7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Manajemen Mutu Beragam definisi mutu telah dikemukakan sebagai karakter dari suatu produk atau jasa. Secara sederhana, suatu produk atau jasa yang bermutu didefinisikan sebagai produk atau jasa yang sesuai dengan yang diinginkan oleh konsumen. Mutu didefinisikan sebagai kesesuaian dengan kebutuhan konsumen yang meliputi ketersediaan, pengiriman, ketahanan produk dan efektivitas biaya (Tenner dan De Toro, 1992). Berdasarkan pengertian mutu yang ditetapkan oleh BSN (1991), mutu adalah keseluruhan ciri dan karakteristik produk atau jasa yang kemampuannya dapat memuaskan kebutuhan, baik yang dinyatakan secara tegas maupun tersamar. Istilah kebutuhan diartikan sebagai spesifikasi yang tercantum dalam kontrak maupun kriteria-kriteria yang harus didefinisikan terlebih dahulu. Berdasarkan beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas secara garis besar, mutu adalah keseluruhan ciri atau karakteristik produk atau jasa yang dalam tujuannya untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan. Mutu produk atau jasa akan dapat diwujudkan bila orientasi seluruh kegiatan perusahaan berorientasi pada kepuasan pelanggan (customer satisfaction). Terdapat dua perspektif mutu, yaitu perspektif mutu produsen dan perspektif mutu konsumen. Apabila kedua perspektif tersebut disatukan maka akan tercapai kesesuaian antara dua sisi perspektif yang dikenal sebagai kesesuaian bagi penggunaan konsumen (fitness for consumer use). Skema mutu perspektif konsumen dan produsen diperlihatkan pada Gambar 1 (Russel dan Taylor, 2003).
8
Pengertian Mutu
Perspektif Produsen
Perspektif Konsumen
Kesesuaian Mutu Produksi
- Kesesuaian Spesifikasi - Biaya
Kesesuaian Disain - Karakteristik Mutu - Harga
Pemasaran
Kesesuaian Penggunaan Gambar 1. Perspektif mutu (Russel dan Taylor, 2003) Untuk mencapai produk yang sesuai bagi penggunaan konsumen, terdapat berbagai faktor yang berpengaruh dan harus diperhatikan sebagai berikut (Prawirosentono, 2004). - Pengendalian mutu dalam proses produksi. Terdapat keterkaitan antara mutu produk dengan proses produksi. Suatu produk dibuat melalui pengolahan dari bahan baku menjadi bahan setengah jadi dan akhirnya menjadi barang jadi berdasarkan mutu yang diciptakan. - Ruang lingkup standar mutu terpadu Pengendalian mutu merupakan kegiatan terpadu mulai dari pengendalian berdasarkan standar mutu bahan, standar mutu proses produksi, barang setengah jadi, barang jadi hingga standar pengiriman produk akhir ke konsumen agar barang tersebut sesuai degan spesifikasi mutu yang direncanakan. - Pengendalian mutu dan dukungan manajemen Pihak manajemen perusahaan maupun tenaga kerja harus saling menunjang pelaksanaan kegiatan pengendalian mutu produk sejak awal kegiatan produksi, yaitu pemilihan bahan baku, proses produksi, hingga produk didistribusikan hingga konsumen. Partisipasi manajemen dan seluruh tenaga kerja akan mempengaruhi keberhasilan kendali mutu atas produk yang diproduksi.
9
- Multi tujuan pengendalian mutu Tujuan utama pengendalian mutu adalah untuk mengetahui sejauh mana proses dan hasil produksi yang dibuat sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan. Secara umum tujuan pengawasan mutu adalah 1) produk akhir memiliki spesifikasi sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan dan 2) agar biaya disain produk, biaya inspeksi dan biaya proses produksi dapat berjalan secara efisien. - Faktor teknis yang mempengaruhi pengendalian mutu Penggunaan teknologi dalam memproduksi barang berpengaruh terhadap produk yang dihasilkan apakah sesuai dengan standar yang diinginkan atau tidak. - Pengendalian mutu dan bahan sisa Manfaat dan tujuan lain dalam mengawasi proses produksi adalah dapat mengurangi bahan sisa. Bahan sisa yang terbuang harus diupayakan seminimal mungkin. Dalam hal ini aspek efisiensi penggunaan bahan baku sangat ditekankan. Jumlah bahan sisa yang sedikit berarti penggunaan bahan baku yang efisien. - Organisasi dan unit pengendalian mutu Unit pengendalian mutu berfungsi mengendalikan mutu dan bertanggung jawab terhadap kesesuaian mutu produk yang dihasilkan. Dengan semakin meningkatnya kesadaran dan permintaan konsumen terhadap produk dan jasa dengan mutu yang baik, telah mengakibatkan berkembangnya sistem manajemen mutu. Perspektif manajemen mutu telah berubah dari pengawasan mutu, pengendalian mutu dan jaminan mutu menjadi manajemen mutu terpadu (Spiegl, 2004). Manajemen mutu terpadu merupakan pendekatan mutu terintegrasi yang meliputi aspek keamanan dan mutu produk (Gambar 2). Manajemen mutu terdiri dari strategi mutu, kebijakan, disain mutu, pengendalian mutu, perbaikan mutu dan jaminan mutu. Aktivitas tersebut dilakukan untuk menghasilkan dan menjaga suatu produk dengan level mutu yang diinginkan dengan biaya minimal (Spiegl, 2004). Manajemen mutu terpadu melibatkan prinsip penerapan manajemen mutu terhadap seluruh aspek bisnis perusahaan. Manajemen mutu terpadu mempersyaratkan bahwa prinsip-prinsip manajemen mutu diterapkan diseluruh bagian organisasi. Suatu perusahaan
10
yang menerapkan menejemen mutu terpadu akan memiliki karakteristik visi dan misi yang jelas, hambatan antar hubungan departemen atau organisasi perusahaan yang rendah, adanya pelatihan, hubungan pemasok dan konsumen yang baik, dan realisasi mutu tidak hanya pada mutu produk tetapi juga seluruh organisasi termasuk juga aspek keuangan, tenaga kerja dan fungsi non manufaktur perusahaan lainnya (Zhang, 1999).
Sistem Jaminan Mutu
UREP-GAP (Euro Retailer Produce-Good Agricultural Practices); BRC (British Retail Consortium); SQF (Safe Quality Food)
GMP
Karakteristik
Mutu Total
Mutu Produk
Keamanan Produk
Mutu
- Umum - Menyangkut Keamanan Produk
HACCP
- Spesifik - Menyangkut Keamanan Produk
ISO
- Spesifik - Menyangkut Keamanan Produk - Mutu - Organisasi
Mutu, Kesehatan dan Keamanan saat Kerja dan Sistem Lingkungan
- Umum - Terintegrasi
TQM
- Umum - Terintegrasi - Strategis - Berorientasi konsumen
Gambar 2. Manajemen mutu terpadu sebagai pendekatan mutu terintegrasi (Spiegl, 2004)
2.2. Konsep Perbaikan Mutu Suatu produk atau jasa yang diterima pelanggan diperoleh melalui suatu proses kerja atau proses bisnis. Kinerja proses kerja atau proses bisnis tersebut mempengaruhi tingkat kepuasan pelanggan terhadap produk dan jasa yang diperolehnya (Gasperz, 2003). Agar selalu mampu memenuhi kepuasan pelanggan terhadap produk dan jasa, perbaikan kinerja proses kerja dan proses
11
bisnis perlu dilakukan setiap saat. Tenner dan De Torro (1992) mengemukakan suatu model perbaikan proses yang terdiri dari enam langkah berikut. a) Identifikasi masalah Menetapkan sistem mana yang terlibat, agar usaha-usaha perbaikan dapat terfokus pada proses bukan output. b) Identifikasi proses Identifikasi aktifitas yang mengkonversi input menjadi output melalui langkah yang terorganisasi. c) Mengukur performansi Mengukur bagaimana baik atau jeleknya suatu sistem sedang berjalan atau beroperasi. d) Memahami mengapa suatu masalah dalam kontek proses terjadi Memahami masalah diperlukan agar langkah-langkah perbaikan efektif dan efisien. e) Mengembangkan dan menguji ide-ide Mengembangkan ide-ide perbaikan proses yang ditujukan kepada akar penyebab masalah utama. Agar ide-ide yang dipilih untuk perbaikan bersifat efektif, maka ide tersebut perlu diuji terlebih dahulu. f) Implementasi solusi dan evaluasi. Perencanaan dan implementasi perbaikan yang diidentifikasi dan diuji pada langkah sebelumnya. Hasil implementasi perbaikan diukur dan dievaluasi efekifitasnya sebagai umpan balik dalam perbaikan proses selanjutnya.
2.3. Konsep Keunggulan Daya Saing Keunggulan
daya
saing
dapat
didefinisikan
sebagai
kepemilikan
perusahaan terhadap berbagai aset dan kompetensi dengan karakteristik spesial (seperti kemampuan dalam menciptakan strategi berbiaya rendah, merek ataupun strategi logistik) yang menjadikan perusahaan memiliki keunggulan melebihi pesaingnya. Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2002), keunggulan kompetitif merupakan posisi yang menjamin superioritas perusahaan di atas para pesaingnya dalam pandangan konsumen. Sumber keunggulan kompetitif terletak pada kemampuan perusahaan untuk membedakan dirinya sendiri di mata konsumen dari para pesaingnya (keunggulan nilai), dan yang ke dua adalah kemampuan perusahaan melakukan cara kerja berbiaya rendah (keunggulan
12
produktifitas). Keunggulan daya saing merupakan gabungan dari banyaknya kreativitas di perusahaan dalam mendisain, memproduksi, memasarkan, mengantarkan
dan
mendukung
produknya.
Perusahaan
akan
memiliki
keunggulan daya saing jika mampu melakukan aktivitas tersebut lebih baik atau lebih murah dari pesaingnya (Porter, 1985 dalam Brown, 1996).
2.4. Agroindustri Ikan Agroindustri ikan merupakan industri yang menggunakan ikan sebagai bahan baku untuk diolah melalui transformasi dan pengawetan dengan cara melakukan proses perubahan fisik atau kimiawi, penyimpanan, pengemasan dan distribusi untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Komoditas perikanan laut yang dapat dihasilkan di hampir seluruh wilayah Indonesia menyebabkan sentra produksi perikanan maupun agroindustri ikan tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Menurut Departemen Perindustrian (2004), Indonesia memiliki 327 sentra agroindustri perikanan dengan sentra agroindustri ikan utama terdapat di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara. Pada Gambar 3 diperlihatkan peta sentra agroindustri ikan utama Indonesia sedangkan pada Tabel 4 diperlihatkan jumlah sentra agroindustri ikan pada masing-masing propinsi di Indonesia.
Gambar 3. Sentra agroindustri ikan Indonesia (Deperin, 2004)
13
Tabel 4. Jumlah sentra agroindustri ikan pada masing-masing propinsi di Indonesia Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Bali
Jumlah Sentra 6 17 12 7 7 2 3 7 3 39 2 16 14
Propinsi NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara Maluku Papua
Jumlah Sentra 10 16 4 23 6 14 21 4 9 18 36 5
Sumber :Deperin (2004)
Sebagian besar ikan laut hasil tangkapan diperdagangkan dalam bentuk segar, hanya sekitar 43 % yang diperdagangkan dalam bentuk produk olahan. Ragam produk olahan ikan yang diproduksi di Indonesia sekitar 30 % merupakan bentuk olahan tradisional, 11 % bentuk olahan modern dan sekitar 2 % berupa bentuk olahan lainnya. Untuk kebutuhan produk ekspor, berdasarkan data ekspor ikan Indonesia tahun 2005 sekitar 80 % produk ikan olahan merupakan produk olahan modern sedangkan sekitar 6 % merupakan produk olahan tradisional (Rahmania, 2007). Jenis produk olahan ikan yang dihasilkan dari agroindustri ikan adalah produk ikan beku, ikan olahan kering, ikan olahan dalam kaleng, serta ikan olahan siap saji. Sebagian besar ragam produk olahan agroindustri ikan merupakan produk pangan, sedangkan produk olahan ikan non pangan dapat merupakan produk pakan maupun farmasi. Agroindustri ikan berskala menengah dan besar di Indonesia pada umumnya bergerak di bidang usaha pengalengan ikan, pembekuan ikan, pengeringan ikan, serta pembuatan makanan olahan berbahan baku ikan seperti nugget, seafood dumping, springroll, dan lainnya. Produk-produk tersebut pada umumnya diekspor ke luar negeri selain juga untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik (Sumaryanto et al., 2006). Beragam produk olahan pangan dan non pangan yang dihasilkan oleh agroindustri ikan diperlihatkan dalam pohon industri ikan pada Gambar 4.
14
Gelatin
Pakan
Pakan Ternak
Pakan
Gambar 4. Pohon industri ikan (Sumber: www.bi.go.id/ diakses pada 16 Maret 2007)
2.5. Mutu dan Keamanan Pangan Produk Agroindustri Ikan Berkaitan dengan produk agroindustri ikan sebagai produk pangan, maka jaminan mutu dan keamanan pangan produk agroindustri ikan sangat penting. Mutu dan keamanan produk agroindustri ikan ditentukan mulai dari kondisi mutu ikan segar sebagai bahan baku utama. Kesegaran ikan dalam karakteristik organoleptik ikan merupakan faktor penting penilaian mutu ikan. Pada Tabel 5 diperlihatkan karakteristik organoleptik yang baik dari ikan segar. Tabel 5. Karakteristik organoleptik yang baik dari ikan segar Aspek Penilaian Mata Insang
Karakteristik
Cemerlang, kornea bening, pupil hitam, mata cembung Warna merah sampai merah tua, cemerlang, tidak berbau, tidak ada offodor Lendir Terdapat lendir alami yang menutupi ikan dengan ba khas menurut jenis ikan. Rupa lendir cemerlang seperti lendir ikan hidup, bening Kulit Cemerlang, belum pudar, warna asli kontras Sisik Melekat kuat, mengkilat dengan tanda/warna khusus, tertutup lendir jernih Daging Sayatan daging cerah dan elastis, bila ditekan tidak ada bekas jari Rongga Bersih dan bebas dari bau menusuk. Tekstur dinding perut kompak elastis Perut tanpa ada diskolorasi dengan bau segar, serta selaput utuh Darah Segar merah dan konsistensi normal Sayatan Bila ikan dibelah daring melekat kuat pada tulang terutama pada rusuknya Tulang Tulang belakang berwarna abu-abu mengkilap Bau Segar dan menyenangkan seperti air laut/rumput laut. Tidak ada bau pesing Kondisi Bebas dari parasit apapun tanpa luka atau kerusakan pada badan ikan Sumber: Ilyas (1993)
15
Penurunan mutu ikan segar ditandai oleh adanya perubahan karakteristik organoleptik ikan yang meliputi terdeteksinya off-odours dan off-flavor, pembentukan lendir, produksi gas, perubahan warna dan tekstur daging ikan (Huss, 1994). Terjadinya perubahan karakteristik organoleptik ikan segar disebabkan oleh adanya proses autolisis, aktivitas kimiawi pada tubuh ikan, serta akibat aktivitas mikrobiologis. Ketiga faktor tersebut selalu terdapat pada perubahan karakteristik organoleptik ikan segar. Proses autolisis merupakan proses penguraian protein jaringan otot dan komponen organik lainnya di dalam daging ikan. Penurunan mutu akibat aktivitas kimia yang paling utama terjadi adalah perubahan akibat oksidasi lemak daging ikan yang menghasilkan bau dan rasa tengik, serta perubahan warna menjadi coklat kusam. Aktivitas beragam mikroorganisme yang terdapat pada ikan dapat menghasilkan beragam senyawa hasil penguraian protein dan lemak seperti amonia, gas hidrogen belerang (H2S), beragam jenis asam, dan senyawa lain yang berbau busuk dan tengik (Ilyas, 1993). Berkaitan dengan jaminan keamanan pangan, terdapat beberapa agen penyebab penyakit atau bahaya yang ditimbulkan dari mengkonsumsi ikan. Menurut Huss (1994), beberapa agen penyebab bahaya pangan tersebut adalah sebagai berikut. 1. Bakteri patogen Bakteri patogen yang terdapat pada ikan dikelompokkan dalam kelompok indigenous bacteria dan non indigenous bacteria. Indigenous bacteria merupakan bakteri yang terdapat pada lingkungan perairan habitat ikan dan terdapat di seluruh lingkungan perairan dunia. Non indigenous bacteria merupakan bakteri yang bersumber dari manusia atau hewan serta lingkungan dengan kondisi sanitasi yang buruk. Bakteri petogen tersebut dapat menimbulkan infeksi penyakit pada manusia maupun menghasilkan senyawa
racun
pada
ikan
yang
berbahaya
bagi
manusia
yang
mengkonsumsinya. Bakteri patogen yang terdapat pada ikan diperlihatkan pada Tabel 6. Tabel 6. Bakteri patogen pada ikan Indigenous bacteria
Clostridium botulinum ; Vibrio sp. ; V. cholerae ; V. parahaemolyticus ; Aeromonas hydrophila Plesiomonas shigelloides ; Listeria monocytogenes
Non indigenous bacteria
Salmonella sp. ; Shigella ; E. coli ; Staphylococcus aureus
Sumber: Huss (1994)
16
2. Virus Berdasarkan Kilgen dan Cole dalam Huss (1994), jenis virus yang yang menjadi penyebab penyakit yang berhubungan dengan konsumsi produk pangan laut, yaitu Hepatitis - tipe A (HAV), Norwalk virus, Snow Mountain Agent, Calicivirus, Astrovirus, Non-A dan Non-B. Tedapatnya virus pada produk pangan laut merupakan hasil dari kontaminasi dari orang yang menangani produk pangan tersebut atau melalui air yang terpolusi. 3. Biotoksin Biotoksin pada ikan merupakan racun yang secara alami terdapat di alam. Jenis biotoksin yang terdapat pada ikan dan dapat menyebabkan sakit pada manusia yang mengkonsumsinya adalah tetrodotoxin, ciguatera, paralytic shellfish poisoning (PSP), diarrhetic shellfish poisoning (DSP), neurotoxic shellfish
poisoning
(NSP),
dan
amnesic
shellfish
poisoning
(ASP).
Tetrodotoxin diduga dihasilkan dari bakteri yang bersimbiosis. Ciguatera, PSP, DSP, NSP, serta ASP dihasilkan dari alga atau plankton laut beracun yang dimakan oleh ikan. 4. Biogenic amines (histamine poisoning) Keracunan histamin merupakan intoksikasi kimia setelah mencerna makanan yang mengandung histamin dengan kadar tinggi. Histamin terbentuk pada masa post mortem melalui proses dekarboksilasi asam amino histidin oleh bakteri. Kadar histamin yang tinggi sering ditemukan pada ikan keluarga Scombridae (tuna dan makarel) yang memiliki kandungan histidin yang tinggi. 5. Parasit Walaupun dampak kesehatan yang ditimbulkan oleh parasit yang terdapat pada ikan jarang dikeluhkan, namun terdapat lebih dari 50 spesies parasit cacing yang terdapat pada ikan menjadi penyebab penyakit pada manusia. Parasit pada ikan seperti nematoda, cestoda, dan trematoda berkaitan dengan siklus hidup dan rantai makanan. 6. Cemaran kimia Cemaran kimia yang berpotensi sebagai racun dikelompokkan dalam senyawa kimia anorganik (terdiri dari aresenik, kadmium, timbal, merkuri, selenium, dan sulfit), senyawa organik (terdiri dari bifenil, dioksin, insektisida), dan senyawa yang digunakan berkaitan dengan budidaya ikan seperti antibiotik dan hormon.
17
Penanggulangan beragam masalah yang menurunkan mutu ikan dan bahaya kemanan pangan terkait dengan aktivitas penanganan ikan dimulai dari kegiatan penangkapan ikan hingga konsumen akhir. Berdasarkan hal tersebut maka jaminan mutu terhadap produk agroindustri ikan yang baik perlu dilakukan melalui penerapan sistem jaminan mutu yang memadai secara efektif pada rantai pasok agroindustri ikan. Sistem mutu pada agroindustri ikan meliputi Good Manufacturing Practices (GMP), Standard Sanitation Operational Procedure (SSOP) dan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) (Palacios, 2001). Aliran ikan sebagai bahan baku maupun produk pada rantai pasokan agroindustri ikan diilustrasikan oleh Roheim (2008) seperti terlihat pada Gambar 3. Berdasarkan gambar tersebut, terdapat empat aliran pasokan ikan segar hasil tangkapan nelayan domestik maupun nelayan asing untuk perdagangan ekspor. Empat aliran pasokan ikan tersebut adalah 1) ikan segar tangkapan nelayan langsung ditujukan untuk ekspor sebagai komoditas ikan segar; 2) ikan segar dipasok pada industri pengolahan primer kemudian hasil pengolahannya diekspor; 3) ikan segar dipasok pada industri yang melakukan pengolahan primer kemudian pengolahan sekunder, hasil pengolahan sekunder kemudian diekspor; 4) ikan segar tangkapan nelayan diekspor pada industri pengolahan negara lain, yang kemudian produknya diekspor kembali untuk dipasarkan di negara konsumen. Untuk perdagangan komoditas atau produk ikan domestik, ikan hasil tangkapan nelayan langsung dipasok pada distributor untuk memenuhi permintaan ikan segar atau dipasok untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan ikan primer maupun sekunder. Produk industri pengolahan ikan kemudian didistribusikan melalui distributor ikan yang akan memasarkannya pada pasar eceran seperti supermarket dan pasar ikan serta penyedia jasa makanan seperti restoran dan hotel. Pada rantai pasokan ikan masih terdapat pelaku lain yang terlibat dalam rantai pasokan namun tidak ditampilkan pada gambar rantai pasokan ikan global Gambar 5. Pelaku lain tersebut adalah pedagang pengumpul yang memasok ikan segar dari nelayan untuk industri pengolah
atau
pengekspor
atau
pedagang
memungkinkan terdapat pada setiap rantai pasokan.
perantara
lainnya
yang
18
Agroindustri Ikan di Negara Lain
Nelayan Asing
Nelayan Domestik
Agroindustri Ikan Primer Asing
Agroindustri Ikan Primer Domestik
Produk ikan segar, beku, kaleng
Produk ikan segar, beku, kaleng
Agroindustri Ikan Sekunder Asing
Agroindustri Ikan Sekunder Domestik
Breading Steak/Fillet/Portion Cooking/Packaging
Breading Steak/Fillet/Portion Cooking/Packaging
Distributor Khusus Produk Ikan Domestik
Distributor Domestik
Pasar Ritel
Penyedia Jasa Makanan
Supermarket Pasar Ikan Toko Khusus
Restoran Hotel Institusi
Gambar 5. Skema rantai pasokan ikan global (Roheim, 2008)
2.6. Sistem Jaminan Mutu pada Agroindustri Ikan 2.6.1. Penanganan yang Baik (Good Handling Practices - GHdP) Untuk memperoleh ikan dengan mutu yang sesuai dengan ketentuan industri pengolahan ikan, maka penanganan ikan yang baik sepanjang aktivitas rantai pasokan ikan untuk industri pengolahan perlu dilakukan dengan optimal. Penanganan ikan yang baik dapat mengurangi potensi kerusakan dan kehilangan mutu ikan sepanjang rantai pasokan. Menurut Menai (2007), penanganan ikan segar yang baik meliputi penanganan ikan segar di atas kapal, dan penanganan ikan di pangkalan pendaratan ikan atau tempat pelelangan ikan. Penanganan ikan segar harus berpedoman kepada prinsip-prinsip
19
penanganan ikan segar yang baik dan benar, yaitu ikan harus selalu berada dalam rantai dingin (0-50C), pekerja bekerja dengan cermat, cepat, tepat waktu dan higienis (Mangunsong, 2000).
2.6.2. Prosedur Standar Penerapan Sanitasi (Sanitation Standard Operating Procedure - SSOP) Prosedur standar penerapan sanitasi atau SSOP merupakan langkah terdokumentasi yang secara spesifik mendeskripsikan prosedur sanitasi tertentu untuk menjamin terpenuhinya kebersihan di suatu tempat pengolahan pangan (Stutsman, 2007). Prosedur kebersihan tersebut harus cukup detil untuk menjamin bahwa pencemaran produk tidak akan terjadi. Dokumentasi dan peninjauan penerapan SSOP diperlukan dalam rencana HACCP secara periodik. SSOP secara umum harus meliputi 1) Keamanan air; 2) Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan pangan; 3) Pencegahan kontaminasi silang; 4) Menjaga tempat cuci tangan, sanitasi, dan fasilitas toilet; 5) Proteksi pangan dan bahan baku dari pencemaran dan kerusakan; 6) Pelabelan yang sesuai; 7) Pengendalian kondisi kesehatan pekerja; dan 8) Proteksi dari gangguan hewan. Kebersihan dan terjaganya kondisi sanitasi merupakan hal yang vital dalam penyediaan pangan yang utuh dan aman bagi konsumen. Oleh karena itu, kebersihan
dan sanitasi pada bangunan, peralatan, perlengkapan dan
permukaan yang berhubungan langsung dengan pangan sangat penting untuk dijaga agar dapat tercegah dari kontaminasi bahaya pangan. Permukaan alat yang mengalami kontak langsung dengan pangan, harus dibersihkan secara teratur untuk mencegah perkembangbiakan mikroorganisme dan pembentukan biofilm. Komponen zat pembersih maupun alat kebersihan dan sanitasi harus disimpan jauh dari pangan (pada tempat terpisah). Suatu sistem sanitasi yang efektif akan memerlukan beragam prosedur pembersihan yang juga meliputi pengukuran efektif untuk pengendalian penyakit dan pasokan air yang memadai. Kondisi darainase yang baik juga diperlukan untuk membuang air limbah penanganan pangan. Pengendalian sanitasi tambahan meliputi perawatan sanitasi fasilitas toilet, penyediaan tempat cuci tangan dan penyediaan tempat pembuangan limbah pada lokasi yang tepat (Tajkarimi, 2007).
20
2.6.3. Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical Control Point - HACCP) Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) adalah suatu sistem yang digunakan
untuk
mengidentifikasi
bahaya
dan
menetapkan
tindakan
pengendaliannya yang memfokuskan pada pencegahan daripada mengandalkan sebagian besar pengujian mutu produk akhir. HACCP dapat diterapkan pada seluruh rantai pangan dari produk primer sampai pada konsumsi akhir dan penerapannya harus dipedomani dengan bukti secara ilmiah terhadap resiko kesehatan manusia. Penerapan sistem HACCP dilakukan berdasarkan 12 langkah terurut. Dari 12 langkah tersebut terdapat tujuh prinsip dasar HACCP. Berikut ini merupakan 12 langkah penerapan sistem HACCP berdasarkan SNI 01-4852-1998 tentang Sistem Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP) serta Pedoman Penerapannya (BSN, 1998). 1. Pembentukan tim HACCP Tim HACCP idealnya harus dibentuk karena pengetahuan dan keahlian spesifik produk tertentu harus tersedia untuk pengembangan rencana HACCP yang efektif. Secara optimal, hal tersebut dapat dicapai dengan pembentukan sebuah tim dari berbagai disiplin ilmu. Apabila beberapa keahlian tidak tersedia, diperlukan konsultan dari pihak luar. Lingkup tersebut harus menggambarkan segmen-segmen mana saja dari rantai pangan tersebut yang terlibat dan penjenjangan secara umum bahaya-bahaya yang dimaksudkan (yaitu meliputi semua jenjang bahaya atau hanya jenjang tertentu). 2. Deskripsi produk Deskripsi yang lengkap mengenai produk atau kelompok produk diperlukan sebagai gambaran bagi tim HACCP dan sangat diperlukan dalam membantu menetapkan tujuan keamanan pangan dan analisis bahaya. 3. Identifikasi rencana penggunaan Rencana penggunaan harus didasarkan pada kegunaan-kegunaan yang diharapkan dari produk oleh pengguna produk atau konsumen. Dalam hal-hal tertentu, kelompok-kelompok populasi konsumen yang rentan dalam menerima pangan dari institusi, perlu dipertimbangkan.
21
4. Penyusunan bagan alir Diagram alir yang dibuat harus memuat segala tahapan dalam operasional produksi. Bila HACCP diterapkan pada suatu operasi tertentu, maka harus dipertimbangkan tahapan sebelum dan sesudah operasi tersebut. 5. Konfirmasi Bagan Alir di Lapangan Deskripsi tugas harus ditulis untuk setiap langkah proses, termasuk hal detil operasi (misalnya operator apa yang diperlukan atau peralatan apa yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan. Konfirmasi bagan alir harus juga terdiri dari tanggungjawab keamanan pangan yang relevan dari operator. 6. Melaksanakan analisis bahaya (Prinsip 1) Identifikasi bahaya akan menyoroti bahaya keamanan pangan yang diperkirakan berasosiasi dengan produk atau proses. Identifikasi bahaya memerlukan suatu pemahaman terhadap bahan baku, proses, spesifikasi produk, peralatan pengolahan, lingkungan pengolahan dan kegiatan operator di dalam suatu proses. 7. Menentukan Titik Kendali Kritis (TKK) (Prinsip 2) Titik kendali kritis (TKK) dapat berupa poin, langkah atau prosedur dimana kendali dapat diterapkan dan penting untuk mencegah atau menghilangkan bahaya keamanan pangan atau mengurangi hingga batas yang dapat diterima. Pertimbangan diberikan kepada titik khusus berikut. - Tujuan keamanan pangan untuk produk - Level bahaya yang terjadi - Frekuensi seringnya bahaya terjadi - Transfer atau redistribusi timbulnya bahaya - Kondisi efek bahaya pada pelanggan 8. Menetapkan batas kritis (Prinsip 3) Batas kritis merupakan kriteria yang memisahkan pengamatan atau pengukuran yang dapat dan tidak dapat diterima. Batas kritis harus jelas didefinisikan dan dapat diukur. Batas kritis harus spesifik untuk setiap TKK sebagaimana batas kritis mendefinisikan aktivitas dan operasi yang dapat diterima untuk mengendalikan bahaya.
22
9. Menetapkan sistem untuk memantau pengendalian TKK (Prinsip 4). Prosedur pemantauan harus dapat menemukan kehilangan kendali pada TKK. Selanjutnya pemantauan seyogianya secara ideal memberi informasi yang tepat waktu untuk mengadakan penyesuaian untuk memastikan pengendalian proses untuk mencegah pelanggaran dari batas kritis. Dimana mungkin,
penyesuaian
proses
harus
dilaksanakan
pada
saat
hasil
pemantauan menunjukkan kecenderungan kearah kehilangan kendali pada suatu TKK. 10. Menetapkan tindakan perbaikan untuk dilakukan jika hasil pemantauan menunjukkan bahwa suatu titik kendali kritis tertentu tidak dalam kendali (Prinsip 5). Tindakan-tindakan perbaikan harus memastikan bahwa TKK telah berada dibawah kendali. Tindakan-tindakan harus mencakup disposisi yang tepat dan produk yang terpengaruh. Penyimpangan dan prosedur disposisi produk harus didokumentasikan dalam catatan HACCP. 11. Menetapkan prosedur verifikasi untuk memastikan bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif (Prinsip 6). Metoda audit dan verifikasi, prosedur dan pengujian, termasuk pengambilan contoh secara acak dan analisis, dapat dipergunakan untuk menentukan apakah sistem HACCP bekerja secara benar. Frekuensi verifikasi harus cukup untuk mengkonfirmasikan bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif. Contoh kegiatan verifikasi mencakup peninjauan kembali sistem HACCP dan catatannya; meninjau kembali penyimpangan dan disposisi produk; mengkonfirmasi apakah TKK berada dalam kendali. 12. Menetapkan dokumentasi mengenai semua prosedur dan catatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip sistem HACCP dan penerapannya (Prinsip 7). Pencatatan dan pembuktian yang efisien serta akurat adalah penting dalam penerapan sistem HACCP. Prosedur harus didokumentasikan. Dokumentasi dan pencatatan harus cukup memadai sesuai sifat dan besarnya operasi.
23
2.7. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian yang menjadi referensi untuk penelitian ini terdiri dari penelitian yang berkaitan dengan transportasi dan distribusi komoditas ikan (Fujiyanti, 2003; Malik, 2006), penanganan hasil perikanan tangkap dan analisis penerapan program HACCP di pangkalan pendaratan ikan (Menai, 2008), kerangka manajemen mutu rantai pasokan produk perikanan laut (Loc, 2006), serta kebijakan untuk perbaikan mutu komoditas atau produk perikanan (Mangunsong, 2008). • Fujiyanti (2003) menganalisis sistem transportasi distribusi komoditas ikan segar dari Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap. Hasil penelitian meliputi skema aliran distribusi pemasaran dan penanganan ikan untuk konsumsi segar dari PPS Cilacap, biaya transportasi dan distribusi, serta analisis pengaruh transportasi terhadap mutu ikan. • Malik (2006) mengkaji distribusi hasil tangkapan ikan di pangkalan pendaratan ikan (PPI) Muara Angke, Jakarta. Kajian meliputi sumber ikan yang dipasok ke PPI Muara Angke, aliran distribusi pemasaran ikan dari PPI hingga konsumen, serta analisis mutu ikan selama penanganan di PPI. • Loc (2006) melakukan penelitian yang bertujuan membangun kerangka manajemen mutu rantai pasok udang berdasarkan perspektif perusahaan pengolahan udang di Vietnam. Pengembangan kerangka kerja manajemen rantai pasokan dilakukan melalui pendekatan tekno-manajerial. Kerangka kerja tersebut meliputi pengukuran jaminan mutu dan keamanan udang bagi i) wilayah produksi primer, seperti manajemen mutu pemasok dan kemitraan, ii) level perusahaan, seperti manajemen mutu terutama penerapan HACCP, dan iii) tahap distribusi produk, dengan fokus pada penyimpanan dan transportasi. • Menai (2008) menganalisis penanganan hasil perikanan tangkap melalui evaluasi penerapan GHdP dan SSOP di PPI Manokwari, Papua, serta merancang penerapan HACCP pada PPI tersebut. Menai (2008) juga melakukan analisis aspek sosial terhadap lingkungan di wilayah PPI Manokwari. Hasil analisis tersebut menyatakan bahwa karakter sosial masyarakat, pendidikan dan hukum ikut mempengaruhi tingkat pencemaran lingkungan tempat pelelangan ikan dan pangkalan pendaratan ikan serta wilayah perairan disekitarnya.
24
• Penelitian Simangunsong (2008) mengenai analisis proses hirarki alternatif (AHP) kebijakan pengawasan mutu produk perikanan Indonesia, menghasilkan beragam informasi permasalahan kebijakan pengawasan mutu perikanan di Indonesia. Berdasarkan pengambilan keputusan berdasarkan metode standar AHP, diperoleh alternatif terbaik untuk mengatasi permasalahan kebijakan mutu pengawasan produk perikanan. Simangunsong juga menyarankan agar dilakukan penyusunan peraturan operatif dalam aspek pengendalian sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan; monitoring residu obat dan bahan kimia; bahan biologi dan kontaminasi pada pembudidayaan ikan dan pengendalian official control; persyaratan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan pada proses produksi, pengolahan, distribusi dan tentang cara budidaya ikan yang baik; serta pengaturan tentang pengawasan mutu untuk produk-produk yang dipasarkan di pasar domestik dan ekspor.