Nur Efendi
86
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
PENGARUH PEMBELAJARAN RECIPROCAL TEACHING DIPADUKAN THINK PAIR SHARE TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN METAKOGNITIF BELAJAR BIOLOGI SISWA SMA BERKEMAMPUAN AKADEMIK BERBEDA DI KABUPATEN SIDOARJO Nur Efendi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Jl. Mojopahit 666B Sidoarjo Telp (031) 8945444 Kode Pos 61215, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT In the globalization era, the world is developed without the boundary, the development of the sciences and technologies have been needed by people in the nation, to increase the quality of education. In the biology (sciences) has been needed to adapt student-centered learning paradigm than the teacher-centered. The purposes of the study are to apply the Reciprocal Teaching (RT), Think Pair Share (TPS), Reciprocal Teaching Plus Think Pair Share (RT+TPS) learning strategic to increase the metacognitive ability in learning biology for the senior high school students in Sidoarjo with different academic capability. The study is a quasi experiment. The research design is pre-post test non-equivalent control group design with the 4x2 factorial pattern. The total sample is 240 students. Data are subjected to the ANACOVA statistic and followed by the LSD test with 0.05 significance degree. The result of inferential analysis indicates that the learning strategy and academic capability influenced the metacognitive ability students. The average score metacognitive ability remarks in the RT+TPS with remarks 77.73 and the higher 1.65% than TPS with remarks 76.44, but the really different and the higher 2.92% than RT with remarks 75.45, 4.33% than the Conventional with remarks 74.36. The average score met cognitive ability remarks Up students academic capability performs is 76.53 is the really different and the higher 1.39% than the Down student academic capability performs is 75.46. The average score RT+TPS strategy learning in the Up academic capability with the remarks 78.93 and the higher 1.42% than TPS-Up academic with remarks 77.82, but the really different and the higher 4.86% than RT-Up academic with remarks 75.10, 5,91% than the Conventional-Up academic with remarks 74.27. The average score metacognitive ability strategy learning RT+TPS-Up academic is really different and higher 3.05% than RT+TPSDown academic with remarks 76.53. The RT+TPS strategy learning application have the best result to increase the metacognitive ability in learning biology if it is compared with the RT, TPS, or Conventional strategy learning on the Up or Down students academic capability performs. This strategy can be used for the largest biology learning and as the alternative to manage the instruction learning in the class, the factor fundamental to make decision for the stake holders, and the first research for the references continuous research. 87
Nur Efendi Keywords: Reciprocal Teaching Plus Think Pair Share (RT+TPS), the metacognitive ability biology study students. (1) PENDAHULUAN
ciri: dunia tanpa batas, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kesadaran terhadap hak dan kewajiban asasi manusia, kerjasama dan kompetisi antar bangsa menuntut setiap manusia suatu
meningkatkan
bangsa kualitas
untuk pendidikan
(Tilaar, 2002). Biologi merupakan bagian dari sains yang memiliki dua dimensi yang bersifat mendasar, yakni dimensi proses dan produk. Biologi sebagai dimensi proses mengandung keterampilan, nilai, dan sikap yang harus dimiliki seseorang atau siswa untuk
mendapatkan
dan
mengembangkan pengetahuan biologi, dimensi proses ini sangat terkait dengan
kemampuan
metakognisi
siswa. Biologi sebagai dimensi produk merupakan wujud dari hasil belajar siswa, meliputi: sumber fakta, sumber teori, sumber prinsip, dan sumber konsep.
pembelajaran
masalah yang dihadapi dalam kehidupan
sehari-hari,
(2)
mengembangkan keterampilan proses
untuk
memperoleh
konsep-konsep
biologi
dan
menumbuhkan nilai dan sikap ilmiah, (3) menerapkan konsep dan
prinsip
biologi
untuk
menghasilkan
karya
yang
berkaitan dengan kebutuhan manusia (Depdiknas, 2004: 5). Adapun materi pembelajaran biologi kelas X semester II, yang terdiri dari pokok bahasan: 1) keanekaragaman hayati
(biodiversitas),
2)
dunia
tumbuhan (kingdom plantae), 3) dunia hewan
(kingdom
animalia),
4)
ekosistem, dan 5) pencemaran dan perubahan lingkungan, maka sangat diperlukan
adanya
pembelajaran
strategi
yang
dapat
mengembangkan dimensi proses dan produk
sesuai
dengan
apa
yang
ditetapkan pada kurikulum melalui
Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
daya
penalaran untuk memecahkan
Pada era globalisasi, dengan ciri-
pada
mengembangkan
(KTSP),
tujuan
biologi
Sekolah
keterlibatan siswa langsung dalam kegiatan
pembelajaran,
seperti:
melakukan observasi,
Menengah Atas (SMA) adalah: 88
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 20113
ISSN 2087-9016
mendemonstrasikan langkah-langkah,
peserta didik yang tinggi. Jumlah
berdiskusi
SMA Negeri dan Swasta di Sidoarjo
secara
mempresentasikan
kelompok, hasil
kerja
kelompok dan menghasilkan karya. Menurut
adalah 35 sekolah. Hasil survei awal bulan Juni-Agustus 2010 dan Mei-Juli 2011
menunjukkan
bahwa
Wilson
(2001),
paradigma
pendidikan
berbasis
pembelajaran yang dilakukan oleh
kompetensi
mencakup
kurikulum,
guru di kelas sebagian besar masih
pedagogi,
dan
penilaian
yang
berpusat pada guru (teacher-centered)
menekankan pada standar atau hasil.
63,64%,
Kurikulum berisi bahan ajar yang
yang berpusat pada siswa (student-
diberikan kepada peserta didik melalui
centered) 36,36%. Hasil survei terkait
proses
Proses
dengan Reciprocal
pembelajaran.
sedangkan
strategi
pembelajaran
pembelajaran
Teaching
menunjukkan
pembelajaran
dilaksanakan
dengan
menggunakan
pedagogi
yang
bahwa 17,65% guru mengenal strategi
metode
ini dan 82,35% belum mengenal,
mencakup
strategi
atau
mengajar. Tingkat keberhasilan belajar
sedangkan
yang dicapai siswa dapat dilihat pada
pembelajaran
hasil belajar, yang mencakup ujian,
36,37% guru mengenal dan 63,63 %
tugas-tugas, dan pengamatan sebagai
guru belum mengenal (Efendi, 2011).
dimensi produk. Dengan demikian,
untuk Think
strategi Pair
Share
Berdasarkan hasil survei ini
biologi
menunjukkan bahwa kualitas guru
tidak hanya ditentukan oleh siswa saja,
dalam mengelola pembelajaran masih
tetapi
dalam
rendah dan perlu ditingkatkan untuk
mengelola pembelajaran juga sangat
mencapai ketuntasan hasil belajar
menentukan. Oleh sebab itu, upaya
yang ditetapkan dan kompetensi yang
peningkatan mutu pembelajaran guru-
lainnya.
guru biologi SMA sangat diperlukan
memberikan informasi kepada siswa,
guna ketercapaian hasil belajar yang
tanpa melibatkan siswa dalam proses
ditetapkan.
untuk mendapatkan informasi tersebut.
keberhasilan
peran
pembelajaran
serta
guru
Guru
hanya
sekedar
Adapun
kriteria
daerah dengan penduduk yang padat,
belajar
yang
membutuhkan
kurikulum KTSP adalah individual
Kabupaten Sidoarjo merupakan
tingkat
kompetensi
ketuntasan ditetapkan
hasil pada
87
Nur Efendi 𝑃𝑃 ≥ 0,75 dan
klasikal 𝑃𝑃 ≥ 0,85 ,
pendidikan menuju abad ke-21 versi
artinya siswa yang memperoleh nilai
UNESCO, yaitu: 1) learning to think
75 dalam satu kelas sebanyak 85 %
(belajar berpikir), 2) learning to do
(Hutabarat,
(belajar berbuat/hidup), 3) learning to
2005;
Wulandari
dan
live together (belajar hidup bersama),
Muchlis, 2011). atas,
4) learning to be (belajar menjadi diri
dalam
sendiri) (Sidi, 2001). Untuk mencapai
kemampuan
ketuntasan pembelajaran biologi ini
metakognitif yang dimiliki oleh siswa
sikap kemandirian peserta didik sangat
masih
diperlukan. Cerminan peserta didik
Selain
keadaan
kemampuan
guru
memberdayakan
kurang,
di
hasil
survei
menunjukkan bahwa terdapat 11,37%
yang
guru yang pernah mengembangkan
learner, strategic learner, dan self-
keterampilan metakognisi, sedangkan
regulated learner.
yang
keterampilan belum
belum
menerapkan
metakognisi
memahami
karena
langkah-langkah
adalah
independent
Cerminan ketiga sikap peserta
88,63% belum pernah. Sebagian besar guru
mandiri
didik
mandiri
dikembangkan pengajaran
tersebut melalui
dua
arah
pendekatan (reciprocal
dalam memberdayakan keterampilan
teaching).
metakognisi dan belum menyadari
Brown (1984), pengajaran dua arah
bahwa
(reciprocal teaching) merupakan suatu
keterampilan
metakognisi
Menurut
dapat
Palinscar
pembelajaran
dan
dapat memengaruhi proses dan hasil
pendekatan
yang
belajar siswa.
melatihkan keterampilan metakognisi penerapan
melalui empat strategi, yaitu: 1)
pembelajaran yang mengacu pada
menyusun pertanyaan-pertanyaan dari
pendekatan
teks bacaan dan jawabannya, 2)
Perlu
adanya
konstruktivis
diperkenalkan
pada
guru,
untuk yang
membuat
rangkuman
(ringkasan)
proses
informasi-informasi penting dari teks
pembelajaran bagaimana untuk belajar
bacaan, 3) membuat prediksi, dan 4)
(learning how to learn), sehingga
mengidentifikasi hal-hal yang kurang
konsep
jelas
menekankan
menjadi
maupun
pada
prinsip
bermakna.
biologi
Pembelajaran
dan
memberikan
klarifikasi
(penjelasan).
seperti ini, sejalan dengan empat visi 88
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 20113
ISSN 2087-9016
menyatakan
menerapkan reciprocal teaching ini,
bahwa 1) keterampilan yang dilatihkan
telah berhasil meningkatkan prestasi
dan bentuk aktivitas yang dilakukan
belajar yang rendah (Palincsar dan
oleh siswa selama kegiatan belajar,
Brown, 1984; Palinscar dalam Slavin
dalam reciprocal teaching berdampak
1994). Kelemahan pada pengajaran
positif
dua arah (reciprocal teaching) ini
Ibrahim
(2008)
terhadap
komunikasi
kemampuan
siswa,
karena
selama
adalah
kejenuhan
siswa
yang
mengajukan
dihadapkan pada pemahaman text
pertanyaan, mengomentari jawaban
books saja (terutama pada siswa yang
teman yang lain, 2) menurut Keller
pasif)
(1987) yang dialihbahasakan oleh
mendapat bagian untuk menjadi “guru
Kardi (2002), pada teori motivasi
siswa”, padahal banyak siswa yang
ARCS
Relevance,
aktif ingin terlibat dalam dialog
Confidence, Satisfaction), siswa akan
terutama ingin menjadi ”guru siswa”
termotivasi jika apa yang dipelajarinya
(Khabibah, 1999; Efendi, 2005).
pembelajaran
siswa
(Attention,
dan
tidak
semua
siswa
menarik perhatiannya, relevan dengan
Mereduksi kelemahan yang ada,
kebutuhan siswa, apa yang mereka
pembelajaran reciprocal teaching ini
pelajari menyebabkan mereka puas,
dapat diciptakan suasana pembelajaran
dan
yang
menambah
percaya
dirinya.
lebih
menekankan
arti
reciprocal
kebersamaan, seperti think pair share.
teaching, siswa aktif mencari tahu
Sesuai dengan namanya think pair
informasi
share,
Dalam
pembelajaran
yang
menjawab
diperlukan
pertanyaannya
untuk sendiri
maka
sintaks
strategi
ini
adalah: 1) diawali dengan “thinking”
sehingga relevan dengan kebutuhan
dengan
mereka sendiri, 3) selama kegiatan
pertanyaan atau isu terkait dengan
belajar
membuat
pelajaran untuk dipikirkan oleh peserta
untuk
didik, 2) “pairing”, guru meminta
mengajar
rangkuman,
siswa
jadi
dilatih
cara
guru
mengajukan
menemukan ide pokok di dalam bahan
siswa
bacaan
berdiskusi, 3) “sharing”, hasil diskusi
dan
ini
merupakan
berpasang-pasangan
keterampilan penting untuk belajar.
antar-siswa
Semua uraian tersebut ternyata sejalan
dibicarakan dengan pasangan seluruh
dengan
kelas (Suprijono, 2009).
hasil
penelitian
yang
di
tiap-tiap
untuk
pasangan
89
Nur Efendi Perpaduan
kemampuan
akademik
terhadap
antara
strategi
reciprocal
teaching
kemampuan metakognitif biologi
dengan think pair share merupakan
siswa SMA di Kabupaten Sidoarjo?
pembelajaran
suatu alternatif strategi pembelajaran yang
dapat
menciptakan
dilakukan
untuk
pembelajaran
yang
METODE PENELITIAN Rancangan dan Prosedur Penelitian Penelitian
menyenangkan dan bermakna bagi
ini
merupakan
yang
penelitian eksperimen semu atau quasi
disampaikan oleh guru dapat menjadi
eksperimen yang dilakukan dengan
hasil pengetahuan
menggunakan
siswa,
sehingga
informasi
yang diperoleh
faktorial
(4x2) The Non-Equivalent Control-
siswa secara mendalam. Berdasarkan
rancangan
uraian
di
atas,
Group
Design
(Pretest-Posttest-
dilakukan penelitian dengan judul
Control Group Design) (Sugiyono,
”Pengaruh Pembelajaran Reciprocal
2006). Adapun variabel penelitian
Teaching Dipadukan Think Pair Share
iniadalah: 1) variabel bebas: strategi
terhadap
pembelajaranreciprocal teaching,think
Peningkatan
Kemampuan
Metakognitif Belajar Biologi Siswa
pair
SMA
Akademik
dipadukan think pair share, dan
Sidoarjo”,
konvensional (sebagai kontrol), 2)
Berkemampuan
Berbeda dengan
di
Kabupaten
rumusan
permasalahan
ada
variabel
reciprocal
moderator:
kemampuan
pengaruh
strategi
terikat: kemampuan metakognitifdan
pembelajaran terhadap peningkatan
hasil belajar biologi siswa.
kemampuan metakognitif belajar
Populasi dan Sampel
biologi siswa SMA di Kabupaten
Populasi
Sidoarjo?
Populasi yang digunakan pada
2. Apakah ada pengaruh kemampuan akademik
teaching
akademik atas dan bawah, 3) variabel
penelitian sebagai berikut. 1. Apakah
share,
terhadap
kemampuan
penelitian ini adalah Siswa SMA kelas X
semester
II
tahun
pelajaran
metakognitif belajar biologi siswa
2011/2012pada
SMA di Kabupaten Sidoarjo?
(SMAN 1 Tarik, SMAN 1 Krian,
3. Apakah ada pengaruh interaksi strategi
pembelajaran
dan
13
SMA
Negeri
SMAN 1 Wonoayu, SMAN 1 Taman, SMAN 1 Waru, SMAN 1 Gedangan, 90
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 20113
ISSN 2087-9016
SMAN 1 Sidoarjo, SMAN 2 Sidoarjo,
siswa,
SMAN 3 Sidoarjo, SMAN 4 Sidoarjo,
Konvensional= 30 siswa) dan 2) siswa
SMANOR
1
berkemampuan akademik bawah (AB)
Krembung, SMAN 1 Porong) di
dengan jumlah 120 siswa (strategi
Kabupaten Sidoarjo.
RT= 30 siswa, TPS= 30 siswa,
Sidoarjo,
SMAN
RT+TPS=
30
siswa,
RT+TPS= 30 siswa, Konvensional= 30 siswa).
Sampel Sampel
penelitian
adalah
sejumlah individu dari populasi yang
Waktu dan Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan
dijadikan sampel penelitian dengan
penelitian
pada
menggunakan teknik multiple stage
bulan Juli-Agustus 2010 dan Januari-
sampling yaitu pengambilan sampel
Mei 2012 semester genap tahun
secara bertahap, dengan rincian: a)
pelajaran 2011/2012 di SMA Negeri
penentuan
Kabupaten Sidoarjo.
sekolah
berkemampuan
akademik atas dan bawah dilakukan dengan teknik stratified sampling,
Instrumen Penelitian
dengan memperhatikan nilai hasil
Instrumen Tes
Ujian Nasional (UN) SMP tahun
Instrumen tes yang digunakan
pelajaran 2010/2011 yang digunakan
berupa essay test yang bertujuan untuk
sebagai
untuk
mengukur pemahaman konsep. Aspek
masuk ke SMA, b) penentuan kelas
kognitif yang diukur adalah dimensi
eksperimen dilakukan dengan teknik
proses dari ranah kognitif menurut
random sampling yaitu pengambilan
Anderson,
sampel secara acak, sebagai sampel
menjadi: mengingat (C1), memahami
siswa berkemampuan akademik atas
(C2), menerapkan (C3), menganalisis
(AA) dan berkemampuan akademik
(C4),
bawah
yang
mencipta (C6). Sebelum instrumen
ditentukan. Jumlah total sampel siswa
soal digunakan, maka terlebih dahulu
adalah 240 siswa, terdiri dari: 1)
dilakukan uji validasi, reliabilitas, uji
sampel untuk siswa berkemampuan
tingkat kesukaran soal, dan uji daya
akademik atas (AA) adalah 120 siswa
beda soal.
dasar
(AB)
penerimaan
pada
sekolah
dkk
(2001)
mengevaluasi
dibedakan
(C5),
dan
(strategi RT= 30 siswa, TPS= 30 91
Nur Efendi menggunakan
Rubrik Penskoran Rubrik hasil belajar siswa yang
Korelasi
Product
Moment Pearson (Sugiyono, 2007).
mengacu pada pemahaman konsep sebagai hasil belajar ranah kognif,
Uji Reliabilitas Instrumen Tes
diadaptasi dari Hart (1994) terdiri dari
Reliabilitas menunjukkan pada
skor penilaian dari interval 0-4, yang
tingkat keterandalan sesuatu yang
diperoleh
siswa
(ingatan),
C2
(penerapan),
tes:
C1
dapat dipercaya dan dapat diandalkan
(pemahaman),
C3
(Arikunto,
C5
reliabilitas instrumen dalam penelitian
melalui
C4
(analisis),
2006).
Untuk
menguji
ini digunakan rumus Alpha Cronbach
(evaluasi), dan C6 (mencipta).
(Sugiyono, 2007:184). Penghitungan dilakukan Uji Validasi, Reliabilitas, Tingkat Kesukaran
dan
Daya
dengan
program SPSS 16 for Windows.
Pembeda Uji Tingkat Kesukaran Soal
Instrumen Tes
Uji PengujianValiditas Instrumen Tes Uji validitas instrumen hasil belajar
menggunakan
kognitif
bertujuan
untuk
tingkat
kesukaran
ini
bertujuan untuk memperoleh soal yang baik, dimana soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau
mengetahui tingkat kesesuaian soal
tidak terlalu
agar dapat mengukur
apa yang
menunjukkan sukar dan mudahnya
validitas
suatu soal disebut indeks kesukaran
konstruksi,
dan dilambangkan dengan P (difficulty
seharusnya
diukur.
menyangkut
Uji
validitas
validitas isi, dan validitas kriteria
index).
dilakukan
kategori
oleh
para
ahli
(pembimbing). Uji lapangan yang
sukar. Bilangan yang
Adapun tingkat
pengklasifikasian kesukarannya
ditunjukkan pada Tabel 2.
merupakan validitas empirik sebagai uji validitas butir (Sugiyono, 2007). Validitas butir tes dihitung dengan koefisien korelasi skor setiap butir soal
dengan
skor
total
dengan
92
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
Tabel 2. Pengklasifikasian Kategori Tingkat Kesukaran Soal Nilai P P< 0,30 0,30 ≤ P ≤ 0,70 P> 0,70 (Sumber: Arikunto, 2006:210)
Kategori Sukar Sedang Mudah
tingkat kesukaran, hanya saja sebelum
Uji Daya Beda Uji
pembeda
soal
adalah
dilakukan penghitungan terlebih dahulu
suatu
soal
dalam
dilakukan
siswa
diperoleh dari yang tinggi sampai yang
berkemampuan tinggi dengan siswa
rendah. Rumus yang digunakan untuk
berkemampuan
mencari daya beda soal sebagai berikut.
kemampuan membedakan
antara
rendah.
Cara
yang
pengurutan
skor
yang
digunakan sama dengan menentukan
Uji daya beda = Pkemampuan tinggi – Pkemampuan rendah (3)
Adapun pengklasifikasian kategori daya beda ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Pengklasifikasian Kategori Daya Beda Nilai P 0,00-0,20 0,21-0,40 0,41-0,70 0,71-1,00 (Sumber: Arikunto, 2006: 218)
c. Observasi,
Pengumpulan Data Data dengan
penelitian
diperoleh
langkah-langkah
sebagai
berikut.
dilaksanakan
melalui
kerjasama
selama
pembelajaran
dengan
pengamatan kegiatan
lembar observasi.
a. Tes Awal (pre-test), dilakukan untuk mengetahui
hasil
sebelum
penerapan
belajar
Akhir
d. Angket, diberikan kepada guru dan
siswa
siswa untuk mengetahui respons
strategi
mereka terhadap penerapan strategi
pembelajaran. b. Tes
Kategori jelek (poor) cukup (satisfactory) baik (good) baik sekali (excellent)
pembelajaran. untuk
Analisis Data
siswa
setelah perlakuan dengan strategi
Data yang telah terkumpulkan 93 dianalisis dengan menggunakan
pembelajaran.
statistik sebagai berikut.
mengetahui
(post-test), hasil
belajar
93
Nur Efendi Hasil analisis kovarians pada
a. Analisis deskriptif, untuk melihat kemampuan
Tabel 4 menunjukkan bahwa F hitung
metakognitif dan hasil belajar siswa
variabel strategi pembelajaran adalah
sebelum dan sesudah pembelajaran.
sebesar 7,68 dengan tingkat signifikansi
deskripsi
persentase
0,00
yang
masih
lebih
kecil
dengan rancangan faktorial (4x2)
dibandingkan
alpha
0,05
yang
untuk menguji hipotesis penelitian
digunakan sebagai standar pengujian.
yang ditetapkan.
Dengan
b. Anacova (Analysis of Covarians)
demikian
H0
ditolak
dan
hipotesis penelitian yang menyatakan HASIL DAN PEMBAHASAN
bahwa
terdapat
Hasil
pembelajaran
pengaruh
terhadap
strategi
kemampuan
metakognitif
metakognitif siswa diterima, artinya
merupakan salah satu variabel hasil
penerapan strategi pembelajaran yang
belajar siswa yang dianalisis dalam
berbeda menyebabkan perolehan nilai
penelitian
kemampuan metakognitif yang berbeda
Kemampuan
ini.
metakognitif
Kemampuan
siswa
menggunakan
diukur
pula.
penilaian
Dengan adanya pengaruh yang
yang
signifikan ini, maka analisis dilanjutkan
dikembangkan oleh Corebima (2008).
dengan uji LSD untuk mengetahui
Rubrik
untuk
perbedaan rata-rata nilai kemampuan
menilai tes esai siswa yang dilakukan
metakognitif siswa pada setiap level
sebelum dan sesudah penerapan strategi
strategi pembelajaran. Hasil analisis
pembelajaran (pre-post test). Data yang
selengkapnya disajikan pada Tabel 5.
keterampilan
rubrik
dengan
metakognitif,
tersebut
digunakan
diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis kovarians.
Pengaruh
Strategi
Pembelajaran
terhadap Kemampuan Metakognitif Siswa Tabel 5. Ringkasan Hasil Uji LSD Strategi Pembelajaran terhadap Skor Nilai Kemampuan Metakognitif Siswa. Strategi Pembelajaran Konvensional
Pre-test 10,32
Post-test 73,93
PosCor 74,36
LSD a
94
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
Reciprocal Teaching (RT) 12,10 75,65 75,45 ab Think Pair Share (TPS) 11,76 76,85 76,44 bc RT+TPS 12,46 78,07 77,73 c Ket. Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan, sedangkan huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan.
Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa
1,29 % dari Reciprocal Teaching (RT),
rata-rata terkoreksi nilai kemampuan
tetapi berbeda nyata dan lebih tinggi
metakognitif siswa yang paling tinggi
2,72% dari konvensional. Sedangkan
pada kelompok strategi pembelajaran
rata-rata terkoreksi nilai kemampuan
Reciprocal Teaching dipadukan Think
metakognitif
Pair Share (RT+TPS) dengan nilai
Reciprocal
77,73, kemudian diikuti Think Pair
berbeda nyata dan lebih tinggi 1,45%
Share
dari konvensional.
(TPS)
dengan
nilai
76,44,
strategi Teaching
pembelajaran (RT)
tidak
Reciprocal Teaching (RT) dengan nilai 75,45, dan konvensional dengan nilai
Pengaruh
74,36.
terhadap Kemampuan Metakognitif
Berdasarkan
perbedaan
notasi,
dapat dijelaskan pula bahwa rata-rata terkoreksi
nilai
kemampuan
Kemampuan
Akademik
Siswa Hasil
analisis
kovarians
menunjukkan bahwa F hitung variabel
metakognitif siswa pada kelompok
kemampuan akademik
strategi
Reciprocal
dengan tingkat signifikansi 0,047 yang
Teaching dipadukan Think Pair Share
masih lebih kecil dibandingkan dengan
(RT+TPS) tidak berbeda nyata dan
alpha 0,05 sehingga H0 ditolak. Dengan
lebih tinggi 1,65% dari Think Pair
ditolaknya
Share (TPS), tetapi berbeda nyata dan
penelitian yang menyatakan bahwa
lebih tinggi 2,92% dari Reciprocal
terdapat
Teaching
akademik siswa terhadap kemampuan
pembelajaran
(RT),
4,33%
dari
Konvensional.
terkoreksi
maka
pengaruh
hipotesis
kemampuan
metakognitif siswa diterima, artinya
Selanjutnya, hasil uji LSD juga menunjukkan
H0,
adalah 3,98
bahwa nilai
rata-rata kemampuan
kemampuan
akademik
siswa
yang
berbeda menyebabkan perbedaan nilai kemampuan
metakognitif.
Hasil
metakognitif pada kelompok strategi
analisis selengkapnya disajikan pada
pembelajaran Think Pair Share (TPS)
Tabel 6. Berdasarkan perbedaan notasi
tidak berbeda nyata dan lebih tinggi
pada tabel tersebut, dapat dijelaskan 95
Nur Efendi bahwa
rata-rata
kemampuan
terkoreksi
metakognitif
nilai
76,53 berbeda nyata dan lebih tinggi
siswa
1,39% dari siswa akademik bawah
kelompok siswa akademik atas adalah
75,46.
Tabel 6. Ringkasan Hasil Uji LSD Kemampuan Akademik terhadap Skor Nilai Kemampuan Metakognitif Siswa. Kemampuan Akademik Pre-test Post-test PosCor LSD Akademik Bawah 10,77 75,32 75,46 a Akademik Atas 12,55 76,94 76,53 b Ket. Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan, sedangkan huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan.
Interaksi Strategi Pembelajaran dan
akademik siswa terhadap kemampuan
Kemampuan
metakognitif siswa diterima. Hasil uji
Akademik
terhadap
Kemampuan Metakognitif Siswa
LSD dari interaksi tersebut dapat
kovarians
disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan
menunjukkan bahwa F hitung variabel
perbedaan notasi pada tabel tersebut,
interaksi strategi pembelajaran dengan
dapat
kemampuan akademik siswa adalah
terkoreksi
3,17 dengan tingkat signifikansi 0,025
metakognitif siswa yang paling tinggi
yang masih lebih kecil dibandingkan
adalah kelompok strategi pembelajaran
dengan alpha 0,05 sehingga H0 ditolak.
RT+TPS akademik atas dengan nilai
Dengan ditolaknya H0, maka hipotesis
78,93 dan nilai terkoreksi terendah
penelitian yang menyatakan bahwa
strategi
terdapat pengaruh interaksi strategi
akademik atas dengan nilai 74,27.
Hasil
pembelajaran
analisis
dan
dijelaskan
bahwa
nilai
pembelajaran
rata-rata
kemampuan
Konvensional
kemampuan
Tabel 7. Ringkasan Hasil Uji LSD Interkasi Strategi dan Tingkat Kemampuan Akademik terhadap Skor Nilai Kemampuan Metakognitif. Strategi Pembelajaran Akademik Pre-test Post-test PosCor LSD Konvensional Atas 11,51 73,58 74,27 a Konvensional Bawah 9,13 74,28 74,46 a Think Pair Share (TPS) Bawah 10,39 74,84 75,07 ab Reciprocal Teaching (RT) Atas 12,73 75,55 75,10 ab Reciprocal Teaching (RT) Bawah 11,47 75,76 75,81 ab (RT+TPS) Bawah 12,09 76,38 76,53 bc Think Pair Share (TPS) Atas 13,13 78,86 77,82 cd (RT+TPS) Atas 12,84 79,77 78,93 d Ket. Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan, sedangkan
96
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan.
Berdasarkan notasi LSD pada Tabel
7
dapat
dijelaskan
sebagai
kelompok
strategi
pembelajaran
RT+TPS akademik atas berbeda nyata dan lebih tinggi 3,05% dari
berikut. a. Rata-rata
nilai
RT+TPS akademik bawah. Rata-
siswa
rata terkoreksi TPS akademik atas
pembelajaran
berbeda nyata dan lebih tinggi
terkoreksi
kemampuan
metakognitif
kelompok
strategi
RT+TPS
akademik
tidak
3,54% TPS akademik bawah. Rata-
berbeda nyata dan lebih tinggi
rata terkoreksi RT akademik atas
1,42% dari TPS akademik atas,
tidak berbeda nyata dan lebih
tetapi berbeda nyata dan lebih tinggi
rendah 0,94% dari RT akademik
dengan 4,86% dari RT akademik
bawah.
atas, dan 5,91% dari Konvensional
Konvensional akademik atas tidak
akademik atas. Selanjutnya, untuk
berbeda nyata dan lebih rendah
rata-rata terkoreksi TPS akademik
0,25% dari konvensional akademik
atas berbeda nyata dan lebih tinggi
bawah.
atas
Rata-rata
terkoreksi
3,50% dari RT akademik atas dan dan
4,56%
dari
konvensional
PEMBAHASAN
akademik atas, sedangkan rata-rata
Pengaruh
terkoreksi RT akademik atas tidak
terhadap Kemampuan Metakognitif
berbeda nyata dan lebih tinggi
Siswa
Strategi
Berdasarkan
1,10% dari konvensional atas.
Pembelajaran
uji
anakova
nilai
pengaruh
strategi
pembelajaran
kemampuan metakognitif RT+TPS
terhadap
kemampuan
metakognitif
akademik bawah
siswa,
b. Rata-rata
terkoreksi
tidak berbeda
maka
hasil
analisis
yang
nyata dengan RT akademik bawah
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
dan TPS akademik bawah, tetapi
strategi
berbeda nyata dan lebih tinggi
Teaching dipadukan Think Pair Share
2,71% dari konvensional akademik
(RT+TPS)
bawah.
metakognitif siswa diterima. Rata-rata
c. Rata-rata kemampuan
terkoreksi metakognitif
pembelajaran
terhadap
Reciprocal
kemampuan
nilai
skor nilai kemampuan metakognitif
siswa
siswa dengan strategi pembelajaran 97
Nur Efendi RT+TPS lebih tinggi dibandingkan
perdebatan
dengan
dibahas,
strategi
pembelajaran
tentang seperti:
materi
yang
keanekaragaman
konvensional. Hasil yang sama juga
tingkat gen, tingkat spesies, tingkat
terlihat
ekosistem,
dan
usaha
pelestarian
Think Pair Share (TPS) dan Reciprocal
keanekaragaman
hayati
Indonesia.
Teaching (RT), di mana rata-rata skor
Suasana ini jarang ditemukan pada
nilai kemampuan metakognitif siswa
strategi
untuk
pembelajaran
karena
dari
konvensional
guru
lebih
banyak
mendominasi
pembelajaran
dengan
pada
kedua
tersebut
lebih
strategi
strategi tinggi
pembelajaran
strategi
pembelajaran konvensional. Pada ketiga strategi pembelajaran
pembelajaran pada
konvensional,
strategi
menjelaskan
materi
kesempatan
pembelajaran
kepada
siswa,
siswa
untuk
tersebut (RT+TPS, RT, dan TPS), siswa
sehingga
menunjukkan partisipasi yang aktif
berpartisipasi dalam diskusi menjadi
dalam kegiatan pembelajaran. Mereka
kurang.
sangat antusias dalam mengerjakan
konvensional frekuensi siswa dalam
LKS yang disediakan sesuai dengan
mengajukan
tahapan pembelajaran yang digunakan.
menjawab pertanyaan masih rendah.
Pada
pembelajaran
pertanyaan
maupun
Siswa merasa mendapat kesempatan
Hasil penelitian ini sesuai dengan
untuk dapat menyampaikan pendapat,
pendapat Silver, dkk. (1996) yang
sesuai dengan apa yang ada dalam
menyatakan bahwa dengan strategi
pikirannya. Terutama pada strategi
interpersonalpada Reciprocal Teaching
pembelajaran
siswa
(RT), siswa memperoleh pengetahuan
mempunyai kesempatan diskusi secara
baru dan melatih keterampilan penting
intensif pada kelompok berpasangannya
melalui
dan antar-kelompok berpasangan dalam
individu
kelas. Dengan demikian, siswa dapat
kelompok terfokus, sehingga dapat
menjadi pebelajar bagi dirinya sendiri
menambah wawasandan pengetahuan
maupun
Suasana
sebelumnya. Pendapat yang lain juga
pembelajaran ini terlihat pada materi
disampaikan oleh Costa dan O’Leary
pelajaran
dalam
RT+TPS,
teman-temannya.
keanekaragaman
hayati
berbagi dan
pribadi, sosial,
Warouw
(biodiversitas) maupun materi lainnya.
menjelaskan
Siswa terlihat sangat serius dalam
meningkatkan
bahwa
kesadaran
pembelajaran
(2009)
yang
siswa
dapat
kemampuan 98
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 20113 metakognitif
lebih
baik
Berdasarkan
jika
kelompok-
pengaruh
kelompok belajar kooperatif. Hasil
terhadap
penelitian
siswa,
berpartisispasi
dalam
yang
ISSN 2087-9016 uji
anakova
kemampuan
akademik
kemampuan maka
metakognitif
hasil
analisis
yang
juga
berhubungan
keterampilan
metakognisi
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
seperti hasil penelitian Susantini (2004)
kemampuan akademik siswa terhadap
menyatakan dalam penelitiannya bahwa
kemampuan
melalui
diterima.
dengan
metakognisi
menjadi
siswa mampu
pebelajar
mandiri,
metakognitif Rata-rata
kemampuan
siswa
skor
nilai
metakognitif
siswa
jujur,
berani
kelompok
siswa
berkemampuan
dan
dapat
akademik
atas
lebih
belajar
secara
dibandingkan dengan siswa akademik
nyata. Demikian pula hasil penelitian
bawah. Pada kegiatan pembelajaran
Suratno (2009), menunjukkan bahwa
juga
keterampilan metakognisi bermanfaat
kelompok akademik atas lebih aktif dan
bagi
mengalami
bertanggungjawab pada tugas yang
model
harus diselesaikan pada LKS sesuai
pembelajaran kooperatif (Jigsaw-RT).
dengan tahapan pembelajaran yang
Pendapat
untuk
digunakan, berpartisipasi secara aktif
penelitian
dalam diskusi, sedangkan siswa pada
tersebut juga disampaikan Sarwinda
kelompok akademik bawah cenderung
(2011) yang menyatakan bahwa strategi
pasif, sering bercanda, dan kurang
pembelajaran
bersemangat
menumbuhkan mengakui
sikap
kesalahan,
meningkatkan
hasil
siswa
yang
pembelajaran
melalui
yang
mempertegas
sama,
berbagai
Reciprocal
Teaching
terlihat
bahwa
tinggi
siswa
pada
pada
kegiatan
Dipadukan Think Pair Share(RT+TPS)
pembelajaran, terutama pada materi
memberikan peluang kepada siswa
yang membutuhkan tingkat pemikiran
untuk dapat meningkatkan kemampuan
yang tinggi. Temuan penelitian ini sejalan
berpikir kreatif.
dengan
Tumbel
(2011)
yang
Akademik
menjelaskan bahwa faktor intelegensi
terhadap Kemampuan Metakognitif
merupakan salah satu faktor yang
Siswa
efektif
Pengaruh
Kemampuan
dalam
mempengaruh
keberhasilan pembelajaran. Siswa yang 99
Nur Efendi ini
senada
dengan
kegiatan belajar, karena lebih mudah
Yuwono
(2012)
yang
menyatakan
menangkap dan memahami pelajaran
bahwa
mana
kebolehan
serta lebih mudah dalam mengingatnya.
metakognitif
Dijelaskan pula lebih lanjut bahwa
pencapaian,
siswa yang cerdas akan lebih mudah
tergantung pada pola motivasi siswa.
cerdas
akan
berpikir
lebih
kreatif
berhasil
dan
dalam
lebih
Hal
sejauh
pendapat
mempengaruhi sebenarnya
sangat
cepat
mengambil keputusan, berbeda dengan
Interaksi Strategi Pembelajaran dan
siswa yang kurang cerdas atau lamban
Kemampuan
cenderung
Kemampuan Metakognitif Siswa
memiliki
kemampuan
berpikir kreatif yang rendah (Sarwinda,
Akademik
Berdasarkan
terhadap
uji
anakova
pengaruh strategi pembelajaran dan
2011). Rujukan
tersebut
memberikan
kemampuan
akademik
terhadap
gambaran bahwa siswa berkemampuan
kemampuan metakognitif siswa, maka
akademik tinggi memiliki kesadaran
hasil analisis yang menunjukkan bahwa
metakognitif yang lebih baik, sehingga
terdapat pengaruh interaksi strategi
dapat menggunakan untuk mengontrol
pembelajaran
proses-proses kognitif dan memiliki
akademik siswa terhadap kemampuan
kesadaran dalam memotivasi kegiatan
metakognitif siswa diterima. Rata-rata
belajar yang dilakukan. Hal ini sejalan
skor nilai kemampuan metakognitif
dengan Peters (2000) yang menyatakan
siswa kelompok strategi pembelajaran
bahwa
RT+TPS berkemampuan akademik atas
keterampilan
metakognitif
dan
bermanfaat untuk menjadikan siswa
berbeda
menjadi
karena
dibandingkan
mendorong mereka menjadi dirinya
Konvensional
sendiri
atas
akademik atas, tetapi tidak berbeda
pemikiran dan pembelajaran sendiri.
nyata dan lebih tinggi dari TPS
Metakognitif bermanfaat
akademik
pebelajar
mandiri,
serta menjadi
pencapaian merupakan memahami
akademik salah
satu
perbedaan
penilai
untuk siswa
dan
nyata
kemampuan
kemampuan
dan
lebih
dengan
RT
tinggi dan
berkemampuan
atas.
Tingginya
nilai
metakognitif
ini
untuk
merupakan implikasi dari penerapan
pencapaian
sintaks (tahapan) strategi pembelajaran
cara
akademik dari siswa (Tumbel, 2011).
RT+TPS.
Strategi
pembelajaran 100
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 20113
ISSN 2087-9016
hasil
(Kingdom Plantae), siswa kelihatan
pengembangan perangkat pembelajaran
serius mengerjakan LKS sendiri dengan
yang memadukan strategi pembelajaran
membaca
Reciprocal
(RT)dengan
pertanyaan dan identifikasi kata-kata
Think Pair Share (TPS). Jika dilihat
sulit, menjawab dan mengklarifikasi
berdasarkan sintaks pada RT+TPS,
kata-kata sulit (RT-Think). Guru aktif
memperlihatkan ciri RT yaitu membaca
mendatangi
dan
bacaan,
berpasangan yang satu ke kelompok
dan
berpasangan lainnya untuk memantau
RT+TPS
merupakan
Teaching
mencari
ide
membuat
pokok
pertanyaan
mengidentifikasi menjawab
kata-kata pertanyaan
sulit, dan
teks
bacaan,
siswa
membuat
dari
kelompok
kegiatan
pembelajaran,
sedangkan
siswa
melaksanakan
kegiatan
sulit,
pembelajaran dengan baik, membaca
membuat rangkuman, dan memprediksi
dan memahami teks bacaan yang
dalam
pasangan.
dibagikan dan mengerjakan LKS sesuai
Penambahan unsur TPS adalah saling
dengan tahapan strategi pembelajaran
berdiskusi untuk menyamakan persepsi
secara
dalam perumusan ide pokok bacaan,
berpasangannya (RT-Pair). Pada tahap
pertanyaan dan jawaban, identifikasi
RT-Share, kegiatan berlanjut dengan
dan
guru memberikan sedikit ulasan tentang
mengklarifikasi
kata-kata
kelompok
klarifikasi
kata-kata
sulit,
seksama
kelompok
dilanjutkan merangkum, dan prediksi
materi
(RT-Think,
untuk
kelompok berpasangan siswa untuk
dipresentasikan secara berbagi (RT-
aktif berdiskusi dalam kelas dengan
Share) dengan kelompok berpasangan
menggunakan
lainnya
Kegiatan
terlihat aktif dalam diskusi tersebut.
pembelajaran ini memperlihatkan pola
Keadaan ini sejalan dengan pemikiran
pembelajaran
Nur (1997) yang menyatakan bahwa
RT-Pair)
dalam
yang
kelas.
memberdayakan
untuk
dengan
menstimuli
peta
seluruh
konsep,
siswa
apabila seorang siswa berorientasi pada
kemampuan metakognitif. Wujud dari keberhasilan strategi
visual, maka membuat suatu peta
pembelajaran RT+TPS juga terlihat
konsep merupakan cara baik baginya
dalam setiap kegiatan pembelajaran
untuk
yang telah disampaikan, contoh: pada
sejumlah besar informasi baru.
materi
pelajaran
dunia
memahami
dan
mengikat
tumbuhan 101
Nur Efendi Hasil dari pembahasan diskusi
metakognisi
ialah
berpikir
tentang
siswa
mampu
pemikiran, mengetahui “apa yang kita
bahwa
dunia
ketahui” dan “apa yang tidak kita
Plantae)
ketahui”. Selanjutnya Pierce (2004)
dibedakan menjadi: kelompok lumut
mengemukakan metakognitif sebagai
(Bryophyta), paku (Pterydophyta), dan
suatu apresiasi dari apa yang telah kita
tumbuhan berbiji (Spermatophyta), b)
ketahui, bersama-sama dengan suatu
siswa
pengertian
dari
tumbuhan tersebut, c) siswa dapat
pembelajaran
dan
apa
menjelaskan
kelompok
pengetahuan
dan
keterampilan-
kehidupan
keterampilan
tersebut,
yaitu:
a)
mengklasifikasikan tumbuhan
(Kingdom
dapat
tumbuhan
memahami
ciri-ciri
peranan tersebut
bagi
itu
tugas-tugas yang
diperlukan,
yang
manusia. Kegiatan yang sama, juga
dikombinasikan dengan ketangkasan
terjadi pada materi pelajaran untuk
untuk membuat kesimpulan yang benar,
keanekaragaman hayati (Biodiversitas),
tentang bagaimana cara menerapkan
dunia
pengetahuannya yang strategis pada
hewan
ekosistem,
(Kingdom
serta
perubahan
Animalia),
pencemaran
lingkungan.
pembelajaran pandangan
ini,
Kegiatan
sejalan
Suharlik
(2011)
menyatakan
bahwa
pembelajaran
Reciprocal
dan
situasi terentu. Pada sintaks
RT-Pair dan RT-
dengan
Share dapat meningkatkan kemampuan
yang
siswa untuk menggali, menyaring, dan
strategi Teaching
menanyakan diskusi
ide-ide
dan
baru.
Tingkat
perdebatan
dalam
dipadukan Think Pair Share (RT+TPS)
kelompok
dapat diterapkan dalam pembelajaran
kelompok lainnya dalam kelas dapat
biologi pada materi keanekaragaman
meningkatkan
mahluk hidup.
metakognitif siswa, berkomunikasi, dan
Pada
sintaks
RT-Think
dapat
pemikiran
memotivasi
menyatakan
bagaimana
cara
dalam untuk
berpikir memahami
bahwa
(2008)
yang
metakognitif
memiliki dua komponen, yaitu: a) pengetahuan
sesuai dengan pandangan Blakey, dkk.
(metacognitive
(1990),
keterampilan
mengemukakan
kemampuan
Mulbar
pengetahuan yang akan dicapai. Hal ini
yang
maupun
interaksi sosial. Hal ini sejalan dengan
meningkatkan kesadaran siswa untuk diri
berpasangan
metakognitif knowledge)
dan
b)
metakognitif 102
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 20113 (metacognitive
skills).
metakognitif
Pengetahuan
berkaitan
dengan
ISSN 2087-9016
ada pada ketiga strategi pembelajaran (RT+TPS,
TPS,
RT),
maka
pengetahuan deklaratif, pengetahuan
kemamampuan metakognitif siswa akan
prosedural
semakin rendah. Flavel (1997) dalam
dan
pengetahuan
kondisional, sedangkan keterampilan
Veenman
(2006)
mengemukakan
kognitif berkaitan dengan keterampilan
bahwa metakognitif memainkan peran
perencanaan, prediksi, monitoring, dan
dalam
evaluasi.
Selanjutnya
proses
pembelajaran.
Sumampouw
(2011),
nilai
Yuwono (2012), mengemukakan pula
RT+TPS
bahwa terdapat hubungan positif antara
akademik bawah tidak berbeda nyata
metakognitif dan pencapaian akademik.
Rata-rata kemampuan
terkoreksi metakognitif
Pada
dengan RT akademik bawah dan TPS
rata-rata
skor
nilai
akademik bawah, tetapi berbeda nyata
kemampuan metakognitif siswa pada
dan
kelompok
lebih
tinggi
2,71%
dari
strategi pembelajaran RT
bawah.
berkemampuan akademik atas tidak
Keadaan ini menunjukkan pada siswa
berbeda nyata dan lebih rendah 0,94%
berkemampuan
bawah
dari RT akademik bawah, menunjukkan
metakognitif
bahwa peranan guru dalam mengelola
konvensional
memiliki
akademik
akademik
kemampuan
yang rata-rata rendah sehingga tingkat
pembelajaran
perbedaan mereka tentang berpikir
sehingga
terhadap apa yang mereka pikirkan
memahami,
masih
menerapkan
belum
kelihatan,
namun
sangat
kemampuan
pembelajaran
strategi
konvensional.
keberhasilan
Pada pembelajaran ini
rata-rata skor
Keadaan
guru
dalam
menginovasi,
dan
sintaks
perbedaan ini lebih nyata terjadi pada pembelajaran
diperlukan,
strategi
menjadi
kunci
pembelajaran
ini
tersebut.
menunjukkan
bahwa
nilai kemampuan metakognitif siswa
meskipun strategi pembelajaran sama
ada pada tingkat yang paling rendah
dengan
yaitu
dengan
mengelola pembelajaran tidak sama,
tersebut.
maka hasil kemampuan metakognitif
ketiga
74,46,
dibandingkan
kelompok
strategi
kemampuan
juga
tidak
guru
sama.
dalam
Artinya, semakin siswa tidak distimulus
siswa
dengan pola pikir yang menggunakan
Achmadi dalam Khabibah (1999: 27),
keterampilan metakognitif mereka yang
kelemahan
pembelajaran
Menurut
Reciprocal 103
Nur Efendi Teaching adalah:a) butuh waktu yang
berbeda nyata dan lebih tinggi
lama, b) sangat sulit diterapkan jika
dari siswa akademik bawah.
materi
c. Rata-rata skor nilai kemampuan
prasyarat kurang, c) adakalanya siswa
metakognitif siswa kelompok
tidak mampu akan semakin tidak suka
strategi pembelajaran RT+TPS
dengan pembelajaran tersebut, d) tidak
akademik atas berbeda nyata
mungkin seluruh siswa akan mendapat
dan lebih tinggi RT akademik
giliran untuk menjadi ”guru siswa”.
atas dan konvensional akademik
pengetahuan
siswa
tentang
atas, tetapi tidak berbeda nyata PENUTUP
dan
Simpulan
akademik terkoreksi
Berdasarkan analisis data dan pembahasan
maka
dapat
lebih
tinggi
dari
atas. nilai
TPS
Rata-rata kemampuan
metakognitif siswa kelompok
diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut.
strategi pembelajaran RT+TPS
1. Terdapat
strategi
akademik atas berbeda nyata
dan
kemampuan
dan lebih tinggi dari RT+TPS
terhadap
kemampuan
akademik bawah.
pengaruh
pembelajaran akademik
2. Penerapan
metakognitif siswa. a. Rata-rata skor nilai kemampuan
strategi
pembelajaran
RT+TPS memiliki hasil yang lebih
metakognitif siswa pada strategi
baik
pembelajaran
kemampuan metakognitif dan hasil
Reciprocal
dalam
meningkatkan
Teaching dipadukan Think Pair
belajar
Share (RT+TPS) berbeda nyata
dibandingkan dengan strategi RT,
dan lebih tinggi dari Reciprocal
TPS, maupun Konvensional pada
Teaching
siswa berkemampuan akademik atas
konvensional,
(RT) tetapi
dan tidak
berbeda nyata dan lebih tinggi
maupun
biologi
siswa
siswa,
jika
berkemampuan
akademik bawah.
dari Think Pair Share (TPS). b. Rata-rata skor nilai kemampuan metakognitif
Saran Berdasarkan
siswa
berkemampuan akademik atas
telah
dijelaskan,
kesimpulan
yang
maka
dapat
104
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 20113 dikemukakan
beberapa
saran
atau
ISSN 2087-9016
dalam pendidikan, di mana dengan
rekomendasi penelitian sebagai berikut.
program
1. Bagi
pembelajaran dapat lebih maksimal
guru
biologi,
strategi
ini
diharapkan
pembelajaran Reciprocal Teaching
dan
Dipadukan
metakognitif belajar biologi siswa.
Think
Pair
Share
(RT+TPS) terbukti memiliki hasil yang
lebih
kemampuan
3. Bagi peneliti lanjutan maupun guru,
dalam
temuan penelitian ini dapat menjadi
kemampuan
penelitian awal bagi peneliti yang
baik
meningkatkan
meningkatkan
metakognitif belajar biologi siswa,
ingin
jika dibandingkan dengan strategi
pembelajaran
pembelajaran
TeachingDipadukan
Konvensional,
mengkaji
strategi Reciprocal Pair
dengan
pola
sehingga dapat digunakan secara
Share
luas dalam pembelajaran biologi
pemberdayaan
dan salah satu alternatif pilihan
metakognitif
pada
dalam mengelola pembelajaran di
dipadukan
dengan
dalam kelas.
pembelajaran lain untuk mereduksi
2. Bagi pengambil kebijakan (stake holder),
pada
penelitian
dihasilkannya
ini
perangkat
pembelajaran Reciprocal Teaching Dipadukan
Think
Pair
(RT+TPS),
Reciprocal
Teaching(RT), Share
dan
(TPS)
pertimbangan
Share
Think
dapat
Pair
dijadikan
dalam
mengambil
keputusan
untuk
kepentingan
pendidikan,
seperti:
peningkatan
kualitas tenaga pendidik ini dengan cara seminar maupun pelatihan (workshop)
penerapan
strategi-
strategi pembelajaran inovatif serta perubahan-perubahan
paradigma
(RT+TPS)
Think
kejenuhan
kemampuan
yang
siswa
dialami
atau
strategi
siswa
selama pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA Anderson, L.W., Krathwohl, D.R., Airasian, P.W., Cruikshank, K.A., Mayer, R.E., Pintrich, P.R., James R. & Wittrock, M.C. (Eds.). (2001). A taxonomy for learning, teaching, and assessing: a revision of bloom’s taxonomy of education objectives. New York: Addison Wesley Longman, Inc. Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Blakey, Elaine, S. & Sheila. (1990). Developing metacognition. Erick Digest. EIC Clearinghouse of Information 105
Nur Efendi Resources Syracuse NY:ED 327218. (http://amazon.com/xc/obidos/re direct.tag) diakses 8 Januari 2010.
Galyam, N. & Le Grange, L. (2005). Improving thinking skills in science of learners with (dis) abilities. South African Journal Education. Vol 25 (4) 239-246.
Corebima. A.D. (2000). Pemberdayaan penalaran siswa untuk menyiapkan generasi berkualitas. Makalah Seminar disampaikan di SLTPN 2 Malang.
Hart, D. (1994). Authentic assessment a hand book for educators. California, New York: AddisonWesley Publishing Company.
Corebima, A.D. (2008). Pemahaman tentang asesmen autentik. Makalah disajikan dalam Rangka Diklat Sertifikasi Guru. Malang: Universitas Negeri Malang.
Hutabarat, D. (2005). Pengembangan perangkat pembelajaran biologi sma, yang berorientasi pendekatan reciprocal teaching dalam bahan kajian sistem reproduksi. Tesis tidak diterbitkan. Surabaya: Pascasarjana UNESA.
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. (2004). Kurikulum pendidikan menengah. garis-garis besar program pengajaran (GBPP) sekolah lanjutan tingkat atas. Jakarta: DEPDIKNAS.
Ibrahim, M. (2008). Pembelajaran sains: reciprocal teaching (pembelajaran resiprok). (sainsmuslimin.blogspot.com/… ./pembelajaran-sains.htmlcached-similar) diakses 22 Oktober 2010.
Efendi,
Kardi, S. (2002). Strategi motivasi model ARCS. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
N. (2005). Penerapan pengajaran terbalik (reciprocal teaching) untuk menuntaskan hasil belajar siswa sltp pada pokok bahasan perkembangbiakan tumbuhan. Tesis tidak diterbitkan. Surabaya: Pascasarjana UNESA.
Efendi, N. (2011). Deskripsi umum profil guru dan karakteristik pembelajaran biologi dalam meningkatkan hasil belajar siswa di SMA Kabupaten Sidoarjo. Makalah Seminar Nasional disampaikan di FMIPA UNESA pada Tanggal 10 Desember 2011. Surabaya: Unesa University Press.
Khabibah, S. (1999). Pengembangan perangkat pembelajaran bedasarkan prinsip pengajaran terbalik pada pokok bahasan persamaan linear di SMU. Tesis tidak diterbitkan. Surabaya: Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Mulbar, U. (2008). Metakognisi mahasiswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Usmanmulbar. Files. Wordpress.com/2008/04/makala
106
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 20113 h-seminar-nasional di bandungusman- mulbar.doc. Nindiasari, H. (2004). Pembelajaran metakognitif untuk meningkatkan pemahaman dan koneksi matematik siswa smu ditinjau dari perkembangan kognitif siswa. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana UM. Nur,
M. (1997). Keterampilanketerampilan metakognitif. Makalah disampaikan bulan Desember 1997 pada Workshop Penelitian Elqa IKIP Surabaya.
Palincsar, A. & Brown, A. (1984). Reciprocal teaching of comprehension-fostering and comprehension-monitoring activities. cognition and instruction, 2, 117-175. Pierce,
W. (2004). Metacognition: study strategies, monitoring, and motivation. a greatly expanded text version of workshop presented November 17, 2004, at Prince George’s Community College. (http:// academic.pgcc.edu/wpierce/MCCCCTR/metacognit ion.htm) diakses 15 Nopember 2009.
ISSN 2087-9016
Berbeda terhadap Hasil Belajar Kognitif dan Keterampilan Berpikir Kreatif pada Siswa SMA Negeri 1 Batu dan SMA Negeri 1 Grati. Tesis tidak dipublikasikan. Malang: Universitas Negeri Malang. Sidi, I. J. (2001). Menuju masyarakat belajar: menggagas paradigma baru pendidikan. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Silver, H.F., Hanson, J.R., Strong, R.W. & Schwartz, P.B. (1996). Teaching styles & strategies. Trenton, NJ: The Thoughtful Education Press. Slavin,
R.E. (1994). Educational psychology: theories and practice. Fourth Edition. Massachussetts: Allyn and Bacon Publishers.
Sugiyono. (2006). Statistika untuk penelitian. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. (2007). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R & D, Bandung, Alfabeta.
Peters, M. (2000). Does constructivist epistemology have a place in nurse education. Journal of nursing education 39, no. 4: 166-170.
Suharlik. (2011). Pengaruh Strategi Pembelajaran Integrasi ThinkPair-Share dan Reciprocal Teaching terhadap Hasil Belajar Kognitif dan Retensi Biologi Siswa Berkemampuan Akademik Berbeda di SMAN 1 Batu. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Sarwinda, W. (2011). Pengaruh Strategi Pembelajaran Think Pair Share Dipadukan Reciprocal Teaching dan Kemampuan Akademik yang
Sumampouw, M.H. (2011). Kajian perkuliahan dan asesmen genetika dalam memberdayakan keterampilan metakognitif, berpikir tingkat tinggi, 107
Nur Efendi keterampilan proses, dan retensi mahasiswa jurusan biologi S1 dan S2 Universitas Negeri Malang. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Suprijono, A. (2009). Cooperative learning: teori & aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suratno. (2009). Pengaruh strategi kooperatif jigsaw dan reciprocal teaching terhadap keterampilan metakognisi dan hasil belajar biologi siswa SMA berkemampuan atas dan bawah di Jember. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Susantini, E. (2004). Memperbaiki kualitas proses belajar genetika melalui strategi metakognitif dalam pembelajaran kooperatif pada siswa SMU. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Tilaar, H.A.R. (2002). Membenahi pendidikan nasional. Jakarta: Rineka Cipta. Tuckman, B.W. (1988). Conducting educational reseach. Second Edition. Boston: Allyn and Bacon A Viacom Company. Tumbel, M.F. (2011). Pengaruh strategi pembelajaran cooperatif script plus problem possing terhadap keterampilan metakognitif, kemampuan berpikir dan pemahaman konsep pada siswa berkemampuan akademik tinggi dan rendah pada SMA di Kota Bitung.
Disertasi Malang: Malang.
tidak diterbitkan. Universitas Negeri
Veenman, M. V. J. (2006). Metacognition and learning: conceptual and methodological considerations. Received: December 08, 2005. Bussiness Media, Inc. 2006. (www:// springerlink.com) diakses 2 Oktober 2009. Warouw, Z. (2009). Pengaruh pembelajaran metakognitif dengan strategi cooperative script, dan reciprocal teaching pada kemampuan akademik berbeda terhadap kemampuan dan keterampilan metakognitif, berpikir kritis, hasil belajar biologi siswa, serta retensinya di smp negeri manado. Disertasi tidak dipuplikasikan. Malang: PPs UM. Wilson, C. (2001). Strategic and methods instruction. Needham Heights: Allyn and Bacon Publishers. Wulandari, K. & Muchlis. (2011). Meningkatkan hasil belajar siswa melalui pembelajaran aktif strategi group exchange pada IPA terpadu tema mata di kelas VIII SMP laboratorium Unesa. Makalah Seminar Nasional disampaikan di FMIPA UNESA pada Tanggal 10 Desember 2011. Surabaya: Unesa University Press. Yuwono, M.S.C. (2012). Pengembangan model pembelajaran kooperatif jigsaw modifikasi dari aronson dan slavin serta pengaruhnya 108
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 20113 terhadap keterampilan metakognisi dan hasil belajar biologi siswa berkemampuan akademik berbeda di SMA Kota
ISSN 2087-9016
DENPASAR. Disertasi, tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana UM.
109
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013 9016
ISSN 2087-
PENERAPAN PENDEKATAN PRAGMATIK (PRINSIP-PRINSIP PENGGUNAAN BAHASA) DISERTAI TEKNIK KOREKSI SESAMA TEMANDAN KOREKSI OLEH GURU UNTUK
110
I Putu Mas Dewantara
MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENCERITAKAN PENGALAMAN PADA SISWA KELAS VIIE SMP NEGERI 5 NEGARA I Putu Mas Dewantara Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
ABSTRACT This research was intended to (1) describe the development of telling experience skill of the students of class VII E SMP Negeri 5 Negara through the implementation of pragmatic approach (principles of language use) accompanied by pair correction technique and correction by Teacher, (2) describe the steps of learning and teaching activities in the implementation of pragmatic approach (principles of language use) accompanied by pair correction technique and correction by Teacher to develop the skill of telling experiences by the students of VII E SMP Negeri 5 Negara, and (3) describe students’ response about the implementation of pragmatic approach (principles of language use) accompanied by pair correction technique and correction by teacher. The subjects of this research were students and teacher of bahasa Indonesia in SMP Negeri 5 Negara. This research used the two-cycle classroom action research. The data about the skill of telling experiences was gathered through test method analyzed by qualitative description method. The data about students’ response was gathered through questionnaire method analyzed by qualitative description and quantitative description. The result of the research showed that the implementation of pragmatic approach (principles of language use) accompanied by pair correction technique and correction by teacher can (1) develop the skill of telling experience by students, (2) be done through 19 appropriate learning steps, and (3) develop students’ positive response in telling experience. Bahasa Indonesia’s teachers is hoped to implement the pragmatic approach (principles of language use) accompanied by pair correction technique and correction by teacher to develop the skill of telling students’ experiences that make the teaching-learning activity can run conducive, creative, and innovative. Key words: pragmatic approach, correction technique, the skill of telling experiences
111
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
PENDAHULUAN Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus ditunjang oleh kemampuan pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu terapan dan ilmu pengetahuan dasar secara seimbang. Salah satu usaha untuk meningkatkan penguasaan pengetahuan dasar adalah dengan meningkatkan keterampilan berbahasa. Dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan 110 Dasar dan Menengah, khususnya tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs secara eksplisit dinyatakan bahwa bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik, serta merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut. Selain itu,
pembelajaran bahasa juga diharapkan membantu peserta
didik menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya. Standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia berorientasi pada hakikat pembelajaran bahasa bahwa belajar bahasa adalah belajar berkomunukasi dan belajar sastra adalah belajar menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya (Muslim, 2007). Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakupi komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra. Kemampuan berbahasa meliputi aspek-aspek: (1) mendengarkan, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat ditegaskan bahwa keterampilan berbicara merupakan salah satu aspek kemampuan berbahasa yang wajib dikembangkan di SMP. Berbicara adalah aktivitas bahasa kedua yang dilakukan manusia dalam kehidupan berbahasa, yaitu setelah aktivitas mendengarkan (Nurgiyantoro, 2001:276). Mempunyai keterampilan berbicara tidaklah semudah yang dibayangkan. Arsjad dan Mukti U.S. (1993:1) berpendapat bahwa kadang-kadang pokok pembicaraan yang disampaikan oleh seseorang cukup menarik, tetapi karena penyajiannya kurang menarik, hasilnyapun kurang memuaskan. Oleh kerena itulah, keterampilan berbicara perlu terus dilatihkan. Walaupun keterampilan 122
I Ketut Trika Adi Ana
berbicara sudah diajarkan sejak dulu, sering kita jumpai seorang siswa yang tidak mampu berbicara dengan baik. Apalagi ketika berbicara di depan kelas. Suara yang tersendat-sendat, keringat bercucuran, tegang, dan gugup adalah beberapa ciri siswa yang masih rendah kemampuan berbicaranya. Kenyataan rendahnya keterampilan berbicara yang dimiliki oleh siswa juga terlihat pada siswa kelas VIIE SMPN 5 Negara. Berdasarkan hasil observasi awal dan wawancara dengan guru bidang studi bahasa Indonesia, diketahui bahwa nilai rata-rata keterampilan berbicara dari 35 orang siswa adalah 58,86 sedangkan ketuntasan belajar berbicara siswa di SMP ini adalah 67,50. Siswa yang telah dikategorikan tuntas sebanyak 8 orang (22,86%), sisanya 27 orang (77,14%) belum tuntas. Setelah ditelusuri, kesulitan belajar berbicara siswa kelas VIIE disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Yang termasuk faktor eksternal, di antaranya pengaruh penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan keluarga dan masyarakat. Selain itu, faktor internal yang berpengaruh terhadap rendahnya keterampilan berbicara siswa adalah (1) pendekatan pembelajaran yang masih konvensional, (2) kesulitan dalam mengonstruksi pengetahuan atau pengalaman yang dimiliki, (3) perasaan malu atau grogi, dan (4) adanya gangguan dari siswa lain saat tampil berbicara. Menyadari hal tersebut, guru telah berusaha mengadakan variasi dalam pembelajaran, seperti dengan melatih siswa bebicara melalui diskusi. Namun, hasil yang didapatkan belum sesuai harapan. Bahkan, tetap saja ada siswa yang masih enggan tampil ke depan kelas ketika diminta berbicara di hadapan temantemannya. Mungkin salah satu penyebabnya adalah pembentukan anggota kelompok diskusi yang tidak dilakukan oleh guru. Melihat kenyataan tersebut, perlu adanya suatu penelitian tindakan untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas VIIE SMPN 5 Negara. Upaya tersebut dilakukan dengan memandang bahasa sebagai suatu sistem terbuka. Bahasa tidak bisa dilepaskan dari keberadaan faktor eksternal bahasa, yaitu ciri sosial, ciri biologis, dan sebagainya (Arifin, 2006:46). Pendekatan pembelajaran yang memandang bahasa sebagai suatu yang terpisah dari faktor eksternal bahasa akan menonjolkan pembelajaran mengenai kaidah kebahasaan, seperti dalam pendekatan struktural yang mencurahkan pengajaran bahasa pada lafal kata dan
123
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
pola-pola kalimat dengan cara latihan berkali-kali (Nababan dalam Arifin, 2006:46). Pendekatan struktural pernah diterapkan di sekolah-sekolah, yaitu pada kurikulum 1975 yang kemudian dianggap gagal dalam pembelajaran bahasa karena hanya memberikan pengetahuan tentang bahasa kepada siswa. Jika kita tinjau KTSP mengenai pengajaran bahasa Indonesia, siswa dituntut untuk mampu menggunakan bahasa secara praktis, bukan sesuatu yang teoretis mengenai bahasa. Pendekatan pembelajaran yang disinyalir mampu memberikan pengetahuan mengenai penggunaan bahasa senyatanya adalah pendekatan pragmatik dengan memberikan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pemakaian bahasa. Prinsipprinsip pemakaian bahasa yang diterapkan dalam pendekatan pragmatik, yaitu (1) penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kerja sama, (2) penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesantunan, (3) penggunaan bahasa dengan memperhatikan aneka aspek situasi ujaran, dan (4) penggunaan bahasa dengan memperhatikan faktor-faktor penentu tindak komunikatif (Asrory, 2004). Peningkatan keterampilan berbicara siswa Kelas VIIE SMPN 5 Negara dengan pemberian pengetahuan mengenai prinsip-prinsip penggunaan bahasa disertai teknik koreksi sesama teman dan koreksi oleh guru pada dasarnya bertujuan untuk melatih siswa menggunakan bahasa dengan mengaitkan bahasa dengan unsur-unsur di luar bahasa dan memperbaiki kesalahan-kesalahan siswa dalam berbicara. Baik itu kesalahan ucapan, diksi, kekeliruan pemberian tekanan, gerak-gerik dan mimik yang tidak tepat, kesalahan pemilihan bahasa yang berhubungan dengan prinsip-prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan serta halhal lain saat siswa bertindak tutur. Teknik koreksi oleh sesama teman dan oleh guru ini dipilih selain bertujuan untuk memperbaiki kesalahan siswa yang melakukan tindak tutur juga untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif. Sumarsono (1985:45) menyatakan bahwa hambatan-hambatan yang dihadapi oleh seorang siswa dalam pembelajaran berbicara adalah: (1) gangguan psikis, seperti gagap, gugup, malu, demam panggung, kelelahan, (2) gangguan fisik, seperti tidak mampu melafalkan /r/ dengan baik, (3) guru terlalu banyak mencela ketika siswa tampil berbicara, (4)
124
I Ketut Trika Adi Ana
guru terlalu ketat menuntut dipakainya ragam baku, dan (5) pengaruh lingkungan, seperti gangguan teman sekelas atau karena bising. Dengan teknik koreksi oleh sesama teman, hambatan nomor lima setidaknya dapat diatasi. Keterlibatan guru dalam memberikan masukan-masukan kepada siswa tentunya akan semakin memperdalam pemahaman siswa terhadap kesalahan yang dilakukan. Mungkin saja nantinya ada kesalahan atau kekurangan-kekurangan lain yang belum disampaikan oleh siswa ketika mengomentari temannya, saat itulah guru akan menambahkannya. Sepengetahuan penulis, penelitian dengan penggunaan pendekatan pragmatik yaitu prinsip-prinsip penggunaan bahasa disertai teknik koreksi sesama teman dan koreksi oleh guru untuk meningkatkan keterampilan menceritakan pengalaman belum pernah dilakukan. Penelitianpenelitian sejenis yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa dengan rekomendasi yang dapat dijadikan bahan pertimbangkan untuk menyusun langkah pembeajaran dalam penelitian ini adalah penelitian yang berjudul Efektivitas Masyarakat-Belajar (Learning Community) dalam Wujud Diskusi Kelompok Kecil untuk Meningkatkat Keterampilan Berbicara Siswa Kelas VIIIA SMP Negeri 2 Penebel oleh Ni Made Rai Wisudariani tahun 2008. Menurut Rai, pembentukan kelompok yang bersifat heterogen dalam hal akademis, gender, dan latar belakang sosial ekonomi menjadikan suasana pembelajaran semakin kondusif.
Penelitian
lain
yang
rekomendasinya
dapat
dijadikan
bahan
pertimbangan adalah penelitian yang berjudul Penerapan Model Pembelajaran Konstruktivisme dengan Media Wayang untuk Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa Kelas VIIB SMP Negeri 2 Ubud oleh Ade Suryadana tahun 2009. Ade merekomendasikan agar dalam pembelajaran berbicara, siswa diberikan kesempatan untuk mengkonstruksi pemahamannya sendiri. Adapun perasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu: (1) Bagaimanakah peningkatan keterampilan menceritakan pengalaman siswa kelas VIIE SMPN 5 Negara dengan penerapan pendekatan pragmatik (prinsip-prinsip penggunaan bahasa) yang disertai teknik koreksi sesama teman dan koreksi oleh guru? ; (2) Bagaimanakah langkah-langkah pembelajaran yang ditempuh?; (3) Bagaimanakah respons siswa terhadap pembelajaran yang menggunakan penerapan pendekatan pragmatik (prinsip-prinsip penggunaan bahasa) yang
125 114
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
disertai teknik koreksi sesama teman dan koreksi oleh guru? Hasil penelitian ini dapat berguna untuk siswa, guru Bahasa Indonesia, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, dan peneliti lain.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (PTK). Dari namanya sudah menunjukkan isi yang terkandung di dalamnya, yaitu sebuah kegiatan penelitian yang dilakukan di dalam kelas (Arikunto, dkk, 2008:2). Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Subjek penelitian adalah benda, hal atau orang tempat variabel melekat, dan yang dipermasalahkan dalam penelitian. Subjek penelitian ini adalah guru dan siswa SMPN 5 Negara (Wendra, 2009:32). Objek penelitian ini adalah keterampilan menceritakan pengalaman, langkahlangkah pembelajaran, dan respons siswa. Metode
yang
dipergunakan
untuk
mengumpulkan
data-data
yang
diperlukan, yaitu metode tes untuk mengumpulkan data mengenai keterampilan menceritakan pengalaman siswa. Metode observasi dipergunakan untuk memperoleh
data
mengenai
langkah-langkah
pembelajaran.
Metode
angket/kuesioner untuk memperoleh data mengenai respons siswa. Secara individual siswa dikatakan tuntas dalam pembelajaran menceritakan pengalaman apabila nilai yang diperoleh minimal 67,50. Hal ini didasarkan atas kreteria ketuntasan minimal di SMPN 5 Negara. Secara klasikal, pembelajaran dikatakan tuntas jika 75% dari jumlah siswa yang ada di kelas itu memperoleh nilai minimal 67,50, sehingga tindakan dapat dihentikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penerapan Pendekatan Pragmatik (Prinsip-Prinsip Penggunaan Bahasa) Disertai Teknik Koreksi Sesama Teman dan Koreksi oleh Guru Penerapan pendekatan pragmatik (prinsip-prinsip penggunaan bahasa) disertai teknik koreksi sesama teman dan koreksi oleh guru dapat meningkatkan keterampilan menceritakan pengalaman siswa kelas VIIE SMPN 5 Negara. Hal ini dapat dilihat dari nilai keterampilan menceritakan pengalaman siswa sebelum diberikan perlakuan dengan nilai rata-rata 58,86. Setelah diberikan perlakuan pada
126
I Ketut Trika Adi Ana
siklus I, nilai rata-rata siswa adalah 70,11. Ini berarti terjadi peningkatan nilai rata-rata dari sebelum diberikan perlakuan sampai siklus I sebesar 11,87. Berdasarkan hasil siklus I, ditemukan bahwa (1) banyak siswa terlihat telah mampu menggunakan kalimat efektif dan runtut. Namun, volume suara mereka masih terlalu kecil, (2) masih banyak siswa yang belum mampu merumuskan tujuan penceritaan pengalamannya dengan baik, dan (3) mimik dan gestur siswa dalam bercerita masih sangat kurang. Mereka cenderung hanya diam ketika bercerita. Hanya gerakan berupa gerakan tangan yang sangat minim yang tampak. Kelemahan pada siklus I diatasi dengan pemberian pemahaman mengenai faktor-faktor penunjang keefektipan berbicara kepada siswa. Pemahaman mengenai faktor-faktor penunjang keefektipan berbicara dapat memotivasi siswa untuk menyampaikan ceritanya dengan lebih baik. Masalah seperti volume suara, diksi, pemberian tekanan, dan masalah-masalah nonkebahasaan seperti gestur juga mampu diatasi. Pada siklus II, skor rata-rata siswa adalah 73,93. Jumlah peningkatan nilai rata-rata dari siklus I ke siklus II adalah 3,82. Hasil pada tindakan kedua, dapat dikatakan sebagai tindakan terbaik, karena mampu meningkatkan hasil pembelajaran menceritakan pengalaman siswa. Dari 35 orang siswa kelas VIIE ada sebanyak tiga puluh satu orang atau 88,57% memeroleh nilai ≥ 67,50. Hasil tersebut telah memenuhi kriteria yang sudah ditetapkan peneliti yaitu 75% siswa di kelas memperoleh nilai 67,50 ke atas. Di samping itu, temuan yang paling berarti dalam penerapan pendekatan pragmatik (prinsip-prinsip penggunaan bahasa) disertai teknik koreksi sesama teman dan koreksi oleh guru adalah dapat menciptakan suasana belajar yang kondusif, kreatif, dan inovatif.
Langkah-langkah Pembelajaran Langkah-langkah pembelajaran yang tepat dalam penerapan pendekatan pragmatik (prinsip-prinsip penggunaan bahasa) disertai teknik koreksi sesama teman dan koreksi oleh guru dapat meningkatkan keterampilan menceritakan pengalaman siswa kelas VIIE SMPN 5 Negara adalah (1) Guru menyampaikan apersepsi, (2) Guru menceritakan sebuah pengalaman, (3) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran, (4) Guru dan siswa berdiskusi mengenai cerita yang 116 127
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
disampaikan oleh guru, (5) Guru menugasi siswa untuk mendata pengalaman mengesankan yang dimiliki kemudian memilih salah satu dari pengalaman tersebut, (6) Siswa menentukan partisipan yang terlibat dalam pengalaman yang akan diceritakan, (7) Siswa menentukan tujuan penyampaian pengalaman yang diceritakan, (8) Siswa merangkai cerita berdasarkan data-data yang telah dibuat, (9) Guru dan siswa berdiskusi mengenai faktor-faktor penunjang keefektipan berkomunikasi, (10) Siswa menceritakan pengalaman yang telah dibuat, (11) Siswa dan guru memberikan koreksi terhadap tampilan siswa, (12) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya, (13) Guru membagi siswa dalam 3 kelompok, (14) Guru menugaskan siswa untuk bercerita dalam kelompoknya, (15) Siswa memberikan koreksi terhadap penceritaan temannya, (16) Guru memberikan koreksi terhadap penampilan siswa, (17) Guru bersama siswa mengadakan refleksi, (18) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya, dan (19) Guru bersama siswa menyimpulkan dan menutup pembelajaran. Temuan-temuan penting berdasarkan pada penelitian ini adalah, pertama, penerapan pendekatan pragmatik (prinsip-prinsip penggunaan bahasa) berpeluang membuat siswa belajar bahasa, khususnya berbicara tidak hanya sekadar belajar mengenai teori-teori berbicara yang baik namun juga belajar menggunakan bahasa dalam situasi yang kompleks. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Purwo (dalam Sumardi, Ed, 1992) yang mengibaratkan belajar berbahasa dengan pendekatan pragmatik sebagai kemampuan berenang. Belajar bahasa bukanlah mempelajari cara atau petunjuk yang berkaitan dengan renang, melainkan terjun dan berkecimpung dengan air, mengalami gelagapan, mengalami hidung kemasukan air, dan sebagainya yang timbul selama berada di dalam air. Pelajaran bahasa tidak dapat disamakan dengan pelajaran menghafalkan rumus-rumus kimia atau menghafalkan tahun-tahun pada peristiwa sejarah. Pelajaran bahasa lebih mirib dengan pelajaran menyanyi atau pelajaran merangkai bunga, yakni berisi kegiatan berbuat sesuatu, melakukan tindakan sesuatu. Pengibaratan yang diberikan Purwo ini nampaknya sejalan dengan Dell Hymes (dalam Sumarsono, 2007:5) yang menyatakan bahwa untuk mampu berbahasa (bertutur) atau berkomunikasi dalam bahasa orang tidak cukup hanya menguasai kaidah
128
I Ketut Trika Adi Ana
gramatika saja, melainkan juga harus mengetahui cara penggunaannya dalam komunikasi. Kedua, penerapan teknik koreksi sesama teman dan koreksi oleh guru juga akan membantu siswa meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Hambatan gangguan dari teman setidaknya dapat diatasi dengan penggunaan teknik ini. Penggunaan teknik koreksi sesama teman akan semakin efektif jika diterapkan dengan cara menunjuk siswa yang memberikan koreksi sehingga siswa lebih memperhatikan temannya ketika tampil menceritakan pengalaman mengesankan. Hal ini seperti yang diterapkan dalam siklus II dan berhasil menciptakan kondisi lebih kondusif. Ketiga, motivasi mendorong siswa ingin melakukan kegiatan belajar. Para ahli psikologi mendefinisikan motivasi sebagai proses di dalam diri individu yang aktif, mendorong, memberikan arah, dan menjaga perilaku setiap saat (Slavin, tt). Pemberian motivasi dalam proses pembelajaran ternyata dapat menumbuhkan rasa percaya dalam diri siswa untuk tampil dengan lebih baik. Keempat, pengkonstruksian pengetahuan oleh diri siswa sendiri membuat siswa lebih memahami materi pembelajaran. Siswa menemukan sendiri bagaimana cara menyampaikan cerita berdasarkan pendekatan pragmatik (prinsipprinsip penggunaan bahasa) dan tahu hal-hal apa yang perlu mendapat perhatian dalam bercerita setelah mereka menemukan sendiri faktor-faktor penunjang keefektipan berbicara. Di samping itu, pemodelan penceritaan pengalaman mengesankan juga membawa dampak siswa lebih berani dalam memberikan koreksi terhadap penampilan temannya. Siswa memberikan koreksi berdasarkan faktor-faktor penunjang keefektifan berbicara yang baru mereka temukan. Kelima, pembagian kelompok dengan jumlah anggota kelompok yang tidak terlalu besar yang setiap kelompok didampingi oleh seorang observer menjadikan suasana kelas lebih kondusif. Siswa menjadi fokus menyimak penyampaian cerita yang disampaikan oleh teman mereka sehingga mereka tidak memiliki 118 kesempatan untuk mengganggu temannya yang sedang bercerita. Keenam, penekanan pemahaman mengenai pentingnya keterampilan berbicara dan teknik belajar menceritakan pengalaman mengakibatkan siswa lebih percaya diri dan bersemangat dalam belajar. Hal ini seperti yang diungkapkan
129
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
oleh De Porter (dalam Ade Suryadana, 2009:134) bahwa pengetahuan akan manfaat sesuatu sama dengan menciptakan minat terhadap sesuatu.
Respons Siswa terhadap Pembelajaran Penerapan pendekatan pragmatik (prinsip-prinsip penggunaan bahasa) disertai teknik koreksi sesama teman dan koreksi oleh guru dapat menumbuhkan respons positif siswa terhadap pembelajaran menceritakan pengalaman siswa kelas VIIE SMPN 5 Negara. Hal ini dapat dilihat dari jawaban kuesioner siswa yang menunjukkan sikap positif dan sangat positif. Untuk respons siswa persentase peningkatan rata-rata dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan sebesar 1,71. Jumlah rata-rata skor respons siswa pada siklus I 25,89 menjadi 27,60 pada siklus II. Pada siklus I, ada 20 orang (57,14%) yang memberikan respons sangat positif, 14 orang (40%) yang memberikan respons positif dan 1 orang (2,86%) yang memberikan respons cukup positif. Pada Siklus II, dari 35 orang yang mengisi angket, ada 30 orang (85,71%) yang memberikan respons sangat positif dan 5 orang (14,29%) yang memberikan respons positif. Jadi, respons siswa dapat dikatakan tuntas karena sudah melebihi kriteria ketuntasan yang telah ditentukan, yaitu 75% siswa memberikan respons positif.
PENUTUP Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan pendekatan pragmatik (prinsip-prinsip penggunaan bahasa) disertai teknik koreksi sesama teman dan koreksi oleh guru dapat: (1) meningkatkan keterampilan menceritakan pengalaman siswa kelas VIIE SMPN 5 Negara. Hal ini dapat dilihat dari nilai keterampilan menceritakan pengalaman siswa sebelum diberikan perlakuan dengan nilai rata-rata 58,86. Setelah diberikan perlakuan pada siklus I, nilai ratarata siswa adalah 70,11. Pada siklus II, skor rata-rata siswa adalah 73,93. Jumlah peningkatan nilai rata-rata dari siklus I ke siklus II adalah 3,82. Dari 35 orang siswa kelas VIIE ada sebanyak tiga puluh satu orang atau 88,57% memeroleh nilai ≥ 67,50. Hasil tersebut telah memenuhi kriteria yang sudah ditetapkan peneliti yaitu 75% siswa di kelas memperoleh nilai 67,50 ke atas; (2) dilakukan dengan langkah-langkah
pembelajaran
yang tepat,
yaitu
sebanyak
19
langkah
130
I Ketut Trika Adi Ana
pembelajaran; dan (3) siswa memberikan respons positif terhadap kegiatan pembelajaran. Hasil penelitian ini bermanfaat bagi guru dan siswa dalam pembelajaran berbicara, khusus pembelajaran menceritakan pengalaman. Oleh karena itu, khususnya peneliti menyarankan supaya guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
hendaknya
menerapkan
pendekatan
pragmatik
(prinsip-prinsip
penggunaan bahasa) disertai teknik koreksi sesama teman dan koreksi oleh guru untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa secara lebih mendalam, agar siswa juga memiliki pemahaman yang baik mengenai pembelajaran tersebut, sehingga pembelajaran pun berlangsung dalam kondisi lingkungan yang kondusif.
DAFTAR PUSTAKA Arifin. (2006). Penerapan pendekatan komunikatif dalam pengajaran gramatika di SLTP negeri 1 kota malang. Prasi (Jurnal Bahasa, Seni, dan Pengajaran) Vol.4 No. 7 Januari-Juni 2006. Arikunto, dkk. (2008). Penelitian tindakan kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara. Arsjad, Maidar G. dan Mukti U.S .(1993). Pembinaan kemampuan berbicara bahasa indonesia. Jakarta: Erlangga. Asrory, Zainal. (2004). http://images.zainalasrory.multiply.com/attachment/0/SEGAygoKCqwAAE vtM5g1/ptk%20asli%20banget.doc?nmid=98785639. Diakses 15 Februari 2008. Muslim, M. Umar. (2007). KTSP dan pembelajaran bahasa indonesia. http//www.KTSP/KTSP%20dan%20Pembelajaran%20Bahasa%20Indonesi a%20%C2%AB%20%7Bjohnherf%7D.htm. Diakses 20 Januari 2009. Nurgiyantoro, Burhan. (2001). Penilaian dalam pengajaran bahasa dan sastra. Yogyakarta: PT BPFE-Yogyakarta. Sumarsono. (2007). Pragmatik (Buku Ajar). Singaraja: Undiksha. Suryadana, Ade. (2009). Penerapan model pembelajaran konstruktivisme dengan media wayang untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas 120 (tidak diterbitkan). Jurusan Pendidikan VIIB SMP Negeri 2 Ubud. Skripsi Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, FBS Undiksha. Wendra, I Wayan. (2009). Penulisan karya ilmiah (Buku Ajar). Singaraja: Undiksha. 131
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
THE USE OF E-LEARNING BASED READING MATERIALS TO IMPROVE THE READING COMPREHENSION OF THE TENTH YEAR MULTIMEDIA STUDENTS OF SMK N 3 SINGARAJA IN THE ACADEMIC YEAR 2012/2013 I Ketut Trika Adi Ana English Education Department, STKIP AH Singaraja
[email protected]
ABSTRAK Membaca adalah salah satu kemampuan yang harus dikuasai oleh pembelajar bahasa asing. Berdasarkan observasi awal yang telah dilaksanakan, siswa kelas X jurusan multimedia SMK N 3 Singaraja memiliki permasalahan dalam memahami bacaan. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemuikannya permasalahan yang dialami oleh siswa dalam memahami isi bacaan karena materi membaca yang diberikan oleh guru bahasa Inggris diluar pengetahuan siswa. Oleh karena pentingnya pengetahuan awal dalam aktivitas membaca, materi membaca yang mengacu pada e-learning yang secara khusus telah dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dari siswa kelas X jurusan multimedia kemudian digunakan untuk mengajar para siswa. Artikel ini akan menjelaskan hasil dari penelitian tindakan kelas ini, meliputi: (1) peningkatan pemahaman siswa dalam membaca selama penerapan pengembangan materi membaca yang mengacu pada e-learning dan (2) masalah-masalah yang muncul pada pengaplikasiannya. Kata kunci: e-learning, membaca INTRODUCTION Based on the pre-observation that
SMK N 3 Singaraja had problems in reading comprehension. It can be
has been conducted on Friday, 16th
seen
March 2012, it was found that the
observation during the teaching and
tenth year multimedia students of
learning process and the result of the
from
the
result
of
the
132
I Ketut Trika Adi Ana
pre-test that has been administered.
video editing and visual effect.
From
was
means that the daily activities and
confirmed that the students found
the targeted jobs of the multimedia
difficulties in understanding the text
students
because the topic of the existing
programs in which the instructions of
reading materials were beyond the
the programs are in English. To solve
students’ prior knowledge. Only few
the students’ problem in reading
students participated in the teaching
comprehension, the researcher taught
and learning process. The result of
the students using an e-learning
pre-test that was administered to the
based reading materials which were
students during the pre-observation
specially designed based on the
activity confirmed that students had
multimedia students’ need. In other
problems in reading comprehension,
word the topic of the developed e-
it can be seen from the students’
learning based reading materials
mean score that was only 40.9
were about the students’ program
(Poor).
expertise.
the
observation,
it
deal
with
It
computer
Reading skill is a very important skill that should be mastered by the
E-Learning
learners of a language. It is because
Some definitions have been
through reading text may provide
formulated by the experts to describe
opportunities for students to study
what e-learning or electric learning
the
the
is. Urdan and Weggen (2000) define
vocabulary, grammar, punctuation,
e-learning as the use of electronic
the way to construct sentences,
media,
paragraph, and text (Harmer, 2003).
intranets,
Another
broadcast,
target
language,
reason
was
i.e.
that
the
including
the
extranets,
internet, satellite
audio/video
tape,
graduates of multimedia are expected
interactive TV, and CD-ROM to
to be able to apply the technique in
deliver the teaching material. They
shooting video, digital photography,
state that e-learning involves a
graphic
number
design,
visual
of
applications
and
communication design, web design,
processes, including computer-based
2D and 3D animation, audio and
learning, web-based learning, virtual
133
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
classrooms, and digital collaboration.
picture
and
the
words
are
The other definition is given by
painting, and understand the
Godio and Terrasse (2003), they
arguments. If readers do not do
state that e-learning refers to the use
these things, they only come to
of electronic device or information to
the surface of the text that is very
facilitate learning process.
easy to be forgotten.
Groenendijk
b. Students need to be engaged with
and Markus (2010), there are two
what they are reading. If the
aspects of e-learning, they are: (1) e-
students are not engaged with the
learning
as
computer
reading text, it will make them
learning,
and
(2)
According
to
assisted
e-learning
as
uninterested
in
reading
pedagogy for student-centered and
Therefore,
collaborative
should be about the topic that
learning.
While,
according to Fee (2009), E-learning
reading
it.
material
they familiar with.
is therefore an approach to traditional
c. Students should be encouraged to
learning and development activities
respond to the content of a
that
thinking
reading text, not just to the
associated with new technologies,
language. It is important to read
with an emphasis on planning and
the text in order to study the way
implementing learning interventions,
to use the language, but it is also
and
and
important to give a chance for the
appreciation of the potential of these
students to give their opinion
technologies
towards the message that it
embraces
managing
new
them
–
informs
our
understanding of learning in general.
contains. d. Prediction is major in reading
Principle In Teaching Reading
Book’s cover, the headline, the
Harmer (2003) states that there
words processed page are the
are six principles in teaching reading.
parts of the things that can bring
Those principles are including:
the “hint” for the readers to
a. Reading is not a passive skill.
predict what is the book will be
Reading means understanding
about. In teaching reading, a
what the words mean, see the
teacher should be able to build
134
I Ketut Trika Adi Ana
that kind of “hint” in order to
Soro, 2010). In addition, reading can
make them able to predict what is
also be defined as a process of saying
the text will be about. By doing
a written text aloud (oral reading).
this, it will help the learners
However, this can be done with or
become
without an understanding of the
a
better
and
more
contents.
engaged readers.
Reading comprehension can be
e. Match the task to the topic In selecting reading material, a
classified based on the reader’s
teacher should think about the
purposes in reading and the type of
appropriate
reading used (Richard, et.al, 2002).
reading
task.
It
should be in line with the
Those classifications are:
purpose of the reading activity. This is important since the inappropriate task will lead the
a. Literal comprehension Reading
learners to felt bored. f. Good teacher exploit reading text 124 to the full
understand, recall explicitly
reading text into interesting class
passage.
order
to
remember,
the
Good teacher should integrate
sequences, using the topic for
in
or
information
contained
in
a
b. Inferential comprehension
discussion and further task, using
Reading in order to find
the language for study and later
information which is not
activation.
explicitly stated in a passage, using the reader’s experience and
Reading Comprehension Reading comprehension is the ability to construct meaning from a given
written
text.
Reading
intuition,
and
by
inferring. c. Critical
or
evaluative
comprehension
static
Reading in order to compare
competency; it varies according to
information in a passage with
the purposes for reading and the text
the reader’s own knowledge
that is involved (Lems, Miller, &
and values.
comprehension
is
not
a
135
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
research that proposed by Kemmis
d. Appreciative comprehension Reading in order to gain an
and Mc. Taggart (in Hopkins, 1985):
emotional or other kind of
a. Planning
valued
response
from
a
Planning was the first step in doing this research. During this
passage.
step
the
researcher
prepared
some research instruments that were needed for this research.
RESEARCH METHOD This study is a classroom
Those instruments were pre-test,
based action research that was
post-test, questionnaire, teaching
conducted in two cycles, in which in
scenario, lesson plan, material,
each cycle consisted of four steps.
and observation sheet.
Those steps were planning, action, observation,
and
reflection.
The
b. Action
subjects of this study were the tenth
The second step of this research
year multimedia students of SMK N
was the action step. Action was
3
the step when the researcher
Singaraja
in
academic
year
2012/2013, which consisted of 28
applies
students. Two kinds of data were
reading material that has been
collected in this study, namely:
prepared before.
quantitative data and qualitative data.
the
e-learning
based
c. Observation
The quantitative data from the result
The third step of this research
of pre-test and post-test were used to
was observation step. In the
see the improvement of the students’
observation step, the researcher
reading comprehension. Meanwhile,
did
the qualitative data which was
teaching and learning process to
collected using the observation sheet
find
was
application
used
for
finding
out
the
problems in implementing the elearning based reading materials. The followings are the steps of
the
classroom
based
action
an
out
observation
the
result
of
of
the
the
of the e-learning
based reading material. d. Reflection The fourth step of this research was the reflection step. This was
136
I Ketut Trika Adi Ana
the step when the researcher
pre-test
thought about the next planning,
skills, namely to recall specific
whether the cycle should be
details, to infer from the text, and to
continued or not. Moreover, the
identify main ideas. The pre-test
researcher also had to find out
consisted of 20 items of objective
whether or not there are mistakes
test. From those 20 items objective
or
the
test, 7 items were the questions that
technique
required the students to recall the
problems
application
of
during the
during the action process.
covered
three
cognitive
information that available in the text, 8 items were the questions that required the students to find the information that were not explicitly stated in the text or to infer from the
The improvement of the students’
text, and 5 items were the questions
reading comprehension during the 126 application of the developed e-
that asked the students to identify the
learning based reading material
text. Since each item was scored 5
a. The Result of Pre-Test
points, then the maximum score for
main idea or the topic sentence of the
The pre-test was conducted on
the pre-test was 100. The students
th
Saturday, 17 March 2012. This pre-
had to finish those 20 items of
test was conducted to diagnose the
objective test in 40 minutes. The
students’ competency in reading
result of the pre-test can be seen on
English text. The text that was used
Table 1 below.
to conduct the pre-test entitled “Criteria of Good Photograph”. This Table 1 The result of Pre-Test No
Name
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8
RSI
IT 15 25 20 20 15 15 20 25
IM 15 20 10 15 10 15 10 10
5 10 10 5 10 5 10 5
Final Score 35 55 40 40 35 35 40 40
Category Poor Poor Poor Poor Poor Poor Poor Poor
137
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
S9 S10 S11 S12 S13 S14 S15 S16 S17 S18 S19 S20 S21 S22 S23 S24 S25 S26 S27 S28
20 20 25 15 15 20 25 20 20 25 20 25 20 30 20 25 15 20 20 15 Mean Score
20.4
10 15 15 10 20 10 15 15 15 25 25 10 10 15 20 10 5 15 10 5 13.6
ISSN 2087-9016
10 10 5 5 15 10 5 5 5 5 5 5 5 5 10 5 5 5 10 5 7.0
40 45 45 30 50 40 45 40 40 55 50 40 35 50 50 40 25 40 40 25 40.9
Poor Poor Poor Poor Poor Poor Poor Poor Poor Poor Poor Poor Poor Poor Poor Poor Poor Poor Poor Poor Poor
Note : RSI = Recall specific information IT = Infer from the text IM = Identify main idea From the result of the pre-test on
material was conducted in order to
table 1, it can be seen that the
help the students to improve their
students had problem in reading
reading comprehension and at the
comprehension. From the 28 students
same time to evaluate the product
there was no one who got sufficient
empirically.
score. All of the students (100%) got poor score. Moreover, the mean
b. The Result of Post-Test I
score of the class was only 40.9 that
The post-test I was conducted on
can be categorized as poor. It means
Saturday, 12th May 2012. In this
that all of the students had problem
post-test, there were 20 items of
in
objective
reading
comprehension.
test
that
should
be
Considering the minimum passing
answered by the students in this test.
grade that the students had to pass
Those 20 items of objective test
for the English subject in SMK N 3
consisted of 6 items about recalling
Singaraja that was 75, there was no
specific information that available on
one who passed it. Therefore, a
the text, 8 items about inferring the
treatment
information
using
the
developed
which
were
not 138
I Ketut Trika Adi Ana
explicitly stated on the text, and the rest 6 items were about identifying main idea or topic sentence.
Table 2
The Result of Post-Test I
No
Name
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11 S12 S13 S14 S15 S16 S17 S18 S19 S20 S21 S22 S23 S24 S25 S26 S27 S28 Mean Score
RSI IT IM
RSI
IT 25 30 30 30 30 30 25 30 30 30 30 25 30 30 30 25 30 30 30 30 30 30 30 30 25 30 30 25
28.9
IM 0 20 5 15 0 10 20 15 0 15 15 0 10 5 15 15 15 20 10 10 0 10 10 15 0 20 5 15
10.3
Final Score 25 25 30 30 25 20 30 25 25 30 30 30 30 25 30 30 30 30 25 30 25 25 30 30 30 30 30 30
28.0
50 75 65 75 55 60 75 70 55 75 75 55 70 60 75 70 75 80 65 70 55 65 70 75 55 65 60 60 66.3
Category 128 Poor Good Sufficient Good Poor Sufficient Good Sufficient Poor Good Good Poor Sufficient Sufficient Good Sufficient Good Good Sufficient Sufficient Poor Sufficient Sufficient Good Poor Sufficient Sufficient Sufficient Sufficient
= Recall specific information = Infer from the text = Identify main idea
From the result of the post test I
other words, the students’ mean
on table 2, it can be seen that the
score was increased 25.5 point. In
mean score of the students increased
this post-test I the number of the
from 40.8 (poor) in the pre-test into
students who got good score was 9
66.3 (Sufficient) in the post test I. In
students (32.1%). The number of the 139
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
students who got sufficient score was
need to be answered by the students.
13 students (46.4%). While, there
From the 20 questions, 6 of them
were 6 students (21.5%) who got
were
poor score.
information that was explicitly stated
about
recalling
specific
in the text, 8 questions were about inferring information from the text,
c. The Result of Post-Test II The post test II was conducted on th
which was implicitly stated on the
Friday, 18 May 2012. The text that
text, and 6 questions were about
was used in this post-test II was
identifying
“How to Review a Product” there
sentence.
main
idea
or
topic
were 20 items of objective test that Table 3 The Result of Post-Test II No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
RSI IT IM
Student S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11 S12 S13 S14 S15 S16 S17 S18 S19 S20 S21 S22 S23 S24 S25 S26 S27 S28 Mean Score
RSI
IT 20 30 25 30 25 25 30 25 30 30 25 25 30 30 25 25 30 30 25 25 25 30 30 25 30 30 25 25 27.1
IM 20 30 25 25 20 35 30 30 20 25 30 25 25 30 25 30 20 25 30 25 25 30 30 30 25 25 35 25 26.8
25 25 30 25 20 25 25 30 15 25 25 25 25 20 30 20 25 30 25 25 25 25 25 30 20 25 25 25 24.8
Final Score 75 85 80 80 75 80 85 85 75 80 80 75 80 80 80 75 75 85 80 75 75 85 85 80 75 80 75 75 79.1
Category Good Very Good Good Good Good Good Very Good Very Good Good Good Good Good Good Good Good Good Good Very Good Good Good Good Very Good Very Good Good Good Good Good Good Good
= Recall specific information = Infer from the text = Identify main idea
140
I Ketut Trika Adi Ana
The result of the Post Test II as
28 students, 8 students (28.6%) got
displayed on table 3, it shows that in
very good score, while the other 22
general the students’ comprehension
students (78.6%) got good score.
in reading was increased from the
There was no student who got below
post test I, in which the students’
the minimum passing grade. It means
mean score on the post-test I was
that all of the students had passed the
only 66.9 (sufficient) and it increased
minimum passing grade. Therefore,
into 79.1 (good) in post-test II. In
the cycle for the action research was
other words the students’ mean score
stopped until the second cycle.
130
was increased 12.1 point. From the
Mean Score 100 50
Mean Score
0 Pre-Test
Post-Test I
Post-Test II
Chart 1 The Result of Pre-Test, Post-Test I, and Post-Test II
The problems during the application of the e-learning based reading materials Based on the result of the observation during the development process some problems were found, they are: a. Technical Problem Developing e-learning based reading material using course management system needs relatively large hosting memory and bandwidth to make it run properly. Since course management system is heavy software, the website that is developed using course management system will be slower if it is compared to the website that is developed by using other software that requires smaller hosting and bandwidth. Course management system needs larger space than content management system because it comes with various functions that cannot be found in those two software, for instance, the ability of course management system in providing interactive quiz, chatting, forum, e-book, automatic scoring
141
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013 2087-9016
ISSN
system, and automatic score recorder. Therefore, during the application in SMK N 3 Singaraja the e-learning website was a bit slower if it is compared to other websites. In addition, the user’s password is case sensitive and very complex. It should consist of at least 8 characters, in which in those 8 characters there must be at least one upper case, one lower case, numeric, and non numeric character. Since the password was case sensitive, if the user mistype the password he/she cannot log in to the developed e-learning material.
b. Financial problem Applying an e-learning website in teaching and learning process needs some facilities that include: computers and internet connection. The use of those facilities require more cost if it is compared to the use of the existing handbook. It is obvious since using those facilities means spending some money for electricity, maintenance and internet connection. Considering that reality, it can be said that the implementation of e-learning is costly.
CONCLUSION From the result of this study it can be concluded that the application of e-learning based reading material could improve the tenth year multimedia students’ reading comprehension. It can be seen from the result of pre-test, post-test I, and post-test II. During the pre-test the students’ mean score for reading comprehension test was only 40.9 (Poor). The students’ score improved in post-test I of cycle I into 66.3 (Sufficient), and it increased again to 79.1 (Good) in post-test II of Cycle II. However, in implementing the e-learning based reading materials, there were two problems found, namely: technical and financial problems. REFERENCES Groenendijk, L. and Markus B. (eds). (2010). Enhancing surveying education through e-learning. Denmark: The International Federation of Surveyors FIG. Harmer, J. (2003). How to teach english: a introduction to the practice of language teaching. Edinburgh: Pearson Education Limited.
135
Sang Ayu Made Ika Utari Dewi, Dewa Ayu Puspawati, Deden Ismail
Lems, K. Miller, L.D. & Soro, T. M. (2010). Teaching reading to english language learners. New York: The Guilford Press. Richard, J. C., Schmidt, R., Kendriks, W. H., & Kim, Y. (2002). Longman dictionary of language teaching and applied linguistics (3rd ed). London: Longman Limited. Urdan, T. A. and Weggen, C. C. (2000). Corporate e-learning: exploring a new frontier. San Francisco: WR Hambrecht + Co. 132
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION (GI) DENGAN MEDIA PHOTOVOICE BERBASIS LANSKAP BUDAYA SUBAK TERHADAP PERILAKU BERKELOMPOK SISWA SMP AMARAWATI TAMPAKSIRING Sang Ayu Made Ika Utari Dewi, Dewa Ayu Puspawati, Deden Ismail Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRACT Conventional learning process that takes place in the same direction from the teacher to students, causing impaired social aspect or ability groups of students. One model of learning that appropriate to the problem is the type of cooperative learning Group Investigation (GI). GI learning model integrated with the technological aspects of digital cameras and the cultural landscape etnosains subak. This study aimed to investigate the effect of cooperative learning model GI to student group behavior, and how group behavior influence the outcome of photovoice students. 136
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013 2087-9016
ISSN
The experiment was conducted in Amarawati Tampaksiring junior high school, data collection techniques using group behavior assessment rubrics and photovoice results rubrics assessment. Students learning activities in the classroom and outside the classroom (Subak Pulagan). The results showed there is an increasing number of group behavior score from 235,0 to 430,5, with a significance level of each aspect of the assessment using the Wilcoxon Match Pairs are aspects of group participation (p =0.028), division of responsibility (p=0.028) , quality interactions (p=0.026), and the role of members in the group (p=0.027). This suggests that there are real differences in behavior between groups of students before and after learning. As for the impact of the group behavior to photovoice results of the test using the Spearman Rank Correlation, obtained correlation coefficient (ρ=0.928) is shown with a positive sign, meaning that increasing group behavior is increasing as well the results of the student photovoice. With a significance level (p=0.008 <0.01) which indicates that the group behavior of very significant effect on the results of photovoice. Conclusions of this study are given effective learning to improve student groups so with good interaction within the group, then the task is given by making photovoice obtain maximum results. Key words : difference, social aspects, innovative media, significance
berinteraksi
PENDAHULUAN Sampai
saat
ini
proses
dan
Salah satu model pembelajaran
pendidikan di tanah air cenderung
yang
masih
partisipasi
secara
teman
gurunya.
pembelajaran pada berbagai jenjang
berlangsung
dengan
tepat
untuk aktif
melibatkan
dan
sekaligus
konvensional yang didominasi oleh
meningkatkan
guru tanpa melibatkan partisipasi aktif
siswa adalah model pembelajaran
dari
pendidikan
kooperatif tipe Group Investigation
mengembangkan
(GI). GI merupakan salah satu model
semua potensi yang ada di dalam diri
pembelajaran yang aktif karena siswa
siswa, baik aspek kognitif, afektif, dan
akan
psikomotorik (Nurdin, 2012). Selain
pembentukan secara individu, serta
itu pembelajaran yang berlangsung
berbagi
searah
tanggung jawab dengan kelompoknya.
siswa.
Padahal
bertujuan untuk
yaitu
dari
guru
kepada
kemampuan
belajar
melalui
sosial
proses
pengetahuan
maupun
lemahnya
Pembelajaran
kooperatif
kemampuan sosial atau berkelompok
diintegrasikan
dengan
siswa,
adanya
teknologi
dan
etnosains.
Aspek
kesempatan bagi siswa tersebut untuk
teknologi
yang
digunakan
dalam
siswanya
menyebabkan
karena
kurang
tipe
GI
menerapkan
137
Sang Ayu Made Ika Utari Dewi, Dewa Ayu Puspawati, Deden Ismail
pembelajaran adalah kamera digital, sedangkan
aspek
etnosains
yang
digunakan adalah lanskap budaya
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat
subak. Integrasi antara teknologi dan
Data dikumpulkan mulai tanggal
etnosains dapat dikembangkan ke
02 Januari sampai 13 Februari 2013,
dalam
dari
suatu
media
pembelajaran
siswa
inovatif yaitu photovoice. Photovoice
Amarawati
merupakan media yang digunakan
berjumlah
kelas
VII
A
Tampaksiring
yang
dalam pembelajaran dimana siswa
Penelitian 135 dilaksanakan di dalam kelas dan di
bekerja
luar kelas yaitu areal Subak Pulagan.
dalam
kelompok
dan
36
SMP
mengembangkan daya kreativitasnya
Sampel
melalui teknik dan fotografi tertentu,
dengan teknik sampling sistematis,
yang
visual
dengan
untuk
sehingga didapatkan kelas VII A
menggunakan
diikuti
dengan
pesan narasi
meningkatkan
keefektifan
pembelajaran (Nelson, dkk. 2009). Penerapan
pembelajaran
yang
diintegrasikan
populasi
dan
Teknik
Desain penelitian ini adalah PreExperimental dengan model One-
dilakukan
yang
untuk
urutan
diambil
Pengambilan Data
Group
upaya
melihat
Rancangan
dengan aspek teknologi dan etnosains sebagai
penelitian
sebagai kelas sampel.
kooperatif tipe GI dengan media photovoice
dalam
orang.
Prettest-Posttest. diberikan
dalam
Perlakuan penelitian
memberikan pengaruh positif terhadap
adalah model pembelajaran kooperatif
perilaku
berkelompok
tipe GI dengan media photovoice
siswa sebagai makhluk sosial yang
berbasis subak. Proses pembelajaran
selalu berinteraksi untuk mencapai
dilaksanakan
tujuan bersama. Dengan merancang
siswa berjumlah 36 orang dibentuk
media pembelajaran yang inovatif dan
menjadi
melibatkan
anggota kelompok dilakukan dengan
sosial
atau
siswa
dalam
6
secara
berkelompok,
kelompok.
jaringan
sosial
Pemilihan
pembuatannya akan memotivasi siswa
analisis
untuk berpikir kritis terhadap suatu
kelompok bersifat heterogen baik dari
permasalahan, serta berperan aktif
jenis
dalam proses pembelajaran.
kemampuannya.
kelamin
sehingga
maupun Pembelajaran
138
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013 2087-9016
ISSN
dilaksanakan di dalam kelas dan di
p=0,023),
luar kelas, di dalam kelas kegiatan
p=0,000), dengan demikian instrumen
siswa adalah belajar mengenai materi
penelitian valid dan dapat digunakan
ekosistem, kemudian siswa diberikan
untuk melakukan penilaian terhadap
latihan
media
hasil photovoice siswa. Sedangkan uji
secara
berkelompok.
reliabilitas dilakukan dengan uji intra-
akan
melakukan
observer reliabilitas dan inter-observer
pengamatan dan penilaian terhadap
reliabilitas. Intra-observer reliabilitas
perilaku berkelompok siswa yang
merupakan sebuah penilaian dengan
dikumpulkan dengan rubrik penilaian
pengukur (observer) yang sama pada
perilaku berkelompok (Surata, 2009)
waktu atau kesempatan yang berbeda
yang telah digunakan dalam beberapa
(Polgar dkk. dalam Murti, 2011),
penelitian
kemudian data tersebut dikorelasikan
untuk
photovoice Pengamat
merancang
sebelumnya.
pembelajaran
di
Sedangkan
luar
kelas
dan
dan
mendapat
narasi
(r=0,609;
koefisien
korelasi
dilaksanakan di areal Subak Pulagan,
(0,793) yang menunjukkan adanya
kegiatan siswa adalah mencari gambar
reliabilitas yang tinggi. Sedangkan
untuk pembuatan photovoice sesuai
inter-observer reliabilitas merupakan
dengan topik masing-masing yang
penilaian dengan pengukur (observer)
berkaitan dengan ekosistem subak,
yang berbeda pada jangka waktu
dimana hasil akhir photovoice siswa
bersamaan (Polgar, dkk. dalam Murti,
akan
2011).
dinilai
menggunakan
rubrik
Kedua
sampel
penilaian photovoice (Zlem, 2012).
dikorelasikan
Validitas dan Reliabilitas Instrumen
koefisien korelasi sebesar (0,775)
Validitas
rubrik
penilaian
cukup
korelasi Product Moment. Dari uji
digunakan
validasi
selanjutnya.
didapatkan
koefisien korelasi dan signifikansi masing-masing aspek yaitu spesifikasi (r=0,702;
p=0,000),
komposisi
mendapatkan
yang menunjukkan reliabilitas data
photovoice diuji menggunakan uji
instrumen
dan
tersebut
tinggi,
sehingga
dapat
untuk
penilaian
perilaku
berkelompok
secara
kuantitatif
Analisis Data Data dianalisis
(r=0,712; p=0,000), visual (r=0,355;
menggunakan Uji Wilcoxon Match
p=0,033), kualitas gambar (r=0,378;
Pairs. Analisis ini dilakukan untuk
139
Sang Ayu Made Ika Utari Dewi, Dewa Ayu Puspawati, Deden Ismail
mengetahui
adanya
perbedaan
dan peranan anggota dalam kelompok
perilaku berkelompok siswa antara
(PADK). Hasil perbandingan perilaku
sebelum dan sesudah pembelajaran
berkelompok
kooperatif tipe GI dengan media
sesudah pembelajaran menggunakan
photovoice berbasis lanskap budaya
kooperatif tipe GI berdasarkan skor
subak. Kemudian untuk mengetahui
median dari kedua observer dapat
pengaruh perilaku berkelompok siswa
dilihat pada Tabel 1.
antara
sebelum
dan
terhadap hasil pembuatan photovoice dianalisis menggunakan uji Spearman Rank-Correlation. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Analisis perilaku berkelompok Perilaku
berkelompok
siswa
dinilai dengan melakukan pengamatan terhadap 4 aspek meliputi partisipasi kelompok (PK), pembagian tanggung jawab (PTJ), kualitas interaksi (KI) Tabel 1. Perbandingan Penilaian Skor Aspek Perilaku Berkelompok Kelompok A
PK 15,5
PTJ 12,0
B
11,5
10,0
C D E F Jumlah
11,5 9,0 8,0 9,0 64,5
9,5 8,5 11,0 8,5 59,5
Sebelum KI PADK 12, 9,5 0 10, 8,5 0 8,5 9,5 9,0 9,5 8,0 9,0 8,5 9,0 56, 55,0 0
Jumlah 49,0
PK 18,0
PTJ 21,0
Sesudah KI PADK 21,0 20,5
40,0
16,5
16,0
17,5
17,5
67,5
39,0 36,0 36,0 35,0 235,0
16,0 19,0 17,5 17,5 104,5
15,0 18,0 15,0 17,0 102,0
18,5 19,0 18,0 18,0 112,0
18,0 18,5 19,0 18,5 112,0
67,5 74,5 69,5 71,0 430,5
Jumlah 137 80,5
Keterangan : Partisipasi kelompok (PK), Pembagian tanggung jawab (PTJ), Kualitas interaksi (KI), Peranan anggota dalam kelompok (PADK) Dari
hasil
perbandingan
menjadi 430,5. Hal tersebut diperkuat
tersebut, terlihat bahwa jumlah skor
oleh hasil uji Wilcoxon Match Pairs
perilaku
siswa
yang menunjukkan adanya perbedaan
mengalami peningkatan dari 235,0
nyata antara sebelum dan sesudah
berkelompok
140
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013 2087-9016 pembelajaran
menggunakan
model
ISSN
Analisis pengaruh perilaku
pembelajaran kooperatif tipe GI pada
berkelompok terhadap hasil
jumlah skor perilaku berkelompok
photovoice
dengan signifikansi sebesar (Z6=-
Pada saat proses pembelajaran,
2,201; p=0,028). Sedangkan hasil uji
siswa secara berkelompok membuat
Wilcoxon Match Pairs pada masing-
photovoice
masing aspek perilaku berkelompok
kelompok mereka. Hasil photovoice
juga menunjukkan adanya perbedaan
dinilai dengan melakukan pengamatan
nyata antara sebelum dan sesudah
terhadap 5 aspek penilaian meliputi
pembelajaran
model
Spesifikasi (S), Komposisi (K), Visual
pembelajaran kooperatif tipe GI. Pada
(V), Kualitas Gambar (KG), dan
aspek PK (Z6=-2,201; p=0,028), PTJ
Narasi (N). Penilaian hasil photovoice
(Z6=-2,201; p=0,028), KI (Z6=-2,226;
siswa
p=0,026), dan PADK (Z6=-2,207;
sebelum dan sesudah pembelajaran
p=0,027).
berarti
kooperatif tipe GI oleh dua orang
hipotesis pertama dalam penelitian ini
observer. Perbandingan penilaian hasil
yang menyatakan implementasi model
photovoice
pembelajaran kooperatif tipe Group
pembelajaran
Investigation
berdasarkan nilai median dari kedua
menggunakan
Hal
(GI)
tersebut
dengan
media
photovoice berbasis lanskap budaya
yang
dilakukan
sebelum
menjadi
tugas
terhadap
dan
kooperatif
hasil
sesudah tipe
GI
observer dapat dilihat pada Tabel 2.
subak berpengaruh terhadap perilaku berkelompok siswa SMP Amarawati Tampaksiring diterima. Tabel 2. Perbandingan Penilaian Skor Hasil Photovoice Siswa antara Sebelum dan Sesudah Pembelajaran Kooperatif Tipe GI Kelompok A B C D E F ∑
S 1,5 1,5 2,0 1,5 2,0 2,0 10,5
K 2,0 2,0 3,0 1,5 2,0 2,0 12,5
Sebelum V KG 2,0 1,5 2,0 2,5 3,0 2,5 2,0 2,0 2,0 2,5 2,0 2,0 13,0 13,0
N 1,5 1,5 2,0 1,0 1,0 3,0 10,0
∑
8,5 9,5 12,5 8,0 9,5 11,0 59,0
S 3,0 2,0 3,5 3,5 3,5 4,0 19,5
Sesudah K V 2,0 3,0 2,0 2,5 3,0 3,0 4,0 3,5 3,0 3,0 4,0 3,0 18,0 18,0
KG 3,0 3,0 2,5 2,5 3,5 3,0 17,5
N 2,5 3,0 3,0 3,0 3,0 3,5 18,0
∑ 13,5 12,5 15,0 16,5 16,0 17,5 91,0
Keterangan : Spesifikasi (S), Komposisi (K), Visual (V), Kualitas Gambar (KG), Narasi (N), Jumlah Skor (∑)
141
Sang Ayu Made Ika Utari Dewi, Dewa Ayu Puspawati, Deden Ismail
Dari
hasil
perbandingan
Dinamika kelompok siswa pada
tersebut, terlihat jumlah skor hasil
saat
photovoice
kewajibannya
siswa
mengalami
mengerjakan
tugas
tentu
sangat
peningkatan dari 59,0 menjadi 91,0.
mempengaruhi
Ditinjau dari segi kelompok, terlihat
tersebut. Untuk mengetahui adanya
bahwa
hubungan
kelompok
D
mengalami
hasil
atau
akhir
antara
tugas
perilaku
peningkatan jumlah skor tertinggi
berkelompok dengan hasil photovoice
yaitu
dilakukan
dari
8,0
menjadi
16,5.
dengan
membandingkan
Sedangkan jika ditinjau dari aspek
kedua variabel tersebut antara sebelum
penilaian hasil photovoice terlihat
dan sesudah pembelajaran kooperatif
bahwa
tipe GI. Hasil perbandingan perilaku
semua
aspek
mengalami
peningkatan. Aspek yang mengalami
berkelompok
dengan
peningkatan jumlah skor tertinggi
antara
adalah aspek Spesifikasi (S) yaitu dari
pembelajaran kooperatif tipe GI dapat
10,5 menjadi 19,5. Sedangkan aspek
dilihat pada Gambar 1.
sebelum
photovoice,
dan
sesudah
yang mengalami peningkatan terendah
Skor Selisih
adalah aspek Kualitas Gambar (KG). 60
30 perilaku berkelompok139 hasil photovoice 0 A
B
C
D
E
F
Kelompok Gambar 1. Hubungan antara Perilaku Berkelompok dengan Hasil Photovoice Siswa Ditinjau dari Kelompok.
142
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013 2087-9016
ISSN
Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa peningkatan jumlah skor pada perilaku berkelompok diikuti dengan peningkatan jumlah skor pada hasil photovoice siswa. Peningkatan jumlah skor tertinggi pada perilaku berkelompok, secara berurutan diperoleh kelompok D, kelompok F, kelompok E, kelompok A, kelompok C dan kelompok B. Sedangkan peningkatan jumlah skor pada hasil photovoice siswa, secara berurutan diperoleh kelompok D, kelompok E, kelompok F, kelompok A, kelompok B dan kelompok C. Berdasarkan hasil uji korelasi non-parametrik menggunakan Spearman RankCorrelation, didapatkan koefisien korelasi (ρ=0,928) yang ditunjukkan dengan tanda positif. Artinya, semakin meningkat skor perilaku berkelompok semakin meningkat pula skor hasil photovoice. Berdasarkan nilai signifikansi yang diperoleh yaitu (0,008), lebih kecil daripada probabilitas (0,008<0,01), maka hipotesis kedua dalam penelitian ini yang menyatakan perilaku berkelompok siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation (GI) dengan media photovoice berbasis lanskap budaya subak berpengaruh terhadap hasil photovoice siswa diterima. Pembahasan Perilaku berkelompok Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, masing-masing aspek perilaku berkelompok mengalami peningkatan. Setelah diuji menggunakan Wilcoxon Match Pairs diperoleh tingkat signifikansi (p<0,05) pada setiap aspek, yang berarti terdapat perbedaan nyata antara sebelum dan sesudah pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe GI. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi model pembelajaran kooperatif tipe GI dengan media photovoice berbasis lanskap budaya subak berpengaruh terhadap perilaku berkelompok siswa SMP Amarawati Tampaksiring. Meningkatnya aspek perilaku berkelompok siswa, dikarenakan pembelajaran kooperatif tipe GI melatih siswa untuk terbiasa menempatkan diri pada lingkungan sosial, belajar menghargai pendapat orang lain, melatih keterampilan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran, memberikan kesempatan pada siswa untuk bertukar pengalaman belajar, memotivasi siswa untuk bersaing secara sportif, melatih siswa untuk bertanggung jawab, memacu siswa untuk lebih kreatif karena melakukan kegiatan kelompok yang variatif serta melatih siswa untuk berani mengemukakan pendapatnya. Hal ini sejalan dengan hasil 150
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013 2087-9016
ISSN
wawancara dengan siswa, dimana siswa mengungkapkan bahwa belajar secara berkelompok membuat mereka menjadi lebih akrab satu sama lain, lebih nyaman mengemukakan pendapat karena dengan teman sebaya, penguasaan materi lebih cepat karena saling berdiskusi, serta dapat bekerjasama dalam menyelesaikan tugastugas kelompoknya. Ditinjau dari aspek perilaku berkelompok, yang mengalami peningkatan tertinggi adalah aspek peranan anggota dalam kelompok (PADK), hal ini sesuai dengan pengamatan yang dilakukan. Dimana sebelum menerapkan pembelajaran kooperatif GI, dalam mengerjakan tugas kelompoknya siswa cenderung kurang aktif dan kurang termotivasi. Hanya beberapa orang yang antusias dalam mengerjakan tugas, hal ini dikarenakan siswa belum terbiasa belajar di dalam kelompok sehingga egoisme masing-masing anggota masih sangat terlihat. Setelah
melakukan
pembelajaran
kooperatif
GI,
siswa
mulai
dapat
berkomunikasi dengan siswa lainnya karena pada setiap tahapan pembelajaran kooperatif ini
siswa dituntut untuk selalu mendiskusikan permasalahan dalam
mengerjakan tugas kelompok. Sikap mendominasi juga berkurang karena setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawab masing-masing. Misalnya pada saat pembelajaran di areal Subak Pulagan, siswa membagi tugas sebagai pengambil gambar, notulis, dan ada yang mencocokan temuan mereka di lapangan dengan materi ekosistem. Demikian pula pada saat presentasi, siswa membagi tugas masingmasing agar setiap anggota ikut berperan dalam mengerjakan tugas kelompoknya. Sehingga peningkatan aspek peranan anggota dalam kelompok (PADK) juga diikuti dengan peningkatan pada aspek pembagian tanggung jawab (PTJ). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Yuliana (2011), yang menemukan bahwa terjadi peningkatan sebesar 7,06% setelah penerapan pembelajaran kooperatif tipe GI terhadap 141 kemampuan afektif siswa yang mencakup penerimaan (receiving), bertanggung jawab terhadap tugas (responding), bekerjasama dalam kelompok (valuing), mendiskusikan permasalahan (organizing) dan kemampuan menyelesaikan suatu permasalahan (characterization). Aspek-aspek perilaku berkelompok saling terkait dan mempengaruhi dalam membentuk dinamika sosial yang baik. Oleh karena itu peningkatan salah satu aspek akan diikuti oleh aspek lainnya. Aspek kualitas interaksi (KI) mengalami
Ni Made Purnami dan I Nyoman Suparsa
peningkatan sebesar 56,0, sedangkan aspek partisipasi kelompok (PK) mengalami peningkatan sebesar 40,0. Adanya keterkaitan aspek-aspek dalam perilaku berkelompok, karena kelompok merupakan kumpulan dua orang atau lebih yang saling berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan bersama, dimana agar tercapai suatu interaksi sosial yang baik diperlukan faktor-faktor pendukung antara lain rasa simpati (ketertarikan), motivasi (dorongan), empati (rasa simpatik), sugesti (kepercayaan), imitasi (meniru), indentitas (penyesuaian diri), kontak sosial (bekerja sama) dan komunikasi (Triyanto, 2013). Selain itu peningkatan perilaku berkelompok siswa juga dipengaruhi oleh proses belajar mengajar, jika didukung dengan pembelajaran menarik dan komunikatif tentu dapat memotivasi siswa untuk berinteraksi baik dengan guru maupun siswa lainnya. Penggunaan media inovatif berupa media photovoice, mampu membangkitkan rasa ingin tahu dan memotivasi siswa untuk membuat hasil yang sebaik-baiknya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian kualitatif oleh Perry (2009), yang menemukan bahwa pembelajaran menggunakan media photovoice merupakan pembelajaran berbasis teknologi yang praktis, sederhana dan efektif untuk meningkatkan pemahaman serta mengembangkan interaksi sosial siswa. Berdasarkan hasil wawancara, siswa mengungkapkan bahwa penggunaan media photovoice dalam pembelajaran merupakan metode baru bagi mereka, selain itu belajar menggunakan gambar lebih menarik dan mudah dimengerti.
Selain penggunaan media yang
inovatif serta melibatkan partisipasi aktif siswa, suasana pembelajaran juga harus kondusif dan menyenangkan agar siswa tidak merasa jenuh. Pembelajaran langsung di areal subak merupakan salah satu inovasi untuk membelajarkan siswa mengenai materi IPA khususnya biologi, sekaligus mengenal kebudayaan mereka. Manfaat belajar di areal Subak Pulagan berdasarkan wawancara dengan siswa antara lain : 1) membuat suasana pembelajaran menjadi lebih menyenangkan karena belajar dilakukan di luar kelas; 2) dapat belajar langsung dari contoh-contoh di lapangan yang berkaitan dengan materi ekosistem; 3) materi pelajaran menjadi lebih mudah diingat dan dipahami; serta 4) dapat mengenal lebih jauh tentang subak bukan hanya sebagai kebudayaan, tetapi juga sebagai media dalam pembelajaran IPA khususnya biologi. Hal ini didukung oleh penelitian Sudiana, dkk., (2009), yang menyatakan bahwa melalui pembelajaran sains biologi yang diintegrasikan dengan pengetahuan
152
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013 2087-9016
ISSN
tradisional subak, siswa merasakan kegiatan belajar menjadi lebih menyenangkan dan bermakna, sebab siswa bisa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dan pengalaman dalam kehidupan aktualnya. Pengaruh perilaku berkelompok terhadap hasil photovoice siswa Hasil photovoice siswa mengalami peningkatan dari sebelum dan sesudah pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe GI, hal ini terlihat dari peningkatan jumlah skor pada masing-masing aspek penilaian photovoice. Aspek yang mengalami peningkatan tertinggi adalah Spesifikasi (S) yang mencakup kesesuaian antara tema (topik), gambar, serta narasi yang dibuat oleh siswa. Sebelum penerapan pembelajaran kooperatif tipe GI, topik serta gambar dalam pembuatan photovoice masih ditentukan oleh guru model, sehingga siswa mengalami kesulitan untuk menentukan narasi yang sesuai sehingga antara topik, foto, dan narasi yang dibuat tidak saling berkaitan. Setelah diterapkan pembelajaran kooperatif tipe GI, siswa diberikan wewenang untuk menentukan topik serta mengambil gambar sesuai dengan ide dan hasil diskusi kelompok. Hal ini mempermudah siswa dalam membuat 143topiknya dari awal. Sehingga aspek spesifikasi narasi foto, karena siswa menentukan yang mencakup keterkaitan antara topik, gambar dan narasi mengalami peningkatan yang pesat. Sedangkan aspek yang mengalami peningkatan paling rendah adalah aspek Kualitas Gambar (KG). Hal ini dikarenakan siswa masih kurang memahami bagaimana cara mengambil gambar dengan baik, selain itu beberapa obyek foto berupa hewan sedikit menyulitkan siswa untuk mengambil gambar karena obyek selalu berpindah-pindah. Tetapi hal ini tidak menjadi hambatan dalam pembuatan media photovoice, karena teknik fotografi tidak terlalu diutamakan. Adanya keterkaitan antara perilaku berkelompok dengan hasil photovoice siswa diperkuat oleh hasil uji korelasi non-parametrik menggunakan Spearman Rank-Correlation didapatkan koefisien korelasi sebesar (0,928) yang ditunjukkan dengan tanda positif, dimana maknanya adalah semakin meningkat perilaku berkelompok siswa semakin meningkat pula hasil photovoice siswa tersebut, seperti yang terlihat pada Gambar 1. Berdasarkan nilai signifikansi yang diperoleh yaitu (0,008<0,01), maka dapat diartikan bahwa perilaku berkelompok siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe GI dengan media photovoice berbasis lanskap budaya
Ni Made Purnami dan I Nyoman Suparsa
subak berpengaruh sangat nyata terhadap hasil photovoice siswa. Hasil tersebut didukung oleh penelitian Fernanda, dkk., (2012), yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kemampuan berinteraksi sosial dengan hasil belajar siswa, dimana semakin baik kemampuan berinteraksi sosial pada siswa maka semakin baik pula hasil belajarnya. Keterkaitan antara perilaku berkelompok dan hasil photovoice siswa tersebut sesuai dengan aspek utama dalam pembelajaran kooperatif, yaitu : 1) motivasi artinya memberikan penghargaan terhadap kerjasama kelompok siswa untuk keberhasilannya mencapai tujuan kelompok; 2) sosial yaitu melalui belajar kelompok, siswa mampu saling berbagi pengetahuan dengan siswa lainnya; serta 3) perkembangan kognitif yaitu meningkatkan prestasi belajar siswa (Rusman, 2010). Sehingga dengan menerapkan pembelajaran kooperatif dalam penelitian ini dapat meningkatkan aspek sosial yaitu perilaku berkelompok dan berimbas positif terhadap perkembangan kognitif berupa hasil photovoice sebagai tugas akhir kelompok. Penggunaan hasil photovoice sebagai tugas akhir kelompok, didukung oleh penelitian Surata, dkk., (2005), yang menemukan bahwa terdapat perbedaan hasil gambaran yang sangat nyata (p<0,000) antara siswa yang dibelajarkan menggunakan pendidikan lingkungan berbasis subak dengan siswa yang tidak memperoleh pembelajaran sama sekali, hal tersebut mengimplikasikan bahwa gambaran sebagai salah satu karya seni siswa dapat dipergunakan sebagai alat evaluasi pembelajaran seperti halnya tes atau soal. Peningkatan skor tertinggi baik pada perilaku berkelompok maupun hasil photovoice diperoleh kelompok D. Berdasarkan pengamatan, sebelum diterapkan pembelajaran kooperatif tipe GI
kelompok D cenderung sangat pasif dalam
melakukan diskusi, tugas yang diberikan yaitu pembuatan photovoice awal dikerjakan seadanya tanpa usaha maksimal dan tidak terlihat kerjasama antar anggotanya. Peningkatan pesat diperoleh kelompok ini dikarenakan adanya motivasi untuk bersaing positif dengan kelompok lainnya, selain itu penghargaan yang akan diberikan pada akhir pembelajaran ikut memacu semangat mereka untuk mencapai hasil terbaik. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara dengan siswa, dimana siswa menyatakan bahwa tugas yang diberikan yaitu membuat media sendiri berupa photovoice memacu mereka untuk berlomba-lomba membuat hasil terbaik
154
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013 2087-9016
ISSN
dibandingkan dengan kelompok lainnya. Sedangkan peningkatan baik perilaku berkelompok maupun hasil photovoice terendah diperoleh kelompok B, hal ini diakibatkan kurangnya komunikasi serta lemahnya kerjasama antar anggota dalam kelompok. Selain itu sikap mendominasi juga sangat nampak pada kelompok ini, lemahnya beberapa aspek perilaku berkelompok dalam kelompok B disebabkan karena kurangnya kesadaran anggota untuk aktif
dalam mengerjakan tugas
kelompoknya. Sehingga hal tersebut diatasi dengan pembagian tanggung jawab agar tugas masing-masing individu merata. Tujuan pembentukan suatu kelompok salah satunya adalah adanya keinginan untuk mencapai suatu tujuan bersama. Demikian pula pada kelompok belajar, di dalam kegiatan berkelompok siswa harus menjalin interaksi serta kerjasama yang baik untuk mencapai keberhasilan tugasnya. Interaksi dalam kelompok salah satunya terjadi melalui proses komunikasi, dengan adanya komunikasi siswa dapat saling bertukar ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan serta mencari solusi untuk memecahkan permasalahan. Partisipasi kelompok dapat terlihat pada saat kegiatan diskusi, siswa saling mengemukakan pendapat dan ide mereka dalam pembuatan tugas, walaupun sering terjadi perbedaan dan adu argumen, tetapi hal ini menunjukkan terjadi interaksi yang baik dalam kelompok tersebut. Selain interaksi, kerjasama dalam kelompok juga sangat diperlukan untuk mencapai hasil yang maksimal. Kerjasama dalam kelompok siswa tercermin dari usaha setiap anggota untuk menyatukan ide-ide yang berbeda agar menjadi berkesinambungan, serta pada saat presentasi hasil photovoice siswa saling melengkapi dalam menjawab pertanyaan yang diajukan oleh kelompok lain maupun oleh guru model. Pentingnya kerjasama dalam pencapaian tujuan kelompok serta mengembangkan aspek siswa sesuai dengan hasil penelitian Restyowati, dkk., (2010), yang menemukan adanya peningkatan skor kemampuan berinteraksi sosial siswa dari pretest ke posttet setelah diberikan perlakuan bimbingan kelompok dengan teknik permainan kerjasama.
PENUTUP Simpulan
Ni Made Purnami dan I Nyoman Suparsa
Adapun simpulan dari penelitian ini adalah pembelajaran kooperatif tipe GI dengan media photovoice berbasis subak berpengaruh nyata (p=0,028<0,05) terhadap perilaku berkelompok siswa SMP Amarawati Tampaksiring, serta perilaku berkelompok dalam pembelajaran kooperatif tipe GI dengan media photovoice berbasis subak berpengaruh sangat nyata (p=0,008<0,01) terhadap hasil photovoice siswa.
Saran Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, maka dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut : 1) Diharapkan pembelajaran kooperatif tipe GI dengan media photovoice berbasis subak dapat dijadikan salah satu model pembelajaran alternatif oleh guru dalam mengembangkan aspek perilaku berkelompok siswa; Sehingga melatih siswa untuk ikut berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pembelajaran; 2) Diharapkan kepada guru untuk menerapkan pembelajaran kooperatif berbasis media pembelajaran yang dikaitkan dengan contoh langsung di lingkungan sekitar dalam mata pelajaran lain untuk membangun proses pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan; Diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian sejenis dengan mengembangkan variabel-variabel penelitian yang lebih bervariasi sehingga dapat menambah inovasi pembelajaran dalam dunia pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA Fernanda, M. M., Sano, A. S., & Nurfarhanah. (2012). Hubungan antara kemampuan berinteraksi sosial dengan hasil belajar. Jurnal ilmiah konseling. Diunduh dari http://ejournal.unp.ac.id/index.php/konselor. Pada tanggal 24 Mei 2013. Murti,
B. (2011). Validitas dan reliabilitas pengukuran. Diunduh dari http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ve d=0CCoQFjAA&url=http%3A%2F%2Ffk.uns.ac.id%2Findex.php%2Fdownl oad%2Ffile%2F61&ei=4SHUYTcAcTqrAfZrIDABw&usg=AFQjCNGFXL2 esz2gqpn81AT_LH9JWHjYVA&bvm=bv.45960087,d.bmk. Pada tanggal 25 April 2013.
Nelson, E., & Christensen, K. (2012). In the middle : how our students experience learning at school and beyond. Diunduh dari www.teacherswork.ac.nz/journal/.../nelson.pdf. Pada tanggal 15 September 2012. Nurdin, R. (2012). Studi komparatif penerapan model pembelajaran kooperatif tipe gi dengan konvensional pada pembelajaran ilmu statistika di SMKN 1 Cilaku 147 156
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013 2087-9016
ISSN
(Skripsi, Universitas Pendidikan Indonesia). Diunduh dari http://repository.upi.edu/operator/upload/s_mat_0706564_chapter1.pdf. Pada tanggal 17 September 2012. Perry, B. (2009). Creating a culture of community in online courses. Diunduh dari http://auspace.athabascau.ca/handle/2149/2159. Pada tanggal 20 Januari 2013. Restyowati, D., & Naqiyah, N. (2012). Penerapan teknik permainan kerja sama dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosial pada siswa. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Bimbingan 11( 2). Diunduh dari http://ppb.jurnal.unesa.ac.id/74_421/penerapan-teknik-permainan-kerja-samadalam-bimbingan-kelompok-untuk-meningkatkan-kemampuan-interaksisosial-pada-siswa. Pada tanggal 29 Mei 2013. Rusman. (2010). Model-model pembelajaran : mengembangkan profesionalisme guru (edisi kedua). Jakarta : Raja Grafindo. Sudiana, I. M, & Surata, I. K. (2009). Pendidikan dan latihan merancang pembelajaran ipa biologi melalui pendekatan keterampilan proses berbasis pengetahuan tardisional dan lingkungan subak bagi guru SMP. Jurnal Bakti Saraswati 1 (2). Diperoleh dari http://www.unmas.ac.id/PDF/JURNA-JBSVOL-01-NO-02-SEPTEMBER-2011.pdf. Pada tanggal 22 Mei 2013. Surata, S. P. K, & Seniwati, N. P. (2005). Kegiatan menggambar berbasis subak sebagai model pendidikan lingkungan bagi siswa SD di Bali. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran 13(2), 166-174. Surata, S. P. K. (2011). Rubrik pengamatan perilaku berkelompok. (Rubrik tidak dipublikasikan). Universitas Mahasaraswati Denpasar, Denpasar. Triyanto. (2013). Hubungan sosial. Diunduh dari http://geografi9.blogspot.com/2013/01/hubungan-sosial.html. Pada tanggal 3 Mei 2013. Yuliana. (2011). Penerapan pembelajaran kooperatif group investigation (GI) untuk meningkatkan kemampuan afektif siswa dalam pembelajaran biologi siswa kelas VII A SMP Negeri 16 Surakarta tahun ajaran 2010/2011. Diunduh dari http://biologi.fkip.uns.ac.id/wpcontent/uploads/2011/05/30x.pdf. Pada tanggal 3 Mei 2013. Zlem,
J. (2012). Rubric photovoice. Diunduh http://www.rcampus.com/rubricshowc.cfm?code=Q4X87B&sp=true. tanggal 25 November 2012.
dari Pada
Ni Made Purnami dan I Nyoman Suparsa
PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGANALISIS UNSUR INTRINSIK CERPEN MELALUI METODE DISKUSI JENIS BUZZ GROUP PADA SISWA KELAS VIII A SMP DWIJENDRA GIANYAR TAHUN PELAJARAN 2011/2012 Ni Made Purnami Sari dan I Nyoman Suparsa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRACT This study is a classroom action research. It was conducted for the students at class VIII SMP DwijendraGianyar in the academic year 2011/2012. There were three cycles planned. There were 36 students. The object of the study was the improvement of ability in analyzing the intrinsic element of a short story through Buzz group discussion method. The results revealed that there was improvement in analyzing the intrinsic element of a short story after implementing Buzz group discussion method. It could be found from the mean score of the pretest was 4.2. It improved to 5.22 in the 1st cycle, then up to 6.22 in the 2nd cycle until achieving 7.38 in the 3rd cycle. It means that the standard-passing score (SKBM) that is 7.00 was achieved. Key words: analysis ability, intrinsic element, short story, Buzz group discussion method menarik, menyerap nilai-nilai yang
PENDAHULUAN Karya sastra dalam berbagai bentuknya
sangat
berperan
terkandung dalam karya sastra.
aktif
Pengajaran sastra dalam dunia
selama berabad-abad mengikuti gerak
pendidikan
kebutuhan manusia. Oleh karena itu,
pelajaran bahasa Indonesia. Sastra
pengajaran sastra di dunia sebagai
merupakan bagian dari kesenian yang
cabang seni hampir sama dengan
memiliki unsur keindahan atau estetis
adanya manusia, karena ia diciptakan
yang
dan dinikmati manusia. Sastra telah
dikembangkan
menjadi bagian dari pengalaman hidup
perkembangannya mengikuti zaman
manusia, baik dari aspek penciptanya
yang maju dan modern.
yang mengapresiasikan pengalaman
dimasukkan
perlu
Dalam
ke dalam
dilestarikan
dan
sehingga
kehidupan
sehari-hari
bathinnya dari karya sastra maupun
seseorang tentu memerlukan bahasa
dari aspek pembaca untuk dapat
sebagai
alat
perhubungan
atau
158
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013 2087-9016 komunikasi
dengan
orang
lain
ISSN
usaha dilakukan oleh Pusat Pembinaan
demikian pula di dunia pendidikan.
dan
Dunia pendidikan telah menyadari
masyarakat
bahwa pengajaran bahasa merupakan
mengapresiasikan sebuah karya sastra.
kunci sukses bagi segala kegiatan
Mengapresiasikan
pendidikan. Tujuan pengajaran bahasa
merupakan salah satu kegiatan yang
dalam dunia pendidikan adalah untuk
banyak
mendorong kemajuan individu dan
Kegemaran mengapresiasikan sastra
sosial masyarakat. Melalui pengajaran
tidak hanya melanda kaum muda saja
bahasa di sekolah, para siswa juga
tetapi juga anak-anak sampai orang
didorong
tua
untuk
kemampuan
menumbuhkan
berkomunikasi
belajar
Pengembangan lebih
ikut
mengapresiasikan
samping
itu,
merupakan
bahasa
Di
melalui
sehingga
Kegiatan
sastra
membaca
perasaan
merupakan
dilukiskan
dalam
bahasa, khususnya bahasa Indonesia. Peningkatan mutu pengajaran
dari
karya
yang terkandung dalam karya sastra.
mengapresiasikan
terlepas
kegiatan
sastra akan mengetahui nilai-nilai
setiap pendapat dirumuskan dan setiap
Indonesia
itu
bahasa
sedalam-dalamnya,
sastra
Hal
masyarakat khususnya para peminat
satu-satunya
dapat
masyarakat.
Indonesia
kebudayaan dalam arti seluas– luasnya dan
sastra
merupakan suatu hal yang wajar
warga
berguna.
karya
menikmatinya.
karena
yang
agar mudah
diminati
hidup bermasyarakat dan menjadi negara
Bahasa
manusia.
salah
karya satu
Ketika
dan sastra
kehidupan pembaca
mengapresiasikan salah satu judul
memang
tidak
cerpen atau cerita pendek, setelah
usaha
untuk
pembaca
melaksanakan
kegiatan
meningkatkan mutu apresiasi siswa
membaca terhadap keseluruhan cerpen
terhadap
Untuk
itu, pembaca lebih lanjut menampilkan
mencapai hal itu, maka dewasa ini
pertanyaan-pertanyaan, misalnya cara
sedang giat–giatnya dilakukan usaha
penokohannya, settingnya, perwatakan
meningkatkan apresiasi masyarakat
setiap tokoh dan pertanyaan tentang
terhadap karya sastra.
unsur intrinsik lain yang terdapat
sastra
Indonesia.
Untuk memperkenalkan karya sastra kepada generasi muda, berbagai
dalam cerpen itu, pembaca kembali membaca
ulang
sambil
berusaha
151
Ni Made Purnami dan I Nyoman Suparsa
menganalisis setiap unsur yang telah
khususnya
mempunyai
ditetapkannya. Yang paling penting
didalam karya sastra. Berdasarkan
cara melukiskan kemampuan siswa
struktur
hasil pengamatan
kelas VIII dalam menggunakan bahasa
terhadap proses belajar-mengajar di
Indonesia untuk memahami unsur–
kelas VIII A SMP Dwijendra Gianyar
unsur intrinsik salah satu hasil karya
penulis
sastra.
menunjukkan,
permasalahan yang ditimbulkan, baik
bahwakarya sastra (cerpen) membuat
oleh guru maupun siswa khususnya
beberapa hal
yang berguna bagi
dalam menganalisis unsur intrinsik
masyarakat. Dengan adanya langkah-
cerpen. Pada saat proses belajar-
langkah
mengajar
sastra
Hal
ini
ini,
maka
Indonesia
perkembangan
akan
mengalami
menemukan
beberapa
berlangsung
ketika
siswa
khususnya
disuruh
untuk
menganalisis unsur intrinsik cerpen
kemajuan yang pesat. Berbicara tentang karya, maka
yang terdapat dalam cerpen, siswa
sastra salah satuya adalah cerpen atau
mengalami
cerita pendek merupakan sebuah karya
menemukan unsur intrinsik tersebut,
sastra yang menceritakan kehidupan
karena
manusia.
diberikan pengetahuan tentang teori
Dalam
mengangkat
cerpen
tentang
banyak nilai–nilai
kesulitan
selama
pengertian
dari
ini
dalam
siswa
tema,
hanya
penokohan,
kehidupan dalam masyarakat yang
amanat, latar dan juga sudut pandang,
kemudian dikemas menjadi sebuah
tetapi
cerita yang menarik dan penuh konflik
menentukan
agar menjadi pusat perhatian untuk
selain itu siswa juga tidak terlalu
memancing pembaca. Karya sastra
serius
mengandung
amat
kebanyakan siswa ngobrol dengan
dapat
teman sebangkunya, bersenda gurau
berguna
sesuatu
bagi
yang
manusia
memberikan
kesantaian,
dengan
tidak
dijelaskan unsur-unsur
membaca
temannya
cara tersebut,
cerpen,
sambil
dan
lempar-
dan
lemparan kertas tanpa memperhatikan
memberikan keindahan, estetis semua
apa yang diberitahu oleh guru. Kondisi
karya sastra pada umumnya dan
belajar
cerpen
mengakibatkan
membangkitkan
atau
daya
cerita
kreasi
pendek
pada
yang
seperti hasil
ini belajar
dapat yang
diharapkan jauh dari nilai standar, dan
152 152
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013 2087-9016 siswa
menganggap
pelajaran
ISSN
Sebagaimana
pendapat
Sudjana
menganalisis unsur intrinsik cerpen ini
(1987:76), bahwa peranan metode
merpakan
mengajar
pelajaran
yang
sebagai
alat
membosankan, dan murid pun menjadi
menciptakan
malas untuk mengikuti pelajaran ini.
mengajar. Oleh karena itu, dalam
Hal ini disebabkan oleh, kurangnya
penelitian ini peneliti menggunakan
kemampuan
dalam
metode diskusi kelompok kecil atau
melaksanakan pembelajaran inovatif
metode buzz group. Tujuan utama
untuk meningkatkan motivasi belajar
metode diskusi jenis buzz group ini
siswa.
adalah untuk mengetahui sejauh mana
guru
tersebut
Mengacu pada paparan di atas, dapat
diidentifikasi
penyebab
keaktivan
proses
untuk
dan
keterampilan
belajar
kemampuan kooperatif
dan
guru, siswa,
rendahnya kemampuan siswa kelas
keterampilan guru dalam mengelola
VIII A dalam menganalisis unsur
pembelajaran, dan hasil belajar siswa
intrinsik cerpen di SMP Dwijendra
pada pokok bahasan perbandingan dan
Gianyar, yaitu disebabkan oleh guru
fungsi
yang
diterapkannya
kurang
mampu
menerapkan
trigonometri
dengan pembelajaran
metode pembelajaran yang inovatif
kooperatif
untuk memotivasi siswa meningkatkan
diskusi dengan teknik buzz group
kreativitas
(kelompok aktif ).
dan
aktivitas
dalam
menganalisis unsur intrinsik cerpen. Selama
ini
pembelajaran
yang
dilaksanakan cenderung menoton dan hanya
menitikberatkan
pada
pengertian dan teori tanpa ada praktek langsung proses dalam memecahkan suatu permasalahan yang dihadapi. Untuk itu dalam pembelajaran diperlukan metode yang sesuai dengan
menggunakan
metode
Metode diskusi jenis buzz group diaplikasikan dalam proses belajar mengajar untuk: a. Mendorong
siswa
berpikir
kritis; b. Mendorong
siswa
mengekspresikan pendapatnya secara bebas; c. Mendorong
siswa
tingkat perkembangan siswa. Dengan
menyumbangkan
buah
demikian, pemilihan metode yang
pikirannya untuk memecahkan
tepat dan efektif sangat diperlukan.
masalah bersama; dan
153
Ni Made Purnami dan I Nyoman Suparsa
d. Mengambil
satu
alterntaif
jawaban
atau
beberapa
alternative
jawaban
memecahkan
pertimbangan
mengadakan
adalah
Penelitian
memandang penelitian
Tindakan
Kelas
(PTK). PTK adalah suatu bentuk penelitian
yang seksama. Penulis
Jenis penelitian yang dilakukan
untuk masalah
berdasarkan
METODE PENELITIAN
yang
bersifat
refleksif
perlu
dengan melakukan tindakan-tindakan
tentang
tertentu agar dapat memperbaiki dan
“peningkatan
kemampuan
meningkatkan
menganalisis
unsur intrinsik cerpen
pembelajaran
praktek-praktek di
kelas
secara
pada tingkat SMP” karena mengingat
profesional. PTK ini dilakukan dalam
betapa pentingnya pembaca cerpen
beberapa siklus pada pembelajaran
mengetahui unsur – unsur intrinsik
menganalisis unsur intrinsik cerpen di
cerpen, maka dalam pembelajaran
kelas VIII A SMP Dwijendra Gianyar
sastra
Tahun
disekolah,
menyangkut
khususnya
tentang
yang
pengajaran
intrinsik
cerpen
harus
2011/2012
(Noviari,2010:25). Subjek
cerpen, kegiatan menulis unsur – usnsur
Pelajaran
adalah
dalam
siswa
kelas
penelitian VIIIA
ini SMP
mendapat perhatian yang lebih dari
Dwijendra Gianyar Tahun Pelajaran
guru Bahasa Indonesia.Berdasarkan
2011 / 2012 yang berjumlah 36 orang.
pemaparan
Selanjutnya,
tersebut,
maka
objek
ini
permasalahan yang dibahas dalam
adalah
penelitian ini adalah apakah metode
menganalisis unsur intrinsik cerpen
diskusi
melalui metode diskusi jenis buzz
jenis
meningkatkan menganalisis
buzz
group
dapat
kemampuan
SMP
kemampuan
group. Setiap siklus dalam penelitian ini
unsur intrinsik cerpen
pada siswa kelas VIII A
peningkatan
penelitian
dilaksanakan
berdasarkan
hasil
Dwijendra Gianyar Tahun Pelajaran
kolaborasi dan refleksi setelah satu
2011/2012 ?
tindakan
dilaksanakan.
Untuk
mengetahui kemampuan awal siswa, maka
dilaksanakan
Pelaksanaan
penelitian
pra
test. dengan
154 154
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013 2087-9016
ISSN
menggunakan metode diskusi terdiri
ditemukan
atas perencanaan (planning), tindakan
pembelajaran siklus I yang perlu
(acting), pengamatan (observasi) dan
dijadikan
refleksi
perbaikan siklus selanjutnya. Masalah
(reflecting).
Penelitian
peneliti
bahan
proses
refleksi
yang
dilakukan hingga siklus ke N. Adapun
siklus I, siswa masih enggan untuk
target menganlisis cerpen siswa kelas
mengajukan
VIII A SMP Dwijendra Gianyar tahun
meskipun telah diberikan kesempatan.
ajaran 2011/2012 adalah 7,00. Nilai
Hal ini terjadi karena siswa belum
7,00 merupakan nilai yang terdapat
cermat dan cepat dalam menganalisis
dalam SKBM (Standar Ketuntasan
unsur intrinsik cerpen. Maka peneliti
Belajar
menganggap
di
lingkungan
SMP. Dalam perencanaannya, peneliti
(2)
mempersiapkan
pengambilan
pertanyaan-pertanyaan
perlu
melanjutkan
pelaksanaan pembelajaran ke siklus II. Analisis
menggunakan (1) buku paket bahasa Indonesia,
dalam
untuk
tindakan kelas ini rencananya akan
Minimum)
muncul
pada
kuantitatif
data
dihitung
tes
secara
dengan
cara
renacana pelaksanaan pembelajaran
persentase melalui langkah-langkah:
(RPP), (3) mempersiapkan sebuah
(1) merekap nilai yang diperoleh
cerpen, dan (4) tes akhir untuk siklus.
siswa,
Kegiatan evaluasi diadakan pada akhir
pertemuan
siswa
untuk
(2)
menghitung
nilai
komunikatif dari seluruh aspek, (3) menghitung menentukan skor ideal
mengetahui peningkatan kemampuan
yang
menganalisis unsur intrinsik cerpen
menghitung nilai rata-rata dengan
melalui metode diskusi jenis buzz
rumus :
group. Pada proses pembelajaran, kegiatan pembelajaran
berlangsung
M =
diperoleh
siswa,
dan
(4)
Σfx N
cukup baik, kegiatan pembelajaran berlangsung dalam kondisi yang aktif, efektif, dan menyenangkan.
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil obervasi awal
kemampuan
dan wawancara yang peneliti lakukan
menganalisis unsur intrinsik cerpen
terhadap guru bahasa Indonesia kelas
melalui metode diskusi pada siklus I
VIIIA
masih ada beberapa masalah yang
diperoleh
Peningkatan
SMP
Dwijendra informasi
Gianyar bahwa
155
Ni Made Purnami dan I Nyoman Suparsa
kemampuan memahami
siswa
di
unsur intrinsik
dalam
kemampuan
cerpen
intrinsik
tergolong rendah. Hal ini terbukti dari
menganalisis
cerpen
melalui
unsur metode
diskusi jenis buzz group.
hasil tes awal yang dilakukan peneliti
Pelaksanaan pembelajaran siklus
untuk mengetahui kemampuan dasar
I dilaksanakan 1 kali pertemuan, yaitu
yang dimiliki oleh siswa dengan nilai
pada hari Rabu, tanggal 8 Maret 2012.
rata-rata kelas 4,2 dengan kategori
Dalam
kurang.
yang
menggunakan (1) buku paket bahasa
dicapai pada tes awal, maka peneliti
Indonesia, (2) mempersiapkan rencana
menganggap
dilaksanakan
pelaksanaan pembelajaran (RPP), (3)
penelitian tindakan kelas. Hasil pretes
mempersiapkan sebuah cerpen, dan (4)
ini belum mencapai SKBM (Standar
tes akhir untuk siklus I.
Berdasarkan
perlu
hasil
perencanaannya,
peneliti
Ketuntasan Belajar Minimum) yaitu 7,00. Oleh karena itu, peneliti harus melakukan
upaya
peningkatan
Tabel 01. Analisis Data Hasil Tes Kemampuan Menganalisis Unsur Intrinsik Cerpen Melalui Metode Diskusi Jenis Buzz Group pada Siklus I Skor Frekue Jumlah Persentase Rentanga Rata-rata No Standar nsi nilai Kategori (%) n Skor Nilai (x) (f) (fx) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 1 10 0 0 0% Istimewa 52-60 188 = 2 9 0 0 0% Baik sekali 47-51 36 3 8 0 0 0% Baik 42-46 =188:36 4 7 0 0 0% Lebih dari 37-41 =5,22 5 6 10 60 27,7% cukup 32-38 (hampir 6 5 24 120 66,6% Cukup 27-31 cukup) 7 4 2 8 5,55% Hampir cukup 22-26 Kurang 8 3 0 0 0% Kurang sekali 17-21 9 2 0 0 0% Buruk 12-16 10 1 0 0 0% Buruk sekali 7-11 36
188
100%
Berdasarkan tabel diatas, maka
rincian,
nilai
6
kategori
cukup
nilai rata-rata yang dicapai siswa
sebanyak 10 orang (27,7%), nilai 5
adalah 5,22 dari 36 siswa dengan
kategori hampir cukup sebanyak 24
156 156
Ni Made Purnami dan I Nyoman Suparsa
orang (66,6%), nilai 4 kategori kurang
pelaksanaan pemebelajaran (RPP), (4)
sebanyak dua orang (5,55%), sehingga
mempersiapkan
kemampuan
unsur
membentuk kelompok diskusi, dan (6)
intrinsik cerpen melalui pembelajaran
menyusun tes hasil hasil belajar dan
buzz
siklus II. Pada siklus II peneliti
menganalisis
group
dalam
dapat
kategori
ketentuan
dikelompokkan hampir
belum
mencapai
cerpen,
(5)
guru
cukup,
membimbing siswa untuk berlatih
target
menganalisis unsur intrinsik cerpen
maka perlu dilanjutkan ke siklus N.
melalui metode diskusi jenis buzz
Pelaksanaan pembelajaran siklus
group sehingga siswa terbiasa untuk
II dilaksanakan pada tanggal 9 Maret
melakukan seperti ini, maka siswa
2012. Dalam perencanaannya, peneliti
akan
menggunakan: (1) buku paket bahasa
keberanian
untuk
Indonesia
pertanyaan
apabila
SMP
Kelas
VIII,
(2)
menyiapkan bahan pelajaran bahasa Indonesia,
(3)
menyusun
mengalami
kemajuan
dan
mengajukan siswa
belum
mengerti.
rencana
Tabel 02. Analisis Data Hasil Tes Kemampuan Menganalisis Unsur Intrinsik Cerpen melalui Metode Diskusi Jenis Buzz Group pada Siklus II Skor Frekue Jumlah Persenta Stand Rentangan Rata-rata No nsi nilai se Kategori ar Skor Nilai (f) (fx) (%) (x) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 1 10 0 0 0% Istimewa 52-60 224 = 2 9 0 0 0% Baik sekali 47-51 36 3 8 0 0 0% Baik 42-46 =6,22 4 7 11 77 30,5% Lebih dari 37-41 (cukup) 5 6 22 132 61,1% cukup 32-38 6 5 3 15 8,3% Cukup 27-31 7 4 0 0 0% Hampir 22-26 8 3 0 0 0% cukup 17-21 9 2 0 0 0% Kurang 12-16 10 1 0 0 0% Kurang sekali 7-11 Buruk Buruk sekali 36 224 100% Pembelajaran cerpen pada siklus
rincian nilai 7 kategori lebih dari
II dapat diketahui bahwa rata-rata skor
cukup sebanyak 11 orang
(30,5%),
dari 36 siswa adalah 6,22 dengan
nilai 6 kategori cukup sebanyak 22 156 157
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013 2087-9016
ISSN
orang (61,1%), nilai 5 kategori hampir
Pada tahap ini peneliti melaksanakan
cukup sebanyak 3 orang (8,3%),
proses pembelajaran sesuai dengan
sehingga kemampuan
rencana
menganalisis
pelaksanaan
pembelajaran.
cerpen melalui metode diskusi dapat
Kesulitan-kesulitan dalam tes awal,
dikelompokkan ke dalam kategori
siklus I dan siklus II akan diperbaiki
cukup,
pada siklus III ini, dengan jalan
maka
mencapai
ketentuan
target
belum
maka
perlu
peneliti
memberikan
pelatihan
mengenai
unsur-unsur
dilanjutkan ke siklus III. Pelaksanaan
pemahaman
pembelajaran siklus III dilaksanakan
intrinsik
pada tanggal 14 Maret 2012. Dalam
mendalam dan lebih teliti sehingga
perencanaannya,
diharapkan
menggunakan
peneliti
peningkatan
lebih
dan
pemahaman yang nantinya semua
Berbahasa Indonesia SMP Kelas VIII,
siswa mendapat predikat baik. Siklus
(2) menyiapkan bahan pembelajaran
III ini merupakan tindakan terakhir
bahasa Indonesia, (3) menyiapkan
yang diberikan karena peneliti sudah
rencana
berlangsung dua kali yaitu siklus I dan
pelaksanaan (4)
Buku
ada
secara
Cakap
(RPP),
(1)
cerpen
pembelajaran
membentuk
kelompok
II.
diskusi, dan (5) membuat rangkuman. Tabel 03. Analisis Data Hasil Tes Kemampuan Menganalisis Unsur Intrinsik Cerpen Melalui Metode Diskusi Jenis Buzz Group pada Siklus III. Skor Frekuens Jumlah Persentas RataRentanga No Standar i nilai e Kategori rata n Skor (x) (f) (fx) (%) Nilai (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 1 10 0 0 0% Istimewa 52-60 =266:36 2 9 0 0 0% Baik sekali 47-51 =7,38 3 8 14 112 38,88% Baik 42-46 ( lebih 4 7 22 154 61,1% Lebih dari 37-41 daricuku 5 6 0 0 0% cukup 32-38 p) 6 5 0 0 0% Cukup 27-31 7 4 0 0 0% Hampir 22-26 8 3 0 0 0% cukup 17-21 9 2 0 0 0% Kurang 12-16 10 1 0 0 0% Kurang sekali 7-11 Buruk Buruk sekali 36
266
100%
Ni Made Purnami dan I Nyoman Suparsa
Berdasarkan tabel diatas, maka
Intrinsik
Cerpen
Melalui
Metode
pembelajaran cerpen pada tes siklus III
Diskusi Jenis Buzz Group pada siswa 158 kelas VIII A SMP Dwijendra Gianyar
dapat diketahui bahwa nilai rata-rata
sudah memenuhi standar ketuntasan
dari 36 siswa adalah 7,38 dengan
belajar mengajar yaitu 7,00 dan sudah
rincian, nilai 8 kategori baik sebanyak
tuntas berakhir pada siklus III.
nilai
kemampuan
siswa
dalam
Berdasarkan
14 siswa (38,88%), nilai 7 kategori
hasil
yang
lebih dari cukup sebanyak 22 (61,1%),
diperoleh siswa pada pertemuan awal,
sehingga kemampuan
secara
menganalisis
umum
pembelajaran
cerpen melalui metode diskusi jenis
menganalisis unsur intrinsik cerpen
buzz group pada siklus III dapat
melalui metode diskusi jeniz buzz
dikelompokkan
cukup
group pada siswa kelas VIIIA SMP
sehingga penelitian tindakan kelas
Dwijendra Gianyar dari pretes hingga
yang
siklus III disajikan pada Tabel berikut
lebih
berjudul
Kemampuan
“
dari
Peningkatan
Menganalisis
Unsur
ini.
Tabel 04. Rekapitulasi Hasil Tes Siklus I, Siklus II dan Siklus III Peningkatan Kemampuan Menganalisis Unsur Instrinsik Cerpen Melalui Metode Diskusi Jenis Buzz Group Siswa Kelas VIIIA SMP Dwijendra Gianyar No (1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Nama Siswa (2) A.A Ari Tresna Nanda I kadek Adi Dwi Mahendra I Kadek Agus Mardika Pande Nyoman Adi Putra I Ketut Adi Surya Kencana Dw. Ayu Ari Candra Dewi I Kadek Ari Wiguna Saputra Kadek Ayu Dwi Lestari I Kadek Budi Anggara I Gusti Bagus Tirta Talagawana Desak Made Desi Tresnawati I Putu Gede Eka Suryawan I wyn. Eko Purnomo Ni Made Indah Laraswati Gusti Ngurah Hery Sanjaya Dw. Ayu Komang Maharani Kadek Mahendra Ambara Ni Putu Meiliana Wulansari Metalia Teja I Komang Mahardika Gusti Ngurah Parimana
Tes Awal (3) 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 3 3 5 5 5 5
Siklus I (4) 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 4 4 6 6 6 6
Siklus II (5) 5 6 6 6 6 7 6 6 6 6 6 6 6 6 6 5 5 7 7 7 7
Siklus III (6) 7 7 8 7 7 7 8 7 7 7 8 7 7 7 7 7 7 8 8 8 8
2
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013 2087-9016 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Dwi Putra Indrayana Aror Luh Kadek Rahayu Pratiwi Ni Wayan Rupianti Putu Sukma Asih Dewa Ayu Septia Ayu Ni Wayan Septiari Musdayanti Dewa Made Sukasila Gusti Ayu Putu Santiani Ni Kadek Widiari Ni Gusti Ayu Widiari Ni Komang Tri Nugraheni A.A Gede Tarunan Widjaya I Wayan Yuri Yanantara Sang Ayu Putu Juliana Prisma Pande Komang Eukaristia Jumlah Rata-rata
4 4 5 5 5 4 4 4 5 4 4 4 4 5 4 150 4,2
5 6 6 6 5 5 5 6 6 5 5 5 5 6 5 188 5,22
ISSN
6 7 7 7 6 6 6 7 7 6 6 6 6 7 6 224 6,22
7 8 8 8 7 7 159 7 8 8 7 7 7 7 8 8 266 7,38
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013 2087-9016
ISSN
Dengan perbandingan di atas, dikatakan bahwa tingkat kemampuan menganalisis unsur intrinsik cerpen mealui metode diskusi jenis buzz group mengalami peingkatan yang baik. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan nilai rata-rata yang diperoleh pada siklus I,II,dan III. Adapun perinciannya sebagai berikut. 1. Pada tes awal peningkatan kemampuan menganalisis unsur intrinsik cerpen dari 36 siswa memperoleh nilai rata-rata 4,2 yang dikelompokkan dalam kategori kurang. 2. Pada siklus I peningkatan kemampuan menganalisis unsur intrinsik cerpen melalui metode diskusi dari 36 siswa memperoleh nilai rata-rata 5,22 yang dikelompokkan dalamkategori hampir cukup 3. Pada siklus II peningkatan kemampuan menganalisis unsur intrinsik cerpen melalui metode diskusi jenis buzz group dari 36 siswa memperoleh nilai rata-rata 6,22 yang dikelompokkan kategori cukup. 4. Pada siklus III peningkatan kemampuan menganalisis unsur intrinsik cerpen melalui metode diskusi dari 36 siswa memperoleh nilai rata-rata 7,38 yang dikelompokkan dalam kategori baik. Peningkatan nilai rata-rata dari siklus I ke siklus II dan dari siklus II ke siklus III berarti pula kesalahan bahasa yang dibuat siswa juga semakin berkurang. Dengan sedemikian berkurangnya kesalahan bahasa yang dibuat siswa berarti pula kemampuan siswa menganalisis unsur intrinsik cerpen semakin meningkat. Selain itu, hasil yang diperoleh dalam proses penelitian ini secara keseluruhan, dari tes awal, siklus I, siklus II, dan siklus III terhadap cerpen sangat baik diterapkan dalam pembelajaran khususnya untuk meningkatkan kemampuan menganalisis unsur-unsur intrinsik cerpen dengan langkah-langkah yang tepat dapat meningkatkan kemampuan siswa dengan baik.
PENUTUP Simpulan
160
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, makadapat ditarik simpulan, bahwa metode diskusi jenis buzz group dapat meningkatkan kemampuan menganalisis unsur intrinsik cerpen pada siswa kelas VIII A SMP Dwijendra Gianyar Tahun Pelajaran 2011/2012, dengan bukti-bukti yaitu pada tindakan pra siklus (tahap
163
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013 2087-9016
ISSN
awal) tes menganalisis unsur intrinsik cerpen siswa hanya mencapai nilai rata-rata 4,2. Hal ini dibuktikan saat tes awal berlangsung, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata sebesar 4,2 dari 36 siswa. Dari hasil tes awal tersebut dapat dilihat bahwa kemampuan siswa di dalam memahami isi bacaan masih sangat kurang. Pada siklus I ini nilai rata-rata siswa mengalami peningkatan yaitu 5,22 tetapi masih di bawah standar yang ditentukan. Oleh karena itu, dianggap masih di bawah standar, maka diperlukan adanya tindakan siklus II. Pada siklus II ini, nilai rata-rata kemampuan siswa mengalami peningkatan lagi yaitu 6,22. Pada siklus II ini nilai ratarata siswa juga masih dikategorikan di bawah standar, maka diperlukan lagi ada tindakan siklus III. Pada siklus III nilai rata-rata siswa mengalami peningkatan lagi yakni mencapai 7,38. Dengan demikian, maka tindakan penelitian dihentikan pada siklus III, karena target yang ditentukan sudah tercapa dengan kategori lebih dari cukup.
Saran Pelaksanaan penelitian yang dilaksanakan pada siswa kelas VIII A SMP Dwijendra Gianyar tahun pelajaran 2011/2012 ini ada beberapa saran yang dapat dipergunakan untuk mengefektifkan pembelajaran bahasa dan sas Indonesia pada umumnya, dan pembelajaran menganalisis unsur intrinsik cerpen pada khususnya, yaitu: 1. Guru hendaknya memberikan rangsangan terhadap minat baca siswa khususnya karya sastra, sehingga pengetahuan siswa tentang sastra bertambah; 2. Bagi guru-guru dalam melaksanakan proses pembelajaran khususnya bahasa Indonesia khususnya menganalisis unsur intrinsik cerpen, agar menciptakan suasana yang kondusif sehingga dapat mendukung keberhasilan siswa; dan 3. Perpustakaan sekolah hendaknya lebih dilengkapi dengan sarana buku yang 161 ini akan merangsang minat baca siswa di memadai, karena perlengkapan perpustakaan. Demikian saran yang dapat penulis sampaikan. Semoga saran ini dapat bermanfaat dalam pengajaran bahasa dan sastra Indonesia khususnya dalam memahami unsur-unsur karya sastra.
164
Thalia Prasetya, Dewa Ayu Puspawati, SangPutu Kaler Surata
DAFTAR PUSTAKA Arifin, E Zainal. (1987). Bahasa Indonesia SMP. Jakarta: Erlangga. Arikunto, Suharsini, dkk. (2008). Penelitian tindakan kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1996). Pedoman umum ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan. Jakarta: Balai Pustaka. Hadi, Sutrisno. (1971). Metode reasearch. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Netra,I.B. (1974). Metodelogi penelitian. Singaraja: Biro penelitian dan Penerbitan FKIP Unud.
162
165
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013 2087-9016
ISSN
KORELASI ANTARA PERILAKU BERKELOMPOK DAN HASIL PRESENTASI PETA KONSEP SISWA DALAM PEMBELAJARAN KOOPERATIF BERBASIS MODUL ETNOSAINS SUBAK Thalia Prasetya, Dewa Ayu Puspawati, Sang Putu Kaler Surata Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRACT Based on the observation that the information obtained in the junior Amarawati Tampaksiring is one of the schools that implement conventional learning models. To achieve the goal of education, conventional learning model is not very effective to implement. Therefore, innovation is required in learning. One way to do is to implement a module based cooperative learning etnoscience subak which emphasizes the aspects of group behavior and results presentation concept maps. The purpose of this study was to determine the effect of cooperative learning modules based on behavior etnoscience subak groups and the results of students' concept map presentation, as well as to determine the correlation between the behavior of the group and the results presentation concept maps. The experiment was conducted in the junior class VII B Amarawati Tampaksiring. Students were divided into six groups, and each group working on a concept map. Furthermore, observers provide an assessment with reference to the assessment rubric. From the data analysis, the results obtained flocking behavior scores increased from 273.5 to 497.5 with a significance level (p = 0.028 <0.05), which means learning a given effect on the behavior of groups of students. Increase also occurred in the results presentation concept maps where scores increased from 42.0 to 97.0 with a significance level (p = 0.027 <0.05), which shows the influence of learning the presentation of the results of students' concept maps. To test the correlation between the behavior of the group with the results presentation concept maps, correlation coefficient (ρ = 0.986) indicating increasing students flocking behavior, the result presentation concept maps is increasing as well. Results significance level (p = 0.000 <0.05) showed that the flocking behavior correlates to the presentation of the results of students' concept maps. In conclusion, cooperative learning modules based etnoscience subak affect the increase in groups as well as the behavioral aspects of students' concept map presentation of results, and the two variables have a positive correlation in the study. Key words : Mind map, Cooperative learning, Subak etnosains module
PENDAHULUAN 166
Thalia Prasetya, Dewa Ayu Puspawati, SangPutu Kaler Surata
observasi
mengungkapkan pendapatnya tentang
diperoleh informasi bahwa di SMP
suatu hal. Aspek kedua adalah hasil
Amarawati Tampaksiring merupakan
presentasi peta konsep peserta didik.
salah satu sekolah yang menerapkan
Variabel hasil presentasi peta konsep
model pembelajaran konvensional. Jika
dipilih karena melalui peta konsep siswa
dilihat dari sudut pandang para ahli,
akan terlatih untuk berdiskusi dalam
pembelajaran
kurang
kelompok. Keterkaitan antara variabel
efektif karena peserta didik cenderung
perilaku berkelompok dengan variabel
menjadi
hasil presentasi peta konsep sangat
Berdasarkan
hasil
konvensional
pasif
(Setyawan,
2011).
Melihat dari kelemahan tersebut, maka
berperan
bagi
perlu
model
penyampaian
materi
akan
keberlanjutan
dilakukan
pembelajaran
inovasi yang
mengembangkan tiga aspek penting
keberhasilan pelajaran
pemahaman
dan siswa
terhadap materi.
dalam diri siswa. Salah satu model
Bertitik tolak dari latar belakang
pembelajaran yang dapat diterapkan
tersebut, penelitian ini bermaksud untuk
adalah pembelajaran kooperatif berbasis
mengetahui korelasi antara perilaku
modul etnosains subak. Pemilihan subak
kelompok dan hasil persentasi peta
sebagai
konsep
media
pembelajaran
dalam
siswa
dalam
pembelajaran
modul didasari karena di kawasan SMP
kooperatif berbasis modul etnosains
Amarawati Tampaksiring terdapat subak
subak
yang berpotensi sebagai sumber belajar,
Tampaksiring”.
di
SMP
Amarawati
yaitu subak Pulagan. Pembelajaran kooperatif berbasis
METODE PENELITIAN
modul etnosains subak menitikberatkan
Penelitian ini dilaksanakan pada
pada dua aspek penting, yaitu perilaku
bulan Januari sampai bulan April tahun
berkelompok peserta didik dan hasil
2013, di kelas VII B SMP Amarawati
presentasi peta konsep peserta didik.
Tampaksiring tahun ajaran 2012/2013.
Perilaku kelompok dinilai sebagai aspek
Sampel
penting karena dengan belajar dalam
penelitian ini berjumlah 39 orang.
kelompok, siswa cenderung mampu
Desain penelitian yang digunakan dalam
yang
digunakan
dalam
167
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013 2087-9016
ISSN
penelitian ini adalah Pre-Eksperimental
komparatif dua sampel berpasangan bila
dengan model One Group Pretest-
data
Posttest Design. Rancangan penelitian
2011). Pengujian ini dilakukan untuk
ini menggunakan untuk satu kelompok,
mengetahui
yaitu
Data
berkelompok dan hasil presentasi peta
dua
konsep. Sedangkan, untuk mengetahui
kelompok
diambil
dari
eksperimen.
sampel
dengan
berbentuk
ordinal
(Sugiyono,
peningkatan
tahapan, yaitu pretest dan posttest.
adanya
Sebelum mengambil data, sampel dibagi
berkelompok terhadap hasil presentasi
menjadi
enam
kelompok membuat
akan peta
korelasi
perilaku
kelompok.
Setiap
peta
ditugaskan
untuk
menggunakan
konsep
dari
tema
antara
konsep,
data
uji
perilaku
dianalisis
Spearman
Rank-
Correlation.
pelajaran. Penilaian kedua variabdel diambil oleh observer dengan mengacu
HASIL DAN PEMBAHASAN
pada aspek-aspek yang ditentukan. Data
Hasil Penelitian
diambil dengan menggunakan rubrik
Analisis Perilaku Berkelompok
penilaian perilaku berkelompok (Surata,
Dalam
penelitian
perilaku
2009) dan rubrik penilaian presentasi
kelompok memiliki empat aspek yang
peta konsep (Hariyati, 2012). Rubrik
diamati,
perilaku kelompok dan rubrik presentasi
(PK), pembagian tanggungjawab (PTB),
peta konsep merupakan rubrik yang
kualitas interaksi (KI) dan peranan
telah
anggota
diuji
dan
digunakan
dalam
yaitu partisipasi kelompok
dalam
kelompok
(PADK).
perilaku
kelompok
beberapa penelitian. Data pengamatan
Penilaian
perilaku
hasil
dinilai langsung oleh observer. Penilaian
presentasi peta konsep dianalisis dengan
untuk aspek perilaku kelompok dapat
menggunakan uji Wilcoxon Matched
dilihat pada Tabel 1
Pairs
berkelompok
untuk
menguji
dan
untuk
hipotesis
168
Thalia Prasetya, Dewa Ayu Puspawati, SangPutu Kaler Surata
Tabel 1 Perbandingan Penilaian Perilaku Kelompok Kelompok PK 10,5 13,5 12,0 11,0 10,0 9,5 66,5
A B C D E F Jumlah
Pretest KI PADK 10,5 11,5 13,0 12,0 14,0 14,0 9,5 11,5 10,0 11,0 9,0 12,0 66,0 72,0
PTJ 12,0 12,0 12,0 11,5 11,0 10,5 69,0
Jumlah 44,5 50,5 52,0 43,5 42,0 41,0 273,5
PK 20,5 23,5 24,5 19,0 19,5 18,0 125,0
PTJ 19,0 23,0 23,0 21,0 21,0 20,5 127,5
Posttest KI PADK 23,5 20,0 22,0 21,5 21,0 27,0 19,0 22,0 18,0 17,0 17,0 17,0 120,5 124,5
Jumlah 83,0 90,0 95,5 81,0 75,5 72,5 497,5
Keterangan : Partisipasi Kelompok (PK), Pembagian Tanggungjawab (PTB), Kualitas interaksi (KI), Peranan Anggota dalam Kelompok (PADK). Dari Tabel 1 terlihat bahwa
Jika dilihat secara menyeluruh,
aspek
kelompok C merupakan kelompok
memiliki
yang memperoleh skor tertinggi dari
perbedaan rentang yang cukup jauh,
52,0 menjadi 95,5, sedangkan skor
yaitu
497,5.
terendah diperoleh kelompok F dari
Peningkatan skor tersebut semakin
41,0 menjadi 72,5. Sedangkan, jika
diperkuat
setelah
dilakukan
uji
ditinjau dari aspek pengamatan dapat
Wilcoxon
Matched
Pairs
dimana
dilihat bahwa semua aspek mengalami
jumlah
skor dari
perilaku
keempat
berkelompok
dari
273,5
menjadi
diperoleh (Z6=-2,201, p=0,028<0,05)
peningkatan.
yang menyatakan adanya perbedaan
aspek yang memiliki skor tertinggi,
nyata antara pretest dan posttest. Hal
yaitu dari 69,0 menjadi 127,5 dan
ini berarti hipotesis 1 penelitian, yaitu
aspek
pembelajaran
memperoleh skor terendah, yaitu dari
kooperatif
berbasis
modul etnosains subak berpengaruh
KI
Aspek PTJ merupakan
menjadi
aspek
yang
66,0 menjadi 120,5.
terhadap perilaku berkelompok dan hasil presentasi peta konsep siswa di SMP diterima.
Amarawati
Tampaksiring
Analisis Hasil Presentasi Peta Konsep Berdasarkan analisis data yang dilakukan, hasil presentasi peta konsep siswa menunjukkan peningkatan yang
169
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013 2087-9016
ISSN
signifikan dan terjadi di semua aspek
Tabel 2 Perbandingan Penilaian Hasil
yang
Presentasi Peta Konsep.
diamati.
Perbandingan
hasil
presentasi peta konsep siswa dapat dilihat pada Tabel 2
Kelompok A B C D E F Jumlah
A1 2,0 2,0 2,0 2,0 1,0 1,0 10,0
166
Pretest A2 1,5 1,0 1,5 1,0 1,0 1,0 7,0
A3 1,0 1,0 1,5 1,0 1,0 1,5 7,0
A4 1,0 2,0 2,0 1,0 2,0 1,0 9,0
A5 1,0 2,0 2,0 2,0 1,0 1,0 9,0
Jumlah 6,5 8,0 9,0 7,0 6,0 5,5 42,0
A1 3,0 4,0 4,0 3,0 3,0 2,0 19,0
Posttest A2 A3 3,0 3,0 3,0 3,0 4,0 3,5 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 2,5 19,0 18,0
A4 3,5 4,0 4,0 3,0 2,0 3,0 19,5
A5 3,5 4,0 4,0 3,5 3,5 3,0 21,5
Jumlah 16,0 18,0 19,5 15,5 14,5 13,5 97,0
Keterangan : Keterkaitan antara Isi Peta Konsep dengan Pokok Bahasan yang Dijelaskan (A1), Kerapian Pembuatan Peta Konsep (A2), Warna, Tulisan dan Garis Desain Peta Konsep yang Menarik (A3), Penguasaan Peta Konsep oleh Masing-Masing Anggota Kelompok (A4) serta Kemampuan Menjawab Pertanyaan (A5). Tabel 2 menunjukkan bahwa antara
yaitu 18,0. Hasil tersebut diperkuat oleh
skor pretest dan posttest mengalami
hasil uji Wilcoxon Matched Pairs
peningkatan dari 42,0 menjadi 97,0.
dimana
Dilihat
p=0,027<0,05)
dari
kelompok,
terlihat
diperoleh
(Z6=-2,207,
yang
menunjukkan
kelompok C adalah kelompok yang
bahwa terdapat perbedaan nyata antara
memiliki skor tertinggi, yaitu dari 9,0
pretest dan posttest
menjadi
membuktikan
19,5
dan
kelompok
F
Hasil tersebut
hipotesis
memperoleh skor terendah, yaitu dari
penelitian,
5,5 menjadi 13,5. Sedangkan, jika
kooperatif berbasis modul etnosains
ditinjau dari aspek penilaian terlihat
subak berpengaruh terhadap perilaku
bahwa aspek kemampuan menjawab
berkelompok dan hasil presentasi peta
pertanyaan
konsep
(A5)
memperoleh
skor
tertinggi pada saat posttest, yaitu 21,5
siswa
yaitu
pertama
di
pembelajaran
SMP
Amarawati
Tampaksiring diterima.
dan aspek dengan skor terendah terlihat pada aspek warna, tulisan, dan garis
Korelasi antara Perilaku Kelompok
desain peta konsep yang menarik (A3),
dengan Hasil Presentasi Peta Konsep
170
Thalia Prasetya, Dewa Ayu Puspawati, SangPutu Kaler Surata
Langkah awal yang dilakukan guna
mengetahui
hubungan
skor
Kelompok
F
menjadi
kelompok
yang
variabel adalah mencari selisih data
terendah
dengan
antara
sesudah
perilaku berkelompok dan skor 8,0
pembelajaran. Berdasarkan skor selisih
untuk hasil presentasi peta konsep.
terlihat
Peningkatan perilaku berkelompok yang
sebelum
dan
kelompok
C
kedua
10,5.
mendominasi
skor
31,5
peningkatan
skor untuk
dengan perolehan skor tertinggi, yaitu
sejalan
perilaku berkelompok dengan skor 43,5
presentasi peta konsep dapat dilihat
dan hasil presentasi peta konsep dengan
pada Gambar 1.
Skor selisih
dengan
memperoleh
hasil
60 40 20
Hasil Presentasi Peta Konsep Perilaku Berkelompok
0 A
B
C
D
E
F
Kelompok Gambar 1 Korelasi antara Perilaku Berkelompok dengan Hasil Presentasi Peta Konsep Siswa Ditinjau dari Kelompok
171
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
Dari Gambar 1 terlihat antara variabel perilaku berkelompok dengan hasil presentasi peta konsep memiliki hubungan positif. Semakin meningkat perilaku berkelompok, maka hasil presentasi peta konsep semakin meningkat pula. Temuan tersebut semakin diperkuat dengan hasil uji Spearman Rank-Correlation dimana diperoleh koefisien korelasi (ρ=0,986) dengan taraf signifikansi yang lebih kecil dari probabilitas (p=0,000), maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis kedua, yaitu terdapat korelasi antara perilaku berkelompok siswa dalam pembelajaran kooperatif berbasis modul etnosains subak terhadap hasil presentasi peta konsep siswa diterima.
Pembahasan Perilaku Berkelompok Berdasarkan pengamatan dan analisis data yang telah dilakukan diperoleh peningkatan skor perilaku berkelompok dari 273,5 menjadi 497,5 dengan taraf signifikansi (p=0,028<0,05) yang berarti terdapat perbedaan nyata antara sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran. Hasil tersebut sekaligus menyimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif berbasis modul etnosains subak berpengaruh terhadap perilaku berkelompok siswa di SMP Amarawati Tampaksiring. Keberhasilan tersebut dikarenakan pembelajaran kooperatif berbasis modul etnosains subak memberikan kesempatan bagi siswa untuk bertukar pikiran dengan teman sebaya, memberikan ruang interaksi bagi siswa serta membukakan peluang komunikasi antar siswa. Pendapat tersebut juga disampaikan oleh siswa dalam kegiatan diskusi kelompok terarah (DKT). Menurut mereka belajar dalam kelompok memiliki beberapa keunggulan dibanding 168 belajar secara individu, antara lain : “…Belajar secara berkelompok memberikan kesempatan untuk bertukar pikiran, saling bertanya mengenai materi pelajaran tanpa ada rasa takut, memecahkan persoalan pelajaran menjadi lebih mudah dan dengan dibentuk kelompok kami menjadi lebih akrab”. Nilai positif dari pembelajaran kooperatif didukung juga oleh hasil penelitian dari Subratha (2006) yang menemukan bahwa dengan penerapan pembelajaran kooperatif kualitas interaksi siswa menjadi semakin meningkat, yaitu dari rata-rata nilai 73,47 menjadi 78,31. Peningkatan dapat tercapai secara optimal dikarenakan siswa ditempatkan kelompok belajar yang memungkinkan siswa untuk saling melengkapi
178
Ni Wayan Eminda Sari
dalam memahami materi pembelajaran. Temuan tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Supriono (2008) dimana dari hasil wawancara dengan siswa diketahui : “…Melalui penerapan pembelajaran kooperatif sikap positif siswa dapat meningkat, seperti membantu teman memahami materi dan saling memberikan dorongan untuk belajar”. Pembelajaran dengan berbasis modul etnosains subak juga menjadi sebuah sarana pembelajaran lingkungan bagi siswa. Siswa menjadi lebih paham tentang subak serta kehidupan yang terjadi di subak dan mengetahui peran penting subak bagi kehidupan. Pengetahuan tersebut dijadikan sebagai sebuah alasan untuk ikut melestarikan keberadaan subak. Pendapat mengenai hal tersebut didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Sudiana & Maduriana (2008) yang menemukan bahwa 90% responden berpendapat jika pendidikan lingkungan dengan menggunakan subak sebagai model dapat meningkatkan upaya pelestarian Bali. Selain itu, menurut pendapat salah satu responden yang berprofesi sebagai guru : “…Menggunakan subak sebagai model maka anak didik akan mengenal lebih mendalam salah satu warisan budaya nasional, menumbuhkan kecintaan terhadap lingkungan dan menciptakan lapangan pekerjaan”. Penekanan perilaku berkelompok dalam pembelajaran merupakan salah satu langkah yang penting. Menempatkan siswa dalam kelompok secara tidak langsung mengembangkan jiwa sosial siswa. Penilaian perilaku berkelompok menitikberatkan pada 4 aspek, yaitu partisipasi kelompok (PK), pembagian tanggung jawab (PTJ), kualitas interaksi (KI) dan peranan anggota dalam kelompok (PADK). Melalui keempat aspek tersebut siswa akan belajar tentang cara menempatkan diri dalam kehidupan sosial. Pembelajaran kooperatif berbasis modul etnosains subak ternyata mampu membelajarkan siswa untuk bekerja sama, terlihat dari perolehan skor aspek pembagian tanggung jawab yang tinggi. Dari skor tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam mengerjakan tugas yang diberikan setiap kelompok sudah mampu mempercayai anggotanya untuk menyelesaikan suatu tugas. Sedangkan, aspek kualitas interaksi masih menjadi kendala tersendiri bagi siswa. Kualitas interaksi yang kurang dapat dikarenakan konsentrasi dan kesibukan siswa untuk fokus menyelesaikan tanggung jawab yang diberikan. Terlepas dari permasalahan tersebut yang perlu ditekankan bahwa semua aspek perilaku berkelompok siswa mengalami peningkatan
yang signifikan.
Peningkatan tersebut juga memberikan gambaran bahwa pembelajaran kooperatif
179
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
berbasis modul etnosains subak mampu membentuk perilaku berkelompok siswa dari berbagai aspek sosial.
Hasil Presentasi Peta Konsep Berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan didapatkan peningkatan skor hasil presentasi peta konsep dari 42,0 menjadi 97,0 dengan taraf signifikansi (p=0,027<0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif berbasis modul etnosains subak berpengaruh terhadap hasil presentasi peta konsep siswa. Keberhasilan tersebut bukan sebuah hal yang mudah, dalam faktanya terdapat
kendala yang
ditemukan di lapangan antara lain : siswa belum terbiasa dengan model pembelajaran yang diberikan, siswa masih merasa malu untuk bertanya dan siswa merasa kesulitan untuk memahami tentang peta konsep. Kendala-kendala tersebut menjadi sebuah refleksi untuk mendapatkan hasil 170 yang maksimal. Dalam penerapannya, peneliti berusaha menjelaskan kepada siswa tentang konsep pembelajaran kooperatif berbasis modul etnosains subak secara detail serta memberikan contoh-contoh sederhana peta konsep kepada siswa. Selanjutnya, siswa secara sendiri mampu memahami mengenai proses pembelajaran yang dijalani. Terbukti dari hasil presentasi peta konsep siswa antara pretest dan posttest mengalami peningkatan yang signifikan. Dari hasil wawancara dengan siswa dalam kegiatan DKT diketahui bahwa untuk menghasilkan peta konsep yang baik, mereka mengacu pada modul etnosains subak yang diberikan. Materi yang singkat dan jelas memudahkan mereka memahami materi pelajaran dan menemukan pokok pikiran dari setiap subbab materi. Modul etnosains subak juga memiliki beberapa nilai positif bagi siswa, antara lain : “…Belajar dengan menggunakan modul etnosains subak menjadikan proses belajar lebih mudah karena semua materi pembelajaran sudah tercantum dengan lengkap, penggunaan gambar membuat modul lebih menarik minat belajar dibandingkan lembar kerja siswa, dan belajar dengan modul membuat semua konsep pelajaran dapat diingat”. Pendapat tersebut juga didukung hasil penelitian Wibowo (2012) yang menemukan bahwa pembelajaran dengan menggunakan modul meningkatkan keterampilan proses sains siswa. Hal tersebut dibuktikan dengan perolehan rata-rata nilai siswa sebesar 85. Pencapaian rata-rata nilai 85 dikarenakan pada saat pembelajaran siswa lebih merasa antusias menemukan konsep-konsep pelajaran dengan menggunakan
180
Ni Wayan Eminda Sari
modul. Kesuksesan siswa dalam mencapai hasil presentasi peta konsep dengan media modul sekaligus mematahkan hasil penelitian Ceisar (2012) yang menemukan bahwa pembelajaran dengan modul ilustratif memberikan kendala bagi siswa untuk meningkatkan prestasi belajar. Penugasan setiap kelompok untuk membuat peta konsep dimaksudkan untuk memacu siswa dalam menyelesaikan tugas secara maksimal, membantu siswa dalam mengingat materi serta melatih siswa untuk belajar secara mandiri. Jika ditinjau dari kelima aspek penilaian, maka aspek kemampuan menjawab pertanyaan memperoleh skor tertinggi, yaitu 21,5. Menempatkan kelompok belajar menjadikan siswa aktif berperan serta dalam menyelesaikan peta konsep yang ditugaskan, sehingga saat kegiatan presentasi dan diskusi setiap anggota kelompok dapat menjawab pertanyaan yang diberikan. Hasil yang diperoleh juga didukung oleh penelitian Susilawati (2008) yang menemukan bahwa peningkatan hasil belajar siswa pada siklus II dikarenakan penggunaan strategi peta konsep dalam proses belajar mengajar dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran, meliputi penurunan tingkat miskonsepsi, peningkatan peran serta siswa serta peningkatan peran dan ketrampilan siswa dalam presentasi kelas. Untuk skor terendah dapat dilihat pada aspek warna, tulisan dan garis desain peta konsep yang menarik, yaitu 18. Faktor yang menyebabkan skor aspek tersebut rendah adalah pengaturan waktu yang kurang tepat, sehingga membuat pola garis, penulisan materi pembelajaran dan pemilihan warna menjadi kurang rapi. Meskipun demikian, terlihat data setiap kelompok di semua aspek penilaian mengalami peningkatan karena belajar dengan menggunakan peta konsep lebih memudahkan siswa menyelesaikan tugas yang diberikan.
Korelasi Perilaku Berkelompok dengan Hasil Presentasi Peta Konsep Dari hasil uji statistik diperoleh hasil koefisien korelasi (ρ=0,986) yang menunjukkan bahwa antara perilaku berkelompok dengan hasil presentasi peta konsep memiliki hubungan yang positif, yaitu semakin meningkat perilaku berkelompok, maka hasil presentasi peta konsep juga meningkat. Berdasarkan nilai taraf signifikansi (p=0,000<0,05), maka dapat disimpulkan terdapat korelasi antara perilaku berkelompok dalam pembelajaran kooperatif berbasis modul etnosains subak
terhadap hasil
presentasi peta konsep siswa. Keeratan hubungan kedua variabel terjadi karena dalam
181
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
mengerjakan tugas pembuatan peta konsep, setiap anggota kelompok diberikan kesempatan untuk berpendapat tentang pokok pelajaran yang akan dicantumkan dalam peta konsep, sehingga hasil peta konsep menjadi kompleks dan relevan dengan tema pembelajaran. Hubungan antara variabel perilaku berkelompok dan hasil presentasi peta konsep juga terlihat ketika siswa mempresentasikan hasil peta konsep yang dibuat. Setiap anggota kelompok terlihat sangat antusias dalam menyajikan peta konsep dan pada saat diskusi, setiap anggota kelompok saling berkomunikasi untuk menjawab pertanyaan yang diberikan. Mengacu pada hasil DKT, siswa merasakan manfaat dari belajar kelompok dalam membuat peta konsep, antara lain : “…Membuat peta konsep dengan berkelompok memudahkan pemahaman materi, dapat bertanya pada teman sebaya dan pemecahan soal-soal pelajaran menjadi lebih maksimal daripada belajar individu”. Keberhasilan setiap kelompok dalam mempresentasikan hasil peta konsep tidak terlepas dari kerja sama yang dibangun. Pendapat tersebut didukung oleh hasil penelitian Gunawan (2010) yang menemukan bahwa dengan adanya kerjasama, rasa saling ketergantungan positif serta keinginan untuk menyamakan presepsi dan pemahaman terhadap pengetahuan, maka masing-masing anggota akan berusaha optimal untuk mengkontribusikan pengetahuan serta menjalankan tugas sebaik-baiknya, sehingga tujuan kelompok akan tercapai secara utuh. Hasil tersebut dibuktikan dengan perolehan hasil uji statistik yaitu P ≤ 0,05 yang berarti terdapat perbedaan nyata antara sebelum dan sesudah pembelajaran. Pentingnya kerjasama dalam kelompok juga diungkapkan oleh Mulyaningrum (2012) dalam hasil penelitiannya yang menemukan bahwa kerjasama yang terjalin baik akan menjadikan siswa bersaing secara positif, khususnya dalam mencapai prestasi terbaik. Jika dilihat dari aspek pengamatan perilaku berkelompok, aspek pembagian tanggung jawab merupakan faktor utama yang menyebabkan hasil presentasi peta konsep maksimal, khususnya dalam aspek menjawab pertanyaan. Memberikan tanggung jawab individu dalam kelompok belajar ternyata memacu siswa untuk melakukan yang terbaik, hal tersebut terlihat dari kemampuan siswa menjawab semua pertanyaan yang diberikan, baik pada saat diskusi ataupun presentasi. Inilah yang menyebabkan skor kemampuan menjawab pertanyaan memperoleh skor tertinggi dari kelima aspek hasil presentasi peta konsep.
182
Ni Wayan Eminda Sari
Jika ditinjau dari kelompok diketahui bahwa semua kelompok berhasil menyelesaikan tugas peta konsep dengan baik. Kelompok A dapat memperoleh skor 9,5 untuk hasil presentasi peta konsep karena kualitas interaksi antar anggota kelompok sangat maksimal dibandingkan kelompok lain. Sedangkan keberhasilan kelompok B memperoleh skor 10,0 untuk hasil presentasi peta konsep dikarenakan setiap anggota kelompok sudah berpartisipasi meskipun kualitas interaksi yang terjadi belum maksimal. Kelompok C menjadi kelompok yang memperoleh skor tertinggi, yaitu 10,5 untuk hasil presentasi peta konsep. Tingginya skor kelompok C dikarenakan setiap anggota sudah mampu menjalankan peranannya di dalam kelompok secara maksimal, sehingga tugas yang diberikan dapat terselesaikan dengan hasil terbaik. Anggota kelompok D juga sudah menjalankan peranannya secara maksimal, tetapi kualitas interaksi dan partisipasi kelompok yang terjalin belum maksimal, sehingga kelompok D dapat memperoleh skor hasil presentasi peta konsep cukup baik, yaitu 8,5. Skor selisih 8,5 juga diperoleh kelompok E, skor tersebut dapat diperoleh karena pembagian tanggung jawab antar anggota kelompok sudah merata . Sedangkan, skor terendah diperoleh kelompok F, yaitu 8,0 untuk hasil presentasi peta konsep. Rendahnya skor 174 yang diperoleh diakibatkan dari kurang maksimalnya peranan dari masing-masing anggota kelompok untuk menjalankan tanggung jawab yang diberikan. Terlepas dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa menerapkan kelompok belajar memberikan peranan yang besar dalam peningkatan hasil presentasi peta konsep.
PENUTUP Simpulan Adapun kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, yaitu : 1) Pembelajaran kooperatif berbasis modul etnosains subak berpengaruh nyata (p=0,028<0,05) terhadap perilaku berkelompok dan (p=0,027<0,05) terhadap hasil presentasi peta konsep siswa di SMP Amarawati Tampaksiring; 2) Perilaku berkelompok berkorelasi (p=0,000<0,05) terhadap hasil presentasi peta konsep siswa dalam pembelajaran kooperatif berbasis modul etnosains subak.
Saran
183
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini, maka saran yang dapat disampaikan antara lain sebagai berikut : 1) Diharapkan kepada siswa untuk lebih berperan aktif dalam proses pembelajaran, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai secara maksimal; 2) Diharapkan kepada guru untuk menerapkan pembelajaran kooperatif berbasis modul etnosains subak untuk memaksimalkan pencapaian tujuan pembelajaran dan mengembangkan aspek perilaku berkelompok serta hasil presentasi peta konsep; 3) Diharapkan kepada sekolah untuk menjadikan pembelajaran kooperatif berbasis modul etnosains subak sebagai acuan dalam membuat kebijakan penerapan model pembelajaran yang inovatif; 4) Diharapkan kepada peneliti untuk menjadikan pembelajaran kooperatif berbasis modul etnosains subak sebagai salah satu tolak ukur dalam melakukan penelitian terkait inovasi pembelajaran berbasis lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA Ceisar, M, A.A. (2011). Pembelajaran biologi menggunakan inkuiri terbimbing melalui media animasi dan modul ilustratif. Paper dipublikasikan pada Jurnal Prosiding Seminar Nasional Biologi Vol 8, No 1, Tahun 2011. Diunduh pada tanggal 13 Februari 2013 dari http:// http://jurnal.fkip.uns.ac.id/. Gunawan, A. I W. (2010). Pembelajaran kooperatif kelompok investigasi dengan pendekatan digital artistik untuk meningkatkan ketrampilan berkelompok mahasiswa pada pembelajaran ekoliterasi ketahanan hayati program studi biologi Universitas Mahasaraswati Denpasar tahun akademik 2008/2009. Paper dipublikasikan pada Jurnal Santiaji Pendidikan Universitas Mahasaraswati Denpasar, Volume 1 , No.2 tahun 2011. Hariyati, J. I K. (2012). Pengaruh penerapan metode pembelajaran kooperatif STAD (student teams achievement divisions) melalui peta konsep terhadap hasil belajar biologi siswa semester genap SMA Negeri 1 Petang tahun pelajaran 2011/2012 (Skripsi Tidak Dipublikasikan). Universitas Mahasaraswati, Denpasar. Setyawan, H. (2011). Pengertian, kelebihan dan kekurangan metode ceramah. Diunduh pada tanggal 06 Februari 2013 dari http://zonainfosemua.blogspot.com. Subratha, N. (2006). Pengembangan model pembelajaran kooperatif dan strategi pemecahan masalah untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas VII C SMP Negeri 1 Sukasada. Paper dipublikasikan pada Jurnal Penelitian dan Pengembangan Lembaga Penelitian Undiksha tahun 2007. Diunduh pada tanggal 28 Juni 2013 dari www.freewebs.com. Sudiana, I M & Maduriana, I M. (2008). Sikap guru terhadap pengembangan subak sebagai model pendidikan lingkungan (penelitian pada guru sekolah menengah 184
Ni Wayan Eminda Sari
tingkat atas di kabupaten Tabanan). Paper dipublikasikan pada Indonesian Scientific Journal Database Vol 41. Diunduh pada tanal 12 Februari 2013 dari http:// isjd.pdii.lipi.go.id/. Sugiyono. (2011). Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta. Cetakan ke-1. Supriono. (2008). Penerapan model pembelajaran kooperatif peta konsep untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. Paper dipublikasikan pada Jurnal Pendidikan Inovatif Volume 3, No.2 tahun 2008. Diunduh pada tanggal 28 April 2013 dari http://jurnaljpi.files.wordpress.com Surata, S. P. K. (2009). Rubrik pengamatan perilaku berkelompok (Rubrik Tidak Dipublikasikan). Universitas Mahasaraswati, Denpasar. Susilawati, D, F. (2008). Implementasi strategi peta konsep dalam cooperatif learning sebagai upaya meminimalisasi miskonsepsi bioteknologi di SMA Negeri 8 Surakarta. Paper dipublikasikan pada Jurnal Pembelajaran Biologi Universitas Sebelas Maret Surakarta. Diunduh pada tanggal 13 Februari 2013 dari http:// http://jurnal.fkip.uns.ac.id/ Wibowo, H, P. (2012). Pengaruh penggunaan modul hasil penelitian bentos pada pokok bahasan pencemaran lingkungan terhadap keterampilan proses sains siswa kelas X Sma Negeri 1 Mojolaban tahun pelajaran 2011/2012. Dipublikasikan pada Jurnal Pembelajaran Biologi Universitas Sebelas Maret Surakarta. Diunduh pada tanggal 13 Februari 2013 dari http://jurnal.fkip.uns.ac.id/.
176
PELAKSANAAN PRINSIP KERJA SAMA DALAM PERCAKAPAN GURU DAN SISWA SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI KELAS XI SMAN I KEDIRI Ni Wayan Eminda Sari Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mahasaraswati Denpasar
185
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
ABSTRACT This study aimed at gathering illustrations and explanation about (1) learning context as a field of the implementation for cooperative principle in a classroom learning, (2) the cooperative principle conducted by the teacher, (3) the implementation of cooperative principle conducted by the students, (4) the effects of cooperative principle which is conducted by teacher and students upon Indonesian learning in the class XI SMAN 1 Kediri. In order to achieve these goals, this study uses the descriptivequalitative design. The subject of the study is the students and Indonesian teacher at the class XI SMAN 1 Kediri. The data gathering is conducted by the methods of recording, observation, and interview. The data gained then was analyzed qualitatively descriptive that covers four phases, namely data gathering, data reduction, data presentation, verification, and conclusion making. The results of this study shows that learning context as the field of cooperative principle implementation in the classroom, dominantly appears in formal situation, and appears also in semi-formal and nonformal situation. The cooperative principle conducted by the teacher is marked by teacher’s speech that obeyed the maxim of quantity, maxim of quality, maxim of relevance, and maxim of manner. The implementation of cooperative principle conducted by the students is marked by teacher’s speech that obeyed the maxim of quantity, maxim of quality, maxim of relevance, and maxim of manner. The effects that appear due to the implementation of cooperative principle upon Indonesia is that the situation of the learning in the classroom become conducive and comfortable, students’ activity is developed, the learning runs well without any disturbances, and the goals of the teaching can be achieved effectively. Based on the result of this study, the readers expected to realize that in the use of speech, cooperative principle needs to be considered so that the conversation can be more effective and efficient. Key words : cooperative principle, maxim of quantity, maxim of quality, maxim of relevance, maxim of manner, conversation between teacher and students. PENDAHULUAN Bahasa adalah alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, pengetahuan mengenai bahasa saja belumlah cukup untuk dapat menciptakan peristiwa komunikasi yang baik dan bermakna. Faktor situasi dan konteks juga merupakan faktor penting dalam pemakaian bahasa. Kenyataan inilah yang menyebabkan pragmatik memiliki peranan yang cukup penting dalam kehidupan berbahasa, karena dengan mempelajari dan menguasainya seseorang tidak hanya akan memiliki pengetahuan tentang bahasa, seluk-beluk struktur sebuah bahasa, dan cara bahasa (ujaran) itu dipergunakan berdasarkan situasi yang dihadapi pada saat berkomunikasi.
186
I Gusti Ayu AristaWidari, I Gusti Ngurah Nila Putra, I Kketut Suwija
Dalam dunia pendidikan dan pengajaran bahasa, pragmatik dipakai sebagai pendekatan pengajaran atau yang lazim disebut dengan pendekatan komunikatif. Di dalam pengajaran dengan pendekatan komunikatif, bahasa diajarkan seperti pada saat digunakan dalam komunikasi. Hal yang ingin dituju bukanlah pencapaian pengetahuan mengenai tata bahasa atau penguasaan terhadap kosakata, melainkan kemampuan komunikatif atau kemampuan siswa berbahasa untuk tujuan komunikasi, baik itu dengan guru maupun dengan teman dan masyarakat sekitar. Leech (1993:1) menyatakan bahwa pragmatik sesuai dengan fungsi komunikatif karena pragmatik adalah ilmu mengenai bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi. Salah satu bagian pragmatik yang paling nyata peranannya dalam komunikasi adalah implikatur percakapan. Jadi konsep implikatur itu dipakai untuk menjelaskan perbedaan yang sering terjadi antara “apa yang diujarkan” dan “apa yang diimplikasikan” (Sumarsono, 2007:84). Seperti lazimnya kegiatan-kegiatan sosial lainnya, kegiatan berkomunikasi atau bertutur dapat berlangsung dengan baik apabila semua peserta pertuturan itu terlibat secara aktif di dalam proses bertutur tersebut. Apabila salah satu pihak tidak terlibat dalam kegiatan bertutur, dapat dipastikan pertuturan itu tidak dapat berjalan dengan lancar. Agar proses komunikasi penutur dan petutur dapat berjalan baik, mereka haruslah dapat saling bekerja sama. Dalam percakapan formal, prinsip kerja sama Grice masih relevan diterapkan. Dalam hal ini, prinsip kerja sama Grice menghendaki penggunaan bahasa yang efektif dan efisien seperti tampak pada maksim-maksim atau prinsip kerja sama tersebut. Dengan kata lain, prinsip kerja sama dibutuhkan untuk lebih mudah menjelaskan hubungan maksud dengan ujaran. Berdasarkan kenyataan tersebut, dalam situasi tertentu pada pembelajaran di kelas, semakin taat dengan prinsip-prinsip kerja sama Grice dalam bertutur guru dan siswa, maka cenderung memberikan dampak yang positif, seperti (a) siswa mudah memahami penjelasan guru dan sebaliknya, guru lebih mudah memaparkan sesuatu kepada siswa, (b) bahan atau materi pelajaran lebih cepat dapat diselesaikan atau diajarkan, (c) waktu yang diperlukan lebih efisien. Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, prinsip kerja sama masih diperlukan dalam pembelajaran di kelas. Jika dilihat pada silabus, pelaksanaan
190
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
prinsip kerja sama ini berkaitan dengan standar kompetensi berbicara. Walaupun demikian, kita tidak dapat memfokuskan pada satu kompetensi dasar saja karena setiap materi pelajaran yang diajarkan di kelas pasti dilengkapi dengan percakapan. Namun, ada kemungkinan prinsip kerja sama Grice sering dilanggar. Hal itu disebabkan oleh bermacam-macam sebab. Misalnya, hasil observasi yang dilakukan di Kelas XI SMAN 1 Kediri menunjukkan bahwa pengetahuan siswa yang masih kurang tentang pelajaran, kebiasaan siswa dan guru berbicara yang panjang lebar dengan menggunakan kalimat mubazir berakibat pada pelanggaran terhadap prinsip kuantitas dan adanya kebiasaan seperti menghindar dari tugas menyebabkan adanya pelanggaran terhadap prinsip relevansi. Pelaksanaan prinsip kerja sama Grice, baik menaati maupun melanggarnya tentu membawa dampak terhadap pembelajaran di kelas. Dampak yang dimaksud dapat berupa efektif atau tidaknya pembelajaran, menyenangkan atau tidaknya situasi kelas, aktif atau tidaknya siswa, dan berkembang atau tidaknya aktivitas siswa di kelas. Hal itu membuat peneliti tertarik untuk mengkajinya. Kajian prinsip kerja sama dalam percakapan guru dan siswa di kelas dapat dilakukan dengan melihat percakapan sebagai aktivitas komunikasi verbal dalam interaksi sosial. Sebagai aktivitas komunikasi verbal dalam interaksi sosial, percakapan di kelas dapat disebut wacana, yaitu peristiwa komunikasi yang ditandai oleh penggunaan bahasa antara penutur dan mitra tutur yang bersifat resiprokal bersemuka untuk mencapai tujuan sosial (Richard, 1995:3). Tujuan sosial yang dimaksud dalam pandangan tersebut mengacu kepada upaya pelaku tutur untuk mencapai pemahaman bersama dan menjalin hubungan harmonis. Hal itu tampak pada pendapat Searle (1969), Leech (1995), Sperber dan Wilson (1998) (dalam Arifin, 1998:30), dan Dardjowidjojo (2003) yang menyebutkan bahwa percakapan dilakukan untuk menyatakan maksud guna mencapai dan mengandalkan pemahaman bersama. Tujuan sosial yang dimaksud juga mengacu kepada penciptaan hubungan harmonis untuk menjalin kerja sama dan menghindari konflik berdasarkan norma sosial yang berlaku. Dalam pandangan tersebut, tuturan guru dan siswa sebagai unit terkecil percakapan di kelas 180 dipandang sebagai tindak tutur yang mempunyai fungsi dan dampak tertentu.
I Gusti Ayu AristaWidari, I Gusti Ngurah Nila Putra, I Kketut Suwija
Selama ini, penelitian mengenai pelaksanaan prinsip kerja sama dalam percakapan guru dan siswa belum pernah dilakukan di Sekolah Menengah Atas (SMA), termasuk di Kelas XI SMAN 1 Kediri. Namun, penelitian dengan masalah sejenis telah banyak dilakukan di berbagai tempat, seperti penelitian yang berjudul Implikatur Percakapan Novel-Novel Agung Panji Tisna oleh I Nyoman Seloka Sudiara (1999), penelitian Putu Eny Susiyanti tahun 2005 yang berjudul Implikatur Percakapan dalam Skenario Film Ada Apa Dengan Cinta, dan penelitian Made Sri Indriani tahun 2005 yang berjudul Makna Pragmatis dalam Percakapan Novel Menjaring Seribu Mimpi Karya Mila Karmila. Ketiga penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang penulis laksanakan, baik dari segi objek maupun subjek penelitian. Oleh karena itu, penelitian dengan judul Pelaksanaan Prinsip Kerja Sama dalam Percakapan Guru dan Siswa dan Dampaknya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas XI SMAN 1 Kediri menarik dan perlu untuk dilakukan. Dengan dilaksanakannya penelitian mengenai pelaksanaan maksim kerja sama ini, diharapkan orang-orang yang setiap hari berkecimpung di dunia pendidikan, terutama guru dan siswanya, lebih menyadari bahwa dalam situasi tertentu dalam pembelajaran di kelas kemampuan berbahasa yang baik sangat penting artinya, yaitu agar tidak terjadi salah penafsiran terhadap maksud yang ingin disampaikan pada saat berkomunikasi. Berdasarkan
latar
belakang
di
atas,
dapat
dirumuskan
beberapa
permasalahan yakni (1) Konteks pembelajaran yang bagaimanakah sebagai tempat relevan pelaksanaan prinsip kerja sama dalam pembelajaran di kelas? (2) Bagaimanakah pelaksanaan prinsip kerja sama yang dilakukan guru? (3) Bagaimanakah pelaksanaan prinsip kerja sama yang dilakukan siswa? (4) Bagaimanakah dampak pelaksanaan prinsip kerja sama yang dilakukan guru dan siswa terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas XI SMAN I Kediri?
METODE PENELITIAN Penelitian ini mengkaji pelaksanaan prinsip kerja sama dalam percakapan guru-siswa dan dampaknya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas XI SMAN 1 Kediri. Kajian tersebut merupakan kajian penggunaan bahasa sebagai
192
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
fenomena sosial. Karena mengkaji gejala atau fenomena sosial, penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif kualitatif. Hal itu sesuai dengan pendapat Margono (2003:36) yang mengatakan bahwa rancangan penelitian dapat diartikan sebagai strategi mengatur latar (setting) agar peneliti memperoleh data yang tepat (valid) sesuai dengan karakteristik variabel dan tujuan penelitian. Rancangan penelitian deskriptif-kualitatif adalah rancangan penelitian yang digunakan sebagai prosedur mengidentifikasi dan mendeskripsikan fenomena yang terjadi di lapangan dengan apa adanya, tanpa adanya unsur rekayasa. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa dan guru bahasa Indonesia kelas XI SMAN I Kediri. Objek penelitian ini secara umum adalah pelaksanaan prinsip kerja sama dalam percakapan guru-siswa dan dampaknya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas XI SMAN 1 Kediri. Secara khusus, adalah (1) konteks pembelajaran sebagai tempat pelaksanaan prinsip kerja sama dalam pembelajaran di kelas, (2) pelaksanaan prinsip kerja sama yang dilakukan guru, (3) pelaksanaan prinsip kerja sama yang dilakukan siswa, dan (4) dampak pelaksanaan prinsip kerja sama yang dilakukan guru dan siswa terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas XI SMAN I Kediri. Penelitian ini menggunakan tiga metode pengumpulan data, yaitu (1) metode perekaman, (2) metode observasi, dan (3) metode wawancara. Untuk mendeskripsikan penggunaan pelaksanaan prinsip kerja sama dalam percakapan guru-siswa dan dampaknya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas XI SMAN 1 Kediri, diperlukan data berupa penggunaan tuturan siswa dalam 182 percakapan siswa-guru dan percakapan guru-siswa saat KBM berlangsung. Untuk mendapatkan data tersebut, peneliti menggunakan metode perekaman. Melalui metode perekaman ini, peneliti berusaha semaksimal mungkin mendapatkan rekaman tuturan yang sebanyak-banyaknya dari proses interaksi verbal dalam KBM bidang studi bahasa Indonesia. Metode observasi digunakan untuk memperoleh data catatan hasil observasi atau catatan lapangan tentang pelaksanaan pembelajaran dan perkembangan situasi yang terjadi terkait dengan pelaksanaan prinsip kerja sama dalam percakapan guru-siswa dan dampaknya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas XI SMAN 1 Kediri. Metode wawancara digunakan untuk memperoleh data yang tidak terekam oleh tape
I Gusti Ayu AristaWidari, I Gusti Ngurah Nila Putra, I Kketut Suwija
recorder dan tidak teramati atau tidak tercatat saat observasi. Dalam hal ini, teknik wawancara sangat diperlukan untuk memperoleh data, seperti alasan guru dan siswa melaksanakan prinsip kerja sama, alasan guru dan siswa melanggar prinsip kerja sama, dan hal-hal lain yang terkait dengan masalah penelitian saat KBM berlangsung di kelas. Metode wawancara yang dilakukan lebih banyak berupa pengajuan pertanyaan konfirmasi secara tidak terstruktur. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan prosedur analisis data kualitatif yang mencakup empat tahap, yaitu (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, dan (4) verifikasi dan penarikan simpulan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Konteks Pembelajaran sebagai Tempat Pelaksanaan Prinsip Kerja Sama di Kelas Data penelitian ini menunjukkan bahwa tempat pelaksanaan prinsip kerja sama dominan pada situasi formal, situasi tidak terlalu formal, dan pada situasi informal, saat Secara jelas hal itu tampak pada uraian di bawah ini. Pertama, situasi formal, saat guru menjelaskan materi pelajaran dapat dikatakan sebagai konteks pembelajaran yang menjadi tempat dominan pelaksanaan prinsip kerja sama di kelas. Prinsip kerja sama bisa terjadi dalam konteks tersebut, karena guru serius menjelaskan materi dengan menggunakan bahasa yang lugas, jelas, dan mudah dipahami siswa. Sementara itu, siswa juga dituntut untuk menanggapi, menjelaskan, atau menjawab pertanyaan guru dengan menggunakan bahasa yang lugas, jelas, dan mudah dipahami siswa. Prinsip kerja sama yang dilaksanakan guru atau pun siswa dapat berupa maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Kedua, prinsip kerja sama juga terjadi pada situasi tidak terlalu formal, misalnya saat guru menegaskan kembali materi pelajaran. Prinsip kerja sama bisa terjadi dalam konteks tersebut, karena guru serius menjelaskan materi dengan menggunakan bahasa yang lugas, jelas, dan mudah dipahami siswa. Namun demikian, prinsip kerja sama terutama maksim kuantitas sering dilanggar. Hal itu bisa terjadi karena adanya upaya guru memotivasi, memberikan nasehat, meminta
194
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
perhatian, atau menegur siswa dengan tuturan-tuturan panjang yang cenderung santun. Ketiga, pada situasi informal, saat guru dalam menuntun siswa secara individu atau membicarakan masalah pribadi dengan menjalin hubungan akrab masalah pribadi dengan siswa, prinsip kerja sama terutama maksim kuantitas dan juga maksim kualitas cenderung dilanggar.
Pelaksanaan Prinsip Kerja Sama yang Dilakukan Guru Data penelitian ini menunjukkan bahwa dalam percakapan di kelas, guru mematuhi semua prinsip kerja sama, baik maksim kuantitas, kualitas, relevansi, maupun cara. Tiap tindak tutur dapat mematuhi lebih daripada satu maksim. Dalam percakapan di kelas, tindak tutur guru terhadap siswa mematuhi maksim kuantitas. Keberadaan tindak tutur yang demikian itu, cenderung mengantarkan siswa untuk segera memahami materi pelajaran karena informasi yang diberikan cukup jelas. Dengan kata lain, tindak tutur guru mematuhi maksim kuantitas menunjukkan adanya upaya untuk menyampaikan informasi seinformatif mungkin. Karena itu, tindak tutur tersebut cenderung menunjukkan pencapaian pemahaman bersama sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran. Selain mematuhi maksim kuantitas, tindak tutur guru juga menggunakan maksim kualitas. Tindak tutur tersebut dapat berfungsi atau digunakan untuk membenarkan hal yang dituturkan sesuai dengan kenyataan yang ada di kelas. Keberadaan penggunaan maksim yang demikian itu, menunjukkan adanya suatu tindak tutur yang disampaikan oleh guru harus disertai dengan bukti yang 184 sebenarnya. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dalam percakapan di kelas, tindak tutur guru yang mematuhi maksim relevansi. Tindak tutur tersebut menunjukkan adanya upaya memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang dipertuturkan. Dengan demikian, percakapan yang terjadi antara guru dan siswa memungkinkan terjadinya suatu kerja sama yang diharapkan. Dalam percakapan di kelas, guru juga harus mengungkapkan pikirannya menggunakan tuturan secara jelas dan runtut. Keruntutan tuturan tersebut tampak pada implikasi atau maksud yang diacunya. Tindak tutur guru tersebut
I Gusti Ayu AristaWidari, I Gusti Ngurah Nila Putra, I Kketut Suwija
menunjukkan adanya pelaksanaan prinsip kerja sama yaitu mematuhi maksim cara.
Pelaksanaan Prinsip Kerja Sama yang Dilakukan Siswa Sama halnya dengan pelaksanaan prinsip kerja sama yang dilakukan guru, data penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan prinsip kerja sama yang dilakukan siswa dalam percakapan di kelas dapat berupa tindak tutur yang mematuhi maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara. Tindak tutur yang dinyatakan siswa dengan beberapa tuturan dalam percakapan tersebut dapat mematuhi lebih dari satu maksim demi tercapainya tujuan pembelajaran. Tindak tutur
siswa yang demikian itu
cenderung mencapai pemahaman bersama. Kecenderungan tersebut terkait dengan upaya guru dan siswa mencapai tujuan pembelajaran. Tiap tuturan siswa dapat mematuhi lebih dari satu maksim. Dalam percakapan siswa terhadap guru, tindak tutur siswa yang mematuhi maksim kuantitas digunakan siswa untuk menanggapi tindak tutur guru dengan memberikan informasi yang diperlukan saja. Tindak tutur tersebut cenderung menunjukkan terciptanya hubungan harmonis dan pencapaian pemahaman bersama. Dikatakan demikian, karena tanpa harus ditambah dengan kata-kata dan informasi lain, tuturan tersebut sudah dapat dipahami dengan jelas oleh mitra tuturnya. Karena itu, tindak tutur tersebut menaati maksim kuantitas dalam menyampaikan suatu informasi. Dalam percakapan di kelas, bukan hanya guru yang menggunakan tindak tutur yang menyatakan sesuatu sesuai dengan situasi sebenarnya pada saat pembelajaran di kelas, namun siswa juga melakukan hal yang sama. Keberadaan tindak tutur seperti itu dalam percakapan siswa terhadap guru menunjukkan siswa melaksanakan maksim kualitas. Dalam bertutur, antara seorang siswa dan guru atau antara siswa dan siswa hendaknya memberikan
kontribusi
yang relevan
tentang sesuatu
yang
dipertuturkan tersebut. Percakapan yang terjadi antara siswa dan siswa hendaknya memungkinkan terjadinya suatu kerja sama yang diharapkan. Terkait dengan hal itu, hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa tuturan siswa yang menyatakan adanya kontribusi relevan terhadap lawan bicaranya.
196
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
Tindak tutur juga disampaikan siswa dari hal awal yang harus dilakukan sampai dengan hal terakhir. Tindak tutur tersebut dinyatakan dengan tuturan yang runtut, tidak acak-acakan. Tindak tutur itu sangat jelas mengacu pada hal-hal inti dan tidak banyak disertai dengan penjelasan langkah tambahan. Dengan demikian akan tercapai kesepakatan bersama yang selanjutnya mencapai pemahaman bersama.
Dampak Pelaksanaan Prinsip Kerja Sama terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, hasil penelitian ini menunjukkan adanya dampak pelaksanaan prinsip kerja sama terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas. Dampak pelaksanaan prinsip kerja sama terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia yaitu (1) situasi pembelajaran di kelas menjadi kondusif, (2) keaktifan siswa menjadi berkembang, (3) pembelajaran di kelas berlangsung dengan baik, dan (4) tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efektif. Hal itu menunjukkan bahwa pelaksanaan prinsip kerja sama berdampak positif terhadap pembelajaran. Dalam hal ini, pelaksanaan prinsip kerja sama menunjukkan bahwa siswa terkesan baik, situasi menjadi tenang, pembelajaran lancar, tujuan pembelajaran tercapai.
PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, dapat disampaikan simpulan-simpulan sebagai berikut. 1.
Konteks pembelajaran sebagai tempat pelaksanaan prinsip kerja sama di kelas, dominan terjadi pada konteks situasi formal, pada saat guru menjelaskan materi 186 sama terjadi pula pada situasi tidak terlalu pelajaran. Pelaksanaan prinsip kerja formal, tampak pada saat adanya tindak tutur guru dan siswa yang menegaskan kembali teori yang telah dijelaskan dengan menambah argumen pendukung. Pada situasi informal, tampak pada saat guru terlibat masalah pribadi dengan siswa, tampak adanya pelaksanaan prinsip kerja sama, tetapi dalam hal ini prinsip kerja sama tersebut cenderung dilanggar.
I Gusti Ayu AristaWidari, I Gusti Ngurah Nila Putra, I Kketut Suwija
2.
Pelaksanaan prinsip kerja sama yang dilakukan guru ditandai oleh tindak tutur yang dinyatakan dengan tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara.
3.
Pelaksanaan prinsip kerja sama yang dilakukan siswa ditandai oleh tindak tutur yang dinyatakan dengan tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara.
4.
Dampak yang ditimbulkan dalam pelaksanaan prinsip kerja sama terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia adalah situasi pembelajaran di kelas yang menjadi nyaman dan kondusif, aktivitas siswa berkembang, pembelajaran berlagsung dengan baik, tidak terhambat, dan tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif.
Saran Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan oleh pembaca terutama guru dan siswa guna memperluas wawasan tentang prinsip penggunaan bahasa. Dengan wawasan tersebut, diharapkan pembaca terutama guru dan siswa semakin menyadari bahwa dalam penggunaan bahasa (tuturan), prinsip kerja sama perlu diperhatikan sehingga tuturan menjadi lebih efektif dan efisien. Dengan demikian, komunikasi dapat terjalin dengan baik, saling bekerja sama, dan mencapai sasaran sesuai dengan yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA Arifin. (2008). Penggunaan tindak tutur siswa di kelas. Disertasi dipublikasikan). Malang : Universitas Negeri Malang.
(tidak
198
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
Dardjowidjojo, Soenjono. (2003). Psikolinguistik pengantar pemahaman bahasa manusia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Indriani, Sri. (2005). Makna pragmatis dalam percakapan novel menjaring seribu mimpi karya mila karmila. Karya Ilmiah (tidak dipublikasikan). Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Singaraja : IKIP Negeri Singaraja. Leech. G. (1993). Prinsip-prinsip pragmatik. Terjemahan M.D.D.Oka.1993. Jakarta: Universitas Indonesia. Margono. S. (2003). Metodologi penelitian pendidikan. Jakarta: PT Bineka Cipta.
Sudiara, I Nyoman Seloka. (1999). Implikatur percakapan novel-novel agung panji tisna. Tesis (tidak dipublikasikan). Malang: IKIP N Malang. Sumarsono. (2007). Pragmatik. (Buku Ajar). Singaraja: Undiksha. Susiyanti, Eny Putu. (2005). Implikatur percakapan dalam skenario ”ada apa dengan cinta”. Skripsi (tidak dipublikasikan). Singaraja: Undiksha. Wijana, I Dewa Putu. (1996). Dasar-dasar pragmatik. Yogyakarta: Andy. Yule, George. (2006). Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
PENERAPAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN PRESTASI BELAJAR
188
I Gusti Ayu AristaWidari, I Gusti Ngurah Nila Putra, I Kketut Suwija
SISWA DALAM PEMBELAJARAN BANGUN RUANG PADA SISWA KELAS IVA SDN 9 SESETAN TAHUN PELAJARAN 2011/2012 I Gusti Ayu Arista Widari, I Gusti Ngurah Nila Putra, I Ketut Suwija Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRACT The aim of this action research is to know whether there is an improvement in learning activity and achievement of grade IV students in learning three dimension shapesthrough the implementation of realistic approach. This research was conducted in Primary school 9 Sesetan in the academic year 2011/2012. The subjects of this study were 45 students of grade IV Primary school 9 Sesetan. The data collected in this research covered: students’ learning activity which was collected from observation, and students’ achievement data which was collected through some achievements test in form of objective and essay. This research was conducted in two cycles. The result of this study shows that the students’ learning activity in cycle one was quite active, and in cycle two the students’ learning activity was categorized as active. From the achievement of the students it was found that the average score, learning capacity, and learning outcome from the pre-cycle, cycle 1, and cycle 2 consecutively are: 4.98, 49.80% and 26.67%; 6.66, 66.60% and 53.30%; then 8.20, 82% and 91.10%. From the result of data analysis and discussion, then it can be concluded that there is an improvement in terms of students’ learning activity and achievement of IV grade students of Primary school 9 Sesetan in the academic year 2011/2012 in learning three dimension shapes through the use of realistic approach. Key words: learning activity, achievement, realistic approach formal terdiri atas pendidikan dasar,
PENDAHULUAN Pendidikan
merupakan
pendidikan
menengah
dan
kebutuhan sepanjang hayat, setiap
pendidikan tinggi, yang berfungsi
manusia membutuhkan pendidikan
untuk meneruskan nilai-nilai luhur
sampai kapanpun dan dimanapun ia
bangsa
berada. Pendidikan sangat penting
Pendidikan juga merupakan salah
bagi
satu
manusia,
pendidikan berkembang. pelaksana
sebab
manusia
akan
Sekolah lembaga
tanpa sulit
sebagai pendidikan
pada
upaya
kualitas
generasi
untuk
sumber
muda.
meningkatkan daya
manusia
(SDM) baik fisik, mental maupun spiritual.
200
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
Dalam proses belajar mengajar di
sekolah,
beberapa
siswa
bidang
mempelajari
studi
termasuk
ISSN 2087-9016
kemampuan
dalam
memecahkan
masalah. Untuk mengatasi masalah pembelajaran
di
sekolah
matematika. Matematika mempunyai
berbagai
peranan yang sangat
matematika menyarankan agar siswa
penting dalam kehidupan sehari-hari
diarahkan mempelajari matematika
maupun dalam membantu bidang
dalam konteks dimana siswa dapat
ilmu lainnya. Mengingat pentingnya
melihat penerapan matematika dalam
peranan matematika, timbul harapan
situasi nyata. Oleh karena, itu siswa
agar prestasi belajar matematika
tidak akan merasa asing dengan
dapat ditingkatkan. Tetapi dalam
matematika dan sedikit demi sedikit
kenyataan
siswa akan menyukai matematika.
belajar
menunjukkan
matematika
prestasi
siswa
pakar
dasar
Salah
masih
satu
pendidikan
materi
yang
tergolong rendah. Berbagai upaya
diajarkan di sekolah dasar adalah
telah dilakukan, dan berbagai metode
bangun ruang. Pembelajaran bangun
pembelajaran
dicobakan,
ruang di sekolah dasar cenderung
namun hasil yang diperoleh belum
berorientasi pada guru. Guru jarang
optimal
memulai
telah
sesuai
dengan
yang
pelajarannya
dengan
disebabkan
masalah nyata mengenai bangun
karena masih banyaknya anggapan
ruang, yang kemudian diarahkan
siswa yang kurang positif terhadap
pada penemuan konsep, prosedur
matematika.
matematika, dan prinsip bangun
diharapkan.
Hal
ini
lembaga pertama bagi peserta didik
dari 190 pembelajaran tersebut adalah siswa
untuk belajar membaca, menulis dan
kurang mampu dalam penalaran
berhitung. Kemampuan berhitung di
bangun ruang.
Sekolah
dasar
merupakan
ruang
itu
sendiri.
Akibat
sekolah dasar memiliki beberapa
Berdasarkan hasil wawancara
tujuan diantaranya menanamkan dan
dengan guru matematika kelas IVA
meletakkan landasan berhitung yang
SDN 9 Sesetan yang dilakukan pada
kuat untuk mempelajari pengetahuan
tanggal 17 Januari 2012, diperoleh
tentang
data bahwa rata-rata skor untuk mata
matematika,
disamping
I Gusti Ayu AristaWidari, I Gusti Ngurah Nila Putra, I Kketut Suwija
pelajaran matematika siswa kelas
menemukan ide maupun konsep-
IVA SDN 9 Sesetan dalam tes
konsep, dimana dalam konsep ini
sumatif pada semester I tahun 2012
diawali dengan masalah realistik.
yaitu 6,25. Ini menunjukan bahwa
Suatu masalah realistik tidak harus
pretasi belajar siswa masih tergolong
selalu berupa masalah yang ada di
rendah, karena rata-rata skor masih
dunia nyata dan bisa ditemukan
di bawah standar minimal yaitu 6,5.
dalam kehidupan sehari-hari siswa,
Setelah
kegiatan
namun
dilakukan
pengamatan
wawancara terhadap
suatu
masalah
disebut
realistik jika masalah tersebut dapat
kegiatan pembelajaran matematika di
dibayangkan
kelas
kegiatan
pikiran siswa. Dalam pembelajaran
pengamatan di kelas berlangsung,
matematika realistik, permasalahan
diduga bahwa penyebab rendahnya
realistik digunakan sebagai fondasi
prestasi belajar siswa adalah guru
dalam
dalam
cenderung
matematika, kemudian definisi akhir,
menggunakan metode konvensional,
sifat dan teorema dapat ditemukan.
siswa terlihat pasif, guru jarang
Untuk hal tersebut siswa diharapkan
memposisikan
ke
lebih aktif berdiskusi dan melakukan
atau
refleksi agar dapat mengkonstruksi
menggunakan
konsep-konsep matematika. Dengan
IVA.
dalam
Selama
mengajar
pembelajaran
suatu
konteks
pembelajaran
yang
permasalahan
realistik,
sehingga
atau
nyata
membangun
menerapkan
dalam
konsep
pendekatan
mampu
pembelajaran matematika realistik
membayangkan konsep yang sedang
akan dapat menimbulkan semangat,
dibahas.
gairah dan percaya diri dalam belajar
siswa
kurang
Sehubungan
dengan
itu,
alternatif pendekatan yang dipandang sesuai diterapkan untuk mengatasi
sehingga
dapat
meningkatkan
prestasi belajar siswa. Fokus dalam penelitian ini
masalah tersebut adalah pendekatan
adalah
penerapan
pembelajaran matematika realistik
pembelajaran matematika realistik
(PMR). Dalam pendekatan ini, siswa
sebagai
diberikan kesempatan sendiri untuk
aktivitas dan prestasi belajar siswa
upaya
pendekatan
meningkatkan
202
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
dalam pembelajaran bangun ruang
pelajaran
pada siswa kelas IVA SDN 9 Sesetan
pembelajaran bangun ruang melalui
Tahun
penerapan pendekatan pembelajaran
Pelajaran
Permasalahan
yang
2011/2012. ingin
dicari
(1)
apakah
terjadi
dalam
matematika realistik. Treffers
jawabannya dalam penelitian ini adalah
2011/2012
2012:21)
(dalam
Wijaya,
menyatakan
bahwa
peningkatan aktivitas belajar siswa
pembelajaran matematika realistik
kelas IVA SDN 9 Sesetan Tahun
adalah
Pelajaran
yang menggunakan permasalahan
2011/2012
dalam
pendekatan
pembelajaran bangun ruang melalui
realistik
penerapan pendekatan pembelajaran
membangun
matematika realistik,
Senada dengan hal tersebut, Soedjadi
(2)
sebagai
pembelajaran
fondasi
konsep
dalam
matematika.
apakah terjadi peningkatan prestasi
(2001:2)
belajar siswa kelas IVA SDN 9
“pembelajaran matematika realistik
Sesetan tahun pelajaran 2011/2012
(PMR)
dalam pembelajaran bangun ruang
pemanfaatan realitas dan lingkungan
melalui
yang dipahami peserta didik untuk
penerapan
pendekatan
pembelajaran matematika realistik. Berdasarkan fokus penelitian
mengemukakan
pada
dasarnya
adalah
memperlancar proses pembelajaran matematika,
sehingga
dan rumusan masalah tersebut, maka
mencapai
tujuan penelitian ini adalah: (1)
matematika secara lebih baik dari
untuk mengetahui apakah terjadi
masa yang lalu.” Sesuai dengan
peningkatkan aktivitas belajar siswa kelas IVA SDN 9 Sesetan tahun
uraian di atas, maka pendekatan 192 pembelajaran matematika realistik
pelajaran
adalah suatu pedomanbagi pendidik
2011/2012
dalam
tujuan
dapat
pembelajaran bangun ruang melalui
dalam
penerapan pendekatan pembelajaran
matematika dengan menempatkan
matematika realistik, dan (2) untuk
realitas dan lingkungan peserta didik
mengetahui
sebagai sumber .
apakah
terjadi
peningkatkan prestasi belajar siswa kelas IVA SDN 9 Sesetan tahun
membangun
pendidikan
Wijaya
konsep
(2012:21)
menyatakan “suatu masalah disebut
I Gusti Ayu AristaWidari, I Gusti Ngurah Nila Putra, I Kketut Suwija
realistik jika masalah tersebut dapat
sehingga
dibayangkan
menggunakan
(imagineable)
atau
memungkinkan
siswa
pengalaman
nyata (real) dalam pikiran
sebelumnya secara langsung untuk
Siswa.” Pendekatan realistik adalah
menemukan suatu konsep. Melalui
suatu pendekatan yang menggunakan
abstraksi
masalah
realistik
tolak
dapat mengembangkan konsep yang
pangkal
pembelajaran.
Diawali
lebih komplit. Kemudian siswa dapat
sebagai
dan
formalisasi,
siswa
dengan aktivitas mematisasi konsep-
mengaplikasikan
konsep
siswa.
matematika kedalam bidang yang
Treffers (dalam Wijaya, 2012:42)
lain ataupun dunia nyata sehingga
membagi matematisasi menjadi dua,
memperkuat pemahaman konsep, (2)
yaitu: (1) matematisasi horizontal,
penggunaan model, istilah model
yaitu
berkaitan dengan situasi dan model
yang
dipelajari
diawali
dengan
konsep-konsep
mengidentifikasi konsep matematika
matematika
berdasarkan
dan
sendiri oleh siswa (self developed
hubungan yang ditemukan melalui
models). Peran self developed models
visualisasi dan skematisasi masalah,
merupakan jembatan bagi siswa dari
(2)
yaitu
situasi konkret menuju abstrak atau
bentuk proses formalisasi di mana
konteks informal ke formal dimana
model matematika yang diperoleh
siswa membuat model sendiri dalam
pada
menyelesaikan
keteraturan
matematisasi
vertikal,
matematisasi
menjadi
horizontal
landasan
dalam
formal
yang lebih formal.
menggunakan
2001:3)
(dalam
Suharta,
menyebutkan
karakteristik
dari
matematika
realistik
bahwa
pembelajaran yaitu:
dikembangkan
masalah
sehingga
diperoleh pengetahuan matematika
pengembangan konsep matematika
Treffers
yang
(bersifat
konstruksi mempunyai
abstrak),
(3)
produksi
dan
siswa,
siswa
kesempatan
untuk
oleh
mengembangkan
strategi-strategi
(1)
informal pemecahan masalah yang dapat mengarah pada konstruksi
menggunakan
dunia
nyata,
pembelajaran
diawali
dengan
masalah kontekstual (dunia nyata)
prosedur-prosedur
pemecahan
masalah. Dengan bimbingan guru,
204
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
siswa
diharapkan
menemukan
ISSN 2087-9016
matematika
ditemukan.
bentuk
Pembelajaran dimulai dengan suatu
formal, (4) menggunakan interaktif,
masalah kontekstual atau realistik
interaksi antara siswa dan guru
yang selanjutnya melalui aktivitas
merupakan
siswa
kembali
konsep
dalam
hal
mendasar
dalam
diharapkan
menemukan
pembelajaran matematika realistik.
kembali sifat, definisi, teorema atau
Secara
eksplisit
prosedur-prosedur.
interaksi
yang berupa negosiasi,
bentuk-bentuk
kontekstual yang dipilih mempunyai
penjelasan, pembenaran, setuju, tidak
berbagai
setuju,
Perbedaan
pertanyaan
atau
refleksi
Masalah
kemungkinan
solusi.
penyelesaian
atau
digunakan untuk mencapai bentuk
prosedur siswa dalam memecahkan
formal dari bentuk-bentuk informal
masalah dapat digunakan sebagai
siswa, (5) keterkaitan unit belajar
langkah proses matematisasi baik
(intertwinement),
dalam
horizontal
pembelajaran matematika realistik,
didactical
keterkaitan
matematika
(fenomena didaktik), situasi-situasi
adalah esensial. Dengan keterkaitan
yang diberikan dalam suatu topik
ini akan memudahkan siswa dalam
matematika
proses pemecahan masalah.
pertimbangan,
yaitu
melihat
kemungkinan
aplikasi
dalam
unit-unit
Menurut Gravemeijer (dalam
maupun
vertikal,
(2)
phenomenology
disajikan
atas
dua
Lemik, 2010:25) ada tiga prinsip
pengajaran dan sebagai titik tolak
utama
dalam
proses
Tujuan
penyelidikan
dalam
pembelajaran
berdasarkan
pendekatan
fenomena194 adalah untuk
pembelajaran matematika realistik
fenomena
yaitu:
menemukan situasi-situasi masalah
(1)
guided
reinvention
tersebut
mematematisasi.
and
khusus yang dapat digeneralisasikan
mathematizing
dan dapat digunakan sebagai dasar
(matematika progresif), peserta harus
matematisasi vertikal, dan (3) self-
diberikan
kesempatan
untuk
developed
mengalami
proses
sama
model sendiri), kegiatan ini berperan
konsep-konsep
sebagai jembatan antara pengetahuan
(menemukan
kembali)
progressive
sebagaimana
yang
model
(pengembangan
I Gusti Ayu AristaWidari, I Gusti Ngurah Nila Putra, I Kketut Suwija
formal
dan
matematika
formal.
masalah
kontekstual,
memecahkan
Model dibuat siswa sendiri dalam
masalah, dan mengorganisasi bahan
memecahkan masalah. Model pada
ajar.
awalnya adalah suatu model dari situasi yang dikenal (akrab) dengan
METODE PENELITIAN
siswa.
Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dengan
suatu
proses
Penelitian
generalisasi dan formalisasi, model tersebut
akhirnya
menjadi
suatu
menggunakan
kualitatif.
Penelitian
kualitatif merupakan penelitian yang
penalaran matematika. Pembelajaran
pendekatan
ini
Matematika
dilakukan pada latar alamiah atau
langkah-langkah
pada konteks dari suatu keutuhan
pembelajaran. Adapun langkah-langkah
(entity) dengan memanfaatkan diri
Pembelajaran
peneliti sebagai instrumen kunci,
Realistik
memiliki
mengacu
Matematika
pada
Suharta
Realistik (2001).
Moleong (2011:8).
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, pada
dasarnya
pengajaran
menggunakan pembelajaran dicirikan
dengan
pendekatan matematika
oleh:
(1)
realistik
Jenis
penelitian
ini
adalah
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau
classroom
Desain
atau
action
model
research.
PTK
yang
matematika
digunakan dalam penelitian tindakan
dipandang sebagai kegiatan manusia
kelas ini adalah desain PTK model
sehari-hari,
Kurt Lewin yang mengandung empat
sehingga
untuk
memecahkan masalah-masalah dalam
komponen
pada
kehidupan
Keempat
komponen
sehari-hari,
(2)
belajar
matematika berarti bekerja dengan matematika,
(3)
siswa
diberikan
kesempatan untuk menemukan konsepkonsep matematika dibawah bimbingan orang dewasa (guru), (4) proses belajar mengajar berlangsung secara interaktif, dan siswa menjadi fokus dari semua aktifitas di dalam kelas, dan (5) aktifitas yang dilakukan meliputi: menemukan
setiap
siklus. 195 tersebut
meliputi: (1) perencanaan (planning) yaitu rencana tindakan yang akan dilakukan
untuk
meningkatkan perilaku
dan
memperbaiki,
atau sikap
perubahan sebagai
pemecahan masalahnya, (2) tindakan (action) yaitu sesuatu yang dilakukan guru atau peneliti sebagai upaya
206
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
perbaikan, perubahan
peningkatan, yang
pengamatan
atau
diinginkan,
(observing)
(3)
tindakan yang dilaksanakan atau dikenakan kepada siswa, dan (4) refleksi (reflecting) yaitu peneliti melihat
dan
mempertimbangkan atas hasil atau dampak dari tindakan yang nantinya akan
direvisi
terhadap
Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam
yaitu
mengamati hasil atau dampak dari
mengkaji,
ISSN 2087-9016
rencana
sebelumnya (Suandhi, 2006:16).
penelitian ini meliputi data aktivitas belajar siswa dan data prestasi belajar siswa. Data
aktivitas
belajar
dikumpulkan
dengan
siswa teknik
observasi. Instrumen yang digunakan berupa
lembar
observasi
yang
memuat indikator-indikator aktivitas yang harus diamati pada masingmasing siswa. Adapun indikator-
Tempat dan Subjek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di
indikator
aktivitas
belajar
siswa
tersebut adalah: (1) antusiasme siswa
SDN 9 Sesetan. Subjek penelitian ini
dalam
proses
pembelajaran,
adalah siswa kelas IVA SDN 9
interaksi siswa dengan guru, (3)
Sesetan tahun pelajaran 2011/2012,
interaksi siswa dengan siswa, (4)
sebanyak 45 orang yang terdiri dari
usaha siswa dalam mengerjakan soal,
24 siswa putra dan 21 siswa putri.
(5)
partisipasi
menyimpulkan Data dan Sumber Data Data
yang
dikumpulkan
difokuskan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini berupa skor dan catatan lapangan. Skor dalam penelitian ini terdiri dari skor aktivitas belajar siswa dan skor prestasi belajar siswa. Sumber data dalam penelitian ini menitik beratkan pada manusia, yaitu siswa kelas IVA SDN 9 Sesetan.
siswa
(2)
dalam
materi
pelajaran. Dalam setiap indikator memuat196 4 deskriptor. Adapun cara pemberian skor tentang aktivitas belajar siswa adalah sebagai
berikut.
Dalam
lembar
observasi memuat 5 indikator dan setiap indikator memuat 4 deskriptor. Setiap deskriptor dari masing-masing indikator aktivitas belajar siswa yang tampak selama proses pembelajaran
I Gusti Ayu AristaWidari, I Gusti Ngurah Nila Putra, I Kketut Suwija
dicatat pada lembar observasi dengan
ketuntasan belajar siswa (KB), dan
memberi tanda rumput (√). Jika
daya
sebuah
dikomparasikan
deskriptor
tampak
maka
serap
(DS)
selanjutnya
dengan
standar
diberi skor 1 dan jika tidak nampak
acuan yang ditetapkan Depdikbud
diberi
(dalam Widiyanti, 2009:21), yaitu
skor
0.
Sehingga
skor
maksimal ideal aktivitas
proses
belajar siswa adalah 20 dan skor
optimaljika rata-rata skor prestasi
minimal ideal adalah 0. Data prestasi belajar siswa dikumpulkan Instrumen
dengan yang
teknik
dipakai
tes.
pembelajaran
telah
� ) ≥ 6,5, daya serap belajar siswa (X
(DS) ≥ 65% dan ketuntasan belajar siswa (KB) ≥ 85%.
dalam
pengumpulan data ini menggunakan
Prosedur Penelitian Penelitian ini adalah Penelitian
tes prestasi belajar yang berupa tes objektif dan tes uraian (essay) yang diberikan pada akhir masing-masing
Tindakan
Kelas
(PTK)
yang
direncanakan dalam dua siklus. Masing-masing
siklus.
siklus terdiri empat komponen, yaitu: (1)
Teknik Analisis Data Data aktivitas belajar siswa dianalisis
dengan
menggunakan
analisis statistik deskriptif
dan
perencanaan
(planning),
(2)
tindakan (acting), (3) pengamatan (observing),
dan
(4)
refleksi
(reflecting).
digolongkan berdasarkan kriteria dari Nurkancana
dan
Sunartana
(1992:100).
Untuk
mengetahui
prestasi belajar siswa, maka hasil tes prestasi
belajar
dengan
mencari
siswa
dianalisis
rata-rata
skor
prestasi belajar siswa atau mean, ketuntasan belajar siswa dan daya serap. Hasil perhitungan rata-rata skor prestasi belajar siswa ( � X ),
Refleksi Awal
197
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru matematika kelas IVA SDN 9 Sesetan yang dikakukan pada tanggal 17 Januari 2012, diperoleh data bahwa rata-rata skor untuk mata pelajaran matematika siswa kelas IVA SDN 9 Sesetan dalam tes sumatif pada semester I tahun 2012 yaitu 6,25. Ini menunjukan bahwa
208
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
pretasi belajar siswa masih tergolong
sehari-hari
rendah karena nilai rata-rata masih di
pembelajaran.
bawah standar minimal yaitu 6,5.
pembelajaran bangun ruang masih
Setelah
kegiatan
bersifat abstrak bagi siswa sekolah
dilakukan
pengamatan
wawancara terhadap
dasar.
Oleh
di
dalam Terlebih
karena
itu
proses lagi
dengan
kegiatan pembelajaran matematika di
pendekatan
kelas IVA, diduga bahwa penyebab
matematika
rendahnya prestasi belajar siswa
mengaitkan kehidupan nyata siswa
adalah sebagai berikut: (1) guru
dengan sifat abstrak bangun ruang,
dalam
maka
mengajar
cenderung
menggunakan metode konvensional,
proses
pembelajaran realistik
yang
pembelajaran
akan
menjadi menarik dan menyenangkan.
(2) siswa pasif, dan (3) guru jarang memposisikan dalam
pembelajaran
suatu
pembelajaran
konteks yang
ke
menggunakan
diterapkannya
suatu
model pembelajaran yang membuat siswa menjadi aktif dan tidak bosan dalam
mengikuti
pelajaran
matematika khususnya pembelajaran bangun
ruang.
diduga
tepat
Pendekatan digunakan
pembelajaran
adalah
matematika
realistik menuntut aktivitas siswa secara
optimal.
pendekatan
Selain
tindakan dan satu kali pertemuan untuk melakukan tes prestasi belajar. Siklus I terdiri dari empat komponen meliputi: perencanaan,
198 pelaksanaan, observasi atau evaluasi, dan refleksi. Perencanaan
yang
pembelajaran matematika realistik. Dalam
kali pertemuan dengan rincian dua kali pertemuan untuk pelaksanaan
Berdasarkan situasi tersebut, perlu
Siklus I dilaksanakan dalam 3
atau
permasalahan realistik.
maka
Siklus I
itu,
pembelajaran
matematika
realistik
selalu
mengaitkan
pengalaman
siswa
Tindakan.
Sesuai dengan permasalahan yang muncul pada refleksi awal maka akan
diterapkan
pendekatan
pembelajaran matematika realistik dalam pembelajaran bangun bangun ruang. Selanjutnya, ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan dalam siklus ini sebagai berikut: (1) menyusun
I Gusti Ayu AristaWidari, I Gusti Ngurah Nila Putra, I Kketut Suwija
rencana pelaksanaan pembelajaran
pembelajaran matematika realistik
(RPP) yang mengacu pada langkah-
dalampembelajaran bangun ruang.
langkah Pembelajaran Matematika
Pada pertemuan pertama materi yang
Realistik (2) membuat lembar kerja
akan
siswa (LKS),
tes
bangun ruang sederhana. Adapun
prestasi belajar, (4) membuat lembar
yang di bahas meliputi sifat-sifat
observasi, (5) membuat buku catatan
kubus
dan
balok,
serta
cara
lapangan.
menggambar
kubus
dan
balok
(3) membuat
Pelaksanaan
Tindakan.
dibahas
adalah
sifat-sifat
berdasarkan sifat-sifatnya. Langkah-
Berdasarkan perencanaan tindakan di
langkah
pembelajarannya
atas, pada komponen ini peneliti
sebagai berikut.
adalah
melaksanakan penerapan pendekatan Tabel 01 Langkah-langkah Pembelajaran Pertemuan 1 Siklus I Pendahuhuan Kegiatan Guru Kegiatan Siswa 1. Melakukan absensi. 1. Mendengarkan guru dan mengucapkan kata hadir. 2. Mengingatkan kembali materi 2. Berusaha mengingat kembali materi pembelajaran sebelumnya. pelajaran sebelumnya. 3. Menyampaikan tujuan pembelajaran. 3. Mendengarkan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Kegiatan Inti Kegiatan Guru Kegiatan Siswa 1. Meminta siswa mengingat benda1. Secara mandiri mengingat bendabenda yang menyerupai kubus dn benda yang menyerupai kubus dan balok sesuai pengalaman mereka balok. masing-masing. 2. Memberi kesempatan kepada siswa 2. Menggunakan strategi yang paling untuk membayangkan sifat-sifat efektif sesuai pengalamannya bangun ruang tersebut serta cara masing-masing. menggambarnya sesuai dengan strategi mereka masing-masing. 3. Memberikan siswa beberapa masalah 3. Secara sendiri-sendiri atau sehari-hari yang berkaitan dengan berkelompok menyelesaikan 199 masalah tersebut. kubus dan balok, selanjutnya siswa mengerjakan masalah dengan menggunakan pengalaman mereka. 4. Mendekati siswa sambil memberikan 4. Meminta bantuan kepada guru atau bantuan seperlunya. teman sekelas apabila mengalami kesulitan dan melalui diskusi kelas,
210
I Gusti Ayu AristaWidari, I Gusti Ngurah Nila Putra, I Kketut Suwija
5. Menjelaskan secara formal sifat-sifat kubus dan balok serta cara menggambarnya.
6. Membagikan LKS 7. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan kedepan sesuai jawaban mereka masingmasing. 8. Memberikan tugas di rumah yaitu mengerjakan soal-soal serta jawabannya sesuai dengan matematika formal.
jawaban siswa dikonfrontasikan. 5. Mendengarkan dan merumuskan bentuk matematika formal, yaitu bentuk matematika yang sering digunakan dalam proses pembelajaran di kelas. 6. Mengerjakan soal-soal dalam LKS 7. Beberapa siswa maju kedepan untuk menjawab soal. 8. Mengerjakan tugas rumah dan menyerahkannya kepada guru pada pertemuan selanjutnya.
Penutup Kegiatan Guru Kegiatan Siswa 1. Bersama-sama menyimpulkan materi 1. Bersama-sama menyimpulkan pelajaran yang baru diberikan. materi pelajaran yang baru diberikan. Pada pertemuan kedua materi
bola
berdasarkan
sifat-sifatnya.
yang akan dibahas meliputi sifat-sifat
Adapun
langkah-langkah
tabung, kerucut dan bola, serta cara
pembelajarannya
adalah
menggambar tabung, kerucut dan
berikut.
sebagai
Tabel 02 Langkah-langkah Pembelajaran Pertemuan 2 Siklus I. Pendahuluan Kegiatan Guru 1. Melakukan absensi. 2. 3.
1.
2.
Kegiatan Siswa 1. Mendengarkan guru dan mengucapkan kata hadir. Mengingatkan kembali materi 2. Berusaha mengingat kembali materi pembelajaran sebelumnya. pelajaran sebelumnya. Menyampaikan tujuan pembelajaran. 3. Mendengarkan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Kegiatan Inti Kegiatan Guru Kegiatan Siswa Meminta siswa mengingat benda1. Secara mandiri mengingat benda- 200 benda yang menyerupai tabung, benda yang menyerupai menyerupai kerucut, dan bola sesuai pengalaman tabung, kerucut, dan bola mereka masing-masing. 2. Menggunakan strategi yang paling Memberi kesempatan kepada siswa efektif sesuai pengalamannya untuk mengingat sifat-sifat bangun masing-masing. ruang tersebut, dan membayangkan
200
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
cara menggambarnya sesuai dengan strategi mereka masing-masing. 3. Mendekati siswa sambil memberikan bantuan seperlunya.
ISSN 2087-9016
3. Meminta bantuan kepada guru atau teman sekelas apabila mengalami kesulitan dan melalui diskusi kelas, jawaban siswa dikonfrontasikan. 4. Mendengarkan dan merumuskan bentuk matematika formal, yaitu bentuk matematika yang sering digunakan dalam proses pembelajaran di kelas. 5. Mengerjakan soal-soal dalam LKS 6. Beberapa siswa maju kedepan untuk menjawab soal.
4. Menjelaskan secara formal sifat-sifat tabung, kerucut dan bola, serta cara menggambarnya sesuai dengan sifat masing-masing. 5. Membagikan LKS 6. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan kedepan sesuai jawaban mereka masingmasing. 7. Memberikan tugas di rumah yaitu 7. Mengerjakan tugas rumah dan mengerjakan soal-soal serta menyerahkannya kepada guru pada jawabannya sesuai dengan pertemuan selanjutnya. matematika formal. Penutup Kegiatan Guru Kegiatan Siswa 1. Bersama-sama menyimpulkan materi 1. Bersama-sama menyimpulkan pelajaran yang baru diberikan. materi pelajaran yang baru diberikan. Observasi. Kegiatan observasi dilaksanakan
proses
evaluasi selama proses pembelajaran
pembelajaran berlangsung. Observasi
dan catatan lapangan. Refleksi ini
terhadap
dilakukan
dilakukan
selama
didasarkan pada hasil observasi,
aktivitas
belajar
dengan
siswa
mengamati
tujuan
oleh untuk
peneliti
dengan
mengidentifikasi
perilaku yang tampak menggunakan
dampak tindakan pada siklus I,
lembar
sejauh mana hasil yang dicapai,
observasi.
Sedangkan
observasi terhadap prestasi belajar
kelemahan
siswa
dialami. Permasalahan yang timbul
dilakukan
dengan
serta
kendala
yang
menggunakan tes berupa tes objektif
selama
dan tes uraian yang dilaksanakan
didiskusikan dengan teman sejawat
pada akhir siklus I.
serta guru kelas dan dicari alternatif
Refleksi.
Tahap
pembelajaran
siklus
I
refleksi
pemecahannya. Selain itu, refleksi
dilakukan pada akhir siklus I yang
dijadikan sebagai masukan untuk
201
I Gusti Ayu AristaWidari, I Gusti Ngurah Nila Putra, I Kketut Suwija
menyempurnakan pembelajaran pada
hampir sama pada siklus I yaitu: (1)
siklus siklus II sehingga kelemahan-
menyusun
kelemahan
pembelajaran (RPP) yang mengacu
pada siklus
I dapat
rencana
pelaksanaan
pada langkah-langkah pembelajaran
diatasi.
matematika realistik, (2) membuat Siklus II
lembar
Siklus II dilaksanakan jika hasil yang diperoleh pada siklus I belum
sesuai
dengan
yang
diharapkan. Siklus II dilaksanakan dalam 3 kali pertemuan dengan rincian dua kali pertemuan untuk pelaksanaan tindakan dan satu kali pertemuan
untuk
melakukan
tes
prestasi belajar. Adapun langkahlangkahnya yang diambil serupa dengan siklus I yaitu, perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Namun
demikian
langkahnya penyempurnaan
langkahmerupakan
dari
langkah-
langkah pada siklus I. Perencanaan
kerja
siswa
(LKS),
(3)
membuat tes prestasi belajar, (4) membuat
lembar
observasi,
(5)
membuat buku catatan lapangan. Pelaksanaan
Tindakan.
Berdasarkan perencanaan tindakan di atas, pada komponen ini peneliti melaksanakan penerapan pendekatan pembelajaran matematika realistik dalam pembelajaran bangun ruang. Pada pertemuan ini materi yang akan dibahas adalah menggambar dan mengidentifikasi jaring-jaring kubus. Adapun
langkah-langkah
pembelajarannya
adalah
sebagai
berikut. Tindakan.
Dalam perencanaan pada diklus II ini peneliti menyiapkan hal-hal yang Tabel 03 Langkah-langkah Pembelajaran Pertemuan 1 Siklus II Pendahuluan Kegiatan Guru Kegiatan Siswa 202 1. Melakukan absensi. 1. Mendengarkan guru dan mengucapkan kata hadir 2. Mengingat kembali materi 2. Berusaha mengingat kembali materi pembelajaran sebelumnya. pelajaran sebelumnya. 3. Menyampaikan tujuan 3. Mendengarkan tujuan pembelajaran pembelajaran. yang ingin dicapai.
202
I Gusti Ayu AristaWidari, I Gusti Ngurah Nila Putra, I Kketut Suwija
Kegiatan Inti Kegiatan Guru 1. Meminta siswa menyebutkan contoh benda-benda dalam kehidupan sehari yang bentuknya menyerupai kubussesuai dengan pengalaman mereka masingmasing. 2. Menunjukkan kepada siswa alat peraga berupa benda berbentuk kubus, seperti: kotak kapur dan kotak biscuit. 3. Menggunting kotak kapur dan kotak biscuit sehingga nampak jaring-jaring kubus kemudian ditempel pada papan tulis. 4. Meminta siswa untuk menggambar jaring-jaring kubus secara mandiri sesuai dengan strategi masingmasing. 5. Mendekati siswa sambil memberikan bantuan seperlunya. 6. Menjelaskan secara formal cara menggambar dan mengidentifikasi jaring-jaring kubus 7. Membagikan LKS 8. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan ke depan sesuai jawaban mereka masingmasing. 9. Memberikan tugas di rumah yaitu mengerjakan soal-soal serta jawabannya sesuai dengan matematika formal.
Kegiatan Siswa 1. Menggali pengalaman masingmasing dan menyebutkan bendabenda dalam kehidupan sehari yang bentuknya menyerupai kubus. 2. Memperhatikan dengan baik alat peraga yang ditunjukkan guru. 3. Memperhatikan bentuk kotak kapur yang telah digunting dengan seksama.
4. Mengerjakannya secara mandiri sesuai dengan strategi masingmasing. 5. Meminta bantuan kepada guru atau teman apabila mengalami kesulitan. 6. Mendengarkan dan merumuskan bentuk matematika formal, yaitu bentuk matematika yang sering digunakan dalam proses pembelajaran di kelas. 7. Mengerjakan soal-soal dalam LKS. 8. Beberapa siswa maju ke depan untuk menjawab soal. 9. Mengerjakan tugas rumah dan menyerahkannya kepada guru pada pertemuan selanjutnya.
Penutup Kegiatan Guru 1. Bersama-sama menyimpulkan materi pelajaran yang baru diberikan. Pada pertemuan kedua materi yang
akan
dibahas
adalah
Kegiatan Siswa 1. Bersama-sama menyimpulkan materi pelajaran yang baru diberikan.
203
menggambar dan mengidentifikasi jaring-jaring
balok.
Adapun
204
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
langkah-langkah
pembelajarannya
ISSN 2087-9016
adalah sebagai berikut.
Tabel 04 Langkah-langkah Pembelajaran Pertemuan 2 Siklus II Pendahuluan Kegiatan Guru Kegiatan Siswa 1. Melakukan absensi. 1. Mendengarkan guru dan mengucapkan kata hadir 2. Mengingat kembali materi 2. Berusaha mengingat kembali materi pelajaran sebelumnya. pembelajaran sebelumnya. 3. Menyampaikan tujuan 3. Mendengarkan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. pembelajaran. Kegiatan Inti Kegiatan Guru Kegiatan Siswa 1. Meminta siswa menyebutkan 1. Menggali pengalaman masingcontoh benda-benda dalam masing dan menyebutkan bendakehidupan sehari yang bentuknya benda dalam kehidupan sehari-hari menyerupai baloksesuai dengan yang bentuknya menyerupai balok. pengalaman mereka masingmasing. 2. Memperhatikan dengan baik alat 2. Menunjukkan kepada siswa alat peraga yang ditunjukkan guru. peraga berupa benda berbentuk balok, seperti: kotak pasta gigi dan 3. Memperhatikan bentuk kotak pasta kotak sabun. gig dan kotak sabun yang telah 3. Menggunting kotak pasta gigi dan digunting dengan seksama. kotak sabun sehingga nampak 4. Mengerjakannya secara mandiri jaring-jaring balok dan sesuai dengan strategi masingmenempelnya di papan tulis. masing. 4. Meminta siswa untuk menggambar jaring-jaring balok secara mandiri 5. Meminta bantuan kepada guru atau sesuai dengan strategi masingteman apabila mengalami kesulitan. masing. 6. Mendengarkan dan merumuskan 5. Mendekati siswa sambil bentuk matematika formal, yaitu memberikan bantuan seperlunya. bentuk matematika yang sering 6. Menjelaskan secara formal digunakan dalam proses caramenggambar dan pembelajaran di kelas. mengidentifikasi jaring-jaring 7. Mengerjakan soal-soal dalam LKS. balok. 8. Beberapa siswa maju ke depan untuk menjawab soal. 7. Membagikan LKS. 204 8. Memberikan kesempatan kepada 9. Mengerjakan tugas rumah dan siswa untuk mengerjakan ke depan menyerahkannya kepada guru pada pertemuan selanjutnya. sesuai jawaban mereka masingmasing. 9. Memberikan tugas di rumah yaitu mengerjakan soal-soal serta
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 2087-9016
jawabannya sesuai dengan matematika formal. Penutup Kegiatan Guru 1. Bersama-sama menyimpulkan materi pelajaran yang baru diberikan. Observasi. Kegiatan observasi dilaksanakan
selama
proses
Kegiatan Siswa 1. Bersama-sama menyimpulkan materi pelajaran yang baru diberikan. rekomendasi penelitian ini berhasil dan siklus dihentikan, jika tidak
pembelajaran berlangsung. Observasi
maka
terhadap
berikutnya.
aktivitas
belajar
siswa
akan
dilakukan
siklus
dilakukan dengan mengamati prilaku yang tampak menggunakan lembar observasi, evaluasi
sedangkan dilaksanakan
kegiatan untuk
mengetahui prestasi belajar siswa dengan menggunakan tes prestasi
Refleksi. Refleksi dilakukan berdasarkan hasil observasi dan hasil tes
prestasi
belajar
siswayang dilaksanakan pada akhir siklus II. Dari hasil refleksi tersebut akan
diketahui
apakah
terjadi
peningkatan aktivitas dan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran bangun ruang dengan penerapan pendekatan
pembelajaran
matematika realistik. Apabila tidak terdapat
kendala-kendala
Untuk mengecek keabsahan data dalam penelitian ini digunakan teknik
triangulasi,
sejawat
melalui
konsultasi
belajar pada akhir siklus II.
evaluasi
Pengecekan Keabsahan Data
yang
berarti serta proses pembelajaran telah optimal maka akan dirumuskan
pembimbing.
pemeriksaan diskusi
dengan
dan dosen
Triangulasi
adalah
teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan
atau
pembanding
terhadap
(Moleong,
2011:330).
sebagai 205 data itu Teknik
pemeriksaan sejawat melalui diskusi dilakukan
dengan
cara
mengumpulkan hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan-rekan sejawat. Dalam penelitian ini, teknik triangulasi dan pemeriksaan sejawat
I Gusti Ayu AristaWidari, I Gusti Ngurah Nila Putra, I Kketut Suwija
dilakukan melalui diskusi secara
yang diharapkan.
terpadu, yang melibatkan dua orang rekan
sejawat
dan
guru
mata
pelajaran matematika di kelas yang diteliti.
Hasil
diskusi
dikonsultasikan pembimbing
tersebut
kepada
untuk
upaya
PEMBAHASAN Hasil Penelitian Berdasarkan
dosen
mendapatkan
arahan dan revisi bila diperlukan dalam
HASIL PENELITIAN DAN
mendapatkan
data
analisis
data
aktivitas belajar siswa tiap siklus, maka dapat disajikan hasil analisis data aktivitas belajar siswa seperti yang diuraikan dalam tabel berikut
sesuai dengan derajat keabsahan
ini. Tabel 05 Hasil Analisis Data Aktivitas Belajar Siswa No. Siklus 1.
Rata-rata Skor �) Aktivitas (A 10,20
Pertemuan ke-
I
1 2
2.
Cukup aktif
12,11
Cukup aktif
Rata-rata
11,155
Cukup aktif
4
13,24
Aktif
5
13,67
Aktif
Rata-rata
13,455
Aktif
II
Berdasarkan
Kategori
analisis
data
prestasi belajar siswa tiap, maka dapat disajikan hasil analisis data beserta persentase peningkatannya seperti yang diuraikan dalam tabel 06 dan tabel 07 berikut ini. Tabel 06 Hasil Analisis Data Prestasi Belajar Siswa No.
Siklus
1.
PraSiklus I II
2. 3.
Rata-rata Skor Prestasi �) (X 4,98
Ketuntasan Belajar (KB)
6,66 8,20
53,30% 91,10%
26,67%
Daya Serap (DS)
206
49,80% 66,60% 82,00%
206
I Gusti Ayu AristaWidari, I Gusti Ngurah Nila Putra, I Kketut Suwija
Tabel 07 Persentase Peningkatan Prestasi Belajar Siswa Siklus ke Siklus Pra-Siklus ke Siklus I Siklus I ke Siklus II
Persentase Peningkatan Prestasi Belajar Rata-rata Skor Ketuntasan Daya Serap �) Belajar (KB) (DS) Prestasi (X 33,70% 99,85% 33,70% 23,12% 70,92% 23,12%
208
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013 2087-9016
ISSN
Pembahasan Berdasarkan hasil observasi awal di kelas IVA SDN 9 Sesetan tahun pelajaran 2011/2012 diperoleh informasi tentang aktivitas dan prestasi belajar siswa pada pelajaran matematika belum mencapai hasil yang optimal. Hal ini �) yang masih dapat dilihat dari pencapaian rata-rata skor prestasi belajar siswa (X
kurang dari 6,5, ketuntasan belajar (KB) di bawah 85%, dan daya serap (DS) kurang dari 65%. Sebelum pelaksanaan tindakan terlebih dahulu dilakukan prasiklus. Dalam PTK ini, prasiklus dilakukan sebanyak dua kali meliputi: (1) observasi awal, dan (2) pemberian tes prasiklus. Kedua langkah tersebut dilakukan untuk mengetahui aktivitas belajar siswa dan kemampuan belajar awal siswa sebelum pelaksanaan tindakan.Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dari hasil observasi dan tes prasiklus di dapat informasi tentang aktivitas dan prestasi belajar siswa khususnya pada pelajaran matematika belum mencapai hasil yang optimal. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas siswa pada saat proses belajar mengajar berlangsung 207 masih pasif. Selain itu prestasi belajar siswa dilihat dari rata-rata skor prestasi �) pada prasiklus = 4,98, daya serap (DS) = 49,80%, dan ketuntasan belajar siswa (X belajar (KB) = 26,67%. Kedua hal ini menunjukkan bahwa aktivitas belajar siswa dalam mengikuti proses pembelajaran dan prestasi belajar siswa dalam pelajaran matematika khususnya bangun ruang masih rendah. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti melakukan penelitian tindakan kelas dengan menerapkan pendekatan pembelajaran matematika realistik sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa kelas IVA SDN 9 Sesetan tahun pelajaran 2011/2012. Berdasarkan hasil analisis data aktivitas siswa pada siklus I diperoleh bahwa aktivitas belajar siswa belum mencapai kategori aktif. Sedangkan hasil analisis data prestasi belajar siswa pada siklus I, juga menunjukkan belum mencapai kriteria keberhasilan minimal. Berdasarkan hasil observasi kegiatan pembelajaran pada siklus I yang ditulis dalam buku catatan lapangan, ditemukan beberapa kendala yang menyebabkan kurang optimalnya pembelajaran pada siklus I, yaitu: (1) ada beberapa siswa yang masih ribut pada saat guru menjelaskan materi, (2) ada beberapa siswa yang kurang aktif dalam diskusi di kelas, (3) siswa yang
I Nengah Sudja
memiliki kemampuan kurang, malu untuk bertanya kepada guru maupun kepada temannya yang lebih pandai apabila mengalami kesulitan dalam pelajaran, (4) siswa yang pandai mendominasi dalam menjawab pertanyaan guru, (5) guru kurang efektif dalam mengelola kelas sehingga waktu yang tersedia tidak dapat dimanfaatkan dengan efektif oleh guru, (6) pemantauan dan arahan guru kepada siswa saat mengerjakan LKS masih kurang intensif. Berdasarkan hasil observasi tersebut, dilakukan refleksi dengan rekan sejawat untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan dalam memperbaiki pembelajaran selanjutnya. Adapun hasil refleksi pada akhir siklus I akan dijadikan acuan dalam pelaksanaan siklus II, yaitu: (1) memberikan pertanyaan-pertanyaan secara lisan dan spontan kepada siswa yang masih ribut untuk memfokuskan perhatian siswa, (2) membimbing siswa yang kurang aktif dalam berdiskusi dan menanyakan permasalahan yang sedang dihadapi dalam melakukan diskusi, (3) menunjuk siswa yang kemampuannya kurang dan malu bertanya untuk menjawab pertanyaan yang diberikan guru kemudian memberi nilai sebagai motivasi, (4) menunjuk siswa yang kurang aktif dalam diskusi di kelas sehingga tidak didominasi oleh siswa yang pandai saja, (5) guru lebih efektif melakukan pengelolaan kelas sehingga tidak kekurangan waktu, (6) guru lebih intensif dalam memberikan arahan dan bimbingan kepada siswa saat mengerjakan LKS. Pada tahap observasi dalam siklus II, peneliti bersama guru mengamati dampak dari perbaikan tindakan berdasarkan hasil refleksi siklus I. Berdasarkan penyempurnaan pelaksanaan tindakan pada siklus II dan dari hasil observasi diperoleh bahwa secara keseluruhan siswa terlihat antusias dalam mengikuti kegiatan pembelajaran dan guru208 sudah bisa mengubah suasana pembelajaran menjadi kondusif dan tidak tegang lagi sehingga siswa sudah merasa senang dalam mengikuti pelajaran matematika di kelas. Hasil observasi pada siklus II ini menunjukkan bahwa perbaikan yang telah dilakukan sudah cukup berhasil. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis data aktivitas belajar siswa yang sudah mencapai kategori ”aktif” dengan peningkatan rata-rata skor aktivitas belajar siswa dari siklus I ke siklus II sebesar 20,62%. Hasil analisis data prestasi belajar siswa pada siklus II telah memenuhi kriteria keberhasilan minimal. Berdasarkan hasil analisis data dan observasi pada siklus I dan siklus II menunjukkan adanya peningkatan
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 20879016
aktivitas dan prestasi belajar matematika siswa setelah penerapan pendekatan pembelajaran matematika realistik Mengacu pada bab III, bahwa pembelajaran dikatakan optimal apabila aktivitas belajar siswa telah mencapai kategori aktif, rata-rata skor prestasi belajar � ) ≥ 6,5, ketuntasan belajar (KB) ≥ 85,00%, dan daya serap (DS) ≥ siswa (X
65,00%. Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh pada siklus II, maka pembelajaran pada siklus II dapat dikatakan telah optimal karena memenuhi kriteria pembelajaran minimal yang telah ditetapkan. Oleh karena pembelajaran telah optimal dan hasil yang dicapai pada siklus II ini telah memenuhi tuntutan kurikulum yang berlaku di kelas IVA SDN 9 Sesetan, maka penelitian ini dihentikan sampai pada siklus II. Dengan demikian, pelaksanaan penelitian tindakan kelas yang difokuskan dalam penerapan pendekatan pembelajaran matematika realistik sebagai upaya meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran bangun ruang pada siswa kelas IVA SDN 9 Sesetan tahun pelajaran 2011/2012 dapat dikategorikan berhasil. PENUTUP
209
Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 1) Terjadi peningkatan aktivitas belajar siswa kelas IVA SDN 9 Sesetan tahun pelajaran 2011/2012 dalam pembelajaran bangun ruang melalui penerapan pendekatan pembelajaran matematika realistik. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan kategori aktivitas belajar siswa dari siklus I yang tergolong pada kategori cukup aktif menjadi kategori aktif pada siklus II. 2) Terjadi peningkatan prestasi belajar kelas IVA SDN 9 Sesetan tahun pelajaran 2011/2012 dalam pembelajaran bangun ruang melalui penerapan pendekatan pembelajaran matematika realistik. Hal ini ditunjukkan dengan �), ketuntasan persentase peningkatan rata-rata skor prestasi belajar siswa (X
belajar (KB), dan daya serap (DS), dari pra-siklus ke siklus I dan dari siklus I
215
I Nengah Sudja
ke siklus II berturut-turut sebesar:
33,70%, 99,85%, dan 33,70%; dan
23,12%, 70,92%, dan 23,12%.
Saran Berdasarkan simpulan tersebut di atas, maka saran yang dapat disampaikan sebagai berikut. 1) Kepada praktisi pendidikan khususnya guru matematika di SDN 9 Sesetan disarankan menerapkan pendekatan pembelajaran matematika realistik sebagai salah satu alternatif dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa. 2) Kepada
Sekolah,
disarankan
menerapkan
pendekatan
pembelajaran
matematika realistik sebagai salah satu model pembelajaran yang inovatif untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan prestasi sekolah khususnya di 210 bidang akademik. 3) Kepada peneliti lain, diharapkan untuk senantiasa melakukan penelitian lebih lanjut dalam pembelajaran matematika baik di sekolah yang berbeda atau pada pokok bahasan yang berbeda sehingga aktivitas dan prestasi belajar siswa dapat terus ditingkatkan.
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 20879016
DAFTAR PUSTAKA Lemik, Ni Made. (2010). Pengaruh pendekatan pembelajaran realistik terhadap prestasi belajar matematika siswa sekolah dasar ditinjau dari kemampuan numeric (eksperimentasi pembelajaran pecahan pada siswa-siswa SD di gugus ki hajar dewantara).Tesis tidak diterbitkan. Singaraja: Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. Moleong, Lexy J. (2011). Metodologi penelitian kualitatif edisi revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nurkancana, I Wayan dan Sunartana, PPN. (1992). Evaluasi hasil belajar. Surabaya: Usaha Nasional. Soedjadi. (2001). Pemanfaatan realitas dan lingkungan dalam pembelajaran matematika. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Realistic Mathematics Education (RME), FMIPA UNESA, Surabaya, 24 Februari. Suandhi, I Wayan. (2006). Penelitian tindakan kelas (classroom action research). Diktat Tidak Diterbitkan.Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Mahasaraswati. Suharta, I Gusti Putu. (2001). Pembelajaran pecahan dalam matematika realistik. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Realistic Mathematics Education (RME), FMIPA UNESA, Surabaya, 24 Februari. Widiyanti, Ida Ayu Putu. (2009). Meningkatkan prestasi belajar matematika siswa dengan penerapan pendekatan pembelajaran matematika realistik dalam materi operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan pecahan pada siswa kelas IV SDN 1 angantaka abiansemal tahun pelajaran 2008/2009. Skripsi tidak diterbitkan.Denpasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mahasaraswati. Wijaya, Ariyadi. (2012). Pendidikan matematika realistik: suatu alternatif pendekatan pembelajaran matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.
217
I Nengah Sudja
PEMBELAJARAN DEMOKRATIS MENUJU PROFESIONALISME GURU I Nengah Sudja Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRACT Learning is the process of changing behavior as an impact obtained by the five senses that is relatively permanent. In the teaching-learning process, the teachers need a situation and condition that are supportive and condusive. At the past, the students were afraid of their teachers. They were like in a jail. Meanwhile, in the present, the teachers need to understand the surrounding and the student’s chracteristics. Regarding on that notion, the teachers are expected to implement and stimulate the students with several methods of innovative teaching. Key words: democractic, meaningful, pleased, dialogic, professional PENDAHULUAN Permasalahan belajar sebenarnya memiliki kandungan substansi yang “misterius”. Berbagai macam teori belajar telah ditawarkan para pakar pendidikan dengan belajar dapat ditempuh secara efektif dan efisien, dengan implikasi waktu cepat dan hasilnya banyak. Namun, sampai saat ini belum ada satupun teori yang dapat menawarkan strategi belajar secara tuntas.Masih banyak persoalan-persoalan belajar yang belum tersentuh oleh teori-teori tersebut. Kompleksitas persoalan yang terkait dengan belajar inilah yang menjadi penyebab sulitnya menuntaskan strategi belajar. Ada banyak faktor yang mesti dipertimbangkan dalam belajar, baik yang bersifat internal maupun yang eksternal. Diantara sekian banyak faktor eksternal terdapat guru yang sangat berpengaruh terhadap peserta didik. Sukses tidaknya para peserta didik dalam belajar di sekolah, sebagai penyebab tergantung pada guru. Ketika berada di rumah, para peserta didik 213 berada dalam tanggung jawab orang tua, tetapi di sekolah tanggung jawab itu diambil oleh guru. Sementara itu, masyarakat menaruh harapan yang besar agar anak-anak
I Nengah Sudja mengalami perubahan-perubahan positif-konstruktif akibat mereka berinteraksi dengan guru. Harapan ini menjadi suatu yang niscaya terutama ketika dikaitkan dengan mutu pendidikan. Pembahasan mutu pendidikan betapapun akan terfokuskan pada inputproses-output. Input terkait dengan masyarakat sebagai “pemasok” sedangkan outuput terakait dengan masyarakat sebagai pengguna. Adapun proses terkait dengan guru sebagai pembimbing. Dataran proses inilah yang paling determinan dalam mewujudkan situasi pembelajaran di sekolah baik yang membelenggu, atau sebaliknya membebaskan, membangkitkan dan menyadarkan.
PEMBAHASAN Proses Pembelajaran Yang Membelenggu Ada ungkapan yang menarik dari Emille Durkheim. Dia melukiskan dua fungsi pendidikan yang saling bertentangan yaitu pendidikan sebagai pembelenggu dan pendidikan sebagai pembebas individu. Letak daya tarik dari pernyataan ini terdapat pada fungsi pendidikan sebagai pembelenggu.Selama ini kebanyakan masyarakat hanya memahami fungsi pendidikan sebagai pembebas individu. Ternyata pendidikan bisa berfungsi sebaliknya, sebagai pembelenggu. Hal ini memberi pemahaman berikutnya bahwa pendidikan bisa juga “berbahaya” bagi kemandirian, kreativitas dan kebebasan peserta didik sebagai individu. Dalam kaitannya dengan fungsi negatif yakni pendidikan sebagai pembelenggu ini agaknya dapat dilacak dari model-model pembelajaran yang dilaksanakan guru di dalam kelas. Jika kita adakan evaluasi, di kalangan kita sendiri memang terdapat gejala-gejala perilaku guru dalam pembelajaran di kelas yang tidak kondusif mengakibatkan daya kritis peserta
didik, bahkan dalam batas-batas tertentu
membahayakan masa depan peserta didik seperti sikap guru yang sinis terhadap jawaban yang salah. Dalam suatu kelas tidak jarang guru melemparkan suatu pertanyaan yang harus dijawab peserta didik. Ada seorang peserta didik yang berani menjawab pertanyaan dengan penuh keyakinan dan harapan mendapat simpati guru. Apa yang terjadi justru di luar dugaan dengan jawaban itu teman-temannya di sekitar tertawa sedang guru mengatakan, “tidak, itu salah. Saya heran melihatmu”. Kasus ini menurut Bobbi
214
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 20879016
Deporter and Mike Hernacki, adalah awal terbentuknya citra negatif diri. Sejak saat itu belajar menjadi tugas sangat berat.Keraguan tumbuh dalam dirinya dan dia mulai menguragi resiko sedikit demi sedikit. Sebab dia merasa malu dan dipermalukan dihadapan banyak anak, Bobbi Deporter and Mike Hernacki (2002:24). Kesan negatif ini terus membayangi dalam perkembangan lantaran komentar itu. Komentar negatif selama ini seringkali diterima anak bukan saja di sekolah, melainkan juga di rumah atau di lingkungan masyarakat. Dinding-dinding kelas dirasakan sebagai dinding-dinding tempat penjara. Model pembelajaran berikutnya yang dapat membelenggu dan menindas peserta
didik adalah sebagaimana yang Paulo Freire (2002:28) disebut sebagai
pendidikan ”gaya bank”. Model ini menurut pengamatan Freire, menjadi sebuah kegiatan menabung: para murid sebagai celengannya sedangkan guru sebagai penabungnya. Ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan. Semakin banyak murid yang meyimpan tabungan, semakin kurang mengembangkan kesadaran kritisnya. Sesungguhnya, belajar itu merupakan pekerjaan yang cukup berat, yang menuntut sikap kritis sistemik (Sistemic Critical Attitude) dan kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan praktek langsung. Sikap kritis sama sekali tidak dapat dihasilkan melalui pendidikan yang bergaya bank (banking action) ini. Dalam pendidikan model ini, yang dibutuhkan buka pemahaman isi, tetapi sekedar hafal (memorization). Bukan memahami teks, tetapi hanya menghafal dan jika peserta
didik melakukannya berarti peserta
didik telah memenuhi
kewajibannya; Padahal hafalan hanya akan menumpuk pengetahuan dalam arti pasif, karena tanpa upaya pengembangan sama sekali sebagai yang menjadi karakternya selama ini. Selanjutnya, pembelajaran model bank ini telah menempatkan guru dan peserta didik dalam posisi berhadap-hadapan. Guru sebagai subyek dan peserta sebagai obyek, guru yang “menakdirkan” sedangkan peserta
didik
didik yang
“ditakdirkan”, guru sebagai peran dan siwa sebagai yang diperankan. Secara ekstrim bahkan dapat dikatakan guru sebagai penindas sedang peserta
didik sebagai
tertindas. Freire setidaknya telah mengungkapkan peran yang kontras itu sebagai berikut: (1) guru mengajar, murid diajar, (2) guru mengethui segala sesuatu, murid 3
I Nengah Sudja tidak tahu apa-apa, (3) guru berfikir, murid dipikirkan, (3) guru bercerita, murid patuh mendengarkan, (4) guru menentukan peraturan, murid diatur, (5) guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujuinya, (6) guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melaui perbuatan gurunya, (7) guru memiliki bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan diri dengan pelajaran itu, (8) guru mencampur adukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid, (9) guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka, (Nasution, 1999:116). Pengajaran model demikian ini memposisikan guru sebagai pihak yang “menang” sedangkan peserta didik sebagai pihak yang “kalah”, suatu dikotomi yang mestinya tidak layak terjadi mengingat pengajaran bukan proses perbandingan sehingga ada yang menang dan ada yang kalah. Dengan istilah lain pengajar ini terkadang disebut pengajaran model komando. Seorang komandan dalam militer posisinya selalu diatas, memegang perintah yang harus ditaati. Pengajaran model gaya komando ini memerankan guru, yang oleh S. Nasution (1999:116) disebut guru yang bertipe dominatif sebagai lawan dari tipe integrative. Pengajaran tersebut mendapat kritik keras karena mematikan semangat demokratisasi dan kreativitas peserta didik, tidak menghargai peserta didik dan keragamannya. Guru merasa memiliki wewenang apa saja yang berkaitan dengan pembelajaran dan tidak boleh diganggu gugat oleh peserta
didik maupun pihak lain, praktis,
pengajaran model tersebut hanya menjadikan guru pandai sepihak sedangkan peserta didik tetap bodoh, pasif, kering ide atau gagasan, stagnan, tertindas dan terbelenggu. Upaya pembelajaran yang ternyata berbalik membelenggu ini tidak lepas begitu saja, karena akibat demikian tidak pernah disadari guru dominatif tersebut, selagi belum ada gugatan secara maksimal untuk mewujudkan pembelajaran yang benar-benar demokratis sebagai kebutuhan pendidikan secara mendesak.
Pembelajaran Demokratis Sebagai upaya untuk keluar dari pembelajaran yang bersifat membelenggu tersebut menuju pada pembelajaran yang membebaskan dibutuhkan keterbukaan dan sikap lapang dada dari guru untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada 216 peserta didik guna mengekspresikan gagasan dan pikirannya. Freire (51-52)
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 20879016
mengatakan, pendekatan yang membebaskan merupakan proses dimana pendidikan mengkondisikan peserta didik untuk mengenal dan mengungkapkan kehidupan yang nyata secara kritis.” Dalam pendidikan yang membebaskan ini tidak ada subjek yang membebaskan atau objek yang dibebaskan karena tidak ada dikotomi antara subjek dan objek. Guru dan peserta didik sama-sama subjek dan objek sekaligus. Keduanya dimungkinkan saling take and give (menerima dan memberi). Hanya saja jika guru sebagai pembelajar senior, maka peserta didik sebagai pembelajar junior, ,jadi tetap ada perbedaan pengalaman dan karena perbedaan inilah sehingga guru tetap lebih banyak memberi kepada peserta didik dari pada peserta didik memberi kepada guru. Tetapi pemberian guru kepada peserta didik itu sifatnya dorongan, rangsangan atau pancingan agar peserta didik berkreasi sendiri, bukan sebagai stimulus. Aliran ini sesungguhnya telah berpandangan progresif. Peran peserta didik telah dimaksimalkan jauh melebihi peran-peran tradisionalnya dalam himpitan pengajaran model gaya komando. Upaya memaksimalkan peran peserta didik ini sebagai bentuk riil dari misi pembebasan peserta didik dari keterbelengguan akibat penindasan guru. Melalui pembebasan ini, diharapkan peserta
didik memiliki
kemandirian yang tinggi dalam memberdyakan potensi yang dimiliki untuk berpendapat, bersikap dan berkreasi sendiri. Oleh karena itu, mesti ada dialog. Ciri aksi budaya yang meperjuangkan kebebasan adalah dialog, sedangkan yang mengarah pada dominasi justru anti dialog. Tangung jawab guru yang menempatkan diri teman dialog bagi peserta
didik lebih besar dari pada guru yang hanya
memindahkan informasi yang harus diingat peserta
didik; Sebab guru sedang
memupuk sikap keberanian, sikap kritis ,dan sikap toleran terhadap pandangan yang berbeda bahkan bertentangan sekalipun, melalui tradisi saling tukar pandangan dalam menyiapkan suatu masalah. Tradisi dialogis ini sebagai salah satu bentuk suasana yang mendukung pembelajaran demokratis, yaitu suasana yang melibatkan para peserta didik dalam proses pembelajaran secara maksimal dengan memperhatikan sepenuhnya terhadap inisiatif, pemikiran, gagasan, ide, kreativitas, dan karya peserta
didik. Mereka
diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menjadi subjek dalam proses pembelajaran.
5
I Nengah Sudja Mengingat pentingnya dialog ini, maka pemerintah mengamanatkan melalui Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang ditetapkan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh pendidik dan tenaga kependidikan. Amanat itu terdapat pada pasal 40 ayat 2. Isi dari pasal tersebut adalah pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban: menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis; mempunyai komitmen secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan memberikan teladan serta menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Seiring dengan demokrasi politik. Ada tuntutan demokrasi pendidikan dalam prakteknya berimplikasi pada demokrasi pembelajaran dengan indikasi menciptakan suasana dialogis. Dengan demikian, peranan guru dalam penyampaian pengetahuan menjadi sangat berkurang yang digantikan oleh peranan peserta didik yang semakin menguat. Tuntutan dialog belakangan ini sebagai suatu yang tak terelakkan lagi dalam kehidupan
pendidikan demokratis, sekaligus
membuktikkan adanya
pergeseran posisi peserta didik dari posisi objek ke posisi subjek dalam berbagai kesempatan. Demikian pula, pergantian istilah anak didik, terdidik maupun objek didik menjadi peserta didik bahkan pembelajar bukan hanya persoalan semantik, melainkan perubahan paradigma pembelajaran yang banyak dipengaruhi oleh aliranaliran pendidikan yang berorientasi pada kondisi demokratis dan emansipatoris, 218 dengan memerankan peserta didik agar lebih produktif,progresif dan pro-aktif dibandingkan peran masa lampaunya. Bagaimana istilah peserta didik apalagi pembelajar akan selalu mengesankan kondisi aktif pada anak didik, terdidik maupun objek didik; oleh karena itu, belakangan ini pengertian perencananaan untuk memberi peluang pada peserta didik-peserta didiknya mengembangkan aktivitas belajar, serta mengeksplorasi berbagai pengalaman baru untuk mencapai berbagai kompetensi yang diidealkannya, dan telah menjadi kesepakatan-kesepakatan kelas bersama dengan gurunya. Guru tidak banyak mencampuri mengatur dan menegur pekerjaan anak, akan tetapi membiarkan bekerja menurut kemampuan dan cara masing-masing sikap, hal inisesuai dengan sistem pembelajaran student centered. Selanjutnya, perkembangan paling menarik terjadi sejak 25 tahun terakhir bahwa guru-guru di berbagai sekolah di Amerika melakukan transaksi kurikulum
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 20879016
dengan para peserta didiknya. Guru menawarkan berbagai kompetensi pada peserta didiknya, sedang peserta didik memilih serta menentukan sendiri apa yang mereka pelajari dengan gurunya itu. Implikasinya adalah terjadi kajian dari sesama peserta didik untuk menentukan berbagai bahan materi pelajaran yang akanmereka pelajari dalam masa tertentu. Inilah yang disebut sebagai curriculum as transaction and curriculum as inquiry. Kasus ini benar-benar menggambarkan pembelajaran demokratis lantaran melibatkan peserta
didik dalam menentukan sendiri kompetensi maupun bahan
pelajaran sesuai dengan selera dan kebutuhan mereka sendiri tanpa paksaan maupun intervensi guru. Keterlibatan peserta
didik seperti ini makin mendesak untuk
direalisasikan, sehingga dibutuhkan guru yang benar-benar profesional.
Profesionalisme Guru Suatu profesionalisme akan menjadi taruhan ketika mengahadapi tuntutantuntutan pembelajaran demokratis karena tuntutan tersebut merefleksikan suatu kebutuhan yang semakin kompleks yang berasal dari peserta didik; tidak sekedar kemampuan guru menguasai materi pelajaran semata tetapi juga kemampuan lainnya yang bersifat psikhis, strategis dan produktif. Tuntutan demikian ini hanya bisa dijawab oleh guru yang professional. Oleh karena itu, Sudarwan Danim (2003:192) menegaskan bahwa tuntutan kehadiran guru yang profesional tidak pernah surut, karena dalam proses kemanusiaan dan pemanusiaan, ia hadir sebagai subjek paling diandalkan, yang sering kali disebut sebagai Oemar bakri. Istilah professional berasal dari profession, yang mengandung arti sama dengan occupation atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus. Ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan professionalisme yaitu okupasi, profesi dan amative, maka para profesional adalah para ahli di dalam bidangnya yang telah memperoleh pendidikan atau pelatihan dan ketrampilan yang khusus untuk pekerjaan itu. Berbicara masalah profesional tidak bisa lepas dengan kompetensi; M. Arifin (1991:105) menegaskan bahwa kompetensi itu bercirikan tiga kemampuan profesional yakni kepribadian guru, penguasaan ilmu dan bahan pelajaran, serta ketrampilan mengajar yang disebut the teaching triad. Hal ini berarti antara profesi 7
I Nengah Sudja dan kompetensi memilki hubungan yang erat: profesi tanpa kompetensi akan kehilangan makna, dan kopetensi tanpa profesi akan kehilangan guna. Guna memahami profesi, kita harus mengenali melalui ciri-cirinya.Adapun ciri-ciri dari suatu profesi adalah: (1) memiliki suatu keahlian khusus; (2) merupakan suatu penggilan hidup; (3) memiliki teori-teori yang baku secara universal; (4) mengabdikan diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri sendiri; (5) dilengkapi dengan kecakapan diagnostik serta kompetensi yang aplikatif; (6) memiliki otonomi 220 dalam melaksanakan pekerjaannya; (7) mempunyai kode etik; (8) mempunyai klien yang jelas; (9) mempunyai organisasi profesi yang kuat; (10) mempunyai hubungan dengan profesi pada bidang-bidang yang lain. Sudja (2013:20) menyebutkan karakteristik profesional minimum guru berdasarkan temuan-temuan hasil adalah: (1) mempunyai komitmen pada siswa dan prses belajarnya, (2) menguasai secara mendalam bahan belajar atau mata pelajaran serta cara pembelajarannya; (3) bertanggung jawab memantau hasil belajar peserta didik melalui berbagai cara evaluas; (4) mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilkukannya dan belajar dari pengalamannya; (5) mampu menjadi partisipan aktif masyarakat belajar dalam lingkungan prfesinya. Ciri-ciri tersebut masih umum, karena belum dikaitkan dengan bidang keahlian tertentu. Bagi profesi guru berarti ciri-ciri itu lebih spesifik lagi dalam kaitannya dengan tugas-tugas pendidikan dan pengajaran baik di dalam maupun di luar kelas. Mengenai kompetensi, di Indonesia telah ditetapkan sepuluh kompetensi yang harus dimiliki oleh guru sebagai instructional leader, yaitu: (1) memiliki kepribadian ideal sebagai guru; (2) penguasaan landasan pendidikan; (3) menguasai bahan pengajaran; (4) kemampuan menyusun program pengajaran; (6) kemampuan menilai hasil
dan proses belajar mengajar; (7) kemampuan menyelenggarakan program
bimbingan; (8) kemampuan menyelenggarakan administrasi sekolah; (9) kemampuan bekerja sama dengan teman sejawat dan masyarakat; dan (10) kemampuan menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran. Selanjutnya, dalam pasal 8 ayat 3 UU RI No. 14 Tahun 2005 disebutkan kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: (1) kompetensi pedagogik, (b) kompetensi kepribadian, (c) kompetensi professional, dan kompetensi sosial.
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 20879016
Dengan demikian, tugas guru menjadi lebih luas lagi dari pada proses mentranformasikan pengetahuan, membangun afeksi, dan mengembangkan fungi psikomotorik, karena di dalamnya terkandung fungsi-fungsi produksi. Guru yang mogok mengajar apapun alasannya merupakan counter productive proses pendidikan dan pembelajaran yang bermisi kemanusiaan universal itu. Dari sisi etika keguruan juga tidak layak terjadi sebab figur guru menjadi panutan di kalangan masyarakat setidaknya bagi para peserta
didiknya sendiri. Di sini predikat guru sebagai
pendidikitu berkonotasi dengan tindakan-tindakan yang senantiasa memberi contoh yang baik dalam semua perilakunya. Sebagai pendidik, guru harus profesional sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Sitem Pendiidkan Nasional bab IX pasal 39 ayat 2: Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada mayarakat, terutama bagi pendidikan di perguruan tinggi. Ketentuan ini mencakup tipe macam kegiatan yang harus dilaksanakan oeh guru yaitu pengajaran, penelitan, dan pengabdian masyarakat.Beban ini tidak ada bedanya denganbeban bagi dosen. Tiga macam kegiatan tersebut secara khierarchy melambangkan tiga upaya berjenjang dan meluas gerakannya. Pengajaran melambangkan
pelaksanaan
tugas
rutin,
penelitian
melambangkan
upaya
pengembangan profesi, sedang pengabdian melambangkan pemberian kontribusi sosial kepada masyarakat akibat prestasi yang dicapai tersebut. Dari ketiga kegiatan tersebut, terutama penelitian menuntut sikap guru dinamis sebagai seorang profesional. Seorang profesional adalah seorang yang terus menerusberkembang atau trainable. Untuk mewujudkan keadaan dinamis ini pendidikan guru harus mampu membekali kemampuan kreativitas, rasionalitas, keterlatihan memecahkan masalah, dan kematangan emosionalnya. Semua bekal ini dimaksudkan mewujudkan guru yang berkualitas sebagai tenaga profesional yang sukses dalam menjalankan tugasnya. Keberhasilan guru dapat ditinjau dari dua segi proses dan dari segi hasil. Dari 222 segi proses, guru berhasil bila mampu melibatkan sebagian besar peserta didik secara aktif baik fisik, mental maupun sosial dalam proses pembelajaran, juga dari gairah 9
I Nengah Sudja dan semangat mengajarnya serta adanya rasa percaya diri. Sedangkan dari segi hasil, guru berhasil bila pembelajaran yang diberikannya mampu mengubah perilaku pada sebagian besar peserta didik ke arah yang lebih baik. Sebaliknya,dari sisi peserta didik, belajar akan berhasil bila memenuhi tiga persyaratan: (1) belajar merupakan sebuah kebutuhan peserta didik, dan (2)ada kesiapan untuk belajar, yakni kesiapan memperoleh pengalaman-pengalaman baru baik pengetahuan maupun ketrampilan, (3) adanya perubahan perilaku yang dimilikinya. Hal ini merupakan gerakan dua arah, yaitu gerakan profesional dari guru dan gerakan emosional dari peserta didik. Apabila yang bergerak hanya satu pihak tentu tidak akan berhasil, yang dalam istilah sehari-hari disebut bertepuk sebelah tangan. Sehebat-hebatnya potensi guru selagi tidak direspons positif oleh peserta didik, pasti tidak berarti apa-apa. Jadi gerakan dua arah dalam mensukseskan pembelajaran antara guru dan peserta didik itu sebagai gerakan sinergis. Bagi guru yang profesioanl, dia harus memiliki kriteria-kriteria tertentu yang positif. Gilbert H. Hunt menyatakan bahwa guru yang baik itu harus memenuhi tujuh kriteria: (1) sifat positif dalam membimbing peserta didik, (2) pengetahuan yang mamadai dalam mata pelajaran yang dibina, (3) mampu menyampaikan materi pelajaran secara lengkap, (4) mampu menguasai metodologi pembelajaran, (5) mampu memberikan harapan riil terhadap peserta
didik, (6) mampu mereaksi
kebutuhan peserta didik, (7) mampu menguasi manajemen kelas. Disamping itu, ada satu hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus bagi guru yang profesional yaitu kondisi nyaman lingkungan belajar yang baik secara fisik maupun psikis. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 40 ayat 2 bagian 2 di muka menyebut dengan istilah menyenangkan. Demikian juga E. Mulyasa (2002:187) menegaskan, bahwa tugas guru yang paling utama adalah bagaimana mengkondisikan lingkungan belajar yang menyenangkan, agar dapat membangkitkan rasa ingin tahu semua peserta didik sehingga timbul minat dan nafsunya untuk belajar. Adapun Bobbi Deporter dan Mike Hernachi (2002:24) menyarankan agar memasukkan musik dan estetika dalam pengalaman belajar peserta
didik, karena musik berhubungan dan mempengaruhi kondisi fisiologis
peserta
didik yang diiringi musik membuat pikiran selalu siap dan mampu
berkonsentrasi.dalam situasi otak kiri sedang bekerja, masuk akan membangkitkan
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli 2013
ISSN 20879016
reaksi otak kanan yang intuitif dan kreatif sehingga masukannya dapat dipadukan dengan keseluruhan proses belajar. Terkait dengan suasana yang nyaman ini, perlu dipikirkan oleh guru yang profesional yaitu menciptakan situasi pembelajaran yang bisa menumbuhkan kesan hiburan. Mungkin semua peserta didik menyukai hiburan, tetapi mayoritas mereka jenuh dengan belajar. Bagi mereka belajar adalah membosankan, menjenuhkan, dan di dalam kelas seperti di dalam penjara. Dari evaluasi yang didasarkan pada pengamatan ini, maka sangat dibutuhkan adanya proses pembelajaran yang bernuansa menghibur. Nuansa pembelajaran ini menjadi “pekerjaan rumah”bagi para guru khususnya guru yang profesional.
SIMPULAN Pembelajaran yang demokratis yang membawa misi pembebasan bagi peserta didik untuk mewujudkan model pendidikan yang emansipatoris itu dibutuhkan guru yang professional, yakni
guru yang mencerminkan berbagai keahlian yang
dibutuhkan
baik
pembelajaran
terkait
dengan
bidang
keilmuan
yang
diajarkan,”kepribadian”, metodologi, pembelajaran, maupun psikologi belajar.
11
I Nengah Sudja DAFTAR PUSTAKA Aldridge, J And Renetta Soldman. (2002) Current issues and trends in education. Boston. USA: Allya And Baron. Arifin, M. (1991). Kapita selekta pendidikan islam dan umum. Jakarta: Bumi Aksara. Bobbi, D. dan Mieke Hernachi. (2002). Quantum learning membiasakan belajar nyaman dan menyenangkan. Bandung: Kaifa. Djohar. (2003). Pendidikan strategik alternatif untuk pendidikan masa depan. Yogyakarta: LESFI. Donald, P. Kauchosck And Paul D. Eggen. (1998). Learning and teaching research basid methods. baston: Allya And Baron. Freire, P. (2002). Politik pendidikan dan kebudayaan, kekuasaan dan pembebasan. Yogyakarta: Kerjasama Pustaka Pelajar dengan ead. Kuntoro, A. (1985). Dimensi manusia dalam pemikiran indonesia. Yogyakarta: CV Bur Cahaya. Masstlon, M. (1972). Tracking from command to discovery. California: Wadsworth Publishing Company. Mulyasa, E. (2005). Menjadi kepala sekolah profesional. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Nasution, S. (1999). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Rosyada, D. (2004). Paradigma pendidikan demokratissebuah pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Jakarta: Prenada Media. Sudarwan, D. (2003) .Agenda pemabruan sistem pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudja, N. (2013). Pengaruh kompetensi, kepemimpinan diri, sistem penghargaan, lingkungan kerja terhadap komitmen pada profesi dan profesionalisme guru (Disertasi). Surabaya: Pascasarjana Untag Surabaya. Tilaar, H. A. R. (2000). Paradigma baru pendidikannasional. Jakarta: PT Rineka Cipta. Undang-undang republik indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Jakarta: Tamita Utama. Undang-undang republik indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Ttp: Pustaka Widyatama, Tt.