ILMUIMAN.NET: Koleksi Cerita, Novel, & Cerpen Terbaik Novela (16+). 2016 (c) ilmuiman.net. All rights reserved. Berdiri sejak 2007, ilmuiman.net tempat berbagi kebahagiaan & kebaikan lewat novelcerpen percintaan atau romance.. Seru. Ergonomis, mudah, & enak dibaca.. karya kami, anda, kita semua. Peringatan: Selazimnya romance-percintaan, karya ini bukan untuk anak/remaja di bawah umur. Pembaca yang sensi dengan seloroh ala internet, silakan stop di sini. Segala akibat menggunakan atau membaca, sepenuhnya tanggung jawab pembaca. Tokoh & alur cerita adalah fiksi belaka. Terima kasih & salam. ***
Profesor Clayton Christensen & Innovator's Dilemma Prolog Terkait manajemen inovasi,... di Harvard ada profesor dan konsultan bisnis top yaitu Profesor Clayton Christensen, yang juga seorang penganut agama Mormon yang serius, yang menulis buku "The Innovator's Dilemma" tahun 1997, yang mengulas satu fenomena yang sering kali tak terhindarkan. Maju kena, mundur kena. Fenomena apa itu? Yaitu selalu datangnya cara baru,.. yang sering sulit diantisipasi atau bahkan mustahil diatasi oleh para petahan yang sudah menguasai 'status quo', dan ujungnya.. menyebabkan sang petahana, suatu kaum yang semula sudah hebat, unggul, dan jaya,.. jadi terpuruk atau tersalip oleh pendatang baru. Fenomena itulah yang dia namai "innovator's dilemma" atau "simalakama para inovator". Yang suka dia jadikan ilustrasi, adalah bisnis baja. Dimana-mana dia ceritakan fenomena di bisnis baja itu. Di sini, mohon ijin, saya ceritakan saja lagi, supaya dipahami bagaimana itu simalakamanya. *** Cerita Pabrik Baja Alkisah.. dalam industri baja, sejak lama, cara membuat produk-produk baja itu ada dua. Cara pertama: produk-produk besi baja itu dibuat oleh pabrik baja raksasa yang terintegrasi. Cara kedua: dibuat di suatu 'mini mill'. Pabrik ukuran kecil. Di mini mill, besi-besi rongsokan (scrap) dilebur di tungku elektrik. Dan tungkunya itu kecil saja. Fitur terpenting mini mill: dia bisa bikin produk baja 20% lebih murah daripada di pabrik terintegrasi.
Nah, sekarang bayangin. Dikau boss perusahaan baja. Sedang berjaya. Net profit 4% atau sekitar itu.. terus ada teknologi yang bisa membuat produk 20% lebih murah biayanya. Pingin punya, kan? Sekilas sepertinya begitu. Kenyataannya? Ajaib. Tidak satu pun pabrik terintegrasi di dunia ini mengembangkan mini mill! Lalu apa? Lalu.. hari ini di Amerika dan kebanyakan negara maju, pabrik-pabrik terintegrasi itu saat mesti berhadapan dengan mini mill.. jadi tepar. Bangkrut kebanyakannya. Ya iyalah. Kompetitor yang super lincah, super irit muncul. Dia biaya produksinya bisa lebih murah.. mana bisa dilawan oleh raksasa yang kegemukan? Kenapa oh kenapa? Kenapa yang sepertinya 'no brainer', tanpa pikir panjang mestinya diadop oleh para boss pabrik terintegrasi, kok secara ajaib tidak diadop? Karena para boss itu terbentur pada simalakama! Dimana simalakamanya? Nantikanlah setelah pesan-pesan berikut ini. Lho? Pesan opo? Ternyata, kesuksesan itu sulit dipertahankan. Itu sudah suratan. "Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)" (Ali Imron, QS2:140). Perusahaan top, raksasa.. kaya raya, dipuja dan dikagumi semua orang. Bahkan selalu coba ditiru-tiru.. bisa saja pada satu masa jadi yang paling jagoan. Tapi beberapa tahun kemudian, paceklik berat, atau bahkan tewas sekalian. Bagaimana bisa? Semula tentu orang menduga: para penantang, kompetitor generasi baru menemukan teknologi lebih jitu, silver bullet, secret weapon, tidak bisa dikuasai oleh sang raksasa dalam waktu cepat karena super rahasia.. Ya sudah, pemain lama keteter. Ternyata? Kenyataannya tidak demikian. Semakin teknologi canggih, baik berkembang gradual ataupun ada lompatan,.. sebenarnya siapa sih yang selalu terdepan? Yang selalu terdepan adalah yang startnya duluan! Dan apalagi kalau yang start duluan itu yang paling berotot. Pasti selalu dialah yang terdepan. Ini seperti lomba lari. Kalo ada pelari yang paling berotot dan paling kuat.. sudah start duluan. Otomatis.. nggak keuber. Dia aja terus yang terdepan. Sudah startnya duluan, pengalaman juga paling mumpuni, uangnya juga banyak, R&Dnya paling canggih dan paling tersistem.. kalau adu teknologi? Mana mungkin yang ecek-ecek bisa ngalahin? Ya, ya. Di dunia ini banyak yang ajaib, tapi ya nggak segitu ajaibnyalah. Penguasaan teknologi itu bukan seperti sihir yang bisa muncul out of nothing. Dugaan lain: Oh, kalo ternyata bukan karena teknologinya kesalip,.. mungkin karena kepemimpinan yang lemah, para pemimpin dari berbagai jenjang terus terlena, berpuas diri, kurang waspada, atau sebaliknya terlalu hati-hati dalam melangkah,... terlalu lamban, kaca mata kuda, bla, bla, bla.. ternyata? Kenyataannya bukan faktor ini juga.
Okelah. Memang ada, perusahaan top yang terus terlena. Terus nyungsep. Tapi.. andaikan perusahaan top itu tidak terlena pun. Tetap saja dia bisa kesalip! Begitu menurut Profesor Christensen. Contohnya... Saat akhirnya mengakui 'kekalahannya', saat Nokia akhirnya dicaplok Microsoft, di pidato perpisahannya boss Nokia pidato dengan berurai air mata: "Kita ini tidak melakukan kesalahan apapun, tapi toh kita kalah, merugi, terlibas oleh perkembangan jaman..." Christensen juga tidak mau bilang bahwa yang bikin kalah itu kebodohan para manajer. Malah dia bilang: "Saya nggak mau bilang para manajer itu bodoh... Lagi pula, kenyataannya toh mereka-mereka itu juga, the very same managers.. yang sekarang mau dicap bodoh itu,.. belum lama dipuji-puji sebagai jenius, saat perusahaannya berjaya." Nggak mungkin kan, gara-gara kebanyakan melahap gudeg basi atau Pecel Mak Jiun, terus yang hari ini jenius-cerdas, tahun depan ujuk-ujuk jadi pekok nggak ketulungan? Pastilah,.. mereka itu jadi mati angin.. disebabkan adanya situasi berbeda yang sulit diantisipasi. Balik lagi saja ke industri baja. Mari kita tinjau, apa sebenarnya yang terjadi? Di industri baja, seperti juga di industri lain apapun, produk itu ada kelas-kelasnya. Kelas paling embe.. kelas kambing, adalah concrete-reinforcing-bar, 're-bar', kata orang-orang. Yaitu lenjeran baja untuk tulangan beton. Siapa juga bisa bikin re-bar itu. Kelas KW sekian aja juga sudah okelah. Toh nantinya bakalan dicor beton. Beda lagi kalau baja mutu tinggi, steel sheet, untuk bikin mobil atau barang-barang berkelas. Itu kelasnya paling wahid. Bikin yang top nggak mudah, sulit be'eng, dan kalau kualitasnya ecek-ecek, nggak ada yang mau pake. Lha, di awalnya, mini mill itu kan bikin produk dari besi-baja rongsokan ya. Jadi, kualitasnya ya.. payah gitu deh. Satu-satunya segmen yang bisa mereka layani: re-bar tadi. Lenjeran besi beton.. KW sekian, ah, sudahlah. Pake yang murah aja. Yang penting cor-coran semennya nanti sesuai spek. Cocok bener pakai re-bar keluaran mini mill yang murah. Lalu, saat mini mill mulai menyerang segmen re-bar, apa reaksi pabrik-pabrik terintegrasi? Tidak! Bukannya miris atau penasaran, mereka gembira ria! Komoditas re-bar ini kacangan bener, margin tipis, komoditisasi-nya nggak ditolong. Alhamdulillah.. pabrikpabrik terintegrasi mengucap syukur bisa keluar dari segmen yang seperti itu. Yaitu pabrik terintegrasi yang soleh tentunya. Ngapain juga terus mempertahankan produk yang serba ribet, tapi profitnya paling tipis? Kalau seluruh daya-upaya difokuskan ke produk-produk andalan yang marginnya bagus, 12% atau sekitar itu, tentu hasilnya lebih nendang, kan?
Jadi, sementara segambreng mini mills meningkatkan kapasitas untuk membuat besibeton, re-bar, pabrik-pabrik terintegrasi malah menutup lini produk besi-beton. Dengan gembira. Karena apa? Karena dengan dihentikannya urusan besi beton, mereka lebih fokus ke produk-produk berkualitas, dan margin keuntungan meningkat pesat. Keribetan berkurang. Ya udah, untuk beberapa lama, di Amerika pabrik baja terintegrasi dan mini mills samasama happy. Sampai tahun 1979. Di tahun itu, tidak ada lagi pabrik terintegrasi bikin besi-beton. Semua besi beton datangnya dari mini mills. Lalu apa? Bum! Ujuk-ujuk harga besi beton terus anjlok 20%. Karena apa? Karena harga tinggi semula, cuma bisa jalan, saat di industri ada pemain yang biaya produksinya tinggi! Jadi, selama masih ada pabrik terintegrasi jual besi-beton.. si pabrik ini tentu tidak mungkin banting harga 20% lebih rendah. Dia rugi. Lagi pula, produk dia lebih bagus. Yang lain, ikut-ikutan saja. Menikmati harga tinggi. Ilustrasinya: "Kalo bisa dijual mahal, kenapa mesti dijual murah toh? Produk jeans Levi's yang asli harga sejuta. Udah deh, produk KW-nya kita jual aja 700 rebu..." Pelanggan tentu akan ngeliat, "Waduh.. kegunaannya sama, tapi yang ini 700 rebu, neh. Murah!" Pelanggan merasa murah karena bandingin dengan yang sejuta, nggak nyadar kalau biaya produksinya ternyata cuma 300 rebuan, misalnya. Kalaupun pelanggan nawar-nawar, produsen bisa ngeles, "Boss, sono aja yang kualitasnya hampir sama.. dijualnya sejuta. Masak sih udah 700 rebu mau ditawar lagi? Tega lu ama temen..." Cuma,.. begitu nggak ada lagi produk mahal. Nggak ada lagi yang lebih bagus,.. semua KW... mulai deh. Pelanggan jadi mikir. "Ini barang kok 700 rebu, ya? Emang biaya produksinya berapa sih?" Gubrak! Pas tahu bahwa biaya produksinya jauh di bawah itu, ya udah.. dia tawar pedes. "Gue tahu, biaya produksi lu 300 rebu. Kalo gue beli borong partai besar dan partai politik, lu berani kasih diskon berape?!" Adu diskonlah ujungnya. Jdar! Ujungnya, harga pun meluncur 20% lebih rendah. Mini mills yang terus jadi tertekan marjinnya.. makin tipis, dan makin tipis.. dan apa coba yang kemudian dilakukan? Bukan joget-joget di tengah lapangan tentu saja! Iseng banget. Satu pelaku lalu mikir, "Buset dah, kalo margin tipis begini, mejret neh urusannya. Hm, kalo kita bisa bikin produk baja yang lebih baik,.. pasti kita bisa dapet banyak cuan lagi!"
Cash-flow juga masih ada.. Ya sudah, mereka pun lalu sedikit-sedikit naik kelas. Mereka masuk ke segmen produk terbawah berikutnya yang bagi pabrik terintegrasi marginnya paling rendah saat itu. Pas segmen bawahnya digerus lagi, pabrik terintegrasi bagaimana? Mereka tetap happy! "Jagoan seperti kita, mestinya emang fokus di produk-produk premium! Komoditas yang ecek-ecek biarin aja dimakan sama para pemain gurem! Dengan fokus di produk premium, tentu profit kita optimal!" Kenapa dikau ingin bertahan di profit margin 12%, kalau dikau bisa naik kelas, fokus di produk kualitas tinggi, yang lebih atraktif, yang profit marginnya 18%? Iya, kan? Ya sudah, hal itupun terjadi. Profitabilitas pabrik terintegrasi meningkat, tapi profitabilitas mini mills juga meningkat. Semua hepi lagi. Hal ini berulang. Terus dan terus.. makin lama, gak terasa.. tiba-tiba para pelaku segmen atas kejepit dari bawah! Dan nggak bisa ngelawan lagi... Gak mungkin kan semula jual produk lembaran baja untuk mobil, terus platnya dia permewah lagi, dijual berupa lempengan paduan titanium dan emas? Dicongkelin maling! Matilah awak! Itu fenomenanya: Yang sudah mapan, untuk turun kelas itu sering kali mustahil. Biayanya lebih mahal, nggak kompetitif. Dan malah bisa merusak citra dia keseluruhan. Dan memecah fokus. Biasa konsisten bikin nasi goreng gurih lezat, masak sih mesti bikin juga nasi goreng yang ala kadar, nggak konsisten? Biasa bikin buku itu cetakannya rapih jali, masak sih mesti nyetak buku yang kertasnya KW, tintanya rada burem, lem-lemannya keliatan nylepret? Muka mau taro dimana? Di sisi lain,.. kalau tidak turun kelas,.. membendung di sana... lha, padahal serangan masif datangnya dari situ! Serba salah. Maju kena, mundur kena. *** Kesimpulan-kesimpulan Christensen Studi pertama Christensen di industri cakram disk-drives komputer. Semula jadi konsultan, terus masuk dunia akademik sampai jadi profesor di Harvard Business School (HBS). Dia dikasih tahu teman-temannya, "Industri disk-drive tuh.. 'lalat buahnya' dunia teknologi. Siklus hidupnya amat pendek. Pas jadi bahan penelitian!" Dan benar. Dia lihat, perusahaan pembikin drive 14-inci untuk mainframe, kelibas oleh pembikin drive 8-inci untuk mini komputer. Lalu, yang 8-inci dilibas lagi sama pembikin drive 5.25-inci untuk PC. Yang bikin takjub, ternyata disk 8-inci tidak sebaik disk 14-inci. Lebih lamban. Kapasitas lebih imut. Dan cost per megabyte lebih tinggi. Terus disk 5.25 bahkan lebih payah lagi.
Dan kerana itulah, pembikin disk 14-inci nggak mau turun kelas, eh, tapi ujungnya kegusur. Di industri demi industri, Christensen melihat fenomena itu. Teknologi dan cara-cara baru, yang bikin raksasa industri bertekuk lutut, ternyata tidaklah lebih baik atau lebih canggih, tapi seringnya justru lebih payah pertamanya. Produk barunya low-end, bodoh, menyes, di segala segi inferior. Pelanggan-pelanggan established tidak tertarik sama sekali untuk membelinya. Jelaslah. Yang biasa makan nasi goreng gurih, mana mau sih nasi goreng yang biasa aja, kadang enak, kadang enggak? Yang biasa koleksi buku bagus, mana mau sih koleksi buku yang cetakannya murahan punya? Situasinya: produk inferior pendatang baru itu.. sering kali lebih murah dan lebih sederhana, sehingga menjangkau orang dan pelanggan baru yang semula tidak cukup canggih untuk mengkonsumsi produk kelas atas. Dengan munculnya Pos Kota,.. tiba-tiba muncullah orang-orang jalanan jadi pembaca koran, yang semula mereka itu kalau mesti baca koran Kompas.. tulalit. Nah, fakta dimana-mana: orang-orang jalanan yang tidak canggih itu.. lebih banyak populasinya dari pada kalangan elit! Selalu begitu, kan? Jadilah.. ujungnya oplah Pos Kota bisa melampaui Kompas. Terus dapet cash flow kenceng. Berikutnya kalau dia naik kelas, bisa berpotensi menggerus Kompas. Muter begitu terus. Contoh lain yang sering diulas Prof Christensen adalah radio transistor Sony tahun 50an. Jelek be'eng, tapi bunyi. Dibanding produk elegan dari RCA, Zenith.. keitungnya: radio butut. Dia tidak bisa menjangkau pasar keluarga mapan, yang menempatkan radio bagus di living room mereka. Tapi... radio butut itu booming di kalangan yang semula nggak punya daya beli untuk metik radio, yaitu kalangan 're-bar' atau 'besibeton'-nya masyarakat. Yaitu siapa? Para anggota dewan? Bukan. Tapi kalangan remaja! Sembarangan.... Dengan adanya radio murahan itu, teen-agers para remaja tiba-tiba jadi bisa punya radio pribadi, yang bisa mereka bawa kemana-mana. Nggak ada mewah-mewahnya sedikit pun, tapi bunyi. Lha, daripada tadinya bengong sambil ngiler,.. seru dong bisa dengerin musik dan radio. Jadi, walau yah.. kualitasnya begitu. Tetap aja better than nothing. Setelah booming di kalangan teen-agers, cash flow kenceng, Sony naik kelas. Produknya disempurnakan.. sampai satu titik bisa menyodok ke atas. Saat RCA, Zenith, dan sebangsanya menyadari.. udah telat. Jaman sekarang, kamera hape juga idem. Semula gimana sih kualitasnya? Sampah masyarakat. Tapi, kepraktisannya dapet. Lama-lama, mereka nyodok ke atas.. dan menggusur (nyaris abis) kamera-digital yang dedicated. Christensen menyebut produk
low-end seperti ini sebagai 'disruptive technologies', teknologi yang menyodok. Bukannya meneruskan dan mempercanggih teknologi yang ada, dia malah 'merusaknya'. Christensen nggak pernah nyalahin perusahaan mapan yang fokusnya bergerak ke upmarket. Mereka kan mesti tumbuh. Jadi, menjual produk mediokre, dengan marjin tipis (seperti re-bar, besi-beton), sering kali wajar kalau dianggap tidak masuk akal. Juga jualan ke komunitas yang nggak punya duit (seperti remaja yang suka bawa-bawa radio butut itu). Orang kan tidak bisa melihat masa depan toh? Ada produk jelek.. yang terus evolving jadi produk booming yang menyebar ke seluruh dunia.. tapi ada lebih banyak lagi, seabrek.. produk jelek yang ya.. jeleknya beneran nggak ketolong! Apa itu produk jelek yang jagoan.. pertama kalah dulu, kedua kalah, ketiga kalah.. tapi akhirnya berjaya, di filem yang happy ending. Atau tokoh utama yang pertama kejedot, kedua kalah, ketiga kegencet, habis itu tipes.. terus kecemplung sumur, dan bablas gak jelas! Coba-coba.. tiap produk jelek dicobain satu-satu, itu juga muskil. Hal yang paling masuk nalar untuk perusahaan mapan, ya kerjalah profit margin yang layak. Atau.. amati, tunggu.. siapa di antara produk jelek yang bisa nyodok ke atas, eh, tapi.. jangan-jangan pas ketahuan, sudah keburu telat. Sehari-harinya juga, perusahaan-perusahaan mapan senantiasa melakukan apa yang semestinya mereka lakukan. Antara lain, mendengarkan aspirasi para pelanggannya, dan berkesinambungan menyempurnakan dan menyempurnakan produk mereka, ke arah yang sesuai dengan aspirasi pelanggannya. Sampai pol, mentok kualitasnya. Kalo terlalu all-out di sana, jangan-jangan penyodok yang dari bawah, tahu-tahu sudah menggerus habis segmen-segmen lapis bawah dan jadi raksasa tak tertandingi. Toyota awalnya tidak jualan Lexus. Begitu kata Christensen. Di Indonesia juga sama. Mobil Toyota itu awalnya dijuluki 'kaleng kerupuk'. Corolla generasi pertama itu kejatuhan jambu saja penyok! Kijang generasi pertama.. coba lihat, jendelanya saja nggak pake kaca, tapi ditutup kain terpal. Nista banget. Daihatsu dulu bikinnya sekelas Bemo. Saat itu, mobil Eropa-Amerika.. wuih, meling-meling. Oleh pabrikan EropaAmerika, mereka dipandang sebelah mata. Ya kurang lebih persislah kalo orang jaman sekarang pemilik Avanza-Xenia, saat mereka memandang Bajaj. Mungkin, saat melihat Kijang atau Corolla cemen itu muncul, sempat terpikir juga di benak pabrikan Eropa-Amerika, "You know, mestinya kita gelontorin juga mobil-mobil murah untuk menyaing si kaleng kerupuk..." Tapi, menjustifikasi hal itu ke boss-boss susahnya minta ampun. "Ngapain lu ngabisin waktu bikin kaleng kerupuk yang untungnya tipis, dijual untuk orang-orang yang nggak punya duit,.. kalau elu bisa bikin mobil elegan yang pelanggannya punya daya beli? Toyota itu kan bikin kaleng kerupuk karena dasarnya mereka gak bisa bersaing di segmen mobil sejati, bro..."
Dari dilema seperti itu, ujungnya ya kita lihatlah banyak pabrikan mobil top berguguran. Jaguar, Land Rover, Mini, Aston Martin, Lamborghini, Bentley.. Volvo, Alfa Romeo, Citroen, dan seterusnya.. berguguran, terus dicaplok pabrikan lain. Gimana cara menerobos dilema ini? Nggak ada. Kesimpulan Christensen, perusahaan mapan mestinya bikin start-up, perusahaan baru, kecil. Independen. Jauh dari yang mainstream. Lalu coba-coba bikin produk disruptive. Produk low-end. Jelek nggak apa-apa asal dapet traction di pasar. Tapi tetep.. bikin start-up yang ecek-ecek.. bagi perusahaan mapan, gimana ya? Udah mapan kok ngurus yang ecek-ecek, sih? Emang gampang? Kendala psikologisnya luar biasa. Teknisnya juga bisa ruwet. Karena itu bisa berarti mengacak-acak kemapanan juga ujungnya, yang mana kemapanan itu hidup-matinya perusahaan, dan kunci suksesnya perusahaan mapan. Kalau kata Andy Grove, boss intel, Almarhum: Only Paranoids Survive... Kita mesti terus paranoid, sama produk-produk butut yang seliweran, dan sama apapun. Terus merespons dan bereaksi secara cepat, dan tepat. Karena kalau tidak: pasti mati, cepat atau lambat. Usul lain Christensen untuk mendobrak situasi dilematis ini, dan agar tidak kecebur ke jebakan yang sama: para manajer dia bilang mesti pakai alat-ukur yang benar. Fakta di kalangan perusahaan mapan: mereka mengukur sukses dengan rasio-rasio, bukan dengan nilai dolar. Ini ada bahayanya. Tahun depan tumbuh berapa? Dobel digit, 12%. Ebitda margin berapa? 40%. Profit margin? 15%. Umum sekali kan manajer yang ngelotok dengan persentase-persentase itu? ROA, ROE, ROIC, DER, IRR,.. dan seterusnya wuih, para pelaku bisnis profesional canggih bener soal seribu satu rasio macam itu. Nyaris menjadikannya agama. Church of New Finance, Gereja Keuangan Baru, begitu kata Christensen. Lama-lama, otak pelaku bisnis dan investor, tidak mikir seberapa besar laba rupiah dan dolar yang bakal dikantungi, tapi berpikir.. berapa persen keuntungan dari modal yang ditanam. Dan jadinya, punya kecenderungan sistemik, untuk mengesampingkan jalurjalur bisnis yang bermarjin tipis! Ajaib memang mengapa semua bisnismen otaknya bisa kecuci sampai segitunya meng-imani rasio-rasio itu. Padahal, rasio-rasio itu tidak bisa ditabung di bank, dan juga tidak bisa dibeliin apa-apa. Tapi yang diuber: rasio. Bukan duit absolutnya. Ingin bermain cantik. Dan bukannya ingin mencetak gol. Padahal, penentu kemenangan, adalah jumlah gol yang dicetak, dan bukannya berapa kali gerakan cantik spektakuler yang dipertontonkan! Pola berpikir ini kebalikan dari perintis-pejuang bisnis: Bodo amat marjinnya tipis atau tebel, yang penting gue mau lihat, bisnis gue making money! Biarpun marjinnya tipis, it's way better than nothing! Semangatnya, semangat 'rindu order'. Seadanya lauk ikan asin
juga gue lahap aja, daripade gue kagak makan! Ini lebih sejalan dengan ajaran Rasulullah saw by the way. Untung itu besar atau kecil nggak apa-apa, yang penting berkah... Lha. Nggak tahu ya, ini ada hubungannya apa enggak? Nah,.. 'bangsawan tinggi' yang piki-piki, pilih-pilih order, kalo marjin tipis dia lepeh, sama pejuang yang punya militansi seperti itu... waduh, dari sisi spirit beda jauh. Pejuang jalanan, transformasi jadi bangsawan.. Ken Arok sekian abad yang lalu juga bisa. Tapi.. bangsawan turun gunung tersuruk-suruk di jalanan? Apa kabar? Good bye. Beberapa arahan lain, untuk perusahaan mapan, menghadapi kemungkinan di-disrupt orang: (1) Mesti mengembangkan disruptive technology dengan kalangan pelangan yang tepat, yaitu belum tentu merupakan pelanggan eksisting saat ini. (2) Tempatkan disruptive technology dalam satu wadah otonom terpisah, sehingga bisa di-reward dengan kemenangan-kemenangan kecil, dan sekelompok kecil pelanggan. (3) Fail early and often. Kalau gagal cepetlah (nggak usah lama-lama) dan seringseringlah (alami kegagalan itu). Agar bisa menemukan disruptive technology yang tepat. (4) Boleh saja, organisasi yang jadi wadah disruption itu memanfaatkan sumber daya perusahaan induk sesuai keperluan, tapi hati-hati.. sang organisasi wadah disruption itu tidak boleh larut dalam value dan proses dari perusahaan induk yang mapan itu. *** Tentang Pribadi Profesor Clayton Christensen Christensen sendiri merasa dirinya manusia tipe 'low-end'. Lahirnya miskin di sisi barat Salt Lake City. Bukan sisi timur yang lebih makmur. Sempat jadi pemulung paper tray liners dari restoran cepat-saji gitu deh. Bertahun-tahun, mobilnya cuma Chevy Nova keluaran 1986, kembaran Corrolla GL masa itu, yang bagi si profesor jangkung itu terasa sumpek dan palanya mentok ke plafon sampai ada tanda kapalan bekas palanya dia di plafon itu. Sering rambutnya kejambak juga di plafon itu. Begitu dia berapa kali cerita. Di rumah, saat dia kecil, kalo makan harus habis. Makanan gak boleh dibuang. Khas orang miskin. Biar gak enak, ya mesti dihabisin. Tidak mengikuti ajaran Rasulullah saw: Berhentilah makan, sebelum dikau merasa kenyang.... Ya jelaslah dia nggak mengikuti ajaran Rasul. Jadi cukup alamilah kalau Christensen terus tumbuh jadi pemerhati cermat produkproduk low-end.
Salah satu CEO top yang pertama amat mengapresiasi ide Christensen adalah boss intel almarhum Andy Grove. Dia sudah mendengar idenya bahkan sebelum buku “The Innovator’s Dilemma” terbit 1997. Jadi, ceritanya.. dari lama Grove itu udah ada feeling, bisnis intel digerus dari segmen bawah. Jangan-jangan itu mengancam. Tapi Grove bingung bagaimana menyiagakan pasukannya dan mengkomunikasikan feeling itu. Lalu dia minta Christensen datang. Didongengilah dia tentang mini mills di atas. Lalu terpukau, "Ini dia dongeng yang gue cari!" Jadilah terus 're-bar' besi beton itu jadi mantera andalan intel. Intel terus bikin gebrakan tidak biasa. Dia bikin produk ecek-ecek. Celeron chip. Boom. Terus pangsanya meningkat jadi 35%. Walah rasio lagi, neh. Setelah itu, di suatu kesempatan di COMDEX, Las Vegas, Grove nunjuk-nunjukin buku “The Innovator’s Dilemma”, dan dia bilang pada semua orang: "Ini adalah buku terpenting yang saya baca dalam sepuluh tahun terakhir!" Ada orang Forbes mendengarnya. Nggak lama setelah itu, tahun 1999, Grove dan Christensen muncul di cover depan majalah Forbes, dan sejak itulah Clayton Christensen jadi terkenal ke seluruh dunia. Timingnya pas bener bersamaan dengan sedang adanya turbulensi dan perusahaan-perusahaan top berjatuhan. Jadi, konsepnya jadi makin relevan. Makin terkenal lagi Christensen karena dia pinter mendongeng, dan itu hal yang disukai CEO-CEO top. Tidak sampai dua tahun, terus teori disruption-nya Christensen kemanamana. Steve Jobs juga ngaku dia amat terpengaruh oleh bukunya (walau nggak pernah ngundang!). Michael Bloomberg memborong buku itu untuk kado setidaknya 50 temannya. Bill Gates sempat ngundang Christensen juga, tapi terus ngedumel, "Teori Christensen kenapa sekarang jadi slide wajib di setiap presentasi pendanaan, ya?" Bukunya langsung laku keras dan nyaris di semua sekolah manajemen inovasi, teorinya dibahas. Dan 'disruption', sekarang jadi tema setiap perusahaan hi-tech. Mereka lombalomba mendisrupt diri sendiri juga. Di Indonesia, kita lihat.. produk Toyota-Daihatsu yang mapan, yang sudah merajai, didisrupt sendiri oleh mobil Agya-Ayla. Lalu di-disrupt lagi oleh Calya-Sigra. Di-disrupt lagi oleh Hi-Max pickup. Honda CRV, HRV, dan Freed, di-disrupt sendiri oleh duet BRVMobilio. Dan seterusnya. Suami istri Christensen beragama Mormon. Turun temurun empat generasi. Berarti nyaris sejak awal sekali ada gereja Mormon. Leluhurnya dari sisi ayah asalnya Denmark. Migrasi ke Iowa, terus bablas ke Salt Lake City kombinasi jalan kaki dan naik kereta api. Di jaman susah. Dari sisi ibu, imigran asal Jerman yang terus ke Alberta, Kanada. Tapi terus sang ibu kuliah di Salt Lake City, kerja di radio dan jadi aktivis gereja Mormon. Di situ ketemu jodoh dengan ayahnya Clayton yang kerja di toko groceries karena sama-sama Mormon, ketemu di gereja. Hidup sederhana bertahun-
tahun dengan delapan anak, yang semua makannya banyak. Clayton yang kelahiran 1952 anak kedua. Berhubung ibunya sibuk terus ngurus delapan anak, anak-anaknya dilatih untuk melakukan sendiri segala keperluan masing-masing. Kelas dua SD, Clayton sudah diajari menjahit kaos kaki bolong, dan seterusnya. Selain aktif di gereja, sekeluarganya semua simpatisan aktif partai Republik yang rajin mengamati perkembangan dunia politik. Kecilnya, Clayton Christensen dikenal sebagai anak baik, rajin, sempat jadi semacam 'ketua osis', dan sempat jadi pemain basket all-state. Ngimpi-ngimpi masuk Harvard atau Yale, dan diterima, tapi oleh ibunya diarahkan masuk Brigham Young. Dia terus puasa dan berdoa, semacam istiharoh kali ye, tapi akhirnya ikut kata ibunya, masuk ke Brigham Young. Di situ ketemu jodoh dengan Christine Quinn, sulung dari suatu keluarga besar juga. Sama-sama Mormon, tapi latar belakangnya beda bumi dan langit. Ayah Christine yang pensiunan perwira US Army keras menggembleng anak-anaknya untuk sukses di segala bidang dan mereka kompak saling mendukung seperti pasukan tentara. Sedang di keluarga Clayton semua serba rileks dan penuh cinta. Setelah nikah, Clayton beradaptasi mengikuti tradisi keluarga istrinya, tapi dia bilang, oke-oke saja. Secara agama nasrani dia tidak sekedar agama ktp, tapi banyak melakukan pendalaman-pendalaman dan mempelajari banyak cabang dan sejarahnya. Setelah buku pertamanya mendunia, banyak perusahaan meminta dia ngajari bagaimana terhindar dari disruption. Terus Clayton bikin firma konsultan supaya tidak kewalahan. Satu CEO top yang nggak pernah ngundang dia: Steve Jobs. Kebetulan, Christensen yang pro low-end produk pernah memprediksi bahwa iphone tak akan sukses (jadi ganjel pintu mungkin dia pikir? dan ternyata salah prediksi! Karena belakangan, Christensen nyadar, iphone itu men-disrupt laptop yang lebih canggih). Suatu ketika, pernah diminta konsultasi perusahaan milkshake. Mesti di-disrupt gimana sih milkshake supaya jos lagi? Clayton terus riset... dan dia temukan fakta, bahwa di perusahaan milkshake itu.. rata-rata pembeli belinya pagi banget, dan yang dibeli cuma milkshake tok nggak ada yang lain, dan pembelinya seringnya lenca-lenci seorang diri. Terus habis itu naik mobil, nyupir sendiri! Terus para pelanggan diwawancara: Habis beli milkshake begitu, terus pada ngapain sih kalian? Kenapa beli milkshake dengan pola itu? Jawaban nyaris seragam: Mereka itu nyupir jarak jauh ke kantor, boring, jadi perlu ada sesuatu yang dikerjakan selama nyupir. Satu tangan di setir, tapi satu tangan kan nganggur! Belum laper. Masih pagi, jadi mesti gimana? Benernya sih gurih makan donat banyak-banyak, tapi bini pasti nggak suka, ngotorin baju remah-remahnya, dan cepet abis juga. Kalo beli bagel, kering dan tawar. Pas ngasih jelly, ribet mesti pake dua tangan kalo sambil nyupir. Belum kalo telpon bunyi! Tapi milkshake ini pas bener,
kentel, 25 menit baru abis dengan sedotan kecil! Pas nikung kenceng pun, nggak tumpah. Nah, begitu tahu kelakuan pelanggan bersama produk kita, kata Christensen, selanjutnya memperbaiki produk itu arahnya lebih jelas. Milkshakenya dibikin lebih kentel lagi! Dikentelin pakai potongan kecil buah-buahan. Nggak mesti sehat. Karena bukan sehat itu yang disasar pelanggan. Buah itu jadi kejutan-kejutan kecil yang memecah kebosanan. Dan belinya dipermudah, sehingga nggak nambah boring waktu pada ngantri beli. Tinggal samber, lalu tancap gas. Sama seperti kata Theodore Levitt dari HBS juga. "Pelanggan bukannya ingin bor seperempat inci, mereka ingin lubang seperempat inci!" Kayak gitulah kurang lebih kerjaan Christensen sebagai konsultan. Selain ngajarin soal innovator's dilemma. Christensen suka memahami bagaimana segala sesuatu itu dibuat, dan bagaimana segala sesuatu itu disolusikan. Kalau jalan-jalan, paling suka kunjungan pabrik. Dongeng lain, sempat suatu ketika, menteri pertahanan jaman Bill Clinton mengundang Christensen. Dikira disuruh ceramah di depan para perwira muda, nggak tahunya semua pembesar militer audiensnya. Dengan keheranan, Christensen ceramah soal mini mills tapi terus dikasih tahu. "Dikau nggak tahu ya kenapa diundang ke sini? Bagi kami: uni sovyet itu lembaran baja up-market, teroris itu re-bar besi beton. Kami ingin tahu, gimana pertahanan mesti diorganisir untuk menghadapi ancaman dari segmen low-end, ini!" Lalu diusulkan bikin spin-off-an seperti kesimpulan di atas, dan jadilah, pentagon lalu bikin cabang urusan teroris terpisah di Norfolk, Virginia. Pas meriset health care, Christensen menyimpulkan, dunia itu mirip steel industry juga. Rumah sakit besar jadi pabrik terintegrasinya, dan klinik serta tempat praktek dokter jadi mini millsnya. Bisa jadi disruptors. Tata ulangnya diusulkan dimulai dari pemahaman tersebut. Kalau beli segala sesuatu, Clayton nggak minat mencari kesempurnaan. Good-enough mentality. Sementara, istrinya cenderung perfeksionis, sehingga barang-barang belian Clayton, sering mesti dikembalikan atas permintaan Christine sang istri. Desember 2009, pas jalan ke Washington, tahu-tahu Clayton sakit punggung. Di rumah sakit dokter menemukan tiga tumor besar. Saat itu umurnya 57 tahun. Kata dokter bersifat terminal, tak tersembuhkan. Dan ayahnya meninggal karena follicular lymphoma yang sama pada umur 49 tahun! Clayton lalu berdoa, dan berkat kepasrahannya, katanya dia merasa oke-oke saja, tidak depresi. Katanya Christensen gampang terharu. Bercucuran air mata karena bersyukur. Bukan karena keculek. Dia punya idealisme spiritual, ingin selalu menolong orang. Dengan mengajar, memberi konsultasi, nyumbang duit, atau aktif di gereja. Sekeluarganya juga begitu. Saat ibunya dibilang dokter akan meninggal dalam 6 minggu, karena kanker
pankreas, sang ibu malah gembira, karena meyakini bakal kumpul lagi dengan suami dan anaknya yang mati muda. Sebagaimana lazimnya keyakinan kaum Mormon. Belakangan, ternyata kanker Christensen tersembuhkan. Diagnosis awal salah. Empat bulan kemoterapi, lalu dianggap sembuh. Cuma, tiga bulan setelah sembuh, Clayton kena stroke. Saat sedang bicara di gereja. Nggak bisa ngomong blas. Tapi terus terapi serius, 12 jam sehari, supaya bisa bicara lagi. Didampingi istrinya yang setia. Sekarang sudah rada mendingan, tapi masih rutin kami sol-solen, keselip lidah. Dia juga menulis buku yang rada spiritual (bersama dua co-authors), “How Will You Measure Your Life?” Sebagai wujud keprihatinannya melihat banyak orang hidupnya gagal atau gak jelas.. disebabkan karena fokus ke urusan jangka pendek, lebih daripada mikir hal-hal yang luhur. Christensen janji pada Tuhan nggak akan kerja hari minggu. Janji pada keluarga tidak akan kerja hari sabtu. Dan sudah pulang sebelum waktu makan malam dan cukup waktu untuk main bola bersama anak-anak sebelum hari gelap. Demi memenuhi komitmen ini, kadang Clayton mulai kerja jam tiga pagi! Bisa sekalian tahajud sebenarnya. Disiplin dia menjaga komitmen itu. Dan merasa integritas tidak bisa dikompromikan. Dia bilang: "Lebih mudah, melakukan hal benar 100% sepanjang waktu, daripada melakukannya 90% benar, 10% salah.." (Karena ujungnya, kalo awalnya 10% mentolerir integritas, lama-lama, 10%-nya membesar dan membesar tak terkendali) Keprihatinan dia yang lain: bahayanya too much outsourcing. Hard-skill jadi hilang. Orang bilang itu wasting time, tapi Clayton terus arahkan keluarganya untuk kerja-kerjakerja, supaya cekatan menyelesaikan practical problems secara mandiri. Tidak semua yang low-end tasks mesti dioper ke orang lain. Begitu pendapat dia. Sikapnya pada tiap orang positif. Habis dia ngomong sejam, kalo beberapa orang tanya-tanya. Dia selalu merespons: "It's a great question!" Kayak Pak Tino Sidin, "Gambar kawanmu dari bla, bla, bla.. bagus!" Selalu dibilang bagus. Kalo orang nyadar akan hal itu, ya sudah. Dia bilang, "Saya serius merasa tiap pertanyaan itu great question!" Dia ingin tiap orang in-touch, jangan menjauh. *** Epilog Begitulah. Mudah-mudahan bagi yang tertarik dengan manajemen investasi, disruptive technology, dan Christensen, tulisan ini bisa meringkaskan ide-ide dari yang dikembangkan Christensen. Dan semoga, dengan mengenal serba sedikit sosok pribadinya, bisa lebih dipahami lagi mengapa dia berpendapat seperti itu. Hasil penelitiannya, wisdomnya, semoga bisa menjadi pelajaran hidup bagi kita semua. Dan
membuat kita ke depannya lebih tajam dalam mengembangkan diri, mengembangkan bisnis, dan mengembangkan komunitas kita masing-masing. Amin. Lebih kurangnya mohon dimaafkan. Semoga kita semua mendapat taufik dan hidayah dari Allah. Salam. (ilmuiman.net / selesai)