IMUNOGENISITAS PROTEIN REKOMBINAN HBsAg100-GST DALAM MEMICU SEL IMUN UNTUK MENGHASILKAN ANTIBODI PADA MENCIT Slamet Riyadi1, Rarah R.A. Maheswari2, Mirnawati Sudarwanto 3, Fransiska R. Zakaria4, Muhamad Ali5 1
Mahasiswa Program Studi Ilmu Ternak, Sekolah Pascasarjana IPB, 2Fakultas Peternakan IPB, 3 Fakultas Kedokteran Hewan IPB, 4Fakultas Teknologi Pertanian IPB, 5 Ketua Lab. Mikrobiologi & Bioteknologi Fak. Peternakan UNRAM @ E-mail:
[email protected], phone: 085217886729
Abstrak Gen SR100 yang difusikan dengan gen penyandi gluthatione S-transferase (GST) pada diligasi dengan plasmid pGEX-4T-2 berhasil mengekspresikan fusi protein antigen HBsAg100-GST melalui inang E. coli BL21. Fusi protein antigen HBsAg100-GST berhasil dimurnikan dengan kolum GST, kemudian diuji antigenisitasnya melalui respon humoral mencit dalam membentuk antibodi dengan cara melakukan imunisasi terhadap mencit BALB/c dengan fusi protein antigen tersebut. Respon mencit menunjukkan bahwa protein antigen HBsAg100 yang dihasilkan dalam penelitian ini bersifat antigenik. Kata kunci: Gen SR100, pGEX-4T-2, HBsAg100-GST, kolum GST, antibodi.
Abstract The expression vector pGEX-SR100, which the HBsAg100 peptide fused to gluthatione S-transferase (GST), was constructed. The fusion protein, named GST-HBsAg100, was highly expressed in E. coli and purified using GST column. The purified protein was tried to trigger cell immune to produce antibody in mice. Results indicated that the immunogenicity of GST-HBsAg100 was higher than GST protein in elicit the levels of HBsAg100-specific IgG antibody in mice. These results suggest that the HBsAg100 produced in E. coli has immunogenicity. Keywords: pGEX-SR100, GST-HBsAg100, GST column, immunogenicity. Pendahuluan Sejak Edward Jenner menemukan vaksin pada tahun 1778, vaksinasi merupakan pilihan terbaik untuk menanggulangi berbagai jenis penyakit baik pada hewan maupun manusia. Hal ini disebabkan vaksin dapat mencegah timbulnya penyakit dibandingkan dengan penggunaan obat yang ditujukan bagi penyembuhan (curative) dengan memerlukan biaya yang lebih mahal. Menurut
50 Groot dan Rappuoli (2004), vaksinasi merupakan cara yang paling murah dan paling aman untuk menurunkan angka kematian akibat infeksi beberapa jenis penyakit. Keberhasilan vaksinasi dalam memberantas berbagai jenis penyakit telah dibuktikan dengan tuntasnya pemberantasan beberapa jenis penyakit yang sangat mengkhawatirkan, seperti diantaranya cacar air maupun polio. Demikian pula dengan keberhasilan menekan beberapa penyakit seperti tetanus, rabies, tetelo, penyakit mulut dan kuku, hepatitis B, maupun tuberkulosis. Penggunaan vaksin saat ini lebih banyak dipilih dibandingkan dengan penggunaan obat. Di awal perkembangan teknologi produksi vaksin, penggunaan mikroba virulen yang telah dilemahkan (attenuating virulent microorganism) ataupun mikroorganisme virulen yang dibunuh (killing virulent microorganism) dengan bahan kimia tertentu merupakan pilihan untuk menghasilkan berbagai jenis vaksin yang dibutuhkan. Teknik tersebut memiliki banyak kelemahan terutama terhadap spesifikasi vaksin yang dihasilkan, sehingga menyebabkan para ahli terus berupaya untuk menemukan teknik baru. Penggunaan vaksin sub-unit yang dihasilkan dari molekul protein yang dimurnikan dari mikroorganisme patogen telah dapat meningkatkan kualitas vaksin yang dihasilkan. Vaksin tersebut memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin era sebelumnya. Oleh karena itu penggunaan vaksin tersebut lebih efektif untuk menangkal berbagai jenis penyakit dengan menggunakan jumlah yang lebih sedikit (Joshi dan Kumar 2001). Kemajuan teknologi molekuler dalam beberapa dekade ini, terutama sejak ditemukannya sekuen genom lengkap dari mikroba-mikroba pathogen, telah membuka jalan baru bagi dihasilkannya berbagai jenis protein rekombinan, baik vaksin, antibodi, maupun peptide sintetik yang memiliki manfaat tertentu (Thanavala 1995; Groot dan Rappuoli 2004). Pada saat ini, vaksin telah dihasilkan dengan teknologi rekombinan DNA, yaitu melalui kloning gen penyandi proteinprotein tertentu pada mikroorganisme patogen yang dilanjutkan dengan ekspresi gen tersebut pada sel hewan, sel tanaman, ataupun pada bakteri. Penggunaan teknologi tersebut telah menjembatani tingginya kebutuhan terhadap vaksin untuk menanggulangi munculnya berbagai jenis penyakit seperti pada saat ini.
51 Pada rangkaian penelitian ini, telah dikloning dan diekspresikan gen penyandi protein permukaan virus hepatitis B dari protein nomor 100 sampai protein 162 (HBsAg100) sebagai model antigen rekombinan. Langkah selanjutnya yang sangat penting dilakukan untuk mengetahui kualitas protein rekombinan yang telah dihasilkan dengan teknologi rekombinan DNA tersebut adalah menguji imunogenisitasnya pada mencit. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan uji immunogenisitas protein rekombinan HBsAg100 dalam memicu sel imun untuk menghasilkan antibodi pada mencit. Bahan dan Metode Bahan Penelitian Hewan percobaan menggunakan mencit BALB/c umur 6 minggu sebanyak 8 ekor dengan berat badan rata-rata 21,58 gram. Hewan percobaan tersebut dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan yang divaksin dengan protein rekombinan HBsAg-GST dan kelompok hewan percobaan yang hanya divaksin dengan GST saja sebagai kontrol. Imunogenisitas protein HBsAg100 rekombinan akan diukur melalui respon mencit (BALB/c) yang diimunisasi dengan antigen yang diperoleh terhadap timbulnya antibodi. Metode Penelitian Antigenisitas antigen diuji dengan ELISA menurut Chen et al (2004) dengan menggunakan kit komersial (Shanghai alfa bio-technique company, China). Plate ELISA dilapisi dengan antibodi (anti-HBsAg adw), dilanjutkan dengan penambahan antigen pada beberapa konsentrasi dan dibiarkan selama semalam pada suhu 4oC. Pencucian dilakukan sebanyak 3 kali menggunakan washing buffer (10% block ace dan 0.05% tween 20). Setelah itu ditambahkan anti-mouse IgG (L+H) yang berkonyugasi dengan horseradish peroxidase. Setelah inkubasi selama 2 jam, ditambahkan O-phenylenediamine (0.1%, Gibco) dan H2O2 (0.05%) untuk pewarnaan. Proses reaksi dihentikan dengan cara ditambahkan 2 M H2SO4 sebanyak 50 l, dilanjutkan dengan membaca absorban pada gelombang 492 nm menggunakan elisa photoreader. Absorban yang terbaca menggambarkan tingkat antigenisitas antigen.
52 Persiapan Hewan Coba. Hewan percobaan menggunakan mencit BALB/c umur 6 minggu sebanyak 8 ekor dengan berat badan rata-rata 21,58 gram dari kisaran berat individu 18.97 gram sampai 25.79 gram. Hewan percobaan tersebut dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan A yang divaksin dengan protein rekombinan HBsAg-GST dan kelompok hewan percobaan B yang hanya divaksin dengan GST saja sebagai kontrol. Immunisasi Hewan Coba. Imunogenisitas protein HBsAg100 rekombinan diukur melalui respon mencit (BALB/c) yang diimmunisasi dengan antigen yang diperoleh terhadap timbulnya antibodi. Protein HBsAg100 rekombinan (100g) dicampur dengan Adjuvan Freund lengkap, selanjutnya disuntikkan secara subcutaneus (Gambar 13). Booster dilakukan setelah 5 minggu dengan antigen yang sama (50 g) yang dicampur dengan adjuvan Freund tak lengkap (Chen et al. 2004).
Gambar 13 Imunisasi terhadap mencit dilakukan dengan penyuntikan secara subcutaneus.
53 Koleksi Serum. Spesimen darah diambil melalui ekor. Serum darah dapat diperoleh melalui sentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit (Lippi 2007). Kandungan antibodi serum dianalisis dengan Elisa (Camargo et al. 1987). Elisa. Coating (pelapisan plate Elisa dengan antigen HBsAg100-GST) dilakukan dengan menghaluskan masing-masing gel yang mengandung pita (antigen) dari hasil elektroforesis, kemudian masing-masing dimasukkan ke dalam tabung eppendorf dan diencerkan dengan dua kali tingkat pengenceran (5 kali dan 50 kali pengenceran) dengan cara sebagai berikut: (a) Pengenceran 5 kali: 100µl gel yang mengandung antigen diencerkan dengan 400 µl coating buffer, kemudian dihomogenkan, (b) Pengenceran 50 kali: 10µl gel yang mengandung antigen diencerkan dengan 490 µl coating buffer, kemudian dihomogenkan. Selanjutnya campuran di atas didistribusikan ke dalam microplate (sumuran) pada plate Elisa dengan masing-masing sumuran diisi 100 µl, kemudian plate Elisa dibungkus dengan plastik cling wrap dan ditutup dengan aluminium foil, lalu diinkubasikan selama 1 jam pada temperatur 4oC. Larutan pencuci microplate disiapkan yaitu berupa larutan 0.05% tween 20 dalam PBS (25 µl tween 20 dilarutkan ke dalam 50 µl PBS). Pencucian hasil coating (dilakukan 4 kali pencucian), caranya dengan memasukkan 400 µl larutan pencuci (larutan 0.05% twenn 20) ke dalam masing sumuran pada microplate, kemudian dibuang sampai bersih larutan pencuci tersebut. Pencucian diulangi sebanyak empat kali dengan cara yang sama seperti tersebut di atas. Blocking. Tahapan ini bertujuan membuat larutan untuk blocking yaitu mengeblok sumuran-sumuran tersebut di atas. Tiap sumuran diblok dengan 300 µl larutan blocking. Larutan blocking sebanyak 20 ml dibuat dengan cara mencampur 1 ml skim milk ke dalam 19 ml PBS yang mengandung 0.05% tween 20 dan pH diatur menjadi 7.4. Selanjutnya larutan blocking dimasukkan ke dalam sumuran microplate yang telah di coating yaitu masing-masing sebanyak 300 µl, kemudian microplate dibungkus dengan plastik cling wrap dan ditutup dengan aluminium foil, kemudian diinkubasikan pada temperatur 37oC selama 1 jam. Pencucian sumuran setelah blocking dilakukan dua kali terhadap masing-masing sumuran yang telah diblok. Cara pencucian adalah mencampurkan 400 µl larutan
54 pencuci 0.05% tween 20 dalam PBS (pH 7.4) ke dalam masing-masing sumuran yang akan dicuci. Selanjutnya larutan pencuci dibuang sampai bersih. Penambahan Serum Antibodi (Antibodi Primer). Larutan pengencer antibodi disiapkan dengan cara pencampuran 20 ml PBS dengan 200 mg blocking solution (BS), kemudian dihomogenkan. Selanjutnya serum antibodi diencerkan dua kali tingkat pengenceran (satu bagian serum antibodi ditambah satu bagian larutan pengencer). Serum antibodi yang sudah diencerkan dimasukkan ke dalam sumuran microplate Elisa masing-masing 50 µl, kemudian dibungkus dengan plastik cling wrap dan ditutup dengan kertas aluminium foil. Selanjutnya diinkubasikan pada temperatur 37oC selama 1 jam, kemudian dicuci empat kali seperti cara di atas dengan larutan pencuci. Penambahan Antibodi Sekunder yang Mengikat HRP (Horseradish Peroxidase). Antibodi yang digunakan adalah IgG kambing anti IgG tikus. Pengenceran antibodi sekunder pengikat enzim HRP adalah 8.000 kali menggunakan pengencer buffer conjugate. Penambahan antibodi sekunder pengikat enzim HRP, pada tiap-tiap sumuran diisi 50 µl Ab sekunder yang mengikat HRP, kemudian dibungkus dengan plastik cling wrap dan ditutup dengan kertas aluminium foil. Inkubasi dilakukan pada temperatur 37oC selama 1 jam, lalu dilakukan pencucian empat kali dengan larutan 0.05% tween 20 dalam PBS seperti cara di atas, kemudian dikeringkan.
Penambahan Substrat. Substrat yang digunakan adalah TMB (Tetra Methyl Benzidine). Proses reaksi dihentikan dengan cara ditambahkan 2 M H2SO4 sebanyak 50 l, dilanjutkan dengan membaca absorban pada gelombang 450 nm menggunakan
elisa
photoreader.
Optical
Density
(OD)
yang
terbaca
menggambarkan tingkat imunogenisitas antigen yang dihasilkan. Hasil dan Pembahasan Imunogenisitas sebuah antigen merupakan kemampuan yang dimiliki oleh antigen untuk merangsang munculnya respon imun pada mahluk hidup yang divaksin dengan antigen tersebut. Menurut Tizard (1988), imunogenisitas menunjukkan kualitas sebuah materi untuk menstimulasi respon imun.
55 Selanjutnya Plotkin (2005) menyatakan bahwa imunogensitas sebuah antigen menjadi perhatian utama industri bioteknologi dalam menghasilkan berbagai protein rekombinan, karena imunogenisitas menjadi penentu kualitas protein antigen yang dihasilkan. Imunogenisitas protein permukaan virus hepatitis B yang diperoleh secara alami dari darah telah diuji baik pada hewan maupun manusia (Yamamoto et al. 1997; Milich dan Roels 2003). Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa protein tersebut memberikan respon imunogenik yang sangat tinggi sehingga disepakati penggunaannya sebagai vaksin. Upaya produksi protein permukaan virus hepatitis B pada ragi maupun tanaman juga telah melewati uji imunogenisitas yang memadai (Ritchter et al. 2000; Lu et al. 2002; Ddemann dan Zyl 2003; Kumar et al. 2005). Beberapa perbaikan terhadap kualitas protein tersebut telah dilakukan dan diuji imunogenisitasnya (Yamada et al. 2000; Kim et al. 2003; Hu et al. 2003; Hu et al. 2004; Deng et al. 2005). Penentuan konsentrasi protein rekombinan (antigen) yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan melalui percobaan vaksinasi pendahuluan dengan menggunakan beberapa konsentrasi antigen yaitu dengan tingkat pengenceran 50x, 100x, 200x, 500x, dan 1000x (Tabel 3). Nilai OD yang menunjukkan sifat antigenik dari suatu antigen diuji menurut Locarnini et al. (1979) yang merumuskan bahwa nilai rerata OD dari suatu antigen yang antigenik harus lebih besar dari nilai rerata OD kontrol negatif (serum negatif) yang telah dikalikan dengan konstanta (2,5). Berdasarkan ketentuan tersebut, maka antigen yang bersifat antigenik dalam penelitian ini adalah yang mempunyai nilai OD lebih besar dari 0,551. Tabel 3 menunjukkan bahwa HBsAg100-GST yang diencerkan sampai 1000 kali masih bersifat antigenik, oleh karena itu vaksinasi yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan tingkat pengenceran HBsAg100-GST 1000 kali. Rerata respon humoral mencit yang diimunisasi dengan fusi protein (HBsAg100-GST) dan GST dapat dilihat pada Lampiran 8. Hasil pembacaan optikal densiti (OD) dari serum mencit yang diperoleh dari darah mencit sebelum dan setelah dilakukan vaksinasi dengan HBsAg100-GST pada kelompok A dan dengan GST pada kelompok B (Lampiran 8) menunjukkan bahwa rerata respon
56 humoral mencit yang diimunisasi dgn fusi protein meningkat setelah dilakukkan imunisasi, kemudian sekitar seminggu mulai stabil dan setelah dilakukan booster meningkat lagi, tetapi seiring dengan penambahan waktu pemeliharaan maka respon humoral mencit tersebut menurun sedikit demi sedikit sampai akhir minggu ke 12. Perkembangan respon humoral mencit terhadap vaksinasi yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 14. Hal ini menunjukkan bahwa fusi protein rekombinan HBsAg100-GST bersifat antigenik. Tabel 3 Nilai optikal densiti (OD) serum mencit yang diperoleh dari darah mencit setelah satu minggu dilakukan vaksinasi dengan antigen HBsAg100-GST pada beberapa tingkat pengenceran Tingkat pengenceran HBsAg100-GST
Mencit
Kontrol Negatif 0,205 0,237 0,221
A1 A2 Rerata
50x
100x
200x
500x
1000x
1,887 1.946 1,917
1,696 1,702 1,699
1,325 1,391 1,358
1,305 1,390 1,348
1,131 1,254 1,193
2,000 1,800
1,600
OD (450 nm)
1,400 1,200 1,000 HBsAg100-GST
0,800
GST
0,600 0,400
0,200 0,000 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Lama pengamatan (Minggu)
Gambar 14 Respon humoral mencit terhadap vaksinasi HBsAg100-GST (kelompok A) dan GST (kelompok B) berdasarkan nilai optikal densiti (OD) yang diukur setiap minggu setelah dilakukan vaksinansi.
57 Simpulan Protein antigen rekombinan HBsAg100 yang berhasil dikloning bersifat antigenik. Respon humoral mencit dalam pembentukan antibodi meningkat cepat setelah dilakukan imunisasi dan booster, kemudian akan menurun secara perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya waktu. Pembentukan protein antigen dalam penelitian ini dapat dijadikan model imunogen untuk menghasilkan antibodi pada mahluk hidup yang lain seperti pada ternak, tanaman dan manusia untuk mencegah timbulnya penyakit-penyakit tertentu seperti tetelo pada unggas, penyakit mulut dan kuku pada ternak besar, rabies pada anjing dan penyakitpenyakit lainnya pada tanaman dan manusia. Selanjutnya disarankan kepada para peneliti yang menekuni bidang kesehatan hewan pada khususnya dan bidang DNA rekombinan pada umumnya agar meningkatkan motivasinya untuk mengembangkan teknologi ini demi kepentingan dunia kesehatan khususnya di bidang pencegahan penyakit pada ternak.
Daftar Pustaka Camargo, I.F., A.M.C. Gaspar, and C.F.T. Yoshida. 1987. Comparative ELISA Reagents for Detection of Hepatitis B Surface Antigens (HBsAg). Mem Inst Oswaldo Cruz 82(2):181-187. Chen X, Li M, Le X, Ma W, and Zhou B. 2004. Recombinant hepatitis B core antigen carrying preS1 epitopes induce immune response against chronic HBV infection. Vaccine 22:439-446. Ddemann AP, Zyl WH. 2003. Evaluation of Aspergillus niger as host for viruslike particle production, using the Hepatitis B surface antigen as a model. Springer-Verlag. Word J Gastroenterol 12:244-247 Deng Q, Kong YY, Xie YH, and Wang Y. 2005. Expression and purification of the complete PreS region of hepatitis B virus. World J Gastroenterol 11:30603064. Groot ASD, Rappuoli R. 2004. Genome-derived vaccines. Expert Rev Vacc 3:5976. Hu W et al. 2003. A flexible peptide linker enhances the immunoreactivity of two copies HBsAg preS1 (21-47) fusion protein. J Biotechnol 107:83-90. Hu WG et al. 2004. Expression of overlapping Pre-S1 Fragment Recombinant Proteins for the determination of immunogenic domains in HBsAg PreS1 region. Acta Biochim Biophys Sin 36 (6):397-404.
58 Joshi N, Kumar A. 2001. Immunoprophylaxis of hepatitis B virus infection. Ind J Med Microbiol 19:172-183. Kim SJ et al. 2003. Enhanced immunogenicity of DNA fusion vaccine encoding secreted hepatitis B surface antigen and chemokine RANTES. Virology 314:84-91. Kumar SGB, Ganapathi TR, Revathi L, Srinivas VA, Bapat. 2005. Expression of hepatitis B surface antigen in transgenic banana plants. Planta 222:484-493. Lippi G, Salvagno GL, Montagnana M, Guidi GC. 2007. Preparation of a Quality Sample: Effect of Centrifugation Time on Stat Clinical Chemistry Testing. Lab Med 38(3): 172-176. Locarnini SA, Coulepis AG, Stratton AM, Kaldor J, Gust ID. 1979. Solid-phase enzyme-linked immunosorbent assay for detection of hepatitis A specific immunoglobulin M. J Clin microbiol 9:459-465. Lu YY et al. 2002. Cloning and expression of the preS1 gene of hepatitis B virus in yeast cells. Hepatobiliar Pancreat Dis Int 1:238-242. Milich DR, Roels GGL. 2003. Immunogenetics of the response to HBsAg vaccination. Autoimmun Rev 2:248-257. Plotkin SA. 2005. Six revolution in vaccinology. Ped Infect Dis J 24:1-9. Richter LJ, Thanavala Y, Arntzen CJ, Mason HS. 2000. Production of hepatitis B surface antigen in transgenic plants for oral immunization. Nature 18:11671171. Thanavala Y. 1995. Novel approaches to development against HBV. J Biotechnol 44:67-73. Tizard IR. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press. Surabaya Yamada T et al. 2000. Physicochemical and immunological characterization of hepatitis B virus envelope particles exclusively consisting of the entire L (preS1 + pre-S2 + S) protein. Vaccine 19:3154-3163. Yamamoto H, Satoh T, Kiyohara T, Totsuka A, Moritsugu Y. 1997. Quantitation of group-specific a antigen in Hepatitis B vaccines by anti-HBs/a monoclonal antibody. Biologicals 25:373-380.