ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN LISTRIK PADA INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) DI INDONESIA
Oleh : RONA YUGUSTYA H14102058
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ii
RINGKASAN
RONA YUGUSTYA. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Listrik pada Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Indonesia (dibimbing oleh IDQAN FAHMI).
Kebutuhan tenaga listrik merupakan kebutuhan mendasar yang mempunyai peranan dalam pembangunan ekonomi suatu negara karena energi listrik menjadi motor penggerak berbagai aktifitas masyarakat terutama dalam mendukung proses industrialisasi. Hal ini dapat mempertinggi produktivitas usaha sehingga meningkatkan perekonomian negara. Industri pemakai listrik terbesar yaitu industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Industri TPT memerlukan listrik untuk penerangan dan operasionalnya termasuk dalam proses produksi selama kurang lebih 24 jam. Khusus industri serat buatan (synthetic fiber), tidak bisa menghentikan atau memindahkan operasinya. Jika penyaluran energi listrik terhenti atau dihentikan, maka produktivitas industri TPT menjadi sangat tidak efektif karena produksi yang dihasilkan menjadi berkurang. Permasalahan yang harus dihadapi oleh industri TPT adalah kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Kenaikan TDL bagi pemerintah dan PLN hanya merupakan salah satu dari agenda restrukturisasi di sektor ketenagalistrikan. Sedangkan bagi industri TPT, kenaikan tersebut dapat meningkatkan biaya produksi sehingga menghambat pertumbuhan Industri. Sebagaimana diketahui bahwa industri TPT merupakan salah satu penyumbang ekspor terbesar di Indonesia. Dampak kenaikan tarif listrik yang terlalu tinggi tentunya secara tidak langsung akan mengurangi daya saing produk TPT di pasar global sehingga berpengaruh secara signifikan terhadap ekspor Indonesia dan perekonomian Indonesia. Menurut teori ekonomi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan input. Jika permintaan listrik di industri TPT terpenuhi, maka akan mempermudah industri TPT meningkatkan produktivitasnya dan meningkatkan perekonomian Indonesia. Namun secara teoritis, faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan input listrik pada industri TPT belum diketahui. Untuk dapat mengetahui faktor-faktor tersebut, maka perlu suatu analisa. Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini memiliki tujuan yaitu menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan listrik industri TPT di Indonesia dan mengkaji hubungan antara faktor-faktor tersebut terhadap permintaan listrik pada industri TPT. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif yaitu dengan melihat pengaruh variabel-variabel yang diteliti dengan menggunakan model regresi linear. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat digunakan metode OLS (Ordinary Least Square) yang diolah dalam Microsoft Excel 2003 dan Software Eviews 4.1. Dengan menggunakan metode ini diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam penelitian.
iii
Data yang digunakan adalah data deret waktu (time series) dari tahun 1982-2004 yang hanya mencakup dua golongan sektor yaitu industri tekstil dan industri pakaian jadi. Data diperoleh dari berbagai sumber seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), PT PLN (Persero), Departemen Perindustrian (Deperind), Pertamina, dan internet. Pada periode 1982-2004, permintaan listrik cenderung meningkat meskipun dari periode tersebut ada beberapa periode yang mengalami penurunan. Permintaan produk pada periode 1982-2004 cenderung meningkat, sedangkan untuk harga listrik pada periode tersebut secara agregat mengalami fluktuasi. Harga solar di Indonesia dipengaruhi oleh harga solar dunia. Harga solar pada tahun 1982-2004 mengalami naik cenderung menurun walaupun pada 2002 dan 2004 meningkat drastis akibat peningkatan harga minyak mentah dunia dan pengurangan subsidi pemerintah. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan listrik industri TPT di Indonesia adalah pertama permintaan produk yang berpengaruh positif terhadap permintaan listrik pada taraf nyata 5 persen (α=5%) dengan nilai elastisitas sebesar 1.04. Jika permintaan listrik meningkat 1 persen maka akan meningkatkan permintaan listrik sebesar 1.04 persen, asumsi ceteris paribus. Kedua harga solar berpengaruh negatif terhadap permintaan listrik pada taraf nyata 5 persen (α=5%) dengan nilai elastisitas yang dihasilkan sebesar -0.56. Meningkatnya harga solar sebesar 1 persen akan menurunkan permintaan listrik sebesar 0.56 persen, asumsi ceteris paribus. Ketiga krisis ekonomi yang berpengaruh negatif terhadap permintaan listrik pada taraf nyata 5 persen (α=5%). Untuk harga listrik terbukti tidak mempengaruhi permintaan listrik karena bersifat inelastis. Hal ini dapat dilihat dari nilai elastisitas yang dihasilkan sebesar 0.
iv
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN LISTRIK PADA INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) DI INDONESIA
Oleh RONA YUGUSTYA H14102058
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
v
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Rona Yugustya
Nomor Registrasi Pokok
: H14102058
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Listrik Pada Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Indonesia
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Menyetujui Dosen Pembimbing,
Ir. Idqan Fahmi, M.Ec NIP. 131 803 657
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan :
vi
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Oktober 2006
RONA YUGUSTYA H14102058
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama RONA YUGUSTYA lahir pada tanggal 9 Agustus 1985 di Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Penulis anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Nanang Iwan Setiawan dan Nining Yuningsih. Penulis mengawali jenjang pendidikan di TK Kemala Bhayangkari 90 Semarang Tahun 1989-1990, kemudian menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Wonotingal I Semarang pada tahun 1996. Setelah itu, melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 11 Semarang selama satu tahun, kemudian dilanjutkan ke SLTP Negeri 3 Majalengka, lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama diterima di SMUN 2 Majalengka tahun 1999 dan lulus tahun 2002 dengan hasil yang sangat memuaskan. Pada tahun 2002, penulis meninggalkan ‘Kota Angin’ untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Melalui jalur USMI, penulis mampu masuk ke sebuah Institut yang berada di kota yang dikenal dengan nama ‘Kota Hujan’. Penulis diterima di Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan organisasi. Organisasi yang pernah diikuti diantaranya Taekwondo dan Karemata. Dalam organisasi Karemata, penulis menjabat sebagai anggota Divisi Climbing. Sampai sekarang penulis masih aktif mengikuti organisasi Taekwondo IPB dan pernah mengikuti beberapa kejuaraan sebagai perwakilan dari unit IPB dan Kecamatan Darmaga, diantaranya Kejuaraan Walikota Cup sebagai peserta di kelas Feather tahun 2004 dan Kejuaraan Eksebisi Pekan Olahrga Kabupaten Bogor (PORKAB) Taekwondo tahun 2005 yang diselenggarakan Kabupaten Bogor dengan meraih medali emas untuk kelas Feather. Selain itu, penulis pernah mengikuti pertandingan olimpiade bola voli dan bola basket yang diselenggarakan oleh IPB.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T karena atas rahmat dan karunia-Nya, penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat bagi penulis untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi di Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Listrik pada Industri Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia”. Listrik merupakan faktor produksi yang sangat penting bagi industri TPT untuk melakukan kegiatan operasionalnya maupun penerangan. Oleh sebab itu, penulis merasa tertarik melakukan penelitian dengan topik ini. Penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Namun, penulis mencoba sedikitnya memberi informasi serta pengetahuan bagi semua pihak yang membacanya. Untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan demi kesempurnaan penyusunan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan banyak pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sangat besar kepada : 1. Keluargaku : Mamah dan Ayah yang selalu mengasihiku, mendukungku dari lahir sampai dengan sekarang yang tidak ada hentinya selalu mengirim doa untukku. Adikku Dinar ’Sorin’ yang selalu setia menemaniku dan sedikit membantuku saat mengerjakan skripsi di rumah. 2. Ir. Idqan Fahmi, M.EC, selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 3. Dr. Sri Mulatsih, selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritikan demi perbaikan skripsi ini. 4. Jaenal Effendi, MA, selaku Komisi Pendidikan yang telah memberikan saran dan kritikan dalam tata cara penulisan. 5. NOTHANK : Dd, Oelil, Uin, Fitox , Kurey, Inay, Eca dan Boil. Kibarkan Terus Bendera NOTHANK ”Who care?”
ix
6. ’A Yoga yang selalu memberi support dan perhatian dari jauh. Terimakasih banyak...I’m sure that I can do this until finish. 7. Majalengka Taekwondo Team : Agis, Adam, @ Bohim, @ Jaren, @ Endin, yang selalu menyediakan tempat untuk berlatih, mengekspresikan diri, dan bersedia menampung semua keluh kesah penulis selama pembuatan skripsi. 8. Majalengka Crew : A Dadan, A Acong, A Hari, A Gun-Gun, A Hengki, A Natsir, Chiwonk, Bucit, Gun-Gun, Andan dan KAPPAL. Terimakasih untuk semua saran dan hiburannya ☺. 9. Ed’s Girl : Drie, Wee, Tante Soe, Yan, Yas, Mbah, Ema’, Darti, Icus, See, Ca, Gie, Un, V, Don, Nay, Mba On, Fan, Luh, Ai, Tree. Terimakasih banyak buat kebersamaannya di Edelweis baik suka maupun duka. 10. Teman-teman IE 39 : Radia, Nani, Granson, Retno, A. Widi, Diana, Elka, Nungsri, Erik, Yoshika, Widi H, Rini, Rudi, serta semua teman seperjuangan Ilmu Ekonomi angkatan 39 yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Masih banyak lagi pihak-pihak yang belum penulis tulis, tetapi penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis hingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Semoga mendapat balasan-Nya, Amien. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan semua pihak yang membaca.
Bogor, Oktober 2006
Penulis
x
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ...................................................................................
viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................
x
DAFTAR TABEL ........................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xiv
I. PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ..........................................................................
5
1.3. Tujuan Penelitian ...............................................................................
9
1.4. Kegunaan Penelitian .........................................................................
9
1.5. Ruang Lingkup Studi .........................................................................
10
II. TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
11
2.1. Tinjauan Teori....................................................................................
11
2.1.1. Konsep Dasar Permintaan .......................................................
11
2.1.2. Pengertian Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) .............
16
2.1.3. Penelitian Terdahulu ................................................................
19
2.2. Kerangka Pemikiran Konseptual .......................................................
22
2.3. Hipotesa ............................................................................................
23
III.METODE PENELITIAN ......................................................................
25
3.1. Jenis Data dan Sumber Data .............................................................
25
3.2. Metode Analisis Data ........................................................................
25
3.2.1. Analisis Regresi .......................................................................
25
3.2.2. Uji Ekonometrika dan Statistik ................................................
28
3.3. Operasional Data ...............................................................................
32
IV.KONDISI UMUM INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) DI INDONESIA ..........................................................................
34
4.1. Sejarah Industri TPT di Indonesia ....................................................
34
4.2. Perkembangan Industri TPT di Indonesia .........................................
36
4.2.1. Industri Pembuatan Serat (Fiber Making).................................
40
xi
4.2.2. Industri Pemintalan (Spinning) .................................................
42
4.2.3. Industri Kain (Weaving/Dyeing/Knitting/Finishing) ................
43
4.2.4. Industri Pakaian Jadi (Garment) ..............................................
44
4.2.5. Industri Produk Tekstil Lainnya (Other Textile).......................
45
4.3. Industri TPT di Pasar Global .............................................................
47
4.4. Penggunaan Listrik di Industri TPT ..................................................
48
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................
51
5.1. Kecenderungan (Trend) Permintaan Listrik dan Faktor-Faktor yang diduga Mempengaruhi Permintaan Listrik di Industri TPT...............
51
5.2. Hasil Estimasi Model Permintaan Listrik Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Indonesia ................................................................
56
5.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Listrik Industri TPT Di Indonesia ......................................................................................
58
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................
61
6.1. Kesimpulan ........................................................................................
61
6.2. Saran...................................................................................................
61
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
63
LAMPIRAN .................................................................................................
65
xii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Tenaga Listrik yang Diminta Industri Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia Tahun 1982-2004 .....................................................................
3
2. Ekspor dan Impor Industri TPT di Indonesia Tahun 2000-2005 ..............
37
3. Profil Industri TPT di Indonesia Tahun 2001-2005 ...................................
39
4. Utilitas Produksi Industri TPT di Indonesia Tahun 2005 ..........................
40
5. Profil Industri Pembuatan Serat (Fiber Making) Tahun 2001-2005..........
41
6. Kapasitas Mesin Pemintal Pada Beberapa Negara di Asia .......................
42
7. Profil Industri Pemintalan (Spinning) Tahun 2001-2005 ..........................
43
8. Profil Industri Kain (Weaving/Dyeing/Knitting/Finishing) Tahun 2001-2005 ..................................................................................................
44
9. Profil Industri Pakaian Jadi (Garment) Tahun 2001-2005.........................
45
10. Profil Industri Produk tekstil Lainnya (Other Textile) Tahun 2001-2005 ..................................................................................................
46
11. Ekspor TPT Indonesia ke AS, Eropa, dan Jepang Tahun 2001-2005 ........
47
12. Struktur Biaya Dalam Setiap Kelompok Industri TPT Tahun 2005 .........
50
13. Hasil Estimasi Model Permintaan Listrik Industri Tekstil dan Produk Tekstil Tahun 1982-2004 ..........................................................................
56
xiii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Kerangka Pemikiran Konseptual ...............................................................
24
2. Trend Permintaan Listrik di Industri TPT Tahun 1982-2004 ....................
52
3. Trend Permintaan Produk di Industri TPT Tahun 1982-2004 ..................
53
4. Trend Harga Listrik Untuk Industri TPT Tahun 1982-2004 .....................
54
5. Trend Harga Solar Untuk Industri TPT Tahun 1982-2004 .......................
55
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Data Nominal Penelitian ...........................................................................
65
2. Data Riil Penelitian ...................................................................................
66
3. Hasil Estimasi Output Model Permintaan Listrik Industri TPT di Indonesia ...................................................................................................
67
4. Hasil Uji Multikolinearitas Variabel Bebas pada Model Permintaan Listrik ........................................................................................................
67
5. Hasil Uji Autokorelasi dan Uji Heteroskedastisitas ..................................
67
6. Hasil Uji Normalitas .................................................................................
68
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pada kehidupan dimasa sekarang, ketersediaan energi, terutama energi
listrik merupakan salah satu bagian yang cukup penting untuk diperhatikan agar kesejahteraan manusia terpenuhi. Untuk itu, tingkat kebutuhan listrik harus dipenuhi secara optimal. Kebutuhan energi listrik merupakan kebutuhan mendasar yang mempunyai peranan dalam pembangunan ekonomi suatu negara karena energi listrik menjadi motor penggerak berbagai aktifitas masyarakat terutama dalam
mendukung
proses
industrialisasi.
Hal
ini
dapat
mempertinggi
produktivitas usaha sehingga meningkatkan perekonomian negara. Dari tahun ke tahun konsumsi masyarakat akan kebutuhan sehari-hari meningkat sesuai dengan pertambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat. Meningkatnya konsumsi masyarakat mendorong produsen untuk menambah produksinya. Namun, untuk memproduksi suatu barang diperlukan faktor-faktor produksi yang mendukung. Salah satunya adalah energi. Sumber energi yang berperan sangat penting dalam proses produksi diantaranya adalah bahan bakar minyak (BBM) dan listrik. Terjadinya kenaikan harga BBM menyebabkan seluruh industri harus menanggung beban biaya yang cukup besar. Selain kenaikan harga BBM, industri-industri tersebut harus menghadapi sebuah permasalahan lain yaitu kenaikan tarif dasar listrik (TDL) oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) cukup menjadi beban bagi dunia usaha Indonesia yang saat ini sedang berusaha bangun dari keterpurukannya akibat krisis ekonomi. Selama kurun waktu 2000–2001, TDL
2
sudah mengalami kenaikan sebanyak dua kali. Kenaikan TDL ini menambah beban bagi pengusaha, menyusul kenaikan harga BBM (solar) dan kenaikan upah minimum regional (UMR). Secara makro, dampak kenaikan TDL sebagai konsekuensi dari penurunan rata-rata subsidi listrik mempunyai arah yang negatif. Hal ini ditunjukkan dari menurunnya pertumbuhan ekonomi riil (GDP riil), menurunnya tingkat kesempatan kerja, dan meningkatnya laju inflasi. Hal ini merupakan konsekuensi dari menurunnya sektor produksi akibat naiknya ongkos produksi (cost of production). Kenaikan tarif listrik dirasakan paling signifikan oleh sektor yang paling banyak mengkonsumsi listrik dalam proses produksinya. Berdasarkan data yang diolah dari tabel input-output, sektor yang paling banyak mengkonsumsi listrik adalah sektor jasa perdagangan (Elektro Indonesia, Maret 2006). Termasuk dalam sektor ini adalah para pedagang eceran, baik di mal-mal, department store, maupun di toko-toko. Perlu diperhatikan bahwa para pedagang eceran kecil pun dapat merasakan dampak kenaikan tarif listrik yang cukup signifikan. Selain sektor perdagangan, sektor industri pun mengkonsumsi dan memerlukan energi listrik dalam jumlah yang sangat besar terutama dalam kegiatan produksinya.. Salah industri pemakai listrik yang mengkonsumsi listrik dalam jumlah sangat besar yaitu industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang merupakan salah satu penyumbang ekspor terbesar di Indonesia. Industri benang mengkonsumsi sekitar 4.7 persen dari total konsumsi listrik nasional, sedangkan industri tekstil mengkonsumsi sekitar 2.8 persennya. Sementara itu untuk industri lainnya yang juga memerlukan listrik dalam jumlah yang besar seperti industri semen hanya mengkonsumsi sekitar 2.3 persen dari konsumsi listrik nasional, sedangkan
3
industri barang-barang dari besi dan baja dasar hanya mengkonsumsi sekitar 1.9 persen. Pemakaian listrik pada industri TPT dapat dilihat dari jumlah tenaga listrik yang diminta oleh industri TPT dalam kilo Watt hour (kWh) dan secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Tenaga Listrik yang Diminta Industri TPT Tahun 1982-2004 Tahun 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993
Tenaga Listrik yang Diminta (kWh) 335277000 375141000 446358000 676691000 607566000 944160000 1392143000 1647206000 1677981000 2500134217 3040016697
Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Tenaga Listrik yang Diminta (kWh) 3281694297 4180601439 4625151162 4820545610 5108436023 9943415239 12290737932 6797389802 5426490654 6033908841 6820000000
2762305655
Sumber : BPS 1982-2004
Energi listrik bagi industri TPT merupakan bahan bakar penting yang digunakan dalam proses produksi. Khusus industri serat buatan (synthetic fiber), tidak bisa menghentikan atau memindahkan operasinya. Jika penyaluran energi listrik terhenti atau dihentikan, maka produktivitas industri TPT menjadi sangat tidak efektif karena produksi yang dihasilkan menjadi berkurang. Beberapa proses produksi masih tergantung pada pasokan listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN) karena listrik tersebut digunakan selama 24 jam penuh. Jika terganggu, diperlukan waktu berminggu-minggu untuk memperbaikinya terutama di industri serat fiber dan polyester.
4
Industri tekstil yang selama ini menjadi primadona didalam pasar ekspor dihadapi berbagai masalah. Saat ini pasaran tekstil internasional sedang mengalami kelesuan akibat melemahnya perekonomian dunia dan melimpahnya produk tekstil di pasar internasional, terutama dari Korea Selatan dan China. Kenaikan TDL merupakan masalah yang cukup rumit bagi pengusaha tekstil karena berkaitan dengan perhitungan cost dan harga jual dengan buyer. Selama ini kontrak pesanan dilakukan tiga bulan sebelum produksi sehingga perhitungan harga jualnya masih menggunakan perhitungan sebelum kenaikan TDL. Hal ini mengakibatkan turunnya marjin keuntungan yang diperoleh pengusaha tekstil karena tidak mungkin lagi menaikkan harga jualnya terhadap buyer. Pada akhirnya akan berpengaruh secara signifikan terhadap ekspor Indonesia. Pada industri tekstil, apabila tarif listrik naik sebesar 10 persen dari harga tarif listrik, maka dapat meningkatkan biaya produksi sebesar 0.5 persen (dari kenaikan tarif dikalikan dengan cost share dari listrik terhadap biaya produksi keseluruhan).
Hitungan
ini
adalah
hitungan
sederhana,
dan
belum
memperhitungkan efek pengganda (multiplier effect) dari kenaikan tarif listrik tersebut. Perhitungan ini merupakan perkiraan gambaran kasar dampak kenaikan tarif listrik terhadap biaya produksi pada industri tersebut (Warta Ekonomi, 14 Maret 2006). Menurut perhitungan Danareksa Research Institute, dengan menggunakan metode yang sedikit lebih kompleks (sudah memperhitungkan multiplier effect), setiap kenaikan 10 persen dari tarif listrik rata-rata akan memberikan inflasi tambahan sebesar 0.13 persen sampai 0.17 persen. Berbeda dengan perhitungan yang telah diolah oleh Badan Pusat Statistik (BPS), dimana perhitungannya lebih
5
besar dari perhitungan di atas. Kenaikan tarif listrik sebesar 30 persen, misalnya, hanya akan menimbulkan dampak terhadap inflasi secara langsung sekitar 0.39 persen sampai 0.51 persen saja. Hal ini jauh lebih kecil dari dampak kenaikan harga BBM. Dampak kenaikan tarif listrik terhadap pertumbuhan ekonomi pun tidak terlalu besar karena hanya akan terjadi pengurangan sebesar 0.027 persen untuk kenaikan tarif listrik sebesar 30 persen. Kenaikan tarif listrik yang terlalu tinggi (misalnya, sampai 100 persen) jelas akan dapat menghilangkan rangkaian pemulihan perbaikan di sisi permintaan, karena kenaikan tersebut mengurangi daya beli masyarakat. Di tengah suasana daya beli serta permintaan yang menurun, para pebisnis akan kesulitan membebankan kenaikan biaya produksi ke konsumennya. Perlu diperhatikan bahwa produk dari industri kita sebagian besar masih dipasarkan di dalam negeri. Kenaikan di bawah 30 persen mungkin masih dapat dilakukan tanpa harus memberikan dampak negatif yang terlalu signifikan. Akan tetapi, kenaikan yang terlalu tinggi akan dapat menghilangkan rangkaian perbaikan pertumbuhan ekonomi yang sedang terjadi. Di tengah lambatnya pertumbuhan ekonomi, kenaikan tarif listrik yang terlalu tinggi dapat menjerumuskan perekonomian menuju resesi.
1.2.
Perumusan Masalah Energi listrik dalam industri tekstil dipergunakan dalam proses spinning,
weaving, knitting, dyeing dan fibering. Pada industri tekstil, proses polimerisasi serat sintetis (fiber) tidak akan terjadi bila tidak ada aliran listrik. Apabila aliran listrik untuk produksi tiba-tiba terhenti, banyak bahan baku akan mengalami kerusakan dan dapat menimbulkan kerugian yang tidak sedikit jumlahnya bagi
6
perusahaan. Terganggunya proses produksi tentu mengganggu kelancaran proses produksi pembuatan pakaian jadi. Tanpa bahan baku dari industri tekstil mungkin untuk sementara waktu tidak terlalu mengganggu proses produksi. Tetapi jika bahan baku tidak tersedia akibat terhentinya pasokan listrik yang cukup lama, pasti proses produksi pakaian jadi ini akan terganggu. Hal ini membuktikan bahwa listrik merupakan faktor yang sangat penting demi kelancaran usaha industri TPT. Biaya yang harus dikeluarkan industri tekstil untuk energi mencapai 8-12 persen dari total ongkos produksi, sehingga jika kenaikan tarif dasar listrik terjadi secara otomatis akan meningkatkan biaya produksi. Untuk biaya lainnya 50-60 persen untuk bahan baku dan ongkos tenaga kerja sekitar 6 persen (Riau Pos, 2006). Bagi industri TPT, kenaikan TDL akan berdampak sangat besar karena menghambat pertumbuhan industri dan akan memicu kenaikan biaya produksi. Menurut Departemen Perindustrian, kenaikan TDL mengingkari program pemerintah yang ingin meningkatkan kinerja industri tekstil. Industri tekstil akan semakin menurun karena saat ini tidak memungkinkan untuk melakukan efisiensi biaya yang lainnya. Hal ini terjadi karena industri tekstil sangat membutuhkan dana untuk memaksimalkan kinerja produksinya. Beban industri TPT meningkat 15 persen akibat adanya program Dayamax Plus dan kenaikan BBM. Efek yang dominan dari kenaikan tarif listrik dan BBM meningkatkan kenaikan bahan baku dan biaya transportasi dari sektor hilir dengan total kenaikan produksi menjadi 10 persen (www.dpr.go.id). Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mendesak PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) segera mencabut
7
kebijakan Dayamax dan tarif multiguna untuk pemasangan baru yang selama ini diberlakuan bagi sektor industri. Kebijakan ini dinilai API kontraproduktif dengan upaya pemerintah meningkatkan kinerja industri lokal (www.bisnis.com, 2006). Bagi pemerintah dan PLN, kenaikan tarif dasar listrik (TDL) hanya merupakan salah satu dari agenda restrukturisasi di sektor ketenagalistrikan. Deputi Direktur Niaga dan Pelayanan Pelanggan PLN, Antony Dewono mengatakan PT PLN hingga sekarang masih menderita kerugian operasional akibat kenaikan harga BBM, mengingat harga jual listrik lebih rendah dibandingkan biaya produksi, sehingga PLN bersikeras akan terus menerapkan kebijakan Dayamax dan tarif multiguna. Departemen Perindustrian belum dapat memastikan besaran TDL yang ideal. Hal itu terjadi karena hingga saat ini terdapat banyak opsi yang ditawarkan dari kalangan industri. Akibat rencana pemerintah dalam meningkatkan tarif dasar listrik, pengusaha-pengusaha tekstil mulai merelokasikan pabriknya ke negaranegara lainnya seperti Kamboja, Thailand, Cina dan Vietnam. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI), Kustarjono Projolalito menyatakan industri sintetis akan mengalami kesulitan bila listrik naik sebab membutuhkan listrik sehari penuh. Industri hilir dari industri serat mengeluarkan biaya listrik mencapai 8 persen hingga 12 persen dari seluruh biaya produksi. Jika biaya membengkak, produk sintetis yang dihasilkan industri TPT akan sulit menyaingi harga produk negara lain. Akibatnya, semakin banyak perusahaan yang gulung tikar dan jumlah pengangguran meningkat drastis (Riau Pos, 21 Januari 2006).
8
Dampak buruk kenaikan tarif listrik yang juga perlu dipikirkan oleh pemerintah adalah laju inflasi. Setelah harga BBM ditetapkan pada akhir tahun 2005, inflasi sepanjang tahun 2005 meningkat hingga 18 persen. Jika tarif listrik terlalu tinggi dan terlalu dini maka dikhawatirkan angka inflasi kembali meningkat drastis. Saat ini tarif listrik rata-rata PLN adalah Rp580/kWh atau US$0.58 per kWh, masih berada di bawah US$0.06 per kWh. Tarif listrik Indonesia sebesar US$0,06 per kWh terbilang murah jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Tarif listrik di Thailand sebesar US$0.07 per kWh, Filipina US$0.074 per kWh, Malaysia US$0.077 per kWh, dan Kamboja US$0.09 per kWh (Cybernews.net, 12 Maret 2006). Selama tarif listrik yang sesuai nilai riilnya belum bisa diberlakukan, pemerintah masih berkewajiban memberikan subsidi. Namun, subsidi yang selama ini membebani APBN seringkali tidak tepat sasaran. Masih besar kemungkinan pelanggan yang mampu membayar listrik, ikut menikmati subsidi. Hal ini pernah terjadi sebelum krisis ekonomi 1997, dimana industri menengah dan besar ikut menikmati tarif listrik murah. Namun, di awal tahun 2005 pemerintah mulai menghapus subsidi listrik karena melihat tidak adanya kenaikan produktivitas yang signifikan pada industri TPT dalam melangsungkan usahanya dan hanya menambah beban bagi pemerintah. Sampai saat ini industri TPT memerlukan listrik untuk penerangan dan operasionalnya termasuk dalam proses produksi selama kurang lebih 24 jam, sehingga kenaikan TDL akan berakibat langsung terhadap kelangsungan usaha industri TPT. Sebagai konsekuensinya, industri TPT harus bisa melakukan efisiensi energi untuk mensiasati kenaikan tarif tersebut.
9
Listrik merupakan salah satu faktor produksi pada industri TPT sehingga permintaan listrik termasuk ke dalam permintaan faktor produksi atau yang disebut dengan permintaan input atau turunan. Menurut teori ekonomi, permintaan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya harga input itu sendiri, harga input lain, permintaan akan produk, kuantitas input komplementer dan input subtitusi, dan perubahan teknologi. Jika permintaan listrik di industri TPT terpenuhi, maka akan mempermudah industri TPT meningkatkan produktivitasnya dan meningkatkan perekonomian Indonesia. Namun secara teoritis, faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan input listrik pada industri TPT belum diketahui. Untuk dapat mengetahui faktor-faktor tersebut, maka perlu suatu analisa. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dapat dikaji dalam penelitian ini yaitu faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi permintaan listrik pada industri TPT di Indonesia dan bagaimana hubungannya antara faktorfaktor tersebut dengan permintaan listrik di industri TPT ?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini yaitu menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan listrik industri TPT di Indonesia dan mengkaji hubungan antara faktor-faktor tersebut dengan permintaan listrik pada industri TPT.
1.4.
Kegunaan Penelitian Dari penelitian ini diharapkan :
1. Dapat
memberikan
informasi
mengenai
faktor-faktor
mempengaruhi permintaan listrik industri TPT di Indonesia.
yang
dapat
10
2. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi industri TPT dan pemerintah dalam perkembangan industri TPT. 3. Dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi pembaca dan informasi bagi peneliti lainnya untuk penelitan yang sejenis.
1.5.
Ruang Lingkup Studi Data selang waktu yang digunakan dalam menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan listrik di industri TPT yaitu mulai dari tahun 1982 sampai dengan tahun 2004. Industri tekstil yang diteliti hanya mencakup dua golongan sektor, diantaranya industri tekstil dan industri pakaian jadi. Penelitian ini dibatasi pada hubungan antara permintaan listrik dengan permintaan produk, harga listrik, harga solar, dan krisis ekonomi. Oleh karena itu, analisis akan difokuskan hanya pada faktor-faktor yang diduga mempengaruhi permintaan listrik. Listrik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah listrik yang hanya dibeli dari PT PLN.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Teori 2.1.1
Konsep Dasar Permintaan Permintaan adalah jumlah barang yang diminta oleh konsumen pada suatu
pasar. Menurut Rahardja dan Manurung (2001), permintaan adalah keinginan konsumen untuk membeli suatu barang pada berbagai tingkat harga selama periode waktu tertentu. Kottler dan Amstrong (1992) menyatakan bahwa konsumen akan memilih produk yang menghasilkan kepuasan yang tertinggi dan keinginan konsumen tersebut akan menjadi permintaan bila didukung oleh daya beli. Dari sudut permintaan, barang dapat dibedakan dalam dua golongan, yaitu: 1. Barang konsumsi yaitu barang yang langsung dikonsumsi oleh orang untuk mencapai kepuasan. 2. Barang yang dipakai untuk input dalam proses produksi selanjutnya. Permintaan akan faktor produksi merupakan kelanjutan dari teori perilaku produsen. Faktor produksi diminta oleh dunia usaha karena dengan bantuan faktor produksi sebagai input, produsen dapat menghasilkan barang dan jasa yang dijual di pasar barang. Oleh karena itu, permintaan akan faktor produksi bersifat turunan (derived demand) yang berpangkal dari fungsi produksi di dalam perusahaan (Case dan Fair, 2000). Permintaan input disebut dengan derived demand. Input
dibeli oleh
perusahaan untuk dipergunakan dalam proses produksi. Oleh karena itu, permintaan input diturunkan dari fungsi produksi suatu barang dengan asumsi
12
bahwa perusahaan yang menggunakan input yang dibeli itu bertujuan memaksimumkan keuntungan yang ingin diperolehnya. Permintaan turunan merupakan permintaan sumber daya input yang tergantung pada permintaan keluaran (output) atau produk yang diproduksi menggunakan sumber daya tersebut (Case dan Fair, 2001). Input dapat bersifat komplementer atau subtitusi. Dua input yang dapat digunakan bersama-sama dapat meningkatkan manfaat keduanya, atau saling melengkapi. Fungsi permintaan adalah permintaan yang dinyatakan dalam hubungan matematis
dengan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya.
Dalam
fungsi
permintaan dapat diketahui hubungan antara variabel tidak bebas (dependent variable) dan variabel-variabel bebas (independent variables). Persamaan matematis yang menjelaskan hubungan antara tingkat permintaan dengan faktorfaktor yang mempengaruhi permintaan dapat dituliskan sebagai berikut (Rahardja dan Manurung, 2001) : Dx = f (Px, Py, Y, T, Id, Pop, Pp, Adv) ...............................................(2.1) Dimana : Dx
= Jumlah barang atau jasa yang diminta
Px
= Harga barang itu sendiri
Py
= Harga barang lain
Y
= Pendapatan per kapita
Id
= Jumlah pendapatan rata-rata
T
= Selera
Pop = Jumlah penduduk Pp
= Perkiraan harga barang X periode mendatang
13
Adv = Upaya produsen meningkatkan penjualan Dx adalah variabel tidak bebas (dependent variable). Nilainya ditentukan oleh variabel-variabel lainnya yaitu yang berada di sisi kanan persamaan. Variabel-variabel tersebut disebut variabel bebas (independent variable) karena besar nilainya tidak tergantung besarnya nilai variabel lain. Fungsi permintaan input dapat diturunkan dari fungsi produksi. Fungsi produksi menunjukkan produk maksimum yang dapat diperoleh dengan sejumlah masukan tertentu, pada teknologi tertentu yang menyatakan hubungan antara input dan output. Jadi barang produksi merupakan variabel tidak bebas dan faktor produksi (input) merupakan variabel bebas. Secara matematis, fungsi produksi dapat dinyatakan sebagai : Y = f ( X1,...,Xn ) ..................................................................................(2.2) Dimana Y adalah output dan X adalah input-input yang digunakan untuk memproduksi Y. Menurut Rahardja dan Manurung (2001), kurva permintaan merupakan tempat titik yang masing-masing menggambarkan tingkat maksimum pembelian pada harga tertentu dengan ceteris paribus. Kurva permintaan mempunyai slope negatif dari kiri atas ke kanan bawah, dimana jika terjadi penurunan harga akan menambah jumlah komoditi yang diminta (Nicholson, 2001). Dengan asumsi bahwa input yang diminta mempunyai produktivitas marjinal yang menurun (diminishing marginal productivity), kurva permintaan input adalah fungsi bersudut negatif terhadap harga input yang diminta. Apabila harga input turun, maka lebih banyak input yang diminta, ceteris paribus. Karena kurva permintaan input tersebut adalah kurva revenue marginal dari penggunaan
14
input, jelas bahwa apabila harga output naik, maka kurva permintaan input akan bergeser kekanan, yang berarti lebih banyak input akan diminta pada harga yang sama, ceteris paribus. Permintaan input merupakan derived demand yang diturunkan secara tidak langsung dari fungsi permintaan output, sehingga semua penggeser permintaan dari output juga merupakan penggeser permintaan input. Tetapi hal ini telah tercermin pada harga output yang merupakan penggeser dari permintaan input. Pergeseran kurva permintaan faktor produksi perusahaan dapat dipengaruhi oleh permintaan akan produk perusahaan, kuantitas input komplementer dan input subtitusi, harga input lain, dan perubahan teknologi (Case dan Fair, 2001). Permintaan industri TPT terhadap listrik berkaitan erat dengan derived demand. Permintaan listrik pada industri TPT dapat diturunkan dari permintaan terhadap produk akhir. Derived demand digunakan untuk menunjukkan daftar permintaan bagi input yang dipakai dalam menghasilkan produk akhir. Derived demand juga menyangkut sistem pemasaran secara keseluruhan ataupun fungsi permintaan pada industri. Pada suatu penelitian perlu diketahui bagaimana kepekaan fungsi permintaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya. Konsep elastisitas mengukur perubahan jumlah yang diminta terhadap perubahan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti harga dan pendapatan. Besarnya koefisien elastisitas permintaan ditunjukkan oleh perbandingan antara persentase perubahan dalam variabel tidak bebas (jumlah barang yang diminta) dan persentase perubahan variabel bebas yang mempengaruhinya yaitu harga barang yang bersangkutan,
15
harga barang lain dan pendapatan (Rahardja dan Manurung, 2001).
Adapun
rumus untuk mengukur koefisien elastisitas permintaan adalah : ED = % perubahan jumlah yang diminta = ∆Q x P ......................(2.3) % perubahan harga ∆P Q Lebih jelas lagi Sadono (1982) mendefinisikan elastisitas permintaan adalah suatu pengukuran kuantitatif yang menunjukkan sampai dimana besarnya pengaruh perubahan salah satu variabel bebas terhadap perubahan permintaan dengan menganggap pengaruh variabel yang lain adalah konstan. Menurut Putong (2003), ada beberapa macam elastisitas dari permintaan diantaranya : 1. Elastisitas harga (own price elasticity) merupakan besarnya respon perubahan permintaan suatu barang tehadap perubahan harga suatu barang dengan menganggap nilai peubah yang lain dalam fungsi permintaan tetap (ceteris paribus). Semakin peka jumlah barang yang diminta terhadap perubahan harga maka akan semakin besar elastisitas permintaannya. Elastisitas harga dapat dirumuskan sebagai berikut : ∂qi / qi ............................................................................(2.4) ∂pi / pi i = 1, 2, ..., n
Ep =
Besarnya elastisitas harga (Ep) berturut-turut, menunjukkan kriteria sebagai berikut Ep < 1 (inelastis), Ep > 1 (elastis), Ep = 1 (elastis unitarian), Ep = 0 (inelastis sempurna) dan Ep = ~ (elastis tak terhingga). 2. Elastisitas silang (cross elasticity) merupakan suatu ukuran untuk melihat kepekaan dari permintaan akan suatu komoditi terhadap perubahan harga komoditi lainnya. Elastisitas silang dapat dirumuskan sebagai berikut : Ej = ∂qi / qi ..............................................................................(2.5) ∂pj / pj i = 1, 2, ..., n
16
Nilai elastisitas silang bisa negatif dan positif. Apabila nilai elastisitas bertanda positif maka menunjukkan bahwa barang yang bersangkutan mempunyai hubungan substitusi dengan barang lain, sedangkan bila bertanda negatif menunjukkan hubungan yang komplementer. 3. Elastisitas pendapatan (income elasticity) merupakan suatu ukuran kepekaan dari jumlah yang diminta terhadap perubahan pendapatan dengan anggapan pengaruh dari faktor-faktor lain yang mempengaruhi permintaan tidak berubah. Nilai elastisitas pendapatan (EY) pada umumnya positif, karena kenaikan pendapatan akan meningkatkan jumlah barang yang diminta. Elastisitas dapat dirumuskan sebagai berikut : EY = ∂qi / qi .............................................................................(2.6) ∂m / m i = 1, 2, ..., n 2.1.2
Pengertian Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pengertian industri dapat diartikan
sebagai suatu unit usaha yang melakukan kegiatan ekonomi yang mempunyai tujuan untuk menghasilkan barang dan jasa yang terletak pada suatu bangunan atau lokasi tertentu serta mempunyai catatan administrasi tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya serta ada seseorang atau lebih yang bertanggung jawab atas resiko usaha tersebut. Tekstil merupakan hasil dari proses pertenunan maupun perajutan benang yang hasilnya akan terbentuk tesktil lembaran, tenunan ataupun rajutan, sedangkan produk tekstil adalah proses lanjutan dari lembaran tekstil yang diproses menjadi pakaian jadi untuk individu. Tekstil sebagai kata benda diartikan sebagai pakaian, yang dibuat dengan cara ditenun atau dirajut (kain) atau serat (benang) untuk ditenun atau dirajut menjadi pakaian. Tekstil sebagai kata sifat diartikan sebagai usaha/pekerjaan yang
17
berhubungan dengan kain dan pembuatan kain. Industri tekstil merupakan rangkaian industri dari hulu ke hilir yaitu industri pembuatan serat, pemintalan, pertenunan, pencelupan, penyempurnaan serta pakaian jadi (Badan Pusat Statistik, 2003). Industri tekstil yang berkembang selama ini merupakan satu kesatuan kegiatan yang terdiri dari (Wibowo, 1982) : 1. Industri pembuatan serat (fiber making), yaitu industri yang mengolah bahan dasar sintetis yang berasal dari minyak bumi yang dikenal dengan nama ‘chips’ untuk menjadi serat-serat sintetis. 2. Industri pemintalan (spinning), yaitu industri yang mengolah serat sintetis dan serat alam sehingga menghasilkan benang campuran dan benang sintetis. 3. Industri pertenunan (weaving), yaitu industri yang melakukan penenunan benang dari tahap pemintalan sehingga dihasilkan produk kain mentah. 4. Industri finishing (dyeing dan printing), yaitu industri yang melakukan proses pencelupan warna dan pencetakan yang selanjutnya disempurnakan melalui proses penyempurnaan untuk menghasilkan lembaran kain yang diinginkan. 5. Industri pembuatan pakaian jadi, yaitu industri yang mengolah bahan kain menjadi produk akhir yang berupa pakaian jadi yang siap dikonsumsi. Menurut Badan Pusat Statistik, industri tekstil di Indonesia dibagi menjadi 5 (lima) kelompok industri diantaranya industri serat buatan, industri pemintalan, industri pertenunan, industri pakaian jadi, dan industri lain-lain. Namun, menurut Departemen Perindustrian industri tekstil dibagi menjadi lima jenis industri, yaitu industri serat, industri benang, industri kain, industri pakaian jadi, dan industri produk tekstil lainnya.
18
Secara teknis, struktur industri TPT nasional dibagi menjadi tiga subsektor, yaitu : 1. Sub-Sektor Industri Hulu (Upstream) Menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) (2006), industri hulu terdiri dari industri yang menghasilkan benang, diantaranya industri pembuatan serat (fiber making) seperti kapas, serat sintetik, serat selulosa, nylon, arcylic, sutra dan lain-lain, serta industri pemintalan (spinning). Umumnya, industri pada sektor hulu bersifat padat modal, teknologi madya dan moderen (fullautomatic), berskala besar, jumlah tenaga kerja relatif kecil, dan output per tenaga kerja besar. 2. Sub-Sektor Menengah (Midstream) Menurut API (2006), sektor menengah terdiri dari industri yang memproduksi kain mentah lembaran hingga industri pengolahan memproduksi kain jadi. Sektor ini meliputi industri yang bergerak pada bidang pertenunan (weaving), perajutan (knitting), dan penyempurnaan (finishing). Sifat dari industri sektor menengah adalah semi padat modal dan teknologi yang dipakai telah berkembang dengan penyerapan tenaga kerjanya lebih besar dari sektor hulu. 3. Sektor hilir (downstream) Industri pada sektor hilir menurut API adalah pakaian jadi (garment). Sektor ini paling banyak menyerap tenaga kerja sehingga sifat industrinya adalah padat karya. Pembeda sektor hilir dan sektor hulu maupun sektor menengah adalah pada jumlah tenaga kerjanya, yaitu sebagian besar tenaga kerjanya adalah wanita.
19
Pada rentang waktu penelitian yang dilakukan, yaitu 1982-2004, sektor industri TPT telah mengalami perubahan dalam pembagian golongan pokok industri. Tahun 1982-1997, industri TPT terbagi dalam empat golongan pokok dengan tiga digit yang terdiri dari ISIC 321 (industri tekstil), ISIC 322 (industri pakaian jadi kecuali untuk keperluan kaki), ISIC 323 (industri kulit dan barangbarang dari kulit, kulit imitasi kecuali untuk keperluan kaki dan pakaian), dan ISIC 324 (industri barang-barang untuk keperluan kaki dari kulit). Kemudian pada tahun 1998-2004 terjadi perubahan pengklasifikasian golongan pokok pada industri TPT menjadi dua digit, yaitu KLUI 17 (industri tekstil) dan KLUI 18 (industri pakaian jadi).
2.1.3
Penelitian Terdahulu Menurut penelitian Widyantoro (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan tenaga listrik yaitu pertumbuhan ekonomi (PDB), harga listrik dan jumlah pelanggan atau cakupan listrik (rasio elektrifikasi). Dari hasil regresi ekonometrikanya, secara umum terlihat variabel PDB dan cakupan listrik menunjukkan elastisitas positif. Sedangkan untuk harga listrik menunjukkan elastisitas negatif baik untuk Jawa-Bali maupun Indonesia. Selain itu, koefisien LR Term cukup besar, dibandingkan dengan koefisien lainnya, sehingga menunjukkan adanya masalah stok dan delay demand yang cukup besar. Terlihat pula dampak perubahan dari harga, pendapatan dan ketersediaan listrik terhadap permintaan listrik yang tidak langsung terlihat. Dari seluruh skenario permintaan tahun 1998-2000, pertumbuhan permintaan naik cukup tinggi untuk Indonesia. Walaupun terjadi peningkatan pertumbuhan permintaan cukup
20
tinggi, akan tetapi permintaan listrik tersebut masih lebih tinggi dibanding pertumbuhan PDB. Intensitas konsumsi terhadap PDB masih di atas satu yang menunjukkan penggunaan energi belum efektif dan efisien. Dari segi komposisi, terlihat bahwa komposisi fungsi permintaan listrik rerata baik Jawa-Bali maupun Indonesia dalam sektor industri terbesar masih sangat dominan dibandingkan sektor rumah tangga, komersial dan publik. Pada penelitian Yulaekha (2005), permasalahan industri TPT dalam mengahadapi kuota per 1 Januari 2005 dibagi menjadi 2 bagian, yaitu permasalahan eksternal dan internal. Tantangan eksternal adalah penghapusan kuota di pasar utama ekspor, yaitu AS dan Uni Eropa, per 1 Januari 2005, dan persaingan dengan Cina, India, Vietnam, dan Pakistan. Masalah internal yang menghambat perkembangan industri TPT adalah pertama, peningkatan biaya yang mempengaruhi daya saing yang disebabkan oleh kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dan BBM, penyelundupan dan proses bea cukai (tarif dan pungutan), kenaikan Upah Minimum Regional (UMR), kenaikan ekonomi biaya tinggi (ebit) karena desentralisasi yang menyebabkan kenaikan pajak lokal dan meningkatnya korupsi serta tingginya harga komponen impor mulai dari benang dan zat pewarna tekstil. Kedua, adalah masalah buruh. Ketiga, sulitnya aliran kredit membuat upaya ekspansi modal juga tersendat. Penurunan produktivitas pada industri tekstil juga disebabkan tidak adanya pergantian mesin dan teknologi. Implikasinya, biaya produksi semakin mahal. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor produksi bahan baku (R) dan energi (M) ternyata memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan
21
output TPT Indonesia. Untuk tenaga kerja, modal dan dummy krisis memberikan pengaruh tidak nyata terhadap peningkatan output. Produktivitas yang terbesar adalah energi dan bisa dikatakan bahwa terjadi efisiensi dalam penggunaan energi (bahan bakar, gas dan listrik). Meskipun secara kuantitatif penggunaan faktor produksi ini lebih sedikit, namun ternyata dapat menghasilkan output yang lebih besar. Dalam upaya peningkatan produktivitas energi, langkah-langkah yang harus dilakukan yaitu pertama memberikan insentif biaya energi terhadap industri yang export oriented. Kedua, mengembangkan riset terhadap energi lain sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM) yang ketersediaannya sudah mulai berkurang dan mahal. Ketiga, mengembangkan dan menggunakan mesin tekstil dan suku cadang berbahan bakar non-BBM serta keempat membuat hukum tentang penggunaan energi yang cukup ketat terutama untuk sektor energi. Perbedaan penelitian yang akan dianalisis dengan penelitian sebelumnya yaitu jika pada penelitian sebelumnya menganalisa permintaan listrik pada kelompok Rumah Tangga di Indonesia periode 1998-2000. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan tenaga listrik pada kelompok Rumah Tangga yaitu pertumbuhan ekonomi (PDB), harga listrik dan jumlah pelanggan atau cakupan listrik (rasio elektrifikasi). Pada penelitian kali ini akan menganalisa permintaan listrik pada kelompok Industri khususnya industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia periode 1982-2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan listrik pada industri TPT diantaranya harga listrik, permintaan produk, harga solar dan nilai krisis.
22
2.2 Kerangka Pemikiran Konseptual Industri TPT merupakan salah satu industri andalan yang mampu memberikan kontribusi terbesar dalam perekonomian Indonesia. Perkembangan industri TPT
yang meningkat terus menerus sangat diharapkan agar mampu
menghadapi persaingan dari luar. Dengan adanya peningkatan produktivitas pada industri TPT, maka para konsumen akan dapat merasakan kepuasan dalam mengkonsumsi produk. Peningkatan permintaan konsumen menyebabkan kebutuhan akan semua faktor produksi ikut meningkat. Salah satu faktor produksi tersebut adalah bahan bakar energi. Tanpa ada bahan bakar, produk tidak dapat diproses dan dihasilkan dengan cepat sesuai dengan permintaan konsumen. Bahan bakar energi yang paling banyak digunakan oleh industri TPT adalah listrik. Peningkatan permintaan konsumen akan produk TPT membuat industri TPT harus lebih meningkatkan kebutuhannya terhadap bahan bakar. Adanya kenaikan pada harga BBM terutama solar menyebabkan industri TPT lebih banyak menggunakan energi lainnya, salah satunya listrik. Hal ini membuat industri TPT mengurangi pasokan solar dan lebih banyak menggunakan tenaga listrik yang berasal dari PLN. Dengan demikian, listrik merupakan salah satu bahan bakar energi yang sangat penting bagi industri TPT sehingga permintaan listrik tersebut perlu dilakukan analisis untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi permintaan listrik di Industri TPT. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi permintaan listrik diantaranya permintaan produk, harga listrik, harga solar, dan dummy krisis. Adanya dummy krisis akan
23
memperlihatkan bagaimana pengaruh krisis ekonomi terhadap permintaan listrik pada industri TPT. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan listrik dianalisa dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap permintaan listrik dan besarnya pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap permintaan listrik industri TPT di Indonesia. Hasil analisis tersebut akan diperoleh kesimpulan yang menjadi hasil penelitian. Dari penelitian ini diperlukan pula saran yang merupakan solusi yang tepat bagi industri TPT dalam melakukan efisiensi bahan bakar akibat kenaikan harga solar dan harga listrik. Secara konseptual analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan listrik industri TPT akan dijelaskan pada kerangka pemikiran konseptual (Gambar 1).
2.3 Hipotesis 1. Permintaan produk mempunyai hubungan yang positif dengan permintaan listrik. 2. Harga listrik berhubungan negatif terhadap permintaan listrik. 3. Harga solar mempunyai hubungan yang positif terhadap permintaan listrik. 4. Dummy krisis berpengaruh negatif terhadap permintaan listrik pada industri TPT.
24
Perkembangan Industri TPT di Indonesia
Permintaan Listrik
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Listrik di Industri TPT : 1. 2. 3. 4.
Permintaan Produk Harga Listrik Harga Solar Dummy Krisis
Hubungan Antara Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Listrik dengan Permintaan Listrik pada Industri TPT Melalui Analisis Regresi : Metode OLS
Implikasi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Konseptual
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Data dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data deret waktu (time series) dari tahun 1982-2004. Data diperoleh dari berbagai sumber seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Departemen Perindustrian (Deperind), PT PLN (Persero), Pertamina, internet dan referensi lainnya yang relevan. Data yang digunakan dalam penelitian pada tahun 1982-2004 hanya mencakup dua golongan pokok yaitu industri tekstil dan industri pakaian jadi.
3.2 Metode Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kuantitatif yaitu dengan melihat pengaruh variabel-variabel yang diteliti. Model penelitian yang digunakan untuk mengkaji fungsi permintaan listrik industri TPT dan faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah regresi linear. Data statistik yang diestimasi merupakan data time series dari tahun 1982-2004 diolah dengan menggunakan Microsoft Exel 2003 dan software E-Views 4.1. 3.2.1
Analisis Regresi Analisis regresi adalah teknik statistika yang berguna untuk memeriksa
dan memodelkan hubungan diantara variabel-variabel yang akan digunakan. Penyelesaian persamaan pada penelitian menggunakan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square Method). Pendugaan nilai koefisien regresi dengan metode kuadrat terkecil (OLS) ditunjukkan untuk mencapai kondisi statistik yang baik. Dalam upaya mencapai
26
tujuan tersebut, metode OLS akan menghasilkan pendugaan yang baik apabila asumsi-asumsi yang mendasarinya terpenuhi, diantaranya : 1. Nilai rata-rata hitung dari deviasi yang berhubungan dengan setiap variabel independen harus sama dengan nol. 2. Tidak adanya korelasi berurutan (autokorelasi) dalam setiap variabel dalam model. 3. Asumsi homokedastisitas atau penyebaran yang sama. Dengan kata lain, berarti bahwa populasi Y yang berhubungan dengan berbagai nilai X mempunyai varians yang sama. 4. Tidak terdapat multikolinearitas, yang berarti tidak terdapat hubungan linear yang pasti antara variabel independen. Pemilihan metode OLS untuk meramalkan model disebabkan oleh mudahnya penggunaan dan pendeskripsian hasil dari regresi. Disamping itu, metode ini juga lebih sederhana jika dibandingkan dengan metode lain karena metode ini merupakan metode yang cukup sering digunakan para peneliti dibidang ekonomi untuk melihat hubungan antara variabel-variabel ekonomi. Hubungan
antara
permintaan
listrik
dengan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya perlu disederhanakan dalam suatu model. Untuk mendapatkan model permintaan listrik supaya dapat dipertanggungjawabkan sebaiknya mempunyai dasar logik secara fisik maupun ekonomi, mudah dianalisa dan mempunyai implikasi ekonomi. Secara umum, model regresi linier dengan data time series dapat dituliskan sebagai berikut : Yt = α + β1 X1t + β2 X2t + ... + βn Xnt + εt ............................................(3.1)
27
Dimana Yt
adalah variabel terikat yang dipengaruhi oleh variabel bebasnya,
sedangkan X1t, X2t, Xnt adalah himpunan variabel bebas. α dan β adalah parameter yang nilainya tidak diketahui sehingga diduga menggunakan statistik sampel. εt adalah komponen sisaan yang tidak diketahui nilainya. Berdasarkan persamaan (3.1), maka didapat suatu bentuk linear dari persamaan listrik sebagai berikut: Y = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + e .........................................(3.2) Dimana Y adalah permintaan listrik yang merupakan variabel terikat di dalam model, sedangkan X1, X2, X3, X4
merupakan variabel-variabel yang
mempengaruhi permintaan listrik. Sesuai dengan tujuan penelitian, maka model permintaan listrik yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : DLR = α + β1 DTR + β2 PLR + β3 PSR + β4 DK + e .........................(3.3) Dimana : DLR = Permintaan Listrik Riil di Sektor Industri TPT (kWh) DTR = Permintaan Produk Riil di Industri TPT (juta Rp) PLR
= Harga Jual Listrik Riil dari PLN (Rp/kWh)
PSR
= Harga Solar Riil di Sektor Industri (Rp/liter)
DK
= Dummy Krisis ( 0 = 1982-1996 ; 1 = 1997-2004 )
α
= intercept
e
= error/galat
β1, β2, β3, β4 = Koefisien Regresi Persamaan di atas menggunakan model dalam bentuk riil untuk menstabilkan variabel agar biasnya tidak terlalu besar setiap tahunnya. Selain itu,
28
bentuk riil lebih mencerminkan kemampuan yang sesungguhnya, karena jika nilai nominalnya naik, maka nilai riilnya belum tentu akan naik. Data riil yang telah dihasilkan kemudian dihitung nilai elastisitasnya untuk melihat besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dan untuk mempermudah menjelaskan hasil analisa. Berdasarkan persamaan (2.3) dan (3.2), maka rumus untuk mencari nilai elastisitas permintaan untuk masing-masing variabel bebas adalah sebagai berikut : ED = βi ( Xi ) .......................................................................................(3.4) Y Dimana :
3.2.2
ED
: Elastisitas Permintaan
βi
: Koefisien regresi variabel bebasi
Xi
: Rata-rata variabel bebasi
Y
: Rata-rata variabel terikat
i
: 1, 2, ..., n
Uji Ekonometrika dan Statistik Model dapat dikatakan baik jika hasil regresi yang telah didapat kemudian
diuji melalui uji ekonometrika dan uji statistik. Uji ekonometrika diantaranya uji autokorelasi, uji multikolinear dan uji heteroskedastisitas. Uji statistik digunakan pada model penduga melalui uji F, sedangkan parameter-parameter regresi dapat diuji melalui uji t, serta uji koefisien determinasi. a. Uji Multikolinear Multikolinear adalah adanya hubungan linear diantara beberapa atau semua variabel bebas dalam model regresi (Gujarati, 1997). Dalam model, sering ditemukan kesulitan memisahkan pengaruh antara dua atau lebih variabel
29
bebas dengan variabel terikat. Uji multikolinearitas dilakukan dengan melihat koefisien korelasi antar variabel bebas yang terdapat pada matriks korelasi. Jika terdapat koefisien korelasi yang lebih besar dari |0,8|, maka didalam model tersebut terdapat gejala multikolinearitas. Jika terdapat korelasi diantara beberapa variabel bebas, maka korelasi dapat diabaikan melalui uji Klein. Berdasarkan uji Klein bahwa korelasi antara variabel bebas bisa diabaikan apabila nilai koefisien korelasinya lebih kecil dari nilai koefisien determinasi atau keragamannya (korelasi keseluruhannya). b. Uji Autokorelasi Autokorelasi merupakan gejala adanya korelasi antara serangkaian observasi yang diurutkan menurut deret waktu (time series) (Gujarati, 1997). Suatu model dapat dikatakan baik apabila telah memenuhi asumsi tidak terdapat gejala autokorelasi. Adanya gejala autokorelasi pada suatu model akan menyebabkan suatu model memiliki suatu selang kepercayaan yang semakin lebar dan pengujian menjadi kurang akurat, mengakibatkan hasil dari uji-t dan uji-F menjadi tidak sah dan penaksiran regresi akan menjadi sensitif terhadap fluktuasi penyampelan (Gujarati, 1997). Pada program E-Views 4.1, uji autokorelasi dilakukan dengan melihat probability Obs*R-squared pada uji Breusch-Godfrey Serial Corelation Lagrange Multiplier (LM Test). Hipotesis : H0 : ρ = 0 H1 : ρ ≠ 0 Kiteria Uji : Probability Obs*R-squared < taraf nyata (α), maka akan tolak H0
30
Probability Obs*R-squared > taraf nyata (α), maka akan terima H0 Jika H0 ditolak maka akan terjadi autokorelasi (positif atau negatif) dalam model. Jika H0 diterima maka tidak terdapat autokorelasi dalam model. c. Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas merupakan suatu kondisi dimana nilai ragam error term pada variabel terikat tidak memiliki nilai yang sama untuk setiap observasi. Heteroskedastisitas tidak merusak sifat ketidakbiasan dan konsistensi dari penaksir OLS, tetapi penaksir yang dihasilkan tidak lagi mempunyai variansi minimum (efisiensi). Suatu fungsi dikatakan baik apabila memenuhi asumsi tidak terjadi heteroskedastisitas (homoskedastisitas) atau memiliki ragam error yang sama. Gejala adanya heteroskedastisitas dapat ditunjukkan oleh probability Obs*R-squared pada uji White Heteroskedasticity. Hipotesis : H0 : γ = 0 H1 : γ ≠ 0 Kriteria Uji : Probability Obs*R-squared < taraf nyata (α), maka akan tolak H0 Probability Obs*R-squared > taraf nyata (α), maka akan terima H0 Jika H0 ditolak, maka akan terdapat gejala heteroskedastisitas dalam model. Jika H0 diterima , maka tidak terdapat gejala heteroskedastisitas dalam model. d. Uji Normalitas Error Term Uji ini dilakukan jika sampel yang digunakan kurang dari 30, karena jika sampel lebih dari 30 maka error term akan terdistribusi secara normal. Uji ini disebut Jarque-Bera Test.
31
Hipotesis : H0 : error term terdistribusi normal H1 : error term tidak terdistribusi normal Jika Jarque Bera (J-B) > X2
df = k
atau Probability (P-Value) < α (taraf nyata
yang digunakan) maka tolak H0, artinya error term tidak terdistribusi normal. Jika Jarque Bera (J-B) < X2
df = k
atau Probability (P-Value) > α (taraf nyata
yang digunakan) maka terima H0, artinya error term terdistribusi normal. e. Uji Koefisien Determinasi (R2) Uji ini merupakan uji keragaman yang digunakan untuk melihat sejauhmana variabel bebas mampu menjelaskan variabel terikatnya didalam model. Koefisien determinasi mengukur persentase atau proporsi total variansi dalam variabel terikat yang dijelaskan dalam model regresi. Sifat dasar dari R2 adalah besarannya yang selalu positif berkisar antara 0 dan 1 (0 ≤ R2 ≤ 1). f. Uji F Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui keabsahan suatu model, apakah model penduga layak untuk menduga parameter dalam fungsi atau tidak. Berdasarkan metode OLS pengujian ini dapat dilihat nilai probabilitasnya dari F-statistiknya. Hipotesis : H0 : b1 = b2 = ... = bi = 0 H1 : minimal ada salah satu b1 ≠ 0 Jika seluruh nilai sebenarnya dari parameter regresi sama dengan nol, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang linear antara variabel terikat dengan variabel bebas.
32
Kriteria uji : Probability F-statistic < taraf nyata (α), maka akan tolak H0 Probability F-statistic > taraf nyata (α), maka akan terima H0 Jika H0 ditolak, berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat pada model layak digunakan. Jika H0 diterima, maka tidak ada satu pun variabel bebas yang berpengaruh nyata. g. Uji t Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat signifikansi variabel bebas, apakah koefisien regresi dalam model secara statistik bersifat signifikan atau tidak. Pengujian ini dapat dilihat dari nilai probabilitas t-statistiknya. Hipotesis : H0 : b1 = b2 = ... = bi = 0 H1 : b1 ≠ 0 Kiteria Uji : Probability t-statistic < taraf nyata (α), maka akan tolak H0 Probability t-statistic > taraf nyata (α), maka akan terima H0 Jika H0 ditolak, maka variabel bebas berpengaruh nyata pada taraf nyata (α) terhadap variabel bebasnya. Sebaliknya jika H0 diterima, maka variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.
3.3 Operasional Data Untuk menghindari salah tafsir terhadap istilah dan kosepsi yang dipakai dalam penelitian ini, maka beberapa istilah atau konsepsi perlu diberikan batasan atau definisi. Di bawah ini merupakan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian, yaitu :
33
1. Permintaan listrik (kWh) adalah jumlah listrik yang diminta oleh industri TPT setiap tahun dalam nominal dibagi dengan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) untuk industri tekstil berdasarkan tahun dasar 1993. 2. Permintaan produk (juta Rupiah) adalah jumlah produk yang dihasilkan oleh industri TPT setiap tahun dalam nominal dibagi dengan IHPB berdasarkan tahun dasar 1993. 3. Harga listrik adalah harga rata-rata listrik per kWh setiap tahun dibagi dengan IHPB tahun dasar 1993. 4. Harga solar adalah harga rata-rata solar per liter setiap tahun dibagi dengan IHPB tahun dasar 1993. 5. Dummy krisis, dimana dari tahun 1982 sampai dengan 1996 bernilai 0, sedangkan dari tahun 1997 sampai dengan 2004 bernilai 1.
IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) DI INDONESIA
4.1 Sejarah Industri TPT di Indonesia Industri tesktil di Indonesia merupakan industri yang usianya sudah cukup tua yang telah tumbuh sejak masa penjajahan Belanda. Industri ini menjadi perintis bagi proses industrialisasi negara sedang berkembang. Perkembangan peralatan pertenunan yang dipakai pada awalnya masih sederhana yaitu dengan menggunakan alat tenun kayu sederhana yang tersebar di pelosok-pelosok desa. Namun, pada tahun 1926 peralatan tersebut mengalami perkembangan yang lebih canggih dimana tekstil di Indonesia dihasilkan dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Pada tahun 1930 mulai diperkenalkan Alat Tenun Mesin (ATM) yang masih menggunakan kayu. Alat ini merupakan embrio dari mekanisasi industri tekstil di Indonesia. Sesuai dengan perkembangan jaman, pada industri pertenunan yang moderen sudah menggunakan mesin tenun yang lebih canggih, yaitu dengan menggunakan power loom di awal tahun 1970-an. Penggunaan alat tersebut mendesak industri pertenunan kecil yang menggunakan ATBM. Meskipun pertenunan ATBM masih ada hingga sekarang, tetapi pasarnya adalah relatif kecil dan umumnya menghasilkan kain tradisional. Di Awal 1970-an pula sub-sektor Industri Hulu mulai berkembang (Man-made Fiber making & Spinning) (API, 2005). Kegiatan pertenunan ini kemudian ditopang oleh sektor pencelupan, pencetakan, penyempurnaan, pemintalan, perajutan, pakaian jadi, dan produk
35
tekstil lainnya. Industri pakaian jadi baru mulai berkembang pada akhir tahun 1970-an sebagai akibat dari peningkatan yang besar dari permintaan domestik dan kesempatan untuk meningkatkan ekspor. Industri serat sintetis juga berkembang pada akhir tahun 1970-an sebagai akibat kebijakan pemerintah untuk merambah ke hulu dengan memanfaatkan sumber energi. Pembangunan industri serat sintetis ini pada gilirannya mendorong lebih lanjut perkembangan industri hilir seperti pemintalan, perajutan dan pakaian jadi di tahun 1980-an. Periode 1970 sampai dengan 1985, industri TPT tumbuh dan mampu memenuhi pasar domestik (substitusi impor). Tahun 1986, industri TPT tumbuh pesat yang dikarenakan beberapa faktor seperti iklim yang kondusif (regulasi pemerintah efektif) dan kemampuan industri TPT dalam memenuhi standard kualitas tinggi sehingga dapat masuk ke pasar ekspor (API, 2005). Industri pemintalan dan pertenunan moderen berkembang dengan cepat sebagai akibat dari peningkatan yang tinggi dalam penanaman modal dalam negeri khususnya modal asing dan didorong oleh peningkatan permintaan domestik serta iklim investasi yang kondusif. Perkembangan industri ini tidak terlepas dari peningkatan pendapatan per kapita dan daya beli masyarakat. Meskipun demikian, perkembangan industri TPT antara tahun 1975 hingga tahun 1992 tergolong industri yang padat tenaga kerja yang tidak terlatih. Periode 1986-1997, ekspor TPT nasional meningkat dan dapat dikatakan bahwa industri TPT termasuk industri strategis dan penghasil devisa andalan nasional sektor non migas. Setelah tahun 1986, paket deregulasi yang berorientasi ekspor mulai berlaku. Tahun 1987, industri TPT menikmati tingkat proteksi efektif yang lebih tinggi dari industri pengolahan lainnya pada umumnya,
36
khususnya di sektor kain tenun, namun tarif-tarif itu kemudian diturunkan. Pada awal tahun 1990-an, pemerintah memulai kebijakan menggalakkan ekspor yang disebabkan karena beberapa faktor seperti jatuhnya harga minyak pada waktu itu, peningkatan permintaan domestik yang lambat, keunggulan komparatif karena tingkat upah yang rendah, adanya kuota ekspor yang belum terpakai, dan subsidi. Tahun 1995, tingkat proteksi efektif yang tinggi telah diturunkan lebih cepat dari industri-industri lainnya. Kebijakan-kebijakan ini telah mendorong ekspor tekstil dan pakaian jadi (Tarmidi, 2000). Pada periode 1998-2002, terjadi krisis kinerja ekspor TPT di Indonesia akibat krisis ekonomi yang menyebabkan fluktuasi hingga sluggish. Upaya revitalisasi industri TPT dilakukan pada periode 2003-2004. Hal ini dilakukan karena kondisi nasional yang stagnant akibat sulitnya sumber pembiayaan. Pada periode 2005-2010 industri TPT berada pada pasca kuota dan pasar mulai terbuka. Industri TPT nasional mentargetkan ekspor sebesar US$ 14 miliar pada tahun 2010 dengan melakukan perencanaan revitalisasi & modernisasi sukses (API, 2005).
4.2 Perkembangan Industri TPT di Indonesia Pada sisi makroekonomi, industri TPT mempunyai peran yang besar dalam peningkatan perekonomian Indonesia. Hal ini dikarenakan industri TPT : 1. Penghasil devisa utama dalam perdagangan luar negeri. Menurut BPS, surplus yang dihasilkan oleh industri TPT pada tahun 2005 sebesar 25 persen dari jumlah surplus yang dihasilkan oleh semua sektor industri dan menempati urutan kedua setelah industri pertambangan (28 persen). Secara berturut diikuti oleh industri kayu dan produk kayu serta
37
industri elektronik sebesar 19 persen, sedangkan surplus yang dihasilkan industri gas dan minyak bumi sebesar 6 persen dan industri lainnya sebesar 3 persen. 2. Penghasil ekspor bersih terbesar kedua. Tabel 2. Ekspor dan Impor Industri TPT di Indonesia Tahun 2000-2005 Tahun
Perubahan (%)
Impor (Juta US$) 2280
Perubahan (%)
2000
Ekspor (Juta US$) 8200
2001
7675
-6.40
2440
7.02
2002
6888
-10.25
1825
-25.20
2003
7033
2.10
1673
-8.33
2004
7647
8.73
1721
2.87
2005
8603
8.91
1687
-1.98
Sumber : API 2006
Ekspor bersih yang dihasilkan oleh industri TPT di Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2001 hingga 2002 sebesar 16.65 persen. Setelah tahun 2002, nilai ekspor meningkat hingga tahun 2005 sebesar 19.84 persen. Impor TPT mengalami kenaikan yang cukup tinggi di tahun 2001 sebesar 7.02 persen dan menurun drastis di tahun selanjutnya sebesar 25.20 persen. Tahun 2005, ekspor TPT mengalami kenaikan sebesar 8.91 persen, sedangkan impor TPT mengalami penurunan sebesar 1.98 persen. 3. Penyumbang kontribusi terbesar dalam GDP. Kontribusi industri TPT dalam GDP tahun 2005 sebesar 3 persen dari keseluruhan kontribusi dalam GDP. Hal ini dapat dilihat dari jumlah ekspor bersih yang dihasilkan sebesar 6.99 milyar US$, penjualan domestik sebesar 1.22 milyar US$, dan investasi sebesar 8.09 milyarUS$ (API, 2006). 4. Penyerap tenaga kerja terluas dalam sektor manufaktur.
38
Tenaga kerja yang diserap oleh industri manufaktur sebesar 12 persen, sedangkan penyerapan tenaga kerja sebesar 1.9 persen dari jumlah tenaga kerja pada industri manufaktur dilakukan oleh industri TPT (API, 2006). Perusahaan yang bergerak dalam bidang tekstil dan produk tekstil tersebar ke dalam 7 wilayah di Indonesia yaitu Jawa Barat (57%), Jakarta (17%), Jawa Tengah (14%), Jawa Timur (6%), Bali (3%), Sumatera (2%), dan Yogyakarta (1%). Ketujuh wilayah tersebut berdekatan sehingga jalur distribusi mudah dijangkau dan produk yang dibutuhkan untuk proses selanjutnya mudah didapat. Menurut BPS dalam API (2006), penjualan domestik (ribu ton) pada industri besar dan menengah serta industri rumah tangga mengalami penurunan yang drastis di tahun 2005. Hal ini dikarenakan meningkatnya produk impor baik legal (2%) maupun ilegal (37%). API memperkirakan konsumsi domestik dimasa yang akan datang akan meningkat sampai dengan tahun 2010 sesuai dengan meningkatnya jumlah populasi Indonesia. Namun, dalam meningkatkan konsumsi domestik, industri TPT dihadapi beberapa persoalan, diantaranya : a. Persaingan internasional yang semakin tinggi b. Jatuhnya harga internasional (faktor utama yaitu China) c. Tarif istimewa yaitu halangan non tarif pada peraturan WTO (dumping-anti dumping, dan mekanisasi perlindungan) dan halangan non tarif lainnya (lingkungan sosial, keamanan, dan lain-lain). Secara umum kinerja industri TPT Indonesia sepanjang tahun 2005 mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3, dimana jumlah perusahaan, impor, sumber daya manusia, kapasitas produksi dan investasi menurun, kecuali ekspor dan jumlah produksi riil.
39
Pada jenis industri pakaian jadi terjadi penurunan jumlah perusahaan di tahun 2005 menurun sebesar 0.19 persen, sehingga berpengaruh terhadap jumlah tenaga kerja yang digunakan. Hal ini juga terjadi pada industri pakaian jadi dimana jumlah tenaga kerja untuk tahun 2005 menurun sebesar 0.67 persen. Tabel 3. Profil Industri TPT di Indonesia Tahun 2001-2005 Tahun Deskripsi
Unit 2001
2002
2003
2004
2005
Jumlah Perusahaan
Unit
2665
2646
2654
2661
2656
Investasi Modal
Milyar Rp
130823
132101
132355
132389
132381
Tenaga Kerja
‘000 Orang
1219
1182
1183
1184
1176
‘000 Ton
6037
6081
5790
6021
5855
Nilai
Milyar Rp
89417
82411
82285
85576
93240
Volume
‘000 Ton
5157
4200
4193
4361
4319
Kapasitas Produksi Produksi
Ekspor
Impor
Nilai
Juta US$
7645
6888
7033
7647
8603
Volume
‘000 Ton
1727
1758
1773
1626
1713
Nilai
Juta US$
2440
1824
1673
1720
1688
Volume
‘000 Ton
1265
1048
962
880
907
Sumber : BPS, Depnakertrans, BPKM, Deperind 2006 (diolah) Berdasarkan Tabel 3, pertumbuhan nilai dan volume ekspor di tahun 2005 mengalami peningkatan. Nilai produksi riil menunjukkan adanya peningkatan sebesar 8.96 persen dan volume produksi menurun sebesar 0.95 persen. Nilai impor di tahun 2005 menurun sebesar 1.90 persen dari 1720 juta US$ menjadi 1688 juta US$. Namun, volume impor tersebut justru meningkat sebesar 3.04 persen dari 880 ribu ton menjadi 907 ribu ton. Pertumbuhan investasi pada industri TPT mengalami penurunan di tahun 2005. Hal ini dikarenakan pengaruh nilai tukar Rupiah terhadap Dollar yang menurun sehingga menyebabkan adanya ketidakpercayaan investor untuk berinvestasi. Selain itu juga utilitas produksi yang menurun drastis disebabkan
40
menurunnya kapasitas produksi secara keseluruhan pada industri TPT. Utilitas produksi pada kelompok industri TPT di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Utilitas Produksi Industri TPT di Indonesia Tahun 2005 Fiber
Spinning
Weaving/ Knitting
Garment
Kapasitas Produksi (000 ton)
1077
2397
1777
1166
Produksi Riil (000 ton)
752
1623
963
665
Utilisasi (%)
69
67
54
57
Sumber : API 2006
4.2.1. Industri Pembuatan Serat (Fiber Making) Industri pembuatan serat merupakan industri sub-sektor hulu dengan sifat usahanya yang padat modal dengan jumlah tenaga kerja relatif kecil. Pada industri pembuatan serat, bahan baku yang digunakan terdiri dari dua jenis, yaitu natural (kapas, sutra, dan lain-lain) dan buatan (Men Made Fiber/MMF) seperti polyester, rayon, selulosa, nylon, acrylic, dan lain-lain. Dewasa ini, komposisi penggunaan berbagai jenis serat di Indonesia 45 persen serat sintetik, 40 persen kapas alam, dan 10 persen rayon. Kebutuhan kapas masih memiliki ketergantungan yang sangat kuat terhadap pasokan luar negeri, dimana hampir 98 persen berasal dari impor. Hal ini dikarenakan kondisi alam Indonesia yang kurang mendukung dan tidak ekonomis. Sekitar 70 persen produk kapas atau sekitar 68.6 persen dari total kapas Indonesia masih diimpor dari Australia, sedangkan sisanya diimpor dari Amerika Serikat, China, Pakistan, Tanzania, India, Uzbekistan, Rusia, dan lain-lain. Pada serat sintetik, 95 persen kebutuhannya berasal dari dalam negeri dan 5 persen impor. Selain itu, serat tersebut juga telah diekspor ke banyak negara. Namun, impor komoditas ini juga masih cukup besar. Hal ini disebabkan perbedaan kualitas antar produk serat buatan lokal dan impor, karena ada serat
41
jenis tertentu yang memiliki kualitas yang lebih baik dari serat lokal yang belum tersedia di Indonesia. Menurut API (2006), produksi serat sintetik Indonesia di tahun 2004 menempati urutan ketujuh di dunia setelah Korea Selatan. Tabel 5. Profil Industri Pembuatan Serat Tahun 2001-2005 Tahun Deskripsi
Unit 2001
2002
2003
2004
2005
Jumlah Perusahaan
Unit
28
28
28
28
28
Investasi Modal
Milyar Rp
11640
11929
11929
11929
11929
Tenaga Kerja
Orang
29682
29447
29447
29447
29447
Kapasitas Produksi
‘000 Ton
1050
1050
1050
1078
1078
Nilai
Milyar Rp
5523
5412
5953
6117
6830
Volume
‘000 Ton
961
777
776
796
808
Nilai
Juta US$
122
182
136
197
224
Volume
‘000 Ton
132
209
198
152
168
Nilai
Juta US$
1336
922
949
956
877
Volume
‘000 Ton
978
807
769
642
643
Produksi
Ekspor Impor
Sumber : Deperind 2006 (diolah) Berdasarkan Tabel 5, jumlah perusahaan pada industri serat dari tahun 2001 hingga tahun 2005 tidak mengalami perubahan. Begitu pun dengan investasi dan jumlah tenaga kerja yang digunakan tidak mengalami perubahan dari tahun 2002 hingga tahun 2005. Dapat dilihat bahwa kapasitas produksi tidak mengalami perubahan dari tahun 2004 hingga tahun 2005. Hal ini dikarenakan investasi dan jumlah perusahaan yang memproduksi serat tersebut di tahun 2005 tidak mengalami perubahan. Volume produksi yang dihasilkan mengalami penurunan pada tahun 2002 dan 2003. Setelah itu kembali meningkat. Nilai ekspor dan impor dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 mengalami kenaikan dan penurunan yang sangat signifikan. Padahal jika dilihat dari volumenya, kenaikan dan penurunan ekspor maupun impor tidak sesuai dengan nilainya. Hal ini dikarenakan nilai ekspor
42
maupun impor pada industri serat dipengaruhi oleh nilai tukar Rupiah terhadap Dollar yang berubah-ubah. 4.2.2. Industri Pemintalan (Spinning)
Pemintalan (spinning) adalah proses pembuatan benang dari sekumpulan serat (kapas, polyester, rayon), yang disatukan dan disejajarkan satu sama lain dan dilakukan penarikan serta diberikan gintiran (twist) sampai didapatkan ukuran atau nomor benang yang diinginkan (Deperind, 2006). Industri ini merupakan industri antara, yaitu industri yang menjembatani industri serat dan industri hilirnya. Produksi benang dalam negeri berupa filament, polyester, dan spun yarn. Menurut ITMF (International Textile Manufacture Federation) dalam API (2006), Indonesia menempati urutan keempat yang memiliki kapasitas pemintalan terbesar di wilayah Asia. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Mesin Pemintal Pada Beberapa Negara di Asia Tahun 2005 No. 1 2 3 4
Negara Cina India Pakistan Indonesia Total Asia Total Dunia Sumber : API 2006
Jumlah Terpasang 49069100 38849500 9170300 7803241 126688300 168636100
Jumlah (%) 38.73 30.67 7.24 6.16 100
Dunia (%) 29.10 23.04 5.44 4.63 75.13 100.00
Berdasarkan Tabel 7, di tahun 2005 industri pemintalan tidak mengalami peningkatan maupun penurunan pada kapasitas produksi. Pada jumlah volume produksi terjadi peningkatan sebesar 1.49 persen dibandingkan tahun 2004. Dalam perdagangan luar negeri pada tahun 2005 terjadi peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan tahun 2004, baik dalam ekspor maupun impor. Peningkatan yang terjadi pada kegiatan ekspor adalah sebesar 6.81 persen untuk nilai dan pada volume sebesar 6.13 persen. Sementara itu pada kegiatan impor,
43
peningkatan terjadi sebesar 14.57 persen untuk nilai dan 4.92 persen untuk volume. Tabel 7. Profil Industri Pemintalan Tahun 2001-2005 Tahun Deskripsi
Unit 2001
2002
2003
2004
2005
Jumlah Perusahaan
Unit
206
206
204
204
204
Investasi Modal
Milyar Rp
24777
25040
25040
25040
25040
Tenaga Kerja
Orang
207871
209426
207764
207764
207764
Kapasitas Produksi
‘000 Ton
2322
2337
2335
2398
2398
Nilai
Milyar Rp
24,580
23444
23562
24056
27372
Volume
‘000 Ton
2026
1649
1647
1692
1750
Nilai
Juta US$
1244
1230
1209
1481
1582
Volume
‘000 Ton
713
762
771
721
765
Nilai
Juta US$
261
220
190
246
276
Volume
‘000 Ton
85
84
80
110
115
Produksi
Ekspor Impor
Sumber : Deperind 2006 (diolah) 4.2.3. Industri Kain (Weaving/Dyeing/Knitting/Finishing) Menurut ITMF dalam API (2006), Indonesia menempati urutan ketiga terbesar setelah Thailand untuk jumlah produksi tenun kecil. Untuk jumlah produksi tenun besar, Indonesia menempati urutan terbesar kedua setelah China. Berdasarkan Tabel 8, kapasitas produksi pada industri kain mengalami kenaikan pada tahun 2002 dan menurun pada tahun 2003, sedangkan tahun 2004 dan 2005, kapasitas produksi sama. Volume produksi dari tahun 2002 hingga tahun 2005 meningkat dimana pada tahun 2005 kenaikan tersebut sebesar 0.26 persen. Untuk nilai ekspor meningkat sebesar 6.01 persen, tetapi volume ekspor menurun sebesar 8.90 persen. Pada kegiatan impor, kenaikan yang terjadi hanya dalam volume sebesar 2.60 persen sementara dalam nilai terjadi penurunan sebesar 6.83 persen. Investasi modal pada industri ini mengalami kenaikan dari
44
tahun 2001 sampai dengan tahun 2004, sedangkan di tahun 2005 sama seperti tahun 2005. Tabel 8. Profil Industri Kain Tahun 2001-2005 Tahun Deskripsi
Unit
Jumlah Perusahaan
2001
2002
2003
2004
2005
Unit
1046
1040
1043
1044
1044
Investasi Modal
Milyar Rp
30811
31428
31637
31638
31638
Tenaga Kerja
Orang
355566
343158
343923
343998
343398
Kapasitas Produksi
‘000 Ton
1992
2011
1724
1778
1778
Nilai
Milyar Rp
35589
34073
34110
35427
39072
Volume
‘000 Ton
1562
1275
1274
1312
1316
Produksi
Ekspor
Impor
Nilai
Juta US$
1661
1404
1523
1420
1505
Volume
‘000 Ton
401
368
381
339
337
Nilai
Juta US$
752
589
459
434
404
Volume
‘000 Ton
153
116
88
99
101
Sumber : Deperind 2006 (diolah) 4.2.4. Industri Pakaian Jadi (Garment) Garment adalah produk pakaian jadi yang terbuat dari kain atau bahan tambahan lainnya. Contoh dari garment ini antara lain kemeja, celana, jaket, pakaian anak-anak, dan lain sebagainya. Sub-sektor industri pakaian jadi ini merupakan sub-sektor industri hilir dengan sifat padat karya, dimana jumlah tenaga yang dipekerjakan paling banyak dibandingkan industri lainnya. Berdasarkan Tabel 9, pada tahun 2005 terjadi penurunan jumlah perusahaan sebesar 0.58 persen yang menyebabkan tenaga kerja yang dipekerjakan juga ikut menurun sebesar 2.06 persen. Hal ini dikarenakan industri TPT mengahadapi beberapa masalah terutama kenaikan biaya produksi yang besar. Akibatnya, terjadi penurunan yang cukup signifikan pada kapasitas produksi dan produksi riil yang masing-masing sebesar 25 persen dan 14.88 persen.
45
Tabel 9. Profil Industri Pakaian Jadi Tahun 2001-2005 Tahun Deskripsi
Unit
Jumlah Perusahaan
2001
2002
2003
2004
2005
Unit
860
849
855
861
856
Investasi Modal
Milyar Rp
2809
2914
2959
2991
2984
Tenaga Kerja
Orang
376584
350901
352457
353590
346294
Kapasitas Produksi
Ton
585
591
590
667
500
Nilai
Milyar Rp
56050
52085
54637
55888
47571
Volume
‘000 Ton
566
462
462
517
400
Nilai
Juta US$
4345
3805
3927
4290
4715
Volume
‘000 Ton
380
329
332
325
351
Nilai
Juta US$
17561
27636
14007
28244
50952
Volume
‘000 Ton
11947
11647
4268
3225
12463
Produksi
Ekspor Impor
Sumber : Deperin 2006 (diolah) Tahun 2005, volume dan nilai ekspor meningkat sebesar 7.91 persen dan 9.91 persen. Namun, kenaikan ekspor diikuti oleh kenaikan impor, dimana volume dan nilai impor meningkat drastis sebesar 286.40 persen dan 80.40 persen. Hal ini dikarenakan meningkatnya produk impor ilegal yang masuk ke Indonesia. 4.2.5. Industri Produk Textil Lainnya (Other Textile) Berdasarkan Tabel 10, kapasitas produksi pada industri ini mengalami peningkatan dari tahun 2001 hingga tahun 2004. Namun, pada tahun 2005 kapasitas produksi tidak mengalami perubahan. Produksi riil pada industri tekstil lainnya ini mengalami penurunan pada tahun 2002 dan 2003, setelah itu kembali meningkat. Peningkatan di tahun 2005 sebesar 15 persen lebih besar dibandingkan jenis industri lainnya. Untuk jumlah perusahaan dan jumlah tenaga kerja tidak mengalami perubahan yang signifikan. Volume ekspor meningkat sebesar 4.57 persen di tahun 2005. Namun untuk nilai ekspornya meningkat sebesar 16.55 persen. Untuk impor, nilai
46
maupun volumenya meningkat sebesar 38.69 persen untuk nilai dan 30.47 persen untuk volume. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Profil Industri Tekstil LainnyaTahun 2001-2005 Tahun Deskripsi
Unit
Jumlah Perusahaan
2001
2002
2003
2004
2005
Unit
525
523
524
524
524
Investasi Modal
Milyar Rp
61
61
61
61
61
Tenaga Kerja Kapasitas Produksi
Orang ‘000 Ton
249622 86
249280 90
249280 90
249280 101
249280 101
Nilai
Milyar Rp
3955
3645
3310
3376
3882
Volume
‘000 Ton
43
35
35
44
46
Produksi
Ekspor Impor
Nilai
Juta US$
304
267
238
260
303
Volume Nilai
‘000 Ton Juta US$
102 73
91 66
91 61
89 58
94 80
Volume
‘000 Ton
38
30
21
27
36
Sumber : Deperind 2006 (diolah) Berakhirnya kuota dari negara maju pada awal tahun 2005 diprediksi akan menyebabkan nilai ekspor TPT dari Indonesia menurun, sebab tanpa adanya kuota, persaingan industri TPT di pasar internasional akan semakin ketat sehingga industri TPT dituntut untuk meningkatkan kualitas produknya dan melakukan efisiensi dengan jalan restrukturisasi mesin. Dengan adanya restrukturisasi mesin TPT, maka utilisasi industri TPT dapat meningkat dan kualitas produk TPT juga meningkat. Pada kenyataannya, mesin yang digunakan di sektor pemintalan dan sektor penenunan banyak yang sudah berumur tua. Mesin pemintal yang digunakan pada industri TPT di Indonesia yang berumur kurang dari 10 tahun sebesar 5 persen, kemudian yang berumur 10-20 tahun sebesar 60 persen dan berumur lebih dari 20 sebesar 35 persen. Untuk mesin tenun, mesin yang berumur kurang dari 10 tahun sebesar 8 persen, 10 sampai dengan 20 tahun sebesar 26 persen, dan berumur lebih dari 20 tahun sebesar 66 persen. Hal ini dikarenakan terhambatnya aliran
47
modal yang menyebabkan para pengusaha menunda restrukturisasi mesin-mesin tekstil secara periodik, sehingga terpaksa menggunakan mesin tua.
4.3 Industri TPT di Pasar Global Saat ini pangsa pasar tekstil Indonesia meliputi Eropa barat, Amerika Serikat dan jepang. Tahun 2004, Indonesia menempati urutan ke-8 negara eksportir TPT terbesar ke Amerika Serikat baik secara nilai maupun secara volume. Secara nilai, pangsa pasar Indonesia di Amerika Serikat sebesar 3.15 persen, sedangkan secara volume pangsa pasar Indonesia di Amerika Serikat sebesar 2.72 persen. Sementara itu China masih menguasai pangsa terbesar perdagangan TPT di Amerika Serikat. Secara nilai pangsa pasar yang dimiliki China sebesar 17.48 persen, sedangkan secara volume sebesar 24.86 persen. China merupakan salah satu pesaing yang kuat di pasar internasional, sehingga Amerika Serikat banyak melakukan perlindungan terhadap produknya. Tabel 11. Ekspor TPT Indonesia ke AS, Eropa dan Jepang Tahun 2001-2005 Negara Tujuan
2001
Amerika Serikat 2077 (Juta US$) Eropa 1858 (Juta US$) Jepang 454 (Juta US$) Sumber : WTO, API 2006
2002
2003
2004
2005
1976
2376
2620
3081
1558
1586
2232
1689
344
426
480
474
Seiring dengan dihapuskannya kuota Januari 2005, sampai dengan bulan Februari 2005, ekspor TPT Indonesia ke Amerika Serikat naik sebesar 7.23 persen meskipun secara volume mengalami penurunan sebesar 3.89 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2004. Ekspor TPT Indonesia ke Amerika Serikat tersebut pada tahun 2005 mencapai US$ 474 juta, sedangkan pada tahun 2004,
48
ekspor TPT Indonesia ke Amerika Serikat adalah sebesar US$ 480 juta. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 11. Pada pasar Uni Eropa, impor TPT yang dilakukan sebagian merupakan perdagangan intra negara-negara Uni Eropa sendiri. China merupakan negara di luar Uni Eropa yang menjadi supplier terbesar TPT ke Uni Eropa. China mengalahkan Turkey, negara di luar Uni Eropa yang posisinya paling dekat dengan Uni Eropa. Pangsa pasar TPT yang dimiliki Turkey di Uni Eropa pada tahun 2003 sebesar 7.0 persen dengan nilai perdagangan sebesar US$ 10.83 milyar. Indonesia menempati urutan ke-13 negara supplier TPT terbesar ke Uni Eropa. Pangsa pasar TPT yang dimiliki Indonesia pada tahun 2003 sebesar US$ 1.586 miliar. Pada tahun 2004, ekspor TPT Indonesia ke Uni Eropa sebesar US$ 2.232 dan menurun pada tahun 2005 dengan nilai perdagangan sebesar US$ 1.698 miliar. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 11. Indonesia menempati urutan ke-6 negara pemasok TPT ke Jepang. Posisi perdagangan di Jepang relatif stabil untuk ekspor. Tahun 2004 nilai ekspor TPT Indonesia ke Jepang sebesar US$ 480 juta dan pada tahun 2005 sebesar US$ 472 juta.
4.4 Penggunaan Listrik di Industri TPT Berdasarkan data BPS (diolah) dalam Deperind (2006), penggunaan energi listrik di sektor Industri TPT berjumlah 20.5 juta MWh yang terdiri dari 16.7 juta MWh dari PLN (81.6%), 0.94 juta MWh bersumber dari non PLN (4.6%) dan yang captive sebesar 2.8 juta MWh (13.8%). Adapun pemanfaatan energi di sektor Industri TPT terbagi 54 persen listrik, 40 persen BBM, 2 persen gas alam, 0.2 persen batubara, 3.8 persen bahan bakar lainnya.
49
Tingkat pertumbuhan penggunaan energi listrik sulit diperhitungkan terutama disebabkan hal-hal sebagai berikut (Deperind, 2006) : a. Adanya kecenderungan penggantian penggunaan energi listrik dari PLN dan BBM ke penggunaan energi batubara sejak pertengahan tahun 2005 sehubungan dengan naiknya harga BBM dan diterapkannya ketentuan Daya Max Plus oleh PLN. b. Pada data-data produksi TPT selama kurun waktu 2001 sampai dengan 2005, pertumbuhannya negatif (-3.21% per tahun). Menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia, pemakaian listrik pada setiap kelompok industri berbeda-beda. Listrik yang digunakan berasal dari PLN dan pembangkit sendiri seperti diesel (solar), diesel (MFO), dan batubara. Pada industri serat sintetik (MMF), listrik yang digunakan sebesar 70 persen berasal dari PLN dan 30 persen berasal dari pembangkit sendiri. Kelompok industri pemintalan (Spinning) menggunakan listrik sebesar 80 persen berasal dari PLN dan 20 persennya lagi berasal dari permbangkit sendiri. Untuk kelompok industri pertenunan/perajutan/penyempurnaan, listrik yang digunakan 90 persennya berasal dari PLN, sedangkan 10 persennya lagi berasal dari pembangkit sendiri. Namun, pada kelompok industri pakaian jadi (Garment) dan industri yang lainnya tidak menggunakan listrik dari pembangkit sendiri, yang berarti 100 persen listrik yang digunakan berasal dari PLN Biaya yang harus dikeluarkan oleh industri TPT dalam penggunaan energi sebesar 13.39 persen dari biaya produksi akibat kenaikan listrik sebesar 10 persen yang mengakibatkan pengurangan bahan baku dan tenaga kerja (API, 2006). Menurut Deperind (2006), biaya energi yang paling banyak dikeluarkan dalam
50
kelompok industri TPT tahun 2005 adalah industri pemintalan (Spinning). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Struktur Biaya Dalam Setiap Kelompok Industri TPT Tahun 2005 No.
Biaya
Spinning (%)
Finishing (%)
Garment (%)
1
Bahan Baku & Bahan Pembantu
58.13
56.48
57.65
2
Tenaga Kerja
6.39
13.31
27.08
3
Energi
18.47
14.37
1.33
4
Penyusutan
5.94
2.10
1.36
5
Bunga
6.09
6.35
2.40
6
Administrasi & Pemasaran
4.98
7.39
10.18
100
100
100
Total :
Sumber : Deperind 2006
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Kecenderungan (Trend) Permintaan Listrik dan Faktor-Faktor yang Diduga Mempengaruhi Permintaan listrik di Industri TPT Listrik merupakan salah satu energi yang paling banyak digunakan oleh industri TPT di Indonesia. Selain itu, industri TPT juga salah satu industri yang berorientasi ekspor, sehingga kontribusi yang dihasilkan untuk GDP cukup besar. Berdasarkan Gambar 2, permintaan listrik cenderung mengalami kenaikan walaupun ada beberapa periode yang cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 1982-1996, permintaan listrik memperlihatkan bahwa trend permintaan listrik cenderung meningkat. Namun, beberapa periode mengalami kecenderungan menurun diantaranya pada tahun 1986, 1993, 1998, 2001, dan 2002. Hal ini disebabkan permasalahan yang terjadi pada perekonomian Indonesia ditiap periode berbeda-beda baik yang berasal dari faktor internal maupun eksternal. Kecenderungan penurunan trend pada tahun 2001-2002 tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2001-2002 tarif listrik meningkat sebanyak dua kali (www.fiskal.depkeu.go.id) sehingga menyebabkan jumlah perusahaan menurun dari 4285 perusahaan menjadi 4020 perusahaan (BPS, 2001) karena meningkatnya biaya energi. Hal ini menyebabkan kinerja ekspor TPT menurun dari 8200 juta US$ menjadi 6888 juta US$ (API, 2006). Trend permintaan listrik meningkat cukup tinggi pada tahun 2000 yang disebabkan karena pada tahun tersebut, industri TPT mendapatkan bantuan subsidi dari pemerintah untuk melindungi industri akibat krisis ekonomi sehingga harga listrik menjadi murah.
52
Secara agregat, trend permintaan listrik pada industri TPT lebih banyak
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
6000000000 5000000000 4000000000 3000000000 2000000000 1000000000 0 1982
kWh
menunjukkan peningkatan. Uraian di atas dapat ditunjukkan pada Gambar 2.
Tahun
Gambar 2. Trend Permintaan Listrik di Industri TPT Tahun 1982-2004 Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi permintaan listrik diantaranya permintaan produk, harga listrik dan harga solar. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara eksportir TPT di dunia. Negara tujuan Indonesia diantaranya Amerika Serikat, Jepang dan Eropa Barat. Permintaan produk pada industri TPT baik domestik maupun internasional sangat mempengaruhi permintaan listrik, dimana jika permintaan produk meningkat maka listrik yang dibutuhkan oleh industri TPT semakin bertambah sehingga permintaan listrik meningkat. Permintaan produk pada tahun 1984 (Gambar 3) menunjukkan trend menurun yang sangat rendah jika dibandingkan dengan periode-periode lainnya yang mengalami penurunan. Tahun 1986-1996, industri TPT tumbuh pesat yang dikarenakan iklim yang kondusif (regulasi pemerintah efektif) dan kemampuan industri TPT dalam memenuhi standard kualitas tinggi sehingga dapat masuk ke pasar ekspor. Hal ini menyebabkan permintaan produk meningkat (API, 2005). Pada tahun 1997-1998, trend permintaan produk menurun karena kondisi ekonomi dimana pada tahun tersebut, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar menurun
53
atau dengan kata lain terjadi inflasi sebesar 40 persen sehingga mempengaruhi harga bahan baku dan bahan penolong yang meningkat. Hal ini berakibat pada penurunan daya beli masyarakat sehingga kelangsungan dunia usaha menurun. Penurunan trend pada permintaan produk juga terjadi pada tahun 2001. Hal ini dikarenakan menurunnya ekonomi global yang menyebabkan lesunya perdagangan TPT dunia tahun 2001 sehingga permintaan TPT menurun. Namun pada tahun-tahun berikutnya, permintaan produk cenderung meningkat. Berdasarkan Gambar 3, secara agregat dari tahun 1982-2004 dapat dikatakan bahwa permintaan produk cenderung meningkat walaupun pertumbuhannya semakin lama semakin kecil. Uraian di atas ditunjukkan pada Gambar 3.
Juta Rp
40000000 30000000 20000000 10000000 2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
0
Tahun
Gambar 3. Trend Permintaan Produk di Industri TPT tahun 1982-2004 Faktor yang kedua yang diduga mempengaruhi permintaan listrik adalah harga listrik. Pada tahun 1986-1992, harga listrik cenderung menurun. Hal ini dikarenakan setelah tahun 1986, paket deregulasi mulai berlaku dimana industri TPT berorientasi ekspor, sehingga industri TPT lebih meningkatkan kinerja ekspor. Kemudian pada tahun 1987, industri TPT menikmati tingkat proteksi efektif yang lebih tinggi dari industri pengolahan lainnya pada umumnya, khususnya di sektor kain tenun, namun tarif-tarif itu kemudian diturunkan setelah tahun 1993 (Tarmidi, 2000).
54
Trend harga listrik kembali meningkat pada periode 1993-1994 dikarenakan pemerintah mulai mengurangi pemberian perlindungan protektif pada industri TPT karena kondisi ekonomi yang mulai stabil sehingga masyarakat mampu membeli produk TPT. Namun, tahun 1995-1999 harga listrik kembali cenderung menurun. Tahun 1999, harga listrik menurun lebih besar dibandingkan tahun-tahun lainnya yang mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan pemerintah kembali memberikan perlindungan terhadap industri TPT dari dampak krisis ekonomi berupa subdidi agar kelangsungan usaha industri TPT dapat terus dipertahankan karena diketahui bahwa industri TPT merupakan penghasil utama dalam perdagangan luar negeri dan penghasil ekspor bersih terbesar kedua di Indonesia (API, 2006), terutama pada industri tenun dan pakaian jadi.
Rp/kWh
200 150 100 50 2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
0
Tahun
Gambar 4. Trend Harga Listrik Untuk Industri TPT Tahun 1982-2004 Pada tahun 2000-2001, pemerintah menaikkan tarif listrik sebanyak dua kali. Hal ini dikarenakan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar yang kembali menurun sehingga harga produk TPT ikut meningkat, terutama di pasar domestik. Akibatnya, banyak perusahaan-perusahaan yang berproduksi pada bidang tekstil yang gulung tikar (bangkrut) karena tingginya harga listrik dan tidak sanggup menutup biaya produksi meskipun ada subsidi. Pada tahun 2003-2004, harga listrik cenderung menurun.
Berdasarkan Gambar 4, secara agregat dapat
55
dikatakan bahwa pada tahun 1982-2004, harga listrik mengalami fluktuasi. Trend harga listrik dapat ditunjukkan pada Gambar 4. Faktor yang ketiga yang diduga mempengaruhi permintaan listrik adalah harga solar. Pada Gambar 5, menunjukkan bahwa pada tahun 1982-1985 harga solar cenderung tinggi. Namun, pada tahun 1986-1989 harga solar cenderung menurun dan di tahun berikutnya mengalami peningkatan. Menurunnya trend pada tahun 1992-1996 disebabkan karena adanya bantuan dari pemerintah berupa subidi sehingga tidak terlalu membebankan pengeluaran industri dan industri TPT tetap dapat berproduksi. Pada periode 1997, harga solar kembali meningkat dan di tahun berikutnya hingga tahun 2000 harga solar cenderung menurun. Namun, pada tahun 2001-2002, trend harga solar kembali meningkat. Harga solar pada tahun 2002 merupakan harga solar yang tertinggi dalam kurun waktu 1982-2004. Harga solar di Indonesia dipengaruhi oleh harga solar dunia, sehingga jika harga solar dunia meningkat maka harga solar di Indonesia juga ikut meningkat. Selain itu, solar merupakan bahan bakar minyak bumi yang persediaannya tidak dapat diperbaharui dalam waktu dekat dan tidak menjamin ketersediaannya dalam jangka panjang. Suatu hal yang wajar apabila harga solar meningkat karena ketersediaan akan solar dunia sedikit.
Rp/Liter
800 600 400 200 2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
0
Tahun
Gambar 5. Trend Harga Solar Untuk Industri TPT Tahun 1982-2004
56
Tahun 2003 harga solar menurun dan kembali meningkat pada tahun berikutnya. Hal ini dikarenakan pemerintah mulai mengurangi subsidi solar untuk semua industri sehingga indsutri TPT terpaksa harus mengurangi konsumsi solar di tahun 2004. Trend harga solar dapat ditun jukkan pada Gambar 5.
5.2. Hasil Estimasi Model Permintaan Listrik Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Indonesia Analisis hubungan antara permintaan listrik dengan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan listrik pada industri TPT di Indonesia dilakukan dengan menggunakan Metode Kuadrat Terkecil atau Ordinary Least Square (OLS). Hasil estimasi model permintaan listrik industri TPT di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 13. Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa nilai Rsquared adalah 0.885977 yang berarti bahwa 88.59 persen permintaan listrik di Industri TPT dapat dijelaskan oleh keragaman variabel-variabel bebas di dalam model (harga listrik, harga solar, permintaan produk, dan dummy krisis), sementara sisanya 11.41 persen dijelaskan di luar model. Tabel 13. Hasil Estimasi Model Permintaan Listrik Industri Tekstil dan Produk Tekstil Tahun 1982-2004 Variabel Koefisien Probabilitas Elastisitas C DTR PLR PSR DK R-squared
1.46E+09 131.3 693597.7 -3915833 -9.00E+08 0.885977
0.0001 0.0000* 0.8741 0.0011* 0.0171* F-statistic
1.04 0 -0.56 -0.13 34.96567
Adjusted R-squared
0.860638
Prob(F-statistic)
0.000000
Keterangan : * nyata pada taraf nyata 5% (α = 5%) Sumber : Lampiran 4
57
Berdasarkan hasil penelitian pada Lampiran 5 dapat dilihat bahwa nilai koefisien yang dihasilkan oleh kesemua variabel penjelas berada di bawah 0.8. Hal ini dapat disimpulkan bahwa antar variabel penjelas tidak terdapat gejala multikolinear karena tidak ada korelasi. Pelanggaran asumsi akan menyebabkan parameter yang diduga menjadi tidak efisien. Berdasarkan hasil penelitian pada Lampiran 6 dalam uji autokorelasi dapat dilihat bahwa model permintaan listrik pada industri TPT di Indonesia tidak terdapat gejala autokorelasi. Hal ini dikarenakan nilai probabilitas Obs* Rsquared Statistic sebesar 0.244475 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan sebesar 5 persen (α = 5%). Pada Lampiran 6 dalam uji heteroskedastisitas dapat diketahui bahwa probabilitas dari obs* R-squared sebesar 0.150959 pada taraf nyata 5 persen (α = 5%). Hal ini menunjukkan bahwa probabilitasnya lebih besar dari taraf nyata 5 persen (α = 5%), sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa model permintaan listrik tidak mengandung heteroskedastisitas. Pada Lampiran 7, nilai probability (P-Value) sebesar 0.956770, sedangkan taraf nyata yang digunakan sebesar 5 persen (α = 5%). Karena P-Value = 0.956770 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar 5 persen (α = 5%) maka dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat kepercayaan 96 persen dapat dikatakan error term terdistribusi normal (data tersebar normal).
5.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Listrik Pada Industri TPT di Indonesia Dari hasil uji-F, nilai P-Value = 0,000000 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar 5 persen (α = 5 %). Hal ini dapat disimpulkan
58
bahwa variabel-variabel eksogen mampu menerangkan variabel endogen di dalam model. Pada Tabel 13 dalam uji t-statistik menunjukkan ada tiga variabel eksogen yang berpengaruh nyata/signifikan terhadap variabel endogennya dengan taraf nyata 5 persen (α = 5%). Variabel-variabel tersebut adalah permintaan produk, harga solar, dan dummy krisis. Variabel lainnya yaitu harga listrik tidak signifikan mempengaruhi permintaan listrik pada taraf nyata 5 persen (α = 5%). Hal ini mengindikasikan bahwa permintaan listrik lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti permintaan produk, harga solar, dan dummy krisis. Permintaan produk pada Tabel 13 menunjukkan bahwa permintaan produk berpengaruh positif terhadap permintaan listrik pada taraf nyata 5 persen (α=5%) dengan nilai elastisitas sebesar 1.04. Hal ini menunjukkan jika permintaan produk dalam industri TPT meningkat sebesar 1 persen, maka permintaan listrik oleh industri TPT akan meningkat sebesar 1.04 persen, dan sebaliknya jika permintaan produk dalam industri TPT menurun sebesar 1 persen maka permintaan listrik oleh industri TPT akan menurun sebesar 1.04 persen, ceteris paribus. Temuan empiris ini sesuai dengan hipotesis. Jika permintaan akan tekstil dan produk tekstil meningkat, maka jumlah listrik yang diminta oleh industri TPT semakin meningkat. Variabel harga listrik tidak signifikan terhadap permintaan listrik pada taraf nyata 5 persen (α=5%). Temuan empiris ini tidak sesuai dengan teori permintaan dimana peningkatan harga akan menyebabkan penurunan dalam permintaan. Hal ini disebabkan karena berapapun harga listrik, industri TPT tersebut tetap menggunakan listrik sebagai bahan bakar utama yang tidak dapat
59
digantikan karena jumlah yang dikonsumsi sangat besar selama harga listrik masih berada dibawah harga solar. Selain itu, nilai elastisitas yang dihasilkan sebesar 0.02 yang berarti bahwa elastisitas permintaan tersebut bersifat inelastis. Dengan demikian, harga listrik menjadi tidak berpengaruh terhadap permintaan listrik. Variabel harga solar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan listrik pada taraf nyata 5 persen (α=5%) dengan nilai sebesar -0.56. Hal ini menunjukkan jika harga solar meningkat sebesar 1 persen maka permintaan listrik oleh industri TPT akan menurun sebesar 0.56 persen, dan sebaliknya jika harga solar menurun sebesar 1 persen maka permintaan listrik oleh industri TPT akan meningkat sebesar 0.56 persen, ceteris paribus. Pada teori elastisitas silang mengatakan bahwa harga input lain yang memiliki kegunaan yang sama dengan input yang diminta berpengaruh terhadap permintaan input yang diminta. Jika bertanda positif maka barang yang dimaksud substitusi, sedangkan jika bertanda negatif maka barang yang dimaksud komplementer (Nicholson, 2001). Nilai elastisitas yang ditunjukkan pada Tabel 13 bertanda negatif yang berarti bahwa solar berkomplementer dengan listrik. Pada dasarnya solar merupakan barang subtitusi yang digunakan industri TPT sebagai bahan bakar dalam menjalankan kegiatan produksi, menggantikan listrik PLN jika PLN padam. Namun jika dalam proses produksi industri TPT membutuhkan daya listrik yang lebih besar dan PLN tidak mampu menyediakan listrik sesuai kebutuhan industri, maka industri TPT harus menambah daya listrik yang berasal dari generator. Hal ini menunjukkan bahwa solar dipakai bersamaan dengan listrik PLN dalam menjalankan proses produksi.
60
Variabel dummy krisis yang terdapat pada Tabel 13 mempunyai pengaruh negatif terhadap permintaan listrik. Temuan empiris ini sesuai dengan hipotesis bahwa krisis ekonomi menyebabkan berkurangnya permintaan listrik di industri TPT. Besarnya pengaruh variabel-variabel di atas dapat diketahui dengan melihat nilai elastisitas dari masing-masing variabel diantaranya 1.04 untuk permintaan produk, 0.56 untuk harga solar, dan 0.13 untuk nilai krisis. Nilai elastisitas pada permintaan produk lebih besar daripada harga solar dan nilai krisis, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap permintaan listrik yaitu permintaan produk kemudian diikuti secara berturut oleh harga solar dan nilai krisis.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai analisis faktorfaktor yang mempengaruhi permintaan listrik pada industri TPT di Indonesia, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa permintaan produk berpengaruh positif terhadap permintaan listrik di industri TPT, sedangkan harga solar dan krisis ekonomi berpengaruh negatif terhadap permintaan listrik pada industri TPT. Harga listrik dalam penelitian ini tidak berpengaruh signifikan terhadap permintaan listrik pada industri TPT. Dari hasil penelitian dapat dikatakan bahwa variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap permintaan listrik pada industri TPT di Indonesia adalah permintaan produk, diikuti secara berturut oleh harga solar dan krisis ekonomi.
6.2. Saran 1. Diperlukan sosialisasi antara dunia usaha dengan pemerintah dan PLN sebelum pemerintah menetapkan kenaikan TDL yaitu dengan mengadakan seminar/diskusi untuk memperoleh gambaran yang lebih kongkrit tentang kondisi dunia usaha, sehingga perusahaan bisa melakukan tindakan antisipasi untuk produk berikutnya dan mendukung kebijakan yang akan diterapkan. 2. Untuk dapat mengurangi ketergantungan kebutuhan listrik pada PLN dan memenuhi kebutuhan uap panas tanpa menimbulkan masalah lingkungan dalam proses produksi, maka disarankan agar industri TPT melakukan inovasi teknologi yang menggunakan energi secara efisien, sehingga industri TPT dapat mengurangi biaya produksi yang tinggi akibat kenaikan harga solar dan
62
harga listrik. Salah satunya yaitu dengan mengadakan pembangkit sendiri. Dalam hal ini, sistem teknologi yang dirasakan tepat untuk dapat digunakan oleh industri TPT yaitu sistem teknologi yang dinamakan cogeneration atau disingkat CHP (Combined Heat and Power) yang merupakan kombinasi pembangkit tenaga energi panas dan tenaga listrik yang dapat memenuhi kebutuhan energi panas berupa air panas proses/uap air proses dan listrik dalam jumlah yang besar secara simultan. Penerapan sistem cogeneration sudah mulai dilakukan oleh beberapa industri di lingkungan Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan (IKAH) seperti industri amonia, pulp & kertas, dan industri kayu lapis. Keuntungan yang diperoleh menurut Dr. Ir. Gatot Ibnusantosa (Dirjen IKAH) yaitu dapat mengurangi penggunaan bahan bakar serta meningkatkan pemanfaatan energi panas dan listrik sehingga mengurangi biaya operasi, serta mengurangi emisi bahan bakar yang dapat menjaga kelestarian lingkungan. 3. Kenaikan harga listrik dan harga solar merupakan permasalahan yang memberatkan industri TPT. Namun, para industriwan masih bisa memegang satu faktor penentu dalam persaingan usaha untuk dapat meningkatkan permintaan produk yakni desain karena saat inilah perubahan-perubahan besar dalam selera mode dunia sangat menuntut kemampuan penciptaan desain. Konsep ini menuntut kreativitas tidak saja desainer garmen, namun juga kemampuan industriwan tekstil untuk mencipta produk sesuai tuntutan konsumen. Tanpa perlu mengganti mesin dan hanya dengan modifikasi tertentu, produk TPT dapat dicipta. Desain yang beragam dan menarik dapat merangsang para konsumen domestik dan luar untuk membeli produk TPT.
DAFTAR PUSTAKA
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). 2005. Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan Penciptaan Lapangan Kerja Baru. API, Jakarta. --------------------------. 2006. The Indonesian Tekstil And Clothing Outlook : Strategic Planning for Sustainable Contribute on National Economic Development. API, Jakarta. Badan Pusat Statistik. Beberapa Edisi. Indikator Ekonomi. BPS, Jakarta. --------------------------. 1982-2004. Statistik Industri Besar dan Sedang. Volume I. BPS Jakarta. Basri,
F. “Analisa Ekonomi : Tarif Dasar Listrik”. http://www.fiskal.depkeu.go.id/bapekki/berita%20main/detailnews.asp?Ne wsID=N962806254. [24 Januari 2006].
“Biaya Tambahan Listrik Bebani Industri” [Tempo Online]. http://www.djlpe.esdm.go.id/news_detail.php?id=428. [01 Mei 2006]. Case, K.E dan R.C. Fair. 2000. Prinsip-Prinsip Ekonomi Mikro. Edisi 7. Gramedia, Jakarta. Dirjen Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). 2006. Dalam Angka 2005. Departemen Perindustrian, Jakarta. Gujarati, D. 1997. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah]. Erlangga, Jakarta ”Industri Dihimbau Hemat Energi”[ Bisnis Indonesia Online]. http://www.djlpe.esdm.go.id/news_detail.php?id=471. [12 Mei 2006]. “Industri Tekstil Ancam PHK, Jika TDL Naik 100 Persen”[Riau Pos Online]. http://www.riaupos.com/web/content/view/6339/20/. [21 Januari 2006]. “Keekonomian Tarif Dasar Listrik akan Dikaji Ulang”. http://www.mesdm.net/berita_mesdm.php?news_id=66&title=Keekonomia n+Tarif+Dasar+Listrik+akan+Dikaji+Ulang. [02 Oktober 2003]. Lipsey, R.G, P.N Courant, D.D Purvis, dan P.O Steiner. 2000. Pengantar Mikroekonomi. Edisi kesepuluh, Jilid 2. Binarupa Aksara, Jakarta. Margarettha, E. 2005. Dampak Liberalisasi Perdagangan di Sektor Industri Tekstil Terhadap Neraca Perdagangan Indonesia [Skripsi]. Bogor : FEM IPB.
64
Nicholson, W. 2001. Teori Ekonomi Mikro : Prinsip Dasar dan Pengembangannya. Deliarnov [penerjemah]. Edisi 2. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Pertamina. 1970-2006. http://www.pertamina.go.id. “Prospek Bisnis dan Perkembangan Teknologi Cogenerational” [Elektro Indonesia Online]. http://www.elektroindonesia.com/elektro/ut27.html. [Agustus 1999]. Putong, I. 2003. Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro. Edisi 2. Ghalia Indonesia, Jakarta. Rahardja, P dan M. Manurung. 2001. Teori Ekonomi Mikro : Suatu Pengantar. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Rahayuningsih. “API Desak PLN Segera Cabut Dayamax” [Bisnis Online]. http://www.bisnis.com. [18 April 2006]. Sadewa, P. Y. “Tarif Dasar Listrik: Jangan Naik Dulu” [Warta Ekonomi Online]. http://www.wartaekonomi.com/detail.asp?aid=6620&cid=24. [14 Maret 2006]. Samosir, P.A . “Studi Dampak Penghapusan Subsidi Listrik Terhadap Kinerja Sektor Riil : Studi Kasus Industri Tekstil/Garment”. http://www.fiskal.depkeu.go.id/bapekki/kajian%255CAgunan%2520Sukirno, S. 1982. Pengantar Teori Ekonomi Mikro. Jakarta : Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Tarmidi, L.T. Maret 2000. “Permasalahan dan Strategi Pengembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia”. Usahawan No. 03 TH XXXIX : Hal 35-45. Wibowo, E A. “Kenaikan Listrik Hambat Industri” [Tempo Online]. http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2006/01/24/brk,2006012472861,id.html.[24 Januari 2006]. Wibowo, M.S. 1982. Keadaan Perkembangan Industri Tekstil Indonesia sampai Tahun 1980 : The Problem of Effective Transfer of Technology in The Indonesian Textile Industry. Departemen Perindustrian, Jakarta. Widyantoro, T. 2000. Analisis Kebutuhan Energi Listrik Jangka Panjang Dengan Model Sistem Dinamik [Tesis]. Jakarta : FEUI. Yulaekha, S. 2005. Analisis Produktivitas Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia Periode (1983-2002) [Skripsi]. Bogor : FEM IPB.
65
Lampiran 1. Data Nominal Penelitian Tahun DL 1982 335277000 1983 375141000 1984 446358000 1985 676691000 1986 607566000 1987 944160000 1988 1392143000 1989 1647206000 1990 1677981000 1991 2500134217 1992 3040016697 1993 2762305655 1994 3281694297 1995 4180601439 1996 4625151162 1997 4820545610 1998 5108436023 1999 9943415239 2000 12290737932 2001 6797389802 2002 5426490654 2003 6033908841 2004 6820000000 Keterangan : DL PL PS DT
PL 25.5 25.5 52 52 88.5 88.5 88.5 60 60 60 60 94 117.5 117.5 117.5 117.5 117.5 117.5 273.3 320 320 460 460
PS 85 145 220 242 200 200 200 200 245 300 300 300 300 300 300 380 600 550 600 1056 2060 2050 2100
: Permintaan Listrik di industri TPT (kWh) : Harga Listrik dari PLN (Rp/kWh) : Harga Solar (Rp/liter) : Permintaan Produk di industri TPT (Juta Rupiah)
DT 1707363 1182081 1724186 2576475 3246267 4267784 5935465 7901249 9801575 12790076 16942591 20483064 24106235 27232082 33268239 36167453 58868949 81537275 82519844 79340834 86060227 94005646 105661000
66
Lampiran 2. Data Riil Penelitian Tahun IHPB DLR 1982 57 588205263 1983 61 614985246 1984 65 686704615 1985 68 995133824 1986 71 855726761 1987 79 1195139241 1988 83 1677280723 1989 87 1893340230 1990 90 1864423333 1991 95 2631720228 1992 98 3102057854 1993 100 2762305655 1994 103 3186110968 1995 110 3800546763 1996 113 4093054126 1997 126 3825829849 1998 206 2479823312 1999 252 3945799698 2000 258 4763851912 2001 277 2453931336 2002 280 1938032376 2003 284 2124615789 2004 287 2376306620 Keterangan DLR PLR PSR DTR IHPB
PLR 45 42 80 76 125 112 107 69 67 63 61 94 114 107 104 93 57 47 106 116 164 162 160
PSR 149 238 338 356 282 253 241 230 272 316 306 300 291 273 265 302 267 238 233 381 736 722 732
DTR 2995374 1937838 2652594 3788934 4572207 5402258 7151163 9081895 10890639 13463238 17288358 20483064 23404112 24756438 29440919 28704328 28577160 32356062 31984436 28642900 30735795 33100580 36815679
: : Permintaan Listrik Riil (IHPB 1993=100) : Harga Listrik Riil (IHPB 1993=100) : Harga Solar Riil (IHPB 1993=100) : Permintaan Produk Riil (IHPB 1993=100) : Indeks Harga Perdagangan Besar (Tahun Dasar 1993 = 100)
67
Lampiran 4. Hasil Estimasi Output Model Permintaan Listrik Industri TPT di Indonesia Dependent Variable: DLR Method: Least Squares Date: 09/13/06 Time: 21:12 Sample: 1982 2004 Included observations: 23 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C DTR PLR PSR DK
1.46E+09 131.3381 693597.7 -3915833. -9.00E+08
2.84E+08 13.71227 4314690. 1010326. 3.43E+08
5.131597 9.578147 0.160753 -3.875811 -2.626208
0.0001 0.0000 0.8741 0.0011 0.0171
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.885977 0.860638 4.55E+08 3.72E+18 -488.3238 2.268002
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
2.34E+09 1.22E+09 42.89772 43.14457 34.96567 0.000000
Lampiran 5. Hasil Uji Multikolinearitas Variabel Bebas pada Model Permintaan Listrik DLR DTR PLR PSR DLR 1.000000 0.768144 0.102349 -0.047467 DTR 0.768144 1.000000 0.477008 0.500020 PLR 0.102349 0.477008 1.000000 0.766281 PSR -0.047467 0.500020 0.766281 1.000000 Lampiran 6. Hasil Uji Autokorelasi dan Uji Heteroskedastisitas pada Model Permintaan Listrik Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic
1.116711
Probability
0.351572
Obs*R-squared
2.817283
Probability
0.244475
Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic
1.873062
Probability
0.145624
Obs*R-squared
10.72741
Probability
0.150959
68
Lampiran 7. Hasil Uji Normalitas 7 Series: Residuals Sample 1982 2004 Observations 23
6 5
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
4 3 2 1 0 -1.0E+09
Jarque-Bera Probability -5.0E+08
0.00000
5.0E+08
1.0E+09
-2.00E-07 -5649099. 8.44E+08 -8.26E+08 4.11E+08 0.099585 2.770745 0.088384 0.956770