BAB II MANFAAT TUMBUHAN PINANG (Areca catechu L.) DAN SISTEM REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus L.) JANTAN
A. Deskripsi Tumbuhan Pinang (Areca catechu L.) Tumbuhan pinang (Areca catechu L.) adalah salah satu jenis palma yang memiliki banyak kegunaan antara lain untuk dikonsumsi, bahan industri kosmetika, kesehatan, dan bahan pewarna pada industri tekstil. Tumbuhan ini tumbuh dan tersebar luas di wilayah India, Malaysia, Taiwan, Indonesia, dan negara Asia lainnya, baik secara individu maupun populasi (Jaiswal et al., 2011), umumnya tumbuhan ini ditanam sebagai tanaman pagar atau pembatas perkebunan (Staples & Bevacqua, 2006). Adapun klasifikasi ilmiah dari pinang menurut Cronquist (1981), sebagai berikut : Kingdom
:
Plantae
Division
:
Magnoliophyta
Classis
:
Liliopsida
Order
:
Arecales
Family
:
Arecaceae
Genus
:
Areca
Species
:
Areca catechu L.
Pinang merupakan tumbuhan palma family Arecaceae yang tingginya dapat mencapai 12 hingga 30 m, berakar serabut berwarna putih, batang tegak 7
8
lurus bergaris tengah 15 sampai 20 cm, tidak bercabang dengan bekas daun yang lepas terlihat jelas. Pembentukan batang baru terjadi setelah 2 tahun dan berbuah pada umur 5 hingga 8 tahun tergantung pada keadaan tanah, tanah dengan kelembaban yang baik dan memiliki rentang pH 5 – 8 sangat mendukung untuk pertumbuhan (Cronquist, 1981; Staples & Bevacqua, 2006). Daun memiliki panjang sekitar 1,5 hingga 2 m, daunnya tunggal menyirip bertoreh sangat dalam tumbuh berkumpul di ujung batang membentuk roset batang (Jaiswal et al., 2011). Daunnya mempunyai panjang 85 cm, lebar 5 cm, dengan ujung sobek dan bergigi (Taman Nasional Alas Purwo, 2010).
a. Pohon Pinang
b. Daun
Gambar 2.1 Pohon Pinang dan Daun (Sumber: Staples & Bevacqua, 2006)
Pelepah daun berbentuk tabung panjangnya dapat mencapai 80 cm sedangkan tangkai daunnya pendek (Taman Nasional Alas Purwo, 2010). Pinang merupakan tumbuhan berumah satu (monoceous) dengan perbungaan uniseksual dimana bunga jantan dan bunga betinanya berada dalam satu perbungaan
9
(Cronquist, 1981; Staples & Bevacqua, 2006). Tongkol bunga dengan seludang panjang yang mudah rontok, keluar dari bawah roset daun, panjang sekitar 75 cm, dengan tangkai pendek bercabang rangkap. Ada satu bunga betina pada pangkal, di atasnya banyak bunga jantan tersusun dalam dua baris yang tertancap dalam alur (Sentra Informasi IPTEK, 2005; Taman Nasional Alas Purwo, 2010).
2 1
Perbungaan. Bunga betina berukuran lebih besar dari bunga jantan. Foto oleh M. Merlin dan E. Burson
Gambar 2.2 Perbungaan pada Tumbuhan Pinang (Sumber: 1 Grieve, 1995; 2 Staples & Bevacqua, 2006)
Kumpulan bunga jantan yang terletak di bagian terminal (ujung) perbungaan ukurannya kecil dan mudah sekali rontok, sedangkan bunga betinanya yang terletak di bagian pangkal memiliki ukuran yang lebih besar dengan panjang sekitar 1,2 hingga 2 cm. Bunga jantan dan betina memiliki enam tepal yang sesil, berwarna putih dan beraroma, bunga jantan memiliki enam benang sari dengan kotak serbuk sari yang berbentuk ujung panah. Bunga betina memiliki enam benang sari kecil yang steril, bakal buah beruang satu, ovariumnya terudimentasi,
10
serta tiga buah sel ovarium yang menghubungkan kepala putik triangular dengan tiga titik pada apeksnya (Cronquist, 1981; Staples & Bevacqua, 2006). Buahnya buah buni, bulat telur sungsang memanjang, panjang 3,5 sampai 7 cm, dinding buah berserabut, bila masak warnanya kuning hingga merah oranye. Buahnya berkecambah setelah 1,5 bulan dan 4 bulan kemudian mempunyai jambul daun-daun kecil yang belum terbuka. Biji satu, bentuknya seperti kerucut pendek dengan ujung membulat, pangkal agak datar dengan suatu lekukan dangkal, panjang 15 hingga 30 mm, permukaan luar berwarna kecoklatan sampai coklat kemerahan, agak berlekuk-lekuk menyerupai jala dengan warna yang lebih muda. Pada bidang irisan biji tampak perisperm berwarna coklat tua dengan lipatan tidak beraturan menembus endosperm yang berwarna agak keputihan (Cronquist, 1981; Taman Nasional Alas Purwo, 2010).
a. Buah Pinang
b. Irisan Melintang Biji Pinang
Gambar 2.3 Buah Pinang dan Irisan Melintang Biji Pinang (Sumber: Staples & Bevacqua, 2006)
11
B. Kandungan Kimia Pinang Kandungan kimia dari biji pinang (Areca Nut) telah diketahui sejak abad ke-18 (Henry, 1949, Mathew, 1969, Mujumdar 1979 dalam Awang, 1986). Komponen utama dari biji pinang adalah karbohidrat, lemak, serat, polyphenol termasuk flavonoid dan tanin, alkaloid, dan mineral (IARC, 2004). Polyphenol dan alkaloid dari golongan piridin mendapat perhatian lebih dari sekian banyak kandungan kimia yang terdapat dalam pinang, dikarenakan zat-zat tersebut diketahui memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan (Awang, 1986). Biji pinang rasanya pahit, pedas dan hangat serta mengandung 0,3 - 0,6% alkaloid. Selain itu juga mengandung red tannin 15%, lemak 14% (palmitic, oleic, stearic, caproic, caprylic, lauric, myristic acid), kanji dan resin (Sentra Informasi IPTEK, 2005; Kristina & Syahid, 2007).
Gambar 2.4 Struktur Kimia Arekolin (Sumber: Wang et al., 2011)
Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin (C8H13NO2), arekolidin, arekain, guvakolin, guvasin dan isoguvasin. Ekstrak etanolik biji buah pinang mengandung tanin terkondensasi, tanin terhidrolisis, flavan, dan senyawa
12
fenolik, asam galat, getah, lignin, minyak menguap dan tidak menguap, serta garam (Wang & Lee, 1996). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lee & Choi (1999) menyebutkan bahwa ekstrak etanolik buah pinang memperlihatkan aktivitas antioksidan dengan IC50 sebesar 45,4 µg/ml. Aktivitas antioksidan yang terdapat dalam ekstrak etanolik pinang ini berkorelasi positif dengan pencegahan kanker (Meiyanto et al., 2008), ekstrak etanolik tumbuhan ini tidak menginduksi perubahan kromosom (Wang & Lee, 1996). Arekolin (C8H13NO2) merupakan alkaloid utama yang terdapat dalam biji pinang dan menjadi alkaloid terpenting dalam fisiologinya, selain arekolidin, arekain, guvakolin, guvasin, dan isoguvasin (Awang, 1986; Jaiswal et al., 2011). Biji segar mengandung kira-kira 50% lebih banyak alkaloid dibandingkan dengan biji yang telah mengalami perlakuan, selain itu konsentrasi flavonoid dalam biji pinang menurun seiring dengan bertambahnya kematangan buah (CSIR, 1985; Taman Nasional Alas Purwo, 2010).
C. Manfaat Tumbuhan Pinang Tumbuhan pinang memiliki banyak manfaat diantaranya air rebusan dari biji pinang digunakan oleh masyarakat Desa Semayang Kutai-Kalimantan Timur untuk mengatasi penyakit seperti haid dengan darah berlebihan, hidung berdarah (mimisan), koreng, borok, bisul, eksim, kudis, difteri, cacingan (kremi, gelang, pita, tambang), mencret dan disentri (Oudhia, 2002; Kristina & Syahid, 2007), bahkan di India, pinang telah digunakan sebagai obat rumahan oleh
13
masyarakatnya untuk mengobati berbagai macam penyakit (Oudhia, 2003). Biji pinang yang aromatis memiliki efek antioksidan dan antimutagenik, astringent (bersifat menyiutkan), serta bersifat memabukkan, sehingga telah lama digunakan sebagai taeniafuge untuk mengobati cacingan (Grieve, 1995; Wang & Lee, 1996), selain itu pinang digunakan juga untuk mengatasi bengkak karena retensi cairan (edema), rasa penuh di dada, luka, batuk berdahak, diare, terlambat haid (menstruasi), keputihan, beri-beri, malaria, dan memeperkecil pupil mata (Kristina & Syahid, 2007). Masyarakat India di daerah Chhattisgarh sering mempergunakan biji pinang sebagai obat erysipelas (luka bakar), untuk mendinginkan luka bakar tersebut (Oudhia, 2001). Zat fenolik yang terdapat dalam ekstrak biji pinang diketahui memiliki aktivitas antioksidan, methanol dari ekstrak biji pinang dari berbagai rentang usia memberikan aktivitas antioksidan yang tinggi dibandingkan dengan bagian lainnya dari tumbuhan tersebut (daun, ujung batang, kulit buah (empat dan delapan bulan), akar dan akar adventitif). Aktivitas antioksidan methanol dari ekstrak biji buah pinang dari yang terendah hingga yang tertinggi berturut-turut didapatkan dari biji pada usia 4, 8, 6, 3, 2, dan 1 bulan. 82,05% aktivitas antioksidan diperoleh dari senyawa fenolik pada pinang, sedangkan arekolin diindikasikan tidak memiliki aktivitas antioksidan (Wetwitayaklung et al., 2006). Ekstrak etanolik biji buah pinang memiliki efek antiproliferatif dengan menghambat pertumbuhan dan memacu apoptosis sel (Meiyanto et al., 2008). Arekolin selain berfungsi sebagai obat cacing juga sebagai penenang, sehingga bersifat memabukkan bagi penggunanya (Grieve, 1995). Biji buah pinang
14
berpotensi
untuk
dikembangkan
sebagai
agen
sitotoksik
yang
dapat
dikombinasikan dengan agen kemoterapi sehingga mampu meningkatkan sensitivitas sel kanker. Tumbuhan pinang berpotensi anti kanker karena memiliki efek antioksidan, dan antimutagenik (Meiyanto et al., 2008). Biji dan kulit biji bagian dalam dapat juga digunakan bersama-sama dengan sirih untuk menguatkan gigi goyah. Air rendaman biji pinang muda digunakan untuk obat sakit mata oleh suku Dayak Kendayan di Kecamatan Air Besar, Kalimantan Barat (Kristina & Syahid, 2007; Taman Nasional Alas Purwo, 2010). Pinang muda digunakan bersama dengan buah sirih untuk menguatkan gigi, hal ini sering dilakukan oleh masyarakat Papua. Selain sebagai obat penguat gigi, masyarakat pesisir pantai desa Assai dan Yoon-noni, yang didiami oleh suku Menyah, Arfak, Biak dan Serui (Papua) menggunakan biji pinang muda sebagai obat untuk mengecilkan rahim setelah melahirkan untuk kaum wanita dengan cara memasak buah pinang muda tersebut dan airnya diminum selama satu minggu (Kristina & Syahid, 2007). Umbut pinang muda digunakan untuk mengobati patah tulang, dan sakit pinggang (salah urat). Selain itu umbut dapat juga dimakan sebagai lalab atau acar. Daun pinang berguna untuk mengatasi masalah tidak nafsu makan, dan sakit pinggang. Selain sebagai obat, pelepah daun digunakan untuk pembungkus makanan dan bahan campuran untuk topi. Sabut pinang rasanya hangat dan pahit, digunakan untuk gangguan pencernaan, sembelit dan edema (Taman Nasional Alas Purwo, 2010).
15
D. Berbagai Penelitian tentang Pinang Hal yang telah lama diketahui dari tumbuhan pinang adalah kekhasannya sebagai tumbuhan yang memiliki sifat narkotik-analgesik, sedative (sebagai penenang), dan sifat antidepressant. Berbagai penelitian tentang tumbuhan pinang telah banyak dilakukan diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Strickland et al. (2003) menyebutkan bahwa di komunitas pedesaan yang kekurangan akan bahan makanan, pinang dikonsumsi sebagai penekan rasa lapar. Lopez-Vilchez et al. (2006) melaporkan bahwa di dalam plasenta ibu hamil pengonsumsi pinang yang kronis terdapat zat arekolin. Fibrosis submukosa mulut merupakan ciri kronis dari penyakit deposisi kolagen subepitelial yang meliputi rongga mulut dan struktur sekitarnya, fibrosis submukosa mulut merupakan kondisi prakanker. Hal ini disebabkan karena mengunyah biji pinang, daun sirih, dan tembakau (Reichart & Philipsen, 2006; Ariyawardana et al., 2006). Di Taiwan, kebiasaan mengunyah biji pinang dalam jumlah besar berkontribusi meningkatkan resiko terkena hyperglikemia dan diabetes tipe-2 pada pria. Hal ini tergantung pada jumlah dan tingkat keseringan mengonsumsi biji pinang per harinya (Tung et al., 2004). Ekstrak metanolik dari pinang menunjukkan aktivitas anti-aging dan memiliki kemampuan pencarian yang kuat terhadap anion radikal super-oksida (Ohsugi et al., 1999), hasil pengujian ekstrak metanolik dari sembilan tanaman obat tradisional yang digunakan pada obat Cina sebagai antioksidan melawan resveratrol yang biasa digunakan untuk melindungi sel dari kerusakan akibat oksidasi menunjukkan bahwa ekstrak dari pinang meningkatkan viabilitas melawan kerusakan oksidatif dari H2O2 pada sel paru-
16
paru hamster Cina (V79-4 cells), ekstrak metanolik pinang memiliki aktivitas antioksidan yang lebih besar dibandingkan dengan resveratrol pada semua percobaan (Lee et al., 2003). Arekolin sebagai alkaloid utama dalam pinang telah digunakan untuk mengobati depresi dan schizophrenia (Dar & Khatoon, 2000; Sulivan, 2000). Arekolin digunakan untuk mengobati pasien Alzheimer prehensile dementia, namun hasilnya tidak sama efektif pada masing-masing pasien (Christie et al., 1981). Tanin yang terdapat pada pinang digunakan sebagai obat terkena gigitan ular, tanin yang terdapat pada pinang bereaksi dengan sistem enzim dari ular (Okuda et al., 1991; Mahanta & Mukhaerjee, 2001).
E. Hewan Uji Mencit (Mus musculus L.) Mencit adalah hewan yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan, hewan uji laboratorium ini merupakan turunan dari hewan tikus rumah yang keberadaannya melimpah (Musser et al., 2008) dan dikenal dengan sebutan house mouse. Pengembangannya sebagai hewan uji laboratorium berawal dari para penggemar
hewan
tikus
yang
mengawinkan
tikus-tikus
mereka
untuk
mendapatkan warna rambut yang unik. Tikus hasil perkawinan ini kemudian menjadi subjek penelitian ketertarikan terhadap warna rambut tikus. W.E Castle memulai penelitian genetika tentang warna rambut tikus ini pada awal tahun 1900 dilanjutkan oleh Clarence Cook Little yang mengembangkan strain tikus-tikus ini pada tahun 1909 (Schwiebert, 2007).
17
Mencit galur Swiss Webster merupakan hewan uji yang digunakan pada penelitian. Pemilihan hewan uji tersebut dikarenakan mencit merupakan hewan yang sering digunakan dalam penelitian, literaturnya banyak dipublikasikan, mudah penanganannya, mudah beradaptasi, cepat berkembang biak karena periode kehamilan yang pendek, perawatannya murah, dan biasa dijadikan sebagai model penelitian untuk berbagai jenis penyakit pada manusia (UACC, 2009). Klasifikasi ilmiah dari mencit menurut Schwiebert (2007) adalah: Kingdom
:
Animalia
Phylum
:
Chordata
Classis
:
Mammalia
Order
:
Rodentia
Family
:
Muridae
Subfamily
:
Murinae
Genus
:
Mus
Species
:
Mus musculus L.
Gambar 2.5 Mus musculus L. (Sumber: Medero, 2008)
18
Menurut Marshall (1977) terdapat beberapa sub-spesies dari Mus muscuulus yaitu Mus musculus bactrianus (mencit Asia bagian Barat Daya), Mus musculus castaneus (mencit Asia bagian Tenggara), Mus musculus domesticus atau Mus domesticus (mencit Eropa bagian Barat), Mus musculus gentilulus, Mus musculus homourus, Mus musculus molossinus, Mus musculus musculus (mencit Eropa bagian Timur), Mus musculus proctexius, dan Mus musculus wogneri. Pada awalnya mencit diduga berasal dari wilayah Mediteranian dan Cina lalu tersebar ke seluruh bagian dunia oleh manusia (Ballenger, 1999). Schwarz & Schwarz (1943) menyebutkan bahwa mencit banyak sekali ditemukan pada daerah ladang yang berhubungan dengan pemukiman penduduk dan sangat sedikit sekali yang berhasil ditemukan di alam liar atau pada habitat aslinya. Di daerah Morocco, mencit ditemukan di alam liar namun terpisah secara ekologi seperti yang dilaporkan oleh Madame M.C. St. Giron dan Dr. F. Petter (Marshall, 1977). Pengamatan yang dilakukan oleh Marshall et al. (1962) menyebutkan bahwa hewan ini ia temukan di daerah India dalam lingkungan rumah seperti di dapur dan taman hotel oleh karena itu mencit sering disebut dengan tikus rumah (house mouse). Secara umum mencit dewasa memiliki panjang tubuh (hidung sampai pangkal ekor) 7,5 – 10 cm, ekor memiliki panjang sekitar 5 sampai 10 cm, pada ekor dan telinganya terdapat rambut-rambut halus. Kaki belakangnya dapat dikatakan pendek karena berukuran 15 sampai 19 mm, mencit berjalan dengan jangkauan langkah 4,5 cm dan dapat melompat hingga 45 cm, selain itu mencit mengeluarkan suara yang khas dengan cara mendecit (Lyneborg, 1971; Lawrence
19
& Brown, 1974). Data biologis dan fisiologis mencit dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.1 Data Biologis dan Fisiologis Mencit No.
Parameter
Deskripsi
1
Aktivitas
Nokturnal
2
Sifat perilaku
Hewan sosial, keingintahuan tinggi, dan investigatif.
3
Penglihatan
Lemah
4
Pendengaran
Peka/sangat peka
5
Pembauan
Peka/sangat peka
6
Suhu tubuh rata-rata
37º C
7
Rata-rata pernapasan
95 – 165 napas/menit
8
Rata-rata denyut jantung
325 – 800 detak/menit
9
Konsumsi air harian
5 ml
10
Konsumsi pakan harian
5 gram
11
Lama siklus estrus
4 – 5 hari
12
Durasi estrus
12 jam
13
Rata-rata jumlah anak
6 – 12
14
Periode kehamilan
19 – 21 hari
15
Rata-rata berat kelahiran
0,5 – 1,5 gram
16
Masa menyusui
21 – 28 hari
17
Kematangan seksual
6 – 7 minggu (jantan) ; 7 – 8 minggu (betina)
18
Masa reproduksi
7 – 9 bulan
19
Berat jantan dewasa
25 – 40 gram
20
Berat betina dewasa
20 – 40 gram
21
Masa hidup
1,5 – 3 tahun
(Sumber: UACC, 2009)
20
Sebagai hewan nokturnal, mencit memiliki kemampuan melihat warna yang rendah bahkan tak dapat membedakan warna sama sekali. Mencit memiliki pendengaran dan pembauan yang kuat, mereka dapat merasakan suara ultra (ultrasound) hingga lebih dari 100 KHz. Mencit berkomunikasi di tengah-tengah keramaian manusia dengan cara mendecit sebagai peringatan jarak jauh dan menggunakan suara ultra untuk komunikasi jarak dekat. Mencit juga mengandalkan feromon untuk berkomunikasi, feromon adalah senyawa kimia yang diproduksi oleh hewan yang memberikan stimulus pada organ pembauan (olfactory stimuly) dan untuk berkomunikasi satu sama lain (Schwiebert, 2007), mencit memproduksi feromon dari kelenjar-kelenjarnya (Achiraman & Archunan, 2002; Kimoto et al., 2005). Pada mencit jantan, air mata dan urinnya sangat berbau tajam dan mengandung feromon. Mencit mengenali feromon dengan menggunakan organ Jacobson yang terletak di bawah hidungnya (Chamero et al., 2007).
F. Sistem Reproduksi Mencit Jantan Salah satu cara membedakan jenis kelamin mencit jantan dan mencit betina adalah dengan cara membandingkan jarak antara genital papila dengan anus pada mencit jantan dan betina, jarak ini dinamakan anogenital space. Anogenital space pada mencit betina lebih pendek dibandingkan dengan anogenital space pada mencit jantan (Schwiebert, 2007) seperti terlihat pada Gambar 2.6.
21
Sistem reproduksi mencit jantan terdiri atas testis dan kantung skrotum, epididimis dan vas deferens, sisa sistem ekskretori pada masa embrio yang berfungsi untuk transport sperma, kelenjar asesoris, urethra, dan penis. Selain urethra dan penis, semua struktur ini berpasangan (Rugh, 1967 dalam Suparni, 2009). jantan
betina
Gambar 2.6 Determinasi Jenis Kelamin Jantan dan Betina pada (a) Mencit Muda dan (b) Mencit Dewasa Berdasarkan Jarak antara Genital Papila dan Anus (anogenital space) (Sumber: The Assistant Laboratory Animal Technician Training Manual, oleh Lawson dalam Schwiebert, 2007)
Penis berbentuk bulat panjang, bagian dalam penis terdiri dari tiga masa silindris, dua masa silindris berada di sebelah dorsal yang disebut corpora carvenosa penis dan satu masa terletak di sebelah ventral yang disebut corpus spongiosum penis yang di tengahnya terdapat urethra, ketiga masa tersebut terdiri dari sinus-sinus pembuluh darah dan diselimuti oleh tunica albuginea yang merupakan jaringan fibrosa (Adyana, 2008).
22
Skrotum atau kantung gonad yang berisi testis merupakan suatu kantung yang permukaan luarnya terdiri dari kulit yang ditumbuhi rambut serta mengandung kelenjar minyak rambut, di bawah kulit tersebut terdapat fasia superficialis. Skrotum berfungsi sebagai pengatur suhu lingkungan testis. Kedua testis dipisahkan oleh sekat (septum) dari jaringan ikat dan otot polos yang disebut otot dartos, otot dartos berfungsi untuk menggerakkan skrotum untuk mengerut dan mengendur, di bawah lapisan otot dartos terdapat pula otot cremaster yang berasal dari otot lurik dinding perut. Sekat ini terlihat berlekuk dari sebelah luar, lekukannya disebut perineal raphe (Yatim, 1994; Adyana, 2008). Gonad yang disebut testis jumlahnya sepasang dan terletak di dalam skrotum yaitu suatu kantung yang berada di luar rongga tubuh, pada awal perkembangannya testis berada di dalam rongga tubuh (abdomen) kemudian turun ke skrotum, pada proses turunnya testis ikut terbawa lapisan rongga tubuh (peritoneum) bersama otot dinding abdomen (Yatim, 1994). Untuk memproduksi sperma yang normal diperlukan temperatur ± 33ºC dimana suhu tersebut lebih rendah 3 ºC dari suhu tubuh, mungkin untuk keperluan suhu inilah testes berada di luar rongga tubuh (Adyana, 2008). Setiap testis ditutupi oleh jaringan ikat fibrosa yang disebut tunica albuginea, bagian tipisnya atau septa akan memasuki organ untuk membelah menjadi kurang lebih 250 rongga yang disebut lobulus yang mengandung satu hingga empat saluran yang menggulung disebut tubulus seminiferus. Tubulus seminiferus akan menjadi tubulus lurus kembali yang disebut rete testes (Adyana, 2008). Bagian tunika memasuki testis dan bagian arteri testicular yang masuk
23
disebut sebagai hilus. Arteri memberi nutrisi setiap bagian testis kemudian akan bersentuhan dengan vena testiskular yang meninggalkan hilus (Rugh, 1967 dalam Suparni, 2009).
SISTEM REPRODUKSI MENCIT JANTAN
Vesikula seminalis Prostat Kandung kemih
Penis
Gambar 2.7 Sistem Reproduksi Mencit Jantan (Sumber: UACC, 2009)
Pada organ testis inilah spermatozoa dihasilkan bersama sedikit plasma semen (cairan mani) yang disalurkan ke luar tubuh secara berurutan melalui tubuli recti, rete testes, ductuli efferentes, ductus epididimis, vas deferens, dan urethra. Sel penggetah cairan semen banyak terdapat di dalam saluran tersebut, selain itu terdapat pula kelenjar yang menghasilkan cairan semen yang menyalurkan getahmya ke saluran tersebut, yaitu vesica seminalis, kelenjar prostat, kelenjar cowper (bulbouurethralis), dan kelenjar littre (Yatim, 1994). Epitel tubulus seminiferus berada tepat di bawah membran basalis yang dikelilingi oleh jaringan ikat fibrosa yang tipis. Stroma interstisial terdapat di antara tubulus, terdiri atas gumpalan sel Leydig ataupun sel sertoli (sustentaculer)
24
kaya akan darah dan cairan limfe. Sel Leydig atau disebut juga interstitial endokrinosit memiliki fungsi utama memproduksi hormon testosteron (Adyana, 2008). Sel interstisial testis mempunyai inti bulat yang besar dan mengandung granul yang kasar, sitoplasmanya bersifat eosinofilik dan jaringan interstisial ini diketahui menguraikan hormon jantan testosteron. Epitel seminiferus tidak mengandung sel spermatogenik secara eksklusif, tetapi mempunyai nutrisi yang menjaga sel sertoli yang tidak dijumpai di tubuh lain (Rugh, 1967 dalam Suparni, 2009). Sel sertoli ialah sel-sel yang berada di antara sel-sel spermatosit, bersentuhan dengan dasarnya ke membran basalis dan menuju lumen tubulus seminiferus. Di dalam inti sel sertoli terdapat nukleolus yang banyak, satu bagian terdiri atas badan yang bersifat asidofilik di sentral dan sisanya badan yang bersifat basidofilik di perifer. Sel sertoli diperkirakan mempunyai banyak bentuk tergantung aktivitasnya. Sel sertoli berfungsi memberi nutrien kepada sel-sel yang berada dalam proses spermatogenesis yaitu spermatosit, spermatid, spermatozoa (Adyana, 2008), membentuk blood-testes barier yang dapat menghalangi antibodi spesifik terhadap sperma dari darah menuju ke sperma, karena ternyata spermatozoa dapat menghasilkan antigen permukaan. Sel sertoli juga bekerja sebagai pembersih dengan memagocytosis zat-zat sisa selama spermatogenesis, memproduksi androgen-binding-protein yang dapat mengikat testosteron, karena testosteron ternyata sangat dibutuhkan dalam proses spermatogenesis, selain itu sel sertoli memproduksi suatu hormon protein yaitu inhibin yang memiliki sifat feedback negative terhadap FSH. Hormon FSH bertindak merangsang
25
spermatogenesis. Bila suatu saat spermatogenesis telah mencapai maksimum, inhibin menghalangi FSH, dengan demikian kecepatan spermatogenesis dikurangi (Adyana, 2008), sel sertoli juga berperan sebagai sel penyokong untuk metamorfosis spermatid menjadi spermatozoa dan retensi sementara dari spermatozoa matang (Yatim, 1994), panjang piramid dan intinya berada tegak lurus dengan mebran basalis. Sitoplasma dekat lumen secara umum mengandung banyak kepala spermatozoa yang matang sedangkan ekornya berada bebas dalam lumen (Rugh, 1967 dalam Suparni, 2009). Epididimis merupakan daerah tempat pematangan dan penyimpanan spermatozoa. Epididimis terdiri dari bagian kepala (caput), badan (corpus), dan ekor (cauda). Bagian kepala terdiri dari sejumlah ductus efferens yang keluar dari rete testes. Ductus efferens kemudian bergabung menjadi satu ductus epididymis yang bergulung-gulung membentuk bagian badan dan ekor epididimis (Adyana, 2008). Spermatozoa dapat bertahan di dalam epididimis selama 1 bulan, jika spermatozoa terlalu banyak ditimbun misalnya dikarenakan abstinensi (tidak ejakulasi) yang cukup lama maka sel epitel epididimis dapat bertindak phagocytosis terhadap spermatozoa. Spermatozoa kemudian akan berdegenerasi dalam dinding epididimis dan dapat dipakai kembali sebagai nutrisi oleh sel (Yatim, 1994). Fungsi organ reproduksi pada jantan dapat dibagi menjadi tiga subdivisi yaitu spermatogenesis, kinerja kegiatan seksual jantan, dan pengaturan fungsi reproduksi jantan oleh berbagai hormon (Finn, G., 1994 dalam Sopia, 2009).
26
G. Spermatogenesis pada Mencit Jantan Secara
umum
spermatogenesis
terdiri
dari
tiga
tahap
yaitu
spermatocytogenesis, meiosis, dan spermiogenesis. Spermatocytogenesis disebut juga tahap proliferasi atau perbanyakan (Yatim, 1994). Lapisan sel terdalam dari sel-sel epitelium yang melekat pada membran basalis disebut spermatogonia (Adyana, 2008). Spermatogonia ialah sel-sel diploid (22 pasang kromosom somatis + kromosom seks XY) yang selalu membelah secara mitosis berkali-kali sehingga menjadi spermatogonia yang siap mengalami meiosis (Yatim, 1994) dan menghasilkan dua sel anak. Satu sel diantaranya tetap berada dekat membrana basalis untuk kembali melakukan mitosis. Sel kedua akan terdorong ke dalam menjadi spermatosit primer, sel-sel ini juga berupa sel-sel diploid (2n = 46 kromosom). Kemudian spermatosit primer ini melakukan meiosis I. Mula-mula terjadi replikasi DNA kemudian ke 46 kromosom yang masing-masing terdiri dari 2 kromatid berjejer terbentuk menurut pasangan homolognya pada bagian tengah sel. Lalu terbentuklah meotik spindel. Pasangan kromosom masing-masing bergerak menuju salah satu kutub sel yang berlawanan dan terbentuklah sel-sel baru yang disebut spermatosit sekunder yang masing-masing memiliki 23 kromosom (haploid) dimana setiap kromosom memiliki 2 kromatid (Adyana, 2008). Spermatosit sekunder akan melanjutkan pembelahan selnya yang disebut meiosis II. Pada tahap meiosis II ini replikasi DNA tidak terjadi, setiap kromosom sekarang berjejer pada bidang ekuator sel dan masing-masing kromatidnya ditarik oleh spindel-spindel menuju kutub yang berlawanan. Sel-sel yang terbentuk
27
sekarang memiliki 23 kromatid (haploid) dan disebut spermatid. Setiap spermatosit primer akan memproduksi empat spermatid, yaitu dua spermatid berisi 22 kromatid (kromosom) + kromosom X dan dua spermatid yang lain berisi 22 kromatid + kromosom Y. Spermatid berada pada lapisan dalam tubulus seminiferus dekat lumen (Adyana, 2008).
Gambar 2.8 Spermatogenesis (Sumber: Campbell et al., 1999 dengan perubahan)
Suatu hal yang istimewa pada proses meiosis di tubulus seminiferus ini adalah sitokinesis (pembelahan sitoplasma) tidaklah sempurna, selalu terdapat jembatan sitoplasma pada tiap tahapan meiosis (kecuali pada tahapan akhir yaitu spermatozoa sudah tidak memiliki jembatan sitoplasma dengan spermatozoa lain).
28
Hal ini memungkinkan terjadinya tahapan-tahapan produksi spermatozoa secara sinkron (Adyana, 2008). Tahapan akhir dari spermatogenesis ialah spermiogenesis yaitu proses perubahan bentuk dan fungsi dari satu spermatid yang tidak berekor menjadi satu spermatozoa yang berekor (flagela). Proses spermiogenesis terdiri dari empat tahap yaitu fase golgi, fase tutup, fase akrosom, dan fase pematangan. Fase golgi merupakan fase pembentukkan proakrosom di dalam alat golgi spermatid, butiran proakrosom ini dilapisi oleh acrosomal vesicle yang melekat ke salah satu sisi inti, bagian inilah yang akan menjadi bagian depan dari spermatozoa. Fase tutup terjadi saat gembungan akrosom semakin besar dan membentuk lapisan tipis menutupi bagian kutub spermatozoa. Fase akrosom adalah fase terjadinya distribusi bahan akrosom dimana nukleoplasma berkondensasi, sementara spermatid memanjang (Yatim, 1994). Akrosom kaya akan karbohidrat dan enzim hidrolisa seperti hyaluronidase, neuroaminidase, posfatase asam, dan protease yang aktivitasnya mirip tripsin. Fase pematangan adalah proses dimana spermatid berubah bentuk sesuai dengan ciri species (Yatim, 1994). Spermatozoa yang terbentuk akan berpindah ke rete testes kemudian ke dalam epididimis. Di dalam epididimis, spermatozoa akan menjadi matang dalam waktu satu hingga sepuluh hari. Spermatozoa juga disimpan di dalam ductus deferens dimana sperma dapat bertahan hidup. Spermatozoa yang matang ialah sperma yang sudah mampu memfertilisasi ovum (Adyana, 2008).
29
Sel germinal primordial mencit jantan muncul sekitar delapan hari kehamilan dengan jumlah 100 sel, sel-sel ini merupakan awal dari jutaan spermatozoa yang akan diproduksi dan masih berada di daerah ekstra gonad. Karena sel germinal kaya akan alkalin fosfatase untuk menyuplai energi pergerakan melalui jaringan embrio, maka sel germinal dapat dikenali dengan teknik pewarnaan. Pada hari ke sembilan dan sepuluh kehamilan, sebagian mengalami degenerasi dan sebagian lain mengalami proliferasi dan bahkan bergerak ke arah genitalia (pada hari ke 11 dan 12). Pada saat itu jumlah sel genital mencapai 5000 dan identifikasi testis dapat dilakukan. Proses proliferasi dan diferensiasi berlangsung di daerah medula testis. Pada kasus steril, kehilangan sel germinal berlangsung selama perjalanan dari bagian ekstra gonad menuju daerah genitalia. Mendekati akhir masa fetus, aktivitas mitosis sel germinal primordial dalam bagian genitalia berkurang dan beberapa sel mulai terdegenerasi menjelang hari ke 19 kehamilan. Setelah kelahiran, sel tampak lebih besar, dan dikenal sebagai spermatogonia. Sepanjang hidup mencit, spermatogonia akan tetap ada dalam testis. Terdapat tiga jenis spermatogonia, yaitu spermatogonia tipe A, tipe intermediet, dan spermatogonia tipe B (Rugh, 1967 dalam Suparni, 2009). Spermatogonia tipe A merupakan induk stem cell yang mampu membelah menjadi spermatozoa. Spermatogonia tipe A paling besar dan mengandung inti kromatin yang mirip partikel debu halus. Spermatogonia A dapat meningkat jumlahnya melalui spermatogonia intermediet menjadi spermatogonia B yang lebih kecil dan jumlahnya lebih banyak. Spermatogonia B membelah dua untuk meningkatkan jumlahnya atau berubah menjadi spermatosit primer. Diperkirakan
30
lamanya dari metafase spermatogonia menjadi profase meiosis sekitar tiga sampai sembilan hari. Menuju metafase kedua selama empat hari atau kurang, dan menuju spermatozoa imatur selama tujuh hari atau lebih. Maka, waktu dari metafase spermatogonia menjadi spermatozoa imatur paling sedikit 10 hari. Tanda pertama bahwa spermatogonia B akan berkembang menjadi spermatosit primer adalah ukuran menjadi lebih besar serta bergerak menjauhi membran dasar. Spermatosit primer membelah menjadi dua spermatosit sekunder yang lebih kecil, kemudian kedua spermatosit sekunder membelah kembali menghasilkan empat spermatid. Masing-masing spermatid ini kemudian berkembang lebih lanjut menjadi spermatozoa (Rugh, 1967 dalam Suparni 2009). Spermatozoa yang telah matang terdiri dari kepala, leher, bagian tengah, dan ekor. Bagian kepala terdiri dari inti sel yang mengandung kromatin dan akrosom yang terletak di sebelah depan inti. Akrosom merupakan suatu kantung lysosom yang mengandung berbagai enzim antara lain hyaluronidase dan akrosin. Kedua enzim ini memungkinkan sperma mencernakan bagian membran ovum sehingga memudahkan penetrasi sperma ke dalam ovum (Adyana, 2008). Bagian leher terdiri dari sepasang sentriol tempat melekatnya flagela. Bagian tengah terdiri dari mitokondria yang berbentuk spiral yang mengelilingi flagela, di dalam mitokondria inilah terjadi proses metabolisme yang menghasilkan ATP yang diperlukan untuk pergerakkan flagela. Bagian ekor sperma mencit berupa flagela dapat bergerak seperti gelombang, memungkinkan sperma melaju ke segala arah. Flagela terdiri dari sembilan pasang mikrotubuli yang melingkari dua mikrotubuli pusat. Pada mikrotubuli terdapat protein
31
kontraktil tubulus. Spermatozoa diproduksi dengan kecepatan kurang lebih 300 juta setiap hari (Adyana, 2008).
H. Hormon Reproduksi Jantan Hormon testosteron ialah suatu hormon steroid yang disintesa dari kolesterol atau acetyil CoA (Norris, 1980). Fungsi testosteron ialah membentuk dan mempertahankan tanda-tanda seks sekunder jantan, testosteron juga memiliki sifat anabolisme misalnya merangsang pertumbuhan tulang, spermatogenesis, pembentukkan protein, merangsang pertumbuhan dan perkembangan organ-organ seks primer maupun kelenjar-kelenjar tambahannya (vesica seminalis dan kelenjar prostat). Secara psikis testosteron memengaruhi pusat-pusat di otak sehingga menimbulkan sifat-sifat atau tingkah laku jantan dan keagresifan jantan (Adyana, 2008). Menjelang
dewasa
hypofisis
bagian
anterior
(adenohypophyse)
memproduksi gonadotropin, yaitu hormon FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone). Sekresi kedua hormon tersebut dipengaruhi oleh GnRF (Gonadotropin Releasing Factor) yang berasal dari hypothalamus. Fungsi FSH ialah merangsang sel-sel spermatogonia untuk melakukan spermatogenesis, merangsang sel-sel sertoli untuk memproduksi androgen binding-protein, sehingga nutrisi dari sel-sel spermatosit dan spermatid terjamin, dengan demikian spermatogenesis menjadi lancar. Bila spermatogenesis sudah melampaui titik tertentu, sel-sel sertoli menyekresikan suatu polipeptida inhibin (polypeptide inhibiting) yang akan melakukan feedback negative (Gambar 2.9) terhadap
32
hypofisis, sehingga kadar FSH menurun, dengan demikian spermatogenesis dikurangi (Adyana, 2008). rangsangan dari berbagai daerah di otak
Hypothalamus
GnRH dari hypothalamus mengatur pengeluaran FSH dan LH dari hypofisis anterior
Hypofisis anterior
Feedback negative LH merangsang sel Leydig untuk meproduksi testosterone, sekaligus merangsang produksi sperma
FSH bekerja pada sel Sertoli di tubulus seminiferus, merangsang spermatogenesis Sel Leydig memproduksi testosteron
Karakteristik seks primer dan sekunder
Sel Sertoli
Testis Spermatogenesis
Pusat hormonal pada testis. Gonadotropin releasing hormone (GnRH) dari hypothalamus merangsang pengeluaran hormon gonadotropic oleh hypofisis anterior dengan efek yang berbeda pada testis. Luteinizing hormone (LH) dan Follicle stimulating hormone (FSH). FSH bekerja pada sel Sertoli sebagai sumber nutrisi pada saat pembentukan sperma. LH bekerja pada sel Leydig yang menghasilkan hormon androgen (testosteron). Feedback negative dari testosteron di hypothalamus dan hypofisis anterior mengatur interaksi utama dari kadar LH, FSH, dan GnRH dalam darah.
Gambar 2.9 Mekanisme Feedback Negative Hypofisis-Hypothalamus (Sumber: Campbell, 2005)
Fungsi LH ialah merangsang produksi testosteron oleh sel-sel Leydig, tetapi bila kadar testosteron tubuh melampaui batas tertentu, testosteron akan melakukan feedback negative terhadap hypothalamus untuk mengurangi sekresi GnRF, maka kadar LH akan menurun, hal ini akan menurunkan kadar testosteron. Bila kadar testosteron menurun di bawah batas tertentu hal ini akan menjadi
33
feedback positive, GnRF akan disekresikan maka kadar LH akan meningkat dan pada akhirnya kadar testosteron akan meningkat (Norris, 1980; Adyana, 2008).
I. Penilaian Kualitas Spermatozoa Kualitas spermatozoa sangat penting bagi individu untuk dapat mempertahankan generasinya dengan proses perkawinan. Penilaian kualitas spermatozoa meliputi konsentrasi sperma (jumlah sperma/ml suspensi semen dari kauda epididimis), motilitas sperma, dan abnormalitas sperma. Motilitas sperma diamati dengan menghitung persentase jumlah sperma yang motil sesuai dengan penampakan sperma pada lima bidang pandang haemocytometer. Kriteria motilitas sperma yang diamati dibagi menjadi dua kriteria yaitu A untuk motilitas bergerak maju dan B untuk motilitas bergerak di tempat (Yatim, 1994). Abnormalitas sperma diamati dengan cara melihat kelainan pada kepala, badan, dan ekor spermatozoa (Toelihere, 1985). Abnormalitas spermatozoa terbagi menjadi dua kategori yaitu abnormalitas primer dan abnormalitas
sekunder.
Abnormalitas
spermatozoa
primer
merupakan
abnormalitas yang berasal dari gangguan pada testis seperti ukuran kepala sperma yang kecil atau besar, miring, memiliki kepala dua, dan berekor dua, sedangkan abnormalitas sekunder merupakan kerusakan spermatozoa yang berasal dari kesalahan perlakuan setelah semen dikeluarkan dari testis misalnya akibat goncangan yang terlalu keras, dikeringkan terlalu cepat, pemanasan saat pengeringan terlalu tinggi, atau kesalahan dalam membuat preparat. Penampakan
34
sperma pada abnormalitas sekunder dapat berupa patah ekor, patah kepala, ekor kusut, dan kepala terpisah dari ekor (Partodihardjo, 1980). Kualitas sperma yang baik akan mendukung daya keberhasilan sel-sel spermatozoa untuk membuahi sel telur ketika proses pembuahan. Kualitas sperma yang diamati terdiri dari konsentrasi sperma, motilitas sperma, dan abnormalitas sperma, kualitas sperma yang baik ditentukan oleh ketiga hal tersebut. Adil (1987) membagi spermatozoa ke dalam empat kriteria dilihat dari konsentrasi dan motilitasnya, yaitu: high fertile jika terdapat lebih dari 185 juta spermatozoa yang bergerak aktif (motil)/volume ejakulat, relative fertile jika terdapat antara 80 – 185 juta spermatozoa motil/volume ejakulat, sub fertile jika terdapat kurang dari 80 juta spermatozoa motil/volume ejakulat, dan sterile jika tidak terdapat sama sekali spermatozoa motil dalam semen, sedangkan menurut Yatim (1994) konsentrasi atau jumlah spermatozoa/ml semen dapat dibedakan atas empat golongan fertilitas, yaitu: polyzoospermia (> 250 juta/ml), normozoospermia (40 – 200 juta/ml), oligozoospermia (< 40 juta/ml), dan azoospermia (0 juta/ml).