadilan merupakan asas yang menjadi substansi utama dalam pemungutan pajak di samping anasir hukum itu sendiri. Sebagai dasar berpijak, sudah seharusnya asas (keadilan) tersebut dipegang teguh agar tercapai sistem perpajakan yang baik (Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, 2005:119). Akan tetapi prinsip keadilan adalah sesuatu yang sangat abstrak dan subjektif. Meskipun demikian di dalam Hukum Pajak, keadilan dikemukakan sebagai berikut:
“asas keadilan mengatakan bahwa pajak itu harus adil dan merata. Pajak dikenakan kepada kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar pajak tersebut dan juga sesuai dengan manfaat yang diterimanya dari negara†(Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, 2005:121)
Â
Dalam bahasa yang berbeda, Adolf Wagner( http://id.wikipedia.org diakses tanggal 27 Januari 2008) mengemukakan bahwa asas keadilan adalah dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).
Prinsip keadilan yang dimaksud dalam pemungutan pajak di atas terutama jika dikaitkan dengan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh), menurut jenisnya dapat dibedakan lagi menjadi dua macam yaitu prinsip keadilan horizontal dan prinsip keadilan vertikal. Menurut Parwito(Harian Bisnis Indonesia, tanggal 7 Agustus 2006)
13 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
“…. Keadilan horizontal dalam perspektif pajak mengandung makna, untuk wajib pajak dengan kondisi kemampuan atau penghasilan yang sama harus dikenakan jumlah pajak yang sama. Sementara keadilan vertikal diartikan semakin tinggi kemampuan ekonomis wajib pajak, semakin tingi pula beban pajak yang dikenakan. Konsep ini yang mendasari pengenaan pajak penghasilan secara progresif, seperti dianut rezim perpajakan Indonesia….â€
Â
yang dikemukakan oleh W.J. Langen( http://id.wikipedia.org diakses tanggal 27 Januari 2008).
Tidak hanya mensyaratkan adanya pemerataan dan persamaan perlakukan, keadilan dalam pemungutan pajak dalam paham yang modern menurut Mar’ie Muhammad(Harian Bisnis Indonesia, tanggal 17 Oktober 2005) juga berarti bahwa petugas pajak tidak boleh berlaku sewenang-wenang terhadap pembayar pajak yang telah menyetorkan sebagian penghasilannya kepada Pemerintah.
Penaatan terhadap asas keadilan ini bertujuan pragmatis karena lebih menjamin kesinambungan penerimaan negara melalui jalur pajak. Otto Eickstein (1983: 25) menyebutkan bahwa salah satu alasan mengapa tingkat tax conciuosness (kesadaran membayar pajak) di negara-negara maju relatif lebih tinggi adalah karena mereka yakin bahwa pajak yang dipungut oleh pemerintah sudah adil. Sebaliknya menurut Haula RosdianadanRasin Tarigan (2005:120), kesadaran dan kepatuhan membayar pajak dari para wajib pajak sangat sulit tercipta jika di dalam praktik terlihat dengan jelas bahwa masyarakat yang kaya membayar pajak atau bahkan justru lebih menikmati fasilitas perpajakan.
`Secara ekstrim, pengabaian keadilan sebagai salah satu landasan pemungutan pajak, akan memicu keadaan yang kontra produktif yang terlihat pada saat terjadinya Revolusi Perancis. Adanya perlakuan istimewa terhadap kaum atau golongan tertentu di dalam negara Perancis telah berdampak pada revolusi yang berujung pada ditetapkannya “pemungutan pajak harus diselenggarakan secara umum dan merata†(R. Santoso Brotodihardjo, 1981:27).
Lantas apakah yang menjadi parameter terakomodasinya prinsip keadilan di dalam pemungutan pajak?
14 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
Menurut Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti (2004:41),akomodasi asas atau prinsip keadilan dalam pemungutan pajak terlihat pada saat dimulainya penyusunan undang-undang pajak. Sebagai pedoman untuk menentukan terpenuhinya prinsip keadilan dalam perundang-undangan menurut Adam Smith(terpetik dalam Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti 2004:14), harus dipenuhi empat syarat berikut:
a. equality and equity;
b.certainty;
c. convienience of collection; dan
d. economics of collections.
Â
Keempat pedoman ini disebut “the four canons of Adam Smith†atau “sering juga disebut “ the four maxim†Y. Sri Pudyatmoko, 2006: 43) . Dalam penjabaran lebih lanjut, keempat syarat-syarat tersebut dapat diuraikan lagi sebagai berikut:
(
a. Equality atau kesamaan, mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau orang yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama (Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti 2004:115). Dalam asas ‘ equality’ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula (Wiratni Ahmadi, 2006:11). Sementara itu, asas
15 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
equity/kepatutan, merupakan keadilan yang bersifat khusus yang diterapkan pada suatu kasus tertentu (Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat, 2004: 43).
b. Certainty atau kepastian hukum, adalah tujuan setiap undang-undang (Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti 2004:21) . UU Pajak yang baik senantiasa dapat memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak, kapan ia harus membayar, apa hak-hak dan kewajiban mereka (Y. Sri Pudyatmoko, 2006: 43), siapa subjek dan objek pajak dan berapa besarnya pajak (Wiratni Ahmadi, 2006:11).
c. Convenience of payment, maksudnya adalah pajak harus dipungut pada saat yang tepat, yaitu pada saat wajib pajak mempunyai uang (Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti 2004:25) atau saat sedekat-dekatnya dengan detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan (Wiratni Ahmadi, 2006:11).
d. Economics of collection, maksudnya dalam membentuk undang-undang pajak yang baru para konseptor wajib mempertimbangkan bahwa biaya pemungutan harus relatif lebih kecil dibandingkan dengan uang pajak yang masuk (Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti 2004:25).
Akomodasi prinsip keadilan di dalam pembentukan undang-undang secara umum bukanlah monopoli ketentuan Hukum Pajak belaka, lebih dari itu, prinsip tersebut juga harus melandasi setiap perumusan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, prinsip keadilan tercermin pada asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtgelijkheidbrginsel) yang merupakan salah satu dari lima asas material yang wajib dipenuhi oleh peraturan perundang-undangan sebagaimana dikemukakan oleh Van der Vlies (terpetik dalam Widodo Ekatjahjana, 2007: 114 – 115).
Di samping pada saat penyusunan regulasinya, akomodasi asas atau prinsip keadilan juga dinilai penting pada saat pemungutan pajak itu sendiri. Menurut Santoso Brotodihardjo (terpetik dalam Y. Sri Pudyatmoko, 2006: 40):
“…hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum bagi tercapainya keadilan, dan jaminan ini diberikan kepada pihak-pihak yang tersangkut di dalam pemungutan pajak, yakni
16 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
pihak
fiscus dan wajib pajakâ€
Â
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Wiratni Ahmadi (2006:10), menurutnya:
“agar dapat terpenuhi asas keadilan, maka hukum pajak menempuh suatu pola pemungutan pajak yang diselenggarakan secara umum dan merata. Artinya, seluruh individu-individu memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam hukum pajakâ€
Â
Dalam bahasa yang sedikit berbeda, Miyasto (1997: 9) mengemukakan bahwa:
“…hal tersebut terutama berarti bahwa alokasi beban pajak pada berbagai golongan masyarakat harus mencerminkan keadilan. Mengenai hal ini ada dua kriteria yang lazim digunakan untuk melihat apakah alokasi beban pajak telah mencerminkan aspek keadilan, yaitu kemampuan membayar dari wajib pajak ( ability to pay), dan prinsip benefit (benefit principle ) â€
Â
Dalam perkembangannya akomodasi prinsip keadilan dalam pemungutan pajak adalah adanya perlindungan kepada rakyat dari tindakan pemerintah dalam pemungutan pajak tersebut. Menurut Mar’ie Muhammad (Harian Bisnis Indonesia, tanggal 17 Oktober 2005):
17 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
“…Tetapi yang lebih penting apakah pembayar pajak dilindungi hak-haknya, jadi harus ada keseimbangan antara kewajiban dan hak sebagai pembayar pajak. Melalui UU, harus ada garansi objektif bahwa petugas pajak tidak boleh berlaku sewenang-wenang terhadap pembayar pajak yang telah menyetorkan sebagian penghasilannya kepada Pemerintah tanpa diberikan imbalan apapun secara langsungâ€.
Â
Selain pendapat yang dipaparkan di atas, ada beberapa pakar lainnya yang juga mengemukakan perlunya akomodasi prinsip keadilan dalam perpajakan antara lain, para pakar tersebut antara lain, adalah: FushimiToshiyuki (2001:16), Pratt dan Kulsrut serta Guritno Mangkoesoebroto (terpetik dalam Jimly Asshiddiqie, 2007:887).
Dari apa yang dikemukakan sebelumnya dapat dipahami bahwasanya paremeter prinsip keadilan dalam pemungutan pajak terlihat pada adanya pemerataan dan perlakuan yang sama serta adanya perlindungan terhadap warga negara terhadap tindakan semena-mena penguasa dalam pemungutan pajak tersebut itu sendiri.
3.4 Realisasi Prinsip Keadilan Dalam Pemungutan Pajak Penghasilan Di Indonesia
Jika prinsip keadilan dalam pengertian “pemerataan dan perlakuan yang sama serta adanya perlindungan terhadap warga negara dari tindakan sewenang-wenang†dijadikan parameter, maka penelaahan terhadap realisasi prinsip keadilan dalam pemungutan pajak di negara kita akan memperlihatkan adanya gap dengan parameter yang dimaksud. Gap atau kesenjangan yang terjadi tidak hanya dalam praktik pemungutannya saja, lebih dari itu kesenjangan juga terlihat dalam rumusan undang-undang itu sendiri. Sinyalemen tidak terakomodasinya prinsip keadilan dalam perumusan UU PPh tersebut di atas sebelumnya telah dikemukakan oleh R. Mansury (1996:4) sebagai berikut:
“Dari pengalaman…tidak setiap ketentuan rancangan undang-undang pada saat
18 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
penyusunannya selalu diuji apakah sejalan tidaknya dengan tujuan dan asas yang harus dipegang teguh, ketentuan tersebut mudah sekali mengatur sesuatu yang sebenarnya tidak sejalan dengan asas yang harus dipegang teguhâ€.
Â
Tidak terpenuhinya asas keadilan di dalam dalam pemungutan pajak, dapat kita lihat pada Pasal 36 Ayat (4) UU No. 12 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak. Pasal tersebut mewajibkan Wajib Pajak (selanjutnya disebut WP) yang ingin mengajukan banding ke Pengadilan Pajak diwajibkan membayar lebih dahulu 50% dari pajak terutang. Syarat ini dipandang melanggar hak-hak konstitusional WP karena tidak mencerminkan keadilan, membatasi dan memberatkan WP yang akan mengajukan upaya hukum.
) dipidana, tetapi jika dengan sengaja menyalahgunakan wewenang sehingga melanggar hak-hak perpajakan wajib pajak hanya diadukan ke unit inernal departemen keuangan ( http:// www.ramapratama.com diakses tanggal 2 Januari 2008). Disini nyata sekali bahwa asas keadilan dalam hukum perpajakan telah diabaikan.
Tidak terpenuhinya asas keadilan di dalam dalam pemungutan pajak, makin kompleks dengan diaturnya beberapa ketentuan di dalam UU No. 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8 Tahun 1973 Tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut UU PPh). Menurut Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat (2004:41), UU PPh maupun UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat (selanjutnya disebut UU Zakat) telah memberikan insentif pajak kepada WP yang beragama Islam bila telah membayar zakat, sedangkan terhadap WP yang non-Islam tidak diberikan kompensasi apapun atau diperlakukan diskriminatif.
Insentif yang diberikan kedua undang-undang sebagaimana yang dikemukakan di atas dapat dilihat pada Pasal 38 UU Zakat dan Pasal 9 ayat (1) huruf g UU KUP. Ketimpangan makin terlihat karena pengurangan PKP hanya dibenarkan jika si WP yang bersangkutan membayar pajak tersebut pada lembaga amil zakat yang diakreditasi atau disahkan oleh pemerintah. Permasalahan ini jelas merupakan ketidakadilan nyata terhadap para WP yang beragama Islam lainnya yang menyalurkan zakatnya kepada lembaga amil zakat yang belum tentu terakreditasi. Bahkan sebagian besar dari mereka bahkan langsung menyalurkan zakat tersebut kepada pihak yang berhak menerimanya.
19 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
Tidak hanya itu saja, bila prinsip keadilan horizontal dijadikan parameter lebih lanjut, maka adanya kesenjangan (baca: tidak dianutnya prinsip keadilan) dalam rumusan perundang-undangan perpajakan itu sendiri dalam pemungutan pajak makin nyata teridentifikasi.
Sebagaimana diketahui, dalam UU PPh yang berlaku sekarang ditetapkan adanya tarif pajak penghasilan yang bersifat umum sebagaimana diatur oleh Pasal 17 UU PPh. Dalam perumusannya, ketentuan tarif umum ternyata tidak berlaku secara “umum†karena UU PPh mencantumkan adanya tarif khusus yang tersebar dalam berbagai pasal.
Pemberlakuan tarif khusus ini tentu saja mencederai prinsip keadilan dalam pemungutan pajak khususnya berkenaan dengan asas equality atau kesamaan dalam sistem perpajakan yang lazimnya disebut sebagai asas non-discrimination (Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti 2004:15) . Tarif khusus yang dimaksud, antara lain adalah: 1. Tarif PPh final untuk penghasilan tertentu seperti diatur Pasal 4 ayat 2 UU PPh. Ayat ini berbunyi:
“Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintahâ€;
 1. Tarif PPh untuk wajib pajak orang pribadi yang menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (bersih). Ketentuan ini umumnya berlaku orang pribadi dengan pekerjaan bebas (seperti artis, konsultan, olahragawan) yang mempunyai peredaran bruto (kotor) sampai dengan Rp600 juta per tahun. Dalam RUU PPh, batas peredaran bruto ini dinaikkan menjadi Rp1,8miliar (Pasal 14 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1983 Tentang PPh (UU PPh)); 2. Tarif khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 21. Pasal ini mengatur pengenaan
20 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
pajak untuk penghasilan dari pemberi kerja, uang pensiun, penghasilan dari suatu kegiatan, penghasilan pegawai harian, mingguan, borongan dan lain sebagainya dihitung berdasar penghasilan bruto (Pasal 21 Ayat (3) DAN Ayat (4) UU PPh ). 3. Tarif khusus PPh Pasal 23 untuk penghasilan dari berbagai jenis jasa, penghasilan atas modal ( deviden, royalti), dan macam-macam penghasilan lain. Penghasilan berupa hadiah, misalnya, dibedakan antara hadiah dari suatu undian dan hadiah dari suatu turnamen/perlombaan; 4. Tarif PPh Pasal 25, khususnya untuk pembayaran fiskal perjalanan luar negeri. Dibedakan berdasarkan modal yang digunakan. Perjalanan keluar negeri dengan menggunakan pesawat dikenakan fiskal Rp1 juta sekali jalan, dengan kapal laut Rp500.000 sekali jalan dan armada darat Rp250.000; 5. Tarif PPh Pasal 26 untuk wajib pajak luar negeri. Jenis-jenis penghasilannya yang diatur dalam pasal ini hampir sama dengan jenis penghasilan dari PPh Pasal 23, namun tarifnya berbeda-beda.
) dalam Pasal 74 Ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perusahaan Terbatas. Terhadap hal tersebut, menurut Gunadi ( http://web.bisnis.com diakses tanggal 2 Januari 2008), Pasal 6 Ayat (1) huruf (g) UU PPh menyatakan bahwa CSR dalam bentuk bea siswa, magang dan pelatihan dapat dikurangkan dari pajak, sedangkan menurut Pasal 9 ayat (1) huruf (g) CSR dalam bentuk bantuan dan sumbangan tidak dapat dikurangkan. Dalam kasus tersebut terlihat pembedaan perlakuan terhadap bentuk kegiatan yang dilakukan, padahal keduanya adalah sama-sama
Sebagai dampak tidak diakomodasinya prinsip keadilan dalam pemungutan pajak di negara kita menurut Faisal Basri (Harian Kompas, tanggal 25 Oktober 2005)danMar’ie Muhammad (Harian Bisnis Indonesia, tanggal 17 Oktober 2005), dari target 10 juta NPWP baru setelah diselenggarakannya sistem self assessement prinsip hingga saat ini baru terealisasi 3,5 juta jiwa yang terdaftar. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 1 juta jiwa saja yang aktif membayar pajak dengan mengisi Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), sehingga tidak mengherankan nisbah pajak ( tax ratio) mandeg diangka 10% - 12 % saja.
Tidak terakomodasinya prinsip keadilan sebagai landasan dan asas dalam pemungutan pajak pada UU PPh di atas memperlihatkan adanya kekurangcermatan pembentuk undang-undang. Kondisi tersebut, secara material telah menyebabakan UU PPh secara nyata telah memiliki cacat yuridis karena tidak mengakomodasi asas keadilan yang merupakan salah satu dari beberapa asas yang harus terkandung dalam materi muatan peraturan perundang-undangan yang telah digariskan oleh Pasal 6 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
21 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
Asas “keadilan â€ini maksudnya bahwa setiap setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali (Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2004).
Lantas apakah upaya yang perlu dilakukan dalam menghadapi ketentuan yang diskriminatif di atas? Tentu saja dengan cara mengajukan constitutional review (pengujian konstitusional) UU PPh tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat MK) sebagai the guardian and interpreter of constitution , walaupun dalam rekam-jejak( track record )-nyaMK sebagaimana yang telah dikemukakan dalam footnote di atas, justru telah melakukan blunder dengan memberikan penafsiran yang dinilai “keliru†tentang keadilan dalam pemungutan pajak.
4 PENUTUP
4.1 Simpulan
Bertitik tolak dari apa yang telah penulis uraikan bab-bab terdahulu dari karya ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Bahwa pemungutan pajak di Indonesia memiliki sistem : official assessment system, self assessment system, withholding system . Sedangkan tata cara pemungutan pajak : stelsel nyata, stelsel anggapan dan stelsel campuran.
22 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
b. Bahwa dengan diakomodasinya pemerataan dan perlakuan yang sama serta adanya jaminan perlindungan bagi warga negara dari tindakan semena-mena penguasa dalam penyusunan undang-undang perpajakan merupakan paremeter telah dilaksanakannya prinsip keadilan dalam pemungutan pajak;
c. Bahwa prinsip keadilan telah ada di dalam pemungutan pajak di negara kita, tetapi realisasinya terutama akomodasi prinsip tersebut dalam rumusan UU KUP maupun UU PPh belum dilaksanakan secara menyeluruh, akibatnya kedua undang-undang tersebut memiliki cacat yuridis yang dipertegas dengan tidak terpenuhinya asas keadilan yang merupakan salah satu dari asas yang harus terkandung dalam materi muatan peraturan perundang-undangan yang telah digariskan oleh Pasal 6 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
4.2 Saran
a. Pembentuk perundang-undangan perlu kiranya menerapkan asas kecermatan dan kehati-hatian dalam melakukan penyusunan suatu peraturan perundang-undangan sehingga lebih menjamin sisi konstitusionalitas dan kesahihannya sebagai salah satu produk hukum;
b. Pemerintah dinilai perlu untuk melakukan revisi terbatas terhadap UU KUP dan UU PPh karena kedua UU tersebut belum mengakomodasi prinsip keadilan dalam pemungutan pajak.
Â
23 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
DAFTAR PUSTAKA
24 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
Buku
Â
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002
Â
Bohari, Pengantar Hukum Pajak, PT RajaGRafindo Persada, Jakarta, 2006
Â
C. Goedhart, Hoofdlijnen Van de leer der Openbare Financien, Terj. Ratmoko, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1973
Â
Fushimi Toshiyuki, Administrasi Perpajakan yang Semestinya, Japan International Cooperation Agency, Jakarta, 2001
Â
Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan, Teori dan Aplikasi, PT RajaGRafindo Persada,
25 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
Jakarta, 2005
Â
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007
Â
Miyasto, Sistem Perpajakan Nasional dalam Era Ekonomi Global, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang, 1997
Â
Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen, Penerbit Pustaka LP3ES, Jakarta, 2007
Â
Otto Eickmstein, Public Finace (Keuangan Negara), Terj. Tandjung, Rajawali Pers, Jakarta, 1983
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Eresco, Cet. IX, Jakarta – Bandung, 1981
26 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
Â
R. Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan, Penerbit Ind-Hill, Jakarta, 1996
Â
Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944,Cet. VIII, PT Eresco, Jakarta, 1977
Â
Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Edisi Revisi, PT Refika Aditama, Bandung, 2004
Â
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007
Â
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2003,
Â
27 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
Soedikno Mertokusumo dan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 1993
Â
Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat, Hukum Pajak dan Permasalahannya, PT Refika Aditama, 2004, Bandung
Â
Sindian Isa Djajadiningrat, Makna Dari Hukum Fiskal Formil, Sekolah Tinggi Ilmu Keuangan, 1968
Â
Tim Pengajar Hukum Perburuhan, Hukum Perburuhan, Buku AjarFakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2000
Â
Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak (Menurut UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak), PT Refika Aditama, 2006, Bandung
Â
28 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak ,Edisi Revisi, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2006
Â
Widodo Ekatjahjana, Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Menurut UUD 1945, Disertasi , Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bandung, 2007.
Media Massa dan Internet
Â
Harian Bisnis Indonesia, Tanggal 17 Oktober 2005
-----------------------------, Tanggal 7 Agustus 2006
Harian Kompas Tanggal 25 Oktober 2005
-------------------, Tanggal 7 Januari 2008
-------------------, Tanggal 8 Januari 2008
Majalah Kontan, Minggu II, September 2007, 15-September-2007
29 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak diakses tanggal 27 Januari 2008
http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak_Penghasilan diakses tanggal 27 Januari 2008
http://pajaktaxes.blogspot.com/2007/10/keadilan-pph-final.html diakses tanggal 27 Januari 2008
http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/pajak-bea-cukai/1id21056.html diakses tanggal 2 Januari 2008
http://www.pematauperadilan.com/detil.detail.php?id=166&tipe=opini diakses tanggal 2 Januari 2008
http://www.pemantauperadilan.com/detil/detail.php?id=168&tipe=opini diakses tanggal 2 Januari 2008
http://www.ramapratama.com/index.php/brt/view/0036.htm diakses Tanggal 2 Januari 2008
http://www.transparansi.co.id\Pajak\berita_171005.pajak 04--.htm diakses tanggal 27 Januari 2008
http://id.wikipedia.org diakses 22 Mei 2009
30 / 31
KAJIAN TERHADAP PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA Rabu, 10 April 2013 14:59
http//tutorialkuliah.blogspot.com diakses 22 Mei 2009
Peraturan Perundang-Undangan
Â
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6 Tahun 19853 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perusahaan Terbatas
31 / 31