STABILITAS PROTEIN REKOMBINAN INTERFERON ALFA-2B MANUSIA PADA Pichia pastoris
SYUBBANUL WATHON
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Stabilitas Protein Rekombinan Interferon Alfa-2b Manusia pada Pichia pastoris adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015 Syubbanul Wathon NIM P051130131
RINGKASAN SYUBBANUL WATHON. Stabilitas Protein Rekombinan Interferon Alfa-2b Manusia pada Pichia pastoris. Dibimbing oleh SRI BUDIARTI dan RATIH ASMANA NINGRUM. Protein rekombinan interferon alfa-2b manusia (rhIFNα-2b) merupakan protein terapeutik yang diaplikasikan untuk penanganan hepatitis dan kanker. Pengembangan bentuk sediaan rhIFNα-2b yang stabil tetap menjadi tantangan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari stabilitas rhIFNα-2b pada tiga parameter, yaitu suhu, pH dan kondisi lama penyimpanan. Overproduksi rhIFNα-2b dilakukan menggunakan sistem ekspresi Pichia pastoris (P. pastoris) yang ditumbuhkan pada media Buffered Methanol Complex (BMMY) pada suhu 30 °C selama 48 jam dan 2% metanol sebagai induser. MinimateTM tangensial flow filtration system dengan molecular weight cut off (MWCO) 5 kDa digunakan pada proses filtrasi protein. Protein yang telah difiltrasi kemudian dipurifikasi dengan AKTA purifier 10 system menggunakan kolom His-trap. Kuantifikasi protein menggunakan bicinchoninic acid assay menunjukkan bahwa yield rhIFNα-2b hasil purifikasi sebesar 10.92 mg/L (OD600 = 2.3). Karakterisasi bobot molekul menggunakan analisis Sodium Dodecyl Sulphate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) dan Western Blot menunjukkan bahwa protein tersebut merupakan rhIFNα-2b dengan bobot molekul sekitar 24 kDa. Karakterisasi identitas protein berbasis spektrometri massa Matrix Assisted Laser Desorption Ionization-Time Of Flight/ Time Of Flight (MALDI-TOF/ TOF) menginformasikan bahwa protein tersebut teridentifikasi sebagai hIFNα-2b dengan urutan asam amino yang mewakili 22% dari sekuen secara keseluruhan. Analisis SDS-PAGE non reducing dan software Image J menunjukkan bahwa peningkatan suhu, kondisi pH asam dan basa serta kondisi lama penyimpanan telah memacu terjadinya aggregasi dan degradasi rhIFNα-2b. Uji 3-[4.5-dimethyltiazol-2il]-2.5-diphenylltetrazolium bromide (MTT) menunjukkan bahwa aggregasi dan degradasi menurunkan aktivitas antiproliferasi rhIFNα-2b terhadap sel MCF-7. Kondisi kenaikan suhu, pH asam dan basa serta lama penyimpanan dapat mempengaruhi stabilitas rhIFNα-2b. Kondisi stabil rhIFNα-2b dicapai pada suhu 4 °C, pH 7 selama 2 hari waktu inkubasi. Data tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan formulasi rhIFNα-2b sebagai protein terapeutik. Kata kunci: rhIFNα-2b, Pichia pastoris, stabilitas, aggregasi, degradasi
SUMMARY SYUBBANUL WATHON. Stability of Human Recombinant Interferon Alpha-2b in Pichia pastoris. Supervised by SRI BUDIARTI and RATIH ASMANA NINGRUM. Recombinant human interferon alpha-2b (rhIFNα-2b) is therapeutic protein used in hepatitis and cancer treatments. The development of stable dosage forms of rhIFNα-2b remains a great challenge. This research was aimed to study the stability of rhIFNα-2b in three parameters: temperature, pH and storage time. The rhIFNα-2b was overproduced in Pichia pastoris (P. pastoris) by using buffered methanol complex medium (BMMY) at 30 °C for 48 h with 2% of methanol as inducer. MinimateTM tangensial flow filtration system with molecular weight cut off (MWCO) 5 kDa was used on protein filtration. Purification of rhIFNα-2b was performed by immobilized affinity chromatography column using AKTA purifier system. Colorimetric bicinchoninic acid assay informed that the yield of purified rhIFNα-2b was 10.92 mg/L (OD600 = 2.3). Sodium dodecyl sulphate-polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) and Western Blot analysis confirmed that the protein was rhIFNα-2b with 24 kDa in size. Matrix assisted laser desorption ionization-time of flight/ time of flight (MALDITOF/TOF) mass spectrometry identified the protein as hIFNα-2b with 22% of amino acid coverage. Non reducing SDS-PAGE and Image J software analysis showed that temperature increment, acidic and basic pH, as well as storage time length had caused aggregation and degradation. 3-[4.5-dimethylthiazol-2il]-2.5diphenyltetrazolium bromide (MTT) assay informed that the aggregation and degradation reduced the antiproliferative activity of rhIFNα-2b on human breast cancer MCF-7 cell line. Temperature increment, acidic and basic pH as well as storage time prolongation affect rhIFNα-2b stability. The highest stability of rhIFNα-2b can be achieved at 4 °C and pH 7 for two days. These data can be used to develop rhIFNα-2b formulations as therapeutic protein. Keywords: rhIFNα-2b, Pichia pastoris, stability, aggregation, degradation
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STABILITAS PROTEIN REKOMBINAN INTERFERON ALFA-2B MANUSIA PADA Pichia pastoris
SYUBBANUL WATHON
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Bioteknologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. I Made Artika, MAppSc
Judul Tesis : Stabilitas Protein Rekombinan Interferon Alfa-2b Manusia pada Pichia pastoris Nama : Syubbanul Wathon NIM : P051130131
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr dr Sri Budiarti Ketua
Dr Ratih Asmana Ningrum Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Bioteknologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Suharsono, DEA
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 19 Agustus 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul Stabilitas Protein Rekombinan Interferon Alfa-2b Manusia pada Pichia pastoris. Peran serta yang sangat besar telah diberikan oleh berbagai pihak kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada Ibu Dr dr Sri Budiarti dan Ibu Dr Ratih Asmana Ningrum sebagai komisi pembimbing yang telah banyak memberi ide, saran dan nasehatnya pada penulis sejak awal hingga akhir penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis disampaikan kepada ayahanda, ibunda, saudara beserta seluruh keluarga besar, atas segala doa, kasih sayang dan motivasinya. Penulis memberikan penghargaan kepada segenap staf pengajar, karyawan dan rekan-rekan seperjuangan angkatan 2013 di program studi Bioteknologi Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah berbagi ilmu dan nasehat kepada penulis selama menjalankan studi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf peneliti di Laboratorium Protein Terapeutik dan Vaksin, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong Bogor yang telah membantu selama penelitian berlangsung. Penulis mengharapkan masukan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan tesis ini sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Agustus 2015 Syubbanul Wathon
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Protein Terapeutik Produksi Protein Rekombinan pada Pichia pastoris Interferon Aktifitas Anti Virus Aktifitas Imunomodulator Aktifitas Anti Proliferasi Stabilitas Protein Terapeutik dan Faktor yang Mempengaruhi
2 2 3 4 5 6 6 9
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Prosedur Kerja Overproduksi rhIFNα-2b pada P. pastoris Filtrasi, Purifikasi dan Kuantifikasi rhIFN-α2b Karakterisasi rhIFN-α2b Uji Stabilitas rhIFN-α2b Uji Aktifitas Anti Proliferasi rhIFNα-2b pada Sel MCF-7 Analisis Statistik
10 10 10 10 11 11 11 11 12
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Overproduksi rhIFNα-2b pada P. pastoris Filtrasi, Purifikasi dan Kuantifikasi rhIFN-α2b Karakterisasi rhIFN-α2b Uji Stabilitas rhIFN-α2b Uji Aktifitas Anti Proliferasi rhIFNα-2b pada Sel MCF-7
12 12 14 15 16 19
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
21 21 21
DAFTAR PUSTAKA
21
LAMPIRAN
27
RIWAYAT HIDUP
33
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
5 6 7 8 9 10
Penghantaran sinyal hIFN-α melalui jalur JAK-STAT Mekanisme molekuler hIFN-α sebagai anti kanker Model struktur molekuler protein hIFNα-2b Visualisasi dari SDS-PAGE supernatan bebas sel, SDS-PAGE supernatan hasil filtrasi dan purifikasi, Western Blot supernatan hasil filtrasi dan purifikasi Hasil penentuan sekuen asam amino rhIFNα-2b menggunakan analisis MALDI-TOF/ TOF spektrometri massa Profil rhIFNα-2b pada kondisi peningkatan temperatur dan variasi pH Analisis luas area pita utama rhIFNα-2b menggunakan software Image J pada kondisi peningkatan temperatur dan variasi pH Profil rhIFNα-2b pada kondisi sampling hari ke-2 dan sampling hari ke20 Analisis luas area pita utama rhIFNα-2b menggunakan software Image J pada kondisi sampling hari ke-2 dan sampling hari ke-20 Persentase penghambatan rhIFNα-2b terhadap sel MCF-7 pada pengujian peningkatan temperatur, variasi pH dan kondisi lama penyimpanan
7 7 8
15 16 17 18 19 19
20
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8
Media Larutan Komposisi Gel Poliakrilamid Kurva Standar BSA Isolat P. pastoris X-33 Rekombinan Kromatogram Purifikasi rhIFNα-2b Kultur Sel MCF-7 Analisis ragam pengaruh kondisi peningkatan temperatur, variasi pH dan lama penyimpanan pada persentase penghambatan rhIFNα-2b terhadap proliferasi sel MCF-7
27 28 29 29 30 30 31
32
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Interferon (IFN) merupakan sitokin yang disekresikan oleh sel eukariot sebagai respon adanya infeksi virus, bakteri, protozoa atau senyawa lainnya. IFN dapat dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan sel yang menghasilkannya, yaitu IFN α (dihasilkan oleh sel leukosit), IFN β (dihasilkan oleh sel fibroblast) dan IFN γ (dihasilkan oleh sel limfosit T helper) (Kontsek & Konssekova 1997). Human interferon alfa (hIFN-α) merupakan famili protein yang memiliki aktifitas biologis yang cukup luas yaitu sebagai anti kanker, anti virus dan imunomodulator (Cherbi-Alix & Wietzerbin 2007). Hifnα-2 terdiri atas tiga subtipe, yaitu hifnα-2a, hIFNα-2b dan hifnα-2c (Ceaglio et al. 2010). hIFNα-2b menjadi alel dominan dibandingkan dengan subtipe yang lain (Lee et al. 1995). hIFNα-2b merupakan protein yang tersusun atas 188 asam amino (23 asam amino merupakan signal peptide dan 165 asam amino adalah mature protein) dan mengalami O-glikosilasi pada asam amino treonin di posisi ke-106 (Ningrum et al. 2013). Tubuh manusia secara alami dapat menghasilkan IFN, namun terkadang jumlahnya tidak mencukupi untuk melawan agen penyakit yang berkembang cepat di dalam tubuh. Pada kondisi tersebut manusia memerlukan penambahan IFN dari luar tubuh. Kebutuhan IFN dari luar tubuh dapat dipenuhi melalui produksi protein rekombinan IFN (Gow & Mutimer 2001; Dingermann 2008). Produksi beberapa jenis protein rekombinan IFN terus dilakukan, salah satunya adalah protein rekombinan IFNα-2b manusia (rhIFNα-2b). Protein tersebut telah direkomendasikan oleh United States Food and Drug Administration (US FDA) pada tahun 1986 sebagai protein terapeutik untuk penanganan hepatitis dan beberapa kanker seperti multiple myeloma, chronic myeloid leukemia, renal cell carcinoma, epidermoid cervical cancer, melanoma dan medullary thyroid carcinoma (Tagliaferri et al. 2005). Produksi rhIFNα-2b dapat menggunakan beberapa macam sistem ekspresi, diantaranya adalah sistem ekspresi sel tembakau BY2 (Xu et al. 2007), Escherichia coli (E. coli) (Srivastava et al. 2005), Saccharomyces cerevisiae (S. cerevisiae) (Tuite et al. 1982), Streptomyces lividans (S. lividans) (Pimienta et al. 2002), sel telur unggas (Rapp et al. 2003; Patel et al. 2007), P. pastoris (Shi et al. 2007; Li et al. 2007; Ghosalkar et al. 2008), dan sel mamalia (Rossmann et al. 1996; Loigon et al. 2008). Setiap sistem ekspresi tersebut memiliki kelebihan dan keterbatasan. Penelitian terdahulu yang dilakukan Ningrum et al. (2013) telah berhasil mengkonstruksi kerangka baca terbuka gen pengkode hIFNα-2b dan memproduksi rhIFNα-2b dengan menggunakan sistem ekspresi P. pastoris. Bobot molekul rhIFNα-2b tersebut 24 kDa dan terdapat polyhistidine tag pada ujung Cterminalnya. Uji aktivitas biologis menunjukkan bahwa rhIFNα-2b tersebut memiliki aktivitas dalam menghambat proliferasi sel kanker payudara manusia MCF-7 (Ningrum et al. 2015). P. pastoris merupakan salah satu spesies dari kelompok yeast metilotropik yang sering dipakai sebagai sistem ekspresi untuk memproduksi protein rekombinan (Macauley-Patrick et al. 2005; Fickers 2014). Keuntungan menggunakan sistem ekspresi P. pastoris diantaranya adalah kemudahan dalam
2 memanipulasi pada tingkat molekuler, tingkat sekresi dan ekspresi protein rekombinan yang sangat tinggi, kemudahan teknik transformasi dan seleksi sel transforman, biaya produksi lebih murah dibandingkan sistem ekspresi sel eukariot lainnya. P. pastoris dapat tumbuh pada media sederhana hingga mencapai kerapatan sel yang tinggi. P. pastoris juga mampu melakukan modifikasi pasca translasi, misalnya proses glikosilasi dan pelipatan protein yang sangat menentukan aktifitas biologis suatu protein terapeutik (Cregg et al. 2000; Balamurugan et al. 2007). Usaha produksi protein terapeutik pada umumnya masih mengalami permasalahan pada tahap stabilisasi protein. Salmannejad et al. (2014) menyatakan bahwa rhIFNα-2b memiliki kestabilan yang rendah terhadap degradasi fisik dan kimia. Ketidakstabilan rhIFNα-2b dapat terjadi selama proses preparasi, formulasi dan penyimpanan (Diress et al. 2010). Ketidakstabilan protein terapeutik dapat menurunkan aktifitas biologis, efek imunogenik dan perubahan dosis selama terapi (Ruiz et al. 2006). Stabilitas protein terapeutik sangat penting diketahui untuk meningkatkan aktifitas, kelayakan dan keefektifan suatu protein terapeutik hingga pada tahap komersialisasi.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mempelajari stabilitas rhIFNα-2b pada beberapa perlakuan, meliputi kenaikan suhu, variasi pH dan kondisi lama penyimpanan.
Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat dalam menyediakan informasi mengenai stabilitas rhIFNα-2b yang diproduksi pada P. pastoris. Data mengenai stabilitas protein sangat diperlukan untuk menentukan kondisi preparasi, formulasi dan penyimpanan yang tepat agar aktivitas dan keefektifan protein terapeutik dapat mencapai kondisi yang optimal.
2 TINJAUAN PUSTAKA Protein Terapeutik Produk biofarmasetika memiliki catatan sukses dalam pengobatan berbagai penyakit kronis dan penyakit lain yang mengancam kehidupan manusia. Produk biofarmasetika yang paling banyak dikembangkan adalah protein terapeutik (Rader 2008). Protein terapeutik merupakan molekul protein yang memiliki aktivitas sebagai obat sehingga dapat digunakan untuk keperluan klinis (Morrow 2010). Protein terapeutik dapat dibedakan berdasarkan fungsinya masing-masing yang mencakup sebagai protein fusi, anti-koagulan, faktor pembekuan darah, faktor pembentukan tulang, enzim-enzim, faktor pertumbuhan, hormon, interferon, interleukin, eritropoetin dan trombolitik (Dimitrov 2012).
3 Protein terapeutik memiliki beberapa keunggulan dibandingkan obat dengan ukuran molekul yang lebih kecil. Protein terapeutik pada umumnya memiliki spesifitas tinggi dan fungsi kompleks yang tidak bisa ditiru dengan senyawa kimia sederhana. Reaksi protein terapeutik bersifat sangat spesifik dan jarang mengganggu proses biologis yang normal sehingga tidak menimbulkan efek samping. Tubuh manusia umumnya memberikan toleransi yang baik terhadap protein terapeutik dibandingkan dengan senyawa kimia. Protein terapeutik dapat menjadi pengganti pada penanganan penyakit yang disebabkan karena suatu mutasi tanpa harus melakukan terapi gen. Terapi gen saat ini masih belum tersedia pada sebagian besar penyakit yang disebabkan oleh gangguan genetik. Protein terapeutik bersifat unik dalam hal bentuk dan fungsinya. Perusahaan biofarmasetika dapat memperoleh perlindungan hak paten untuk pengembangan dan produksi suatu protein terapeutik (Leader et al. 2008). Beberapa jenis protein terapeutik diproduksi secara konvensional melalui proses pemurnian dari sumber alaminya (native), misalnya enzim pankreas yang diperoleh dari pankreas babi (Brown et al. 1997) dan α-1-proteinase inhibitor yang dikumpulkan dari plasma darah manusia (Dirksen 1999). Saat ini sistem produksi protein terapeutik telah berkembang melalui teknik rekayasa genetika dan teknologi DNA rekombinan dengan menggunakan sistem ekspresi bakteri, yeast, sel serangga, sel mamalia, hewan dan tumbuhan transgenik (Brannigan & Wilkinson 2002). Pemilihan sistem ekspresi umumnya berdasarkan pertimbangan biaya produksi dan modifikasi protein (misalnya glikosilasi, fosforilasi, dan pelipatan protein) yang dibutuhkan untuk aktivitas biologis protein terapeutik (Leader et al. 2008). Produksi protein rekombinan memiliki beberapa keuntungan dibandingkan produksi protein non rekombinan. Proses transkripsi dan translasi suatu gen manusia menyebabkan aktivitas spesifik yang lebih tinggi dan dapat menurunkan penolakan imunologis. Produksi protein rekombinan lebih efisien dan dapat dilakukan dalam skala produksi yang lebih besar dibandingkan protein non rekombinan. Produksi protein rekombinan dapat menurunkan resiko penularan penyakit pada hewan atau manusia. Produksi protein rekombinan dapat memungkinkan untuk melakukan modifikasi protein dan pemilihan varian gen tertentu untuk meningkatkan fungsi atau spesifitas protein (Leader et al. 2008). Lembaga US FDA telah merekomendasi lebih dari 130 protein atau peptida untuk digunakan dalam kepentingan klinis dan 95 protein diantaranya diproduksi menggunakan teknologi DNA rekombinan. Peningkatan teknologi produksi dan pemahaman ilmu biofarmasetika akan mengikuti perkembangan produksi protein terapeutik sebagai langkah penting dalam penanganan berbagai macam penyakit, misalnya penanganan penyakit diabetes (insulin), stadium akhir penyakit ginjal (eritropoetin), gangguan pembekuan darah (faktor VII, VIII, IX), hepatitis dan beberapa jenis kanker (interferon) (Dingermann 2008).
Produksi Protein Rekombinan pada P. pastoris P. pastoris merupakan salah satu spesies dari kelompok yeast metilotropik yang banyak digunakan sebagai sistem ekspresi untuk memproduksi protein rekombinan. P. pastoris memiliki kelebihan sebagai sistem ekspresi terutama
4 kemudahan dalam hal manipulasi pada tingkat molekuler, modifikasi pasca translasi, pelipatan protein, dan sekresi protein secara ekstraseluler (Cereghino & Cregg 2000). Proses produksi yang mudah, peralatan produksi yang relatif murah dan kemudahan dalam proses scale up membuat sistem ekspresi P. pastoris lebih diminati untuk memproduksi protein rekombinan, termasuk untuk memproduksi protein terapeutik (Balamurugan et al. 2007). Proses scale up sistem ekspresi P. pastoris dapat lebih besar dibandingkan sistem ekspresi E. coli (Vozza et al. 1996). Sistem ekspresi P. pastoris pada kasus tertentu dapat mengekspresikan protein rekombinan lebih tinggi dibandingkan sistem ekspresi yeast konvensional, yaitu S. cereviceae (Fickers 2014). Kesuksesan sistem ekspresi P. pastoris untuk memproduksi protein rekombinan karena beberapa faktor, salah satunya adalah adanya promoter alcohol oxidase 1 (aox1). Promoter aox1 merupakan promoter kuat, mudah diregulasi dan dapat mengintegrasikan vektor ekspresi pada genom P. pastoris dengan satu atau beberapa situs tertentu (Li et al. 2007). Promoter aox1 mengontrol ekspresi 30% dari keseluruhan protein solubel yang dihasilkan P. pastoris, sehingga promoter tersebut umumnya digunakan untuk menjalankan dan mengatur ekspresi suatu protein rekombinan (Cregg et al. 2000). Transformasi pada P. pastoris dapat dilakukan dengan mudah melalui metode elektroporasi atau metode speroplasting (Balamurugan et al. 2007). Ekspresi protein rekombinan pada P. pastoris dapat terjadi secara intraseluler maupun ekstraseluler. Sekresi protein rekombinan keluar sel memerlukan sinyal sekuen untuk mengarahkan protein pada jalur sekretori. Beberapa sinyal sekuen telah dicoba pada sistem ekspresi P. pastoris, termasuk native sinyal sekuennya. Sinyal sekuen yang paling efektif digunakan yaitu faktor α-prepo yang berasal dari S. cereviceae (Ghosalkar et al. 2008). P. pastoris mensekresikan native protein lebih rendah dibandingkan dengan protein rekombinan sehingga kondisi tersebut dapat mempermudah purifikasi protein (Balamurugan et al. 2007). Sistem ekspresi P. pastoris memiliki keuntungan dalam proses glikosilasi protein, khususnya pada protein rekombinan yang diaplikasikan sebagai protein terapeutik. Proses glikosilasi yang terjadi pada P. pastoris bukan termasuk tipe hiperglikosilasi. Hiperglikosilasi dapat memacu respon imun yang berlebihan, hal ini dapat menimbulkan efek negatif dalam tubuh manusia (Macauley-Patrick et al 2005). Glikosilasi pada sistem ekspresi P. pastoris umumnya merupakan gabungan 8 sampai 14 residu manosa pada tiap rantai peptida dan lebih pendek dibandingkan dengan glikosilasi pada S. cereviceae, yaitu 50-150 residu manosa (Balamurugan et al. 2007). P. pastoris juga dilaporkan telah sukses memproduksi protein rekombinan dengan pola ikatan disulfida tertentu (Cregg et al. 2000). Aktifitas biologis pada beberapa protein rekombinan sangat ditentukan dari formasi ikatan disulfidanya (Diress et al. 2010).
Interferon Penemuan IFN berawal dari penelitian yang dilakukan Nagano dan Kojima ketika menemukannya pada kelinci yang terserang virus. Selang beberapa tahun kemudian peneliti lain yaitu Isaacs dan Lindermann juga menemukan molekul
5 yang serupa ketika melakukan pengamatan pada sel ayam yang diinkubasi dengan virus influenza. Hasil pengamatannya menunjukkan adanya suatu faktor yang dapat melindungi sel dari infeksi virus. Fenomena ini dinamakan fenomena interferensi dan substansi aktif yang dihasilkan kemudian dinamakan interferon (Chelbi-Alix & Wiedzerbin 2007). Pada dasarnya IFN merupakan kelompok protein dari famili sitokin yang disekresikan oleh sel vertebrata karena adanya rangsangan yang berasal dari virus, bakteri, protozoa dan senyawa lainnya (Ningrum et al. 2013). IFN dapat dibedakan menjadi 3 kelompok berdasarkan jenis sel yang menghasilkannya. Kelompok yang pertama yaitu IFN-α dihasilkan oleh sel leukosit. Kelompok kedua yaitu IFN-β yang dihasilkan oleh fibroblast dan dapat bekerja pada hampir semua sel di dalam tubuh manusia. Kelompok ketiga yaitu IFN-γ yang dihasilkan oleh limfosit sel T helper dan hanya bekerja pada sel-sel tertentu seperti: makrofag, sel endotelial, fibroblast, sel T sitotoksik dan sel limfosit B (Konstek & Konssekova 2002). IFN bertindak sebagai messenger intraseluler yang memicu terjadinya aktifitas biologi setelah berikatan dengan reseptor sel target (Barr et al. 2008). IFN akan berikatan dengan reseptor spesifik pada membran sel target. Berdasarkan lokasi reseptor di permukaan sel, IFN dibagi menjadi dua tipe. IFN tipe 1 terdiri atas IFN α, β, ω dan τ. IFN tipe 2 hanya terdiri atas IFN γ (Takaoka & Yanai 2006). IFN tipe 1 adalah keluarga sitokin yang khusus untuk mengkoordinasikan kekebalan terhadap virus dan infeksi intraseluler. Identifikasi reseptor dan jalur sinyal deteksi patogen untuk menginduksi IFN tipe 1 telah banyak dilakukan (Stetson & Metzitov 2006). Reseptor yang dikenali oleh IFN tipe 1 dibedakan menjadi dua subunit, yaitu IFNAR-1 dan IFNAR-2 (Honda et al. 2005). IFN memiliki aktivitas anti virus dan anti kanker yang berpengaruh pada metabolisme dan diferensiasi sel serta dapat memodulasi sistem imun (Jonash & Haluska 2001). Kompleksitas fungsi IFN pada sistem imun tubuh manusia dapat melalui jalur pengaktifan fungsi khusus suatu sel yang meliputi diferensiasi, pertumbuhan, pengekspresian antigen permukaan dan imunoregulasi sel (Meager 2006). Peran IFN selanjutnya dalam sistem imun tubuh manusia dapat melalui beberapa mekanisme sebagai berikut: Aktivitas Anti Virus Aktivitas anti virus IFN tidak terjadi secara langsung, melainkan melalui mekanisme pencegahan replikasi virus pada sel-sel yang berada disekitar sel yang terinfeksi. Pencegahan replikasi virus dilakukan melalui pengikatan IFN pada reseptor permukaan membran sel dan mengaktifkan gen-gen pengkode protein yang menghalangi replikasi virus. Ekspresi gen pengkode IFN terjadi melalui sistem transduksi sinyal jalur Janus Kinase-Signal Tranducer and Activator of Transcription (JAK-STAT). Rangsangan penginduksi IFN (virus, bakteri atau mitogen lain) akan memicu sel untuk mengaktifkan gen IFN. Protein IFN kemudian disekresikan oleh sel dan mengenali reseptor pada membran sel disekitarnya. IFN kemudian memperingatkan sel disekitarnya sehingga menyebabkan sel-sel tersebut melepaskan protein-protein dan messenger lain yang mengganggu produksi protein untuk perakitan virus baru (Highleyman 2007). Mekanisme peringatan tersebut terjadi ketika IFN dengan segera terikat
6 pada reseptor spesifik yang terletak di permukaan sel yang tidak terinfeksi. Ikatan tersebut mengaktifkan 2 macam enzim, yaitu: protein kinase yang membantu fosforilasi dua macam protein alfa 1 dan alfa 2. Kedua protein tersebut yang menghambat sintesis protein virus. Enzim kedua adalah 2’,5’ oligoadenylate (2’, 5’ A) sintetase yang membentuk oligonukleotida rantai pendek. Oligonukleotida ini selanjutnya merangsang enzim yang dapat mendegradasi materi genetik virus, misalnya ribonuklease yang menyebabkan degradasi RNA virus (Sangfelt et al. 2000). Aktivitas Imunomodulator IFN terlibat dalam sistem imun tubuh melalui beberapa mekanisme, yaitu: 1). meningkatkan fagositosis makrofag dan daya sitotoksik sel Natural Killer (NK). 2). meningkatkan ekspresi Human Leukocyte Antigen (HLA) pada permukaan sel yang terinfeksi oleh virus, sehingga memungkinkan sel limfosit T sitotoksik dan sel NK lebih mudah mengenali dan menghancurkan sel yang terinfeksi. HLA merupakan istilah yang digunakan bagi Major Histocompatibility Complex (MHC) pada manusia. 3). terlibat dalam lymphokine cascade dan produksi interleukin 1 dan 2 (Highleyman 2007). Aktivitas Anti Proliferasi Aktivitas antiproliferasi IFN terjadi secara langsung dan tidak langsung. Aktivitas anti proliferasi secara langsung terjadi melalui penghambatan pertumbuhan sel kanker dengan cara cell cycle arrest, apoptosis atau diferensiasi. Aktivitas antiproliferasi secara tidak langsung terjadi melalui aktivasi sel-sel imun, misalnya sel T, sel NK, inhibisi vaskularisasi (antiangiogenesis) dan induksi sitokin. Aktivitas antiproliferasi adalah hasil dari regulasi ekspresi gen yang dimulai dengan jalur transduksi sinyal dan aktivasi transkripsi JAK-STAT (Barr et al. 2008). Jalur JAK-STAT diawali dengan pengikatan IFN pada reseptor di permukaan sel. JAK merupakan enzim tirosin kinase dan mengaktifkan STAT yang merupakan enzim tirosin fosforilasi. Famili STAT terdiri atas tujuh protein, yaitu STAT-1, STAT-2, STAT-3, STAT-4, STAT-5a, STAT-5b dan STAT-6. Sedangkan famili JAK terdiri atas empat protein, yaitu JAK-1, JAK-2, JAK-3 dan tirosin kinase-2 (TYK-2). JAK-1 dan TYK-2 diaktivasi oleh IFN-α yang menyebabkan reaksi fosforilasi dan dimerisasi. STAT-1 (P91) dan STAT-2 (P113) ditranslokasikan oleh Interferon Regulating Factor-9 (IRF-9) ke dalam inti sel (Gambar 1). Protein kompleks yang diketahui sebagai Interferon Stimulated Gene Factor-3 (ISGE-3) dapat mengaktifkan Interferon Stimulating Respone Element (ISRE). Fosforilasi 2 subunit STAT-1 membentuk faktor aktivasi-α yang akan berikatan dengan Gamma Activator Sequence (GAS). Kondisi ini akan menginduksi ratusan Interferon Stimulating Genes (ISG) yang berperan dalam mekanisme antiproliferasi (Samuel 2001; Gao et al. 2004; Ningrum 2014). Jalur JAK-STAT berhubungan dengan jalur Mitogen Activated Protein Kinase (MAPK) dalam proses proliferasi sel. Jalur MAPK berperan dalam proses proliferasi, diferensiasi, pertahanan dan apoptosis sel. IFN mencegah transduksi sinyal Extracellular-signal Regulated Kinase (ERK) dan Mitogen ERK Kinase (MEK). Penghambatan jalur tersebut dapat mencegah siklus pembelahan sel kanker dari fase G0/ G1 menuju fase S. Kondisi tersebut menyebabkan sel kanker tidak dapat melakukan replikasi DNA dan proliferasi tidak terjadi. Selain itu IFN
7 juga menginduksi Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan melepaskan sitokrom c dari mitokondria (Gambar 2). Jalur tersebut mengaktifkan sinyal caspase-cascade yang menyebabkan fragmentasi DNA dan kematian sel (Steelman et al. 2004; Ningrum 2014).
Gambar 1. Penghantaran sinyal hIFNα-2b melalui jalur JAK-STAT (Ningrum 2014).
Gambar 2. Mekanisme molekuler hIFNα-2b sebagai anti kanker (Ningrum 2014).
8 Gen ifn dari beberapa spesies (tikus, sapi dan manusia) telah dikloning namun hanya gen ifn dari manusia (hifn) yang telah banyak diketahui. Pada genom manusia terdapat 13 gen hifn-α dan 6 pseudogen dengan homologi sekuen nukleotidanya berkisar antara 85-95% (Lawn et al. 1981). Gen hifn-α berkelompok pada kromosom manusia nomor 9 dan tidak mengandung sekuen intron. Lokus gen hifn-α2 terdiri atas tiga allelik, yaitu hifn-α2a, hIFNα-2b dan hifn-α2c. Hasil dari ekspresi gen hifn-α adalah suatu polipeptida yang tersusun atas 166 asam amino (kecuali IFN-α2, mempunyai 165 asam amino karena mengalami delesi pada posisi asam amino 44) dan 23 asam amino peptida signal yang bersifat hidrofobik (Ceaglio et al. 2010). Protein IFN-α merupakan bentuk monomer dan termasuk kelompok IFN tipe 1. Protein tersebut mempunyai berat molekul antara 19-26 kDa. Kelompok protein IFN-α merupakan kelas yang paling dominan dari IFN lain yang dihasilkan oleh leukosit darah yang terstimulasi. Pada umumnya IFN-α tidak memiliki rantai samping karbohidrat, namun ada beberapa kelompok yang merupakan golongan glikoprotein dengan derajat glikosilasi berbeda. hIFN-α2 merupakan salah satu contoh glikoprotein yang memiliki glikosilasi O pada asam amino treonin posisi ke-106 (Gunther et al. 1991; Ningrum 2014).
Gambar 3. Model struktur molekuler protein hIFNα-2b (Wang et al. 2002). hIFNα-2b memiliki empat residu sistein yang membentuk 2 jembatan disulfida pada hIFN-α2b. Ikatan disulfida ini terjadi antara sistein 1 dengan sistein 98 dan sistein 29 dengan sistein 138 (Bae et al. 1995). Model struktur molekuler hIFNα-2b dapat dilihat pada Gambar 3. Struktur IFN-α2b hampir mirip dengan IFN-α2a, perbedaannya hanya terletak pada asam amino nomor 23. Asam amino nomor 23 pada IFN-α2b adalah lisin (K), sedangkan pada IFNα-2a adalah arginin (R) (Klaus et al. 1997).
9 Stabilitas Protein Terapeutik dan Faktor yang Mempengaruhi Protein merupakan makromolekul penyusun tubuh terbesar kedua setelah air. Fakta ini menunjukkan bahwa protein merupakan molekul penting yang menompang seluruh proses kehidupan dalam tubuh (Witarto 2001). Sifat-sifat penting protein dalam kehidupan telah mendorong aplikasi protein dalam berbagai sektor seperti industri, lingkungan, dunia kedokteran dan farmasi. Eksplorasi protein dalam dunia kedokteran dan farmasi salah satunya berkenaan dengan produksi berbagai jenis protein terapeutik (Morrow 2010). Namun dalam pengembangan protein terapeutik masih menghadapi beberapa kendala, diantaranya adalah kualitas protein yang tersedia secara alami cukup rendah serta karakter yang dimiliki protein hanya bertahan pada kondisi normal (Wang 1999). Keadaan tersebut mendorong upaya untuk meningkatkan sifat protein sesuai dengan kebutuhan. Salah satu sifat protein yang paling banyak mendapat perhatian adalah stabilitas protein. Studi mengenai stabilitas protein terapeutik umumnya diutamakan pada fenomena ketidakstabilan fisik dan kimia (Chi et al. 2003). Ketidakstabilan fisik umumnya meliputi reaksi denaturasi, aggregasi, presipitasi, dan tegangan permukaan. Fenomena denaturasi ditandai dengan berubahnya stuktur globular atau struktur tiga dimensi suatu protein. Struktur globular umumnya merupakan struktur native protein. Denaturasi dapat merubah bentuk fisik protein, tetapi komposisi kimianya tetap sama. Denaturasi dapat melibatkan perubahan struktur sekunder dan tersier protein (atau keduanya). Denaturasi dapat terjadi karena pemanasan protein pada suhu yang tinggi dan umumnya bersifat irreversible. Fenomena aggregasi dapat terjadi karena adanya perubahan pelipatan protein selama proses preparasi, formulasi, freeze-thawing, transportasi dan penyimpanan. Perubahan pelipatan protein dapat memungkinkan gugus hidrofobik protein terbuka dan dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Gugus hidrofobik yang terbuka dapat berinteraksi dengan gugus hidrofobik protein lain atau sesamanya (Diress et al. 2010). Faktor lingkungan yang dapat memacu terjadinya aggregasi meliputi proses dehidrasi, perubahan kondisi pH lingkungan, perubahan atau kenaikan suhu lingkungan serta penyimpanan protein dalam jangka panjang. Presipitasi atau pembentukan endapan protein merupakan salah satu faktor penyebab ketidakstabilan fisik protein. Presipitasi dapat terjadi karena protein dalam keadaan unfolded sehingga tidak mudah larut. Kondisi tersebut menyebabkan protein cenderung membentuk endapan dan umumnya bersifat irreversible. Tegangan permukan protein juga berpengaruh pada kestabilan fisik protein. Ketika protein dalam kondisi unfolded, maka tegangan permukaan protein semakin besar. Kondisi tersebut semakin memacu terbentuknya aggregat-aggregat protein (Manning et al. 2010). Ketidakstabilan kimia dapat terjadi karena adanya degradasi kimia yang meliputi proses deaminasi, oksidasi, hidrolisis, pemutusan atau perubahan ikatan disulfida, serta pembentukan ikatan non disulfida. Deaminasi merupakan proses penghilangan gugus amida pada beberapa asam amino penyusun protein. Penghilangan gugus amida pada asam amino merupakan salah satu jalur degradasi kimia protein. Gugus amida dibebaskan sebagai amoniak. Proses terjadinya deaminasi dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, diantaranya pH, temperatur dan kekuatan ion. Deaminasi asam amino umumnya diikuti dengan
10 reaksi hidrolisis atau dikenal sebagai reaksi deaminasi hidrolitik. Reaksi oksidasi juga merupakan penyebab ketidakstabilan kimia suatu protein. Beberapa protein yang tersusun atas asam amino histidin, metionin, sistein, tirosin dan triptofan dapat mengalami kerusakan karena bereaksi dengan reactive oxygen species (ROS) (Davies 2005). Reaksi oksidasi pada gugus reaktif protein dapat terjadi selama proses produksi protein, purifikasi, formulasi dan penyimpanan (Bertolotti-Chiarlet et al 2009). Asam amino sistein berperan signifikan pada proses terjadinya aggregat protein melalui pembentukan ikatan kovalen. Degradasi sistein berpengaruh pada perubahan konformasi protein, terutama ketika pembentukan atau perubahan ikatan disulfida protein. Isomerisasi asam amino juga merupakan faktor penyebab ketidakstabilan kimia suatu protein. Perubahan suatu asam amino menjadi bentuk isomernya dapat menyebabkan ketidakstabilan protein. Beberapa isomer asam amino cenderung tidak stabil dan mudah mengalami hidrolisis. Protein dapat membentuk dimer atau polimer melalui ikatan non disulfida. Pembentukan ikatan non disulfida tersebut terjadi melalui proses transaminasi dan sangat dipengaruhi kondisi pH lingkungan. Pembentukan ikatan non disufida secara signifikan dapat memacu terjadinya aggregasi protein (Wang 1999).
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Oktober 2014 hingga April 2015 yang bertempat di laboraturium Protein Terapeutik dan Vaksin Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong Science Center (CSC).
Prosedur Kerja Overproduksi rhIFNα-2b pada Sel P. pastoris Koloni tunggal P. pastoris X-33 (Ningrum et al. 2013) dari media YPDS (1% yeast ekstrak, 2% pepton, 2% dextrose, 1 M sorbitol, 2% agar, 2000 µg zeocin) (Merck, Jerman) ditumbuhkan dalam 50 ml media BMGY (1% yeast ekstrak, 2% pepton, 100 mM potassium fosfat pH 6, 1.34% yeast nitrogen base, 4 x 10-5% biotin, 1% gliserol) (Merck, Jerman) pada suhu 30 °C dengan kecepatan 250 rpm hingga mencapai OD600 = 2-6. Pemanenan sel dilakukan melalui proses sentrifugasi dengan kecepatan 1500 x g selama 5 menit pada suhu ruang. Pelet kemudian diresuspensi ke dalam 100 ml media BMMY (1% yeast ekstrak, 2% pepton, 100 mM potassium fosfat pH 6, 1.34% yeast nitrogen base, 4 x 10-5% biotin, 2% gliserol) (Merck, Jerman). Kultur kemudian ditumbuhkan pada suhu 30 °C dengan kecepatan 250 rpm. Proses induksi dilakukan pada jam ke-24 melalui penambahan 100% metanol dengan konsentrasi akhir 2% (Merck, Jerman) ke dalam kultur (Herawati et al. 2014). Supernatan dan pelet dipisahkan setelah jam ke-48 jam melalui proses sentrifugasi dengan kecepatan 1500 x g
11 selama 5 menit pada suhu ruang. Supernatan ditambahkan dengan 1 mM Phenyl Methyl Sulfonyl Fluoride (PMSF) (Sigma, USA) lalu disimpan pada suhu -20 °C. Filtrasi, Purifikasi dan Kuantifikasi rhIFN-α2b MinimateTM tangensial flow filtration system (Pall, USA) dengan Molecular Weight Cut Off (MWCO) 5 kDa digunakan pada proses filtrasi protein. Supernatan dipekatkan dari volume 100 mL menjadi 10 mL. Fraksi yang telah dipekatkan kemudian dipurifikasi dengan AKTA purifier 10 system (GE Healthcare, Swedia) menggunakan kolom His-trap. Larutan yang mengandung 20 mM sodium fosfat, 20 mM imidazol dan 500 mM sodium klorida digunakan sebagai binding buffer sedangkan 20 mM sodium fosfat, 500 mM imidazol dan 500 mM sodium klorida digunakan sebagai elution buffer (Merck, Jerman). Protein hasil purifikasi dihitung konsentrasinya menggunakan bicinchoninic acid assay (BCA protein assay kit) (Pierce, USA) dengan berbagai konsentrasi bovin serum albumin (25-2000 µg/ml) sebagai standar. Absorbansi sampel protein diukur pada panjang gelombang 562 nm. Karakterisasi rhIFN-α2b Gel poliakrilamid (Bio-Rad, USA) yang tersusun atas separating gel (12%) dan stacking gel (4%) digunakan pada analisis SDS-PAGE. Coomassie brilliant blue (Bio-Rad, USA) digunakan sebagai pewarna gel poliakrilamid. Antibodi primer (anti interferon-α mouse mAb) (Calbiochem, USA) dengan nisbah 1:100, antibodi sekunder (anti-mouse IgG alkaline phosphatase conjugate) (Promega, USA) dengan nisbah 1:7500 dan reagen nitro blue tetrazolium-(5-bromo-4chloro-3-indolyl-phosphate) (NBT-BCIP) (Invitrogen, USA) digunakan pada analisis Western Blot. Karakterisasi identitas protein dilakukan melalui penentuan urutan asam amino berbasis analisis spektrometri massa MALDI-TOF/ TOF (Proteomic International, Australia). Uji Stabilitas rhIFN-α2b Uji stabilitas protein dilakukan pada 3 parameter, yaitu kenaikan suhu, variasi pH dan kondisi lama penyimpanan. Stok rhIFNα-2b tanpa perlakuan digunakan sebagai kontrol. Pengujian kenaikan suhu dilakukan melalui proses inkubasi sampel protein selama 3 hari pada suhu 30 °C, 40 °C, 50 °C, 60 °C dan 70 °C. Pengujian variasi pH dilakukan melalui proses inkubasi sampel protein selama 3 hari dalam 50 mM dapar fosfat (Merck, Jerman) pada pH 4, 5, 6, 7 dan 8. Pengujian kondisi lama penyimpanan dilakukan melalui proses inkubasi sampel protein dalam dapar fosfat (pH 7) (Merck, Jerman) pada suhu 4 °C, 25 °C, dan 37 °C selama 20 hari dengan titik sampling setiap 2 hari. Fraksi-fraksi protein hasil pengujian stabilitas diamati profil protein menggunakan analisis SDS-PAGE non reducing serta aktifitas anti proliferasinya menggunakan uji MTT. Stabilitas profil protein juga ditentukan berdasarkan luas area pita utama rhIFNα-2b menggunakan software Image J. Uji Aktifitas Anti Proliferasi rhIFNα-2b pada Sel MCF-7 Sel kanker payudara manusia MCF-7 yang digunakan merupakan koleksi Laboratorium Protein Terapeutik dan Vaksin, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong, Bogor. Sel yang telah ditumbuhkan pada plate 96 sumuran dicuci
12 dengan 100 µL Phosphate Buffer Saline (PBS) (Merck, Jerman). Media komplit 100 µL (95% Dulbecco’s Modified Eagle Medium [DMEM] [Gibco, USA], 5% Fetal Bovine Serum [FBS] [Gibco, USA] dan 1% penisilin/streptomisin [Sigma, USA]) yang mengandung 1 µM tamoxifen (Merck, Jerman) ditambahkan pada tiap sumuran kecuali blanko dan kontrol negatif. Kultur kemudian diinkubasi selama semalam. Kultur selanjutnya dicuci dengan 100 µL PBS. Media komplit 100 µL yang mengandung fraksi rhIFNα-2b (4 µg/mL) hasil pengujian stabilitas ditambahkan pada sumuran perlakuan. Stok rhIFNα-2b tanpa perlakuan digunakan sebagai kontrol. Kultur kemudian diinkubasi 5 hari. Kultur selanjutnya dicuci dengan 100 µL PBS. Media komplit 100 µL yang mengandung 5 mg/mL MTT (Invitrogen, USA) ditambahkan pada tiap sumuran. Kultur selanjutnya diinkubasi 3 jam. Penghentian reaksi dilakukan dengan penambahan 100 µl SDS 10% dalam 0.01 M HCl (Merck, Jerman) pada tiap sumuran lalu suspensi diinkubasi selama semalam (Ningrum et al. 2015). Formazan yang terlarut diukur pada panjang gelombang 570 nm. Nilai viabilitas sel dan persentase penghambatan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Viabilitas Sel (%) =
rata-rata absorbansi sel uji - rata-rata absorbansi blanko rata-rata absorbansi kontrol negatif - rata-rata absorbansi blanko
Persentase Penghambatan (%) =
100% - Viabilitas Sel (%)
Analisis Statistik Analisis ragam (analysis of variance) data pengujian aktivitas anti proliferasi pada semua perlakuan diolah menggunakan aplikasi SPSS versi 21.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Overproduksi rhIFNα-2b pada P. pastoris Proses overproduksi rhIFNα-2b menggunakan sistem ekspresi P. pastoris terdiri atas dua tahapan utama yaitu diawali dengan peningkatan biomassa P. pastoris kemudian dilanjutkan dengan sistem induksi ekspresi rhIFN-α2b. Peningkatan biomassa P. pastoris dilakukan pada media BMGY. Sumber karbon utama pada media tersebut adalah gliserol. Gliserol merupakan sumber karbon yang bersifat represi terhadap kerja promoter aox1 yang meregulasi proses ekspresi protein, sehingga aliran karbon akan terakumulasi untuk peningkatan biomassa saja (Cereghino & Cregg 2000; Fickers 2014). Tahapan kedua adalah sistem induksi ekspresi rhIFNα-2b pada media BMMY. Sumber karbon pada media tersebut adalah metanol. P. pastoris merupakan kelompok yeast metilotropik yang dapat menggunakan metanol sebagai sumber karbon dan energi (Krainer et al. 2012). P. pastoris strain X-33 dengan fenotip Mut+ (methanol utilization plus) digunakan sebagai sistem ekspresi untuk memproduksi rhIFN-α2b. Strain tersebut tumbuh cepat pada media yang mengandung metanol dan memproduksi protein rekombinan dengan jumlah yang
x 100%
13 tinggi (Kim et al. 2009). P. pastoris sangat responsif terhadap metanol namun sensitif pada konsentrasi tinggi. Konsentrasi metanol yang tinggi bersifat toksik dan menghambat pertumbuhan P. pastoris sedangkan konsentrasi metanol yang rendah tidak mampu menginisiasi proses transkripsi (Poutou-Pinales et al. 2010), sehingga regulasi penambahan metanol ke dalam media ekspresi menentukan efisiensi produksi protein rekombinan. Herawati et al. (2014) menyebutkan bahwa metanol dengan konsentrasi 2% merupakan konsentrasi terbaik untuk menginduksi overproduksi rhIFNα-2b pada P. pastoris X-33. Sistem induksi pada proses overproduksi rhIFNα-2b berkaitan dengan biosintesis enzim alcohol oxidase (AOX) di dalam sel P. pastoris. P. pastoris memproduksi AOX sebagai respon terhadap keberadaan metanol pada media pertumbuhan. AOX merupakan enzim pertama yang bekerja pada jalur oksidasi metanol (Jin et al. 2011). Metanol tidak hanya sebagai sumber karbon dan energi namun juga bertindak sebagai induser kerja dari promoter aox1. Keberadaan metanol dalam media pertumbuhan menyebabkan akumulasi enzim AOX meningkat (Cos et al. 2006). Kerangka baca terbuka gen pengkode hIFNα-2b diletakkan pada sisi downstream dari promoter aox1 sehingga dapat mengekspresikan rhIFNα-2b dengan yield yang meningkat. Ekspresi rhIFNα-2b pada sel P. pastoris menggunakan promoter aox1 (Ningrum et al. 2013). Promoter aox1 dipakai sebagai regulator dalam proses ekspresi rhIFNα-2b karena memiliki beberapa kelebihan. Penggunaan promoter aox1 menunjukkan tingkat ekspresi protein rekombinan dalam jumlah yang tinggi. Promoter aox1 merupakan promoter indusibel yang mudah diregulasi melalui sistem induksi metanol (Hartner et al. 2008). Metanol adalah induser dengan struktur kimia sederhana dan mudah dimetabolisme oleh P. pastoris. Selain itu metanol merupakan induser yang relatif murah. Beberapa promoter alternatif telah digunakan dalam sistem ekspresi protein rekombinan yang diproduksi pada P. pastoris, misalnya promoter gap, fld1, pex8 dan ypt1. Promoter gap merupakan promoter konstitutif yang meregulasi secara kontinu ekspresi protein rekombinan. Pada kasus tertentu promoter gap bukan merupakan pilihan yang tepat terutama ketika memproduksi protein rekombinan yang bersifat toksin bagi P. pastoris. Promoter fld1, pex8 dan ypt1 merupakan promoter indusibel yang memerlukan induser lebih kompleks dibandingkan dengan promoter aox (Cereghino & Cregg 2000). P. pastoris mampu mengekspresikan protein secara intraseluler maupun ekstraseluler. Ekspresi rhIFNα-2b pada penelitian ini terjadi secara ekstraseluler. Hal ini karena pada sekuen asam amino rhIFNα-2b terdapat sinyal peptida faktor α-prepo yang mengarahkan rhIFNα-2b disekresikan keluar sel P. pastoris (Ningrum et al. 2013). Beberapa penelitian memakai sinyal peptida yang berbeda untuk mensekresikan protein rekombinan ke luar sel P. pastoris. Ghosalkar et al. (2008) menyebutkan bahwa faktor α-prepo merupakan sinyal peptida yang efisien membantu sekresi rhIFNα-2b keluar sel P. pastoris. P. pastoris juga mampu melakukan modifikasi pascatraslasi, misalnya proses glikosilasi dan pembentukan ikatan disulfida. P. pastoris dapat membentuk O-glikosilasi dan N-glikosilasi pada protein yang diekspresikan. Pola Oglikosilasi terangkai pada gugus hidroksil serin dan treonin (Macauley-Patrick et al 2005). Pola glikosilasi yang tepat sangat berpengaruh pada aktifitas biologis protein rekombinan, khususnya protein terapeutik (Li et al. 2009). Pola glikosilasi
14 rhIFNα-2b adalah O-glikosilasi pada treonin di posisi ke-106 (Ningrum et al. 2013). Kemampuan P. pastoris membentuk O-glikosilasi dapat meningkatkan waktu paruh aktivitas rhIFN-α2b. Berbeda dengan sistem ekspresi lain yang memiliki kekurangan dalam pembentukan pola glikosilasi, misalnya pada E. coli dan S. cerevisiae. Sistem ekspresi E. coli tidak mampu membentuk pola glikosilasi sehingga menyebabkan waktu paruh aktivitas protein terapeutik menjadi lebih singkat. S. sereviceae mengekspresikan protein rekombinan dengan pola hiperglikosilasi. Hal ini dapat memacu efek imunogenik yang berlebihan (Cereghino & Cregg 2000). Macauley-Patrick et al. (2005) juga menyebutkan bahwa sistem eskpresi P. pastoris telah sukses memproduksi protein dengan pola ikatan disulfida. Pola ikatan disulfida rhIFNα-2b terjadi pada sistein 29 ke sistein 138 dan sistein 1 ke sistein 98 (Bae et al. 1995). Ikatan disulfida pada sistein 29 ke sistein 138 penting untuk aktivitas biologi rhIFN-α2b, sedangkan ikatan pada sistein 1 ke sistein 98 tidak berpengaruh pada aktivitas biologinya (Morehead et al. 1984).
Filtrasi, Purifikasi dan Kuantifikasi rhIFN-α2b Filtrasi supernatan bebas sel dilakukan menggunakan prinsip kerja Tangensial Flow Filtration (TFF). Supernatan digerakkan oleh pompa peristaltik melewati membran filter 5 MWCO. Sampel yang dapat melewati membran filter (disebut fraksi filtrate) merupakan protein dan senyawa lain dengan bobot molekul dibawah ukuran 5 MWCO, sedangkan protein yang tidak lolos dan tertampung dalam kontainer (disebut fraksi retentate) merupakan sampel yang mengandung protein dan senyawa lain dengan bobot molekul diatas ukuran 5 kemudian MWCO sehingga supernatan semakin pekat. Fraksi retentate dipurifikasi menggunakan kolom Ni-NTA yang berbasis interaksi antara ion nikel dengan polihistidin tag yang ada pada ujung C-terminal rhIFN-α2b. Sejumlah histidin bertindak sebagai donor elektron dan dapat berikatan dengan ion logam seperti ion tembaga, nikel, seng dan kobalt. Metode purifikasi ini disebut sebagai Metal-Chelate Affinity Chromatography atau Immobilized Metal Affinity Chromatography (Porath 1988). Kuantifikasi protein yang telah dipurifikasi menunjukkan konsentrasi yield protein yaitu 10.92 mg/L (pada OD600 = 2.3). Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan yield yang diperoleh dengan menggunakan sistem ekspresi lain, misalnya sel tembakau BY2 (0.02 mg/L) (Xu et al. 2007), S. lividans (0.1 mg/L) (Pimienta et al. 2002) dan sel telur unggas transgenik (2 mg/L) (Rapp et al. 2003). Hal ini menunjukkan bahwa overproduksi rhIFNα-2b menggunakan sistem ekspresi P. pastoris telah berhasil dilakukan. Sistem ekspresi lain dapat memproduksi rhIFNα-2b dengan yield yang lebih tinggi namun memiliki beberapa kelemahan. E. coli menghasilkan yield 3000 mg/L (Srivastava et al. 2007), namun rhIFNα-2b yang diproduksi tidak mengalami glikosilasi dan membutuhkan proses refolding. Refolding dapat mengurangi aktifitas biologis rhIFNα-2b dan tidak adanya glikosilasi menyebabkan waktu paruh aktivitas rhIFNα-2b menjadi lebih singkat. S. cerevisiae menghasilkan yield 15 mg/L (Tuite et al. 1982), namun rhIFNα-2b yang diproduksi cenderung mengalami proses hiperglikosilasi dan dapat menimbulkan efek imunogenik. Sel mamalia HEK292
15 menghasilkan yield 200 mg/L (Loigon et al 2008) dan sel myeloma NSo menghasilkan yield 120 mg/L (Rossmann et al. 1996), namun sistem ekspresi sel mamalia memerlukan biaya produksi yang mahal, waktu produksi yang lama serta kesulitan pada proses scale up dan purifikasi protein (Li et al. 2012).
Karakterisasi rhIFN-α2b Analisis profil protein supernatan bebas sel menunjukkan beberapa pita protein dengan bobot molekul yang berbeda-beda (Gambar 4 A). Pita protein yang nampak tersebut merupakan protein-protein yang disekresikan P. pastoris selama proses overproduksi berlangsung. Karakterisasi bobot molekul protein hasil filtrasi dan purifikasi dilakukan dengan analisis SDS-PAGE dan Western Blot. Hasil karakterisasi tersebut menujukkan bahwa rhIFNα-2b memiliki bobot molekul sekitar 24 kDa (Gambar 4 B dan 4 C) sedangkan bobot molekul native hIFNα-2b adalah 21.5 kDa. Perbedaan bobot molekul tersebut disebabkan karena tambahan fragmen His-tag dan epitop c-myc yang terletak pada ujung C-terminal rhIFNα-2b (Ningrum et al. 2013). Fragmen His-tag membantu proses purifikasi fusi protein rekombinan pada resin pengikat yang mengandung logam. Fragmen epitop c-myc membantu proses deteksi fusi protein rekombinan spesifik dengan menggunakan antibodi Anti-myc atau antibodi Anti-myc-HRP (Invitrogen 2001).
Gambar 4. Visualisasi (A) SDS-PAGE supernatan bebas sel, (B) SDS-PAGE supernatan hasil filtrasi dan purifikasi (C) Western Blot supernatan hasil filtrasi dan purifikasi menggunakan antibodi anti interferon-α mouse; M = marka standar protein (Thermo Scientific, USA).
Karakterisasi identitas protein menggunakan spektrometri massa MALDITOF/ TOF menunjukkan adanya tiga fragmen peptida (warna hitam) yang cocok dengan sekuen hIFNα-2b, yaitu R.TLMLLAQMR.K; K.EDSILAVR.K; R.SFSLSTNLQESLR.S (Gambar 5). Ketiga fragmen peptida tersebut mewakili 36 residu asam amino atau 22% dari keseluruhan sekuen asam amino hIFNα-2b. Pembacaan sekuen asam amino yang rendah ini dapat disebabkan karena adanya pengotor pada sampel protein yang dapat menganggu proses pemotongan fragmen peptida sehingga pembacaan sekuen asam amino menjadi kurang tepat. Kemurnian sampel protein merupakan faktor yang sangat mempengaruhi hasil MALDI-TOF/ TOF (Egelhofer 2002).
16
CDLPQTHSLGSRRTLMLLAQMRKISLFSCLKDRHDFGFPQEEF GNQFQKAETIVLHEMIQQIFNLFSTKDSSAAWDETLLDKFYTE LYQQLNDLEACVIQGVGVTETPLMKEDSILAVRKYFQRITLYL KEKKYSPCAWEVVRAEIMRSFSLSTNLQESLRSKE Gambar 5. Hasil penentuan sekuen asam amino rhIFNα-2b menggunakan analisis MALDI-TOF/ TOF spektrometri massa (Proteomic International, Australia).
Uji Stabilitas rhIFN-α2b Uji stabilitas dilakukan untuk mengetahui rentang suhu, pH dan lama penyimpanan yang memungkinkan rhIFNα-2b pada keadaan stabil. Kondisi stres lingkungan, misalnya kenaikan suhu, variasi pH dan lama penyimpanan dapat memberikan informasi mengenai stabilitas suatu produk biofarmasetika (Diress et al. 2010). Kestabilan rhIFNα-2b dievaluasi berdasarkan profil protein dan aktifitas anti proliferasinya terhadap sel MCF-7. Analisis profil protein pada penelitian ini berbasis SDS-PAGE non reducing. Kondisi non reducing dinilai lebih representatif dalam menunjukkan laju aggregasi dan degradasi suatu protein. Ruiz et al. (2006) juga menyebutkan bahwa penentuan laju aggregasi rhIFNα-2b dibawah kondisi reducing lebih rendah dibandingkan dengan kondisi non reducing. Gambar 6 A menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan kontrol, profil rhIFNα-2b pada kondisi suhu inkubasi 40 °C, 50 °C, 60 °C dan 70 °C terlihat mengalami aggregasi. Kenaikan suhu dapat menyebabkan protein dalam kondisi unfolding sehingga gugus hidrofobiknya terbuka bebas dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Kondisi tersebut dapat memacu terbentuknya aggregataggregat protein (Diress et al. 2010). Wang et al. (2010) juga menyebutkan bahwa terbentuknya aggregat protein pada kondisi kenaikan suhu karena adanya peningkatan tumbukan dan interaksi antara gugus-gugus hidrofobik suatu protein. Gambar 6 A juga menunjukkan bahwa profil rhIFNα-2b pada suhu inkubasi 30 °C terlihat mengalami degradasi. Hal ini dapat terjadi karena aktifitas protease yang memutus sekuen asam amino. Protease tersebut kemungkinan merupakan native protease yang disekresikan P. pastoris, misalnya aminopeptidase yang aktif pada suhu 25 °C sampai 30 °C (Sinha et al. 2004). Degradasi dapat terjadi ketika aminopeptidase yang disekresikan P.pastoris bercampur bersama rhIFNα-2b pada media ekspresi. Adanya aggregasi dan degradasi pada kondisi kenaikan suhu didukung dengan analisis software Image J (Gambar 7 A). Grafik tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas area pita utama rhIFNα-2b pada kondisi kenaikan suhu jika dibandingkan dengan kontrol. Hasil analisis software Image J mengindikasikan bahwa kenaikan suhu dapat mempengaruhi stabilitas rhIFN-α2b. Gambar 6 B menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan kontrol, profil rhIFNα-2b pada kondisi inkubasi pH 4, 5, 6 dan 8 terlihat mengalami aggregasi dan degradasi, namun profil rhIFNα-2b pada pH 7 hanya terlihat mengalami aggregasi saja. Degradasi protein dapat terjadi akibat aktivitas protease yang aktif pada kondisi pH tertentu. Protease dapat lolos pada tahap purifikasi protein karena
17 memiliki kemiripan sifat fisikokimia dan karekteristik afinitas dengan suatu protein rekombinan sehingga menjadi kontaminan (Macauley-Patrick et al. 2005). P. pastoris dapat menghasilkan beberapa jenis protease, diantaranya adalah proteinase A, proteinase B, karboksil peptidase dan amino peptidase (Sinha et al., 2004). Degradasi rhIFNα-2b pada pH 4, 5 dan 6 dapat disebabkan karena aktivitas acidic protease yang aktif pada pH asam, misalnya proteinase A. Degradasi rhIFNα-2b pada pH 8 dapat disebabkan karena aktivitas alkaline protease yang aktif bekerja pada pH basa, misalnya proteinase B (Zhang et al. 2007). Kedua jenis protease tersebut juga disekresikan oleh P. pastoris ke media ekspresi dan bercampur dengan rhIFN-α2b. Hal ini dapat memungkinkan terjadinya degradasi rhIFNα-2b akibat adanya aktivitas protease tersebut. Aggregasi dapat terjadi karena pengaruh sistem dapar yang digunakan pada proses preservasi protein (Ruiz et al. 2006). Kestabilan protein terjadi ketika muatan negatif pada sistem dapar berinteraksi dengan kelompok asam amino bermuatan positif, begitu juga sebaliknya. Dapar sodium fosfat mengandung ionion fosfat bermuatan negatif yang seharusnya dapat menstabilkan konformasi rhIFN-α2b. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan kontrol, profil rhIFNα-2b pada kondisi pH yang bervariasi terlihat mengalami aggregasi (Gambar 6 B). Hal ini dapat disebabkan karena kontaminasi ion-ion metal (Fe2+, Ca2+, Cu2+, Mg2+ dan Zn2+) dari dapar garam yang dipakai sebagai eluate buffer pada proses purifikasi protein. Ion-ion metal dapat memacu terbentuknya reducing agent. Ion metal, oksigen bersama reducing agent dapat membentuk Reactive Oxygen Species (ROS) yang memacu terjadinya oksidasi protein. Oksidasi protein terutama terjadi pada residu labil asam amino, misalnya sistein, histidin, triptofan, tirosin, prolin, arginin, lisin dan treonin (Wang 1999; Ruiz et al. 2006). Reaksi oksidasi dapat menyebabkan perubahan konformasi protein, misalnya pemutusan ikatan disulfida antar asam amino sistein. Kondisi ini menyebabkan konformasi protein menjadi tidak stabil dan cenderung membentuk aggregat protein (Hermeling et al. 2006). Analisis software Image J digunakan untuk mengkonfirmasi adanya aggregasi dan degradasi pada kondisi pH yang bervariasi (Gambar 7 B). Grafik tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas area pita utama rhIFNα-2b pada kondisi pH yang bervariasi jika dibandingkan dengan kontrol. Hasil analisis software Image J mengindikasikan bahwa kontaminasi ion logam pada sistem dapar fosfat dan adanya aktivitas protease mempengaruhi stabilitas rhIFN-α2b.
Gambar 6. Profil rhIFNα-2b pada kondisi, (A) kenaikan suhu; (B) variasi pH; K = kontrol; M = marka standar protein (Thermo Scientific, USA).
18
Gambar 7. Analisis luas area pita utama rhIFNα-2b menggunakan software Image J pada kondisi; (A) kenaikan suhu; (B) variasi pH; K = kontrol. Periode uji lama penyimpanan dilakukan selama 20 hari mengacu pada waktu paruh aktivitas IFN-α yaitu selama 19 hari (Ruiz et al. 2006). Suhu 4 °C, 25 °C dan 37 °C dipakai pada uji stabilitas rhIFNα-2b terhadap lama penyimpanan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kondisi rhIFNα-2b selama periode penyimpanan pada beberapa suhu yang umumnya dipakai dalam proses preservasi dan formulasi protein terapeutik. Suhu penyimpanan yang tepat sangat penting untuk menjaga stabilitas formulasi protein terapeutik selama periode penyimpanan (Ruiz et al. 2006). Gambar 8 A menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan kontrol, profil rhIFNα-2b pada sampling hari ke-2 cenderung stabil. Gambar 8 B menunjukkan bahwa profil rhIFNα-2b pada sampling hari ke-20 terlihat mengalami aggregasi dan degradasi. Aggregasi tersebut dapat terjadi karena adanya proses oksidasi asam amino labil yang disebabkan kontaminasi ion-ion logam pada sistem dapar fosfat seperti pada penjelasan sebelumnya. Aggregasi nampak lebih jelas pada suhu 25 °C dan 37 °C dari pada suhu 4 °C. Hal ini karena pada suhu 25 °C dan 37 °C rhIFNα-2b cenderung dalam kondisi unfolding dan terjadi peningkatan interaksi bagian hidrofobik protein dengan lingkungan sekitar yang memacu terbentuknya aggregat. Degradasi rhIFNα-2b terjadi pada ketiga suhu penyimpanan, terutama pada suhu 25 °C (Gambar 8 B). Hal ini menunjukkan bahwa protease lebih aktif bekerja pada suhu ruang (sekitar 25 °C). P. pastoris menghasilkan protease yang aktif bekerja pada suhu ruang dan disekresikan ke media pertumbuhan dalam jumlah yang cukup tinggi, misalnya amino peptidase (Sinha et al. 2004). Beberapa kelompok protease sulit dideteksi dan tidak mudah dihilangkan dengan anti protease tertentu (Kobayashi et al. 2000). Anti protease yang digunakan pada penelitian ini yaitu PMSF ternyata tidak mampu menjaga kestabilan rhIFN-α2b, hal ini karena PMSF tidak bersifat universal dan hanya bekerja terhadap serin protease saja (Sinha et al. 2004). Analisis software Image J menunjukkan luas area pita utama rhIFNα-2b tidak mengalami penurunan yang drastis setelah hari ke-2 waktu inkubasi namun pada hari ke-20 waktu inkubasi terjadi penurunan luas area pita utama rhIFNα-2b (Gambar 9 A dan B). Luas area pita utama rhIFNα-2b pada suhu inkubasi 4 °C menurun 15%, pada suhu inkubasi 37 °C menurun 30% dan pada suhu inkubasi 25 °C menurun hingga 40%. Hal tersebut menandakan bahwa rhIFNα-2b lebih stabil pada suhu inkubasi 4 °C dibandingkan pada suhu 25 °C dan 37 °C.
19
Gambar 8. Profil rhIFNα-2b pada, (A) sampling hari ke-2; (B) sampling hari ke-20; K = kontrol; M = marka standar protein (Thermo Scientific, USA).
Gambar 9. Analisis luas area pita utama rhIFNα-2b menggunakan software Image J pada; (A) hari ke-2 dan (B) hari ke-20; K = kontrol. Uji Aktifitas Anti Proliferasi rhIFNα-2b pada Sel MCF-7 Fraksi-fraksi protein hasil pengujian pada parameter kenaikan suhu, variasi pH dan kondisi lama penyimpanan kemudian diuji aktivitasnya terhadap proliferasi sel MCF-7. MCF-7 dipilih sebagai model uji invitro karena IFN-α bersifat responsif dalam menghambat proliferasi sel MCF-7 (Lindner & Borden 1997). Uji aktifitas anti proliferasi rhIFNα-2b pada penelitian ini menggunakan tamoxifen, yaitu obat anti kanker yang bekerja secara sinergis bersama dengan rhIFNα-2b sebagai agen anti proliferasi sel kanker (Jonash & Haluska 2001). Ningrum et al. (2015) menyebutkan bahwa titik Inhibitory Consentration 50% (IC50) dicapai ketika 1 µM tamoxifen dikombinasikan dengan 4 µg/mL rhIFNα2b pada pengujian antiproliferasi sel MCF-7. Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu, pH dan kondisi lama penyimpanan masing-masing memberikan pengaruh yang nyata terhadap penurunan persentase penghambatan proliferasi sel MCF-7 pada taraf nyata 5%. Kenaikan suhu menyebabkan penurunan persentase penghambatan terhadap proliferasi sel MCF-7 sekitar 20% dari titik IC50 (Gambar 10 A). Hal ini menandakan bahwa aktifitas anti proliferasi rhIFNα-2b terhadap sel MCF-7 menurun sekitar 20%. Persentase penghambatan terhadap sel MCF-7 menurun
20 dari titik IC50 pada kondisi pH yang bervariasi (Gambar 10 B). Hal ini juga menandakan bahwa aktifitas anti proliferasi rhIFNα-2b tehadap sel MCF-7 menurun, terutama pada pH asam dan basa. Persentase penghambatan terhadap sel MCF-7 semakin menurun dari titik IC50 selama pengujian lama penyimpanan atau aktifitas anti proliferasi rhIFNα-2b terhadap sel MCF-7 semakin menurun (Gambar 10 C). Aktifitas anti proliferasi yang stabil dicapai pada suhu penyimpanan 4 °C. Laju aggregasi dan degradasi protein pada suhu 4 °C berjalan lebih lambat dibandingkan pada suhu 25 °C dan 37 °C. Hasil ini menunjukkan bahwa aggregasi dan degradasi protein telah menurunkan aktifitas anti proliferasi rhIFNα-2b terhadap sel MCF-7. Sisi aktif dan konformasi rhIFNα-2b bersifat unik dan mudah mengalami perubahan selama preparasi, formulasi dan penyimpanan (Ruiz et al. 2006). Fenomena aggregasi dan degradasi dapat menurunkan jumlah rhIFNα-2b yang aktif. Sejumlah rhIFNα-2b yang tidak aktif diduga karena mengalami perubahan pada sisi aktif dan konformasi rhIFNα-2b akibat adanya aggregasi dan degradasi. Ikatan disulfida merupakan karakteristik khusus yang berperan penting pada sisi aktif dan aktifitas biologis rhIFNα-2b (Diress et al. 2010). Perubahan formasi ikatan disulfida pada sisi aktif dan perubahan konformasi protein menyebabkan penurunan kemampuan biologis rhIFN-α2b, misalnya kemampuan rhIFNα-2b memodulasi pembentukan protein-protein yang berperan dalam mediasi terjadinya apoptosis (PML, PKR, TNF, CD95 dan IRF-1) (Porta et al. 2005). Penurunan kemampuan rhIFNα-2b dalam memodulasi protein-potein tersebut mengakibatkan laju apoptosis sel MCF-7 juga menurun.
Gambar 10. Persentase penghambatan rhIFNα-2b terhadap sel MCF-7 pada kondisi (A) peningkatan temperatur; (B) variasi pH; (C) lama penyimpanan; K = kontrol.
21
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kondisi kenaikan suhu, variasi pH dan lama penyimpanan memacu terjadinya aggregasi dan degradasi rhIFN-α2b. Aggregasi dan degradasi protein dapat menurunkan aktifitas anti proliferasi rhIFNα-2b terhadap sel MCF-7. Kondisi stabil dicapai pada suhu 4 °C, pH 7 selama 2 hari waktu inkubasi.
Saran Perlu adanya penelitian lebih lanjut dalam hal konformasi protein dan analisis ekspresi gen.
DAFTAR PUSTAKA Bae Tae-Ok, Chang Ho-Jin, Kim JH, Park SJ. 1995. Purification and characterization of recombinant human interferon alpha 2a produced from Saccharomyces cerevisiae. J Biochem Mol Biol. 28(6): 477-483. Balamurugan V, Reddy GR, Suryanarayana VVS. 2007. P. pastoris: a notable heterologous expression system for the production of foreign proteinsvaccines. Indian J Biotechnol. 6: 175-186. Barr SD, Smiley JR, Bushman FD. 2008. The interferon response inhibit HIV particle production by induction of TRIM22. PLoS Pathogen. 4(2): 1-11. Bertolotti-Ciarlet A, Wang W, Lownes R, Pristatsky P, Fang Y, McKelvey T. 2009. Impact of methionine oxidation on the binding of human IgG1 to FcRn and Fcy receptors. Mol Immunol. 46: 1878–82. Brannigan JA, Wilkinson AJ. 2002. Protein engineering 20 years on. Nature Rev. Mol. Cell Biol. 3: 964–970. Brown A, Hughes M, Tenner S, Banks PA. 1997. Does pancreatic enzyme supplementation reduce pain in patients with chronic pancreatitis: a metaanalysis. Am. J. Gastroenterol. 92: 2032–2035. Ceaglio N, Etcheverrigaray M, Conradt HS, Grammel N, Kratje R, Oggero M. 2010. Highly glycosylated Human alpha Interferon: an isight into a new therapeutic candidate. J Biotech. 146: 74-83. Cereghino JL, Cregg JM. 2000. Heterologous protein expression in methylotrophic yeast Pichia pastoris. FEMS Microbiol Rev. 24: 45-66. Cherbi-Alix, MK, Wietzerbin J. 2007. Interferon, a growing cytokine: 50 years of interferon research. Biochimie. 89: 713-718. Chi EY, Khrisnan S, Randolph TW, Carpenter JF. 2003. Physical stability of protein in aqueous solution: mechanism and driving forces in non native protein aggregation. Pharmaceutical Research. I20: 1325-1336.
22 Cos O, Ramon R, Montesinos JL and Valero F. 2006. Operational strategies, monitoring and control of heterologous protein production in the methylotropic yeast Pichia pastoris under different promoters: a review. Microbial Cell Factories. 5: 17. Cregg JM, Cereghino L, Shi J, Higgins DR. 2000. Recombinant protein expression in Pichia pastoris. Biotechnol. 11: 905-910. Davies MJ. 2005. The oxidative environment and protein damage. Biochim Biophys Acta. 1703: 93–109. Dimitrov DS. 2012. Therapeutic Protein: Method and Protocols, Methods in Molecular Biology. Springer Sciences. 889: 1-26. Dingermann T. 2008. Recombinant therapeutic proteins: production and challenges. J Biotechnology. 3: 90-97. Diress A, Lorbetskie B, Larocque L, Li X, Alteen M, Isbrucker R, Girard M. 2010. Study of aggregation, denaturation and reduction of interferon alpha-2 products by size-exclusion high-performance liquid chromatography with fluorescence detection and biological assays. J Chromatograph A. 1217: 3297-3306. Dirksen A. 1999. A randomized clinical trial of α (1)-antitrypsin augmentation therapy. Am. J. Respir. Crit. Care Med. 160: 1468–1472. Egelhofer V, Gobom J, Seitz H, Giavalisco P, Lehrach H, Nordhoff E. 2002. Protein identification by MALDI-TOF-MS peptide mapping: a new strategy. Analytical Chemistry. 74: 1760-1771. Fickers P. 2014. Pichia pastoris: a workhorse for recombinant protein production. Curr Res Microbiol Biotechnol. 2(3): 354-363. Gao B, Hong F, and S, Radaeva. 2004. Host factors and failure of interferon-α treatment in hepatitis C virus. Hepatology. 39(4): 880-890. Ghosalkar A, Sahai V, Srivastava A. 2008. Secretory expression of interferonalpha 2b in recombinant P. pastoris using three different secretion signals. Protein Expression and Purification. 60: 103-109. Gow P, Mutimer DJ. 2001. Treatment of chronic hepatitis. Biomedical J. 323: 1164-1167. Gunther RA, Kalsner I, Ahorn H, Fogy IM dan Cantell K. 1991. Natural human interferon-α2 is O-glycosylated. J Biochem. 276: 511-518. Hartner FS, Ruth C, Langenegger D, Johnson SN, Hyka P, Lin-Cereghino GP, Lin-Cereghino J, Kovar K, Cregg JM, Glieder A. 2008. Promoter library designed for fine-tuned gene expression in Pichia pastoris. Nucleic Acid Res. 36(12): 1-15. Herawati N, Santoso A, Ningrum RA. 2014. The effect of non-nutritional factors of culture condition on human interferon alpha-2b production in methilotropic yeast Pichia pastoris. Journal Pharmaceutical and Bioanalysis Science. 3(1): 1-5. Hermeling S, Schellekens H, Maas C, Gebbink MFBG, Crommelin DJA, Jiskoot W. 2006. Antibody response to aggregated human interferon alpha 2b in wild-type and transgenic immune tolerant mice depends on type and level of aggregation. Journal of Pharmaceutical Sciences. 95(5): 1084-1096. Higleyman L. 2007. HCP treatmen: Type of interferon and how they work. Hcsp Fact sheet. 1: 1-3.
23 Honda K, Yanai H, Takaoka A, Taniguchi T. 2005. Regulation of the type 1 IFN induction: a current view. Int Imunology. 17(11): 1367-1378. Invitrogen. 2001. Easy selectTM pichia expression kit: user manual. Carlsbad (CA USA): Corporate Headquarters. Jin H, Liu G, Dai K, Wang H. 2011. Improvement of porcine interferon-α production by recombinant Pichia pastoris via induction at low methanol concentration and low temperature. Applied Biochemistry and Biotechnology. 165 (2): 559-571. Jonasch E, Halusca FG. 2001. Interferon in oncological practice, review of interferon biology, clinical application and toxicities. The Oncologist. 6: 3455. Kim SJ, Lee JA, Kim YH, Song BH. 2009. Optimization of the fungtional expression of Coprinus cinereus peroxidase in Pichia pastoris by varying the host and promoter. J Microbiol Biotechnol. 19: 966-971. Klaus W, Gsell B, Labhardt AM, Wipf B and Senn H. 1997. The Threedimensional High Resolution Structure of Human Interferon α-2a Determined by Heteronuclear NMR Spectroscopy in solution. J Mol Biol. 274: 661-675. Kobayashi K, Kuwae S, Ohya T, Ohda O, Ohyama M, Ohi H, Tomomitsu K, Ohmura T. 2000. High-level expression of recombinant human serum albumin from the methylotrophic yeast Pichia pastoris with minimal protease production and activation. J. Bioscience and Bioengineering. 89(1): 55-61. Kontsek P, Kontsekova E. 1997. Forty years of Interferon. Octa virologica. 41: 349-353. Krainer FW, Dietzsch C, Hajek T, Herwig C, Spadiut O, Glieder A. 2012. Recombinant protein expression in Pichia pastoris strains with an engineered methanol utilization pathway. Microbial Cell Factories. 11: 22. Lawn RM, Gross CM, Houck AE, Franke PV, Gray, Goeddel DV. 1981. DNA Sequence of a Major Human Leukocyte Interferon Gene. Proc Natl Acad Sci USA.78: 5435-5439. Leader B, Baca QJ, Galan DE. 2008. Protein therapeutics: a summary and pharmacological classification. Perspectives. 7: 21-39. Lee N, Ni D, Brissette R, Chou M, Hussain M, Gill DS, Liao Mei-June, and Testa D. 1995. Interferon-alpha 2 variants in the human genome. Journal of Interferon and Cytokine Research. 15: 341-349. Li P, Anumanthan A, Gao X, Ilangovan K, Suzara VV, Duzgunes N, Renugopalakrishnan V. 2007. Expression of recombinant proteins in Pichia pastoris. Appl Biochem Biotechnol. 142: 105-124. Li H, D’Anjou. 2009. Pharmacological significance of glycocylation in therapeutic proteins. Current Opinion in Biotechnology. 20: 678-684. Li H, Liu Q, Cui K, Liu J, Ren Y, Shi D. 2012. Expression of biologically active human interferon alpha 2b in the milk of transgenic mice. Transgenic Research. 22(1): 168-178. Lindner D, Borden EC. 1997. Synergistic antitumor effects of a combination of interferon and tamoxifen on estrogen receptor-positive and receptornegative human tumor cells lines in vivo and in vitro. J Interferon and Cytokine Res. 17: 681-693.
24 Loigon M, Perret S, Kelly J, Boulais D, Cass B, Bisson L, Afkhamizarreh F, Durocher Y. 2008. Stable high volumetric production of glycosylated human recombinant IFN alpha-2b in HEK293 cells. BMC Biotechnology. 8: 65. Macauley-Patrick S, Fazenda ML, McNeil B, Harvey LM. 2005. Heterologous protein production using the Pichia pastoris expression system. Yeast. 22: 249-270. Manning MC, Chou DK, Murphy BM, Payne RW, Katamaya DS. 2010. Stability of protein pharmaceuticals. Pharmaceutical Research. 27(4): 544-575. Meager A. 2006. The Interferons. Characterization and Aplication. Germany: Wiley-VCH. Morehead H, Johnston PD, Wetzel R. 1984. Roles of the 29-138 disulfide bond of subtype A of human alpha interferon in its antiviral activity and conformational stability. Biochemistry. 23: 2500-2507. Morrow KJ. 2010. Therapeutic Protein Production: A Changing Landscape. London: Cambridge Healthtech Institution. Ningrum RA, Santoso A, Herawati N. 2013. Secretory expression of recombinant human interferon-alpha2b in methilotropic yeast Pichia pastoris. Int. J. Res. in Pharm. Sci. 4(2): 207-210. Ningrum RA. 2014. Human interferon alpha-2b: a therapeutic protein for cancer treatment. Scientifica.Artikel ID: 970315. Ningrum RA, Wisnuwardhani PH, Santoso A, Herawati N. 2015. Antiproliferative actifity of recombinant human interferon alpha-2b on estrogen positive human breast cancer MCF-7 cell line. Indonesian Journal of Pharmacy. 26(2): 86-93. Patel TB, Pequignot E, Parker SH, Leavitt M, Greenberg HE, Kraf WK. 2007. Transgenic avian-derived recombinant human interferon-alpha2b (AVI-005) in healthy subjects: an open-label, single-dose, controlled study. Int. J. Cli. Pharm. Ther. 45: 161-168. Pimienta E, Fando R, Sanchez JC, Vallin C. 2002. Secretion of human interferon alpha 2b by Streptomyces lividans. Appl Microbiol Biotechnol. 58: 198-194. Porath J. 1988. Immobilized metal ion affinity based chromatography. Trens Anal Chem. 7(7): 254-259. Porta C, Hadj-Slimane R, Nejmeddine M, Pampin M, Tovey MG, Espert L, Alvarez S, Chelbi-Alix MK. 2005. Interferons α and γ induce p53dependent and p53-independent apoptosis, respectively. Oncogene. 24: 605615. Poutou-Pinales RA, Cordoba-Ruiz HA, Barrera-Avellaneda LA, Delgado-Boada JM. 2010. Carbon source feeding strategies for recombinant protein expression in Pichia pastoris and Pichia methanolica. African J Biotechnol. 9(15): 2173-2184. Rader RA. 2008. (Re) definiting Biopharmaceutical. Commentary. Nature Biotechnology. 26: 743-751. Rapp JC, Harvey AJ, Speksnijder GL, Hu W, Ivarie R. 2003. Biologically active human interferon α-2b produced in the egg white of transgenic hens. Transgenic Res. 12: 569-575.
25 Rossmann C, Sharp N, Allen G, Gewert D. 1996. Expression and purification of recombinant, glycosylated human interferon alpha 2b in murinemyeloma NSo cells. Protein Expression and Purification. 7: 335-342. Ruiz L, Aroche K, Reyes N. 2006. Aggregation of recombinant human interferon alpha 2b in solution: technical note. AAPS Pharm Sci Technol. 7(4): 1-5. Salmannejad F, Varcheh NN, Shafaati A, Aboofazeli R. 2014. Studi on the effect of solution conditions on heat induced-aggregation of human alpha interferon. Iranian J Pharm Res. 13: 27-34. Samuel CE. 2003. Antiviral actions of interferons. Clinical Microbiology Reviews. 14(4): 778-809. Sangfelt O, Erickson S, Grander D. 2000. Mechanism of interferon–induced cells cycle arrest. Frontier in Bioscience. 5: 479-487. Shi L, Wang D, Chan W, Cheng L. 2007. Efficient expression and purification of human interferon alpha2b in the methylotrophic yeast, Pichia pastoris. Protein Expression and Purification. 54: 220-226. Sinha J, Plantz BA, Inan M, Meager MM. 2004. Causes of proteolitic degradation of secreted recombinant protein produced in methylotropic yeast Pichia pastoris: Case study with recombinant ovine interferon-τ. Biotechnology and Bioengineering. 89 (1): 102-112. Srivastava P, Bhattacharaya P, Pandey G, Mukherjee KJ. 2005. Overexpression and purification or of human interferon alpha2b in Esherichia coli. Protein Expression and Purification. 41: 313-322. Steelman LS, Pohnert SC, Shelton JG, Franklin RA, Bertrand FE, McCubrey JA. 2004. JAK/STAT, Raf/MEK/ERK. PI3K/Akt and BCR-ABL in cell cycle progression and leukemogebesis. Leukemia. 18(2): 189-218. Stetson DB, Medzhitov R. 2006. Type 1 interferons in host defense. Immunity. 25: 373–381. Tagliafferi P, Caraglia A, Budillon A, Marra M, Vitale G, Viscomi C, Masciari S, Tassone P, Abbruzesse A, Venuta S. 2005. New farmacokinetic and pharmacodynamics tools for interferon-alpha (IFN-a) treatment of human cancer. Cancer immunology and immunotheraphy. 54:1-10. Takaoka A, Yanai H. 2006. Interferon signalling network in innate defence. Cell Microbiol. 8: 907-922. Tuite MF, Dobson MJ, Roberts NA, King RM, Bulke DC, Kingsman SJ, Kingsman AJ. 1982. Regulated high efficiency expression of human interferon-aplha in Saccharomyces cerevisiae. The EMBO Journal. 1(5): 603-608. Vozza LA, Wittwer L, Higgins DR, Purcell TJ, Bergseid M. 1996. Production of a recombinant bovine enterokinase catalystic subunit in the methylotropic yeast Pichia pastris. Biotechnology. 14: 77-81. Wang W. 1999. Instability, stabilization and formulation of liquid protein pharmaceuticals. Int J Pharm. 185: 129-188. Wang YS, Youngster S, Grace M, Bausch J, Borden R, Wyss DF. 2002. Structural and biological characterization of pegylated recombinant interferon alpha2b and its therapeutic implications. Advance Drug Delivery Review. 54: 547-570. Wang W, Nema S, Teagarden D. 2010. Protein aggregation-pathways and influencing factors. Int J Pharm. 390: 89-99.
26 Witarto AB. 2001. Protein Engineering: The Role of Protein Engineering in Bioindustry and Its Prospect in Indonesia. Japan: PPI Tokyo Institute of Technology. Xu J, Tan L, Goodrum KJ, Kieliszewski MJ. 2007. High-yields and extended serum half-life of human interferon alpha 2b expressed in tobacco cells as arabinogalactan-protein fussions. Biotechnology and Bioengineering. 97: 997-1008. Zhang Y, Liu R, Wu X. 2007. The proteolytic systems and heterologous proteins degradation in the methylotrophic yeast Pichia pastoris. Annals Microbiol. 57(4): 553-560.
27
LAMPIRAN
Lampiran 1. Media No. Nama Media 1. Media padat YPD
2.
Media padat YPD + Zeocin
3.
Media cair YPDS + Zeocin
4.
Media cair BMGY
5.
Media cair BMMY
6.
Media Pasage Kultur Sel
7.
Media Pertumbuhan Kultur Sel
8.
Media Cryo Preservation Kultur Sel
Bahan Kimia Yeast Extract Pepton Dextrose 20% Agar ddH2O Yeast Extract Pepton Dextrose 20% ddH2O Zeocin Yeast Extract Pepton Dextrose 20% Sorbitol agar ddH2O Zeocin Yeast Extract Pepton Yeast Nitrogen Base potasium fosfat, pH 6 Biotin Gliserol ddH2O Yeast Extract Pepton Yeast Nitrogen Base potasium fosfat, pH 6 Biotin Metanol absolut ddH2O DMEM FBS Penisilin/Streptomisin DMEM FBS Penisilin/Streptomisin DMEM FBS Penisilin/Streptomisin DMSO
Konsentrasi 1% 2% 2% 2% 90% 1% 2% 2% 90% 2000 µg/mL 1% 2% 2% 1M 2% 90% 2000 µg/mL 1% 2% 1.34% 100 mM 4 x 10-5% 1% 70% 1% 2% 1.34% 100 mM 4 x 10-5% 0.5% 70% 80% 20% 1% 95% 5% 1% 95% 5% 1% 10%
28 Lampiran 2. Larutan No. Nama Larutan 1. Phosphate Buffer 2.
Binding Buffer
3.
Eluate Buffer
4.
1.5 M Tris HCl pH 8.8
5.
0.5 M Tris HCl pH 6.8
6.
Laemmly Buffer SDS-PAGE Non Reducing
7.
APS 10%
8.
Buffer Running SDS-PAGE
9.
Larutan Staining SDS-PAGE
10.
Phosphate Buffer Saline
11.
Tris Buffer Saline + Tween (TBS + Tween)
12.
Blocking Buffer Western Blot Buffer Transfer Western Blot
13.
Bahan Kimia Sodium phosphate NaCl Sodium phosphate NaCl Sodium phosphate NaCl Imidazole Tris Base ddH2O HCl (untuk titrasi) Tris Base ddH2O HCl (untuk titrasi) 0.5 M Tris HCl pH 6.8 SDS Gliserol Bromphenol Blue APS ddH2O Trisma Base Glisin SDS ddH2O Comassie brilliant blue Metanol Asam Asetat Glasial ddH2O KCl KH2PO4 NaCl Na2HPO4.H2O ddH2O Tris Base NaCl KCl Tween ddH2O TBS + Tween Skim Milk Trisma Base Glisin SDS Metanol ddH2O
Konsentrasi 10 mM 500 mM 20 mM 500 mM 20 mM 500 mM 500 mM 18.2 gr 100 mL hingga pH 8.8 6.8 gr 100 mL hingga pH 6.8 0.2 M 8% 30% 0.02% 10% 90% 4 gr 14.4 gr 1 gr 1L 1 gr 450 mL 100 mL 450 mL 0.2 gr 0.2 gr 8 gr 2.16 gr 1L 2.42 gr 8.77 gr 3.02 gr 20% 1L 95% 5% 48 mM 39 mM 0.037% 20% ditambahkan hingga 1 L
29 14.
NBT/BCIP
15.
Reagen BCA
NBT Solution BCIP Solution ddH2O Solution A Solution B
40% 40% 20% 50 bagian 1 bagian
Lampiran 3. Komposisi Gel Poliakrilamid (untuk dua gel) No.
Bahan Kimia
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Akrilamid/Bisakrilamid (40%) 1.5 M Tris HCl pH 8.8 0.5 M Tris HCl pH 6.8 10% SDS ddH2O 10% APS TEMED
Separating Gel (12%) 3000 µL 2500 µL 100 µL 4400 µL 100 µL 6 µL
Lampiran 4. Kurva Standar BSA No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Konsentrasi BSA (mg/L) 25 125 250 500 750 1000 1500
Absorbansi 0.023 0.148 0.281 0.489 0.637 0.873 1.189
Stacking Gel (3%) 450 µL 625 µL 50 µL 3500 µL 50 µL 6 µL
30 Lampiran 5. Isolat P. pastoris X-33 Rekombinan (Membawa plasmid Rekombinan pPICZα B yang Mengandung Kerangka Baca Terbuka Gen Pengkode hifnα-2b) pada Media YPDS + Zeocin
Lampiran 6. Kromatogram purifikasi rhIFN-α2b. A1-A10 = fraksi flow through; B1-B11 = fraksi washing dan C1-C15 = fraksi eluate
31 Lampiran 7. Kultur Sel MCF-7
Pasage 1
Pasage 2
Pasage 3
Sel terlihat lisis, setelah pemberian Tamoxifen dan rhIFNα-2b
32
Kristal formazan di dalam sel, setelah pemberian reagen MTT
Lampiran 8. Analisis ragam pengaruh kondisi kenaikan suhu, variasi pH dan lama penyimpanan pada persentase penghambatan rhIFNα-2b terhadap proliferasi sel MCF-7
1. Hasil analisis ragam pada kondisi kenaikan suhu Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
DB 4 10 14
JK 0.012042 0.000017 0.012060
KT 0.003010 0.000001
F 1725.56
Pr > F < 0.0001
F 9048.08
Pr > F < 0.0001
2. Hasil analisis ragam pada kondisi variasi pH Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
DB 4 10 14
JK 0.087391 0.000024
KT 0.021847 0.000002
3. Hasil analisis ragam pada kondisi lama penyimpanan Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
DB 2 30 32
JK 0.030602 0.083279
KT 0.015301 0.002775
F 5.51
Pr > F < 0.0091
33
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Probolinggo pada tanggal 06 September 1990 dari ayah Abdur Rohim dan ibu Lailatus Suchriyah. Penulis adalah putra pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA 1 Gending dan melanjutkan studi ke jenjang S1 di Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Jember. Tahun 2013 penulis lulus dari Universitas Jember dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB dan diterima di Program Studi Bioteknologi, Sekolah Pascasarjana IPB. Selama mengikuti perkuliahan dan penelitian, penulis menjadi asisten dosen di Jurusan Biologi, Universitas Jember (2009/2011). Penulis juga menjadi asisten peneliti pada riset pengembangan Transmission Blocking Vaccine (TBV) demam berdarah dengue di Jurusan Biologi (2011/2013), Universitas Jember. Selain itu, penulis juga menjadi asisten lapang pada riset pengembangan rhIFNα2b sebagai agen terapeutik untuk penanganan hepatitis dan kanker di Laboraturium Protein Terapeutik dan Vaksin, Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI Cibinong Bogor (2014/2015). Penulis telah memuat data penelitian di Malaysian Journal of Microbiology (MJM) dengan judul “Stability of Recombinant Human Interferon Alpha-2b in Pichia pastoris” (2015). Penulis aktif mengikuti seminar internasional sebagai peserta Poster Presenter di International Conference IGNTTRC yang diadakan di Bogor (2012). Penulis juga menjadi Oral Presentator di International Conference of Bioscience 2015 yang diadakan di CCR IPB (2015) dan Oral Presentator di International Symposium Innovative Bio-Production Indonesia di CCR IPB (2015). Beberapa prestasi yang pernah diraih penulis, antara lain sebagai mahasiswa berprestasi di Universitas Jember (2013), peraih beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) di Jurusan Biologi, Universitas Jember (2009/2012), peraih Beasiswa Pengembangan Pendidikan Dalam Negeri (BPPDN) DIKTI di Program Studi Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor (2013/2015). Penulis juga merupakan peserta Summer Course IGN-TTRC di Zoologishe Staatsamlung Muenchen, Germany (2012). Selain itu, penulis juga merupakan peserta International Summer Course Program (Institut Pertanian Bogor – Ibaraki University – University of the Ryukyu – Tokyo University of Agricultural and Technology), Bogor (2015).