Jilid 1, Nomor 2, Juli 2011
ISSN 2087-9016
Jurnal SANTIAJI PENDIDIKAN
Diterbitkan oleh: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mahasaraswati Denpasar JSP
Jilid 1
Nomor 2
Halaman
Denpasar
Juli 2011
JURNAL SANTIAJI PENDIDIKAN (JSP) Jilid 1, Nomor 2, Juli 2011, hlm. 111- 213
DAFTAR ISI 1
Improving students’ speaking skill through jigsaw type cooperative learning of class XI IA2 students of SMA N 1 Blahbatuh
111-120
Dewa Ayu Ari Wiryadi Joni, Ida Ayu Martini, dan Cok Istri W. Anggarini
2
Upaya meningkatkan apresiasi sastra murid kelas V SD Negeri 4 sesetan denpasar pada bacaan cerita melalui lokakarya membaca I Ketut Adnyana Putra
3
Pengembangan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran Agama Hindu di SMA I Nengah Dugdug
4
Peningkatan kemampuan memahami cerita dongeng melalui metode diskusi pada Siswa kelas V SD Negeri 10 Sanur Ni Luh Sukanadi dan Ida Ayu Made Wedaswari
5
Assessing the acquisition of information questions in English made by the eleventh grade students of SMK Saraswati Denpasar in Academic Year 2009/2010
121-130
131-145
146-157
158-169
Dewa Gede Agung Gana Kumara
6
Pengajaran “English for guiding” berbasis pendekatan sosiokultural
170-178
I Nengah Astawa 7
Upaya meningkatkan kemampuan berpidato dengan menggunakan metode demontrasi siswa kelas VI SD Negeri 1 Kukuh Kerambitan Tahun pelajaran 2009/2010 Ni Made Sueni, I Wayan Nardi, Ni Kadek Ria Padmadewi
8
Analisis pertanyaan guru dalam interaksi belajar-mengajar Bahasa Indonesia pada siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri 7 Susut, Bangli Tahun Pelajaran 2007/2008 I Nyoman Diarta
9
Metode homeschooling, model alternatif pendidikan anak usia dini di masyarakat Ida Bagus Nyoman Wartha
179-187
188-203
204-213
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):121-130
ISSN 2087-9016
UPAYA MENINGKATKAN APRESIASI SASTRA MURID KELAS V SD NEGERI 4 SESETAN DENPASAR PADA BACAAN CERITA MELALUI LOKAKARYA MEMBACA I Ketut Adnyana Putra Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
ABSTRACT
This class action research's objective is to develop the students literature appreciation year 5, to the story reading through reading workshop which focus on the developing of emotive response to the content of the story and the developing response at the character and event in the story. This research took place at SD 4 Sesetan Denpasar in two cyclus, in every cycle hare are two meeting. This subject research is year 5 teacher. The research data is collected using observation, interview, and document analyzing technique. The data is analyzed qualitatively which refers to ongoing analysis principle. The result of the research Indicates that through reading workshop activity, rind the. procedure (1) mini lessons, that is introduction of the story book, selection of the story books based on the student’s interest, (2) continued to the silent residing, (3) making dialogue journal, and at last (4) sharing, literature appreciation students year 5 elementary school to the story reading covers emotive response to the story contents, and the response to the character and event at the story develop. Key words: Literature appreciation, story reading, and reading workshop
PENDAHULUAN Pembelajaran
sastra,
khususnya
menyangkut
apresiasi
sastra
dipermasalahkan pengamat pendidikan dan sastrawan karena dirasakan tidak memenuhi harapan (Suharianto, dalam Dadan, 1998). Keluhan dan kekurangan pembelajaran sastra tersebut karena pembelajaran sastra hanya berkisar pada sejarah dan teori sastra, bukan pada apresiasi karya sastra. Para murid kurang diajak mengakrabi dan mengapresiasi karya sastra, padahal sesuai dengan pengertian karya sastra, adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Di
sekolah
dasar,
pembelaiaran
sastra
dimaksudkan
untuk
meningkatkan kemampuan murid mengapresiasi karya sastra. Kegiatan 121
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):121-130
ISSN 2087-9016
mengapresiasi sastra berkaitan dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya dan lingkungan hidup (Depdikbud 1994:10). Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Huck dkk. (1987) bahwa pembelajaran sastra di SD harus memberikan pengalaman pada murid yang akan berkonstribusi pada 4 (empat) tujuan, (1) pencarian kesenangan pada buku (discovering delight in books), (2) menginterpretasi bacaan sastra (interpreting literature), (3) mengembangkan kesadaran bersastra (literary awarness), dan (4) mengembangkan apresiasi (developing apreciation). Untuk tercapainya apresiasi sastra seperti yang diinginkan/disarankan Rosenblatt (dalam Gani, 1988:13) beberapa prinsip sebagai berikut. 1) Murid harus diberikan kebebasan menampilkan respon dan reaksinya terhadap bacaan. 2) Murid harus diberikan kesempatan mempribadikan dan mengkristalisasikan rasa pribadinya terhadap cerita yang dibacanya. 3) Peranan guru harus merupakan daya dorong saat murid mengadakan eksplorasi. Apresiasi murid pada bacaan cerita di SD (terteliti) selama ini masih kurang optimal. Kesan itu diperoleh dari hasil pengamatan di kelas V SD terteliti bahwa kegiatan apresiasi masih kurang optimal. Data penelitian pendahuluan ini memperlihatkan hasil sebagai berikut. 1) Guru belum mencoba memanfaatkan bacaan otentik. Teks yang digunakan hanya terpaku pada buku ajar, disajikan berupa penggalan yang ada pada buku ajar, tidak mencoba memanfaatkan bacaan secara utuh. Padahal SD terteliti memiliki buku cerita cukup banyak. 2) Saat pembelajaran apresiasi, kurang terlihat adanya pengoptimalan keterampilan berbahasa murid secara terpadu (membaca, menyimak, berbicara, dan menulis). 3) Murid kurang terlibat pada buku yang dibacanya. Hal ini ditandai dengan tidak terlibatnya emosi anak-anak pada kejadian cerita, tokoh cerita, dan isi cerita. Beberapa murid yang diwawancarai tentang sikapnya terhadap tokoh cerita
dan
emosinya
terhadap
kejadian
cerita
jawabannya
tidak
menampakkan hal yang emosional. Berbeda pada waktu ditanya tokoh cerita televisi mereka sangat antusias. 122
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):121-130
ISSN 2087-9016
Pembelajaran apresiasi sebagaimana dimaksudkan Kurikulum 1994 sangatlah perlu dilakukan. Dalam konteks persekolahan terutama pendidikan dasar, apresiasi merupakan salah satu wahana yang dapat mengembangkan dan membina emosi anak-anak. Salah satu alternatif cara yang dapat diupayakan dalam meningkatkan apresiasi murid pada bacaan cerita yaitu melalui Loka Karya Membaca (Reading Workshop). Bertolak pada latar belakang tersebut, serta atas dasar pemikiran dan alasan-alasan itu, penelitian ini dilakukan. METODE Rancangan Penelitian Adapun metode penelitian diorientasikan pada metode penelitian tindakan.
Penggunaan
metode
penelitian
tindakan
dilakukan
dengan
mengidentifikasi gagasan umum yang dispesifikasikan sesuai dengan tema penelitian. Spesifikasi gagasan tersebut selanjutnya digarap melalui dua tahapan secara berdaur mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi (perenungan, pemikiran, dan evaluasi) (Kemmis dan McTaggart dalam Tomskins, 1993). Penelitian ini dilakukan di SD Negeri 4 Sesetan Denpasar Selatan dengan subjek penelitian siswa kelas V yang berjumlah 29 orang. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan selama empat minggu efektif. Rancangan Tindakan Rancangan tindakan pembelajaran Apresiasi Sastra pada bacaan cerita melalui lokakarya membaca didasarkan pada masalah penelitian meliputi: (a) prosedur lokakarya membaca yang bagaimanakah yang dapat meningkatkan tanggapan emotif siswa pada isi cerita, dan (b) prosedur loka karya membaca yang bagaimanakah yang dapat meningkatkan tanggapan pada pelaku dan peristiwa dalam cerita. Selanjutnya perencanaan pembelajaran tersebut dilakukan dalam dua siklus dengan dua kali pertemuan untuk setiap siklusnya.
123
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):121-130
ISSN 2087-9016
Perencanaan Tindakan Siklus I Tujuan pembelajaran khusus pertemuan pertama lokakarya ini adalah agar siswa dapat mengungkapkan tanggapan emotif pada isi cerita, yang dapat dirinci menjadi : 1) Menyampaikan kesan tentang cerita yang telah dibacanya dalam bentuk jurnal dialog. 2) Memberikan alasan tentang kesan cerita yang telah dibacanya dalam bentuk jurnal dialog. 3) Mengungkapkan
bagian
cerita
yang
paling disukai/menarik dalam
bentuk jurnal dialog. 4) Mengungkapkan alasan tentang bagian cerita paling disukai/menarik dalam bentuk jurnal dialog. Kegiatan pembelajaran pertemuan kedua siklus I difokuskan pada tujuan pembelajaran agar siswa dapat mengungkapkan tanggapan tentang pelaku dan peristiwa dalam cerita, yang dirinci berikut ini. 1) Dapat menghubungkan peristiwa atau pelaku dalam cerita dengan pengalaman kehidupannya dalam bentuk jurnal dialog 2) Dapat mengemukakan pendapat tentang rasa simpatik pada pelaku yang paling disukainya dalam bentuk jurnal dialog. 3) Dapat memerankan pelaku pada suatu peristiwa yang ada dalam cerita. Perencanaan Tindakan Siklus II Perencanaan tindakan siklus II yang berbentuk satuan pelajaran tidak banyak mengalami perubahan dari perencanaan siklus I. Tujuan kelasnya tetap, yakni agar siswa mampu menyerap isi cerita serta dapat memberikan tanggapan. Demikian pula tujuan pembelajaran khususnya tetap mengacu pada dua fokus yaitu (1) agar siswa dapat memberikan tanggapan emotif pada isi cerita, dan (2) agar siswa dapat mengungkapkan tanggapan tentang pelaku dan peristiwa dalam cerita. Perubahan yang terjadi hanya pada kegiatan pembelajarannya, sebagai hasil dari refleksi siklus I. Kegiatan belajar pertemuan kedua siklus II sebagai berikut: (1) guru bertanya jawab tentang pelaku dan peristiwa dalam cerita, (2) guru bersama murid membaca dalam hati, (3) siswa membuat jurnal dialog sesuai dengan tuntutan dalam tujuan pembelajaran, (4) siswa bersama dengan guru 124
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):121-130 melakukan
pertemuan
kelompok,
untuk
ISSN 2087-9016 selanjutnya
mempersiapkan
pemeranan, (5) siswa melakukan pemeranan tokoh cerita. Pelaksanaan Tindakan Siklus I dan Siklus II penelitian ini dilaksanakan dalam dua
kali
pertemuan. Proses tindakan pada pertemuan pertama siklus I dan II berupa kegiatan pembelajaran tanggapan emotif pada isi cerita, dilakukan dengan prosedur lokakarya yang telah ditetapkan pada tahap perencanaan. Demikian pula tindakan pertemuan kedua siklus I dan II yakni tanggapan siswa terhadap pelaku dan peristiwa dalam cerita juga dlakukan atas dasar perencanaan yang telah ditetapkan bersama oleh peneliti dan praktisi. Pengamatan dan Refleksi Kegiatan ini dilakukan secara kolaborasi antara peneliti dan praktisi. Pada kegiatan pengamatan bila yang melakukan pembelajaran adalah guru, maka peneliti bertindak sebagai pengamat demikian juga sebaliknya. Kegiatan refleksi dilakukan setiap kegiatan pembelajaran berakhir. Pada kegiatan inilah temuan dan hasil pengamatan peneliti ditriangulasi dengan pendapat praktisi. Bila diperoleh hasil yang belum optimal, peneliti bersama praktisi mencari upaya untuk memaksimalkannya. Teknik Pengumpulan Data Ada empat teknik yang digunakan mengumpulkan data penelitian ini, yaitu (1) pengamatan, (2) wawancara, (3) catatan lapangan, dan (4) penggunaan dokumen. Data dan Sumher Data Data penelitian ini berupa (1) catatan tentang pelaksanaan atau prosedur loka karya yang terus diperbaiki sampai hasil dan prosesnya optimal, (2) deskripsi proses dan temuan selama lokakarya membaca, yaitu hasil observasi dan wawancara berupa kata verbal maupun nonverbal, (3) hasil selama lokakarya membaca yaitu jurnal dialog berupa kata verbal tulis. Sumber data penelitian ini adalah siswa kelas V SDN. No. 4 Sesetan Denpasar berjumlah 29 orang. Berdasarkan pelaksanaan tindakan dari 29 siswa
125
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):121-130
ISSN 2087-9016
tercatat 25 siswa yang mengikuti tindakan secara rutin. Dengan demikian sumber data penelitian ini digunakan ke-25 siswa tersebut. Analisis Data Data yang telah terkumpul dalam penelitian ini dianalisis melalui kegiatan penyajian data dan penarikan kesimpulan. Proses analisa dilakukan dengan mengacu pada prinsip ongoing analysis. Sesuai dengan prinsip di atas, analisis data dilakukan sejak data awal terkumpul sampai pengumpulan data salesai dilakukan. Oleh karena itu setelah data pada siklus I terkumpul mulai tahap 1 dan 2, peneliti sudah melakukan analisis. Dan saat keseluruhan data terkumpul yakni mulai siklus I dan II maka diakukan pengkategorian dan pengkodean data untuk selanjutnya dimaknai. Triangulasi Data Triangulasi dilakukan dengan teknik triangulasi metodologis dengan mengacu pada penggunaan teknik wawancara, pengamatan, dan analiais hasil tulisan siswa. Terkait dengan temuan hasil, triangulasi dilakukan peneliti dalam hal ini dengan guru dan teman sejawat sehingga diperoleh penemuan hasil yang optimal. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Hasi1 Tindakan Lokakarya Membaca (LKM) Dari ke 29 siswa kelas V SD No. 4 Sesetan Denpasar yang dijadikan subjek penelitian ini, pada kenyataannya hanya 25 siswa yang benar-benar mengikuti tindakan pada siklus I dan siklus II. Oleh karena itu paparan hasil tindakan ini juga mengacu pada hasil kerja atau data dari ke 25 siswa tersebut. Kemampuan Memberikan Tanggapan Emotif pada Isi Cerita Target hasil yang harus dicapai apresiasi tanggapan emotif pada isi cerita adalah: (a) Siswa dapat menyampaikan kesan tentang cerita setelah membaca, (b) Siswa dapat memberikan alasan tentang perasaan yang dikemukakannya tersebut, (c) Siswa dapat mengungkapkan bagian cerita yang paling disukainya, dan (d) Siswa dapat memberikan alasan tentang bagian cerita yang paling disukainya tersebut. 126
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):121-130
ISSN 2087-9016
Kemampuan memberikan tanggapan secara emotif bila dirinci menggunakan rambu-rambu kemampuan apresiasi dapat disusun dalam tabel berikut ini. Tabel Hasil Kemampuan Memberikan Tanggapan Emotif Kualifikasi Sangat baik Baik Cukup Kurang Sangat kurang
16 7 1 1 -
Siklus I
Siklus II
siswa siswa siswa siswa
22 siswa 3 siswa -
Memperhatikan tabel di atas tampak bahwa pada pelaksanaan tindakan siklus I, diperoleh hasil 16 orang siswa berkualifikasi sangat baik, 7 orang baik, 1 orang cukup, dan 1 orang lagi kurang. Hasil tanggapan siswa secara emotif pada siklus II secara umum lebih baik dari siklus I. Siswa yang berkualifikasi sangat baik mencapai jumlah 22 siswa, sedangkan 3 siswa telah mencapai kualifikasi baik. Hal ini berarti dari 25 siswa yang dijadikan subjek penelitian ini, ke-25 siswa telah mampu memberikan tanggapan secara emotif terhadap bacaan cerita sesuai dengan isinya, dan telah mampu menunjukkan bagian cerita yang menarik serta yang kurang menarik, beserta alasan-alasannya yang terurai dengan sangat rapi, lugas, ekspresif. Kemampuan Memberikan Tanggapan pada Pelaku dan Peristiwa Cerita Berdasarkan pengamatan, hasil unjuk kerja siswa pada siklus I, dapat dikatakan bahwa secara umum siswa telah mampu memberikan tanggapan pada pelaku dan peristiwa dalam cerita dengan baik. Mereka telah mampu menuangkan pengalamannya yang mirip dengan cerita yang dibacanya. Kemampuan memberikan tanggapan pada pelaku dan peristiwa dalam cerita dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
127
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):121-130
ISSN 2087-9016
Tabel Hasil Kemampuan Memberikan Tanggapan Pelaku dan Peristiwa dalam Cerita Kualifikasi Sangat baik Baik Cukup Kurang
18 3 3 1
Siklus I
Siklus II
siswa siswa siswa siswa
21 siswa 4 siswa -
Dari tabel di atas pada siklus I kegiatan LKM untuk tujuan meningkatkan kemampuan siswa memberikan tanggapan pada pelaku dan peristiwa dalam cerita rnenghasilkan 18 siswa berkualifikasi sangat baik, 3 siswa berkualifikasi baik, 3 siswa berkualifikasi cukup, dan 1 siswa berkualifikasi kurang. Atas dasar hasil kerja siswa pada siklus I, peneilti bersama guru selaku praktisi berdiskusi untuk mencari alternatif lain sebagai upaya peningkatan pembelajaran apresiasi pada bacaan cerita. Dengan mengadakan
beberapa
perubahan kegiatan pembelajaran melalui lokakarya membaca tersebut, peneliti bersama praktisi kembali melakukan tindakan yaitu siklus II, yang akhirnya diperoleh hasil siswa yang berkualifikasi sangat baik meningkat menjadi 21 orang, dan 4 siswa lainnya berkualifikasi baik. Oleh karena adanya peningkatan hasil yang cukup berarti atas tindakan lokakarya membaca tersebut peneliti akhirnya mengambil kesimpulan untuk menghentikan tindakan. Pembahasan Lokakarya membaca yang diperkenalkan pertama kali oleh Nancie Atwell (1987) adalah suatu pendekatan whole language yang mengintegrasikan pengajaran mini, membaca dalam hati dan tanggapan tertulis terhadap bacaan dalam bentuk jurnal dialog. Lokakarya membaca menyediakan waktu yang konsisten untuk membaca terutama membaca dalam hati, karena ada keyakinan bahwa anakanak belajar membaca harus bergaul langsung dengan bacaan bukan lewat teori. Kegiatan membaca otentik yang dilakukan dalam penelitian inipun didukung oleh pendapat Holdaway (1980) yang mengatakan bahwa kegiatan 128
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):121-130
ISSN 2087-9016
membaca yang menguntungkan para siswa adalah membaca dengan cara alamiah dan bahan otentik, bukan penggalan atau sinopsis cerita. Belajar mengadakan pemilihan buku secara pribadi sesuai dengan minatnya atau siswa diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk memilih sendiri bacaannya akan menumbuhkan perkembangan pengetahuan sastra dan meningkatkan kefasihan membaca serta kebiasaan membaca. Namun demikian perlu diketahui oleh para guru, bahwa upaya membaca individu bisa berhasil bila guru benar-benar sadar akan keadaan para muridnya sebagai pembaca. Kemampuan guru dalam mengamati murid-muridnya membaca dalam hati, akan memberikan asesmen yang akan bisa mendorong guru untuk mengambil keputusan yang tepat. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Simpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah: 1) Melalui kegiatan lokakarya membaca kemampuan murid membuat tanggapan isi cerita pada umumnya sangat baik. 2) Melalui kegiatan lokakarya membaca kemampuan murid membuat tanggapan pada pelaku dan peristiwa dalam cerita umumnya sangat baik. Dengan perkataan lain pembelajaran apresiasi sastra melalui kegiatan lokakarya membaca dapat membuat murid berinteraksi apresiatif pada bacaan cerita. Saran Berdasarkan simpulan di atas dapat diajukan saran sebagai berikut: 3) Agar murid tidak bosan karena pembelajaran membaca hanya bersumber dari buku paket, buku cerita yang ada di perpustakaan sekolah dapat dimanfaatkan guru lewat kegiatan lokakarya membaca. 4) Tuntutan apresiasi bukan hanya pada produk tetapi juga proses. Untuk itu guru sebaiknya tidak hanya mementingkan hasil, tetapi juga memantau proses apresiasi murid melalui jurnal dialog, atau dialog membaca. 129
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):121-130
ISSN 2087-9016
DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. 1996. Pengajaran Melalui Penelitian Area Isi Teks Naratif. Malang: PPS IKIP Malang. --------. 1997. Pemahaman dan Penikmatan Bacaan Sastra Bagi Anak Usia Sekolah Dasar. Malang : PPS IKIP Malang. Atwell, Nancie. 1987. In the Middle : Writing, Reading, and Learning with Adolescents. United States: Cook Publisher Inc. Beach, R. 1991. Teaching Literature in the Secondary School. San Diego : Harcourt Brace Inovovich. Combs, Martha. 1996. Developing Competent Readers and Writers in the Premary Grade. Ohio: Merrill Prentice Hall. Dadan, J. 1996. “Sastra Anak Sebagai Landas Tumpu Pembelajaran Lintas Kurikulum”. Makalah disajikan dalam Seminar Program Studi PGSD. Malang: PPS. Depdikbud. 1994. Kurikulum Pendidikan Dasar; Landasan Program dan Pengembangan. Jakarta : Depdikbud. Gani, Rizanur. 1988. Respon dan Analisis. Padang : Dian Dinamika Press. Holdaway, Don. 1980. Independence in Reading. Sydney : Ashton Scholastic. Hopkins, 1933. A Teacher’s Guide To Classroom. Philadelphia : Open University Press. Syafi’ie, Imam. 1995. “Pendekatan Whole Language dalam Pembelajaran Bahasa. Dalam Bahasa dan Seni. Tahun 23. No. 2 Agustus 1995. Sutherland, Z. dan M-N. Arbuthnot. 1991. Children and Books. New York : Harper Collins Publhiser. Wasena. 1994. Wawasan dan Konsep Dasar Penelitian Tindakan Pendidikan. Makalah disampaikan dan dibahas pada Pelatihan Penelitian Tindakan yang Diselenggarakan di IKIP Yogyakarta, tanggal 9-12 Januari 1994. Weseman, D.L. 1992. Learning to Read with Literature. US : Allyn and Bacon.
130
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):131-145
ISSN 2087-9016
PENGEMBANGAN SILABUS DAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN AGAMA HINDU DI SMA I Nengah Dugdug SMA (SLUA) Saraswati Denpasar
ABSTRACT The implementation of Hindu education in 1994 was still dominated by cognitive achievement rather than affective and psychomotor ability in learning objectives. In 2003 The National Education Department through National Education Standard Institution comprised national competency-based curriculum for Hindu subject. Competency-based Curriculum in Senior High School level needs further improvement through educational unit level curriculum because it will improve human sources quality especially teacher in developing syllabi and lesson plan. Based on the above fact, the writer formulates three problems as follows: (1) what are the steps of developing syllabus and lesson plan in Senior High School; (2) what are the factors that may affect the process of developing Hindu subject syllabus and lesson plan in Senior High School; (3) What efforts are needed in developing Hindu subject syllabus and lesson plan in Senior High School. The steps of developing Hindu subject syllabus and lesson plan can be independently or collaboratively in deliberation of subject teacher. The factors that encourage the development of the syllabus and lesson plan, that is, interest to the duties, responsibilities of the task, learning facilities, the attention of the head master, community demand and teachers’ administrative demand. These efforts which were done in developing syllabus and lesson plan was discussion, following seminar, workshop, and upgrading program as well as providing facilities and infrastructures. The Hindu Subject syllabus and lesson plan are expected to be applied in Senior High School. Keywords: syllabus, lesson plan, Hindu. PENDAHULUAN Secara kronologis kurikulum tahun 1978, 1984, dan tahun 1994 kurang mengetengahkan acuan standar yang lebih jelas tentang kemampuan yang harus dikembangkan pada peserta didik. Kurikulum pendidikan Agama Hindu tahun 1994 telah mempertimbangkan kemampuan afektif dan psikomotor dalam rumusan tujuan pembelajaran. Implementasinya dirasakan masih terasa didominasi pencapaian kognitif dari pada psikomotor, dan afektif. Kurikulum pendidikan Agama Hindu tahun 1994 kurang mengakomodasi keragaman kebutuhan daerah. Penjabaran pelajaran Agama Hindu banyak diluar jangkauan manusia, akibatnya pelajaran Agama Hindu sulit untuk diserap dan dimengerti oleh siswa. Atas dasar tersebut
131
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):131-145
ISSN 2087-9016
maka tahun 2003 disusun kurikulum nasional pendidikan Agama Hindu yang berbasis pada kompetensi yang ditandai dengan ciri-ciri antara lain : 1) lebih menitikberatkan target pencapaian kompetensi dari pada penguasaan materi, 2) mengakomodasi keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia, 3) memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pelaksana pendidikan yang mengembangkan dan melaksanakan program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan daerah (Depdiknas, 2003:1). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 pasal 20 dinyatakan perencanaan proses pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar (SNP, 2007:13). Dalam pernyataan tersebut, guru dalam proses pembelajaran Agama Hindu hendaknya mampu mengembangkan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Agama Hindu. Namun kenyataannya di berbagai sekolah banyak guru belum mampu mengembangkan silabus, dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran meskipun telah menerapkan KTSP. Pandangan masyarakat terhadap pengembangan silabus, dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Agama Hindu di sekolah, selama ini adalah belum adanya keseimbangan dengan prilaku yang dikehendaki oleh masyarakat. Tuntutan masyarakat global terhadap pengembangan silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Agama Hindu mampu menghasilkan keseimbangan antara pengetahuan teoritis dengan pengetahuan prakris yakni apa yang diajarkan di sekolah ada relevansinya dengan kehidupan nyata setelah peserta didik terjun ke masyarakat. Pengembangan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Agama Hindu disekolah bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan Sradha peserta didik kehadapan Brahman melalui penghayatan dan pengamalan ajaran Agama, menjadi Hindu yang dharmika dan mampu mewujudkan cita-cita luhur Moksrtham Jagadhita (Depdiknas, 2003:6). Orang tua siswa sangat mengharapkan agar anaknya setelah tamat dapat menjadi primer-primer pembangunan atas dasar konsep yang tangguh dan dapat bekerja secara profesional serta mampu menerapkan ajaran Tri Kaya Parisudha yaitu manacika (berpikir), wacika (berkata), dan kayika (berbuat).
132
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):131-145
ISSN 2087-9016
Pengembangan silabus, dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Agama Hindu adalah usaha yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memperteguh keimanan dan bhakti kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, serta dapat meningkatkan potensi spiritual sesuai dengan ajaran Agama.
PEMBAHASAN Langkah-langkah Pengembangan Silabus Pengembangan
Silabus
komponen-komponen yang
dilakukan
secara
sistematis,
dan
mencakup
saling berkaitan untuk mencapaai kompetensi dasar
yang telah ditetapkan. Dalam Kurikulum Tingkat
Satuan
Pendidikan (KTSP),
Silabus merupakan penjabaran standar Kompetensi dan kompetensi dasar kedalam materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian hasil belajar(Mulyasa, 2007:190) Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menyebutkan silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup Standar Kompetensi, Kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar (BSNP, 2006:14). Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Pengembangan silabus diserahkan sepenuhnya kepada sekolah atau satuan pendidikan (Mulyasa, 2007:191). Setiap satuan pendidikan atau sekolah diberikan kebebasan, keleluasaan dalam mengembangkan silabus sesuai dengan kondisi dan karakteristik sekolah masingmasing dengan mengacu pada kurikulum nasional atu standar nasional. Langkah-langkah pengembangan silabus dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah sebagai berikut : 1. Mengkaji
Standar
Kompetensi
dan
Kompetensi
dasar
mata
pelajaran sebagaimana tercantum pada standar isi dengan memperhatikan : a. Urutan berdasarkan
hierarki
konsep
disiplin
ilmu
atau tingkat
kesulitan Materi. b. Keterkaitan antara standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata Pelajaran
133
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):131-145 c. Keterkaitan antara
ISSN 2087-9016
standar kompetensi dan kompetensi dasar antar
mata pelajaran. 2. Mengidentifikasi pencapaian
materi
pokok. pembelajaran
kompetensi
dasar
yang
menunjang
dengan mempertimbangkan :
a. Potensi potensi peserta didik. b. Relevansi dengan karakteristik daerah. c. Tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan d. spiritual peserta didik. e. Kebermanfaatan bagi
peserta didik.
f. Struktur keilmuwan. g. Aktualitas,
kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran.
h. Relevansi dengan kebutuhan peserta
didik, tuntutan lingkungan dan,
alokasi waktu. 3. Mengembangkan kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antar peserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber
belajar
lainnya
dalam rangka pencapaian kompetensi dasar.
Pengalaman belajar yang dimaksud dapat terwujud melalui penggunaan pendekatan pembelajaran yang bervariasi
dan berpusat pada peserta didik.
Pengalaman belajar memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik. Hal - hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran adalah untuk memberikan
sebagai berikut : a) kegiatan pembelajaran disusun
bantuan
agar dapat melaksanakan b)
kepada
proses
pembelajaran
kegiatan pembelajaran memuat
dilakukan oleh peserta didik
para pendidik, khususnya guru
rangkaian
secara
dengan
pernyataan dalam
hierarki
konsep materi
professional,
kegiatan yang harus
berurutan
kompetensi dasar, c) penentuan urutan kegiatan sesuai
secara
untuk mencapai
pembelajaran
harus
pembelajaran, d) rumusan
kegiatan pembelajaran minimal mengandung dua unsur
yang mencerminkan pengelolaan pengalaman belajar siswa yaitu kegiatan siswa dan materi. 4. Merumuskan indikator pencapaian kompetensi.
134
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):131-145
ISSN 2087-9016
Indikator merupakan indikasi pencapaian kompetensi dasar. Pencapaian kompetensi dasar ditandai dengan perubahan perilaku yang terukur yang mencakup sikap, pengetahuan dan ketrampilan. Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta didik, mata pelajaran, satuan pendidikan, potensi daerah. Indikator dirumuskan dalam kata kerja operasionalyang terukur dan atau dapat diobservasi. Indikator digunakan sebagai dasar untuk menyusun alat penilaian. 5. Penentuan
jenis
penilaian
pencapaian kompetensi dasar peserta didik
dilakukan berdasarkan indikator. Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis, lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas proyek dan produk, penggunaan portopolio, dan penilaian diri. Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkeseinambungan. Penilaian memberi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian : a. Penilaian diarahkan untuk mengukur pencapaian kompetensi. b. Penilaian
menggunakan acuan
yang bisa dilakukan peserta
kriteria yaitu berdasarkan didik
setelah
apa
mengikuti proses
pembelajaran dan bukan menentukan posisi seseorang terhadap kelompoknya. c. Sistem yang
direncanakan adalah
sistem
penilaian
yang
berkelanjutan. Berkelanjutan dalam arti semua indikator ditagih, kemudian hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi dasar yang telah dimiliki dan yang belum serta
untuk
mengetahui
kesulitan siswa. d. Hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindak lanjut. Tindak lanjut
tersebut
berupa
perbaikan
proses
berikutnya, program remidi bagi peserta didik
pembelajaran yang
kompetensi dibawah kriteria ketuntasan, dan program bagi
peserta
memilih pengayaan
didik yang telah memenuhi kriteria ketuntasan.
135
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):131-145
ISSN 2087-9016
e. Sistem penilaian harus disesuaikan dengan pengalaman belajar yang ditempuh dalam pembelajaran
proses
pembelajaran.
Misalnya,
jika
menggunakan pendekatan tugas observasi lapangan
maka evaluasi dalam bentuk keterampilan proses,
mencari
informasi di lapangan dengan teknik wawancara atau observasi. 6. Menentukan alokasi waktu pada setiap kompetensi dasar. Penentuan alokasi waktu didasarkan pada jumlah minggu efektif dan waktu yang
diperoleh
untuk
setiap
mata
pelajaran
perminggu
dengan
mempertimbangkan jumlah kompetensi dasar, keluasan, kedalaman, tingkat kesulitan, dan tingkat kepentingan kompetensi dasar. Alokasi waktu yang dicantumkan dalam silabus merupakan perkiraan waktu untuk kompetensi dasar yang dibutuhkan oleh peserta didik dengan kemampuan yang beragama. 7. Menentukan
rujukan, objek, dan bahan sebagai sumber
belajar dalam
Kegiatan pembelajaran. Sumber belajar yang berupa media cetak dan elektronik, narasumber, serta lingkungan fisik, alam, sosial dan budaya. Penentuan sumber belajar didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar serta materi pokok/ pembelajaran dan indikator pencapaian kompetensi (BSNP, 2006:12). Langkah-langkah Pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Rencana pelaksanaan pembelajaran adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan manajemen pembelajaran untuk mencapai satu atau lebih kompetensi yang ditetapkan dalam standar isi dan dijabarkan dalam silabus. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran merupakan komponen yang paling penting dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Terkait dengan pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran tugas guru dalam kurikulum yang berbasis KTSP adalah menjabarkan silabus ke dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang lebih operasional dan rinci dalam pembelajaran. Dalam pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, guru diberi kebebasan untuk mengubah, memodifikasi, dan menyesuaikan silabus dengan kondisi sekolah dan daerah serta karakteristik peserta didik (Mulyasa, 2007:212). Menurut Mulyasa (2007:324) langkah-langkah yang patut dilakukan guru dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yaitu : langkah pertama, 136
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):131-145
ISSN 2087-9016
mengidentifikasi dan mengelompokkan kompetensi yang ingin dicapai setelah proses pembelajaran. Kompetensi yang dikembangkan harus mengandung muatan yang menjadi materi standar yang dapat diidentifikasi berdasarkan kebutuhan peserta didik,
kebutuhan
masyarakat,
ilmu
pengetahuan,
dan
filsafat.
Untuk
mengidentifikasikan kompetensi harus memperhatikan unsur proses pengatur nyata dan mengandung pengalaman belajar yang diperlukan untuk mencapai kompetensi tersebut. Pembentukan kompetensi sering kali membutuhkan waktu relatif lama, realistis, dan dapat dimaknai sebagai kegiatan atau pengalaman belajar tertentu serta komprehensif, artinya berkaitan dengan visi dan misi sekolah. Langkah kedua adalah mengembangkan materi standar yang merupakan isi kurikulum yang diberikan kepada peserta didik dalam proses pembelajaran dan pembentukan kompetensi. Materi standar mencakup tiga komponen utama, yaitu ilmu pengetahuan, proses, dan nilai-nilai. Tiga komponen utama tersebut dapat dirinci sesuai dengan kompetensi dasar visi dan misi sekolah. Sehubungan dengan itu guru sebagai manajer kurikulum di Sekolah dapat memilih dan mengembangkan materi standar sesuai dengan kebutuhan, perkembangan jaman, minat, kemampuan, dan perkembangan peserta didik. Langkah ketiga adalah menentukan metode dalam menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Penentuan metode pembelajaran ada kaitan dengan pemilihan strategi
pembelajaran yang paling efisien dan efektif dalam
memberikan pengalaman belajar yang diperlukan untuk membentuk kompetensi dasar. Strategi pembelajaran merupakan kegiatan guru dalam melakukan proses pembelajaran dan
pembentukan kompetensi. Strategi pembelajaran dapat
memberikan kemudahan kepada peserta didik untuk mencapai tujuan. Setiap pembelajaran dan pembentukan kompetensi. Guru dapat menggunakan berbagai metode, dan berbagai media untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dalam hal ini guru dapat memilih dan menggunakan berbagai metode dan media pembelajaran yang dapat menumbuhkan aktivitas dan kreatifitas peserta didik. Langkah keempat pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran adalah merencanakan penilaian. Sejalan dengan KTSP yang berbasis kompetensi penilaian hendaknya dilakukan berdasarkan apa yang dilakukan oleh peserta didik selama proses pembelajaran dan pembentukan kompetensi. Oleh karena itu, penilaian
137
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):131-145
ISSN 2087-9016
hendaknya dilakukan berbasis kelas (PBK) dan ujian dilakukan berbasis sekolah. Penilaian pembelajaran dilakukan untuk mengetahui tercapai tidaknya pelaksanaan pembelajaran. Penilaian pembelajaran mencakup semua komponen pembelajaran, yaitu baik proses maupun hasilnya. Untuk itu, kegiatan penilaian membutuhkan alat penilaian dalam mencapai tujuan, dan guru perlu
menentukan alat penilaian
sesuai dengan kompetensi yang dinilai.
Faktor-faktor Pendorong dalam
Pengembangan
Silabus dan
Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran Faktor-faktor yang mendorong dalam pengembangan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Agama Hindu dapat dipilih-pilih menjadi enam faktor yaitu : minat terhadap tugas, tanggung jawab terhadap tugas, sarana dan prasarana, perhatian dari Kepala Sekolah, tuntutan masyarakat, dan tuntutan administrasi guru.
Minat Terhadap Tugas Menurut Slameto (2003:37) menyebutkan minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan. Demikian pula minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterkaitan pada suatu hal aktifitas tanpa ada yang menyuruh. Sedangkan Nawawi dalam Mulyasa (2007:230) mengungkapkan minat dan kemampuan terhadap suatu pekerjaan berpengaruh terhadap moral kerja. Minat merupakan dorongan untuk memilih suatu obyek berupa kegiatan atau pekerjaan yang diekspresikan dengan perasaan suka. Guru dalam mengembangkan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Agama Hindu di sekolah tentu dipengaruhi oleh minat yang ada dalam dirinya. Jika guru mempunyai minat sesuai dengan peranannya, maka guru akan berusaha melakukan tugas-tugas yang berkaitan dengan upaya pengembangan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran secara optimal. Faktor minat dapat mendorong untuk menjadikan sikap profesional guru. Sikap profesional guru dalam pengembangan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yaitu : a) sukarela, b) dapat menyesuaikan diri dan sabar, c) memiliki sikap yang konstruktif dan rasa tanggung jawab, d) berkemauan untuk melatih diri, dan e)
memberikan semangat untuk memberikan layanan kepada Sekolah dan
masyarakat.
138
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):131-145
ISSN 2087-9016
Tanggung Jawab Terhadap Tugas Guru memiliki tanggung jawab terhadap sejumlah tugas yang harus dilakukan sesuai dengan profesinya. Berat ringannya beban, tugas guru akan mempengaruhi usaha-usahanya dalam bekerja sesuai kemampuannya, serta berkaitan dengan kuantitas dan kualitas tugas yang dikerjakannya. Pemberian tanggung jawab secara individual, merupakan kesempatan bagi guru untuk mengoptimalkan segenap potensi yang dimiliki dengan kegiatan pengembangan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Tanggung jawab merupakan tuntutan dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, sehingga guru yang bertanggung jawab akan berusaha melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik. Dalam kaitannya dengan pengembangan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran untuk menyukseskan implementasi KTSP. Sujana dalam Mulyasa (2007:229) mengungkapkan, bahwa tanggung jawab mengembangkan kurikulum mengandung arti guru dituntut untuk selalu mencari gagasan
baru,
dan
menyempurnakan
praktek
pembelajaran.
Guru
dalam
mengembangkan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dipengaruhi oleh beban tugas yang menjadi tanggung jawab yang harus dilaksanakan guru dalam kegiatan sehari-hari. Beban tugas dalam pengembangan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran terkait dengan peran guru sebagai fasilitator yang memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, melalui kegiatan mengajar, membimbing dan melaksanakan administrasi sekolah. Sarana dan Prasarana Pembelajaran Sarana dan prasarana merupakan alat bantu untuk memudahkan guru dalam pengembangan silabus dan RPP. Sarana pembelajaran meliputi buku pelajaran, buku bacaan, alat, dan berbagai media pengajaran yang lain. Sedangkan prasarana pembelajaran meliputi gedung sekolah, ruang belajar, dan ruang kesenian. (Dimyati dan Mudjiono, 2006:249). Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan pada bab VII pasal 42 ayat 1 dan 2 menyebutkan: (1) setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya,
139
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):131-145
ISSN 2087-9016
bahan habis pakai serta perlengkapan lain diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan, dan (2) setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berekreasi dan ruang /tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Dalam pengembangan Silabus agama Hindu sarana
dan
dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
prasarana tetap diperlukan dan memegang peranan
penting. Perlengkapan sarana dan prasarana diperlukan untuk dapat menciptakan sekolah yang bersih rapi, indah dan kondisi yang menyenangkan baik bagi guru dan murid. Hafidz dalam Muhammad Joko Susilo (2007) menyebutkan sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan secara langsung dipergunakan dalam menunjang proses pendidikan khususnya dalam pengembangan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Perhatian dari Kepala Sekolah Menurut Gazali dalam Slameto (2003:56) menyebutkan perhatian adalah keaktifan jiwa yang tertuju kepada suatu obyek. Perhatian kepala sekolah terhadap guru sangat penting untuk meningkatkan profesionalisme kinerja guru (Mulyasa, 2007:234). Perhatian dari Kepala Sekolah terhadap guru sangat diperlukan untuk memotivasi kinerja guru terkait dengan pengembangan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Kepala Sekolah memfasilitasi guru dengan menyediakan layanan perpustakaan dan memberikan kepada guru untuk mengikuti pelatihan, workshop, dan penataran. Profesional guru dalam pengembangan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran diperlukan kecermatan untuk menentukan langkah sabar, ulet, telaten, serta tanggap setiap kondisi sehingga akan membuahkan suatu hasil yang memuaskan.
140
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):131-145
ISSN 2087-9016
Tuntutan Masyarakat Pengembangan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Agama Hindu di kembangkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Masyarakat yang ada di sekitar Sekolah merupakan masyarakat homogen atau heterogen. Masyarakat belajar, petani, pedagang, dan pegawai. Sekolah melayani aspirasi-aspirasi yang ada dimasyarakat. Perkembangan dunia usaha yang ada dimasyarakat mempengaruhi pengembangan kurikulum khususnya pengembangan Silabus dan
Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran, karena sekolah mempersiapkan peserta didik untuk bekerja dan berusaha. Jenis pekerjaan yang ada dimasyarakat menuntut persiapan di Sekolah. Pengembangan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Agama Hindu adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (Nana Syaodih Sukmadianata, 2006:159). Pada
dasarnya
pengembangan
silabus
dan
Rencana
Pelaksanaan
Pembelajaran memberi berbagai pengaruh positif dari luar atau dari peserta didik dapat menghadapi masa depannya dengan baik. Dengan demikian, peserta didik diharapkan dapat mengantisipasi perubahan masyarakat agraris ke industri, pengembangan IPTEK, pengangguran intelek, terbatasnya lapangan pekerjaan, masyarakat yang kompleks tetapi bersifat individualistis, pengaruh globalisasi, dan adanya revolusi atau reformasi (Dakir, 2004:84). Tuntutan Administrasi Guru Sebagai administrator pendidikan sebenarnya guru secara terus menerus terlibat dalam pengembangan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Guru memegang peranan penting dalam proses pembelajaran pada sistem dan proses pendidikan. Karena siswa tidak mungkin bisa belajar sendiri tanpa bimbingan guru, maka guru berkewajiban mengembangkan tujuan-tujuan pendidikan menjadi rencana-rencana yang operasional. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 20 menyebutkan perencanaan proses pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber
belajar,
dan
penilaian
hasil
belajar
(Standar Nasional
Pendidikan, 2006:13).
141
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):131-145
ISSN 2087-9016
Guru sebagai pendidik profesional, bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya sebagai pengajar, tetapi juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam
mengembangkan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.
Upaya–upaya Pengembangan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Agama Hindu. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam pengembangan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran adalah 1) melakukan diskusi, 2) mengikuti pelatihan, 3) menyediakan sarana dan prasarana.
Melakukan Diskusi Diskusi merupakan komunikasi seseorang berbicara satu dengan yang lain, saling berbagi gagasan dan pendapat. Kamus Bahasa Indonesia menyebutkan diskusi yaitu melibatkan orang saling tukar pendapat secara lisan, teratur,
dan
untuk
mengekspresikan pikiran tentang pokok pembicaraan tertentu (Trianto, 2007:117). Menurut Suryosubroto dalam Trianto (1997:179) diskusi adalah suatu percakapan ilmiah oleh beberapa orang yang tergabung dalam suatu kelompok untuk saling bertukar pendapat tentang suatu masalah atau bersama-sama mencari pemecahan untuk mendapatkan jawaban dan kebenaran atas suatu masalah. Pemanfaatan diskusi mempunyai arti yang sangat penting. Guru yang satu dengan yang lainnya saling bertukar pendapat dalam pengembangan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran di sekolah.
Mengikuti Pelatihan, Workshop, dan Penataran Guru dalam pengembangan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran diawali dengan mengikuti pelatihan, workshop dan penataran yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Kebijakan Departemen Pendidikan Nasional memfasilitasi penyusunan silabus dengan membentuk sebuah tim yang terdiri dari para guru yang memiliki pengalaman dalam penyusunan silabus (BSNP,2006:15). Penyusunan silabus dilaksanakan bersama-sama pada musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) pada tingkat satuan pendidikan untuk satu ssekolah atau
142
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):131-145
ISSN 2087-9016
kelompok sekolah dengan tetap memperhatikan karakteristik masing-masing sekolah. Prinsip yang mendasari pengembangan silabus antara lain : 1) Ilmiah yaitu keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuwan. Untuk mencapai kebenaran ilmiah tersebut, dalam penyusunan silabus selayaknya dilibatkan para pakar dibidang keilmuwan masing-masing mata pelajaran. Hal ini dimaksudkan agar materi pelajaran yang
disajikan
dalam Silabus (Valid). 2) Relevan yaitu cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran dan urutan penyajian materi dalam silabus sesuai atau ada keterkaitan dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spiritual peserta didik. 3) Sistematis
yaitu
komponen-komponen silabus saling berhubungan
secara fungsional dalam mencapai kompetensi. 4) Konsisten dasar,
yaitu adanya hubungan yang konsisten antara kompetensi
indikator,
materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, dan
sistem penilaian. 5) Memadai
yaitu
cakupan
indikator, materi pokok, pengalaman
belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian kompetensi dasar. 6) Aktual
dan
pengalaman memperhatikan
kontekstual belajar,
yaitu
cakupan
sumber
belajar
perkembangan
ilmu,
indikator, materi pokok, dan
teknologi
sistem
dan
penilaian
seni mutakhir
dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi. 7) Fleksibel yaitu keseluruhan komponen silabus dapat mengakomodasi keragaman peserta didik, pendidik, serta dinamika perubahan yang terjadi disekolah dan tuntutan masyarakat. 8) Menyeluruh
yaitu
komponen silabus mencakup keseluruhan ranah
kompetensi(kognitif, afektif, psikomotor) (Masnur Muslich,2007:26) Silabus bermanfaat sebagai pedoman dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut, seperti pembuatan rencana pembelajaran, pengelolaan kegiatan pembelajaran, dan pengembangan sistem penilaian. Silabus bermanfaat
sebagai
pedoman untuk merencanakan pengelolaan kegiatan pembelajaran. Misalnya
143
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):131-145
ISSN 2087-9016
kegiatan pembelajaran secara klasikal, kelompok kecil atau pembelajaran secara individual. Silabus juga sangat bermanfaat untuk mengembangkan sistem penilaian. Sistem penilaian selalu mengacu pada standar kompetensi, kompetensi dasar, dan materi pokok/pembelajaran yang terdapat dalam Silabus. Hal tersebut sesuai dengan pembelajaran berbasis kompetensi.
Menyediakan Sarana dan Prasarana Kinerja guru dalam pengembangan silabus, dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran diawali dengan upaya menyediakan sarana dan prasarana. Muhamad Joko Susilo (2007:65) menyebutkan sarana adalah peralatan dan yang secara langsung dipergunakan dalam proses pendidikan, sedangkan prasarana adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau pengajaran. Dalam pengembangan silabus, dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran sarana dan prasarana yang diperlukan adalah tempat, buku acuan, buku-buku pelajaran, jurnal, kalender pendidikan, brosur. Semua sumber tersebut menunjukkan seluruh katagori aktifitas pendidikan selama satu tahun dan dirinci dalam semesteran, bulanan dan mingguan.
SIMPULAN Langkah-langkah
pengembangan
silabus
dan
Rencana
Pelaksanaan
Pembelajaran Agama Hindu adalah 1) langkah pengembangan silabus yaitu mengisi identitas, mengkaji standar kompetensi, mengkaji dan menentukkan kompetensi dasar, mengidentifikai maslah pokok, mengembangkan pengalaman belajar, merumuskan indikator pencapaian kompetensi, menentukan jenis penilaian, alokasi waktu, dan menentukan sumber belajar, 2) langkah pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yaitu mengisi identitas, menentukan alokasi waktu, menentukan standar kompetensi dan kompetensi dasar serta indikator, merumuskan tujuan
pembelajaran,
mengidentifikasi
materi
pokok
menentukan
metode
pembelajaran, merumuskan langkah-langkah pembelajaran, menentukan sumber belajar, dan menyusun kriteria penilaian.
144
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):131-145
ISSN 2087-9016
Faktor pendorong dalam pengembangan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Agma Hindu adalah minat terhadap tugas, tanggung jawab terhadap tugas, sarana dan prasarana, perhatian dari kepala sekolah. Upaya pengembangan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Agama Hindu adalah melakukan diskusi dengan guru yang berpengalaman, mengikuti pelatihan, workshop, penataran yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional yang terkait dengan pengembangan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, serta menyediakan sarana dan prasarana yang dipergunakan dalam pengembangn silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Agama Hindu berupa buku pedoman dan teknologi pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP). 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Dakir. 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Agama Hindu Sekolah Menengah Atas. Jakarta Muhammad Joko Susilo. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.Yogyakarta: Pustaka Belajar. Mulyasa, 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Slameto.2003. Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta Standar Nasional Pendidikan (SNP). 2006. Jakarta: Asa Mandiri Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik Jakarta : Prestasi Pustaka
145
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):131-145
ISSN 2087-9016
146
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):146-157
ISSN 2087-9016
PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMAHAMI CERITA DONGENG MELALUI METODE DISKUSI PADA SISWA KELAS V SD NEGERI 10 SANUR Ni Luh Sukanadi dan Ida Ayu Made Wedaswari Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mahasarswati Denpasar Abstrak The undertaking of this research was titled improving oh history comprehension achievement on the discussion method by the fifth grade students of SD Negeri 10 Sanur in academic year 2009/2010 that was background of the problems of the students low or poor on the history comprehension ability. Because, the research question of the present study was classificated of classroom action research (CAR) formulated as follow : what does the discussion method can be increase students ability by the fifth grade students SD Negeri 10 Sanur on academic year 2009/2010 on the history comprehension achievement?. The theoretical framework which is used in present study includes of a literature meaning, kind of prose, a history meaning, kind of history, the elements of history, feedback to students about history, and discussion method. This study was made using classroom action research with perfected or increased study practice so that be batter. The result of research showed that the discussion method can increased students ability on the history comprehension achievement. Because of, can showed from first test scores, final test cycle I, final test cycle II, and final test cycle III. Where, on precycle (first test) scores showed the subjects figure of 4,32 increased of 42,82%, on cycle I became 6,17, on cycle II of 19,12% became 7,35, and back up be 24,76% , on cycle III was 9,12. Keyword : The history comprehension achievement with a discussion method.
PENDAHULUAN Bahasa sebagai alat komunikasi antara manusia mempunyai peranan penting. Dengan bahasa, baik lisan maupun bahasa tulis seseorang dapat menyampaikan pesan atau informasi kepada orang lain. Agar dapat menyampaikan pikiran, perasaan ataupun informasi, maka si pemakai bahasa harus mempunyai keterampilan di dalam menggunakan bahasa serta mampu menafsirkan makna yang terkandung dalam suatu bahasa. Hal tersebut dapat dilihat dari kemampuan ketrampilan berbahasa yang meliputi (1) keterampilan menulis, (2) keterampilan membaca, (3) keterampilan berbicara, dan (4) ketrampilan menyimak. Keempat keterampilan tersebut mempunyai hubungan yang erat antara satu dengan yang lainnya (Slametmulyana, 1960:34).
146
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):146-157
ISSN 2087-9016
Peningkatan mutu pengajaran sastra Indonesia memang tidak terlepas dari usaha untuk meningkatkan mutu apresiasi siswa terhadap sastra Indonesia. Untuk mencapai hal itu, maka dewasa ini sedang giat-giatnya dilakukan usaha meningkatkan apresiasi siswa terhadap kesusastraan lama, khususnya dongeng. Apabila dikaji lebih jauh mengapa pemahaman dongeng lebih ditekankan dibandingkan dengan bentuk kesusastraan lama yang lain. Hal ini tentu ada alasannya. Dalam kenyataan di masyarakat, kebiasaan orang tua mendongeng pada anak-anaknya sudah semakin memudar. Apalagi dengan ditayangkannya film-film kartun di televisi, sehingga perhatian anak terhadap dongeng terus memudar atau mungkin hilang. Memahami cerita dongeng merupakan salah satu cara untuk meningkatkan mutu apresiasi siswa terhadap sastra Indonesia dan sebagai upaya untuk melestarikan kesusastraan lama. Kemampuan siswa dalam mengapresiasi dongeng dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor dari dalam maupun faktor dari luar siswa tersebut. Faktor dari dalam berupa ketekunan siswa dalam mempelajari dongeng. Sedangkan faktor dari luar dapat berupa usaha-usaha guru itu sendiri, apakah guru tersebut hanya menugaskan siswa untuk sekedar membaca dongeng saja, atau menugaskan siswa untuk membaca sekaligus memahami cerita dongeng tersebut. Untuk dapat memahami cerita dongeng, ada beberapa metode yang dapat digunakan oleh guru, salah satunya adalah metode diskusi. Metode diskusi yaitu komunikasi seseorang berbicara satu dengan yang lain, saling berbagi gagasan dan pendapat (Arends, 1997:12). Metode diskusi merupakan suatu percakapan ilmiah oleh beberapa orang yang tergabung dalam satu kelompok, untuk saling bertukar pendapat tentang suatu masalah atau bersama-sama mencari pemecahan mendapatkan jawaban dan kebenaran atas suatu masalah (Beyer, 1991:23). Manfaat dari penerapan metode diskusi, yaitu : (1) dapat menumbuhkan keterlibatan dan partisipasi siswa, (2) siswa dapat mempelajari keterampilan berkomunikasi dan proses berpikir, (3) siswa belajar menilai kemampuan dan peranan diri sendiri maupun orang lain, (4) siswa dapat bersosialisasi dengan baik dengan teman dan gurunya, (5) siswa dapat menyadari dan mampu merumuskan berbagai masalah yang dihadapi baik dari pengalaman sendiri maupun dari pelajaran sekolah, (6) siswa dapat menyadari akan suatu problem dan memformulasikannya dengan menggunakan informasi yang diperoleh dari bacaan atau ceramah, dan (7) memahami 147
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):146-157
ISSN 2087-9016
apa yang ada di dalam pemikiran siswa dan bagaimana memproses gagasan dan informasi yang diajarkan melalui komunikasi yang terjadi selama pembelajaran berlangsung baik antarsiswa maupun komunikasi guru dengan siswa. Sehingga diskusi menyediakan tatanan sosial di mana guru dapat membantu siswa menganalisis proses belajar mereka. Berdasarkan hal di atas, penelitian ini memfokuskan kepada tindakan mengajar yang perlu dilakukan guru di sekolah dasar untuk meningkatkan kemampuan memahami cerita dongeng melalui metode diskusi pada siswa kelas V SD Negeri 10 Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kotamadya Denpasar Tahun Pelajaran 2009/2010. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) memupuk dan mengembangkan kecakapan berpikir dinamis, rasional dan praktis, (2) memupuk dan mengembangkan kecakapan berbahasa Indonesia lisan dan tulisan, dan (3) memperkenalkan metode diskusi sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan memahami cerita dongeng serta (4) memberikan sumbangan berupa buah pikiran kepada lembaga, guru dan siswa dalam usaha meningkatkan pembinaan pengajaran bahasa Indonesia.
METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian tindakan kelas. Menurut Carr dan Kemmis (dalam IGAK Wardani, 2007:13), penelitian tindakan kelas ini menekankan pada penyempurnaan atau peningkatan praksis pembelajaran sehingga menjadi lebih baik. Selain itu menurut Santyasa (2008 : 28) karakterristik dari penelitian tindakan kelas yaitu kegiatan modifikasi praktis yang dilakukan secara kontinu, kemudian hasil yang diperoleh akan terus dievaluasi sejalan dengan situasi yang terus berjalan sehingga mencapai suatu tujuan yaitu perbaikan terhadap sistem pembelajaran sesuai dengan kenyataan agar diperoleh suatu peningkatan mutu pembelajaran. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian tindakan kelas berdasarkan model yang dikemukakan oleh Kurt Lewin. Konsep pokok penelitian tindakan kelas Kurt Lewin ini terdiri atas 4 komponen, yaitu: (1) perencanaan (planning), (2) tindakan (action), (3) pengamatan dan penilaian (observing dan evaluation), dan (4) refleksi (reflecting). Subjek penelitian tindakan kelas ini adalah 148
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):146-157
ISSN 2087-9016
siswa kelas V SD Negeri 10 Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kotamadya Denpasar Tahun Pelajaran 2009/2010 yang berjumlah 28 orang, dengan perincian siswa laki-laki sebanyak 15 orang dan siswa perempuan sebanyak 13 orang. Objek tindakan kelas ini adalah peningkatan kemampuan memahami cerita dongeng melalui metode diskusi siswa kelas V SD Negeri 10 Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kotamadya Denpasar, Tahun Pelajaran 2009/2010. Tes yang digunakan adalah tes esai yang berjumlah 5 butir soal. Tiap soal memiliki rentang nilai 1-20. Skor dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 01. Pemberian Skor/Nilai Tes Siswa Kelas V SD Negeri 10 Sanur Kecamatan Denpasar Selatan Kotamadya Denpasar Tahun Pelajaran 2009/2010 No Kriteria yang Dinilai Skor/Nilai (1) (2) 1 Ketepatan menentukan tema dan amanat dongeng. 2
Ketepatan menentukan penokohan (perwatakan) dan latar
(3) 1-20 1-20
(setting) dongeng. 3
Ketepatan menentukan sudut pandang dongeng dan kapan
1-20
dongeng dikarang. 4
Ketepatan menentukan plot dan gaya bahasa dongeng.
1-20
5
Ketepatan menentukan tujuan dongeng dan kepercayaan
1-20
masyarakat dalam dongeng. Jumlah
100
Dengan demikian skor/nilai yang ada pada masing-masing unsur tersebut, maka SMI dapat dicapai dengan : SMI = 5 x 20 = 100 Membuat Pedoman Konversi Mengubah Skor Mentah Menjadi Skor Standar Membuat pedoman konversi untuk mengubah skor mentah menjadi skor standar, dengan norma absolut skala sebelas yakni berdasarkan pada tingkat penguasaan bahan yang diberikan (Nurkancana, 1986 : 80). Adapun pedoman konversi skala sebelas sebagai berikut : 149
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):146-157
ISSN 2087-9016
Tabel 02. Pedoman Konversi Norma Absolut Skala Sebelas No
Tingkat Penguasaan
Skor Standar
(1)
(2)
(3)
1
95% - 100%
10
2
85% - 94%
9
3
75% - 84%
8
4
65% - 74%
7
5
55% - 64%
6
6
45% - 54%
5
7
35% - 44%
4
8
25% - 34%
3
9
15% - 24%
2
10
5% - 14%
1
11
0% - 4%
0 (Nurkancana, 1986 : 84).
Berdasarkan Skor Maksimal Ideal (SMI) yaitu 100, maka dapat dihitung besar tiap-tiap proses penguasaan seperti di bawah ini : Penguasaan 95% = 95/100 x 100 = 95 Penguasaan 85% = 85/100 x 100 = 85 Penguasaan 75% = 75/100 x 100 = 75 Penguasaan 65% = 65/100 x 100 = 65 Penguasaan 55% = 55/100 x 100 = 55 Penguasaan 45% = 45/100 x 100 = 45 Penguasaan 35% = 35/100 x 100 = 35 Penguasaan 25% = 25/100 x 100 = 25 150
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):146-157
ISSN 2087-9016
Penguasaan 15% = 15/100 x 100 = 15 Penguasaan 0% = 0/100 x 100 = 0 Berdasarkan perhitungan di atas, maka pedoman konversi dapat diperhatikan dalam tabel berikut ini : Tabel 03. Pedoman Konversi No (1) 1
Tingkat Penguasaan (2) 95 – 100
Skor Standar (3) 10
2
85 – 94
9
3
75 – 84
8
4
65 – 74
7
5
55 – 64
6
6
45 – 54
5
7
35 – 44
4
8
25 – 34
3
9
15 – 24
2
10
5 – 14
1
11
0–4
0 (Nurkancana, 1986 : 98).
Berdasarkan tabel konversi di atas, maka ditentukan skor standar dari masingmasing siswa, yaitu yang mendapatkan skor mentah 95 – 100 akan memperoleh skor standar 10. Siswa yang mendapat skor mentah 85 – 94 akan memperoleh skor standar 9, yang mendapat skor mentah 75 – 84 akan memperoleh skor standar 8. Demikian selanjutnya sampai siswa mendapat skor mentah 0 – 4 akan memperoleh skor standar 0. Tabel 04. Predikat Nilai Standar Nilai Standar
Predikat
(1)
(2) 151
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):146-157
ISSN 2087-9016
10
Istimewa
9
Baik sekali
8
Baik
7
Lebih dari cukup
6
Cukup
5
Hampir cukup
4
Kurang
3 2 1 0
Kurang sekali Buruk Buruk sekali Gagal (Nurkancana, 1986 : 100).
Menentukan Nilai Rata-rata (Mean) Untuk mengetahui kemampuan memahami cerita dongeng melalui metode diskusi pada siswa kelas V SD Negeri 10 Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kabupaten Denpasar dapat dicari nilai rata-rata yang diperolehnya. Rata-rata = Jumlah Skor Standar Jumlah Siswa (Partiani, 2009:73) HASIL PENELITIAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti diketahui bahwa : (1) refleksi awal, pada kegiatan ini peneliti menilai kemampuan siswa dalam memahami dongeng melalui tes dan tahap ini tidak didahului dengan pemberian penjelasan. Pada refleksi awal ini diperoleh nilai rata-rata siswa sebesar 4,32. Berdasarkan pengamatan awal dalam pembelajaran menganalisis unsur-unsur pembangun dongeng, siswa kurang tertarik dalam mengikuti pembelajaran menganalisis unsur-unsur pembangun dongeng. Untuk itu peneliti mencoba alternatif baru yaitu dengan menggunakan metode diskusi. (2) Siklus 1 dilakukan dengan 4 langkah yaitu, (a) rancangan penelitian, pada tahap ini peneliti melakukan analisis kurikulum untuk mengetahui 152
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):146-157
ISSN 2087-9016
standar kompetensi dan kompetensi dasarnya, kemudian mempersiapkan RPP, serta mempersiapkan media yang mendukung dalam menerapkan metode diskusi, (b) pelaksanaan penelitian, pelaksanaan pembelajaran pada siklus 1 dilakukan dalam 2 kali pertemuan serta pada tahap ini peneliti menjelaskan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dongeng sesuai dengan RPP yang telah dibuat dan menggunakan metode diskusi, (c) observasi dan evaluasi, selama proses pembelajaran berlangsung, hasil observasi yang diperoleh adalah tidak semua siswa mengikuti pelajaran dengan tekun. Sebagian besar siswa terlihat pasif dalam mengikuti kegiatan diskusi, itu disebabkan karena siswa belum memahami prinsip-prinsip berdiskusi yaitu bekerja sama dalam memecahkan permasalahan. Evaluasi yang diberikan oleh guru dengan memberikan soal berbentuk esai yang terdiri dari 5 pertanyaan, (d) refleksi, dari hasil evaluasi diketahui rata-rata nilai yang dimiliki siswa sebesar 6, 17. Hal ini telah mengalami peningkatan dari tes awal yang telah dilakukan, tetapi belum mencapai kategori baik yang ditentukan peneliti. Untuk itu penelitian dilanjutkan ke siklus II. Proses tindakan pada siklus II merupakan lanjutan dari tindakan siklus I. Hasil refleksi siklus I diperbaiki pada tindakan siklus II. Pelaksanaan siklus II dilaksanakan dengan 4 langkah yaitu, (a) rancangan penelitian, pada tahap ini peneliti mempersiapkan RPP, media yang mendukung dalam menerapkan metode diskusi, dan juga mempersiapkan tes akhir siklus II, (b) pelaksanaan penelitian, pelaksanaan pembelajaran pada siklus II dilakukan dalam dua kali pertemuan. Tahap ini peneliti membangkitkan pengetahuan siswa mengenai dongeng, selanjutnya memberikan pelajaran sesuai dengan RPP yang telah dibuat dan menggunakan metode diskusi, memberikan siswa sebuah dongeng untuk didiskusian, (c) observasi dan evaluasi, selama proses pembelajaran berlangsung, hasil observasi yang diperoleh adalah semua siswa mengikuti pelajaran dengan tekun tetapi ada beberapa siswa terlihat pasif dalam melaksanakan kegiatan diskusi karena belum memahami prinsip-prinsip berdiskusi yaitu bekerja sama dalam memecahkan permasalahan. Peneliti membagikan sebuah cerita dongeng dan memberikan 5 butir soal dalam bentuk esai dengan rentang skor antara 1-20 pada masing-masing siswa yang berhubungan dengan unsur-unsur pembangun dongeng, (d) refleksi, berdasarkan hasil tes akhir siklus II pada siswa kelas V SD Negeri 10 Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kotamadya Denpasar dapat diketahui bahwa nilai rata-rata siswa 7,35 dengan kategori lebih dari cukup. Hasil tes tersebut belum
153
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):146-157
ISSN 2087-9016
memenuhi target ketuntasan yang diharapkan yaitu 8,00 dengan katagori baik. Belum maksimalnya hasil tes kemampuan memahami cerita dongeng melalui metode diskusi disebabkan siswa belum sepenuhnya paham dalam menjawab pertanyaan. Masalah yang dihadapi siswa dalam memahami cerita dongeng yaitu kurangnya konsentrasi siswa dalam membaca dongeng yang diberikan sehingga tidak dapat menjawab pertanyaan dengan baik. Beberapa siswa terlihat pasif dalam melaksanakan kegiatan diskusi karena belum memahami prinsipp-prinsip berdiskusi yaitu bekerja sama dalam memecahkan permasalahan. Untuk itulah penelitian ini dilanjutkan ke siklus III. Siklus ini dilakukan dalam 4 langkah yaitu, (a) rancangan penelitian, pada tahap ini peneliti mempersiapkan RPP, serta mempersiapkan media yang mendukung dalam menerapkan metode diskusi, dan juga mempersiapkan tes akhir siklus III, (b) pelaksanaan penelitian, pelaksanaan pembelajaran pada siklus III dilakukan dalam 2 kali pertemuan, pada tahap ini peneliti membangkitkan pengetahuan siswa mengenai dongeng, selanjutnya memberikan pelajaran sesuai dengan RPP yang telah dibuat dan menggunakan metode diskusi, memberikan siswa sebuah dongeng untuk didiskusikan berkelompok, (c) observasi dan evaluasi, selama proses pembelajaran berlangsung, hasil observasi yang diperoleh adalah semua siswa mengikuti proses pembelajaran dengan tekun, siswa bersemangat dalam mengikuti pembelajaran, dan siswa sangat aktif dalam melaksanakan kegiatan diskusi untuk memecahkan permasalahan yang diberikan peneliti yaitu untuk mencari unsur-unsur pembangun dongeng. Pelaksanaan evaluasi juga dilakukan dengan memberikan 5 soal esai kepada msing-masing siswa untuk mengetahui pemahaman mereka tentang dongeng, (d) refleksi, nilai rata-rata siswa dari tindakan siklus II ke tindakan siklus III mengalami peningkatan. Apabila dilihat secara nilai individu, semua siswa memenuhi target ketuntasan yang diharapkan yaitu 8,00 dengan katagori cukup. Pemahaman siswa dalam memahami cerita dongeng melaui metode diskusi sudah mengalami peningkatan. Dari hasil yang diperoleh pada tindakan siklus III, dapat diketahui bahwa dengan penerapan metode diskusi dalam meningkatkan kemampuan memahami cerita dongeng pada siswa kelas V SD Negeri 10 Sanur, sudah dapat dikatakan efektif, karena dalam proses pembelajaran tersebut aktivitas belajar siswa secara keseluruhan sudah tampak lebih baik. Berdasarkan hasil yang dicapai dari pelaksanaan siklus III,
154
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):146-157
ISSN 2087-9016
maka peneliti tidak perlu melanjutkan pelaksanaan pembelajaran memahami cerita dongeng ke siklus berikutnya.
PENUTUP Metode diskusi merupakan salah satu metode yang terbukti efektif dan dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman siswa dalam memahami cerita dongeng, serta merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk membimbing siswa dalam memahami cerita dongeng, yaitu menemukan unsur-unsur pembangun dongeng. Hasil yang dicapai seperti di bawah ini. Pada tes awal siswa memperoleh rata-rata 4,32, dengan rincian skor standar 3 dengan katagori kurang sekali sebanyak 5 orang, siswa yang memperoleh skor standar 4 dengan katagori kurang sebanyak 11 orang, siswa yang memperoleh skor standar 5 dengan katagori hampir cukup dan siswa yang memperoleh skor standar 6 dengan katagori cukup sebanyak 12 orang, sehingga kemampuan memahami cerita dongeng siswa pada tes awal dapat dikelompokkan dengan katagori kurang. Tes akhir siklus I siswa memperoleh rata-rata 6,17, dengan rincian skor standar 7 dengan katagori lebih dari cukup sebanyak 11 orang, siswa yang memperoleh skor standar 6 dengan katagori cukup sebanyak 11 orang, dan siswa yang memperoleh skor standar 5 dengan katagori hampir cukup sebanyak 6 orang. Dari hasil tes awal ke siklus I sudah mengalami peningkatan tetapi hasil tes tersebut memenuhi target ketuntasan yang diharapkan yaitu 8,00 dengan katagori baik, sehingga penelitian dilanjutkan ke siklus II. Pada tes akhir siklus II siswa memperoleh rata-rata 7,35, dengan rincian skor standar 6 dengan katagori cukup sebanyak 2 orang, siswa yang memperoleh skor standar 7 dengan katagori lebih dari cukup sebanyak 16 orang, siswa yang memperoleh skor standar 8 dengan katagori baik sebanyak 8 orang, dan siswa yang memperoleh skor standar 9 dengan katagori baik sekali sebanyak 2 orang. Nilai ratarata siswa dari tindakan siklus I ke tindakan siklus II mengalami peningkatan yang baik, tetapi hasil tes tersebut memenuhi target ketuntasan yang diharapkan yaitu 8,00 dengan katagori baik, sehingga penelitian dilanjutkan ke siklus III. 155
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):146-157
ISSN 2087-9016
Pada tes akhir siklus III siswa memperoleh rata-rata 9,17, dengan rincian skor standar 8 dengan kategori baik sebanyak 5 orang, siswa yang memperoleh skor standar 9 dengan kategori baik sekali sebanyak 13 orang, dan siswa yang memperoleh nilai 10 dengan kategori istimewa sebanyak 10 orang. Nilai rata-rata siswa dari tindakan siklus II ke tindakan siklus III mengalami peningkatan yang baik sekali. Apabila dilihat secara nilai individu, semua siswa memperoleh skor standar 8 ke atas. Berdasarkan hasil yang dicapai dari pelaksanaan siklus III, maka penelitian dihentikan sampai siklus III. Peningkatan yang dicapai siswa dari tes awal, tes akhir siklus I, tes akhir siklus II, dan tes akhir siklus III sebagai berikut. Nilai rata-rata pada tes awal 4,32 dengan kategori kurang, mengalami peningkatan 42,82% menjadi 6,17 pada tes akhir siklus I dengan katagori cukup, pada siklus II meningkat 19,12% menjadi 7,35 dengan katagori lebih dari cukup, dan kembali meningkat 24,76% menjadi 9,17 pada tes akhir siklus III dengan katagori baik sekali. Beberapa saran yang dikemukakan sehubungan dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah (1) dengan diketahuinya penerapan metode diskusi dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami cerita dongeng berhasil, maka pengajar hendaknya memanfaatkan metode diskusi dalam menerapkan pembelajaran di kelas, (2) pemberian kesempatan untuk melakukan diskusi dan bimbingan baik secara
individu
maupun
kelompok,
perlu
ditingkatkan
dan
diintensifkan
pelaksanaannya oleh para guru karena hal ini sangat penting untuk meningkatkan kemampuan memahami cerita dongeng, (3) dalam penerapan metode diskusi hendaknya pengajar mengawasi dan sekaligus mengoreksi siswa dalam berkegiatan, (4) siswa hendaknya membiasakan diri untuk membaca dongeng dan melatih diri mencari unsur-unsur pembangun dongeng sesering mungkin, sehingga hal tersebut dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami cerita dongeng, (5) siswa hendaknya lebih aktif dan kreatif dalam menerima pembelajaran, sehingga kegiatan pembelajaran dapat berlangsung dengan baik, (6) guru diharapkan dapat memberikan motivasi dan merangsang minat baca siswa, sehingga pengetahuan siswa tentang karya sastra, khususnya dongeng bertambah.
156
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):146-157
ISSN 2087-9016
DAFTAR PUSTAKA Arends, RichardI. 1997. Classroom Instructional Management. New York: The McGraw-Hill Company. Beyer, B. K.1991. Teaching Thinking Skills: A Handbook for Secondary School Teachers. Boston: Allyn and Bacon. Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Hasibuan, J. J. dan Moedjiono. 1991. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Nurkencana, Suartana. 1986. Evaluasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Partiani. 2007. Peningkatan Kemampuan Memahami Isi Bacaan dengan Menggunakan Teknik Pertanyaan pada Siswa Kelas VII SMPN 4 Amlapura Tahun Pelajaran 2006/2007. Denpasar : Universitas Mahasaraswati Denpasar. Santyasa, I Wayan. 2008. Metode Penelitian Tindakan Kelas, Pengembangan Korelasional Kasual Komparatif dan Eksperimen. Singaraja: Undiksha. Simandjuntak, B. Simorangkir. 1970. Kesusastraan Indonesia II. Jakarta: PT Pembangunan. Todorof. 1985. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Adi Cita Karya Nusa. Wardani,dkk. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Universitas Terbuka. Zainuddin. 1992. Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
157
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):158-169
ISSN 2087-9016
ASSESSING THE ACQUISITION OF INFORMATION QUESTIONS IN ENGLISH MADE BY THE ELEVENTH GRADE STUDENTS OF SMK SARASWATI DENPASAR IN ACADEMIC YEAR 2009/2010 Dewa Gede Agung Gana Kumara English Education Department, Faculty of Education and Teacher Training University of Mahasaraswati Denpasar
ABSTRACT This study was undertaken in order to assess the acquisition of information questions by the eleventh grade students of SMK Saraswati Denpasar in academic year 2009/2010. The undertaking of the study was motivated by the fact that information questions are the fundamental basis of good communication skills in English. This study was intended to answer the research question: To what extent is the acquisition of the eleventh grade students of SMK Saraswati Denpasar in constructing information question in English. This study made use of an ex-post facto research design. The population of the study was the eleventh grade students of accountancy department which consists of two classes with the total students of 79 altogether. They were considered to have homogeneous characteristic. In this study, only 40 students were determined as the objects by using quota random sampling technique with lottery system. The data obtained in the study which were in the form of raw scores showing the subjects’ acquisition of information questions of the eleventh grade students of SMK Saraswati Denpasar, were analyzed with norm reference measure with five standard values. It clearly showed that: (1) there are 5 subjects (12.5%) out of 40 subjects under study who got excellent ability in asking information questions in English, (2) there are 11 subjects (27.5%) out of 40 subjects under study who got good ability in asking information questions in English. (3) there are 13 subjects (32.5%) out of 40 subjects under study who got sufficient ability in asking information questions in English and (4) there are 11 subjects (27.5%) out of 40 subjects under study who got insufficient ability in asking information questions in English. In general these research findings revealed that the acquisition of information questions by the eleventh grade students of SMK Saraswati Denpasar is remarked as good, where the number of subjects who got insufficient acquisition in information questions were under 50% or half of the number of subjects understudy. The number of students who got insufficient acquisition in information questions is only 11 subjects or 27.5% out of 40 subjects understudy. The findings of the study have limited validity and reliability, because it made use of an ex-post facto research design. Therefore, the research findings should be carefully depended upon. Key Word: Acquisition, ex post facto, Norm Reference Measure
158
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):158-169
ISSN 2087-9016
INTRODUCTION Language has a very important role in human life. Language is used to communicate, to express our idea and felling or conveying a message from a writer to a reader, from speaker to a listener. Without language, we cannot communicate with others. One of the languages used in communicating with one another is English. English is used as means of mutual relationship among nations, for trade and commerce tourism and traveling. English is the world’s most important language. Some other linguists stated that English is a Lingua franca. Harmer (1991:01) states that a lingua franca can be defined as a language widely adopted for communication between two speakers whose native languages are different from each other’s and where one or both speakers are using it as a second language. This means that English is the major language used in the world. It is used worldwide as means of communication. In Indonesia, English is used as the first foreign language to be taught and learnt as compulsory subject from Primary School until University after the National Official Language of Indonesian language. The purpose of the teaching English in Indonesia based on the Indonesia Curriculum for Vocational School is to equip the students with good and fluent communication skills. By having good and fluent communication skills, it is expected that we can establish good relationship with other countries in all kinds of affair such as commerce, education, culture, tourism, etc. Therefore, by mastering English, we will certainly be able to communicate with people from many different countries. Students in Bali, especially have many opportunities to communicate to people from many different reasons. Considering that Bali is one of the islands which many people from different countries come to spend their time for doing business or vacation. It is a good opportunity for student in Bali to communicate with native speaker directly while they develop their ability in using English. The principle of good communication if persons who in a conversation or communication understand each other. Other people will understand us if we formulate and arrange the words appropriately. This means that we must master the grammatical structure of English correctly. The mastery of grammatical structures makes us easier to develop the four skills, namely speaking, reading, listening and
159
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):158-169
ISSN 2087-9016
writing. By mastering the four language skills, we will be able to communicate in English well. The ability of the students in communicating in English is often judged through their communicative performance of their real ability to communicate in English both in and outside the classroom. In fact, we will be easily judging other people by listening to their performance in English, whether they can perform the language well or not in asking and answering question. Many years have been spent in learning English and many scientific studies have been conducted in order to answer the question how to acquire the foreign language easily including how to formulate a structural English question; however, there are still so many students cannot formulate a good structural English question. There are still many students who have difficulties in formulating good questions. One of the main problems is the difficulties in constructing and answering question. The difficulties are not only found in forms (making correct questions and giving correct answers) but also in meanings (asking and answering the right questions). For instance when the students form a simple question ask about reason ‘Why didn’t he go to school yesterday?’ In this case students sometime confuse in placing and using the auxiliary verb. The incorrect question form usually occurs from the students is: ‘Why he didn’t go to school yesterday?’ the idea of the question is correct but the construction is wrong. In this question, the auxiliary verb ‘didn’t’ has to be added before the subject. The errors are not only occurring in forming a question but also in meaning. In asking and answering the question, the students have difficulties when starting a question. They are difficult to differentiate which question-word is used for asking subject, object, reason, place, time, choice or measurement. So, when they express their ideas in a question, sometimes the meaning of the question will be different with their idea. For example, in a statement ‘John’s father is an English teacher’, the students need information about John’s father occupation but they use a wrong question word, e.g. ‘Where is John’s father?’ so the meaning of question will be different. The questions should be ‘What is John’s father?’ The curriculum designed for Vocational Schools also covers grammar that includes Information Questions. The students are actually expected to be able to communicate with other people, especially foreign tourist who come to Bali. However, the same problem is found in formulating and answering information
160
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):158-169
ISSN 2087-9016
questions. This can be proved in the teaching and learning process. The students intend to communicate their ideas by means of oral and written form in asking and answering questions, however, as far as the researcher knows, they still make many mistakes in formulating their questions and answers, especially the Information questions. Concerning the matter above, the researcher intends to conduct a study on the students’ acquisition in asking and answering the information questions. This research is conducted in order to see the students’ mastery of the information questions. The researcher is interested in this matter because based on his experience when he did teaching practice. He could see that information question is one of the most difficult parts of English to be learned and therefore the students make so many mistakes. He could see that the student have difficulties in formulating correct questions and answers. Therefore, the writer would like to conduct a study under the title: assessing the acquisition of information question in English made by the eleventh grade students of SMK Saraswati Denpasar in academic year 2009/2010.
Statement of Research Question Based on the background of the study above, the problem of the study could be formulated as follows: to what extent is the acquisition of the eleventh grade students of SMK Saraswati Denpasar in constructing information question in English?
Objective of Study A scientific investigation is conducted to solve the research question. In reference to the statement of the research question formulated and stated previously, the present study intends to reveal the degree of ability of the eleventh grade students of SMK Saraswati Denpasar in constructing information question in English. The establishment of the findings of the present study is expected to provide informative feedback to the English teachers and students about their level and ability and about their successfulness and failure in learning and acquiring information question.
161
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):158-169
ISSN 2087-9016
Foreign Language Acquisition It is difficult to choose the suitable term, whether language learning or language acquisition in term of studying English language. Many linguist and psychologist at the present time prefer to talk about acquisition rather than the learning of language. Acquisition is also in the context of learning foreign language. Foreign or second language acquisition is thus distinguished from first language and mother language. Richard (1985:3) states that the process by which a person learns a language is sometimes called acquisition instead of learning. Titony and Daneshy (in Roku, 2007:09) define language acquisition as a subconscious creative construction process used by children in acquiring first and second language, as well as by adult. There is different between language acquisition and language learning. The former is automatic the latter is controlled. A different between the two can be illustrated by comparing the speech of second language learner in structured and free learning situation. In such structured learning situation as drill and exercises, learners are capable of using with a high degree of accuracy. In other word, language acquisition is automatic while language learning is controlled. Learning is conscious process of rules internalization, which results either from overt teaching or from a self-study of linguistic rules. Unlike acquisition, learning profits from error correction and rule explanation.
The Conception of Questions In communicating with one another, whether it is oral or written will occur one or more unites called sentences. Hornby (1973:794) writes that a sentence is grammatically arranged words, especially with subject and predicate, that form a statement, question or request making a complete sense. Sentences may be divided into four major syntactic classes; they are statements, directives, exclamations and questions. Questions is sentences which by word order use of interrogative words (who, when, why, etc.) or intonations to request information or answer (Hornby, 1973:796). Question is also called interrogative sentence. In writing, interrogative sentences are always ended by a question mark (?). In classrooms, questions take an important part of teaching and learning process, by asking questions to students, the teacher may
162
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):158-169
ISSN 2087-9016
help the students to encourage their mental activities and also to attract their attention. Turner (in Surata, 1997:17) believe that through questions, teachers find out what the students know or think and how to stimulate them to think and help them the structure and change their thinking. In using questioning technique, the questions should not mainly come from the teacher him self, but students should be asked to make questions related to the passage being discussed. Penny Ur (1996:229) adds that the reason of questions in general as follows: (1) to provide a model for learning and thinking, (2) to find out something from learners (facts, ideas, opinions), (3) to check or test understanding, knowledge or skill, (4) to get learners to be active in their learning, (5) to direct attention to the topic being learned, (6) to inform the class via the answers of the stronger learner rather than through the teacher’s input, (7) to provide weaker learners with an opportunity to participate, (8) to stimulate thinking (logical, reflective or imaginative); to probe more deeply into issues, (9) to get learners to review and practice previously learnt material, (10) to encourage self expression, (11) to communicate to learner that the teacher is genuinely interested in what they think.
The Importance of Questioning Skills The questioning skills are very essential, especially in the process of teaching and learning. The good questions will be extremely useful to improve the participations of the students in teaching and learning process. Penny Ur (1988:34) states that there are several reasons for questioning: (1) To give the teacher information about where the students are at the moment to help what to teach next; (2) To give the students information about what they know, so that they also have an awareness of what they need to learn or review; (3) To assess for some purpose external to current teaching (a final grade for the course, selection); (4) To motivate the students to learn or review specific material; (5) To get noisy class to keep quite and concentrate; (6) To provide a clear indication that the class as reached a station in learning, such as the end of unit, the thus contributing to a sense of structure in the course as a whole; (7) To get a students make an effort, which is likely to a better result and a feeling satisfaction; (8) To give students task with them selves may
163
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):158-169
ISSN 2087-9016
actually provide the useful review or practice as well as testing; (9) To provide students which a sense of achievement and progress in their learning. In order to be successful in the teaching learning process, the competence in questioning is very important. Haysom (1974:42) says that questioning is not purely an intellectual activity there is an emotional element to it as well. Difficult questions can demoralize as well as challenge. Easy question can irritate as well as given a feeling of success. The effects of questions on the pupils are clearly important if the questions are to achieve the purpose of helping pupils to think. The teacher should plan questions carefully. Haysom (1974:42) further states that apart from asking questions stimulating the pupil to remember information, the teacher might prompt the pupils to solve problems, to make hypothesis, to design experimental procedure, to observe, to interpret, to draw references and so on. The questioning skills are not only for the teacher but also for the students. In order the teaching process runs well the students should be active. They are not just as listeners but they have to express their opinion or idea by asking some questions. To be good questioner the students should have good questioning skills. Therefore they have to know how to construct questions especially Information Questions or WH-Questions, for instance the students should ask some questions if they do not understand the teacher’ explanation. In this case, the questioning skills of the students are very useful.
Significance of the Study The results of the present study are expected to bear the following importance: 1. Theoretically, the finding of this study, which shows the degree of questioning and answering ability of the subject under study are expected to contribute further empirical evidences concerning the existing similar research finding which have revealed the important rule of grammatical competence, especially the important rules of constructing information question. 2. Practically, the finding of the study can give useful informative feedback to English teachers especially concerning their relative success and failure in
164
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):158-169
ISSN 2087-9016
teaching structures include information questions. Hopefully, the findings of the study could be used as the bases in planning better communicative language teaching in the future. This is important since a good English teacher should be ready and willing to learn from his previous success and failure. 3. The findings of the present investigation are further intended as informative feedback to the students of English. In this case they are certainly expected to be much inspired and motivated to acquire communicative skills in constructing and practicing information question.
RESEARCH METHOD The present investigation made use of an ex post facto research design with descriptive analysis. Kerlinger in Wiersma (1980:134) writes that an ex post facto is systematic empirical investigation in which the researcher cannot directly control or manipulate the confounding independent variables because the manifestations have already taken place before the study was conducted. This means that the investigated variable in this research, the questioning skills of the population that is the eleventh grade students of SMK Saraswati Denpasar has already occurred. In the sense that before the present study was undertaken, they have been learning and acquiring some basic grammatical rules or patterns of how to effectively construct and ask information question through classroom discourses or conversation outside the classroom. In the other word, this study did not intend to examine the extent of relationship between dependent and independent variables. Thus, this study simply investigates the questioning ability of the subject under study and the confounding independent variables were completely ignored.
RESULT AND DISCUSSION The results of the data analysis clearly showed that (1) there were only 5 students (12.50%) out of the investigated subject who showed excellent ability in asking information questions in English, (2) there were 11 students (27.50%) out of the investigated subject who showed good ability in asking information questions in English, (3) there were 13 students (32.50%) out of the investigated subject who
165
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):158-169
ISSN 2087-9016
showed sufficient ability in asking information questions in English, (4) there were 11 students (27.50%) out of the investigated subject who showed insufficient ability in asking information questions in English. If the result of the study were used as the bases to assign grade to the students under study, then there are 11 students out of 40 students who fail in the learning and acquiring information questions in English. This means that 27.50% of them still have low ability. The findings of the present investigation can be remarked as satisfactory. Although there are 11 students (27.5%) have low ability in constructing information questions in English and needs to be increased. These finding can be used as informative feedback in planning much better communicative language teaching in the future. In this case, the students should be given more chance to be active in the teaching learning process. They are encouraged to be able to make questions using the construction of information questions in order to gain certain information. This can be done in the conversation between the students and the teacher or among the students. So that they are forced to construct questions particularly information questions based on the given patterns. There are a lot of factors which might significantly affect the ability of the eleventh grade students of vocational high school SMK Saraswati Denpasar in constructing information questions in English. These factors are simply beyond the control of the present study. Some of the determinant factors affecting the students’ ability are the motivation of the students in learning English subject, their attitude towards the English subject, their aptitude in English, their linguistic environment and the qualification of the teachers. The teachers’ factors indeed play important roles in bringing the students towards the achievement of learning objectives, the ability in constructing information questions in English. The teachers’ qualification or competence in English is very important. As a matter of fact, the teachers are the most powerful and influential persons in the classroom. In other words qualified and skillful English teachers are certainly able to choose and manipulated different kinds of classroom techniques. The use of appropriate and conducive classroom techniques is promotion for the students in learning English. So the success or the failure of the students in constructing information questions depends on the above factors. Thus, we cannot only blame the English teachers. Since the present study is administered in
166
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):158-169
ISSN 2087-9016
the private vocational high school, the findings of the investigation are only for that school. It means that the result of the findings can not be generalized to other vocational school.
CONCLUSIONS The discussion throughout the present investigation can finally be concluded that the results of the data analysis using norm-references measure of five standard values clearly show that: (1) 5 subjects (12.5%) out of the whole subjects get excellent grade in constructing information questions in English, (2) 11 subjects (27.5%) out of the whole subjects get good grade in constructing information questions in English, (3) 13 subjects (32.5%) out of the whole subjects get sufficient grade in constructing information questions in English, (4) 11 subjects (27.5%) out of the whole subjects get insufficient grade in constructing information questions in English. These findings suggest that the degrees of the ability of the eleventh grade students of vocational high school SMK Saraswati Denpasar are good enough in constructing information in English. In this case, the researcher fully realized that there are inherently some factors which affect the ability of the students in constructing information questions in English which are simply beyond the control of the present study, such as the students’ motivation in learning English, their aptitude in English, their linguistic environments and also the qualification and the competence of the teacher in English. The findings of the present study can be used as bases in planning much better communicative language teaching especially in teaching information question (Whquestion) at SMK Saraswati Denpasar particularly in the future. By knowing the students’ ability in constructing information questions in English, the teacher can plan next lessons in two ways that is (1) remedial for the insufficient and poor grade students, (2) improvement for those who get excellent, good and sufficient grade.
SUGGESTION In reference to the findings of the present study then the researcher would like to suggest the following practical things:
167
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):158-169
ISSN 2087-9016
The English teachers at SMK Saraswati Denpasar are suggested to make better preparation in planning and teaching English in the future either in conversation, structure as well as in reading comprehension. In this case the teacher should give more attention to the use of questions. The English teachers are suggested to be much more concerned in teaching questions especially to construct information questions which are very important in conversation. The teachers should teach beginning the affirmative sentence, yes-no questions and Wh-questions. Then the sentence especially Wh-questions are used in guidance and free conversation, in interviews and in reading comprehension. The English teachers are recommended to be more active and creative in implementing and experimenting different technique of language teaching depending on the particular classroom situations, atmosphere and conditions, so it is expected that the attention and the motivation of the students in learning English can be increased especially for those who get insufficient and poor grade.
168
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):158-169
ISSN 2087-9016
REFERENCES Azar Betty Schampfer. 1992. Fundamental of English Grammar. New Jersey 07632, Regents / Prentice Hall A Devision of Simon and Schuster Englewood: Longman Group Ltd. Bloom, Benjamin. 1979. Taxonomy of Educational Objective, Handbook II cognitive Domain. London: Longman Group Ltd. Heaton, J.B. 1988. Writing English Language Test, A Practical Guide for Teacher of English as a Second Language. London: Longman Group Limited. Hornby, A.S. 1975. Guide to Pattern and Usage in English. London: Oxford University Press. Kerlinger, L. 1974. Paper in Interlanguage: Occasional Paper. Singapore: SEAMEO Regional Language Sentence. Nunan, David. 1992. Research Method in Language Learning. USA: Cambridge University Press. Palmer, F.R. 1994. Grammatical Roles and Relations. Cambridge: Cambridge University Press.
169
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):170-178
ISSN 2087-9016
PENGAJARAN “ENGLISH FOR GUIDING” BERBASIS PENDEKATAN SOSIOKULTURAL
I Nengah Astawa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unmas Denpasar
ABSTRACT Teaching English for specific purposes (ESP), which is in contrast with English for Academic purposes (EAP), has gained specially great attention since 1960’s. One of the examples of ESP is English for guiding. The main purpose of implementing English for tourism in some schools or collages is to give the students ability to communicate mainly orally so as to be able to fulfil the student’s need for his or her future career . In reality very often cultural misunderstandings which may produce fatal consequences emerge among those who are involved in tourism industry. Due to this circumstance, inserting sosiocultural aspects in the teacher’s language teaching interaction is indeed beneficial. In this case, the role of the teacher to include some cultural aspects in language teaching, beside giving formal grammatical language forms, of course is highly worth considering. Teaching English for tourism industry is not regarded appropriate yet if sosio-cultural aspects are not adequately included. In other words, beside teaching the language forms, English teacher should incorporate sosio-cultural aspects into his/her interaction. Keywords : English for guiding, sosiokultural, kesenjangan budaya, multikultural.
PENDAHULUAN Kurikulum di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unmas Denpasar memberikan mata kuliah yang disebut dengan bahasa Inggris
untuk para
pemandu wisata (English for tour guide) sebagai mata kuliah pilihan dan juga bahasa Inggris untuk hotel dan restoran. Tujuan mata kuliah “English for Guiding” adalah memberikan kompetensi kepada mahasiswa agar
setelah
menamatkan studinya di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unmas Denpasar mampu menggunakan bahasa Inggris untuk keperluan kerja di dunia pariwisata khususnya dalam memandu wisatawan mancanegara mengingat peluang untuk bekerja di sektor pariwisata masih sangat menjanjikan. Pengajaran bahasa Inggris untuk keperluan khusus (English for Specific Purposes)
menjadi sangat penting dalam pengajaran bahasa Inggris sejak
170
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):170-178
ISSN 2087-9016
dicetuskan pada akhir tahun 1960-an (Tom Hutchingson and Alan Waters, 1987). Jenis pengajaran bahasa asing untuk tujuan khusus tersebut bisa dibagi dua, yaitu yang pertama diistilahkan dengan “English for Academic Purposes” (EAP), yaitu bahasa Inggris untuk keperluan akademis, dan yang kedua
dengan istilah
“English for Vocational Purposes (EVP)”, yaitu bahasa Inggris yang berkaitan langsung dengan karier atau keperluan pekerjaan (job) (English Teaching Forum XXII, 1974:24). Sejumlah penyusun silabus bahasa Inggris untuk tujuan khusus telah bermunculan seiring dengan semakin larisnya buku-buku seperti itu di pasaran. Masalahnya sekarang adalah bagaimana agar pengajaran bahasa Inggris mampu membuat mahasiswa berkomunikasi secara lisan dengan baik dan benar seperti harapan yang telah disusun dalam kurikulum atau silabus. Sebab, kalau pengajaran bahasa hanya menekankan pada bentuk-bentuk formal kebahasaan, jelas akan ada sesuatu yang kurang untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu tidak tersentuhnya aspek sosio-kultural. Maka dari itu, pengajaran bahasa Inggris untuk keperluan industri pariwisata di Indonesia tidak boleh mengesampingkan aspek sosio-kulturalnya agar kesenjangan budaya yang bisa menimbulkan salah tafsir atau salah pengertian pada saat berinteraksi bisa dikurangi.
MENYIKAPI PENGAJARAN “ENGLISH FOR GUIDING” PENDEKATAN SOSIOKULTURAL
BERBASIS
Para penyusun silabus pengajaran bahasa Inggris untuk keperluan industri pariwisata (diantaranya English for Guiding) cenderung menginginkan peserta didiknya atau lulusannya (out put) mampu berkomunikasi secara lisan maupun tulisan dengan baik dan benar. Untuk mencapai sasaran itu, tugas utama para guru atau dosen bukan saja memberikan bentuk-bentuk formal kebahasaan tetapi juga memberikan pengetahuan tentang aspek-aspek sosiokultural. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Stern (1983) bahwa pemahaman budaya dan horizon perbandingan antarbudaya adalah salah satu komponen yang sangat perlu dalam pengajaran bahasa, terlebih lagi pengajaran bahasa asing. Dikatakan oleh Chamberlain (2005) bahwa budaya merujuk pada nilainilai, norma, dan tradisi yang mempengaruhi individu dari kelompok masyarakat 171
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):170-178
ISSN 2087-9016
untuk bertindak, berpikir, bereaksi, bertingkah laku dan membuat keputusan tentang dunia mereka. Sudah menjadi pemandangan yang lumrah seorang pelajar bahasa asing yang tidak memiliki cukup pengetahuan dan latar belakang budaya masyarakat yang bahasanya sedang dipelajari ada kecenderungan memakai norma sosial atau budayanya sendiri sehingga tidak jarang terjadi ketersinggungan atau pesan yang ingin disampaikan tidak mengenai sasaran seperti yang diinginkan. Kita ambil saja contoh kesalahan penerapan budaya yang sering kita lihat di Bali dan penulis yakin juga terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia. Misalnya, bagaimana seseorang menyapa wisatawan asing dengan “Hello, Mister. Where are you going?” ( Hai, Tuan. Kemana Anda pergi?). Semestinya dia menyapa dengan “Good morning” atau “Hello” saja (selamat pagi atau hai). Dengan sapaan “selamat pagi” atau “hai” sudah cukup dianggap sopan dan wajar. Bagi orang barat, pemakaian sapaan “Hai, tuan, Anda mau kemana” terdapat setidaknya tiga kesalahan dari tinjauan sosiokultural (Mashadi Said, Jane Fowles,1991: 1). Yang pertama, penggunaan intonasi atau suara yang biasanya agak berteriak keras, padahal seharusnya hanya menggunakan intonasi yang datar saja. Yang kedua, penggunaan kata sapaan “mister”. Penggunaan kata “mister” tidak pada tempatnya. Dan (Where are you going)
yang ketiga, menanyakan “Kemana anda pergi”
dianggap bersifat terlalu pribadi yang tidak perlu
ditanyakan atau tidak perlu diketahui oleh orang lain yang bukan teman dekatnya dan tidak punya urusan dengannya. Ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Hymes (1972) bahwa kompetensi komunikatif menuntut pengetahuan tidak hanya kode-kode bahasa dan bentuk-bentuk formal bahasa, namun juga sangat perlu memperhatikan aspek pragmatiknya: “apa” yang ingin disampaikan kepada “siapa” dan bagaimana cara untuk menyampaikannya dengan tepat dalam situasi tertentu agar apa yang ingin disampaikan mencapai sasaran yang tepat. Implikasi dari apa yang dikatakan oleh Hymes menyaran pada pentingnya pemahaman akan aspek-aspek sosiokultural yang mesti menjadi perhatian si pembicara dalam berinteraksi. Pengetahuan sosiokultural ini memungkinkan si pembicara menggunakan dan menafsirkan bentuk-bentuk atau ungkapan-
172
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):170-178
ISSN 2087-9016
ungkapan bahasa yang semestinya digunakan. Ini juga menyaran pada siapa yang patut dan tidak patut untuk berbicara pada latar (setting) tertentu, kapan harus berbicara dan kapan harus diam, bagaimana harus berbicara pada orang yang mempunyai status sosial atau peran-peran tertentu dalam masyarakat. Lin (2010) mengatakan bahwa kompetensi komunikatif dibagi dalam dua kategori yaitu kompetensi organisasi yang menyangkut gramatikal dan discourse atau wacana (tekstual) serta kompetensi pragmatik yang menyangkut kompetensi sosiolinguistik dan kompetensi illocutionary atau strategi pemakai bahasa. Kompetensi strategi dikaitkan dengan kemampuan si pemakai bahasa dalam memilih dan menggunakan strategi komunikasi. Hal ini juga disitir oleh Richard (1985) yang mengatakan bahwa kompetensi komunikatif adalah kemampuan yang tidak saja hanya mengacu pada penggunaan
atau
penerapan
bentuk-bentuk
gramatikal
bahasa
yang
memungkinkan seseorang untuk menyusun kalimat-kalimat yang baik dan benar, tetapi juga sangat perlu mengetahui kapan dan di mana kalimat-kalimat tersebut digunakan dan untuk siapa kalimat-kalimat itu digunakan. Seperti dikatakan oleh Littlewood bahwa salah satu ciri khas utama pengajaran bahasa komunikatif adalah pemberian perhatian sistematis terhadap aspek-aspek fungsional dan struktural bahasa (Littlewood dalam Chaedar Alwasilah, A dkk, 1996) Dengan demikian, penggunaan bahasa yang sesuai dan tepat untuk mencapai tujuan tertentu adalah hal yang sangat krusial untuk direnungkan, dipertimbangkan oleh
pembicara dalam berinteraksi. Bilamana penggunaan
ungkapan-ungkapan kebahasaan tidak sesuai, di sinilah kemungkinan besar akan terjadi
ketersinggungan-ketersinggungan,
atau
mungkin
juga
apa
yang
disampaikan terkesan lucu, aneh, kasar, walaupun pembicara telah menggunakan bahasa yang secara idiomatik baik. Hal inilah yang sangat perlu diberikan kepada mahasiswa agar nantinya mereka mempunyai pemahaman yang benar akan perbedaan budaya dengan wisatawan yang nantinya mereka tangani.
173
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):170-178
ISSN 2087-9016
SEKILAS PERBEDAAN BUDAYA ANTARA MASYARAKAT INGGRIS (BUDAYA BARAT) DAN INDONESIA Bila tujuan utama pengajaran bahasa Inggris untuk industri pariwisata (English for guiding) adalah mempersiapkan siswa/mahasiswa berkomunikasi
agar mampu
secara lisan, guru/dosen bahasa Inggris atau bahasa asing
pariwisata dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang perbedaan-berbedaan budaya kedua masyarakat yang bahasanya dipelajari, karena antara budaya barat (misalnya : Inggris, America dan sebagainya ) dan Indonesia terdapat perbedaan yang perlu untuk mendapat perhatian khusus. Beberapa contoh perbedaan budaya kedua masyarakat, adalah pada contoh di bawah ini. Pada masyarakat etnis Bali dan juga beberapa etnis lain di Indonesia, ketika menunjuk sesuatu atau memberikan sesuatu kepada seseorang apalagi kepada orang yang lebih tua dengan menggunakan tangan kiri dianggap sangat tidak sopan. Sedangkan bagi masyarakat Inggris, Amerika dan negara-negara barat lainnya menunjuk atau memberikan sesuatu dengan tangan kiri adalah biasa biasa saja dan sudah lumrah, tidak menimbulkan ketersinggungan sama sekali pada masyarakat mereka. Contoh yang lain, bagi orang Bali, memegang kepala orang lain tanpa permisi dianggap suatu perbuatan yang sangat tidak sopan. Pemandangan seperti ini sering penulis lihat pada waktu masih menjadi pemandu wisata di Denpasar Bali, di mana seorang wisatawan (tourist) memegang atau malah menggosokgosok kepala pemandu wisatanya. Bagi orang Inggris, Australia, Amerika dan lain-lain, memegang kepala orang lain, tentunya yang mereka kenal, merupakan wujud ekspresi keakraban. Bagi pemandu wisata yang tidak memahami budaya mereka sangatlah mungkin menimbulkan ketersinggungan yang luar biasa, lebihlebih lagi yang dipegang adalah kepala orang yang mempunyai status sosial lebih tinggi, seperti kaum brahmana atau kaum yang mempunyai darah biru. Contoh yang ketiga, bagi orang Indonesia bergotong royong atau saling membantu sangat penting dan
sudah merupakan budaya
yang patut untuk
dikembangkan. Maka dari itu, pada budaya Indonesia, menawarkan bantuan kepada orang lain bila situasi menghendaki demikian adalah sangat lumrah dan malah bagus sekali dan sangat dianjurkan dalam etika pergaulan di masyarakat 174
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):170-178
ISSN 2087-9016
kita di Indonesia. Sebaliknya, bagi orang barat, sudah terbiasa dengan kehidupan yang individualistis, berpikir dan bertindak sendiri atau dengan kelompoknya saja. Bagi mereka yang sudah terbiasa hidup individualistis, penawaran atau uluran akan bantuan dari orang lain
sering dianggap sebagai gangguan terhadap
kehidupan pribadinya (privacy), dan bagi mereka dianggap kurang tepat. Ada cerita dari seorang mahasiswa Indonesia yang belajar di Amerika, secara kebetulan bertemu dengan seseorang yang invalid (cacat) sedang duduk di kursi roda di jalan raya yang ingin menyeberang jalan. Naluri budaya Indonesia seketika muncul dan mencoba untuk mengulurkan bantuan dengan mengatakan :” Bisa saya bantu, Pak” (Can I help you, sir). Alangkah terkejutnya dia mendengar reaksi orang yang sedang di kursi roda yang hendak ditolongnya dengan respon sangat negatif dan kemudian terus pergi dengan muka sinis. Di sini jelas terjadi kesenjangan pemahaman budaya antara dua insan yang berbeda latar sosial budaya: budaya Amerika dan Indonesia.
MENGUSAHAKAN KEWAJARAN (APPROPRIACY) Kalau kompetensi komunikatif sudah menjadi komitmen dan telah diputuskan sebagai tujuan dari kurikulum yang menginginkan siswa/mahasiswa agar mampu berkomunikasi dengan wajar dan sukses, maka merupakan suatu keharusan bagi guru/dosen untuk memasukkan aspek-aspek sosiokultural dalam proses belajar mengajarnya (PBM) sebagai sesuatu yang wajib yang sering disebut dengan istilah “kesesuaian dalam materi” (appropriacy in the materials) (Mashadi, Jane power, 1991). Pengajaran tentang aspek-aspek sosiokultural sebaiknya diintegrasikan dengan pengajaran grammar (tata bahasa), kosa kata dan skill atau keterampilan lainnya. Kalau ini tidak dilakukan, para siswa/ mahasiswa tidak akan sampai pada sasaran utamanya, yaitu penguasaan bahasa yang berhasil dan tepat guna. Melalui penerapan bentuk-bentuk bahasa dalam pengajaran, guru/dosen dituntut untuk berusaha menyadarkan siswa/ mahasiswa akan pentingnya isu/wacana yang sedang dipelajari, di samping tentunya juga tentang sikap atau kebiasaankebiasaan sosial masyarakat yang bersangkutan yang bahasanya sedang dipelajari. Hal ini dapat membantu mereka untuk memahami perbedaan-perbedaan budaya
175
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):170-178
dan
pada
akhirnya
diharapkan
dapat
ISSN 2087-9016
menghilangkan
atau
setidaknya
meminimalkan antipati terhadap budaya-budaya lain yang memang berbeda. Masalahnya sekarang menyusun materi pengajaran dengan berbasiskan aspek-aspek budaya seperti tersebut di atas tidaklah gampang, terutama bagi mereka yang tidak pernah bersentuhan langsung dengan budaya masyarakat yang bahasanya sedang dipelajari. Lebih ironis lagi, materi-materi yang siap saji sangat sulit untuk didapatkan sampai sekarang. Materi yang bagaimana sebaiknya dipersiapkan bagi mereka yang akan ke luar negeri. Namun yang paling kita butuhkan
sekarang
adalah
materi-materi
yang
urgen
dibutuhkan
oleh
siswa/mahasiswa dalam mengantisipasi dan menangani kedatangan wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia. Realitas menunjukkan bahwa kebanyakan orang-orang yang bergelut dan terlibat langsung di sektor pariwisata masih banyak yang belum mengenyam pendidikan tinggi. Dengan demikian, sangatlah perlu memilih pendekatan yang praktis, pragmatis yang mengarah pada kemampuan dan keperluan langsung para siswa/mahasiswa. Dalam hal ini menurut penulis, dalam mengimplementasikan materi pengajaran, penggunaan lebih banyak permainan atau bermain peran (role play), simulasi, bermain drama, dan juga aktifitas komunikatif berpasangpasangan sangatlah efektif untuk diterapkan. Pengajaran sebaiknya bersifat situasional fungsional. Akan lebih baik lagi jika guru/dosen bisa merancang materi-materi yang bermuatan sosiokultural yang dirancang dengan baik melalui cuplikan-cuplikan video. Aktifitas ini sangatlah mendukung kegiatan proses belajar-mengajar bahasa asing berbasiskan pendekatan sosiokultural. Sebagai contoh, misalnya, sebuah cuplikan film yang memperlihatkan adegan di mana wisatawan disapa oleh orang lokal di suatu tempat di Indonesia dengan mengatakan: ”Hello, Mister. Where are you going”. Diperlihatkan juga bagaimana reaksi wisatawan dengan sapaan seperti itu. Ini salah satu contoh materi sederhana yang sangat efektif disuguhkan kepada siswa/mahasiswa. Contoh-contoh seperti itu bisa
diproduksi sendiri oleh para dosen, tentunya
dengan bantuan dana dari lembaga akan sangat bagus.
176
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):170-178
ISSN 2087-9016
PERAN DOSEN PENGAJAR BAHASA INGGRIS KHUSUS (ESP) Di sini peran dosen yang memiliki horizon pengetahuan yang komprehensif akan budaya-budaya barat sangat diperlukan, lebih menguntungkan lagi kalau yang pernah tinggal dan bersentuhan langsung dengan budaya barat. Kondisi itu sangatlah menguntungkan dan bisa membantu mahasiswa karena mereka dapat belajar dari pengalaman
guru/dosen karena mahasiswa pada
umumnya jarang bersentuhan secara langsung dengan bahasa dan budaya barat. Persepsi mereka yang salah akan budaya barat bisa jadi menimbulkan kejengkelan, ketersinggungan terhadap orang barat. Kesalahan persepsi ini mungkin disebabkan oleh kurangnya kesempatan kontak langsung mahasiswa terhadap bahasa dan budaya barat atau mungkin informasi itu diperoleh dari sumber-sumber kedua yang sering kali menyesatkan. Idealnya seperti dikatakan oleh Kutchinson dan Waters (1987:157) bahwa dosen ESP harus berusaha untuk melakukan analisis keperluan mahasiswa, merancang silabus, kemudian membuat materi pengajaran sesuai dengan keperluan, serta tentunya mengadakan evaluasi terhadap apa yang telah dibuatnya. Lebih lanjut dikatakan oleh
Littlewood (1985:1), bahwa metode dan
teknik pengajaran dosen sering tidak berhasil mencapai pengajaran yang efektif, meskipun secara teori metode dan teknik tersebut tampaknya sudah sangat baik. Untuk mengatasi hal tersebut tidak boleh tidak dosen harus memahami dan mempelajari secara mendalam akan karakteristik mahasiswanya. Konsekuensinya,
dosen
dalam
menyusun
silabus
atau
materi
pengajarannya dituntut untuk jeli memahami, mencermati kebutuhan mahasiswa. Karena silabus yang disusun berkaitan dengan bahasa Inggris (English for Guiding) sudah tentu juga harus mencermati kesenjangan budaya antara budaya barat dan budaya lokal yang dimiliki mahasiswa di samping bentuk-bentuk bahasa yang menjadi sasaran utamanya. Ini bisa dilakukan kepada mahasiswa dengan memberikan informasi yang akurat yang dapat menantang mereka agar melakukan reorientasi berpikir tentang asumsi-asumsi yang mungkin terlanjur salah.
177
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):170-178
ISSN 2087-9016
SIMPULAN Industri pariwisata di Indonesia tidak henti-hentinya dipromosikan melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik, karena industri yang satu ini mampu menyerap tenaga kerja yang sangat banyak. Dalam kenyataannya, salah pengertian antara para pelaku pariwisata dengan wisatawan tidak bisa dihindari sebagai dampak dari persinggungan multi budaya dalam masyarakat yang multikultural.
Menyadari hal ini, tidak bisa
ditawar lagi, kita semua sebagai komponen anak bangsa harus mengambil tindakan yang konkret dalam mengantisipasi isu perbedaan budaya tersebut. Salah satu wujud konkret tersebut adalah melalui pendidikan baik pendidikan formal, nonformal maupun informal. Pengajaran bahasa Inggris Pariwisata (English for Guiding)
yang
berbasiskan pendekatan sosiokultural adalah salah satu jawaban dari isu tersebut sehingga kesalahpahaman karena masalah kesenjangan budaya (cultural gap), syak wasangka dan antipati karena perbedaan budaya
bisa dihilangkan atau
setidaknya diminimalkan, sehingga pembangunan sektor pariwisata yang menjadi tumpuan harapan sebagian masyarakat Indonesia bisa berjalan seperti yang diharapkan. Semoga!
DAFTAR PUSTAKA Azies, Furqanul, Chaedar Alwasilah, A. 1996. Pengajaran Bahasa Komunikatif, Teori dan Praktek. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya. English Teaching Forum, Volume XXII, Number 2, 1979. Hutchison, Tom and Alan Water. 1987. English for Specific Purposes. Cambridge : Cambridge University Press. Hymes. D.H. 1972. “On Communicative Competence, In J.B. Pride and J. Holmes (Eds). Sociolinguistics”. Harmondsworth : Pinguin Books. Littlewood,W., 1985. Foreign and Second Language Learning. Cambridge: Cambridge University Press. Richard, Jack C, 1985. The Context of Language Teaching. Cambridge:Cambridge University Press. Said, Mashadi, Jane Fowles.1991.”Toward A Cultural-Based Approach to Teaching EFT in Indonesia” , Makalah Seminar Teflin. Stern, H.H. 1983. Fundamental Concept of Language Teaching. London: Oxford University Press.
178
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):170-178
ISSN 2087-9016
DAFTAR KEPUSTAKAAN Alessandro Duranti. 1997. Linguistic Anthropology. United Kingdom : Cambridge University Press.
179
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):170-178
ISSN 2087-9016
Blundel, John, Jonathan Higgins and Nigel Middlemiss. 1982. Function in English. New York : Oxford University Press. Brumfit, C.J. and K.Johnson. 1983. The Communicative Approach to Language Teaching. New York : Oxford University Press. Dardjowidjoyo, Soejono. 1989. Sentence Patterns on Indonesian. University of Hawaii Press, Honolulu. Dubin, Fraida and Olahtain Elito. 1986. Course Design : Developing Programme and Materials for Languge
Learning. Cambridge:
Cambride University Press. Hutchison, Tom and Alan Water. 1987. English for Specific Purposes. Cambridge : Cambridge University Press. Hymes. D.H. 1972. “On Communicative Competence, In J.B. Pride and J. Holmes (Eds). Sociolinguistics”. Harmondsworth : Pinguin Books. Lin, G.H.2007. A case Study about Seven Taiwanese English as a Foreign Language Freshmen Majors’ Perception about Learning Five Communication
Strategies,
Bacon
Ratan
Florida
:
Dissertation.co.Publishing ISBN Number . 158112374-4 Lin, G.H.2010. Book review of Strategies in Interlanguage Communication, C.Faerach and G. Kasper. (eds) new York : Longman. Mashadi Said, Jane Fowles.1991.”Toward A Cultural-Based Approach to Teaching EFT in Indonesia” , Makalah Seminar Teflin di Mataram. Stern, H.H. 1983. Fundamental Concept of Language Teaching. London: Oxford University Press.
==========
180
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):188-203
ISSN 2087-9016
ANALISIS PERTANYAAN GURU DALAM INTERAKSI BELAJAR-MENGAJAR BAHASA INDONESIA PADA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI 7 SUSUT, BANGLI TAHUN PELAJARAN 2007/2008 I Nyoman Diarta Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRACT Teachers who do not have the skills in asking questions, who do not develop an attitude like to ask question, and who do not ask questions when carrying out the teaching-learning process, will get difficulty in directing the process of student learning. To improve the quality of the questions in the process of teaching and learning Indonesian language in elementary school is required data and information through scientific research. Therefore, this study was conducted to assess the problem as follows: (1) the type of teacher questions in the interaction of teaching and learning the Indonesian language, (2) the cognitive level of teacher questions in the interaction of teaching and learning the Indonesian language, and (3) functions of teacher questions in the interaction of teaching and learning Indonesian language. To achieve this goal, this study uses a qualitative descriptive design. It is assigned one teacher to teach Indonesian language to fifth grade students of SD Negeri 1 Susut, Bangli. The research data collected by observation method (aided by the recording process of teaching and learning) and interview. Data analysis is done with a series of processes, namely data reduction, data presentation, and drawing conclusions. The results of this study reveal that the teacher ask questions in the teachinglearning interaction. In terms of type, the type of narrow questions as many as 62 questions = 62.62% and the type of broad questions as much as 37 questions = 37.37%. In terms of cognitive level, the knowledge questions as much as 40 questions = 43.01% , the understanding questions as much as 42 questions = 45.16%, the application questions as much as 2 questions = 2.15% , the analysis questions as much as 1 question = 1.07%, synthesis question as much as 4 questions = 4, 30%, evaluation question as much as 4 questions= 4.30%. In terms of the function, the teacher’s question is inappropriate with the function of the question in teachinglearning process. Keywords : teacher’s question, teaching-learning interaction, the type of questions, cognitive level questions, and the function of the question.
188
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):188-203
ISSN 2087-9016
PENDAHULUAN Latar Belakang Sulo, dkk. (1980:49) mengemukakan bahwa dalam melaksanakan proses belajar-mengajar, guru menggunakan tanya-jawab sebagai salah satu cara berkomunikasi dengan siswa. Pertanyaan-pertanyaan yang tersusun dengan baik dan dilontarkan dengan cara yang tepat akan: (1) meningkatkan partisipasi siswa dalam proses belajar-mengajar, (2) membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap suatu masalah yang sedang dibicarakan, (3) mengembangkan cara berpikir dan cara belajar aktif dari siswa, sebab berpikir itu sesungguhnya adalah bertanya, (4) menuntun proses berpikir murid, sebab pertanyaan yang baik akan membantu murid agar dapat menemukan jawaban1 yang baik, dan (5) memusatkan perhatian murid terhadap masalah yang sedang dibahas. Oleh sebab itu, keterampilan serta kelancaran bertanya guru perlu ditingkatkan, baik pada aspek isi maupun pada aspek teknik bertanya. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan guru yang mengajar di kelas V Sekolah Dasar Negeri No 7 Susut, Bangli pada observasi awal, ternyata guru tidak melakukan perencanaan dari awal mengenai pertanyaan yang diajukan dalam interaksi belajar-mengajar bahasa Indonesia. Guru mengajukan pertanyaan secara spontan sesuai dengan situasi dan kondisi belajar-mengajar pada saat itu. Pertanyaan yang diajukan oleh guru kepada siswa dalam interaksi belajar-mengajar bahasa Indonesia lebih banyak untuk memotivasi dan mengecek pemahaman siswa mengenai materi yang diajarkan. Berdasarkan latar belakang masalah, di atas, berikut ini dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut. 1) Bagaimanakah tipe pertanyaan guru dalam interaksi belajar-mengajar Bahasa Indonesia pada siswa kelas V SD Negeri No 7 Susut, Bangli? 2) Bagaimanakah tingkatan kognitif pertanyaan guru dalam interaksi belajarmengajar bahasa Indonesia pada siswa kelas V SD Negeri No 7 Susut, Bangli?
189
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):188-203
ISSN 2087-9016
3) Apakah fungsi pertanyaan guru dalam interaksi belajar –mengajar bahasa Indonesia pada siswa kelas V SD Negeri No 7 Susut, Banggli? Sesuai dengan rumusan masalah yang sudah dipaparkan di atas, berikut ini dapat dikemukakakan tujuan penelitian sebagai berikut. 1) Untuk mendeskripsikan dan menganalisis tipe pertanyaan guru dalam interakasi belajar-mengajar bahasa Indonesia pada siswa kelas V di SD Negeri No 7 Susut, Bangli, 2) Untuk
mengklasifikasikan tingkatan kognitif pertanyaan guru dalam
interaksi belajar-mengajar bahasa Indonesia pada siswa kelas V di SD Negeri No 7 Susut, Bangli, 3) Untuk mendeskripsikan fungsi pertanyaan guru dalam interaksi belajarmengajar bahasa Indonesia pada siswa kelas V SD Negeri No 7 Susut, Bangli.
LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori 1. Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi siswa baik lisan maupun tertulis. Pembelajaran bahasa di sekolah dasar juga diarahkan untuk mempertajam kepekaan siswa terhadap segala peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Siswa tidak hanya diharapkan mampu memahami informasi yang disampaikan secara lugas atau secara langsung, melainkan juga yang disampaikan secara terselubung atau tidak langsung. (Depdikbud,1991:12-15).
2. Konsep Pertanyaan Secara sintaksis, pertanyaan diartikan sebagai kalimat tanya yang memiliki salah satu atau beberapa ciri berikut: (1) memiliki distribusi tanya yakni diikuti dengan ujaran yang lazim disebut dengan jawaban, (2) memiliki struktur sintaksis kalimat tanya, menggunakan kata tanya, partikel tanya atau pembalikan urutan, (3)
190
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):188-203
ISSN 2087-9016
memiliki intonasi tanya, dan (4) memiliki ekspresi (gesture) tanya, yaitu gerak pisik atau isyarat yang menunjukkan pertanyaan.(Rofi’ uddin,1990:52).
3. Tipe Pertanyaan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Sehubungan dengan penelitian ini, klasifikasi tipe pertanyaan yang digunakan sebagai pegangan dalam menganalisis data adalah tipe pertanyaan sempit dan tipe pertanyaan luas menurut Richey. Tipe pertanyaan sempit, yakni tipe pertanyaan yang dapat dijawab dengan satu jawaban yang benar. Kemungkinan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban sangat terbatas. Sebaliknya, tipe pertanyaan luas, yakni tipe pertanyaan yang memberikan kesempatan yang lebih luas bagi lahirnya responsrespons alternatif sebagai jawaban yang dapat diterima.
4. Fungsi Pertanyaan Guru dalam Interaksi Belajar-Mengajar Bahasa Indonesia Masnur, M. dkk. (1987:133-134) mengemukakan bahwa berdasarkan fungsinya, pertanyaan dapat dibedakan atas: (1) pertanyaan mengarahkan, yakni suatu pertanyaan yang diajukan oleh guru kepada siswa untuk memberikan arah dalam proses berpikir sehingga murid dapat menemukan inti permasalahannya, (2) pertanyaan menggali, yakni pertanyaan lanjutan yang akan mendorong siswa untuk lebih mendalami gagasan pokok yang terdapat dalam pertanyaan semula. (3) pertanyaan memancing, yakni pertanyaan yang pada hakikatnya merupakan versi lain dari pertanyaan mengarahkan dan pertanyaan menggali, karena di dalamnya terdapat unsur-unsur mengarahkan dan menggali pendapat siswa yang bertujuan untuk memancing ide-ide siswa secara original.
5. Taksonomi Tujuan Pendidikan Benjamin S. Bloom Benjamin S. Bloom dan kawan-kawannya itu berpendapat bahwa taksonomi (pengelompokan) itu harus senantiasa mengacu kepada tiga jenis domain (= daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu: (1) ranah proses berpikir (cognitive domain), (2) ranah nilai atau sikap (affective domain), dan (3) ranah keterampilan (psychomotor domain). Dalam penelitian ini ranah yang akan
191
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):188-203
ISSN 2087-9016
diteliti hanya terbatas pada ranah kognitif. Oleh karena itu, pembahasan secara teoretis akan dibatasi pada ranah kognitif saja. Berdasarkan tingkatan kognitif pertanyaan yang dikemukakan oleh Benjamin S Bloom dapat dibedakan menjadi (1) pertanyaan pengetahuan adalah pertanyaan yang menuntut siswa untuk menyebutkan kembali informasi sesuai dengan yang diberikan dalam proses belajar-mengajar, (2) pertanyaan pemahaman adalah pertanyaan yang menuntut siswa untuk membuktikan bahwa mereka telah mempunyai pengetahuan yang cukup untuk mengorganisasikan dan menyusun materi yang sudah diketahui secara mantap, (3) pertanyaan aplikasi adalah pertanyaan yang meminta siswa dapat menerapkan informasi-informasi yang telah dipelajari agar dapat memecahkan suatu masalah, (4) pertanyaan analisis adalah pertanyaan yang menuntut siswa mampu, (a) mengidentifikasi motif, alasan-alasan dan sebab-sebab suatu masalah, (b) mempertimbangkan dan menganalisis informasiinformasi agar memperoleh suatu simpulan dan generalisasi berdasarkan informasi sebelumnya, (c) menganalisis suatu simpulan untuk menemukan kejadian-kejadian yang dapat mendukung atau menolak simpulan, (5) pertanyaan sintesis adalah pertanyaan yang menuntut siswa untuk mampu menyusun suatu pemikiran mandiri dan kreatif, (6) pertanyaan evaluasi adalah pertanyaan yang tidak memiliki jawaban yang mutlak dan tidak mempunyai jawaban tunggal. Berdasarkan tinggi rendahnya kualitas pertanyaan Bloom mengklasivikasikan keenam pertanyaan tersebut menjadi dua kelompok yaitu pertanyaan yang tergolong berpikir tingkat rendah adalah pertanyaan pengetahuan, pemahaman dan aplikasi. Sebaliknya pertanyaan-pertanyaan yang tergolong berpikir tingkat tinggi adalah pertanyaan analisis, sintesis dan evaluatif.
Kajian Pustaka Penelitian yang dilakukan oleh Gosong (1998) menekankan pada periode dan dasar pertimbangan guru mengajukan pertanyaan pada periode itu, tipe pertanyaan dan dasar pertimbangan guru memilih tipe tersebut, apakah pertanyaan yang diajukan oleh guru mampu mewujudkan interaksi yang optimal, dan apakah pertanyaan yang diajukan oleh guru dirasakan oleh siswa sebagai hal yang membantu proses pemahaman mereka atas isi bacaan. Penelitian ini dirancang dengan penelitian
192
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):188-203
ISSN 2087-9016
kualitatif deskriptif. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah observasi dan rekaman. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa, dari segi bentuk pertanyaan yang disajikan oleh guru menggunakan kata tanya, siapa, apa, kapan, di mana, berapa, mana, yang mana. Guru juga mengajukan pertanyaan yang dijawab dengan ya atau tidak. Dari segi jenjang pemahaman, pertanyaan yang diajukan oleh guru terdiri atas jenjang pemahaman literal, inferensial, dan evaluatif. Dalam tataran peningkatan pemahaman siswa, pertanyaan yang diajukan oleh guru dimaksudkan untuk bahan apersepsi, mengecek pemahaman siswa, memperluas pengetahuan siswa.
RANCANGAN PENELITIAN Untuk mencapai tujuan penelitian seperti yang disebutkan di atas, rancangan penelitian ini menggunakan disain kualitatif. Disain ini dipilih karena cocok dengan karakteristik masalah penelitian yakni pertanyaan guru dalam interaksi belajarmengajar yang sedang berlangsung secara alamiah di dalam kelas. Pemilihan disain ini sesuai pula dengan hakikat penelitian kualitatif yang dikemukakan oleh Bogdan dan Biklen (dalam Gosong,1998:85), yang mengatakan bahwa penelitian kualitatif mempunyai ciri latar yang alamiah. Latar yang alamiah ini merupakan sumber langsung data penelitian. Selain sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian ini, pemilihan disain kualitatif juga sesuai dengan klasifikasi penelitian ini yang tergolong ke dalam penelitian studi kasus pengamatan (observational case study). Dalam jenis penelitian seperti ini, fokus penelitian tertuju kepada observasi atas organisasi (seperti sekolah) atau bagian dari organisasi tersebut (misalnya kelas). Fokus utama penelitian ini adalah sekelompok individu yang berinteraksi dalam periode waktu tertentu (Brog dan Gall dalam Gosong,1983: 489). Dalam penelitian ini, fokus observasi ditujukan kepada pertanyaan yang diajukan oleh guru kepada siswa dalam interaksi belajarmengajar bahasa Indonesia di kelas. Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah guru yang mengajar di kelas V Sekolah Dasar Negeri No. 7 Susut, Bangli tahun pelajaran 2007/2008. Objek penelitian ini adalah pertanyaan guru dalam interaksi belajarmengajar bahasa Indonesia pada siswa kelas V SD Negeri No 7 Susut, Bangli.
193
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):188-203
ISSN 2087-9016
Pertanyaan-pertanyaan yang dianalisisis adalah meliputi, tipe pertanyaan guru, tingkatan kognitif pertanyaan guru, dan fungsi pertanyaan guru dalam interaksi belajar-mengajar bahasa Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di kelas V Sekolah Dasar Negeri No. 7 Susut, Bangli tahun pelajaran 2007/2008. Data yang dicari dan dianalisis dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang langsung didapatkan dari sumber data. Data tersebut adalah data empiris berbentuk pertanyaan-pertanyaan guru yang sedang melaksanakan proses belajarmengajar di kelas V Sekolah Dasar Negeri No. 7 Susut, Bangli. Data ini nantinya akan berupa hasil rekaman yang ditranskripsikan secara fonemik, dan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti. Analisisis data pada saat pengumpulan data berlangsung dilakukan secara bertahap yaitu pada setiap satu kali pertemuan pengumpulan data. Analisis kualitatif,
data
seperti yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (dalam
Gosong,1998:100), terdiri atas tiga kegiatan, yaitu (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) penarikan simpulan. Ketiga alur kegiatan ini berkaitan erat satu dengan yang lainnya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Reduksi Data Kegiatan reduksi data telah menghasilkan data yang semakin jelas, dalam arti, data tersebut sudah sesuai dengan fokus dan masalah dalam penelitian ini. Data yang direduksi dalam penelitian ini adalah data pertanyaan yang tidak sesuai dengan fokus penelitian dan tidak berkaitan dengan materi yang diajarkan. Selama lima kali pertemuan proses belajar-mengajar, guru mengajukan sebanyak 117 pertanyaan. Dari 117 pertanyaan tersebut 18 pertanyaan yang direduksi dan 99 pertanyaan yang terpilih sebagai data penelitian.
2. Penyajian Data dan Penarikan Simpulan Kegiatan reduksi data sebagaimana telah diuraikan di atas, sudah menghasilkan data terpilih sesuai dengan fokus dan masalah penelitian. Selanjutnya penyajian data dan penarikan simpulan diurut sesuai dengan rumusan masalah yaitu
194
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):188-203
ISSN 2087-9016
(1) tipe pertanyaan guru dalam interaksi belajar-mengajar bahasa Indonesia menurut Richey, (2) tingkatan kognitif pertanyaan guru dalam interaksi belajar-mengajar bahasa Indonesia menurut Bloom, dan (3) fungsi pertanyaan guru dalam interaksi belajar-mengajar bahasa Indonesia. Berdasarkan hasil observasi dan rekaman di tempat penelitian yang dilaksanakan dari tanggal 3 maret 2008 sampai dengan 10 mei 2008, dari lima kali pertemuan proses belajar-mengajar dapat dikemukakan bahwa dalam setiap pelaksanaan proses belajar-mengajar, guru mengajukan pertanyaan kepada siswa. Secara keseluruhan pertanyaan yang diajukan oleh guru yang terpilih sebagai data penelitian adalah sebanyak 99 pertanyaan a. Analisis pertanyaan berdasarkan tipenya Berdasarkan tipenya ke- 99 pertanyaan tersebut, terdiri atas 62 = 62,62 % tipe pertanyaan sempit dan 37 = 37,37 tipe pertanyaan luas. Apabila dilihat perbandingan pertanyaan sempit dan pertanyaan luas pada masing-masing pertemuan dapat dikemukakan sebagai berikut. Tabel 1. Tipe pertanyaan sempit dan tipe pertanyaan luas No
1
2
3
Pertemuan/ Tanggal
I. 18 maret 2008 II . 25 Maret 2008 III. 15 April 2008
4
IV. 29 April 2008
5
V. 6 Mei 2008
Tipe dan nomor pertanyaan Tipe pertanyaan sempit 1, 2, 3, 4, 5,7, 8, 9, 11, 12, 13, 15, 16.
Jml/ % 13 = 13,13%
Tipe pertanyaa n luas 6, 10, 14, 17, 18, 19, 20
1, 2, 3, 4, 5, 7, 8,10, 11, 13, 14, 16, 17, 21,23. 1, 3, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 14, 16, 20, 21, 22. 1, 4, 5, 9.
15= 15,15%
4= 4,4%
2, 3, 6, 7, 8, 10.
2, 3, 4, 5, 9, 11, 13, 14,
17= 17,17%
1, 6, 7, 8, 10, 12.
13= 13,13%
6, 9, 12,15, 16, 18, 19, 20, 24. 2, 4, 6, 12, 13, 15, 17, 18,19.
Total/ % Jml/%
7= 7,7%
20= 20,20 %
9= 9,9%
24= 24,24 %
9= 9,9%
22= 22,22 % 10= 10,10 %
6= 6,6%
6= 6,6%
23=
195
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):188-203
ISSN 2087-9016 23,23 %
15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23. Jumlah
62= 62,62%
37= 37,37%
99= 100%
Berdasarkan data yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam lima kali pertemuan guru mengajukan sebanyak 99 buah pertanyaan dalam interaksi belajar-mengajar bahasa Indonesia. Ke- 99 pertanyaan tersebut terdiri atas, 62 = 62,62 % tipe pertanyaan sempit dan 37 = 37,37 % tipe pertanyaan luas. Dengan demikian, guru lebih banyak mengajukan tipe pertanyaan sempit dibandingkan tipe pertanyaan luas dalam interaksi belajar-mengajar bahasa Indonesia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa guru ketika melaksanakan proses belajar-mengajar kurang mampu memanfaatkan pertanyaan untuk meningkatkan komunikasi di kelas sehingga siswa kurang terlatih agar terampil menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi terutama dalam menjawab pertanyaan
guru dalam interaksi belajar
mengajar bahasa Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, partisipasi siswa pun dalam proses belajar-mengajar menjadi rendah. Hal ini disebabkan oleh karena tipe pertanyaan sempit hanya menuntut jawaban singkat dan pendek. Dengan demikian, siswa kurang diberi kesempatan untuk menggunakan bahasa dalam mewahanai perasaan dan pikirannya untuk menjawab pertanyaan guru. Dengan demikian, tujuan pembelajaran bahasa yaitu mampu dan terampil menggunakan bahasa dalam berkomunikasi tidak tercapai. Selama lima kali pertemuan, hanya pada pertemuan ke empat guru lebih banyak mengajukan tipe pertanyaan luas sehingga keadaan kelas menjadi lebih interaktif dan komunikatif.
b. Analisis pertanyaan berdasarkan taksonomi Bloom Dalam penelitian ini tidak semua data pertanyaan guru dapat diklasifikasikan ke dalam keenam tingkatan kognitif yang dikemukakan oleh Bloom. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan yang dianalisis adalah pertanyaan pertanyaan yang bisa dikelompokkan ke dalam keenam tingkatan kognitif tersebut. Berdasarkan data hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa dalam lima kali pertemuan ada 99 buah pertanyaan sebagai data terpilih yang diajukan oleh guru dalam interaksi belajar-mengajar bahasa Indonesia. Dari 99 pertanyaan yang 196
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):188-203
ISSN 2087-9016
diajukan oleh guru tersebut, hanya 93 pertanyaan yang dapat digolongkan ke dalam keenam tingkatan kognitif taksonomi Bloom dan 6 pertanyaan merupakan pertanyaan sapaan atau ajakan. Ke- 93 pertanyaan yang dapat digolongkan ke dalam tingkatan kognitif taksonomi Bloom dapat dibuatkan rincian sebagai berikut. Tabel 02. Tingkatan kognitif pertanyaan yang diajukan oleh guru dalam interaksi belajar-mengajar Bahasa Indonesia No Tingkatan kognisi 1
P. I/ No. P. II/No. Pertanya- Pertanyaan an Pengetahu- 1,2,3,4,5, 1,2,3,4,8, an 6,7,8,9, 15,21, 11,12 13,15 23 Pemaham10,14,16, 5,7,9,10, an 17,18,19 11,12,18, 19, 20,22
P.III/No. Pertanyaan 1,4,8,9, 10,11,16
3
Aplikasi
0
0
2,3,5,6,7, 12,13,15, 17,19, 20,21,22 0
4
Analisis
0
0
5
Sintesis
0
6
Evaluasi Jumlah
20. 20
2
P.IV/No. P.V/No. Pertanya- Pertanyaan an 1,2,5 1,2,3,7, 16,17, 18,19,22 3,4,6,8, 5,6,9,10, 10 14,15, 21,23 0
3,20
0
0
8
6
18
9
12
16,17,24. 22
0 21
0 9
0 21
jml/ % 40= 43,01 % 42= 45,16 % 2= 2,15% 1= 1,07% 4= 4,30% 4 93 = 100%
Keterangan PI
= pertemuan pertama
P II
= pertemuam ke dua
P III
= petemuan ke tiga
P IV
= pertemuan ke empat
PV
= pertemuan ke lima
Berdasarkan data tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa guru dalam melaksanakan proses belajar-mengajar bahasa Indonesia memanfaatkan pertanyaan untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas siswa selama proses belajar-mengajar berlangsung. Pertanyaan guru mayoritas pertanyan berpikir tingkat rendah yaitu 84 buah = 90,32 % dan pertanyaan berpikir tingkat tinggi hanya 9 buah = 9,67 %.
197
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):188-203
ISSN 2087-9016
Dengan demikian, pertanyaan guru dalam proses belajar mengajar bahasa Indonesia hanya bersifat mengigat kembali apa yang sudah pernah diketahui atau dialami. Pertanyaan seperti ini hanya memiliki satu jawaban yang benar dan menciptakan komunikasi yang tertutup sehingga siswa tidak terlatih untuk terampil menggunakan bahasa dalam menjawab pertanyaan guru. Guru kurang mampu melatih kemampuan berkomunikasi siswa melalui pertanyaan dalam interaksi belajar-mengajar bahasa Indonesia.
c. Analisis pertanyaan berdasarkan fungsinya. Data tentang fungsi pertanyaan guru dalam interaksi belajar-mengajar bahasa Indonesia dicari dengan metode wawancara. Dalam melakukan wawancara peneliti mengajukan delapan pertanyaan pokok kepada subjek. Dari delapan pertanyaan tersebut didapatkan data sebagai berikut. (a) Apakah Anda merencanakan sebelumnya pertanyaan yang Anda ajukan dalam proses belajar-mengajar bahasa Indonesia? Jawaban guru: Tidak, karena pertanyaan tersebut muncul secara spontan pada saat pembelajaran sedang berlangsung dan sangat bergantung pada situasi, kondisi serta materi pembelajaran. Pertanyaan hanya direncanakan dalam rancangan persiapan pembelajaran. (b) Apa tujuan Anda mengajukan pertanyaan dalam proses belajar-mengajar bahasa Indonesia? Jawaban guru: Untuk mengukur ketercapaian indikator yang tertuang dalam rancangan persiapan pembelajaran, memusatkan perhatian siswa, dan membuat situasi pembelajaran menjadi aktif dan kreatif sehingga terjadi interaksi yang optimal di dalam kelas. (c) Apa fungsi pertanyaan-pertayaan yang Anda ajukan dalam proses belajarmengajar bahasa Indonesia? Jawaban guru: Sebagai sebuah strategi dalam pembelajaran untuk mengajak siswa berpartisipasi aktif, mengarahkan dan memusatkan pikiran pada materi yang sedang di bahas. Di samping itu, untuk memancing siswa agar mau dan berani berbicara sehingga mereka terlatih mengemukakan pendapat dalam berdiskusi ( berkomunikasi)
198
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):188-203
ISSN 2087-9016
(d) Ada beberapa pertanyaan yang belum selesai Anda ajukan kepada siswa dalam proses belajar-mengajar, Apa fungsi pertanyaan tersebut? Jawaban guru: Untuk memancing siswa berpikir dengan cepat, tepat, dan cermat sehingga siswa terlatih berpikir cepat dan tepat, terlatih berbicara cepat dan tepat dalam mengikuti proses belajar-mengajar (e) Ada beberapa kali Anda mengulangi jawaban siswa, kemudian Anda bertanya lewat jawaban siswa, Apa fungsi pertanyaan tersebut? Jawaban guru: Untuk memberikan penekanan dan menggali pedapat siswa yang lain, meyakinkan siswa terhadap jawaban yang diberikan, dan mengembangkan daya nalar siswa sehingga siswa dapat dan berani mengemukakan pendapatnya secara leluasa, berstruktur dan sistematis. (f) Ada beberapa pertanyaan yang Anda ajukan kepada siswa, tetapi Anda tidak menuntut jawaban siswa, Apa fungsi pertanyaan tersebut? Jawaban guru: Pertanyaan tersebut hanya berfungsi memberikan penekanan kepada siswa dan siswa sudah tahu pasti jawaban yang diharapkan oleh guru. (g) Apa yang Anda gunakan sebagai dasar untuk mengajukan pertanyaan kepada siswa dalam proses belajar-mengajar bahasa Indonesia? Jawaban guru: Yang dipakai dasar adalah situasi dan kondisi pembelajaran, materi pembelajaran, lingkungan pembelajaran. (h) Apakah Anda memahami secara teoretis tentang fungsi pertanyaan yang diajukan dalam proses belajar-mengajar bahasa Indonesia? Jawaban guru: Saya cukup memahami fungsi pertanyaan dalam pembelajaran karena hal seperti ini banyak didapat baik melalui pendidikan dan pelatihan mau pun melalui buku-buku. Berdasarkan data tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa guru tidak merencanakan sebelumnya pertanyaan yang diajukan dalam proses belajar-mengajar karena pertanyaan yang diajukan bersifat spontan bedasarkan situasi, kondisi, dan materi pembelajaran. Petanyaan
guru dalam proses belajar-mengajar
bahasa
Indonesia kurang sesuai dengan fungsinya yaitu melatih siswa agar terampil menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi, terutama untuk mewahanai pikirannya. Pertanyaan guru dalam interaksi belajar-mengajar lebih banyak
199
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):188-203
ISSN 2087-9016
diarahkan untuk mengukur hasil belajar yaitu mengukur ketercapaian indikator yang tertuang dalam rancangan persiapan pembelajaran
3. Pembahasan Hasil Penelitian 1) Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada siswa kelas V SD Negeri No. 7 Susut, Bangli, pertanyaan-pertanyaan guru dalam interaksi belajar-mengajar bahasa Indonesia bila dilihat dari tipenya ditemukan 99 buah pertanyaan. Ke- 99 buah pertanyaan tersebut terdiri atas 62 buah tipe pertanyaan sempit = 62,62 % dan 37 buah tipe pertanyaan luas = 37,37 %. Hal ini menunjukkan bahwa dalam upaya guru mencapai tujuan pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya pembelajaran bahasa Indonesia siswa kelas V Sekolah Dasar, guru sudah memanfaatkan pertanyaan untuk meningkatkan aktivitas dan efektivitas pembelajaran bahasa Indonesia. 2) Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pertanyaan dalam interaksi belajarmengajar bahasa Indonesia pada siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri No. 7 Susut, Bangli mayoritas pertanyaan berpikir tingkat rendah (berupa pertanyaan pengetahuan dan pemahaman) yaitu sebayak 84 buah = 90, 32 %. Pertanyaan berpikir tingkat tinggi sebanyak 8 buah = 9,80. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa terfokusnya pertanyaan yang diajukan oleh guru pada tingkatan berpikir tingkat rendah mungkin disebabkan oleh
rumusan
indikator
yang
dituangkan
dalam
rancangan
persiapan
pembelajaran dan materi yang diajarkan. Rumusan indikator yang dituangkan dalam rancangan persiapan pembelajaran hampir seluruhnya dengan kata-kata operasional menyebutkan, memahami, dan membuat. Dalam proses belajarmengajar indikator merupakan rambu-rambu tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Tujuan pembelajaran akan mengilhami pertanyaan oleh guru dalam interaksi belajar-mengajar. Guru sulit membedakan pertanyaan yang bertujuan untuk mengukur hasil pembelajaran dengan pertanyaan yang bertujuan untuk meningkatkan interaksi dan komunikasi dalam proses belajar-mengajar. Di lain pihak, ruang lingkup dan kemendalaman materi yang diajarkan juga mempengaruhi kualitas pertanyaan yang diajukan oleh guru dalam interaksi belajar-mengajar.
200
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):188-203
ISSN 2087-9016
3) Berdasarkan data hasil wawancara yang dilaksanakan setelah melakukan observasi dan rekaman seperti dipaparkan di atas, dapat dikemukakan bahwa guru dalam melaksanakan proses belajar-mengajar bahasa Indonesia tidak merencanakan pertanyaan sebelumnya, karena pertanyaan yang diajukan bersifat spontan. Hal seperti itu berakibat pertanyaan yang diajukan oleh guru dalam interaksi belajar-mengajar bahasa Indonesia kurang terfokus pada tujuan untuk meningkatkan
efektivitas pembelajaran
bahasa Indonesia.
Tujuan
guru
mengajukan pertanyaan dalam proses belajar-mengajar bahasa Indonesia lebih banyak terarah kepada pencapaian indikator yang dituangkan dalam rancangan persiapan pembelajaran dan kurang melatih siswa terampil menggunakan unsurunsur bahasa Indonesia dalam berkomunikasi.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan fakta-fakta yang berhasil ditemukan dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan: 1) Tipe pertanyaan guru kelas V SD Negeri No. 7 Susut, Bangli dalam interaksi belajar-mengajar bahasa Indonesia adalah tipe pertanyaan sempit dan tipe peranyaan luas. Tipe pertanyaan sempit sebanyak 72 buah = 61,53 % dan tipe pertanyaan luas sebanyak 45 buah = 38,49 %. Pertanyaan guru dalam interaksi belajar-mengajar cenderung kepada tipe pertanyaan sempit. 2) Tingkatan kognitif pertanyaan guru Kelas V SD Negeri No. 7 Susut, Bangli dalam interaksi belajar-mengajar bahasa Indonesia sudah mencapai keenam tingkatan kognitif taksonomi Bloom. Apabila dilihat dari sebarannya pertanyaan guru terfokus pada dua tingkatan berpikir tingkat rendah yaitu pengetahuan dan pemahaman. Hal ini menunjukkan guru kurang mampu memanfatkan pertanyaan untuk menumbuhkembangkan daya pikir kritis dan kreatif siswa dalam memecahkan masalah. 3) Pertanyaan guru kelas V SD Negeri No. 7 Susut, Bangli kurang sesuai dengan fungsi pertanyaan dalam interaksi belajar-mengajar bahasa Indonesia. Karena dengan pertanyaannya guru kurang mampu mengarahkan proses berpikir siswa untuk menemukan masalah yang dibahas, menggali kemampuan siswa untuk
201
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):188-203
ISSN 2087-9016
meningkatkan kuantitas dan kualitas jawaban dari pertanyaan semula, dan memancing ide-ide siswa yang asli, serta memberikan penekanan pada bagian yang dianggap penting dengan pertanyaan retoris. Pertanyaan guru dalam interaksi belajar-mengajar bahasa Indonesia lebih banyak untuk mengevaluasi hasil belajar. Saran 1) Dalam melaksanakan proses belajar-mengajar, guru perlu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan bertanyanya dalam interaksi belajar-mengajar bahasa Indonesia sehingga kuantitas dan kualitas pertanyaannya menjadi lebih meningkat. 2) Tipe pertanyaan guru dalam proses belajar-mengajar bahasa Indonesia sebaiknya
lebih
banyak
menumbuhkembangkan
tipe
kemampuan
pertanyaan siswa
luas
dalam
sehingga berkomuniasi
dapat dan
berinteraksi di dalam kelas. 3) Guru hendaknya berusaha meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya agar dapat membedakan pertanyaan untuk mengevaluasi hasil belajar dan pertanyaan untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran bahasa Indonesia. 4) Pemerintah berusaha menyelipkan program pendidikan khusus mengenai keterampilan bertanya guru dalam proses belajar-mengajar bahasa Indonesia melalui penataran atau pelatihan secara berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA
Aminudin. M. 1990. Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang : HISKI Komisriat Malang dan YA3. Baradja, M F. 1990. Kapita Selekta Pengajaran Bahasa. Malang: IKIP Malang. Bloom, B.S. 1956 Taxonomy of Educational Objectives: Handbook I Cognitive Domain. London: Longman. Brown, George.1984. Micro Teaching : A Programme of Teaching in the Middle and Secondary Schools: Planning for Competence. USA: Macmillan Publishing Co. Inc.
202
Jurnal Santiaji Pendidikan, 2011, 1(2):188-203
ISSN 2087-9016
Depdikbud. 1991. Pedoman Proses Belajar-Mengajar di Sekolah Dasar. Jakarta: Proyek Pembinaan Sekolah Dasar. Frasee, Bruce M. dan Rudnitski, Rose A.1995. Integrated Teaching Method: Theory, Classroom Aplications, and Field-Based Connections. Albany: Dalmar Publishers. Gosong, I Made. 1998. Pertanyaan yang Diajukan oleh Guru dalam Pembelajaran Membaca. Disertasi tidak diterbitkan Malang: IKIP Malang. Kristiantari, Rini. 1997. Pertanyaan Guru dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Tesis Tidak diterbitkan. Malang: IKIP Malang. Priyanti, Endah Tri. 1993. Karakteristik Interaksi Belajar-Mengajar Bahasa Indonesia. Malang: IKIP Malang. Roffi, udin,AH. 1990. Studi Tentang Bentuk Pertanyaan dalam Interaksi BelajarMengajar Kelas Bahasa Indonesia dan dalam Keluarga. Malang: Tesis Tidak Diterbitkan. IKIP Malang. Sulo, La. S.L. Sugeng Paranto dan Soedirdjo dkk. 1980. Micro-Teaching. Jakarta: Proyek Pengembangan Pendidikan Guru (P3G) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tim Penyusun KTSP. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Dasar Negeri No 7 Susut Bangli. Bangli: Dinas Pendidikan Kabupaten Bangli.
203