KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Provinsi Nusa Tenggara Timur November 2016
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Unit Asesmen Ekonomi dan Keuangan KPW BI Provinsi NTT Jl. Tom Pello No. 2 Kupang
NTT
[0380] 832-047 ; fax : [0380] 822-103 www.bi.go.id
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
November 2016
Kata Pengantar
Sejalan dengan salah satu tugas pokok Bank Indonesia, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Timur di daerah memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan kontribusi secara optimal dalam proses formulasi kebijakan moneter. Secara triwulanan KPw BI Provinsi NTT melakukan pengkajian dan penelitian terhadap perkembangan perekonomian daerah sebagai masukan kepada Kantor Pusat Bank Indonesia dalam kaitan perumusan kebijakan moneter tersebut. Selain itu kajian/analisis ini dimaksudkan untuk memberikan informasi yang diharapkan dapat bermanfaat bagi eksternal stakeholder setempat, yaitu Pemda, DPRD, akademisi, masyarakat serta stakeholder lainnya. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (KEKR) Provinsi Nusa Tenggara Timur ini mencakup Ekonomi Makro Regional, Perkembangan Inflasi, Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran, Keuangan Pemerintah, Kesejahteraan serta Prospek Perekonomian Daerah pada periode mendatang. Dalam menyusun kajian ini digunakan data yang berasal dari internal Bank Indonesia maupun dari eksternal, dalam hal ini dinas/instansi terkait. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan kajian ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu kami mengharapkan masukan dari semua pihak untuk meningkatkan kualitas isi dan penyajian laporan. Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik dalam bentuk penyampaian data maupun dalam bentuk saran, kritik, dan masukan sehingga kajian ini dapat diselesaikan. Kami mengharapkan kerjasama yang telah terjalin dengan baik selama ini, kiranya dapat terus berlanjut di masa yang akan datang.
Kupang, November 2016 Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Timur
Naek Tigor Sinaga Deputi Direktur
ii
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
November 2016
Daftar Isi
Halaman Judul ------------------------------------------------------------------------------------------Kata Pengantar -----------------------------------------------------------------------------------------Daftar Isi --------------------------------------------------------------------------------------------------Daftar Grafik --------------------------------------------------------------------------------------------Daftar Tabel ---------------------------------------------------------------------------------------------Daftar Gambar -----------------------------------------------------------------------------------------Ringkasan Umum---------------------------------------------------------------------------------------Tabel Indikator Ekonomi Terpilih Provinsi Nusa Tenggara Timur ------------------------------
i ii iii vi ix ix x xiii
BAB I EKONOMI MAKRO REGIONAL 1.1 Kondisi Umum ----------------------------------------------------------------------------1.2 Perkembangan Ekonomi Sisi Penggunaan ------------------------------------------1.2.1. Konsumsi --------------------------------------------------------------------------1.2.2. Pembentukan Modal Tetap Bruto/Investasi --------------------------------1.2.3. Ekspor dan Impor ----------------------------------------------------------------1.2.3.1 Ekspor dan Impor Antar Daerah-------------------------------------1.2.3.2 Ekspor dan Impor Luar Negeri ---------------------------------------1.3 Perkembangan Ekonomi Sisi Sektoral------------------------------------------------1.3.1. Sektor Pertanian, Kehutanan & Perikanan --------------------------------1.3.2. Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial --1.3.3. Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Motor ---1.3.4. Sektor-Sektor Lainnya -----------------------------------------------------------BOKS 1. Update Perkembangan Penyediaan Kelistrikan di Provinsi NTT ----------
1 3 4 7 9 9 10 11 12 14 15 17 21
BAB II KEUANGAN DAERAH 2.1 Kondisi Umum ---------------------------------------------------------------------------2.2 Pendapatan Daerah---------------------------------------------------------------------2.3 Belanja Daerah --------------------------------------------------------------------------2.3.1. Belanja APBN -------------------------------------------------------------------2.3.2. Belanja Pemerintah provinsi NTT ---------------------------------------------2.3.3. Belanja Pemerintah Kabupaten/Kota ---------------------------------------2.4 Dana Pemerintah di Perbankan ------------------------------------------------------
25 26 27 30 30 31 32
BAB III PERKEMBANGAN INFLASI 3.1. Kondisi Umum -------------------------------------------------------------------------3.1.1. Inflasi Bulanan -------------------------------------------------------------------3.2. Inflasi Berdasarkan Komoditas ------------------------------------------------------3.2.1. Bahan Makanan -----------------------------------------------------------------3.2.2. Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan ----------------------------3.2.3. Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau ----------------------------------3.2.4. Komoditas Lainnya --------------------------------------------------------------3.3. Disagregasi Inflasi NTT ----------------------------------------------------------------3.3.1 Volatile foods ---------------------------------------------------------------------3.3.2 Administered prices--------------------------------------------------------------3.3.3 Inflasi Inti (Core) -------------------------------------------------------------------
34 35 37 38 39 40 40 41 41 42 42 iii
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
November 2016
3.4. Inflasi NTT Berdasarkan Kota --------------------------------------------------------3.4.1 Inflasi Kota Kupang --------------------------------------------------------------3.4.2 Inflasi Kota Maumere -----------------------------------------------------------3.5. Perkiraan Inflasi NTT Triwulan IV 2016 dan Sepanjang Tahun 2016 --------3.6. Aktivitas Pengendalian Inflasi oleh TPID -------------------------------------------BOKS 2. Potensi Inflasi Bahan Makanan dan Mitigasi Resiko-----------------------BOKS 3. Potensi Ancaman Inflasi Daging Ayam Ras di NTT ------------------------BOKS 4. Roadmap TPID Provinsi NTT : JUPE RUN 10K -------------------------------
43 43 44 45 46 48 50 53
BAB IV STABILITAS KEUANGAN DAERAH 4.1. Kondisi Umum ------------------------------------------------------------------------4.2. Asesmen Kebutuhan Rumah Tangga --------------------------------------------4.2.1. Sumber Kerentanan dan Kondisi Sektor Rumah Tangga -------------4.2.2. Eksposur Rumah Tangga di Perbankan ----------------------------------4.3. Perkembangan Akses Keuangan dan UMKM -----------------------------------4.3.1. Kondisi Saat Ini dan Prospek Usaha ---------------------------------------4.3.2. Perkembangan Penyaluran Kredit UMKM -------------------------------4.3.3. Perkembangan Risiko Kredit UMKM--------------------------------------4.4. Asesmen Ketahanan Korporasi-----------------------------------------------------4.5. Asesmen Perbankan ------------------------------------------------------------------4.5.1. Kinerja Bank Umum ----------------------------------------------------------4.5.2 Kinerja Bank Perkreditan Rakyat ---------------------------------------------
57 58 58 59 61 61 62 64 65 66 66 68
BAB V PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH 5.1. Kondisi Umum -------------------------------------------------------------------------- 69 5.2. Transaksi Pembayaran Tunai --------------------------------------------------------- 70 5.2.1. Aliran Uang Masuk (Inflow) dan Aliran Uang Keluar (Outflow) ----- 70 5.2.2. Perkembangan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) -------------------------- 71 5.2.3. Perkembangan Uang Palsu (UPAL) ----------------------------------------- 72 5.3. Transaksi Pembayaran Non Tunai -------------------------------------------------- 73 5.4. Perkembangan Layanan Keuangan Digital --------------------------------------- 73 BOKS 5. LASIANA ---------------------------------------------------------------------------- 74 BAB VI KESEJAHTERAAN DAN KETENAGAKERJAAN 6.1 Kondisi Umum ---------------------------------------------------------------------------6.2. PERKEMBANGAN TENAGA KERJA -------------------------------------------------6.2.1 Perkembangan Tenaga Kerja Umum --------------------------------------6.2.2 Kondisi Ketenagakerjaaan Berdasarkan Sektor -------------------------6.2.3 Kondisi Ketenagakerjaaan Berdasarkan Tingkat Pendidikan ---------6.2.4 Kondisi Ketenagakerjaan Menurut Status Pekerjaan-------------------6.2.5 Kondisi Tenaga Kerja Sektor Industri Manufaktur Besar dan Sedang --------------------------------------------------------------------------6.2.6 Perkembangan Upah Minimum Provinsi (UMP) NTT -------------------6.2.7 Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) -------------------------------6.3. PERKEMBANGAN KESEJAHTERAAN -----------------------------------------------6.3.1 Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP)-----------------------------------6.3.2 Survei Konsumen (SK) dan Indeks Tendensi Konsumen (ITK) -----------------------------------------------------------------------------------------------------
77 77 77 78 79 80 81 81 79 82 82 83
BAB VI PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH 7.1 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi NTT ------------------------------------------------- 84 iv
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
November 2016
7.1.1 Pertumbuhan Ekonomi NTT Triwulan I 2017 ----------------------------7.1.1.1 Pertumbuhan Sisi Penggunaan -----------------------------------7.1.1.2 Pertumbuhan Sisi Sektoral ----------------------------------------7.1.2 Pertumbuhan Ekonomi NTT Tahun 2017 --------------------------------7.2 Inflasi ---------------------------------------------------------------------------------------7.2.1 Inflasi Triwulan-I Tahun 2017 -----------------------------------------------7.2.2 Inflasi Tahun 2017 --------------------------------------------------------------
84 84 86 86 88 88 88
v
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
November 2016
DAFTAR GRAFIK Grafik 1.1 PDRB (ADHB) & Pertumbuhan PDRB Tahunan Provinsi NTT dibandingkan Nasional------ ------------------------------------------ 2 Grafik 1.2 PDRB & Pertumbuhan PDRB Provinsi NTT,Bali, NTB & Nasional----- 2 Grafik 1.3 Survei Penjualan Eceran -- -------------------------------------------------- 5 Grafik 1.4 Perkembangan Konsumsi BBM----- --------------------------------------- 5 Grafik 1.5 Indeks Tendensi Konsumen ------------------------------------------------ 5 Grafik 1.6 Perkembangan Konsumsi Listrik Rumah Tangga ---------------------- 5 Grafik 1.7 Indeks Kegiatan Dunia Usaha ---------------------------------------------- 5 Grafik 1.8 Penyaluran Kredit Konsumsi ----------------------------------------------- 5 Grafik 1.9 Perkembangan Survei Konsumen ----------------------------------------- 7 Grafik 1.10 Perkembangan Survei Penjualan Eceran --------------------------------- 7 Grafik 1.11 Proyeksi Indeks Tendensi Konsumen ------------------------------------- 7 Grafik 1.12 Realisasi Konsumsi Semen Provinsi NTT --------------------------------- 9 Grafik 1.13 Perkembangan Peti Kemas ------------------------------------------------- 10 Grafik 1.14 Aktivitas Bongkar Muat ---- ------------------------------------------------ 10 Grafik 1.15 Perkembangan Ekspor dan Impor----------------------------------------- 11 Grafik 1.16 Negara Tujuan Ekspor ------------------------------------------------------- 11 Grafik 1.17 Data Pengiriman Ternak dari Pelabuhan Tenau ------------------------ 13 Grafik 1.18 Perkembangan Nilai Tukar Petani ----------------------------------------- 13 Grafik 1.19 Perkembangan Kredit Pertanian ------------------------------------------- 13 Grafik 1.20 Perkembangan SKDU Pertanian ------------------------------------------- 13 Grafik 1.21 Proyeksi SKDU Pertanian ---------------------------------------------------- 14 Grafik 1.22 Realisasi Belanja Konsumsi Pemerintah ---------------------------------- 15 Grafik 1.23 Perkembangan Simpanan Pemerintah di Perbankan ----------------- 15 Grafik 1.24 Perkembangan SKDU Sektor Perdagangan ---------------------------- 16 Grafik 1.25 Perkembangan Survei Konsumen ---------------------------------------- 16 Grafik 1.26 Perkembangan Kredit Sektor Perdagangan ---------------------------- 16 Grafik 1.27 Proyeksi SKDU Perdagangan ---------------------------------------------- 16 Grafik 1.28 Perkembangan Tamu Hotel ----------------------------------------------- 17 Grafik 1.29 Perkembangan Penumpang Bandara ----------------------------------- 17 Grafik Boks 1. 1. Perbandingan Rasio Elektrifikasi dan Konsumsi Listrik per Kapita ------------------------------------------------------------------- 21 Grafik Boks 1.2. Perbandingan Pertumbuhan PDRB Sektor Listrik dan Gas dengan PDRB -------------------------------------------------------------------- 21 Grafik 2.1 Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota di Provinsi NTT -------------------------------------- 25 Grafik 2.2 Pangsa Realisasi Sumber Pendapatan APBN ------------------------------ 26 Grafik 2.3 Pangsa Realisasi Sumber Pendapatan APBD Provinsi/Kab-Kota ------ 26 Grafik 2.4 Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten/Kota dan Komponennya Triwulan-III 2016 -------------------------------------------------------------- 27 Grafik 2.5 Pangsa Belanja Kabupaten/ Kota ------------------------------------------ 28 Grafik 2.6 Perkembangan Realisasi Belanja -------------------------------------------- 29 Grafik 2.7 Perkembangan Realisasi Belanja Modal ----------------------------------- 29 Grafik 2.8 Realisasi Belanja APBN dan APBD Provinsi dan Kab/Kota NTT-------- 29 Grafik 2.9 Pangsa Realisasi Belanja Konsumsi APBN Pemerintah dan APBD ---- 31 Grafik 2.10 Realisasi Belanja dan Komponennya Pemerintah Provinsi, dan Kab/Kota di NTT ----------------------------------------------------------- 32 Grafik 2.11 Dana Pihak Ketiga Pemerintah di Perbankan NTT --------------------- 33 vi
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
November 2016
Grafik 3.1 Inflasi Tahunan Provinsi NTT dan Nasional ------------------------------- 35 Grafik 3.2 Perbandingan Inflasi 5 regional di Indonesia ----------------------------- 37 Grafik 3.3 Perbandingan Inflasi di wilayah Bali dan Nusa Tenggara -------------- 37 Grafik 3.4 Inflasi Kelompok Komoditas Bahan Makanan secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan ----------------------------------------- 39 Grafik 3.5 Inflasi Kelompok Komoditas Bahan Makanan per Sub Kelompok Komoditas ---------------------------------------------------------- 39 Grafik 3.6 Inflasi Kelompok Komoditas Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan ------ 39 Grafik 3.7 Inflasi Kelompok Komoditas Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan per Sub Kelompok Komoditas -------------------- 39 Grafik 3.8 Inflasi Kelompok Komoditas Makanan Jadi,Minuman dan Tembakau secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan ----------------- 40 Grafik 3.9 Inflasi Kelompok Komoditas Komoditas Makanan Jadi,Minuman Dan Tembakau per Sub Kelompok Komoditas------------------------- 40 Grafik 3.10 Disagregasi Inflasi dan Sumbangan Inflasi Tahunan Provinsi Nusa Tenggara Timur --------------------------------------------- 41 Grafik 3.11 Ekspektasi Harga Konsumen 3 dan 6 Bulan ke Depan --------------- 43 Grafik 3.12 Inflasi Tahunan Kota Kupang --------------------------------------------- 44 Grafik 3.13 Inflasi Tahunan Kota Maumere ------------------------------------------- 45 Grafik Boks 2.1. Pola Pergerakan Inflasi Kelompok Komoditas Bahan Makanan dalam 7 Tahun terakhir --------------------------------------------- 48 Grafik Boks 2.2. Perbandingan Andil Inflasi 14 Komoditas Bahan Makanan dibandingkan Inflasi Umum di Provinsi NTT -------------------- 48 Grafik Boks 3.1. Inflasi Daging Ayam Bulanan dibandingkan Data Survei Pemantauan Harga --------------------------------------------------- 50 Grafik Boks 3.2. Harga Daging Ayam Bulanan SPH dibandingkan Estimasi Harga Inflasi -------------------------------------------------------------------- 50 Grafik Boks 4.1. 31 Komoditas Penyumbang Inflasi Utama di NTT --------------- 54 Grafik 4.1 Kontribusi Konsumsi RT terhadap Agregat ------------------------------- 58 Grafik 4.2 IKK, IKE dan IEK ---------------------------------------------------------------- 58 Grafik 4.3 Indeks Pengeluaran Berdasarkan Kelompok Komoditas --------------- 59 Grafik 4.4 Indeks Sikap Masyarakat Terhadap Kasus Kejahatan Perbankan ---- 59 Grafik 4.5 Pangsa DPK Rumah Tangga dan Non Rumah Tangga ----------------- 60 Grafik 4.6 Pertumbuhan DPK ------------------------------------------------------------- 60 Grafik 4.7 Preferensi DPK Rumah Tangga ---------------------------------------------- 60 Grafik 4.8 Pertumbuhan DPK Rumah Tangga ----------------------------------------- 60 Grafik 4.9 Kredit Rumah Tangga --------------------------------------------------------- 61 Grafik 4.10 Pertumbuhan DPK Rumah Tangga --------------------------------------- 61 Grafik 4.11 Perkembangan Dunia Usaha ----------------------------------------------- 62 Grafik 4.12 Kondisi Keuangan ------------------------------------------------------------ 62 Grafik 4.13 Pertumbuhan Kredit UMKM ----------------------------------------------- 63 Grafik 4.14 NPL UMKM -------------------------------------------------------------------- 63 Grafik 4.15 Pertumbuhan Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Usaha --------------- 63 Grafik 4.16 Pertumbuhan Kredit UMKM 7 Sektor Ekonomi------------------------ 64 Grafik 4.17 NPL UMKM Berdasarkan Jenis Usaha ------------------------------------ 65 Grafik 4.18 NPL UMKM 3 Sektor --------------------------------------------------------- 65 Grafik 4.19 Pertumbuhan Tahunan Kredit Korporasi -------------------------------- 65 Grafik 4.20 NPL Kredit Sektor Korporasi ------------------------------------------------ 65 Grafik 4.21 NPL Kredit 2 Sektor Korporasi --------------------------------------------- 66 Grafik 4.22 Pertumbuhan DPK (yoy) dan Kredit (yoy) -------------------------------- 67 vii
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
November 2016
Grafik 4.23 Perkembangan LDR ---------------------------------------------------------- 67 Grafik 4.24 BOPO dan ROA Bank Umum ----------------------------------------------- 68 Grafik 4.25 LDR dan CAR BPR ------------------------------------------------------------ 68 Grafik 4.26 BOPO, ROA, NPL BPR -------------------------------------------------------- 68 Grafik 5.1 Perkembangan Transaksi Tunai --------------------------------------------- 70 Grafik 5.2 Perkembangan Transaksi Kliring -------------------------------------------- 70 Grafik 5.3 Perkembangan Inflow, Outflow dan UTLE -------------------------------- 71 Grafik 5.4 Perkembangan Arus Uang Tunai (Inflow-Outflow) --------------------- 71 Grafik 5.5 Perkembangan UTLE di Provinsi NTT --------------------------------------- 72 Grafik 5.6 Perkembangan UPAL di Provinsi NTT -------------------------------------- 72 Grafik Boks 5.1. Kegiatan Pemusnahan Uang ---------------------------------------- 76 Grafik Boks 5.2. Frekuensi Kegiatan Kas Keliling dan Dropling ------------------- 76 Grafik Boks 5.3. Selisih Lebih dan Kurang Setoran Bank ---------------------------- 76 Grafik 6.1 Perbandingan Tingkat Pengangguran Provinsi NTT dan Nasional --- 78 Grafik 6.2 Sepuluh Provinsi dengan Prosentase Pengangguran Terendah ------ 78 Grafik 6.3 Perbandingan Jumlah Angkatan Kerja, Pekerja dan Penganggur di Provinsi NTT --------------------------------------------------------------------- 79 Grafik 6.4 Tren Penyerapan Tenaga Kerja Per-Sektor ------------------------------- 79 Grafik 6.5 Struktur Tenaga Kerja di NTT Bulan Agustus 2016 -------------------- 79 Grafik 6.6 Pertumbuhan Tenaga Kerja dan Angkatan Kerja ----------------------- 79 Grafik 6.7 Perkembangan Pengangguran Berdasarkan Tingkat Pendidikan --- 80 Grafik 6.8 Perkembangan Angkatan Kerja dan Pekerja Menurut Tingkat Pendidikan ---------------------------------------------------------------------- 80 Grafik 6.9 Perkembangan Struktur Tenaga Kerja Menurut Status Pekerjaan - 81 Grafik 6.10 Perkembangan Status Pekerjaan Masyarakat -------------------------- 81 Grafik 6.11 Presentase Penyerapan Tenaga Kerja Industri Manufaktur Sedang dan Besar ------------------------------------------------------------ 81 Grafik 6.12 Perkembangan Produktivitas Industri Manufaktur Besar dan Sedang -------------------------------------------------------------------------- 81 Grafik 6.13 Perkembangan Upah Minimum Provinsi NTT -------------------------- 82 Grafik 6.14 Perkembangan Indeks Tenaga Kerja SKDU ---------------------------- 82 Grafik 6.15 Perkembangan Nilai Tukar Petani ---------------------------------------- 83 Grafik 6.16 Perkembangan Nilai Tukar Petani Per Sektor --------------------------- 83 Grafik 6.17 Perkembangan Survei Konsumen-BI dan Indeks Tendensi Konsumen-BPS --------------------------------------------------------------- 83 Grafik 7.1 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi NTT Triwulan-I 2017 --------------- 85 Grafik 7.2 Survei Konsumen -------------------------------------------------------------- 85 Grafik 7.3. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi NTT Tahun 2017 --------------------- 87 Grafik 7.4 Prediksi Inflasi Tw I 2017 dan 2017 --------------------------------------- 89
viii
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
November 2016
DAFTAR TABEL Tabel 1.1 PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Pengeluaran Tw-III 2016 ----------- 3 Tabel 1.2 PDRB Komponen Konsumsi Rumah Tangga Provinsi NTT Triwulan III2016 ----------------------------------------------------------------------------- 4 Tabel 1.2 PDRB Komponen Konsumsi Rumah Tangga Provinsi NTT Triwulan III2016 ----------------------------------------------------------------------------- 4 Tabel 1.3. PDRB Komponen Konsumsi Pemerintah Provinsi NTT Triwulan III 2016 ------------------------------------------------------------------------------ 6 Tabel 1.4. PDRB Komponen PMTB/Investasi Provinsi NTT Triwulan III-2016 --- 8 Tabel 1.5. Realisasi Investasi Modal Asing & Penanaman Modal Dalam Negeri 9 Tabel 1.6. PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Sektor Ekonomi Triwulan III-2016 - 12 Tabel Boks 1.1. Progres Pembangunan Pembangkit dan Permasalahan yang Dihadapi ------------------------------------------------------------------ 23 Tabel 2.1 Realisasi Belanja APBN dan APBD Provinsi dan Kabupaten /Kota di Provinsi NTT ------------------------------------------------------------------ 29 Tabel 2.2. Komposisi DPK Pemerintah di NTT ---------------------------------------- 33 Tabel 2.3 Ringkasan Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi NTT ------------------- 33 Tabel 3.1 10 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi Tahunan di Provinsi NTT 35 Tabel 3.2 Komoditas Penyumbang Inflasi Utama di Provinsi NTT --------------- 36 Tabel 3.3 Komoditas Penyumbang Deflasi Utama di Provinsi NTT -------------- 37 Tabel 3.5 Inflasi di Kota Kupang berdasarkan Kelompok Komoditas ---------- 44 Tabel 3.6 Inflasi di Kota Maumere berdasarkan Kelompok Komoditas -------- 45 Tabel Boks 2.1. Rencana Masa Tanam dan Masa Panen Komoditas Utama Penyumbang Inflasi di Provinsi NTT tahun 2016 ----------------- 49 Tabel 5.1.Perkembangan Kegiatan KPw BI Provinsi NTT --------------------------- 72 Tabel Boks 5.1. Realisasi Kegiatan Perkasan Bank Indonesia di tahun 2016 --- 76
DAFTAR GAMBAR Gambar Boks 1.1. Peta Penyediaan Listrik dan Rencana Transmisi Kelistrikan di Provinsi NTT ----------------------------------------------------------- 22 Gambar 2.1. Realisasi Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur -------------------------------------------------------------------------- 32 Gambar 3.1 Kegiatan TPID Provinsi NTT Triwulan III 2016 dan Sebaran Pembentukan TPID ---------------------------------------------------------- 48 Gambar Boks 3.1 Peta Produksi, Distribusi dan Estimasi Kebutuhan Daging Ayam Ras di NTT-------------------------------------------------------------- 51 Gambar Boks 4.1. Alur Pikir Road Map TPID Provinsi NTT ------------------------- 54 Gambar Boks 4.2. Strategi Pengendalian Inflasi di Provinsi NTT ------------------ 55 Gambar Boks 5.1. Peta Kas Titipan dan Jalur Distribusi Uang di NTT ----------- 74 Gambar Boks 5.2. Bagan Inovasi Perkasan di KPwBI Provinsi NTT ---------------- 75
ix
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
November 2016
Ringkasan Umum KER Provinsi Nusa Tenggara Timur November 2016 EKONOMI MAKRO REGIONAL Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi NTT pada triwulan III-2016 mencapai Rp 21,98 triliun dengan pertumbuhan tahunan sebesar 5,14% (yoy), melambat dibandingkan triwulan II-2016 yang sebesar 5,36% (yoy). Namun angka tersebut masih lebih tinggi dibandingkan nasional yang tumbuh sebesar 5,02% (yoy). Perlambatan terutama berasal dari konsumsi pemerintah yang mengalami kontraksi sebesar -29,6% (yoy) seiring dengan adanya penghematan anggaran oleh pemerintah dan adanya penundaan realisasi Dana Alokasi Umum (DAU). Sementara itu, pertumbuhan ekonomi triwulan III terutama didukung oleh peningkatan konsumsi rumah tangga seiring pendapatan masyarakat paska gaji ke-13 dan ke-14 di akhir bulan Juni, panen komoditas perkebunan dan didukung oleh momen libur keagamaan serta liburan sekolah. Selain itu didukung pula pertumbuhan investasi yang masih tercatat tumbuh positif. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada triwulan-IV diperkirakan akan cukup stabil dengan kisaran 5-5,4% (yoy) yang didorong oleh percepatan belanja pemerintah serta konsumsi masyarakat menjelang natal dan liburan sekolah. Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2016 akan mengalami sedikit peningkatan dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 5,02% (yoy) dan berada pada rentang 5-5,4% (yoy) terutama berasal dari peningkatan konsumsi masyarakat secara umum dan pertumbuhan investasi. KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH Perkembangan realisasi pendapatan pemerintah di Provinsi NTT pada triwulan III2016 mencapai Rp 18,41 triliun atau telah mencapai 74,39% dari pagu rencana pendapatan tahun 2016 sebesar Rp 24,75 triliun. Di sisi lain, terjadi penyesuaian pagu belanja pemerintah sebesar Rp 975,45 miliar di triwulan III yang terutama didorong langkah penghematan anggaran APBN oleh pemerintah pusat. Sementara itu, realisasi belanja pemerintah tercatat baru mencapai Rp 18,21 triliun atau 53,39% dari pagu belanja tahun 2016 sebesar Rp 34,11 triliun. Pangsa realisasi belanja masih didominasi oleh belanja pegawai sebesar 46,11% serta belanja barang dan jasa (19,59%), sementara belanja modal hanya sebesar 17,31%. x
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
November 2016
PERKEMBANGAN INFLASI Inflasi Provinsi NTT pada triwulan III 2016 mengalami penurunan yaitu dari 5,02 (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi sebesar 3,07% (yoy) di triwulan III 2016. atau relatif sama dengan inflasi nasional yang sebesar 3,07% (yoy). Pencapaian tersebut terutama didorong deflasi yang terjadi pada bulan Juli, Agustus dan September 2016 seiring menurunnya inflasi bahan makanan sebagai dampak peningkatan pasokan komoditas ikan segar, sayur-sayuran dan bumbu-bumbuan. Penurunan juga didukung oleh turunnya permintaan angkutan udara paska hari raya Idul Fitri dan libur sekolah. Berdasarkan perkembangan terakhir pada bulan Oktober 2016, Provinsi NTT kembali mengalami inflasi namun relatif terjaga yaitu hanya sebesar 0,19% (mtm). Namun demikian, Potensi inflasi tinggi diperkirakan dapat terjadi pada bulan November dan Desember 2016 seiring dampak cuaca yang berpotensi mengurangi pasokan ikan segar, sayur-sayuran, dan bumbu-bumbuan serta potensi kenaikan harga daging ayam ras seiring Hari Raya Natal dan Tahun baru sebagai dampak lanjutan dari kurangnya suplai day old chick (DOC) di seluruh NTT. Hingga akhir tahun 2016, inflasi diperkirakan berada pada kisaran 2,4%-2,8% (yoy). PERKEMBANGAN STABILITAS KEUANGAN Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Daerah Provinsi NTT pada triwulan laporan tercatat mengalami penurunan terutama berasal dari beberapa indikator seperti kredit UMKM yang mengalami peningkatan Non Performing Loan (NPL) serta adanya penurunan pada kredit korporasi. Namun secara umum kondisi SSK masih cukup terjaga. Hal ini terlihat dari indikator survei konsumen yang menunjukkan peningkatan optimisme masyarakat pada ekspektasi ekonomi kedepan serta kinerja industri perbankan secara umum yang masih positif. PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN Transaksi sistem pembayaran tunai pada triwulan III 2016 mengalami perlambatan antara lain disebabkan oleh selain perlambatan aktivitas ekonomi paska pemotongan DAU di 5 pemda, juga disebabkan oleh tingginya pembayaran gaji ke-13 dan 14 serta tunjangan hari raya yang persiapan pembayarannya telah dilakukan pada triwulan sebelumnya. Sementara itu, transaksi pembayaran non tunai masih tumbuh cukup
tinggi
walaupun
relatif
melambat
dibanding
triwulan
sebelumnya.
KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN xi
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
November 2016
Perkembangan ketenagakerjaan dan kesejahteraan di Provinsi NTT menunjukkan angka perbaikan yang terlihat dari penurunan TPT dan indikator survei Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI) yang menunjukkan peningkatan. Berdasarkan data BPS, angka pengangguran pada bulan Agustus 2016 tercatat sebesar 76.580 orang menurun dibandingkan Februari 2016 yang sebesar 87.699 orang yang didukung oleh cukup tingginya penerapan tenaga kerja pada sektor industri dan jasa kemasyarakatan. Sementara itu, Indikator kesejahteraan pada triwulan-III 2016 juga menunjukkan perbaikan melalui peningkatan Nilai Tukar Petani seiring kenaikan pendapatan pada sektor Tanaman Padi-Palawija serta Tanaman Perkebunan Rakyat. Kenaikan juga didukung hasil Survei Konsumen-BI yang menunjukkan peningkatan angka indeks penghasilan yang didapatkan masyarakat.
PROSPEK PEREKONOMIAN Pertumbuhan ekonomi NTT triwulan-I 2017 diperkirakan didorong oleh sektor
perdagangan dan administrasi pemerintahan seiring kegiatan pilkada di daerah di Provinsi NTT pada bulan Februari 2017. Sementara itu, peningkatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2017 didukung oleh pertumbuhan positif pada sektor pertanian, serta peningkatan pertumbuhan pada sektor konstruksi, perdagangan besar dan eceran serta administrasi pemerintahan. Dari sisi inflasi, tren harga yang cukup rendah pada tahun 2016 diperkirakan berdampak pada peningkatan harga komoditas bahan makanan. Selain itu, kondisi cuaca yang kurang baik di awal tahun juga dapat berpengaruh pada kondisi pasokan bahan makanan (sayur-sayuran dan ikan segar) sehingga proyeksi inflasi pada triwulan-I 2017 diperkirakan berada pada rentang 3,5-3,9% (yoy). Sementara itu, inflasi akhir tahun 2017 berada pada rentang 4,4-4,8% (yoy) seiring dengan kenaikan harga komoditas bahan makanan dan adanya potensi tekanan inflasi pada kelompok administered prices, baik listrik maupun bahan bakar minyak.
xii
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
November 2016
Tabel Indikator Ekonomi Terpilih Provinsi Nusa Tenggara Timur I. EKONOMI MAKRO REGIONAL INDIKATOR
2014
Berdasarkan Sektor/ Lapangan Usaha (Harga Berlaku) Produk Domestik Regional Bruto (Harga Berlaku) Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan dan Asuransi Real Estate Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya Berdasarkan Permintaan / Penggunaan (Harga Berlaku) Produk Domestik Regional Bruto (Harga Berlaku) 1. Konsumsi Rumah Tangga 2. Konsumsi Lembaga Non Profit (LNPRT) 3. Konsumsi Pemerintah 4. Pembentukan Modal Tetap Bruto 5. Perubahan Inventori 6. Ekspor Luar Negeri 7. Impor Luar Negeri 8. Net Ekspor Antar Daerah (Impor)
2015
2015 %yoy*)
2015 III
II
III
2016 % qtq**) %yoy***)
68,598.5 20,447.4 1,070.3 843.7 31.8 45.5 7,096.0 7,296.7 3,566.9 422.4 5,134.4 2,698.9 1,860.9 210.9 8,392.7 6,568.2 1,414.6 1,497.0
76,432.5 22,665.7 1,307.6 940.9 40.0 47.2 7,908.2 8,274.0 3,976.0 487.1 5,477.4 2,995.5 2,054.3 235.5 9,399.6 7,367.7 1,616.4 1,639.5
5.02 20,021.6 20,692.8 21,979.9 2.93 6,039.3 5,975.6 6,368.2 6.42 350.6 352.8 394.4 5.23 243.5 250.9 265.4 10.19 9.2 12.7 13.9 2.07 12.3 12.1 12.8 5.22 2,051.7 2,207.5 2,405.3 6.09 2,176.8 2,271.2 2,464.5 5.49 1,014.8 1,099.2 1,186.0 6.17 127.3 137.7 148.2 7.14 1,416.9 1,414.7 1,511.0 5.76 781.3 843.5 842.2 3.85 539.7 538.5 567.4 4.61 61.3 61.5 66.4 7.09 2,461.3 2,639.6 2,721.1 4.85 1,904.1 1,989.4 2,107.1 5.52 413.7 448.6 456.3 3.72 417.8 437.4 449.9
5.44 5.21 11.63 5.01 3.79 4.15 8.85 8.28 4.43 7.19 7.30 -1.77 5.33 5.04 3.42 4.13 1.10 2.14
5.14 1.79 7.14 4.83 19.08 -1.04 9.90 8.48 8.37 11.57 6.41 4.38 2.21 1.60 4.19 5.09 5.52 3.47
68,598.5 50,952.8 2,323.8 20,592.3 26,693.0 1,024.3 1,382.3 527.2
76,432.5 56,027.9 2,539.4 23,705.4 32,505.8 967.6 1,608.8 261.5
5.02 20,021.6 20,692.8 21,979.9 6.33 14,448.8 15,290.1 15,792.4 4.49 671.5 631.3 677.2 7.97 7,655.1 5,521.4 5,539.7 17.19 8,467.2 9,046.6 9,676.6 -15.22 417.2 131.5 136.7 19.99 506.8 354.1 340.4 -54.99 60.2 74.3 80.3
5.44 5.37 7.83 0.11 5.62 3.14 -3.58 8.38
5.14 7.60 -2.05 -29.46 3.15 -69.30 -36.84 40.87
-33,842.9 -40,660.9
18.66 -12,084.8 -10,207.9 -10,102.8
2.81
-16.52
Data Ekspor Impor di Provinsi NTT Ekspor Nilai Ekspor Nonmigas (ribu USD)
18,410
24,018
30.46
6,333
6,670
6,977
4.61
10.17
Volume Ekspor Nonmigas (ton)
61,410
83,016
35.18
27,751
24,971
33,102
32.56
19.28
26,013 76,708
5,352 3,042
-79.43 -96.03
93 511
38 70
3,388 8835.88 614 770.71
3558.96 20.23
Impor Nilai Impor Nonmigas (ribu USD) Volume Impor Nonmigas (ton) Ket: Dalam Rp Miliar (ADHB) *) Total Pertumbuhan 2015 dibandingkan 2014 **) Pertumbuhan Q3 2016 dibandingkan Q2 2016 ***) Pertumbuhan Q3 2016 dibandingkan Q3 2015 ****) Untuk mengukur pertumbuhan digunakan PDRB Harga Konstan II. INFLASI INDIKATOR Indeks Harga Konsumen NTT - Kota Kupang - Maumere Laju Inflasi Tahunan (yoy %) NTT - Kota Kupang - Maumere
2014 I
II
2015 III
IV
I
II
2016 III
IV
I
II
III
OKT
112.52 112.91 110.00
113.27 113.63 110.93
113.15 113.50 110.85
119.15 120.06 113.20
118.59 119.47 112.81
120.07 121.09 113.42
120.78 121.54 115.77
125.02 126.15 117.60
124.56 125.64 117.50
126.10 127.42 117.47
124.48 125.41 118.41
124.72 125.63 118.72
7.78 7.99 6.39
8.10 8.31 6.70
4.13 4.27 3.19
7.76 8.32 4.00
5.39 5.81 2.55
6.01 6.57 2.24
6.74 7.08 4.44
4.92 5.07 3.89
5.04 5.16 4.16
5.02 5.23 3.57
3.07 3.18 2.28
2.93 2.98 2.59
xiii
|
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
November 2016
II. PERBANKAN INDIKATOR
2014
2014
2015
I A. Bank Umum Konvensional dan Syariah (dalam Rp. Miliar kecuali dinyatakan lain) 1. Total Aset 25,600 28,602 23,316 2. DPK 18,367 21,478 16,804 - Giro 3,634 4,372 3,954 - Tabungan 10,306 11,933 8,515 - Deposito 4,427 5,173 4,336 3. Kredit Berdasarkan Lokasi Proyek 17,698 20,284 15,695 - Modal Kerja 5,261 6,110 4,385 - Investasi 1,536 1,650 1,343 - Konsumsi 10,900 12,524 9,968 4. Kredit Berdasarkan Lokasi Kantor Cabang 17,094 19,492 15,071 - Modal Kerja 5,252 5,922 4,322 - Investasi 1,309 1,381 1,115 - Konsumsi 10,534 12,189 9,634
C. Grand Total (A+B) (dalam Rp. Miliar kecuali dinyatakan lain) 1. Total Aset 26,016 29,112 2. Dana Pihak Ketiga 18,676 21,859 3. Pembiayaan berdasarkan Lokasi Kantor Cabang 17,413 19,849 D. Pangsa BPR Terhadap Grand Total 1. Total Aset (%) 2. Dana Pihak Ketiga (%) 3. Pembiayaan berdasarkan Lokasi Kantor Cabang (%)
1.6% 1.7% 1.8%
1.8% 1.7% 1.8%
2015
2016 II
III
30,931 21,945 5,604 10,449 5,893 20,525 6,127 1,567 12,830 19,556 5,748 1,317 12,491
32,321 23,829 6,429 11,150 6,250 21,731 6,693 1,696 13,342 20,845 6,409 1,442 12,995
30,327 22,405 5,059 11,063 6,283 22,383 7,050 1,661 13,672 21,508 6,764 1,472 13,272
90.8% 6,301
89.1% 6,395
87.5% 6,933
96.0% 7,308
482 353 354 80.5%
510 381 366 76.70%
535 403 368 77.6%
545 412 389 79.8%
572 434 421 77.9%
33,233 21,912 18,546
33,232 22,694 19,250
29,112 21,859 19,858
31,466 22,348 19,924
32,866 24,241 21,235
30,900 22,839 21,929
1.4% 1.6% 1.9%
1.4% 1.5% 1.9%
1.4% 1.6% 1.8%
1.8% 1.7% 1.8%
1.7% 1.8% 1.8%
1.7% 1.7% 1.8%
1.9% 1.9% 1.9%
I
II
III
IV
26,398 18,465 5,310 8,475 4,680 16,587 4,822 1,443 10,322 15,947 4,742 1,201 10,004
27,114 18,895 5,015 8,959 4,922 17,153 5,061 1,443 10,649 16,532 5,008 1,235 10,289
25,600 18,367 3,634 10,306 4,427 17,698 5,261 1,536 10,900 17,094 5,252 1,309 10,534
29,877 19,648 5,412 9,046 5,190 17,843 5,260 1,533 11,049 17,226 5,218 1,318 10,690
32,778 21,581 6,290 9,106 6,186 18,908 5,698 1,641 11,569 18,198 5,626 1,359 11,212
32,750 22,341 6,537 9,644 6,159 19,742 6,072 1,570 12,100 18,897 5,848 1,338 11,710
28,602 21,478 4,372 11,933 5,173 20,284 6,110 1,650 12,524 19,492 5,922 1,381 12,189
86.4% 4,922
87.5% 5,176
93.1% 5,329
87.7% 5,422
84.3% 5,814
84.6% 6,180
355 257 294 85.6%
374 275 306 84.1%
415 309 319 79.4%
437 311 330 80.5%
454 331 349 82.4%
23,660 17,055 15,341
26,753 18,723 16,241
27,487 19,170 16,838
26,016 18,676 17,413
30,314 19,959 17,556
1.5% 1.5% 1.8%
1.3% 1.4% 1.8%
1.4% 1.4% 1.8%
1.6% 1.7% 1.8%
I
II
LDR (%) 93.1% 90.8% 89.7% Kredit UMKM 5,329 6,301 4,324 B. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) (dalam Rp. Miliar kecuali dinyatakan lain) Total Aset 415 510 343 Dana Pihak Ketiga 309 381 250 Kredit Berdasarkan Lokasi Kantor Cabang 319 366 270 LDR (%) 79.4% 76.7% 82.6%
II
I
II
III
IV
I
III. SISTEM PEMBAYARAN INDIKATOR Transaksi Tunai Inflow (Rp. Triliun) Outflow (Rp. Triliun) Uang Palsu (lembar) Transaksi Non Tunai BI-RTGS To NTT Nominal Transaksi BI-RTGS (Rp. Triliun) Volume Transaksi BI-RTGS (lembar warkat) Kliring Nominal Kliring Penyerahan (Rp. Triliun) Volume Perputaran Kliring Penyerahan (lembar warkat) Cek/BG Kosong
2014
2015
2014
2015 III
IV
III
IV
2016 II
I
III
3.4 4.6 72
3.7 5.6 1098
1.4 0.3 14
0.7 0.8 11
0.8 1.3 39
0.5 2.1 8
1.8 0.4 27
0.5 0.9 966
0.8 1.7 52
0.5 2.6 53
1.8 0.3 25
0.7 1.7 89
0.9 1.3 38
92.71 33,747
136 21,758
14.18 7,809
13.05 7,868
29.84 8,776
35.63 9,294
34.61 5,984
43.75 6,086
41.55 5,877
15.84 3,811
8.69 323
6.76 335
0.00 0.00
3.79 152,284 897
6.32 201,975 1,203
0.84 34,677 179
0.85 36,188 175
0.91 37,809 276
1.19 43,610 267
0.99 39,971 300
0.93 40,708 254
1.38 48,453 342
3.01 72,843 307
3.11 67,315 229
3.36 75,723 247
2.81 73,560 244
xiv
|
EKONOMI MAKRO REGIONAL Pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada triwulan-III 2016 mengalami pertumbuhan namun cenderung melambat dibandingkan triwulan II-2016. Pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT triwulan III-2016 tercatat sebesar 5,14% (yoy) melambat dibandingkan triwulan II-2016 yang sebesar 5,36% (yoy). Namun angka tersebut masih lebih tinggi dibandingkan nasional yang tumbuh sebesar 5,02% (yoy). Dari sisi penggunaan, pertumbuhan terutama didorong oleh konsumsi rumah tangga, sementara dari sisi sektoral didorong oleh Sektor Kontruksi dan sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor. Sementara itu, tracking pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV diperkirakan mengalami pertumbuhan yang positif. Di sisi lain secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT tahun 2016 diperkirakan berada pada kisaran 5-5,4% (yoy) dan berada pada titik lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 5,02% (yoy).
1.1 Kondisi Umum Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi NTT pada triwulan III2016 mencapai Rp 21,98 triliun dan mencatat pertumbuhan sebesar 5,14% (yoy). Dari sisi penggunaan, pertumbuhan ekonomi didorong oleh konsumsi rumah tangga yang tumbuh sebesar 7,6%(yoy). Pertumbuhan ini terutama disumbang oleh konsumsi perumahan dan perlengkapan rumah tangga yang tumbuh sebesar 16,55% (yoy) dan diperkirakan turut disebabkan oleh masih tingginya belanja masyarakat paska pemberian gaji 13 dan 14 di akhir bulan Juni, adanya panen komoditas perkebunan seperti jambu mete dan kakao, serta dorongan kegiatan proyek yang membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Adanya kegiatan pameran REI Expo 2016 di kota Kupang juga mendorong belanja di bidang perumahan. Pertumbuhan cukup tinggi juga terjadi pada komponen restoran dan hotel sebesar 52,05% (yoy) yang ditunjang beberapa kegiatan bersifat nasional di NTT, seperti Hari Keluarga Nasional (Harganas), Expo Alor X dan Sunda Kecil Expo. Di sisi lain, pertumbuhan konsumsi pemerintah yang kontraksi sebesar -29,46% (yoy), secara umum menyebabkan melambatnya pertumbuhan dibandingkan triwulan-II. Dari sisi sektoral, sektor kontruksi serta sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor menjadi penyumbang utama pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada triwulan-III yang diperkirakan turut didorong peningkatan kegiatan proyek pemerintah dan swasta serta dorongan belanja masyarakat seiring peningkatan | Bab I - Ekonomi Makro Regional
1
pendapatan
masyarakat
serta
panen
komoditas
perkebunan.
Sementara
itu,
perlambatan pada sisi sektoral terutama berasal dari sektor administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib serta jasa keuangan dan asuransi. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada triwulan-III yang sebesar 5,14% tercatat masih lebih tinggi dibandingkan nasional yang tumbuh sebesar 5,02% (yoy) dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang sebesar 3,47%. Pertumbuhan di tingkat nasional terutama didorong oleh konsumsi rumah tangga, namun secara umum melambat dibandingkan triwulan-II yang terutama didorong perlambatan sektor konsumsi pemerintah. Hal yang sama juga terjadi pada Provinsi NTB yang mengalami perlambatan di sektor pertambangan, namun masih terdorong oleh sektor perdagangan seiring perayaan keagamaan (Idul Fitri dan Idul Adha). Sementara itu, provinsi Bali masih dapat tumbuh sebesar 6,17% (yoy) dan tercatat diatas pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT walaupun mengalami perlambatan dibandingkan triwulan-II. Sektor akomodasi dan penyediaan makan minum masih menjadi penyumbang utama dengan pertumbuhan 7,86% (yoy). Grafik 1.1. PDRB (ADHB) dan Pertumbuhan PDRB Tahunan Provinsi NTT dibanding Nasional
Sumber : BPS, diolah
Grafik 1.2. PDRB dan Pertumbuhan PDRB Provinsi NTT, Bali, NTB dan Nasional
Sumber : BPS, diolah
Pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada triwulan-IV diperkirakan akan cenderung stabil dengan kisaran 5-5,4% (yoy). Pertumbuhan ekonomi triwulan IV diperkirakan didorong oleh percepatan belanja pemerintah yang baru mencapai 53,39% hingga triwulan-III 2016. Meskipun demikian, adanya penundaan realisasi Dana Alokasi Umum (DAU) oleh Pemerintah Pusat yang diperkirakan baru dapat ditransfer pada bulan Desember dapat menjadi penghambat optimalisasi realisasi belanja. Selain itu, pertumbuhan juga diperkirakan dapat didorong oleh konsumsi rumah tangga seiring libur natal, menjelang tahun baru dan liburan sekolah. Adanya panen ke-2 komoditas padi dan masih berjalannya proyek-proyek pemerintah dan swasta diharapkan pula dapat menjaga pertumbuhan ekonomi di triwulan-IV. | Bab I - Ekonomi Makro Regional
2
Di sisi lain, Pertumbuhan ekonomi NTT pada sepanjang tahun 2016 diperkirakan mengalami sedikit peningkatan dibandingkan tahun 2015 dan berada pada rentang 5-5,4% (yoy). Pertumbuhan terutama disebabkan oleh dorongan sektor konstruksi seiring perkembangan kegiatan proyek-proyek pemerintah seperti bendungan, irigasi, jalan, Pos Lintas Batas Negara, gedung pemerintahan dan sarana publik lainnya (sekolah dan rumah sakit). Selain itu kegiatan konstruksi juga dilakukan oleh BUMN dan Swasta seperti pengembangan dermaga dan Bandara, serta pembangunan sarana perbelanjaan dan hotel. Pertumbuhan ekonomi tahun 2016 juga didorong oleh sektor perdagangan besar dan eceran seiring peningkatan pendapatan masyarakat di tahun 2016 melalui adanya gaji ke-13 dan ke-14, peningkatan pendapatan sektor pertanian, perikanan dan perkebunan serta dorongan pembukaan lapangan kerja baru melalui kegiatan proyek-proyek pemerintah dan swasta. Sektor lain yang menjadi pendorong di tahun 2016 adalah sektor Administrasi Pemerintahan seiring dengan realisasi gaji ke-13 dan ke-14 PNS, peningkatan realisasi belanja serta realisasi anggaran dana desa dan alokasi dana desa. Di sisi lain, adanya penundaan DAU dan dampak La Nina diperkirakan menjadi resiko penghambat utama pencapaian proyeksi pertumbuhan ekonomi NTT di penghujung tahun 2016.
1.2 Perkembangan Ekonomi Sisi Penggunaan Pada triwulan III 2016 pertumbuhan komponen konsumsi rumah tangga tercatat menjadi pendorong utama perekonomian NTT dengan pertumbuhan sebesar 7,60% (yoy). Pertumbuhan konsumsi rumah tangga tersebut terutama berasal dari konsumsi perumahan dan perlengkapan rumah tangga serta konsumsi restoran dan hotel. Namun secara umum, pertumbuhan tersebut terhambat oleh kontraksi pada sektor konsumsi pemerintah yang cukup dalam sebesar -29,46% (yoy) seiring penghematan anggaran pemerintah dan penundaan realisasi DAU. Tabel 1.1. PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Pengeluaran Triwulan III-2016 Uraian 1. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
YOY 2014
2015
2015
TW III
2016
TW II
TW III
Bobot yoy
50,952,750
56,027,892
14,448,773
15,290,144
15,792,434
71.8
7.60
2,323,762
2,539,408
671,518
631,294
677,222
3.1
-2.05
3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah
20,592,320
23,705,393
7,655,085
5,521,369
5,539,655
25.2 -29.46
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto
26,693,029
32,505,797
8,467,247
9,046,634
9,676,617
44.0
5. Perubahan Inventori
1,024,332
967,562
417,152
131,462
136,664
0.6 -69.30
6. Ekspor Luar Negeri
1,382,328
1,608,842
506,776
354,132
340,422
1.5 -36.84
527,152
261,549
60,163
74,286
80,328
(33,842,869)
(40,660,869)
(12,084,768)
(10,207,917)
(10,102,772)
2. Pengeluaran Konsumsi LNPRT
7. Impor Luar Negeri 8. Net Ekspor Antar Daerah
PDRB
68,598,500
76,432,477
20,021,620
20,692,833
21,979,913
0.4
3.15
40.87
-46.0 -16.52 100.0
5.14
Sumber: BPS Provinsi NTT (diolah)
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
3
1.2.1 Konsumsi Pengeluaran konsumsi secara umum pada triwulan-III 2016 tercatat mengalami kontraksi sebesar -4,28% (yoy). Kontraksi terutama didorong oleh penurunan konsumsi pemerintah yang mencapai -29,46% (yoy). Sementara itu, perkembangan pada setiap komponen pembentuk konsumsi adalah sebagai berikut: Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan-III sebesar 7,60% (yoy) meningkat dibandingkan triwulan II yang sebesar 5,87% (yoy). Pertumbuhan terutama didorong oleh konsumsi perumahan dan perlengkapan rumah tangga yang tumbuh sebesar 16,55% (yoy) seiring peningkatan pendapatan masyarakat paska gaji ke-13 dan
ke-14 di akhir bulan Juni, panen
komoditas
perkebunan dan didukung pameran perumahan yang diselenggarakan oleh Real Esatate Indonesia (REI) di Kota Kupang. Dorongan konsumsi juga ditopang oleh tingginya pertumbuhan komponen konsumsi restoran dan hotel yang mencapai 52,05% seiring adanya beberapa kegiatan bersifat nasional di Provinsi NTT, seperti Hari Keluarga Nasional, Alor Expo X dan Sunda Kecil Expo serta dorongan liburan sekolah. Pertumbuhan konsumsi juga terjadi pada konsumsi pakaian dan alas kaki serta kesehatan dan pendidikan yang diperkirakan seiring dengan peningkatan belanja menjelang masa ajaran baru pada bulan Juli. Tabel 1.2. PDRB Komponen Konsumsi Rumah Tangga Provinsi NTT Triwulan III-2016 Uraian Kons Makanan dan Minuman
YOY 2014
2015
2015
2016
TW III
TW II
TW III
Bobot yoy
20,652,675
22,787,208
5,703,549
6,279,283
6,304,233
Kons Pakaian & Alas Kaki
1,981,604
2,221,724
615,414
611,510
724,907
4.6 10.29
Kons Perumahan & Perl RT
9,354,500
9,643,623
2,550,919
2,452,525
3,039,331
19.2 16.55
Kesehatan & Pendidikan
3,717,431
4,358,224
1,086,004
1,163,667
1,289,750
8.2 14.51
12,226,260
12,900,929
3,584,013
3,632,993
3,191,676
20.2 -4.40
Restoran & Hotel
1,311,689
2,683,934
484,921
720,896
750,470
4.8 52.05
Konsumsi Lainnya
1,708,591
1,432,250
423,953
429,271
492,066
3.1 10.45
50,952,750
56,027,892
14,448,773
15,290,144
15,792,434
100.0 7.60
Transportasi & Komunikasi
Konsumsi
39.9
5.64
Sumber: BPS (diolah)
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga dapat terlihat dari hasil Survei Penjualan Eceran (SPE)
Bank Indonesia yang menunjukkan peningkatan pada periode
triwulan III tahun 2016 yang terutama didorong oleh usaha bahan bakar kendaraan bermotor dan suku cadang dan aksesori, bahan bakar kendaraan bermotor, serta makanan, minuman dan tembakau. Pertumbuhan juga terjadi pada konsumsi BBM (Premium, Pertamax, Minyak Tanah, Solar dan Bio Solar) yang meningkat sebesar 2,5% (yoy) setelah dilakukan konversi ke dalam rupiah.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
4
Grafik 1.3. Survei Penjualan Eceran
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 1.4. Perkembangan Konsumsi BBM
Sumber : PT Pertamina, diolah
Berdasarkan indikator lainnya, yaitu Indeks Tendensi Konsumen (ITK)BPS, Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU)-BI dan konsumsi listrik juga terjadi kenaikan yang mendukung pertumbuhan ekonomi pada triwulan-III. Angka ITK tercatat sebesar 106,14 meningkat dibandingkan triwulan-II yang sebesar 103,87. Sementara itu, konsumsi listrik rumah tangga tercatat mengalami peningkatan sebesar 11,11% (yoy). Pertumbuhan juga terlihat dari indikator Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU)
yang
masih
mencatatkan
pertumbuhan
positif
walaupun
mengalami
perlambatan. Trend pertumbuhan serupa juga terjadi pada penyaluran kredit konsumsi yang tumbuh sebesar 11,8% (yoy) pada triwulan-III dengan outstanding sebesar Rp 13,52 triliun dan tercatat melambat dibandingkan pertumbuhan kredit di triwulan-II yang sebesar 15,3% (yoy). Grafik 1.5. Indeks Tendensi Konsumen
Sumber : BPS, diolah
Grafik 1.7. Indeks Kegiatan Dunia Usaha
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
Grafik 1.6. Perkembangan Konsumsi Listrik Rumah Tangga
Sumber : PT PLN, diolah
Grafik 1.8. Penyaluran Kredit Konsumsi
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
5
Komponen Konsumsi Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) tercatat kontraksi sebesar -2,05% (yoy). Kontraksi tersebut diperkirakan turut disebabkan oleh tingginya konsumsi LNPRT pada triwulan III-2015 seriring penyelenggaraan pilkada di 8 kabupaten di Provinsi NTT, yaitu Kab. Manggarai, Kab. Manggarai Barat, Kab. Ngada, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Timor Tengah Utara, Kab. Belu, dan Kab. Malaka. Kontraksi yang cukup dalam terjadi pada konsumsi pemerintah di triwulan III-2016. Pertumbuhan konsumsi pemerintah tercatat -29,46% (yoy) yang terutama disebabkan oleh penghematan anggaran dan adanya penundaan DAU yang cukup berpengaruh pada konsumsi individu dan kolektif pemerintah. Konsumsi individu tercatat tumbuh negatif yang merupakan pengeluaran pemerintah untuk kepentingan rumah tangga individu tercatat menurun sebesar -46,2% (yoy). Sementara konsumsi kolektif yang merupakan pengeluaran pemerintah untuk
kepentingan
masyarakat
secara umum tercatat menurun -16,4% (yoy). Tabel 1.3. PDRB Komponen Konsumsi Pemerintah Provinsi NTT Triwulan III-2016 Uraian Kons Kolektif Pemerintah Kons Individu Pemerintah Konsumsi Pemerintah
YOY 2014
2015
2015
2016
TW III
TW II
TW III
Bobot
yoy
11,865,895
13,704,950
4,209,217
3,581,367
3,573,739
8,726,426
10,000,443
3,445,868
1,940,002
1,965,915
64.5 -16.4 35.5 -46.2
20,592,320
23,705,393
7,655,085
5,521,369
5,539,655
100.0 -29.5
Sumber: BPS (diolah)
Sementara itu, berdasarkan data realisasi belanja konsumsi Pemerintah (APBN, APBD Kab/Kota, APBD Provinsi) hingga akhir triwulan III-2016 di NTT tercatat telah mencapai Rp 15,06 triliun atau 59,59% dari pagu anggaran 2016. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar 23,91% (yoy) dari realisasi belanja konsumsi pada triwulan-III 2015 yang hanya mencapai Rp 12,15 triliun. Berdasarkan komponen belanja konsumsi terjadi peningkatan 5,4% (yoy) atau Rp 306,05 miliar dari realisasi triwulan III, namun terdapat beberapa komponen yang mengalami penurunan diantaranya belanja pegawai -7,6% (yoy) dan bantuan sosial (-89,8%). Perkembangan pada triwulan berjalan menunjukkan adanya optimisme stabilnya tingkat pertumbuhan. Berdasarkan hasil survei konsumen-Bank Indonesia hingga bulan Oktober, terlihat bahwa angka indikator Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) dan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) masih menunjukkan angka cukup stabil dibandingkan bulan September serta masih diatas 100 yang mengindikasikan masih positifnya optimism konsumen untuk menghadapi triwulan III atau IV??. Angka ini juga didukung oleh perkembangan Survei
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
6
Penjualan Eceran yang masih mengalami trend peningkatan. Sementara itu, Indeks Tendensi Konsumen (ITK) BPS cenderung menunjukkan proyeksi perlambatan di triwulan-IV namun masih positif diatas 100. Optimisme ini diperkirakan didukung pula oleh masih berlangsungnya panen komoditas perkebunan di triwulan-IV, rencana panen komoditas padi dan kegiatan proyek-proyek yang masih berlangsung. Adanya momen perayaan natal dan libur sekolah juga diperkirakan dapat mendorong peningkatan konsumsi masyarakat di akhir tahun. Sementara itu, masih cukup rendahnya persentase realisasi belanja pemerintah hingga triwulan III diperkirakan mendorong peningkatan konsumsi pemerintah pada triwulan-IV. Adanya rencana pencairan DAU di bulan Desember juga diharapkan dapat diantisipasi oleh Pemerintah Daerah untuk rencana optimalisasi realisasi. Grafik 1.9. Perkembangan Survei Konsumen
Sumber : SK
Bank Indonesia
Grafik 1.10. Perkembangan Survei Penjualan Eceran
Sumber: SPE
Bank Indonesia
Grafik 1.11. Proyeksi Indeks Tendeksi Konsumen
Sumber : BPS Provinsi NTT
1.2.2 Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)/ Investasi Pertumbuhan PMTB/ Investasi di NTT pada triwulan III-2016 tercatat mengalami pertumbuhan sebesar 3,15% (yoy) meningkat apabila dibandingkan triwulan-II yang hanya sebesar 0,67% (yoy). Peningkatan terutama terjadi pada komponen PMTB bangunan yang meningkat sebesar 13,9% (yoy) seiring dengan peningkatan kegiatan proyek-proyek pemerintah seperti keberlanjutan pembangunan bendungan (Raknamo dan Rotiklot), sarana irigasi, jalan negara dan provinsi, jembatan, | Bab I - Ekonomi Makro Regional
7
pengembangan pelabuhan, pembangunan Pos Lintas Batas Negara, sarana publik (sekolah) dan pembangunan Pasar, diantaranya Lipa di Kab. Alor dan Pasar Larantuka. Pembangunan investasi BUMN dan swasta seperti sarana belanja, pembangkit listrik dan hotel juga turut menyumbang pertumbuhan. Sementara itu, PMTB Non Bangunan mengalami pertumbuhan yang negatif sebesar -31,1% (yoy) yang diperkirakan seiring penurunan investasi untuk barang-barang investasi seperti mesin-mesin, alat angkutan dan barang investasi tahan lama lainnya seiring cukup tingginya pertumbuhan PMTB Non Bangunan pada periode yang sama tahun sebelumnya. Tabel 1.4. PDRB Komponen PMTB/Investasi Provinsi NTT Triwulan III-2016
Uraian
YOY 2014
2015
2015
TW III
2016
TW II
TW III
20,049,429 24,648,097 6,447,564 6,558,857 7,776,078 PMTB Bangunan 6,643,600 7,857,700 2,019,682 2,487,776 1,900,539 PMTB Non Bangunan 26,693,029 32,505,797 8,467,247 9,046,634 9,676,617 PMTB
Bobot yoy 80.4
13.9
19.6 -31.1 100.0
3.1
Sumber: BPS (diolah)
Data realisasi investasi BKPM dan Penjualan Semen menunjukkan adanya pertumbuhan investasi yang positif di Provinsi NTT pada triwulan-III 2016. Berdasarkan data BKPMD Provinsi NTT, pada triwulan-III 2016 telah terealisasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar US$ 8,76 juta dan Rp 269,59 miliar. Angka ini masih positif meskipun menurun dibandingkan triwulan II-2016 yang tercatat US$ 22,58 juta dan Rp 505,62 miliar. Total realisasi investasi NTT hingga triwulan III mencapai US$ 40,78 Juta dan Rp 1,14 triliun. Secara spasial, realisasi investasi terbanyak tercatat di Kab. Sumba Timur dengan 6 perusahaan dan total investasi mencapai US$ 409.238 dan Rp 152,44 miliar. Perusahaan-perusahaan tersebut bergerak di bidang perkebunan, pertanian dan hotel. Di sisi lain Kab. Kupang tercatat 2 investasi (industri logam dan kimia) dengan nilai investasi US$ 618.840 dan Rp 7,98 miliar, Kab. Rote 3 investasi (hotel dan industri kimia) dengan nilai investasi US$ 6,48 juta dan Rp 83,83 miliar, Kab. Manggarai Barat 4 investasi (wisata tirta, restoran dan hotel) dengan nilai investasi sebesar US$ 1,25 juta dan Rp 25,33 miliar serta Kab. Timor Tengah Utara (TTU) dengan satu investasi di bidang jasa pertambangan dan bernilai investasi US$ 1000 serta Rp 12,9 miliar. Dari indikator penjualan semen, terlihat adanya pertumbuhan realisasi penjualan semen sebesar 27,2% (yoy) yang mendukung peningkatan investasi di bidang bangunan pada triwulan III-2016.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
8
Tabel 1.5. Realisasi Investasi Modal Asing & Penanaman Modal Dalam Negeri
Uraian PMA (US$) PMA (Rp) PMDN (Rp) Total
Tw-I
Tw-II
9,440,669 369,374,956,150
TW-III
22,578,115
8,763,601
(781,708,200)
269,595,264,624
505,619,508,200
PMA (US$)
Grafik 1.12. Realisasi Konsumsi Semen Provinsi NTT
PMA+PMDN (Rp)
40,782,386
1,143,808,020,774
Sumber : BKPMD NTT, diolah
Sumber : Asosiasi Semen Indonesia, diolah
Sementara itu, berdasarkan tracking triwulan berjalan, diperkirakan perkembangan PMTB/Investasi akan tumbuh postif walaupun sedikit melambat dibandingkan triwulan-III. Pertumbuhan sektor investasi yang melambat diperkirakan terjadi karena proses kegiatan proyek-proyek pemerintah dan swasta yang sudah cukup masif dimulai pada triwulan-III serta adanya penundaan anggaran DAU dan DAK yang menyebabkan pembatalan kegiatan proyek yang belum dilaksanakan oleh Pemerintah. Namun, pertumbuhan masih dapat didorong oleh keberlanjutan penyelesaian proyek di triwulan IV dan beberapa kegiatan investasi baru seperti penambahan dua unit Electric Rubber Tyred Gantry (E-RTG) baterei senilai Rp 36 miliar dan truk trailer pada PT. Pelindo III cabang Tenau serta kegiatan BTN Expo yang dapat mendorong peningkatan penjualan perumahan di NTT.
1.2.3 Ekspor
Impor
1.2.3.1 Ekspor-Impor Antar Daerah Net impor antar daerah di Provinsi NTT pada triwulan III-2016 tercatat mengalami kontraksi sebesar -16,52% (yoy). Sesuai data BPS, perlambatan impor didorong oleh adanya penurunan nominal pada komponen PDRB impor antar daerah sebesar Rp 2,79 triliun atau sebesar -17,47% (yoy), kondisi cuaca yang kurang mendukung diperkirakan turut menghambat pengiriman barang ke dalam Provinsi NTT. Selain itu, penurunan kebutuhan masyarakat untuk barang investasi non bangunan juga diperkirakan mendorong penurunan impor. Di sisi lain, ekspor antar daerah dari provinsi NTT juga mengalami penurunan sebesar Rp 811,45 miliar atau turun sebesar 24,02%. Penurunan lebih dalam pada ekspor antar daerah dapat tertahan oleh pengoperasian kapal ternak, peningkatan kebutuhan sapi memasuki masa Idul Adha di daerah lain, serta ekspor komoditas utama seperti garam dari Sabu Raijua dan jambu mete. Sementara itu, berdasarkan kegiatan pengiriman peti kemas di Pelabuhan Tenau | Bab I - Ekonomi Makro Regional
9
sebagai pelabuhan utama, sebenarnya tercatat adanya peningkatan sebesar 10,9% (yoy). Namun disisi lain, kegiatan bongkar muat menunjukkan angka penurunan bongkar sebesar -31,7% (yoy) dan muat sebesar -91,4% (yoy) walaupun net bongkar masih mencatat peningkatan sebesar 25.755 ton atau 67,4% (yoy). Penurunan bongkar dan muat ini menjadi indikasi menurunnya kegiatan ekspor dan impor barang bersifat curah ke Provinsi NTT. Grafik 1.13. Perkembangan Peti Kemas
Sumber : Pelindo III, diolah
Grafik 1.14. Aktivitas Bongkar Muat
Sumber : Pelindo III, diolah
Pada triwulan IV diperkirakan net impor akan mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan net impor diperkirakan terjadi seiring peningkatan kebutuhan masyarakat terutama untuk bahan pokok dalam rangka menyambut natal, tahun baru dan musim liburan sekolah. Selain itu, keperluan barang-barang modal dan tersier dari daerah lain juga diperkirakan mendorong peningkatan impor. Sementara dari sisi ekspor, pengiriman komoditas perkebunan seperti jambu mete dan kakao serta produksi garam dari Kab. Sabu Raijua dan Kab. Kupang juga akan menopang kegiatan ekspor antar daerah di Provinsi NTT walaupun secara umum masih terjadi net impor seiring terbatasnya produksi komoditas lokal yang bernilai tambah tinggi. 1.2.3.2 Ekspor-Impor Luar Negeri Sementara itu, ekspor luar negeri Provinsi NTT juga masih mengalami trend kontraksi seperti triwulan-II. Tercatat konstraksi ekspor sebesar -46,01% (yoy). Berdasarkan data ekspor-impor Bank Indonesia, pada triwulan-III 2016 Provinsi NTT mengalami net ekspor sebesar US$ 3,59 juta dengan tujuan ekspor utama negara Timor Leste dan komoditas utama semen, kendaraan bermotor, ikan tuna/tongkol, garam dan ikan olahan. Sementara impor utama berasal dari Tiongkok yaitu barangbarang industri lainnya seperti mesin-mesin/pesawat mekanik.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
10
Grafik Impor
1.15.Perkembangan
Ekspor
Sumber : Cognos BI, diolah
dan
Grafik 1.16. Negara Tujuan Ekspor
Sumber : Cognos BI, diolah
Aktivitas ekspor luar negeri NTT pada triwulan-IV 2016 diperkirakan tumbuh positif meskipun masih terbatas. Peningkatan ekspor diperkirakan ditopang oleh ekspor komoditas ikan serta barang tersier lainnya seperti kendaraan dan semen ke Timor Leste. Selain itu, panen komoditas perkebunan seperti jambu mete dan kopi diharapkan dapat turut menyumbang pertumbuhan ekspor.
1.3 Perkembangan Ekonomi Sisi Sektoral Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi triwulan III-2016 terutama didorong oleh Sektor Konstruksi serta Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor. Sektor konstruksi tercatat tumbuh sebesar 9,9% (yoy) yang diperkirakan turut didorong oleh peningkatan kegiatan proyek-proyek pemerintah dan swasta di triwulan-III. Sementara itu, sektor perdagangan tumbuh sebesar 8,48% (yoy) yang diperkirakan ditunjang oleh peningkatan belanja masyarakat paska gaji ke13 dan 14 PNS, panen komoditas perkebunan, musim liburan anak sekolah dan adanya kegiatan-kegiatan berskala nasional. Namun, pertumbuhan sektor administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib serta sektor jasa keuangan dan asuransi yang melambat dibandingkan triwulan II menjadi penyebab melambatnya pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada triwulan III dibandingkan triwulan II.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
11
Tabel 1.6. PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Sektor Ekonomi Triwulan III-2016 Kategori
Uraian
A
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
B
Pertambangan dan Penggalian
C
Industri Pengolahan
D
Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan
E F G H I
YOY 2014
2016
2015
2015
TW III
TW II
TW III
Bobot yoy
20,447,428
22,665,673
6,039,273
5,975,575
6,368,179
29.0
1.79
1,070,349
1,307,566
350,556
352,827
394,377
1.8
7.14
843,708
940,862
243,493
250,936
265,424
1.2
4.83
31,840
40,001
9,187
12,744
13,903
0.1
19.08
45,529
47,150
12,347
12,099
12,814
0.1
-1.04
7,095,979
7,908,227
2,051,698
2,207,466
2,405,264
10.9
9.90
7,296,703
8,273,959
2,176,788
2,271,165
2,464,499
11.2
8.48
3,566,950
3,975,985
1,014,761
1,099,174
1,185,997
5.4
8.37
422,443
487,091
127,264
137,718
148,181
0.7
11.57
J
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum dan Komunikasi Informasi
5,134,426
5,477,449
1,416,921
1,414,671
1,511,013
6.9
6.41
K
Jasa Keuangan dan Asuransi
2,698,906
2,995,475
781,252
843,526
842,199
3.8
4.38
L
Real Estate
1,860,878
2,054,341
539,727
538,473
567,351
2.6
2.21
210,879
235,528
61,340
61,466
66,388
0.3
1.60
O
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib
8,392,732
9,399,572
2,461,309
2,639,585
2,721,056
12.4
4.19
P
Jasa Pendidikan
6,568,193
7,367,666
1,904,125
1,989,418
2,107,084
9.6
5.09
Q
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
1,414,584
1,616,418
413,749
448,574
456,265
2.1
5.52
Jasa lainnya
1,496,973
1,639,515
417,829
437,416
449,919
2.0
3.47
68,598,500
76,432,477
20,021,620
20,692,833
21,979,913
100
5.14
M,N
R,S,T,U
Jasa Perusahaan
PDRB
Sumber: BPS Provinsi NTT (diolah) *Dalam Juta Rp
1.3.1 Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Secara tahunan, pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan-III 2016 sebesar 1,79% (yoy) cenderung meningkat apabila dibandingkan triwulan-II 2016 yang hanya tumbuh 0,36% (yoy). Peningkatan diperkirakan turut didorong panen komoditas perkebunan seperti kakao dan jambu mete, panen bawang merah di Kab. Belu dan Kab. Rote Ndao, produksi garam di Kab. Sabu Raijua dan siklus peningkatan produksi ikan pada periode Agustus sd. Oktober. Selain itu, adanya dorongan permintaan pengiriman sapi dari daerah seiring perayaan Idul Adha juga turut mendorong sektor pertanian. Perkembangan pengiriman ternak juga terlihat dari data Pelindo yang menunjukkan adanya pertumbuhan pengiriman ternak sebesar 23,8% (yoy) dengan jumlah 12.218 ekor pada triwulan III. Di sisi lain, indikasi pertumbuhan sektor pertanian juga terlihat dari angka Nilai Tukar Petani (NTP) yang meningkat dari 100,26 (triwulan-II) menjadi 101,2 (triwulan-III). Peningkatan terutama terjadi pada indeks diterima petani untuk sektor pertanian-holtikultura dan perkebunan rakyat. Peningkatan NTP tersebut menguatkan asumsi adanya pertumbuhan dalam sektor pertanian
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
12
Grafik 1.17. Data Pengiriman Ternak dari Pelabuhan Tenau
Sumber : Pelindo II, diolah
Grafik 1.18. Perkembangan Nilai Tukar Petani
Sumber : BPS, diolah
Di sisi lain, kredit sektor pertanian menunjukkan angka positif. Dari indikator perbankan, pertumbuhan kredit pertanian pada triwulan-III mencapai Rp 259,48 miliar atau mengalami peningkatan 37,9% (yoy). Sementara itu, indikator Survei kegiatan Dunia Usaha (SKDU) menunjukkan indikasi perlambatan pada triwulanIII. Namun, indeks harga jual yang masih positif menunjukkan indikasi optimisme petani pada triwulan-III 2016. Grafik 1.19. Perkembangan Kredit Pertanian
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Grafik 1.20. Perkembangan SKDU Pertanian
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
Berdasarkan Survei Kegiatan Dunia Usaha terlihat adanya indikasi peningkatan pada triwulan IV-2016. Peningkatan terlihat dari indeks perkiraan untuk tenaga kerja dan kegiatan usaha. Hal ini diperkirakan turut didorong oleh panen komoditas perkebunan yang masih terjadi pada triwulan-IV serta adanya panen komoditas bahan makanan seperti padi untuk area persawahan irigasi. Peningkatan juga diperkirakan turut didorong oleh rencana produksi perdana garam di Bipolo, Kabupaten Kupang serta pengiriman ternak yang masih dilakukan secara berkelanjutan terutama ditunjang oleh operasional KM. Camara Nusantara I yang beroperasi setiap 2 minggu sekali. Di sisi lain, potensi hambatan utama pada akhir tahun terutama kondisi cuaca dan gelombang yang kurang baik yang dapat menghambat produksi komoditas ikan tangkap.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
13
Grafik 1.21. Proyeksi SKDU Pertanian
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
1.3.2 Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Pertumbuhan
sektor
Administrasi
Pemerintahan,
Pertahanan
dan
Jaminan Sosial Wajib pada triwulan III 2016 tercatat sebesar 4,19% (yoy) melambat dibandingkan triwulan-II yang sebesar 9,79% (yoy). Perlambatan diperkirakan turut didorong oleh upaya penghematan anggaran pemerintah pusat dan adanya penundaan Dana Alokasi Umum (DAU), terutama untuk 5 Pemda, yaitu Provinsi NTT, Kab. Kupang, Kab. Ende, Kab. Sumba Timur, dan Kab. Manggarai Barat. Selain itu, keterlambatan pencairan dana desa terutama tahap 2 di berbagai daerah seperti Kab. Kupang dan Kab. Malaka juga mempengaruhi perlambatan realisasi. Sementara itu, berdasarkan data APBN dan APBD Kab/Kota, terjadi penurunan realisasi belanja pegawai sebesar -7,64% (yoy) atau Rp 245,81 miliar pada triwulan III. Hal ini memperkuat argumentasi adanya penghematan belanja konsumsi yang dilakukan pemerintah. Selain juga, upaya wait and see yang dilakukan pemda untuk mengantisipasi defisit anggaran akibat penundaan DAU sehingga perlu adanya penyesuaian kegiatan belanja, terutama belanja yang bersifat non fisik seperti belanja pegawai, rapat dan kegiatan perjalanan dinas. Dari indikator perbankan, secara umum simpanan pemerintah mengalami penurunan dari sebelumnya Rp 6,93 triliun pada triwulan-II menjadi Rp 5,7 triliun pada triwulan-III, sementara pertumbuhan secara tahunan tercatat tumbuh negatif sebesar 25,5% (yoy). Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan penggunaan dana pemerintah untuk pembayaran kegiatan pada triwulan-III.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
14
Grafik 1.22. Realisasi Belanja Konsumsi Pemerintah
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
Grafik 1.23. Perkembangan Simpanan Pemerintah di Perbankan
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Pada triwulan-IV 2016 sektor Administrasi Pemerintahan diperkirakan mengalami peningkatan. Masih terbatasnya belanja konsumsi pemerintah hingga triwulan-III yang baru mencapai 59,59% diperkirakan akan mendorong peningkatan realisasi pada triwulan IV. Peningkatan juga diperkirakan berasal dari penyaluran alokasi dana desa dan dana desa yang sempat terhambat akibat permasalahan administrasi di tingkat desa. Selain itu, adanya rencana penyaluran kembali DAU kepada Pemerintah Daerah pada bulan Desember diharapkan dapat pula mendorong penyerapan belanja pemerintah walaupun diperkirakan tidak optimal karena interval waktu yang cukup dekat dengan akhir tahun (tutup buku).
1.3.3 Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Pertumbuhan sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor pada triwulan-III 2016 sebesar 8,48% (yoy) cenderung meningkat dibandingkan triwulan-II yang sebesar 6,63% (yoy). Peningkatan daya beli masyarakat seiring adanya pendapatan dari gaji ke-13 dan 14 Pegawai Negeri Sipil pada akhir bulan Juni serta pendapatan dari panen komoditas perkebuhan dan dorongan kegiatan proyek-proyek pemerintah dan swasta yang membuka lapangan kerja baru diperkirakan menjadi beberapa faktor pendorong. Selain itu, adanya momen libur keagamaan, libur sekolah dan masa ajaran baru juga menjadi faktor peningkatan belanja masyarakat. Peningkatan juga terlihat dari Indikator Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) dan Survei Konsumen (SK). Indikator SKDU berupa indeks kegiatan usaha dan harga jual menunjukkan peningkatan pada triwulan III yang mengambarkan kondisi positif di sektor perdagangan. Indikasi yang sama juga terlihat pada Survei KonsumenBank Indonesia yang menunjukkan peningkatan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK). Dari sisi indikator perbankan, kredit perdagangan | Bab I - Ekonomi Makro Regional
15
hingga akhir triwulan III-2016 mencapai Rp 5,73 triliun atau tumbuh sebesar 18,2% (yoy). Grafik 1.24. Perkembangan SKDU Sektor Perdagangan
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
Grafik 1.25. Perkembangan Survei Konsumen
Sumber : SK-Bank Indonesia, diolah
Grafik 1.26. Perkembangan Kredit Sektor Perdagangan
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Prospek sektor perdagangan pada triwulan IV diperkirakan mengalami pertumbuhan positif. Hal ini terindikasi pada angka perkiraan indeks kegiatan usaha dan tenaga kerja sektor perdagangan pada Survei Kegiatan Dunia Usaha-Bank Indonesia yang menunjukkan peningkatan. Adanya momen libur keagamaan (natal) dan libur sekolah diperkirakan menjadi faktor penyebab utama. Sementara dari sisi pendapatan, terutama didorong adanya panen komoditas pertanian dan perkebunan seperti padi, jambu mente dan kakao serta dorongan kegiatan proyek di triwulan IV. Grafik 1.27. Proyeksi SKDU Perdagangan
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
16
1.3.4 Sektor-sektor Lainnya Pertumbuhan sektor konstruksi pada triwulan-III 2016 tercatat 9,90% (yoy) meningkat dibandingkan triwulan-II yang sebesar 7,32% (yoy). Tingginya pertumbuhan sektor konstruksi pada triwulan-III terutama ditunjang oleh kegiatan proyek pemerintah seperti pembangunan jalan, sarana publik (sekolah, rumah sakit dan pasar) gedung pemerintahan,pembenahan pelabuhan, bandara, bendungan, sarana irigasi dan Pos Lintas Batas Negara (PLBN). Beberapa proyek tersebut diantaranya pasar tertib ukur di Alor, Jalan Sabuk Perbatasan, pengembangan bandara komodo dan PLBN menjadi faktor utama pertumbuhan. Di sisi lain, Tracking untuk triwulan IV diperkirakan masih terjadi pertumbuhan walaupun melambat yang disebabkan oleh tingginya kegiatan proyek pada triwulan-III. Beberapa kegiatan konstruksi yang masih berlangsung pada triwulan-IV diantaranya adalah gedung pemerintahan (kantor Gubernur NTT), proyek jalan seperti di Kab. Ende dan Kota Kupang serta pembangunan pasar di Alor. Sektor penyediaan akomodasi dan makan minum pada triwulan- III 2016 mengalami pertumbuhan sebesar 11,57% (yoy) meningkat dibandingkan triwulan-II yang sebesar 10,85% (yoy). Peningkatan terutama didorong oleh beberapa kegiatan bersifat nasional seperti Hari Keluarga Nasional (Harganas) di Kota Kupang, Expo Alor X dan Sunda Kecil Expo yang turut mendorong okupansi kamar hotel dan kunjungan di Provinsi NTT. Selain itu, masa liburan sekolah dan high season kunjungan wisatawan yang terjadi setiap tahunnya pada rentang bulan Juni sd. September juga menjadi faktor lainnya. Hal ini terlihat dari pertumbuhan tamu hotel yang mencapai 28,6% (yoy) serta Pertumbuhan penumpang pesawat yang mencapai 29,1% (yoy) atau 924.015 orang pada triwulan-III 2016. Grafik 1.28. Perkembangan Tamu Hotel
Sumber : BPS, diolah
Grafik 1.29. Perkembangan Penumpang Bandara
Sumber : BPS, diolah
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
17
Pada triwulan-IV 2016, pertumbuhan sektor akomodasi dan makan minum mengalami perlambatan. Hal ini disebabkan oleh menurunnya kegiatan bersifat nasional di Provinsi NTT yang tercatat hanya terdapat satu kegiatan, yaitu Hari Nusantara di Kabupaten Lembata. Selain itu, kondisi cuaca yang cenderung kurang baik di akhir tahun dapat berdampak pada sektor pariwisata di Provinsi NTT yang cenderung bersifat wisata alam atau ecotourism. Namun, perlambatan diharapkan dapat tertahan oleh adanya momen libur natal dan masa liburan sekolah. Sektor Jasa Keuangan dan Asuransi tercatat tumbuh melambat sebesar 4,38% (yoy) pada triwulan-III dibandingkan triwulan-II yang sebesar 16,27% (yoy). Indikasi perlambatan terlihat dari perlambatan beberapa indikator perbankan diantaranya DPK dari 10,41% (yoy) di triwulan-II menjadi 0,29% (yoy) di triwulan III, pertumbuhan kredit juga mengalami penurunan dari 14,93% menjadi 13,37% dan aset tercatat tumbuh negatif sebesar -7,4% (yoy). Penurunan aset diperkirakan disebabkan oleh adanya penarikan aset bank ke kantor pusat di Jakarta, selain itu terdapat pula pertumbuhan giro yang negatif sebesar -22,61% (yoy) yang ditengarai salah satunya disebabkan oleh pengurangan alokasi dana APBN untuk Provinsi NTT. Perlambatan juga terlihat dari pertumbuhan kliring yang melambat dari 86% (yoy) pada triwulan-II menjadi 51,8% (yoy) di triwulan-III serta perputaran kas masuk/keluar di Bank Indonesia yang mencatat penurunan net keluar sebesar -53,4% (yoy) yang mengindikasikan adanya perlambatan kegiatan perbankan terutama untuk pemenuhan kebutuhan uang tunai di masyarakat. Sementara itu, pertumbuhan jasa keuangan dan asuransi pada triwulan-IV diperkirakan mengalami peningkatan yang terutama disebabkan oleh kebutuhan layanan perbankan seperti transfer di akhir tahun. Selain itu, adanya kebutuhan konsumsi untuk perayaan natal di akhir tahun juga diperkirakan mendorong pertumbuhan kredit dan penggunaan sistem pembayaran tunai dan non tunai. Berdasarkan data kas, pertumbuhan net outflow pada bulan Oktober tercatat 19,65% (yoy) dibandingkan Oktober 2016 yang mengindikasikan penurunan kebutuhan pelayanan terkait pembayaran tunai di awal triwulan-IV. Sektor transportasi dan pergudangan tercatat mengalami pertumbuhan sebesar 8,37% (yoy) meningkat dibandingkan triwulan-II yang sebesar 8,21% (yoy). Beberapa faktor pendorong pertumbuhan adalah adanya pembukaan rute baru Garuda dari Denpasar-Maumere (4x/minggu) dan rute langsung Jakarta-Kupang (setiap hari), pembukaan rute perintis pesawat Airfast dengan rute Labuan Bajo-Ruteng, pembukaan rute Trans Nusa dari Bandara Turelelo, Ngada
El Tari, Kupang, pelayanan
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
18
Kapal Motor Tilongkabila milik Pelni pada jalur wisata Rinca dan Komodo dan pembukaan 18 Rute Baru oleh ASDP di wilayah NTT, yaitu Kupang-Hansisi Pulau Semau (PP) Hansisi-Rote (PP), Kupang-Adonara, Kupang-Maumere, Larantuka-Adonara dan sebaliknya serta Adonara-Maumere dan sebaliknya. Kemudian Maumere-Palue dan sebaliknya, Maumere-Pemana dan sebaliknya, Maumere-Larantuka, Maumere-Kupang serta Adonara-Kupang. Selain itu, tercatat adanya peningkatan pengguna pesawat terbang sebanyak 20% dan kapal laut 10% pada masa liburan sekolah di bulan Juli. Sementara itu, pertumbuhan pada triwulan IV diperkirakan sedikit melambat karena berkurangnya pembukaan rute baru pesawat maupun kapal laut. Namun, masih terdapat pembukaan rute wings air baru pada bulan November dengan tujuan KupangTambolaka-Ende. Selain itu adanya momen liburan akhir tahun diharapkan dapat mendorong peningkatan penggunaan transportasi baik darat, laut maupun udara. Sektor real estate tercatat tumbuh 2,21% (yoy) sedikit melambat dibandingkan triwulan-II yang sebesar 2,94% (yoy). Pertumbuhan sektor real estate ditengarai turut terbantu oleh kegiatan Real Estate Indonesia (REI) Expo 2016 pada awal Bulan Juli yang dapat membukukan total transaksi Rp 40,2 miliar. Total rumah yang terjual pada pameran tersebut adalah sebanyak 201 unit dengan rincian 154 unit rumah FLPP dan 47 unit non FLPP walaupun cenderung melambat dibandingkan pertumbuhan triwulan II. Sementara itu pertumbuhan pada triwulan IV diperkirakan sedikit meningkat yang juga ditunjang oleh kegiatan BTN Expo di kota Kupang pada bulan Oktober. Tercatat total transaksi yang dihasilkan mencapai Rp 31,7 miliar dengan total 163 unit rumah terjual. Sektor industri pengolahan tercatat tumbuh 4,83% (yoy) melambat dibandingkan triwulan-II yang sebesar 7,07% (yoy). Perlambatan diperkirakan turut disebabkan oleh penurunan harga komoditas bahan baku industri seperti rumput laut dan masih terbatasnya penambahan kegiatan industri di Provinsi NTT. Rencana pengembangan industri seperti kimia dasar, logam dan tebu masih dalam tahap pembangunan infrastruktur dan penyelesaian masalah lahan. Permasalahan lahan juga masih menghambat beberapa rencana pembangunan pabrik pengolahan seperti smelter oleh PT. Gulf Mining dan Pabrik PT. Semen Kupang III. Sementara itu, prospek pada triwulan IV diperkirakan masih tumbuh stabil karena belum adanya pembangunan pabrik pengolahan berskala besar. Pertumbuhan diperkirakan terjadi pada industri makanan (kue dan makanan kecil) serta minuman seiring peningkatan permintaan menjelang momen akhir tahun. | Bab I - Ekonomi Makro Regional
19
Sektor pengadaan listrik dan gas tercatat tumbuh 19,08% (yoy) meningkat dibandingkan triwulan-II yang sebesar 11,25% (yoy). Peningkatan turut didukung oleh adanya pengembangan sektor kelistrikan dari PLN Area Flores Bagian Timur (FBT) yang mendatangkan mesin 7 MW untuk mengatasi krisis listrik di Kab. Sikka. Sementara itu, pertumbuhan sektor listrik pada triwulan-IV diperkirakan kembali meningkat seiring adanya penambahan kapasitas melalui Kapal Pembangkit Listrik Marine Vessel Power Plant (MVPP) berkapasitas 60 MW yang masih dikerjakan di Turki dan direncanakan tiba di kupang pada November atau Desember 2016 serta adanya penambahan kapasitas melalui PLTU IPP Bolok (2 x 15 MW). Sektor informasi dan komunikasi tercatat tumbuh 6,41% (yoy) atau meningkat dibandingkan triwulan-II yang sebesar 6,1% (yoy). Peningkatan turut didukung oleh cukup masifnya kegiatan promosi dan migrasi pengguna layanan Telkomsel ke 4G pada triwulan III. Sementara itu pada triwulan IV, pertumbuhan diperkirakan masih positif seiring dengan masih dilakukannya pembangunan fasilitas BTS 4G, kegiatan promosi serta migrasi yang masih berlangsung dan mulai meningkatnya penggunaan telepon genggam di masyarakat. Sektor lainnya seperti jasa pendidikan mengalami perlambatan pada triwulan III yang ditengarai sebagai dampak penundaan tunjangan sertifikasi guru. Untuk triwulan IV diperkirakan jasa pendidikan juga masih tumbuh melambat. Sementara itu, sektor lainnya seperti Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang cenderung mengalami perlambatan, sedangkan sektor Pertambangan, Jasa Perusahaan, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial serta Jasa Lainnya diperkirakan mengalami peningkatan. Secara umum, tracking untuk sektor lainnya pada triwulan-IV diperkirakan turut meningkat yang didukung oleh adanya peningkatan realisasi belanja pemerintah, rencana pencairan DAU dan peningkatan aktivitas masyarakat.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional
20
Boks 1. Update Perkembangan Penyediaan Kelistrikan di Provinsi NTT Pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ini mencapai 5,14% (yoy) di triwulan III 2016, lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 5,02% (yoy). Untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tetap di atas nasional, dibutuhkan peningkatan produksi maupun investasi di NTT. Berdasarkan hasil riset Growth Diagnostik, didapatkan bahwa permasalahan utama investasi dan pengembangan ekonomi di NTT antara lain permasalahan sumber daya manusia, kondisi infrastruktur terutama kelistrikan, sumber daya air, pembebasan lahan dan perijinan (Harmawan, 2016). Terkait dengan permasalahan kelistrikan dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia, rasio elektrifikasi di NTT menduduki posisi kedua terbawah setelah Provinsi Papua dengan nilai 58,83%. Berdasarkan konsumsi listrik perkapita, konsumsi listrik di NTT menduduki peringkat terbawah dalam menggunakan listrik di Indonesia dengan rata-rata penggunaan sebesar 139,4 Kwh/kapita. Untuk meningkatkan rasio elektrifikasi, PLN melakukan investasi dan menambah pelanggan yang terlihat dari rata-rata pertumbuhan PDRB pada pengadaan listrik dan gas yang selalu tumbuh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi NTT. Pada triwulan III 2016, pertumbuhan ekonomi sektor pengadaan listrik dan gas mencapai 19,8% (yoy) jauh lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi NTT. Mulai terpenuhinya kebutuhan kelistrikan seiring dengan lancarnya operasional membuat penggunaan listrik mengalami peningkatan cukup signifikan. Grafik Boks 1. 1. Perbandingan Rasio Elektrifikasi dan Konsumsi Listrik per Kapita
Sumber : PT PLN, Kementrian ESDM, diolah
Grafik Boks 1.2. Perbandingan Pertumbuhan PDRB Sektor Listrik dan Gas dengan PDRB
Sumber : BPS Provinsi NTT, diolah
Dalam melayani masyarakat, PLN Provinsi NTT membagi wilayah pelayanan dalam 4 area yaitu PLN Area Kupang, Sumba, Flores Bagian Barat dan Flores Bagian Timur. Area Kupang membawahi seluruh daratan timor, Rote Ndao, Alor dan Sabu Raijua. Area Sumba membawahi seluruh daratan Sumba. Area Flores Bagian Barat membawahi Kabupaten Ende ke barat hingga Manggarai Barat dan Area Flores Bagian Timur membawahi Kabupaten Sikka, Flores Timur dan Lembata. Adapun total daya yang mampu diproduksi mencapai 187,63 MW dengan Area Kupang sebagai area dengan pembangkit terbesar mencapai 104 MW, diikuti area Flores Bagian Barat dengan total pembangkit mencapai 43,5 MW, Flores Bagian Timur sebesar 25,28 MW dan Area Sumba dengan total daya mampu mencapai 14,8 MW. Dengan sistem transmisi yang sebagian besar masih terisolasi/tertutup, maka adanya kekurangan daya atau gangguan di satu tempat, daerah lain tidak akan mampu membantu Boks 1 | Update Perkembangan Penyediaan Kelistrikan di Provinsi NTT
21
mengatasi permasalahan tersebut. Hal ini juga berdampak pada mahalnya biaya pokok penjualan yang hingga tahun 2015 masih sebesar Rp 3.300/kwh jauh lebih tinggi dibanding harga jual ke masyarakat yang rata-rata hanya sebesar Rp 1.029/kwh. Oleh karena itu, untuk melakukan efisiensi biaya, PLN melakukan investasi besar berupa pembangunan transmisi trans Flores, Trans Timor dan Trans Sumba. Dengan adanya integrasi sistem kelistrikan, pembangunan pembangkit dapat terpusat di beberapa titik saja, sehingga kapasitas pembangkit yang dibangun dapat lebih besar dan lebih efisien. Selain itu, permasalahan kekurangan daya yang terjadi dan gangguan ketidakstabilan daya dapat diminimalisir. Gambar Boks 1.1. Peta Penyediaan Listrik dan Rencana Transmisi Kelistrikan di Provinsi NTT
Sumber : PLN Provinsi NTT, diolah
Berdasarkan progress pembangunan, transmisi Timor saat ini sudah tersambung di wilayah Kupang hingga Soe, sehingga suplai listrik untuk Kabupaten TTS sudah dipenuhi dari pembangkit Kupang. Hingga Desember 2016, transmisi kelistrikan diharapkan sudah dapat tersambung hingga Kabupaten TTU, sehingga kebutuhan listrik dapat langsung dipenuhi dari Kupang. Hingga akhir 2017, transmisi kelistrikan ditargetkan sudah tersambung hingga Atambua, sehingga jaringan kelistrikan Pulau Timor dapat terintegrasi dari Kupang hingga Atambua. Transmisi Flores yang sudah tersambung baru dari pembangkit Ropa ke Ende. Transmisi kelistrikan lainnya diperkirakan sebagian baru akan selesai di tahun 2017, dan operasional tahun 2018. Transmisi Sumba kemungkinan baru tersambung dan operasional di tahun 2018. Adapun progres pembangunan pembangkit listrik antara lain saat ini dilakukan penyelesaian pembangunan PLTU IPP 1x15MW dan diperkirakan bisa beroperasi pada awal tahun 2017. Selain itu, sedang dipersiapkan sistem kelistrikan untuk persiapan kedatangan kapal listrik dari Turki yang rencananya akan beroperasi di awal tahun 2017 dengan daya mencapai 60MW. Dengan demikian, sistem Kupang akan mendapat tambahan daya setidaknya sebesar 75MW, masih lebih besar dibanding perkiraan kebutuhan penambahan jaringan baru yang sebesar 67MW. Potensi penambahan masih terdapat dari penyelesaian pembangunan PLTU IPP 1x15MW dan PLTU Bolok 2 1x13MW yang saat ini masih dalam pengerjaan. Dengan beroperasinya keempat pembangkit tersebut, dan terintegrasinya sistem kelistrikan di Pulau Timor, maka PLN dapat melakukan penghematan dengan menghentikan PLTD yang membutuhkan biaya operasional besar di Soe, Kefamenanu dan Atambua dengan total Boks 1 | Update Perkembangan Penyediaan Kelistrikan di Provinsi NTT
22
kapasitas terpasang sebesar 16MW. PLN juga berharap rencana proyek investasi yang diajukan dapat segera terealisasi antara lain proyek smelter mangan yang membutuhkan daya hingga 20MW dan proyek pabrik Semen Kupang III dengan total kebutuhan listrik mencapai 30MW. Selebihnya akan digunakan untuk memenuhi permintaan sambungan baru dan tambah daya yang saat ini belum dilayani. Adanya surplus produksi listrik ini hendaknya dapat dimanfaatkan untuk menggiatkan investasi yang saat ini selalu terkendala permasalahan listrik. Pengembangan kawasan industri Bolok dapat lebih didorong agar lapangan kerja dapat tersedia. Kondisi kelistrikan di Pulau Flores saat ini masih mengalami kekurangan daya. Tingginya selisih beban puncak antara siang dan malam juga masih menjadi kendala utama permasalahan kelistrik di Pulau Flores. Hingga tahun 2017, permasalahan tersebut diprediksi masih akan terjadi. Dalam rangka penambahan daya, dalam waktu dekat PLN akan berupaya untuk membangun PLTMG Maumere dengan kapasitas 40 MW dan PLTMG Flores tahap 1 dengan kapasitas 20MW yang rencananya akan dibangun di Labuan Bajo dan beroperasi secara komersial pada tahun 2018. Dengan terselesaikannya dua proyek besar tersebut, maka kekurangan daya yang terjadi dapat terkurangi dan penghematan anggaran dapat dilakukan. Terkait besarnya selisih beban puncak antara siang dan malam, hal ini setidaknya dapat ditangkap oleh pemerintah daerah sebagai peluang untuk mengembangkan industri di Flores yang di waktu siang masih memiliki cadangan kapasitas listrik hingga 24MW. Kekurangan daya di Pulau Sumba menurut rencana dapat lebih cepat diatasi seiring dengan adanya pembangunan pembangkit listrik berenergi terbarukan di Pulau Sumba antara lain pembangunan 20 PLTM/PLTMH dengan total daya 5,1MW di tahun 2017, PLT Biomasa Sumba 1MW di tahun 2017 IPP PLTS Waingapu dengan kapasitas 1MW. Untuk mengatasi beban puncak, juga direncanakan dibangun PLTMG Waingapu dengan kapasitas 10MW dan PLTMG Waingapu 2 dengan daya 30MW yang diperkirakan beroperasi pada tahun 2018 dan 2019. PT Muria Sumba Manis juga berencana membangun PLT Biomasa sendiri dengan kapasitas mencapai 25MW. Hasilnya sebesar 20MW akan digunakan untuk operasional pabrik gula dan 5MW akan dijual ke PLN. Tabel Boks 1.1. Progres Pembangunan Pembangkit dan Permasalahan yang Dihadapi PLTMG Kupang Peaker 50 2017 √ √
Nama Project Kapasitas COD Feasibility Studies Ijin Prinsip Gub NTT Ijin RTRW Bupati/Walikota UKL-UPL Tim Pengadaan Tanah Kendala Lahan Tahapan Pembebasan tanah Tahap Pekerjaan Pembangkit
√
PLTMG Rote
PLTMG Alor
PLTMG PLTU Timor PLTMG MPP Flores Waingapu 1 Maumere
5 2017 √ √
10 2017 √ √
10 2017 √ √
100 2019 √ √
20 2017 √ √
40 2017 √ √
√
√
√
√
√
√
Draft √ √ Draft √ Belum Ada Belum Dalam Proses Dalam Proses Belum Belum Belum bebas Belum bebas Belum bebas Belum bebas bebas bebas Pelimpahan Proses Pelimpahan Bentuk Tim Bentuk Tim Bentuk Tim wewenang Pembebasan wewenang
Draft Dalam Proses
-
-
-
-
-
-
Draft Ada Clear Lelang
Sumber : PLN Provinsi NTT, diolah
Boks 1 | Update Perkembangan Penyediaan Kelistrikan di Provinsi NTT
23
Terkait pembangunan pembangkit listrik tersebut, sebagian besar studi kelayakan sudah diselesaikan, demikian pula dengan ijin prinsip dari Gubernur NTT dan Ijin rencana tata ruang wilayah dari Bupati/Walikota. Adapun ijin lingkungan yang sudah diselesaikan baru untuk pembangunan PLTMG Alor, Waingapu dan PLTMG Flores tahap 1. kendala utama yang masih dihadapi adalah permasalahan pembebasan lahan yang masih belum selesai, sehingga PLN belum dapat melanjutkan ke tahap berikutnya. Demikian pula dengan pembangunan transmisi yang juga mengalami permasalahan yang sama. Peran aktif pemerintah dalam segera menyukseskan program kelistrikan di NTT sangat diperlukan agar 1.039 desa yang belum teraliri aliran listrik dapat segera menikmati listrik di rumah mereka.
Boks 1 | Update Perkembangan Penyediaan Kelistrikan di Provinsi NTT
24
KEUANGAN DAERAH
Realisasi pendapatan pemerintah di Provinsi NTT pada triwulan III-2016 mencapai Rp 18,41 triliun atau telah mencapai 74,39% dari pagu rencana pendapatan tahun 2016 sebesar Rp 24,75 triliun. Di sisi lain, realisasi belanja pemerintah tercatat baru mencapai Rp 18,21 triliun atau 53,39% dari pagu belanja tahun 2016 sebesar Rp 34,11 triliun.Untuk pagu belanja, terjadi penyesuaian di triwulan III dari sebelumnya sebesar Rp 35,08 Triliun yang terutama disebabkan oleh penghematan anggaran belanja pemerintah pusat.
2.1 Kondisi Umum Perkembangan realisasi pendapatan pemerintah di Provinsi NTT pada triwulan III 2016 telah mencapai Rp 18,41 triliun atau 74,39% dari total rencana pendapatan tahun 2016 yang sebesar Rp 24,75 triliun. Dari sisi persentase, realiasi pendapatan APBN Pemerintah Pusat di Provinsi NTT menjadi yang tertinggi sebesar 670,62% atau Rp 1,75 triliun yang terutama berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) yang tidak termasuk rencana pendapatan, namun merupakan pendapatan tertinggi struktur APBN di daerah NTT. Sementara itu, realisasi belanja pemerintah di NTT telah mencapai Rp 18,21 triliun atau 53,39% dari total pagu belanja tahun 2016 yang sebesar Rp 34,11 triliun. Pencapaian tersebut tercatat lebih tinggi dibandingkan pencapaian hingga triwulan-III tahun 2015 yang sebesar Rp 15,02 triliun atau hanya 43,53% dari pagu anggaran 2015. Pencapaian realisasi belanja tertinggi untuk tahun 2016 terutama Pemerintah Provinsi sebesar 63,13%. Di sisi lain, terdapat penurunan pagu belanja sebesar Rp 975,45 miliar pada triwulan III dibandingkan rencana sebelumnya yang terutama didorong langkah penghematan anggaran APBN oleh pemerintah pusat sebesar Rp 1,19 triliun. Grafik 2.1. Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
Bab II |Keuangan Daerah
25
2.2 Pendapatan Daerah Total pendapatan pemerintah di Provinsi NTT hingga triwulan-III 2016 tercatat telah mencapai Rp 18,41 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari pendapatan APBN yang mencapai Rp 1,75 triliun atau 670,62% dari target dengan sumber pendapatan terbesar dari Pajak Penghasilan sebesar Rp 892,13 miliaratau 51,06% dari total pendapatan, diikuti oleh Pajak Pertambangan Nilai (Rp 466,54 miliar) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Rp 354,10 miliar) yang terutama disumbang oleh Pendapatan Pendidikan sebesar Rp 159,09 miliar. Pencapaian realisasi pendapatan untuk tingkat provinsi telah mencapai 70,40% atau Rp 2,73 triliun dengan
sumber utama
pendapatan berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp 1,01 triliun dan diikuti oleh Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp 993,19 miliar serta Pendapatan Asli Daerah (Rp 624,87 miliar) yang terutama berasal dari Pajak Daerah (Rp 428,09 miliar). Sementara itu, realisasi pendapatan pemerintah Kabupaten/Kota telah mencapai Rp 13,94 triliun (67,60%), namun masih didominasi pendapatan DAU sebesar Rp 9,39 triliun (67,4%). Di sisi lain, adanya penundaan DAU untuk 5 (lima) pemerintah daerah, yaitu Provinsi NTT, Kab. Kupang, Kab. Ende, Kab. Sumba Timur dan Kab. Manggarai Barat diperkirakan dapat mempengaruhi pencapaian target pendapatan pemerintah di akhir tahun, walaupun berdasarkan informasi terakhir DAU yang ditunda akan kembali direalisasikan oleh Pemerintah Pusat pada bulan Desember. Grafik 2.2 Pangsa Realisasi Sumber Pendapatan APBN
Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Prov. NTT
Grafik 2.3 Pangsa Realisasi Sumber Pendapatan APBD Provinsi/ Kab-Kota
Sumber: Biro Keuangan Provinsi NTT
Apabila dilihat berdasarkan data spasial, Kab. Manggarai Timur memiliki pencapaian realisasi pendapatan tertinggi sebesar 76,5% dari rencana 2016, diikuti oleh Kab. Rote Ndao (76,4) dan Kab. Lembata (72,1%). Di sisi lain, Kab. Nagekeo (51,7%) bersama dengan Kab. Sabu Raijua (60,3) serta Kab. Kupang (62,8%) menjadi daerah dengan realisasi pendapatan terendah hingga triwulan-III 2016. Dominasi Bab II |Keuangan Daerah
26
realisasi pendapatan yang berasal dari komposisi DAU juga terlihat di masing-masing daerah dengan rata-rata mencapai 67,7%. Komposisi Pendapatan Asli Daerah tertinggi dicapai oleh Kota Kupang sebesar 12,1%, sementara komposisi DAK tertinggi ada di Kab.Nagekeo (21%) yang terutama diperuntukkan bagi pengembangan infrastruktur dasar. Di sisi lain, pendapatan lain-lain tertinggi diperoleh Kab. Ende (24,34%) yang terutama disumbangkan oleh pendapatan Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus sebesar Rp 183,7 miliar. Grafik 2.4. Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten/Kota dan Komponennya Triwulan-III 2016
an Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi NTT, diolah
2.3 Belanja Daerah Perkembangan realisasi belanja APBN dan APBD Pemerintah di Provinsi NTT hingga triwulan-III 2016 mencapai Rp 18,21 triliun atau 53,39% dari pagu belanja pemerintah tahun 2016 yang sebesar Rp 34,11 triliun. Pagu belanja pemerintah sendiri mengalami penurunan sebesar 2,78% atau sebesar Rp 975,43 miliar dibandingkan pagu belanja awal. Penurunan ini merupakan dampak dari upaya penghematan anggaran pemerintah pusat yang terlihat dari berkurangnya pagu belanja APBN sebesar Rp 1,19 triliun. Namun, penghematan tersebut lebih diarahkan pada potongan mandiri dari instansi terkait dan program yang bisa ditunda atau tidak akan dilanjutkan. Apabila dilihat secara umum, realisasi belanja pemerintah sebesar Rp 18,21 triliun (53,39%) tersebut cenderung lebih tinggi dibandingkan triwulan III-2015 yang sebesar Rp 15,02 triliun (43,53%). Hal ini turut didorong oleh realisasi gaji ke-13 dan ke-14 pada triwulan-II serta upaya percepatan kegiatan proyek dan lelang. Namun, adanya penundaan DAU terhadap 5 (lima) Pemerintah Kabupaten/Kota, penundaan tunjangan dan sertifikasi, serta pengurangan DAK di beberapa daerah turut menyebabkan penyerapan yang tidak optimal pada triwulan-III karena adanya proses Bab II |Keuangan Daerah
27
evaluasi dan revisi anggaran yang dilakukan instansi pemerintah. Walaupun demikian, berdasarkan informasi terakhir, DAU akan kembali dicairkan oleh pemerintah pusat pada bulan Desember. Terbatasnya waktu realisasi dengan akhir tahun diperkirakan menyebabkan penyerapan masih tetap akan kurang optimal. Di sisi lain, berdasarkan pangsa pagu belanja masing-masing pemerintah daerah, adanya isu penundaan DAU belum berdampak signifikan terhadap rencana belanja. Hal ini terlihat dari masih samanya komponen belanja untuk 4 (empat) daerah yang mengalami penundaan, yaitu Kab. Kupang, Kab. Ende, Kab. Sumba Timur dan Kab. Manggarai Barat. Komponen belanja pegawai tertinggi, masih berada di Kota Kupang sebesar 56,2%, diikuti Kab. Belu (47,3%) dan
Kab.Timor Tengah Utara (47,2%).
Sementara itu, pangsa belanja modal tertinggi juga masih berada di Kab. Sabu Raijua sebesar 39,2% diikuti Kab. Sumba Barat (33%) dan Kab. Malaka (32%). Grafik 2.5. Pangsa Belanja Kabupaten/Kota
Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi NTT, diolah
Apabila dibandingkan dengan pencapaian triwulan-III 2015, realisasi belanja pemerintah, baik belanja secara umum maupun belanja modal cenderung lebih baik. Belanja modal sendiri pada triwulan III-2016 tercatat 36,21% dari pagu 2016 atau Rp 3,15 triliun dibandingkan pencapaian triwulan-III 2015 yang sebesar 29,74% dari pagu 2015 atau Rp 2,87 triliun. Peningkatan realisasi ini menunjukkan adanya upaya perbaikan pemerintah untuk melakukan percepatan kegiatan proyek di tahun 2016. Beberapa kegiatan proyek yang tercatat di tahun 2016, diantaranya proyek multiyears seperti bendungan serta gedung pemerintah, serta pembangunan berbagai fasilitas publik, seperti jalan dan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di beberapa tempat seperti Di sisi lain, meskipun telah terdapat perbaikan dalam penyerapan belanja modal, namun masih relatif rendahnya realisasi belanja modal yang sebesar 36,21% menunjukkan masih adanya permasalahan yang dialami pemerintah, Bab II |Keuangan Daerah
28
baik terkait pembayaran termin maupun proses pengesahan anggaran APBD yang tertunda. Dalam hal belanja modal, realisasi belanja modal APBN menjadi yang tertinggi sebesar 51,22% dari pagu atau Rp1,32 triliun dari total pagu sebesar Rp 2,58 triliun. Grafik 2.6. Perkembangan Realisasi Belanja
Sumber: Ditjen Perbendaharaan Prov. NTT & Biro Keuangan
Grafik 2.7. Perkembangan Realisasi Belanja Modal
Sumber: Ditjen Perbendaharaan Prov. NTT & Biro Keuangan
Sementara itu, berdasarkan komposisi belanja secara umum hingga triwulan-III, realisasi belanja konsumsi masih menjadi komponen tertinggi di Provinsi NTT dengan total 59,6%. Tingginya realisasi belanja tersebut turut didukung realisasi gaji ke-13 dan ke14 pada triwulan-II dan pembayaran gaji pegawai serta kegiatan kedinasan. Hal ini juga terlihat dari realisasi belanja pegawai yang telah mencapai Rp 12,36 triliun atau 46,11% dari pangsa total realisasi belanja pemerintah hingga triwulan-III 2016. Realisasi belanja konsumsi tertinggi berada di Pemerintah Provinsi sebesar 68,8% atau Rp 2,2 triliun dari total pagu belanja konsumsi sebesar Rp 3,2 triliun. Grafik 2.8. Realisasi Belanja APBN dan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi NTT
Tabel 2.1 Realisasi Belanja APBN dan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi NTT REALISASI PANGSA Nominal % (%) BELANJA DAERAH 34,109.1 18,210.4 53.39 100 Belanja Modal 8,705.5 3,152.6 36.21 17.31 Belanja Konsumsi 25,269.9 15,057.7 59.59 82.69 Belanja Pegawai 12,360.1 8,395.9 67.93 46.11 Belanja Barang dan Jasa 7,816.8 3,566.6 45.63 19.59 Belanja Hibah 1,608.6 1,226.1 76.22 6.73 Belanja Bantuan Sosial 86.5 33.8 39.09 0.19 Belanja Bagi Hasil 666.9 339.6 50.92 1.87 Bantuan Keuangan 2,654.7 1,484.5 55.92 8.15 Konsumsi Lainnya 76.2 11.2 14.71 0.06 Belanja Lainnya 133.7 Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi NTT dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah (*Miliar Rp) URAIAN
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi NTT dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
Berdasarkan
perkembangan
realisasi
belanja
dari
RENCANA
masing-masing
tingkat
pemerintahan, maka dapat diketahui hal-hal berikut:
Bab II |Keuangan Daerah
29
2.3.1 Belanja APBN Realisasi belanja APBN hingga triwulan-III mencapai Rp 4,75 triliun atau 27,55% dari total pagu belanja APBN tahun 2016 sebesar Rp 8,26 triliun. Porsi belanja APBN pada triwulan-III mengalami penurunan dari sebelumnya sebesar Rp 9,45 triliun yang terutama terjadi pada belanja modal sebesar Rp 1,12 triliun seiring upaya penghematan dari pemerintah pusat. Sementara itu, pangsa realisasi belanja tertinggi untuk triwulanIII terutama dipergunakan bagi belanja pegawai sebesar Rp 1,83 triliun (38,51%) dan diikuti belanja barang dan jasa sebesar Rp 1,59 triliun (44,54%). Di sisi lain, pangsa realisasi
belanja
modal
tercatat
sebesar
Rp
1,32
triliun
atau
27,84%yang
dipergunakan bagi pembangunan beberapa infrastruktur utama seperti bendungan, jalan, Pos Lintas Batas Negara, jembatan, serta pemeliharaan jalan rutin.
2.3.2 Belanja Pemerintah Provinsi NTT Perkembangan realisasi belanja pemerintah Provinsi NTT hingga triwulan-III 2016 mencapai Rp 2,46 triliun atau 63,13% dari pagu belanja sebesar Rp 3,90 triliun. Dalam upaya pencapaian realisasi yang optimal, Pemerintah Provinsi NTT turut terkendala dengan adanya penundaan DAU dari pemerintah pusat. Tercatat DAU Provinsi NTT pada rentang September hingga Desember yang memiliki kemungkinan ditunda mencapai Rp 242,1 miliar. Namun, telah terdapat informasi bahwa DAU akan kembali direalisasikan Pemerintah Pusat pada bulan Desember. Sementara itu, belanja Pemerintah Provinsi hingga triwulan-III masih didominasi oleh belanja hibah yang mencapai Rp 1,3 triliun atau 45,98% dari total realisasi belanja yang dipergunakan untuk penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) serta kelanjutan program dana bergulir pemerintah, seperti Desa Mandiri Anggur Merah. Dari komponen belanja konsumsi, belanja pegawai memiliki pangsa realisasi tertinggi sebesar Rp 455,35 miliar atau 18,5% diikuti belanja barang dan jasa yang mencapai Rp 416,69 miliar atau 16,93%. Di sisi lain, realisasi belanja modal pemerintah Provinsi baru mencapai Rp 258,79 miliar atau dengan pangsa hanya 10,52%.
Bab II |Keuangan Daerah
30
Grafik 2.9. Pangsa Realisasi Belanja Konsumsi APBN Pemerintah dan APBD
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
2.3.3 Belanja Pemerintah Kabupaten/Kota Realisasi belanja pemerintah Kabupaten/Kota hingga triwulan-III 2016 mencapai Rp 11 triliun atau 50,09% dari pagu belanja 2016 sebesar Rp 21,95 triliun. Realisasi terbesar terutama belanja pegawai yang mencapai 66,11% dari target belanja atau sebesar Rp 6,11 triliun, setara dengan 55,56% dari total belanja pemerintah kabupaten/kota. Dengan pangsa belanja sebesar 13,34% dari total belanja, bantuan keuangan menjadi pos belanja dengan realisasi cukup besar hingga 55,92% atau setara 1,47 triliun. Realisasi belanja modal baru tercapai 28,25% dari pagu belanja atau hanya sebesar Rp 1,57 triliun dengan pangsa 14,28% dari total belanja, dan belanja barang dan jasa yang sebesar Rp 1,56 triliun (pangsa: 14,15%) juga baru terealisasi sebesar 39,39% dari pagu anggaran. Sementara itu, rata-rata belanja di setiap Kabupaten/Kota mencapai 50,1% dengan rata-rata belanja modal sebesar 14,7%. Apabila dianalisis secara spasial, adanya penundaan DAU untuk beberapa daerah mulai dirasakan dampaknya. Hal ini terlihat dari realisasi daerah-daerah yang mengalami penundaan, seperti Kab. Kupang (realisasi: 48,42%), Kab. Ende (44,27%), dan Kab. Sumba Timur (48,42%) yang berada dibawah rata-rata pencapaian belanja Kabupaten/Kota di NTT kecuali Kab. Manggarai Barat yang masih mampu merealisasikan belanja hingga sebesar 55,64% dari pagu anggaran. Adapun presentase belanja pemerintah tertinggi ada di Kabupaten Flores Timur sebesar 62,94%, diikuti oleh Kab. Rote Ndao (60,32%) dan Kab. Manggarai Timur (58,85%). Namun dari sisi komponen belanja, sebagian besar realisasi belanja masih digunakan untuk belanja pegawai yang mencapai lebih dari 60% di beberapa Kota/kabupaten, diantaranya Kota Kupang, Kab. Timor Tengah Utara, Kab. Belu, Kab. Malaka dan Kab. Ende. Sementara Bab II |Keuangan Daerah
31
itu, belanja terendah berada di Kabupaten Malaka (38,52%) dengan komponen realisasi terbesar adalah belanja pegawai (64,4%). Grafik 2.10. Realisasi Belanja dan Komponennya Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi NTT, diolah
Di sisi lain, realisasi belanja modal tertinggi ada di Kab. Rote Ndao (53,5%), diikuti Kab. Flores Timur (49,7%) dan Kab. Manggarai Timur (44,4%), sementara belanja modal terendah di Kab. Malaka (9,2%) , Ende dan Sumba Barat Daya (14,6%). Namun porsi realisasi belanja modal dibandingkan total belanja tertinggi ada di Kab. Sabu Raijua (30,5%) dan Kab. Rote Ndao (24,6%). Porsi belanja modal yang tinggi tersebut menggambarkan besarnya belanja produktif yang dilakukan pemda. Gambar 2.1. Realisasi Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi NTT, diolah
2.4 Dana Pemerintah di Perbankan Berdasarkan data perbankan hingga Triwulan III-2016, tercatat Dana Pihak Ketiga (DPK) Pemerintah dalam bentuk simpanan pada lembaga perbankan sebesar Rp 5,70 triliun. DPK tersebut menurun -17,8% (qtq) apabila dibandingkan triwulan II-2016 Bab II |Keuangan Daerah
32
yang sebesar Rp 6,93 triliun. Penurunan DPK tersebut menguatkan hipotesa peningkatan realisasi anggaran pada triwulan-III yang digunakan bagi kegiatan pemerintah. Total DPK pemerintah sendiri paling banyak berada pada komponen Giro sebesar Rp 3,89 triliun. Grafik 2.11. Dana Pihak Ketiga Pemerintah di Perbankan NTT
Tabel 2.2. Komposisi DPK Pemerintah di NTT
PEMERINTAH PUSAT PROVINSI KOTA KABUPATEN TOTAL (*Rp Miliar)
GIRO TABUNGAN DEPOSITO TOTAL DPK 86.40 1.37 - 87.77 141.36 2.84 204.60 348.80 320.47 17.85 196.30 534.62 3,340.36 121.91 1,264.51 4,726.78 3,888.59 143.97 1,665.41 5,697.97
Sumber : Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Lampiran: Tabel 2.3 Ringkasan Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur Rp jutaan
PENDAPATAN DAERAH BELANJA DAERAH Belanja Modal Belanja Konsumsi Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Hibah Belanja Bantuan Sosial Belanja Bagi Hasil Bantuan Keuangan Konsumsi Lainnya Belanja Lainnya SURPLUS/DEFISIT PEMBIAYAAN DAERAH Penerimaan SILPA Tahun Lalu Lainnya Pengeluaran Penyertaan Modal Lainnya PEMBIAYAAN NETTO SILPA SEKARANG
APBN/APBD APBN KAB PROV 260,527 20,617,972 3,876,020 8,258,889 21,951,655 3,898,591 2,583,085 5,560,241 562,136 5,675,804 16,391,414 3,202,708 2,443,985 9,242,372 673,780 3,210,303 3,950,686 655,806 149,663 1,458,914 21,516 43,131 21,830 309,245 357,699 2,630,066 24,679 66,250 10,000 133,746 (7,998,362) (1,333,684) (22,570) 1,434,969 1,357,552 77,417 102,285 96,200 6,085 1,332,684 (1,000)
82,570 75,000 7,570 60,000 50,000 10,000 22,570 -
REALISASI TOTAL APBN KAB PROV 24,754,519 1,747,150 13,938,422 2,728,755 34,109,135 4,752,759 10,996,556 2,461,068 8,705,463 1,323,075 1,570,778 258,788 25,269,926 3,429,683 9,425,777 2,202,281 12,360,137 1,830,505 6,110,070 455,355 7,816,795 1,593,535 1,556,372 416,694 1,608,577 94,430 1,131,624 86,477 5,643 21,872 6,291 666,944 164,917 174,723 2,654,746 1,467,058 17,437 76,250 11,057 156 133,746 (9,354,616) (3,005,608) 2,941,866 267,686 1,517,539 1,432,552 84,987 162,285 146,200 16,085 1,355,254 (1,000)
2,168,392 2,053,560 114,832 63,860 60,500 3,360 2,104,532 5,046,398
162,936 158,726 4,210 54,459 50,000 4,459 108,477 376,164
TOTAL 18,414,327 18,210,383 3,152,641 15,057,741 8,395,930 3,566,601 1,226,055 33,806 339,641 1,484,495 11,213 203,944 2,331,328 2,212,286 119,042 118,319 110,500 7,819 2,213,009 5,422,562
Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
Bab II |Keuangan Daerah
33
Inflasi NTT mengalami penurunan cukup besar di triwulan III 2016 dibanding inflasi di triwulan II 2016 seiring deflasi yang terjadi di sepanjang triwulan III 2016. Tidak adanya kegiatan besar disertai adanya penurunan permintaan menjelang tahun ajaran baru sekolah dan universitas, penghematan anggaran pemerintah dan kondisi cuaca yang relatif baik membuat pasokan komoditas bahan makanan cukup tersedia, sehingga harga dapat mengalami penurunan.
Kelompok komoditas volatile food menjadi penyumbang deflasi utama, setelah pada triwulan sebelumnya menjadi penyumbang utama inflasi di NTT. Penurunan harga ikan segar seiring dengan kondisi cuaca yang membaik ataupun penurunan harga beras menjadi penyebab utama deflasi kelompok komoditas bahan makanan. Secara triwulanan, pada triwulan III 2016, Provinsi NTT menjadi provinsi dengan capaian deflasi terendah di Indonesia. Sepanjang triwulan IV 2016, inflasi diperkirakan mengalami kenaikan cukup tinggi seiring dengan adanya libur hari raya Natal dan Tahun Baru, kurangnya pasokan daging ayam ras dan sayur-sayuran ataupun dikarenakan oleh pembalikan harga yang saat ini sudah cukup rendah. Adanya peringatan hari nusantara juga berpotensi meningkatkan inflasi angkutan udara seiring dengan waktu pelaksanaan yang bertepatan dengan waktu perhitungan inflasi. Adapun capaian inflasi pada bulan Oktober 2016 sebesar 0,19% (mtm) hanya sedikit lebih besar dibanding nasional yang sebesar 0,14% (mtm). Sepanjang tahun 2016, inflasi Provinsi NTT diperkirakan masih akan relatif rendah pada kisaran 2,4-2,8% (yoy). Potensi inflasi yang cukup tinggi di akhir tahun diprediksi tidak akan setinggi inflasi di akhir tahun 2015, sehingga nilai inflasi masih dapat terjaga.
3.1. Kondisi Umum Inflasi Provinsi NTT pada triwulan III 2016 mengalami penurunan yang cukup besar mencapai 3,07% (yoy) dibanding triwulan sebelumnya yang sebesar 5,02% (yoy) atau relatif sama dengan inflasi nasional yang juga sebesar 3,07% (yoy). Deflasi yang terjadi pada bulan Juli, Agustus dan September 2016 membuat pencapaian inflasi NTT mengalami penurunan yang cukup besar. Penurunan inflasi yang cukup signifikan ini terutama disebabkan oleh penurunan inflasi bahan makanan seiring dengan peningkatan pasokan komoditas ikan segar, sayur-sayuran dan bumbu-bumbuan karena membaiknya kondisi cuaca, turunnya permintaan angkutan udara paska hari raya Idul Fitri dan libur sekolah, serta adanya peningkatan kebutuhan pendidikan yang mendorong penurunan permintaan pada komoditas yang lain. Adanya hari raya Idul Fitri, libur sekolah maupun hari 34 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
34
keluarga nasional di bulan Juli 2016 ternyata tidak berpengaruh terhadap inflasi NTT dikarenakan oleh terjaganya pasokan komoditas. Tidak adanya even skala nasional di bulan Agustus dan September 2016 membuat permintaan relatif normal, sehingga dengan kondisi pasokan yang terjaga, harga dapat stabil bahkan mengalami penurunan
yang cukup besar. Kembali normalnya harga daging ayam ras juga
membantu deflasi yang terjadi, setelah di triwulan sebelumnya mengalami kenaikan inflasi yang cukup tinggi. Grafik 3.1. Inflasi Tahunan Provinsi NTT dan Nasional
Tabel 3.1. 10 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi Tahunan di Provinsi NTT komoditas Inflasi
yoy
Bawang Merah
komoditas Deflasi
sum yoy
yoy
102.72
0.40
Bensin
(11.77)
(0.31)
Rokok Kretek Filter
18.90
0.35
Kembung
(19.15)
(0.22)
Kangkung
36.95
0.28
Besi Beton
(8.99)
(0.07)
Pasir
14.04
0.17
Batako
(14.00)
(0.06)
Rokok Kretek
25.09
0.17
Cabai Rawit
(50.73)
(0.06)
Pisang
39.10
0.17
Solar
(25.36)
(0.05)
Nasi Lauk
7.23
0.16
Minyak Goreng
(3.88)
(0.04)
Gula Pasir
16.71
0.16
Seng
(4.55)
(0.04)
5.84
0.14
Daun Singkong
(28.83)
(0.04)
31.90
0.14
Laptop
(9.35)
(0.04)
Semen Tahu Mentah
Sumber : BPS, diolah
sum yoy
Sumber : BPS, diolah
Pada bulan Oktober 2016, Provinsi NTT kembali mengalami inflasi namun relatif terjaga yaitu hanya sebesar 0,19% (mtm) membuat inflasi secara tahunan mengalami penurunan menjadi sebesar 2,93% (yoy). Berdasarkan bulan berjalan, inflasi NTT hanya sebesar -0,23% (ytd) dan menjadi capaian inflasi terendah kedua setelah Provinsi Sulawesi Utara. Potensi inflasi tinggi diperkirakan dapat terjadi pada bulan November dan Desember 2016 seiring majunya musim hujan yang sudah terjadi yang berpotensi mengurangi pasokan ikan segar, sayursayuran, dan bumbu-bumbuan. Kurangnya suplai DOC di seluruh Provinsi NTT juga berpotensi meningkatkan harga daging ayam ras seiring tingginya permintaan selama Hari Raya Natal dan Tahun baru. 3.1.1 Inflasi Bulanan Berbanding terbalik dengan kondisi di triwulan II 2016, Provinsi NTT sepanjang triwulan III 2016 selalu mengalami deflasi di tiap bulannya. Walaupun terdapat perayaan Hari Raya Idul Fitri, pembayaran gaji ke-14, libur sekolah dan perayaan hari keluarga nasional yang berpusat di NTT pada bulan Juli 2016, Inflasi Provinsi NTT justru dapat mengalami deflasi sebesar -0,32% (mtm) dibanding bulan sebelumnya. Adanya peningkatan pasokan komoditas sayur-sayuran dan bumbu| Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
35
35
bumbuan seiring dengan membaiknya kondisi cuaca, dan sudah tingginya harga komoditas di bulan sebelumnya membuat harga berbalik mengalami penurunan. Pada bulan Agustus, Provinsi NTT kembali mengalami deflasi -0,80% (mtm) terutama disebabkan oleh kembali menurunnya permintaan paska libur sekolah dan Hari Raya Idul Fitri. Tingginya kebutuhan biaya sekolah juga membuat permintaan komoditas mengalami penurunan. Angkutan udara menjadi penyumbang utama penurunan harga diikuti komoditas ayam, daging dan telur ayam ras yang kembali mengalami penurunan setelah sempat mengalami kenaikan signifikan pada triwulan II 2016 karena kekurangan pasokan. Pada bulan September 2016, Provinsi NTT masih mengalami deflasi -0,17% (mtm) terutama disebabkan oleh turunnya tarif angkutan udara seiring dengan menurunnya
permintaan
paska
pengumuman
penghematan
anggaran
yang
disampaikan pemerintah. Membaiknya cuaca berdampak pada meningkatnya pasokan ikan segar, dan sayur-sayuran. Pasokan gula juga kembali meningkat setelah di Jawa mulai terdapat panen dan giling tebu. Tabel 3.23. Komoditas Penyumbang Inflasi Utama Bulanan di Provinsi NTT Juli Komoditas
Agustus
Inflasi (% )
Andil (% )
Komoditas
September
Inflasi (% ) 13.35
Andil (% )
Komoditas
0.05 Kakap Merah
Inflasi (% ) 37.91
Oktober Andil (% )
Komoditas
Inflasi (% )
Andil (% )
Angkutan Udara
11.00
0.33 Pisang
0.08 Daging Ayam Ras
12.95
0.14
Tongkol
35.58
0.17 Sekolah Dasar
5.07
0.05 Kangkung
6.83
0.05 Sawi Putih
20.16
0.11
Tembang
34.99
0.09 Tarip Listrik
1.61
0.04 Tarip Pulsa Ponsel
2.83
0.05 Beras
0.79
0.05
74.74
0.05
1.64
0.05
12.96
0.03
Pasir
4.72
0.05 Sekolah Menengah Atas 2.41
0.03 Tarip Air Minum Pikulan 9.71
0.04 Buncis
Gula Pasir
5.00
0.05 Kentang
0.02 Perguruan Tinggi
1.58
0.04 Tarip Listrik
Tarip Listrik
1.37
0.04 Bunga Pepaya
0.02 Sawi Putih
6.71
0.03 Bayam
Mie
2.41
0.03 Kue Basah
5.46
0.02 Ayam Hidup
5.45
0.03 Ayam Hidup
4.03
0.03
Bayam
8.72
0.03 Ekor Kuning
11.15
0.02 Daging Babi
4.35
0.03 Tembang
9.58
0.02
Kangkung
3.59
0.03 Sepatu
6.25
0.02 Daun Singkong
0.02 Bawang Putih
7.73
0.02
Rokok Putih
3.46
0.03 Batu Bata
7.33
0.01 Tarip Listrik
33.81
0.02
8.75 14.13
19.11 0.86
0.02 Kubis
Sumber : BPS, diolah
Inflasi pada bulan Oktober 2016 kembali meningkat sebesar 0,19% (mtm). Kurangnya pasokan DOC membuat pasokan ayam ras berkurang dan harga ayam ras mengalami kenaikan cukup tinggi. Kekurangan DOC akibat dari pemusnahan indukan yang terjadi tahun sebelumnya masih terasa dampaknya di tahun 2016 yang terlihat dari fluktuasi harga daging ayam ras yang cukup besar. Harga sayur-sayuran dan bumbu-bumbuan mulai meningkat setelah cenderung mengalami deflasi dalam 3 bulan terakhir. Ikan segar mampu menjadi penghambat inflasi seiring dengan melimpahnya pasokan di pasar. Berdasarkan 10 komoditas utama pembentuk inflasi, hanya komoditas tarif listrik dan kangkung yang persisten sebagai komoditas penyumbang inflasi utama, sedangkan dari sisi deflasi, terdapat 9 komoditas yang dua kali menjadi penyumbang deflasi utama 36 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
36
antara lain daging ayam ras, angkutan udara, sawi putih, ikan kembung dan tembang, tomat sayur, bayam, gula pasir dan ayam hidup. Turunnya harga daging ayam ras dan ayam hidup lebih disebabkan oleh pembalikan harga setelah mengalami kenaikan signifikan di triwulan sebelumnya. Membaiknya cuaca mampu meningkatkan pasokan sayuran dan ikan segar, dan sudah tibanya musim giling tebu meningkatkan pasokan gula. Tabel 3.3. Komoditas Penyumbang Deflasi Utama Bulanan di Provinsi NTT Juli Komoditas
Agustus
Deflasi (% )
Andil (% )
Komoditas
Deflasi (% )
September Andil (% )
Komoditas
Deflasi (% )
Oktober Andil (% )
Komoditas
Deflasi (% )
Andil (% )
Sawi Putih
(38.19)
(0.35)
Angkutan Udara
(8.67)
(0.29)
Angkutan Udara
(7.83)
(0.24)
Kangkung
(11.39)
(0.09)
Daging Ayam Ras
(14.83)
(0.21)
Daging Ayam Ras
(14.74)
(0.18)
Kembung
(18.02)
(0.20)
Angkutan Udara
(2.92)
(0.08)
Tomat Sayur
(34.62)
(0.15)
Sawi Putih
(17.45)
(0.10)
Tongkol
(23.16)
(0.15)
Kembung
(5.61)
(0.05)
Kubis
(53.30)
(0.12)
Bayam
(21.76)
(0.08)
Tomat Sayur
(25.84)
(0.08)
Kakap Merah
(15.62)
(0.04)
(7.76)
(0.09)
Tembang
(17.31)
(0.06)
Wortel
(23.25)
(0.04)
Tomat Sayur
(18.87)
(0.04)
Bawang Merah
(15.80)
(0.07)
Tarip Pulsa Ponsel
(2.52)
(0.05)
Gula Pasir
(3.72)
(0.03)
Tarip Pulsa Ponsel
(2.01)
(0.04)
Sawi Hijau
(28.70)
(0.05)
Ayam Hidup
(5.86)
(0.04)
Tembang
(11.49)
(0.03)
Wortel
(22.85)
(0.03)
Ayam Hidup
(4.56)
(0.03)
Gula Pasir
(3.60)
(0.03)
Bayam
(11.43)
(0.03)
Ekor Kuning
(12.39)
(0.02)
Bawang Putih
(9.10)
(0.03)
Telur Ayam Ras
(4.21)
(0.03)
Cabai Rawit
(26.41)
(0.03)
Telur Ayam Ras
(2.30)
(0.02)
(10.30)
(0.03)
Daging Ayam Kampung (13.83)
(0.03)
Jagung Manis
(21.48)
(0.02)
Gula Pasir
(1.92)
(0.02)
Kembung
Kentang
Sumber : BPS, diolah
Berdasarkan wilayah, inflasi di wilayah Balinusra mampu menjadi wilayah dengan inflasi terendah kedua setelah wilayah Jawa secara tahunan dan terendah kedua setelah Kalimantan secara triwulanan. Di Wilayah Balinusra, Inflasi NTT saat ini berada di peringkat kedua terendah setelah NTB, dan secara triwulanan, inflasi NTT mengalami deflasi -1,26% (qtq) dan menjadi inflasi terendah di Indonesia di sepanjang triwulan III 2016. Grafik 3.2. Perbandingan Inflasi 5 regional di Indonesia
Sumber : BPS, diolah
Grafik 3.3. Perbandingan Inflasi di Wilayah Balinusra
Sumber : BPS, diolah
3.2. Inflasi Berdasarkan Kelompok Komoditas Setelah menjadi penyebab tingginya inflasi di triwulan II 2016, komoditas bahan makanan berbalik menjadi komoditas penyumbang deflasi 37 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
37
utama di triwulan III 2016. Peningkatan pasokan yang diikuti oleh penurunan permintaan menjadi penyebab utama penurunan inflasi di triwulan III 2016. Secara tahunan, komoditas transportasi, komunikasi dan jasa keuangan menjadi satu-satunya kelompok komoditas yang mengalami penurunan harga dibanding tahun sebelumnya dengan nilai deflasi sebesar -1,45% (yoy). Walaupun menjadi salah satu penyumbang inflasi utama di triwulan III 2016, Kenaikan biaya pendidikan relatif rendah yang terlihat dari nilai inflasi yang hanya 2,36% (yoy) dibanding tahun sebelumnya. Kenaikan inflasi perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar juga relatif rendah dengan nilai inflasi sebesar 2,47% (yoy) meskipun terjadi kenaikan tarif listrik sejak bulan Juli hingga saat ini. Bahan makanan menjadi komoditas dengan penurunan inflasi terbesar yaitu dari 11,03% (yoy) di triwulan II 2016 menjadi hanya 3,07% (yoy) di triwulan III 2016. Komoditas makanan jadi, minuman dan tembakau menjadi komoditas penyumbang inflasi utama di NTT terutama disebabkan oleh tingginya kenaikan harga tembakau dan minuman beralkohol seiring dengan meningkatnya cukai rokok yang terjadi. Tabel 3.4. Inflasi di Provinsi NTT berdasarkan Kelompok Komoditas Komoditi
IHK 2016
YOY
Jul
Aug
Sep
Oct
INFLASI UMUM
125.7
124.7
124.5
124.7
Tw III 3.07
Oct 2.93
Bahan Makanan
120.1
117.1
115.6
116.5
3.07
3.38
Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau 142.7 142.6
143.3
143.7
10.14
9.97
Perumahan, Air, Listrik, Gas dan 122.3 Bahan122.5 Bakar 122.9
123.2
2.47
2.70
Sandang
123.7
123.3
124.2
124.3
3.89
3.60
Kesehatan
114.1
114.7
115.1
115.3
3.15
3.42
Pendidikan, Rekreasi dan Olah 123.6 Raga
125.0
126.0
126.1
2.36
2.21
Transportasi, Komunikasi dan Jasa 132.3
129.9
128.7
127.8
(1.45)
(2.60)
Sumber : BPS, diolah
3.2.1 Bahan Makanan Komoditas bahan makanan mengalami penurunan inflasi terbesar dalam 3 tahun terakhir hingga 7,19% (qtq) secara triwulanan, sehingga inflasi tahunan mengalami penurunan signifikan dari 11,03% (yoy) menjadi hanya 3,07% (yoy) di triwulan III 2016. Selain disebabkan posisi harga jual komoditas yang sudah terlampau tinggi, adanya peningkatan pasokan ikan segar seiring dengan membaiknya cuaca, meningkatnya produksi sayur-sayuran dan bumbu-bumbuan serta adanya penurunan permintaan bahan makanan seperti daging ayam karena tingginya kebutuhan rumah tangga untuk pendidikan telah membuat harga komoditas mengalami penurunan yang cukup besar. Dari total 21 komoditas yang menjadi 10 besar penyumbang deflasi terbesar di triwulan III 2016, 18 diantaranya adalah komoditas bahan makanan dengan 8 komoditas berupa sayur-sayuran, 3 komoditas | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
38
38
daging dan hasil-hasilnya, 3 komoditas ikan segar, 3 komoditas bumbu-bumbuan dan telur ayam ras. Grafik 3. 4. Inflasi Kelompok Komoditas Bahan Makanan secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan
Sumber : BPS, diolah
Grafik 3.5. Inflasi Kelompok Komoditas Bahan Makanan per Sub Kelompok Komoditas
Sumber : BPS, diolah
3.2.2 Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan Setelah menjadi salah satu penyumbang inflasi terbesar di tahun 2015, komoditas transportasi, komunikasi dan jasa keuangan di tahun 2016 berbalik menjadi penyumbang deflasi terbesar di tahun 2016. Kembali turunnya harga bensin dan solar hingga 11,74% (yoy) dan 23,65% (yoy) menjadi penyebab utama deflasi pada kelompok komoditas ini. Selain itu, adanya penambahan frekuensi penerbangan dan perpanjangan runway bandara yang telah dilakukan pemerintah di tahun sebelumnya membantu menstabilkan tarif angkutan udara yang sebelumnya relatif lebih berfluktuasi. Grafik 3. 6. Inflasi Kelompok Komoditas Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan
Sumber : BPS, diolah
Grafik 3.7. Inflasi Kelompok Komoditas Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan per Sub Kelompok Komoditas
Sumber : BPS, diolah
Setelah hari raya Idul Fitri dan libur sekolah, permintaan angkutan udara relatif melambat yang berdampak pada penurunan tarif angkutan udara di triwulan III 2016. Adapun inflasi komoditas transportasi, komunikasi dan jasa keuangan lainnya relatif stabil.
39 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
39
3.2.3 Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau Berbanding terbalik dengan pergerakan harga bahan makanan yang cenderung menurun, inflasi kelompok komoditas Makanan jadi, Minuman dan Tembakau masih cenderung mengalami kenaikan di triwulan III 2016. Minimnya persaingan usaha dan terbatasnya sentra kuliner membuat harga makanan jadi bergerak naik, berlawanan dengan trend harga komponen pembentuknya seperti komoditas bahan makanan yang relatif turun ataupun bahan bakar yang relatif tetap. Pembangunan sentra kuliner baru seperti food corner yang baru dibuka diharap dapat terus didorong agar menumbuhkan persaingan di industri kuliner, sehingga diharapkan harga makanan jadi dapat ditekan. Grafik 3. 8. Inflasi Kelompok Komoditas Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan
Sumber : BPS, diolah
Grafik 3.9. Inflasi Kelompok Komoditas Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau per Sub Kelompok Komoditas
Sumber : BPS, diolah
Komoditas minuman tidak beralkohol kembali menunjukkan penurunan, terutama didorong oleh menurunnya harga gula yang disebabkan oleh mulai meningkatnya pasokan seiring dengan musim giling yang terjadi di Jawa. Komoditas tembakau dan minuman beralkohol masih menjadi penyumbang utama inflasi pada kelompok komoditas ini dengan nilai inflasi hingga 19,32% (yoy) dibanding tahun sebelumnya, yang disebabkan oleh tingginya kenaikan cukai rokok dan tembakau.
3.2.4 Komoditas Lainnya Inflasi pada komoditas lainnya seperti komoditas perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar, komoditas sandang, kesehatan maupun pendidikan masih relatif stabil. Kenaikan inflasi di triwulan III 2016 terutama hanya terjadi pada komoditas pendidikan yang disebabkan oleh adanya kenaikan kelas dan tahun ajaran baru dan kenaikan tarif dasar listrik pada beberapa kategori pelanggan. Beberapa komoditas juga menunjukkan kenaikan seperti sandang anak-anak, biaya tempat tinggal ataupun biaya kesehatan namun masih relatif rendah. 40 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
40
3.3. Disagregasi Inflasi Seiring dengan turunnya harga komoditas volatile food, maka komoditas inti beralih menjadi penyumbang utama inflasi berdasarkan disagregasi inflasi. Inflasi komoditas inti pada triwulan III 2016 mencapai 3,66% (yoy), diikuti oleh komoditas volatile food sebesar 3,04% (yoy) dan administered price sebesar 2,46% (yoy). Kondisi cuaca yang membaik, peningkatan pasokan dan subtitusi bahan makanan menjadi pendorong utama penurunan inflasi sedangkan adanya tahun ajaran baru, peningkatan kebutuhan pakaian terutama untuk hari raya dan tahun ajaran baru, serta kenaikan tarif listrik dan cukai menjadi pendorong kenaikan inflasi beberapa komoditas. Grafik 3. 10. Disagregasi Inflasi dan Sumbangan Inflasi Tahunan Provinsi Nusa Tenggara Timur
Sumber : BPS, diolah
3.3.1 Kelompok Volatile Foods Inflasi kelompok volatile foods mengalami penurunan signifikan pada triwulan III 2016 setelah pada triwulan sebelumnya menjadi penyumbang inflasi utama. Peningkatan pasokan bahan makanan seiring dengan kondisi cuaca yang membaik dan adanya subtitusi konsumsi daging guna memenuhi kebutuhan pendidikan selain juga disebabkan oleh kondisi pasokan yang meningkat
menjadi penyebab utama penurunan inflasi kelompok volatile
foods. Nilai inflasi volatile foods turun signifikan menjadi 3,04% (yoy) dibandingkan kondisi inflasi di triwulan II 2016 yang masih sebesar 11,85% (yoy). Penurunan harga ikan segar seiring dengan kenaikan pasokan menjadi penyebab utama penurunan harga. Adanya subtitusi konsumsi daging ayam ras ke lauk pauk yang lebih murah serta peningkatan pasokan ayam juga mendorong penurunan harga ayam yang cukup signifikan. Namun demikian, dengan kondisi DOC yang mengalami defisit cukup besar, diyakini harga akan mampu kembali naik cukup tinggi terutama menjelang akhir tahun 2016. Hujan yang sempat terjadi di tengah tahun akibat anomali cuaca La-Nina cukup | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
41
41
membantu dalam meningkatkan pasokan sayur-sayuran. Hal ini membuat inflasi sayursayuran mengalami penurunan signifikan, dari 28,34% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi hanya 6,87% (yoy) di triwulan III 2016. Harga bumbu-bumbuan juga mengalami penurunan walaupun tidak terlalu besar. Hal yang patut diapresiasi adalah stabilnya harga beras yang disebabkan oleh selain membaiknya cuaca, juga dikarenakan oleh kembali longgarnya proteksi distribusi beras di daerah penghasil (Makasar dan Sumbawa), sehingga pasokan beras ke NTT relatif lancar dan harga menjadi stabil.
3.3.2 Kelompok Administered Prices Inflasi administered price secara tahunan justru menunjukkan sedikit peningkatan, dari 1,99% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi 2,46% (yoy) di triwulan III 2016. Walaupun terjadi penurunan inflasi angkutan udara dan bensin di triwulan III 2016, namun kenaikan tarif listrik beberapa golongan pelanggan dan kenaikan cukai rokok dan tembakau berhasil menahan penurunan yang terjadi.
Inflasi komoditas transportasi pada triwulan III 2016
mengalami deflasi 2,29% (yoy) dibandingkan tahun sebelumnya. Deflasi tersebut terutama disebabkan oleh turunnya harga bensin dan solar seiring dengan penurunan harga minyak dunia di sepanjang tahun 2015 dan 2016. Peningkatan frekuensi penerbangan juga telah menurunkan fluktuasi tarif angkutan udara yang terjadi, walaupun belum signifikan. Tingginya inflasi rokok kemungkinan selain disebabkan oleh rata-rata kenaikan harga eceran rokok yang mencapai 11,5%, juga diduga disebabkan oleh meningkatnya profit yang dihasilkan pelaku usaha di Kota Kupang. Hal ini terlihat dari besar kenaikan inflasi komoditas tembakau dan minuman beralkohol Kota Kupang yang mencapai 21,05% (yoy), jauh lebih tinggi dibanding inflasi kelompok komoditas di Kota Maumere yang hanya sebesar 8,98% (yoy) ataupun di daerah lainnya di Indonesia. Hanya Kota Medan dan Palembang yang mengalami inflasi komoditas tembakau dan minuman beralkohol yang lebih tinggi dibanding Kota Kupang. Adapun kenaikan tarif listrik terutama disebabkan oleh kenaikan tarif listrik non subsidi dengan daya 1.300 KVA hingga 6.000 KVA ke atas.
3.3.3 Kelompok Inti (core) Walaupun secara tahunan inflasi kelompok inti relatif mengalami penurunan dari 4,05% (yoy) di triwulan II 2016 menjadi 3,66% di triwulan III 2016, namun demikian, secara triwulanan, inflasi inti masih menunjukkan 42 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
42
adanya kenaikan 0,87% (qtq) terutama disumbang oleh kenaikan biaya pendidikan, makanan jadi, dan minuman tak beralkohol. Walaupun besar kenaikan tidak terlalu besar, adanya tahun ajaran baru telah meningkatkan biaya sekolah dari TK hingga perguruan tinggi begitu juga dengan kebutuhan baju sekolah untuk anak. Makanan jadi dan minuman tak beralkohol juga menjadi salah satu penyumbang inflasi utama walaupun nilainya tidak terlalu besar. Kenaikan harga makanan jadi secara bertahap juga telah menyumbang inflasi komoditas inti. Adanya penurunan harga gula dinilai mampu sedikit memperlambat kenaikan harga komoditas inti yang terjadi. Walaupun sedikit berbeda arah, perkiraan inflasi pada triwulan IV 2016 diperkirakan meningkat dan bertahan hingga awal tahun 2017. Adanya hari raya Natal dan tahun baru diduga mempengaruhi sentimen harga masyarakat yang terutama disebabkan oleh sentimen peningkatan permintaan dan di saat yang sama diprediksi terjadi penurunan pasokan hortikultura dan ikan tangkapan seiring dengan kondisi cuaca yang diperkirakan memburuk. Grafik 3.11. Ekspektasi Harga Konsumen 3 dan 6 bulan ke Depan
Sumber : Bank Indonesia, diolah
3.4. Inflasi NTT Berdasarkan Kota 3.4.1 Inflasi Kota Kupang Inflasi Kota Kupang mengalami penurunan cukup besar menjadi 3,18% (yoy) di triwulan III 2016 menurun dibanding posisi inflasi triwulan II 2016 yang sebesar 5,23% (yoy) terutama disebabkan oleh inflasi komoditas bahan makanan
yang
mengalami
penurunan
signifikan
dibanding
triwulan
sebelumnya. Saat ini, inflasi bahan makanan hanya sebesar 3,43% (yoy) turun signifikan bila dibandingkan nilai inflasi di triwulan sebelumnya yang sebesar 12,04% (yoy).
Membaiknya cuaca menyebabkan pasokan ikan segar dan sayur-sayuran 43 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
43
meningkat, dan tingginya kebutuhan rumah tangga untuk pendidikan berpengaruh terhadap penurunan permintaan komoditas bahan makanan serta subtitusi asupan makanan ke komoditas yang lebih murah. Grafik 3.12. Inflasi Tahunan Kota Kupang
Tabel 3.5. Inflasi di Kota Kupang berdasarkan Kelompok Komoditas Komoditi
IHK 2016 Jul
Aug
Sep
YOY Oct Tw III
Okt
INFLASI UMUM
127.0 125.9 125.4 125.6
3.18
2.98
Bahan Makanan
122.6 119.4 117.2 118.1
3.43
3.80
Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau 142.5 142.4 143.2 143.4 10.69 10.38 Perumahan, Air, Listrik, Gas dan123.0 Bahan123.1 Bakar 123.5 123.8 2.00 2.24 Sandang
125.6 125.1 126.1 126.2
4.12
3.73
Kesehatan
114.4 114.9 115.4 115.6
3.15
3.43
Pendidikan, Rekreasi dan Olah 121.0 Raga 122.7 123.4 123.6
2.47
2.30
Transportasi, Komunikasi dan Jasa 135.0 132.3 130.9 130.2 (0.90) (2.37) Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
Secara tahunan, hanya komoditas transportasi, komunikasi dan jasa keuangan yang mengalami deflasi -0,90% (yoy) terutama disebabkan oleh menurunnya harga bensin dan solar. Pada triwulan ini, tarif angkutan udara juga mengalami penurunan seiring dengan adanya penurunan permintaan paska libur sekolah dan hari raya Idul Fitri. Makanan jadi masih menjadi penyumbang utama inflasi terutama disebabkan oleh meningkatnya harga rokok dan relatif tingginya kenaikan harga makanan jadi dan minuman tak beralkohol. Inflasi komoditas lainnya seperti perumahan dan kesehatan relatif stabil. Sedikit kenaikan terjadi pada komoditas pendidikan seiring dengan datangnya tahun ajaran baru yang juga berimbas kepada kenaikan harga sandang anak-anak terutama seragam sekolah.
3.4.2
Inflasi Kota Maumere Berbeda dengan pola pergerakan inflasi di Kota Kupang, inflasi di Kota
Maumere cenderung lebih rendah dengan nilai inflasi sebesar 2,28% (yoy) lebih rendah dari inflasi nasional dan NTT yang sebesar 3,07% (yoy). Inflasi bahan makanan sedikit mengalami kenaikan di triwulan III 2016 terutama disebabkan oleh cukup rendahnya inflasi yang hanya sebesar 0,49% (yoy) dibanding tahun sebelumnya. Relatif lancarnya pasokan komoditas bahan makanan dan ketatnya persaingan antar pelaku usaha justru berdampak positif terhadap stabilnya harga komoditas. Relatif tingginya harga komoditas daging dan hasil-hasilnya lebih disebabkan oleh adanya
44 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
44
kelangkaan DOC yang berdampak pada kenaikan harga daging ayam ras di Provinsi NTT. Inflasi komoditas makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau juga relatif lebih rendah dibanding inflasi di Kota Kupang. Komoditas makanan jadi hanya mengalami inflasi sebesar 4,93% (yoy), lebih rendah dibanding rata-rata inflasi dalam tiga tahun terakhir yang mencapai 10,30% (yoy). Adanya pujasera di beberapa titik berhasil membuat harga makanan jadi relatif terkontrol dikarenakan oleh adanya persaingan antar pedagang. Begitu pula dengan inflasi tembakau dan minuman beralkohol yang hanya mengalami kenaikan sebesar 8,98% (yoy), jauh lebih rendah dibanding inflasi kelompok komoditas yang di Kota Kupang yang mencapai 21,05% (yoy). Grafik 3.13. Inflasi Tahunan Kota Maumere
Grafik 3.6. Inflasi Inflasi di Kota Maumere berdasarkan Kelompok Komoditas Komoditi
Aug
Sep
YOY Oct Tw II
Jul
117.4 117.0 118.4 118.7
2.28
2.59
103.7 102.4 105.4 105.9
0.49
0.40
Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau 143.9 143.9 144.2 145.4
6.64
7.34
Perumahan, Air, Listrik, Gas dan117.8 Bahan118.0 Bakar 119.0 119.3
5.78
5.92
Sandang
111.0 111.2 111.4 111.8
2.17
2.64
Kesehatan
112.6 113.2 113.2 113.4
3.22
3.35
Pendidikan, Rekreasi dan Olah 140.5 Raga 140.6 142.6 142.6
1.69
1.70
INFLASI UMUM Bahan Makanan
Sumber : BPS, diolah
IHK 2016 Jul
Transportasi, Komunikasi dan Jasa 114.7 114.1 113.8 112.8 (5.40) (4.34) Sumber : BPS, diolah
Kenaikan tarif listrik di Maumere ternyata berdampak lebih besar terhadap inflasi Kota Maumere yang terlihat dari nilai inflasi Perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar yang mencapai 6,64% (yoy). Penambahan frekuensi angkutan udara di Kota Maumere langsung berdampak pada rata-rata tarif pesawat yang mengalami penurunan. Dengan adanya penurunan bensin, solar dan angkutan laut, inflasi transportasi, komunikasi dan jasa keuangan berhasil mengalami deflasi hingga 5,40% (yoy) dibanding tahun sebelumnya.
3.5. Perkiraan Inflasi NTT Triwulan IV 2016 dan Sepanjang Tahun 2016 Inflasi NTT pada triwulan IV 2016 diperkirakan akan mengalami kenaikan cukup besar. Namun demikian, adanya pelemahan permintaan diperkirakan dapat menghambat laju inflasi yang terjadi. Tingginya inflasi terutama disebabkan oleh adanya potensi lonjakan permintaan komoditas pada saat hari raya Natal dan tahun baru. Selain itu, adanya kekurangan pasokan DOC juga berpotensi membuat harga daging ayam meningkat cukup signifikan. Ditambah lagi dengan adanya potensi 45 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
45
penurunan pasokan ikan segar, sayur-sayuran dan bumbu-bumbuan yang disebabkan oleh kondisi cuaca dan posisi harga pada beberapa komoditas bahan makanan yang sudah dibawah harga normal berpotensi membuat harga kembali meningkat merespon peningkatan permintaan yang ada. Berdasarkan perkembangan inflasi bulan Oktober 2016, inflasi provinsi NTT meningkat 0,19% (mtm). Kenaikan inflasi di bulan Oktober masih relatif terjaga yang terlihat dari nilai inflasi tahunan yang sebesar 2,93% (yoy), lebih rendah dibanding inflasi September yang sebesar 3,07% (yoy). Hal ini menunjukkan kenaikan inflasi di bulan Oktober 2016 tidak sebesar inflasi di bulan yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 0,32% (mtm). Kenaikan harga daging ayam ras menjadi penyebab utama inflasi yang terutama disebabkan oleh kembali normalnya permintaan dibarengi dengan kekurangan pasokan dan sudah cukup rendahnya harga jual di bulan sebelumnya. Pada bulan November, Provinsi NTT diprediksi akan kembali mengalami inflasi seiring dengan sudah mulai rutinnya musim hujan yang berpotensi menurunkan pasokan pangan. Gejala inflasi sudah terlihat pada hasil survei pemantauan harga (SPH) minggu pertama bulan November yang menunjukkan adanya kenaikan inflasi dengan penyumbang inflasi terbesar antara lain komoditas daging ayam ras, cabe rawit, cabe merah besar, tomat sayur, ikan tembang dan bayam. hingga akhir tahun 2016, inflasi diperkirakan berada pada kisaran 2,4%-2,8% (yoy). Inflasi terutama akan didorong oleh kenaikan harga bahan makanan di akhir tahun seiring dengan meningkatnya permintaan untuk memenuhi kebutuhan hari raya dan adanya potensi kenaikan harga angkutan udara seiring dengan adanya libur akhir tahun dan perayaan hari nusantara yang dipusatkan di NTT.
3.6. Aktivitas Pengendalian Inflasi oleh TPID Pada triwulan III 2016, TPID Provinsi NTT telah menyelenggarakan 3 kali FGD dalam rangka penyusunan Roadmap TPID Provinsi NTT sekaligus finalisasi pembuatan roadmap TPID. Selain itu, telah diselenggarakan 1 kali rapat koordinasi pusat dan daerah di Jakarta dan 1 kali rapat koordinasi wilayah di Ternate. Di tingkat daerah, juga telah dilakukan HLM TPID Kabupaten Rote Ndao di bulan Oktober 2016. Adapun inti pembahasan dalam rakorpusda di jakarta meliputi 6 hal antara lain 1). Bagaimana mengatur tata niaga kebutuhan bahan pokok, 2). Bagaimana alokasi anggaran dalam rangka pengendalian inflasi di daerah, 3). Bagaimana mengalokasikan anggaran dalam rangka membangun infrastruktur pangan | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
46
46
untuk pengendalian inflasi di daerah, 4). Bagaimana mempercepat realisasi anggaran dan terobosan kebijakan yang dihasilkan dalam rangka pengendalian harga, 5). Bagaimana kebijakan pengendalian harga yang dilakukan dapat selaras dengan upaya mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inflasi yang stabil, dan 6). Bagaimana menjaga keselarasan antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi melalui deregulasi peraturan pusat dan daerah yang menghambat agar tersedia barang dalm jumlah cukup dan harga yang terjangkau. Dalam rakorwil TPID di ternate, dibahas 3 hal utama terkait daerah antara lain 1). Terobosan kebijakan apa yang bisa dihasilkan oleh pemerintah daerah untuk mendukung pengendalian harga, 2). Upaya apa yang dilakukan untuk percepatan dan perluasan pembangunan infrastruktur distribusi dan 3). Kesiapan pemda untuk mengaitkan roadmap pengendalian inflasi ke dalam Roadmap TPID. Menjawab poin ketiga tersebut, TPID Provinsi NTT telah berhasil menyusun roadmap TPID yang menyinergikan kegiatan bersama antar instansi dalam TPID dan kegiatan monitoring dan evaluasi kegiatan SKPD dalam rangka pengendalian inflasi daerah dalam program JUPE RUN 10K program JUPE yang sudah di Revise dan di Update untuk pengendalian harga melalui kegiatan bersama TPID daN melakukan monitoring program SKPD melalui program 10K. Gambar 3.1. Kegiatan TPID Provinsi NTT Triwulan III 2016 dan Sebaran Pembentukan TPID
Sumber : Sekretariat TPID, diolah
47 | Bab III
Perkembangan Inflasi Daerah
47
Boks 2. Potensi Inflasi Bahan Makanan dan Mitigasi Resiko Inflasi bahan makanan di setiap akhir tahun di NTT dari tahun ke tahun senantiasa menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan. Data inflasi bahan makanan dalam 9 tahun terakhir menunjukan bahwa nilai inflasi bahan makanan menjelang hari raya Natal dan tahun baru tidak pernah di bawah 2% dan selalu cenderung meningkat. Sejak 2011, inflasi bahan makanan bahkan selalu di atas 3% dengan kenaikan tertinggi pada bulan Desember 2016. Pergerakan inflasi bahan makanan selalu cenderung mengikuti pola tinggi di awal tahun kemudian cenderung melambat dan kembali meningkat di akhir tahun. Berdasarkan penyebabnya, inflasi di awal tahun lebih disebabkan oleh adanya puncak musim penghujan di NTT, sehingga pasokan bahan makanan cenderung mengalami penurunan yang berdampak pada kenaikan harga sayur-sayuran, padi-padian, bumbu-bumbuan, ikan segar serta daging dan telur ayam ras. Selain produksi mengalami penurunan, cuaca buruk juga membuat arus distribusi terhalang dan nelayan tidak bisa mencari ikan, sehingga pasokan menurun. Harga akan berangsur-angsur menurun di bulan Februari dan seterusnya lebih dikarenakan selain harga sudah terlampau tinggi, juga disebabkan oleh adanya peningkatan pasokan bahan pangan. Libur sekolah dan Hari Raya Idul Fitri tidak terlalu berpengaruh meningkatkan harga bahan makanan dikarenakan mayoritas penduduk yang non muslim dan banyaknya penduduk yang justru berlibur ke luar NTT, sehingga konsumsi pangan justru stabil dan sedikit berkurang. Kondisi permintaan pangan akan cenderung relatif terjaga hingga menjelang hari raya Natal dan tahun baru. Pada bulan Desember, permintaan pangan mengalami peningkatan signifikan seiring dengan budaya pesta natal yang dilakukan oleh penduduk NTT. Dengan kondisi hujan yang sudah mulai sering membuat pasokan pangan juga mengalami penurunan yang berakibat pada meningkatnya harga bahan makanan secara signifikan. Grafik Boks 2. 1. Pola Pergerakan Inflasi Kelompok Komoditas Bahan Makanan dalam 7 Tahun terakhir
Grafik Boks 2.2. Perbandingan Andil Inflasi 14 Komoditas Bahan Makanan dibandingkan Inflasi Umum di Provinsi NTT
Berdasarkan hasil analisa terhadap 10 komoditas penyumbang inflasi dan deflasi utama di provinsi NTT selama tahun 2016, didapatkan bahwa terdapat 14 komoditas bahan makanan yang setidaknya lebih dari tiga kali sebagai penyumbang inflasi atau deflasi utama di NTT antara lain komoditas beras, cabai rawit, telur ayam ras, wortel, daun singkong, bawang putih, cabai merah, ayam hidup,tomat sayur, daging ayam ras, kentang, bayam, kangkung dan sawi putih. Apabila andil inflasi keempat belas komoditas digabungkan, maka hasil inflasi gabungan tersebut arahnya dapat digunakan untuk menjelaskan arah inflasi NTT terutama di tahun 2016. Dari komoditas tersebut, hanya terdapat 2 komoditas yang tidak dibudidayakan di NTT yaitu Boks 2 | Potensi Inflasi Bahan Makanan dan Mitigasi Resiko
48
telur ayam ras dan bawang putih, dua komoditas yang pemenuhan barangnya cenderung impor dari luar yaitu beras dan kentang, satu komoditas yang dapat dipanen sepanjang waktu yaitu daun singkong, dan satu komoditas yang karakter komoditasnya sama yaitu daging ayam ras dan ayam hidup. Selebihnya, komoditas tersebut dapat dibudidayakan di NTT, sehingga penyediaan pasokan untuk komoditas-komoditas tersebut dinilai perlu menjadi prioritas utama pemerintah dalam usaha menjaga inflasi di daerah. Tabel Boks 2.1. Rencana Masa Tanam dan Masa Panen Komoditas Utama Penyumbang Inflasi di Provinsi NTT tahun 2016 Komoditas
September Oktober November Desember 5 12 19 26 1 10 17 24 31 1 7 14 21 30 1 5 12 19 26 31
Bawang Merah Cabai Besar Cabe Rawit Tomat Wortel Ayam Ras Kangkung Sawi $ Sawi Putih Bayam
Berdasarkan data masa tanam dan masa panen, didapatkan bahwa komoditas wortel dan cabe rawit setidaknya membutuhkan 3,5 bulan agar bisa dilakukan panen. Demikian pula komoditas cabe merah yang perlu waktu 3 bulan, bawang merah butuh waktu 2,5 bulan, dan tomat membutuhkan waktu 2 bulan. Adapun komoditas kangkung, sawi putih dan bayam bisa ditanam dan panen kurang dari 1 bulan, dan komoditas ayam ras dapat dipanen antara minggu ke-4 dan ke-5 setelah dibiakkan. Dengan kondisi waktu yang masih di tengah bulan November 2016, masih dimungkinkan untuk membuat sentra sayur-sayuran terutama kangkung, sawi putih dan bayam. Adapun peningkatan produksi ayam ras saat ini masih sangat tergantung oleh besarnya pasokan bibit ayam (DOC) dari Surabaya dan Bali. Oleh karena itu, pemerintah dapat membantu menjaga kecukupan pasokan DOC dengan melakukan komunikasi ke produsen terutama di Surabaya, pemerintah masih memiliki waktu untuk memfasilitasi penanaman kangkung, sawi dan bayam, sedangkan komoditas lainnya dapat dipenuhi dengan menjaga pasokan komoditas di pasar. Dengan menjaga pasokan komoditas utama penyumbang inflasi di NTT diharapkan inflasi akhir tahun tidak setinggi data historis yang ada, sehingga tujuan bersama untuk menjaga inflasi di NTT dapat terwujud.
Boks 2 | Potensi Inflasi Bahan Makanan dan Mitigasi Resiko
49
Boks 3. Potensi Ancaman Inflasi Daging Ayam Ras di NTT Dampak dari pemusnahan 6 juta ekor indukan ayam (Grand Parent Stock - GPS) di Indonesia hingga saat ini masih terasa dampaknya terutama terlihat dari fluktuasi harga daging ayam ras yang cukup signifikan. Sebelum dilakukan pemusnahan GPS pada bulan September 2016, fluktuasi harga yang signifikan relatif jarang terjadi. Namun demikian, setelah pemusnahan indukan dilakukan, pergerakan inflasi menjadi sangat tajam. Inflasi bulanan dapat mengalami kenaikan hingga lebih dari 40% (mtm) dan kembali turun hingga lebih dari 20% (mtm). Grafik Boks 3. 1. Inflasi Daging Ayam Bulanan dibandingkan Data Survei Pemantauan Harga
Sumber : BPS, diolah
Grafik Boks 3.2. Harga Daging Ayam Bulanan SPH dibandingkan Estimasi Harga Inflasi
Sumber : BPS, diolah
Harga jual daging ayam juga menunjukkan kenaikan hingga lebih dari 50 ribu rupiah per ekornya dan kembali turun dengan drastis. Fluktuasi harga tersebut lebih disebabkan oleh minimnya pasokan daging ayam di NTT, sehingga setiap kali terjadi lonjakan permintaan daging ayam ras, harga selalu mengalami kenaikan tinggi karena ketidakmampuan produsen memenuhi permintaan pasar yang ada. Berdasarkan data surplus defisit kebutuhan daging ayam ras, dengan asumsi rasio konsumsi daging ayam di NTT hanya sebesar 3kg per kapita per tahun atau setara dengan 75% dari rata-rata konsumsi daging ayam ras secara nasional, maka setidaknya dibutuhkan 8,5 juta ekor ayam per tahun untuk dikonsumsi. Dengan produksi per tahun hanya sebesar 2,4 juta ekor ayam, maka setidaknya NTT kekurangan lebih dari 6 juta ekor ayam untuk memenuhi kebutuhan daging ayam ras per tahunnya. Hal ini setara dengan kekurangan 16 ribu ekor ayam per hari, jauh lebih besar dibanding total produksi ayam harian di NTT yang hanya sebesar 6.600 ekor ayam ras per hari. Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang dilakukan, didapatkan bahwa impor daging ayam ras dari luar NTT sangat minim dan hampir tidak ditemukan di pasar. Mayoritas pedagang eceran memperoleh daging ayam ras atau ayam hidup dari petani inti kemitraan. Adapun impor dari luar NTT hanya berbentuk DOC, pakan dan obat-obatan terutama berasal dari Surabaya dan beberapa DOC dari Bali. Saat ini, kebutuhan DOC terutama berasal dari breeding farm yang ada di Kabupaten Kupang dengan kapasitas harian lebih kurang sebanyak 9.000 ekor. Kekurangan pasokan DOC akan dipenuhi dari breeding farm di Surabaya ataupun Bali. Berdasarkan data tersebut dapat dihitung bahwa rata-rata konsumsi daging ayam ras di Provinsi NTT hanya sebanyak 0,7kg/kapita/tahun, jauh lebih rendah dibanding rata-rata konsumsi daging ayam ras nasional yang mencapai 3,97kg/kapita/tahun. Walaupun masyarakat lebih Boks 3 | Potensi Ancaman Inflasi Daging Ayam Ras di NTT
50
sering mengkonsumsi ikan dalam kesehariannya, nilai konsumsi kurang dari 1kg/kapita/tahun tetap menunjukkan rendahnya asupan protein hewani penduduk NTT. Gambar Boks 3.1. Peta Produksi, Distribusi dan Estimasi Kebutuhan Daging Ayam Ras di NTT
Berdasarkan sebaran peternak, didapatkan bahwa peternak ayam ras pedaging di NTT terkonsentrasi hanya di empat kabupaten di NTT yaitu Kabupaten Kupang sekaligus memproduksi DOC, Belu, Nagekeo dan Sikka. Breeding farm di Kabupaten Kupang akan mendistribusikan DOC ke Kabupaten Kupang sendiri, Kabupaten Belu, Sikka dan Nagekeo. Kekurangan DOC akan dipenuhi melalui breeding farm di Jawa Timur dan Bali menggunakan transportasi udara. Hasil ternak di Kabupaten Kupang akan didistribusikan ke Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan dan Rote Ndao. Hasil ternak di Kabupaten Belu digunakan untuk memenuhi kebutuhan di Kabupaten Belu sendiri, TTU dan Kabupaten Malaka. Hasil ternak di Kabupaten Sikka didistribusikan ke Kabupaten Sikka sendiri, Ende, Flores Timur dan Lembata. Sedangkan hasil ternak ayam di Kabupaten Nagekeo didistribusikan di Wilayah Nagekeo, Ngada, Manggarai raya hingga ke Sumba. Beberapa daerah yang tidak dilayani distribusi ayam ras tersebut akan cenderung memenuhi dengan jalan memelihara sendiri dalam skala kecil seperti di Alor, Sabu Raijua dan sebagian di Sumba. Pemenuhan daging ayam di wilayah Manggarai Barat sebagian juga dipenuhi dari Bima Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan kondisi tata niaga, sistem peternakan yang cenderung terkonsentrasi tersebut dirasa sudah cukup efektif dalam menjaga pasokan dan harga daging ayam ras apabila berada dalam kondisi normal. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah adanya kekurangan DOC hingga mencapai 17 ribu ekor per hari membuat harga mengalami fluktuasi yang sangat signifikan apabila terjadi kelangkaan produk. Apalagi menjelang hari raya Natal yang biasanya permintaan mengalami kenaikan hingga dua kali lipat dari kebutuhan normal. Untuk memenuhi kekurangan DOC yang ada, pedagang besar atau koperasi biasanya langsung mendatangkan dari Jawa. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah kurangnya pasokan DOC di Jawa dan Bali membuat proses mendapatkan DOC juga menjadi relatif sulit. Pasokan DOC bahkan dibatasi oleh produsen agar semua daerah di Indonesia bisa mendapatkan pasokan DOC yang ada sehingga berpotensi menimbulkan inflasi tinggi di NTT terlebih pada akhir tahun 2016. Harga DOC di Kupang dan Maumere juga relatif tinggi hingga Rp 9.000,- per ekor, jauh lebih tinggi dibanding harga di Jawa saat ini yang sebesar Rp 6.700,-. Boks 3 | Potensi Ancaman Inflasi Daging Ayam Ras di NTT
51
Tingginya harga DOC karena pedagang harus menanggung resiko kematian yang terjadi selama pengiriman. Untuk menanggulangi kekurangan pasokan yang ada, pada tahun 2017 sudah direncanakan untuk dibangun breeding farm di Maumere. Namun demikian hal ini tidak dapat menyelesaikan permasalahan jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan daging ayam ras pada hari raya Natal yang akan dirayakan. Untuk menanggulangi hal ini, pemerintah seharusnya dapat bekerjasama dengan pelaku usaha di provinsi produsen untuk meminta penambahan pasokan DOC, agar kenaikan kebutuhan daging ayam ras yang biasanya meningkat signifikan pada waktu hari raya dapat dipenuhi. Dengan waktu pembesaran ternak yang masih mencukupi, permohonan peningkatan pasokan DOC dirasa dapat segera dilakukan agar potensi inflasi tinggi pada komoditas daging ayam ras dapat diminimalisir.
Boks 3 | Potensi Ancaman Inflasi Daging Ayam Ras di NTT
52
Boks 4. ROADMAP TPID PROVINSI NTT : JUPE RUN 10K Perkembangan inflasi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam rentang waktu 2010-2015 mencatat angka rata-rata 6,8% (yoy) atau masih diatas nasional yang sebesar 5,85% (yoy). Dalam kurun waktu tersebut, NTT sempat mencatatkan prestasi dengan mencatat angka inflasi dibawah nasional pada tahun 2014. Pencapaian tersebut mendapatkan apresiasi dari pemerintah pusat dengan pemberian penghargaan Kepada Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi NTT sebagai TPID Terbaik di Kawasan Timur Indonesia Sebagai upaya pengendalian inflasi, TPID Provinsi NTT pada tahun 2015 telah menyusun sebuah roadmap yang berisi upaya-upaya dan rencana kerja pengendalian inflasi untuk periode 2015-2018. Roadmap tersebut akhirnya kembali disempurnakan pada tahun 2016 agar dapat digunakan sebagai panduan kerja TPID tahun 2016-2018. Alur pikir penyusunan Roadmap TPID NTT cukup unik dan beda bila dibandingkan Roadmap TPID daerah lain. Selain melakukan identifikasi permasalahan melalui analisis time series, analisis peristiwa atau data historis, pemetaan komoditas dan identifikasi masalah, TPID NTT juga berusaha untuk mensinergikan program kerja yang telah disusun oleh SKPD dalam RPJMD, Rencana Kerja pemerintah daerah (RKPD) yang disusun secara tahunan, Tujuh Program Pengendalian inflasi (7P) yang sudah ada, dan Lima Pilar TPID pusat. Proses identifikasi masalah menggunakan 7 pendekatan antara lain distribusi, produksi, infrastruktur, kelembagaan, konektivitas, regulasi dan SDM, demikian pula dengan penyusunan alternatif solusi yang menggunakan 10 kategori solusi. Berdasarkan hasil tersebut maka disusunlah grand desain roadmap TPID Provinsi NTT. Dalam proses perumusan tersebut didapatkan bahwa untuk mengendalikan inflasi di daerah, diperlukan 2 pendekatan besar yaitu kegiatan yang dapat dilakukan secara bersama-sama oleh anggota TPID disinergikan dengan proses monitoring dan evaluasi program kerja SKPD yang bersinggungan dengan penangangan permasalahan inflasi, baik penanganan permasalahan yang bersifat jangka pendek maupun struktural. Adapun tujuan dari pembuatan grand desain strategi tersebut adalah untuk mendukung target pencapaian inflasi nasional sebesar 4±1% (2015-2017) dan 3,5±1% (2018) dan pencapaian target inflasi di Provinsi NTT sesuai RPJMD yaitu 4,4-4,8% di tahun 2016, 4,3-4,7% di tahun 2017 dan 4,1-4,5 di tahun 2018.
Boks 4 | Roadmap TPID Provinsi NTT : JUPE RUN 10K
53
Gambar Boks 4.1. Alur Pikir Road Map TPID Provinsi NTT
Berdasarkan analisis terhadap 430 komoditas perhitungan inflasi di NTT, terdapat 31 komoditas yang memiliki andil cukup besar dalam pembentukan inflasi di rentang 2011-2016. Dari jumlah tersebut sebanyak 22 komoditas merupakan kewenangan Pemda, 8 komoditas menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan 1 komoditas menjagi gabungan kewenangan antara Pemda dan Pemerintah Pusat. Sementara itu, berdasarkan rata-rata andil , komoditas beras dan angkutan udara menjadi pendorong utama. Berdasarkan kesamaan karakteristik produk, ke-22 komoditas utama penyumbang inflasi tersebut dapat dikerucutkan menjadi 16 komoditas utama untuk dilakukan analisa permasalahan dan solusi penyelesaian. Grafik Boks 4.1. 31 Komoditas Penyumbang Inflasi Utama di NTT
Sumber : BPS, diolah
Boks 4 | Roadmap TPID Provinsi NTT : JUPE RUN 10K
54
Secara umum, tantangan yang muncul terutama berasal dari kondisi cuaca, kondisi demografis kepulauan yang menyebabkan tingginya ketergantungan pada transportasi udara dan laut, masih kurang baiknya ketersediaan infrastruktur, terbatasnya investasi serta hal-hal yang bersifat sosio-kultural, seperti faktor kelembagaan dan pengetahuan teknologi yang masih kurang, Dari kelompok volatile food terdapat beberapa tantangan yang teridentifikasi diantaranya: (i) kendala cuaca dan alam yang dapat menghambat produksi dan distribusi, (ii) Kurangnya sarana dan prasarana irigasi, (iii) Ketersediaan sarana dan prasarana produksi yang masih kurang, (iv) Defisit pasokan (iv) Sarana dan Prasarana distribusi yang masih kurang dan terbatas serta (v) Fluktuasi permintaan yang relatif besar. Tantangan pengendalian inflasi dari kelompok inti antara lain (i) Rendahnya pasokan dan persaingan antar penyedia jasa komoditas, (ii) Minimnya industri pengolahan di daerah, (ii) Mahalnya biaya distribusi dari dan ke NTT, (iii) Jam operasional gudang yang terbatas serta (iv) Kurangnya bersaingnya produk dikarenakan skala usaha yang kecil dan hambatan pasokan listrik. Dari kelompok administered prices, beberapa tantangan pengendalian inflasi yaitu: (i) Geografi yang menyebabkan ketergantungan pada angkutan udara, (ii) Hambatan cuaca, (iii) Kendala sarana dan prasarana bandara yang masih minim, (iv) Regulasi penyesuaian batas atas pesawat 40%. Gambar Boks 4.2. Strategi Pengendalian Inflasi di Provinsi NTT
Berdasarkan hasil analisa permasalahan dan solusi kebijakan tersebut, dihasilkan dua strategi pengendalian inflasi meliputi kegiatan bersama yang akan dilakukan oleh TPID maupun monitoring program kerja SKPD terkait dengan pengendalian inflasi di daerah. Kegiatan bersama TPID masih akan tetap menggunakan pendekatan JUPE yang direvisi dan diperbaharui, sedangkan kegiatan monitoring program kerja SKPD pendekatan 10K, sehingga kebijakan . Adapun terkait program kerja bersama, TPID Provinsi NTT masih berpedoman pada 7-P (Jupe) yang direvisi dan diperbarui, yaitu: i) Pengendalian inflasi melalui program ketahanan Boks 4 | Roadmap TPID Provinsi NTT : JUPE RUN 10K
55
pangan, ii) Penyediaan informasi bagi pelaku ekonomi, iii) Percepatan pelaksanaan pembangunan infrastruktur di daerah, iv) Pengelolaan ekspektasi masyarakat, serta v) Pengendalian harga komoditas strategis melalui kebijakan Pemda. Adapun program kerja yang direvisi meliputi vi) Peningkatan fungsi dan kelembagaan TPID dan vii) Peningkatan kerjasama dan koordinasi antara TPID dan lembaga terkait lainnya. Perubahan terbesar dapat dilihat pada sub program di masing-masing program kerja yang mencapai 57 program, menjadi jauh lebih kaya dan beragam dibandingkan pendekatan JUPE sebelumnya. Dalam rangka monitoring program kerja SKPD, TPID merancang program 10K yang isinya antara lain i) Kuatkan Edukasi, ii) Kembangkan Infrastruktur, iii) Kedewasaan Kelembagaan, iv) Keterpaduan program dan koordinasi, v) Ketersediaan konektivitas yang handal, vi) Kecermatan dalam melakukan monitoring dan evaluasi, vii) Kembangkan dan tingkatkan produksi komoditas strategis, viii) Kuatkan regulasi di daerah, ix) Kelola tata niaga, x) Keterlibatan teknologi dalam proses produksi. Untuk melaksanakan kesepuluh program monitoring tersebut, maka telah disusun 102 panduan langkah aksi yang akan dilakukan oleh masing-masing SKPD yang penjabaran programnya akan dilakukan di setiap tahun mengikuti RKPD yang disusun oleh masing-masing instansi pengampu program. Harapan dari penyusunan roadmap TPID adalah yang pertama dan utama kelembagaan TPID dapat semakin diperkuat dan setiap instansi dapat menjalankan program kerja yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga diharapkan inflasi di Provinsi NTT dapat dijaga, permasalahan struktural dapat diatasi dan pertumbuhan ekonomi dapat meningkat dan berkualitas yang ditunjukkan oleh indikator kesejahteraan masyarakat yang mengalami peningkatan.
Boks 4 | Roadmap TPID Provinsi NTT : JUPE RUN 10K
56
STABILITAS KEUANGAN DAERAH Meskipun kinerja kredit sektor rumah tangga dan UMKM mengalami sedikit perlambatan, Stabilitas Sistem Keuangan Daerah Provinsi NTT di triwulan III 2016 masih relatif kondusif. Kredit sektor rumah tangga tumbuh sebesar 5,92% (yoy) dan secara agregat memiliki rasio NPL sebesar 1,35%. Walau sedikit melambat, kredit UMKM masih dapat tumbuh 2 digit. Pertumbuhan tercatat sebesar 18,21% (yoy) dengan rasio NPL yang relatif terjaga yakni sebesar 3,27% Meski sumbangan kredit korporasi relatif kecil dari keseluruhan kredit yang disalurkan di Provinsi NTT, perbankan masih perlu mencermati peningkatan risiko gagal bayar yang dialami oleh beberapa sektor korporasi. Industri perbankan masih menunjukkan kinerja yang positif.
4.1 Kondisi Umum Meskipun kinerja kredit di sektor konsumsi dan UMKM mengalami sedikit perlambatan, Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Daerah Provinsi NTT pada triwulan laporan masih terjaga. Relaksasi ketentuan rasio Loan To Value (LTV) atau Financing To Value (FTV) di Agustus 2016 belum berdampak dalam mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan NTT terutama di sektor properti hingga triwulan laporan. Namun demikian, rumah tangga senantiasa optimis terhadap kondisi ekonomi ke depan sehingga diharapkan dapat memperbaiki kinerja kredit konsumsi selanjutnya. Sementara itu, perlambatan kinerja kredit UMKM disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan kredit di sektor perdagangan. Beberapa sektor antara lain: pertanian, perikanan, dan penyediaan akomodasi meningkat cukup signifikan sehingga dapat menahan perlambatan kredit secara keseluruhan. Perbankan perlu mencermati tekanan risiko kredit UMKM karena NPL terpantau sedikit meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. Di sisi lain, kredit korporasi justru mengalami penurunan pertumbuhan dengan rasio NPL yang juga terpantau turun. Kinerja industri perbankan secara umum masih positif. Meskipun terjadi penurunan posisi aset di triwulan laporan, kinerja penyaluran kredit relatif kondusif dengan rasio LDR yang senantiasa tetap terjaga. Begitu pula halnya dengan kinerja intermediasi Bank Perkreditan Rakyat yang senantiasa terjaga dengan ditopang rasio Capital Adequacy Ratio yang cukup tinggi. | Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
57
4.2 Asesmen Ketahanan Rumah Tangga 4.2.1 Sumber Kerentanan dan Kondisi Sektor Rumah Tangga Sektor rumah tangga sebagai kontributor utama dalam PDRB mengalami pertumbuhan sebesar 7,60% (yoy) di triwulan laporan atau sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 7,36% (yoy). Selain itu, konsumsi RT juga tumbuh lebih tinggi yakni sebesar 5,37% (qtq) dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 3,01% (qtq). Grafik 4.1. Kontribusi Konsumsi RT Terhadap Konsumsi Agregat 20000 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
7.60%
5.37%
I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
10% 8% 6% 4% 2% 0% -2% -4% -6% -8%
II III
Grafik 4.2. IKK, IKE, dan IEK 170
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
160
Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE)
150
Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) 133.5
140 130
127.0
120 120.5
110 100 I
II
III
2014
2013 RT
LNPRT
2014 Pemerintah
2015 g RT (yoy)
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
IV
I
II
III
IV
2015
I
II
III
2016
2016 g RT (qtq)
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Pertumbuhan konsumsi RT tercermin pula dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), yang menggambarkan keyakinan konsumen terhadap kondisi perekonomian, mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Meski sedikit menurun dibandingkan tahun lalu, ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi ke depan cenderung lebih baik. Kondisi ini didukung oleh optimisme konsumen terhadap ketersediaan lapangan kerja 6 bulan yang akan datang. Selain itu, berdasarkan hasil Survei Konsumen bulan September 2016 diperoleh informasi bahwa pertumbuhan konsumsi secara tahunan diantaranya disebabkan oleh adanya peningkatan indeks pengeluaran rumah tangga untuk makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau yang naik dari 166,3 di September 2015 menjadi 171,6 di September 2016. Di samping itu, indeks pengeluaran untuk biaya sandang juga terpantau meningkat dari 139,4 di September 2015 menjadi 149,7 di September 2016. Peningkatan tersebut salah satunya karena seiring perayaan Hari Raya Idul Fitri dan tibanya Tahun Ajaran Baru 2016/2017. Di sisi lain, Indeks kepercayaan masyarakat terhadap jasa perbankan semakin menunjukkan perbaikan yang terlihat dari penurunan nilai indeks dari sebelumnya 1,66 di triwulan II 2016 menjadi 1,56 di triwulan laporan.
| Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
58
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat masih percaya untuk menyimpan dananya di perbankan terlebih karena dana mereka masih dalam nilai penjaminan pemerintah. Grafik 4.3. Indeks Pengeluaran Berdasarkan Kelompok Komoditas
Grafik 4.4. Indeks Sikap Masyarakat Terhadap Kasus Kejahatan Perbankan
200
2.00
190
178.5
180
171.6
166.3
170
1.79
1.80 1.52
1.60
160 150
137.3
139.4
149.7
1.66 1.56
1.40
140 130
138.1
120
132.0
1.20
1.00
110
117.5
100 I
II
III 2014
Sandang
IV
I
II
III
IV
2015 Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau
Sumber: Bank Indonesia, diolah
I
II
III
0.80 I
2016
II
III
IV
2014
Kesehatan
I
II
III
IV
2015
I
II
III
2016
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Indeks lain yang menggambarkan tingkat ketahanan keuangan sektor rumah tangga menunjukkan kondisi yang relatif stabil. Indeks keterlambatan rumah tangga membayar cicilan triwulan laporan masih memperlihatkan kondisi yang cukup baik yakni sebesar 1,74. Meski lebih tinggi dibandingkan tahun lalu dan triwulan sebelumnya yang masing-masing sebesar 1,54 dan 1,45; rumah tangga masih dikategorikan aman dari keterlambatan pembayaran cicilan untuk konsumsi. Hal tersebut juga didukung oleh indeks kepemilikan dana cadangan rumah tangga untuk kebutuhan tak terduga yang menunjukkan bahwa rumah rata-rata memiliki dana cadangan sampai dengan 1 bulan pendapatan. Dengan demikian, kekhawatiran terjadinya keterlambatan pembayaran cicilan dapat diminimalisasi.
4.2.2 Eksposur Rumah Tangga di Perbankan Terjadi perlambatan pertumbuhan DPK RT pada triwulan laporan. DPK tumbuh sebesar 15,05% (yoy) lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 20,54% (yoy). Sektor RT masih mendominasi porsi DPK perbankan yakni sebesar 62,08% meningkat dibandingkan posisi triwulan sebelumnya yang sebesar 58,34% atau lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2015 yang sebesar 54,10%. Peningkatan DPK rumah tangga ini selain dikarenakan masih mampu meningkatnya simpanan masyarakat di perbankan walaupun melambat, namun juga disebabkan oleh adanya penurunan DPK non rumah tangga terutama lebih disebabkan oleh menurunnya giro pemerintah seiring dengan percepatan realisasi anggaran.
| Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
59
Grafik 4.5. Pangsa DPK Rumah Tangga dan Non Rumah Tangga 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Grafik 4.6. Pertumbuhan DPK 40%
41.58
46.44
45.90
32.05
39.44
41.66
37.92
30% 15.05%
20%
58.42
53.56
54.10
67.95
60.56
58.34
62.08
10%
0% I
I
II
III
IV
I
2015
II
III
III
IV
I
2015
II
RT/ Perseorangan
Non RT
III
2016
-20%
2016
RT/ Perseorangan
II
-10%
-17.17%
Non RT
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Preferensi RT dalam simpanan masih didominasi oleh tabungan dan deposito masing-masing dengan porsi sebesar 69,90% dan 25,60% pada triwulan laporan. Pertumbuhan DPK dalam bentuk tabungan mengalami perlambatan dibanding triwulan sebelumnya dari 21,95% (yoy) menjadi 15,63% tetapi lebih tinggi dari periode yang sama tahun 2015 yang hanya tumbuh sebesar 6,64%. Selain itu, deposito juga mengalami perlambatan dibanding triwulan sebelumnya yaitu dari 15,54% (yoy) menjadi 14,09% (yoy). Sementara itu, berbeda halnya dengan giro pemerintah daerah yang mengalami penurunan akibat adanya akselerasi realisasi anggaran, giro rumah tangga masih tetap tumbuh walau melambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yakni dari 33,70% (yoy) menjadi 11,69% (yoy). Grafik 4.7. Preferensi DPK Rumah Tangga 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Grafik 4.8. Pertumbuhan DPK Rumah Tangga 70%
26.91
26.52
28.90
29.85
26.40
25.42
25.60
60% 50%
40% 69.57
69.08
77.85
97.87
69.50
69.88
69.90
30% 15.63%
20%
14.09%
10%
3.52
4.40
I
II
5.18
7.46
4.10
III
IV
I
2015 Giro
4.69
4.50
II
III
11.69%
0% I
Tabungan
Sumber: Bank Indonesia, diolah
II
III
IV
I
2015
2016
Giro
Deposito
II
III
2016 Tabungan
Deposito
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Kredit sektor RT pada triwulan laporan secara agregat mengalami perlambatan yakni sebesar 5,92%. Pertumbuhan hanya terjadi pada Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) yang meningkat dari sebelumnya turun -1,04% (yoy) menjadi 3,14% (yoy). Sementara itu, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Multiguna melambat cukup signifikan menjadi masing-masing sebesar 0,74% dan 6,97% (yoy), dari triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 2,33% dan 16,24% (yoy). | Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
60
Grafik 4.9. Kredit Konsumsi Rumah Tangga 9,000
Grafik 4.10. Pertumbuhan DPK Rumah Tangga 50
180 160
8,000
40
7,000 6,000
30
140 120 100
5,000
20
4,000
5.92
3,000
10
80 60 40
2,000
0
1,000 0 I
II
III
IV
I
II
2014 Rumah Tinggal
III
IV
2015 KKB
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Multiguna
I
II 2016
III
6.97
20
3.14
0
-10
-20
I
II
-40
g total
III
IV
2014 g Multiguna
I
II
III
IV
I
2015 g Rumah Tinggal
II
III
2016 g KKB
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Relaksasi ketentuan rasio Loan To Value (LTV) atau Financing To Value (FTV) di Agustus 2016 tampaknya belum berdampak dalam mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan NTT terutama di sektor properti. KPR secara keseluruhan mengalami tren perlambatan sejak tahun 2014 dan mengalami pertumbuhan paling kecil pada triwulan laporan yakni sebesar 0,74% lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang tumbuh 13,51%. Adanya pameran perumahan yang cukup gencar dilakukan REI dalam menyambut adanya relaksasi LTV dan FTV, paket kebijakan ekonomi pemerintah tentang percepatan pemberian ijin pembangunan perumahan serta insentif pemerintah untuk pembangunan rumah sederhana sehat dapat kembali meningkatkan kredit perumahan. Risiko gagal bayar KKB, KPR, dan kredit multiguna masih relatif sangat terjaga dengan kisaran rasio NPL sebesar 0,5-1,5%. Selain itu, secara agregat kredit yang disalurkan pada sektor RT memiliki NPL yang sangat baik yakni hanya sebesar 1,35%. Namun demikian, NPL harus tetap dicermati mengingat masih rentannya kondisi perekonomian domestik yang dapat memengaruhi kemampuan membayar sektor RT atas semua kewajibannya, terutama kepada perbankan.
4.3 Perkembangan Akses Keuangan dan UMKM 4.3.1 Kondisi Saat Ini dan Prospek Usaha Dunia usaha memandang bahwa kondisi ekonomi saat ini masih cukup kondusif. Peningkatan kegiatan usaha diantaranya disebabkan oleh sektor industri pengolahan dengan SBT sebesar 1,57%, sektor LGA (listrik, gas, dan air bersih) sebesar 0,53%, serta sektor perdagangan sebesar 4,30%. Prospek kegiatan dunia usaha di triwulan IV 2016 diperkirakan akan meningkat sebagaimana tercermin dari nilai SBT
| Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
61
0.74
sebesar 19,75%. Perkiraan peningkatan disebabkan oleh naiknya kegiatan usaha di hampir seluruh sektor. Grafik 4.11. Perkembangan Dunia Usaha 60 5.44
50
Grafik 4.12. Kondisi Keuangan 8
70
6
60
50
40 4
30
19.75
20 15.52
10
40
2
30
0
20
43.06
10
0 -10
3.27
I
II
III
IV
I
II
2013
III
IV
I
2014
II
III
2015
IV
I
II
III
2016
-20 -30
IV*
-2 -4 -6
SBT Kegiatan Usaha (skala kiri) %
PDRB qtq (skala kanan) %
Sumber: Bank Indonesia, 2016
0 I
II
III IV
2013
I
II
III IV
I
II
2014
III IV
2015
SBT Kondisi Keuangan % (skala kiri)
I
II
4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
III
2016 NPL % (skala kanan)
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Kondisi usaha yang cukup kondusif pada triwulan laporan juga didukung dengan kondisi keuangan yang relatif baik. SBT kondisi keuangan meningkat menjadi sebesar 43,06% pada triwulan laporan dari sebelumnya sebesar 38,10%. Pelaku usaha menganggap bahwa relatif kondusifnya kinerja usaha pada triwulan laporan berdampak positif pada likuiditas perusahaan sehingga pelaku usaha mampu memenuhi kewajiban-kewajiban terutama kepada perbankan. Hal tersebut juga terkonfimasi dari data NPL untuk kredit sektor usaha yang terjaga di bawah 5%. Namun demikian, perbankan perlu mencermati potensi risiko gagal bayar karena terjadi sedikit peningkatan NPL dari sebelumnya 3,00% di triwulan II 2016 menjadi 3,27% di triwulan laporan.
4.3.2 Perkembangan Penyaluran Kredit UMKM Meski mengalami perlambatan dibanding triwulan II 2016, kredit masih tumbuh 2 digit yakni sebesar 18,21%. Perkembangan penyaluran kredit didukung pula oleh rasio NPL yang senantiasa terjaga di bawah level 5%. Penyaluran kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) pada triwulan laporan mencapai 7,31 triliun atau mencapai 32,59% dari total penyaluran kredit perbankan di NTT. Penyaluran kredit UMKM tersebut tumbuh sebesar 18,21% (yoy), sedikit melambat dibanding triwulan sebelumnya yang sebesar 19,23% (yoy). Pertumbuhan tersebut juga lebih rendah dibandingkan pertumbuhan di periode yang sama tahun 2015 yang tercatat sebesar 19,38%
(yoy).
Relatif
terjaganya
pertumbuhan
UMKM
di
kisaran
2
digit
mengindikasikan konsistensi geliat positif pada sektor riil di Provinsi NTT.
| Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
62
Grafik 4.13. Pertumbuhan Kredit UMKM Rpmiliar
Grafik 4.14. NPL UMKM 7.0%
%, yoy
8,000
Modal Kerja
Investasi
7,000
g Modal Kerja
g Investasi
60%
Growth Kredit
50% 40%
4,000
2,000
18.21%
1,000
17.89%
0
I
II
III
2013
IV
I
II
III
IV
I
II
2014
III
IV
I
2015
II
Investasi
Batas
3.71%
3.27%
4.0%
30%
3.0%
20%
2.0%
10%
1.0%
0%
0.0%
19.77%
3,000
Modal Kerja
5.0%
6,000 5,000
Kredit UMKM
6.0%
3.18%
III
I
II
2016
III
IV
I
II
2013
Sumber: Bank Indonesia, diolah
III
IV
2014
I
II
III
2015
IV
I
II
III
2016
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Perlambatan kredit yang terjadi, utamanya disumbang oleh perlambatan Kredit Modal Kerja (KMK) yang memiliki pangsa 82,91% dari total kredit. KMK mencatatkan pertumbuhan sebesar 17,89% atau melambat dibandingkan triwulan II 2016 yang sebesar 19,76%. Sementara itu, KI mencatatkan pertumbuhan sebesar 19,77% (yoy) pada triwulan laporan atau lebih tinggi dibanding triwulan sebelumnya yang sebesar 16,65% (yoy) dan periode yang sama tahun 2015 sebesar 13,30% (yoy). Selain itu berdasarkan jenis usaha, kredit menengah terpantau mengalami perlambatan dibandingkan tahun sebelumnya, pertumbuhan kredit secara keseluruhan berhasil ditopang oleh kenaikan pertumbuhan kredit dari usaha mikro dan kecil yang tumbuh masing-masing sebesar 31,83% dan 16,47% (yoy) atau lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 14,01% dan 12,79% (yoy). Grafik 4.15. Pertumbhan Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Usaha Rpmiliar
%, yoy
7,000
KECIL g Menengah g Mikro
70%
2,270
MIKRO MENENGAH g Kecil
8,000
6,000 5,000
16.47%
2,000
10.85%
1,000
50%
40% 30%
20%
1,912
3,000
3,127
31.83%
4,000
60%
0
10%
0% I
II
III
2013
IV
I
II
III
IV
I
2014
II
III
2015
IV
I
II
III
2016
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Berdasarkan sektor ekonomi, perlambatan pertumbuhan kredit UMKM terjadi di sektor perdagangan besar dan eceran (pangsa 69,91% dari total kredit UMKM) yang sedikit melambat dari sebelumnya 22,76% di triwulan II 2016 menjadi 20,08% (yoy) di triwulan laporan. Beberapa sektor yang mengalami peningkatan cukup signifikan antara lain sektor pertanian, perikanan, dan penyedia akomodasi. Adapun sektor yang tercatat mengalami penurunan cukup dalam antara lain sektor jasa kemasyarakatan | Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
63
dan sektor administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial wajib yang masing-masing mencatatkan penurunan sebesar -26,23% (yoy) dan -64,22% (yoy). Grafik 4.16. Pertumbuhan Kredit UMKM 7 Sektor Ekonomi 200%
Jasa Kemasyarakatan
Penyedia Akomodasi
perantara keuangan
Administrasi Pemerintahan
Pertanian
Perikanan
150%
100% 57.29% 55.00%
50%
42.61%
0% I
II
III
IV
I
2014
II
III 2015
IV
I
II 2016
III -21.64% -26.23%
-50% -64.22%
-100%
Sumber: Bank Indonesia, diolah
4.3.3 Perkembangan Risiko Kredit UMKM Pada triwulan laporan, rasio NPL gross mengalami sedikit peningkatan menjadi 3,27% dari 3,00% pada triwulan sebelumnya. Peningkatan NPL terbesar terjadi pada kredit menengah yaitu dari 3,88% pada triwulan II 2015 menjadi 5,57% pada triwulan laporan. Sementara itu, rasio NPL gross kredit usaha mikro terpantau turun dari 1,78% pada triwulan II 2016 menjadi 1,58% pada triwulan laporan, serta kredit usaha menengah turun dari 3,09% menjadi 2,64%. Bila dibandingkan triwulan sebelumnya, sektor yang mengalami peningkatan NPL antara lain sektor listrik, gas dan air bersih yang mengalami peningkatan NPL paling tinggi yakni dari sebelumnya sebesar 10,51% di triwulan II 2016 menjadi 23,44% di triwulan laporan. Selain itu, NPL di sektor perdagangan besar dan eceran juga sedikit mengalami peningkatan dari sebelumnya 2,46% di triwulan II 2016 menjadi 2,57% di triwulan laporan. Tercatat sektor lain yang memiliki NPL tinggi, yakni sektor konstruksi (9,36%) dan sektor perantara keuangan (7,38%). Adapun NPL sektor LGA didominasi oleh subsektor ketenagalistrikan lainnya yang mencatatkan rasio sebesar 31,18% di triwulan laporan. Dari sektor konstruksi, NPL disumbang oleh subsektor bangunan jalan raya (pangsa 28,01% dari total kredit konstruksi) dengan NPL sebesar 12,05%. Meski demikian, NPL subsektor tersebut mengalami penurunan dari triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 15,82%. Sementara itu, dari sektor perantara keuangan NPL disumbang oleh subsektor
| Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
64
perantara keuangan lainnya (non bank) selain leasing yang mencatatkan NPL sebesar 7,77% pada triwulan laporan. Grafik 4.17. NPL UMKM Berdasarkan Jenis Usaha 10.0%
MIKRO
KECIL
MENENGAH
Grafik 4.18. NPL UMKM 3 Sektor
Batas
9.0%
8.0% 7.0% 5.57%
6.0% 5.0% 4.0%
2.64%
3.0% 2.0% 1.0%
1.58%
0.0% I
II
III
IV
I
II
2013
III
IV
I
II
2014
III
IV
I
2015
II
III
2016
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Secara keseluruhan risiko kredit UMKM masih dalam taraf yang terjaga. Meskipun demikian, perbankan harus lebih selektif dalam memperhitungkan risiko debitur untuk mengantisipasi terjadinya peningkatan NPL di masa yang akan datang terutama untuk sektor yang di triwulan laporan mencatatkan NPL di atas 5%.
4.4 Asesmen Ketahanan Korporasi 4.4.1 Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi Kredit korporasi menyumbang 6,41% dari keseluruhan penyaluran kredit di provinsi NTT. Secara tahunan, penyaluran kredit korporasi mengalami penurunan sebesar -3,24% di triwulan III 2016, namun melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar -4,73%. Penurunan nilai kredit kemungkinan besar lebih disebabkan oleh upaya bank dalam menjaga rasio kesehatan perbanakn yang terlihat dari rasio NPL secara industri yang juga mengalami penurunan dari sebelumnya 6,07% di triwulan II 2016 menjadi 4,28% di triwulan III 2016. Grafik 4.19. Pertumbuhan Tahunan Kredit Korporasi Rpmiliar
%, yoy
2,000
Modal Kerja
1,800
Investasi
Growth Kredit
39.56%
1,600
413
1,400 1,200
1,024
600
8%
50%
7%
40%
6%
30%
5%
20%
4%
10%
3%
0%
2%
-10%
1%
-20%
0%
1,000
800
Grafik 4.20. NPL Kredit Sektor Korporasi Kredit
Modal Kerja
Investasi
Batas 5.48%
4.28%
400
-3.24%
200 0 I
II
III 2013
IV
I
II
III
IV
I
2014
Sumber: Bank Indonesia, diolah
II
III 2015
IV
I
II
III
1.32% I
2016
II
III
2013
IV
I
II
III
IV
I
2014
II
III
IV
2015
I
II
III
2016
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Kredit perbankan kepada sektor korporasi mengalami penurunan pada hampir seluruh sektor dengan sektor yang mengalami penurunan cukup dalam antara lain | Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
65
sektor sektor transportasi pergudangan sebesar -71,42% (yoy) dan sektor perantara keuangan sebesar -65,43% (yoy). Sementara itu, berdasarkan pangsa kredit, penyaluran kredit perbankan didominasi oleh sektor perdagangan sebesar 45,40%, diikuti sektor konstruksi sebesar 16,91%, dan sektor penyediaan akomodasi sebesar 14,18%. Grafik 4.21. NPL Kredit 2 Sektor Korporasi
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Perlu dicermati potensi risiko gagal bayar yang tercermin dari rasio NPL untuk sektor korporasi antara lain di sektor konstruksi; pertambangan, serta real estate dan usaha persewaan. Dari sektor konstruksi, NPL terbesar disumbang oleh perusahaan swasta/ perseorangan dari subsektor konstruksi bangunan elektrikal dan komunikasi lainnya yang menyumbang 61,83% dari keseluruhan posisi NPL. Sementara itu, tingginya NPL di sektor pertambangan dan penggalian sejak triwulan I 2016 berasal dari Kabupaten Kupang yang ditengarai dipengaruhi oleh aktivitas pertambangan galian C yang terganggu akibat adanya penolakan warga terhadap kegiatan eksplorasi. Di samping itu, NPL di sektor real estate, usaha persewaan, dan jasa perusahaan yang telah melebihi batas 5% di triwulan III 2016, didominasi oleh perusahaan swasta yang bergerak di subsektor jasa perusahaan.
4.5 Asesmen Perbankan 4.5.1 Kinerja Bank Umum Total aset industri perbankan pada akhir triwulan laporan tercatat sebesar Rp.30,33
triliun,
mengalami
penurunan
pertumbuhan
dibandingkan
triwulan
sebelumnya yaitu dari -1,39% (yoy) menjadi -7,40% (yoy). Penurunan aset dialami oleh bank pemerintah maupun bank swasta yang masing-masing mencatatkan penurunan sebesar -8,15% dan -1,72% (yoy). | Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
66
Grafik 4.22. Pertumbuhan DPK (yoy) dan Kredit (yoy)
Grafik 4.23. Perkembangan LDR 30,000
24% 18.23%
19%
99.90%
25,000
13.37%
14% 15.10%
20,000 88.37%
15,000
9% 10,000
4% -1%
5,000
I
II
III
IV
I
2015
II
0.29% III
0 I
2016
DPK
II
III
IV
I
2015
Kredit
DPK
II
102% 100% 98% 96% 94% 92% 90% 88% 86% 84% 82% 80%
III
2016 Kredit
LDR
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Kredit perbankan masih tumbuh walau melambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun demikian, DPK hampir tidak menunjukkan adanya pertumbuhan yang berdampak pada rasio LDR yang mengalami peningkatan. Pertumbuhan DPK (yoy) pada triwulan laporan tercatat sebesar 0,29% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan triwulan yang sama tahun 2015 yang tercatat sebesar 18,23% (yoy). Sementara itu, pertumbuhan kredit turun tipis dari 14,30% (yoy) pada triwulan yang sama tahun 2015 menjadi 13,82% (yoy) pada triwulan laporanyang berdampak pada rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) yang terpantau naik dari 84,6% di triwulan III 2015 menjadi 96,0% pada triwulan III 2016. Berdasarkan
jenis
simpanan,
peningkatan
pertumbuhan
tabungan
dari
sebelumnya 7,65% (yoy) di triwulan III 2015 menjadi 14,71% (yoy) di triwulan III 2016 tampaknya belum dapat menahan perlambatan DPK secara agregat. Hal ini karena deposito terpantau melambat cukup signifikan dari sebelumnya 25,14% (yoy) di triwulan III 2015 menjadi 2,02% (yoy) di triwulan laporan. Selain itu, giro juga menurun sebesar -22,61% (yoy) dari tahun sebelumnya. Penurunan giro secara agregat disebabkan oleh penurunan giro pemerintah sebesar -30,07% (yoy). Sementara itu dari sisi kredit, terpantau bahwa seluruh jenis kredit baik modal kerja, investasi, maupun konsumsi mengalami perlambatan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan kredit tersebut juga memengaruhi efisiensi bank umum secara industri pada triwulan laporan yang sedikit mengalami tekanan dibandingkan tahun sebelumnya (BOPO meningkat dari 66,8% menjadi 68,04%) karena adanya perlambatan pendapatan bunga yang disertai dengan peningkatan beban operasional. Dengan demikian, profitabilitas bank yang terpantau
| Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
67
melalui ROA juga mengalami penurunan dari sebelumnya 4,2% di triwulan II 2016 menjadi 4,05% di triwulan III 2016. Grafik 4.24. BOPO dan ROA Bank Umum 72
BOPO (%)
4.4
ROA (%)
4.3
71
4.2
70
4.05
69
4.1 4.0
68 68.04
67 66
3.9
3.8 3.7
65
3.6
64
3.5
63
3.4 I
II
III
IV
I
II
2015
III
2016
Sumber: Bank Indonesia, diolah
4.5.2 Kinerja Bank Perkreditan Rakyat Rasio LDR yang mencerminkan kinerja intermediasi mengalami penurunan pada triwulan laporan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yakni dari 80,52% menjadi 77,89%. Rasio LDR tersebut dinilai masih baik dengan ditopang rasio Capital Adequacy Ratio (CAR) yang senantiasa masih terjaga yakni sebesar 29,47% pada triwulan laporan. Grafik 4.25. LDR dan CAR BPR
Grafik 4.26. BOPO, ROA, NPL BPR
88
32
84
86
31
82
30
80
29
78
80
28
76
78
27
74
84
82
29.47
77.89
76
26
74
25
72
24 I
II
III IV
2013
I
II
III IV
I
2014
% LDR (skala kiri)
II
III IV
2015
I
II
III
6.56 82
2.59
72
I
II
I
II
III IV
2014
% BOPO (skala kiri)
2016
I
II
III IV
2015
I
II
III
2016
% ROA (skala kanan)
% NPL (skala kanan)
% CAR (skala kanan)
Sumber: Bank Indonesia, diolah
III IV
2013
7 6 5 4 3 2 1 0
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Namun demikian, BPR perlu memperhatikan risiko kredit yang sedikit meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang ditunjukkan oleh rasio NPL tercatat sebesar 6,56% meningkat dibanding triwulan sebelumnya. Sementara itu, meski profitabilitas BPR di triwulan laporan secara industri mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya (ROA turun dari 2,61% menjadi 2,59%), efisiensi BPR yang tercermin dari rasio BOPO mengalami sedikit perbaikan dibandingkan triwulan sebelumnya (BOPO turun dari 82,42% menjadi 82,00%).
| Bab IV
Stabilitas Keuangan Daerah
68
Transaksi sistem pembayaran pada triwulan III 2016 mengalami perlambatan antara lain disebabkan oleh selain perlambatan aktivitas ekonomi paska pemotongan DAU di 5 pemda, juga disebabkan oleh tingginya pembayaran gaji ke-13 dan 14 serta tunjangan hari raya yang persiapan pembayarannya telah dilakukan pada triwulan sebelumnya. Net transaksi pembayaran tunai menunjukkan adanya net outflow yang melambat yang berarti perekonomian masih tumbuh namun relatif melambat dibanding triwulan maupun tahun sebelumnya. Kondisi kelayakan uang beredar di Provinsi NTT cenderung mengalami peningkatan sejalan dengan tingginya penarikan uang tidak layak edar yang dilakukan Sementara itu, transaksi pembayaran non tunai masih tumbuh cukup tinggi walaupun relatif melambat dibanding triwulan sebelumnya
5.1. KONDISI UMUM Pada triwulan III 2016, sistem pembayaran tunai menunjukkan adanya net outlow sebesar 395 miliar melambat dibanding triwulan dan tahun sebelumnya. Bayaran uang tunai yang dikeluarkan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT mengalami penurunan seiring dengan adanya perlambatan belanja pemerintah. Sementara itu dari sisi setoran mengalami peningkatan lebih tinggi dari tahun sebelumnya pada periode yang sama terutama disebabkan oleh kembalinya uang yang beredar kedalam sistem perbankan setelah pada triwulan sebelumnya terjadi peningkatan yang cukup tinggi untuk pembayaran gaji ke-13 dan 14 serta tunjangan hari raya pelaku ekonomi lainnya. Temuan uang palsu yang dilaporkan pada Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT pada triwulan ini mengalami penurunan, dari sebanyak 89 lembar pada triwulan sebelumnya menjadi hanya sebanyak 38 lembar. Penggunaan sistem pembayaran non tunai fasilitas Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) di wilayah NTT pada triwulan III 2016 masih cukup tinggi namun melambat
dibanding
triwulan
sebelumnya.
Namun
demikian,
pertumbuhan
penggunaan fasilitas SKNBI NTT masih berada jauh di atas Nasional. Layanan Keuangan Digital (LKD) pada triwulan III 2016 baik dari sisi jumlah agen maupun tranksaksi LKD masih menunjukkan adanya peningkatan.
| Bab V
Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
69
Grafik 5.1 Perkembangan Transaksi Tunai
Grafik 5.2 Perkembangan Transaksi Kliring
5.2. Transaksi Pembayaran Tunai Transaksi pembayaran tunai di Bank Indonesia tercermin dari beberapa kegiatan, diantaranya jumlah aliran uang keluar dari Bank Indonesia ke stakeholder (outflow), jumlah aliran uang masuk dari perbankan ke Bank Indonesia (inflow), dan kegiatan pemusnahan Uang Tidak Layak Edar (UTLE), serta temuan uang palsu (UPAL).
5.2.1. Aliran Uang Masuk (Inflow) dan Aliran Uang Keluar (Outflow) Pada triwulan III 2016, perkembangan aliran uang tunai di Provinsi NTT mengalami
perlambatan
baik
dibanding triwulan sebelumnya
maupun
dibanding tahun sebelumnya. Perlambatan aliran uang ini selain mengkonfirmasi adanya perlambatan ekonomi di triwulan III 2016 yang salah satunya disebabkan oleh adanya penghematan anggaran pemerintah, juga disebabkan oleh majunya perayaan hari raya Idul Fitri yang jatuh di tanggal 6-7 Juli 2016, sehingga pembayaran gaji ke-14 dan tunjangan lainnya sudah dibayarkan di bulan sebelumnya. Hal ini terkonfirmasi oleh tingginya net outflow di triwulan sebelumnya. Nominal inflow pada triwulan ini mencapai Rp.944,24 miliar atau tumbuh sebesar 12,29% yoy. Aliran uang masuk ini menunjukkan kembalinya uang ke sistem perbankan setelah pada triwulan sebelumnya mengalami outflow yang cukup tinggi. Sementara itu, outflow hanya mencapai Rp.1.338,80
miliar atau
menurun 20,65% yoy,
mengkonfirmasi
pelambatan
pengeluaran konsumsi pemerintah dan penyaluran kredit oleh perbankan. Namun demikian, kondisi net outflow yang masih terjadi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi masih terjadi walau tidak sebesar triwulan sebelumnya.
| Bab V
Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
70
Grafik 5.3 Perkembangan Inflow, Outflow dan
Grafik 5.4 Perkembangan Arus Uang Tunai
UTLE
(Inflow-Outflow)
5.2.2. Perkembangan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) UTLE yang dimusnahkan di Provinsi NTT pada triwulan III 2016 tumbuh 155,36% lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu pada periode yang sama. Tingginya penarikan dan pemusnahan UTLE sejalan dengan komitmen Bank Indonesia untuk menyediakan uang layak edar bagi masyarakat. Hingga triwulan III 2016 Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT telah memusnahkan UTLE sebanyak Rp.1.484,17 miliar, lebih tinggi dibanding tahun lalu. Sementara itu dari setoran (inflow) yang sebesar Rp.944,24 miliar, sebanyak 48,61% adalah setoran Uang Tidak Layak Edar. Setoran UTLE di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT hingga triwulan III 2016 meningkat 77,14% yoy lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2015 maupun tahun 2014. Tingginya penarikan UTLE lebih disebabkan oleh tingginya peningkatan aktivitas perkasan yang dilakukan, antara lain melalui gerakan kas keliling, dropling, gerpultas, gerakan peduli koin maupun melalui kegiatan gerakan cinta rupiah yang diselenggarakan. Banyaknya kegiatan tersebut sejalan dengan komitmen Bank Indonesia untuk menyediakan uang yang layak bagi masyarakat. Banyaknya kegiatan yang dilakukan tersebut sebagai tindak lanjut atas hasil survei ULE yang telah dilakukan yang menyatakan bahwa uang pecahan kecil yang diedarkan sebagian besar sudah tidak layak edar.
| Bab V
Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
71
Tabel 5.1.Perkembangan Kegiatan KPw BI Provinsi NTT
Periode Kota/Kab Indikator *) Kas Keliling Kas Titipan Total
TW1 2016
TW2 2016
TW3 2016
Sumba Timor Flores Jumlah Sumba Timor Flores Jumlah Sumba Timor Flores Jumlah 2 2 4
10 1 11
7 1 8
19 4 23
3 4 7
23 3 26
12 2 14
38 9 47
1 1 2
7 1 8
6 1 7
14 3 17
*) Frekuens i Sumber : KPw BI Provi ns i NTT di ol a h
Pada saat ini Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT telah mempunyai 3 kas titipan yang tersebar di Kabupaten Sikka, Kabupaten Belu dan Kabupaten Sumba Timur. Pada triwulan IV 2016, Bank Indonesia telah menambah 2 kas titipan baru di Kabupaten Ende dan Manggarai pada bulan Oktober 2016 dan akan menambah 1 kas titipan di Kabupaten lembata pada bulan Desember 2016.
5.2.3. Perkembangan Uang Palsu (UPAL) Pada triwulan III 2016 temuan uang palsu yang tercatat di Kantor Perwakilan
Bank
Indonesia
Provinsi
NTT
mengalami
penurunan
bila
dibandingkan dengan triwulan atau tahun sebelumnya. Jumlah lembar uang palsu yang awalnya ditemukan sebanyak 89 lembar turun menjadi 38 lembar saja yang di laporkan pada triwulan ini. Pada triwulan III 2016 uang palsu yang dominan ditemukan adalah pecahan Rp.100.000,- dan Rp.50.000,-. Grafik 5.5. Perkembangan UTLE di Provinsi NTT
Grafik 5.6. Perkembangan UPAL di Povinsi NTT
Untuk menanggulangi peredaran uang palsu yang beredar, secara aktif, Bank Indonesia telah melakukan sosialisasi tentang ciri-ciri keaslian uang rupiah sebanyak 35 kali berupa 6 kali kegiatan CIKUR yang diadakan di pulau flores, timor dan sumba dan 29 kegiatan CIKUR Modified bersamaan dengan kegiatan kas keliling yang diadakan.
| Bab V
Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
72
5.3. Transaksi Pembayaran Non Tunai Perkembangan transaksi menggunakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) pada triwulan III 2016 dari sisi volume maupun nominal mengalami perlambatan dibanding triwulan sebelumnya. Walaupun dari sisi volume mengalami peningkatan sebesar 51,82% (yoy) atau mencapai 73.560 transaksi dan berdasarkan nominal mengalami peningkatan sebesar 102,94% (yoy) atau sebesar 2,81 triliun, namun peningkatan tersebut tidak sebesar triwulan II 2016 yang secara volume meningkat 86,02% (yoy) dan secara nominal meningkat 261,82% (yoy). Walaupun mengalami perlambatan, pertumbuhan tersebut masih lebih tinggi dibanding pertumbuhan SKNBI Nasional yang hanya mampu tumbuh secara nominal sebesar 37% yoy dan volume 16,27% yoy.
5.4.
Perkembangan Layanan Keuangan Digital Jumlah agen maupun transaksi Layanan Keuangan Digital (LKD) di
Provinsi NTT pada triwulan III 2016 mengalami peningkatan yang ditunjukkan oleh meningkatnya jumlah agen dan transaksi yang dilakukan dibandingkan triwulan sebelumnya. Pada triwulan III 2016, jumlah agen LKD tumbuh 10,11% (qtq), lebih tinggi dibanding triwulan II 2016 yang hanya mencapai 6,43% (qtq). Sementara itu, pertumbuhan jumlah tranksasi menggunakan LKD masih tumbuh 71,22% (qtq) namun melambat dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang mencapai 142,00% (qtq). Rata-rata transaksi harian agen LKD juga mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya, dari 4,19 transaksi per agen per hari menjadi 4,32 transaksi per agen per hari. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat sudah mulai mengenal dan mau menggunakan fasilitas ini sebagai sistem pembayaran dalam transaksi.
| Bab V
Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
73
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi dengan kondisi geografis yang cukup menantang dibanding provinsi lain di Indonesia. Apabila Provinsi Papua terkenal sebagai provinsi dengan kondisi daratan tersulit untuk dijangkau, ataupun Provinsi Maluku yang terkenal dengan kondisi lautan yang tersulit dijangkau di Indonesia, maka Provinsi NTT menggabungkan kedua kesulitan tersebut, sehingga menjadikan provinsi dengan gabungan konektivitas daratan dan lautan tersulit di Indonesia. Sebagai provinsi terluar dan berbatasan langsung dengan 2 Negara yaitu Australia dan Timor Leste, dan memiliki penduduk terbesar ke-2 di Indonesia Timur sebanyak 5 juta jiwa serta memiliki 1.192 pulau dengan 44 diantaranya dihuni manusia, dengan total luas wilayah lebih dari 5 kali Luas Provinsi Jawa Timur atau lebih dari 32 kali luas Provinsi DKI, menjadikan provinsi NTT menjadi tempat yang paling cocok untuk dijadikan laboratorium peredaran uang di Indonesia. Dengan kondisi tingkat kelayakan jalan Provinsi dan Kabupaten/kota kurang dari 50%, kondisi cuaca yang sangat ekstrim terutama dikarenakan adanya musim hujan dan musim angin, berada di titik terluar perbatasan Negara, tingkat pendidikan masuk dalam 5 provinsi terendah, perilaku penyimpanan uang yang kebanyakan tidak menggunakan dompet, kondisi uang pecahan kecil (UPK) yang sebagian besar sudah tidak layak edar (UTLE), kondisi temuan uang palsu yang kebanyakan sudah tidak layak edar serta kondisi SDM perbankan yang relatif rendah, menjadikan Provinsi NTT sebagai daerah yang paling menantang dalam peredaran uang rupiah, edukasi pemeliharaan dan pengenalan keaslian rupiah, monitoring peredaran uang, serta laboratorium yang tepat dalam pengawasan sistem pembayaran pada perbankan. Gambar Boks 5.1. Peta Kas Titipan dan Jalur Distribusi Uang di NTT
Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, secara generik Bank Indonesia melakukan 5 kegiatan terkait pengedaran uang yaitu kegiatan remise, kas titipan, kas keliling, CIKUR, dan yang terbaru adalah kegiatan CCNP. Remise adalah kegiatan pengambilan modal ke kantor kas BI dalam hal ini ke Makasar. Kas titipan adalah pembukaan kasanah titipan di Boks 5 | LASIANA (Layanan Kas dalam Bingkai Semangat Nasionalisme
74
perbankan yang ditunjuk. Kas Keliling adalah kegiatan melayani penukaran uang di daerah. CCNP adalah kepanjangan tangan dari kas keliling hanya saja yang melakukan adalah perbankan yang ditunjuk untuk kerjasama dan CIKUR adalah wahana edukasi dan pengenalan ciri-ciri keaslian uang rupiah. Dengan banyaknya permasalahan sebagaimana disebut di atas, dirasakan perlu untuk memperkuat peran dan tugas pengedaran uang agar kehadiran Bank Indonesia dapat lebih dirasakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, sepanjang tahun 2017 telah dilakukan beberapa inisiatif kegiatan baru antara lain pembukaan 2 kas titipan baru di Kabupaten Ende dan Manggarai pada bulan Oktober 2016 bersamaan dengan kegiatan gerakan cinta rupiah yang diadakan. Selain itu, juga akan diinisiasi percepatan pembukaan kas titipan baru di Kabupaten Lembata untuk mendukung hari nusantara yang menurut rencana akan dihadiri secara langsung oleh presiden Republik Indonesia. Gambar Boks 5.2. Bagan Inovasi Perkasan di KPwBI Provinsi NTT
Selain kelima fungsi generik yang ada, Bank Indonesia Provinsi NTT juga menambah 7 kegiatan inisiatif lainnya dan memodifikasi kegiatan generik yang dilakukan. Kegiatan tersebut meliputi Dropling dengan dasar kegiatan seperti kas keliling, hanya saja kami menambahkan sasaran pengedaran tidak hanya masyarakat tetapi juga pelaku usaha dan perbankan, sehingga modal yang dibawa dapat meningkat. Sidak siram adalah kegiatan monitoring dan evaluasi (monev) perkasan perbankan. Survei ULE adalah kegiatan monev kelayakan uang di masyarakat. Gerpultas adalah kegiatan penarikan uang lusuh di perbatasan sebagai respon atas rendahnya soil level yang ditangkap dalam survei ULE. Peduli koin adalah gerakan menarik uang logam agar dapat kembali dimanfaatkan oleh masyarakat, GCR adalah gerakan cinta rupiah berupa edukasi masyarakat untuk mencintai dan menggunakan rupiah sebagai sarana pembayaran yang sah di Indonesia. Adapun tema GCR tahun ini adalah peduli tepian negeri. Gerabah yaitu kegiatan monev tingkat kelayakan uang di ATM yang pada pelaksanaannya akan dikombinasikan dengan sidak siram setelah diketahui pada ATM bank mana yang tingkat kelusuhan uangnya paling tinggi. Dan terakhir adalah CIKUR Modifikasi yaitu menggabungkan kegiatan kas keliling dan dropling dengan menambahkan CIKUR, sehingga edukasi masyarakat dapat diperluas. Dengan adanya kegiatan tersebut di atas, aktivitas sistem pembayaran mengalami peningkatan signifikan dari 83 kegiatan di tahun 2016 menjadi 272 kegiatan di tahun 2016. Boks 5 | LASIANA (Layanan Kas dalam Bingkai Semangat Nasionalisme
75
Tabel Boks 5.1. Realisasi Kegiatan Perkasan Bank Indonesia di tahun 2016 INOVASI PERKASAN FUNGSI
REALISASI REALISASI 2015 KEGIATAN
Kas Titipan Remise CCNP New Kas Keliling CIKUR Modified
Action Action Action Action Edukasi
15 7 1 9 11
19 6 2 86 86
Gerakan Cinta Rupiah Dropling Gerpultas Peduli Koin Sidak Siram Gerabah Survei ULE TOTAL AKTIVITAS
Edukasi Action Action Action Monev Monev Monev
2 30 0 0 4 0 4 83
5 42 1 5 1 19 272
1
2
3
4
5
2016 6 7
8
9
1
2 1
1
2
2 1
3 1
2
2 1
4 4
5 5
9 9
6 6
9 9
16 16
9 9
12 12
4
2
6
6
6
4
1 5
2 4
7 20
4 29
15
4 24
27
40
26
10
2 1 2 8 8
2 1
1 2
2
1 3 1 2
35
2 30
11
12
-
-
8 8
1 1 2 26
Adapun dampak dari kegiatan tersebut di atas antara lain meningkatnya kesadaran masyarakat akan ciri-ciri keaslian uang rupiah, penarikan dan pemusnahan uang tidak layak edar meningkat signifikan maupun selisih lebih dan kurang dalam setoran perbankan mengalami penurunan signifikan. Hasil positif dari inisiatif yang telah dilakukan tersebut akan terus dikawal agar tujuan Bank Indonesia dalam menyediakan uang layak edar baik secara kuantitas maupun kualitas di seluruh Provinsi NTT dapat tercapai. Grafik Boks 5.1. Kegiatan Pemusnahan Uang Kegiatan Pemusnahan Uang Uang Kegiatan Pemusnahan
Grafik Boks 5.2. Frekuensi Grafik Boks 5.3. Selisih Kegiatan Kas Keliling dan Lebih dan Kurang Setoran Nominal Kas Keliling dan Dropling Selisih Lebih dan Kurang Setoran Dropling Bank Frekuensi Kas Keliling dan Dropling Frekuensi Kas Keliling dan Dropling Bank 20152015 Kaskel 20162016
250
300
Dropling
30 25 25 39.700
69.500 30
2016
KaskelKaskel
2015
2015 406
9 9 2015
925
41
41
2016
Dropling Dropling
2016 294
273
SELISIH LEBIH
SELISIH KURANG
Boks 5 | LASIANA (Layanan Kas dalam Bingkai Semangat Nasionalisme
76
KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN Perkembangan Sektor Ketenagakerjaan dan Indikator Kesejahteraan Provinsi NTT terindikasi mengalami perkembangan yang positif. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada bulan Agustus tercatat sebesar 3,25%, lebih baik dibandingkan bulan Maret yang sebesar 3,59%. Peningkatan penyerapan tenaga kerja terutama berasal dari sektor Industri dan Jasa Kemasyarakatan. Sementara itu, indikator kesejahteraan masyarakat yang terlihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) dan Survei Konsumen-Bank Indonesia menunjukkan adanya peningkatan pada Triwulan-III 2016. 6 .1 .
KONDISI UMUM Kondisi tenaga kerja dan kesejahteraan di Provinsi NTT menunjukkan
angka perbaikan yang terlihat dari penurunan TPT dan indikator survei Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI). Berdasarkan data BPS, angka pengangguran pada bulan Agustus 2016 tercatat sebesar 76.580 orang menurun dibandingkan Februari 2016 yang sebesar 87.699 orang. Penurunan didorong oleh adanya pergeseran jumlah penduduk usia >15 tahun yang sebelumnya termasuk angkatan kerja menjadi bukan angkatan kerja yang didorong adanya peningkatan preferensi masyarakat untuk melanjutkan sekolah dan mengurus rumah tangga. Sementara itu, sektor industri dan jasa kemasyarakatan menunjukkan peningkatan penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi. Disisi lain, indikator kesejahteraan pada triwulan-III juga menunjukkan perbaikan. Indikator NTP menunjukkan adanya perbaikan dari 100.67 pada bulan Juni menjadi 102.03 di bulan September 2016. Peningkatan terutama terjadi karena adanya peningkatan angka indeks pada sektor Tanaman Padi-Palawija serta Tanaman Perkebunan Rakyat yang menunjukkan adanya peningkatan pendapatan masyarakat pada sektor tersebut. Hasil Survei Konsumen-BI juga menunjukkan adanya peningkatan angka indeks penghasilan yang didapatkan masyarakat.
6 .2 .
PERKEMBANGAN TENAGA KERJA
6.2.1 Perkembangan Tenaga Kerja Umum Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi NTT tercatat masih lebih rendah dibandingkan nasional dan berada di peringkat ke-6 terendah dari 34 Provinsi di Indonesia.
Presentase TPT NTT pada bulan Agustus 2016 sebesar
3,25% berada di bawah nasional yang sebesar 5,61%. Selain itu, angka TPT NTT 77 | Bab VII
Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
77
tersebut juga berada di peringkat ke-6 terendah Provinsi di Indonesia, dibawah Bali (1,89%), Bangka Belitung (2,60%), Daerah Istimewa Yogyakarta (2,72) , Sulawesi Tenggara (2,72) dan Gorontalo (2,76). Namun, rendahnya angka TPT tersebut cukup terkontradiksi dengan persentase penduduk miskin di Provinsi NTT yang berada di peringkat ke-3 tertinggi nasional di bawah Papua dan Papua Barat. Dari sisi komposisi, banyaknya presentase pekerja tidak dibayar di Provinsi NTT sebesar 25,06% dapat menunjukkan masih terbatasnya pilihan lapangan kerja dan kualitas Sumber Daya Manusia, sehingga masih banyak tenaga kerja yang hanya membantu kegiatan usaha keluarga terutama di sektor pertanian daripada membuka lapangan usaha sendiri atau menjadi pekerja di sektor formal. Luas lahan garapan pertanian milik keluarga yang terbatas (petani gurem) dan rendahnya produktivitas lahan menyebabkan pendapatan masyarakat cenderung tidak besar dan terkadang hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari. Grafik 6.1 Perbandingan Tingkat Pengangguran Provinsi NTT dan Nasional
Sumber : BPS, diolah
Grafik 6.2 Sepuluh Provinsi dengan Prosentase Pengangguran Terendah
Sumber : BPS, diolah
6.2.2 Kondisi Ketenagakerjaaan Berdasarkan Sektor Dari sisi jumlah angkatan kerja dan pengangguran, terjadi penurunan jumlah angkatan kerja pada Agustus 2016 yaitu menjadi sebanyak 2,35 juta orang dibanding bulan Februari yang sebesar 2,45 juta orang. Penurunan tersebut terutama didorong oleh adanya peningkatan kategori orang bukan angkatan kerja yang telah berusia diatas 15 tahun sebesar 126.770 jiwa seiring dengan kenaikan jumlah orang sekolah dan jumlah orang yang masuk kategori mengurus rumah. Hal ini mengindikasikan adanya perkembangan positif pada antusiasme masyarakat NTT untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Jumlah pengangguran menurun dari 87.669 orang (Februari 2016) menjadi 76.580 orang (Agustus 2016) terutama didorong oleh adanya peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor industri dan jasa kemasyarakatan. Berdasarkan data historis, 78 | Bab VII
Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
78
penyerapan tenaga kerja sektor jasa kemasyarakatan mengalami kecenderungan trend peningkatan selain sektor perdagangan. Hal ini menunjukkan adanya indikasi pergeseran preferensi masyarakat dari sektor pertanian ke sektor lainnya. Di sisi lain, apabila dilihat dari sisi siklikal, pola peningkatan tenaga kerja di Provinsi NTT cenderung terjadi pada bulan Februari seiring adanya panen di awal tahun. Grafik 6.3 Perbandingan Jumlah Angkatan Kerja, Pekerja dan Penganggur di Provinsi NTT
Sumber : BPS, diolah
Grafik 6.4 Tren Penyerapan Tenaga Kerja Per-Sektor
Sumber : BPS, diolah
Masih tingginya ketergantungan pada sektor pertanian juga terlihat dari komposisi tenaga kerja di sektor pertanian yang masih dominan sebesar 53,3% diikuti oleh sektor jasa kemasyarakatan sebesar 16,4%. Sementara apabila dilakukan analisis perkembangan angkatan kerja dan tenaga kerja secara tahunan, terlihat bahwa terjadi perkembangan positif pada bulan Agustus 2016. Hal ini terlihat dari pertumbuhan penyerapan pekerja secara tahunan yang lebih tinggi dari angkatan kerja. Grafik 6.5 Struktur Tenaga Kerja di NTT Bulan Agustus 2016
Sumber : BPS, diolah
Grafik 6.6 Pertumbuhan Tenaga Kerja dan Angkatan Kerja
Sumber : BPS, diolah
6.2.3 Kondisi Ketenagakerjaaan Berdasarkan Tingkat Pendidikan Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan, jumlah pengangguran yang berasal dari tamatan SMA/SMK tercatat menjadi yang tertinggi yaitu 31.155 orang pada bulan Agustus 2016. Namun, jumlah tersebut tercatat menurun dibandingkan bulan Februari 2016 yang tercatat sebesar 38.280 orang. Peningkatan jumlah penganggur justru terjadi pada tingkat universitas yang tercatat sebesar 2.358 orang 79 | Bab VII
Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
79
pada bulan Agustus dibanding Februari 2016. Secara tahunan (Agustus 2016 dibanding Agustus 2015), pertumbuhan jumlah pengangguran di tingkat Universitas tercatat meningkat sebesar 14,4% (yoy) dibandingkan tingkat pendidikan lain yang cenderung menurun. Hal ini menunjukkan masih kurangnya lapangan kerja, terutama yang bersifat formal untuk menampung tenaga kerja terdidik dengan tingkat pendidikan universitas di Provinsi NTT. Perlu adanya langkah-langkah dari pemerintah untuk tetap menjaga iklim investasi di Provinsi NTT, serta mengantisipasi hambatan-hambatan investasi seperti masalah lahan, administrasi maupun infrastruktur yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan sektor industri ataupun sektor pariwisata yang notabene dapat menjadi area lapangan kerja baru untuk lulusan terdidik di Provinsi NTT. Grafik 6.7 Perkembangan Pengangguran Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Sumber : BPS, diolah
Grafik 6.8 Perkembangan Angkatan Kerja dan Pekerja Menurut Tingkat Pendidikan
Sumber : BPS, diolah
6.2.4 Kondisi Ketenagakerjaan Menurut Status Pekerjaan Struktur tenaga kerja berdasarkan status pekerjaan di Provinsi NTT pada bulan Agustus 2016 cenderung masih didominasi oleh pekerja informal sebanyak 74,8% atau 1,7 juta penduduk. Namun, terjadi peningkatan cukup signifikan untuk pekerja formal yang pada Agustus 2015 tercatat sebesar 475.028 orang menjadi 573.875 orang pada bulan Agustus 2016 atau mengalami kenaikan 20,8% (yoy). Adanya pergeseran jumlah tenaga kerja dari pekerja informal menjadi pekerja formal dengan jumlah cukup signifikan sebesar 98.847 orang menunjukkan adanya peningkatan kualitas angkatan kerja di Provinsi NTT pada bulan Agustus, walaupun untuk level pendidikan tertinggi seperti universitas jumlah lapangan kerja masih belum cukup menampung jumlah lulusan setiap tahun. Dari sisi status pekerjaan formal, peningkatan cukup signifikan terjadi pada buruh/karyawan yang tumbuh sebesar 21,9% (yoy).
80 | Bab VII
Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
80
Grafik 6.9 Perkembangan Struktur Tenaga Kerja Menurut Status Pekerjaan
Grafik 6.10 Perkembangan Status Pekerjaan Masyarakat
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
6.2.5 Kondisi Tenaga Kerja Sektor Industri Manufaktur Besar dan Sedang Berdasarkan survei industri manufaktur Besar dan Sedang (IBS) BPS Provinsi NTT pada triwulan III-2016 diketahui bahwa penyerapan tenaga kerja didominasi oleh sektor Barang Galian Bukan Logam. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh peningkatan pekerjaan proyek pada triwulan-III sehingga permintaan terhadap komoditas-komoditas bukan logam seperti pasir dan batu kapur turut mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari tingkat produktivitas sektor barang galian bukan logam yang mencapai Rp 51,84 juta/tenaga kerja dan merupakan yang tertinggi dibandingkan sektor lain pada triwulan-III 2016. Grafik 6.11 Persentase Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Manufaktur Sedang dan Besar
Sumber : BPS, diolah
Grafik 6.12 Perkembangan Produktivitas Sektor Industri Manufaktur Sedang dan Besar
Sumber : BPS, diolah
6.2.6 Perkembangan Upah Minimum Provinsi (UMP) NTT Pada tanggal 31 Oktober 2016, Gubernur Provinsi NTT telah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2017 sebesar Rp 1.525.00,- atau meningkat 7,02% dibandingkan UMP tahun 2016 yang sebesar Rp 1.425.000,-. Penetapan tersebut tercantum dalam Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur No. 347/KEP/HK/2016 tertanggal 31 Oktober 2016 dan akan berlaku pada tahun 2017. 81 | Bab VII
Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
81
Grafik 6.13 Perkembangan Upah Minimum Provinsi NTT
Sumber : Disnakertrans-NTT, diolah
6.2.7 Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Dari hasil SKDU di wilayah NTT, terlihat bahwa indikator ketenagakerjaan masih menunjukkan indikasi positif pada triwulan III-2016. Hal ini menunjukkan masih adanya peningkatan penyerapan tenaga kerja pada triwulan tersebut terutama untuk sektor bangunan serta pengangkutan dan komunikasi. Peningkatan sektor bangunan seiring dengan tingginya produktivitas sektor barang galian bukan logam pada survei IBS-BPS. Hal ini diperkirakan terjadi seiring peningkatan kegiatan proyek pemerintah maupun swasta pada triwulan-III. Sementara itu, berdasarkan perkiraan, penyerapan tenaga kerja triwulan IV akan ditopang sektor jasa-jasa dan pertanian. Grafik 6.14 Perkembangan Indeks Tenaga Kerja SKDU
Sumber : SKDU-BI, diolah
6.3. PERKEMBANGAN KESEJAHTERAAN 6.3.1 Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) Tingkat kesejahteraan Pedesaan Provinsi NTT yang digambarkan oleh Nilai Tukar Petani (NTP) menunjukkan adanya peningkatan dari 100,67 (Triwulan II-2016) menjadi 102,02 (Triwulan III-2016). Peningkatan ini terutama disebabkan oleh adanya kenaikan indeks yang diterima (IT) dibandingkan indeks yang dibayar (IB). Dari sisi sektoral, 82 | Bab VII
Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
82
peningkatan terutama terjadi pada Tanaman Padi-Palawija dan Tanaman Perkebunan Rakyat. Telah adanya panen komoditas perkebunan seperti kakao dan jambu mete diperkirakan turut meningkatkan pendapatan petani. Grafik 6.15 Perkembangan Nilai Tukar Petani
Sumber : BPS, diolah
Grafik 6.16 Perkembangan Nilai Tukar Petani Per Sektor
Sumber : BPS, diolah
6.3.2 Survei Konsumen (SK) dan Indeks Tendensi Konsumen (ITK) Sementara itu, berdasarkan hasil Survei Konsumen (SK)-Bank Indonesia dan Indeks Tendensi Konsumen (ITK)-Badan Pusat Statistik ditemukan pula adanya indikasi kenaikan. Indeks penghasilan saat ini masyarakat NTT dibandingkan 6 bulan yang lalu pada SK menunjukkan kenaikan dari 126,5 (triwulan II-2016) menjadi 142 (triwulan III-2016). Peningkatan juga terjadi pada angka ITK dari 103,87 menjadi 106,14 yang menunjukkan peningkatan optimisme masyarakat NTT pada triwulan III 2016. Peningkatan ini diperkirakan turut disebabkan oleh adanya panen komoditas perkebunan dan kegiatan proyek-proyek pemerintah dan swasta yang mendorong penyerapan tenaga kerja dan berdampak langsung pada peningkatan pendapatan masyarakat NTT di triwulan-III. Grafik 6.17 Perkembangan Survei Konsumen-BI dan Indeks Tendensi Konsumen-BPS
Sumber : SK-BI dan ITK-BPS, diolah
83 | Bab VII
Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
83
PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH Berdasarkan perkembangan perekonomian terkini, pertumbuhan ekonomi NTT triwulan I-2017 diperkirakan pada rentang 5,1-5,5% (yoy) sementara pertumbuhan sepanjang tahun 2017 diperkirakan pada kisaran 5,2-5,6% (yoy) atau meningkat dibandingkan prakiraan 2016 yang sebesar 5-5,4% (yoy). Di sisi lain, inflasi pada triwulan-I 2017 diprediksi berada pada rentang 3,5-3,9% (yoy) dan inflasi akhir tahun 2017 akan berada pada kisaran 4,4-4,8% (yoy) atau lebih tinggi dibanding tahun 2016 yang diperkirakan pada rentang 2,4-2,8% (yoy). Pertumbuhan ekonomi NTT triwulan-I 2017 diperkirakan didorong oleh sektor perdagangan dan administrasi pemerintahan seiring kegiatan pilkada di daerah di Provinsi NTT pada bulan Februari 2017. Sementara itu, peningkatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2017 didukung oleh pertumbuhan sektor pertanian, konstruksi, perdagangan besar dan eceran serta administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib. Dari sisi inflasi, tren harga yang cukup rendah pada tahun 2016 diperkirakan berdampak pada peningkatan harga di tahun 2017 sehingga proyeksi inflasi pada triwulan-I 2017 diperkirakan berada pada rentang 3,5-3,9% (yoy) dan inflasi akhir tahun 2017 berada pada rentang 4,4-4,8% (yoy).
7.1 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi NTT 7.1.1 Pertumbuhan Ekonomi NTT Triwulan I
2017
Sementara itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada triwulan I2017 diperkirakan berada pada kisaran 5,1-5,5% (yoy) yang kemungkinan didorong oleh sektor perdagangan besar dan eceran seiring adanya kegiatan pilkada di 3 Kabupaten/Kota, yaitu Kota Kupang, Kab. Lembata dan Kab. Flores Timur. Selain itu, adanya pilkada juga diperkirakan dapat mendorong pertumbuhan sektor administrasi pemerintahan seiring peningkatan belanja bantuan keuangan untuk kegiatan pemilu. Dari sektor pertanian, adanya La Nina diperkirakan turut mendorong pergeseran masa panen padi ke triwulan-I 2017.
| Bab VII
Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
84
Grafik 7.1. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi NTT Triwulan I 2017
Sumber : BPS dan Bank Indonesia (diolah)
7.1.1.1 Pertumbuhan Sisi Penggunaan
Dari sisi penggunaan, komponen konsumsi pada triwulan I-2017 diperkirakan mengalami peningkatan. Dorongan konsumsi terutama berasal dari konsumsi pemerintah dan konsumsi Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) seiring dengan adanya penyelenggaraan pemilu di 3 Kabupaten/Kota. Sementara itu, konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh melambat paska peningkatan cukup tinggi seiring adanya perayaan akhir tahun. Indikasi tersebut terlihat dari indikator indeks Ekspektasi Penghasilan 6 bulan yang akan datang, ketersediaan lapangan kerja 6 bulan yang akan datang serta kondisi ekonomi Indonesia 6 bulan yang akan datang pada Survei Konsumen Bank Indonesia yang menunjukkan adanya indikasi perlambatan walaupun masih positif diatas angka 100. Hal ini menunjukkan bahwa belanja rumah tangga masyarakat pada awal tahun 2017 masih menunjukkan indikasi pertumbuhan. Grafik 7.2. Survei Konsumen 160.0
140.0
120.0
100.0 I
II
III
IV
I
2014
II
III 2015
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Ekspektasi penghasilan 6 bulan y.a.d. Ketersediaan Lapangan Kerja 6 bulan y.a.d
IV
I
II
III
2016
Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) Kondisi ekonomi Indonesia 6 bulan y.a.d.
Sumber :Bank Indonesia (diolah)
Kinerja investasi diperkirakan tumbuh melambat pada triwulan-I 2017. Perlambatan lebih disebabkan oleh siklus perencanaan anggaran pada awal tahun yang dilakukan swasta dan pemerintah. Di lingkup pemerintah, kegiatan lelang yang masih | Bab VII
Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
85
berlangsung menyebabkan secara historis investasi yang dilakukan cenderung terbatas di triwulan-I. Sementara itu adanya pilkada juga diperkirakan mendorong sikap wait and see investor untuk berinvestasi di daerah-daerah yang melakukan pemilihan. Kinerja net impor antar daerah dan ekspor luar negeri NTT pada triwulan I juga diperkirakan akan melambat. Perlambatan lebih disebabkan oleh siklus musiman penurunan kebutuhan masyarakat paska peningkatan konsumsi di akhir tahun dan terbatasnya investasi yang dilakukan sehingga impor kebutuhan dari daerah lain masih rendah. Di sisi lain, kurang baiknya cuaca di awal tahun juga berpengaruh pada produksi ikan tangkap untuk ekspor (tuna dan cakalang). 7.1.1.2 Pertumbuhan Sisi Sektoral Dari sisi sektoral, pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan-I 2017 diperkirakan mengalami sedikit peningkatan. Peningkatan diperkirakan disebabkan oleh adanya pergeseran panen komoditas beras akibat dampak La Nina hingga awal tahun 2017. Pertumbuhan juga diperkirakan turut ditunjang oleh produksi garam dan pengiriman ternak yang masih berlangsung. Sementara itu, produksi ikan tangkap diperkirakan masih cukup terbatas seiring siklus cuaca buruk pada awal tahun. Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib diperkirakan mengalami pertumbuhan cukup tinggi meskipun melambat. Perlambatan lebih terjadi karena siklus realisasi anggaran yang selalu meningkat tinggi pada akhir tahun. Sementara itu, pertumbuhan pada triwulan-I 2017 diperkirakan disumbang oleh belanja bantuan keuangan yang terutama dipergunakan bagi penyelenggaraan pilkada di 3 daerah. Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor diperkirakan mengalami pelambatan pada Triwulan-I 2017. Perlambatan juga disebabkan oleh siklus tingginya belanja masyarakat pada triwulan IV seiring perayaan natal dan tahun baru. Namun adanya pilkada diperkirakan dapat mendorong belanja masyarakat pada triwulan-I untuk tumbuh cukup tinggi. Sektor konstruksi diperkirakan melambat pada triwulan-I 2017. Proses pengerjaan proyek-proyek pemerintah yang masih dalam tahap lelang pada triwulan-I dan investor yang cenderung masih dalam tahap penyusunan rencana bisnis dan adanya pilkada diperkirakan menjadi beberapa faktor penyebab turunnya kegiatan konstruksi di triwulan-I 2017.
| Bab VII
Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
86
7.1.2
Pertumbuhan Ekonomi NTT Tahun 2017 Pertumbuhan ekonomi NTT sepanjang tahun 2017 diperkirakan berada pada
rentang 5,2-5,6% (yoy) yang terutama disebabkan oleh pertumbuhan di sektor konstruksi, administrasi pemerintahan serta perdagangan besar dan eceran. Sektor konstruksi kemungkinan masih didorong oleh tingginya investasi infrastruktur publik, seperti jalan dan sarana perhubungan (pembenahan dermaga dan bandara), selain itu beberapa infrastruktur sumber daya air seperti bendungan (Rotiklot dan Raknamo) telah memasuki fase konstruksi serta investasi swasta dan BUMN di bidang pariwisata melalui pembangunan hotel dan industri pengolahan seperti groundbreaking pabrik PT. Semen Kupang III. Tren investasi yang terus tumbuh di NTT diperkirakan masih menjadi pendorong pergerakan sektor konstruksi di NTT. Sementara dari sektor pertanian, pertumbuhan terutama didukung oleh dampak positif La Nina yang dapat meningkatkan kecukupan air untuk mendorong peningkatan produksi tanaman pangan serta adanya perbaikan embung dan saluran irigasi. Dari sektor perdagangan, pertumbuhan ditandai dengan adanya pilkada di awal tahun 2017, peningkatan pendapatan melalui kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 7,2% (yoy) serta pendapatan
dari
sektor
pertanian
dan
konstruksi.
Dari
sektor
administrasi
pemerintahan, pertumbuhan terutama terindikasi dari adanya rencana peningkatan dana desa hingga 100% dari alokasi 2016 sehingga setidaknya akan ada lebih dari 3 triliun dana yang mengalir ke pedesaan di NTT. Grafik 7.3. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi NTT Tahun 2017
Sumber : BPS dan Bank Indonesia (diolah)
| Bab VII
Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
87
7.2 Inflasi 7.2.1 Inflasi Triwulan-I Tahun 2017
Pertumbuhan inflasi pada triwulan-I 2017 diperkiran berada pada kisaran 3,5-3,9% (yoy) atau meningkat dibandingkan akhir tahun 2016. Peningkatan pada awal tahun diperkirakan didorong oleh kelompok volatile food seperti ikan segar seiring kondisi cuaca yang masih buruk, komoditas bumbu-bumbuan seperti cabai merah yang telah melewati masa panen, serta sayur-sayuran yang terdorong oleh penurunan produksi akibat dampak cuaca buruk. Sementara itu, penurunan kegiatan belanja masyarakat di awal tahun dan ketiadaan even berskala nasional diperkirakan turut menjaga tingkat inflasi kelompok administered prices dan core. 7.2.2 Inflasi Tahun 2017
Secara tahunan, pertumbuhan inflasi pada akhir tahun 2017 diperkirakan berada pada kisaran 4,4-4,8% (yoy). Peningkatan inflasi pada tahun 2017 secara umum diperkirakan berasal dari peningkatan harga bahan makanan yang cenderung rendah pada tahun 2016 serta potensi kenaikan harga komoditas administered prices seperti bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik. Selain itu, perbaikan ekonomi di Provinsi NTT tentunya akan menambah daya beli masyarakat sehingga turut berdampak pada kenaikan harga. Adanya tren peningkatan permintaan minyak yang diperkirakan akan menyamai produksi minyak dunia, serta potensi kenaikan nilai tukar dolar seiring trump effect juga dapat mendorong harga beli minyak impor meningkat, sehingga berdampak pada kenaikan harga minyak di dalam negeri. Selain itu terdapat pula rencana pengurangan subsidi untuk tarif listrik 900 VA di tahun 2017. Berdasarkan komoditas, inflasi bahan makanan diperkirakan meningkat seiring rendahnya harga beberapa komoditas seperti beras, bumbu-bumbuan dan sayur-sayuran di tahun 2016. Selain itu, potensi terjadinya penyakit unggas seiring dengan buruknya cuaca saat terjadi La Nina juga dapat mendorong kenaikan inflasi. Namun demikian, dengan adanya kecukupan pasokan air diperkirakan membuat produksi pertanian relatif terjaga di tahun 2017. Inflasi pada komoditas transportasi diperkirakan juga meningkat seiring dengan adanya potensi kenaikan harga minyak bersubsidi seiring dengan membaiknya ekonomi dunia. Adapun inflasi pada komoditas lainnya masih relatif terjaga.
| Bab VII
Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
88
Grafik 7.4. Prediksi Inflasi TW-I 2017 dan 2017
Sumber: BPS & BI (diolah)
| Bab VII
Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
89