1
INTERAKSI SOSIAL KOMUNITAS PENGRAJIN KARAWO (Suatu Penelitian di Kecamatan Batudaa Kabupaten Gorontalo)1 Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo 2014 ABSTRAK
Penelitian ini Bermaksud untuk Mengetahui ; Pertama, Kehidupan Sosial Komunitas Pengrajin Karawo. Kedua, Interaksi Sosial Komunitas Pengrajin Karawo. Penelitian ini difokuskan untuk rumusan masalah. Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dengan jenis penelitian studi kasus. Data yang diperoleh bersumber dari observasi, wawancara dan dokumentasi. Dimana observasi dilakukan pada saat pengrajin melakukan aktivitas dalam mengerjakan karawo. Wawancara dilakukan kepada informan dengan teknik snowball sampling yaitu pengambilan sampel dilakukan secara berantai. Dokumentasi yaitu dokumen pribadi yang berasal dari kelompok pengrajin, terutama yang berhubungan dengan keberadaan kelompok pengrajin karawo. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Batudaa Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Kehidupan SosialKomunitas Pengrajin Karawo di Kecamatan Batudaa, pada umumnya sangat beragam. Kehidupan sosialnya terlihat sangat dinamis, hal itu terlihat dalam pendapatan para pengrajin yang mempengaruhi pada kebutuhan hidup, karena umumnya para pengrajin yang bergabung dalam komunitas pengrajin karawo untuk membantu perekonomian keluarga. Interaksi Sosial Komunitas Pengrajin Karawo selalu mengutamakan kerja sama, dan selalu menjaga keharmonisan kelompok dengan tidak membedabedakan antara satu dan lainnya. Interaksi sosial antar anggota biasanya terjadi jika ada pesanan kain untuk di sulam karawo, karena mereka biasanya menyelesaikan dalam satu tempat sambil membagi cerita dan bercakap-cakap antara pengrajin. akan tetapi ada juga yang menyelesaikan sulaman karawo di rumahnya saja, hal ini terjadi karena ada yang harus mereka kerjakan di rumah. Kata Kunci : Kehidupan Sosial, Interaksi dan Kelompok Sosial
1
INDRAWATI USMAN, 231410129, JURUSAN SEJARAH, FAKULTAS ILMU SOSIAL, RESMIYATI YUNUS, SUTRISNO MOHAMAD.
2
Karawo merupakan salah satu jenis motif hias seni rupa dua dimensi yang berasal dari Gorontalo. Karawo adalah kerajinan sulaman benang dengan motif tertentu di atas kain yang sudah dilubangi. Kata karawo berasal dari kata “Mokarawo” yang merupakan bahasa asli Gorontalo, yang artinya mengiris atau melubangi. Keunikan dari kerajinan sulaman karawo terletak pada proses pengerjaannya, yaitu yang harus didahului dengan pengirisan dan pencabutan benang. Proses ini sangat membutuhkan kesabaran, keuletan dan ketelitian para pengrajin agar kain tidak rusak. Selain itu pada saat mengiris para pengrajin harus menyesuaikan jumlah benang kain yang akan diiris dengan pola desain karawo yang akan diterapkan pada kain. Jika jumlah benang yang diiris dan dicabut tidak sesuai, maka akan mengurangi keindahan hasil sulaman. Proses pengirisan dan pencabutan benang disesuaikan dengan jenis serat kain, ketebalan dan kerapatan kain. Sulaman karawo terdiri dari dua jenis yakni karawo ikat dan karawo manila. karawoIkat adalah karawo yang bentuk sulamannya berupa ikatan simpul pada lubang kain. KarawoIkat biasanya dibuat dengan menggunakan benang jahit biasa. Karawo jenis ini dapat kita lihat pada kreasi “Lenso” (sapu tangan) dan kipas karawo. Sementara itu karawoManila adalah karawo yang sulamannya berupa garis-garis lurus membentuk pola motif tertentu. Karawo jenis ini biasanya dibuat menggunakan benang emas atau yang dikenal dengan benang manila, dan paling banyak dibuat pada pakaian. Karawo lahir di Gorontalo dan ditekuni masyarakat setempat sejak awal abad ke-18 yaitu sekitar tahun 1713 di Desa Ayula, Kecamatan Tapa,Kabupaten Bone Bolango. Pada awalnya, karawo hanya dikerjakan oleh perempuanperempuan di Desa Ayula untuk mengisi waktu kosong, sedangkan hasilnya digunakan untuk keperluan pribadi. Adapun motif atau desain gambar yang disulam diatas kain sangat monoton pada gambar seperti anggur dan daun. Selanjutnya, sulaman karawo mulai dibuat pada kain-kain tertentu, seperi pakaian koko untuk digunakan ke masjid dan pakaian putih yang biasanya digunakan untuk melayat dan ta’ziah. Perkembangan ini jika dilihat sepintas memang tidak signifikan, namun pada saat bersamaan terjadi hal yang menggembirakan, yaitu
3
mulai merambahnya pengrajin karawo keluar daerah Ayula. Karawo mulai digemari oleh perempuan-perempuan Gorontalo, tidak hanya di Kecamatan Tapa, tapi diluar Kecamatan Tapa seperti Kecamatan Bongomeme, Kecamatan Telaga dan Kecamatan Batudaa pantai. Menjelang tahun 1970-an animo masyarakat untuk menggunakan karawo semakin berkembang, dengan kreatifitas yang juga semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya kreasi karawo dalam bentuk selendang dan pakaian untuk pesta berupa kain shifon. Perkembangan ini juga dibuktikan dengan permainan warna benang dalam sulaman. Jika sebelumnya pengrajin hanya menggunakan satu warna yakni benang putih atau warna senada dengan warna kain, maka pada masa ini pengrajin mengkreasikan warna agar sulaman karawo terlihat timbul dan lebih menarik. Satu bagian dari karawo yang masih monoton pada saat itu adalah desain motif. Inofasi-inofasi pengrajin karawo ternyata menarik perhatian tidak hanya masyarakat lokal Gorontalo, namun juga masyarakat luar daerah Gorontalo. Pembuatan karawo ini dulunya hanya dilakukan oleh individu-individu di ibu-ibu rumah tangga, maka dewasa ini pembuatan karawo telah dilakukan oleh kelompok ibu-ibu rumah tangga dalam satu desa atau kelurahan, bahkan ada beberapa kelompok yang terdapat dalam satu desa. Kelompok pengrajin karawo ini yang selanjutnya disebut Komunitas Pengrajin Karawo, dalam melakukan pekerjaannya sering terlibat dalam interaksi sosial, disamping itu pola kehidupan sosial pengrajin karawo sangat dinamis. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Menurut Satori dan Komariah (2011 : 22), penelitian kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada quality atau hal yang terpenting ataupun masalah makna dari suatu barang atau jasa yang dapat berupa kejadian / fenomena / gejala sosial. Penelitian kualitatif merupakan metode yang digunakan pada kondisi yang alami dan juga lebih menekankan pada proses. 4
Penelitian ini mengangkat tentang suatu proses interaksi dalam komunitas pengrajin karawo. Dan jenis penelitian ini adalah studi kasus, menurut Cresswell (2010 : 20) studi kasus adalah strategi penelitian dimana didalamnya menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu. Penelitian ini akan memfokuskan pada suatu proses interaksi dalam kelompok/komunitas pengrajin karawo. Sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah : Sumber observasi langsung di lokasi penelitian, observasi dilakukan pada saat anggota pengrajin sedang beraktivitas dalam mengerjakan sulaman karawo. Dalam penelitian ini, observasi dilakukan dalam 3 tahap yaitu : observasi deskripsi, observasi terfokus, observasi terseleksi. Observasi deskripsi merupakan bentuk observasi awal dilakukan dengan penjelajahan umum, deskripsi terhadap semua yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Observasi ini telah dilakukan disaat mulai menentukan masalah dan lokasi penelitian di Kecamatan Batudaa. Selanjutnya observasi terfokus dimana telah ditemukan fokus penelitiannya yaitu terkait interaksi sosial komunitas pengrajin karawo. Langkah ini juga telah dilakukan yaitu dengan mengamati fokus penelitian. Langkah terakhir yang dilakukan adalah observasi terseleksi yang nantinya akan dilakukan saat terjun ke lapangan yaitu di Kecamatan Batudaa. Sumber lisan : wawancara kepada informan, dalam hal ini anggota pengrajin yang tergabung dalam kelompok pengrajin karawo. Mengenai pengambilan sampel menggunakan Snowball Sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan secara berantai, penentuan sampel yang tadinya kecil kemudian menjadi membesar. Pertama-tama dipilih satu atau dua orang informan namun
5
karena informasi masih dianggap kurang, maka berlanjut pada pencarian informan lainnya untuk melengkapi data sebelumnya. Tekhnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Observasi Partisipan. Partisipan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah partisipan pasif dimana tidak mengikutsertakan dalam kegiatan pengrajin akan tetapi hanya sekedar datang dan melakukan pengamatan untuk mendapatkan data. Wawancara. Wawancara informal atau disebut oleh Berg dalam (Satori dan Komariah, 2011 : 136) sebagai wawancara tidak berstandar (untandardized interview), yaitu wawancara yang bebas dan tidak menggunakan pedoman wawancara yang tersusun secara sistematis dan lengkap untuk mengumpulkan data. Pedoman yang digunakan hanyalah garis besar pertanyaan yang akan digunakan. Wawancara model ini digunakan karena ingin mengetahui lebih dalam mengenai kehidupan dan interaksi sosial komunitas pengrajin karawo. Dokumentasi. Yang berupa catatan dan record, menurut Guba dan Lincoln dalam (Satori dan Komariah, 2011 : 216) record yaitu setiap pernyataan tertulis yang disusun oleh seseorang atau lembaga untuk keperluan pengujian suatu peristiwa atau menyajikan akunting. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kehidupan Sosial Komunitas Pengrajin Karawo Berdasarkan
hasil
observasi
pada
10
april
2014
bahwa
di
KecamatanBatudaamemiliki 4 kelompokpengrajinkarawo. Kelompok pengrajin karawo ini terdiri dari ibu-ibu rumah tangga, kelompok pengrajin karawo tersebut adalah Kelompok Lantana, Kelompok Mawar, Kelompok Cendrawasih dan
6
Kelompok Kembang indah, masing-masing kelompok terdiri dari 10-20 anggota pengrajin. Kelompok Lantana memiliki 20 orang anggota pengrajin, kelompok Mawar terdiri dari 10 anggota pengrajin, kelompok Cendrawasih dan Kembang indah juga masing-masing terdiri dari 10 orang anggota pengrajin. Berdasarkan hasil observasi 10 April 2014, bahwa Kelompok Lantana didirikan pada tahun 2009, yang terdiri dari 20 orang anggota yang terdiri dari ibu-ibu rumah tangga, dari 20 orang anggota pengrajin itu ada yang berusia lebih dari 20 tahun ada juga yang usianya sudah lebih dari 50 tahun. Kelompok Lantana sengaja dibentuk oleh Ibu Ramdayani Hido (54 tahun) selaku koordinator kelompok pengrajin Lantana untuk keperluan pribadi yakni keperluan butiqnya di Jakarta. Aktifitas pengrajin Karawo dalam membuat karawo mereka sering berkumpul di satu tempat yang baik untuk dijadikan tempat berkumpulnya pengrajin. Dan para pengrajin biasanya berkumpul di depan rumahnya Ibu Ramdayani Hido (54 tahun) dan juga di depan Rumahnya Ibu Mery Suga (38 tahun) yaitu ketua Kelompok Lantana, mereka menyebut tempat tersebut dengan sebutan dego-dego. Di tempat tersebut ibu-ibu pengrajin berkumpul mulai jam 4 sore sampai jam setengah 6 sore selesai mengerjakan tugas rumah mereka sebagai ibu rumah tangga. Kebiasaan seperti ini dijalani hampir setiap hari jika ada pesanan karawo, dan jika tidak ada pesanan karawo para pengrajin hanya di rumah mereka masing-masing selagi menunggu jika ada pekerjaan lagi. Hal ini perjelas dalam wawancara 21 Mei 2014 dengan Ibu Mery Suga (38 tahun) bahwa setiap ada pesanan karawo biasanya para pengrajin berkumpul di dego-dego sambil menyelesaikan sulaman karawo, dan hal ini dilakukan oleh para pengrajin setiap hari jika ada pesanan karawo. Setiap anggota yang tergabung dalam komunitas pengrajin karawo, adalah benar-benar masyarakat dari Kecamatan Batudaa. Mereka membuat suatu kelompok karawo karena memang dibiasakan mulai dari kecil agar mencintai seni kerajinan Gorontalo ini, dan juga karena minat dari anak itu sendiri. Masyarakat batudaa memang banyak yang sudah mahir dalam membuat karawo, bahkan ada
7
yang dari umur belasan tahun. Dari mulai melihat-lihat saja, dan belajar dari orang tuanya yang bisa membuat sulaman karawo, ada juga yang sengaja minta petunjuk kepada orang lain agar di ajarkan membuat karawo hingga membentuk sebuah kelompok pengrajin. Dilihat dari aspek pendidikan, sebagian besar pengrajin yang tergabung dalam
kelompok
pengrajin
karawo
berpendidikan
menengah
kebawah.
Keterampilan dalam membuat kerajinan kain karawo yang dimiliki oleh pengrajin bukanlah diperoleh dari pendidikan formal melainkan diperoleh secara informal dan diajarkan secara turun temurun. Jika dilihat dari aspek ekonomi, mayoritas pengrajin tergolong pada masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi rendah yang pada umumnya berprofesi sebagai ibu rumah tangga yang hanya bergantung pada pendapatan suami untuk kebutuhan hidupnya. Hingga saat ini pekerjaan menyulam kain karawo hanya dianggap pekerjaan sampingan untuk mengisi waktu luang. Hal ini berdampak pada masih rendahnya pendapatan yang diperoleh pengrajin dari setiap produk sulaman yang dihasilkan. Umumnya para pengrajin yang bergabung dalam kelompok pengrajin sengaja memanfaatkan pengetahuannya tentang karawo untuk bergabung dengan kelompok pengrajin untuk memperbaiki perekonomian keluarga. Karena sebagian besar ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok pengrajin hanya sebagai ibu rumah tangga yang bergantung pada pendapatan suami. Pendapatan suami yang tidak menentu membuat para ibu-ibu tersebut mencari pekerjaan sesuai dengan pengetahuan. Kehidupan sebagai pengrajin dijalani dengan baik dan dengan kemauan sendiri tanpa paksaan dari manapun dan dari siapapun. Masyarakat yang sebagian besarnya ibu rumah tangga ini sengaja membentuk kelompok, karena mulai banyaknya pesanan mulai dari dalam daerah bahkan dari luar daerah. Mereka melakukan ini memang benar-benar kemauan sendiri tanpa ada paksaan dan tanpa mengganggu kegiatan mereka sebagai ibu rumah tangga, dalam kehidupan berkelompok tentunya ada saling kerja sama
8
antar koordinator, ketua, serta anggota-anggota pengrajin demi menciptakan sesuatu yang membanggakan, apa lagi bagi kelompok pengrajin dalam membuat sulaman karawo, kepuasan konsumen adalah nomor satu. Anggota pengrajin dalam kelompok/komunitas sudah seperti keluarga karena mereka selalu menjaga hubungan baik dan selalu mengutamakan kerja sama tanpa memikirkan siapa yang baik maupun tidak baik, mereka menganggap semua yang tergolong dalam kelompok karawo adalah sama. Dan semuanya bisa terlihat dari kehidupan sosial mereka yang baik dengan sesama anggota pengrajin maupun dengan masyarakat. Hasil yang memuaskan dan saling ada percaya membuat kain karawo dari satu komunitas mendapatkan keuntungan dari membuat kerajinan ini. Dan semakin lama semakin banyak menerima pesanan. Kehidupan sosial dalam komunitas terjalin dengan adanya saling tolong menolong jika ada kawan pengrajin mengalami musibah ataupun berpesta, mereka menyumbang tenaga dan juga materi sebagai wujud hubungan baik antar pengrajin dalam suatu kelompok. Ada dua jenis karawo yaitu karawo ikat dan karawo Manila. Para pengrajin biasa membuat karawo manila yang dibuat pada pakaian, karena karawo manila harus berupa garis-garis lurus membentuk pola motif tertentu. Karena pembuatan karawo dalam kain ini menggunakan benang emas atau sering dikenal dengan benang Manila. Karawo ikat biasanya dibuat menggunakan benang jahit biasa. karawo jenis ini biasa dibuat oleh para pengrajin diluar pesanan, biasanya untuk mengisi waktunya seraya menunggu pesanan karawo. Hasil dari buatan para pengrajin ini biasanya dijual di pasar atau untuk keperluan pribadi para pengrajin, karena karawo ikat biasanya pada lenso, taplak meja, kipas, dll. Kendala yang dihadapi oleh para pengrajin karawo yaitu pertama; pada saat menerima kain untuk dikarawo sudah dalam keadaan rusak, atau yang tidak selesai dikerjakan pengrajin lain, dan biasanya mereka menolak dan mengembalikan kain pada pemesan, untuk menjaga hal yang demikian terjadi para pengrajin memeriksa terlebih dahulu keadaan kain. Kedua; pada saat belum
9
adanya pesanan karawo, karena sebagian besar pengrajin hanya berdiam diri dan hanya menunggu sampai adanya pesanan karawo tersebut. Ketiga; pada saat pengrajin membutuhkan uang dan belum ada pemesan karawo untuk dikerjakan, biasanya para pengrajin meminjam uang kepada ketua atau koordinator kelompok, dan untuk pembayarannya disesuaikan dengan hasil kerja pengrajin. Sesuai hasil observasi 21 Mei 2014, alasan para pengrajin bergabung dalam kelompok pengrajin karena ingin menambah penghasilan untuk membantu suami dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan ada juga yang melakukannya karena sudah terbiasa menjadi pengrajin karawo. Hal ini sesuai wawancara 21 Mei 2014 dengan Ibu Yospin Hasan (33 tahun) bahwa; Ibu Yospin Hasan (33 tahun) adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki 1 orang anak dan juga sedang hamil. Beliau membantu penghasilan suami dengan bergabung dalam kelompok pengrajinkarawo, pekerjaan suaminya sebagai supir dianggap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. jadi Ibu Yospin Hasan(33 tahun) berinisiatif untuk bergabung dengan kelompok pengrajin Lantana disamping dirasa mudah dan juga tidak membutuhkan tenaga ekstra untuk membuatnya. Ibu Yospin Hasan(33 tahun) menjadi pengrajin dari masih remaja usia 15 tahun dari mulai belajar membuat lenso dll, kemudian bergabung dengan kelompok pengrajin. Dan saat ini pekerjaannya sebagai pengrajin karawo sudah bisa membantu suaminya dalam membangun rumah yang layak dan juga mengisi perabotan rumah serta memenuhi kebutuhan sehari-hari. Wawancara 29 Mei dengan Ibu Ina Rahim (51 tahun) dalam kelompok pengrajin Lantana pekerjaannya hanya sebagai ibu rumah tangga, dengan penghasilan suami yang tidak menentu dan tidak mempunyai pekerjaan tetap membuat Ibu Ina Rahim (51 tahun) berinisiatif untuk mencari pekerjaan dalam membantu kehidupannya. Beliau memanfaatkan pengetahuan yang dimilikinya sejak masih remaja yaitu menjadi pengrajin karawo dengan bergabung dengan kelompok pengrajin Lantana. Hal ini telah dijalani kurang lebih selama 3 tahun, dan hasilnya sudah bisa membantu kebutuhan keluarga.
10
B. Interaksi Sosial Komunitas Pengrajin Karawo Interaksi sosial dalam kelompok bisa terjadi jika ada kontak sosial dan juga komunikasi, jika dalam kelompok tersebut sudah tidak ada dua hal tersebut maka dalam kelompok tersebut tak ada lagi interaksisosial. Wujud nyata interaksi sosial dalam komunitas pengrajin karawo terlihat dalam hal saling menghormati dan bekerja sama antar ketua dan pengrajinpengrajin, serta antar sesama pengrajin. Hal ini terlihat pada pembagian tugas dalam membuat karawo, yaitu yang menjadi ketua kelompok, mereka yang melubangi kain untuk dibuatkan pola karawo, kemudian untuk membuat pola bunga atau sulaman karawo di atas kain dilanjutkan oleh anggota pengrajin sampai karawo tersebut sempurna. Kelompok atau komunitas, pada umumnya selalu mengedepankan rasa saling menghormati, menghargai dan juga kerja sama. Hal tersebut bukan saja terjadi dalam komunitas, akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari hal yang sama juga terjadi. Sesuai yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto(2002:72) pada bab sebelumnya bahwa bentuk-bentuk interaksi sosial dapat menghasilkan proses sosial yang asosiatif dan disosiatif yakni faktor yang dipengaruhi dari dalam dan dari luar. Proses sosial asosiatif terdiri dari kerjasama, akomodasi, dan asimilasi. Sedangkan proses sosial disosiatif terdiri dari persaingan, dan pertentangan atau pertikaian. Adapun bentuk-bentuk interaksi sosial komunitas pengrajin Karawo di Kecamatan Batudaa dalam proses asosiatif yaitu: Pertama: kerja sama antar anggota kelompok terlihat dari bagimana mereka membagi tugas sesuai dengan keahlian, dalam hal melubangi kain itu dilakukan oleh satu orang dan untuk membuat pola atau motif diatas kain dilanjutkan oleh anggota lainnya, dalam hal melubangi dianggap sulit untuk pengrajin, maka dari itu tak banyak yang mahir dalam melubangi kain. Kemudian kerja sama antara
11
koordinator dan anggota pengrajin. Koordinator membayar pengrajin untuk menyelesaikan karawo dengan baik. Kedua:khusus untuk komunitas karawo yang di teliti, mereke selalu menjaga kerja sama antara pengrajin dalam suatu komunitas pengrajin karawo demi menjaga jika terjadi adanya konflik, kelompok pengrajin karawo tidak pernah mengalami hal yang demikian dan juga tak ada yang khusus meredakan konflik, mereka juga saling menghargai, karena dalam komunitas itu ada koordinator dan juga ketua kelompok. Ketiga: kelompok dan anggota-anggota tak ada yang saling meremehkan dan mereka menyelesaikan tugas sesuai dengan ketentuan dan aturan yang telah berlaku dalam kelompok tanpa membedakan siapa yang lebih baik, dan juga tanpa membedakan diri dari kelompok. Adapun bentuk-bentuk interaksi sosial komunitas pengrajin karawo di Kecamatan Batudaa dalam proses disosiatif yaitu: Pertama: ditunjukkan dalam hal kerja sama, tentunya mereka menjaga agar tak ada persaingan antara anggota kelompok. Mereka menyelesaikan pesanan karawo disertai kerja sama dan saling menghargai agar menghasilkan yang baik dan memuaskan. Kedua: pribadi maupun kelompok menyadari adanya perbedaan-perbedaan antara satu dan lainnya, akan tetapi itu semua tak membuat anggota kelompok saling bertentangan dan sampai mengakibatkan pertikaian. Mereka selalu menjaga keharmonisan antar kelompok agar tak terjadi hal yang demikian. Semua pengrajin yang termasuk dalam kelompok memiliki hubungan baik dan tidak pernah mengalami konflik, hanya saja ada permasalahan kecil yaitu jika tidak adanya yang memesan karawo, karena otomatis kegiatan pengrajin juga terhenti dan semua itu membuat resah para pengrajin. Akan tetapi ada juga para pengrajin yang memanfaatkan waktunya untuk membuat karawo lainnya seperti
12
lenso, taplak meja dan lain-lain, mereka memanfaatkan kain sisa untuk membuatnya. Menurut Soerjono Soekanto (2002:63-64) bahwa berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor, antara lain, faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendirisendiri secara terpisah maupun dalam keadaan bergabung. Apabila masingmasing ditinjau secara lebih mendalam. Pertama: dalam hal imitasi mungkin tidak terjadi dalam komunitas pengrajin Karawo, karena dalam hal membuat karawo mereka membuat hanya sesuai pesanan saja. Dan untuk motifnya sesuai dengan keinginan dan kemauan pemesan atau konsumen. Kedua: faktor sugesti memang selalu terjadi dalam kelompok yang ada ketua maupun koordinator kelompoknya, itu terjadi pada saat koordinator kelompok pengrajin mengarahkan untuk membuat karawo yang bagus dan bisa menarik konsumen yang banyak. Ketiga : faktor identifikasi ada dalam komunitas pengrajin, hanya saja tidak dalam hal negatif, mereka hanya saling memotifasi diri untuk menjadi yang terbaik. Seperti dalam hal membuat karawo, jika ada salah satu pengrajin yang cepat menyelesaikan pekerjaannya, anggota yang lainnya juga berusaha sama dengan pengrajin tersebut, mereka saling berusaha agar cepat menyelesaikan karawo tersebut. Keempat: faktor simpati juga terjadi dalam komunitas karawo, akan tetapi terjadi antara koordinator dan pengrajin. Seperti koordinator memantau pekerjaan suatu komunitas karawo dan dia menyukai hasil pekerjaan tersebut, maka koordinator berkeinginan untuk bekerja sama dengan pengrajin-pengrajin itu.
13
SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. Kehidupan sosial komunitas pengrajin karawo di Kecamatan Batudaa, pada umunya sangat beragam. Kehidupan sosialnya sangat dinamis. Hal ini terlihat dalam pendapatan para pengrajin yang mempengaruhi pada kebutuhan hidup. Umumnya para pengrajin bergabung dalam kelompok pengrajin untuk membantu perekonomian keluarga. 2. Interaksi
sosial
dalam
komunitas
pengrajin
karawo
selalu
mengutamakan kerja sama, dan selalu menjaga keharmonisan kelompok dengan tidak membeda-bedakan antara satu dan lainnya. Interaksi sosial antar anggota biasanya terjadi jika ada pesanan kain untuk di sulam karawo, karena mereka biasanya menyelesaikan dalam satu tempat sambil membagi cerita dan bercakap-cakap antara pengrajin. Akan tetapi ada juga yang menyelesaikan sulaman karawo di rumahnya saja, hal ini terjadi karena ada yang harus mereka kerjakan di rumah. B. Saran 1. Di harapkan bagi pemerintah supaya lebih memperhatikan kelompokkelompok pengrajin khususnya pengrajin karawo, dengan mendirikan tempat khusus untuk komunitas pengrajin karawoagar kerajianan sulaman karawo Gorontalo akan selalu terjaga. 2. Bagi pengrajin agar terus dan tetap melestarikan seni kerajinan karawo, dengan berpartisipasi dalam pembuatan karawo. 3. Di harapkan juga bagi generasi muda agar belajar dalam melestarikan seni kerajinan daerah Gorontalo khusus tentang karawo, agar tidak dilupakan.
14
DAFTAR RUJUKAN Atik Catur Budiati.2009. Sosiologi Kontekstual. Jakarta: CV Mediatama Bungin Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi. Jakarta. Kencana Prenada Madia Group Badan Pusat Statistik Kabupaten Gorontalo. 2013. Batudaa Dalam Angka 2013. BPS Kabupaten Gorontalo Koentjaraningrat.2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Reneka Cipta Moleong Lexy.2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Rahmat Abdul. 2012. Sosiologi Pendidikan. Gorontalo. Ideas Publishing Soerjono Soekanto. 2002.Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada 2012.Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada Satori dan Komariah. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. Alfabeta http://carapedia.com/pengertian_definisi_masyarakat_menurut_para_ahli_info488 .html (diakses tgl 15 februari 2014)
15