EKSPRESI FRAGMEN ANTIBODI UNTAI TUNGGAL (SCFV) ANTI-EGFRvIII PADA PERMUKAAN SEL PICHIA PASTORIS
PRATIKA VIOGENTA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Ekspresi Fragmen Antibodi Untai Tunggal (scFv) Anti-EGFRvIII pada Permukaan Sel Pichia pastoris adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor, Februari 2015 Pratika Viogenta NIM P051110041
RINGKASAN PRATIKA VIOGENTA. Ekspresi Fragmen Antibodi Untai Tunggal (scFv) AntiEGFRvIII pada Permukaan Sel Pichia pastoris. Dibimbing oleh SUHARSONO dan ASRUL MUHAMAD FUAD. Sistem tampilan permukaan khamir telah menjadi teknik yang semakin popular untuk rekayasa protein dan seleksi pembuatan pustaka protein. Sistem ini membutuhkan suatu protein permukaan agar protein target bisa berada di permukaan sel. α-agglutinin merupakan salah satu protein yang ditemukan dipermukaan sel Saccharomyces cerevisiae dan bisa dimanfaatkan untuk tampilan permukaan sel khamir lainnya seperti Pichia pastoris. Pada C-terminal αagglutinin terdapat gugus glycosylphosphatidylinositol (GPI) yang akan berikatan secara kovalen dengan penyusun komponen dinding sel khamir, yaitu glukan. Sistem ini dapat digunakan untuk mengekspresikan suatu protein antibodi rekombinan pada permukaan sel khamir. Antibodi pada penelitian ini merupakan fragmen antibodi untai tunggal (scFv) yang dapat mengenali antigen EGFRvIII (Epidermal Growth Factor Receptor variant III). EGFRvIII merupakan salah satu varian mutan EGFR yang mengalami delesi pada ekson ke 2 hingga ekson ke 7 di bagian domain ekstraseluler. EGFRvIII berperan penting dalam pertumbuhan dan proliferasi sel kanker. P. pastoris merupakan salah satu khamir metilotropik yang dapat menggunakan metanol sebagai sumber karbon. Kelebihan utama yang dimiliki oleh P. pastoris dibandingkan sel prokariot adalah sel ini mampu melakukan modifikasi protein pascatranslasi seperti pelipatan protein, glikosilasi, dan pembentukan ikatan disulfida. Proses glikosilasi pada P. pastoris tidak mengalami hiperglikosilasi seperti yang sering ditemukan pada S. cerevicae. Penelitian ini bertujuan untuk mengekspresikan fragmen antibodi untai tunggal (scFv) anti EGFRvIII pada permukaan sel P. pastoris. Gen scFv diamplifikasi dari plasmid pJ201-scFv dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) dan difusi dengan separuh bagian ujung-C gen AGα dalam vektor ekspresi pJ912-Agα-RFP. TagRFP (Tag Red Fluorescent Protein) adalah gen reporter penyandi protein fluoresen merah yang disisipkan di antara gen scFv dengan gen AGα. Konstruk gen tersebut disubklon terfusi dengan sinyal sekresi MF-α (mating factor-α) dan di bawah regulasi promoter indusibel AOX1 ( PAOX1 ). Ekspresi protein terjadi apabila dilakukan induksi dengan menggunakan metanol dan MF-α mengarahkan protein disekresikan keluar sel. Vektor rekombinan diintroduksikan ke dalam P. pastoris SMD1168H melalui rekombinasi homolog. Seleksi transforman P. pastoris dilakukan menggunakan media seleksi mengandung zeocin. Analisis ekspresi protein rekombinan dilakukan, antara lain melalui pengamatan sel dengan mikroskop fluoresense, analisis SDS-PAGE, hibridisasi Western blot, dan analisis interaksi antibodi-antigen dengan bantuan manik magnet. Gen scFv anti-EGFRvIII telah berhasil disisipkan pada vektor pJ912-AgαRFP. Namun, gen scFv tersebut mengalami dua mutasi titik, masing-masing satu pada bagian rantai berat (VH) dan rantai ringan (VL). Satu mutasi berupa mutasi sunyi (silent) yang tidak mengubah asam amino, sedangkan mutasi lainnya mengubah asam amino dari asparagin (N194) menjadi asam aspartat (D194). Plasmid pJ912-AGα-RFP dan pJ912-AGα-RFP::scFv berhasil berintegrasi ke dalam genom P. pastoris SMD1168H. Stabilitas genetik sel transforman diperoleh
melalui seleksi pada media zeocin hingga konsentrasi 1000 µg/mL. Pengamatan menggunakan mikroskop fluoresen membuktikan bahwa sel-sel transforman berhasil memancarkan fluoresensi berwarna merah yang berasal dari protein fungsional TagRFP. Adanya pita protein yang terdeteksi pada hasil hibridisasi Western blot menunjukkan bahwa sel P. pastoris berhasil mengekspresikan protein target (scFv) yang terfusi dengan protein TagRFP dan α-agglutinin. Eksperimen dengan menggunakan manik magnet yang diselimuti dengan protein rekombinan antigen EGFRvIII menunjukkan bahwa sel transforman P. pastoris yang terdapat antibodi anti EGFRvIII pada permukaan sel dapat melekat pada permukaan manik magnet yang membuktikan bahwa terjadi interaksi antara antibodi (pada permukaan sel) dengan antigen (pada permukaan manik magnet). Hasil ini juga meyakinkan bahwa fusi protein antibodi ini telah berhasil diekspresikan pada permukaan sel P. pastoris dengan struktur yang fungsional. Kata kunci: Sistem tampilan permukaan sel, Pichia pastoris, scFv anti-EGFRvIII, α-agglutinin, TagRFP.
SUMMARY PRATIKA VIOGENTA. Expression of Anti-EGFRvIII Single Chain Variable Fragment (scFv) on the Surface of Pichia pastoris. Supervised by SUHARSONO and ASRUL MUHAMAD FUAD. Yeast surface display has become an increasingly popular tool for protein engineering and protein library screening applications. This system requires a surface protein that could display target protein on the cell surface. α-agglutinin is a protein found on the surface of Saccharomyces cerevisiae and can be used in yeast surface display system on other yeast strain, such as Pichia pastoris. The Cterminal of α-agglutinin comprises a glycosylphosphatidylinositol (GPI) anchor attachment domain as found on most native surface proteins. Glycosylphosphatidyl inositol (GPI)-dependent cell wall proteins are linked to β-1,6-glucan. This system can be used to express recombinant antibodies on yeast cell surface. Antibody molecule used in this study is a single chain fragment antibody (scFv) that recognizes the EGFRvIII (Epidermal Growth Factor Receptor variant III) as antigen. EGFRvIII is a mutant variant of EGFR having deletion of exon 2 through exon 7 in extracellular domain. EGFRvIII plays a key role in the growth and proliferation of cancer cells. P. pastoris is a methylotropic yeast that can use methanol as carbon source. A main advantage possessed by P. pastoris over prokaryotic cells is that the cell could proceed post translation modifications of proteins such as protein folding, glycosylation and disulfide-bond formation. Glycosylation in P. pastoris is not as extensive as it is found in S. cerevisiae . This study aims to construct a yeast display system that express an anti-EGFRvIII antibody fragment (scFv) on the surface of P. pastoris. The antibody gene was amplified from pJ201-scFv plasmid by PCR method and fused with the Cterminal half of AGα gene in the pJ912-AGα-RFP expression vector. A red fluorescent reporter gene (TagRFP) was inserted between both gene. The fusion gene was cloned in frame with MF-α (mating factor-α) secretion signal and downstream of the inducible AOX1 promoter (PAOX1). Recombinant vector was introduced into DNA genome of P. pastoris SMD1168H through homologous recombination. Selection of P. pastoris transformants was performed using medium containing zeocin. Analyses of recombinant proteins were performed including cells observation under a fluorescence microscope, SDS-PAGE and Western blot hybridisation analyses, as well as antibody-antigen interaction analysis using magnetic beads. Anti-EGFRvIII scFv gene was successfully inserted into pJ912-Agα-RFP vector. However, the scFv gene suffered two point mutations, one in each heavy chain (VH) and light chain (VL). One mutation is a of silent mutations which do not alters the amino acids residue, while other mutations is a substitution-type that changes the amino acid residue from asparagine (N194) into aspartic acid (D194). Plasmids pJ912-AGα-RFP and pJ912-AGα-RFP::scFv were successfully integrated into the genome of P. pastoris SMD1168H. Genetically stable transformed cells have been obtained after selection on zeocin medium of up to 1000 µg/mL zeocin. Observation using fluorescence microscopy has proven that successful transformaned cells emit red fluorescence derived from the functional TagRFP protein. The presence of target protein bands from transformed cells on
the Western blot hybridisation analysis results showed that P. pastoris transformants have succesfully expressed the target protein (scFv) fused with TagRFP and α-agglutinin. Experiment using magnetic beads covered by recombinant EGFRvIII antigen showed that transformed P. pastoris cells are found to be well attached on the surface of magnetic beads. It proves that there is interaction between antibody (on cell surface) and antigen (on magnetic bead surface). Thus, it demonstrates that fusion protein was successfully expressed on the P.pastoris cell surface and structurally functional. Keyword : Yeast surface display, Pichia pastoris, anti EGFRvIII scFv, α-agglutinin, glycosylphosphatidylinositol (GPI), TagRFP.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB dan LIPI
EKSPRESI FRAGMEN ANTIBODI UNTAI TUNGGAL (SCFV) ANTI-EGFRvIII PADA PERMUKAAN SEL PICHIA PASTORIS
PRATIKA VIOGENTA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Bioteknologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. I Made Artika, M.App.Sc
Judul Tesis : Ekspresi Fragmen Antibodi Untai Tunggal (scFv) Anti-EGFRvIII pada Permukaan Sel Pichia pastoris Nama : Pratika Viogenta NIM : P051110041
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Suharsono, DEA Ketua
Dr Asrul Muhamad Fuad Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Bioteknologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Suharsono, DEA
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 30 Januari 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang dilaksanakan sejak April 2013 dengan judul “Ekspresi Fragmen Untai Tunggal (scFv) Anti-EGFRvIII pada Permukaan Sel Pichia pastoris “. Tesis ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Protein Rekombinan dan Sistem Penghantaran Terarah, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI dan dibiayai oleh DIPA Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI tahun 2013. Sebagian dari hasil penelitian ini sedang dalam penelaahan untuk dipublikasikan pada Journal of Microbiology, Biotechnology and Food Sciences (JMBFS) dan telah dipresentasikan secara Poster presentation pada The 1st International Conference on Pharmaceutics & Pharmaceutical Sciences yang diselenggarakan oleh Universitas Airlangga pada bulan November tahun 2014. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir Suharsono, DEA dan Bapak Dr. Asrul Muhamad Fuad, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian hingga penyusunan tesis ini. Penulis juga tidak lupa berterima kasih kepada Bapak Dr. I Made Artika, M.App.Sc selaku penguji di luar komisi pembimbing pada sidang tesis yang telah memberikan kritik dan saran dalam penulisan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala beserta seluruh staf Laboratorium Protein Rekombinan dan Sistem Pengantaran Terarah, Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ungkapan terima kasih juga tidak lupa disampaikan kepada kedua orang tua dan kakak yang telah memberikan begitu banyak perhatian, dukungan, dan do’anya kepada penulis serta sahabat dan teman-teman Bioteknologi IPB 2011 atas segala perhatian, kerja sama dan waktu luang kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan terutama pengembangan ilmu penulis.
Bogor, Februari 2015 Pratika Viogenta
DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR LAMPIRAN
v
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor) Fragmen Antibodi Untai Tunggal (scFv) Sistem Tampilan Permukaan Khamir Pichia pastoris Protein Fluoresen Merah
1 1 3 3 3 3 6 7 10 11
3 METODE Waktu dan Tempat Bahan Metode Penelitian
12 12 12 13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Subklon Gen scFv Anti EGFRvIII ke dalam pJ912-AGα-RFP Transformasi Pichia pastoris dengan Plasmid Rekombinan Seleksi Transforman Pichia pastoris Ekspresi Protein Rekombinan Analisis Interaksi Antibodi Anti-EGFRvIII dengan Antigen EGFRvIII
18 18 23 24 25 30
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
35 35 35
DAFTAR PUSTAKA
35
LAMPIRAN
41
RIWAYAT HIDUP
57
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4.
Skema struktur protein EGFR natural dan varian mutan EGFR Struktur antibodi utuh dan varasi tipe fragmen antibodi Sistem tampilan protein heterologus pada permukaan sel khamir Desain molekular untuk tampilan protein heterologus pada permukaan sel khamir dengan menggunakan α-agglutinin 5. Diagram vektor pJ912-AGα-RFP 6. Posisi penempelan beberapa primer pada vektor ekspresi 7. Hasil amplifikasi gen scFv anti-EGFRvIII dan hasil isolasi plasmid pJ912-AGα-RFP 8. Analisis gen scFv pada sel transforman E. coli TOP10F’ menggunakan PCR koloni 9. Analisis orientasi gen scFv di dalam vektor rekombinan 10. Analisis potong plasmid rekombinan dari 4 klon E. coli transforman dengan enzim Sal I 11. Mutasi gen scFv anti-EGFRvIII pada plasmid rekombinan 12. Analisis blast IgG fragmen untai ringan (VL) pada plasmid pJ201scFv dan pJ912-AGα-RFP::scFv 13. Hasil transformasi P. pastoris SMD1168H 14. Analisis stabilitas genetik koloni P. pastoris transforman dan non transforman di media YPD agar dengan beberapa konsentrasi zeocin 15. Analisis gen scFv pada sel P. pastoris transforman dan nontransforman menggunakan PCR koloni 16. Pengamatan mikroskopik sel P. pastoris transforman dan non transforman dibawah mikroskop fluoresen 17. Lisis sel P. pastoris menggunakan glass bead 18. Analisis protein rekombinan dengan SDS PAGE dan hibridisasi Western blot 19. Komponen penyusun dinding sel khamir 20. Pengamatan mikroskopik manik magnet 21. Pengamatan mikroskopik sel P. pastoris pJ912-AGα-RFP::scFv 22. Pengamatan mikroskopik sel P. pastoris pJ912-AGα-RFP 23. Pengamatan mikroskopik interaksi antibodi-antigen antara ikatan EGFRvIII pada manik magnet terhadap antibodi anti EGFRvIII pada permukaan sel P. pastoris.
5 6 9 9 13 14 18 19 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 31 32 32
34
DAFTAR LAMPIRAN 1. Analisis urutan DNA plasmid pJ201-scFv dengan primer VH101-F 2. Analisis urutan DNA plasmid pJ912-AGα-RFP::scFv dengan primer AOX1-F 3. Analisis urutan DNA plasmid pJ912-AGα-RFP::scFv dengan primer VL101-F 4. Komposisi larutan dan media yang digunakan beserta cara pembuatannya 5. Komposisi gel poliakrilamid
41 43 45 47 52
6. Penetuan kurva logaritma berat molekul protein standar terhadap mobilitas relatif (rf) pada gel poliakrilamid untuk Western blot 7. Penetuan berat molekul protein rekombinan terhadap mobilitas relatif (rf) pada gel poliakrilamid untuk Western blot 8. Penetuan kurva logaritma berat molekul protein standar terhadap mobilitas relatif (rf) pada gel poliakrilamid untuk SDS PAGE 9. Penetuan berat molekul protein rekombinan terhadap mobilitas relatif (rf) pada gel poliakrilamid untuk SDS PAGE
53 54 55 56
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Sistem tampilan permukaan pada sel khamir merupakan suatu teknik rekayasa yang memungkinkan protein heterolog diekspresikan pada bagian permukaan eksternal atau dinding sel khamir (Lim et al. 2011). Sistem ini telah menjadi alat yang semakin populer untuk rekayasa protein dan aplikasi pembuatan pustaka protein (Pepper et al. 2008). Khamir memiliki beberapa keunggulan sebagai sel inang untuk produksi protein heterolog dibandingkan dengan bakteri. Sel khamir memungkinkan terjadinya modifikasi protein pada tahap pasca translasi. Pembentukan ikatan disulfida dan pelipatan protein yang benar meningkatkan ketahanan protein terhadap degradasi protease dan memiliki aktivitas biologis jauh lebih baik. Sel eukariot seperti khamir memiliki kemampuan untuk melakukan proses glikosilasi pada protein melalui penambahan residu gula pada asparagin (N-glikosilasi) atau serin / treonin (O-glikosilasi). Struktur protein pascatranslasi yang terjadi di dalam khamir dapat membentuk protein rekombinan yang aktif secara biologis (Cho et al. 1998). Pichia pastoris merupakan khamir yang dikembangkan untuk sistem ekspresi protein rekombinan setelah Saccharomyces cereviciae. P. pastoris merupakan khamir metilotropik yang mampu memanfaatkan metanol sebagai sumber karbon. Adaptasi P. pastoris untuk menggunakan metanol dalam pertumbuhannya berkaitan dengan gen alkohol oksidase (AOX). Sebagai sel eukariot, P. pastoris memiliki kemampuan variasi modifikasi pasca-translasi seperti glikosilasi, isomerisasi disulfida, proses proteolitik dan pelipatan protein. P. pastoris dapat tumbuh di media metanol hingga densitas sel sangat tinggi di dalam bioreaktor dengan kontrol oksigen yang baik. Kelebihan lainnya yang dimiliki P. pastoris melingkupi manipulasi genetik yang cenderung mudah, ekspresinya stabil, pertumbuhan sel cepat, tidak ada resiko kontaminasi dari virus patogenik manusia (Chen et al. 2012; Fickers 2014; Li et al. 2007). P. pastoris tidak mengalami proses hiperglikosilasi pada saat modifikasi pascatranslasi seperti yang umumnya dijumpai pada S. cereviciae. Panjang rantai glikoprotein yang diekspresikan P. pastoris sekitar 8-15 residu mannosa sedangkan S. cereviciae mencapai 40-150 residu mannosa (Li et al. 2007). Protein yang umumnya dijumpai pada permukaan sel dapat digunakan untuk menargetkan protein heterolog pada permukaan sel. Salah satu protein yang dapat dimanfaatkan dalam sistem tampilan permukaan sel pada khamir adalah αagglutinin. Protein α-agglutinin merupakan glikoprotein komplementer untuk perlekatan sel yang aktif selama reproduksi seksual pada S. cerevisiae. Protein αagglutinin pada permukaan sel S. cerevisae mating-type α (MATα) mengikat protein a-agglutinin pada sel S. cerevisae mating-type a (MATa) dengan afinitas dan spesifisitas tinggi (Zhao et al. 2001; Schreuder et al. 1996). Protein αagglutinin terikat kuat pada dinding sel dengan ikatan kovalen dan hanya bisa terdegradasi oleh enzim glukanase. Kemampuannya bertahan pada dinding sel disebabkan oleh sistem perlekatan (anchoring system) dari bagian ujung-C protein α-agglutinin yang mengandung glycosylphosphatidylinositol (GPI). Residu asam amino dominan penyusun ujung-C protein α-agglutinin adalah serin dan treonin.
2 Domain yang kaya serin dan treonin bertindak sebagai spacer karena konformasinya seperti batang akibat proses dari O-glikosilasi yang terjadi (Schreuder et al. 1996). Dua alternatif sistem tampilan permukaan sel masing-masing menggunakan α-agglutinin dan Flo1p (FS) telah berhasil mengekspresikan protein fungsional Candida antarctica lipase B (CALB) dipermukaan sel Pichia pastoris. Aktivitas sintetik CALB yang berfusi dengan α-agglutinin pada P. pastoris tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan protein fusi FS bila diterapkan pada sintesis etil caproate (Su et al. 2010). Protein α-galaktosidase (Schreuder et al. 1996) dan protein fluoresens Ds-red (Kuroda et al. 2009) berhasil diekspresikan dipermukaan khamir dengan α-agglutinin sebagai protein permukaan yang membantu protein rekombinan berada di permukaan sel. Epidermal Growth Factor Receptor variant III (EGFRvIII) merupakan varian mutan dari reseptor natural EGFR yang terekspresi secara berlebih pada beberapa jenis kanker termasuk glioblastoma (50-60%) (Heimberger et al. 2005), kanker payudara (67,8%) (Hong et al. 2002), non-small cell lung cancer (3076,4%) (Okamoto et al. 2003), dan head and neck squamous cell carcinoma (42%) (Sok et al. 2006). Akan tetapi varian EGFRvIII ini tidak ditemukan pada jaringan sel normal (Gupta et al. 2010). EGFRvIII terjadi karena adanya delesi ekson ke-2 sampai ke-7 pada gen EGFR sehingga EGFRvIII mengalami pengurangan asam amino ke-6 sampai asam amino ke-273 pada domain ekstraselular dari EGFR. Pada saat translasi protein terbentuk residu glisin baru yang menghubungkan ekson 1 dan ekson 8 akibat proses penyambungan pada pembentukan mRNA (Frederick et al. 2000). Secara natural EGFR normal akan berikatan dengan ligan naturalnya (EGF, TGF- ) terlebih dahulu, kemudian berdimerisasi dan berada pada posisi aktif menyampaikan sinyal ke dalam sel. Namun, EGFRvIII selalu berada dalam posisi aktif dan dapat berdimerisasi dengan molekul EGFR lain meskipun tidak berikatan dengan ligan. Sifat yang konstitutif aktif ini menyebabkan pertumbuhan, kelangsungan hidup, invasi, dan angiogenesis sel menjadi tidak teratur (Gupta et al. 2010). Fragmen antibodi untai tunggal (scFv) merupakan unit terkecil dari molekul imunoglobulin (antibodi) yang masih memiliki fungsi pengikat antigen. Molekul scFv anti-EGFRvIII dapat mengenali dan mengikat antigen EGFRvIII secara spesifik sehingga dapat dimanfaatkan sebagai ligan pengantar agen sitotoksik yang hanya mengenali sel kanker dan bukan sel normal. Struktur fragmen antibodi scFv terdiri atas daerah variabel rantai berat (VH) dan rantai ringan (VL) yang dihubungkan oleh suatu peptida penghubung (linker) yang fleksibel ([G4S]3) dan mudah diekspresikan dalam bentuk fungsional. Fragmen antibodi scFv berpotensi lebih efektif daripada antibodi utuh IgG yang tidak dimodifikasi. Dengan ukuran yang lebih kecil (~30 kDa) dibandingkan antibodi utuh (150 kDa) membuat molekul scFv lebih efisien untuk direkayasa tanpa mengurangi kemampuannya dalam mengikat antigen. Molekul scFv dapat pula dibuat pustaka (pustaka scFv) karena interaksi antigen-antibodi sangat ditentukan oleh residu asam amino pada daerah complementarity determining region (CDRs) yang merupakan bagian dari molekul scFv (Pepper et al. 2008). Salah satu aplikasi yang penting dari sistem tampilan permukaan pada khamir adalah untuk melakukan seleksi protein aktif dari suatu pustaka protein (seperti antibodi, enzim, peptida.). Selain metode PCR, metode tampilan permukaan dapat digunakan untuk menghasilkan keragaman
3 pustaka protein. Sebagai contoh, protein scFv terhadap molekul kecil dan protein target yang berbeda berhasil diisolasi dari antara 1 109 molekul pada pustaka scFv yang terdiri dari gen rantai berat (VH) dan rantai ringan (VL) (Pepper et al. 2008).
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengekspresikan fragmen antibodi untai tunggal (scFv) anti EGFRvIII pada permukaan sel P. pastoris.
Manfaat Penelitian Fragmen antibodi untai tunggal (scFv) anti EGFRvIII yang diekspesikan dipermukaan sel P. pastoris dapat dimanfaatkan untuk proses seleksi pustaka protein antibodi sehingga diperoleh keragaman pustaka antibodi yang memiliki aktivitas pengikat antigen EGFRvIII lebih tinggi.
2
TINJAUAN PUSTAKA
EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor) Reseptor faktor pertumbuhan epidermal (EGFR) / HER1 adalah anggota dari kelas I famili Epidermal Growth Factor (EGF). Anggota lain yang juga termasuk famili EGF kelas I yaitu HER2, HER3 dan HER4 (Pereira et al. 2008). EGFR merupakan glikoprotein transmembran yang memiliki berat molekul 170 kDa dan tersusun atas 1210 asam amino. EGFR terdiri dari daerah ekstraselular yang kaya akan sistein, daerah transmembran yang bersifat hidrofobik dan daerah intraselular yang mengandung situs tirosin kinase dan situs autofosforilasi pada ujung C-terminal. Daerah ekstraseluler dibagi menjadi empat domain. Domain I dan III mengandung sedikit sistein dan terdapat situs untuk berikatan dengan ligan. Domain II dan IV kaya sistein dan terdapat situs yang banyak melakukan modifikasi N glikosilasi dan ikatan disulfida yang menentukan konformasi tersier dari molekul domain eksternal (Kuan et al. 2001). EGFR dikodekan oleh gen protoonkogen c-erbB1. Gen EGFR memiliki ukuran 110 kb dan terdiri dari 26 exon. Gen ini berada pada lengan kromsom 7p11-13 (Kuan et al. 2001; Wikstrand et al. 1998). Reseptor EGF memiliki tujuh ligan dengan struktur yang mirip tetapi berbeda secara genetik, yaitu EGF (epidermal growth factor), TGFα (Transforming Growth Factor α), heparin-binding EGF, amphiregulin, epiregulin, dan neuregulin G2 (Cao et al. 2011). Proses transduksi sinyal EGFR bertanggung jawab untuk pertumbuhan, diferensiasi, proliferasi, angiogenesis, migrasi, dan penghambatan apoptosis sel (Bueren et al. 2008). Ligan yang berikatan dengan domain ekstraselular EFGR menghasilkan dimerisasi reseptor dan inisiasi tranduksi signal intraseluler. Dimerisasi tidak hanya terjadi antara sesama EGFR (homodimerization) akan tetapi anggota yang berbeda dari tipe I keluarga kinase
4 dapat berinteraksi (heterodimerization), contoh pada kanker ovarium ditemukan interaksi antara EGFR dan c-erbB-2 (Kuan et al. 2001). Dimerisasi EGFR merupakan langkah awal aktivasi tirosin kinase. Konsekuensi awal aktivasi kinase adalah fosforilasi residu tirosin sendiri (autofosforilasi). Autofosforilasi ini menginisiasi tranduksi signal intraseluler melalui jalur RAS/RAF/MAPK, PI3K/AKT dan STATs sehingga terjadi aktivasi transkripsi yang mengarah ke mitogenesis (Pereira et al. 2008 ; Kuan et al. 2001). Ekspresi berlebihan dari reseptor ini menjadi faktor penting dalam perkembangan onkogen dan perkembangan tumor yang menjadi target menarik untuk pengobatan kanker (Castillo et al. 2004). Hiperaktivitas sinyal EGFR pada tumor terjadi melalui mekanisme yang berbeda, antara lain ekspresi reseptor EGFR berlebihan, autokrin produksi ligan berlebih terutama EGF dan TGFα, dan mutasi EGFR terutama varian III yang mempertahankan jalur sinyal EGFR. Efek aktivasi EGFR pada sel tumor menyebabkan multiple dan konvergen sehingga mendukung pertumbuhan sel yang tidak terkendali dengan peningkatan mobilitas sel dan proliferasi sel, penurunan kemampuan apoptosis dan merangsang angiogenesis (Castillo et al. 2004). EGFR yang mengalami perubahan struktur gen akan menghasilkan varianvarian yang memicu timbulnya sel kanker. Kebanyakan kasus, varian EGFR dihasilkan melalui proses delesi pada genom. Sebagian besar varian yang diakibatkan dari delesi pada domain ekstraseluler EGFR berkorelasi dengan prognosis yang buruk. Umumnya varian ini bersifat konstitutif dan aktif pada jalur transduksi sinyal yang berbeda meskipun sudah berkurang kapasitas pengikatan ligan, sehingga memberikan kesempatan sel-sel kanker berkembang dan meningkatkan potensi keganasan (Wang et al. 2011). Varian-varian mutan EGFR yang telah diketahui, antara lain EGFRvI dengan pemotongan N-terminal mirip dengan gen virus ErbB-1 yang menyebabkan transformasi malignant dan berpotensi teraktivasi reseptor secara terus menerus. Mutan EGFRvII terjadi karena adanya delesi 83 asam amino pada domain IV daerah ekstraseluler (ekson 14 dan 15). EGFR varian IV dan V membawa mutan delesi dalam domain intraseluler, varian IV reseptor terpotong pada asam amino 958 dan varian V reseptor terpotong pada asam amino 9591.030 (Kuan et al. 2001). Varian mutan EGFR tidak hanya terjadi akibat adanya delesi ekson EGFR akan tetapi adanya duplikasi tandem pada daerah ekstraseluler maupun intraseluler gen EGFR juga menyebabkan varian mutan. EGFR.TDM/18-25 dan EGFR.TDM/18-26 mengalami tendem duplikasi pada daerah intraselular yang menyandikan domain tirosin kinase dan sebagian dari domain internalisasi molekul kalsium. EGFR.TDM/18-25 mengandung duplikasi tandem dari ekson 18-25 sedangkan EGFR.TDM/18-26 pada ekson 18-26. EGFR.TDM/2-7 adalah mutan EGFR yang mengalami duplikasi tendem ekson 2-7 di daerah ekstraselular. Mutan EGFR.TDM/2-7 memiliki masa molekul 180 kDa dan mengandung residu unik yaitu leusin sebagai akibat dari bergabungnya ujung 3’ ekson 7 dengan ujung 5’ ekson 2 (Kuan et al. 2001). EGFR varian III (EGFRvIII) adalah varian yang paling umum dari reseptor EGF yang banyak ditemukan di sejumlah tumor termasuk glioblastoma (GBM), adenokarsinoma payudara, medulloblastoma dan adenokarsinoma ovarium, sedangkan pada jaringan normal tidak ditemukan (Gupta et al. 2010). EGFRvIII
5 terjadi karena adanya pengurangan genom EGFR pada ekson ke 2 sampai ke 7 (801 bp) sehingga pada domain ligan ekstraselular EGFR mengalami pengurangan 6 sampai 273 asam amino pada saat sintesis protein (Frederick et al. 2000). Selain itu, terjadi pembentukan residu glisin antara ekson 1 dan ekson 8. Jika dibandingkan dengan EGFR normal yang memiliki berat molekul 170 kDa, EGFRvIII memiliki berat molekul 145 kDa (Gupta et al. 2010). EGFRvIII aktif secara konstitutif meskipun tidak berikatan dengan ligan sehingga menyebabkan pertumbuhan, kelangsungan hidup, invasi, dan angiogenesis sel tidak teratur (Gupta et al. 2010). EGFRvIII telah ditemukan secara konstitutif terkait dengan sinyal adaptor protein Shc dan Grb2 yang terlibat dalam sinyal Ras pada reseptor yang telah diaktifkan, bahkan jika dimerisasi tidak terjadi. EGFRvIII konstitutif aktif meningkatkan pertumbuhan sel-sel glioblastoma melalui kegiatan peningkatan Ras-GTP. Selain itu, sel yang positif EGFRvIII ditemukan jalur aktivitas phosphatidylinositol (PI) 3-kinase terus diaktifkan. Oleh karena itu, PI 3-kinase memainkan peran penting dalam transformasi EGFRvIII. Jalur c-Jun N-terminal kinase (JNK) ditemukan konstitutif aktif dengan konsentrasi tinggi di sel-sel yang positif EGFRvIII sedangkan sel dengan ekspresi berlebihan EGFR normal tidak ditemukan jalur JNK diaktifkan secara konstitutif (Kuan et al. 2001). Ekstraselular
Intraselular Ujung C
Gambar 1 Skema struktur protein EGFR natural dan varian mutan EGFR. NH2 = ujung amino; COOH = ujung karboksil; TM = segmen transmembran; TK = domain tirosin kinase (Kuan et al. 2001).
6 Fragmen Antibodi Untai Tunggal (scFv ) Antibodi merupakan protein yang diproduksi oleh sel limfosit B sebagai salah satu sistem kekebalan tubuh dalam menanggapi adanya antigen (protein atau polisakarida yang dapat berikatan dengan antibodi). Imunoglobulin secara alami menjadi antibodi yang terdiri dari dua untai polipeptida berukuran besar (untai berat) dan dua untai polipeptida berukuran kecil (untai ringan). Dua untai berat saling dihubungkan oleh ikatan disulfida dan antara satu untai berat dengan untai ringan juga saling dihubungkan dengan ikatan disulfida. Masing-masing untai berat dan untai ringan memiliki daerah konstan dan daerah variabel. Daerah konstan berfungsi sebagai efektor untuk antibodi sedangkan daerah variable berfungsi untuk mengikat antigen (Aracama 2007; Emantoko 2001). Bagian variabel merupakan bagian yang mempunyai perbedaan dalam urutan asam amino. Antibodi yang memiliki urutan asam amino yang berbeda pada daerah variabel akan merespon antigen yang berbeda meskipun dari jenis antibodi yang sama. Bagian variabel dapat dibagi menjadi enam bagian yang berupa bagian framework (FR) dan complementarity determining region (CDR) yang terletak berselingan. Sebagai contoh satu fragmen antibodi (Fab) akan mempunyai urutan sebagai berikut FR1-CDR1-FR2-CDR2-FR3-CDR3. CDR merupakan daerah yang sangat beragam antar antibodi dibandingkan FR (Emantoko 2001). Single chain fragment variable (scFv) adalah unit kecil dari molekul imunoglobulin dengan fungsi mengikat antigen. Antibodi scFv tersusun atas daerah variabel untai berat (VH) dan untai ringan (VL) yang dihubungkan dengan suatu peptida yang fleksibel (linker) dan mudah diekspresikan dalam bentuk fungsional (Gambar 2).
Gambar 2 Struktur antibodi utuh dan variasi tipe fragmen antibodi. CH = untai berat daerah konstan; CL = untai ringan daerah konstan; IgG = immunoglobulin; Fab = fragmen pengikat antigen; scFv = untai tunggal fragmen variabel; VH = untai berat daerah variabel; VL = untai ringan daerah variable (Nelson 2010). Panjang linker DNA yang fleksibel digunakan untuk menghubungkan kedua daerah variabel sangat penting dalam menghasilkan lipatan yang benar dari rantai
7 polipeptida. Peptida penghubung (linker) diperkirakan memiliki jarak 3,5 nm (35°A) antara ujung karboksil dari daerah variabel dan ujung amino dari daerah variabel lainnya tanpa mempengaruhi lipatan dan bentuk situs pengikat antigen. Selain jarak, komposisi residu asam amino juga memainkan peran penting dalam merancang sebuah peptida linker. Urutan hidrofilik untuk menghindari interkalasi peptida dalam atau antar daerah variabel seluruh pelipatan protein perlu diperhatikan. Saat ini, urutan desain yang paling banyak digunakan terdiri dari residu glisin dan serin untuk fleksibilitas dan atau bersama-sama diselingi dengan residu seperti glutamin dan lisin untuk meningkatkan kelarutan (Ahmad et al. 2012). Linker yang paling umum digunakan mengandung 15 kombinasi residu glisin dan serin (GGGGS)3 (Wang et al. 2011). Konstruksi scFv dapat berupa VHlinker-VL atau VL-linker-VH. Kedua orientasi telah diterapkan meskipun sebagian besar scFv dikonstruksi dengan orientasi VH-linker-VL (Ahmad et al. 2012). Penggunaan scFv untuk mendeteksi antigen memiliki beberapa keunggulan. Pertama, scFv tetap memiliki afinitas khusus untuk antigen, meskipun biasanya lebih rendah dari antibodi aslinya. Kedua, scFv dapat diproduksi dalam jumlah besar dalam sistem ekspresi bakteri dengan biaya murah. Ketiga, mudah untuk dimanipulasi untuk setiap aplikasi yang berbeda, misalnya fusi dengan protein obat untuk mentargetkan dan membunuh patogen atau dengan molekul penanda untuk tujuan deteksi. Keempat, protein scFv yang dikombinasikan dengan toksik atau radioisotop lebih baik untuk terapi kanker dibanding pendekatan lain karena ukurannya yang kecil memungkinkan penetrasi terhadap tumor lebih besar dan tingkat clearance lebih cepat (Aracama 2007). ScFv digunakan dalam beberapa aplikasi termasuk pengenalan target tumor secara in vivo, pengujian serum HIV, pemilihan antibodi terhadap antigen toksik, antibodi microarray, identifikasi reseptor seluler yang tidak diketahui, deteksi infeksi dan berpotensi menghalangi patogenesis serta sebagai pengantar obat ke sel target (Aracama 2007).
Sistem Tampilan Permukaan Khamir Perkembangan sistem ekspresi protein heterolog fungsional yang ditampilkan pada permukaan bakteri, fage dan khamir mengalami kemajuan beberapa tahun terakhir. Sistem tampilan permukaan khamir merupakan suatu metode untuk mengekpresikan protein fungsional pada permukaan sel. Metode ini dapat meningkatkan afinitas, spesifisitas dan stabilitas protein yang diekspresikan. Keunggulan utama sistem tampilan khamir dari sistem tampilan lain adalah khamir mampu melakukan modifikasi protein pasca translasi yang menghasilkan protein fungsional dengan kualitas baik. Protein asing dalam sistem ini dapat ditampilkan pada permukaan sel khamir dalam bentuk fusi dengan protein penahan (Su et al. 2010). Protein permukaan memiliki fungsi di dalam sel seperti molekul adhesi, reseptor spesifik, enzim, protein transport dan sebagainya. Beberapa protein permukaan memiliki struktur seperti protein transmembran atau protein permukaan lain yang terikat oleh interaksi non kovalen atau kovalen pada komponen permukaan sel. Sel memiliki sistem intrinsik yang spesifik untuk menahan protein pada permukaan sel dan membatasi jenis protein pada permukaan sel (Lipke & Ovalle 1998).
8 Beberapa jenis protein permukaan yang dapat digunakan untuk ekspresi protein asing pada permukaan sel khamir, antara lain Agα1, Aga1, Flo1, Sed1, Cwp1, Cwp2, Tip1, Tir1/Srp1. Protein permukaan tersebut memiliki sistem penahan GPI (glycosylphosphatidylinositol) yang berperan penting dalam ekspresi protein permukaan sel dan sangat penting untuk kelangsungan hidup khamir. Gugus glycophospholipid secara kovalen melekat pada daerah C-terminal protein permukaan dan fungsi utama GPI adalah untuk menstabilkan assosiasi protein dengan membran. Protein yang memiliki sistem penahan GPI mengandung peptida hidrofobik pada C-terminal mereka (Teparić et al. 2010). Khamir memiliki dinding sel yang kaku dengan ketebalan 200 nm dari membran plasma. Dinding sel khamir memiliki struktur bilayer terdiri dari lapisan luar yang di dominasi oleh mannoprotein berbentuk seperti fibril atau sisir dan lapisan dalam yang terdapat β-glukan (β-1-3-glukosa dan β-1-6-glukosa) sebagai kerangkanya. Ada 2 jenis mannoprotein dinding sel yaitu mannoprotein yang berikatan non kovalen dan mannoprotein yang berikatan kovalen dengan β-1-3glukan dan β-1-6-glukan. Protein agglutinin merupakan salah satu mannoprotein yang berikatan dengan glukan (Lipke & Ovalle 1998). Agglutinin merupakan komponen dinding sel yang terletak pada permukaan terluar dan berperan memediasi adhesi sel pada saat reproduksi seksual antara tipe mating sel yang berbeda. Tipe mating a dan α masing-masing mengekspresikan a-agglutinin dan α-agglutinin. A-agglutinin terdiri dari subunit Aga1p yang dihubungkan ke subunit yang lebih kecil yaitu AG2p melalui ikatan disulfida. Aga1p dikode oleh gen AGA1 dan Aga2p dikode oleh gen AGA2. α-agglutinin dikodekan oleh gen AGα1 dan berinteraksi dengan subunit AG2p pada tipe sel mating a. Struktur dari α-agglutinin dan subunit Aga1p tersusun atas daerah sinyal sekresi, daerah aktif, daerah pendukung yang banyak mengandung serin dan treonin , dan penahan GPI (Lipke et al. 1989). Kemampuan penahan α-agglutinin diberikan oleh setengah Cterminal protein yang mengandung 320 asam amino yang kaya akan residu serin dan treonin dan memiliki ekor hidrofobik di C-terminal. Domain yang banyak mengandung serin dan treonin berperan sebagai spacer yang membentuk konformasi seperti batang yang merupakan hasil dari perluasan O-glikosilasi (Schreuder et al. 1996). Lokalisasi baik a-agglutinin dan α-agglutinin pada permukaan sel terjadi melalui jalur sekresi. Setelah proses sintesis protein, protein agglutinin tetap tertahan di membran retikulum endoplasma oleh domain C-terminal yang bersifat hidrofobik sedangkan bagian protein lainnya berada di dalam lumen retikulum endoplasma. C-terminal hidrofobik terpotong di situs ω dan diganti dengan penahan GPI oleh transamidase. Protein tetap terikat di membran karena adanya ikatan kovalen dari lipid penahan GPI. Sekresi protein dari lumen retikulum endoplasma selanjutnya ditransfer ke aparatus Golgi. Sekresi protein dari aparatus golgi ditranfer ke membran plasma melalui vesikel-vesikel dan akhirnya protein disekresikan ke luar sel. Modifikasi proteolitik pasca-translasi prekursor peptide pada saat sekresi terjadi di kompartemen akhir pada jalur sekretorik (trans cisternae aparatus Golgi dan vesikel sekretori). Endopeptidase Kex2 terletak di trans cisternae dari aparatus Golgi pada S. cerevisiae berperan untuk menghilangkan proregion dari prekursor (seperti α-faktor feromon atau lainnya). Selanjutnya, α-agglutinin disekresikan keluar membran plasma oleh phosphatidylinositol-fosfolipase C (PI-PLC) dalam bentuk penahan GPI dan kemudian
9 ditransfer ke permukaan terluar dinding sel. Di dinding sel, penahan GPI αagglutinin berikatan dengan β-1,6-glukan melalui ikatan glikosidik (Ueda & Tanaka 2000). Protein Aga2p dari a-agglutinin dan α-agglutinin telah diketahui dapat mengepresikan protein target heterolog ke permukaan terluar dari lapisan glikoprotein dari dinding sel. Imobilisasi protein target menggunakan a agglutinin memerlukan 2 subunit protein yang terhubung dengan ikatan disulfida yaitu Aga1p sebagai sistem penahan GPI dan Aga2p untuk fusi dengan protein target. Ujung-C dari Aga2p berfusi dengan protein target (Gambar 3). Imobilisasi protein target dengan α-agglutinin bisa dilakukan menggunakan hanya setengah bagian ujung-C α-agglutinin (320 residu asam amino, CH-Agαp) yang mengandung sinyal penahan GPI di bagian akhir ujung-C. Seperti protein permukaan sel lain, sinyal ini digunakan sebagai domain penahan untuk protein heterolog, karena protein ini berikatan kovalen dengan glukan (Ueda & Tanaka 2000). Skema pada Gambar 4 menunjukkan struktur umum dari gen untuk imobilisasi protein pada permukaan sel menggunkan α-agglutinin.
Protein yang ditampilkan
Protein yang ditampilkan
Sel
Sel
Gambar 3 Sistem tampilan protein heterologus pada permukaan sel khamir. A = α-agglutinin. B = a-agglutinin (Ueda & Tanaka 2000).
Sekuen sinyal peptida
Sekuen sinyal penahan GPI
Promoter
Gen target yang akan ditampilkan di permukaan sel
Separuh bagian ujung 3’ gen AGα
Sebagian ujung-C α-agglutinin Protein yang ditampilkan
Penahan GPI
Gambar 4 Desain molekuler untuk tampilan protein heterologus pada permukaan sel khamir dengan menggunakan α-agglutinin. A = konstruksi gen yang diekspresikan dan B= model protein yang diekspresikan (Ueda & Tanaka 2000).
10 Pichia pastoris Sebagai organisme eukariotik, Pichia pastoris memiliki banyak keuntungan lebih dalam hal sistem ekspresi protein terutama modifikasi pasca-translasi seperti penambahan residu gula, pelipatan protein dan sekresi protein ke dalam media yang kemudian memfasilitasi purifikasi. Selain itu, manipulasi P. pastoris semudah seperti pada manipulasi Escherichia coli atau S. cerevisiae. Sistem ekspresi dengan P. pastoris lebih cepat, mudah dan murah untuk digunakan bila dibandingkan dengan sistem ekspresi lainnya seperti Baculovirus atau sistem mamalia. P. pastoris menggunakan beberapa manipulasi fitur molekuler dan genetik dari Saccharomyces sehingga menambahkan keuntungan tingkat ekspresi yang lebih tinggi. Fitur dengan perawatan yang mudah, scale-up dan persyaratan pertumbuhan murah membuat P. pastoris sebagai sistem ekspresi protein yang sangat berguna. Proses ini dapat ditingkatkan ke tingkat ekspresi, yaitu 10-100 kali lebih tinggi daripada E. coli. (Balamurugan et al. 2007). Dasar konsep sistem ekspresi P. pastoris berasal dari beberapa enzim yang diperlukan untuk metabolisme metanol. Studi biokimia menunjukkan bahwa pemanfaatan metanol membutuhkan jalur metabolisme yang melibatkan beberapa enzim. Enzim alkohol oksidase (AOX) mengkatalisis pada tahapan pertama di jalur metabolisme metanol. Berada di dalam periksisom, AOX mengoksidasi metanol menjadi formaldehid dan hidrogen peroksida (Cereghino & Cregg 2000). Ada dua gen yang menyandikan alkohol oksidase dalam P. pastoris yaitu AOX1 dan AOX2. AOX1 bertanggung jawab sebagian besar aktivitas alkohol oksidase dalam sel. AOX2 memiliki sekitar 97% homologi dengan AOX1 (Balamurugan et al. 2007). Ekspresi gen AOX1 dikendalikan pada tingkat transkripsi (≈ 5% poli (A)+ RNA AOX1) dari sel yang tumbuh di media metanol. Namun, sel yang tumbuh pada sumber karbon lainnya, poli (A)+ RNA AOX1 tidak terdeteksi. Pengaturan gen AOX1 melibatkan dua mekanisme yaitu mekanisme represi / derepresi dan mekanisme induksi yang mirip dengan regulasi gen GAL1 S. cerevisiae. Berbeda dengan regulasi GAL1, AOX1 menghasilkan transkripsi RNA dengan jumlah yang besar. Hal ini disebabkan tidak adanya faktor pembatas sumber karbon seperti glukosa dalam medium. Kehadiran metanol sangat penting untuk mendorong tingkat transkripsi dengan konsentrasi tinggi (Cereghino & Cregg 2000). Ada tiga fenotipe strain inang P. pastoris berkaitan dengan pemanfaatan metanol. Mut+ terjadi karena kedua gen AOX1 dan AOX2 utuh dan aktif sehingga sel dapat tumbuh pada metanol dengan konsentrasi tinggi dalam skala besar fermentasi. MutS terjadi karena gen AOX1 mengalami knocked out. Sel-sel itu bergantung pada AOX2 yang lemah untuk metabolisme metanol sehingga sel tumbuh lebih lambat dan pemanfaatan metanol lebih lambat. Mut- menyebabkan sel tidak dapat tumbuh pada metanol karena kedua gen AOX dihilangkan. Salah satu keuntungan dari fenotip ini adalah bahwa tingkat pertumbuhan yang rendah mungkin diinginkan untuk produksi produk rekombinan tertentu. Saat ini, sebagian besar peneliti menggunakan fenotipe Mut+, meskipun beberapa peneliti juga menggunakan fenotipe MutS (Macauley-Patrick et al. 2005; Krainer et al. 2012). Mayoritas vektor P. pastoris yang tersedia dirancang untuk berintegrasi di kromosom, meskipun telah diketahui sekuen replikasi otonom PARS1 dan PARS2
11 untuk menghasilkan plasmid episomal stabil. Komponen yang umum di vektor ekspresi P. pastoris meliputi fragmen promoter 5’ gen AOX1, beberapa situs kloning untuk penyisipan urutan DNA asing dan fragmen 3’ gen AOX1 diperlukan untuk terminasi transkripsi. Sekuen peptida sinyal dapat berasal dari P. pastoris yaitu asam fosfatase (pho1p) atau α-faktor dari S. cerevisiae untuk menghasilkan fusi gen pada vektor. Peptida sinyal ini digunakan untuk mensekresikan protein heterolog keluar sel. Vektor juga mengandung titik awal replikasi (ori) untuk perbanyakan plasmid pada E.coli dan penanda untuk seleksi koloni transforman (Papakonstantinou et al. 2009). Gen penanda biasanya berasal dari salah satu kelompok penanda auksotrofik dan atau kelompok resisten antibiotik. Beberapa vektor memiliki penanda auksotrofik seperti arginin, adenin, histidin, urasil dan jalur biosintesis metionin pada P. pastoris. Namun, vektor yang menggunakan penanda auksotrofik ini memerlukan penanda lainnya untuk proses seleksi transforman. Penggunaan vektor yang mengandung penanda dominan resistensi antibiotik mengatasi keterbatasan ini. Gen penanda yang paling umum digunakan adalah gen Sh ble dari Streptoalloteichus hinustanus yang mengkode resistensi zeocin dan gen BSD dari Aspergillus terreus yang mengkode resistensi blastisidin. Penanda lain yang bisa digunakan dalam P. pastoris adalah sistem sorR, berdasarkan enzim asetil-CoA karboksilase dari Sorangium cellulosum. Enzim ini memberi perlawanan terhadap makrosiklik poliketida soraphen A (Papakonstantinou et al. 2009). Spesies dari genus Pichia memiliki keunggulan dalam hal proses glikosilasi protein karena Pichia tidak mengalami hiperglikosisasi. S. cerevisiae dan P. pastoris memiliki mayoritas N glikosilasi jenis mannose. Rantai oligosakarida ditambahkan pada saat pasca translasi protein pada P. pastoris (residu mannose rata-rata 8-14 per rantai samping) jauh lebih pendek daripada yang ditambahkan ke protein pada S. cerevisiae (50-150 residu mannose). P. pastoris juga sangat sedikit memilki O glikosilasi. Selain itu, inti oligosakarida di S. cerevisiae memiliki ikatan 1,3 glikan terminal sedangkan P. pastoris tidak memiliki (Balamurugan et al. 2007).
Protein Fluoresen Merah Protein fluoresens (FP) telah menjadi alat yang sangat populer untuk menggambarkan bagian in vivo dari sel terutama mempelajari lokalisasi, pergerakan, dan interaksi protein di dalam sel hidup. Protein fluoresens merah merupakan salah satu jenis protein fluoresens yang memiliki kekhususan yang menarik. Protein flouresens ini dapat memperpanjang palet warna dan menggambarkan fluorescence resonance energy transfer (FRET) serta dapat mengurangi hamburan panjang gelombang cahaya yang panjang sehingga membuat protein ini sangat menarik sebagai penanda bagian dalam dari sel (Kredel et al. 2009). Protein flouresen yang terdapat di alam tersedia dalam bentuk monomer, dimer atau tetramer. Bentuk dimer maupun tetramer dapat menyebabkan konstruksi fusi protein salah sasaran dan teragregat sehingga protein fluorensen tidak cocok sebagai tag fusi untuk mempelajari lokalisasi, interaksi, dan motilitas
12 protein target. TagRFP merupakan protein fluoresen monomer berwarna merah. Protein ini memiliki kecerahan tinggi (134% jika dibandingkan dengan kecerahan DsREd), puncak eksitasi 555 nm, puncak emisi 584 nm, nilai kuantum 0,48, koefisien ekstinsi 100.000M-1cm-1, pematangan kromofor lengkap, fluoresensi yang bertahan lama (phase/ modulation lifetime 2,2/2,3 ns (n=20)) dan pH stabilitas tinggi (pKa <4,0). Kelebihan ini membuat TagRFP merupakan protein fluoresens yang sangat baik untuk studi lokalisasi protein dan aplikasi fluoresensi resonansi transfer energi (fret) (Merzlyak et al. 2007). TagRFP merupakan hasil pengembangan protein fluourensen merah eqFP578 dan eqFP611 yang berasal dari Entacmaea quadricolor. Kedua protein ini memiliki kemiripan 76 % dalam urutan asam amino. Karakteristik yang dimiliki eqFP578 dan eqFP611 meliputi kecerahan fluoresens tinggi, pematangan kromofor lengkap, dan yang terpenting kecendrungan untuk membentuk oligomer berkurang. Komponen ini membuat protein fluoresen dari E. quadricolor menarik menjadi generasi monomer protein fluoresen merah terang (Merzlyak et al. 2007). .
3
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dari bulan April 2013 hingga Juni 2014 di Laboratorium Protein Rekombinan dan Sistem Pengantaran Terarah, Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, Bogor.
Bahan Gen scFv anti-EGFRvIII diamplifikasi dari plasmid pJ201-scFv (DNA2.0) dengan primer VH101-Sal-F dan VL101-Sal-R. Gen scFv anti-EGFRvIII dibuat secara sintetik dan dioptimasi dengan kodon preferensi Pichia pastoris pada penelitian terdahulu (Hertati, 2013). Vektor ekspresi yang digunakan adalah pJ912-AGα-RFP (DNA2.0). Plasmid ini telah mengandung gen AG dan gen reporter TagRFP (red fluorescent protein) (Gambar 5). Sel inang untuk replikasi plasmid rekombinan ialah Escherichia coli TOP10F’ sedangkan untuk ekspresi protein rekombinan ialah Pichia pastoris SMD1168H (Invitrogen). Primer VH101-Sal-F (5’-CGTCGACCAAGTTC AATTGGTTGAGTCAG-3’) dan VL101-Sal-R (5’-GCGGTCGACTCTAGAAT CGATAGAACCAC-3’) yang mengandung situs restriksi SalI (GTCGAC) digunakan untuk amplifikasi gen scFv anti-EGFRvIII. Pasangan primer AOX1-F (5’-GACTGGTTCCAATTGACAAGC-3’) dan VH101-R (5’-AGACGACACT GTTACCAGCGT-3’) digunakan untuk analisis plasmid rekombinan. Primer DNA dibuat oleh IDT atau 1st Base.
13
Gambar 5 Diagram vektor pJ912-AGα-RFP. 5’AOX1= promoter AOX1. α faktor = gen sinyal peptida α faktor. Tag RFP= gen protein fluoresens TagRFP. Flag Tag = pendeteksi protein rekombinan saat hibridisasi. AGα1 = gen C-terminal α agglutinin. AOX1 TT= terminator gen AOX1. Zeocin = gen resisten zeocin. pUC ori= titik awal replikasi pada E.coli. Media yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, low salt luria bertani (LSLB), terrific broth (TB), yeast peptone dextrose (YPD), yeast peptone dextrose sorbitol (YPDS), buffered glycerol- complex medium (BMGY) dan buffered methanol- complex medium) (BMMY). Komposisi dapat dilihat di dalam Lampiran 4.
Metode Penelitian Subklon Gen scFv ke dalam Vektor Ekspresi Gen scFv anti-EGFRvIII diamplifikasi dan diisolasi dengan teknik PCR menggunakan pasangan primer VH101-Sal-F dan VL101-Sal-R, serta plasmid pJ201-scFvI sebagai cetakan. Pada gen scFv ditambahkan situs restriksi SalI. Isolasi plasmid dilakukan menggunakaan metode alkali lisis (Sambrook & Russell 2001) . Gen scFv hasil amplifikasi dan plasmid pJ912-AGα-RFP hasil isolasi dipotong dengan enzim restriksi SalI. Fragmen scFv dan plasmid yang terpotong dianlisis dengan elektroforesis 1% gel agarosa. Hasil potong fragmen scFv dan plasmid dipurifikasi menggunakan Gel DNA Extraction Kit (GeneAid). Gen scFv diligasi dengan plasmid pJ912-AGα-RFP yang telah dipotong dengan SalI. Hasil ligasi diintroduksikan ke dalam E. coli TOP10F’ dengan metode kejut panas (heat shock) dan E. coli tersebut ditumbuhkan pada media seleksi LSLB agar (Low Salt Luria Bertani) yang mengandung zeocin (25 μg/mL). Analisis plasmid rekombinan dilakukan dengan teknik PCR koloni terhadap sel E. coli yang tumbuh pada medium seleksi menggunakan pasangan primer VH101-Sal-F dan VL101-Sal-R. Analisis orientasi gen scFv pada plasmid dilakukan menggunakan pasangan primer AOX1-F dan VH101-R. Terhadap plasmid rekombinan juga dilakukan analisis potong menggunakan enzim SalI. Hanya plasmid rekombinan yang terpotong dengan baik dilanjutkan
14 dengan analisis sekuen DNA menggunakan primer AOX1-F dan VL101-F. A
B
C Gambar 6 Posisi penempelan beberapa primer pada vektor ekspresi. A= Primer VH101-Sal-F dan VL101-Sal-R pada plasmid rekombinan pJ912AGα-RFP::scFv saat analisis PCR koloni. B=Primer AOX1-F dan VH101-R pada plasmid rekombinan pJ912-AGα-RFP::scFv dengan orientasi gen scFv yang benar. C= Primer AOX1-F dan VH101-R pada plasmid rekombinan pJ912-AGα-RFP::scFv dengan salah orientasi gen scFv. Transformasi P. pastoris dengan Vektor Rekombinan Transformasi sel khamir dilakukan dengan metode elektroporasi menggunakan protokol dari Invitrogen (2008). Vektor rekombinan pJ912-AGαRFP::scFv dan pJ912-AGα-RFP yang akan ditransformasi ke dalam sel P. pastoris SMD1168H terlebih dahulu dipotong menjadi bentuk linear. Sejumlah 0,5 µg DNA dipotong dengan SacI pada daerah promoter AOX1. Plasmid yang telah terpotong dipurifikasi menggunakan Gel DNA Extraction Kit (GeneAid). Koloni tunggal P. pastoris SMD1168H ditumbuhkan dalam 5 mL medium YPD pada suhu 30°C, 250 rpm selama semalam. Sebanyak 100 µL biakan diinokulasikan ke dalam 50 mL media YPD dan diinkubasi semalam pada suhu 30°C, 250 rpm hingga OD600 mencapai 1,3-1,5. Sel dipanen dengan cara sentrifugasi pada 3000g selama 5 menit suhu 4°C. Endapan sel diresuspensi dengan 50 mL akuades dingin steril dan disentrifugasi (4°C, 4000g, 7 menit). Endapan sel diresuspensi kembali dengan 25 ml akuades dingin steril dan disentrifugasi (4°C, 4000g, 7 menit). Endapan sel diresuspensi dalam 2 ml 1 M sorbitol dingin steril dan disentrifugasi (4°C, 3500g, 5 menit). Endapan sel diresuspensi kembali dalam 200 µL 1M sorbitol dingin steril. Sebanyak 70 µL sel kompeten P. pastoris dicampurkan dengan 0,5 μg plasmid yang linier. Sel kompeten dan plasmid diinkubasi terlebih dahulu pada suhu 0°C selama 10 menit. Sel kompeten dan plasmid dimasukkan ke dalam kuvet elektroporasi (2 mm gap) yang telah didinginkan. Kuvet yang mengandung sel kompeten dan plasmid diinkubasi pada suhu 0°C (dalam es) selama 5 menit. Elektroporasi dilakukan dengan kondisi 2 kV, 25 µF 400 Ω pada elektroporator Gene Pulser Xcell Electroporation System (Biorad). Sebanyak 150 μL 1M sorbitol dingin segera ditambahkan ke dalam kuvet tersebut. Isi kuvet ditransfer ke dalam mikrotube steril dan diinkubasi di dalam es selama 1-2 jam. Untuk perbaikan sel pasca elektroporasi, sebanyak 100 μL YPD ditambahkan ke dalam mikrotube dan diinkubasi pada suhu 30°C selama 1-2 jam. Sel hasil transformasi disebar pada media agar YPDS (Yeast Potato Dexstrose Sorbitol) yang mengandung zeocin
15 dengan konsentrasi 100 µg/mL dan diinkubasi selama 3-4 hari pada suhu 30°C sampai terbentuk koloni. Seleksi Koloni P. pastoris Transforman Koloni yang tumbuh pada media seleksi yang mengandung 100 µg/mL zeocin ditumbuhkan kembali pada media segar YPD agar dengan berbagai tingkat konsentrasi zeocin (100 s.d. 1000 µg/mL) secara bertahap. Seleksi ini bertujuan untuk memperoleh koloni transforman yang memiliki stabilitas genetik yang tinggi serta koloni dengan salinan gen multikopi. Koloni transforman juga ditumbuhkan pada media YPD agar tanpa zeocin sebagai kontrol. Seleksi dilakukan dengan menggoreskan koloni transforman pada media seleksi YPD agar dengan konsentrasi zeocin 100 µg/mL dan diinkubasi selama 1-2 hari pada suhu 30°C. Koloni yang tumbuh digoreskan kembali pada media YPD agar dengan zeocin 200 µg/mL. Koloni yang tumbuh pada medium tersebut digoreskan lagi pada media dengan konsentrasi zeocin lebih tinggi, yaitu 500 µg/mL dan 1000 µg/mL. Koloni yang hidup pada media dengan konsentrasi zeocin tertinggi digunakan untuk ekspresi protein skala kecil. Analisis integrasi gen scFv ke dalam genom P. pastoris dilakukan menggunakan teknik PCR koloni. Sebelum dilakukan PCR, koloni khamir transforman diberi perlakuan terlebih dahulu. Koloni khamir dicuplik dengan tusuk gigi steril dan diresuspensikan ke dalam 50 μL 0,04M NaOH. Suspensi tersebut diinkubasi selama ≥ 5 menit pada suhu 37°C. Suspensi ini digunakan sebagai sumber DNA dan pasangan primer VH101-F dan VL101-R digunakan pada proses PCR. Kondisi PCR yang digunakan adalah 40 siklus dengan kondisi denaturasi pada suhu 95°C selama 30 detik, penempelan primer pada suhu 56°C selama 30 detik dan perpanjangan pada suhu 72°C selama 1 menit. Sebelum siklus PCR, dilakukan denaturasi awal selama 8 menit 95°C dan perpanjangan akhir selama 5 menit 72°C pada akhir siklus. Ekspresi Protein Rekombinan Koloni P. pastoris transforman ditumbuhkan pada media agar miring YPD dengan zeocin 100 μg/mL, kemudian dilakukan uji ekspresi protein rekombinan. Uji ekspresi protein rekombinan mengikuti prosedur pada manual Pichia Expression Kit versi G (Invitrogen). Sebanyak 1 ose koloni transforman diinokulasikan ke dalam 2 mL media cair YPD yang mengandung 100 µg/mL zeocin sedangkan untuk P. pastoris non transforman menggunakan media cair YPD tanpa zeocin. Biakan selanjutnya diinkubasi selama 48 jam pada suhu 30°C dengan agitasi 250 rpm. Biakan yang tumbuh selanjutnya dipindahkan ke 5 mL media BMGY (buffered minimal glycerol). Biakan selanjutnya diinkubasi selama 24 jam pada inkubator bergoyang dengan suhu 30oC dan kecepatan 250 rpm. Sel khamir dipanen dari media BMGY dengan cara disentrifugasi pada suhu 4°C dengan kecepatan 3000g selama 7 menit. Biomassa sel diresuspensi dalam 5 mL media induksi BMMY. Suspensi sel dipindahkan ke dalam 25 mL BMMY baru dengan OD600 awal= 1. Metanol dengan konsentrasi akhir 0,5% (v/v) ditambahkan ke dalam medium induksi BMMY setiap 12 jam selama 3 hari untuk menginduksi ekspresi protein rekombinan. Biakan diinkubasi pada suhu 30°C, 250 rpm. Pengambilan contoh untuk analisis dilakukan setiap jam ke-24, 48, dan 72 setelah
16 waktu induksi pertama dan densitas sel (OD600nm) diukur. Biakan dipanen dengan cara sentrifugasi pada suhu 4°C, 3000g selama 10 menit. Analisis Ekspresi Protein Rekombinan dengan Mikroskop Fluoresens Ekspresi protein reporter TagRFP yang terfusi dengan scFv dapat digunakan untuk mengamati ekspresi protein fusi rekombinan tersebut dibawah mikroskop fluorensen. Pengamatan terhadap sel dilakukan setelah biakan P. pastoris (transforman dan non-transforman) diinduksi dengan metanol. Sel P. pastoris diamati dengan mikroskop fluoresen Leica DM1000 dengan filter cube N2.1. Ekstraksi Protein Rekombinan dari Dinding Sel P. pastoris Protein rekombinan diekstraksi dengan menggunakan metode Jo et al (2011) dan Ye et al. (2000) modifikasi. Biakan transforman yang diinduksi metanol selama 72 jam (OD600= ~20) dipanen dengan cara disentrifuse 4000 g selama 5 menit. Endapan sel dibersihkan sebanyak dua kali dengan akuades dingin steril dan sekali dengan Buffer A pada suhu 4°C. Sel disuspensi dengan Buffer A yang mengandung 1 mM phenylmethyl sulfonylfluoride (PMSF). Sel dilisis dengan menggunakan glass bead dengan perbandingan 1:2:1 (sel : bufer : glass bead, v/v/v). Sel divortex hingga lisis dengan interval vortex dan pendinginan di dalam es selama 1 menit. Hasil lisis diamati dengan mikroskop fase kontras untuk mengkonfirmasi sel telah lisis. Hasil lisis sel disentrifuse dengan kecepatan 250 g selama 5 menit pada suhu 4°C. Supernatan disimpan dan dianalisis dengan SDS PAGE dan Western blot. Endapan hasil lisis sel dibersihkan sebanyak dua kali dengan buffer A yang mengandung 1 mM PMSF. Endapan ini diberi perlakuan dengan Cellic® Ctec2 (Novozymes) di dalam 100 mM bufer natrium asetat (pH 5.2) yang mengandung 1 mM PMSF untuk mengekstrak fusi protein scFv anti EGFRvIII- TagRFP-α agglutinin dari dinding sel. Cellic® Ctec2 digunakan sebagai sumber selulase komplek. Reaksi dilakukan selama 4 jam pada suhu 37°C dengan penambahan 3% selulase komplek (w/w). Ekstrak enzim diperoleh dengan cara sentrifugasi pada 15,000 g selama 10 menit. Ekstrak ini dianalisis dengan SDS PAGE dan Western blot. Analisis SDS PAGE dan Hibridisasi Western Blot Protein rekombinan hasil lisis sel dianalisis menggunakan SDS-PAGE (konsentrasi poliakrilamid 15%) dan hibridisasi. Prosedur SDS-PAGE dilakukan sesuai metode dari Ausubel et al (2002) dengan pewarnaan coomassie blue. SDSPAGE dimulai dengan pembuatan gel poliakrilamid 15% yang terdiri dari stacking gel dan separating gel (Lampiran 5). Sampel yang dianalisis merupakan supernatan hasil lisis sel dan supernatan dari endapan lisis sel yang diberi perlakuan dengan enzim selulase komplek. Western blot dilakukan dengan mempersiapkan membran nitroselulosa, kertas Whatman dan sponge yang direndam sebentar dalam buffer elektrotransfer serta gel hasil SDS PAGE tanpa pewarnaan. Pada blotter diletakkan sponge dan kertas whatman yang sudah direndam dalam transfer buffer. Gel hasil elektroforesis diletakkan tepat dibawah membran nitroselulosa dan dihindarkan adanya rongga udara. Kemudian, diatasnya diberi lagi kertas whatman dan sponge yang sudah direndam buffer elektrotransfer. Kemudian, seluruh lapisan dibasahi
17 lagi dengan buffer elektrotransfer. Blotter ditutup kuat-kuat dan dilakukan running 90 Volt, 40 mA selama dua jam Tahapan hibridisasi diawali dengan membran nitroselulosa direndam dan digoyang dengan larutan blocking (0,5% susu bebas lemak di dalam bufer TBS) selama 1 jam. Membran lalu dicuci dengan larutan washing (bufer TBST) sebanyak 3 kali masing-masing selama 15, 5 dan 5 menit. Membran kemudian direndam dan digoyang dengan antibodi primer OctA-probe (H5) (Santa Cruz, USA) yang dicampur dengan larutan blocking dengan perbandingan 1:2000 selama semalam lalu dicuci seperti pada langkah sebelumnya. Membran lalu direndam dan digoyang lagi dengan antibodi sekunder goat anti-mouse IgG-AP conjugate (Santa Cruz, USA) di dalam larutan blocking dengan perbandingan 1:3500 selama 2 jam. Membran kemudian dicuci lagi sesuai dengan langkah sebelumnya dan ditambahkan developer yaitu Western Blue Stabilized Substrate for Alkaline Phosphatase (Promega, USA). Analisis Interaksi Antibodi Anti-EGFRvIII dengan Antigen EGFRvIII Interaksi antibodi-antigen dilakukan dengan menggunakan Pure Proteome™ Nickel Magnetic Beads (Milipore, US). Manik magnet ini diperlakukan terlebih dahulu untuk mengikat protein EGFRvIII rekombinan (antigen) yang mengandung fusi dengan protein BFP (Blue Fluorecens Protein) dan His Tag. Protein EGFRvIII (antigen) diperoleh dari hasil penelitian RW Gardiani dari lab yang sama (komunikasi personal). Sebelum digunakan untuk mengikat protein antigen tersebut, manik magnet dibersihkan terlebih dahulu. Sebanyak 25 µL suspensi manik magnet dimasukkan ke dalam tabung mikro 1,5 mL. Tabung diletakkan pada magnetic stand agar manik magnet terkumpul dan buffer dapat dibuang dengan cara dipipet. Selanjutnya, manik magnet diresuspensi dengan 100 µL binding buffer dan inkubasi selama 1 menit di suhu ruang. Untuk menghilangkan cairan binding buffer, tabung diletakkan di magnetic stand dan buffer dibuang dengan cara dipipet. Proses pembersihan ini dilakukan sebanyak dua kali. Manik magnet yang telah bersih ditambahkan 300 µL larutan protein EGFRvIII dan diinkubasi dengan agitasi rendah selama 1 jam pada suhu ruang. Untuk menghilangkan larutan antigen, tabung diletakkan kembali pada magnetic stand dan larutan dipipet. Manik magnet yang telah berikatan dengan protein antigen EGFRvIII kemudian dibersihkan sebanyak dua kali dengan binding buffer dengan cara yang sama seperti di atas. Selanjutnya, manik magnet disuspensi dengan 150 µL binding buffer. Manik magnet diamati di bawah mikroskop fluoresen Leica DM1000 dengan filter cube N2.1 (λ eksitasi = 515-560 nm, λ emisi ≥ 590nm ) dan filter cube D ( λ eksitasi = 355-425nm, λ emisi ≥ 470 nm). Setelah protein antigen EGFRvIII terikat pada manik magnet, 20 µL manik magnet dicampurkan dengan 20 µL sel P. pastoris transforman dan diinkubasi dengan agitasi rendah selama 1 jam pada suhu ruang. Sel P. pastoris transforman yang digunakan dalam proses ini merupakan sel yang telah diinduksi dengan metanol dan telah dibersihkan dengan bufer A dan PMSF sebanyak tiga kali. Untuk memisahkan cairan dan suspensi sel yang tidak terikat dari manik magnet, tabung diletakkan pada magnetic stand dan suspensi sel dipipet keluar. Selanjutnya, manik magnet diresuspensi dengan 100 µL binding buffer dan inkubasi selama 1 menit di suhu ruang. Proses ini untuk membersihan manik magnet dari sel yang tidak terikat dan dilakukan sebanyak tiga kali. Manik magnet
18 disuspensi dengan 20 µL binding buffer dan diamati di bawah mikroskop fluoresen Leica DM1000 dengan filter cube N2.1 dan filter cube D.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4
Subklon Gen scFv anti EGFRvIII ke dalam plasmid pJ912-AGα-RFP Gen scFv anti EGFRvIII dibuat secara sintetik dan diklon dalam plasmid pJ201 di DNA 2.0 Inc USA berdasarkan sekuen protein anti-EGFRvIII. Sekuen gen scFv anti-EGFRvIII ini telah dioptimasi dengan kodon preferensi P. pastoris ( Hertati 2013). Gen ini diamplifikasi dan ditambah situs restriksi SalI dengan teknik PCR. Hasil PCR dengan primer VH101-SalI-F dan VL101-SalI-R menghasilkan amplifikasi dengan ukuran 750 pb yang merupakan gen scFv (Gambar 7). Plasmid pJ912-AGα-RFP merupakan vektor ekspresi yang mengandung beberapa perangkat gen penting untuk mengekspresikan protein scFv, yaitu promoter AOX1 sebagai promoter indusibel metanol, gen MF- (mating factor- ) sebagai gen penyandi peptida signal supaya protein dapat disekresikan keluar sel, gen she ble sebagai gen penyandi resisten terhadap antibiotik zeocin untuk menyeleksi transforman, pUC ORI sebagai titik awal replikasi plasmid pada E.coli, gen TagRFP sebagai gen penyandi protein reporter protein fluoresens berwarna merah, 3’-terminal gen AGα1 merupakan gen penyandi ujung C dari α agglutinin. Pada daerah C-terminal α agglutinin terdapat glycosylphosphatidylinositol (GPI) yang berfungsi sebagai protein penahan pada permukaan sel. Plasmid diperbanyak di dalam sel E.coli TOP10F’ dan diperoleh dengan cara isolasi menggunakan teknik alkali lisis (Gambar 7).
A
1000 pb 750 pb
M
1
2
3
B
750 pb
Gambar 7 Hasil amplifikasi gen scFv anti EGFRvIII dan isolasi plasmid pJ912AGα-RFP. A= Hasil PCR gen scFv anti-EGFRvIII yang berukuran 750 pb. B= Hasil isolasi plasmid pJ912-AGα-RFP Gen scFv anti-EGFRvIII telah berhasil disisipkan ke dalam situs SalI dari plasmid pJ912-AGα1-RFP dan terfusi diantara sinyal sekresi MF- (mating factor- ) pada ujung-5’ dan TagRFP pada ujung-3’. Konfirmasi gen scFv di dalam plasmid rekombinan dilakukan dengan analisis PCR koloni, analisis orientasi gen dalam vektor, analisis pemotongan dengan enzim restriksi (SalI) dan analisis urutan DNA dari fusi gen rekombinan. Analisis PCR koloni dengan primer VH101-Sal-F dan VL101-Sal-R menunjukkan bahwa semua koloni yang
19 dianalisis (6 klon) mengandung gen scFv yang berukuran sekitar 750 pb (Gambar 8). Orientasi gen scFv dianalisis dengan PCR menggunakan primer AOX1-F dan
Gambar 8 Analisis gen scFv pada sel transforman E.coli TOP10F’ menggunakan PCR koloni. Klon E. coli transforman yang positif mengandung gen scFv ditunjukkan oleh pita DNA berukuran 750 pb. M= DNA penanda 1 kb; 1= kontrol + (pJ201-scFv); 2= kontrol – (pJ912-Agα-RFP); 3-8= klon E. coli transforman yang menunjukkan hasil positif mengandung scFv.
Gambar 9 Analisis orientasi gen scFv di dalam vektor rekombinan. M = DNA penanda 1 kb; 1= kontrol + (pPICZα-scFv1); 2= kontrol – (pJ912AGα-RFP); 3-6= E. coli transforman dengan orientasi gen yang benar; 7= E. coli transforman yang mengandung plasmid heterogen; 8= E. coli transforman dengan salah orientasi gen (tidak ada pita DNA). VH101-R yang menghasilkan amplikon berukuran 639 pb. Dari enam klon yang positif mengandung scFv hanya 4 klon yang menunjukkan arah gen yang benar (Gambar 9). Analisis potong plasmid menggunakan enzim restriksi SalI bertujuan untuk meyakinkan bahwa gen scFv menyisip pada situs restriksi SalI dengan benar dan tidak ada mutasi pada situs restriksi tersebut. Hasil analisis pemotongan dengan SalI menunjukkan satu dari empat klon terpotong dengan baik dan fragmen gen scFv ditunjukkan oleh pita DNA berukuran 750 pb (Gambar 10).
20
Gambar 10 Analisis potong plasmid rekombinan dari 4 klon E. coli transforman dengan enzim Sal I. M =: DNA penanda 1 kb; 1 = klon no. 19T8; 2 = klon S6B; 3 = klon no.16; 4 = klon no. 17. Banyak faktor yang berpotensi mempengaruhi efisiensi transformasi, di antaranya kondisi inkubasi, konsentrasi plasmid, kondisi relatif sel kompeten dan kehadiran DNA kontaminan. (Classen et al. 2002). Faktor efisiensi ligasi juga turut mempengaruhi keberhasilan insersi gen ke dalam plasmid. Efisiensi ligasi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti posisi situs restriksi, jenis situs restriksi dan urutannya, dan jenis enzim yang memotong situs restriksi (Dhesi 2005). Berbagai enzim restriksi telah diteliti untuk menentukan pengaruh konten nukleotida G-C dan / atau panjang nukloetida yang menggantung yang mungkin menjadi faktor dalam ligasi oleh T4 DNA ligase. Hasil penelitian Bola (2005) menunjukkan bahwa ujung kohesif kaya G,C-nukleotida memiliki efisiensi ligasi terbaik dibandingkan dengan ujung kohesif lainnya. Efisiensi ligasi ujung kohesif yang mengandung nukleotida A,T,G,C akan lebih tinggi jika daerah nukleotida yang menggantung lebih panjang dibandingkan nuleotida yang menggantung ukuranya pendek. Ujung kohesif kaya A,T nukleotida memiliki efisiensi ligasi yang paling rendah. Plasmid rekombinan yang menunjukkan adanya sisipan gen scFv dengan orientasi yang benar dan telah terkonfirmasi dengan analisis potong plasmid, dikonfirmasi lebih lanjut dengan analisis urutan DNA. Hasil analisis urutan DNA menunjukkan bahwa ujung-5’ dari gen scFv telah terfusi dengan tepat dengan sekuen sinyal peptida MF- pada situs SalI (Lampiran 2). Sementara itu ujung-3’ dari gen scFv tersebut juga telah terfusi dengan tepat dengan ujung-5’ dari gen TagRFP pada situs SalI (Lampiran 3). Namun demikian, hasil analisis sekuen DNA diketahui bahwa telah terjadi dua buah mutasi titik di dalam gen scFv pada plasmid rekombinan yang dihasilkan tersebut. Mutasi terjadi pada sekuen DNA dari rantai berat (VH) dan rantai ringan (VL), masing-masing satu mutasi titik (Gambar 11). Mutasi yang terjadi pada fragmen rantai berat maupun rantai ringan mengubah nukleotida adenin menjadi guanin. Mutasi pada fragmen rantai berat (VH) terjadi pada posisi ketiga dari kodon asam amino, yaitu GCA menjadi GCG. Kedua kodon tersebut menyandi asam amino yang sama, yaitu alanin (Ala), sehingga mutasi tersebut tidak mengubah asam amino yang disandi (mutasi diam ). Namun, mutasi pada fragmen rantai ringan (VL) terjadi pada posisi pertama dari kodon asam amino yaitu AAC menjadi GAC, sehingga mutasi
21 tersebut mengakibatkan perubahan kodon asam amino dari asparagin (Asn) menjadi asam aspartat (Asp). Mutasi tersebut dapat terjadi dikarenakan penggunaan enzim Taq DNA polimerase yang memiliki akurasi terbatas, yaitu hanya memiliki aktivitas 5’-3’ polimerase dan 5’-3’ eksonuklease tetapi tidak memiliki aktivitas 3’-5’ eksonuklease (proofreading). DNA polimerase ini memiliki tingkat kesalahan 1 per 1,7x105. Ketelitian DNA polimerase meningkat 10 hingga 100 kali lipat dengan adanya aktivitas 3’-5’ eksonuklease (Garcia-Diaz & Bebenek 2007). Ketelitian DNA polimerase pada saat replikasi DNA didapatkan karena adanya proses pemeriksaan secara akurat setiap nukleotida yang disintesis dan jika terjadi kesalahan, nukleotida yang salah akan dihilangkan sebelum proses ekstensi primer lebih lanjut terjadi. Pada proses koreksi, primer harus dipisahkan dari untai cetakan dan ditransfer dari polimerase ke pusat aktif eksonuklease dimana terjadi reaksi eksisi. Kemudian, primer yang telah dipotong dikembalikan ke pusat aktif polimerase. Dengan demikian, terjadi proses pergantian aktivitas polimerase ke eksonuklease dan eksonuklease ke polimerase (Silva & Reha-Krantz 2007) Untuk melihat posisi relatif mutasi scFv anti EGFRvIII pada fragment untai ringan, sekuen asam amino scFv pada fragmen untai ringan di blast IgG menggunakan situs http://www.ncbi.nlm.nih.gov/igblast/igblast.cgi. Hasil blast IgG dapat dilihat bahwa posisisi relatif mutasi perubahan asam amino asparagin menjadi asam aspartat terjadi pada framework region ketiga (FR3) (Gambar 12). Untuk mengetahui pengaruh mutasi ini terhadap afinitas pengikatan antibodiantigen masih perlu dianalisis lanjut menggunakan antigen EGFRvIII dan bisa menjadi salah satu varian pustaka antibodi.
Gambar 11 Mutasi gen scFv anti-EGFRvIII pada plasmid rekombinan. A = plasmid pJ201-scFv anti-EGFRvIII (fragmen VH); B= plasmid pJ201-scFv anti-EGFRvIII (fragmen VL); C = plasmid rekombinan pJ912-AGα-RFP-scFv klon no. S6B (fragmen VH); D = plasmid rekombinan pJ912-AGα-RFP-scFv klon no. S6B (fragmen VL). Setiap scFv tersusun dari daerah framework (FR) yang sangat dilestarikan susunan asam aminonya dan enam daerah complementarity determining regions (CDRs) yang telah diketahui sebagai daerah hipervariabel. Enam CDR (tiga di rantai ringan (L1,L2,L3) dan tiga di rantai berat (H1,H2,H3) bertanggung jawab
22 terhadap sebagian besar interaksi antibodi-antigen (Pantazes & Maranas 2010). Mutasi pada gen daerah variable telah diketahui sebagai cara untuk meningkatkan afinitas antibodi. Namun, mutasi di FR lebih cenderung untuk menimbulkan respon imun yang tidak diinginkan (Kunik et al. 2012). FR penting dalam mempertahankan struktur CDR sehingga terjadi perubahan FR mempengaruhi struktur situs penggabungan antibodi-antigen dan dapat merubah afinitas antibodi (Holmes et al. 2001). Riechmann et al. (1988) menegaskan dari temuannya bahwa kontruk anti-CD52 dari manusia memiliki aviditas lemah akan tetapi setelah dilakukan perbaikan mutasi tunggal Ser menjadi Phe pada daerah framework H274 menjadikan aviditas lebih baik. A
B
Gambar 12 Analisis blast IgG fragmen untai ringan (VL) pada plasmid pJ201scFv dan pJ912-AGα-RFP. Mutasi titik menyebabkan perubahan asam amino asparagin (N) menjadi aspartat (D) pada urutan asam amino fragmen untai ringan scFv anti-EGFRvIII. A. Fragmen untai ringan scFv anti EGFRvIII dari plasmid pJ201-scFv. B. Fragmen untai ringan scFv anti EGFRvIII dari plasmid rekombinan pJ912AGα-RFP::scFv. Antibodi dapat mengenali antigen melalui interaksi yang melibatkan daerah CDRs sehingga pustaka antibodi dapat dibuat hanya melibatkan mutasi di daerah CDRs. Rajpal et al. (2005) memilih dan memasukkan sembilan jenis asam amino sebagai perwakilan dari setiap gugus fungsi kimia dari asam amino. Mutasi tunggal masing-masing terjadi di setiap CDR dari enam CDRs (57 asam amino). Hasil diperoleh terdapat 38 mutasi substitusi di 21 posisi CDR (VH&VL) diidentifikasi menghasilkan afinitas pengikatan α-TNF tinggi. Varian ini memperlihatkan afinitas meningkat antara 500 - 870 kali lipat. Seleksi pustaka antibodi dengan sistem tampilan permukaan khamir merupakan metode yang efisien dan sangat sensitif untuk mengidentifikasi pengikatan antibodi-antigen.
23 Benatuil et al. (2010) menghasilkan 1,4 x1010 pustaka antibodi limfa manusia dengan efisiensi transformasi 1-1,5 x 108 transforman/mg vektor DNA.
Transformasi P. pastoris dengan Plasmid Rekombinan Dua konstruk plasmid rekombinan, yaitu pJ912-AGα-RFP dan pJ912-AGαRFP-scFv, telah berhasil diintroduksikan ke dalam genom P. pastoris SMD1168H. Plasmid rekombinan ini menyisip ke dalam genom P. pastoris melalui mekanisme rekombinasi homologus dengan memanfaatkan kemiripan sekuen promoter AOX1 yang terdapat pada genom P. pastoris dan vektor pJ912. Transforman P. pastoris AGα-RFP berhasil diperoleh sebanyak 12 klon sedangkan transforman P. pastoris AGα-RFP::scFv diperoleh sebanyak 4 klon (Gambar 13). Vektor dirancang untuk berintegrasi ke dalam genom P. pastoris sehingga memungkinkan ekspresi protein menjadi stabil, akan tetapi efisiensi transformasi menjadi sangat rendah. Efisiensi transformasi P. pastoris rendah karena plasmid tidak hanya masuk ke dalam sel tetapi juga harus berintegrasi ke dalam genom. Efisiensi transformasi yang rendah biasanya terjadi karena situs integrasi yang tidak efisien, DNA sisipan yang sulit dan kondisi transformasi tidak optimal (Wu & Letchworth 2004). Konsentrasi dan jumlah DNA, kepadatan sel kompeten, situs integrasi vektor ke dalam genom P. pastoris dan kondisi elektroporasi seperti voltase, kapasitas dan resistan pada saat transformasi mempengaruhi tingkat efisiensi transformasi pada P. pastoris (Wu & Letchworth 2004). Jumlah plasmid DNA yang digunakan untuk transformasi P. pastoris pada penelitian ini hanya 0,5 µg per reaksi transformasi, sedangkan jumlah plasmid DNA yang disarankan untuk memperoleh hasil yang baik per reaksi transformasi adalah sebanyak 5-10 µg plasmid (Invitrogen 2008). Dengan jumlah DNA 5-10 µg disebutkan dapat diperoleh sedikitnya 1x103 sampai 1x104 koloni transforman dengan kondisi transformasi yang optimal. A
B
Gambar 13 Hasil transformasi P.pastoris SMD1168H. A = Introduksi dengan plasmid pJ912-AGα-RFP. B= Introduksi dengan plasmid pJ912AGα-RFP::scFv
24 Seleksi Transforman P. pastoris Vektor telah dirancang mengandung gen penyandi resistensi zeocin, yaitu gen Sh ble dari Streptoalloteichus hindustanus. Proses seleksi transforman di media seleksi zeocin bertujuan untuk memperoleh transforman yeng memiliki ketabilan genetik dan memiliki beberapa salinan gen. Konsentrasi zeocin yang digunakan 0 µg/mL, 100 µg/mL, 200 µg/mL, 500 µg/mL, dan 1000 µg/mL. P. pastoris galur non transforman disertakan untuk melihat efektifitas zeocin untuk membunuh sel yang tidak terintegrasi dengan gen target. Semua transforman P. pastoris AGα-RFP dan P. pastoris AGα-RFP::scFv mampu tumbuh pada media seleksi zeocin hingga konsentrasi 1000 µg/mL sementara galur non-transforman P. pastoris tidak mampu tumbuh pada media mengandung zeocin (Gambar 14). Tingkat resistensi zeocin secara tidak langsung mencerminkan jumlah gen rekombinan dimasukkan ke dalam genom P. pastoris. Norden et al (2011) berasumsi bahwa gen She ble menyatu dan memiliki rasio yang sama dengan urutan terminator AOX1. Klon transforman yang resisten 100 µg/mL zeocin cenderung memiliki minimal 1 salinan plasmid, resisten 500 µg/mL zeocin minimal memiliki 4 salinan plasmid, resisten 1000 µg/mL zeocin minimal memiliki 9 salinan plasmid dan resisten zeocin yang lebih dari 1000 µg/mL memerlukan minimal 17 salinan plasmid yang terintegrasi pada genom. Peningkatan jumlah gen yang terintegrasi di dalam genom dapat meningkatkan ekspresi protein heterolog (Vassileva et al, 2001;. Mansur et al, 2005.). P. pastoris menghasilkan transforman stabil secara genetik melalui rekombinasi homologus antara kemiripan sekuen promoter AOX1 terhadap vektor ekspresi dengan genom P. pastoris. Proses integrasi diawali dengan vektor dipotong dengan SacI pada promoter AOX1. DNA vektor yang berbentuk linier menstimulasi proses terjadinya rekombinasi homologus di lokus yang terpotong melalui pristiwa pindah silang tunggal. Fragmen DNA linier yang dihasilkan mengandung cassette ekspresi dan gen penanda (zeocin) yang diapit oleh 5’dan 3’ AOX1. Kondisi ini merangsang peristiwa penggantian gen pada AOX1 genom sehingga menyebabkan gen AOX1 digantikan oleh cassette ekspresi berserta gen penanda (Li et al. 2007). 1 2 3 4 5 A
B
Gambar 14 Analisis stabilitas genetik koloni P. pastoris transforman dan non transforman di media YPD agar dengan beberapa konsentrasi zeocin. 1 = 0 μg/mL; 2 = 100 μg/mL; 3 = 200 μg/mL; 4 = 500 μg/mL; dan 1000 μg/mL. A = Transforman P. pastoris AGα-RFP. B= Transforman P. pastoris AGα-RFP::scFv.
25 Analisis gen scFv anti-EGFRvIII pada genom diperlukan untuk membuktikan bahwa gen target telah terintegrasi pada genom P. pastoris. Hasil analisis PCR koloni dari 4 galur transforman P. pastoris AGα-RFP::scFv yang diperoleh menunjukkan bahwa gen scFv telah terintegrasi ke dalam genom pada 4 galur transforman P. pastoris tersebut. Galur transforman P. pastoris yang positif mengandung gen scFv anti-EGFRvIII pada genom akan menghasilkan pita DNA berukuran 750 pb (Gambar 15). P.pastoris AGα-RFP tidak menghasilkan pita DNA berukuran 750 pb disebabkan karena pada vektor yang diintegrasikan kedalam genom tidak terdapat gen scFv begitu juga pada kontrol sel P. pastoris non transforman tidak muncul pita DNA disebabkan karena tidak ada vektor ekspresi yang diintegrasikan ke dalam genom.
Gambar 15 Analisis gen scFv pada sel P. pastoris transforman dan nontransforman menggunakan PCR koloni. M = DNA penanda 1 kb; 1 = Kontrol positif (pJ912-Agα-RFP-scFv); 2 = Kontrol negatif (sel P. pastoris SMD1168H non-transforman); 3-6 = Transforman P. pastoris pJ912-AGα-RFP::scFv; 3 = Klon SRA1; 4 = Klon SRA2; 5 = Klon SRA3: dan 6 = klon SRA4; 7-9 = transforman P. pastoris pJ912-AGα-RFP; (7) : Klon 2; (8) : Klon 4; (9) : Klon 11.
Ekspresi Protein Rekombinan Protein scFv rekombinan ini terfusi dengan protein TagRFP. Protein fusi ini disekresikan keluar dari sel dengan bantuan sinyal peptida faktor-α. Namun, karena protein ini juga difusikan dengan α agglutinin yang mengandung domain penahan glycosylphosphatidylinositol (GPI) (GPI-anchor) menyebabkan protein fusi antibodi ini tidak sepenuhnya tersekresi keluar sel atau ke dalam media, akan tetapi protein tersebut tertahan pada permukaan sel. Aplikasi yang paling populer dari protein fluorensen adalah sebagai penanda ekspresi protein rekombinan karena ekspresi protein ini mudah diamati secara visual menggunakan mikroskop fluorensen. Ekspresi dari protein fluorensen dapat menunjukkan ekspresi, lokalisasi, translokasi, interaksi antar protein atau degradasi dari protein fusi tersebut di dalam sel. Protein fluoresen monomer seperti TagRFP umumnya dapat berfungsi dengan baik meski telah difusi dengan protein lain (Chudakov et al. 2010). Pengamatan sel P. pastoris transforman dan non-transforman dapat diamati di bawah mikroskop fluoresen pada fase kontras dan fase fluoresen
26 Fase Kontras
Fase Fluoresen
A
B
C
D
Gambar 16 Pengamatan mikroskopik sel P. pastoris transforman dan nontransforman dibawah mikroskop fluoresen. A= P. pastoris non transforman (P. pastoris SMD1168H) tidak menunjukkan fluoresensi protein TagRFP. B= P. pastoris pJ912-AGα-RFP::scFv yang tidak menunjukkan fluoresensi protein TagRFP jika tidak diinduksi metanol. C = P. pastoris pJ912-AGα-RFP menunjukkan fluoresensi protein TagRFP setelah diinduksi metanol. D = P. pastoris pJ912-AGα-RFP::scFv menunjukkan fluoresensi protein TagRFP setelah diinduksi metanol. Kolom kiri = Fase kontras. Kolom kanan= Fase fluoresen filter cube N2.1.
27 (Gambar 16) . Sel P. pastoris non-transforman terlihat dengan jelas pada fase kontras, tetapi tidak menunjukkan adanya fluoresensi dari TagRFP pada fase flouresens. Sementara dua jenis sel transforman, yaitu P. pastoris pJ912-AGαRFP::scFv dan P. pastoris pJ912-AGα-RFP, menunjukkan adanya pendaran fluoresen berwarna merah setelah sel diinduksi dengan metanol. Hasil ini menjelaskan bahwa protein Tag RFP yang terfusi dengan protein scFv antiberhasil diekspresikan oleh sel P. pastoris. Sebuah domain GPI yang terletak di bagian C- terminal α-agglutinin berfungsi untuk mengikat dan melokalisasi fusi protein ini pada bagian dinding sel. Pengikatan domain GPI difasilitasi oleh ikatan kovalen yang berikatan dengan gugus karbohidrat penyusun struktur dinding sel khamir, sehingga menghasilkan protein yang sangat stabil pada permukaan sel. Sistem reporter pada permukaan sel yang dikembangkan dalam penelitian ini akan memiliki kemampuan yang jauh lebih kuat untuk mendeteksi peristiwa molekuler di dalam atau di luar sel hidup. Reporter protein TagRFP telah terbukti dapat diekspresikan pada sel P. pastoris. Sistem tampilan khamir ini sangat berguna untuk pengembangan metode seleksi pembuatan pustaka antibodi. Beranekaragam pustaka cDNA antibodi dapat diekspresikan pada permukaan sel khamir dan gen antibodi ini dapat diambil kembali dari genom khamir. Fusi protein rekombinan tidak diekpresikan apabila sel transforman tidak diinduksi dengan metanol. Sel transforman (P. pastoris pJ912-AGα-RFP-scFv) tidak terlihat fluoresen berwarna merah dari protein TagRFP pada fase fluoresens (Gambar 16). Metanol mempengaruhi ekspresi protein karena metanol berperan sebagai induser bagi promoter AOX1. Promoter AOX1 memiliki respon positif tehadap metabolisme karbon yang digunakan untuk mengontrol ekspresi fusi protein rekombinan. Penggunaan promoter AOX1 memiliki keuntungan diantaranya proses ekspresi protein rekombinan dikendalikan oleh mekanisme induksi yang ketat, proses induksi transkripsi mudah dicapai dengan penambahan metanol, dan protein rekombinan dapat diekspresikan dengan tingkat yang tinggi (Macauley-Patrick et al. 2005). Analisis SDS PAGE dan hibridisasi mendukung hasil analisis pengamatan ekspresi fusi protein TagRFP di bawah mikroskop (Gambar 18). Sampel protein diambil dari hasil lisis sel dari kedua sel transforman dan sel non-transforman yang dimigrasikan di 15% gel poliakrilamid. Untuk mendapatkan protein rekombinan, sel P. pastoris dilisis hingga dinding sel terkoyak (Gambar 17).
Gambar 17 Lisis sel P. pastoris menggunakan glas bead. Tanda panah menunjukkan dinding sel yang terkoyak dan isi sel keluar.
28 Pada hasil hibridisasi dengan menggunakan antibodi anti-Flag Tag, beberapa pita fusi protein teramati pada sampel protein ekstrak lisis sel Pichia transforman dari strain P. pastoris pJ912-AGα-RFP (Gambar 18B, Klon 2) dan P. patoris pJ912-AGα-RFP::scFv (Gambar 18B, SRA1 & SRA2) akan tetapi tidak terlihat pita protein pada sampel sel transforman hasil lisis sel yang diberi perlakuan dengan enzim selulose komplek. Beberapa pita protein terdeteksi kemungkinan disebabkan adanya degradasi protein oleh protease. Hasil lisis sel kontrol P. pastoris SMD1168H baik hasil ekstrak lisis sel maupun hasil sel lisis yang diberi perlakuan selulose komplek tidak menunjukkan adanya pita protein pada hasil hibridisasi (Gambar 18B, NT). Hasil ini menjelaskan bahwa fusi protein scFv-TagRFP-α agglutinin maupun TagRFP-α agglutinin berhasil diekspresikan oleh transforman sel P. pastoris SMD1168H yang bisa dideteksi dengan antibodi anti-Flag Tag. Hasil ini juga diduga bahwa TagRFP maupun fusi scFv-TagRFP diimobilisasi pada dinding sel P. pastoris. Lodder et al. (1999) and Jo et al. (2011) berhasil mengekstraksi protein permukaan dari ekstrak lisis sel dengan menggunakan metode glass bead. A
B
Gambar 18 Analisis protein rekombinan dengan SDS-PAGE dan hibridisasi Western blot. A = Gel SDS PAGE protein rekombinan. B = Membran nitroselulosa hasil hibridisasi protein rekombinan M = Penanda protein prestain. NT = Sel P. pastoris SMD1168H (non transformant); Klon 2 = Sel P. pastoris pJ912-AGα; SRA1 & SRA2 = Sel P. pastoris pJ912-AGα-scFv; E = Ektrak lisis sel; P = Sel lisis P. pastoris yang diberi perlakuan selulase komplek. Tanda panah menunjukkan pita fusi protein TagRFP/C-terminal αagglutinin dan pita fusi protein scFv/ TagRFP/C-terminal αagglutinin.
29 Hasil penelitian dari Lodder et al. (1999) yang menggunakan protein Wsc1 sebagai protein permukaan menunjukkan bahwa protein rekombinan di membran P. pastoris bertindak sebagai protein integral yang berhubungan erat dengan komponen penyusun membran sel. Namun, perlu adanya analisis lanjut mengenai fraksinasi membran yang diperlukan untuk menjelaskan lokalisasi yang tepat dari fusi protein rekombinan ini pada P. pastoris. Protein ekstrak dari sel yang diberi perlakuan enzimatik selulase komplek tidak menunjukkan hasil positif keberadaan pita protein disebabkan karena penggunaan enzim yang tidak spesifik. α-agglutinin sebagai protein permukaan melekat pada dinding sel melalui ikatan kovalen dengan polisakarida penyusun dinding sel yaitu β-1,6-glukan. Sehingga, untuk mengekstraksi protein αagglutinin diperlukan enzimatik pendegradasi glukan. Ujung-C α-agglutinin terdapat modifikasi GPI dan banyak terdapat situs glikosilasi. GPI termodifikasi berikatan kovalen dengan β-1,6-glukan membatu dalam penahan protein pada dinding sel (Zhao et al. 2001; Schreuder et al. 1996). Penyusun utama polisakarida dinding sel khamir, yaitu glukan, mannoprotein dan kitin (Lipke & Ovalle 1998; Pardo et al. 2004; Teparić et al. 2010). Sebagian besar komposisi dinding sel adalah mannoprotein dan serat β-1,3glukan. Cabang β-1,6-glukan menghubungkan komponen lain dari dinding sel. Kitin menjadi komponen minor penyusun polisakarida dinding sel memiliki kontribusi terhadap tidak larutnya serat. Komplek β-1,3-glukan-kitin berperan sebagai penyusun bagian dalam dinding sel sedangkan cabang β-1,6-glukan menghubungkan komponen bagian dalam dan luar dinding sel. Mannoprotein terletak di permukaan luar dinding sel dan mannoprotein ini mengalami glikosilasi baik O-glikosilasi maupun N-glikosilasi (Lipke & Ovalle 1998).
Protein membran
Membran plasma
Gambar 19 Komponen penyusun dinding sel khamir. A = Modul komponen individual yang diberi label dan berwarna. Warna biru tua = mannoprotein; Warna kuning = oligosakarida dengan ikatan N atau O glikosilasi; Warna hijau = beberapa cabang β-1,3 glukan; Warna biru muda = kitin; Warna merah = β-1,6 glukan yang berikatan dengan kitin. B = Assosiasi modul untuk menyusun kisi-kisi dinding sel. Rantai β-1,3- glukan saling terikat untuk membentuk tiga helik. Kitin sebagai mikromolekul dinding sel (Lipke & Ovalle 1998).
30 Protein permukaan (mannoprotein) dapat diekstraksi dari dinding sel dengan prosedur yang berbeda sesuai dengan ikatan protein tersebut terhadap glukan. Ada tiga jenis mannoprotein yang hadir dalam dinding sel khamir. Beberapa protein berikatan dengan glukan melalui ikatan non-kovalen, seperti Bgl2p, Scw4p, Eng1p, Egt2p, Spr1p, Exg1p, Cts1p, Cts2p. Protein ini bisa diekstraksi menggunakan SDS dan β-merkaptoetanol. Mannoprotein yang diekstrak dengan SDS dan pereduksi akan kehilangan stabilitasnya di dinding sel atau struktur ikatan disulfida. (Lipke & Ovalle 1998; Pardo et al. 2004;. Teparić et al. 2010;. Ueda & Tanaka. 2000). Kelompok kedua mannoprotein yaitu protein yang memiliki gugus GPI. GPI akan berikatan dengan gugus β-1,6-glukan / β-1,3glukan melalui ikatan kovalen. Untuk mengektraksi protein ini digunakan β -1,6glukanase atau β -1,3-glukanase. GPI protein dinding sel terhubung dengan β-1,6glukan melalui sisa GPI dan β-1,6-glukan berikatan dengan β-1,3-glukan atau langsung dengan kitin. Beberapa protein yang melekat didinding sel dengan menggunakan penahan GPI, adalah Gas1p-5p, Exg2p, Crh1p, Crh2p, Crr1p, Flo1p, Aga1p (subunit a agglutinin), α agglutinin, Cwp1p, Cwp2p,dan1p-4p, Tir1p-4p, Fit1p-3p, Sed1p, Spi1p, Ccw12p, Yps1-3p (Pardo et al. 2004; Teparić et al. 2010; Ueda & Tanaka 2000). Kelompok ketiga adalah mannoprotein yang melekat dengan β-1,3-glukan melalui ikatan alkali ester yang tidak stabil. Ikatan ini terjadi antara kelompok γ-karboksil spesifik dari residu asam glutamat pada protein yang memiliki urutan asam amino berulang dengan gugus hidroksil glukosa. Protein PIR (Protein Internal Repeats) merupakan mannoprotein yang berikatan alkali dengan polisakarida dinding sel (Teparić et al. 2010).
Analisis Interaksi Antibodi Anti-EGFRvIII dengan Antigen EGFRvIII Interaksi antibodi-antigen dapat dilihat dengan bantuan Pure Proteome™ Nickel Magnetic Beads. Manik magnet ini dapat digunakan untuk purifikasi protein yang memiliki His Tag. Protein antigen EGFRvIII yang digunakan telah berfusi dengan protein fluoresen BFP dan terdapat His Tag. Sebelum antigen EGFRvIII digunakan untuk menguji interaksi antibodi-antigen, protein ini terlebih dahulu diikat dengan manik magnet sehingga terpapar pada permukaan manik magnet agar mempermudah untuk melihat interaksi antibodi-antigen. Manik magnet yang mengikat protein antigen EGFRvIII akan berfluoresensi biru karena adanya fusi dengan protein BFP (Gambar 20B). Hal ini disebabkan panjang gelombang (λ) eksitasi dan emisi dari fluoresensi BFP sesuai dengan λ eksitasi dan emisi dari filter cube D. Protein BFP memiliki puncak eksitasi maksimal sebesar 434 nm dan puncak emisi sebesar 474nm sedangkan filter cube D memiliki λ eksitasi 355nm hingga 425nm dan λ emisi ≥ 470 nm. Dengan filter N2.1, fluoresensi protein BFP tidak tampak karena filter N2.1 memiliki rentang λ emisi yang lebih tinggi dari λ emisi fluoresensi BFP (Gambar 20C). Filter cube N2.1 memiliki λ eksitasi 515nm hingga 560nm dan λ emisi ≥ 590nm . Protein antibodi anti-EGFRvIII pada penelitian ini diharapkan terekpresi pada permukaan sel P. pastoris transforman. Dengan demikian diharapkan adanya interaksi pengikatan antara manik magnet yang mengandung antigen pada permukaannya dengan sel P. pastoris yang mengandung antibodi pada permukaan sel. Untuk membuktikan hal tersebut, dua jenis P. pastoris transforman yaitu P.
31 pastoris pJ912-AGα-RFP::scFv dan P. pastoris pJ912-AGα-RFP yang telah ditumbuhkan dan diinduksi dengan metanol digunakan dalam analisis ini. Sel P. pastoris pJ912-AGα-RFP::scFv sebelum diinterkasikan dengan antigen diamati di bawah mikroskop fluoresen baik dengan fase kontras maupun fase fluoresense menggunakan dua filter fluoresen berbeda (filter cube D dan N2.1) (Gambar 21). Sel P. pastoris pJ912-AGα-RFP::scFv terlihat jelas pada fase kontras maupun fase fluoresen mengunakan dua filter tersebut (filter D dan N2.1). Protein TagRFP memiliki puncak emisi sebesar 584nm sehingga emisi fluoresensi dari TagRFP dapat tertangkap oleh filter D yang memiliki λ emisi ≥ 470nm maupun filter N2.1 dengan λ emisi ≥ 590 nm.
A
B
C
Gambar 20 Pengamatan mikroskopik manik magnet. Manik magnet berfluoresen karena berikatan dengan fusi protein BFP dan antigen EGFRvIII. A= Fase kontras. B = Fase fluoresen dengan filter D. C = Fase fluoresen dengan filter cube N2.1. Selain sel P. pastoris pJ912-AGα-RFP::scFv, sel transforman P. pastoris pJ912-AGα-RFP juga dianalisis dan digunakan sebagai kontrol untuk mengamati ada atau tidaknya aktivitas interaksi antara sel P.pastoris terhadap manik magnet yang mengandung protein antigen. Sel P. pastoris pJ912-AGα-RFP sebelum digabungkan dengan antigen EGFRvIII terlihat jelas pada fase kontras maupun fase fluoresen baik dengan filter cube D maupun filter cube N2.1 (Gambar 22).
32
B
A
C
Gambar 21 Pengamatan mikroskopik sel transforman P. pastoris pJ912-AGαRFP::scFv. Sel P. pastoris pJ912-AGα-RFP::scFv berfluoresens. A= Fase kontras. B= Fase fluoresen dengan filter D . C= Fase fluoresen dengan filter cube N2.1.
A
B
C
C
Gambar 22 Pengamatan mikroskopik sel P. pastoris pJ912-AGα-RFP. Sel P. pastoris pJ912-AGα-RFP berfluoresen. A= Fase kontras. B=. Fase fluoresen dengan filter D . C= Fase fluoresen dengan filter cube N2.1.
33 Adanya interaksi antibodi-antigen dapat dilihat dari hasil pengamatan mikroskop fluoresens antara P. pastoris pJ912-AGα-RFP::scFv transforman yang mengandung antibodi anti EGFRvIII dengan manik magnet yang mengandung antigen EGFRvIII (Gambar 23). Sel transforman tampak melekat pada permukaan manik magnet (Gambar 23 kiri). Sementara itu, sel P. pastoris pJ912-AGα-RFP yang hanya mengekspresikan protein Tag RFP tanpa scFv tidak mampu melekat pada manik magnet (Gambar 23 kanan). Hal ini disebabkan karena pada sel transforman tersebut tidak terdapat molekul antibodi yang dapat berikatan dengan molekul antigen pada manik magnet. Sel P. pastoris pJ912-AGα-RFP yang teramati pada mikroskop terlihat jelas terpisah dari manik magnet pada fase kontras maupun fase fluoresen dengan filter cube D. Sementara pada filter N2.1, hanya sel P. pastoris yang tampak berpendar berwarna merah sedangkan manik magnet tidak tampak berpendar. Berbeda dengan sel P. pastoris pJ912-AGα-RFP, sel P. pastoris pJ912-AGα-RFP::scFv tampak melekat pada permukaan manik magnet. Sel yang melekat pada manik magnet menyebabkan manik magnet tersebut ikut berfluorensen berwarna merah menggunakan filter N2.1 (Gambar 23C kiri). Interaksi antibodi-antigen ini juga tampak berfluoresense dengan menggunakan filter D (Gambar 23B kiri). Hasil analisis interaksi antra sel khamir dengan manik magnet ini membuktikan bahwa telah terjadi interaksi antara molekul antibodi anti EGFRvIII pada permukaan sel khamir dengan antigen EGFRvIII pada permukaan manik magnet. Adanya mutasi perubahan asam amino pada kerangka (framework region) fragmen rantai ringan antibodi (N194D) tidak terlalu mempengaruhi situs paratop antibodi sehingga masih ada kemampuan antibodi mengikat antigen. Selain itu, pengamatan mikroskopik ini membuktikan bahwa fusi protein antibodi-TagRFP berhasil diekspresikan pada permukaan sel bukan di dalam sel. Antibodi yang memiliki aktivitas pengikatan antigen, protein α-agglutinin yang membantu protein antibodi terekspresikan pada permukaan sel dan protein TagRFP yang berfluoresen membuktikan bahwa proses sintesis protein dari tahapan transkripsi hingga pascatranslasi (proses proteolitik, pelipatan protein, glikosilasi, ikatan disulfida) pada P. pastoris telah berhasil dengan baik sehingga masing-masing protein tersebut memiliki struktur dan fungsi yang diharapkan.
34 P. pastoris pJ912-AGα-RFP
P. pastoris pJ912-AGα-RFP::scFv
A
B
C
Gambar 23. Pengamatan mikroskopik interaksi antibodi-antigen antara ikatan EGFRvIII pada manik magnet terhadap antibodi anti EGFRvIII pada permukaan sel P. pastoris. Sel P. pastoris pJ912-AGα-RFP dan sel P. pastoris pJ912-AGα-RFP::scFv berfluoresen pada filter cube D dan cube N2.1 sedangan manik magnet berfluoresen hanya pada filter D. A= Fase kontras. B= Fase fluoresen dengan filter D. C= Fase fluoresen dengan filter cube N2.1. Kolom kiri = P. pastoris pJ912-AGα-RFP. Kolom kanan = P. pastoris pJ912-AGα-RFP::scFv
35
5
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Gen scFv anti-EGFRvIII telah berhasil disisipkan pada vektor pJ912-AGαRFP. Namun, gen scFv tersebut mengalami dua mutasi titik, masing-masing satu pada bagian rantai berat (VH) dan rantai ringan (VL). Satu mutasi berupa mutasi sunyi (silent) yang tidak mengubah asam amino, sedangkan mutasi lainnya mengubah asam amino dari asparagin menjadi asam aspartat (N194D). Mutasi N194D terjadi pada daerah kerangka (framework) untai ringan (VL) dari scFv. Plasmid pJ912-AGα-RFP dan pJ912-AGα-RFP::scFv berhasil berintegrasi ke dalam genom P. pastoris SMD1168H dan memiliki stabilitas genetik yang mampu tumbuh pada media zeocin hingga 1000 µg/mL. Protein rekombinan berhasil diekspresikan oleh sel P. pastoris yang ditunjukkan dengan adanya fluoresensi merah pada permukaan sel dan adanya pita protein target yang terdeteksi dengan hibridisasi Western blot. ScFv anti EGFRvIII memiliki aktivitas pengikatan terhadap antigen EGFRvIII. Fusi protein TagRFP dan scFv antiEGFRvIII berhasil diekspresikan pada permukaan sel P. pastoris SMD 1168H dengan bantuan protein permukaan α- agglutinin.
Saran Plasmid rekombinan pJ912-AGα-RFP::scFv yang mengalami mutasi perlu dilakukan perbaikan, terutama mutasi substitusi pada fragmen rantai ringan yang mengubah asam amino. Vektor ekspresi dapat dibuktikan telah bekerja dengan baik sehingga dapat dikembangkan untuk digunakan sebagai pembuatan dan seleksi DNA pustaka scFv yang memiliki aktivitas pengikat antigen yang lebih baik dari konstruk yang sudah ada.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad ZA, Yeap SK, Ali AM, Ho WY, Alitheen NBM, Muhajir Hamid. 2012. ScFv antibody : principles and clinical application. Clin Dev Immunol. 2012: 1-15. doi: 10.1155/2012/980250. Aracama MRV. 2007. Development of a tagged scFv based immunoprecipitation method for protein-protein interaction studies [disertasi]. West Virginia (USA): West Virginia University. Ausubel FM, Brent R, Kingston RE, Moore DD, Seidman JG, Smith JA, and Struhl K (editors). 2002. Short Protocol in Molecular Biology. Volume-1. 5th Edition. New York (USA) : John Wiley & Sons Inc. Balamurugan V, Reddy GR, Suryanarayana VVS. 2007. Pichia pastoris: A notable heterologous expression system for the production of foreign proteins-vaccines. Indian J Biotechnol. 6: 175-186.
36 Benatuil L, Perez JM, Belk J, Hsieh CM. 2010. An improved yeast transformation method for the generation of very large human antibody libraries. Protein Engineering, Design & Selection. :1-5. doi: 10.1093/protein/gzq002. Bola G. 2005. Evaluating the role of G,C-nucleotides and length of overhangs in T4 DNA ligase efficiency. JEMI. 8:1-7. Bueren JJLV, Bleeker WK, Brannstrom A, Euler AV, Jansson M, Pelpp M, Merck TS, Valerlus T, Winkwl JGJV, Parren. 2008. The Antibody zalutumumab inhibits epidermal growth factor receptor signaling by limiting intra- and intermolecular flexibility. PNAS. 105(16): 6109-6114. doi: 10.1073/pnas.0709477105. Cao X, Zhu H, Osman A, Lo HW. 2011. EGFR and EGFRvIII undergo stressand EGFR Kinase inhibitor-induced mitochondrial translocalization: a potential mechanism of EGFR-driven antagonism of apoptosis. Mol Cancer. 10(1): 26. doi: 10.1186/1476-4598-10-26. Castillo L, Grimaldi MCE, Fischel JL, Formento P, Magne N, Milano G. 2004. Pharmacological background of EGFR targeting. Ann Oncol. 15(7): 1007– 1012. doi: 10.1093/annonc/mdh257. Cereghino JL, Cregg JM. 2000. Heterologous protein expression in the methylotrophic yeast Pichia pastoris. FEMS Microbiol. 24(1): 45-66. doi: 10.1111/j.1574-6976.2000.tb00532.x. Cho BK, Kieke MC, Boder ET, Wittrup KD, Kranz DM. 1998. A yeast surface display system for the discovery of ligands that trigger cell activation. J Immunol Methods. 220(1-2):179–188. doi: 10.1016/s0022-1759(98)00158-6. Chudakov DM, Matz MV, Lukyanov S, Lukyanov KA. Fluorescent proteins and their applications in imaging living cells and tissues. Physiol Rev. 90: 1103– 1163, 2010. doi:10.1152/physrev.00038.2009. Chen MT, Lin S, Shandil I, Andrews D, Stadheim TA, Choi BK. 2012. Generation of diploid Pichia pastoris strains by mating and their application for recombinant protein production. Microb Cell Factor. 11:91 doi: 10.1186/1475-2859-11-91. Classen D, Lee-son NM, Lin C, Menzies JM, Yew DS. 2002. Ability of Escherichia coli to distinguish between self and foreign DNA as demonstrated by trends in transformation efficiency. JEMI. 2: 201-206. Dhesi S. 2005. Investigation of the relationship between terminal sequence variation and the ligation efficiency of T4 DNA ligase on blunt-ended DNA. JEMI. 8:14-20. Emantoko S. 2001. Antibodi rekombinan : perkembangan terbaru dalam teknologi antibodi. Unitas. 2: 29-43. Fickers P. 2014. Pichia pastoris: a work horse for recombinant protein production. Current Research in Microbiol and Biotechnol. 2(3): 354-363. Frederick L, Eley G, Wang XY, James CD. 2000. Analysis of genomic rearrangements associated with EGFRvIII expression suggests involvement of Alu repeat elements. Neuro-Oncology. 2(3): 159-163. doi: 10.1215/ 15228517-2-3-159. Garcia-Diaz M, Bebenek K. 2007. Multiple functions of DNA polymerases. CRC Crit Rev Plant Sci. 26(2): 105-122. doi: 10.1080/07352680701252817.
37 Gupta P, Han SY, Madruga MH, Mitra SS, Li G, Nitta RT1, Wong AJ. 2010. Development of an EGFRvIII specific recombinant antibody. BMC Biotechnol.10(1): 72. doi: 10.1186/1472-6750-10-72. Heimberger AB, Suki D, Yang D, Shi W, Aldape K. 2005. The natural history of EGFR and EGFRvIII in glioblastoma patients. J Transl Med. 3(1): 38. doi: 10.1186/1479-5876-3-38. Hertati A. 2013. Introduksi dan ekspresi gen fragmen antibodi untai tunggal (scFv) anti-EGFRvIII. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Holmes MA, Buss TN, Foote J. 2001. Structural effects of framework mutations on a humanized anti-lysozyme antibody. J Immunol. 167:296-301. doi: 10.4049/jimmunol.167.1.296. Hong GE, Xiaoqi G, Careen KT. 2002. Evidence of high incidence of EGFRvIII expression and coexpression with EGFR in human invasive breast cancer by laser capture microdissection and immunohistochemical analysis. Int. J. Cancer. 98(3): 357–361. doi: 10.1002/ijc.10224. Invitrogen. 2008. pPICZα A,B, and C Pichia expression vectors for selection on zeocin and purification of secreted recombinant protein. Version F. Jacobs PP, Ryckaert S, Geysens S, Vusser KD, Callewaert N, Contreras R. 2008. Pichia surface display: display of proteins on the surface of glycoengineered Pichia pastoris strains. Biotechnol Lett. 30: 2173–2181. Jo JH, Im EM, Kim SH, Lee HH. 2011. Surface display of human lactoferrin using a glycosylphosphatidylinositol-anchored protein of Saccharomyces cerevisiae in Pichia pastoris. Biotechnol Lett. 33(6): 1113–1120. doi: 10.1007/s10529-011-0536-5. Krainer FW, Christian Dietzsch C, Hajek T, Herwig C, Spadiut O, Glieder A. 2012. Recombinant protein expression in Pichia pastoris strains with an engineered methanol utilization pathway. Microb Cell Factor. 11(1):22. doi: 10.1186/1475-2859-11-22. Kuan CT, Wikstrand CJ, Bigner DD. 2001. EGF mutant receptor vIII as a molecular target in cancer therapy. Endocr-Relat Cancer. 8(2): 83–96. doi: 10.1677/erc.0.0080083. Kunik V, Peters B, Ofran Y. 2012. Structural consensus among antibodies defines the antigen binding site. Plos Com Biol. 8(2): 1-12. doi: e1002388. Kuroda K, Matsui K, Higuchi S, Kotaka A, Shara H, Hata Y, Ueda M. 2009. Enhancement of display efficiency in yeast display system by vector engineering and gene disruption. Appl Microbiol Biotechnol. 59:259–264. doi: 10.1007/s00253-008-1808-4. Kredel S, Oswald F, Nienhaus K, Deuschle K, Röcker C, Wolff M, Heilker R, Nienhaus GU, Wiedenmann J. 2009. mRuby, a bright monomeric red fluorescent protein for labeling of subcellular structures. Plos One. 4(2): e4391. doi: 10.1371/journal.pone.0004391. Li P, Anumanthan A, Gao XG, Ilangovan K, Suzara VV, Düzgüneş N, Renugopalakrishnan V. 2007. Expression of recombinant proteins in Pichia pastoris. Appl Biochem Biotechnol. 142:105-124. doi: 10.1007/s12010-0070003-x. Lim KH, Hwang I and Park S. 2011. Biotin-assisted folding of streptavidin on the yeast surface. Biotechnol Prog. 28(1):276-283. doi: 10.1002/btpr.721.
38 Lipke PN, Wojciechowicz D, Kurjan J. AGα1 is the structural gene for the Saccharomyces cerevisiae α-agglutinin, a cell surface glycoprotein involved in cell-cell interactions during mating. Mol Cell Biol. 9(8):3155-3165. Lipke PN, Ovalle R. 1998. Cell Wall Architecture in Yeast: New Structure and New Challenges. J Bacteriol. 180(15): 3735-3740. Lodder AL, Lee TK, Ballester R. 1999. Characterization of the Wsc1 protein, a putative receptor in the stress response of Saccharomyces cerevisiae. Genetics, 152: 1487–1499. Nelson AL. 2010. Antibody fragments : hope and hype. mAbs. 2(1): 77-83. doi: 10.4161/mabs.2.1.10786. Norden K., Agemark M, Danielson JAH, Alexandersson E, Kjellbom P, Johanson U. 2011. Increasing gene dosage greatly enhances recombinant expression of aquaporins in Pichia pastoris. BMC Biotechnol. 11(1). 47. doi: 10.1186/14726750-11-47. Macauley-Patrick, S., Fazenda, M.L., Mcneil, B., Harvey, L.M. 2005. Heterologous protein production using the Pichia pastoris expression system. Yeast, 22(4), 249-270, doi: 10.1002/yea.1208. Mansur M, Cabello C, Hernandez L, Pais J. 2005. Multiple gene copy number enhances insulin precursor secretion in the yeast Pichia pastoris. Biotechnol Lett. 27(5): 339-345. doi: 10.1007/s10529-005-1007-7. Merzlyak EM, Goedhart J, Shcherbo D, Bulina ME, Shcheglov AS, Fradkov AF, Gaintzeva A, Lukyanov KA, Lukyanov S, Gadella TWJ et al. 2007. Bright monomeric red fluorescent protein with an extended fluorescence lifetime. Nature Method. 4(7): 555-557. doi: 10.1038/NMETH1062. Okamoto I, Kenyon LC, Emlet DR, Mori T, Sasaki J, Hirosako S, Ichikawa Y, Kishi H, Godwin AK, Yoshioka M et al. 2003. Expression of constitutively activated EGFRvIII in Non-Small Cell Lung Cancer. Cancer Sci. 94(1):5056. doi: 10.1111/j.1349-7006.2003.tb01351.x. Papakonstantinou T, Harris S, Hearn MTW. 2009. Expression of GFP using Pichia pastoris vectors with zeocin or G-418 sulphate as the primary selectable marker. Yeast. 26(6): 311–321. doi: 10.1002/yea.1666. Pantazes RJ, Maranas CD. 2010. OptCDR: a general computational method for the design of antibody complementarity determining regions for targeted epitope binding. Protein Engineering, Design & Selection. 23(11): 849- 858. doi: 10.1093/protein/gzq061. Pardo M, Monteoliva L, Vázquez P, Martínez R, Molero G, Nombela C, Gil C. 2004. PST1 and ECM33 encode two yeast cell surface GPI proteins important for cell wall integrity. Microbiol. 150(12): 4157–4170. doi: 10.1099/mic.0.26924-0. Pepper LR, Cho YK, Boder ET, Shusta EV. 2008. A decade of yeast surface display technology: Where are we now?. Comb Chem High T Scr. 11(2): 127–134. doi: 10.2174/138620708783744516. Pereira MV, Lopes JM, Little S, Milanez F, Basto D, Pardal F, Jones C, Reis RM. 2008. Analysis of EGFR overexpression, EGFR gene amplification and the EGFRvIII mutation in portuguese high-grade gliomas. Anticancer Research. 28: 913-920. Rajpal A, Beyaz N, Haber L, Cappuccilli G, Yee H, Bhatt RR, Takeuchi T, Lerner RA, Crea R. A general method for greatly improving the affinity of antibodies
39 by using combinatorial libraries. PubMed. 102(24): 8466-8471.doi: 10.1073/pn as.0503543102. Riechmann L, Clark M, Waldmann H, Winter G. 1988. Reshaping human antibodies for therapy. Nature. 332:323-327. doi:10.1038/332323a0. Sambrook J, Russell DW. 2001. Molecular cloning: a laboratory manual. 1st Volume. New York (USA): Cold Spring Harbor Laboratory Press. Silva EF, Reha-Krantz LJ. 2007. DNA polymerase proofreading: active site switching catalyzed by the bacteriophage T4 DNA polymerase. Nucleic Acids Research. 35(16):5452-5463. doi: 10.1093/nar/gkm591. Schreuder MP, Mooren ATA, Toschka HY, Verrips CT, Klis FM. 1996. Immobilizing proteins on the surface of yeast cells. Trends Biotechnol. 14(4): 115-120. doi: 10.1016/0167-7799(96)10017-2. Su GD, Huang DF, Han SY, Zheng SP, Lin Y. 2010. Display of Candida antarctica lipase B on Pichia pastoris and its application to flavor ester synthesis. Appl Microbio Biotechnol. 86 (5):1493-501. Sok JC, Coppelli FM, Thomas SM, Lango MN, Xi S, Hunt JL, Freilino ML, Graner MW, Wikstrand CJ, Bigner DD, Gooding WE, Furnari FB, Grandis JR.2006. Mutant epidermal growth factor receptor (EGFRvIII) contributes to head and neck cancer growth and resistance to EGFR targeting. Clin Cancer Res. 12(17):5064-5073. doi: 10.1158/1078-0432.ccr-06-0913. Teparić R, Stuparević I, Mrša V. 2010. Incorporation of homologous and heterologous proteins in the Saccharomyces cerevisiae cell wall. Food Technol Biotechnol. 48 (3): 317–328. Ueda M, Tanaka A. 2000. Genetic immobilization of proteins on the yeast cell surface. Biotech Advances. 18(2):121–140. doi: 10.1016/s0734-9750(00)000 31-8. Vassileva A, Chugh DA, Swaminathan S, Khanna N. 2001. Expression of hepatitis B surface antigen in the methylotrophic yeast Pichia pastoris using the GAP promoter. J Biotechnol. 88:21-35. Wang H, Zhou M, Shi B, Zhang Q, Jiang H, Sun Y, Liu J, Zhou K, Yao M, Gu J, Yang S, Mao Y, Li Z. 2011. Identification of an exon 4-deletion variant of epidermal growth factor receptor with increased metastasis-promoting capacity. Neoplasia. 13:461–471. Wang XX, Li Y, Yin Y, Mo M, Wang Q, Gao W, Wang L, Mariuzza RA. 2011. Affinity maturation of human CD4 by yeast surface display and crystal structure of a CD4–HLA-DR1 complex. PNAS. 108(38): 15960e15965. doi : 10.1073/pnas.1109438108. Wikstrand CJ, Reist CJ, Archer GE, Zalutsky MR, Bigner DD. 1998. The class III variant of the epidermal growth factor receptor (EGFRvIII): characterization and utilization as an immunotherapeutic target. J of NeuroVirology. 4(2): 148-158. doi: 10.3109/13550289809114515. Wu S, Letchworth GJ. 2004. High efficiency transformation by electroporation of Pichia pastoris pretreated with lithium acetat and dithiothreitol. BioTechniques. 36:152-154. Ye K, Shibasaki S, Ueda M, Murai T, Kamasawa N, Osumi M, Shimizu K, Tanaka A. 2000. Construction of an engineered yeast with glucose-inducible emissionof green fluorescence from the cell surface. Appl Microbiol Biotechnol. 54(1): 90-96. doi: 10.1007/s002539900307.
40 Zhao H, Shen ZM, Kahn PC, Lipke PN. 2001. Interaction of α-agglutinin and aagglutinin, Saccharomyces cerevisiae sexual cell adhesion molecules. J Bacteriol. 183(9): 2874–2880. doi:10.1128/jb.183.9.2874-2880.2001.
41 Lampiran 1 Analisis urutan DNA plasmid pJ201-scFv dengan primer VH101-F
scFv (VH)
scFv (VH)
scFv (VH)
scFv (VH)
Linker
scFv (VL)
scFv (VL)
42
scFv (VL)
scFv (VL)
Linker
43 Lampiran 2 Analisis urutan DNA plasmid pJ912-AGα-RFP::scFv (Klon S6B) dengan primer AOX1-F
Sinyal peptida α- faktor
Sinyal peptida α- faktor
Sinyal peptida α- faktor
XhoI
PdiI
scFv (VH)
scFv (VH)
utasi
SalI
scFv (VH)
44
scFv (VH)
Linker
scFv (VL)
scFv (VL)
45 Lampiran 3 Analisis urutan DNA plasmid pJ912-AGα-RFP::scFv (Klon S6B) dengan primer VL101-F
scFv (VL)
scFvscFv (VL) (VL) utasi
scFv (VscFv L) (VL)
Linker
XhoI
SalI
TagRFP
TagRFP
TagRFP
TagRFP
46
TagRFP
TagRFP
TagRFP
TagRFP
47 Lampiran 4 Komposisi larutan dan media yang digunakan beserta cara pembuatannya Media dan Larutan GTE (Glukosa / Tris / EDTA) (Larutan 1 lisis sel E.coli)
1 M Glukosa
Komposisi dan Cara Pembuatan Sebanyak 10 mL 1 M glukosa steril, 4 mL 0,5 M EDTA steril dan 5,2 mL 0,96 M Tris-Cl pH 8 steril dicampurkan dengan akuades steril hingga volume mencapai 200 mL . Sebanyak 9 g glukosa dilarutkan dalam 50 mL akuades dan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 oC, tekanan1 atm selama 15 menit.
0,96 M Tris-Cl, pH 8
Sebanyak 6,05 g Tris-basa dilarutkan dalam 30 mL akuades dan ditambahkan 3 M HCl hingga mencapai pH 8,0. Larutan ditambahkan akuades hingga mencapai volume 52 mL dan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 oC, tekanan1 atm selama 15 menit.
0,5 M EDTA, pH 8,0
Sebanyak 3,722 g Na2EDTA.2H2O dilarutkan dalam 14 mL akuades dan ditambahkan 10 M NaOH hingga mencapai pH 8,0. Larutan ditambahkan akuades hingga mencapai volume 20 mL dan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 o C, tekanan1 atm selama 15 menit.
NaOH / SDS (Larutan 2 lisis sel E.coli)
Sebanyak 4 mL 10 M NaOH steril dan 20 mL 10 % (b/v) SDS steril dilarutkan dalam akuades steril hingga volume mencapai 200 mL. Larutan disimpan pada suhu 4 oC.
10 M NaOH
Sebanyak 8 g NaOH dilarutkan dalam 20 mL akuades dan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 oC, tekanan1 atm selama 15 menit.
10 % (b/v) SDS
Sebanyak 10 g SDS dilarutkan dalam 100 mL akuades dan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 oC, tekanan1 atm selama 15 menit.
5 M Kalium asetat, pH 4,8 (Larutan 3 lisis sel E.coli)
Sebanyak 29,5 mL asam asetat glasial ditambahkan KOH hingga pH 4,8. Kemudian, larutan ditambahkan akuades hingga mencapai volume 100 mL. Larutan disimpan pada suhu ruang.
Buffer TAE 50x, pH 8,5
Sebanyak 242 g Tris-basa, 57,1 mL asam asetat glasial dan 37,29 g Na2EDTA dilarutkan dalam akuades hingga mencapai volume 1000 mL.
48 Larutan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 o C, tekanan1 atm selama 15 menit. Untuk membuat 0,5 x buffer TAE (running elektroforesis DNA), 10 mL 50x buffer TAE diencerkan dengan 990 mL akuades steril. Loading dye 6x 0,5 μg/ mL Etidium Bromida (EtBr) 0,1 M CaCl2.2H2O
Sebanyak 6 mL gliserol, 0,05 g xylene cylanol, 0,05 g bromofenol blue dilarutkan 20 mL akuades steril Sebanyak10 μL 10 mg/mL etidium bromida diencerkan dalam 200 mL akuades. Sebanyak 1,47 g CaCl2.2H2O dilarutkan ke dalam 100 mL akuades dan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 oC, tekanan1 atm selama 15 menit. Larutan disimpan pada suhu 4 oC.
0,1 M CaCl2.2H2O dan 1,47 g CaCl2.2H2O dan 15 mL gliserol dilarutkan 15 % (v/v) gliserol ke dalam akuades hingga mencapai volume 100 mL. Kemudian, larutan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 oC, tekanan1 atm selama 15 menit. Larutan disimpan pada suhu 4 oC. LSLB ( Low Salt Luria Sebanyak 1 g tripton, 0,5 g ekstrak yeast, dan 0,5 g Bertani) NaCl dilarutkan ke dalam 100 mL akuades. Sebanyak 1,7 g bacto agar ditambahkan ke dalam media jika ingin membuat media padat. Media disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 oC, tekanan1 atm selama 15 menit. Media disimpan pada suhu 4 oC. TB (Terrific Broth)
Sebanyak 1,2 g tripton, 2,4 g ekstrak yeast, dan 0,4 mL gliserol dicampurkan dengan 90 mL akuades. Media disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 o C, tekanan1 atm selama 15 menit. Media ditambahkan dengan 10 mL bufer fosfat steril (0,17 M KH2PO4 dan 0,72 M K2HPO4) ketika media akan digunakan.
YPD (Yeast Peptone Dextrose)
Sebanyak 1 g ekstrak yeast dan 2 g NaCl dilarutkan ke dalam 90 mL akuades. Sebanyak 2 g bacto agar ditambahkan ke dalam media jika ingin membuat media padat. Media disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 oC, tekanan1 atm selama 15 menit. Media ditambahkan dengan 10 mL 20 % D- glukosa steril (20 gram D-glukosa dilarutkan dengan 100 mL akuades dan disterilkan dengan filter) ketika media akan digunakan.
49 YPDS (Yeast Peptone Dextrose Sorbitol)
Sebanyak 1 g ekstrak yeast, 2 g NaCl dan 18,22 g sorbitol dilarutkan ke dalam 90 mL akuades. Sebanyak 1,7 g bacto agar ditambahkan ke dalam media jika ingin membuat media padat. Media disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 oC, tekanan1 atm selama 15 menit. Media ditambahkan dengan 10 mL 20 % D- glukosa steril (20 g Dglukosa dilarutkan dengan 100 mL akuades dan disterilkan dengan filter) ketika media akan digunakan.
1 M Sorbitol
Sorbitol sebanyak 18,22 g dilarutkan di dalam 100 mL akuades dan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 oC, tekanan1 atm selama 15 menit.
BMGY (Buffered Glycerolcomplex Medium) dan BMMY (Buffered Methanol- complex Medium)
Sebanyak 1 g ekstrak yeast dan 2 g pepton dilarutkan dalam 70 mL akuades dan disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121 oC, tekanan1 atm selama 15 menit. Ketika media akan digunakan, media ditambahkan dengan 10 mL 1 M buffer kalium fosfat (pH 6,0), 10 mL 13,4 % (b/v) )YNB, 0,2 mL 0,02 % (b/v) biotin dan 10 mL 10 % (v/v) gliserol. Untuk media BMMY, gliserol diganti dengan 10 mL 50 % (v/v) metanol.
1 M Buffer Kalium fosfat, Buffer kalium fosfat dibuat dengan mencampurkan pH 6,0 13,2 mL 1 M K2HPO4 (17,418 g K2HPO4 dilarutkan dengan 100 mL akuades) dan 86,8 mL 1 M KH2PO4 (27,218 g KH2PO4 dilarutkan dengan 200 mL akuades). Buffer disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC, tekanan1 atm selama 15 menit. 13,4% YNB (yeast nitrogen Sebanyak 10 g amonium sulfat dan 3,4 g yeast base) nitrogen base tanpa amonium sulfat dan tanpa asam amino dilarutkan dengan 100 mL akuades steril dan disterilkan dengan filter. Media disimpan pada suhu 4oC. 0,02 % (b/v) Biotin
Sebanyak 20 mg biotin dilarutkan ke dalam 100 mL akuades steril. Media disterilkan dengan menggunakan filter. Media disimpan pada suhu 4oC.
10 % (v/v) Gliserol
Sebanyak 10 mL gliserol dilarutkan 100 mL akuades. Gliserol disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121 oC, tekanan1 atm selama 15 menit dan disimpan pada suhu ruang.
50 Buffer A (buffer lisis sel Buffer ini terdiri dari 20 mM Tris-HCl, pH 7,5, 200 P. pastoris) mM NaCl, 5 mM MgCl2. 100 mM PMSF (phenylmethylsulfonyl fluoride)
Sebanyak 0,035 g PMSF dilarutkan dengan 2 mL etanol absolut
5x Buffer sampel
Larutan ini terdiri dari 0,12 mL 1 M buffer tris-HCl pH 6,8 (60 mM), 1 mL 50 % gliserol (25 %), 0,4 mL 10 % SDS (2%), 0,1 mL β-merkaptoetanol (14,4 mM), 0,2 mL 1 % bromofenol biru (0,1%) dilarutkan di dalam akuabides hingga mencapai 2 mL. Sampel protein diencerkan dengan perbadingan 1:4 dengan 5x larutan stok. Larutan disimpan pada suhu 4oC.
5x Buffer elektrorunning
Sebanyak 15,5 g Tris base (128 mM), 72 g glisin (959 mM) dan 5 g SDS dilarutkan dalam 1 L akuades
Staining solution coomassie Coomassie blue dicampur dengan larutan staining blue solution dengan perbandingan 1:8 Staining solution
Sebanyak 40 mL metanol, 7 mL asam asetat dan 53 mL akuades dicampur kemudian dihomogenkan
Buffer elektrotransfer
Sebanyak 3, 03 g Tris base (25 mM ) dan 14,4 g glisin 192 mM dicampurkan dengan 200 mL metanol. Larutan tersebut kemudian ditambahkan akuades hingga volume 1 L
TBS (Tris buffer saline)
Sebanyak 100 mL 1 M Tris-Cl pH 7,5 (100 mM) dicampurkan dengan 100 mL 1,5 M NaCl (150 mM) dan ditambahkan akuades steril hingga 1 L.
1 M Tris-Cl pH 7,5
Sebanyak 12,114 g Tris-basa dilarutkan dalam 30 mL akuades dan ditambahkan 3 M HCl hingga mencapai pH 7,5. Larutan ditambahkan akuades hingga mencapai volume 100 mL dan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 oC, tekanan1 atm selama 15 menit.
1,5 M NaCl
Sebanyak 13,149 g NaCl dilarutkan dengan 150 mL akuades dan disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC, tekanan1 atm selama 15 menit.
Blocking buffer
Sebanyak 5 g susu bebas lemak dicampurkan
51 dengan 100 mL TBS Washing buffer
Sebanyak 0,3 ml tween 20 dicampurkan dengan 300 ml TBS
Binding buffer
Buffer ini terdiri dari 20 mM Tris-HCl, pH 7,5, 200 mM NaCl.
52 Lampiran 5 Komposisi gel poliakrilamid Bahan Akuabides 1,5 M Tris-HCl, pH 8,8 1,5 M Tris-HCl, pH 6,8 10% SDS 40% Akrilamid 10% Amonium persulfat TEMED
Volume (mL) Gel pemisah (15%) Gel penahan (8%) 2375 1380 937,5 250 50 25 1625 335 25 12,5 2,5 2,5
53 Lampiran 6 Penentuan kurva logaritma berat molekul protein standar terhadap mobilitas relatif (rf) pada gel poliakrilamid untuk Western blot Standar
120.000 90.000 50.000 34.000
Log Berat Molekul (Y) 5,08 4,95 4,70 4,53
Mobilitas Relatif (rf) (X) 0,07 0,11 0,25 0,33
26.000 20.000
4,41 4,30
0,47 0,60
Berat Molekul (Da)
Fosforilase B Albumin Ovalbumin Carbonic anhydrase Trypsin inhibitor α- Lactal bumin
Perhitungan Berat Molekul Protein
Keterangan 1. Jarak migrasi bromofenol biru untuk standart protein diukur dari batas atas gel pemisah yaitu 5,7 cm 2. a. Jarak dari batas atas gel pemisah ke Fosforilase b yaitu 0,4 cm b. Jarak dari batas atas gel pemisah ke Albumin yaitu 0,6 cm c. Jarak dari batas atas gel pemisah ke Ovalbumin yaitu 1,4 cm d. Jarak dari batas atas gel pemisah ke Carbonic an-hydrase yaitu 1,9 cm e. Jarak dari batas atas gel pemisah ke Trypsin inhibitor yaitu 2,7 cm f. Jarak dari batas atas gel pemisah ke α-lactal-bumin yaitu 3,4 cm
Kurva mobilitas relatif protein standar
Log Berat Molekul (Da)
6.00 5.00 y = -1,4527x + 5,1051 R² = 0,9571
4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
Mobilitas Relatif (rf) (cm)
Gambar 20. Grafik logaritma berat molekul protein standar terhadap mobilitas relatif.
54 Lampiran 7 Penentuan berat molekul protein rekombinan terhadap mobilitas relatif (rf) pada gel poliakrilamid untuk Western blot Klon P.pastoris Klon 2 SRA1 SRA2
Mobilitas Relatif (rf) (X) 0,000 0,111 0,000 0,113 0,000
Log Berat Molekul (Y) 5,1051 4,9437 5,1051 4,9406 5,1051
Berat Molekul (Da) 127.379,63 87.839,30 127.379,63 87.225,49 127.379,63
Untuk mengetahui log berat molekul protein (y), mobilitas relatif (x) dimasukkan kedalam persamaan y = -1,4527x+5,1051 Keterangan : 1. Jarak migrasi bromofenol biru diukur dari batas atas gel pemisah yaitu klon 2 = 5,4 cm; Klon SRA1 = 5,3 cm; Klon SRA2 = 5,5 cm. 2. Jarak dari batas atas gel pemisah ke protein pada klon 2 adalah 0 cm dan 0,6 cm 3. Jarak dari batas atas gel pemisah ke protein pada klon SRA1 adalah 0 cm dan 0,6 cm 4. Jarak dari batas atas gel pemisah ke protein pada klon SRA2 adalah 0 cm.
55 Lampiran 8 Penentuan kurva logaritma berat molekul protein standar terhadap mobilitas relatif (rf) pada gel poliakrilamid SDS PAGE Standar
Berat Molekul (Da)
Fosforilase B Albumin Ovalbumin Carbonic anhydrase Trypsin inhibitor α- Lactal bumin
120.000 90.000 50.000 34.000 26.000 20.000
Log Berat Molekul (Y) 5,08 4,95 4,70 4,53 4,41 4,30
Mobilitas Relatif (rf) (X) 0,07 0,10 0,24 0,33 0,46 0,60
Perhitungan Berat Molekul Protein
Keterangan 3. Jarak migrasi bromofenol biru untuk standart protein diukur dari batas atas gel pemisah yaitu 6,7 cm 4. a. Jarak dari batas atas gel pemisah ke Fosforilase b yaitu 0,5 cm b. Jarak dari batas atas gel pemisah ke Albumin yaitu 0,65 cm c. Jarak dari batas atas gel pemisah ke Ovalbumin yaitu 1,6 cm d. Jarak dari batas atas gel pemisah ke Carbonic an-hydrase yaitu 2,2 cm e. Jarak dari batas atas gel pemisah ke Trypsin inhibitor yaitu 3,17 cm f. Jarak dari batas atas gel pemisah ke α-lactal-bumin yaitu 4 cm Kurva mobilitas relatif protein standar Log Berat Molekul (Da)
6.00 5.00 y = -1.452x + 5.0986 R² = 0.9492
4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
Mobilitas Relatif (rf) (cm)
Gambar 21. Grafik logaritma berat molekul protein standar terhadap mobilitas relatif.
56 Lampiran 9 Penentuan berat molekul protein rekombinan terhadap mobilitas relatif (rf) pada gel poliakrilamid untuk western blot Klon P.pastoris Klon 2 SRA1 SRA2
Berat Molekul (Da) 127.379,63 87.839,30 127.379,63 87.225,49 127.379,63
Log Berat Molekul (Y)
Mobilitas Relatif (rf) (X)
5,1051 4,9437 5,1051 4,9406 5,1051
0,000 0,107 0,000 0,109 0,000
Untuk mengetahui mobilitas relatif pita protein sampel(x) pada gel poliakrilamid terhadap log berat molekul protein (y), log berat molekul dimasukkan kedalam persamaan Keterangan : 1. Jarak migrasi bromofenol biru diukur dari batas atas gel pemisah yaitu klon 2 = 5,4 cm; Klon SRA1 = 5,3 cm; Klon SRA2 = 5,5 cm. .
57
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 24 Maret 1989 dari Ayah Sanyoto dan ibu Inah Lestari, S.Pd. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 19 Bandar Lampung tahun 2003, sekolah menengah atas di SMA Negeri 2 Bandar Lampung tahun 2006. Pada tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan pada Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung melalui jalur SPMB. Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana dengan tugas akhir berjudul “ Karakteristik Antibakteri Isolat Lactobacillus dari Tempoyak” pada tahun 2010. Penulis telah melakukan kerja praktek dan magang di Loka LitBang, Departemen Kesehatan, Banjarnegara pada tahun 2009 dan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung pada tahun 2010. Pertengahan tahun 2011, penulis melanjutkan pendidikan di Mayor Bioteknologi, Sekolah Pascasarjana Intitut Pertanian Bogor dengan mendapatkan beasiswa dari Beasiswa Unggulan Dikti.