PERFORMANS ORGAN REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG PROTEIN SEL TUNGGAL
SKRIPSI RESI PRAMONO
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 i
RINGKASAN Resi Pramono. D01400007. 2006. Performans Organ Reproduksi Mencit ( Mus musculus) yang Diberi Pakan Mengandung Protein Sel Tunggal. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
: Dr.Ir.Cece Sumantri, M.Agr.Sc : Dr.Ir.Nahrowi, M.Sc
Reproduksi ternak ditentukan oleh kemampuannya untuk menghasilkan selsel kelamin yang berkualitas dan melakukan aktivitas reproduksi agar dapat menghasilkan individu baru dalam waktu yang singkat. Untuk menghasilkan sel-sel kelamin yang baik dibutuhkan dukungan organ-organ kelamin yang dapat berfungsi dengan normal. Sel-sel dalam organ reproduksi tersebut membutuhkan masukan nutrisi yang berkualitas. Dengan demikian kualitas pakan turut juga mempengaruhi performa organ-organ reproduksi. Sumber protein alternatif yang dapat digunakan adalah Protein Sel Tunggal (PST) . Penggunaan PST selain menguntungkan secara ekonomis dan nutrisi, ternyata banyak penelitian menunjukkan pengaruh terhadap organ-organ vital. Pengaruh yang sama mungkin dapat terjadi pada organ-organ reproduksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan PST sebagai substitusi Meat and Bone Meal (MBM) pada ransum terhadap performan organorgan reproduksi. Taraf substitusi yang diujikan yaitu 0%, 1,5%, 3%, 4,5% dan 6% terhadap MBM. Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit sejumlah 50 ekor (jantan dan betina) yang akan dibagi dalam lima perlakuan dan lima ulangan dengan diberi pakan dan minum ad libitum. Masing-masing ulangan terdiri atas dua ekor. Mencit dipelihara selama dua bulan dan pengamatan dilakukan di akhir penelitian. Peubah yang diukur meliputi bobot, panjang dan diameter testis, panjang vas deferens, jumlah sperma mencit jantan serta bobot dan panjang organ reproduksi betina. Selain itu dilakukan uji histopatologi terhadap organ reproduksi jantan maupun betina. Pemberian PST berpengaruh terhadap performans organ reproduksi mencit yang meliputi bobot testis, panjang testis, dan diameter testis namun tidak berpengaruh terhadap panjang vas deferens. Protein sel tunggal (PST) cenderung menurunkan produksi sperma mencit jantan dengan ditandai dengan histopatologi tubulus seminiferi yang memburuk. Pemberian PST pada mencit betina cenderung memperburuk penampilan reproduksinya yang ditandai dengan penurunan proses pematangan folikel. Bahwa penggunaan PST yang dianjurkan untuk di konsumsi ternak paling tinggi 3%, karena tidak berpengaruh terhadap organ reproduksi dan produktivitas ternak. Kata-kata kunci ; PST, organ reproduksi, MBM, mencit
ii
ABSTRACT The performans of mice ( Mus musculus) Reproduction Organs fed Single Cell Protein R. Pramono, C. Sumantri, Nahrowi The research were conducted to evaluate the effect single cell protein (SCP) as supplementation for meat and bone meal (MBM) to the performans of mice reproduction organs. About fifty mice fed SCP during two months with several level of supplementation. The treatment were 0%, 1.5%, 3%, 4.5%, and 6% level of feed. The respons that evaluated were weight, length and diameter of testes, the length of vas deferens, sperm count, the length and weight of total female’s reproduction organs. The test histopatology also held on the male and female reproduction organs. The result shown that 3% SCP feeding had not effect the reproduction organs. Single Cell Protein cause the weight, length and diametre testes but not effect the length of vas deferens. Single Cell Protein tend to reduce sperm production with impairment of tubulus seminiferus histopatologis. Single Cell Protein tend to impair the female reproduction organs with the reduction of the follicle activity. Keywords : single cell protein, reproduction organs, meat bone meal, mice.
iii
PERFORMANS ORGAN REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG PROTEIN SEL TUNGGAL
RESI PRAMONO D01400007
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 iv
PERFORMANS ORGAN REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG PROTEIN SEL TUNGGAL
Oleh : RESI PRAMONO D01400007
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 10 Maret 2006
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. NIP. 131 624 187
Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. NIP. 131 625 429
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Ronny R. Noor, MRur. Sc. NIP. 131 624 188 v
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Mojokerto pada tanggal 29 Desember 1981. Penulis merupakan anak ke dua dari lima bersaudara pasangan Bapak Mardi dan Ibu Pangsi Hartini. Penulis menyelesaikan pendidikan formal dasar dan menengah masingmasing di SDN Banyulegi II, dan SMPN I Dawarblandong Mojokerto. Kedua pendidikan tersebut diselesaikan pada tahun 1994 dan1997. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan menengah umum di SMUN I Puri Mojokerto dan lulus pada tahun 2000. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Progam Studi Teknologi Produksi Ternak Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2000. Selama mengikuti pendidikan Penulis aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan yang berada di lingkungan Fakultas Peternakan IPB diantaranya BEM-D serta organisasi ekstra kampus diantaranya PMII dan KBM Bogor
vi
KATA PENGANTAR Skripsi ini berjudul ” Performans Organ Reproduksi Mencit (Mus musculus) yang Diberi Pakan Mengandung Protein Sel Tunggal“ merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Institut Pertanian Bogor. Protein sel tunggal merupakan salah satu sumber protein yang tinggi kandungan asam amino lisin. Dalam penelitian sebelumnya protein sel tunggal dapat merusak organ vital yang ada pada ayam dan ini juga dimungkinkan terjadi pada organ reproduksi. Sehingga perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh protein sel tunggal pada hewan percobaan untuk mengetahui tentang pengaruhnya terhadap organ reproduksi. Dalam penelitian ini secara keseluruhan protein sel tunggal berpengaruh terhadap organ reproduksi jantan dan betina histopatologi tapi tidak mempengaruhi panjang dan bobot organ reproduksi organ betina. Skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada peternak mengenai taraf yang aman penggunaan PST pada ternak. .
Bogor, Maret 2006
Penulis
vii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ..............................................................................................
ii
ABSTRACT.................................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP .....................................................................................
vi
KATA PENGANTAR .................................................................................
vii
DAFTAR ISI................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................. Perumusan Masalah ......................................................................... Tujuan .............................................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA Sifat Biologis Mencit ...................................................................... Organ Reproduksi Mencit Jantan ................................................... Bobot Testis ........................................................................ Diameter Testis .................................................................... Jumlah Sperma ..................................................................... Panjang Testis dan Vas Deferens........................................ . Organ Reproduksi Betina................................................................. Konsumsi Pakan dan Air Minum .................................................... Protein Sel Tunggal dan Tepung Daging Tulang ...........................
3 4 5 6 6 7 8 9 9
METODE Tempat dan Waktu ........................................................................... Materi Hewan Percobaan ................................................................ Kandang ............................................................................... Peralatan............................................................................... Ransum ................................................................................ Prosedur Pelaksanaan Penelitian ..................................................................... Parameter yang Diamati .................................................................. Berat dan Ukuran Organ Reproduksi................................... Uji Histopatologi.................................................................. Rancangan ........................................................................................
12 12 12 12 13 13 14 14 14 16
viii
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Pemberian PST terhadap Organ Reproduksi Jantan ........ Bobot Testis................. ........................................................ Diameter Testis............ ........................................................ Jumlah Sperma........... .......................................................... Panjang Testis............. ......................................................... Panjang Vas Deferens.. ........................................................ Pengaruh Pemberian PST terhadap Organ Reproduksi Betina ........ Bobot Organ Reproduksi Total ............................................ Panjang Organ Reproduksi Total ......................................... Histopatologi Testis................. ........................................................ . Histopatologi Organ Reproduksi Betina...........................................
17 17 18 19 20 20 21 21 22 22 25
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ...................................................................................... Saran ................................................................................................
28 28
UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................
29
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
30
LAMPIRAN.................................................................................................
32
ix
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Sifat Biologis Mencit (Mus musculus).............................................
3
2. Perbandingan Kualitas PST dan MBM ............................................
11
3. Komposisi Ransum……………………………………………… ..
13
4. Rataan Jumlah Sperma, dan Panjang Vas deferens serta Bobot, Panjang dan Diameter Testis Mencit Penelitian ..............................
17
5. Rataan Bobot dan Panjang Organ Reproduksi Betina Mencit .........
21
x
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Organ Reproduksi Mencit Jantan ....................................................
4
2. Organ Reproduksi Mencit Betina ....................................................
8
3. Penampakan Kandang Penelitian dari Atas .....................................
12
4. Hubungan antara Taraf Protein Sel Tunggal (PST) dalam Ransum Mencit dengan Diameter Testis ………………………... .
18
5. Histopatologi Testis Mencit ............ ................................................
23
6. Histopatologi Organ Reproduksi Mencit Betina .................. ..........
26
xi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Uji Sidik Ragam Bobot Testis .........................................................
33
2. Uji Lanjut Duncan Pengaruh PST terhadap Bobot Testis ...............
33
3. Uji Sidik Ragam Ragam Diameter Testis ........................................
33
4. Uji Lanjut Duncan Pengaruh PST terhadap Diameter Testis ..........
33
5. Uji Sidik Ragam Jumlah Sperma ....................................................
33
6. Uji Lanjut Duncan Pengaruh PST terhadap Sperma .......................
33
7. Uji Sidik Ragam Panjang Testis ......................................................
34
8. Uji Lanjut Duncan Pengaruh PST terhadap Panjang Testis ............
34
9. Uji Sidik Ragam Panjang Vas Deferens ..........................................
34
10. Uji Sidik Ragam Bobot Organ Reroduksi Betina Total ..................
34
11. Uji Sidik Ragam Panjang Organ Reproduksi Betina Total .............
34
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang Populasi ternak dapat ditingkatkan dengan memperbaiki penampilan reproduksi ternak. Reproduksi ternak ditentukan oleh kemampuannya untuk menghasilkan sel-sel kelamin yang berkualitas dan melakukan aktivitas reproduksi. Untuk menghasilkan sel-sel kelamin yang baik dibutuhkan dukungan organ-organ kelamin yang dapat berfungsi dengan normal. Secara garis besar fungsi organ reproduksi adalah (a) penghasil sel kelamin, (b) alat transportasi dan pematangan, serta (c) alat penyalur sel kelamin (Toelihere,1981). Agar dapat berfungsi dengan normal, sel-sel dalam organ reproduksi tersebut membutuhkan masukan nutrisi yang berkualitas. Dengan demikian kualitas pakan juga mempengaruhi performans organorgan reproduksi. Organ reproduksi jantan berfungsi sebagai kelenjar eksokrin yang memproduksi sperma dan kelenjar endokrin menghasilkan hormon testoteron. Perkembangan dan pertumbuhan testis pada masa fetal merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan proses reproduksi pada masa pubertas. Pada tahap ini proses spermatogenesis berjalan seiring dengan perkembangan umur, berat testis dan volume testis. Performans testis tersebut secara tidak langsung turut menentukan kualitas sperma. Fungsi reproduksi hewan betina dipengaruhi oleh kinerja organ-organ reproduksi, baik yang primer maupun yang sekunder. Hal ini penting karena hewan betina tidak hanya menghasilkan sel-sel kelamin betina tetapi juga menyediakan lingkungan tempat embrio yang terbentuk dan berkembang selama masa-masa permulaan hidupnya. Performans organ-organ reproduksi betina yang prima sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan proses reproduksi hewan betina. Sebagian besar bahan sumber protein ketersediaannya masih tergantung pada impor, harganya mahal, dan kandungan asam amino yang tidak seimbang. Sumber protein seperti Meat and Bone Meal (MBM) atau tepung daging dan tulang mulai ditinggalkan penggunaannya oleh beberapa industri pakan di luar negeri mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya. Meat and Bone Meal dapat digantikan dengan sumber protein alternatif seperti Single Cell Protein (SCP) atau protein sel tunggal.
1
Protein Sel Tunggal merupakan bahan sumber protein yang tinggi kandungan proteinnya, harga relatif murah tetapi memiliki kekurangan berupa asam amino yang tidak seimbang yaitu tingginya asam amino lisin dan rendahnya asam amino metionin dan sistin dan tingginya asam nukleat. Keberadaan asam nukleat ini telah dibuktikan penelitian sebelumnya pada ayam. Jaringan histopatologinya mengalami kerusakan pada bagian organ-organ vital. Hal ini mungkin juga dapat terjadi pada organ-organ reproduksi bila diberikan secara berlebih. Akumulasi asam nukleat dari PST dimungkinkan dapat merusak organ-organ vital seperti otak, paru-paru, jantung, hati, dan ginjal. Kemungkinan efek yang sama pada organ-organ reproduksi dapat pula terjadi karena organ ini juga membutuhkan nutrisi yang diperoleh dari pakan untuk mendukung aktivitas dan fungsi organ-organ tersebut. Dalam penelitian ini digunakan hewan percobaan berupa mencit yang diberi ransum yang mengandung PST sebagai penganti MBM untuk mengetahui pengaruhnya pada performans organ reproduksi. Perumusan Masalah Protein Sel Tunggal merupakan bahan sumber protein yang tinggi kandungan proteinnya, harga relatif murah tetapi memiliki kekurangan berupa asam amino yang tidak seimbang yaitu tingginya asam amino lisin dan tingginya asam nukleat. Keberadaan asam nukleat ini telah dibuktikan penelitian sebelumnya pada ayam. Jaringan histopatologinya mengalami kerusakan pada bagian organ-organ vital. Hal ini mungkin juga dapat terjadi pada organ-organ reproduksi bila diberikan secara berlebih. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian PST sebagai pengganti MBM terhadap organ-organ reproduksi mencit jantan yang meliputi bobot testis, panjang testis, diameter testis, panjang vas deferens, jumlah sperma histopatologi, dan bobot serta panjang organ reproduksi betina secara total yang meliputi ovarium, tuba fallopi, dan uterus.
2
TINJAUAN PUSTAKA Sifat Biologis Mencit Menurut Arrington (1972), mencit (Mus musculus) merupakan hewan percobaan yang paling banyak digunakan yaitu sekitar 40-80%, karena hewan ini memiliki jumlah anak yang banyak per kelahiran, sifat produksi dan reproduksi yang menyerupai mammalia besar. Hewan ini termasuk filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Rodentia, famili Muridae, genus Mus, spesies Mus musculus ( Arrington, 1972). Kelahiran anak mencit
biasanya
berlangsung
satu
sampai
empat
jam.
Mencit
betina
mengelompokkan semua anaknya setelah anak terakhir keluar kemudian menyusui anak-anaknya (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Tabel 1. Sifat Biologis Mencit (Mus musculus) Kriteria Lama hidup Lama produksi ekonomis Umur disapih Umur dewasa Umur dikawinkan Bobot dewasa Jantan Betina Bobot lahir Bobot sapih Suhu tubuh Suhu rektal Kecepatan tumbuh Kromosom Siklus berahi Lama berahi Perkawinan Kopulasi Fertilitas Aktivitas
Keterangan 1-2 tahun,bisa sampai 3 tahun 9 bulan 21 hari 35 hari 8 minggu 20-40 g 18-35 g 0,5-1,0 g 18-20 g 35-39 0C Rata-rata 37-40 0C 1 g/hari 2n=40 4-5 hari 12-14 jam pada waktu berahi dekat periode berahi 2 jam setelah kawin Nokturnal (malam)
Sumber: Smith dan Mangkoewidjojo, 1988
Bulu mencit liar berwarna keabu-abuan, dan warna perut sedikit pucat. Mata berwarna hitam dan kulit berpigmen (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Mencitmencit yang berbeda warna (agouti, hitam dan albino) terindikasi berbeda metabolismenya. 3
Sifat anatomisnya antara lain limpa pada mencit jantan 50% lebih besar daripada yang betina. Susunan gigi seri 1/1, tidak ada taring, tidak ada premolar, geraham 3/3, gigi serinya tumbuh terus. Terdapat tiga pasang mammae dibagian dada dan dua pasang didaerah inguinal. Perutnya terdiri atas bagian yang berkelenjar dan yang tidak berkelenjar. Saluran inguinal pada pejantan selalu terbuka selama hidup (Malole dan Pramono, 1989). Selanjutnya menurut Malole dan Pramono (1989), mencit digunakan dalam berbagai penelitian dan diagnose dalam bidang obat-obatan dan kosmetik seperti penelitian tentang ketuaan, virologi, histokompatibiliti, anemia hemolitik,
kelainan
kongenital,
amoebiasis,
kegemukan,
kekerdilan,
gannopathimonoklonal, diabetes mellitus, penyakit ginjal dan tingkah laku (behaviour). Organ Reproduksi Mencit Jantan Organ reproduksi jantan berfungsi sebagai kelenjar endokrin dan kelenjar eksokrin. Kelenjar eksokrin memproduksi sperma, sedangkan kelenjar endokrin memproduksi hormon testoteron. Fungsi endokrin dilakukan oleh sel leydig atau sel interstital sedangkan sperma sebagai hasil kerja kelenjar eksokrin dihasilkan oleh kelenjar tubular testis (Hartono, 1992). Organ reproduksi mencit jantan (Hafez, 1987) diperlihatkan pada gambar 1. Keterangan a. testis b. vas deferens c. ureter d. epididymis e. penis Gambar 1. Organ Reproduksi Mencit Jantan Testis terdiri dari tubularis yang dibalut oleh tunika albugenia. Tunika albugenia berpenetrasi pada testis dan terdapat septula-septula yang membagi parenkim kedalam tubuli-tubuli dan mediastinum testis (Hartono, 1992). Testis dibungkus oleh skrotum yang terdiri dari tiga atau empat lapisan. Lapis superficial kulit, dibawahnya terdapat lapis fibrosa dan jaringan otot yaitu tunika dartos. Di bawah tunika dartos terdapat tunika vaginalis yang menutupi dinding skrotum 4
(Hartono, 1992). Perkembangan dan pertumbuhan testis pada masa fetal merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan proses reproduksi pada masa pubertas. Pada tahap ini proses spermatogenesis berjalan seiring dengan perkembangan umur, berat testis, volume testis yang akan menentukan secara tidak langsung kualitas dari sperma. Vas deferens mengangkut sperma dari ekor epididymis ke uretra. Dindingnya mengandung otot-otot licin yang penting dalam mekanisme pengangkutan semen saat ejakulasi. Dekat ekor epididymis vas deferens berliku-liku dan berjalan sejajar dengan badan epididymis. Dekat kepala epididymis vas deferens menjadi lurus yang bersama dengan pembuluh darah , limfe, dan serabut syaraf membentuk funiculus spermaticus yang terdapat dalam canalis inguinalis didalam cavum abdominalis. Kedua vas deferens yang berada diatas vesika urinaria semakiin lama semakin menebal dan membesar membentuk ampul ductuc deferensis. Penebalan ampul ini disebabkan karena banyak terdapat kelenjar pada dinding saluran.kelenjar ampula bersifat tubuler dan secara histologis mirip kelenjar vesikularis (Toelihere, 1981). Organ kopulatoris (penis) ini mempunyai tugas ganda yaitu pengeluaran urine dan peletakan semen ke dalam organ reproduksi betina. Penis terdiri dari akar, badan, dan ujung bebas yang berakhir pada glans penis yang membentang ke depan dari arcus pelvis sampai ke daerah umbilikus pada dinding ventral perut. Penis ditunjang oleh fascia dan kulit. Di dalam skrotum ia terletak didalam preputium (Toelihere, 1981). Bobot Testis Menurut Rees (1993), kapasitas reproduksi hewan jantan dapat dinilai dengan sejarah reproduksi, analisis sperma, evaluasi hormon dan histologi testis. Histologi testis sering digunakan untuk memperoleh informasi tentang adanya gangguan dalam proses spermatogenesis dan reproduksi jantan pada umumnya. Lebih lanjut menurut Rees (1993) dan Toelihere (1981), jaringan fungsional dari testis secara umum terdiri atas jaringan interstisial dan tubulus seminiferus. Dalam tubulus seminiferus terjadi proses pembentukan spermatozoa atau disebut dengan spermatogenesis. Proses spermatogenesis dalam tubulus seminiferus dibantu dengan keberadaan sel Sertoli yang merupakan sel tubuh bukan dalam golongan sel kelamin. Sel-sel Sertoli saling berhubungan satu dengan yang lainnya diantara membran dasar dan mengelilingi sel5
sel kelamin membentuk persambungan yang tebal. Sedangkan dalam jaringan interstitial terdapat sel Leydig yang menghasilkan hormon-hormon kelamin. Diameter Testis Menurut Gabor et al. (1994), bahwa diameter testis merupakan metode untuk menentukan volume testis. Volume testis diketahui dari panjang dan diameter testis. Akurasi metode pengukuran ini masih dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain seperti umur dan frekuensi kawin. Penurunan jumlah sel Sertoli akan mempengaruhi pemasukan nutrisi kedalam proses spermatogenesis sel-sel spermatogonia sedangkan penurunan jumlah sel Leydig akan mempengaruhi produksi hormon-hormon kelamin yang penting bagi proses tersebut. Hormon reproduksi bekerja dengan optimum untuk membantu proses spermatogenesis serta di sisi yang lain turut memacu perkembangan jaringan testis itu sendiri. Hasil penelitian Gabor et al. (1994) hormon yang terlibat dalam perkembangan testis adalah hormon Luteinizing Hormone (LH) dan Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH). Penurunan volume testis juga disebabkan oleh kehilangan sel-sel germinal epitelium (spermatogonia) yang tidak dapat beregenerasi kembali namun hal ini lebih disebabkan oleh faktor umur dan bukan nutrisi (Thompson et al., 1992). Kerusakan sel-sel parenkim testis dan penurunan fungsi epididymis merupakan faktor-faktor lain yang turut menyebabkan penurunan volume testis disamping nutrisi. Beberapa zat-zat kimia dalam ransum yang dapat menyebabkan penurunan volume testis atau atropi testis adalah garam kadmium (Waalkes et al., 1988), etilen oksida (Mori et al., 1991), ethanol (Anderson et al., 1983), ethane 1,2-dimethanesulphonate (EDS) (Sprando et al.,1990) dan etilendibromida (EBM) (Williams et al., 1991). Jumlah Sperma Jumlah
sperma
merupakan
peubah
yang
paling
sensitif
dalam
menggambarkan keberhasilan proses spermatogenesis karena merupakan hasil kumulatif dari tiap fase dalam proses tersebut seperti yang dikemukakan oleh Meistrich et al. (1982). Jumlah sperma juga berkorelasi erat dengan fertilitas. Menurut Indriyani (2004), jumlah spermatozoa dalam tubulus seminiferi yang normal berada pada kisaran 68,12 sampai 76, 29 buah, spermatogonia dari 43,4 sampai 66,04, spermatosit dari 51,70 sampai 65,81 dan spermatid dari 110,96 sampai 6
137,28. Pada penelitian Indriyani (2004) penghitungan dilakukan pada 20 buah tubulus seminiferi dan kemudian diambil rata-ratanya. Pada penelitian ini penghitungan dilakukan pada setiap lobus dan dalam satu lobus diambil lima buah tubulus seminiferi. Panjang Testis dan Vas Deferens Menurut Toelihere (1981), secara histologis massa testis terbungkus dalam kantong skrotum yang tampak dari bagian luar. Dibagian bawah skrotum terdapat jaringan tunica albuginea yang berupa lapisan putih tebal dan terdiri atas jaringan ikat padat serta serabut otot licin. Penebalan jaringan tunica albuginea kearah dalam terdapat jaringan mediastinum. Jaringan parenkima ini terdiri atas sekat-sekat (septula) yang menembus masuk lebih jauh kedalam lobuli berbentuk kerucut . Dalam jaringan parenkima testis secara keseluruhan massa testis terdapat saluransaluran kecil yang bergulung-gulung. Saluran ini disebut sebagai tubulus seminiferus tempat berlangsungnya spermatogenesis. Di antara tubulus ini terdapat jaringan interstisial sebagai jaringan ikat yang longgar serta mengandung pembuluh darah, limfa, sel-sel syaraf dan sel Leydig. Sel Leydig ini berupa sel-sel datar dan berbentuk poligonal yang mampu menghasilkan hormon-hormon kelamin seperti androgen dan testosteron. Setiap tubulus seminiferus mempunyai selaput membran dasar berupa jaringan ikat yang tidak dapat ditembus secara langsung oleh pembuluh darah. Pada permukaan membran dasar ini terdapat dua macam sel, yaitu (a) sel-sel kelamin calon spermatozoa berbentuk bundar dan besar (spermatogonia), dan (b) sel-sel Sertoli yang berbentuk panjang yang menembus kedalam tengah-tengah tubulus sehingga dapat menghantarkan nutrisi untuk kebutuhan spermatogenesis serta berperan dalam pembentukan ekor sperma pada spermatid. Dengan adanya membran dasar ini menurut Rees (1993) dapat dikendalikan hanya substrat tertentu saja yang dapat masuk kedalam tubulus seminiferus. Salah satu zat yang dapat mempengarui vas deferens adalah ethanol seperti yang dilaporkan oleh Anderson et al. (1983) sebagai akibat meningkatnya pelepasan noradrenalin secara spontan keluar sehingga menurunkan simpanan noradrenalin dalam vas deferens serta juga menurunkan volume ejakulasi.
7
Organ Reproduksi Betina Fungsi reproduksi hewan betina dipengaruhi oleh kinerja organ-organ reproduksi, baik yang primer maupun yang sekunder. Hewan betina tidak hanya menghasilkan sel-sel kelamin betina yang penting untuk membentuk individu baru tetapi juga menyediakan lingkungan tempat individu tersebut terbentuk dan berkembang selama masa-masa permulaan hidupnya. Ovarium merupakan organ reproduksi primer yang mempunyai dwi fungsi yaitu sebagai kelenjar eksokrin yang menghasilkan sel telur (ovum) dan sebagai kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon-hormon reproduksi. Organ reproduksi sekunder betina terdiri dari tuba fallopii, uterus, serviks, vagina dan vulva. Fungsi organ reproduksi sekunder adalah menerima dan menyalurkan sel kelamin jantan dan betina, memberi makan dan melahirkan individu baru (Toelihere, 1981). Organ reproduksi mencit betina (Hafez, 1987), diperlihatkan pada gambar 2. Keterangan a. ampula b. ismus c. ovarium d. uterus e. Cervik
Gambar 2. Organ reperoduksi mencit betina Secara anatomi, ovarium terletak didalam ruang abdomen dengan mesovarium sebagai ligamentum pengganti. Ovarium diselimuti oleh sebuah kantung yang disebut bursa ovari yang dibentuk dari ligamentum utero-ovari dan mesovarium. Bentuk dan ukuran ovarium berbeda-beda tergantung pada jenis, umur dan fase siklus estrus. Secara histologis ovarium terdiri dari korteks dan medula. Korteks mengandung folikel-folikel ovarium sedangkan medula terdiri dari jaringan ikat, serabut syaraf dan pembuluh darah (Toelihere, 1981). Uterus terdapat didalam cavum abdominalis. Ukuran dan bentuk uterus berbeda-beda pada setiap hewan tergantung pada spesies dan pengaruh hormon
8
selama siklus estrus. Secara histologis uterus terdiri dari tiga lapisan yaitu (a) lapisan mukosa atau endometrium yang tersusun atas epitel, kelenjar uterus dan jaringan ikat, (b) lapisan muscularis dan (c) lapisan serosa atau perimetrium. Uterus terdiri dari kornua, corpus dan serviks (Toelihere, 1981). Vagina adalah organ kelamin betina dengan struktur selubung muskuler yang terletak didalam rongga pelvis dorsal dari vesica urinaria. Vagina berfungsi sebagai alat kopulatoris dan sebagai tempat foetus saat melahirkan. Ia mempunyai kesanggupan berkembang yang cukup besar (Toelihere, 1981). Konsumsi Pakan dan Air Minum Mencit liar makan segala macam makanan (omnivorus), dan mau mencoba makan apapun penganan yang tersedia bahkan bahan yang tidak biasa dimakan. Akan tetapi bahan-bahan yang tidak biasa dimakan akan dicicipi dahulu dan hanya akan kembali makan lagi jika tidak ada akibat-akibat buruk setelah mencicipinya (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988 ). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), seekor mencit dewasa dapat mengkomsumsi makanan 3-5 g setiap hari atau 10% dari berat badan. Mencit bunting atau menyusui memerlukan makanan yang lebih banyak. Kebutuhan protein pada mencit adalah 20-25% (Smith dan Mangkoewidjojo,1988). Malole dan Pramono (1989) menjelaskan, bahwa makanan yang sering dipakai adalah makanan ayam dengan kandungan protein 20-25%, lemak 5%, pati 45-50%, serat kasar 5%, dan abu 4-5%. Selanjutnya mereka melaporkan, bahwa air minum yang diperlukan oleh setiap ekor mencit untuk sehari berkisar antara 4-8 mililiter. Protein Sel Tunggal dan Tepung Daging Tulang Protein sel tunggal (PST) adalah sel mikroba kering seperti ganggang, bakteri, ragi, dan kapang yang ditumbuhkan dalam kultur skala besar. Protein dapat dipakai untuk konsumsi manusia atau hewan. Produk ini juga berisi bahan nutrisi lain, seperti karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral (Marx, 1991). Menurut Hariyum (1986) yang dimaksud dengan PST adalah protein yang berasal dari mikroorganisme bersel satu yang telah dikeringkan. Pemanfaatan PST dalam ransum diharapkan dapat mengurangi kuantitas limbah yang dihasilkan dan akan mendatangkan keuntungan tambahan. 9
Keuntungan PST adalah perkembangan mikroorganisme sangat cepat jika dibandingkan dengan tanaman atau hewan, mikroorganisme dapat dengan mudah dimodifikasi secara genetik, kandungan protein mikroorganisme lebih tinggi bila di bandingkan dengan makanan hewani, asam amino esensial PST juga cukup baik, mikroorganisme
dapat
menggunakan
bermacam-macam
medium,
produksi
mikroorganisme dapat dilakukan secara kotinue tidak tergantung iklim dan tidak membutuhkan tanah yang luas jika dibandingkan dengan bila memproduksi bahan makanan lain (Hariyum,1986). Tepung daging dan tulang (TDT) merupakan hasil pengolahan limbah yang berasal dari daging dan tulang. Pengolahan tersebut biasanya dilakukan dengan pemanasan dan penekanan pada suhu dan tekanan tertentu. Jika hasilnya diperoleh kandungan fosfor diatas 4,4% maka produk tersebut disebut dengan tepung daging dan tulang, namun jika berada dibawah nilai tersebut maka disebut sebagai tepung daging saja. Tepung daging dan tulang hasil perebusan dan pengeringan memiliki kandungan protein sekitar 50%, 8% lemak, 28% abu, 10% Ca dan 5% P. Bahan ini mengandung asam amino lisin dalam jumlah yang cukup tetapi miskin methionin dan sistin. Kandungan nutrisinya bervariasi tergantung pada proses pemasakan, pengeringan dan kandungan gelatin. (Scott et al. 1982). Protein Sel Tunggal memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan Meat and Bone Meal (MBM) berupa lisin, triptofan, isoleusin, valin, treonin, leusin, Fe, Energi Metabolis, Protein Kasar dan Bahan Kering yang lebih tinggi terutama asam amino lisin.
10
Tabel 2. Perbandingan Kualitas PST dan MBM Nutrien Bahan Kering (%) Protein Kasar (%) Lemak Kasar (%) Serat Kasar (%) BETN (%) Abu (%) ME (kkal/kg) GE (kkal/kg) Ca (%) P (%) Cu (%) Fe (%) K (%) Na (%) Mg (%) Mn (%) Zn (%) Cl (%) Aspartat (%) Treonin (%) Serin (%) Asam Glutamat (%) Prolin (%) Glisin (%) Alanin (%) Valin (%) Isoleusin (%) Leusin (%) Triptofan (%) Fenilalanin (%) Histidin (%) Lisin (%) Arginin (%) Sistin (%) Metionin (%) Keterangan :
Tepung Daging dan Tulang1 93 50,4 10,0 2,8 2150 10,30 5,10 0,002 0,049 1,45 0,70 1,12 0,014 0,093 0,69 1,74 2,20 6,65 2,36 1,54 3,28 0,27 1,81 0,96 2,61 3,28 0,69 0,09
Protein Sel Tunggal2 95,00 63,16 4,21 1,05 28,42 3,16 34293 45134 0,042 0,16 0,001 0,21 0,53 0,03 0,05 0,001 0,001 0,43 3,16 2,13 1,37 4,74 1,68 2,03 3,68 2,89 1,67 3,29 0,49 1,65 0,73 16,78 2,26 0,35 0,14
1. NRC 1994 2. Hasil analisa Laboratorium PT. Cheil Samsung Indonesia (2003) 3. Nilai Perkiraan 4. Hasil analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (1993)
11
METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Perrtanian Bogor yang berlangsung dari Juli sampai dengan Agustus 2004. Materi Hewan Percobaan Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit putih lepas sapih (umur 21 hari) yang terdiri dari 25 ekor jantan dan 25 ekor betina dengan berat badan rata-rata 11,0±1,58 gram per ekor yang di peroleh dari Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Ternak. Kandang Kandang yang digunakan terbuat dari aluminium dengan ukuran 25x18x18 cm3. Tempat air minum disediakan dalam masing-masing kandang. Alas kandang digunakan adalah sekam padi yang diganti setiap tujuh hari. Jumlah kandang yang digunakan selama penelitian ini sebanyak 25 kandang. Adapun bentuk kandang yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Penampakan Kandang Penelitian dari Atas Peralatan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang mencit, litter dari sekam padi, tempat minum, ember, sikat botol, timbangan elektrik, dan pinset.
12
Ransum Ransum yang dipergunakan sebagai perlakuan adalah ransum yang mengandung protein sel tunggal dan terdiri dari lima taraf ( Tabel 3) yaitu: R1 (6% MBM dan 0% PST), R2 (4,5% MBM dan 1,5% PST), R3 (3% MBM dan 3% PST), R4 (1,5% MBM dan 4,5% PST) dan R5 (0% MBM dan 6% PST). Susunan ransum ini sesuai dengan yang direkomendasikan oleh National Research Council (1994). Ransum diolah menjadi bentuk pellet dengan ukuran berdiameter 11-16 mm. Susunan ransum dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 3. Komposisi Ransum. Bahan pakan Bungkil Kedelai CGM CPO Dedak Halus Jagung MBM PST Tepung Tulang CaCO3 Premiks
R1 18,08 6 2 15 50,63 6 0 1,29 0,5 0,5
Komposisi (%) R2 R3 R4 18,08 18,08 18,08 6 6 6 2 2 2 15 15 15 50,00 49,42 48,72 4,5 3 1,5 1,5 3 4,5 1,92 2,50 3,20 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
R5 18,08 6 2 15 48,22 0 6 3,70 0,5 0,5
Prosedur Pelaksanaan Penelitian Mencit penelitian ditempatkan dalam 25 kandang yang masing-masing kandang diisi dengan seekor jantan dan seekor betina. Setiap kandang mendapatkan salah satu dari lima perlakuan ransum yaitu : R1 (6% MBM dan 0% PST), R2 (4,5% MBM dan 1,5% PST), R3 (3% MBM dan 3% PST), R4 (1,5% MBM dan 4,5% PST) dan R5 (0% MBM dan 6% PST). Baik penempatan mencit dalam kandang maupun jenis pakan pada tiap kandang dilakukan secara acak. Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Mencit dipelihara selama 2 bulan, kemudian dimatikan dan selanjutnya diambil organ reproduksinya, pengamatan dilakukan pada akhir penelitian dengan cara ditimbang dan diukur organ reproduksinya yang meliputi bobot, panjang, dan diameter testis, panjang vas deferens, jumlah sperma histopatologi dan bobot dan panjang organ reproduksi betina secara total yang meliputi ovarium, tuba fallopi, dan uterus. 13
Parameter yang Diamati Parameter yang diamati adalah berat dan ukuran organ reproduksi dan dilanjutkan dengan uji histopatologi. 1. Berat dan Ukuran Organ Reproduksi Organ Reproduksi Jantan: a. Bobot testis (g) diukur dengan cara menimbang salah satu testis menggunakan alat timbang kepekaan 100 gram, b. Panjang vas deferens (cm) diperoleh dari pengukuran mulai dari epididymis sampai pangkal penis dengan menggunakan jangka sorong. c. Panjang testis (cm) diperoleh dari pengukuran dengan menggunakan jangka sorong. Pengukuran dilakukan pada garis tengah melintang testis d. Diameter testis (cm) diperoleh dari pengukuran dengan menggunakan jangka sorong. Pengukuran dilakukan pada garis tengah bujur testis. e. Jumlah sperma dihitung dari 6 buah lobus dan tiap buah lobus dihitung sperma yang ada dalam 5 tubuli seminiferi secara acak. Organ Reproduksi Betina: a. Bobot organ reproduksi betina total (g) yang meliputi ovarium, tuba fallopi, dan uterus dilakukan dengan menimbang secara keseluruhan pada akhir penelitian. b. Panjang organ reproduksi betina (cm) diperoleh dengan pengukuran menggunakan jangka sorong. Pengukuran dilakukan dari ovarium sampai uterus. 2. Uji Histopatologi Organ reproduksi baik jantan maupun betina di analisa dengan menggunakan uji histopatologi untuk mengetahui kerusakan yang ada pada organ reproduksi. Pembuatan Preparat Histopatologi Sediaan preparat yang telah difiksasi dengan larutan BNF 10% diiris dengan ketebalan 3 mm. Kemudian dimasukkan kedalam kaset tissue selanjutnya dilakukan proses dehidrasi yaitu menarik jaringan menggunakan alkohol bertingkat 70%, 80%, 95% dan alkohol absolut. Jaringan kemudian dikeringkan dengan menggunakan Xilol sebanyak dua kali ( xilol 1 dan 2) dan diinfiltrasi dengan parafin cair (infilring).
14
Lamanya perendaman masing-masing dua jam menggunakan automatic tissue processor. Proses berikutnya adalah embedding (blocking) yaitu penanaman jaringan dalam parafin cair yang kemudian dibekukan agar memudahkan pemotongan dengan menggunakan mikrotom. Jaringan dipotong dengan ketebalan 5-6 um dan hasil pemotongan yang berbentuk pita diletakkan diatas air hangat agar tidak lengket satu dengan yang lain dan menghilangkan lipatan akibat pemotongan. Sediaan diangkat dari permukaan air dengan menggunakan gelas obyek yang telah diolesi perekat (albumin), kemudian dikeringkan dalam inkubator bersuhu 600c selama 24 jam. Teknik Pewarnaan Hematoksilin Eosin Pewarnaan dimulai dengan deparafinasi sediaan dalam xilol dua kali selama dua menit, lalu diikuti oleh proses dehidrasi. Proses dehidrasi dimulai dari alkohol absolut sampai alkohol 80% masing-masing selama dua menit dan dicuci dengan air mengalir. Sediaan diwarnai dengan pewarna hematoksilin selama delapan menit, dibilas dengan air mengalir, dicuci dengan lithium karbonat selama 15-30 detik dibilas dengan air mengalir lagi dan akhirnya diwarnai eosin selama dua menit. Untuk menghilangkan warna eosin yang berlebihan ini, sediaan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Sediaan dimasukkan kedalam alkohol 90% sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut satu sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut dua selama dua menit. Xilol satu selama satu menit dan xilol dua selama dua menit. Akhirnya sediaan ditetesi dengan permount dan ditutup dengan gelas penutup dan siap diperiksa dibawah mikroskop. Pengamatan Histopatologi Pengamatan dilakukan dibawah mikroskop cahaya dengan menggunakan lensa objektif 10x dan 40x serta okuler 2,5x. Parameter yang diamati berupa keadaan sperma, keadaan sel telur dan penghitungan jumlah sperma.
15
Rancangan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan lima ulangan. Perlakuan yang diberikan berupa penggantian MBM dengan PST dengan taraf penggantian 0%, 25%, 50%, 75% dan 100%. Model matematik yang digunakan adalah sebagai berikut : Yij = μ + τi + εij Keterangan : Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j μ = rataan umum τi = efek perlakuan ke-i εij = galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j. Analisa data dilakukan dengan Sidik Ragam (Analysis of Variance), jika terdapat hasil yang nyata dilanjutkan dengan Uji Duncan (Mattjik dan Sumertajaya, 2000).
16
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Pemberian PST terhadap Organ Reproduksi Jantan Hasil pengamatan respon pemberian PST dalam ransum mencit terhadap organ reproduksi jantan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut. Tabel 4. Rataan Jumlah Sperma, dan Panjang Vas deferens serta Bobot, Panjang dan Diameter Testis Mencit Penelitian Perlakuan Organ Reproduksi Rataan R1 R2 R3 R4 R5 B B A B A Bobot Testis 0,24 ± 0,23 ± 0,27 ± 0,23 ± 0,26 ± 0,246± (gram) 0,01 0,01 0,02 0,01 0,02 0,018 Diameter Testis 0,49ab ± 0,52a ± 0,51a ± 0,42b± 0,43b ± 0,474± (cm) 0,02 0,08 0,05 0,04 0,04 0,046 A A B A A Jumlah Sperma/ 431 ,0± 367 ,67 570 ,33 414 ,33 334 ± 423,46± 5 tubuli seminiferi 18,73 ± 90,16 ± 9,29 ± 65,68 27,51 90,590 0,76ab ± 0,72b ± 0,68b ± 0,75ab ± 0,75± Panjang Testis 0,84a ± 0,09 0,05 0,04 0,08 0,05 0,059 (cm) Panjang Vas 2,40 ± 2,42 ± 2,34 ± 2,32 ± 2,52 ± 2,4 ± Deferens (cm) 0,34 0,32 0,05 0,26 0,23 0,078 Keterangan :
superskip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) dan berbeda sangat nyata (p<0,01) R1 = ransum dengan kandungan PST 0%. R2 = ransum dengan kandungan PST 1,5%. R3 = ransum dengan kandungan PST 3%. R4 = ransum dengan kandungan PST 4,5%. R5 = ransum dengan kandungan PST 6%.
Bobot Testis Bobot testis mencit yang mendapatkan ransum mengandung PST dapat dilihat pada Tabel 4. Bobot testis dalam hal ini dapat menggambarkan secara umum massa jaringan yang terdapat dalam testis. Pada penelitian ini diperoleh berat testis dengan rataan 0,24±0,01 gram/ekor. Pemberian PST dalam ransum mencit memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot testis. Perlakuan R3 yang diberi PST 3% memperlihatkan bobot testis yang paling tinggi ( 0,27 ± 0,02 g/ekor) bila dibandingkan dengan perlakuan ransum lainnya. Perlakuan R3 tidak berbeda nyata terhadap R5 (0,26 g/ekor) namun berbeda sangat nyata terhadap R1, R2, R4yang masing-masing 0,24; 0,23 dan 0,23 g/ekor. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian PST memberikan pengaruh yang berarti terhadap perkembangan bobot testis mencit yang selanjutnya dapat mempengaruhi jumlah sperma yang dihasilkan. Dengan demikian pemberian PST diduga mempengaruhi histopatologi testis serta dimungkinkan juga mempengaruhi proses spermatogenesis. Hal ini sesuai dengan 17
pendapat Hartono (1992) yang menyatakan, bahwa perkembangan dan pertumbuhan testis pada masa fetal merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan proses reproduksi pada masa pubertas. Pada tahap ini proses spermatogenesis berjalan seiring dengan perkembangan umur, berat testis, volume testis yang akan menentukan secara tidak langsung kualitas dari sperma. Sehingga dapat diperoleh informasi tentang adanya gangguan dalam proses spermatogenesis dan reproduksi hewan jantan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PST berpengaruh terhadap massa jaringan testis yang berperan dalam proses spermatogenesis pada mencit jantan. Diameter Testis Diameter testis mencit yang mendapatkan ransum perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4. Pemberian PST berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap diameter testis. Pada penelitian ini diperoleh diameter testis dengan rataan 0.49±0.02 cm. Perlakuan R4 yang diberi PST 4,5% memperlihatkan diameter testis yang paling rendah (0,42±0,04 cm) dibandingkan dengan perlakuan lainnya. R4 (0,42 cm) tidak berbeda nyata dengan R5 (0,43 cm) dan R1 (0,49 cm) tetapi berbeda nyata dengan R2 dan R3 yang masing-masing dengan diamater 0,52 dan 0,51 cm. Dengan demikian pemberian PST pada taraf 4,5% dalam ransum mencit jantan dapat menurunkan diameter testis. Pola penurunan diameter testis dalam penelitian ini dapat dijelaskan berdasarkan grafik pada Gambar 2 berikut 0,55 Diameter Testis (cm) 0,50 0,45 2
0,40
y = -0,0086x + 0,0294x + 0,48 2
R = 0,6888
0,35 0,30 0
Gambar 4.
1,5
3 % PST dalam Ransum
4,5
6
Hubungan antara Taraf Protein Sel Tunggal (PST) dalam Ransum Mencit dengan Diameter Testis
18
Pola hubungan antara taraf PST dalam ransum dengan diameter testis dapat ditunjukkan dengan persamaan regresi kuadratik, yaitu y = -0,0086x2 + 0,0294x + 0,48 (R2=0,688; p<0,05). Berdasarkan grafik tersebut, setiap kenaikan taraf pemberian PST mula-mula meningkatkan diameter testis, tetapi selanjutnya lebih dari pemberian 3% PST terjadi penurunan diameter testis. Pemberian PST yang terlalu tinggi menyebabkan terjadinya penurunan diameter testis. Hal ini diduga berhubungan dengan terjadinya penurunan volume testis yang dikenal sebagai atropi testis. Gejala atropi ini diduga disebabkan oleh berbagai faktor seperti faktor nutrisi, hormonal, spermatogonia yang tidak beregenerasi, kerusakan sel parenkim, disfungsi epididymis dan beberapa zat kimia lainnya. Asam nukleat pada PST diduga merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya atropi testis. Meskipun pemberian pada taraf 4,5% PST dalam ransum memperlihatkan gejala yang parah, namun sampai taraf 3% belum terlihat atropi testis. Jumlah Sperma Jumlah sperma mencit yang mendapatkan ransum yang mengandung PST dapat dilihat pada Tabel 4. Pemberian PST berpengaruh nyata (p<0,01) terhadap jumlah sperma. Jumlah sperma merupakan peubah yang paling sensitif dalam menggambarkan keberhasilan proses spermatogenesis, karena merupakan hasil kumulatif dari tiap fase dalam proses tersebut seperti yang dikemukakan oleh Meistrich et al. (1982). Pemberian PST hingga taraf 1,5% dalam ransum memberikan hasil yang tidak berbeda nyata secara statistika dengan kontrol. Pemberian 3% PST (570,33±9,29 sperma) dalam ransum mencit memberikan hasil yang sangat nyata (p<0,01) paling tinggi dibandingkan dengan taraf lainnya (R1, R2, R4, R5) yang mempunyai nilai spermatozoa yang tidak berbeda nyata dengan nilai masing-masing 431,00; 367,67;414,33; dan 334,00. Peningkatan ini diduga disebabkan oleh keberadaan zat-zat makanan yang lebih seimbang pada perlakuan yang dapat mendukung terjadinya proses spermatogenesis mencit hingga berlangsung optimal. Asupan nutrisi tersebut akan disalurkan melalui sel-sel Sertoli dalam tubulus seminiferi untuk mendukung proses spermatogenesis. Pemberian PST pada taraf 4,5% dan 6% menunjukkan terjadinya penurunan jumlah sperma yang dihasilkan mencit. Hal tersebut diduga berkaitan dengan 19
terjadinya penurunan diameter testis seperti yang dikemukakan di atas. Mencit yang mendapat PST terlalu banyak diduga mengalami atropi testis sehingga jumlah sperma yang dihasilkan berkurang. Atropi testis dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti adanya zat-zat kimia seperti garam kadmium, etilen oksida, ethanol, ethane 1,2-dimethanesulphonate (EDS), etilen-dibromida (EBM) dan sebagainya.. Panjang Testis Panjang testis mencit yang mendapatkan ransum perlakuan mengandung PST dapat dilihat pada Tabel 4. Pemberian PST berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap panjang testis. Perlakuan R1 (0,84 cm) memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan R3 (0,72 cm) dan R4 (0,68 cm) namun R2 (0,76 cm) dan R5 (0,75 cm) tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Dengan demikian diduga mencit yang mendapatkan PST sebesar 3% dan 4,5% mengalami atropi testis yaitu terjadi penurunan panjang testis. Panjang testis bersama dengan satuan diameter testis dapat menggambarkan luas dan volume jaringan testis tempat sel-sel spermatogonia dan sel-sel pendukung bersama-sama menghasilkan spermatozoa yang dewasa. Dalam penelitian ini terlihat bahwa PST berpengaruh terhadap panjang testis mencit jantan yang ditunjukkan dengan panjang testis antar perlakuan yang berbeda nyata. Pada penelitian ini diperoleh panjang testis dengan rata-rata 0.84 ± 0.09 cm/ekor. Pemberian PST mempengaruhi panjang testis mencit. Panjang Vas Deferens Panjang saluran vas deferens mencit yang mendapatkan ransum perlakuan yang mengandung PST dapat dilihat pada Tabel 4. Pemberian PST tidak berpengaruh nyata terhadap panjang vas deferens. Hasil ini menunjukkan bahwa PST tidak berpengaruh dalam proses reproduksi mencit jantan. Pemberian PST hingga taraf 6% dalam ransum diduga tidak berpengaruh terhadap produksi metabolit yang berperan dalam proses pematangan sel-sel spermatozoa selama ditransport dan disimpan. Pada penelitian ini diperoleh panjang vas deferens dengan rata-rata 2.40±0.34 cm/ekor. Dengan demikian dugaan atropi testis juga tidak disebabkan oleh panjang vas deferens. Pemberian PST tidak mempengaruhi panjang vas deferens.
20
Pengaruh Pemberian PST terhadap Organ Reproduksi Betina Hasil pengamatan respon perlakuan terhadap bobot dan panjang organ reproduksi mencit dapat dilihat pada Tabel 5. Secara umum pemberian PST dalam ransum tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot dan panjang organ reproduksi mencit betina. Meskipun demikian mencit yang mendapat perlakuan R5 tidak mempunyai anak dikarenakan adanya penimbunan lemak. Keadaan ini tidak dapat dilihat dari bobot dan panjang organ reproduksi mencit saja. Tabel 5. Rataaan Bobot dan Panjang Organ Reproduksi Betina Mencit Parameter Bobot Organ Reproduksi Total (gram) Panjang Organ Reproduksi Total (cm)
R1 0,12± 0,01 1,49± 0.01
R2 0,12± 0,01 1,47± 0.02
Perlakuan R3 R4 0,12± 0,12± 0,01 0,01 1,53± 1,49± 0.01 0,04
R5 0,11± 0,01 1,50± 0,03
Rataan 0,118± 0,004 1,496± 0,021
Bobot Organ Reproduksi Total Bobot organ reproduksi mencit yang mendapatkan ransum yang mengandung PST dapat dilihat pada Tabel 5. Pemberian PST tidak berpengaruh nyata terhadap bobot organ reproduksi total. Hal ini diduga bahwa PST tidak berpengaruh dalam proses reproduksi mencit betina. Penurunan bobot organ reproduksi diduga disebabkan oleh kualitas ransum yang menurun dengan bertambahnya taraf pemberian PST. Menurut Budiarta (2002), aktivitas ovarium dapat diamati melalui bobot uterus. Hormon-hormon yang dihasilkan oleh ovarium akan mengontrol aktivitas uterus sehingga bobot uterus dapat dipertahankan dalam bobot yang normal. Bobot uterus mencit yang normal menurut Bamber et al. (1980) berkisar antara 122,8 sampai 148,6 mg/ekor. Pada penelitian ini diperoleh bobot organ reproduksi total dengan rata-rata 0,12±0,01 gram/ekor. Panjang Organ Reproduksi Total Panjang organ reproduksi total mencit yang mendapatkan ransum yang mengandung PST dapat dilihat pada Tabel 5. Pemberian PST dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap panjang organ reproduksi total. Pemberian PST hingga 6% dalam ransum tidak mempengaruhi panjang organ reproduksi mencit betina. Panjang organ reproduksi mencit pada umur yang sama diduga dipertahankan secara
21
relatif tetap sedangkan perubahan pada penambahan PST yang semakin tinggi terjadi pada bobot dan volume organnya. Pada penelitian ini diperoleh panjang organ reproduksi total dengan rata-rata 1,49±0,01 cm. Histopatologi Testis Menurut hasil nekropsi dan pengamatan pada sayatan testis dapat dilihat kondisi histopatologi tubulus seminiferi testis mencit perlakuan seperti tampak pada gambar 5 berikut. Secara umum hasil pengamatan terhadap preparat-preparat ini menjelaskan terjadinya proses spermatogenesis yang berbeda-beda diantara masingmasing perlakuan. Perlakuan R1 menunjukkan penampang melintang dari sebuah pembuluh tubulus seminiferi dari mencit kontrol dalam penelitian ini. Pembuluh tersebut tampak berisi sel-sel spermatogonium ( spermatogonium A dan spermatogonium B) yang sedang berkembang sedang sel-sel yang kurang menonjol warnanya diduga kelak akan berkembang menjadi sel-sel Sertoli. Sel-sel tersebut tampak berbentuk bulatan yang menyebar diantara membran basal tubulus seminiferi. Hal ini menunjukkan bahwa pada mencit kontrol dalam penelitian ini belum terlihat adanya gejala-gejala spermatogenesis. Kondisi ini diduga terkait dengan kondisi nutrisi mencit yang belum cukup mampu mendorong terjadinya hal tersebut. Pada perlakuan R2 terlihat, bahwa lumen tubuli sudah terisi oleh sel-sel spermatogonium sehingga tidak dapat lagi dibedakan lagi batas lumen tersebut. Spermatogonium dalam preparat ini terlihat berbentuk bulat, inti selnya juga bulat, benang kromatin mengelompok dekat dinding sel inti serta bentuknya lebih besar dibandingkan dengan yang tampak pada Perlakuan R1. Beberapa diantara sel-sel tersebut terlihat merapat serta menunjukkan gejala sedang mengalami pembelahan. Jenis sel spermatogonium yang tampak ini merupakan tipe B seperti dikemukakan oleh Hartono (1992).
22
Perlakuan R1
Perlakuan R2
Perlakuan R3
Perlakuan R4 Keterangan: a. Sprematogonium A b. Spermatogonium B c. Sel Sertoli d. Sel penunjang e. Sel dasar f. Inti sel g. Spermatozoa.
Perlakuan R5
Gambar 5. Histopatologi Testis Mencit Spermatogonium
tipe
B
inilah
yang
akan
melanjutkan
proses
spermatogenesis. Dengan demikian pada preparat ini sudah terlihat adanya tandatanda berlangsung proses spermatogenesis. Kondisi ini diduga terkait dengan status nutrisi yang diterima oleh mencit dan disalurkan melalui sel Sertoli untuk perkembangan spermatozoa. Dengan pemberian PST
hingga taraf 1,5% dalam
ransum, preparat tubulus seminiferi telah menunjukkan gejala spermatogenesis. Pada perlakuan R3 terlihat bahwa sel-sel dalam pembuluh tubuli terbagi atas (a) sel-sel berukuran besar dibagian tepi, (b) sel-sel kecil yang saling rapat satu dengan yang lain dan (c) sel-sel lainnya yang berukuran sedang diantara kedua jenis
23
sel tersebut. Sel berukuran besar tersebut diduga merupakan sel spermatogonium sebagai sel induk calon spermatozoa yang belum jadi. Bila pada perlakuan R2 di atas mencit masih menunjukkan awal spermatogenesis dengan migrasi spermatogonium ke lumen, maka pada perlakuan R3 ini spermatogonium tersebut telah menunjukkan pembelahan yang lebih aktif. Pembelahan sel yang terjadi diduga tidak saja berupa pembelahan sel secara mitosis tetapi juga ada yang berupa pembelahan sel meiosis. Pada mencit yang mendapatkan ransum yang mengandung PST hingga taraf 3% diduga mengalami proses spermatogenesis yang paling kompleks dibandingkan dengan perlakuan lainnya dilihat dari histopatologi tubulus seminiferinya. Pada perlakuan R4 terlihat adanya keberadaan sel-sel spermatogonium yang sedang
mengalami
pembelahan
namun
intensitasnya
sudah
lebih
rendah
dibandingkan dengan yang terlihat pada perlakuan R3. Seluruh preparat yang ada menunjukkan fase spermatogenesis yang masih berada dalam proses pembelahan sel. Pada preparat ini terlihat, bahwa proses pembelahan sel yang sedang terjadi merupakan pembelahan meiosis. Hal tersebut ditandai dengan keberadaan kutubkutub pembelahan dan posisi antar sel anak yang saling berdekatan. Dengan demikian pada perlakuan R4 terdapat perkembangan spermatogenesis yang relatif tidak berbeda dengan proses sebelumnya serta termasuk kurang komplek dibandingkan dengan perlakuan R3. Pada perlakuan R5 terlihat adanya gejala pembelahan mitosis dari spermatogonia menjadi spermatosit primer. Bila dibandingkan dengan kondisi preparat yang lain, preparat ini memiliki kesamaan relatif dengan perlakuan R1, yakni terjadi pembelahan sel secara aktif diantara sel-sel spermatogonium. Hal ini diduga terkait dengan status nutrisi mencit yang mendapatkan 6% PST (R5) dalam ransumnya. Menurut Rees (1993), dalam satu siklus spermatogenesis seekor tikus membutuhkan waktu sekitar 8,6 hari sedangkan lama proses tersebut memakan waktu hingga 34,5 hari. Waktu tersebut bergantung pada masing-masing fase yang dilaluinya. Pengambilan preparat yang dilakukan pada hari yang sama menunjukkan bahwa tikus memiliki tingkat fase spermatogenesis yang berbeda-beda serta dipengaruhi oleh taraf pemberian PST dalam ransumnya.
24
Fase spermatogenesis yang paling kompleks terlihat pada perlakuan R3. Hal ini diduga juga sejalan dengan terjadinya penurunan produksi sel-sel sperma dari proses spermatogenesis. Histopatologi Organ Reproduksi Betina Menurut hasil nekropsi dan pengamatan pada sayatan ovarium dapat dilihat kondisi histopatologi folikel ovarium mencit perlakuan seperti tampak pada gambar 6 berikut. Pada perlakuan R1 menunjukkan adanya folikel de Graaf yang telah siap mengalami ovulasi. Di dalam folikel ini sudah terlihat adanya inti sel telur, sel telur, cumulus ooforus, rongga folikel, sel-sel folikel, sel teka internal, dan ekternal. Stigma terlihat cukup jelas, tampak cerah dan sedikit menonjol keluar karena tekanan intrafolikelnya sudah cukup tinggi. Pada fase ini folikel sel telur yang siap untuk diovulasikan dengan jumlah folikel baik sebanyak 4 dan folikel yang rusak sebanyak 2. Hal ini diduga terkait dengan perkembangan hormon reproduksi yang sudah matang pada mencit yang tidak mendapatkan ransum yang mengandung PST. Menurut Hartono (1992), perkembangan folikel banyak dipengaruhi oleh sistem hormon-hormon reproduksi. Pada perlakuan R2 terlihat adanya penampakan folikel sekunder tepatnya pada stadium akhir. Pada stadium ini oosit primer baru memasuki tahap pemasakan pertama dengan melepas benda kutub yang pertama (oosit sekunder), zona pelusida lebih tebal, sudah terdapat jalinan yang komplek antara mikrovili oosit dan sel granulosa. Ditengah susunan sel granulosa terjadi degenerasi yang diikuti lisis sejumlah sel didalamnya, pada perlakuan R2 ini jumlah folikel yang diovulasikan sebanyak 42 dengan jumlah folikel baik 29 dan jumlah folikel rusak 13. Perkembangan hormon reproduksi pada R2 diduga tidak sebesar pada perlakuan R1. Ini
sesuai
dengan
pendapat
Toelihere
(1981),
bahwa
folikel
mencapai
pematangannya melalui tingkatan-tingkatan dari folikel primer, sekunder dan tersier yang sedang bertumbuh dan berakhir pada folikel de Graaf yang sudah matang.
25
Perlakuan R1
Perlakuan R2
Perlakuan R3
Perlakuan R4 Keterangan : a. Sel folikel b. Rongga folikel c. Inti sel oosit d. Cumulus ooforus e. Sel teka interna f. Sel teka interna g. Zona pelusida h. Oosit sekunder i. Oosit primer
Perlakuan R5
Gambar 6. Histopatologi Organ Reproduksi Mencit Betina Folikel pada perlakuan R3 tergolong dalam fase folikel sekunder stadium awal. Pada perlakuan ini jumlah folikel yang telah diovulasikan sebanyak 40 dengan jumlah folikel baik 31 dan folikel rusak sebanyak 9. Oosit primer mulai menimbun kuning telur dan butir lipida sedangkan pada membran plasmanya mulai terbentuk mikrovili yang mengisi rongga diantara oosit dan granulosa. Sel granulosa dan oosit pun menghasilkan protein polisakarida untuk mengisi zona pelusida. Kondisi ini diduga berkaitan dengan hormon reproduksi pada mencit perlakuan. Perlakuan R3 memiliki jumlah folikel yang paling banyak bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
26
Pada perlakuan R4 terlihat adanya golongan folikel yang baru memasuki fase awal (folikel primer) dengan jumlah folikel yang telah diovulasikan sebanyak 14 yang meliputi 13 folikel baik dan 1 folikel rusak. Folikel ini ditandai dengan adanya pembesaran folikel dari fase primordial akibat terjadinya pembesaran diameter sel telur. Posisi folikel ini seakan-akan terdorong agak dalam dibandingkan dengan posisi primordialnya karena adanya pengaruh pertumbuhan folikel dan sel-sel stroma disekitarnya. Fase ini merupakan awal dari siklus reproduksi yang banyak terkait dengan aktivitas hormon-hormon reproduksi seperti gonadotropin (FSH) dalam selsel reproduksi. Menurut Hartono (1992), daur reproduksi pada perkembangan folikel banyak dipengaruhi oleh hormon gonadotropin (FSH) yang disekresikan dari hipofisa. Pada perlakuan R5 terlihat penampakan folikel primordial yang belum mengalami daur reproduksi. Pada perlakuan ini jumlah folikel yang diovulasikan sebanyak 37 dengan jumlah folikel baik sebanyak 29 dan folikel rusak 8. Folikel ini terdiri dari oogonium berbentuk bulat yang dikelilingi oleh sel-sel folikel berbentuk pipih-selapis. Pada fase ini hormon-hormon reproduksi belum aktif. Secara umum terlihat, bahwa folikel pada mencit yang mendapatkan PST kurang berkembang dibandingkan dengan kontrol. Hal ini diduga bahwa PST mempengaruhi aktivitas hormon reproduksi seperti gonadotropin (FSH) sehingga menyebabkan pematangan folikel menurun dan ini berakibat proses reproduksi mencit betina menjadi terganggu.
27
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pemberian PST dalam ransum berpengaruh terhadap performans organ reproduksi mencit yang meliputi bobot testis, panjang testis, diameter testis serta jumlah sperma namun tidak berpengaruh terhadap panjang vas deferens. Protein sel tunggal cenderung menurunkan produksi sperma mencit jantan ditandai dengan histopatologi tetis yang menunjukkan proses spermatogenesis yang semakin lambat. Pemberian PST pada mencit betina cenderung memperlambat penampilan reproduksinya yang ditandai dengan penurunan proses pematangan folikel. Saran Penggunaan PST yang dianjurkan untuk di konsumsi ternak paling tinggi 3%, karena tidak berpengaruh terhadap organ reproduksi dan produktifitas ternak.
28
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Alloh SWT atas Anugerah dan CiptaNya yang tak terbilang sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Adalah rahasia alam ketika Alloh menentukan siklus kepada hambaNya untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Sholawat serta salam kepada Nabi semua makluk Al-Sayyid Muhammad karena berkat SafaatNya sehingga Penulis selalu dapat limpahan rahmat dari Tuhan yang Maha Mengetahui gerak-gerik hambaNya. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc, Dr. Ir. Nahrowi, M. Sc yang telah meluangkan waktu dan perhatiannya dalam membimbing, mengarahkan, dan membantu penyusunan usulan penelitian hingga tahap akhir penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga kepada Dr. Ir. Pollung. H. Siagian, M.Sc dan Prof. Dr. Aminuddin Parakkasi M.Sc yang telah bersedia sebagai dosen penguji sidang. Tak lupa kepada Ir. R. B. Pangestu M. Si atas bimbingannya selama penulis kuliah. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan dengan tulus pada teman- teman sepenelitian Eko D. H. dan Dewi Solihah terima kasih atas kerjasamanya selama penelitian. Terima kasih juga kepada sahabat yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini terutama Mbak Reni, Bahtiar, Sukri, Tio, Icus, Jayus, Mul, Olob, Nono, Asril dan teman-teman yang tergabung dalam FORMATIN-D. Terima kasih juga kepada semua lembaga organisasi ekternal yaitu PMII karena telah mendidik penulis untuk peka terhadap persoalan masyarakat, tak lupa pula pada semua elemen gerakan baik kelompok Cipayung (GMKI, GMNI, HMI, PMKRI), FAM-IPB, INFEDS, LP2NU. Terakhir Penulis ucapkan terima kasih pada dan penghargaan kepada Bapak dan Ibu, Mas Rit, Wawan, Risa, Mbok Neneng atas dorongan moril maupun materiil serta segenap keluarga besar yang ada di Desa Banyulegi yang selalu mendoakan penulis. Akhirnya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap pembaca dan berguna bagi Penulis dalam melangkah untuk mengarungi hidup ini. Bogor, Maret 2006
Penulis 29
DAFTAR PUSTAKA Anderson, R.A. Jr., B.R. Willis, C. Oswald, L.J.D. Zaneveld. 1983. Male reproductive tract sensitivity to ethanol : a critical overview. Pharmacol. Biochem. Behaviour. 18 : 305-310. Arrington, L. R. 1972. Introductory Laboratory Animal. The Breeding, Care and Management of Experimental Animal Science. The Interstate Printers and Publishing., New York. Bamber, S. C.A. Iddon, H.M. Charlton dan B.J. Ward. 1980. Transplantation of the gonads of hygonadal (hpg) mice. Biol. Reprod. Fert. 58 ; 249 -252. Budiarta, K. 2002. Keberhasilan autotranplantasi ovari subkutan pada mencit ditinjau dari siklus estrus dan bobot uterus. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gabor, G., M.Mezes, J. Tozser, S. Bozo, E. Szucs and I. Barany. 1994. Relationship among testosterone rsponse to GnRH administration, testes size and sperm parameters in holstein frisian bulls. Theriogenology 43 : 1318 – 1323. Habil, and Franz X. Roth. 1980. Micro-organisms as a source of protein for animal nutrition. Animal Research and Development. 12: 7-19. Hafez, E. S. E. 1987. Reproduction in Farm Animal. Fifth Edition. Lea and Febiger. Philadelphia. Hariyum, A. 1986. Pembuatan Protein Sel Tunggal. PT Waca Utama Pramesti. Jakarta. Hartono. 1992. Histologi Veteriner Jilid II. Organologi. Laboratorium Histologi, Bagian Anatomi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Indriyani, E. 2004. Gambaran histopatologis organ testis tikus penderita diabetes mellitus yang diberi infus batang brotoali (Tinospora tuberculata L.) sebagai bahan antidiabetik. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Malole, M. B. M. Dan C. S. U. Pramono. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas. Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Marx, J. L. 1991. Revolusi Bioteknologi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Mattjik, A.A. dan M. Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. IPB Press. Bogor. Meistrich, M.L., M. Finch, M.F. Dacunha, U. Hacker, W.W. Au. 1982. Damaging effects of fourteen chemotherapeutic drugs on mouse testis cells. Cancer Res. (42) : 122 - 131. Mori, K., M. Kaido, K. Fujishiro, N. Inoue, O. Koide, H. Hori, I. Tanaka. 1991. Dose dependent effects of inhaled ethylene oxide on spermatogenesis in rats. Br. J. Ind. Med. 48:270-274. 30
National Research Council. 1994. Nutient Requirement of Poultry. 9th Revised Ed. National Academi Press. Washington. Rees, T.J. 1993. The Toxicology of Male Reproduction. Portsmouth University. http://www.brighton73.freeserve.co.uk/tomsplace/scientific/msc-review/ msrtop.htm (7 Juni 2005). Scott, M. L, M. C. Nesheim and R. J. Young . 1982. Nutrition of The Chicken. Ed. M. L. Scott and Asociates Ithaca. New York.
3th
Smith, J. B. Dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Sprando, R.L., R. Santulli, C.A. Awoniyi, L.L. Ewing, B.R. Zirkin. 1990. Does ethane 1,2-dimethanesulphonate (EDS) have a direct cytotoxic effect on the seminiferous epithelium of the rat testis. J. Andrology. 11 (4) : 344-352. Thompson, J.A., M.M. Buhr and W.H. johnson. 1992. Scrotal circumference does not accurately predict degree of germinal epithelial loss or semen quality in yearling hereford and simmental bulls. Theriogenology 38 : 1023 -1032. Toelihere, M. R. 1981. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung. Waalkes, M.P., S. Rehm, C.W. Riggs, R.M. Bare, D.E. Devor, L.A. Poirier, M.L. Wenk, J.R. Henneman and M.S. Balaschak. 1988. Cadmium carcinogenesis in male wistar [Cr1:(Wi)Br)] rats: dose-response analysis of tumour induction in the prostate and testes and at the injection site. Cancer Res. 48 : 4656-4663. Williams, J., B.C. Gladden, T.W. Turner, S.M. Schrader, R.E. Chapin. 1991. The effects of ethylene dibromide on semen quality and fertility in the rabbit : evaluation of a model for human seminal characteristics. Fundam. Appl. Toxicol. 16 : 687-700.
31
LAMPIRAN
32
Lampiran 1.Uji Sidik Ragam Bobot Testis SK Perlakuan Galat Total
DB 4 20 24
JK KT F hitung 0,00578400 0,00144600 6,95** 0,0041600 0,00020800 0,0099440
F 0,05 2,87
F0,01 4,43
Ket : ** = berbeda nyata pada taraf P< 0,01
Lampiran 2. Uji Lanjut Duncan Pengaruh PST terhadap Bobot Testis Perlakuan R1 R2 R3 R4 R5
Rataan±sd 0,24 ± 0,01 0,23 ± 0,01 0,27 ± 0,02 0,23± 0,01 0,26± 0,02
Hasil Uji B B A B A
Lampiran 3. Uji Sidik Ragam Diameter Testis SK Perlakuan Galat Total
DB 4 20 24
JK 0,0426 0,0580 0,1006
KT 0,01065 0,00290
F hitung 3,67*
F 0,05 2,87
F0,01 4,43
Ket : * = berbeda nyata pada taraf P<0,05
Lampiran 4. Uji Lanjut Duncan Pengaruh PST terhadap Diameter Testis Perlakuan R1 R2 R3 R4 R5
Rataan±sd 0,49 ± 0,02 0,52 ± 0,08 0,51 ± 0,05 0,42± 0,04 0,43 ± 0,04
Hasil Uji AB A A B B
Lampiran 5.Uji Sidik Ragam Jumlah Sperma SK Perlakuan Galat Total
DB 4 10 14
JK 98483,73 27276,00 12575,73
KT 24620,93 2727,60
F hitung 9,03**
F 0,05 3,48
F0,01 5,99
Ket : ** = berbeda nyata pada taraf P< 0,01
Lampiran 6. Uji Lanjut Duncan Pengaruh PST terhadap Jumlah Sperma Perlakuan R1 R2 R3 R4 R5
Rataan±sd 431,0±18,73 367,67± 90,16 570,33± 9,29 414,33± 65,68 334± 27,51
Hasil Uji A A B A A 33
Lampiran 7. Uji Sidik Ragam Panjang Testis SK Perlakuan Galat Total
DB 4 20 24
JK 0,07 0,09 0,16
KT 0,0175 0,0045
F hitung 3,89*
F 0,05 2,87
F0,01 4,43
Ket : * = berbeda nyata pada taraf P< 0,05
Lampiran 8. Uji Lanjut Duncan pengaruh PST terhadap Panjang Testis Perlakuan R1 R2 R3 R4 R5
Rataan±sd 0,84 ± 0,09 0,76 ± 0,05 0,72 ± 0,04 0,68 ± 0,08 0,75 ± 0,05
Hasil Uji A AB B B AB
Lampiran 9. Uji Sidik Ragam Panjang Vas Deferens SK Perlakuan Galat Total
DB 4 20 24
JK 0,124 1,156 1,280
KT 0,0310 0,0578
F hitung 0,54
F 0,05 2,87
F0,01 4,43
Lampiran 10. Uji Sidik Ragam Bobot Organ Reproduksi Betina Total SK Perlakuan Galat Total
DB 4 20 24
JK 0,000224 0,000920 0,001144
KT 0,000056 0,000046
F hitung 1,22
F 0,05 2,87
F0,01 4,43
Lampiran 11. Uji Sidik Ragam Jumlah Panjang Organ Reproduksi Betina Total SK Perlakuan Galat Total
DB 4 20 24
JK 0,011624 0,051800 0,063424
KT 0,002906 0,002590
F hitung 1,12
F 0,05 2,87
F0,01 4,43
34