Artikel Penelitian
Asosiasi Antara Ekspresi Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) dengan Angka Kesintasan pada Karsinoma Sel Ginjal Subtipe Sel Jernih Evelina,* Meilania Saraswati,* Budiana Tanurahardja,* Lisnawati,* Chaidir Arif Muchtar** *
Departemen Patologi Anatomik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta ** Departemen Urologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Abstrak Pendahuluan: Epidermal growth factor receptor (EGFR) memiliki peran penting dalam karsinogenesis dan telah menjadi target terapi kasus keganasan, namun perannya dalam patogenesis karsinoma sel ginjal (KSG) masih belum jelas. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ekspresi protein EGFR pada sel KSG serta melihat hubungannya dengan faktor prediktor histopatologik dan kesintasan pasien. Metode: Dilakukan analisis imunohistokimia dan histopatologik jaringan KSG di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, tahun 2004-2011. Faktor yang dinilai ialah subtipe, derajat anaplasia inti Fuhrman, serta staging histopatologik (pT). Follow up pasien juga dilakukan untuk mendapatkan data kesintasan terakhir. Analisis menggunakan uji asosiasi, serta uji kesintasan Kaplan Meier dan log rank. Hasil: Dari 26 kasus yang dianalisis (subtipe sel jernih =19), diperoleh bahwa subtipe KSG tidak berhubungan dengan angka kesintasan (p log rank=0,475) namun staging histopatologik dan derajat anaplasia inti berhubungan dengan angka kesintasan yang lebih rendah (p log rank=0,004). Sementara itu, ekspresi EGFR pada membran memiliki angka kesintasan yang lebih tinggi (p log rank=0,001), sedangkan ekspresi pada sitoplasma memiliki kesintasan yang lebih rendah (p log rank=0,048). Kesimpulan: Ekspresi EGFR memiliki nilai prognostik terhadap kesintasan pasien KSG dan tidak terkait dengan staging maupun derajat anaplasia inti. J Indon Med Assoc. 2012;62:45561. Kata kunci: epidermal growth factor receptor, karsinoma sel ginjal, kesintasan
Korespondensi: Meilania Saraswati, Email:
[email protected],
[email protected]
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 12, Desember 2012
455
Ekspresi Epidermal Growth Factor Receptor dengan Angka Kesintasan pada Karsinoma Sel Ginjal
The Association of Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) Expression and Survival in Clear Cell Renal Cell Carcinoma Evelina,* Meilania Saraswati,* Budiana Tanurahardja,* Lisnawati,* Chaidir Arif Muchtar** *
Department of Anatomical Pathology, Faculty of Medicine Universitas Indonesia/ Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta ** Department of Urology, Faculty of Medicine Universitas Indonesia/ Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta
Abstract Introduction: Epidermal growth factor receptor (EGFR) plays important roles in carcinogenesis and becomes target therapy nowadays. However, its roles in renal cell carcinoma (RCC) pathogenesis is still unclear. This study aimed to evaluate EGFR expression in RCC and its association with histopathological factors and patients’ survival rates. Methods: Immunohistochemical staining and histopathologic analysis were performed to RCC tissues in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, during 2004-2011. Factors we determined were subtype, Fuhrman nuclear grading, and pathological tumor staging (pT). Follow up to the patients were also performed to get the survival data. The analysis used association test, and also Kaplan Meier and log rank survival analysis. Results: From 26 cases included (clear cell subtype=19), we obtained that RCC subtype has no association with survival rates (p log rank=0.475). However, histopatologic staging and nuclear grading has an association with lower survival rates (p log rank=0.004). Membranous EGFR expression was associated with higher survival rates (p log rank=0.001), but cytoplasmic EGFR expression was associated with lower survival rates (p log rank=0.048). Conclusion: EGFR expression has a prognostic value to RCC patients survival rates, and has no association with staging and nuclear anaplasia grading. J Indon Med Assoc. 2012;62:455-61. Keywords: Epidermal growth factor receptor, renal cell carcinoma, survival rates.
Pendahuluan Epidermal growth factor receptor (EGFR) merupakan suatu molekul reseptor tirosin kinase yang juga bagian dari keluarga human epidermal growth factor receptor (HER). Molekul EGFR/HER-1 dan HER-2 dianggap memiliki peran yang besar dalam karsinogenesis. Hingga saat ini telah berkembang terapi target yang spesifik terhadap reseptor EGFR/HER-1 dan HER-2 tersebut. Terapi target HER-2 telah rutin digunakan untuk pengobatan kanker payudara, serta telah dicoba untuk kanker lainnya, misalnya keganasan gaster. Di samping itu, terapi target EGFR juga telah digunakan untuk karsinoma paru tipe bukan sel kecil, yaitu adenokarsinoma.1-4 Beberapa publikasi sebelumnya telah mengungkapkan dengan jelas peran EGFR dalam patogenesis tumor padat, terutama tumor yang kaya vaskularisasi seperti karsinoma sel ginjal (KSG). Pada dasarnya, KSG merupakan tumor urologik tersering ketiga dan tumor ginjal tersering pertama yang ditemukan pada dewasa. Tumor-tumor yang kaya vaskularisasi seperti KSG umumnya resisten terhadap 456
kemoterapi dan radioterapi. Dengan demikian, pilihan terapi selain pembedahan untuk tumor-tumor jenis tersebut menjadi sulit, terutama bagi pasien-pasien yang mengalami rekurensi atau dalam keadaan lanjut sehingga tumor primer tidak dapat dibersihkan secara total. Pada kasus demikian, terapi target EGFR diharapkan dapat memperbaiki kualitas hidup serta memperpanjang angka harapan hidup bagi pasien-pasien KSG.1,3,5 Meski menjanjikan, berbagai penelitian yang mencari makna ekspresi EGFR dalam patogenesis KSG masih memberikan hasil yang bertentangan. Beberapa peneliti seperti Kallio, et al6, Langner, et al7, serta Cohen, et al.8 melaporkan hasil yang berbeda-beda antara hubungan ekspresi EGFR dengan prognosis dan faktor prediktor histopatologik (staging dan derajat inti Fuhrman). Selain itu, terdapat pula wacana bahwa ekspresi EGFR tidak hanya ditemukan di membran, sebagaimana telah dituliskan dalam berbagai literatur, namun juga pada sitoplasma. Bahkan, Langner, et al7 dan Cohen, et al8 menemukan bahwa ekspresi J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 12, Desember 2012
Ekspresi Epidermal Growth Factor Receptor dengan Angka Kesintasan pada Karsinoma Sel Ginjal EGFR di sitoplasma berhubungan dengan staging histopatologik dan derajat keganasan KSG. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kembali ekspresi protein EGFR pada sel KSG, melihat hubungannya dengan faktor prediktor histopatologik (subtipe, staging, dan derajat anaplasia inti Fuhrman), serta kesintasan pasien KSG. Sejauh ini, studi ini adalah studi pertama di Indonesia yang mencoba mengaitkan hubungan antara ekspresi EGFR dan kesintasan pasien KSG. Metode Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Oktober 2012 dan telah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Penelitian pendahuluan telah dilaksanakan sebelumnya untuk melihat ekspresi EGFR pada 41 pasien-pasien KSG di RSCM dari tahun 2004 hingga 2011. Dari data pasien tersebut digali data rekam medik pasien untuk mendapatkan data tempat tinggal dan nomor telepon pasien, data pertama kali dilakukan pemeriksaan pencitraan (CT-scan), serta kondisi terakhir pasien. Jika tidak terdapat data pada rekam medik, maka pasien atau keluarganya dihubungi melalui telepon untuk mengetahui kondisi terakhir pasien. Kunjungan rumah tidak dapat dilakukan karena alamat yang tertera tidak lengkap. Ekspresi protein EGFR didapatkan dengan menggunakan teknik imunohistokimia. Pada teknik tersebut, blok parafin dari masing-masing kasus dengan bagian tumor >70% dipotong setipis 3 mikron dan diletakkan di atas slide bermuatan positif yang telah dilapisi poly-L-lysine; masingmasing kasus dibuat duplo untuk kasus dan kontrol negatif. Selanjutnya, untuk membantu proses deparafinasi, slide dipanaskan selama 10 menit pada suhu 55o C. Setelah melalui proses deparafinasi dan dehidrasi, dilakukan antigen retrieval menggunakan enzim pronase (Carenzyme III Biocare) dengan inkubasi selama 12 menit pada suhu 37oC. Setelah pencucian dengan PBS pH 7,4 slide direndam dalam larutan H2O2 3% dalam metanol selama 45 menit. Kemudian slide diinkubasi dengan antibodi primer selama 18 jam pada suhu 4oC. Keesokannya, slide diberi antibodi primer dan diwarnai dengan menggunakan kromogen DAB. Setiap slide dinilai oleh dua orang pengamat (BT dan L) tanpa mengetahui luaran pasien untuk melihat warna cokelat pada membran atau granul-granul cokelat pada sitoplasma. Jika kedua pengamat berbeda pendapat, maka skor akan diputuskan oleh pengamat ke-3 (E). Ekspresi tersebut dilihat pada 200 sel, dan diberi skor berdasarkan ekspresi terkuat yang dilihat pada minimal 5% sel tumor. Skor untuk ekspresi di membran adalah 0 jika tidak ditemukan warna cokelat pada membran, skor 1 jika ditemukan warna cokelat lemah yang tidak melingkari seluruh membran (lemah, parsial), skor 2 jika ditemukan warna cokelat lemah yang melingkari seluruh membran (lemah sirkumferensial), dan skor 3 jika ditemukan warna cokelat kuat yang melingkari seluruh membran.8 J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 12, Desember 2012
Pasien yang terdata diikuti rekam mediknya. Jika tidak terdapat data luaran pada rekam medik, maka pasien atau keluarganya dihubungi untuk mengetahui kondisi terakhir pasien. Hasil Setelah mengumpulkan blok dari tahun 2004 hingga 2011 serta mencari data pasien di Arsip Rekam Medik RSCM serta Arsip Rekam Medik Departemen Urologi RSCM, sejumlah 26 kasus diikutsertakan dalam penelitian ini. Dari 26 kasus tersebut, 19 kasus merupakan subtipe sel jernih, sedangkan sisanya adalah subtipe bukan sel jernih. Data karakteristik kasus dapat dilihat pada Tabel 1. Sebagian besar pasien adalah laki-laki dengan usia ratarata 55 tahun. Sisi ginjal yang lebih banyak terkena adalah sisi kanan. Di samping itu, proporsi subtipe sel jernih mencapai 73,1% yang sebagian besar memiliki derajat anaplasia inti 2 serta staging tumor pT2 dan pT3.
Tabel 1. Karakteristik Pasien Variabel
Jenis Kelamin (%) Laki-laki Perempuan Usia (Tahun) (median, kisaran) Sisi Ginjal yang Terkena Kanan Kiri Subtipe KSGa-Sel Jernih KSGa-Bukan Sel Jernih Derajat Anaplasia Inti Fuhrman Fuhrman grade 1 Fuhrman grade 2 Fuhrman grade 3 Fuhrman grade 4 Staging Histopatologik pT1a-pT1b pT2a-pT2b pT3a-pT3c pT4 Ekspresi EGFR membran Negatif Ekspresi Lemah parsial Ekspresi lemah sirkumferensial Ekspresi kuat sirkumferensial Ekspresi EGFR sitoplasma Negatif Ekspresi granular sitoplasmik lemah Ekspresi granular sitoplasmik sedang Ekspresi granular sitoplasmik kuat Luaran Meninggal Hidup Angka Kesintasan (bulan) (median, kisaran)
Jumlah S e l u r u h Subtipe Sel Kasus Jernih (n=26) (n=19)
20 (76,9) 6 (23,1) 55 (28-79)
15 (78,9) 4 (21,1) 54 (28-79)
15 (57,7) 11 (42,3)
12 (63,2) 7 (36,8)
19 (73,1) 7 (26,9)
n/a n/a
5 (19,1) 15 (57,7) 6 (23,1) 0 (0)
4 (21,1) 10 (52,6) 5 (26,3) 0 (0)
6 (23,1) 10 (38,5) 10 (38,5) 0 (0)
4 (21,1) 8 (42,1) 7 (36,8) 0 (0)
12 (46,2) 8 (30,8) 3 (11,5) 3 (11,5)
6 8 2 3
(32,6) (42,1) (10,5) (15,8)
14 (53,8) 7 (26,9) 5 (19,2) 0 (0)
11 (57,9) 6 (31,6) 2 (10,5) 0 (0)
14 12 19,5 (0-73,0)
11 8 20,0 (2,0-70,0)
457
Ekspresi Epidermal Growth Factor Receptor dengan Angka Kesintasan pada Karsinoma Sel Ginjal Setelah dilakukan ekspresi EGFR pada membran, ditemukan 53,8% kasus yang positif. Namun, jika dibedakan lagi menurut subtipe, proporsi KSG subtipe sel jernih yang memiliki ekspresi EGFR mencapai 67,4%. Sedangkan, ekspresi EGFR positif pada sitoplasma KSG mencapai 46,2% untuk keseluruhan kasus, dan 42,1% pada kelompok subtipe sel jernih. Setelah dilakukan follow up pasien, diketahui bahwa 14 dari 26 pasien telah meninggal sedangkan 12 pasien masih hidup. Median angka kesintasan adalah 19,5 bulan untuk keseluruhan kasus. Dilakukan uji asosiasi menggunakan tabel BxK antara ekspresi EGFR membran dan subtipe dengan Fischer’s exact test (lihat Tabel 2). Terdapat tendensi adanya hubungan antara subtipe dengan ekspresi EGFR pada membran (p=0,065), walaupun data yang tersedia belum mencukup untuk mendapatkan hasil yang bermakna. Selain itu, tidak ditemukan adanya perbedaan bermakna ekspresi EGFR di sitoplasma antara kelompok subtipe sel jernih dan subtipe bukan sel jernih (p=0,249). Pada uji statistik antara ekspresi EGFR dengan staging tumor histopatologik dan derajat anaplasia inti, masingmasing variabel dikelompokkan kembali menjadi dua skala kategorikal (negatif dan positif) untuk ekspresi EGFR, serta kategori rendah dan tinggi untuk staging tumor histopatologik serta derajat anaplasia inti (lihat Tabel 3). Dari uji kemaknaan yang dilakukan, tidak ditemukan adanya
hubungan bermakna antara ekspresi EGFR-m maupun EGFRc dengan staging tumor histopatologik maupun derajat anaplasia inti Fuhrman. Pada uji Kaplan Meier, diketahui bahwa angka kesintasan antara pasien pada kelompok subtipe sel jernih tidak berbeda bermakna dengan subtipe bukan sel jernih. Staging histopatologik dan derajat anaplasia inti Fuhrman yang lebih tinggi berkaitan dengan angka kesintasan yang lebih rendah. Sebaliknya, ekspresi EGFR pada membran berkaitan dengan angka kesintasan yang lebih tinggi. Sementara itu, ekspresi EGFR pada sitoplasma berkaitan dengan angka kesintasan yang lebih rendah dibandingkan dengan tidak adanya imunoreaktivitas. Hasil ringkasan uji statistik dapat dilihat pada Tabel 4. Diskusi Studi ini merupakan lanjutan dari penelitian sebelumnya yang menilai hubungan antara ekspresi EGFR pada membran dan sitoplasma dengan faktor-faktor prediktor prognostik histopatologik pada 41 pasien. Pada penelitian ini didapatkan bahwa ekspresi EGFR, baik pada membran maupun sitoplasma, tidak memiliki asosiasi terhadap faktor-faktor prediktor prognostik, yaitu subtipe, staging patologik tumor, maupun derajat anaplasia inti Fuhrman. Namun demikian, ekspresi EGFR pada membran berkaitan dengan prognosis yang lebih baik, dan sebaliknya ekspresi EGFR pada sitoplasma berkaitan
Tabel 2. Asosiasi Ekspresi EGFR terhadap Subtipe Subtipe Sel Jernih (n=19) Bukan Sel Jernih (n=7) Ekspresi EGFR-Membran Negatif Ekspresi Lemah parsial Ekspresi lemah sirkumferensial Ekspresi kuat sirkumferensial Ekspresi EGFR sitoplasma Negatif Ekspresi granular sitoplasmik lemah Ekspresi granular sitoplasmik sedang Ekspresi granular sitoplasmik kuat *
p*
6 8 2 3
6 0 1 0
0,065
11 6 2 0
3 1 3 0
0,249
Uji Statistik menggunakan Fisher’s Exact Test
Tabel 3. Asosiasi antara Ekspresi EGFR dengan Staging dan Derajat Anaplasia Inti EGFR Membran Negatif Positif Staging Staging Rendah (pT1-2) Staging Tinggi (pT3-4) Derajat Anaplasia Inti Derajat Rendah (Fuhrman 1-2) Derajat Tinggi (Fuhrman 3-4) *
458
p*
EGFR Sitoplasma Negatif Positif
p*
4 2
8 5
1,000
8 3
4 4
0,377
3 3
11 2
0,262
10 1
4 4
0,111
Uji statistik menggunakan Fisher’s exact test
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 12, Desember 2012
Ekspresi Epidermal Growth Factor Receptor dengan Angka Kesintasan pada Karsinoma Sel Ginjal Tabel 4. Fungsi Kesintasan dari Berbagai Variabel (Uji Kaplan Meier) Variabel
Stratifikasi
Subtipe (N=26)
Sel Jernih Bukan Sel Jernih pT1-2 pT3-4 Fuhrman 1-2 Fuhrman 3-4 Negatif Positif Negatif Positif
Staging Histopatologik (N=19) Derajat Anaplasia Inti (N=19) Ekspresi EGFR pada membran (N=19) Ekspresi EGFR pada sitoplasma (N=19)
dengan angka kesintasan yang lebih rendah atau prognosis yang lebih buruk. Proporsi tumor dengan ekspresi EGFR positif pada membran adalah 53,8% untuk keseluruhan tumor dan untuk subtipe sel jernih sebesar 67,4%. Sedangkan, ekspresi EGFR positif pada sitoplasma adalah 46,2% untuk keseluruhan kasus, dan 42,1% pada kelompok subtipe sel jernih. Dalam berbagai penelitian, angka temuan ekspresi EGFR pada KSG masih sangat bervariasi, yakni antara 47% (Merseburger, et al)9 hingga 93% (Cohen, et al8). Penelitian Merseburger, et al9 juga menilai ekspresi pada sitoplasma dengan tendensi yang meningkat pada ekspresi membran yang lemah. Namun, karena ekspresi sitoplasma dianggap tidak memiliki signifikansi klinis pada penelitian tersebut, maka tidak dibahas lebih lanjut. Sementara itu, pada penelitian Kallio, et al6, ekspresi pada membran dan sitoplasma tidak dihitung terpisah, melainkan berdasarkan dominasi di antara keduanya. Proporsi ekspresi yang positif (baik pada membran maupun sitoplasma) ditemukan pada 49% tumor dengan menggunakan ekspresi pada plasenta sebagai titik potong. Pada perbandingan antara ekspresi EGFR dari kedua subtipe, hal yang cukup mengejutkan adalah tidak ada perbedaan ekspresi EGFR di sitoplasma antara kelompok subtipe sel jernih dan subtipe bukan sel jernih (p=0,249). Pada gambaran morfologik sitoplasma sel berwarna jernih karena mengandung lipid dan glikogen yang sebagian besar akan larut pada saat pemrosesan dengan alkohol. Sebaliknya, pada kelompok bukan sel jernih, sitoplasma sel akan berwarna merah muda atau bahkan bergranul (untuk subtipe kromofob) pada pewarnaan hematoksilin-eosin. Dengan demikian, kemungkinan bias bahwa timbulnya warna cokelat pada sitoplasma disebabkan karena penyerapan warna nonspesifik dapat disingkirkan. Hasil penelitian ini mendukung studi Kallio, et al6, Langner, et al7, dan Cohen, et al8, yang membuktikan bahwa ekspresi EGFR pada membran tidak memiliki hubungan dengan staging histopatologik maupun derajat anaplasia inti dan tidak berkaitan dengan prognosis yang buruk. Langner, et al7 mendapatkan bahwa ekspresi pada membran tidak berkaitan dengan prognosis, sedangkan ekspresi pada J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 12, Desember 2012
Angka Kesintasan (bulan) 33,3 46,9 45,2 11,8 42,7 12,0 13,2 42,0 45,0 17,0
p (log rank test) 0,475 0,004 0,007 0,010 0,048
sitoplasma berkaitan dengan progresivitas penyakit. Sementara itu, Cohen, et al8 menemukan bahwa ekspresi EGFR pada sitoplasma yang lebih tinggi lebih sering ditemukan pada staging histo-patologik dan derajat anaplasia inti Fuhrman yang lebih tinggi. Namun pada uji analisis Kaplan Meier terhadap angka kesintasan, hanya ukuran makroskopik tumor primer yang memiliki korelasi dengan kesintasan. Penelitian Kallio, et al6 mencoba menilai ekspresi EGFR pada membran dan sitoplasma serta hubungannya degnan staging histopatologik dan derajat anaplasia inti Fuhrman. Kallio, et al6 melakukan penilaian pada semua subtipe KSG serta memberikan skoring berdasarkan dominasi lokasi EGFR. Diketahui bahwa bahwa ekspresi EGFR yang predominan pada membran memiliki kaitan dengan prognosis yang baik. Ekspresi pada membran ini juga lebih banyak ditemui pada tumor-tumor yang memiliki derajat anaplasia inti lebih rendah, meskipun intensitas ekspresinya juga rendah. Temuan Merseburger, et al9 yang menyatakan bahwa hanya over-ekspresi EGFR pada membran berkaitan dengan menurunnya angka kesintasan pada pasien KSG bertentangan dengan hasil penelitian ini. Selain itu, Penelitian Pu, et al10 mencoba membandingkan ekspresi EGFR pada sel KSG dan sel tubulus ginjal yang normal yang berada di pinggir jaringan tumor yang sama. Penelitian tersebut menyatakan bahwa ekspresi EGFR pada sitoplasma memiliki kadar yang lebih tinggi pada sel tubulus ginjal normal dibandingkan sel KSG, sedangkan untuk ekspresi membran yang terjadi adalah sebaliknya. Pada penelitian tersebut, sistem skoring antara ekspresi membran dan sitoplasma berbeda, yaitu menggunakan skala ordinal 0-3 untuk membran dan semi kuantitatif 0-300 untuk ekspresi sitoplasma sehingga penilaian untuk ekspresi sitoplasma menjadi lebih sensitif. Pu, et al10 membandingkan penelitiannya terhadap penelitian pada sel tumor paru yang menyimpulkan bahwa kemungkinan terdapat pergeseran ekspresi dari sitoplasma ke membran pada fase displasia. Ekspresi EGFR pada sel tubulus ginjal normal juga menjadi perhatian penelitian Dordevic, et al11. Pada penelitian tersebut, didapatkan bahwa reaktivitas EGFR umumnya tidak 459
Ekspresi Epidermal Growth Factor Receptor dengan Angka Kesintasan pada Karsinoma Sel Ginjal terdeteksi pada jaringan normal, walaupun kadang-kadang ditemukan imunoreaktivitas lemah pada daerah basal sitoplasma tubulus proksimal dan distal. Imunoreaktivitas tersebut tidak ditemui pada duktus koli-gentes dan pembuluh darah.11 Membandingkan Teknik Imunohistokimia dengan Metode Lainnya Beberapa peneliti mencoba menilai apakah teknik imunohistokimia telah memberikan konsep yang benar tentang ekspresi EGFR pada KSG. Peneliti-peneliti tersebut kemudian mencoba membandingkan temuan oleh imunohistokimia dan temuan menggunakan teknik lain, yaitu in situ hybridization serta PCR-sequencing. Dordevic, et al11 dan El-Hariry, et al12 secara terpisah menggu-nakan teknik imunohistokimia dan fluorescence in situ hybridization (FISH) untuk menilai ekspresi EGFR dan amplifikasi gen EGFR pada kasus KSG. Kedua penelitian tersebut sama-sama mendapatkan bahwa amplifikasi gen EGFR sangat jarang (2 dari 315 pasien pada penelitian El-Hariry, et al12) atau tidak ada (tidak ditemukan pada penelitian Dordevic, et al11) pada KSG. Pada penelitian kelompok El-Hariry, et al12, kedua kasus yang mengalami amplifikasi kromosom 7 tersebut memiliki penyakit stadium 4 yang telah bermetastasis dan ekspresi EGFR membran yang kuat. Selanjutnya, ekspresi EGFR membran yang kuat berkaitan dengan polisomi kromosom 7. Kelompok peneliti Dordevic, et al11 juga mengemukakan bahwa polisomi kromosom 7 tidak berkaitan dengan gambaran klinikopatologik maupun kesintasan, sedangkan ekspresi EGFR membran yang kuat memiliki hubungan dengan kesintasan. Penelitian El-Hariry, et al12 tidak menilai ekspresi EGFR pada sitoplasma, sedangkan studi Dordevic, et al11 melakukan penilaian terhadap ekspresi pada sitoplasma, tetapi karena jumlahnya sedikit sehingga analisis lebih lanjut tidak dilakukan. Temuan pada penelitian El-Hariry, et al12 dan Dordevic, 11 et al tersebut dikonfirmasi oleh Minner, et al.13 Pada penelitian kelompok Minner, ekspresi EGFR berhu-bungan dengan staging tumor histopatologik (pT), staging kelenjar getah bening (pN), derajat anaplasia inti Furhman, dan metastasis KSG subtipe sel jernih. Sedangkan pada kelompok subtipe papiler, ekspresi EGFR hanya berkaitan dengan staging tumor histopatologik (pT). Polisomi kromo-som 7 juga lebih banyak ditemukan pada ekspresi yang lebih tinggi. Minner, et al13 melanjutkan penelitiannya untuk menilai mutasi pada ekson 18, 19, 20, dan 21 pada kromosom 7 dan ditemukan bahwa tidak ada mutasi pada ekson-ekson tersebut pada kasus KSG. Ekspresi EGFR di sitoplasma masih menjadi suatu pertanyaan bagi banyak peneliti. Terdapat dua kemungkinan mengapa EGFR berada di sitoplasma, yaitu sebagai bagian dari proses turnover ataupun sebagai bagian dari proses translokasi ke inti. Telah dikenal konsep bahwa EGFR secara teratur mengalami turnover. Proses turnover ini diawali oleh 460
endositosis protein EGFR melalui jalur clathrin-dependent dan clathrin-independent. Pada saat protein EGFR berada di sitoplasma, protein tersebut berada dalam suatu vesikel untuk kemudian didegradasi atau didaur ulang kembali ke membran. Selain itu, konsep kedua adalah peranan EGFR sebagai ko-aktivator faktor transkripsi.14 Dalam publikasinya, Brand, et al15 menjelaskan bahwa tidak semua protein EGFR yang berada di sitoplasma mengalami degradasi dan daur ulang, melainkan terdapat sebagian protein yang mengalami translokasi ke inti. Di dalam inti, EGFR berperan sebagai koaktivator bagi 7 onkogen, yaitu: cyclin D1, nitric oxide synthase (iNOS), B-myb, aurora-kinase A, cyclooxigenase-2 (COX-2), c-myc, dan breast cancer resistant protein (BRCP). Selain itu, pada berbagai studi ditemukan pula bahwa EGFR di inti berkaitan dengan kesintasan yang buruk serta resistensi terhadap kemoterapi, radioterapi, serta cetuximab dan gefitinib. Meski demikian, masih terdapat kemungkinan bahwa terapi anti EGFR dapat diberikan pada pasien karsinoma sel ginjal. Ekspresi EGFR di sitoplasma membutuhkan studi yang lebih mendalam untuk menjelaskan fungsi dan mekanisme kerja EGFR di sitoplasma.15 Penelitian ini tidak lepas dari berbagai keterbatasan dan kekurangan. Jumlah kasus dalam penelitian ini masih terlalu sedikit dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya. Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan mengumpulkan blok dan data rekam medik secara restrospektif. Selain itu, mengingat kesintasan pasien KSG yang cukup panjang, maka diperlukan waktu follow up yang cukup lama pula. Kesimpulan Ekspresi EGFR-m 53,8% pada keseluruhan tumor, atau 67,4% pada kelompok subtipe sel jernih; sedangkan ekspresi EGFR-c mencapai 46,2% untuk keseluruhan kasus atau 42,1% pada kelompok subtipe sel jernih. Ekspresi EGFR memiliki nilai prognostik terhadap kesintasan pasien karsinoma sel ginjal yang independen dan tidak terkait dengan staging histopatologik maupun derajat anaplasia inti Fuhrman. Pendanaan Penelitian ini menggunakan dana Hibah Awal Universitas Indonesia 2012 Gelombang II. Daftar Pustaka 1.
2.
3. 4. 5.
Stern HM. EGFR family heterodimers in cancer pathogenesis and treatment. In: Haley JD, Gullick WJ, editors. Cancer drug discovery and development: EGFR signaling networks in cancer therapy. New York: Humana Press; 2008. Herbst R. Targeting the epidermal growth factor receptor: prognostic and clinical implications. EJC Suplements. 2003;1(8):915. Escudier B. Advanced renal cell carcinoma: current and emerging management strategies. Drugs. 2007;67(9):1257-64. Cohen HT, McGovern F. Renal-cell carcinoma. N Engl J Med. 2005;353:2477-90. Choueiri TK. Factors associated with outcome in patients with advanced renal cell carcinoma in the era of antiangiogenic agents.
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 12, Desember 2012
Ekspresi Epidermal Growth Factor Receptor dengan Angka Kesintasan pada Karsinoma Sel Ginjal Clinical Genitourinary Cancer. 2008;6(1):15-20. Kallio JP, Hirvikoski P, Helin H, Kellokumpu-Lehtinen P, Luukkaala T, Tammela TLJ, et al. Membranous location of EGFR immunostaining is associated with good prognosis in renal cell carcinoma. Br J Cancer. 2003;89:1266-9. 7. Langner C, Ratschek M, Rehak P, Schips L, Zigeuner R. Are heterogenous result of EGFR immunoreactivity in renal cell carcinoma related to non-standardised criteria for staining evaluation? J Clin Pathol. 2004;57:773-5. 8. Cohen D, Lane B, Jin T, Magi-Galluzzi C, Finke J, Rini BI, et al. The prognostic significance of Epidermal Growth Factor Receptor expression in clear-cell renal cell carinoma: a call for standardized methods for immunohistochemical evaluation. Clin Genitourin Cancer. 2007;5(4):264-70. 9. Merseburger AS, Hennenlotter J, Simon P, Kruck S, Koch E, Horstmann M, et al. Membranous expression and prognostic implication of epidermal growth factor receptor protein in human renal cell cancer. Anticancer Research. 2005;25:1904-8. 10. Pu YS, Huang CY, Kuo YZ, Kang WY, Liu GY, Huang AM, et al. Characterization of membranous and cytoplasmic EGFR expres6.
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 12, Desember 2012
11.
12.
13.
14.
15.
sion in human normal renal cortex and renal cell carcinoma. Biomed Sci. 2009;16:82. Dordevic G, Ilijas KM, Hadzisejdic I, Maricic A, Grahovac B, Jonjic N. EGFR protein overexpression correlates with chromosome 7 polysomy and poor prognostic parameters in clear cell renal carcinoma. Biomed Sci. 2012;19:40. El-Hariry I, Powles T, Lau MR, Sternberg CN, Ravaud A, von der Maase H, et al. Amplification of epidermal growth factor receptor gene in renal cell carcinoma. Eur J Cancer. 2010;46:859-62. Minner S, Rump D, Tennstedt P, Simon R, Burandt E, Terracciano L. Epidermal growth factor receptor protein expression and genomic alterations in renal cell carcinoma. Cancer. 2012; 118(5):1268-75. Sorkin A. Internalizations and degradation of the EGF receptor. In: Haley JD, Gullick WJ, editors. Cancer drug discovery and development: EGFR signaling networks in cancer therapy. New York: Humana Press; 2008. Brand TM, Iida M, Li C, Wheeler DL. The nuclear epidermal growth factor receptor signaling network and its role in cancer. Discov Med. 2011;12(6):419-3.
461