ILMUIMAN.NET: Koleksi Cerita, Novel, & Cerpen Terbaik Cerita Kira-kira Sejarah (16+). 2017 (c) ilmuiman.net. All rights reserved. Berdiri sejak 2007, ilmuiman.net tempat berbagi kebahagiaan & kebaikan lewat novelcerpen percintaan atau romance, dan cerita non fiksi.. Seru. Ergonomis, mudah, & enak dibaca. Karya kita semua. Peringatan: Pembaca yang sensi dengan seloroh ala internet, silakan stop di sini. Segala akibat menggunakan atau membaca, sepenuhnya tanggung jawab pembaca. Terima kasih & salam. ***
Kira-kira Sejarah Indonesia (4) Selayang Pandang Sejarah Jawa (Tengah-Timur) Jawa bagian barat, itu sejarahnya beda lagi. Itu diulas pada bagian terpisah. Tapi, mainstream nusantara, selain diwarnai oleh sejarah jawa-bagian-barat dan melayusumatra, amat kental digerakkan oleh konstelasi Jawa. "Jawa adalah kunci..." begitu menurut Bung Karno dan orde baru. Dan sampai batas tertentu, ini valid untuk Indonesia. Jadi, sebelum bicara lebih detil, setelah sebelumnya kita membahas sampai ke masa kerajaan Demak, marilah selayang padang kira ringkaskan tentang Jawa... yaitu Jawa Tengah - Jawa Timur, yang aslinya cukup rumit. Yang rumit mesti diringkas dulu... Dalam kronologis serba singkat. Sejarah Jawa... BABAK-1: Kalingga [Sekitar Abad ke-7]. Kalingga itu kerajaan Jawa tertua yang eksis di catatan sejarah. Amat terpengaruh oleh Tarumanagara (yang lebih digdaya di sisi baratnya). Apakah tokoh-tokohnya berkawin campur dengan tokoh-tokoh pelarian India seperti Tarumanagara dan Sriwijaya? Kita tidak tahu. Yang bisa kita perkirakan, tokohnya bukanlah turunan pemburu-pemburu celeng dari Uganda dan Kenya. Jauh bener soalnya jaraknya ke sono. Blasteran pelaut Viking kayaknya bukan juga. Sebelum ada Kalingga, apa tidak ada kerajaan lain? Mungkin ada. Mungkin tidak. Wallahualam. Kalaupun ada, mestinya wilayahnya terbatas, dan sporadik. Atau mungkin orang-orang Jawa masih ada yang tinggal di atas pohon? Wallahualam. Kita tidak tahu. Kalau benar mulai eksis kerajaan yang sizeable itu Kalingga di abad ke-7, maka Jawa (TengahTimur) itu relatif lambat berkembang. Di Jawa Barat, Salakanagara sudah ada di sekitar abad ke-1 atau 2, di Kalimantan, Kutai sudah eksis di abad ke-4. Di luar negeri, ribuan tahun sebelum masehi sudah sempat ada beberapa kerajaan top. Tapi sudahlah. Biar lambat, asal selamat. Masa lalu itu tidak berapa penting. Yang penting, masa depan.... Kalah start tidak mengapa, karena yang penting finishnya. Khusnul khotimah. BABAK-2: Medang (Mataram Kuno) [732-929]. Medang ini amat terpengaruh (highly influenced) oleh Sriwijaya (yang lebih digdaya, dan juga Tarumanagara yang sudah
menjelma menjadi Sunda-Galuh). Para pendirinya, bisa jadi turunan dari bangsawanbangsawan Kalingga, yang terus menyatu dengan tokoh-tokoh Sriwijaya (dan atau Sunda-Galuh). Di masa ini, muncul candi-candi top: Borobudur, Prambanan, dan lainlain. Tapi terus sepertinya terus tertimpa bencana alam dahsyat, dan dipindah ke Jawa Timur. Sekaligus juga, menjauh dari Sriwijaya (dan Sunda-Galuh). Mestinya, dalam banyak hal kalah canggih oleh Sriwijaya dan Sunda-Galuh. BABAK-3: Medang Setelah Hijrah Ke Jawa Timur [929-1019]. Periode waktunya ini kira-kira saja, belum tentu akurat. Mestinya selepas bencana gunung besar, Medang hijrah ke Jawa Timur (kemungkinan ibukotanya di sekitar Jombang masa kini. Pertama di daerah yang namanya Tamwlang, lalu Watugaluh). Dimulai dari era Mpu Sendok. Medang ini masih satu trah dengan trah syailendra yang menguasai Sriwijaya dan nusantara pada abad ke-7 sampai sekitar abad ke-10. Dan juga bersaudara dengan Bali (Bedahulu), dan mestinya juga masih terus bersaudara dengan Sunda-Galuh. BABAK-4: Kahuripan [1019-1042]. Medang yang semula satu trah dengan Sriwijaya, pada masa Dharmawangsa Teguh terus pecah kongsi. Mereka berani menantang Sriwijaya yang bertahun-tahun merupakan raja di raja se-nusantara kemungkinan disebabkan secara kemajuan peradaban dan kompetensi sudah mulai menyalip induknya di bumi Melayu. Pecah kongsi itu kemudian mewujud pada perang terbuka. Nah, sehabis Medang menyerbu ibukota Sriwijaya, gantian keraton Dharmawangsa Teguh (raja Medang terakhir) diacak-acak pasukan komando Sriwijaya dan para pemberontak. Medang pun bubar, Jawa kisruh. Tapi, kemudian pangeran Bali Airlangga (yang juga keponakan Dharmawangsa Teguh) berhasil menata kembali blantika Jawa Tengah-Timur di bawah panji kerajaan Kahuripan, setelah melalui sejumlah pertempuran dengan kerajaan-kerajaan kecilan di sekitarnya. Ibukota Kahuripan ini letaknya kira-kira di Sidoarjo sekarang. BABAK 5: Kediri-Jenggala [1042-1132]. Saat suasana keruh, anak-anaknya rebutan kekuasaan, Airlangga lalu undur diri, jadi brahmana yang menyepi, dan kerajaannya terbagi dua. Kahuripan pecah menjadi Kediri-Janggala. Kediri alias Panjalu ibukotanya ya di Daha atau kira-kira kota kediri sekarang. Sedangkan Jenggala atau Ujung Galuh, kemungkinan di sekitar Dermaga Ujung, Surbaya masa kini. Awalnya kedua kerajaan ini berpisah secara damai. Damai tapi gersang, lalu geger. Puluhan tahun. Ada yang bilang sekitar 90 tahun perang saudaranya. Ini angka tahunya kira-kira. BABAK-6: Kediri-Jenggala Bersatu Lagi [1132-1222]. Dipersatukan dengan tangan besi, oleh Jayabaya raja Kediri. Yang notabene, ini menjadikan Kediri bersatu menjadi kerajaan paling dominan di Jawa Tengah-Timur, dan termasuk yang menguasai jalurjalur perdagangan maritim di nusantara (khususnya sisi timurnya). BABAK-7: Era Singosari [1222-1292]. Kediri di masa Kertanegara kisruh di dalam. Para brahmana dan massanya berontak melawan pemerintah sah, dan menjagokan Ken Arok untuk tampil sebagai raja baru. Pemberontakan berhasil, dan Ken Arok yang semula bukan siapa-siapa.. naik tahta. Dia memutus jalur wangsa sanjaya, wangsa
syailendra, wangsa isyana yang masih satu benang merah. Muncul dinasti baru, yang tidak bersaudara dengan raja-raja di masa lampau. Titik mulanya dari Tumapel, kemudian menjelma menjadi kerajaan besar Singosari. Lokasinya kira-kira di sekitar Malang masa kini. BABAK-8: Gegeran Jayakatwang van Kediri [1292-1293]. Setelah jaya sekitar 70 tahun, Singosari kemudian diacak-acak oleh Jayakatwang. Jayakatwang ini (dan anaknya Ardharaja) adalah turunan langsung raja Kediri terakhir Kertajaya. Tapi, kemudian Jayakatwangnya (dan anaknya) dijungkirkan oleh konspirasi Arya Wiraraja, Raden Wijaya, dan Kekaisaran mongol. Yang mana, Mongolnya kemudian ditikam oleh Arya Wiraraja dan Raden Wijaya. Yaitu sebelum sempat mengkonsolidasikan apa-apa di tanah Jawa. Maka, masuklah era Majapahit.... BABAK-9: Era Majapahit [1293-1475]. (9a) Masa Awal Majapahit. Muncul Raden Wijaya dan Majapahit (serta Lamajang Tigang Juru-nya Arya Wiraraja). Di masa awal ini, Raden Wijaya belumlah betul-betul mengkonsolidasikan kekuatan di tangannya, tapi masih berbagi kekuasaan dengan Arya Wiraraja dan orang-orangnya. Arya Wirarajanya sendiri, kemudian menjadi raja di sisi timur, yang kelak menjadi kawasan 'Tapal Kuda' atau Blambangan. Beribukota di Lamajang atau Lumajang masa kini. Majapahitnya sendiri, beribukota di Trowulan (kirakira), yaitu di wilayah Mojokerto masa kini. (9b) Masa Solid Majapahit. Setelah berhasil menghimpun kembali kekuatan dari eks pasukan Singosari yang pulang dari ekspedisi Pamalayu, kemudian pengaruh Arya Wiraraja dan orang-orangnya dikikis habis oleh Raden Wijaya (dilanjutkan di masa anaknya, Jayanegara). Dan setelah konsolidasi tuntas, diiringi beberapa peristiwa berdarah, maka solid-lah seluruh Jawa di bawah kekuasaan satu tangan: Raja Majapahit. Di Nusantara, Majapahit kemudian mengklaim kembali pengaruh kuat di blantika perdagangan maritim sebagaimana di era Kediri (dan Singosari). (9c) Masa Jaya Majapahit. Setelah solid, Majapahit berjaya di masa kepemimpinan Tribhuwana (yang notabene bukan raja beneran, tapi sekedar mewakili ibundanya). Selain anak Raden Wijaya, Tribhuwana itu juga cucu Kertanegara, raja Singosari yang terakhir, yang semuanya.. turunan Ken-Arok. Pengaruhnya meluas senusantara, tidak cuma sisi 'timur tradisional', tapi merambah ke mana-mana. Melayu yang di masa Sriwijaya lebih dominan posisinya daripada Jawa, di jaman Majapahit ini dijungkirkan. Majapahitlah yang jaya dan dominan. Namun, Majapahit tidak berhasil menguasai Jawa 100%, karena di sisi barat, masih eksis dan solid kerajaan Pakuan-Pajajaran. Jelmaan bentuk baru dari Sunda-Galuh, selepas Galuhnya dikerjai Gajah Mada dalam peristiwa Perang Bubat. (9d) Masa Surut Majapahit. Setelah jaya beberapa lama, terus terjadi perang saudara, war of attrition, yang bikin para elit Jawa terpecah belah, dan sumber daya kocar-kacir. Sampai akhirnya punah. Bersamaan dengan melemahnya Majapahit, di sisi barat
nusantara muncul kekuatan baru: kesultanan islam, yang semulanya, yang paling sentral perannya dalam perdagangan maritim adalah Malaka. BABAK-10: Era Kerajaan Demak [1475-1551]. Benar tidaknya wallahualam, tapi diklaim oleh Demak, dia adalah kelanjutan trah Majapahit. Membawa era baru: islam, yang didukung oleh kaum saudagar dan kiai-kiai. Demak terus berhasil merebut ibukota Majapahit. Majapahitnya minggir terpencil ke Kediri, tapi kemudian posisi di Kediri itu juga direbut. Bubar. Sisa-sisanya yang coba merintis peradaban besar lagi, ada dua grup. Grup satu ke Bali (ini mirip dengan sisa Pakuan-Pajajaran yang hengkang ke Sumedang Larang). Grup dua ke Gunung Penanggungan (ini juga mirip dengan sisa Pakuan-Pajajaran yang nyumput bertahan di Pandeglang). Toh ujungnya, yang di Gunung Penanggungan ini dilibas habis juga oleh Demak. Selesai sudah riwayat Majapahit. Namun selain muncul semangat baru kerajaan islam (yang dibeking Cina), di periode ini mulai muncul orang-orang Eropa (yaitu khususnya Portugis) yang telah berhasil menancapkan kekuasaan di Malaka, Goa, dan beberapa tempat di nusantara. Selain selesainya era Jawa Timur, pusat Jawa balik lagi ke Jawa Tengah, adanya Demak ini juga menandai warna spiritual baru, dari semula kerajaan Hindu-Buddah yang diwarnai oleh kepercayaan-kepercayaan asli Jawa, bergeser menjadi kerajaan Islam (tapi tetap diwarnai kepercayaan-kepercayaan asli Jawa!). BABAK-11: Era Pajang [1551-1586]. Ini seperti surat-surat Raden Ajeng Kartini... Habis Demak, Terbitlah Pajang... Maksa banget. Demak kisruh. Pecah di dalam. Kerajaan-kerajaan bawahan memisahkan diri, Banten, Cirebon, dan seterusnya. Di puncaknya, salah satunya yang memisah adalah kerajaan yang secara kekerabatan dan lokasi fisik masih amat dekat, yaitu kerajaan Pajang yang dipimpin oleh Jaka Tingkir (yang istrinya Putri Demak). Pajang yang sudah merdeka sekitar 1549 ini lalu menaklukkan Arya Penangsang, sultan Demak yang terakhir, tapi tidak sempat mengkonsolidasikan lagi Jawa Tengah-Timur. Konsolidasinya (secara agak loose), baru terjadi 1568, yaitu saat para bupati bekas bawahan Demak di sisi timur, dikoordinasikan oleh Bupati Surabaya bersedia beraliansi lagi dan mengakui kepemimpinan Pajang. Kemudian, juga diikuti oleh wilayah lain seperti Madura, dan semacam itu yang agak jauh dari Jawa Tengah. Jadi, bisa juga dibilang bahwa era Pajang itu mulainya 1568, walau Pajangnya sudah merdeka mandiri sejak sekitar 1549, dan sudah berhasil melibas Arya Penangsang sekitar 1551. BABAK-12: Era Mataram [1586-1755]. Habis, Demak, Pajang,.. lanjutannya adalah Mataram. Semuanya, insya Allah masih bercorak islam kejawen. Mataram yang semula bawahan Pajang, lantas menjelma menjadi kekuatan solid, kerajaan agraris yang punya massa rakyat dan logistik berlimpah. Lalu dengan segenap tekad dan sumber daya itu, Mataram berhasil menjelma menjadi kerajaan paling dipertuan di tanah Jawa. Walau secara nusantara dominasi Mataram tidaklah seluas Majapahit, tapi di Jawa, wilayahnya lebih menyeluruh. Sisi barat Jawa pun masuk dalam pengaruh Mataram kecuali Banten dan Batavia. Sebagai kontrasnya: di Jaman Majapahit, Jawa Bagian Barat yang sempat dia kuasai bener hanyalah daerah Galuh (Ciamis masa kini). Di periode ini, betul-betul ide Jawa Bersatu mulai muncul dalam arti Jawanya ujung ke Ujung. Tapi, untuk
menguasai yang ujung-ujung bener, Blambangan di tapal kuda, dan Madura, Mataram rada kesulitan juga. Bahkan, yang di ujung barat, yaitu Batavia dan Banten.. pada ujungnya Mataram tidak berhasil mencaploknya. BABAK-13: Era Belanda-VOC [1755-1803]. (13a) Saat Awal VOC. VOC sudah datang ke nusantara sejak awal 1600-an. Tapi cuma nyempil bikin trading post saja. Kerjasama dengan Banten. Dan tidak bisa dapat pijakan di Jawa Tengah-Timur. Sampai kemudian, berhasil merebut sunda kelapa dan mapan dengan satu koloni: Batavia 1619. Walau di laut digdaya, pada periode ini, Batavia itu kekuatan sekecil unyil di daratan Jawa. Secara perusahaan sendiri, VOC berdirinya 1602 (yang meniru EIC Inggris untuk penguasaan India, yang didirikan 1600). (13b) VOC Meluas. Saat VOC semakin kuat, Mataram tergerus, Banten tergerus. Lama-lama, di seluruh Jawa, yang paling prospektif adalah VOC, yang di tahun 1619-an baru pegang Batavia, tapi di abad ke-18 sudah nyaris pegang semua. Kerajaankerajaan yang masih eksis, de facto semuanya kemudian adalah bawahan VOC. Banten dia gulung dan wilayah-wilayah bawahan Mataram direbut, satu demi satu. Ide Jawa bersatu, benar-benar teralisir justru pada saat yang mempersatukan itu orang bule Belanda. Bagi nusantara, ini ironis juga. Pelajaran dari negeri-negeri kepulauan seluruh dunia, umumnya, satu pulau yang besarnya nanggung, itu memang baru akan aman dan mapan, setelah kekuasaannya berada di satu tangan, tidak lebih. Entah itu Mainland Filipina, Mainland Jepang, Mainlang Inggris, seterusnya. Dan Jawa pun begitu. Setelah terkuasai ujung ke ujung di satu tangan, relatif damailah suasana. (13c) VOC Berjaya. VOC beneran menjadi multi-national company sejati yang pertama di dunia, juga VOC yang pertama go-public di dunia ini, yang berjaya dimana-mana. Di Jawa Tengah-Timur sendiri... terakhirnya 1755, wilayah Mataram, yang semula terkuat se-Jawa, dipecah-pecah oleh Belanda melalui perjanjian Giyanti. Sisi timur kali Opak dikuasai oleh pewaris asli Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III, yang bertahta di keraton baru Surakarta), sedang wilayah baratnya (ibukota asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi yang terus digelari sebagai Sultan Hamengkubuwono I (tapi, dia mesti membagi kekuasaan dengan Paku Alam yang merupakan pecahan ketiga). Belakangan, untuk meredam faktor Pangeran Sambernyowo yang masih punya kemampuan berontak, VOC merevisi lagi perjanjian Giyanti dengan perjanjian Salatiga, yang memunculkan pecahan keempat. Memecah lagi kekuasaan di sisi barat, sebagian untuk Pangeran Sambernyowo yang terus bergeral Mangkunegoro I, 1757. Praktisnya, sejak 1755-1757 itu, nama Mataram tidak disebut-sebut lagi dalam ketatanegaraan dan hubungan internasional. BABAK-14: VOC bangkrut [1799-1808]. Akhir desember 1799 VOC bubar. Dan sejak tahun baru 1800 sampai kemudian Belandanya ditekuk Napoleon, dan Jawa dipimpin oleh Gubjen Napoleon 1808, maka yang berkuasa di Indonesia itu tidak beneran VOC lagi, tapi langsung pemerintah kerajaan Belanda, yang menasionalisasi VOC itu dan mengambil alih segenap hak dan kewajibannya.
BABAK-15: Era Perang Napoleon/Perancis [1808-1811]. Di ujung abad ke-18, VOC bubar. Dinasionalisasi oleh Belanda (sebentar). Kemudian meletus perang Napoleon di Eropa, dan Belandanya dianeksasi oleh Perancis. Perancis menempatkan Daendels jadi gubernur jenderal di nusantara, dan semakin mencengkeram seluruh Jawa yang dia persatukan menjadi lebih bersatu dari kapan pun sebelumnya. Khususnya karena infrastruktur dia benahi secepat kilat dengan membangun jalan lintas Jawa yang nyambung ujung ke ujung, dan tentaranya di-modernisir sehingga tak terlawan oleh kekuatan pemberontak lokal yang manapun juga. Sedikit catatan: Resminya, perang Napoleon mulai 1803, yaitu perang dahsyat babak terakhirnya. Sedang geger bolak-baliknya, dimulai sepuluh tahun sebelum itu. Negeri Belanda sendiri, dianeksasi Napoleon sekitar 1806. Nah, di pihak lain, kekuasaan Napoleon di Jawa baru mapan setelah Daendels datang 1808, dan berakhir 1811, yaitu saat tentara gabungan Belanda-Perancis dikalahkan oleh tentara dan marinir Inggris, yaitu diakhiri dengan Kapitulasi Tuntang, September 1811. Di eropanya sendiri, perang baru berakhir tuntas 1815. BABAK-16: Era Inggris [1811-1816]. Sebelum perang Napoleon bener-bener berakhir, Inggris yang sudah menduduki Jawa (dan sebelumnya Sumatra) bikin banyak perombakan dan transformasi. Dia perbaiki sistem pemerintahan, administrasi, dan pembelajaran. Membuat Jawa lebih beradab dari jaman kapan pun sebelumnya. Hukum lalu lintas (jalan mesti di sebelah kiri) itu digagasnya di masa ini juga. Pola karesidenan, juga digagas masa ini. IPB, Kebun Raya, dan seterusnya, di masa ini pesat berkembang. Pola kerja rodi yang digiatkan selepas perang Diponegoro juga dihapuskan oleh Raffles. Walau kenyataannya, masa kepemimpinan Raffles itu tidak terlalu lama. Tahun 1814, Belanda dan Inggris sudah bikin perjanjian untuk pengembalian daerah-daerah jajahan, yang kemudian dikukuhkan dengan perjanjian yang lebih menyeluruh 1824 (treaty of London). BABAK-17: Geger Sepehi, Bangkit Lagi Mataram [1812-1825]. Untuk memodernisir administrasi kolonial dan mengikis kerajaan-kerajaan lokal, Inggris mengacak-acak tatanan di sisa-sisa Mataram (yang notabene merupakan kerajaan bawahan di Jawa yang paling solid kapabilitasnya se nusantara). Hamengkubuwono II yang merasa terusik, coba membangun kekuatan diam-diam untuk mementahkan rencana Inggris mengikis habis kekuasaan orang Jawa. Apalagi, dia melihat.. nusantara sedang goyah. Kalo setelannya bener, Mataram bisa muncul lagi, eksis lagi, merdeka lagi seperti eksisnya Thailand atau yang sebangsanya. Bekerjasama dengan beberapa tokoh, HB-II pun coba manuver-manuver. Inggris tidak memberi kesempatan. Buntutnya terjadi 'geger sepehi' Juni 1812. Tentara Inggris menyerbu keraton Mataram dan memaksa lengser Hamengkubuwono II (untuk digantikan oleh putranya yang terus jadi Hamengkubuwono III). Sepehi ini plesetan dari kata sepoy, suatu istilah yang di Inggris maknanya adalah prajurit turunan India di ketentaraan Inggris. Sampai kemudian Inggris mengembalikan kekuasaan di Jawa kepada Belanda,.. gegeran sepehi ini belum tuntas sepenuhnya. Perbedaan-perbedaan menajam. Ada kelompok yang anti asing
dan ingin memperjuangkan idealisme. Di sisi lain, ada juga kelompok yang pragmatis, ingin damai dan menikmati hidup. BABAK-18: Perang Diponegoro [1825-1830]. Buntut geger sepehi 1812 itu, setelah kekuasaan dikembalikan lagi oleh Inggris ke tangan pemerintah Belanda 1916, para Bangsawan Jawa diam-diam terus menyusun kekuatan dan kapabilitas militer. Mengejar ketinggalan dari para tentara kolonial, yang sejak masa Daendels sudah mengalami modernisasi luar biasa. Sampai (9-13 tahun) kemudian.. meletus perang Diponegoro. Secara kapabilitas militer, Diponegoro dan laskar yang melawan Belanda belumlah sepenuhnya menyamai, tetapi dalam hal tekad bertempur, siasat, dan kemampuan menggalang massa, kemampuannya sudah luar biasa. Sehingga terjadilah perang modern dahsyat, yang belum pernah disaksikan di tanah Jawa. Dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai Perang Diponegoro, dan di Belanda dikenal sebagai Perang Jawa. Perang berjalan intensif lima tahun 1825-1830. Korban kombatan Jawa lebih dari 200.000 jiwa. Tentara Belanda 15.000 (dan 60%-nya bule Belanda asli). Korban rakyat sipil yang sengsara sampai mati.. tidak ada yang ngitung tapi jelas lebih besar lagi dari semuanya itu. Kerugian materiil dan finansiil di sisi Belanda juga mengerikan, nyaris bikin bangkrut negeri yang belum lama lepas dari cengkeraman perang Napoleon itu. Catatan: Sikap-sikap anti Cina, anti Tionghoa, mulai menajam pada periode ini, dan secara sistematis memang disebarkan oleh pasukan Diponegoro. Walau faktanya, di daerah-daerah tertentu di pesisir, khususnya pantura sisi timur, laskar-laskar Diponegoro ini banyak dibantu oleh Cina-cina muslim. Buntutnya, masih ada sampai sekarang di kalangan masyarakat yang tinggal di pulau Jawa. Walaupun.. realitasnya, penyebar islam pertama yang paling militan di Jawa, itu adalah orang-orang Cina. Dan kerajaan-kerajaan islam pun, awalnya eksis dan berjaya, serta bisa mengimbangi para penjelajah eropa, disebabkan karena dari belakangnya dibeking negeri Cina. Ada Laksamana Cheng Ho, dan seterusnya. Raden Patah dan seterusnya pendiri Demak itu juga punya nama-nama Cina, karena memang punya darah Cina. Dan kalau begitu situasinya, sebetulnya segenap bangsawan Mataram, yang notabene adalah turunan para bangsawan Demak, yang terus nyambung ke Pajang.. semua berdarah Cina juga. Perang Diponegoro ini singkat (relatif), tapi berhubung perangnya intensif, beneran mengubah tatanan masyarakat Jawa. Orang-orang Cina baik yang turun temurun maupun imigran yang datang belakangan, yang dibenci orang-orang Jawa, sejak masa ini kemungkinan jadi jarang yang masuk islam. Dan cenderung eksklusif tidak berbaur terasimilasi dengan masyarakat luas. BABAK-19: Era Hindia Belanda (selepas Perang Diponegoro) [1830-1942]. Setelah memenangkan Perang Diponegoro dengan susah payah, Belanda mewarisi segenap langkah transformatif yang merupakan buntut dari Perang Napoleon (era Deandels), Pendudukan Inggris (era Raffles), serta Perang Diponegoro. Untuk menebus kerugian perang, intensifikasi pembangunan ekonomi di Jawa digencarkan (banyak di antaranya dengan cara-cara represif). Jawa pun menjadi koloni paling modern se-nusantara. Berkembang menjadi jagoan ekspor untuk komoditas-komoditas dunia, yang
memungkinkan negeri induk Belanda menjadi negara makmur. Yang paling pesat kemajuannya di masa ini, adalah Jawa Bagian barat. Kota-kota praja atau kotamadya yang beneran jadi kota Belanda bermunculan paling banyak di Jawa Barat (Batavia/ Jakarta, Mesteer Cornelis/Jatinegara, Buitenzorg/Bogor, Sukabumi, Tjiandjoer, Bandoeng, Purwakarta). Masyarakat dipecah menjadi tiga kasta: kasta eropa, kasta timur-Asing (Cina-Arab-India dan yang bermiripan dengan itu), dan kasta pribumi (yang terus golongan pribumi ini dipecah-pecah lagi tingkatannya). Selain membulatkan kekuasaan se-Jawa, Belanda juga membulatkan kekuasaan se-Indonesia ini, kurang lebih sesuai batas-batas Indonesia sekarang. Di sisi lain, pengkastaan yang tidak adil itu, makin menyuburkan lagi isu-isu sara yang laten. Kebencian orang Jawa asli (dan belakangan juga Sunda, Madura?) kepada keturunan Cina makin melebar. Cocok bener dengan semangat 'divide et empera'-nya orang Belanda. BABAK-20: Pendudukan Jepang [1942-1945]. Setelah jaya beberapa lama. Selepas perang dunia pertama (1914-1918) tatanan dunia berubah. Yang berujung pada depresi global tahun 1929-30-an. Kejayaan Hindia Belanda goyah. Lalu, tahun 1930, Jepang merangsek Cina, dan menjadi musuh praktis semua negeri kolonial eropa-amerika. Di eropa, Jerman yang berhasil menyusun kekuatan kembali lantas mencetuskan perang eropa September 1939. Negeri Belanda ditekuk Jerman 1940, dan ini membuat Hindia Belanda posisinya goyah lagi. Mencoba bersekutu dengan Inggris-Amerika. Tapi saat kemudian Jepang mencetuskan perang Pasifik Desember 1941, dengan cepat kekuasaan Inggris-Amerika di kawasan tergulung, dan demikian pula Hindia Belanda, akhirnya kapitulasi, menyerah tanpa syarat kepada Jepang Maret 1942. Kekuasaan Belanda di Jawa yang seolah tak tergoyahkan oleh siapapun sejak Perang Diponegoro.. dalam beberapa hari saja (1 Maret s/d 8 Maret 1942).. tiba-tiba runtuh tak bersisa. Dan dimulailah masa pendudukan Jepang yang singkat tapi juga amat transformatif bagi seluruh Indonesia ini. Bagi Indonesia, ini tahap selanjutnya. Setelah teritorial disatukan oleh Inggris-Belanda (berdasarkan Treaty of London, dan aksi-aksi militer Belanda setelahnya), pada jaman Jepang semangat, militansi, dan bahasa nasional pun seIndonesia ini.. diseragamkan dengan tangan besi. Secara administratifnya, negeri eksHindia Belanda itu sendiri dibagi menjadi tiga daerah. Derah pertama: Sumatra, ini menyatu dengan semenanjung Malaya berada di bawah pendudukan Angkatan Darat ke-25 Jepang. Jawa-Madura dan sekitarnya, berada di bawah Angkatan Darat ke-16. Dan sisa wilayah lain (Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, serta Indonesia Timur) itu di bawah Kaigun atau Angkatan Laut Jepang. Cuma ada secuil daerah eks Hindia Belanda yang tidak direbut Jepang, yaitu di daerah Merauke sana. BABAK-21: Geger Kemerdekaan Indonesia [1945-1950]. Agustus 1945, menjelang kapitulasi bulan september 1945, Jepang membiarkan rakyat memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Jadi, saat sekutu datang untuk berkuasa, situasi jadi keruh. Inggris tidak mau ikut memancing di air keruh, selesai tugas pemulangan tawanan perang terus mundur 1964. Belanda yang merasa Hindia Belanda-nya menentukan masa depan bangsanya berusaha berkuasa kembali habis-habisan. Tapi, ujungnya
Belanda tertekan dari segala arah. Di nusantara, mereka tertekan oleh perlawanan rakyat yang sudah diubah oleh Jepang menjadi amat militan. Di dalam negeri, mereka tertekan oleh sumber daya yang pas-pasan juga pasca pendudukan Jerman. Di luar negeri, Amerika-Inggris-Australia dan lain-lain juga menekannya karena memikirkan musuh yang lebih besar yaitu gerakan komunisme dunia. Ujungnya, Belanda pun setuju mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia di ujung 1949. BABAK-22: Era Indonesia Moderen [1950 s/d Sekarang]. Tidak langsung mapan tentu saja. Ada beberapa pembabakan: (22a) Konsolidasi Tahun 50-an. Di tahun 50-an, Indonesia berusaha menemukan bentuk baru dan mengukuhkan 'ke-indonesiaan'. (22b) Tahun 60-an Era orde lama. Termasuk menyatukan 'si anak hilang' Papua Barat (komando trikora, yang terus menjadi propinsi Irian Jaya, terus ganti nama jadi propinsi Papua, terus berkembang jadi Papua dan Irian Jaya Barat). Bersamaan dengan Trikora itu, tidak cuma Papua sisi barat yang menyatu ke Indonesia, tetapi juga segenap legacy, aset strategis dan kursi-kursi strategis yang masih di tangan Belanda dinasionalisasi. Dosen-dosen engineeering yang tadinya masih bule-bule tiba-tiba saja hilang dari universitas-universitas di Indonesia, dan demikian pula, keberadaan bahasa Belanda coba dikikis tuntas (digantikan oleh bahasa Inggris) sejak jaman trikora itu. Pengikisannya tidak sekejam di jaman Jepang, tetapi cukup masif juga. Oleh orde baru, masa-masa ini disebut orde-lama, yang bahkan di ujungnya berusaha mengikis habis pengaruh barat (Amerika-Inggris dan segenap sekutu) yang padahal merupakan mainstream dunia, dan condong ke sosialisme kiri (Uni Sovyet, Tiongkok). (22c) Tahun 70an s/d 90an Era Orde Baru. Pada ujungnya, otot dan konspirasi barat yang sukses menggusur orde lama yang terlalu percaya diri (padahal lemah). Buah konspirasi ini, muncullah orde baru (70-an s/d 90-an) yang cenderung pro-barat, tapi represif seperti yunta-yunta Amerika Latin. Dari aspek 'ke-indonesia-an-nya', pada periode ini sudah solid. Bahkan Timor-Timur milik Portugis diintegrasikan ke Indonesia (sejak 1976). Kebijakan-kebijakan anti komunis, anti cina, kelewat kasat mata. Walau di sisi lain, ironisnya juga anti isu sara. Masyarakat tidak boleh terlalu berpolitik praktis dan tidak boleh mengusik isu sara, tapi pemerintah boleh! (22d) Geger Reformasi [1997-1999]. Saat kemudian geger krismon (1997-1998) dan geger jaman reformasi (1998-1999), kesatuan Indonesia ternyata tetap solid. Yang lepas cuma Timor-Timor (sekarang jadi Timor Leste). Dalam waktu tidak terlalu lama, ternyata bisa bangkit kembali, walau sempat mengemis cinta pada IMF. (22e) Masa Kini... Setelah itu, di abad ke-21, sepertinya Indonesia punya potensi untuk menjadi yang amat diperhitungkan di blantika dunia. Sekarang ini, setiap kali orang bicara kawasan Asia-Pasifik, faktor Indonesia tidak pernah terlupakan. Dan sementara era orde lama dan orde baru pembangunannya amat jawa-sentris (atau malah lebih spesifik lagi: Jawa Bagian Barat), di jaman sekarang ini lebih meluas meng-indonesia.
Ups, tapi kalau langsung lompat ke situ, sejarah nusantaranya, terasa jadi terlalu banyak yang di-skip. Kita mesti mundur lagi saja pada babakan yang belum kita urai. Sebelumnya sudah kita bahas, Demak. Sekarang, waktunya kita bahas penerus Demak. Yaitu kerajaan Pajang. Babak-11 kalau dari kronologi Jawa di atas. Luar Jawa kelak kita bahas di uraian lain. *** Asal Muasal Kerajaan Pajang Ini kurang lebih diringkaskan dari wikipedia dan beberapa sumber lain di internet. Tentang Pajang ini, riwayatnya relatif singkat saja. Memang sepak terjangnya dalam mendominasi nusantara juga relatif singkat. Sedikit mengulang dari sebelumnya.... Konon, menurut babad dan cerita rakyat Jawa, asal muasal Pajang adalah negeri Pengging yang lebih nyempil di pedalaman. Pengging ini, dikisahkan merupakan kerajaan kecil atau negeri tua, yang eksis pada jaman sebelum candi Prambanan dibikin, dan sepertinya survive dari bencana alam dahsyat yang memaksa kerajaan induk Medang yang digdaya di Jawa untuk hijrah ke Jawa Timur. Masa berlalu, beberapa lama Pengging itu tidak kocap dalam kisah raja-raja Jawa, tapi komunitasnya sepertinya meluas, dan bagian paling ramai dari kawasannya kemudian menjelma menjadi Pajang. Lalu, sejak itu, yang disebut-sebut sebagai ibukota kawasan itu, selalu Pajang dan Pengging seolah dilupakan. Era Majapahit, selalu ada keluarga bangsawan yang ditempatkan sebagai baginda di Pajang atau Bhre Pajang, yang asumsi kita, itu melingkupi juga Pengging. Begitu terus, sampai Majapahit surut. Pengging kemudian muncul kembali, setelah ada bangsawan Majapahit berjasa dalam palagan di Blambangan, lalu oleh Brawijaya yang bertahta di Majapahit dianugerahi kedudukan sebagai pemimpin Pengging, digelari Andayaningrat. Saat Demak mulai kuat dan merebut satu demi satu daerah bawahan Majapahit, Pengging ini termasuk daerah Majapahit yang diserang. Dalam salah satu serangan Demak, pemimpin Pengging yaitu Andayaningrat.. terbunuh oleh Sunan Ngudung. Pengging ini lokasinya di Boyolali masa kinilah kira-kira. Menurut hikayat, posisi Andayaningrat sebagai pemimpin Pengging kemudian digantikan oleh anaknya yang masuk islam, yaitu Raden Kebo Kenanga, dia bergelar Ki Ageng Pengging. Dan sejak itu, lalu (diasumsikan) tunduk dan mempertuan Demak sebagai kerajaan induk. Dan nyatanya mestinya memang demikian. Dari riwayat keluarganya, anak Andayaningrat sebetulnya ada tiga katanya. Yang satu Ki Ageng Pengging itu, yang meneruskan mengelola ayahnya, berlaku rendah hati,
berbaur dengan rakyat, tidak menonjolkan diri, dan bersikap luwes dalam menghadapi kedigdayaan Demak. Dan dia pun lalu masuk islam. Yang lain lagi: Raden Kebo Kanigara (kakak Ki Ageng Pengging), dan Kebo Amiluhur (adik Ki Ageng Pengging). Ketiganya itu satu bapak, satu ibu. Bapaknya Andayaningrat (yang aslinya bernama Jaka Sengara, pahlawan Majapahit saat menghadapi Blambangan), dan ibunya Ratu Pembayun (yang asli bangsawan Majapahit, putri raja Brawijaya). Belakangan ada yang bilang, Andayaningrat itu juga Ki Ageng Pengging I. Ada juga yang bilang Jayaningrat julukan lainnya. Saat Majapahit diacak-acak, Ki Ageng Pengging yang pragmatis lalu memutuskan mengikuti mainstream baru. Dia masuk islam dengan berguru pada Syekh Siti Jenar. Sementara, saudara-saudaranya yang lain memilih menjauh dari keramaian, menyepi di puncak Gunung Merapi. Mungkin nggak puncaknya banget kali ye. Kalo puncak itu kan kawah! Alkisah, beberapa lama karena keluwesannya, Ki Ageng Pengging bisa terus menggantikan memimpin Pengging sepeninggal ayahnya. Sampai suatu ketika, setelah lebih paham apa yang terjadi dengan para leluhurnya, raja Demak mikir. "Bener itu Ki Ageng Pengging setia dan loyal sama saya? Bukannya ayahnya dulu terbunuh oleh pasukan kita?" "Untuk menjawab pertanyaan itu, Den, langsung saja Ki Ageng dipanggil menghadap sembah kepada Tuan di Demak sini", begitu para birokrat Demak menyarankan rajanya. Dan begitulah, Raja Demak, Raden Patah ketika itu, lantas mengutus Sunan Kudus untuk mendatangi Ki Ageng Pengging, dan memintanya menghatur sembah pada Raden Patah, raja Demak. Nggak tahu gimana ngomongnya, intinya: Ki Ageng Pengging menolak. Sama-sama muslim, tidak sudi dia merendahkan diri pada raja Demak yang telah menumpas ayahnya. Seperti sudah disebut, di Jawa ini persaingan bukan muslim lawan nonmuslim, tapi ya, sekedar persaingan politik praktis biasa. Ya sudah, Ki Ageng Pengging pun lalu dianggap mau berontak oleh Raden Patah dan dijatuhi hukuman mati. Keluarganya ditumpaslah kira-kira... Walau begitu, penumpasan itu tidak tuntas. Harap maklum, selain dua saudaranya sudah duluan nyepi ke gunung tadi itu, anak Ki Ageng pun, namanya Mas Karebet sudah beberapa lama juga dijauhkan dari negeri Pengging itu. Mas Karebet ini sudah diungsikan untuk berguru di daerah Tingkir. Sang ayah mungkin sudah menduga, sewaktu-waktu, kalau ketahuan dia anak Andayaningrat, dirinya bisa diincer Demak. Jadi, demi agar keturunannya terus lestari, anaknya dia bekali ilmu. Sekaligus disuruh menjauh agar tidak ikut tumpas.
Jadi, saat Pengging diluruk Demak, Mas Karebet ini survive selamat. Bahkan, berhubung tidak banyak tahu siapa dia itu, belakangan dia bisa menghamba pada Raja Demak, dan dikenal sebagai Jaka Tingkir, karena bergurunya di daerah Tingkir itu. Berkat kompetensinya, dia terus banyak berjasa membantu kerajaan Demak, dan karena menghargai jasa-jasanya, Jaka Tingkir ini kemudian bisa memperistri salah satu Putri Trenggana, raja Demak, dan kemudian, dia dapat kesempatan untuk berkuasa di negeri bawahan bukaan baru (baru tapi lama), yang letaknya di sekitar Pengging juga, yaitu yang kelak jadi Kerajaan Pajang. Jadi, kerajaan Pajang itu (versi baru), pendirinya adalah Jaka Tingkir alias Mas Karebet anak Ki Ageng Pengging, dengan istrinya yang merupakan putri Demak, anak Trenggana raja Demak. Nama istrinya: Ratu Mas Cempaka kalau tidak salah. Kok bisa kebetulan ya? Jaka Tingkir, dibalikin lagi untuk berkuasa di wilayah PenggingPajang? Mestinya itu bukan suatu kebetulan, tetapi ada pertimbangan-pertimbangan logisnya. Tapi, sepertinya tidak ada hal yang unik terkait itu. Keduanya, apa benar yang diceritakan oleh cerita-cerita rakyat itu? Bahwa nenek Jaka Tingkir adalah salah satu putri Brawijaya! Dan ayahnya pahlawan Majapahit? Ini juga mesti disikapi dengan hati-hati. Bisa saja, kisah itu dibuat-buat oleh para pembelok sejarah di masanya, demi agar Jaka Tingkir itu bisa mendapatkan legitimasi untuk menjadi 'raja Jawa'. Jadi dicari-carikanlah, gayutan dirinya dengan Majapahit yang besar di masa lalu. Karena amat bisa banget, Jaka Tingkir itu,... sebelum berguru ke Tingkir, dia adalah sekedar anak angkat saja dari Ki Ageng Pengging, dan bukannya anak kandungnya. Atau bisa juga tidak ada hubungan apa-apa, dan beneran dia itu orang Tingkir saja. Orang biasa. Dan hubungannya dengan Ki Ageng Pengging itu dikarang belakangan, saat dia sudah jaya. Siapa yang berani melawan karangan seorang raja? Who knows? Wallahualam. Asal tahu saja, di babad tanah Jawa itu, bahkan raja-raja Mataram.. silsilahnya itu bisa dirunut sampai ke Nabi Adam, dan secara amat kebetulan, juga melewati jalur Fatimah binti Muhammad Rasulullah, atau apa gitu. Amazing, kan? Nah, kalau jalur silsilah yang clek-clok liar begitu bisa dituliskan sampai nabi Adam, secara sepenuhnya kasat mata keliatan ngarang, apa sulitnya pulak seorang Jaka Tingkir dicantelin ke Majapahit? Terlepas dari akurasinya, begitulah hikayatnya tentang terbentuknya Kerajaan Pajang moderen semasa kerajaan Demak. *** Jaka Tingkir Jadi Hadiwijaya, Meraja Di Jawa Singkat cerita begitu. Jaka Tingkir berprestasi. Raja Demak hepi. Lalu Jaka Tingkir dijadikan menantu oleh Trenggana raja Demak, yaitu memperistri Ratu Mas Cempaka
itu tadi. Mungkin dia sekalian ganteng juga, atau minimal rada mendingan. Sebab.. andai dia mukanya menyes abis,.. wah.. biar prestasi bagaimana juga,.. tapi kan, Trenggana raja Demak tentu tidak ingin putrinya kelak melahirkan cucu-cucu yang.. yah.. menyes terus tujuh turunan tampangnya, kan? Sudahlah. Kita akhiri saja tentang gantengnya itu. Kita lanjut cerita... Suami istri itu, Jaka Tingkir dan Ratu Mas Cempaka,.. kemudian dianugerahi kedudukan sebagai bupati Pajang. Jaka Tingkirnya kemudian diberi gelaran Hadiwijaya alias Hadiwijoyo Joyosuwito Tanpo Busono Mudho Wanito Dipolo Boyo Maruto Klopo. Walah.. buntutnya yang belakang itu ngarang semua. Yang bener ya cuma Hadiwijaya saja. Titik. Wilayah Pajang saat itu meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira sekitar Boyolali dan Klaten), lalu Tingkir (daerah Salatiga), Butuh, dan sekitarnya. Dengan sendirinya, Kerajaan Pajang ini erat kekerabatannya dengan kerajaan induk Demak (sampai kemudian Trenggana digantikan oleh anak lelakinya Sunan Prawata); juga akrab dengan Kerajaan Kalinyakmat (di sekitar Jepara, dimana berkuasa di sana Ratu Kalinyakmat beserta suaminya). Dan juga dengan kerajaan Cirebon. Sebab apa? Sunan Prawata, Ratu Kalinyakmat, dan istri pemimpin Cirebon, itu adalah saudara kandung Ratu Mas Cempaka, istri Jaka Tingkir. Tidak mengherankan, saat kemudian Arya Jipang atau Arya Penangsang kudeta, membunuh Sunan Prawata dan suami Ratu Kalinyakmat, maka Jaka Tingkir dan segenap kekuatan Pajang lantas ikut mendendam beserta segenap rakyat dan bangsawan dari jalur keturunan Trenggana. Bahkan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir itu sendiri pun sempat mau dibunuh juga. Namun, gagal. Faktanya, melibas Arya Penangsang, raja terakhir Demak itu tidaklah mudah. Mana dia dibantu oleh Sunan Kudus pulak.... Hadiwijaya perlu membangun kekuatan dulu dengan susah payah. Saking susahnya, Ratu Kalinyakmat dikisahkan oleh hikayat rakyat, dia geregetan abis.. dan nekat bertapa di gua telanjang bugil. Sambil dia sesumbar bahwa dia tidak akan berpakaian selamanya, sampai pembunuh suaminya (yaitu Arya Penangsang) tewas. Dan begitu pula, Hadiwijaya alias Jaka Tingkir (beserta istrinya) sampai menyebarkan sayembara. Barang siapa yang bisa menumpas Arya Penangsang, maka akan dianugerahi wilayah Pati dan wilayah (hutan?) Mataram. Sedikit mundur.. Saat Prawata dan Ratu Kalinyakmat dianiaya.. kok yang bantu cuma Jaka Tingkir ya? Bukankah Cirebon juga saudara? Apakah Cirebon tidak banyak membantu? Kemungkinannya, Cirebon itu juga banyak membantu. Minimal, membantu doa pada Allah subhanahu wataala... Subhanallah. Soleh bener orang Cirebon. Untungnya, kemudian ada banyak jagoan Demak, yang bertahun-tahun menyertai Trenggana ekspedisi di seantero Jawa, yang lebih memilih setia pada Hadiwijaya daripada kepada Arya Penangsang, dan terus merespons kepada sayembaranya.
Berkat itulah, kemudian Hadiwijaya mendapat kesempatan emas untuk mengalahkan Arya Penangsang. Dan sepeninggal Penangsang, Hadiwijaya kemudian mengambil alih tahta Demak, tetapi dia mendeklarasikan.. bahwa sekarang.. pusat kerajaan adalah di Pajang, di keratonnya dia. Yang semula, Demaknya asli pusatnya adalah Bintoro. Oleh Prawata dipindahkan ke Prawata. Dan oleh Arya Penangsang dipindahkan ke Jipang. Walau begitu, Hadiwijaya ini tidak serta merta menjadi raja yang paling dipertuan di seantero Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dipertuan di tanah Batak juga enggak. Sebab di Batak mereka sudah punya raja sendiri. Rajaguguk. Kita bahas Batak lain waktu ya. Balik lagi ke cerita kita.. kenapa Hadiwijaya tidak langsung dipertuan oleh daerah-daerah di Jawa? Karena banyak negeri-negeri kecil, sepeninggal Trenggana itu lalu memisahkan diri jadi negeri-negeri merdeka mandiri. Dan bahkan, di Jawa Timur, mereka membentuk persekutuan sendiri, yang koordinatornya adalah bupati Surabaya. *** Pajang Menjadi Pusatnya Jawa Susah payah Hadiwijaya coba mempersatukan Jawa lagi. Bagaimanapun, ilmu leluhur tetap dileluri oleh para bangsawan Jawa. Dan mereka menyadari, Jawa ini tidak akan langgeng kedamaiannya kalau kepemimpinannya terpecah-pecah. Barulah, setelah cukup kuat dan kedudukannya bergengsi, Hadiwijaya ini dipandang oleh para pemimpin Jawa yang lain. Sampai kemudian, 1568 Hadiwijaya dibantu oleh Sunan Prapen bisa bertemu para adipati dari daerah Jawa Timur, yang dikoordinasikan oleh Bupati Surabaya di Giri Kedaton. Mungkin di situ disuguhi rujak petis dan tahu campur atau disuguhi apa, kita tidak tahu. Yang jelas, dalam kesempatan itu, lalu tercapai konsensus. Yang intinya, secara damai semuanya lantas mau mengakui (lagi) kedaulatan dan hegemoni Pajang (sebagai penerus Demak) atas negeri-negeri di Jawa Timur. Demi kebaikan bersama, dan kemaslahatan umat. Walah. Pada soleh sih para bangsawan Jawa kalau lagi begitu.... Untuk mengukuhkan aliansi politik itu, Panji Wiryakrama dari Surabaya (pemimpin persekutuan adipati Jawa Timur) dinikahkan dengan puteri Hadiwijaya. Kalau Panji Tengkorak, kita tidak tahu, apa ada atau tidak. Adapun kita mau apa? Lha wong cerita sejarah kok terus membelok ke cerita silat. Sorry... Kita lanjutkan saja uraian kita... Begitu pula, selanjutnya, Madura berhasil dirangkul untuk bergabung ke Pajang dengan taktik yang sama. Pemimpinnya, Raden Pratanu alias Panembahan Lemah Dhuwur, juga diambil sebagai menantu Hadiwijaya, dinikahkan dengan putrinya. Agak jijay sih
sebetulnya kalau bangsawan Pajang dan bangsawan Madura terus rangkul-rangkulan. Laki sama laki. Tapi kiasannya saja begitu. Gaya jaman dulu itu seperti itu. Anak perempuan, itu dijadikan alat politik! Kecian bener. Kecian tapi dapet enak kali ye? Wallahualam.... Tiap orang nasibnya beda-beda. Balik sedikit ke sayembara. Kan Hadiwijaya sempat menjanjikan bagi yang bisa membantu menewaskan Arya Penangsang, akan diberikan wilayah Pati dan wilayah hutan Mataram.. Nah, tapi. Saat misi sudah diselesaikan. Hadiah yang direalisasikan hanya Pati saja. Sedangkan tanah Mataram, yang mestinya merupakan hak Ki Ageng Pemanahan, tidak dia berikan. Menurut hikayat, konon disebabkan karena dia bermimpi bahwa Mataram itu kelak akan menjadi lebih digdaya daripada Pajang. Dan Hadiwijaya jadi takut sendiri serta enggan. Belakangan, setelah diingatkan oleh Sunan Kalijaga untuk memenuhi janji, barulah tanah Mataram itu diberikan pada Ki Ageng Pemanahan. *** Melunturnya Peran Wali Songo Pada masa kini, wali songo itu banyak dimitoskan punya pengaruh digdaya dalam mengatasi seribu satu permasalahan dunia-akhirat. Wuih. Tapi kita bisa baca sendiri, cerita-cerita berdasar mitos itu kebanyakan pating slundhup, dan jauh dari akurat. Toh bicara sejarah Jawa tanpa menyebut wali songo, bisa bikin orang bertanya-tanya juga. Jadi, sepertinya, pada jaman Kerajaan Demak, ada semacam majelis ulama Wali Songo yang memiliki peran penting, bahkan ikut mendirikan kerajaan tersebut. Majelis ini bersidang secara rutin selama periode tertentu dan ikut menentukan kebijakan politik Demak, serta jalur-jalur kerajaan lain di bawah influence Demak. Mengapa diberi peran seperti itu? Bisa jadi, karena Demak itu nimbul di permukaan, disebabkan karena bantuan para wali itu, yaitu bisa dibilang 'golongan brahmana' di jaman islam. Hmm,.. sorry ya. Mungkin istilah nimbul itu lebih cocok untuk buaya daripada untuk kerajaan. Tapi maksudnya, Demak sukses menantang Majapahit. Sejarah berulang rupanya. Di jaman Ken Arok, Ken Arok itu juga bisa sukses mengkudeta kekuasaan Kediri, disebabkan karena dia dibeking abis oleh golongan brahmana juga. Sejago-jagonya Ken Ahok, kalo terus dia didemo abis-abisan oleh kalangan ulama dan brahmana,.. yah, jangankan untuk jadi raja... untuk jadi gubernur saja pasti susah. Eh? Ini tadi Ken Arok atau Ken Ahok, ya? Sorry. Kita balik lagi saja ke sejarah Jawa.... Sepeninggal Trenggana, peran Wali Songo ikut memudar. Sunan Kudus bahkan terlibat pembunuhan terhadap Sunan Prawoto, raja baru pengganti Trenggana.
Meski tidak lagi bersidang rutin, para wali atau 'wali' masih berperan dalam politik di masa Pajang. Yaitu kalau tidak sedang konser. Kalau konser, tentu yang dimaksud bukan wali songo, tapi Band Wali. "Aku bukan, aku bukan, aku bukan Bang Toyiiiib..." Ya emang bukan, Udin!! Eh, Udin siapa neh? Sorry. Peran para wali itu apa di masa Pajang? Ada sih beberapa. Misalnya tadi itu, Sunan Prapen yang aktif jadi mediator-penghubung. Pas pelantikan Hadiwijaya menjadi raja, yang jadi 'juru-lantik'-nya konon Sunan Prapen juga. Sedikit anak cerita. Ini tadi kok bolak-balik Sunan Prapen. Dia itu sebenernya siapa sih? Sunan Prapen pada waktu itu, adalah leader, raja kecil, di wilayah Giri Kedaton. Giri Kedaton ini, adalah kerajaan islam kecil di Gresik sana yang eksis di sekitar abad ke-15 sampai ke-17. Pendirinya Raden Paku (alias Prabu Satmata alias Sunan Giri I), seorang wali songo juga, anak dari seorang tokoh ulama di Pasai. Awalnya, 1487 itu sekedar pondok pesantren Giri Kedaton. Lama-lama, muridnya banyak bangsawan dan pangeran se-nusantara, sampai ke Ternate, NTB, Minangkabau, Makassar, Kutai. Terus, Giri Kedaton ini terus diincer Majapahit, yang mulai tergerus oleh penyebaran islam. Sampai kemudian, Majapahit meminta Kerajaan Sengguruh (bawahan Majapahit yang berlokasi di sekitar Malang masa kini) untuk menyerang Giri. Giri pun kalah. Pemimpinnya ketika diserang itu, Sunan Dalem mengungsi. Tapi kemudian, bisa mengambil alih lagi wilayahnya saat kerajaan islam berjaya. Bahkan gengsi Giri Kedaton itu naik di masa kepemimpinan Sunan Prapen (1548-1605). Tidak lagi sekedar sekolah agama, tetapi beneran jadi kerajaan kecil yang punya kekuasaan politik. Salah satu situs menyebutkan: Sunan Prapen atau Syekh Maulana Fatichal merupakan anak Syaikh Maulana Zainal Abidin (Sunan Dalem), sekaligus cucu Syekh Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri). Sunan Prapen merupakan sultan keempat kesultanan Giri. Dia menggantikan adiknya, Sunan Sedomargi yang jadi pemimpin Giri duluan, tapi kemudian wafat saat ikut ekspedisi Demak ke Panarukan. Namanya itu sendiri sekedar julukan saja "Sunan Sedomargi" alias "Sunan Sedho Ing Margi", yang maknanya dalam bahasa Jawa "Susuhunan atau sesembahan yang wafat di jalan (atau di perjalanan)". Sunan Prapen juga hampir selalu jadi juru-lantik setiap ada raja Jawa Islam naik tahta dan naik kuda. Eh, naik kuda enggak dilantik, sih. Belakangan nanti 1588, Sunan Prapen juga jadi juru-damai antara Panembahan Senopati raja Mataram dengan Jayalengkara bupati Surabaya. Perang itu dilatari oleh penolakan para bupati Jawa Timur atas pelibasan Pajang oleh Senopati. Sunan Prapen juga aktif dakwah di Nusa Tenggara Barat, melanjutkan misi Sayyid Ali Murtadlo, hingga banyak di antara raja NTB masuk Islam. Namun, Sunan Prapen gagal berdakwah di Bali selatan, akibat ditentang Dewa Agung, Raja Gelgel. Salah satu
murid yang orang minang, yaitu Dato Ri Bandang jadi imam di Makassar dan Kutai. Demi bantu membendung Portugis, Sunan Prapen sempat menempatkan pasukan Giri di Maluku tiga tahun. Kebetulan, Raja Ternate Raja Matan dari Sukadana, itu muridnya. Tahun 1605, Sunan Prapen wafat di bulan Syawal dan digantikan putranya yang bergelar Panembahan Kawisguwo. Lalu, di jaman Sultan Agung, Kawis Guwa ini diminta nyembah ke Mataram, tapi sang sunan menolak. Perwira dan tentara Mataram sempat jeri untuk menyerang Giri yang dianggap sakral. Sehingga, Sultan Agung lalu menunjuk Pangeran Pekik, putra Jayalengkara dari Surabaya, yang merupakan turunan Sunan Ampel untuk menghadapi Giri. Barulah serangan berjalan. Kebetulan, Sunan Giri yang asli, itu adalah murid Sunan Ampel. Sunan Kawis Guwa diturunkan derajatnya jadi Panembahan Ageng Giri, tapi tetap bisa mondok di Giri sana. Salah satu santrinya yang berkuasa di Kerajaan Tanjungpura di Kalimantan Barat, lalu ikutan memakai gelar Panembahan Giri Kusuma. Beberapa lama, Giri itu pasrah saja jadi bawahan Mataram, sampai kemudian diajak Trunojoyo dari Madura untuk berontak melawan Amangkurat I, pengganti Sultan Agung. Panembahan Ageng Giri pun aktif membangun barisan pemberontak. Pemberontakan berkobar 1677. Mataram diacak-acak Trunojoyo. Amangkurat I tewas dalam pelarian, tetapi putranya Amangkurat II bisa melakukan pembalasan dengan bantuan VOC. Amangkurat II yang jadi raja tanpa takhta, lalu berhasil menghancurkan pemberontakan Trunojoyo akhir tahun 1679. Sekutu Trunojoyo yang bertahan paling akhir adalah Giri Kedaton. April 1680 serangan besar-besaran terhadap Giri dilancarkan oleh VOC– Belanda. Murid andalan Giri yang menjadi panglima para santri bernama Pangeran Singosari gugur dalam peperangan. Panembahan Ageng Giri ditangkap dan dihukum cambuk sampai mati. Anggota keluarganya juga dimusnahkan. Sejak itu berakhirlah riwayat Giri Kedaton. Selengkapnya tentang Mataram nanti kita ulas terpisah. Kembali ke soal wali songo. Terlepas dari Sunan Prapen, siapa lagi yang lain? Pada masa Pajang, yang kerap disebut Sunan Kalijaga. Konon, Sunan Kalijaga inilah yang membantu Ki Ageng Pemanahan meminta haknya pada Hadiwijaya atas tanah Mataram, sebagai hadiah sayembara menumbangkan kekuasaan Arya Penangsang. Seperti beberapa sunan lain, Kalijaga konon umurnya 100 tahunan menurut hikayat. Benar tidaknya wallahualam. Di akhir Majapahit dia sudah eksis. Pernah berperan di Demak, Cirebon, Banten, dan Pajang. Serta di awal munculnya Mataram. Di Demak dia menggusur peran Sunan Kudus dari lingkaran dalam kekuasaan Demak di masa Trenggana (yang mungkin ini terus jadi penyebab Sunan Kudus atau penggantinya pro Arya Penangsang di kemudian hari). Di Demak itu lalu Sunan Kalijaga antara lain ikut bikin Mesjid Agung yang salah satu tiang utamanya dari 'tatal' (atau pecahan/serutan kayu-kayu sisa). Mesjid Agung Cirebon juga Kalijaga ikut merancang kata orang.
Sunan Kalijaga alias Raden Said alias Lokajaya, alias Syekh Malaya, alias Pangeran Tuban, alias Raden Abdurahman, itu disebutkan putra adipati Tuban, Raden Sahur atau Tumenggung Wilatikta. Versi Cirebon, julukan Kalijaga-nya itu muncul karena saat berdiam di suatu desa, dia sering berendam di sungai alias kali, dan berjaga-jaga di situ. Jadi Sunan Kalijaga, alias sunan yang suka jagain kali. Desa itu di Cirebon, kemudian juga disebut Desa Kalijaga. Bener tidaknya cerita itu wallahualam. Babad Tuban dan Portugis bilang, Kalijaga ini Jawa asli. Diceritakan, suatu ketika Arya Teja alias Abdul Rahman berhasil mengislamkan Adipati Tuban Aria Dikara, dan mengawini putrinya. Dan dari perkawinan tersebut lahir Aria Wilatikta ayah Kalijaga. Sedangkan Pemerintah Kolonial Belanda bilang, Kalijaga itu turunan Arab. Yang bahkan silsilahnya bisa dirunut sampai ke Fatimah binti Muhammad Rasulullah saw. Sejarawan Belanda lain bilang, dia jalurnya ke Ibnu Abbas, paman rasul. Kemudian, Sunan Kalijaga ini menikahi Dewi Saroh binti Maulana Ishak dan punya anak tiga. Raden Umar Sain (Sunan Muria), Dewi Rakayuh, dan Dewi Sofiah. Maulana Ishak itu sendiri, selain bapaknya Dewi Saroh juga bapaknya Sunan Giri! Sebelum insyaf (lagi), Kalijaga konon sempat jadi perampok ala Robinhood. Sampai suatu hari, ketemu Sunan Bonang. Lalu dinasehati dan jadi muridnya. Lulus ujian dan oleh Sunan Bonang namanya diganji jadi Kalijaga itu. Begitu menurut versi mistik. Kalijaga ini banyak memakai mistik, kesenian, dan kebudayaan untuk dakwahnya. Pakai seni ukir, wayang, gamelan, lagu suluk, ilir-ilir, gundul-gundul pacul, dan seterusnya. Dia penggagas baju takwa, sekatenan, garebeg maulud, lakon petruk dadi ratu, serta lakon carangan layang kalimasada. Ia sangat toleran dengan local wisdom, maka oleh para purist dianggap islamnya campur baur. Sinkretis. Kejawen. Wallahualam. Pola lanskap alun-alun berupa lapangan kotak dengan dua beringin, keraton menghadap utara, mesjid menghadap timur.. itu juga disebutkan digagas Kalijaga. Pengaruh dia nancep kuat antara lain di Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, dan Pajang. Setelah wafat, makamnya di Demak (Bintara) dan sampai sekarang makamnya ramai diziarahi orang dari seluruh nusantara. Wali lain yang cukup berperan: Sunan Kudus. Di Jaman Trenggana perannya di Demak digusur, digantikan oleh Kalijaga. Kemudian nimbul lagi bersama jayanya Arya Penangsang, terus ambles lagi saat Penangsang ditumpas. Kelak, sepeninggal Hadiwijaya 1582, Sunan Kudus ikut menyingkirkan Pangeran Benawa dari posisi putra mahkota, dan mendukung penggantinya yaitu Arya Pangiri. Ups, tapi bisa juga, Sunan Kudus yang terlibat urusan terakhir itu, adalah Panembahan Kudus yang lain, karena Sunan Kudus asli, diperkirakan sudah meninggal 1550. Jaman dulu itu, situasi memang ruwet. Disebabkan, karena adanya tradisi bahwa nama orang itu bisa diwariskan. Jaman sekarang, yang masih diwariskan itu cuma nama raja. Hamengkubuwono IX, mewariskan ke anaknya, jadi Hamengkubuwono X. Kayak begitu. Di luar negeri juga sama. Tapi jaman dulu, nama itu bisa diwariskan secara lebih bebas liar, dan terus tidak diikuti dengan nomer urut sekalian. Jadi, bisa keliatan sunan-
sunan tertentu umurnya bisa seratus tahun (atau bahkan lebih). Seperti Sunan Prapen di atas. Lalu Sunan Kalijaga dan Gunungjati. Aslinya, apakah itu satu orang atau dioper ke orang lain secara estafet,.. wallahualam. Sementara, cerita tentang wali songo seperti ini saja dulu. Mohon maklum.... *** Pajang Digusur Mataram Kita balik sedikit lagi ke sayembara Hadiwijaya saat dia mikir bagaimana menaklukkan Arya Penangsang.... Kala itu, 1949, Hadiwijaya dalam sayembaranya berjanji: Tanah Mataram dan Pati akan jadi dua hadiah untuk siapa saja yang mampu menumpas Arya Penangsang. Kemudian, menurut laporan resmi peperangan, Arya Penangsang tewas dikeroyok Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Beserta pasukannya mestinya sih. Kalo dikeroyok cuma oleh dua orang. Satu lawan dua begitu, itu menurut cerita ketoprak. Yang terlalu mahal kalau mesti dipentaskan super kolosal. Ki Penjawi terus diangkat jadi penguasa Pati sejak 1549, sesuai janji. Sedangkan Ki Ageng Pemanahan baru mendapatkan hadiahnya 1556 berkat bantuan Sunan Kalijaga. Tadi sudah disebut. Hal ini disebabkan karena Hadiwijaya bermimpi, atau mendengar ramalan Sunan Prapen, yang menyebutkan bahwa di Mataram itu akan lahir kerajaan yang lebih besar daripada Pajang. Ramalan tersebut, menjadi kenyataan ketika Mataram dipimpin Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan. Sutawijaya memimpin Mataram konon sejak 1575. Tokoh inilah yang sebenarnya membunuh Arya Penangsang. Waktu itu dia salah satu anggota pasukan ayahnya saat pengepungan. Jadi, hikayat bilang, aktualnya.. yang membunuh Arya Penangsang alias Arya Jipang itu Sutawijaya, anak Ki Ageng Pemanahan,.. tapi.. oleh sang pengatur siasat dalam peperangan itu, ahli strategi yang di belakang layar yaitu Ki Juru Matani, diubahlah laporan pertempurannya.. disebutkan bahwa yang membunuh adalah pasukan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Supaya apa? Supaya wilayah Pati dan wilayah Mataram beneran dianugerahkan oleh Hadiwijaya kepada kedua orang itu. Andai dibilang yang membunuh adalah Sutawijaya,.. padahal Sutawijaya itu statusnya sudah merupakan anak angkat Hadiwijaya sendiri, janganjangan sayembara itu lantas dibatalkan sepihak. Takutnya begitu. Benar tidaknya cerita itu, dan seberapa akuratnya, ya wallahualam. Yang jelas, setelah babat alas dilakukan oleh sang ayah, daerah Mataram di bawah pimpinan Sutawijaya semakin maju dan berkembang jadi kota pertanian yang makmur.
Tahun 1582, Mataram memerangi Pajang, karena Sutawijaya membela adik iparnya, yaitu Tumenggung Mayang yang oleh Hadiwijaya mau diasingkan ke Semarang. Dalam perang itu, Mataram yang lebih punya determinasi dan solid logistiknya berhasil memukul mundur pasukan Pajang yang lebih besar jumlah tentaranya. Capek ngurusin gegeran itu, Hadiwijaya teler abis, sakit, terus meninggal.... Innalillahi. Mungkin ada rasa sakit hati juga. Mengingat, Sutawijaya itu.. dari kecilnya sudah main dengan anak-anak Hadiwijaya (Jaka Tingkir) dan bahkan, Sutawijaya itu sudah jadi anak angkat. Lha kok terus anak nantang perang sama bapaknya... Nyesek bener. Sepeninggal Hadiwijaya, di Pajang terjadi perebutan tahta antara Pangeran Benawa (putra Hadiwijaya) dan Arya Pangiri (menantu Hadiwijaya). Argumen Pangeran Benawa, dia adalah yang anak lelaki asli Hadiwijaya. Sedang argumen Arya Pangiri,.. istrinyalah (Ratu Pembayun?) yang merupakan kakak tertua Hadiwijaya, dan lebih berhak atas tahta daripada Pangeran Benawa, adiknya. Sekedar update informasi: Arya Pangiri ini, tidak lain adalah pemimpin Demak saat itu. Dia itu anaknya Sunan Prawoto yang dikudeta Arya Penangsang. Jadi, selain menantu, dia itu masih bersaudara dengan Jaka Tingkir alias Hadiwijaya juga, yaitu keponakan istrinya. Demaknya sendiri, sudah berubah jadi negeri kecil, bawahan Pajang. Dalam persaingan dengan Pangeran Benawa, ujungnya.. Arya Pangiri yang menang, didukung oleh Panembahan Kudus, dia naik takhta 1583. Keterlibatan Panembahan Kudus alias Sunan Kudus ini terasa ruwet. Bila kita ingat lagi, Sunan Kudus itu adalah yang bersekutu dengan Arya Penangsang waktu mengkudeta Sunan Prawoto, dan dari lama bersikap anti Demak-Bintoro dan anti Demak-Prawata. Lah kok.. sekarang, Sunan Kudus disebut bersekutu dengan Arya Pangiri anak Sunan Prawoto? Ini gimana? Besar kemungkinan, Sunan Kudus alias Panembahan Kudus yang menolong Arya Pangiri ini adalah orang yang berbeda, atau boleh dibilang Sunan Kudus II, gitu deh. Setelah menang... pemerintahan Arya Pangiri puyengnya ingin balas menghantam Mataram. Tapi,.. kisruh dengan Mataram itu bikin rakyat galau. Lalu Pangeran Benawa yang tersingkir ke Jipang mengambil kesempatan. Tahun 1586, dia membelot ke Mataram, dan membantu Sutawijaya menyerbu Pajang. Ini ironis. Politik seolah membenarkan segala cara... Kalau dipikir, Sutawijaya itu kan musuh Hadiwijaya, yang notabene itu bapaknya Benawa. Eh, lha kok terus Benawa-nya malah menghamba pada Sutawijaya itu.. dan menganggapnya saudara tua, demi untuk menyerbu Pajang.. yang tidak lain adalah negeri asli, tanah air Benawa sendiri... Beberapa blunder konon dilakukan oleh Arya Pangiri. Saat kesultanan Aceh minta bantuan ngurus selat Malaka, oleh Pangiri dianggap sepi. Lalu, dia banyak merekrut pasukan bayaran dari Demak, Bali, dan Bugis untuk menghadapi Mataram. Banyak orang Pajang dan konstelasi sekitar yang merasa diremehkan kemudian kecewa dan memilih lebih mendukung Pangeran Benawa.
Kombinasi pasukan Sutawijaya dari Mataram dan pasukan Benawa dari Jipang akhirnya berhasil mengalahkan pasukan Arya Pangiri. Dia menyerah, lalu dipulangkan saja.. aku pada ibumu, atau ayahku. Dia dipulangkan ke negeri asalnya: Demak. Pangeran Benawa, kemudian menduduki tahta Pajang, jadi raja Pajang ketiga (setelah Hadiwijaya ayahnya dan Arya Pangiri iparnya). Namun, posisinya jadi bawahan Mataram, bukan jadi kerajaan induk lagi, cuma kadipaten. Yang jadi induknya, sekarang adalah kerajaan Mataram. Yang tentu saja, munculnya Sutawijaya dari Mataram, yang notabene 'bukan siapasiapa', ini tidak begitu saja diterima luas oleh negeri-negeri se-Jawa. Sama seperti saat Jaka Tingkir muncul. Siapa elu? Kenapa mesti elu yang jadi raja diraja di tanah Jawa? Ini panjang lagi ceritanya. Nanti kita ulas saat kita berkesempatan mengulas Mataram. Walau sebentar dan kekuasaannya relatif kecil, Pangeran Benawa coba membikin beberapa pembaharuan. Dia bikin pesantren-pesantren model pondok. Ia sempat menyepi di beberapa tempat yang terus menjadikan tempat dia menyepi itu menjadi pemukiman-pemukiman baru. Ada yang bilang begitu. Antara lain di Pemalang, Kedu, dan Gunung Tirakat. Munculnya kota Pemalang, menurut sebagian masyarakatnya, adalah karena dibangun oleh Pangeran Benawa ini. Selain itu, Pangeran Benawa punya anak perempuan: Dyah Banowati. Ia dijodohkan dengan Mas Jolang, anak Sutawijaya. Pasangan ini kelak melahirkan Sultan Agung, raja terbesar mataram. Jadi, Sultan Agung raja Mataram paling terkenal itu, sekaligus dia adalah trah Mataram dan trah Pajang sekalian, yang artinya juga trah Demak, dan trah Majapahit, trah Singosari turunan Ken Arok. Masih mambu-mambu trah syailendra yang digulingkan Ken Arok atau tidak, kita tidak tahu. Bisa jadi juga iya. Ada berdarah Arab atau tidak, kalau menurut babad tanah Jawa, bahkan nyambung ke Fatimah binti Muhammad saw dan Ali bin Abi Thalib. Dan bahkan ke Nabi Adam as. Apa ada berdarah Cina atau tidak? Dengan mengingat dia trah Demak, mestinya kental juga darah Cinanya. Apa ada dna India? Mestinya juga ada kalau beneran dia juga nyambung ke trah Syailendra. Cuma.. kalau diingat lagi bahwa unsur campurannya begitu banyak.. yah, ibarat masakan, masuknya sudah jenis oblok-oblok ini jadinya. Turunan Pangeran Benawa yang lain, disebut ada Pangeran Radin, yang menurunkan Ronggowarsito dan Yosodipuro, pujangga termasyhur dari Kasunanan Surakarta. Lanjut cerita Pajang,... tahun 1587, Pangeran Benawa selesai urusan. Innalillahi.. Umurnya pendek. Dia tidak punya putra mahkota, dan oleh Mataram, yang didudukkan untuk berkuasa di sana sebagai bupati (alias raja kecil) berikutnya adalah Pangeran Gagak Baning adik Sutawijaya. Selanjutnya lagi, kelak sepeninggal Pangeran Gagak Baning, yang menggantikan kelak adalah anaknya: Pangeran Sidawini.
Ada juga yang bilang, Benawa itu turun tahta dalam keadaan hidup, lalu menyepi, jadi ulama. Tempat menyepinya, ada yang bilang Gunung Kulakan, dan di sana dia bergelar Sunan Parakan. Ada yang bilang menyepinya ke barat, membuka kota baru yang di masa kini jadi Pemalang, dan makamnya di situ juga, di desa Penggarit. Sutawijaya sendiri yang telah membesarkan Kerajaan Mataram, dan menjadi raja besar Mataram yang pertama, kemudian bergelar Panembahan Senopati. Sebelumnya itu, kurang lebihnya, Mataram itu bukan kerajaan, tapi sekedar semacam kadipaten saja. Kelak, dalam perjuangan mengkonsolidasikan kekuasaan di Jawa ini, Pajang masih terus bahu membahu dengan Mataram. Berapa kali juga keraton Pajang itu diserbu musuh, sampai pada satu titik dihancurkan. Gegeran penghancuran Pajang ini cukup masif. Sampai sekarang, ada seloroh di masyarakat "sisa-sisa laskar Pajang", menggambarkan situasai nelangsanya. Musuhnya mengamuk membabi buta saat menghancurkan ibukota Pajang sehingga tidak banyak peninggalan yang masih bisa kita lihat di masa kini. Kata para sejarawan, kompleks yang dulunya merupakan keraton Kerajaan Pajang, sekarang ini sisanya tinggal berupa batas-batas fondasinya saja. Lokasinya di perbatasan Kelurahan Pajang, Kota Surakarta, dengan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo. Selain fondasi keraton itu, yang tersisa dari Pajang cuma beberapa hal. Salah satunya: Mesjid Laweyan (dibangun 1546, di daerah yang sekarang jadi Kampung Batik Laweyan, Solo). Arsitekturnya memadu unsur Jawa, Eropa, Cina, dan timur-tengah. Di samping mesjid ada makam kerabat sultan Kia Ageng Henis. Dia penasehat spiritual Pajang, keturunan bangsawan Majapahit. Selain bangun mesjid, dakwah, dan jadi penasehat spiritual. Ki Ageng Henis ini menjadi promotor seni batik. Selain mesjid yang dianggap peninggalan Pajang lagi Bandar Kabanaran. Saat Pajang jaya, perdagangan, perindustrian, dan produksi hasil bumi ramai di ibukotanya. Dan untuk mendukung keramaian itu, dibuatlah bandar atau port di selatan Kampung Laweyan yang terus jadi Bandar Kabanaran di tepi sungai Kabangan dan di timur Masjid Laweyan. Bandar itu jadi port untuk penghubung Kerajaan Pajang, Kampung Laweyan, dan Bandar Nusupan di tepi Bengawan Solo. Jadi, begitulah kisah singkat Kerajaan Pajang. Periodenya cuma dari tahun 1551 sampai 1586. Dengan milestones kurang lebih sebagai berikut: 1551 - Pajang Merdeka. Jaka Tingkir dan istrinya Ratu Mas Cempaka memisahkan diri dari Demak saat Arya Penangsang kudeta. 1554 - Arya Penangsang Raja Demak terakhir ditewaskan oleh pasukan Pajang, dan Jaka Tingkir naik tahta jadi Raja pengganti bergelar Hadiwijaya.
1568 - Hadiwijaya mulai disepakati menjadi pemimpin besar se-Jawa. Di-endorse dan dimahkotai oleh Sunan Prapen. 1583 - Arya Pangiri (anak mendiang Sunan Prawata raja Demak ke-4) jadi raja kedua Pajang (dibeking oleh Sunan Kudus II), menggantikan Hadiwijaya yang wafat 1582 atau 1583; setelah kisruh dengan saudara iparnya Pangeran Benawa (dan Mataram). 1586 - Arya Pangiri terkalahkan dan diusir balik ke Demak. Digantikan oleh Pangeran Benawa (bergelar Prabuwijaya), tapi Paneran Benawa ini sendiri bukan lagi statusnya jadi raja besar, melainkan sekedar jadi Bupati saja. Pajang turun derajat jadi kerajaan bawahan, dan yang menjadi kerajaan induknya Mataram. Pangeran Benawa sendiri umurnya pendek. Tahun 1587 sudah wafat. Dan posisinya digantikan adik Hadiwijaya, raja Mataram, sehingga praktis Pajang tidak mandiri lagi, menyatu dengan Mataram. (ilmuiman.net / Selesai)