ILMUIMAN.NET: Koleksi Cerita, Novel, & Cerpen Terbaik Cerita Kira-kira Sejarah (16+). 2016 (c) ilmuiman.net. All rights reserved. Berdiri sejak 2007, ilmuiman.net tempat berbagi kebahagiaan & kebaikan lewat novelcerpen percintaan atau romance, dan cerita non-fiksi.. Seru. Ergonomis, mudah, & enak dibaca.. karya kita semua. Peringatan: Pembaca yang sensi dengan seloroh ala internet, silakan stop di sini. Segala akibat menggunakan atau membaca, sepenuhnya tanggung jawab pembaca. Terima kasih & salam. ***
Kira-kira Sejarah Bali Bali Jaman Pra-Kerajaan Etnis Austronesia, yang membentang dari Madagaskar di barat, sampai ke Taiwan di Utara dan New Zealand di selatan, telah eksis di Bali setidaknya 2000 tahun sebelum Masehi. Budaya asli Bali dekat dengan etnis Austronesia itu. Peninggalan jaman batu yang terkenal ditemukan di desa Cekik di barat pulau Bali. Batunya sampai sekarang masih berserakan di pulau Bali. Walah. Ya iyalah. Batu dimana-mana juga banyak! Jaman kunonya, Bali itu menyatu dengan daratan Asia, bagian ujung banget (di zaman es pleistosen or something. Susah bener nyebutnya). Pas di sisi timurnya, ada selat Lombok yang dalam, di situlah batas daerah transisi yang dikenal sebagai Garis Wallace, yang sebelah sononya flora-faunanya sudah bukan flora-fauna Asia lagi, tapi merupakan bagian dari Australasia. Komodo saudara kita ada di sono itu. Lha, kok kita jadi bersaudara ama komodo yak? Sorry. Yang awal betul mengenal peradaban dan adat, lazim disebut Bali Mula. Setelahnya, muncul Bali Kuna, yang merupakan kelanjutan Bali Mula. Lalu Bali Aga, yang dianggap masih murni asli, yang jejaknya sekarang ada antara lain di Karangasem. Sekali lagi, Karangasem. Nggak pake u. Kalo pake u, bisa jadi kurang asem! Itu beda lagi. Setelah itu, kemungkinan dari abad ke-1, mulai kental pengaruh India, seperti juga negeri lain di nusantara. Ada juga pengaruh Cina, dan pengaruh negeri-negeri besar di nusantara khususnya dari Sumatra dan Jawa. Pada masa awal, katanya terdapat sembilan sekte Hindu yaitu Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Setiap sekte menghormati dewa tertentu. Nggak ada yang dewanya pake nomer. Kalo ada, mungkin sebagian pilih yang nomer 19. Kerajaan Bali yang menusantara, mulai eksis sekitar abad ke-8. Prasasti-prasasti pada periode abad ke-8 sampai ke-10 ditemukan di sekitar Sanur. Konon sistem irigasi subak yang kompleks untuk tanam padi sudah ada pada periode ini. Budaya yang khusus,
bahasa yang khusus, huruf khusus, itu melambangkan adanya suatu periode Bali itu merupakan suatu negeri yang kokoh dan berkepribadian, dan berperadaban tinggi. Di India ada gunung besar. Di Bali juga ada gunung besar, Gunung Agung (yang puncak tertingginya 3.142 meter dpl), dikenal sebagai "gunung ibu" dan merupakan gunung berapi yang tidak aktif. Eh, tapi ngapain nyebut India segala ya? Bingung. Kota terbesar, dan sekaligus ibukota propinsi saat ini adalah Denpasar, dekat pantai selatan, berpenduduk 492 ribu jiwa (per 2002). Dan yang terbesar kedua, Singaraja, berpenduduk 100 ribuan, yang di jaman kolonial merupakan ibukota. Letaknya di utara. Di sekeliling pulau Bali, ada tiga kepulauan kecil, di selat Badung, yang masuk ke Kabupaten Klungkung yaitu Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan. *** Kerajaan Bali Sebelum Perpecahan Jawa-Sriwijaya, Abad ke-8 s/d ke-10 Untuk kenusantaraan, Bali seolah kecil. Tapi karena unik, dan cukup mewarnai, eksistensinya perlu juga kita sebutkan secara khusus.... Kerajaan Bali yang pertama jadi dominan adalah Bedahulu atau Bedulu. Pusatnya di Bedulu atau Pejeng, Gianyar. Sebelum itu, mungkin ada kerajaan-kerajaan kecil sporadik, atau suku-suku yang tidak beneran bernegara. Bedulu mulai eksis sekitar abad ke-8, dan erat beraliansi dengan Jawa sejak masa Mpu Sendok abad ke-10, dan ada terus sampai abad ke-14. Terus mecah jadi kerajaan-kerajaan lain kecilan. Kayak piring aja ini pake ada istilah pecah segala. Di kerajaan Bedulu inilah dinasti Warmadewa bertahta, dengan Sri Kesari Warmadewa sebagai raja pertama. Atau tepatnya, Sri Kesari Warmadewa ini raja yang pertama 'besar'. Sebab, menurut prasasti Bajong yang ditemukan di Sanur, indikasinya dia baru berkuasa pada abad ke-10. Pada masa itu, mungkin kekuasaannya tidak ujung ke ujung sepulau Bali, tapi bisa kita kira-kira, mereka yang terbesar, terkuat. Se-Bali tidak ada yang bisa menandingi. Sri Kesari ini penganut Budha Mahayana, lurus dengan raja Medang di Jawa abad ke-10 dan ke-11. Erat juga pertalian darah atau hubungan pernikahan di antara keduanya. Masa itu, di Bali mestinya masih ada harimau segala, dan hutan yang lebat. Nah, di hutan itu, yang berkuasa jadi raja hutan mestinya si harimau itu. Kecuali kalau dia pilek, maka pejabat sementaranya mungkin monyet. Setelah Sri Kesari, Bedahulu dipimpin Sang Ratu Ugrasena, yang kira-kira sejaman dengan Mpu Sendok. Ugrasena ini banyak merilis prasasti menceritakan macammacam, mulai dari perpajakan, penganugerahan, upacara agama, pembangunan penginapan, hingga pendirian tempat ziarah atau pemujaan. Prasastinya ditulis dalam bahasa Bali kuno. Bukan bahasa Rusia, dan selalu diawali "yumu pakatahu" yang bermakna “ketahuilah oleh kalian semua”.
Seperti juga masa pencerahan di Jawa, besar kemungkinan, pada periode inilah Bali mulai menjadi canggih. Bahasanya khusus, hurufnya khusus, dan pencerahan terjadi pesat di banding daerah-daerah lain di nusantara yang belum apa-apa. Ugrasena terus digantikan Sri Tabanendra Warmadewa. Kemungkinan Tabanendra ini anak Ugrasena dari (Mahendradatta?) istri yang merupakan putri Mpu Sendok dari Medang. Jadi, selain raja Bali, dia juga cucu Mpu Sendok. Di titik ini bisa diperkirakan, bahwa aliansi Jawa-Bali amatlah mesra. Tabanendra memerintah 943-961M (sekitar 18 tahun). Setelah itu, digantikan oleh raja-raja yang masa pemerintahannya agak pendekpendek. Rambutnya juga pendek. Eh, atau malah jabrik! Bulu ketek aja juga mungkin jabrik. Tapi buat apa kita urusin? Bener nggak? Sampai kemudian muncul Sri Udayana Warmadewa, mulai memerintah tahun 989M atau 28 tahun setelah Tabanendra. Nggak tahu deh bagaimana situasi bulu keteknya dia. Selama 28 tahun yang mengantarai itu, bergantian kerajaan dipimpin oleh tiga orang: Sri Candrabaya Singa Warmadewa, Sri Janasadu Warmadewa, dan Sri Maharaja Sriwijaya Mahadewi. Di masa ini bisa kita kira-kira dan kita bayangkan, Bali itu serba rukun harmonis, penduduknya sedikit, tapi sudah mulai eksis sebagai suatu negeri yang permai. Bukan kira-kira lagi, tapi ini pasti: pada masa itu, masih amat lazim perempuan-perempuan Bali kemana-mana itu telanjang dada! Lha, kalau yang ini tidak usah kita bayangkan. Eh, jangankan di abad ke-10 ya. Sampai jaman Jepang atau sekitar itu, perempuan bertelanjang dada di Bali itu amat lazim. Dan di Jawa juga. Atau senusantara barangkali. Adem isis soalnya. Atau gimana. Kita nggak tahu. Bahkan sampai sekarang, turis pun banyak yang minul-minul. Yaitu turis keblinger.... Bodo, ah. Yang pertamanya pakai baju rapet itu etnis-etnis yang alim di Sumatra-Melayu sana. Yaitu sejak marak perdagangan kain dari India-Cina dan daerah-daerah utara yang iklimnya lebih dingin. Sebelum ada perdagangan kayak begitu, bisa jadi leluhur kita senusantara ini nggak pernah pakai kain, tapi dibuntel daun atau apa. Mirip lemper gitu deh, atau arem-arem. Walah ini kira-kira yang nggak ilmiah blas! Sorry. *** Kerajaan Bali Saat Perpecahan Jawa-Sriwijaya, S/d 1343M Sri Udayana Warmadewa yang memerintah 989-1011M (sekitar 22 tahun).. memiliki tiga anak, yaitu Airlangga, dan Marakata, serta Anak Wungsu. Airlangga kemudian menjadi raja Jawa terkenal (pendiri Kahuripan) setelah dia diambil menantu oleh Dharmawangsa, yang tidak lain adalah uwaknya sendiri, kakak dari ibundanya. Pada masa Dharmawangsa, Jawa geger dengan Sriwijaya. Jawa mulai berusaha menggusur Sriwijaya, yang notabene raja-rajanya sama-sama berasal dari satu trah, yaitu wangsa Syailendra. Dharmawangsa yang punya tentara lebih banyak, sempat melakukan penyerbuan marinir ke ibukota (sekitar) Palembang. Tapi kemudian, sisa-
sisa tentara Sriwijaya bisa merebut balik Palembang itu. Bahkan, bekerjasama dengan kroni-kroninya di Jawa, pasukan komando Sriwijaya balas dendam terus mengacakacak istana Jawa, dan membunuh Dharmawangsanya sekalian, pas pada saat Dharmawangsa menikahkan putrinya dengan Airlangga (pangeran Bali 16 tahun, yang merupakan keponakan Dharmawangsa sendiri, karena merupakan anak dari adik-nya Dharmawangsa yang menjadi permaisuri Raja Bali). Setelah kejadian itu, Jawa sempat mengalami set-back. Yang semula bersatu, semua mempertuan Dharmawangsa (dan Sriwijaya),.. terpecah menjadi kerajaan kecil-kecil. Kemungkinan besar, pada periode ini, Bali juga memecah, memisahkan diri. Merdeka! Airlangga beserta sisa pasukan Dharmawangsa mertuanya, lalu bangkit kembali. Bukan bangkit dari kubur. Pokoknya bangkit gitu ajalah. Kalo bangkit dari kubur itu zombi, bukan Airlangga. Tapi dia tidak sukses menggabungkan tahta Jawa dengan Bali, yaitu Airlangga, bukan zombi, karena yang established di Bali kemudian adalah Anak Wungsu itu, adiknya Airlangga. Airlangga lalu membentuk kerajaan Kahuripan, yang kelak pulih kembali menjadi yang paling dipertuan di Jawa. Tapi di Sunda dilelewe. Eh, nggak tahu ding, di daerah Sunda diapain. Menurut catatan, Anak Wungsu tidak langsung menggantikan ayahnya Udayana, tapi disela dulu Sri Adnyadewi (Darmawangsa Wardana, 1011-1022M, kemungkinan saudara Udayana, berkuasa 11 tahun), lalu disusul Sri Darmawangsa Wardana Marakatapangkaja (1022-1025M, cuma tiga tahun, dia ini satu di antara tiga bersaudara anak Udayana di atas, saudara Airlangga juga), baru setelah itu Anak Wungsu, berkuasa 1049-1077, sekitar 28 tahun. Bisa kita kira-kira, saat Airlangga membangun dan membesarkan Kahuripan, hubungan dengan Bali sudah berbeda dari sebelumnya. Walau besar kemungkinan, persaudaraan antara bangsawan Bali dengan Jawa terus dipelihara dan tidak pernah kisruh. Rajanya adik kakak toh? Dan kata nenek, adik sama kakak nggak boleh berantem. Lha, neneknya siapa itu? Embuh. Setelah masa Anak Wungsu, raja di Bali itu berganti-ganti, dan tidak terlalu terkenal. Ibu-ibu juga sepatunya sering berganti-ganti. Biar modis. Putusnya persaudaraan Jawa-Bali, mestinya terjadi pas Ken Arok yang bukan siapasiapa, dan tidak bersaudara dengan raja Bali lantas sukses mengkudeta kerajaan utama di Jawa, yaitu saat itu: Kediri. Nggak tahu, kalau dengan Haji Udin, Ken Arok itu bersaudara apa enggak. Bersaudara pun, kita mau apa? Bahkan mungkin, Jawa-Bali jadi cenderung bermusuhan. Karena Ken Arok itu kan menjungkirkan trah Mpu Sendok alias Wangsa Isyana, yang sudah beberapa generasi menjalin persaudaraan melalui perkawinan-perkawinan dengan para bangsawan Bali. Masa berganti, terus jaman Kertanegara berjaya di Singosari, raja Bali sempat diciduk dihina dan dibawa ke ibukota Singosari segala untuk diperbudak. Kertanegara ini turunan Ken Arok. Di titik ini, mungkin Bali mengalami set-back luar biasa, yaitu para bangsawannya. Namun, di pihak lain, secara budayanya, tetap terjaga. Orang-orang
Jawa kala itu, sepertinya cuma ngincer para bangsawan, tapi tidak niat menghancurkan budaya Bali, yang notabene seguru-seilmu dengan budaya Jawa. Tapi bahasanya beda. Masih pada suka beli-beli tiang gitu deh. Tiang pundhi? Lalu, jadilah Bali itu jajahan Singosari sampai bebeberapa lama. Kira-kira begitu. Saat Singosari dijungkirkan Jayakatwang dari Kediri, ada kemungkinan Bali yang di seberang laut kemudian memerdekakan diri. Lepas (lagi) dari Jawa. Merdeka lagi, sampai beberapa lama, yaitu sampai Majapahit berjaya sebagai yang terbesar di Jawa. Jaman Majapahit, kemudian Bali ini dianeksasi Gajah Mada. Konon, Gajah Mada menggunakan muslihat dalam menekuk Bali. Lha, kenapa pakai muslihat segala? Kenapa tidak langsung diserbu? Bisa jadi, karena Bali itu bukanlah kerajaan lemah. Seorang tokoh Bali independen kala itu, Kebo Iwa nama atau julukannya, adalah penentang aneksasi Bali oleh Majapahit. Mestinya, dia punya pasukan yang tangguh susah dikalahkan. Para pemimpin di Bali, ada kemungkinan masih belum lupa dengan masa-masa muram, saat raja Bali dipermalukan Kertanegara dari Singosari. Bertempur habis-habisan di Bali, itu biayanya mahal. Lebih mahal kalau nginepnya di hotel bintang lima. Waktu itu belum ada sih. Majapahit mesti mengirimkan marinir dalam jumlah banyak, beserta seluruh logistik, peralatan, dan kapal-kapalnya. Jadi, Gajah Mada lantas bersiasat. Oleh Gajah Mada, raja Bali diajak damai, dan Kebo Iwa diminta dikirim ke Majapahit untuk dinikahkan dengan bangsawan Jawa (yang perempuan tentu saja, masak iya dengan yang alay?!!), yaitu untuk meneguhkan aliansi. Raja Bali setuju. Tapi, begitu Kebo Iwa tiba di Jawa,... bukan dijemput putri cantik, malah dijemput kematian. Tewasnya tokoh Kebo Iwa, membuat persatuan dan pertahanan Bali goyang. Biduan dangdut juga sering goyang, sehingga kemudian Majapahit lebih mudah menaklukkan Bali tahun 1343M. Gajah Mada dibantu oleh beberapa Arya atau Ksatria, di antaranya yang sering disebut Arya Damar. Dalam pertempuran, raja Bali dan putra mahkota gugur. Tapi pertempuran terus berlangsung dipimpin Pasung Grigis, mahapatih andalan kerajaan Bali yang mengambil alih peran Kebo Iwa yang konon lebih junior darinya. Perlawanan Bali sengit, namun massa tentara Majapahit jauh lebih banyak, sehingga akhirnya Pasung Grigis menyerah dan ditawan. Perlawanan rakyat Bali pun mereda. *** Kerajaan Bali Periode Samprangan, 1343-1380M Untuk mengisi kekosongan kekuasaan, Majapahit kemudian mendirikan dinasti pro Majapahit di Samprangan, dekat Bedulu juga. Raja pertamanya: Sri Aji Kresna Kepakisan, yang mengawali Dinasti Kepakisan, dan mengakhiri Dinasti Warmadewa yang Bedulu asli. In short, Dinasti Warmadewa established sampai masa Anak Wungsu
dari abad ke-8 s/d abad ke-11. Lalu sempalan dinasti Warmadewa memimpin sampai 1343M saat Majapahit menganeksasi Bali dan menginstall dinasti Kepakisan. Lanjut kisah Pasung Grigis, mungkin sebagai tanda bakti dan terima kasih setelah diberi amnesti oleh Majapahit, Pasung Grigis terus ikut bergabung dalam pemerintahan kerajaan vasal Bali bentukan Majapahit. Majapahit memanfaatkan keahlian perangnya untuk merontokkan kerajaan Sumbawa yang sengit melawan hegemoni Majapahit dipimpin oleh Raja Dedela Nata. Pada satu titik, akhirnya Pasung Grigis dan Dedela Nata duel maut dan sama-sama gugur di medan laga. Dan setelah itu, perlawanan di Sumbawa mereda, dan jadilah Sumbawa itu vasal Majapahit berikutnya. Atau vasal Bali, yang Balinya vasal Majapahit. Majapahitnya menyembah pada Allah. Subhanallah. Sri Aji berkuasa sekitar 30 tahun (1350-1380M). Sebelum itu, 1343-1350M, sekitar 7 tahun, Bali dijajah Majapahit tanpa raja. Tahun 1380, Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan lalu diganti oleh anak pertamanya Dalem Samprangan atau Raden Agra Samprangan. Tapi sepertinya, Raden Samprangan ini baru memimpin sebentar lantas dikudeta (atau setengah kudeta?) oleh Dalem Ketut Ngulesir, (atau bisa juga kekuasannya direbut secara baik-baik?). Pusat pemerintahan di Bali terus dipindah ke Gelgel sekitar 1380-an itu juga. Jadi, setelah periode Bedulu berakhir 1343M (eksis selama enam abad?), periode Samprangan cuma bertahan sekitar 37 tahun. *** Kerajaan Bali Periode Gelgel, 1380-1710 (330 Tahun) Masa kini: Gelgel itu sebuah desa di Kabupaten Klungkung, 17 km arah timur dari desa Samprangan. Letaknya tidak begitu jauh dari pantai selatan dan di timurnya mengalir Kali Unda yang mata airnya dari Telaga Waja di lereng Gunung Agung. PERTAMA: Setelah menggusur Raden Samprangan dan memindah ibukota ke Gelgel (Swecapura), Dalem Ketut Ngulesir berkuasa 80 tahun (1380-1460M). Tauk deh, apa ini satu orang atau lebih (ada Ketut Ngulesir I, Ketut Ngulesir II, dan seterusnya, karena masa 80 tahun itu panjang juga, apalagi kalau berkuasanya dari umur 20 tahun, berarti total umurnya 100 tahun!). Salah satu situs internet menyebutkan, Dalem Ketut Ngulesir (yang asli pertama), berkuasanya cuma 20 tahunan (1380-1400M). Tapi ada konfirmasi, bahwa Dalem Waturenggong pelanjutnya baru berkuasa tahun 1460. Jadi, antara 1400-1460 mestinya ada Ngulesir II atau mungkin Ngulesir II, III, IV, nggak tahu berapa orang. Dalem Ngulesir, disebutkan tampan, bijaksana, tegas, disiplin. Soal tampannya ini silakan dikira-kira sendiri lho ya. Mohon maklum, kata pepatah, lelaki itu, asal duitnyanya banyak.. otomatis langsung tampan! Pada siwer kali matanya cewek-cewek! Dia menghukum dengan keras, memberi penghargaan pada yang berjasa. Sebagai sekutu dekat, beberapa kali dia diundang Hayam Wuruk of Majapahit saat rapat akbar
atau upacara Cradha. Dalem Ngulesir biasanya hadir berdampingan raja-raja bawahan atau aliansi Majapahit yang lain. Ngulesir sering disertai lingkaran dekatnya: Patih Agung, Arya Patandakan, dan Kyai Klapodyana (Gusti Kubon Tubuh). KEDUA: Berikutnya, berkuasa Dalem Waturenggong sekitar 90 tahun (1460-1550M). Idem di atas, jangan-jangan ini juga bukan satu orang. Karena kalau berkuasanya dari umur 30 tahun, meninggalnya itu 120 tahun! Bisa sih, tapi rada ajaib. Ada yang menyebut nama lengkapnya: Dalem Batur Enggong Kresna Kepakisan Konon, di masa ini Bali stabil dan berkembang pesat. Berwibawa dan mencapai puncak kejayaan. Ada kemungkinan, dia punya jajahan-jajahan seberang lautan. Kemungkinan yang dijajah: Lombok, dan bisa juga sampai ke Sumbawa, atau semua sekitar situ, alias bekas-bekas footprint Majapahit di Nusa Tenggara. Blambangan di tapal kuda Jawa Timur bisa juga sempat dijajah Bali. Bekas-bekasnya bisa kita lihat sampai sekarang, di sana ada komunitas Osing, yang bahasa dan budayanya merupakan campuran Jawa, Bali (mungkin dari periode ini), dan Madura (mulai masuk ke sana intensif masa Arya Wiraraja di awal munculnya Majapahit di abad ke-13). Di Jawa, pada periode ini Demak mulai muncul (1475M), Majapahit melemah (tapi masih beraliansi dengan Bali), dan Malaka yang sebelumnya titik sentral perdagangan internasional di kawasan (dan dipimpin Sultan islam) sudah direbut Portugis (1511M). Berdasar catatan Portugis, awal abad ke-16-an, marinir dari Klungkung (maksudnya Gelgel, karena Gelgel juga di daerah Klungkung) sempat bahu membahu dengan marinir Majapahit di bawah arahan Patih Udara, untuk menyerang Demak (Ada kemungkinan, Portugis juga memberikan dukungan bagi mereka). Serangan ini gagal menaklukkan Demak (yang dibeking negeri-negeri islam di Nusantara dan juga dibeking Cina), tapi makan korban banyak. Kalo makan korma sih gurih. Tapi ini korban. Jadi, pada masa itu, sepertinya di satu sisi ada negeri-negeri islam di Nusantara (lebih kurang sekubu, walaupun ada persaingan internal di dalam). Mereka ini bersekutu dengan mitra-mitra dagang internasionalnya, dan yang terkuat adalah Cina (beserta trading posts Cina, senusantara kemungkinannya). Di pihak lain, ada kekuatan lama nusantara yang terdesak, yang masih Hindu-Budha (utamanya Majapahit, sisa kerajaan Pakuan-Pajajaran, Bali dan jajahannya). Mereka ini (sering kali) bersekutu dengan Portugis (dan atau negeri barat lainnya), yang notabene karena punya musuh bersama negeri-negeri islam nusantara. Sepertinya Bali di masa ini makin sophisticated, dan solid terlindung laut sebagai benteng alam. Tetap Hindu dan bersih dari agresifnya islamisasi. Kelak saat Demak dan sekutunya mengkonsolidasikan kekuasaan di nusantara, menguasai Jawa dan sekitarnya, dan mengikis habis sisa-sisa Majapahit dan Pakuan-Pajajaran, Demak tidak berhasil melibas Bali, atau mungkin sengaja membiarkannya karena Bali ini kuat. Selain posisinya yang di seberang laut. Ada kemungkinan juga, Bali sudah bersekutu dengan negeri-negeri barat, khususnya Portugis di awalnya, lalu VOC.
Mengingat posisinya yang khusus itu, selepas serangan gagal ke Demak akhir abad ke15 dan awal abad ke-16 itu, banyak eksodus ke Bali kalangan intelektual eks Majapahit dan intelektual Hindu-Budha (dan aliran kepercayaan lama di Jawa pada umumnya, tapi mungkin tidak termasuk aliran Mbah Gambleng dan Darmo Gandul); yaitu termasuk seniman, pendeta, musisi, perwira-perwira, dan keluarganya. Sepertinya Bali ini tujuan favorit untuk eksodus besar-besaran, kemungkinannya terjadi sekitar 1520-an. Tidak semua tentunya. Bagi yang lebih memilih beradaptasi, mereka masuk islam, yaitu entah beneran atau islam-islaman, sambil mengharap Demak dan negeri-negeri islam yang bermunculan bisa menjadi pemerintah toleran yang menerima mereka. Atau,.. mereka tetap di Jawa, tetap dengan keyakinan lama, merasa uzur untuk ke luar Jawa, tapi terus menyepi ke tempat terpencil, menjauh dari hiruk-pikuk duniawi. Yang culun-culun, mungkin juga ada yang nggak kemana-mana, byur, keburu kecemplung sumur. Kedatangan talenta-talenta Majapahit itu, mestinya terus bisa memperkokoh Bali, dan menjadikannya makin sulit ditundukkan siapapun. Bisa juga, sebelumnya dia sudah kokoh lagi. Bahkan bisa jadi lebih kokoh daripada saat Bali dianeksasi Majapahit. Andai dia tidak kokoh, tentu Bali tidak akan bisa bertahan jadi satu-satunya kerajaan agung bercorak Hindu di nusantara, bukan? Kelak, saat Majapahit beneran runtuh, kerajaan Gelgel ini mengklaim diri sebagai penerus Majapahit yang sejati! Dasarnya apa? Karena raja-rajanya, dinasti Kepakisan, itu juga sedikit banyak berdarah Majapahit. Kedua, sisi budaya dan keyakinan juga amat dekat dengan Majapahit. Ketiga, top talents Majapahit toh juga banyak yang meneruskan kiprah di Bali. Keempat, wilayah Bali dan sekitar nusa tenggara itu sudah menjadi bagian Majapahit sejak 1343! Di sisi lain, Demak dan negeri-negeri penerusnya di Jawa juga mengklaim merupakan penerus Majapahit sejati. Karena apa? Karena dasarnya raja-rajanya juga berdarah bangsawan Majapahit. Kedua, walau keyakinannya beda: islam, tapi budayanya amat dekat dengan Majapahit. Ketiga, top talents Majapahit juga banyak yang meneruskan kiprah di Demak. Keempat, areanya di Jawa juga setara dengan wilayah inti Majapahit. Nggak tahu siapa yang paling sahih klaimnya. Yang jelas, orang rame-rame mengklaim jadi penerus, itu membuktikan bahwa Majapahit di satu ketika memang pernah digdaya dan membanggakan bener. Kang Uyek tukang peuyem buktinya tidak ada orang yang ngaku-ngaku saudaranya dia. Maksa-maksa tes DNA juga enggak. Hutangnya banyak. Serangan-serangan ke Bali mestinya ada. Tapi tidak pernah bisa secara fenomenal mengoyak Bali. Sebaliknya, Bali juga meluaskan pengaruh ke seberang, yaitu ke Jawa beberapa kali. Mungkin ke daerah Sunda juga. Dan yang cukup sukses ke Lombok. Dan untuk beberapa lama, Lombok itu terus menjadi jajahan Bali. Blambangan juga sempat menginduk ke Bali (wilayah komunitas Osing masa kini). Sumbawa yang di masa Majapahit pernah dianeksasi dengan bantuan orang-orang Bali, bisa juga sempat menginduk ke Bali (tapi tidak keseluruhan pulau?).
KETIGA: Setelah Waturenggong lewat, yang mengganti Dalem Bekung, berkuasa sekitar 30 tahun (1550-1580M). Alias, I Dewa Pemayun. Saat bertahta, dia masih anakanak, sehingga didampingi Patih Agung dan para paman sang raja, yaitu I Dewa Gedong Artha, I Dewa Nusa, I Dewa Pagedangan, I Dewa Anggungan, I Dewa Bangli. Kelima paman itu putra I Dewa Tegal Besung, sepupu Dalem Waturenggong. KEEMPAT: Dalem Sagening naik tahta 1580-1665M (85 tahun), bijaksana, cerdas, berani, tapi kerajaan sedang kisruh saat dia naik. Yaitu naik tahta, bukan naik odongodong! Dia ini mungkin juga bukan satu orang mengingat rentang tahun yang segitu lama. Ditambah umur pas naik tahta, meninggalnya apa bener bisa 100 tahun lebih? Mohon maklum, pada masa itu, di nusantara ada tradisi pewarisan nama, yang bikin sejarah jadi ruwet dan campu baur. Contoh saja: Saat kesalahan pada Untung, Raden Surapati kemudian dihukum mati, dan oleh Raja Cirebon, nama Surapati diberikan pada Untung (jadi Untung Surapati! Ya iyalah. Masak Untung ditambahi Surapati terus jadi Cecep Gorbacep? Enggak, kan?) Nah, anything yang semula milik Surapati, bisa saja terus jadi milik si Cecep itu. Eh, ini tadi Cecep apa Udin, ya? Bingung. Sunan Gunungjati juga sama. Bisa jadi, yang pakai nama itu, ada beberapa orang sambung menyambung. Brawijaya idem ditto. Jadi, bisa juga Dalem Sagening ini kayak begitu. Semula Dalem Sagening asli. Lalu, saat dia mangkat, namanya dioper pada anaknya. Lalu bisa dioper lagi pada anaknya lagi. Atau siapa. Hal sama juga ada di Eropa, tapi kalau di sana, orang lebih disiplin dengan memberi nomor urutan: Louis I, Louis II, Louis III, dan seterusnya. In short, yang namanya Dalem Sagening (entah dua orang atau lebih), itu dipertuan se-Bali, berkuasanya 85 tahun di Gelgel. Susah payah dia memulihkan kestabilan Gelgel, didampingi Patih Agung Kryan Agung Widia, putra Pangeran Manginte dan Demung Kryan Di Ler Prenawa, adiknya. Meniru Jawa, dia meluaskan nepotisme, menempatkan anak-anaknya (atau anak angkat?) untuk menjadi raja-raja bawahan, dengan jabatan Anglurah, yaitu, antara lain: (1) I Dewa Anom Pemahyun, ditempatkan di Sidemen (Singarsa) 1541 M, didampingi patih I Gusti Ngurah Sidemen Dimade, dengan batas wilayah timur sungai Unda sampai sungai Gangga, dan batas utara sampai dengan Ponjok Batu. (2) I Dewa Manggis Kuning (I Dewa Anom Manggis) yang ibunya seorang ksatria dari Manggis, atas permohonan I Gusti Tegeh Kori, dijadikan penguasa daerah Badung, namun kemudian tergusur ke daerah Gianyar. (3) Kyai Barak Panji, beribu dari Ni Pasek Panji, ditempatkan di Den Bukit, dibantu keturunan Kyai Ularan. Dia pendiri kerajaan Buleleng yang kemudian bernama I Gusti Panji Sakti.
Destabilisasi ini bisa juga disebabkan orang-orang Eropa makin meningkatkan tensi di Nusantara. Kontak Bali dengan bangsa Eropa diperkirakan sudah terjadi 1585, ketika ada kapal Portugis kandas di lepas Semenanjung Bukit, terus beberapa awaknya diambil jadi pegawai oleh raja Bali. Setelah itu, 1597, setelah terusir dari Banten, penjelajah Belanda Cornelis de Houtman mampir di Bali juga. Bukan untuk berjemur di pantai Kute, atau beli pia! Tapi untuk beraliansi juga. Setelah VOC berdiri, VOC juga diijinkan oleh raja Bali untuk mendirikan pos sejak 1602. Dan kemungkinan, adanya VOC di situ menghindarkan Bali dari serbuan kesultanan islam se-nusantara. VOC perlu teman untuk mengimbangi kekuatan sultan-sultan, Bali juga perlu teman dan teknologinya VOC. Jadi, klop. Aliansinya saling menguntungkan. Hanya, perlu dicatat, adanya VOC bukan artinya Bali ini terus menjadi jajahan Belanda. Bali tetap merdeka! Cuma dia punya pakta aliansi. Seperti di NATO-lah. Walau yang paling digdaya Amerika, bukan berarti para anggota NATO lain jajahan Amerika, kan? Dengan beraliansi ini, Bali tetap damai dan terus mengokohkan budayanya sendiri. Tetap unik, dan berbeda dengan seluruh nusantara yang lantas didominasi oleh warna islam, di satu sisi, dan pengaruh eropa di sisi lain. KEEMPAT: Sepeninggal Dalem Sagening terakhir, naik tahtalah Dalem Anom Pemahyun 1665M (atau I Dewa Anom Pemahyun). Belajar dari pengalaman dan sejarah, sang raja ini melakukan pembersihan secara progresif, semua pejabat kunci, diisi dengan orang-orang yang solid loyalitasnya pada raja. Tapi sepertinya Anom Pemahyun ini tidak bertahta lama-lama. Ada satu cerita terpisah... Di abad ke-17 ini, saat Banten dijarah oleh Belanda, Sultan Ageng dari Banten melarikan diri. Sampai terciduk. Lalu anak dan orang dekatnya melanjutkan perlawanan. Nah, yang sukses membekuk Purbaya anak Sultan Ageng, tidak lain satu pasukan komando asal Bali, yang dipimpin Letnan Untung (Surapati). Letnan VOC pribumi itu semula budak, berdarah Bali, diambil tuan Belandanya entah di Makasar atau dimana. Belakangan, karena sepertinya diyakini pembawa hoki dan juga jagoan, dia dijuluki 'Si Untung' oleh tuannya. Tapi belakangan, Untung ini dibejek abis oleh tuannya karena dianggap kurang tahu diuntung. Anak gadis si tuan Belanda, kena pelet oleh dia, terus mestinya kena embat sekalian. Gaya-gayanya model Ken Arok gitu deh. Ya sudah, kalau tidak salah, terus Untung dihukum seumur idup. Toh talentanya yang menonjol, kemudian bikin dia jadi sering dimanfaatkan VOC untuk mengerjakan 'pekerjaan-pekerjaan kotor'. Beberapa kali sukses mestinya. Kalo gagal, pasti sudah gameover, end of the story. Bahkan, kemudian, dia punya pasukan komando sendiri, terdiri dari orang-orang Bali, dan dipangkati letnan, yang mestinya, menurut VOC itu sekedar letnan-letnanan, bukan letnan reguler yang sejati. Saat ditugasi menjemput Pangeran Purbaya itu, dia pun sukses. Pangeran Purbaya pun oleh Untung dan pasukan digiring keluar masuk hutan. Eh, sebelum bertemu induk pasukan VOC di Tanjungpura, rombongan ini bertemu duluan dengan unit terdepannya.
Di situ, ada yang bilang komandannya itu Vaandrig (pembantu letnan), tapi ada juga yang bilang komandannya Kapitein. Sang komandan pasukan terdepan itu, dan koncokonco bulenya, sama sekali tidak respek pada Untung dan pasukan. Kenyataannya, Untung dan pasukan memang pasukan jadi-jadian, bukan tentara VOC reguler, tapi VOC yang melecehkan itu salah menghitung kekuatan Untung. Buntut dari ketersinggungan itu, Untung Surapati dan pasukan lalu membantai unit pasukan VOC pendahulu yang lebih besar itu, dan kemudian buron beserta seluruh pasukan Balinya. Kemungkinan besar, pada titik ini Untung kemudian malah berteman dengan Pangeran Purbaya dari Banten itu. Mereka pun berunding. Pangeran Purbaya, untuk mencegah kroninya dibantai abis, memutuskan untuk tetap menyerahkan diri ke Batavia via pasukan induk VOC di Tanjungpura (Kerawang), tapi dia minta bantuan Untung untuk melarikan keluarganya termasuk Gusik Kusuma istrinya ke luar negeri, yaitu ke daerah Jawa. Pada waktu itu, Banten adalah satu negeri terpisah, lalu Batavia dan daerah kekuasaan VOC itu negeri lain lagi, dan Jawa itu lain lagi. Kalau Bekasi? Belum diomongin. Ya sudah, Untung setuju. Eh, Untung-nya pake huruf besar ini ya. Nama orang. Kucing juga bisa sih namanya Untung. Dia lari ke arah timur, menjauh dari Batavia, kemudian di wilayah kesultanan Cirebon rombongannya gegeran lagi dengan seorang bangsawan, Raden Surapati namanya. Anak angkat sultan Cirebon, yang satu aliansi dengan kesultanan-kesultanan di Jawa. Setelah diadili, terbukti yang bersalah itu Surapati. Makin kuat lagi posisi Untung, karena dia bersama istri dan keluarga Pangeran Purbaya yang masih kerabat sultan Cirebon. Sedang Raden Surapati cuma anak angkat. Surapati pun dihukum mati. Sejak itu nama "Surapati" oleh Sultan Cirebon diserahkan kepada Untung. Dan yang semula Letnan Untung, jadi dikenal sebagai Untung Surapati, walau nama aslinya kemungkinan adalah Surawiroaji bukan I Made Nyengsol. Dukungan dari Sultan Cirebon, dan sisa-sisa bangsawan Banten, mempermudah Untung Surapati merapat ke Mataram. Lalu, dengan kedekatan itu, dan talentanya, di Jawa Untung Surapati terus bisa jadi tumenggung (bupati) di Pasuruan, didukung oleh pasukannya yang orang-orang Bali. Amangkruat Sultan Mataram konon mendukung Untung diam-diam demi melemahkan VOC. Malang melintang di sana, sampai akhirnya Untung ditumpas pasukan gabungan VOC dengan orang-orang Jawa sekutu VOC. Riwayat Untung Surapati ini contoh saja. Terlepas dari itu, terlihat bahwa pada masa itu, orang-orang Bali punya kompetensi yang senusantara cukup diperhitungkan. KELIMA: Sepeninggal Anom Pemahyun, yang dinobatkan jadi susuhunan Bali di Gelgel adalah Dalem Dimade alias I Dewa Dimade. Dia bertahta sekitar 21 tahun (1665-1686), seorang yang sabar, lembut, bijaksana, dan memikat hati rakyat. Dia didampingi Patih Agung Kyai Agung Dimade (Kryan Agung Maruti, anak angkat I Gusti Agung Kedung)
yang berkemauan keras dan bercita-cita tinggi. Dan didampingi juga oleh Demung Kryan Kaler Pacekan dan Tumenggung Kryan Bebelod. KEENAM: Kryan Agung Maruti orang dekat Dalem Dimade. Tapi, tahun 1686 saat Agung Maruti mengambil oper Gelgel, kebesaran kerajaan ini tinggal kenangan. Kekuasaannya sudah terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Sampai kemudian, 1710, istana Gelgel tidak lagi digunakan untuk pemerintahan, dipindah oleh Dewa Agung Jambe ke Klungkung, dan muncullah periode Klungkung. Di ujung ini, Bali terus terpisah menjadi sembilan kerajaan kecil, yaitu: (1) Klungkung, (2) Badung, (3) Mengwi, (4) Bangli, (5) Buleleng, (6) Gianyar, (7) Karangasem, (8) Tabanan, dan (9) Denpasar. Pemecahan itu, memadamkan kisruh dan pemberontakanpemberontakan yang sudah terjadi terus sejak awal tahun 1600-an. Bali menjadi damai dan harmonis, sampai kemudian orang-orang Belanda menyerangnya. *** Kerajaan Bali, Periode Klungkung 1710-1908M (198 Tahun) Kemudian, dinasti Gelgel ini dilanjutkan dengan periode Klungkung (atau persisnya Semapura), yang masih dipimpin oleh trah Gelgel. Pemimpin pertama era Klungkung ini Dewa Agung Jambe, yang memerintah 65 tahun (1710-1775M). Perlu klarifikasi dikit ya. Saat 1513 Demak diserang oleh Majapahit dan Bali, (disponsori Portugis dari belakang layar), disebutkan oleh Portugis, bahwa pasukan Bali dipimpin Dewa Agung, Raja Klungkung, dan Majapahit dipimpin Patih Udara. Apa mungkin saat itu Klungkung sudah jadi pusatnya Bali? Sepertinya tidak. Pada waktu itu, rajanya Waturenggong dari Gelgel. Ups, tapi.. masa kini, daerah Gelgel itu masuk juga ke Kabupaten Klungkung. Dan sebutan Dewa Agung, itu sepertinya generik saja untuk menyebut raja Bali. Begitu juga, saat kapal kandas Portugis disita di Bali 1585, raja yang menyitanya disebut juga Dewa Agung. Saat Surabaya dikepung pasukan gabungan VOC-Kartasura 1717-1718, pasukan Bali ikut membantu Surabaya melawan VOC. Jadi, tidak saja sulit ditundukkan oleh para sultan dari masa Demak dan seterusnya, Bali itu juga sulit dikalahkan oleh VOC. Di akhir abad ke-18, Eropa pancaroba. Awal abad ke-19 VOC bubar, semua koloninya dinasionalisasi oleh kerajaan Belanda, sebentar saja. Terus, Belanda diserbu Napoleon, dan jadi jajahan Perancis beberapa tahun, termasuk semua koloninya. Di Jawa yang merepresentasikan Perancis itu Gubernur Jenderal Daendels. Setelah itu, Napoleon kalah, yang berjaya Inggris. Semua jajahan Belanda terus diambil Inggris beberapa tahun, termasuk nusantara ini, dan yang merepresentasikan Inggris itu Gubernur Jenderal Raffles. Jaman Daendels dan Raffles ini, semua jajahan yang semula sifatnya seperti kerajaan bawahan yang mandiri, coba didisiplinkan menjadi semacam koloni yang tunduk penuh kepada negeri induk seperti sebuah propinsi. Tak terkecuali Bali.
Di masa Daendels, kerajaan Badung di Bali, dan perwakilan Perancis sempat bikin pakta aliansi 1808, untuk penyediaan dukungan pekerja dan tentara bagi pasukan Napoleon (Perancis-Belanda) untuk pertahanan menghadapi kemungkinan serangan Inggris ke Jawa. Cuma Jawa keburu jatuh ke tangan Inggris 1811 sebelum perjanjian itu terimplementasi. Dengan Raffles pun (yang berkuasa di nusantara sejenak 1811-1816, selepas perang Napoleon), raja-raja Bali sempat nantangin. Masalahnya, Raffles (dan Inggris secara umum) bersikap anti perbudakan. Anti-Ahok juga mungkin. Lha, padahal, perbudakan itu termasuk salah satu sumber perekonomian tradisional Bali. Kalo Ahok sih nggak ada hubungan. Walhasil, Raja Karangasem dan Buleleng terus nekat kirim ekspedisi militer ke Blambangan untuk menyerang Pasukan India Inggris (Sepoy), Februari 1814. Sebagai balasan, Inggris mengirim pasukan besar ke Bali di bawah Mayjen Nightingale untuk kurang lebih nanyain (setengah ngancam): "Kalian beneran kan mulai sekarang mau tunduk sama gue?" Dan para raja di Bali langsung ho-oh saja, daripada benjol. Ketahuan mereka pernah punya pakta dengan Perancis, yang nota bener itu artinya mendukung Perancis dalam perang melawan Inggris. Raffles-nya sendiri terus mengunjungi Bali 1815. Bukan untuk foto-fotoan selfie di pantai Pandawa. Habis itu, Belanda kembali... Ide memaksa para raja Bali untuk tunduk itu tadi menarik hati Belanda. Begitu nusantara dikembalikan oleh Inggris, Belanda terus semangat 'mempropinsikan' kerajaan-kerajaan bawahan dan sekutu-sekutu lemah, termasuk Bali. Belanda pun mulai mengurangi kedaulatan Kerajaan Klungkung dan ingin menyerapnya jadi wilayah Hindia Belanda. Mei 1843 dipaksakan perjanjian penghapusan tradisi tawan karang Kerajaan Klungkung. Perjanjian ini menimbulkan rasa tidak senang para pejabat kerajaan. Rejeki rakyat menyusut, nih! Ditambah dengan sebab-sebab lainnya... seperti perampasan dua buah kapal yang kandas di Bandar Batulahak (Kusamba). Suasana pun jadi panas. Goyang pantura juga kadang panas. Belanda-Bali yang semula merupakan uni atau persekutuan ratusan tahun, melawan sultan-sultan islam.. terus pecah kongsi. Musuh bersama kesultanan islam tidak ada lagi. Kebanyakan sudah berhasil dijinakkan Belanda habis-habisan senusantara. Keterlibatan laskar Klungkung membantu Buleleng dalam perang melawan Belanda di Jagaraga 1848-1849 mempertajam permusuhan. Dan akhirnya meletus menjadi perang terbuka yaitu Perang Kusamba 1849. Kusamba ini pelabuhan penting bagi Klungkung. Setara dengan pelabuhan kerajaan lain di Bali, seperti Kuta. Pusat pemerintahan kedua setelah kraton Semarapura bagi Klungkung. Pasukan Belanda yang baru selesai ekspedisi menyerang Buleleng lalu ditugaskan menyerang Klungkung Mei 1849. Dengan cepat tentara Belanda yang persenjataannya unggul membobol pertahanan Klungkung di Pura Goa Lawah. Lalu merebut Puri Kusamba di hari yang sama. Laskar Klungkung undur ke barat dan membakari desadesa untuk menghambat gerak musuh. Tanpa diduga, saat malamnya tentara Belanda
rehat di puri Kusamba, laskar Klungkung menyerang balik habis-habisan dini hari itu. Bum! Jenderal AV Michiels pimpinan ekspedisi Belanda kakinya terkena tembakan kanon, jimat Klungkung, dan dia terus mati pelan-pelan kehabisan darah. Satu kapitein dan tujuh opsir lagi tewas, dan puluhan lain luka-luka. Belanda sempat terpukul mundur ke Padang Bai. Di pihak Klungkung, 800 tewas, 1000 luka-luka. Matinya jenderal Belanda jagoan yang sudah memenangi tujuh palagan pertempuran ini menunjukkan intensitas pertempuran yang luar biasa. Juni 1849, sebulan kemudian, barulah Letkol Van Swieten dan tentara Belanda berhasil merebut kembali Kusamba. Toh kerasnya perlawanan Klungkung menjadi indikasi kukuhnya militansi masyarakat Bali. Menurut sumber Belanda, di perang itu ada tokoh kunci Dewa Agung Istri Balemas, seorang tokoh wanita anti-Belanda yang berjuang dengan gigih dan dianggap pemimpin yang senantiasa menggagalkan perjanjian damai dengan Belanda. Di awal abad ke-20, Oktober 1902, dipaksakan lagi oleh Belanda perjanjian tentang tapal batas Gianyar-Klungkung. Setelah penandatanganan, timbul perselisihan antara Kerajaan Klungkung dengan Gubernemen mengenai Daerah Abeansemal, Vasal Klungkung yang berada di daerah Kerajaan Gianyar. Geger lagi urusannya. Kesel bolak-balik dikadalin Belanda, Raja Klungkung mendukung penuh Kerajaan Badung saat perang puputan habis-habisan 1906. Tapi, setelah kejadian ini, Klungkung terus ditempatkan di bawah pemerintahan langsung Belanda. Damai di bumi Bali. Damai tapi gersang. Perang diakhiri Oktober 1906 dengan perjanjian tentang kedaulatan Gubernemen atas Kerajaan Klungkung, dan status kenegaraan dan politiknya sebagai susuhunan raja-raja Bali dicopot. Diam-diam Dewa Agung Jambe II dan pembesar kerajaan menentang keras hal ini, dan mempersiapkan perlawanan, yang terus meledak jadi Puputan Klungkung 1908. Puputan Klungkung diawali oleh peristiwa Perang Gelgel yang meletus April 1908. Melihat skala perlawanan Klungkung yang masif, beberapa hari setelah pecah perang, tentara Belanda mengerahkan angkatan laut dan senjata pemusnah masalnya, meriammeriam besar untuk menembaki laskar di pantai Jumpai. Lalu diikuti dengan pendaratan marinir di Kusamba. Pusat pertahanan Klungkung diserang dari arah timur, barat, dan selatan. Persenjataan kalah, teknologi kalah, daya tembaknya kalah jauh, tapi Raja Klungkung I Dewa Agung Jambe beserta keluarga dan rakyat, tidak mau menyerah, malah terus bertempur (puputan) sampai berguguran, tumpas. Ini adalah perlawanan bunuh diri spiritual, mirip serangan banzai Jepang. Hasilnya ngeri. Ada 200an orang Bali terbunuh. Walaupun menang, Belanda pun syok melihat militansi yang seperti itu. Bagaimanapun, kita melihat, bangsa yang pantang menyerah, banyak yang selanjutnya sukses dengan gemilang bukan? Jepang yang punya semangat pantang menyerah, ujungnya toh jadi 'economic miracle' of the 70s walaupun sudah dibom atom, kekuatan ekonominya terbesar kedua di dunia setelah Amerika selama puluhan tahun. Jerman juga idem ditto. Bali sepertinya juga punya kegigihan luar biasa. ***
Bali, Pasca Tunduknya Kerajaan Klungkung 1908-1942 Andai dianggap 1908 itu akhir masa Bali berdaulat, maka penjajahan Belanda di Bali, yang beneran hanyalah terjadi 1908-1942, atau sekitar 34 tahun saja. Itupun, untuk menghindari sikap apatis, mendendam, memboikot, yang meluas terhadap Belanda, dan untuk menumbuhkan lagi persahabatan dan mengambil hati rakyat, Juli 1929, pemerintah Hindia Belanda merestorasi kepemimpinan Kerajaan Klungkung. Cari punya cari, ternyata masih ada kerabat kerajaan Klungkung yang tersisa, yaitu Dewa Agung Oka Geg, keponakan raja terakhir. Diangkatlah dia oleh Belanda selaku penguasa kolonial menjadi Regent atau bupati. Jadi, kalau dihitung 1908 sampai 1929, Klungkung itu betulan jadi koloni Belanda cuma 21 tahun. Menyusul kemudian, menjelang perang Eropa 1938, bersama tujuh bupati wilayah lain di Bali, Klungkung diakui (lagi) kedaulatannya sebagai wilayah zelfbestuurder (berpemerintahan sendiri), dan para rajanya diberikan hak kedaulatan sampai batas tertentu seperti selayaknya negeri berdaulat. Kurang lebih seperti negara Monaco sekarang yang berada di tengah-tengah Perancis, atau San Marino yang ada di tengah-tengah Itali.
Dalam pembagian sebelumnya, saat Bali terpecah di akhir periode Gelgel ada sembilan daerah yaitu (1) Klungkung, (2) Badung, (3) Bangli, (4) Buleleng, (5) Gianyar, (6) Karangasem, (7) Tabanan, (8) Mengwi, (9) Denpasar. Di versi 1938, sepertinya area Denpasar (di area Badung) dan Singaraja (di area Buleleng), dua kota besar menjadi daerah yang sifatnya agak khusus, yang pengendali
utamanya adalah Belanda (bukan raja-raja Bali). Kerajaan Mengwi sepertinya tidak kocap lagi, kemungkinan besar sudah terserap ke Badung dan/atau Tabanan. Tapi muncul area baru, yang sebelumnya mungkin termasuk bagian Tabanan dan/atau Buleleng, yaitu Jembrana. Sampai sekarang, 2016, kurang lebih pembagiannya masih persis seperti peta 1938 itu, ada 8 daerah, plus Denpasar yang muncul sebagai ibukota propinsi. Kalau dipikir ke Belakang, selama jaman VOC, Bali dan Belanda itu koncoan. Selepas VOC, dan perang Napoleon, Belanda lalu berusaha mengkonsolidasikan nusantara menjadi satu koloni, dan mulai intensif mengincar Bali 1840-1841. Awalnya melalui siasat halus, politik adu embe, lalu ofensif mulai 1844. Tahun 1846, Belanda menundukkan Buleleng, tapi kemudian 1848 para bangsawan Bali tersisa melakukan ofensif balasan secara luas, mengerahkan 15 ribu orang lebih dibantu para istrinya bahkan. Memaksa Belanda mendatangkan pasukan besar dari Batavia (dengan biaya besar juga! Mana mungkin mendatangkan pasukan besar tanpa biaya besar? Dimodalin pentungan sama ikan asin memangnya pasukan bisa menang perang?) Puncaknya, puputan habis-habisan 1849. Habis itu, perlawanan gerilya ada terus. Insiden 1858 dikobarkan I Nyoman Gempol, dan 1868 oleh Ida Made Rai. Bali baru benar-benar 'damai', tidak lagi melawan Belanda 1908 selepas puputan Klungkung. Tapi rakyatnya bersikap apatis dan cenderung memboikot-menyabotase kepentingan Belanda. Kalau dihitung 1908-1938 sebagai masa penjajahan (murni), maka Klungkung itu dijajah Belanda 30 tahun. Bukan 300 tahun seperti Batavia. Dan ketujuh negeri lain di Bali, sedikit lebih dari itu, tapi juga tidak sampai 100 tahun. Bali utara jatuhnya 1848-1849. Lalu Singaraja dijadikan ibukota kolonial. Jadi, sampai 1938 keitungnya 90 tahun. Lombok dan Karangasem ditaklukkan 1894. Berarti kalau sampai 1938 keitungnya cuma terjajah 44 tahun. Bagian selatan Bali selain Klungkung, ditaklukkan 1906. Berarti terjajah Belanda 32 tahun saja. Seperti era orde baru. Padahal, dalam kurun 30-90 tahun itu, orang Belanda dapet apa? Nggak banyak. Wong pariwisata belum terlalu marak, toh? Itung-itung, Belanda itu tekor. Untuk meredam militansi yang membara 100 tahun, biaya dan nyawa Belanda yang jadi korban tidaklah kecil. Mana 1938 terus kedaulatan dikembalikan pulak (sebagian). Dan selama tanpa kedaultan pun, kontrol lokal atas adat dan keseharian.. tetap di tangan masyarakat Bali. Ups, tapi kenapa juga para bangsawan Bali mau aja diadu domba Belanda sejak 18401841? Andai bersatu padu, tentu lebih sulit lagi Belanda menaklukkannya. Dan kenapa juga tidak menjadi lebih pinter daripada Belanda (dan Jepang)? Ya, sudahlah. People make mistakes. Kita lanjutkan saja riwayat Bali... Mengingat setelannya 'negeri-negeri Bali berpemerintahan sendiri' seperti itu, maka orang Belanda Batavia yang pergi ke Bali, di masa itu tetap seperti pesiar ke luar negeri, cuma tidak perlu paspor. Seperti kalau cross-border uni Eropa masa kini.
Konsekuensi lain, dengan mengembalikan kedaulatan delapan kerajaan Bali, maka di Bali itu sampai Jepang datang 1942 tidak ada garnisun tentara Belanda (KNIL maupun angkatan laut atau marinir). Tentara KNIL yang ada di situ sekedar liason officer saja, dan pangkalan udara dan laut. Tapi di pangkalan udaranya tidak berpangkal pesawat militer, demikian pula kapal militer yang berpangkal di Bali tidak ada. *** Bali, Di Jaman Jepang dan Kemerdekaan Dalam penaklukan Hindia Belanda oleh Jepang, Bali ini cukup berperan. Awalnya, Bali itu tidak diincer Jepang. Posisinya negeri bawahan berdaulat yang lemah. Jepang mikirnya, kalau Belandanya sudah dia taklukin, Bali itu otomatis nanti bisa dia teken abis dengan diplomasi ala Thailand dan Indocina, dan tidak usah diserbu. Irit peluru. Cuma, setelah Banjarmasin direbut, Jepang nyadar lapangan terbang di situ terlalu sering diganggu cuaca buruk, dan hujan deras, sehingga akan lebih praktis kalau bomber dan pesawat tempurnya bisa berpangkalan di Bali. Sekaligus, ini efektif mencekik Jawa dari suplai bantuan jalur timur. Jadi, dibuatlah rencana merebut Bali. Lalu dikirimlah pasukan pendarat, Datasemen Kanemura (di bawah komando seorang Mayor saja, yaitu Mayor Matabei Kanemura), yang pasukan intinya cuma satu batalyon infanteri (minus satu kompi) dari Divisi Infanteri ke-48 (di bawah Mayjen Yuitsu Tsuchihashi, yang kekuatan intinya berikutnya jadi salah satu penyerang pulau Jawa). Penghadangan Jepang (yang gagal) cuma terjadi di laut (dan di udara). Yang terkenal ada dua pertempuran laut (Pertempuran Laut Selat Badung, dan Pertempuran Laut Selat Bali). Begitu mereka mendarat, yaitu di pantai Sanur, mereka lenggang kangkung di tengah kegelapan malam dan di tengah teriakan-teriakan mereka sendiri. Tidak ada KNIL yang siaga tempur di Bali. Tentara darat, yang menjaga Bali sejak jaman kedaulatan kerajaan-kerajaan dipulihkan lagi, cuma tentara setengah polisi yang disebut Korps Prajoda. Ini persis saja seperti Swiss Guards yang menjaga Vatican City. Bukan korps militer yang bisa menjalankan tugas tempur skala masif. Korps Prajoda ini cuma punya 600-an anggota reguler aktif, dan bersamanya ada semacam liason officers itu, terdiri dari beberapa prajurit KNIL di bawah komando Letkol WP Roodenburg. Komando yang membawahi sang letkol adalah Divisi Infanteri KNIL ke-3, yang pasukan intinya di Jawa Timur, di bawah komando Mayjen GA Ilgen. Di atas kertas, Ilgen juga panglima Laskar Prajoda, tapi kenyataannya, laskar itu sama sekali tidak setia pada Belanda (kecuali kepepet). Tugas KNIL di situ cuma demolisi lapangan terbang Denpasar, manakala Bali diserbu. Toh tugas sesederhana itu pun ujungnya tidak terlaksana. Saat pasukan komando
Jepang melakukan pendadakan ke barak Belanda, Roodenburg sudah perintahkan: "Jepang datang, ledakkan lapangan terbang sekarang. Jangan ditunda lagi!" Tapi oleh prajurit zeninya malah dikira "Jangan diledakkan dulu. Tunda sedikit lagi..." Ya sudah. Jadinya, nyaris tanpa perlawanan, Jepang merebut lapangan terbang Denpasar secara utuh menyeluruh, lahir dan batin, berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara murni dan konsekuen gitu deh, yaitu jam 10.30 malam, 19 Februari 1942. Waktu Tokyo atau waktu mana, nggak penting kita urusin. Para prajurit Prajoda yang etnis Bali asli, langsung menghentikan permusuhan begitu orang-orang KNIL sudah menyerah pada Jepang. Bagi mereka semangatnya tentu: "Ini bukan perang kami!" Dan lagi pula, orang-orang tua mereka, dan masyarakat Bali secara umum, masih ingat persis bagaimana kelakuan orang Belanda selama ini. Dengan cepat, dan damai, raja-raja Bali pun menyampaikan loyalitasnya pada Jepang. Jadi, berkuasanya Jepang di Bali itu tidak sama seperti berkuasanya mereka di Jakarta, Bogor, atau Bandung yang diawali kapitulasi, menyerah tanpa syarat di Kalijati; Tapi.. lebih mirip dengan saat Jepang datang ke Thailand. Dan bagi seluruh warga Bali setelah itu,.. biasa lagi. Ordinary day. Business as usual. Korban di pihak Jepang ya mungkin ada dua orang keseleo, sepuluh lecet-lecet, dan satu perwira hidungnya mbendol dientup tawon. Paling kayak begitu. Itu pun belum tentu. Sekedar kira-kira. Besoknya, rombongan pasukan udara Jepang berdatangan, yaitu Tainan Air Group, beserta pesawatnya untuk mulai tugas tempur menjepit Jawa dan mencegat sekutu. Uniknya, informasi tentang jatuhnya Bali itu belum sepenuhnya menyebar ke seluruh prajurit sekutu. Saat orang-orang Jepang sudah mapan, tahu-tahu ada pesawat bomber B-17 Amerika mendarat di Denpasar dengan tenang, tidak menyadari bahwa pangkalan sudah diduduki Jepang. "Widih! Ini gila orang Amerika mendarat di sini nantangin kita tanpa senjata!" Orang-orang Jepang penjaga pangkalan langsung kaget. Para pilot Jepang langsung mengatur siasat. "Jangan tembakin dulu! Jangan tembakin! Tunggu sampai dia parkir! Biar bisa kita sita pesawatnya dalam keadaan utuh!" Tapi para penjaga pangkalan keburu napsu. Masih di runway, pesawat sudah diberondong, sehingga pilotnya nyadar dan buru-buru kabur lagi sambil nyaris terpipis-pipis. Lepaslah kesempatan Jepang untuk menyita B-17 di awal perang. Nah, mengingat Jepang bercokol di Bali bukan diawali menyerah tanpa syaratnya rajaraja Bali, tapi lebih mirip aliansi atau pakta; dimana raja-raja Bali memberi keleluasaan bergerak pada Jepang sebagai pemimpin pakta; maka sepanjang malang melintang di Bali, tentara-tentara Jepang itu tidak bertindak sebagai penjajah sejati, tapi ya.. kayak tentara Amerika di Okinawa jaman sekaranglah. Tetep susah sih rakyat Bali hidup di jaman perang itu, sandang-pangan krodit.. tapi ya.. masih rada mending daripada rakyat Singapura atau Hongkong atau daerah lain taklukan Jepang seratus persen.
Jadi, semasa perang Pasifik, tidak ada raja atau rakyat di Bali yang berontak melawan penjajah Jepang. Lha wong mereka itu secara formalnya tidak beneran dijajah kok! Saat perang selesai pun, Jepang itu pergi dari Bali ya.. just.. pergi begitu saja. Laskarlaskar rakyat yang bermunculan, relatif lebih mudah mendapatkan senjata Jepang dan dukungan diam-diam daripada laskar di Menado atau Ambon. Selama pendudukan Jepang, perwira Bali I Gusti Ngurah Rai (eks Perwira Prajoda?), membentuk Bali 'bebas tentara'. Lalu, saat Belanda berusaha bercokol lagi.. geger! Rakyat Bali yang masih mendendam otomatis memilih ikut merdeka bersama republik. Lagi pula, semasa Hindia Belanda, mereka punya kedaulatan toh? Di sisi lain, Belanda yang merasa ikut menang perang bersama sekutu meresa lebih berhak atas tanah Bali daripada para raja yang dalam pandangan sekutu bisa disebut pro-Jepang. Ya sudah, ketegangan pun meninggi. Tentara NICA Belanda dibantu sekutu berangsur menguasai balik lagi seluruh Hindia Belanda, khususnya Jawa-Madura-Bali-Sumatera, dan sementara itu, laskar rakyat juga berhimpun dengan ilmu (dan senjata) militer modern yang mereka dapat dari Jepang. Ujungnya, TKR berhadapan dengan NICA. Setelah Puputan Jagaraga 1846, Puputan Kusamba 1849, Puputan Badung 1906, dan Puputan Klungkung 1908... tahun 1946 Bali mencatat puputan sekali lagi: Puputan Margarana, terjadi di kebun jagung di desa Marga, kabupaten Tabanan sekarang. November 1946, pasukan Ciung Wanara dipimpin Letkol I Gusti Ngurah Rai (atau Kolonel?) bertempur sampai tumpas total batalyon Bali melawan NICA Belanda. Saat itu Ngurah Rai baru 29 tahun. Apakah pertempuran itu bermakna strategis? Itu tergantung darimana melihatnya. Tapi secara spirit, kalau bangsa Indonesia mau menjadi bangsa yang besar, maka lestarinya semangat untuk berjuang habis-habisan akan selalu jadi modal strategis tak ternilai. Dan untuk itu, maka segenap nusantara mestinya angkat topi dan merenungkan baikbaik apa yang telah dicontohkan oleh orang-orang Bali selama berabad-abad.... Sisi lain, mengapa Bali yang tangguh semangat juangnya kalah oleh Belanda? Awalnya tentu kita mesti lihat, para elite-nya terlalu berkutat di politik praktis jangka pendek. Kisruh sendiri. Persatuan kurang solid. Yang kedua, kemampuan dan kapabilitasnya untuk belajar dan menguasai kompetensi termutakhir kalah oleh orang-orang Eropa (dan Jepang). Atau singkatnya, kualitas manusianya kalah. Ini mungkin sampai sekarang, kita tidak bisa naif. Dan kalau ke depan, Bali (dan Indonesia umumnya) tidak mau lagi menjadi bulan-bulanan asing, ya tidak ada jalan lain, kualitas manusianya mesti jadi yang terbaik dibanding siapapun. Terbaik dalam arti luas. Selepas pertempuran Margarana, perlawanan TKR Bali meredup. Belanda sempat menjadikan Bali salah satu dari 13 wilayah administratif, negara bagian Indonesia Timur 1946, untuk melemahkan Republik Indonesia. Bali baru masuk dalam "Republik Indonesia" ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 29 Desember 1949.
Terus negara Indonesia established. Jabatan raja di Bali dihapus. Gelar Dewa Agung tidak digunakan lagi seiring kematian Dewa Agung Oka Geg 1964. Anggota-anggota keluarganya sejak itu beberapa kali terpilih untuk memimpin Klungkung sebagai bupati. Di kota dan kabupaten lain, jalur-jalur bangsawan juga ada yang masih punya semacam kekhususan tertentu. Tapi praktisnya, Bali itu termasuk bagian dari Indonesia, sebagai satu propinsi tersendiri, yang unik, lain dari yang lain. Kalau pariwisata Bali, kapan itu munculnya? Kemungkinan, mulai marak 1930-an saat antropolog Margaret Mead dan Gregory Bateson, dan seniman Miguel Covarrubias dan Walter Spies, dan musikolog Colin McPhee, membangun citra barat tentang Bali, sebagai "tanah mempesona yang damai dengan diri mereka sendiri dan alam". Masa berganti masa, tetapi kepribadian Bali tetap solid, unik. Dan soal wisata, tidak ada daerah senusantara yang setara Bali. By the way, walau kesehariannya kental dengan nuansa asli Hindu-Bali, dan para pemimpin lokalnya masih sebenang merah dengan bangsawan-bangsawan masa lalu yang Hindu. Bisa jadi secara penduduk, Hindu tidaklah lagi menjadi agama yang mayoritas di pulau itu. Wallahualam. Sensus bicara.... (ilmuiman.net / Selesai)