KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Provinsi Nusa Tenggara Timur Triwulan I 2016
Foto Cover : Joni Trisongko
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Unit Asesmen Ekonomi dan Keuangan KPW BI Provinsi NTT Jl. Tom Pello No. 2 Kupang – NTT [0380] 832-047 ; fax : [0380] 822-103 www.bi.go.id
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
TRIWULAN I–2016
Kata Pengantar Sejalan dengan salah satu tugas pokok Bank Indonesia, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Timur di daerah memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan kontribusi secara optimal dalam proses formulasi kebijakan moneter. Secara triwulanan KPw BI Provinsi NTT melakukan pengkajian dan penelitian terhadap perkembangan perekonomian daerah sebagai masukan kepada Kantor Pusat Bank Indonesia dalam kaitan perumusan kebijakan moneter tersebut. Selain itu kajian/analisis ini dimaksudkan untuk memberikan informasi yang diharapkan dapat bermanfaat bagi eksternal stakeholder setempat, yaitu Pemda, DPRD, akademisi, masyarakat serta
stakeholder lainnya. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (KEKR) Provinsi Nusa Tenggara Timur ini mencakup Ekonomi Makro Regional, Perkembangan Inflasi, Perkembangan Perbankan dan
Sistem
Pembayaran,
Keuangan
Pemerintah,
Kesejahteraan
serta
Prospek
Perekonomian Daerah pada periode mendatang. Dalam menyusun kajian ini digunakan data yang berasal dari internal Bank Indonesia maupun dari eksternal, dalam hal ini dinas/instansi terkait. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan kajian ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu kami mengharapkan masukan dari semua pihak untuk meningkatkan kualitas isi dan penyajian laporan. Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik dalam bentuk penyampaian data maupun dalam bentuk saran, kritik, dan masukan sehingga kajian ini dapat diselesaikan. Kami mengharapkan kerjasama yang telah terjalin dengan baik selama ini, kiranya dapat terus berlanjut di masa yang akan datang. Kupang, Mei 2016 Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Timur
Naek Tigor Sinaga Deputi Direktur
ii
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
TRIWULAN I–2016
iii
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
TRIWULAN I–2016
iv
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
TRIWULAN I–2016
v
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
TRIWULAN I–2016
vi
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
TRIWULAN I–2016
vii
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
TRIWULAN I–2016
viii
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
TRIWULAN I–2016
ix
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
TRIWULAN I–2016
x
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
TRIWULAN I–2016
xi
|
TRIWULAN I–2016
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
I. EKONOMI MAKRO REGIONAL INDIKATOR
2014
Berdasarkan Sektor/ Lapangan Usaha (Harga Berlaku) Produk Domestik Regional Bruto (Harga Berlaku) Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan dan Asuransi Real Estate Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya Berdasarkan Permintaan / Penggunaan (Harga Berlaku) Produk Domestik Regional Bruto (Harga Berlaku) 1. Konsumsi Rumah Tangga 2. Konsumsi Lembaga Non Profit (LNPRT) 3. Konsumsi Pemerintah 4. Pembentukan Modal Tetap Bruto 5. Perubahan Inventori 6. Ekspor Luar Negeri 7. Impor Luar Negeri 8. Net Ekspor Antar Daerah (Impor)
2015 %yoy*)
2015
2015
I
IV
2016 % qtq**) %yoy***)
I
68,598.5 76,432.5 20,447.4 22,665.7 1,070.3 1,307.6 843.7 940.9 31.8 40.0 45.5 47.2 7,096.0 7,908.2 7,296.7 8,274.0 3,566.9 3,976.0 422.4 487.1 5,134.4 5,477.4 2,698.9 2,995.5 1,860.9 2,054.3 210.9 235.5 8,392.7 9,399.6 6,568.2 7,367.7 1,414.6 1,616.4 1,497.0 1,639.5
5.02 17,470.8 20,371.2 19,693.1 2.93 5,364.3 5,545.2 5,836.5 6.42 273.8 358.9 314.9 5.23 215.7 259.3 239.1 10.19 9.0 12.5 12.6 2.07 11.0 12.3 11.4 5.22 1,712.8 2,244.0 2,048.2 6.09 1,883.3 2,219.1 2,098.4 5.49 904.2 1,101.5 1,056.3 6.17 105.7 137.0 121.6 7.14 1,276.4 1,462.3 1,383.6 5.76 711.7 799.2 781.8 3.85 464.3 550.9 514.9 4.61 54.4 62.3 59.8 7.09 2,091.0 2,653.4 2,469.5 4.85 1,645.9 2,079.8 1,897.2 5.52 359.9 444.9 425.5 3.72 387.5 428.6 421.8
-4.88 2.60 -13.60 -8.86 0.12 -8.07 -9.43 -7.25 -5.48 -12.91 -5.31 -2.88 -8.55 -5.73 -8.87 -8.79 -5.07 -2.72
5.06 1.81 7.03 4.98 12.29 0.47 8.69 4.14 8.55 6.75 7.28 5.17 2.85 2.66 7.42 5.01 9.05 3.34
68,598.5 50,952.8 2,323.8 20,592.3 26,693.0 1,024.3 1,382.3 527.2
76,432.5 56,027.9 2,539.4 23,705.4 32,505.8 967.6 1,608.8 261.5
5.02 17,470.8 20,371.2 19,693.1 6.33 12,967.7 15,532.8 14,712.8 4.49 536.5 727.6 583.5 7.97 2,805.8 8,049.6 3,151.2 17.19 6,850.6 9,043.3 8,187.8 -15.22 48.3 352.4 23.5 19.99 363.0 359.9 305.2 -54.99 38.7 72.6 47.8
-4.88 -4.25 -21.07 -60.59 -14.03 -93.55 -15.21 -33.88
5.06 5.60 3.92 5.44 9.33 -56.72 -21.09 27.52
-33,842.9 -40,660.9
18.66 -6,062.5 -13,621.8 -7,223.2
-42.41
8.55
Data Ekspor Impor di Provinsi NTT Ekspor Nilai Ekspor Nonmigas (ribu USD)
18,410
24,018
30.46
4,453
6,616
5,516
-16.63
23.89
Volume Ekspor Nonmigas (ton)
61,410
83,016
35.18
11,490
26,423
20,530
-22.30
78.67
26,013 76,708
5,352 3,042
-79.43 -96.03
167 267
1,439 760
Impor Nilai Impor Nonmigas (ribu USD) Volume Impor Nonmigas (ton) Ket: Dalam Rp Miliar (ADHB) *) Total Pertumbuhan 2015 dibandingkan 2014 **) Pertumbuhan Q1 2016 dibandingkan Q4 2015
8,289 476.11 4861.83 20,199 2556.88 7456.48
***) Pertumbuhan Q1 2015 dibandingkan Q1 2016 ****) Untuk mengukur pertumbuhan digunakan PDRB Harga Konstan II. INFLASI INDIKATOR Indeks Harga Konsumen NTT - Kota Kupang - Maumere Laju Inflasi Tahunan (yoy %) NTT - Kota Kupang - Maumere
I
II
2013
III
IV
I
II
2014
III
IV
119.15 118.59 120.06 119.47 113.20 112.81
104.41 104.56 103.39
104.78 104.91 103.96
108.66 108.85 107.42
110.58 110.84 108.85
112.52 112.91 110.00
113.27 113.63 110.93
113.15 113.50 110.85
7.11 7.06 7.38
5.26 5.56 3.73
8.29 8.88 5.32
8.41 8.84 6.24
7.78 7.99 6.39
8.10 8.31 6.70
4.13 4.27 3.19
7.76 8.32 4.00
I
5.39 5.81 2.55
III
IV
2016 I
120.07 121.09 113.42
120.78 121.54 115.77
125.02 126.15 117.60
124.56 125.64 117.50
6.01 6.57 2.24
6.74 7.08 4.44
4.92 5.07 3.89
5.04 5.16 4.16
II
2015
xii
|
TRIWULAN I–2016
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
II. PERBANKAN INDIKATOR
2014
2015
I A. Bank Umum Konvensional dan Syariah (dalam Rp. Miliar kecuali dinyatakan lain) 1. Total Aset 25,600 28,602 23,316 2. DPK 18,571 21,478 17,078 - Giro 3,717 4,372 4,137 - Tabungan 10,385 11,933 8,577 - Deposito 4,469 5,173 4,363 3. Kredit Berdasarkan Lokasi Proyek 17,759 20,284 15,756 - Modal Kerja 5,316 6,110 4,439 - Investasi 1,537 1,650 1,344 - Konsumsi 10,905 12,524 9,972 4. Kredit Berdasarkan Lokasi Kantor Cabang 17,094 19,483 15,071 - Modal Kerja 5,252 5,917 4,322 - Investasi 1,309 1,381 1,115 - Konsumsi 10,534 12,185 9,634
C. Grand Total (A+B) (dalam Rp. Miliar kecuali dinyatakan lain) 1. Total Aset 26,016 29,112 2. Dana Pihak Ketiga 18,880 21,859 3. Pembiayaan berdasarkan Lokasi Kantor Cabang 17,413 19,849 D. Pangsa BPR Terhadap Grand Total 1. Total Aset (%) 2. Dana Pihak Ketiga (%) 3. Pembiayaan berdasarkan Lokasi Kantor Cabang (%)
1.6% 1.6% 1.8%
1.8% 1.7% 1.8%
2014
IV
2016 I
32,750 22,341 6,537 9,644 6,159 18,552 5,618 1,286 11,648 18,897 5,848 1,338 11,710
28,602 21,478 4,372 11,933 5,173 20,284 6,110 1,650 12,524 19,492 5,922 1,381 12,189
30,931 21,945 5,604 10,449 5,893 20,525 6,127 1,567 12,830 19,546 5,742 1,317 12,487
83.6% 5,611
83.7% 5,996
89.9% 6,080
88.3% 6,188
437 311 330 80.5%
454 331 349 82.4%
482 353 354 80.5%
513 382 369 76.70%
535 403 368 77.6%
26,016 18,880 17,413
30,314 20,109 17,556
33,232 33,232 22,095 22,694 18,547 19,250
29,115 21,860 19,861
31,466 22,348 19,914
1.6% 1.6% 1.8%
1.4% 1.5% 1.9%
1.4% 1.5% 1.9%
1.8% 1.7% 1.9%
1.7% 1.8% 1.8%
I
II
I
II
2015
III
IV
26,398 18,791 5,516 8,568 4,707 16,652 4,881 1,444 10,326 15,947 4,742 1,201 10,004
27,114 19,092 5,091 9,041 4,960 17,220 5,122 1,444 10,654 16,532 5,008 1,235 10,289
25,600 18,571 3,717 10,385 4,469 17,759 5,316 1,537 10,905 17,094 5,252 1,309 10,534
29,877 19,798 5,474 9,092 5,232 16,907 5,011 1,260 10,636 17,226 5,218 1,318 10,690
32,778 21,764 6,379 9,149 6,236 17,845 5,392 1,303 11,150 18,198 5,626 1,359 11,212
84.9% 4,753
86.6% 5,000
92.0% 5,162
87.0% 5,234
355 257 294 85.6%
374 275 306 84.1%
415 309 319 79.4%
23,660 17,328 15,341
26,753 19,048 16,241
27,487 19,367 16,838
1.5% 1.4% 1.8%
1.3% 1.4% 1.8%
1.4% 1.4% 1.8%
I
II
LDR (%) 92.0% 90.7% 88.3% Kredit UMKM 5,162 6,075 4,185 B. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) (dalam Rp. Miliar kecuali dinyatakan lain) Total Aset 415 510 343 Dana Pihak Ketiga 309 381 250 Kredit Berdasarkan Lokasi Kantor Cabang 319 366 270 LDR (%) 79.4% 76.7% 82.6%
II
III
1.4% 1.6% 1.8%
III. SISTEM PEMBAYARAN INDIKATOR Transaksi Tunai Inflow (Rp. Triliun) Outflow (Rp. Triliun) Uang Palsu (lembar) Transaksi Non Tunai BI-RTGS To NTT Nominal Transaksi BI-RTGS (Rp. Triliun) Volume Transaksi BI-RTGS (lembar warkat) Kliring Nominal Kliring Penyerahan (Rp. Triliun) Volume Perputaran Kliring Penyerahan (lembar warkat) Cek/BG Kosong
2014
2015
2014
III
IV
2015
III
2016 I
IV
3.4 4.6 72
3.7 5.6 1098
1.4 0.3 14
0.7 0.8 11
0.8 1.3 39
0.5 2.1 8
1.8 0.4 27
0.5 0.9 966
0.8 1.7 52
0.5 2.6 53
1.8 0.3 25
92.71 33,747
136 21,758
14.18 7,809
13.05 7,868
29.84 8,776
35.63 9,294
34.61 5,984
43.75 6,086
41.55 5,877
15.84 3,811
8.69 323
3.79 6.32 152,284 201,975 897 1,203
0.84 34,677 179
0.85 36,188 175
0.91 37,809 276
1.19 43,610 267
0.99 39,971 300
0.93 1.38 40,708 48,453 254 342
3.01 72,843 307
3.11 67,315 229
xiii
|
EKONOMI MAKRO REGIONAL Pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada triwulan-I 2016 mengalami pertumbuhan yang sedikit melambat apabila dibandingkan triwulan-IV 2015. Namun mengalami kenaikan apabila dibandingkan triwulan I-2015. •
•
Secara tahunan, pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT triwulan I-2016 mencapai 5,06% (yoy) cenderung melambat dibandingkan triwulan IV-2015 yang sebesar 5,13% (yoy), namun meningkat cukup signifikan dibandingkan periode yang sama tahun 2015 yang hanya tumbuh sebesar 4,64% (yoy). Pertumbuhan ekonomi NTT tersebut juga tercatat lebih tinggi apabila dibandingkan nasional yang sebesar 4,92% (yoy). Pertumbuhan ekonomi NTT triwulan I terutama didorong oleh sektor Administrasi Pemerintahan dan sektor konstruksi.
1.1 Kondisi Umum Nilai Nominal Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi NTT pada triwulan I-2016 mencapai Rp 19,69 triliun dengan pertumbuhan tahunan sebesar 5,06% (yoy). Dari sisi penggunaan, pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh PMTB/Investasi yang tumbuh sebesar 9,3% (yoy) serta pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 5,6% (yoy). Sementara itu, dari sisi sektoral pertumbuhan terutama ditopang oleh sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib serta Sektor Konstruksi. Peningkatan pada sektor Administrasi pemerintahan diperkirakan didorong oleh realisasi belanja pemerintah (pegawai, barang dan jasa, hibah serta bantuan keuangan) yang meningkat cukup tinggi dibandingkan dengan adanya larangan rapat di hotel pada periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara pertumbuhan sektor konstruksi didorong oleh adanya proyek multiyear (bendungan, sarana publik dan gedung pemerintahan), investasi swasta maupun penyelesaian proyek pemerintah yang diperpanjang 50 – 90 hari. Di sisi lain secara triwulanan (qtq) pertumbuhan ekonomi NTT mengalami penurunan sebesar -4,88% (qtq). Dari sisi penggunaan, seluruh komponen (konsumsi, investasi dan ekspor-impor) mengalami penurunan, sementara secara sektoral hanya sektor pertanian serta sektor pengadaan listrik dan gas yang mengalami pertumbuhan. Hal ini merupakan siklus tahunan yang selalu terjadi di NTT, dimana pertumbuhan akan tumbuh tinggi di akhir tahun seiring realisasi belanja dan kegiatan belanja pemerintah serta momen keagamaan dan liburan sekolah yang mendorong peningkatan konsumsi masyarakat secara umum. | Bab I - Ekonomi Makro Regional
1
Apabila dibandingkan dengan nasional, pertumbuhan ekonomi NTT triwulan-I sebesar 5,06% (yoy) masih lebih tinggi dibandingkan nasional yang sebesar 4,92% (yoy). Rendahnya pertumbuhan ekonomi secara nasional terutama disebabkan oleh pertumbuhan konsumsi pemerintah dan investasi yang masih terbatas, harga komoditas dunia yang masih tergolong rendah serta adanya pergeseran masa panen. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi NTT masih lebih rendah apabila dibandingkan Provinsi NTB yang sebesar 9,97% (yoy) dan Provinsi Bali sebesar 6,04% (yoy). Pertumbuhan ekonomi NTB secara tahunan masih didorong oleh komoditas tambang seiring produksi PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) sementara perekonomian bali ditopang oleh positifnya pertumbuhan sektor akomodasi dan makan minum serta sektor pedagangan besar seiring adanya perayaan libur imlek yang mendorong peningkatan kunjungan Wisatawan asal Tiongkok serta perayaan keagamaan seperti paskah, nyepi dan galungan. Grafik 1.1. PDRB (ADHB) dan Pertumbuhan PDRB Tahunan Provinsi NTT dibanding Nasional
Sumber : BPS, diolah
Grafik 1.2. PDRB dan Pertumbuhan PDRB Provinsi NTT, Bali, NTB dan Nasional
Sumber : BPS, diolah
Secara triwulan, pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT cenderung berada di bawah Prov NTB dan Prov Bali. Pertumbuhan ekonomi triwulanan Provinsi NTT mengalami penurunan sebesar -4,88% (qtq) pada triwulan I 2016. Kondisi penurunan juga terjadi pada Provinsi Bali sebesar -1,48% (qtq) dan Nasional sebesar -0,34% (qtq) yang secara umum disebabkan oleh perlambatan realisasi belanja dan proyek-proyek pemerintah di awal tahun. Sementara itu, provinsi NTB mengalami pertumbuhan triwulanan sebesar 2,24% (qtq) yang terutama didorong oleh peningkatan produksi tambang dan mulai adanya panen padi di beberapa daerah.
1.2 Perkembangan Ekonomi Sisi Penggunaan Pada triwulan I 2016 pertumbuhan investasi/PMTB menjadi pendorong utama yang juga ditopang konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah yang
tumbuh
positif
dibandingkan
periode
yang
sama
tahun
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
2015. 2
Pertumbuhan investasi/PMTB tercatat sebesar 9,3% (yoy) atau meningkat Rp 1,34 triliun dibandingkan tw-I 2015. Peningkatan terutama terjadi dari pembangunan proyek-proyek multiyears dan didorong pula adanya dispensasi selama 50 dan 90 hari untuk keterlambatan penyelesaian proyek pada tahun 2015 serta Proyek-proyek swasta seperti hotel, restoran, sarana kelistrikan dan komunikasi. Dari sisi konsumsi rumah tangga, terjadi pertumbuhan sebesar 5,6% (yoy) yang diperkirakan ditunjang oleh konsumsi masyarakat seiring perayaan paskah. Di sisi lain, net impor antar daerah yang tumbuh sebesar 8,55% (yoy) masih menjadi salah satu penghambat dalam mendorong perekonomian NTT tumbuh lebih tinggi. Dalam menganalisis
dampak
adanya
pola
siklikal (musiman)
dalam
pembentukan PDRB Provinsi NTT, dilakukan pula analisis secara triwulanan (qtq) yaitu membandingkan total PDRB triwulan IV-2015 (harga konstan) dibandingkan triwulan-I 2016 (harga konstan). Berdasarkan analisis triwulanan, PDRB NTT mengalami penurunan sebesar -4,88% (qtq), siklus penurunan ini selalu terjadi pada periode yang sama di beberapa tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa dampak musiman selalu terjadi di NTT. Penurunan tertinggi terjadi pada komponen konsumsi pemerintah yang turun hingga -60,29% (qtq) pada triwulan-I 2016 seiring melambatnya kegiatan pemerintah di awal tahun dan tingginya realisasi anggaran di akhir tahun 2015. Penurunan juga terjadi pada komponen PMTB/Investasi yang didorong oleh perlambatan kegiatan proyek-proyek swasta dan pemerintah serta konsumsi rumah tangga seiring telah lewatnya akhir tahun anggaran. Tabel 1.1. PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Pengeluaran Triwulan I-2016 Uraian 1. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
YOY 2014
2015
2015
TW I
2016
TW IV
TW I
Bobot qtq
50,952,750
56,027,892
12,967,693
15,532,810
14,712,817
2,323,762
2,539,408
536,536
727,600
583,485
3.0 -21.07
3.92
3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah
20,592,320
23,705,393
2,805,822
8,049,633
3,151,219
16.0 -60.59
5.44
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto
41.6 -14.03
9.33
2. Pengeluaran Konsumsi LNPRT
74.7
yoy
-4.25
5.60
26,693,029
32,505,797
6,850,598
9,043,274
8,187,777
5. Perubahan Inventori
1,024,332
967,562
48,347
352,370
23,514
0.1 -93.55 -56.72
6. Ekspor Luar Negeri
1,382,328
1,608,842
362,988
359,881
305,214
1.5 -15.21 -21.09
527,152
261,549
38,655
72,579
47,777
0.2 -33.88
(33,842,869)
(40,660,869)
(6,062,539)
(13,621,813)
(7,223,156)
-36.7 -42.41
7. Impor Luar Negeri 8. Net Ekspor Antar Daerah
PDRB Sumber: BPS Provinsi NTT (diolah)
68,598,500
76,432,477
18,055,203
20,371,177
19,693,094
100.0
27.52 8.55
-4.88
5.06
1.2.1 Konsumsi Secara umum, pengeluaran konsumsi pada triwulan I menunjukkan pertumbuhan sebesar 5,52% (yoy) cenderung melambat apabila dibandingkan triwulan IV-2015 yang sebesar 11,17% (yoy). Perlambatan terutama terjadi pada komponen konsumsi pemerintah. Sementara itu, konsumsi rumah tangga cenderung | Bab I - Ekonomi Makro Regional
3
meningkat diperkirakan terjadi karena adanya dorongan pada konsumsi pemerintah dan konsumsi Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) pada triwulan-I 2016. Upaya percepatan realisasi belanja pemerintah dan berkurangnya masalah numenklatur kementerian mampu mendorong pertumbuhan konsumsi. Konsumsi rumah tangga pada triwulan-I juga menunjukkan pertumbuhan positif secara tahunan sebesar 5,60% (yoy) lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan IV-2015 yang sebesar 4,77% (yoy). Tingginya pertumbuhan pada triwulan I-2016 diperkirakan terjadi seiring adanya perbaikan daya beli masyarakat dan ditunjang banyaknya momen liburan long weekend sehingga mendorong konsumsi untuk kegiatan belanja maupun berlibur ke daerah lain. Di sisi lain, pola konsumsi rumah tangga triwulan IV-2015 yang lebih rendah disebabkan oleh perayaan natal dan tahun baru yang relatif tidak semeriah tahun 2014 terkait dengan larangan konvoi dan pembatasan pesta di akhir tahun. Tingginya pertumbuhan pada triwulan-I 2016 terlihat dari pertumbuhan Survei Penjualan Eceran (SPE) yang menunjukkan pertumbuhan 16,5% (yoy) lebih tinggi dari pertumbuhan triwulan IV-2015 yang mencatat minus 7,76% (yoy). Pertumbuhan terutama berasal dari kelompok perlengkapan rumah tangga, pakaian dan perlengkapannya serta bahan bakar. Hal ini menjadi penguat indikator adanya perbaikan daya beli masyarakat pada tahun 2016. Grafik 1.3. Survei Penjualan Eceran
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Sementara
itu,
adanya
pola
siklikal
terhadap
penurunan
secara
triwulanan ditunjukkan dari angka Indeks Tendensi Konsumen (ITK) yang menurun. Penurunan ITK juga ditunjukkan dengan komponen pendapatan rumah tangga yang menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa pendapatan rumah tangga masyarakat di triwulan I 2016 cenderung melambat apabila dibandingkan triwulan IV 2015. Perlambatan juga terlihat dari konsumsi listrik yang sedikit menurun secara triwulanan sebesar -0,02% (qtq) walaupun apabila dilihat secara tahunan terjadi pertumbuhan sebesar 10,67%(yoy) yang diperkirakan lebih disebabkan oleh adanya | Bab I - Ekonomi Makro Regional
4
penambahan kapasitas tenaga listrik di NTT. Perlambatan secara triwulanan juga terlihat dari Survei Kegiatan Dunia Usaha yang menunjukkan penurunan indikator kegiatan usaha, harga jual dan tenaga kerja. Sementara itu indikator penyaluran kredit konsumsi pada triwulan I mencapai Rp 12,61 triliun atau tumbuh sebesar 2,5% (qtq) melambat dibandingkan triwulan IV 2015 yang sebesar 4,1% (qtq) dan secara tahunan tumbuh sebesar 16,7% (yoy). Grafik 1.4. Indeks Tendensi Konsumen
Sumber : BPS, diolah
Grafik 1.6. Indeks Kegiatan Dunia Usaha
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
Grafik 1.5. Perkembangan Konsumsi Listrik Rumah Tangga
Sumber : PT PLN, diolah
Grafik 1.7. Penyaluran Kredit Konsumsi
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Komponen Konsumsi Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) tumbuh 3,92% (yoy) melambat dibandingkan triwulan IV 2015 yang sebesar 20,92% (yoy). Perlambatan terjadi seiring telah lewatnya masa Pilkada serentak 9 Kabupaten/Kota di Provinsi NTT pada tahun 2015. Komponen Konsumsi Pemerintah pada triwulan I-2016 tumbuh sebesar 5,44% (yoy) melambat dibandingkan triwulan IV-2015 yang tumbuh 26,43% (yoy) namun meningkat dibandingkan triwulan I-2015 sebesar 3,97% (yoy). Peningkatan realisasi pemerintah pada akhir tahun 2015 yang mencapai 23,6% (yoy) dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 menjadi pendorong tingginya pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan IV-2015. Di sisi lain, pertumbuhan pada triwulan-I 2016 cenderung mengalami penurunan karena dampak penurunan kegiatan pemerintah di awal tahun. Namun, apabila dibandingkan triwulan-I 2016, terjadi pertumbuhan positif yang terlihat dari data realisasi konsumsi pemerintah (Pusat, Kabupaten/Kota, Provinsi) di NTT yang mengalami kenaikan sebesar 17,81% | Bab I - Ekonomi Makro Regional
5
dari Rp 2,42 triliun (Tw-I 2015) menjadi Rp 2,85 triliun (Tw-I 2016). Peningkatan didorong oleh belanja konsumsi pegawai sebagai komponen utama yang tumbuh cukup tinggi sebesar 11,98%. Adanya upaya percepatan realisasi anggaran melalui penetapan target realisasi nasional sebesar minimal 90% di akhir tahun dan pengiriman surat edaran dari Sekretaris Daerah kepada instansi terkait diperkirakan turut menjadi pendorong kenaikan realisasi secara tahunan. Sementara itu, secara triwulanan konsumsi pemerintah cenderung turun sebesar -60,59% (qtq). Hal tersebut lebih disebabkan oleh adanya penumpukan realisasi anggaran di tahun 2015. Adanya masalah numenklatur, penerapan e-
catalogue dan peraturan baru penganggaran menyebabkan realisasi 2015 cenderung sedikit lebih lambat dan menumpuk di akhir tahun 2015.
1.2.2 Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)/ Investasi Pertumbuhan investasi/PMTB di NTT pada triwulan I-2016 mengalami pertumbuhan sebesar 9,33% (yoy). Pertumbuhan diperkirakan turut dipengaruhi oleh adanya proyek mutiyears pemerintah, seperti bendungan raknamo, bendungan rotiklot, gedung Pemerintahan dan sarana publik lainnya. Hal ini terlihat dari realisasi belanja modal pemerintah di Provinsi NTT hingga akhir Maret 2016 yang mengalami kenaikan sebesar 140,48% (yoy) dibandingkan triwulan I-2015 atau dari Rp 100,34 miliar (tw-I 2015) menjadi Rp 241,29 miliar (tw I-2016). Peningkatan juga diperkirakan berasal dari investasi swasta melalui pembangunan jaringan listrik, sarana komunikasi, serta restoran dan hotel. Data realisasi investasi BKPM dan Penjualan Semen menunjukkan adanya indikasi peningkatan investasi di NTT. Berdasarkan data BKPM, pada triwulan-I 2016 telah terealisasi Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar US$ 24,77 juta atau meningkat 79,5% (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun 2015. Dari indikator penjualan semen, terlihat pula peningkatan penjualan semen secara tahunan sebesar 37,9% (yoy) yang mengindikasikan adanya peningkatan kegiatan proyek pada triwulan-I 2016 dibandingkan periode yang sama tahun 2015.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
6
Grafik 1.8. Realisasi Investasi Modal Asing & Penanaman Modal Dalam Negeri
Sumber : BKPM, diolah
Grafik 1.9. Realisasi Konsumsi Semen Provinsi NTT
Sumber : Asosiasi Semen Indonesia, diolah
Dari data sistem pembayaran non tunai terlihat adanya pertumbuhan perputaran uang. Data kliring menunjukkan adanya perputaran uang mencapai Rp 3,1 triliun pada triwulan I 2016 atau meningkat 170% (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu dari indikator perbankan, pertumbuhan kredit modal kerja masih tumbuh sebesar 10,4% (yoy) walaupun untuk kredit investasi terjadi penurunan sebesar -0,05% (yoy). Penurunan kredit investasi mengkonfirmasi bahwa dorongan PMTB/Investasi terutama berasal dari investasi pemerintah maupun swasta dari luar NTT. Grafik 1.10. Perkembangan Kliring
Sumber : Bank Indonesia, diolah
Grafik 1.11. Perkembangan Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi
Sumber : Bank Indonesia, diolah
1.2.3 Ekspor – Impor 1.2.3.1 Ekspor-Impor Antar Daerah Pertumbuhan net impor antar daerah pada triwulan I-2016 mencapai 8,55% (yoy) yang terindikasi pula pada aktivitas bongkar muat di pelabuhan. Di Di sisi lain, secara triwulanan net impor mengalami perlambatan penurunan sebesar -42,41% (qtq) dibandingkan triwulan sebelumnya. Hal ini juga terkonfirmasi dari peningkatan kegiatan peti kemas yang mencapai 25.192 teus atau tumbuh sebesar 32,5% (yoy) walaupun secara triwulanan turun sebesar -6,7% (qtq). Alur pertumbuhan secara tahunan dan perlambatan secara triwulanan juga searah
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
7
dengan kondisi konsumsi dan investasi yang meningkat secara tahunan namun menurun secara triwulanan seiring dampak musiman penurunan kegiatan proyek pemerintah dan konsumsi di awal tahun. Sementara itu, aktivitas bongkar muat menunjukkan pertumbuhan net bongkar (net impor) yang mencapai 97,8% (yoy). Terbatasnya industri dan tingginya kebutuhan sumber daya pangan di NTT masih menjadi penyebab ketergantungan NTT dengan daerah lain. Grafik 1.12. Perkembangan Peti Kemas
Sumber : Pelindo III, diolah
Grafik 1.13. Aktivitas Bongkar Muat
Sumber : Pelindo III, diolah
1.2.3.2 Ekspor-Impor Luar Negeri Aktivitas ekspor luar negeri NTT pada triwulan I 2016 cenderung mengalami penurunan secara tahunan maupun triwulanan. Penurunan net ekspor secara tahunan mencapai -26,3% (yoy) dan secara triwulan mencapai -10,5% (qtq). Berdasarkan data ekspor-impor Bank Indonesia, pada triwulan-I 2016 Provinsi NTT cenderung mengalami net impor sebesar US$ 2,7 juta. Impor terbesar NTT terutama beras yang berasal dari Thailand. Sementara itu ekspor NTT terutama semen dan kendaraan serta suku cadangnya ke negara Timor Leste. Grafik 1.14.Perkembangan Ekspor dan Impor
Sumber : Pelindo III, diolah
Grafik 1.15. Negara Tujuan Ekspor
Sumber : Pelindo III, diolah
1.3 Perkembangan Ekonomi Sisi Sektoral Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi triwulan I-2016 didorong oleh sektor Administrasi Pemerintahan dan sektor Konstruksi. Peningkatan sektor administrasi pemerintah diperkirakan terjadi seiring percepatan upaya penyerapan | Bab I - Ekonomi Makro Regional
8
anggaran
oleh
pemerintah.
Sementara
itu,
peningkatan
sektor
konstruksi
diperkirakan didorong oleh adanya proyek-proyek multiyear pemerintah dan pengerjaan lanjutan kegiatan proyek yang belum selesai di tahun 2015. Secara triwulanan, dari 17 sektor dalam komponen PDRB hanya sektor Pertanian serta sektor pengadaan listrik dan gas yang memiliki pertumbuhan positif. Sektor pertanian diperkirakan turut dipengaruhi oleh adanya pengiriman sapi melalui kapal ternak, sementara sektor pengadaan listrik terbantu oleh penambahan kapasitas jaringan melalui mesin sewa dan pembangunan Pembangkit Listrik Mikro Hidro. Tabel 1.2. PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Sektor Ekonomi Triwulan I 2016 Kategori
Uraian
A
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
B
Pertambangan dan Penggalian
C
Industri Pengolahan
D
H
Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan
I
Penyediaan Akomodasi dan Makan
J
Informasi dan Komunikasi
E F G
2015
YOY 2014
2015
TW I
2016
TW IV
TW I
Bobot qtq 29.6
2.60
yoy
20,447,428
22,665,673
5,364,288
5,545,220
5,836,477
1,070,349
1,307,566
273,773
358,925
314,905
1.6 -13.60
1.81 7.03
843,708
940,862
215,685
259,276
239,111
1.2
-8.86
4.98
31,840
40,001
9,001
12,466
12,616
0.1
0.12
12.29
45,529
47,150
11,004
12,305
11,405
0.1
-8.07
0.47
7,095,979
7,908,227
1,712,765
2,243,992
2,048,240
10.4
-9.43
8.69
7,296,703
8,273,959
1,883,337
2,219,097
2,098,437
10.7
-7.25
4.14
3,566,950
3,975,985
904,222
1,101,475
1,056,322
5.4
-5.48
8.55
422,443
487,091
105,664
137,030
121,583
5,134,426
5,477,449
1,276,364
1,462,281
1,383,555
0.6 -12.91
6.75
7.0
7.28
-5.31
K
Jasa Keuangan dan Asuransi
2,698,906
2,995,475
711,720
799,178
781,762
4.0
-2.88
5.17
L
Real Estate
1,860,878
2,054,341
464,335
550,863
514,861
2.6
-8.55
2.85
M,N
Jasa Perusahaan
210,879
235,528
54,403
62,344
59,801
0.3
-5.73
2.66
O
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan
8,392,732
9,399,572
2,091,003
2,653,426
2,469,479
12.5
-8.87
7.42
P
Jasa Pendidikan
6,568,193
7,367,666
1,645,854
2,079,834
1,897,221
9.6
-8.79
5.01
Q
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
1,414,584
1,616,418
359,872
444,901
425,545
2.2
-5.07
9.05
R,S,T,U
Jasa lainnya
PDRB
1,496,973
1,639,515
387,499
428,566
421,774
2.1
-2.72
3.34
68,598,500
76,432,477
17,470,789
20,371,177
19,693,094
100
-4.88
5.06
Sumber: BPS Provinsi NTT (diolah) *Dalam Juta Rp
1.3.1 Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Secara tahunan, pertumbuhan sektor pertanian mengalami perlambatan apabila dibandingkan triwulan IV-2015 maupun triwulan I-2015. Secara tahunan pertumbuhan sektor pertanian hanya sebesar 1,81% (yoy) atau melambat dibandingkan triwulan IV-2015 yang sebesar 2,59% (yoy) dan triwulan I-2015 yang sebesar 3,10% (yoy). Perlambatan diperkirakan dipengaruhi oleh dampak penurunan harga beberapa komoditas seperti jambu mete, kakao dan rumput laut di tingkat global. Terjadinya penurunan produksi komoditas seperti kakao dan padi akibat serangan hama dan pohon yang sudah menua dan adanya pergeseran kembali musim panen menjadi permasalahan lain yang mendorong perlambatan. Namun demikian, perlambatan produksi pertanian tersebut dapat tertahan oleh adanya peningkatan produksi beberapa komoditas seperti garam di Sabu Raijua dan pengiriman sapi melalui kapal ternak.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
9
Sementara itu, secara triwulanan, sektor pertanian justru mengalami peningkatan sebesar 2,6% (qtq). Peningkatan diperkirakan terjadi seiring adanya pengiriman ternak melalui kapal ternak dan produksi garam di triwulan-I. Berdasarkan data Pelindo III, pada triwulan-I pengiriman ternak dari pelabuhan Tenau mencapai 5.361 ekor sedikit meningkat dibandingkan triwulan IV yang hanya sebesar 5.324 ekor. Sementara itu, pengiriman komoditas pertanian dan perkebunan juga diperkirakan turut terbantu oleh adanya beberapa kapal penghubung tol laut seperti KM. Caraka Niaga dan beberapa kapal perintis. Di sisi lain, indikasi perlambatan juga terlihat pada indeks nilai tukar petani (NTP) yang menurun dari 103,19 (Tw-IV 2015) menjadi 101,18 (Tw-I 2016). Penurunan terjadi akibat adanya peningkatan pada indeks yang dibayar, sementara indeks diterima cenderung tetap. Hal ini mengindikasikan bahwa biaya hidup dan keperluan produksi pertanian di pedesaan cenderung meningkat, sementara produksi tidak mengalami perkembangan signifikan. Dari sisi sektoral penurunan indeks terutama terjadi pada sektor Tanaman Perkebunan Rakyat sebagai akibat turunnya indeks yang diterima (IT) sementara indeks yang dibayar (IB) tertinggi pada sektor tanaman padi-palawija yaitu kenaikan harga obat-obatan dan pupuk. Grafik 1.16. Data Pengiriman Ternak
Sumber : Pelindo III, diolah
Grafik 1.17. Perkembangan Nilai Tukar Petani
Sumber : BPS, diolah
Di sisi lain, hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) di sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan menunjukkan adanya perlambatan kegiatan usaha pada triwulan-I 2016. Hal ini terlihat dari adanya penurunan nilai indeks kegiatan usaha dan harga jual. Sementara itu penurunan indeks harga jual diperkirakan disebabkan pula oleh adanya penurunan harga komoditas, terutama perkebunan (jambu mete dan kakao) di tingkat global. Dari data perbankan, indikator kredit pertanian
menunjukkan
adanya
pertumbuhan
sebesar
10,1%
(qtq)
yang
diperkirakan terjadi sebagai dampak pinjaman petani untuk persiapan masa tanam
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
10
dan panen. Namun, pertumbuhan kredit tahunan yang rendah, hanya sebesar 1,4% (yoy) menimbulkan pula opini adanya kendala produksi (baik pergeseran masa tanam, curah hujan ataupun rendahnya harga komoditas) yang menyebabkan petani cenderung tidak mau berspekulasi untuk meminjam uang di Bank. Grafik 1.18. Perkembangan SKDU Pertanian
Grafik 1.19. Perkembangan Kredit Pertanian
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Beberapa permasalahan sektor pertanian yang teridentifikasi pada tahun 2016 terutama adanya kemungkinan kerawanan pangan dan La Nina. Rendahnya curah hujan akibat el nino dan serangan hama di beberapa daerah penghasil padi dan jagung menyebabkan beberapa areal persawahan menjadi gagal tanam yang berpotensi menurunkan angka produksi padi. Sementara itu, adanya potensi La Nina pada triwulan III dapat menjadi peluang untuk melakukan penanaman padi kembali, walaupun di sisi lain berpotensi menurunkan produksi perikanan karena curah hujan yang meningkat. Dalam rangka peningkatan produksi pertanian di tahun 2016, Pemerintah bekerja sama dengan TNI telah melakukan program kerjasama untuk melakukan percetakan sawah baru.
1.3.2 Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Secara
tahunan,
pertumbuhan
sektor
Administrasi
Pemerintahan,
Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib pada triwulan I 2016 tumbuh lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2015, namun sedikit lebih rendah dibandingkan triwulan-IV 2015. Pertumbuhan sektor Administrasi Pemerintahan pada triwulan-I 2016 mencapai 7,42% (yoy) atau meningkat dibandingkan triwulan-I 2015 yang sebesar 5,97% (yoy). Untuk periode tahunan, peningkatan turut didorong oleh tumbuhnya belanja konsumsi pemerintah secara nominal sebesar Rp 430,8 miliar atau 17,81% (yoy). Peningkatan tersebut didorong pula oleh realisasi belanja hibah yang meningkat sebesar 37,7% (yoy) serta belanja barang dan jasa sebesar 37,2% (yoy). Peningkatan belanja hibah diperkirakan dipergunakan untuk
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
11
program pemberdayaan masyarakat seperti Desa Mandiri Anggur Merah maupun dana Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (PEM) di Kota Kupang. Serta bantuan sarana dan prasarana produksi pertanian dan perikanan, seperti alat tangkap, kapal, traktor dan bibit. Kegiatan Rapat-rapat koordinasi dan percepatan proses lelang diawal tahun oleh pemerintah turut pula mendorong pertumbuhan sektor ini. Di sisi lain, secara triwulanan pertumbuhan tercatat menurun -8,87% (qtq). Hal ini didorong oleh dampak menumpuknya realisasi anggaran di akhir tahun 2015 sehingga terkesan terjadi penurunan realisasi belanja yang cukup besar di triwulan I 2016. Secara historis, realisasi penyerapan anggaran pemerintah juga cenderung rendah diawal tahun seiring proses konsolidasi yang baru dilakukan dan baru akan meningkat pada triwulan III dan triwulan IV 2015. Sementara itu, indikator simpanan pemerintah di perbankan mengalami kenaikan hingga mencapai 113,5 % (qtq) pada triwulan I-2016 atau sebesar Rp 5,64 triliun dibandingkan triwulan IV-2015 yang sebesar Rp 2,64 triliun. Peningkatan ini disebabkan oleh realisasi penyaluran dana transfer oleh pemerintah pusat yang belum digunakan secara maksimal di awal tahun. Grafik 1.20. Realisasi Belanja Konsumsi Pemerintah
Sumber: DJPBN dan Biro Keuangan, diolah
Grafik 1.21. Perkembangan Simpanan Pemerintah di Perbankan
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
1.3.3 Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Pertumbuhan sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor pada triwulan-I 2016 cenderung mengalami perlambatan. Pertumbuhan tercatat 4,14% (yoy) atau melambat dibandingkan triwulan IV-2015 yang sebesar 7,59% (yoy) ataupun triwulan I-2015 yang sebesar 5,27% (yoy). Pergeseran musim panen dan penurunan kegiatan proyek diperkirakan menjadi beberapa faktor penyebab perlambatan dibandingkan triwulan IV-2015. Namun melambatnya pertumbuhan pada triwulan-I 2016 dibandingkan triwulan-I 2015 tidak diprediksi sebelumnya karena indikator ekonomi yang cenderung menunjukan | Bab I - Ekonomi Makro Regional
12
perbaikan seperti kenaikan penyerapan tenaga kerja, daya beli masyarakat serta perpanjangan
kegiatan
beberapa
proyek.
Selain
itu,
sentimen
terhadap
permasalahan pajak pada tahun lalu yang mulai berkurang di 2016 juga menjadi indikasi pertumbuhan. Di sisi lain, secara triwulanan pertumbuhan ekonomi NTT cenderung menurun sebesar 7,25% (qtq) yang didorong oleh penurunan belanja masyarakat paska perayaan hari natal, tahun baru dan masa liburan sekolah di akhir tahun 2015. Perlambatan secara triwulanan juga terlihat dari Indikator Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) dan Survei Konsumen (SK). Indikator SKDU berupa indeks kegiatan usaha, harga jual dan tenaga kerja menunjukkan penurunan yang mengindikasikan perlambatan kegiatan perdagangan di awal tahun. Indikasi yang sama juga terlihat pada Survei Konsumen-Bank Indonesia yang menunjukkan penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) walaupun dengan angka masih diatas 100 yang menunjukkan masih adanya optimisme konsumen. Dari sisi kredit, kredit perdagangan hingga akhir triwulan I-2016 mencapai Rp 5,09 triliun atau tumbuh sebesar 12,1% (yoy). Sementara secara triwulanan, kredit perdagangan hanya tumbuh sebesar 0,1% (qtq) dibandingkan triwulan IV 2015 yang mengindikasikan pula perlambatan kegiatan perdagangan. Grafik 1.22. Perkembangan SKDU Sektor Perdagangan
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
Grafik 1.23. Perkembangan Survei Konsumen
Sumber : SK-Bank Indonesia, diolah
Grafik 1.24. Perkembangan Kredit Sektor Perdagangan
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
13
1.3.4 Sektor-sektor Lainnya Sektor konstruksi memiliki pertumbuhan sebesar 8,69% (yoy) dan menjadi salah satu sektor tumbuh cukup tinggi pada triwulan I 2016. Adanya penambahan frekuensi kegiatan proyek pemerintah, melalui proyek multiyears sepanjang
2016
seperti
proyek
bendungan
raknamo
dan
rotiklot,
serta
pembangunan gedung pemerintahan dan sarana publik (rumah sakit) menjadi pendorong peningkatan pertumbuhan sektor ini pada awal tahun 2016. Selain itu, adanya dispensasi penyelesaian proyek tahun 2015 selama 50 hingga 90 hari di tahun 2016 juga menjadi pendorong lainnya. Pertumbuhan konstruksi juga berasal dari pihak swasta melalui pembangunan jaringan listrik, hotel, sarana belanja dan sarana pendidikan. Sektor penyediaan akomodasi dan makan minum pada triwulan-I 2016 mengalami pertumbuhan sebesar 6,75% (yoy) meningkat dibandingkan periode yang sama tahun 2015 yang hanya tumbuh 3,07% (yoy). Peningkatan sektor ini terlihat dari perkembangan tamu hotel yang meningkat hingga 70,8% (yoy) adanya beberapa kegiatan di awal tahun, seperti Rapat Koordinasi Pusat dan Daerah di Kora Kupang, serta penyelenggaraan rapat-rapat koordinasi pemerintah di berbagai daerah seperti Kota Kupang dan Labuan Bajo menjadi pendorong meningkatnya okupansi hotel pada awal tahun 2016. Hal ini juga terlihat dari peningkatan jumlah penumpang bandara yang mencapai 44,2% (yoy). Grafik 1.25 Perkembangan Tamu Hotel
Sumber : BPS, diolah
Grafik 1.26. Perkembangan Penumpang Bandara
Sumber : BPS, diolah
Sektor transportasi dan pergudangan tercatat mengalami pertumbuhan sebesar 8,55% (yoy). Peningkatan terlihat dari adanya penambahan rute pesawat Lion Air dan Sriwijaya Air, serta adanya pelayanan kapal perintis yang melayani penyeberangan ke beberapa pulau, serta kapal pengangkut komoditas ke Sabu Raijua-Waingapu-Surabaya. Dari angkutan darat, mulai beroperasinya taksi argo di Kota Kupang dan bantuan 16 unit bus dari Kementerian Perhubungan untuk | Bab I - Ekonomi Makro Regional
14
Pemerintah Daerah di NTT menjadi faktor pendorong lainnya bagi sektor ini. Dari sektor industri pengolahan, teridentifikasi beberapa kegiatan pendorong industri pada triwulan-I, diantaranya pendirian industri pengolahan tepung ikan di Lembata dengan mengekspor hasil olahannya ke Thailand dan Jepang. Dari sektor pengadaan listrik dan gas terjadi pertumbuhan sebesar 12,29% (yoy) yang ditunjang pula oleh penambahan kapasitas daya listrik melalui mesin sewa sebanyak 13 MW dari total pengadaan mesin sewa sebanyak 17 MW di jaringan Kupang. Selain itu, telah pula dilakukan penambahan daya di berbagai wilayah di NTT melalui Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
15
Permasalahan Utama Struktur Ekonomi di NTT dan Pengembangan Potensi Ekonomi Karakter struktur ekonomi NTT cukup unik bila dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Walaupun terdapat 18 provinsi yang memiliki neraca perdagangan negatif dengan daerah/ negara lain, namun tidak ada provinsi yang memiliki rasio neraca perdagangan negatif sebesar NTT. Saat ini, net impor NTT terhadap total PDRB mencapai 51,44% PDRB. Dari total 115,7 triliun konsumsi dan investasi yang dilakukan di NTT, senilai 39,3 triliun kebutuhan barangnya dipenuhi dari luar NTT, sehingga net PDRB yang dihasilkan hanya sebesar 76,4 triliun rupiah. Provinsi lain yang juga memiliki net impor besar antara lain Provinsi Maluku (45,99%), Bengkulu (28,18%), Aceh (22,39%), dan Sulawesi Tengah (17,85%). Berdasarkan pendekatan PDRB sektoral dapat dikatakan bahwa terdapat terdapat 39,3 triliun rupiah yang nilai tambah/ manfaatnya tidak dirasakan oleh masyarakat di NTT dikarenakan pemenuhan barang langsung dilakukan oleh pelaku usaha di luar NTT. Namun demikian, apabila terdapat bagian yang bisa dipenuhi oleh masyarakat NTT, maka manfaat ekonomi atas konsumsi dan investasi yang dilakukan dapat lebih dirasakan oleh masyarakat. Grafik Boks 1.1. PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Penggunaan
Sumber : BPS, diolah
Grafik Boks 1.2. PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Sektoral
Sumber : BPS, diolah
Kegiatan ekspor-impor antar daerah/ Negara memang tidak dapat dihindari dalam suatu wilayah. Suatu daerah tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Hal ini lebih disebabkan oleh faktor daya saing produksi yang tiap daerah cenderung berbeda. Untuk menjaga kondisi neraca perdagangan daerah, dibutuhkan kejelian pemerintah dan seluruh stake holder dalam mengenali potensi maupun kekurangan suatu daerah. Dengan memanfaatkan potensi daerah yang ada, maka defisit perdagangan dapat dikurangi dengan ekspor komoditas unggulan yang dapat dihasilkan di daerah atau NTT pada khususnya. Berdasarkan data pertumbuhan ekonomi NTT terlihat bahwa total konsumsi dan investasi di Provinsi NTT sebenarnya cukup tinggi. pada tahun 2014, total pertumbuhan konsumsi dan investasi mencapai 15,08% (yoy) dan di tahun 2015 juga mampu mencapai 14,38% (yoy). Namun demikian, dikarenakan tidak adanya bahan baku investasi maupun bahan siap konsumsi pada beberapa komoditas menyebabkan pemenuhan investasi dan konsumsi diambil dari daerah lain yang terlihat dari peningkatan net impor pada periode Boks 1. | Permasalahan Utama Struktur Ekonomi NTT
16
tersebut. Akibatnya adalah net pertumbuhan ekonomi cenderung tetap di angka 5% dan cenderung melambat. Apabila terdapat beberapa komoditas bahan baku investasi atau konsumsi yang bisa kita penuhi sendiri, ataupun terdapat peningkatan ekspor komoditas unggulan NTT, maka perlambatan ekonomi tidak akan terjadi. Berdasarkan komoditas impor utama, terlihat bahwa banyak dari komoditas tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Provinsi NTT baik karena tidak terdapat industri terkait ataupun menjadi tidak berdaya saing apabila diproduksi di NTT dikarenakan skala ekonomi yang relatif kecil. Beberapa komoditas utama impor antara lain BBM, aspal, beras, semen, bahan bangunan, mobil, makanan jadi, minuman dan tembakau, elektronik, mesin, pupuk dan penunjang pertanian, sandang maupun kebutuhan perumahan. Selain itu, jasa-jasa yang juga masih diimpor antara lain jasa tenaga ahli dalam bidang pendidikan, kesehatan dan konstruksi, jasa angkutan, transportasi dan komunikasi serta jasa keuangan. Sebagian besar komoditas tersebut memang tidak dapat kita produksi atau relatif kurang berdaya saing apabila kita produksi sendiri. Namun demikian, beberapa komoditas terlihat masih bisa kita produksi sendiri seperti produksi beras, semen dan turunannya, serta penyediaan tenaga kerja. Selain mengurangi neraca impor antar daerah, maka dalam menyeimbangkan neraca perdagangan juga dapat dilakukan dengan meningkatkan ekspor komoditas unggulan ke daerah lain. Untuk itu, pemahaman akan keunggulan komparatif daerah perlu dimiliki. Grafik Boks 1.3. Potensi dan Realisasi Pertumbuhan Ekonomi Provinsi NTT Berdasarkan Penggunaan
Sumber : BPS, diolah
Gambar Boks 1.1. Neraca Perdagangan Antar Daerah/Negara di NTT
Sumber : BPS dan Bank Indonesia, diolah
Untuk meningkatkan daya saing produksi, diperlukan peningkatan infrastruktur dasar agar biaya usaha dapat diminimalisir. Berdasarkan data investasi 2015, arah investasi sudah menunjukkan jalur yang tepat yang ditandai oleh tingginya investasi infrastruktur dan usaha meliputi investasi kelistrikan, pariwisata dan pembangunan infrastruktur sumber daya air dan perhubungan baik darat, laut dan udara. Investasi kelistrikan dan perhubungan dapat meningkatkan daya saing daerah, sedangkan investasi sumber daya air dapat membantu meningkatkan produksi pangan yang berdampak pada penurunan impor pangan NTT. Investasi Pariwisata dapat membantu meningkatkan ekspor jasa pariwisata, baik dalam negeri maupun luar negeri. Pembangunan infrastruktur tidak akan bernilai tambah apabila tidak diikuti dengan kegiatan ekonomi yang dilakukan. Dalam rangka percepatan ekonomi NTT, diusulkan untuk melakukan perluasan kegiatan ekonomi yang berpusat pada keunggulan komparatif daerah. Berdasarkan hasil analisa, beberapa komoditas utama yang dapat segera dikembangkan antara lain beras, semen, garam, ikan, rumput laut, babi, sapi, pariwisata, Boks 1. | Permasalahan Utama Struktur Ekonomi NTT
17
maupun pembangunan pabrik gula. Beberapa produk unggulan daerah lainnya antara lain produksi jagung, perkebunan mete, kelapa, kopi dan kakao, ketela pohon dan tanaman tahan kering lainnya seperti sorgum dan kacang-kacangan sebagaimana gambar di bawah. Gambar Boks 1.2. Peta Komoditas Unggulan di NTT
Sumber : BPS, Kementrian Pertanian, Kementrian Kelautan, diolah
Percepatan pembangunan Pabrik Semen Kupang Tiga tidak hanya mengurangi impor semen yang mencapai lebih dari 600 ribu ton per tahun, namun berpotensi untuk meningkatkan ekspor semen hingga lebih dari 600 ribu ton di tahun 2018. Peningkatan produksi beras juga mampu mengurangi impor beras yang saat ini mencapai lebih dari 100 ribu ton per tahun atau setara satu triliun rupiah. NTT juga berpotensi menjadi sentra produksi garam nasional seiring dengan keunggulan cuaca kering yang mencapai 8 bulan setahun. Kondisi cuaca yang ekstrim tersebut bisa disiasati dengan strategi dalam bertani yang lebih memprioritaskan tanaman tahan kering seperti ketela pohon yang saat ini juga ada yang dipenuhi dari impor, maupun kedelai yang pemenuhannya sebagian besar diimpor dari Amerika. Tingginya intensitas sinar matahari juga bagus untuk pengembangan rumput laut. Bahkan dari sisi kualitas, rumput laut NTT dikenal memiliki kualitas terbaik di Indonesia seiring dengan tingginya rendeman rumput laut asal NTT. Pengembangan sapi perlu tetap dilakukan sebagaimana inisiatif ILO yang telah menyusun grand design pengembangan peternakan sapi di Kabupaten Kupang. Namun demikian, komoditas ternak lainnya yang secara potensi bisa jauh lebih menghasilkan seperti babi juga perlu lebih dikembangkan. Wacana pengembangan gula di Sumba dan Malaka patut untuk didukung penuh karena berpotensi menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Namun demikian, yang patut diperhatikan adalah jangan sampai pengembangan lahan tebu justru mengurangi lahan produktif yang digunakan untuk penanaman padi. Untuk itu, pemerintah perlu berperan aktif dalam pengaturan lahan pertanian agar tidak menggganggu produktifitas pertanian lainnya. Salah satu harapan pengembangan ekonomi utama NTT ke depan adalah Pariwisata. Pemerintah dan swasta saat ini relatif gencar dalam melakukan pembangunan infrastruktur dan investasi perhotelan yang terlihat dari realisasi investasi PMA dan PMDN yang berfokus pada investasi perhotelan. Adanya investasi tersebut akan berpotensi meningkatkan kunjungan wisata ke depan. Yang menjadi tugas pemerintah adalah memastikan tidak terjadi bottleneck dalam pelayanan pariwisata seperti peningkatan rute angkutan udara, penyediaan sarana akomodasi wisata maupun jasa-jasa penunjang. Semua rencana pembangunan ataupun penambahan nilai tambah komoditas tidak akan dapat berjalan apabila kekurangan pasokan listrik masih terjadi di NTT. Dengan tingkat elektrifikasi yang hanya menempati urutan kedua terbawah di Indonesia, hanya sedikit di Boks 1. | Permasalahan Utama Struktur Ekonomi NTT
18
atas Papua dan rata-rata konsumsi listrik per kapita terendah di Indonesia, membuat kebutuhan peningkatan pasokan listrik menjadi hal utama yang harus diperhatikan. Pembangunan jaringan listrik terintegrasi trans Timor dan trans Flores patut diapresiasi. Namun demikian, peningkatan kapasitas daya listrik menjadi hal mutlak yang perlu disegerakan pemenuhannya.
Boks 1. | Permasalahan Utama Struktur Ekonomi NTT
19
Inflasi Provinsi NTT pada triwulan I 2016 mengalami penurunan cukup besar yang disebabkan oleh kembali normalnya harga komoditas setelah mengalami kenaikan tinggi di akhir tahun 2015. Penurunan harga BBM dan listrik serta adanya impor beras dan membaiknya cuaca mampu memberikan sentimen positif terhadap pengendalian inflasi. Kembali normalnya permintaan juga membuat tekanan harga berkurang. Penurunan harga terlihat dari inflasi triwulan I 2016 yang mengalami deflasi 0,36% (qtq). Namun demikian, harga belum sepenuhnya pulih yang terlihat dari inflasi tahunan yang mencapai 5,04% (yoy). Adanya El Nino, cuaca buruk dan gelombang tinggi, kenaikan cukai rokok, perpanjangan penyelesaian proyek infrastruktur, hari raya paskah dan Libur Imlek serta even nasional rakor pusat dan daerah menjadi faktor pendorong inflasi di triwulan I 2016. •
Kelompok komoditas transportasi dan bahan makanan menjadi penyumbang utama deflasi di triwulan I 2016 seiring dengan kembali normalnya harga beberapa komoditas bahan makanan dan angkutan udara • Kelompok komoditas makanan jadi, minuman dan tembakau menjadi penekan inflasi utama di NTT terutama dikarenakan oleh meningkatnya tarif cukai rokok dan tembakau. • Baik Kota Kupang maupun Kota Maumere pada triwulan I 2016 mengalami deflasi.
2.1. Kondisi Umum Pada triwulan I 2016, Provinsi NTT mengalami deflasi hingga sebesar 0,36% (qtq). Penurunan inflasi tersebut lebih disebabkan oleh kembali normalnya harga komoditas seiring dengan kembali normalnya permintaan masyarakat. Penurunan tarif angkutan udara menjadi penyumbang utama deflasi, diikuti oleh kembali normalnya harga bahan makanan. Namun demikian secara tahunan, inflasi masih menunjukkan nilai yang cukup tinggi yaitu sebesar 5,04% (yoy), lebih tinggi dibanding inflasi nasional yang sebesar 4,45% (yoy). Masih relatif tingginya inflasi lebih disebabkan oleh tingginya kenaikan harga di bulan Desember 2015, sehingga walaupun sudah mulai menunjukkan normalisasi harga, namun harga tetap belum kembali seperti semula. Normalisasi harga terlihat dari besaran inflasi triwulan I 2016 yang mengalami deflasi sebesar 0,36% (qtq). Deflasi ini menjadikan NTT sebagai provinsi dengan deflasi terbesar ke-4 setelah Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Nilai deflasi tersebut jauh lebih rendah dibanding capaian nasional di triwulan I 2016 yang mengalami inflasi sebesar 0,62% (qtq). Deflasi NTT terjadi karena harga kembali menurun setelah mengalami kenaikan tinggi di akhir tahun 2015.
20 | Bab II – Perkembangan Inflasi Daerah
20
Grafik 2.1. Inflasi Tahunan Provinsi NTT dan Nasional
Grafik 2.2. Inflasi Triwulanan Provinsi NTT dan Nasional
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
Komoditas angkutan udara menjadi komoditas dengan sumbangan deflasi terbesar yang disebabkan oleh penurunan tarif penerbangan hingga 14,55% (qtq). Kembali normalnya permintaan menjadi penyebab utama kembali normalnya harga-harga komoditas bahan makanan. Adanya penurunan harga minyak dunia juga berdampak terhadap penurunan harga bensin dan tarif listrik. Secara triwulanan, harga semen juga mengalami penurunan setelah mengalami kenaikan tinggi di akhir tahun 2015. Tabel 2.1. 10 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi Triwulanan di Provinsi NTT komoditas Inflasi Bawang Merah Tongkol Rokok Kretek Filter Nasi dengan Lauk Cabai Rawit Tomat Sayur Tahu Mentah Bawang Putih Upah Pembantu RT Kembung
qtq 55.91 21.63 6.69 4.88 42.53 14.43 15.60 18.18 3.64 2.15
sum qtq 0.21 0.13 0.11 0.11 0.08 0.06 0.06 0.05 0.04 0.04
komoditas Deflasi Angkutan Udara Daging Ayam Ras Bensin Tarip Listrik Semen Daun Singkong Bunga Pepaya Beras Kangkung Wortel
qtq (14.55) (16.51) (4.85) (2.81) (2.83) (37.33) (43.56) (0.64) (7.19) (23.12)
sum qtq (0.40) (0.21) (0.14) (0.08) (0.07) (0.06) (0.05) (0.04) (0.04) (0.04)
Sumber : BPS, diolah
Adapun kenaikan harga komoditas yang terjadi seperti bawang merah, tomat sayur, dan bawang putih lebih disebabkan oleh terbatasnya pasokan. Kenaikan harga cabe rawit lebih disebabkan oleh kembali ke harga normal setelah mengalami penurunan harga yang cukup besar di tahun sebelumnya. Kenaikan harga tongkol dan ikan-ikanan lebih disebabkan oleh kondisi cuaca yang buruk dan gelombang tinggi. 2.1.1
Inflasi Tahunan
Secara tahunan, Inflasi di Provinsi NTT mencapai 5,04%, lebih tinggi
dibanding inflasi nasional yang sebesar 4,45%. Tingginya inflasi bahan makanan serta makanan jadi, minuman dan tembakau menjadi penyebab utama tingginya 21 | Bab II – Perkembangan Inflasi Daerah
21
inflasi secara tahunan di NTT. Di saat harga komoditas lainnya cenderung mengalami penurunan, harga beberapa komoditas makanan jadi, minuman dan tembakau justru mengalami kenaikan di triwulan I 2016 dengan penyumbang utama kenaikan harga adalah inflasi pada komoditas nasi dengan lauk dan rokok kretek filter. Adanya kenaikan tarif cukai rokok dan bahan baku tembakau membuat harga harus dinaikkan secara bertahap di tiap bulannya. Nasi dengan lauk juga mengalami kenaikan hingga 8,23% (yoy) selama 1 tahun walaupun di sisi lain terjadi penurunan harga listrik dan BBM. Tingginya inflasi daging ayam ras, kembung, sawi putih, beras, bawang merah dan telur ayam ras membuat harga makanan jadi juga berangsur mengalami kenaikan. Dari total 10 komoditas penyumbang inflasi utama tahunan, 6 komoditas bahan makanan di atas menjadi penyumbang utama inflasi sepanjang tahun. Hanya ikan kembung dan bawang merah yang naik pada triwulan ini, sedangkan 4 komoditas lainnya sudah mengalami kenaikan terlebih di akhir tahun 2015. Kenaikan harga semen lebih disebabkan oleh adanya gangguan produksi semen di akhir tahun yang bersamaan dengan tingginya permintaan proyek yang masih dilakukan hingga bulan Februari 2016. Adapun komoditas yang mengalami penurunan harga antara lain besi beton, seng dan batako yang kemungkinan disebabkan oleh peningkatan pasokan karena peningkatan persaingan dan turunnya harga komoditas. Komoditas minyak goreng dan solar turun lebih dikarenakan penurunan harga komoditas. Penurunan harga cabai rawit dan cabai merah disebabkan oleh berjalannya program gerakan tanam cabai di musim kemarau, sehingga pada musim hujan pasokan cabe tetap terjaga. Tabel 2.2. 10 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi Tahunan di Provinsi NTT komoditas Inflasi
y oy
sum y oy
komoditas Deflasi
y oy
sum y oy
Sawi Putih
52.79
0.39
Besi Beton
(12.61)
(0.10)
Daging Ayam Ras
30.64
0.38
Seng
(10.39)
(0.10)
Kembung
19.96
0.34
Bayam
(25.04)
(0.07)
4.02
0.28
Cabai Rawit
(34.45)
(0.06)
16.41
0.28
Cabai Merah
(26.23)
(0.06)
(12.00)
(0.05)
(9.27)
(0.04)
Beras Rokok Kretek Filter Semen
9.31
0.24
Batako
57.52
0.22
Laptop/Notebook
8.23
0.18
Daun Singkong
(23.21)
(0.04)
Telur Ayam Ras
14.96
0.12
Minyak Goreng
(3.40)
(0.04)
Kontrak Rumah
4.94
0.12
Solar
(12.61)
(0.03)
Bawang Merah Nasi dengan Lauk
Sumber : BPS, diolah
22 | Bab II – Perkembangan Inflasi Daerah
22
2.1.2 Inflasi Bulanan
Secara bulanan, Provinsi NTT masih mengalami inflasi pada bulan Januari
2016 yang disebabkan oleh kondisi cuaca yang buruk, sehingga pasokan bahan pangan relatif berkurang. Pada bulan Februari dan Maret 2016 terjadi penurunan harga yang lebih disebabkan oleh kembali normalnya pasokan dan penurunan permintaan. Pada bulan Januari 2016, NTT masih mengalami inflasi 0,74% (mtm) terutama disebabkan oleh masih tingginya harga daging ayam ras karena berkurangnya pasokan ayam imbas dari kematian lebih dari tiga puluh persen ayam akibat dari adanya pergantian cuaca. Harga ikan juga cenderung naik karena adanya gelombang tinggi sehingga banyak nelayan tidak melaut. Harga cabai mengalami kenaikan tinggi yang lebih disebabkan oleh turunnya harga di bulan sebelumnya. Angkutan udara dan bensin menjadi penahan inflasi utama bulan Januari yang disebabkan oleh turunnya aktivitas masyarakat dan penurunan harga BBM. Tabel 2.3. Komoditas Penyumbang Inflasi Utama di Provinsi NTT Januari Komoditas Daging Ayam Ras Cabai Rawit Kembung Cabai Merah Bawang Merah Semen Nasi dengan Lauk Tomat Sayur Sawi Putih Kentang
Februari Inflasi Andil (%) (%) 11.50 0.15 131.29 0.15 8.59 0.13 90.15 0.12 45.72 0.11 4.02 0.11 3.24 0.07 18.57 0.06 7.58 0.06 29.42 0.06
Komoditas Tongkol/Ambu-ambu Rokok Kretek Filter Sawi Hijau Nasi dengan Lauk Bayam Tomat Sayur Buah Pinang Kentang Celana Panjang Jeans Rokok Putih
Maret Inflasi Andil (% ) (% ) 23.07 0.11 2.80 0.05 27.66 0.04 1.59 0.03 14.37 0.03 7.49 0.03 44.25 0.03 8.94 0.02 10.72 0.02 2.89 0.02
Komoditas Kangkung Sawi Putih Rokok Kretek Filter Tempe Bawang Putih Pisang Lengkuas Mie Minuman Ringan Ikan Bakar
Inflasi (% ) Andil (% ) 11.49 8.63 1.98 7.13 7.89 6.63 8.69 1.13 3.05 4.35
0.06 0.06 0.03 0.03 0.02 0.02 0.02 0.01 0.01 0.01
Sumber : BPS, diolah
Adanya musim angin masih membuat hasil tangkapan ikan berkurang di bulan Februari 2016. Produsen rokok juga mulai kembali menaikkan harga jual seiring dengan adanya kenaikan cukai rokok. Kembali normalnya pasokan daging ayam ras mampu menahan laju inflasi di Provinsi NTT. Batas akhir penyelesaian proyek pemerintah yang selesai di tanggal 20 Februari mampu menurunkan harga semen, besi beton dan seng. Penurunan 12 tarif listrik juga berkontribusi positif dalam menahan laju inflasi. Harga cabai juga kembali menurun setelah mengalami kenaikan signifikan di bulan Januari 2016. secara keseluruhan, pada bulan Februari 2016, NTT mengalami deflasi hingga 0,34% (mtm) dibanding bulan sebelumnya.
23 | Bab II – Perkembangan Inflasi Daerah
23
Tabel 2.4. Komoditas Penyumbang Deflasi Utama di Provinsi NTT Januari Komoditas Angkutan Udara Bensin Kangkung Bunga Pepaya Bayam Daun Singkong Solar Batako Buncis Layang/Benggol
Deflasi Andil (% ) (% ) (11.27) (0.34) (4.15) (0.13) (14.87) (0.10) (27.95) (0.05) (17.02) (0.05) (18.11) (0.04) (13.64) (0.04) (7.37) (0.03) (24.75) (0.03) (15.42) (0.02)
Februari Komoditas Daging Ayam Ras Semen Sawi Putih Tarip Listrik Cabai Rawit Cabai Merah Besi Beton Seng Daun Singkong Beras
Maret Deflasi Andil (% ) (% ) (14.89) (0.22) (6.13) (0.17) (17.08) (0.15) (3.63) (0.10) (30.21) (0.08) (15.26) (0.04) (3.52) (0.03) (3.12) (0.03) (13.92) (0.03) (0.36) (0.02)
Komoditas Daging Ayam Ras Angkutan Udara Kembung Kentang Cabai Merah Telur Ayam Ras Pepaya Muda Tomat Sayur Tarip Listrik Labu Siam/Jipang
Deflasi (% ) Andil (% ) (12.02) (4.36) (6.61) (34.16) (37.88) (5.75) (34.08) (10.22) (1.31) (34.20)
(0.15) (0.12) (0.11) (0.10) (0.08) (0.05) (0.05) (0.04) (0.04) (0.03)
Sumber : BPS, diolah
Provinsi NTT justru mengalami deflasi yang lebih tinggi hingga sebesar -0,76% (mtm) di saat secara nasional justru mengalami inflasi sebesar 0,19% (mtm) pada bulan Maret 2016. Kembali stabilnya pasokan ayam, penurunan tarif angkutan udara, maupun membaiknya cuaca membuat pemenuhan pasokan pangan membaik dan harga-harga dapat kembali normal. Adanya kenaikan harga kangkung lebih dikarenakan kembali ke harga normal. Kenaikan harga rokok karena kenaikan cukai rokok, sementara tempe dan bawang putih lebih disebabkan oleh kenaikan harga komoditas kedelai dan bawang putih dunia. Grafik 2.3. Perbandingan Inflasi 5 regional di Indonesia
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.4. Perbandingan Inflasi di Wilayah Balinusra
Sumber : BPS, diolah
Berdasarkan wilayah, inflasi di wilayah Balinusra masih cenderung stabil baik secara tahunan maupun triwulanan. Di wilayah Balinusra, inflasi tahunan NTT masih menjadi yang tertinggi dibanding Bali yang mengalami inflasi sebesar 3,66% (yoy) dan NTB yang mengalami inflasi sebesar 4,34% (yoy). Namun demikian, perbedaan inflasi dapat dikurangi seiring dengan deflasi yang terjadi di NTT pada triwulan I 2016, sedangkan Bali dan NTB justru mengalami inflasi.
24 | Bab II – Perkembangan Inflasi Daerah
24
2.2. Inflasi Berdasarkan Kelompok Komoditas Secara tahunan, Komoditas bahan makanan masih menjadi penyumbang utama inflasi di NTT. Tingginya kenaikan harga bahan makanan berpengaruh terhadap tingginya inflasi makanan jadi. Secara triwulanan, inflasi makanan jadi bahkan menjadi penyumbang utama inflasi di Provinsi NTT. Kembali lancarnya pasokan barang dan normalnya permintaan membuat secara triwulanan, NTT mengalami deflasi yang didorong oleh penurunan harga bahan makanan dan transportasi. Tiga kelompok komoditas mengalami deflasi dan empat lainnya mengalami inflasi. Penurunan harga dan tarif rata-rata terjadi pada kelompok komoditas bahan makanan, pendidikan dan transportasi. Kelompok komoditas yang mengalami inflasi antara lain makanan jadi, minuman dan tembakau, perumahan, sandang dan kesehatan. Hanya kelompok komoditas makanan jadi, minuman dan tembakau yang mengalami kenaikan cukup tinggi yang disebabkan oleh kenaikan makanan jadi karena kenaikan harga bahan makanan dan ongkos pegawai, serta kenaikan cukai rokok dan tembakau. Tabel 2.5. Inflasi di Provinsi NTT berdasarkan Kelompok Komoditas Komoditi INFLASI UMUM
IHK 2016
YOY
QTQ
Jan
Feb
Mar
125.9
125.5
124.6
5.04
(0.36)
MTM Jan
Feb
Mar
0.74
(0.34)
(0.76)
125.7
124.3
120.7
8.14
(1.09)
2.99
(1.13)
(2.86)
Makanan Jadi, Minuman dan 134.7
136.4
137.0
9.61
3.21
1.50
1.23
0.45
Perumahan, Air, Listrik, Gas d 124.3
122.9
122.8
2.91
0.12
1.27
(1.10)
(0.04)
Sandang
120.9
121.4
5.95
0.81
(0.38)
0.81
0.38
Bahan Makanan
120.0
Kesehatan
112.6
112.9
113.3
4.08
0.61
(0.09)
0.32
0.38
Pendidikan, Rekreasi dan Ola
123.6
123.6
123.3
3.49
(0.15)
0.11
(0.06)
(0.21)
Transportasi, Komunikasi dan 129.8
129.9
129.2
1.28
(3.24)
(2.74)
0.06
(0.57)
Sumber : BPS, diolah
2.2.1 Bahan Makanan Inflasi komoditas bahan makanan secara tahunan masih mengalami kenaikan tinggi sebesar 8,14% (yoy). Tingginya inflasi tahunan bahan makanan lebih disebabkan oleh tingginya inflasi daging dan hasil-hasilnya, sayur-sayuran, beras dan ikan yang mengalami kenaikan tinggi di akhir tahun 2015 dan masih berdampak hingga sekarang. Secara triwulanan, harga-harga komoditas bahan makanan sudah berangsur pulih yang terlihat dari adanya deflasi sebesar 1,09% (qtq). Penurunan harga daging ayam ras dan 19 komoditas sayur-sayuran menjadi pendorong utama deflasi di triwulan 25 | Bab II – Perkembangan Inflasi Daerah
25
I 2016. Namun demikian, tingginya kenaikan harga bumbu-bumbuan terutama bawang merah dan bawang putih menghambat tercapainya penurunan harga yang lebih tinggi. Grafik 2. 5. Inflasi Kelompok Komoditas Bahan Makanan secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.6. Inflasi Kelompok Komoditas Bahan Makanan per Sub Kelompok Komoditas
Sumber : BPS, diolah
Secara bulanan, penurunan harga kelompok komoditas bahan makanan terjadi pada bulan Februari dan Maret setelah pada bulan Desember 2015 dan Januari 2016 mengalami kenaikan yang sangat tinggi.
2.2.2 Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan Komoditas transportasi, komunikasi dan jasa keuangan di triwulan I 2016 menjadi penyumbang deflasi utama di Provinsi NTT. Adanya penurunan harga BBM, dan turunnya kebutuhan angkutan udara menjadi penyebab utama deflasi di triwulan I 2016. Grafik 2. 7. Inflasi Kelompok Komoditas Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.8. Inflasi Kelompok Komoditas Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan per Sub Kelompok Komoditas
Sumber : BPS, diolah
Secara tahunan, kelompok komoditas transportasi, komunikasi dan jasa keuangan masih mengalami inflasi walaupun cukup rendah. Kenaikan tarif angkutan 26 | Bab II – Perkembangan Inflasi Daerah
26
udara sebesar 4,08% menjadi penyebab utama inflasi, sedangkan penurunan harga solar terutama di triwulan I 2016 menjadi penahan utama laju inflasi komoditas. Secara bulanan, laju inflasi kelompok komoditas transportasi mengalami penurunan seiring dengan penurunan kebutuhan transportasi pada bulan Januari 2016 dan penurunan harga BBM bersubsidi. Permintaan transportasi kembali meningkat di bulan Februari seiring dengan adanya rapat koordinasi nasional antara pusat dan daerah. Pada bulan Maret 2016, kembali terjadi deflasi seiring dengan kembali menurunnya kebutuhan angkutan udara.
2.2.3 Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau Kelompok komoditas Makanan jadi, Minuman dan Tembakau pada triwulan I 2016 mengalami inflasi tinggi baik secara triwulanan maupun tahunan. Inflasi tahunan kelompok komoditas makanan jadi, minuman dan tembakau mencapai 9,61% (yoy) dan inflasi triwulanan mencapai 3,21% (qtq), menjadi penyumbang utama inflasi triwulan I 2016. Sejak akhir 2014 hingga triwulan I 2016, komoditas ini selalu mengalami inflasi terutama disebabkan oleh adanya kenaikan cukai rokok yang berdampak pada kenaikan harga rokok dan tembakau secara bertahap. Harga makanan jadi juga menunjukkan kenaikan yang cukup tinggi yang disebabkan oleh kenaikan harga bahan makanan. Grafik 2. 9. Inflasi Kelompok Komoditas Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.10. Inflasi Kelompok Komoditas Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau per Sub Kelompok Komoditas
Sumber : BPS, diolah
Harga minuman juga menunjukkan adanya kenaikan harga yang konstan. Kenaikan harga minuman lebih disebabkan oleh kenaikan dari pabrikan yang sebagian besar berasal dari Jawa. Kenaikan harga makanan jadi secara struktural lebih disebabkan oleh keterbatasan bahan baku, kenaikan harga bahan makanan maupun terbatasnya pelaku usaha makanan jadi, sehingga persaingan harga relatif rendah di NTT.
27 | Bab II – Perkembangan Inflasi Daerah
27
2.2.4 Komoditas Lainnya Inflasi komoditas perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar relatif rendah baik secara tahunan maupun triwulanan. Biaya bahan bakar dan tempat tinggal relatif stabil. Inflasi terutama terjadi pada komoditas penyelenggaraan rumah tangga dan perlengkapan rumah tangga yang disebabkan oleh kenaikan upah pembantu rumah tangga maupun kenaikan harga gelas, kasur dan barang elektronik seperti kulkas, mesin cuci dan dispenser. Inflasi pada kelompok komoditas sandang pada triwulan I 2016 sebesar 5,95 (yoy) meningkat dibanding inflasi di triwulan IV 2015 yang sebesar 5,71% (yoy). Peningkatan inflasi terutama disebabkan oleh kenaikan harga sandang anak-anak yang mengalami kenaikan sebesar 11,38% (yoy) dibanding tahun sebelumnya. Inflasi komoditas pendidikan, rekreasi dan olah raga secara triwulanan mengalami deflasi sebesar -0,15% (qtq). Secara triwulanan, komoditas ini mengalami inflasi 3,49% dengan pendorong utama inflasi adalah kenaikan biaya pendidikan yang mengalami inflasi 4,18% (yoy) dibanding tahun sebelumnya. Inflasi komoditas jasa kesehatan cenderung melambat dibanding akhir tahun 2015. Secara triwulanan, pergerakan harga juga cenderung stabil dengan kenaikan pada jasa kesehatan dan obat-obatan, sedangkan komoditas perawatan jasmani dan kosmetika justru mengalami deflasi dibanding triwulan sebelumnya.
2.3. Disagregasi Inflasi Berdasarkan disagregasi inflasi, administered prices dan volatile food mampu menjadi penyebab utama terjadinya deflasi di triwulan I 2016. Komoditas inflasi inti masih mengalami inflasi dengan pendorong utama kenaikan harga pada komoditas makanan jadi, kenaikan gaji asisten rumah tangga, minuman, perlengkapan rumah tangga dan sandang anak. Penurunan inflasi administered
prices dan volatile food terutama disebabkan oleh kembali normalnya aktivitas ekonomi, sehingga permintaan produk mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari penurunan tarif angkutan udara dan sebagian besar bahan makanan. Membaiknya cuaca dan kembali normalnya pasokan juga menjadi penyebab turunnya harga komoditas.
28 | Bab II – Perkembangan Inflasi Daerah
28
Grafik 2. 11. Disagregasi Inflasi dan Sumbangan Inflasi Tahunan Provinsi Nusa Tenggara Timur
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.12. Disagregasi Inflasi dan Sumbangan Inflasi Bulanan Provinsi Nusa Tenggara Timur
Sumber : BPS, diolah
2.3.1 Kelompok Volatile Food Inflasi komoditas yang bergejolak ( volatile food) pada triwulan I 2016 masih menjadi penyumbang utama inflasi di Provinsi NTT. Namun demikian, laju inflasi mengalami penurunan dibanding triwulan IV 2015. Secara bulanan, volatile
food mengalami deflasi di bulan Februari dan Maret 2016. Sepanjang triwulan I 2016, inflasi triwulanan kelompok volatile food mengalami deflasi -0,74% (qtq) dibanding triwulan sebelumnya. Tingginya inflasi tahunan volatile food disebabkan oleh masih tingginya kenaikan harga daging ayam ras yang sempat mengalami kekurangan pasokan di akhir tahun 2015. Walaupun pasokan sudah berangsur normal, harga belum bisa kembali ke posisi harga sebelumnya dikarenakan adanya kenaikan harga pakan. Tingginya harga sayur-sayuran di akhir tahun 2015 juga belum kembali ke posisi semula yang masih menunjukkan adanya inflasi sebesar 15,39% (yoy) dibanding tahun sebelumnya. Komoditas lain yang juga menjadi penyumbang utama inflasi antara lain kenaikan harga beras, bawang merah dan bawang putih, ikan segar, telur dan kacang kedelai. Penurunan harga sebenarnya sudah terjadi yang terlihat dari deflasi kelompok
volatile food di triwulan I sebesar -0,74% (qtq). Komoditas sayur-sayuran, daging dan hasil-hasilnya serta padi-padian telah menunjukkan adanya penurunan. Namun demikian, dikarenakan besar penurunan yang tidak sebesar kenaikan yang terjadi, inflasi volatile food secara tahunan tetap tinggi. Kurangnya pasokan bawang merah dan bawang putih serta kenaikan harga kacang kedelai dunia dan kurangnya pasokan ikan membuat deflasi yang terjadi tidak sebesar yang diharapkan.
29 | Bab II – Perkembangan Inflasi Daerah
29
2.3.2 Kelompok Administered Prices Secara triwulanan, Inflasi administered price menjadi penyumbang terbesar deflasi pada triwulan I 2016. Kembali normalnya tarif angkutan udara dan penurunan harga BBM dan tarif listrik menjadi penyebab utama deflasi
administered prices. Di sisi lain, kenaikan cukai rokok masih menjadi penghambat utama deflasi di triwulan I 2016. Secara tahunan, inflasi administered prices masih relatif stabil. Kenaikan inflasi hanya terjadi pada komoditas tembakau dan minuman beralkohol yang mengalami inflasi sebesar 14,87%, sedangkan komoditas bahan bakar dan transportasi cenderung tetap. Secara bulanan, inflasi administered prices hanya terjadi pada bulan Februari 2016 yang disebabkan oleh kenaikan cukai rokok dan naiknya tarif angkutan udara seiring dengan adanya acara rapat koordinasi pusat dan daerah. Minimnya frekuensi angkutan udara membuat setiap adanya kegiatan bertaraf nasional atau yang mendatangkan banyak orang membuat tarif angkutan juga mengalami kenaikan. Pada bulan Januari dan Maret 2016, kelompok administered
prices mengalami deflasi yang disebabkan oleh kembali normalnya permintaan angkutan udara dan penurunan subsidi BBM dan listrik.
2.3.3 Kelompok Inti (core ) Di saat kelompok administered prices dan volatile food
mengalami
deflasi, kelompok inti justru mengalami inflasi di triwulan I 2016 sebesar 0,90% (qtq). Kenaikan harga makanan jadi, gaji asisten rumah tangga dan minuman yang tidak beralkohol menjadi penyebab utama inflasi pada kelompok inti. Secara tahunan, inflasi core inflation sebesar 4,63% (yoy) dengan kenaikan harga makanan jadi, biaya tempat tinggal, minuman yang tidak beralkohol dan biaya pendidikan menjadi penyumbang utama inflasi. Secara bulanan, Inflasi inti mengalami inflasi pada bulan Januari seiring dengan kenaikan harga makanan jadi dan biaya asisten rumah tangga, mengalami deflasi di bulan Februari seiring dengan turunnya biaya tempat tinggal dan kembali mengalami inflasi di bulan Maret 2016 terutama disebabkan oleh meningkatnya harga makanan jadi, minuman tak beralkohol, sandang anak dan biaya perawatan jasmani dan kosmetika.
30 | Bab II – Perkembangan Inflasi Daerah
30
Grafik 2.13. Ekspektasi Harga Konsumen 3 dan 6 bulan ke Depan
Sumber : Bank Indonesia, diolah
2.4.
Inflasi NTT Berdasarkan Kota
2.4.1 Inflasi Kota Kupang Inflasi Kota Kupang pada triwulan I 2016 mengalami penurunan sebesar 0,40% (qtq) lebih besar dibanding inflasi NTT yang sebesar 0,36% (qtq). Besarnya penurunan inflasi Kota Kupang lebih disebabkan oleh tingginya inflasi di tahun 2015, sehingga harga kembali melakukan normalisasi dengan penurunan yang lebih besar. Besarnya inflasi Kota Kupang terlihat dari nilai inflasi tahunan yang mencapai 5,16% (yoy) lebih besar dibanding inflasi Provinsi NTT yang sebesar 5,04% (yoy). Pergerakan inflasi bulanan cenderung identik dengan inflasi bulanan Provinsi NTT lebih disebabkan oleh besarnya bobot Kota Kupang yang mencapai 87% dari total bobot inflasi di NTT. Grafik 2.14. Inflasi Tahunan Kota Kupang
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.15. Inflasi Triwulanan Kota Kupang
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.16. Inflasi Bulanan Kota Kupang
Sumber : BPS, diolah
Inflasi komoditas bahan makanan masih menjadi penyumbang utama inflasi di Kota Kupang terutama disebabkan oleh tingginya inflasi sayur-sayuran, daging dan hasil-hasilnya, ikan segar dan padi-padian. Komoditas makanan jadi menjadi penyumbang inflasi terbesar kedua yang disebabkan oleh inflasi semua unsur pembentuknya.
31 | Bab II – Perkembangan Inflasi Daerah
31
Deflasi yang terjadi pada triwulan I 2016 lebih disebabkan oleh kembali turunnya tarif angkutan udara setelah di akhir tahun 2015 mengalami kenaikan tinggi seiring dengan adanya even HKSN dan natal bersama yang dipusatkan di Kupang. Kenaikan harga terjadi pada komoditas makanan jadi seiring dengan kenaikan cukai rokok dan harga makanan jadi dan minuman. Adapun harga komoditas lainnya tidak mengalami perubahan yang berarti. Secara bulanan, inflasi masih terjadi di bulan Januari 2016. pada bulan Februari dan Maret 2016, Kota Kupang mengalami deflasi dengan deflasi bahan makanan dan transportasi sebagai penyebab utama penurunan harga. Tabel 2.6. Inflasi di Kota Kupang berdasarkan Kelompok Komoditas Komoditi
IHK 2016 Jan
Feb
Mar
INFLASI UMUM
127.1
126.6
125.6
Bahan Makanan
128.4
126.7
YOY
QTQ
MTM Jan
Feb
Mar
5.16
(0.40)
0.78
(0.42)
(0.76)
123.0
8.70
(0.72)
3.61
(1.32)
(2.89)
Makanan Jadi, Minuman dan 134.1
135.8
136.3
10.00
3.12
1.41
1.31
0.38
Perumahan, Air, Listrik, Gas d 125.3
123.7
123.6
2.66
(0.35)
1.00
(1.27)
(0.07)
Sandang
121.5
122.5
123.1
6.44
0.73
(0.52)
0.84
0.42
Kesehatan
112.7
113.1
113.6
4.16
0.65
(0.16)
0.36
0.44
(0.18)
0.13
(0.07)
(0.25)
(3.24)
(2.85)
0.08
(0.48)
121.1
121.0
120.7
3.02
Transportasi, Komunikasi dan 132.0
132.1
131.5
1.61
Pendidikan, Rekreasi dan Ola
Sumber : BPS, diolah
2.4.2
Inflasi Kota Maumere Inflasi Kota Maumere secara tahunan sebesar 4,16% (yoy), masih lebih
rendah dibanding inflasi NTT yang sebesar 5,04% (yoy). Namun demikian, gap inflasi mengalami penurunan seiring dengan deflasi triwulan I 2016 yang hanya sebesar 0,09% (qtq), lebih rendah dibanding deflasi NTT. Rendahnya deflasi terutama disebabkan oleh kondisi inflasi di bulan Februari yang masih mengalami inflasi, dan di saat yang sama Kota Kupang justru mengalami deflasi. Grafik 2.17. Inflasi Tahunan Kota Maumere
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.18. Inflasi Triwulanan Kota Maumere
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.19. Inflasi Bulanan Kota Maumere
Sumber : BPS, diolah
32 | Bab II – Perkembangan Inflasi Daerah
32
Cukup rendahnya inflasi di Kota Maumere membuat penurunan harga juga tidak terjadi secara signifikan. Secara tahunan, inflasi Kota Maumere lebih disebabkan oleh kenaikan harga bahan makanan, makanan jadi, minuman dan tembakau serta kenaikan biaya tempat tinggal. Berdasarkan bahan makanan, kenaikan terbesar justru terjadi pada kenaikan harga ayam kampung hidup yang naik hingga 72,23% (yoy) dan menyumbang inflasi hingga 2,16% (sum-yoy). Adanya pembatasan supplier pembelian DOC di awal tahun 2015 masih menjadi penyebab utama melambungnya harga ayam hidup. Ikan selar diawetkan juga mengalami kenaikan signifikan hingga 213,49% (yoy) dibanding tahun sebelumnya yang menyumbang inflasi bahan makanan hingga 0,33% (sum-yoy). Di sisi lain, turunnya harga sayur-sayuran dan ikan segar mampu menahan laju inflasi bahan makanan. Kenaikan harga makanan jadi, minuman dan tembakau lebih disebabkan oleh kenaikan cukai rokok yang cukup besar, sehingga harga jual meningkat hingga 7,06% (qtq) dan berkontribusi terhadap inflasi hingga 0,36% (sum-qtq). Adapun kenaikan harga makanan jadi lebih disebabkan oleh kenaikan harga yang telah terjadi di bulan Juli-Agustus 2015. Biaya tempat tinggal pada komoditas perumahan menjadi komoditas penyumbang inflasi terbesar lainnya, sedangkan komoditas lainnya cenderung stabil. Secara triwulanan, hanya komoditas bahan makanan dan transportasi yang mengalami deflasi. Namun demikian, dikarenakan sumbangan terhadap total konsumsi yang cukup besar, kedua kelompok komoditas tersebut mampu menurunkan inflasi di Kota Maumere. Kembali normalnya permintaan dan penurunan penumpang diperkirakan menjadi penyebab utama deflasi pada kedua kelompok komoditas tersebut. Tabel 2.7. Inflasi di Kota Maumere berdasarkan Kelompok Komoditas Komoditi INFLASI UMUM
IHK 2016
YOY
MTM
Jan
Feb
Mar
118.1
118.4
117.5
4.16
(0.09)
0.42
(3.84) 3.77
107.9
108.3
105.5
4.05
Makanan Jadi, Minuman dan 139.1
140.2
141.4
7.21
Bahan Makanan
QTQ
Jan
Feb
Mar
0.27
(0.77)
(1.57)
0.34
(2.64)
2.10
0.74
0.89
Perumahan, Air, Listrik, Gas d 117.5
117.6
117.8
4.66
3.49
3.23
0.10
0.15
Sandang
109.7
110.4
110.5
2.48
1.40
0.67
0.58
0.14
Kesehatan
111.6
111.6
111.6
3.56
0.35
0.35
-
-
Pendidikan, Rekreasi dan Olah 140.4
140.5
140.4
6.21
-
-
0.01
(0.01)
Transportasi, Komunikasi dan 115.6
115.5
114.0
(1.14)
(3.24)
(1.89)
(0.08)
(1.30)
Sumber : BPS, diolah
33 | Bab II – Perkembangan Inflasi Daerah
33
2.5. Aktivitas Pengendalian Inflasi oleh TPID Selama triwulan I 2016, TPID tidak melakukan rapat baik teknis maupun HLM. Hal ini lebih disebabkan oleh karakter inflasi di NTT yang memang cenderung mengalami penurunan di awal tahun, sehingga langkah-langkah aksi dan mitigasi dinilai belum terlalu diperlukan. Dalam rangka mengantisipasi adanya potensi kerawanan pangan, TPID baru melakukan perencanaan yang diadakan pada bulan April 2016 melalui rapat teknis. Gambar 2.1. Kegiatan TPID Provinsi NTT Triwulan I 2016 dan Sebaran Pembentukan TPID
Sumber : Sekretariat TPID, diolah
34 | Bab II – Perkembangan Inflasi Daerah
34
Perkembangan kondisi potensi rawan pangan di NTT menunjukkan kondisi yang membaik. Walaupun total gagal tanam meningkat menjadi 59,7 ribu ha dibanding posisi Januari 2016 yang sebesar 34,8 ribu ha, namun dibanding total luas lahan tanam, prosentase gagal tanam mengalami penurunan menjadi hanya 11,71% dibanding bulan Januari yang mencapai 30,5%. Total luas tanam tanaman pangan hingga posisi bulan April 2016 mencapai 509,72 ribu ha, dengan penanaman terbesar pada komoditas padi dengan total luas tanam sebesar 247 ribu ha, disusul oleh tanaman jagung yang seluas 232 ribu ha, ubi kayu seluas 26 ribu ha dan ubi jalar dengan total tanam seluas 5 ribu ha. Kabupaten Sikka menjadi Kabupaten yang paling berpotensi mengalami rawan pangan yang disebabkan oleh kegagalan tanam 66,0% total tanaman pangan yang ditanam. Dari total 13 ribu ha lahan tanaman pangan, seluas 8,6 ribu ha mengalami gagal tanam. Kabupaten Timor Tengah Utara, Alor, dan Lembata juga menjadi daerah dengan prosentase gagal tanam yang lebih dari 30% dari total luas tanam. Daerah dengan kegagalan tanam cukup tinggi lainnya adalah Flores Timur dan Ende. Dari total 22 kabupaten/kota, terdapat 11 Kabupaten/kota yang relatif rendah prosentase gagal tanam yang dialami. Untungnya, sebagian besar daerah yang relatif aman dari gagal tanam merupakan kantong produksi, sehingga secara total, gangguan produksi relatif terjaga. Permasalahan yang timbul saat ini lebih dikarenakan adanya penyakit tanaman yang membuat produktifitas mengalami penurunan. Gambar Boks 2.1. Peta Daerah dengan Potensi kerusakan tanam Posisi 29 April 2016
Sumber : Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTT, diolah
Berdasarkan komoditas, potensi gagal tanam tertinggi dialami oleh tanaman jagung yang mencapai 15,93% dari total luas tanam atau sebesar 37 ribu ha. Tanaman padi mengalami gagal tanam yang cukup besar hingga 20 ribu ha atau setara dengan 8,23% dari total luas tanam. Ubi kayu dan Ubi jalar juga mengalami gagal tanam namun tidak terlalu besar dikarenakan luas tanam yang juga relatif kecil. Dari total lahan yang gagal tanam tersebut, petani berpotensi mengalami kerugian lebih kurang setara dengan 700 miliar rupiah.
Boks 2. | El Nino dan Potensi Rawan Pangan di NTT
35
Gambar Boks 2.2. Total Luas Tanam dan Gagal Tanam pada Tanaman Pangan di NTT
Sumber : Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTT, diolah
Grafik Boks 2.1. Hubungan Alokasi Pupuk Bersubsidi dengan Produktivitas Padi
Sumber : Dinas Pertanian dan BPS, diolah
Untuk meminimalisir potensi kerugian yang ada, maka peningkatan produktifitas pada lahan yang tidak terdampak gagal tanam diharapkan dapat menjadi fokus utama. Berdasarkan data perbandingan penyaluran alokasi pupuk subsidi per ha lahan dengan produktifitas menunjukkan adanya korelasi positif antara keduanya. Semakin banyak pemupukan lahan per ha, maka produktifitas juga cenderung meningkat. Berdasarkan data tersebut juga terlihat ada permasalahan terkait rendahnya produktifitas padi di NTT yang salah satunya juga disebabkan oleh alokasi pupuk subsidi per ha lahan yang relatif minim. Grafik Boks 2.2. Prakiraan Curah Hujan Bulan Mei 2016
Sumber : BMKG
Grafik Boks 2.3. Prakiraan Curah Hujan Bulan Juni 2016
Sumber : BMKG
Grafik Boks 2.4. Prakiraan Curah Hujan Bulan Juli 2016
Sumber : BMKG
Estimasi cuaca 3 bulan ke depan menunjukkan adanya potensi kemarau terutama mulai bulan Juni 2016 di NTT. Adanya hujan beberapa hari di bulan Mei 2016 lebih disebabkan oleh adanya anomali cuaca dan akan segera berakhir. Berdasarkan prakiraan cuaca BMKG, terlihat bahwa potensi kering atau curah hujan rendah terjadi di Bulan Juli 2016, bahkan terendah dibanding provinsi lain. Dengan kondisi kering tersebut, maka potensi gagal tanam/panen untuk tanaman pangan yang masih ada juga akan cukup besar. Walaupun menteri pertanian telah menyampaikan bahwa pada bulan Juli September berpotensi terjadi La Nina, namun BMKG belum menyampaikan rilis resmi terkait hal tersebut. Walaupun 90% total luas tanaman pangan sudah ditanam, namun potensi kerawanan pangan harus tetap diperhatikan hingga musim hujan kembali tiba. Untuk meminimalisir potensi rawan pangan tersebut, maka pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan bantuan pangan dari cadangan beras kabupaten/kota sebanyak 100 ton, pemerintah provinsi memiliki cadangan beras sebanyak 200 ton dan BULOG masih memiliki cadangan beras lebih dari 30 ribu ton. Bahkan saat ini terdapat rencana untuk kembali mendatangkan beras dari Jawa.
Boks 2. | El Nino dan Potensi Rawan Pangan di NTT
36
PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN Kinerja perbankan dan sistem pembayaran mengalami perlambatan yang terlihat dari perlambatan aset perbankan, DPK dan net inflow sistem pembayaran • Indikator kinerja perbankan secara year-on-year (yoy) mengalami perlambatan, sementara itu secara triwulanan (qtq) tumbuh lebih baik dari periode sebelumnya. • Seiring dengan melambatnya kinerja perbankan, indikator peredaran uang tunai juga menunjukkan adanya perlambatan. Sementara itu, transaksi kliring mengalami peningkatan lebih dikarenakan kenaikan plafon penggunaan kliring hingga 500 juta rupiah. • Kesehatan perbankan masih menunjukkan kondisi perbankan yang sehat yang terlihat dari nilai NPL sebesar 1,8% di bawah 5%.
3.1. KONDISI UMUM Kinerja perbankan di Provinsi NTT secara year-on-year pada triwulan I 2016 masih mengalami perlambatan. Hal ini tercermin dari beberapa indikator kinerja perbankan, seperti Aset pada triwulan ini hanya mampu tumbuh sebesar 3,80% (yoy) atau mencapai Rp.31,47 triliun. Dana Pihak Ketiga (DPK) juga melambat 12,09% (yoy) atau dengan nominal mencapai Rp.22,54 triliun. Namun demikian, pertumbuhan penyaluran kredit perbankan di NTT secara umum menunjukkan peningkatan. Selain itu, angka rasio likuiditas atau Loan to Deposit Ratio (LDR) pada triwulan I 2016 sebesar 88,35% lebih rendah dari triwulan IV 2015 yang mencapai 89,98%. Kondisi NPL juga masih menunjukkan kondisi perbankan yang sehat walaupun terjadi kenaikan dibanding triwulan sebelumnya. Grafik 3.1. Perkembangan Kinerja Perbankan 35.000 30.000 25.000
30,00%
94%
25,00%
92%
20,00%
20.000
15,00%
15.000
Grafik 3.2. Perkembangan LDR dan NPL
88% 84%
5.000
82%
0
0,00%
80%
II
III
IV
I
2013 Aset (miliar) y-o-y aset
Sumber: Bank Indonesia Diolah
II
III
IV
I
2014 Kredit (miliar) y-o-y kredit
II
III
2015
IV
I 2016
DPK (miliar)
1,5%
86%
5,00% I
2,0%
90%
10,00%
10.000
2,5%
1,0% 0,5%
78%
0,0% I
II
III
IV
I
2013
II
III
I
2014 LDR
y-o-y DPK
IV
II
III
IV
2015
I 2016
NPL
Sumber: Bank Indonesia Diolah
| Bab III – Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran
37
Secara umum perkembangan sistem pembayaran di provinsi NTT pada triwulan I 2016 menunjukkan perlambatan. Hal ini didorong oleh melambatnya sistem pembayaran tunai, dan non tunai dalam hal ini BI-RTGS. Sementara itu, SKNBI hingga triwulan I 2016 mengalami perkembangan yang signifkan. Sistem Pembayaran Tunai mengalami net-inflow atau jumlah uang masuk di Bank Indonesia lebih besar daripada uang yang beredar. Net-inflow Sistem Pembayaran Tunai di NTT pada triwulan ini sebesar Rp.1,50 triliun atau 3,50% (yoy) lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu pada periode yang sama. Besarnya Net inflow pada periode ini merupakan pola pergerakan sistem pembayaran tunai setiap awal tahun. Selain itu, terjadi faktor siklikal di awal tahun karena adanya arus balik dana perbankan dan masyarakat ke Bank Indonesia pasca tingginya kebutuhan uang kartal pada periode Natal dan Liburan akhir tahun 2015. Pada triwulan I 2016 uang palsu yang ditemukan atau dilaporkan di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT menurun dibanding triwulan sebelumnya. Pada triwulan ini uang palsu yang dilaporkan sebanyak 25 lembar. Adanya laporan uang palsu di Bank Indonesia, mencerminkan semakin bertambahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat serta perbankan tentang ciri-ciri keaslian uang rupiah. Sistem Pembayaran Non Tunai fasilitas Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) di NTT pada triwulan I 2016 dari sisi volume maupun nominal mengalami peningkatan. Selain itu, pertumbuhan transaksi SKNBI di NTT juga masih tetap berada di atas pertumbuhan Nasional. Peningkatan volume dan nominal transaksi pembayaran melalui SKNBI merupakan dampak diimplementasikannya sistem BI-RTGS Gen II pada tanggal 16 November 2015 dimana batasan transaksi pembayaran dengan menggunakan sistem BI-RTGS yaitu minimal Rp.100 juta, sementara sampai dengan 30 Juni 2016 tidak terdapat batasan transfer dana dengan menggunakan SKNBI. Sementara itu, transaksi BI-RTGS pada triwulan I 2016 mencapai Rp.8,69 triliun, masih terus mengalami penurunan bila dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya. Untuk diketahui bahwa penurunan transaksi pembayaran melalui BI-RTGS disebabkan oleh perubahan ketentuan tentang BI-RTGS dan SKNBI. Hal ini sejalan dengan arah pengembangan sistem BI-RTGS untuk transaksi yang bersifat high value.
| Bab III – Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran
38
Grafik 3.3. Perkembangan SKNBI 40,00%
500,00%
Y-o-Y 30,00%
400,00%
20,00%
300,00%
10,00% 200,00% 0,00% 100,00%
-10,00%
0,00%
-20,00% -30,00%
-100,00% Volume Kliring
Nominal Kliring
Volume Cek/BG Kosong
Nominal Cek/BG Kosong
Sumber: Bank Indonesia Diolah
3.2. PERKEMBANGAN KINERJA BANK UMUM Pada Triwulan I 2016 perkembangan kinerja ( year-on-year) bank umum secara Nasional maupun di Provinsi NTT mengalami perlambatan. Perlambatan kinerja perbankan di NTT didorong oleh melambatnya komponen Aset sebesar 3,53% (yoy) dan penghimpunan DPK sebesar 11,84% (yoy). Sementara itu, penyaluran Kredit bank umum di NTT berdasarkan lokasi proyek mengalami peningkatan sebesar 15,03% (yoy), lebih tinggi dari triwulan IV 2015 sebesar 14,61% (yoy).
3.2.1. Aset dan Aktiva Produktif Perkembangan Aset Bank Umum di NTT maupun secara Nasional pada triwulan I 2016 mengalami perlambatan. Aset Bank Umum di NTT pada triwulan I 2016 mencapai Rp.30,93 triliun, masih menunjukkan perlambatan bila dibandingkan dengan periode sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan Aset Bank Pemerintah dan Bank Swasta. Aset Bank Pemerintah pada triwulan ini mengalami perlambatan paling besar yakni dari 12,18% (yoy) pada triwulan IV 2015 menjadi 3,11% (yoy). Sementara itu, Aset Bank Swasta juga melambat sebesar 6,94% (yoy) pada triwulan I 2016, atau lebih rendah dari triwulan IV 2015 yang sebesar 8,69% (yoy). Selain itu, perlambatan Aset perbankan di NTT juga disebabkan oleh menurunnya aset antar kantor dan penempatan pada bank lain.
| Bab III – Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran
39
Grafik 3.4. Komposisi Aset Berdasarkan Kelompok Bank
11,39%
BANK PEMERINTAH BANK SWASTA NASIONAL
88,61%
Sumber: Bank Indonesia Diolah
3.2.2. Dana Pihak Ketiga Pada triwulan I 2016 penghimpunan DPK di NTT mencapai Rp.22,14 triliun atau tumbuh melambat. Walaupun melambat, pertumbuhan DPK di NTT masih berada di atas pertumbuhan DPK Nasional. Pertumbuhan DPK Bank Umum pada periode ini mengalami perlambatan sebesar 11,84% (yoy), lebih rendah bila dibandingkan triwulan IV 2015 yang mencapai 16,84% (yoy). Perlambatan tersebut didorong oleh melambatnya komponen Giro sebesar 4,42% (yoy) dan Deposito sebesar 13,41% (yoy), lebih rendah bila dibandingkan dengan triwulan IV 2015. Sementara itu, komponen Tabungan pada periode ini hanya mengalami sedikit perlambatan. Berdasarkan golongan pemilik, golongan Perorangan memiliki bagian terbesar dalam DPK, diikuti oleh golongan Pemerintah, Swasta dan Lainnya. Berdasarkan pertumbuhannya, golongan Swasta mengalami pertumbuhan paling melambat dibandingkan golongan Lainnya. Grafik 3.5. Share Deposito Berdasarkan Jangka Waktu
Grafik 3.6. Komposisi DPK Berdasarkan Golongan Nasabah
70,00%
Giro
Deposito
Tabungan
( RP M I L IA R)
9.320
60,00% 50,00% 40,00%
4.697
30,00%
3.525
20,00%
2.089
10,00% 0,00% <=1 BULAN
<=3 BULAN PEMERINTAH
<=6 BULAN SWASTA
Sumber: Bank Indonesia Diolah
PERORANGAN
<=12 BULAN LAINNYA
>12 BULAN
150 P E M E R I N TA H
1.016
467 279
SW ASTA
Sumber: Bank Indonesia Diolah
539 P E R O R A N GA N
| Bab III – Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran
13
41
7
L AI NNYA
40
Kelompok Tabungan masih memiliki porsi yang paling besar yakni sebesar 47,39%, diikuti oleh Deposito sebesar 26,80% dan Giro 25,81%. Komponen Tabungan masih didominasi oleh golongan Perorangan sebesar 88,82%, Swasta 9,68%, Pemerintah 1,43%, dan Lainnya 0,07%. Berdasarkan komposisi Deposito pada triwulan I 2016, golongan Perorangan mendapat share terbesar dibandingkan golongan Pemerintah, Swasta, dan Lainnya. Pertumbuhan golongan Pemerintah pada triwulan ini mengalami perlambatan yang paling tinggi yaitu sebesar 12,30% (yoy), kemudian Lainnya 5,31% (yoy). Sementara itu, golongan Swasta meningkat menjadi 8,56% (yoy) dan Perorangan 13,72% (yoy) lebih tinggi dari triwulan IV 2015. Pada triwulan I 2016, andil terbesar pada komponen Giro adalah golongan Pemerintah, selanjutnya Perorangan, Swasta dan Lainnya. Namun demikian, golongan Swasta dan Perorangan menjadi pendorong melambatnya Giro pada triwulan ini. Sementara itu, pertumbuhan Giro golongan Lainnya dan Pemerintah masing-masing tumbuh sebesar 13,51% (yoy) dan 0,59% (yoy) lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Grafik 3.7. Pertumbuhan DPK 40%
Grafik 3.8. Komposisi DPK Share
100%
25%
90%
35%
80%
30%
70%
50,2%
45,6%
47,4%
55,9%
45,9%
42,0%
43,0%
26,4%
28,7%
27,6%
55,3%
47,4%
60%
25%
15%
50%
20%
40% 30%
15%
25,5%
20%
10%
10%
25,0%
26,0%
24,1%
24,1%
24,2%
29,4%
I-2014
II-2014 III-2014 IV-2014 I-2015
26,7%
20,0%
27,6%
29,3%
29,4%
26,8%
0% IV-2013 I-2014 II-2014 III-2014 IV-2014 I-2015 II-2015 III-2015 IV-2015 I-2016 Giro (yoy) Deposito (yoy) Tabungan (yoy)
Sumber: Bank Indonesia Diolah
10% 5%
20,7%
25,8%
0%
5%
20%
0% Giro
Deposito
II-2015 III-2015 IV-2015 I-2016 Tabungan
DPK (yoy)
Sumber: Bank Indonesia Diolah
Ditinjau dari suku bunga, pada triwulan I 2016 rata-rata suku bunga simpanan mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan IV 2015. Rata-rata suku bunga simpanan pada triwulan I 2016 sebesar 3,40%, sedikit lebih rendah dibandingkan triwulan IV 2015 yang mencapai 3,42%. Penurunan suku bunga tidak terlalu berdampak terhadap jumlah nasabah yang melakukan simpanan pada triwulan ini yang meningkat 13,02% (yoy) lebih tinggi dibandingkan triwulan IV 2015 yang hanya mencapai 8,66% (yoy).
| Bab III – Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran
41
Grafik 3.9. Suku Bunga Simpanan 9,00% 8,00% 7,00% 6,00% 5,00% 4,00% 3,00% 2,00% 1,00% 0,00% IV-2013 I-2014 II-2014 III-2014 IV-2014 I-2015 II-2015 III-2015 IV-2015 I-2016 Suku Bunga Giro
Suku Bunga Deposito
Suku Bunga Tabungan
Sumber: Bank Indonesia Diolah
3.2.3. Penyaluran Kredit / Pembiayaan Pada triwulan I 2016 penyaluran kredit perbankan berdasarkan lokasi proyek di NTT mencapai Rp.20,52 triliun atau mengalami peningkatan, sementara secara Nasional mengalami perlambatan. Pertumbuhan kredit yang meningkat pada triwulan I 2016 didorong oleh pertumbuhan kredit Modal Kerja dan Konsumsi. Namun demikian, kredit Investasi mengalami perlambatan. Peningkatan kredit Modal Kerja dan Konsumsi menggambarkan adanya gairah pengembangan usaha dan semakin tingginya daya beli masyarakat di NTT. Grafik 3.10. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Jenis
Grafik 3.11. Komposisi Kredit Berdasarkan Jenis
Penggunaan
Penggunaan
60,00%
25,00%
50,00%
20,00%
40,00%
15,00%
30,00% 10,00%
20,00%
5,00%
10,00% 0,00%
0,00% I
II
III
IV
I
II
III
2013
2014
y-o-y kredit
y-o-y modal kerja
Sumber: Bank Indonesia Diolah
IV
I
II
III 2015
y-o-y investasi
IV
I
Modal Kerja; 29,85% Investasi; 7,64% Konsumsi; 62,51%
2016 y-o-y konsumsi
Sumber: Bank Indonesia Diolah
Berdasarkan Sektor Ekonomi, pada triwulan I 2016 terdapat beberapa sektor yang mendorong meningkatnya penyaluran Kredit, diantaranya Kredit Sektor Industri Pengolahan yang meningkat sebesar 144,34% (yoy), sektor Penyediaan Akomodasi dan Penyediaan Makan Minum juga mengalami peningkatan sebesar 61,27% (yoy). Kemudian Sektor Perikanan meningkat sebesar 58,61% (yoy) lebih tinggi dari triwulan IV 2015. | Bab III – Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran
42
Grafik 3.12. Komposisi Kredit Berdasarkan Sektor Ekonomi
63,89%
Penerima Kredit Bukan Lapangan Usaha
25,63%
Perdagangan Besar Dan Eceran
2,66% 2,19% 1,01%
Konstruksi Penyediaan Akomodasi Dan Penyediaan Makan Minum Pertanian, Perburuan Dan Kehutanan
Sumber: Bank Indonesia Diolah
Berdasarkan sektor usaha, pangsa penyaluran kredit terbesar pada triwulan I 2016 di Provinsi NTT adalah sektor penerima kredit bukan lapangan usaha (konsumsi), kemudian sektor perdagangan besar dan eceran, serta sektor konstruksi. Secara spasial, Kota Kupang mendapat penyaluran kredit terbesar dengan pangsa 23,41%, diikuti oleh Kabupaten Kupang 9,82%, Kabupaten Belu 8,09%, Kabupaten Sikka 6,52%, dan Kabupaten Ende 5,62%. Sementara itu, berdasarkan pertumbuhan kredit, Kabupaten/Kota yang menjadi pendorong utama pertumbuhan kredit di NTT adalah Kabupaten Ngada, Timor Tengah Utara dan Manggarai.
3.2.4. Suku Bunga Pada triwulan I 2016 rata-rata suku bunga kredit Bank Umum di NTT mengalami penurunan. Berdasarkan jenis penggunaan, suku bunga Kredit Investasi mengalami penurunan yang terbesar, kemudian diikuti oleh suku bunga Kredit Modal Kerja. Namun demkian, pada triwulan ini suku bunga Kredit Konsumsi mengalami sedikit peningkatan dibandingkan dengan Triwulan IV 2015. Berdasarkan nilai suku bunga, kredit Konsumsi juga memiliki suku bunga tertinggi dibandingkan suku bunga kredit yang lain. Dengan adanya penurunan suku bunga Kredit Investasi dan Modal Kerja ini, diharapkan dapat mendorong laju pertumbuhan kredit terutama dalam penggunaan Modal Kerja dan Investasi, sehingga masyarakat semakin tertarik untuk berinvestasi serta dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi NTT.
| Bab III – Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran
43
Grafik 3.13. Perkembangan Kredit, NPL dan BI Rate 25,00% 20,00%
Grafik 3.14. Perkembangan Kredit Berdasarkan Suku Bunga 18,00%
16%
16,00%
14%
14,00%
12%
12,00%
15,00%
10%
10,00%
8%
8,00%
10,00%
6%
6,00% 5,00% 0,00% I
II
III
IV
I
2013
II
III
IV
2014 Kredit (yoy)
Ratio NPL
I
II
III
IV
2015
I
4,00%
4%
2,00%
2%
0,00%
0% I
2016
II
IV
I
II
2013
BI Rate
Modal Kerja
Sumber: Bank Indonesia Diolah
III
III
IV
I
II
2014 Investasi
Konsumsi
III
2015 Rata-rata
IV
I 2016 BI Rate
Sumber: Bank Indonesia Diolah
3.2.5. Kredit Usaha Mikro Kecil Menengah Penyaluran kredit UMKM di NTT pada triwulan I 2016 mengalami peningkatan 18,22% (yoy) atau dengan nominal sebesar Rp.6,19 triliun. Selain itu, pertumbuhan kredit UMKM di NTT pada triwulan ini juga masih berada di atas pertumbuhan Nasional. Rasio kredit UMKM dibandingkan dengan total kredit yang disalurkan Bank Umum di NTT pada triwulan I 2016 mencapai 31,64%, sedikit lebih tinggi dibanding triwulan IV 2015. Peningkatan pertumbuhan Kredit UMKM pada triwulan I 2016 didorong oleh meningkatnya penyaluran Kredit Kecil sebesar 12,19% (yoy) dan Kredit Mikro sebesar 17,15% (yoy) lebih tinggi dari triwulan IV 2015. Sementara itu, Kredit Menengah pada triwulan ini mengalami perlambatan sebesar 28,60% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan IV 2015 yang mencapai 40,71% (yoy). Grafik 3.15. Komposisi Kredit UMKM
MIKRO 26,08% MENENGAH 31,35% KECIL 42,57%
Grafik 3.16. Share Kredit UMKM Berdasarkan Sektor Ekonomi
Perdagangan Besar Dan Eceran; 73,41% Kons truksi; 7,09% Penyediaan Akomodasi Dan Makan Mi num; 3,10% Perta nian, Perburuan Dan Kehuta nan; 2,74% Rea l Estate, Usaha Persewaan, Da n Jasa Perusahaan; 2,70%
Sumber: Bank Indonesia Diolah
Sumber: Bank Indonesia Diolah
Berdasarkan penggunaan, Kredit UMKM untuk Modal Kerja dan Investasi pada periode ini sama-sama mengalami peningkatan lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. | Bab III – Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran
44
Sementara itu, dilihat dari sisi sektor ekonomi pertumbuhan Kredit UMKM didorong oleh sektor Listrik, Gas dan Air, sektor Perikanan, dan Konstruksi. Grafik 3.18. Perkembangan UMKM Berdasarkan
Grafik 3.17. Perkembangan UMKM
Jenis Penggunaan
7.000,00
35,00%
60,00%
6.000
6.000,00
30,00%
50,00%
5.000
5.000,00
25,00%
40,00%
4.000
4.000,00
20,00%
3.000,00
15,00%
30,00%
3.000
20,00%
2.000 1.000
2.000,00
10,00%
1.000,00
5,00%
10,00%
0,00%
0,00%
I
II
III
2013 KREDIT UMKM
IV
I
II
III
2014 NPL Kredit UMKM
IV
I
II
III
2015 Kredit UMKM (yoy)
IV
I
I
2016 Ratio NPL UMKM
II
III
IV
2013 MODAL KERJA
I
II
III 2014
INVESTASI
IV
I
II
III
2015 MODAL KERJA (YOY)
IV
I
2016 INVESTASI (YOY)
Sumber: Bank Indonesia Diolah
Sumber: Bank Indonesia Diolah
Berdasarkan komposisi kredit UMKM, Kredit Modal Kerja (KMK) mendominasi penyaluran kredit ini dengan porsi sebesar 83,84% dari total kredit UMKM. Sementara itu, kredit Investasi hanya sebesar 16,16% dari total kredit UMKM.
3.3. Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Pada triwulan I 2016 pertumbuhan kinerja Bank Perkreditan Rakyat (BPR) juga mengalami perlambatan. Perlambatan tersebut didorong oleh melambatnya Aset dan Kredit BPR, sementara itu DPK BPR mengalami peningkatan. Sementara itu, penyaluran Kredit BPR juga mengalami perlambatan terutama disebabkan oleh melambatnya kredit Modal Kerja dan Investasi. Tabel 3.1.Perkembangan Kinerja BPR Indikator Utama
2013
2014
2015
2016
I
II
III
IV
I
Aset (miliar)
336,87
415,26
436,99
454,41
481,56
509,90
534,58
y-o-y aset
34,35%
23,27%
27,30%
26,50%
28,90%
22,79%
22,33%
Kredit (miliar)
255,73
318,54
330,21
348,80
353,59
365,85
368,21
y-o-y kredit
45,80%
24,56%
22,27%
18,59%
15,45%
14,85%
11,51%
DPK (miliar)
247,60
308,97
311,39
330,86
352,91
381,16
402,54
y-o-y DPK
33,00%
24,79%
24,45%
28,69%
28,43%
23,36%
29,27%
LDR
84,26%
79,40%
80,46%
82,38%
80,52%
76,70%
77,55%
NPL
4,45%
4,76%
5,46%
5,71%
6,05%
5,40%
6,16%
Walaupun
beberapa
indikator
kinerja
BPR
mengalami
perlambatan,
penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) oleh BPR pada triwulan ini mengalami peningkatan. Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya kelompok Deposito dan Tabungan yang masing-masing sebesar 39,76% (yoy) dan 8,20% (yoy) lebih tinggi dibandingkan triwulan IV 2015. | Bab III – Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran
45
Grafik 3.19. Komposisi DPK BPR
Grafik 3.20. Pertumbuhan DPK BPR 300,00
45,00% 40,00%
250,00
35,00%
200,00 Ta bungan 30,64%
30,00% 25,00%
150,00
20,00%
100,00 Deposito 69,36%
15,00% 10,00%
50,00
5,00%
-
0,00% I
II
III
IV
I
II
2013
IV
I
II
2014
Deposito
Sumber: Bank Indonesia Diolah
III
Tabungan
III
IV
2015 y-o-y deposito
I 2016
y-o-y tabungan
Sumber: Bank Indonesia Diolah
Berdasarkan pangsa kredit, Penyaluran Kredit Modal Kerja mengambil porsi terbesar dari total Kredit BPR yakni sebesar 51,29% (yoy), kemudian Kredit Konsumsi sebesar 32,94% dan Kredit Investasi 15,77%. Grafik 3.21. Kredit BPR Berdasarkan Sektor Ekonomi 31,86% 21,21% 9,98% 9,48% 7,87% 4,92% 3,81% 2,57% 1,25% 1,21% 1,10% 1,09% 0,98% 0,93% 0,77% 0,53% 0,24% 0,10% 0,09%
35%
Share thd NPL
Share thd Kredit
30% 25% 20% 15% 10%
Rumah Tangga
Bukan Lapangan…
Kegiatan Usaha Yang…
Jasa Perorangan yang…
Jasa Kemasyarakatan,…
Jasa Pendidikan
Jasa Kesehatan dan…
Real Estate
Administrasi…
Perantara Keuangan
Penyediaan…
Sumber: Bank Indonesia Diolah
Transportasi,…
Konstruksi
Perdagangan Besar…
Listrik, Gas dan Air
5,00% 10,00% 15,00% 20,00% 25,00% 30,00% 35,00%
Industri Pengolahan
0%
Perikanan
5%
Pertambangan dan…
0,00%
Sumber: Bank Indonesia Diolah
Sektor Ekonomi
Pertanian, Perburuan…
Bukan Lapangan Usaha - Lainnya Perdagangan Besar dan Eceran Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi Konstruksi Jasa Kemasyarakatan, SosBud, Hiburan & Perseorangan… Kegiatan Usaha yang Belum Jelas Batasannya Jasa Perorangan yang melayani Rumah Tangga Penyediaan Akomodasi dan Penyediaan Makan-minum Perantara Keuangan Administrasi Pemerintahan, Pertanahan & Jaminan… Pertanian, Perburuan dan Kehutanan Bukan Lapangan Usaha - Rumah Tangga Jasa Pendidikan Perikanan Real Estate Industri Pengolahan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Pertambangan dan Penggalian Listrik, Gas dan Air
Grafik 3.22. Share Kredit dan NPL Berdasarkan
50% 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%
3.4. Kinerja Perbankan Berdasarkan Sebaran Pulau Perkembangan perbankan berdasarkan sebaran pulau dibagi menjadi tiga pulau, yaitu pulau Flores, Sumba dan Timor. Pada triwulan I 2016 pertumbuhan Aset di pulau Flores mencatat pertumbuhan yang terbaik diantara pulau Sumba dan Timor. Sementara itu, berdasarkan penghimpunan DPK, pertumbuhan pulau Timor yang terbaik dibandingkan pulau Flores dan Sumba. Kemudian apabila dilihat berdasarkan penyaluran Kredit, pulau Flores sedikit lebih baik dibandingkan Sumba dan Timor.
| Bab III – Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran
46
Grafik 3.23. Perkembangan Perbankan Berdasarkan Sebaran Pulau 18,00%
1,95%
16,00%
1,90%
14,00%
1,85% 1,80%
12,00%
1,75%
10,00%
1,70%
8,00%
1,65%
6,00%
1,60%
4,00%
1,55%
2,00%
1,50% 1,45%
0,00% Timor
Sumber: Bank Indonesia Diolah
Flores Asset
DPK
Sumba Kredit
NPL
3.4.1. Pulau Flores Kinerja perbankan di pulau Flores pada triwulan I 2016 relatif melambat. Hal ini tercermin dari pertumbuhan Aset perbankan di pulau Flores yang tumbuh melambat sebesar 7,09% (yoy) atau sebesar Rp.9,12 triliun lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada triwulan IV 2015. Penghimpunan DPK pada triwulan I 2016 juga melambat 5,19% (yoy) atau dengan nominal sebesar Rp.7,84 triliun. Sementara itu, penyaluran kredit di Pulau Flores pada triwulan I 2016 sedikit meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. Angka rasio kredit macet (NPL) di Pulau Flores pada triwulan I 2016 mengalami peningkatan, dari 1,39% pada triwulan IV 2015 menjadi 1,90% pada triwulan I 2016. Selain itu, rasio likuiditas di Pulau Flores pada triwulan I 2016 juga meningkat sebesar 93,33% lebih tinggi dari triwulan IV 2015 yang hanya sebesar 92,15%. Grafik 3.24. Komposisi DPK di Pulau Flores 100%
2,06%
90%
20,03%
80%
0,09%
10,67%
70%
Grafik 3.25. Komposisi Kredit di Pulau Flores 1 MODAL KERJA; 32,15%
87,17%
2 INVESTASI; 4,24%
1,12%
60% 50% 40%
79,94%
3 KONSUMSI; 63,60%
4,27%
30%
74,58%
20%
0,66%
6,45%
10%
12,95%
0% PEMERINTAH
PERORANGAN GIRO
Sumber: Bank Indonesia Diolah
DEPOSITO
SWASTA
LAINNYA
TABUNGAN
Sumber: Bank Indonesia Diolah
| Bab III – Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran
47
3.4.2. Pulau Sumba Kinerja perbankan di Pulau Sumba pada triwulan I 2016 juga ikut melambat. Pertumbuhan Aset pada triwulan I 2016 melambat sebesar 5,61% (yoy) atau mencapai Rp.2,37 triliun lebih rendah dari pertumbuhan triwulan sebelumnya. Sementara itu, penghimpunan DPK di Pulau Sumba tercatat sebesar Rp.1,91 triliun, ikut mengalami perlambatan sebesar 0,67% (yoy) lebih rendah dari triwulan IV 2015. Penyaluran kredit juga melambat 12,92% (yoy) atau sebesar Rp.2,00 triliun pada triwulan I 2016. Adapun angka rasio likuiditas meningkat dari 101,47% menjadi 104,72%. Hal ini disebabkan oleh tingginya penyaluran kredit yang tidak sebanding atau lebih besar dari penghimpunan DPK di Pulau Sumba. Grafik 3.26. Komposisi DPK di Pulau Sumba
Sumber: Bank Indonesia Diolah
Grafik 3.27. Komposisi Kredit di Pulau Sumba
Sumber: Bank Indonesia Diolah
3.4.3. Pulau Timor Pada triwulan I 2016 kinerja perbankan di pulau Timor melambat. Aset perbankan di pulau Timor pada triwulan I 2016 mencapai Rp.19,44 triliun atau melambat sebesar 1,70% (yoy) lebih rendah dibandingkan triwulan IV 2015. Seiring dengan perlambatan Aset perbankan pada triwulan I 2016, pertumbuhan DPK dan penyaluran Kredit juga ikut melambat. Penghimpunan DPK perbankan dipulau Timor pada triwulan I 2016 mencapai Rp.12,20 triliun atau mencapai 16,73% (yoy), sementara itu penyaluran Kredit mencapai Rp.10,01 triliun atau tumbuh sebesar 12,60% (yoy) lebih rendah dari triwulan sebelumnya.
| Bab III – Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran
48
Grafik 3.28. Komposisi DPK di Pulau Timor
Sumber: Bank Indonesia Diolah
Grafik 3.29. Komposisi Kredit di Pulau Timor
Sumber: Bank Indonesia Diolah
3.5. Sistem Pembayaran 3.5.1. Transaksi Non Tunai 3.5.1.1.
Transaksi Kliring (SKNBI)
Sistem Kliring Nasional Bank Indonsia (SKNBI) di provinsi NTT pada triwulan I 2016 masih mengalami peningkatan dan jauh di atas Nasional. Penggunaan fasilitas Kliring di NTT sampai dengan triwulan I 2016 berdasarkan nominal mencapai Rp.3,11 triliun atau tumbuh 213,76% (yoy) dan volume mencapai 67.315 lembar warkat atau meningkat 68,41% (yoy) lebih tinggi dari triwulan IV 2015. Peningkatan transaksi yang signifikan ini disebabkan oleh adanya perubahan ketentuan dan kegiatan SKNBI serta perlindungan nasabah. Saat ini, settlement layanan Transfer Dana ditambah menjadi 5 (lima) kali, yaitu pada pukul 09.00, 11.00, 13.00, 15.00, dan 16.45 WIB sedangkan Layanan Kliring Warkat Debit saat ini dibagi menjadi 4 zona. Dibandingkan transfer melalui Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BIRTGS), terdapat beberapa perbedaan transfer melalui SKNBI, yaitu pertama, proses setelmen SKNBI dilakukan secara periodik (netting) sedangkan RTGS, proses setelmen dilakukan secara individual (gross). Kedua, dari segi batasan nominal, transaksi transfer dana nasabah yang dapat diproses melalui SKNBI sampai dengan 30 Juni 2016 tidak terdapat batasan maksimal, sedangkan transaksi nasabah melalui BI-RTGS minimal sebesar Rp.500.000.000,00 per transaksi. Ketiga, biaya yang dikenakan Bank Indonesia kepada Peserta untuk SKNBI lebih murah, yaitu sebesar Rp.750,00 per transaksi dan maksimal biaya transfer dana yang dapat dikenakan peserta kepada nasabahnya adalah Rp.5.000,00, sedangkan biaya transaksi BI-RTGS yang dikenakan Bank Indonesia kepada peserta adalah sebesar Rp.15.000,00 dan maksimal biaya transfer dana yang dapat dikenakan peserta kepada nasabahnya adalah sebesar Rp.35.000,00. | Bab III – Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran
49
80.000
NTT
70.000 60.000 50.000 40.000
Grafik 3.31 Perkembangan SKNBI Nasional 3.500
1.400.000
3.000
1.200.000
30.000
2.500
1.000.000
25.000
2.000
800.000
20.000
600.000
15.000
1.500
30.000 20.000
1.000
10.000
500
0
0
Nilai (Rp.Miliar)
400.000
10.000
200.000
5.000
0
0
Nilai (Rp.Miliar)
Volume (lbr)
Sumber: Bank Indonesia Diolah
35.000
Nasional
Ribu lembar
Grafik 3.30. Perkembangan SKNBI NTT
Volume (lbr)
Sumber: Bank Indonesia Diolah
Berdasarkan komposisi peserta pengirim, transaksi kliring Provinsi NTT pada triwulan I 2016 paling besar adalah Bank Swasta Nasional dengan porsi sebesar 59,83%, kemudian Bank Pemerintah 36,76%, Bank Pembangunan Daerah sebesar 1,59%, Bank Syariah 1,51%, dan Bank Campuran 0,30%. Grafik 3.32. Share SKNBI Berdasarkan Kelompok Bank
Bank Swasta Nasional 59,83% Bank Pemerintah 36,76% Bank Pembangunan Daerah 1,59% Bank Syariah 1,51% Bank Campuran 0,30%
Sumber: Bank Indonesia Diolah
3.5.1.2.
Transaksi RTGS
Transaksi BI-RTGS pada triwulan I 2016 dari sisi nominal maupun volume mengalami penurunan. Penurunan tersebut disebabkan oleh pengalihan transaksi besar (high value) ke Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI).
| Bab III – Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran
50
Grafik 3.33. Perkembangan BI-RTGS 10.000,00
1500,00%
8.000,00
1000,00%
6.000,00 4.000,00
500,00%
2.000,00 0,00
0,00%
-2.000,00
-500,00%
-4.000,00 -6.000,00
-1000,00%
-8.000,00
-1500,00%
-10.000,00 Volume
Nominal (In/Out)
Volume (yoy)
Nominal (yoy)
Sumber: Bank Indonesia Diolah
3.5.2. Transaksi Tunai Transaksi pembayaran tunai di Bank Indonesia tercermin dari beberapa kegiatan, diantaranya jumlah aliran uang keluar dari Bank Indonesia ke stakeholder (outflow), jumlah aliran uang masuk dari perbankan ke Bank Indonesia (inflow), dan kegiatan pemusnahan Uang Tidak Layak Edar (UTLE), serta temuan uang palsu (UPAL). 3.5.2.1.
Aliran Uang Masuk ( inflow ) dan Aliran Uang Keluar ( outflow )
Pada triwulan I 2016 aliran uang yang masuk ke Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT mengalami peningkatan dibandingkan uang yang beredar di masyarakat atau perbankan. Aliran outflow atau uang yang beredar pada triwulan I 2016 mencapai Rp.0,33 triliun, tumbuh -6,14% (yoy) lebih rendah dibandingkan dengan triwulan IV 2015 yang mencapai 25,31% (yoy). Selain itu, inflow atau uang yang disetor di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT juga mengalami perlambatan 1,60% (yoy) atau sebesar Rp.1,83 triliun, lebih rendah dari triwulan IV 2015 yang tumbuh 3,67% (yoy). Hal ini merupakan pola setiap awal tahun pasca tingginya kebutuhan uang realisasi proyek dan konsumsi masyarakat di akhir tahun. Selain itu, hal ini juga sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Penggunaan Pengeluaran Konsumsi yang juga melambat pada triwulan I 2016.
| Bab III – Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran
51
Grafik 3.34. Perkembangan Transaksi Tunai 2000,00
700%
1500,00
600%
1000,00
500% 400%
500,00
300%
-500,00 -1000,00
Tw1-11 Tw2-11 Tw3-11 Tw4-11 Tw1-12 Tw2-12 Tw3-12 Tw4-12 Tw1-13 Tw2-13 Tw3-13 Tw4-13 Tw1-14 Tw2-14 Tw3-14 Tw4-14 Tw1-15 Tw2-15 Tw3-15 Tw4-15 Tw1-16
0,00
200% 100%
Grafik 3.35. Perkembangan Arus Uang Tunai (InflowOutflow) 3.000,00
80,00%
2.500,00 2.000,00 1.500,00
0,00%
1.000,00
0%
-1500,00
-100%
-2000,00
-200%
-2500,00
-300% Net In/Out (Rp. Miliar)
qtq
500,00 0,00
-80,00%
yoy
Inflow (Rp. Miliar)
3.5.2.2.
Outflow (Rp. Miliar)
yoy inflow
yoy outflow
Sumber: Bank Indonesia Diolah
Sumber: Bank Indonesia Diolah
Perkembangan Uang Tidak Layak Edar (UTLE)
Uang Tidak Layak Edar (UTLE) yang telah dimusnahkan di NTT hingga triwulan I 2016 mencapai Rp.509,70 miliar atau meningkat 56,72% (yoy). Hal ini dapat digambarkan oleh jumlah setoran UTLE di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT pada triwulan I 2016 tercatat sebesar Rp.716,63 miliar, atau meningkat sebesar 50,22% (yoy) bila dibandingkan dengan triwulan IV 2015. Sementara itu, rasio pemusnahan UTLE di Provinsi NTT dibandingkan Nasional pada triwulan I 2016 yaitu sebesar 0,89% sedikit meningkat bila dibandingkan triwulan IV 2015. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT terus mengupayakan untuk menekan laju pertumbuhan
UTLE
di
NTT
dengan
cara
melakukan
sosialisasi
bagaimana
memperlakukan uang rupiah dengan baik ke pasar-pasar, perbankan, serta akademisi dan pelajar. 3.5.2.3.
Temuan Uang Palsu
Temuan uang palsu yang tercatat di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT pada triwulan I 2016 mengalami penurunan. Jumlah lembar uang palsu menurun dari 53 lembar menjadi 25 lembar pada triwulan laporan. Uang palsu yang ditemukan pada triwulan ini umumnya uang kertas pecahan Rp.100.000,-, pecahan Rp.10.000,- dan Rp.50.000,-. Jumlah uang palsu yang ditemukan berkurang, hal ini menggambarkan bahwa kegiatan pengenalan ciri-ciri keaslian uang rupiah berdampak positif dan terus diperlukan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat. Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap temuan uang palsu juga menjadi alasan yang tinggi uang palsu tersebut dilaporkan.
| Bab III – Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran
52
Grafik 3.36. Perkembangan UTLE di Provinsi NTT 3.000,00
1600,00%
Grafik 3.37. Perkembangan UPAL di Provinsi NTT 1200 Lbr UPAL
1400,00%
2.500,00
1200,00% 1000,00% 800,00% 600,00% 400,00% 200,00% 0,00%
Sumber: Bank Indonesia Diolah
Tw1-16
Tw1-16
Tw4-16
Tw3-15
Tw2-15
Tw1-15
Tw4-14
Tw3-14
Tw2-14
Tw1-14
Tw4-13
0 YoY UTLE
Tw3-13
Tw4-15
Tw3-15
QtQ UTLE
200
Tw2-13
UTLE
Tw2-15
Tw1-15
Tw4-14
Tw3-14
Tw2-14
Tw1-14
Tw4-13
Tw3-13
Tw2-13
Outflow (Rp. Miliar)
400
Tw1-13
Inflow (Rp. Miliar)
Tw1-13
Tw4-12
Tw3-12
Tw2-12
-200,00%
Tw1-12
0,00
Tw4-12
500,00
600
Tw3-12
1.000,00
800
Tw2-12
1.500,00
Tw1-12
2.000,00
1000
Sumber: Bank Indonesia Diolah
Upaya penanggulangan uang palsu secara represif telah dilaksanakan oleh Kepolisian dengan menangkap dan menuntut pembuat maupun pengedar uang palsu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
| Bab III – Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran
53
Stabilitas Sistem Keuangan di Provinsi NTT Kondisi Intermediasi dan Resiko Perbankan Kelompok Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) memiliki porsi pendanaan dari induk perusahaan cukup besar dibandingkan dengan Bank Pemerintah Daerah (BPD) dan Bank Persero (BUMN). Kendati BUSN melakukan pengumpulan DPK dari masyarakat, porsi dana dari induk bank dapat dikategorikan relatif besar. Tercatat bahwa dalam kurun waktu 2015 s.d. triwulan I 2016, porsi pendanaan dari induk perusahaan konsisten berada pada angka 35% - 40% dari total keseluruhan dana. Sementara itu, perolehan dana BPD dan Bank Persero didominasi oleh DPK dengan porsi pada triwulan I sebesar 79,16%. Kondisi tersebut secara tidak langsung juga mempengaruhi kondisi Loan to Deposit Ratio (LDR). Pada triwulan I 2016 BPD dan Bank Persero tercatat memiliki LDR sebesar 86,01% sedangkan BUSN tercatat lebih tinggi yakni sebesar 107,74%. Hal ini menunjukkan bahwa DPK BUSN tidak dapat mengakomodasi seluruh penyaluran kredit yang ada sehingga pendanaan dari sumber lain/ induk perusahaan sangat diperlukan. Grafik Boks 3.1. Pangsa DPK Perbankan NTT
Grafik Boks 3.2. NPL Berdasarkan Penggunaan
Sumber : Bank Indonesia, diolah
Dari sisi kredit, pertumbuhan kredit konsumsi menahan perlambatan pertumbuhan kredit secara keseluruhan. Walaupun tumbuh sebesar 13,63% (yoy) di triwulan I 2016, keseluruhan kredit mengalami perlambatan dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 14,37% (yoy). Hal ini disebabkan karena terjadinya penurunan kredit investasi dan perlambatan pada kredit modal kerja. Namun demikian, pertumbuhan kredit konsumsi sebesar 16,85% (yoy) dengan pangsa terbesar yakni 63,89% dapat menahan laju perlambatan pertumbuhan kredit secara keseluruhan. Pertumbuhan kredit konsumsi didukung pula dengan rasio NPL yang senantiasa terjaga di bawah level 1%. Secara umum, kondisi kesehatan perbankan relatif aman yang terlihat dari NPL perbankan yang sebesar 1,82%, jauh dari batas nilai NPL maksimal yang sebesar 5%. 54
Berbeda halnya dengan kredit konsumsi, kredit modal kerja dan investasi memiliki rasio NPL hampir mendekati 5%. Apabila dibandingkan dengan triwulan IV 2015, rasio NPL kredit modal kerja dan investasi triwulan I 2016 tercatat lebih tinggi. Hal ini terkonfirmasi dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) triwulan I 2016, dimana hanya sebesar 33,80% dari seluruh responden menyatakan bahwa kondisi likuiditas berada pada kategori baik atau lebih rendah dibandingkan dengan hasil SKDU triwulan IV 2015 dimana sebanyak 40,30% responden menyatakan memiliki kondisi likuiditas yang baik. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi kemampuan membayar hutang pelaku usaha di triwulan I 2016 yang menurun dibandingkan triwulan sebelumnya. Tabel Boks 3.1. Kondisi Kredit Berdasarkan Sektor Sektor Penerima Kredit Bukan Lapangan Usaha/ Konsumsi Perdagangan Besar Dan Eceran Konstruksi Penyediaan Akomodasi, Makan, & Minum Pertanian, Perburuan Dan Kehutanan Real Estate Dan Jasa Perusahaan Transportasi, Pergudangan Dan Komunikasi Jasa Kemasyarakatan, Sosial Budaya, Hiburan Industri Pengolahan Perikanan Listrik, Gas Dan Air Jasa Kesehatan Dan Kegiatan Sosial Perantara Keuangan Jasa Pendidikan Jasa Perorangan Yang Melayani Rt Pertambangan Dan Penggalian Administrasi Pemerintahan Kegiatan Yang Belum Jelas Batasannya Badan Internasional
PANGSA
NPL
63.89% 0.8% 25.63% 2.5% 2.66% 16.02% 2.19% 1.5% 1.01% 2.0% 0.89% 3.7% 0.88% 3.9% 0.87% 2.6% 0.81% 2.6% 0.30% 3.4% 0.29% 20.76% 0.16% 0.2% 0.14% 21.77% 0.14% 2.3% 0.08% 3.0% 0.06% 5.5% 0.00% 0.0% 0.00% 1.9% 0.00% 0.0%
Pertumbuhan tw I (yoy) 16.85% 12.16% 12.13% 58.34% 2.14% 17.95% -14.00% -47.99% -35.40% 59.01% 28.20% 4.93% -20.08% 11.59% -19.95% 0.38% -40.64% -65.79% -82.06%
Sumber : Bank Indonesia, diolah
Di lihat dari sisi sektoral untuk kredit modal kerja dan investasi, terdapat beberapa sektor yang perlu mendapatkan perhatian khusus salah satunya adalah sektor konstruksi. Pada triwulan I 2016 kredit pada sektor konstruksi mengalami kenaikan kredit yang cukup signifikan yakni sebesar 12,13% (yoy) lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 3,13% (yoy). Namun, kenaikan tersebut tidak didukung dengan kondisi rasio NPL yang baik yakni sebesar 16,02% sehingga dikhawatirkan akan mengganggu kondisi stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Kemudian, rasio NPL kredit pada sektor listrik, gas, dan air serta sektor perantara keuangan terpantau perlu juga mendapatkan perhatian khusus meski kedua sektor tersebut tidak memiliki andil yang besar untuk keseluruhan kredit di Provinsi NTT. Di samping itu, perlu dilakukan pemantauan untuk NPL di sektor pertambangan dan penggalian, perikanan, real estate, dan transportasi. Untuk dua sektor dengan pangsa terbesar yaitu: sektor penerima kredit bukan lapangan usaha/ konsumsi dan perdagangan besar dan eceran terpantau masih dalam kondisi aman karena rasio NPL kedua sektor tersebut jauh di bawah 5%.
55
Pangsa DPK dan Kredit Secara industri BPD dan Bank Persero mendominasi pangsa pengumpulan DPK. Dari keseluruhan DPK yang ada di Provinsi NTT, BPD dan Bank Persero menguasai 98,24% dari total giro di triwulan I 2016. Sedangkan untuk tabungan dan deposito, BPD dan Bank Persero menguasai masing-masing sebesar 88,18% dan 83,41%. Selain itu, penguasaan pangsa DPK tersebut didukung dengan aset BPD dan Bank Persero yang juga mendominasi industri sebesar 88,31% pada triwulan I 2016. Grafik Boks 3.3. Pangsa DPK Perbankan NTT
Grafik Boks 3.4. Pangsa Kredit Perbankan NTT
Sumber : Bank Indonesia, diolah
Sumber : Bank Indonesia, diolah
Sementara itu dari sisi kredit, BPD dan Bank Persero menguasai pangsa kredit baik modal kerja, investasi, dan konsumsi. Terdapat hal yang menarik untuk porsi kredit investasi dimana BUSN memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan kredit modal kerja dan kredit konsumsinya.
56
KEUANGAN DAERAH •
Realisasi pendapatan pemerintah pada triwulan I-2016 mencapai Rp 5,17 triliun (20,91%) dari pagu rencana pendapatan sebesar Rp 24,7 triliun. • Sementara itu, realisasi belanja pemerintah tercatat masih cukup rendah yaitu Rp 3,09 triliun (8,88%) dibandingkan pagu belanja sebesar Rp 34,81 triliun. Namun masih lebih tinggi apabila dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun 2015. 4.1 Kondisi Umum Pada tahun 2016 terjadi peningkatan pagu pendapatan pemerintah daerah di Provinsi NTT sebesar 18,3% (yoy) dari Rp 20,88 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp 24,70 triliun (2016). Target kenaikan pendapatan untuk Pemerintah Provinsi mencapai 18,1% sementara untuk Pemerintah Kab/Kota sebesar 19,3%. Dari sisi belanja, peningkatan pagu hanya sebesar 0,9% dari Rp 34,51 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp 34,81 triliun pada tahun 2016. Perlambatan peningkatan belanja terutama disebabkan oleh menurunnya rencana belanja APBN seiring dengan telah selesainya beberapa proyek infrastruktur strategis di tahun sebelumnya. Berdasarkan struktur pagu belanja 2016, terdapat penurunan pada belanja APBN, namun demikian, pagu belanja diperkirakan masih akan meningkat terutama berasal dari revisi belanja APBN seiring adanya kemungkinan tambahan alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur bendungan (Raknamo dan Rotiklot) ataupun pelabuhan Tenau, Ippi dan Lauren Say yang belum dialokasikan. Grafik 4.1. Perbandingan Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2015 dan 2016 Pagu Pendapatan dan Belanja Triliun Rp 2015
34.51 34.81
2016*
24.70 20.88 0.9%
18.3% Pendapatan
Belanja
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
Dari sisi realisasi pendapatan dan belanja hingga triwulan-I 2016, realisasi pendapatan pemerintah di Provinsi NTT telah mencapai Rp 5,17 triliun atau 20,91% dari total rencana pendapatan 2016 sebesar Rp 24,7 triliun. Pendapatan
Bab IV |Keuangan Daerah
57
APBN Pemerintah Pusat mencapai 184,6% dari target. Tingginya realisasi pendapatan lebih disebabkan oleh tingginya pencapaian realisasi Pajak Penghasilan (PPh) yang tidak termasuk dalam rencana pendapatan namun merupakan pendapatan utama dalam struktur APBN di daerah. Sementara itu, realisasi belanja pemerintah baru mencapai 8,88% atau Rp 3,09 triliun dari total pagu belanja sebesar Rp 34,81 triliun. Namun, realisasi belanja tersebut tercatat lebih tinggi apabila dibandingkan triwulan-I 2015 yang sebesar Rp 2,5 triliun atau 7,30% dari total pagu belanja 2015. Persentase realisasi belanja tertinggi untuk triwulan I2016 dimiliki oleh Pemerintah Provinsi sebesar 13,78%. Grafik 4.2. Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur 25
20
Anggaran
Pendapatan
19% 1% 16%
Realisasi
9%
APBN
20.57
KAB
Triliun Rp
15
83% 72%
PROV
10 5 0
0.25
0.47 APBN
3.72 KAB
3.88
0.98 PROV
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
4.2 Pendapatan Daerah Total Pendapatan Pemerintah di Provinsi NTT pada Triwulan-I 2016 mencapai Rp 5,17 triliun atau 20,91% dari rencana pendapatan tahun 2016. Apabila dibagi berdasarkan level pemerintahan, pendapatan APBN di Provinsi NTT tercatat sebesar Rp 465,52 miliar atau 184,61% dari total rencana pendapatan sebesar Rp 252,17 miliar. Porsi pendapatan terbesar APBN terutama berasal dari Pajak Penghasilan sebesar Rp 182,86 miliar (39,28%) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Pendidikan, jasa, iuran denda, lainnya) sebesar Rp 155,89 miliar (33,49%). Sementara itu di tingkat Pemerintah Provinsi realisasi pendapatan telah mencapai Rp 975,51 miliar atau 25,17% dari total rencana pendapatan sebesar Rp 3,88 triliun. Pendapatan tertinggi Pemerintah Provinsi berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp 445,70 miliar (45,7%) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Rp 367,77 miliar (37,7%). Selanjutnya, pendapatan Pemerintah Kabupaten/Kota yang telah mencapai Rp 3,72 triliun (18,1%) didominasi oleh Dana Alokasi Umum sebesar Rp 3,28 triliun atau 87,9%. Tingginya porsi pendapatan dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) menunjukkan masih tingginya ketergantungan pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota pada dana subsidi dari
Bab IV |Keuangan Daerah
58
Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui upaya pembenahan fasilitas pendukung bagi sektor potensial seperti pariwisata dan industri sehingga dapat meningkatkan investasi swasta di Provinsi NTT. Grafik 4.3 Pangsa Realisasi Sumber Pendapatan APBN
Grafik 4.4 Pangsa Realisasi Sumber Pendapatan APBD Provinsi/ Kab-Kota 2.1%
14.5%
2.2% 1.8% 5.1% 2.9%
Provinsi PAD
37.7%
DAU
Kab/Kota
DAK Otsus Lainnya
87.9%
Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Prov. NTT
45.7%
Sumber: Biro Keuangan Provinsi NTT
Dari sisi spasial, kota Kupang memperoleh pencapaian target pendapatan tertinggi pada triwulan I-2016 yaitu sebesar 25,10% atau Rp 295,28 miliar dari target sebesar Rp 1,18 triliun. Pendapatan tertinggi yang didapat juga berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp 220,38 miliar atau 74,64% dari total realisasi pendapatan. Realisasi pendapatan yang cukup tinggi (>20%) juga terdapat di Kab. Timor Tengah Utara (23,46%), Kab. Rote Ndao (22,99%), Kab. Timor Tengah Selatan (22,83%), Kab. Manggarai Barat (22,72%), Kab. Sumba Barat (22,57%), Kab. Sumba Timur (22,05%), Kab. Sabu Raijua (21,56%), Kab. Malaka (21,53%), Kab. Flores Timur (21,46%) dan Kab. Ende (20,09%). 4.3 Belanja Daerah Realisasi anggaran belanja APBN dan APBD Pemerintah di Provinsi NTT hingga triwulan-I tahun 2016 mencapai Rp 3,09 triliun atau 8,88% dari total pagu belanja tahun 2016 sebesar Rp 34,81 triliun. Apabila dilihat secara historis, pencapaian realisasi belanja ini cenderung lebih tinggi apabila dibandingkan periode yang sama tahun 2015 yang hanya 7,3% atau Rp 2,52 triliun dari pagu 2015 yang sebesar Rp 34,51 triliun. Sementara, berdasarkan kewenangan pemerintahan, realisasi belanja Pemerintah Provinsi menjadi yang tertinggi sebesar 13,8%. Namun, apabila dilihat dari belanja modal, realisasi belanja APBN menjadi yang tertinggi sebesar 4,8% lebih baik dibandingkan pencapaian tahun 2015 yang
Bab IV |Keuangan Daerah
59
hanya 0,9%. Perbaikan realisasi belanja modal pada APBN diperkirakan turut didorong oleh adanya proyek multiyear seperti bendungan (Raknamo dan Rotiklot), adanya dispensasi kegiatan proyek yang belum selesai pada tahun 2015 selama 90 hari di tahun 2016, serta berkurangnya permasalahan numenklatur yang menjadi kendala di tahun 2015. Untuk mempercepat realisasi anggaran, pemerintah telah melakukan beberapa upaya kebijakan, diantaranya: 1) Adanya surat dari Sekretaris Daerah kepada SKPD untuk mempercepat realisasi anggaran, 2) Adanya sanksi bagi Kepala Deaerah yang penyerapannya rendah, serta 3) Adanya target realisasi belanja di tingkat nasional, yaitu 15% (Tw-I), 40% (Tw-II), 60% (TW-III) dan 90% (TW-IV). Dari sisi hambatan terdapat beberapa hal yang berpotensi menghambat penyerapan anggaran secara maksimal, yaitu: 1) Revisi anggaran dari SKPD yang memerlukan waktu cukup lama, 2) Blokir terhadap beberapa mata anggaran, 3) Uang muka yang tidak diambil oleh pihak ketiga, 4) UPT di daerah yang belum memiliki akses online untuk pengurusan ijin dan tata usaha, serta masalah RTRW dan pembebasan lahan bagi upaya pembangunan 7 (tujuh) waduk di Provinsi NTT. Grafik 4.5 Perkembangan Realisasi Belanja
Sumber: Ditjen Perbendaharaan Prov. NTT & Biro Keuangan
Grafik 4.6 Perkembangan Realisasi Belanja Modal
Sumber: Ditjen Perbendaharaan Prov. NTT & Biro Keuangan
Secara umum pada triwulan I-2016 realisasi tertinggi berada pada belanja konsumsi yang mencapai 11,38%, sementara belanja modal baru mencapai 2,51%. Porsi belanja konsumsi tertinggi berada pada belanja pegawai sebesar 65,25% atau Rp 2,02 triliun. Dari tingkat kewenangan, realisasi belanja konsumsi tertinggi berada pada Pemerintah Provinsi sebesar 16,2% yang terutama dipergunakan bagi belanja hibah sebesar Rp 319,8 miliar. Belanja hibah tersebut digunakan bagi program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Desa Mandiri Anggur Merah serta pengadaan bantuan alat-alat untuk kegiatan produksi masyarakat, seperti kapal, alat tangkap, mesin kapal, serta alat produksi pertanian.
Bab IV |Keuangan Daerah
60
Di sisi lain, belanja modal di tingkat kabupaten masih tergolong sangat rendah sebesar 0,92%. Proses koordinasi dan konsolidasi seiring pergantian Kepala Daerah paska pemilu serentak 9 Kab/Kota pada tahun 2015 diperkirakan menjadi salah satu penyebab rendahnya penyerapan belanja modal. Grafik 4.7 Realisasi Belanja APBN dan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi NTT
Tabel 4.1 Realisasi Belanja APBN dan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Rp miliar
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi NTT dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
URAIAN
RENCANA
BELANJA DAERAH Belanja Modal Belanja Konsumsi Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Hibah Belanja Bantuan Sosial Belanja Bagi Hasil Bantuan Keuangan Konsumsi Lainnya Belanja Lainnya
34,808.8 9,622.7 25,052.3 12,299.8 7,701.4 1,606.6 84.9 666.9 2,615.3 77.3 133.7
REALISASI PANGSA (%) Nominal % 3,091.3 8.88 100 241.3 2.51 7.81 2,850.0 11.38 92.19 2,017.2 16.40 65.25 461.2 5.99 14.92 328.9 20.47 10.64 6.1 7.18 0.20 0.4 0.06 0.01 34.0 1.30 1.10 2.3 2.94 0.07 -
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi NTT dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
Selanjutnya, apabila dibagi berdasarkan porsi realisasi belanja, realisasi belanja APBN mayoritas dipergunakan untuk belanja konsumsi sebesar Rp 468,58 miliar atau 54,19% dari total realisasi belanja triwulan-I. Hal yang sama juga terjadi pada belanja kabupaten/kota yang mayoritas dipergunakan bagi belanja pegawai sebesar Rp 1,43 triliun atau 84,92% dari total realisasi belanja kabupaten/kota pada triwulan I. Hal yang berbeda justru terjadi pada Pemerintah Provinsi yang mayoritas melakukan kegiatan belanja hibah (59,52%). Dari sisi besaran persentase realisasi belanja terhadap pagu belanja 2016, realisasi belanja APBN terbesar berada pada belanja pegawai (19,3%). Belanja pegawai Kabupaten/Kota yang sebesar 15,6% juga menjadi yang tertinggi. Sementara itu, realisasi belanja tertinggi Pemerintah Provinsi adalah bantuan keuangan sebesar 42,4%. Secara umum, komponen belanja pemerintah di NTT yang memiliki realisasi terbesar adalah belanja hibah sebesar 20,5%.
Bab IV |Keuangan Daerah
61
Grafik 4.8 Pangsa Realisasi Belanja Konsumsi APBN dan APBD Pemerintah Kabupaten dan Kota
Grafik 4.9 Persentase Realisasi Belanja Konsumsi APBN dan APBD Pemerintah Kab/Kota di NTT
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
Secara spasial, presentase realisasi belanja pemerintah di tiap Kabupaten/Kota pada periode triwulan-I 2016 mencapai rata-rata 7,66%, sementara untuk belanja modal hanya sebesar 1,06%. Presentase realisasi tertinggi berada di Kabupaten Flores Timur dengan realisasi belanja 13,4% dan belanja modal 10,1%. Sementara presentase belanja terendah ada di Kab. Sabu Raijua sebesar 4,7% dan realisasi belanja modal terendah ada di Kab. Malaka sebesar 0%. Masuknya Kab. Sabu Raijua dan Kab. Malaka sebagai Kabupaten dengan realisasi belanja terendah di NTT menguatkan pula hipotesa sebelumnya bahwa masih diperlukan waktu untuk koordinasi dan konsolidasi bagi kegiatan belanja pemerintah mengingat kabupaten-kabupaten tersebut baru saja melakukan pilkada pada tahun 2015. Grafik 4.10. Realisasi Belanja dan Belanja Modal Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur Belanja Daerah
13.4
Belanja Modal
%
11.5 10.6
9.6
8.7
8.6
8.3
7.9
7.7
7.7
7.5
7.3
6.8
6.7
6.6
6.4
6.1
6.1
6.1
6.0
5.9
5.9 4.7
10.1 5.7 0.3
0.5
0.1
2.7
0.3
0.0
0.4
1.1
0.0
0.1
0.0
0.3
0.0
0.0
1.7
0.1
0.1
0.2
0.1
0.0
0.6
Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi NTT, diolah
Berdasarkan data perbankan pada bulan Triwulan I-2016, tercatat Dana Pihak Ketiga (DPK) Pemerintah dalam bentuk simpanan pada lembaga perbankan sebesar Rp 5,56 triliun. DPK tersebut meningkat 103,3% (qtq) apabila dibandingkan triwulan IV2015 yang sebesar Rp 2,74 triliun. Peningkatan tersebut selaras dengan masih Bab IV |Keuangan Daerah
62
minimnya realisasi anggaran pemerintah di awal tahun. Total DPK pemerintah sendiri paling banyak berada pada komponen Giro sebesar Rp 4,62 triliun. Grafik 4.11 Simpanan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota pada Perbankan di Wilayah Nusa Tenggara Timur
Tabel 4.2 Rincian Simpanan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi NTT
PEMERINTAH PUSAT PROVINSI KOTA KABUPATEN TOTAL Sumber : Bank Indonesia, diolah
GIRO 85.11 361.94 347.82 3,829.26 4,624.14
Rp miliar TABUNGAN DEPOSITO TOTAL DPK 0.96 - 86.07 2.15 184.64 548.73 28.05 118.44 494.31 81.78 605.51 4,516.55 112.93 908.59 5,645.65
Sumber : Bank Indonesia, diolah
Lampiran: Tabel 4.3 Ringkasan Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur Rp jutaan
PENDAPATAN DAERAH BELANJA DAERAH Belanja Modal Belanja Konsumsi Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Hibah Belanja Bantuan Sosial Belanja Bagi Hasil Bantuan Keuangan Konsumsi Lainnya Belanja Lainnya SURPLUS/DEFISIT PEMBIAYAAN DAERAH Penerimaan SILPA Tahun Lalu Lainnya Pengeluaran Penyertaan Modal Lainnya PEMBIAYAAN NETTO SILPA SEKARANG
APBN/APBD APBN KAB PROV TOTAL 252,169 20,571,686 3,876,020 24,699,874 9,184,434 21,725,751 3,898,591 34,808,775 3,564,306 5,496,260 562,136 9,622,702 5,620,128 16,229,491 3,202,708 25,052,327 2,423,251 9,202,774 673,780 12,299,805 3,175,721 3,869,885 655,806 7,701,411 147,693 1,458,914 1,606,606 21,156 41,932 21,830 84,918 309,245 357,699 666,944 2,590,659 24,679 2,615,338 67,305 10,000 77,305 133,746 133,746 (8,932,265) (1,154,065) (22,570) (10,108,901) 1,242,474 1,224,789 17,684 102,285 96,200 6,085 1,140,189 (13,877)
82,570 75,000 7,570 82,570 60,000
APBN 465,525 864,645 172,739 691,906 468,578 223,329 (1) (399,121)
1,325,044 1,299,789 25,255 102,285 96,200 6,085 1,222,759 46,123
REALISASI KAB PROV 3,724,301 975,514 1,689,306 537,331 50,796 17,759 1,638,510 519,572 1,434,642 113,953 162,880 75,040 9,053 319,808 5,786 313 377 23,499 10,458 2,274 2,034,995 438,183
TOTAL 5,165,340 3,091,282 241,294 2,849,988 2,017,172 461,249 328,861 6,098 377 33,957 2,274 2,074,058
557,374 557,243 131 20,000 20,000 537,374 2,572,369
716,228 714,541 1,688 20,000 20,000 696,228 3,169,406
158,855 157,298 1,557 158,855 597,038
Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
Bab IV |Keuangan Daerah
63
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja 22 Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Total rencana anggaran pendapatan dan belanja 22 Kabupaten/ Kota pada tahun 2016 telah mencapai lebih dari 20 triliun rupiah. Rencana pendapatan daerah mencapai 20,57 triliun, meningkat 19,04% (yoy) dibanding total rencana pendapatan daerah tahun 2015 yang sebesar 17,24 triliun. Demikian pula, rencana belanja daerah tahun 2016 mencapai 21,72 triliun meningkat 10,61% (yoy) dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 19,64 triliun. Walaupun pertumbuhan belanja terkesan melambat di tahun 2016, rencana belanja diperkirakan mengalami kenaikan lebih besar pada APBD-P. Grafik Boks 4.1. Perkembangan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Total Kabupaten/Kota di NTT
Sumber : DJPK Kemenkeu RI, Biro Keuangan NTT, diolah
Gambar Boks 4.1. Perubahan Postur Transfer ke Daerah dan Dana Desa
Sumber : DJPK Kemenkeu RI, diolah
Peningkatan pendapatan daerah lebih didorong oleh peningkatan dana desa yang mengalami kenaikan dari 3% APBN tahun 2015 menjadi sebesar 6% dari APBN atau bertambah lebih dari 1 triliun rupiah. Beberapa perubahan lainnya antara lain terkait pemberian dana insentif bagi daerah yang berprestasi dalam manajemen anggaran, reformulasi alokasi DAU dan DAK dalam upaya meningkatkan pemerataan dan pencapaian prioritas nasional. Gambar Boks 4.2. Postur Rencana Pendapatan Total Kabupaten/Kota di Provinsi NTT
Sumber : Biro Keuangan NTT, diolah
Gambar Boks 4.3. Postur Rencana Belanja Total Kabupaten/Kota di Provinsi NTT
Sumber : Biro Keuangan NTT, diolah
Boks IV |Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja 22 Kabupaten/Kota
64
Berdasarkan pangsa pendapatan, 79,7% pendapatan daerah diperoleh dari dana perimbangan terutama berasal dari dana alokasi umum (56,7%) dan dana alokasi khusus (21,6%). Selain itu terdapat pula dana transfer dalam pendapatan lain-lain berupa dana penyesuaian dan otonomi khusus sebesar 2,32 triliun atau setara 11,28% dari total APBD. Adapun total pendapatan asli daerah yang dapat diperoleh hanya sebesar 6,1% dari total pendapatan daerah. Hal ini menunjukkan tingginya ketergantungan daerah terhadap dana transfer dari pusat/APBN. Belanja tidak langsung masih mendominasi belanja kabupaten/kota terutama digunakan untuk belanja pegawai yang secara rata-rata mencapai 37,5% dari total biaya. Peningkatan cukup besar terjadi pada alokasi belanja bantuan keuangan yang terutama disebabkan oleh peningkatan dana desa dari 813 miliar di tahun 2015 menjadi 1.849 miliar di tahun 2016. Alokasi belanja modal meningkat 10,28% dibanding tahun sebelumnya. Adapun pangsa belanja modal terhadap total belanja daerah mencapai 25,30% yang berarti 5,5 triliun dari total 21,7 triliun belanja di daerah digunakan untuk pembangunan. Grafik Boks 4.2. Postur Rencana Belanja per Masing-Masing Kabupaten/Kota di Provinsi NTT
Sumber : Biro Keuangan NTT, diolah
Grafik Boks 4.3. Realisasi Belanja per MasingMasing Kabupaten/Kota di Provinsi NTT Triwulan I 2016
Sumber : Biro Keuangan NTT, diolah
Berdasarkan rincian kabupaten kota, Kota Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara tercatat sebagai daerah dengan alokasi belanja pegawai terbesar hingga lebih dari 50%, diikuti oleh Kabupaten Belu (47,25%), Timor Tengah Selatan (46,14%), Sikka (45,12%) dan Flores Timur (44,87%). Adapun Kabupaten dengan belanja pegawai terendah antara lain Kabupaten Sumba Tengah (34,08%), Nagekeo (34,63%), Mabar (35,44%), Sabu Raijua (35,51%) dan Sumba Barat Daya (35,63%). Berdasarkan pola data dapat diketahui bahwa semakin tinggi belanja pegawai, maka belanja modal akan cenderung semakin kecil karena anggaran banyak terserap untuk belanja pegawai. Akibatnya adalah anggaran untuk pembangunan infrastruktur Boks IV |Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja 22 Kabupaten/Kota
65
relatif berkurang yang berdampak pada kurang terpenuhinya kebutuhan fasilitas umum yang layak bagi masyarakat. Berdasarkan pencapaian realisasi belanja, terlihat bahwa kabupaten dengan pangsa belanja pegawai yang besar cenderung memiliki realisasi belanja yang lebih besar. Hal ini dikarenakan oleh adanya gaji pegawai yang harus dibayarkan di tiap bulannya. Kabupaten Sabu Raijua menjadi Kabupaten dengan realisasi anggaran terendah dibanding kabupaten lainnya. Hal ini lebih disebabkan oleh struktur belanja yang didominasi oleh belanja modal, sehingga adanya kegiatan investasi belum bisa langsung dijadikan laporan realisasi penyerapan anggaran yang seakan-akan membuat penyerapan anggaran relatif rendah. Adapun Kabupaten yang perlu diapresiasi adalah Kabupaten Rote Ndao yang telah melakukan realisasi belanja modal sebesar 5,74% dan belanja barang sebesar 10,74% dari rencana belanja daerah. Walaupun relatif kecil dari target penyerapan anggaran yang sebesar 15% di triwulan I 2016, namun nilai tersebut merupakan realisasi penyerapan anggaran terbesar dibanding kabupaten lainnya. Adanya moratorium pengangkatan PNS di NTT dinilai sebagai langkah maju dalam memperbaiki kualitas belanja pemerintah ke arah yang lebih produktif.
Boks IV |Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja 22 Kabupaten/Kota
66
KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN Perkembangan sektor ketenagakerjaan dan kesejahteraan menunjukkan kondisi perlambatan pada awal tahun 2016. • Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada bulan Februari 2016 mencatat angka 3,59% atau 87,69 ribu Jiwa dari total angkatan kerja, meningkat dibandingkan Februari 2016 yang sebesar 3,12% atau 75,1 ribu jiwa. Dari sisi sektoral, terjadi trend penurunan jumlah tenaga kerja sektor pertanian di bulan Februari yang terutama disebabkan pergeseran masa panen. • Sementara itu, indikator kesejahteraan masyarakat pedesaan melalui Nilai Tukar Petani (NTP) pada triwulan-I 2016 menunjukkan adanya penurunan apabila dibandingkan triwulan-IV 2015. 5. 1. Kondis i Umum Pada
bulan
Februari,
kondisi
kesejahteraan
masyarakat
NTT
yang
ditunjukkan pada kondisi ketenagakerjaan menunjukkan kondisi perlambatan 1. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi NTT pada bulan Februari 2016 adalah 3,59% (87.699 jiwa) atau meningkat dibandingkan periode yang sama tahun 2015 yang mencatat TPT 3,12% (75.110 jiwa). Peningkatan ini terutama disebabkan oleh adanya perlambatan penyerapan tenaga kerja sektor Pertanian sebagai sektor utama di Provinsi NTT sebesar -5% (yoy) yang disinyalir terjadi akibat adanya pergeseran masa tanam. Hasil tersebut sesuai dengan Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia Provinsi NTT pada triwulan-I 2016 yang menunjukkan penurunan indeks ketenagakerjaan 2 (SBT -4.99). Sektor yang mengalami penurunan di SKDU terutama adalah sektor bangunan dan pertanian. Sementara itu, tingkat kesejahteraan masyarakat pedesaan yang ditunjukkan oleh Nilai Tukar Petani (NTP) juga menurun dari 102,69 (Triwulan IV-2015) menjadi 100,73 (Triwulan I-2016). 5. 2 P e r k e m ba nga n Ke t e naga k e r j a a n 5 . 2 . 1 K o n d i s i K e te n a g a k e r j aa n U m u m Jumlah angkatan kerja yang tercatat pada bulan Februari 2016 di Provinsi NTT sebanyak 2,44 juta jiwa atau meningkat 1,6% (yoy) apabila dibandingkan periode
1
Analisa kesejahteraan pada bab ini akan selalu berbeda penekanan tergantung ketersediaan data terbaru yang ada waktu dilakukan analisa. 2 angka indeks dihitung dengan metode SBT (Saldo Bersih Tertimbang) yang merupakan selisih dari prosentase jawaban ”naik” dengan jawaban ”turun” disesuaikan dengan bobot masing-masing sektor.
67 | Bab V – Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
67
yang sama tahun 2015 sebesar 2,4 juta jiwa. Namun di sisi lain, terjadi Peningkatan jumlah pengangguran dari 75.110 jiwa pada bulan Februari 2015 menjadi 87.669 pada Februari 2016. Peningkatan ini juga berdampak pada Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang menunjukkan penurunan dari 72,95% (Februari 2015) menjadi 72,63% (Februari 2016). Angka ini menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja cenderung mengalami penuruan pada awal tahun 2016. Hal ini juga terkonfirmasi dari hasil analisa data historis tenaga kerja di NTT. Pada periode Februari 2015 dan 2016 pertumbuhan angkatan kerja cenderung berbalik lebih rendah dibandingkan pertumbuhan jumlah orang yang bekerja yang berdampak tingkat pengangguran
yang meningkat cukup tinggi.
Pada Februari 2016
tercatat
pertumbuhan angkatan kerja sebesar 1,65% (yoy) sementara jumlah orang yang bekerja hanya sebesar 1,16% (yoy). Adanya fenomena el nino menyebabkan pergeseran masa tanam yang berakibat pada rendahnya pertumbuhan jumlah pekerja pada tahun 2015 dan 2016 terutama di sektor pertanian yang merupakan sektor unggulan di Provinsi NTT. Grafik 5.1. Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka
Grafik 5.2. Perkembangan Pengangguran Sesuai Tingkat Pendidikan Ribu Jiwa
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
5 . 2 . 2 K o n d i s i K e t e n a g a k e r j a a n B e r d a s a r k a n L a p a n g a n P e k e r j a a n Ut a m a Pada periode Februari 2016, mayoritas tenaga kerja di Provinsi NTT berada di sektor pertanian dengan jumlah 1,4 juta jiwa atau 59,4% dari total tenaga kerja dan diikuti oleh sektor Jasa Kemasyarakatan sebanyak 338.004 jiwa (14,3%) dan sektor perdagangan sebanyak 247.785 jiwa (10,5%). Namun, dari data historis yang ada terlihat bahwa pergerakan tenaga kerja sektor pertanian cenderung mengalami penurunan sejak bulan Februari 2014. Penurunan diperkirakan turut disebabkan oleh adanya pergeseran musim tanam di Provinsi NTT dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, penggunaan teknologi pertanian juga menurunkan penggunaan tenaga kerja seiring dengan efisiensi produksi yang terjadi. Penurunan juga terjadi pada 68 | Bab V – Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
68
sektor tambang yang diperkirakan disebabkan oleh masih rendahnya harga komoditas tambang (mangan) sehingga banyak perusahaan yang tidak beroperasi. Di sisi lain, sektor jasa kemasyarakatan menunjukkan trend peningkatan yang mengindikasikan tingginya pekerjaan proyek pemberdayaan pemerintah sehingga kebutuhan tenaga kerja juga mengalami peningkatan. Peningkatan juga terjadi pada sektor perdagangan yang mengindikasikan masih tumbuhnya perekonomian di NTT. Grafik 5.3. Struktur Tenaga Kerja di NTT Bulan Februari 2016
Sumber : BPS, diolah
Grafik 5.4. Perkembangan Tenaga Kerja menurut Lapangan Usaha
Sumber : BPS, diolah
5 . 2 . 3 K o n d i s i K e te n a g a k e r j aa n B e r d a s a rk a n T i n g k a t P e n d i d i k a n Berdasarkan jenis pendidikan tertinggi yang ditamatkan, pengangguran terbanyak Februari 2016 berada pada tingkat pendidikan SMA/SMK sebanyak 38.280 jiwa tetapi apabila dilihat dari Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) 3, presentasi TPT terbesar ada pada tingkat universitas (10,15%) dan diikuti oleh Diploma I/II/III (9,97%). Berdasarkan perkembangan Angkatan Kerja dan jumlah orang yang bekerja, terdapat hal yang menarik yaitu berkurangnya pertumbuhan angkatan kerja Diploma I/II/III sebesar -26,9% (yoy) yang ditengarai terjadi akibat tingginya minat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Universitas). Sementara itu, berdasarkan perbandingan pertumbuhan angkatan kerja dan pendidikan, terlihat bahwa mayoritas tingkat pendidikan memiliki pertumbuhan penyerapan tenaga kerja yang lebih rendah dibandingkan angkatan kerja yang tersedia. Satu-satunya tingkat pendidikan yang memiliki penyerapan tenaga kerja lebih tinggi adalah SMP (-0,2%yoy) dibandingkan pertumbuhan yang -1,2% (yoy). Tingginya penyerapan pada tenaga kerja SMP sesuai dengan sektor utama pendorong ekonomi di Provinsi NTT yaitu sektor pertanian yang tidak terlalu membutuhkan tenaga kerja berpendidikan tinggi. Di samping itu, tingginya pertumbuhan tenaga kerja terdidik, seperti tingkat Universitas 3
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT): Jumlah Pengangguran dibagi Jumlah Angkatan Kerja
69 | Bab V – Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
69
sebesar 17,7% (yoy) memerlukan adanya usaha bersama dalam perluasan lapangan kerja, baik melalui pendidikan dan kemudahan dalam kegiatan wirausaha serta usaha untuk dapat menarik investor terutama di sektor industri yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah cukup banyak. Grafik 5.5. Perkembangan Pengangguran Sesuai Tingkat Pendidikan
Grafik 5.6. Perkembangan Angkatan kerja (AK) dan Pekerja sesuai Tingkat Pendidikan
Sumber: BPS, diolah
Sumber: BPS, diolah
5 . 2 . 4 K o n d i s i K e te n a g a k e r j aa n M e n u r u t S ta tu s P e ke r j a a n Struktur tenaga kerja di Provinsi NTT pada rentang Februari 2015 dan Februari 2016 cenderung tidak berubah secara signifikan dan masih didominasi oleh pekerja di sektor informal dengan kisaran angka 77%. Sementara itu, status pekerjaan masyarakat pada Februari 2016 didominasi oleh pekerja yang berusaha dibantu buruh tidak tetap sebanyak 704.457 jiwa (29,8%). Struktur tenaga kerja berdasarkan status pekerjaan mengalami perubahan dibandingkan Februari 2015 yang didominasi oleh Pekerja Tak Dibayar/Pekerja Keluarga. Hal ini juga mengkonfirmasi dampak dari pergeseran masa tanam, sehingga banyak petani dan keluarganya yang tidak bisa menggarap lahan persawahan miliknya. Sementara itu kenaikan jumlah pekerja yang berusaha dibantu buruh tidak tetap diperkirakan terjadi seiring adanya keterlambatan kegiatan proyek pemerintah dan proyek multiyear yang menyebabkan masih berjalannya kegiatan proyek di awal tahun. Grafik 5.7. Perkembangan Struktur Tenaga Kerja Sesuai Status Pekerjaan
Sumber : BPS, diolah
Grafik 5.8. Perkembangan Status Pekerjaan Masyarakat
Sumber : BPS, diolah
70 | Bab V – Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
70
71
Grafik 5.11. Perkembangan Indeks Tenaga Kerja SKDU
Sumber : SKDU-BI, diolah
5 . 3 P e r k e m b a n g a n Ke s e jah t e r a a n 5 . 3 . 1 P e r k e m b a n g a n N i l a i Tu k a r P e ta n i Tingkat kesejahteraan Pedesaan Provinsi NTT yang digambarkan oleh Nilai Tukar Petani (NTP) menunjukkan adanya penurunan dari 102,69 (Triwulan IV-2015) menjadi 100,73 (Triwulan I-2016). Penurunan disebabkan oleh turunnya indeks yang diterima (IT) dan terjadi kenaikan pada indeks yang dibayar (IB). Dari sisi sektoral, penurunan indeks terutama terjadi pada sektor Tanaman Perkebunan Rakyat sebagai akibat turunnya indeks yang diterima (IT) dan disinyalir
terjadi
karena
berkurangnya
produksi
komoditas
perkebunan
masyarakat seperti kakao dan jambu mete, serta diikuti oleh anjloknya harga komoditas tersebut di tingkat global. Sementara itu, untuk indeks yang dibayar (IB) tertinggi ada pada sektor tanaman padi-palawija yang didorong kenaikan harga obat-obatan dan pupuk. Grafik 5.12. Perkembangan Nilai Tukar Petani
Grafik 5.13. Perkembangan NTP Per-Sektor
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
5. 3. 2 Perkembangan Survei Konsumen Sementara itu, berdasarkan hasil survei konsumen (SK) yang dilakukan oleh Bank Indonesia, ditemukan pula adanya indikasi penurunan pada pendapatan mayarakat di NTT. Berdasarkan hasil SK, Indeks Penghasilan Saat Ini 72 | Bab V – Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
72
Masyarakat NTT dibandingkan 6 bulan yang lalu menunjukkan penurunan dari 146 (triwulan IV-2015) menjadi 123,50 (triwulan I-2016). Perlambatan produksi komoditas pertanian dan menurunnya kegiatan proyek dibandingkan periode sebelumnya disinyalir menjadi penyebab utama. Grafik 5.14. Indeks Penghasilan Saat Ini Dibanding 6 Bulan Lalu
Sumber : SK-BI, Diolah
73 | Bab V – Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
73
OUTLOOK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN INFLASI DI DAERAH Pertumbuhan ekonomi NTT pada triwulan II-2016 diperkirakan akan meningkat dan berada pada rentang 5-5.4% (yoy) dan prediksi sepanjang tahun 2016 diperkirakan masih berada pada proyeksi sebelumnya sebesar 5,1-5,5% (yoy). Di sisi lain, inflasi triwulan II diperkirakan berada pada kisaran 4,7-5,2% (yoy) dengan prediksi akhir tahun sebesar 4-4,5% (yoy). •
Peningkatan investasi dan realisasi anggaran pemerintah diperkirakan masih menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi pada triwulan II dan sepanjang tahun 2016. Khusus untuk triwulan II, pertumbuhan ekonomi juga ditopang oleh pencairan dana desa tahap pertama dan kemungkinan realisasi gaji ke-13.
•
Sementara itu, tekanan inflasi pada triwulan II diperkirakan terjadi seiring peningkatan konsumsi
masyarakat
menjelang
libur
sekolah
pada
bulan
Juni
dan
adanya
peningkatan harga menjelang perayaan Idul Fitri. Sementara itu, tekanan inflasi sepanjang tahun 2016 diperkirakan masih berasal dari komoditas volatile food dan tarif angkutan udara.
6.1 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi NTT 6.1.1 Pertumbuhan Ekonomi NTT Tahun 2016
Berdasarkan perkembangan pada triwulan I-2016, Perekonomian NTT sepanjang tahun 2016 diperkirakan masih berada pada rentang 5,1 – 5,5% (yoy). Tingginya realisasi pertumbuhan ekonomi di triwulan I yang mencapai 5,06% (yoy) menjadi salah satu dasar optimisme. Pertumbuhan ekonomi 2016 sendiri diperkirakan didorong oleh investasi dan konsumsi pemerintah. Dari sisi investasi, pembangunan Waduk Raknamo yang telah memasuki tahap konstruksi (progress mencapai 45% di bulan Mei), Waduk Rotiklot, embung, serta proyek lainnya seperti jalur sabuk perbatasan dan pos lintas batas negara diharapkan menjadi faktor pendorong. Sementara dari sisi konsumsi pemerintah, optimisme muncul dari adanya peningkatan dana desa sebesar 128% dari Rp 812 miliar (2015) menjadi Rp 1,849 triliun (2016) yang akan disalurkan kepada 2995 desa di 21 kabupaten dengan besaran Rp 565 juta/desa serta adanya gaji ke-13 Pegawai Negeri Sipil. Dari sisi konsumsi rumah tangga, optimisme muncul dari peningkatan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebanyak 16% dari Rp 1.250.000,- (2015) menjadi Rp 1.425.000,- (2016). Namun, terdapat pula potensi penghambat pertumbuhan | Bab VI – Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
74
ekonomi tahun 2016, diantaranya adalah potensi penurunan produksi pertanian seiring el nino dan serangan hama pada awal tahun 2016, serta kemungkinan penurunan produksi perikanan seiring La Nina yang diperkirakan terjadi mulai triwulan III-2016. 6.1.2 Pertumbuhan Ekonomi NTT Triwulan II-2016
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2016 diperkirakan berada pada rentang 5-5,4% (yoy) atau lebih tinggi dibandingkan triwulan I yang sebesar 5,06% (yoy). Peningkatan terutama didorong oleh sektor konsumsi pemerintah dan produksi pertanian masyarakat seiring masa panen. Grafik 6.1. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi NTT Triwulan I - 2016
Sumber : BPS dan Bank Indonesia (diolah)
6.1.2.1 Pertumbuhan Sisi Penggunaan
Dari sisi penggunaan, komponen konsumsi rumah tangga diperkirakan meningkat yang tercermin pada angka Indeks Tendensi Konsumen (ITK) dan Survei Konsumen. Peningkatan juga terlihat dari indeks proyeksi pendapatan rumah tangga dan rencana pembelian barang tahan lama. Sementara dari Survei Konsumen, terlihat peningkatan indeks keyakinan konsumen, indeks ekspektasi konsumen, ekspektasi penghasilan 6 bulan yang akan datang dan kondisi ekonomi 6 bulan yang akan datang. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan optimisme masyarakat terhadap pendapatan yang akan datang dan hal tersebut terkait dengan adanya panen dan rencana gaji ke-13 pada triwulan yang akan datang.
| Bab VI – Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
75
6.2. Indeks Tendensi Konsumen
6.3. Survei Konsumen
Sumber : BPS (diolah)
Sumber :Bank Indonesia diolah)
Kinerja investasi diperkirakan tumbuh sedikit melambat pada triwulan-II. Pertumbuhan investasi secara tahunan di triwulan-II diperkirakan akan sedikit melambat dibandingkan periode triwulan-I 2016. Hal ini lebih disebabkan dampak base effect tingginya pertumbuhan investasi pada triwulan II-2015. Pertumbuhan
investasi
pemerintah,
terutama
sendiri
diperkirakan
kelanjutan
masih
pembangunan
berasal
dari
investasi
bendungan,
gedung
pemerintahan, sarana publik (rumah sakit dan sarana pendidikan) serta fasilitas perhubungan (jalan, dermaga dan bandara). Di sisi swasta, terdapat sinyalemen rencana investasi swasta melalui pembangunan pabrik es balok dan garam. Kinerja net ekspor antar daerah dan luar negeri NTT pada triwulan II juga diperkirakan akan tetap melambat. Provinsi NTT diperkirakan masih akan mengalami net impor pada triwulan II-2016, hal ini terjadi karena masih terbatasnya produk asli daerah dan diiringi trend penurunan harga komoditas (kakao, jambu mete dan rumput laut) serta masih tingginya kebutuhan impor bahan modal (kendaraan dan bahan bangunan) serta pangan (beras). Di sisi lain, peningkatan pengiriman kapal ternak untuk memenuhi kebutuhan daging sapi menjelang hari raya Idul Fitri di pulau Jawa diharapkan dapat menghambat angka net impor. 6.1.2.2 Pertumbuhan Sisi Sektoral
Dari sisi sektoral, pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan-II 2016
diperkirakan
mengalami
perlambatan
dibandingkan
triwulan-I.
Perlambatan diperkirakan terjadi seiring adanya gagal tanam dan gagal panen untuk komoditas padi di beberapa daerah NTT, seperti Kab. Manggarai, Kab. | Bab VI – Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
76
Manggarai Barat, Kab. Kupang dan Rote. Penyebab hal tersebut diantaranya adalah curah hujan yang rendah akibat el nino dan serangan hama. Selain itu, produksi perikanan juga diperkirakan tidak setinggi tahun sebelumnya sebagai akibat dari adanya pola migrasi dan gelombang bawah laut yang menyebabkan tangkapan nelayan menjadi berkurang. Di sisi lain, sektor pertanian diperkirakan masih dapat tumbuh seiring pengiriman sapi melalui kapal ternak dan usaha indusri garam yang berkembang, terutama di Kab. Sabu Raijua. Namun, patut diwaspadai potensi terhambatnya pengiriman akibat angin kencang dan gelombang tinggi yang mulai muncul di perairan NTT. Berdasarkan data BMKG, curah hujan dan sifat hujan untuk mayoritas daerah Provinsi NTT pada bulan Mei 2016 berada pada kisaran rendah atau dibawah normal. Curah hujan menengah atau kondisi sifat hujan cukup normal hanya terdapat di daerah sebagian Flores (Manggarai Barat, Manggarai dan Sikka), serta sebagian Kab. Kupang. Namun, adanya potensi anomali cuaca juga dapat terjadi mengingat seringkalinya Kota Kupang diguyur hujan pada bulan Mei. Gambar 6.1. Ramalan Curah Hujan di Provinsi NTT pada Bulan Mei 2016
Sumber: BMKG Stakum Lasiana
Gambar 6.2. Ramalan Sifat Hujan di Provinsi NTT pada Bulan Mei 2016
Sumber: BMKG Stakum Lasiana
Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib diperkirakan mengalami peningkatan. Peningkatan disebabkan oleh adanya potensi penyaluran gaji ke-13 PNS, 60% anggaran dana desa ke daerah (sekitar Rp 1,1 triliun) serta adanya upaya percepatan penyerapan anggaran oleh pemerintah dengan target realisasi triwulan II mencapai 40% dari total anggaran. Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor diperkirakan mengalami peningkatan pada Triwulan-II. Peningkatan terutama didorong oleh adanya peningkatan pendapatan masyarakat seiring gaji ke-13 dan pendapatan paska panen. Selain itu, adanya liburan sekolah dan
| Bab VI – Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
77
menjelang hari raya Idul Fitri diperkirakan dapat pula mendorong hasrat masyarakat untuk melakukan belanja. Hal ini terindikasi pula pada hasil Suvei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU)-Bank Indonesia yang menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan yang terlihat dari indeks harga jual dan kegiatan usaha yang meningkat. Grafik 6.4. Survei Kegiatan Dunia Usaha
Sumber : Bank Indonesia (diolah)
Sektor konstruksi diperkirakan mengalami perlambatan di triwulan-II. Perlambatan lebih disebabkan oleh dampak base effect tingginya pertumbuhan ekonomi sektor konstruksi pada triwulan II-2015. Pertumbuhan sektor konstruksi pada triwulan-II diperkirakan masih ditopang oleh proyek-proyek pemerintah, termasuk proyek multiyear seperti bendungan dan gedung pemerintahan.
6.2 Inflasi Secara tahunan, pertumbuhan inflasi pada akhir tahun 2016 diperkirakan berada pada kisaran 4-4,5% (yoy) sementara untuk triwulan-II 2016 inflasi berada pada kisaran 4,7-5,2% (yoy). Pendorong inflasi pada tahun 2016 diperkirakan berasal dari komoditas volatile food. Adanya potensi penurunan produksi beras seiring kekeringan dan serangan hama pada musim tanam-I 2016 serta fluktuasi harga komoditas ikan, sayur-sayuran dan bumbu-bumbuan yang disebabkan oleh kondisi anomali cuaca yang seringkali terjadi menjadi potensi penyebab lainnya. Potensi inflasi juga berasal dari momen-momen libur keagamaan dan libur sekolah yang dapat mendorong peningkatan tarif angkutan udara. Sementara itu, potensi penahan inflasi pada tahun 2016 diperkirakan berasal dari stabilnya harga bahan bakar minyak (BBM) seiring harga minyak dunia yang cenderung rendah. Di sisi lain, inflasi tahunan pada triwulan II 2016 tercatat lebih rendah apabila dibandingkan triwulan-I, namun secara triwulanan inflasi cenderung lebih tinggi. Turunnya inflasi secara tahunan (yoy) lebih disebabkan oleh dampak | Bab VI – Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
78
base effect tingginya inflasi pada periode yang sama tahun 2015 sehingga mendorong pencapaian inflasi secara tahunan yang tinggi di awal tahun. Apabila dilihat secara triwulanan (qtq) inflasi diprediksi tercatat cukup tinggi sebesar 0,8 1,1% (qtq) atau lebih tinggi dibandingkan triwulan I yang sebesar -0,4% (qtq). Sumbangan inflasi triwulan II diperkirakan terjadi karena dorongan konsumsi masyarakat seiring peningkatan pendapatan paska panen dan momen liburan sekolah. Selain itu, momen idul fitri juga dapat menyebabkan harga komoditas dari daerah lain menjadi naik. Di sisi lain, penurunan produksi beras akibat kekeringan dan serangan hama dapat menjadi faktor pendorong inflasi lainnya. Indikasi kenaikan harga juga terlihat dari hasil survei konsumen Bank Indonesia yang menunjukkan adanya ekspektasi kenaikan harga dan penghasilan pada rentang triwulan II 2016. Grafik 6.5. Hasil Survei Konsumen
Sumber: Survei Konsumen-Bank Indonesia
Grafik 6.6. Prediksi Inflasi Triwulan-II 2016
Sumber: BPS & BI (diolah)
| Bab VI – Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
79