II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Minyak Bumi Menurut teori pembentukannya minyak bumi, senyawa-senyawa organik penyusun minyak bumi merupakan hasil alamiah proses dekomposisi tumbuhan selama berjuta-juta tahun (Hofer, 1966). Oleh karena itu, minyak bumi juga dikenal sebagai bahan bakar fosil, selain batubara dan gas alam. Menurut Hofer (1966) semua bahan bakar fosil dihasilkan oleh senyawa karbohidrat dengan rumus kimia Cx(H2O) yang memfosil. Karbohidrat tersebut dihasilkan oleh tumbuhan dengan mengubah energi matahari menjadi energi kimia melalui proses fotosintesis. Kebanyakan bahan bakar fosil diproduksi kirakira 325 juta tahun yang lalu, yaitu pada abad Carboniferous dalam era Paleozoic bumi. Setelah tumbuhan mati, maka karbohidrat dapat berubah menjadi senyawa hidrokarbon dengan rumus kimia CxHy akibat tekanan dan temperature yang tinggi serta tidak tersedianya oksigen (anaerob). Hal yang sama dikemukakan pula oleh Chartor dan Somerville (1978) yang menjelaskan bahwa minyak bumi merupakan salah satu produk minyak mentah alami yang dihasilkan dari konversi biomassa pada temperatur dan tekanan yang tinggi secara alami di lingkungan aerob. Senyawa hidrokarbon dapat dirombak oleh berbagai macam mikroba. Perombakan ini membutuhkan waktu yang lama sehingga tidak sebanding dengan dampak yang akan ditimbulkannya bila minyak bumi tersebut terakumulasi dalam tanah. Kumpulan dari minyak dan gas tersebut membentuk reservoir-reservoir minyak dan gas (BP MIGAS 2004).
2.1.1. Eksploitasi Minyak Bumi Eksploitasi atau produksi minyak dan gas bumi adalah kegiatan industri minyak dan gas bumi yang menghasilkan minyak dan gas sehingga siap untuk diolah lebih lanjut (PPPTMGB Lemigas, 1999). Setelah mengetahui kapasitas lapangan minyak, sumur berikut yang dibor disebut sumur pengembangan atau sumur produksi. Suatu kandungan kecil mungkin bisa diciptakan dengan menggunakan satu atau lebih sumur appraisal. Kandungan yang lebih besar memerlukan pemboran sumur produksi tambahan (Lemigas,1999). Beberapa sumur produksi sering dibor dari satu pad yang sama (sistem kluster) untuk mengurangi pemakaian lahan dan biaya prasarana secara keseluruhan. Jumlah sumur yang diperlukan untuk mengeksploitasi kandungan
13 hidrokarbon bervariasi, tergantung besarnya kandungan dan kondisi geologinya. Ladang minyak bumi yang luas memerlukan seratus atau lebih sumur bor (production well). Setiap sumur yang dibor harus siap berproduksi sebelum rig pemboran dipindahkan (E & P Forum,1997) Pada tahap awal umumnya minyak bumi dapat mengalir sendiri secara alamiah ke permukaan (natural flowing). Apabila tekanan formasi sudah berkurang, pengangkatan minyak ke permukaan dapat dibantu dengan pompa. Namun demikian, seringkali kegiatan ekspolitasi minyak bumi dari sumur-sumur minyak belum berhasil memperoleh secara maksimal keseluruhan kandungan minyak bumi yang ada. Perolehan minyak bumi dengan metode konvensional hanya mampu menghasilkan minyak sekitar 30 - 40% kandungan minyak secara keseluruhan (Gaffen, 1975 dalam Forbes, 1980). Secara umum, kegiatan eksploitasi minyak bumi meliputi 3 tahap utama, yaitu : a. Tahap produksi primer (primary recovery), yaitu suatu tahapan memperoleh minyak dimulai dengan mencari dan atau menemukan sumber minyak bumi, penggunaan energi alami dengan memanfaatkan tekanan awal reservoir dan volume air yang dapat menggerakan minyak. b. Tahapan produksi sekunder (secondary recovery), yaitu tahapan perolehan minyak bumi yang dilakukan dengan menginjeksikan cairan (water flooding) atau gas (steam flooding) ke dalam reservoir dengan tujuan menambah energi reservoir. c. Tahapan produksi tersier (tertiary recovery), yaitu tahapan perolehan minyak bumi yang dilakukan karena perolehan minyak sebelumnya belum maksimal. enhanced oil recovery (EOR) adalah suatu mekanisme yang digunakan pada tahapan tertiary recovery untuk meningkatkan produksi minyak setelah tahapan primary dan second recovery. Salah satu teknik EOR yang dikembangkan saat ini adalah dengan memanfaatkan mikroba yang dikenal dengan
microbial
enhance
oil
recovery
(MEOR).
Mikroba
tersebut
diinjeksikan ke dalam reservoir dengan harapan akan diperoleh senyawasenyawa yang mempunyai fungsi sama dengan senyawa kimia yang digunakan pada teknik chemical flooding secara insitu seperti biosurfaktan, biopolymer, biomassa, pelarut, asam dan gas. Senyawa-senyawa ini akan meningkatkan perolehan minyak bumi hingga mencapai 60% karena secara sinergis dapat mengubah porositas batuan penyusun reservoir, menurunkan
14 tegangan permukaan atau menurunkan viskositas minyak bumi sehingga dapat merangsang pelepasan minyak dari reservoir. Kemampuan ini dapat berubah jika terjadi modifikasi di dalam sel mikroba. Modifikasi faktor lingkungan di luar (adanya mutagen) dan di dalam sel mikroba (rekombinasi DNA) secara langsung dapat menghilangkan atau mengubah fraksi hidrokarbon dan mengurangi viskositasnya, sehingga dapat digunakan untuk teknologi MEOR. Penggunaan bakteri untuk pelepasan minyak dari reservoir ini adalah hasil penelitian yang dilakukan Zobell antara tahun 19431955.
Aplikasi MEOR lebih ekonomis dan aman mengingat penggunaan zat
kimia sintetik membutuhkan biaya yang lebih tinggi serta menimbulkan resiko pencemaran lingkungan (Sublett, 1993).
2.1.2. Pengelolaan Reservoir Minyak dan Gas Bumi Teori antiklinal (anticlinal theory) adalah teori tentang akumulasi minyak, gas dan air pada lapisan cembung dalam tatanan tertentu (air paling bawah) asalkan strukturnya mengandung batuan reservoir, yang berhubungan baik dengan bantuan induk dan ditutupi dengan batuan tudung. Perangkap antiklin (anticlinal trap) adalah lapisan dalam struktur antiklin tempat akumulasi hidrokarbon. Cadangan (reserves) adalah jumlah minyak atau gas bumi yang ditemukan didalam batuan reservoir dan dapat diproduksi.
Reservoir adalah
tempat terkumpul dan terjebaknya minyak dan gas bumi secara alami di bawah tanah. Tekanan reservoir (reservoir pressure) adalah tekanan yang mendorong fluida ke lubang bor yang menembus reservoir minyak dan gas bumi. Batuan reservoir (reservoir rock) adalah batuan bawah tanah yang berpori dan permeable yang dapat menyimpan minyak dan atau gas (Pusat data dan Informasi, DESDM, 2006). Pengelolaan dan penanganan reservoir (reservoir management) sejak dini adalah penting, khususnya pada reservoir yang memiliki karakteristik yang unik. Perbedaan cara penanganan terletak pada rencana pengembangannya (plan of development, POD), terutama untuk mengoptimalkan peroleh minyak dan gas. Reservoir reservoir
secara
management didefinisikan sebagai sebuah terencana,
konsisten
dan
pengelolaan
berkesinambungan
untuk
memaksimalkan keuntungan (benefit) dari suatu reservoir migas (Satter dan Thakur, 1994). Selanjutnya dikatakan bahwa pada tahap implementasi, hal ini
15 akan sangat tergantung dari pemanfaatan sumberdaya manusia (SDM), teknologi, peralatan dan finansial untuk memaksimalkan keuntungan (profit) dengan cara mengoptimalkan produksi dan meminimalkan biaya operasi dan investasi. Reservoir management harus dilakukan sejak aktivitas eksplorasi, sampai dengan reservoir tersebut ditemukan, dikembangkan, diproduksikan, hingga akhirnya ditinggalkan (setelah dinilai tidak ekonomis lagi). Dalam prakteknya tentu harus menganut kaidah teknik perminyakan atau petroleum engineering yang baku dan benar, meliputi proses-proses;
perencanaan;
implementasi dari rencana-rencana tersebut; pemantauan terhadap unjuk kerja; penilaian dan revisi terhadap rencana atau strategi bilamana diperlukan (Satter dan Thakur, 1994). Suatu pendekatan sinergi dalam petroleum reservoir management banyak dibahas oleh Satter dan Thakur (1994), dan Thakur dan Satter (1998). Hal yang berkali-kali ditekankan adalah pentingnya sebuah team work antar personel dari berbagai displin ilmu yang terlibat aktivitas perminyakan, yakni : geophysicist, geologist, petroleum engineers dan lain-lain. Selain hal tersebut juga diperlukan adanya interaksi yang efektif dan efisien diantara management, engineering, geoscience dan fungsi penunjang. Suatu contoh, data geologi dan keteknikan reservoir atau produksi akan digunakan oleh ahli geofisika untuk menyakinkan
adanya
perkembangan
reservoir
yang
memungkinkan
penambahan pemboran baru. Di lain pihak, hasil interpretasi data seismik dapat digunakan oleh ahli reservoir untuk menilai cadangan, spasi sumur, unjuk kerja sumur dan lain-lain. Interpretasi awal suatu survei seismik 3-D, misalnya, akan sangat mempengaruhi rencana awal pengembangan suatu lapangan. Namun, dengan bertambahnya engineering data dan informasi, suatu interpretasi dapat direvisi dan disempurnakan terus menerus.
Adalah bukan hal yang
mengejutkan, apabila ternyata dalam plan of futher development (POFD) banyak berubah dari rencana awal. Untuk pengelolaan dan penanganan reservoir karbonat, terlebih dahulu kita harus mengetahui karakteristik batuan karbonat itu sendiri. Keheterogenan karakter yang melekat pada sifat batuan karbonat yang dibawanya sejak awal pembentukannya, dan sepanjang pengembangannya, menyebabkan
kita
harus
ekstra
hati-hati
dalam
menyusun
rencana
pengembangan, memproduksikannya, merawatnya dan mengelolanya. Berdasarkan kekhasan karakteristik batuan karbonat atau batuan pasir, yang
selanjutnya
berpotensi
sebagai
reservoir
migas,
maka
dalam
16 mengembangkan suatu lapangan (field development) semacam ini memerlukan pengelolaan reservoir (reservoir management) dengan perhatian dan pendekatan tertentu. Berbeda dengan reservoir batuan pasir, heterogenitas karakter reservoir karbonat bisa sangat kompleks. Bukan saja karena proses dan lingkungan pembentukannya yang sangat berbeda, namun juga adanya kemungkinan perkembangan yang jauh dari kondisi origin-nya karena proses diagenesis (litifikasi, dolomitisasi) dan perekahan yang diakibatkan oleh adanya patahan maupun pelipatan (Satter dan Thakur, 1994). Dari sisi reservoir management, kehati-hatian dalam menyusun plan of development (POD) maupun plan of further development (POFD) haruslah berangkat dari analisis geologi dan melibatkan reservoir engineering’s sense yang terintegrasi dalam merekonstruksi depositional enviroments (Satter dan Thakur, 1994). Menurut Satter dan Thakur (1994) dalam membuat rekonstruksi lingkungan pengendapan batuan karbonat atau pasir, sebagai awal dari kajian yang dilakukan, pertama adalah menganalisa sifat fisik batuan (petrophysical analysis), seperti porositas, permeabilitas horizontal dan vertikal, densitas batuan, kurva tekanan kapiler dan lain-lain. Kedua, melakukan analisis petrographic yang akan memberi data lebih detail lagi mengenai jaringan pori, tekstur, komposisi kimia, mineral dan lain-lain untuk dapat memperkirakan proses-proses diagenesis yang terjadi. Hasil-hasil ini akan diintegrasikan dengan hasil interpretasi data seismik, data logging, PVT dan data sumuran lainnya (seperti : tekanan dan produktivitas). Untuk selanjutnya, membuat model geologi, model reservoir dan akhirnya dapat menentukan skenario produksi. Proses kerja (workflow) dari kajian ini dapat dilihat pada Gambar 3. Dari aspek reservoir management, diantara tahapan managemen yang terdapat pada Gambar 4, hal yang terpenting adalah pada proses perencanaan dan
penyusunan strategi sebagai langkah awal untuk menentukan kerja
berikutnya. Pada tahap ini segala faktor yang berhubungan dengan karakteristik yang khas pada reservoir karbonat harus diakomodasi dan dikajikan secara detail dengan mengantisipasi berbagai kemungkinan yang ada. Dengan simulasi reservoir, beberapa skenario produksi dapat dibuat dengan mempertimbangan beberapa faktor tadi (Satter dan Thakur, 1994).
17
Seismic Data Well Data Processing Petrophysic Analysis Interpretation
Cross Correlation
Inversion Correlation Matching
Geostatistics Geology Modeling
Reservoir Modelling Reservoir Simulation
Production Plan
Gambar 3.
Diagram alir kajian reservoir secara terintegrasi (Satter dan Thakur, 1994)
Selanjutnya, penyiapan fasilitas produksi, baik dari segi desain maupun implementasinya harus mengikuti kajian reservoir yang telah dibuat. Perubahan data baru selalu diinformasikan dan di-update untuk dapat segera merevisi hasil simulasi. Realisasi produksi yang ada kadang-kadang tidak sesuai dengan prediksi hasil simulasi reservoir. Apabila hal ini terjadi, revisi strategi pengembangan lapangan harus segera dilakukan (Satter dan Thakur, 1994). Dari rangkuman rencana tidak lanjut berdasarkan simulasi reservoir, dapat diambil keputusan apakah pembangunan fasilitas injeksi menjadi prioritas utama dalam pengembangan lapangan selanjutnya. Hal ini merupakan langkah penyelamatan kondisi tekanan reservoir yang sudah berada di bawah titik gelembung, yang umum dikenal dengan pressure maintenance.
Dengan
menginjeksi air ke dalam reservoir minyak akan naik kembali dan akan
18 terproduksi lebih lama sehingga perolehannya (recovery factor, RF) bertambah. Apabila hal ini terlambat dilakukan, walaupun telah dilakukan penutupan sumur, gas akan tetap keluar sebagai gelembung dan membentuk secondary gas cap. Kalau hal ini terjadi, maka sekian juta barrel minyak yang semula diprediksi dapat terangkat kepermukaan akan gagal (Satter dan Thakur, 1994).
Setting Strategi
Developing Plan
Implementation
Revising Monitoring
Evaluating
Completing
Gambar 4.
Proses pengelolaan reservoir migas (Satter dan Thakur, 1994)
2.2. Sistem Produksi dan Pemanfaatan Minyak dan Gas Bumi Selain pemanfaatan utama sebagai bahan bakar, minyak dan gas bumi juga dapat dimanfaatkan dalam bentuk lain seperti bahan baku industri. Secara sederhana laju pemanfaatan gas dan minyak bumi disajikan pada Gambar 5. Minyak bumi yang keluar dari sumur minyak tidak dapat secara langsung dimanfaatkan sebagai bahan bakar maupun bahan baku tanpa melalui proses pemurnian dan pemisahan terlebih dahulu. Hal ini didasarkan atas masalah teknis dan ekonomis. Secara teknis minyak bumi diharapkan memiliki karakteristik yang stabil tidak korosif dan bebas dari senyawa-senyawa bawaan lainnya. Sedangkan secara ekonomis akan memperoleh nilai tambah yang tinggi bila produk memiliki kemurnian yang tinggi. Proses pengolahan minyak bumi
19 diawali dengan proses pemisahan minyak dari komponen bawaan dan pengotornya. Minyak mentah hasil pengolahan awal ini kemudian diangkut atau dialirkan menuju kilang untuk proses pengolahan minyak dibatasi hanya sampai tahap produk minyak mentah atau proses sebelum pengilangan (Pandjaitan, 2005). Industri ekspor pembangkit listrik
Pabrik Pengolahan Gas
Sumur Gas
Pabrik Gas
Gas, air dan Pengotor
Gas alam
Pabrik NGL
LNG
ekspor
Pasar Domestik Ekspor
Pemisahan awal (C3,C4) LPG,C5+
Kilang Minyak mentah
Sumur Minyak Gambar 5.
Aliran produksi dan pemanfaatan minyak dan gas bumi (Pandjaitan, 2005)
Seperti halnya minyak bumi, gas bumi tidak dapat digunakan secara langsung tanpa melewati tahapan pemisahan dan pemurnian terlebih dahulu. Tahapan pemisahan awal ditujukan untuk menghilangkan kandungan pengotor dan komponen bawaan lainnya. Selanjutnya proses pemisahan dilakukan untuk memisahkan komponen gas berat (C6+) dari komponen ringan. Selanjutnya gas bumi dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam operasi produksi dari Industri atau dipasarkan secara langsung dalam bentuk LPG, LNG maupun NGL (Pandjaitan, 2005). Pemanfaatan gas bumi pada industri dapat terjadi dalam beragam bentuk baik sebagai bahan bakar maupun bahan baku. Pada industri jasa pembangkit listrik tenaga gas, gas bumi bersifat sebagai bahan baku sekaligus bahan bakar. Gas bumi dimanfaatkan untuk pembakaran dengan udara menjadi fluida kerja yang kemudian digunakan untuk memutar sudu turbin menghasilkan daya listrik.
20 Sedangkan pada industri pupuk, peran gas bumi berperan sebagai bahan baku (feedstock) dan bahan bakar terjadi pada dua unit pemrosesan yang berbeda yaitu unit produksi dan unit utilitas.
Dalam unit produksi gas bumi berperan
sebagai bahan baku yang akan diubah menjadi produk, sedangkan pada unit utilitas gas bumi berperan sebagai bahan bakar untuk menghasilkan panas yang digunakan untuk menghasilkan steam. Selain kedua contoh tersebut, banyak industri yang melakukan pemanfaatan gas bumi banyak sekali seperti industri polimer, methanol, pengolahan baja dan lain-lain (Pandjaitan, 2005).
2.2.1 Sistem Produksi Minyak Bumi Minyak bumi keluaran sumur minyak tidak dalam keadaan murni, tetapi membawa komponen lain seperti air, lumpur (pasir) dan gas terlarut. Supaya minyak bumi tersebut dapat diproses di kilang, minyak bumi keluaran sumur memerlukan
beberapa
proses
pemisahan
fisik
menyingkirkan pasir, air dan gas yang terlarut.
yang
bertujuan
untuk
Rincian proses pengolahan
minyak bumi keluaran sumur diperlihatkan dalam Gambar 6
Gas Pemisahan Minyak-GasAir
Pemisahan Minyak dan air air
Crude Oil (minyak Mentah) Storage
Desander Sumur Minyak (terdapat Minyak, Gas dan Air) Gambar 6.
Pasir
Proses pengolahan minyak bumi keluaran sumur (Pandjaitan, 2005
2.2.2. Pemisahan Minyak Gas Air Pemisahan minyak-gas-air bertujuan untuk memisahkan gas dan air (padatan/pasir) dari crude oil. Prinsip pemisahan berdasarkan densitas. Aliran campuran crude oil masuk ke kolom pemisahan mengalami penurunan tekanan sehingga gas yang terlarut dalam minyak densitasnya turun yang mengakibatkan gas dapat keluar dari minyak. Waktu yang dibutuhkan gas untuk melepaskan diri dari minyak sekitar 30-60 menit.
Untuk mengefisienkan pemisahan gas dan
21 minyak, pada bagian atas kolom dipasang mist extractor yang berfungsi untuk menangkap tetesan-tetesan cairan yang terbawa gas. Tetesan-tetesan tersebut jatuh kembali kebawah. Air yang memiliki densitas besar akan mengendap ke bagian bawah kolom. Waktu yang dibutuhkan air supaya dapat terpisah dari minyak sekitar lima menit. Kolom pemisah tiga fassa paling sederhana terbentuk kolom tertutup vertikal/horizontal (Pandjaitan, 2005). Lumpur atau pasir yang terbawa aliran minyak bumi keluaran sumur akan terbawa oleh air dari unit pemisahan minyak-gas-air. Prinsip kerja mirip dengan pemisahan minyak-gas-air yaitu berdasarkan perbedaan densitas dengan memanfaatkan gravitasi. Kadangkala unit desander ini tidak berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari pemisahan minyak-gas-air yang dimodifikasi dengan menambah sand cone (bagian bawah kolom pemisah berbentuk kerucut). Selain kolom tertutup, hydrocyclone merupakan peralatan yang digunakan untuk memisahkan padatan dari cairan. Efisiensi pemisahan hydrocyclone lebih tinggi daripada kolom settling konvensional karena ada pertambahan gaya sentrifugal yang menyebabkan laju pemisahan meningkat (Padjaitan, 2005). Minyak bumi hasil dari keluaran unit pemisah minyak-gas-air masih mengandung kadar air yang cukup tinggi. Air tersebut disingkirkan dari aliran minyak. Untuk meningkatkan efisiensi pemisahana air dari minyak umumnya ditambahkan unit pemanas sehingga air dapat lebih mudah terpisahkan dari minyak. Pemisahan minyak-air dilakukan antara lain pada kolom tertutup, hydrocyclone dan lain-lain (Pandjaitan, 2005).
2.3. Gas Alam (Natural Gas) Gas alam sering juga disebut sebagai gas bumi atau gas rawa, adalah bahan bakar fosil berbentuk gas yang terutama terdiri dari metana CH4. Gas ini dapat ditemukan di ladang minyak atau gas alam yang didapat dari dalam sumur di bawah bumi, biasanya bergabung dengan minyak bumi. sebagai
associated gas (gas ikutan).
Gas ini disebut
Ada juga sumur yang khusus
menghasilkan gas, sehingga gas yang dihasilkan disebut gas non associated (http://www.pertamina.com) dan juga terjadi pada tambang batu bara. Ketika gas yang kaya dengan metana diproduksi melalui pembusukan oleh bakteri anaerobik dari bahan-bahan organik selain dari fosil, maka ia disebut biogas. Sumber biogas dapat ditemukan di rawa-rawa, tempat pembuangan akhir sampah, serta penampungan kotoran manusia dan hewan.
22 Komponen utama dalam gas alam adalah metana (CH4), yang merupakan molekul hidrokarbon rantai terpendek dan teringan. Gas alam juga mengandung molekul-molekul hidrokarbon yang lebih berat seperti etana (C2H6), propana (C3H8) dan butana (C4H10), selain juga gas-gas yang mengandung sulfur (belerang). Gas alam juga merupakan sumber utama untuk sumber gas helium. Metana adalah gas rumah kaca yang dapat menciptakan pemanasan global ketika terlepas ke atmosfer, dan umumnya dianggap sebagai polutan ketimbang sumber energi yang berguna. Meskipun begitu, metana di atmosfer bereaksi dengan ozon, memproduksi karbon dioksida dan air, sehingga efek rumah kaca dari metana yang terlepas ke udara relatif hanya berlangsung sesaat. Sumber metana yang berasal dari makhluk hidup kebanyakan berasal dari rayap, ternak (mamalia) dan pertanian (diperkirakan kadar emisinya sekitar 15, 75 dan 100 juta ton
per
tahun
secara
berturut-turut
(www.naturalgas.org/
overview/
background.asp) Nitrogen, helium, karbon dioksida (CO2), hidrogen sulfida (H2S), dan air (H2O) dapat juga terkandung di dalam gas alam. Merkuri dapat juga terkandung dalam jumlah kecil.
Komposisi gas alam bervariasi sesuai dengan sumber
ladang gasnya. Campuran organosulfur dan hidrogen sulfida adalah kontaminan (pengotor) utama dari gas yang harus dipisahkan. Gas dengan jumlah pengotor sulfur yang signifikan dinamakan sour gas dan sering disebut juga sebagai "acid gas (gas asam)". Gas alam yang telah diproses dan akan dijual bersifat tidak berasa dan tidak berbau. Akan tetapi, sebelum gas tersebut didistribusikan ke pengguna akhir, biasanya gas tersebut diberi bau dengan menambahkan thiol, agar dapat terdeteksi bila terjadi kebocoran gas. Gas alam yang telah diproses itu sendiri sebenarnya tidak berbahaya, akan tetapi gas alam tanpa proses dapat menyebabkan tercekiknya pernafasan karena ia dapat mengurangi kandungan oksigen di udara pada level yang dapat membahayakan.
Gas alam dapat berbahaya karena sifatnya yang sangat
mudah terbakar dan menimbulkan ledakan. Gas alam lebih ringan dari udara, sehingga cenderung mudah tersebar di atmosfer.
Akan tetapi bila ia berada
dalam ruang tertutup, seperti dalam rumah, konsentrasi gas dapat mencapai titik campuran yang mudah meledak, yang jika tersulut api, dapat menyebabkan ledakan yang dapat menghancurkan bangunan.
Kandungan metana yang
berbahaya di udara adalah antara 5% hingga 15%. Ledakan untuk gas alam terkompresi di kendaraan, umumnya tidak mengkhawatirkan karena sifatnya
23 yang lebih ringan, dan konsentrasi diluar rentang 5-15% yang dapat menimbulkan
ledakan
menurut
(www.naturalgas.org/overview/background.
asp/page2).
2.3.1. Kandungan Energi (Pengukuran Gas Alam) Gas alam dapat diukur dalam sejumlah cara, sebagai gas, ia dapat diukur melalui volume pada temperature dan tekanan normal, dinyatakan dalam cubic feet (CF), yang umum dipakai dalam ribuan cubic feet (MCF), jutaan cubic feet (MMCF), atau trilliun cubic feet (TCF).
Gas alam juga sering diukur dan
dinyatakan dalam British thermal unit (BTU). Satu BTU adalah sejumlah gas alam yang akan menghasilkan energi yang cukup untuk memanaskan satu pound air dengan satu derajat pada tekanan normal. Satu cubic feet gas alam mengandung sekitar 1.027 BTU. Gas alam yang dikirim melalui pipa di USA, diukur dalam satuan therms untuk menggunakan pembayaran. adalah
ekuivalen
dengan
100.000
BTU
atau
sekitar
97
Satu therm SCF
gas
alam.(www.pertamina.com/index.php?option=com_content).
2.3.2. Pemanfaatan Gas Alam Secara garis besar pemanfaatan gas alam dibagi atas 3 kelompok yaitu : (1). Gas alam sebagai bahan bakar, antara lain sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga gas/uap, bahan bakar industri ringan, menengah dan berat, bahan bakar kendaraan bermotor (BBG/NGV), sebagai gas kota untuk kebutuhan rumah tangga hotel, restoran dan sebagainya. (2). Gas alam sebagai bahan baku, antara lain bahan baku pabrik pupuk, petrokimia, metanol, bahan baku plastik (LDPE = low density polyethylene, LLDPE = linear low density polyethylene, HDPE = high density polyethylen, PE= poly ethylene, PVC=poly vinyl chloride, C3 dan C4-nya untuk LPG, CO2-nya untuk soft drink, dry ice pengawet makanan, hujan buatan, industri besi tuang, pengelasan dan bahan pemadam api ringan. (3). Gas alam sebagai komoditas energi untuk ekspor, yakni liquefied natural gas (LNG). Teknologi mutakhir juga telah dapat memanfaatkan gas alam untuk air conditioner (AC=penyejuk udara), seperti yang digunakan di Bandara Bangkok, Thailand dan beberapa bangunan gedung perguruan tinggi di Australia (Wikipedia, 2007).
24 2.3.3.
Gas Alam di Indonesia Pemanfaatan gas alam di Indonesia dimulai pada tahun 1960-an yakni
produksi gas alam dari ladang gas alam PT Stanvac Indonesia (sekarang JOB Pertamina-Medco) di Pendopo, Sumatera Selatan dikirim melalui pipa gas ke Pabrik Pupuk Pusri IA, PT Pupuk Sriwidjaja (Persero) di Palembang. Perkembangan pemanfaatan gas alam di Indonesia meningkat pesat sejak tahun 1974, setelah PT.Pertamina (Persero) mulai memasok gas alam melalui pipa gas dari ladang gas alam di Prabumulih, Sumatera Selatan ke pabrik pupuk Pusri II, Pusri III dan Pusri IV di Palembang. Karena sudah terlalu tua dan tidak efisien, pada tahun 1993 Pusri IA ditutup dan digantikan oleh Pusri IB yang dibangun oleh putera-puteri Bangsa Indonesia sendiri. Pada masa itu Pusri IB merupakan pabrik pupuk paling modern di Kawasan Asia, karena menggunakan teknologi tinggi.
Di Jawa Barat, pada waktu yang bersamaan (1974), PT. Pertamina
(Persero) juga memasok gas alam melalui pipa gas dari ladang gas alam di lepas pantai (off shore) Laut Jawa dan Kawasan Cirebon untuk pabrik pupuk PT. Pupuk Kujang (Persero) dan industri menengah dan berat di Kawasan Jawa Barat dan Cilegon Banten.
Pipa gas alam yang membentang dari Kawasan
Cirebon menuju Cilegon, Banten memasok gas alam antara lain ke pabrik semen, pabrik pupuk, pabrik keramik, pabrik baja dan pembangkit listrik tenaga gas dan uap. Selain untuk kebutuhan dalam negeri, gas alam di Indonesia juga diekspor dalam bentuk LNG (liquefied natural gas) (Wikipedia, 2007).
2.4.
Gas Ikutan (Associated Gas atau Flaring Gas) Menurut Johnston (2003) ada dua macam gas yang terakumulasi dalam
tempat penyimpanan minyak, yakni gas ikutan yang larut dalam minyak mentah ke dalam suatu formasi dan gas ikutan di dalam tempat cadangan minyak mengalami penjenuhan dan terjadi penyumbatan sehingga tekanan dan temperatur tekanan gas di bawah batas maksimum, karena tekananan tersebut membuat gas terdorong ke atas. Pada kondisi tertentu, hydrocarbon terhadap gas ikutan (associated gas) minyak mengalami perubahan menjadi minyak, gas atau pengembunan. Pada produksi minyak, secara alami terjadi pemisahan antara gas dan minyak mentah, pertama-tama yang harus dilakukan pada tahap produksi menjaga tekanan reservoar. Pada tahap kedua tekanan hidrokarbon harus pada batas maksimum antara 25% - 35%. Pada tahap kedua ini dilakukan penyulingan
25 gas ikutan dengan menggunakan mesin proses. Tekanan (pressure) gas ikutan masih dibutuhkan dalam proses penyaringan, juga tekanan gas dibutuhkan bilamana terjadi penurunan garis batas tekanan dalam reservoir. Masalahnya, penyulingan gas ikutan bisa merusak aliran minyak mentah serta mempengaruhi faktor produksi. Alasan perusahaan minyak tidak mengolah langsung minyak mentah tersebut karena ketika gas ikutan didaur ulang akan memberikan pengaruh negatif terhadap kandungan minyak mentah itu sendiri dan juga biaya operasional yang dikeluarkan sangatlah besar (Johnston, 2003). Menurut Haugland (2002) setiap hari di seluruh dunia mengeluarkan berbagai macam gas ikutan sekitar 10-13 bcf.
Hanya dua Negara yang
mengeluarkan gas ikutan melebihi jumlah tersebut yakni USA dan Russia. Sebelumnya pada tahun 1980 di Eropa Barat pembuangan gas ikutan sangat tinggi dimana jumlahnya tidak sebanding dengan yang terpakai.
Produksi
minyak di dunia dan gas ikutan sejak tahun 1980 berdasarkan Gambar 7.
Gambar 7.
Produksi minyak dunia dan gas ikutan (Haugland, 2002)
Gas ikutan mengeluarkan emisi karbon monoksida, nitrous oxides dan methane, total emisi yang dikeluarkan diperkirakan 1% - 4%.
Emisi yang
dikeluarkan mengganggu masyarakat setempat dan terutama sekitar area tumbuhan dan hewan karena gas ikutan mengeluarkan cahaya dan hawa panas serta menimbulkan bunyi yang gaduh.
Efek yang sangat berbahaya bagi
lingkungan tersebut dapat dikurangi dengan cara menggurangi teknik ledakan. Bagaimanapun juga, sisa gas ikutan walau yang tidak berbahaya sekalipun dapat menimbulkan masalah di waktu mendatang bagi masyarakat (Petrosyan, 2007)
26 2.4.1 Gas Ikutan (Associated Gas atau Flaring Gas) di Indonesia Menurut data dari Ditjend Migas (2008) kondisi gas ikutan (flare gas) di sektor usaha minyak dan gas hulu (up stream) sebesar 109,50 mmscfd (juta kaki kubik perhari), pada sektor usaha minyak dan gas hilir (down stream) sebesar 1,17 mmscfd (juta kaki kubik perhari) berdasarkan gambar 8.
Gambar 8. Kondisi Gas ikutan (flare gas) di sektor migas hulu dan hilir (Ditjend Migas, 2008) Sektor hulu (up stream) merupakan penyumbang terbesar gas ikutan (flare gas), sektor tersebut adalah dimana minyak mentah di cari (eksploration)
dan di
angkat ke permukaan (production) guna diproses menjadi minyak mentah yang siap (feedstock) di gunakan untuk bahan baku proses pengilangan (refinery). Sumber (sources) dari
gas ikutan (flare gas) pada sektor hulu (up stream)
tersebut berasal dari beberapa lapangan minyak (oil fields) di seluruh Indonesia. Berdasarkan gambar 9, Ditjend Migas (15 Juli 2008) mempersiapkan rancangan kebijakan Green Oil and Gas Industry Initiative (GOGII) untuk menjadikan industri migas yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan program zero flare, zero discharge, clean air and go renewable. 2.5.
Proses Gas Ikutan Menjadi LPG
LPG (liquified petroleum gas) adalah campuran dari berbagai unsur hidrokarbon yang berasal dari gas alam yang diproses melalui kilang minyak bumi (refining of crude oil) atau ekstraksi yang berasal dari gas ikutan dari lapangan minyak (crude oil field). Dengan menambah tekanan dan menurunkan suhunya, gas berubah
menjadi
cair.
Komponennya
didominasi
propana
(C3H8)
27
Gambar 9. Peta lokasi gas flare (Ditjend Migas, 2008) dan butana (C4H10). Elpiji juga mengandung hidrokarbon ringan lain dalam jumlah kecil, misalnya etana (C2H6) dan pentana (C5H12).
Dalam kondisi
atmosfer, elpiji akan berbentuk gas. Volume elpiji dalam bentuk cair lebih kecil dibandingkan dalam bentuk gas untuk berat yang sama. Karena itu elpiji dipasarkan dalam bentuk cair dalam tabung-tabung logam bertekanan. Untuk memungkinkan terjadinya ekspansi panas (thermal expansion) dari cairan yang dikandungnya, tabung elpiji tidak diisi secara penuh, hanya sekitar 80% - 85% dari kapasitasnya. Rasio antara volume gas bila menguap dengan gas dalam keadaan cair bervariasi tergantung komposisi, tekanan dan temperatur, tetapi biasaya sekitar 250:1. Tekanan dimana elpiji berbentuk cair, dinamakan tekanan uapnya, juga bervariasi tergantung komposisi dan temperatur; sebagai contoh, dibutuhkan tekanan sekitar 220 kPa (2.2 bar) bagi butana murni pada 20 °C (68 °F) agar mencair, dan sekitar 2.2 MPa (22 bar) bagi propana murni pada 55°C (131 °F).
Menurut spesifikasinya, elpiji dibagi menjadi tiga jenis yaitu elpiji
campuran, elpiji propana dan elpiji butana.
Spesifikasi masing-masing elpiji
tercantum dalam keputusan Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi Nomor: 25K/36/DDJM/1990. Elpiji yang dipasarkan PT.Pertamina (Persero) adalah elpiji campuran (Wikipedia, 2007). LPG plant dalam memproses (ekstraksi) gas ikutan sebagai bahan baku (feed stock) yang berasal sumur minyak yang diangkut melalui pipa minyak (pipeline) berupa gas ikutan (associated gas) melalui stasiun pengumpul (gathering station) pada fasilitas produksi minyak (production fasilities)
28 www.unfcc.org/cdm/pdd/flare/schematic.
Gas ikutan diproses dengan cara
mekanisme sistem teknologi pendinginan dengan melalui beberapa komponen proses: booster compressor, cooling and separation unit, liquid extraction unit, refrigerant re-circulation system, hot oil circulation system, fuel gas system, glycol circulation system, lpg storage and unloading facilities, electric power generation Cara kerja dari pada LPG plant yang memanfaatkan gas ikutan (flaring gas) adalah sebagai berikut : •
Gas (feedstock) diperoleh dari lapangan minyak dan ditransportasikan melalui pipa ke LPG plant (diproses), dengan hasil berupa produk LPG, condensate dan lean gas.
•
Energi yang dipakai untuk mengangkut dan memproses gas ikutan menggunakan lean gas (hasil proses) untuk membangkitkan tenaga listrik (power plant).
Untuk lebih jelasnya ilustrasi kegiatan proyek LPG plant yang memanfaatkan gas ikutan dapat dilihat pada Gambar 10. CO2
LPG
Flaring
Recovery
Residu Gas
LPG Plant
Konde sat
Gas Ikutan (associated Gas)
Ke Oil Stror age
Fasilitas Produksi Minyak Dari Sumur Minyak (oil well)
Gambar 10.
Skema ilustrasi kegiatan proyek LPG memanfaatkan gas (www.unfcc.org/cdm/pdd/flare/schematic)
plant
dengan ikutan
29 2.6.
Potensi Sumber Daya Migas Indonesia Di Indonesia terdapat 60 cekungan hidrokarbon namun 22 cekungan
diantaranya belum diekplorasi, sehingga hanya 38 cekungan yang telah diekplorasi (15 cekungan telah berproduksi, 11 cekungan belum berproduksi dan 12 belum terbukti).
Cadangan minyak bumi Indonesia cenderung menurun
secara alami (decline) dan pada saat ini jumlah cadangan yang ada diperkirakan mencapai 8,4 milyar barrel (3,9 milyar barrel terbukti dan 4,4 milyar barrel potensial) atau dapat diproduksi selama 20 (dua puluh) tahun.
Sebaran
cadangan minyak bumi Indonesia dan jumlah cadangannya dapat dilihat pada Gambar 11.
Sedangkan jumlah cadangan gas bumi Indonesia terbukti dan
potensial mengalami kenaikan dengan ditemukannya lapangan-lapangan baru selama dua tahun terakhir ini dan pada saat ini jumlah cadangan yang ada mencapai 164,99 trilyun kaki kubik (106,1 TCF terbukti dan 58,98 TCF potensial) atau dapat diproduksi untuk waktu 64 tahun (Yusgiantoro, 2007) dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 11. Peta penyebaran cadangan (http://www.migas.esdm.go.id/)
minyak
bumi
Indonesia
2.7. Kegiatan Eksploitasi Minyak Bumi Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara dengan industri hulu migas tertua di dunia, dengan ditandai penemuan secara komersial di Kabupaten Langkat, Telaga Said, di Sumatera Utara pada tahun 1883. Sebagai anggota Organization Petroleum
Exporting
Countries
(OPEC),
produksi
minyak
bumi di
30
Gambar 12. Peta penyebaran cadangan gas Indonesia berdasarkan sumber gas (Indonesia Associated Gas Survey – Screening & Economic Analysis Report (Final), Pendawa, 2006) Indonesia diatur oleh alokasi kuota yang ditetapkan oleh OPEC sebesar 1,445 juta barrel perhari dan masih berlaku sampai saat ini. Jatah kuota produksi sebesar itu hanya dapat dicapai sebelum tahun 2000. Pada tahun 1980, sekitar 70% dari produksi minyak bumi diekpor, tetapi konsumsi domestic meningkat secara mantap dan mencapai 50 % dari produksi minyak bumi pada tahun 1990 (Country Data, 1992). Produksi minyak yang dimiliki oleh PT.Pertamina EP Jawa Bagian Barat sejak tahun 1970 mulai dilakukan eksploitasi dengan melakukan penggalian sejumlah sumur. Dari ratusan sumur yang dibor, daerah-daerah yang berhasil memproduksi adalah Jatibarang, Cemara, Kandanghaur Barat dan Timur, Tugu Barat dan lepas pantai. Daerah PT.Pertamina EP Jawa Bagian Barat ini termasuk daerah operasi yang cukup besar yang dimiliki PT.Pertamina EP. Produksi tertinggi dari daerah ini terjadi pada tahun 1973-1974 mampu mencapai 28.000 barrel oil perday (BOPD). Pada tahun 2000, produksi mengalami penurunan hingga menyentuh angka 7.000-7.500 BOPD. Pada tahun 2001 PT. Pertamina EP Jawa Bagian Barat mampu meningkatkan produksi minyak sebesar 14.294 BOPD dan gas alam 404,8 MMSCFD (Laporan Akhir, Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Barat, 2003). Disadari bahwa produksi minyak Indonesia selama 5 tahun terakhir ini cenderung mengalami penurunan secara alami. Oleh karena itu, selama periode
31 2002-2004, BP Migas dan Kontraktor Kerja Sama telah berhasil menemukan cadangan minyak bumi sebesar 1 milyar barrel untuk mengatasi masalah tersebut. Sebaiknya produksi gas terus meningkat sejalan dengan cadangan gas yang semakin hari semakin meningkat. Peningkatan gas ini diperoleh oleh dari penemuan-penemuan sumber baru seperti Tangguh di Papua, Natuna Barat di Laut Natuna, Donggi/Senoro di Sulawesi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Blok Cepu (Banyu Urip) di Jawa Timur dan Lapangan lainnya. Seluruh lapangan minyak dan gas bumi tersebut masih dalam taraf penyusunan rencana pengembangan (Plan of Development), WP&B (Work Program and Budget) mulai
melakukan
kegiatan
konstruksi
dan
AFE
(Authourize
Financial
Expenditure) dalam rangka untuk cost recovery (BP.Migas, 2008). Produksi rata-rata harian minyak bumi Indonesia cenderung menurun terus, saat
ini (2008) tingkat produksi harian rata-rata
adalah 844.850,444
barrel.(www.esdm.go.id). Pada tahun 2003 produksi rata-rata harian minyak bumi Indonesia adalah 1,265 juta barrel (World Oil, 2003), penurunan tersebut disebabkan kondisi lapangan minyak sudah tua (mature), penemuan dan pengembangan lapangan baru tidak secepat yang kita harapkan.
Estimasi
cadangan minyak bumi Indonesia adalah 9,692 milliar Barrel atau 0,6 % dari cadangan minyak dunia (DitJend Migas, 1999). Produksi minyak mentah dimulai dengan mengalirkan minyak secara alami (naturalflow) dari area tekanan tinggi yang ada dipermukaan bumi. Produksi alami ini disebut produksi primer, yang bergantung pada tekanan reservoir dan mekanisme pengendalian alami. Mekanisme pengendalian ini merujuk sumber-sumber energi didalam reservoir yang akan
membantu
produksi, bergantung aspek fisik reservoir dan sifat-sifat minyak, gas dan air yang ditemukan dalam proporsi relatif dan lokasinya (Gibbon, 1980). Produksi sekunder adalah prosedur lainnya yang digunakan untuk meningkatkan hasil dari satu reservoir. Prosedur ini terdiri atas menginjeksi gas ikutan atau air untuk mempertahankan reservoir.
Pada zaman dulu, teknik
produksi sekunder diikuti penggunaan teknik produksi primer; sekarang teknik ini mungkin digunakan secara simultan untuk meningkatkan produksi total (Gibbon, 1980).
Masih terdapat ceruk pasar LPG yang dapat dipenuhi oleh KPS dan
PERTAMINA dengan jumlah minimum 200.000 ton per tahun dan permintaan tersebut diperkirakan akan meningkat 15% setiap tahunnya (Gambar 13).
32 Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah penghasil migas terbesar di Indonesia.
Dalam hal volume produksi minyak bumi, Jawa Barat
menempati peringkat kelima terbesar setelah Riau, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan dan Lampung, dengan volume produksi mencapai 4,31 % dari produksi total Indonesia (Pertamina, 2003).
Untuk gas alam, Jawa Barat menempati
peringkat ketiga dengan produksi 11,27 % dari total gas alam Indonesia. Produksi tahunan Jawa Barat pada tahun 2002 adalah 15,78 juta barrel minyak bumi dan 222,6 milyar kaki kubik gas alam (mmscf).
Gambar 13.
Kondisi saat ini Indonesia – Oil Products Supply & Demand Balance (2006-2015) (Sumber : Facst, 2007 & Pertamina analysis)
Potensi migas Jawa Barat tersebar di beberapa daerah penghasil, yaitu Kabupaten Indramayu, Karawang, Majalengka, Subang, Bekasi, wilayah 4-12 mil laut dan wilayah di luar 12 mil laut, meliputi tidak kurang dari 75 lapangan minyak bumi dan gas alam.
33 Tabel 1. Lapangan minyak ‘on shore’ yang dikelola oleh PT.Pertamina EP Region Jawa area operasi timur : Lapangan Sistem Ciputat : - Jatinegara - Jatirarangon - Tambun - Cikarang - Cicauh Sistem Cipunegara : - Tugu Barat - Haurgeulis - Sukatani - Kandang Haur Barat - Pasir Catang Sistem Pasir Bungur: - Pegaden - Pamanukan Selatan - Pasirjadi - Pasirjadi Naik - Gambarsari - Katomas - Sindangsari - Bojongraong Sistem Jatibarang : - Jatibarang - Sindang - Gantar - Randengan - Kandang Haurtimur - Cemara - Cemara Timur - Cemara Selatan - Waled Selatan - Sindang Blok turun - Sambidoyong - Kapetakan
Tahun Mulai Operasi
Cadangan Minyak (x1 juta Barrel)
Cadangan Gas (x1 juta milyar kaki kubik)
1989 1982 1992 1993 1988
1 2 -
20 20 1 50 40
1979 1982 1983 1984 1992
11 1 -
50 50 75 100
1975 1980 1985 1987 1989 1990 1990 1993
10 5 -
5 50 60 2 30 1 50 75
1969 1970 1973 1973 1974 1976 1976 1977 1978 1981 1985 1986
130 10 5 2 8 7 1 0 1 -
150 50 400 20 100 600 200 10 1 0 50
Sumber : PT.Pertamina EP Region Jawa Bagian Barat, 2004
Formasi batuan yang mengandung minyak dan gas bumi adalah formasi Cibulakan (Jatiluhur) terdiri dari lempung dan gamping bersisipan batupasir dengan ciri laut dangkal, formasi Jatibarang terdiri dari batuan vulkanik berumur (Eosen-Oligosen), formasi parigi berupa batu gamping. Formasi ini termasuk
34 blok Dataran Jakarta-Cirebon (Martodjojo, 1975). Sebaran lapangan minyak dan gas bumi yang telah dilakukan eksplorasi dan eksploitasi hingga saat ini dapat dilihat pada Tabel 1 (PT.Pertamina EP Region Jawa, 2004).
2.8. Pengelolaan Lingkungan Kegiatan Eksploitasi Minyak Bumi Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi sebagai industri hulu migas adalah suatu mata rantai kegiatan yang diawali dengan kegiatan survey seismik (geologi, graviti, seismik dan lainnya), pemboran eksplorasi, ekploitasi dan dilanjutkan dengan kegiatan pengembangan lapangan, produksi (termasuk enhanced oil recovery) dan transportasi (pemasaran). Semua kegiatan tersebut, selain menghasilkan devisa kepada negara dan kesempatan kerja, dapat pula menimbulkan dampak negatif pada lingkungan, apabila tidak dikelola dengan baik. Dampak negatif Tabel 2. No 1
dalam bentuk
perubahan tatanan lingkungan yang
Potensi dampak lingkungan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi
Kegiatan Survey Seismik
Jenis Kegiatan • Peledakan Bahan Peledak • Transportasi alat-alat
2
Pemboran Eksplorasi
• • • •
3
Pengembangan Lapangan
•
4
5
• • •
Produksi
• •
Transportasi
• • • • • • • • • • •
Sumber : Soegiarto, 2007
Penyerapan tenaga kerja Ganti rugi lahan Ceceran bahan kimia Pembuangan lumpur bor bekas Penyerapan tenaga kerja dan jasa setempat Ganti rugi lahan Ceceran bahan kimia Pembuangan lumpur bor bekas Emisi gas buang Penyerapan tenaga kerja dan jasa setempat Ceceran bahan kimia Air terproduksi Oil Sludge Penggunaan B3 Ceceran minyak mentah Limbah domestik Kebocoran pipa Emisi gas buang (flare) Kebocoran pipa penyalur minyak Kebocoran tangki penampung Emisi gas buang (flare)
Potensi Dampak Lingkungan • Kerusakan Sarana dan Prasarana • Kebisingan dan debu • Terjadi ceceran minyak • Ada peluang kerja • Spekulasi ganti rugi • Pencemaran air • Terganggu flora & fauna • • • • •
Ada peluang kerja Spekulasi ganti rugi Pencemaran air Terganggunya kehidupan flora dan fauna Pencemaran udara
•
Ada peluang kerja
•
Pencemaran tanah dan air Terganggunya kehidupan flora dan fauna Pencemaran udara
• •
• • •
Pencemaran tanah dan air Terganggunya kehidupan flora dan fauna Pencemaran udara
35 menyangkut aspek-aspek biologi, geologi, hidrologi, fisik, kimia, sosial, ekonomi dan budaya.
Potensi dampak lingkungan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
minyak bumi dapat dilihat Tabel 2.
2.9. Pengelolaan SumberDaya Alam (SDA) dan Lingkungan Ada lima prinsip pokok yang perlu kita integrasikan dalam setiap pengelolaan lingkungan hidup, terlepas dari masalah lokasi, sektor maupun pihak yang melakukannya (Keraf, 2000). Kelima prinsip tersebut adalah: 1) sumberdaya alam harus dimanfaatkan untuk tujuan kemakmuran rakyat secara terus-menerus dari generasi ke generasi. 2) sumberdaya alam harus dimanfaatkan dan dialokasikan secara adil dan jujur di kalangan inter maupun antargenerasi. 3) dalam proses pemanfaatan sumberdaya alam harus mampu tercipta kohesivitas masyarakat di kalangan berbagai lapisan dan kelompok masyarakat serta mampu mempertahankan eksistensi budaya lokal. 4) pengelolaan sumberdaya alam harus dilakukan dengan pendekatan sistem untuk mencegah terjadinya praktek-praktek pengelolaan sumber daya alam yang bersifat parsial, ego sektoral atau ego-daerah dan tidak terkoordinasi. 5) kebijakan dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam harus bersifat spesifik lokasi dan disesuaikan dengan kondisi ekosistem dan masyarakat sekitar. Kelima prinsip dasar tersebut satu sama lain saling terkait dan pengaruh mempengaruhi, sebagai satu-kesatuan mengandung makna bahwa kemakmuran rakyat harus dicapai secara berkelanjutan dan berkeadilan. Pesan penting dari prinsip ini adalah, jangan sampai kebijakan eksploitasi sumberdaya alam bersifat sentralistik sehingga memacu kerusakan tanpa kendali, menimbulkan masalah kemiskinan, menindas hak-hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat, memudarkan budaya lokal dan bahkan kemudian memacu disintegrasi kelompok-kelompok masyarakat dan Bangsa Indonesia (Keraf, 2000).
2.10.
Pembangunan Berkelanjutan Komisi Dunia Untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission
on Environment and Development - WCED, 1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan hari kini
36 tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan demikian pembangunan berkelanjutan mempunyai tujuan jangka panjang, yaitu memikirkan pula kepentingan anak-cucu dalam generasi yang akan datang. Pembangunan yang berkelanjutan menggabungkan tiga bidang penting yaitu lingkungan, sosial dan ekonomi ke dalam sebuah perspektif tunggal yang terpadu (Bebbington, 2001; Van Dieren, 1995). Integrasi/perpaduan kelompokkelompok dari tiga dari buah pilar pembangunan berkelanjutan membawa kepada konsep-konsep efisiensi ekologi, keadilan ekologi dan efisiensi sosial (Gambar 12). Konsep pembangunan berkelanjutan muncul ketika terjadi ‘kegagalan’ pembangunan, saat proses yang terjadi bersifat top-down (arus informasi yang terjadi hanya satu arah dari atas ke bawah) dan jika ditinjau dari sisi lingkungan, sosial, dan ekonomi proses pembangunan yang terjadi ternyata tidak berkelanjutan. Pelaksanaan konsep ini diperkuat lagi dengan kesepakatan para pemimpin bangsa yang dinyatakan dalam hasil-hasil negosiasi internasional, antara lain Deklarasi Rio pada KTT Bumi tahun 1992, Deklarasi Millennium PBB tahun 2000, dan Deklarasi Johannesburg pada KTT Bumi tahun 2002 (Pelangi, 2003).
Keberlanjuta n Sosial Efisiensi sosial
Keadilan ekologi Pembangunan Berkelanjutan
Keberlanjuta n ekonomi
Gambar 14.
Efisiensi ekosistem
Keberlanjutan lingkungan
Tiga sasaran pokok pembangunan berkelanjutan
Oleh karena itu maka sustainable development is more than ecological. Bukan sekadar pencemaran, air bersih. It goes deeper, yaitu kebhinekaan. Inilah prinsip pembangunan berkelanjutan. Kebhinekaan itu, meliputi berbagai aspek dalam kehidupan. Semakin beraneka ragam dimensi ekologi, politik, ekonomi, budaya, sosial, semakin stabil sistem itu (Salim, 1994).
37 2.11.
Produksi Bersih Penerapan produksi bersih pada industri dapat dilakukan dengan aplikasi
minimisasi limbah dan teknologi bersih. Penerapan teknologi bersih merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kinerja perusahaan yang nantinya akan terkait dengan penilaian program PROPER (environmental performance rating) yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (Dana Mitra Lingkungan, 2005). Pengelolaan lingkungan berdasarkan end-of-pipe treatment terbukti hanya menambah biaya produksi dan tidak dapat menyelesaikan permasalahan buangan atau limbah produksi. Produksi Bersih merupakan strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang dapat diterapkan oleh perusahaan karena menggunakan pendekatan win-win antara bisnis dan lingkungan. Pendekatan produksi bersih ini akan menurunkan biaya produksi, meningkatkan efisiensi dan produktivitas serta memperbaiki citra (image) lingkungan dan hubungan dengan stakeholders lainnya.
Dengan demikian
tujuan perusahaan yaitu laba (profit), pertumbuhan (growth) dan keberlanjutan usaha (sustainable business) akan tercapai (Dana Mitra Lingkungan, 2005). Beberapa hal yang menyebabkan penerapan produksi bersih di indonesia tidak bergaung, antara lain: a. Pengertian produksi bersih yang belum sepenuhnya dipahami dengan baik sehingga terkesan kurang menarik karena keuntungan dan kesempatan potensial perbaikan belum diidentifikasi b. Piranti dan insentif keuangan terhadap penerapan produksi bersih belum tersebarluaskan. c. Akses terhadap teknologi & keahlian produksi bersih di Indonesia masih terbatas pada komunitas tertentu. d. Kurangnya kebijakan yang mendukung penerapan produksi bersih dan pemberian penghargaan bagi perusahaan maupun lembaga yang telah berhasil melaksanakannya (Dana Mitra Lingkungan, 2005). Produksi bersih (cleaner production) bertujuan untuk mencegah dan meminimalkan terbentuknya limbah atau bahan pencemar lingkungan pada seluruh tahapan produksi.
Di samping itu, produksi bersih juga untuk
meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku, bahan penunjang, dan energi. Dengan demikian, diharapkan sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (Kompas, 2004) .
38 Bila kita melihat berbagai strategi yang diperlukan dalam pengelolaan lingkungan terutama dalam hal meminimasi maupun menghilangkan limbah maka terlihat ada empat strategi yakni pencegahan, daur ulang, perlakuan serta pembuangan.
Pencegahan
(prevention
strategy),
merupakan
strategi
pengurangan limbah yang terbaik karena telah dilakukan berbagai usaha secara dini untuk mengurangi terbentuknya limbah selama proses produksi berlangsung. Daur ulang (recycle strategy), strategi ini diimplementasikan bila terbentuknya limbah sudah tidak dapat dihindarkan lagi sehingga salah satu strategi untuk meminimasi terbentuknya limbah adalah dengan melakukan daur ulang maupun pemanfaatan kembali. Dalam beberapa kasus, pemanfaatan limbah ini dapat memberikan nilai komersial karena limbah dapat dijadikan produk yang bernilai ekonomi (Sriharjo, 2001). Perlakuan (treatment strategy), apabila limbah tidak dapat diminimisasi maupun dikurangi dengan strategi daur ulang maupun pemanfaatan kembali maka perlakuan terhadap limbah harus dilakukan dengan mengurangi baik secara kualitas maupun kuantitas dari limbah yang terbentuk. Namun demikian, implementasi strategi yang berdasarkan pada paradigma akhir pipa (end pipe paradigm) telah berhasil dalam mereduksi kuantitas limbah namun tidak seefektif bila menggunakan paradigma dalam pipa (in pipe paradigm).
2.12.
Clean Development Mechanism (CDM) Isu perubahan iklim masih menjadi bahan perdebatan banyak pihak
karena adanya perbedaan pemahaman tentang hal tersebut. Secara umum iklim diartikan sebagai kondisi rata-rata suhu udara, curah hujan, tekanan udara, arah angin, kelembaban udara serta parameter lainnya dalam jangka waktu yang panjang antara 50-100 tahun. Perubahan iklim ini terjadi akibat adanya proses pemanasan global, yaitu meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat akumulasi panas yang tertahan di atmosfer yang terjadi akibat adanya efek rumah kaca di atmosfer bumi. Efek rumah kaca itu sendiri merupakan suatu fenomena gelombang pendek radiasi matahari menembus atmosfer dan berubah menjadi gelombang panjang ketika mencapai permukaan bumi.
Setelah
mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang tersebut dipantulkan kembali ke atmosfer.
Akan tetapi hanya sebagian yang dilepaskan ke angkasa luas
karena sebagian akan dipantulkan kembali oleh lapisan gas rumah kaca di atmosfer ke permukaan bumi. Proses ini dapat berlangsung berulang kali,
39 sementara gelombang yang masuk juga bertambah terus sehingga akan terjadi akumulasi panas di atmosfer. Menurut Protokol Kyoto, gas rumah kaca terdiri dari enam jenis, yaitu karbondioksida (CO2), nitriksida (N2O), methane (CH4), sulfurheksaflourida (SF6), perflurokarbon (PFC) dan hidrofluorokarbon (HFC). Secara alami, efek rumah kaca telah terjadi sejak terbentuknya atmosfer bumi sehingga menjadikan suhu bumi menjadi hangat dan layak huni. Para ahli mengatakan tanpa adanya atmosfer dan efek rumah kaca, suhu bumi akan 33o C lebih dingin dibandingkan saat ini. Adanya kegiatan manusia (anthropogenic) terutama sejak adanya revolusi industri, telah meningkatkan emisi GRK dengan laju yang sangat tinggi sehingga efek rumah kaca di atmosfer semakin kuat. Pemanfaatan energi yang berlebihan, terutama energi fosil, merupakan sumber utama emisi GRK. Hutan yang semakin rusak, baik karena kejadian alam maupun pembalakan liar akan menambah jumlah GRK yang diemisikan ke atmosfer dan akan menurunkan fungsi hutan sebagai penghambat perubahan iklim.
Demikian pula dengan kegiatan peternakan dan pertanian yang
merupakan penyumbang gas metana yang kekuatannya 21 kali lebih besar daripada gas karbondioksida. Data emisi GRK tahun 1990 yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia dalam First National Communication to The UNFCCC pada tahun 1997 memberikan gambaran bahwa kegiatan perubahan lahan dan kehutanan memberikan kontribusi terbesar bagi emisi GRK yaitu sekitar 63%. Adapun sektor energi menempati urutan kedua, yakni kurang lebih 25% dari total emisi. Akumulasi peningkatan emisi GRK antropogenik secara umum telah meningkatkan konsentrasi GRK seperti terlihat dalam Tabel 3.
Uap air
merupakan GRK, tetapi tidak diperhitungkan sebagai GRK yang efektif dan tidak dipergunakan dalam prediksi perubahan iklim karena keberadaan atau masa hidup (life time) H2O sangat singkat (9,2 hari). Sementara itu CO2, CH4 dan N2O masa hidupnya di atmosfer berturut-turut adalah 100, 15 dan 115 tahun, sehingga meskipun emisinya dihentikan dengan segera, tetapi dampak dari akumulasi GRK tersebut akan tetap dirasakan sampai puluhan bahkan ratusan tahun. Dari Tabel 3, dapat dilihat pula bahwa meskipun konsentrasi dan laju pertumbuhan CH4 dan N2O relatif rendah, tetapi kemampuan memperkuat radiasi (radiative forcing) gelombang pendek menjadi gelombang panjang yang bersifat lebih panjang dan lebih panas jauh lebih besar dibanding CO2 yang konsentrasi dan pertumbuhannya jauh lebih besar.
Kedua GRK tersebut masing-masing
40 mampu memperkuat radiasi sekitar 20 dan 200 kali kemampuan CO2. Hal ini berarti bahwa kenaikan yang sekecil apapun dari kedua GRK tersebut harus tetap dikendalikan (Murdiarso, 2003). Tabel 3. Karakteristik gas rumah kaca utama (Murdiarso, 2003) Karakteristik
CO2
CH4
N2O
Konsentrasi pada pra-industri
290 ppmv
700 ppbv
275 ppbv
Konsentrasi pada 1992]
3550 ppmv
1714 ppbv
311 ppbv
Konsentrasi pada 1998
360 ppmv
1745 ppbv
314 ppbv
Laju pertumbuhan per tahun
1,5 ppmv
7 ppbv
0,8 ppbv
0,4
0,8
0,3
5-200
12-17
114
1
21
206
Persen pertumbuhan per tahun Masa hidup (tahun) Kemampuan memperkuat radiasi
Keterangan: ppmv = part per million by volume, ppbv = part per billion by volume
Menurut Murdiarso (2003) sumber-sumber GRK baik yang bersifat alami seperti interaksi lautan dan atmosfer, input energi matahari, atau letusan gunung berapi, maupun yang bersifat antropogenik seperti pembakaran bahan bakar fosil dan alih guna lahan, dapat menyebabkan terjadinya peningkatan suhu secara global. Hal tersebut berakibat pada terjadinya perubahan iklim yang memberikan dampak terhadap kehidupan makhluk hidup di bumi. Mengingat perubahan iklim ini bersifat global, maka dampaknya pun bersifat global pula. Tidak ada daerah yang akan luput dari dampak perubahan iklim ini, yang berbeda hanya tingkat adaptasi masing-masing wilayah terhadap perubahan iklim tersebut. Perubahan iklim dapat menyebabkan terjadinya pencairan lapisan es baik di daerah kutub, tapi juga di beberapa puncak gunung yang biasanya terselimut lapisan es. Sejak dekade 1960-an, lapisan es yang menyelimuti bumi diperkirakan telah berkurang sebanyak 10 persen (Pelangi, 2003). Lapisan es yang mencair akan menimbulkan peningkatan volume air di permukaan bumi secara keseluruhan terutama volume air laut yang pada akhirnya akan menyebabkan peningkatan ketinggian muka air laut. Studi yang dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa dalam 100 tahun terakhir telah terjadi peningkatan permukaan air laut setinggi 10 cm - 25 cm dan diperkirakan pada tahun 2100 peningkatan muka air laut akan mencapai 15 cm - 95 cm dibandingkan saat ini. Kondisi seperti itu
41 dapat mengakibatkan banyak pulau-pulau serta wilayah pesisir tenggelam dan mengakibatkan sekitar 46 juta orang yang hidup di pesisir pantai harus mengungsi ke daerah yang lebih tinggi.
Perubahan iklim juga berpengaruh
terhadap pergeseran musim, yaitu semakin panjangnya musim kemarau serta semakin pendeknya musim hujan, sehingga akan timbul bencana kekeringan yang memberikan dampak terhadap kegagalan panen serta krisisi air bersih. Musim hujan meskipun lebih pendek, tetapi akan mempunyai intensitas yang sangat tinggi, sehingga kondisi ini dapat menyebabkan semakin seringnya terjadi bencana banjir, badai dan tanah longsor.
Ketidakpastian musim akan
mengganggu para petani dalam menjalankan kegiatannya karena akan menyebabkan musim tanam yang tidak menentu, sehingga dapat menurunkan produksi pangan.
Diperkirakan kerugian pada sektor pertanian di Indonesia
dapat mencapai US$ 6 miliar per tahun (Pelangi, 2003). Terjadinya kenaikan permukaan air laut, dapat mengakibatkan pulaupulau kecil dan daerah landai di Indonesia tenggelam. Diperkirakan sekitar 2000 pulau akan hilang dari wilayah Indonesia (Pelangi, 2003). Akibatnya, masyarakat nelayan yang tinggal di sepanjang pantai akan semakin terdesak.
Selain itu
kenaikan air laut akan merusak ekosisten hutan bakau (mangrove) serta mengubah sifat biofisik dan biokimia di zona pesisir. Masalah lain yang timbul akibat naiknya muka air laut adalah memburuknya kualitas air tanah di perkotaan akibat adanya intrusi air laut yang dapat merusak infrastruktur kota akibat salinitas air laut. Perubahan iklim ini akan berpengaruh juga terhadap sektor kehutanan, karena tidak semua jenis flora dan fauna mampu beradaptasi sehingga menyebabkan terjadinya perubahan komposisi ekologi hutan. Spesies yang tidak mampu beradaptasi akan punah, sedangkan yang lebih kuat akan berkembang tidak terkendali. Panjangnya musim kemarau dapat pula memacu peningkatan terjadinya kebakaran hutan. Selain itu, dampak perubahan iklim di Indonesia dapat meningkatkan frekuensi penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah. Pada akhirnya dampak negatif dari perubahan iklim ini akan dirasakan dari segala bidang kehidupan. Secara ekonomi pada tahun 2000 kerugian akibat banjir, kebakaran hutan, topan serta musim kemarau di seluruh Wilayah Indonesia berjumlah US$150 miliar dan menelan korban jiwa sebanyak 690 jiwa. Sementara studi yang dilakukan memperkirakan kerugian tahunan di sektor pertanian sebesar Rp 23 miliar, di sektor pariwisata sebesar Rp 4 miliar
42 dan dana perbaikan infrastruktur pesisir yang di perlukan sekitar Rp 42 miliar (Pelangi, 2003). CDM atau mekanisme pembangunan bersih merupakan satu-satunya mekanisme
dalam
Protocol
Kyoto
yang
memungkinkan
peran
negara
berkembang untuk membantu Negara Annex I dalam upaya mitigasi GRK. Tujuan CDM seperti tertera dalam Artikel 12 Protokol Kyoto adalah : 1. membantu negara berkembang yang tidak termasuk dalam Annex I untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan serta menyumbang pencapaian tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu menstabilkan konsentrasi GRK dunia pada tingkat yang tidak akan menggangu system iklim global 2. membantu negara-negara Annex I atau negara maju dalam memenuhi target penurunan jumlah emisi negaranya CDM memungkinkan negara Annex I untuk menurunkan emisi GRK secara lebih murah dibandingkan dengan mitigasi di dalam negerinya sendiri (domestic action). Dalam pelaksanaannya, komoditi yang diperjualbelikan dalam CDM adalah reduksi emisi GRK tersertifikasi atau yang dikenal dengan CER (certified emission reduction). CER ini diperhitungkan sebagai upaya Negara Annex I dalam memitigasi emisi GRK dan nilai CER ini setara dengan nilai penurunan emisi yang dilakukan secara domestik dan karenanya dapat diperhitungkan dalam pemenuhan target emisi GRK Negara Annex I seperti yang disepakati dalam Annex B Protokol Kyoto (Murdiarso, 2003). Menurut Murdiarso (2003) pada dasarnya CDM dapat dilakukan dengan tiga cara (dikenal dengan CDM architecture), yaitu : 1. Bilateral CDM, yaitu pelaksanaan CDM antara satu Negara Annex I dan satu negara berkembang. Pada umumnya dilakukan dalam bentuk investasi asing yang besarnya setara dengan potensi reduksi emisi GRK yang dapat dihasilkan oleh kegiatan tersebut.
Investasi asing yang dihitung sebagai
CDM hanya berdasarkan pada CER yang dapat dihasilkan 2. Multilateral CDM, yaitu dengan mekanisme serupa dengan bilateral CDM, tetapi berlangsung antara beberapa negara Annex I dengan beberapa negara berkembang melalui sebuah lembaga “clearinghouse”. 3. Unilateral CDM, yaitu pelaksanaan kegiatan yang memiliki potensi reduksi emisi GRK yang dibiayai dengan investasi domestik.
Pada gilirannya,
investor dalam negeri ini akan mendapatkan CER yang dapat dijual kepada negara Annex I
43 Proyek-proyek CDM harus memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal dalam hal lingkungan, sosal dan ekonomi.
Sebagai jaminan adanya
dampak positif proyek CDM bagi masyarakat lokal, maka diharuskan adanya partisipasi dari masyarakat di sekitar proyek CDM. Partisipasi masyarakat yang merupakan proses publik yang menjadi salah satu syarat CDM ini harus dilakukan sejak tahap awal perencanaan kegiatan CDM hingga proses monitoringnya.
Pemilik proyek diharuskan mengadakan proses publik yang
transparan dan obyektif untuk mendapatkan opini-opini dari masyarakat mengenai kegiatan proyek tersebut. Proses publik tidak hanya dilakukan oleh pemilik proyek, tapi juga oleh badan eksekutif CDM (CDM executive board, CDM-EB) yang dilakukan saat proyek didaftarkan dengan mempublikasikan dokumen proyek CDM dan meminta publik untuk memberikan opini atau komentar mengenai kegiatan proyek tersebut dalam jangka waktu 30 hari (Murdiarso, 2003). Kegiatan CDM dapat dibedakan atas kegiatan yang menurunkan emisi GRK pada sumber dan kegiatan yang menyerap GRK dari atmosfer. Kegiatan yang menurunkan emisi dari sumber biasanya terfokus pada sektor yang memanfaatkan energi, sementara kegiatan untuk menyerap GRK dari atmosfer dikenal juga dengan carbon sequestration seperti kehutanan (Pelangi, 2003). Sumber utama emisi GRK di sektor energi adalah pembakaran bahan bakar minyak dalam proses produksi dan prosesing sumber energi primer terutama minyak dan gas, pembangkit tenaga, dan proses pembakaran di industri-industri lainnya.
Umumnya sektor ini masih banyak menggunakan
teknologi yang tidak menghasilkan emisi GRK lebih rendah.
Berdasarkan
catatan KLH (2000) banyak teknologi rendah emisi GRK yang tersedia di pasaran untuk sector energi, namun demikian, karena berbagai sebab sebagian besar masih sulit diterapkan. Menurut IGES (2007) pengurangan emisi GRK di sektor energi umumnya didasarkan pada prinsip-prinsip berikut : •
Mengurangi penggunaan bahan bakar berbasis karbon dengan bahan bakar non-karbon atau kandungan karbon rendah,
•
Meningkatkan efisiensi pembakaran,
•
Meminimalkan kebocoran metan dan dekarbonisasi. Studi nasional di bidang energi (KLH, 2001) telah mengidentifikasi
kegiatan potensial untuk mengurangi emisi GRK (Tabel 4). Studi ini mengkaji
44 potensi berbagai opsi berdasarkan potensi teknis, biaya pengurangan emisi GRK (marginal abatement costs) menggunakan pendekatan top-down (MARKALbased) dan project-based.
Pada pendekatan berikutnya marginal abatement
costs dihitung dengan membagi perbedaan biaya antara dua opsi teknologi (base case dan mitigation technology) dengan perbedaan emisi GRK pada opsi teknologi yang sama. Biaya (dalam hal ini biaya per unit energi yang dihasilkan) ditaksir dengan memperhitungkan biaya investasi, biaya bahan bakar, biaya operasi dan pemeliharaan yang diperlukan dalam implementasi teknologi yang bersangkutan (IPCC CHG inventory method, 1996). Tabel 4. Teknologi rendah emisi pada industri minyak dan gas sektor hulu Industri
Kondisi Saat Ini
Minyak dan gas mentah/Hulu
Pembakaran gas bertekanan Rendah dan Sejenisnya
Opsi Teknologi mitigasi GRK potensial Penggunaan gas bakaran dari gas alam untuk substitusi dalam memproduksi minyak dan gas. Meminimalkan pembakaran gas pada lading minyak didaratan
Potensi Pengurangan GRK Sedikit atau tanpa memerlukan biaya (1,5 US$/t/CO2 Pengurangan CO2 pertahun : 10,5 juta ton Total Potensi pengurangan GRK 84 juta ton.
Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup 2000,2001
Lebih lanjut, telah diketahui bahwa pengurangan emisi dari pembakaran gas dan produksi batu bara serta penggunaan energi terbarukan merupakan proyek yang potensial untuk CDM di Indonesia.
Departemen ESDM telah
mengadakan inventarisasi potensi energi terbarukan di Indonesia, demikian juga potensi produksi minyak dan batu bara di seluruh propinsi menunjukkan potensi volume proyek CDM energi di Indonesia. Sebagai contoh, perkiraan saat ini menunjukkan bahwa Indonesia membakar sekitar 4.6 milyar m3 (meter kubik) gas per tahun, yang menghasilkan sekitar 11 juta ton emisi CO2 per tahun. Pemerintah Indonesia yakin bahwa gas bakaran dapat dimasukkan ke dalam pembangkit tenaga listrik skala kecil dalam rangka memenuhi kebutuhan energi yang semakin meningkat, dan pada saat yang sama menghasilkan pengurangan emisi GRK (KLH 2001). Selain itu, potensi energi terbarukan juga sangat besar. Banyak teknologi rendah emisi di sektor energi telah tersedia di pasar dunia, tetapi banyak pula diantara teknologi tersebut intensif modal dan seringkali
45 sangat khas untuk kondisi lokal tertentu, sebagai contoh, dengan teknologi penghambat emisi metan misal capturing dan menggunakan atau memompa kembali residu dan purge gases, penggunaan pneumatic devices untuk mengendalikan atau menghilangkan kebocoran, perbaikan dan penggantian pipelines, dan penggunaan shut-off valves otomatis (KLH, 2001). Kendala dari kebijakan juga umum dijumpai, misalnya, kebijakan pemberian subsidi bagi bahan bakar fosil tidak mendorong pengalihan ke sumber energi terbarukan. Namun demikian Pemerintah Indonesia secara perlahan mengurangi subsidi bahan bakar fosil, yang mengakibatkan harga minyak meningkat dari Rp 1.400 per liter pada tahun 2001 menjadi Rp 2.400 per liter pada awal tahun 2005, dan kenaikan yang tajam pada akhir tahun 2005. Hal ini dapat meningkatkan daya saing energi terbarukan. Kendala kebijakan dan regulasi lain yang membatasi implementasi proyek gas flaring adalah kontrak bagi hasil. Ketentuan yang ada hanya mengatur bagi hasil untuk produksi minyak dan gas tetapi tidak ada kebijakan bagaimana pengaturan atas sertifikat CDM (certified emissions reduction/CERs) karena isu ini masih dalam tahap diskusi di instansi terkait. Kendala lain adalah tingginya investasi
yang
diperlukan
untuk
memecahkan
masalah
teknis,
seperti
peningkatan dan pemeliharaan sistim pipeline untuk mengurangi kebocoran. Studi yang dimaksudkan untuk menangani masalah ini sedang berjalan yaitu Indonesia's Carbon Finance Development for Gas Flaring Reduction, yang didanai Bank Dunia (IGES, 2007).
2.13.
Ekonomi Sumber Daya Alam (SDA) dan Lingkungan Model produksi neoklasik mengasumsikan kapital dan tenaga kerja
(labor) sebagai input primer untuk produksi, Konsisten dengan asumsi ini, model neoklasikal mengasumsikan kelangkaan (scarcity) diasumsikan sebagai harga nyata SDA atau biaya-biaya ekstraksi kapital (K) – labor (L) sesuai dengan indikator-indikator empiris kelangkaan (scarcity) (Cleveland, 1991). Hasil penelitian Barnett dan Morse (1963) menyatakan bahwa biaya K – L per unit output ekstraktif cenderung menurun, suatu kecenderungan yang mereka sebut sebagai sebagai self generating perubahan teknologi. Suatu model biofisik proses ekonomi mengasumsikan bahwa K dan L adalah input antara yang dihasilkan dari hanya faktor produksi primer: energi dan bahan yang rendah entrophy (low entrophy energy and matter). Model biofisik
46 kelangkaan SDA: biaya energi langsung dan tidak langsung dari ekstraksi SDA akan meningkat dengan adanya penurunan stok (akibat deplesi), karena deposit dengan kualitas rendah memerlukan lebih banyak energi untuk diekstraksi, ditingkatkan kualitasnya dan diubah menjadi bahan-bahan mentah yang berguna (Cleveland, 1991). Peranan SDA sebagai lingkungan alam adalah sumber bahan mentah (barang sumber daya) dan sebagai pengolah dan penampung limbah (Suparmoko, 1995). Fungsi produksi adalah hubungan input dan output, secara matematis digambarkan dengan persamaan (Suparmoko, 1995). Y = f (K, L, R, T, S) dengan Y, K, L, R, T, dan S berturut-turut adalah jumlah produksi, kapital, tenaga kerja, jumlah barang SDA, teknologi, dan faktor sosial. Produksi barang dan jasa merupakan hasil positif, sedangkan limbah / sampah adalah hasil negatif. Dengan demikian justru hasil yang negatif itulah yang
harus
mendapatkan
perhatian
lingkungan (Suparmoko, 1995). pembangunan
ekonomi
dan
dalam
pembangunan
berwawasan
Terdapat hubungan yang positif antara pencemaran
lingkungan.
Semakin
giat
pembangunan ekonomi semakin tinggi pula derajat pencemaran lingkungan (Suparmoko, 1995).
Kegiatan produksi migas menghasilkan sesuatu yang
berguna untuk meningkatkan kesejahteraan hidup penduduk, tetapi di lain pihak karena adanya pencemaran lingkungan akan merupakan faktor yang menekan kesejahteraan hidup penduduk, seperti dapat dilihat pada Gambar 15. (+)
Eksploitasi Migas Pertumbuhan Ekonomi
Penduduk (-)
Pencemaran Lingkungan Menipisnya Cadangan Migas
Gambar 15.
Hubungan antara jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi dan eksploitasi migas (dimodifikasi dari Suparmoko, 1995).
47 Dengan meningkatnya jumlah penduduk, perekonomian harus lebih banyak menyediakan barang/jasa (dalam hal ini contohnya produk migas) untuk mempertahankan taraf hidup suatu bangsa. Namun peningkatan produksi migas akan menuntut eksploitasi SDA yang harus diambil dari persediannya (reservoir/cadangan). Sebagai akibatnya SDA migas akan semakin menipis (depleted) dan pencemaran lingkungan akan meningkat pula sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi (Suparmoko, 1995).
Jadi pembangunan ekonomi
menghasilkan pertumbuhan ekonomi disertai dengan dua macam dampak, yaitu dampak positif berupa tersedianya barang migas yang penting dalam pembangunan ekonomi dan dampak negatif berupa pencemaran lingkungan serta menipisnya SDA migas. nyamannya
kehidupan,
Pencemaran lingkungan berupa kurang
gangguan
kesehatan,
dan
kerusakan
SDA.
Berkurangnya cadangan migas: mengurangi kemudahaan dalam eksploitasi migas, harus menjelajahi daerah-daerah terpencil dan sulit (remote area) (Suparmoko, 1995).
2.14. Pengelolaan Lingkungan Sosial Tidak bisa dipungkiri bahwa aspek sosial dalam pengelolaan lingkungan, khususnya dalam pemanfaatan SDA, kurang mendapat perhatian (KLH, 2002). Kemudahan memperoleh akses dalam pemanfaatan SDA berkorelasi dengan terjadinya penumpukan kekayaan pada sebagian kecil orang dan pemodal asing. Sementara sebagian besar warga masyarakat masih tetap berada pada garis kemiskinan. Krisis ekonomi juga menambah persoalan dalam kaitannya dengan pengelolaan SDA, yaitu adanya kecenderungan berupaya membawa bangsa ini keluar dari krisis ekonomi, dengan menguras SDA. Pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan SDA masih belum memperhatikan secara sungguh-sungguh aspek sosial (KLH, 2000). Kelompok masyarakat (komunitas) yang selama ini mengembangkan potensi SD sosial yang terbukti efektif bagi pelestarian lingkungan hidup, merupakan
mitra
pengelolaan
lingkungan
hidup
yang
perlu
difasilitasi.
Banyaknya keluhan dari berbagai pihak tentang keterbatasan pemahaman tentang lingkungan sosial dalam kerangka pengelolaan lingkungan hidup (KLH, 2002).
48 Perusahaan minyak bumi cenderung membangun infrastruktur dan tinggal di dalam dunianya sendiri yang secara alamiah merupakan lokasi enclave (Lindblad dalam Cleary dan Eaton, 1992).
Mereka membangun perumahan
pegawai yang dilengkapi dengan fasilitas lengkap di dalam kompleks. Keadaan yang demikian akan menimbulkan gap yang besar antara perusahaan dan masyarakat lokal. Gap ini akan semakin besar jika perusahan tidak berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan pembangunan masyarakat di sekitarnya (Hilarius, 2000). Perusahaan migas memang sudah berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat lokal tetapi hal ini belum seimbang jika dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh selama ini. Masyarakat selalu menuntut agar perusahaan migas mau berpartisipasi lebih besar dalam pembangunan. Masalah lain yang menimbulkan kecemburuan sosial adalah penerimaan tenaga kerja.
Menurut pengakuan masyarakat selama ini perusahaan migas tidak
mengutamakan orang lokal dalam penerimaan tenaga kerja (Hilarius, 2000). Ketika eksploitasi minyak dan gas berlangsung, tuntutan masyarakat di daerah sekitar semakin keras untuk menghentikan polusi dan mendapatkan kompensasi yang adil. Tuntutan mereka mencakup kerusakan tanah, kehilangan mata pencaharian dan perlakuan adil di tempat bekerja serta pembagian keuntungan sampai tuntutan agar perusahaan-perusahaan tersebut hengkang dari wilayah mereka (Down To Earth, 2001).
Tidak dipungkiri bahwa aspek
sosial, ekonomi dan budaya dalam pengelolaan lingkungan, khususnya dalam pemanfaatan sumber daya alam (SDA), kurang mendapat perhatian.
Masih
begitu banyak persoalan sosial yang dihadapi bangsa. Indonesia akhir-akhir ini, mengalami berbagai konflik, khususnya konflik atau friksi sosial yang berkaitan dengan benturan kepentingan pemanfaatan SDA, kesenjangan ekonomi dan akses pada pemanfaatan SDA (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2000). Krisis ekonomi juga menambah persoalan dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA), yaitu adanya kecenderungan berupaya membawa bangsa ini keluar dari krisis ekonomi, dengan menguras sumber daya alam secara berlebihan. Dengan demikian, bukan tidak mungkin pengelolaan SDA kembali akan mengabaikan kepentingan sosial (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2000).
Sebagian kelompok masyarakat (komunitas) yang
selama ini mengembangkan potensi sumber daya sosial yang terbukti efektif bagi pelestarian fungsi lingkungan, adalah mitra pengelolaan lingkungan hidup yang perlu difasilitasi. Pemerintah diharapkan lebih giat mendorong masyarakat agar
49 semakin memiliki kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dirinya dalam mengelola lingkungan hidup.
Sehubungan dengan itu, selain diperlukan
profesionalitas dari pihak-pihak terkait yang mengelola lingkungan hidup, juga diperlukan
dukungan
panduan
tentang
pengelolaan
lingkungan
sosial
(Budhisantoso, 2002). Kegiatan
pertambangan
migas
selalu
terkait
dengan
komunitas
masyarakat sekitarnya (Warnika, 2006). Komunitas masyarakat yang terjangkau kegiatan operasi migas ini selalu diberi penjelasan dan sosialisasi sejak dini mengenai konsekuensi kegiatan hulu migas, dengan harapan dapat membangun rasa saling percaya terhadap masalah-masalah yang dikawatirkan akan timbul. Keterlibatan masyarakat dalam mendukung kelangsungan kegiatan eksploitasi migas sangat berperan penting bagi kelangsungan dan keberhasilan industri migas yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Hubungan timbal balik tersebut dituangkan dalam bentuk keterbukaan yang nyata antara pihak masyarakat dan perusahaan migas termasuk penyebarluasan informasi tentang kegiatan program pengelolaan lingkungan dan program pengembangan masyarakat (Warnika, 2006). Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) oleh korporasi besar, khususnya di sektor industri ekstraktif (minyak, gas, dan pertambangan lainnya), saat ini sedang disorot tajam (Wibowo, 2004). Kasus Buyat yang terjadi tahun 2004 dan Lapindo Brantas yang sekarang menjadi EMP Brantas (2006) adalah contoh terbaru, tentang bagaimana realisasi tanggung jawab sosial itu atas terjadinya pencemaran lingkungan. CSR berkaitan dengan peran aktif masyarakat sipil dalam memaknai dan turut membentuk konsep kemitraan yang merupakan salah satu kondisi yang dibutuhkan dalam mewujudkan CSR. Dalam artikel How Should Civil Society (and The Government) Respond to Corporate Social Responsibility? Hamann dan Acutt (2003) menelaah motivasi yang mendasari kalangan bisnis menerima konsep CSR. Telaah Hamann dan Acutt (2003) sangat relevan dengan situasi implementasi CSR di Indonesia dewasa ini.
Khususnya dalam kondisi keragaman pengertian konsep dan
penjabarannya dalam program-program berkenaan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Keragaman
pengertian
konsep
CSR
adalah
akibat
logis
dari
sifat
pelaksanaannya yang berdasarkan prinsip kesukarelaan (Wibowo, 2004). Tidak
50 ada konsep baku yang dapat dianggap sebagai acuan pokok, baik di tingkat global maupun lokal. Secara internasional saat ini tercatat sejumlah inisiatif code of conduct implementasi CSR.
Inisiatif itu diusulkan, baik oleh organisasi internasional
independen (Sullivan Principles, Global Reporting Initiative), organisasi negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), juga organisasi nonpemerintah (Caux Roundtables), dan lain-lain.
Di Indonesia,
acuannya belum ada. Jika CEO memiliki kesadaran moral bisnis berwajah manusiawi, besar kemungkinan korporasi tersebut menerapkan kebijakan CSR yang layak.
Sebaliknya, jika orientasi CEO-nya hanya pada kepentingan
kepuasan pemegang saham (produktivitas tinggi, profit besar, nilai saham tinggi) serta pencapaian prestasi pribadi, boleh jadi kebijakan CSR sekadar kosmetik (Wibowo, 2004).
Selanjutnya dikatakan bahwa sifat CSR yang sukarela,
absennya produk hukum yang menunjang dan lemahnya penegakan hukum telah menjadikan Indonesia sebagai negara ideal bagi korporasi yang memang memperlakukan CSR sebagai kosmetik. Dalam hal ini yang lebih dipentingkan adalah show dari buku laporan tahunan, sehingga Laporan Sosial Tahunannya tampil mengkilap, lengkap dengan tampilan foto aktivitas sosial serta dana program pembangunan komunitas yang telah direalisasi. Salah satu bentuk kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan adalah kegiatan pengembangan masyarakat (community development).
Kontribusi
Kontraktor KKS bagi pengembangan masyarakat telah lama dan terus dilakukan. Program
pengembangan
masyarakat
bukan
sekadar
“pemberian”
tetapi
merupakan bentuk kepedulian sosial BPMIGAS-KKKS dan keinginan mendukung pemerintah untuk membangun masyarakat yang lebih maju dan sejahtera (Warnika, 2006). Program pengembangan masyarakat (community development, CD) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi Indonesia. Selama kurun waktu dua tahun, 2002 hingga saat ini berbagai program pengembangan masyarakat telah dilaksanakan dengan difokuskan terhadap ekonomi masyarakat, pendidikan & kebudayaan, kesehatan, fasilitas sosial & fasilitas umum dan lingkungan (Sudibyo, 2004). 2.15.
Pendekatan Sistem Sistem analisis adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mulai
dikembangkan kurang lebih pada tahun 1968. Sistem sendiri diartikan sebagai
51 suatu gugus atau kumpulan dari suatu elemen yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama secara holistik.
Hal sesuai dengan pendapat
Manetsch dan Park (1977) yang mengatakan bahwa sistem adalah suatu gugus atau kumpulan dari elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk mencapai tujuan. Menurut O’Brien (1999) sistem merupakan bentuk atau struktur yang memiliki lebih dari dua komponen yang saling berinteraksi secara fungsional. Dengan demikian, maka setiap sistem harus memiliki komponen atau elemen yang saling berinteraksi (terkait) dan terorganisir dengan suatu tujuan atau fungsi tertentu. Sistem mencakup bagian fisik dan manusia yang hidup di dalamnya. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan sistem adalah salah satu cara
penyelesaian
masalah
yang
dimulai
dengan
mendefinisikan
atau
merumuskan tujuan dan hasilnya adalah sistem operasi yang secara efektif dapat
digunakan
untuk
menyelesaikan
permasalahan
(Eriyatno,
1998).
Selanjutnya dikatakan bahwa pendekatan sistem juga akan memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi dan mendesain sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan secara lintas-disiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang sama. Pada pendekatan sistem ditekankan perlunya pendekatan lintas disiplin guna memahami dunia nyata secara efektif. Pendekatan sistem ini diperlukan terutama untuk memahami dan menyelesaikan masalah lingkungan.
Hal ini
disebabkan permasalahan yang ada di lingkungan pada umumnya merupakan permasalahan yang kompleks dan saling kait-mengkait serta berinteraksi satu sama lain, oleh karenanya, maka diperlukan berpikir lintas disiplin sehingga pemahaman dan penyelesaian dari masalah dapat dilakukan secara totalitas, mendalam dan terstruktur. Struktur dalam sistem juga harus merupakan struktur yang terintegrasi agar informasi sistem dapat dipahami secara utuh dan bukan informasi parsial, sehingga struktur informasi yang diperoleh akan terintegrasi yang mudah untuk dipelajari (Forrester, 1972).
2.15.1. Sistem Dinamik Salah satu alat yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks melalui pendekatan sistem adalah menggunakan konsep model simulasi
sistem
dinamis.
Adanya
simulasi
ini
memungkinkan
untuk
mengkomputasikan jalur waktu dari variabel model untuk tujuan tertentu dari
52 input sistem dan parameter model.
Berdasarkan hal tersebut, maka model
simulasi diharapkan dapat memberikan penyelesaian dunia riil yang kompleks (Eriyatno, 2003). Adapun yang dimaksud dengan sistem dinamis adalah sistem yang memiliki variabel yang dapat
berubah sepanjang waktu, sebagai akibat dari
perubahan input dan interaksi antar elemen-elemen sistem. Menurut Forrester (1961) dalam Coyle (1955) dalam Atmoko (2001), sistem dinamik merupakan investigasi karakteristik umpan balik informasi dari sistem (yang dikelola) dan penggunaan model-model untuk meningkatkan disain bentuk organisasional dan pedoman kebijakan.
Menurut Djojomartono (2000) nilai output dari sistem
dinamis sangat tergantung pada nilai sebelumnya, terutama yang berasal dari variabel input. Dalam menyusun model sistem dinamis, hal pertama yang harus dilakukan adalah menentukan struktur model. Struktur model pada dasarnya akan memberi bentuk pada sistem dan akan mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku sistem itu sendiri terbentuk dari kombinasi perilaku simpal umpan balik (causal loops) yang menyusun struktur model. Perilaku model ini selanjutnya disederhanakan menjadi struktur dasar yaitu mekanisme dari masukan, proses, keluaran. Berdasarkan perilakunya, memperlihatkan bahwa unjuk kerja (level) dari model sistem dinamis, berkerja menurut perubahan waktu atau bersifat dinamis. Menurut De Greene (1982) dalam Schoderbek et al. (1985) dan Atmoko (2001) karakteristik sistem dinamik ada empat, yaitu : i.
Sistem tertutup, pada sistem tertutup ini, sebenarnya sistem tidak benarbenar tertutup, karena masalah dan energi masuk ke dalam sistem dari lingkungannya. Namun karena feedback loop tidak dapat melintasi batasan sistem maka sistem dapat dipertimbangkan sebagai sistem tertutup.
ii. Feedback loops. Pada dasarnya di dalam sistem ada dua umpan balik, yakni pertama umpan balik positif yang menunjukan naik/turunnya akibat dengan sebab-akibat searah. Kedua umpan balik negatif yakni naik/turunnya penyebab mengakibatkan pengaruh sebaliknya yaitu menurunkan atau menaikkan akibat. iii. Variabel state dan rate (variabel state) yang mengindikasikan kondisi atau akumulasi dari sistem pada waktu tertentu. Adapun yang dimaksud dengan variabel rate adalah aliran yang mengatur ‘kuantitas’ dalam state.
53 iv. Rate mengontrol melalui kebijakan (perilaku sistem dikontrol oleh rate).
2.15.2. Pengertian Model dan Permodelan Menurut Fauzi dan Anna (2005) model tidak lain adalah representasi suatu realitas dari seorang pemodel. Hal ini mengandung arti bahwa model adalah jembatan antara dunia nyata (real world) dengan dunia berpikir (thinking) untuk memecahkan suatu masalah. Proses penjabaran atau merenprentasikan ini disebut modelling atau permodelan yang tidak lain merupakan proses berpikir melalui sekuen yang logis. Secara skematis, proses permodelan tersebut dapat digambarkan pada Gambar 16.
Ditampilkan melalui indra persepsi Dunia Nyata Permodel Dunia Model Ditampilkan kembali sebagai hasil proses berpikir Gambar 16. Intersepsi dunia model dengan dunia nyata (Fauzi dan Anna, 2005) Dari Gambar 14 terlihat bahwa model dibangun atas proses berpikir (melalui indra fisik) dari dunia nyata yang kemudian diinterprestasikan melalui proses berpikir, sehingga menghasilkan pengertian dan pemahaman mengenai dunia nyata. Pemahaman ini tidak bisa sepenuhnya menggambarkan realitas dunia nyata (daerah irisan antara dunia nyata dengan dunia model), sehingga di dalam permodelan dikenal istilah “there is no such thing as one to one maping” (tidak ada peta satu banding satu). Selain itu, model dirancang bukan untuk memecahkan masalah sekali untuk selamanya (once and for all) atau memecahkan semua masalah. Di dalam model tidak ada istilah “there is no such thing as solution for the real life problem”yang menjadi kunci dari semua masalah, sehingga dalam permodelan, penting untuk merevisi dan mengupgrade strategi. Secara umum segala sesuatu berubah, mengalir dan tidak ada yang tetap, oleh karena itu maka permodelan juga dapat dikatakan sebagai
54 proses menerima, memformulasikan, memproses dan menampilkan kembali persepsi dunia luar Fauzi dan Anna (2005). Di dalam proses interprestasi dunia nyata tersebut ke dalam dunia model, berbagai proses transformasi atau bentuk model bisa dilakukan.
Ada model
yang lebih mengembangkan interprestasi verbal (seperti bahasa), ada yang diterjemahkan kedalam bahasa simbolik, seperti bahasa matematika, sehingga menghasilkan model kuantitatif. Untuk menjembatani dunia nyata yang dalam persepsi manusia bersifat kualitatif menjadi model yang bersifat kuantitatif yang kokoh. Tom Peters (dalam Fauzi dan Anna, 2001), seorang ahli permodelan pernah mengatakan bahwa “if you can’t measure it, you can’t manage it”, dengan kata lain pengukuran dalam membangun model sangat penting, sebab dapat menentukan seberapa jauh model yang dibangun bisa dikendalikan dan dikelola (Fauzi dan Anna, 2005). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 17.
Persepsi Kualitatif Dunia Nyata
Measuring Tools & Decision Process
Model kuantitatif untuk pengambil keputusan
The need for a measurable & numirical scale system Gambar 17. Transformasi kualitatif-kuantitatif (Fauzi dan Anna, 2005) Berdasarkan Gambar 17 terlihat bahwa boks di sebelah kiri dan boks di sebelah kanan merupakan “esensi seni” dari permodelan, sementara boks di tengah merupakan esensi pemecahan dari model.
Oleh karena itu, dalam
permodelan dikenal istilah “modeling is an art, solving is a science” (permodelan adalah seni, sementara memecahkan model adalah sains) (Fauzi dan Anna, 2005). 2.15.3. Jenis-Jenis Model Secara umum model dapat dikatagorikan berdasarkan skala waktu dan tingkat kompleksitas yang dicerminkan dari aspek ketidakpastian. Jika model tidak mempertimbangkan aspek waktu, model tersebut kita sebut model statis. Jika aspek waktu (intertemporal) dipertimbangkan, model tersebut kita sebut model dinamik. Jika kemudian model yang dibangun mempertimbangkan aspek ketidakpastian yang lebih menggambarkan realitas dunia nyata, model tersebut kita sebut model yang bersifat deterministic. Jika ketidakpastian dimaksudkan ke
55 dalam model, model tersebut kita sebut model yang bersifat stochastic. Interaksi antara skala waktu dan ketidak pastian akan menghasilkan model yang lebih kompleks lagi, seperti model yang dinamis-stochastic. Menurut Fauzi dan Anna (2005) jenis-jenis model tersebut secara digrafis dapat dilihat pada Gambar 18. Pada Gambar 18 arah panah dari kiri ke kanan menggambarkan derajat kompleksitas model. Hal ini menunjukkan bahwa semakin jauh panah bergerak ke kanan, semakin rumit model yang dibangun. M odel
S k a la W a k t u ( t im e s c a la )
T in g k a t K e p a s tia n
D ip e r tim bangkan?
Y
D im a s u k kan?
N
N
S t a t ik
Y
D in a m ik
S ta tik D e te r m in is tik
D in a m ik D e t e r m in is tik
Sederhana
S to c h a s tic
D in a m ik S to c h a s tic
Kompleks
Gambar 18 Jenis-jenis model (Sumber: Fauzi dan Anna 2005) 2.15.4. Proses Pemodelan Dalam membangun sebuah model diperlukan beberapa tahapan agar dihasilkan model yang reliable. Secara umum tahapan-tahapan tersebut dapat dilihat pada Gambar 19. Dari Gambar 19 terlihat bahwa tahapan identifikasi, khususnya identifikasi masalah yang dibangun dari berbagai pertanyaan, menjadi sangat penting untuk membangun suatu model.
Kelemahan mengidentifikasi
masalah sering menjadi penyebab tidak validnya suatu model karena menjadi semacam tautology. Setelah identifikasi masalah dilakukan, langkah berikutnya dalam membangun model adalah membangun asumsi-asumsi.
Hal ini diperlukan
karena sebagaimana dikemukakan sebelumnya, model adalah penyederhanaan realitas yang kompleks. Oleh karena itu, setiap penyederhanaan memerlukan asumsi, sehingga ruang lingkup model berada dalam koridor permasalahan yang akan dicari solusi atau jawabannya (Fauzi dan Anna 2005). Setelah asumsi
56 dibangun, langkah berikutnya adalah membuat kontruksi dari model itu sendiri. Hal ini dapat dilakukan baik melalui hubungan fungsional dengan cara membuat diagram, alur, maupun persamaan-persamaan matematis. Konstruksi model ini dapat dilakukan baik dengan bantuan computer software maupun secara analitis. Tahapan berikutnya yang cukup krusial dalam membangun model adalah menentukan analisis yang tepat. Tahapan ini adalah mencari solusi yang sesuai untuk menjawab pertanyaan yang dibangun pada tahap identifikasi.
Dalam
pemodelan, analisis ini biasanya dilakukan dengan dua cara, pertama dengan melakukan optimisasi, kedua dengan melakukan simulasi. Optimisasi dirancang untuk mencari solusi “what should happen”
(apa yang seharusnya terjadi),
sementara simulasi dirancang untuk mencari solusi “what would happen” (apa yang akan terjadi). Masing-masing analisis tersebut di atas memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga keduanya dapat dipergunakan sesuai dengan kebutuhan permasalahan yang harus dijawab (Fauzi dan Anna, 2005). Tahap selanjutnya dalam pengembangan model adalah melakukan interpretasi atas hasil yang dicapai dalam tahap analisis. Interpretasi ini penting dilakukan untuk mengetahui apakah hasil tersebut memang masuk akal atau tidak. Interpretasi juga diperlukan untuk mengkomunikasikan keinginan si pemodel dengan hasil analisis yang dilakukan menggunakan komputer atau alat pemecah model lainnya (solver). Tahapan ini diperkuat dengan tahapan Id e n tifik a s i
M e m b a n g u n A s u m s i K o n s tru k s i M o d e l A n a lis is
In te rp re ta s i
N
V a lid a s i Y
Im p le m e n ta s i
Gambar 19. Sekuen proses pemodelan (Sumber: Fauzi dan Anna 2005)
57 berikutnya, yaitu validasi model, yang tidak hanya menginterpretasikan model, tapi juga melakukan verifikasi atas keabsahan model yang dirancang dengan asumsi yang dibangun sebelumnya. Model yang valid tidak saja mengikuti kaidah-kaidah teoritis yang sahih, namun juga memberikan intrepretasi atas hasil yang diperoleh mendekati kesesuaian dalam hal besaran, uji-uji standar seperti statistik, dan prinsip-prinsip matematik lainnya, seperti first order condition, second order condition, dan sebagainya. Jika sebagian besar standar verifikasi ini dapat dilalui, model dapat diimplementasikan. Namun, jika sebaliknya, maka konstruksi model harus dirancang ulang (Fauzi dan Anna, 2005). Proses membangun model dapat juga diikuti melalui loop permodelan sebagaimana digambarkan pada Gambar 20 meski secara prinsip langkah pemodelan yang dijabarkan Gambar 20 tidak jauh berbeda dengan apa yang telah diuraikan sebelumnya (Gambar 19). Pada Gambar 20 ada beberapa langkah spesifik yang harus ditempuh, seperti validasi dan verifikasi, misalnya implementasi komputer. Sama
halnya
dengan sekuen permodelan, pada
Analysis Stage
Decision Problem
Mathematical Model No
Control Stage Validated? Implementation No Yes Design Stage
Yes Verified?
Interpreted Solution
Computer Implementation
Gambar 20. Loop permodelan (Sumber: Fauzi dan Anna, 2005)
langkah looping pemodelan, penentuan masalah merupakan titik awal sekaligus akhir dari membangun model.
Setelah masalah diidentifikasikan, selanjutnya
dilakukan tahapan analisis yang tidak lain dari membangun model “matematik” atau mental modeling.
Hasil dari langkah ini harus divalidasi terlebih dahulu
berdasarkan kaidah-kaidah teori dan permasalahan yang akan dipecahkan. Jika
58 tidak memenuhi syarat validasi, pemodel harus kembali memformulasikan masalahnya secara benar. Jika hasil validasi memenuhi syarat, baru kemudian dilakukan implementasi komputer, baik melalui optimisasi maupun simulasi, harus
diverifikasi
terlebih
dahulu
sebelum
diinterpretasikan
dan
diimplementasikan. Keseluruhan proses tersebut baru dapat digunakan untuk mengimplementasikan permasalahan awal yang telah dibangun sebelumnya (Fauzi dan Anna 2005).
Tahapan simulasi model sebagai alat bantu dalam
analisis kebijakan dapat dilihat pada Gambar 21. a. Pembuatan Konsep Tahap pertama adalah mengenali permasalahan, mencari siapa yang menanganinya, dan mengapa masalah tersebut terjadi. Salah satu yang menarik dari system dynamics
ini adalah mempelajari ulang permasalahan untuk
mendapatkan solusi. Pada tahap ini suatu kejadian dipelajari sehingga mendapatkan suatu pola. Setelah mendapatkan suatu pola maka merumuskan suatu permasalahan.
dapat
Pola tersebut dinamakan mental model
(Muhammadi et al., 2001).
Masalah Tidak Valid
Pembuatan Konsep
Valid Validasi
Diagram Simpal Kausal
Uji Sensitivitas Analisis Kebijakan
Grafik/Tabel
Pembuatan Model
Uji Simulasi
Data
Model
Gambar 21.
Tahap-tahap pembuatan simulasi model (Sumber: Muhammadi et al., 2001)
Setelah memahami permasalahan, maka mental model yang dihasilkan dijabarkan dalam sebuah model diagram yang disebut dengan diagram simpal
59 kausal atau causal loop diagram (CLD).
Causal loop diagram adalah
pengungkapan tentang kejadian hubungan sebab-akibat ke dalam bahasa gambar tertentu.
Panah yang menggambarkan hubungan, saling mengait
sehingga membentuk sebuah causal loop, dimana hulu panah mengungkapkan sebab dan ujung panah mengungkapkan akibat (Muhammadi et al., 2001).
b. Pembuatan Model Setelah CLD terbentuk, kemudian dibangun sebuah model komputer yang disebut dengan diagram alir atau stock flow diagram (SFD). Pada tahap ini dapat dipilih satu dari beberapa perangkat lunak yang tersedia misalnya Powersim 2.5. CLD diterjemahkan lebih luas dengan menggunakan simbolsimbol komputer sesuai dengan perangkat lunak yang dipilih. Simbol-simbol tersebut meliputi simbol yang menggambarkan stock (level), flow (rate), auxiliary, dan konstanta (Muhammadi et al., 2001).
c. Memasukkan Data Ke Dalam Model (Data Input) Untuk dapat menganalisis sebuah model, maka data yang diperoleh dari observasi lapangan (baik data primer maupun data sekunder) diinput ke dalam diagram alir (SFD). Metode memasukkan data ke dalam model sangat bergantung pada jenis data dan sebagai unsur apa data tersebut dimasukkan. Data dapat dimasukkan ke dalam model sebagai stock, sebagai flow, sebagai auxiliary, dan dapat pula sebagai konstanta (Muhammadi et al., 2001).
d. Simulasi Model Berdasarkan model/diagram alir/struktur yang telah dimasukkan data, dilakukan simulasi untuk mendapatkan hasil. Sebelum simulasi dilakukan terlebih dahulu ditentukan spesifikasi simulasi yang meliputi kurun waktu simulasi (time range), metode integrasi (integration method), dan inkremen waktu (time step). Keluaran hasil simulasi dapat berupa grafik perilaku waktu (time graph) atau tabel perilaku waktu (time table) (Muhammadi et al., 2001). e. Validasi Model Validasi model adalah kegiatan membandingkan hasil simulasi dengan karakteristik patron serta data empirik, sehingga model ini dapat dinyatakan sebagai model yang valid dan dapat digunakan untuk menirukan keadaan dunia nyata.
Validasi utama yang dilakukan adalah uji
60 konsistensi dimensi dan validasi output dengan menggunakan metode statistik sederhana yaitu menghitung AME (absolute mean error) atau AVE (absolute variation error) antara data hasil simulasi dengan data empirik (Muhammadi et al., 2001).
f. Uji Sensitivitas untuk Intervensi Model dan Analisis Kebijakan Kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan.
Sebelum menentukan kebijakan
yang akan diambil, maka berdasarkan model yang telah dinyatakan valid ditentukan variabel yang memiliki sensitivitas tinggi, dengan melakukan uji sensitivitas.
Tujuan uji sensitivitas adalah untuk mendapatkan titik
pengungkit (leverage point) yang digunakan sebagai titik intervensi kebijakan.
Penentuan kebijakan yang optimal dapat ditempuh melalui
intervensi ini (Muhammadi et al., 2001).