II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kulit Kulit adalah lapisan luar tubuh binatang yang merupakan suatu kerangka luar, tempat bulu binatang itu tumbuh. Ensiklopedia Indonesia menjelaskan bahwa kulit adalah lapisan luar badan yang melindungi badan atau tubuh binatang dari pengaruh-pengaruh luar misalnya panas, pengaruh yang bersifat mekanis, kimiawi, serta merupakan alat penghantar suhu. Kulit memiliki fungsi antara lain sebagai indera perasa, tempat pengeluaran hasil pembakaran, sebagai pelindung dari serangan bakteri patogen, sebagai buffer terhadap pukulan, sebagai penyaring sinar matahari, serta sebagai alat pengatur peralatan tubuh hewan (Irfan, 2012). Menurut Irfan (2012) kulit segar yang baru dilepas dari tubuh binatang memiliki beberapa unsur berikut: Collagen
: 30% - 32%
Lemak
: 2% - 5%
Epidermis
: 0,2% - 2%
Mineral
: 0,1% - 0,3%
Air
: 60% - 65% Kulit merupakan produk yang memiliki nilai ekonomis yang paling
tinggi dibandingkan hasil ikutan ternak yang lain. Berat kulit pada sapi, kambing dan kerbau memiliki kisaran 7-10% dari berat tubuh (Irfan, 2012). Menurut Suardana (2008) kulit binatang sangat besar manfaatnya dan tinggi nilai harganya dalam pembuatan produk dari kulit binatang untuk kebutuhan manusia. B. Penyamakan Kulit Penyamakan kulit adalah suatu proses pengolahan untuk mengubah kulit mentah hides maupun skines menjadi kulit tersamak atau leather. Penyamakan kulit merupakan cara untuk mengubah kulit mentah (hide/skin) yang bersifat labil (mudah rusak oleh pengaruh fisik, kimia dan biologis)
5
6
menjadi kulit yang stabil terhadap pengaruh tersebut yang biasa disebut kulit tersamak (leather). Kulit samak atau kulit jadi memiliki sifat-sifat khusus yang sangat berbeda dengan kulit mentahnya, baik sifat fisis maupun sifat khemisnya. Kulit mentah mudah sekali membusuk dalam keadaan kering, keras, dan kaku sedangkan kulit tersamak memiliki sifat lemas serta teksturnya lentur. Teknik mengolah kulit mentah menjadi kulit samak disebut penyamakan. Proses penyamakan bertujuan agar kulit hewan yang mudah busuk dapat menjadi tahan terhadap serangan mikroorganisme. Prinsip mekanisme penyamakan kulit adalah memasukkan bahan penyamak ke dalam anyaman atau jaringan serat kulit sehingga menjadi ikatan kimia antara bahan penyamak dan serat kulit (Ruben, 2008). Salah satu dalam proses penyamakan dikenal adanya sistem penyamakan berbulu dan tidak berbulu. Sistem penyamakan berbulu tentunya ditujukan untuk mempertahankan keindahan bulunya sedangkan penyamakan tidak berbulu tentunya sengaja ditujukan untuk menghilangkan bulu. Sekilas yang membedakan kedua proses ini adalah dilakukannya proses pengapuran pada sistem penyamakan tidak berbulu dengan tujuan supaya mempermudah dalam menghilangkan bulunya (Irfan, 2012). Kegiatan penyamakan kulit dilakukan dengan cara seperti berikut: 1. Pretanning Kegiatan ini bertujuan untuk mengawetkan kulit mentah agar dapat bertahan hingga penyamakan sesungguhnya dilakukan. Kegiatan ini dinamakan dengan pengerjaan basah yang meliputi proses perendaman (soaking), pengapuran (liming), pembuangan kapur (deliming), baitsen (bating), dan pengasaman (pickling). Tujuan dari masing-masing kegiatan yaitu: a. Perendaman bertujuan untuk mengubah kondisi kulit kering menjadi lemas dan lunak. b. Pengapuran bertujuan untuk menghilangkan bulu dan epidermis, kelenjar keringat dan lemak, zat-zat yang tidak diperlukan, serta memudahkan pelepasan subcutis.
7
c. Pembuangan kapur bertujuan untuk menghilangkan kapur yang terkandung dalam kulit, karena penyamakan dilakukan dalam kondisi asam sehingga harus terbebas dari kapur yang bersifat basa. d. Bating merupakan proses penghilangan zat-zat non kolagen. e. Pengasaman bertujuan membuat kulit bersifat asam (pH 3,0-3,5), agar kulit tidak bengkak bila bereaksi dengan obat penyamaknya. 2. Tanning Tahapan proses penyamakan disesuaikan dengan jenis kulit. Kulit dibagi atas 2 golongan yaitu hide (untuk kulit dari binatang besar seperti kulit sapi, kerbau, kuda dan lain-lain), dan skin (untuk kulit domba, kambing, reptil dan lain-lain). Jenis zat penyamak yang digunakan mempengaruhi hasil akhir yang diperoleh. Penyamak nabati (tannin) memberikan warna coklat muda atau kemerahan, bersifat agak kaku tapi empuk, kurang tahan terhadap panas. Penyamak mineral paling umum menggunakan krom. Penyamakan krom menghasilkan kulit yang lebih lembut/ lemas, dan lebih tahan terhadap panas. 3. Finishing Kegiatan setelah penyamakan kulit terdiri atas pengetaman (shaving), pemucatan (bleaching), penetralan (neutralizing), pengecatan dasar, peminyakan (fat liquoring), penggemukan (oiling), pengeringan, pelembaban dan perenggangan (Ruben, 2008). C. Pelatihan Pelatihan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap untuk meningkatkan kinerja saat ini dan masa yang akan datang (Mondy dan Noe,1996). Pelatihan dibagi menjadi tiga tahapan integratif yaitu fase penilaian, fase implementasi dan fase evaluasi. Tahap pertama yaitu fase penilaian adalah tahap untuk menentukan kebutuhan apa saja yang harus diakomodasikan dalam pelatihan termasuk juga
bagaimana
format
dan
rancangan
pelatihan
yang
akan
diimplementasikan. Tahap kedua pelatihan adalah mengimplementasikan
8
semua keputusan tentang pelatihan yang dihasilkan dari tahap pertama. Selain menterjemahkan setiap informasi tahap pertma dalam tahap ini juga dibuat strategi tentang bagaimana pelatihan secara teknis akan dilakukan. Tahap ketiga pelatihan
yaitu tahap evaluasi adalah untuk memastikan bahwa
pelatihan yang dilaksanakan tercapai target yang ditentukan sehingga kegiatan utama dalam tahap ini adalah mengadakan pengukuran sampai sejauh mana efektivitas pelatihan dapat dicapai. Korelasi ketiga tahapan integratif tersebut menjelaskan bahwa penentuan substansi pelatihan dan proses
transformasi
kebutuhan
kedalam
tahap
implementasi
akan
menghasilkan sebuah program yang membuahkan hasil yang efektif berdasarkan hasil pengukurannya (Irianto, 1992). D. Pelatihan Kewirausahaan Entrepreneurship adalah jiwa kewirausahaan yang dibangun untuk menjembatani antara ilmu dengan kemampuan pasar. Entrepreneurship meliputi pembentukan perusahaan baru, aktivitas kewirausahaan juga kemampuan managerial yang dibutuhkan seorang entrepreneur (Sukmadi et al, 2008). Arman (2007) menambahkan bahwa secara sederhana arti wirausaha (entrepreneur) adalah orang yang berjiwa berani mengambil risiko untuk membuka usaha dalam berbagai kesempatan. Berjiwa berani mengambil risiko artinya bermental mandiri dan berani memulai usaha, tanpa diliputi rasa takut atau cemas sekalipun dalam kondisi tidak pasti. Cope dan Watt (2000) menyatakan bahwa kejadian kritis (criticalincident) yang dialami wirausaha dalam kegiatan usahanya sehari-hari mengandung muatan emosional yang sangat tinggi dan pembelajaran tingkat tinggi. Cope dan Watt menekankan pentingnya pembimbingan (mentoring) untuk mengintepretasikan kejadian kritis yang dihadapi sebagai pembelajaran, sehingga hasil pembelajarannya menjadi efektif. Rae (2000) menggambarkan bahwa pengembangan kemampuan wirausaha dipengaruhi oleh motivasi, nilai-nilai individu, kemampuan, pembelajaran, hubungan-hubungan, dan sasaran yang diinginkannya.
9
Kewirausahaan ternyata juga sangat berperan dalam perkembangan UMKM. Penelitian terdahulu menunjukkan, kinerja industri kecil yang rendah disebabkan beberapa faktor antara lain rendahnya karakteristik kewirausahaan (poor entrepreneurial). Kewirausahaan menjadi “motor penggerak” yang berperan dalam pembangunan industri. Proses industrialisasi diperlukan sikap kewirausahaan dalam pembangunan ekonomi (Amstrong dan Taylor, 2000). Kewirausahaan juga bisa berpengaruh langsung terhadap kinerja usaha. Baum et al. (2001) mengatakan bahwa sifat seseorang (yang bisa diukur dari ketegaran dalam menghadapi masalah, sikap proaktif dan kegemaran dalam bekerja), kompetensi umum (yang bisa diukur dari keahlian berorganisasi dan kemampuan melihat peluang), kompetensi khusus yang dimilikinya seperti keahlian industri dan keahlian teknik, serta motivasi (yang bisa diukur dari visi, tujuan pertumbuhan dan self efficacy), berpengaruh secara positif terhadap pertumbuhan usaha. E. Partisipasi Tumbuhnya partisipasi untuk mengikuti kegiatan pelatihan tidak muncul begitu saja. Tumbuhnya partisipasi sebagai suatu tindakan yang nyata membutuhkan tiga persyaratan yang meliputi adanya kemauan untuk berpartisipasi yang muncul karena adanya motivasi, intrinsik dan ekstrinsik, adanya kemampuan untuk berpartisipasi, kemauan untuk berpartisipasi yang dimiliki individu belum menjadi jaminan berhasilnya kegiatan pelatihan apabila tidak didukung oleh kemampuan untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan yang bersangkutan. Poin yang ketiga adalah adanya kesempatan untuk berpartisipasi, walaupun individu memiliki keinginan dan kemampuan untuk berpartisipasi namun apabila tidak memiliki kesempatan untuk berpartisipasi maka hal tersebut menjadi sia-sia (Slamet, 1994). Mikkelsen (2003) menambahkan bahwa pembangunan pada dasarnya merupakan proses perubahan, dan salah satu bentuk perubahan yang diharapkan adalah perubahan sikap dan perilaku. Partisipasi masyarakat yang
10
semakin meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif merupakan salah satu perwujudan dari perubahan sikap dan perilaku tersebut. F. Faktor-Faktor yang Dipertimbangkan dalam Pelaksanaan Pelatihan Menurut Budiono (2002) ada beberapa faktor yang perlu untuk dipertimbangkan dalam pelaksanaan kegiatan pelatihan adalah sebagai berikut: 1. Peserta Pelatihan Keberhasilan pelaksanaan kegiatan pelatihan dapat dipengaruhi oleh bakat dan minat individu yang mengikutinya. Ketidaksesuaian bakat dan minat individu dengan kegiatan magang yang diikutinya akan menimbulkan kesulitan dalam diri individu untuk dapat mengikuti proses belajar selama magang. Kemampuan dalam mengikuti proses belajar selama pelaksanaan kegiatan magang akan membantu individu tersebut untuk dapat mengetahui dan memahami pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang disampaikan oleh pelatih sehingga individu tersebut mampu menerapkannya dalam pekerjaan sehari-hari. 2. Pelatih Berhasil atau tidaknya seseorang melakukan tugas sebagai pengajar, tergantung kepada ada tidaknya persamaan kualifikasi orang tersebut dengan kualifikasi yang tercantum dalam analisa jabatan mengajar. Seorang trainer yang baik harus mempunyai kecakapankecakapan sebagai berikut: a. Pengetahuan yang mendalam dan mempunyai kecakapan b. Mempunyai rasa tanggungjawab dan sadar akan kewajiban c. Bijaksana dalam segala tindakan dan sabar d. Dapat berfikir secara logis e. Mempunyai kepribadian yang menarik
11
3. Dana pelatihan Dana dibutuhkan untuk mendukung berjalannya kegiatan pelatihan. Dana dapat digunakan untuk keperluan biaya transportasi, makan, dan uang saku baik untuk peserta maupun pelatih serta biaya lainnya untuk mendukung kegiatan sehingga masalah penggunaan dana perlu untuk dipertimbangkan agar dialokasikan dengan efektif dan efisien. 4. Batas waktu pelaksaan pelatihan perlu diperhatikan. Hal ini berkaitan dengan keefektifan dan keberhasilan pelaksanaan kegiatan magang. Pelaksaan kegiatan pelatihan yang terlalu lama juga tidak baik karena harus mengeluarkan dana yang besar. G. Hubungan Karakteristik Individu dengan Partisipasi Menurut Madrie (1986) dalam pelaksanaan kegiatan pelatihan faktor yang mempengaruhi partisipasi peserta adalah umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, motivasi, dan sifat kekosmopolitan. 1. Umur Umur bukan merupakan faktor psikologis, tetapi apa yang diakibatkan oleh umur adalah faktor psikologis. Umur seseorang biasanya dibarengi dengan pertumbuhan secara fisiologis (fisik), sehingga sampai umur tertentu (± 30 tahun) fisik seseorang akan mengalami pertumbuhan berat dan tinggi. Pertumbuhan fisiologis juga diiringi perkembangan psikologis (tingkat kedewasaan). Secara umum, semakin tua umur seseorang maka tingkat perkembangan psikologisnya juga semakin meningkat (semakin dewasa), namun demikian tingkat kedewasaan seseorang
tidak
selalu
berbanding
lurus
dengan
umurnya
(Padmowihardjo, 1994). 2. Tingkat Pendidikan Pendidikan saat ini merupakan kebutuhan primer setiap manusia. Pendidikan tidak boleh dianggap sepele karena pendidikan akan meningkatkan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Pendidikan
12
merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan sarana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya
untuk
memiliki
kekuatan
spiritual
keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasaan, akhlak yang mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Saman, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang berpartisipasi dalam pelatihan berdasarkan teori yang digunakan adalah teori pendidikan orang dewasa. Menurut Skilbek (2006) orang dewasa akan berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan karena physical factors (contoh: kesempatan berpartisipasi, kecukupan waktu dan kondisi pembelajar), psychological factors (contoh: kepercayaan diri, motivasi untuk belajar), social factors (contoh:
dukungan
dari
keluarga,
pembelajaran yang menyenangkan),
kelompok,
serta
pengaturan
educational factors (contoh:
relevansi materi, tingkat kesukaran dalam tugas pembelajaran, dan kualitas lingkungan pembelajaran). Berdasarkan teori tersebut, faktorfaktor yang mempengaruhi partisipasi seseorang dalam pelatihan dapat diketahui. 3. Tingkat Pendapatan Sejalan dengan tingkat pendidikan pengrajin yang masih tergolong rendah akan berimbas pada tingkat pendapatannya. Menurut Muhadjir (1982), kesempatan yang dimiliki tiap individu untuk memperoleh pendidikan berkaitan dengan kemampuan ekonominya. Individu yang perekonomiannya tergolong rendah cenderung sulit untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan yang rendah akan sulit untuk mendapatkan kesempatan kerja. Kesempatan kerja yang sedikit mengakibatkan tingkat pendapatan yang rendah.
13
4. Motivasi Menurut Kartono (2001) motivasi diartikan sebagai gambaran penyebab yang menimbulkan terjadinya tingkah laku untuk mencapai sasaran tertentu. Motivasi dapat membentuk dasar pikiran seseorang untuk bertindak. Motivasi juga dapat dijadikan sebagai ide pokok sementara yang mempengaruhi besar terhadap perilaku individu yang berkaitan dengan peristiwa masa lalu. Danim (2004) menyatakan bahwa, ada beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi, yaitu: 1. Gaya kepemimpinan administrator. Kepemimpinan dengan gaya otoriter membuat pekerja menjadi tertekan dan acuh tak acuh dalam bekerja. 2. Sikap individu. Ada individu yang statis dan ada pula yang dinamis. Demikian juga ada individu yang bermotivasi kerja tinggi dan ada pula yang bermotivasi kerja rendah. Situasi dan kondisi di luar dari individu memberi pengaruh terhadap motivasi. Faktor yang paling menentukan adalah individu itu sendiri. 3. Situasi kerja, lingkungan kerja, jarak tempuh dan fasilitas yang tersedia membangkitkan
motivasi,
jika
persyaratan
terpenuhi.
Faktor
persyaratan tersebut tidak diperhatikan dapat menekan motivasi. Orang dapat bekerja dengan baik jika faktor pendukungnya terpenuhi. Sebaliknya, pekerja dapat menjadi frustasi jika faktor pendukung yang dikehendaki tidak tersedia. 5. Kekosmopolitan Tingkat kekosmopolitanan merupakan gambaran sampai sejauh mana tingkat keterbukaan seseorang terhadap dunia luar dan sejauh mana tingkat keterendahannya terhadap media (media exposure). Segala sesuatu yang memungkinkan seseorang lebih terbuka terhadap dunia luar akan meningkatkan kekosmopolitanan seseorang. Seseorang yang lebih sering berkunjung
atau
bepergian
ke
tempat
lain
akan
meningkatkan
14
kekosmopolitanannya, sebab seseorang akan mendapatkan informasi dan relasi baru yang dapat memberi tambahan pengetahuan dan memperluas cakrawala
berfikirnya.
Demikian
halnya
dengan
media
yang
dimanfaatkannya, semakin banyak seseorang memanfaatkan atau tersentuh media massa akan menambah pengetahuan dan memperluas cakrawala berfikirnya pula. Hasil penelitian Fatimah (2001) tentang sikap pekerja sosial panti terhadap etika kerja menyatakan bahwa pada taraf kepercayaan 99%, kekosmopolitan berhubungan nyata secara positif dengan sikap. Penelitian tersebut menjelaskan yang dimaksud dengan kekosmopolitan adalah frekuensi melakukan kontak dengan sumber informasi, frekuensi mengikuti pelatihan, frekuensi mengikuti pembinaan secara fungsional, dan frekuensi mencari informasi melalui media massa. Hasil penelitian tersebut dapat dijadikan dasar dalam mencari informasi sejauh mana hubungan antara kekosmopolitan peserta dengan aspek perilaku yang salah satunya adalah sikap.