4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Minyak Bumi Minyak bumi adalah suatu campuran komplek yang sebagian besar komponen dan hidrokarbon mengandung karbon dan hidrogen serta sejumlah kecil unsur-unsur yaitu nitrogen, sulfat, oksigen termasuk unsur-unsur logam seperti vanadium, ferrum dan nikel (Sanusi dan Sugeng 2009). Berdasarkan perbedaan hidrokarbon yang terkandung di dalamnya, baik perbedaan jenis, struktur maupun komposisi campurannya, minyak bumi dibedakan dalam 3 jenis yaitu
minyak
bumi
parafinik
(alkana),
minyak
bumi
aspaltik
(naftenik/sikloparafin/sikloalkana) dan minyak bumi campuran (Sanusi dan Sugeng 2009). Minyak mentah mengandung senyawa hidrokarbon sekitar 50-98%. Minyak berdasarkan kelarutannya dalam pelarut organik dapat dibedakan : 1) Hidrokarbon jenuh yaitu alkana dengan
struktur C n H 2n+2 (alifatik) dan C n H 2n (alisiklik)
dengan n<40. Hidrokarbon jenuh paling banyak terkandung dalam minyak mentah. 2) Hidrokarbon aromatik, yaitu kelas monosiklik aromatik BTEX (benzena, toluena, etilbenzena, xilen) dan PAH ( naftalena, antrasena, fenantrena). PAH bersifat karsinogenik atau dapat ditransformasi oleh mikroba menjadi senyawa karsinogen, sehingga menjadi senyawa penting dalam menjaga kualitas lingkungan; 3) Resin, yaitu senyawa polar mengandung nitrogen, sulfur, oksigen (piridin dan thiopen), sehingga disebut juga senyawa NSO; 4) Aspalth, yaitu senyawa dengan berat molekul besar dan mengandung logam berat nikel, vanadium dan besi. Namun variasi minyak mentah berbeda di berbagai tempat (Mangkoedihardjo 2005).
2.2 Karakteristik PAH PAH adalah kelompok pencemar organik persisten (POP) khas yang terdiri dari ratusan kandungan individual. Komponen ini terdiri dari 2 atau lebih rantai benzena yang terdiri dari atom hidrogen dan karbon (Douben 2006). Secara umum terdapat 50 jenis senyawa yang sering digunakan dalam studi environmental
5
forensic investigations. Namun hanya 16 senyawa yang menurut USEPA (united states environmental protection agency) sangat berbahaya keberadaannya di lingkungan (Tabel 2). Beberapa senyawa tersebut adalah PAH yang tidak tersubstitusi (parent) dan non-alkil (Gambar 1dan 2)
Tabel 2 Jenis PAH yang biasa digunakan dalam studi environmental forensic investigations (∑PAH 50 ) dengan 16 jenis PAH sebagai polutan prioritas menurut USEPA (∑PAH 16 ) (Boehm 2006). Jenis PAH Naftalena* C1-naftalena C2-naftalena C3-naftalena C4-naftalena Bifenil Asenaftilena* Asenaftena* Dibenzofuran Fluorena* C1-Fluorena C2-Fluorena C3-Fluorena Antrasena* Fenantrena* C1-fenantrena/antrasena C2-fenantrena/antrasena C3-fenantrena/antrasena C4-fenantrena/antrasena Dibenzotiofena C1- dibenzotiofena C2- dibenzotiofena C3- dibenzotiofena C4- dibenzotiofena Fluorantena* *16 PAH polutan prioritas USEPA
Singkatan NAP NAP-C1 NAP-C2 NAP-C3 NAP-C4 BPH ACL ACE DBF FLU FLU-C1 FLU-C2 FLU-C3 ANT PHE PHE-C1 PHE-C2 PHE-C3 PHE-C4 DBT DBT-C1 DBT-C2 DBT-C3 DBT-C4 FLA
Jenis PAH Pirena* C1-Fluorantena/pirena C2-Fluorantena/pirena C3-Fluorantena/pirena Benz(a)antrasena* Krisena* C1-krisena C2-krisena C3-krisena C4-krisena Benzo(a)Fluorantena Benzo(b)Fluorantena* Benzo(j,k)Fluorantena* Benzo(e)pirena Benzo(a)pirena* Perylene Indeno(1,2,3-c,d)pirena* Dibenzo(a,h)antrasena* Benzo(g,h,i)perylene* Dibenzo(a,e)pirena Dibenzo(a,h)pirena Dibenzo(a,1)pirena Dibenzo(a,i)pirena Dibenzo(a,e)Fluorantena Anthanthren
Singkatan PYR FLA/PYR-C1 FLA/PYR-C2 FLA/PYR-C3 BaA CHR CHR-C1 CHR-C2 CHR-C3 CHR-C4 BaF BbF BkF BeP BaP Per ID-PYR DaA BgP DeP DhP D1P DiP DeF ANTr
6
Gambar 1 Analisis PAH (∑PAH 50 ) pada cuplikan minyak mentah (Boehm 2006). Ket : (*) ∑PAH 16 polutan utama menurut USEPA PAH dihasilkan dari proses alami dan proses antropogenik. Menurut Boehm (2006) PAH secara umum dihasilkan melalui 4 proses : 1. Lambat, perubahan suhu rendah (<70oC)/diagenesis dari partikel organik sebagai bagian dari perubahan yang dijalani oleh biomolekul dan hubungan organik setelah pertama kali terdeposit di sedimen; 2. Relatif cepat (hari-tahun), perubahan yang panjang, temperatur sedang (100-300oC) membentuk minyak fosil yaitu petroleum dan batu bara (contoh dari petrogenik); 3. Cepat, temperatur tinggi (>500oC), pembakaran yang tidak sempurna/tidak efisien (contohnya oksigen yang sedikit) dari biomasa bahan organik (pirolisis) seperti kebakaran hutan dan rumput serta kegiatan antropogenik seperti pembakaran bahan bakar fosil (contoh dari pirogenik); 4. Biosintesis oleh tumbuhan dan binatang dari komponen PAH individu atau gabungan yang relatif sederhana.
7
1. naftalen
5. fenantrena
2. asenaftilen
6. antrasena
3. asenaftena
7. fluorantena
4. fluorena
8. pirena
9. benzo(a)antrasena
10. krisenae
3. benzo(a)piren
14. dibenzo(a,h)antrasena
11. benzo(b)fluoranten
12. benzo(k)fluoranten
15. dibenzo(g,h,i)piren
16. indeno(1,2,3-cd)piren
Gambar 2 Stuktur 16 jenis polutan utama PAH menurut United State Environmental Protection Agency (USEPA) (Amir et al. 2005).
PAH bersifat hidrofobik (log K OW 3–8) dengan daya larut yang sangat rendah, sehingga konsentrasi PAH di lingkungan perairan sangat rendah (Nemr dan Aly 2003). Selain bersifat hidrofobik, PAH memiliki struktur stabil, sehingga PAH tidak mudah larut dan dapat diabsorsi dengan cepat ke dalam tanah termasuk di lingkungan perairan seperti sedimen (Tang et al. 2005). Secara umum kelarutan PAH bervariasi, yaitu tingkat kelarutan rendah ke sangat rendah dan tingkat kelarutan rendah ke moderat. Daya larut PAH bervariasi berdasarkan kondisi media, 1-2 bulan di lingkungan perairan, 2 bulan sampai 2 tahun di tanah, dan 8 bulan sampai 6 tahun di sedimen. Log n-octanol/water partition coefficients (log K OW S) dari PAH meningkat dengan peningkatan massa molekul dengan kisaran kira-kira 3.0-7.0, mengindikasikan sifat hidropobik tinggi untuk PAH dengan berat molekul tinggi (Kalf et al. 1996).
8
Antrasena, fluorena dan fenantrena adalah senyawa PAH yang memiliki 2 rantai benzena yang dikelompokkan dalam PAH dengan berat molekul rendah (BMR). Fluorantena memiliki 4 rantai benzena yang digolongkan pada PAH dengan berat molekul tinggi (BMT) (Tabel 3). Semakin besar berat molekulnya maka semakin persisten keberadaannya di lingkungan.
Tabel 3 Pengelompokan PAH berdasarkan berat molekul dan jumlah ring (USEPA). Berat molekul rendah (BMR; <202) 2-ring 3-ring Asenaftilen Antrasena Bifenil Fluorena Naftalena-1 Fenantrena Metilnaftalena-1 1-Metilfenantrena Metilnaftalena-2 2,6-dimetilnaftalena
Berat molekul tinggi (BMT; >202) 4-ring 5-ring Benzo(a)antrasena Krisena Fluorantena Benzo(a)pirena Pirena Benzo(e)pirena Dibenz(a,h)antrasena Pirelin
Fenantrena dan fluorena memiliki sifat karsinogenik. Antrasena tidak bersifat karsinogenik namun sangat fototoksik (peningkatan sifat toksik ketika terkena cahaya, khususnya sinar UV) sehingga dapat berubah menjadi karsinogenik. Fluorantena adalah PAH tidak bersifat toksik namun berpotensi menjadi karsinogenik. Fluorena bukan PAH yang bersifat phototoksik. Antrasena, fluorantena dan fenantrena sering digunakan dalam menduga sumber dari PAH (Irwin 1997). Fenantrena lebih stabil dari pada antrasena. Ketika temperatur rendah fenantrena memproduksi fraksi molal lebih banyak dari pada antrasena (Tang et al. 2005).
2.3 PAH di Lingkungan Perairan PAH masuk ke lingkungan secara umum melalui tiga proses; (1) pembakaran bahan organik pada saat suhu sangat tinggi; (2) tumpahan minyak; (3) proses diagenesis (perubahan bahan organic sedimen secara fisik, kimia dan biologi) (Neff 1979). Pergerakan PAH di lingkungan tergantung pada propertinya seperti mudahnya PAH larut di air dan mudahnya PAH menguap ke atmosfir. Secara umum PAH tidak mudah larut dalam air. PAH berada di udara sebagai uap
9
air atau terperangkap pada partikel kecil. PAH dapat berpindah dengan jarak yang jauh sebelum mereka kembali ke bumi melalui hujan atau partikel yang tersuspensi (Irwin 1997). Nilai K OC mengindikasikan besarnya potensi terikat pada organik karbon di tanah dan sedimen secara kimia (Tabel 4). PAH dengan berat molekul rendah mempunyai kisaran nilai dari 3-4 yang mengindikasikan potensi moderate terserap pada karbon organik di tanah dan sedimen. Potensi medium nilai K OC adalah 4. PAH dengan berat molekul tinggi mempunyai nilai K OC berkisar antara 5-6, mengindikasikan kecenderungan yang kuat terserap pada karbon organik. Penyerapan PAH di tanah dan sedimen meningkat dengan meningkatnya kandungan orgnik karbon dan juga tergantung pada ukuran partikel (Irwin 1997).
Tabel 4 Besaran potensi 16 bahan pencemar PAH terikat pada sedimen (K OC ) dan air (K OW ). No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 K OW K OC
Jenis PAH Naftalena Asenaftilena Asenaftena Fluorena Antrasena Fenantrena Fluorantena Pirena Benz(a)antrasena Krisena Benzo(b)Fluorantena Benzo(j,k)Fluorantena Benzo(a)pirena Indeno(1,2,3c,d)pirena Dibenzo(a,h)antrasena Benzo(g,h,i)perylene
NAP ACL ACE FLU ANT PHE FLA PYR BaA CHR BbF BkF BaP
3.37 4.07 3.98 4.18 4.45 4.45 4.90 4.88 5.61 5.16 6.04 6.06 6.06
1.40 3.66 3.86 4.15 4.15 4.58 4.58 5.30 5.30 5.74 5.74 6.74
Berat molekul 128 152 153 166 178 178 202 202 228 228 252 252 252
ID-PYR
6.58
6.20
276
DaA BgP
6.82 6.50
6.52 6.20
278 276
Singkatan Nilai K OC
Nilai K OW
: Octanol: water partition coefficients : Organic carbon: water in sediment partition coefficients
Kegiatan antropogenik adalah sumber utama dari PAH, besaran PAH di tanah pada daerah urban kira-kira 2-10 lebih tinggi dari daerah pedesaan (Tang et
10
al. 2005). PAH terbentuk selama proses pirolisis pada semua bahan organik dan bahan kontaminan organik yang tersebar di sedimen perairan. PAH di permukaan tanah dapat disebarkan oleh aliran air permukaan dan debu. Permukaan tanah adalah salah satu sumber dari kontaminasi PAH yang berada di udara dan sedimen. Bentuk tanah dan strukturnya seperti organik karbon memainkan fungsi penting ketika PAH terabsorpsi di tanah (Tang et al. 2005). Partisi dari bahan kontaminan yang hidropobik, yaitu yang tersuspensi dan terlarut mengontrol fate PAH di lingkungan dan bioaviability pada organisme akuatik. Konsentrasi PAH di air dapat dipengaruhi oleh durasi dari jumlah partikel PAH yang terabsorbsi. Kandungan karbon organik di air dan sedimen memainkan peran penting dalam distribusi PAH (Menon dan Menon 1999). PAH dengan berat molekul rendah dapat hilang dengan cepat di sedimen, sedangkan PAH dengan berat molekul tinggi lebih persisten (Wilcock et al.1996, diacu dalam Amir et al. 2005). Fate dari sedimen dan air yang terkontaminasi oleh PAH, konsentrasinya akan berkurang seiring dengan waktu. Hal ini disebabkan oleh adanya biodegradasi oleh bakteri atau mikroorganisme. Biodegradasi PAH berhubungan dengan berat molekul. Rantai 2 dan 3 dari PAH (naftalena, fluorena dan fenantrena) dengan cepat terdegradasi. PAH dengan 4 rantai (fluorantena, pirena, benz(a)antrasena dan krisena) umumnya terdegradasi 50% dalam beberapa bulan. PAH dengan rantai 5 (benzo(b)fluorantena dan benzo(a)pirena) berkurang lambat selama beberapa tahun (Irwin 1997). Sedimen di rawa manggrove yang terkontaminasi PAH dari 2135 ng/g menjadi 1196 ng/g (120 hari) (Ke et al. 2002). PAH dari tumpahan minyak memiliki reaktivitas yang terjadi dari komponen minyak selama biodegradasi yaitu: n-alkana (berat molekul rendah) > fenantrena > 3-2-metilfenantrena> nalkana dengan
panjang rantai
intermediate > n-alkana dengan rantai lebih
panjang > isoprenoids 9-1-metilfenantrena (Juan et al. 1996).
2.4 Sumber PAH PAH masuk ke dalam air melalui berbagai sumber yang dengan cepat diabsorpsi oleh partikel organik dan anorganik. Level PAH yang terakumulasi oleh biota perairan lebih tinggi dari kandungan lingkungan. PAH dapat berpindah
11
melalui beberapa kegiatan seperti fotooksidasi, oksidasi kimia, metabolisme mikroba dan metabolisme oleh metazoan yang lebih tinggi. Konsentrasi relatif dari PAH pada ekosistem perairan secara umum adalah lebih tinggi pada sedimen, intermediate di biota akuatik, dan rendah di kolom perairan (Neff 1979). Secara umum sumber PAH yang masuk ke lingkungan perairan dapat dibedakan berdasarkan 2 sumber : a. Pirogenik. PAH yang terbentuk karena peningkatan suhu secara alami dan proses antropogenik. Selama proses peningkatan suhu, bahan organik tersebut lolos dari pembakaran sempurna (oksidasi menjadi karbon dioksida dan air). PAH pirogenik terbentuk selama pembakaran menggunakan kayu (kompor), dan pembakaran dari bahan bakar fosil (bensin, solar, oli mesin). b. Petrogenik. Minyak dan batu bara yang ada di dalam stuktur geologi dan terbentuk pada waktu yang lama menghasilkan PAH petrogenik. Batu bara terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi. Selama terkubur jutaan tahun, bahan ini berubah menjadi batu bara, membentuk senyawa aromatik dengan struktur 3 dimensi. Jumlah rantai aromatik yang terbentuk per unit struktur batu bara bervariasi. Sebagian besar batu bara terdiri dari 3-5 rantai per unit struktur, dengan beberapa unit dapat mencapai 10 rantai aromatik. PAH petrogenik secara umum dicirikan dengan alkil PAH lebih banyak daripada non-alkil dari PAH utama dan sebaliknya merupakan sumber pirogenik. Selain itu sumber dari petrogenik lebih banyak PAH dengan rantai 2 dan 3, dan sumber dari pirogenik lebih banyak PAH dari rantai 4-6 (Gambar 3). PAH dengan jumlah rantai karbon 4-6 merupakan berat molekul tinggi >202 seperti naftalena, fluorantena dan pirena biasanya terdeteksi sebagai sumber pirogenik seperti dari pembakaran batu bara, kayu, dan bahan bakar kendaraan. PAH dengan berat molekul rendah <202 yaitu PAH dengan jumlah rantai karbon 2-3/alkilsusbstituted PAH berasal dari sumber petrogenik seperti 2-metilnaftalena, asenaftena, fenantrena dan fluorena (Arias et al. 2009). PAH seperti fenantrena berasal dari sumber petrogenik dan pirogenik (mixed sources) (Boehm 2006). PAH dengan rantai 4 sampai 7 umumnya berasal dari sumber pirogenik. PAH dari
12
proses pirolitik lebih sering berasosiasi dengan sedimen dan sebagian besar resistan terhadap degradasi oleh mikroba dibandingkan dengan PAH yang berasal dari petrogenik (Mostafa et al. 2009).
A
B
C
Gambar 3 Karakteristik umum kumpulan PAH untuk sumber petrogenik dan pirogenik (Boehm 2006). (A) Ciri dari sumber petrogenik (contoh cuplikan minyak mentah): alkil >parent, sedikit PAH dengan rantai 46; (B) Ciri pertama pirogenik (contoh cuplikan aspal): parent>alkil, ring 2 dan 3 lebih tinggi konsentrasinya; (C) Ciri kedua pirogenik (contoh cuplikan urban runoff): parent>alkil, rantai 4-6 lebih tinggi konsentrasinya.
2.5 Konsentrasi PAH Secara global, konsentrasi PAH baik di sedimen, air dan biota telah banyak diteliti. Distribusi PAH di lingkungan sebagian besar dipengaruhi oleh sifat solibilitas dan hidropobik, yang membuat PAH dapat dengan mudah ditemukan di sedimen. PAH di sedimen telah diketahui nilainya dari banyak bagian di dunia (Tabel 5). Konsentrasi total PAH di perairan laut adalah kecil (Tabel 6). Batasan konsentrasi sangat besar walaupun relatif berada dalam satu kawasan, sehingga sulit membedakan dengan wilayah yang lain.
13
Tabel 5
Total konsentrasi PAH pada sedimen laut pada beberapa wilayah Amerika Utara, Eropa, Afrika dan Asia (dimodifikasi dari Latimer dan Jinshu 2003).
Lokasi Amerika utara Seluruh pantai amerika Seluruh pantai amerika Pelabuhan New Bedford, MA Selat Pales verdes, CA, USA Teluk Naragansett, RI Teluk Alaska (sebelum kasus Exxon Valdez) Daerah estuari Carolina utara Stasiun Alaska Daerah barat laut Beaufort (sedimen Polar Star) Daerah estuari Fraser (BC, Canada) Pintu masuk Burrard (BC, Canada) Selat Georgia (BC, Canada) Teluk San Francisco embayments (1800an-1999) Eropa Teluk Bay (wilayah tengah Mediterania) Bagian selatan Laut Mediterania Dekat daerah pantai Spanyol dan Perancis (Laut Mediterania) Laut Baltic Wilayah Estuari Gironde (Perancis) Teluk Arcachon (Perancis) Laut Cretan (wilayah timur Mediterania Wilayah Estuari Irish Afrika Pantai Cotonou (Benin) Asia Laut Kuning Teluk Kyeonggi (Korea) Hong Kong (permukaan) Laut Putih (Rusia, Laut Artic) Laut Cina Selatan Daerah estuari Sungai Yangtze (core) Teluk Bohai
Konsentrasi (ng/gDw) 13.4-40 453 4.87-30 674 14 000-170 000 1 252-7 037 100-29 300 1 096 33-9 630 2.17-733 159-1 092 180-620 (pembakaran) 220-660 (petroleum) 430-91 800 (pembakaran) 70-39 500 (petroleum) 300-8 470 (pembakaran) 560-4 300 (petroleum) 40-6 300 (pirogenik) 86.5-48 060 20-18 700 0.32-8 400 3.16-30 100 3.5-853 293 14.6-158.5 (73% pembakaran) 83-22 960 80-1411 20-5 734 9.1-1 400 7.25-4 420 13-208 24.7-275.4 122-11 740 31-2 513
14
Tabel 6 Konsentrasi PAH di perairan laut beberapa wilayah dunia. Lokasi
Konsentrasi (ng/l)
Referensi
Teluk Narragansett
39.05
Quin et al. 1988
Perairan laut Inggris dan Wales
nd-10 724
Law et al. 1997
Pantai Alexandria Mesir Subsurface Microlayer
Nemr dan Aly (2003) 47.0 245
Teluk dalam Selatan Cina Permukaan Dasar
Qiu et al. 2009 73.3 66.1
Muara Kamal Teluk Jakarta
0.5064-0.6733 pg/l
Augustine 2008
Daerah estuari Teluk Saronikos, 133-459 Yunani
Valavanidis et al. 2008
Wilayah Pelabuhan Selatan Cina
Luo et al. 2004
Macao, 701.42-2 579.50
Secara umum berdasarkan lokasi, terdapat perbedaan konsentrasi PAH yaitu konsentrasi pada daerah lepas pantai adalah kecil, diikuti oleh daerah dekat pantai dan terakhir pada lapisan mikro permukaan laut/surface micro layer (SSM). Akumulasi PAH dari lingkungan juga terjadi pada organisme laut. Namun nilai konsentrasi yang besar dari jaringan di tubuh organisme, diperoleh dari variasi konsentrasinya di alam, lamanya terekspose, dan kemampuan spesies dalam memetabolisme senyawa tersebut. Pada biota invertebrata, konsentrasi tertinggi dapat ditemukan pada organ dalam seperti hepatopankreas, dan di jaringan yang terikut dalam siklus umum, hal ini mungkin berhubungan dengan variasi kandungan lipid, siklus bertelur, atau flux lingkungan (Jovanovich dan Marion 1987; Maruya et al. 1997; Miles dan Roster 1999 diacu dalam Latimer dan Jinshu 2003). Konsentrasi PAH pada bivalva dan inveterbrata laut dari berbagai wilayah di dunia di tunjukkan pada Tabel 7.
15
Tabel 7 Konsentrasi PAH dari beberapa biota bivalva laut dan invertebrata (di modifikasi dari Meador 2006). Spesies
Cara
Wilayah
makan
Total PAH
PAH
bk/bb
(ng/g)
Mussels dan Oysters Mytilus edulis
FF
Norwegia
500-12 845
11-32
bk
Mytilus galloprovincialis
FF
Mediterania
24-390
23/14
bk
Mussels dan Oysters
FF
USA (semua pantai)
77-1 100
214/24
bk
Mussels dan Oysters
FF
USA (semua pantai)
192-503
97-191/44
bk
Mytilus edulis
FF
Teluk Naples, Italia
205
6/16
bb
Mytilus galloprovincialis
FF
Mediterania, Spanyol
190-5 490
6/ns
bb
Mytilus edulis
FF
bagian utara laut Baltic
440
3/19
bk
Mytilus edulis
FF
Finlandia (laut Archipelago)
nd-150
7/7
bb
FF
Teluk Meksiko, USA
36-7 530
4/17
bk
Mytilus galloprovincialis
FF
Yunani
77-110
57/17
bb
Crassostrea virginica
FF
Florida, USA
361-11 026
14/> 25
bk
Mytilus edulis
FF
Belanda
45-100
2/6
bb
Mytilidae
16
Tabel 7 (lanjutan) M. edulis, M. galloprovincialis dan C. Gigas
FF
Perancis
tt-300 000
110/td
bk
Mytilus edulis
FF
Skotlandia
54-2 803
27/10
bb
Mytilus edulis
FF
Puget Sound, WA
40.63-600
9/24
bk
Mytilus spp
FF
Teluk San Francisco
180-4 100
6/34
bk
Benthik invertebrata Macoma balthica
DF/FF
Scheldt, Belanda
947 (449)
2/12
bk
Crangon crangon
Scav
Scheldt, Belanda
410 (285)
2/12
bk
Nereis diversicolor
Omn
Scheldt, Belanda
785 (409)
2/12
bk
Homarus americanus
Scav
Nova Scotia, Kanada
235-73 000
1/10
bb
Littorina littorea
Herb
Bagian Selatan Norwegia
595-1 430
4/27
bk
Patella vulgata
Herb
Bagian Selatan Norwegia
674-15 462
2/31
bk
Asterias rubens
Pred
Bagian Selatan Norwegia
325-458
2/19
bk
Macropipus tubrculatus
Omn
spanyol
60-930
6/td
bb
(tt) tidak terdeteksi; (td) tidak dilaporkan; (bk) berat kering; (bb) berat basah Cara makan: (DF) deposit feeder; (FF) filter feeder;(Omn) omnivora; (herb) herbivora; (Pred) predator
17
Ikan mengakumulasi bahan kontaminan khususnya PAH melalui kulit, tapi sebagian besar melalui insang (Irwin 1997). Secara umum, meskipun antara PAH dengan berat molekul rendah dan berat molekul tinggi terserap relatif cepat pada spesies perairan seperti ikan, metabolisme dan depurasinya juga cepat. PAH dapat masuk ke semua jaringan tubuh yang terdapat lemak. Biasanya terserap di ginjal, hati dan lemak. Jumlah yang kecil tersimpan pada limpa, kelenjar ginjal dan indung telur.
2.6 PAH Sebagai Indikator Sumber Pencemar Senyawa PAH dapat digunakan sebagai salah satu indikator status lingkungan. Distribusi dan fate dari PAH sebagai bahan kontaminasi organik di sedimen ekosistem perairan sangat perlu diperhatikan karena mempunyai efek mutagenik dan karsinogenik. Konsentrasi PAH dalam tingkat tertentu di air laut dan sedimen dapat bersifat toksik terhadap organisme laut bentik dan pelagik, sehingga keberadaannya perlu diperhatikan. Sifatnya yang tidak mudah larut, dapat menghilang dengan cepat di perairan, mampu meningkatkan konsentrasi dan berat molekulnya sendiri, mudah terakumulasi dan terabsorpsi pada biota dan sedimen, menunjukkan perlunya perhatian khususnya pada lingkungan perairan pesisir. Pendugaan sumber PAH dilakukan dengan menggunakan rasio dari beberapa individu PAH (Tabel 8).
Tabel 8 Rasio individu PAH sebagai penduga sumber. Diagnostik ratio
Pirolitik
Petrogenik
BMR/BMT ∑MP/PHE FLA(FLA+PYR) Double ratio PHE/ANT, FLA/ANT dan PHE/ANT, FLA/PYR
Low <1 >0.5 <10 / >1
high >1 <0.5 >15 / <1
BMR : berat molekul rendah; BMT : berat molekul tinggi; MP : metilfenantrena; PHE : fenantrena; FLA : fluorantena; PYR : pirena; ANT : antrasena
Rasio dari FLA/PYR dapat mengindikasikan asal sumber dari PAH. Sumber petrogenik diindikasikan oleh rasio FLA/PYR <1 dan nilai >1 mengindikasikan
18
sumber pirolitik (Sicre et al. 1987, diacu dalam Ke et al. 2002). Menentukan sumber pencemar PAH dalam air dapat menggunakan rasio FLA/(FLA+PYR). Jika rasionya adalah 1, dapat diduga sumber pencemar berasal dari petrogenik. Rasio FLA/(FLA+PYR) <0.40 mengindikasikan sumber pencemar PAH berasal dari sumber petroleum (oli, mesin diesel, batu bara, dsb), rasio antara 0.4-0.5 mengindikasikan sumber dari pembakaran bahan bakar fosil (kendaraan dan minyak
mentah)
dan
rasio
>0.5
berasal
dari
pembakaran
rumput,
kayu/pembakaran batu bara (Zhang et al. 2006; Arias et al. 2009). Sumber dari PAH dari sedimen dapat diperoleh berdasarkan rasio total antara isomer metilfenantrena terhadap fenantrena (MP/P). Rasio MP/P <1 menunjukkan sumber dari pirogenik dan MP/P >1 menunjukkan sumber dari petrogenik (Blumer dan Youngblood 1975, diacu dalam Yim et al. 2007; Boonyatumanond et al. 2006). Pendugaan sumber PAH pada biota dapat menggunakan rasio fenantrena, ANT, fluorantena dan pirena yaitu rasio antara PHE/ANT, FLA/ANT dan FLA/PYR. Rasio PHE/ANT <10 dan FLA/PYR >1, mencirikan sumber pirogenik dan rasio PHE/ANT >15 dan FLA/PYR <1 mencirikan sumber petrogenik (Steinhauer dan Boehm 1992; Budzinski et al. 1997; Baumard et al. 1998, diacu dalam Yim et al. 2007). Fluorantena dan pirena adalah penanda khusus untuk sumber pirolisis/pembakaran yang tidak sempurna. Di lain pihak pada emisi hasil pembakaran bahan bakar sepert mesin diesel, profilnya predominan oleh fenantrena, fluorantena dan pirena (Li et al. 2003; Wang et al. 2009, diacu dalam Arias et al. 2009). Beberapa PAH seperti fenantrena berasal dari sumber petrogenik dan pirogenik (mixed sources) (Irwin 1997). Rasio jumlah berat molekul rendah (BMR) dengan berat molekul tinggi (BMT) adalah bila nilainya kecil menggambarkan sumber dari pirolitik dan bila nilainya besar bersumber dari petrogenik (Budzinski et al. 1997, Sicre et al. 1987, Mostafa et al. 2009). Sumber petrogenik secara umum alkil PAH lebih banyak dari pada non alkil dari PAH utama dan sebaliknya merupakan sumber petrogenik. Sumber dari petroleum biasanya berupa krisena, fluorena, naftalena, fenantrena, antrasena dan dibenzo thiopen (DbT). Sumber dari oli motor berupa
19
naftalena, benzo(a)pirena, fluorena dan fenantrena. Petroleum lebih besar menyumbang PAH jenis berat molekul rendah seperti naftalena, asenaftena dan fluorin, dan juga alkil PAH seperti metilnaftalen. Pembakaran (pirolitik) menyumbang PAH jenis berat molekul tinggi lebih besar seperti fenantrena, fluorantena, pirena dan benzo(a)pirena, juga termasuk sedikit PAH jenis berat molekul rendah seperti naftalena (Irwin 1997).
2.7 Toksisitas 2.7.1 Uji toksisitas (Bioassay) Semua bahan atau senyawa kimia yang terbuang diduga sebagai bahan pencemar beracun (Poisonous pollutant), kecuali apabila terbukti melalui uji biologis (bioassay/toxicity test) senyawa atau bahan tersebut tidak meracuni organisme yang hidup di dalamnya beserta penghuninya (hewan dan manusia) khususnya PAH. Toksisitas suatu senyawa dapat digolongkan berdasarkan efek yang terjadi pada konsentrasi tertentu, yaitu : 1) Letal, langsung menyebabkan kematian atau cukup mematikan. 2) Sub-letal, diatas kadar yang langsung menyebabkan kematian. 3) Akut, dimana menimbulkan suatu rangsangan syaraf yang cukup hebat sehingga menghasilkan respon yang cepat (untuk ikan biasanya dalam waktu 4 hari). 4) Sub-akut, menimbulkan respon setelah waktu yang lama dan mungkin menjadi menahun/kronik. 5) Kronik, menimbulkan rangsangan yang lambat atau menerus dalam selang waktu yang lama, dan 6) Kumulatif yaitu peningkatan kadar pada waktu yang lama. Pengaruh bahan toksik terhadap suatu organisme dapat di amati berdasarkan beberapa kondisi hidupnya yaitu; 1) siklus hidup (life cycle) hewan uji yaitu pengamatan yang dilakukan mulai dari fase larva sampai hewan tersebut mati. 2) Sebagian dari siklus hidupnya (partial life cycle), pengamatan yang dilakukan pada fase larva sampai dewasa, dan 3) Awal siklus hidup (early life cycle), pengamatan hanya pada fase larva. Uji toksisitas secara kuantitatif dapat ditinjau dari lamanya waktu, yang dapat diklasifikasikan menjadi toksisitas letal, sub-letal, kronis. Toksisitas akut adalah efek total yang didapat pada dosis tunggal/banyak dalam 24 jam pemaparan. Toksisitas akut sifatnya mendadak, waktu singkat dan biasanya
20
reversibel. Toksisitas kronis sifatnya permanen, lama, konstan, kontinyu, irreversible. Uji toksisitas atas dasar dosis dan waktu berarti spesifik toksisitas akut/kronis. Dosis adalah jumlah racun yang masuk ke dalam tubuh, besar, kecilnya menentukan efek. Sedangkan efek dosis ini merupakan fungsi dari usia, jenis kelamin, berat badan, cara masuk ke tubuh, frekuensi, interval waktu, kecepatan eksresi, kombinasi dengan zat lain. Uji toksisitas letal biasanya dijalankan dalam jangka waktu 24, 48, 72 dan 96 jam. LD yaitu dosis yang menyebabkan kematian. Semakin tinggi konsentrasi semakin tinggi tingkat kematiannya (Gambar 4). LD50 atau LC50 (konsentrasi letal 50%) atau TLm (toleransi limit median) atau TL50 (toleransi limit 50%) yaitu dosis yang menyebabkan kematian 50% hewan uji dalam waktu uji (inkubasi) 12, 24, 48, 72, dan 96 jam. Menurut Wrigh dan Pamela (2002) LC 50 adalah konsentrasi bahan toksik yang menyebabkan kematian 50% (nilai tengah respon) dari hewan/populasi tes pada waktu tertentu (Gambar 5). Ketika konsentrasi letal median (LC 50 ) dihitung, keyakinan 95% limit yang terkait dengan nilai (DO, pH, Suhu) juga dilaporkan (Zakrzewski 2002).
Gambar 4 Kurva hubungan antara konsentrasi bahan toksik terhadap respon hewan uji
EC (konsentrasi efektif) yaitu konsentrasi bahan uji yang mengakibatkan suatu tingkah laku atau respon hewan uji yang tidak normal. Angka indeks menunjukkan persentasi jumlah hewan uji yang mengalami perubahan fisiologis
21
yang terjadi selama waktu uji (EC 50 – 48 Jam) (Sanusi dan Sugeng 2009). Menurut Philp (2001) EC 50 adalah dosis efektif yang menyebabkan 50% perubahan efek maksimum dari hewan uji.
Gambar 5 LC 50 Menggambarkan nilai tengah respon dari populasi.
Selain hal tersebut diatas juga digunakan evaluasi seperti NOEC (No Observed Effect Concentration) yaitu konsentrasi tertinggi
yang tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap hewan uji dari control. LOEC (lowest observed effect concentrations) yaitu konsentrasi terendah yang secara signifikan berpengaruh terhadap ketahanan, pertumbuhan/reproduksi dari hewan uji terhadap kontrol (Wrigh dan Pamela 2002), untuk mengevaluasi tingkat bahan toksik khususnya PAH.
2.7.2 Toksisitas PAH Material organik di perairan alami mempunyai efek yang kuat pada ketersediaan pencemar organik. Ketersediaan dari beberapa pencemar organik meningkat dengan peningkatan konsentrasi materi organik yang terlarut di air (Kukkonen 1991 diacu dalam Tuvikene 1995). Toksisitas adalah senyawa yang dapat bersifat racun yang dapat membahayakan makhluk dan lingkungan disekitarnya pada konsentrasi tertentu. PAH termasuk senyawa organik yang bersifat toksik. Faktor-faktor yang mempengaruhi toksisitas PAH antara lain
22
adalah karakteristiknya, kadar PAH, jenis biota laut, aktivitas mikroba dan lama pemaparannya (Sanusi dan Sugeng 2009). Kelimpahan alkil PAH yang lebih banyak (terutama pada sumber petrogenik) persisten untuk waktu yang lebih lama, dan beberapa lebih toksik dari senyawa utamanya. Metilfenantrena lebih toksik dari pada fenantrena. PAH yang terurai tidak berarti mengurangi potensi dampaknya secara biologi terhadap komponen biologi, PAH yang terurai dapat lebih berbahaya (Irwin 1997). Menurut karakteristik senyawa PAH, toksisitasnya dapat dibagi menjadi 2 yaitu : 1. Senyawa PAH dengan jumlah karbon rendah (C 8 -C 14 ) memberikan toksisitas akut (2.35-970 µg/l di perairan (Irwin 1997)) terhadap biota laut. Hal ini dikarenakan kelarutan dari senyawa tersebut tinggi (K OW 1.404.15). 2. Senyawa PAH dengan jumlah karbon tinggi (>C 14 ) memberikan toksisitas kronis (10-710 µg/l di perairan (Irwin 1997)) terhadap biota laut, karena kelarutan dari senyawa tersebut rendah (K OW 4.15-6.20).
2.7.3 Dampak PAH terhadap Organisme PAH yang terakumulasi dalam tubuh organisme, dapat mempengaruhi kehidupannya. Beberapa PAH, yang terakumulasi dalam biota, mempunyai kemampuan untuk menyerap energi cahaya ultraviolet (UV) yang dapat mempengaruhi sifat toksisitasnya seperti antrasena dan fluorantena. Peningkatan potensi toksisitas bersamaan dengan pemaparan cahaya disebut fototoksisitas (Irwin 1997). Efek toksik PAH pada biota laut bersifat lokal dan sementara dan tidak berdampak nyata dalam jangka panjang, Selain itu, efeknya juga dapat pulih kembali (reversible). Perbedaan jenis individu maupun campuran senyawa PAH, lama pemaparan, besaran dan efeknya berbeda pada masing-masing biota, baik yang bersifat akut maupun Kronis (Tabel 9). 2.7.4 Jenis PAH Bersifat Racun Secara umum sifat toksik, mutagenik dan karsinogenik dari PAH disebabkan oleh transformasi dari metabolisme PAH karena adanya sistem MFO (mixed function oxidase) yaitu sistim enzim yang menjadi katalisator pada proses
23
metabolisme PAH. Proses penting ini pada populasi dan ekosistem tidak jelas, karena masih diabaikan ketika mengelola lingkungan (Kalf et al. 1996). Sistem MFO bertindak untuk mendegradasi aromatik dan sejumlah senyawa organik (termasuk PAH) oleh hidroksilasi (fase 1) dan konjugasi dengan glucuronic acid (fase 2). Reaksi antara bahan kontaminan organik dengan uridine diphosphate glucuronic acid (UDPGA) disebut glucuronisasi atau glucuronid konjugasi sebagai bagian dari fase 2 pada proses metabolisme (Gambar 6). Beberapa PAH berubah menjadi bentuk lebih water soluble oleh glucuronisasi (Irwin 1997). Sifat karsinogenik individu PAH berbeda-beda (Tabel 10).
Gambar 6 Proses mixed function oxidase (MFO) dalam metabolisme benzo[a]pirena
24
Tabel 9 Rangkuman sensitifitas sifat kronis pada organisme air tawar dan laut (dimodifikasi dari EPA/600/R-02/013).
Spesies
Test Habitat PAH
Cladoceran, Daphnia magna
LC
W
Durasi
Fluorantena 21d
NOEC (µg/l)
OEC (µg/l)
Nilai Efek yang diamati (relatif terhadap kronis kontrol) (µg/l)
6.9-17
35
Pengurangan panjang 17%
24.5
73
Pengurangan panjang 25%, beberapa ikan dewasa 37% Tidak ada yang bertahan Ikan yang bertahan berkurang 83%,
96.39
Cladoceran, Daphnia magna Midge, Paratanytarsus sp.
LC
W
Fenantrena
21d
46-57
148 163
LC
W
Asenaftena
26d
32-295
575
Midge, Paratanytarsus sp.
LC
W
Asenaftena
26d
27-164
315 676 21.7
Fathead minnow, Pimephales promelas
ELS W
Fluorantena 32d
3.7-10.4
Fathead minnow, Pimephales promelas
ELS W
Asenaftena
50-109
32d
109 410 630
Ikan yang bertahan berkurang 60%, pengurangan pertumbuhan 90%, tidak terjadi reproduksi Ikan yang bertahan berkurang 20%, pengurangan pertumbuhan 30% Ikan yang bertahan berkurang 60% Ikan yang bertahan berkurang 67%, Pengurangan pertumbuhan 50% Pengurangan pertumbuhan 5% Pengurangan pertumbuhan 20%, ikan yang bertahan berkurang 66% mati
411.8
227.3
15.02
73.82
25
Tabel 9 (lanjutan) Fathead minnow, Pimephales promelas Rainbow trout, Oncorhynchus mykiss
ELS W
Asenaftena
ELS B/W
Fenantrena
3235d 90d
67-332
495
Pengurangan pertumbuhan 54%
405
5
8
Ikan yang bertahan berkurang 41%, Pengurangan pertumbuhan 33% Ikan yang bertahan berkurang 48%, pengurangan pertumbuhan 44% Ikan yang bertahan berkurang 52%, Pengurangan pertumbuhan 75% mati Terjadi pengurangan ikan muda 93% Tidak ada yang bertahan Terjadi pengurangan ikan muda 91% Tidak terjadi reproduksi, pengurangan pertumbuhan 34% Ikan yang bertahan berkurang 96%, Tidak terjadi reproduksi Ikan yang bertahan berkurang 26.7%, terjadi pengurangan ikan muda 91.7% Tidak ada yang bertahan
6.325
14
32
Mysid, Americamysis bahia Mysid, Americamysis bahia
LC
LC
B/W
B/W
Asenaftena
Asenaftena
35d
25d
100-240
66 340
20.5-44.6
510 91.8 168 354
Mysid, Americamysis bahia
LC
B/W
Fluorantena 28d
3592
621
43
285.7
63.99
15.87
26
Tabel 9 (lanjutan) Mysid, Americamysis bahia Mysid, Americamysis bahia Mysid, Americamysis bahia
LC
B/W
Fluorantena 31d
0.41-11.1
18.8
LC
B/W
Fenantrena
32d
1.5-5.5
11.9
LC
B/W
pirena
28d
3.82
5.37 6.97 9.82 15.8 20.9
Sheepshead minnow, Cyprinodon variegatus Test Habitat NOEC OEC
LC
B/W
Asenaftena
28d
: LC = life-cycle; PLC = partial life-cycle; ELS = early life-stage : I = infauna; B = epibenthic; W = water column : No Observed Effect Concentration : observed effect concentration
240-520
38.2 970 2 000 2 800
Ikan yang bertahan berkurang 23%, tidak terjadi reproduksi Tidak ada yang bertahan
14.44
Terjadi pengurangan ikan muda 46% Terjadi pengurangan ikan muda 47% Terjadi pengurangan ikan muda 73% Terjadi pengurangan ikan muda 85% Terjadi pengurangan ikan muda 90%, ikan yang bertahan berkurang 37% Tidak ada yang bertahan Ikan yang bertahan berkurang 70% Tidak ada yang bertahan Tidak ada yang bertahan
4.53
8.129
710.2
27
Tabel 10 Beberapa individu PAH yang bersifat karsinogenik (Neff 1979). Komponen Antrasena Fenantrena Benz[a]antrasena 7,12-dimetilbenz[a]antrasena
Sifat Karsinogenik --+ ++++
Komponen Aceantirilen Benz[j]aceantirilen 3-metilkolantren
Sifat Karsinogenik -++ ++++
Napthasen
--
Pirena
--
Dibenz[aj]antrasena
+
Dibenz[ah]antrasena
+++
Benzo[a]pirena
+++
Dibenz[ac]antrasena
+
Benzo[e]pirena
--
Benzo[a]fenantrena
+++
Dibenzo[al]pirena
±
Fluorena
--
Dibenzo[ah]pirena
+++
Benzo[a]fluorena
--
Dibenzo[ai]pirena
+++
Benzo[b]fluorena
--
Dibenzo[cd,jk]pirena
--
Benzo[c]fluorena
--
Indeno[1,2,3-cd]pirena
+
Dibenzo[ag]fluorena
+
Krisena
±
Dibenzo[ah]fluorena
±
Dibenzo[b,def]krisena
Dibenzo[ac]fluorena
±
Dibenzo[def,p]krisena
+
Fluorantena
--
Dibenzo[def,mno]krisena
--
++
Benzo[b]fluorantena
++
Perilen
--
Benzo[i]fluorantena
++
Benzo[ghi]perilen
--
Benzo[k]fluorantena
--
koronen
--
Benzo[mno]fluorantena
--
Ket : (--) tidak bersifat karsinogenik; (±) sifat karsinogeniknya lemah; (+) bersifat karsinogenik; (++, +++, ++++) sifat kasinogeniknya tinggi
2.8 Karakteristik Perairan Pesisir dan Laut Pesisir merupakan suatu wilayah yang menjadi peralihan antara daratan dan laut. Pesisir memiliki peran antara lain sebagai sumber penyedia sumber daya alam, jasa pendukung kehidupan dan kenyamanan dan sebagai mitigasi bencana. Pesisir dan daratan memiliki keterkaitan. Keterkaitan daratan (DAS) dengan pesisir adalah sebagai penghubung antara daratan di hulu dengan pesisir, penghantar bahan pencemar dari hulu ke pesisir dan dampak yang dihulu akan dirasakan di pesisir karena peran DAS. Batasan wilayah pesisir di daratan yaitu wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut, masih dipengaruhi oleh proses-proses seperti pasang surut, angin laut dan intrusi garam. Batasan wilayah pesisir di laut adalah daerah yang dipengaruhi oleh proses alami didaratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut,
28
serta daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan (Bengen 2004). Daratan dan proses-proses yang terjadi di daratan (misalnya aliran air besar dengan zat partikel yang dibawanya menuju laut) akan mempengaruhi salinitas, turbiditas, kesuburan dan kecerahan perairan pantai. Iklim setempat seperti curah hujan akan mempengaruhi salinitas dan angin yang kencang akan menyebabkan berkembangannya arus dan gelombang laut. Pengaruh dari faktor setempat ini akan menyebabkan sifat atau keadaan oseanografi menjadi lebih kompleks dan unik bagi suatu daerah perairan pantai/pesisir yang berlainan dari sifat/pola umum di laut lepas yang banyak ditentukan baik oleh pengaruh musim maupun pengaruh samudera yang berdekatan. Wilayah pesisir dan laut juga rentan terhadap dampak pencemaran akibat aliran limbah dari daratan melalui sungai, saluran yang menuju ke laut (ocean outfall)/pembuangan langsung ke laut. Secara fisik, kondisi pesisir dan laut lepas di pengaruhi oleh siklus hidrologi, hidrodinamika, topografi wilayah pesisir dan laut, zonasi dan intensitas kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam serta teknologi yang dipakai dalam kegiatan tersebut. Kondisi ini mempengaruhi sifat, pola dan intensitas pencemaran yang mungkin terjadi akibat kegiatan sosial ekonomi di wilayah pesisir dan laut. Ketika masuk ke perairan pesisir dan laut, limbah akan berinteraksi dengan air laut dan menghasilkan perilaku limbah yang khas. Perilaku tersebut bisa berupa menguap, terlarut, terdispersi, dsb. Hal ini selanjutnya akan berpengaruh pada konsentrasi limbah dan intensitas serta besaran dampak terhadap lingkungan yang mungkin ditimbulkan (Mukhtasor 2007).
2.9 Ikan Nomei (Horpodon nehereus) Tarakan adalah salah satu pulau yang berada di Propinsi Kalimantan Timur yang mempunyai luas wilayah ± 657.33 km2, dengan luas kawasan pesisir pantai ± 70 km2. Luas laut Pulau Tarakan 406.53 km2 (61.85%). Salah satu potensi sumberdaya hayati perairan yang ada di Pulau Tarakan adalah ikan Nomei (Horpodon nehereus), dikenal dengan nama lokal ikan Pepija atau Lembe-Lembe
29
(Gambar 7). Ikan Nomei merupakan ikan komersial yang banyak dipasarkan dalam bentuk ikan kering yang menjadi satu makanan khas Kota Tarakan.
Gambar 7 Ikan Nomei (Horpodon nehereus) dengan nama lokal ikan Pepija atau Lembe-Lembe.
Ikan Nomei hidup di perairan lepas pantai yang dalam pada sedimen lumpur berpasir sepajang tahun. Namun ikan ini juga berkumpul di wilayah yang luas di daerah delta sungai untuk mencari makan pada musim angin monsun. Ikan ini adalah predator yang agresif dan sangat pendar. Mempunyai 6 telur pada sekali bertelur
dalam setahun. Ikan Nomei mempunyai kebiasaan makan sebagai
karnivora dengan udang-udangan yang merupakan sumber makanan. Menurut Pillay (1953) ikan ini juga memakan ikan, detritus, larva megalopa dan tumbuhan (Gambar 8). Daging ikan Nomei seperti jeli, tubuhnya terkandung banyak sekali air dan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Mulut yang menganga, gigi besar, mata kecil dan badan yang lembut, ikan Nomei mirip dengan Chauliodontidae yang mencirikan ikan laut dalam (Haneda 1950). Jenis makanan ikan Nomei berbeda berdasarkan musim seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9.
30
Gambar 8 Persentasi jenis makanan yang ditemukan pada perut Horpodon nehereus (Pillay 1953).
a d Jumlah organisme
f e b
Bulan Gambar 9 Histogram yang menunjukkan variasi bulanan volume beberapa jenis makanan yang dimakan ikan Nomei berdasarkan perbedaan bulan (Pilay 1953). (a) Udang dan udang-udangan, (b) Ikan Nomei, (c) Ikan yang lain, (d) Larva megalopa, (e) Bahan tumbuhan, (f) Detritus.
c