PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGI DAN KADAR SGOT/SGPT HATI MENCIT (Mus musculus L) JANTAN YANG DIPAPARI TUAK KESAKTIAN MANURUNG
ABSTRACT Vitamin E is one vitamin that is soluble in fat and acts as an antioxidant and can protect the biological action of membrane damage by free radicals and protects unsaturated fatty acids in membrane phospholipids. Free radicals are reactive molecules and can damage which have unpaired electrons. Giving antioxidant intake of vitamin E is proposed to reduce the effects of free radicals in the body. This study aims to determine the effect of vitamin E on histological features and levels of SGOT/SGPT liver of mice (Mus musculus L.) who againts tuak . This study is a laboratory experimental study with using mice (Mus musculus L.) strain DD Webster healthy adults aged 2-3 months and weighing 25-35 g were divided as many as 30 individuals with 6 treatment groups. Group 1 (P0)) = control consisted of 5 adult mice that were given 0.5 ml of distilled water for 30 days. Group 2 (P1) = First treatment group consisted of 5 adult mice that were given tuak market (20% alcohol) 0.5 ml/day/head orally for 15 days, then the next 15 followed by 0.5 ml of distilled water . Group 3 (P2) = Treatment group II consisted of 5 adult mice that were given tuak market (20% alcohol) 0.5 ml/day/head orally for 30 days. Group 4 (P3) = Treatment group III comprised five adult mice that were given tuak market (20% alcohol) 0.5 ml/day/ head during the first 15 days next 15 days and stopped giving the tuak was replaced with vitamin E 0.33 mg/day/head/mice orally. Group 5 (P4) = Group IV treatment consisting of five adult mice were given tuak market (20% alcohol) 0.5 ml/day/head for 30 days and 16th day following administration of vitamin E 0.33 mg/head/day orally. Group 6 (P5)= V treatment group consisted of 5 adult mice that were given tuak market (alcohol 20%) 0.5 ml and 0.33 mg vitamin E/head/day for 30 days orally. Mice are placed into a random group. This research has received research ethics committee agriment from USU. The results in the provision of vitamin E 0.33 mg/day/mice in line with the exposure of tuak for 30 days to repair damaged liver cells and can reduce levels of SGOT / SGPT mice. Key words: Vitamin E, Histology liver, SGOT/SGPT, mice, tuak
Latar Belakang Secara umum tuak dikenal oleh masyarakat di Indonesia adalah jenis minuman yang disebut arak. Niara pada awalnya merupakan minuman yang terasa manis karena mengandung kadar glukosa tinggi. Namun, seiring dengan berjalannya waktu nira mengalami fermentasi secara spontan yang menyebabkan terbentuknya alkohol. Fermentasi ini berlangsung kurang dari tiga hari, setelah itu status nira tersebut telah berubah menjadi minuman beralkohol. Tuak merupakan minuman beralkohol yang bahan dasarnya nira aren (Arenga pinnata) mengandung alkohol dengan kadar 4% (Sunanto, 1993). Minuman beralkohol telah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan panjang peradapan manusia. Adapun alkohol yang terkandung dalam minuman keras adalah etanol (CH3CH2 -OH) yang diperoleh dari proses fermentasi. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor.151/A/SK/V/81 bahwa minuman atau obat tradisional yang tergolong dalam minuman keras jika mengandung alkohol >1%. Keadaan yang merugikan pada pengkonsumsi alkohol diakibatkan oleh alkohol itu sendiri ataupun hasil metabolismenya (Miller dan Mark, 1991). Kelompok usia dengan persentasi penggunaan alkohol tertinggi adalah antara 20 hingga 35 tahun sedangkan dari jenis kelamin, laki-laki secara bermakna lebih mungkin untuk meminum alkohol dari pada wanita (Harimurti, 2009).
Metabolisme etanol di dalam sel hati dapat menyebabkan peningkatan produksi radikal bebas dengan berbagai mekanisme sehingga terjadi stress oksidatif yang akan merusak jaringan hati. Reaksi antara etanol dengan H2O2 dan radikal reaktif spesies yang lain akan menghasilkan radikal hidroksietil yang merupakan oksidan kuat. Radikal hidroksietil dapat mengoksidasi lipid dan protein sel hepar sehingga terjadi kerusakan jaringan hepar (Chamulitrat et al, 1998). Sumber radikal bebas adalah xianthin oxidase dan nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) sebab penghambatan enzim tersebut dapat menurunkan produksi radikal bebas pada tikus yang diberikan etanol (Kono et al, 2001). Peningkatan radikal bebas akibat pemberian alkohol juga terjadi melalui mekanisme induksi enzim, dimana alkohol akan menginduksi sitokrom P-450 sehingga enzim tersebut meningkat. Enzim sitokrom P-450 dapat meningkatkan radikal bebas secara langsung dengan membentuk radikal superoksid maupun secara tidak langsung melalui NADPH (Bacman dan Ames, 1998). Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan produksi radikal bebas di dalam hepar akibat induksi terhadap microsomal cytochrome P450 oleh etanol. Pada binatang percobaan yang diberikan etanol 0,8 g/kg berat badan/hari, terjadi peningkatan radikal bebas yang menimbulkan kerusakan pada sel-sel hepatosit dan menimbulkan inflamasi pada jaringan hati (Chamulitrat et al, 1998). Radikal bebas adalah molekul-molekul reaktif yang dapat merusak, dan mempunyai elektron tidak berpasangan (Almatsier, 2004)
Pemberian alkohol akut maupun kronis pada mencit dapat meningkatkan kadar serum glutamic oxaloasetic transaminase (SGOT) dan serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT) serta dapat menimbulkan degenerasi dan nekrosis sel-sel hati mencit serta peningkatan sel-sel radang ( Jawi et al, 2007). Hasil penelitian aktivitas antioksidan dari vitamin C dan E terhadap kadar SGOT/SGPT serum darah tikus putih yang terpapar allethrins dapat menormalkan kadar SGOT/SGPT serum darah tikus (Brillia, 2009) Sitokin yang diproduksi oleh sel hati dan sistem kekebalan tubuh sangat penting dalam merespon infeksi atau kerusakan sel. Konsumsi alkohol dapat meningkatkan kadar sitokin dan produksi sitokin secara berlebih pada manusia menghasilkan gejala mirip dengan hepatitis alkoholik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sitokin dapat menyebabkan pembentukan parut pada bekas luka dan berperan dalam penurunan kadar oksigen dalam sel hati, yaitu proses yang berhubungan dengan pembentukan sirosis. Masing-masing mekanisme penyakit yang dijelaskan di atas berkontribusi pada kematian sel hati, adanya sel yang rusak dapat memicu respons defensif tubuh, termasuk pelepasan sitokin tambahan. Siklus ini akan terjadi dan tidak biasa dihentikan sehingga terjadi peradangan, kematian sel, dan jaringan parut secara terus menerus (Brilia, 2009) Antioksidan dalam pengertian kimia adalah senyawa yang dapat menyumbangkan elektron atau pemberi elektron, contohnya adalah vitamin E dan vitamin C. Antioksidan dalam pengertian biologis adalah semua senyawa yang dapat meredam atau menonaktifkan serangan radikal bebas dan reaktive oxygen species atau ROS (Suryohudoyo, 1993, Halliwel, 1994). Vitamin E merupakan antioksidan yang berparan dalam mencegah oksidasi dan peroksidasi asam lemak tidak jenuh dan fosfolipid membran (Linder, 1992) Hati adalah organ tubuh yang rentan terhadap pengaruh berbagai zat atau senyawa kimia, karena hati merupakan tempat untuk memetabolisir berbagai senyawa yang masuk ke dalam tubuh. Kerusakan hati dapat terjadi karena zat-zat toksin yang berasal dari bakteri maupun zat kimia (Gibson dan Lillay, 1997). Untuk melakukan detoksikasi dari bahan berbahaya tersebut, hati mengandung oksidan dengan berat molekul rendah dan enzim yang merusak spesies oksigen reaktif (ROS) yaitu glutation tereduksi (GSH), vitamin C, vitamin E, superoksid dismutasi (SOD), glutation peroksidase dan katalase (Poli, 2000). Vitamin E (alfa tokoferol) adalah salah satu vitamin yang sifatnya antioksidan di dalam tubuh, sehingga dapat berfungsi untuk melindungi hati dari radikal bebas. Enzim aminotransferase adalah enzim yang sering digunakan dalam menegakkan diagnosis kerusakan hati. Ada dua jenis enzim yang diproduksi di hati, yakni aspartat aminotransferase (AST) yang sering juga disebut SGOT dan alanin aminotransferasi (ALT) yang sering disebut SGPT (Meyes et al, 1991). Peningkatan kadar SGPT dan SGOT akan terjadi jika adanya pelepasan enzim secara intraselular ke dalam darah yang disebabkan nekrosis sel-sel hati atau adanya kerusakan hati secara akut (Wibowo et al, 2008).
Salah satu radikal bebas yang dapat menyebabkan rusaknya hati adalah alkohol, hal ini yang mendorong perlunya dilakukan penelitian bagaimana pengaruh vitamin E terhadap gambaran histologis hati serta kadar SGOT/SGPT pada mencit yang dipapari tuak, yaitu jenis alkohol yang dapat menghasilkan radikal bebas dalam tubuh yang dapat merusak hati dan banyak dikonsumsi. Disamping itu dilakukan analisis terhadap kadar etanol dari tuak asli, nira diberi raru, nira asli dan tuak dipasaran dengan kromatografi gas. METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen laboratorik dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Sebanyak 30 ekor mencit jantan (Mus musculus L) strain DD Webster dewasa berumur 2-3 bulan dengan berat badan 25-30 g, yang dibagi secara acak ke dalam 6 kelompok percobaan, 5 ekor mencit per kelompok. Jumlah ulangan ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Federer, 1963): Di mana t adalah jumlah perlakuan (dalam penelitian ini ada 6 kelompok perlakuan) dan n adalah jumlah ulangan perkelompok. Eksperimen terdiri atas 6 kelompok. Perlakuan dalam penelitian diberikan sebagai berikut : 1) P0 = kelompok kontrol terdiri dari 5 ekor yang diberi akuades 0,5 ml selama 30 hari. 2) P1 = Kelompok perlakuan I terdiri dari 5 ekor yang diberi tuak dipasaran setiap pagi 0,5 ml/ekor secara oral selama 15 hari kemudian 15 hari berikutnya dilanjutkan dengan pemberian akuades 0,5 ml. 3) P2 = Kelompok perlakuan II terdiri 5 ekor yang diberi tuak dipasaran setiap pagi 0,5 ml /ekor secara oral selama 30 hari. 4) P3 = Kelompok perlakuan III terdiri 5 ekor yang diberi tuak dipasaran setiap pagi 0,5 ml/ekor selama 15 hari yang diberikan pada pagi hari, selanjutnya pada hari ke 16 diberi vitamin E sebanyak 0,5 ml (0,33 mg) setiap sore hari 5) P4 = Kelompok perlakuan IV terdiri 5 ekor mencit yang diberi tuak dipasaran setiap pagi 0,5 ml/ekor selama 30 hari selanjutnya pada hari yang ke 16 diberikan vitamin E 0,5 ml (0,33 mg) pada sore hari. 6) P5 = Kelompok perlakuan V terdiri 5 ekor mencit yang diberi tuak dipasaran setiap pagi 0,5 ml/ekor selama 30 hari bersama vitamin E 0,5 ml (0,33 mg) sore hari Penelitian. 1. Bahan Biologis. Bahan biologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan (Mus musculus L.) starin DD Webstar jantan dewasa berumur 2-3 bulan dengan berat badan 25-35 gram yang diperoleh dari Unit Penelitian Hewan FMIPA Biologi Universitas Sumatera Utara (USU). Mencit jantan dewasa merupakan hasil perbanyakan hewan yang diperoleh sebanyak 30 ekor mencit dipilih dari hasil perbanyakan untuk keperluan penelitian. 2. Bahan Kimia. a. Tuak yang sudah ditentukan kadar alkoholnya. Bagi orang peminum tuak biasanya rata-rata 3 – 4 gelas ml/ hari (1000 ml) bagi orang
dewasa (rata-rata berat badan 60 kg) (Ikegami, 1997), komsumsi tuak setiap hari rata-rata 1000 ml/ 60.000 g berat badan orang dewasa = 0,016 ml/g/ berat badan, maka dosis konversi untuk mencit dengan rata-rata berat badan 30 g adalah : 0,016 ml x 30 g = 0,48 ml/mencit/hari. Pada penelitian pendahuluan terhadap kadar alkohol tuak dari 4 jenis tuak yang diteliti kadar alkoholnya, maka yang digunakan dalam penilitian ini adalah tuak yang dipasaran pada hari ke dua dengan konsentrasi lakoholnya 20% (lampiran 3). b. Vitamin E (vitamin E murni dalam bentuk serbuk). Penentuan dosis vitamin E berdasarkan dosis per oral pada manusia yang aman untuk dikonsumsi orang dewasa yaitu 1000 IU/hari (Baraas dan Jufri, 1999), rata-rata berat badan orang dewasa 60 kg dengan asumsi bahwa 1 IU = 0,67 mg. ( Karyadi 1990 ) Dosis untuk manusia dewasa adalah 670 mg/60.000 g berat badan =0,011 mg/g berat badan, maka untuk dosis mencit dengan berat badan rata-rata 30 g adalah =0,011 mg x 30 g berat badan = 0,33 mg/mencit / hari. c. Sediaan histologi antara lain ; metilen blue, buffer formalin 10 %, parafin pellet (titik leleh 56 – 58 oC), albumin Mayer (sebagai adhesive jaringan pada permukaan gelas objek), xilol (untuk hidrasi sayatan yang sudah ditempelkan pada slide), alkohol absolut, alkohol 95%, 80%, 70%, 50%, (untuk hidrasi sayatan dari aseton), aseton (untuk hidrasi sayatan dari air). Semua bahan kimia yang akan digunakan adalah grade analitik (pa grade) dan diperoleh dari Merck. Reagen SGOT terdiri dari reagen R1 dan R2 yang komposisinya terdiri atas : tris buffer, Laspartat, 2-oxoglutarat, LDH, NADH, pyridoxal phosphat. Reagen SGPT terdiri dari R1 dan R2 yang komposisinya terdiri atas : tris buffer, Lalanin, 2-oxoglutarat, LDH, NADH, phyroxal phosphat. d. Kromatografi gas. Etanol p.a, dan n-Butanol p.a, serta akuadest. Pelaksanaan Penelitian dan Pengamatan. 1. Pemeliharaan Hewan Percobaan. Mencit ditempatkan di dalam kandang yang terbuat dari bahan plastik (ukuran 30x20x10 cm) yang ditutup dengan kain kasa. Dasar kandang dilapisi dengan sekam padi setebal 0,5-1 cm dan diganti setiap tiga hari. Cahaya ruangan dikontrol persis 12 jam terang (pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00) dan 12 jam gelap (pukul 18.00 sampai dengan pukul 06.00), sedangkan suhu dan kelembaban ruangan dibiarkan berada pada kisaran alamiah. Pakan (pelet komersial) dan minuman (air PAM) disuplai setiap hari secara berlebih (ad libitum) 2. Histologi Hati. a. Evaluasi efek toksik terhadap hati secara histologi. Evaluasi ini dilakukan dengan cara pembuatan preparat hati dengan metode parafin dengan pewarnaan hematoksilin eosin yang kemudian dapat diperiksa secara mikroskopis. Cara pembuatan reparat histologi hati : 1. Setelah 30 hari perlakuan, masing-masing hewan coba dikorbankan dengan cara dislokasi leher, jaringan hati di ambil dari lobus kanan
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
yang dipotong-potong dan kemudian dimasukkan ke dalam larutan NaCl fisiologis selama 30 menit, kemudian objek difiksasi dengan larutan fiksatif Bouin selama 24 jam. Jaringan organ didehidrasi dengan larutan alkohol konsentrasi 50%, 70%, 80%, 90%, 96% dan alkohol absolut masing-masing selama satu jam, lalu dijernihkan dengan memindahkan objek ke dalam larutan alkohol absolut: xilol (1:1) dan xilol, masing-masing selama satu jam. Kemudian objek dimasukkan ke dalam larutan infiltrasi yang dilakukan dalam inkubator pada suhu 56-600C (xilol: paraffin selama 1 jam, paraffin I selama 1 jam, paraffin II selama 1 jam dan paraffin III selama setengah jam). Penanaman (embedding) dengan memasukkan objek ke dalam cetakan logam atau kotak kertas yang sudah berisi paraffin cair yang dipanaskan dalam inkubator, selanjutnya dibiarkan dingin dan membeku. Penyayatan (section) dilakukan dengan memasang blok paraffin dalam holder, kemudian di iris tipis dengan pisau mikrotom setipis mungkin (5µm). Penempelan (afiniting), kaca objek di gosok dengan Mayer’s albumen. Letakkan sejumlah sayatan di atasnya, kemudian ditetesi dengan air dan direntangkan di atas hot plate. Setelah kering, lalu dideparafinisasi dengan xilol selama 30 menit. Pewarnaan dengan zat warna hematoksilin aerlich dan eosin alkohol dilakukan sebagai berikut : Alkohol 96%, 80%,70% dan 50% masing-masing selama 3 menit, hematoksilin aerlich selama 1-5 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir, terlihat dibawah mikroskop inti sel sudah terwarnai. Kemudian dilanjutkan dengan alkohol 70%, 80% dan 96% masing-masing 3 menit, eosin alkohol selama 15 menit, alkohol 96% (1 menit), alkohol absolut (2 menit), campuran alkohol xilol = (1:1) selama 2 menit, xilol selama 30 menit. Penutupan (mounting) dijaga agar jaringan jangan sampai kering, ditetesi dengan perekat (entelan) kemudian ditutup dengan cover glass dan keringkan, kemudian preparat diberikan label sebelah kanan kaca objek, kemudian diperiksa secara mikroskopis (Pearse, 1961)
Pengamatan. Pengaruh tuak pada jaringan hati secara kualitatif diamati pada kerusakan vena sentralis, hepatosit, nukleus, sitoplasma dan sinusoid. Hasil foto-foto mikroskopis dari hati merupakan gambaran kualitatif. Pada penelitian ini hanya mengamati secara kualitatif yaitu dengan melihat jaringan hati yang berdegenerasi dan nekrosis. Secara histologi gambaran jaringan hati dianggap dalam batas normal apabila vena sentral tampak utuh dengan lingkaran yang tidak putus, hepatosit tampak teratur berwarna merah, sinusoid tampak utuh berwarna putih (Helmi, 2007). Kerusakan jaringan hati tersebut diamati di lima lapang pandang berbeda secara acak pada masing-masing sediaan jaringan hati. Kemudian dinilai skala dengan degenerasi dan nekrosis yang terdapat pada sediaan tersebut.
Tabel 2. Skala degenerasi/nekrosis (Jawi, 2006) Skala Persentasi Nekrosis/Degenerasi 0 Tidak ada 1 1%-25% 2 26%-50% 3 51%-75% 4 76%-100% Pengukuran Kadar SGOT/SGPT. Pengambilan darah tikus dilakukan dengan menggunakan spuit 1 cc melalui intracardial. Sampel darah dimasukkan ke dalam tabung reaksi tanpa antikoagulan untuk mendapatkan serumnya. Tabung reaksi yang berisi darah tanpa antikoagulan didiamkan selama 60 menit pada suhu kamar. Kemudian disentrifuger dengan kecepatan 4000 rpm/menit selama 15 menit. Cairan bening (serum) di atas sel-sel darah yang mengumpal selajutnya diambil dengan pipet mikro dan dimasukkan ke dalam tabung ependorf. Kemudian dilakukan pengukuran kadar SGOT dan SGPT dengan menggunakan reagen kit menurut metode photometric systems. Reagen SGOT terdiri dari reagen I : TRIS, Laspartat, malat dehidrogenase, laktat dehidrogenase dan reagen II : 2-ksoglutarat NADH. Reagen SGPT terdiri dari reagen I : TRIS, L-alanin, laktat dehidrogenase dan reagen II : 2-oksoglutarat, NADH. 3.6.1 Cara Mengukur SGOT : Aktivitas enzim serum glutamate piruvat transaminase di ukur menurut uji uv kinetic, sesuai dengan metode Berg-meyer dan Horder (1980), Clin.Chim.Acta 105:147 F(14). Prinsip pengukuran aktivitas enzim glutamate piruvat transaminase (SGPT): α – Ketoglutarat + L – alanin L – glutamate + piruvat + NADH + H+ L – laktat + NAD + Metode rutin berdasarkan metode referensi dari Federasi Kimia Klinik Internasional (International Federation of Clinical Chemistry) IFCC. Prinsip Serum Glumatamat Oksalo Tranaminase (SGOT)L- Asparat + 2 oxoglutarate L- Glutamate + oxalacetate + NADH + H+ L- Malate + NAD+ Kecepatan penurunan kadar NADH ditentukan secara fotometris dan berbanding lurus dengan aktivitas ASAT dalam bahan sampel. Cara kerja : Ke dalam kuvet mikro dimasukkan 1 ml serum dan 10 ml monoreagen, campur dengan baik dan setelah kira-kira 1 menit di ukur absorbasinya pada 340 nm. Absorbasi dibaca setiap menit selama 3 menit pada suhu 370C. Sebelum melakukan pemeriksaan SGOT/SGPT terlebih dahulu kita melakukan kalibrasi dengan cara sebagai berikut : kalibrator SGOT yang telah dilarutkan dengan akuades 5 ml, dicampur secara homogen, kemudian dibagi dalam cup masing-masing 300µl. Setelah itu diambil 1 cup kalibrator kemudian dilakukan kalibrasi pada alat sesuai dengan program alat yang telah ditentukan Setelah kalibrasi masuk, dilanjutkan dengan melakukan kontrol yang telah dibagi pada cup-cup sampel amsing-masing 300µl, kemudian dimasukkan ke dalam alat untuk dijalankan kontrol sesuai dengan program yang telah ditentukan. Jika kalibrasi dan kontrol sudah masuk ke dalam nilai
range yang telah di tetapkan kita lakukan pemeriksaan sampel darah ke dalam alat dan setelah itu hasil akan keluar dalam waktu ± 20 menit (Schumann et al, 2002)
Hasil Penelitian Hasil penelitian ini ditampilkan beberapa grafik histogram dari rata-rata data hasil analisis yang dilakukan selama 30 hari. Urutan tampilan hasil dan pembahasan dari penelitian ini adalah; (1) Berat Badan Akhir (setelah perlakuan), (2) Nekrosis hati, (3) Degenerasi hati, (4) Kadar SGOT serta (5) Kadar SGPT mencit (Mus musculus L.).
Berat Badan Akhir (setelah perlakuan)
a
a
b
a b
a
b
Gambar 1. Rata-rata (±SD) berat badan akhir mencit jantan setelah perlakuan. Huruf yang berbeda di atas histogram menunjukkan berbeda secara signifikan (p 0,05, uji Kruskal Wallis diikuti dengan uji Mann Whitney). P0 = hanya diberi 0,5 ml akuades selama 30 hari, P1= diberi 0,5 ml tuak setiap hari selama 15 hari dan dilanjutkan dengan 0,5 ml akuades selama 15 hari berikutnya; P2 = diberi 0,5 ml tuak setiap hari selama 30 hari, P3 = diberi 0,5 ml tuak setiap hari selama 15 hari dan
15 hari vit. E, P4 = diberi 0,5 ml tuak selama 15 hari pertama dan 15 berikutnya diberi 0,5 ml tuak dan vitamin E, P5 = diberi 0,5 ml tuak dan vitamin E setiap hari selama 30 hari.
a
a b b
b
c
Gambar 2. Rata-rata (±SD) nekrotik hati mencit jantan yang diberi tuak dan vitamin E. Grafik histogram pada perlakuan berbeda yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata pada taraf 5%. Uji yang dilakukan adalah
distribusi, homogenitas, non parametrik Kruskal Wallis dan Mann Whitney. P0 = hanya diberi 0,5 ml akuades selama 30 hari, P1= diberi 0,5 ml tuak setiap hari selama 15 hari dan dilanjutkan dengan 0,5 ml akuades selama 15 hari berikutnya, P2 = diberi 0,5 ml tuak setiap hari selama 30 hari, P3 = diberi 0,5 ml tuak setiap hari selama 15 hari dan 15 hari vit. E, P4 = diberi 0,5 ml tuak selama 15 hari pertama dan 15 berikutnya diberi 0,5 ml tuak dan vitamin E, P5 = diberi 0,5 ml tuak dan vitamin E setiap hari selama 30 hari.
Gbr 3. Struktur histologi hati mencit jantan setelah perlakuan (HE, 100x) P0 : tampak vena centralis (panah) dan porta hepatis, tidak tampak dilatasi pembuluh darah. P1:Pembesaran tampak dilatasi pembuluh darah dan jaringan nekrotik, P2:tampak jaringan nekrosis (panah) dan dominasi kualitas parenkim hati yang buruk. P3:tampak gambaran nekrosis parenkim hati (panah). P4:tampak kualitas parenkim hati yang mengalami perbaikan dan jaringan nekrotik pada daerah perifer. P5:tampak parenkim hati mengalami perbaikan (panah) dan pembuluh darah tidak tampak mengalami dilatasi (kepala panah). ▬ = 250 μm. P0 = hanya diberi 0,5 ml akuades selama 30 hari, P1= diberi 0,5 ml tuak setiap hari selama 15 hari dan dilanjutkan dengan 0,5 ml akuades selama 15 hari berikutnya; P2 = diberi 0,5 ml tuak setiap hari selama 30 hari, P3 = diberi 0,5 ml tuak setiap hari selama 15 hari dan 15 hari vit. E, P4 = diberi 0,5 ml tuak selama 15 hari pertama dan 15 berikutnya diberi 0,5 ml tuak dan vitamin E, P5 = diberi 0,5 ml tuak dan vitamin E setiap hari selama 30 hari.
a
a
distribusi, homogenitas, non parametrik Kruskal Wallis dan Mann Whitney , P0 = hanya diberi 0,5 ml akuades selama 30 hari, P1= diberi 0,5 ml tuak setiap hari selama 15 hari dan dilanjutkan dengan 0,5 ml akuades selama 15 hari berikutnya; P2 = diberi 0,5 ml tuak setiap hari selama 30 hari, P3 = diberi 0,5 ml tuak setiap hari selama 15 hari dan 15 hari vit. E, P4 = diberi 0,5 ml tuak selama 15 hari pertama dan 15 berikutnya diberi 0,5 ml tuak dan vitamin E, P5 = diberi 0,5 ml tuak dan vitamin E setiap hari selama 30 hari.
Gambar 5. Struktur histologi hati mencit jantan setelah perlakuan (HE, 100x) P0:tampak vena centralis dalam batas normal (panah), P1 : tampak Hepatosit mengalami degenerasi (panah), P2: Pembesaran jaringan degenerasi mendominasi parenkim hati (panah). P3:Pembesaran tampak gambaran degenerasi (panah) parenkim hati disertai dengan inflamasi periporta. P4 : tampak gambaran kualitas parenkim hati yang mengalami perbaikan dan tampak fibrosis pada parenkim hati (panah). P5 : tampak gambaran kualitas parenkim hati yang mengalami perbaikan meskipun masih tampak fibrosis pada parenkim hati (panah), ▬ = 250 μm. P0 = hanya diberi 0,5 ml akuades selama 30 hari, P1= diberi 0,5 ml tuak setiap hari selama 15 hari dan dilanjutkan dengan 0,5 ml akuades selama 15 hari berikutnya; P2 = diberi 0,5 ml tuak setiap hari selama 30 hari, P3 = diberi 0,5 ml tuak setiap hari selama 15 hari dan 15 hari vit. E, P4 = diberi 0,5 ml tuak selama 15 hari pertama dan 15 berikutnya diberi 0,5 ml tuak dan vitamin E, P5 = diberi 0,5 ml tuak dan vitamin E setiap hari selama 30 hari. Kadar SGOT mencit (Mus musculus L.)
b b
a
b b
b
a b
a b
a b
c
Gambar 4.Rata-rata (±SD) degenerasi hati mencit jantan yang diberi tuak dan vitamin E. Grafik histogram pada perlakuan berbeda yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata pada taraf 5%. Uji yang dilakukan adalah
Gambar 6. Rata-rata (±SD) kadar SGOT darah mencit jantan karena tuak dan vitamin E. Grafik histogram pada perlakuan berbeda yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata
pada taraf 5%. Uji yang dilakukan adalah Analisis parametrik Anova pada taraf 5%, Post Hoc Bonferroni. P0 = hanya diberi 0,5 ml akuades selama 30 hari, P1= diberi 0,5 ml tuak setiap hari selama 15 hari dan dilanjutkan dengan 0,5 ml akuades selama 15 hari berikutnya; P2 = diberi 0,5 ml tuak setiap hari selama 30 hari, P3 = diberi 0,5 ml tuak setiap hari selama 15 hari dan 15 hari vit. E, P4 = diberi 0,5 ml tuak selama 15 hari pertama dan 15 berikutnya diberi 0,5 ml tuak dan vitamin E, P5 = diberi 0,5 ml tuak dan vitamin E setiap hari selama 30 hari. Kadar SGPT mencit (Mus musculus L.)
a b
b
a b
a b
a b
Gambar 7. Rata-rata (±SD) kadar SGPT darah mencit jantan karena tuak dan vitamin E. Grafik histogram pada perlakuan berbeda yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata pada taraf uji 5%. Uji yang dilakukan adalah Analisis parametrik Anova . P0 = hanya diberi 0,5 ml akuades selama 30 hari, P1= diberi 0,5 ml tuak setiap hari selama 15 hari dan dilanjutkan dengan 0,5 ml akuades selama 15 hari berikutnya; P2 = diberi 0,5 ml tuak setiap hari selama 30 hari, P3 = diberi 0,5 ml tuak setiap hari selama 15 hari dan 15 hari vit. E, P4 = diberi 0,5 ml tuak selama 15 hari pertama dan 15 berikutnya diberi 0,5 ml tuak dan vitamin E, P5 = diberi 0,5 ml tuak dan vitamin E setiap hari selama 30 hari. PEMBAHASAN 1. Berat Badan Akhir (setelah perlakuan) Berat badan akhir mencit jantan pada Gambar 6 di atas menunjukkan adanya pengaruh (p<0,05) pemberian tuak pada mencit selama 15 atau 30 hari terhadap rata-rata berat badan akhir mencit jantan, baik yang diberikan secara tunggal atau bersamaan dengan pemberian vitamin E. Berat badan akhir mencit jantan yang tertinggi didapatkan pada P0 tidak berbeda nyata dengan P1, P3, P4 tetapi berbeda nyata dengan P2 dan P5. Kemungkin hal ini disebabkan oleh tidak adanya pengaruh alkohol yang terkandung dalam tuak setelah diberikan kepada mencit jantan, sehingga menimbulkan terjadinya penambahan berat badan mencit. Rata-rata badan mencit terendah didapatkan pada P2 yang berbeda nyata dengan P0, P1 dan P3 tetapi tidak berbeda nyata dengan P4 dan P5 . Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya pengaruh alkohol dalam tuak terhadap penurunan berat badan karena efek samping metabolisme secara tidak normal. Seperti hasil penilitian Ilyas et al (2004), bahwa tuak yang diberikan pada mencit dapat menurunkan berat badan mencit setelah perlakuan.
2. Nekrosis Hati Hasil rata-rata persentase kelainan nekrosis sel hati mencit jantan pada Gambar 7 di atas, menunjukkan adanya pengaruh (p<0,05) pemberian tuak pada mencit selama 15 atau 30 hari terhadap rata-rata persentase kelainan sel hati mencit jantan, baik yang diberikan secara tunggal atau bersamaan dengan pemberian vitamin E. Persentase kelainan nekrosis sel hati mencit jantan yang tertinggi didapatkan pada P2 tidak berbeda nyata dengan P5 tetapi berbeda nyata dengan P0, P1, P3 dan P4 . Kemungkin hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh alkohol yang terkandung dalam tuak setelah diberikan kepada mencit jantan, sehingga menimbulkan terjadinya kelainan atau kerusakan sel hati. Seperti yang dinyatakan oleh Jawi et al (2007), bahwa pemberian alkohol akut maupun kronis pada mencit dapat meningkatkan kadar SGOT dan SGPT serta dapat menimbulkan degenerasi dan nekrosis sel-sel hati mencit serta peningkatan sel-sel radang. Kemudian Cimultrat et al (1998), menjelaskan bahwa metabolisme etanol di dalam sel hepar menyebabkan peningkatan produksi radikal bebas dengan berbagai mekanisme sehingga terjadi stress oksidatif yang akan merusak jaringan hepar. Persentase kelainan atau kerusakan sel hati mencit terendah didapatkan pada P0 yang berbeda nyata dengan P1, P2, P3, P4 dan P5. Hal ini mungkin disebabkan oleh tidak adanya pengaruh alkohol dalam tuak terhadap kerusakan sel hati karena efek samping metabolisme secara normal meskipun paling rendah kelainannya. P1 juga menggambarkan adanya kelainan sebagai efek adanya oksidan secara alami hasil metabolisme tubuh dan juga dipengaruhi oleh pemberian vitamin E yang menghambat efek oksidan (radikal bebas) dari tuak sekaligus mempertahankan kelangsungan hidup sel hati pada hati mencit penelitian. Seperti yang dinyatakan oleh Udju (2005), menunjukkan bahwa vitamin E mempunyai kemampuan antioksidan dan dapat meningkatkan status antioksidan total hati mencit. Adanya oksidan yang menyebabkan adanya gangguan terhadap hati dapat kita lihat hasil kadar SGOT/SGPT kelompok P0 pada gambar 11 dan 12. Kadar SGOT/SGPT tersebut menunjukkan adanya gangguan terhadap hati. Meyes et al (1991), adanya enzim-enzim pelaku detoksifikasi dalam hati menyebabkan enzim tersebut (SGOT/SGPT) dapat digunakan sebagai parameter kerusakan hati. Menurut Sadikin (2002), peningkatan ke dua enzim selular ini terjadi akibat pelepasan ke dalam serum ketika jaringan mengalami kerusakan. Umumnya kerusakan hati yang menonjol ialah kenaikan aktivitas SGPT. 3. Degenerasi Hati Hasil rata-rata persentase kelainan degenerasi sel hati mencit jantan pada Gambar 10 di atas, menunjukkan adanya pengaruh (p<0,05) pemberian tuak pada mencit selama 15 atau 30 hari terhadap rata-rata persentase kelainan sel hati mencit jantan, baik yang diberikan secara tunggal atau bersamaan dengan pemberian vitamin E. Persentase kelainan degenerasi sel hati mencit jantan yang tertinggi didapatkan pada P2 tidak berbeda nyata dengan P1 tetapi berbeda nyata dengan P0, P3, P4 dan P5. Kemungkin hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh alkohol yang
terkandung dalam tuak setelah diberikan kepada mencit jantan, sehingga menimbulkan terjadinya kelainan atau kerusakan sel hati. Seperti yang dinyatakan oleh Jawi et al, (2007) bahwa pemberian alkohol akut maupun kronis pada mencit dapat meningkatkan kadar SGOT dan SGPT serta dapat menimbulkan degenerasi sel-sel hati mencit. Kemudian menurut Chimultrat et al, (1998) mengatakan bahwa pemberian etanol pada binatang percobaan akan mengakibatkan terjadinya peningkatan radikal bebas yang akan menimbulkan kerusakan pada sel-sel hepatosit dan menimbulkan inflamasi pada jaringan hati. Persentase kelainan atau kerusakan sel hati mencit terendah didapatkan pada P0 yang berbeda nyata dengan P1, P2, P3, P4 dan P5. Hal ini mungkin disebabkan oleh tidak adanya pengaruh alkohol dalam tuak terhadap kerusakan sel hati karena efek samping metabolisme secara normal. Tidak adanya kandungan alkohol diasumsikan, meskipun paling rendah kelainannya, P0 juga menggambarkan adanya kelainan sebagai efek adanya oksidan secara alami hasil metabolisme tubuh. Adanya oksidan dan menyebabkan adanya gangguan terhadap hati dapat kita lihat hasil kadar SGOT/SGPT kelompok P0 pada gambar 9 dan 10 di atas. Kadar SGOT/SGPT tersebut menunjukkan adanya gangguan terhadap hati. Meyes et al, (1991), adanya enzim-enzim pelaku detoksifikasi dalam hati menyebabkan enzim tersebut (SGOT/SGPT) dapat digunakan sebagai parameter kerusakan hati. Menurut Sadikin (2002), peningkatan ke dua enzim selular ini terjadi akibat pelepasan ke dalam serum ketika jaringan mengalami kerusakan. Umumnya kerusakan hati yang menonjol ialah kenaikan aktivitas SGPT. 4. Kadar SGOT Pada Gambar 11 di atas menunjukkan adanya pengaruh (p<0,05) pemberian tuak pada mencit selama 15 dan 30 hari terhadap rata-rata kadar SGOT mencit jantan, baik yang diberikan secara tunggal atau diikuti dengan pemberian vitamin E. Jumlah kadar SGOT yang paling tinggi didapatkan pada P2, tidak berbeda nyata dengan P3, P4 dan P5 tetapi berbeda nyata dengan P0 dan P1. Hal ini disebabkan karena adanya kerusakan sel hati akibat pengaruh toksik dari alkohol yang terkandung dalam tuak yang dipaparkan ke mencit. Sesuai dengan pendapat Akbar (2003), bahwa konsumsi alkohol merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kerusakan sel hati. Arnita (2006), bahwa saat sel organ hati tersebut mengalami kerusakan maka SGOT akan dilepaskan dalam darah sehingga terlihat kadar SGOT yang meningkat. Seperti juga Mayes et al, (1991) menyatakan bahwa adanya peningkatan aktivitas enzim aminotransferase sering dijadikan marka terjadinya kerusakan hati. Salah satunya enzim yang diproduksi di hati tersebut adalah Aspartat Aminotransferase (AST) yang sering juga disebut SGOT (Serum Glutamic Oxaloasetic Transaminase). Jumlah kadar SGOT mencit terendah didapatkan pada P1, yang tidak berbeda nyata dengan P0, P3, P4 dan P5 tetapi berbeda nyata dengan P2. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh vitamin E yang dapat mencegah timbulkan kerusakan sel hati secara normal, misalnya diakibatkan oleh radikal bebas yang merupakan
sampingan dari proses metabolisme sel hati secara normal. Prasetyastuti dan Sunarsih (2008) menyatakan bahwa vitamin E adalah sebuah pelindung polyunsaturated lipid acid (PUFA) pada membran sel. Radikal bebas umumnya mengkatalisis peroksidasi PUFA di membran sel. Vitamin E bereaksi dengan radikal bebas untuk mencegah kerusakan membran sel. 5. Kadar SGPT Hasil rata-rata kadar SGPT pada Gambar 12 di atas, menunjukkan adanya pengaruh (p<0,05) pemberian tuak pada mencit selama 15 atau 30 hari terhadap rata-rata kadar SGPT mencit jantan, baik yang diberikan secara tunggal atau bersamaan dengan pemberian vitamin E. Jumlah kadar SGPT yang tertinggi didapatkan pada P2 tidak berbeda nyata dengan P3, P4 dan P5 tetapi berbeda nyata dengan P0 dan P1. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya pengaruh alkohol dalam tuak yang diberikan kepada mencit jantan sehingga menyebabkan terjadi kerusakan sel hati. Menurut Arnita (2006), bahwa parameter kerusakan hati yang digunakan adalah nilai SGPT dan SGOT. SGPT merupakan enzim yang diproduksi oleh hepatosit, jenis sel yang banyak terdapat di hati. Kadar SGPT dalam darah akan meningkat seiring dengan kerusakan pada sel hepatosit yang bisa terjadi karena infeksi virus hepatitis, alkohol atau obat-obat yang menginduksi terjadinya kerusakan hepatosit dan sebab lain seperti adanya shok atau keracunan obat. Jumlah kadar SGPT mencit terendah didapatkan pada P1 yang tidak berbeda nyata dengan P0, P3, P4 dan P5 tetapi berbeda nyata dengan P2. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya pengaruh pencegahan vitamin E pada kerusakan sel hati karena efek samping metabolisme secara normal. Seperti pernyataan Suhartono et al, (2007) bahwa, aktivitas zat radikal bebas dalam tubuh bisa dicegah oleh zat antioksidan yang berfungsi menghambat aktivitas radikal bebas dan melindungi sel yang sehat dari kerusakan. Vitamin E merupakan suatu zat penyapu radikal bebas lipofilik dan antioksidan paling banyak di alam. Vitamin E berada di dalam lapisan fosfolipid membran sel dan berfungsi melindungi asam lemak jenuh ganda dan komponen membran sel lain dari oksidasi radikal bebas dengan memutuskan rantai peroksidase lipid dengan cara menyumbangkan satu atom hidrogen dari gugus OH pada cincinnya ke radikal bebas, sehingga terbentuk radikal vitamin E yang stabil dan tidak merusak. Vitamin E berfungsi sebagai pelindung terhadap peroksidasi lipid di dalam membran. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian tentang pemberian vitamin E pada mencit yang dipapari tuak dapat disimpulkan beberapa hal seperti yaitu : Vitamin E sejalan dengan pemaparan tuak selama 30 hari dapat memperbaiki kerusakan sel hati mencit damVitamin E sejalan dengan pemaparan tuak selama 30 hari dapat menurunkan kadar SGOT/SGPT mencit. Untuk dapat lebih menjelaskan hal-hal lain yang mendukung dan guna aplikasi lanjut nantinya, maka disarankan : Penelitian tentang
pengaruh vitamin E pada mencit yang dipapari tuak terhadap kandungan hormon mencit yang berperan dalam poros hipotalamus-hipofisistestis/ovarium misalnya Follicle Srimulating Hormone, Luteinizing Hormone, Testosteron, Progesteron dan Estrogen. Perlu adanya elaborasi yang mendalam tentang pengaruh vitamin E terhadap asupan tuak sehingga dapat memperlajari mekanisme protektif vitamin E pada jaringan tubuh yang terpapar sumber oksidan tinggi, misalnya: mekanisme molekuler yang terjadi. DAFTAR PUSTAKA Akbar, N. 2003, Efek Echinaceae pada Respons Imun Penderita Hepatitis Virus Kronik. Cermin Dunia Kedokteran No. 140, Halaman 55. Almaster, S. 2004, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Arnita. 2006, Dari Empiris Sampai Uji Klinis. Ulas Obat. Majalah Farmacia, 6:72 Bacman, K.B. & Ames, B.N. 1998 The Free Radical Theory of Aging Matures. Physiological Reviews , 78 (2) : 547-581. Baron, D. N. 1995, Kapita Selekta Patologi Klinik (A Short Text Book of Chemical Pathology) Edisi 4. Jakarta : EGC. Baraas, F. & Jufri. M. 1999, Antioksidan dan Penyakit Jantung. Prima Krida Pers, Jakarta. Hal:25. Barry, John.1999, Free radicals in Biology and Medicine, Publisher: Oxford University Prees, USA (1999-06-15) Bawman, W.C. and Randn MJ. 1980, Textbook of Pharmacology, Second Edition, 42.3, Balckwell Scientific Publications, United Kingdom Brillia, S. 2009, Aktivitas Antioksidan Vitamin C dan E pada Kadar SGOT/SGPT Serum Darah Tikus Tutih Yang Terpapar Allethrins. Semarang. Universitas Negeri Semarang. Chamulitrat, W. Carnal, J. Reed, N.M. Spitzer, J.J. 1988, In vivo endotoxin enhance billary etanol-dependent free radical generation. AJP Gastrointest Liver Physiol, 274 (4): G653-G661. Chandrasoma, P. & Taylor, C. R. 2005, Ringkasaan Patologi Anatomi. Jakarta EGC Eroschenko, V.P. 2003, Difiore’s Atlas of histology with Functional Correlations, Edisi 11, , 532 Publisher : Lippincott Williams & Wilkins. Pearse, E.A.G. 1962, Histochemistry, Theoretical and Aplied, second edition, Little Brown and Campany-Boston Federer, W.Y. 1963, Experimental design, theory and aplication, New York , Mac.Millan, p. 544. Fawatt, Don .W. 2002, Buku ajar histologi. Jakarta EGC. 583-97 Gibson, A. Lilley, E. 1997, Superoxide anions, free-radical scavengers, and nitrergic neurotransmission. Gen. Pharmacol. 28;489-493.
Gunawan, S. G. 2008, Farmakologi dan Terapi. FKUI. Jakarta. Guyton , A.C. & Hall, J.E. 2007, Text book of Medical Physiology, Edisi 9, Jakarta. EGC. Halliwell, B. & Gutteridge, J. 1999, Free radicals in Biology and Medicine, Publisher: Oxford University Press, USA. Hariyatmi. 2007, Efek Suplemen Antioksidan vitamin E pada kadar Lemak Peroksida darah Tikus Putih (Ratus Norvegicus L); J.MIPA 22 ; 1-11. Helmi, A. Ice, W. Netty, M. 2007, Pengaruh pemberian akut ekstrak etanol daun capo (Blumea balsamifera(L)DC) terhadap Gambaran Morfologis dan Histologi Hati Mencit Putih Jantan, Universitas Andalas Harimurti, G.M. 2009, Gangguan Jantung Akibat Alkohol, http://www.kiatsehat.comwww.kiatsehat.comindex Huang H; Appel, L.J; Crot, K.D; Miller, E. R; Mori, T. A; & Puddley, I. B. 2002, Effects of vitamin C and E on in vivo lipid peroxidation: results of randomized controlled trial. Am J Clin Nutr, 76, 549555. Himawan, S. (1973) Kumpulan Kuliah Patologi, Fak.Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. hhtp://www.enotalone.com/article/11223. ADH Pathway, Ethanol-Oksidator Microsomal sistem; 2006, National institute of healt. http://www.misaekyu.files.wordpress.com/2009/12 /psikofarmaka2.pdf. http://www.kiatsehat.comwww.kiatsehat.cominde. Huang H; Appel, L.J; Crot, K.D; Miller, E. R; Mori, T. A; & Puddley, I. B. 2002, Effects of vitamin C and E on in vivo lipid peroxidation: results of randomized controlled trial. Am J Clin Nutr, 76, 549555. Ilyas, S. 2004, The effect tuak water to histological of several genital aspects and non genitals aspects of male mouse (Mus musculus L. Strain DDW) and then condition of their fertility after be copulated , Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam- Sumatera Utara Medan. Jawi, I.M; Yasa, W.P.S; Saputra, H. 2007, Gambaran histologi hepar serta kadar SGOT dan SGPT darah mencit yang diberi alkohol secara akut dan kronik, Dexa Medica, Vol 20:23-26. Kono, H. Rusyn, I. Uesugi, T. 2001, Diphenyleneiodonium sulfate, an NADPH oxidase inhibitor, prevents early alcohol-induced liver injury in the rat. AJP- Gastrointestinal and Liver Physiology ; 280:G1005-G1012. Linder, M.C. 1992, Nutritional Biochemistry and Metabolisme, (Terj): Prakasi, A. 1992, Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. UI Press. Jakarta : 201-214. Meyes, P.A; Granner, D.K; Rodwel, V.W; Martin, D.W. 1991, Biokimia. Alih Bahasa Iyan
Darmawan. Jakarta: Penerbit Buku Kedoktera Masters, S.B. 2002, Farmakologi Dasar dan Klink katzung : Alkohol, Salemba Medika. Jakarta. Miller, N.S. & Mark, S.G. 1991, Alkohol. Plenum Medical Book Co: New York dan London. Pearse, E.G.A. 1961, Histochemistri, Theoretical and Applied, Second edition, Brounan company. Boston Poli, G. 2000, Pathogenesis of liver fibrosis: role of oxidative stress. Mol Aspects Med 21; 49-98 Prasetyastuti & Sunarsih, E.S. 2008, Berkala Ilmu Kedokteran, Gadjah Mada University, Yogyakarta. Vol. 40, No. 1, Maret; 3841. Roszkowska, A. Skrzydleweska, E. Kazusko, B. 2002, Influence Of etanol on oxidative stress in the liver. Przegi Lek; 59 (10);848-53. Sadikin, M. 2002, Biokimia Enzim. Penerbit Widya Medika Jakarta : Jakarta. Scumann, G et al. 2002, Prosedur for the measurement of catalytic consentration of ALT/AST, Clin Chem Lab Med; 40 (7) ;725-733. Sudjadi dan Rohman, A. 2008, Analisis Kuantitatif Obat. Gadjah Mada Universitas Press. Yogyakarta. Suhartono, E. Fachir, H. & Setiawan, B. 2007, Kapita Sketsa Biokimia Stres Oksidatif Dasar dan Penyakit. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin: Pustaka Banua. Sunanto, 1993, Aren. Budidaya dan Multigunanya. Kanisius, 5-53. Suryohudoyo, P. 1993, Oksidan, Antioksidan Dan Radikal Bebas. Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya. Susanti, R. Nuryanto & Salasia, S. I. O. 2002, Intoksikasi Tetrachlorodibenzo-p- Dioxin (TCDD) : Efek Terhadap Histopatologi Hati, Ginjal dan Paru Tikus Putih (Rattus Novergicus). UGM, I , 29-36. Smith, J.B. & Mangkoewidjojo, S. 1988, Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. Tarikh. 2007, Structure of The Liver’s lobulus, National institute on alcohol abuse. Thannical, V.J. Fanburg, B.L. 2000, Reactive oxygen species in cell sigaling. AJPLung Cel and Mol Physiol, 279; L1005L1028. Traber, M.G. Rallis, M. Podda, M. Weber, C. Maibach, H.I. Pakker, L. 1998, Penetration and Distribution of Alphatokoferol, Alpha-orgama-tocotrienols, 33(1): 87-91 Tuminah, S. 2000, Radikal Bebas dan Antioksidan : Kaitannya dengan Nutrisi dan Penyakit. Cermin Dunia Kedokteran 128: 49-50. Udju, D. Rusdi. 2005, Efek Ekstrak Kayu Secang, vitamin E dan vitamin C terhadap Status Antioksidan Total (SAT) Pada Mencit
yang terpapar Aflaktoksin. Media Kedokteran Hewan, hal 21. Verhagen, H. Buljsse, B. Jansen, E. Bueno-deMesquta, B. 2006, The state of antioxidant affairs, Nutr Today, 41; 244250. Wibowo, A.W. Maslachah, L. & Bijanti, R. 2008, Pengaruh pemberian perasan mengkudu (Morinda Citrifolia) terhadap kadar SGOT dan SGPT Tikus Putih (Ratus Norvegicus) Diet Tinggi Lemak. Jurnal Veterineria Medica Universitas Airlangga, 1: 1-5.