KAJIAN KINERJA INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
ROHINDRA MEISON
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kajian Kinerja Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Serta Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2010
Rohindra Meison NIM H151064294
Halaman ini sengaja dikosongkan
ABSTRACT ROHINDRA MEISON. Study on Performance of Textile and Textile Product Industry and Their Influencing Factors. Under direction of BAMBANG JUANDA and D.S. PRIYARSONO. Textile and textile product industry which is one of priority industries in national industry policy, has an important role in Indonesia economics. Nowadays textile and textile product industry faces many problems such as in financial, engine condition, energy, labour, and infrastructure sector. Using a system of simultaneous equations models, the study found that the performance of the national textile industry can be improved through, among other things: increasing the value of exports and the value of investment in the textile sector, increasing the value of consumption of textile products, maintaining the stability of the rupiah against the U.S. dollar, increasing the value of restructured machinery/textile equipment through the textile industry technology improvement program, increasing per capita incomes, lowering prices of textile products, the domestic energy prices and domestic prices of raw materials, renegotiating the tariff rates of import duty for textile products to not lowered. Implementation of decentralization policies in Indonesia, followed by improving the investment climate in the region is also the driving factor to accelerate the performance of the national textile industry. Based on factors effect to textile/textile product industry performance mentioned above, the government policy should support in complete comprehensive and integrate with national action plan, which also implemented in across textile/textile product industry areas. Strategy should cover every aspect such as: energy, human resources, market share, technology and product development, as well as infrastructure. The other important thing to formulate textile industry development strategy is a better business climate in the form of monetary/fiscal policy support, cooperation among other linkage sectors such as: private bank/financial services, transportation services, port and infrastructures, energy provider services, and trade services. keyword : industry, textile, simultaneous equation model, government policy
Halaman ini sengaja dikosongkan
RINGKASAN ROHINDRA MEISON. Kajian Kinerja Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Serta Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA dan D.S PRIYARSONO Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) merupakan salah satu industri prioritas di dalam Kebijakan Industri Nasional sesuai Peraturan Presiden No. 28 tahun 2008. Sebagai salah satu basis industri manufaktur, industri TPT mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional baik sebagai sektor penghasil devisa, kontribusi dalam Produk Domestik Bruto (PDB), penyerap tenaga kerja dalam jumlah yang signifikan maupun sebagai pemasok untuk memenuhi kebutuhan pasar tekstil nasional. Industri TPT dalam negeri saat ini mengalami beberapa permasalahan antara lain permasalahan di bidang energi, kondisi permesinan, ketenagakerjaan, infrastruktur pelabuhan hingga pengaruh negatif yang terkait dengan implementasi dari perdagangan global seperti Asean China Free Trade Agreement (ACFTA). Beberapa faktor di atas menyebabkan rendahnya daya saing industri TPT dalam negeri dan pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja industri TPT nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika perkembangan industri TPT nasional, membangun suatu model ekonometrika yang menggambarkan hubungan struktural antar variabel-variabel ekonomi yang relevan baik dari sisi permintaan maupun sisi penawaran yang berpengaruh terhadap kinerja industri TPT nasional, serta merumuskan rekomendasi kebijakan dalam rangka meningkatkan kinerja sektor industri TPT berdasarkan model ekonometrika yang dibangun. Industri TPT ternyata masih prospektif untuk dikembangkan di dalam negeri walaupun dengan kondisi yang semakin terpuruk. Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial dengan populasi penduduk lebih dari 230 juta jiwa. Menggunakan model sistem persamaan simultan yang diduga dengan metode two stage least square (2SLS), hasil penelitian menemukan bahwa kinerja industri TPT nasional dapat ditingkatkan melalui, antara lain : meningkatkan nilai ekspor dan nilai investasi di sektor industri tekstil, meningkatkan nilai konsumsi produk TPT, menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar, meningkatkan nilai mesin/peralatan tekstil yang direstrukturisasi melalui program peningkatan teknologi industri TPT, meningkatkan pendapatan perkapita, menurunkan harga produk tekstil, harga energi domestik dan harga bahan baku domestik serta merenegosiasi agar tingkat tarif bea masuk produk TPT impor tidak diturunkan. Selain itu implementasi kebijakan desentralisasi di Indonesia yang diikuti dengan perbaikan iklim investasi di daerah turut menjadi faktor pendorong untuk memacu kinerja industri TPT nasional. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja yang bekerja di industri TPT tidak secara signifikan mempengaruhi kinerja industri TPT, namun beberapa faktor dari sisi ketenagakerjaan yang diuji dalam model secara signifikan mempengaruhi kinerja industri TPT. Oleh karena itu maka variabel eksogen yang mempengaruhi tenaga kerja di industri TPT ini seperti tingkat upah, tetap layak untuk dipertimbangkan dalam menyusun kebijakan
strategi pengembangan industri TPT ke depan, apalagi ternyata industri ini merupakan industri yang padat karya terutama untuk subsektor industri hilir dari industri TPT yaitu industri pakaian jadi/garmen dan industri barang jadi tekstil. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja industri TPT dan dikaitkan dengan permasalahan yang dihadapi oleh industri TPT serta diselaraskan dengan road map pengembangan klaster industri TPT tahun 20102025 sesuai Peraturan Menteri Perindustrian RI No.109/M-IND/PER/10/2009, maka kebijakan pemerintah yang mendukung untuk mengembangkan industri TPT harus komprehensif dan terpadu dengan rencana aksi yang implementatif mulai dari subsektor industri TPT yang ada di hulu sampai dengan subsektor industri yang ada dihilirnya. Strategi pengembangan yang komprehensif dan terpadu tersebut meliputi beberapa bidang baik itu bidang energi, ketenagakerjaan, pemasaran, teknologi dan pengembangan produk, dan bidang infrastruktur. Hal yang tak kalah pentingnya dalam merumuskan strategi pengembangan industri TPT ke depan adalah perlu adanya perbaikan iklim usaha baik dalam bentuk dukungan kebijakan fiskal dan moneter serta mempererat linkage supporting industri yang meliputi industri kimia hilir, industri mesin dan spare part, industri kimia zat warna/pembantu, industri pendidikan dan penelitian tekstil dan produk tekstil, dan industri aksesoris. Selain itu perlu juga dibina kerjasama dengan supporting sektor antara lain : sektor perbankan/jasa keuangan, sektor jasa transportasi, pelabuhan dan infrastruktur, sektor jasa penyedia energi, dan sektor jasa perdagangan. Kata kunci : industri, tekstil, model persamaan simultan, kebijakan pemerintah
© Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
Halaman ini sengaja dikosongkan
KAJIAN KINERJA INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
ROHINDRA MEISON
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Halaman ini sengaja dikosongkan
Judul Tesis : Kajian Kinerja Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Serta Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Nama : Rohindra Meison NIM : H151064294
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. D.S. Priyarsono Anggota
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si
Tanggal Ujian : 17 Juli 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Sri Hartoyo
PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Kajian Kinerja Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Serta Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi-Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Seiring dengan selesainya tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS dan Bapak Dr. D.S Priyarsono selaku komisi pembimbing atas segala arahan dan bimbingan selama proses penulisan tesis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh keluarga atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya. Selanjutnya ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi IPB yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas selama penulis menempuh pendidikan. 2. Bapak Dr. Sri Hartoyo dan Ibu Dr. Lukytawati Anggraeni selaku dosen penguji, atas koreksi dan masukannya sehingga penulisan tesis ini mendapatkan penyempurnaan. 3. Seluruh dosen dan teman-teman IE-IPB angkatan 1 (penyelenggaraan khusus) yang telah berbagi ilmu dan kebersamaan selama penulis menempuh pendidikan. 4. Bapak/Ibu/Rekan di SBU Pemerintah dan Institusi Internasional, PT. SUCOFINDO (Persero) atas dorongan dan dukungan yang diberikan. 5. Semua pihak yang telah terlibat dan mendukung proses penelitian dan penyusunan tesis ini. Akhir kata, penulis berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi kepada pembaca dan semua pihak yang berkepentingan.
Bogor, Agustus 2010
Rohindra Meison
Halaman ini sengaja dikosongkan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kerinjing (Kabupaten Ogan Ilir), Sumatera Selatan pada tanggal 25 Mei 1974 sebagai anak ke empat dari delapan bersaudara dari pasangan Marbawi Syarbani (Alm) dan Holibah. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi Partanian - Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan meraih gelar Sarjana Pertanian pada bulan Pebruari 1997. Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Ekonomi. Tahun 1997-2001 penulis bekerja di dunia perbankan menempati posisi sebagai Account Officer di Bank Ratu dan Bank Yudha Bhakti. Penulis mengawali karirnya di perbankan melalui pendidikan Back Office Training Program di Bank POS Nusantara dan Officer Development Program (ODP) di Bank Ratu pada tahun 1997. Mulai bulan Agustus 2001 penulis menjadi pegawai di PT. SUCOFINDO (Persero), merupakan salah satu BUMN yang bergerak dibidang inspeksi, supervisi, pengkajian dan pengujian dan saat ini menempati posisi sebagai Project Manager di Bagian Kajian Perencanaan Pembangunan dan Sarana pada SBU Pemerintah dan Institusi Internasional.
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................................
xix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................
xxi
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................
xxiii
I.
PENDAHULUAN ......................................................................................... 1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1.2. Perumusan Masalah .............................................................................. 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................. 1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................ 1.5. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................... 1.6. Definisi Operasional .............................................................................
1 1 9 10 10 10 11
II.
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 2.1. Fungsi Produksi..................................................................................... 2.2. Fungsi Permintaan dan Penawaran ....................................................... 2.3. Penghitungan Output Nasional ............................................................. 2.3.1. Fungsi Konsumsi Rumah Tangga .............................................. 2.3.2. Fungsi Investasi.......................................................................... 2.3.3. Fungsi Pengeluaran Pemerintah ................................................. 2.3.4. Fungsi Ekspor Netto ................................................................... 2.4. Pemodelan Ekonometrika ..................................................................... 2.4.1. Merumuskan Masalah ................................................................ 2.4.2. Merumuskan Hipotesa ............................................................... 2.4.3. Menyusun Model ....................................................................... 2.4.4. Mengumpulkan Data .................................................................. 2.4.5. Menguji Model ........................................................................... 2.4.6. Menganalisis Hasil ..................................................................... 2.5. Sistem Persamaan Simultan .................................................................. 2.5.1. Identifikasi Sistem Persamaan Simultan .................................... 2.5.2. Metode Estimasi Sistem Persamaan Simultan ........................... 2.5.2.1. Metode Rekursif dan Metode OLS .............................. 2.5.2.2. Metode Indirect Least Square ...................................... 2.5.2.3. Metode Two Stage Least Square (2SLS) ..................... 2.6. Kebijakan Desentralisasi Ekonomi di Indonesia................................... 2.7. Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dan Perkembangannya di Indonesia ............................................................................................... 2.7.1. Struktur Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) ................... 2.7.2. Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Industri TPT ............ 2.8. Tinjauan Empiris ...................................................................................
13 13 15 20 20 22 23 25 26 26 26 28 29 29 30 30 31 32 32 33 34 36
III. KERANGKA PEMIKIRAN .......................................................................... 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian .............................................................
51 51
xvii
38 38 45 47
Halaman 3.2. Hipotesis Penelitian ...............................................................................
54
IV. METODE PENELITIAN ............................................................................... 4.1. Waktu, Jenis dan Sumber Data Penelitian ............................................. 4.2. Spesifikasi Model Penelitian ................................................................... 4.2.1. Persamaan PDB (Riil) Industri TPT............................................. 4.2.2. Persamaan Ekspor di Sektor Industri TPT................................... 4.2.3. Persamaan Tenaga Kerja Sektor Industri TPT ........................... 4.2.4. Persamaan Investasi Sektor Industri TPT................................... 4.2.5. Persamaan Konsumsi Rumah Tangga Untuk Produk TPT ........ 4.2.6. Persamaan Harga TPT ................................................................ 4.2.7. Persamaan Harga Bahan Baku Domestik TPT ........................... 4.2.8. Persamaan Impor TPT dari Negara-Negara ASEAN dan Cina... 4.3. Prosedur Analisis ...................................................................................
54 54 57 59 60 60 62 64 65 66 67 68
V.
73 73 77 80 83
PROFIL INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL ......................... 5.1. Gambaran Umum Industri Tekstil dan Produk Tekstil Nasional .......... 5.2. Perkembangan Tingkat Utilisasi Kapasitas Produksi Industri TPT ...... 5.3. Perkembangan Jumlah Unit Industri dan Nilai Investasi Industri TPT 5.4. Perkembangan Laju Pertumbuhan PDB Riil Industri TPT Indonesia .. 5.5. Perkembangan Nilai Ekspor, Nilai Impor dan Nilai Ekspor Bersih Industri Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia ...................................... 5.6. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Pada Industri TPT di Indonesia . 5.7. Perkembangan Nilai Impor TPT dari Negara-Negara ASEAN dan Cina 5.8. Road Map Industri TPT 2010 - 2025 ....................................................
85 87 90 94
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 6.1. Analisis Umum Model Dugaan ............................................................. 6.2. Dugaan Paramater Persamaan Struktural ............................................. 6.2.1. PDB (Riil) Industri TPT ............................................................... 6.2.2. Ekspor Industri TPT ..................................................................... 6.2.3. Tenaga Kerja Industri TPT ........................................................... 6.2.4. Investasi Industri TPT .................................................................. 6.2.5. Konsumsi Rumah Tangga Untuk Produk TPT ............................ 6.2.6. Harga TPT .................................................................................... 6.2.7. Harga Bahan Baku Domestik TPT ............................................... 6.2.8. Impor TPT dari Negara-Negara ASEAN dan Cina ..................... 6.3. Implikasi Kebijakan...............................................................................
97 97 100 100 101 103 104 106 108 109 110 111
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 7.1. Kesimpulan ............................................................................................ 7.2. Saran .....................................................................................................
117 117 119
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
121
LAMPIRAN ....................................................................................................
125
xviii
DAFTAR TABEL Halaman 1 Terminal Handling Charge di Beberapa Negara ASEAN ................................
3
2 Perkembangan Ekspor dan Impor Produk Tekstil Nasional ...........................
5
3 Perbandingan Beberapa Faktor Utama Hilangnya Daya Saing Produk Tekstil Nasional Terhadap Cina ....................................................................
6
4 Kinerja Ekspor Industri TPT Nasional dengan Negara-Negara ASEAN .........
7
5 Kinerja Ekspor Industri TPT Nasional dengan Cina ........................................
8
6 Jumlah Mesin Industri TPT Usia 20 Tahun ......................................................
45
7 Pelaksanaan Program Peremajaan Mesin TPT Tahun 2007-2009 ....................
47
8 Daftar Variabel dan Sumbernya ........................................................................
55
9 Hasil Identifikasi Model....................................................................................
69
10 Ruang Lingkup Industri TPT ............................................................................
73
11 Tingkat Utilitasi Kapasitas Produksi (%)..........................................................
77
12 Perkembangan Kapasitas Nasional, Volume Produksi dan Tingkat Utilisasi Pada Industri TPT Tahun 2005-2008 ................................................................
78
13 Perkembangan Jumlah Unit Industri TPT di Indonesia, 2002-2008 .................
80
14 Proporsi Ekspor Industri TPT Indonesia Tahun 2006 .....................................
86
15 Proporsi Impor Industri TPT Indonesia Tahun 2006 ........................................
87
16 Jenis Produk TPT Impor dari Cina dan Negara-Negara ASEAN .....................
91
17 Dinamika Nilai Impor TPT dari CINA dan Negara-Negara ASEAN...............
93
18 Proyeksi Total Target Kinerja Industri TPT .....................................................
94
19 Hasil Pendugaan Model ....................................................................................
99
20 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan PDB (Riil) Industri TPT ....................
101
21 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ekspor Industri TPT ..........................
102
22 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tenaga Kerja Industri TPT ................
104
23 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Investasi Industri TPT .......................
105
24 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Konsumsi TPT ...................................
107
25 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga TPT .........................................
108
26 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Bahan Baku TPT .....................
109
27 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Impor TPT dari Negara Negara ASEAN dan Cina .................................................................................
110
xix
Halaman ini sengaja dikosongkan
xx
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Struktur Perpres 28/2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional .......................
3
2 Bangun Industri Nasional ...................................................................................
4
3
Proyeksi dan Asumsi Nilai Penjualan Produk Tekstil di Pasar Domestik .............................................................................................................
9
4 Fungsi Produksi .................................................................................................
14
5 Pergeseran Kurva Permintaan Akibat Perubahan Pendapatan ..........................
17
6 Pergeseran Kurva Penawaran .............................................................................
19
7
Tahapan Langkah-Langkah dan Umpan Balik Dalam Penelitian Ekonomi Kuantitatif (Ekonometrika) ...............................................................................
27
8 Flowchart Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) .......................................
42
9 Kerangka Pemikiran dan Penelitian ...................................................................
54
10 Kerangka Formulasi Model Ekonometrika .......................................................
58
11 Perkembangan Utilisasi Kapasitas Produksi Industri TPT Tahun 2005-2008 ........................................................................................................
79
12 Sebaran Industri TPT di Indonesia....................................................................
81
13 Perkembangan Investasi Industri TPT di Indonesia 2001-2006 .......................
81
14 Perkembangan Realisasi PMDN Sektor Industri TPT Tahun 2005-2008 .........................................................................................................
82
15 Perkembangan Realisasi PMA Sektor Industri TPT Tahun 2005-2008 .........................................................................................................
83
16 Perkembangan Laju Pertumbuhan PDB Riil Industri Tekstil di Indonesia .......................................................................................................
83
17 Perkembangan Nilai Ekspor, Impor dan Ekspor Netto Industri TPT....................................................................................................................
86
18 Share Penyerapan Tenaga Kerja Industri TPT Terhadap Sektor Industri Manufaktur Tahun 2008 ......................................................................
88
19 Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja di Industri TPT ...........................................
89
20 Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja di Beberapa Sub Sektor Industri TPT ..................................................................................................................
90
21 Grafik Dinamika Nilai Impor TPT dari ASEAN dan Cina Selama Periode Tahun 1990-2008 .................................................................................
92
xxi
Halaman ini sengaja dikosongkan
xxii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil Pengolahan Data dengan Menggunakan Model Persamaan Simultan ....
127
2 Perhitungan Nilai Statistik Durbin-h Untuk Persamaan Struktural Yang Mengandung Peubah Endogen Bedakala : Persamaan Nilai Investasi Sektor Industri TPT dan Persamaan Konsumsi Produk TPT .......................................
131
3 Hasil Uji Autokorelasi Untuk Persamaan Konsumsi Produk TPT ...................
132
xxiii
Halaman ini sengaja dikosongkan
xxiv
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tidak dapat dipungkiri bahwa penggerak pertumbuhan ekonomi nasional dimotori oleh 2 (dua) sektor, yaitu sektor industri dan sektor pertanian. Kedua sektor strategis tersebut mampu menghasilkan devisa yang cukup besar. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2009 kedua sektor tersebut mempunyai kontribusi sebesar 43,1% (angka sementara) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), masing-masing 27,3% pangsa PDB industri dan PDB pertanian dengan pangsa 15,8%. Terjadinya pertumbuhan baik itu negatif ataupun positif terhadap kedua sektor tersebut maka akan mempengaruhi secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Kontribusi sektor industri bagi perekonomian nasional hingga saat ini masih relatif tinggi, namun dalam beberapa tahun terakhir kontribusinya cenderung mengalami penurunan. Berdasarkan data BPS tahun 2004, pertumbuhan industri mencapai 6,38 % dan angka ini menurun secara konsisten hingga tahun 2008 pertumbuhan sektor industri tercatat 3,66%. Terjadinya pertumbuhan negatif di sektor industri nasional di atas, diketahui diakibatkan oleh beberapa faktor utama baik dari luar maupun dalam negeri. Faktor-faktor luar tersebut yang teridentifikasi selama tahun 2005 sampai dengan tahun 2007, yaitu: (1) tingginya fluktuasi harga minyak dan energi; (2) dampak pemanasan global; (3) melemahnya kurs dollar AS; (4) tingginya investasi di bidang lingkungan dan produk–produk baru kesehatan; (5) kecenderungan memendeknya masa perlindungan terhadap HaKI; (6) meningkatnya jumlah masyarakat kelas menengah baru di dunia, dan (7) menyempitnya perbedaan tingkat upah di negara maju dan negara (Kementerian Perindustrian, 2009) Menurut Soetrisno (2009a), secara umum industri nasional mengalami 4 (empat) permasalahan utama, yaitu a) Sektor Finansial Tingginya suku bunga komersil terhadap suku bunga bank sentral (BI) masih merupakan kendala serius bagi sektor riil termasuk industri manufaktur. Ada portofolio yang menetapkan rasio kredit konsumsi dan kredit produksi,
sehingga fungsi intermediasi bank dapat optimal dan dengan sendirinya sektor riil dapat melakukan modernisasi dan ekspansi kegiatan usaha yang akhirnya terciptanya lapangan kerja baru. b) Sektor Energi Dibanding negara-negara lain yang tidak memiliki sumber energi, harga listrik di Indonesia justru lebih mahal. Kondisi ini ditambah lagi dengan masalah kontinuitas supply energi ke konsumen sering terhambat/terganggu yang mengakibatkan biaya ekonomi tinggi bagi konsumen. Untuk menghindarkan krisis listrik yang berkelanjutan maka investasi listrik swasta harus mendapatkan pertimbangan serius. c) Ketenagakerjaan Pengelolaan ketenagakerjaan masih terpaku pada penetapan upah minimum, sedangkan aspek produktifitas belum mendapat perhatian serius dari instansi pembina. Sebagai akibatnya ILO (International Labour Organization) mencatat bahwa produktifitas tenaga kerja Indonesia masih berada di peringkat 59 dunia jauh di bawah produktifitas tenaga kerja negara-negara pesaing. Sebagai bahan perbandingan, Thailand berada di peringkat 27, Korea peringkat 29 dan Cina peringkat 31. Kondisi ketenagakerjaan seperti ini tentunya adanya pembinaan keterampilan dan produktifitas tenaga kerja sangat diperlukan dan ini merupakan domain pemerintah, dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. d) Sektor Kepelabuhanan Biaya pelabuhan di Indonesia masih merupakan kendala serius bagi daya saing hasil-hasil industri di pasar mancanegara. Sebagai contoh dapat dilihat biaya penanganan kontainer (THC – terminal handling charge) 20 feet yang berlaku di beberapa negara seperti terlihat pada Tabel 1. Biaya penanganan kontainer di Indonesia sebesar USD 95 per 20 feet dan bila dibandingkan dengan biaya penanganan kontainer di beberapa negara ASEAN lainnya, biaya ini merupakan biaya THC tertinggi kedua setelah Singapura. Biaya THC yang besar ini dirasakan cukup memberatkan bagi pengusaha di Indonesia.
2
Tabel 1 Terminal Handling Charge di Beberapa Negara ASEAN
No 1. 2. 3. 4. 5.
Negara
THC – 20” (dalam USD)
Indonesia Malaysia Singapura Thailand Vietnam
95 88 120 60 70
Sumber : Soetrisno, 2009a
Selain itu mekanisme transaksi yang lebih memberatkan, dimana transaksi di pelabuhan di Indonesia harus dilakukan menggunakan mata uang Dollar Amerika (USD), sementara di negara-negara pesaing transaksi pelabuhan dilakukan menggunakan mata uang setempat (local currency). Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) merupakan salah satu industri prioritas dalam Kebijakan Industri Nasional (Perpres No. 28 tahun 2008). Gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa industri manufaktur merupakan salah satu industri prioritas bersama 5 industri prioritas lainnya yaitu industri agro, alat angkut, elektronika dan telematika, industri kreatif dan industri IKM. Posisi industri TPT sendiri merupakan salah satu basis daripada industri manufaktur.
Sumber : Peraturan Presiden No 28 Tahun 2008
Gambar 1 Struktur Perpres 28/2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional
3
Industri TPT yang merupakan salah satu basis daripada industri manufaktur (Gambar 2) jika dilihat dari kontribusinya terhadap PDB nasional, pada tahun 2008 industri ini memberikan share sebesar 2,7% terhadap PDB dan angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2007 yang hanya sebesar 1,9%. Sementara itu dilihat dari jumlah penyerapan tenaga kerja, pada tahun 2008 sektor industri manufaktur mampu menyerap tenaga kerja sebesar 12,24% dari total jumlah pekerja 102.552.750 orang. Industri TPT sendiri yang merupakan bagian dari industri manufaktur mampu menyerap 10,06% dari total tenaga kerja yang diserap industri manufaktur atau sekitar 1,3 juta orang (Soetrisno, 2009c).
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2009a Gambar 2 Bangun Industri Nasional
Neraca perdagangan produk tekstil nasional menunjukkan dalam beberapa tahun terakhir memang terjadi surplus perdagangan tapi trend-nya mengalami penurunan. Tabel 2 memperlihatkan bahwa pada periode 2004-2008 surplus perdagangan industri tekstil nasional menurun rata-rata 2% per tahun dan penurunan ini tentunya akan berpengaruh terhadap kinerja sektor basis industri manufaktur yang pada akhirnya akan mempengaruhi kontribusi sektor industri TPT terhadap perekonomian nasional (Soetrisno, 2009c).
4
Tabel 2 Perkembangan Ekspor dan Impor Produk Tekstil Nasional
No.
Tahun
Ekspor (USD Ribu)
Impor (USD Ribu)
Balance (USD Ribu)
% Growth
1.
2004
7.647
1.721
5.926
-
2.
2005
8.603
1.606
6.997
3.
2006
9.446
1.714
7.732
4.
2007
10.004
4.312
5.692
5.
2008
10.399
5.241
5.158
Rata-Rata Pertumbuhan (2004 - 2008)
18% 11% -26% -9% -2%
Sumber : Soetrisno, 2009c
Pembentukan FTA (Free Trade Area) dalam bentuk bilateral, regional (di ASEAN), multilateral (sebagai bagian dari WTO), bagi industri TPT nasional merupakan suatu kenyataan yang harus dihadapi. Kata kunci di era FTA ini adalah efisiensi untuk peningkatan daya saing produk. Efesiensi untuk peningkatan daya saing produk ini tidak hanya dalam proses produksi di perusahaan saja, tetapi juga harus dilakukan pada fasilitas-fasilitas publik (khususnya infrastruktur pelabuhan), sehingga keduanya saling menunjang dalam pelaksanaannya. Berkaitan dengan pemberlakuan ASEAN-China FTA (ACFTA) dan antisipasi dampaknya terhadap pertumbuhan industri TPT, pemerintah perlu melakukan pembenahan dan pengoptimalisasian terhadap beberapa faktor utama hilangnya daya saing produk TPT nasional seperti terlihat pada Tabel 3. Ada 5 (lima) faktor yang menyebabkan hilangnya daya saing produk tekstil nasional bila dikomparasikan dengan industri TPT di Cina, yaitu : 1. Kondisi permesinan TPT 2. Suku bunga perbankan 3. Energi listrik terkait dengan masalah tarif dasar listrik dan supply energi 4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 5. Impor kimia tekstil
5
Tabel 3 Perbandingan Beberapa Faktor Utama Hilangnya Daya Saing Produk Tekstil Nasional Terhadap Cina No.
Aspek
Indonesia
1.
Kondisi Permesinan TPT
2.
Suku Bunga Perbankan
3.
Energi Listrik
b. Supply
6%
0,80 per kWh
0,90 per kWh
Tidak kontinyu, sehingga ada penambahan biaya (tidak ekonomis untuk perusahaan)
Stabil
10% dan tidak ada kepastian waktu pengembalian Produsen harus menggunakan faktur PPN lengkap
17% dengan waktu 25 hari
Bea Masuk sebesar 15%
Mandiri
PPN a. Restitusi b. Penjualan Ritel
5.
Berusia <10 tahun dan telah melakukan peremajaan permesinan TPT sejak tahun 2002
14%
a. Tarif Dasar Listrik
4.
Berusia >20 tahun dan baru 6% dilakukan program peremajaan permesinan dari pemerintah (Departemen Perindustrian) tahun 2007
Cina
Impor Kimia Tekstil
Sumber : Soetrisno, 2009
Lebih senang membeli produk dari importir karena tidak menggunakan faktur lengkap
a
Berdasarkan Tabel
4 dan Tabel 5, neraca perdagangan industri TPT
nasional dengan negara-negara ASEAN dan Cina menunjukkan pertumbuhan yang negatif, dimana pertumbuhan impor jauh lebih cepat dari pertumbuhan ekspornya. Untuk periode 2004 hingga 2010 (estimasi), dari neraca perdagangan dengan negara-negara ASEAN, rata-rata pertumbuhan impor sebesar 61,84% per tahun, dan angka ini jauh melebihi pertumbuhan ekspornya yang hanya sebesar 3,87% per tahun dan walaupun terjadi surplus pada neraca perdagangannya namun pertumbuhan rata-ratanya adalah minus 9,56% per tahun, padahal pada
6
periode tersebut terjadi peningkatan setiap tahunnya dalam total perdagangan di negara-negara ASEAN sebesar 13,12%. Tabel 4 Kinerja Ekspor Industri TPT Nasional dengan Negara-Negara ASEAN (dalam Ribu USD) No.
Tahun
1.
2004
595.244
168.697
426.547
763.941
2.
2005
674.549
180.203
494.346
854.752
3.
2006
661.990
219.359
442.631
881.349
4.
2007
706.858
158.984
547.874
865.842
5.
2008
690.057
493.284
196.773
1.183.341
6.
2009est
782.805
574.608
208.197
1.357.413
7.
2010est
813.978
851.006
(37.028)
1.664.984
3.87%
61.84%
-9,56%
13.12%
13,44%
16,49%
5,81%
14,71%
Rata2 Pertumbuhan %Growth (2009/2008) Sumber : Soetrisno, 2009a
Ekspor
Impor
Balance
Total Trade
Sementara itu neraca perdagangan industri tekstil nasional dengan Cina, kinerjanya jauh lebih buruk. Periode tahun 2004 s/d 2010 (estimasi), setiap tahunnya terjadi defisit perdagangan dengan nilai yang semakin besar dari tahun ke tahunnya. Rata-rata pertumbuhan neraca perdagangan produk TPT dengan Cina pada periode tersebut diestimasi minus 369,42% walaupun sebenarnya pada periode tersebut terjadi peningkatan rata-rata pertumbuhan nilai perdagangan dengan Cina sebesar 36,77 persen per tahun. Memburuknya kinerja perdagangan tekstil dengan Cina ini terjadi karena laju peningkatan impor per tahun produk TPT dari Cina sebesar 56,24% jauh melebihi laju peningkatan ekspor produk TPT Indonesia ke negara tersebut yang hanya sebesar 1,61% per tahun.
7
Tabel 5 Kinerja Ekspor Industri TPT Nasional dengan Cina (dalam Ribu USD) No.
Tahun
1.
2004
157.771
164.642
(6.871)
322.413
2.
2005
137.508
222.897
(85.389)
360.405
3.
2006
154.530
262.434
(107.904)
416.964
4.
2007
162.089
348.853
(186.764)
510.942
5.
2008
175.116
1.034.736
(859.620)
1.209.852
6.
2009est
248.608
1.144.568
(895.960)
1.393.176
7.
2010est
260.769
1.521.473
(1.260.704)
1.782.242
1.61%
56.24%
-369.42%
36.77%
41,97%
10,61%
-4,23%
15,15%
Rata2 Pertumbuhan %Growth (2009/2008) a Sumber : Soetrisno, 2009
Ekspor
Impor
Balance
Total Trade
Menurut prediksi yang dilakukan oleh Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dalam Soetrisno (2009a) seperti terlihat pada Gambar 3, bila ASEAN-China FTA diimplementasikan tanpa ada renegosiasi serta kebijakan industri dan perdagangan domestik yang pro pada produksi industri dalam negeri maka kinerja industri tekstil nasional ini akan semakin terpuruk. Kinerja penjualan produk TPT domestik akan semakin memburuk karena akan semakin bersaing dengan produkproduk TPT dari ASEAN dan Cina yang nantinya akan membanjiri pasar produk TPT di dalam negeri. Bila hal ini tidak diantisipasi dengan peningkatan daya saing industri TPT di dalam negeri tentunya akan mengganggu kinerja industri TPT dan sekaligus pada akhirnya akan mempengaruhi kontribusi sektor industri ini dalam perekonomian nasional. Seperti diuraikan sebelumnya bahwa ada lima aspek yang menyebabkan hilangnya daya saing produk TPT di dalam negeri yaitu kondisi permesinan, masalah energi, suku bunga kredit, perpajakan dan tarif impor kimia tekstil. Untuk itu kelima aspek ini seharusnya mendapat perhatian lebih dari pemerintah sebagai komitmen untuk mengembangkan industri ini di dalam negeri.
8
Sumber : Soetrisno, 2009a Gambar 3 Proyeksi dan Asumsi Nilai Penjualan Produk Tekstil di Pasar Domestik
1.2. Perumusan Masalah Mencermati dampak krisis keuangan global yang terjadi, hingga beberapa tahun ke depan tentunya akan memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan sektor industri. Hal ini sangat dimungkinkan akan masuknya produk industri seperti tekstil dari negara lain yang sedianya diekspor ke pasar Amerika Serikat atau Eropa, dialihkan ke pasar Indonesia baik secara legal maupun ilegal. Selain itu dengan dimulainya era perdagangan bebas ACFTA pada 1 Januari 2010 menyebabkan pasar dalam negeri juga akan dibanjiri oleh produk-produk tekstil dari Cina. Efek ke depan yang akan terjadi adalah terganggunya kinerja ekspor dan penjualan domestik akibat kedua hal tersebut di atas. Selanjutnya hal ini tentunya akan berdampak terjadinya perlambatan ekspansi, investasi dan pertumbuhan sektor industri TPT sehingga akan memperburuk kinerja industri TPT nasional. Sejauhmana perangkat kebijakan industri di dalam negeri mampu meningkatkan kinerja pertumbuhan industri TPT nasional, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui :
9
1. Bagaimanakah dinamika perkembangan industri TPT nasional sampai dengan saat ini ? 2. Variabel-variabel ekonomi apa saja yang relevan baik dari sisi permintaan maupun sisi penawaran yang berpengaruh terhadap kinerja industri kinerja industri TPT nasional ? 3. Kebijakan industri seperti apakah yang mampu meningkatkan kinerja industri TPT nasional ?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui dinamika perkembangan industri TPT nasional sampai dengan saat ini. 2. Membangun suatu model ekonometrika yang menggambarkan hubungan struktural antar variabel-variabel ekonomi yang relevan baik dari sisi permintaan maupun sisi penawaran yang berpengaruh terhadap kinerja industri TPT nasional. 3. Merumuskan rekomendasi kebijakan dalam rangka meningkatkan kinerja sektor industri TPT berdasarkan model ekonometrika yang dibangun.
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Pemerintah : sebagai masukan dalam menyusun kebijakan ekonomi yang terkait dengan pengembangan industri nasional. 2. Akademisi : bahan pembanding sekaligus menjadi stimulir dalam melakukan penelitian lanjutan yang terkait dengan topik penelitian ini.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menggambarkan dinamika perkembangan industri TPT nasional hingga saat ini. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sektor industri TPT nasional baik dari sisi permintaan maupun sisi penawaran. 10
3. Menganalisis perilaku variabel-variabel yang mempengaruhi kinerja sektor industri TPT nasional melalui model ekonometrika. 4. Menentukan
faktor-faktor
yang
signifikan
mempengaruhi
kinerja
pertumbuhan sektor industri TPT nasional. 5. Menyusun rekomendasi kebijakan dalam rangka peningkatan kinerja sektor
industri TPT nasional berdasarkan model ekonometrika yang dikembangkan.
1.6. Definisi Operasional a. Kinerja industri yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kinerja pertumbuhan output industri TPT dengan menggunakan beberapa indikator kinerja yang dilihat dari sisi produsen dan konsumen antara lain : PDB, ekspor, impor, upah tenaga kerja, harga dan beberapa variabel lainnya yang relevan (dalam Trilyun Rp dan US Dollar). b. Konsumsi untuk tekstil (KONSTPT) adalah total pengeluaran rumah tangga untuk kelompok TPT selama periode satu tahun (dalam Juta USD). c. Investasi TPT (INVTPT) adalah total realisasi investasi sektor TPT dari PMA/PMDN selama periode satu tahun (dalam Trilyun Rupiah). d. Ekspor TPT (EKSTPT) adalah total nilai ekspor bersih produk TPT nasional selama periode satu tahun (dalam Juta USD). e. Impor TPT dari negara ASEAN dan Cina (MACTPT) adalah total impor produk TPT selama periode satu tahun dari Cina dan negara-negara ASEAN yang meliputi 9 (sembilan) negara antara lain : Thailand, Singapura, Filipina, Malaysia, Myanmar, Kamboja, Brunei Darussalam, Laos dan Vietnam (dalam Juta USD). f. Tenaga kerja di sektor industri TPT (TKTPT) adalah total jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri TPT selama periode satu tahun (dalam Jiwa). g. Harga tekstil (PRTPT) adalah harga rata-rata produk TPT di dalam negeri selama periode satu tahun (dalam USD/Kg). h. Harga bahan baku domestik (PD) adalah harga rata-rata FOB beberapa produk bahan baku TPT di dalam negeri antara lain : kapas, MEG, dan PTA (dalam USD/kg).
11
i. Harga bahan baku dunia (PI) adalah harga rata-rata CIF beberapa produk bahan baku TPT antara lain : kapas, MEG, dan PTA. (dalam USD/kg). j. PDB per kapita (PDBKAP) adalah total PDB dibagi total populasi (dalam Juta Rupiah per tahun ). k. Tarif (TARIF) adalah rata-rata tarif bea masuk yang diberlakukan pemerintah untuk impor produk TPT (dalam persen). l. Nilai tukar (EXRATE) adalah rata-rata nilai tukar Rupiah terhadap USD selama periode satu tahun (dalam Rp/USD). m. Suku bunga (SBP) adalah rata-rata suku bunga kredit selama periode satu tahun (dalam %). n. Upah (UPTPT) adalah rata-rata tingkat upah minimum provinsi dari 8 provinsi sentra industri TPT (Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali) selama periode satu tahun (dalam Rp/tahun). o. Harga Energi Domestik (PE) adalah tarif dasar listrik dalam negeri di sektor industri selama periode satu tahun (dalam Rp/liter). p. Impor barang modal (IMPBM) adalah total impor barang modal selama periode satu tahun (dalam juta USD) q. Dummy Desentralisasi (DD) adalah nilai 0 menyatakan rezim sebelum era desentralisasi (< tahun 2001) dan nilai 1 yang menyatakan rezim pasca diberlakukannya kebijakan desentralisasi (≥ tahun 2001). r. Restrukturisasi
Mesin/Peralatan
TPT
(RMT)
adalah
nilai
investasi
mesin/peralatan industri TPT yang direstrukturisasi melalui program peningkatan teknologi industri TPT yang mulai diluncurkan pemerintah melalui Kementerian Perindustrian pada tahun 2007 (dalam Trilyun Rupiah).
12
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fungsi Produksi Pertanyaan yang mendasar dari adanya perbedaan pertumbuhan dimulai secara tradisional dari teori pertumbuhan model Solow atau dikenal dengan model Solow–Swan yang dikembangkan oleh Solow (Solow, 1956) dan T W. Swan (Swan, 1956). Model Solow menggunakan empat variabel, yaitu output (Y), modal (K), tenaga kerja (L) dan teknologi (A). Fungsi produksi secara matematis dinyatakan sebagai berikut:
Y = F ( K (t ), L(t ), A(t )) ..................................................................................(2.1) t adalah variabel waktu yang menentukan fungsi produksi melalui variabel input K,L dan A. Output akan berubah selama variabel input juga berubah dalam kurun waktu tertentu. Dari persamaan (2.1), peranan teknologi menjadi variabel yang berubah menurut waktu, tetapi model Solow menggabungkan teknologi ke dalam modal atau sebagai bentuk konstanta seperti di bawah ini: 1. Bila kemajuan teknologi masuk dalam modal dalam bentuk Y = F(A, K, L), disebut juga sebagai capital-augmentating. 2. Bila kemajuan teknologi adalah netral dalam bentuk Y = A F(K, L) disebut juga sebagai Hicks-Neutral. Dengan menganggap teknologi adalah konstanta, maka asumsi mendasar dari model Solow adalah fungsi produksi yaitu constant return to scale, dengan persamaan matematis sebagai berikut:
F (cK , cAL) = cF ( K , AL), c ≥ 0 ...........................................................(2.2) Asumsi ini didasarkan pada asumsi bahwa ekonomi sangatlah luas sehingga dengan menggandakan dua kali input modal dan tenaga kerja akan meningkatkan outputnya, walaupun pada kenyataannya model ini mengabaikan sumber daya alam dan tanah yang terbatas. Melalui asumsi ini model dapat disederhanakan menjadi:
⎛ K ⎞ 1 F⎜ ,1⎟ = F ( K , AL) ........................................................................(2.3) ⎝ AL ⎠ AL
dimana K/AL adalah model per unit tenaga kerja efektif dan F(K, AL)/AL (=Y/AL) adalah output per unit tenaga kerja efektif. Dengan membatasi k = K/AL, y = Y/AL dan f(k) = F(k,1) maka y = f(k). Contoh khusus dalam fungsi produksi adalah fungsi Cobb-Douglas, yang secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut:
F ( K , AL) = K α ( AL)1−α , 0<α <1 ........................................................... (2.4) Fungsi tersebut adalah constant return to scale dengan mengkalikan kedua input dengan bilangan c, sehingga:
F (cK , cAL) = (cK )α (cAL)1−α = cF ( K , AL) .............................................. (2.5) Melalui proses pembagian terhadap kedua input pada persamaan di atas, maka diperoleh: α
⎛ K ⎞ f (K ) = ⎜ ,1⎟ = k α ................................................................................ (2.6) ⎝ AL ⎠ Bila persamaan (2.6) diturunkan, akan diperoleh f ' = α k
α −1
nilai positif, dan turunan keduanya yaitu f '' = −(1 − α )α k
α −2
yang mempunyai mempunyai nilai
negatif. Sehingga fungsi k berbentuk constant return to scale, seperti terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Fungsi Produksi
Asumsi di atas berkaitan dengan fungsi produksi dan asumsi yang berkaitan dengan input: tenaga kerja, teknologi dan modal dalam perubahan waktu
14
dapat dijelaskan dengan mengasumsikan pertumbuhan tenaga kerja dan teknologi adalah konstan.
2.2. Fungsi Permintaan dan Penawaran Permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang ingin dan mampu atau dapat dibeli konsumen. Permintaan dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu permintaan langsung dan permintaan tidak langsung. Permintaan langsung adalah permintaan untuk barang yang dipakai atau dikonsumsi. Permintaan tidak langsung adalah permintaan barang yang digunakan sebagai input dalam proses produksi. Fungsi permintaan adalah hubungan antara permintaan dengan faktorfaktor yang mempengaruhinya. Permintaan seseorang atau suatu masyarakat akan suatu barang ditentukan oleh banyak faktor. Diantara faktor-faktor tersebut yang terpenting adalah: (a) Harga barang itu sendiri (b) Harga barang-barang lain yang bersifat substitutif terhadap barang tersebut (c) Pendapatan rumah-tangga atau pendapatan masyarakat (d) Selera seseorang atau masyarakat (e) Jumlah penduduk. Untuk analisis permintaan ini sangat sukar menganalisis pengaruh dari semua faktor-faktor tersebut terhadap permintaan suatu barang secara bersamasama sekaligus. Oleh karena itu, ahli ekonomi menyederhanakan analisis tersebut, dengan menganggap bahwa permintaan suatu barang terutama dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri, sedangkan faktor-faktor lainnya dianggap tidak berubah atau ceteris paribus. Jadi, sesuai dengan hukum permintaan, yang dianalisis dalam permintaan suatu barang adalah hubungan antara jumlah barang yang diminta dan harga barang itu sendiri. Analisis permintaan ini dapat dilakukan dengan pendekatan grafis atau matematis. Pendekatan grafis akan menghasilkan kurva permintaan, sedangkan pendekatan matematis akan menghasilkan fungsi permintaan. Kurva permintaan adalah suatu kurva yang menggambarkan sifat hubungan antara harga suatu barang dan jumlah barang tersebut yang diminta oleh
15
para pembeli. Kurva permintaan dibuat berdasarkan data riil di masyarakat tentang jumlah permintaan suatu barang pada berbagai tingkat harga. Kurva permintaan suatu barang pada umumnya menurun dari kiri atas ke kanan bawah (ber-slope negatif), yang menunjukkan sifat hubungan terbalik antara harga suatu barang dan jumlah barang yang diminta. Perubahan jumlah barang yang diminta sebagai akibat pengaruh perubahan harga barang itu sendiri, ditandai oleh gerakan turun atau naik di sepanjang kurva. Fungsi
permintaan
(demand
function)
adalah
persamaan
yang
menunjukkan hubungan antara jumlah permintaan suatu barang dan semua faktorfaktor yang mempengaruhinya. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan seperti yang telah disebutkan diatas, maka dapat disusun fungsi permintaan umum, sebagai berikut:
Qd = f ( Pq , Ps , Y , S , D) ................................................................................. (2.7) Keterangan : Qd Pq Ps Y S D
= = = = = =
jumlah barang yang diminta harga barang itu sendiri harga barang-barang substitusi pendapatan selera jumlah penduduk
Jika kita hanya ingin menganalisis hubungan antara jumlah barang yang diminta dan harga barang itu sendiri, maka fungsi permintaan umum tersebut dapat ditulis menjadi Qd = f ( Pq Ps , Y , S , D) , di mana variabel di belakang garis tegak dianggap ceteris paribus. Fungsi permintaan spesifiknya dapat ditulis:
Qd = a − bPq , dimana a adalah konstanta dan b adalah koefisien yang menunjukkan besar perubahan jumlah barang yang diminta yang disebabkan oleh perubahan satu satuan harga barang tersebut. Perubahan permintaan suatu barang yang dipengaruhi oleh faktor-faktor selain harga barang itu sendiri, akan ditunjukkan oleh pergeseran kurva permintaan ke kiri atau ke kanan. Pergeseran ke kiri menunjukkan penurunan jumlah permintaan, sedangkan pergeseran ke kanan menunjukkan peningkatan jumlah permintaan. Sebagai contoh, jika pendapatan para pembeli meningkat sedangkan faktor-faktor lainnya tidak berubah, maka akan meningkatkan jumlah 16
barang yang diminta, yang ditandai oleh pergeseran kurva permintaan ke kanan. Sebaliknya, jika pendapatan masyarakat menurun sedangkan faktor-faktor lainnya tidak berubah, maka jumlah barang yang diminta akan menurun, yang ditandai pergeseran kurva permintaan ke kiri. Keadaan ini dapat digambarkan dalam diagram Gambar 5 berikut. Semula, pada saat harga barang sebesar P dan pendapatan sebesar Q, jumlah barang yang diminta sebesar q, dengan kurva permintaan adalah DD. Ketika pendapatan menurun menjadi Q2 sedangkan harga tetap sebesar P, maka permintaan barang turun menjadi q2, dan kurva permintaan bergeser ke kiri menjadi D2D2. Jika pendapatan naik menjadi Q1 sedangkan harga barang tetap sebesar P, maka jumlah barang yang diminta meningkat menjadi q1, dan kurva permintaan bergeser ke kanan menjadi D1D1.
Gambar 5 Pergeseran Kurva Permintaan Akibat Perubahan Pendapatan
Sementara itu, sejauh mana keinginan para penjual menawarkan barangnya pada berbagai tingkat harga ditentukan oleh beberapa faktor, di antaranya yaitu: 1) Harga barang itu sendiri 2) Harga barang-barang lain (barang-barang substitusi) 3) Biaya produksi 4) Tujuan-tujuan perusahaan 5) Tingkat teknologi yang digunakan. Seperti pada analisis permintaan, untuk menganalisis semua faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran secara bersama-sama sekaligus agak rumit, 17
bahkan tidak dapat dilakukan dengan analisis grafis (kurva). Oleh karena itu, harus dilakukan satu per satu, dengan menganggap faktor-faktor lain tidak berubah (ceteris paribus). Seperti yang dinyatakan dalam hukum penawaran, yang dianalisis hanya hubungan antara harga barang itu sendiri dengan jumlah barang itu yang ditawarkan, sedangkan faktor-faktor lain seperti harga barang-barang lain, biaya produksi, tujuan-tujuan perusahaan, dan teknologi yang digunakan dianggap tidak berubah. Kurva penawaran adalah kurva yang menunjukkan hubungan antara tingkat harga barang tertentu dan jumlah barang tersebut yang ditawarkan oleh penjual. Kurva ini dibuat atas dasar data riil mengenai hubungan tingkat harga barang dan jumlah penawaran barang. Kurva penawaran pada umumnya naik dari kiri bawah ke kanan atas (ber-slope positif), artinya jika harga barang naik penawaran barang tersebut akan naik dan sebaliknya jika harga barang turun maka penawaran barang tersebut akan turun. Jadi, pengaruh harga barang itu sendiri terhadap penawaran barang, ditunjukkan oleh gerakan di sepanjang kurva penawaran. Fungsi penawaran adalah persamaan yang menunjukkan hubungan antara jumlah barang yang ditawarkan oleh penjual dan semua faktor yang mempengaruhinya. Fungsi penawaran secara umum ditulis sebagai:
Qs = f ( Pq , Pl , C , O, T ) ......................................................................... (2.8) Keterangan : Qs Pq Pl C O T
= = = = = =
jumlah barang yang ditawarkan harga barang itu sendiri harga barang-barang lain Biaya produksi tujuan-tujuan perusahaan tingkat teknologi yang digunakan
Fungsi ini dapat untuk menganalisis pengaruh semua faktor tersebut secara bersama-sama sekaligus, tentu dengan perhitungan yang lebih rumit. Untuk memudahkan perhitungan, umumnya dilakukan analisis secara parsial, yaitu analisis satu demi satu dengan menganggap faktor-faktor lain ceteris paribus. Fungsi penawaran parsial, ditulis sebagai berikut:
18
Qs = f ( Pq Pl , C , O, T ) , di mana faktor-faktor yang dibelakang garis tegak adalah ceteris paribus. Dari persamaan umum ini dapat dibuat fungsi penawaran spesifik, yaitu Qs = a + bPq , di mana a = konstanta dan b = koefisien perubahan. Apabila pengaruh harga barang itu sendiri (Pq) terhadap jumlah barang yang ditawarkan (Qs) ditunjukkan oleh gerakan naik-turun di sepanjang kurva penawaran, maka untuk pengaruh harga barang-barang lain (Pl), biaya produksi (C), tujuan-tujuan perusahaan (O), dan teknologi (T) ditunjukkan oleh pergeseran kurva penawaran ke kiri atau ke kanan. Sebagai contoh, pengaruh kemajuan teknologi terhadap penawaran suatu barang ditunjukkan oleh pergeseran kurva penawaran ke kanan, sedangkan pengaruh kenaikan biaya produksi ditunjukkan oleh pergeseran kurva penawaran ke kiri (perhatikan Gambar 6).
Gambar 6 Pergeseran Kurva Penawaran
Dari Gambar 6 dapat dijelaskan sebagai berikut. Misalkan pada awalnya kurva penawaran barang dari suatu perusahaan dengan menggunakan teknologi tertentu dan biaya produksi tertentu adalah SS. Kurva ini mununjukkan bahwa pada tingkat harga P, jumlah barang yang ditawarkan adalah Q. Bagaimana jika kemudian teknologi yang digunakan lebih canggih? Apabila teknologi yang digunakan lebih canggih maka kurva penawaran akan bergeser ke kanan, katakanlah menjadi S2S2. Kurva ini menunjukkan bahwa dengan harga tetap pada P, jumlah barang yang ditawarkan meningkat menjadi Q2. Ini berarti bahwa
19
kemajuan teknologi dapat meningkatkan penawaran barang di pasar, dalam hal ini dari Q menjadi Q2. Sekarang, bagaimana jika pada suatu waktu terjadi kenaikan biaya produksi karena harga input naik? Apabila biaya produksi naik maka kurva penawaran akan bergeser ke kiri, katakanlah menjadi S1S1. Kurva ini menunjukkan bahwa dengan harga tetap pada P, jumlah barang yang ditawarkan menurun menjadi Q1. Ini berarti bahwa kenaikan biaya produksi menyebabkan penurunan penawaran barang di pasar, dalam hal ini dari Q menjadi Q1. Dengan cara yang sama, pengaruh tujuan-tujuan perusahaan dan harga barang-barang lain terhadap penawaran suatu barang, dapat ditunjukkan oleh pergeseran kurva penawaran seperti pada Gambar 6.
2.3. Penghitungan Output Nasional Dalam ilmu makroekonomi, ukuran perekonomian yang paling lazim digunakan adalah Produk Domestik Bruto (PDB). PDB adalah nilai seluruh barang dan jasa yang diproduksi di suatu negara dalam suatu periode waktu tertentu (Dornbusch et al, 2004). Penghitungan pendapatan nasional dari sisi pengeluaran merupakan penjumlahan dari empat komponen yaitu pengeluaran konsumsi rumah tangga (C), pengeluaran investasi oleh bisnis dan rumah tangga (I), belanja pemerintah untuk barang dan jasa (G) dan permintaan asing untuk eskpor netto (X-M). Identitas fundamental untuk penghitungan pendapatan nasional adalah :
Y = PDB = C + I + G + (X-M) .......………………………………. … (2.9) dimana: Y = PDB C I G X-M
: nilai ouput agregat (pendapatan nasional) : pengeluaran konsumsi rumah tangga : pengeluaran investasi oleh bisnis dan rumah tangga : pengeluaran pemerintah : ekspor netto
2.3.1. Fungsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi merupakan komponen terbesar dalam pendapatan nasional. Lebih kurang dua per tiga dari pendapatan nasional merupakan besaran nilai konsumsi (Dornbusch et al, 2004). Besarnya kontribusi nilai konsumsi terhadap
20
pendapatan nasional, maka mengetahui perilaku konsumsi menjadi sangat relevan untuk dipelajari. Dalam penelitian ini perilaku konsumsi rumah tangga dan perusahaan untuk produk TPT dibahas cukup eksplisit, dimana fungsi konsumsi terhadap produk TPT merupakan salah satu persamaan struktural yang dibangun dalam model persamaan simultan dan fungsi konsumsi ini merefleksikan salah satu faktor yang diduga mempengaruhi kinerja industri TPT dari sisi permintaan. Tingkat konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh daya beli yang dimiliki oleh rumah tangga, yaitu jumlah pendapatan yang siap untuk dibelanjakan (disposible income).
Disposible income adalah pendapatan kotor dikurangi
dengan pajak pendapatan. Yd = Y – Tax ………………………………………………………. (2.10) dimana: Yd : disposible income Y : pendapatan kotor Tax : pajak pendapatan Dalam menggunakan pendapatan ini rumah tangga memiliki pilihan yaitu antara konsumsi dan menabung. Penentuan pilihan antara konsumsi dan menabung dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : tingkat suku bunga, nilai asset, ketidakpastian dan lain-lain. Dornbusch et al (2004) menjelaskan bahwa banyak teori tentang konsumsi agregat yang dikembangkan antara lain life cycle theory, permanent income theory, dan pendekatan konsumsi dalam ketidakpastian (consumption under certainty : modern approach). Keputusan masyarakat dalam menentukan tingkat konsumsi disamping dipengaruhi oleh pendapatan juga dipengaruhi oleh nilai MPC (marginal propensity to consume) yang mengukur perubahan tingkat konsumsi dibandingkan dengan perubahan pendapatan. Nilai MPC dipengaruhi oleh opportunity dari konsumsi yaitu tingkat bunga yang diperoleh jika uang tersebut ditabung. Tingkat bunga (interest rate) dengan demikian akan menentukan besarnya tingkat konsumsi masyarakat. Semakin tinggi tingkat bunga, MPC akan semakin kecil karena meningkat MPS (marginal propensity to save) sehingga tingkat konsumsi masyarakat akan semakin kecil. Perlu diketahui bahwa nilai MPS jika dijumlahkan dengan nilai MPC akan menghasilkan nilai sama dengan satu.
21
Dornbusch (1998) dalam Sumedi (2005) menjelaskan bahwa perdebatan mengenai perilaku konsumsi berkisar pada besaran MPC.
Model Keynesian
memandang nilai MPC relatif besar, sementara teori modern yang berbasis pada rasional konsumen dalam mengambil keputusan mengindikasikan nilai MPC sangat kecil.
Nilai MPC berhubungan langsung dengan besaran multiplier
(1/(1-MPC)). Semakin besar nilai MPC maka multiplier effect dari suatu shock akan semakin besar. Perbedaan estimasi nilai MPC pada model Keynesian dan teori modern dikarenakan adanya perbedaan spektrum waktu. Nilai MPC yang berasal dari perkiraan pendapatan menjadi pendapatan tetap akan tinggi, sementara nilai MPC dari pendapatan transisi bernilai mendekati nol.
2.3.2. Fungsi Investasi Investasi merupakan pertambahan stock modal fisik dan secara lebih umum investasi adalah aktivitas yang meningkatkan kemampuan perekonomian untuk memproduksi output di masa depan. Investasi tidak hanya memasukkan investasi fisik saja tetapi juga memasukkan unsur investasi dalam mutu modal manusia (human capital). Mutu modal manusia adalah pengetahuan dan kemampuan untuk memproduksi yang menyatu di dalam angkatan kerja. Investasi di dalam pendidikan dapat dinyatakan sebagai investasi dalam mutu modal manusia, tetapi penghitungan resmi memperlakukan pengeluaran pendidikan personal sebagai konsumsi dan pengeluaran pendidikan publik dihitung sebagai pengeluaran pemerintah (Dornbusch et al, 2004). Dalam sistem ekonomi tertutup jumlah tabungan masyarakat merupakan jumlah modal yang dapat digunakan untuk melakukan investasi. Tingkat keseimbangan terjadi jika jumlah investasi sama dengan jumlah tabungan (I=S). Namun pada sistem ekonomi terbuka yang memungkinkan terjadinya transaksi antar negara dalam bentuk barang (ekspor/impor) maupun aliran modal antar negara, investasi bisa lebih besar dari akumulasi tabungan domestik. Hal ini dapat diturunkan dari persamaan pendapatan nasional, sebagai berikut : Y= C + I + G + NX …………...…………………………………….. (2.11) Y- C – G = I – NX ; dimana Y – C – G adalah simpanan nasional, sehingga :
22
S = I + NX
……………………………………………………… (2.12)
NX = S – I
……………………………………………………... (2.13)
dimana NX adalah ekspor bersih yang menunjukkan neraca perdagangan, dan S-I menunjukkan net foreign investment (NFI). NFI adalah selisih antara tabungan domestik dikurangi dengan investasi domestik. Jika NFI positif artinya jumlah tabungan domestik lebih besar dari investasi dan sebaliknya bila NFI negatif berari investasi domestik lebih besar dari tabungan domestik, dimana selisih investasi dibiayai dari pinjaman luar negeri. Investasi dipengaruhi oleh tingkat suku bunga karena tingkat bunga pasar merupakan opportunity cost seseorang melakukan investasi. Semakin tinggi tingkat bunga pasar maka opportunity kegiatan investasi semakin mahal dan sebaliknya. Dalam bentuk persamaan dapat dituliskan sebagai berikut : S = I (r) + NX (€) …………………………………………………… (2.14) dimana : S I NX r €
: tabungan : investasi : ekspor netto : tingkat bunga : nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing
2.3.3. Fungsi Pengeluaran Pemerintah Kebijakan pemerintah berpengaruh signifikan terhadap perekonomian suatu negara terutama dalam jangka pendek. Intervensi pemerintah pada umumnya dilakukan dalam rangka mencapai sasaran nasional seperti tingkat inflasi, tingkat pengangguran, pertumbuhan dan stabilitas ekonomi nasional. Kebijakan pemerintah juga mengindikasikan arah pembangunan ekonomi, melalui intervensi sektoral. Sektor-sektor ekonomi yang diprioritaskan akan memperoleh perhatian yang lebih besar, yang diindikasikan dengan alokasi anggaran terhadap sektor tersebut, sehingga kebijakan yang diambil mendorong sektor tersebut untuk lebih cepat berkembang. Instrumen kebijakan pemerintah dalam mempengaruhi perekonomian secara garis besar dapat dibedakan menjadi instrumen moneter dan fiskal. Instrumen moneter bekerja melalui pasar uang, yang sepenuhnya berada di bawah kendali bank sentral (Bank Indonesia). Perubahan pada pasar uang, melalui
23
mekanisme transmisi akan mempengaruhi kinerja sektor riil. Mekanisme transmisi sektor moneter ke sektor riil antara lain melalui investasi. Instrumen moneter yang digunakan untuk melakukan intervensi moneter meliputi penetapan tingkat bunga (SBI) dan pengendalian jumlah penawaran uang. Instrumen kebijakan fiskal yang dapat dilakukan pemerintah terdiri dari instrumen belanja pemerintah dan pajak. Kedua instrumen ini secara langsung berpengaruh pada sektor riil, yaitu mempengaruhi pengeluaran agregat yang berdampak pada permintaan agregat. Kebijakan belanja pemerintah berpengaruh postif terhadap permintaan agregat dan pendapatan nasional, sementara kebijakan pajak pemerintah berpengaruh negatif terhadap permintaan agregat dan pendapatan nasional. Besarnya pengaruh kedua kebijakan tersebut ditentukan oleh efek pengganda (multiplier effect), dimana besarannya tergantung pada besaran marginal propensity to consume. Pertanyaan lebih lanjut adalah pilihan kebijakan yang mana sebaiknya dipilih dalam melaksanakan kebijakan fiskal, apakah instrumen pajak atau pengeluaran pemerintah. Pogue (1978) dalam Sumedi (2005) menjelaskan bahwa tujuan pemerintah dalam menetapkan kebijakan fiskal adalah untuk meningkatkan pendapatan nasional, penyerapan tenaga kerja dan stabilisasi ekonomi, maka kebijakan pengeluaran pemerintah lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan pajak. Beberapa alasan yang mendasarinya adalah sebagai berikut : a. Besarnya respon pelaku ekonomi lebih besar pada perubahan pengeluaran pemerintah dibandingkan dengan pajak. Pengeluaran pemerintah langsung berdampak pada permintaan agregat melalui konsumsi dan investasi pemerintah sehingga berpengaruh langsung terhadap permintaan agregat dan multiplier-nya. Sementara perubahan kebijakan pajak bekerja secara tidak langsung, yaitu melalui pendapatan (untuk pajak pendapatan) dan investasi pada pajak industri. Nilai absolut multiplier perubahan pemerintah (1/(1-mpc)) lebih besar dibandingkan dengan perubahan pajak (-mpc/(1-mpc)). b. Time lag effect. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perubahan pengeluaran pemerintah berpengaruh langsung terhadap permintaan agregat, berbeda dengan perubahan pajak. Perubahan pajak pendapatan misalnya akan berpengaruh pada disposible income yang diterima oleh masyarakat dan bukan
24
pada konsumsi secara langsung. Perubahan disposible income lebih besar dampaknya pada tabungan dalam jangka pendek. Hal ini dikarenakan tingkat konsumsi masyarakat merupakan fungsi dari pendapatan tetap dan bukan pada pendapatan transisi sehingga perubahan pendapatan akibat perubahan pajak terlebih dahulu mempengaruhi tabungan, baru kemudian setelah ekspektasi masyarakat menyesuaikan menjadi perubahan penghasilan yang tetap, baru bekerja mempengaruhi konsumsi. Demikian pula perubahan terhadap pajak industri akan secara lebih lambat direspon oleh pelaku bisnis dalam bentuk investasi. Pengaruh perubahan pajak terhadap konsumsi dan investasi dengan demikian memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan perubahan pada pengeluaran pemerintah.
2.3.4. Fungsi Ekspor Netto Ekspor netto merupakan selisih antara ekspor dan impor.
Ekpor netto
menghitung pengeluaran domestik pada barang luar negeri dan pengeluaran luar negeri untuk barang domestik. Ketika orang asing membeli barang yang kita produksi, pengeluaran mereka dimasukkan ke dalam permintaan terhadap barang domestik. Begitupun sebaliknya, bagian pengeluaran kita untuk pembelian barang luar negeri harus dikurangi dari permintaan terhadap barang domestik, sehingga perbedaan antara ekspor dan impor disebut ekspor netto adalah komponen dari total permintaan barang domestik (Dornbusch et al, 2004). Melalui persamaan 2.14 di atas diketahui bahwa besaran ekspor netto (NX) dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing. Jika mata uang domestik nilai tukarnya rendah (terjadi depresiasi), maka barang domestik menjadi relatif lebih murah dibandingkan dengan barang asing sehingga ekspor meningkat dan impor menurun yang pada akhirnya ekpor netto akan meningkat, sebaliknya jika nilai tukar mata uang domestik tinggi (terjadi apresiasi), maka barang domestik menjadi lebih mahal dibandingkan dengan barang impor sehingga ekspor berkurang dan impor meningkat akibatnya ekspor netto akan turun.
25
2.4.
Pemodelan Ekonometrika Salah satu alat analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis kinerja
industri TPT serta faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah model ekonometrika. Model ekonometrika harus mempunyai kerangka analisis yang valid sehingga model ekonometrika tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu alat strategis untuk acuan bagi perumusan kebijakan. Secara umum model ekonometrika dapat diartikan sebagai gambaran hubungan antara variabel penjelas (explanatory variables) dengan peubah endogen (dependent variables). Secara lebih teoritis model ekonometrika dapat diartikan sebagai ilmu sosial yang menggunakan alat berupa teori ekonomi, matematika dan statistika inferensi yang digunakan untuk menganalisis kejadiankejadian ekonomi, demikian menurut Goldberger (1964) dalam Kementerian Perindustrian (2009). Metode ekonometrika merupakan serangkaian tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam kaitan untuk melakukan analisis terhadap kejadian-kejadian ekonomi. Menurut Koutsoyiannis (1977), tahapan langkah-langkah dan umpan balik dalam penelitian ekonomi kuantitatif dapat dilihat pada Gambar 7. Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas tahapan-tahapan tersebut. 2.4.1. Merumuskan Masalah Merumuskan masalah adalah hal yang sangat penting, karena merupakan “pintu pembuka” untuk menentukan tahapan-tahapan selanjutnya. Merumuskan suatu masalah berarti mengungkap hal-hal apa yang ada di balik gejala atau informasi yang ada, dan sekaligus mengidentifikasi penyebab-penyebab utamanya. Oleh karena itu, di dalam merumuskan masalah tidak dapat dilepaskan dari pemahaman teori-teori yang melandasi atau kontekstual dengan penelitian, mengungkap mengapa penelitian itu dilakukan, dan sekaligus mampu membuat rencana
untuk
menentukan
langkah
untuk
mendapatkan
jawaban
dari
permasalahan yang ada. 2.4.2. Merumuskan Hipotesa Hipotesa merupakan jawaban sementara terhadap masalah penelitian, sehingga perlu diuji lebih lanjut melalui pembuktian berdasarkan data-data yang
26
berkenaan dengan hubungan antara dua atau lebih variabel. Rumusan hipotesa yang baik seharusnya dapat menunjukkan adanya struktur yang sederhana tetapi jelas, sehingga memudahkan untuk mengetahui jenis variabel, sifat hubungan antar variabel, dan jenis data.
Perumusan hipotesa biasanya berupa kalimat
pernyataan yang merupakan jawaban sementara dari masalah yang akan diteliti.
Sumber: Koutsoyiannis, 1977. Gambar 7 Tahapan Langkah-langkah dan Umpan Balik Dalam Penelitian Ekonomi Kuantitatif (Ekonometrika) Keterangan : A = Input-input Masukan (disertai dugaan pemula dari peubah eksogen) B = Model Ekonometrika (sistem persamaan simultan, jumlah persamaan sesuai dengan jumlah peubah endogen yang terdapat dalam model) C = Solusi atau Jawaban (nilai ramalan di masa depan)
27
2.4.3. Menyusun Model Pada dasarnya setiap ilmu pengetahuan bertujuan untuk menganalisis kenyataan yang wujud di alam semesta dan di dalam kehidupan manusia. Namun, karena fakta-fakta mengenai kenyataan yang wujud dalam ilmu sosial (di mana ilmu ekonomi termasuk salah satu cabangnya) berjumlah sangat banyak dan saling terkait satu sama lainnya, maka menggambarkan kenyataan yang sebenarnya berlaku dalam perekonomian adalah merupakan hal yang tidak mudah. Agar dapat menjelaskan realitas yang kompleks seperti itu, maka perlu dilakukan abstraksi melalui penyusunan suatu model. Oleh karena itu model merupakan abstraksi dari realitas. Dalam ilmu ekonomi, model ekonomi didefinisikan sebagai konstruksi teoritis atau kerangka analisis ekonomi yang menggabungkan konsep, definisi, anggapan, persamaan, kesamaan (identitas) dan ketidaksamaan dari mana kesimpulan akan diturunkan. Sebagaimana namanya, dalam konteks ilmu ekonomi tentu yang digunakan utamanya adalah variabel-variabel ekonomi. Variabel-variabel tersebut umumnya dibedakan menjadi: 1.
Variabel endogen, yaitu variabel yang menjadi pusat perhatian si pembuat model, atau variabel yang ditentukan di dalam model dan ingin diamati variansinya.
2.
Variabel eksogen, yaitu variabel yang dianggap ditentukan di luar sistem (model) dan diharapkan mampu menjelaskan variasi variabel endogen.
3.
Variabel kelambanan, yaitu variabel dengan unsur lag, yang umumnya digunakan untuk data runtut waktu. Fungsi model dalam ekonometrika adalah sebagai tuntunan untuk
mempermudah menguji ketepatan model penduga. Salah satu bentuk model adalah berupa persamaan fungsi secara matematis.
Karena pada hakikatnya
sebuah fungsi adalah sebuah persamaan matematis yang menggambarkan hubungan sebab akibat antara sebuah variabel dengan satu atau lebih variabel lain. Ketepatan model itu sendiri mempunyai dua tujuan yaitu: Pertama, untuk mengetahui apakah model penduga tersebut merupakan model yang tepat sebagai estimator. Kedua, untuk mengetahui daya ramal atau goodness of fit dari model
28
penduga. Model persamaan ini disebut pula sebagai metode regresi yang diharapkan dapat menjawab hipotesis yang telah ditentukan. Model ekonometrika setidaknya terdiri dari dua golongan variabel, yaitu variabel terikat (dependen) yang berada pada sebelah kiri tanda persamaan, dan variabel bebas (independen) yang berada di sebelah kanan tanda persamaan. Jumlah variabel bebas tidak harus satu, tetapi dapat berjumlah lebih dari satu variabel. Untuk model dengan satu variabel bebas disebut dengan regresi tunggal (single regression), sedang untuk model yang mempunyai lebih dari satu variabel bebas disebut regresi berganda (multiple regression). 2.4.4. Mengumpulkan Data Pengumpulan data merupakan suatu langkah yang harus dilakukan oleh peneliti, agar dapat menjamin bahwa data yang dianalisis adalah benar-benar menggunakan data yang tepat. Hal ini penting untuk mendapatkan hasil analisis yang tidak bias. Para peneliti terdahulu telah mengingatkan agar jangan sampai dalam penelitian terjadi dengan apa yang disebut garbage in garbage out. 2.4.5. Menguji Model Untuk mengetahui sejauh mana tingkat kesahihan model terbaik yang dihasilkan, maka perlu dilakukan uji ketepatan fungsi regresi dalam menaksir nilai aktual yang dapat diukur dari goodness of fit-nya. Untuk melakukan uji goodness of fit pengukurannya dilakukan dengan menguji nilai statistik t, nilai statistik F, dan koefisien determinasinya (R2) pada hasil regresi yang telah memenuhi uji asumsi klasik. Uji nilai statistik t digunakan untuk mengetahui pengaruh secara individual variabel independen terhadap variabel dependen. Uji F untuk mengetahui secara bersama-sama semua variabel independen dalam mempengaruhi variabel dependen. Sedangkan koefisien determinasi untuk menentukan seberapa besar sumbangan variabel independen terhadap variabel dependen. Uji asumsi klasik juga perlu dilakukan terhadap model agar memperteguh validitas model, yang dapat dilakukan melalui pengujian normalitas, autokorelasi, multikolinearitas, juga heteroskedastisitas.
29
2.4.6. Menganalisis Hasil Analisis ekonometrika dimulai dari interpretasi terhadap data dan keterkaitan antar variabel yang dijelaskan di dalam model. Tidak hanya analisis regresi, analisis korelasi juga perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil pengukuran hingga benar-benar valid. Analisis regresi akan mendapatkan hasil pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen, sedangkan analisis korelasi berguna untuk mengetahui hubungan antar variabel tanpa membedakan apakah itu variabel dependen ataukah independen. Tanda positif atau negatif pada masing-masing koefisien perlu untuk dicermati, karena mempunyai keterkaitan langsung terhadap kesesuaian dengan teori yang dirumuskan dalam model. Pengabaian terhadap kedua tanda tersebut, dapat menjadikan hasil regresi tidak sesuai dengan teori yang melatarbelakangi. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah pengimplementasian dari hasil pengukuran. Sebaik apapun hasil penelitian, apabila tidak ditindaklanjuti dalam bentuk implementasi maka tidak akan berarti apa-apa. 2.5. Sistem Persamaan Simultan Sistem persamaan simultan adalah suatu sistem persamaan yang terdiri dari dua atau lebih persamaan, yang menggambarkan hubungan ketergantungan secara bersama antar peubah-peubah. Dalam konteks perekonomian, sistem persamaan simultan sering dijadikan acuan untuk membangunan model ekonometrika karena sifatnya yang fleksibel dan dibangun dalam kerangka teoritik. Artinya hubungan-hubungan yang dibangun dilandasi oleh suatu pemahaman yang komprehensif mengenai permasalahan perekonomian yang sedang dihadapi. Model persamaan simultan berbeda dengan model regresi linear yang hanya terdiri dari satu persamaan saja dengan hanya satu variabel tak bebas, misalnya Y dihubungkan dengan satu variabel bebas X atau lebih (X1 X2, … Xk), variabel-variabel bebas ini diasumsikan tidak berkorelasi dengan galat. Dengan model persamaan simultan, bisa diperhitungkan pengaruh variabel-variabel yang saling mempengaruhi, sedangkan dengan model satu persamaan kita hanya dapat membuat analisis yang memperhitungkan pengaruh satu arah saja, misalnya
30
pengaruh X terhadap Y, dalam kenyataannya Y juga dapat mempengaruhi X. Contohnya pendapatan (X) mempengaruhi konsumsi (Y), tetapi sebenarnya konsumsi (Y) juga dapat mempengaruhi pendapatan (X), karena peningkatan konsumsi akan meningkatkan produksi dan selanjutnya peningkatan produksi akan meningkatkan pendapatan sebagai balas jasa diterima oleh faktor produksi. Dalam sistem persamaan simultan, variabel dibedakan menjadi endogen dan eksogen. Variabel endogen ialah variabel tak bebas di dalam sistem persamaan simultan, yang nilainya ditentukan di dalam sistem persamaan, walaupun variabel-variabel tersebut mungkin juga muncul sebagai variabel bebas di dalam sistem persamaan. Sedangkan variabel eksogen ialah variabel yang nilainya ditentukan di luar model. Variabel eksogen meliputi "lagged endogeneous variables", sebab nilainya sudah diketahui sebelumnya. Variabel eksogen dan variabel endogen beda kala (lagged endogeneous variables), oleh karena nilainya sudah diketahui, sering disebut "predetermined variables", biasanya juga disebut "policy variables", misalnya tingkat bunga bank, tarif pajak, harga BBM, gaji pegawai negeri, investasi, nilainya ditentukan oleh pemerintah. Dampaknya kemudian dilihat melalui suatu model, di mana terlihat hubungan variabel ekonomi yang saling berkaitan satu sama lain. Dalam model persamaan simultan, variabel tak bebas yang sudah muncul dalam suatu persamaan bisa muncul lagi dalam persamaan lainnya sebagai variabel bebas. Variabel yang mempunyai dua fungsi, baik sebagai variabel tak bebas maupun variabel bebas, pada saat berfungsi sebagai variabel bebas dalam suatu persamaan akan berkorelasi dengan galat term, sehingga penggunaan metode kuadrat terkecil (OLS) tidak akan menghasilkan penaksir yang konsisten, artinya meskipun sampelnya diperbesar sampai tak terhingga nilai penaksir tidak akan sama dengan parameternya. 2.5.1. Identifikasi Sistem Persamaan Simultan Identifikasi atau "identification" ialah suatu keadaan tentang ada atau tidak adanya kemungkinan untuk memperoleh parameter struktural (koefisien-koefisien dari persamaan asli), suatu sistem persamaan simultan dari parameter bentuk sederhana (reduced form).
31
a.
Identifikasi Tepat (exactly identification). Suatu persamaan dalam suatu model disebut "just or exactly identified" apabila banyaknya variabel eksogen yang tidak tercakup dalam persamaan sama dengan banyaknya variabel endogen dalam persamaan dikurangi satu (minus 1). Bagi suatu persamaan yang exactly identified, nilai yang unik (unique value), bagi parameter struktural dapat dihitung dari parameter bentuk sederhana (nilai unik berarti nilai satu-satunya, tidak ada yang lain).
b.
Identifikasi Lebih (over identified). Suatu persamaan dalam suatu model disebut "overidentified" kalau banyaknya variabel
eksogen yang tidak
tercakup di dalam persamaan melebihi banyaknya variabel endogen dalam persamaan dikurangi satu. Di dalam hal suatu model over identified, akan ada lebih dari satu nilai (tidak unik), bagi parameter struktural dapat dihitung dari parameter bentuk sederhana. c.
Identifikasi Kurang (underidentified). Suatu persamaan dalam suatu model disebut "underidentified" atau "uni-dentified" kalau banyaknya variabel eksogen yang tidak tercakup di dalam persamaan lebih kecil daripada banyaknya variabel endogen dalam persamaan dikurangi satu. Di dalam model seperti ini tidak satu pun dari parameter struktural yang dapat dihitung dari parameter bentuk sederhana.
2.5.2. Metode Estimasi Sistem Persamaan Simultan 2.5.2.1. Metode Rekursif dan Metode OLS Dalam bahasan sebelumnya dijelaskan bahwa karena adanya saling ketergantungan
(interdependence)
antara
kesalahan
pengganggu
dengan
"endogeneous explanatory variables", metode kuadrat terkecil yang biasa (OLS) tidak tepat untuk dipergunakan di dalam pembuatan perkiraan suatu persamaan dari suatu sistem persamaan simultan yang merupakan suatu model. Apabila OLS dipergunakan secara keliru (erroneously), maka akibatnya hasil perkiraan selain bias (dalam sampel yang kecil), juga tidak konsisten (inconsistent), maksudnya bias tersebut tetap ada, tidak akan hilang betapapun besarnya sampel. Akan tetapi, ada suatu situasi di mana penggunaan OLS bisa tepat, 32
walaupun dalam hubungannya dengan persamaan yang simultan, yaitu dalam hal: "recursive, triangular, or causal models".
2.5.2.2. Metode Indirect Least Square (ILS) Untuk "a just exactly identified structural equation" metode untuk memperoleh perkiraan tentang koefisien struktural berdasarkan perkiraan OLS dari koefisien bentuk sederhana, dikenal dengan nama metode kuadrat terkecil tak langsung, untuk selanjutnya disingkat ILS (Indirect Least Squares) dan perkiraan yang diperoleh disebut perkiraan ILS. Jadi, ada perkiraan OLS dan ada perkiraan ILS. Metode ILS mengikuti tiga langkah sebagai berikut. 1. Pertama kita buat persamaan bentuk sederhana (reduced form) terlebih dahulu. Seperti telah diuraikan sebelumnya, persamaan-persamaan bentuk sederhana ini setelah dibuat, bentuknya sangat unik, yaitu bahwa variabel tak bebas pada setiap persamaan hanya merupakan variabel endogen (Y), sebagai fungsi dari predetermined variables, baik yang eksogen (X) maupun yang endogen beda kala ( Yt −1 , Yt − 2 , dan seterusnya), dan kesalahan pengganggu. 2. Kita pergunakan metode OLS untuk setiap persamaan secara individual. Hal ini diperbolehkan, sebab explanatory variable di dalam persamaan-persamaan bentuk sederhana ini sudah ditentukan nilainya (predetermined) dan tidak berkorelasi dengan kesalahan pengganggu. Perkiraan yang dihasilkan konsisten. 3. Kita peroleh perkiraan koefisien bentuk sederhana yang merupakan hasil dari (2). Kalau suatu persamaan just identified, ada persesuaian satu lawan satu (one to one correspondence) antara perkiraan bentuk sederhana dengan perkiraan
struktural, maksudnya satu perkiraan koefisien bentuk sederhana menghasilkan satu perkiraan koefisien struktural. Namun, metode ILS juga memiliki kelemahan, di antaranya: 1. Tidak memberikan standar error bagi parameter struktural yang dihitung berdasarkan parameter dari bentuk sederhana. 2. Tidak dapat menghitung perkiraan parameter struktural yang unik dan konsisten bagi suatu persamaan over identified dalam suatu model atau sistem persamaan.
33
2.5.2.3. Metode Two Stage Least Square (2SLS) Metode kuadrat terkecil dua tahap atau two stage least squares (2 SLS) ialah suatu metode untuk memperkirakan nilai parameter struktural yang konsisten bagi persamaan yang "just or exactly identified" atau "over identified" dari suatu model atau sistem persamaan yang simultan. Bagi persamaanpersamaan yang "just or exactly identified", hasil dari penerapan 2 SLS akan sama dengan ILS. Metode 2 SLS, penerapannya melalui penggunaan OLS secara dua tahap. Tahap pertama, setiap variabel endogen diregresikan terhadap semua "predetermined variables" dari suatu sistem sehingga kita peroleh persamaan bentuk sederhana (reduced form). Tahap kedua, nilai perkiraan (ramalan), katakan Y1 , dari variabel endogen dan bukan nilai hasil pencatatan, katakan Y, dipergunakan untuk memperkirakan persamaan struktural dari model. Nilai perkiraan atau ramalan dari variabel endogen diperoleh dengan memasukkan nilai observasi dari variabel eksogen ke dalam persamaan bentuk sederhana. Nilai perkiraan dari variabel endogen tidak berkorelasi dengan kesalahan pengganggu, sehingga 2 SLS menghasilkan perkiraan parameter struktural yang konsisten. Kebaikan 2 SLS apabila dibandingkan dengan ILS ialah 2 SLS dapat dipergunakan untuk memperoleh perkiraan yang konsisten, baik bagi persamaan yang just or exactly identified maupun yang over identified. Kebaikan dari 2 SLS lainnya ialah bahwa 2 SLS dapat memberikan standard error dari perkiraan parameter struktural secara langsung, sedangkan ILS tidak dapat. Oleh karena pada umumnya persamaan yang identified kenyataannya over identified, maka 2 SLS lebih berguna dibanding dengan ILS. Selain itu, 2 SLS sangat sederhana dan sering dipergunakan dalam praktik untuk memecahkan suatu model atau sistem persamaan simultan. Untuk menguji apakah model yang dirumuskan dalam penelitian ini mengalami korelasi serial atau tidak, digunakan Durbin Watson Statistic. Namun karena model yang dirumuskan dalam penelitian ini mengandung peubah endogen bedakala (lagged endogenous variables), maka pengujian korelasi serial dengan menggunakan Durbin Watson Statistic menjadi tidak valid. Selanjutnya untuk
34
menguji apakah model mengalami korelasi serial atau tidak, digunakan Durbin-h statistic (Pindyck dan Rubinfield, 1998). h = [ 1-0,5 DW][T/1-T (Var Bhat)]0,5
dimana : h
= Nilai statistik Durbin-h
T
= Jumlah pengamatan contoh
Var Bhat = Varians (kuadrat standard error) dari koefisien variabel lag endogen
DW
= Nilai statistik Durbin-Watson
Statistik uji Durbin-h tidak valid jika hasil kali T dengan Var Bhat lebih besar dari 1. Jika statistik lebih besar dari nilai kritis distribusi normal, maka model mengalami korelasi serial. Selanjutnya untuk menguji apakah peubahpeubah penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen pada masing-masing persamaan digunakan statistik uji F. Kemudian untuk menguji apakah masing-masing peubah penjelas secara individual berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen pada masingmasing persamaan digunakan statistik uji t. Untuk
mengetahui apakah
model cukup baik digunakan untuk
mensimulasi situasi periode krisis ekonomi dan pada pasca periode krisis ekonomi, maka terlebih dahulu dilakukan validasi model. Kriteria statistik yang digunakan untuk validasi nilai pendugaan model ekonometrika adalah Root Mean Square Percent Error (RMSPE), dan Theil’s Inequality Coefficient (Pyndiyck and Rubinfeld, 1991).
Nilai koefisien U-Theil’s berkisar antara 0 dan 1. Jika U = 0 maka pendugaan model adalah sempurna, jika U = 1 maka pendugaan model adalah naif. Pada hakekatnya semakin kecil nilai RMSPE dan U semakin baik pendugaan model. Pada dasarnya, kesalahan rataan kuadrat terkecil dapat juga dinyatakan dalam komponen lain yang memberikan informasi yang sangat penting yaitu mengenai Um, UR, UD. Ketentuannya adalah jumlah nilai ketiga komponen sama dengan satu. UM adalah proporsi bias yaitu sebagai indikator kesalahan sistematik,
35
karena komponen ini mengukur sampai seberapa jauh nilai rata-rata seri simulasi dan aktualnya menyimpang satu dari yang lainnya. UR adalah komponen regresi yang menunjukkan penyimpangan kemiringan (slope) regresi aktual dengan nilainilai pendugaannya. UD merupakan residual kesalahan-kesalahan yang tidak sistematik. Indikator lain yang dapat digunakan untuk validasi model adalah nilai koefisien determinasi (R2). Nilai R2 menunjukkan seberapa besar variasi peubah endogen dapat dijelaskan oleh model. Besarnya nilai R2 juga menunjukkan besarnya daya ramal model tersebut.
2.6. Kebijakan Desentralisasi Ekonomi di Indonesia Sejak tahun 2001 Indonesia secara formal telah menjalankan desentralisasi pemerintahan (ekonomi) dengan semangat tunggal memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengurus dirinya sendiri termasuk urusan ekonomi. Desentralisasi tersebut sebetulnya merupakan keniscayaan yang harus dijalankan di Indonesia mengingat luas wilayah dan kondisi geografis yang tidak memungkinkan dikelola secara sentralistik.
Lebih dari itu sentralisasi
pemerintahan (ekonomi) kerap kali tergelincir dalam kesalahan mengidentifikasi masalah dan jalan keluar di masing-masing daerah karena pemerintah pusat tidak memiliki informasi yang memadai tentang daerah tersebut. Tentu saja masih banyak argumentasi lain untuk menunjukkan kelemahan sentralisasi apabila tetap diterapkan, seperti ketimpangan ekonomi, isu pemisahan wilayah (separatisme), dan kelambanan menangani persoalan yang muncul. Tetapi, desentralisasi sendiri tidak lantas seperti ’agunan’ yang otomatis menggaransi keberhasilan karena didalamnya mensyaratkan banyak hal agar kesuksesan itu bisa diraih dalam sistem yang telah didesentralisasi (Yustika, 2008). Hal yang penting untuk dikembangkan oleh pemerintah daerah dalam proses desentralisasi ekonomi adalah tata kelola (governance) dan pengembangan kapasitas (capacity building) untuk menjamin implementasi setiap kebijakan publik yang diciptakan. Konsep tata kelola dan pengembangan kapasitas daerah tersebut secara lebih spesifik diarahkan untuk penguatan ekonomi daerah dengan sasaran empat unsur berikut :
36
a. Produktivitas (productivity), dimana rakyat harus mampu setiap waktu meningkatkan produktivitasnya dan berpartisipasi penuh dalam proses pembangunan, b. Pemerataan (equality), dimana rakyat harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pembangunan (tidak ada diskriminasi), c. Kesinambungan (sustainability), dimana pembangunan yang dikerjakan bukan cuma untuk memenuhi kebutuhan sekarang tatapi juga keperluan generasi yang akan datang, d. Pemberdayaan (empowerment), dimana pembangunan harus dilakukan oleh
rakyat dan bukan hanya untuk rakyat. Model ini menunjukkan bahwa rakyat bukan hanya target pembangunan, melainkan penggagas pembangunan pula. Keempat sasaran inilah yang harus dibidik oleh pemerintah daerah saat era desentralisasi sekarang. Potret buram pasca implementasi kebijakan desentralisasi di Indonesia diantara terbukanya potensi kegaduhan yang disebabkan oleh ketidakpastian daerah dan ketidaklengkapan desain regulasi untuk mengimplemntasikan proses desentralisasi. Kegaduhan
ini bisa dibaca dari dua fenomena yaitu 1)
desentralisasi KKN yang sebelumnya bersifat vertikal menjadi bersifat horizontal (menyebar) dengan setiap lini penyelenggara pemerintah mengambil bagian yang sama dan 2) duplikasi peraturan daerah yang justru berlawanan dengan spirit otonomi daerah. Contoh lain yang memprihatinkan adalah pemerintah daerah dengan segala jalan mencoba meningkatkan penerimaan daerah akibat orientasi kepada Pendapatan Asli Daerah (PAD)yang berlebihan. Masalahnya adalah peningkatan PAD tersebut dibarengi dengan kebijakan-kebijakan duplikatif sehingga sangat memberatkan masyarakat dan pelaku ekonomi pada khususnya. Terlepas dari permasalahan di atas, optimisme pilihan otonomi daerah sejatinya dipicu oleh harapan bahwa strategi tersebut akan membuat daerah lebih memiliki ruang untuk menciptakan kebijakan (ekonomi) yang lebih sesuai dengan situasi wilayah masing-masing. Tentu saja dengan otonomi daerah, anggaran daerah (APBD) menjadi pintu yang paling mungkin bagi setiap wilayah untuk mendinamisasi kegiatan pembangunan daerah melalui alokasi anggaran yang tepat.
37
Implementasi kebijakan desentralisasi di daerah seharusnya dengan segenap kewenangan yang dimilikinya, setiap daerah mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif. Namun kewenangan tersebut di beberapa daerah justru memicu terjadinya distorsi dalam perdagangan dan investasi. Kondisi yang akan terjadi sangat tergantung pada bagaimana daerah merespons kewenangan yang dimilikinya, yaitu apakah daerah akan lebih mementingkan sisi penerimaan dengan berusahan meningkatkan PAD melalui intensifikasi ataupun ekstensifikasi pajak dan retribusi daerah, ataukah lebih memilih untuk memprioritaskan pada bagaimana mengefektifkan sisi pengeluaran untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga bisa mendorong kegiatan investasi dan perdagangan di wilayahnya masing-masing (Yustika, 2008).
2.7. Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dan Perkembangannya di Indonesia 2.7.1. Struktur Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Untuk memahami konstelasi industri TPT di Indonesia, harus dipahami dulu konteks yang utuh mengenai industri itu sendiri. Pertama-tama yang harus dipahami dengan tepat mengenai industri serta segala macam hal yang terkait di dalamnya. Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, industri didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaanya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. Mengacu kepada definisi tersebut, usaha perakitan atau assembling dan juga reparasi adalah bagian dari industri. Hal demikian
dikarenakan hasil industri tidak hanya berupa barang, tetapi juga dalam bentuk jasa. Jika merujuk kepada Peraturan Presiden No 28 Tahun 2008 terutama pada pasal 4 (1), tentang Kebijakan Industri Nasional, di mana diketahui bahwa ada beberapa kategori industri, yaitu: a. industri prioritas tinggi, baik industri prioritas nasional maupun industri prioritas berdasarkan kompetensi inti industri daerah; b. industri pionir;
38
c. industri yang dibangun di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan atau daerah lain yang dianggap perlu; d. industri yang melakukan penelitian, pengembangan dan inovasi; e. industri yang melakukan pembangunan infrastruktur; f. industri yang melakukan alih teknologi; g. industri yang menjaga kelestarian lingkungan hidup; h. industri yang melakukan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, menengah, atau koperasi; i. industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri; atau j. industri yang menyerap banyak tenaga kerja. Dilihat dari pespektif tempat bahan baku, maka ada tiga jenis industri yaitu: (1). Industri ekstraktif, yakni industri yang bahan baku diambil langsung dari alam sekitar. Contohnya: pertanian, perkebunan, perhutanan, perikanan, peternakan, pertambangan, dan lain lain.(2). Industri nonekstraktif, yakni industri yang bahan baku didapat dari tempat lain selain alam sekitar. Sedangkan (3) adalah industri fasilitatif, yakni industri yang produk utamanya adalah berbentuk jasa yang dijual kepada para konsumennya. Contohnya: Asuransi, perbankan, transportasi, ekspedisi, dan lain sebagainya. Adapun jika dilihat dari besar kecil modal, maka industri bisa dikelompokkan menjadi dua yaitu: (1) industri padat modal, yakni yang dibangun dengan modal yang jumlahnya besar untuk kegiatan operasional maupun pembangunannya, seperti PLN, perusahaan yang bergerak dibidang IT, pusat penelitian, dan lain-lain, dan (2) industri padat karya, yakni industri yang lebih dititik beratkan pada sejumlah besar tenaga kerja atau pekerja dalam pembangunan serta pengoperasiannya, seperti kontraktor jalanan, usaha maintenance gedung-gedung, dan sebagainya.
Menurut jenisnya, industri digolongkan menjadi empat jenis yaitu: (1). Industri kimia dasar, seperti industri semen, obat-obatan, kertas, pupuk, dan sebagainya; (2) Industri mesin dan logam dasar seperti industri pesawat terbang, kendaraan bermotor, tekstil dan lain-lain, (3). Industri kecil; seperti industri roti,
39
kompor minyak, makanan ringan, es, minyak goreng curah, dan lain-lain, dan (4). Aneka industri seperti industri pakaian, industri TPT, dan lain-lain. Industri juga diklasifikasi berdasarkan produktifitas di mana terdiri dari: a. Industri primer, yakni industri yang barang-barang produksinya bukan hasil olahan langsung atau tanpa diolah terlebih dahulu. Contohnya adalah hasil produksi pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, dan sebagainya. b. Industri sekunder, yakni industri yang berbahan mentah kemudian diolah sehingga menghasilkan barang-barang untuk diolah kembali. Misalnya adalah pemintalan benang sutra, komponen elektronik, dan sebagainya. c. Industri tersier, yakni industri yang produk atau barangnya berupa layanan jasa. Sebagai contoh seperti telekomunikasi, transportasi, perawatan kesehatan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Jika dilihat dari jumlah tenaga kerja, setidaknya ada empat tipe industri yaitu: (1) Industri rumah tangga, yakni industri yang jumlah karyawan/tenaga kerja berjumlah antara 1-4 orang. (2) Industri kecil, yakni industri yang jumlah karyawan/tenaga kerja berjumlah antara 5-19 orang. (3) Industri sedang atau industri menengah yakni industri yang jumlah karyawan / tenaga kerja berjumlah antara 20-99 orang. (4) Industri besar, di mana industri ini memiliki jumlah karyawan/tenaga kerja berjumlah antara 100 orang atau lebih. Klasifikasi lain dari industri adalah berdasakan pemilihan lokasi, di mana untuk klasifikasi ini ada tiga jenis, yaitu : (1) Industri yang berorientasi atau menitikberatkan pada pasar (market oriented industry), yakni industri yang didirikan sesuai dengan lokasi
potensi target konsumen. Industri jenis ini akan mendekati kantongkantong di mana konsumen potensial berada. Semakin dekat ke pasar akan semakin menjadi lebih baik. Di Indonesia, industri seperti ini relatif besar. Sebab kreativitas membangun industri seperti ini muncul karena dua hal, ada kesempatan atau ada modal. Ada kesempatan berlaku jika di daerah tersebut pertumbuhan ekonominya semakin bagus. Sedangkan ada modal
40
dari pelaku yakni ketika satu moda industri mau melakukan ekspansi ke sebuah wilayah yang menurut analisis pelaku cukup berpeluang. (2) Industri yang berorientasi atau menitikberatkan pada tenaga kerja/ labor (man power oriented industry), adalah jenis industri yang berada pada lokasi di pusat pemukiman penduduk. Industri model seperti ini, biasanya merupakan jenis industri yang membutuhkan banyak pekerja/pegawai untuk lebih efektif dan efisien, sehingga dengan mendekat ke sumber tenaga kerja, mereka bisa berproduksi lebih efisien. (3) Industri yang berorientasi atau menitikberatkan pada bahan baku (supply oriented industry), yakni jenis industri yang yang mendekati lokasi di
mana bahan baku berada untuk memangkas atau memotong biaya transportasi yang besar. Industri yang termasuk kategori seperti ini adalah industri perkayuan di Kalimantan. Begitu juga dengan industri pada modal berbasis panas bumi, juga merupakan moda industri yang harus mendekati bahan baku. Lalu di mana posisi industri TPT ?. Jika melihat kategorisasi di atas, maka sebenarnya industri TPT masuk kepada hampir seluruh kategori industri yang disebutkan di atas. Hal ini terjadi karena sifat industri TPT masuk kepada jenis industri pengolahan non-migas yang memungkinkan jenis ini memiliki sifat-sifat industri seperti di atas. Industri TPT adalah industri dengan investasi pertenagakerjaan yang rendah, sedangkan Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia. Oleh karena itu kesempatan kerja harus tetap diunggulkan pada sektor TPT dan lebih dari hanya sebagai penghasil devisa. Industri TPT juga merupakan industri yang paling mudah memperkenalkan budaya industri kepada budaya tradisional masyarakat pedesaan (Djafri, 2003). Menurut Djafri (2003), secara teknis struktur industri TPT nasional terbagi menjadi 3 (tiga) sub sektor (Gambar 8), yaitu : a. Sektor hulu (upstream) Industri TPT hulu adalah industri pembuat serat (fibre) dan pemintal (spinning), seperti serat kapas, serat sintetik, serat selulosa, dan bahan baku serat sintetik. Umumnya, industri pada sektor hulu bersifat padat modal, full automatic,
41
berskala besar, jumlah tenaga kerja kecil/sedikit, dan output pertenaga kerja nya besar (Djafri, 2003). b.Sektor menengah (midstream) Sektor mengah meliputi industri yang bererak pada bidang pemintalan (spinning),
pertenunan
(weaving),
dan
pencelupan/penyempurnaan
(dyeing/finishing). Sifat dari industri sektor menengah adalah semi padat modal
dan teknologi yang dipakai telah berkembang dengan penyerapan tenaga kerjanya lebih besar dari sektor hulu (Djafri, 2003).
Sumber : Djafri, 2003
Gambar 8 Flowchart Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)
42
c. Sektor hilir (downstream) Industri pada sektor hilir adalah pakaian jadi (garment). Sektor ini paling banyak menyerap tenaga kerja sehingga sifat industrinya adalah industripadat karya. Pembeda sektor hilir (downstream) dan sektor hulu (upstream) maupun sektor menengah (midstream) adalah pada jumlah tenaga kerjanya yaitu sebagian besar tenaga kerja nya adalah wanita (Djafri, 2003). Setelah mengenali gambaran umum tentang industri TPT, berapa ruang lingkup industri TPT yang jika disederhanakan, paling tidak dapat dilihat dalam konteks : •
Serat buatan (man-made fibre)
•
Pembuatan benang/industri pemintalan (spinning)
•
Pembuatan tekstil lembaran/pertenunan dan perajutan (weaving dan knitting)
•
Penyempurnaan tekstil lembaran (finishing dan printing)
•
Pakaian jadi (clothing)
•
Produk lainnya (other) seperti karpet, draperies, bed-table, bath, linnen dan lainnya.
Industri Serat Buatan (Man-Made Fibre) •
Serat sinthetic/polyester, dengan mengolah bahan baku propilena, ethilena, dan p-xilene (dengan produknya EG dan PTA) yang dapat terputus/staple atau tidak terputus/filament.
•
Serat nylon/poliamyde, dengan mengolah bahan baku benzene (dengan produknya caprolactam) dan butadene.
•
Serat polyacrilic, dengan engolah bahan baku propilene.
•
Serat rayon/viscose/cellulosic. Bahan bakunya kayu (dissolving pulp) yang dapat terputus/staple atau tidak terputus/filament.
Serat Alam •
Serat nabati : kapas, rami, linen, alfalfa, hemp, eceng gondok, dan sebagainya. Umumnya tidak untuk pakaian jadi, melainkan untuk produk lainnya.
•
Serat hewani : sutra dan wol.
•
Seral lain : serat batu-batuan, tidak untuk pakaian jadi, melainkan untuk produk lainnya.
43
Pembuatan Benang/Pemintalan •
Long staple spinning khusus untuk serat wol
•
Short staple spinning untuk serat lainnya dapat dibuat dari satu jenis atau
tercampur (blended) •
Open end spinning/rotor spinning. Umumnya untuk benang kasar.
Pembuatan Kain •
Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) - Alat tenun gedod masih dipergunakan untuk membuat songket dan sejenisnya. Masih banyak dipakai di Sumatera dan Kalimantan. - Pedal ATBM), umumnya disebut ATBM, masih banyak terdapat di pedesaan. Terkenal dipakai di Troso Kudus, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
•
Automatic Loom
- Shuttle loom (memakai teropong) - Shuttleless looms (tanpa teropong) - Airjet - Water jet - Projectile/Rapier •
Rajut Datar (flat knitting)
•
Rajut Datar Tangan (hand flat knitting)
•
Rajut Bundar (circular knitting)
•
Non-Woven. Untuk lining, sanitary-textiles, geotextiles, dan sebagainya
Penyempurnaan •
Bleached/pemutihan
•
Finished, coloured atau tidak
•
Printed
•
Upgrading, mercerizing, sunforizing, dan sebagainya
Pakaian Jadi •
Men’s & Boys
•
Women’s and Girls
•
Infabt’s Wear and Outwear
•
Men’s or ladies underwear
44
2.7.2. Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Industri TPT Daya saing industri TPT nasional relatif belum cukup kuat mengingat tingkat produktivitas, efisiensi dan kualitas produk yang belum mencapai tingkat yang optimal. Hal ini antara lain disebabkan karena kondisi permesinan industri TPT nasional sebagian besar (80%) sudah berusia di atas 20 tahun. Sebagai gambaran atas kondisi tersebut, pada Tabel 6 menunjukkan jumlah mesin pada berbagai jenis industri TPT yang sudah berumur rata-rata di atas 20 tahun. Industri finishing, perajutan dan pertenunan mempunyai mesin/peralatan berumur 20 tahun rata-rata di atas 80%, sedangkan pada industri pakaian jadi dan industri pemintalan mempunyai mesin yang berusia lebih dari 20 tahun masing-masing sebesar 78 persen dan 64,4 persen.
Tabel 6 Jumlah Mesin Industri TPT Usia 20 Tahun No.
Jenis Industri
Satuan
Jumlah 7.803.241
Mesin Usia 20 Tahun Jumlah % 5.025.287 64,4
1.
Pemintalan
MP
2.
Pertenunan
ATM
248.957
204.393
82,1
3.
Perajutan
MR
41.312
34.743
84,1
4.
Finishing
Unit
349
325
93,2
5. Pakaian Jadi MSJ 290.838 226.854 78,0 Sumber : JETRO (2005) dalam Kementerian Perindustrian, 2010.
Dalam rangka mempertahankan daya saing industri maka mutlak bagi industri TPT untuk melakukan peremajaan/merestrukturisasi mesin/peralatan industri TPT yang sudah berusia lebih dari 20 tahun tersebut dengan mesin/peralatan yang mempunyai teknologi lebih modern. Pemerintah cq Kementerian Perindustrian RI telah melaksanakan kebijakan berupa program restrukturisasi mesin/peralatan indutri TPT sejak
April 2007. Program ini
bertujuan untuk membantu industri TPT melakukan peremajaan mesin/peralatan, dengan tujuan untuk meningkatkan teknologi, daya saing, efisiensi dan produktivitas industri TPT secara nasional.
45
Program restukturisasi mesin/peralatan industri TPT ini terdiri dari 2 (dua) skim. Skim I adalah pemberian dana segar dari pemerintah cq Kementerian Perindustrian kepada industri TPT yang telah terbukti melakukan pembelian mesin/peralatan berupa potongan harga pembelian mesin tersebut. Besarnya potongan harga pembelian mesin/peralatan adalah sebesar prosentase tertentu dari nilai pembelian atau sejumlah nilai maksimum yang ditentukan dan diberikan secara sekaligus dengan cara penggantian (reimbursement) setelah seluruh mesin/peralatan berada di lokasi pabrik dan seluruh bukti-bukti pembelian mesin/peralatan dimaksud sudah lengkap, benar dan sah. Skim II adalah pinjaman pembiayaan mesin/peralatan dengan suku bunga rendah melalui sistem modal padanan. Porsi pinjaman pembiayaan terdiri atas 70 persen bersumber dari Kementerian Perindustrian, 10 persen dari Lembaga Pengelola Program yaitu suatu lembaga keuangan non bank yang bergerak dalam bidang pembiayaan modal ventura yang bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian untuk menyalurkan dana program dan 20 persen sisanya bersumber dari pembiayaan sendiri (self financing) dari industri TPT. Pada tahun 2007 pagu anggaran yang disediakan sebesar Rp 255 milyar telah tersalurkan sebesar Rp 153,31 milyar kepada 92 industri TPT yang menstimulus terjadinya investasi mesin/peralatan yang dilakukan oleh dunia usaha TPT senilai Rp 1,55 triliun yang bersumber dananya 50,34% dari sektor perbankan. Sementara itu pada tahun 2008 dan 2009, pemerintah menyediakan pagu anggaran untuk program peremajaan ini masing-masing adalah Rp 330 milyar dan Rp 240 milyar yang disalurkan kepada 175 unit usaha di tahun 2008 dan 193 unit usaha pada tahun 2009 dan mampu menstimulus nilai investasi masing-masing sebesar Rp 1,79 triliun dan Rp 1,44 triliun untuk kedua tahun anggaran tersebut (Tabel 7). Berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian Perindustrian untuk pelaksanaan program ini selama tahun 2007 sampai dengan tahun 2009, program restrukturisasi mesin/peralatan TPT
ini telah memberikan dampak sebagai
berikut : - penciptaan kesempatan kerja sebesar 42.000 orang, - peningkatan kapasitas produksi sebesar 17-28 persen,
46
- peningkatan produktivitas sebesar 7-17 persen, dan - peningkatan efisiensi dalam penggunaan energi sebesar 6-18 persen.
Tabel 7 Pelaksanaan Program Peremajaan Mesin TPT Tahun 2007-2009 No.
Tahun
Peserta Unit Usaha
Pagu DIPA (Rp Milyar)
Nilai Bantuan (Rp Milyar)
Nilai Investasi (Rp Triliun)
1.
2007
92
255
153,31
1,55
2.
2008
175
330
181,70
1,79
3.
2009
193
240
170,75
1,44
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2010.
2.8.
Tinjauan Empiris Penelitian yang dilakukan oleh Suryawati (2009), tentang analisis struktur,
perilaku dan kinerja industri TPT di Provinsi DIY menyimpulkan bahwa pengeluaran untuk bahan baku secara signifikan berpengaruh terhadap kinerja industri TPT. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Perindustrian (2009), ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan industri khususnya pada industri makanan dan minuman yaitu harga bahan baku, harga energi, suku bunga, dan stabilitas dari harga produk itu sendiri. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Raswati di tahun 2008 menganalisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi impor industri TPT menunjukkan ada beberapa faktor yang berpengaruh secara signifikan pada taraf nyata 10 persen terhadap besarnya impor TPT antara lain harga impor TPT, nilai tukar, tarif impor dan dummy krisis ekonomi, sedangkan pendapatan per kapita tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variasi besaran volume impor TPT. Menurut Hermawan (2008) ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan industri TPT nasional selama periode tahun 1980-2006, yaitu : a. Produksi tekstil dan garmen domestik yang dipengaruhi oleh harga riil kapas dunia dan upah riil tenaga kerja industri TPT dengan respon elastis, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, b. Ekspor tekstil Indonesia yang dipengaruhi oleh produksi tekstil domestik dengan respon yang elastis dalam jangka panjang. Di sisi lain ekspor garmen 47
Indonesia dipengaruhi oleh rasio harga riil tekstil dunia dengan harga riil garmen domestik dengan respon elastis dalam jangka panjang, c. Impor tekstil Indonesia yang dipengaruhi oleh jumlah penduduk Indonesia dengan respon sangat elastis, baik jangka pendek maupun jangka panjang, sedangkan impor garmen Indonesia dipengaruhi oleh tarif impor garmen dan produksi garmen domestik dengan respon elastis dalam jangka panjang, d. Permintaan tekstil domestik dipengaruhi oleh harga riil garmen domestik dan upah riil tenaga kerja di sektor tekstil dengan respon elastis dalam jangka panjang. Sedangkan permintaan garmen domestik dipengaruhi oleh rasio harga riil garmen dunia dengan harga riil tekstil dunia dengan respon elastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, e. Harga riil tekstil domestik dipengaruhi oleh perubahan harga riil garmen domestik. Sedangkan harga riil garmen domestik dipengaruhi oleh rasio harga riil garmen dunia dengan harga riil tekstil dunia dengan respon elastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Sementara itu prospek industri TPT nasional sangat dipengaruhi oleh harga riil kapas dunia, depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap USD, dan tarif impor TPT. Penelitian Pracoyo (1995) dalam Hermawan (2008), dengan menggunakan data time series 1983-1992 meneliti hal yang terkait dengan ekspor tekstil nasional dan data dianalisis dengan metode 2SLS. Pracoyo mengadopsi model permintaan dan penawaran ekspor khususnya untuk negara industri yang baru berkembang seperti Hongkong, yang telah dilakukan oleh Muscatelli et al (1992). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penawaran ekspor tekstil Indonesia dipengaruhi oleh harga tekstil per satuan, biaya bahan baku, besarnya tingkat upah, tarif dan perubahan teknologi. Sementara dari sisi permintaan ekspor tekstil dipengaruhi oleh harga tekstil domestik, harga tekstil dunia, harga barang substitusi (yaitu harga wool di pasar dunia), pendapatan negara lain, dan selera konsumen. Disimpulkan bahwa penurunan tarif akan mendorong perdagangan dunia menjadi lebih kompetitif. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wintala (1999) menyimpulkan beberapa faktor yang secara signifikan mempengaruhi kinerja ekspor TPT
48
nasional yaitu devaluasi rupiah, kenaikan cadangan devisa, peningkatan jumlah penduduk dan indeks harga sandang. Dari berbagai telaah hasil penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan terkait
dengan
industri
TPT
telah
memberikan
gambaran
bagaimana
perkembangan industri TPT di tanah air dan beberapa faktor-faktor yang akan mempengaruhi kinerja industri ini ke depan. Selanjutnya dari hasil telaahan tersebut akan menjadi input yang sangat berguna dalam membangun kerangka formulasi model ekonometrika yang merupakan alat analisis dalam penelitian ini dan akan dijelaskan secara lebih mendetail pada bab berikutnya dalam tulisan ini.
49
Halaman ini sengaja dikosongkan
50
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Proses industrialisasi di Indonesia yang terjadi selama periode 1967-1997 membuat peranan sektor industri terhadap perekonomian nasional cenderung terus meningkat. Dalam periode tersebut, peranan sektor industri pengolahan telah mencapai 26,8 persen dari PDB, sedangkan pangsa pertanian tercatat 16,1 persen. Pada tahun 1998, peranan sektor industri pengolahan tercatat 25 persen dari PDB, dan pada tahun 2004 mencapai 28,1 persen. Sementara itu, peran sektor pertanian terhadap PDB mengalami penurunan dari 18,1 persen ke 14,3 persen. Demikian pula dengan sektor pertambangan dari 12,6 persen bahkan menjadi hanya 8,9 persen. Selama sepuluh tahun sampai dengan tahun 2004, kontribusi sektor industri pengolahan terhadap perekonomian Indonesia rata-rata sebesar 26,9 persen, dimana dari jumlah tersebut industri pengolahan non-migas berperan sebesar 86,5 persen, dan sisanya adalah industri pengolahan migas (Kementerian Perindustrian, 2009). Kontribusi sektor industri bagi perekonomian nasional hingga saat ini masih relatif tinggi, namun dalam beberapa tahun terakhir tren kontribusinya cenderung mengalami penurunan. Berdasarkan data BPS tahun 2004, pertumbuhan industri mencapai 6,38 % dan angka menurun secara konsisten hingga tahun 2008 pertumbuhan sektor indutri tercatat 3,66 persen (Kementerian Perindustrian, 2009). Terjadinya pertumbuhan negatif di sektor industri nasional di atas, diketahui diakibatkan oleh beberapa faktor utama baik dari luar maupun dalam negeri. Faktor-faktor luar tersebut yang teridentifikasi selama tahun 2005 – 2007, yaitu: (1) tingginya fluktuasi harga minyak dan energi; (2) dampak pemanasan global; (3) melemahnya kurs dollar AS; (4) tingginya investasi di bidang lingkungan dan produk–produk baru kesehatan; (5) kecenderungan memendeknya masa perlindungan terhadap HaKI; (6) meningkatnya jumlah masyarakat kelas menengah baru di dunia; (7) menyempitnya perbedaan tingkat upah di negara maju dan negara berkembang; (8) menurunnya tarif pajak di berbagai belahan
dunia; dan (9) perubahan tenaga upah murah menjadi tenaga ahli murah (cheap brain power). Sedangkan, faktor di dalam negeri sendiri diakibatkan oleh dampak dicabutnya subsidi BBM untuk sektor industri tahun 2005, naiknya harga BBM tahun 2007, naiknya harga pangan dunia, dan melemahnya daya beli masyarakat. Terlebih lagi dampak krisis keuangan global yang keseluruhannya mempengaruhi seluruh sektor industri nasional (Kementerian Perindustrian, 2009) Industri TPT merupakan subsektor dari industri non migas yang memiliki peranan yang sangat penting dan strategis bagi perekonomian Indonesia. Andil industri ini dalam perekonomian nasional meliputi : memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang signifikan, mampu menghasilkan devisa, dan memasok kebutuhan pasar domestik sehingga menghemat cadangan devisa. Industri TPT nasional saat ini menghadapi berbagai permasalahan terkait dengan hilangnya daya saing produk, yaitu kondisi permesinan yang berusia lebih dari 20 tahun, suku bunga perbankan, energi listrik, impor kimia tekstil, masalah perpajakan, ketenagakerjaan, dan infrastruktur pelabuhan (Soetrisno, 2009a), Sementara itu bagi industri TPT nasional, pembentukan FTA (Free Trade Area) dalam bentuk bilateral, regional (di ASEAN), multilateral (sebagai bagian dari WTO) dan pengaruh dari krisis keuangan global merupakan suatu kenyataan yang harus dihadapi, dan kata kunci untuk di era FTA ini adalah efisiensi untuk peningkatan daya saing produk. Krisis keuangan global yang melanda Amerika Serikat, sangat memungkinkan akan masuknya produk industri seperti tekstil dari negara lain yang sedianya diekspor ke pasar Amerika Serikat atau Eropa, dialihkan ke pasar Indonesia baik secara legal maupun ilegal. Selain itu dengan dimulainya era perdagangan bebas ACFTA
pada 1 Januari 2010 menyebabkan pasar dalam
negeri juga akan dibanjiri oleh produk-produk tekstil dari Cina. Efek ke depan yang akan terjadi adalah terganggunya kinerja ekspor dan penjualan domestik akibat kedua hal tersebut di atas. Selanjutnya hal ini tentunya akan berdampak terjadinya perlambatan ekspansi, investasi dan pertumbuhan sektor industri TPT sehingga akan memperburuk kinerja industri TPT nasional.
52
Dalam kondisi demikian, diperlukan suatu kajian kebijakan sektor industri TPT dengan membangun suatu model analisis khusus yang valid dan handal sebagai pendekatannya untuk keperluan penyusunan rumusan rekomendasi dan analisis pertumbuhan sektor industri khususnya cabang industri TPT. Untuk itu, penelitian diarahkan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sektor industri TPT menjadi penting dan strategis dalam rangka meningkatkan kontribusinya kembali bagi perekonomian nasional. Model ekonometrika dibangun dengan menggunakan variabel-variabel yang diidentifikasi sebagai faktor-faktor yang relevan (dan diharapkan signifikan) mempengaruhi kinerja sektor industri TPT yang terukur baik dari sisi produsen maupun konsumen. Kinerja industri TPT dilihat dari total output yang dihasilkan sektor industri TPT yang akan didekati dengan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) riil industri TPT. Variabel-variabel yang mempengaruhi kinerja industri TPT tersebut dimodelkan dan diintegrasikan melalui dua aspek, yakni sisi permintaan dan sisi penawaran di sektor industri TPT. Melalui sisi permintaan, model persamaan simultan dibangun oleh dua persamaan struktural yaitu persamaan konsumsi yang mencerminkan permintaan di dalam negeri dan persamaan ekspor yang mencerminkan besarnya permintaan luar negeri. Fluktuasi dari nilai konsumsi produk TPT di dalam negeri diduga melalui faktor harga produk TPT dan besarnya nilai impor produk TPT dari ASEAN dan Cina. Sementara itu melalui sisi penawaran, model persamaan simultan yang dibangun dicerminkan melalui persamaan nilai investasi dan jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri TPT. Selanjutnya model persamaan simultan yang dibangun dianalisis dan ditelaah secara mendalam untuk kemudian diintisarikan menjadi poin-poin rekomendasi kebijakan. Berdasarkan paparan yang diuraikan di atas, kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan seperti terlihat pada Gambar 9 berikut ini :
53
Gambar 9 Kerangka Pemikiran Penelitian
3.2.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Konsumsi, ekspor, investasi dan tenaga kerja berpengaruh positif terhadap kinerja industri TPT nasional 2. Impor produk TPT dari Cina dan ASEAN berpengaruh negatif terhadap kinerja industri TPT nasional 3. Program restrukturisasi mesin/peralatan industri TPT berpengaruh positip terhadap kinerja industri TPT nasional
54
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Waktu, Jenis dan Sumber Data Penelitian Penelitian dengan judul Kajian Kinerja Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Serta Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya dilaksanakan selama 6 (enam) bulan dari Januari 2010 sampai dengan Juni 2010. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder time-series tingkat nasional tahunan dengan periode tahun 1990-2008, dan dengan demikian maka rentang observasi data untuk setiap variabel adalah sepanjang 19 tahun amatan. Data yang dikumpulkan ini utamanya diarahkan untuk membantu mengidentifikasi faktor-faktor (variabelvariabel) yang bersifat makro yang mempengaruhi kinerja sektor industri TPT. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Perindustrian, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Bank Indonesia, LIPI, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), SUCOFINDO, PLN, ICC, IMF, ADB, serta berbagai instansi dan literatur resmi lainnya. Seluruh data yang digunakan dalam model sistem persamaan simultan disajikan pada Tabel 8 berikut ini :
No.
Variabel
Tabel 8 Daftar Variabel dan Sumbernya Keterangan Satuan
Sumber
1.
PDBTPT
PDB Riil Sektor Industri TPT Sisi Permintaan
Trilyun Rupiah
BPS dan Kementerian Perindustrian
2.
EKSTPT
Nilai Ekspor Produk TPT
Juta USD
BPS, Kementerian Perindustrian, API
3.
TKTPT
Jumlah Tenaga Kerja Sektor Industri TPT
Jiwa/Orang
BPS, API, Kementerian Perindustrian, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No.
Variabel
Keterangan
Satuan
Sumber
4.
INVTPT
Nilai Investasi (PMDN dan PMA) Industri TPT
5.
KONSTPT
Nilai Konsumsi Produk TPT
Juta USD
BPS dan Kementerian Perindustrian
6.
EXRATE
Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD
Rp/USD
BI dan ADB
7.
SBP
Suku Bunga Pinjaman
8.
PRTPT
Harga Tekstil
USD/Ton
BPS dan CEIC
9.
IMPBM
Impor Barang Modal
Juta USD
BPS dan BKPM
10.
PDBKAP
Pendapatan (PDB) per Kapita
Juta Rp/Thn
11.
UPTPT
Tingkat Upah Industri Sektor Industri TPT
Rp/Thn
BPS dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
12.
PD
Harga Bahan Baku TPT Domestik
USD/Kg
BPS dan API
13.
PI
Harga Bahan Baku TPT Dunia
USD/Kg
BPS dan API
14.
PE
Harga Energi Domestik
Rp/Liter
ESDM, ADB, dan CEIC
56
Milyar Rupiah Kementerian Perindustrian dan BKPM
Persen
IFS (IMF)
BPS
No.
Variabel
Keterangan
Satuan
15.
DD
Dummy Desentralisasi
16.
RMT
Nilai Investasi Mesin TPT Yang Direstrukturisasi Melalui Program Peningkatan Teknologi Mesin TPT
17.
TARIF
Tarif Bea Masuk TPT
18.
MACTPT
Nilai Impor TPT dari Cina dan Negara-Nagara ASEAN
-
Sumber Diolah
Trilyun Rp
Kementerian Perindustrian dan SUCOFINDO
Persen
Badan Kebijakan Fiskal (BKF)
Juta USD
BPS, Kementerian Perindustrian dan API
4.2. Spesifikasi Model Penelitian Kerangka formulasi model ekonometrika yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sektor industri TPT dibangun dengan menggunakan model sistem persamaan simultan sebagaimana terlihat pada Gambar 10. Berdasarkan Gambar 10, model ekonometrika yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja industri TPT melalui model yang menggambarkan perdagangan TPT di Indonesia yang dibangun berdasarkan dua pendekatan, yakni sisi permintaan dan sisi penawaran. Melalui pendekatan sisi permintaan dan sisi penawaran selanjutnya dibangun beberapa persamaan struktural yang menyatakan hubungan struktural diantara variabel-variabel endogen dan eksogen yang mencerminkan kedua pendekatan tersebut. Melalui Gambar 10 dapat dilihat bahwa pada sisi permintaan dapat dilihat bahwa model persamaan simultan dibangun oleh 2 (dua) persamaan struktural, yakni persamaan konsumsi terhadap produk TPT yang mencerminkan tingkat permintaan produk TPT di dalam negeri dan persamaan ekspor produk TPT 57
sebagai cerminan dari permintaan produk TPT nasional di luar negeri. Sementara itu persamaan konsumsi produk TPT meliputi dua persamaan struktural, yakni 1) harga tekstil yang mencakup persamaan struktural harga bahan baku domestik, dan 2) persamaan nilai impor produk TPT dari negara-negara ASEAN dan Cina. Sementara itu pada sisi penawaran, ouput riil industri TPT dibentuk oleh dua persamaan struktural yakni persamaan investasi di sektor industri TPT dan persamaan jumlah tenaga kerja yang bekerja di industri TPT. Secara lebih terinci, hubungan struktural di antara variabel-variabel endogen dan eksogen tersebut akan disajikan pada bahasan di bawah ini : SISI PENAWARAN
Impor Barang Modal
Nilai Mesin TPT Yang Direstrukturisasi
Suku Bunga Pinjaman
Investasi Sektor TPT
Upah Industri TPT
Dummy Desentralisasi Tenaga Kerja Sektor TPT
PDB Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Pendapatan Per Kapita Ekspor TPT Konsumsi Produk TPT
Nilai Tukar Rupiah thd US Dollar
Impor TPT ASEAN dan Cina
Harga Bahan Baku TPT Domestik Harga Tekstil
Harga Bahan Baku TPT Dunia
Tarif Bea Masuk SISI PERMINTAAN
Keterangan: = Variabel Eksogen = Variabel Endogen Gambar 10 Kerangka Formulasi Model Ekonometrika
58
Harga Energi Domestik
4.2.1. Persamaan PDB (Riil) Industri TPT Persamaan (4.1) menyatakan bahwa PDB (Riil) yang merupakan variabel endogen industri TPT (PDBTPT) diduga dipengaruhi oleh nilai ekspor industri TPT (EKSTPT), jumlah tenaga kerja yang bekerja di industri TPT (TKTPT), nilai investasi pada industri TPT (INVTPT), serta nilai konsumsi masyarakat untuk produk
TPT
(KONSTPT).
Pemilihan
beberapa
variabel
yang
diduga
mempengaruhi nilai PDBTPT didasari dengan alasan-alasan sebagai berikut : 1) Menurut teori permintaan agregat Keynes, beberapa faktor yang akan berpengaruh langsung terhadap kinerja Produk Domestik Bruto (PDB) antara lain kinerja ekspor, investasi, dan konsumsi (Blanchard, 2006). Mengacu pada teori tersebut maka diharapkan variabel EKSTPT, INVTPT dan KONSTPT akan mempengaruhi kinerja PDBTPT. 2) Menurut teori fungsi produksi Cobb-Douglass, faktor tenaga kerja merupakan salah satu input fundamental yang bersama-sama dengan modal untuk menghasilkan output. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sucahyo (2002) dalam Kementerian Perindustrian (2009), tenaga kerja berpengaruh positif terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Provinsi Jawa Tengah. Mengacu pada teori tersebut maka diharapkan variabel TKTPT akan berpengaruh positif terhadap kinerja PDBTPT. Berdasarkan uraian di atas maka persamaan PDB industri TPT dapat diformulasikan sebagai berikut : PDBTPTt = a0 +
a1EKSTPTt + a2TKTPTt + a3INVTPTt + a4KONSTPTt + ε1t ... (4.1)
Tanda harapan koefisien estimasi a1, a2, a3, a4 > 0 Keterangan : PDBTPTt EKSTPTt TKTPTt INVTPTt KONSTPTt
ε1t
: PDB (riil) sektor industri TPT : Nilai ekspor sektor industri TPT : Jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri TPT : Nilai investasi (PMDN dan PMA) di sektor industri TPT : Nilai konsumsi masyarakat untuk sektor industri TPT : Variabel pengganggu
59
4.2.2.
Persamaan Ekspor di Sektor Industri TPT
Nilai ekspor sektor industri TPT diduga dipengaruhi antara lain oleh nilai tukar rupiah terhadap US Dollar dan besaran nilai investasi yang dilakukan pada sektor industri TPT seperti terlihat pada persamaan (4.2). Penentuan variabelvariabel penduga yang berpengaruh terhadap nilai ekspor di sektor industri TPT dengan didasari alasan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Malian (2007) dalam Kementerian Perindustrian (2009), bahwa nilai ekspor suatu sektor sangat dominan dipengaruhi oleh nilai tukar riil dan nilai investasi pemerintah di sektor terkait. Dalam konteks sektor industri TPT, maka nilai tukar Rp terhadap USD (EXRATE) dan nilai investasi di sektor industri TPT (INVTPT) diharapkan dapat mempengaruhi kinerja ekspor sektor industri TPT (EKSTPT). Berdasarkan uraian di atas maka persamaan ekspor pada industri TPT dapat diformulasikan sebagai berikut : EKSTPTt = b0 + b1EXRATEt + b2INVTPTt + ε2t ................................. (4.2) Tanda harapan koefisien estimasi b1 , b2 > 0
Keterangan : EKSTPTt : Nilai ekspor sektor industri TPT EXRATEt : Nilai tukar rupiah terhadap US Dollar INVTPTt : Nilai investasi (PMDN dan PMA) di sektor industri TPT ε2t : Variabel pengganggu 4.2.3.
Persamaan Tenaga Kerja Sektor Industri TPT
Persamaan (4.3) menyatakan bahwa jumlah tenaga kerja di sektor industri TPT diduga dipengaruhi oleh tingkat upah sektor industri, PDB riil industri TPT, nilai investasi pada industri TPT dan PDB riil untuk periode sebelumnya. Pemilihan variabel-variabel tersebut dilandasi oleh alasan-alasan sebagai berikut : 1) Menurut Sumarsono (2003) dalam Kementerian Perindustrian (2009), perubahan tingkat upah akan mempengaruhi tinggi rendahnya biaya produksi perusahaan. Apabila digunakan asumsi bahwa tingkat upah naik, maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut : a. Naiknya tingkat upah akan meningkatkan biaya produksi perusahaan yang selanjutnya akan meningkatkan pula harga per unit barang yang diproduksi. Biasanya para konsumen akan memberikan respon yang cepat apabila 60
terjadi kenaikan harga barang, yaitu mengurangi konsumsi atau bahkan tidak lagi mau membeli barang yang bersangkutan. Akibatnya banyak barang yang tidak terjual, dan terpaksa produsen menurunkan jumlah produksinya.
Turunnya target produksi mengakibatkan berkurangnya
tenaga kerja yang dibutuhkan. Penurunan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan karena pengaruh turunnya skala produksi disebut dengan efek skala produksi atau scale effect. b. Apabila upah naik (asumsi harga dari barang-barang modal lainnya tetap), maka pengusaha ada yang lebih suka menggunakan teknologi padat modal untuk proses produksinya dan menggantikan kebutuhan akan tenaga kerja dengan kebutuhan akan barang-barang modal seperti mesin dan lainnya. Penurunan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan karena adanya penggantian atau penambahan penggunaan mesin-mesin disebut dengan efek substitusi tenaga kerja (substitution effect). 2) Nilai produksi adalah tingkat produksi atau keseluruhan jumlah barang yang merupakan hasil proses produksi pada suatu unit usaha yang selanjutnya akan dijual atau sampai ke tangan konsumen. Naik turunnya permintaan pasar akan mempengaruhi hasil produksi dari perusahaan yang bersangkutan. Apabila permintaan hasil produksi perusahaan atau industri meningkat, produsen cenderung untuk menambah kapasitas produksinya. Untuk maksud tersebut produsen dapat menambah penggunaan tenaga kerjanya dan juga melakukan investasi baru dalam rangka perluasan kapasitas produksi. Oleh karena itu maka disini diharapkan PDBTPT dan INVTPT dapat mempengaruhi besarnya nilai TKTPT. 3) Salah satu indikator yang menunjukkan baik atau buruknya iklim investasi dapat dilihat dari minat investor yang telah menanamkan modalnya di dalam negeri yang dicerminkan oleh tinggi atau rendahnya nilai investasi pada periode sebelumnya. Seperti pada uraian di atas bahwa nilai investasi di sektor TPT dalam rangka perluasan kapasitas produksi yang berarti pula terjadi penambahan jumlah tenaga kerja yang digunakan terkait dengan nilai produksi yang dihasilkan, maka diharapkan PDBTPTt-1 akan mempengaruhi jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri TPT (TKTPT).
61
Dengan demikian berdasarkan beberapa uraian di atas maka persamaan tenaga kerja di sektor industri TPT dapat diformulasikan sebagai berikut : TKTPTt = c0 + c1UPTPTt + c2PDBTPTt + c3 INVTPTt + c4PDBTPTt-1 +
ε3t .... (4.3)
Tanda koefisien harapan estimasi c1 < 0 ; c2 , c3 , c4 > 0
Keterangan : TKTPTt UPTPTt PDBTPTt INVTPTt PDBTPTt-1
εt 3
: Jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri TPT : Tingkat upah di sektor industri TPT : PDB (riil) sektor industri TPT : Nilai investasi (PMDN dan PMA) di sektor industri TPT : PDB (riil) sektor industri TPT periode sebelumnya : Variabel pengganggu
4.2.4. Persamaan Investasi Sektor Industri TPT Persamaan (4.4) menyatakan bahwa nilai investasi yang dilakukan di sektor industri TPT diduga akan dipengaruhi oleh beberapa variabel antara lain : nilai impor barang modal, nilai investasi sektor TPT pada periode sebelumnya, suku bunga pinjaman, nilai investasi mesin TPT yang direstrukturisasi melalui program penigkatan teknologi mesin TPT, dan kebijakan desentralisasi. Pemilihan beberapa variabel penduga ini dengan alasan sebagai berikut : 1) Impor barang modal merupakan salah satu faktor yang berpengaruh langsung terhadap investasi. Dalam konteks sektor industri TPT maka impor barang modal (IPMBM) diharapkan akan turut mempengaruhi kinerja investasi di sektor industri TPT (INVTPT). 2) Iklim investasi merupakan salah satu faktor penting yang menjadi pertimbangan investor untuk melakukan penanaman modal. Salah satu indikator yang menunjukkan baik atau buruknya iklim investasi dapat dilihat dari minat investor yang telah menanamkan modalnya di dalam negeri yang dicerminkan oleh tinggi atau rendahnya nilai investasi pada periode sebelumnya. Oleh karena itu maka nilai investasi di sektor TPT pada periode sebelumnya (INVTPTt-1) akan dapat berpengaruh pada nilai investasi sektor TPT (INVTPT). 3) Suku bunga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi nilai investasi (Blanchard, 2006). Menurut teori makroekonomi, suku bunga berbanding 62
terbalik dengan nilai investasi atau dengan kata lain naiknya suku bunga pinjaman akan menurunkan nilai investasi. Mengacu pada hal ini maka suku bunga pinjaman (SBP) diduga akan mempengaruhi nilai investasi sektor TPT (INVTPT). 4) Program restrukturisasi mesin/peralatan industri TPT yang telah diluncurkan oleh Kementerian Perindustrian sejak tahun 2007 melalui program potongan harga pembelian mesin (skim 1) dan pinjaman pembiayaan pembelian mesin/peralatan dengan suku bunga rendah melalui sistem modal padanan (skim 2), diharapkan menjadi stimulus kegiatan investasi mesin/peralatan yang dilakukan oleh dunia usaha TPT. Oleh karena itu maka variabel penduga nilai investasi mesin/peralatan TPT yang direstrukturisasi melalui program peningkatan teknologi industri TPT (RMT) diharapkan dapat mempengaruhi kinerja investasi di sektor industri TPT (INVTPT). 5) Semenjak diberlakukannya kebijakan desentralisasi pada tahun 2001 dimana pemerintah daerah mempunyai wewenang yang lebih besar dalam mengelola daerah sesuai dengan aspirasi masyarakat yang ada di daerahnya masingmasing. Untuk meningkatkan laju dan nilai investasi yang ada di daerah, pada era desentralisasi ini pemerintah daerah mempunyai wewenang untuk menerapkan kebijakan investasi namun tetap harmonis dengan kebijakan investasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dinamika investasi pasca diberlakukannya kebijakan desentralisasi merupakan salah satu hal yang menarik untuk diamati. Berdasarkan hal ini maka persamaan INVTPT mengakomodasi dummy desentralisasi (DD) dengan maksud untuk membandingkan dinamika investasi di sektor industri TPT sebelum dan pasca penerapan kebijakan desentralisasi. Berdasarkan hal tersebut di atas maka persamaan investasi di sektor industri TPT dapat diformulasikan sebagai berikut: INVTPTt = d0 + d1IMPBMt + d2INVTPTt-1 + d3SBPt + d4RMTt + d5DDt + ε4t .......... (4.4)
Tanda harapan koefisien estimasi d1, d2, d4, d5 > 0 ; d3<0
63
Keterangan : INVTPTt IMPBMt INVTPTt-1 SBPt RMTt DDt
εt 4
Nilai investasi (PMDN dan PMA) di sektor industri TPT : Impor barang modal : Nilai investasi sektor industri TPT periode sebelumnya : Suku bunga pinjaman : Nilai investasi mesin/peralatan industri TPT yang direstrukturisasi melalui program peningkatan teknologi industri TPT : Dummy desentralisasi dengan nilai 0 menyatakan rezim sebelum era desentralisasi ( < tahun 2001) dan nilai 1 yang menyatakan rezim pasca diberlakukannya kebijakan desentralisasi (≥ tahun 2001) : Variabel pengganggu :
4.2.5. Persamaan Konsumsi Rumah Tangga Untuk Produk TPT Persamaan (4.5) menyatakan bahwa nilai konsumsi rumah tangga untuk TPT diduga akan dipengaruhi oleh beberapa parameter antara lain : pendapatan perkapita, harga TPT, konsumsi rumah tangga untuk TPT periode sebelumnya dan nilai impor produk TPT dari negara-negara ASEAN dan Cina. Pemilihan beberapa parameter penduga ini dengan alasan sebagai berikut : 1) Menurut teori ekonomi, tingkat konsumsi secara langsung dipengaruhi oleh tingkat pendapatan (Blanchard, 2006). Berdasarkan hal ini maka pendapatan per kapita (PDBKAP) diharapkan akan mempengaruhi nilai konsumsi produk TPT (KONSTPT). 2) Berdasarkan teori mikroekonomi bahwa permintaan yang dicerminkan dari tingkat konsumsi bahwa tingkat harga akan mempengaruhi jumlah permintaan konsumen. Jumlah yang diminta akan berbanding terbalik dengan tingkat harga. Dalam konteks persamaan ini maka tingkat harga TPT (PRTPT) diharapkan dapat mempengaruhi nilai konsumsi produk TPT (KONSTPT). 3) Ada kebiasaan (habit) pada individu menyebabkan pola konsumsi individu tidak berfluktuasi secara signifikan bila terjadi perubahan pendapatan. Hal ini menyebabkan pola konsumsi individu sangat dipengaruhi oleh pola konsumsi individu tersebut pada periode sebelumnya (Gujarati, 2004). Dalam hal ini maka nilai KONSTPT diduga dapat dipengaruhi oleh KONSTPTt-1.
64
4) Menurut Labys (1973) dalam Raswati (2008) permintaan impor merupakan selisih antara konsumsi domestik dikurangi produksi domestik dan dikurangi stock pada akhir tahun lalu.
Melalui proses matematis sederhana dari
persamaan di atas kita dapat menyatakan bahwa nilai konsumsi domestik dapat dipengaruhi oleh besarnya permintaan impor. Dalam konteks konsumsi produk TPT maka besarnya nilai impor produk TPT dari negaranegara ASEAN dan Cina (MACTPT) diduga akan mempengaruhi nilai konsumsi produk TPT dalam negeri (KONSTPT). Mengacu pada beberapa hal di atas, maka persamaan konsumsi produk TPT dapat diformulasikan sebagai berikut : KONSTPTt = f0 + f1PDBKAPt + f2PRTPTt + f3KONSTPTt-1 + f4MACTPTt +
ε5t ...............(4.5)
Tanda harapan koefisien estimasi f2 < 0 dan f1, f3, f4 > 0 Keterangan : KONSTPTt PDBKAPt PRTPTt KONSTPTt-1 MACTPTt
εt 5
: Nilai konsumsi domestik produk TPT : Pendapatan per kapita : Harga TPT : Nilai konsumsi TPT periode sebelumnya : Nilai impor TPT dari negara-negara ASEAN dan Cina : Variabel pengganggu
4.2.6. Persamaan Harga TPT Persamaan (4.6) menyatakan bahwa harga TPT diduga akan dipengaruhi harga energi domestik, nilai tukar rupiah terhadap US Dollar dan harga bahan baku domestik. Pemilihan beberapa parameter penduga ini dengan alasan sebagai berikut : 1) Salah satu komponen biaya yang cukup besar mempengaruhi struktur biaya produksi industri tekstil adalah pengeluaran untuk bahan bakar (energi). Berdasarkan hal ini maka harga tekstil (PRTPT) diduga akan dipengaruhi oleh fluktuasi harga energi domestik (PE). 2) Hasil kajian yang dilakukan Kementerian Perindustrian (2009) pada sektor industri makanan dan minuman menemukan fakta bahwa nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar merupakan salah satu parameter yang berpengaruh 65
secara signifikan terhadap inflasi makanan, yang dalam kajian tersebut nilai inflasi ini mencerminkan tingkat harga makanan. Oleh karena itu maka nilai tukar
Rupiah
terhadap
US
Dollar
(EXRATE)
diharapkan
dapat
mempengaruhi variasi harga produk TPT (PRTPT). 3) Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suryawati (2009) terhadap kinerja industri TPT di Provinsi Yogyakarta menemukan bahwa pada tahun 2005 dilihat dari sisi efisiensi untuk menghasilkan per 1 output membutuhkan 0,75 persen input antara dan 89,15 persennya adalah bahan baku, baik lokal maupun impor. Bila efisiensi ini mencerminkan struktur biaya maka untuk menghasilkan 1 output TPT memerlukan komponen biaya bahan baku sebesar 66,9 persen dari total biaya produksi. Dalam konteks persamaan ini maka harga bahan baku domestik (PD) diduga akan mempengaruhi fluktuasi harga produk TPT (PRTPT). Mengacu pada beberapa alasan di atas, maka persamaan harga produk TPT dapat diformulasikan sebagai berikut : PRTPTt =g0 + g1PEt + g2EXRATEt + g3PDt + ε6t
......................................................
(4.6)
Tanda harapan koefisien estimasi g2 < 0 dan g1, g3 > 0 Keterangan : PRTPTt PEt EXRATEt PDt ε6t
: Harga produk TPT : Harga energi domestik : Nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar : Harga bahan baku domestik : Variabel pengganggu
4.2.7. Persamaan Harga Bahan Baku Domestik TPT Persamaan (4.7) menyatakan bahwa harga bahan baku domestik TPT diduga akan dipengaruhi harga bahan baku dunia, harga energi domestik, harga bahan baku domestik periode sebelumnya. Pemilihan beberapa parameter penduga ini dilandasi oleh :
66
1) Fakta bahwa gejolak harga bahan baku dunia berpengaruh terhadap harga energi domestik. Disamping itu, mengingat energi merupakan salah satu input produksi yang utama maka diharapkan bahwa harga bahan baku dunia (PI) dan harga energi domestik (PE) akan mempengaruhi harga bahan baku domestik (PD). 2) Berdasarkan teori makroekonomi bahwa ada keterkaitan antara inflasi aktual dengan inflasi yang diharapkan (Blanchard, 2006). Bila inflasi adalah mencerminkan tingkat harga, maka ada keterkaitan antar waktu antara tingkat harga sekarang dengan tingkat harga periode sebelumnya dan tingkat harga yang akan datang. Berdasarkan hal ini maka harga bahan baku TPT domestik (PD) diharapkan akan dipengaruhi oleh harga bahan baku TPT domestik pada periode sebelumnya (PDt-1). Mengacu pada beberapa alasan di atas, maka persamaan harga bahan baku domestik TPT dapat diformulasikan sebagai berikut : PDt = h0 + h1PIt + h2PEt + h3PDt-1 +
ε7t
.................................................. (4.7)
Tanda harapan koefisien estimasi h1,h2, h3 > 0 Keterangan : PIt PEt PDt-1 ε7t
: Harga bahan baku TPT dunia : Harga energi domestik : Harga bahan baku TPT domestik periode sebelumnya : Variabel pengganggu
4.2.8. Persamaan Impor TPT dari Negara-Negara ASEAN dan Cina Persamaan (4.8) menyatakan bahwa nilai impor produk TPT dari negaranegara ASEAN dan Cina diduga dipengaruhi oleh nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar dan tarif impor produk TPT. Pemilihan variabel penduga ini dilandasi oleh alasan diantaranya hasil penelitian Raswati (2008) menunjukkan bahwa nilai tukar dan tarif impor merupakan variabel yang secara signifikan mempengaruhi volume impor produk TPT. Berdasarkan hal ini maka diharapkan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar (EXRATEt) dan tarif impor (TARIFt ) akan mempengaruhi nilai impor TPT dari negara-negara ASEAN dan Cina (MACTPTt).
67
Mengacu pada uraian di atas, maka persamaan impor TPT dari negaranegara ASEAN dan Cina dapat diformulasikan sebagai berikut : MACTPTt = j0 + j1EXRATEt + j2TARIFt + ε8t ............................................. (4.8) Tanda harapan koefisien estimasi j1 , j2 < 0 Keterangan : MACTPTt EXRATEt TARIFt
ε8t
: Nilai impor TPT dari negara-negara ASEAN dan Cina : Nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar : Tarif impor produk TPT : Variabel pengganggu
4.3. Prosedur Analisis Koutsoyiannis (1977) menyatakan bahwa agar dapat dilakukan pendugaan parameter, suatu persamaan di dalam model simultan harus teridentifikasi. Untuk dapat teridentifikasi, kondisi berikut (yang dikenal sebagai order condition) harus dapat dipenuhi :
K − M ≥ G − 1 ........................................................................................(4.9) dengan : •
K menyatakan total variabel yang terdapat dalam model (meliputi variabel endogen, variabel eksogen, dan variabel pre-determined ).
•
M menyatakan jumlah variabel eksogen dan endogen yang dimasukkan dalam suatu persamaan tertentu dalam model.
•
G menyatakan total persamaan (total variabel endogen). Apabila K-M sama dengan G-1 maka suatu persamaan di dalam model
dikatakan teridentifikasi secara tepat (exactly identified). Namun, jika K-M lebih kecil dari G-1, maka persamaan tersebut dikatakan tidak teridentifikasi (under identified). Sedangkan jika K-M lebih besar dari G-1 maka persamaan tersebut dikatakan teridentifikasi berlebih (over identified). Model ekonomi yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari delapan persamaan struktural. Variabel endogen berjumlah delapan (G = 8) sedangkan variabel eksogen berjumlah 14, sehingga total variabel yang terdapat dalam model tersebut adalah 22 (K = 22). Berdasarkan rumus identifikasi model di atas, setiap
68
persamaan yang terdapat dalam penelitian ini termasuk dalam kategori over identified (Tabel 9). Nama Persamaan PDBTPT EKSTPT TKTPT INVTPT KONSTPT PRTPT PD MACTPT
Tabel 9 K 22 22 22 22 22 22 22 22
Hasil Identifikasi Model M G K-M G-1 5 8 17 7 3 8 18 7 5 8 17 7 6 8 16 7 5 8 17 7 4 8 18 7 4 8 18 7 3 8 19 7
Kategori over identified over identified over identified over identified over identified over identified over identified over identified
Koutsoyiannis (1977) menjelaskan bahwa hasil identifikasi persamaanpersamaan di dalam model persamaan simultan akan berimplikasi pada penggunaan teknik ekonometrika untuk mengestimasi parameter-parameternya. Apabila suatu persamaan di dalam model persamaan simultan under identified, maka parameternya tidak dapat diestimasi oleh metode manapun. Sedangkan, jika persamaan tersebut dapat teridentifikasi, maka secara umum parametemya dapat diestimasi secara statistik. Pada kondisi ini terdapat 2 kemungkinan, yaitu: (i) apabila persamaan tersebut exacly identified maka metode yang sesuai untuk mengestimasi parametemya yaitu metode ILS (Indirect Least Squares), dan (ii) apabila
persamaan
tersebut
over
identified
maka
untuk
mengestimasi
parameternya dapat dilakukan dengan berbagai metode, di antaranya adalah metode Two Stage Least Squares (2SLS). Setiap persamaan struktural dalam model penelitian ini bersifat over identified sehingga diestimasi dengan menggunakan 2SLS. Metode 2SLS dilakukan dengan dua tahap yaitu, pertama, mengestimasi setiap persamaan dengan semua variabel eksogen yang ada dalam model, sehingga diperoleh nilai dugaan setiap variabel endogen. Nilai dugaan variabel endogen dari tahap pertama tersebut selanjutnya dimasukan sebagai variabel penjelas (menggantikan nilai aktual variabel tersebut) dalam persamaanpersamaan yang relevan. Hal ini dilakukan dengan anggapan bahwa asumsiasumsi OLS dipenuhi, yaitu korelasi antara variabel penjelas dengan errornya
69
sama dengan nol (tidak berkorelasi). Pendugaan dengan menggunakan 2SLS ini bersifat konsisten dan efisien. Kelebihan metode 2SLS dibandingkan dengan metode ILS adalah bahwa metode 2SLS dapat dipergunakan untuk memperoleh perkiraan yang konsisten, baik bagi persamaan yang just or exactly identified maupun yang over identified. Selain itu, metode 2SLS juga dapat memberikan standard error dari perkiraan parameter struktural secara langsung, sedangkan metode ILS tidak. Oleh karena pada umumnya persamaan struktural dalam model simultan yang dapat diidentifikasi adalah over identified, maka metode 2SLS lebih sering digunakan dibandingkan metode ILS. Selanjutnya akan dilakukan beberapa uji untuk melihat signifikansi dan validitas koefisien estimasi yang dihasilkan oleh metode tersebut. Untuk melihat tingkat signifikansi dan kebaikan model (goodness of fit) akan dilakukan uji-t dan R-squared (R2). Nilai R2 menunjukkan seberapa besar variasi peubah endogen dapat dijelaskan oleh model. Besarnya nilai R2 juga menunjukkan besarnya daya ramal model tersebut. Untuk melihat validitas model, apakah model memenuhi asumsi-asumsi yang melekat pada model akan dilakukan uji autokorelasi. Autokorelasi atau korelasi serial (serial correlated), ialah suatu keadaan di mana kesalahan pengganggu dalam periode tertentu, katakan ε i , berkorelasi dengan kesalahan pengganggu dari periode lainnya, katakan ε j . Jadi, kesalahan pengganggu tidak bebas, satu sama lain berkorelasi, saling berhubungan. Apabila kesalahan pengganggu dari suatu periode (katakan waktu t) berkorelasi dengan kesalahan pengganggu dalam periode sebelumnya (katakan waktu t-1), maka keadaan ini disebut autokorelasi tingkat pertama (first-order autocorrelation). Autokorelasi bisa positif, bisa juga negatif, tetapi kebanyakan data ekonomi time series menunjukkan otokorelasi yang positif. Autokorelasi tingkat pertama terjadi E (ε t , ε t −1 ) > 0 . Jadi, melanggar salah satu asumsi dalam metode least square, menurut asumsi nilainya nol. Hal ini sering muncul dalam analisis data time series. Adanya masalah autokorelasi, perkiraan parameter OLS masih tak bias dan konsisten, akan tetapi menjadi tidak efisien dan standard error dari perkiraan
70
parameter regresi menjadi bias, sehingga menyebabkan pengujian hipotesis menjadi tidak tepat, selain itu interval keyakinan juga menjadi bias. Untuk menguji apakah model yang dirumuskan dalam penelitian ini mengalami korelasi serial atau tidak, digunakan Durbin Watson Statistic. Namun karena model yang dirumuskan dalam penelitian ini mengandung peubah endogen bedakala (lagged endogenous variables), maka pengujian korelasi serial dengan menggunakan Durbin Watson Statistic menjadi tidak valid. Selanjutnya untuk menguji apakah model mengalami korelasi serial atau tidak, digunakan Durbin-h statistic (Pindyck dan Rubinfield, 1998). h = [ 1-0,5 DW][T/1-T (Var Bhat)]0,5 dimana : h = Nilai statistik Durbin-h T = Jumlah pengamatan contoh Var Bhat = Varians (kuadrat standard error) dari koefisien variabel lag endogen DW = Nilai statistik Durbin-Watson Statistik uji Durbin-h tidak valid jika hasil kali T dengan Var Bhat lebih besar dari 1. Jika statistik lebih besar dari nilai kritis distribusi normal, maka model mengalami korelasi serial. Selanjutnya untuk menguji apakah peubahpeubah penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen pada masing-masing persamaan digunakan statistik uji F. Kemudian untuk menguji apakah masing-masing peubah penjelas secara individual berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen pada masingmasing persamaan digunakan statistik uji t. Indikator lain yang dapat digunakan untuk validasi model adalah nilai koefisien determinasi (R2).
71
Halaman ini sengaja dikosongkan
72
V. PROFIL INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL 5.1. Gambaran Umum Industri Tekstil dan Produk Tekstil Nasional Industri TPT merupakan salah satu industri prioritas nasional yang masih prospektif untuk dikembangkan. Berdasarkan nomor HS (harmonized system), ruang lingkup industri TPT mencakup No. HS 50 hingga 63. Berdasarkan rantai nilainya, industri TPT dapat dikelompokkan menjadi industri serat, benang, industri kain, industri pakaian jadi dan industri tekstil dan produk tekstil lainnya. Secara detail ruang lingkup industri TPT dapat dilihat pada Tabel 10. Indonesia menjadi pasar yang sangat potensial dengan populasi penduduk lebih dari 230 juta jiwa. Berdasarkan data API (2009) pada tahun 2008 pasar tekstil di dalam negeri diperkirakan mencapai Rp 70 triliun. Industri TPT merupakan industri padat karya yang mampu menyerap sedikitnya 1,3 juta orang pekerja. Tabel 10 Ruang Lingkup Industri TPT No. Jenis Industri 1. Industri Serat
Uraian 1.1. Serat alam (sutera, kapas, rami, dll) 1.2. Serat buatan (rayon, polyester dll) 2. Industri Benang 2.1. Filamen buatan (rayon, polyester, dll) 2.2. Dari serat alam 100% 2.3. Dari serat buatan 100% 2.4. Dari serat campuran 3. Industri Kain 3.1 Kain tenun 3.2 Kain rajut 3.3 Kain non-woven 3.4 Lace/braids 3.5 Embroidery 3.6 Laminasi/impregnasi 4. Industri Pakaian Jadi Pakaian jadi untuk bayi, anak-anak, lakilaki dan perempuan 5. Industri Barang Jadi Tekstil 5.1. Karpet/permadani 5.2. Penutup lantai 5.3. Barang jadi dari serat 5.4. Barang jadi dari benang dan tali 5.5. Barang jadi dari kain 5.6. Barang jadi lainnya Sumber : Kementerian Perindustrian, 2007
Industri serat yang menghasilkan serat alam dan serat buatan merupakan subsektor industri TPT yang berorientasi di pasar domestik sebagai industri yang menyediakan bahan baku bagi industri pemintalan, pertenunan dan perajutan. Berdasarkan KBLI tahun 2007, yang termasuk dalam kelompok industri serat adalah 1). KBLI No. 17111 industri persiapan serat tekstil, yang terdiri dari HS No. 5001, 5003, 5101, 5102, 5103, 5104, 5105, 5201, 5202, 5301, 5302,5303, 5304 dan 5305. 2). KBLI No. 24302 industri serat stapel buatan yang terdiri dari HS No. 5502, 5503, 5504, 5506 dan 5507. Indonesia merupakan salah satu produsen serat buatan dunia dalam jumlah besar terutama untuk serat polyester (PSF) dan rayon. Karakter dari industri ini padat modal karena menggunakan ”advance technology” sehingga daya saingnya ditentukan oleh besaran biaya energi. Di Indonesia perusahaan serat buatan didominasi oleh investasi asing terutama dari Jepang untuk PSF dan dari India serta Austria untuk rayon. Industri serat di Indonesia sebagian besar berlokasi di Jawa Barat, Banten dan Jawa Timur (CIC, 2007). Industri benang adalah industri yang mengolah serat menjadi benang. Berdasarkan KBLI tahun 2007, yang termasuk dalam kelompok industri benag adalah 1. KBLI No. 17112 industri pemintalan benang yang terdiri dari HS No. 5002, 5003, 5004, 5005, 5006, 5103, 5105, 5106, 5107, 5108, 5109, 5110, 5202, 5203, 5204, 5205, 5207, 5301, 5302, 5303, 5304, 5305, 5306, 5307, 5308, 5402, 5403, 5406, 5505, 5509, 5510, 5511, 5604. 2. KBLI No. 17113 industri pemintalan benag jahit yang terdiri dari HS No. 5401 dan 5508. 3. KBLI No. 17121 industri penyempurnaan benang yang terdiri dari HS No. 5205 dan 5206. 4. KBLI No. 24301 industri serat/benang filamen buatan yang terdiri dari HS No. 5401, 5402, 5403, 5404 dan 5405. Industri pemintalan di Indonesia terkenal sebagai produsen benang dalam jumlah besar dengan kemampuan yang baik dari sisi kualitas maupun daya saing harga produk. Selain dapat memenuhi kebutuhan domestik, 50% dari produksi benang yang dihasilkan diekspor ke berbagai negara. Karakter industri ini padat
74
modal serta mempunyai ketergantungan pada aspek penggunaan mesin sehingga membutuhkan teknologi dan dukungan dari sektor energi. Investasi di subsektor ini didominasi oleh PMA dari Jepang di industri pemintalan benang filamen sedangkan untuk pemintalan staple dikuasai oleh PMDN serta PMA dari India. Sebagian besar unit produksi benang berada di Jawa Barat, Banten dan Jawa Tengah dan produsen terbesarnya adalah PT Polysindo Eka Perkasa, PT Indorama, PT Kahatex, dan PT Sulindafin (CIC, 2007). Industri kain adalah industri yang mengolah benang menjadi kain. Industri kain meliputi industri pertenunan, perajutan, pencelupan, pencapan, finishing dan non woven. Berdasarkan KBLI tahun 2007, yang termasuk dalam kelompok industri kain adalah : 1. KBLI No. 17123 industri pencetakan kain yang terdiri dari HS No. 5208, 5209, 5211, 5212, 5407, 5408, 5513, 5514 dan 5516. 2. KBLI No. 17292 industri yang menghasilkan kain keperluan industri yang terdiri dari HS No. 5811, 5901, 5906, 5907, 5908, 5910 dan 5911. 3. KBLI No. 17294 industri non woven (bukan tenunan) yang terdiri dari HS No. 5603 dan 6002. 4. KBLI No. 17301 industri kain rajut yang terdiri dari HS No. 6001 dan 6002. Subsektor industri kain ini selain dapat memenuhi kebutuhan domestik, sekitar 35% dari produksi kain yang dihasilkan di ekspor ke berbagai negara. Teknologi yang digunakan saat ini terutama untuk pertenunan masih tertinggal karena usia mesin yang cukup tua. Subsektor industri ini sebagian besar berlokasi di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Produsen terbesar untuk knitting adalah PT Kurabo Manunggal di Banten dan PT Kahatex di Jawa Barat, sedangkan untuk weaving dan finishing adalah PT Apac Inti Corpora di Jawa Tengah (CIC, 2007). Industri garmen adalah industri yang mengolah kain menjadi pakaian jadi. Berdasarkan KBLI tahun 2007, yang termasuk dalam kelompok industri pakaian jadi adalah : 1. KBLI No. 17302 industri pakaian jadi rajutan yang terdiri dari HS No. 6101, 6102,6103, 6104,6109, 6111, 6112, 6112, 6113, 6114, 6115, 6116 dan 6117.
75
2. KBLI No. 18101 industri pakaian jadi dari tekstil dan perlengkapannya yang terdiri dari HS No. 6201, 6202, 6203, 6204, 6205, 6206, 6207,6208,6209, 6210, 6211 dan 6212. 3. KBLI No. 18102 industri pakaian jadi (konveksi) dan perlengkapannya yang terdiri HS No. 6212, 6213, 6214, 6215, 6216 dan 6217. Sebagian dari produksi garmen di Indonesia ditujukan untuk pasar ekspor yang mencapai lebih dari 88% dari hasil produksinya dengan pasar utama adalah Amerika Serikat dan Uni Eropa. Daya saing industri garmen bergantung pada dukungan di sektor tenaga kerja dan kemampuan yang dimilikinya. Sebagian besar bahan baku yang dibutuhkan berasal dari industri kain domestik kecuali untuk kain-kain finish yang berkualitas sangat tinggi. Investasi di sektor ini didominasi oleh PMDN serta PMA dari Korea dan Hongkong. Industri garmen sebagian besar berada di Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah dengan produsen terbesar adalah PT Kahatex di Jawa Barat, PT Sri Rejeki Isman di Jawa Tengah dan PT Pan Brothers di Banten (CIC, 2007). Industri tekstil dan produk tekstil lainnya adalah industri yang mengolah serat atau benang atau kain menjadi produk jadi lainnya selain pakaian jadi. Berdasarkan KBLI tahun 2007, yang temasuk dalam kelompok industri ini adalah : 1. KBLI No. 17211 industri barang jadi tekstil, untuk keperluan rumah tangga yang terdiri dari HS No. 6301, 6302, 6303, 6304, 6306, 6307 dan 6308. 2. KBLI No. 17213 industri barang jadi tekstil lainnya yang terdiri dari HS No. 5601. 3. KBLI No. 17220 industri permadani yang terdiri dari HS No. 5701, 5702, 5703, 5704 dan 5705. 4. KBLI No. 17292 industri yang menghasilkan kain keperluan industri yang terdiri dari HS No. 5811, 5901, 5906, 5907, 5908, 5910 dan 5911. 5. KBLI No. 17293 industri bordir/sulaman yang terdiri dari HS No. 5810. 6. KBLI No. 17303 industri rajutan kaos kaki yang terdiri dari HS No. 6115 dan 6217.
76
Industri produk tekstil lainnya di Indonesia masih belum berkembang, namun di negara maju trend nya terus tumbuh. Produk yang dihasilkan antara lain : karpet, penutup lantai, jaring ikan dan sejenisnya. Sebagian besar sub sektor ini berada di Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta. Produsen terbesar adalah PT Megah Megalon Industries dan PT Indah Jaya Textile Industries (CIC, 2007). Selanjutnya di dalam bab ini akan mengulas perkembangan beberapa indikator penting industri TPT di Indonesia dalam upaya memberikan gambaran faktual mengenai kinerja industri TPT dalam beberapa kurun tahun terakhir.
5.2. Perkembangan Tingkat Utilisasi Kapasitas Produksi Industri TPT Meskipun tak putus didera masalah, industri TPT masih memperlihatkan kinerja yang cukup bagus. Perkembangan utilisasi rata-rata kapasitas produksi industri TPT pada tahun 2008 mencapai 76,05 persen, mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya (2007) sebesar 75,8 persen. Hal ini disebabkan karena subsektor industri TPT mengalami peningkatan. Sepanjang periode 2004-2007, tingkat utilitasi cabang industri TPT ini berada di atas rata-rata tingkat utilitasi untuk cabang-cabang industri dalam sektor industri non-migas yang mencapai rata-rata sekitar 64 % (Tabel 11).
Tabel 11 Tingkat Utilitasi Kapasitas Produksi (%)
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2009 77
Perkembangan kapasitas nasional, volume produksi dan tingkat utilisasi industri TPT secara lebih terinci dapat dilihat Tabel 12 dan Gambar 11. Gambar 11 menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2005-2008
tingkat utilisasi industri
tekstil dan produk tekstil secara berturut-turut bervariasi antara 45-80 persen, 4581 persen, 50-88 persen dan 49-88 persen. Jika dilihat secara keseluruhan, tingkat utilisasi industri TPT sepanjang periode tersebut mengalami peningkatan dari 69,4 persen pada tahun 2005 menjadi 76,05 persen atau naik sekitar 6,65 persen. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kinerja industri TPT mengalami peningkatan yang pada gilirannya berimplikasi pada kinerja industri TPT secara keseluruhan.
Tabel 12 Perkembangan Kapasitas Nasional, Volume Produksi dan Tingkat Utilisasi Pada Industri TPT Tahun 2005 – 2008 No 1
2
3
4
Tahun
Jenis Industri Serat
Benang
Kain
Pakaian Jadi
2006
2007
2008
1.077.615
1.105.255
1.105.255
1.150.000
Kapasitas
808.211
835.904
976.000
1.008.106
Produksi
75,00%
75,63%
88,31%
87,66%
Utilisasi
2.397.848
2.542.636
2.554.864
2.600.000
Kapasitas
1.750.429
1.872.652
2.129.000
2.199.035
Produksi
73,00%
73,65%
83,33%
84,58%
Utilisasi
1.777.761
1.728.268
1.733.767
1.750.000
Kapasitas
1.315.543
1.290.843
1.362.000
1.406.804
Produksi
74,00%
74,69%
78,56%
80,39%
Utilisasi
500.061
541.212
595.111
620.000
Kapasitas
400.049
436.433
467.000
482.362
Produksi
80,00% 5
Produk Tekstil Lainnya
Keterangan
2005
80,64%
78,47%
77,80%
Utilisasi
101.454
105.189
105.207
110.000
Kapasitas
45.654
47.745
53.000
54.743
Produksi
45,00%
45,39%
50,38%
*) tingkat utilisasi kapasitas produksi tahun merupakan angka prognosa
Sumber : Sunarsip, 2009
78
49,77%
Utilisasi
Pada tahun 2008, meskipun ekonomi dunia sedang mengalami krisis, tingkat utilisasinya diperkirakan masih relatif tinggi, sekalipun sejak akhir 2008 trennya mengalami penurunan. Berdasarkan data indeks produksi yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa indeks produksi Manufaktur Besar dan Sedang berdasarkan 2 Digit ISIC (Production Indices of Large and Medium Manufacturing) khususnya pada kinerja produk tekstil dan garmen yang dari keduanya mengalami kondisi yang sedikit berbeda, namun sama-sama memiliki kecenderungan penurunan. 100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 -
2005
2006
2007
2008
Serat (%)
75,00
75,63
88,31
87,66
Benang (%)
73,00
73,65
83,33
84,58
Kain (%)
74,00
74,69
78,56
80,39
Pakaian Jadi (%)
80,00
80,64
78,47
77,87
Produk Tekstil Lainnya (%)
45,00
45,39
50,38
49,77
Utilisasi Rata-Rata (%)
69,40
70,00
75,81
76,05
*) tingkat utilisasi kapasitas produksi tahun merupakan angka prognosa
Sumber : Sunarsip, 2009 Gambar 11 Perkembangan Utilisasi Kapasitas Produksi Industri TPT Tahun 2005-2008 Untuk produk tekstil (serat, benang dan kain), sejak memasuki Kuartal I2008 angka indeks produksi tercatat pada level 100,50 sedikit menguat dibandingkan Kuartal IV-2007 yakni pada level 95,34. Indeks terus mengalami penguatan hinggal Kuartal III-2008 sampai pada level 105,01. Namun pada Kuartal IV-2008 angka mulai melemah hingga jatuh pada level 93,87. Sementara itu untuk produksi garmen, sejak memasuki Kuartal I-2008 telah terjadi penurunan dan kembali menunjukkan penguatan pada Kuartal II-2008 dan kemudian kembali anjlok pada Kuartal III-2008 dan terus berlanjut sampai Kuartal IV-2008 pada level 88,84.
79
Pada tahun 2007 investasi yang ditanamkan tahun-tahun sebelumnya sudah mulai berproduksi, dan hanya sebagian kecil yang belum memanfaatkan secara maksimal kapasitas produksinya. Utilisasi pada tahun 2007 untuk industri serat, benang, kain dan produk tekstil lainnya mengalami peningkatan yang cukup besar apabila dibandingkan dengan tahun 2006 (Sunarsip, 2009).
5.3. Perkembangan Jumlah Unit Industri dan Nilai Investasi Industri TPT Jumlah unit usaha industri TPT terus menunjukan peningkatan selama periode 2005 s/d 2008. Perkembangan jumlah perusahaan TPT selama periode 2002-2008 rata-rata meningkat 0,7 % per tahun (Tabel 13). Pertumbuhan jumlah industri tertinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 1,8 persen, disusul pada tahun 2006 dengan tingkat pertumbuhan sebesar 1,6 persen. Pada tahun 2002 jumlah unit industri TPT nasional adalah 2.646 perusahaan dan meningkat menjadi 2.754 perusahaan pada tahun 2008, dengan total investasi Rp 141.882 Milyar. Sebaran lokasi industri TPT meliputi Jawa Barat (57%), Jabodetabek (17%), Jawa Tengah (14%), sisanya tersebar di Jawa Timur (6%), Bali (3%), Sumatera (2%) dan Yogyakarta (1%) seperti yang ditampilkan pada Gambar 21. Dari data ini dengan jelas memperlihatkan bahwa 94 persen industri TPT di tanah air hingga saat ini masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Tabel 13 Perkembangan Jumlah Unit Industri TPT di Indonesia, 2002-2008 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Tahun Jumlah Perusahaan 2002 2.646 2003 2.654 2004 2.661 2005 2.656 2006 2.699 2007 2.704 2008 2.754 Rata-Rata Pertumbuhan (%)
Pertumbuhan (%) 0,3 0,3 - 0,2 1,6 0,2 1,8 0,7
Sumber : BKPM, 2009 (diolah)
Sementara itu perkembangan investasi industri TPT sepanjang tahun 20012006 cenderung stagnan seperti diperlihatkan pada Gambar 13. Nilai investasi industri TPT tahun 2001 senilai Rp 130,8 triliun yang sebagian besar investasinya 80
dilakukan di subsektor industri produk tekstil lainnya yang mencapai Rp 60,8 triliun dan yang terkecil adalah investasi di subsektor industri serat yang hanya senilai Rp 11,6 triliun dan proporsi ini hingga akhir tahun 2006 cenderung tidak mengalami perubahan yang signifikan. Jawa Timur ; 6%
Sumatera; 2%
Jawa Tengah; 14% Bali; 3%
Jawa Barat; 57% Jabodetabek; 17% Yogyakarta; 1%
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2007 Gambar 12 Sebaran Industri TPT di Indonesia Pada tahun 2006 terjadi sedikit kenaikan jumlah investasi yaitu sebesar Rp 3,34 triliun dibandingkan dengan nilai investasi pada tahun 2005. Peningkatan investasi ini terutama terjadi dalam PMA (Penanaman Modal Asing). Pada tahun 2006, PMA mencapai US$ 418 juta atau meningkat 490% dibanding 2005, sedangkan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) sebesar Rp 80 miliar atau turun 2100% dibanding pada tahun 2005. Hingga 2007, penambahan investasi asing masih terus berlangsung. Saat ini ada 4 negara yang mendominasi industri TPT di Indonesia yakni India (PT Indorama), Jepang (PT Summitmas Group), Korea Selatan (Korean Garmen Group), dan Taiwan (Taiwan Garmen Group).
Gambar 13 Perkembangan Investasi Industri TPT di Indonesia 2001-2006 81
Perkembangan realisasi investasi setiap tahunnya memang terus terjadi sekalipun perkembangannnya mengalami fluaktuasi. Dari sisi investasi dalam negeri (PMDN), realisasi PMDN di sektor
industri TPT pada tahun 2008
mencapai sebesar Rp 719,6 milyar dari sebanyak 20 izin usaha tetap yang dikeluarkan. Realisasi PMDN pada tahun 2008 tersebut meningkat tajam bila dibandingkan dengan realisasi PMDN tahun 2007 yang mencapai sebesar Rp 228 milyar dari sebanyak 8 izin usaha tetap yang dikeluarkan. Namun demikian, capaian tersebut jauh di bawah capaian yang diperoleh pada tahun 2005, dimana realisasi PMDN mencapai Rp 1,64 triliun dari sebanyak 22 izin usaha tetap yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Hal yang sama juga terjadi pada sisi investasi asing (PMA). Realisasi PMA di sektor industri TPT pada tahun 2008 mencapai sebesar USD 210,2 juta dari sebanyak 67 izin usaha tetap yang dikeluarkan. Realisasi PMA pada tahun 2008 tersebut meningkat cukup signifikan bila dibandingkan realisasi PMA tahun 2007 yang mencapai USD 131,7 juta dari sebanyak 63 izin usaha tetap yang dikeluarkan. Namun demikian sama halnya dengan realisasi PMDN, capaian realisasi PMA tahun 2008 ini masih jauh dibawah capaian realisasi PMA yang diperoleh pada tahun 2006 yang menembus angka USD 424 juta dari sebanyak 61 izin usaha tetap yang dikeluarkan. Perkembangan realisasi PMDN dan PMA untuk sektor industri TPT tahun 2005-2008 dapat dilihat pada Gambar 14 dan Gambar 15 berikut ini : 25 22 20
20
15 10 8
7
5 0 2005
2006
2007
Nilai Realisasi PMDN (Rp Milyar)
1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
2008
Jumlah IUT yang dikeluarkan
Sumber : Sunarsip, 2009 Gambar 14 Perkembangan Realisasi PMDN Sektor Industri TPT Tahun 2005-2008
82
80
450
70 60
400
67
63
61
350 300
50
250 40
200 31
30
150
20
100
10
50
0
0 2005
2006
2007
Nilai Realisasi PMA (Juta USD)
2008
Jumlah IUT yang dikeluarkan
Sumber : Sunarsip, 2009 Gambar 15 Perkembangan Realisasi PMA Sektor Industri TPT Tahun 2005-2008 5.4. Perkembangan Laju Pertumbuhan PDB Riil TPT di Indonesia Perkembangan laju pertumbuhan PDB riil atas dasar harga konstan tahun 2000 industri Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki di Indonesia pada periode tahun 1991 s/d 2008 disajikan pada Gambar 16. Pada gambar tersebut terlihat bahwa laju PDB riil industri tekstil, barang kulit dan alas kaki pada periode 1991-2008 cenderung mengalami penurunan, bahkan laju pertumbuhannya pada tahun 19971998 dan 2007-2008 bernilai negatif. 20,0 15,0 10,0 5,0 (5,0) (10,0) (15,0) (20,0)
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Laju Pertumbuhan (%) 13,8 13,5
9,8
7,0
10,5
8,7
(3,8) (14,9) 8,4
8,2
3,4
3,2
6,2
4,1
1,3
1,2
(3,7) (3,6)
Sumber : BPS, 2009 Gambar 16 Perkembangan Laju Pertumbuhan PDB Riil Industri TPTl di Indonesia Pada tahun 1998 karena krisis ekonomi yang melanda Indonesia, laju pertumbuhan PDB riil industri tekstil, barang kulit dan alas kaki mengalami kondisi terburuk yaitu -14,9%. Namun seiring membaiknya perekonomian Indonesia maka pada tahun 1999-2006, laju pertumbuhan PDB riil sektor ini 83
kembali bernilai positif. Laju pertumbuhan tertinggi periode 1999-2006 terjadi pada tahun 1999 yakni dengan laju pertumbuhan sebesar 8,4%
dan laju
pertumbuhannya terus bernilai positif hingga tahun 2006. Tahun 2007 dan 2008 laju pertumbuhan PDB rill industri TPT tanah air kembali bernilai negatif yaitu masing-masing sebesar -3,7% dan -3,6%. Memburuknya laju pertumbuhan PDB riil industri TPT nasional pada tahun 2007 dan 2008 dipicu oleh memburuknya kinerja ekspor bersih TPT nasional pada tahun-tahun tersebut karena laju pertumbuhan impor produk TPT meningkat secara signifikan dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekpornya. Salah satu hal yang menyebabkan memburuknya kinerja ekspor TPT adalah terjadinya krisis ekonomi global yang berdampak pada perekonomian Amerika Serikat yang notabene adalah pasar ekspor terbesar produk TPT nasional yang mencapai 37,4% pada tahun 2008 (Soetrisno, 2009b). Tidak terlalu menggembirakannya kinerja ekspor TPT pada tahun 2008, sesungguhnya hal tersebut terkait dengan pelemahan permintaan dari sejumlah negara yang terkena krisis ekonomi global. Krisis ekonomi global yang dipicu oleh mencuatnya kasus subprime mortgage di Amerika Serikat dan kuatnya tekanan inflasi sejalan dengan tingginya harga energi dan meningkatnya harga beberapa jenis komoditi utama pada paruh pertama 2008 telah mendorong melemahnya permintaan dunia pada komoditi utama dunia khususnya produkproduk industri manufaktur termasuk produk TPT di beberapa pasar utama dunia antara lain Amerika Serikat, Uni Eropa (EU27) dan Jepang sehingga mempersempit aktivitas perdagangan TPT di pasar global dan berimbas pada stagnasi aktivitas industri di negara-negara produsen termasuk Indonesia. Lemahnya permintaan di pasar dunia terutama Amerika Serikat dan EU-27 seharusnya bisa diimbangi oleh besarnya potensi penyerapan di pasar domestik. Namun pada kenyataannya, dari beberapa informasi yang ada justru diduga penjualan produk lokal di pasar domestik sulit bergerak akibat tekanan persaingan dengan produk asal impor. Faktanya menunjukkan bahwa memang nilai impor produk TPT ke Indonesia terus mengalami kenaikan.
84
5.5. Perkembangan Nilai Ekspor, Nilai Impor dan Nilai Ekpor Bersih Industri Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia Dalam beberapa
dekade
terakhir,
perekonomian
Indonesia
telah
menunjukkan integrasi yang semakin kuat dengan perekonomian global. Berbagai indikator keterbukaan ekonomi telah menunjukkan kenyataan tersebut. Dilihat dari aliran barang yang keluar dari Indonesia, dalam periode 1980-2008, telah terjadi peningkatan peranan dari ekspor non migas terhadap PDB Indonesia dari 8,4% menjadi 20,9%. Demikian juga dengan aliran barang yang masuk, pada periode yang sama juga telah terjadi peningkatan yang cukup besar, share dari impor non migas pada PDB Indonesia dari 13,9% menjadi 17,9%
(Bank
Indonesia, 2009). Secara umum peranan dari ekspor barang dan jasa telah memberikan kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia selama kurun waktu 20052008. Ekspor barang dan jasa selama periode tersebut meningkat rata-rata 11% per tahun. Namun krisis ekonomi global telah menyebabkan tekanan terhadap kinerja ekspor Indonesia sehingga ekspor barang dan jasa mengalami penurunan 17,2% pada semester I tahun 2009 dibandingkan dengan semester I tahun 2008. Sementara itu, kinerja ekspor TPT Indonesia sepanjang tahun 2004-2008 menunjukkan trend yang meningkat. Namun laju peningkatan nilai ekspor belum mampu mengejar laju pertumbuhan nilai impor pada periode yang sama sehingga kinerja ekpor bersih TPT pada periode ini mengalami penurunan dengan laju pertumbuhan -2% per tahun. Berdasarkan Tabel 2 pada bab I dan Gambar 17, pada tahun 2004 tercatat nilai ekpor TPT Indonesia mencapai USD 7.647 juta dan terus meningkat hingga tahun 2008 yang mencapai angka USD 10.399 juta atau meningkat sebesar 25% dibandingkan terhadap nilai ekspor TPT pada tahun 2004. Bandingkan dengan kinerja impornya, nilai impor TPT Indonesia di tahun 2004 tercatat hanya sebesar USD 1.720 juta dan angka ini meningkat secara signifikan pada akhir tahun 2008 yang mencapai USD 5.241 juta atau meningkat sebesar 205% dibandingkan impor TPT tahun 2004. Kondisi inilah yang menyebabkan makin memburuknya kinerja ekspor bersih industri TPT tanah air pada periode 2004-2008 dengan laju pertumbuhan minus 2% per tahun, dan dikhawatirkan kondisi ini akan semakin memburuk dengan diberlakukannya
85
perdagangan bebas ACFTA karena pasar domestik akan dipenuhi oleh produkproduk impor dari Cina yang notabene harganya jauh lebih murah dari produk TPT nasional. 12.000,00
10.000,00
8.000,00
6.000,00
4.000,00
2.000,00
-
2004
2005
2006
2007
2008
Eskpor (Juta USD)
7.647,00
8.603,00
9.446,00
10.004,00
10.399,00
Impor (Juta USD)
1.720,00
1.606,00
1.714,00
4.312,00
5.241,00
Ekspor Netto (Juta USD)
5.927,00
6.997,00
7.732,00
5.692,00
5.158,00
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2009 Gambar 17 Perkembangan Nilai Ekspor, Impor dan Ekspor Netto Industri TPT Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian (2007), Nilai Ekspor TPT Indonesia pada tahun 2006 sebagian besar dalam bentuk produk pakaian jadi yang mencapai lebih dari 50% dari nilai total ekspor sebesar USD 9.466 juta atau senilai USD 5.466 juta, disusul industri benang dan kain dengan proporsi masingmasing 20% dan 16% serta industri serat dan produk TPT lainnya dengan kontribusi masing-masing sebesar 3% dari total nilai ekpor tahun 2006 (Tabel 14).
No.
Tabel 14 Proporsi Ekpor Industri TPT Indonesia Tahun 2006 Subsektor Ekspor (Juta USD) Proporsi
1.
Industri Serat
273
3%
2.
Industri Benang
1.851
20%
3.
Industri Kain
1.528
16%
4.
Industri Pakaian Jadi
5.466
58%
5.
Industri Barang Jadi Tekstil
328
3%
9.466
100%
Total Sumber : Kementerian Perindustrian, 2007
86
Sementara itu untuk nilai impor, sebagian besar impor TPT pada tahun 2006 adalah dalam bentuk bahan baku serat yang mencapai 50% dari total nilai impor pada tahun tersebut sebesar USD 1.714 juta atau senilai USD 855 juta, sementara angka nilai impor terkecil produk TPT dilakukan dalam bentuk pakaian jadi yang hanya mencapai 3% dari total nilai impor atau sebesar USD 56 juta (Tabel 15). Negara-negara yang menjadi tujuan ekspor produk TPT nasional pada tahun 2008 berdasarkan data yang dikeluarkan dari API (2009) adalah Amerika Serikat (37,4%), Uni Eropa (20%), Timur Tengah (7,8%), Jepang (5,4%), ASEAN (6,8%), Afrika (1,6%) dan sisanya ke negara-negara lainnya (21,1%). Tabel 15 Proporsi Impor Industri TPT Indonesia Tahun 2006 No.
Subsektor
Impor (Juta USD)
Proporsi
1.
Industri Serat
855
50%
2.
Industri Benang
306
18%
3.
Industri Kain
393
23%
4.
Industri Pakaian Jadi
56
3%
5.
Industri Barang Jadi Tekstil
103
6%
1.714
100%
Total Sumber : Kementerian Perindustrian, 2007
5.6. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Pada Industri TPT di Indonesia Tenaga kerja merupakan salah satu keunggulan komparatif bagi industri TPT, yang bila dapat ditingkatkan keterampilan dan kreativitasnya, kemampuan penguasaan teknologi dan kemampuan manajemen maka akan meningkatkan keunggulan kompetitif industri TPT. Kondisi tenaga kerja industri TPT dapat digambarkan sebagai berikut : - Masih terbatasnya ketersediaan tenaga terampil bidang engineering, - Produktivitas tenaga kerja belum optimal, - Sumberdaya manusia dengan tingkat keahlian dan keterampilan yang cukup masih sangat terbatas, - Industri TPT pada umumnya tidak memiliki program rekruitmen dan penjenjangan untuk tenaga kerja tingkat operator dan supervisor,
87
- Manajemen pabrik kurang memperhatikan standar minimum kerja (keahlian dan keterampilan) dan tidak memiliki standar prosedur operasi, - Masih terbatasnya kemampuan lembaga perguruan tekstil dan sekolah menengah tekstil dan balai besar tekstil dalam mencetak tenaga ahli tekstil.
Pada umumnya industri TPT mempunyai ciri padat tenaga kerja, sehingga industri ini terutama industri hilirnya seperti pakaian jadi sangat ditentukan oleh tingkat upah yang rendah. Negara dengan tingkat upah yang rendah umumnya sangat kompetitif dalam perdagangan global. Karena merupakan industri padat karya maka industri TPT juga sangat peka terhadap isu-isu mengenai Hak Asasi Manusia (HAM), isu lingkungan dan hak pekerja seperti kenaikan upah. Kenaikan upah akan mempengaruhi daya saing apabila tidak diikuti peningkatan produktivitas tenaga kerja (Kementerian Perindustrian, 2003a).
Pertambangan; 1,04% Listrik, Gas dan Air; 0,20%
Keuangan, Asuransi dan Real Estate; 1,43% Konstruksi; 5,30% Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi; 6,03%
Pertanian, Kehutanan & Perikanan; 40,30% Retail, Hotel & Restoran; 20,69%
Industri TPT = 10,06% (1,3 juta pekerja) Masyarakat, Sosial & Jasa Personal; 12,77% Industri Manufaktur; 12,24%
Sumber : Soetrisno, 2009c Gambar 18 Share Penyerapan Tenaga Kerja Industri TPT Terhadap Sektor Industri Manufaktur Tahun 2008 Industri TPT nasional merupakan salah satu penyedia lapangan kerja terbesar di Indonesia. Gambar 19 menunjukkan bahwa pada tahun 2008 Industri TPT mampu menyerap 10.06% (1.289.400 pekerja) dari total 12,55 juta tenaga kerja yang bekerja pada industri manufaktur dan bila dibandingkan terhadap total
88
tenaga kerja (102.552.750 orang) maka industri TPT mampu menyerap tenaga kerja lebih kurang 1,3 persen pada tahun tersebut (Gambar 18). 1.300.000 1.280.000 1.260.000 1.240.000 1.220.000 1.200.000 1.180.000 1.160.000 1.140.000 1.120.000 1.100.000 Total TK (org)
2004
2005
2006
2007
2008
1.184.079
1.176.183
1.190.736
1.234.250
1.289.400
Sumber : Kementerian Perindustrian (2007) dan Soetrisno (2009c) Gambar 19 Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja di Industri TPT
Secara kumulatif sektor industri TPT mampu menyerap tenaga kerja sejumlah 1.184.079 orang pada tahun 2004 dan terus meningkat hingga akhir tahun 2008 menjadi 1.289.400 orang pekerja, atau meningkat sebesar 9% dibandingkan penyerapan tenaga kerja pada tahun 2004. Pada tahun 2005, total jumlah penyerapan tenaga kerja industri TPT sempat mengalami penurunan sebesar 0,7% dibandingkan tahun sebelumnya atau sebesar 1.176.183 orang pekerja. Penurunan ini disebabkan karena adanya pemutusan hubungan kerja terhadap lebih kurang 8.000 pekerja di daerah potensial industri TPT terutama untuk industri kain dan industri pakaian jadi (garmen). Gambar 20 memperlihatkan bahwa penyerapan tenaga kerja di industri tekstil memang padat karya pada industri hilirnya dibandingkan dengan industri hulu yang lebih padat modal. Berdasarkan data tahun 2004-2008, secara rata-rata industri pakaian jadi (garmen) mampu menyerap tenaga kerja terbesar yaitu sebesar 33,1% dari total penyerapan tenaga kerja industri TPT, diikuti oleh industri kain dan produk tekstil lainnya masing-masing sebesar 28,2% dan 20,7% sedangkan industri serat yang terkenal padat modal dan menggunakan advance technology hanya menyerap sebesar 2,4% dari total tenaga kerja yang bekerja di industri TPT.
89
1.400.000
. 1.200.000 1.000.000 800.000 600.000 400.000 200.000 2004
2005
2006
2007
2008
T ekstil lainnya (org)
249.280
249.280
249.442
250.937
257.074
Pakaian Jadi (org)
353.590
346.294
360.685
408.368
435.565
Kain (org)
343.998
343.398
343.398
335.454
346.058
Benang (org)
207.764
207.764
207.764
210.044
220.556
Serat (org)
29.447
29.447
29.447
29.447
30.147
Sumber : Kementerian Perindustrian (2006) dan API (2009). Gambar 20 Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja di Beberapa Sub Sektor Industri TPT
5.7. Perkembangan Nilai Impor Produk TPT dari Negara-Negara ASEAN dan Cina Dalam dua dasawarsa terakhir perkembangan nilai impor TPT dari Cina dan negara-negara ASEAN yang meliputi 9 (sembilan) negara yaitu Thailand, Singapura, Filipina, Malaysia, Myanmar, Kamboja, Brunei Darussalam, Laos dan Vietnam terus menunjukkan peningkatan. Produk TPT yang diimpor dari Cina dan ASEAN terdiri dari 24 macam komoditi dengan kode SITC (Standard International
Trade
Commodity)
sebagaimana
terlihat
pada
Tabel
16.
Berdasarkan data BPS tersebut menunjukkan bahwa komoditi TPT yang diimpor dari ASEAN dan Cina mempunyai kode SITC dengan 2 digit pertamanya adalah 26, 65 dan 84.
90
Tabel 16 Jenis Produk TPT Impor dari Cina dan Negara-Negara ASEAN No.
SITC
Komoditi
1.
261
Silk
2.
263
Cotton
3.
264
Jute and Other Textile Bast Fibres
4.
265
Vegetables Textile Fibres, Raw or Processed, Waste of These Fibres
5.
266
Synthetic Fibres Suitable For Spinning
6.
267
Other Man Made Fibres Suitable For Spinning and Waste
7.
268
Wool and othe animal hair
8.
269
Other Clothing & Other Old Textile Articles : Rags
9.
651
Textile Yarn
10.
652
Cotton Fabrics, Woven
11.
653
Fabrics, Woven, of Man Made Fibres
12.
654
Textile Fabrics, Woven, Other Than of Cotton or Man Made Fibres
13.
655
Knitted or Crochetted Fabrics
14.
656
Tulle, Lace, Enbroidery, Ribbons, Trimmings and other small wares
15.
657
Special Yarns, Textile Fabrics
16.
658
Made Up Articles, Wholly/Chiefly of Textile Material
17.
659
Floor Covering
18.
841
Men's Coats/Jackets, Not Knitted
19.
842
Women's Coats/Jackets, Not Knitted
20.
843
Men's Coats/Jackets, Knitted
21.
844
Women's Coats/Jackets, Knitted
22.
845
Articles of Apparel
23.
846
Clothing Accessories of Textiles Fabrics
24.
848
Articles of Apparel & Clothing Acces, Of Other Than Textile Fabrics
Sumber : Badan Pusat Statistik, 1990-2008
Gambar 21 memperlihatkan bagaimana pertumbuhan impor TPT dari negara ASEAN dan Cina selama periode tahun 1990 hingga 2008. Dari gambar tersebut terlihat bahwa dinamika nilai impor produk TPT meningkat secara tajam terutama dalam periode tahun 2003 – 2008. Pada periode tersebut laju pertumbuhan impor
91
mencapai angka yang sangat fantastis yaitu 54,87 persen per tahun (Tabel 17) dan sebagian besar produk TPT diimpor dari Cina dengan menguasai rata-rata di atas 60 persen terhadap keseluruhan total nilai impor dari ASEAN dan Cina. Total nilai impor TPT tertinggi dari Cina dan negara ASEAN terjadi pada tahun 2008 dengan nilai sebesar USD 1.563,8 juta. Dari jumlah total nilai tersebut sebesar USD 1.057,6 juta merupakan produk impor dari Cina dan sisanya sebesar USD 506,2 juta adalah produk TPT impor dari 9 (sembilan) negara-negara ASEAN dengan importir utamanya adalah Thailand, Singapura dan Malaysia. Bila dibandingkan dengan total impor tahun 2007 sebesar USD 533,3 juta maka nilai impor TPT dari Cina dan ASEAN tahun 2008, mengalami peningkatan sebesar 193,25 persen dan ini didominasi oleh peningkatan impor dari Cina yang mencapai sebesar 189 persen.
Nilai Impor (Juta USD)
1.800 1.600 1.400 1.200 1.000 800 600 400 200
20 08
20 06
20 04
20 02
20 00
19 98
19 96
19 94
19 92
19 90
-
Tahun
Sumber : Badan Pusat Statistik, 1990-2008 (diolah) Gambar 21 Grafik Dinamika Nilai Impor TPT dari ASEAN dan Cina Selama Periode Tahun 1990-2008 Sebagian besar impor produk TPT yang didatangkan dari Cina adalah jenis komoditi Textile Yarn, Cotton Fabrics, Woven, Fabrics, Woven, of Man Made Fibres, Knitted or Crochetted Fabrics dan Special Yarns, Textile Fabrics. Sementara itu jenis komoditi yang diimpor dari negara-negara ASEAN selain jenis komoditi di atas, juga lebih banyak jenis komoditi dengan kode SITC 266 (Synthetic Fibres Suitable For Spinning) terutama dari Thailand dan Singapura.
92
Tabel 17 Dinamika Nilai Impor TPT dari Cina dan Negara-Negara ASEAN Nilai Impor (Juta USD)
Total Impor dari ASEAN dan Cina Cina (Juta USD) 170,5 258,5
No.
Tahun
1.
2003
88,9
2.
2004
125.1
171,4
296,5
14,70
3.
2005
135.4
232,0
367,4
23,91
4.
2006
121.2
273,9
395,1
7,55
5.
2007
167.4
365,9
533,3
34,95
6.
2008
506.2
1.057,6
1.563,8
193,25
ASEAN
Rata-Rata Pertumbuhan (%) Sumber : Badan Pusat Statistik, 2003-2008 (diolah)
Growth (%) -
54,87
Salah satu kerjasama Indonesia pada industri tekstil adalah kerjasama dengan negara Cina dan negara ASEAN melalui pemberlakuan ACFTA yang diduga telah memicu melonjaknya produk TPT impor dari Cina dan ASEAN masuk ke Indonesia. Ini terjadi karena dengan pemberlakuan ACFTA berarti produk-produk TPT dari ASEAN dan Cina akan mendapatkan fasilitas tarif bea masuk menuju 0 (nol) persen. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Primiana (2009) dinyatakan bahwa sedikitnya ada 7 (tujuh) sektor industri manufaktur diperkirakan mengalami opportunity loss dari pemberlakuan ACFTA dan dampak kerugian terbesar akan dirasakan pada sektor industri TPT. Ketujuh sektor industri yang berpotensi merugi sangat besar tersebut diantaranya adalah : 1. Petrokimia 2. Tekstil dan Produk Tekstil 3. Alas Kaki dan Barang Kulit 4. Elektronik 5. Keramik 6. Makanan dan Minuman, dan 7. Besi dan Baja
93
5.8. Road Map Industri TPT 2010 - 2025 Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) merupakan salah satu industri prioritas dalam Kebijakan Industri Nasional (Perpres No. 28 tahun 2008). Berdasarkan road map yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian sesuai Peratutran Menteri Perindustrian No. 109/M-IND/PER/10/2009, industri TPT memiliki visi, misi, sasaran dan target sebagai berikut : Visi
:
Terwujudnya industri tekstil dan produk tekstil nasional sebagai produsen TPT kelas dunia.
Misi
:
- Meningkatkan produktivitas, kualitas dan efisiensi yang berdaya saing ke arah “competitive advantage”. - Meningkatkan daya saing melalui spesifikasi pada produk TPT bernilai tambah tinggi dan high fashion yang berbahan baku lokal.
Sasaran
:
- Menjadikan industri TPT nasional sebagai sumber utama penghasil devisa dari sektor non migas dan potensi penyerapan tenaga kerja. - Menjadikan industri TPT nasional sebagai produsen yang mampu memenuhi kebutuhan pasar dalam dan luar negeri.
Target
:
-
Pertumbuhan ekspor per tahun 8% Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja 3% Penguasaan pangsa pasar domestik 80% Penguasaan pangsa pasar dunia 2%
Secara lebih terperinci maka target kinerja industri TPT nasional sesuai dengan road map tersebut dapat dijabarkan seperti pada Tabel 18 berikut ini :
Tabel 18 Proyeksi Indikator Pencapaian Kinerja Industri TPT
1.
Nilai Ekspor (USD Milyar)
10,39
Target 2014 2025 16,7 31,37
2.
Tenaga Kerja (Juta Orang)
1,28
1,47
1,99
3.
Pangsa Pasar Garmen Domestik (%)
72
80
90
1,76
2
2,5
No.
Indikator
2008
4. Pangsa Pasar Dunia (%) Sumber : Kementerian Perindustrian, 2007
94
Untuk mencapai target kinerja seperti yang telah ditetapkan tersebut maka diperlukan suatu strategi pengembangan industri TPT yang komprehensif dan terpadu serta rencana aksi yang implementatif dari industri TPT yang ada di hulu sampai dengan industri hilirnya. Strategi pengembangan yang komprehensif dan terpadu tersebut meliputi beberapa bidang baik itu energi, tenaga kerja, pemasaran, teknologi dan pengembangan produk, dan infrastruktur. Hal yang tak kalah pentingnya dalam merumuskan strategi pengembangan industri TPT adalah perlu adanya perbaikan iklim usaha baik dalam bentuk dukungan kebijakan fiskal dan moneter serta mempererat linkage supporting industri yang meliputi industri kimia hilir, industri mesin dan spare part, industri kimia zat warna/pembantu, industri pendidikan dan penelitian TPT dan industri aksesoris. Selain itu perlu juga dibina kerjasama dengan supporting sektor antara lain : sektor perbankan/jasa keuangan, sektor jasa transportasi, pelabuhan dan infrastruktur, sektor jasa penyedia energi, dan sektor jasa perdagangan.
95
Halaman ini sengaja dikosongkan
96
VI.
6.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Umum Model Dugaan Tabel 19 menyajikan estimasi parameter persamaan struktural dari model
persamaan simultan yang sudah dipaparkan pada bab terdahulu. Secara umum dari metode Two Stage Least Squares (2SLS) yang digunakan untuk mengestimasi parameter memberikan hasil estimasi yang cukup baik. Hal ini terlihat dari variabel endogen di dalam persamaan struktural umumnya dipengaruhi secara nyata oleh sebagian besar variabel-variabel penjelas secara individu pada taraf nyata (α) 5%, 10% ,15% dan 20%1. Hasil pengolahan data model persamaan simultan dengan menggunakan metode 2SLS dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil pendugaan parameter dari model memberikan nilai koefisien determinasi (R2) yang relatif besar pada masing-masing persamaan struktural, yaitu berkisar antara 0,1934 sampai dengan 0,9299. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel penjelas dalam model mampu menjelaskan perilaku setiap variabel endogen dengan cukup baik antara 19,34 persen sampai dengan 92,99 persen. Sementara itu dari 5 (lima) persamaan struktural yang tidak mengandung peubah endogen bedakala yaitu PDB industri TPT (PDBTPT), ekspor TPT (EKSTPT), jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri TPT (TKTPT), harga produk TPT (PRTPT) dan persamaan nilai impor produk TPT dari negaranegara ASEAN dan Cina (MACTPT) dengan nilai statistik Durbin Watson (DW) berkisar antara 1,5079 sampai dengan 2,2736, maka dapat disimpulkan bahwa kelima persamaan struktural tersebut semuanya terbebas dari masalah autokorelasi. Dalam penelitian ini ada 3 (tiga) persamaan struktural yang dirumuskan mengandung peubah endogen bedakala (lagged endogenous variables), yaitu persamaan nilai investasi TPT (INVTPT), persamaan konsumsi produk TPT (KONSTPT), dan persamaan harga bahan baku TPT di dalam negeri (PD), maka pengujian korelasi serial dengan menggunakan Durbin Watson Statistic menjadi 1
Tingkat signifikansi parameter dugaan persamaan simultan dari model makroekonometrika dapat digunakan hingga taraf nyata 20% (lihat Yudhoyono, 2004).
tidak valid. Selanjutnya untuk menguji apakah model tersebut mengalami korelasi serial atau tidak, digunakan Durbin-h Statistic (Pindyck and Rubinfeld, 1998). Ada tiga persamaan struktural yang mengandung peubah endogen bedakala tersebut di atas, dua diantaranya dapat dilakukan dengan uji Durbin h karena hasil kali T dengan Var Bhat lebih kecil dari 1 yaitu persamaan INVTPT, dan persamaan PD dengan nilai Durbin h (DH) masing-masing adalah -1,88565, dan -0,39906 (Lampiran 2). Nilai statistik Durbin h untuk ketiga persamaan struktural tersebut berada dalam nilai kritis distribusi normal, maka ketiga model atau persamaan struktural tersebut tidak mengalami korelasi serial. Sementara itu untuk persamaan konsumsi TPT (KONSTPT), statistik uji Durbin-h menjadi tidak valid digunakan untuk menguji autokorelasi persamaan konsumsi produk TPT karena hasil kali T dengan Var Bhat untuk persamaan ini lebih besar dari 1. Selanjutnya untuk menguji apakah persamaan konsumsi TPT ini mengalami autokorelasi atau tidak, Durbin menganjurkan untuk melakukan regresi (lihat Pindyck and Rubinfeld halaman 170, 1998) sebagai berikut :
εt = a0 + a1εt-1 + a2PDBKAP + a3MACTPT + a4KONSTPT(-1) + a 5PRTPT selanjutnya dilakukan uji t. Menurut Durbin, dari hasil uji t jika
a1
maka terjadi autokorelasi dalam persamaan tersebut dan jika nilai
signifikan
a1
tidak
signifikan maka persamaan tersebut terbebas dari masalah autokorelasi. Hasil regresi yang dilakukan dapat dilihat pada Lampiran 3, menunjukkan estimasi terhadap parameter
a1 tidak signifikan dengan prob [t] sebesar 0,3636 sehingga
dapat disimpulkan bahwa pada persamaan konsumsi TPT (KONSTPT) tidak terjadi korelasi serial. Suatu hal yang menjadi orientasi utama dalam penelitian ini adalah tanda parameter dugaan yang sebagian besar sesuai dengan harapan, baik berdasarkan teori maupun logika ekonomi. Tanda koefisien tersebut terpenuhi pada hampir semua parameter dugaan (Tabel 19).
Berdasarkan hal ini dan ulasan yang
dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model persamaan simultan yang digunakan cukup baik serta dapat digunakan untuk menganalisis faktor-
98
faktor yang mempengaruhi kinerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia serta merumuskan implikasi kebijakan di sektor industri TPT dalam rangka mendorong peningkatan pertumbuhan industri tersebut dalam menghadapi era perdagangan global ke depan yang semakin kompetitif. Tabel 19 Hasil Pendugaan Model PDBTPT
= 45,99969 + 0,000173*EKSTPT – 0,00003*TKTPT (0,2744)
(0,0002)
(0,4393)
+ 0,000227*INVTPT + 0,000373*KONSTPT (<0,0001)
(<0,0001)
R2 = 85,07% EKSTPT
= -1598,37 + 0,324939*EXRATE + 0,175061*INVTPT (0,9869)
(0,0072)
R2 = 58,07% TKTPT
DW = 1,5079 (0,1124)
DW = 2,2736
= -409865 – 0,03059*UPTPT + 3000,031*PDBTPT (0,0258)
(0,0036)
(<0,0001)
+ 10,70189*INVTPT + 3823,225*PDBTPT (-1) (0,0003)
(0,3124)
R2 = 92,99% INVTPT
DW = 1,7031
= 18221,67 + 0,164354*IMPBM + 0,835646*INVTPT (-1) (0,1232)
(0,0459)
(<0,0001)
+ 136,6894*SBP + 1363,311*RMT + 863,3106*DD (0,5456)
(<0,0001)
R2 = 91,62%
(0,0014)
DH = -1,88565
KONSTPT = 39051,18 + 993,5602*PDBKAP – 1,37963*PRTPT (0,0006)
(<0,0001)
(0,0157)
- 0,12037KONSTPT(-1) + 6,439772*MACTPT (0,8139)
(0,4028)
R2 = 19,34% PRTPT
a1 dengan prob [t] = 0,3636
= 3614,617 + 0,58851*PE – 0,1324*EXRATE + 100,1324*PD (0,3096)
(0,1563)
R2 = 92,06%
(0,2155)
DW = 1,6380
99
(<0,0001)
PD
= 0,143905 + 0,500089*PI – 0,00009*PE + 0,500089*PD (-1) (0,2817)
(<0,0001)
R2 = 39,31% MACTPT
(0,1894)
(<0,0001)
DH = - 0,39906
= 210,7008 + 0,005698*EXRATE - 2,5057*TARIF (0,0004)
(0,4527)
R2 = 69,02%
(<0,0001)
DW = 1,6704
Keterangan : angka di dalam tanda ( ) merupakan prob [t] 6.2. Dugaan Parameter Persamaan Struktural 6.2.1. PDB (Riil) Industri TPT Hasil pendugaan parameter persamaan PDB industri tekstil dan produk tesktil (PDBTPT) memberikan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 85,07 persen. Hal ini menjelaskan bahwa variabel penjelas di dalam persamaan tersebut mampu menjelaskan 85,02 persen perilaku fluktuasi variabel PDB industri TPT. Pada Tabel 20 menunjukkan hasil pendugaan terhadap persamaan PDB industri TPT. PDB industri tekstil dan produk tekstil secara nyata dipengaruhi oleh eskpor industri TPT, nilai investasi industri TPT dan konsumsi untuk TPT. Kinerja ekspor industri TPT berpengaruh secara nyata dalam meningkatkan PDB industri TPT, hal ini ditunjukkan dari nilai parameter dugaan sebesar 0,000174 yang signifikan pada taraf nyata (α) 1%. Nilai parameter dugaan (EKSTPT) sebesar 0,000173 memberikan arti bahwa meningkatnya nilai ekspor industri TPT sebesar USD 1 juta diperkirakan akan meningkatkan PDB industri TPT sebesar Rp 173 juta. Sementara itu nilai investasi di sektor industri TPT juga turut berpengaruh secara nyata terhadap kinerja PDB industri TPT. Parameter dugaan untuk parameter nilai investasi (INVTPT) adalah sebesar 0,000227 yang signifikan pada taraf nyata (α) 1%. Estimasi parameter dengan nilai 0,000227 ini mempunyai arti bahwa peningkatan nilai investasi senilai Rp 1 Trilyun, diprediksi akan meningkatkan PDB industri TPT sebesar Rp 227 milyar. Faktor lain yang mempengaruhi terhadap kinerja PDB industri TPT adalah besarnya konsumsi terhadap tekstil dan produk tekstil nasional. Parameter dugaan untuk konsumsi berpengaruh secara signifikan terhadap PDB industri TPT pada 100
taraf nyata (α) 1% dengan nilai estimasi sebesar 0,000373 yang menunjukkan bahwa meningkatnya nilai konsumsi masyarakat terhadap produk TPT sebesar USD 1 juta akan memberikan dampak peningkatan terhadap PDB industri TPT sebesar Rp 373 milyar. Tabel 20 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan PDB (Riil) Industri TPT Variabel
Koefisien Estimasi
Simpangan Baku
Prob │t│
Signifikansi
PDBTPT Intersep 45,99969 40,5484 0,2744 EKSTPT 0,000173 0,000035 0,0002 A TKTPT -0,00003 0,000035 0,4393 INVTPT 0,000227 0,000035 <,0001 A KONSTPT 0,000373 0,000035 <,0001 A R2 = 0,8507 DW = 1,5079 Keterangan : A = (α) 5%, B = (α) 10%, C = (α) 15%, D = (α) 20% PDBTPT = PDB industri TPT EKSTPT = Nilai ekspor TPT TKTPT = Jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri TPT INVTPT = Nilai investasi di sektor industri TPT KONSTPT = Nilai konsumsi produk TPT Berdasarkan hasil pendugaan terhadap parameter jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor TPT menunjukkan bahwa variabel ini tidak berpengaruh nyata terhadap kinerja PDB industri nasional. Koefisien estimasi untuk variabel ini menunjukkan tanda negatif, dan hal ini kemungkinan ini disebabkan karena industri hilir pada industri TPT yaitu sub sektor industri pakaian jadi (garmen) yang merupakan industri padat karya produktivitasnya sangat rendah. Periode tahun 2004-2008 produktivitas per orang tenaga kerja per tahun di sub sektor industri garmen hanya mencapai 1,22 ton dan tingkat produktivitas ini menunjukkan trend penurunan pada periode tersebut. Sementara pada bagian industri hulunya yang meliputi sub sektor industri serat dan benang merupakan industri yang padat modal karena menggunakan advance technology. 6.2.2. Eskpor Industri TPT Hasil pendugaan parameter persamaan ekspor industri tekstil dan produk tesktil (EKSTPT) memberikan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 58,07 101
persen.
Hal ini menunjukkan bahwa variabel penjelas di dalam persamaan
tersebut mampu menjelaskan 55,09 persen perilaku fluktuasi variabel ekspor industri TPT. Pada Tabel 21 menunjukkan hasil pendugaan terhadap persamaan ekspor industri TPT. Eskpor industri tekstil dan produk tekstil secara nyata dipengaruhi oleh nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar dan nilai investasi di sektor industri TPT. Nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar (EXRATE) mempengaruhi secara signifikan fluktuasi nilai ekspor industri TPT (EKSTPT) pada taraf nyata (α) 1% dengan nilai estimasi parameter tersebut sebesar 0,324939. Hal ini menunjukkan bahwa setiap terjadi depresiasi (peningkatan) nilai tukar rupiah terhadap US Dollar sebesar 1 Rp/USD diprediksi akan meningkatkan nilai ekspor TPT sebesar USD 0,324 juta atau senilai Rp 2,8 milyar jika dihitung dengan kurs (Rp/USD) sebesar Rp 9.000,Tabel 21 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Eskpor Industri TPT Koefisien Simpangan Prob │t│ Signifikansi Variabel Estimasi Baku EKSTPT Intersep -1598,37 95908,6 0,9869 EXRATE 0,324939 0,1034 0,0072 A INVTPT 0,175061 0,1034 0,1124 C R2 = 0,5807 DW = 2,2736 Keterangan : A = (α) 5%, B = (α) 10%, C = (α) 15%, D = (α) 20% EKSTPT = Nilai ekspor TPT EXRATE = Nilai tukar rupiah terhadap USD INVTPT = Nilai investasi di sektor industri TPT Selain itu fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap UD Dollar, kinerja ekspor industri TPT juga dipengaruhi oleh besarnya nilai investasi di sektor industri TPT (INVTPT). Variabel dugaan nilai investasi industri TPT berpengaruh secara nyata pada tingkat signifikansi (α) 15% dengan nilai estimasi parameter sebesar 0,187613. Parameter dugaan sebesar 0,175061 mengartikan bahwa meningkatnya nilai investasi di sektor industri TPT sebesar Rp 1 trilyun diprediksi akan meningkatkan nilai ekspor pada industri TPT sebesar USD 175,06 juta.
102
6.2.3. Tenaga Kerja Industri TPT Hasil estimasi parameter persamaan jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri tekstil dan produk tesktil (TKTPT) memberikan nilai koefisien determinasi (R2) yang cukup besar yaitu 92,99 persen. Hal ini memberikan arti bahwa variabel penjelas di dalam persamaan tersebut mampu menjelaskan 92,99 persen perilaku fluktuasi variabel jumlah tenaga kerja pada sektor industri TPT. Ada tiga variabel penduga yang mempengaruhi jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri TPT yaitu tingkat upah tenaga kerja, produk domestik bruto industri TPT dan besaran nilai investasi di sektor industri TPT (Tabel 22). Jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri TPT dipengaruhi secara signifikan oleh tingkat upah tenaga kerja (UPTPT) pada taraf nyata (α) 1%. Nilai estimasi dari variabel upah tenaga kerja adalah -0,03059, yang mengartikan bahwa setiap terjadi peningkatan upah sebesar Rp 1 juta per tahun akan menurunkan jumlah tenaga kerja yang mampu diserap oleh sektor industri TPT sebanyak 30.590 orang pekerja. Jumlah output yang dihasilkan oleh industri TPT (PDBTPT) juga mempengaruhi besarnya jumlah tenaga kerja yang bekerja di industri TPT. PDBTPT berpengaruh secara nyata pada tingkat signifikansi (α) 1% dengan estimasi parameter sebesar 3000,031 yang menunjukkan bahwa setiap terjadi peningkatan nilai output industri TPT sebesar Rp 1 Trilyun diperkirakan akan mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja di industri TPT (TKTPT) sebanyak 3.000 orang pekerja. Selain itu faktor yang mempengaruhi besarnya jumlah tenaga kerja yang bekerja di industri TPT juga dipengaruhi oleh besarnya nilai investasi di sektor tersebut (INVTPT). Parameter nilai investasi di sektor industri TPT berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah tenaga kerja yang bekerja di industri ini pada taraf nyata (α) 1% dengan nilai estimasi sebesar 10,70189. Hal ini menunjukkan bahwa setiap terjadi peningkatan nilai investasi di sektor industri TPT sebesar Rp 1 trilyun diprediksi akan mampu meningkatkan jumlah tenaga kerja yang akan diserap industri TPT sebanyak 10.702 orang pekerja.
103
Tabel 22 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Tenaga Kerja Industri TPT Variabel
Koefisien Estimasi
Simpangan Baku
Prob │t│
Signifikansi
TKTPT Intersep - 409865 164442 0,0258 UPTPT - 0,03059 0,00875 0,0036 PDBTPT 3000,031 0,00875 <,0001 INVTPT 10,70189 2,2428 0,0003 PDBTPT (t-1) 3823,225 3648,1 0,3124 2 R = 0,9299 DW = 1,7031 Keterangan : A = (α) 5%, B = (α) 10%, C = (α) 15%, D = (α) 20% TKTPT = Jumlah tenaga kerja yang bekerja di industri TPT UPTPT = Upah tenaga kerja PDBTPT = PDB industri TPT INVTPT = Nilai investasi di sektor industri TPT PDBTPT(t-1) = PDB industri TPT periode sebelumnya
A A A A
Melalui persamaan struktural PDB industri TPT (PDBTPT) sebelumnya diketahui bahwa parameter jumlah tenaga yang bekerja di industri TPT tidak signifikan pada taraf nyata (α) 20%, namun semua variabel eksogen yang mempengaruhi tenaga kerja industri TPT siginifikan pada taraf nyata di bawah 1%. Oleh karena itu maka variabel eksogen yang mempengaruhi tenaga kerja di industri TPT ini layak untuk dipertimbangkan dalam menyusun kebijakan strategi pengembangan industri TPT ke depan. 6.2.4. Investasi Industri TPT Hasil estimasi parameter persamaan nilai investasi industri tekstil dan produk tesktil (INVTPT) memberikan nilai koefisien determinasi (R2) yang cukup besar yaitu 91,62 persen. Hal ini menunjukkan bahwa variabel penjelas di dalam persamaan tersebut mampu menjelaskan 91,62 persen perilaku fluktuasi variabel nilai investasi di sektor industri TPT. Fluktuasi nilai investasi pada sektor industri TPT dipengaruhi secara nyata oleh beberapa variabel-variabel penjelas diantaranya adalah nilai impor barang modal (IMPBM), nilai investasi di sektor industri TPT pada periode sebelumnya (INVTPT(t-1)), nilai investasi mesin TPT yang direstrukturisasi melalui program peningkatan teknologi mesin TPT (RMT), dan kebijakan desentralisasi (DD) seperti pada Tabel 23.
104
Tabel 23 memperlihatkan bahwa nilai investasi di sektor industri TPT dipengaruhi secara nyata oleh nilai impor barang modal. Hasil estimasi koefisien nilai impor barang modal (IMPBM) menunjukkan nilai sebesar 0,164354 yang signifikan pada taraf nyata (α) 5%, yang mempunyai makna setiap peningkatan nilai impor barang modal sebesar USD 1 juta diprediksi akan memberikan dampak pada peningkatan nilai investasi di sektor industri TPT sebesar Rp 164,35 juta. Fluktuasi nilai investasi di sektor industri TPT juga di pengaruhi oleh besarnya nilai investasi di sektor tersebut pada periode sebelumnya (INVTPT(t-1)). Hal ini ditunjukkan dari hasil estimasi koefisien nilai investasi industri TPT periode sebelumnya sebesar 0,835646 yang signifikan pada taraf nyata (α) 1%. Koefisien estimasi sebesar 0,835646 ini memberikan arti meningkatnya investasi industri TPT periode sebelumnya sebesar Rp 1 milyar diprediksi akan mampu meningkatkan nilai investasi di sektor ini sebesar Rp 0,84 milyar. Tabel 23 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Investasi Industri TPT Variabel
Koefisien Estimasi
Simpangan Baku
Prob │t│
Signifikansi
INVTPT Intersep 18221,67 11155,5 0,1232 IMPBM 0,164354 0,0755 0,0459 A INVTPT (t-1) 0,835646 0,0755 <,0001 A SBP 136,6894 221,1 0,5456 RMT 1363,311 221,1 <,0001 A DD 863,3106 221,1 0,0014 A R2 = 0,9162 DH = -1,88565 Keterangan : A = (α) 5%, B = (α) 10%, C = (α) 15%, D = (α) 20% INVTPT = Nilai investasi di sektor industri TPT IMPBM = Nilai impor barang modal INVTPT(t-1) = Nilai investasi di sektor industri TPT periode sebelumnya SBP = Suku bunga pinjaman RMT = Nilai investasi mesin/peralatan TPT yang direstrukturisasi DD = Dummy Desentralisasi Variabel dugaan berikutnya yang mempengaruhi secara nyata terhadap nilai investasi di sektor industri TPT adalah nilai investasi mesin TPT yang direstrukturisasi melalui program peningkatan teknologi mesin TPT (RMT). Hasil
105
estimasi terhadap koefiesien RMT ini menunjukkan bahwa program pemerintah yang baru dimulai pada tahun 2007 ini mampu meningkatkan nilai investasi industri TPT secara signifikan pada taraf nyata (α) 1% dengan nilai koefisien estimasi sebesar 1363,311. Nilai koefisien yang positif dengan nilai 1363,311 ini mempunyai makna bahwa setiap terjadi investasi mesin TPT melalui program restrukturisasi mesin TPT sebesar Rp 1 trilyun diprediksi mampu menstimulasi terjadinya peningkatan nilai investasi di sektor ini sebesar Rp 1,36 trilyun. Kebijakan desentralisasi merupakan faktor lainnya yang mempengaruhi nilai investasi di sektor industri TPT. Hasil estimasi dari variabel dummy desentralisasi (DD) bernilai positif dan sifnifikan pada taraf nyata (α) 1%. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi mempunyai dampak positif dibidang investasi dan kebijakan ini diprediksi mampu mendorong peningkatan nilai investasi di sektor industri TPT. Perbaikan sistem pelayanan perizinan investasi di beberapa daerah sentra produksi industri TPT dimungkinkan menjadi salah satu pendorong dalam perbaikan iklim investasi di sektor industri tekstil di daerah. Pemberlakuan UU No. 33 tahun 2004 yang salah satu pasalnya melarang bagi daerah melakukan beberapa hal terkait dengan pengumpulan PAD, antara lain (a) menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, dan (b) menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan impor/ekspor,
seharusnya ditanggapi positif oleh daerah guna
meminimalisir munculnya kebijakan yang menghambat perdagangan dan investasi dalam rangka perbaikan iklim investasi di daerah.
6.2.5. Konsumsi Rumah Tangga Untuk Produk TPT Hasil estimasi parameter persamaan nilai konsumsi pada industri tekstil dan produk tesktil (KONSTPT) memberikan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 19,34 persen. Hal ini menunjukkan bahwa variabel penjelas di dalam persamaan tersebut hanya mampu menjelaskan 19,34 persen perilaku fluktuasi variabel nilai konsumsi untuk produk TPT. Fluktuasi nilai konsumsi terhadap produk TPT dipengaruhi secara nyata oleh pendapatan perkapita (PDBKAP) dan harga produk TPT (PRTPT). 106
Tabel 24 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Konsumsi TPT Koefisien Simpangan Variabel Prob │t│ Signifikansi Estimasi Baku KONSTPT Intersep 39051,18 8799,9 0,0006 A PDBKAP 993,5602 7,4643 <,0001 A PRTPT -1,37963 0,5019 0,0157 A KONSTPT(t-1) -0,12037 0,5019 0,8139 MACTPT 6,439772 7,4643 0,4028 R2 = 0,1934 a1 dengan prob [t] = 0,3636 Keterangan : A = (α) 5%, B = (α) 10%, C = (α) 15%, D = (α) 20% KONSTPT = Nilai konsumsi produk TPT PDBKAP = Pendapatan per kapita PRTPT = Harga produk TPT TKTPT = Jumlah tenaga kerja yang bekerja di industri TPT INVTPT = Nilai investasi di sektor industri TPT KONSTPT(t-1) = Nilai konsumsi produk TPT periode sebelumnya MACTPT = Nilai impor produk TPT dari negara-negara ASEAN dan Cina Tabel 24 memperlihatkan bahwa nilai konsumsi terhadap produk TPT dipengaruhi secara nyata oleh pendapatan per kapita. Hasil estimasi koefisien pendapatan perkapita menunjukkan nilai sebesar 993,5602 yang signifikan pada taraf nyata (α) 1%. Hal ini mempunyai makna bahwa setiap peningkatan pendapatan per kapita sebesar Rp 1 juta per tahun diprediksi akan meningkatkan nilai konsumsi terhadap produk TPT sebesar USD 993,56 juta. Harga produk tekstil juga mempengaruhi secara nyata terhadap besarnya nilai konsumsi terhadap produk ini. Berdasarkan hasil estimasi koefisien harga produk TPT senilai -1,37963 dan signifikan pada taraf nyata (α) 1%. Koefisien bertanda negatif ini menunjukan bahwa setiap terjadi peningkatan terhadap harga produk TPT senilai USD 1 per ton diprediksi akan menurunkan konsumsi terhadap produk TPT sebesar USD 1,38 juta. Tabel 24 juga menunjukkan bahwa tingkat konsumsi produk tekstil dalam negeri tidak dipengaruhi oleh besarnya nilai impor produk-produk TPT dari negara-negara ASEAN dan Cina, namun perlu diketahui bahwa nilai impor ini tidak termasuk jumlah produk TPT impor dari Cina dan ASEAN yang masuk ke Indonesia secara ilegal. Menurut catatan Kementerian Perindustrian (2007), dari total domestic market share di tahun 2006 sebesar 1.013 ribu ton, 50% nya adalah
107
produk impor ilegal, 5% impor dan sisanya sebesar 45% dipenuhi dari suplai/produksi dalam negeri. 6.2.6. Harga TPT Hasil estimasi parameter pada persamaan harga produk TPT (PRTPT) memberikan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 92,06 persen.
Hal ini
menunjukkan bahwa variabel penjelas di dalam persamaan tersebut mampu menjelaskan 92,06 persen perilaku fluktuasi variabel harga produk TPT. Fluktuasi harga produk TPT dipengaruhi secara nyata oleh harga energi domestik (PE), nilai tukar rupiah terhadap US dollar (EXRATE) dan harga bahan baku tekstil domestik (PD). Berdasarkan Tabel 25, harga energi domestik mempengaruhi terhadap perilaku fluktuasi harga TPT secara signifikan pada taraf nyata (α) 15% dengan nilai estimasi terhadap koefisiennya sebesar 0,58851. Nilai estimasi sebesar 0,58851 ini memberikan makna bahwa setiap terjadi peningkatan harga energi domestik sebesar Rp 1000 per liter diprediksi akan meningkatkan harga produk TPT sebesar USD 0,58 per kilogram. Tabel 25 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga TPT Koefisien Simpangan Prob │t│ Signifikansi Variabel Estimasi Baku PRTPT Intersep 3614,617 3428,5 0,3096 PE 0,58851 0,3928 0,1563 C EXRATE - 0,1324 0,1021 0,2155 D PD 100,1324 0,1021 < 0,0001 A R2 = 0,9206 DW = 1,6380 Keterangan : A = (α) 5%, B = (α) 10%, C = (α) 15%, D = (α) 20% PRTPT = Harga produk TPT PE = Harga energi di domestik EXRATE = Nilai tukar rupiah terhadap USD PD = Harga bahan baku di domestik Nilai tukar rupiah terhadap US Dollar juga mempengaruhi perilaku fluktuasi harga produk TPT. Variabel EXRATE mempengaruhi harga produk TPT secara signifikan pada taraf nyata (α) 20% dengan nilai estimasi terhadap koefisien adalah sebesar -0,1324. Hal ini menunjukkan bahwa setiap terjadi 108
apresiasi (penurunan) nilai tukar rupiah terhadap US Dollar sebesar 1000 Rp/USD maka harga produk TPT diprediksi akan menurun sebesar USD 0,132 per kilogram. Variabel dugaan berikutnya yang berpengaruh secara nyata terhadap harga produk TPT adalah harga bahan baku TPT di dalam negeri. Nilai estimasi terhadap koefisien PD sebesar 100,1324 dan estimasi koefisien ini signifikan pada taraf nyata (α) 1%. Nilai estimasi sebesar 100,1324 menunjukkan bahwa setiap terjadi peningkatan harga bahan baku TPT di dalam negeri sebesar 1 USD/kg diprediksi akan meningkatkan harga produk TPT sebesar USD 0,1 per kilogram. 6.2.7. Harga Bahan Baku Domestik TPT Hasil estimasi parameter pada persamaan harga bahan baku TPT di domestik (PD) memberikan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 39,31 persen. Hal ini menunjukkan bahwa variabel penjelas di dalam persamaan tersebut hanya mampu menjelaskan 39,31 persen perilaku fluktuasi variabel harga bahan baku TPT di dalam negeri. Fluktuasi harga harga bahan baku TPT di domestik dipengaruhi secara nyata oleh harga bahan baku TPT dunia (PI) dan harga bahan baku tekstil domestik periode sebelumnya (PD(t-1)). Tabel 26 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Bahan Baku TPT Koefisien Simpangan Variabel Prob │t│ Signifikansi Estimasi Baku PD Intersep 0,143905 0,1289 0,2817 PI 0,500089 0,000065 < 0,0001 A PE -0,00009 0,000065 0,2894 PD (t-1) 0,500089 0,000065 < 0,0001 A 2 R = 0,3931 DH = - 0,39906 Keterangan : A = (α) 5%, B = (α) 10%, C = (α) 15%, D = (α) 20% PI = Harga bahan baku dunia PE = Harga energi domestik PD(t-1) = Harga bahan baku domestik periode sebelumnya Tabel 26 menunjukkan bahwa harga bahan baku TPT dunia berpengaruh secara nyata terhadap harga bahan baku TPT di dalam negeri pada taraf nyata (α) 1% dengan nilai estimasi parameter tersebut adalah 0,500089. Hal ini mempunyai
109
arti bahwa setiap terjadi peningkatan harga bahan baku TPT dunia sebesar 1 USD/kg diduga akan memberikan dampak pada terjadinya peningkatan harga bahan baku di dalam negeri sebesar USD 0,5 per kilogram. Variabel dugaan lainnya yang mempengaruhi secara nyata terhadap fluktuasi harga bahan baku TPT di dalam negeri adalah harga bahan baku TPT domestik pada periode sebelumnya. Hasil estimasi terhadap parameter ini menunjukkan koefisien PD(t-1) ini secara signifikan mempengaruhi fluktuasi nilai PD pada taraf nyata (α) 1% dengan nilai estimasi koefisiennya adalah 0,500089. Hal ini mempunyai arti bahwa setiap terjadi peningkatan harga bahan baku TPT domestik sebesar 1 USD/kg pada periode sebelumnya diperkirakan akan mempengaruhi terjadinya peningkatan harga bahan baku di dalam negeri pada periode berikutnya sebesar USD 0,5 per kilogram. 6.2.8. Impor TPT dari Negara-Negara ASEAN dan Cina Hasil estimasi parameter pada persamaan nilai impor TPT dari negaranegara ASEAN dan Cina (MACTPT) memberikan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 69,13 persen. Hal ini menunjukkan bahwa variabel penjelas di dalam persamaan tersebut hanya mampu menjelaskan 69,13 persen perilaku fluktuasi variabel impor TPT dari negara-negara ASEAN dan Cina. Fluktuasi nilai impor TPT dari negara-negara ASEAN dan Cina dipengaruhi secara nyata oleh tarif impor produk TPT (TARIF) seperti terlihat pada Tabel 27. Tabel 27 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Impor TPT dari NegaraNegara ASEAN dan Cina Koefisien Simpangan Variabel Prob │t│ Signifikansi Estimasi Baku MACTPT Intersep 210,7008 47,0948 0,0004 EXRATE 0,005698 0,00739 0,4527 TARIF -2,5057 0,00739 < 0,0001 A 2 R = 0,6913 DW = 1,6704 Keterangan : A = (α) 5%, B = (α) 10%, C = (α) 15%, D = (α) 20% MACTPT = Nilai impor produk TPT dari negara-negara ASEAN dan Cina EXRATE = Nilai tukar rupiah terhadap USD TARIF = Tarif bea masuk produk TPT
110
Berdasarkan Tabel 27, menjelaskan tingkat tarif impor produk TPT mempengaruhi perilaku fluktuasi harga nilai impor produk TPT dari negaranegara ASEAN dan Cina secara signifikan pada taraf nyata (α) 1%, dengan nilai estimasi terhadap koefisiennya adalah -2,5057. Nilai koefisien yang bertanda negatif ini menunjukkan bahwa tingkat tarif impor berbanding terbalik terhadap nilai impor produk tersebut. Koefisien estimasi senilai -2,5057 untuk variabel tarif, memberikan makna bahwa bila terjadi kenaikan tingkat tarif impor terhadap produk TPT sebesar 1% maka diprediksi akan menyebabkan turunnya nilai impor terhadap produk TPT dari ASEAN dan Cina sebesar USD 2,5 juta.
6.3 Implikasi Kebijakan Merujuk pada temuan hasil analisis model ekonometrika berupa faktorfaktor yang mempengaruhi kinerja industri TPT baik secara langsung maupun tidak langsung dan dikaitkan dengan permasalahan yang dihadapi oleh industri TPT serta diselaraskan dengan road map pengembangan klaster industri TPT tahun 2010-2025 sesuai Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 109/MIND/PER/10/2009, maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah agar dapat memacu kinerja industri TPT tanah air, diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Besaran nilai konsumsi produk TPT telah terbukti secara signifikan mempengaruhi langsung variasi tingkat output yang dihasilkan industri ini di dalam negeri. Oleh karena itu peran pemerintah yang diharapkan dalam rangka meningkatkan konsumsi produk tekstil dengan penggarapan pasar domestik yang masih sangat potensial dengan jumlah penduduk mencapai 230 juta jiwa, dapat dilakukan melalui : a) agar menghimbau seluruh instansi untuk menggunakan tekstil dalam negeri, misalnya dimulai dengan pakaian seragam, dan ini ditargetkan dapat menguasai 60% pangsa pasar domestik. b) mengkampanyekan penggunaan produk dalam negeri dan memfasilitasi kegiatan promosi seperti pameran di dalam negeri. c) melindungi pasar domestik dengan melaksanakan aturan yang sudah disepakati WTO, misalnya dengan atau tarif bea masuknya dinaikkan sebesar 10% untuk produk kain dan pakaian jadi, 111
d) menanggulangi impor ilegal secara bertahap melalui kerjasama yang optimal antara Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), POLRI, Bea Cukai, Jaksa dan Pengadilan dengan cara : - API menyampaikan data-data sebatas informasi, - POLRI dan Bea Cukai yang melakukan penyidikan, - Jaksa yang melakukan pembuktian, - Pengadilan yang memutuskan. 2. Melalui model persamaan simultan diperoleh bahwa nilai ekspor tekstil mempengaruhi secara signifikan fluktuasi nilai output yang dihasilkan industri ini di dalam negeri, sehingga variabel nilai ekspor perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah untuk mengembangkan industri ini di dalam negeri. Untuk meningkatkan pasar ekspor, strategi pengembangan industri TPT yang dapat dilakukan pemerintah, antara lain : a) Pengembangan wilayah pemasaran ke pasar non tradisional selain USA dan Uni Eropa seperti Timur Tengah, Hongkong, dan Jepang, b) Peningkatan penetrasi pasar melalui kerjasama perdagangan, c) Mengembangkan merek-merek dalam negeri untuk dapat bersaing di pasar dunia, d) Memfungsikan ITPC (Indonesia Trade Promotion Center) sebagai marketing agent (kepanjangan tangan dari sektor riil nasional) untuk melakukan penetrasi pasar dan meningkatkan kinerja ekspor ke negara tempat ITPC berada dan memfasilitasi sektor riil nasional untuk melakukan promosi. 3. Dalam model persamaan investasi diketahui bahwa kebijakan desentralisasi ternyata berpengaruh secara tidak langsung terhadap peningkatan ouput (PDB riil) industri TPT melalui besaran nilai investasi di sektor tersebut. Pengaruh positif dari implementasi kebijakan desentralisasi terhadap dunia usaha ini harus diiringi dengan penataan regulasi di daerah melalui perbaikan kelembagaan pemerintah daerah yang terkait dengan usaha peningkatan iklim investasi untuk menarik investor menanamkan modalnya di industri TPT sehingga mampu meningkatkan PDB industri TPT. Perbaikan iklim investasi
112
dengan meninjau kebijakan investasi yang bersifat kontra produktif dan memperlancar ke akses-akses sumber pendanaan. 4. Melalui model persamaan simultan yang dibangun ditemukan bahwa nilai mesin/peralatan tekstil yang diremajakan melalui program peningkatan teknologi industri TPT ternyata mempengaruhi kinerja industri TPT di dalam negeri melalui persamaan nilai investasi di sektor ini. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan daya saing industri TPT dalam negeri terutama untuk menghadapi serbuan produk tekstil dari Cina dalam menghadapi ACFTA maka pemerintah dapat terus melanjutkan program peningkatan teknologi industri TPT ini baik itu melalui program potongan harga pembelian mesin maupun melalui pinjaman pembiayaan pembelian mesin/peralatan dengan suku bunga rendah melalui sistem modal padanan. Program ini telah terbukti secara signifikan mampu menjadi stimulus peningkatan investasi di industri TPT sekaligus meningkatkan jumlah serapan tenaga kerja, peningkatan kapasitas produksi, peningkatan produktivitas dan peningkatan efisiensi dalam penggunaan energi. 5. Selain itu peningkatan daya saing juga dapat dilakukan dengan melakukan : a) penguatan institusi penelitian dan pengembangan produk sehingga mampu menghasilkan produk yang ramah lingkungan dan mempunyai daya saing tinggi untuk bersaing di pasar dunia. b) Peningkatan skill sumberdaya manusia, baik di bidang desain, merchandizing, marketing, teknologi prosesing dan bidang manajemen 6. Pemerintah perlu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap USD karena variabel nilai tukar rupiah terhadap US Dollar dari model yang dibangun diketahui secara signifikan mempengaruhi kinerja industri TPT secara tidak langsung melalui persamaan ekspor dan harga produk tekstil di dalam negeri, sehingga : a) kinerja ekspor tetap terjaga bahkan diharapkan meningkat sehingga dapat memacu peningkatan investasi dan dengan demikian maka akan terjadi peningkatan kinerja PDB pada industri TPT tanah air. b) harga produk-produk TPT tetap terjaga sehingga konsumsi rumah tangga untuk produk tekstil tidak mengalami penurunan yang signifikan, karena
113
dapat berimbas pada terjadinya kontraksi PDB industri tekstil dan produk tekstil. 7. Pemerintah juga perlu menjaga stabilitas harga bahan baku dan harga energi di dalam negeri, karena kedua komponen ini merupakan input penting bagi berjalannya proses produksi di industri TPT. Melalui model diketahui bila terjadi kenaikan harga pada kedua input tersebut dapat memicu terjadinya lonjakan pada harga tekstil dalam negeri sehingga yang akan menyebabkan terjadinya kontraksi pada PDB industri karena imbas dari penurunan tingkat konsumsi tekstil di dalam negeri. 8. Selain menjaga stabilitas harga energi domestik maka hal yang tak kalah pentingnya dilakukan pemerintah terkait dengan strategi pengembangan industri TPT melalui bidang energi adalah menghemat biaya listrik dan BBM melalui konservasi energi dan diversifikasi energi dengan menggunakan batubara dan gas. Terkait dengan program konservasi dan diversifikasi energi ini perlu koordinasi lintas instansi yaitu Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Kementerian Perindustrian, Kementerian Lingkungan Hidup, Perusahaan Gas Negara, Pemerintah Daerah dan pelaku usaha. 9. Mengingat gejolak harga bahan baku dunia berpengaruh terhadap dinamika harga harga bahan baku domestik, maka pemerintah dapat memberikan insentif khususnya kepada industri TPT yang potensial dan strategis bagi peningkatan PDB industri TPT manakala terjadi lonjakan harga bahan baku. Menghadapi lonjakan harga bahan baku dunia maka pemerintah juga perlu mendorong pengembangan industri bahan baku serat dalam negeri seperti Purified Terephthalic Acid (PTA), Monoetilen Glikol (MEG), dissolving pulp, kapas, rami, sutera dan lain-lain. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di tahun 2009 terhadap pemetaan dan perencanaan investasi untuk pengembangan industri bahan baku TPT direkomendasikan bahwa industri PTA dan MEG layak untuk dikembangkan di Indonesia dengan potensi lokasi pengembangan masingmasing berada di Kawasan Industri Gresik, Provinsi Jawa Timur untuk industri PTA sedangkan industri MEG sangat potensial untuk dikembangkan di Kawasan Industri Cilegon, Provinsi Banten.
114
10. Walaupun impor produk TPT dari negara-negara ASEAN dan Cina tidak secara signifikan mempengaruhi tingkat konsumsi produk tekstil di dalam negeri,
pemerintah
perlu
mempertimbangkan
untuk
merenegosiasi
implementasi ACFTA untuk beberapa produk TPT dengan kode HS (Harmonized System) tertentu terutama untuk produk-produk TPT yang sangat sensitif terhadap industri dalam negeri bila diterapkan tarif bea masuk 0% karena terbukti bahwa penurunan tarif bea masuk berpengaruh pada peningkatan nilai impor produk TPT dari negara ASEAN dan Cina.
115
Halaman ini sengaja dikosongkan
116
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) merupakan salah satu industri prioritas nasional dalam Kebijakan Industri Nasional (Perpres No. 28 tahun 2008) yang masih prospektif untuk dikembangkan. Indonesia menjadi pasar yang sangat potensial dengan populasi penduduk lebih dari 230 juta jiwa.
Dalam
perekonomian nasional industri TPT merupakan salah satu sektor yang merupakan penyumbang utama dalam industri manufaktur diantaranya sebagai penyumbang devisa ekspor, kontribusi dalam Produk Domestik Bruto (PDB), penyerap tenaga kerja dalam jumlah yang signifikan, dan memasok kebutuhan pasar domestik. Industri TPT dengan segala permasalahannya baik di bidang energi, infrastruktur, ketenagakerjaan, kondisi permesinan, daya saing yang rendah, dan dukungan sektor finansial serta adanya ancaman dari implementasi Asean China Free Trade Agreement, ternyata industri ini masih menunjukkan kemampuan untuk bertahan walaupun dalam kondisi semakin terpuruk dalam beberapa tahun terakhir, diantaranya menurunnya laju pertumbuhan PDB riil industri TPT, menurunnya kinerja ekspor bersih karena laju pertumbuhan impor melebihi laju pertumbuhan ekspor. Model ekonometrika yang dibangun dalam penelitian ini menggunakan sistem persamaan simultan dan estimasi parameter diduga dengan menggunakan metode two stage least square (2SLS). Secara umum dari metode 2SLS yang digunakan untuk mengestimasi parameter memberikan hasil estimasi yang cukup baik dilihat dari koefisien determinasi (R2) yang relatif besar pada masing-masing persamaan struktural, yaitu berkisar antara 0,1934 sampai dengan 0,9299. Uji terhadap autokorelasi dengan menggunakan uji statistik Durbin Watson dan uji Durbin h juga menunjukkan bahwa model ekonometrika yang dibangun terbebas dari masalah autokorelasi. Berdasarkan nilai koefisien determinasi dan uji autokorelasi yang dilakukan maka model persamaan simultan yang dibangun dalam penelitian ini cukup baik serta dapat digunakan untuk menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi kinerja industri TPT di Indonesia serta merumuskan implikasi kebijakan di sektor industri TPT dalam rangka mendorong peningkatan
pertumbuhan industri tersebut dalam menghadapi era perdagangan global ke depan yang semakin kompetitif. Hasil estimasi terhadap parameter menunjukkan bahwa faktor-faktor yang secara signifikan langsung mempengaruhi kinerja industri TPT adalah
nilai
ekspor TPT, nilai investasi sektor TPT, dan besaran konsumsi produk TPT. Sementara faktor-faktor yang secara tidak langsung dan signifikan mempengaruhi kinerja industri TPT nasional adalah nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar, upah tenaga kerja, nilai mesin/peralatan TPT yang direstrukturisasi melalui program peningkatan teknologi industri TPT, kebijakan desentralisasi, pendapatan perkapita, harga produk tekstil, harga energi domestik, harga bahan baku domestik dan tarif bea masuk produk TPT impor. Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja yang bekerja di industri TPT tidak secara signifikan mempengaruhi kinerja industri TPT, namun beberapa faktor dari sisi ketenagakerjaan yang diuji dalam model secara tidak langsung dan signifikan pada taraf nyata 1 persen mempengaruhi kinerja industri TPT diantaranya PDB riil industri TPT, upah tenaga kerja dan nilai investasi pada sektor industri TPT. Oleh karena itu maka variabel eksogen yang mempengaruhi tenaga kerja di industri TPT ini layak untuk dipertimbangkan dalam menyusun kebijakan strategi pengembangan industri TPT ke depan, apalagi ternyata industri ini merupakan industri yang padat karya terutama untuk subsektor industri hilir dari industri TPT yaitu industri pakaian jadi/garmen dan industri barang jadi tekstil. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja industri TPT baik secara langsung maupun tidak langsung dan dikaitkan dengan permasalahan yang dihadapi oleh industri TPT serta diselaraskan dengan road map pengembangan klaster industri TPT tahun 2010-2025 sesuai Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 109/M-IND/PER/10/2009, maka kebijakan pemerintah yang mendukung untuk mengembangkan industri TPT harus komprehensif dan terpadu dengan rencana aksi yang implementatif mulai dari subsektor industri TPT yang ada di hulu
sampai
dengan
subsektor
industri
yang
ada
dihilirnya.
Strategi
pengembangan yang komprehensif dan terpadu tersebut meliputi beberapa bidang baik itu bidang energi, ketenagakerjaan, pemasaran, teknologi dan pengembangan
118
produk, dan bidang infrastruktur. Hal yang tak kalah pentingnya dalam merumuskan strategi pengembangan industri TPT ke depan adalah perlu adanya perbaikan iklim usaha baik dalam bentuk dukungan kebijakan fiskal dan moneter serta mempererat linkage supporting industri yang meliputi industri kimia hilir, industri mesin dan spare part, industri kimia zat warna/pembantu, industri pendidikan dan penelitian tekstil dan produk tekstil, dan industri aksesoris. Selain itu perlu juga dibina kerjasama dengan supporting sektor antara lain : sektor perbankan/jasa keuangan, sektor jasa transportasi, pelabuhan dan infrastruktur, sektor jasa penyedia energi, dan sektor jasa perdagangan.
7.2. Saran Model yang dibangun dalam penelitian ini masih dapat terus dikembangkan lebih lanjut. Analisis yang dilakukan masih bersifat agregat untuk keseluruhan industri TPT. Perbaikan dapat dilakukan dalam bentuk disagregasi sektor industri TPT ke dalam sub sektornya yang meliputi industri serat, benang, kain, pakaian jadi, dan industri barang jadi tekstil sehingga implikasi kebijakan yang dibuat pun menjadi lebih implementatif dan fokus ke masing-masing subsektor industri TPT.
119
Halaman ini sengaja dikosongkan
120
DAFTAR PUSTAKA Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2009a. Pemetaan dan Perencanaan Investasi Pengembangan Industri Kimia dan Turunannya Dalam Mengungkit Daya Saing (Industri Bahan Baku Farmasi, Petrokimia Antara dan Bahan Baku TPT). Kerjasama BKPM dengan PT. SUCOFINDO (Persero). Jakarta. ______________________________. 2009b. Pra Studi Kelayakan Industri Monoetilen Glikol (MEG) di Indonesia. BKPM. Jakarta. ______________________________. 2009c. Pra Studi Kelayakan Industri Purified Terephthalic Acid (PTA) di Indonesia. BKPM. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 1990-2008. Statistik Ekspor. BPS. Jakarta. _________________. 1990-2008. Statistik Impor. BPS. Jakarta. Bank Indonesia. 2009. Buku Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2008. Jakarta. Blanchard O. 2006. Macroeconomics (Fourth Edition). Pearson Prentice Hall. New Jersey. Capricorn Indonesia Consult Inc. 2007. Kajian Pengembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil Nasional 2007. PT. Capricorn Indonesia Consult Inc. Jakarta. Dirjen Bea dan Cukai. 1991. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No : 522/KMK.00/1991 Tentang Penyempurnaan Klasifikasi dan Perubahan Tarif Bea Masuk Atas Impor Barang Tertentu. Dirjen Bea dan Cukai, Departemen Keuangan RI. Jakarta. __________________. 1994. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No : 645/KMK-01/1994 Tanggal 29 Desember 1994 Tentang Keringanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor Dalam Rangka Skema CEPT Tahun 2004. Dirjen Bea dan Cukai, Departemen Keuangan RI. Jakarta. __________________. 1997. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No : 94/KMK/01/1997 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Importasi Barang Dalam Rangka Skema Common Effective Preferential Tarif (CEPT) Untuk Periode 1 Januari 1997 s/d 31 Desember 2003. Dirjen Bea dan Cukai, Departemen Keuangan RI. Jakarta. Djafri C. 2003. Gagasan Seputar Pengembangan Industri dan Perdagangan TPT (Tekstil dan Produk Tekstil). Asosiasi Pertekstilan Indonesia dan Cidesindo. Jakarta.
Dornbusch R, Fischer S, Startz R. 2004. Macroeconomics (Nine Edition). Irwin McGraw-Hill Companies. New York. Hermawan I. 2008. Analisis Ekonomi Perkembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia. Tesis Pada Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Juanda B. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press. Bogor. Kementerian Perindustrian. 1997. Studi Penyusunan Blue Print Industri TPT Indonesia Menghadapi Integrasi MFA ke Dalam WTO Tahun 2005. Direktorat Jenderal Industri Aneka. Jakarta. ______________________. 2000. Pemetaan Daya Saing Produk Industri Tekstil. Ditjen Industri Logam Mesin Elektronika dan Aneka. Jakarta. ______________________. 2003a. Analisa Daya Saing Produk Industri Tekstil dan Produk Tekstil. Ditjen Industri Logam Mesin Elektronika dan Aneka Kerjasama dengan Pusat Penelitian Pranata Pembangunan-Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. Jakarta. _____________________. 2003b. Laporan Akhir Kegiatan Pemetaan Daya Saing Produk Industri TPT. Ditjen Industri Logam Mesin Elektronika dan Aneka. Jakarta. _____________________. 2003c. Program Strategik Industri Tekstil dan Produk Tekstil. Direktorat Jenderal Industri Logam Mesin Elektronika dan Aneka. Jakarta. _____________________. 2007. Road Map Industri Tekstil dan Produk Tekstil, Strategi Pengembangan 2004-2025. Kementerian Perindustrian. Jakarta. _____________________. 2008. Potret Tiga Setengah Tahun Pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Industri Manufaktur Tahun 2005-2009. Kementerian Perindustrian. Jakarta. _____________________. 2009. Kajian Kebijakan Sektor Industri Makanan dan Minuman Dalam Rangka Peningkatan Pertumbuhan Industrinya, tidak dipublikasikan. Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Kementerian Perindustrian. Jakarta. _____________________. 2010. Petunjuk Teknis Potongan Harga Pembelian Mesin, Program Peningkatan Teknologi Industri Tekstil dan Produk Tekstil, tidak dipublikasikan. Kementerian Perindustrian. Jakarta. Koutsoyiannis A. 1977. Theory of econometrics. Macmillan. New York.
122
Kreps DM. 1990. A Course in Microeconomic Theory. Princeton University Press. New Jersey. Miranti E. 2007. Mencermati Kinerja Tekstil Indonesia : Antara Potensi dan Peluang. Economic Review No. 209 Edisi September 2007. Jakarta. Nicholson W. 2005. Microeconomic Theory: Basic Principles and Extensions (Ninth Edition). Thomson Corporation. Ohio. Peraturan Menteri Perindustrian No. 109/M-IND/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Tekstil dan Produk Tekstil. Jakarta. Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional. Jakarta. Pindyck RS dan Rubinfeld DL. 1998. Econometric Models and Economic Forecasts (Fourth Edition). Irwin McGraw-Hill Companies, Inc. New York. Primiana I. 2009. Analisis Dampak Kebijakan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) Pada Keberlangsungan Industri TPT. ISEI Jawa Barat. Bandung. Raswatie FD. 2008. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia. Skripsi Pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Soetrisno B. 2009a. Materi Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi VI DPR RI Terkait Dampak Penerapan ASEAN – China Free Trade Area (tidak dipublikasikan). Jakarta. _________. 2009b. Performance of Indonesian Textile and Clothing Industry. Asosiasi Pertekstilan Indonesia. Jakarta. _________. 2009c. Fact Sheet Indonesia on Textile and Garment. Asosiasi Pertekstilan Indonesia. Jakarta. Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Praktiknya. Penerbit Bina Aksara. Jakarta. Sumedi. 2005. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Kesenjangan Antar Daerah dan Kinerja Perekonomian Nasional dan Daerah. Tesis Pada Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Sunarsip. 2009. Kinerja Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia, Montly Economic Inteligence Edisi 07, 15 Oktober 2009. Jakarta.
123
Suryawati. 2009. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Tekstil dan Pakaian Jadi di Provinsi DIY. Jurnal Akuntansi dan Manajemen, vol. 20 No. 1, April 2009 hal 35-46, Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STIE YKPN, Yogyakarta. Undang-undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Jakarta. Varian, Hal. R. 2006. Intermediate Microeconomics. W.W. Norton and Company Inc. New York. Wintala. 1999. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Tekstil Indonesia : Ke Amerika Serikat, Inggris dan Jepang Tahun 1978-1997. Tesis Magister Manajemen pada Program Pascasarjana Universitas Gajahmada. Yogyakarta. Yustika, A. E. 2008. Desentralisasi Ekonomi di Indonesia (Kajian Teoritis dan Realitas Empiris). Bayumedia Publishing. Malang.
124
Lampiran 1 Hasil Pengolahan Data dengan Menggunakan Model Persamaan Simultan
Model Tekstil Indonesia The MODEL Procedure Model Summary Model Variables 19 Endogenous 8 Exogenous 11 Parameters 46 Equations 8 Number of Statements 61 Program Lag Length 1 The 8 Equations to Estimate PDBTPT = F(a0, a1, a2, a3, a4, ar_pdbtpt_l1) EKSTPT = F(b0, b1, b2, ar_ekstpt_l1, ar_ekstpt_l2) TKTPT = F(c0(1), c1(UPTPT), c2, c3, c4) INVTPT = F(d0(1), d1(IMPBM), d2, d3(SBP), d4(RMT), d5(DD1)) KONSTPT = F(f0, f1, f2, f3, f4, ar_konstpt_l1) PRTPT = F(g0, g1, g2, g3, ar_prtpt_l1) PD = F(h0, h1, h2, h3, ar_pd_l1) MACTPT = F(j0, j1, j2, ar_mactpt_l1) Instruments 1 EXRATE UPTPT IMPBM SBP RMT DD1 PDBKAP PI POIL PE TARIF The estimation lag length (Lagexec) 1 NOTE: At 2SLS Iteration 7 CONVERGE=0.001 Criteria Met.
The MODEL Procedure 2SLS Estimation Summary Data Set Options DATA= TEKSTIL Minimization Summary Parameters Estimated 28 Method Gauss Iterations 7 Subiterations 1 Average Subiterations 0.142857 Final Convergence Criteria R 0.000248 PPC(ar_ekstpt_l2) 0.025597 RPC(ar_ekstpt_l2) 0.131547 Object 2.134E‐6 Trace(S) 1.9845E9 Objective Value 5.5317E8 Observations Processed Read 24 Solved 23 First 2 Last 24 Used 18 Missing 5 Lagged 1
128
Model Tekstil Indonesia
The MODEL Procedure Nonlinear 2SLS Summary of Residual Errors DF DF Adj Durbin Equation Model Error SSE MSE R‐Square R‐Sq Watson PDBTPT 3 15 140.2 9.3492 0.8507 0.8308 1.5079 EKSTPT 4 14 18323937 1308853 0.5807 0.4909 2.2736 TKTPT 4 14 2.488E10 1.7768E9 0.9299 0.9149 1.7031 INVTPT 3 15 2.9595E8 19730111 0.9162 0.9050 2.8170 KONSTPT 4 14 5.3437E8 38169589 0.1934 0.0205 2.0383 PRTPT 4 14 420238 387160 0.9206 0.9035 1.6380 PD 3 15 0.9625 0.0642 0.3931 0.3122 2.1831 MACTPT 3 15 565118 37674.6 0.6913 0.6502 1.6704 Nonlinear 2SLS Parameter Estimates Approx Approx Parameter Estimate Std Err t Value Pr > |t| Label a0 45.99969 40.5484 1.13 0.2744 a1 0.000173 0.000035 4.98 0.0002 a2 ‐0.00003 0.000035 ‐0.79 0.4393 a3 0.000227 0.000035 6.57 <.0001 a4 0.000373 0.000035 10.76 <.0001 b0 ‐1598.37 95908.6 ‐0.02 0.9869 b1 0.324939 0.1034 3.14 0.0072 b2 0.175061 0.1034 1.69 0.1124 c0 ‐409865 164442 ‐2.49 0.0258 c1 ‐0.03059 0.00875 ‐3.50 0.0036 c2 3000.031 0.00875 343012 <.0001 c3 10.70189 2.2428 4.77 0.0003 c4 3823.225 3648.1 1.05 0.3124 d0 18221.67 11155.5 1.63 0.1232 d1 0.164354 0.0755 2.18 0.0459 d2 0.835646 0.0755 11.07 <.0001 d3 136.6894 221.1 0.62 0.5456 d4 1363.311 221.1 6.17 <.0001 d5 863.3106 221.1 3.91 0.0014 f0 39051.18 8799.9 4.44 0.0006 f1 993.5602 7.4643 133.11 <.0001 f2 ‐1.37963 0.5019 ‐2.75 0.0157
129
f3 ‐0.12037 0.5019 ‐0.24 0.8139 f4 6.439772 7.4643 0.86 0.4028 g0 3614.617 3428.5 1.05 0.3096 g 0.58851 0.3928 1.50 0.1563 g2 ‐0.1324 0.1021 ‐1.30 0.2155 g3 00.1324 0.1021 981.04 <.0001 h0 0.143905 0.1289 1.12 0.2817 h1 0.500089 0.000065 7702.81 <.0001 h2 ‐0.00009 0.000065 ‐1.37 0.1894 h3 0.500089 0.000065 7702.81 <.0001 j0 210.7008 47.0948 4.47 0.0004 j1 0.005698 0.00739 0.77 0.4527 j2 ‐2.5057 0.00739 ‐339.05 <.0001 ar_pd_l1 0.079335 0.3085 0.26 0.8006 AR(ar_pd) pd lag1 parameter ar_mactpt_l1 2.841301 0.5696 4.99 0.0002 AR(ar_mactpt) mactpt lag1 parameter ar_prtpt_l1 0.894204 0.0927 9.64 <.0001 AR(ar_prtpt) prtpt lag1 parameter ar_ekstpt_l1 1.044987 0.4056 2.58 0.0220 AR(ar_ekstpt) ekstpt lag1 parameter ar_ekstpt_l2 ‐0.02837 0.3161 ‐0.09 0.9298 AR(ar_ekstpt) ekstpt lag2 parameter ar_pdbtpt_l1 0.850009 0.0746 11.39 <.0001 AR(ar_pdbtpt) pdbtpt lag1 parameter ar_konstpt_l11.008612 0.0797 12.66 <.0001 AR(ar_konstpt) konstpt lag1 parameter Model Tekstil Indonesia The MODEL Procedure Durbin‐Watson Statistics Equation Order DW PDBTPT 1 1.51 EKSTPT 1 2.27 TKTPT 1 1.70 INVTPT 1 2.82 KONSTPT 1 2.04 PRTPT 1 1.64 PD 1 2.18 MACTPT 1 1.67
130
Lampiran 2
Perhitungan Nilai Statistik Durbin-h Untuk Persamaan Struktural Yang Mengandung Peubah Endogen Bedakala : Persamaan Nilai Investasi Sektor Industri TPT dan Persamaan Konsumsi Produk TPT
½
Durbin h = [1-0,5DW] [T/1-T (Var Bhat)]
No.
Persamaan Struktural Yang Mengandung Peubah Endogen Bedakala
DW
T
Std Err
Var Bhat
Durbin h
1.
INVTPT
2,8170
19
0,075500
0,00570
-1,88565
2.
PD
2,1831
19
0,000065
0,00000
-0,39906
131
Lampiran 3 Hasil Uji Autokorelasi Untuk Persamaan Konsumsi Produk TPT Model Tekstil Indonesia The MODEL Procedure Model Summary Model Variables 6 Endogenous 1 Exogenous 5 Parameters 6 Equations 1 Number of Statements 1 Model Variables err lerr PDBKAP MACTPT KONSTPT PRTPT Parameters a0 a1 a2 a3 a4 a5 Equations err The Equation to Estimate is err = F(a0(1), a1(lerr), a2(PDBKAP), a3(MACTPT), a4(KONSTPT), a5(PRTPT)) NOTE: At OLS Iteration 1 CONVERGE=0.001 Criteria Met. Model Tekstil Indonesia The MODEL Procedure OLS Estimation Summary Data Set Options DATA= AUTO Minimization Summary Parameters Estimated 6 Method Gauss Iterations 1 Final Convergence Criteria R 0 PPC 0 RPC(a0) 38258258 Object 0.291064 Trace(S) 29497725 Objective Value 19086763 Observations Processed Read 18 Solved 18 Used 17 Missing 1
132
Model Tekstil Indonesia The MODEL Procedure Nonlinear OLS Summary of Residual Errors DF DF Adj Equation Model Error SSE MSE Root MSE R‐Square R‐Sq Label err 6 11 3.2447E8 29497725 5431.2 0.2856 ‐0.0391 err Nonlinear OLS Parameter Estimates Approx Approx Parameter Estimate Std Err t Value Pr > |t| a0 ‐3864.08 21012.4 ‐0.18 0.8574 a1 ‐0.26022 0.2745 ‐0.95 0.3636 a2 31.64601 2630.4 0.01 0.9906 a3 ‐5.23759 6.7093 ‐0.78 0.4515 a4 0.97798 0.5539 1.77 0.1052 a5 ‐2.49383 2.0360 ‐1.22 0.2462 Number of Observations Statistics for System Used 17 Objective 19086763 Missing 1 Objective*N 324474971
133
Halaman ini sengaja dikosongkan
134