ILMUIMAN.NET: Koleksi Cerita, Novel, & Cerpen Terbaik Cerita Kira-kira Sejarah (16+). 2017 (c) ilmuiman.net. All rights reserved. Berdiri sejak 2007, ilmuiman.net tempat berbagi kebahagiaan & kebaikan lewat novelcerpen percintaan atau romance, dan cerita non fiksi.. Seru. Ergonomis, mudah, & enak dibaca. Karya kita semua. Pembaca yang sensi dengan seloroh ala internet, silakan stop di sini. Segala akibat menggunakan atau membaca, sepenuhnya tanggung jawab pembaca. Terima kasih & salam. ***
Kira-kira Sejarah Sumbawa Sumbawa Selayang Pandang Membicarakan daerah Sunda kecil atau Nusa Tenggara, tentu tidak bisa terlepas dari membahas Sumbawa yang unik. Sumbawa ini pulau terbesar di NTB atau Nusa Tenggara Barat. Di NTB itu, ada pulau terbesar kedua (satu lagi), yaitu pulau Lombok. Kita mulai dulu dengan Sumbawa kali ini.... Sejarah Sumbawa yang komprehensif kata banyak orang pernah diurai di buku karya Lulu A Manca: “Sumbawa Pada Masa Lalu”. Dan "Memorie van Overgave" (Kenangkenangan selama memerintah) karya Van der Wolk, yang pernah jadi gezaghebber di Sumbawa. Kebanyakan tulisan di internet merujuk pada kedua tulisan itu. Sumbawa atau tau Samawa, penduduknya semula ngumpul di Semenanjung Sanggar, di lereng Tambora, di ketinggian 2850 meter dpl. Mereka lalu menyebar di Sumbawa menyusuri dataran rendah yang sekarang digenangi air laut (tapi dulunya mungkin belum). Lalu ada yang tinggal di pedalaman di dataran tinggi pegunungan Ropang, Lunyuk, dan selatan Batu Lanteh, membentuk hunian baru. Secara spiritualnya kebanyakan menganut animisme, mengagung-agungkan gunung. Daerah yang mereka tempati menurut adat Sumbawa disebut “Lar Lamat”, yaitu tanah tempat tinggal, sawah, ladang dan aliran sungai atau danau serta tempat mereka dimakamkan jika mereka meninggal dunia. Dan untuk mengawasi-menguasai “Lar Lamat”, dipilihlah penguasa atau pemimpin alias “Nyaka”. Di masa lalu, kebanyakan penduduk berpencaharian beternak atau bercocok tanam. Setelah perhubungan lebih baik, pendatang-pendatang muncul dari Bugis-Makasar, Banjarmasin, dan Jawa. Mereka mendiami pesisir. Tanahnya disebut “Tana Penyaka”. Pendatang diterima dan dapat hak serta kedudukan sama dengan syarat mereka mematuhi ketentuan yang dikeluarkan Nyaka. Kelak, kelompok-kelompok penduduk ini berkembang dan punya wilayah serta komunitas sendiri. Belakangan, yang muncul sebagai pedagang di pulau atau antar pulau, umumnya etnis Cina, Arab, Jawa.
Secara tradisional, orang Sumbawa bersawah pakai cangkul atau bingkung, rengala, dan kareng sebagai peralatan bajak dengan memanfaatkan hewan peliharaan seperti sapi dan kerbau. Yang membajak sawah pake ayam nggak ada. Kalo dipaksa juga, bisa bengek tuh ayam, tanahnya belum kegaruk. Pola ini mulai diperkenalkan orang-orang Majapahit pada masa kerajaan-kerajaan Hindu Sumbawa. Masa kini baru ada mekanisasi, pakai hand-tractor atau alat lain. Untuk menggarap ladang atau “merau” cara-cara tradisional masih dipakai sampai sekarang dengan membakar lahan. Komunitas agraris tradisional itu cenderung hidup rileks, dan tidak setiap hari peladang meluangkan waktu memelihara tanaman, cuma beberapa kali saja seminggu. Kalau nemu tanah garapan, mereka dulu-duluan mengklaim dengan menandai pojokpojoknya pakai batu asah atau dengan menanam pohon bage (asem), ketimus, atau bungur. "Tumpan aeng-aeng, tu tumpan nan tubaeng", orang yang menjumpai, ialah yang memiliki. Pencari kayu di hutan dan nganyang (pemburu) lebah madu juga begitu. Mereka dulu-dulan memberi tanda silang dengan parang di pohon yang diklaim, atau mengikatnya dengan lonto (sejenis tumbuhan menjalar). Siapa yang melanggar konvensi ini, akan mendapat sangsi sosial, dibicarakan dimana-mana sebagai orang tak tahu malu (tau no kangila). Hasil panen disimpan di lumbung klompo, dibangun di dekat rumah. Atau di para, di loteng rumah. Sumbawa sering kena kemarau panjang. Rumahnya model panggung, di bawahnya disebut kolong atau bongan, dipakai menempatkan peralatan pertanian. Ada juga penduduk yang nelayan. Dengan alat tradisional pancing, kodong, atau belat perangkap yang dipakai untuk menjebak ikan di sungai atau rawa-rawa, atau jaring untuk menangkap di laut. Untuk berburu atau nganyang, alat yang dipakai tear (tombak), poke (tombak matadua), lamar (jerat), dan juga dengan memanfaatkan anjing pemburu atau anjing pelacak. Belum pernah lihat kan orang berburu memanfaatkan kucing? Bisa ditinggal tidur dah tuh para pemburu sama si kucing... Nganyang umumnya jadi pekerjaan sambilan penduduk perbukitan. Sedang pekerjaan utamanya: meramu hasil-hasil hutan untuk dijadikan makanan, seperti umbi-umbian, buyak, pucuk-pucuk rotan, serampin (sari batang enau), madu lebah, jamur-jamuran, dan akar-akaran sebagai bahan pembuatan minyak tradisional yang terkenal dengan sebutan Minyak Sumbawa. Proses pembuatan minyak sumbawa ini sudah turun temurun dan unik. Seorang "Sandro" (dukun tau Samawa) mengaduk seluruh ramuan minyak dalam belangga, dalam kondisi masih mendidih di atas bara api. Kerjaan industrial yang tradisional di masa lalu adalah menenun. Turun temurun, dan makin lama makin terasa kuno dan rumit, dan makin ke sini makin tergusur. Di masa kini, masyarakat lebih bangga jadi PNS atau pegawai pertambangan. Secara umum, masyarakat suka membahas masalah politik, filsafat kehidupan, kebatinan, soal perdukunan atau sandro.
Masyarakat di kepulauan lain mengenal Sumbawa dari hasil ternaknya: kuda, sapi, dan kerbau, namun jarang yang tahu cara sistem pemeliharaannya yang unik. Tidak ditambat, tapi diumbar saja di lar (padang gembala). Sedangkan untuk menjaga tanaman dari serangan ternak, para petani memagari sawah-ladangnya dengan kayu jawa. Sampai sekarang, Sumbawa terkenal sebagai penghasil ternak kuda, sapi, kerbau terbesar dan terbaik di Indonesia. Kapal-kapal pengangkut ternak biasanya disiapkan di Labuhan Badas, Sumbawa, hingga Pelabuhan Sape di Bima. Orang Toraja dan Sumatra suka beli kerbau-kerbau dari Sumbawa. Kuda Sumbawa, Madu Sumbawa,.. itu serasa sudah jadi kata majemuk Indonesia yang baku dari lama, bukan? Kalau cewek Sumbawa.. lha, ini nggak tahu.. apa baku dan terkenal ke seantero dunia atau tidak. Tapi bisa dipastikan, kalau ada cowok yang dilepas di Sumbawa nggak boleh kemana-mana barang lima belas tahun aja.. sepanjang dia normal.. tentu dia akan melihat semua cewek Sumbawa itu cantik-cantik. Bahkan mungkin.. dia melihat kuda Sumbawa dibedakin pun naksir juga. Walah.. lha dikerem di sananya aja lima belas tahun! Nggak kira-kira.... Sebelum era kesultanan Sumbawa, dan sebelum Majapahit, Sumbawa ini berada di bawah kendali Kerajaan Sasak Samawa, yang pusatnya di Lombok. Kemudian, kerajaan ini ditaklukkan Majapahit (kemungkinan bekerjasama dengan kerajaankerajaan di Bali). Yang terus mengendalikan wilayah ini dari Taliwang dan Sedang. Belakangan, saat Majapahit surut, masuk pengaruh kesultanan-kesultanan islam. Segenap wilayah Sumbawa dan Selaparang-Lombok diambil-alih oleh Kerajaan Gowa (Sulawesi). Pusat pemerintahannya semula di sisi barat, di Lombok, lalu dipindahkan ke Sumbawa-besar, saat sisi barat terus-menerus terancam oleh ekspansi kerajaan Gelgel, Bali. Jadilah kemudian Kesultanan Sumbawa. Setelah Belanda merajai nusantara, mereka meneruskan pola penguasaan ala Gowa, dan awalnya menempatkan wilayah Sumbawa itu jadi bagian dari Gubernemen Selebes. Belakangan, saat lebih moderen, Sumbawa ini jadi afdeeling sendiri, dan masuk wilayah Karesidenan Timor, dengan ibukota di Sumbawa Besar. Seperti yang lain, afdeeling dibagi menjadi beberapa onderafdeeling, lalu onderdistrict. Sempat coba digabung-gabung beberapa onderdistrict jadi kabupaten, tapi ujungnya yang lebih praktikal adalah menjadikan setiap onderdistrict mandiri itu jadi kademungan, balik lagi ke pola jaman kuda ala Majapahit. Di masa kini, Kademungan ini jadi kecamatan. Di sama orde lama, di bawah kademungan atau kecamatan ini, ada desa-desa yang dipimpin seorang gabung dibantu beberapa tau loka karang sebagai penasehat dari setiap kelompok kekerabatan kampung. Mereka dibantu lagi oleh malar si pengatur irigasi, dan mandur yang jadi penghubung pemerintahan desa dengan masyarakat luas. Kelompok kekerabatan di suatu kampung umumnya berupa sekelompok rumah yang masih saling terikat kekerabatan. Dan wilayahnya disatukan oleh sebuah pagar kampung. Tata letaknya selalu menyesuaikan dengan pengetahuan masyarakat mengenai urat tanah, yang dalam pelaksanaanya hanya bisa diketahui oleh sandro
(dukun spiritual). Setiap kepala keluarga memiliki tanggung jawab adat membantu membangun rumah anggota kelompok yang baru secara gotong royong di bawah komando tau loka karang. Konsep itu dirumuskan dengan nama bayar siru atau balas budi, sehingga anggota kelompok yang melanggar akan dikucilkan. Konsepsi bayar siru ini masih berlaku hingga sekarang, terutama di pedesaan. Sekarang, desa dimodernisasi jadi desa atau kelurahan biasa yang dipimpin lurah atau kepala desa yang membawahi beberapa dusun, RW, RT. Lalu di sekelilingnya dibangun jalan tol, jembatan layang, serta gedung-gedung apartemen bertingkat serta mall berskala internasional. Ups.. Modernisasinya nggak sampai segitunya, sih. Sorry. Sebagai lembaga eksekutif di tingkat desa dibentuklah Badan Perwakilan Desa, sedangkan tugas malar digantikan Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A). Nuansa islam dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat eksis dengan adanya tokoh penghulu, lebe, mudum, ketib, marbot, dan rura. Sejak jaman kesultanan, masyarakat terbagi jadi tiga golongan: yakni golongan bangsawan atau dea atau datu; lalu golongan merdeka atau tau sanak; dan golongan masyarakat biasa yang tidak merdeka atau tau ulin abdi. Pola ini bisa kita kira-kira, terpengaruh oleh pola-pola kasta yang ada sejak jaman Bali atau Majapahit juga, hanya bergeser dan diwarnai oleh kesultanan yang muncul kemudian. Golongan tau ulin abdi, atau para budak ini di masa lalu mestinya diperjual belikan kemana-mana seantero nusantara. Dan baru sepenuhnya dihapus 1959 oleh Sultan Muhammad Kaharuiddin III yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sumbawa. *** Sumbawa Pra-Kesultanan Setelah selayang pandang, mari kita sekarang ringkaskan secara babak demi babak. Di jaman modern, yang mewarnai kehidupan masyarakat di Sumbawa adalah Kesultanan Sumbawa, tapi tentu, ada periode sebelum itu. Ada yang mencatat, bahwa Kerajaan Samawa itu di Sumbawa bukan satu-satunya, tapi yang terbesar di antara tiga kerajaan Islam yang ada di pulau itu. Konon sebelumnya itu, selagi kerajaan lain di nusantara belum merambah, di Sumbawa itu eksis kerajaan tua yang dipimpin "Dinasti Dewa Awan Kuning" yang bercorak campuran hindu dan animisme. Tetapi bukti sejarahnya minim. Sorry. Kemungkinan dinasti ini teraliansi ke Bali-Lombok dan/atau Majapahit pada akhirnya. Atau, bisa juga, diawal-awalnya dinasti ini (atau dinasti sebelumnya) sepenuhnya independen,.. lalu, belakangan barulah terafiliasi ke negeri lain nusantara. Apakah dinastinya terus sinambung, atau pada satu titik benang merahnya berbeda, tidak ada clue juga. Hindunya sendiri, diestimasikan sudah ada di kepulauan itu 200-an tahun sebelum datangnya orang Bali-Majapahit.
Selain eksis Kerajaan Dewa Mas Kuning di Selesek (Ropang), ada nama lain yang dikenal di Sumbawa, antara lain Kerajaan Airenung (Moyo Hulu), Kerajaan Awan Kuning di Sampar Semulan (Moyo Hulu), Kerajaan Gunung Setia (Sumbawa), Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan), Kerajaan Seran (Seteluk), Kerajaan Taliwang, dan Kerajaan Jereweh. Kemungkinan, satu sama lain itu benang merahnya saling terkait. Raja era Hindu akhir namanya Dewa Maja Purwa.. Dia menandatangani perjanjian dengan kerajaan Gowa (Sulawesi). Kemungkinan, pada masa itu, kerajaan Hindu JawaBali sudah melemah, jadi kecondongan Sumbawa bergeser. Walau, isi perjanjiannya pertamanya sekedar untuk perdagangan saja, lama-lama, perjanjian itu jadi semacam pakta keamanan-ketertiban. Gowa ini terus jadi pelindung, dan Kerajaan Samawa jadi wilayah protektorat Gowa. Sepeninggal Dewa Maja Purwa, penggantinya mestinya Mas Goa yang masih Hindu, tapi kemudian (sebelum naik tahta?0 dia dianggap melanggar perjanjian damai oleh Kerajaan Gowa, sehingga terus disingkirkan beserta para pengikutnya, kurang lebih istananya ada di wilayah Kecamatan Utan-Rhee masa kini. Penyingkiran itu terjadinya, 1673. Setelah itu, barulah muncul sultan-sultan beragama islam, dinasti baru, yang notabene tetap tunduk pada kepemimpinan Gowa sepanjang Gowanya belum tergusur oleh Belanda. Dinasti baru itu sendiri, baru bertahta sekitar setahun kemudian: 1674. Pada periode itu, VOC sudah jadi solid di Batavia, dan sudah malang melintang kemana-mana se-nusantara. Agak mundur sedikit,... sebelum jadi kerajaan islam, penyebar islam sudah dakwah di Sumbawa. Menurut seorang pakar, Zolinger, dakwah sudah eksis mulai 1450-1540, yaitu lebih duluan dari munculnya para pendakwah di Lombok. Mereka datang bersama kapal dagang Jawa dan Sumatra (khususnya Palembang). Bisa dikira-kira, itu dari wilayah Majapahit mestinya. Nggak mungkin kan dari Majalaya atau Rancaekek? Di sana itu yang ada paling juga produsen borondong jagung, sama pengrajin golok. Saat Majapahit runtuh, mestinya kerajaan-kerajaan jauh seperti di Sumbawa itu terus sempat merdeka jadi kerajaan kecil-kecil yang independen. Kondisi ini memudahkan dakwah Islam. Kemudian, pada abad ke-16, (murid-murid) Sunan Prapen, keturunan Sunan Giri dari Jawa jadi promotor penyebaran Islam yang lebih intensif, sampai Sumbawa itu kemudian ditundukkan bertahap oleh Karaeng Moroangang dari Kerajaan Gowa, mulai 1618 (dan tuntasnya 1673?). Dan Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan) sebagai kerajaan terakhir yang menerima Islam punya sumpahan: “Adat dan rapang Samawa (contoh-contoh kebaikan) tidak akan diganggu gugat sepanjang raja dan rakyatnya menjalankan syariat Islam”. Dalam sejarah vulkanik dunia, ada teori meletusnya gunung Samalas (alias Rinjani). Gunung ini lokasinya di pulau Lombok, yaitu pulau di seberang Sumbawa. Diteorikan oleh banyak pakar, Rinjani alias Samalas itu sempat meletus di sekitar abad ke-13 (atau bisa juga sebelum itu). Dan dalam salah satu letusan dahsyat, dia menyapu peradaban dalam wilayah yang amat luas, dan bahkan.. ada yang meyakini debu-debu
yang diterbangkannya ke angkasa bahkan ada yang sampai mendarat di sekitar kutub segala. Wallahualam kapan persisnya gunung itu meninggal, tetapi andai benar, ini cukup menerangkan.. mengapa peradaban dan kemasyarakatan di Sumbawa dan wilayah nusa tenggara pada umumnya, itu jauh di belakang Jawa-Bali; padahal, dari sisi pulau-pulaunya, mereka itu kan nyaris sinambung, cuma dipisahkan oleh selat-selat sempit saja. Mungkin, pada satu titik mereka setara, tapi kemudian,.. mereka mengalami set-back oleh letusan dahsyat. Selain gunung Salamas alias Rinjani itu, di era yang lebih modern ada letusan gigantik lain, yaitu di tahun 1815 persisnya, dari gunung Tambora, yang idem ditto, ini menghancurkan tiga kerajaan kecil bahkan. Membunuh sekitar sepertiga penduduk Sumbawa, sepertiga lainnya mengungsi ke Lombok atau ke pulau-pulau lain, dan sepertiga sisanya saja yang masih tinggal, dan membangun pulau praktis dari nol lagi. *** Sejarah Kesultanan Sumbawa Sebelum Letusan Tambora Begitulah, selepas kerajaan hindu, muncul kesultanan Sumbawa atau Kerajaan Samawa. Mulai eksis 1674, terus sampai jaman kemerdekaan. Punya istana di Loka Samawa di Sumbawa Besar. Bercorak islam, berbahasa Sumbawa. SULTAN KE-1: Pendirinya, yang juga sekaligus raja pertama: Sultan Harunnurrasyid I (1674–1702, 28 tahun). Tahun 1674 dibeking oleh Kerajaan Gowa di Sulawesi dia mendirikan dinasti Dewa Dalam Bawa. Kemungkinan nama aslinya: Dewa Mas Madina. Ada yang menyebutkan, wilayahnya mendominasi nyaris seluruh Sumbawa, dimulai dari wilayah taklukan Kerajaan Empang hingga Jereweh. Kalau yang tidak famliar dengan wilayah setempat, mungkin puyeng juga membayangkannya. Sorry. SULTAN KE-2: Setelah era Sultan Harunnurrasyid I, penggantinya puteranya, yaitu Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I. Yang kemungkinan punya nama lain Pangeran Mas Madina dan Datu Taliwang. Banyak disebut sebagai Sultan Jalaluddin I. Pangeran Mas Madina ini (Sultan Muhammad Jalaluddin I) menikah dengan putri Raja Sidenreng dari Sulawesi Selatan (I Rakia Karaeng Agang Jene). SULTAN KE-3 & KE-4: Sepeninggalnya, Sumbawa sempat agak kisruh. Kekuasaan disela selama kurang lebih 10 tahun oleh Dewa Loka Lengit Ling Sampar, kemudian oleh Dewa Ling Gunung Setia. Pas masa peralihan ini, dikabarkan ibukota sempat hancur oleh kebakaran hebat Ramadhan 1145H (atau 1732M). SULTAN KE-5: Kemudian, 1733, trah sultan pertama kembali merebut kekuasaan. Dan bertahtalah Muhammad Kaharuddin I (1733-1758), yang merupakan keponakan Sultan Jalaluddin I. SULTAN KE-6: Ketika ia wafat, kekuasaan diambil alih istrinya: I Sugiratu Karaeng Bontoparang, yang bergelar Sultanah Siti Aisyah. Dia merupakan leader keenam
mestinya, dan leader wanita yang pertama (dan satu-satunya?). Raja wanita ini dikenal sering berselisih paham dengan pembantu-pembantu sultan, sehingga pada tahun 1761 ia diturunkan dari tahta. SULTAN KE-7: Calon kuat untuk bertahta berikutnya disebutkan namanya: Lalu Mustanderman Datu Bajing, namun yang bersangkutan menolak, dan malah menyarankan adiknya yaitu Lalu Onye Datu Ungkap Sermin untuk bertahta. Jadilah sang adik itu kemudian memegang kekuasaan sebagai sultan ketujuh tidak sampai dua tahun (1761-1762). Kecuali sang Sultanah (yang merupakan jalur menantu), semua pemimpin yang lainnya itu, sepertinya masih ada pertalian darah dengan sultan pertama pendiri Kesultanan Sumbawa. Mengapa pemerintahan Lalu Onye tidak sampai dua tahun? Ada cerita, katanya dia menghilang, karena menanggung malu telah menikahi seorang wanita seorang wanita bersuami. Jadi, katanya ada seorang perempuan cantik, suaminya berlayar tanpa kabar berita lama sekali. Dinikahilah oleh Lalu Onye. Belakangan, suaminya yang perkasa, bernama Angga Wasita ternyata muncul kembali. Jadilah pada suatu pertengahan bulan Ramadhan, saat bulan purnama, sang raja pun menghilang entah kemana demi agar tidak menanggung malu. Soal akurasi ceritanya detilnya bagaimana, wallahualam. SULTAN KE-8: Kepergian Lalu Onye alias Datu Ungkap Sermin itu membuat tahta lowong. Sampai kemudian diangkat Gusti Mesir Abdurrahman, keturunan Raja Banjar, yang bukan asli trah Dewa Dalam Bawa, tetapi ketokohannya mumpuni dan istrinya adalah masih di jalur puteri Sultan Muhammad Jalaluddinsyah I. Raja baru ini pun lalu digelari: Muhammad Jalaluddin Syah II, dan berkuasa sekitar 3 tahun (1762-1765). Saat wafat, sultan ini (mestinya) digantikan putra mahkotanya yang masih berumur 9 tahun, yaitu Sultan Mahmud. I Love You Mister Mahmud. Kalau kalimat terakhir itu judul lagu ya. Lagu dangdut. Sebagai wali dari (calon) sultan yang masih kanak-kanak ini, diangkat Dewa Mapeconga Mustafa Datu Taliwang. Tapi munculnya (calon) sultan yang masih imut itu tidak begitu saja diterima semua pihak. Dan juga karena belum dilantik, Sultan Mahmud itu tidak sempat resme mendapat gelaran Sultan Sumbawa. Datu Jereweh yang berambisi menjadi raja kemudian manuver. Dia pergi ke Makasar berkolaborasi dengan VOC untuk menggoyang panggung dangdut, dan menggoyang tahta Sumbawa. Kaki tangannya juga telah menemui kerajaan-kerajaan tetangganya dan mempengaruhinya supaya ikut mendukung rencananya, dan ikut menandatangani perjanjian dengan VOC, sekaligus membatalkan segala yang telah diatur di perjanjian Bongaya (antara VOC dengan Raja Goa), yang mestinya berdasar itu VOC tidak boleh mencampuri urusan perdagangan di kerajaan-kerajaan selatan (Nusa Tenggara). Manuver ini dapat sambutan VOC, lalu Februari 1765 di Fort Rotterdam (Makasar, Ujung Pandang) ditandatangani perjanjian antara VOC dengan wakil raja-raja selatan, antara lain Sultan Abdul Kadir Muhammad Dzillillah Fil Alam (Raja Bima), Hasanuddin
Datu Jereweh (mengatasnamakan raja Sumbawa), Achmad Alauddin Johan Syah (Raja Dompu), Abdurrasyid (Raja Sanggar), dan Abdurrahman (Raja Pekat). Berdasar perjanjian, VOC jadi bebas masuk ke kerajaan-kerajaan selatan itu, tapi perjanjian kemudian dianulir Mei 1766 berkat diplomasi Dea Tumuseng (utusan kerajaan Sumbawa). Di situ disebutkan, bahwa kebebasan VOC cuma berlaku sepanjang Sultan Mahmud belum dewasa. Kelak saat sultan dewasa, maka kekuasaan penuh kembali ke Sultan Mahmud yang akan dinobatkan jadi sultan ke-9. SULTAN KE-9: Masalahnya, saat Dewa Mepaconga Mustafa sakit 1775 (wali negeri, pemimpin sementara selagi sultan belum dewasa).. tahu-tahu, muncul pengganti: Datu Busing Lalu Komak yang mengklaim tahta Sumbawa, bergelar Sultan Harrunnurrasyid II (1777-1790). Ujungnya, Sultan Mahmud yang sebetulnya merupakan putra mahkota paling berhak, tidak pernah beneran diangkat menjadi raja sebenarnya, sampai dia meninggal 1780, dalam usia (hanya) 24 tahun. Yang artinya, hak Belanda tidak pernah diakhiri. SULTAN KE-10: Sepeninggal Harrunnurrasyid II, tahta beralih ke anak perempuannya: Sultan Syafiatuddin (1791-1795). Ia lalu kawin dengan Sultan Bima, dan terus diboyong ke Bima, sekaligus diboyong pula bersamanya beberapa harta pusaka kerajaan (tidak kembali sampai sekarang). Berbeda dengan tradisi di Jawa, walau sultan Sumbawa dengan sultan Bima, kerajaannya tetap masing-masing, tidak merger. Buntut kejadian itu, para bangsawan Sumbawa menetapkan tidak bisa lagi diangkat sultan perempuan. Belanda, tidak lagi terlalu napsu menguasai Sumbawa pada periode ini. Kebetulan VOC-nya juga sudah praktis bangkrut di penghujung abad ke-18 ini. Sumbawa praktis bebas merdeka. Dan demkian pula, Bima juga merdeka. Nggak saling perang juga. Damai aja. SULTAN KE-11: Pengganti Sultan Syafiatuddin adalah Muhammad Kaharuddin II, putera Sultan Mahmud. Di masanya Gunung Tambora meletus. Selasa, 21 Jumadil Awal 1230H (1815). Segenap Sumbawa (bahkan seluruh dunia) dilanda bencana dahsyat, hujan debu, segala macem. Segenap peradaban set-back, mengalami kemunduran. Tahun 1816.. dunia mengalami apa yang dikenang sebagai setahun full tanpa musim panas. Dalam laporan H. Zolinger disebutkan, sepertiga penduduk Sumbawa meninggal, sepertiganya lagi pindah ke pulau Lombok. Yang tinggal: seperti tiga dalam keadaan mesti membangun segala sesuatunya nyaris dari nol lagi. Abu menggenangi seluruh pulau nyaris sampai setinggi lutut rata-ratanya. Di masa sulit pasca bencana: 1816, Sultan Muhammad Kaharruddin II wafat. Berkat kedahsyatan letusan Tambora, Kesultanan Sumbawa dan segenap kesultanan di sekeliling nusantara yang terimbas.. tidak pernah lagi seperti sebelumnya.
Sebelum itu, di Eropa perang dahsyat: Perang Napoleon, dan imbasnya merembet ke nusantara juga, tapi tidak sampai terlalu berpengaruh ke Sumbawa. Belanda sempat dianeksasi Perancis/Napoleon, tapi kemudian.. Perancis and the geng kalah, yang jaya di seberang lautan.. Inggris. Napoleon di eropa sana, itu juga (ada yang bilang) makin kalahnya karena imbas Tambora yang mempergila dinginnya musim dingin. Buntut dari perang, segenap bekas wilayah Belanda di nusantara sempat dikuasai Inggris, yaitu setidaknya sampai perjanjian London 1827. Di nusantara, walau cuma sebentar, Inggris yang dipimpin Raffless itu sempat mengubah juga tatanan nusantara, dengan menetapkan pola administrasi lebih tersistem, yang kelak dikenal dengan pola karesidenan. Demikian pula, sebelum era Inggris, era Napoleon yang di nusantara direpresentasikan oleh bercokolnya gubernur jenderal Daendels yang super keras, itu cukup mengubah tatanan juga. Daendels.. sudah amat mereduksi kekuasaan dan gengsi raja-raja nusantara, dan secara represif sudah terus memposisikan semua raja lokal itu sekedar sekelas bupati atau gubernur saja paling polnya, dan bukannya sebagai pemimpin negeri berdaulat. *** Sejarah Kesultanan Sumbawa Pasca Letusan Tambora SULTAN KE-12 & KE-13: Raja berikutnya bertahta sejak 1816, Nene Ranga Mele Manyurang. Sudah sepuh. Terus wafat 1825 setelah berkuasa sekitar 9 tahun saja. Tahta yang berdebu lalu diduduki Abdullah sekitar 11 tahun sampai dia meninggal 1836. Walau di atas kertas, Sumbawa juga termasuk bagian dari wilayah yang dirundingkan Inggris-Belanda di traktat London 1827, mestinya dalam realitanya bisa kita kira-kira, Sumbawa yang belum betul-betul pulih kembali dari kehancuran pasca Tambora, belumlah jadi daerah lukratif yang bisa bikin ngiler orang-orang eropa. Sebagai hikmahnya, dia jadi relatif dibiarkan (kurang lebih) bebas merdeka. SULTAN KE-14 & SULTAN KE-15: Kembali ke tangan Putera Muhammad Kaharuddin II, yaitu Sultan Amrullah selama sekitar 46 tahun (1836-1882). Lalu diteruskan Sultan Muhammad Jalaluddin III, cucu Sultan Amrullah. Di masa ini, Hindia Belanda yang kesistemannya jauh meninggalkan kerajaan-kerajaan lokal nusantara, makin jauh campur tangan urusan daerah. Pajak diterapkan eksesif, yang terus menimbulkan pemberontakan rakyat di Sumbawa. Pemberontakan dihantam dengan kekuatan militer, yang utamanya didatangkan dari Makasar. Dan semua ditumpas, termasuk pemberontakan di Taliwang yang terkenal dilakukan oleh Unru dan kawan-kawan. Sejak itu, kekuasaan militer dan administrasi Belanda di Sumbawa seng ada lawan. Politik di istana pun, dia yang dalangi dari belakang layar. Pulau Sumbawa dan Pulau Sumba dia satukan dalam satu afdeling (kabupaten) dengan ibukota di Sumbawa Besar (yaitu ibukota Kabupaten Sumbawa masa kini), secara propinsi di bawah Gubernemen Celebes. Asisten Resident yang pertama: Janson Van Ray, dan wilayah kerajaan Sumbawa dibagi dalam dua onder-afdeeling: Sumbawa Barat dan Sumbawa Timur. Berikutnya, di masa karesidenan, afdeeling Sumbawa itu dimasukkan ke wilayah
Karesidenan Timor (Timor en Onderhoorigheden) dengan ibukota di Sumbawa Besar. Kurang lebihnya, sepulau itu kesultanannya kemudian ada tiga, model seperti Cirebon. Di masa Sultan Muhammad Jalaluddin III (1883-1931), dibangun Istana Dalam Loka Samawa. Sultan Muhammad Jalaluddin III ini menjalankan roda pemerintahan 48 tahun, sampai wafat 1931. Digantikan oleh putra mahkotanya yang bergelar Sultan Muhammad Kaharuddin III. Di antara tiga kerajaan Sumbawa, sepertinya jalur ini dianggap 'mainstream'-nya kesultanan Sumbawa. Di awal masanya ini pula nusantara dilanda bencana gunung besar lain, tapi jauh dari Sumbawa, melainkan dekatnya malah ke Batavia tempat bercokol orang-orang Belanda, yaitu meletusnya Krakatau 1883. Cuma, letusannya tidak cukup dahsyat untuk mengubur kekuasaan Batavia. Sehingga Belanda berjaya terus. Di pihak lain, Sultan Muhammad Jalaluddin III ini juga mampu bermain cantik berkompromi dengan Belanda, sehingga istana Sumbawa tidak pernah diobok-obok lagi, dan sampai dia meninggal.. tahta bisa berlanjut lancar ke putra mahkotanya yaitu Sultan Muhammad Kaharruddin III. SULTAN KE-16: Sultan Muhammad Kaharuddin III (1931-1975, 44 tahun) sempat membangun Istana Bala Puti, yang sekarang menjadi Wisma Praja Kabupaten Sumbawa. Pada jaman pemerintahannya pula, pemerintah kolonialis Hindia Belanda tutup buku, takluk kepada Jepang. Andai ditanya: berapa lama Sumbawa ini benarbenar dijajah oleh Belanda? Dapat dikatakan.. bahwa sepanjang waktu, sampai Jepang datang, Sumbawa ini tidak pernah benar-benar terjajah secara full, tapi maksimal cuma jadi semacam kerajaan bawahan saja. Disebabkan karena sultannya bersikap luwes seperti kerajaan Mataram di Jawa tengah/DIY. Saat Belanda kapitulasi di Kalijati 9 Maret 1942, organisasi-organisasi Islam di Sumbawa seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, dan Al-Irsyad, mulai mengatur siasat, bagaimana menyikapi kapitulasi. Buntutnya, tiga kerajaan di Pulau Sumbawa kemudian mengambil sikap, menyatakan diri lepas dari kekuasaan Belanda. Tapi kemudian, Jepang datang ke Sumbawa Mei 1942, dengan delapan kapal mereka merapat di Labuhan Mapin. Pimpinannya Kolonel Haraichi. Semua diterima secara damai, bahkan oleh sebagian rakyat, Jepang ini disambut gembira. Sumbawa pun kemudian diduduki Jepang. Ketiga kerajaan yang ada, mestinya terus de facto (dan de jure?) merupakan bawahan Jepang. Yaitu sampai Jepang kapitulasi pada Sekutu September 1945. Yang bagi Sumbawa, masa transisi itu menjadi abu-abu. Apakah dia ikut Indonesia merdeka yang diproklamasikan 17 Agustus 1945, atau ikut Belanda, yang merasa pegang mandat penuh wilayah itu, merebut dari tangan Jepang yang sudah menyerah. Ditekan oleh agresi Belanda, Sultan Sumbawa yang paling dituakan, Sultan Muhammad Kaharuddin III, sempat menandatangani perjanjian Desember 1948, mengakui tunduk pada Belanda untuk beberapa hal yaitu di bidang pertahanan, hubungan luar negeri, dan monopoli atas candu dan garam. Setahun kemudian, ikut bergabung dengan
pemerintah Negara Indonesia Timur dan mengubah diri (beserta para leaders Sumbawa Lain) menjadi satu negara-bagian: Federasi Pulau Sumbawa. Sejak Indonesia merdeka penuh, selepas pengakuan kedaulatan oleh Belanda, Sumbawa melepaskan afiliasinya dengan Belanda dan bergabung dengan Indonesia sebagai daerah Swapraja Sumbawa (semacam daerah otonomi khusus, bawahan Republik Indonesia), yang bernaung di bawah Provinsi Sunda Kecil (tapi nggak kecilkecil amat), yaitu pengukuhan resminya 1958, atau 8 tahunan setelah pengakuan kedaulatan. Saat pemerintah pusat Republik Indonesia menjadi kuat (dan Sumbawa jauh tertinggal), akhirnya kesultanan-kesultanan lama setuju wilayahnya dilikuidasi Januari 1959, dan berubah menjadi wilayah biasa, bagian besar dari propinsi baru Nusa Tenggara Barat (NTB) yang sudah digagas sejak 1958. Demi menghargai tradisi kesultanan, oleh pemerintah Indonesia Sultan Muhammad Kaharuddin III ditetapkan sebagai Daerah Swantantra Tingkat II Sumbawa. Bersamaan dengan bubarnya propinsi Sunda Kecil itu, muncul tiga propinsi baru: NTB, NTT, dan Bali. SULTAN KE-17: Setelah Sultan Muhammad Kaharuddin III wafat 1975, tahta istana Kesultanan Sumbawa lowong 36 tahun. Sampai kemudian, April 2011, warga bermusyawarah, mengadakan musakara rea Lembaga Adat Tana Samawa (LATS); yang kemudian menyepakati menetapkan putra mahkota Sultan Muhammad Kaharuddin III, Daeng Muhammad Abdurrahman Kaharuddin, menjadi Sultan Sumbawa ke-17 bergelar Sultan Muhammad Kaharuddin IV. Catatan: Kalau Sultan Mahmud yang kanak-kanak ikut dihitung, dia jadi sultan ke-18... Kalau Pangeran Dangdut segala ikut dihitung.. lha, silsilah kerajaan jadi ruwet. Karena mungkin Raja dan Ratu Dangdut pun terus mesti diperhitungkan juga. Gubrak.... Prosesi penobatan dilangsungkan di Istana Dalam Loka Samawa dan Masjid Agung Nurul Huda Sumbawa Besar, dihadiri oleh lebih dari 17 raja dan sultan tersisa dari seluruh Indonesia. Namun tentu saja, nuansa kesultanan di masa 2011 itu sudah amat berbeda dari aslinya dulu. Lumayanlah, tradisi kerajaan lama bisa kembali lestari. *** Penutup Sedikit cerita tentang NTB: Daerah Swatantra I NTB ini awalnya terdiri dari 6 derah Swantantra Tingkat II, dimana para raja sekaligus menjadi kepala pemerintahan. Bersama itu, otomatis segala pola administrasi lama, federasi dan seterusnya dibubarkan. Federasi Pulau Lombok dibubarkan 17 Desember 1958, dan jadi hari jadinya propinsi NTB. Federasi Pulau Sumbawa dibubarkan 22 Januari 1959, yaitu bertepatan dilantiknya Sultan Muhammad Kaharruddin III menjadi Pjs Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sumbawa. Tanggal itu jadi hari jadinya Kabupaten Sumbawa. Seorang raja, ujungnya jadi seorang bupati saja, itu sebetulnya ironis juga. Habis bagaimana? Sepanjang gegeran republik, federasi-federasi itu dipandang masih baubau Belanda, dan anti republik kesatuan. Ini berbeda dengan Jogjakarta yang dengan
gagah berani dari awal mendeklarasikan sepenuhnya mendukung Republik Indonesia. Namun, dalam konteks yang lebih luas, apa yang terjadi itu sudah merupakan kompromi terbaik bagi Sumbawa. Kita bisa kira-kira, andai sultannya nekat bertindak seperti Sultan Jogja,.. sedang di Sumbawa tidak ada kekuatan militer republik seperti di Jawa.. jangan-jangan.. kesultanan Sumbawa oleh Belanda malah dilibas habis tak bersisa pada waktu selewat jaman Jepang itu. Wallahualam. (ilmuiman.net / selesai)