i
SHABARNI GAFFAR
Produksi Protein Rekombinan dalam Sistem Ekspresi Pichia pastoris
UNPAD PRESS ii
Produksi Protein Rekombinan dalam Sistem Ekspresi Pichia pastoris
iii
SHABARNI GAFFAR
Produksi Protein Rekombinan dalam Sistem Ekspresi Pichia pastoris
UNPAD PRESS
iv
TIM PENGARAH Ganjar Kurnia Mahfud Arifin, Engkus Kuswarno Memed Sueb TIM EDITOR Wilson Nadeak (Koordinator), Tuhpawana P. Sendjaja, Fatimah Djajasudarma, Benito A. Kurnani, Denie Heriyadi, Wahya, Cece Sobarna, Dian Indira
Judul : Produksi Protein Rekombinan dalam Sistem Ekspresi Pichia pastoris Penulis : Shabarni Gaffar
UNPAD PRESS Copyright © 2010 ISBN 978-602-8743-23-5
v
PENGANTAR Semenjak 20 tahun terakhir ini, ragi metilotropik Pichia pastoris sudah berkembang menjadi salah satu inang untuk memproduksi protein rekombinan. P. pastoris telah dimanfaatkan pada berbagai laboratorium di seluruh dunia untuk memproduksi protein rekombinan untuk kepentingan penelitian dasar dan aplikasi medis. Penggunaan sistem ekspresi P. pastoris lebih menguntungkan dibandingkan E. coli dan sistem eukariota lain (seperti S. cerevisiae, sel serangga dan sel manusia) karena tingkat ekspresinya tinggi, mudah dilakukan peningkatan skala produksi dan murah. Disamping itu penggunaan sistem ekspresi eukariota lebih cocok digunakan untuk ekspresi protein manusia karena memiliki sistem modifikasi pasca-translasi. Penelitian tentang penggunaan sistem ekspresi ragi untuk produksi protein rekombinan akan membuka peluang kearah produksi protein terapi dan enzim industri. Oleh karena itu pengetahuan tentang sistem ekspresi ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang manfaat penggunaan sistem ekspresi ragi khususnya Pichia pastoris untuk produksi protein rekombinan. Buku ini disusun oleh penulis berdasarkan berbagai informasi dari beberapa jurnal terbaru. Sehingga diharapkan dapat memberikan informasi terbaru tentang vi
penggunaan sistem ekspresi ini. Buku ini merupakan bagian dari Program Hibah Penulisan Disertasi Program Doktor 2009/2010. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Depdiknas sebagai penyelenggara program hibah penelitian untuk mahasiswa program doktor. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada tim promotor; Prof. Dr. O Suprijana, MSc., Prof. Dr. Soetijoso Soemitro, Dessy Natalia, PhD., dan Dr. Toto Subroto yang telah menyetujui dan menelaah buku ini. Selain itu penulis juga berterima kasih kepada Program Pascasarjana Unpad sebagai pengelola dan penyelenggara hibah penelitian doktor, serta kepada tim pengarah dan editor yang telah mengoreksi dan mewujudkan penerbitan buku ini. Buku ini penulis persembahkan kepada suamiku Deni Herdian Putra dan anak-anakku Fathur dan Putty, terima kasih atas segala perhatian, pengorbanan dan pengertiaannya selama penulis menyelesaikan buku ini. Teknologi dan ilmu pengetahuan berkembang dengan sangat pesat, untuk itu setiap informasi dan masukan mengenai buku ini akan sangat penulis hargai sebagai bahan perbaikan.
Bandung, Januari 2010 Penulis vii
DAFTAR ISI PENGANTAR v DAFTAR ISI vii GLOSARI x BAB I Produksi Protein Rekombinan 1 BAB II Perbandingan Sistem Ekspresi E. coli, S. cerevisiae dan P. pastoris 9 1. Sistem ekspresi E. coli 9 2. Sistem ekspresi Saccaromyces cerevisiae 13 3. Sistem ekspresi P. pastoris 17 BAB III Pichia pastoris Sebagai Organisme Eksperimen 23 1. Metabolisme metanol pada P. pastoris 26 2. Sel dengan densitas tinggi dapat tumbuh pada kultur fermentor 31 BAB IV Konstruksi galur ekspresi 35 1. Galur-galur ekspresi P. pastoris 35 Fenotipe berdasarkan penggunaan methanol 36 Galur inang defisien protease 38 + s Pengaruh fenotip Mut dan Mut 39 2. Vektor ekspresi untuk P. pastoris 41 3. Transformasi/Integrasi ke genom P. pastoris 51 4. Pemilihan promotor 56 Promotor GAP 58 Promotor FLDI 60 viii
Promotor PEX8 dan YPT1 Promotor DHAS 5. Pemilihan kodon dan transkripsi terpotong 6. Integrasi gen multikopi 7. Ekspresi intraselular 8. Pemilihan kondisi kultur untuk ekspresi BAB V Transformasi Pichia pastoris 1. Metoda umum 2. Pergantian gen 3. Prosedur kerja Larutan-larutan Metoda Persiapan DNA Prosedur speroplas Prosedur elektroporasi Prosedur PEG Prosedur kation alkali BAB VI Modifikasi Pascatranslasi dari Protein yang Disekresikan 1. Jalur sekresi protein Jalur sekresi protein pada P. pastoris 2. Peptida sinyal Seleksi peptida sinyal Pemrosesan -MF pre-pro leader sekuen Peran perulangan Glu-Ala dan sisi pemotongan Kex2 3. Pelipatan protein Protein Disulfida Isomerase
61 62 63 65 70 71 77 78 79 82 82 85 85 86 91 94 96
99 99 101 102 106 114 115 118 120 ix
Peranan PDI pada sekresi protein 4. Glikosilasi Sequon Lokasi struktur tersier Jumlah unit manosa dan tipe oligosakarida Termostabilitas Oligosakarida ikatan-O Imunogenisitas Kondisi kultur untuk mencegah glikosilasi De-glikosilasi melalui enzim atau SDM Gel shift assay BAB VII Penutup Daftar Pustaka Indeks
125 128 132 133 136 139 143 146 147 148 150 153 154 160
x
GLOSARI
-MF ( -mating factor): 13 asam amino feromon yang disekresikan oleh sel S. cerevisiae tipe haploid alfa, yang berikatan dengan protein transmembran Ste2p, suatu protein G yang berikatan dengan reseptor yag terdapat pada sel haploid alfa, untuk mengaktivasi jalur sinyal transduksi yang dibutuhkan untuk konyugasi dan perkawinan. Auxotropi: Galur yang tidak mampu menyintesis senyawa organik tertentu yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya. Auxotrop: auxotropi.
Organisme
yang
menunjukkan
karakteristik
Badan inklusi: agregat (gumpalan) pada inti atau sitoplasma, biasanya berupa protein. Biopharmaceutical: Obat-obatan menggunakan proses bioteknologi.
yang
diproduksi
cDNA: Complementary DNA, DNA untai tunggal (singlestranded) yang disalin dari untai RNA. Chaperone: Protein yang membantu proses folding/unfolding non kovalen dan perakitan molekul. De novo: sintesis molekul kompleks dari molekul sederhana. DNA artificial: DNA sintetik Elektroporasi: peningkatan konduktivitas listrik dan permeabilitas secara signifikan dan cepat dari membran plasma sel yang disebabkan oleh arus listrik dari luar. Dalam biologi molekuler biasanya digunakan untuk memasukkan DNA asing ke dalam sel inang. xi
Ekspresi gen: proses dimana informasi dari gen digunakan untuk menyintesis produk gen, yaitu protein atau RNA. Ekspresi konstitutif: gen yang diekspresikan secara terus menerus. Eukariot: organisme yang terdiri dari satu/banyak sel, yang mengandung struktur yang kompleks dalam membran sel. Fenotipe: sifat yang dapat diamati dari organisme dan turunannya. Folding: Proses fisik, dimana polipeptida melipat menjadi bentuk karakteristik dan struktur tiga dimensi yang fungsional. Gen: potongan DNA yang mengode protein atau RNA Genom: seluruh informasi genetik yang terdapat pada organisme. Genotipe: sifat genetik dari sel, organisme atau indifidu. Biasanya berhubungan dengan karakter. Immunogenisitas: kemampuan substansi tertentu seperti antigen atau epitop untuk memancing respon kekebalan. Inang (host): organisme yang menampung gen asing yang dikloning menggunakan suatu vektor berupa plasmid, cosmid, atau virus. Kaset ekspresi: gen asing dan urutan yang mengontrol ekspresinya. Kaset ekspresi terdiri dari tiga komponen, yaitu: urutan promotor, open reading frame, dan daerah 3′ yang tidak ditranslasi, pada eukariot pada umumnya mengandung sisi poliadenilasi (poli-A) Kloning: teknik penggandaan gen yang menghasilkan keturunan yang sama sifatnya, baik dari segi hereditas maupun fenotipenya. xii
Kodon: kelompok tiga nukleotida pada gen yang mengode satu asam amino spesifik. Lokus gen: lokasi spesifik dari gen MCS (Multiple cloning site): (polylinker), bagian pendek dari DNA dalam plasmid/vektor hasil rekayasa yang mengandung sisi pengenal enzim restriksi untuk menyisipkan gen asing pada vektor. ORF (Open reading frame): sekelompok urutan nukleotida pada genom yang mengode protein Peroksisom: organel yang terdapat pada sel eukariota. Peroksisom merupakan tempat metabolisme asam lemak. Pada organisme metilotropik, metabolisme metanol juga terjadi dalam peroksisom Peptida sinyal: peptida pendek (3-60 asam amino) pada sisi N terminal protein, yang mengarahkan translokasi protein. Poliadenilasi: tambahan ekor poli-A pada molekul RNA eukariota. PCR (Polymerase Chain Reaction): metoda rutin yang digunakan untuk perbanyakan fragmen DNA. Metoda PCR menggunakan prinsip perubahan temperatur untuk mendenaturasi DNA, menempelkan primer oligonukleotida dan polimerisasi DNA dengan bantuan enzim DNA polimerase termostabil. Promotor gen: urutan nukleotida pada awal gen yang memfasilitasi transkripsi gen tertentu. Urutan promotor dikenali oleh enzim RNA polimerase untuk memulai proses transkripsi gen. Protein heterolog: protein yang diproduksi dalam organisme yang berbeda dengan asal protein tersebut. xiii
Proteolisis: degradasi atau pemotongan protein oleh enzim protease dalam sel, atau melalui penghancuran dalam molekul. Pustaka genom: populasi sejumlah sel inang yang membawa molekul DNA yang disisipkan pada vektor kloning. Sehingga merupakan koleksi molekul DNA hasil kloning yang menggambarkan keseluruan genom dari organisme tertentu. Pyrogen: Substansi yang menyebabkan penyakit. Protein terapeutik: protein yang digunakan untuk terapi pengobatan manusia. Prototropi: Galur organisme yang memiliki kemampuan metabolisme, dan kebutuhan nutrisi yang sama dengan galur wild type. Ragi metilotrop: Sekelompok mikroorganisme yang dapat menggunakan senyawa satu karbon seperti metanol dan metana sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya. Re-folding: proses pelipatan ulang protein Reading frame: pola pembacaan kodon yang berdekatan yang tidak saling bertindihan, pada gen. Terdapat tiga kemungkinan reading frame pada mRNA dan enam kemungkinan pada rantai DNA untai ganda. Rekombinasi homolog: tipe rekombinasi genetik dimana urutan nukleotida berpindah tempat antara dua untai DNA yang identik. Single cell protein (SCP): Sumber campuran protein yang diekstrak dari kultur murni atau kultur campuran dari alga, ragi, jamur atau bakteri (yang ditumbuhkan pada limbah pertanian) dan digunakan sebagai makanan pengganti yang kaya protein untuk makanan manusia maupun ternak. xiv
Shuttle vektor: vektor (biasanya plasmid) yang dikonstruksi sehingga dapat berpropagasi dalam dua jenis inang yang berbeda. Sehingga DNA yang disisipkan ke shuttle vektor dapat di uji dan dimanipulasi dalam dua tipe inang. Southern blotting: Metode rutin yang digunakan dalam biologi molekuler untuk mendeteksi urutan DNA spesifik dalam sampel DNA. Pada metoda Southern blotting, fragmenfragmen DNA yang telah dipisahkan dengan elektroforesis, didenaturasi dan ditransfer ke menbran nilon dan kemudian dihibridisasi dengan urutan DNA spesifik (disebut probe). Metode ini dinamai sesuai penemunya, Edwin Southern. Speroplas: bentuk sel yang bagian dindingnya telah dibuang. Vaksin: preparat biologi yang meningkatkan kekebalan terhadap penyakit tertentu. Vaksin bisa berupa virus/bakteri/toksin yang dilemahkan atau dimatikan. Vaksin rekombinan: (vaksin subunit), vaksin yang dibuat dengan teknologi DNA rekombinan, hanya mengandung bagian protein yang bersifat virulen. Vektor: mulekul DNA yang digunakan sebagai pembawa gen asing ke dalam sel inang. Vektor ekspresi: vektor yang mengandung urutan untuk mengekspresikan gen asing, yaitu promotor dan terminator, sehingga gen asing akan diekspresikan menghasilkan protein oleh perangkat transkripsi dan translasi sel inang. Unfolding: lawan dari folding. Wild type: Tipe liar/awal
xv
1 Produksi Protein Rekombinan
PROTEIN rekombinan merupakan protein yang diperoleh dari hasil teknologi DNA rekombinan. Kemajuan teknologi DNA rekombinan telah mendorong berkembangnya berbagai metode produksi protein rekombinan menggunakan inang yang aman dan relatif mudah dikultur sehingga protein dapat diproduksi pada skala industri. Sebagian besar enzim yang digunakan untuk proses industri merupakan hasil rekayasa, baik rekayasa pada tingkat genetik maupun protein. Melalui teknologi DNA rekombinan dapat dilakukan pemindahan gen pengode enzim/protein dari satu organisme ke organisme lain. Sehingga bila enzim/protein tersebut diidentifikasi sebagai kandidat enzim untuk digunakan dalam industri, gen pengode enzim/protein tersebut dapat dikloning dalam suatu mikroorganisme inang yang cocok, dan diproduksi dalam skala industri. Dengan cara ini produksi enzim industri dengan kualitas dan kemurnian yang tinggi dapat dilakukan. 1
Protein yang digunakan untuk bidang farmasi dan kedokteran (protein terapeutik dan vaksin) juga telah diproduksi secara rekombinan. Biopharmaceutical diistilahkan untuk obat-obatan yang merupakan protein rekombinan, vaksin rekombinan dan antibodi monoklonal. Protein yang digunakan untuk kepentingan pengobatan dan terapi ini disyaratkan mempunyai kemurnian yang tinggi. Teknologi DNA rekombinan juga telah menyediakan berbagai strategi untuk meningkatkan produksi dan mempermudah pemurnian protein. Salah satu contoh penggunaan teknologi produksi enzim rekombinan adalah produksi enzim detergen Lipolase oleh Novo Nordisk A/S, yang mempercepat pembuangan lemak yang tertinggal pada kain. Enzim ini pertama kali diidentifikasi pada jamur Humicola languinosa dengan jumlah yang tidak cukup untuk produksi komersial. Fragmen DNA dari gen pengode enzim ini dikloning dalam jamur Aspergillus oryzae sehingga dapat diproduksi secara komersial. Enzim ini terbukti efisien pada berbagai kondisi pencucian pakaian. Enzim ini juga stabil pada beberapa variasi suhu dan pH, serta resistan terhadap proteolisis (Smith, J.E., 1996). Sistem ekspresi protein yang sudah umum digunakan pada umumnya berbasis sel, yang merupakan satu paket yang terdiri dari vektor ekspresi, DNA yang dikloning dan sel inang, sehingga gen asing dapat 2
diekspresikan oleh sel inang dan diproduksi dalam jumlah banyak. Ekspresi protein asing biasanya dirancang supaya terjadi dalam jumlah besar sehingga diistilahkan overekspresi. Terdapat beberapa cara untuk memasukkan DNA asing ke dalam sel untuk ekspresi protein, dan terdapat beberapa sel inang yang dapat digunakan untuk ekspresi protein rekombinan. Masing-masing sistem ekspresi memiliki keunggulan yang berbeda. Sistem ekspresi pada umumnya melambangkan inang dan vektor pembawa materi genetik yang dipakai. Sebagai contoh, inang yang umum digunakan adalah bakteri (seperti E. coli, B. substilis), ragi (seperti S. cerevisiae, P. pastoris), atau sel eukariota. Sedangkan vektor pembawa yang umum digunakan adalah virus (seperti baculovirus, retrovirus dan adenovirus), plasmid, kromosom artifisial dan bakteriofaga (seperti lambda). Pemilihan sistem ekspresi tergantung pada gen yang akan diekspresikan, contohnya S. cerevisiae sering digunakan untuk protein yang membutuhkan modifikasi pascatranslasi dan sel serangga atau mamalia digunakan bila diperlukan pemrosesan mRNA. Sedangkan sistem ekspresi bakteri memiliki keunggulan karena dapat memproduksi protein dalam jumlah besar yang dibutuhkan untuk penelitian penentuan struktur protein dengan X-ray crystallography atau NMR (Nuclear Magnetic Resonance). 3
Konstruksi sistem ekspresi protein heterolog menggunakan strategi biologi molekul penting dilakukan untuk investigasi rekayasa protein dan enzimologi. Hal ini terutama menjadi masalah bila protein tersebut jarang dan sulit didapatkan dalam jumlah yang cukup untuk penelitian fisikokimia atau bila sejumlah protein yang diinginkan akan dimutagenesis untuk keperluan penelitian ataupun komersial. Untuk memperoleh protein yang diinginkan dalam jumlah besar, maka sistem ekspresi yang sesuai dan kondisi optimum untuk ekspresi harus ditentukan (Koganesawa et al., 2001). Sistem ekspresi prokariota biasanya digunakan untuk memproduksi protein heterolog (rekombinan) dari cDNA eukariota yang dikloning. Akan tetapi pada beberapa penelitian, protein yang disintesis oleh bakteri tersebut tidak stabil atau tidak punya aktivitas biologi. Selain itu, meskipun kita menggunakan prosedur pemurnian protein yang sangat hati-hati, senyawa yang bersifat toksin pada bakteri dan senyawa yang menyebabkan kenaikan temperatur tubuh manusia dan binatang (pyrogen) mungkin dapat mengontaminasi produk (Glick dan Pasternak, 2003). Untuk mengatasi masalah ini beberapa peneliti telah mengembangkan sistem ekspresi protein eukariota, yaitu ragi, serangga atau sel mamalia untuk memproduksi protein-protein terapetik yang tidak terkontaminasi, 4
sehingga dapat digunakan oleh manusia atau binatang dengan jumlah yang banyak dan stabil; aktif secara biologi untuk studi biokimia, biofisik, dan struktur; dan protein yang digunakan untuk proses industri. Selanjutnya, protein manusia yang ditujukan untuk penggunaan medis harus identik sifatnya dengan protein natif. Selama 20 tahun terakhir ini, ragi metilotropik Pichia pastoris telah luas digunakan untuk memproduksi protein rekombinan dan juga dimanfaatkan pada berbagai laboratorium di seluruh dunia untuk memproduksi protein untuk kepentingan penelitian dasar dan aplikasi medis (De Schutter et al., 2009). Pichia pastoris juga merupakan organisme model yang penting untuk investigasi proliferasi peroksisom dan asimilasi metanol. Teknologi ekspresi P. pastoris telah tersedia secara komersial semenjak beberapa tahun yang lalu. Meningkatnya popularitas sistem ekspresi P. pastoris disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: (1) P. pastoris dapat tumbuh hingga mencapai densitas sel yang tinggi, mengekspresikan protein asing dengan menggunakan penginduksi metanol, dan menyekresikan protein heterolog pada media tertentu dengan efisien; (2) Teknik yang dibutuhkan untuk manipulasi genetik P. pastoris relatif mudah dan mirip dengan Saccharomyces cerevisiae; (3) kemampuan P. pastoris untuk 5
memproduksi protein asing dalam jumlah banyak, baik intraselular maupun ekstraselular; (4) P. pastoris merupakan eukariota sehingga memiliki kemampuan untuk melakukan modifikasi pasca-translasi seperti yang terjadi pada kebanyakan protein eukariota, seperti glikosilasi, pembentukan ikatan disulfida dan pemrosesan proteolisis; dan (5) tersedianya sistem ekspresi secara komersial, sehingga memungkinkan untuk memproduksi sejumlah besar protein target dengan teknik yang relatif mudah dan dengan biaya yang rendah dibandingkan sistem eukariota lain (De Schutter et al., 2009; Glick dan Pasternak, 2003). P. pastoris merupakan ragi metilotrop yang dapat tumbuh menggunakan metanol sebagai satu-satunya sumber karbon. Ragi ini memiliki jalur metabolisme penggunaan metanol yang diinduksi dengan ketat. Enzim pertama pada jalur ini adalah alkohol oksidase, ditemukan mencapai 35 persen dari total protein dalam sel yang ditumbuhkan dalam sejumlah metanol. Enzim ini tidak terdeteksi bila sel ditumbuhkan dalam glukosa, etanol atau gliserol. Promotor gen alkohol oksidase (AOX1) yang dapat diinduksi dan diregulasi dengan ketat ini telah digunakan untuk mengonstruksi vektor ekspresi untuk memproduksi protein heterolog dalam P. pastoris. Dengan menggunakan sistem ini, sejumlah besar protein telah berhasil diproduksi dengan tingkat keberhasilan 6
yang berbeda-beda. Walaupun hasil akhir protein rekombinan sangat dipengaruhi oleh sifat protein tersebut, namun hasil dapat ditingkatkan dengan memanipulasi beberapa faktor yang memengaruhi ekspresi gen dan stabilitas protein. Beberapa protein terapi yang diproduksi dalam P. pastoris, baik yang tidak terglikosilasi (seperti serum albumin manusia) (Watanabe et al., 2001) atau protein yang memerlukan glikosilasi untuk pelipatan (seperti beberapa vaksin) (Hardy et al., 2000) sudah beredar di pasaran. Penemuan penting baru-baru ini telah mengembangkan galur P. pastoris dengan tipe Nglikosilasi seperti protein-protein manusia. Galur ini selanjutnya akan meningkatkan peran P. pastoris untuk memproduksi protein terapi (biopharmaceuticals) manusia. Protein yang diproduksi dengan sistem ini akan bergerak ke arah pengembangan klinis (Ratner, 2009). Sehingga antibodi monoklonal dapat dibuat mencapai skala gram per liter oleh galur dengan glikosilasi homogen tersebut (Potgieter et al., 2008).
7
2 Perbandingan Sistem Ekspresi E. coli, S. cerevisiae dan P. pastoris
1. Sistem ekspresi E. coli SELAMA tiga dekade terakhir ini, Escherichia coli telah digunakan secara ekstensif sebagai inang untuk ekspresi protein rekombinan. Penggunaan E. coli sebagai sistem ekspresi dipilih karena sistem ini mempunyai tingkat ekspresi yang tinggi, media pertumbuhannya murah, serta mudah dilakukan peningkatan skala produksi untuk industri. Bagaimanapun, penggunaan sistem ini untuk produksi protein yang berasal dari genom eukariota yang membutuhkan modifikasi pasca-translasi menimbulkan masalah karena mikroorganisme yang sederhana ini tidak memiliki mesin intraselular untuk melakukan modifikasi pasca-translasi. Sehingga ekspresi protein rekombinan dalam E. coli sangat tergantung pada 8
struktur primer, sekunder, tersier dan fungsi karakteristik dari protein tersebut (Daly & Hearn, 2004). E. coli merupakan prokariota, yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pelipatan protein asing dan modifikasi pasca-translasi lain, sehingga tipe protein yang dapat diekspresikan E. coli juga terbatas. Ketidakmampuan prokariota untuk memproduksi versi autentik dari protein eukariota, pada umumnya disebabkan oleh pelipatan protein (folding) yang tidak tepat dan tidak adanya mekanisme modifikasi pascatranslasi. Protein yang diekspresikan E. coli pada umumnya diperoleh sebagai protein intraselular yang sering menghasilkan badan inklusi yang tidak larut (dalam kasus ekspresi tinggi) dan tidak mengalami pelipatan dengan benar, sehingga harus dilarutkan dan dilakukan pelipatan ulang (Makrides, 1996). Pelipatan yang tidak tepat mungkin disebabkan oleh tidak cukupnya konsentrasi chaperone intraselular atau kurangnya lingkungan tereduksi dalam sitoplasma (Bardwell, 1994; White et al., 1994). Sehingga E. coli tidak cocok digunakan untuk mengekspresikan protein yang mengandung banyak ikatan disulfida atau protein yang membutuhkan modifikasi pasca-translasi lain, seperti glikosilasi, isomerisasi cis/trans prolin, isomerisasi disulfida, lipidasi, sulfasi atau fosforilasi (Lueking, et al., 2000). Pada eukariota terdapat enzim Protein Disulfida 9
Isomerase (PDI) yang mengatalisis pembentukan ikatan disulfida pada protein. Pembentukan ikatan disulfida yang menyimpang akan meubah konfigurasi protein, sehingga menyebabkan protein tidak stabil dan kehilangan aktivitas. Selanjutnya protein yang diekspresikan E. coli juga cenderung mempertahankan residu metionin pada sisi N-terminal protein yang diekspresikan. Ekstra metionin ini dilaporkan memengaruhi kestabilan konformasi protein, dan menyebabkan immunogenisitas (Chaudlhuri et al., 1999; Takano et al., 1999). Terdapat beberapa tipe modifikasi pasca-translasi. Beberapa urutan asam amino pada N-terminal biasanya dibuang melalui pemotongan proteolisis protein prekursor untuk menghasilkan protein fungsional. Penambahan gula spesifik (glikosilasi) terhadap asam amino tertentu merupakan modifikasi utama yang memberikan stabilitas dan sifat pengikatan yang khusus terhadap protein. Glikosilasi yang umum terjadi adalah pengikatan gula spesifik ke gugus hidroksil dari asam amino serin atau asparagin (glikosilasi ikatan-O), dan gugus amida dari asparagin (glikosilasi ikatan-N) (gambar 2.1). Sekitar 30 persen protein mamalia mengalami glikosilasi. Ketidakmampuan E. coli untuk melakukan glikosilasi protein rekombinan, akan menyebabkan berubahnya fungsi protein tertentu. Hal ini diamati pada erythropoietin (EPO) yang diekspresikan E. coli. EPO 10
natif merupakan glikoprotein, EPO bentuk tidak terglikosilasi yang diekspresikan di E. coli menjadi kurang resisten terhadap unfolding dibandingkan bentuk natifnya (Narhi et al., 1991). Selanjutnya protein rekombinan yang terdapat dalam bentuk badan inklusi pada protein yang diekspresikan E. coli, harus di refolding, yang memerlukan optimasi kondisi re-folding (Majerle et al., 1999). Pengembangan kondisi folding mungkin sulit untuk dilakukan dan menghabiskan banyak waktu (Tsujikawa et al., 1996) sehingga menurunkan produktivitas dan menaikkan biaya produksi protein rekombinan.
11
Gambar 2.1. Beberapa contoh oligosakarida ikatan-O dan ikatan-N pada ragi (A), serangga (B) dan mamalia (C). T adalah threonin, S (serin), N (asparagin) dan X (sembarang asam amino). Monosakarida/oligosakarida yang berbeda dilambangkan oleh bentuk yang berbeda.
2. Sistem Ekspresi Saccaromyces cerevisiae Untuk mengatasi kendala dalam sistem ekspresi E. coli, protein rekombinan yang berasal dari eukariota banyak diekspresi dalam sistem ekspresi Saccharomyces cerevisiae. S. cerevisiae telah digunakan sebagai inang untuk ekspresi gen eukariota dengan alasan-alasan sebagai berikut: 1. Ber-sel tunggal dan sudah dipelajari secara genetik maupun fisiologi. 2. Beberapa promotor gen yang kuat telah diisolasi dari ragi ini dan dikarakterisasi. S. cerevisiae secara alami mengandung plasmid yang disebut plasmid 2µm dan dapat digunakan sebagai vektor ekspresi. 3. S. cerevisiae mempunyai mekanisme modifikasi pasca-translasi. 4. Ragi ini biasanya menyekresikan beberapa protein. Jadi apabila protein heterolog direkayasa untuk dibebaskan secara ekstraselular, maka produk dapat segera dipurifikasi. 12
5. Karena sudah bertahun-tahun digunakan pada industri makanan, S. cerevisiae sudah didaftarkan oleh U.S Food and Drug Administration sebagai organisme “generally recognize as safe” (GRAS). Oleh karena itu, penggunaan organisme ini untuk produksi agen terapetik manusia (drug or pharmaceuticals) tidak membutuhkan penelitian secara ekstensif seperti yang diwajibkan untuk inang yang belum terjamin keamanannya. Dewasa ini terdapat sejumlah protein yang telah diproduksi di S. cerevisiae, dan digunakan secara komersial sebagai vaksin, agen terapeutik, dan untuk diagnosis (Tabel 2.1). Sebagai contoh lebih dari 50 persen suplai insulin dunia diproduksi oleh S. cerevisiae. Tabel 2.1. Protein rekombinan yang diproduksi oleh sistem ekspresi S. cerevisiae.
Protein rekombinan
Kegunaan
Antigen permukaan virus hepatitis B Protein circumsporozoide malaria Envelope protein HIV-1 Protein virus hepatitis C Antigen HIV-1 Faktor pertumbuhan epidermal Insulin Insulin-like growth factor
Vaksin
Diagnostik Agen terapetik untuk manusia 13
Platelet-derived growth factor Proinsulin Fibroblast growt factor α1 antitripsin Faktor koagulasi darah XIIIa Hirudin Faktor pertumbuhan manusia Serum albumin manusia
Semua protein yang mengalami glikosilasi pada S. cerevisiae, disekresikan ke luar sel. Protein ini harus mempunyai urutan pemula supaya bisa melewati sistem sekresi. Konsekuensinya urutan pengode dari protein rekombinan yang membutuhkan gula ikatan-O atau ikatan-N untuk aktivitas biologi harus dilengkapi dengan urutan pemula. Biasanya urutan pemula dari gen mating factor type α ragi (prepro-α-factor) diinsersikan pada bagian depan cDNA gen yang akan diekspresikan. Dengan kondisi ini, pembentukan ikatan disulfida yang tepat, pemotongan proteolitik dari urutan pemula, dan modifikasi pasca-translasi yang tepat sering terjadi, dan protein rekombinan yang aktif akan disekresikan. Selama proses ini peptida pemula dibuang oleh endopeptidase yang mengenali dipeptida Lys-Arg. Kodon Lys-Arg harus ditempatkan berdekatan dengan N terminal cDNA, sehingga setelah peptida pemula dibuang, protein 14
rekombinan akan memperoleh residu asam amino yang benar pada posisi N terminal (Glick & Pasternak, 2003). Strategi tambahan juga sudah ditemukan untuk meningkatkan sekresi protein rekombinan oleh S. cerevisiae. Sebagai contoh, overproduksi PDI (Protein Disulfide Isomerase) yang secara natural terdapat pada sistem sekresi enzim. PDI menyebabkan terjadinya pelipatan protein (folding) yang tepat selama proses sekresi, sehingga PDI mungkin meningkatkan pelepasan protein rekombinan, terutama yang memiliki ikatan disulfida. Untuk memeriksa hipotesis ini, urutan promotor dan terminator transkripsi gliseraldehid fosfat dehidrogenase yang konstitutif ditempatkan pada ujung gen PDI ragi yang dikloning dalam vektor YIp, dan diintegrasikan ke kromosom. Galur transforman menunjukkan peningkatan produksi PDI 16x dibandingkan dengan galur wild type. Bila sel yang mengoverproduksi PDI ini ditransformasi dengan vektor YEp yang membawa gen platelet-growth factor B manusia, terdapat peningkatan sekresi proten rekombinan 10x lebih tinggi dibandingkan dengan sel yang mempunyai level PDI normal. Sehingga overproduksi PDI secara spesifik meningkatkan sekresi protein dengan pembentukan ikatan disulfida (Robinson et al., 1994). Ekspresi protein rekombinan dalam S. cerevisiae telah berhasil digunakan untuk ekspresi berbagai protein 15
dari sumber yang berbeda. Namun dalam beberapa kasus level ekspresinya rendah. Pada contoh lain protein rekombinan mengalami hiperglikosilasi dengan lebih dari 100 residu manosa pada rantai samping oligosakarida ikatan-N. Kelebihan manosa ini sering mengubah fungsi protein dan menghasilkan protein rekombinan yang bersifat antigen. Selain itu protein yang dirancang untuk sekresi pada S. cerevisiae sering tertahan pada membran periplasma, sehingga menambah biaya dan waktu untuk pemurnian. Selanjutnya, bila densitas sel tinggi maka S. cerevisiae akan memproduksi etanol, yang merupakan racun bagi sel. Sebagai konsekuensinya menurunkan jumlah protein yang disekresikan. Untuk alasan ini beberapa peneliti mencoba spesies ragi yang lain dan sel eukariota yang dapat berperan sebagai sel inang yang efektif untuk produksi protein rekombinan (Glick dan Pasternak, 2003). 3. Sistem ekspresi P. pastoris Ragi metilotropik Pichia pastoris telah berkembang menjadi salah satu inang ekspresi protein yang penting untuk memproduksi protein rekombinan dengan level tinggi pada penelitian struktur genom dan bioteknologi (Cereghino dan Cregg, 2000). Penggunaan sistem ekspresi P. pastoris memberikan keuntungan dibandingkan dengan sistem ekspresi lain. Sistem ini 16
merupakan satu-satunya sistem yang menggabungkan keuntungan penggunaan E. coli (tingkat ekspresi tinggi, mudah dilakukan peningkatan skala produksi, dan murah) dan sistem ekspresi eukariota (adanya komponen pelipatan protein dan modifikasi pasca-translasi). Fleksibilitas sistem ekspresi P. pastoris menjadikannya alat yang ideal untuk riset laboratorium yang ditujukan untuk aplikasi industri (Glick dan Pasternak, 2003). Sejumlah protein yang tidak dapat diekspresikan E. coli, telah berhasil diekspresikan dalam ragi metilotropik P. pastoris (Monsalve et al., 1999). Sebagai contoh adalah studi komparatif yang dilakukan oleh Leuking et al (2000) di mana vektor ekspresi untuk E. coli dan P. pastoris dikonstruksi dan diuji dengan mengkloning sejumlah cDNA dari pustaka genom otak janin manusia. Dari 29 klon cDNA yang berbeda, yang memiliki reading frame yang benar, semuanya diperoleh dalam bentuk protein terlarut dalam P. pastoris. Namun dalam sistem ekspresi E. coli, hanya sembilan klon yang menghasilkan protein terlarut, 15 klon terdeteksi membentuk badan inklusi dan 5 protein tidak diekspresikan sama sekali. Hasil ini tidak diragukan lagi karena perbedaan lingkungan folding protein dan ketidakmampuan E. coli untuk melakukan modifikasi pasca-translasi (Leuking et al., 2000). Protein-protein lain, yang dihasilkan dalam bentuk pelipatan yang salah 17
(miss-fold) dan badan inklusi dalam E. coli, diperoleh dalam bentuk terlarut dan mengalami pelipatan dengan benar bila diekspresikan di P. pastoris, contohnya antigen 5 (Ag5) dari spesies yellow-jacket, paper-wasp dan whiteface hornet (Monsalve et al., 1999; King et al., 1995), protein herring antifreeze (Li et al., 2001), prourokinase (Holmes et al., 1985) dan transferring manusia (Hershberger et al., 1991; Mason et al., 1996). Oleh karena itu sistem ekspresi P. pastoris memiliki kelebihan dibanding sistem ekspresi E. coli untuk memproduksi sejumlah protein heterolog yang berasal dari eukariota. Seperti dijabarkan di atas, P. pastoris cocok digunakan untuk protein target yang memiliki banyak ikatan disulfida atau protein yang membutuhkan glikosilasi, fosforilasi, penghilangan amino terminal metionin atau protein yang tidak memerlukan pembentukan oligomer untuk perakitan dan pematangan protein. Di samping sistem ekspresi P. pastoris memungkinkan untuk menyekresikan protein autentik yang terlarut, sistem ini juga mampu memproduksi protein rekombinan dalam jumlah besar (Daly & Hearn, 2004). Berbagai jenis protein (termasuk enzim, protease, inhibitor protease, reseptor, antibodi rantai tunggal, dan protein regulator) telah berhasil diproduksi dengan sistem ekspresi P. pastoris dengan tingkat ekspresi hingga 18
mencapai hasil dalam besaran gram per liter (Tabel 2.2) (Invitrogen, 2006). Lin-Cereghino (2006) melaporkan lebih dari 550 protein heterolog yang berasal dari bakteri, ragi, protista, tumbuhan, invertebrata, manusia dan virus telah berhasil disintesis dan diproduksi dalam ragi ini (http://faculty.kgi.edu/cregg/index.htm). Sistem ekspresi P. pastoris memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan S. cerevisiae, yaitu: (1) P. pastoris memiliki promotor gen yang diregulasi dengan ketat, yaitu gen AOX1 yang mengode alkohol oksidase yang dapat diinduksi oleh metanol. Apabila ada metanol, 30 persen dari protein selular adalah alkohol oksidase. Sedangkan bila tidak ada metanol, gen AOX1 tidak bekerja. Selanjutnya promotor gen AOX1 dengan cepat merespon penambahan metanol ke medium. Dengan kata lain, promotor AOX1 merupakan kandidat yang baik untuk menjalankan transkripsi gen yang diklon dan memproduksi protein rekombinan dalam jumlah besar; (2) Tingkat sekresi protein rekombinan pada P. pastoris tinggi, hal ini disebabkan pada konsentrasi sel yang tinggi, P. pastoris tidak menghasilkan etanol yang merupakan racun bagi sel; dan (3) P. pastoris biasanya menyekresikan sangat sedikit proteinnya sendiri, sehingga memudahkan pemurnian protein rekombinan yang disekresikan (Glick dan Pasternak, 2003). 19
Tabel 2.2. Protein rekombinan yang diproduksi oleh sistem ekspresi P. pastoris (Invitrogen, 2006). Protein rekombinan Protein bakteri: Toksin tetanus fragmen C -amilase T2A peroksidase Fragmen neurotoxin C. botulinum Protein Ragi: Catalase L Glukoamilase Lipase Protein tumbuhan: Hidroksinitril liase Aeroallergen Wheat lipid transfer protein Protein mamalia: Mouse gelatin Human tumor necrosis factor Human IGF-1 Human CD-38
Tingkat ekspresi (mg/L) 12000 2500 2470 78 2300 400 60 22000 720 60 14000 10000 600 455
Informasi tentang genom P. pastoris juga telah berhasil dielusidasi baru-baru ini, yang bermanfaat untuk merekayasa galur. De Schutter et al (2009) telah berhasil menentukan urutan nukleotida genom salah satu galur Pichia pastoris yang biasa digunakan untuk produksi protein rekombinan. Galur tersebut, yaitu GS115 mempunyai genom dengan ukuran 9,43 Mpb (Mega pasang basa) yang terdapat pada empat kromosom, dan 20
memiliki 5.313 gen pengode protein. Informasi yang tersedia dengan adanya urutan genom P. pastoris akan mempercepat pengembangan P. pastoris sebagai inang ekspresi protein, membangun kapasitas natural P. pastoris untuk produksi protein heterolog yang dapat digunakan untuk kepentingan biofarmasi.
21
3 Pichia pastoris Sebagai Organisme Eksperimen
TIGA puluh delapan tahun yang lalu, Koichi Ogata menggambarkan kemampuan spesies ragi tertentu untuk memanfaatkan metanol sebagai satu-satunya sumber karbon dan energi (Ogata et al., 1969). Metilotrop langsung menjadi perhatian sebagai sumber potensial SCP (single cell protein) yang terutama dipasarkan sebagai makanan ternak dengan kadar protein tinggi. Selama 1970-an Phillips Petroleum Company mengembangkan media dan protokol untuk menumbuhkan Pichia pastoris dalam metanol menggunakan kultur kontinu pada densitas sel yang tinggi (berat sel kering mencapai 130 g/L, Gambar 3.1). Namun krisis minyak dunia menyebabkan harga metana meningkat tajam. Bersamaan dengan itu harga kedele sebagai sumber alternatif makanan ternak 22
turun. Sehingga nilai ekonomi produksi SCP dari metanol terlalu tinggi.
Gambar 3.1. Densitas kultur yang tinggi dari P. pastoris. Botol sentrifugasi yang di sebelah kiri memperlihatkan kultur P. pastoris yang ditumbuhkan mencapai densitas OD600 1 unit. Botol sebelah kanan mengandung galur P. pastoris yang ditumbuhkan pada fermentor mencapai densitas berat kering sel 130 g/L (OD600 ± 500 unit).
Dalam beberapa dekade selanjutnya Phillips Petroleum membuat kontrak dengan Salk Institute Biotechnology/ Industrial Associateds Inc. (SIBIA, La Jolla, CA) untuk mengembangkan P. pastoris sebagai organisme untuk ekspresi protein heterolog. Peneliti pada 23
SIBIA mengisolasi gen dan promotor untuk alkohol oksidase, dan membuat vektor, galur dan protokol untuk manipulasi genetik P. pastoris. Kombinasi metode fermentasi yang dikembangkan untuk proses SCP dan kuatnya promotor alkohol oksidase, digunakan untuk mengatur ekspresi protein heterolog. Pada tahun 1993 Phillips Petroleum menjual posisi paten sistem ekspresi P. pastoris pada Research Corporation Technologies (Tucson, AZ), pemegang paten sekarang. Selain itu, Phillips Petroleum melisensi Invitrogen Corporation (Carlsbad, CA) untuk menjual komponen sistem ini, mengatur kelanjutannya di bawah Research Corporation Technologies (Cereghino & Cregg, 2000). Teknik-teknik yang dibutuhkan untuk manipulasi genetika molekul dari P. pastoris, seperti transformasi yang dimediasi DNA, menargetkan gen, penggantian gen dan kloning, sama dengan S. cerevisiae. P. pastoris dapat ditransformasi dengan elektroporasi, metode pembentukan speroplas, atau metode sel utuh seperti metode yang menggunakan litium klorida dan polietilen glikol (Cregg et al., 1985). Seperti pada S. cerevisiae, P. pastoris menunjukkan kecenderungan rekombinasi homolog antara genom dengan DNA artifisial yang diintroduksi. Pemotongan vektor P. pastoris dalam urutan yang sama dengan genom inang, akan menstimulasi peristiwa rekombinasi homolog yang merupakan target 24
yang efisien untuk integrasi vektor ke lokus genom (Cregg & Madden, 1988). Penggantian gen terjadi pada frekuensi yang rendah dibandingkan yang terjadi pada S. cerevisiae dan membutuhkan urutan ujung yang lebih panjang untuk terjadinya integrasi langsung yang efisien. P. pastoris merupakan ragi homotallus ascomycetes yang dapat juga dimanipulasi dengan metode genetika klasik. Tidak seperti galur S. cerevisiae homotallus yang merupakan diploid, P. pastoris tetap berbentuk haploid sampai dipaksa untuk kawin. Galur dengan marker komplemen dapat juga kawin dengan menempatkannya pada medium yang minim nitrogen. Setelah satu hari pada medium ini, sel dipindahkan ke medium minimal standar dengan nutrien yang didesain untuk menyeleksi sel-sel yang membentuk komplemen diploid (bukan sel yang kawin sendiri atau induk sel yang tidak kawin). Diploid yang diperoleh stabil selama sel tidak ditempatkan pada nutrisi yang menyebabkan stres. Untuk memperoleh produk spora, diploid dikembalikan ke medium dengan nitrogen terbatas, yang akan merangsang sel untuk melakukan miosis dan sporulasi. Produk spora dapat diperlakukan dengan teknik acak dibandingkan teknik mikro-manipulasi, karena P. pastoris asci berukuran kecil dan sulit untuk dipotong. Selanjutnya metode strandar manipulasi genetika klasik dapat dilakukan, termasuk: isolasi mutan, analisis 25
komplementasi, backcrossing, konstruksi galur, dan analisis spora (Cereghino & Cregg, 2000).
1. Metabolisme Metanol pada P. pastoris Ragi metilotropik seperti P. pastoris dapat menggunakan metanol sebagai satu-satunya sumber karbon. Konsep dasar untuk sistem ekspresi P pastoris diambil dari observasi bahwa beberapa enzim yang dibutuhkan untuk metabolisme metanol terdapat pada level substansial hanya bila sel ditumbuhkan dalam metanol. Studi biokimia memperlihatkan bahwa pemanfaatan metanol membutuhkan sejumlah jalur metabolik yang melibatkan beberapa enzim yang unik. Enzim alkohol oksidase (AOX) mengatalisis reaksi tahap pertama pada jalur pemanfaatan metanol, yang mengoksidasi metanol menjadi formaldehid (Gambar 3.2). Produk samping dari reaksi ini adalah hidrogen peroksida (H2O2). Untuk mencegah sifat racun dari H2O2, maka metabolisme metanol ini dilakukan di sebuah organel sel khusus yang disebut dengan peroksisom. Alkohol oksidase merupakan flavoprotein oligomer yang mengandung FAD dan analog mFAD yang terikat secara nonkovalen dan menyempurnakan transfer elektron. AOX terdapat dalam peroksisom bersama dengan katalase, yang mendegradasi hidrogen 26
peroksida menjadi oksigen dan air. Sejumlah formaldehid yang dihasilkan oleh AOX meninggalkan peroksisom dan selanjutnya dioksidasi menjadi format dan karbon dioksida oleh dua dehidrogenase sitoplasma, formaldehid dehidrogenase (Fld) dan format dehidrogenase (Fdh). Reaksi ini merupakan sumber energi bagi sel untuk tumbuh dalam metanol (Cereghino dan Cregg, 2000; De Schutter et al., 2009).
Gambar 3.2. Jalur metabolisme metanol pada P. pastoris. (1) AOX, alkohol oksidase; (2) FLD, formaldehid dehidrogenase; (3) FGH, S-formilglutation hidrolase; (4) FDH, format dehidrogenase, (5) CAT, katalase; (6) DAS, dihidroksiaseton sintase; (7) DAK, dihidroksiaseton kinase; (8) TPI, triosa fosfat isomerase; (9) FBA, fruktosa 1,6-bifosfat aldolase; (10) FBP, 27
fruktosa 1,6-bisfosfatase. DHA, dihidroksiaseton; GAP, gliseraldehid 3-fosfat; DHAP, dihidroksiaseton fosfat; F 1,6Bpi, fruktosa 1,6-bisfosfat; F6P fruktosa 6-fosfat; Pi, fosfat; Xu5P, xilulosa 5-fosfat; GSH, glutation. (De Schutter et al, 2009).
Sisa formaldehid berasimilasi untuk membentuk konstituen selular melalui jalur siklik yang dimulai dengan kondensasi formaldehid dengan xilulosa 5monofosfat, reaksi ini dikatalisis oleh enzim peroksisom dihidroksiaseton sintase (DAS). Produk dari reaksi ini adalah gliseraldehid 3-fosfat dan dihidroksiaseton, yang meninggalkan peroksisom dan masuk ke jalur sitoplasma yang membentuk xilulosa 5-monofosfat dan untuk setiap tiga siklus diperoleh satu molekul gliseraldehid 3-fosfat. Dua enzim pada jalur metanol, AOX dan DAS, terdapat dalam jumlah yang tinggi pada sel yang ditumbuhkan dalam metanol, namun enzim ini tidak terdeteksi pada sel yang ditumbuhkan pada sumber karbon lain (seperti glukosa, gliserol atau etanol) (Cereghino dan Cregg, 2000). Dalam P. pastoris terdapat dua gen yang mengode alkohol oksidase, yaitu AOX1 dan AOX2. AOX1 bertanggung jawab terhadap aktivitas utama alkohol oksidase dalam sel. Ekspresi gen AOX1 dikontrol pada level transkripsi (Cregg et al., 1989). Pada sel yang ditumbuhkan dengan metanol, 5 persen dari RNA poly 28
(A) berasal dari AOX1. Namun, pada sel yang ditumbuhkan dengan sumber karbon lain, RNA AOX1 tidak terdeteksi. Regulasi gen AOX1 melibatkan dua mekanisme: mekanisme represi/derepresi dan mekanisme induksi, sama dengan regulasi gen GAL1 pada S. cerevisiae. Kehadiran metanol penting untuk induksi transkripsi level tinggi (Tschopp et al., 1987). Biasanya jumlah AOX1 mencapai 30 persen dari total protein P. pastoris ketika metanol dijadikan sebagai sumber karbon. Gen AOX2 memiliki kemiripan dengan AOX1 sampai 97 persen. Namun gen ini terekspresi lebih lambat di metanol dibandingkan AOX1 (Cregg et al., 1989). Regulasi metabolisme metanol pada ragi metilotropik merupakan proses yang kompleks yang melibatkan kontrol sintesis, aktivasi dan degradasi enzimenzim pada metabolisme metanol (Cereghino & Cregg, 2000). Sintesis enzim untuk metabolisme metanol diinduksi oleh metanol, formaldehid dan format. Penelitian regulasi AOX menunjukkan bahwa aktivitas alkohol oksidase direduksi oleh glukosa dan etanol melalui mekanisme represi katabolit dan inaktivasi katabolit. Represi katabolit melibatkan kontrol sintesis enzim, sedangkan inaktivasi katabolit melibatkan inaktivasi atau degradasi enzim (Inan & Meagher, 2001). Enzim-enzim yang terlibat pada metabolisme metanol diregulasi pada tingkat transkripsi. Lin29
Cereghino et al. (2006), mengidentifikasi dan mengarakterisasi gen MXR1 (methanol expression regulator 1). Produk dari gen ini adalah protein Mxr1p yang merupakan faktor transkripsi yang meregulasi enzim-enzim pada jalur metabolisme metanol dan transkripsi gen PEX (gen yang terlibat pada biogenesis peroksisom). Mxrp1 dibutuhkan untuk ekspresi gen-gen pada jalur metabolisme metanol dan biogenesis peroksisom. Konversi metanol menjadi formaldehid merupakan tahap penentu laju reaksi penggunaan metanol dan diregulasi dengan peningkatan jumlah AOX dalam sel. Hal ini didemonstrasikan melalui observasi bahwa bila konsentrasi metanol dinaikkan dengan tiba-tiba, maka pertumbuhan sel akan terhambat (Couderc & Baratti, 1980). Formaldehid yang diproduksi pada reaksi ini kemudian akan dioksidasi melalui jalur disimilasi sitosol yang menghasilkan energi atau jalur asimilasi untuk pembentukan biomassa (Gellissen et al., 1992). Tahap pertama jalur asimilasi adalah aktivasi DAS, yang terdapat di sitoplasma dan di bawah kontrol promotor yang diinduksi oleh metanol (Gellissen, 2000; Tschopp et al., 1987). Formaldehid dikonversi menjadi dihidroksiaseton dan glukosa 3-fosfat. Pada jalur disimilasi, formaldehid dikonversi menjadi format oleh FLD dan kemudian menjadi CO2 oleh FMDH. Protein 30
peroksisom seperti AOX diperkirakan mengalami pergantian yang cepat. Pergantian ini dikombinasi dengan afinitas enzim yang rendah terhadap O2, sehingga jumlah protein AOX dapat menjadi tinggi, mencapai 30 persen dari TCP (total cell protein), dan ukuran peroksisom dapat mencapai 80 persen dari volume sel bila P. pastoris ditumbuhkan dengan metanol sebagai sumber karbon (Gambar 3.3). Karena FMDH dan DAS dibutuhkan untuk penggunaan metanol, levelnya dapat mencapai 20 persen TCP (Gellissen et al., 1992; Cereghino & Cregg, 1999).
2. Sel dengan densitas tinggi dapat tumbuh pada kultur fermentor Suatu kelebihan utama dibandingkan S. cerevisiae adalah P. pastoris merupakan ragi fermentor yang jelek. Pada proses fermentasi oleh S. cerevisiae, bila sel mencapai densitas tinggi, etanol (produk pada fermentasi S. cerevisiae) dengan cepat terbentuk sampai mencapai level toksik sehingga menghambat pertumbuhan sel dan produksi protein asing. Pada pilihan untuk pertumbuhan respirasi, P. pastoris dapat dikultur pada densitas sel yang sangat tinggi (500 OD600 U ml-1 ) pada fermentor dengan lingkungan yang dikontrol dengan risiko “mabuk”. Pertumbuhan fermentasi terutama penting untuk protein yang disekresikan, karena konsentrasi produk pada 31
medium secara kasar sebanding dengan konsentrasi sel pada kultur (Cereghino & Cregg, 2000).
Gambar 3.3. (A) Sel P. pastoris yang ditumbuhkan pada media yang tidak mengandung methanol. (B) Sel P. pastoris yang ditumbuhkan pada media yang mengandung methanol (P= peroksisom; N= nucleus; V= vakuola; L= badan lipid).
Aspek positif untuk pertumbuhan P. pastoris pada kultur fermentor adalah level transkripsi yang diawali oleh promotor AOX1 akan 3-5 kali lebih besar pada sel yang mengonsumsi metanol pada laju batas pertumbuhan dibanding dengan sel yang ditumbuhkan pada metanol yang berlebih. Sehingga, walaupun untuk protein yang diekspresikan intraselular, produk yang dihasilkan akan lebih besar pada kultur sel fermentor. Selain itu metabolisme metanol memerlukan oksigen dengan jumlah 32
maksimal, sehingga ekspresi protein asing akan dihentikan bila oksigen terbatas. Hanya pada fermentasi dengan lingkungan yang terkontrol level oksigen dapat diatur pada kultur medium. Tanda dari sistem P. pastoris adalah kemudahan galur ekspresi untuk ditingkatkan (scale-up) dari kultur pada labu (shake-flask) sampai kultur fermentor dengan densitas tinggi. Walaupun beberapa protein asing telah berhasil diekspresikan dengan baik pada kultur shake-flask, level ekspresinya pada umumnya rendah dibandingkan kultur fermentor. Usaha maksimal telah dilakukan untuk mengoptimalkan teknik ekspresi protein, dan protokol detail kultur fed-batch dan kultur kontinu sudah tersedia (Brierley, 1998; Stratton et al., 1998). Secara umum, galur pertama kali ditumbuhkan pada medium tertentu yang mengandung gliserol sebagai sumber karbonnya. Selama waktu ini biomassa akan terakumulasi namun ekspresi gen heterolog direpresi. Dengan berkurangnya gliserol, fasa transisi dimulai, kemudian tambahan gliserol diberikan ke kultur pada batas laju pertumbuhan. Akhirnya metanol atau campuran gliserol dan metanol diberikan ke kultur untuk menginduksi ekspresi. Konsentrasi protein asing dimonitor pada kultur untuk menentukan waktu untuk memanen. Kondisi pertumbuhan P. pastoris, ideal untuk produksi protein heterolog dengan skala besar, karena komponen 33
mediumnya tertentu dan tidak mahal, yang terdiri dari sumber karbon (gliserol dan metanol), biotin, garam, trace element dan air. Medium ini bebas dari unsur yang tidak jelas, yang dapat merupakan sumber dari pyrogen atau toksin, sehingga dapat digunakan untuk produksi obat manusia. Selain itu, karena P. pastoris dikulturkan pada media dengan pH yang relatif rendah dan metanol dengan konsentrasi relatif rendah, maka kontaminasi juga sedikit (Cereghino & Cregg, 2000).
34
4 Konstruksi Galur Ekspresi
1. Galur-galur ekspresi P. pastoris SEJUMLAH galur P. pastoris dengan genotipe yang berbeda telah tersedia secara komersial. Semua galur ekspresi P. pastoris diturunkan dari NRRL-Y 11430 (Northern Regional Laboratories, Peoria, IL). Galur-galur tersebut pada umumnya mengandung satu atau lebih mutasi auksotropi yang berguna untuk seleksi transforman yang mengandung vektor ekspresi dengan gen penyeleksi yang tepat. Setelah transformasi semua galur ini akan tumbuh pada media kompleks tapi membutuhkan suplemen dengan nutrien tertentu untuk tumbuh pada minimal media (Cereghino & Cregg, 2000). Pemilihan galur ditentukan oleh kebutuhan. Sejumlah karakteristik genotipe dan fenotipe dari sejumlah galur diperlihatkan pada Tabel 4.1. Sebagai contoh, galur SMD1168 dan SMD 1168H tidak memiliki vakuola peptidase A (pep4). Enzim ini bertanggung jawab 35
terhadap aktivasi karboksipeptidase Y dan protease B1, sehingga galur SMD1168 dan SMD 1168H juga tidak memiliki protease ini (White et al., 1994). Galur lain seperti KM71, GS115 dan SMD1168 merupakan galur yang tidak memiliki gen histidin dehidrogenase (his4). Penggunaan galur-galur ini menghasilkan transforman yang dapat diseleksi berdasarkan kemampuannya untuk tumbuh pada media yang tidak mengandung histidin. Tabel 4.1. Genotipe dan fenotipe dari galur-galur P. pastoris Galur SMD1168 GS115 KM71 X-33 MP-36 SMD1165 SMD1163
Genotipe His4, pep4 His4 His4, aox1: ARG4; arg4 Wild type His4, prb1 His4, prb1, pep4 MC100-3 Arg4 his4 aox1Δ:: SARG4 aox2Δ:: Phis4 (Sumber: Daly et al., 2005)
Fenotipe Mut+, His-, pep4Mut+, HisMuts, HisMut+, His-, prb1Mut+, His-, pep4, prb1Mut-, His-
Fenotipe berdasarkan penggunaan metanol Tiga fenotipe P. pastoris berdasarkan konsumsi metanol (Mut+, Muts dan Mut-) telah digunakan untuk produksi protein heterolog. Genom P. pastoris 36
mengandung dua kopi gen untuk alkohol oksidase (AOX). Promotor gen AOX1 yang meregulasi 85 persen aktivitas alkohol oksidase dalam sel merupakan promotor yang digunakan untuk menjalankan ekspresi gen asing pada Pichia. Promotor AOX1 dan kaset ekspresi gen X bersama dengan gen HIS4 (histidinol dehidrogenase) untuk seleksi disisipkan ke genom Pichia galur his-, seperti galur GS115 (his4). Insersi kaset ekspresi ke lokus HIS4 akan menghasilkan galur Mut + (metanol utilization plus), yaitu suatu fenotipe yang sama dengan wild type P. pastoris (Cregg et al., 1989). Galur inang P. pastoris pada umumnya tumbuh di metanol pada laju yang sama dengan wild type (Mut+, fenotipe metanol utilization plus). Namun tersedia juga dua galur inang lain yang bervariasi dalam kemampuannya untuk memanfaatkan metanol karena adanya delesi pada salah satu atau kedua gen AOX. Galur dengan mutasi AOX kadang-kadang lebih baik dalam memproduksi protein asing dibandingkan galur wild type (Inan & Meager, 2001; Cregg et al., 1993). Selain itu galur ini tidak membutuhkan sejumlah besar metanol secara rutin yang digunakan untuk fermentasi skala besar. Bila kaset ekspresi diinsersikan dalam lokus AOX1, akan terbentuk galur Mut s ((metanol utilization slow). Cara lain untuk mendapatkan galur inang fenotipe Muts adalah dengan merusak gen AOX1. Galur KM71 37
(his4 arg4 aox1Δ:: SARG4) merupakan galur Mut s dimana AOX1 telah dihapus secara parsial dan diganti dengan gen ARG4 dari S. cerevisiae. Karena galur ini harus mengandalkan AOX2 yang lemah dalam metabolisme metanol, maka galur ini tumbuh dengan lambat pada sumber karbon metanol (Cregg & Madden, 1988) Galur yang lain yaitu: MC100-3 (his4 arg4 aox1v: :SARG4 aox2v:: Phis4) mengalami delesi pada kedua gen AOX dan sama sekali tidak dapat tumbuh dalam metanol (Mut-, fenotipe metanol utilization minus). Semua galur ini, termasuk Mut-, memelihara kemampuan untuk induksi ekspresi level tinggi dengan promotor AOX1 (Cregg et al., 1989) Induksi ekspresi protein oleh promotor AOX1 dikontrol dengan menumbuhkan sel pada media yang mengandung metanol sebagai satu-satunya sumber karbon dan energi untuk galur Mut + dan Muts. P. pastoris galur Muts akan tumbuh dengan sangat lambat karena galur ini tidak memiliki gen AOX1. Terdapat dua keuntungan pada ekspresi protein menggunakan galur Mut -. Pertama, galur Muts dan Mut- memberikan hasil ekspresi protein yang lebih tinggi. Kedua, mengurangi biaya fasilitas penyimpanan metanol dalam jumlah besar. Dengan menggunakan galur Mut - jumlah penggunaan metanol 38
untuk induksi dapat dikurangi 35x dibandingkan dengan galur Muts (Clare et al., 1991). Galur inang defisien protease Beberapa galur defisien protease SMD1163 (his4pep4prb1), SMD1165 (his4prb1), dan SMD1168 (his4, pep4) mendegradasi beberapa protein asing dengan efektif. Hal ini terutama dapat diamati pada kultur fermentor, karena kombinasi dari sel densitas tinggi dan lisis sejumlah kecil sel menghasilkan protease vakuola konsentrasi tinggi. Galur defisien protease SMD1168 Δpep4:: URA3 Δkex1:: SUC2 his4 ura3 baru-baru ini dikembangkan untuk menginhibisi proteolisis dari endostatin murine dan manusia. Protease Kex1 dapat memotong ujung karboksil dari lysin dan arginin. Sehingga galur dengan delesi Kex1 dibuat untuk menghambat proteolisis ujung karboksil. Setelah fermentasi selama 40 jam, pemurnian endostatin dapat dilakukan. Namun sel defisien protease ini tidaklah sebagus galur wild type (dalam hal PEP4). Selain itu, kelangsungan hidupnya juga rendah dan sel ini tumbuh lambat dan lebih sulit untuk ditransformasi. Sehingga penggunaan galur defisien protease hanya direkomendasikan pada situasi bila cara lain untuk mengurangi proteolisis memberikan hasil yang tidak memuaskan (Cereghino & Cregg, 2000). 39
Pengaruh fenotipe Mut+ dan Muts Bila kaset ekspresi terintegrasi melalui insersi pada lokus AOX atau lokus His4 maka integrasi multikopi akan diperoleh dengan frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan integrasi pergantian gen dengan AOX (Romanos, 1995). Skrining transforman fenotipe Mut+/Muts penting dilakukan untuk menentukan kondisi kultur yang akan digunakan. Hasil ini dapat disempurnakan dengan menanam transforman pada kondisi ‘minimal dekstrosa dan minimal metanol’ dan membandingkan karakteristik pertumbuhan dengan galur kontrol seperti GS115/His-/Muts dan GS115/His+/Mut+ (Vasilleva et al., 2001). Sel dengan fenotipe Muts telah digunakan untuk merakit antigen permukaan hepatitis B manusia dengan tepat menjadi partikel, sementara itu tingkat pertumbuhan yang tinggi dari galur Mut + tidak dapat memproduksi partikel (Cregg et al., 1989). Pertumbuhan galur Mut s dapat dibantu dengan menambahkan manitol atau sorbitol dan induksi dengan metanol dalam jumlah sedikit dibandingkan dengan galur Mut+. Pertumbuhan yang lambat dan produksi protein oleh Muts dalam metanol lebih disukai terutama pada protein di mana folding merupakan tahap penentu (Romanos, 1995). Ketika ditumbuhkan dalam metanol 0,5 persen, galur Mut s yang mengandung karboksipeptidase 40
A2 diekspresikan dengan level yang lebih tinggi dibandingkan galur Mut +, tapi ekspresi Mut + meningkat bila konsentrasi metanol dinaikkan (Reverter et al., 1998). Galur Mut+ kurang disukai karena diracuni metanol dibandingkan Muts tapi lebih disukai karena tidak terlalu memerlukan oksigen (Romanos, 1995). Sel dengan fenotipe Muts juga cenderung untuk memproduksi protein dalam jumlah yang sama dengan galur Mut + dalam kultur pengocok-labu, kemungkinan karena labu menyuplai oksigen lebih sedikit dan fenotipe Mut+ tumbuh terbatas (Cregg et al., 1993). Ilustrasi dari ketergantungan ini merupakan hasil dari ekspresi invertase, -galaktosidase dan antigen permukaan hepatitis B menggunakan P. pastoris (Tschopp et al., 1987; Cregg et al., 1989). 2. Vektor ekspresi untuk P. pastoris Ekspresi gen asing pada P. pastoris membutuhkan tiga tahap penting, yaitu: (1) insersi gen ke vektor ekspresi; (2) introduksi vektor ekspresi ke genom P. pastoris; dan (3) pengujian galur yang mempunyai potensi untuk mengekspresikan produk gen asing. Sejumlah vektor ekspresi untuk P. pastoris dan galur inangnya telah tersedia. Diagram umum vektor ekspresi dan daftar komponen vektor diperlihatkan pada Gambar 4.1 dan Tabel 4.2. Urutan DNA beberapa vektor dapat ditemukan di website Invitrogen (www.invitrogen.com). 41
Vektor ekspresi P. pastoris pada umumnya memiliki format yang sama. Semua vektor ekspresi telah didisain sebagai shuttle vektor E. Coli/P. pastoris, yang mengandung titik awal replikasi untuk mempertahankan plasmid di E. coli dan marker fungsional di satu atau kedua organisme. Replikasi plasmid dalam P. pastoris membutuhkan tambahan urutan P. pastoris-specific autonomous replication sequence (PARS) (Cregg et al., 1985). PARS akan mempertahankan vektor sebagai elemen sirkular dengan jumlah kopi sekitar 10/sel. Dibandingkan dengan S. cerevisiae, P. pastoris memiliki kecenderungan rekombinasi, walaupun terdapat PARS. Vektor yang mengandung lebih dari sekitar 0,5 kb urutan DNA P. pastoris akan terintegrasi ke genom P. pastoris pada beberapa titik selama 100 generasi pertama setelah transformasi. Kebanyakan vektor ekspresi memiliki kaset ekspresi yang terdiri dari 0,9 kb fragmen AOX1 yang mengandung urutan promotor 5’ dan urutan pendek fragmen AOX1 yang mengandung urutan yang dibutuhkan untuk terminasi transkripsi. Di antara urutan promotor dan terminator terdapat multiple cloning site (MCS) untuk insersi urutan pengode gen asing. Diagram umum vektor ekspresi P. pastoris diperlihatkan pada Gambar 4.1, dan MCS vektor pPICZA diperlihatkan pada Gambar 4.2.
42
Gambar 4.1. Diagram umum vektor ekspresi P. pastoris. YFG, ‘Your Faforite Gene’
43
Gambar 4.2. Urutan multiple cloning site (MCS) pada vektor pPICZA (Invitrogen, 2006).
Pada gen natif AOX1, open reading frame (ORF) untuk AOX1 didahului oleh daerah 5’ yang panjang dan tidak ditranslasi (116 nt). Biasanya hasil ekspresi yang bagus akan diperoleh bila ATG pertama dari urutan pengode protein heterolog diinsersikan sedekat mungkin dengan posisi ATG AOX1. Posisi ini merupakan sisi pertama enzim restriksi pada MCS (Cereghino dan Cregg, 2000). Agar protein heterolog dapat disekresikan ke medium ekstraselular, maka beberapa vektor ekspresi telah dirancang dengan penambahan sinyal sekresi tertentu dari sel eukariota seperti ragi. Terdapat banyak jenis sinyal sekresi yang telah digunakan dalam sistem ekspresi ragi, seperti peptida sinyal yang berasal dari gen PHO1 (asam fosfatase) P. pastoris, invertase ragi, sinyal sekresi -mating factor ragi, dan lain-lain. Masing masing sinyal memiliki keunggulan tersendiri dan tidak ada aturan khusus untuk menentukan urutan sinyal yang efektif. Di antara semua sinyal ini, peptida sinyal mating factor ragi yang terdiri dari 19 residu asam amino, yang berperan penting dalam inisiasi pematangan (Koganeshawa et al., 2001). 44
Tabel 4.2. Komponen umum yang terdapat pada vektor untuk ekspresi protein dalam P. pastoris. Signal sekresi
Tidak ada, PHO1, -MF, SUC2, PHA-E
Gen marker
ADE1, ARG4, G418, HIS4, URA3, Zeor
Promotor
AOX1, GAP, FLD1, PEX8, YPT1
Terdapat sejumlah vektor yang tersedia secara komersial yang dapat digunakan untuk mengekspresikan protein asing dalam P. pastoris. Berikut akan didiskusikan beberapa aspek penting dari vektor yang biasa digunakan. Sejumlah vektor tidak mengandung signal sekresi sebelum multi cloning site, vektor ini dapat digunakan untuk ekspresi intraselular atau ekspresi ekstraselular melalui kloning gen pengode protein berikut signal sekresi natifnya. Vektor yang lain mengandung urutan sinyal seperti pre-pro leader sequence -mating factor ( MF) sebelum sisi MCS, sehingga produk gen akan disekresikan. Generasi pertama vektor ekspresi P. pastoris, seperti pHIL-D2 atau pPIC9 (Gambar 4.3), mengandung gen histidin dehidrogenase (HIS4) fungsional yang dapat digunakan sebagai marker penyeleksi setelah transformasi ke dalam P. pastoris his4 (galur yang defisien histidin dehidrogenase) melalui metode transformasi integrasi yang dipilih. 45
Gambar 4.3. Diagram vektor pHIL-D2 dan pPIC9
Untuk memperoleh ekspresi protein level tinggi dengan transforman His+ ini, diperlukan analisis lebih lanjut untuk mendeteksi tandem integrasi multikopi dari kaset ekspresi. Selanjutnya, gen yang mengubah resistensi terhadap GS418 (kanamycin) ditambahkan ke vektor ini untuk menghasilkan vektor ekspresi pPIC9K (Gambar 4.4). Pendekatan ini memungkinkan transformasi dan seleksi transforman His+ yang resistan terhadap GS418 (kanamycin) konsentrasi tinggi, sehingga diasumsikan mengandung vektor ekspresi multikopi.
46
Gambar 4.4. Diagram vektor pPIC9K Beberapa masalah telah didokumentasikan pada penggunaan vektor-vektor tersebut di atas. Pertama, ukuran vektor yang besar (9,0-9,3 kb) menyebabkan tahap kloning in vitro menjadi lebih sulit (Sears et al., 1998) dan integrasi vektor dengan ukuran besar pada umumnya menghasilkan transforman yang secara genetik kurang stabil (Romanos et al., 1992). Kedua, karena tidak semua aplikasi membutuhkan penargetan melalui pergantian gen, maka daerah 3’ gen AOX1 pada vektor tidak dibutuhkan. Penggunaan gen His4 tidak secara langsung dapat digunakan untuk seleksi integran multikopi (dan gennya sendiri cukup besar), hambatan ini telah menghasilkan usaha untuk menemukan marker seleksi alternatif untuk mendapatkan integran multikopi secara langsung, dan juga untuk mengurangi ukuran vektor, sehingga 47
menghasilkan generasi vektor yang berdasarkan pada kemampuan produk gen Sh ble untuk mengubah resistensi terhadap antibiotik zeocin (Gambar 4.5).
Gambar 4.5. Diagram vektor pPICZ (Invitrogen, 2006)
Vektor resistan zeocin juga tersedia dengan MF (untuk ekspresi sekresi), tanpa urutan sinyal (untuk intraselular atau ekspresi ekstraselular menggunakan urutan sinyal natif), juga dengan pilihan promotor AOX1 atau GAP. Tabel 4.3 di bawah ini menjelaskan sisi-sisi 48
istimewa pada keuntungannya.
vektor
ekspresi
pPICZA
serta
Tabel 4.3 Sisi-sisi istimewa pada vektor ekspresi pPICZA serta kegunaannya (Invitrogen, 2006) Sisi keistimewaan 5′ AOX1
Kegunaan Fragmen 942 pb dari promotor AOX1 yang berfungsi untuk induksi metanol, tingkat ekspresi yang tinggi pada Pichia. Target integrasi plasmid pada lokus AOX1.
Multiple cloning site Berfungsi untuk memasukan gen dengan 10 sisi restriksi asing ke dalam vektor ekspresi. yang unik. Ujung C-terminal myc Memungkinkan protein fusi dapat epitope (Glu-Gln-Lys- dideteksi oleh antibodi anti-myc Leu-Ile-Ser-Glu-Gluatau antibodi anti-myc-HRP. Asp-Leu-Asn). Ujung C-terminal polihistidin.
Protein fusi rekombinan dapat dimurnikan resin khelat-logam seperti ProBondTM. Selain itu, ujung ini adalah epitop untuk Antibodi Anti-His(C-term) dan Antibodi Anti-His (C-term)-HRP.
49
Terminasi transkripsi AOX1 (TT).
Terminasi transkripsi natif dan sinyal poliadenilasi dari gen AOX1 (~260 pb) yang memungkinkan proses efisiensi 3′ mRNA, termasuk poliadenilasi, untuk meningkatkan stabilitas mRNA.
Promotor TEF1
Faktor elongasi transkripsi promotor gen 1 dari S. cerevisiae yang mengendalikan ekspresi gen Sh ble pada Pichia, yang memberi resistensi terhadap Zeocin.TM
EM7 (promotor prokariota sintetik).
Promotor konstitutif yang ini mengendalikan ekspresi gen Sh ble pada E. coli, yang memberi resistensi terhadap Zeocin.TM
Gen Sh ble (gen Streptoalloteichus hindustanus ble)
Gen resistensi ZeocinTM untuk seleksi pada E.coli.
Daerah terminasi transkripsi CYC1.
Ujung 3′ gen CYC1 S. cerevisiae yang efisien pada pemprosesan 3′ mRNA gen Sh ble untuk meningkatkan stabilitas.
ORI pUC
Berfungsi sebagai titik awal replikasi dan pemeliharaan plasmid E.coli.
50
SacI PmeI BstX I
Sisi restriksi yang unik yang dapat melinearkan vektor pada lokus AOX1 untuk integrasi yang efisien kedalam genom Pichia.
Vektor yang resistensi zeocin hanya mengandung daerah promotor 5′AOX1 dan terminator transkripsi AOX1, serta gen Sh ble. Walaupun vektor ini tidak dapat digunakan secara langsung untuk penggantian gen, transforman yang mengandung kaset ekspresi multikopi dapat diseleksi berdasarkan resistensi terhadap zeocin konsentrasi tinggi. Fenotipe Muts (aox1) mungkin masih diperoleh jika gen AOX1 dirusak (Vassileva et al., 2001). Pada vektor yang berdasarkan resistensi terhadap zeocin ini (3,3-3,6 kb), kaset ekspresi juga berada di antara sisi restriksi BamH1 dan Bgl1, sehingga memungkinkan untuk mengonstruksi vektor yang mengandung multiple tandem kaset ekspresi (in vitro multimer) (Gambar 4.6). Proses ini juga mungkin dilakukan menggunakan vektor pAO815. Walaupun ukuran vektor ini adalah 7,7 kb, tahapan kloning menjadi lebih sulit dan multimer vektor ekspresi yang dihasilkan juga sangat besar, sehingga tidak stabil secara genetik. Tipe perakitan kaset multimer vektor juga telah diaplikasikan dengan sukses untuk ko-ekspresi protein dalam P. pastoris. Secara spesifik Wu dan koleganya 51
(1999) berhasil memperoleh hidrolisis nitril melalui koekspresi tiga protein (nitril hidratase subunit, nitril hidratase subunit, dan protein asesoris P14K) melalui inkorporasi cDNA masing-masing protein ke dalam satu vektor ekspresi yang memungkinkan pembentukan protein oligomer yang tepat. Selain itu, Pakkanen et al (2003) memperlihatkan bahwa ko-ekspresi rantai 1 (I) foldon dan 2 (I) foldon pada P. pastoris memicu terbentuknya kolagen heterodimer tipe 1 dengan rasio rantai yang tepat.
Gambar 4.6. Diagram vektor multimer dua kopi. 3. Transformasi/ integrasi ke genom P. pastoris 52
P. pastoris ditransformasi melalui integrasi kaset ekspresi ke kromosom pada lokus spesifik untuk menghasilkan transforman yang stabil secara genetik. Integrasi ke kromosom lebih disukai dibandingkan penggunaan plasmid episom yang cenderung memiliki jumlah kopi sedikit, sehingga hal ini akan memengaruhi jumlah produk yang diekspresikan. Ukuran plasmid juga memengaruhi stabilitas dalam inang, karena plasmid episom yang besar bisa menghilang selama pembentukan generasi berikut, karena tidak stabil selama mitosis (Thiry & Cingolani, 2002; Romanos et al., 1992). Selanjutnya, dalam rangka mempertahankan populasi sel yang telah ditransformasi, transforman yang mengandung plasmid episom harus dikulturkan secara kontinu menggunakan media seleksi (Romanos et al., 1992). Prosedur ini membutuhkan penggunaan aditif seperti antibiotik, sehingga dapat meningkatkan biaya produksi. Oleh karena itu, pengembangan galur ekspresi yang stabil secara genetik sangat diinginkan, dengan laju kehilangan vektor kurang dari 1 persen per generasi tanpa menggunakan marker penyeleksi (Romanos, 1995). Lebih lanjut, vektor integrasi biasanya mengandung marker penyeleksi yang dapat digunakan untuk mendeteksi transforman. Beberapa vektor dapat digunakan untuk analisis langsung peristiwa multi-tandem integrasi, namun analisis lebih lanjut jumlah integrasi perlu dilakukan. 53
Integrasi ke genom dapat terjadi melalui proses rekombinasi homolog bila vektor/ kaset ekspresi mengandung daerah yang homolog dengan genom P. pastoris sehingga integrasi dapat terjadi melalui insersi gen atau pergantian gen (Gambar 4.7A-C). Integrasi melalui insersi gen dapat menghasilkan integrasi multitandem karena terjadinya peristiwa rekombinasi berulang dengan laju 1-10 persen dari transforman (Romanos, 1995). Integrasi dapat dilakukan dengan dua cara. Cara yang paling sederhana adalah dengan memotong vektor pada sisi yang unik dalam gen penanda (seperti HIS4) atau pada fragmen promotor AOX1 dan kemudian mentransformasinya ke mutan auksotropi yang tepat. Ujung DNA bebas akan menstimulasi rekombinasi homolog yang menghasilkan integrasi tipe single crossover (Gambar 4.7A dan B) ke lokus ini dengan frekuensi tinggi (50 persen-80 persen dari transforman His+). Sisa transforman akan mengalami konversi gen, dimana hanya gen marker dari vektor yang terintegrasi ke lokus inang mutan, sedang urutan vektor yang lain tidak terintegrasi.
54
Gambar 4.7A. Insersi gen pada lokus his4
Gambar 4.7B. Insersi gen pada lokus AOX1 Transformasi yang menargetkan pergantian gen biasanya menghasilkan transforman satu kopi, namun 55
transforman hasil pergantian gen biasanya lebih stabil (Romanos et al., 1992; Clare et al., 1991). Pergantian gen dicapai melalui pemotongan vektor ekspresi yang ujung 5′ dan 3′ dari vektor merupakan ujung 5′ dan 3′ AOX1 pada lokus AOX kromosom. Vektor ekspresi dipotong sedemikian rupa sehingga kaset ekspresi dan gen marker dibebaskan, diapit oleh urutan 5′ dan 3′ AOX1. Sekitar 1020 persen peristiwa transformasi adalah merupakan hasil dari peristiwa pertukaran gen (gene replacement) bahwa gen AOX1 didelesi dan digantikan oleh kaset ekspresi dan gen marker (Gambar 4.7C) (Romanos, 1995).
Gambar 4.7C. Pergantian gen pada lokus AOX1. 56
Perusakan gen AOX1 akan memaksa galur ini untuk bergantung pada gen AOX2 yang ditranskripsi dengan lemah untuk tumbuh pada metanol, sehingga hasilnya galur ini memiliki fenotipe Muts (Cregg et al., 1987). Galur dengan penggantian gen akan mudah diidentifikasi di antara koloni transforman dengan cara mereplikanya pada media yang mengandung metanol dan menyeleksi koloni yang sulit tumbuh pada metanol. Manfaat utama dari galur Mut s adalah mengonsumsi sedikit metanol dan kadang-kadang mengekspresikan protein asing dengan jumlah tinggi dibandingkan wild tipe (galur Mut+) terutama pada kultur shake-flask. Sisi dan tipe integrasi (insersi atau penggantian) dapat dikonfirmasi dengan analisis southern blot, hibridisasi dengan probe yang diambil dari daerah promotor AOX1 (Paifer et al.,1994). Introduksi kaset ekspresi ke kromosom ragi dapat dilakukan melalui berbagai cara termasuk pembentukan speroplas, elektroporasi dan litium klorida. Transformasi metode speroplas telah digunakan untuk memperoleh transforman multikopi dengan menggunakan vektor seperti pPIC9K dan pPIC9 (Greenwald et al., 1998; Berger et al., 2002). Metode ini membutuhkan beberapa tahap dengan risiko di mana kontaminasi ragi mungkin terjadi. Selain itu pemotongan yang berlebihan dengan enzim pelisis sel zimolase dapat mengurangi fiabilitas sel. Elektroporasi 57
akhir-akhir ini semakin popular dan dapat digunakan untuk vektor resistan zeocin. Metode ini membutuhkan beberapa step dan risiko kontaminasi sedikit. Pengalaman di laboratorium memperlihatkan bahwa sistem ekspresi yang sangat efisien dapat dikonstruksi melalui strategi ini, sehingga sejumlah protein fungsional dengan folding yang tepat dapat disiapkan dan dipurifikasi, terutama bila protein tersebut mengandung tag-peptide, seperti heksahistidin pada posisi N atau C terminal. Contohnya, prosedur ini telah digunakan untuk persiapan sejumlah protein mutan reseptor aktivin ActRIa/b dan ActRIIa/b (Beall & Pearce, 2001).
4. Pemilihan promotor Seperti telah dijelaskan sebelumnya, enzim AOX1 mempunyai afinitas yang rendah terhadap oksigen, sehingga sebagai kompensasinya P. pastoris meningkatkan regulasi promotor AOX1 untuk menjalankan ekspresi gen AOX1 dan memproduksi sejumlah besar enzim AOX. Kenyataannya, melimpahnya enzim AOX bisa mencapai 30 persen total protein sel, bila sel ditumbuhkan pada metanol sebagai satu-satunya sumber karbon (Gellissen, 2000; Cregg et al., 1993). Sehingga promotor yang kuat ini dapat digunakan untuk menjalankan ekspresi protein rekombinan dengan level yang tinggi walaupun hanya terjadi integrasi satu kopi 58
dari kaset ekspresi. Manfaat lain dari promotor ini adalah dapat di-off-kan, sehingga sejumlah terbatas sumber karbon seperti gliserol dan glukosa merepresi promotor AOX1 pada level transkripsi dan meminimalkan kemungkinan untuk menyeleksi mutan non-ekspresi atau kontaminan selama pembentukan biomassa. (Inan & Meager, 2001; Cregg et al., 1993; Cereghino & Cregg, 2000). Karakteristik ini juga memungkinkan produksi protein yang toksik terhadap P. pastoris, seperti anti-sel T immunotoxin (Woo et al., 2002) dengan menumbuhkan sel pertama-tama dalam media represif dan kemudian menginduksi ekspresi protein bila biomassa sudah cukup banyak. Jika transforman digunakan untuk ekspresi adalah fenotipe Mut+, sejumlah besar metanol akan dikonsumsi selama fasa induksi. Pada proses fermentasi skala besar, jumlah metanol yang dibutuhkan sel dengan fenotipe ini dapat membahayakan karena mudah terbakar. s Transforman dengan fenotipe Mut dapat digunakan untuk mengurangi jumlah metanol yang dibutuhkan untuk ekspresi. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, ekspresi dengan galur Mut s hanya dapat menoleransi terhadap metanol dengan level rendah, dan pertumbuhan tidak dapat ditopang hanya dengan metanol. Untuk mengatasi kekurangan ini, pertumbuhan dapat didukung dengan sumber karbon alternatif seperti sorbitol, manitol, 59
trehalosa atau alanin. Semua sumber karbon ini diketahui mendukung pertumbuhan selama fasa produksi tanpa merepresi induksi AOX (Sreekrishna et al., 1997; Inan & Meager, 2001). Sreekrishna et al. (1997) juga menggunakan sorbitol untuk mendukung pretumbuhan dalam kultur semi kontinu. Baru-baru ini alternatif lain telah digambarkan di mana P. pastoris Mut- (MC100-3), yang gen AOX1 dan AOX2-nya rusak, telah digunakan untuk produksi protein yang dijalankan oleh promotor AOX. Pada contoh ini pertumbuhan dilakukan dengan adanya sumber karbon yang tidak menghambat pertumbuhan (seperti sorbitol, manitol) dan sejumlah kecil metanol ditambahkan secukupnya untuk menginduksi ekspresi protein tanpa menghambat pertumbuhan sel (Inan & Meager, 2001). Walaupun promotor AOX1 telah sukses digunakan untuk mengekspresikan sejumlah gen asing, kadang-kadang terdapat keadaan di mana promotor ini tidak cocok. Sebagai contoh penggunaan metanol untuk menginduksi ekspresi gen mungkin tidak cocok untuk produksi produk makanan, karena sumber metanol adalah metana yang merupakan senyawa industri perminyakan. Selain itu metanol juga berbahaya, terutama dalam jumlah yang dibutuhkan untuk fermentasi skala besar. Oleh karena itu, promotor yang tidak diinduksi oleh metanol lebih menarik untuk ekspresi gen-gen tertentu. Promotor 60
alternatif selain AOX1 adalah promotor GAP, FLD1, PEX8, dan YYPT1 P. pastoris. Promotor GAP Waterham dan kolega (1997) mengisolasi gen gliseraldehid 3-fosfat dehidrogenase dari P. pastoris melalui pelacakan pustaka genom P. pastoris dengan gen GAPDH S. cerevisieae. Daerah promotor dari gen ini selanjutnya diklon dan digunakan pada vektor ekspresi untuk menjalankan produksi protein rekombinan secara konstitutif. Promotor gen untuk gliseraldehid 3-fosfat dehidrogenase (GAP) P. pastoris menyediakan ekspresi konstitutif yang kuat pada medium glukosa dengan level yang sebanding dengan yang diamati pada promotor AOX1. Pendekatan ini memungkinkan sel ditumbuhkan tanpa menggunakan metanol sebagai penginduksi dan terutama baik digunakan untuk produksi protein untuk fermentor skala besar. Sejumlah sumber karbon telah digunakan pada produksi protein dengan promotor GAP, seperti glukosa, gliserol, asam oleat dan metanol, dan glukosa ditemukan menghasilkan ekspresi yang paling tinggi. Level aktivitas promotor GAP pada sel yang ditumbuhkan dengan gliserol dan metanol kira-kira dua per tiga dan satu per tiga dibanding dengan bila ditumbuhkan dengan glukosa. Manfaat menggunakan promotor GAP adalah metanol tidak dibutuhkan untuk 61
induksi, dan juga tidak dibutuhkan pemindahan kultur dari satu sumber karbon ke yang lain, sehingga galur tumbuh lebih cepat. Perbandingan tingkat ekspresi Blaktamase P. pastoris menggunakan promotor AOX1 dan GAP (integrasi satu kopi pada HIS4) memperlihatkan bahwa protein diproduksi dengan level tinggi di bawah kontrol promotor GAP (yang ditumbuhkan dalam glukosa) dibandingkan promotor AOX (ditumbuhkan dalam metanol). Namun, karena promotor GAP diekspresikan secara konstitutif, maka promotor ini tidak bagus digunakan untuk produksi protein yang bersifat racun terhadap ragi (Waterham et al., 1997). Promotor FLD1 Promotor FLD1 dari gen yang mengode formaldehid dehidrogenase (FLD), enzim yang juga terlibat pada jalur disimilasi metanol, juga telah digunakan untuk mengekspresikan protein asing dalam P. pastoris. Enzim ini dapat mencapai 20 persen total protein sel dan diinduksi oleh metanol dan membutuhkan ammonium sulfat sebagai sumber karbon (Gellissen, 2000). Gen FLD1 mengode formaldehid dehidrogenase yang membutuhkan glutation, merupakan enzim kunci yang dibutuhkan untuk metabolisme amina termetilasi 62
tertentu sebagai sumber nitrogen dan metanol sebagai sumber karbon. Promotor FLD1 dapat diinduksi dengan metanol sebagai sumber karbon (dan ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen) atau metilamin sebagai sumber nitrogen (dan glukosa sebagai sumber karbon). Setelah induksi dengan metanol atau metilamin, promotor FLD1 dapat mengekspresikan sejumlah gen reporter Llaktamase dengan jumlah yang sama dengan yang diperoleh pada induksi dengan metanol pada promotor AOX1. Promotor FLD1 memberikan fleksibilitas untuk induksi ekspresi tinggi dengan menggunakan metanol atau metilamin (sumber nitrogen yang tidak mahal dan tidak beracun). Promotor PEX8 dan YPT1 Untuk aplikasi tertentu, promotor AOX1, GAP dan FLD1 mungkin terlalu kuat. Terdapat bukti bahwa untuk gen-gen asing tertentu ekspresi level tinggi dari promotor AOX1, mungkin membuat mesin modifikasi pasca-translasi sel menjadi kewalahan, sehingga menyebabkan sejumlah besar protein asing menjadi misfolding, tidak diproses atau salah lokasi (Brierley, 1998). Untuk aplikasi ini promotor ekspresi menengah lebih disukai. Untuk tujuan ini promotor PEX8 dan YPT1 mungkin dapat digunakan. Gen PEX8 mengode protein 63
matriks peroksisom yang penting untuk biogenesis peroksisom. Gen ini diekspresikan pada level rendah namun cukup signifikan dalam glukosa dan promotor ini diinduksi dengan sedang bila sel dipindahkan ke metanol. Promotor lain yang telah sukses digunakan dalam sistem ekspresi P. pastoris adalah promotor konstitutif YPT1, yang dikonstruksi dari produk gen GTPase yang terlibat dalam jalur sekresi (Segev et al., 1988). Sears et al (1998) mengonstruksi sejumlah vektor yang mengandung promotor GAP, YPT1 atau AOX diikuti dengan multi cloning site dari pUC19 dan terminator transkripsi dari gen AOX1. Dengan menggunakan vektor ini, protein -glukuronidase (GUS) telah diekspresikan dalam P.pastoris dan level produksinya dibandingkan. Hasilnya ditemukan bahwa glukosa merupakan sumber karbon yang paling baik untuk promotor GAP dan manitol untuk promotor YPT1. Tingkat ekspresi memperlihatkan bahwa produksi promotor AOX adalah 587 unit/mL, yang jauh lebih besar dibandingkan 70,4 unit/mL dengan promotor GAP dan 1,67 unit/mL dengan promotor YPT1. Penemuan ini berlawanan dengan hasil yang diperoleh oleh Waterham dan kolega (1997). Lebih menarik lagi bila promotor AOX diinduksi dengan manitol, sejumlah 20,3 unit/mL GUS diproduksi walaupun tanpa penambahan metanol. Observasi yang berbeda pada dua studi ini 64
memperlihatkan pemilihan sistem ekspresi tergantung pada protein yang diekspresikan.
protein
Promotor DHAS Tschopp et al (1987) telah mengekspresikan galaktosidase menggunakan promotor AOX dan promotor dihidroksiaseton sintase (DHAS). Protein DHAS sendiri digunakan pada jalur asimilasi metanol dan dapat mencapai lebih dari 20 persen total protein sel bila ditumbuhkan dalam metanol (Gellissen, 2000; Tschopp et al., 1987). Produksi -galaktosidase diinduksi dengan metanol pada penggunaan kedua promotor ini. Hasilnya produksi -galaktosidase dengan promotor AOX lima kali lebih besar dibandingkan promotor DHAS bila sel ditumbuhkan dalam metanol. Perbedaan tingkat ekspresi induksi dari dua promotor ini mungkin bisa dijelaskan karena protein peroksisom (AOX) mempunyai laju turn over lebih cepat dibandingkan protein sitoplasma DHAS. Kekurangan glukosa juga ditemukan menghasilkan induksi promotor AOX (ekspresi protein AOX ) dan juga protein rekombinan yang dikontrol promotor AOX1. Peningkatan jumlah -galaktosidase yang diproduksi di bawah kontrol promotor AOX, juga telah ditemukan pada saat kekurangan glukosa. Namun tidak ada pengaruh induksi -galaktosedase menggunakan promotor DHAS pada saat kelaparan glukosa. Sehingga promotor DHAS 65
tidak diaktivasi oleh kekurangan karbon. Hasil ini menyarankan bahwa kedua promotor ini mempunyai mekanisme regulasi yang berbeda (Tschopp et al., 1987). 5. Pemilihan kodon dan transkripsi terpotong Bila kita mengekspresikan protein yang bukan berasal dari ragi, kodon dari gen yang mengode protein mungkin tidak optimal untuk mengakomodasi ekspresi protein level tinggi. Kodon yang umum pada beberapa spesies mungkin jarang digunakan pada P. pastoris sehingga ekspresi akan dibatasi oleh jumlah amino asil tRNA yang terdapat pada sel ragi (Romanos et al., 1992). Terminasi translasi yang prematur dapat terjadi bila amino asil tRNA tertentu kurang jumlahnya/habis (Leuking et al., 2000; Clare et al., 1991; Tull et al.,2001; Eckart et al., 1996), dan juga transkripsi dapat diterminasi jika DNA memiliki proporsi basa AT tinggi (Sreekrishna et al., 1997; Romanos, 1995). Perubahan kodon bias dan peningkatan proporsi basa GC dalam DNA dapat digunakan untuk meningkatkan level ekspresi. Salah satu contoh pendekatan ini dapat ditemukan pada ekspresi mouse epidermal growth factor (mEGF) pada P. pastoris, di mana gen dibuat secara sintetik dengan kodon bias yang dekat ke ragi (Clare et al., 1991). Gen untuk -amilase juga telah dibuat secara sintetik untuk mengoptimalkan 66
penggunaan kodon dan untuk meningkatkan persentase basa GC dalam sistem ekspresi yang analog dengan P. pastoris (Tull et al., 2001). Dengan cara yang sama gen -glukanase ditambah kandungan CG-nya (Olsen et al., 1996), sehingga meningkatkan level ekspresi glukanase. Sementara itu peningkatan kandungan basa GC pada gen pengode fragmen toksin tetanus juga menghasilkan peningkatan level ekspresi (Romanos et al., 1992; Clare et al., 1991). Anti human anti T cell immunotoxin juga telah diekspresikan dalam P. pastoris menggunakan urutan cDNA natif, di mana diperoleh hasil terminasi transkripsi prematur karena terdapatnya urutan yang kaya AT. Optimasi kodon menghasilkan transkripsi dan ekspresi protein rekombinan (Woo et al., 2002). Baru-baru ini protein glukoserebriosidase manusia juga telah diekspresikan dalam P. pastoris dan diperoleh bahwa walaupun level transkripsi mencukupi namun level produk hasil translasinya sedikit. Optimasi kodon pada kasus ini menghasilkan peningkatan 10,6 kali jumlah protein glukoserebriosidase yang diekspresikan (Sinclair & Choy, 2002). Pada studi yang dilaporkan oleh Scorer et al (1993) yang berhubungan dengan produksi protein pembungkus HIV-1, mRNA ditemukan terpotong bila diekspresikan dalam P. pastoris dan sisi pemotongan 67
mirip dengan urutan konsensus ragi yaitu 5′-TTTTTATA. DNA kemudian dire-sintesis untuk membuang urutan konsensus ini, meningkatkan kodon bias dan meningkatkan kandungan GC. Setelah perubahan ini mRNA ditemukan dalam ukuran yang utuh (Scorer et al., 1993). Translasi mRNA dipengaruhi oleh daerah yang tidak ditranslasi pada sisi 5′. Urutan konsensus yang mengawali translasi pada ragi seperti P. pastoris berbeda dengan organisme lain seperti mamalia. Urutan konsensus pada ragi adalah A/YAA/UAAUGUCU (Romanos et al., 1992). Urutan pre-pro MF adalah optimal untuk ragi seperti S. cerevisiase atau P. pastoris, tapi bila sinyal sekresi natif digunakan maka inisiasi translasi mungkin perlu diubah. 6. Integrasi gen multikopi Untuk mengoptimumkan ekspresi protein, sering melibatkan isolasi galur yang mengandung kaset ekspresi multikopi. Biasanya menyeleksi transforman yang mengandung integrasi multikopi lebih disukai karena klon seperti ini mempunyai potensi untuk mengekspresikan protein rekombinan dengan level yang tinggi. Manfaat lebih lanjut dari seleksi transforman yang mengandung gen multikopi adalah jika terdapat mutasi pada salah satu kopi kaset ekspresi, yang terjadi selama proses integrasi, kemudian protein yang dihasilkan oleh kopi mutan ini 68
mungkin tidak akan berkontribusi terhadap jumlah total protein yang diekspresikan (Eckart & Bussineau, 1996). Integrasi multi kopi terjadi relatif jarang dengan laju 1-10 persen (Chen et al., 2000). Jumlah kopi integran kaset ekspresi dapat memengaruhi jumlah protein yang diekspresikan oleh P. pastoris. Contohnya peningkatan jumlah integran kaset ekspresi (jumlah kopi) dari 1-14 untuk protein fragmen C toksin tetanus meningkatkan level ekspresi protein 6 kali (Clare et al., 1991). Dengan cara yang sama 20 kopi integrasi dari tumor necrosis factor (TNF- ) menghasilkan peningkatan ekspresi sampai 200 kali (Sreekrishna et al., 1989), 19 kopi integran dari mEGF meningkatkan level protein 13 kali dan level protein antigen permukaan hepatitis B dilaporkan meningkat 11,5 kali dengan 8 kopi integran (Vassileva et al., 2001). Lebih penting lagi, walaupun dengan dosis gen tinggi, tidak terdapat bukti terjadinya kejenuhan jalur sekresi (Clare et al., 1991), dengan masing-masing peristiwa integrasi ditemukan berkontribusi sebanding dengan jumlah protein yang diekspresikan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadinya kompetisi pada setiap vektor (Vassileva et al., 2001), dan menyarankan bahwa multi-integrasi mempunyai sedikit pengaruh terhadap ekspresi dan sekresi protein dalam P. pastoris. 69
Tiga pendekatan dilakukan untuk mendapatkan galur P. pastoris multikopi. Pendekatan pertama melibatkan konstruksi vektor dengan multi-head-to-tail dari kaset ekspresi (Brierley, 1998). Kunci untuk mendapatkan konstruksi ini adalah vektor yang memiliki kaset ekspresi yang diapit oleh sisi restriksi yang memiliki ujung komplemen (seperti kombinasi BamH1-BglII, Sal1XhoI). Proses pengulangan pemotongan dan re-insersi akan menghasilkan sejumlah vektor yang mengandung peningkatan jumlah kaset ekspresi. Manfaat dari metode ini adalah terutama pada produksi produk farmasi untuk manusia, di mana jumlah kaset ekspresi diketahui dengan tepat dan dapat ditentukan kembali untuk verifikasi melalui penentuan urutan DNA. Metode kedua menggunakan vektor ekspresi yang mengandung gen HIS4 P. pastoris dan gen Tn903kanr bakteri. Gen resistan kanamycin bakteri juga mengubah resistensi terhadap antibiotik eukariota G418 (Scorer et al., 1994). Level resistensi G418 akan berhubungan dengan jumlah kopi. P. pastoris pertama harus ditransformasi dengan His prototropi; kemudian transforman multikopi di tapis dengan replica-plating pada petri yang mengandung G418. Metode ini akan menghasilkan sejumlah koloni yang mengandung vektor ekspresi multikopi. Bagaimanapun jumlah kopi vektor bervariasi, sehingga sejumlah besar transforman (50-100 70
koloni harus dianalisis jumlah kopi dan level ekspresinya. Dengan pendekatan ini galur yang membawa lebih dari 30 kopi kaset ekspresi telah diisolasi (Clare et al., 1991). Pendekatan ketiga untuk konstruksi galur multikopi melibatkan penggunaan vektor yang memiliki gen Sh ble bakteri yang mengubah resistensi terhadap antibiotik zeocin (Gambar 4.8) (Higgins et al., 1998).
Gambar 4.8. Insersi sisi 5’ plasmid ke lokus AOX1 (pada galur Mut+), sehingga menambahkan PAOX1, gen yang dikloning dan gen resistan terhadap zeocin ke genom P. pastoris. Insersi multikopi dapat terjadi karena insersi gen pada locus AOX1 atau aox1::ARG4 terjadi beberapa kali (Invitrogen, 2006). 71
Tidak seperti seleksi G418, galur yang ditransformasi dengan kaset ekspresi yang mengandung marker zeocin dapat diseleksi langsung berdasarkan resistensi terhadap obat. Resistensi terhadap zeocin konsentrasi tinggi menyebabkan klon dapat diseleksi untuk integrasi multikopi, karena produk gen Sh ble terikat dan menginaktifkan zeocin dengan cara yang tergantung pada dosis (Monsalve et al., 1999; Vassileva et al., 2001; Chen et al., 2000). Sehingga jumlah populasi transforman galur multikopi dapat ditapis dengan menumbuhkannya pada media seleksi yang mengandung zeocin dengan konsentrasi yang meningkat. Juga, karena gen Sh ble dapat bertindak sebagai marker seleksi pada bakteri dan ragi, maka vektor ekspresi ini menyenangkan untuk digunakan. Bagaimanapun, sama seperti seleksi dengan G418, kebanyakan transforman yang resistan terhadap zeocin konsentrasi tinggi tidak mengandung vektor multikopi sehingga sejumlah transforman harus diseleksi. Galur yang mengandung multikopi insersi dapat dideteksi dengan analisis dot blot kuantitatif dan analisis Southern Blot. Contohnya pada studi yang dilakukan oleh Vassileva et al (2001), pengaruh seleksi terhadap hiperresistensi terhadap zeocin dengan konsentrasi 100, 500, 1000 dan 2000 mg/mL diuji dengan transforman yang akan dianalisis jumlah kopi gen terintegrasinya. Ditemukan bahwa transforman yang resisten terhadap 72
zeocin 100 mg/mL pada umumnya mengandung satu kopi, yang resistan terhadap zeocin 500 mg/mL mengandung dua kopi, yang resistan terhadap zeocin 1000 mg/mL mengandung tiga kopi dan transforman yang resistan terhadap zeocin 2000 mg/mL mengandung empat kopi integran (Vassileva et al., 2001). Sebaliknya, studi lain yang dilakukan oleh Sarramegna et al (2002) menemukan bahwa transforman yang resisten terhadap zeocin 1000 mg/mL mengandung integran 15-25 kopi. 7. Ekspresi intraselular Bila mengekspresikan protein rekombinan dalam ragi, perlu dipertimbangkan apakah protein tersebut akan diekspresikan intraselular atau sekresi ekstraselular. Pilihan akan tergantung pada protein yang akan diekspresikan. Jika target protein tidak disekresikan menggunakan sistem natif, maka induksi protein melewati sistem sekresi mungkin akan menghasilkan protein yang telah diubah oleh glikosilasi atau protein yang kekurangan modifikasi pasca-translasi yang mungkin sangat diperlukan. Sehingga ekspresi intraselular merupakan pilihan lain dari sekresi dan biasanya tidak menghasilkan glikosilasi, yang dalam beberapa kasus menyediakan beberapa metode yang lebih disukai. Namun purifikasi protein hasil ekspresi intraselular dapat menjadi lebih sulit dibanding protein yang disekresikan, karena protein target 73
biasanya hanya mencapai 1 persen dari total protein intraselular (Rees et al., 1999). Manfaat dari ekspresi protein rekombinan intraselular dalam P. pastoris adalah tidak seperti protein yang diekspresikan E. coli, umumnya residu amino terminal metionin dipotong oleh metionin aminopeptidase (Romanos et al., 1992). Efisiensi pemotongan ini meningkat bila asam amino kedua adalah prolin, valin atau cystein (Sreekrishna et al., 1989). Amino terminal dari asam amino protein yang diekspresikan dalam P. pastoris juga dapat di-asilasi oleh N-asetil-transferase (Romanos et al., 1992; Rees et al., 1999). Banyak protein yang telah sukses diproduksi dalam P. pastoris menggunakan sistem ekspresi intraselular, terutama protein membran seperti antigen permukaan hepatitis B (Vassileva et al., 2001). Fosforilasi residu serin, treonin atau tirosin merupakan modifikasi pasca-translasi yang penting untuk beberapa protein. Sistem ekspresi P. pastoris sebagai eukariota diketahui memfosforilasi beberapa protein yang memiliki sisi fosforilasi. (Zanchin & McCarthy (1995) menemukan bahwa walaupun ekspresi dari fosfoprotein eukariota yaitu faktor inisiasi 4E dalam S. cerevisiae menghasilkan fosforilasi pada sisi yang berbeda dengan protein natif (Zanchin & McCarthy, 1995), fosforilasi sering terjadi pada residu tertentu, terutama pada struktur -turn (Li et 74
al., 2001). Pelipatan protein dengan benar yang biasanya terjadi pada sistem ekspresi ragi ini diharapkan menghasilkan fosforilasi bentuk natif. Penggunaan P. pastoris untuk ekspresi fosfoprotein telah cukup banyak dipelajari, sehingga sistem ini dapat digunakan untuk ekspresi fosfo-protein di masa yang akan datang. 8. Pemilihan kondisi kultur untuk ekspresi Kondisi kultur yang digunakan untuk sistem ekspresi P. pastoris juga merupakan faktor yang penting untuk dipertimbangkan dalam rangka meningkatkan produktivitas protein yang diproses dengan tepat. Metode ekspresi skala kecil (shake-flask) biasanya digunakan sebagai tahap awal yang bermanfaat untuk mengoptimasi level ekspresi dan seleksi kondisi kultur. Level protein yang diperoleh dari shake-flask pada umumnya 10 kali lebih rendah dibandingkan yang dapat dicapai dengan fermentor, karena densitas selnya yang rendah (White et al., 1994), dan tingkat aerasi pada umumnya menjadi batasan (Romanos, 1995). Aerasi yang terbatas pada umumnya merupakan faktor yang menentukan pada galur Mut + dalam shakeflask karena tidak adanya udara yang konstan atau suplai metanol dan galur ini mengonsumsi metanol dengan cepat. Barr et al (1992) mengembangkan kondisi ekspresi skala kecil yang kondisinya lebih menyerupai kebutuhan 75
sistem fermentor yang menjamin densitas sel yang tinggi dihasilkan melalui peningkatan yang dramatis dari volume biomassa awal pada kultur dan meresuspensi biomassa ke dalam media induksi metanol dengan volume yang kecil (50-75 mL). Sehingga kultur transforman P. pastoris yang berdasarkan promotor AOX dapat dilakukan dalam dua tahap, pertama penggenerasian biomassa dalam media yang represif, diikuti dengan fasa produksi di mana sel diinduksi dengan metanol. Konsentrasi metanol yang digunakan juga merupakan faktor yang penting untuk mengoptimalkan level ekspresi. Peningkatan konsentrasi metanol dari 0,15 sampai 1 persen v/v ditemukan meningkatkan level ekspresi domain V dari -2-glikoprotein I manusia, pada transforman Mut + (Katakura et al., 1998), sementara level ekspresi prokarboksipeptidase A2 meningkat 3 kali dengan meningkatnya konsentrasi metanol pada media induksi dari 0,5-5 persen v/v pada transforman fenotipe Mut+ (Reverter et al., 1998). Seperti telah didiskusikan sebelumnya, fenotipe Muts mungkin membutuhkan sumber karbon alternatif untuk mendukung pertumbuhannya walaupun dalam fase produksi. Dalam kasus ini sumber karbon yang non represif terhadap AOX perlu digunakan, seperti sorbitol, manitol, alanin atau trehalose (Sreekrishna et al., 1997; Inan & Meager, 2001).
76
Tipe labu kultur yang digunakan pada studi ekspresi skala kecil ini juga penting dalam desain eksperimen, dan khususnya labu pada shake flask dapat digunakan untuk meningkatkan transfer oksigen. Beberapa tipe bentuk labu telah diuji untuk ekspresi sejumlah protein reseptor activin dan domain ekstraselular dari reseptornya (Gambar 4.9), di mana ditemukan bahwa labu tipe 3 sangat meningkatkan produksi biomassa dibandingkan dengan labu desain lain. Seperti yang dipelajari oleh Vilatte et al (2001) walaupun hasil pengukuran level oksigen memperlihatkan bahwa semua labu (tipe 2-5) menghasilkan level oksigen yang sama, ekspresi protein rekombinan ditemukan beberapa ribu kali lebih baik menggunakan labu tipe 2, 3, 5 dibandingkan dengan labu tipe lain. Observasi ini menunjukkan bahwa keterbatasan oksigen dalam shake-flask tidak selalu merupakan faktor penentu untuk memperoleh ekspresi protein dengan level tinggi. Komponen dan pH media juga dapat menyebabkan perbedaan tingkat ekspresi. Bila media di buffer menjadi pH antara 3 dan 6, maka jumlah proteolisis dari protein rekombinan akan berkurang (Sreekrishna et al., 1997; Cregg et al., 1993). Jumlah proteolisis juga direduksi jika menggunakan media yang menggunakan pepton dan ekstrak ragi. Cara lain untuk mengurangi proteolisis adalah dengan menambahkan asam kasamino 1 persen (Clare et al., 1991). Penambahan L-arginin77
hydroklorida atau ion ammonium (dalam bentuk ammonium fosfat) juga telah digunakan untuk mengurangi proteolisis. Ion ammonium, sepertinya memberikan pengaruh yang paling besar untuk mengurangi proteolisis (Tsujikawa et al., 1996).
Gambar 4.9. Tipe-tipe labu yang dicoba. Gambar diambil dari Villatte et al (2001).
Lama induksi juga memengaruhi proteolisis. Proteolisis ditemukan meningkat setiap waktu bila jumlah sel yang viable berkurang. Hal ini mungkin dapat diatasi dengan mengganti media dengan media yang baru dibuat untuk memulai fasa produksi lagi dan mencegah akumulasi protease ekstraselular. Ekspresi protein dengan metode kultur semi kontinu juga telah sukses digunakan, di mana teknik ini menyebabkan media dapat di78
perbaharui beberapa kali tanpa menurunkan level ekspresi protein rekombinan (Daly & Hearn, 2004). Peneliti lain juga telah mengobservasi kecenderungan yang sama (Sreekrishna et al., 1997; Barr et al., 1992). Antigen permukaan hepatitis B diproduksi menggunakan promotor GAP, dengan membuang 70 persen media kultur dan menggantinya dengan media baru untuk mempertahankan sel pada fasa mid-log (Vassileva et al., 2001). Lisozim juga sukses diekspresikan dengan metode semi-kontinu dengan mengganti media secara periodik (Digan et al., 1989). Protein rekombinan yang diekspresikan dalam sistem ekspresi P. pastoris juga ditemukan dengan cepat didegradasi jika protein tersebut mengandung urutan PEST. Urutan ini, termasuk motif XFXRQ atau QRXFX yang diketahui didegradasi dalam lisosom (Sreekrishna et al., 1989). Aditif lain seperti adanya EDTA 5 mM, juga dapat menstabilkan protein rekombinan yang diekspresikan sehingga meningkatkan hasil ekspresi. Temperatur pada fasa induksi juga ditemukan memengaruhi, tidak hanya pada jumlah proteolisis juga pada jumlah protein yang diekspresikan. Sebagai contoh level ekspresi galaktosidase A yang diproduksi dalam P. pastoris meningkat bila temperatur diturunkan menjadi 25 C (Chen et al., 2000). Ekspresi protein fusi reseptor mopioid manusia diuji pada berbagai temperatur di mana 79
ditemukan bahwa protein yang paling fungsional diproduksi pada 15-20 C dengan level ekspresi 2 kali lebih tinggi dibanding pada suhu 25 C dan 4 kali lebih besar dibanding pada suhu 30 C (Sarramegna et al., 2002). Produksi protein herring anti-freeze juga dibandingkan antara suhu 30 C dan 23 C dan sekali lagi ditemukan bahwa 10 kali peningkatan protein yang diproduksi pada temperatur rendah (23 C). Jumlah proteolisis yang terjadi setelah 2 hari induksi juga berkurang pada 23 C dibanding pada 30 C. Observasi ini berhubungan dengan kultur pada 23 C memiliki fiabilitas sel yang lebih tinggi dibanding dengan kultur pada 30 C, walaupun biomassa pada kedua kultur adalah sebanding (Li et al., 2001). Temperatur yang lebih rendah juga dapat menstabilkan membran sel dan mengurangi jumlah protease yang dibebaskan dari sel ke supernatan (Li et al., 2001). Pengaruh penurunan temperatur pada fasa induksi juga telah dilaporkan pada studi yang lain (Brake et al., 1984).
80
5 Transformasi Pichia pastoris
BEBERAPA metode transformasi Pichia pastoris yang dimediasi oleh DNA telah dikembangkan yang tergantung pada tipe DNA yang dapat ditransformasi (DNA linear vs DNA sirkular), biaya dan dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Sama seperti pada S. cerevisiae, metode pergantian gen (gene replacement) yang juga dikenal dengan gene knock-out merupakan metode yang menyediakan cara yang unik untuk investigasi fungsi gen spesifik pada P. pastoris. Setelah plasmid ekspresi dikonstruksi, fungsi dari gen yang didelesi dipelajari berdasarkan fenotipe dari strain mutan. Pada S. cerevisiase, metode yang berdasarkan pada polymerase chain reaction (PCR) untuk konstruksi fragmen pergantian gen juga telah dikembangkan. 81
Modifikasi metode PCR ini juga telah digunakan untuk P. pastoris. 1. Metode umum Kunci dari manipulasi genetik setiap organisme adalah kemampuan untuk memasukkan dan mempertahankan urutan DNA yang diinginkan di dalam sel inang. Untuk P. pastoris, nasib dari DNA yang dimasukkan sama dengan pada S. cerevisiae. Vektor dapat dipertahankan bereplikasi sendiri atau integrasi ke genom P. pastoris (Cregg et al., 1985). Seperti pada S. cerevisiae, integrasi pada umumnya terjadi melalui rekombinasi homolog antara urutan pada vektor dan genom P. pastoris. Sehingga kontrol integrasi dari urutan vektor pada posisi tertentu pada genom melalui strategi penargetan gen dan pergantian gen (gene knock out) akan segera terjadi pada P. pastoris. Terdapat empat metode untuk memasukkan DNA ke dalam P. pastoris, yang bervariasi dalam kenyamanan pengerjaannya, frekuensi transformasi, dan karakteristik lain (Tabel 5.1). Dengan menggunakan keempat metode ini kita dapat memasukkan vektor sebagai elemen autonom atau mengintegrasikan vektor ke genom P. pastoris. Metode pembuatan speroplast dengan polietilen glikol-CaCl2 merupakan metode yang paling bagus dan menghasilkan transforman dengan frekuensi tinggi ( 105/μg), tapi metode ini memerlukan keahlian lebih dan 82
menghasilkan koloni transforman yang harus dipisahkan kembali karena terbenam dalam medium agar. Tiga metode yang lain menggunakan sel utuh (tidak melibatkan pembentukan speroplas, sehingga lebih menyenangkan dan menghasilkan koloni transforman yang terdapat pada permukaan medium padat sehingga dengan mudah dapat diambil dan direplika untuk analisis lebih lanjut. Metode sel utuh yang menghasilkan transforman yang sebanding dengan metode speroplast adalah metode elektroporasi, sehingga metode ini merupakan pilihan utama peneliti.
Tabel 5.1. Karakteristik umum metode transformasi P. pastoris Metode
Frekuensi transformasi (per μg)
Tingkat kenyamanan
Integrasi multikopi?
Speroplast
105
Rendah
Ya
Elektroporasi
105
Tinggi
Ya
PEG1000
103
Tinggi
Tidak
LiCl
102
Tinggi
Tidak
2. Pergantian gen Frekuensi pergantian gen pada P. pastoris sangat tergantung pada panjang dari fragmen terminal yang 83
bertanggung jawab untuk penargetan vektor pergantian gen. Frekuensi pergantian gen bisa lebih besar dari 50 persen dari total populasi transforman bila fragmen yang ditargetkan lebih besar dari 1 kb, namun akan rendah dari 0,1 persen bila total panjang fragment DNA kurang dari 0,5 kb. Pergantian gen dapat juga terjadi pada vektor linear yang hanya mengandung satu terminal fragmen penarget dan fragmen penarget lain berada di bagian dalam, walaupun frekuensi pergantian akan berkurang. Pergantian gen juga telah dilakukan dengan menggunakan vektor linear yang tidak memiliki gen marker penyeleksi melalui ko-transformasi (Cregg et al., 1989). Cara ini bermanfaat bila sejumlah manipulasi genetik pada genom ingin dilakukan, dan lebih banyak daripada jumlah marker penyeleksi yang tersedia pada galur inang. Untuk ko-transformasi, sel P. pastoris ditransformasi dengan campuran dua DNA vektor, yaitu: vektor yang mengandung titik awal replikasi dan mengandung marker penyeleksi, dan sekitar 10x atau lebih vektor pergantian gen. Transforman diseleksi berdasarkan fenotipe gen marker dan kemudian dilakukan skrining terhadap transforman yang menerima vektor pergantian gen. Biasanya kurang dari 1 persen transforman akan mengalami pergantian gen, frekuensi ini cukup untuk mengidentifikasi ko-transformasi melalui perubahan fenotipe yang disebabkan peristiwa pergantian 84
gen. Setelah mengidentifikasi ko-transforman yang cocok, vektor autonom dibuang dari galur dengan menumbuhkan pada medium non-selektif. Metode yang berdasarkan PCR lebih memudahkan konstruksi galur pergantian gen pada ragi, karena tidak terjadi tahap rekombinasi DNA yang dibutuhkan pada konstruksi fragmen pergantian gen. Prosedur umumnya adalah dengan menyediakan fragmen DNA (atau plasmid yang mengandung fragmen DNA), yang mengandung gen marker penyeleksi dan sejumlah oligonikleotida yang akan memperbanyak fragmen marker penyeleksi dan sekaligus menambah urutan nukleotida (sepanjang 50 pb atau lebih) pada urutan terminal fragmen gen marker yang komplemen dengan ujung 5’ dan 3’ daerah gen yang ingin didelesi. Produk PCR kemudian ditransformasi ke dalam galur inang yang cocok, pada umumnya melalui elektorporasi. Pada P. pastoris, karena frekuensi rekombinasi dengan daerah komplemen yang relatif pendek ini lebih rendah dibanding S. cerevisiae, maka harus diusahakan trik untuk meningkatkan frekuensi pergantian dengan metode PCR ini. Trik pertama adalah dengan melakukan transformasi pergantian gen menggunakan galur P. pastoris diploid dan kemudian populasi transforman diarahkan untuk mengalami sporulasi sehingga menjadi haploid. Produk spora haploid kemudian ditapis untuk mencari fenotipe hasil knock-out. 85
Untuk alasan yang tidak diketahui, frekuensi pergantian gen lebih tinggi dengan menggunakan inang diploid dibandingkan haploid. Trik kedua adalah dengan melakukan PCR ronde kedua pada fragmen pergantian gen untuk memperpanjang terminal 5’ dan 3’ yang komplemen menjadi sekitar 100 sampai 200 pasang basa. Fragmen dengan daerah komplemen yang diperpanjang ini kemudian ditransformasi ke dalam galur inang haploid yang cocok dan ditapis terhadap fenotipe hasil pergantian gen (Johnson et al., 2001; Snyder et al., 1999). 3. Prosedur Kerja Sebelum semua prosedur transformasi, galur P. pastoris dikultur dalam medium YPD ( ekstrak ragi 1 persen, pepton 2 persen, dan dekstrosa 2 persen). Tumbuhkan P. pastoris dalam medium cair dan pada medium agar padat pada suhu 30 C. Larutan-Larutan: Prosedur Speroplas Siapkan larutan berikut dan sterilisasi dengan autoclave: 1. 1L H2O 2. Sorbitol 2M (2L) 3. Etilen diamin tetra asetat (EDTA) 250 mM (pH 8,0 (100 mL) 4. Tris-HCl 1M (pH 7,5) (100 mL) 86
5. CaCl2 100 mM (100 mL) 6. Yeast nitrogen base (YNB) tanpa asam amino 10x (6,7 g/100 mL) 7. Glukosa 20% (100 mL) 8. Agar regenerasi: 55 g sorbitol, 6 g agar bakto, dan 240 mL H2O Siapkan larutan berikut dan sterilisasi dengan filter: 1. Na-sitrat 100mM (pH 5,8) (100 mL) 2. Polietilen glikol dengan berat molekul rata-rata 3350 (PEG3350) 40% (100 mL) 3. Dithiothreitol (DTT) 0,5M (10 mL) 4. Persiapkan 1 mL larutan zymolase T100 4 mg/mL (ICN, Costa Mesa, CA) dan bagi menjadi 100 μL aliquot dalam tabung mikrosentrifuga. Semua larutan di atas dapat disimpan pada suhu ruang kecuali DTT dan zymolase yang harus disimpan pada -20 C. Semua larutan akan stabil untuk jangka waktu 1 tahun. Larutan kerja, staril: 1. Sorbitol 1M (200 mL) 2. SCE: sorbitol 1M, Na-sitrat 10 mM (pH 5,8) dan EDTA 10 mM (pH 8,0) (100 mL) 3. CaS: sorbitol 1 M dan CaCl2 10 mM (100 mL)
87
4. Polietilen glycol (PEG)-CaT: PEG 20%, CaCl2 10 mM, dan Tris-HCL 10 mM, pH 7,5 (100 mL) 5. SOS: sorbitol 1M, medium YPD 0,3x, dan CaCl 2 10 mM (20 mL) 6. SED: sorbitol 1M, EDTA 25 mM (pH 8,0) dan DTT 50 mM (10 mL). Persiapkan larutan segar dan simpan dalam es sebelum digunakan 7. Medium agar regenerasi: 240 mL agar regenerasi (dari stok yang dilarutkan kembali dengan autoklave, mikrowave, atau didihkan dalam bak air panas), 30 mL YNB 10x, dan 30 mL glukosa 20 persen. Biarkan pada bak air panas 45 C sebelum digunakan. Persiapkan larutan segar pada hari dilakukannya transformasi.
Prosedur Elektroporasi 1. H2O (1L) 2. Sorbitol 1M (100 mL) 3. Medium YND agar: 0,67% YNB, glukosa 2%, dan bakto agar 2% (0,5 L/ 25 petri) 4. DTT 1M (2,5 mL) 5. Medium YPD (100 mL) dengan 20 mL buffer HEPES 1M (pH 8,0) 6. Peralatan elektroporasi ( contohnya: BTX Electro Cell Manipulator 600, BTX, San Diego, CA; Bio Rad Gene Pulser, Bio Rad, Hercules, CA; Electroporator II, Invitrogen, San Diego, CA) 88
7. Kuvet elektroporasi steril Semua larutan sebaiknya di-autoclave, kecuali larutan DTT dan HEPES yang harus difilter. Heat-shock cepat/Elektroporasi 1. Larutan BEDS (9 mL): bicine-NaOH 10 mM (pH 8,3), etilen glikol 3%, dan dimetil sulfoksida 5% (DMSO) 2. Sorbitol 1M yang disuplemen dengan 1 mL) DTT 1,0M Prosedur polietilen glikol 1. Buffer A: sorbitol 1M, Bicine 10 mM (pH 8,35) dan etilen glikol 3% (100 mL) 2. Buffer B: PEG1000 40%, dan Bicine 0,2M (pH 8,35) (50 mL) 3. Buffer C: NaCl 0,15M dan Bicine 10 mM (pH 8,35) (50 mL). Sterilisasi dengan filter dan simpan pada -20 C sebelum digunakan 4. DMSO, simpan pada -70 C 5. Medium agar YND: YNB 0,67%, glukosa 2%, dan bakto agar 2% (0,5 L/ 25 petri) Prosedur kation alkali Persiapkan dan autoclave larutan berikut: 1. H2O (1L) 2. Buffer TE: Tris-HCl 10 mM (pH 7,4) dan EDTA 1 mM (pH 8,0) (100 mL) 89
3. Buffer LiCl: LiCl 0,1 mM, Tris-HCl 10 mM (pH 7,4) dan EDTA 1 mM (pH 8,0) (100 mL) 4. Buffer PEG+LiCl: PEG 3350 40%, LiCl 0,1M, TrisHCl 10 mM (pH 7,4) dan EDTA 1 mM (pH 8,0) (100 mL) 5. Medium agar YND: YNB 0,67%, glukosa 2% dan bakto agar 2% (0,5 L/ 25 petri) Metode Persiapan DNA Untuk mendapatkan frekuensi transformasi yang tinggi, shuttle vektor DNA harus dalam keadaan murni dan dilarutkan dalam air atau buffer Tris-EDTA (TE). Kebanyakan prosedur standar untuk purifikasi DNA plasmid, seperti prosedur yang melibatkan sentrifugasi CsCl etidium bromida atau kit preparasi plasmid komersial (seperti QIAGEN; Hilden, Jerman) dapat digunakan. Walaupun plasmid yang disiapkan dengan prosedur “mini-prep” seperti metode lisis alkali menghasilkan frekuensi transformasi yang lebih rendah, namun pada umumnya sudah mencukupi. Untuk konstruksi penargetan gen dan pergantian gen, vektor sebaiknya dipotong dengan enzim restriksi yang memotong pada urutan DNA P. pastoris dalam vektor, minimal 200 pasang basa DNA P. pastoris terdapat pada masing-masing terminal untuk 90
mengarahkan integrasi. Tepat sebelum transformasi, vektor linear sebaiknya diekstraksi dengan fenolkloroform-isoamil alkohol (25:24:1), presipitasi alkohol dan dilarutkan dalam air atau buffer TE. Pada umumnya, tidak diperlukan tahap pemisahan fragmen pergantian gen dari fragmen yang tidak tertransformasi. Bagaimanapun fragmen vektor yang dimurnikan dari gel agarosa, melalui prosedur elektroelusi standar atau kit komersial yang tersedia (seperti QIAEX gel extraction kit; QIAGEN, Hilden, Jerman) dapat ditransformasi ke P. pastoris. Prosedur Speroplas Prosedur ini merupakan modifikasi dari prosedur yang dituliskan oleh Hinnen et al. (1978) dan Cregg et al. (1985). Karakteristik umum dari metode disimpulkan pada tabel 5.1. Persiapan speroplas. 1. Inokulasi 10 mL medium YPD dengan koloni tunggal P. pastoris galur yang akan ditransformasi yang diambil dari medium padat segar dan tumbuhkan semalam dengan pengocokan. Kultur ini dapat disimpan pada 4 C selama beberapa hari. 2. Inokulasi tiga medium YPD 200 mL dalam labu buffle 500 mL dengan 5, 10 dan 20 μL kultur di atas dan inkubasi semalam dengan pengocokan. 91
3. Pada pagi harinya, pilih kultur yang memiliki OD600 antara 0,2 dan 0,3 4. Cuci kultur dengan sentrifugasi pada 2000g dalam tabung conical 50-mL pada suhu ruang satu kali dengan 10 mL air, satu kali dengan 10 mL SED yang disiapkan segar, satu kali dengan 10 mL sorbitol 1M dan satu kali denan 10 mL SCE. 5. Tambahkan antara 1 dan 10 μL Zymolase T100 dan inkubasi pada 30 C tanpa pengocokan. Untuk memonitor pembentukan speroplas, ambil 100 μL aliquot sel sebelum penambahan Zimolase dan pada waktu 5, 10, 15, 20, 30, dan 45 menit setelah penambahan enzim, dan larutkan dalam sejumlah tabung gelas yang berisi 900 μL sodium dodesil sulfat (SDS) 1%. Setelah penambahan masing-masing sample ke larutan SDS 1%, kocok dan uji secara visual tingkat lisis sel dengan memperhatikan penurunan turbiditas dan peningkatan viskositas. Waktu optimum pembentukan speroplas adalah antara 15 dan 30 menit. Lanjutkan ke tahap berikut prosedur, segera setelah speroplas terbentuk. Transformasi. 1. Cuci speroplas dengan sentrifugasi pada 1500g selama 10 menit satu kali dengan 10 mL sorbitol 1M dan satu kali dengan 10 mL CaS. Speroplas sangat mudah 92
2. 3.
4. 5.
rusak, dekantasi supernatan dengan hati-hati dan resuspensi dengan pemipetan (lakukan dengan hatihati). Sentrifugasidan resuspensi speroplas dalam 1 mL CaS. Bagi 100 μL aliquot speroplas ke dalam tabung polipropilen Falcon (atau tabung yang sama). Tambahkan DNA ke masing-masing tabung dan inkubasi pada suhu ruang selama 20 menit. Tambahkan 1 mL PEG-CaT ke masing-masing tabung dan inkubasi lagi selama 15 menit pada suhu ruang. Sentrifugasi sampel pada 1500g selama 10 menit, dengan hati-hati dekantasi PEG-CaT, dan resuspensi speroplas dalam 200 μL SOS. Inkubasi sampel pada suhu ruang selama 30 menit dan kemudian tambahkan 800 μL sorbitol 1M.
Penumbuhan pada medium agar. 1. Persiapkan medium agar yang mengandung 10 mL agar medium regenerasi pada permukaan (satu untuk masing-masing sampel transformasi, ditambah dua medium agar untuk uji viabilitas. 2. Untuk masing-masing sampel transformasi, bagikan 10 mL aliquot medium regenerasi (45 C) ke tabung polipropilen 50 mL. Dengan hati-hati campur sampel transformasi antara 10 μL dan 0,5 mL dengan agar regenerasi dan tuang pada permukaan agar. Setelah 93
agar menjadi beku ( 10 menit) inkubasi petri pada 30 C selama 4-7 hari. 3. Monitor kualitas speroplas yang disiapkan dan kondisi regenerasi seperti berikut. Pisahkan 10 μL aliquot dari satu sampel transformasi dan tambahkan ke tabung yang mengandung 990 μL sorbitol 1M (pengenceran 10-2). Aduk, buang 10 μL sampel dari pengencera 10 -2 dan larutkan lagi dengan menambahkan ke tabung kedua yang mengandung 990 μL sorbitol 1M (pengenceran 10-4). Sebarkan 100 μL masing-masing pengenceran pada cawan petri YPD untuk menentukan konsentrasi sel utuh yang tersisa (tidak membentuk speroplas). Untuk menentukan konsentrasi speroplas dengan potensi untuk mengalami regenerasi menjadi sel yang fiabel, tambahkan 100 μL aliquot kedua ke masing-masing pengenceran ke dalam tabung yang berisi 10 mL medium agar regenerasi yang disuplemen dengan 50 μg/mL nutrien yang dihilangkan (misalnya histidin). Kocok dengan hati-hati dan tuang ke medium agar. Inkubasi petri control ini dengan petri transforman seperti dijelaskan pada tahap 2. Persiapan speroplas dan reagen regenerasi yang bagus akan menghasilkan lebih dari 1 x 107 koloni/mL (>100 koloni pada petri 10 -4 regenerasi speroplas) dan kurang dari 1 x 104 koloni/mL sel utuh yang tidak membentuk speroplas (<10 koloni pada 10 -2 petri sel utuh). 94
Cara mendapatkan transforman kembali Koloni transforman akan terbenam dalam agar bagian atas. Untuk memperoleh masing-masing transforman kembali, dilakukan dengan mencongkel menggunakan loop inokulasi dan kemudian disebarkan pada permukaan medium agar selektif. Untuk mendapatkan sejumlah koloni yang terbenam dalam agar untuk analisis lebih lanjut (misalnya untuk menapis koloni yang mengalami pergantian gen) maka dapat dilakukan prosedur berikut: 1. Kikis permukaan agar bagian atas, yang mengandung koloni dan masukkan ke dalam tabung sentrifugasi 50 mL steril menggunakan spatula. Tambahkan 20 mL air steril dan aduk untuk menghancurkan agar dan membebaskan sel yang terbenam. 2. Saring suspensi 4x menggunakan kain steril. Cuci sel dari sisa agar dengan menambahkan sekitar 20 mL air ke agar. Sentrifugasi filtrat pada 2000g selama 5 menit dan dekantasi. 3. Suspensi sel dalam 5 mL air steril dan vortex untuk mendispersikan sel. 4. Sebarkan hasil pengenceran sel pada petri medium agar pada konsentrasi yang akan menghasilkan 100500 koloni per petri dan inkubasi selama 2-3 hari. 5. Buat replika transforman dalam medium agar yang cocok untuk identifikasi transforman yang mengalami pergantian gen. Sebagai contoh, jika mencari 95
transforman yang mengalami pergantian gen pada AOX1, sebagai hasilnya akan memperoleh fenotipe metanol utilization slow (Muts), replika koloni dari medium YND kedua jenis petri, satu yang mengandung YNB plus metanol dan petri lain mengandung YND. Setelah 1 atau 2 hari inkubasi, bandingkan kedua petri tersebut dan pilih koloni dari petri YND yang tidak tumbuh subur pada petri YNB plus metanol. Elektroporasi Prosedur ini merupakan modifikasi dari prosedur yang dituliskan oleh Becker dan Guarente (1991). Parameter elektroporasi menggunakan empat jenis peralatan diperlihatkan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2. Parameter elektroporasi menggunakan peralatan yang berbeda.
Persiapan sel kompeten 96
1. Inokulasi 10 mL mediumYPD dengan koloni tunggal P. pastoris galur yang akan ditransformasi dan tumbuhkan semalam dengan pengocokan. 2. Pada pagi harinya, gunakan kultur ini untuk menginokulasi 500 mL mediumYPD dalam labu Fernback 2,8 L, dengan OD600 awal 0,1 dan tumbuhkan sampai OD600 1,0. 3. Panen kultur dengan sentrifugasi kecepatan 2000g pada 4 C dan suspensikan sel dalam 100 mL medium YPD plus HEPES. 4. Tambahkan 2,5 mL DTT 1M dan kocok dengan hatihati. 5. Inokulasi pada 30 C selama 15 menit. 6. Cukupkan volume menjadi 500 mL dengan penambahan air dingin. Cuci dengan sentrifugasi pada 4 C satu kali dengan 250 mL air dingin, satu kali dengan 20 mL sorbitol 1M dingin, dan resuspensi dalam 0,5 mL sorbitol 1M (volume akhir termasuk sel akan menjadi sekitar 1-1,5 mL) 7. Untuk mendapatkan frekuensi yang tinggi, transformasi sel langsung tanpa proses pembekuan. 8. Untuk membekukan sel, bagi sel dalam 40 μL aliquot dan simpan di -70 C. Heat-Shock cepat/Elektroporasi 1. Tumbuhkan kultur 5 mL P. pastoris dalam medium YPD semalam dengan pengocokan. 97
2. Pada pagi berikutnya encerkan kultur hingga mencapai OD600 0,15-0,2 dalam 50 mL medium YPD dalam labu yang memberikan cukup aerasi. 3. Tumbuhkan hingga mencapai OD600 0,8-1,0 dengan pengocokan (4-5 jam). 4. Sentrifugasi sel pada 500g selama 5 menit pada suhu ruang kemudian dekantasi supernatant 5. Suspensikan sel dalam 9 mL larutan BEDS dingin yang diberi suplemen DTT. 6. Inkubasi suspensi sel selama 5 menit dengan pengocokan pada suhu 30 C. 7. Sentrifugasi sel pada 500g selama 5 menit pada suhu ruang dan resuspensi dalam 1 mL BEDS (tanpa DTT). 8. Segera lakukan elektroporasi atau bekukan sel dalam aliquot kecil pada -80 C. Elektroporasi 1. Campurkan 10 μg DNA (volume 5 μL) ke dalam tabung yang telah berisi 40 μL sel kompeten dan pindahkan ke kuvet elektroporasi, tempatkan kuvet dalam es. 2. Lakukan elektroporasi sesuai parameter peralatan yang digunakan (Tabel 5.2) 3. Segera tambahkan 1 mL sorbitol 1M dingin dan pindahkan isi kuvet ke dalam tabung mikro steril 98
4. Sebarkan aliquot sel pada medium agar yang mengandung YND atau medium selektif lain dan inkubasi selama 2 sampai 4 hari. Prosedur PEG Prosedur ini merupakan modifikasi dari prosedur Klebe et al (1983). Persiapan sel kompeten 1. Inokulasi 10 mL medium YPD dengan koloni tunggal P. pastoris galur yang akan ditransformasi dan tumbuhkan semalam dengan pengocokan. 2. Pada pagi harinya, gunakan kultur semalam ini untuk menginokulasi 100 mL medium YPD dengan OD600 awal 0,1 dan tumbuhkan sampai mencapai OD600 0,50,8. 3. Panen sel dengan sentrifugasi pada 2000g pada suhu ruang dan cuci sel dengan 50 mL buffer A. 4. Resuspensi sel dalam 4 mL buffer A dan distribusikan dalam 0,2 mL aliquot dalam tabung 1,5 mL steril. Tambahkan 11 μL DMSO ke masing-masing tabung, aduk dan segera bekukan sel dalam bak nitrogen cair. 5. Simpan sel kompeten beku pada -70 C.
99
Transformasi 1. Tambahkan 50 μg sampel DNA atau lebih (dalam volume 20 μL) langsung ke tabung sel kompeten yang masih beku. DNA pembawa (40 μg DNA sperma salmon yang sudah didenaturasi dan sonikasi) sebaiknya langsung dicampur dengan sampel untuk mendapatkan frekuensi maksimum. 2. Inkubasi sampel pada bak air 37 C selama 5 menit. Aduk sampel satu atau dua kali selama inkubasi. 3. Keluarkan tabung dari bak air dan tambahkan 1,5 mL buffer B ke masing-masing tabung, aduk. 4. Inkubasi tabung pada bak air 30 C selama 1 jam 5. Sentrifugasi tabung sampel pada 2000g selama 10 menit pada suhu ruang dan resuspensi sel dengan hatihati dalam 1,5 mL buffer C 6. Sentrifugasi sampel untuk kedua kalinya dan resuspensi sel dengan hati-hati dalam 0,2 mL buffer C. 7. Sebarkan masing-masing isi tabung pada petri agar yang mengandung medium pertumbuhan selektif dan inkubasi petri selama 3-4 hari. Prosedur kation alkali Prosedur ini seperti yang digambarkan oleh Ito et al (1983) kecuali LiCl digunakan untuk menggantikan Li asetat. Tidak seperti metode lain, frekuensi transformasi
100
dengan metode ini sangat rendah untuk vektor sirkular yang mengandung PARS maupun tidak. Persiapan sel kompeten 1. Inokulasi 10 mL medium YPD dengan koloni tunggal P. pastoris galur yang akan ditransformasi dan tumbuhkan semalam dengan pengocokan. 2. Pada pagi harinya, gunakan kultur semalam ini untuk menginokulasi 50 mL medium YPD dengan OD600 awal 0,1 dan tumbuhkan sampai mencapai OD600 0,50,8. 3. Panen kultur dengan sentrifugasi pada 2000g, suhu ruang dan cuci satu kali dengan 10 mL air, satu kali dengan 10 mL buffer TE dan satu kali dengan 20 mL buffer LiCl. 4. Inkubasi sel selama 1 jam pada 30 C. untuk mendapatkan frekuensi transformasi yang tinggi, lakukan transformasi langsung tanpa proses pembekuan sel. 6. Untuk membekukan sel kompeten, bagi 0,2 mL aliquot sel dalam tabung 1,5 mL. Tambahkan 11 μL DMSO ke masing-masing tabung, aduk dan segera bekukan sel dalam bak nitrogen cair. 7. Simpan sel kompeten beku pada -70 C.
101
Transformasi 1. Untuk masing-masing sel transformasi, tambahkan ke tabung 1,5 mL: 0,1 mL sel kompeten, 0,1-20 μg DNA vektor dalam volume tidak lebih dari 20 μL. Untuk memperoleh frekuensi transformasi yang tinggi, tambahkan 10 μg DNA pembawa (DNA sperma salmon yang sudah didenaturasi dan sonikasi). 2. Inkubasi sampel pada 30 C selama 30 menit 3. Tambahkan 0,7 mL larutan PEG +LiCl dan vortex sebentar untuk mencampur 4. Heat-shock pada 37 C selama 5 menit. 5. Sentrifugasi sampel pada 2000g dan resuspesi dalam 0,1 mL H2O 6. Sebarkan sampel pada petri dengan medium selektif dan inkubasi selama 3 hari.
102
6 Modifikasi Pasca-translasi dari Protein yang Disekresikan 1. Jalur sekresi protein PROTEIN yang akan disekresikan keluar sel, disintesis di ribosom yang terikat kuat ke RE kasar dan kemudian ditranslokasikan ke lumen RE kasar. Segera setelah proses translokasi, protein dalam lumen RE mulai mengalami proses pematangan. Proses pematangan meliputi modifikasi kovalen seperti pemotongan urutan sinyal, glikosilasi, folding dan refolding oleh chaperone. ‘Kontrol kualitas’ dari protein yang mengalami pelipatan yang tidak benar dan protein agregat dilakukan melalui proteolisis, degradasi dalam RE. Hal ini merupakan kunci utama di mana kehilangan protein heterolog dapat terjadi. Protein yang melewati pemeriksaan kualitas bergerak dari RE kasar ke kompleks Golgi melalui membran. Di Golgi terjadi juga pemotongan proteolisis atau modifikasi pasca103
translasi, di mana beberapa di antaranya berperan untuk penempatan protein ke tujuan akhirnya (Gambar 6.1). Beberapa protein yang disekresikan diarahkan ke perangkat sekresi yang bergabung dengan membran plasma dan kemudian mengalami eksositosis (Tuite & Freedman, 1994). Sekresi protein oleh ragi terjadi melalui mekanisme yang sangat mirip dengan sel mamalia. Jalur sekresi protein ragi melibatkan sejumlah struktur yang terikat ke membran yang memediasi transfer protein dari tempat disintesisnya di retikulum endoplasma ke tempat dibebaskannya di membran plasma. Seperti pada organisme lain, protein yang disekresikan ini disintesis sebagai prekursor yang panjang termasuk ”urutan pemula” yang dipotong oleh protease yang terikat ke membran untuk menghasilkan produk gen yang matang (Brake et al., 1984). Urutan pemula (leader sequence) dari protein ragi yang disekresikan keluar sel akan memungkinkan terjadinya pemprosesan yang efisien dan sekresi protein heterolog oleh ragi.
104
Gambar 6.1. Jalur sekresi protein (Tuite & Freedman, 1994) Jalur sekresi protein pada P. pastoris Pada produksi protein menggunakan sistem ekspresi P. pastoris, sekresi protein heterolog pada umumnya lebih disukai dibandingkan akumulasi protein sitoplasma. Sehingga sistem sekresi ragi menjadi target rekayasa yang penting untuk mendapatkan galur yang dapat melakukan folding dan pemprosesan protein rekombinan dalam jumlah besar. Dengan ditentukannya urutan genom P. pastoris, De Schutter et al (2009), berhasil mengarakterisasi jalur sekresi protein pada P. pastoris. Protein yang baru disintesis ditranslokasikan ke RE oleh kompleks Sec61 (protein translokator), dan sisi N-glikosilasi mengalami glikosilasi dengan dolichol yang berikatan dengan prekursor oligosakarida 105
Glc3man9GlcNAc2 oleh kompleks OST. Setelah mengalami pemprosesan peptida sinyal, protein mengalami folding dengan bantuan chaperone. Pemprosesan N-glikan menghasilkan glikan tipe Man8GlcNAc2. Glikosilasi ikatan-O juga dimulai dalam RE oleh protein-O-manosiltransferase. Setelah ditranspor ke perangkat Golgi, N-glikan diproses menjadi glikan tipe hipermanosil khas ragi. Pada galur dengan jalur glikosilasi humanisasi, 4-6 hipermanosilasi ditiadakan dan glikan diproses menjadi Gal2GlcNAc2Man3GlcNAc2. Setelah pemprosesan pro-domain, protein disekresikan ke medium, di mana protein akan menjadi substrat dari protease (Gambar 6.2).
106
Gambar 6.2. Jalur sekresi protein pada P. pastoris (De Schutter et al., 2009).
2. Peptida sinyal Protein-protein eukariota yang akan disekresikan, integrasi ke plasma membran atau bergabung dengan lisosom, akan mengalami tahapan yang sama yang dimulai di RE. Protein-protein ini memiliki urutan sinyal (peptida sinyal) yang fungsinya pertama kali ditemukan oleh Gunter Blobel dan kolega pada tahun 1970. Peptida sinyal berfungsi mengarahkan translokasi protein ke tujuan akhirnya di dalam sel. Pada beberapa protein, peptida sinyal dipotong dari protein selama dalam perjalanan atau setelah protein sampai di tujuan akhir (Nelson and Cox, 2000). Peptida sinyal yang berada pada ujung N polipeptida yang baru disintesis merupakan urutan yang berfungsi mengarahkan translokasi protein melewati membran menuju lumen RE. Panjang urutan sinyal bervariasi antara 13-36 residu asam amino dan pada umumnya mengandung 9-12 residu hidrofobik. Satu atau lebih residu asam amino yang bermuatan positif yang biasanya berada sebelum daerah hidrofobik, dan urutan pendek yang relatif polar pada ujung C (dekat sisi 107
pemotongan) yang mengandung asam amino dengan rantai samping yang pendek (terutama Alanin) pada posisi yang paling dekat dengan sisi pemotongan. Peptida sinyal tersusun dari tiga domain yaitu : ujung amino yang bermuatan positif (N region), daerah non-polar dan hidrofobik (H region), dan daerah yang lebih polar yang merupakan daerah pemotongan dan dekat dengan ujung karboksil peptida sinyal (C region). Domain N pada umumnya bermuatan positif, karena adanya residu lisin atau arginin. Pada beberapa kasus, kehadiran residu lisin atau arginin dapat meningkatkan kecepatan translokasi. Domain N memiliki beberapa fungsi, di antaranya ikut terlibat dalam mengarahkan preprotein (protein yang belum matang karena masih mengandung peptida sinyal) ke translokase. Domain N dapat berikatan dengan permukaan membran lipid bilayer yang bermuatan negatif. Apabila jumlah muatan positifnya berkurang, maka dapat menyebabkan interaksi yang kurang efisien dengan membran lipid. Namun hal ini dapat diimbangi dengan kenaikan hidrofobisitas pada H region. Muatan positif pada domain N juga diduga mengorientasikan peptida sinyal dari protein sekresi sampai ke lipid bilayer dengan tepat (Fekkes and Driessen, 1999). Daerah hidrofobik atau domain H dari suatu peptida sinyal panjangnya bervariasi antara 9 – 12 asam 108
amino. Domain H merupakan bagian paling penting dari peptida sinyal. Pada kebanyakan kasus, hidrofobisitas total dari domain H menentukan efisiensi translokasi. Efisiensi translokasi meningkat dengan bertambahnya panjang dan hidrofobisitas domain H. Residu-residu asam amino yang terdapat pada domain H berperan pada pembentukan konformasi α-heliks yang memanjang dari domain N. Kadang-kadang kehadiran pemecah heliks (helix breaker) seperti residu glisin atau prolin yang terdapat pada posisi tengah domain H dapat menyebabkan peptida sinyal membentuk struktur seperti benang tipis (hairpin-like), sehingga peptida sinyal dapat masuk ke lipid bilayer (Fekkes and Driessen, 1999). Peptida sinyal memiliki sisi pemotongan yang terdapat pada daerah C atau domain C. Sisi pemotongan spesifik hanya terdapat pada domain C. Biasanya sisi pemotongan terdapat pada residu-residu seperti alanin, glisin, serin, dan threonin dan yang paling umum adalah alanin. Peptida sinyal hanya dapat dipotong oleh enzim yang spesifik yaitu signal peptidase (Fekkes and Driessen, 1999). Urutan sinyal pada umumnya membentuk konformasi -heliks. Jika urutan ini cukup hidrofobik, namun tidak terlalu panjang, maka setelah keluar dari ribosom urutan sinyal akan dikenali oleh signal recognition particles (SRP) (Gambar 6.3). SRP akan 109
menghentikan elongasi translasi beberapa saat untuk mempertahankan panjang dari rantai polipeptida yang baru disintesis sebelum diinsersikan ke pori translokasi (1). Kompleks yang terbentuk, yaitu kompleks RNC-SRP (RNC= ribosome nascent chain) kemudian akan diarahkan menuju ke SR (SRP- Receptor) yang terdapat pada membran RE. SRP akan berinteraksi dengan SR dengan bantuan GTP (2). Kemudian RNC akan dimasukkan ke translokon (protein translokator/Sec61) yang juga terikat ke membran (3). Kemudian urutan sinyal akan dibebaskan dari SRP, GTP dihidrolisis dan diikuti dengan disosiasi kompleks SRP-SR, dan translasi dilanjutkan sampai selesai (4) (Egea, et al. 2005). Akhirnya signal peptidase memotong signal peptida, membebaskan protein ke dalam RE. Besarnya interaksi antara SRP dengan urutan sinyal berhubungan dengan efisiensi translokasi ((Valent et al., 1995) karena protein dengan urutan sinyal yang lebih hidrofobik ditranslokasikan dengan lebih efisien (Doud et al., 1993). Yamamoto et al. (1987) melaporkan peningkatan sekresi lisozim manusia oleh S. cerevisiae melalui penambahan jumlah residu hidrofobik pada urutan sinyal. Di samping itu, informasi yang dikode oleh domain hidrofobik urutan sinyal juga memengaruhi waktu dan efisiensi pematangan protein, yaitu glikosilasi dan pemotongan urutan sinyal. Proses pematangan ini 110
dikontrol oleh interaksi antara urutan sinyal dan translokon (Rutkowski et al., 2003).
Gambar 6.3. Mekanisme translokasi protein (Egea, et al. 2005). Seleksi peptida sinyal Dalam rangka mengarahkan protein ke jalur sekresi, diperlukan urutan sinyal tertentu. Seperti telah diuraikan sebelumnya, urutan sinyal biasanya merupakan amino terminal pendek yang disebut urutan pre yang pada umumnya mengandung daerah amino terminal yang bermuatan yang diikuti oleh sejumlah residu hidrofobik 111
dan sisi pengenal pemotongan enzim signal peptidase. Urutan sinyal ini memediasi translokasi ko-translasi ke retikulum endoplasma dan dibuang oleh signal peptidase selama translokasi (Paifer et al., 1994; Romanos et al., 1992). Protein yang diekspresikan oleh P. pastoris dapat diproduksi intra atau ekstraseluler. Karena ragi ini hanya menyekresikan protein endogen dengan level rendah, maka protein heterolog yang disekresikan akan merupakan bagian utama total protein dalam medium. Sehingga dengan mengarahkan protein heterolog ke medium kultur dapat berperan sebagai tahapan awal pemurnian protein. Bagaimanapun, karena kestabilan protein dan kebutuhan folding, pemilihan sekresi biasanya berperan pada protein asing yang normalnya disekresikan oleh inang natifnya. Dalam beberapa kasus, peneliti memanfaatkan kaset ekspresi yang dibuat dan disediakan oleh Invitrogen. Dengan menggunakan vektor P. pastoris tertentu, peneliti dapat mengkloning gen asing in frame dengan urutan yang mengode signal natif , pre-propeptida -mating factor dari S. cerevisiase atau urutan signal dari asam fosfatase P. pastoris (Cereghino dan Cregg, 2000). Walaupun beberapa urutan peptida sinyal yang berbeda, termasuk peptida sinyal natif yang terdapat pada protein heterolog telah sukses digunakan, namun hasil 112
yang diperoleh sangat bervariasi. Urutan sinyal pre-pro -mating factor S. cerevisiae merupakan urutan sinyal yang sering digunakan untuk menginduksi Sec61p yang memediasi translokasi protein ke retikulum endoplasma P. pastoris (http://faculty.kgi.edu/cregg/), dan memberikan hasil yang bagus. Urutan signal ini terdiri dari 19 asam amino urutan sinyal (pre sequence) yang diikuti oleh 70 residu urutan pro (pro sequence) yang mengandung tiga konsensus sisi glikosilasi ikatan-N dan dua sisi pemprosesan endopeptidase. Selama proses sekresi -mating factor dari S. cerevisiae, peptida sinyal dihilangkan melalui dua proses pemotongan enzim (Gambar 5.4). Enzim Kex2 memotong secara spesifik setelah residu lisin-arginin, kemudian Ste13 memotong pengulangan asam glutamat-alanin (EAEA) untuk menghasilkan protein -mating faktor (Gambar 6.4). Enzim-enzim protease yang sama juga terdapat di P. pastoris (Brake et al., 1984). Efisiensi proses pemotongan dapat dihentikan oleh urutan asam amino di sekeliling sisi pemotongan. Contohnya efisiensi pemotongan Kex2 dan protein Ste13 dapat dipengaruhi oleh posisi residu prolin. Selanjutnya struktur tersier yang dibentuk oleh protein asing mungkin dapat memproteksi pemotongan oleh protease.
113
Gambar 6.4. Jalur sekresi protein pada S. cerevisiae. Terlihat sisi pemotongan pre-region oleh signal peptidase, proregion oleh endoprotease Kex2, dan spacer peptida oleh peptidil endopeptidase (Ste13) (Ostergaard et al., 2000).
Pada beberapa kasus, urutan sinyal -mating factor merupakan sinyal sekresi yang lebih baik dibandingkan urutan pemula dari protein heterolog natif. Namun pada beberapa penelitian lain sinyal sekresi mating factor atau PHO1 tidak dapat bekerja, sehingga digunakan sinyal sintetik. Martinez-Ruiz et. al (1998), melakukan mutasi pada urutan pemula (leader) natif untuk mengonstruksi motif pengenalan Kex2p (Lys-Arg) yang lebih efisien. Cara ini membantu sekresi protein K114
sarcin (untuk inaktivasi ribosom) dari Aspergilus giganteus. Solusi yang lebih drastis adalah dengan merancang urutan leader prepro yang semuanya sintetik. Untuk ekspresi insulin manusia, ditemukan bahwa leader sintetik dan urutan spacer sintetik dapat meningkatkan sekresi dan jumlah protein yang dihasilkan (Kjeldsen et al., 1999). Pemilihan ini dapat dilakukan berdasarkan sinyal sekresi natif (jika ada), urutan pemula pre-pro -mating factor S. cerevisiae ( -MF), urutan sinyal asam fosfatase (PHO) atau urutan sinyal invertase (SUC2) (Li et al., 2001). Urutan sinyal yang paling sering digunakan pada sistem sekresi P. pastoris adalah urutan pemula pre-pro -mating factor ( -MF). Urutan sinyal ini terdiri dari 19 asam amino peptida sinyal (pre-sekuen), diikuti oleh 60 asam amino daerah pro. Biasanya daerah pro akan dipotong oleh endopeptidase. Ketika translasi sedang berlangsung, urutan sinyal akan dibuang oleh sinyal peptidase dan sisi pemotongan daerah pro dikenali oleh protease ragi yaitu kex2, sehingga akan menghasilkan pembebasan protein matang yang sudah diproses (Raemaekers et al., 1999). Sisi pemotongan kex2p dapat juga mengandung dua perulangan Glu-Ala pada bagian C terminal sisi pemotongan untuk meningkatkan aktivitas kex2p. Perulangan Glu-Ala kemudian dapat dibuang dari 115
mature protein oleh diaminopeptidase yang merupakan produk gen ste 13. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, ragi seperti S. cerevisiae mempunyai kebutuhan akan kespesifikan yang rendah terhadap pengenalan urutan sinyal, dan begitu juga dengan P. pastoris. Banyak protein rekombinan yang telah sukses diekspresikan dalam P. pastoris menggunakan urutan sinyal natif. Sebagai contoh, ekspresi dan sekresi domain ekstraselular reseptor activin dalam P. pastoris telah sukses dilakukan menggunakan urutan sinyal natif dan -MF; namun, produk dari ekspresi menggunakan urutan sinyal natif ditemukan lebih aktif secara biologi (Daly et al., 2004). Sehingga tidak ada cara yang pasti untuk menentukan apakah urutan sinyal natif akan menghasilkan sekresi karena tingkat keberhasilannya sangat bervariasi (Sleep et al., 1990; Tuite et al., 1999; Zsebo et al., 1986). Ekspresi dan sekresi phytohaemagglutinin (PHA) merupakan salah satu contoh di mana peptida sinyal natif (PHA-E) menghasilkan protein yang disekresikan, dengan folding yang tepat dan asam amino terminal yang diproses dengan tepat (Raemaekers et al., 1999). Bila dibandingkan dengan sekresi PHA dengan menggunakan peptida sinyal -MF, maka penggunaan peptida sinyal PHA-E hanya menghasilkan sekresi sedikit protein sementara dengan peptida sinyal -MF terjadi 116
pemprosesan amino terminal yang berbeda (Leuking et al., 2000). Signal peptida hasil rekayasa yang kaya leucin (CLY-L8) yang dirancang berdasarkan urutan peptida sinyal natif (CLY) telah digunakan untuk menghasilkan level ekspresi sekresi lisozim manusia 2 kali lebih tinggi dibandingkan peptida sinyal CLY natif (Yamamato et al., 1987). Kedua peptida sinyal ini telah digunakan untuk mengekspresikan dan menyekresikan lisozim manusia dalam P. pastoris dan dibandingkan dengan pola sekresi yang diperoleh bila menggunakan -MF. -MF ditemukan menyekresikan 20 kali lebih tinggi dibandingkan peptida sinyal CLY atau CLY-L8 (yang menghasilkan sekresi kurang lebih sama besar) (Oka et al., 1999). Studi ekspresi lisozim yang lain menemukan bahwa peptida sinyal natif lisozim ulat sutra menyekresikan lebih tinggi dibandingkan peptida sinyal natif lisozim manusia dalam P. pastoris. Sehingga peptida sinyal natif lisozim ulat sutra dihipotesiskan meningkatkan sekresi lisozim manusia dalam P. pastoris. Namun, ditemukan tidak terjadi peningkatan level sekresi. Berlawanan dengan penggunaan peptida sinyal lain, urutan pre-pro peptida sinyal -MF telah digunakan secara ekstensif dalam sistem ekspresi P. pastoris dengan tingkat keberhasilan yang tinggi. Beberapa protein
117
rekombinan yang telah diproduksi menggunakan sistem ini disimpulkan pada Tabel 6.1. Sebelumnya, peptida sinyal SUC2 telah digunakan untuk ekspresi protein hibrida interferon manusia (Chang et al., 1986). Studi yang membandingkan kemampuan sinyal natif dan peptida sinyal SUC2 untuk menyekresikan -amilase ditemukan bahwa sinyal SUC2 menyekresikan dengan lebih efisien (level sekresi 95 persen) dibandingkan peptida sinyal natif (level sekresi 75 persen) dari protein yang ditranslasi (Paifer et al., 1994). Signal peptida SUC2 juga telah digunakan untuk studi sekresi -1-antitripsin, tapi hanya 20 persen dari protein yang disekresikan (Moir et al., 1987). Tabel 6.1. Protein rekombinan yang diekspresikan dan disekresikan menggunakan peptida sinyal -MF
Protein
Referensi
Reseptor aktivin ACTRIIa/b domain ekstraselular Antigen SAG1 Toxoplasma gondii Protein ghilanten antikoagulanantimetastatik Chicken Cystatin Ovine follicle stimulating hormone a-Lactalbumin rat mast cell protease 7 human lewis fucosiltransferase Olive pollen allergen Ole e
Daly et al., 2004 Biemans et al., 1998 Brankamp et al., 1995 Jiang et al., 2002 Fidler et al., 1998 Saito et al., 2002 Lawson et al., 2002 Gallet et al., 1998 Huecas et al., 1999
118
HLA-DR2 mulekul Human type III procolagen Beta- lactoglobulin Insulin Trichoderma reesei 1,2-a-D-mannosidase Influenza neuraminidase Aplysia ADP-ribosyl cyclase Murine antibody Marsupial growth factor Soybean root nodule fosfat Human fibroblast kolagen Beta subunit of bovine follicle Human MU-opioid receptor Bovine enterokinase catalitik subunit Alfa-N-asetilgalaktosaminidase
Kalandadze et al., 1996 Keizer-Gunnink et al.,2000 Kim et al., 1997 Kjeldsen et al., 1999 Maras et al., 2000 Martinet et al., 1997 Munshi & Lee, 1997 Ogunjimi et al., 1999 Fidler et al., 2002 Penheiter et al., 1998 Rosenfeld et al., 1996 Samaddar et al., 1997 Talmont et al., 1996 Vozza et al., 1996 Zhu et al., 1996
Peptida sinyal asam fosfatase (PHO) (Payne et al., 1995), juga telah sukses digunakan untuk mengekspresikan reseptor serotonin tikus (5-HT5A) (Weiss et al., 1995) dan pepsinogen porcine (Yoshimasu et al., 2002), namun protein lain yang diekspresikan dan disekresikan menggunakan PHO menghasilkan pemprosesan amino terminal yang tidak tepat (Odonohue et al., 1996). Vektor pHIL-S1 mengandung signal asam fosfatase dan digunakan untuk mengekspresikan midkine manusia. Ditemukan bahwa peptida sinyal PHO ini menghasilkan sekresi 100 kali lebih rendah dibandingkan peptida sinyal -MF dan 8 kali lebih rendah dibandingkan peptida sinyal natif midkine manusia (Murasugi et al., 2001). Untuk meningkatkan pemprosesan amino terminal, 119
perubahan sinyal PHO yang mengandung sisi pemotongan Kex2p hasil rekayasa telah dikembangkan dan ditemukan meningkatkan pemprosesan peptida antikoagulan kutu (Laroche et al., 1994). Pemprosesan -MF pre-pro leader sekuen Urutan sinyal -MF sudah banyak digunakan, namun belum pernah ada studi yang membandingkannya dengan urutan sinyal lain. Selain itu pemprosesan propeptida yang dimediasi oleh Kex2p/Ste13p pada S. cerevisiae sering menimbulkan masalah pada Pichia, sehingga menghasilkan asam amino non-natif pada sisi N terminal protein heterolog (De Schutter et al., 2009). Struktur -MF terdiri dari 19 asam amino presekuen peptida sinyal dan 60 asam amino hidrofilik daerah pro (Julius et al., 1984; Brake et al., 1984). Urutan peptida sinyal bertanggung jawab terhadap translokasi pro-protein ke dalam RE dan diikuti dengan pemotongan oleh signal peptidase selama proses translokasi. Selanjutnya pro-protein ditranspor ke Golgi di mana daerah pro dipotong oleh aminopeptidase dua basa, yaitu kex2 protease (kex2p) untuk membebaskan protein matang. Kex2p merupakan protein membrane tipe I, yang berlokasi di kompartemen late Golgi. Kex2p merupakan protease serin (Henkel et al., 1999; Rockwell et al., 1998), anggota dari pro hormon famili konvertase dan 120
disintesis sebagai pre-proenzim (Powner et al., 1998) yang membutuhkan aktivasi untuk mematangkan enzim melalui autokatalisis (Davey et al., 1998). Kex2p mengenali pasangan residu asam amino basa seperti LysArg atau Arg-Arg (Davey et al., 1998; Smeekens, 1993; Henkel, 1999). Selanjutnya terjadi juga pemotongan amino terminal yaitu perulangan residu Glu-Ala di dalam Golgi oleh produk gen ste 13 (ste13p). Ste13p berlokasi pada tempat yang sama dengan Kex2p yaitu di late Golgi dan merupakan dipeptidil aminopeptidase tipe IV (Li et al., 2001; Davey et al., 1998). Peran perulangan Glu-Ala dan sisi pemotongan Kex2p Walaupun pre-pro- MF telah digunakan secara ekstensif, terdapat beberapa contoh di mana aplikasinya menimbulkan masalah. Alasan utamanya adalah terdapatnya insersi ulangan dipeptida Glu-Ala antara amino-terminal protein rekombinan dan sisi pemotongan Kex2p. Walaupun ulangan Glu-Ala meningkatkan jumlah materi/protein yang dipotong dengan mencegah halangan sterik dari sisi pemotongan kex2p (Sreekrishna et al., 1997), kehadirannya menghasilkan pembentukan protein rekombinan dengan perpanjangan amino-terminal GluAla. Hal ini dapat menyebabkan cacat ujung N-terminal karena terjadinya pemprosesan amino-terminal yang 121
berbeda karena tidak mampu-nya ste3p untuk memproses sejumlah besar protein rekombinan yang diproduksi (Brake et al., 1984). Contoh sejumlah protein rekombinan yang telah diekspresikan dengan perpanjangan aminoterminal Glu-Ala terdapat pada tabel 6.2. Tabel 6.2. Protein rekombinan yang diekspresikan dengan perpanjangan Glu-Ala Protein
Referensi
Phaseolus vulgaris agglutinin Lisozin insek Venom allergen antigen 5 Herring antifreeze protein Antifungal protein Psd1 Bovine beta-laktoglobulin Phytohaemagglutinin
Raemaekers et al., 1999 Koganesawa et al., 2001 Monsalve et al., 1999 Li et al., 2001 Almeida et al., 2001 Kim et al., 1997 Raemaekers et al., 1999
Terdapatnya perpanjangan amino terminal dipeptida ini tidak diinginkan untuk aplikasi beberapa protein rekombinan. Ulangan Glu-Ala antara protein matang dan kex2p dapat dihilangkan pada proses kloning dalam rangka untuk memperoleh amino terminal yang lebih autentik. Namun, penghilangan ulangan Glu-Ala dapat menurunkan efisiensi kespesifikan pemotongan Kex2p. Pada kasus ini sekresi pro-protein produk pemotongan yang memiliki perpanjangan amino-terminal 122
yang panjang, yang merupakan 9-11 asam amino dari daerah pro -MF telah diobservasi (Henkel et al., 1999). Selain itu, jika pemprosesan selanjutnya terhalang, proprotein kemudian disekresikan ke dalam medium kultur dalam keadaan utuh dan sangat terglikosilasi (Julius et al., 1984). Ulangan Glu-Ala yang tidak terpotong pada sisi amino-terminal juga dapat menyebabkan masalah lain dalam hal struktur dan fungsi protein. Contohnya ekspresi lisozim telah memperlihatkan bahwa termostabilitas yang dinyatakan sebagai dari temperatur pada saat titik tengah transisi denaturasi termal (TM) menurun tajam bila protein mengandung ulangan Glu-Ala. Rendahnya level ekspresi yang diobservasi pada lisozim juga menyebabkan penurunan stabilitas, menyebabkan protein dengan ulangan Glu-Ala lebih rentan terhadap protease intraselular (Koganesawa et al., 2001). Ulangan Glu-Ala juga dapat memengaruhi immunogenisitas protein rekombinan. Sehingga ekspresi dari protein antigen 5 dari yellow-jacket (Vespula vulgaris) dan paper wasp (Polistes annularis) dalam P. pastoris yang mempunyai perpanjangan amino-terminal ulangan Glu-Ala, mempunyai epitop imunogenik yang baru yang tidak terdapat pada venom allergen natif. Dalam kasus ini ulangan Glu-Ala daerah amino terminal 123
menjadi sisi imunogenik yang dominan (Monsalve et al., 1999). 3. Pelipatan Protein Pelipatan suatu polipeptida menjadi suatu protein fungsional melibatkan beberapa protein (disebut juga komponen pelipatan protein) di dalam sel yang membantu pelipatan protein. Protein tersebut adalah chaperone (misalnya, BiP/Kar70), protein disulfida isomerase (PDI) dan peptidyl-prolyl isomerase (PPI). Pada eukariota, retikulum endoplasma (RE) merupakan tempat masuk ke jalur sekresi dan merupakan kompartemen selular di mana terjadi folding dan pembentukan ikatan disulfida. Ikatan disulfida dapat terbentuk secara spontan in vitro dengan adanya senyawa pengoksidasi seperti molekul oksigen atau glutation dalam bentuk teroksidasi. Namun proses ini pada umumnya berlangsung lambat dan tidak efisien. Secara in vivo, pembentukan ikatan disulfida tergantung pada mesin sel untuk mengatalisis pembentukan ikatan disulfida baru (oksidasi) dan penata-ulangan ikatan disulfida non-natif (isomerisasi). Oksidasi dan isomerisasi dibutuhkan untuk pembentukan ikatan disulfida natif (Kulp et al., 2006). Folding protein biasanya dimulai dengan pembentukan struktur sekunder (Hlodan & Hartl, 1994) 124
dan pembentukan ikatan disulfida terjadi dengan cepat di retikulum endoplasma (RE) (Holst et al., 1996). Banyak protein, terutama protein yang disekresikan secara natural, mengandung daerah pro yang dibutuhkan untuk mendapatkan folding yang tepat dan pada beberapa kasus untuk membentuk oligomer. mRNA dari daerah pro dapat juga membantu menstabilkan mRNA protein melalui pembentukan struktur sekunder lokal sehingga mencegah degradasi (Romanos et al., 1992). Walaupun daerah pro dibuang melalui proteolisis untuk membebaskan protein mature, ekspresi dari protein tanpa daerah pro-nya akan memperlambat pengeluaran protein dari retikulum endoplasma dan pada beberapa kasus akan terjadi pembentukan folding yang salah (Romanos et al., 1992; Holst et al., 1996; Oka et al., 1999). Pro-protein kemudian akan dibawa ke Golgi, di mana daerah pro dibuang oleh endopeptidase dua basa, seperti kex2 atau furin. Pemotongan selanjutnya dapat terjadi melalui amino peptidase (Romanos et al., 1992; Davey et al., 1998; Steiner et al., 1992; Smeekens, 1993). Dari Golgi, protein rekombinan dirakit ke dalam vesikel sekresi dan kemudian dibawa ke permukaan sel (Romanos et al., 1992). Pada umumnya, ragi seperti S. cerevisiae mempunyai kespesifikan yang rendah terhadap pengenalan urutan sinyal, sehingga penggunaan urutan 125
sinyal natif protein rekombinan dapat menghasilkan sistem ekspresi yang menyekresikan protein dengan sukses (Hershberger et al., 1991; Romanos et al., 1992; Sleep et al., 1990). Penggunaan urutan sinyal natif juga sukses digunakan dengan sistem ekspresi P. pastoris. Selanjutnya, bila folding dari protein rekombinan tertentu berjalan lambat, dan merupakan penentu laju proses, maka penggunaan galur Mut s untuk ekspresi lebih disukai karena laju induksi protein lebih rendah sehingga dapat menghasilkan produk lebih banyak (Romanos, 1995). Protein Disulfide Isomerase Protein yang melewati jalur sekresi pada umumnya mengandung ikatan disulfida yang berperan penting pada proses pelipatan dan fungsi protein. Pembentukan ikatan disulfida natif penting untuk pelipatan banyak protein. Ikatan disulfida memberikan tambahan kestabilan ekstraselular dari protein melalui ikatan kovalen silang dua residu cystein. Pembentukan disulfida kadang-kadang bersifat error-prone, terutama pada tahap awal folding, dan pemasangan cystein yang benar ke ikatan disulfida dibutuhkan, dimana setiap disulfida yang salah pasang harus dihancurkan dan dibentuk kembali dengan konfigurasi yang berbeda untuk memperoleh struktur natif. 126
Pembentukan ikatan disulfida merupakan modifikasi kovalen dan merupakan modifikasi pasca translasi yang dialami oleh protein yang memasuki jalur sekresi. Pembentukan ikatan disulfida natif merupakan aspek integral dari jalur pelipatan protein, dan berperan penting pada perakitan protein, di mana kebanyakan protein sekresi (contohnya, antibodi, prokolagen) merupakan oligomer dari dua atau lebih rantai polipeptida yang digabung bersama oleh rantai ikatan disulfida. Pada sel-sel sekresi mamalia, jumlah PDI relatif melimpah, sedang pada ragi jumlah PDI <0,05 persen dari total protein sel, yang mungkin menggambarkan rendahnya jumlah protein endogen dengan ikatan disulfida yang disekresikan oleh eukariota sederhana ini (Tuite & Freedman, 1994). Pada bakteri disulfida dibentuk dalam periplasma melalui elaborasi sistem oksidasi dan isomerasi yang menjamin dua residu cystein yang tepat disambungkan. Jalur transpor elektron menghubungkan pembentukan ikatan disulfida dengan rantai respirasi. Protein membran, DsbB mengoksidasi sisi aktif CxxC dari protein DsbA (homolog PDI), kemudian mengatalisis pembentukan ikatan disulfida pada protein yang akan mengalami folding. DsbB kemudian direoksidasi oleh ubiquinon yang dihasilkan selama respirasi (Tu et al., 2000). 127
Pada eukariota, modifikasi pasca-translasi ini terjadi dalam retikulum endoplasma (RE) di mana terdapat sejumlah enzim yang mengkatalisis pembentukan ikatan disulfida yang tepat. Pada ragi dan sel mamalia, ekivalen oksidasi untuk pembentukan ikatan disulfida pada prinsipnya dilakukan oleh Ero1p (endoplasmic reticulum oxidoreductin 1 protein). Disulfida ini kemudian diberikan ke protein disulfida isomerase (PDI1), yang merupakan katalis folding yang penting dalam RE (Gambar 5.5) (Xiao et al., 2004).
Gambar 6.5. Jalur utama pembentukan ikatan disulfida dalam RE. PDI mentransfer bentuk teroksidasi Ero1p menjadi bentuk tereduksi (unfolded). Ikatan disulfida non-natif harus 128
diisomerisasi menjadi natif. Protein yang tidak memiliki ikatan disulfida natif akan didegradasi (Woycechowsky & Raines, 2000).
Ero1p merupakan protein yang terikat ke membran lumen RE dengan berat molekul 65 kDa yang berperan penting untuk fiabilitas S. cerevisiae. Secara in vivo, Ero1p mengoksidasi protein yang mengandung disulfida. Ero1p pertama kali diidentifikasi menggunakan skrining genetik di mana bila dioverproduksi, protein ini dapat mengubah sifat resistensi terhadap DTT (molekul reduktan) atau bila dimutasi dapat menyebabkan sensitivitas terhadap DTT. Penambahan oksidan tiol yaitu diamida ke media pertumbuhan dapat melengkapi defisiensi Ero1p, kemungkinan karena diamida melakukan fungsi oksidatif dari produk gen yang hilang. Hasil ini mengindikasikan bahwa fungsi utama Ero1p adalah untuk mengoksidasi protein yang baru disintesis (Frand and Kaiser, 1999). Penelitian Tu et al. (2000) menyimpulkan bahwa pada ragi, Ero1p yang memediasi folding oksidatif tergantung pada level FAD dalam sel namun tidak tergantung pada ubiquinon atau heme. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa Ero1p merupakan FAD-binding protein. Pembentukan ikatan disulfida berlangsung melalui penghantaran ekivalen oksidasi secara langsung dari Ero1p ke substrat yang akan mengalami folding via 129
PDI, sehingga pembentukan ikatan disulfida terjadi dengan cepat walaupun pada lingkungan reduksi. Sehingga Ero1p merupakan oksidase yang efisien yang mengatalisis pembentukan ikatan disulfida de novo melalui mekanisme yang tergantung pada FAD. Sedangkan PDI berperan sebagai intermediet pada proses pembentukan ikatan disulfida dengan cara mentransfer ekivalen oksidasi yang diperoleh dari Ero1p ke substrat yang akan mengalami folding (Tu et al., 2000). Protein disulfida isomerase ragi dan mamalia terdiri dari empat domain (A, B, B’ dan A’) dan ekor anion (C). Dua domain katalitik (A dan A’) berlokasi pada ujung molekul dan masing-masing mengandung sisi aktif CxxC dengan urutan CGHC. Domain katalitik tioredoksin ini dipisahkan oleh dua domain non-katalitik tioredoksin (B dan B’) pada struktur multidomain (ABB’A’C) (Xiao et al., 2004). Oksidasi melibatkan perpindahan ikatan disulfida sisi aktif dari PDI ke substrat protein, sementara itu isomerisasi membutuhkan cystein pada sisi aktif berada dalam bentuk tereduksi sehingga dapat menyerang ikatan disulfida non-natif pada substrat protein, sehingga mengatalisis penata-ulangan. Dengan demikian oksidasi dan isomerisasi membutuhkan bentuk redoks PDI yang berbeda (Kulp et al., 2006). Bila cystein pada sisi aktif PDI berada dalam bentuk disulfida (teroksidasi), enzim dapat memasukkan 130
disulfida ke protein (aktivitas oksidase) melalui pertukaran tiol/disulfida. Namun, bila cystein pada sisi aktif PDI berada dalam bentuk ditiol (bentuk tereduksi) sisi aktif dapat mengatalisis reduksi atau isomerisasi disulfida substrat. Walaupun PDI menunjukkan aktivitas oksidase dan isomerase in vitro, dan sejauh ini merupakan disulfida isomerase aktif yang diketahui, namun fungsinya secara in vivo belum jelas diketahui (Woycechowsky and Raines, 2000). Pembentukan ikatan disulfida pada protein membutuhkan lingkungan oksidasi yang cukup. Sel eukariota mengandung sejumlah kompartemen yang mempunyai potensial reduksi yang bervariasi (E o). Protein yang akan disekresikan harus ditranslokasikan ke lingkungan pengoksidasi yaitu retikulum endoplasma (RE), Eo’ = -0,18 V, pada RE protein mengalami folding dan membentuk ikatan disulfida natif (Woycechowsky and Raines, 2000). Peranan PDI pada sekresi protein Sekresi protein rekombinan dari sel eukariota tidak hanya membutuhkan urutan sinyal yang berfungsi menargetkan protein ke RE dan mengarahkan translokasinya ke lumen RE. Bila sudah terdapat dalam lumen RE, protein heterolog harus mengalami pelipatan, 131
modifikasi pasca-translasi dan dalam beberapa kasus dirakit menjadi oligomer yang fungsional. Kemudian, protein tersebut akan meninggalkan RE, dan masuk ke jalur sekresi. Tahapan penentu utama sekresi protein rekombinan dari sel eukariota terjadi pada pengeluaran protein dari lumen RE ke Golgi. Sehingga, protein yang mengalami kesalahan pelipatan atau kesalahan modifikasi, atau protein yang dirakit menjadi protein nonnatif, serta agregat dengan berat molekul tinggi akan dihalangi meninggalkan RE dan dihancurkan oleh sistem proteolisis. “Protein sampah” ini akan menjadi masalah bila kita ingin merekayasa sel untuk menyekresikan protein heterolog dengan level yang tinggi. Protein heterolog tersebut mungkin akan cenderung mengalami pelipatan yang salah karena jumlah dari faktor pelipatan atau modifikasi pasca-translasi terlalu rendah untuk menanggulangi semua protein yang akan disekresikan. Selain itu, protein mungkin tidak mengalami pelipatan dengan benar, karena satu atau lebih faktor yang dibutuhkan untuk modifikasi pasca-translasi hilang. Hal ini akan menjadi masalah bila kita mencoba untuk menyekresikan protein mamalia dari ragi, di mana protein RE yang dibutuhkan untuk pelipatan protein mamalia mungkin tidak ada, atau terlalu sedikit jumlahnya dalam RE ragi (Tuite & Freedman, 1994). 132
Tidak diragukan lagi S. cerevisiae dapat menyekresikan sejumlah protein mamalia yang memiliki ikatan disulfida dengan efisien. Contohnya, serum albumin manusia (HSA) dengan pelipatan yang benar dapat disekresikan oleh S. cerevisiae dalam jumlah yang cukup besar. Beberapa publikasi mendemonstrasikan bahwa overekspresi PDI dalam S. cerevisiae dapat meningkatkan level sekresi sejumlah protein heterolog yang memiliki ikatan disulfida yang biasanya disekresikan dengan level rendah. Pada satu publikasi dilaporkan sekresi dari protein antikoagulasi antistasin (protein lintah yang mempunyai sepuluh ikatan disulfida) meningkat sebanyak 3x bila PDI manusia dikoekspresikan dalam sel yang sama (Schultz et al., 1994) dan koekspresi dari PDI ragi menghasilkan hampir 25x peningkatan level sekresi (Tuite & Freedman, 1994). Pada studi yang sama, Robinson et al. (1994) memperlihatkan bahwa overekspresi PDI ragi dalam ragi menghasilkan peningkatan 10x level sekresi human platelet-derived growth factor (PDGF) dan peningkatan 4x level sekresi phosphatase asam dari Schizosaccharomyces pombe. Lebih menarik lagi, dua dari delapan jembatan disulfida yang terdapat dalam PDGF homodimer yang disekresikan merupakan ikatan disulfida dalam rantai. Robinson et al. (1994) juga melaporkan bahwa overekspresi PDI tidak meningkatkan 133
sekresi semua protein heterolog yang dicobakan; contohnya sekresi dari granulocytecolony stimulating factor (GCSF) manusia tidak berubah. Bagaimanapun, dua penelitian ini memberikan bukti bahwa galur ragi yang meng-overekspresikan PDI mungkin merupakan inang yang lebih baik untuk menyekresikan protein heterolog yang memiliki ikatan disulfida. Selanjutnya dilaporkan bahwa fragmen antibodi untai tunggal (scFv) dapat ditingkatkan dengan kombinasi overekspresi PDI di S. cerevisiae (Shusta et al., 1998). Penelitian Natalia et al. (2001-2003) juga melaporkan peningkatan level ekspresi dari protein membran peritrofik PM48 dan PM95 dengan ko-ekspresi PDI dalam S. cerevisiae. Sedangkan Vad et al. (2004) melaporkan bahwa ekspresi hormon parathyroid manusia dalam P. pastoris meningkat sangat signifikan melalui koekspresi PDI. Baru-baru ini Powers et al. (2007) melaporkan bahwa PDI juga berperan sebagai chaperone karena ko-ekspresi PDI meningatkan sekresi glukosidase Pyrococcus furius yang hanya memiliki satu cystein dan tidak memiliki ikatan disulfida dalam S. cerevisiae. 4. Glikosilasi Sistem Pichia pastoris untuk ekspresi protein rekombinan telah banyak digunakan karena memberikan 134
hasil pretein dengan folding yang benar dalam jumlah besar, sehingga memudahkan persiapan untuk fermentasi skala besar. Manfaat lain dari sistem ini berpusat pada tipe glikosilasi yang dihasilkan, pada umumnya menghasilkan protein yang terikat ke oligosakarida yang jauh lebih pendek dibanding yang ditemukan pada S. cerevisiae. Ragi dapat melakukan glikosilasi pada nitrogen amida dari residu asparagin pada protein bila ditemukan dengan urutan konsensus Asn-Xaa-Thr/Ser, sehingga menghasilkan glikosilasi ikatan-N. Selain itu juga, glikosilasi pada gugus hidroksil dari threonin dan atau residu serin pada protein terjadi juga pada ragi, menghasilkan tipe glikosilasi ikatan-O. Glikosilasi merupakan modifikasi pasca-translasi yang paling umum untuk terjadinya sekresi protein. Kirakira 0,5-1,0 persen protein yang ditranslasi genom eukariota merupakan glikoprotein. Glikosilasi terjadi di dalam lumen retikulum endoplasma setelah translasi protein. Tahapan awal glikosilasi-Asn adalah transfer unit Glc3Man9GlcNAc2 (glukosa(3x)-Manosa(9x)-Nasetilglukosamin(2x) yang baru dirakit dari dolichylpyrofosfat ke gugus amida dari residu asparagin yang tepat pada rantai polipeptida yang sedang tumbuh, dalam lumen RE pada peristiwa ko-translasi oleh enzim UDP-GlcNAc:dolichol PGlcNAc-transferase (Dennis et 135
al., 1999; Lis & Sharon, 1993; Herscovics & Orlean, 1993). Tahapan glikosilasi ini terjadi pada ragi dan sel mamalia. Namun terdapat perbedaan pada pemprosesan selanjutnya dari protein yang baru diglikosilasi pada ragi dibanding dengan sel eukariota tingkat tinggi (tumbuhan, insek dan hewan tingkat tinggi). Pada jalur sekresi, selanjutnya terjadi pembuangan tiga residu glukosa dari oligosakarida oleh glukosidase II dan I. Residu manosa ikatan -1,2 juga dibuang oleh -1,2-manosidase untuk menghasilkan Man8GlcNAc2 (Gambar 6.6). Glikoprotein kemudian dipindahkan ke cis-Golgi yang selanjutnya terjadi pemprosesan lebih lanjut (Dennis et al., 1999). Pada sistem mamalia pemprosesan tambahan ini termasuk pembuangan residu manosa dan penambahan fucosa (fuc), galaktosa (gal), N-asetil-neuraminic acid (NeuAc), N-glycolylneuraminic acid (NeuGc), N-asetilgalaktosamin (Gal-NAc), N-asetil glukosamin (GlcNAc) dan asam sialat oleh enzim Golgi seperti fukosiltransferase dan N-asetil-glukosaminil-transferase, galaktosil-transferase dan sialil-transferase (Khandekar et al., 2001). Pada tahap ini gugus fosfat juga digabungkan ke struktur oligosakarida dalam bentuk manosa-1-fosfat untuk menghasilkan ikatan fosfodiester (Martinet et al., 1998; Kobayashi et al., 1986).
136
Gambar 6.6. Struktur inti oligosakarida ikatan-Asn. Titik percabangan di mana oligosakarida selanjutnya ditambahkan diberi tanda bintang.
Sel CHO biasanya digunakan untuk mengekspresikan glikoprotein karena tidak memiliki aktivitas -1,3-galaktosiltransferase dan hanya menggabungkan sedikit NeuGlc (Li et al., 2001). Pada Golgi ragi, manosa ditambahkan dan unit oligomanosa dapat diikatkan dengan ikatan -1,6 ke -1,3 manosa pada bagian dalam Man -1,3-Man -1,4-GlcNA2 (Herscovics & Orlean, 1993). Glikosilasi menghasilkan bermacam-macam struktur heterogen dari populasi protein, di mana beberapa 137
dari keheterogenan ini diakibatkan oleh ekspresi jaringan tertentu dari enzim glikosilasi Golgi (Dennis et al., 1999). Pada sel, dua molekul protein hasil translasi yang sama mungkin memiliki oligosakarida yang berbeda, walaupun protein tersebut telah diekspos terhadap enzim yang sama dan mesin glikosilasi yang sama. Sehingga beberapa dari keheterogenan ini membuat protein target menjadi spesifik dan karena keistimewaan dalam pengenalan urutan oleh sejumlah enzim glikosilasi (Yan et al., 1999). Keheterogenan glikosilasi disebabkan oleh perbedaan tipe, panjang, jumlah dan identitas oligosakarida dalam populasi oligosakarida-protein pada sequon tertentu sehingga menghasilkan sejumlah populasi yang memiliki sifat mikro sedikit berbeda. Glikosilasi mungkin juga bervariasi dalam hal pemilikan sequon, di mana mungkin terdapat populasi yang memiliki sequon yang diisi dan yang tidak diisi (Lis & Sharon, 1993). Panjang rantai oligosakarida dapat tergantung pada residu sekeliling di mana residu hidrofilik mungkin menghasilkan sequon yang memiliki oligosakarida yang lebih panjang. Selanjutnya, untuk sequon Asn-XaaSer/Yhr, jika Xaa adalah prolin, maka glikosilasi akan dihambat. Prolin mungkin juga menghambat glikosilasi jika berada pada C terminal sequon (Shelikoff et al., 1996). Residu Xaa merupakan residu yang penting, contohnya jika merupakan residu hidrofobik seperti 138
triptofan (Yan et al., 1999) atau fenilalanin (ShakinEshleman et al.,1996) maka tahap awal penambahan Glc3Man9GlcNAc2 akan dihambat. Asam amino yang bermuatan negatif seperti asam glutamat dan asam aspartat secara parsial juga menghambat pengisian, sementara asam amino yang bermuatan positif seperti lisin, histidin dan arginin akan memicu glikosilasi dan meningkatkan level pengisian (Yan et al., 1999). Sequon Sequon pengenalan glikosilasi pada P. pastoris, sama seperti sistem eukariota lain adalah ...Asn-XaaSer/Thr... (Yan et al., 1999). Gikosilasi lebih mudah terjadi jika sequon adalah Asn-Xaa-Yhr dibanding AsnXaa-Ser. Bause et al (1981), telah memperlihatkan bahwa terdapat 10 kali penurunan Km glikosiltransferase terhadap heksapeptida dengan urutan ...Asn-Xaa-Ser... sehingga menurunkan efisiensi glikosilasi pada sisi ini (Bause et al., 1981). Penemuan bahwa karboksipeptidase Y memiliki 70 persen sequon glikosilasi jika sequon adalah ... Asn-Xaa-Thr... dan hanya 25 persen glikosilasi jika sequon adalah ...Asn-Xaa-Ser... telah memvalidisasi hasil observasi ini (Holst et al., 1996).
139
Lokasi struktur tersier Disposisi sequon pada struktur tersier protein merupakan hal yang penting. Terdapat kompetisi antara folding dan glikosilasi pada RE. Ketika translasi sedang berlangsung, protein mulai mengalami folding dan jika sequon terbenam di bagian dalam protein, maka mesin glikosilasi mungkin tidak mempunyai waktu yang cukup untuk meng-glikosilasi sequon sebelum sequon tersebut tersembunyi (Shelikoff et al., 1996). Sequon sendiri mungkin tidak akan diisi, bahkan walaupun terdapat pada permukaan protein, jika residu sequon terlibat pada ikatan hidrogen yang kuat atau jika berdekatan dengan ikatan disulfida. Doyon et al (2002) telah memperlihatkan bahwa asparagin dalam sequon pada posisi 410 dari -amilase pangkreas tikus berikatan hidrogen dengan asam aspartat pada posisi 430 dan interaksi ini menghasilkan sequon yang tidak diisi. Telah ditemukan bahwa sequon yang normalnya tidak terglikosilasi karena posisinya pada struktur tersier akan terglikosilasi bila sel ditumbuhkan pada media yang mengandung dithiothreitol (DTT) (Simons et al., 1995). DTT mengurangi produk protein tapi tidak menghambat transkripsi, translasi atau glikosilasi (Holst et al., 1996). Sifat ini telah didokumentasikan pada ovalbumin, yang normalnya tidak terglikosilasi pada protein natif, di mana 140
protein ini ditemukan terglikosilasi pada kondisi ekspresi denaturasi (Pless et al., 1977). Studi yang dilakukan oleh Holst et al (1996) pada karboksipeptidase Y lebih jauh memperlihatkan bahwa DTT meningkatkan efisiensi glikosilasi dari 50 menjadi 70 persen. Hadirnya DTT juga menyelesaikan glikosilasi pada sequon aktivator plasminogen jaringan (Allen et al., 1995). Karena glikosilasi merupakan komponen integral dari jalur sekresi, maka perubahan protein yang menghasilkan lambatnya pengeluaran protein dari RE juga akan menimbulkan glikosilasi yang lebih luas. Studi yang berhubungan dengan pembuangan daerah pro dari karboksipeptidase Y (CPY) merupakan contoh di mana pembuangan daerah pro menyebabkan cacatnya pengeluaran CPY dari RE dan menghasilkan peningkatan frekuensi glikosilasi dari 50 sampai 70 persen (Holst et al., 1996). Bila dua sisi tandem sequon terdapat pada struktur primer, maka kemungkinan akan terjadi hiperglikosilasi. Beberapa peneliti menyarankan bahwa ...AsnAsn-Thr-Thr... merupakan sequon untuk hiperglikosilasi (Bretthauer & Castellino, 1999). Dalam hubungannya dengan C terminal, lokasi sequon sering merupakan faktor penentu untuk perpanjangan glikosilasi. Sequon yang berlokasi dekat dengan amino-terminal akan terpapar terhadap mesin glikosilasi dalam waktu yang lebih lama dibandingkan 141
dengan sequon yang berlokasi dekat C terminal (Tschopp et al., 1987; Shelikoff et al., 1996). Laju translasi polipeptida adalah sekitar enam unit asam amino setiap detik sehingga jika sequon dekat dengan C- terminal, mesin glikosilasi mungkin hanya akan memerlukan waktu mili-detik untuk beraksi (Shelikoff et al., 1996) sebelum terjadinya pembentukan struktur sekunder dan folding yang lebih komplit (Holst et al., 1996). Pembentukan heliks mungkin terjadi sekitar beberapa mili-detik, sementara pembentukan oligomer dapat memakan waktu beberapa menit (Shelikoff et al., 1996). Contoh pengaruh laju sintesis protein dan struktur sekunder protein terhadap glikosilasi adalah pada carbohydrate-binding module (CBM). CBM memiliki sequon glikosilasi yang potensial namun hanya tiga jenis CBM yang ditemukan terglikosilasi; dari dua sisi yang ditemukan, salah satunya dekat dengan C terminal sementara yang lainnya ditemukan terbenam dalam struktur protein terlipat (Boraston et al., 2001). Isi dari beberapa sequon mungkin dapat mengubah laju glikosilasi dari sequon lain dalam protein, sementara terdapatnya sequon yang berada pada permukaan tidak menjamin pengisian. Stabilitas dari struktur sekunder juga ditemukan penting; sebagai contoh proteinase B ditemukan memiliki sequon ekstra (yang normalnya tidak terglikosilasi), diisi bila daerah pro dari protein dibuang, 142
yang menandakan bahwa pada beberapa kasus struktur sekunder lokal yang terbentuk pasca-translasi dapat menghambat glikosilasi (Nebes & Jones, 1991). Studi terhadap CPY (Holst et al., 1996), dilakukan penambahan tujuh sequon ke area urutan primer yang normalnya tidak dapat diakses pada struktur tersier protein natif. Sequon baru ini ditemukan terglikosilasi jika protein terdenaturasi dengan DTT, atau jika CPY diekspresikan tanpa daerah pro yang menyebabkan lambatnya pengeluaran dari RE. Variasi laju pengisian sequon dipengaruhi oleh laju perakitan oligosakarildolikol dan bila aktivitas transferase kurang dari 100 persen (Shelikoff et al., 1996). Hal ini juga berhubungan dengan ketersediaan prekursor oligosakarildolikol, yang mungkin kehabisan, terutama pada sistem yang meng-overekspresi protein target dalam waktu yang lama (Hayter et al., 1992). Ekspresi transferase mungkin tidak cukup tinggi untuk mengatasi level ekspresi protein rekombinan sehingga laju sintesis juga menjadi faktor yang penting terhadap pengisian sequon. Dengan kata yang lebih sederhana, bila translasi terjadi dengan laju yang lambat, maka glikosilasi akan lebih mungkin terjadi (Shelikoff et al., 1996). Penempatan struktur tiga dimensi sequon dalam protein merupakan hal yang penting terutama bila dua sequon saling berdekatan, karena glikosilasi pada sisi
143
pertama mungkin secara sterik menghindari glikosilasi pada sisi kedua (Yan et al., 1999). Jumlah unit manosa dan tipe oligosakarida Terdapat variasi pada panjang dan tipe oligosakarida yang terdapat pada glikoprotein, dan keheterogenan struktur ini tidak hanya tergantung pada karakteristik protein target (yang telah didiskusikan di atas), tapi juga pada inang sistem ekspresi. Pola glikosilasi P. pastoris sangat bervariasi, sebagai contoh, Tull et al (2001) menemukan bahwa inti pentasakarida pada Man3GlcNAc2 (893 Da) umum terdapat pada semua oligosakarida, sementara jumlah unit manosa bervariasi antara 3 sampai 13, Man4-9GlcNAc2 merupakan bentuk umum yang mengisi enam sisi glikosilasi pada -amilase sehingga menambah berat molekul protein sebanyak 11,4 kDa, dibanding BM teoretis (Tull et al., 2001). Protease aspartat rekombinan yang diekspresikan di P. pastoris juga ditemukan pada umumnya mengandung Man8-9GlcNAc2; namun pada kasus ini variasi isoform berkisar antara Man6-17GlcNAc2 (Montesino et al., 1999), sementara -laktalbumin pada umumnya memiliki Man9-12NAc2 (Saito et al., 2002). Analisis MALDI-TOF MS dari reseptor manosa 6-fosfat yang tergantung pada kation memperlihatkan bahwa 75 persen dari hasil ekspresi mengandung Man8-10GlcNAc2 144
dan 25 persen mengandung Man11-12GlcNAc2 (Reddy & Dahms, 2002). Oligosakarida ditemukan menambah BM 8 kDA untuk protein reseptor lipopolisakarida CD14, yang merupakan 30 persen dari total berat molekul (Majerle et al., 1999). Protease 7 rat mast cell (rMCP7) memiliki satu sisi glikosilasi Asn. Bila diekspresikan pada P. pastoris, berat molekul yang berhubungan dengan ikatan-Asn glikan adalah 36 kDa dibandingkan dengan 4 kDa pada protein rMCP7 natif (Lawson et al., 2002), hal ini mengindikasikan bahwa terjadi hiperglikosilasi. Dengan cara yang sama, bila cystatin ayam dimutasi sehingga mengandung sisi glikosilasi ikatan-Asn (Asn 106), adanya sisi ini ditemukan menambah 6,5 kDa terhadap ukuran protein yang diekspresikan dalam P. pastoris, dibandingkan dengan hasil ekspresi protein yang tidak dimutasi (Jiang et al., 2002). Pada penelitian Daly et al. (2004) ditemukan bahwa masing-masing sisi glikosilasi ikatan-Asn pada umumnya menambah sekitar 4-5 kDa terhadap berat molekul pada sejumlah domain ekstraselular reseptor activin yang diekspresikan (Daly et al., 2004; Daly & Hearn, 2004). Glikoprotein membran CD154 tipe II yang diekspresikan di P. pastoris dan sel CHO memperlihatkan bahwa P. pastoris memiliki oligosakarida manosa yang banyak (Man9-11) yang dihasilkan dari penambahan residu 145
manosa terhadap inti oligosakarida (Man8GlcNAc2). Analisis hasil ekspresi CD154 pada sel CHO memperlihatkan bahwa oligosakarida utama adalah Man5 dan sisanya pada umumnya merupakan tipe yang kompleks (mengandung Man3-asam sialat) yang diperoleh dari Man5 oleh aksi enzim-enzim Golgi (Khandekar et al., 2001). Protein yang diekspresikan di S.cerevisiae mempunyai kecenderungan untuk mengalami hiperglikosilasi di mana masing-masing oligosakarida dapat mengandung lebih dari 50 residu manosa (Boraston et al., 2001). Sebagai konsekuensinya CBM diekspresikan di P. pastoris dan tidak ditemukan hiperglikosilasi, di mana glikosilasi hanya menghasilkan pergeseran BM sekitar 11,5 kDa (Boraston et al., 2001). Walaupun sistem ekspresi P. pastoris tidak sama dengan sistem ekspresi S. cerevisiae, yaitu pada umumnya terjadi hiperglikosilasi, namun terdapat beberapa protein hasil ekspresi yang juga mengalami hiperglikosilasi pada P. pastoris dan S. cerevisiae. Sebagai contoh, protein pembungkus HIV-1 ditemukan mengalami hiperglikosilasi pada S. cerevisiae dengan berat molekul lebih dari 600 kDa. Ukurannya berkurang menjadi 120 kDa bila diekspresikan pada galur mnn9 S. cerevisiae defisien hiperglikosilasi (Hitzeman et al., 1990). Protein pembungkus HIV-1 yang diekspresikan 146
secara intraselular pada P. pastoris juga mengalami hiperglikosilasi dengan berat molekul lebih dari 200 kDa. Karena de-glikosilasi mereduksi berat molekul menjadi BM protein sebenarnya, sinyal sekresi ditambahkan untuk melihat apakah jalur sekresi dapat memodulasi untuk menghasilkan pola glikosilasi yang berbeda, tapi ditemukan bahwa protein masih mengalami hiperglikosilasi (Scorer et al., 1993). Protein lain yang diketahui mengalami hiperglikosilasi pada P. pastoris adalah glikoprotein D herpesvirus 1 (Ruitenberg et al., 2001), neuraminidase influenza (Martinet et al., 1997) dan laktoferrin equine (Paramasivam et al., 2002). Termostabilitas. Termostabilitas beberapa protein terlihat meningkat dengan glikosilasi dibanding de-glikosilasi. Contohnya ekspresi glikosilat -amilase Bacillus licheniformis. Bila yang bentuk glikosilat dan deglikosilat dipanaskan sampai 52 C dan kemudian 68 C dan akhirnya pada 85 C secara periodik, ditemukan bahwa bentuk glikosilat -amilase mempertahankan aktivitasnya lebih lama dibandingkan bentuk de-glikosilat (Tull et al., 2001). Wang et al (2000) menemukan bahwa T1/2 dari urokinase plasminogen activator (pro-UK) deglikosilat adalah 30 jam pada suhu ruang, sementara 147
dengan waktu pemaparan yang sama dari glikosilat proUK hanya memiliki aktivitas 80 persen. Satu bentuk dari pepsinogen porcine yang diekspresikan pada P. pastoris dan diperkirakan memiliki glikosilasi ikatan-O ditemukan lebih termostabil dibandingkan bentuk tidak terglikosilasi yang ditentukan dengan analisis fungsionalitas sampel yang sudah dipanaskan dan dengan analisis titik leleh transisi menggunakan sirkular dichroism (Yoshimasu et al., 2002). Analisis fungsional dari domain ekstraselular reseptor aktivin tipe IIA dalam bentuk terglikosilat dan de-glikosilat memperlihatkan bahwa hanya terdapat sedikit perbedaan pada kemampuan pengikatan ligan; namun bentuk de-glikosilat aktif pada periode waktu yang lebih pendek dan kurang resistan terhadap kondisi regenerasi yang digunakan (Daly & Hearn, 2004). Glikosilasi juga dapat meningkatkan stabilitas protein yang normalnya tidak terglikosilasi pada kondisi natif. Hal ini ditemukan pada -glukanase bakteri yang diekspresikan pada S. cerevisiae, menghasilkan protein yang terglikosilasi yang ditemukan lebih stabil dibanding bentuk natif glukanase tidak ter-glikosilasi (Olsen & Thomsen, 1991). Termostabilitas lipase Rhizopus oryzae (ROL) yang diekspresikan dalam P. pastoris juga lebih tinggi dari natif ROL tidak ter-glikosilasi (Minning et al., 148
2001). Cystatin rekombinan ayam (naturalnya tidak memiliki sequon glikosilasi) dimutasi untuk memiliki sisi glikosilasi Asn dan ekspresi di P. pastoris. Ditemukan bahwa mutan cystatin glikosilat lebih termostabil dibandingkan cystatin non-mutasi, dan dapat bertahan dengan aktivitas yang hampir penuh setelah siklus beku cair yang berulang (Jiang et al., 2002). Protein lain seperti CBM kelompok 2a tidak memperlihatkan perubahan termostabilitas bila terglikosilasi (Boraston et al., 2001). Posisi oligosakarida pada struktur protein juga penting untuk termostabilitas dibandingkan jumlah atau panjang gugus (Olsen & Thomsen, 1991). Peningkatan termostabilitas yang ditemukan pada beberapa protein karena glikosilasi dapat dihubungkan dengan kontribusi oligosakarida terhadap kestabilan struktur protein secara keseluruhan (Olden et al., 1985). Bila diekspresikan pada sistem ekspresi bakteri, maka glikoprotein cytokine mungkin masih mempertahankan aktivitas tanpa memiliki glikosilasi. Sehingga glikosilasi mungkin tidak dibutuhkan untuk fungsionalitas (Khandekar et al., 2001) tapi terjadi sebagai konsekuensi kebutuhan sekresi protein. Kenyataannya, banyak protein memperlihatkan penurunan aktivitas fungsional bila tidak ter-glikosilasi (Querol et al., 1999). Bagaimanapun kestabilan struktur 149
mungkin dipengaruhi oleh glikosilasi melalui penurunan proteolisis atau dengan memperlambat unfolding (Jenkins et al., 1996). Seperti telah dicatat sebelumnya, contoh EPO yang diekspresikan di E. coli (tidak ter-glikosilasi) yang kurang resistan terhadap unfolding dibandingkan EPO terglikosilasi yang diekspresikan di sel mamalia (Narhi et al., 1991). Sebaliknya, studi yang menganalisis laju unfolding dari glikosilat dan de-glikosilat RNase memperlihatkan bahwa RNase pankreas sapi (glikosilat) mengalami unfolding lebih lambat dibandingkan bentuk de-glikosilat. Namun RNase porcine mengalami unfolding dengan laju yang sama dengan tanpa glikosilasi (Meldgaard & Svendsen, 1994; Grafl et al., 1987). Hal yang sama ditemukan pada angiotensin-converting enzyme yang diproduksi di sel HeLa tidak mengalami glikosilasi dan tidak aktif secara enzimatik, namun bila diproduksi dalam P. pastoris maka protein tersebut mengalami glikosilasi dan aktif. Sehingga tahapan pasca-translasi yang terlibat pada folding dan glikosilasi dalam ragi tidak ekivalen dengan eukariota yang lebih tinggi (Sadhukhan et al., 1996). Pada beberapa situasi, reseptor membutuhkan glikosilasi untuk memperoleh folding dan konformasi yang tepat (Lis & Sharon, 1993). Hal ini terjadi pada beberapa reseptor termasuk reseptor -adrenergic dan 150
subunit reseptor asetilkolin otot manusia (PsaridiLinardaki et al., 2002). Reseptor lain seperti reseptor TGF tipe II dan reseptor hormon pertumbuhan manusia (Fuh et al., 1990) memiliki aktivitas yang sama dalam bentuk terglikosilasi dan bentuk de-glikosilasi, sehingga glikosilasi tidak dibutuhkan untuk kestabilan struktur. Data baru-baru ini (Daly et al., 2004; Daly & Hearn, 2004) juga menunjukkan bahwa domain ekstraselular reseptor aktivin, ActR1a/b dan ActRIIa/b, bila diekspresikan dalam P. pastoris, menunjukkan sedikit perbedaan afinitas terhadap ligan fisiologinya yang tergantung pada tingkat glikosilasi. Selain itu juga, pada beberapa kasus diperlihatkan bahwa glikosilasi mencegah proteolisis (Yan et al., 1999). Dengan sistem ekspresi P. pastoris, urutan di sekitar sisi glikosilasi ikatan-Asn dari streptokinase (Pratap et al., 2000) dan prourokinase (Wang et al., 2000) memperlihatkan lebih resistan terhadap degradasi oleh protease. Stabilitas terhadap serangan proteolisis mungkin disebabkan karena efek sterik yang dimiliki oligosakarida untuk mencegah protease dari permukaan protein. Oligosakarida ikatan-O Glikosilasi ikatan-O terjadi pada mamalia dan ragi, tapi dapat terjadi pada sisi pengenalan yang berbeda (Jenkins et al., 1996). Oligosakarida ditambahkan pada 151
gugus hidroksil dari residu serin atau treonin pada protein (Li et al., 2001; Dennis et al., 1999). Glikosilasi ikatan-O mamalia disusun oleh N-asetilgalaktosamin, galaktosa dan asam sialat (Cregg & Higgins, 1995). Pada ragi seperti S. cerevisiae, oligosakarida ikatan-O biasanya terdiri dari satu sampai lima unit residu manosa berikatan -1,2 (Gambar 6.7) (Duman et al., 1998). Walaupun tidak ada konsensus sequon yang pasti untuk glikosilasi ikatanO, kemungkinan glikosilasi O-link diperbesar bila terdapat residu serin/treonin yang sangat melimpah (Orlean et al., 1991) atau bila terdapat residu prolin di samping residu serin/treonin (Herscovics & Orlean, 1993).
Gambar 6.7. Struktur O-link oligosakarida yang umum Glikosilasi ikatan-O mungkin juga terjadi karena adanya residu asam amino yang bermuatan positif atau 152
negatif di samping residu serin/treonin, karena enzim Oglikosil transferase mungkin membutuhkan asam amino yang bermuatan (Asami et al., 2000). Residu manosa terikat langsung ke residu serin/treonin melalui donor Dol-P-Man. Penambahan residu manosa ditambahkan melalui donor GDP-manosa (Herscovics & Orlean, 1993; Bretthauer & Castellino, 1999). Residu manosa yang pertama dan kedua, ditambahkan dalam RE tapi penambahan residu manosa selanjutnya terjadi dalam Golgi di mana oligosakarida dapat juga mengikat fosfat (Bretthauer & Castellino, 1999). Glikosilasi ikatan-O terutama terjadi pada glikoprotein yang terlibat pada sistem perkawinan ragi (Herscovics & Orlean, 1993). Midkine manusia merupakan glikosilat ikatan-O bila diekspresikan dalam P. pastoris, walaupun sebelumnya belum pernah ditemukan mengandung glikosilasi-O (Asami et al., 2000). Protein lain yang ditemukan dalam bentuk glikosilasi-O dalam P. pastoris namun dalam bentuk natifnya bukan merupakan glikosilasi-O adalah IGF1 (Gellissen, 2000). Baru-baru ini Letourneur et al (2001) melaporkan hiper O-glikosilasi pada antigen permukaan I (SAG1) Toxoplasma gondii yang diekspresikan dalam P. pastoris. cDNA SAG1 juga telah dimutasi dengan SDM untuk membuang satu sisi glikosilasi-Asn dan ukuran protein yang diekspresikan adalah 30 kDa lebih besar dibanding yang diperkirakan. 153
Diperolehnya bentuk/ukuran molekul yang spesifik menyarankan bahwa beberapa pola glikosilasi ikatan-O (panjang manosa) lebih umum terjadi. Perbedaan ukuran keseluruhan antara bentuk mulekul yang paling panjang (60 kDa) dan bentuk de-glikosilat (29 kDa) menunjukkan bahwa 185 unit heksosa ditambahkan per mulekul protein (Letourneur et al., 2001). Immunogenisitas Walaupun sistem ekspresi ragi seperti S. cerevisiae dan P. pastoris memiliki kelebihan jalur folding eukariota, namun pola glikosilasinya berbeda dibandingkan manusia dan sistem mamalia lain. Hal ini mungkin akan menjadi masalah tergantung protein target dan penggunaan protein tersebut. Sebagai contoh, gugus karbohidrat tertentu bersifat antigen dan sekarang Food and Drug Administration (FDA) mensyaratkan karakterisasi semua karbohidrat dilakukan jika akan diaplikasikan untuk farmasi (Jenkins et al., 1996; Liu, 1992), karena glikosilasi mungkin dapat mengubah fungsi dan karakteristik protein rekombinan (Eckart & Bussineau, 1996). Sistem ekspresi ragi, terutama S. cerevisiae, melakukan hiperglikosilat dengan oligosakarida tipe highmanosa dan karena itu protein rekombinan dapat dikenali dengan reseptor manosa bila diinjeksikan ke spesies 154
mamalia (Cregg et al., 1993; Cregg & Higgins, 1995; Eckart & Bussineau, 1996). Glikosilasi S. cerevisiae memiliki residu manosa terminal dengan ikatan -1,3 yang diperkirakan bersifat antigen. P. pastoris tidak memiliki terminal dengan ikatan ini (Cregg et al., 1993; Scorer et al., 1993), karena aktivitas -1,3 manosiltransferase P. pastoris tidak terdeteksi (Cregg & Higgins, 1995), namun karena bukan merupakan tipe glikosilasi pada manusia, maka mungkin menyebabkan respons sistem imun manusia (Cregg et al., 1993; Eckart & Bussineau, 1996; Dennis et al., 1999; Lis & Sharon, 1993; Gooche et al., 1991). Glikoprotein Bm86 kutu sapi yang diekspresikan dalam P. pastoris ditemukan mengalami hiperglikosilasi dan membentuk partikel imunogenik (Romanos, 1995; Rodriguez et al., 1994). De-sialat glikoprotein pada umumnya mengalami penghancuran dengan cepat dari serum kelinci melalui reseptor asialoglikoprotein hepatic (Lis & Sharon, 1993). Sehingga glikosilasi mungkin mempunyai efek terhadap laju penghancuran protein (Jenkins et al., 1996; Tsujikawa et al., 1996; Khandekar et al., 2001). Kondisi kultur untuk mencegah glikosilasi Untuk mengurangi glikosilasi terhadap protein rekombinan tertentu, sel inang (ragi atau mamalia) dapat dikultur pada media yang mengandung tunicamycin 155
(Boraston et al., 2001; Elbein, 1984). Tunicamycin merupakan analog gula yang strukturnya mirip dengan UDP-GlcNAc dan tidak digabungkan ke oligosakarida, tunicamycin merupakan inhibitor kompetitif UDPGlcNAc dolichol P-GlcNAc transferase (Villatte et al., 2001). Ekspresi non-glikosilat dapat juga dicapai dengan melakukan ekspresi dengan adanya N-benzoil-Asn-LeuThr-N-metilamida yang akan berkompetisi dengan sequon protein yang diekspresikan untuk membentuk glikosilasi ikatan-Asn. (Huylebroek et al., 1990). Cara lain untuk mencegah atau mengurangi jumlah glikosilasi adalah menggunakan sel ekspresi mutan, yang tidak memiliki gen yang mengode beberapa mesin glikosilasi. Contohnya galur mnn9 S. cerevisiae yang defisien glikosilasi. Galur ini digunakan untuk mengekspresikan protein pembungkus HIV-1, yang mengalami hiperglikosilasi (>600 kDa) dalam sel ekspresi normal tapi berukuran 120 kDa dalam S. cerevisiae mnn9. (Scorer et al., 1993). De-glikosilasi melalui enzim atau SDM (site directed mutagenesis) Jika protein rekombinan didesain untuk sekresi, dan protein target mengandung sequon glikosilasi yang tidak diinginkan (yang mungkin menghasilkan glikosilasi) maka pemilihan cara glikosilasi dapat dilakukan. Hal ini 156
mungkin melibatkan perubahan kondisi kultur, salah satunya dengan menggunakan sel mutan (yang tidak memiliki beberapa mesin glikosilasi) atau dengan menambahkan inhibitor glikosilasi (seperti telah didiskusikan di atas). Alternatif lain yang menghasilkan de-glikosilasi utuh adalah pembuangan sequon melalui SDM atau secara enzimatik atau de-glikosilasi secara kimia dari protein setelah diekspresi. Enzim seperti peptida-Nglikosidase F atau endoglikosidase H dapat melakukan deglikosilasi utuh, yang akan membutuhkan refolding atau men-de-glikosilat protein natif. Jika protein natif akan di-de-glikosilasi maka perlu diperhatikan waktu inkubasi yang dibutuhkan untuk de-glikosilasi protein, karena tidak semua protein stabil untuk jangka waktu yang lama pada temperatur yang dibutuhkan oleh enzim de-glikosilasi. Jika protein tidak stabil, maka sebagai kompensasinya dibutuhkan tambahan sejumlah enzim yang dibutuhkan untuk deglikosilasi keseluruhan protein. Reaksi de-glikosilasi protein natif juga kurang efisien dibandingkan protein terdenaturasi karena pada protein mungkin terdapat halangan sterik pada sisi pemotongan sehingga walaupun protein tersebut stabil tetap membutuhkan optimasi. SDM dapat digunakan untuk mengubah sequon sehingga glikosilasi benar-benar dihambat. Jika hal ini dilakukan maka fungsionalitas protein perlu dikaji ulang 157
untuk meyakinkan bahwa mutasi tidak memberikan efek negatif terhadap aktivitas dan struktur protein. SDM sequon glikosilasi telah dikaji untuk protein CD154 di mana Asn240 dimutasi menjadi Ala. Jika SDM dipilih, maka analisis awal sequon yang berhubungan dengan struktur tersier perlu ditentukan karena posisi sequon mungkin sedemikian rupa sehingga tidak terglikosilasi karena terbenam dalam inti protein, atau Asn mungkin terlibat dalam ikatan hidrogen. Jika kasusnya adalah seperti ini, maka SDM tidak diperlukan dan jika dilakukan akan merusak struktur protein. Deglikosilasi protein juga dibutuhkan untuk mendapatkan struktur kristal. Glikoprotein pada umumnya sulit untuk dikristalkan, namun de-glikosilasi utuh tidak mungkin dilakukan karena akan berpengaruh terhadap stabilitas dan aktivitas (Bretthauer & Castellino, 1999). Alternatif seperti perlakuan glikoprotein dengan Endo H (dibanding PNGase F), yang meninggalkan GlcNAc, dapat membantu menstabilkan protein. Strategi ini telah dilakukan untuk beberapa protein terglikosilasi, termasuk domain ekstraselular dari reseptor aktivin A (Curvers et al., 2001). Gel-shift assay Pengetahuan bahwa tipe oligosakarida high manosa merupakan satu-satunya tipe oligosakarida yang 158
ditemukan pada glikoprotein ragi telah membuka jalan penggunaan metode eksperimen untuk menentukan apakah N-glikosilasi terjadi pada protein rekombinan. Tersedianya enzim yang mengenali inti struktur highmanosa dan mengatalisis hidrolisis ikatan GlcNAc 1,4GlcNAc pada inti struktur, menghasilkan pembebasan oligosakarida, pada umumnya menghasilkan penuruan massa yang cukup signifikan dan dapat dideteksi dengan SDS/PAGE. Endo- -N-asetilglukosaminidase H (endo H) merupakan suatu enzim yang telah digunakan secara ekstensif untuk tujuan ini. Enzim tipe lain yang digunakan untuk membebaskan ikatan-N oligosakarida tidak spesifik untuk high-manosa atau struktur tipe kompleks, dan mengatalisis hidrolisis ikatan GlcNAc -Asn. Enzim ini yaitu peptida-N-glikohidrolase F (glikopeptidase F atau PNGase F), telah digunakan secara ekstensif untuk mendemonstrasikan shift pada SDS/PAGE mobility sebagai indikasi N-glikosilasi. Laporan terjadinya Nglikosilasi telah didemonstrasikan hanya dengan menggunakan salah satu enzim endo H atau PNGase F pada gel-shift assay terdapat pada Table 5.3. Hasil observasi perbedaan yang nyata antara massa sebelum dan sesudah perlakuan dengan enzim endo diperlihatkan dengan jelas.
159
Tabel 6.3. Hasil analisis N-glikosilasi pada gel shift assay dengan menggunakan enzim endo H atau PNGase F. Protein
Perubahan BM (kDa)
Glikosidase
Invertase S. cerevisiae Protein pembungkus HIV -amilase Bacillus amyloliquifaciens Subunit katalitik enterokinase bovine Enzim angiotensinconverting kelinci CD5-110 manusia -antitripsin manusia Glikoprotein D virus herpes tipe I bovine Subunit prolil 4hidroksilase manusia Gelatinase B tikus Angiostatin manusia
100-140 menjadi 58 200 menjadi 59
Endo H Endo H
Smear menjadi 60 46 menjadi 33
Endo H Endo H
90 menjadi 77
PNGase
22,9 menjadi 14,8 52 menjadi 46 68 menjadi 39
Endo H Endo H Endo H
Tiga pita menjadi 1 pita 110 menjadi 95 51 menjadi 49
PNGase PNGase Endo H
160
7 PENUTUP
SISTEM ekspresi P. pastoris dapat melengkapi sistem ekspresi lain untuk mendapatkan produk protein rekombinan autentik dalam jumlah besar untuk keperluan fungsionalitas, fisiologi ataupun penentuan struktur/kristalografi (Boettner et al., 2002). Khususnya Pichia pastoris merupakan sistem yang dapat digunakan untuk investigasi rekayasa protein, terutama studi yang berbasis molekul dari interaksi protein ligan-reseptor protein/protein pengikat atau perakitan makromulekul kompleks protein. Tersedianya metoda untuk membentuk vektor ekspresi yang mengandung insersi gen asing multikopi, memungkinkan produksi protein rekombinan yang diinginkan dalam jumlah besar dan dalam bentuk terlarut, 161
dengan pelipatan yang tepat dan mengalami modifikasi pasca-translasi yang tepat. Sistem P. pastoris merupakan sistem yang menguntungkan, tidak mahal, merupakan alat yang berguna untuk investigasi rekayasa protein dimana keautentikan folding dan pematangan protein rekombinan merupakan komponen yang penting dalam rangka pencarian untuk mengetahui tingkah laku pengikatan pada tingkat molekul dan fenomena pengikatan molekul lain yang berhubungan dengan interaksi protein rekombinan dengan molekul lain yang terjadi secara natural.
162
DAFTAR PUSTAKA
Almeida, M.S., Cabral, K.S., de Medeiros, L.N., Valente, A.P., Almeida, F.C.L., Kurtenbach, E. 2001. cDNA cloning and heterologous expression of functional cysteine-rich antifungal protein Psd1 in the yeast Pichia pastoris. Arch. Biochem. Biophys. 395: 199–207. Allen, S., Naim, H.Y., Bulleid, N.J. 1995. Intracellular folding of tissue-type plasminogen activator: effects of disulfide bond formation on N-linked glycosylation and secretion. J. Biol. Chem. 270: 4797–4804. Asami, Y., Nagano, H., Ikematsu, S., Murasugi, A. 2000. An approach to the removal of yeast specific O-linked oligomannoses from human midkine expressed in Pichia pastoris using site-specific mutagenesis. J Biochem. 128: 823–826. Barr, K.A., Hopkins, S.A., Sreekrishna, K. 1992. Protocol for efficient secretion of HSA developed from Pichia pastoris. Pharmac. Engng 12: 48–51. Bardwell James, C.A., 1994. Building bridges: disulphide bond formation in the cell. Mol. Microbiol. 14: 199–205. Bause, E., Legler, G. 1981. The role of the hydroxy amino acid in the triplet sequence Asn-Xaa-Thr(Ser) for the N-glycosylation step during glycoprotein biosynthesis. Biochem. J. 195: 639–644. Becker, D. M. and Guarante, L. 1991. High-efficiency transformation of yeast by electroporation. Methods Enzymol. 194, 182–187. Beall, M.J., Pearce, E.J. 2001. Human transforming growth factor-beta activates a receptor serine/threonine kinase from the intravascular parasite Schistosoma mansoni. J. Biol. Chem. 276: 31613–31619. Biemans, R., Gregoire, D., Haumont, M., Bosseloir, A., Garcia, L., Jacquet, A., Dubeaux, C., Bollen, A. 1998. The conformation of purified Toxoplasma gondii SAG1 antigen, secreted from engineered Pichia pastoris, is adequate for sero-recognition and cell proliferation. J. Biotechnol. 66: 137–146.
163
Boraston, A.B., McLean, B.W., Guarna, M.M., Amandaron-Akow, E., Kilburn, D.G. 2001. A family 2a carbohydratebinding module suitable as an affinity tag for proteins produced in Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 21: 417–423. Boettner, M., Prinz, B., Holz, C., Stahl, U., Lang, C. 2002. High-throughput screening for expression of heterologous proteins in the yeast Pichia pastoris. J. Biotechnol. 99: 51–62. Boraston, A.B., Warren, R.A.J., Kilburn, D.G. 2001. Glycosylation by Pichia pastoris decreases the affinity of a family 2a carbohydrate- binding module from Cellulomonas fimi: a functional and mutational analysis. Biochem. J. 358: 423–430. Brake, A.J., Merryweather, J.P., Coit, D.G., Heberlein, U.A., Masiarz, F.R., Mullenbach, G.T., Urdea, M.S., Valenzuela, P., Barr, P.J. 1984. Alphafactor-directed synthesis and secretion of mature foreign proteins in Saccharomyces cerevisiae. Proc Natl Acad. of Sci. USA 81: 4642– 4646. Brankamp, R.G., Sreekrishna, K., Smith, P.L., Blankenship, D.T., Cardin, A.D. 1995. Expression of a synthetic gene encoding the anticoagulantantimetastatic protein ghilanten by the methylotrophic yeast Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 6: 813–820. Bretthauer, R.K., Castellino, F.J. 1999. Glycosylation of Pichia pastorisderived proteins. Biotechnol. Appl. Biochem. 30: 193–200. Brierley, R.A. 1998. Secretion of recombinant human insulin-like growth factor I (IGF-1). Methods Mol. Biol. 103, 149-177. Cereghino, G.P.L., Cregg, J.M. 1999. Applications of yeast in biotechnology: protein production and genetic analysis. Curr. Opin. Biotechnol. 10: 422–427. Cereghino, J.L., Cregg, J.M. 2000. Heterologous protein expression in the methylotrophic yeast Pichia pastoris. FEMS Microbiol. Rev. 24: 45– 66. Chaudhuri, T.K., Horii, K., Yoda, T., Arai, M., Nagata, S., Terada, T.P., Uchiyama, H., Ikura, T., Tsumoto, K., Kataoka, H., Matsushima, M., Kuwajima K., Kumagai, I. 1999. Effect of the extra N-terminal methionine residue on the stability and folding of recombinant alphalactalbumin expressed in Escherichia coli. J. Mol. Biol. 285: 1179– 1194.
164
Chang, C.N., Matteucci, M., Perry, J., Wulf, J.J., Chen, C.Y., Hitzeman, R.A. 1986. Saccharomyces cerevisiae secretes and correctly processes human interferon hybrid proteins containing yeast invertase signal peptides. Mol. Cell. Biol. 6: 1812–1819. Chen, Y.S., Jin, M., Egborge, T., Coppola, G., Andre, J., Calhoun, D.H. 2000. Expression and characterization of glycosylated and catalytically active recombinant human alpha-galactosidase a produced in Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 20: 472–484. Clare, J.J., Rayment, F.B., Ballantine, S.P., Sreekrishna, K., Romanos, M.A. 1991. High-level expression of tetanus toxin fragment C in Pichia pastoris strains containing multiple tandem integrations of the gene. BioTechnology: 9: 455–460. Clare, J.J., Romanos, M.A., Rayment, F.B., Rowedder, J.E., Smith, M.A., Payne, M.M., Sreekrishna, K., Henwood. C.A. 1991. Production of mouse epidermal growth factor in yeast high level secretion using Pichia-pastoris strains containing multiple gene copies. Gene 105: 205–212. Cole, P.A. 1996. Chaperone-assisted protein expression. Structure 4: 239– 242. Couderc, R., Baratti, J. 1980. Oxidation of methanol by the yeast, Pichia pastoris strain IFP206: purification and properties of the alcohol oxidase (EC 1.1.3.13). Agric. Biol. Chem. 44: 2279–2290. Cregg, J.M., Madden, K.R., Barringer, K.J., Thill, G.P., Stillman, C.A. 1989. Functional characterization of the two alcohol oxidase genes from the yeast Pichia pastoris. Mol. Cell. Biol. 9: 1316–1323. Cregg, J.M., Barringer, K.J., Hessler, A.Y., Madden, K.R. 1985. Pichia pastoris as a host system for transformations. Mol. Cell. Biol. 5: 3376– 3385. Cregg, J.M. and Madden, K.R. 1988. Development of the methylotrophic yeast Pichia pastoris, as a host system for the production of foreign proteins. Dev. Ind. Microbiol. 29, 33-41. Cregg, J.M., Vedvick, T.S., Raschke, W.C. 1993. Recent advances in the expression of foreign genes in Pichia pastoris. BioTechnology 11: 905– 910. Cregg, J.M., Higgins, D.R. 1995. Production of foreign proteins in the yeast Pichia pastoris. Can. J. Bot. 73: 891–897.
165
Davey, J., Davis, K., Hughes, M., Ladds, G., Powner, D. 1998. The processing of yeast pheromones. Sem. Cell Dev. Biol. 9: 19–30. Daly, R. & Hearn, M.T.W. 2004. Expression fo heterologous proteins in Pichia pastoris: a useful experimental tool in protein engineering and production. J. Mol. Recognit. 18: 119-138. Daly R, & Hearn, M.T.W. 2004. Expression and characterization of the Activin type IIA receptor extracellular domain in Pichia pastoris (in press). Daly, R., Wilson, K., Phillips, D.J., Hearn, M.T.W. 2004. Comparison of native versus yeast signal sequences in the bioactivity of activin receptor extracellular domains expressed in Pichia pastoris (in press). De Schutter, K., Yao-Cheng, L., P. Tiels, A., Van Hecke, S., Glinka, J., Weber-Lehmann, P., Rouze, Y., Van de Peer & Callewaert, N. 2009. Genome sequence of the recombinant protein production host Pichia pastoris. Nat. Biotechnol. 27: 561-569. Dennis, J.W., Granovsky, M., Warren, C.E. 1999. Protein glycosylation in development and disease. Bioessays 21: 412–421. Digan, M.E., Lair, S.V., Brierley, R.A., Siegel, R.S., Williams, M.E., Ellis, S.B., Kellaris, P.A., Provow, S.A,, Craig, W.S., Velicelebi, G., Harpold, M.M., Thill, G.P. 1989. Continuous production of a novel lysozyme via secretion from the yeast, Pichia pastoris. BioTechnology. 7: 160–164. Doud, S. K., Chou, M. M., and Kendall, D. A. 1993. Titration of protein transport by incremental changes in signal peptide hydrophobicity. Biochemistry 32:1251–1256 Doyon, Y., Home, W., Daull, P., LeBel, D. 2002. Effect of C domain Nglycosylation and deletion on rat pancreatic alpha-amylase secretion and activity. Biochem. J. 362: 259–264. Duman, J.G., Miele, R.G., Liang, H., Grella, D.K., Sim, K.L., Castellino, F.J., Bretthauer, R.K. 1998. O-mannosylation of Pichia pastoris cellular and recombinant proteins. Biotechnol. Appl. Biochem. 28: 39– 45. Eckart, M.R., Bussineau, C.M. 1996. Quality and authenticity of heterologous proteins synthesized in yeast. Curr. Opin. Biotechnol. 7: 525–530.
166
Egea, P. F., Stroud, R. M. & Walter, P. 2005. Targeting proteins to membranes: structure of the signal regocnition particle. Current Opinion in Structural Biology. 15: 213-220. Elbein, A.D. 1984. Inhibitors of the biosynthesis and processing of N-linked oligosaccharides. CRC Crit. Rev. Biochem. 16: 21–49. Fekkes, P., & Driessen, A. J. M. 1999. Protein targeting to the bacterial cytoplasmic membrane. Microbiol. & Mol. Biol. Rev. 63: 161-173. Fidler, A.E., Lun, S., Young, W., McNatty, K.P. 1998. Expression and secretion of a biologically active glycoprotein hormone, ovine follicle stimulating hormone, by Pichia Pastoris. J. Mol. Endocrinol. 21: 327– 336. Fidler, A.E., Western, A.H., Griffith, N., Selwood, L., Stent, V., McNatty, K.P. 2002. Production of a biologically active recombinant marsupial growth factor using the methylotrophic yeast Pichia pastoris. Reprod. Fertil. Dev. 14: 327–332. Frand, A.R., and Kaiser, C.A. 1999. Ero1p oxidizes protein disulfide isomerase in a pathway for disulfide bond formation in the endoplasmic reticulum. Molecular Cell 4, 469–477. Fuh G, MG, M., Bass, S., McFarland, N., Brochier, M., Bourell, J.H., Light, D.R., Wells, J.A. 1990. The human growth hormone receptor. Secretion from Escherichia coli and disulfide bonding pattern of the extracellular binding domain. J. Biol. Chem. 265: 3111–3115. Gallet, P.F., Vaujour, H., Petit, J.M., Maftah, A., Oulmouden, A., Oriol, R., Lenarvor, C., Guilloton, M., Julien, R. 1998. Heterologous expression of an engineered truncated form of human lewis fucosyltransferase (FUC-TIII) by the methylotrophic yeast Pichia pastoris. Glycobiology 8: 919–925. Gellissen, G., Melber, K., Janowic, Z.A., Dahlems, U.M., Weydemann, U., Piontek, M., Strasser, A.W.M., Hollenberg, C.P. 1992. Heterologous protein production in yeast. Antonie Leeuwenhoek 62: 79–93. Gellissen, G. 2000. Heterologous protein production in methylotrophic yeasts. Appl. Microbiol. Biotechnol. 54: 741–750. Glick, B.R., Pasternak, J.J. 2003. Molecular biotechnology, principles and applications of recombinant DNA. ASM Press (Washington DC). 163173.
167
Goochee, C.F., Gramer, M.J., Andersen, D.C., Bahr, J.B., Rasmussen, J.R. 1991. The oligosaccharides of glycoproteins: bioprocess factors effecting oligosaccharide structure and their effect on glycoprotein properties. Bio Technology 9: 1347–1355. Grafl, R., Lang, K., Vogl, H., Schmidt, F.X. 1987. The mechanism of folding of pancreatic ribonucleases is independent of the presence of covalently linked carbohydrate. J. Biol. Chem. 262: 10624–10629. Hayter, P.M., Curling, E.M.A., Baines, A.J. 1992. Glucose-limited chemostat culture of Chinese Hamster Ovary cells producing recombinant human interferon-gamma. Biotechnol. Bioengng 39: 327–335. Hardy, E., Martínez, E., Diago, D., Díaz R., González, D., and Herrera L. 2000. Large-scale production of recombinant hepatitis B surface antigen from Pichia pastoris. J. Biotechnol. 77, 157–167. Hershberger, C.L., Larson, J.L., Arnold, B., Rosteck, P.R. Jr., Williams, P., DeHoff, B., Dunn, P., O’Neal, K.L., Riemen, M.W., Tice, P.A. 1991. A cloned gene for human transferrin. Ann. NY Acad. Sci. 646: 140–154. Henkel, M.K., Pott, G., Henkel, A.W., Juliano, L., Kam, C.M., Powers, J.C., Franzusoff ,A. 1999. Endocytic delivery of intramolecularly quenched substrates and inhibitors to the intracellular yeast Kex2 protease. Biochem. J. 341: 445–452. Herscovics, A., Orlean, P. 1993. Glycoprotein biosynthesis in yeast. FASEB J. 7: 540–550. Higgins, D.R., Busser, K., Comiskey, J., Whittier, P.S., Purcell, T.J. and Hoeffler, J.P. 1998. Small vectors for expression based on dominant drug resistance with direct multicopy selection. Methods Mol. Biol. 103, 41-53. Hinnen, A., Hicks, J. B., and Fink, G. R. 1978. Transformation of yeast. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 75, 1929–1934. Hitzeman, R.A., Chen, C.Y., Dowbenko, D.J., Renz, M.E., Lui Pai, R., Simpson, N.J., Kohr, W.J., Singh, A., Chisholm, H. R., Chang, C.N. 1990. Use of heterologous and homologous signal sequences for secretion of heterologous proteins in yeast. Meth. in Enzymol. 185: 421–440. Hlodan, R., Hartl, U.F. 1994. How the protein folds in the cell. In mechanisms of protein folding, Pain RH (ed.). Oxford University Press: New York; 194–228.
168
Holst, B., Bruun, A.W., Kiellandbrandt, M.C., Winther, J.R. 1996. Competition between folding and glycosylation in the endoplasmic reticulum. EMBO J. 15: 3538–3546. Holmes, W.E., Pennica, D., Blader, M., Rey, M.W., Guenzler, W.A., Steffens, G.J., Heyneker, H.L. 1985. Cloning and expression of the gene for pro-urokinase in Escherichia-coli. BioTechnology 3: 923–929. http://faculty.kgi.edu/cregg/ Huecas, S., Villalba, M., Gonzalez, E., Martinez-Ruiz, A., Rodriguez, R. 1999. Production and detailed characterization of biologically active olive pollen allergen Ole e 1 secreted by the yeast Pichia pastoris. Eur. J. Biochem. 261: 539–545. Inan, M., Meagher, M.M. 2001. Non-repressing carbon sources for alcohol oxidase (AOX1) promoter of Pichia pastoris. J. Biosci. Bioengng 92: 585–589. Ina, M., Meagher, M.M. 2001. The effect of ethanol and acetate on protein expression in Pichia pastoris. J. Biosci. Bioengng 92: 337–341. Invitrogen, A manual of methods for expresion of recombinant proteins in Pichia Pastoris, 2006. California. 7-10. Ito, H., Fukuda, Y., Murata, K., and Kimura, A. 1983. Transformation of intact yeast cells treated with alkali cations. J. Bacteriol. 153, 163–168. Jenkins, N, Parekh, R.B., James, D.C. 1996. Getting the glycosylation rightimplications for the biotechnology industry. Nat. Biotechnol. 14: 975– 981. Jiang, S.T., Chen, G.H., Tang, S.J., Chen, C.S. 2002. Effect of glycosylation modification (N-Q-I-108!N-Q-T-108) on the freezing stability of recombinant chicken cystatin overexpressed in Pichia pastoris X-33. J. Agric. Food Chem. 50: 5313–5317. Johnson, M. A., Snyder,W. B., Lin-Cereghino, J.,Veenhuis, M., Subramani, S., and Cregg, J. M. 2001. Pichia pastoris Pex14p, a phosphorylated peroxisomal membrane protein, is part of a PTS-receptor docking complex and interacts with many peroxins. Yeast 18, 621–641. Julius, D., Brake, A., Blair, L., Kunisawa, R., Thorner, J. 1984. Isolation of the putative structural gene for the Lysine–Arginine-cleaving endopeptidase required for processing of the yeast prepro-alpha-factor. Cell 37: 1075–1090. Katakura, Y., Zhang, W.H., Zhuang, G.Q., Omasa, T., Kishimoto, M., Goto, W., Suga, K.I. 1998. Effect of methanol concentration on the
169
production of human beta(2)-glycoprotein I domain V by a recombinant Pichia pastoris: a simple system for the control of methanol concentration using a semiconductor gas sensor. J. Ferment. Bioengng 86: 482–487. Kalandadze, A., Galleno, M., Foncerrada, L., Strominger, J.L., Wucherpfennig, K.W. 1996. Expression of recombinant HLA-DR2 molecules—replacement of the hydrophobic transmembrane region by a leucine zipper dimerisation motif allows the assembly and secretion of soluble DR alpha-beta heterodimers. J. Biol. Chem. 271: 20156– 20162. Keizer-Gunnink, I., Vuorela, A., Myllyharju, J., Pihlajaniemi, T., Kivirikko, K.I., Veenhuis ,M. 2000. Accumulation of properly folded human type III procollagen molecules in specific intracellular membranous compartments in the yeast Pichia pastoris. Matrix Biol. 19: 29–36. Khandekar, S.S., Silverman, C., Wells-Marani, J., Bacon, A.M., Birrell, H., Brigham-Burke, M., DeMarini, D.J., Jonak, Z.L., Camilleri, P., Fishman-Lobell, J. 2001. Determination of carbohydrate structures Nlinked to soluble CD154 and characterization of the interactions of CD40 with CD154 expressed in Pichia pastoris and Chinese hamster ovary cells. Protein Express. Purif. 23: 301–310. King Te, P., Kochoumian, L., Lu, G. 1995. Murine T and B cell responses to natural and recombinant hornet venom allergen Dol m 5.02 and its recombinant fragments. J. Immunol. 154: 577–584. Kim, T.R., Goto, Y., Hirota, N., Kuwata, K., Denton, H., Wu, S.Y., Sawyer, L., Batt, C.A. 1997. High-level expression of bovine beta-lactoglobulin in Pichia pastoris and characterization of its physical properties. Protein Eng. 10: 1339–1345. Kjeldsen, T, Pettersson, A.F., Hach, M. 1999. Secretory expression and characterization of insulin in Pichia pastoris. Biotechnol. Appl. Biochem. 29: 79–86. Klebe, R. J., Harriss, J. V., Sharp, Z. D., and Douglas, M. G. 1983. A general method for polyethylene-glycol-induced genetic transformation of bacteria and yeast. Gene 25, 333–341. Kobayashi, H., Shibata, N., Suzuki, S. 1986. Acetolysis of Pichia pastoris IFO 0948 strain mannan containing alpha- 1,2 and beta-1,2 linkages
170
using acetolysis medium of low sulfuric acid concentration. Arch. Biochem. Biophys. 245: 494–503. Koganesawa, N., Aizawa, T., Masaki, K., Matsuura, A., Nimori, T., Bando, H., Kawan,o K., Nitta, K. 2001. Construction of an expression system of insect lysozyme lacking thermal stability: the effect of selection of signal sequence on level of expression in the Pichia pastoris expression system. Protein Engng 14: 705–710. Kulp, M.S., Frickel, E.M., Ellgaard, L., Waissman, J.S. 2006. Domain architecture of protein-disulfide isomerase facilitates its dual role as an oxidase and an isomerase in Ero1p-mediated disulfide formation. The Journal of Biologycal Chemistry. 281. 2. 876-884. Lawson, C., Walker, C., Awford, J., Biffen, M., Mallinder, P., Jackson, A. 2002. Purification and characterization of recombinant rat mast cell protease 7 expressed in Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 25: 256–262. Laroche, Y., Storme, V., Demeutter, J., Messen,s J., Lauwerey,s M. 1994. High-level secretion and very efficient isotopic labeling of the tick anticoagulant peptide (TAP) expressed in the methylotrophic yeast, Pichia pastoris. BioTechnology 12: 1119–1124. Letourneur, O., Gervas, G., Gaia, S., Pages, J., Watelet, B., Jolivet, M. 2001. Characterization of Toxoplasma gondii surface antigen I (SAGI) secreted from Pichia pastoris: evidence of hyper O-glycosylation. Biotechnol. Appl. Biochem. 33: 35–45. Li, Z.J., Xiong, F., Lin, Q.S., d’Anjo, M., Daugulis, A.J,. Yang, D.S.C., Hew, C.L. 2001. Low-temperature increases the yield of biologically active herring antifreeze protein in Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 21: 438–445. Li, P.Z., Go, X.G., Arellano, R.O., Renugopalakrishnan, V. 2001. Glycosylated and phosphorylated proteins—expression in yeast and oocytes of Xenopus: prospects and challenges—relevance to expression of thermostable proteins. Protein Express. Purif. 22: 369–380. Lin-Cereghino, G.P., Godfrey, L., de la Cruz, B.J., Johnson, S., Khuongsathiene, S., Tolstorukov, I., Yan, M., Lin-Cereghino, J., Veenhuis, M., Subramani, S., and Cregg, J.M. 2006. Mxr1p, a key regulator of the methanol utilization pathway and peroxisomal genes in Pichia pastoris. Mol. Cel. Biol. 26. 883-897.
171
Lis, H., Sharon, N. 1993. Protein glycosylation—structural and functional aspects. Eur. J. Biochem. 218: 1–27. Liu, D.T.Y. 1992. Glycoprotein pharmaceuticals—scientific and regulatory considerations, and the United-States Orphan Drug-Act. Trends Biotechnol. 10: 114–120. Lueking, A., Holz, C., Gotthold, C., Lehrach, H., Cahill, D. 2000. A system for dual protein expression in Pichia pastoris and Escherichia coli. Protein Express. Purif. 20: 372–378. Maras, M., Callewaert, N., Piens, K., Claeyssens, M., Martinet, W., Dewaele, S., Contreras, H., Dewerte, I., Penttila, M., Contreras, R. 2000. Molecular cloning and enzymatic characterization of a Trichoderma reesei 1,2-alpha-D-mannosidase. J. Biotechnol. 77: 255–263. Martinet, W., Saelens, X., Deroo, T., Neirynck, S., Contreras, R., Jou, W.M., Fiers, W. 1997. Protection of mice against a letal influenza challenge by immunization with yeast-derived recombinant influenza neuraminidase. Eur. J. Biochem. 247: 332–338. Makrides, S.C. 1996. Strategies for achieving high-level expression of genes in Escherichia coli. Microbiol. Rev.60: 512ff. Martinez-Ruiz, A., Martinez del Pozo, A., Lacadena, J., Mancheno, J.M., Onaderra, M., Lopez-Otin, C. and Gavilanes, J.G. 1998. Secretion of recombinant pro- and mature fungal K-sarcin ribotoxin by the methylotrophic yeast Pichia pastoris: the Lys-Arg motif is required for maturation. Protein Expr. Purif. 12, 315-322. Martinet, W., Maras, M., Saelens, X., Jou, W.M., Contreras, R. 1998. Modification of the protein glycosylation pathway in the methylotrophic yeast Pichia pastoris. Biotechnol. Lett. 20: 1171–1177. Majerle, A, Kidric, J, Jerala, R. 1999. Expression and refolding of functional fragments of the human lipopolysaccharide receptor CD14 in Escherichia coli and Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 17: 96– 104. Mason, A.B, Woodworth, R.C., Olive, R.W.A., Green, B.N., Lin, L.N., Brandts, J.F., Tam, B.M., Maxwel, A., Macgillivray, R.T.A. 1996. Production and isolation of the recombinant N-lobe of human transferrin from the methylotrophic yeast Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 8: 119–125.
172
Meldgaard, M., Svendsen, I. 1994. Different effects of n-glycosylation on the thermostability of highly homologous bacterial (1,3-1,4)-betaglucanases secreted from yeast. Microbiology 140: 159–166. Minning, S., Serrano, A., Ferrer, P., Sola, C., Schmid, R.D., Valero, F. 2001. Optimization of the high-level production of Rhizopus oryzae lipase in Pichia pastoris. J. Biotechnol. 86: 59–70. Moir, D.T., Dumais, D.R. 1987. Glycosylation and secretion of human alpha1-antitrypsin by yeast. Gene 56: 209–217. Monsalve, R.I., Lu, G., King, T.P. 1999. Expressions of recombinant venom allergen, antigen 5 of yellow jacket (Vespula vulgaris) and paper wasp (Polistes annularis), in bacteria or yeast. Protein Express. Purif. 16: 410–416. Montesino, R., Nimtz, M., Quintero, O., Garcia, R., Falcon, V., Cremata, J.A. 1999. Characterization of the oligosaccharides assembled on the Pichia pastoris-expressed recombinant aspartic protease. Glycobiology 9: 1037–1043. Murasugi, A., Tohma-Aiba, Y. 2001. Comparison of three signals for secretory expression of recombinant human midkine in Pichia pastoris. Biosci. Biotechnol. Biochem. 65: 2291–2293. Munshi, C., Lee, H.C. 1997. High-level expression of recombinant aplysia ADP-ribosyl cyclase in Pichia pastoris by fermentation. Protein Express. Purif. 11: 104–110. Narhi, L.O., Arakawa, T., Aoki, K.H., Elmore, R., Rohde, M.F., Boone, T., Strickland, T.W. 1991. The effect of carbohydrate on the structure and stability of erythropoietin. J. Biol. Chem. 266: 23022–23026. Natalia, D., Masduki, F. F., Muharsini, S. 2003. Produksi vaksin hama ternak lalat screw wormfly: overekspresi protein membran peritrofik PM48 dan PM95, serta overekspresi protein disulfida isomerase (PDI) pada S. cerevisiae. Laporan RUT VIII. Kementrian Riset Dan Teknologi. Nebes, V.L., Jones, E.W. 1991. Activation of the proteinase B precursor of the yeast Saccharomyces cerevisiae by autocatalysis and by an internal sequence. J. Biol. Chem. 266: 22851–22857. Nelson, D.L. and Cox, M.M. Lehninger principles of biochemistry. 4 th ed. Wh Freeman. 1068-1070. Odonohue, M.J., Boissy, G., Huet, J.C., Nespoulous, C., Brunie, S., Pernollet, J.C. 1996. Overexpression in Pichia pastoris and crystallization of an
173
elicitor protein secreted by the phytopathogenic fungis, Phytophthora cryptogea. Protein Express. Purif. 8: 254–261. Ogata, K., Nishikawa, H. and Ohsugi, M. 1969. A yeast capable of utilizing methanol. Agric. Biol. Chem. 33, 1519-1520. Ogunjimi, A.A., Chandler, J.M., Gooding, C.M., Recinos, A., Choudary, P.V. 1999. High-level secretory expression of immunologically active intact antibody from the yeast Pichia pastoris. Biotechnol. Lett. 21: 561–567. Oka, C., Tanaka, M., Muraki, M., Harata, K., Suzuki, K., Jigami, Y. 1999. Human lysozyme secretion increased by alpha-factor pro-sequence in Pichia pastoris. Biosci. Biotechnol. Biochem. 63: 1977–1983. Olden, K., Bernard, B.A., Humphries, M.J., Yeo, T.K., Yeo, K.T., White, S.L., Newton, S.A., Bauer, H.C., Parent, J.B. 1985. Function of glycoprotein glycans. Trends Biochem. Sci. 8: 16–82. Orlean, P., Kuranda, M.J., Albright, C.F. 1991. Analysis of glycoproteins from Saccharomyces cerevisiae. Meth. Enzymol. 194: 682–697. Olsen, O., Thomsen, K.K., Weber, J., Duus, J.O., Svendsen, I., Wegener, C., Vonwettstein, D. 1996. Transplanting two unique beta-glucanase catalytic activities into one multienzyme, which forms glucose. BioTechnology 14: 71–76. Olsen, O., Thomsen, K.K. 1991. Improvement of bacterial beta glucanase thermostability by glycosylation. J. Gen. Microbiol. 137: 579–586. Ostergaard, S., Olsson, L., Nielsen, J. 2000. Metabolic engineering of Saccaromyces cerevisiae. Microbiol. and Mol. Biol. Rev. 64. 34-50. Paifer, E., Margolles, E., Cremata, J., Montesino, R., Herrera, L., Delgado, J.M. 1994. Efficient expression and secretion of recombinant alpha amylase in Pichia pastoris using two different signal sequences. Yeast 10: 1415–1419. Paramasivam, M., Saravanan, K., Uma, K., Sharma, S., Singh, T.P., Srinivasan, A. 2002. Expression purification, and characterization of equine lactoferrin in Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 26: 28–34. Pakkanen, O., Hamalainen, E.J., Kivirikko, K.I., Myllyharju, J. 2003. Assembly of stable human type I and III collagen molecules from hydroxylated recombinant chains in the yeast Pichia pastoris. J. Biol. Chem. 278: 32478–32483.
174
Payne, W.E., Gannon, P.M., Kaiser, C.A. 1995. An inducible acid phosphatase from the yeast Pichia pastoris—characterization of the gene and its product. Gene 163: 19–26. Penheiter, A.R., Klucas, R.V., Sarath, G. 1998. Purification and characterization of a soybean root nodule phosphatase expressed in Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 14: 125–130. Pless, D.D., Lennarz, W.J. 1977. Enzymatic conversion of proteins to glycoproteins. Proc. Natl Acad. Sci. USA 74: 134–138. Potgieter, T.I., M. Cukan, J. E. Drummond, N. R. Houston-Cummings, Y. Jiang, F. Li, H. Lynaugh, M. Mallem, T. W. McKelvey, T. Mitchell, A. Nylen, A. Rittenhour, T. A. Stadheim, D. Zha and M. d’Anjou. 2008. Production of monoclonal antibodies by glycoengineered Pichia pastoris. J. Biotechnol. 139, 318–325. Powers, S.L., Robinson, A.S. 2007. PDI improves secretion of redox-inactive beta-glucosidase. Biotechnol Proq. 23 (2). 364-369. Powner, D., Davey, J. 1998. Activation of the kexin from Schizosaccharomyces pombe requires internal cleavage of its initially cleaved prosequence. Mol. Cell. Biol. 18: 400–408. Pratap, J., Rajamohan, G., Dikshit, K.L. 2000. Characteristics of glycosylated streptokinase secreted from Pichia pastoris: enhanced resistance of SK to proteolysis by glycosylation. Appl. Microbiol. Biotechnol. 53: 469– 475. Psaridi-Linardaki, L., Mamalaki, A., Remoundos, M., Tzartos, S.J. 2002. Expression of soluble ligand- and antibody-binding extracellular domain of human muscle acetylcholine receptor alpha subunit in yeast Pichia pastoris—role of glycosylation in alpha-bungarotoxin binding. J. Biol. Chem. 277: 26980–26986. Querol, S., Cancelas, J.A., Amat, L., Capmany, G., Garcia, I. 1999. Effect of glycosylation of recombinant human granulocytic colony-stimulating factor on expansion cultures of umbilical cord blood CD34(þ) cells. Haematology 84: 493–498. Raemaekers, R.J.M., de Muro, L., Gatehouse, J.A., Fordham-Skelton, A.P. 1999. Functional phytohemagglutinin (PHA) and Galanthus nivalis agglutinin (GNA) expressed in Pichia pastoris—correct N-terminal processing and secretion of heterologous proteins expressed using the PHA-E signal peptide. Eur. J. Biochem. 265: 394–403.
175
Reverter, D., Ventura, S., Villegas, V., Vendrell, J., Aviles, F.X. 1998. Overexpression of human procarboxypeptidase A2 in Pichia pastoris and detailed characterization of its activiation pathway. J. Biol. Chem. 273: 3535–3541. Reddy, S.T., Dahms, N.M. 2002. High-level expression and characterization of a secreted recombinant cation-dependent mannose 6-phosphate receptor in Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 26: 290–300. Rees, G.S., Gee, C.K., Ward, H.L., Ball, C., Tarrant, G.M., Poole, S., Bristow, A.F. 1999. Rat tumour necrosis factor-alpha: expression in recombinant Pichia pastoris purification, characterization and development of a novel ELISA. Eur. Cytokine Netw. 10: 383–392. Romanos, M.A., Scorer, C.A., Clare, J.J. 1992. Foreign gene expression in yeast: a review. Yeast 8: 423–488. Romanos, M.A. 1995. Advances in the use of Pichia pastoris for high-level gene expression. Curr. Opin. Biotechnol. 6: 527–533. Rosenfeld, S.A., Ross, O.H., Hillman, M.C., Corman, J.I., Dowling, R.L. 1996. Production and purifiction of human fibroblast collagenase (MMP-1) expressed in the methylotrophic yeast Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 7: 423–430. Rockwell, N.C., Fuller, R. S. 1998. Interplay between S, 1 and S, 4 subsites in Kex2 protease: Kex2 exhibits dual specificity for the P4 side chain. Biochemistry 37: 3386–3391. Robinson, A. S., Hines, V., Wittrup, K. D. 1994. Protein disulphide isomerase overexpression increases secretion of foreign proteins in Saccharomyces cerevisiae. Bio/Technology. 12, 381-384 Rodriguez, M., Rubiera, R., Penichet, M., Montesinos, R., Cremata, J., Falcon, V., Sanchez, G., Bringas, R., Cordoves, C. 1994. High level expression of the B. microplus Bm86 antigenin the yeast Pichia pastoris forming highly immunogenic particles for cattle. J. Biotechnol. 33: 135–146. Ruitenberg, K.M., Gilkerson, J.R., Wellington, J.E., Love, D.N., Whalley, J.M. 2001. Equine herpesvirus 1 glycoprotein D expressed in Pichia pastoris is hyperglycosylated and elicits a protective immune response in the mouse model of EHV-1 disease. Virus Res. 79: 125–135.
176
Rutkowski, D.T., Ott, C.M., Polansky, J.R., and Lingappa, V.R. 2003. Signal sequences initiate the pathway of maturation in the endoplasmic reticulum lumen. J. Biol. Chem. 278, 30365-30372. Sadhukhan, R., Sen, G.C., Sen, I. 1996. Synthesis and cleavage- secretion of enzymatically active rabbit angiotensinconverting enzyme in Pichia pastoris. J. Biol. Chem. 271: 18310–18313. Saito, A., Usui, M., Song, Y., Azakami, H., Kato, A. 2002. Secretion of glycosylated alpha-lactalbumin in yeast Pichia pastoris. J. Biochem. 132: 77–82. Samaddar, M., Catterall, J.F., Dighe, R.R. 1997. Expression of biologically active beta subunit of bovine follicule-stimulating hormone in the methylotrophic yeast Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 10: 345– 355. Sarramegna, V., Demange, P., Milon, A., Talmont, F. 2002. Optimizing functional versus total expression of the human mu-opioid receptor in Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 24: 212–220. Scorer, C.A., Buckholz, R.G., Clare, J.J., Romanos, M.A. 1993. The intracellular production and secretion of HIV-1 envelope protein in the methylotrophic yeast Pichia pastoris. Gene 136: 111–119 Scorer, C.A., Clare, J.J., McCombie, W.R., Romanos, M.A. and Sreekrishna, K. 1994. Rapid selection using G418 of high copy number transformants of Pichia pastoris for high-level foreign gene expression. Biotechnology (NY) 12, 181-184. Schultz, L. D., Markus, H. Z., Hofmann, K. J., Montgomery, D. L., Dunwiddier, C. T., Kniskern, P. J., Freedman, R. B., Ellis, R. W., Tuite, M. F. 1994. Using molecular genetic to improve the production of recombinant proteins by the yeast Saccharomyces cerevisiae. Ann. N. Y. Acad. Sci. 721, 148-157 Sears, I.B., Oconnor, J., Rossanese, O.W., Glick, B.S. 1998. A versatile set of vectors for constitutive and regulated gene expression in Pichia pastoris. Yeast 14: 783–790. Segev, N., Mulholland, J., Botstein, D. 1988. The yeast gtp binding ypt1 protein and a mammalian counterpart are associated with the secretion machinery. Cell 52: 915–924.
177
Shelikoff, M., Sinskey, A.J., Stephanopoulos, G. 1996. A modeling framework for the study of protein glycosylation. Biotechnol. Bioengng 50: 73–90. Shakin-Eshleman, S.H., Spitalnik, S.L., Kasturi, L. 1996. The amino acid at the X position of an Asn-X-Ser sequon is an important determinant of N-linked core-glycosylation efficiency. J. Biol. Chem. 271: 6363–6366. Shusta, E. V., Raines, R. T., Pluckthun, A., Wittrup, K. D. 1998. Increasing the secretory capacity of Saccharomyces cerevisiae for production of single chain antibody fragment. Nature Biotechnol., 16, 773-777. Sinclair, G., Choy, F.Y.M. 2002. Synonymous codon usage bias and the expression of human glucocerebrosidase in the methylotrophic yeast, Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 26: 96–105. Simons, J.F., Forro-Novick, S., Rose, M.D., Helenius, A. 1995. Bip/Kar2p serves as a molecular chaperone during carboxypeptidase Y folding in yeast. J. Cell. Biol. 130: 41–49. Sleep, D., Belfield, G.P., Goodey, A.R. 1990. The secretion of human serum albumin from the yeast Saccharomyces cerevisiae using five different leader sequences. BioTechnology 8: 42–46. Smith, J.E., 1996. Biotechnology. Cambridge University Press. 68-83. Smeekens, S.P. 1993. Processing of protein precursors by a novel family of subtilisin-related mammalian endoproteases. BioTechnology 11: 182– 186. Snyder, W. B., Koller, A., Choy, A. J.1999. Pex17p is required for import of both peroxisome membrane and lumenal proteins and interacts with Pex19p and the peroxisomal targeting signal-receptor docking complex in Pichia pastoris. Mol. Biol. Cell 10, 4005–4019. Sreekrishna, K., Brankamp, R.G., Kropp, K.E., Blankenship, D.T., Tsay, J.T., Smith, P.L., Wierschke, J.D., Subramaniam, A., Birkenberger, L.A. 1997. Strategies for optimal synthesis and secretion of heterologous proteins in the methylotrophic yeast Pichia pastoris. Gene 190: 55–62. Sreekrishna, K., Nelles, L., Potenz, R., Cruze, J., Mazzaferro, P., Fish, W., Fuke, M., Holden, K., Phelps, D. 1989. High-level expression purification and characterization of recombinant human tumor necrosis factor synthetized in the methylotrophic yeast Pichia-pastoris. Biochemistry 28: 4117–4125.
178
Steiner, D.F., Smeekens, S.P., Ohagi, S., Chan, S.J. 1992. The new enzymology of precursor processing endoproteases. J. Biol. Chem. 267: 23435–23438. Stratton, J., Chiruvolu, V. and Meagher, M. 1998. High cell-density fermentation. Methods Mol. Biol. 103, 107^120. Takano, K., Tsuchimori, K., Yamagata, Y., Yutani, K. 1999. Effect of foreign N-terminal residues on the conformational stability of human lysozyme. Eur. J. Biochem. 266: 675–682. Talmont, F., Sidobre, S., Demange, P., Milon, A., Emorine, L.J. 1996. Expression and pharmacological characterization of the human MUopoid receptor in the methylotrophic yeast Pichia pastoris. FEBS Lett. 394: 268–272. Thiry, M., Cingolani, D. 2002. Optimizing scale-up fermentation processes. Trends Biotechnol. 20: 103–105. Tschopp, J.F., Brust, P.F., Cregg, J.M., Stillman, C.A., Gingeras, T.R. 1987. Expression of the lacZ gene from two methanol regulated promoters in Pichia pastoris. Nucl. Acids Res. 15: 3859–3876. Tsujikawa, M., Okabayashi, K., Morita, M., Tanabe, T. 1996. Secretion of a variant of human single-chain urokinasetype plasminogen activator without an N-glycosylation site in the methylotrophic yeast, Pichia pastoris and characterisation of the secreted product. Yeast 12: 541– 553. Tull, D., Gottschalk, T.E., Svendsen, I., Kramhoft, B., Phillipson, B.A., Bisgard-Frantzen, H., Olsen, O., Svensson, B. 2001. Extensive Nglycosylation reduces the thermal stability of a recombinant alkalophilic Bacillus alpha-amylase produced in Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 21: 13–23. Tu, B.P., Ho-Schleyer, S.C., Travers, K.J., Weissman, J.S. 2000. Biochemical Basis of Oxidative Protein Folding in the Endoplasmic Reticulum, Science, 290, 1571-1574. Tuite, M.F., Clare, J.J., Romanos, M.A. 1999. Expressing cloned genes in the yeasts Saccharomyces cerevisiae and Pichia pastoris. Protein Express. Pract. Approach 202: 61–100. Tuite, M.F and Freedman, R.B. 1994, Improving secretion of recombinant prteins from yeast and mammalian cells; rational of empirical design? Trends in Biotechnology.
179
Vad, R., Nafstad, E., Dahl, L.A., Gabrielsen. O.S. 2005. Engineering of a Pichia pastoris expression system for secretion of high amounts of intact human parathyroid hormone. J. Biotechnol. 116 (3). 251-260. Valent, Q. A., Kendall, D. A., High, S., Kusters, R., Oudega, B., and Luirink, J. 1995. Early events in preprotein recognition in E. coli: interaction of SRP and trigger factor with nascent polypeptides. EMBO J. 14:54945505. Vassileva, A., Chugh, D.A., Swaminathan, S., Khanna, N. 2001. Expression of hepatitis B surface antigen in the methylotrophic yeast Pichia pastoris using the GAP promoter. J. Biotechnol. 88: 21–35. Vassileva, A., Chugh, D.A., Swaminathan, S., Khanna, N. 2001. Effect of copy number on the expression levels of hepatitis B surface antigen in the methylotrophic yeast Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 21: 71–80. Villatte, F., Hussein, A.S., Bachmann, T.T., Schmid, R.D. 2001. Expression level of heterologous proteins in Pichia pastoris is influenced by flask design. Appl. Microbiol. Biotechnol. 55: 463–465. Vozza, L.A., Wittwer, L., Higgins, D.R., Purcell, T.J., Bergseid, M., Collinsracie, L.A., Lavallie, E.R., Hoeffler, J.P. 1996. Production of a recombinant bovine enterokinase catalytic subunit in the methylotrophic yeast Pichia pastoris. BioTechnology 14: 77–81. Wang, P., Zhang, J., Sun, Z.Y., Chen, Y.H., Liu, J.N. 2000. Glycosylation of prourokinase produced by Pichia pastoris impairs enzymatic activity but not secretion. Protein Express. Purif. 20: 179–185. Waterham, H.R., Digan, M.E., Koutz, P.J., Lair, S.V., Cregg, J.M. 1997. Isolation of the Pichia pastoris glyceraldehyde-3- phosphate dehydrogenase gene and regulation and use of its promoter. Gene 186: 37–44. Watanabe, H., Yamasaki, K., Kragh-Hansen, U., Tanase, S., Harada, K., Suenaga, A., Otagiri, M. 2001. In vitro and in vivo properties of recombinant human serum albumin from Pichia pastoris purified by a method of short processing time. Pharm. Res. 18, 1775–1781. White, C.E., Kempi, N.M., Komives, E.A. 1994. Expression of highly disulfide-bonded proteins in Pichia pastoris. Structure 2: 1003–1005. Woo, J.H., Liu, Y.Y., Mathias, A., Stavrou, S., Wang, Z.R., Thompson, J., Neville, D.M. 2002. Gene optimization is necessary to express a
180
bivalent anti-human anti-T cell immunotoxin in Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 25: 270–282. Woycechowsky, K.J. and Raines, R.T. 2000. Native disulfide bond formation in proteins. Current Opinion in Chemical Biology. 4:533-539. Wu, S., Fallon, R.D., Payne, M.S. 1999. Engineering Pichia pastoris for stereoselective nitrile hydrolysis by coproducing three heterologous proteins. Appl. Microbiol. & Biotechnol. 52: 186–190. Xiao, R., Wilkinson, B., Solovyov, A., Winther, J.R., Holmgren, A., Lundstrom-Ljung, J., Gilbert, H.F. 2004. The contributions of protein disulfide isomerase and its homologues to oxidative protein folding in the yeast endoplasmic reticulum. The Journal of Biological Chemistry. 279. 48. 49780-49786. Yamamoto, Y., Taniyama, Y., Kikuchi, M., Ikehara, M. 1987. Engineering of the hydrophobic segment of the signal sequence for efficient secretion of human lysozyme by Saccharomyces cerevisiae. Biochem. Biophys. Res. Communun. 149: 431–436. Yan, B.X., Zhang, W.Y., Ding, J.P., Gao, P.J. 1999. Sequence pattern for the occurrence of N-glycosylation in proteins. J Protein Chem. 18: 511– 521. Yoshimasu, M.A., Ahn, J.K., Tanaka, T., Yada, R.Y. 2002. Soluble expression and purification of porcine pepsinogen from Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 25: 229–236. Zanchin, N.I.T., McCarthy, J.E.G. 1995. Characterisation of the in vivo phosphorylation sites of the MRUA-cap-binding complex proteins eukaryotic initiation factor-4E and P20 in Saccharomyces cerevisiae. J. Biol. Chem. 270: 26505–26510. Zhu, A., Monahan, C., Wang, Z.K., Goldstein, J. 1996. Expression, purification and characterization of recombinant alpha-Nacetylgalactosaminidase produced in the yeast Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 8: 456–462. Zsebo, K., Lu, H.S., Fieschko, J., Goldstein, L., Davis, J., Duker, K., Suggs, S., Lai, P.H., Bitter, G. 1986. Protein secretion from Saccharomyces cerivisiae directed by the prepro-alpha factor leader region. J. Biol. Chem. 261: 5858–5865.
181
INDEKS A -mating factor ( -MF), 44, 45, 47, 65, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, Adenovirus, 3 alkohol oksidase, 6, 19, 24, 27, 28, 29, 30 amino asil tRNA, 63, AOX1, 6, 19, 29, 33, 36, 37, 38, 42, 43, 46, 47, 48, 49, 50, 52, 53, 54, 55, 56, 58, 59, 60, 61, 63, 68, 91 asimilasi metanol, 5 Asam kasamino, 74 Auksotropi, 35, 52 B Biomassa, 31, 33, 57, 72, 73, 76 Biotin, 34, Badan inklusi, 10, 11, 18 Biopharmaceutical, 2, 7 Baculovirus, 3, Bakteriofaga, 3, C CBM (carbohydrate binding module), 135, 138, 141, Chaperone, 10, 99, 101, 118, 128 cDNA, 4, 15, 18, 50, 64, 145 D DsbB, 121, DsbA, 121 De novo, 123, DTT (ditrioteitol), 83, 84, 92, 123, 133, 134 disimilasi metanol, 60 Diploid, 25, 26, 81 DNA artificial E Ero1p, 122, 123, 124
182
Ekspresi konstitutif, 59 Epitop, 48, 118 Elektroporasi, 25, 55, 79, 83, 84, 91, 93, 94 F FAD-binding protein, 123 Furin, 97, 119 Folding 10, 12, 15, 18, 40, 56, 99, 101, 107, 111, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 128, 133, 142, 146 Un-folding, 11, 142 Re-folding, 12, 99, 149 Miss-fold Fosforilasi, 10, 18, 71, G Glikoprotein, 11, 73, 129, 130, 136, 138, 139, 141, 145, 147, 150, 151 Glutation, 28, 60, 118 Genotipe 35, 36 Gen heterolog, 33 GRAS (generally recognized as safe) H Heme, 123 Hibridisasi, 55 Hidrogen peroksida (H2O2), 27 Haploid, 26, 81 Hiperglikosilasi, 16, 134, 137, 138, 139, 147, 148 I Inhibitor kompetitif, 125, 147 In frame, 107 Insersi gen (gene insertion), 41, 52, 53, 68, 153 Integrasi multikopi, 39, 45, 65, 69, 79 Inang 1, 2, 3, 9, 13, 14, 17, 21, 37, 38, 53, 81, 107, 127, 136, 147 Immunogenisitas, 118, 146 Isomerisasi, 10, 119, 122, 124 K Kex2, 108, 109, 110, 115 kodon bias, 64, 65
183
Kaset ekspresi, 37, 39, 42, 45, 49, 50, 51, 52, 54, 55, 56, 65, 66, 67, 68, 107 Katalase, 27, 28 L Late Golgi, 115 Lisosom, 75, 102 Lokus gen, 25 Litium klorida, 25, 55 Lipidasi, 10 O ORF (Open Reading Frame) 43 Overekspresi 3, 126, 127, 136 P Peroksisom 5, 27, 28, 29, 30, 31, 32 Biogenesis 30 Proliferasi 5 Peptide-N glikosidase F (PNGase F) 149, 150, 151 PPI (peptidil prolil isomerase) 118 Prototropi 67 Probe 55 plasmid episom 51 Polietilen glikol 78, 82, 84 Pustaka genom 18, 58 Protein terapeutik 2, 14 protein heterolog 4, 5, 6, 13, 18, 19, 21, 24, 33, 34 pyrogen 4, 34 Plasmid 2um 13 Proteolisis 2, 6, 11, 39, 74, 75, 76 R Replica-plating 67 RNA poly A 29 Reading frame 18 Rekombinansi homolog 25 Retrovirus 3, Ragi metilotropik 5, 17
184
S Sequon 131, 132, 133, 134, 135, 136 Signal peptidase 105, 107, 109, 115 Ste13 108, 109, 114, 115 SR (SRP-receptor) 105 SRP (signal recognition particle) 83, 105 Sorbitol 40, 57, 58 Southern blot 55, 69 Single crossover 52 Shuttle vektor 41 SCP (single cell protein) 23 Struktur genom 17 Sulfasi 10 T Tunamycin 125 Translokon 105, 106 Translokase 103 Trehalose 73 Trace element 34 TCP (total cell protein) 31 U Ubiquinon 121, 123 V Vaksin 2, 7, 14, Vektor ekspresi 2, 6, 13, 17, 35, 41, 42, 43, 45, 46, 48, 50, 54, 59, 67, 69, 153 Vaksin rekombinan 2 W Wild type 16, 36, 37, 39 X Xylulosa 5-monofosfat 28, 29 Z Zimolase 55, 87 Zeocin 47, 49, 50, 55, 68, 69, 70
185
TENTANG PENULIS Shabarni Gaffar, lahir di Bukittinggi Sumatera Barat pada tanggal 25 April 1971. Gelar Sarjana Sains diperoleh pada bulan Maret 1995 di Jurusan Kimia FMIPA Universitas Andalas, Padang. Sedangkan Magister Sains Kimia bidang khusus Biokimia diperoleh pada bulan Oktober 1998 di Departemen Kimia Institut Teknologi Bandung dengan beasiswa URGE Bapennas. Sejak Desember 2004 sampai saat ini penulis menjadi staf pengajar di Jurusan Kimia FMIPA Universitas Padjadjaran. Sekarang penulis sedang mengikuti Program Doktor pada Program Pascasarjana Unversitas Padjadjaran dengan topik penelitian: peningkatan produksi -amilase Saccaromycopsis fibuligera dalam sistem ekspresi Pichia pastoris melalui modifikasi peptida sinyal, multikopi gen dan koekspresi Protein Disulfida isomerase. Semenjak tahun 1999, penulis aktif melakukan penelitian di bidang biologi molekuler, memenangkan beberapa sumber dana penelitian dan pernah mengikuti training Molecular Microbiology di Osaka Jepang (tahun 2000, beasiswa dari Asian Molecular Biology Organization), Advanced Professional Training in Industrial Biotechnology ,Braunschweig Jerman (tahun 2001, beasiswa dari Carl Duisberg Gesellschaft e.V) dan memperoleh dana Sandwich DIKTI di University of Groningen, The Nederlands (2009). Penulis menikah dengan Deni Herdian Putra, S.Si dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri.
UNPAD PRESS
ISBN 978-602-8743-23-5 186