KAJIAN STRATEGI INDUSTRIALISASI PERIKANAN UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH
Direktorat Kelautan dan Perikanan Kedeputian Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam BAPPENAS 2016
i
ABSTRAK Kajian ini bertujuan untuk menyusun strategi pengembangan industri perikanan, khususnya terkait industri pengolahan perikanan, terutama pada daerah-daerah sentra pengembangan perikanan dalam rangka mengantisipasi peningkatan produksi perikanan, mendukung peningkatan mutu dan nilai tambah produk perikanan, serta mendukung pembangunan ekonomi wilayah. Sementara itu sasaran dari kajian ini adalah: (1) teridentifikasinya kondisi industri perikanan Indonesia, khususnya industri pengolahan perikanan; serta (2) terumuskannya keterkaitan antarunsur dalam pengembangan wilayah berbasis perikanan; serta (3) tersusunnya konsep strategi pengembangan industri perikanan, khususnya terkait industri pengolahan perikanan, berbasis keunggulan spesifik daerah. Jenis data yang digunakan dalam kegiatan ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil observasi, baik dalam bentuk kuesioner, FGD (focus group discussion), maupun wawancara pada pihak terkait dan dokumentasi. Sementara itu, data sekunder diperoleh melalui kajian desk study berupa data time series produksi perikanan dan pengolahan hasil perikanan, pertumbuhan ekonomi wilayah, dan peraturan daerah yang terkait pengelolaan perikanan. Analisis data yang dilakukan dalam kajian ini terdiri dari: (1) analisis deskriptif, diantaranya menggunakan diagram tulang ikan; (2) analisis SWOT; (3) analisis pengembangan wilayah, melalui analisis location quotient (LQ) dan analisis shift share (SSA). Berdasarkan hasil analisis diagram tulang ikan, beberapa permasalahan terkait industrialisasi perikanan dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu terkait: (1) mutu bahan baku, terdiri dari: penerapan good handling practices (GHdP), fasilitas penanganan perikanan yang dipasok untuk industri, dan penerapan sanitasi pada pekerja dan peralatan penanganan ikan; (2) jaminan mutu, meliputi: jaminan mutu bahan baku, jaminan mutu produk, sertifikasi mutu, dan ketertelusuran informasi produk; (3) pelayanan pelanggan, meliputi: kesesuaian produk dengan permintaan pelanggan, ketersediaan pasokan produk untuk konsumen, pengiriman produk tepat jumlah dan tepat waktu; dan (4) kemampuan teknologi. Sepuluh provinsi dengan nilai LQ tertinggi adalah Provinsi Maluku (LQ = 6,40), Sulbar (LQ = 6,36), Sultra (LQ = 4,54), Gorontalo (LQ = 4,59), Bengkulu (LQ = 4,21), Maluku Utara (LQ = 4,06), Lampung (LQ = 3,70), Sulteng (LQ = 3,68), Sulut (LQ = 3,65), dan Sulsel (LQ = 3,31). Nilai LQ lebih dari 1 menunjukkan bahwa lapangan usaha yang bersangkutan memiliki keunggulan relatif yang lebih tinggi dari rata-rata atau disebut juga lapangan usaha basis Sementara itu, sepuluh provinsi dengan perhitungan nilai SSA tertinggi adalah Sulsel (SSA = 1,15), Sulbar (SSA = 0,9), Sulut (SSA = 0,86), Sulteng (SSA = 0,76), Maluku (SSA = 0,70), Sultra (SSA = 0,61), Gorontalo (SSA = 0,61), Maluku Utara (SSA = 0,50), Lampung (SSA=0,47), dan Bengkulu (SSA = 0,45). Nilai SSA yang positif menunjukkan bahwa sektor perikanan termasuk ke dalam sektor yang mengalami pertumbuhan. Berdasarkan analisis SWOT, didapatkan 15 strategi pengembangan industrialisasi perikanan, khususnya terkait pengembangan industri pengolahan perikanan, yaitu: (1) Peningkatan ekonomi wilayah melalui peningkatan populasi industri pengolahan hasil perikanan terutama UMKM; (2) Inisiasi pengembangan industri hasil perikanan yang memiliki nilai tambah tinggi termasuk industri berbasis bioteknologi; (3) Pemberian insentif fiskal bagi usaha kecil untuk peningkatan daya saing; (4) Peningkatan peranan pemerintah pusat maupun daerah dalam menjaga food safety produk hasil olahan UMKM; (5) Penguatan rantai pasok, kemitraan dan perluasan pasar; (6) Penyesuaian potensi wilayah sumberdaya perikanan terhadap industri hilir yang memiliki nilai tambah tinggi; (7) Penyediaan peralatan dan teknologi tepat guna; (8) Penerapan penangkapan yang berkelanjutan; (9) Peningkatan suplai bahan baku memalui pemanfaatan potensi perikanan di wilayah dengan nilai LQ tinggi; (10) Penerapan teknologi budidaya; (11) Peningkatan pendirian industri perikanan yang memiliki nilai tambah dan diversifikasi produk tinggi; (12) Peningkatan sertifikasi kelayakan pengolahan (SKP); (13) Penguatan infrastruktur di daerah yang memiliki potensi yang tinggi (LQ tinggi) namun pemanfaatannya masih rendah (SSA rendah); (14) Peningkatan jaminan mutu, keamanan pangan, dan perbaikan sanitasi di UKM dan Industri; dan (15) Akselerasi pengembangan pusat pertumbuhan industri perikanan dengan nilai tambah tinggi di lokus pilihan (optimalisasi kapasitas terpasang industri perikanan). Selanjutnya berdasarkan analisis LQ dan jumlah produksi pengolahan ikan per provinsi, dilakukan pemetaan provinsi berdasarkan nilai LQ dan volume produksi UPI ke dalam sembilan kuadaran. Kemudian ke-15 strategi pengembangan industrialisasi perikanan, khususnya terkait pengembangan industri pengolahan perikanan juga dipetakan ke dalam sembilan kuadran tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, strategi industrialisasi perikanan, khususnya terkait pengembangan industri pengolahan perikanan, untuk mendukung ekonomi wilayah, terdiri dari: (1) Peningkatan koordinasi antarsektor dalam rangka hilirisasi industri perikanan, (2) Sinkronisasi kebijakan dan pengkajian ulang kebijakan yang menghambat industrialisasi perikanan; (3) Pengembangan industri perikanan pada daerah yang memiliki LQ tinggi (LQ>4), yaitu: Sulbar, Gorontalo, Bengkulu dan Maluku Utara, agar dapat memberi sumbangan terhadap peningkatan ekonomi wilayah sebagai basis perikanan nasional; serta (4) Ppemilihan skala industri yang tepat yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya perikanan yang berkelanjutan, utilitas dan kapasitas industri, serta keunggulan wilayah.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusunan laporan kajian berjudul ”Kajian Strategi Industrialisasi Produk Perikanan untuk Membangun Perekonomian Wilayah” dapat diselesaikan. Penyusunan kajian ini didasarkan pada pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan, termasuk sektor hulu, aspek pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, serta produk kelautan di sektor hilir. Permasalahan lain terkait dengan masih rendahnya produktivitas dan daya saing usaha kelautan dan perikanan yang disebabkan oleh struktur armada penangkapan ikan yang masih didominasi oleh kapal berukuran kecil, belum optimalnya integrasi sistem produksi di hulu dan hilir, serta masih terbatasnya penyediaan sarana dan prasarana secara memadai. Hasil dari kajian ini diharapkan mampu memberikan alternatif solusi dari permasalahan tersebut, dan juga dapat digunakan sebagai acuan bagi penyusunan kebijakan/strategi operasional dan perencanaan bagi stakeholders dan pelaku usaha perikanan dalam pengembangan industri perikanan, terutama pada daerahdaerah sentra pengembangan perikanan, mendukung peningkatan mutu dan nilai tambah produk perikanan, serta mendukung pembangunan ekonomi wilayah. Terakhir, kami mengucapkan terima kasih terutama kepada: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DI Yogyakarta, serta semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan dan penyempurnaan laporan kajian ini. Kami menyadari bahwa penyusunan laporan kajian ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam rangka penyempurnaan hasil kajian ini.
Desember 2016,
Tim Penyusun
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK........................................................................................................... i KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... v DAFTAR TABEL ............................................................................................. vi BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah................................................................................ 5 1.3 Tujuan dan Sasaran ................................................................................ 6 1.4 Ruang Lingkup Kegiatan ........................................................................ 6 BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN ................... 8 2.1 Pengertian Perikanan .............................................................................. 8 2.2 Pengertian Industrialisasi Perikanan ...................................................... 8 2.3 Klasifikasi Industri ............................................................................... 10 2.4 Mutu Produk Perikanan ........................................................................ 11 2.5 Konsumsi Ikan ..................................................................................... 12 2.6 Produk Perikanan Non Konsumsi ......................................................... 13 2.7 Nilai Tambah pada Industri Pengolahan Ikan........................................ 13 2.8 Perdagangan Internasional Produk Perikanan ....................................... 14 2.9 Konsep Wilayah, Daerah, dan Kawasan ............................................... 15 2.10 Pewilayahan sebagai Alat Pendeskripsian dan Perencanaan.................. 17 2.11 Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif.......................... 18 BAB III METODE KAJIAN ........................................................................... 20 3.1. Kerangka Pikir ..................................................................................... 20 3.2. Metode Pengambilan Data.................................................................... 22 3.3. Metode Analisis Data ........................................................................... 23 3.4 Lokasi Kunjungan Lapang .................................................................... 27 3.5 Jadwal Pelaksanaan Kajian ................................................................... 27 BAB IV ISU, PERMASALAHAN, DAN SASARAN STRATEGIS DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRIALISASI PERIKANAN .............. 29 4.1 Permasalahan dalam Pengembangan Industrialisasi Perikanan.............. 29 4.1.1 Perikanan Tangkap ....................................................................... 29 4.1.2 Perikanan Budidaya ...................................................................... 30 4.1.3 Pengolahan Perikanan ................................................................... 31 4.1.4 Pemasaran Hasil Perikanan ........................................................... 32 4.1.5 Bidang Kewilayahan ..................................................................... 33 4.2 Sasaran Strategis Pembangunan Kelautan dan Perikanan Nasional ....... 34 BAB V REVIEW KEBIJAKAN INDUSTRI DAN PENGOLAHAN PERIKANAN ................................................................................................... 36
iv
5.1 5.2 5.3 5.4 5.5
Kebijakan Umum ................................................................................. 36 Kebijakan Penguatan Industri Pengolahan Perikanan............................ 37 Kebijakan Peningkatan Produksi dan Konsumsi ................................... 40 Kebijakan Peningkatan Mutu Produk Hasil Perikanan .......................... 41 Kebijakan Industri Pengolahan Perikanan kaitanya dengan Pengembangan Wilayah ....................................................................... 43 5.6 Analisis Kebijakan Pemerintah yang Berkaitan Pengembangan Industri Hulu-Hilir dan Kewilayahan .................................................... 46 BAB VI ANALISIS STRATEGI INDUSTRIALISASI PERIKANAN UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH ...... 50 6.1 Analisis Potensi Kewilayahan Industri Perikanan Nasional................... 50 6.2 Isu dan Permasalahan Industrialisasi Perikanan .................................... 54 6.3 Analisis Tulang Ikan Permasalahan Industri Pengolahan Perikanan ...... 64 6.4 Analisis SWOT .................................................................................... 65 BAB VII STRATEGI INDUSTRIALISASI PERIKANAN UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH ..................... 85 BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ....................................... 94 8.1 Kesimpulan .......................................................................................... 94 8.2 Rekomendasi ........................................................................................ 95 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 96 LAMPIRAN ..................................................................................................... 99
v
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Kerangka Analisis Kajian Strategi Industrialisasi Perikanan untuk Mendukung Pembangunan Ekonomi Wilayah..................... 22 Gambar 2 Ilustrasi Fishbone Analysis ............................................................ 24 Gambar 3 Analisis Nilai LQ Nasional ............................................................ 50 Gambar 4 Sepuluh Provinsi dengan Nilai LQ Tertinggi.................................. 51 Gambar 5 Hasil Perhitungan Nilai SSA Nasional ........................................... 52 Gambar 6 Sepuluh Provinsi dengan Nilai SSA Tertinggi................................ 52 Gambar 7 Grafik Hubungan Antara Jumlah UPI Bersertifikat SKP dan Jumlah Penolakan Ekspor. ............................................................ 58 Gambar 8 Utilitas UPI Menengah-Besar di Indonesia .................................... 60 Gambar 9 Nilai Tambah dan Keuntungan (%) pada Kegiatan Pengolahan Perikanan. ..................................................................................... 62 Gambar 10 Nilai Tambah dan Keuntungan (%) pada Kegiatan Pengolahan Perikanan di Jawa Timur ............................................................... 63 Gambar 11 Analisis Tulang Ikan Permasalahan Industri Pengolahan ............... 64 Gambar 12 Matriks Pembagian Wilayah (cluster) berdasarkan Perhitungan Nilai LQ dan Volume Produksi UPI .............................................. 85 Gambar 13 Pemetaan Provinsi Berdasarkan Nilai LQ dan Volume Produksi UPI................................................................................................ 86 Gambar 14 Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan (S1-S15) berdasarkan Kuadran Pembagian Wilayah dari Nilai LQ dan Volume Produksi UPI.................................................................... 87
vi
DAFTAR TABEL Tabel 1 Posisi Indonesia sebagai Produsen Hasil Perikanan Dunia Tahun 2014 ..................................................................................................... 2 Tabel 2 Perhitungan Nilai Tambah per Kilogram Bahan Baku untuk Menghasilkan Produk......................................................................... 13 Tabel 3 Jadwal Kegiatan Kajian Industrialisasi Perikanan untuk Mendukung Ekonomi Wilayah .............................................................................. 28 Tabel 4 Analisis Undang-undang yang Berkaitan dengan Kebijakan Industri Perikanan ........................................................................................... 48 Tabel 5 Uraian Jenis Masalah dan Strategi Penanganan Permasalahan ............ 64 Tabel 6 Matriks SWOT Industrialisasi Perikanan untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi Wilayah ...................................................... 82 Tabel 7 Cluster Wilayah Strategi Industri Perikanan Nasional ........................ 94
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan tahun 2015-2019 ditetapkan dengan memperhatikan tiga dimensi pembangunan nasional, yakni SDM, sektor unggulan, dan kewilayahan. Sektor kelautan dan perikanan telah menjadi salah satu sektor unggulan nasional dengan pendekatan fungsi/bisnis proses mulai dari hulu sampai hilir. Pembangunan sektor kelautan dan perikanan saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan, termasuk sektor hulu, aspek pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, dan produk kelautan di sektor hilir. Berkaitan dengan hal itu, pemerintah melalui kelembagaan terkait telah mengambil kebijakan percepatan industrialisasi kelautan dan perikanan yang merupakan integrasi sistem produksi hulu dan hilir. Kesejahteraan pelaku usaha perikanan, meliputi budidaya, penangkapan, pengolahan dan pemasaran, merupakan salah satu pilar penting dalam peningkatan daya saing bangsa di era perdagangan bebas serta penerapan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Namun, kondisi kesejahteraan para nelayan dan pelaku usaha untuk dapat memenuhi kebutuhan dengan pendapatan yang diperolehnya masih sangat terbatas. Permasalahan yang dihadapi adalah belum adanya perlindungan terhadap pelaku usaha kecil menengah (UKM) untuk meningkatkan daya saing melalui sinergi lintas sektor (termasuk dalam mengakses sumber pembiayaan), perlindungan terhadap pasar domestik, dan sertifikasi produk. Permasalahan lainnya adalah terkait dengan masih rendahnya produktivitas dan daya saing usaha kelautan dan perikanan yang disebabkan oleh struktur armada penangkapan ikan yang masih didominasi oleh kapal berukuran kecil, belum optimalnya integrasi sistem produksi di hulu dan hilir, serta masih terbatasnya penyediaan sarana dan prasarana secara memadai. Disamping itu, aspek mendasar yang mempengaruhi lemahnya daya saing dan produktivitas adalah kualitas SDM dan kelembagaannya. Saat ini jumlah SDM yang bergantung pada kegiatan usaha kelautan dan perikanan sangat besar, namun pengetahuan, keterampilan, penguasaan teknologi dan aksesibilitas terhadap infrastruktur dan
2
informasi belum memadai dan belum merata di seluruh wilayah Indonesia, terutama di wilayah kepulauan. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat menuntut penyediaan pangan yang juga terus meningkat termasuk penyediaan protein hewani yang berkualitas. Produksi ikan sebagai salah satu sumber protein hewani juga terus mengalami peningkatan dari 7,7 juta ton pada tahun 2010 menjadi 10,9 juta ton pada tahun 2014. Konsumsi ikan masyarakat terus meningkat dari 30,5 kg/kapita/tahun pada tahun 2010 menjadi 37,9 kg/kapita/tahun pada tahun 2014. Selanjutnya, produksi perikanan, termasuk di dalamnya ikan, rumput laut, garam, dan hasil olahan, diperkirakan akan mencapai 40-50 juta ton pada akhir tahun 2019. Indonesia merupakan salah satu negara produsen hasil perikanan terbesar di dunia setelah China (FAO, 2016) dengan rincian sebagaimana tertera pada Tabel 1. Namun demikian, keunggulan tersebut belum diikuti dengan kemampuan dalam meningkatkan nilai tambah dan memenuhi kecukupan pangan nasional. Indeks ketahanan pangan Indonesia berdasarkan kriteria affordability, availability, quality, and safety berada diurutan ke-64 di bawah negara-negara Asia Pasifik seperti New Zealand, Jepang, Australia, Korea Selatan, Malaysia, China, Thailand, Vietnam, dan Philipina.
Tabel 1. Posisi Indonesia sebagai Produsen Hasil Perikanan Dunia Tahun 2014 Perikanan Tangkap Laut
Perikanan Tangkap Darat
Perikanan Budidaya
Peringkat ke-1 China China China Dunia (14,81 juta ton) (2,30 juta ton) (45,47 juta ton) Peringkat Peringkat ke-2 Peringkat ke-7 Peringkat ke-3 Indonesia di (6,02 juta ton) (0,42 juta ton) (4,25 juta ton) Dunia Sumber: The State of Worls Fisheries and Aquaculture, FAO 2016
Rumput Laut/Aquatic Farmed Plants China (13,33 juta ton) Peringkat ke-2 (10,08 juta ton)
Untuk memenuhi sebagian bahan baku industri pengolahan perikanan nasional dan kebutuhan konsumsi ikan di dalam negeri, impor perikanan masih dilakukan hingga saat ini. Kebutuhan impor terbesar selama periode lima tahun (2005-2010) adalah jenis ikan beku dan ikan segar atau dingin dengan peningkatan rata-rata 51,1% dan 46,5%. Sisanya adalah jenis ikan kering, asin atau asap dan ikan diolah atau diawetkan dengan peningkatan yang tidak terlalu
3
besar yaitu rata-rata 0,5% dan 1,9%.
Total volume impor untuk kebutuhan
konsumsi domestik sebesar 10.753 ton. Volume impor terbesar adalah jenis ikan beku 5.313 ton atau 49,41% dan ikan segar 5.215 ton atau 48,50%. Sementara volume impor jenis ikan kering, asin atau asap 56,4 ton atau 0,52%; dan ikan diolah atau diawetkan 168,4 ton atau 1,57% (KKP 2012). Indonesia bersaing dengan Cina, Vietnam dan Thailand di tingkat Global dalam merebut pasar produk olahan ikan di Eropa dan Amerika. Perubahan pola konsumsi dan meningkatnya kesadaran masyarakat dunia dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani yang sehat, mudah diperoleh, berkualitas, dan ramah lingkungan (environmental friendly) menjadi tantangan besar industri pengolahan perikanan nasional. Menurut FAO (2014), tingkat konsumsi ikan dunia meningkat pesat dari 71% tahun 1980-an menjadi lebih dari 86% dari total produksi ikan global yaitu sekitar 136 juta ton tahun 2012 (FAO 2014). Preferensi masyarakat dunia terhadap produk pengolahan ikan pun sangat besar. Dari total produksi ikan dunia untuk konsumsi, 54% merupakan produk ikan olahan terdiri dari 12% produk pengeringan, penggaraman, dan pengasapan; 13% produk prepared dan preserved; dan 29% produk beku. Produk perikanan yang paling diminati masyarakat dan memiliki harga tinggi dipasaran global adalah jenis ikan yang diperdagangkan dalam keadaan hidup, segar, dan dingin yaitu sebesar 46% dari total pemasaran produksi ikan yang dikonsumsi atau sekitar 63 juta ton tahun 2012 (FAO 2014). Peningkatan jumlah ekspor maupun nilai produk perikanan Indonesia masih memiliki peluang yang besar. Peluang tersebut juga didukung oleh adanya peningkatan konsumsi produk perikanan global. Walaupun demikian, kondisi perdagangan global dengan tingkat persaingan yang tinggi menuntut daya saing yang kuat dalam perdagangan berbagai barang dan jasa termasuk juga perdagangan produk perikanan. Industri pengolahan ikan harus mampu menghasilkan beragam produk kompetitif dengan mutu yang baik sehingga memuaskan konsumen dan mampu bersaing dengan produk yang dihasilkan oleh negara-negara lain. Berkaitan dengan kepuasan konsumen terhadap produk perikanan, saat ini unsur kesehatan, nutrisi serta keamanan pangan semakin ditekankan selain
4
terpenuhinya unsur karakteristik mutu produk. Negara-negara pengimpor hasil perikanan utama dunia seperti Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Uni Eropa semakin memperketat pengawasan mutu dan keamanan pangan yang bertujuan melindungi masyarakatnya dari bahaya keamanan pangan. Amerika Serikat menerapkan Bioterorism Act pada tahun 2002 yang lebih menekankan persyaratan impor pangan. Jepang mengeluarkan kebijakan dan regulasi tentang residu kimia pada produk pangan (Saragih 2007). Di lain pihak, Uni Eropa melakukan inspeksi terhadap industri-industri perikanan yang aktif melakukan ekspor ke wilayah Uni Eropa. Di dalam memenuhi kepuasan konsumen, komoditas ekspor perikanan Indonesia masih menghadapi permasalahan mutu dan keamanan pangan dalam. Amerika Serikat telah beberapa kali mengeluarkan detention list pada produk perikanan Indonesia akibat benda asing atau kotoran (filth) dan cemaran mikrobiologi yang melebihi ambang batas (indikator penanganan sanitasi dan kehigienisan yang buruk) (Poernomo 2008). Beragam kasus mutu dan keamanan pangan produk perikanan Indonesia lainnya juga terdapat pada hasil inspeksi UE dalam The Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF). Sebagian besar produksi perikanan diserap di dalam negeri dalam rangka mendukung ketersediaan pangan, selebihnya terutama untuk jenis-jenis ikan ekonomis tinggi seperti kelompok tuna dan udang, diekspor ke luar negeri. Produksi perikanan yang akan dipasarkan tersebut perlu ditingkatkan mutu dan nilai tambahnya melalui upaya pengolahan, pengemasan yang baik, higenis, dan memenuhi standar keamanan, baik untuk produk perikanan yang akan dipasarkan di dalam negeri maupun tujuan ekspor. Selain menitikberatkan pembangunan pada dimensi pembangunan manusia dan pembangunan sektor unggulan, seperti kedaulatan pangan, kedaulatan energi, kemaritiman dan kelautan, serta pariwisata dan industri, RPJMN 2015-2019 juga menitikberatkan pembangunan berdimensi pemerataan dan kewilayahan, baik terkait pemerataan antarkelompok pendapatan, maupun pemerataan antarwilayah desa, pinggiran, luar Jawa, dan Kawasan Timur. Sentra produksi perikanan sebagian besar berada di Indonesia bagian Timur, terutama untuk perikanan tangkap, sehingga diharapkan pengembangan perikanan di
5
wilayah Indonesia Timur dapat pula menggerakkan perekonomian di wilayah tersebut.
1.2
Perumusan Masalah Kurangnya peranan industri pengolahan perikanan nasional dalam
perdagangan perikanan olahan baik domestik ataupun internasional tidak terlepas dari permasalahan yang dihadapi industri pengolahan perikanan nasional. Permasalahan pertama berasal dari bahan baku seperti keterbatasan suplai bahan baku dan bahan penolong produksi perikanan olahan misalnya minyak kedelai, kaleng, dan bahan kemasan lainnya. Selain itu, isu tentang keamanan pangan berupa penggunaan bahan pengawet makanan yang tidak tepat. Permasalahan lain berkaitan dengan bahan baku adalah belum terintegrasinya teknologi penangkapan ikan sampai dengan pengolahannya. Sementara itu pada aspek produksi, industri pengolahan perikanan memiliki permasalahan dalam hal utilisasi kapasitas terpasang industri yang belum optimal. Persyaratan dan standarisasi produk yang mengacu pada standar internasional seperti Food Safety, Good Manufacturing Procecces (GMP), Standar Nasional Indonesia (SNI) dan CODEX masih sulit diadopsi dan
diterapkan
oleh
industri pengolahan
perikanan
nasional.
Permasalahan lainnya adalah kurangnya sumberdaya manusia di bidang industri pengolahan perikanan. Di bidang pemasaran dan infrastruktur, industri pengolahan perikanan masih memiliki permasalahan dalam hal persyaratan ekspor yang semakin ketat seperti masalah logam berat (mercury issue, dolphin saf, histamin, dll), isu lingkungan, penggunaan antibiotik dan lainnya, serta terbatasnya infrastruktur yang mendukung perdagangan serta prasarana dan sarana lainnya seperti pelabuhan, dan cold storage. Oleh karena itu, diperlukan beragam opsi yang dapat memecahkan permasalahan industri pengolahan ikan, agar Indonesia mampu meningkatkan kemampuan dan daya saing industri perikanannya. Keunggulan daya saing dapat dicapai melalui kinerja dengan kegiatan berbiaya rendah atau diferensiasi. Kegiatan berbiaya rendah merupakan keunggulan produktivitas, sementara diferensiasi merupakan bagian dari keunggulan nilai. Pengelolaan rantai kegiatan dari penangkapan ikan hingga konsumen yang baik secara nilai maupun biaya
6
memungkinkan industri pengolahan ikan mencapai keunggulan daya saing yang tinggi. Rantai kegiatan tersebut pada hakikatnya merupakan rantai pasok yang mengalirkan bahan baku ikan menuju industri pengolahan untuk diolah kemudian didistribusikan hingga konsumen. Secara umum rantai pasok ikan laut tangkapan dimulai dari pasokan ikan hasil tangkapan dari nelayan penangkap ke pedagang pengumpul, yang kemudian memasoknya untuk kebutuhan konsumsi segar atau pada perusahaan pengolahan ikan yang menghasilkan produk olahan untuk pasar lokal maupun ekspor. Untuk mencapai keunggulan daya saing industri perikanan yang mampu menghasilkan produk bermutu dan menyehatkan, diperlukan upaya perbaikan kinerja mutu yang tepat.
1.3 (1)
Tujuan dan Sasaran Tujuan Kajian ini ditujukan untuk menyusun strategi pengembangan industri
perikanan, khususnya terkait industri pengolahan perikanan, terutama pada daerah-daerah sentra pengembangan perikanan dalam rangka mengantisipasi peningkatan produksi perikanan, mendukung peningkatan mutu dan nilai tambah produk perikanan, serta mendukung pembangunan ekonomi wilayah. Hasil kajian juga akan digunakan sebagai acuan bagi penyusunan kebijakan/strategi operasional dan perencanaan bagi stakeholders dan pelaku usaha perikanan. (2)
Sasaran Sasaran dari kajian ini adalah: (1) teridentifikasinya kondisi industri
perikanan Indonesia, khususnya industri pengolahan perikanan; serta (2) terumuskannya keterkaitan antarunsur dalam pengembangan wilayah berbasis perikanan; serta (3) tersusunnya konsep strategi pengembangan industri perikanan, khususnya terkait industri pengolahan perikanan, berbasis keunggulan spesifik daerah.
1.4
Ruang Lingkup Kegiatan Ruang lingkup kajian ini terdiri atas:
(1) Identifikasi tantangan dan peluang pengembangan industri perikanan, khususnya terkait industri pengolahan perikanan, di lokus pilihan.
7
(2) Analisa kontribusi industri perikanan, khususnya terkait industri pengolahan perikanan, dalam pembangunan ekonomi daerah. (3) Identifikasi keterkaitan dengan isu kekinian, seperti: sustainable consumption and production, blue economy, traceability, quality assurance, standardisasi produk, di bidang industri perikanan, khususnya terkait industri pengolahan perikanan. (4) Analisa strategi industrialisasi perikanan,
khususnya terkait
industri
pengolahan perikanan, untuk peningkatan daya saing dan pembangunan wilayah.
8
BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1
Pengertian Perikanan Menurut UU No. 45/2009 tentang Perubahan Atas UU No. 31/2004
tentang Perikanan, perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengelolaan, sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakkan hukum dari peraturan perundangan-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai atau kelangsungan produktivitas sumber daya hayati dan tujuan yang telah disepakati. Menurut FAO (2016), perikanan didefinisikan sebagai aktivitas manusia yang meliputi penangkapan, kegiatan ekonomi, manajemen, biologi/lingkungan dan teknologi perikanan.
2.2
Pengertian Industrialisasi Perikanan Menurut Permen KP No. PER.27/MEN/2012, industrialisasi kelautan dan
perikanan adalah integrasi sistem produksi hulu dan hilir untuk meningkatkan skala dan kualitas produksi, produktivitas, daya saing, dan nilai tambah sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan, yang dilandasi oleh prinsipprinsip sebagai berikut: (1) peningkatan nilai tambah: industrialisasi kelautan dan perikanan diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah berupa produk-produk olahan yang makin beragam dan berkualitas dengan nilai jual lebih tinggi. Meningkatnya nilai jual produk produk berbasis kelautan dan perikanan tersebut diharapkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis kelautan dan perikanan lebih tinggi. (2) peningkatan daya saing: industrialisasi kelautan dan perikanan diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk kelautan dan perikanan melalui efisiensi sistem produksi dan peningkatan produktivitas dengan hasil
9
berkualitas dan harga yang kompetitif, sehingga berdaya saing tinggi, baik di pasar nasional maupun pasar global. (3) penguatan pelaku industri kelautan dan perikanan: industrialisasi kelautan dan perikanan akan mendorong penguatan struktur industri, yaitu peningkatan jumlah dan kualitas industri perikanan dan pembinaan hubungan antarentitas sesama industri, industri hilir dan hulu, industri besar, menengah dan kecil, serta hubungan antara industri dengan konsumen pada semua tahapan rantai nilai (value chain). (4) berbasis komoditas, wilayah, dan sistem manajemen kawasan dengan konsentrasi pada komoditas unggulan: kebijakan industrialisasi kelautan dan perikanan difokuskan pada komoditas unggulan sesuai dengan permintaan pasar, baik pasar domestik maupun luar negeri. Agar terintegrasi pelaksanaannya dilakukan berbasis wilayah dan sistem manajemen kawasan, yaitu berdasarkan pada distribusi sumber daya alam di wilayah-wilayah potensial dan dengan sistem manajemen kawasan di sentra-sentra produksi potensial dan prospek pertumbuhannya di masa depan. (5) modernisasi sistem produksi hulu dan hilir: kemajuan sektor kelautan dan perikanan dapat dipercepat dengan modernisasi sistem produksi yang mampu meningkatkan produk kelautan dan perikanan bernilai tambah dan berkualitas tinggi dengan memperhatikan seluruh rantai nilai (value chain). Modernisasi diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, percepatan, dan peningkatan skala produksi di hulu dan hilir, sekaligus mendorong upaya pengembangan komoditas dan produk produk unggulan untuk menghadapi persaingan pasar global yang makin kompetitif; serta mendorong perubahan sistem produksi hulu skala UMKM dengan menggunakan teknologi dan manajemen usaha yang lebih efisien dan menguntungkan. (6) kesimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan yang berkelanjutan: industrialisasi kelautan dan perikanan akan dilaksanakan sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan (7) perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat modern (transformasi sosial): industrialisasi kelautan dan perikanan diharapkan dapat
mendorong
10
perubahan masyarakat agraris menjadi masyarakat industri yang modern, melalui perubahan cara berfikir dan perilaku masyarakat sesuai karakteristik masyarakat industri.
2.3
Klasifikasi Industri Perusahaan atau usaha industri adalah suatu unit (kesatuan) usaha yang
melakukan kegiatan ekonomi, bertujuan menghasilkan barang atau jasa, terletak pada suatu bangunan atau lokasi tertentu, dan mempunyai catatan administrasi tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya serta ada seorang atau lebih yang bertanggung jawab atas usaha tersebut. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS 2016), perusahaan industri pengolahan dibagi dalam empat kelompok, yaitu: (1) industri besar, memiliki tenaga kerja 100 orang atau lebih (2) industri sedang, memiliki tenaga kerja 20-99 orang (3) industri kecil, memiliki tenaga kerja 5-19 orang (4) industri rumah tangga, memiliki tenaga kerja 1-4 orang Pengelompokan perusahaan industri pengolahan ini hanya didasarkan kepada banyaknya tenaga kerja yang bekerja, tanpa memperhatikan penggunaan mesin tenaga dan besarnya modal perusahaan. Selanjutnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menetapkan kriteria industri menjadi dua bagian yaitu: (1) industri kecil, merupakan industri dengan nilai investasi paling banyak Rp.500 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan (2) industri menengah, merupakan industri dengan nilai investasi lebih besar dari Rp. 500 juta atau paling banyak Rp.10 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Berdasarkan Permen KP No: PER.18/MEN/2006 tentang skala usaha pengolahan hasil perikanan, klasifikasi usaha dikelompokkan menjadi: usaha pengolahan hasil perikanan skala mikro, skala kecil, skala menengah, dan skala besar. Sementara itu, pengertian klasifikasi usaha skala mikro, kecil, menengah, dan besar terdapat dalam UU No. 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, sebagai berikut:
11
(1) usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan, dengan aset maksimal Rp.50 juta dengan omset per tahunnya mencapai Rp.300 juta. (2) usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil, dengan aset antara Rp.50 juta – Rp.500 juta dengan omzet per tahunnya berkisar antara Rp.300 juta – Rp.2,5 miliar. (3) usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar, dengan aset antara Rp.500 juta – Rp.10 miliar dengan omzet per tahunnya berkisar antara Rp.2,5 miliar – Rp 50 miliar. (4) usaha besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari Usaha Menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia, dengan aset lebih dari Rp.10 miliar dengan omzet lebih dari Rp.50 miliar.
2.4
Mutu Produk Perikanan Dalam UU No. 18/2012 tentang Pangan dan UU No. 31/2004 tentang
Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45/2009, serta PP No. 28/ 2004 tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan, telah ditetapkan bahwa produk pangan termasuk dalam hal ini hasil perikanan yang dipasarkan untuk konsumsi manusia harus mengikuti persyaratan-persyaratan yang ditetapkan sehingga dapat menjamin kesehatan manusia. Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman.
12
Persyaratan atau standar mutu produk sebagaimana dimaksud setidaknya meliputi: (1) memenuhi kriteria keamanan hasil perikanan; (2) memiliki kandungan gizi yang baik untuk produk pengolahan ikan; (3) memenuhi standar perdagangan nasional untuk produk pengolahan ikan yang beredar di dalam negeri; dan (4) memenuhi standar negara tujuan ekspor atau standar internasional untuk produk pengolahan ikan yang akan diekspor.
2.5
Konsumsi Ikan Konsumsi ikan adalah sejumlah ikan yang dikonsumsi masyarakat
berdasarkan survey yang dilakukan Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang telah dikonversi menjadi setara ikan segar dalam bentuk energi dan protein dengan satuan kal/kap/hari dan g/kap/hari. Konsumsi ikan terdiri atas konsumsi ikan aktual dan ideal. Konsumsi ikan aktual adalah jumlah konsumsi setara ikan segar dan konsumsi tidak tercatat yang dihitung dengan satuan kg/kapita/tahun. Sedangkan konsumsi ikan ideal adalah adalah jumlah ikan yang seharusnya dikonsumsi masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhan energi dari ikan berdasarkan perhitungan PPH yaitu kebutuhan pangan hewani sebesar 12% Angka Kecukupan Energi (AKE) dalam rangka mencapai standar pelayanan minimal (SPM). Jumlah ikan yang dikonsumsi dan jenisnya yang bervariasi antarwilayah dan antarnegara, mencerminkan tingkat perbedan ketersediaan ikan dan bahan pangan lainnya, termasuk aksesibilitas sumber perikanan sebagai interaksi dari beberapa faktor sosial ekonomi dan budaya, seperti tradisi, cita rasa, permintaan, tingkat pendapatan, musim, harga, serta fasilitas dan infrastruktur kesehatan dan komunikasi. Perubahan pola konsumsi ikan merupakan hasil dari faktor peningkatan standar hidup, pertumbuhan penduduk, urbanisasi dan kesempatan perdagangan serta transformasi distribusi pangan (FAO 2012). Jumlah dan jenis konsumsi ikan terkait dengan berbagai faktor, yaitu: pengetahuan gizi dan teknik pengolahan ikan; kemudahan mendapatkan ikan; harga ikan dan daya beli masyarakat; citra/image/gengsi ikan; nilai budaya dan mitos; dan promosi konsumsi ikan (Sulistyo et al. 2004).
13
2.6
Produk Perikanan Non Konsumsi Produk Hasil Perikanan Nonkonsumsi berdasarkan Keputusan Dirjen
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan No.: 016/DJ-P2HP/2012, terdiri dari: ikan hias, tanaman hias air, mutiara, kerajinan, minyak ikan, garam, tulang ikan, khitin dan/atau khitosan, kolagen, gelatin, silase, rumput
laut untuk keperluan
medis/farmasi, kosmetik, produk bioteknologi kelautan/ perikanan, artemia, dan bubuk kulit kerang mutiara.
2.7
Nilai Tambah pada Industri Pengolahan Ikan Analisis kondisi nilai tambah pada industri pengolahan ikan dilakukan
dengan menggunakan Metode Hayami (1987), melalui perhitungan nilai tambah per kilogram bahan baku untuk satu kali kegiatan pengolahan yang menghasilkan suatu produk tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tambah untuk pengolahan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu faktor teknis dan pasar. Tabel 2. Perhitungan Nilai Tambah Per Kilogram Bahan Baku untuk Menghasilkan Produk No. 1
2
Variabel
Nilai
Output, Input dan
Output (kg/hr)
A
Harga
Bahan baku (kg/hr)
B
Tenaga kerja (HOK/hari)
C
Faktor konversi
d = a/b
Koefisien tenaga kerja
e = c/b
Harga output (Rp./kg)
F
Upah rata-rata tenaga kerja (Rp./HOK)
G
Pendapatan dan
Harga bahan baku (Rp)
H
Keuntungan
Sumbangan input lain (Rp)
I
Nilai output
j=dxf
Nilai tambah
k=j–i–h
Rasio nilai tambah Imbalan tenaga kerja
m=exg
Bagian tenaga kerja
n% = (m x 100%)/k
Keuntungan Tingkat keuntukan (%) Sumber: Hayami (1987)
l% = (k x 100%)/j
o=k–m p% = (o x 100%)/j
14
Faktor teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah bahan baku dan tenaga kerja, sementara faktor pasar yang berpengaruh ialah harga output, upah kerja, harga bahan bakar dan input lain. Prosedur analisis nilai tambah diperlihatkan pada Tabel 1.
2.8
Perdagangan Internasional Produk Perikanan Investasi perdagangan internasional produk perikanan saat ini tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor permintaan dan penawaran, tetapi juga ditentukan oleh hasil-hasil konvensi dan perjanjian internasional perikanan. Perjanjian tersebut mengatur mekanisme perdagangan komoditi perikanan di pasar internasional, antara lain: (1) Perjanjian internasional terkait kelestarian sumber daya perikanan, seperti: Code of Conduct for Responsible Fisheries, International Convention for the Concervation of Atlanic Tuna (ICCAT), Indian Ocean Tuna Comision dan Agreement of Straddling Stocks; (2) Perlindungan internasional terhadap satwa yang terancam punah, seperti Convention on International Trade of Endangered Species (CITES); dan (3) Perjanjian internasional tentang perdagangan, seperti GATT/WTO, termasuk perjanjian Sanitary and Phyto sanitary Measures (SPS); dan Agreement on Technical Barriers to Trade, termasuk pengawasan dan pengendalian mutu perikanan. Globalisasi perdagangan makanan; perkembangan teknologi dalam produksi perikanan; penanganan, pengolahan dan distribusi; serta tingginya peningkatan kepedulian dan permintaan konsumen untuk keamanan dan mutu makanan, menjadikan keamanan pangan dan jaminan kualitas sebagai hal yang diprioritaskan
pemerintah.
Untuk
memasuki
pasar
ekspor,
perlu
mempertimbangkan hal-hal strategis lainnya, seperti: komoditas produk, daya saing, mutu dan kualitas produk, selera dan daya beli konsumen, delivery time, dan analisis kondisi negara tujuan ekspor termasuk populasi, agama, tradisi, kondisi sosial politik dan peraturan ekspor impor (Disperindag, 2014).
15
2.9
Konsep Wilayah, Daerah, dan Kawasan Secara teoritik, tidak terdapat perbedaan nomenklatur antara istilah
wilayah, daerah, dan kawasan. Semuanya secara umum dapat diistilahkan dengan “wilayah” (region). Istilah “kawasan” di Indonesia digunakan karena adanya penekanan fungsional suatu unit wilayah. Oleh karena itu, kawasan didefinisikan sebagai karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional. Sementara itu, “daerah” secara umum adalah suatu wilayah territorial dengan pengertian, batasan dan perwatakannya didasarkan pada wewenang administrasi pemerintahan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan tertentu. Daerah juga diartikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya dengan batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi. Contohnya adalah daerah-daerah otonom seperti yang disebutkan di dalam Undang-Undang No 22/1999 (yang telah direvisi menjadi UU No. 32/2004) tentang Pemerintah di Daerah: Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, Daerah Kota. Berdasarkan UU No. 26/ 2007 tentang Penataan Ruang, “wilayah” adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional; sementara “kawasan” adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya. Secara konseptual, wilayah dapat dibagi menjadi empat, yaitu: (1) wilayah homogen, (2) wilayah nodal, (3) wilayah administratif, dan (4) wilayah perencanaan. (1) Wilayah Homogen, adalah wilayah yang dipandang dari satu aspek/kriteria mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri yang relatif sama, misalnya dalam hal ekonomi dan. Wilayah homogen dibatasi berdasarkan keseragamannya secara internal (internal uniformity). Contoh wilayah homogen adalah Pantai Utara Jawa Barat, yang merupakan wilayah homogen sentra produksi ikan jenis pelagis kecil, ikan asin dan kerupuk ikan.
16
(2) Wilayah Nodal. Wilayah nodal adalah wilayah yang secara fungsional mempunyai ketergantungan antara pusat (inti) dan wilayah belakangnya (hinterland). Tingkat ketergantungan ini dapat dilihat dari arus penduduk, faktor produksi, barang dan jasa, ataupun komunikasi dan transportasi. Soekirno (1985) menyatakan bahwa pengertian wilayah nodal yang paling ideal digunakan dalam analisis mengenai ekonomi wilayah, yaitu mengartikan wilayah tersebut sebagai ekonomi ruang yang dikuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan ekonomi. Batas wilayah nodal ditentukan oleh sejauhmana pengaruh dari suatu pusat kegiatan ekonomi bila digantikan oleh pengaruh dari pusat kegiatan ekonomi lainnya. (3) Wilayah Administratif, adalah wilayah yang batas-batasnya ditentukan berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau politik, seperti: provinsi, kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan. (4) Wilayah Perencanaan, adalah wilayah yang batasannya didasarkan secara fungsional dalam kaitannya dengan maksud perencanaan. Wilayah ini memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi (Glasson dalam Pontoh dan Kustiwan, 2009). Wilayah perencanaan dapat dilihat sebagai wilayah yang cukup besar untuk memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan penting dalam penyebaran penduduk dan kesempatan kerja, namun cukup kecil untuk memungkinkan persoalan-persoalan perencanaannya dapat dipandang sebagai suatu kesatuan. Klaessen (dalam Pontoh dan Kustiwan, 2009) menyatakan wilayah perencanaan harus memiliki beberapa kriteria, diantaranya: (1) cukup besar dalam mengambil keputusankeputusan investasi yang berskala ekonomi, (2) mampu mengubah industrinya sendiri dengan tenaga kerja yang ada, (3) mempunyai struktur ekonomi yang homogen, (4) mempunyai sekurang-kurangnya satu titik pertumbuhan (growth point), (5) menggunakan suatu cara pendekatan perencanaan pembangunan, dan (6) masyarakat dalam wilayah itu mempunyai kesadaran bersama terhadap persoalan-persoalannya. Wilayah perencanaan dalam hal ini bukan hanya dipandang dari aspek fisik dan ekonomi saja, namun ada juga dipandang dari aspek ekologis, misalnya dalam kaitannya dengan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), pengelolaan terumbu karang dan sebagainya.
17
2.10
Pewilayahan sebagai Alat Pendeskripsian dan Perencanaan Pengembangan konsep wilayah dan penerapannya dalam dunia nyata akan
menghasilkan suatu konsep pewilayahan. Permukaan bumi terbagi atas berbagai wilayah sesuai dengan konsep wilayahnya. Perbedaan konsep wilayah yang diterapkan akan menghasilkan perbedaan unit-unit atau batas-batas wilayah yang dihasilkan. Manfaat melakukan proses pewilayahan terutama dalam melakukan proses klasifikasi. Dalam pengetahuan, Johnston (1976) menyebutkan bahwa, metode klasifikasi wilayah ini bermanfaat diantaranya sebagai: (1) alat penyederhanaan fenomena wilayah, dan (2) sebagai alat pendeskripsian. Klasifikasi ini dapat dipandang sebagai alat/metode yang cukup ampuh dalam mendeskripsikan fenomena, termasuk dalam menggambarkan hubungan antara manusia dengan sumberdaya yang karakteristik sumberdaya serta perilaku dan cara-cara manusia memanfaatkannya dapat dijelaskan dan disederhanakan dengan pengklasifikasian spasial. Dengan demikian, klasifikasi spasial (pewilayahan) merupakan suatu alat (tools) untuk mempermudah menjelaskan keragaman dan berbagai karakteristik fenomena yang ada. Secara sederhana, pewilayahan merupakan alat untuk “memotret” kehidupan nyata yang beragam secara spasial. Secara teknis, perbedaan mendasar klasifikasi spasial dengan klasifikasi pada umumnya adalah: (1) aspek spatial contiguity (kontiguitas spasial) dan (2) aspek spatial compactness. Sifat spatial contiguity (kontiguitas spasial) memiliki pengertian bahwa masing-masing wilayah yang didefinisikan satu sama lainnya cenderung bersifat bersebelahan secara kontinyu sehingga agregat menjadi suatu kesatuan yang kontigus (contiguous) atau saling mempengaruhi. Kontiguitas merupakan karakter yang melekat dari suatu wilayah karena pada dasarnya tidak ada wilayah yang bersifat bebas atau independen (terbebas dari pengaruh wilayah lainnya). Oleh sebab itu, aspek interaksi spasial (spatial interaction) atau keterkaitan spasial (spatial linkages) antar wilayah merupakan bahasan yang sangat penting dalam ilmu wiayah. Di dalam proses-proses pewilayahan, kesatuan atau
kesinambungan
hamparan
adalah
sangat
dikehendaki.
Sebaliknya
kecenderungan fragmentasi-fragmentasi spasial perlu dihindari. Wilayah-wilayah yang berkesinambungan secara spasial (spatial contiguous) akan mempermudah
18
pengelolaan,
sebaliknya
wilayah-wilayah
yang
terfragmentasi
(spatially
fragmentation) akan menciptakan berbagai bentuk inefisiensi. Sebagai alat deskripsi, konsep pewilayahan merupakan bagian dari konsep alamiah, yakni sebagai alat mendeskripsikan hal-hal yang terjadi secara alamiah di dalam kehidupan. Di sisi lain, konsep pewilayahan juga merupakan alat untuk merencanakan/mengelola dan mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan pewilayahan digunakan untuk penerapan pengelolaan (manajemen) sumberdaya yang memerlukan pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan karakteristik spasial.
2.11
Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah sangat tergantung pada
keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya. Nilai strategis setiap sektor di dalam memacu menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda-beda. Keunggulan komparatif adalah perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Sedangkan keunggulan kompetitif ialah potensi ekonomi dari produksi sektoral yang dihasilkan oleh suatu wilayah. Sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi menjadi dua kelompok (Rustiadi, et al., 2009), yaitu: (1) sektor basis, kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antarwilayah. Industri basis akan menghasilkan output berupa barang dan jasa, baik untuk kebutuhan pasar domestik wilayah tersebut maupun dari wilayah lain (kegiatan ekspor sudah berkembang dengan baik). (2) sektor non basis, merupakan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di wilayahnya sendiri, dimana kapasitas ekspor di wilayah tersebut belum berkembang. Arus pendapatan yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi industri basis akan meningkatkan investasi, kesempatan kerja, pendapatan dan konsumsi, yang pada gilirannya akan meningkatkan permintaan agregat dari hasil industri sektor basis. Dengan demikian, kegiatan industri sektor basis berperan penting sebagai
19
penggerak utama (prime mover) dimana setiap perubahan kenaikan atau penurunan per satuan unit output memiliki efek pengganda (multiplier effect) terhadap perekonomian wilayah. Perkembangan suatu wilayah dapat diketahui melalui dampak multiplier yang dihasilkannya. Beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk melihat perkembangan ekonomi suatu wilayah akibat adanya suatu aktivitas ekonomi adalah pendapatan (income) dan tenaga kerja (employment). Menurut Blakely (1994) dampak multiplier merupakan aproksimasi terbaik untuk mengetahui potensi perubahan kesejahteraan dari suatu aktivitas ekonomi baru. Asumsi dasarnya adalah bahwa suatu perubahan di sektor produksi akan menghasilkan peningkatan pendapatan masyarakat. Sedangkan indikator tenaga kerja digunakan untuk mengetahui besarnya peluang terciptanya lapangan pekerjaan baru oleh aktivitas ekonomi yang dikembangkan di suatu wilayah.
20
BAB III METODE KAJIAN 3.1. Kerangka Pikir UU No. 17/ 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 telah menetapkan salah satu misi yang yang terkait dengan pembangunan kelautan dan perikanan, yaitu “mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional”, dengan menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang berwawasan kelautan, mengelola wilayah laut nasional untuk mempertahankan kedaulatan dan meningkatkan kemakmuran, dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan. Selanjutnya,
berdasarkan
Perpres
No.
2/2015
tentang
Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, dalam rangka mewujudkan visi pembangunan mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong, salah satunya akan dilaksanakan melalui misi mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional. Pada RPJMN 2015-2019, kemaritiman dan kelautan menjadi salah satu sektor unggulan, dimana kekayaan laut dan maritim Indonesia harus dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat. Beberapa sasaran utama pembangunan nasional terkait hal tersebut adalah peningkatan produksi hasil perikanan menjadi sebesar 40-50 juta ton dan peningkatan nilai ekspor hasil perikanan menjadi USD 9,5 miliar pada tahun 2019. Peningkatan target produksi ikan dan hasil perikanan yang cukup tinggi hingga mencapai 40-50 juta ton pada tahun 2019 tentunya akan mempengaruhi kondisi pasokan bahan baku untuk industri pengolahan perikanan serta mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di sentra-sentra produksi perikanan dan sentra pengolahan perikanan. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan kajian strategi industrialisasi perikanan untuk meningkatan mutu, nilai tambah, dan daya saing produk perikanan agar mampu mendukung pengembangan wilayah. Menurut data dari FAO (2015), Indonesia merupakan salah satu negara penghasil
21
produksi perikanan utama di dunia, baik untuk ikan yang berasal dari perikanan tangkap, perikanan budidaya, maupun rumput laut. Namun keunggulan tersebut belum diikuti dengan kemampuan Indonesia dalam meningkatkan nilai tambah dan memenuhi kecukupan pangan nasional. Indeks ketahanan pangan Indonesia berdasarkan kriteria affordability, availability, quality, and safety berada di urutan ke-64, atau berada di bawah negara-negara Asia Pasifik seperti New Zealand, Jepang, Australia, Korea Selatan, Malaysia, China, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Menurut Permen KP No. PER.27/MEN/2012 tentang Pedoman Umum Industrialisasi Kelautan dn Perikanan, industrialisasi kelautan dan perikanan adalah integrasi sistem produksi hulu dan hilir untuk meningkatkan skala dan kualitas produksi, produktivitas, daya saing, dan nilai tambah sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Usaha perikanan di Indonesia sebagai basis dari industrialisasi didominasi oleh Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebesar 97,5% dari 63.887 unit pengolah ikan yang ada. Sehingga untuk menentukan strategi industrialisasi dalam rangka pengembangan wilayah perlu dianalisis berbagai faktor yang dapat meningkatkan produktivitas UMKM sebagai basis utama, dan usaha besar sebagai basis pendukung. Secara grafis kerangka analisis kajian Strategi Industrialisasi Perikanan Untuk Mengembangkan Ekonomi Wilayah dapat dilihat pada Gambar 1.
22
Identifikasi potensi kewilayahan industri pengolahan perikanan nasional
Identifikasi dan analisis bahan baku, pelaku, aktivitas dan alur distribusi hasil perikanan
Identifikasi permasalahan industri pengolahan perikanan Level penanganan hasil perikanan mulai dari aktivitas hulu hingga industri pengolahan perikanan
Identifikasi dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keunggulan daya saing industri pengolahan perikanan
Identifikasi penyebab permasalahan pada industri pengolahan ikan
Penyusunan strategi industrialisasi perikanan, khususnya pengolahan perikanan
Gambar 1 Kerangka Analisis Kajian Strategi Industrialisasi Perikanan untuk Mendukung Pembangunan Ekonomi Wilayah
3.2. Metode Pengambilan Data Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil observasi, baik dalam bentuk kuesioner, FGD (focus group discussion), maupun wawancara pada pihak terkait dan dokumentasi. Data primer lebih difokuskan pada kinerja sektor perikanan baik sektor ekonomi, sosial, lingkungan maupun kelembagaan serta permasalahan yang dihadapi. Data primer ini diperlukan untuk mengetahui kondisi eksisting pengelolaan perikanan di lapangan. Sementara itu, data sekunder diperoleh melalui kajian desk study untuk mengumpulkan informasi mengenai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya maupun perkembangan terkini mengenai pengelolaan industrialisasi perikanan secara umum. Data sekunder yang digunakan diantaranya berupa data
23
time series produksi perikanan dan pengolahan hasil perikanan, pertumbuhan ekonomi wilayah, dan peraturan daerah yang terkait pengelolaan perikanan.
3.3. Metode Analisis Data Analisis data yang dilakukan dalam kajian ini terdiri dari analisis deskriptif, analisis SWOT, dan analisis pengembangan ekonomi wilayah dengan pendekatan mikro-makro. (1) Analisis deskriptif Analisis ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang halhal yang berkaitan dengan objek kajian. Hasil analisis ini disajikan dalam bentuk tulisan, tabulasi data, matriks, gambar sesuai dengan konteks permasalahan yang dibahas melalui diagram tulang ikan (fish bone analysis). Diagram tulang ikan adalah diagram yang menunjukkan sebab akibat yang berguna untuk mencari atau menganalisis sebab-sebab timbulnya masalah sehingga memudahkan cara mengatasinya. Penggunaan diagram tulang ikan dalam kajian ini digunakan untuk mengetahui permasalahan yang paling sering muncul pada daerah atau sentra perikanan. Ilustrasi diagram tulang ikan dalam kajian ini disajikan pada Gambar 2.
24
F asilitas dan Infrastruktur Pe ngolahan pe rikanan Suplai BBM
Tren produksi
Bahan baku
Produk konsumsi
Pabrik Es
Rantai pasok
Produk non konsumsi
Cold storage Penyediaan air bersih Kontinuitas bahan baku Sistem logistik
Energi
Manajem en Industri
Preferensi konsumen
kapasitas terpasang utilitas produksi
nilai tambah produk
kapasitas produksi
hambatan tarif/non tarif
GMP, HAC C P, ISO
pola konsumsi ikan
Bahan penolong/BTP Strategi Industrialisasi perikanan
Kesejahteraan NTN( Nilai Tambah Pegangguran & kemiskinan PDRB Wilayah
akses pasar asosiasi/serikat nelayan akses modal Kebijakan Pe merintah
Lembaga terkait
kemasan bahan pengawet
tenaga kerja Biaya operasional
keamanan pangan teknologi informasi
Perlengkapan Lahan dan bangunan Resiko usaha Jumlah badan/kelemba Sosial Ekonomi
Mesin Alat Penangkap Ikan Kapal Te knologi
Gambar 2. Ilustrasi Fishbone Analysis (2) Analisis SWOT Analisis SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam suatu proyek atau suatu spekulasi bisnis. Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dari spekulasi bisnis atau proyek dan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut. Analisis SWOT merupakan salah satu metode untuk menggambarkan kondisi dan mengevaluasi suatu masalah, proyek atau konsep bisnis yang paling sering digunakan untuk mencari strategi yang akan dilakukan. Analisis SWOT hanya menggambarkan situasi yang terjadi bukan sebagai pemecah masalah. Analisis SWOT terdiri dari empat faktor, yaitu:
25
a) Strengths (kekuatan), merupakan kondisi kekuatan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada. Kekuatan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. b) Weakness (kelemahan), merupakan kondisi kelemahan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada. Kelemahan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. c) Opportunities (peluang), merupakan kondisi peluang berkembang di masa datang yang akan terjadi. Kondisi yang akan terjadi merupakan peluang dari luar organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. misalnya kompetitor, kebijakan pemerintah, kondisi lingkungan sekitar. d) Threats (ancaman), merupakan kondisi yang mengancam dari luar. Ancaman ini dapat mengganggu organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri.
Selanjutnya, analisis SWOT dipetakan ke dalam matriks sebagai tabel informasi SWOT. Kemudian dilakukan pembandingan antara faktor internal yang meliputi strengths dan weaknesses dengan faktor eksternal opportunities dan threats. Langkah berikutnya adalah penyusunan strategi alternatif untuk dilaksanakan.
Strategi
yang
dipilih
merupakan
strategi
yang
paling
menguntungkan dengan resiko dan ancaman yang paling kecil. Selain berguna untuk pemilihan alternatif, analisis SWOT juga dapat digunakan untuk melakukan perbaikan dan improvisasi dengan mengetahui kelebihan (strengths dan opportunities) dan kelemahan (weaknesses dan threats) (Rangkuti, 2006).
(3) Analisis Pengembangan Ekonomi Wilayah Analisis yang digunakan untuk mengetahui indikator sektor basis, keunggulan komparatif, dan keunggulan kompetitif wilayah adalah metode Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA). a) Analisis Location Quotient (LQ) Metode LQ digunakan untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan non basis yang merupakan perbandingan
26
relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Asumsi yang digunakan adalah terdapat sedikit variasi dalam pola pengeluaran secara geografi dan produktivitas tenaga kerja seragam serta masingmasing industry menghasilkan produk atau jasa yang seragam. Analisis LQ menunjukkan efisiensi relatif wilayah, serta terfokus pada substitusi impor yang potensial atau produk dengan potensi ekspansi pasar ke luar wilayah tersebut (ekspor). Hal ini memberikan suatu gambaran tentang industri yang terkonsentrasi dan industri mana yang tersebar (Shukla, 2000). Metode analisis LQ dirumuskan sebagai berikut:
Di mana: Xij
= derajat aktivitas ke-j di wilayah ke-i
Xi
= total aktivitas di wilayah ke-i
Xj
= total aktivitas ke-j di semua wilayah
Xn
= derajat aktivitas total wilayah
b) Analisis Shift Share (SSA) Analisis Shift Share (SSA) digunakan untuk melihat keunggulan kompetitif suatu wilayah. Indikator yang digunakan untuk menunjukkan potensi ekonomi dalam analisis ini adalah sebagai berikut:
Total shift (pergeseran keseluruhan), merupakan pergeseran total suatu industri i adalah sama dengan selisih antara pertumbuhan yang terjadi (actual change) dengan pertumbuhan/perubahan yang diharapkan (expected change) terjadi jika industri i tumbuh pada laju yang sama dengan laju total pertumbuhan nasional (semua industri).
Proportional shift, merupakan pergeseran yang diamati tergantung pada perbedaan antara laju pertumbuhan nasional (dari seluruh industri) dengan laju pertumbuhan nasional dari masing-masing industri.
Differential shift, merupakan pergeseran yang diamati tergantung pada perbedaan antara laju pertumbuhan industri di wilayah bersangkutan dengan
27
laju pertumbuhan industri i di tingkat nasional. Persamaan analisis SSA adalah sebagai berikut:
a
b
c
dimana:
3.4
a
= komponen share
b
= komponen proportional share
c
= komponen differential share
X
= nilai total aktivitas dalam total wilayah
Xi
= nilai total aktivitas tertentu dalam total wilayah
Xij
= nilai aktivitas tertentu dalam unit wilayah tertentu
tt
= titik tahun akhir
t0
= titik tahun awal
Lokasi Kunjungan Lapang Survei lapangan dan pengumpulan data dilakukan ke Provinsi Jawa Timur
dan DI Yogyakarta. Tempat-tempat tersebut adalah lokasi yang mewakili keberadaan industri pengolahan perikanan dalam negeri yang ada dan tersebar di wilayah Indonesia, sehingga diharapkan mampu memperkaya informasi hasil kajian. 3.5
Jadwal Pelaksanaan Kajian Kajian ini akan dilaksanakan selama delapan bulan, yaitu dari Bulan April
sampai Bulan November 2016. Secara lengkap jadwal kajian ini dapat dilihat pada Tabel 2.
28
Tabel 3. Jadwal Kegiatan Kajian Industrialisasi Perikanan untuk Mendukung Ekonomi Wilayah N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15
Uraian Kegiatan Rapat Tim Perumus Rekomendasi Kebijakan Identifikasi Industri Perikanan Laporan awal Diskusi Terbatas dengan Pemangku Kepentingan sektor perikanan Penyusunan Bahan kajian Perumusan dan bahan survey lapangan Survey Lapangan Penyusunan Hasil Survey dan kajian Laporan Antara/Laporan Tengah Perumusan Strategi Industrialisasi Perikanan untuk Pembangunan Ekonomi Wilayah Konsep Strategi Industrialisasi Perikanan untuk Pembangunan Ekonomi Wilayah Seminar Penyusunan laporan akhir Perbaikan laporan akhir Laporan akhir
I
II
April III IV
I
II
Mei III
IV
I
II
Juni III
IV
I
II
Juli III
IV
I
Agustus II III IV
I
September II III IV
I
Oktober II III IV
I
November II III IV
29
BAB IV ISU, PERMASALAHAN, DAN SASARAN STRATEGIS DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRIALISASI PERIKANAN
4.1
Permasalahan dalam Pengembangan Industrialisasi Perikanan
4.1.1 Perikanan Tangkap Pengembangan perikanan tangkap menghadapi permasalahan yang kompleks karena keterkaitannya dengan banyak sektor, termasuk dengan aspek lingkungan. Terdapat berbagai isu pengelolaan perikanan tangkap di laut yang berpotensi mengancam kelestarian
sumber
daya
ikan dan
lingkungan,
keberlanjutan mata pencaharian masyarakat di bidang perikanan, ketahanan pangan, dan pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya perikanan. Beberapa wilayah perairan laut Indonesia telah mengalami gejala overfishing. Selain itu, praktik-praktik IUU fishing yang terjadi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI), baik oleh kapalkapal perikanan Indonesia (KII) maupun oleh kapal-kapal perikanan asing (KIA) menyebabkan kerugian baik dari aspek sosial, ekologi/lingkungan, maupun ekonomi. Kerugian negara akibat dari IUU fishing di perairan Arafura diperkirakan mencapai Rp 11–17 triliun (Wagey et al., 2002). Sementara itu, estimasi kerugian negara-negara di dunia akibat IUU fishing mencapai USD 10–23,5 miliar (Agnew et al., 2005). Ancaman IUU fishing dipicu kondisi sektor perikanan global, dimana beberapa negara mengalami penurunan stok ikan, pengurangan armada kapal penangkapan ikan akibat pembatasan pemberian izin penangkapan. Sementara di sisi lainnya, permintaan produk perikanan semakin meningkat dan kemampuan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan masih lemah. Berdasarkan hal tersebut, kapasitas dan kapabilitas pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan perlu ditingkatkan sebagaimana amanat UU No. 45/2009 tentang perubahan atas UU No.
31/2004 tentang Perikanan,
melalui
pengembangan sistem pengawasan yang terintegrasi, penyediaan sarana dan prasarana pengawasan, pemenuhan regulasi bidang pengawasan dan kelembagaan di tingkat daerah, pengembangan kerjasama secara intensif dengan instansi lain, serta menggalang komitmen dan dukungan internasional dalam penanggulangan
30
kegiatan IUU fishing. Masalah IUU fishing juga terkait dengan perbatasan dengan negara tetangga, seperti kasus nelayan tradisional yang melanggar lintas batas masuk ke negara lain. Meskipun upaya untuk edukasi dan peningkatan keasadaran nelayan RI mengenai batas-batas laut sudah dilakukan, namun kemungkinan nelayan tradisional untuk melintas batas dan melakukan pelanggaran ke negara lain masih ada. Perbatasan laut merupakan salah satu isu dalam pengawasan sumber daya perikanan dan kelautan di wilayah perairan Indonesia. Hingga saat ini, masih terdapat perundingan terkait perbatasan wilayah dengan negara tetangga yang belum terselesaikan. Permasalahan lainnya yang dihadapi adalah terkait masih rendahnya produktivitas dan daya saing usaha kelautan dan perikanan yang disebabkan oleh struktur armada penangkapan ikan yang masih didominasi oleh kapal berukuran kecil, belum optimalnya integrasi sistem produksi di hulu dan hilir, serta masih terbatasnya penyediaan sarana dan prasarana secara memadai. Di samping itu, aspek sangat mendasar yang mempengaruhi lemahnya daya saing dan produktivitas adalah kualitas SDM dan kelembagaannya. Saat ini jumlah SDM yang bergantung pada kegiatan usaha kelautan dan perikanan sangat besar, namun pengetahuan, keterampilan, penguasaan teknologi dan aksesibilitas terhadap infrastruktur dan informasi belum memadai dan belum merata di seluruh wilayah Indonesia, terutama di wilayah kepulauan.
4.1.2 Perikanan Budidaya Pengembangan perikanan budidaya masih dihadapkan pada permasalahan terkait ketersediaan dan distribusi induk dan benih unggul, kesiapan dalam penanggulangan hama dan penyakit, penyediaan fasilitas kolam dan air yang baik serta prasarana saluran irigasi, harga pakan/harga bahan baku pakan, serta implementasi kebijakan tata ruang dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulaupulau kecil. Rendahnya produktivitas perikanan budidaya juga disebabkan oleh struktur pelaku usaha perikanan budidaya yang didominasi pembudidaya skala kecil/tradisional (sekitar 80%), yang memiliki keterbatasan aspek permodalan, jaringan teknologi, dan pasar. Selain itu, serangan hama dan penyakit ikan/udang
31
serta penurunan kualitas lingkungan perikanan budidaya juga ikut mempengaruhi pengembangan perikanan budidaya. Sementara itu, terkait garam, hingga saat ini produksi garam nasional masih belum dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini karena mayoritas usaha pegaraman masih bersifat tradisional, pengaruh cuaca berupa hujan yang terus menerus dan kemarau basah, serta tata niaga garam yang belum mendukung. Dalam rangka pengembangan usaha, permasalahan utama yang dihadapi adalah masih adanya keterbatasan dukungan permodalan usaha dari pihak perbankan dan lembaga keuangan lainnya kepada para nelayan/pembudidaya ikan/petambak garam/pengolah hassil perikanan, berupa terbatasnya akses permodalan atau kredit usaha akibat persyaratan perbankan (jaminan/agunan).
4.1.3 Pengolahan Perikanan Isu utama yang dihadapi dalam pengembangan pengolahan perikanan adalah: (1) Lemahnya jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan (quality assurance dan food safety). Pihak pembeli dari negara lain menuntut Indonesia untuk memenuhi ketentuan terkait jaminan dan keamanan pangan (hasil perikanan), diantaranya: penerapan Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), Bioterrorism Act, sanitasi kekerangan, cemaran logam berat dan histamin pada tuna dan certificate eco labelling selain health certificate. (2) Tingginya tingkat kehilangan (losses) hingga sekitar 27,8% akibat kualitas bahan baku yang kurang terjaga karena rendahnya pengetahuan nelayan, pembudidaya ikan, pemasar dan pengolah hasil perikanan, dan petugas TPI/PPI mengenai cara penanganan dan pengolahan yang baik (good manufacturing practice/GMP) serta karena terbatasnya sarana dan prasarana penangan ikan di atas kapal, TPI/PPI, distribusi dan unit pengolah ikan (UPI) skala mikro dan kecil, seperti peralatan handling, es, dan air bersih. (3) Kurangnya pasokan bahan baku industri pengolahan karena belum terjalinnya kerjasama antara industri penangkapan ikan dengan pengolahan hasil perikanan, sehingga perusahaan penangkapan cenderung mengekspor ikan
32
dalam bentuk ikan utuh (gelondongan) serta belum terstandarnya hasil tangkapan karena 85% produksi perikanan tangkap didominasi/dihasilkan oleh nelayan skala kecil. Di sisi lain, sentra penangkapan ikan banyak berada di wilayah Indonesia bagian timur, sementara industri pengolahan banyak berada di wilayah Indonesia bagian barat. (4) Maraknya bahan kimia berbahaya dalam penanganan dan pengolahan ikan, seperti: formalin, borax, zat pewarna, CO, antiseptik, pestisida, dan antibiotik (chloramphenol, Nitro Furans, OTC). Hal ini disebabkan oleh substitusi bahan pengganti tersebut yang kurang tersedia dan peredaran bahan kimia berbahaya yang bebas, murah dan sangat mudah diperoleh. (5) Jenis ragam produk dan pengembangan produk bernilai tambah (value added products) belum berkembang optimal dan belum popular. Meskipun kajian dan hasil penelitian pemanfaatannya sudah banyak tersedia, namun produksi secara masal masih belum dapat direalisasi karena ketersediaan sarana prasarana, mahalnya peralatan, kurangnya teknologi serta masalah kontinuitas suplai bahan baku. (6) Kurangnya intensitas promosi dan rendahnya partisipasi stakeholders. Saat ini, produk perikanan yang bernilai tambah di masyarakat masih belum populer, karena kurangnya intensitas promosi serta rendahnya partisipasi stakeholders (khususnya produsen produk perikanan) dalam mengembangkan program promosi.
4.1.4 Pemasaran Hasil Perikanan Peningkatan pemanfaatan potensi sumber daya perikanan juga mendorong peningkatan kegiatan perdagangan produk perikanan antarwilayah di Indonesia (domestik) dan antarnegara (ekspor). Meningkatnya kegiatan perdagangan tersebut, membawa konsekuensi meningkatnya risiko berupa masuk dan tersebarnya hama dan penyakit ikan berbahaya, serta masuknya hasil perikanan yang dapat merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Sehingga diperlukan peningkatan sistem jaminan kesehatan ikan mutu dan keamanan hasil perikanan yang terpercaya.
33
Globalisasi dalam kerangka perdagangan internasional, mendorong semakin meningkatnya arus lalu lintas dan menurunnya secara bertahap hambatan tarif (tariff barrier) dalam perdagangan hasil perikanan antarnegara. Keadaan ini memicu masing-masing negara, termasuk negara mitra dagang seperti Uni Eropa, China, Rusia, Canada, Korea, Vietnam dan Norwegia, semakin memperketat persyaratan jaminan kesehatan, mutu dan keamanan hasil perikanan (health, quality and safety assurance). Sebagai anggota World Trade Organization (WTO) Indonesia berkewajiban melaksanakan isi ketentuan dalam “Agreement of The Application of Sanitary and Phytosanitari Measure” yang memuat ketentuan tentang penerapan peraturan-peraturan teknis guna melindungi kesehatan manusia, hewan, ikan dan tumbuhan. Konsep perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS) merupakan instrumen pengendali perdagangan internasional berupa hambatan teknis (technical barrier to trade)/hambatan non tariff (non tariff barrier). Berdasarkan hal tersebut, pengembangan sistem jaminan kesehatan, mutu dan keamanan hasil perikanan harus selaras dengan persyaratan dan ketentuan internasional sehingga mampu meningkatkan daya saing hasil perikanan dalam era perdagangan global.
4.1.5 Bidang Kewilayahan Isu utama pembangunan wilayah nasional adalah masih besarnya kesenjangan antarwilayah khususnya kesenjangan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Pada kurun waktu 20152019, arah kebijakan utama pembangunan wilayah nasional difokuskan pada upaya mempercepat pengurangan kesenjangan pembangunan antarwilayah dengan mendorong transformasi dan akselerasi pembangunan wilayah. Sebagai negara maritim yang terdiri dari gugusan pulau-pulau (archipelagic state) di mana laut Indonesia lebih luas dari daratan, peranan laut menjadi sangat penting dalam pemerataan pembangunan nasional. Laut diharapkan dapat menghubungkan Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia, termasuk pulaupulau besar dan gugusan pulau-pulau kecil didalamnya, sekaligus sebagai perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta untuk mendukung percepatan pembangunan ekonomi wilayah berbasis maritim (kelautan).
34
Aktivitas pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan, baik yang berada di daratan, wilayah pesisir, maupun lautan, tidak dapat terlepas dari keberadaan potensi bencana alam dan dampak perubahan iklim yang dapat terjadi di wilayah Indonesia, seperti: kenaikan muka air laut (sea level rise) yang dapat menyebabkan tenggelamnya pulau-pulau kecil dan sebagian wilayah/lahan budidaya di wilayah pesisir, intrusi air laut ke daratan, peningkatan dan perubahan intensitas cuaca ekstrim (seperti badai, siklon, banjir) yang berpengaruh terhadap kegiatan penangkapan dan budidaya ikan, serta kerusakan sarana dan prasarana. Sehingga diperlukan penyiapan kapasitas masyarakat untuk melakukan berbagai upaya mitigasi bencana dan adaptasi dampak perubahan iklim. Selain potensi bencana alam dan perubahan iklim, wilayah pesisir juga memiliki potensi kerusakan pesisir berupa kerusakan ekosistem, abrasi, sedimentasi, pencemaran dan permasalahan keterbatasan lahan. Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya rehabilitasi ekosistem, pengendalian pencemaran, dan upaya revitalisasi diantaranya melalui reklamasi yang terkendali.
4.2
Sasaran Strategis Pembangunan Kelautan dan Perikanan Nasional Perpres No. 2/2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019 telah menetapkan visi pembangunan untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong, yang salah satunya akan dilaksanakan melalui misi mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional. Pada RPJMN 2015-2019, kemaritiman dan kelautan menjadi salah satu sektor unggulan, dimana kekayaan laut dan maritim Indonesia harus dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat. Beberapa sasaran pokok pembangunan nasional terkait bidang kelautan dan perikanan yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019 adalah: (1)
meningkatnya produksi hasil perikanan menjadi sebesar 40-50 juta ton pada tahun 2019, meliputi produksi ikan sebesar 18,76 juta, rumput laut sebesar 19,54 juta ton, garam sebesar 4,50 juta ton, dan produk olahan perikanan sebesar 6,80 juta ton.
35
(2)
meningkatnya nilai ekspor hasil perikanan menjadi USD 9,5 miliar pada tahun 2019.
(3)
meningkatnya konsumsi ikan menjadi sebesar 54,5 kg/kapita/tahun.
(4)
pertumbuhan PDB perikanan sebesar 7,2% per tahun pada tahun 2019. Arah kebijakan yang ditetapkan untuk mencapai sasaran tersebut
diantaranya adalah: (1) peningkatan produksi perikanan melalui: ektensifikasi dan intensifikasi produksi perikanan, penguatan faktor input dan sarana pendukung produksi, penguatan keamanan produk pangan perikanan; (2) peningkatan mutu, nilai tambah dan inovasi teknologi perikanan; (3) peningkatan kualitas sarana dan prasarana perikanan; (4) peningkatan advokasi dan konsumsi makan ikan; (5) penyempurnaan
tata
kelola
perikanan;
dan
(6)
pengelolaan perikanan
berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut dan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan, KKP melalui Permen KP No. 25/PERMENKP/2015 tentang Rencana Strategis (Renstra) KKP 2015-2019 telah menetapkan visinya untuk mewujudkan sektor kelautan dan perikanan Indonesia yang mandiri, maju, kuat dan berbasis kepentingan nasional dengan misi kedaulatan, keberlanjutan dan kesejahteraan. Pencapaian visi dan misi pembangunan tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan tiga dimensi pembangunan nasional, yakni sumber daya manusia (SDM), sektor unggulan, dan kewilayahan.
36
BAB V REVIEW KEBIJAKAN INDUSTRI DAN PENGOLAHAN PERIKANAN
5.1
Kebijakan Umum UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) 2005-2025 telah menetapkan salah satu misi yang terkait dengan Kelautan dan Perikanan, yaitu “Mewujudkan Indonesia menjadi Negara Kepulauan yang Mandiri, Maju, Kuat, dan Berbasiskan Kepentingan Nasional”, dengan menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah, meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia yang berwawasan kelautan, mengelola wilayah laut nasional untuk mempertahankan kedaulatan dan meningkatkan kemakmuran, dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan. Selanjutnya, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang telah ditetapkan melalui Perpres No.2/2015, memuat prioritas pembangunan nasional, rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program kementerian/lembaga, lintas kementerian/lembaga kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan pendanaan yang bersifat indikatif. Kerangka pencapaian tujuan RPJMN 2015-2019 dirumuskan lebih lanjut dalam sembilan Agenda Prioritas Pembangunan Nasional (Nawacita), yaitu: (1) Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara; (2) Membuat
pemerintah
tidak
absen
dengan
membangun
tata
kelola
pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya; (3) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan; (4) Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya; (5) Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia; (6) Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional;
37
(7) Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik; (8) Melakukan revolusi karakter bangsa; serta (9) Memperteguh kebhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia. Selanjutnya, Presiden telah menyatakan bahwa laut adalah masa depan peradaban bangsa dan bahwa sudah saatnya laut dipandang sebagai sumber kehidupan manusia. Sehingga, pembangunan kelautan dan perikanan harus dilaksanakan oleh seluruh pemangku kepentingan untuk mengubah suatu keadaan menjadi keadaan yang lebih baik dengan memanfaatkan sumber daya kelautan dan perikanan secara optimal, efisien, efektif, dan akuntabel, dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
5.2
Kebijakan Penguatan Industri Pengolahan Perikanan Dalam rangka mewujudkan sektor kemaritiman dan kelautan sebagai salah
satu sektor unggulan yang juga mampu mendukung terwujudnya redistribusi keadilan dengan target gini ratio 0,3, maka paradigma pembangunan kelautan dan perikanan, diarahkan pada: (1) pertumbuhan, untuk dapat meningkatkan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, (2) pemerataan, dengan memberikan peluang bagi usaha skala kecil untuk maju dan mandiri dengan tetap memelihara keberlanjutan usaha skala besar; dan (3) modernisasi, agar seluruh usaha yang dilakukan dapat memberikan nilai tambah yang optimal di dalam negeri. Dalam rangka mendukung percepatan pelaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan, sampai tahun 2016 telah dilakukan penyusunan kebijakan dengan melibatkan peran serta masyarakat guna memenuhi aspirasi masyarakat, antara lain yaitu: (1) UU No. 1/2014 tentang Perubahan atas UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang menyepakati empat norma hukum penting, yaitu: (i) pemberdayaan masyarakat hukum adat dan nelayan tradisional; (ii) penataan investasi; (iii) sistem perizinan; dan (iv) pengelolaan kawasan konservasi laut nasional. Pemberdayaan masyarakat diperkuat dalam inisiasi penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
38
beserta dengan pemerintah dan dunia usaha. Dengan norma hukum ini, maka masyarakat dapat mengambil inisiatif mengusulkan rencana zonasi. Undangundang perubahan ini juga telah memberikan pengakuan hak asal-usul masyarakat hukum adat untuk mengatur wilayah perairan yang telah dikelola secara turun temurun. Dalam pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan pulau-pulau kecil pada wilayah masyarakat hukum adat oleh masyarakat hukum adat menjadi kewenangan masyarakat hukum adat setempat. (2) UU No. 32/ 2014 tentang Kelautan, yang memuat penyelenggaraan pembangunan kelautan ke depan, antara lain: (i) wilayah laut, (ii) pembangunan dan pengelolaan kelautan, (iii) pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut, (iv) pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut, dan (v) tata kelola dan kelembagaan. (3) Kebijakan terkait dengan upaya pemberantasan IUU Fishing,yaitu: (i) Permen KP No. 56/PERMEN-KP/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia; (ii) Permen KP No. 57/PERMEN-KP/2014 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, yang melarang transhipment; (iii) Permen KP No. 59/PERMEN-KP/2014 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi (Carcharhinus longimanus) dan Ikan Hiu Martil (Sphyrna spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia. (4) Permen KP No. 1/ 2015 tentang Penangkapan Lobster (panulirus spp), Kepiting (scylla spp) dan Rajungan (portunus pelagicus spp), yang melarang penangkapan species tersebut dalam kondisi bertelur dan mengatur ukuran yang boleh ditangkap, dalam rangka menjamin keberadaan dan ketersediaan stok Lobster, Kepiting dan Rajungan yang saat ini telah mengalami penurunan populasi (5) Permen KP No. 2/ 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawl) dan Pukat Tarik (seine nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI), dalam rangka penataan kembali pengelolaan perikanan untuk kelestarian sumber daya ikan,
39
pengurangan tekanan terhadap sumber daya ikan di 11 WPP-NRI, dan pengaturan selektivitas alat penangkapan ikan, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan. Penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) telah mengakibatkan menurunnya sumber daya ikan dan mengancam kelestarian lingkungan sumber daya ikan. (6) Inpres No. 7/2016 tentang Percepatan Industri Perikanan Nasional, berisi instruksi langkah-langkah strategis percepatan industri perikanan nasional, melalui: (i) peningkatan produksi perikanan tangkap, budidaya, dan pengolahan hasil perikanan; (ii) perbaikan distribusi dan logistik hasil perikanan dan penguatan daya saing; (iii) percepatan penataan pengelolaan ruang laut dan pemetaan WPP-NRI sesuai dengan daya dukung dan sumber daya ikan dan pengawasan sumber daya perikanan; (iv) penyediaan sarana dan prasarana dasar dan pendukung industri perikanan nasional; (v) percepatan peningkatan jumlah dan kompetensi sumber daya manusia, inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi ramah lingkungan bidang perikanan; (vi) percepatan pelayanan perizinan di bidang industri perikanan nasional; dan (vii) penyusunan rencana aksi percepatan pembangunan
industri
perikanan nasional. Selanjutnya, KKP diminta untuk mengevaluasi peraturan perundangundangan yang menghambat pengembangan perikanan tangkap, budidaya, pengolahan, pemasaran dalam negeri, ekspor hasil perikanan, dan tambak garam nasional; serta menyusun roadmap industri perikanan nasional, penetapan lokasi, dan masterplan kawasan industri perikanan nasional sebagai proyek strategis nasional. Berbagai kebijakan dan upaya telah ditempuh merupakan langkah untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang berdaulat dan sejahtera melalui pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan, dalam rangka mendukung terwujudnya Indonesia sebagai poros maritim dunia.
40
5.3
Kebijakan Peningkatan Produksi dan Konsumsi Kebijakan peningkatan produksi perikanan pada RPJMN 2015-2019
diarahkan pada: (1) Ekstensifikasi dan intensifikasi produksi perikanan untuk mendukung ketahanan pangan dan gizi, melalui: (i) peningkatan produktivitas dan pengembangan kawasan sentra produksi perikanan budidaya sesuai potensi dan keunggulan lokal; (ii) peningkatan produksi perikanan tangkap dengan memperhatikan
ketersediaan
stok
dan
aspek
keberlanjutan;
(iii)
pengembangan budidaya laut (marikultur) di lokasi-lokasi potensial; (iv) pendayagunaan perairan umum daratan (PUD) untuk perikanan dan didukung penerapan teknologi budidaya yang berwawasan lingkungan; (v) penguasaan dan inovasi teknologi intensif untuk pembesaran komoditas ikan strategis dengan
memperhatikan daya
dukung
lingkungan; (vi)
melanjutkan
revitalisasi tambak-tambak dan kolam yang tidak produktif; dan (vii) pengembangan, penyediaan, dan penerapan teknologi perikanan yang memperhatikan daya dukung lingkungan; (2) Penguatan faktor input dan sarana prasarana pendukung produksi, melalui: (i) penjaminan ketersediaan dan kemudahan rantai distribusi input, yang mencakup BBM, induk unggul, benih ikan berkualitas, obat-obatan, dan pakan bermutu berbasis bahan baku lokal; (ii) penguatan sistem dan jaringan penyediaan induk dan perbenihan, termasuk di daerah Timur Indonesia; (iii) pengembangan kapasitas manajemen dan infrastruktur pelabuhan perikanan dan sarana penangkapan ikan; (iv) pemenuhan pasokan air minum dan energi (listrik) di pelabuhan perikanan; (v) pengembangan infrastruktur irigasi ke tambak dan kolam dengan kerjasama lintas pelaku dan pemerintah daerah; (vi) pengembangan pelayanan kesehatan ikan dan lingkungan di sentra produksi perikanan budidaya; (vii) penyediaan sarana karamba jaring apung untuk akuakultur; dan (3) Penguatan keamanan produk pangan perikanan, melalui: (i) penguatan pengendalian, pengawasan dan advokasi mutu dan keamanan produk perikanan, sertifikasi dan standarisasi mutu dalam negeri (SNI) serta pengembangan dan penerapan sertifikasi eco labelling dan ketelusuran
41
produk (product traceability), serta Cara Penanganan Ikan yang Baik (CPIB), Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) dan penerapan sertifikasi hasil tangkapan ikan (SHTI); (ii) peningkatan efektivitas karantina perikanan untuk pengendalian penyakit, jaminan mutu produksi dan keamanan pangan melalui sistem karantina yang terintegrasi (Integrated Quarantine and Safety Control Mechanism) dan pencegahan/ penanggulangan penyakit ikan (Biosecurity) dan (iii) pengembangan produk perikanan berkualitas dan memenuhi standar Hazard Analysis and Critical Control/ HACCP untuk menjamin keamanan produk dan mutu pangan olahan. Sementara itu, kebijakan terkait Peningkatan Advokasi dan Konsumsi Makan Ikan pada RPJMN 2015-2019 diarahkan melalui: (1) penguatan promosi, advokasi dan kampanye publik untuk konsumsi ikan dan produk olahan berbasis ikan, melalui gerakan ekonomi kuliner rakyat kreatif dari hasil laut, bazaar, lomba inovasi menu ikan, pengembangan pusat promosi dan pemasaran hasil perikanan; (2) peningkatan peran serta berbagai pemangku kepentingan dalam upaya penggalakkan minat dan konsumsi makan ikan di masyarakat; (3) Pengembangan sistem informasi produk perikanan dan harga ikan yang mudah diakses masyarakat; (4) pemenuhan ketersediaan komoditas perikanan yang berkualitas, mudah dan terjangkau di masyarakat dalam rangka mendukung ketahanan pangan; dan (5) diversifikasi konsumsi produk olahan perikanan. Dalam upaya mendukung akselerasi dan menyukseskan gerakan makan ikan (Gemarikan), pada tahun 2006 KKP telah membentuk Forum Peningkatan Konsumsi Ikan Nasional (Forikan) Indonesia berdasarkan Kepmen KP No. 29/MEN/2006 Tanggal 9 September 2006 dan dikukuhkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan pada tanggal 20 September 2006. Forikan Indonesia merupakan forum kerjasama yang beranggotakan unsur lintas lembaga, lintas sektoral, lintas profesi dan lintas budaya baik dari kalangan pemerintah, swasta, maupun masyarakat.
5.4
Kebijakan Peningkatan Mutu Produk Hasil Perikanan UU No. 7/1996 tentang Pangan dan UU No. 31/ 2004 tentang Perikanan,
dan PP No. 28/2004 tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan, telah menetapkan
42
agar produk pangan, dalam hal ini hasil perikanan, yang dipasarkan untuk konsumsi manusia harus mengikuti persyaratan-persyaratan yang ditetapkan sehingga dapat menjamin kesehatan manusia. Berdasarkan PP No. 57/ 2015 tentang Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan serta Peningkatan Nilai Tambah Produk Hasil Perikanan, sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan adalah upaya pencegahan dan pengendalian yang harus diperhatikan dan dilakukan sejak praproduksi sampai dengan pendistribusian untuk menghasilkan hasil perikanan yang bermutu dan aman bagi kesehatan manusia, meliputi kegiatan: (1) pengembangan dan penerapan persyaratan atau standar bahan baku; (2) pengembangan dan penerapan persyaratan atau standar higienis, teknik penanganan, dan teknik pengolahan; (3) pengembangan dan penerapan persyaratan atau standar mutu produk; (4) pengembangan dan penerapan persyaratan atau standar sarana dan prasarana; (5) pengembangan dan penerapan persyaratan atau standar metode pengujian; (6) pengendalian mutu; (7) pengawasan mutu; dan (8) sertifikasi. Selanjutnya, terkait peningkatan nilai tambah produk hasil perikanan dan jaminan ketersediaan bahan baku industri pengolahan ikan, meliputi kegiatan: (1) penanganan bahan baku; (2) pengolahan hasil perikanan; dan (3) distribusi hasil perikanan. Sementara itu, jaminan ketersediaan bahan baku industri pengolahan ikan dilakukan melalui: (1) optimalisasi produksi perikanan tangkap dan budidaya berdasarkan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan; dan (2) dengan memastikan bahan baku Industri pengolahan ikan tidak berasal dari kegiatan perikanan yang melanggar hukum, tidak dilaporkan, dan tidak diatur. Persyaratan dan tata cara pemeriksaan mutu yang harus dipenuhi oleh produk hasil perikanan yang berada atau didistribusikan di Indonesia diatur dalam Kepmen KP No. 6/ 2002. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga keamanan serta terjaminnya mutu hasil perikanan yang tidak membahayakan konsumen. Kegiatan pemeriksaan mutu hasil perikanan dilakukan dengan cara melakukan pengujian terhadap mutu produk di laboratorium serta melakukan pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen.
43
5.5
Kebijakan
Industri
Pengolahan
Perikanan
kaitanya
dengan
Pengembangan Wilayah Industrialisasi kelautan dan perikanan menurut Permen KP No.27/2012 tentang Pedoman Umum Industrialisasi Kelautan dan Perikanan mencakup pengembangan perikanan budidaya, perikanan tangkap, dan pengolahan hasil produk kelautan dan perikanan serta pengembangan industri garam rakyat. Tujuan industrialisasi kelautan dan perikanan adalah terwujudnya percepatan peningkatan pendapatan pembudidaya, nelayan, pengolah, pemasar, dan petambak garam. Sasaran yang akan dicapai melalui industrialisasi kelautan dan perikanan adalah meningkatnya skala dan kualitas produksi, produktivitas, daya saing, dan nilai tambah sumberdaya kelautan dan perikanan. Industrialisasi kelautan dan perikanan dilaksanakan melalui strategi: (1) pengembangan komoditas dan produk unggulan berorientasi pasar; (2) penataan dan pengembangan kawasan dan sentra produksi secara berkelanjutan; (3) pengembangan konektivitas dan infrastruktur; (4) pengembangan usaha dan investasi; (5) pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sumber daya manusia; (6) pengendalian mutu dan keamanan produk; dan (7) penguatan pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan. Dalam rangka mendukung strategi industrialisasi kelautan dan perikanan, secara simultan dilakukan penataan sistem manajemen, yang meliputi penataan sistem manajemen sumberdaya kelautan dan perikanan, sistem manajemen kelembagaan kelautan dan perikanan, serta struktur dan sistem manajemen birokrasi dan pelayanan publik. Industrialisasi kelautan dan perikanan dilaksanakan berdasarkan prinsip: (1) peningkatan nilai tambah: industrialisasi kelautan dan perikanan diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah berupa produk-produk olahan yang makin beragam dan berkualitas dengan nilai jual lebih tinggi. Meningkatnya nilai jual produk-produk berbasis kelautan dan perikanan tersebut diharapkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis kelautan dan perikanan lebih tinggi. (2) peningkatan daya saing: industrialisasi kelautan dan perikanan diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk kelautan dan perikanan melalui
44
efisiensi sistem produksi dan peningkatan produktivitas dengan hasil berkualitas dan harga yang kompetitif, sehingga berdaya saing tinggi, baik di pasar nasional maupun pasar global. (3) modernisasi sistem produksi hulu dan hilir: kemajuan sektor kelautan dan perikanan dapat dipercepat dengan modernisasi sistem produksi yang mampu meningkatkan produk kelautan dan perikanan bernilai tambah dan berkualitas tinggi dengan memperhatikan seluruh rantai nilai (value chain). Modernisasi diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, percepatan, dan peningkatan skala produksi di hulu dan hilir, sekaligus mendorong upaya pengembangan komoditas dan produk-produk unggulan untuk menghadapi persaingan pasar global yang makin kompetitif. Modernisasi juga diharapkan dapat mendorong perubahan sistem produksi hulu skala UMKM dengan menggunakan teknologi dan manajemen usaha yang lebih efisien dan menguntungkan. (4) penguatan pelaku industri kelautan dan perikanan: industrialisasi kelautan dan perikanan akan mendorong penguatan struktur industri, yaitu peningkatan jumlah dan kualitas industri perikanan dan pembinaan hubungan antar entitas sesama industri, industri hilir dan hulu, industri besar, menengah dan kecil, serta hubungan antara industri dengan konsumen pada semua tahapan rantai nilai (value chain). Intensitas dan kualitas hubungan antarpelaku industri, terutama hilir dan hulu perlu mendapatkan perhatian khusus dan dilaksanakan secara terintegrasi dan berimbang untuk menjamin supply chain, sekaligus memperkuat sistem produksi bahan baku nasional untuk menopang kebutuhan industri pengolahan secara berkesinambungan. Selain itu, kebijakan industrialisasi perikanan dan investasi akan diarahkan untuk mendorong kemitraan usaha yang saling menguntungkan antara usaha skala mikro, kecil, dan menengah dengan usaha skala besar melalui pengembangan komoditas nasional dan produk-produk inovatif dan kompetitif di pasar global. Diharapkan industri skala kecil dan menengah akan berkembang menjadi bagian dari jejaring sistem produksi perikanan yang lebih luas untuk memperkuat basis industri perikanan secara nasional. (5) berbasis komoditas, wilayah, dan sistem manajemen kawasan dengan konsentrasi pada komoditas unggulan: kebijakan industrialisasi kelautan dan
45
perikanan difokuskan pada komoditas unggulan sesuai dengan permintaan pasar, baik pasar domestik maupun luar negeri. Agar terintegrasi pelaksanaannya dilakukan berbasis wilayah dan sistem manajemen kawasan, yaitu berdasarkan pada distribusi sumberdaya alam di wilayah-wilayah potensial dan dengan sistem manajemen kawasan di sentra-sentra produksi potensial dan prospek pertumbuhannya di masa depan. Secara geografis sentra-sentra industri pengolahan yang akan dikembangkan ditetapkan berdasarkan posisinya secara ekonomi-geografis terhadap sentra-sentra produksi bahan baku di kawasan sekitarnya. Pembangunan infrastruktur seperti jalan, pengairan, listrik, dan komunikasi dilaksanakan secara terintegrasi untuk mengembangkan konektivitas antar sentra-sentra produksi, sebagai simpul-simpul jejaring ekonomi. Konektivitas antar simpul-simpul jejaring ekonomi ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi sistem produksi dan perdagangan di kawasan-kawasan industri perikanan. (6) kesimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan yang berkelanjutan: industrialisasi kelautan dan perikanan akan dilaksanakan sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya alam dan perlindungan lingkungan berjangka panjang. Prinsip tersebut sangat penting untuk memberikan jaminan keberlanjutan ekonomi kelautan dan perikanan dan tidak merusak lingkungan. Konsep ini juga bermanfaat untuk memenuhi standar kualitas manajemen yang dituntut oleh konsumen internasional. Pembangunan industri perikanan akan dilaksanakan berdasarkan rencana tata ruang untuk memberikan jaminan agar peningkatan intensitas dan skala produksi tidak menyebabkan kerusakan lingkungan. (7) perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat modern (transformasi sosial): industrialisasi kelautan dan perikanan diharapkan dapat mendorong perubahan masyarakat agraris menjadi masyarakat industri yang modern, melalui perubahan cara berfikir dan perilaku masyarakat sesuai karakteristik masyarakat industri.
46
5.6
Analisis Kebijakan Pemerintah yang Berkaitan Pengembangan Industri Hulu-Hilir dan Kewilayahan Kebijakan adalah rangkaian dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang organisasi, atau pemerintah); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran tertentu (Balai Pustaka, 1991). Analisis Kebijakan Pemerintahan adalah penggunaan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah kebijakan (Dunn, 1988). Analisis kebijakan, dalam pengertiannya yang luas, melibatkan hasil pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan. Tujuan analisis kebijakan adalah untuk menyediakan informasi untuk para pengambilan kebijakan yang digunakan sebagai pedoman pemecahan masalah kebijakan secara praktis, dan juga agar dapat digunakan sebagai rujukan untuk pengembangan/ pembuatan kebijakan untuk kedepannya. Berikut ini analisis kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan industri hulu-hilir dan kewilayahan dan perlu ditindak lanjuti lebih lanjut karena bersifat tidak memihak nelayan kecil. Industrialisasi lebih menitikberatkan kepada pertumbuhan ekonomi, yang dominannya hanya memikirkan bagaimana produktivitas meningkat tanpa memikirkan apakah dampak positifnya diminati oleh semua masyarakat perikanan. Dalam industrialisiasi ini tentu lebih banyak mengambil keuntungan adalah nelayan komersial dan industri, sementara nelayan tradisional yang lebih dominan (89,95%) di Indonesia hanya menikmati sedikit saja keuntungan. Nelayan-nelayan tradisional ini bertindak sebagai buruh kepada para pengusaha perikanan yang menguasai industri perikanan. Tentu saja kebijakan ini belum menyentuh nelayan atau mungkin tidak akan dapat menyentuh nelayan karena kebijakan ini tidak pro kepada nelayan kecil. Industrialisasi perikanan bukan berarti terjadi transformasi nelayan tradisional menjadi nelayan industrial dengan semua atributnya. Industrialisasi perikanan seharusnya dimaknai sebagai upaya transformasi budaya yang
47
membawa perubahan dari sekadar produksi menjadi produksi dengan mutu produk yang baik: memiliki nilai ekonomi, memperhatikan keamanan pangan, serta keberlanjutan sumber daya. Karena itu, nelayan tetap didorong untuk meningkatkan produksi sesuai daya dukung sumber daya sehingga mampu bersaing dalam persaingan pasar. Dalam Permen KP No. 27/2012 tentang Pedoman Umum Industrialisasi Kelautan dan Perikanan, disebutkan bahwa prinsip pelaksanaannya adalah melalui modernisasi yang didukung dengan arah kebijakan terintegrasi antara kebijakan makro, pengembangan infrastruktur, sistem usaha dan investasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sumber daya manusia untuk kesejahteraan rakyat. Jadi, nilai tambah, produktivitas, dan modernisasi menjadi kata kuncinya. Industrialisasi perikanan berarti mengindustrikan perikanan melalui trasnformasi sosial-ekonomi dan budaya perikanan dengan nilai-nilai industrialisasi.
48 Tabel 4 Analisis Undang-undang yang Berkaitan dengan Kebijakan Industri Perikanan No.
KEBIJAKAN YANG MENGHAMBAT INDUSTRIALISASI PERIKANAN
KETERANGAN
HASIL ANALISIS
1.
Peraturan Menteri KP Nomor 56 Tahun 2014, Permen KP Nomor 10 Tahun 2015 dan SE Sekjen KP No. B-195/SJ.II/2016 dan No. B-755/SJ.VI/2016
Kapal-kapal ikan buatan luar negeri yang dimiliki Perusahaan Lokal tidak diperbolehkan operasi (tidak diberikan izin perpanjangan operasi) padahal Perusahaan dan kapal telah dianalisa dan evaluasi (Anev) dan dinyatakan lulus/tidak terindikasi IUU
Menghambat suplai bahan baku dan terjadi PHK pada tenaga kerja. Sebaiknya segera dikeluarkan izin untuk kapal impor dengan syarat berbadan hukum Indonesia, lulus anev, legal, dan tidak terindikasi IUU Fishing.
2.
Peraturan Menteri KP Nomor 57 Tahun 2014 Tentang transhipment
Adanya larangan transhipment hasil penangkapan ikan di tengah laut dimana sebelumnya transshipment diperbolehkan asalkan dilakukan antar kapal dalam satu kesatuan manajemen dengan persyaratan ketat
Pengkajian ulang transhipment dengan pengawasan dan izin yang ketat, karena transhipment mampu menghemat BBM dan menjaga mutu ikan segar
3.
Permen KP No. 2/Permen KP/2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela dan pukat tarik di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia dan Keppres No. 85 Tahun 1982
Adanya larangan KKP untuk penggunaan 17-macam alat tangkap berjenis pukat termasuk alat tangkap cantrang yang sudah lama digunakan secara tradisional oleh nelayan, juga pelarangan alat tangkap Pukat Udang (PU).
Perlu ditinjau kembali karena tidak semua alat tangkap merusak lingkungan dan secepatnya dicari solusi mengenai alat tangkap yang lebih baik atau sama efektifitasnya dengan cantrang.
4.
Permen KP nomor 42/Permen KP/2014 tentang perubahan keempat atas peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 02/Men/2011 tentang Alur penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia.
Adanya pembatasan GT bagi kapal penangkap ikan.
Perlu pengaturan zonasi penangkapan dan jalur trayeknya.
5.
Peraturan pajak PER.20.PJ.2015 , Surat Edaran Dirjen Pajak SE No. 33.PJ.2015, dan Keputusan Dirjen Pajak nomor KEP.126.PJ.2015
Adanya beban pajak tambahan untuk PBB Sektor Lainnya untuk Usaha Perikanan Tangkap (PBB perikanan) diterapkan berdasarkan jumlah kapal yang dimiliki dan diberlakukan tanpa memperhatikan kondisi kapal bisa operasi atau tidak
menyebabkan adanya tambahan biaya operasional yang tinggi
49
No. 1
2
3
4
5
KEBIJAKAN YANG MENDUKUNG INDUSTRIALISASI PERIKANAN PP No. 57 tahun 2015 tentang Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Serta Peningkatan Nilai Tambah Produk Hasil Perikanan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 1 tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster (panulirus spp), Kepiting (scylla spp) dan Rajungan (portunus pelagicus spp) instruksi presiden (inpres) no 7 tahun 2016 yang diterbitkan pada bulan Agustus 2016 tentang percepatan Industri Perikanan
Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, serta Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan Mutu dan Gizi Pangan Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.27/Men/2012 Tentang Pedoman Umum Industrialisasi Kelautan Dan Perikanan
KETERANGAN
HASIL ANALISIS
Standar dan sertifikasi jaminan mutu industri perikanan, diharapkan mampu menaikan daya saing produk indonesia di pasar internasional
Dengan standar dan jaminan mutu yang baik, produk perikanan Indonesia dituntut untuk mampu menyaingi produk pasar internasional.
Mampu menjaga kelestarian sumber daya perikanan dan keberlanjutan usaha perikanan (sustainability),
perlu pelatihan dan pendampingan yang intensif karena masih sulit diaplikasikan oleh nelayan.
Menginstruksikan kepada 25 Pejabat negara/kementrian terkait untuk mengambil langkah-langkah strategis untuk melakukan percepaan industri perikanan nasional
Perlu ditinjau kembali untuk target peningkatan produksi perikanan tangkap dan budidaya dengan tetap memperhatikan potensi lestari (Maximum Sustainability of Yield) Pertumbuhan jumlah industri tetap memperhatikan kapasitas terpasang dan utilitas yang tinggi. Mendukung program industralisasi perikanan
Menetapkan agar produk pangan dalam hal ini hasil perikanan yang dipasarkan untuk konsumsi manusia harus mengikuti persyaratan-persyaratan yang ditetapkan sehingga dapat menjamin kesehatan manusia. Sasaran yang akan dicapai melalui industrialisasi kelautan dan perikanan adalah meningkatnya skala dan kualitas produksi, produktivitas, daya saing, dan nilai tambah sumberdaya kelautan dan perikanan.
Perlu dibuat regulasi untuk memudahkan tumbuhnya industri perikanan skala kecil dan menengah yang tersebar di Indonesia agar mampu menghasilkan produk berkualitas dan berdayasaing tinggi.
50
BAB VI ANALISIS STRATEGI INDUSTRIALISASI PERIKANAN UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH 6.1
Analisis Potensi Kewilayahan Industri Perikanan Nasional
(1) Analisis Location Quetions (LQ) Analisis LQ digunakan untuk mengamati keunggulan-keunggulan kompetitif suatu wilayah terhadap wilayah sekitarnya dan untuk menentukan lapangan usaha (sektor) basis suatu daerah. Keunggulan LQ terletak kepada kemampuannya untuk menunjukkan tingkat keunggulan relatif dari suatu lapangan usaha di suatu daerah terhadap lapangan usaha tersebut di daerah-daerah lainnya dalam suatu negara (wilayah referensi). Analisis LQ Nasional yang meliputi 33 provinsi dapat dilihat pada Gambar 3. Sementara 10 provinsi dengan nilai LQ tertinggi dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 3. Analisis Nilai LQ Nasional
51
Gambar 4. Sepuluh Provinsi dengan Nilai LQ Tertinggi
Berdasarkan Gambar 4, nilai LQ untuk Provinsi Maluku, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Bengkulu, Maluku Utara, Lampung, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan lebih dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa lapangan usaha yang bersangkutan memiliki keunggulan relatif yang lebih tinggi dari rata-rata (lapangan usaha basis). Lapangan usaha basis adalah lapangan usaha yang mampu memenuhi atau melayani kebutuhan atau pasar di daerah sendiri, bahkan dapat mengekspor barang dan jasa yang dihasilkannya ke luar daerah yang bersangkutan. Adapun lapangan usaha non basis adalah lapangan usaha yang hanya mampu memenuhi atau melayani kebutuhan atau pasar daerahnya sendiri, atau bahkan harus mengimpor dari luar daerah tersebut. Penyebab kemajuan sektor basis adalah adanya perkembangan jaringan transportasi daerah, sosial.
dan
komunikasi,
perkembangan
perkembangan
pendapatan
dan penerimaan
teknologi, dan perkembangan prasarana ekonomi dan
Sementara itu, penyebab
kemunduran
sektor
basis adalah adanya
perubahan permintaan dari luar daerah dan kehabisan cadangan sumber daya.
(2) Analisis Shift Share (SSA) Analisis keunggulan kompetitif wilayah dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pergeseran struktur ekonomi dari suatu sektor dibandingkan dengan cakupan wilayah yang lebih luas dalam dua titik waktu. Pergeseran struktur
52
ekonomi tersebut dapat menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) dari suatu sektor ekonomi serta menjelaskan kinerja sektor tersebut. Hasil analisis SSA Nasional dapat dilihat pada Gambar 5 dan 10 provinsi dengan perhitungan nilai SSA tertinggi dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 5. Hasil Perhitungan Nilai SSA Nasional 1,40 1,15
0,70
0,61
0,61
0,60
0,50
0,47
0,45
Bengkulu
0,76
0,80
0,40
Gorontalo
Sulawesi Tenggara
Maluku
Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
0,00
Sulawesi Barat
0,20 Sulawesi Selatan
Nilai SSA
0,86
Lampung
0,90
1,00
Maluku Utara
1,20
Gambar 6. Sepuluh Provinsi dengan Nilai SSA Tertinggi
53
Berdasarkan hasil analisis komponen pertumbuhan bernilai positif yang menunjukkan sektor perikanan termasuk kedalam sektor yang mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi wilayah dapat terus dikembangkan dengan mengkaji pengembangan perwilayahan. Pengembangan wilayah merupakan strategi memanfaatkan dan mengkombinasikan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan tantangan) yang ada sebagai potensi dan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi wilayah akan barang dan jasa yang merupakan fungsi dari kebutuhan baik secara internal maupun eksternal wilayah. Faktor internal ini berupa sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya teknologi, sedangkan faktor eksternal berupa peluang dan ancaman yang muncul seiring dengan interaksinya dengan wilayah lain. Wilayah
Pengembangan
adalah
pewilayahan
untuk
tujuan
pengembangan/pembangunan/development. Tujuan-tujuan pembangunan terkait dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3) keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan. Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifatsifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan. Pengembangan wilayah dalam jangka panjang lebih ditekankan
pada
pengembangan pertumbuhan
pengenalan
potensi
lokal wilayah ekonomi,
dan
yang
sumber mampu
kesejahteraan
daya
alam
dan
potensi
mendukung (menghasilkan) sosial
masyarakat,
termasuk
pengentasan kemiskinan, serta upaya mengatasi kendala pembangunan yang ada di daerah dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Secara umum, konsep pengembangan
wilayah
terbagi
atas
empat
(Komet
2000)
yaitu:
(1)
Pengembangan wilayah berbasis sumberdaya; (2) Pengembangan wilayah berbasis komoditas unggulan; (3) Pengembangan wilayah berbasis efisiensi; dan (4) Pengembangan wilayah menurut pelaku pembangunan.
54
6.2
Isu dan Permasalahan Industrialisasi Perikanan Berdasarkan hasil pengamatan dan data sekunder yang terkumpul,
diketahui bahwa permasalahan yang dihadapi oleh industri pengolahan perikanan berkaitan dengan kinerja diantaranya adalah: mutu ikan hasil tangkapan, jaminan mutu, pelayanan pelanggan, dan kemampuan teknologi. (1) Mutu Ikan Hasil Tangkapan Karakteristik bahan baku sangat mempengaruhi proses pengolahan dan mutu produk akhir yang dihasilkan. Produk akhir dengan mutu baik dihasilkan dari bahan baku yang bermutu baik. Pengaruh mutu bahan baku bagi keunggulan nilai industri sangat besar. Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi mutu bahan baku terdiri dari penerapan Good Handling Practices (GHdP) pada aktivitas budidaya ataupun penangkapan hingga penanganan di industri, fasilitas penanganan perikanan yang dipasok untuk industri, dan penerapan sanitasi pada pekerja, peralatan penanganan perikanan serta lingkungan. a.
Penerapan Good Handling Practices (GHdP) Penerapan GHdP dapat meminimalkan penurunan mutu pada produk
perikanan yang dipasok ke industri, sehingga pengelola dan pekerja serta pemasok perikanan untuk industri harus menerapkan GHdP dengan baik. Nelayan harus memiliki pengetahuan dan keterampilan penanganan perikanan yang baik saat penangkapan dan penyimpanan di kapal untuk meminimalkan kerusakan produk perikanan. Bagi industri pengolahan berorientasi ekspor, pasokan perikanan dengan mutu yang baik setiap waktu dan sesuai jumlah yang dibutuhkan sangat diperlukan. Industri-industri tersebut menggunakan perikanan yang berasal dari hasil budidaya ataupun tangkapan kapal perusahaan sendiri, pemasok dan nelayan mitra yang telah dipercaya. Industri atau pemasok melakukan pengawasan terhadap penanganan perikanan mulai penangkapan hingga distribusi ke industri untuk menjamin mutu hasil perikanan. Penanganan yang baik terhadap bahan baku ikan sangat penting. Potensi kerusakan fisik pada produk perikanan seperti memar harus diminimalkan pada setiap penanganan produk perikanan dalam rantai pasok produk perikanan mulai
55
dari budidaya atau penanganan di kapal, pengangkutan hingga distribusi yang dilakukan dengan cepat. Pihak industri dapat memberikan bimbingan dan pengetahuan tentang perikanan termasuk juga pananganan hasil budidaya dan tangkap kepada nelayan mitra. Industri akan menolak bahan baku ikan yang dipasok oleh nelayan dengan karakteristik di bawah standar akibat penanganan yang tidak baik. Terjadinya benturan produk perikanan pada bak penampung dan meja kerja dapat menimbulkan kerusakan bahan baku yang akan diolah. Produk perikanan dengan daging yang memar sudah tidak memenuhi syarat organoleptik untuk dijadikan produk olahan perikanan. b.
Fasilitas Penanganan Perikanan yang Dipasok untuk Industri Pasokan bahan baku perikanan dengan mutu baik ditunjang oleh
tersedianya fasilitas penanganan yang baik. Fasilitas penanganan ikan harus mampu meminimalkan terjadinya penurunan mutu perikanan akibat kerusakan fisik maupun kontaminasi. Fasilitas terpenting adalah berkaitan dengan terjaganya rantai dingin pada aktivitas distribusi hasil perikanan. Sebagai contoh, kapal-kapal nelayan yang memasok ikan ke industri masih banyak yang belum dilengkapi dengan refrigerator untuk mendinginkan ikan sehingga es balok masih digunakan sebagai media pendingin. Kebutuhan es balok nelayan mitra dicukupi dari es balok yang diproduksi oleh unit penghasil es balok industri. Ruang penyimpanan ikan berpendingin baru terdapat pada kapal pengangkut ikan. Kapal pengangkut tersebut mengangkut ikan dari nelayan mitra di laut serta pos-pos pembelian (pengumpulan bahan baku ikan hasil tangkapan) yang letaknya jauh dari lokasi. c.
Penerapan Sanitasi pada Pekerja dan Peralatan Penanganan Ikan Meningkatnya kepedulian dan perhatian konsumen terhadap kebersihan
dan higienitas produk pangan berdampak pada semakin perlunya penerapan sanitasi dalam setiap proses pengolahan maupun komoditas pangan yang diperdagangkan. Melalui penerapan sanitasi pekerja dan peralatan penanganan produk perikanan, potensi bahaya pada bahan baku industri pengolahan perikanan akibat kontaminasi dapat diminimalkan. Industri dengan pasar utama adalah pasar
56
ekspor, penerapan sanitasi oleh pekerja maupun peralatan penanganan ikan sangat diperhatikan. Penerapan sanitasi dimulai dari kegiatan budidaya ataupun penangkapan perikanan dengan menjaga kebersihan tempat dan wadah penyimpanan produk perikanan, serta nelayan. Standar sanitasi peralatan yang digunakan dalam penanganan perikanan diterapkan oleh perusahaan. Fasilitas penting yang berkaitan dengan sanitasi bahan baku maupun lingkungan penanganan bahan baku adalah ketersediaan air bersih.
(2) Jaminan Mutu Penolakan produk hasil perikanan Indonesia di pasar global diantaranya disebabkan oleh kurang cermatnya penanganan mutu pada aktivitas produksi di bagian hulu hingga aktivitas produksi di bagian hilir (Retnowati, 2007). Bagi industri pengolahan berbasis ekspor, jaminan mutu terhadap bahan baku dan produk serta dimilikinya sertifikat mutu merupakan syarat utama untuk memperoleh kepercayaan konsumen terhadap mutu produk yang dihasilkan. a. Jaminan mutu bahan baku Jaminan mutu bahan baku diperoleh melalui pengawasan mutu terhadap setiap ikan segar yang dipasok ke industri. Pengawasan mutu meliputi penilaian kesesuaian mutu ikan yang dipasok dengan standar mutu yang digunakan oleh industri. Standar bahan baku pada industri berperan dalam hal pengendalian mutu, mempermudah proses pengolahan serta keseragaman produk akhir yang dihasilkan. Standar bahan baku yang diterapkan oleh industri perikanan meliputi standar organoleptik, fisik, kimia, dan mikrobiologi. Standar fisik bahan baku terdiri dari ketentuan ukuran bobot ikan dan suhu ikan. Standar ukuran bahan baku ikan diperlukan untuk mempermudah dihasilkannya produk akhir sesuai dengan standar permintaan pelanggan. Suhu ikan pada saat diterima oleh bagian penerimaan bahan baku menjadi indikator adanya perubahan mutu pada ikan selama transportasi menuju industri. b. Jaminan mutu produk Jaminan mutu produk diperoleh melalui pengawasan titik kritis pengolahan serta kesesuaian produk dengan standar produk dan pengolahan yang
57
digunakan oleh perusahaan. Standar produk meliputi karakteristik fisik, kimia, dan mikrobiologi. Standar fisik merupakan kriteria fisik produk berupa penampilan dan ukuran. Kesesuaian produk dengan batas toleransi bahaya pada standar kimia dan mikrobiologi menjadi jaminan bagi konsumen bahwa produk yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi. c. Sertifikasi mutu Sertifikasi mutu berkaitan erat dengan diperolehnya sertifikat jaminan mutu oleh perusahaan. Peran penting kepemilikan sertifikat mutu oleh industri adalah mampu meningkatkan daya saing industri melalui kepercayaan pelanggan dan penerimaan produk yang dihasilkan oleh industri tersebut. Untuk meningkatkan daya saing industri pengolahan ikan Indonesia, Permen KP No. 01/MEN/2007 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan mengharuskan setiap industri pengolahan ikan untuk memiliki sertifikat jaminan mutu yang meliputi Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), Sertifikat Penerapan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) atau Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan Sertifikat Kesehatan. Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) adalah sertifikat yang diberikan kepada unit pengolahan ikan yang telah menerapkan Good Manufacturing Practices (GMP), serta memenuhi persyaratan Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP) dan Good Hygiene Practices (GHP) sesuai dengan standar dan regulasi dari Otoritas Kompeten. Sertifikat Penerapan PMMT atau HACCP merupakan sertifikat yang diberikan kepada perusahaan yang telah menerapkan konsep HACCP sebagai sistem mutu. Sertifikat Kesehatan adalah sertifikat yang dikeluarkan oleh laboratorium yang ditunjuk oleh pemerintah yang menyatakan bahwa ikan dan hasil perikanan telah memenuhi persyaratan jaminan mutu dan keamanan untuk dikonsumsi manusia. Pada kurun waktu 2010-2015, jumlah peningkatan sertifikasi Unit Pengolah Ikan (UPI) telah berhasil menurunkan penolakan ekspor produk perikanan dalam negeri (Gambar 7). Dengan demikian jaminan mutu merupakan faktor penting dan berperan dalam Industrialisasi Perikanan Nasional. Kebijakan industrialisasi diharapkan menjadikan program peningkatan mutu produk melalui peningkatan jumlah UPI yang tersertifikasi menjadi priorotas, terutama untuk UPI
58
skala kecil dan menengah (UMKM) yang jumlahnya mencapai 60.885 unit (KKP 2015).
Sumber: KKP 2015, diolah
Gambar 7. Hubungan Antara Jumlah UPI Bersertifikat SKP dan Jumlah Penolakan Ekspor d. Ketertelusuran Informasi Produk Dokumen ketertelusuran informasi produk menjadi pelengkap jaminan mutu dan semakin diperlukan bagi produsen maupun konsumen dalam bisnis pangan global.
Negara-negara Uni Eropa dan
Amerika Serikat
telah
memberlakukan peraturan sistem ketertelusuran bagi produk perikanan yang dipasarkan di negaranya. Pelaku usaha yang memasarkan produk ikan olahan di negara-negara tersebut harus mampu menunjukkan informasi yang berkaitan dengan produk seperti negara asal, metode produksi dan area penangkapan (NIFA, 2000; Liu, 2002). Ketertelusuran memiliki makna kemampuan untuk menelusuri sesuatu, di mana informasi terkait harus dapat diperoleh ketika diperlukan. Informasi yang terkait dengan pemasok, asal ikan tangkapan yang diperoleh, serta waktu pengiriman bahan baku diperlukan dalam dokumen ketertelusuran bahan baku dan sebagai sumber evaluasi perusahaan terhadap kinerja pemasok ikan. Dokumen ketertelusuran produk mencakup informasi jenis produk yang dihasilkan,
59
perlakuan dalam proses pengolahan, serta pihak yang bertanggung jawab terhadap produk yang dihasilkan. Bagi industri pengolahan ikan, pelaksanaan sistem ketertelusuran berkaitan erat dengan jaminan keamanan pangan, mutu dan pelabelan. Pelabelan produk bukan berarti seluruh informasi yang terkait dengan produk dicantumkan pada label produk. Berdasarkan standar TraceFish yang diterapkan di negara-negara Uni Eropa, pelabelan produk dalam sistem ketertelusuran adalah pelabelan setiap unit barang yang diperdagangkan dengan suatu nomor ID yang unik (Liu, 2002). Nomor ID tersebut mempermudah pengguna melakukan penelusuran informasi pada dokumen ketertelusuran produk.
(3) Pelayanan Pelanggan Meningkatkan kepercayaan pelanggan terhadap produsen dan produk yang dihasilkannya dapat dilakukan dengan memenuhi kepuasan pelanggan terhadap produk sesuai dengan yang diinginkan. Dalam perdagangan bebas, kepercayaan pelanggan berperan memperkuat daya saing perusahaan. Bagi industri yang memasarkan hampir 90% produk yang dihasilkannya ke pasar ekspor, memenuhi kepuasan pelanggan sangat diperlukan untuk mempertahankan pangsa pasarnya dari pesaing perusahaan luar negeri maupun domestik. Perusahaan pengolahan ikan di Indonesia sudah memiliki kesadaran dan usaha yang cukup baik untuk memenuhi kepuasan pelanggan. Rata-rata industri pengolahan ikan di Indonesia telah mampu mengidentifikasi dan memenuhi keinginan pembeli (Priyambodo, 2006). Dalam mencapai kepuasan pelanggan, terdapat tiga hal yang diterapkan oleh industri, yaitu kesesuaian produk dengan permintaan pelanggan, kontinuitas pasokan produk untuk pembeli, serta pengiriman produk tepat waktu dan jumlah. Pelayanan pelanggan yang baik akan optimal jika industri mampu memperoleh keuntungan yang maksimal dengan nilai utilitas produksi yang tinggi (lebih dari 80%). Kondisi eksisting UPI menengah dan besar saat ini memiliki utilitas yang sangat rendah, yaitu kurang dari 28%.
60
27,4 27,2
26,8 26,6 26,4 26,2 26 Aceh Sumut Sumbar Sumsel Bengkulu Lampung Babel Kepri DKI Jakarta Jabar Jateng Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Kaltara Sulut Sulteng Sulsel Sultra Gorontalo Sulbar Maluku Malut Pabar Papua
Utilitas (%)
27
Provinsi
Sumber: KKP 2015, diolah
Gambar 8. Utilitas UPI Menengah-Besar di Indonesia
a. Kesesuaian produk dengan permintaan pelanggan Pelanggan dari Amerika Serikat dan UE lebih menyukai produk dengan ukuran yang lebih besar dan bentuk seragam. Pada umumnya produk fillet ikan yang dipesan adalah fillet ikan tanpa kulit. Konsumen dari Jepang lebih menyukai produk dengan ukuran tertentu yang kecil dan unik serta bentuk beragam. Fillet ikan yang dipesan masih memiliki kulit yang menempel pada daging ikan. b. Ketersediaan pasokan produk untuk konsumen Kemampuan memasok produk setiap saat sesuai permintaan pelanggan merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi terutama oleh perusahaan berbasis ekspor. Pada industri pengolahan ikan laut tangkapan, kemampuan memasok produk secara berkesinambungan tidak mudah karena sangat berkaitan dengan pasokan bahan baku yang juga tidak mudah diperoleh setiap waktu. Pasokan bahan baku yang berkesinambungan merupakan permasalahan yang dihadapi oleh industri pengolahan ikan laut tangkap skala besar mupun kecil di Indonesia hingga saat ini. Faktor iklim atau cuaca dan tingginya persaingan
61
memperoleh ikan tangkapan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perolehan bahan baku perusahaan. c. Pengiriman Produk Tepat Jumlah dan Tepat Waktu Kemampuan pengiriman produk tepat jumlah dan tepat waktu ditentukan oleh tingkat produktivitas perusahaan maupun infrastruktur sistem transportasi dan komunikasi yang menunjang distribusi produk tepat waktu. Infrastruktur transportasi dan komunikasi menjadi faktor penunjang terkirimnya produk secara tepat waktu. Namun saat ini di Indonesia, kondisi infrastruktur sistem transportasi dan komunikasi belum mampu mendukung distribusi produk perikanan kepada konsumen secara tepat waktu (Priyambodo, 2006).
(4) Kemampuan Teknologi Peran teknologi dalam mendukung kegiatan operasional perusahaan untuk mewujudkan kinerja mutu yang baik di industri pengolahan ikan sangat besar. Untuk meningkatkan kinerja industri maka salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi dan penggunaan regenerasi penggunaan teknologi sesuai tuntutan pasar (Rahmat dan Priyambodo, 2006). Kemampuan teknologi perusahaan dapat diketahui dari kemampuannya menggunakan teknologi untuk menciptakan nilai tambah melalui rantai kegiatannya. Dengan kemampuan teknologi yang dimiliki, perusahaan akan mampu meningkatkan kemampuan produksinya, mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan bisnis dan bertahan dalam jangka panjang. Kemampuan teknologi suatu perusahaan meliputi kemampuan strategis, internal dan eksternal. Kemampuan strategis merupakan kemampuan perusahaan dalam mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan terhadap perusahaan pesaing ataupun kemampuan untuk meraih peluang-peluang pasar yang masih ada. Kemampuan internal merupakan kemampuan untuk mengelola sumberdaya dan teknologi yang dimiliki perusahaan serta kemampuan menciptakan atau memenuhi kebutuhan organisasi perusahaan. Kemampuan eksternal adalah kemampuan industri berinteraksi dan menjalin hubungan dengan pihak luar terkait dengan usaha industrinya (Pratiwi, 2006).
62
Kemampuan dan penggunaan teknologi yang tepat pada industri perikanan akan meningkatkan nilai tambah dari produk yang dihasilkan. Analisis kondisi nilai tambah pada industri pengolahan ikan dilakukan dengan menggunakan Metode Hayami (1987), melalui perhitungan nilai tambah per kilogram bahan baku untuk satu kali kegiatan pengolahan yang menghasilkan suatu produk tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tambah untuk pengolahan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu faktor teknis dan pasar. Faktor teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah bahan baku dan tenaga kerja, sedangkan faktor pasar yang berpengaruh ialah harga output, upah kerja, harga bahan bakar dan input lain. Hasil perhitungan nilai tambah beberapa produk
Nilai Tambah dan Keuntungan (%)
perikanan dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10. 35 30 25
Nilai tambah
Keuntungan
20 15 10 5 0 A B C D E Aktivitas Pengolahan Perikanan pada Rantai Pasok
F
Keterangan: A: Penanganan di TPI; B: Pemasaran Ikan Segar; C: Kerupuk Ikan; D: Jambal Roti; E: Fillet di Pasar Lokal; F: fillet di Pasar Ekspor
Gambar 9. Nilai Tambah dan Keuntungan (%) pada Kegiatan Pengolahan Perikanan
63
Nilai Tambah (Rp)
Nilai Tambah
Keuntungan
100000 90000 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 A
B
C D E F G Kegiatan Pengolahan di Jawa Timur
H
I
Keterangan: A: Pembekuan; B: Penggaraman/pengeringan; C Pemindangan; D Pengasapan/Pemanggangan; E: Fermentasi; F: Pereduksian/Ekstraksi; G: Pelumatan Daging Ikan; H: Penanganan Produk Segar; I: Pengolahan Lainnya
Gambar 10 Nilai Tambah dan Keuntungan (%) pada Kegiatan Pengolahan Perikanan di Jawa Timur
64
6.3 Analisis Tulang Ikan Permasalahan Industri Pengolahan Perikanan Diagram tulang ikan dapat menunjukkan sebab akibat yang berguna untuk mencari atau menganalisis penyebab timbulnya masalah dari industrialisasi perikanan di Indonesia. Penyebab utama permasalahan dalam industrialisasi perikanan, khususnya terkait pengolahan ikan, di kelompokan menjadi empat bagian yang terdiri atas jaminan mutu, mutu bahan baku, pelayanan pelanggan, dan kemampuan teknologi. Secara detail analisis tulang ikan untuk mengetahui kinerja industri pengolahan perikanan disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11. Analisis Tulang Ikan Permasalahan Industri Pengolahan Dalam rangka menangani permasalahan terkait pengembangan industrialisasi perikanan, khususnya terkait pengolahan ikan, pada Tabel 5 diuraikan strategi penanganan masalah dalam faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja industri pengolahan ikan. Tabel 5. Uraian Jenis Masalah dan Strategi Penanganan Permasalahan No.
Jenis Masalah
1.
Permasalahan terkait Mutu dan Jaminan Mutu Bahan Baku
Strategi Perbaikan Penyebab Masalah (1) Penyediaan peralatan dan teknologi tepat guna yang mendukung terjaminnya mutu ikan selama transportasi, termasuk untuk penyimpanan dan pendinginan ikan di kapal, dengan harga lebih terjangkau (2) Peningkatan pengetahuan dan kesadaran nelayan, pekerja di TPI dan pihak pembeli untuk menerapkan kalayakan dasar jaminan mutu dan keamanan pangan (3) Peningkatan jaminan mutu dan keamanan
65
No.
Jenis Masalah
Strategi Perbaikan Penyebab Masalah pangan di TPI (4) Perbaikan sanitasi lingkungan di sekitar TPI dan perairan pelabuhan pendaratan ikan (5) Peningkatan pengetahuan dan kesadaran pelaku terkait untuk menerapkan GHdP dan sanitasi pada penanganan ikan yang ditransportasikan
2.
Permasalahan terkait Mutu dan Jaminan Mutu Produk
3.
Permasalahan terkait Peningkatan Pelayan Pelanggan
4.
Lemahnya Kemampuan Teknologi
6.4
(1) Penyediaan teknologi tepat guna berupa peralatan dan teknologi produksi yang mendukung perbaikan mutu dan keamanan pangan produk bagi usaha kecil dan menengah dengan modal terbatas (2) Peningkatan penerapan jaminan mutu produk maupun dalam kegiatan produksinya (3) Peningkatan pengetahuan pelaku usaha terhadap standar mutu bahan baku dan produk (4) Peningkatan penerapan GMP dan SSOP serta upaya penerapan HACCP dalam kegiatan produksi (5) Peningkatan pemahaman tentang sertifikasi pada pelaku usaha pengolahan ikan (6) Pengembangan pelayanan sertifikasi mutu pada pelaku usaha pengolahan ikan (7) Peningkatan pemahaman mengenai ketertelusuran informasi (8) Perbaikan sistem pencatatan informasi produk maupun bahan baku pada usaha pengolahan ikan serta aliran sumber pasokan oleh pihak pihak yang terkait dalam rantai pasok ikan (pemasok dan pengelola TPI) (1) Peningkatan kemampuan market intelligence untuk membaca preferensi pelanggan/calon pelanggan (2) Peningkatan mutu produk dengan meningkatkan standar pengawasan mutu (1) Penyediaan akses terhadap teknologi tepat guna yang lebih baik (2) Peningkatan pengetahuan dan keterampilan SDM industri pengolahan ikan skala kecil untuk menggunakan teknologi atau peralatan yang lebih baik (3) Bantuan modal bagi usaha kecil dan menengah
Analisis SWOT Analisis SWOT adalah salah satu metode perencanaan strategis yang
digunkan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weakness), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam strategi industrialisasi
66
perikanan untuk mendukung pengembangan ekonomi wilayah. Analisis SWOT di lakukan
dengan
menguraikan
parameter
dari
masing-masing
kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman untuk selanjutnya disusun ke dalam sebuah matriks (Tabel 6). Beberapa
hal
yang
diidentifikasi
sebagai
kekuatan
(strengths)
industrialisasi perikanan adalah: (1) potensi sumber daya laut yang besar, meliputi perikanan tangkap, perikanan budidaya dan rumput laut; (2) pasar domestik yang besar dengan konsumsi per kapita hasil perikanan dan produk turunannya; (3) dukungan pemerintah dan akademisi bagi pengembangan industri pengolahan hasil laut; (4) jumlah industri UKM perikanan yang melimpah; dan (5) kebijakan daerah. Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai kelemahan (weakness) industrialisasi perikanan adalah: (1) ekspor produk hasil laut masih rendah; (2) keterbatasan suplai bahan baku terutama musim paceklik; (3) belum terintegrasinya teknologi penangkapan ikan sampai dengan pengolahannya; (4) SDM dibidang industri pengolahan hasil laut masih belum siap pakai; (5) infrastruktur untuk mendukung pengembangan industri pengolahan hasil laut masih terbatas; (6) kapasitas produksi industri pengolahan ikan belum optimal; (7) jaminan kualitas dan mutu produk UKM masih sangat rendah; (8) kesenjangan pembangunan wilayah; dan (9) sumber daya perikanan tangkap yang tidak meratanya Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai peluang (opportunities) industrialisasi perikanan adalah: (1) kebutuhan konsumsi dunia produk hasil perikanan yang semakin meningkat (besarnya peluang ekspor); (2) peluang diversifikasi produk hasil laut; (3) peluang pengembangan industri hasil laut non pangan dengan nilai tambah yang tinggi; dan (4) kuantitas SDM yang banyak dan tersebar di berbagai sentra hasil laut. Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai ancaman (threats) industrialisasi perikanan adalah: (1) isu tentang food safety; (2) persyaratan dan standardisasi produk yang mengacu pada standar internasional, masih sulit diadopsi dan diterapkan; (3) persyaratan ekspor semakin ketat; (4) penerapan integrated technology negara pesaing; (5) persaingan yang sangat ketat dalam mendapatkan
67
bahan baku ikan segar; dan (6) produk lokal kurang kompetitif dibanding China, Vietnam dan Thailand.
82 Tabel 6. Matriks SWOT Industrialisasi Perikanan untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi Wilayah 1. 2. STRENGTH (S) & WEAKNESS (W)
THREAT (T)
OPPORTUNITY (O)
OPPORTUNITY (O) & THREAT (T) 1. Kebutuhan konsumsi dunia ataupun nasional atas produk hasil perikanan yang semakin meningkat (besarnya peluang ekspor) 2. Meningkatnya kegiatan diversifikasi produk hasil laut 3. Tingginya keuntungan dan nilai tambah hasil laut non pangan. 4. Besarnya peluang untuk membangun industri pengolahan di Wilayah penghasil lumbung ikan nasional (LQ tertinggi) 5. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah yang memiliki potensi perikanan tinggi ( Gap antara LQ dan SSA). 1. Isu tentang food safety 2. Industri Hasil Perikanan di Indonesia saat ini masih memiliki nilai tambah rendah 3. Industri Pengolahan Perikanan Negara ASEAN memiliki nilai tambah dan keuntungan yang tinggi
3. 4. 5. 6.
STRENGTH (S) Potensi sumber daya laut yang besar (perikanan tangkap, perikanan budidaya dan rumput laut) Pasar domestik yang besar dengan konsumsi per kapita hasil perikanan dan produk turunannya Kebijakan pemerintah dan dukungan akademisi bagi pengembangan industri pengolahan hasil laut. Dukungan pemerintah daerah atas pengembangan perikanan Produsen Ikan terbesar ke-2 di Dunia Sebaran UPI didominasi oleh UMKM yang berpotensi dalam peningkatan ekonomi wilayah
1. 2. 3.
4. 5. 6. 7.
S-O
Peningkatan ekonomi wilayah melalui peningkatan populasi industri pengolahan hasil perikanan terutama UMKM Inisiasi Pengembangan Industri Hasil Perikanan yang memiliki nilai tambah tinggi termasuk industri berbasis Bioteknologi
S-T
Pemberian Insentif Fiskal bagi usaha kecil untuk peningkatan daya saing Peningkatan peranan pemerintah pusat maupun daerah dalam menjaga food safety produk hasil olahan UMKM Penguatan Rantai Pasok, Kemitraan dan Perluasan Pasar Penyesuaian potensi wilayah sumberdaya perikanan terhadap industri hilir yang memiliki nilai tambah tinggi
WEAKNESS (W) Ekspor produk hasil laut masih rendah Pemanfaatan potensi Perikanan untuk Industri perikanan tidak merata (LQ tidak berbanding lurus dengan SSA) Kemampuan Teknologi masih rendahpembangunan industri masih pada bidang pengolahan yang memiliki nilai tambah dan pengolahan yang rendah Infrastruktur untuk mendukung pengembangan industri pengolahan hasil laut belum merata Kapasitas produksi industri pengolahan ikan tidak sesuai dengan suplai bahan bakau) Jaminan Kualitas dan Mutu Produk masih sangat rendah Tidak meratanya sumberdaya perikanan tangkap (banyak daerah overfishing) W-O Penyediaan peralatan dan teknologi tepat guna Penerapan penangkapan yang berkelanjutan Peningkatan Suplai Bahan Baku memalui pemanfaatan potensi perikanan di wilayah dengan nilai LQ tinggi Penerapan Teknologi Budidaya Peningkatan pendirian industri perikanan yang memiliki nilai tambah dan diversifikasi Produk tinggi. Peningkatan sertifikasi kelayakan pengolahan (SKP)
W-T
Penguatan Infrastruktur di derah yang memiliki potensi yang tinggi (LQ tinggi) namun pemanfaatannya masih rendah (SSA rendah) Peningkatan jaminan mutu, keamanan pangan, dan perbaikan sanitasi di UKM dan Industri Akselerasi Pengembangan Pusat Pertumbuhan Industri Perikanan dengan nilai tambah tinggi di lokus pilihan (Optimalisasi kapasitas terpasang industri perikanan)
84
Tabel 6 menguraikan rincian kekuatan, peluang, kelemahan, dan ancaman dari kondisi industrialisasi perikanan, sehingga menghasilkan strategi sebagai berikut: (1) S1: Strategi 1, Peningkatan ekonomi wilayah melalui peningkatan populasi industri pengolahan hasil perikanan terutama UMKM (2) S2: Strategi 2, Inisiasi pengembangan industri hasil perikanan yang memiliki nilai tambah tinggi termasuk industri berbasis bioteknologi (3) S3: Strategi 3, Pemberian insentif fiskal bagi usaha kecil untuk peningkatan daya saing (4) S4: Strategi 4, Peningkatan peranan pemerintah pusat maupun daerah dalam menjaga food safety produk hasil olahan UMKM (5) S5: Strategi 5, Penguatan rantai pasok, kemitraan dan perluasan pasar (6) S6: Strategi 6, Penyesuaian potensi wilayah sumberdaya perikanan terhadap industri hilir yang memiliki nilai tambah tinggi (7) S7: Strategi 7,Penyediaan peralatan dan teknologi tepat guna (8) S8: Strategi 8, Penerapan penangkapan yang berkelanjutan (9) S9: Strategi 9, Peningkatan suplai bahan baku memalui pemanfaatan potensi perikanan di wilayah dengan nilai LQ tinggi (10) S10: Strategi 10, Penerapan teknologi budidaya (11) S11: Strategi 11, Peningkatan pendirian industri perikanan yang memiliki nilai tambah dan diversifikasi produk tinggi. (12) S12: Strategi 12, Peningkatan sertifikasi kelayakan pengolahan (SKP) (13) S13: Strategi 13, Penguatan infrastruktur di derah yang memiliki potensi yang tinggi (LQ tinggi) namun pemanfaatannya masih rendah (SSA rendah) (14) S14: Strategi 14, Peningkatan jaminan mutu, keamanan pangan, dan perbaikan sanitasi di UKM dan Industri (15) S15: Strategi 15, Akselerasi pengembangan pusat pertumbuhan industri perikanan dengan nilai tambah tinggi di lokus pilihan (optimalisasi kapasitas terpasang industri perikanan)
85
BAB VII STRATEGI INDUSTRIALISASI PERIKANAN UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH
Berdasarkan hasil analisis pada Bab VI dan hasil rumusan para pemangku sektor perikanan dan pengembangan wilayah, strategi industrialisasi perikanan, khususnya industri pengolahan, untuk mendukung pengembangan ekonomi wilayah disusun dengan menggabungkan strategi industrialisasi perikanan dengan hasil analisis kewilayahan berdasarkan nilai LQ dan volume produksi UPI menjadi sebuah matriks yang dapat dilihat pada Gambar 12. 6
C
Nilai LQ
4
2
100
200
Volume Produksi UPI Gambar 12 Matriks Pembagian Wilayah (cluster) Berdasarkan Perhitungan Nilai LQ dan Volume Produksi UPI
Selanjutnya berdasarkan nilai LQ dan volume produksi UPI per provinsi yang telah dipetakan ke dalam kuadran pada Gambar 12, maka akan didapatkan pemetaan provinsi sebagaimana yang terdapat pada Gambar 13.
86
Sulawesi Barat Gorontalo Bengkulu Maluku Utara Maluku
Nilai LQ
4
2
Kep. Bangka Belitung Papua Papua Barat Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah NTT
Bali Lampung
NTB Sulawesi Utara Aceh Sulawesi Selatan
DI Yogyakarta Jambi Kalimantan Utara Kalimantan Tengah Kep. Riau Sumatera Selatan Sumatera Barat Riau Kalimantan Timur Banten
Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Sumatera Utara
Jawa Barat Jakarta Jawa Tengah Jawa Timur
200
100 Volume Produksi UPI
Gambar 13 Pemetaan Provinsi Berdasarkan Nilai LQ dan Volume Produksi UPI
Kemudian, 15 strategi pengembangan industrialisasi perikanan, khususnya terkait pengembangan industri pengolahan untuk mendukung pengembangan ekonomi wilayah yang sudah diuraikan berdasarkan analisis SWOT, disesuaikan dengan potensi wilayah berdasarkan analisa perhitungan LQ dan Volume Produksi UPI, sehingga menghasilkan matriks strategi yang sebagaimana terlihat pada Gambar 14.
87
I
IV
VII
(S1, S2, S3, S4, S7, S9, S10, S11, S13, S14)
(S4, S9, S11, S15)
(S9, S11)
II
V
VII
(S1, S2, S3, S7, S9, S10, S11, S13, S14, S15)
(S2, S3, S5, S6, S9, S10, S12, S15)
(S2, S3, S5, S6, S9, S10, S12)
III (S1, S2, S3, S5, S6, S9, S13, S14)
VI (S2, S3, S5, S6, S8, S9, S10, S14, S15)
IX (S2, S3, S5, S6, S8, S9, S10, S12)
Gambar 14. Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan (S1-S15) Berdasarkan Kuadran Pembagian Wilayah dari Nilai LQ dan Volume Produksi UPI
Selanjutnya, rincian 15 strategi pengembangan industrialisasi perikanan, khususnya terkait pengembangan industri pengolahan hasil perikanan, dalam rangka mendukung pengembangan ekonomi wilayah, adalah sebagai berikut:
(1) Peningkatan Ekonomi Wilayah Melalui Peningkatan Populasi Industri Pengolahan Hasil Perikanan Terutama UMKM UMKM memiliki peran penting dalam pengembangan usaha di Indonesia, karena merupakan cikal bakal dari tumbuhnya usaha besar. Pengembangan UMKM tidak semata-mata tanggung jawab Pemerintah, melainkan juga tanggung jawab UMKM itu sendiri, Lembaga Keuangan/Perbankan, dan Swasta/Investor. Salah satu upaya peningkatan dan pengembangan UMKM dalam perekonomian dilakukan dengan mendorong pemberian kredit modal usaha kepada UMKM. Pemerintah pada dasarnya memiliki kewajiban untuk turut memecahkan tiga masalah utama yang sering dihadapi oleh UMKM, yaitu terkait akses pasar, modal, dan teknologi. Secara keseluruhan, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pengembangan terhadap unit usaha UMKM, antara lain kondisi kerja, promosi usaha baru, akses informasi, akses pembiayaan, akses pasar, peningkatan kualitas produk dan SDM, ketersediaan layanan pengembangan usaha, pengembangan cluster, jaringan bisnis, dan kompetisi.
88
(2) Inisiasi Pengembangan Industri Hasil Perikanan yang Memiliki Nilai Tambah Tinggi Termasuk Industri Berbasis Bioteknologi Salah satu langkah pemerintah dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan adalah dengan menargetkan produksi ikan sebagai salah satu sumber protein hewani menjadi 18,76 juta ton pada tahun 2019 atau meningkat sebesar 7,90 juta ton (72%) dari produksi tahun 2014. Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi perikanan dan hasil olahan perikanan adalah melalui peningkatan pemanfaatan bioteknologi perikanan. Penerapan bioteknologi dalam bidang perikanan sangat luas, mulai dari rekayasa media budidaya, produksi ikan, hingga pascapanen hasil perikanan. Pemanfaatan mikroba telah terbukti mampu mempertahankan kualitas media budidaya sehingga aman untuk digunakan sebagai media budidaya ikan. Bioteknologi telah menciptakan ikan berkarakter genetis khas yang dihasilkan melalui rekayasa gen. Melalui rekayasa gen juga dapat diciptakan ikan yang tumbuh cepat, warnanya menarik, dagingnya tebal, dan tahan penyakit. Begitu pula pada tahap pascapanen hasil perikanan, bioteknologi mampu meningkatkan nilai produk serta produktivitas produk perikanan yang pada akhirnya mampu meningkatkan daya saing produk perikanan.
(3) Pemberian Insentif Fiskal Bagi Usaha Kecil untuk Peningkatan Daya Saing Pemerintah diharapkan dapat menetapkan kebijakan insentif fiskal dan moneter untuk menyelamatkan eksistensi serta membantu peningkatan daya saing sektor usaha kecil dan menengah (UKM) dan industri padat karya. Pemberdayaan UKM akan optimal apabila terdapat jaminan kesempatan seluas-luasnya bagi UKM untuk memasuki kegiatan ekonomi. Dukungan yang diperlukan terutama berupa bantuan peningkatan kemampuan untuk memperoleh akses pasar, teknologi, dan permodalan yang dikembangkan melalui bank maupun bukan bank.
89
(4) Peningkatan Peranan Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam Menjaga Food Safety Produk Hasil Olahan UMKM Agar perusahan atau industri pangan mampu bersaing secara global diperlukan kemampuan mewujudkan produk pangan yang memiliki sifat aman (tidak membahayakan), sehat dan bermanfaat bagi konsumen. Keamanan dan mutu merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri dan konsumen. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam rangka menjaga keamanan produk hasil perikanan adalah dengan melakukan perbaikan fasilitas dan sarana UPI sesuai dengan standar, penetapan prosedur food safety pada UPI, penerapan rantai dingin, serta penerapan Good Manufacturing Practices (GMP), Standard Sanitation Operational Procedure (SSOP), Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP).
(5) Penguatan Rantai Pasok, Kemitraan dan Perluasan Pasar Perbaikan sistem distribusi perikanan dari proses hulu hingga ke hilir harus diperhatikan seiring dengan meningkatnya permintaan pasar akan produk perikanan dan berkualitas yang terus meningkat. Penguatan rantai pasok, kemitraan dan perluasan pasar dapat dilakukan dengan peningkatan supply bahan baku dalam negeri, pengembangan sistem rantai dingin dan distribusi, penguatan sistem informasi pasar, dan sistem produksi yang efisien. Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) telah diterapkan, namun masih menghadapi beberapa kendala terkait keterpencilan (remoteness), pasokan listrik dan air besih, dan faktor musim.
(6) Penyesuaian Potensi Wilayah Sumber Daya Perikanan terhadap Industri Hilir yang Memiliki Nilai Tambah Tinggi Industri perikanan tangkap serta perikanan budidaya dan industri pengolahan ikan menjadi inti dari klaster industri perikanan karena pada kedua jenis industri tersebut terjadi aliran material (ikan) dan proses pertambahan nilai. Potensi wilayah perikanan Indonesia yang tersebar luas perlu dipetakan berdasarkan ketersediaan bahan baku ikan pilihan sehingga pemilihan industri perikanan yang akan dikembangkan dapat disesuaikan dengan potensi yang
90
dimiliki wilayah tersebut. Sebagian wilayah Indonesia Timur dengan nilai LQ tinggi (Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, dan Maluku Utara) sebaiknya diarahkan pada peningkatan industri dengan nilai tambah yang tinggi seperti produk farmaseutika dan nutraseutika dari rumput laut, dan produk dengan rekayasa bioteknologi misalnya albumin dan minyak ikan dengan nilai jual dan kualitas yang tinggi.
(7) Penyediaan Peralatan dan Teknologi Tepat Guna Implementasi teknologi tepat guna merupakan salah satu strategi untuk mempercepat kemajuan ekonomi masyarakat karena dapat memberikan nilai tambah produk dan perbaikan mutu, membantu mewujudkan usaha produktif yang efisien, dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Implementasi teknologi tepat guna dipandang sebagai sebuah strategi untuk mengoptimalkan pendayagunaan semua aspek sumber daya lokal (alam, manusia, teknologi, sosial) secara berkelanjutan yang mampu memberikan nilai tambah. Kemampuan daya saing Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) perlu dilindungi dengan kebijakan pemerintah yang memberikan akses yang lebih luas terhadap informasi, kondisi pasar, pengembangan sumber daya manusia dalam hal peningkatan kemampuan, keuangan, serta teknologi. Pemanfaatan teknologi tepat guna yang sesuai dengan situasi lokal pada gilirannya akan mendorong optimalisasi sumber daya alam sehingga melahirkan kemandirian masyarakat yang dibarengi dengan kegiatan-kegiatan inovatif.
(8) Penerapan Penangkapan yang Berkelanjutan Salah satu permasalahan utama yang dihadapi perikanan tangkap adalah menurunnya stok sumber daya ikan akibat kerusakan lingkungan karena penggunaan bahan peledak, bahan kimia beracun, serta alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Untuk mengatasi hal tersebut, diantaranya perlu dilakukan pengelolaan izin penangkapan yang sesuai dengan potensi sumber daya ikan yang tersedia, sosialisasi penggunaan alat tangkap ramah lingkungan dan cara menangkap ikan yang tidak merusak.
91
(9) Peningkatan Suplai Bahan Baku Melalui Pemanfaatan Potensi Perikanan di Wilayah dengan Nilai LQ Tinggi Sebagian bahan baku industri pengalengan ikan di Indonesia saat ini masih bergantung pasokan impor. Hal ini menyebabkan peningkatan biaya produksi ikan kaleng di industri pengalengan ikan. Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan penyediaan suplai bahan baku melalui pemanfaatan potensi perikanan di wilayah dengan nilai LQ tinggi. Peningkatan supply chain and value chain management terus dilakukan dengan peningkatan produksi produk olahan ikan bernilai tambah tinggi melalui peningkatan kapasitas Usaha Kecil Menengah (UKM) dan industrialisasi pengolahan.
(10) Penerapan Teknologi Budidaya Penerapan bioteknologi dalam bidang perikanan sangat luas, diantaranya meliputi: pengembangan pakan, benih unggul, dan kualitas air, dari proses persiapan produksi hingga pascapanen hasil perikanan.
(11) Peningkatan Pendirian Industri Perikanan yang Memiliki Nilai Tambah dan Diversifikasi Produk Tinggi Pembangunan sektor kelautan dan perikanan saat ini diarahkan pada industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk perikanan serta mengurangi ketergantungan terhadap pada negara lain. Pemerintah berupaya untuk meningkatkan produksi produk olahan ikan bernilai tambah tinggi melalui peningkatan kapasitas dan kualitas Usaha Kecil Menengah (UKM) melalui peningkatan kapasitas SDM dan akses permodalan. Selanjutnya, pengembangan produk dilakukan melalui pengembangan industri pengolahan hasil perikanan yang menghasilkan produk antara, produk semi akhir dan produk akhir yang berdaya saing. Semakin tinggi nilai tambah yang diperoleh dalam pemanfaatan sumber daya perikanan, maka akan semakin besar manfaat ekonomi yang diperoleh, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat, penyerapan tenaga kerja, perkembangan dunia usaha, dan PDB.
92
(12) Peningkatan Sertifikasi Kelayakan Pengolahan (SKP) Salah satu bentuk perlindungan terhadap konsumen dari pangan yang tidak aman dan membahayakan kesehatan adalah dengan diterbitkanya Sertifikasi Kelayakan Pengolahan (SKP) pada pelaku industri perikanan. SKP merupakan bukti jaminan bahwa suatu produk memenuhi persyaratan standar atau spesifikasi persyaratan mutu yang ditetapkan. Sementara itu, penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah salah satu upaya Pemerintah untuk memberikan jaminan terhadap produk pangan yang bermutu. Berdasarkan hal tersebut, pembinaan UKM serta pendampingan dan monitoring kualitas produk harus terus dilakukan secara kontinu dan berkesinambungan.
(13) Penguatan Infrastruktur di Daerah yang Memiliki Potensi yang Tinggi (LQ tinggi), Namun Pemanfaatannya Masih Rendah (SSA rendah) Pengembangan
infrastruktur
pendukung perikanan lainnya seperti
pembangunan jalan produksi, saluran air, dan jalan penghubung antara kawasan produksi dengan kawasan pengolahan-pemasaran memerlukan penataan ulang, terutama terkait dengan rencana peningkatan produksi perikanan dan percepatan industrialisasi. Pembangunan infrastruktur saat ini masih berpusat pada kawasan Jawa dan Bali, sementara daerah dengan nilai LQ yang tinggi masih terbatas fasilitas infrastrukturnya. Fasilitas infrastruktur penting yang diperlukan diantaranya adalah: air bersih dan sanitasi; serta listrik dan energi, termasuk BBM. Berdasarkan tipologi spesifik masyarakat Indonesia baik secara fisik (kepemilikan modal, lahan, serta ketersediaan sarana, prasarana dan bahan baku bagi pengolahan) maupun budaya, maka model pengembangan industri pengolahan perikanan yang layak dikembangkan adalah yang dapat menumbuh kembangkan industri pada skala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dan bila memungkinkan, dikaitkan dengan industri besar yang dapat memfasilitasi modal, sarana dan prasarana, pengadaan input produksi, serta pemasaran hasil, seperti pada model inti-plasma. Model pengembangan dari setiap industri harus disesuaikan dengan jenis industri dan lokasi tempat industri tersebut berkembang.
93
(14) Peningkatan Jaminan Mutu, Keamanan Pangan, dan
Perbaikan
Sanitasi di UKM dan Industri Peningkatan jaminan mutu dan pelaksanaan penerapan GMP, SSOP dan HACCP pada UMKM perikanan harus diawasi dengan ketat. Hal ini karena penerapan GMP, SSOP dan HACCP merupakan implementasi dari jaminan mutu pangan untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan bermutu oleh produsen yang pada akhirnya akan menciptakan kepuasan bagi konsumen.
(15) Akselerasi Pengembangan Pusat Pertumbuhan Industri Perikanan dengan Nilai Tambah Tinggi di Lokus Pilihan Untuk mempercepat akselerasi dibutuhkan faktor-faktor pendukung, seperti tersedianya infrastruktur pendukung produksi dan distribusi barang yang memadai, terdapat jaminan pasokan bahan baku perikanan dan sumber energi pada harga kompetitif, tersedia sumber daya manusia yang handal, peningkatan penggunaan teknologi, serta peningkatan akses pada pembiayaan investasi dan peningkatan akses ke pasar domestik dan pasar ekspor. Akselerasi pembangunan industrialisasi perikanan dengan nilai tambah di Indonesia, dilaksanakan melalui pengembangan pusat-pusat pertumbuhan perikanan, mendorong partisipasi dunia usaha dalam pembangunan infrastruktur, percepatan proses pengambilan keputusan pemerintah, mendorong peningkatan daya saing Kabupaten/Kota, dan meningkatkan integrasi pasar domestik.
94
BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 8.1 KESIMPULAN 1. Strategi industri perikanan nasional, khususnya terkait industri pengolahan perikanan mengikuti kondisi ekonomi wilayah dibagi menjadi 3 cluster wilayah, yaitu: (1) LQ tinggi dengan volume produksi rendah; (2) LQ rendah dengan volume produksi tinggi; dan (3) LQ dan volume produksi tinggi, dengan rincian pada Tabel 7.
Tabel 7. Cluster wilayah Strategi Industri Perikanan Nasional Cluster
Strategi
LQ Tinggi dengan
(1) Peningkatan ekonomi wilayah melalui peningkatan populasi industri
Volume Produksi UPI rendah
pengolahan hasil perikanan terutama UMKM (2) Inisiasi Pengembangan Industri Hasil Perikanan yang memiliki nilai tambah tinggi termasuk industri berbasis Bioteknologi
Lokasi: Sulawesi Barat Gorontalo Bengkulu Maluku Utara Maluku
(3) Penyediaan peralatan dan teknologi tepat guna (4) Penerapan penangkapan yang berkelanjutan (5) Peningkatan pendirian industri perikanan yang memiliki nilai tambah dan diversifikasi Produk tinggi. (6) Pemberian Insentif Fiskal bagi usaha kecil untuk peningkatan daya saing (7) Peningkatan peranan pemerintah pusat maupun daerah dalam menjaga food safety produk hasil olahan UMKM (8) Penguatan Rantai Pasok, Kemitraan dan Perluasan Pasar (9) Penguatan Infrastruktur di derah yang memiliki potensi yang tinggi (LQ tinggi) namun volume produksi UPI masih rendah (10) Peningkatan jaminan mutu, keamanan pangan, dan perbaikan sanitasi di UKM dan Industri
LQ Rendah dengan Volume Produksi Tinggi
(1) Inisiasi Pengembangan Industri Hasil Perikanan yang memiliki nilai tambah tinggi termasuk industri berbasis Bioteknologi (2) Penyediaan peralatan dan teknologi tepat guna (3) Peningkatan Suplai Bahan Baku memalui pemanfaatan potensi
Lokasi: Jawa Barat Jakarta Jawa Tengah Jawa Timur
perikanan di wilayah dengan nilai LQ tinggi (4) Penerapan teknologi budidaya (5) Peningkatan sertifikasi kelayakan pengolahan (SKP) (6) Pemberian Insentif Fiskal bagi usaha kecil untuk peningkatan daya
95
Cluster
Strategi saing (7) Peningkatan peranan pemerintah pusat maupun daerah dalam menjaga food safety produk hasil olahan UMKM (8) Penyesuaian potensi wilayah sumberdaya perikanan terhadap industri hilir yang memiliki nilai tambah tinggi
LQ dan Volume
(1) Pemberian Insentif Fiskal bagi usaha kecil untuk peningkatan daya
Produksi tinggi
saing (2) Penguatan Rantai Pasok, Kemitraan dan Perluasan Pasar (3) Pemberian Insentif Fiskal bagi usaha kecil untuk peningkatan daya saing (4) Penguatan Rantai Pasok, Kemitraan dan Perluasan Pasar
2. Peningkatan mutu dan nilai tambah dilakukan dengan strategi: penguatan infrastruktur, sanitasi dan higiene, dan peningkatan sertifikasi produk. 3. Strategi industrialisasi nasional dapat dijadikan sebagai acuan kebijakan pengembangan ekonomi wilayah.
8.2 REKOMENDASI Berdasarkan hasil analisis dan hasil rumusan para pemangku kepentingan sektor perikanan, rekomendasi strategi industrialisasi perikanan untuk mendukung ekonomi wilayah terdiri atas: 1. Peningkatan koordinasi antarsektor dalam rangka hilirisasi industri perikanan. 2. Sinkronisasi kebijakan dan pengkajian ulang kebijakan yang menghambat industrialisasi perikanan. 3. Pengembangan industri perikanan pada daerah yang memiliki LQ tinggi (LQ>4), yaitu: Sulawesi Barat, Gorontalo, Bengkulu dan Maluku Utara, agar dapat memberi sumbangan terhadap peningkatan ekonomi wilayah sebagai basis perikanan nasional. 4. Kajian tentang pemilihan skala industri yang tepat yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya perikanan yang berkelanjutan, utilitas dan kapasitas industri, serta keunggulan wilayah.
96
DAFTAR PUSTAKA
Blakely EJ. 1994. Planning Local Economic Development.Ed.ke-2. London: Sage Publications. Dunn WN. 1988. Analisa Kebijaksanaan Publik. Yogyakarta: PT Hanindita. FAO. 2016. The State of World Fisheries and Aquaculture. Roma. Glasson J. 1997. Pengantar Perencanaan Regional, diterjemahkan Paul Sitohang, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hayami Y.1987. Agricultural marketing and processing inupland Java. A perspective from a Sunda village. Bogor: CGPRT Centre. Johnston RJ. 1976. Classification in Geography. CATMOG 6 Geobooks Norwich. Kadarsah, Suryadi, dan Ramdani, M.Ali. 2002. Sistem Pendukung Keputusan: Suatu Wacana Struktural Idealisasi dan Implementasi Konsep Pengambilan Keputusan. Bandung: Rosdakarya. Liu J. 2002. Investigation On Traceability Of Fish Products In Iceland - A Traceability Study For Fish Processing Industry In China. United National University. Iceland. [NIFA] Norwegian Institute of Fisheries and Aquaculture Ltd. 2000. Tracing the Fish. Fiskeriforskning Info. No. 4. August 2000. Rustiadi E, Saifulhakim S, Panuju DR. 2006. Perencanaan Pengembangan Wilayah. Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumber daya Lahan. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. Rangkuti F. 2006. Teknik Mengukur dan Strategi Meningkatkan Kepuasan Pelanggan. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Republik Indonesia. 1996. Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan. Sekretariat Negara. Jakarta Republik Indonesia. 2002. Keputusan Menteri No. 6 tahun 2002. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta. Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Sekretariat Negara. Jakarta Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 2004. Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Sekretariat Negara. Jakarta.
97
Republik Indonesia. 2004. Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan Mutu dan Gizi Pangan. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta. Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang RI Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 2006. Kepmen No. 29/MEN/2006. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta. Republik Indonesia. 2012. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.27/Men/2012 Tentang Pedoman Umum Industrialisasi Kelautan Dan Perikanan. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta. Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 2014. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN- KP/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta. Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 57/PERMEN- KP/2014 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta. Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59/PERMEN- KP/2014 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi (Carcharhinus longimanus) dan Ikan Hiu Martil (Sphyrna spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta. Republik Indonesia. 2015. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta. Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 1 tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp) dan Rajungan (Portunus pelagicus spp). Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.
98
Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat hela (trawl) dan Pukat Tarik (seine nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta. Republik Indonesia. 2015. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2015 Tentang Sistem Jaminan Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan Serta Peningkatan Nilai Tambah Produk Hasil Perikanan. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta. Saaty, T. Lorie. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin, Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks.Pustaka Binama Pressindo. Saragih S. 2007. RI-Jepang Hubungan Timpang. Kompas, Internasional, Minggu, 19 Agustus: 5. Sulistyo DE et al. 2004. Strategi Peningkatan Konsumsi Ikan di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta: Dikjen Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran. Sukirno, Sadono. 1985. Ekonomi Pembangunan, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Bima Grafika. Pratiwi, S. 2006. Aspek kapabilitas Eksternal pada Industri Pengolahan Ikan Laut. Kebijakan Inovasi Industri Pengolahan Ikan Laut. Editor: Faisal, R. Taufiq, dan M. Zubair. BPPT. Jakarta.
99
LAMPIRAN
100
Lampiran 1. Analisis Sektor Ekonomi Menggunakan Metode location quotient (LQ) dan shift share analysis (SSA) Analisis LQ digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktivitas di suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Persamaan model analisis LQ sebagai berikut : LQ = Keterangan: Xij = Nilai PDRB sektor perikanan (j) di provinsi i Xi
= Nilai total PDRB seluruh sektor di provinsi i
Xj
= Nilai PDRB sektor perikanan (j) nasional
Xt
= Nilai total PDRB seluruh sektor nasional
Interpretasi nilai Location Quetiont (LQ) 0
= Aktifitas tidak berkembang
1
= Perkembangan sektor perikanan di wilayah (i) sama dengan rataan seluruh unit provinsi j
<1
= Perkembangan sektor perikanan dibawah rataan seluruh provinsi (bukan unggulan)
>1
= Perkembangan sector perikanan lebih tinggi dari rataan seluruh unit provinsi j atau indikasi adanya pemusatan aktifitas di unit provinsi (unggulan).
Contoh perhitungan LQ Diketahui: Nilai PDRB sektor perikanan pada tahun 2010 di Provinsi Maluku sebesar 2571 Nilai PDRB total seluruh sektor di provinsi Maluku sebesar 16175 Nilai PDRB sector perikanan nasional sebesar 143566 Nilai PDRB total seluruh sector skala nasional sebesar 6050455 LQ = = 6.698757 Nilai LQ >1 artinya terjadi pemusatan aktifitas sektor perikanan di provinsi Maluku (Basis) Shift Share Analysis (SSA) digunakan untuk memahami pergeseran struktur aktifitas di suatu lokasi tertentu dibandingkan dengan daerah agregat yang
101
lebih luas. Hasil analisis shift-share menjelaskan kinerja (performance) suatu aktifitas di suatu sub wilayah dan membandingkannya dengan kinerjanya dalam wilayah total. Analisis shift-share mampu memberikan gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu aktifitas di suatu wilayah. Persamaan SSA sebagai berikut :
SSA
X .. X ..
( t 1)
(t 0 )
1
X. X.
j ( t 1)
j (t 0)
a
(t 0)
X .. X ..
( t 1)
X X
ij ( t 1)
ij ( t 0 )
b
j ( t 0)
X. X.
j ( t 1)
c
Keterangan: a
= komponen regional share
b
= komponen proportional shift
c
= komponen differential shift, dan
X..
= nilai total aktifitas wilayah kab secara agregat
X.i
= nilai total aktifitas tertentu di unit wilayah kab ke-i
Xij
= nilai di wilayah kab ke-i dan aktifitas ke-j
t1
= titik tahun akhir
t0
= titik tahun awal
Kinerja perubahan aktivitas/ sektor dapat dilihat dari komponen analisis SSA yaitu: (1) Komponen laju pertumbuhan total (total shift), yang menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah, (2) Komponen pergeseran proporsional (pro-portional shift), menunjukkan pertumbuhan total aktivitas atau sektor tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor atau aktivitas total wilayah. (3) Komponen pergeseran diferensial (differential shift), menjelaskan tingkat competitiveness suatu wilayah tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor atau aktivitas tersebut dalam wilayah.
102
Lampiran 2. Hasil Kunjungan Ke Jawa Timur (Studi Kasus I)
A. Unit Pengolahan Ikan (UPI) Dalam melakukan pengolahan ikan yang menangani produk segar dilaksanakan oleh Unit Pengolahan Ikan (UPI). Jumlah UPI di Jawa Timur tahun 2015 berdasarkan jenis kegiatan pengolahan produknya terdiri atas sembilan kategori yaitu pembekuan, penggaraman, pemindangan, pengasapan, fermentasi, pereduksian/ekstraksi, pelumatan daging ikan, penanganan produk segar dan pengolahan lainnya. Jumlah UPI tertinggi pada pengasapan sebesar 2.159 Unit. Jumlah UPI di Jawa Timur disajikan pad Gambar 1. 2.500 2.159 2.024 2.000
Jumlah UPI
1.616 1.453
1.500
Ket: A: Pembekuan B: Penggaraman C: Pemindangan D: Pengasapan E: Fermentasi F: Pereduksian/Ekstraksi G: Pelumatan Daging Ikan H: Penanganan Produk Segar I: Pengolahan Lainnya
1.000 632 500
362 141
38
204
0 A
B
C
D E F G Jenis Kegiatan Pengolahan
H
I
Gambar 1. Jumlah UPI di Jawa Timur berdasarkan Jenis Kegiatan Pengolahan (DKP Jatim 2015) Jumlah UPI tertinggi pada pengasapan sebesar 2.159 Unit. Produk utama dari pengasapan adalah ikan asap. Ikan asap merupakan salah satu produk olahan yang digemari konsumen di Indonesia karena rasa dan aroma yang khas. Teknik pengolahan ikan melalui pengasapan relatif mudah sehingga banyak dilakukan di lingkungan permukiman dalam bentuk home industry. Dengan kondisi ini, maka seringkali ruang ruang untuk wadah proses pengasapan ikan ini berbentuk tidak
103
beraturan dengan penataan yang seadanya, sehingga dari aspek sirkulasi, alur produksi dan kesehatan tidak memenuhi persyaratan higienitas dalam pengolahan produknya (Wibawa, 2015). Jumlah UPI Pengasapan Ikan di Jawa Timur yang tinggi, disebabkan karena teknologi yang sederhana dan mudah diaplikasikan. Kabupaten sidoarjo ikan asap yang diolah dari bahan baku bandeng merupakan salah satu produk unggulan daerah. Selain itu di surabaya ikan asap merupakan salah satu produk khas untuk oleh-oleh. Bahan baku ikan asap bisa dari produksi budidaya misalnya bandeng dan patin atau ikan laut. Jika ditinjau dari aspek produksi, produk ikan asap ini sangat prospektif untuk dikembangkan karena teknologi sederhana, bahan baku yang mudah didapatkan serta tidak tergantung dengan musim tangkapan (produksi dari budidaya). Kendala lainya adalah sanitasi yang rendah, teknologi tepat guna, serta permodalan. B. UPI Per Kabupaten/Kota di Jawa Timur Unit Pengolahan Ikan (UPI) di Jawa Timur tersebar di 38 kabupaten/ kota. Sebaran UPI penanganan produk segar di Provinsi Jawa Timur disajikan pada Gambar 2. Jumlah paling tinggi terdapat pada kabupaten Tuban dengan jumlah 980 unit dan paling rendah pada Kabupaten Kediri sebanyak 3 unit. Kabupaten Tuban merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang mempunyai wilayah perairan laut sepanjang 65 km yang meliputi Kecamatan Palang, Tuban, Jenu, Tambakboyo dan Bancar.Dengan kondisi geografis tersebut, produksi perikanan laut di Kabupaten Tuban cukup melimpah, melebihi kebutuhan konsumsi ikan oleh masyarakat. Potensi hasil laut dan pengembangan kawasan pantai lainnya adalah budidaya rumput taut, terumbu karang, padang lamun. pengembangan dan pembibitan mangrove.Selain dari perairan laut, produksi ikan di Kabupaten Tuban juga didukung dari hasil budidaya ikan dan udang di perairan darat seperti tambak, sawah tambak, kolam, karamba dan jaring apung.
KOTA/KABUPATEN
3 18
Gambar 2. Jumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI) per Kabupaten/Kota di Jawa Timur 2015
471
10
BATU
544
SURABAYA
5
MADIUN
42
MOJOKERTO
224
PASURUAN
148
PROBOLINGGO
MALANG
9
BLITAR
0
KEDIRI
34 28 10 23 10 20
SUMENEP
PAMEKASAN
679
SAMPANG
685
BANGKALAN
800
GRESIK
700
LAMONGAN
1.000
TUBAN
300
BOJONEGORO
NGAWI
MAGETAN
MADIUN
NGANJUK
23
JOMBANG
310
MOJOKERTO
382
SIDOARJO
500
PASURUAN
PROBOLINGGO
340 336
SITUBONDO
47
BONDOWOSO
19
BANYUWANGI
345
JEMBER
79
LUMAJANG
115
MALANG
45
KEDIRI
67
BLITAR
600
TULUNGAGUNG
400
TRENGGALEK
100
PONOROGO
200
PACITAN
JUMLAH UPI
110
980
900
758 646 513
344 194
114 9
111
2.003
2.000 1.800
Ket: A: Pembekuan B: Penggaraman C: Pemindangan D: Pengasapan E: Fermentasi F: Pereduksian/Ekstraksi G: Pelumatan Daging Ikan H: Penanganan Produk Segar I: Pengolahan Lainnya
1.692
1.600 1.369
Jumlah Setifikat
1.400 1.200 1.000
919 Belum Ada SKP
800 600
PIRT
400
MD
305 205
197 200 10 6 0
0
232 237
45
11 4
B
C
67
9 26 13
92 3
0
54 21 23 0
44 17 3 0
1 21 11
80
0 A
D E F Jenis Kegiatan pengolahan
G
Gambar 3. Jumlah Sertifikat yang Dimiliki UPI di Jawa Timur 2015
H
I
112
C. Jumlah Sertifikat UPI di Jawa timur Jumlah sertifikat yang dimiliki oleh masing masing UPI berdasarkan kegiatan pengolahan yang dilakukan disajikan pada Gambar 3. Berdasarkan gambar 3 dapat diperoleh informasi bahwa jumlah tertinggi pada masing masing kegiatan pengolahan adalah belum memiliki sertifikat dengan jumlah berturut turut adalah 10, 1.692, 1.369, 2.003, 305, 54, 44, 205 dan 919 unit. Jumlah UPI yang belum tersertifikasi sangat tinggi jika dibandingan dengan sertifikat lainya (SKP, MD, PIRT dan Halal) menunjukan rendahnya kesadaran pelaku usaha untuk mengikuti prosedur pemerintah, atau jumlah produk yang dihasilkan masih produk tradisional sehingga dirasa belum memerlukan sertifikasi jaminan produk. Sehingga perlu peran pemerintah untuk membantu meningkatkan kualitas produk dengan berbagai upaya baik pelatihan, penyuluhan, pemberian modal serta edukasi terkait pentingnya jaminan produk sehingga produk tradisional olahan perikanan Indonesia bisa menembus pasaran internasional.
D. Jumlah Tenaga Kerja Jumlah tenaga Kerja pengolahan Perikanan disajikan pada Gambar 4. Jumlah tenaga kerja pada UPI pengolahan hasil perikanan di Jawa Timur berjumlah 89.673 orang, dengan komposisi laki-laki berjumlah 22.520 orang dan perempuan 67.153 orang. Perbandingan jumlah tenaga kerja perempuan lebih dominan dibanding tenaga kerja laki-laki. Kegiatan pengolahan pengasapan memiliki tenaga kerja dengan jumlah terbanyak. Menurut terminologi FAO, ikan olahan tradisional, atau "cured fish" adalah produk yang diolah secara sederhana dan umumnya dilakukan pada skala industri rumah tangga, sehingga dalam proses pengolahan memang didominasi oleh tenaga kerja perempuan.
E. Upah tenaga Kerja Upah Tenaga Kerja masing masing UPI disajikan pada Gambar 5. UPI dengan pengeluaran upah tenaga kerja terbanyak adalah pada kegiatan pengolahan Penggaraman, pemindangan, dan pengolahan lain.
113
28.000
Ket: A: Pembekuan B: Penggaraman C: Pemindangan D: Pengasapan E: Fermentasi F: Pereduksian/Ekstraksi G: Pelumatan Daging Ikan H: Penanganan Produk Segar I: Pengolahan Lainnya
26.161
Jumlah tenaga Kerja
26.000 24.000 22.000 20.000 18.000 16.000 14.000 12.000
12.871
11.749
10.000 8.000
7.869
2.000 0
5.723
5.306
6.000 4.000 216
5.384
4.397
3.975 2.347
2.160 597
42
A
B
C
251131 234 260
D E Jenis Kegiatan
F
G
H
I
Laki Laki Perempuan
Gambar 4. Jumlah Tenaga Kerja Pengolahan Perikanan di Jawa Timur 2015
50.000.000.000
Ket: A: Pembekuan B: Penggaraman C: Pemindangan D: Pengasapan E: Fermentasi F: Pereduksian/Ekstraksi G: Pelumatan Daging Ikan H: Penanganan Produk Segar I: Pengolahan Lainnya
45.000.000.000 40.000.000.000 Upah (Rp)
35.000.000.000 30.000.000.000 25.000.000.000 20.000.000.000 15.000.000.000 10.000.000.000 5.000.000.000 0 A
B
C
D E F G Jenis Kegiatan
H
I
Laki-Laki Perempuan
Gambar 5. Upah Tenaga Kerja di Jawa Timur 2015 Kegiatan pengolahan pemindangan mengeluarkan upah untuk membayar tenaga kerja setiap tahunnya mencapai 55.606.504.723,00 rupiah. kegiatan pengolahan penggaraman mengeluarkan upah sebanyak 68.573.562.706 rupiah. Serta pengolahan lainnya mengeluarkan upah sebanyak 59.312.360.049,00 rupiah.
114
Pengembangan UPI di Jawa Timur masih berbasis program padat karya. padat karya merupakan program pemerintah melalui bappenas untuk memberi lapangan kerja terutama yang kehilangan pekerjaan pada masa sulit. Kegiatan pengolahan tradisional dengan program padat karya membuka lapangan kerja bagi keluargakeluarga miskin atau kurang mampu yang mengalami kehilangan penghasilan atau pekerjaan tetap. Namun masalah yang dihadapi dalam program kerja padat karya adalah faktor upah yang ideal bagi seorang pekerja. Solusi yang ditawarkan agar faktor upah ini ideal bagi pekerja adalah mengurangi program padat karya dengan menjadikan pengolahan tradisional berbasis teknologi tepat guna, sehingga perusahaan/UPI dapat memproduksi produk secara efisien. Selain itu penggunaan teknologi tepat guna. F.
Volume dan Nilai Bahan Baku menurut Jenis Kegiatan Pengolahan Ket: A: Pembekuan B: Penggaraman C: Pemindangan D: Pengasapan E: Fermentasi F: Pereduksian/Ekstraksi G: Pelumatan Daging Ikan H: Penanganan Produk Segar I: Pengolahan Lainnya
700.000.000 600.000.000
Jumlah
500.000.000 400.000.000 300.000.000
Volume (kg)
200.000.000
Nilai (Rp)
100.000.000 0 A
B C D E F G H Jenis Kegiatan Pengolahan
I
Gambar 6. Volume dan Nilai Bahan Baku menurut Jenis Kegiatan Pengolahan Volume produksi kegiatan pembekuan berjumlah 11,392,312 Kg dengan nilai bahan baku mencapai 103,806,240,000 rupiah. Volume produksi unit pengolahan di Jawa Timur yang paling dominan adalah pada
kegiatan
pengolahan penggaraman dengan volume produksi sebesar 77,776,305 kg dengan nilai bahan baku mencapai 428.334.761.262 rupiah. Volume produksi pada
115
kegiatan pemindangan sebesar 44,446,396 Kg dengan nilai bahan baku sebesar 575,037,919,892 rupiah. Pada kegiatan pengasapan nilai bahan baku mencapai 272,594,640,422 rupiah dengan volume produksi sebanyak 19,426,174 Kg. Pada kegiatan fermentasi produksi dengan volume 11,662,158 Kg menghasilkan nilai bahan baku sebesar 82,377,125,696 rupiah. Volume produksi pada kegiatan pereduksian/ekstraksi berjumlah 859,604 kg dengan nilai bahan baku mencapai 10,471,662,385 rupiah.
G. Realisasi Produk terhadap Kapasitas Terpasang Realisasi produk terhadap kapasitas terpasang disajikan pada Gambar 7. Kegiatan pengolahan perikanan di Jawa Timur pada kegiatan pembekuan, penggaraman, pemindangan, pengasapan, fermentasi, pereduksian, pelumatan daging ikan, penanganan produk segar, dan pengolahan lain memiliki realisasi produk terhadap kapasitas terpasang secara berturut turut adalah sebanyak 93,33%; 71,77%; 76,18%; 79,85%; 80,07%; 84,95%; 69,78%; 82,76% dan 72,93%. Semakin rendah angka kapasitas terpasang suatu perusahaan berpengaruh terhadap produktivitas pabrik, sehingga perlu dilakukan optimasi proses
Realisasi Produk Terhadap Kapasitas Terpasang (%)
pengolahan terhadap mesin/teknologi agar produk yang dihasilkan optimum. 100
93,33
90 80
71,77
76,18
79,85 80,07
84,95
82,76 72,93
69,78
70 60 50 40 30 20 10 0 A
B
C D E F G Jenis Kegiatan Pengolahan
H
I
Gambar 7. Realisasi Produk terhadap Kapasitas Terpasang
Ket: A: Pembekuan B: Penggaraman C: Pemindangan D: Pengasapan E: Fermentasi F: Pereduksian/Ekstraksi G: Pelumatan Daging Ikan H: Penanganan Produk Segar I: Pengolahan Lainnya
116
H.
PROFIL SOSIAL PERIKANAN JAWA TIMUR Jawa Timur merupakan provinsi yang memiliki kawasan laut hampir
empat kali luas daratannya dengan garis pantai kurang lebih 2.916 km. Subsektor perikanan dapat dikelompokkan menjadi perikanan on-farm dan perikanan offfarm. Perikanan on-farm terdiri dari perikanan laut dan perikanan darat, sedangkan perikanan off-farm terdiri dari pengolahan ikan. Perikanan on-farm merupakan kegiatan produksi perikanan yang terdiri dari perikanan laut dan perikanan darat. Perikanan laut meliputi budidaya laut, budidaya tambak dan perikanan tangkap laut sedangkan perikanan darat meliputi penangkapan ikan perairan umum, budidaya kolam, budidaya jaring apung, budidaya minapadi, budidaya sawah tambak dan budidaya karamba. Pengolahan ikan merupakan kegiatan pasca produksi yang meliputi pengalengan, pembekuan, penggaraman, pemindangan, pengasapan, fermentasi, pereduksian dan pelumatan. Kegiatan perikanan tangkap laut membutuhkan infrastruktur tempat pendaratan atau pelabuhan perikanan guna mendukung kegiatan usaha perikanan tangkap. Tipe pelabuhan paling besar yang ada di Jawa Timur adalah pelabuhan tipe B atau Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN). PPN di Jawa Timur ada dua yaitu PPN Brondong di Kabupaten Lamongan dan PPN Prigi di Kabupaten Trenggalek. Sedangkan pelabuhan tipe C atau Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) di Jawa Timur berjumlah enam, yaitu: PPP Lekok di Kabupaten Pasuruan, PPP Mayangan di Kota Probolinggo, PPP Muncar di Banyuwangi, PPP Paiton di Kabupaten Probolinggo, PPP Pondokdadap di Kabupaten Malang serta PPP Puger di Kabupaten Jember. Disamping itu juga terdapat Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang tersebar di semua kota/kabupaten yang memiliki pesisir di Jawa Timur. Jumlah PPI yang terdapat di Provinsi Jawa Timur berjumlah 87 PPI (KKP 2013). Kegiatan perikanan tangkap laut di Jawa Timur dapat dibagi dalam dua wilayah, yaitu pantai utara jawa dan pantai selatan jawa. Wilayah yang termasuk pantai utara Jawa adalah Kabupaten Tuban, Lamongan, Gresik, Kota Surabaya, Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Sidoarjo, Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo dan Kabupaten Situbondo.
117
Wilayah pantai selatan Jawa meliputi Kabupaten Banyuwangi, Jember, Lumajang, Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek dan Pacitan. Jumlah alat tangkap di Jawa Timur sebanyak 171.502 unit yang terdiri dari 143.019 unit alat tangkap di laut dan 28.483 unit alat tangkap di perairan umum daratan. Unit penangkapan ikan di Jawa Timur dapat dikelompokkan menjadi pukat kantong, pukat cincin, jaring insang, jaring angkat, pancing, perangkap, alat pengumpul kerang, alat pengumpul rumput laut dan lain-lain. Pukat kantong yang ada di Provinsi Jawa Timur terbagi menjadi payang, dogol dan pukat pantai, sedangkan jaring insang terbagi menjadi jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, jaring insang tetap dan jaring tiga lapis (trammel net). Jaring angkat yang ada di Provinsi Jawa Timur terbagi menjadi bagan perahu/rakit, bagan tancap, serok, dan jaring angkat lainnya. Pancing terbagi menjadi rawai hanyut lain selain rawai tuna, rawai tetap, pancing tonda dan pancing lainnya, sedangkan perangkap dibagi menjadi bubu dan perangkap lainnya. Alat pengumpul terbagi menjadi alat pengumpul kerang. Alat tangkap lainnya terbagi menjadi jala, tombak dan sebagainya. Jumlah nelayan di Jawa Timur mencapai 251.849 orang. Sebaran nelayan di pantai utara Jawa Timur terbanyak terdapat di Kabupaten Sumenep sebanyak 40,015 orang (18%), selanjutnya jumlah nelayan terbanyak di pantai Selatan Jawa Timur adalah Kabupaten Banyuwangi sebanyak 25.598 orang atau 11% dari jumlah nelayan di Jawa Timur. Kegiatan usaha on-farm perikanan selain perikanan tangkap adalah perikanan budidaya yang meliputi tambak, laut, kolam, karamba, jaring apung, sawah tambak dan minapadi. Kegiatan budidaya perikanan ditandai dengan penebaran benih ikan yang dibudidayakan. Berdasarkan jenisnya, benih ikan berasal dari air tawar dan air laut. Benih dari air tawar meliputi ikan tawes, ikan mas, ikan mujair, ikan nila, ikan gurami, ikan lele, ikan patin, ikan hias air tawar, katak, udang galah, dan lobster air tawar. Benih dari air payau yakni ikan kerapu, ikan kakap, ikan bandeng, udang windu, udang vaname, udang putih, gracilaria, dan rumput laut cottoni. Jumlah terbanyak adalah pembudidaya kolam, diikuti pembudidaya laut dan tambak. Jumlah pembudidaya terbanyak terdapat di Kabupaten Sumenep sebesar 80.567 (29%) diikuti Lamongan sebesar 46.395 (16,9%). Luas areal lahan
118
yang paling besar digunakan untuk budidaya adalah budidaya laut dimana Kabupaten Sumenep menjadi kabupaten dengan luas lahan budidaya laut terluas di Jawa Timur yang mencapai 287.325 ha (99%). Jumlah produksi perikanan budidaya Jawa Timur pada tahun 2012 mencapai 929.173,87 ton dengan kontributor terbesar dari budidaya laut yang mencapai 563.087,4 ton (61%). Usaha pasca panen atau off-farm perikanan memanfaatkan output perikanan onfarm baik dari perikanan tangkap maupun budidaya. Usaha pengolahan ikan terbanyak adalah penggaraman, pengasapan dan pemindangan. Berbagai usaha pengolahan ikan tersebar hampir merata di seluruh wilayah Jawa Timur.
Analisis LQ dan SSA Penggunaan analisis metode LQ, kita dapat mengamati keunggulankeunggulan kompetitif suatu wilayah terhadap wilayah sekitarnya. Nilai LQ yang lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa sektor/sub sektor ini lebih unggul dibandingkan dengan sektor/sub sektor yang sama di wilayah Provinsi Jawa Timur. Sebaliknya, nilai LQ yang kurang dari 1 berarti bahwa sektor/sub sektor yang diamati tidak kompetitif. Analisis LQ provinsi Jawa Timur berdasarkan perkembangan PDRB provinsi dibandigkan PDRB nasional pada tahun 20102014. Perkembangan nilai LQ Jawa Timur pada tahun 2010-2014 dapat dilihat pada Gambar 1.
1,20 0,99 1,00
0,98
1,02
1,10
1,08
Nilai LQ
0,80 0,60
LQ
0,40 0,20 0,00 2010
2011
2012 Tahun
2013
2014
Gambar 1 Perkembangan nilai LQ Jawa Timur 2010-2014
119
Berdasarkan nilai LQ produktivitas perikanan setiap tahunnya cenderung stabil. Trend yang menarik terlihat pada produktivitas perikanan pada tahun 20102011 yang tergolong non basis, sedangkan pada tahun 2012-2014 sektor perikanan tergolong basis, artinya provinsi Jawa Timur memiliki potensi menjadi sector basis unggulan dengan peningkatan inovasi pengembangan produk dan arah pembangunan perikanan sebaiknya diutamakan pada usaha peningkatan nilai tambah perikanan dengan meningkatkan produktivitas usaha pengolahan ikan sehingga mampu menarik atau memanfaatkan output subsektor perikanan laut dan darat. Prioritas wilayah pengembangan perikanan hendaknya memperhatikan aspek keunggulan kompetitif dan spesialisasi perikanan suatu daerah dan unsur pemerataan pengembangan ekonomi di Jawa Timur. Analisis keunggulan kompetitif wilayah dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pergeseran struktur ekonomi dari suatu sektor dibandingkan dengan cakupan wilayah yang lebih luas dalam dua titik waktu. Pergeseran struktur ekonomi tersebut dapat menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) dari suatu sektor ekonomi serta menjelaskan kinerja sektor tersebut. Hasil analisis SSA
menunjukkan
bahwa
struktur
ekonomi
Jawa
Timur
mengalami
perkembangan pesat. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis SSA dengan nilai 0.818191.
120
Lampiran 3. Kondisi Eksisting Perikanan di Lokus Pilihan (Studi Kasus II: Wilayah Jawa Timur, DI Yogyakarta, Sulawesi Utara dan Sumatera Utara)
A. Potensi Wilayah A. 1 Sumatera Utara Potensi Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara terdiri dari Potensi Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya, dimana Potensi Perikanan Tangkap terdiri Potensi Selat Malaka sebesar 276.030 ton/tahun dan Potensi di Samudera Hindia sebesar 1.076.960 ton/tahun. Sedangkan Produksi Perikanan Budidaya terdiri Budidaya tambak 20.000 Ha dan Budidaya Laut 100.000 Ha, Budidaya air tawar 81.372,84 Ha dan perairan umum 155.797 Ha, kawasan Pesisir Sumatera Utara mempunyai Panjang Pantai 1300 Km yang terdiri dari Panjang Pantai Timur 545 km, Panjang Pantai Barat 375 Km dan Kepulauan Nias dan PulauPulau Baru Sepanjang 350 Km (DKP Sumut, 2014). Wilayah pengembangan sektor perikanan dibagi menjadi beberapa wilayah kerja dengan potensi wilayah masing-masing. Wilayah tersebut adalah: a. Wilayah Pantai Barat Sumatera Utara Terdiri dari 12 kabupaten/kota yang berada di wilayah Pantai Barat yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, Kota Gunung Sitoli, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padang Sidempuan, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara. Dimana Potensi Pengembangan pada wilayah ini adalah penangkapan ikan, pengolahan ikan. Budidaya Laut yang terdiri dari Rumput Laut, Kerapu dan kakap, Budidaya tawar yang terdiri dari mas, nila, Lele, Patin, Gurame, Tawes dan Nilam. Budidaya Tambak yang terdiri dari Udang Vaname, Udang Windu, Kerapu, Kakap, Bandeng b. Wilayah Dataran Tinggi Sumatera Utara Kabupaten/Kota yang termasuk pada wilayah dataran tinggi Sumatera Utara adalah Wilayah yang berada di wilayah tengah Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 10 Kabupaten/Kota yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Karo, Kabupaten Dairi, Kabupaten Samosir, Kabupaten
121
Humbang Hasundutan, Kabupaten Simalungun, Kota Pematang Siantar, Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Pakpak Bharat. Sedangkan Potensi Pengembangan pada wilayah ini terdiri dari penangkapan ikan di perairan umum, pengolahan ikan. budidaya air tawar yaitu Nila, Mas, Lele, Patin dan Gurame c. Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara Terdapat 11 Kabupaten/Kota yang termasuk pada wilayah Pantai Timur Sumatera Utara yang terdiri dari Kabupaten Langkat, Kota Binjai, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Asahan, Kabupaten Labuhan Batu, kabupaten Labuhan batu Selatan, Kabupaten Labuhan Batu Utara, Kabupaten Batubara, Kota Medan, Kota Tanjung Balai, Dimana potensi pengembangan di wilayah Timur Sumatera Utara adalah penangkapan ikan, pengolahan ikan. Budidaya Laut yang terdiri dari kerapu, kakap, dan kerang hijau, Budidaya Tawar yaitu Mas, Nila, Lele, Patin, Gurame, Grass carp, Lobster air tawar, Bawal tawar dan Ikan hias, Budidaya Tambak yaitu Rumput Laut, Udang Vaname, Udang Windu, Kerapu, Kakap, Bandeng, sedangkan Budidaya perairan umum yaitu Mas, Nila dll.
Kondisi Perikanan Di Sumatera Utara dan Ancamanya Perikanan di Sumatera Utara wilayah pengembangan kedepanya dibagi menjadi tiga wilayah masing wilayah pengembangan perikanan dan kelautan I, II dan III. Daerah yang masuk wilayah I antara lain, Mandailing Natal, Sibolga, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, dan Nias. Potensi unggulan wilayah itu adalah penangkapan ikan lepas pantai dan perairan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif). Wilayah pengembangan II yang merupakan bagian tengah Sumut hanya bisa dikembangkan sebagai pusat perikanan budidaya. Misalnya, di sekitar Toba Samosir, Simalungun, Dairi, dan Tapanuli Utara. Sama dengan wilayah I, pembangunan perikanan di wilayah III, yakni di bagian timur Sumut, tetap akan menjadi fokus pengembangan perikanan tangkap. Daerahnya terletak persis di sekitar perairan Selat Malaka, yaitu mulai dari Langkat di perbatasan NAD, hingga ke Medan, Deli Serdang, Tanjung Balai, Asahan, hingga Labuhan Batu dekat perbatasan Riau. Pengembangan perikanan di wilayah II Sumut seharusnya tidak menemukan banyak masalah karena lebih pada budidaya darat yang sudah
122
mengakar dari dulu di masyarakat. Persoalan paling besar di wilayah pengembangan I dan III Sumut, sebab sebagai andalan dan pusat aktivitas perikanan tangkap, maka ini terkait langsung dengan potensi alami di sana. Pengurasan potensi perikanan laut yang tidak terkendali, apalagi dibarengi dengan cara-cara penangkapan di luar batas, misalnya bom ikan, jelas akan menjadi bumerang di belakang hari. Potensi perikanan laut daerah ini sudah mulai tahap mengkhawatirkan, bisa dilihat dari ketimpangan potensi alami antara perairan pantai timur dan pantai barat Sumut. Ini mengkhawatirkan karena akan mengancam keberadaan dua sumber produksi ikan terbesar Sumut. Sudah sejak lama pantai timur dan barat Sumut menjadi ujung tombak perikanan tangkap, baik untuk pasar lokal, ekspor, maupun industri perikanan. Belawan dan Sibolga terkenal sebagai pelabuhan perikanan terbesar Sumut yang produksi ikan tangkapnya dikirim ke mana-mana. Badan Riset Kelautan dan Perikanan tahun 2001 mencatat, potensi perikanan di perairan pantai timur Sumut (sekitar Selat Malaka) tercatat sekitar 276.030 ton per tahun. Sedangkan pemanfaatan per tahun 2003 tercatat sekitar 255.499,2 ton. Angka ini memang mengejutkan karena, dengan data-data di atas, tergambar jelas kondisi perairan pantai timur Sumut sudah mendekati over fishing atau padat tangkap. Keadaan demikian menunjukkan betapa potensi perairan pantai timur sekitar Selat Malaka sudah sulit dioptimalkan karena tingkat pemanfaatannya mencapai 92 persen. Data Badan Riset Kelautan tersebut setidaknya memberi gambaran bahwa eksploitasi potensi perikanan tangkap di daerah ini tampaknya mulai timpang. Bandingkan dengan potensi perikanan di pantai barat Sumut (sekitar Samudra Hindia). Potensi perairan ini tercatat 1.076.960 ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2003 baru mencapai 96.597,1 ton (8,96 persen) Di Provinsi Sumatera Utara telah ditetapkan kawasan andalan yang merupakan bagian dari kawasan budi daya baik di ruang darat maupun ruang laut yang pengembangannya diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan di sekitarnya. Pada tahun 2011 diterbitkan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang,
123
dan Karo (Mebidangro) untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) UndangUndang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Pasal 123 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Mebidangro berperan sebagai alat operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan sebagai alat koordinasi pelaksanaan pembangunan di kawasan Mebidangro.
Peraturan
Presiden No. 13 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan ketentuan Pasal 123 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera (www.sumut-pemprov.go.id) Kawasan Andalan Perkotaan Metropolitan Medan-BinjaiDeli Serdang-Karo (Mebidangro)
Sektor Unggulan industri, perkebunan, perikanan
Pematang Siantar danSekitarnya Rantau Prapat-Kisaran
Perkebunan, pertanian, industri, pariwisata Perkebunan, kehutanan, pertanian, perikanan, industri Perkebunan, pertambangan, perikanan laut, pertanian, industri, pariwisata
Tapanuli dan Sekitarnya
pariwisata,
pertanian,
Nias dan Sekitarnya Pariwisata, perkebunan, perikanan Laut Lhokseumawe-Medan dan Perikanan, pertambangan Sekitarnya Laut Selat Malaka dan Sekitarnya Perikanan, pertambangan Laut Nias dan Sekitarnya Perikanan, pertambangan Sumber: PP No. 26 Tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional
A.2 Sulawesi Utara Sulawesi Utara, secara geografis terletak pada posisi 0o30’ - 5 o 35’ LU, 123 o 30’ - 127 o 00’ Bujur Timur. Wilayah Sulawesi Utara berbatasan dengan Filipina (utara), Teluk Tomini (selatan), Provinsi Gorontalo (barat) dan Laut Maluku (timur). Luas wilayahnya 15.472,98 km2, terdiri dari Pulau Manado Tua, Pulau Bangka, Pulau Talise, Pulau Bunaken, Pulau Mantehage, Pulau Lembeh, Pulau Siau, Pulau Tagulandang, Pulau Karakelang, Pulau Karabuan, dan Pulau Salibabu. Panjang garis pantai Provinsi Sulawesi Utara 1.837 km dengan luas daratannya 2.200 km2. Wilayah Perairan laut Provinsi Sulawesi Utara memiliki 124 pulau yang terdiri dari 3 gugusan kepulauan:
124
1. Gugusan Kepulauan Talaud, terletak paling utara yang secara administratif masuk di Kabupaten Talaud; 2. Gugusan Sangir Besar, secara administratif masuk di Kabupaten Sangihe; 3. Gugusan Tagulandang dan Biaro (disingkat Sitaro), menunggu status otonom. Ada 15 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Utara, yaitu: Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Tenggara, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Sangihe, Kabupaten Sitaro, Kabupaten Talaud, Kota Mubagu, Kota Bitung, Kota Manado, Kota Tumohon. 2
Perairan laut Provinsi Sulawesi Utara seluas 314.982 km mempunyai tingkat produktifitas perikanan sebesar 8,84 ton per kilometer persegi per tahun atau 264.000 ton per tahun. Disamping itu, terdapat budidaya perikanan yang mendukung potensi sektor perikanan. Jenis ikan yang dikembangkan adalah ikan laut dan ikan tawar seperti: kepiting, teripang, udang, cumi-cumi, bulu babi, ikan tuna, cakalang, kerapu, malalugis, tongkol dan rumput laut. Adapun lokasi ekosistem utama di Provinsi Sulawesi Utara dapat dijumpai pada:
1. Kawasan Pantai Selatan (KPS) yang meliputi wilayah perairan Minahasa. 2. Kawasan Pantai Utara ( KPU) yang meliputi wilayah perairan Minahasa Utara. 3. Kawasan perairan Selat Lembeh Kota Bitung (KPS Bitung). 4. Kawasan Perairan Sangihe termasuk Sitaro (KPS Sangihe). 5. Kawasan Perairan Talaud (KPT).
A.3 JAWA TIMUR Jawa Timur merupakan provinsi yang memiliki kawasan laut hampir empat kali luas daratannya dengan garis pantai kurang lebih 2.916 km. Subsektor perikanan dapat dikelompokkan menjadi perikanan on-farm dan perikanan offfarm. Perikanan on-farm terdiri dari perikanan laut dan perikanan darat, sedangkan perikanan off-farm terdiri dari pengolahan ikan. Perikanan on-farm merupakan kegiatan produksi perikanan yang terdiri dari perikanan laut dan perikanan darat. Perikanan laut meliputi budidaya laut, budidaya tambak dan perikanan tangkap laut sedangkan perikanan darat meliputi penangkapan ikan perairan umum, budidaya kolam, budidaya jaring apung, budidaya minapadi,
125
budidaya sawah tambak dan budidaya karamba. Pengolahan ikan merupakan kegiatan pasca produksi yang meliputi pengalengan, pembekuan, penggaraman, pemindangan, pengasapan, fermentasi, pereduksian dan pelumatan. Kegiatan perikanan tangkap laut membutuhkan infrastruktur tempat pendaratan atau pelabuhan perikanan guna mendukung kegiatan usaha perikanan tangkap. Tipe pelabuhan paling besar yang ada di Jawa Timur adalah pelabuhan tipe B atau Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN). PPN di Jawa Timur ada dua yaitu PPN Brondong di Kabupaten Lamongan dan PPN Prigi di Kabupaten Trenggalek. Sedangkan pelabuhan tipe C atau Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) di Jawa Timur berjumlah enam, yaitu: PPP Lekok di Kabupaten Pasuruan, PPP Mayangan di Kota Probolinggo, PPP Muncar di Banyuwangi, PPP Paiton di Kabupaten Probolinggo, PPP Pondokdadap di Kabupaten Malang serta PPP Puger di Kabupaten Jember. Disamping itu juga terdapat Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang tersebar di semua kota/kabupaten yang memiliki pesisir di Jawa Timur. Jumlah PPI yang terdapat di Provinsi Jawa Timur berjumlah 87 PPI (KKP 2013). Kegiatan perikanan tangkap laut di Jawa Timur dapat dibagi dalam dua wilayah, yaitu pantai utara jawa dan pantai selatan jawa. Wilayah yang termasuk pantai utara Jawa adalah Kabupaten Tuban, Lamongan, Gresik, Kota Surabaya, Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Sidoarjo, Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo dan Kabupaten Situbondo. Wilayah pantai selatan Jawa meliputi Kabupaten Banyuwangi, Jember, Lumajang, Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek dan Pacitan. Jumlah alat tangkap di Jawa Timur sebanyak 171.502 unit yang terdiri dari 143.019 unit alat tangkap di laut dan 28.483 unit alat tangkap di perairan umum daratan. Unit penangkapan ikan di Jawa Timur dapat dikelompokkan menjadi pukat kantong, pukat cincin, jaring insang, jaring angkat, pancing, perangkap, alat pengumpul kerang, alat pengumpul rumput laut dan lain-lain. Pukat kantong yang ada di Provinsi Jawa Timur terbagi menjadi payang, dogol dan pukat pantai, sedangkan jaring insang terbagi menjadi jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, jaring insang tetap dan jaring tiga lapis (trammel net). Jaring angkat yang ada di Provinsi Jawa Timur terbagi menjadi bagan perahu/rakit, bagan tancap,
126
serok, dan jaring angkat lainnya. Pancing terbagi menjadi rawai hanyut lain selain rawai tuna, rawai tetap, pancing tonda dan pancing lainnya, sedangkan perangkap dibagi menjadi bubu dan perangkap lainnya. Alat pengumpul terbagi menjadi alat pengumpul kerang. Alat tangkap lainnya terbagi menjadi jala, tombak dan sebagainya. Jumlah nelayan di Jawa Timur mencapai 251.849 orang. Sebaran nelayan di pantai utara Jawa Timur terbanyak terdapat di Kabupaten Sumenep sebanyak 40,015 orang (18%), selanjutnya jumlah nelayan terbanyak di pantai Selatan Jawa Timur adalah Kabupaten Banyuwangi sebanyak 25.598 orang atau 11% dari jumlah nelayan di Jawa Timur. Kegiatan usaha on-farm perikanan selain perikanan tangkap adalah perikanan budidaya yang meliputi tambak, laut, kolam, karamba, jaring apung, sawah tambak dan minapadi. Kegiatan budidaya perikanan ditandai dengan penebaran benih ikan yang dibudidayakan. Berdasarkan jenisnya, benih ikan berasal dari air tawar dan air laut. Benih dari air tawar meliputi ikan tawes, ikan mas, ikan mujair, ikan nila, ikan gurami, ikan lele, ikan patin, ikan hias air tawar, katak, udang galah, dan lobster air tawar. Benih dari air payau yakni ikan kerapu, ikan kakap, ikan bandeng, udang windu, udang vaname, udang putih, gracilaria, dan rumput laut cottoni. Jumlah terbanyak adalah pembudidaya kolam, diikuti pembudidaya laut dan tambak. Jumlah pembudidaya terbanyak terdapat di Kabupaten Sumenep sebesar 80.567 (29%) diikuti Lamongan sebesar 46.395 (16,9%). Luas areal lahan yang paling besar digunakan untuk budidaya adalah budidaya laut dimana Kabupaten Sumenep menjadi kabupaten dengan luas lahan budidaya laut terluas di Jawa Timur yang mencapai 287.325 ha (99%). Jumlah produksi perikanan budidaya Jawa Timur pada tahun 2012 mencapai 929.173,87 ton dengan kontributor terbesar dari budidaya laut yang mencapai 563.087,4 ton (61%). Usaha pasca panen atau off-farm perikanan memanfaatkan output perikanan onfarm baik dari perikanan tangkap maupun budidaya. Usaha pengolahan ikan terbanyak adalah penggaraman, pengasapan dan pemindangan. Berbagai usaha pengolahan ikan tersebar hampir merata di seluruh wilayah Jawa Timur.
127
A.4 D.I YOGYAKARTA Potensi Perikanan Potensi sumber daya alamnya bervariasi, seperti pertanian, kehutanan, kelautan, dan perikanan. Luas lahan sawah irigasi teknis seluas 18.506 ha, dan non irigasi teknis 29.848 ha, sedangkan potensi dan pemanfaatan di bidang kelautan dan perikanan terdiri dari perairan umum seluas 3.113,5 ha dengan tingkat pemanfaatan 5,20 ha, tambak 650 ha dengan tingkat pemanfaatan 58 ha, sawah sebesar 240 ha belum dimanfaatkan; kolam 4.630,2 ha dengan tingkat pemanfaatan 915 ha, dan mina padi sebesar 10.265,6 ha dengan tingkat pemanfaatan 1.233 ha. Pada tahun 2007, produksi perikanan tangkap laut sebesar 2.629,0 ton (Bantul 245,1 ton; Gunung Kidul 1.957,4 ton; Kulon Progo 426,5 ton), sedangkan produksi perikanan budidaya sebesar 11.949 ton terdiri dari:
Tambak sebesar 300,5 ton (Gunung Kidul 26,2 ton; Bantul 243,8 ton; Kulon Progo 30,5 ton)
Kolam sebesar 11.410,4 ton (Gunung Kidul 305,3 ton; Bantul 976,7 ton; Kulon Progo 2.255,3 ton; Sleman 7.847,7 ton; dan Yogyakarta 25,4 ton)
Sawah 156,7 ton (Sleman 156,6 ton; dan Yogyakarta 0,1 ton)
Keramba 47,1 ton (Gunung Kidul 0,9 ton; bantul 21,6 ton; Kulon Progo 2,5 ton; Sleman 17,5 ton; dan Yogyakarta 4,6 ton)
Jaring Apung 146,9 ton (Gunung Kidul 0,5 ton; dan Kulon Progo 146,4 ton)
Air payau sebesar 300,5 ton (bandeng 2 ton; udang windu 2,9 ton; dan udang vanamae 295,6 ton).
Ikan Hias air tawar sebesar 30.777.765 ekor (Bantul 22.613.000 ton; Kulon Progo 285.537 ton; Sleman 7.818.000 ton; dan Yogyakarta 61.228 ton).
Rumah Tangga Nelayan & Pembudidaya Ikan Profil rumah tangga perikanan menunjukkan bahwa tidak seluruh kehidupannya bergantung pada sektor perikanan, hal ini dikarenakan bahwa ratarata persentase penghasilan rumah tangga dari usaha sektor perikanan terhadap total penghasilan rumah tangga per bulan di Provinsi Yogyakarta sebesar 69,85%. Dilihat dari sisi pendidikan tertinggi yang ditamatkan, maka pendidikan Sekolah
128
Dasar/Sederajat merupakan pendidikan yang paling banyak ditamatkan bagi anggota rumah tangga, yaitu tercatat sebesar 29,39%. Pada tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan untuk SMP/sederajat sebesar 16,36%. Kemudian untuk pendidikan SMA/sederajat dan Perguruan Tinggi, masing-masing sebesar 19,39% dan 3,94%. Persentase anggota rumah tangga yang berumur 10 tahun ke atas sebesar 81,43%, diantaranya yang berusaha di sektor perikanan selama setahun yang lalu adalah sebesar 44,66%.
Usaha Penangkapan Nelayan di Provinsi Yogyakarta lebih banyak yang berusaha secara berkelompok dibandingkan dengan perseorangan, masing-masing sebesar 56,86% dan 43,14%. Walaupun kebanyakan nelayan melakukan usaha penangkapan secara berkelompok, namun jenis perahu/kapal yang digunakan oleh nelayan adalah kapal motor tempel (39,22%) dan motor (17,65%). Alat tangkap utama yang digunakan paling banyak adalah jaring insang (80,00%) disusul jaring angkat (20,00%). Untuk lokasi pembongkaran hasil tangkapan adalah sepenuhnya di darat yaitu 100%. Dari hasil tangkapan tersebut, seluruhnya dijual di lokasi setempat (daerah asal) tidak keluar ke kabupaten/kota, dengan menggunakan alat pengangkut seluruhnya menggunakan tenaga manusia. Hasil tangkapan tersebut dijual paling banyak di TPI/PPI/PP (98,00%), restoran/rumah makan (2,00%). Pada umumnya hasil tangkapan tersebut dijual dalam keadaan segar yaitu sebesar 98,00%, dan dalam keadaan hidup sebesar 2,00%.
Usaha Pembudidayaan Ikan Dalam usaha pembudidayaan ikan, modal awal yang paling banyak digunakan adalah dari modal sendiri sebesar 82,50%, koperasi sebesar 5,00%, dan lainnya 12,50%. Usaha tersebut pada umumnya dilakukan secara perorangan sebesar 97,44% dengan jenis usaha pembenihan sebesar 53,85% dan pembesaran sebesar 43,59%, sedangkan yang dilakukan secara berkelompok sebesar 2,56% yang merupakan juga usaha pembenihan. Dari usaha pembenihan, wadah/tempat yang paling banyak digunakan adalah kolam sebesar 41,03%, disusul sawah
129
sebesar 15,38%. Sedangkan untuk usaha pembesaran, wadah/tempat yang paling banyak adalah kolam sebesar 33,33%, disusul sawah 10,26%. Dari status lahan yang dimiliki berkaitan dengan wadah/tempat yang digunakan, maka status kepemilikan milik sendiri/bebas sewa menempati urutan tertinggi yaitu sebesar 40,00% dengan wadah/tempat yang digunakan adalah kolam sebesar 30,00 persen, dan sawah 10,00%, status lahan lainnya adalah sewa, dan bagi hasil masing-masing 37,50%, dan 2,50%. Dalam keikutsertaan di kelembagaan koperasi, sebagian besar rumah tangga usaha pembudidayaan ikan telah menjadi anggota koperasi, hal ini tercatat sebesar 57,50%, penyebabnya terutama dikarenakan tidak adanya koperasi di desa mereka, lokasi koperasi yang sulit dijangkau, tidak berminat, ada koprasi tetapi tidak aktif. Hasil produksi ikan di Provinsi D.I Yogyakarta sebagian besar dijual kepada pedagang/pasar sebesar 52,50%, sedangkan sisanya dijual ke koperasi, pembudidaya masing-masing sebesar 12,50%, ke juragan/bakul sebesar 7,50%, dan konsumen/rumah tangga sebesar 2,50%. Dalam pemasaran hasil produksi, para pembudidaya ikan tidak mengalami kesulitan karena para pembeli kebanyakan mendatangi, tetapi mengalami kesulitan pemasaran apabila hasil produksinya melimpah atau kwalitas buruk. Sedangkan cara pembayaran hasil penjualan pada umumnya dilakukan secara kontan.
130
B. STATISTIK PERIKANAN B1. PRODUKSI PERIKANAN 1600000
Produksi (ton)
1400000 1200000 1000000
Sumut
800000
Yogyakarta
600000
Jatim
400000
Sulut
200000 0 2010
2011
2012Tahun2013
2014
SKP (unit)
B2. JUMLAH SERTIFIKAT KELAYAKAN PENGOLAHAN (SKP) 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
Sumut Yogyakarta Jatim Sulut
2010
2011
2012 2013 Tahun
2014
2015
B3. JUMLAH UPI YANG BERSERTIFIKAT SKP 120
Jumlah UPI
100 80 60
Sumut
40
Yogyakarta Jatim
20
Sulut
0 2010
2011
2012
2013 2014 Tahun
2015
131
B4. ANALISIS NILAI LOCATION QUETIONS (LQ) DAN SHIFT SHARE ANALYSIS (SSA)
Analisis LQ Penggunaan analisis metode LQ, kita dapat mengamati keunggulankeunggulan kompetitif suatu wilayah terhadap wilayah sekitarnya. Nilai LQ yang lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa sektor/sub sektor ini lebih unggul dibandingkan dengan sektor/sub sektor yang sama di wilayah lainnya. Sebaliknya, nilai LQ yang kurang dari 1 berarti bahwa sektor/sub sektor yang diamati tidak kompetitif. Analisis LQ provinsi Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Yogyakarta berdasarkan perkembangan PDRB provinsi dibandingkan PDRB nasional pada tahun 2010-2014. Perkembangan nilai LQ lokus 4 provinsi pada tahun 2010-2014 dapat dilihat pada Gambar 1.
Location Question (LQ)
4,00
3,66
3,50 3,00 2,50 2,00 1,50
1,21
1,06
Rata-rata 2010-2014
1,00 0,50
0,19
0,00 Jawa Timur
Sulawesi Sumatera Utara Utara Provinsi
Yogyakarta
Gambar 1 Nilai LQ Lokus Pilihan Berdasarkan nilai LQ produktivitas perikanan rata-rata pada tahun 20102014 menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Utara, sumatera Utara tergolong sektor perikanan basis (LQ>1), artinya provinsi tersebut memiliki potensi menjadi sector basis unggulan dalam peningkatan perekonomian wilayah, sedangkan provinsi Yogyakarta sektor perikanan tergolong non basis (LQ<1). Solusi yang ditawarkan dalam pengembangan sector perikanan agar menjadi basis local adalah dengan peningkatan inovasi pengembangan produk dan arah pembangunan perikanan sebaiknya diutamakan pada usaha peningkatan nilai
132
tambah perikanan dengan meningkatkan produktivitas usaha pengolahan ikan sehingga mampu menarik atau memanfaatkan output subsektor perikanan laut dan darat. Prioritas wilayah pengembangan perikanan hendaknya memperhatikan aspek keunggulan kompetitif dan spesialisasi perikanan suatu daerah dan unsur pemerataan pengembangan ekonomi di wilayah.
Analisis SSA Analisis keunggulan kompetitif wilayah dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pergeseran struktur ekonomi dari suatu sektor dibandingkan dengan cakupan wilayah yang lebih luas dalam dua titik waktu. Pergeseran struktur ekonomi tersebut dapat menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) dari suatu sektor ekonomi serta menjelaskan kinerja sektor tersebut. Hasil analisis SSA Provinsi Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Yogyakarta dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil Analisis menunjukkan bahwa struktur ekonomi ke-
Nilai SSA
empat provinsi tersebut mengalami perkembangan. 1,00 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00
0,82
0,87
0,79 0,64
Nilai SSA 2010-2014 Jawa Timur
Sulawesi Sumatera Utara Utara Provinsi
Yogyakarta
Gambar 3 Hasil analisis Shift Share
Direktorat Kelautan dan Perikanan Kedeputian Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS
Gedung TS2A Lantai 5 Jl. Taman Suropati No.2, Jakarta 10310 Telepon/Fax: 021-3107960; Email:
[email protected]